UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (Studi Kasus Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln)
TESIS
NOFITA DWI WAHYUNI 1106031740
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA JAKARTA JANUARI 2013
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (Studi Kasus Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln)
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
NOFITA DWI WAHYUNI 1106031740
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA PRAKTIK PERADILAN JAKARTA JANUARI 2013
i Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Nofita Dwi Wahyuni
NPM
: 1106031740
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 21 Januari 2013
ii Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : : : :
Nofita Dwi Wahyuni 1106031740 Praktik Peradilan Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan Pengadilan sebagai Tujuan Pemindanaan (Studi kasus terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, analisa putusan no.21/Pid.B/2009/Pn. Srln dan no.22/Pid.B/2009/Pn. Srln)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Praktik Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Penguji
: Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D
Ditetapkan di Tanggal
: Jakarta : 21 Januari 2013
iii Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT sehingga hanya atas kehendak-NYA tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan untuk memenuhi prasyarat dalam memperoleh gelar magister hukum pada program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam tesis ini penulis mengemukakan mengenai penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan dengan studi kasus terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, menganalisa putusan no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi akademisi dan para penegak hukum khususnya hakim dalam menerapkan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyusun tesis ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr.Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini dengan sabar. Bimbingan dan dukungan, ilmu yang diberikan sangatlah besar artinya bagi penulis ditengah kesibukannya serta seluruh staf pengajar program studi praktik peradilan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia serta seluruh staf sekretariat pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah banyak membantu penulis sejak awal perkuliahan hingga selesainya penyusunan tesis ini. 2. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., Prof. Rehngena Purba, Prof Adrianus Meliala, Hakim Lilik Mulyadi dan Hakim Syahrul Mahmud sebagai narasumber yang telah memberikan informasi dan data dan meluangkan waktunya untuk wawancara. 3. Hakim Enan Sugiharto, Jaksa Syafri Hadi, Jaksa Aji Sumbara, Penasihat Hukum Abdul Hair dan Nelly Akbar dari LSM Warsi, sebagai narasumber
iv Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
yang telah memberikan informasi dan data dengan wawancara melalui telepon sehingga penulis mendapatkan gambaran tentang kasus dalam perkara no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln. 4. Kelurga kecil penulis, suami tercinta Roy Riady dan anak-anak kami Rofilah Chyntia Riady dan Chairunnisa Fairuz Riady. Keluarga besar penulis di Bekasi dan Palembang: Ibu Sukini, Bapak Sumardi, Mama Dahlia, Papa Effendi, kakak, adik dan kakak ipar serta keponakan tercinta, terima kasih banyak atas dukungan dan doanya. 5. Teman-Teman seperjuangan di kelas Praktik Peradilan, yang juga rekan kerja di Mahkamah Agung Republik Indonesia, khususnya Wini, Mba Santi, Mba Harika dan Mba Ningrum. 6. Teman-teman tercinta: Adha, Irma, Bayu, Titi, Sali, Ami, Rita, Fara, Tejo, Ersus, dan Tita, terima kasih banyak atas dukungan, bantuan dan doadoanya. 7. USAID dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, khususnya Pengadilan Negeri Kutacane (tempat kerja penulis) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan tesis ini untuk doa, dukungan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf sekiranya terdapat kesalahan ataupun kekurangan dalam penyusunan tesis ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
v Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: Nofita Dwi Wahyuni
NPM
: 1106031740
Program Studi
: Praktik Peradilan
Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royaltyfree right) atas karya ilmiah penulis yang berjudul: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
DALAM
PUTUSAN
PENGADILAN
SEBAGAI
TUJUAN
PEMIDANAAN (Studi Kasus Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan No.21/PID.B/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalty Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir penulis selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal
: 21 Januari 2013
Yang Menyatakan
(Nofita Dwi Wahyuni)
vi Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Nofita Dwi Wahyuni : Praktik Peradilan : Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan Pengadilan Sebagai Tujuan Pemidanaan (studi kasus terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, analisa putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln)
Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan dalam Putusan Pengadilan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hakim dapat menerapkannya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tujuan sanksi adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan, keharmonisan dan kerukunan pihak yang berkonflik. Penerapan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan dalam putusan pengadilan, menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan masyarakat. Penelitian ini menganalisa putusan no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, kedua putusan ini telah menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan deskriptif analitis sebagai sifatnya. Hasil penelitian perlunya menerapkan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Hakim meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam menjatuhkan pemidanaan. Kata kunci: Keadilan Restoratif, Tujuan Pemidanaan ABSTRACT Name Concentration Title
: : :
Nofita Dwi Wahyuni Justice of Practice The Application of Restorative Justice in The Court Decision as The Aim of Punishment (case study of circumstance that have been resolved customarily, decision analysis no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln and no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln)
Restorative justice as the aim of punishment in the cout have not been set by the law. The Jusde could apply by exploring the value of living law in the society. The aim of customary sanctions is to restore balance, harmony and concord the conflicting parties. The application of restorative justice as the aim of punishment in the court, resolving the conflict between the offender, victim and society. This research analyzes the decision no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, both decisions have applied restorative justice as the aim of punishment. This research is normative research with analytical description as its character. The research result of the importance of applying restorative justice in the court decision as the aim of punishment. Judge should increase their knowledge and ability to impose punishment. Keywords: Restorative Justice, The aim of punishment
vii Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
DAFTAR ISI HALAMANJUDUL ....................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ HALAMAN PENGANTAR ........................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................... TUGAS AKHIR UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS ................................. ABSTRAK ....................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ...........................................................................................
i ii iii iv vi vii viii x
BAB
1. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9
PENDAHULUAN ................................................................... Latar Belakang ........................................................................ Pernyataan Permasalahan ......................................................... Pertanyaan Penelitian ............................................................... Tujuan Penelitian ..................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................... Kerangka Teori ........................................................................ Kerangka Konsepsional ........................................................... Metode Penelitian ..................................................................... Sistematika Penulisan ...............................................................
1 1 7 8 8 9 9 13 15 16
BAB
2 EKSISTENSI RETORATIVE JUSTICE DI PENGADILAN ......... SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN ........................................... 2.1. Restorative Justice ...................................................................... 2.1.1. Sejarah Timbulnya .............................................................. 2.1.2. Definisi .............................................................................. 2.1.3. Tujuan ................................................................................. 2.2. Restorative Justice Sebagai Tujuan Pemidanaan ........................ 2.2.1. Pemidanaan .......................................................................... 2.2.2. Jenis Pemidanaan ................................................................. 2.2.3. Tujuan Pemidanaan ............................................................. 2.3. Eksistensi Restorative Justice Di Pengadilan ............................. 2.3.1. Putusan No.1600 K/Pid.B/2009 ........................................... 2.3.2. Putusan No. 2238 K/Pid.B/2009 ........................................... 2.3.3. Putusan No. 307 K/Pid.Sus/2010 .......................................... 2.3.4. The Cotworthy Case (New Zealand: 1998) ......................... 2.3.5. The Gladue Case (Kanada: 1999) .........................................
18 18 18 23 26 27 27 28 30 39 45 46 48 49 54
BAB 3 RESTORATIVE JUSTICE DAN PENYELESAIAN PERKARA ... PIDANA MELALUI ADAT ........................................................... 3.1. Hukum Adat .................................................................................. 3.1.1. Hukum Pidana Adat ................................................................ 3.1.2. Bentuk dan Tujuan Sanksi Adat .............................................. 3.1.2.1. Bentuk Sanksi Adat .................................................... 3.1.2.2. Tujuan Sanksi Adat ....................................................... 3.2. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Hukum Adat ......................
59 59 62 66 67 67 69
viii Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
3.2.1. Eksistensi Lembaga Adat ..................................................... 3.2.2. Kelemahan Hukum Adat ...................................................... 3.3. Nilai Hukum Adat Dalam Restorative Justice .............................
76 82 86
BAB 4 PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN ..... PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN .................. (Analisa Putusan No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan .......................... Putusan No.22/PID.B/2009/PN.Srln) ............................................... 4.1. Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln .................................. 4.1.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan ...................... 4.1.1.1. Kasus Posisi .................................................................. 4.1.1.2. Pertimbangan .................................................................. 4.1.1.3. Amar Putusan ................................................................. 4.1.2. Analisa Putusan ..................................................................... 4.2. Analisa Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln ............................... 4.2.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan ...................... 4.2.1.1. Kasus Posisi ................................................................... 4.2.1.2. Pertimbangan ................................................................. 4.2.1.3. Amar Putusan ................................................................. 4.2.2. Analisa Putusan ....................................................................... 4.3. Kesimpulan Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, ............ Putusan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue ..................
137
BAB 5. PENUTUP ...................................................................................... 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 5.2. Saran ..............................................................................................
144 144 146
DAFTAR REFERENSI ..................................................................................
148
ix Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
94 94 96 96 97 98 98 115 116 116 117 118 118
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Perbedaan Retributif Theory dan Utilatarian Theory ..................
31
Tabel 2.2. Perbedaan Traditional Justice (Retributive and Rehabilitative) ... Dengan Restorative Justice .........................................................
34
Tabel 4.1. Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah Kasus Gladue.................................................................................
130
Tabel 4.2. Perbedaan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, ........................... Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue .................
137
Tabel 4.3. Kelebihan dan Kekurangan Putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln,. Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue .................
141
x Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Rakernas Mahkamah Agung Tahun 2011 menghasilkan beberapa putusan
penting (landmark decision) dan menjadi yurisprudensi MA, salah satunya Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan restorative justice.1 Putusan tersebut menjadi menarik karena pada saat itu konsep restorative justice belum diatur dalam perundang-undangan tetapi hakim dalam putusan pengadilan telah menerapkannya. Hal lainnya, juga karena alasan mengapa hakim menggunakan
restorative
justice
khususnya
ketika
mempertimbangkan
menjatuhkan pemidanaan. Restorative justice pada saat itu memang belum diatur dalam perundangundangan di Indonesia, namun Hakim menerapkannya dalam putusan tersebut, hal ini dikarenakan Hakim tidak bisa menolak perkara yang harus diadilinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:2 “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas, mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib
1
Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2011, (Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011), hal. 305-345. Hal tersebut juga dipertegas dan dikuatkan dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 096/KMA/SK/VII/2011 tentang Tim Penerbitan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Rumusan Kaidah Hukum Dalam Putusan Penting (Landmark Decision), Tanggal 1 Juli 2011. 2
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076.
1 Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
2
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 3 Hal yang menarik dan menjadi pertanyaan apakah restorative justice ini merupakan hal yang baru atau memang sudah ada dan berjalan dalam sistem hukum di Indonesia? Jika melihat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, jelas dan tegas belum ada yang mengatur tentang restorative justice. Namun melihat dari konsep restorative justice, tidak berbeda dengan penyelesaian peristiwa pidana dalam masyarakat hukum adat. Ada dua pendekatan penyelesaian peristiwa pidana yaitu aspek magis dan aspek material. 4 Aspek magis bertalian dengan upaya mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu akibat peristiwa pidana yang diselenggarakan dalam bentuk upacaraupacara tertentu seperti menyediakan sesajen atau mengorbankan hewan sebagai “tebusan”. Yang agak ekstrim adalah sanksi dalam bentuk mengeluarkan atau mengusir pelanggar dari lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Aspek material berkaitan dengan upaya merukunkan kembali hubungan antara pelaku (keluarga pelaku) dan korban (keluarga korban). Ini pun dilakukan dengan berbagai upacara perdamaian antara kedua pihak. Bentuk lain adalah kewajiban pelaku (keluarga pelaku) melakukan sesuatu, seperti pernyataan bersalah, meminta maaf, memberi kompensasi atau denda tertentu. Praktek hukum adat sangat memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau immaterial. Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi tradisi masyarakat hukum adat kita.5 Jika melihat kepada hukum adat, menandakan bahwa restorative justice sudah ada dan usianya sudah tua, seperti yang ditulis Eva Achjani Zulfa: “Bahwa banyak penulis menganggap restorative justice bukanlah konsep yang baru. Keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana, pendekatan justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana. Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu
3
Ibid.
4
Bagir Manan, Restorative Justice (suatu perkenalan), (Jakarta, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun ke XXI No. 247 Juni 2006), hal. 8. 5
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
3
dinyatakan bagai usang, kuno dan tradisional kini justru dinyatakan sebagai pendekatan yang progresif.” 6 Menurut Eva Achjani Zulfa, “Restorative Justice” merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.7 Restorative Justice diakui oleh dunia Internasional yaitu pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice.8 Menurut Artidjo Alkotsar, Restorative justice telah diupayakan diterapkan di berbagai Negara di dunia seperti di United Kingdom, Austria, Finladia, Jerman, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Afrika Selatan, Gambia, Jamaika dan Kolombia.9 Restorative justice dalam tataran peraturan perundang-undangan di Indonesia, belum diatur secara tegas. Menurut Setyo Utomo, tentang pengaturan tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan sanksi alternatif baru diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana terdapat konsep restorative justice.10 Konsep restorative justice yang diatur dalam RKUHAP yang dimaksud oleh Andi Hamzah, yaitu dilakukan oleh Penuntut Umum atas asas opportunitas.11 Jika Andi Hamzah hanya berbicara sebatas kewenangan Penuntut
6
Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice Di Indonesia (Peluang dan Tantangan Penerapannya), ditelusur melalui internet http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-diindonesia.html diakes pada tanggal 15 September 2012. 7
Ibid . 8 United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), yang ditelusur melalui internet www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%2520crimina l% diakses pada tanggal 15 September 2012 9
Artidjo Alkotsar, Urgensi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Medik Di Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam diskusi di Mahkamah Agung, Jakarta, tanggal 22 Juli 2010. 10
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, (Jakarta: Majalah Hukum Nasional Nomor 01 Tahun 2011, BPHN), hal. 137-162. 11
Andi Hamzah, Restorative Justice Dan Hukum Pidana Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
4
Umum, maka Surya Jaya berbicara dalam konteks sistem peradilan pidana, restorative justice dapat diterapkan.12 Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak yang telah disahkan oleh DPR pada tanggal 3 Juli 2012 juga memuat konsep restorative justice.13 Undangundang tersebut telah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana anak tersebut menyebutkan tentang restorative justice, yaitu: 14 ”Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Restorative justice telah lama diterapkan dalam masyarakat Indonesia, contoh seorang pelaku yang menabrak orang lain yang menimbulkan cidera atau meninggal, tidak jarang serta merta berusaha memberi perhatian terhadap korban (keluarga
korban).
Cara-cara
tersebut
dilakukan
dengan
mengambil
tanggungjawab pengobatan, memberi uang duka, meminta maaf, dll. Hal yang disebutkan diatas bisa juga dikatakan sebagai bentuk penghukuman atau pemidanaan terhadap pelaku atas apa yang telah dilakukannya. Hal tersebut sebagaimana yang diutarakan oleh Dinah Shelton yaitu:15 “thus, the essential of compensatory justice are:(1)the parties are treated as equal;(2)there is damage inflicted by one party on another; (3) remedy 12
Surya Jaya, Keadilan Restoratif Tuntutan Dan Kebutuhan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012. 13
Tempo, Undang-Undang Peradilan Anak Disahkan, http://www.tempo.co/read/news/2012/07/03/173414478/Undang-Undang-Peradilan-AnakDisahkan. Wakil ketua Komisi Hukum Aziz Syamsudin mengatakan undang-undang ini dibuat guna mewujudkan peradilan yang menjamin perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum,”Kami ingin ada pendekatan restorative dalam penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban dan keluarga yang berkaitan dengan tindak pidana.” 14
Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332. 15
Dinah Shelton, Remedies In International Human Rights Law, (New York, Oxford University Press, 1999), sebagaimana dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative Justice, (Jakarta, Varia Peradilan ke XXII N.262, IKAHI, hal.9-10.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
5
seeks to restore the victim to the condition he or she was in before the unjust activity occurred. Remedies thus are designed to place an aggrieved party in the same position as he or she would have been had no injury occurred. To achieved this end by holder the wrongdoer responsible for providing the remedy served a morel need; on a practical level collective insurance can as easily make the victim whole.” Pemidanaan merupakan bagian penting dari hukum pidana yang justru sering menjadi dambaan, sorotan dan sekaligus momok yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat umumnya mengukur sejauh mana keseriusan penegak hukum menerapkan keadilan lewat seberapa besar dan seberapa pantas pemidanaan yang dijatuhkan. Pemidanaan juga harus memperhatikan keadilan masyarakat, keadilan korban dan keadilan pelaku. Hal senada juga diutarakan oleh Howard Zeir yaitu: 16 “The restorative justice movement originally began as an effort to rethink the needs –which crime create, as wel as the roles implicit in crimes. Restorative justice advocates –were concerned about needs that were not being meet in the usual justice process. They also believed that preavailing understanding of legitimate participants or stake holders in jusktice was too restrictive. Restorative justice expands the circle of stake holders those with a stake or standing in the event or the case beyond just the government and the offender to include victims and community members also.” Dengan demikian pemidanaan menjadi suatu hal yang tidak ditakuti melainkan sebagai salah satu solusi yang dirasakan adil oleh semua pihak dalam penyelesaian masalah pidana. Restorative Justice sebagai suatu bentuk perkembangan terakhir dari berbagai pemikiran tentang hukum pidana dan pemidanaan, hingga saat ini masih menjadi suatu konsep yang diperdebatkan.17 Pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistem moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis suatu masyarakat manusia pada suatu zaman, sehingga permasalahan
16
Howard Zehr, Restorative Justice, Good Books, Intercourse, PA, 2002. sebagaimana dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative Justice, (Jakarta, Varia Peradilan ke XXII N.262, IKAHI, hal.9 17
Eva Achjani Zulfa (a), Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Lubuk Agung, Bandung, 2011), hal. 3.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
6
mengenai sistem pemidanaan paling tidak harus meliputi tiga perspektif yaitu filosofis, sosiologis dan kriminologis.18 Menurut John O Haley, restorative justice merupakan alternatif dari tujuan pemidanaan yang ada dan menjawab kegagalan dari tujuan pemidanaan dengan retribusi/penghukuman:19 ”I would only add that as broadly defined an integrated approach to restorative justice offers an alternative to the retributive models that far more effectively and efficiently achieve each of the three principal aims of criminal justice--victim reparation, offender correction, and crime prevention.” Sally S Simpson juga berpendapat sama seperti John O Haley, these penalties are justified be the sentencing objectives of deterrence, proportionality, public protection an restitution to victim.20 Dalam praktiknya bukanlah suatu hal yang mudah untuk memilih dan memilah bentuk teori pemidanaan mana yang dipakai dalam saat ini.21 Terlebih lagi telah disinggung tentang hubungan restorative justice dengan hukum adat, menjadi menarik ketika adanya suatu perkara yang telah diselesaikan secara adat yang juga disidangkan dan berakhir dengan putusan pengadilan. Putusan No. 21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln adalah dua putusan dimana dalam perkara tersebut telah ada penyelesaian secara adat dan diputus dengan putusan pengadilan. Kedua Putusan tersebut mempunyai permasalahan yang cukup pelik karena juga berhadapan dengan masyarakat adat yang meminta perkara tersebut diselesaikan dengan membebaskan terdakwa karena telah adanya penyelesaian secara adat. Sepenggal cerita dari suatu tulisan yang menceritakan tentang Putusan
18
Ibid.
19
John O Haley, Beyond Retribution An Integrated Approach To Restorative Justice, (Washington: Washitong Jounal Of Law And Policy, 2011). 20
Sally S Simpson, Corporate Crime, Law and Social Control, (UK, Cambridge, Cambridge University Press, 2002). sebagaimana dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative Justice, (Jakarta, Varia Peradilan ke XXII N.262, IKAHI, hal.9 21
Ibid, hal. 47.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
7
No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, yaitu sebagai berikut:22 Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif Pengadilan Negeri Sorolangun Jambi menjatuhkan vonis kepada Tumenggung Celitai dan Mata Gunung selama tiga bulan dan 20 hari karena melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan Pasal 170 KUHP. Jika dilihat sepintas tidak ada yang istimewa dalam putusan tersebut, tetapi hal ini membawa akibat bagi eksistensi hukum adat di tengah-tengah hukum positif kita. Hal ini ditengarai bahwa putusan itu terkait dengan penyelesaian adat dimana keputusannya, para pihak yang bertikai dihukum membayar denda adat berupa kain yang dianggap sebagai pengganti kerugian rokhani. Dengan perhitungan satu orang tewas dihitung 500 kain. Kelompok Tumenggung Celitai membayar 1.000 kain kepada pihak Madjid, sedangkan pihak Madjid membayar 500 kain kepada kelompokCelitai.
Kedua putusan tersebut menjadi menarik karena ada penyelesaian secara adat dan berakhir dengan putusan pengadilan, dimana Hakim dalam hal ini melalui putusan pengadilan mempertimbangkan penyelesaian adat tersebut dan pemidanaan yang dijatuhkan. Hakim dihadapkan kepada hukum dan pemidanaan yang bagaimana yang akan diterapkan yang tentu saja dengan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
1.2.
Pernyataan Permasalahan Putusan No. 1600/K/Pid/2009 yang menjadi landmark decision dalam
Rakernas MA RI Tahun 2011, menarik untuk dianalisa. Dalam pertimbangan hukumnya mendasarkan kepada konsep restorative justice, yang secara substansi hukum belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut menjadi penting ditanyakan karena mengingat Indonesia menganut civil law system dimana mendasarkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum yang utama dalam penyelesaian perkara. Hakim dalam hal ini telah mengambil keputusan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun bukan berarti Hakim tidak mempunyai
22
Mahmud Sebayang, Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif, Prakarsa Rakyat, (Jakarta, Sinar Harapan Rakyat, 28 April 2009) yang ditelusur melalui internet http://www.prakarsarakyat.org/artikel/opini/artikel_kirim.php?aid=33984 yang diakses pada tanggal 24 September 2012
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
8
kewenangan dalam menemukan atau menciptakan hukum melalui putusannya. Ternyata juga bukan hanya putusan no. 1600/K/2009 yang menganut konsep restorative justice. Hukum adat yang ada di Indonesia mempunyai cara-cara penyelesaian yang berkonsep restorative justice. Tujuan pemidanaan yang bertujuan untuk penghukuman/balas dendam/ retributive justice dianggap gagal.23 Oleh karena itu berkembang pemikiran tentang tujuan pemidanaan yang lainnya dan restorative justice dianggap dapat menjawabnya. Perkara yang telah diselesaikan secara adat tetap diproses secara hukum yang tertuang dalam putusan pengadilan, menjadi menarik karena penyelesaian secara adat yang berkonsep restorative justice, sedangkan konsep restorative justice itu sendiri belum ada pengaturannya. Oleh karena itu hal tersebut menarik untuk diteliti tentang penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan termasuk di dalamnya atas dasar hukum apa Hakim menerapkan restorative justice dan apa maksud tujuan diterapkannya konsep restorative justice, khususnya terhadap perkara yang telah diselesaiakan secara adat yaitu dengan menganalisa putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan no. 22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn.
1.3.
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian dalam penulisan ini yaitu sebagai berikut: 1.
Bagaimana eksistensi restorative justice di pengadilan? dan apakah restorative justice dapat sebagai tujuan pemidanaan?
2.
Bagaimana sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme adat?dan apakah ada hubungannya restorative justice dengan nilai hukum adat?
3.
Bagaimana penerapan Restorative Justice dalam putusan Pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat?
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 23
John.O.Haley, Loc.Cit.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
9
1.
Untuk mengetahui dan menganalisa eksistensi restorative justice dalam praktek di Pengadilan dan untuk mengetahui dan menganalisa apakah restorative justice dapat menjadi tujuan pemidanaan;
2.
Untuk mengetahui dan menganalisa sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme adat dan untuk mengetahui dan menganalisa hubungan restorative justice dengan nilai hukum adat;
3.
Untuk mengetahui dan menganaalisa penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat.
1.5. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan akan memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan tentang restorative justice bagi para mahasiswa, staf pengajar, para praktisi hukum, khususnya praktisi hukum pidana. Penelitian ini juga diharapkan akan menambah literatur yang jumlahnya masih sangat terbatas. Pembahasan ini juga sebagai masukan bahwa restorative justice dapat diterapkan dalam di pengadilan dengan produk hukumnya yaitu dalam putusan pengadilan, khususnya terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat meskipun secara tegas dalam peraturan perundang-undangan belum diatur akan tetapi hakim dalam menemukan hukum dapat menyelesaikan konflik dengan pemikiran bahwa tujuan pemidanaan yang ideal menerapkan restorative justice. Lebih jauh lagi hal ini membantu pengadilan untuk menyelesaikan tumpukan perkara di Mahkamah Agung, karena dengan restorative justice perkara selesai di tingkat pertama.
1.6.
Kerangka Teori Indonesia sebagai Negara yang menganut civil law system, -seperti halnya
banyak dianut oleh sebagian Negara erofa continental- salah satu cirinya yaitu Hakim berpikir deduktif dari bunyi Undang-undang menuju ke peristiwa khusus dan akhirnya sampai pada putusan.24 Namun suatu hal yang disadari bahwa
24
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010), hal.57.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
10
peraturan perundang-undangan itu tidak lengkap dan tidak jelas, tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya.25 Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicari hukumnya. Penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan hukum umum kepada hukum konkret.26 Hakim dihadapkan pada kondisi yang tidak bisa menolak perkara dengan dalih tidak ada atau tidak jelas hukumnya.
27
Hakim dan hakim konstitusi
diwajibkan untuk mencari dan menemukan hukum tersebut, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”28 Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat mempunyai makna yang serupa dengan pendapat Eugen Erlich yang terkenal dengan teorinya living law:29 “At the present as well as at any other time, the center of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself.” Pendapat Eugen Erlich pun mengkritik tentang sistem hukum yang lebih mengagungkan hukum tertulis dan menggunakan hukum yang hidup di
25
Ibid., hal. 63.
26
Ibid., hal. 49.
27
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076. Pasal 10 ayat (1):” Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 28
Sudikno, Loc.Cit.
29
Eugen Erlich, Fundamental Principles Of The Sociology Of Law, terjemahan Walter L.Moll, (Harvard University Press, 1936, vol. 5, 2000), hal. xx
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
11
masyarakat hanya sebagai dasar untuk mencari kebenaran dari interpretasi hukum dan konstruksi hukum yang terkandung di dalamnya:30 “In our day, doubtless, the most important source of knowledge of the living law is the modern legal document. Even today or these documents is being studied very extensively, to with judicial decision, but not in the sence we have in mind here. It is not being treated as evidence of the living law, but as a work of juristic literature which is to be examined not as to the truth of the legal relations described therein and as to the living law that is to be extracted therefrom, but also to the correctness of the statutory interpretation and of the juristic construction contained therein.” Keberadaan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dan berkembang dari masyarakat, pun diakui oleh Eugen Erlich: “Customary law on other hand, in the prevailing view is so unimportant that no effort is being put forth to ascertain its content by scientific method, much less to create methods for its investigation.”31 Eugen Erlich menambahkan, hukum itu tidak terbatas hanya pada peraturan perundang-undangan ataupun putusan pengadilan tetapi terletak pada tatanan masyarakat itu sendiri:32 “But the scientific significance of the living law is not confined to is influence upon the norms for decision which the courts apply or upon the content of statutes. The knowledge of the living law has an independent value, and this consists in the fact that it constitutes the foundation of the legal order of human society.” Hukum adat dengan penyelesaian adat yang dilakukan dimana melibatkan masyarakat adat, dan tentu saja pelaku dan korban tidak ada membedakan penyelesaian untuk perkara perdata atau pidana, semunya bertujuan untuk keharmonisan hubungan, memulihkan hubungan antara pelaku dan korban seperti ke keadaan sebelum terjadinya tindak pidana. Praktek hukum adat sangat memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau immaterial.
30
Ibid., hal. 493-494.
31
Ibid., hal. 486.
32
Ibid., hal. 502.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
12
Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi tradisi masyarakat hukum adat kita.33 Jika Eugen erlich lebih melihat kepada hukum yang hidup dalam masyarakat, maka John Rawls pun menegaskannya dengan gagasan keadilan sebagai fairness, suatu teori keadilan yang menggeneralisasikan dan mengangkat konsepsi tradisional tentang kontrak sosial ke level abstraksi yang lebih tinggi.34 Menurut John Rawls, subyek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama sosial.35 Prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dari kesepakatan, prinsip-prinsip ini akan mengatur persetujuan yang lebih lanjut, mereka menentukan jenis kerja sama sosial yang bisa dimasuki dan bentuk-bentuk pemerintah yang bisa didirikan, cara pandang terhadap prinsip keadilan ini yang menurut John Rawls disebut keadilan sebagai fairness.36 Prinsip-prinsip keadilan dipilih dalam keadaan tanpa pengetahuan, hal ini memastikan bahwa tak seorang pun diuntungkan atau dirugikan dalam pilihan prinsip-prinsip dengan hasil peluang natural atau kontingensi situasi sosial.37 Keadilan sebagai fairness, mengungkapkan gagasan bahwa prinsip-prinsip keadilan disepakati dalam situasi ideal yang lebih fair.38Keadilan sebagai fairness, seperti pandangan kontrak lainnya, terdiri dari dua bagian: 1. Intepretasi atas situasi awal dan atas persoalan pilihan yang ada, dan 2. Seperangkat prinsip yang akan disepakati.39 Dan adalah masuk akal dan bisa diterima jika tidak ada yang
33
Bagir Manan, Loc.Cit.,
34
John Rawls, A Theory of Justice, terjemahan Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.3. 35
Ibid., hal. 7-8.
36
Ibid., hal 12-13.
37
Ibid., hal.13.
38
Ibid., hal. 14.
39
Ibid., hal. 17.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
13
boleh diuntungkan dan dirugikan oleh takdir alam atau situasi-situasi sosial dalam pemilihan prinsip.40 Dengan demikian menurut penulis, teori keadilan sebagai fainess yang dimaksud oleh John Rawls-yang juga disebut sebagai teori kontrak-41 dimana struktur dasar masyarakat sebagai subjek utama keadilan mempunyai kesepakatan dalam memilih suatu prinsip dimana tidak ada pihak yang diuntungkan ataupun dirugikan. Teori ini sejalan dengan konsep restorative justice, yang mana tujuan utamanya adalah untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban dan masyarakat dimana penyelesaiannya dengan adanya kesepakatan yang diambil oleh pelaku, korban dan masyrakat sehingga tidak ada pihak yang diuntungkan ataupun dirugikan dari peristiwa pidana tersebut.
1.7. Kerangka Konsepsional Dalam kerangka konsepsional, penulis merumuskan konsep yang dipakai dalam penelitian ini, sebagaimana yang dimaksud oleh Soerjono Soekanto: “Didalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris, dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang dipiris, dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang didasarkan atau diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka konsepsionil tersebut, sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasionil di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.”42 Kerangka konsepsional dalam hal penelitian ini adalah tentang konsep restorative justice dalam sistem peradilan pidana, khususnya konsep restorative justie yang dipakai sebagai dasar suatu putusan pengadilan. Konsep restorative justice sebagai dasar suatu putusan pengadilan pada dasarnya berbeda dengan konsep restorative justice pada umumnya. Sehingga konsep restorative justice yang dipakai dalam pengertian ini adalah sebagaimana yang diungkapkan Dignan, yaitu:
40
Ibid., hal.21.
41
Ibid., hal.18.
42
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia-Press, 2010), hal. 137.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
14
“Restorative justice ia a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work and and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the person causing the harm, and the affected community.43 Sehingga restorative justive dalam putusan pengadilan adalah sebagai framework bagi hakim dalam melihat bagaimana suatu perkara harus diputus dengan mengacu kepada pemahaman putusan sebagai respon atas suatu masalah yang terjadi dimasyarakat. Dalam kaitannya dengan putusan pengadilan, maka putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah:44 “Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Dalam Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan, tujuan pemidanaan menurut Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu: 45 (1) Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
43
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook, 2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, terjemahan bebas dari penulis:”Keadilan Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang secara cepat dapat diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta kelompok masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.” 44
Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara RI Tahun 1981 No.76, Tambahan Lembaran Negara No.3209. 45
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
15
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. 1.8.
Metode Penelitian Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif.46
Pendekatan hukum normatif digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis norma-norma hukum yang berlaku, yang terdapat dalam peraturan perundangundangan nasional, maupun dalam berbagai putusan pengadilan yang menerapkan restorative justice. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai objek penelitian dan juga penerapannya. Deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisa berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Teknik pencarian data digunakan untuk menjawab pertanyaan –yang pada dasarnya terhadap dua putusan yaitu putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn- dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa hasil penelusuran dari literatur terkait dan data primer berupa hasil wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan mewawancari dua orang hakim, untuk melihat dari perspektif hakim tentang penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai suatu penemuan hukum. Selain itu juga akan mewancarai seorang akademisi yang ahli kriminologi dan seorang akademisi dari ahli hukum pidana, untuk melihat dari perspefktif akademisi tentang restorative justice sebagai tujuan pemidanan, serta seorang akademisi yang ahli dalam hukum adat yang juga seorang hakim agung, untuk memberikan gambaran tentang mekanisme penyelesaian perkara pidana secara adat. Selain itu juga
46
Soejono Soekanto, Op.Cit., hal. 252.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
16
untuk mendapat gambaran tentang kasus yang akan dianalisa, wawancara juga dilakukan terhadap salah seorang hakim, dua orang jaksa dan salah seorang penasehat hukum terdakwa serta seorang aktivis dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang pemerhati perkara ini khususnya terhadap eksistensi suku anak dalam. Bahan utama adalah data sekunder yang kemudian ditunjang dengan data primer. Data sekunder ini terdiri atas: 47 1.
bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian ilmiah baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide), mencakup: a). buku, b). kertas kerja konperensi, lokakarya, seminar, simposium, dan seterusnya, c). laporan penelitian, d). laporan teknis, e). majalah, f). disertasi atau tesis, g). paten.
2.
bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, mencakup: a). abstrak, b). indeks, c). bibliografi, d). penerbitan pemerintah, e). bahan acuan lainnya, data pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, dan
3.
bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan sebagainya, yang oleh para peneliti hukum digunakan untuk melengkapai ataupun menunjang data penelitiannya.
1.9.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari, yaitu:
BAB 1 berupa pendahuluan yang berisi latar belakang, pernyataan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, kerangka teori, kerangka konsepsional, dan sistematika penulisan. BAB 2 akan menjelaskan tentang Eksisternsi restorative justice di Pengadilan sebagai tujuan pemidanan yang terdiri dari sub bab tentang restorative justice, meliputi sejarah timbulnya, definisi, serta tujuan dari restorative 47
Soejono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, sustu tinjauan singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995),hal. 29-33.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
17
justice, kemudian sub bab lain menjelaskan tentang restorative justice sebagai
tujuan pemidanaan meliputi Pemidanaan, jenis pemidanaan,
tujuan pemidanaan dan sub bab terakhir tentang eksistensi restorative justice di pengadilan, yang terbagi ke beberapa sub bab yang melihat restoratative justice dalam putusan pengadilan yaitu putusan no.1600 K/Pid/2009,
putusan
no.
2238
K/Pid/2009,
putusan
no.
307
K/Pid.Sus/2010, Kasus Clotworthy (New Zealand,1998), kasus Gladue (Kanada, 1999) BAB 3 akan menguraikan tentang hubungan restorative justice dengan sistem penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat yang terdiri dari sub bab tentang hukum adat yang membahas tentang hukum pidana adat, bentuk dan tujuan sanksi adat, sub bab tentang penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat yang terdiri dari eksistensi lembaga adat dan kelemahan penyelesaian melalui hukum adat, sub bab terakhir membahas tentang nilai hukum adat dalam restorative justice BAB 4 akan menganalisa putusan yaitu tentang penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan (studi kasus terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, analisa putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan putusan no. 22/Pid.B.2009.Pn.Srlgn terdiri dari sub bab penyelesaian perkara secara adat, analisa no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn yang dibagi menjadi kasus posisi, pertimbangan hukum dan amar putusan kemudian analisanya dan sub bab analisa putusan no. 22/Pid.B.2009.Pn.Srlgn, yang terbagi menjadi kasus posisi, pertimbangan hukum dan amar putusan serta analisanya. BAB 5 merupakan penutup terdiri dari sub bab Kesimpulan dan Saran
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
BAB 2 EKSISTENSI RESTORATIVE JUSTICE DI PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN Restorative Justice
2.1.
Dalam pembahasan sub bab ini akan lebih banyak menguraikan tentang restorative justice yang merupakan inti dari penelitian ini. Dalam pembahasan sub bab ini akan dijelaskan dan dianalisa tentang restorative justice, yang meliputi: sejarah timbulnya, definisi, dan tujuan dari restorative justice. 2.1.1. Sejarah timbulnya Sejarah timbulnya Restorative Justice, diketahui sebagai berikut: “In many countries, dissatisfaction and frustration with the formal justice system or a resurging interest in preserving and strengthening customary law and traditional justice practices have led to calls for alternative responses to crime and social disorder. Many of these alternatives provide the parties involved, and often also surrounding community, an opportunity to participate in resolving conflict and addressing its consequences. Restorative justice programmes are based on the belief that parties to a confict ought to be actively involved in resolving it and mitigating its negative consequences.they ara also based, in some instances, on a will to return to local decision-making and community building. These approaches are also seen as means to encourage the peaceful expression of conflict, to promote tolerance and inclusiveness, build respect for diversity and promote responsible community practis.” 48
48
United Nations Office on Drugs and Crime, Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York: United Nation, 2006), hal. 5. Yang ditelesur melalui internet http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diunduh 21 november 2012. Terjemahan bebas dari penulis yaitu:”Di banyak negara, ketidakpuasan dan frustrasi dengan sistem peradilan formal atau kepentingan dalam melestarikan dan memperkuat hukum adat dan praktek peradilan tradisional telah menyebabkan panggilan untuk respon alternatif untuk kejahatan dan kekacauan sosial. Banyak alternatif ini menyediakan pihak yang terlibat, dan sering juga masyarakat sekitar, kesempatan untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik dan menangani konsekuensinya. Program keadilan restoratif didasarkan pada keyakinan bahwa pihak yang berkonflik harus terlibat aktif dalam menyelesaikan dan mengurangi konsekuensi negatif. Restorative justice juga didasarkan, dalam beberapa kasus, pada keinginan untuk kembali ke pengambilan keputusan dan masyarakat setempat. Pendekatan-pendekatan ini juga dilihat sebagai sarana untuk mendorong ekspresi damai konflik, untuk mempromosikan toleransi dan inklusivitas, membangun penghargaan atas keragaman dan menerapkan praktik masyarakat yang bertanggung jawab. "
18 Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
19
Dengan demikian restorative justice timbul karena adanya ketidakpuasan dengan sistem peradilan pidana yang telah ada, yang mana tidak melilbatkan pihak-pihak yang berkonflik, melainkan hanya antara negara dengan pelaku. Korban dan masyarakat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik, berbeda dengan restorative justice di mana korban dan masyarakat dilibatkan sebagai pihak untuk menyelesaikan konflik. Di Indonesia perkara pidana diselesaikan melalui sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.49 Tujuan sistem peradilan pidana, yaitu:50 a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan. Namun demikian jika dihubungkan dengan sejarah timbulnya restorative justice, maka sistem peradilan pidana tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, karena gagal memberi ruang yang cukup pada kepentingan para calon korban dan para calon terdakwa, dengan kata lain sistem peradilan pidana yang konvensional sekarang ini di berbagai Negara di dunia kerap menimbulkan ketidakpusan dan kekecewaan.51 Menurut Eva Achjani Zulfa: “paradigma yang dibangun dalam sistem peradilan pidana saat ini menentukan bagaimana negara harus memainkan peranannya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, negara memiliki otoritas
49
Mardjono Reksodiputro (a), Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan buku ketiga (Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007), hal. 84. 50
Ibid.
51
Nicola Lacey, A Life of H.L.A Hart: The Nigthmare and The Noble Dream, (Oxpord: Oxpord University Press, 2004), sebagaimana ditulis dalam buku Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Trisaksi, 2009), hal. 43.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
20
untuk mengatur warganegara melalui organ-organnya.”52 Masih menurut Eva, bahwa dasar dari pandangan ini menempatkan Negara sebagai pemegang hak menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.53 Namun demikian, penggunaan lembaga hukum pidana sebagai alat penanganan konflik menempatkan dirinya sebagai mekanisme terkahir yang dimana lembaga lain tidak dapat menjalankan fungsinya untuk menangani konflik yang terjadi, dengan demikian hukum pidana bersifat ultimun remidium.54 Eva Achjani Zulfa melanjutkannya pernyataannya yaitu implikasi dari pemikiran tersebut adalah pendifinisian kejahatan sebagai suatu serangan terhadap Negara berdasarkan aturan perundang-undangan yang dibuatnya sehingga kejahatan merupakan konflik antara pelaku kejahatan dengan Negara. 55 Hal ini selaras dengan pernyataan Mardjono Reksodiputro, yaitu kejahatan diartikan sebagai pelanggaran atas hukum pidana, dalam undang-undang pidana maupun ketentuan-ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dirumuskan perbuatan atau perilaku yang dilarang dan diancam dengan hukuman (pidana).56 Menurut Mardjono Reksodiputro, kejahatan adalah salah satu bentuk tingkah laku manusia, yang ditentukan oleh sikapnya (attitude) dalam menghadapi suatu situasi tertentu.57 Definisi kejahatan amat sering sekali ditentukan oleh dan
52
Eva Achjani Zulfa (b), Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, (Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hal. 27. 53 Ibid. 54
Ibid.
55
Ibid., hal, 28.
56
Mardjono Reksodiputro (b), Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi) dalam buku Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana , kumpulan karangan buku kelima, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007), hal. 1. 57
Mardjono Reksodiputro (c), Mencari Faktor-faktor Sebab Kejahatan (Suatu Uraian Selayang Pandang) dalam buku Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
21
untuk kepentingan mereka yang”mengendalikan hukum”, yaitu kelompok tertentu yang memegang kendali kuasa.58 Hukum pidana yang menjadi acuan menentukan suatu kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro sebagai suatu reaksi terhadap perbuatan ataupun orang yang telah melanggar norma-norma moral dan hukum dank arena itu telah mengancam dasar-dasar pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan sosial.59 Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam ilmu hukum di FHUI, Marjono Reksodiputro mengatakan, para pelaku kejahatan dianggap telah tidak memperdulikan kesejahteraan umum, keamanan dan hak milik orang lain.60 Dengan demikian atas dasar perlindungan kepada warga negara-lah yang berhadapan dengan pelaku kejahatan, dari sinilah muncul posisi korban sebagai pihak yang pada dasarnya paling dirugikan terkait suatu tindak pidana kehilangan perannya.61 Menurut Eva Achjani Zulfa, hilangnya peran korban dalam sistem peradilan pidana didasarkan pada empat kelemahan yaitu:62 a. Tindak pidana lebih diartikan sebagai penyerangan terhadap otoritas pemerintahan dibandingkan sebagai serangan kepada korban atau masyarakat; b. Korban hanya menjadi bagian dari sistem pembuktian dan bukan sebagai pihak yang berkepentingan akan proses yang berlangsung; c. Proses hanya difokuskan pada upaya penghukuman bagi pelaku dan pencegahan kejahatan semata tanpa melihat upaya perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan dan mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat; d. Dalam penyelesaiannya, fokus perhatian hanya diarahkan kepada proses pembuktian atas kesalahan pelaku. Oleh karenanya, komunikasi hanya berlangsung satu arah yaitu antara hakim dan pelaku sementara konsep dialog utamanya yaitu antara pelaku dan korban sama sekali tidak ada. buku kedua (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007), hal.1. 58
59
Mardjono Reksodiputro (b), Op.Cit., hal. 37. Ibid., hal. 1.
60
Ibid. Pidato pengukuhan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1993 dengan beberapa bagian pada awal dan akhir telah dihapuskan. 61
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
62
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
22
Sejalan dengan pemikiran Eva Achjani Zulfa, Romany Sihite juga mengatakan bahwa”selama ini, sistem peradilan pidana lebih beorrientasi pada kepentingan pelaku ketimbang korban, sehingga banyak melakukan pengabaian hak-hak dan perlindungan hukum terhadap korban selama korban berhadapan dengan isntitusi penegak hukum.63 Gandjar L Bondan juga menambahkan, sebagai berikut:64 “Tidak jarang korban bahkan tidak tahu perkembangan proses peradilan pidana yang dialaminya, tidak memiliki akses untuk mengetahui perkembangan kasusnya, korban tidak tahu proses pengadilan, pembacaan putusan, dan pemidanaan yang dijatuhkan kepada pelaku. Lebih dari itu, korban hamper tidak mendapat manfaat dalam proses peradilan pidana, padahal merekalah korban dalam arti sesungguhnya, merekalah yang menderita kerugian. Akhirnya, korban merasa tidak mendapat keadilan, atau setidaknya tidak merasakan keadilan lewat putusan yang dijatuhkan hakim.” Pengertian korban menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985, yaitu:65 “Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal law operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse of power.” Oleh karena itu menurut Eva Achjani Zulfa:
63
Romany Sihite, Kedudukan dan Hak-Hak Korban Dalam Tata Peradilan Pidana, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice, (Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hal. 51. 64
Gandjar L Bondan, Karakteristik Korban Dari Setiap Tindak Pidana Yang Menjadi Fokus AKtivitas Perlindungan Saksi Dan Korban (Korupsi, Terorisme, Narkotika, Pelanggaran HAM Dan Tindak Pidana Lain Yang Ditentukan LPSK) Dan Kewenangan LPSK dalam Rangka Pemberian Reparasi dan Kompensasi, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice, (Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hal. 77. 65
United Nations, Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and Abuse of Power, A/Res/40/34/, (New York: United Nation, 1985). Terjemahan bebas dari penulis yaitu:” korban adalah orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian,termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau penurunan substansial dari hak-hak asasi mereka, akibat dari tindakan atau kelalaian yang melanggar hukum pidana yang berlaku di beberapa negara anggota, termasuk hukum hukum pidana penyalahgunaan kekuasaan.”
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
23
“Kehadiran Restorative justice pada dasarnya menjadi kunci pembuka pemiran kembali tentang posisi korban dalam suatu penyelesaian perka pidana. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah Negara. Oleh karenanya kejahatan menciptkan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana.” 66 Hal ini juga selaras dengan Gandjar L Bondan, yang menurutnya restorative justice secara teoritis dan praktis dapat dipakai dalam penyelesaian suatu tindak pidana, Gandjar menjelaskan sebagai berikut:67 “Dalam kerangka filosofis, hadirnya pendekatan restorative justice dalam hukum pidana bukan bertujuan untuk mengabolisi hukum pidana, atau melebur hukum pidana dan hukum perdata, karena pendekatan restorative justice yang mengutamakan jalur mediasi antara korban dan pelaku. Pendekatan restorative justice justru mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula yaitu pada fungsi ultimum remidium, suatu senjata pamungkas bilamana upaya hukum lain sudah tidak dapat lagi digunakan dalam menghadapi suatu tindak pidana dalam masyarakat. Dalam tataran praktis penanganan dan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan restorative justice menawarkan alternative jawaban atas sejumlah masalah yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana, misalnya proses administrasi peradilan yang sulit, lama, dan mahal, penumpukan perkara atau putusan pengadilan yang tidak menampung kepentingan korban.” Dengan demikian Restorative justice ada sebagai suatu jawaban atas ketidakpuasan atau kegagalan sistem peradilan pidana.
2.1.2. Definisi Restorative justice itu sendiri dimaknai berbagai macam, antara lain sebagai berikut: Menurut Howard Zehr: ”Restorative justice is touted as a long-overdue third model or a new”lens” a way of hopping off the seesaw, of heading more consistently in a new
66
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
67
Gandjar L Bondan, Op.Cit., hal. 76.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
24
direction while enrolling both liberal politicanc who support the welfare model and conservatives who support the justice model.” 68 Tony Marshall:69 “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.” G Bazemore and Mark Umbreit: ”Restorative justice is about restoring victims, restoring offenders, and restoring communities.”70 Eva Achjani Zulfa:71 “Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.” Marlina:72 “Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersamasama berbicara.” Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal
68
Howard Zehr, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on Crime and Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victim Offender Ministeries Program The MCC, U.S, Office of Criminal Justice vo.4 (Ontario: Canada Victim Offender Ministries Program, 1985) sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford University Press, 2002), hal.10. 69
Tony Marshall, Restorative Justice on Trial in Britain.”in Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International Research Perspectives, edited by H.Messmer and H.U.Otto.Dordrecht, (Boston: Kluwer Academic Publishers, 1992, sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford University Press, 2002), hal.11. 70
Bazemore, G and Mark Umbreit, Balanced and Restorative Justice: Program Summary: Balanced and Restorative Justice Project, (Washington: US Departement of Justice, Office of Juvenile and Delinquency Prevention, 1994), sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford University Press, 2002), hal.11. 71
Eva Achjani Zulfa (c), Keadilan Restoratif, (Jakarta: FHUI, 2009), hal. 3.
72
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia:Pengembangan konsep Diversi dan Restorative Justice, cetakan pertama (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 180
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
25
Matters yang dihasilkan oleh United Nation, tahun 2000:73 1. 2.
3.
4. 5.
restorative justice programme means any programme that uses restorative processes or aims to achieve restoratibe outcomes; restorative outcome means an agrrement reached as the result of restorative of a restorative process. Examples of restorative outcomes include restitution, community service and any other programme or response designed to accomplish reparation of the victim and community, and reintegration of the victim and/or the offender. Restorative process means any process in which the victim, the offender and/or any other individuals or community members affected by a crime actively participate together in the resolution of matters arising from the crime, often with the help of a fair and impartial third party. Examples of restorative process include mediation, conferencing and sentencing circles. Parties means the victim, the offender and any other individuals or community members affected by a crime who may be involved in a restorative justice programme. Facilitator" means a fair and impartial third party whose role is to facilitate the participation of victims and offenders in an encounter programme.
Dignan: “Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work and and counseling professionals and community groups.8 Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the person causing the harm, and the affected community.” 74 73
United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), (www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%2520crimin al% diakses pada tanggal 15 September 2012, terjemahan menurut penulis adalah sebagai berikut: 1. Program Restorative justice berarti setiap program yang menggunakan proses restorative atau bertujuan untuk mencapai hasil restoratibe; 2. Hasil restorative berarti kesepakatan dicapai sebagai hasil dari restorasi dari proses restorative. Contoh hasil restorative termasuk restitusi, pelayanan masyarakat dan program lain atau respon yang dirancang untuk mencapai perbaikan dari korban dan masyarakat, dan reintegrasi korban dan/atau pelaku. 3. Proses restorative berarti setiap proses di mana korban, pelaku dan /atau orang lain atau anggota masyarakat yang terkena dampak kejahatan secara aktif berpartisipasi bersama dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul dari kejahatan, seringkali dengan bantuan pihak ketiga yang adil dan tidak memihak. Contoh dari proses restorative termasuk mediasi, konferensi dan lingkaran hukuman. 4. Pihak berarti korban, pelaku, dan perorangan lainnya atau anggota masyarakat yang terkena dampak kejahatan yang mungkin terlibat dalam program restorative justice. 5. Fasilitator "berarti pihak ketiga yang adil dan tidak memihak yang berperan untuk memfasilitasi partisipasi korban dan pelaku dalam program pertemuan. 74
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook, 2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
26
2.1.3. Tujuan Proses Restorative justice mempunyai tujuan sebagai berikut:75 “Process goal include the following: 1. Victims who agree to be involved in the process can do safely and come out it satisfied; 2. Offenders understand how their action has affected the victim and other people, assume responsibility for the consequences of their action and commit to making reparation; 3. Flexible measures are agreed upon by the parties which emphasize repairing the harm done and, wherever possible, also address the reasons for the offence; 4. Offenders live up to their commitment to repair the harm done and attempt to address the factors that led to their behavior; and 5. The victim and the offender both understand the dynamic that led to the specific incident, gain a sense of closure and are reintegrated into the community. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Chris Cunneen tentang restorative justice yang ideal, yaitu:76
Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, terjemahan bebas dari penulis:”Keadilan Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang secara cepat dapat diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta kelompok masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.” 75
United Nation, Op.Cit., hal. 9. Terjemahan bebas dari penulis yaitu: "Proses tujuan meliputi: 1. Korban setuju untuk terlibat dalam proses yang dapat dilakukan dengan aman dan meghasilkan kepuasan; 2. Pelanggar memahami bahwa perbuatan mereka telah mempengaruhi korban dan orang lain, untuk kemudian bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka dan berkomitmenuntuk membuat perbaikan/reparasi; 3. Langkah-langkah fleksibel yang disepakati oleh para pihak yang menekankan untuk memperbaiki kerusakan dilakukan dan, sedapat mungkin, juga mencegah pelanggaran; 4. Pelanggar membuat komitmen mereka untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan dan berusaha untuk mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan perilaku mereka, dan 5. Korban dan pelaku baik memahami dinamika yang mengarah ke insiden tertentu, memperoleh hasil akhir dan reintegrasi/kembali bergabung ke dalam masyarakat. 76
Chris Cunneen and Carolyn Hoyle, Debating Restorative Justice, (United Kingdom: Hart Publishing, 2010), hal. 132.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
27
“Certainly the ideal is that restorative justice will be beneficial for both victims and offenders. Victims will experience empowerment, healing and closure. They will given the opportunity to ask questions about the offence and express their emotion. Offenders will confront the harm they have caused, take responsibility for their actions, apologize, act to repair the harm and as a result be accepted back into their community.” 2.2.
Restorative Justice Sebagai Tujuan Pemidanaan Untuk mengetahui lebih dalam tentang restorative justice sebagai tujuan
pemidanaan, maka pembahasan sub bab ini akan dibagi menjadi pemidanaan, jenis pemidanaan dan tujuan pemidanaan. 2.2.1. Pemidanaan Menurut Prof Sudarto, menyatakan bahwa penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menerapkan hukum atau memtuskan tentang hukumnya. Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Selanjutnya Beliau mengatakan bahwa istilah penghukuman dapat dipersempit artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim.77 Menurut Barda Nawawi Arief, syarat pemidanaan ada dua yang fundamental yaitu asas legalitas dan asas kesalahan, dengan perkataan lain mengenai pemidanaan berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak pidana dan pertangungjawaban pidana.78 Andi Hamzah, mengatakan bahwa masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan ini sangat penting dalam hukum pidana dan peradilan pidana.79 Menurut Andi Hamzah”penjatuhan pidana atau pemidanaan merupakan konkretisasi atau realisasi peraturan pidana dalam undang-undang yang
77
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cetakan kedua (Bandung: Alumni, 1998), hal. 1. 78
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 88. 79
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi ke Reformasi, cetakan pertama (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal.72.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
28
merupakan sesuatu yang abstrak.80Andi Hamzah melanjutkan bahwa”hakim akan mempunyai keleluasaan luar biasa dalam memilih berapa lama pidana penjara yang akan dijatuhkan kepada terdakwa terntentu dalam kasus konkreto.”81
2.2.2 Jenis Pemidanaan Pernyataan Andi Hamzah yang terakhir disebutkan kurang tepat, karena penjatuhan hukuman atau pemidanaan terkesan hanya pidana penjara, padahal jenis pemidanaan masih ada yang lainnya. Jenis pemidanaan atau pidana menurut KUHP seperti dimaksud dalam Pasal 10 dibagi dalam dua jenis yaitu:82 a. Pidana pokok, yaitu: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda; 5) Pidana tutupan; b. Pidana tambahan, yaitu: 1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang terentu; 3) Pengumuman putusan hakim; Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, disamping jenis sanksi yang berupa pidana dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya:83 a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit (lihat pasal 44 ayat (2) KUHP); b. Tentang tindakan terhadap anak. Muladi masih mengacu kepada KUHP karena pada waktu itu memang belum ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mencabut Pasal 45 KUHP, bahkan sekarang telah ada penggantinya lagi yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.84 80
Ibid., hal.73.
81
Ibid.
82
R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1994 ), hal. 34. 83
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 45-46.
84
Point hurf b yang tentang tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, penulis tidak menampilkannya karena sudah tidak relevan dengan undang-undang yang sekarang
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
29
c. Penempatan di tempat bekerja Negara (landwerkinrichting) bagi penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan sosial (Stb. 1936 no. 160); d. Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (Pasal 8 UU No.7 Drt 1955) dapat berupa: 1) Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu (3tahun untuk kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE); 2) Pembayaran uang jaminan selama waktu tertentu; 3) Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan; 4) Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum sekedar hakim tidak menentukan lain; Selain pidana dan tindakan yang diuraikan di atas, Hakim juga dapat menjatuhkan pemidanaan berupa percobaan dan bersyarat, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 a dan 14 c KUHP, yaitu:85 Pasal 14a “Bila Hakim menjatuhkan pidana sementara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana itu tidak usah dijalani, kecuali bila dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.” Pasal 14c “Dengan perintah yang dimaksud dalam Pasal 14a, kecuali bila dijatuhkan pidana denda, hakim selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, ahrus mengganti
mengaturnya (ketentuan tersebut sudah dicabut). Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bentuk tindakan yang dapat dilakukan, yang merupakan hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk: a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali; c. Keikutsertaan dalam penddikan atau pelatihan ke Lembaga Pendidikan, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial atau Lembaga Kesejahteraan Sosial, atau d. Pelayanan masyarakat; 85
R Soesilo, Op.Cit. hal 39 dan 41.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
30
segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.” 2.2.3. Tujuan Pemidanaan Tujuan pemidanaan yang dimaksudkan adalah teori penjatuhan pidana atau teori pemidanaan. Ada tiga golongan utama untuk membenarkan penjatuhan pidana:86 1.
Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien);
2.
Teori relatif atau tujuan (doeltheorien);
3.
Teori gabungan (vereningstheorien);
Ad.1. Teori absolut mengatakan bahwa setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkannya pidana kepada pelaku. Secara historis tujuan pemidanaan dengan teori pembalasan (retributive theory) dipelopori oleh Immanuel Kant, tuntutan keadilan yang sifatnya absolut terlihat jelas dalam bukunya “Philosophy of law, sebagai berikut:87 “… pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarkat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya (membubarkan masyarakat) pembunuh terkahir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidaj boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.” Menurut teori pembalasan (retributive theory), alasan pembenar dalam penjatuhan hukuman, hukuman semata-mata sebagai imbalan dari perbuatan jahat, pandangan teori retributive sebagai tujuan hukuman yang paling tua, hukuman hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan itu sendiri. 86
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1986), hal. 17. 87
Immanuel Kant, Philosophy of Law, sebagaimana dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 11.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
31
Dalam hal ini setiap individu manusia itu bertanggungjawab atas setiap apa yang dilakukannya.88 Ad.2.Teori
relatif
atau
tujuan
mencari
dasar
hukum
pidana
dalam
menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk provensi terjadinya kejahatan. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan, pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.89 Muladi dan Barda Nawawi Arief menambahkan bahwa”pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory).”90 Beda ciri pokok atau karakteristik antara retributive theory dan teori utilarian yang dikemukakan secara terperinci oleh Karl O Christiansen sebagai berikut:91 Tabel 2.1 Perbedaan Retributif Theory dan Utilitarian Theory Retributif theory a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk melakukan pembalasan; b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung saranasarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. Kesalahan merupakan satusatunya syarat untuk adanya pidana;
Utilitarian theory a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai saran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat c.Hanya pelanggaranpelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
88
Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, cetakan pertama (Jakarta: Indhill CO, 2007), hal. 8-9. 89
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 16.
90
Ibid.
91
Ibid., hal 16-17.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
32
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyaraktkan kembali si pelanggar.
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d.Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; e.Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pelecehan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Sumber: Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,(Bandung: Alumni, 1998), hal.16-17.
Masih menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa Jeremy Bentham melihat suatu prinsip etika baru mengenai kontrol sosial, yaitu suatu metode pengecekan perbuatan manusia menurut prinsip etika yang baru, prinsip itu disebut “utilitarianism”, Bentham mengemukakan bahwa tujuan-tujuan dari pidana adalah:92 1) Mencegah semua pelanggaran (to prevent all offense); 2) Mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst offences); 3) Menekankan kejahatan (to keep down mischief), dan 4) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense) Ad.3.Teori gabungan merupakan gabungan dari teori absolut dan relatif. Teori ini dibagi lagi menjadi 3 yaitu: i. Yang menitikberatkan kepada pembalasan; ii. Yang menitikberatkan kepada pertahanan tata tertib masyarakat/prevensi seimbang;
92
Ibid., hal. 31.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
33
iii. Yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut Andi Hamzah belum banyak sarjana yang membahasnya, namun dalam Rancangan KUHP nasional telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu:93 1.
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2.
Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
3.
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidanam memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4.
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Menjadi pertanyaan sekarang, termasuk kategori yang manakah restorative justice? Menurut Kathleen Daly sebagai berikut:94
93
Ibid, 23-24 Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2012
yaitu: (1) Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. 94
Kathleen Daly, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 36. Terjemahan bebas dari penulis yaitu: ´"Ada beberapa perbedaan lebih jelas daripada nyata, antara praktek peradilan tradisional dan restoratif ... keadilan restoratif, korban mengambil peran yang lebih utama dalam proses penekanannya adalah pada memperbaiki kerusakan antara pelaku dan korban, anggota masyarakat atau organisasi mengambil peran yang lebih aktif dalam proses peradilan, bekerja sama dengan negara, dan proses melibatkan dialog dan negosiasi antara para pihak alam sengketa ".
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
34
“there are differences, some more apparent than real, between traditional and restorative justice practices…restorative justice, victims are to take a more central role in the process the emphasis is on repairing the harm between an offender and victim, community members or organisations take a more active role in the justice process, working with state organisations; and the process involves dialogue and negotiation among the major parties with a stake in the dispute.” Kathleen Daly, menggambarkan perbedaanya sebagai berikut:95 Tabel 2.2 perbedaan traditional justice (retributive and rehabilitative) dengan restorative justice Traditional justice (retributive Restorative Justice and rehabilitative) Victims are peripheral Victims are central to the to the process; process; The focus is on The focus is on repairing punishing or on treating the harm between an an offender; offender and victim, and perhaps also an offender The community is and a wider community; represented by the state; Community members or The process is organisations take a more characterized by active role; adversial relationship among the parties The process is characterized by dialogue and negotiation among the parties. Sumber: Kathleen Daly, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative Justice.
Kathleen Daly kembali menegaskan perbedaan retributive theory dengan restorative justice, yaitu:96 “I hasten to add that I am not arguing that justice and punishment are the same or that justice is done when punishment is delivered. My point is more subtle and in subjective sense, more complex than
95
Ibid.
96
Ibid., hal. 41. Terjemahan bebas dari penulis yaitu: "Saya cepat-cepat menambahkan bahwa saya tidak sependapat bahwa keadilan dan hukuman adalah hal yang sama ketika keadilan atau hukuman itu dilakukan. Maksud saya adalah lebih halus dan dalam arti subjektif lebih luas dari itu. Hal ini untuk mengatakan bahwa kemampuan korban untuk menjadi murah hati dan pemaaf dan untuk pelanggar untuk "membuat perubahan" bagi korban-elemen yang merupakan tujuan yang diinginkan dalam keadilan restoratif, proses hanya dapat terjadi selama atau setelah proses ketika hukuman, didefinisikan secara luas terjadi. "
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
35
that. It is to say that the ability of victims to be generous and forgiving and for offenders to”make amends” to victims-element that are desirable objectives in a restorative justice process-can only come about during or after a process when punishment, broadly defined, occurs.” Jika Kathlen Daly berpendapat bahwa teknis hukuman (pengertian hukuman secara luas) itu dibicarakan bersama antara pelaku dan korban, Seumas Miller dan John Blackler, berpendapat bahwa dalam restorative justice juga terdapat jenis hukuman yang memberi malu kepada pelaku untuk kemudian direkonsialisasi yaitu: “Restorative justice is often contrasted with retributive justice, on the grounds that the letter is held to be committed to punishment for its own sake, the former to abandoning punishment in favour of shame, reconciliation and forgiveness. We will argue that there is an ineliminable role for principles of retributive justice, incluiding punishment, in the concept of restorative justice. We will further argue that the concept of shame is more closelsy related to punishment than might have been thought. Consequently, shame and punishment are not alternatives, but go hand in hand within an acceptable restorative justice framework.” 97 Konsep hukuman memberi malu pertama kali diungkapkan oleh John Braithwaite, 1989 dalam bukunya Crime, Shame and Reintregation. Inti dari kontrol sosial menurut Braithwaite sebagai shaming, yang dia definisikan sebagai”all process of expressing disapproval which have the intention or effect of invoking remorse in the person being shamed and/or concemnation
97
Seumas Miller dan John Blackler, Restorative Justice: Retribution, Confession and Shame, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 88. Terjemahan bebas dari penulis yaitu: “Keadilan restoratif sering berbanding terbalik dengan keadilan retributif, dengan alasan bahwa dasar retributive itu diadakan untuk berkomitmen kepada hukuman untuk kepentingan diri sendiri, kemudain meninggalkan hukuman yang membuat malu, rekonsiliasi dan pengampunan. Kami akan berpendapat bahwa ada peran ineliminable untuk prinsip-prinsip keadilan retributif, termasuk hukuman, dalam konsep keadilan restoratif. Kami selanjutnya akan berpendapat bahwa konsep rasa malu yang lebih dekat terkait dengan hukuman. Akibatnya, rasa malu dan hukuman bukan alternatif, namun berjalan beriringan dalam kerangka keadilan restoratif dapat diterima.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
36
by others who become aware of the shaming.”98 Shaming ada dua macam, yaitu: a. Disintegrative Shaming, menurut Braithwaite ini mestigmatisasi dan meniadakan, jadi menciptakan suatu”class of outclass”. Pelaku tidak hanya dihukum untuk kesalahannya tetapi juga dicap sebagai penjahat yang tidak bisa dimaafkan dan tidak berguna untuk diperbaiki bagi keanggotaan dalam masyarakat. Akibatnya adalah terjadinya jurang yang semakin jauh dalam kejahatan;pelaku ditolak dari pekerjaannya serta kesempatannya yang sah lain untuk bergabung dengan masyarakat konvensional dan sebagai konsekuensinya bergabung dengan orangorang terbuang lainnya dalam menciptakan dan berpatisipasi dalam sub budaya-sub budaya kriminal. b. Reintegrative Shaming. Dalam hal ini, satu tindakan illegal yang pada awalnya menimbulkan ketidaksetujuan masyarakat tetapi kemudian diikuti oleh upaya-upaya”to integrate the offender back into the community of law-abiding or respectable citizens through words or gestures of forgiveness or ceremonies to decertify the offender as deviant.”99 Dalam reintegrative shaming mempunyai dua wajah yaitu: i. Membuat
kepastian
bahwa
ketidakpantasan/ketidaktepatan
perbuatan salah itu diketahui oleh si pelaku dan oleh semua orang yang menyaksikan, dan ii. Menampilkan satu kesempatan untuk memperbaiki (to restore) pelaku bagi keanggotaannya dalam kelompok. Kombinasi ini menurut Braithwaite menurunkan kejahatan melalui penekanan control yang lebih besar terhadap para pelaku
98
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, cetakan kesebelas (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2011), hal 102-103. Terjemahan yang diberikan dari buku ini yaitu”semua proses mengekspresikan ketidaksetujuan yang memiliki kesengajaan atau pengaruh dari meminta penyesalan mendalam pada diri orang yang mendapat malu/dan atau disalahkan pihak lain yang tahu tentang itu.” 99
Terjemahan yang diberikan dari buku ini yaitu”untuk mengintegrasikan pelaku kembali kepada masyarakat sebagai orang yang taat hukum atau warga yang terhormat melalui kata-kata atau bahasa tubuh yang menunjukkan pemaafan atau pernyataan untuk tidak menandai pelaku tersebut sebagai deviant.”
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
37
dan dengan tidak menggerakkan proses-proses krimogenik yang diakibatkan oleh stigmatisasi dan pengusiran sosial. 100 John Braithwaite dan Philip Pettit, berpendapat sebagai berikut:101 “The reintegrative ideal, closely tied to this, is that whatever process and treatment is involved, it should so far as possible promote the prospect that the victim and the offender are each reintegrated into society as recognized, respected members. Restorative justice conferences offer the best prospect of achieving a process, and an agreed outcome, that will communicate the reason why the offence is objectionable. And they also promise the best chance of reintegration. They are designed to maximize social support for both offenders and victims, particularly through selecting for attendance those supporterts enjoying the strongest relationship of trust or love with them. The impact of restorative justice conference will be particularly positive if reintegrative shaming theory is correct and there is some evidence that reintegrative shaming does reduce lawbreaking.” Dengan
demikian
John
Braitwaite
dan
Philip
Petit
dalam
kesimpulannya berpendapat bahwa restorative justice berfungsi sebagai pencegahan terhadap kejahatan daripada penghukuman dari pengadilan “The explanatory theory of domination and crime explains why restorative justice may be more effective in preventing crime than punishment by court.”102
100
Ibid., hal. 103-104.
101
John Braithwaite dan Philip Pettit, Republicanism and Restorative Justice: An Explanatory and Normative Connection, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 159-160. Terjemahan bebas dari penulis yaitu:” reintegratif yang ideal, terkait erat dengan hal ini, adalah bahwa apapun proses dan pelaksanan yang terlibat, harus sejauh mungkin mempromosikan prospek bahwakorban dan pelaku masing-masing reintegrasi ke dalam masyarakat seperti diakui, dihormati anggota. Pertemuan dalam keadilan restoratif menawarkan prospek terbaik untuk mencapai proses, dan hasil yang disepakati, yang akan menyampaikan dalam komunikasi tersebut sebagai alasan mengapa pelanggaran dilakukan. Dan pertemuan itu juga menjanjikan kesempatan terbaik untuk reintegrasi. Pertemuan tersebut dirancang untuk memaksimalkan dukungan sosial untuk kedua pihak yaitu pelaku dan korban khususnya, kehadiran mereka mendukung untuk menikmati hubungan terkuat kepercayaan atau cinta dengan mereka. Dampak pertemuan dalam restorative justice akan sangat positif dan membenarkan tentang teori mempermalukan reintegratif dan ada beberapa bukti bahwa mempermalukan reintegrative mengurangi pelanggaran hukum.” 102 Ibid., hal. 161. Terjemahan bebas dari penulis yaitu:”Penjelasan Teori dominasi dan kejahatan menjelaskan mengapa keadilan restoratif mungkin lebih efektif dalam mencegah kejahatan dari hukuman oleh pengadilan.”
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
38
Menurut Luhut MP Pangaribuan, bahwa restorative justice sebagai tujuan pemidanaan, walaupun tidak secara tegas sebagi pencegahan/deterrence, teori relatif tetapi jelas bukan sebagai pembalasan/teori absolut, yaitu:103 “Dalam perkembangannya, konsep penyelesaian suatu kasus pidana tidak lagi penjara karena merupakan perwujudan dendam dan sekaligus beban kepada negara tetapi lebih ke arah merestorasi hubungan pelaku, korban dan masyarakat.” Penggabungan antara teori absolut dengan relatif, kemudian dikembangkan oleh Muladi dengan menyebutnya dengan teori integratif, menurutnya karena tujuannya bersifat integratif maka perangkat tujuan pemidanaan adalah:104 1. Pencegahan umum dan khusus; salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang lain yang mungkin punya maksud untuk melakukan
kejahatan-kejahatan
semacam
karenanya
mencegah
kejahatan lebih lanjut; 2. Perlindungan masyarakat, sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana; 3. Memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan; 4. Pengimbalan/pengimbangan, Muladi mengutip pendapat Sudarto yang mengatakan”dewasa ini tidak ada lagi penganut pembalasan, dalam arti pidana merupakan keharusan belaka. Kalau masih ada penganut pembalasan, itu dikatakan sebagai penganut teori pembalasan modern.
103
Luhut M P Pangaribuan, Lay Judges&Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Papas Sinar Sinanti, 2009), hal. 257. 104
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga (Bandung, Alumni, 1984), hal. 81-
86.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
39
Dalam arti pembalasan modern inilah tujuan pemidanaan berupa pengimbalan/pengimbangan perlu diperhatikan.”
Muladi menyatakan bahwa masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional
dan
fungsional.
Untuk
itu
diperlukan
pendekatan
multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun keharusan.105 M.Solehhudin mencoba mensimpulkan tentang teori integratif dari Muladi tersebut, yang menurut penulis disinilah fungsi restorative justice sebagai tujuan pemidanaan, yaitu:106 “Teori tujuan pemidanaan integratif tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan kerusakan individual dan masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.”
2.3. Eksistensi Restorative Justice Di Pengadilan Dalam sub bab yang sebelumnya telah dijelaskan tentang restorative justice, dan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan. Dalam sub bab ini akan dijelaskan dan dianalisa tentang eksistensinya restorative justice di pengadilan. Pemilihan judul sub bab ini terkait dengan penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan. Indonesia adalah negara civil law dimana peraturan perundang-undangan menjadi yang utama daripada putusan pengadilan. Dengan demikan dasar penerapan hukum yang utama adalah peraturan perundangundangan.
105
Muladi, Loc.Cit.
106
M. Solehhuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System&Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 51.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
40
Jika melihat dari peraturan perundang-undangan yang ada, hanya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan secara jelas dan tegas keberadaan restorative justice, yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 jo Pasal 1 angka (7) jo Pasal 7, yaitu:107
Pasal 5 (1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. (2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. (3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Pasal 1 Angka 7. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pasal 7 (1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi; (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Namun demikian Undang-Undang ini hanya berlaku untu anak dan itupun baru bisa diterapkan dua tahun dari diundangkannya Undang-Undang tersebut, yang berarti baru berlaku pada 30 Juli 2014.108 Artinya sampai sekarang ini, dasar hukum untuk menerapkan restorative justice di pengadilan khususnya dalam putusan pengadilan, belum ada dasar hukumnya. Jika demikian apakah restorative
107
Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Loc.Cit.
108
Ibid., Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak mengatakan bahwa”Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.”
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
41
justice tidak bisa diterapkan dalam putusan pengadilan jika belum ada dasar hukum, peraturan perundang-undangan yang mengaturnya? Restorative justice memang belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, namun Hakim jika ingin menerapkannya dalam putusannya, hal ini dikarenakan Hakim tidak bisa menolak perkara yang harus diadilinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:109 “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas, mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 110 Telah dijelaskan tentang restorative justice dan tujuan pemidanaan dalam sub bab sebelumnya, maka restorative justice merupakan suatu konsep yang telah diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Nilai musyawarah untuk mencapai mufakat untuk menyelesaikan perkara yang ada dalam masyarakat Indonesia bahkan telah menjadi nilai dari ideologi Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini juga tidak berbeda dengan penyelesaian melalui hukum adat. Praktek hukum adat sangat memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau immaterial. Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi tradisi masyarakat hukum adat kita.111 Pembahasan tentang penyelesaian adat akan dibahas lebih mendalam di bab selanjutnya. Jika melihat dari tujuan pemidanaan dan jenis pemidanaan yang diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012, maka pendekatan
109
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.
110
Ibid.
111
Bagir Manan, Loc.Cit.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
42
restorative justice telah diadopsi di dalamnya, pasal 54 telah mengatur yang menjadi tujuan pemidanaan, yaitu: 112 (1) Pemidanaan bertujuan: a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Pasal 42 ayat (2) dan (3) RUU KUHAP tahun 2012 menyatakan:113 Pasal 42 (2) Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. (3) Kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan jika: a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun); c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda; d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun; dan/atau e. kerugian sudah diganti. Dalam penjelasannya dinyatakan sebagai berikut:114 Ayat (2) Kewenangan penuntut umum dalam ketentuan ayat ini disebut juga dengan asas oportunitas yaitu kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut perkara dan untuk penyelesaian perkara di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan ini dipertanggungjawabkan kepada kepala Kejaksaan Tinggi setiap bulan. Ayat (3) Cukup jelas.
112
Rancangan KUHP tahun 2012.
113
Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun 2012
114
Penjelasan Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun 2012
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
43
Di dalam Naskah Akademik dari RUU KUHAP juga menegaskan tentang adanya konsep restorative justice yaitu: “Penyelesaian di luar pengadilan tercantum di dalam Pasal 42 ayat (2) dan (3) Rancangan. Pasal 42 ayat (2) berbunyi: ”Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.” Pasal 42 ayat (3) menyebut syarat-syarat itu sbb : (a) tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; (b) tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; (c) tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda; (d) umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas tujuh puluh tahun; dan/atau (e) kerugian sudah diganti. Tindak pidana bersifat ringan, misalnya menipu (Pasal 378 KUHP) yang ancaman pidananya maksimum empat tahun penjara sebesar 10 (sepuluh) juta rupiah untuk membayar biaya rumah sakit, kemudian telah membayar kepada korban. Dengan demikian, korban pun mendapat kembali uangnya, daripada penipu ini masuk penjara dan uang tidak kembali. Penyelesaian seperti ini termasuk peradilan restoratif (restorative justice), adanya perdamaian antara korban dan pelaku. 115 Tentang jenis pidana dalam RKUHAP juga memperhatikan korban , yaitu Pasal 133 dan 134 RKUHAP:116 Pasal 133 (1) Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yang menderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana membayar ganti kerugian kepada korban yang besarnya ditentukan dalam putusannya. (2) Apabila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang untuk membayar ganti kerugian kepada korban. (3) Apabila terpidana berupaya menghindar untuk membayar kompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak mendapatkan pengurangan masa pidana dan tidak mendapatkan pembebasan bersyarat. (4) Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat khusus berupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti kerugian kepada korban. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan dan pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 134
115
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun
2012. 116
Rancangan KUHAP tahun 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
44
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Nilai yang hidup dari masyarakat berupa musyawarah untuk mencapai mufakat dalam menyelesaikan konflik, juga menganut pendekatan restorative justice. Yang belakangan ini tepat kiranya memakai dasar hukum Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 117 Undang-Undang no.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak memang belum berlaku, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
bahkan
belum
disahkan/diundangkan, namun kesemuanya mengatur tentang pendekatan restorative justice. Sedangkan untuk peraturan perundang-undangan yang belum berlaku atau bahkan belum diundangkan, Hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum. Menurut Soedikno Mertokusumo, “terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak lengkap, maka harus menemukan hukumnya. Metode penemuan hukum melalui interpretasi atau metode penafsiran.118 Salah satu metode interpretasi yang disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau futuristis, yaitu penafsiran antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan undang-undang.119 Dengan demikian melalui interpretasi antisipasif atau futuristis, pendekatan restorative justice dapat diterapkan di pengadilan, khususnya dalam putusan pengadilan. Dalam menggunakan intepretasi ini tetap berpedoman bahwa hakim ketika akan memberikan pemidanaan dalam putusannya mengacu kepada keadilan.
117
Ibid.
118
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 20100, hal. 73. 119
Ibid., hal. 80.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
45
Keadilan yang seperti apa yang akan diberikan? restorative justice timbul karena adanya kritik terhadap sistem peradilan pidana, yang tidak memberikan peran dan keadilan yang dirasakan langsung oleh korban. Restorative justice memberikan peran dan keadilan bukan hanya yang dirasakan untuk pelaku, tetapi korban bahkan juga masyarakat. Keadilan dimana tidak ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan, sebagimana yang dimaksud dengan keadilan sebagai fairness oleh John Rawls. 120 Berikut ini adalah beberapa contoh putusan pengadilan yang telah menerapkan restorative justice, yaitu sebagai berikut:
2.3.1. Putusan no.1600 K/Pid.B/2009 Putusan ini merupakan salah satu landmark decision Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2011.121 Putusan ini secara jelas dan tegas dalam pertimbangannya menggunakan restorative justice. Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 menceritakan tentang Ny.Emawati(pelapor/korban) yang melaporkan menantunya (delik aduan), Ny.Ismayawati dengan tuduhan penipuan dalam keluarga/penggelapan dalam keluarga sebesar Rp 3.910.000.000,- (tiga milyar Sembilan ratus sepuluh juta rupiah). Ny Emawati mencabut tuntutannya karena telah memaafkan terdakwa dan mengingat dua anak terdakwa yang masih kecilkecil yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Permohonan pencabutan tersebut dinyatakan di persidangan, setelah lewat waktu tiga bulan yang merupakan batas waktu pencabutan delik aduan. Majelis Hakim mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan penuntutan perkara tersebut tidak dapat diterima. Majelis Hakim dalam pertimbangannya, berargumen salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP, Majelis Hakim menilai pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. Majelis Hakim mengatakan perdamaian yang
120
John Rawls, Op.Cit., hal. 21.
121
Mahkamah Agung, Loc.Cit.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
46
terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa dalam ajaran restorative justice, kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya hubungan antar individu dalam masyarakat.122 Dalam pertimbangan tersebut, memang adanya kebesaran hati dari korban yang mencabut aduannya, terlihat memang mempertimbangkan kembalinya hubungan antara pelaku dan korban, namun sayangnya tidak menyinggung tentang kerugian korban. Korban mengatakan telah memaafkan pelaku namun tidak disebutkan bahwa tentang kerugian telah atau akan dibayarkan oleh pelaku. Jumlah kerugian yang diderita korban pun tidak sedikit, sehingga seharusnya juga dipertimbangkan untuk dibayarkan oleh pelaku.
2.3.2. Putusan no. 2238 K/Pid.B/2009 Andi Marjun alias Andi (pelaku) selaku teknisi dari usaha TV kabel milik Arifin Terah (korban), pada bulan Agustus 2007 sampai dengan bulan Agustus 2008 melakukan penyambungan siaran TV kepada 121 rumah/pelanggan tanpa sepengetahuan korban, biaya satu kali penyambungan sebesar Rp 300.000,- dan iuran bulanan sebesar Rp 15.000,- per pelanggan. Uang penyambungan TV kabel dan iuran bulanan yang seharusnya disetorkan kepada korban ternyata tidak disetorkan melainkan dipakai sendiri oleh pelaku. Pelaku didakwa melanggar Pasal 372 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 378 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Majelis kasasi berpendapat bahwa pelaku selaku teknisi TV kabel milik korban yang diberi kewenangan untuk menarik biaya pemasangan sebesar Rp 300.000,- dan iuran bulanan sebesar Rp 15.000,- dari pelanggan, jadi uang tersebut ada pada pelaku sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh korban, bukan karena kejahatan, yang seharusnya uang biaya penyambungan TV kabel
122
Pertimbangan hukum Majelis Kasasi dalam Putusan Nomor 1600 K/ Pid.2009
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
47
sebanyak 64 rumah/orang kali Rp 250.000,-123 sejumlah Rp 16.000.000,- dan iuran TV kabel sejak bulan September 2007 sampai dengan juli 2008 dari 64 pelanggan kali Rp 14.000,- (11 x 64x Rp 14.000,-) sejumlah Rp 9.856.000,seluruhnya berjumlah Rp 25.856.000,- diserahkan kepada korban sebagai pemilik dari usaha tersebut, akan tetapi oleh terdakwa tidak diserahkan dan ternyata uang tersebut digunakan untuk biaya pengobatan orang tua dan anaknya yang sedang sakit. Dalam pertimbangan hal yang meringankan, Majelis mengatakan bahwa pelaku mengakui perbuatannya, hal itu mencerminkan masih ada sifat jujur pada diri pelaku. Pelaku mempunyai itikad yang kuat untuk mengembalikan kerugian yang diderita korban dan motif dari pelaku adalah keinginan untuk mengobati sakit keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan dalam hal yang memberatkan, Majelis mengatakan bahwa perbuatan pelaku menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi korbann. Dalam putusannya pelaku dinyatakan bersalah melakukan penggelapan dan dijatuhi pidana penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan disamping itu apabila pelaku dalam tenggang waktu lima bulan sejak putusan diberitahukan, tidak membayar lunas uang yang digelapkan sebesar Rp 25.856.000,- kepada korban. Putusan ini memang memberikan keadilan kepada korban dalam bentuk adanya ganti rugi, akan tetapi dalam putusan tersebut tidak dijelaskan adanya permintaan maaf atau penerimaan maaf yang menandakan adanya suatu upaya untuk mengembalikan hubungan atau memulihkan hubungan antara pelaku dengan korban. Pembayaran ganti rugi memang mengembalikan kepada keadaan semula dan memberikan peran dan keadilan kepada korban namun seyogyangya juga harus dilihat kepada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Dengan demikian tidak berarti yang penting telah dibayar kerugian korban, namun hubungan tidak kembali, pendek kata misal pelaku tidak dipekerjakan lagi sebagai
123
Dalam pertimbangan tersebut juga terungkap fakta, bahwa setiap pemasangan TV kabel, pelaku mendapatkan Rp 50.000,- dan untuk tiap iuran setiap bulannya pelaku juga mendapatkan Rp 1.000,- dari setiap pelanggan.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
48
teknisi TV kabel oleh korban, karena korban masih merasa dendam, tidak suka bahkan tidak percaya lagi kepada pelaku.
2.3.3. Putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010 A Syarif Zen bin Barzan Bakri (pelaku) menikah resmi dengan Masyati (korban) pada tanggal 19 Februari 1978 dan dari pernikahan tersebut telah memiliki lima orang anak. Sejak tanggal 27 Maret 2007 sampai dengan sekarang (2009), telah meninggalkan rumah dan menelantarkan korban dan kelima anaknya dengan tidak memberikan nafkah. Pelaku didakwa melanggar Pasal 49 huruf a jo Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pelaku didakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk penelantaran. Putusan pengadilan negeri menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada pelaku dan pengadilan tinggi juga menguatkan putusan tersebut. Majelis kasasi menyatakan pelaku terbukti melakukan tindak pidana telah menelantarkan orang lain yang merupakan istri sahnya dalam lingkup rumah tangga dan menjatuhkan pidana kepada pelaku enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun dengan syarat khusus memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak yang masih menjadi tanggungannya (korban) sebanyak Rp 1.000.000,- setiap bulan.124 Majelis dalam hal ini hanya menganulir tentang pemidanaannya dengan pertimbangan bahwa pemidanaan yang dijatuhkan oleh pengadilan tinggi tidak memberikan manfaat. Majelis berpendapat bahwa pelaku telah meninggalkan rumah sejak tahun 2007 dan tidak memberikan nafkah kepada korban dan para saksi (kelima anaknya), pelaku selain menelantarkan korban dan saksi-saksi juga telah kawin dengan wanita lain, agar dapat menjadi pelajaran dikemudian hari pelaku pantas diberi hukuman pidana sebagai pelajaran, akan tetapi putusan judex facti perlu diperbaiki karena tidak bermanfaat bagi dirinya maupun untuk korban, karena itu
124
Amar putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
49
diperbaiki dengan pidana percobaan dengan syarat menafkahi istri dan anakanaknya.125 Putusan ini memang memberikan keadilan kepada korban untuk kedepannya, namun tidak memberikan penggantian kerugian yang telah dilakukan oleh pelaku. Selama dua tahun pelaku telah menelantarkan korban seharusnya jika Majelis berpendapat bahwa nafkah yang pantas diberikan adalah Rp 1.000.000,maka dikalikan 24 menjadi Rp 24.000.000,- jumlah yang harus dibayar pelaku kepada korban atas perbuatan pelaku. Selain itu Majelis juga tidak mempertimbangkan tentang hubungan antara pelaku dengan korban yang seharusnya pemidanaan juga diupayakan kepada pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban, misal dengan adanya permintaan maaf dari pelaku dan penerimaan maaf dari korban, sehingga tidak ada dendam dan kembali ke keadaan seperti semula.
2.3.4. The Clotworthy Case, (New Zealand: 1998) ”Mr Clotworthy was convicted on place of guilty of two counts, wounding with intent to cause grievous bodily harm, robbery being the motive, and assaulting of his duty. the incident took place in a street in Auckland when the offender demanded money from a passer-by, slashed him in the face and stabbed him in the chest with a knife, severely injuring him. indeed, he was lucky to survive. the victim had emergency surgery to repair a collapsed lung and diaphragm. he required blood transfusions and was in intensive care for some days. the attack brought on a resurgence of the victim's epilepsy, as a result of which he could no resurgence drive a vehicle. the offender was aged 27 and had been drinking. the sentencing judge thought that the starting point for sentencing was a sentence in the order of 3-4 years. Conferencing had been organised by justice alternatives, a restorative justice facilitator, with the victim, the offender and their support persons. the victim was understanding and did not demand heavy punishment but was interestesd in reparation. the offender, who was otherwise a person of good character, was anxious to redeem himself. In the result, a suspend of 2 years imprisonment was imposed. Reparation was ordered in the sum of $15.000 of which $5.000 was to be an immediate down payment. the purpose of this reparation was to fund plastic surgery for the wounds suffered. in addition, Mr. Clotworthy was required to undertake 200 hours community service. the crown applead on the ground that a suspended sentece for 2 years was inadequate. the court of appeal heard submissions from the victim who urged that imprisonment would
125
Pertimbangan hukum Majelis kasasi putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
50
achieve nothing for the offender or himself. the court of appeal made the point that public interest in sentencing cannot be confined to victim and offender stating. The public interest in consistency, integrity and the criminal justice system and deterrence of others are factors of major importance. The court considered that the sentencing judge's starting point for the crime of violence was too low-it should have been 5-6 years, not 3-4 years. the offer of reparation did not justify suspension of the sentence and the serving of a term of imprisonment meant that the offender could not afford reparation at the level ordered. so reparation sentence imposed was a term of 3 years imprisonment. that being a reduction from the norm 5-6 years. the court concluded by saying "we would not wish this judgment to be seen as expressing any general opposition to the concept of restorative justice (essentially the policies behind ss 11 and 12 of the criminal justice act). those policies must, however, be balanced against other sentencing policies, particularly in this case those inherent in s5, dealing with case of serious violence. which aspect should predominate will depend on an assessment of where the balance should lie in the individual case. even if the balance is found, as in this case, to lie in favour of s5 policies, the restorative aspects can have, as here, a significant impact on the length of term of imprisonment which the court is directed to impose. they find their place in the ultimate outcome in that way."126 126
The Hon.Sir Anthony Mason Ac Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 4-6. Terjemahan bebas dari penulis:” Tuan Clotworthy dihukum bersalah atas dua tuduhan, melukai dengan maksud untuk menyebabkan luka berat, dengan motif perampokan, dan menyerang dari tugasnya. Insiden itu terjadi di sebuah jalan di Auckland saat pelaku meminta uang dari seorang pejalan kaki, memukul wajah korban dan menikamnya di bagian dada dengan pisau, sehingga korban luka-luka. Beruntung korban masih bertahan hidup. korban menjalani operasi darurat untuk memperbaiki paru-parunya dan diafragma. ia membutuhkan transfusi darah dan dalam perawatan intensif selama beberapa hari. Serangan tersebut memicu epilepsy korban dan berakibat iatidak bisa mengendarai kendaraan. pelaku berusia 27 dan telah minum. hakim menjatuhkan pidana berpikir bahwa titik awal untuk pemidanaan adalah pemidanaan antara 3-4 tahun. Keadilan alternatif melalui pendekatan keadilan restoratif menyelenggaran pertemuan melalui fasilator dengan korban, pelaku dan masyarakat. korban tidak menuntut pemidanaan berat tapi menginginkan dalam perbaikan. pelaku, dimana pelaku adalah seseorang yang berkarakter yang baik, dan sangat ingin menebus kesalahannya. Hasilnya Pengadilan Negeri memidana pelaku 2 tahun penjara yang ditangguhkan (pidana percobaan) dan memerintahkan untuk membayar sebagai biaya perbaikan dalam jumlah $ 15,000 dan $ 5,000 sebagai uang muka untuk mendanai operasi plastik untuk luka yang diderita. Tuan Clotworthy diminta untuk melakukan 200 jam pelayanan masyarakat. Pengadilan banding menyatakan bahwawa pemidanaan 2 tahun penjara yang ditangguhkan itu tidak memadai. pengadilan banding mendengar masukan dari korban yang mennganggap bahwa penjara tidak akan mencapai apa-apa untuk pelaku atau dirinya sendiri. pengadilan banding membuat titik bahwa kepentingan umum dalam pemidanaan tidak dapat terbatas pada korban dan pelaku menyatakan. Pengadilan banding berpendapat bahwa demi menjaga konsistesi dan integritas dalam sistem peradilan pidana maka kepentingan umum dan pencegahan merupakan faktor utama. Pengadilan menganggap bahwa hakim memidana untuk kejahatan kekerasan terlalu rendah seharusnya 5-6 tahun, bukan 3-4 tahun. Adanya reparasi tidak membenarkan penangguhan pemidanaan sedangkan menjalani pemidanaan penjara berarti bahwa pelaku melakukan perbaikan, sehingga pemidanaan reparasi yang dikenakan adalah 3 tahun penjara. Dan ini menjadi pengurangan pemidanaan dari 5-6 tahun.Pengadilan menyimpulkan dengan mengatakan
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
51
Menurut John Braithwaite, dalam kasus tersebut” the clotworthy case before the court of appeal of new zealand has been more damaging than supportive to the principles of restorative justice”127 Hal ini bisa dimengerti karena Pengadilan banding Selandia Baru yang memidana tiga tahun penjara kepada pelaku dengan tidak mempertimbangkan kepentingan korban -dengan dasar kepentingan umum dan pencegahan kejahatan- dan diabaikannya. Padahal Pengadilan Negeri telah memidana pelaku dengan hukuman percobaan dua tahun penjara dan memberikan $15.000 kepada korban untuk biaya bedah plastik serta 200 jam pelayanan masyarakat, telah memberikan peran dan keadilan kepada korban. Korban dan pelaku menyadari bahwa pidana penjara tidak akan memberikan manfaat apa-apa untuk mereka. Hal yang menarik adalah baik Pengadilan Negeri dan Pengadilan banding sama-sama menggunakan konsep restorative justice dalam pertimbangannya, namun dengan penafsiran yang berbeda. Menurut Sir Anthony Mason, pengadilan banding telah salah dalam menafsirkan kepentingan umum: ” For my part, i am in general agreement with the approach taken by the court of appeal under the law as it stands. i do not think that it was defensible, under our existing system of criminal justice, to uphold the orders of the sentencing judge in a case involving such a serious offence involving gross violence. indeed, in my view, the case was not an ideal vehicle for the restorative justice approach. The court of appeal did, however, give very considerable weight to the conferencing solutions. there was a significant reduction in the term of imprisonment which otherwise would have been awarded. the flaw in the conferencing solution and in the sentencing judge's judgment was a failure to sufficiently recognise the public interest element, an element which is embedded in the existing law.”128 "Kami tidak ingin keputusan ini harus dilihat sebagai pernyataan oposisi umum untuk konsep keadilan restoratif (dasarnya kebijakan belakang ss 11 dan 12 dari tindak peradilan pidana). kebijakan tersebut harus, bagaimanapun, akan seimbang terhadap kebijakan pemidanaan lainnya, khususnya dalam hal ini mereka yang melekat dalam s5, menangani kasus kekerasan yang serius. yang harus mendominasi aspek akan tergantung pada penilaian di mana keseimbangan harus terletak pada kasus individual. bahkan jika keseimbangan ditemukan, seperti dalam kasus ini, mensalahartikan kebijakan s5, ada aspek restoratif disini dengan dampak yang signifikan pada pemidanaan penjara yang oleh pengadilan diarahkan untuk memaksakan mereka menemukan tempat mereka di hasil akhir dengan cara seperti itu." 127
John Braithwaite, Op.Cit., hal. 147. terjemahan bebas dari penulis” kasus Clotworthy oleh pengadilan banding selandia baru telah merusak prinsip-prinsip keadilan restoratif.” 128
Sir Anthony Mason, Loc.Cit., terjemahan bebas dari penulis” "Bagi saya, secara umum dengan pendekatan yang diambil oleh pengadilan banding adalah kaku. Saya tidak
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
52
Hellen Bowen dan Terri Thomson juga berpendapat sama bahwa pengadilan tinggi telah salah menafsirkan tentang kepentingan umum, yaitu: “Justice Tipping for the Court of Appeal endorsed restorative justice policies by affirming them as part of the balancing exercise in sentencing. The other significant policy factor considered by the Court was that of "public interest" in deterrence of others. This public interest was found to outweigh the restorative justice elements. While the judgment is positive affirmation of restorative justice, the Court‟s analysis of restorative justice must be seen as superficial. By focusing narrowly on reparation, the Court of Appeal failed to seize the opportunity to fully consider restorative justice principles. It is acknowledged the grounds of the appeal identified reparation as the essential aspect of this particular case. However, in order to effectively consider restorative justice in the balancing exercise, restorative justice must necessarily be considered in its entirety. Restorative justice is a holistic process where each element plays an essential role in achieving its policies. The Court of Appeal may have avoided an in depth analysis of restorative justice principles because the term describes different concepts of processes, programmes and philosophy leading to confusion about the principles, goals and intentions of restorative justice. 129
berpikir bahwa itu dipertahankan, di bawah sistem peradilan pidana, untuk menegakkan perintah hakim pemidanaan dalam kasus yang melibatkan suatu pelanggaran serius yang melibatkan kekerasan. Dalam pandangan saya, kasus ini bukan merupakan alat yang ideal untuk pendekatan keadilan restoratif. Pengadilan banding seharusnya memberi bobot yang sangat besar untuk penyelesaian masalah. Ada penurunan yang signifikan dalam pemidanaan penjara yang seharusnya telah diberikan. Ini adalah cacat dalam hal pertemuan yang dihasilkan antara pelaku dan korban dan dalam penilaian hakim pemidanaan tersebut adalah kegagalan untuk cukup mengenali unsur kepentingan umum, yang merupakan unsur yang tertanam dalam hukum yang ada. " 129
Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume 3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354 dan www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada tanggal 7 Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis "Hakim Tipping untuk Pengadilan Banding mendukung kebijakan keadilan restoratif dengan menegaskan mereka sebagai bagian dari keseimbangan dalam pemidanaan hukuman. Faktor kebijakan lain yang signifikan dipertimbangkan oleh Pengadilan tentang "kepentingan umum" dalam pencegahan kejahatan. kepentingan umum disini lebih besar daripada unsur keadilan restoratif. Sementara pemidanaan adalah penegasan positif dari keadilan restoratif, analisis Pengadilan keadilan restoratif dilihat secara dangkal. Dengan berfokus secara sempit pada reparasi, Pengadilan Banding gagal merebut kesempatan untuk sepenuhnya mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Hal ini diakui alasan banding yang diidentifikasi reparasi sebagai aspek penting dari kasus ini. Namun, agar dapat secara efektif mempertimbangkan keadilan restoratif dalam keseimbangan, keadilan restoratif tentu harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Keadilan restoratif adalah proses secara keseluruhan dimana setiap elemen memainkan peran penting dalam mencapai kebijakan. Pengadilan Tinggi mungkin telah menghindari analisis mendalam dari prinsip-prinsip keadilan restoratif karena istilah menggambarkan konsep yang berbeda dari proses, program dan filosofi yang menyebabkan kebingungan tentang, tujuan prinsip dan niat keadilan restoratif.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
53
Sementara itu Allison Morris dan Warren Young, berpendapat bahwa kesalahan penafsiran pengadilan banding dalam melihat nilai restorative justice, yaitu: “first, the court amounting to little more than reparation. equally, if not more, important for restorative processes and practices is the involvement of decision how best to deal with the offending. in clotworthy, the victim and offender had already agreed on an outcome which they saw as"right", the court appeal rejected this. Second, arguably there were "special circumstances"in the clotworthy case if one looked through a restorative rather than a convensional lens. The court of appeal's sentencing outcome was clearly against the express wishes of the victim and did not those objectives identified as important by him. current legislation requires the court to look only to the offence and the offender in assessing "special circumstances", which means that only those factors conventionally used in mitigation-such as youth, a previous good record or strong rehabilitative prospects-are generally considered relevant. Third, the court of appeal seemed to see the mitigation on the 'usual"sentence. Restorative justice, however does not place a high value on those"rules" which determine "usual" sentences. rather it seeks to subvert these and substitute others (at the heart of this case, then, are two parallel justice processes and practices which barely interconnected and which involved a fundamental clash of values and interests).”130 Perbedaan penafsiran dalam menggunakan konsep restorative justice berakibat perbedaan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim. Hakim Pengadilan Negeri, mempertimbangkan hasil dari kesepakatan antara pelaku dan korban dan
130
Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of Restorative Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 12-13. Terjemahan bebas dari penulis: ” "Pertama, pengadilan banding sedikit mempertimbangkan reparasi. Adalah penting bagi proses restoratif dan praktek yaitu keterlibatan keputusan sebagai cara terbaik.Di Clotworthy, korban dan pelaku sudah menyepakati hasil yang mereka lihat sebagai "benar", namun Penagdilan banding menolak hal ini. Kedua, ada "keadaan khusus" dalam kasus Clotworthy jika melihat melalui restoratif daripada lensa konvensional. Pengadilan banding memidana penjara adalah jelas bertentangan dengan keinginan yang diungkapkan korban dan tujuan tersebut yang dianggap tidak penting olehnya. undang-undang saat ini membutuhkan pengadilan untuk melihat hanya untuk pelanggaran dan pelaku dalam menilai "keadaan khusus", yang berarti bahwa hanya faktorfaktor tersebut secara konvensional digunakan dalam mitigasi-seperti dalam kasus anak, dianggap relevan dan bagus untuk rehabilitatif. Ketiga, pengadilan banding tampaknya untuk melihat mitigasi pada “pemidanaan biasa " untuk Restorative justice, namun tidak menempatkan nilai tinggi pada mereka." Aturan "yang menentukan" pemidanaan biasa ". Melainkan berusaha untuk menumbangkan ini dan menggantinya (inti dari kasus ini adalah dua proses peradilan paralel (pengadilan negeri dan banding) dan praktek yang nyaris tidak saling berhubungan dan yang melibatkan benturan mendasar dari nilai-nilai dan kepentingan). "
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
54
menginsyafi itu sebagai keadilan yang bisa diberikan untuk pelaku dan korban. Sedangkan Pengadilan banding, mempertimbangkan kepentingan umum dan dasar pencegahan kejahatan, sehingga menolak hasil yang disepakati oleh pelaku dan korban. Dalam menerapkan restorative justice, perlu kiranya memahami nilai dan tujuan yang terkandung didalamnya sehingga tidak salah menafsirkan . 2.3.5. The Gladue Case, (Kanada: 1999) Ms. Gladue, An aboriginal woman, was sentenced to three years imprisonment on a plea of guilty to a charge of manslaughter, arising out of the killing of her common law husband. the accused chased and stabbed him after party. the accused, affected by drinking alcohol, believed he had been enganged in sexual activity with her sister. he had also angered her by making insulting and offensive remarks to her. she suffered from a hyperthyroid condition which caused her to over-react in emotional situations. She was a young mother and, apart from driving offences, had no criminal record. While on bail, she received alcohol abuse counselling and upgraded her education. The trial judge considered that, in the light of the gravitiy of the crime, a suspended sentence would be inappropriate. He noted that the accused and the victim were living in an urban area, offreserve and not"within the aboriginal community as such". There were, in his view no special circumstances arising from the aboriginal status of the accused and the victim which should be taken into consideration. An appeal against was dismissed by the court of appeal and the supreme court. part XXIII of the Canadian Criminal Code codifies the fundamental and principles of sentencing and the relevant factors to be taken into account. Section 718 (2) (e) requires sentencing judges to consider all available sanctions other that imprisonment and to pay particular attention to the circumstances of aboriginal offenders. The trial judge's notion that a nonsentencing approach was limited to aboriginals living in aboriginal communities was specifically rejected. The court pointed out that the provision is remedial and is designed to ameliorate the serious overrepresentation of aboriginal people in prisons and to encourage judges to take a restorative approach to sentencing. In this respect, part XXIII has placed a new emphasis upon the decreasing use of incarceration. in discussing the application of part XXIII to aboriginal offenders, the court noted that the term of imprisonment imposed on an aboriginal offenders might, in some circumstances, be less than the term imposed upon a nonaboriginal offender for the same offence, but went on to state that part XXIII is not a means of automatically reducing the prison sentence of aboriginal offenders and that it should not be assumed that an offender is receiving a more lenient sentence because incarceration is not imposed. The court took account of the fact that the accused was granted, subject to certain
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
55
conditions, day parole after she had served six months in a correctional centre and was later granted full parole on the same conditions131 Dalam kasus tersebut Ny. Gladue seorang aborigin yang tinggal di perkotaan, melakukan pembunuhan sehingga menurut pengadilan Negeri tidak bisa mendapatkan penjatuhan hukuman khusus untuk orang aborigin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf (e), seperti misalnya hukuman percobaan atau tindakan tertentu, namun Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung Kanada menafsirkan berbeda, walaupun Ny.Gladue dan korban tinggal di perkotaan, bukan di daerah urban (seperti pada umumnya orang aborigin tinggal), namun tetap bisa mendapatkan ketentuan sebagaimana dalam Pasal 718 ayat (2) huruf (e), karena dia tetap orang aborigin, dengan demikian hukuman tiga tahun
131
The Hon.Sir Anthony Mason Ac Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 6-7. Terjemahan bebas dari penulis:” seorang wanita Aborigin, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara mengakui bersalah atas tuduhan pembunuhan, yang timbul dari pembunuhan suami (teman hidupnya). terdakwa mengejar dan menikamnya setelah pesta. terdakwa, dipengaruhi oleh minum alkohol, percaya bahwa korban telah berselingkuh dengan adiknya.Ia juga marah padanya dengan membuat komentar menghina dan ofensif padanya. Pelaku menderita suatu kondisi hipertiroid yang menyebabkan dia bereaksi berlebihan dalam situasi emosional. Dia adalah seorang ibu muda dan, tidak punya catatan kriminal. Ia menjalani konseling atas penyalahgunaan alkohol. Hakim pengadilan menganggap bahwa, dalam terang dari kejahatan, hukuman percobaan akan tidak pantas. Dia mencatat bahwa terdakwa dan korban tinggal di daerah perkotaan, dan tidak "dalam komunitas Aborigin seperti". Bahwa dalam pandangannya ada keadaan khusus yang timbul dari status asli dari terdakwa dan korban yang harus dipertimbangkan. Kemudian Banding dan diadili oleh pengadilan banding dan Mahkamah Agung.Bagian XXIII Kodifikasi Dasar KUHP Kanada dan prinsip-prinsip hukuman dan faktor-faktor yang relevan untuk dipertimbangkan. Bagian 718 ayat (2) huruf (e) mewajibkan hakim dalam memberikan hukuman untuk mempertimbangkan semua sanksi lain yang tersedia bahwa penjara dan memberikan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli (aborigin). Gagasan hakim pengadilan bahwa pendekatan non-hukuman terbatas pada penduduk asli yang tinggal di komunitas Aborigin secara khusus ditolak. Pengadilan menunjukkan bahwa penyisihan tersebut perbaikan dan dirancang untuk memperbaiki representasi over-serius orang Aborigin di penjara dan untuk mendorong hakim untuk mengambil pendekatan restoratif untuk pemidanaan. Dalam hal ini, bagian XXIII telah menempatkan penekanan baru pada penurunan penggunaan penahanan. dalam membahas penerapan XXIII sebagian pelaku aborigin, pengadilan mencatat bahwa hukuman penjara yang dikenakan pada pelanggar aborigin mungkin, dalam beberapa keadaan, istilah tersebut juga dikenakan pada pelanggar non-aborigin untuk pelanggaran yang sama, tetapi melanjutkan menyatakan bahwa bagian XXIII bukanlah sarana otomatis mengurangi hukuman penjara pelanggar Aborigin dan bahwa hal itu tidak boleh diasumsikan bahwa pelaku menerima hukuman lebih ringan karena tidak dikenakan penahanan. Pengadilan mempertimbangkan fakta bahwa terdakwa diberikan, sesuai dengan kondisi tertentu, yaitu pembebasan bersyarat setelah enam bulan di pemasyarakatan dan kemudian diberikan pembebasan bersyarat penuh pada kondisi yangsama.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
56
yang dijatuhkan, Ny Gladue mendapatkan pembebasan bersyarat setelah enam bulan di pemasyarakatan. Pertimbangan
Mahkamah
Agung
memang
terkesan
memberikan
keistimewaan terhadap pelaku yang seorang aborigin. Hal ini dapat dimengerti dari pendapat Yang Mulia M.E Turpel Lapond, hakim di propinsi Saskatoon, Saskatchewan, daerah dimana banyak aborigin tinggal, yaitu:132 ” However, it must be recognized that circumstances of aboriginal offenders differ from those of the majority because many aboriginal people are victims of systemic and direct discrimination, many suffer the legacy of dislocation, and many are substantially affected by poor social and economic conditions.”
Hakim Yang Mulia Sir Anthony Mason juga berpendapat sama bahwa pelaku sebagai aborigin yang tinggal di perkotaan tetap mendapatkan perlakuan yang sama sebagai aborigin yang tinggal di daerah urban: 133 ” the gladue case, a landmark decision of the supreme court Canada. …to ensure that all admitted offenders have access to restorative justice, even if it appears that indigenous people and youthhful offenders are more likely to resort to it, or more likely to benefit from it. Equality of treatment is a central objective of our existing system of criminal justice.” M.E Turpel Lapond, berpendapat bahwa penerapan restorative justice dalam pemidanaan sebagai suatu nilai yang normatif :
132
Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September 1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan, 1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7 Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis” Namun, harus diakui bahwa keadaan pelaku aborigin berbeda dari mayoritas penduduk asli karena merupakan korban diskriminasi sistemik dan langsung, yang banyak menderita akibat dislokasi, dan banyak yang secara substansial dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi yang buruk.” 133
Ibid., hal. 2. Terjemahan bebas dari penulis” kasus gladue, merupakan landmark decision dari Mahkamah Agung Kanada…untuk memastikan bahwa semua pelaku memiliki akses terhadap keadilan restoratif, bahkan jika tampak bahwa masyarakat adat dan pelaku youthhful lebih cenderung untuk menggunakan itu, atau lebih mungkin memperoleh manfaat darinya. kesetaraan perlakuan merupakan tujuan utama dari sistem peradilan pidana.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
57
“The Gladue decision is an important watershed in Canadian Criminal Law. The interpretation of section 718 (2) (e) of the criminal code by the supreme court of Canad that this provision, the court clearly endorsed the notion of restorative justice and a sentencing regime which is to pay fidely to”healing” as normative value.” 134 Menurut Lapond adalah penting untuk mempertimbangkan sejarah dan budaya dari pelaku dalam memberikan pemidanaan guna mendapatkan suatu keadilan yaitu:135 “Perhaps this is no more than the history of the common law with its dialectic of stability and change. Nevertheless, reasoning which weigh both structural considerations ans specific contexts, is vital to criminal justice. It is a from of reasoning which does not always sit well with the judiciary, as ingrained as we are particularlizing decision-making. Nevertheless, Gladue is a reminder that highly particularized decisions, without regard for broader structural and historical factors, might lead to injustice.” Kasus Gladue memang memperhatikan keadaan terdakwa dengan melihat kepada sejarah, karakter dan budayanya sehingga menempatkannya juga sebagai korban yang juga perlu mendapatkan keadilan. Namun hal itu menampikkan korban dalam arti yang sebenarnya, korban yang menderita kerugian yang dalam hal ini keluarga dari teman hidup lelakinya tersebut. Tidak dijelaskan dan dipertimbangkan bagaimana sikap keluarga korban terhadap pelaku, apakah sudah memaafkan?karena masalah pembunuhan merupakan kejahatan yang serius. Hal ini penting karena untuk melihat bagaimana penyembuhan atau pemulihan terhadap Gladue dapat dilaksanakan jika dari korban masih dendam.
134
Her Honour, M.E Turpel Lapond, Op.Cit. Terjemahan bebas dari penulis” Keputusan Gladue merupakan hal yang penting dalam Hukum Pidana Kanada. Penafsiran pasal 718 (2) (e) dari Hukum Pidana Kanada oleh Mahkamah Agung Kanada bahwa pengadilan jelas mendukung gagasan keadilan restoratif dan pemidanaan yang bertujuan untuk "penyembuhan" sebagai nilai normatif . " 135
Ibid., terjemahan dari penulis” "Mungkin ini adalah tidak lebih dari sejarah Common Law yaitu adanya perubahan stabilitas dialektisnya Namun, penalaran yang mempertimbangkan baik pertimbangan konteks struktural tertentu, sangat penting untuk peradilan pidana. Ini adalah dari penalaran yang tidak selalu bisa berdampingan dengan pengadilan, seperti yang selama ini yaitu pengambilan keputusan secara particular. Namun demikian, Gladue adalah pedoman pengambilan keputusan secara particular bahwa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor struktural dan sejarah yang lebih luas, dapat mengakibatkan ketidakadilan. "
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
58
Hal yang dapat dipelajari dari kasus Clotworthy dan Gladue, menurut Sir Anthony Mason berpendapat bahwa restorative justice merupakan tantangan bagi pengadilan untuk digunakan sebagai tujuan pemidanaan, yaitu: “Perhaps a stronger objection to restorative justice is the discretionary element inherent in a decision to send a defendant down the restorative justice route rather than deal with the defendant as a matter of routine sentencing, if one route is an alternative to the other. The strength of objection may be reduced if the concept of restorative justice integrated in the general sentencing principles applied by the courts. That, it seems to me, is the challenge for the future and it appears that the courts in Canada and New Zealand are beginning to take up the challenge.” 136
136
Sir Anthony Mason, Op.Cit., terjemahan bebas dari penulis” " Mungkin hal yang terberat untuk menerapkan keadilan restoratif adalah unsur diskresi yang melekat dalam keputusan untuk memidana terdakwa daripada berurusan dengan terdakwa dalam hal pemidanaan yang rutin selalu dilakukan, dan ini dapat menjadi alternatif lainnya. Masalah berat terseubut dapat dikurangi jika konsep keadilan restoratif terintegrasi dalam penerapan prinsipprinsip umum pemidanaan oleh pengadilan. Dan menurut saya, ini adalah tantangan untuk masa depan dan tampaknya pengadilan di Kanada dan Selandia Baru mulai menerima tantangan. "
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
BAB 3 RESTORATIVE JUSTICE DAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MELALUI ADAT 3.1. Hukum Adat Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law, dimana peraturan perundang-undangan merupakan sumber hukum yang utama. Hal demikian membuat seorang ahli hukum yang sudah terbiasa untuk mempelajari dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang terhimpun dalam suatu kodifikasi, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Atas dasar latar belakang pendidikan dan pengalamannya tersebut dia kemudian percaya bahwa hukum harus dipisahkan secara tegas dan mutlak dari kesusilaan, adat istiadat, hal-hal yang gaib, serta gejala-gejala sosial lainnya. Oleh karena itu menurut Soerjono Soekanto, maka pada umumnya ahli hukum hanya mengetahui bahwa peraturan perundang-undangan maupun keputusan-keputusan hukum mempunyai latar belakang sejarahnya, akan tetapi pada umumnya dia tidak mempertimbangkan bahwa sejarah dan tradisi dapat dan selalui hidup dalam masyarakat, dahulu maupun pada waktu sekarang.137 Yang dimaksud dengan hukum adat adalah sebagai berikut: 1. Menurut Soeripto, hukum adat adalah semua aturan-aturan/peraturanperaturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala segi kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran dan perasaan keadilan umum, bahwa aturan-aturan/peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya pemaksa atau ancaman hukum(sanksi).138
137
Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta: Academica, 1979), hal. 1. 138
Soeripto, Hukum Adat dan Pancasila Dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, hal. 24, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49.
59 Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
60
2. Menurut Surojo Wignjodipuro, hukum adat adalah suatu kompleks normanorma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).139 3. Menurut Hardjito Notopuro, hukum adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri-ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan.140 4. Menurut Soepomo, hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatutory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di Badan-Badan Hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dsb), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desadesa (customary law).141 5. Menurut Bushar Muhammad, hukum adat itu terutama hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa
139
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1975), hal.5, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49. 140
Hardjito Notopuro, Tentang Hukum Adat Pengertian Dan Pembatasan Dalam Hukum Nasional, (Majalah Hukum Nasional No.4 Tahun 1969), hal. 49, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49. 141
Soepomo, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, hal.30, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.48-49.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
61
memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.142
Soekanto dan Soerjono Soekanto menyimpulkan bahwa dari pengertianpengertian tersebut adanya satu kesatuan pandangan mengenai hukum adat yaitu hukum yang hidup dalam masyarkat (living law).
143
Hukum adat sebagai “the
living law” adalah merupakan pola hidup kemasyarakatan tempat dimana hukum itu berproses dan sekaligus juga adalah merupakan hasil dari pada proses kemasyarakatan yang merupakan sumber dan dasar daripada hukum tersebut.144 Hal ini juga didukung karena melihat kepada pendapat Sopomo bahwa”hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.”145Surojo Wignjodipuro juga berpendapat sama yaitu”hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.”146 Dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 15-17 Januari 1975 yang diselenggarakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
tanggal
17
Desember
1974
No.Y.S.8/82/23, diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan “hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundangundangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.”147 Pengertian ini menjadi rancu dan tidak konsisten ketika dinyatakan sebagai
142
Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), hal. 30, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.50. 143
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.50-51 144
Ibid.
145
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan ke-14 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hal. 5 146
Surojo Wignjodipuro, Op.Cit., hal.81, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.51. 147
Ibid, hal.149-150.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
62
hukum yang tidak tertulis tetapi dalam bentuk perundang-undangan republik Indonesia, karena bentuk perundang-undangan republik Indonesia adalah identik dalam bentuk tertulis. Tentang keadaan tertulis hukum adat, Soerjono Soekanto membuat menjadi lebih jelas dengan memberikan pendapatnya sebagai berikut:148 “Hukum yang tidak tertulis itulah yang dinamakan hukum adat, yang merupakan sinonim dari hukum kebiasaan. kalau dijumpai hal-hal yang ditulis, maka itu merupakan hukum adat yang tercatat (=”beschreven adatrecht”) dan hukum adat yang didokumentasikan (“gedocumenteerd adatrecht”). Hukum adat yang tercatat antara lain dijumpai dalam buku-buku yang ditulis oleh para sarjana hukum adat terkemuka, seperti Van Vollenhoven, Ter Haar, Holleman, Soepomo, Hazairin, Soekanto, dan seterusnya. Hukum adat yang didokumentasikan, antara lain dapat dijumpai pada awig-awig di Bali.” Lilik Mulyadi menyatukan pengertian hukum adat tersebut, yaitu:149 “Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan praktik dikenal dengan istilah”hukum yang hidup dalam masyarakat,””living law”,”nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya.” 3.1.1.Hukum Pidana Adat Terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat pidana150cikal bakal sebenarnya dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana adat dan hukum perdata adat. Menurut I Made Widnyana yang dimaksudkan dengan hukum pidana adat yaitu:151 “Hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi 148
Soerjono Soekanto, Loc.Cit.
149
Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Praktik dan Prosedurnya, makalah yang dilampirkan dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 367. 150
H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal.76, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 39. 151
I MadeWidnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993), hal.3
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
63
berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakt, oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya.” Dengan demikian menurut I Made Widnyana, pengertian tersebut mengandung tiga hal pokok yaitu:152 “Pertama, rangkaian peraturan tata tertib yang dibuat, diikuti dan ditaati masyarakat adat bersangkutan; Kedua, pelanggaran terhadap peraturan tata tertib tersebut dapat menimbulkan kegoncangan karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis. Perbuatan melanggar peraturan tata tertib ini dapat disebut sebagai delik adat; Ketiga, pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi oleh masyarakat yang bersangkutan.” Tidak jauh berbeda dengan I Made Widnyana, Lilik Mulyadi berpendapat bahwa hukum pidana adat adalah sebagai berikut:153 “Perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketenteraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaaan sial akibat suatu pelanggaran adat.” I Made Widnyana menjelaskan bahwa hukum pidana adat mempunyai sifatsifat sebagai berikut:154 a. Menyeluruh dan Menyatukan
152
Ibid.
153
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 41. 154
Ibid. lihat juga Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal.232. Lihat juga Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 346, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 50-51.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
64
Karena dijiwai oleh sifat kosmis, yang mana satu sama lain saling karena berhubungan, hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat perdata. b. Ketentuan yang terbuka Hal ini disebabkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti, sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. c. Membeda-bedakan permasalahan; Apabila terjadi peristiwa pelanggaran, maka yang dilihat bukan sematamata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda; d. Peradilan dengan permintaan Menyelesaiakan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil. e. Tindakan Reaksi atau koreksi Tindakan reaksi ini tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi dapat juga dikenakan kepada kerabatnya/keluarganya bahkan mungkin juga
dibebankan
pada
masyarkat
yang
bersangkutan
untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
Senada dengan I Made Widnyana, maka menurut Hilman Hadikusuma juga menggunakan istilah hukum pidana adat yaitu”hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama-lama ada manusia, budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata dihapus, maka hukum pidana akan kehilangan sumber kekayaannnya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada perundang-undangan.155
155
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Jakarta: Rajawali, 1961), hal. 307, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 4041.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
65
Jika I Made Widnyana, Hilman Hadikusuma dan Lilik Mulyadi memakai kata hukum pidana adat, maka tokoh yang lain yang menggunakan delik adat atau tindak pidana adat yaitu: 1. Ter Haar BZN berasumsi bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijding) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imateriil orang seorang atau dari orang-orang banyak yang merupakan suatu kesatuan (gerombolan). Tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat, karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran berupa barang-barang atau uang).156 2. Menurut Van Vollenhoven, delik adat sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan.157 3. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, tindak pidana adat adalah perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga apabila normanorma kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.158
156
Ter Haar BZN, Azas-Azas Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hal. 255., sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40. 157
Soerojo Wignodipuro, Op.Cit., hal.226, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40. 158
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 33. sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
66
Sifat hukum pidana inilah (baik yang dikemukakan oleh I Made Widnyana dan Hilman Hadikusuma) yang tidak ada dalam hukum pidana khususnya dalam sistem peradilan pidana, dimana tidak melibatkan korban dalam arti sebenarnya bukan negara- sehingga kerugian yang dialami korban dapat digantikan oleh pelaku ataupun mungkin hanya dengan ucapan maaf dan upacara adat, yang mana semua merupakan bentuk dari sanksi adat. Reaksi adat yang dimaksudkan pun mempunyai suatu tujuan yang tidak dijumpai dalam sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya dalam peraturan perundang-undangannya.
3.1.2 Bentuk dan Tujuan Sanksi Adat Dalam tiap-tiap pelanggaran hukum, para petugas hukum menimbang bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan hukum. Tindakan atau upaya (pertahanan adat) (adat reaksi) yang diperlukan mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai pelunasan hutang, atau sebagai ganti kerugian.159 Dengan istilah yang berbeda, Emile Durkheim mengatakan bahwa “reaksi sosial yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.”160 Lesquillier di dalam desertasinya Het Adat Delictenrecht in de Magische Wereldbeschouwing mengemukakan bahwa”reaksi adat ini merupakan tindakantindakan yang bermaksud mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat.”161 I Made Widnyana menggunakan istilah sanksi adat untuk persamaan dari reaksi adat, yaitu”sanksi adat atau disebut pula reaksi adat ataupun koreksi adat adalah merupakan bentuk atau tindakan ataupun usaha-usaha untuk
159
Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
160
Emile Durkheim, Causal and Functional Analysis, (Sociological Theory), (New York: Mac Milan Press, 1976), hal. 502, sebagaimana ditulis dalam I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 8. (garis bawah diberikan oleh penulis). 161
I Made Widnyana, Op.Cit., hal.8. (garis bawah diberikan oleh penulis).
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
67
mengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya ganguan yang merupakan pelanggaran adat.”162
3.1.2.1. Bentuk sanksi adat Di dalam “Pandecten van het Adatrecht”, bagian X yang mengumpulkan bahan-bahan hukum adat delik (adatstrafrecht) dan yang diterbitkan pada tahun 1936, memuat daftar nama delik adat dan menyebut berjenis-jenis reaksi adat terhadap delik-delik itu berbagai-bagai lingkaran hukum adat di Indonesia. Tindakan-tindakan sebagai reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat di berbagai lingkaran hukum, tersebut adalah misalnya:163 a. Pengganti kerugiaan immaterieel dalam pelbagai rupa seperti paksaan nikah gadis yang telah dicemarkan; b. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rokhani; c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib; d. Penutup malu, permintaan maaf; e. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati; f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum; Suatu perbuatan mungkin melanggar beberapa norma hukum sekaligus, sehingga untuk memulihkan perimbangan hukum harus diambil beberapa tindakan koreksi, misalnya pengganti kerugian dan selamatan untuk membersihkan masyarkat dan sebagainya.
3.1.2.2.Tujuan sanksi adat Dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan (Evenwicht, harmonie) antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang antara persekutuan dan teman
162
Ibid.
163
Bagi Sumatra Selatan lihat juga Lublink Weddik, Ada Delictenrecht in de rapat marga-rechtspraak van Palembang, 1939, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
68
masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakantindakan yang perlu guna memulihkan kembali.164 Menurut I Made Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Di bali, sanksi adat mempunyai peranan yang penting untuk mengembalikan keseimbangan tersebut.165 Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih desa (pura/tempat suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu.166 Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi (koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”167 Pendapat Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena Purba, yaitu” tujuan dari pemidanaan dalam hukum adat adalah terjadinya harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut, sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf maka terjadi kerukunan antara dua komunitas tersebut.”168 Tujuan pemidanaan atau sanksi adat ini tidak ada dalam KUHP dan penerapannya dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam putusan pengadilan pengadilan atau hakim. Pemidanaan dijatuhkan semata-mata hanya karena terdakwa terbukti bersalah dan besar ringannya pemidanaan tersebut masih digantungkan dengan dasar peringan dan pemberat dari terdakwa. Tidak ada
164
Soepomo, Op.Cit., hal.112.
165
I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.
166
Ibid.
167
Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
168
Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh Prof Rehngena berada di Medan.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
69
upaya untuk mengembalikan keseimbangan, keharmonisan ataupun kerukunan, karena memang korban kurang mendapatkan tempat dan porsinya karena telah digantikan oleh negara.
3.2. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Sistem Hukum Adat Tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yang terdapat pada sistem hukum criminal barat, ruparupanya tidak ada pada sistem hukum adat tradisional. Sebagai diuraikan oleh Van Vollenhoven, maka ada perbedaan pokok aliran antara sistem hukum pidana dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sistem hukum adat delik, misalnya:169 1. Suatu pokok dasar kitab hukum criminal tersebut bahwa yang dapat dipidana (strafbaar) hanya seorang manusia saja. Persekutuan hukum Indonesia, misalnya desa (nagari, huta dsb) atau persekutuan famili (di Minangkabau) tidak mempunyai pertanggungjawaban kriminal terhadap delik yang diperbuat oleh seornag warganya. Alam pikiran Indonesia adalah berlainan, di beberapa daerah di kepulauan Indonesia misalnya di tanah gayo, di daerah-daerah Batak, di Pulau Nias, di Minangkabau, Sumatera Selatan, Kalimantan (antara suku-suku bangsa Dayak), Gorontalo, Ambon, Bali, Lombok dan Timor seringkali terjadi bahwa kampung di penjahat atau kampung tempat terjadinya suatu pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing, diwajibkan membanyar denda atau kerugian kepada golongan familinya orang yang dibunuh atau yang kecurian. Begitupun famili si penjahat diharuskan menanggung hukuman yang dijatuhkan oleh salah seorang warganya.170 2. Pokok prinsip yang kedua dari KUHP adalah bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja (opzet) ataupun dalam kekhilafan (culpa), dengan kata lain jika ia mempunyai
169
Van Vollenhoven, Adat-recht II, Bab XI (“Adatstrafrecht Can Inlonesier”), hal.745, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal. 113-114. 170
Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.695-720, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal.114.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
70
kesalahan. Van Vollenhoven menulis, bahwa lebih banyak adanya kejadian-kejadian di dalam lapangan hukum adat yang tidak memerlukan pembuktian tentang adanya sengaja atau kekhilafan daripada yang dimaksud KUHP. Di dalam hukum adat ada beberapa pelanggaran hukum yang hanya dapat dilakukan dengan sengaja, misalnya perbuatan incest atau pencurian. Ada pula beberapa delik seperti, pembunuhan atau melukai orang, yang dihukum lebih berat, jikalau perbuatan itu dilakukan dengan sengaja. Ada delik-delik adat lain, yang mewajibkan para petugas hukum untuk memberi
hukuman
(mengadakan
koreksi,
reaksi)
dengan
tidak
memerlukan pembuktian apakah orang yang dihukum itu mempunyai kesalahan, misalnya delik yang menganggu perimbangan batin masyarakat, umpamanya seorang perempuan melahirkan anak di sawah orang lain (di daerah Batak) atau di rumah orang lain (di daerah Dayak). Juga aturan adat tanggung menanggung di Sumatra dan daerah-daerah lain, menurut aturan ini masyarakat kampong atau persekutuan famili harus menanggung perbuatan-perbuatan orang warganya yang melanggar hukum, tidak memperdulikan, apakah persekutuan mempunyai kesalahan atau tidak atas perbuatan itu. 3.Pokok dasar yang ketiga dari KUHP adalah bahwa tiap-tiap delik menentang negara, sehingga tiap-tiap delik itu menjadi urusan negara, bukan urusan perseorangan pribadi yang terkena. Menurut sistem hukum adat, ada delik-delik yang terutama menjadi urusan orang yang terkena, seringkali juga menjadi urusan golongan famili orang yang terkena dan juga mengenai kepentingan desanya. Terhadap delik-delik yang terutama hanya melukai kepentingan golongan famili atau kepentingan seseorang dengan tidak membahayakan keimbangan hukum persekutuan desa pada umumnya, maka petugas hukum (kepala adat, hakim) hanya akan bertindak jikalau diminta oleh pihak yang terkena itu. Dalam hal demikian seringkali pihak yang terkena diberi kesempatan untuk berdamai, (rukunan) dengan pihak yang melakukan delik. Dalam hal demikian uang”denda” atau pembayaran
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
71
kerugian dari pihak yang melakukan delik tidak masuk ”kas negeri” melainkan diberikan kepada pihak yang terkena. 4. Menurut pokok dasar KUHP orang hanya dapat dipidana (dihukum) apabila ia dapat bertanggungjawab (toere-keningsvatbaar). Dalam bukubuku perpustakaan tentang hukum adat terdapat pemberitaan dari daerah Minangkabau, bahwa di daerah itu upaya pertahanan dari masyarakat terhadap orang gila yang membunuh orang adalah sama dengan upaya pertahanan terhadap orang normal, yang melakukan pembunuhan.171 Dengan kata lain, sakit gila itu tidak mempengaruhi berat atau ringannya upaya perlawanan yang harus dilakukan terhadap delik yang diperbuat oleh orang gila. Di Bali, bahwa orang gila dan anak yang belum cukup umur delapan tahun, tidak boleh dihukum, kecuali apabila ia melakukan delik yang masuk golongan “sadtatayi” (pembakaran, meracun orang, amok, penghinaan seorang raja, hekserij dan pemerkosaan)172. Anak-anak di Bali yang jika berdiri belum lima kaki tingginya ataupun anak-anak yang belum memotong gigi, atau belum bekerja di sawah, tidak dianggap bertanggung jawab. Perbuatan yang berakibat menghilangkan kedudukan kasta (kastaverlies) pada anaka-anak yang belum cukup umur baru merupakan delik, jika anak itu tiga kali berbuat demikian.173 Vergouwen menulis bahwa seorang bapak harus menanggung segala akibat perbuatanperbuatan hukum dari anak-anaknya (yang belum cukup umur); 5. Pokok kelima dari KUHP ialah tidak membeda-bedakan orang (geen aanzien des persoons). Dalam sistem hukum adat, besar kecilnya kepentingan orang sebagai individu adalah tergantung dari pada kedudukan (fungsinya) di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat Bugis dan
Makasar,
yang
bersifat
masyarakat
bertingkat-tingkat
(standenmaatschap-pij), seorang dari tingkat ataasn lebih penting dari
171
Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.660, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit.,
172
Sad tataji meliputi kejahatan-kejahatan yang dianggap paling berat.
hal.116.
173
Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.681, lihat juga V.E Korn, Het Adatrecht Van Bali, 2 druk, hal. 543, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal.116.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
72
orang tingkat bawahan. Di Bali, orang-orang Triwangsa adalah lebih penting daripada orang rakyat jelata. Makin tinggi kedudukan orang seseorang di dalam masyarkat, makin berat hukuman yang akan dijatuhkan kepada orang yang membuat delik itu. Raja atau kepala adat adalah orang yang paling tinggi kedudukannya di dalam masyarakat yang bersangkutan. 6. Pokok dasar keenam dari KUHP ialah bahwa orang dilarang bertindak sendiri
untuk
menegakkan hukum
yang dilanggar (verbod
van
eigenrchting). Larangan ini berhubung dengan prinsip, bahwa segala delik adalah urusan negara, bukan urusan perseorangan. Di dalam sistem hukum adat terdapat keadaaan yang mengizinkan orang yang terkena untuk bertindak sebagai hakim sendiri misalnya apabila seorang melarikan gadis, atau berzinah (overspel) atau mencuri dan perbuatan itu diketahui seketika (op heterdaad betrapt) sedang orangnya dapat tertangkap, maka pihak yang terkena, pada waktu mendapat delik itu, menurut paham adat boleh bertindak untuk menegakkan hukum. Di Tanah Batak pada zaman dahulu seringkali terjadi, bahwa pihak yang terkena mengungkung orang yang bersalah dengan kayu (mambeongkon) sampai ia atau golongan keluarganya membayar denda yang diwajibkan oleh adat. Di Minangkabau terkenal dengan adat tarikh yaitu pihak yang terkena berhak mengambil sesuatu barang pihak yang bersalah atau barang famili pihak yang bersalah memenuhi hukumannya. 7. Pokok dasar yang ketujuh dari KUHP ialah tidak membedakan barang yang satu dengan barang yang lain, sehingga pada dasarnya mencuri setangkai bunga adalah sama beratnya dengan mencuri sebuah permata yang mahal. Menurut aliran tradisional Indonesia, mencuri, menggelapkan atau merusak barang asal dari nenek moyang adalah lebih berat dari pada mencuri, menggelapkan atau merusak barang duniawi biasa. 8. Pokok dasar kedelapan dari KUHP mengenai soal membantu perbuatan delik (medeplichtigheid), membujuk (uitlokking) dan ikut berbuat (mededaderschap). Menurut sistem hukum adat, siapa saja yang turut menentang peraturan hukum, diharuskan turut memenuhi usaha yang diwajibkan
untuk
memulihkan
kembali
perimbangan
hukum
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
73
(rechtsherstel). Pepatah Batak berbunyi”dosdo setiop sige dohot stangko tuak.”, artinya”orang yang memegang tangga sama saja dengan orang yang mecuri nira.” Dengan kata lain, semua orang yang ikut serta membuat delik, harus ikut bertanggung jawab. 9. Pokok dasar kesembilan dari KUHP mengenai percobaan yang dapat dipidana (strafbare poging). Suatu perbuata percobaan yang tidak berarti, tidak dapat dipidana. Sistem hukum adat tidak menghukum seseorang karena mencoba melakukan suatu delik. Dalam sistem hukum adat, suatu upaya adat (adatreaksi) akan diselenggarakan jikalau perimbangan hukum diganggu, sehingga perlu untuk memulihkan kembali perimbangan hukum. Apabila tidak terjadi pengacauan masyarakat, tidak terjadi penghinaan atau perusakan, apabila tidak ada perubahan apa-apa di dalam keadaan masyarakat atau di dalam keadaan suatu golongan famili, atau di dalam keadaan orang seorang, maka tidak ada alasan suatupun bagi para petugas hukum untuk bertindak, oleh karena perimbangan hukum tidak terganggu. Apabila seseorang yang bermaksud akan membunuh orang lain, menembak orang itu, akan tetapi orang yang ditembak itu hanya mendapat luka-luka, maka orang yang menembak itu tidak akan dihukum karena mencoba membunuh, melainkan ia dihukum karena melukai orang. Jika tembakan itu tidak mengenai, maka tidak ada percobaan membunuh atau percobaan melukai melainkan hnaya perbuatan melepaskan tembakan kepada seseorang, yang mungkin melanggar delik ketenteraman umum. 10. Pokok dasar kesepuluh dari KUHP adalah orang yang hanya dapat dipidana karena perbuatannya yang terakhir, tidak boleh karena perbuatannya dulu-dulu, kecuali jikakalau ia menjalankan pengulangan kejahatan (recidive). Menurut aliran pikiran tradisional, dalam mengadili perbuatan melanggar hukum hakim harus memperhatikan juga, apakah yang melanggar hukum itu sungguh menyesal (berouw) atas perbuatannya. Pun hakim harus memperhatikan apakah orang itu masuk golongan orang yang terkenal sebagai penjahat.174
174
Van Vollenhoven, Adatrecht II, hal. 749, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal.119.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
74
Penyesalan hati akan meringankan hukuman.175 Sebaliknya orang yang terkenal sebagai penjahat, apabila ia berbuat salah, boleh dihukum seberatberatnya, misalnya ia dapat dibuang dari persekutuan masyarakatnya. Perbedaan sistem hukum adat dengan KUHP ini cukup memberi gambaran tentang bagaimana penyelesaian perkara pidana melalui sistem hukum adat. Selain itu contoh tentang penyelesaian perkara pidana melalui sistem hukum adat yaitu: 1. Seperti dikatakan oleh Daud Azhari, banyak sengketa di Lombok diselesaikan oleh Desa Adat, dimana kompetensi mengadili sengketa di bidang pengairan berada di Rembug Subak, sedangkan sengketa di luar masalah pengairan, baik perkara yang berdimensi perdata adat maupun delik adat (pidana adat) berada di tangan Kerama Desa. Konflik yang berdimensi pidana meliputi tawuran dan pembunuhan secara massal, perbuatan perzinahan atau kesusilaan dan moral.176 2. Berdasarkan MoU antara Masyarakat Adat Aceh, Gubernur NAD dan Kapolda NAD,177 disepakati bahwa yang menjadi kewenangan peradilan adat, khususnya tentang delik adat yaitu: kekerasan dalam rumah tangga yang bukan kategori penganiayaan berat, perselisihan antar dan dalam keluarga, pencurian (bukan untuk pencurian yang berat seperti kerbau, kendaraan bermotor, dll) dan kecelakaan lalu lintas yang ringan (bukan yang mengakibatkan mati). Sanksi adat berupa: nasehat, peringatan, minta maaf di depan umum, ganti rugi, diusir dari Gampong, pencabutan gelar
175
Suatu pepatah Batak berbunyi”Gala-gala sitellu, telluk mardagul-dagul, molo sala pembahenanku luhat huapulapul” artinya:”Jikalau saya berbuat salah, saya akan memperbaiki kesalahan saya.” 176
Daud Azhari, Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok, yang ditelusur melalalui internet www.scribid.com/daud-azhari-9865 sebagaimana ditulis dalam ringkasan desertasi M.Hatta Ali, Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan Keadilan Restoratif Dalam Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, (Bandung: Program Studi Doktor Ilmu Hukum Unpad, 2011), hal. 11. 177
UNDP, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, penelitian Proyek Keadilan Aceh UNDP dengan Masyarakat Adat Aceh (MAA) dan Pemerintah NAD, ditelursur melalui internet http://ind.adatjustice.org/wpcontent/uploads/publikasi/Buku%20Pedoman%20Peradilan.pdf diakses pada tanggal 20 Desember 2012
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
75
adat, dikucilkan dalam pergaulan dan diboikot. Perangkat peradilan adat/hakim perdamaian di tingkat: 1. Gampong, terdiri atas: a. Keuchik, sebagai Ketua; b. Sekretaris Gampong, sebagai Panitera; c. Imeum Meunasah, sebagai Anggota; d. Tuha Peuet, sebagai Anggota e. Ulama, tokoh adat/cendekiawan lainnya di Gampong yang bersangkutan (ahli di bidangnya), selain Tuha Peuet Gampong sesuai dengan kebutuhan; 2. Mukim terdiri atas: a. Imeum Mukim, sebagai Ketua; b. Sekretaris Mukim, sebagai Panitera; c. Tuha Peuet Mukim, sebagai Anggota; d. Ulama, tokoh adat/cendekiawan lainnya, selain Tuha Peuet Mukim sesuai dengan kebutuhan. 3. Masyarakat Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sebagian besar hidup dalam naungan hukum adat. Kabupaten ini dihuni tiga suku besar, yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Siapa pun yang melanggar ketentuan hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut pokara adat. Konflik di masyarakat ditangani melalui putusan adat. Putusan diambil oleh para tokoh adat mengacu hukum adat yang berlaku.178 Sengketa diselesaikan lewat peradilan adat yang dipimpin oleh seorang timanggong (temenggung). Pada umumnya timanggong hanya menyelesaikan kasus pelanggaran berat, misalnya penganiayaan berat dan pembunuhan. Sedangkan kasus-kasus sengketa ringan bisa diselesaikan sendiri oleh kepala kampong (kampung atau desa). Kampong merupakan sistem yang
178
Elly Burhaini Faizal, Liputan Peradilan Adat Di Sanggau Kalimantan Barat, Suara Pembaruan, edisi 15 September 2003, sebagaimana dimuat dalam Pekumpulan untuk Pebaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) yang ditelusur melalui internet http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Suara-Pembaruan-15_17-Des-03-Catatan-DariPeradilan-Adat-Sanggau.pdf diakses pada tanggal 19 Desember 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
76
sudah lama ada.179 Di kalangan masyarakat Melayu, peradilan adat juga dikenal. Peradilan ini dipimpin oleh Ketua Adat yang disebut penggawa. Masyarakat etnis Melayu di Sanggau identik dengan masyarakat muslim. Hukum adat yang mereka anut bersumber pada kitab suci Al Quran. Kewenangan memutuskan suatau perkara ada di tangan pemangku adat.180 Demikian sedikit penggambaran penyelesaian perkara pidana melalui sistem hukum adat, baik yang secara umum maupun khusus di daerahdaerah tertentu.
3.2.1. Eksistensi Lembaga Adat Untuk mengetahui eksistensi lembaga adat, perlu juga sebelumnya mengetahui legaliatas dari hukum adat. Hal ini karena dengan lembaga adat yang menyelesaikan sengketa adat merupakan bagian dari hukum adat. Eksistensi keberlakuan hukum pidana adat bertitik tolak dari Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 No.9) yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 1951, yaitu:181 1. Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa”pada saat berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan: a. Segala pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrecht-spraak) dalam Negara Sumatra Timur dahulu, keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali Pengadilan Agama jika Peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagin dari pengadilan Swapraja; b. Segala pengadilan adat (inheemse rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari Peradilan Adat;
179
Ibid.
180
Ibid.
181
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 71-72. Lihat juga Soepomo, Op.Cit., hal.153. lihat juga Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.68-70. Lihat juga Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 372.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
77
2,Pasal 5 ayat (3) sub b yang menyatakan: “Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula daerah swapraja dan orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang itu dengan pengertian: - Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana akan tetapi tiada bandingannya dalam KUHP, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu dengan hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum, dan; - Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran Hakim melampaui padanya denda hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan; - Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUHP, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan itu. Lilik Mulyadi menggambarkan secara jelas Pasal 5 ayat (3) sub b UndangUndang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, bahwa ada tiga konklusi dasar, yaitu:182 1. Bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingannya atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan ringan), minimumnya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu satu hari untuk 182
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.373.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
78
pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama sepuluh tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa; 2. Tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat drati kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP; 3. Sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai ketentuan KUHP;
Selain dari Undang-Undang Darurat tersebut, menurut Soepomo berdasarkan Pasal 26 ayat(1) Ordonnantie inheemsche rechtspraak, Staatsblad 1932 no.80) maka hukum adat delik formal masih berlaku.183 Menurut Pasal 27 ayat (1) Ordonansi tersebut, hakim pengadilan adat berwenang di samping upaya-upaya adat atau sebagai pengganti upayaupaya adat, menjatuhkan hukuman pidana yang disebut dalam Pasal 10a KUHP.184 Pasal 26 ayat (3) ordonnansi tersebut, bahwa siapa pun tidak boleh dihukum (dipidana) terhadap perbuatan yang pada waktu perbuatan itu dilakukannya, tidak diancam dengan pidana oleh hukum adat atau oleh peraturan perundang-undangan.185 Di daerah-daerah yang notabene juga mempunyai hukum adat dan lembaga adat yang berbeda dengan daerah lainnya, sehingga eksistensinya
183
Soepomo, Loc.Cit.
184
Ibid.
185
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
79
dan legalitasnya diatur secara masing-masing. Di aceh, misalnya dasar hukum peradilan adat di Aceh, yaitu:186 1. Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, menegaskan bahwa”Daerah diberikan kewenangan untuk menhidupkan adat sesuai dengan syariat Islam.” 2. Bab XIII tentang Lembaga Adat Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatakan bahwa”penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat (Pasal 98 ayat (2). Lembaga-lembaga adat tersebut yaitu: -
Tuha Peuet;
-
Majelis Adat Aceh;
-
Imeum Mukim;
-
Imeum Chiek;
-
Imeum Meunasah;
-
Tuha Lapan;
-
Syahbanda;
-
Haria Peukan;
-
Peutuwa Seuneubok;
-
Pawang Glee;
-
Panglima Laot;
-
Keujruen Blang;
-
Keuchik;
3. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, menegaskan bahwa”Lembaga Adat sebagai alat kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.” Tugas lembaga adat adalah: - menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan (Pasal 5); - menjadi hakim perdamaian dan diberikan prioritas utama oleh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus (Pasal 6 dan 10)
186
UNDP, Op.Cit.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
80
4. Qanun No.4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam propinsi Nangroe Aceh Darussalam memberikan kepada Mukim untuk: - Memutuskan dan atau menetapkan hukum; - Memelihara dan mengembangkan adat; - Menyelenggarakan perdamaian adat; - Menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat; - Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat; - Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat; 5. Qanun no.5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi Naggroe Aceh Darussalam, menegaskan bahwa tugas dan kewajiban Gampong adalah: - Menyelesaikan sengketa adat; - Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan istiadat; - Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat; Di daerah lain juga diatur seperti berikut: 1. Pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No.1 Tahun 2008 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai, yaitu:” Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mempunyai tugas :187 a.Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat adat kepada Pemerintah; b. Menyelesaikan permasalahan adat istiadat dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat di wilayahnya; c. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat serta
187
Pemerintah Kabupaten Banggai, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai, Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 Tahun 2008, yang ditelusur melalui internet http://www.palu.bpk.go.id/wpcontent/uploads/2010/03/Perda-Banggai-No.1-Tahun-2008-tentang-PemberdayaanPELESTARIAN-LEMBAGA-ADAT-BANGGAI.pdf diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
81
kebiasaan-kebiasaan masyarakat; d. Menciptakan hubungan yang demokratis, harmonis dan ojektif antara masyarakat, perangkat adat dengan aparat Pemerintah Daerah.” 2. Pasal 12 Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim Nomor 2 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Marga, yaitu:” Pemangku Adat Marga mempunyai wewenang :188 a. Menyelenggarakan rapat dan musyawarah Lembaga Adat Marga; b. Menyelesaikan urusan adat istiadat masyarakat di wilayah kerjanya; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan adat istiadat; d.Menghimpun dan mendata adat istiadat masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat hukum adat; e.Menampung
dan
menyalurkan
aspirasi
masyarakat
dalam
pemberdayaan adat istiadat; f. Memberikan gelar adat sebagai penghormatan kepada seseorang; g. Memberikan sanksi adat kepada seseorang yang melanggar ketentuan hukum adat; h. Mewakili untuk bertindak atas nama lembaga adat baik diluar maupun didalam pengadilan; i. Mengatur tatakrama pergaulan bujang gadis; j. Menyusun Peraturan Adat Marga sesuai dengan adat istiadat setempat;. k.Membina hubungan kemitraan, pengkoordinasian dengan Kecamatan dan pemerintahan desa dan atau kelurahan; l.Melaksanakan kerjasama antar Lembaga Adat Marga atau Lembaga Adat lainnya.” 3. Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara No,12 Tahun 2004 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, yaitu:189 ”(1) Lembaga Adat berwenang mengangkat dan
188
Pemerintah Kabupaten Muara Enin, Peraturan tentang Lembaga Adat Marga, Peraturan Daerah Nomor Tahun 2007, yang ditelusur melalui internet http://palembang.bpk.go.id/web/files/2010/08/Perda-No.2-Thn-2007-ttg-Lembaga-Adat.pdf yang diakses pada tanggal 20 Oktober 2012. 189
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
82
menentukan Datu, Pemangku Adat, Ketua Adat atau sebutan nama lainnya sesuai dengan kondisi sosial budaya dan adat istiadat. (2) Lembaga Adat berwenang membuat dan menetapkan peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan tentang adat istiadat yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan. (3) Sebagai Lembaga Adat berwenang menyelesaikan perselisihan sengketa adat, berdasarkan kesepakatan melalui musyawarah adat. (4) Keputusan musyawarah adat dalam menangani dan menyelesaikan sengketa adat menjadi bahan dan petunjuk bagi lembaga peradilan.” Uraian ini cukup memberikan penjelasan dan penegasan bahwa hukum adat dan lembaga adat, eksistensinya masih tetap ada dan diakui untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat hukum adat tersebut. Masih banyak lagi peraturan daerah lainnya, yang kurang lebih sama memberikan penjelasan dan penegasan tentang eksistensi dari hukum adat dan lembaga adat tersebut.
3.2.2. Kelemahan Penyelesaian Melalui Hukum Adat Ada sebagian pihak yang memandang hukum adat sebagai hukum yang sudah ketinggalan zaman yang harus segera ditinggalkan dan diganti dengan peraturan-peraturan hukum yang lebih modern. Aliran ini berpendapat bahwa hukum adat tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hukum dimana kini, lebihlebih lagi untuk masa mendatang sesuai dengan perkembangan dunia modern ditambah dengan tuntutan dari globalisasi, dimana kejahatan tidak mengenal batas ruang, terjadi di lintas negara. Hal ini secara tidak langsung menyatakan kelemahan hukum adat itu sendiri, yang antara lain sebagai berikut:190 a. Hukum adat adalah hukum dari rakyat yang masih primitif sehingga tidak seyogyanya untuk dijadikan dasar dan diberlakukan kepada mereka atau masyarakat yang sudah maju yang pada umumnya hanya kita jumpai pada masyarakat pedesaan yang hidupnya jauh dari kota No.12 Tahun 2004, yang ditelusur melalui internet http://www.wgtenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Perda_Kab.LuwuUtara_12_2004.pdf yang diakses pada tanggal 20 Oktober 2012. 190
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 104.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
83
besar. Hukum adat tumbuh dan berkembang di desa, sedangkan di kota banyak ditinggalkan; b. Hukum adat yang bersendikan atas tradisi banyak menghambat perkembangan kemajuan masyarakat karena hukum adat dengan segala sifat kekolotannya sukar untuk menerima proses pembaharuan dan menerima hal-hal yang banyak diperlukan dalam kehidupan modern dan tidak cocok dengan keadaan modern; c. Hukum adat yang sifatnya tidak tertulis adalah kurang memberikan jaminan kepastian hukum bilamana dibandingkan dengan ketentuanketentuan hukum yang tertulis, karena sulit untuk diketahui kaidahkaidahnya. Soerjono Soekanto secara terpisah juga berpendapat tentang alasan keberatan tentang mengenai pentingnya kedudukan dan peranan hukum adat dalam pembaharuan hukum, yang menurut penulis inipun merupakan kelemahan dari hukum adat, yaitu:191 1. Hukum adat didasarkan pada sistem sosial-budaya masyarakat sederhana, sehingga sukar untuk diperlakukan terhadap masyarakat madya dan modern; 2. Hukum adat berproses secara tradisionil, hal ini menimbulkan kecenderungan yang kuat untuk menganggap hukum adat sebagai lembaga konservatif yang cenderung mempertahankan status quo; 3. Hukum adat berorientasi pada masa lampau, sedangkan orientasi dalam proses pembangunan harus sebanyak mungkin diarahkan ke masa depan; 4. Sifat tidak tertulis dari hukum adat, menyebabkan tidak terjaminnya kepastian hukum dan timbulnya keragu-raguan akan isinya hukum adat; 5. Berkurangnya
wibawa
pemuka-pemuka
adat
sebagai
pemimpin
informal, padahal proses hukum adat tergantung pada mereka.
Mengenai berkurangnya wibawa pemuka-pemuka adat sebagai pemimpin informal adalah menarik jika kita melihat dari hasil laporan Elly Buraini Faizal 191
Soerjono Soekanto, op.Cit., hal.53.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
84
yang melihat peradilan adat di Sanggau, Kalimantan Barat. Menurut laporan Elly Buraini Faizal yaitu:192 “Komersialisasi hukum adat mencoreng wajah praktik peradilan adat di Sanggau beberapa waktu belakangan ini. Istilah keren yang dipakai adalah "premanisme adat". Tudingan miring itu merujuk kepada berkembangnya praktik "pemerasan" yang menimpa orang-orang pelaku pelanggaran hukum adat. Tuntutan yang diajukan kepada si pelaku pelanggaran khususnya kasus pati nyawa (pembunuhan) tersebut jumlahnya sangat besar, bahkan melebihi hukuman yang dijatuhkan peradilan formal. Tak jarang tuntutan agar si pelaku membayar sanksi adat dalam jumlah besar itu diwarnai paksaan serta ancaman. Para timanggong (temenggung) serta tetua adat Sanggau yang ditemui Pembaruan rata-rata membenarkan adanya praktik itu. Namun mereka berpendapat, pelaku komersialisasi hukum adat adalah para preman adat, dan bukan fungsionaris adat yang sesungguhnya.” Laporan tersebut berakibat bahwa adanya oknum yang melakukan pemerasan dengan dalih sanksi adat menggunakan dasar pemuka adat, maka menurunnya wibawa pemuka-pemuka adat. Tentang sanksi adat yang jumlahnya besar juga dapat dilihat dari kasus bentrokan suku anak dalam, yang terjadi di Sarolangun. Bentrokan yang terjadi antara kelompok Celitai dan kelompok Abu Majid, mengakibatkan ada tiga korban yang meninggal, dua orang dari kelompok Abu Majid dan satu orang dari kelompok Celitai. Dari hasil keputusan adat, disepakati sanksi adat berupa kelompok Celitai membayar 1000 kain kepada kelompok Abu Majid dan kelompok Abu Majid membayar 500 kain kepada kelompok Celitai.193 Menarik untuk diketahui hasil tulisan dari Kornelis Kewa tentang sanksi adat di papua. Menurutnya, bagi warga pendatang, penyelesaian perkara melalui pengadilan jauh lebih menguntungkan dari pada secara hukum adat masyarakat lokal. Dalam kasus hak ulayat misalnya, warga pendatang lebih suka menyelesaikan di pengadilan.sementara warga lokal ingin menyelesaikan secara adat.194 Menurut Yance Pattiran, hakim PN.Nabire, keuntungan yang diperoleh
192
Elly Buraeni Faizal, Loc.Cit.
193
Disarikan dari laporan Mahmud Sebayang, Loc.Cit.
194
Kornelis Kewa, Hukum Adat Mendominasi Hukum Positif di Papua, 30 April 2004, diakses melalui internet http://www.huma.or.id sebagaimana ditulis M.Hatta Ali, Asas Peradilan
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
85
masyarakat yang berperkara melalui hukum adat jauh lebih besar dibandingkan dengan hukum formal. Tuntutan hukum adat mencapai milyaran rupiah, ditambah ternak babi dan berbagai jenis perhiasan. Keuntungan seperti itu tidak dijatuhkan di Pengadilan Negeri.195 Rehngena Purba melihat kepada kelemahan dari penerapan hukum adat yaitu:196 “Di beberapa daerah pedalaman, hukum adat masih digunakan, namun di daerah yang masyarakatnya sudah heterogen dan pengadilan hakimnya bukan putra daerah seperti kata Subekti yang mengetahui hukum adat adalah putra daerah itu sendiri karena jika hakim bukan putra daerah tersebut, maka hakim tidak meresapi living law itu, jadi tidak meresapi hukum daerah itu dan apa kata pasal-pasal dari undang-undang tersebut langsung dia terapkan saja, jadi seperti corong undang-undang saja.” Kelemahan hukum adat untuk diterapkan dalam masyrakat yang heterogen juga diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro. Menurut Mardjono Reksodiputro: “Hukum adat hanya bisa dilakukan di daerah pedusunan atau perdesaan, dimana terjadi disharmonisasi karena adanya gelombang harmonisasi. Ibaratnya air yang tenang dilempar batu, maka terjadi gelombang atau disharmonisasi yang melebar ke masyarakat. Tetapi jika di kota tidak ada penyelesaian dengan hukum adat, ibaratnya batu itu dilempar ke tanah, sehingga urusan hanya diselesaikan oleh dua pihak tersebut saja.” 197 Menurut Adrianus Meliala, berdasarkan hasil penelitian tentang metode penyelesaian hukum adat terhadap masalah kenakalan anak-anak di 17 daerah adat, didapati hasil bahwa: 1. Masyarakat tidak mengetahui hukum adat mana yang dipegang; 2. Hukum adat tidak mengenal anak sebagai subyek hukum adat; 198 Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan Keadilan Restoratif Dalam Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, Disertasi (resume), Bandung: Universitas Padjadjaran, 2011, hal. 47. 195
Ibid.
196
Wawancara dengan Prof Rehngena Purba melalui telepon pada tanggal 14 Desember
2012. 197
Wawancara secara langsung di kampus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba-Jakarta, pada tanggal 13 November 2012. 198
Wawancara secara langsung di gedung Nusantara I kampus FISIP UI, Depok pada tanggal 2 November 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
86
Syahrul Mahmud hakim
yang bertugas di
Bandung mengatakan
bahwa”hukum adat adalah hukum yang masih hidup dan dipakai, namun untuk di masyarakat yang heterogen hukum adat sudah luntur, beda halnya jika di masyarkat yang masih kental hukum adatnya seperti suku Dayak di Tenggarong yang membebankan untuk membayar sanksi adat berupa babi.”199 Lilik Mulyadi lain lagi berpendapat, menurutnya”hukum adat antara ada dan tidak, jika melihat dari Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 dan peradilan desa yang sudah dihapuskan dengan Undang-Undang No.14 Tahun 1970, namun demikian prakteknya Mahkamah Agung melalui putusannya dan menjadi Yurisprudensi dengan menggunakan hukum adat.”200 3.3. Nilai Hukum Adat dalam Restorative Justice Sebelum mengetahui nilai restorative justice dalam penyelesaian melalui hukum adat, ada baiknya mengetahui dahulu asas-asas dari hukum adat tersebut. Menurut J.J.H Bruggink, maka asas hukum mewujudkan sejenis sistem sendiri yang sebagian termasuk dalam sistem hukum, tetapi sebagian lainnya tetap berada di luarnya sehingga asas-asas hukum itu berada baik di dalam sistem hukum maupun di belakangnya.201 Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, menyebutkan asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum merupakan disiplin
199
Wawancara melalui telepon (karena narasumber berada di Bandung) pada tanggal 12 November 2012. 200
Wawancara secara langsung di Pengadilan Ngeri Jakarta Utara pada tanggal 31 Oktober 2012. Yurisprudensi yang dimaksud Lilik Mulyadi sebagaimana yang telah ditulisnya dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Op.Cit. hal.98-105. Yurisprudensi yang dimaksud yaitu:1.Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985, yang memberikan kualifikasi tentang perzinahan menurut hukum adat namun untuk sanksi bukan sanksi adat melainkan pidana penjara.2. Putusan Mahkamah Agung RI No.1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 yang pada pokoknya menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena terdakwa yang melakukan perbuatan asusila telah membayar sanksi adat berupa seekor kerbau dan satu piece kain kaci yang menurut Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 hukuman adat telah sepadan dengan kesalahan terhukum. 201
J.J.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arif Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 122, sebagaimana ditulis dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Op.Cit. hal.44.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
87
tengah
yang
rechtsleer).
202
mula-mula
membentuk
ajaran
hukum
umum
Roeslan Saleh selanjutnya menegaskan bahwa:
(algemene
203
“…tiap kali aparat hukum membentuk hukum, asas ini selalu dan terus menerus mendesak masuk ke dalam kesadaran hukum dari pembentuk.sejauh dia mempunyai sifat-sifat konstitutif dia tidak dapat dilanggar oleh pembentuk hukum, atau tidak dapat dikesampingkannya. Jika hal itu dilakukannyam maka terjadilah yang disebut non-hukum atau kelihatannya saja dianggap sebagai hukum.” Dengan demikian menurut Lilik Mulyadi, dapat dianalisis bahwa asas-asas hukum mengandung unsur-unsur, yakni: a. Sarat dengan kandungan nilai, filsafat dan semangatnya sendiri; b. Tidak tampak sebagai aturan (rule) yang konkrit, tetapi sebagi kaidah di belakang peraturan. 204 Berkaitan dengan itu, Koesno mengemukakan pendekatan hukum adat dalam menyelesaikan konflik adat berdasarkan tiga asas yakni asas rukun, asas patut dan asas laras, diuraikan sebagi berikut:205 a. Asas rukun Asas kerukunan merupakan suatu asas kerja yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan konflik adat. Penerapan asas rukun dalam penyelesaikan konflik adat dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan semula, status dan kehormatannya serta terwujudnya hubungan yang harmonis sesama krama desa. Dengan demikian asas rukun tidak menekankan menang kalah pada salah satu pihak, melainkan
202
Phliipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hal.9, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit. 203
Roeslan Saleh, Ibid, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit. 204
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit. lihat juga Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, (Bandung: Alumni, 2012), hal.401. 205
I Nyoman Sirtha, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, (Denpasar: Udayana University Press, 2008), hal. 78, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, hal. 45.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
88
terwujudnya kembali keseimbangan yang terganggu, sehingga para pihak yang bertikai bersatu kembali dalam ikatan desa adat. b. Asas patut Patut adalah pengertian yang menunjuk kepada alam kesusuliaan dan akal sehat yang ditujukan pada penilaian atas sesuatu kejadian sebagai perbuatan manusia maupun keadaan. Patut berisi unsur-unsur yang berasal dari alam susila, yaitu nilai-nilai baik atau buruk. Patut juga mengandung unsur-unsur akal sehat, yaitu perhitungan-perhitungan yang menurut hukum adat dapat diterima. Pendekatan asas patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat dapat menjaga nama baik pihak masing-masing, sehingga tidak ada yang merasa diturunkan atau direndahkan status dan kehormatannya selaku krama desa. c. Asas laras Ajaran keselaran mengandung ajaran untuk memperhatikan kenyataan dan perasaan yang hidup dalam masyarakat, yang telah tertanam menjadi tradisi secara turun temurun. Oleh karena itu, pengalaman dan pengetahuan tentang adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, merupakan bahan-bahan untuk merumuskan secara konkrit suatu jawaban dalam menyelesaikan konflik adat. Penggunaan pendekatan asas keselarasan dilakukan dengan memperhatikan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra), sehingga dapat diterima oleh para pihak dalam masyarakat.
Tiga asas ini pun sama seperti yang disebutkan Rehngena Purba, yaitu ”Salah satu tujuan hukum adat, terjadinya keseimbangan dan harmonis, tidak adanya perbedaan privat dengan publik dengan asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan.”206 Rehngena Purba menambahkan lagi bahwa”Jika kita mengenal suatu asas musyawarah untuk mufakat, maka Musyawarah ajaran menyelesaikan dan mufakat itu ajaran memutus.”207
206
Wawancara melaui telepon pada tanggal 14 Desember 2012.
207
Ibid.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
89
Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Koesno dan Rehngena Purba, dalam peradilan adat aceh misalnya terdapat asas-asas sebagai berikut:208 1. Terpercaya atau amanah (acceptability) Peradilan adat dapat dipercai oleh masyarakat 2. Tanggung jawab/akuntabilitas (accountability) Prinsip ini menggarisbawahi pertanggungjawaban dari para pelaksana peradilan adat dalam menyelesaikan perkara tidak hanya ditujukan kepada para pihak, masyarakat dan Negara tetapi juga kepada ALLAH SWT. 3. Kesetaraan di depan hukum/non-diskriminasi (equality before the law/non discrimination) Peradilan adat tidak boleh membeda-bedakan jenis kelamin, status sosial ataupun umur. Semua orang mempunyai kedudukan dan hak yang sama di hadapan adat. 4. Cepat, mudah dan murah (accessibility to all citizens) Setiap putusan peradilan Gampong harus dapat dijangkau oleh masyarakat baik yang menyangkut dengan biaya, waktu dan prosedurnya. 5. Ikhlas dan sukarela (voluntary nature) Keadilan adat tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat. 6. Penyelesaian damai/kerukunan (peaceful resolution) Dalam bahasa Aceh, azas ini dikenal dengan ucapan”Uleue bak mate ranteng ek patah” tujuan dari peradilan adat adalah untuk menciptakan keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat. 7. Musyawarah/mufakat (consensus) Keputusan yang dibuat dalam peradilan adat berdasarkan hasil musyawarah mufakat yang berlandaskan hukum dari pelaksana peradilan adat. 8. Keterbukaan untuk umum (transparency) 208
UNDP, Loc.Cit.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
90
Semua proses peradilan (kecuali untuk kasus-kasus tertentu) baik yang menyangkut pautkan penerimaan pengaduan, pemanggilan saksi, persidangan maupun pengambilan serta pembacaan putusan harus dijalankan secara terbuka. 9. Jujur dan kompetensi (competence/authority) Seorang pemimpin adat tidak boleh mengambil keuntungan dalam bentuk apapun baik material maupun non material dari penanganan perkara. 10. Keberagaman (pluralism) Peradilan adat menghargai keberagaman peraturan hukum yang terdiri dari berbagai sistem hukum adat dan berlaku dalam suatu masyarakat adat tertentu. 11. Praduga tak bersalah (presumption of innocence) Hukum adat tidak membenarkan adanya tindakan main hakim sendiri. 12. Berkeadilan (proportional justice) Putusan pengadilan adat harus bersifat adil dan diterapkan berpedoman sesuai dengan berdasarkan parahnya perkara dan keadaan ekonomi para pihak.
Setelah diuraikan apa yang menjadi asas-asas hukum adat, sesuai dengan penelitian ini yang membahas tentang restorative justice. Hukum adat sebagai living law, hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat mempunyai nilai-nilai yang luhur karena ini merupakan asli dari Indonesia. Dalam penerapan restorative justice bukan diartikan menggunakan hukum adat, melainkan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, nilai-nilai yang ternyata sejalan dengan konsep restorative justice. Dalam penelitian ini telah dibatasi melihat restorative justice sebagai tujuan pemidanaan, dengan demikian untuk dapat melihat nilai restorative justice dalam hukum adat, maka dapat dilihat dari tujuan sanksi adat dan asas-asas hukum adat itu sendiri. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan sanksi adat adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
91
1. Menurut I Made Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Di bali, sanksi adat mempunyai peranan yang penting untuk mengembalikan keseimbangan tersebut.209 Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih desa (pura/tempat suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu.210 2. Menurut Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi (koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”211 3. Pendapat Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat adalah terjadinya harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut, sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf maka terjadi kerukunan antara dua komunitas tersebut.”212
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai hukum adat yang sejalan dengan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan yaitu mengembalikan keseimbangan,
memulihkan
perimbangan
hukum,
harmonisasi
dengan
berdasarkan asas-asas hukum adat kerukunan, kepatutan dan keselarasan serta musyawarah untuk mufakat. Nilai-nilai yang terkandung ini tidak lain adalah nilai yang ada pada masyarakat Indonesia, nilai yang melekat pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Oleh karena itu tepat kiranya jika Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa restorative justice adalah”sebenarnya suatu
209
I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.
210
Ibid.
211
Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
212
Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh Prof Rehngena berada di Medan.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
92
konsep yang merupakan ideologi dan bisa juga dianggap sebagai suatu strategi. Ideology seperti misalnya pancasila yang merupakan suatu cita-cita dengan kelima sila. Sebagai suatu strategi, ideologi itu harus diubah menjadi cara hidup kita”213 Sejalan juga dengan penyelesaian melalui hukum adat dimana korban bahkan masyarakat terlibat langsung dalam penyelesaian konflik maka Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa”konsep restorative justice sebagai ideologi bukan hanya merupakan urusan dari negara yang merasa dilanggar tetapi juga urusan antara pelaku dengan korban. Korban diajak bicara untuk menyelesaikan. Korban bukan hanya korban secara langsung tetapi juga masyarakat. Pertamatama yaitu keluarga baik keluarga korban dan pelaku dan kemudian masyarakat korban dan masyarakat pelaku.”214 M.Hatta Ali dalam desertasinya juga menyatakan bahwa:215 ”konsep keadilan restorative sebenarnya paralalel dengan jenis sanksi dalam hukum adat yaitu memulihkan keseimbangan adat dan sanksi diputuskan melalui permusyawaratan adat yang melibatkan pelaku, korban, masyarakat dan tetua adat. Konteks modern keadilan restoratif dapat dilakukan dengan berbagai bentuk/model tetapi intinya adalah bagaimana sanksi pidana itu memenuhi rasa keadilan bagi pelaku, korban dan kepentingan umum (masyarakat) tetap terjaga.” Sebenarnya yang diutarakan oleh Mardjono Reksodiputro dan M.Hatta Ali tersebut merupakan restorative justice sebagai strategi yaitu yang tidak lain adalah bentuk mekanisme penyelesaian restorative justice. Namun dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan restorative justice sebagai ideologi menurut Mardjono Reksodiputro adalah sesuatu yang dicita-citakan dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana yaitu merupakan tujuan pemidanaan. Karena tujuan pemidanaan merupakan suatu yang dicita-citakan (seharusnya/idealnya) oleh pelaku, korban, masyarakat dan Negara dalam menyelesaikan suatu perkara pidana karena diharapkan keadilan juga dirasakan sebagai fainess, tidak ada pihak yang
213
Wawancara secara langsung di kampus Pascasarjana Hukum UI, Salemba-Jakarta pada tanggal 13 November 2012. 214
Ibid.
215
M.Hatta Ali, Op.Cit., hal. 26.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
93
dirugikan dan diuntungkan dari pelaku, korban, masyarakat dan Negara sehingga kerukunan dan keharmonisan tetap terjadi seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Menurut Mardjono Reksodiputro, karena restorative justice merupakan suatu ideologi, suatu hal yang dicita-citakan, maka sulit untuk menerapkannya.216 Begitu pula dengan Adrianus Meliala, walaupun ketika berbicara restorative justice dalam konteks sebagai suatu bentuk penyelesaian perkara pidana, tetapi senada dengan Mardjono Reksodiputro, untuk di Indonesia, adalah kecil kemungkinan untuk menerapkan restorative justice.217 Namun menurut penulis, kecil ataupun sulit bukan berarti tidak mungkin atau tidak bisa diterapkan. Hakim mempunyai kebebasan dalam memutus menurut peraturan perundang-undangan, bahkan jika tidak ada, Hakim dapat melakukan penemuan hukum.
216
Wawancara Mardjono Reksodiputro secara langsung di kampus Pascasarjana Hukum UI, Salemba-Jakarta pada tanggal 13 November 2012. Dalam sidang ujian tesis, menurut Mardjono Reksodiputro, tetap akan sulit untuk menerapkannya ketika kewajiban adat (sanksi adat) telah ditetapkan bahkan dalam putusan pengadilan, namun tidak dilaksanakan, sehingga tujuan pemidanaan dari restorative justice tidak tercapai. Namun menurut penulis, tentang perkara yang sudah ada penyelesaian adat namun mengacu kepadai Pasal 100 jo Pasal 2 Rancangan KUHP tahun 2012, yaitu: Pasal 2 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pasal 100 (1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. (2) Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (3) Kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana. (4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian. Dengan demikian Pasal 100 ayat (3) RKUHP Tahun 2012 menjawab pertanyaan tersebut. 217
Wawancara secara langsung di Gedung Nusantara I, kampus FISIP UI, Depok pada tanggal 2 November 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
BAB 4 PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln Dan No.22/Pid.B/2009/PN.Srln)
4.1. Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln Dalam pembahasan ini telah dibatasi tentang pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan
putusannya,
khususnya
putusan
yang
mengandung
pemidanaan. Bahkan telah pula dibatasi untuk melihat kepada penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Hakim sebagai pemutus suatu perkara menentukan nasib bahkan hidup mati seseorang sehingga adanya ungkapan “pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan”. Proses peradilan memang bertujuan memberikan keadilan atau hak (equity) dengan mempersamakan semua orang di muka hukum (equality before the law).218 Sering kita mendengar adanya kekecewaan atau ketidakpuasan baik dari terdakwa, korban bahkan masyarakat terhadap putusan pengadilan. Putusan pengadilan dianggap tidak mencerminkan keadilan yang diharapkan menuai banyak protes. Menurut Mardjono Reksodiputro” kritik dan kekurang percayaan terhadap pengadilan pada intinya mengandung tuduhan terjadinya ketidakadilan (injustice)…”219 Menarik untuk dianalisa dimana kesalahan dalam putusan pengadilan tersebut khususnya terhadap putusan pemidanaan?apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan?apakah telah mempertimbangkan keadilan untuk terdakwa, korban bahkan masyarakat? Menurut Mardjono Reksodiputro, “…hukuman (pidana) yang lama dan atau keras bukan pula obat mujarab yang dicari untuk memerangi kejahatan.”220 Padahal seharusnya ini tidak terjadi jika melihat kepada tujuan dari sistem
218
Mardjono Reksodiputro (a), Op.Cit., hal.89.
219
Ibid.
220
Mardjono Reksodiputro (c), hal. 122.
94 Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
95
peradilan pidana. Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut:221 a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakt puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c. Mengusahkan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak menggulangi lagi kejahatannya; Kenyataan sekarang ini penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana dapat dikatakan tidak efektif lagi. Banyak tindak pidana yang terjadi kemudian dijatuhkan putusan pidana namun tidak menjadikan terdakwa jera sehingga ia melakukan tindak pidana lagi. Di samping itu korbannya juga tidak mendapatkan penggantian, keseimbangan tidak dapat terpulihkan dan rasa aman pada masyarakat menjadi terganggu. Dalam situasi seperti ini dapatlah dikatakan bahwa tujuan pemidanaan tidak tercapai. Tujuan pemidanaan disini yang dimaksud pengembalian keseimbangan, keharmonisan dan kerukunan dalam masyarakat. Tujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam tujuan sanksi adat dimana disini selaras dengan restorative justice. Putusan No.21/Pid.B.2009/Pn.Srln menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa yang merupakan kelompok suku anak dalam dimana dalam kasus tersebut juga telah ada penyelesaian adat. Kasus ini menarik dianalisa mengingat terjadi pada suku anak dalam yang masih kental dengan adat istiadatnya dan hukum adatnya. Berdasarkan uraian dari penasehat hukum terdakwa diketahui bahwa orang rimba atau suku anak dalam yang ada di Propinsi Jambi sekitar 1.300 orang yang masih hidup di tepi-tepi aliran sungai Taman Nasional Bukit Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektare itu mereka tinggal terpisah-pisah di tiga kabupaten Batanghari, Sarolangun dan Tebo. Di desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam tempat bermukimnya salah satu kelompok suku anak dalam yang dipimpin oleh seorang temenggung. Suku anak dalam dengan hukum adatnya hampir tidak pernah mengenal hukum nasional, mereka hidup nomaden walaupun ada beberapa kelompok yang
221
Mardjono Reksodiputro, buku ketiga, Op.Cit, hal. 84-85.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
96
telah menetap dan hidup di pedesaan. Semua perkara konflik yang terjadi selalu diselesaikan melalui hukum adat yang diyakini dan ditaati. Sanksi adat yang bertujuan untuk mengembalikan keharmonisan, kerukunan, memulihkan keadaan, wajib sifatnya untuk dilaksanakan. Jika tidak, maka ketidakseimbangan tetap terjadi, ketidakrukunan, dan tidak memulihkan keadaan, bahkan berakibat buruk karena korban masih merasa dirugikan. Dan inilah yang terjadi pada kelompok Celitai dan kelompok Abu Majid di suku anak dalam.
4.1.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan 4.1.1.1.Kasus Posisi Kasus ini menceritakan tentang bentrokan antara dua kelompok suku anak dalam yang terjadi di Sarolangun. Kasus ini berawal masalah pinjam meminjam mesin pemotong kayu (chainsaw). Kelompok Abu Majid meminjam mesin chainsaw dari kelompok Celitai. Namun saat dikembalikan mesin tersebut sudah dirusak. Kemudian diadakan penyelesaian adat, dimana kelompok Celitai meminta 120 helai kain, namun kelompok Abu Majid hanya menyanggupi membayar 60 helai kain. Utusan dari kelompok Celitai yang menerima pembayaran sanksi adat tersebut ternyata kelompok Majid hanya membayar 20 helai kain dengan kondisi kain yang sudah bolong-bolong. Hal ini membuat kelompok Celitai marah dan bermaksud untuk menanyakan tentang sanksi adat tersebut kepada kelompok Majid. Perjalanan dari tempat kelompok Celitai ke kelompok Abu Majid dengan jalan kaki selama dua hari, menginap di hutan. Dalam perjalanan (hampir sampai ke tempat kelomok Abu Majid) Mata Gunung bin Pengemat (terdakwa dalam kasus ini) sebagai panglima perang dari kelompok Celitai jalan lebih dulu dengan rombongan ketika Tumenggung Celitai berhenti sejenak di warung untuk memberli rokok. Sesampai di ujung jalan doho singosari desa pematang kabau kecamatan air hitam, Mata Gunung bin Pengemat tidak dapat menahan emosinya yang semula melerai anak buahnya yang bersitegang dengan kelompok Abu Majid. Mata Gunung bin Pengemat dan Merempas (status DPO) dari kelompok Celitai menghadapi Melenting Laman bin Bebintang, terdengar suara tembakan rakitan. Celitai pun menyusul ke tempat kejadian karena mendengar suara tembakan dan mendapati telah terjadi bentrokan. Bentrokan pun tidak terelakkan
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
97
pada tanggal 12 Desember 2008 tersebut dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang korban. Dua orang korban dari pihak Abu Majid yaitu Melintang Laman bin Bebintang dan Besilang, sedangkan satu orang dari pihak Celitai yaitu Nunai. Akhirnya Mata Gunung bin Pengemat dan Merempas (status daftar pencarian orang) diproses secara hukum dan dilakukan upaya paksa penahanan dengan didakwa melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP atau Pasal 354 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mata Gunung bin Pengemat dituntut enam bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.
4.1.1.2.Pertimbangan hukum Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa Mata Gunung bin Pengemat terbukti bersalah karena semua unsur dari Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP telah terpenuhi. Pembelaan penasehat hukum yang mendalilkan kepada Pasal 49 ayat (2) KUHP tidak terbukti, sehingga tidak ada dasar penghapus pidana dalam kasus ini. Selanjutnya Majelis Hakim berpendapat “bahwa karena dalam diri terdakwa tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf atas perbuatan terdakwa maka terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya.”222 Dalam pertimbangnnya, Majelis Hakim berpendapat ”Menimbang, bahwa selanjutnya untuk menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan terdakwa, maka perlu dipertimbangkan juga bahwa berdasarkan keterangan saksi dan keterangan terdakwa serta berdasarkan surat perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok terdakwa suku anak dalam pimpinan temenggung Celitai dengan kelompok korban suku anak dalam pimpinan temenggung Madjid.”
223
Kemudian
terhadap pemidanaan yang akan dijatuhkan, Majelis berpendapat: “Menimbang, bahwa majelis hakim bukanlah”algojo/eksekutor”, karena tugas hakim bukanlah hanya menghukum tetapi mengadili atau memberi keadilan bagi para pencari keadilan. Menimbang, bahwa berdasarkan faktafakta hukum sebagaimana diuraikan diatas haruslah menjadi pertimbangan tersendiri bagi Majelis Hakim untuk mempertimbangkan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Menimbang, bahwa
222
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, hal. 26-27.
223
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
98
berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas yang telah Majelis uraikan, maka pidana yang dijatuhkan dibawah ini adalah yang bijaksana dan telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.”224 Selain pertimbangan hukum tersebut, sebelum menjatukan putusan Majelis Hakim juga
mempertimbangkan hal-hal
yang memberatkan
dan
hal-hal
yang
meringankan yaitu:225 “Hal-hal yang memberatkan: - Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan korban Melenting Laman Bin Pengemat meninggal dunia. Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya; - Terdakwa bersikap sopan dipersidangan; - Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi; - Terdakwa tulang punggung keluarga;” 4.1.1.3.Amar Putusan Dalam pertimbangan yang berkaitan dengan pemidanaan tersebut maka dengan mengingat Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya, Majelis Hakim mengadili sebagai berikut:226 “1. Menyatakan terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”Dimuka umum melakukan kekerasan yang mengakibatkan orang lain mati.”; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 20 (dua puluh) hari; 3.Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan; 5. Menghukum pula terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah);” 4.1.2. Analisa Putusan Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim selama tiga bulan 20 hari untuk perkara yang mengakibatkan orang lain mati adalah terbilang sangat rendah, 224
Ibid.
225
Ibid.
226
Ibid., hal. 28.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
99
mengingat ancaman pidana untuk Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, maksimal 12 tahun penjara. Menjadi suatu analisa disini adalah apakah yang menjadi tujuan pemidanaan dan pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Menurut Muladi”tujuan pemidanaan adalah yang justru mengikat atau menjalin setiap tahap pemidanaan menjadi suatu mata rantai dalam suatu kebulatan sistem yang rasional.”227 Dengan demikian menurut Solehhudin,”apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi patokan.”228 Menururt Norval Morris tentang tujuan pemidanaan yaitu:229 “My premise throught is that penal purposes are properly retributive, deterrent, and incapacitative. Attempts to add reformative puposes to that mixture-as an objective of the sanction as distinguished from a collateral aspiration-yield neither clemency, justice, nor as presently administered social utility.” Gerry A Ferguson juga pernah menyatakan sebagai berikut:230 “Generally, the courts refer to four or fives purposes in imposing sentences: deterrence, retribution or „just deserts‟, rehabilitation, incapacitation or public protection and compensation to victims.” Demikian juga Petter J.P Tak, mengatakan bahwa: “The aims of sentencing are now considered to be retribution, special or general deterrence, reformation, protection of society and reparation.” 231
227
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hal. 2. 228
Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 119. 229
Norval Morris, The Future Imprisonment, Michigan law Review (Chicago: University of Chicago Press, 1974), hal. 1161, sebagimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 230
Gerry A Ferguson, Criminal Liability and Sentencing of Coorporation, makalah diskusi hukum pidana dan kriminologi, (Surabaya: Universitas Erlangga, 1993), hal. 28, sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 231
Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan hukum, (Surabaya; UBHARA, Oktober 1997), sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
100
Di Indonesia, keadaannya memang berbeda sama sekali, rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif belum pernah ada. Jadi pembahasan mengenai apa, kenapa dan bentuk apa pemidanaan itu, selama ini lebih banyak bersifat teoritis. Namun demikian dalam Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RKUHP) telah diatur tentang tujuan pemidanaan. Dalam Pasal 54 RKUHP, yaitu:232 ”(1) Pemidanaan bertujuan: a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. “ Memang ini baru sebatas sebuah rancangan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi sebagai suatu karya ilmiah yang diperoleh melalui penelitian dan ada dasar ilmiah yang dapat dipertimbangkan. Menurut Soedikno Mertokusumo, “terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak lengkap, maka harus menemukan hukumnya. Metode penemuan hukum melalui interpretasi atau metode penafsiran.233 Salah satu metode interpretasi yang disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau futuristis, yaitu penafsiran antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan undang-undang.234 Dengan demikian melalui interpretasi antisipasif atau futuristis, pendekatan restorative justice dapat diterapkan di pengadilan, khususnya dalam putusan pengadilan. Namun jika dasar itu belum kuat adanya, kiranya dapat menjadi suatu solusi jika melihat kepada kenyataan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 232
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.
233
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
234
Ibid., hal. 80.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
101
yang harus diadilinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:235 “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas, mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 236 Dalam kaitannya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, Hakim dapat melihat kepada hukum adat. Hukum adat merupakan living law, hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dalam penyelesaian perkara pidana melalui adat, juga ada pemberian sanksi adat (pemidanaan). Tujuan sanksi adat menurut I Made Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Di bali, sanksi adat mempunyai peranan yang penting untuk mengembalikan keseimbangan tersebut.237 Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih desa (pura/tempat suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu.238 Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi (koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini
235
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.
236
Ibid.
237
I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.
238
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
102
meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”239 Pendapat Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat adalah terjadinya harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut, sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf sehingga terjadi kerukunan antara dua komunitas tersebut.”240 Senyatanya tujuan sanksi adat ini sejalan dengan tujuan pemidanaan khususnya dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c RKUHP ”menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.”241 Tujuan pemidanaan ini juga seperti yang dimaksudkan oleh restorative justice, dan tergambar dari keadilan yang ingin dicapai dari restorative justice seperti yang dimaksudkan oleh Dignan yaitu: “Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work and and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the person causing the harm, and the affected community.242 Menyelesaikan konflik yang dimaksudkan oleh Dignan merupakan respon terhadap pelanggaran dengan memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan
239
Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
240
Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh Prof Rehngena berada di Medan. 241
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.
242
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook, 2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal.18, terjemahan bebas dari penulis:”Keadilan Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang secara cepat dapat diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta kelompok masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
103
pengaruhnya dalam masyarakat. Dalam hukum adat, jelas ini terakomodir dalam tujuan sanksi adat tersebut. Dengan demikian Hakim dapat mengambil nilai yang hidup ini, nilai yang terkandung dalam tujuan sanksi adat, yang juga bisa digunakan dalam tujuan pemidanaan di putusan. Pertimbangan
Majelis
Hakim
yang
menyatakan
bahwa
bukan
sebagai”algojo/eksekutor” bukan hanya menghukum tetapi mengadili yaitu memberikan keadilan bagi pencari keadilan mengisyaratkan suatu tujuan pemidanaan yang diinginkan oleh Majelis Hakim. Tujuan pemidanaan disini jelas bukan yang bersifat retributive/penghukuman/balas dendam/teori absolut. Dan jika memperhatikan salah satu dasar peringan adalah terdakwa menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulanginya lagi, maka nampaknya Hakim menggunakan tujuan pemidanaan dengan teori relatif. Menurut teori relatif memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadian. Pembalasan itu sendiri tidak mempuyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.243 Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan keapda orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).244 Jadi dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena ornag membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Dengan demikian jika melihat dari hal yang meringankan, agar terdakwa tidak mengulanginya lagi, maka ini merupakan tujuan pemidanaan sebagai pencegahan atau teori relative. Akan tetapi jika melihat pertimbangan Majelis Hakim dari adanya keterangan saksi, keterangan terdakwa dan adanya surat perdamaian antara kelompok terdakwa (Celitai) dengan kelompok korban (Madjid), berarti Majelis melihat keadaan yang telah pulih, harmonis kembali. Pernyataan saksi Majid bin Gemerbak (Tumenggung Majid) yaitu ”bahwa benar saat ini telah terjadi
243
Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hal. 16
244
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
104
perdamaian antara kelompok yang bertikai yakni kelompok suku anak dalam Temenggung Majid dengan kelompok Temenggung Celitai sehingga tidak ada lagi permasalahan di antara kedua suku.”245 Berdasarkan wawancara dengan salah seorang Hakim dari Majelis Hakim ini -Enan Sugiharto- juga mengatakan bahwa”di persidangan ketika saksi memberikan keterangan, dengan perintah Ketua Majelis maka terdakwa meminta maaf kepada saksi dan saksi pun menerimanya. Majelis menilai bahwa saling memaafkan di persidangan, menandakan bahwa memang sudah tidak ada masalah lagi.”246 Salah seorang Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini yaitu Aji Sumbara juga menyatakan hal yang sama”antara terdakwa dan saksi korban sudah saling memaafkan di persidangan, sehingga dilihat tidak ada masalah, tidak terlihat dendam diantara mereka.”247 Baik Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Aji Sumbara secara terpisah, menyatakan bahwa “selama persidangan berlangsung tidak ada ancaman, paksaan dan tekanan. Bahwa memang ada masyarakat suku anak dalam kelompok Celitai yang menginap di Pengadilan dengan membuat tenda di halaman persidangan, bukan merupakan suatu ancaman. Ancaman juga tidak ada dari korban yang menuntut agar terdakwa dihukum seberat-beratnya atau sebaliknya tuntutan dari terdakwa agar korban juga diproses hukum mengingat dari kelompok korban Celitai ada satu orang yang meninggal, juga tidak pernah diutarakan.”248 Penasehat Hukum terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat, Abdul Hair juga mengatakan bahwa terdakwa dari kelompok Celitai dengan korban dari kelompok Majid telah saling memaafkan di persidangan, dari sejak pemeriksaan, tuntutan bahkan putusan tidak pernah ada tuntutan dari korban, agar terdakwa dihukum seberat-beratnya, begitu juga dari terdakwa tidak ada menuntut kepada korban
245
Keterangan saksi Majid bin Gemerbak dalam putusan no.21/pid.B/2009/PN.Srln,
hal.12. 246
Wawancara dengan Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.
247
Wawancara dengan Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.
248
Wawancara dengan Enan Sugiharto dan Aji Sumbara melalui telepon secara terpisah pada tanggal 22 Desember 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
105
agar diproses secara hukum. Sejak putusan sampai dengan sekarang antara kedua kelompok suku anak dalam tersebut tidak terjadi bentrokan.249 Mengenai penyelesaian adat, baik Hakim, Jaksa maupun Penasihat Hukum tidak terlalu banyak mengetahui, informasi dapat diperoleh melalui Nelly Akbar sebagai pendamping/advokasi terhadap suku anak dalam dari Lembaga Swadaya Masyarakat Warsi. Menurut Nelly proses penyelesaian adat bukanlah hal yang mudah, begitu Warsi mengetahui ada bentrokan dua kelompok suku anak dalam, Warsi langung memberikan advokasi, karena pemberdayaan suku anak dalam salah program kerja LSM ini. Kendala penyelesaian adat dari kelompok Majid (korban) yang tidak mau menyelesaiakan secara adat tetapi memilih proses hukum nasional. Hal ini dapat dimengerti oleh Warsi, karena kelompok Majid telah tinggal menetap di pedesaan, sehingga telah banyak mengerti tentang hukum nasional. Namun melalui pembicaraan dengan melibatkan kelompok suku anak dalam lainnya, akhirnya kelompok Majid mau untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara adat.250 Menurut Nelly setelah disepakati sanksi adat dan belum semuanya dibayarkan pada saat putusan pengadilan dibacakan, mengingat jumlah yang sangat banyak, namun hal tersebut tidak mengurangi kesepakatan untuk melaksankan sanksi adat dan keyakinan bahwa kerukunan telah tercapai.251 Hal tersebut menjawab pertanyaan ketika pada saat tuntutan dan putusan dibacakan, tidak ada kerusuhan dan sampai sekarang pun tidak ada bentrokan yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dan Majid.252 Sikap Hakim yang melihat bahwa tidak ada masalah lagi antara terdakwa dengan korban pada saat saling memaafkan di persidangan, mendasari untuk menerima bahwa memang telah terjadi perdamaian diantara mereka. Mengenai sanksi adat yang dijatuhkan Hakim Enan Sugiharto mengakui bahwa memang terungkap di persidangan, dan tidak dibantah oleh terdakwa dan korban namun karena tidak adanya pembuktian tentang telah dibayarkannya sanksi adat tersebut, sehingga 249
Wawancara dengan Penasihat hukum terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat, Abdul hair melalui telepon pada tanggal 12 Oktober 2012. 250
Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi pada tanggal 13 Oktober 2012.
251
Ibid.
252
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
106
Majelis tidak mempertimbangkannya tetapi cukup melihat dari adanya perdamain yang telah terjadi.253 Dengan demikian majelis hakim telah mempertimbangkan perdamaian sebagai dasar terjadinya kerukunan antara pelaku, korban dan karena dalam penyelesaian adat tersebut melibatkan anggota kelompok dari Celitai dan Majid, maka ini mewakili masyarakat di dua kelompok yang berkonflik, dan inilah yang dimaksudkan oleh Dignan. Menurut Dignan, Restorative justice sebagai kerangka kerja baru yang dalam hal ini yaitu sistem peradilan pidana khususnya dalam putusan pengadilan, untuk menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.254 Menarik jika dibandingkan dengan kasus di Kanada, yang menjadi landmark decision yaitu Gladue case, karena adanya persamaan yaitu anggota suku atau kelompok hukum adat juga, dimana terdakwa merupakan orang aborigin.Kasus Gladue menjadi landmark decision karena dari putusan tersebut, legislatif menambahkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf e, dimana orang aborigin juga harus diperhatikan mengingat keadaan mereka yang terpinggir. Hellen Bowen dan Teri Thompson memnguraikan dengan jelas tentang ketentuan Pasal 718 yang tidak lain merupakan tujuan pemidanaan di Kanada, yaitu:255
253
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012. 254
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook, 2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal. 18. 255
Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume 3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354 dan lihat juga melalui www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada tanggal 7 Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis ”Bagian 718 berisi tujuan mendukung tujuan mendasar dari pemidanaan. Beberapa menyatakan kembali dari hukuman dasar
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
107
“Section 718 contains objectives supporting the fundamental purpose of sentencing.59 Some of these restate of basic sentencing aims while others focus on restorative goals. s718. The fundamental purpose of sentencing is to contribute, along with crime prevention initiatives, to respect for the law and the maintenance of a just, peaceful and safe society by imposing just sanctions that have one or more of the following objectives: a. to denounce unlawful conduct; b. to deter the offender and other persons from committing offences; c. to separate offenders from society, where necessary; d. to assist in rehabilitating offenders; e. to provide reparation for harm done to victims or to the community and f. to promote a sense of responsibility in offenders, and acknowledgement of the harm done to victims and to the community. [Emphasis added.]” Menurut Helen Bowen dan Teri Thompson pertimbangan Mahkamah Agung Kanada terhadap kasus Gladue memperhatikan restorative justice sebagai tujuan pemidanan, dan menambahkan tiga unsur (d, e dan f) yaitu:256 “The restorative aspects of the above sentencing aims have been interpreted recently by the Canadian Supreme Court in R v Gladue, where they held: [W]hat is new, though, are paras. (e) and (f), which along with para. (d) focus upon the restorative goals of repairing the harms suffered by individual victims and by the community as a whole, promoting a sense of responsibility and an acknowledgement of the harm caused on the part of the offender, and attempting to rehabilitate or heal the offender.…In our view, Parliament‟s choice to include (e) and (f) alongside the traditional bertujuan sementara yang lain fokus pada tujuan restoratif. S718. Tujuan mendasar dari hukuman adalah untuk memberikan kontribusi, bersama dengan inisiatif pencegahan kejahatan, untuk menghormati hukum dan pemeliharaan masyarakat yang adil, damai dan aman dengan memberlakukan sanksi baru yang memiliki satu atau lebih dari tujuan-tujuan berikut: a. untuk mengecam tindakan melawan hukum; b. untuk mencegah pelaku dan orang lain dari melakukan pelanggaran; c. untuk memisahkan pelaku dari masyarakat, di mana diperlukan; d. untuk membantu pelaku rehabilitasi; e. untuk memberikan reparasi bagi kerugian yang ditanggung korban atau masyarakat dan f. untuk mempromosikan rasa tanggung jawab dalam pelanggar, dan pengakuan darikerugian yang ditanggung para korban dan masyarakat. [Penekanan ditambahkan.] " Ibid, terjemahan bebas dari penulis “"Aspek-aspek restoratif dari tujuan hukuman atas telah ditafsirkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung Kanada di R v Gladue, di mana mereka mengatakan: “Pemikiran yang baru, yaitu paragraf (e) dan (f), yang bersama dengan paragraf (d) yang fokus pada tujuan restoratif memperbaiki bahaya yang diderita oleh korban individu dan masyarakat secara keseluruhan, mendukung rasa tanggung jawab dan pengakuan atas kerugian yang disebabkanoleh pelaku, dan mencoba untuk merehabilitasi atau menyembuhkan pelaku .... Dalam pandangan kami, pilihan DPR untuk memasukkan (e) dan (f) di samping tujuan hukuman tradisional harus dipahami sebagai membuktikanniat untuk memperluas parameter analisis hukuman untuk semua pelanggar. Prinsip menahan diri dinyatakan dalam s. 718,2 (e) tentu akan diinformasikan dengan orientasi kembali.” 256
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
108
sentencing goals must be understood as evidencing an intention to expand the parameters of the sentencing analysis for all offenders. The principle of restraint expressed in s. 718.2(e) will necessarily be informed by this reorientation. Sedangkan Pasal 718 ayat (2) Kanada berbicara tentang pedoman pemidanaan yang menjadi petunjuk teknis dalam menjatuhkan pemidanaan juga diperbaharui sebagai dampak logis dari diperbaharuinya (penambahan) pedoman pemidanaan. Menurut Hellen Bowen dan Teri Thompson yaitu:257 Tabel 4.1 Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah Kasus Gladue Sebelum kasus Gladue Sesudah kasus Gladue [s.] 718.2.(e) provides the s718.2(e). s 718.2 A court that necessary flexibility and authority imposes a sentence shall also take for sentencing judges to resort to into consideration the following the restorative model of justice in principles: … (e) all available sentencing aboriginal offenders and sanctions other than imprisonment to reduce the imposition of jail that are reasonable in the sentences where to do so would not circumstances should be considered sacrifice the traditional goals of for all offenders, with particular sentencing. attention to the circumstances of aboriginal offenders.” Dari tabel tersebut terlihat bahwa dalam ketentuan sebelumnya, jika pelaku orang aborigin mendapatkan pengurangan pidana penjara sedangkan dalam ketentuan sesudah kasus Gladue, hakim harus mempertimbangkan semua sanksi yang tersedia dengan memperhatikan keadaan dari pelaku orang aborigin. Dalam kasus Gladue,
mendapatkan
pembebasan
bersyarat
dan
keluar
dari
lembaga
pemasyarakatan setelah enam bulan dipenjara. Menarik mambaca tulisan dari Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond tentang kritik terhadap putusan ini yang terkesan memberikan kemudahan kepada
257
Ibid, table dibuat oleh penulis untuk memudahkan membandingkan, terjemahan bebas dari penulis, sebelum kasus Gladue, “menyediakan fleksibilitas yang diperlukan dan kewenangan bagi hakim dalam menjatukan hukuman untuk menggunakan model keadilan restoratif dalam menghukum pelaku Aborigin dan untuk mengurangi pengenaan hukuman penjara di mana untuk melakukannya tidak akan mengorbankan tujuan tradisional hukuman. Sedangkan sesudah kasus Gladue” semua sanksi tersedia selain penjara yang wajar dalam situasi harus dipertimbangkan untuk semua pelaku, dengan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
109
orang aborigin karena dalih diskriminasi yang terjadi, namun justru menjadi diskriminasi yang terbalik terhadap orang yang bukan aborigin, yaitu:258 “The potential impact of the Gladue decision on the judiciary is arguably profound. The Supreme Court of Canada has clarified that Parliament‟s decision to add section 718.2(e) to the Criminal Code means that one must, as a matter of criminal law, recognize that Aboriginal people experience incarceration differently than others. While some might suggest that an Aboriginal person who receives the same sentence as a nonAboriginal person is being treated equally, this has been rejected as fallacious reasoning by the Supreme Court of Canada. Sometimes treating different people the same results in inequality. Justices Cory and Iacobucci considered the argument that this treatment of Aboriginal peoples is “reverse discrimination” against non-Aboriginal people.20 They concluded that section 718.2(e) is not unfair to non- Aboriginal people, it simply requires judges to treat Aboriginal people fairly by taking into account their difference.” Oleh karena itu menurut Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond berpendapat bahwa putusan kasus Gladue, mempedomani hakim dalam memutus dimana pelaku orang aborigin, yaitu:259
258
Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September 1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan, 1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7 Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis ”Dampak potensial dari keputusan Gladue di pengadilan ini bisa dibilang mendalam.Mahkamah Agung Kanada telah menjelaskan bahwa keputusan DPR untuk menambahkan pasal 718, 2 (e) ke KUHP berarti bahwa seseorang harus mengakui bahwa dalam masalah pidana untuk orang Aborigin mempunyai penahanan pengalaman yang berbeda dari yang lain. Sementara beberapaorang berpendapat mungkin mengatakan bahwa orang Aborigin diperlakukan sama karena yang menerima pemidanaan yang sama sebagai orang non-Aborigin, penalaran yang keliru ini telah ditolak Mahkamah Agung Kanada. Kadang-kadang memperlakukan orang yang berbeda dengan hasil yang sama dalam ketidaksetaraan. Hakim Cory dan Iacobucci menganggap argument bahwa pengobatan masyarakat Aborigin adalah "diskriminasi terbalik" terhadap orang non-Aborigin. Mereka menyimpulkan bahwa bagian 718, 2 (e) tidak adil untuk non-Aborigin orang, itu hanya karena hakim cukup dengan memperhatikan perbedaan mereka, maka dapat mengobati mereka " 259
Ibid., terjemahan bebas dari penulis: "Keputusan ini akan mempengaruhi peradilan dalam setidaknya tiga cara mendasar.Pertama, hakim akan perlu dididik mengenai masyarakat Aborigin di Kanada, termasuksejarah masyarakat Aborigin ', budaya, dan pengalaman diskriminasi. Kedua, hakim akan perlu menghabiskan lebih banyak waktu pada sebelum menjatuhkan proses hukuman untuk memastikan bahwa semua informasi yang diperlukan pengadilan untuk mengevaluasi pendekatan yang lebih restoratif untuk terdakwa dan masyarakat. Ketiga, independensi peradilan akan sangat penting
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
110
“This decision will affect the judiciary in at least three fundamental ways. First, judges will need to be educated regarding Aboriginal peoples in Canada, including Aboriginal peoples‟ history, culture, and experiences of discrimination. Second, judges will need to spend more time on the sentencing process to ensure that all information is before the court which is required to evaluate a more restorative approach to the defendant and the community. Third, judicial independence will be vital in discharging this function as individual judges and the judiciary may be subjected to considerable criticism and public attack for.” Jika Hellen Bowen dan Teri Thompson, melihat kepada dampak putusan Gladue terhadap kebijakan legislatif adanya penambahan di tujuan pemidanaan dan perubahan ketentuan di pedoman pemidanaan maka Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond melihat kepada hal-hal yang akan mendasari hakim menjatuhkan putusan terhadap pelaku orang aborigin. Department of justice Canada memandang putusan Gladue case sejalan dengan keadilan yang dianut oleh Aborigin, yaitu:260 “There is a strong relationship between restorative justice and Aboriginal justice. Both philosophies emphasize healing, forgiveness, and active community involvement, and restorative models have drawn heavily upon Aboriginal methods of resolving disputes. Aboriginal concepts of restorative justice tend to be strongly focussed on the community, with an emphasis on collective well-being rather than individual rights. They stress the need to heal relationships between clans or family groupings as well as between the offender and the victim, so that balance may be restored to the community as a whole. Aboriginal communities attempt to look at all of the factors leading to an incident, in order to understand the offender as a person and to uncover the causes of their behavior.”
Department of Justice of Canada, melihat putusan Gladue Case, sebagai berikut: dalam melaksanakan fungsi ini sebagai hakim peradilan dapat mengalami kritik dan serangan publik. "
individu
260
dan
lembaga
Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation Paper, Mei 2000, ditelusur melalui internet http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses pada tanggal 7 Desember 2012, terjemahan bebas dari penulis: “Keadilan Aborigin dan keadilan restoratif ada hubungan kuat diantaranya. Kedua filsafat menekankan penyembuhan, pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat, dan model restoratif telah ditarik berat pada metode Aborigin penyelesaian sengketa. Konsep Keadilan dan keadilan restoratif cenderung sangat difokuskan pada masyarakat, dengan penekanan pada hak-hak kesejahteraan kolektif bukan individu. Mereka menekankan perlunya untuk menyembuhkan hubungan antara klan atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban, sehingga keseimbangan itu dapat dikembalikan kepada masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat Aborigin mencoba untuk melihat semua faktor yang menyebabkan sebuah insiden, untuk memahami pelaku sebagai pribadi dan untuk mengungkap penyebab perilaku mereka.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
111
“In its recent decision in Gladue v. the Queen, the Supreme Court of Canada endorsed the concept of restorative justice and the use of community-based alternatives to imprisonment. The Court was asked to consider the meaning of paragraph 718.2(e) of theCriminal Code , which stated that judges are to consider all reasonable alternatives to incarceration for all offenders, but "with particular attention to the circumstances of Aboriginal offenders." The Court ruled that this passage imposes a duty upon judges to recognize factors that particularly affect Aboriginal people, such as poverty, substance abuse, and lack of education or employment opportunities, and to consider the role these factors may play in bringing the Aboriginal offender before the courts. In determining a sentence, judges must consider the types of sanctions that might be appropriate for an offender given his or her Aboriginal heritage. This decision should take into account whether there is community support for the offender and community programs that provide alternatives to incarceration. The Court recognized that restorative justice approaches may differ from one Aboriginal community to another, but that they tend to be community-based. The Gladue decision highlights the importance of using restorative processes in sentencing Aboriginal offenders.” 261 Department of Justice Canada selain melihat kepada konsep keadilan Aborigin yang selaras dengan restorative justice yaitu menekankan penyembuhan, pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Keadilan Aborigin dan restorative justice sama-sama menekankan perlunya untuk menyembuhkan hubungan antara klan atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban, sehingga keseimbangan itu dapat dikembalikan kepada masyarakat secara keseluruhan. Selain itu Department of Justice Canada juga melihat bahwa Hakim harus mempertimbangkan keadaan terhadap pelaku aborigin, yang melihat dari
261
Ibid., terjemahan bebas dari penulis: “Dalam keputusan baru-baru ini di Gladue v Ratu, Mahkamah Agung Kanada telah mendukung konsep keadilan restoratif dan penggunaan berbasis masyarakat alternatif penjara. Pengadilan diminta untuk mempertimbangkan makna ayat 718,2 (e) Kode theCriminal, yang menyatakan bahwa hakim harus mempertimbangkan semua alternatif yang masuk akal untuk penahanan untuk semua pelaku, namun "dengan perhatian khusus pada keadaan pelanggar Aborigin." Pengadilan memutuskan bahwa bagian ini membebankan kewajiban kepada hakim untuk mengenali faktor-faktor yang sangat mempengaruhi orang-orang Aborigin, seperti kemiskinan, penyalahgunaan zat, dan kurangnya pendidikan atau kesempatan kerja, dan untuk mempertimbangkan peran faktor-faktor ini sebelum Pengadilan menjatuhkan pemidanaan kepada pelaku Aborigin. Dalam menentukan hukuman, hakim harus mempertimbangkan jenis sanksi yang mungkin cocok untuk pelaku Aborigin. Keputusan ini harus mempertimbangkan apakah ada dukungan masyarakat untuk program pelaku dan masyarakat yang memberikan alternatif untuk penahanan. Pengadilan mengakui bahwa pendekatan keadilan restoratif mungkin berbeda dari satu komunitas Aborigin yang lain, tetapi mereka cenderung berbasis masyarakat. Keputusan Gladue menyoroti pentingnya menggunakan proses restoratif dalam menghukum pelaku Aborigin.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
112
segi sejarah, sosial, ekonomi kurang menguntungkan, dengan demikian dapat menentukan sanksi yang tepat dan wajar. Dalam kasus Gladue, selain melihat kepada tujuan pemidanaan juga kepada pedoman pemidanaan, karena kedua hal ini saling berkaitan dan pada akhirnya menentukan pemidanaan apa yang akan diberikan. Di Indonesia telah dijelaskan bahwa untuk tujuan pemidanaan belum diatur dan baru tahap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, begitu juga dengan pedoman pemidanaan. Pedoman pemidanaan diatur dalam Pasal 55 RKUHP yaitu:262 Pasal 55 (1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana; d. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncakan atau tidak direncanakan; e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. Riwayat hidup, keadaaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaaf dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. (2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan. Dalam
kasus
Mata
Gunung
Bin
Pengemat,
Majelis
Hakim
mempertimbangkan perdamaian yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dengan kelompok suku anak dalam Majid. Bahkan hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Penuntut Umum, Aji Sumbara mengatakan bahwa antara kelompok suku Celitai/terdakwa dengan kelompok suku sikap saling memaafkan di persidangan dan tidak terlihat ada masalah, dendam.263 Namun demikian ternyata, majelis hakim juga mempertimbangkan riwayat hidup, keadaan sosial dan
262
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.
263
Wawancara melalui telepon secara terpisah dengan Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Aji Sumbara,
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
113
keadaan ekonomi terdakwa. Menurut Hakim Enan Sugiharto, keadann sosial dan ekonomi terdakwa memang kurang beruntung jika dibandingkan dengan kelompok korban.264 Hal ini juga diakui oleh Jaksa Aji Sumbara.265 Ini tidak mengherankan jika berdasarkan keterangan Nelly Akbar kelompok suku anak dalam Celitai masih hidup secara nomaden dibandingkan dengan kelompok suku anak dalam Majid yang sudah tinggal menetap di pedesaan.266 Menurtut Nelly Akbar pencaharian sebagian besar dari kelompok suku anak dalam Celitai adalah berburu, menjual hewan buruan seperti misalnya babi hutan ataupun menjual pinang.267 Kondisi pada saat persidangan, anggota kelompok suku anak dalam Celitai tinggal di depan halaman pengadilan dengan mendirikan tenda-tenda. Mereka memang terbiasa dengan itu, namun yang membuat miris istri Celitai (terdakwa dengan berkas terpisah) baru melahirkan dan bayinya kerap diletakkan di lantai kantor pengadilan negeri Sarolangun.268 Mereka yang tinggal di tenda kantor pengadilan banyak juga wanita dan anak-anak, mereka menuntut pemimpin mereka dibebaskan atau mereka juga ikut bersama ditahan.269 Ini tidak mempengaruhi Majelis Hakim karena tidak ada bentuk ancaman secara fisik, namun demikian Majelis memandang dengan kondisi terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat yang sudah ditahan (memperhatikan sosial ekonominya) dan keadaan anggota kelompok yang menginap di pengadilan serta telah adanya perdamaian
264
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
265
Wawancara dengan Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
2012. 266
Wawancara dengan Nelly Akbar, aktivis dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal 13 Oktober 2012. 267
Ibid.
268
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
269
Ibid.
2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
114
dengan korban sehingga tidak ada masalah lagi, maka Majelis berpikir tidak ada gunanya untuk memutuskan lebih lama lagi di tahanan.270 Atas pertimbangan tersebut, bahkan sesaat sebelum putusan Majelis Hakim mengeluarkan penetapan pengalihan penahanan rutan menjadi penahanan kota. Hal ini menurut Hakim Enan Sugiharto, pastinya di luar dugaan dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum. Majelis memperhitungkan waktu tiga bulan dua puluh hari sebagai waktu lamanya terdakwa Mata Gunung bin Pengemat ditahan termasuk di dalamnya waktu tujuh hari untuk berpikir-pikir atau untuk melakukan upaya hukum.271Menurut Hakim Enan Sugiharto, pengalihan penahanan kota ini “memaksa” jaksa penuntut umum dan penasihat hukum untuk menerima putusan dan tidak melakukan upaya hukum, mengingat susahnya menghadirkan terdakwa yang hidup secara nomaden di hutan.272 Hal ini diakui Jaksa Aji Sumbara yang membuatnya untuk melaksanakan penetapan hakim tersebut dan walaupun di persidangan menyatakan pikir-pikir, namun karena berpikir memang sudah ada perdamain, adanya permaafan atau lebih tepatnya saling memaafkan antara kelompok Celitai dengan kelompok Majid sehingga tidak ada masalah lagi diantara kedua kelompok tersebut, maka menerima putusan tersebut.273 Melakukan upaya hukum sepertinya juga akan menjadi hal yang tidak bermanfaat, sehingga Jaksa Aji Sumbara pun selain melaksanakan penetapan pengalihan penahanan juga melaksanakan eksekusi putusan, mengingat kesulitan untuk bertemu dengan terdakwa yang hidupnya nomaden di hutan.274 Penasihat Hukum terdakwa juga tidak melakukan upaya hukum, walaupun di persidangan menyatakan pikir-pikir. Menurutnya, tidak ada manfaatnya jika melakukan upaya hukum, karena melihat kerukunan telah terjadi antara kelompok
270
Ibid.
271
Ibid.
272
Ibid.
273
Wawancara dengan Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember
274
Ibid.
2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
115
Celitai dan kelompok Majid. Dan terpenting melihat kliennya dikeluarkan dari tahanan yang disambut dengan kesenangan dari anggota kelompok Celitai yang menginap di pengadilan, sudah cukup dianggap selesai kasus ini.275
4.2. Analisa Putusan No.22/Pid.B/2009/PN.Srln Kasus dalam perkara ini adalah merupakan kejadian yang sama dengan perkara dalam putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln. Terdakwa dalam perkara ini adalah Celitai yang merupakan pimpinan/Temenggung dari kelompok Suku Anak Dalam Celitai. Berkas ini dibuat terpisah semata-mata karena melihat kepada dugaan kejadian hukum, tindak pidana yang berbeda dengan Mata Gunung Bin Pengemat.276 Selain karena perbedaan tindak pidana yang dilakukan juga, karena ada perbedaan waktu yang walaupun hanya kisaran menit tapi membuat perkara ini tidak dapat disatukan.277 Namun demikian pada saat persidangan dilakukan secara bersamaan, hal ini dengan pertimbangan terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat tidak mau dipisahkan dari Temenggung Celitai. Jaksa Syafri Hadi, mengakui bahwa betapa besarnya wibawa dan kharisma dari seorang Temenggung terhadap anak buahnya.278 Apa yang dikatakan oleh Temenggung, diikuti oleh anak buahnya, begitu yang dilakukan Temenggung untuk menenangkan anak buahnya.279Sikap tenang Temenggung Celitai Bin Netar, emosi yang stabil jika dibandingkan terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat yang tidak bisa menahan emosi, hanya Temenggung Celitai Bin Netar yang mampu memerintahkan Mata Gunung untuk diam ataupun bicara ketika menjawab pertanyaan di persidangan.280 Atas pertimbangan tersebut,
275
Wawancara dengan Penasihat Hukum, Abdul Hair melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012. 276
Wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November
2012. 277
Ibid., terdakwa Celitai datang kemudian sesaat setelah terdengar suara tembakan. Ia terpisah dari rombongan kelompok suku anak dalam lainnya pada saat membeli rokok di warung. 278
Ibid.
279
Ibid.
280
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
116
maka pemeriksaan di persidangan antara terdakwa Mata Gunung Bin pengemat dan Celitai digabungkan, walaupun berkas perkara dan materi dakwaan yang berbeda.281
4.2.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan 4.2.1.1.Kasus Posisi Kasus ini menceritakan tentang bentrokan antara dua kelompok suku anak dalam yang terjadi di Sarolangun. Kasus ini berawal masalah pinjam meminjam mesin pemotong kayu (chainsaw). Kelompok Abu Majid meminjam mesin chainsaw dari kelompok Celitai. Namun saat dikembalikan mesin tersebut sudah dirusak. Kemudian diadakan penyelesaian adat, dimana kelompok Celitai meminta 120 helai kain, namun kelompok Abu Majid hanya menyanggupi membayar 60 helai kain. Utusan dari kelompok Celitai yang menerima pembayaran sanksi adat tersebut ternyata kelompok Majid hanya membayar 20 helai kain dengan kondisi kain yang sudah bolong-bolong. Hal ini membuat kelompok Celitai marah dan bermaksud untuk menanyakan tentang sanksi adat tersebut kepada kelompok Majid. Perjalanan dari tempat kelompok Celitai ke kelompok Majid dengan jalan kaki selama dua hari, menginap di hutan. Dalam perjalanan (hampir sampai ke tempat kelompok Majid) terdakwa Celitai Bin Netar berhenti sejenak di warung untuk memberli rokok sementara itu tanpa diketahui oleh terdakwa Celitai Bin Netar, terdakwa Mata Gunung beserta rombongan kelompok Celitai tetap melanjutkan perjalanan. Terdakwa Celitai Bin Netar tersadar terdengar suara tembakan rakitan. Celitai pun menyusul ke tempat kejadian karena mendengar suara tembakan dan mendapati telah terjadi bentrokan. Terdakwa Celitai Bin Netar merebut senjata api rakitan milik saksi (korban) Bepayung, terdakwa Celitai Bin Netar kemudian memukulkan senjata api tersebut kepada saksi Bepayung Bin Besinjai sebanyak satu kali yang mengenai bagin lengan sebelah kanan sebelah atas yang menyebabkan luka gores dan memar. Bentrokan pun tidak terelakkan pada tanggal 12 Desember 2008 tersebut dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang korban. Dua orang korban dari pihak kelompok Majid yaitu Melintang
281
Ibid., ini juga diakui oleh Jaksa Aji Sumbara yang wawancara dilakukan melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
117
Laman bin Bebintang dan Besilang, sedangkan satu orang dari pihak Celitai yaitu Nunai. Akhirnya Celitai Bin Netar diproses secara hukum dan dilakukan upaya paksa penahanan dengan didakwa melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP; Celitai Bin Netar dituntut lima bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP.
4.2.1.2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur dari Pasal 351 ayat (1) KUHP, karena terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan dan pada diri terdakwa tidak
ada
alasan
yang
dapat
menghapuskan
atau
menghilangkan
pertanggungjawaban pidana, maka terhadap terdakwa Celitai Bin Netar dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan, dan oleh karenanya terdakwa Celitai Bin Netar harus dijatuhi pidana.282 Selanjutnya, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:283 “bahwa mengenai hukuman yang akan dijatuhkan terhadap diri terdakwa, Majelis berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman dalam sistem pemidanaan di Indonesia bukan ditujukan sebagai sarana pembalasan akan tetapi sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran supaya terdakwa dapat menyadari kesalahan yang telah dilakukanya, serta dapat merubah tingkah lakunya dalam bermasyarakat sehingga keberadaannya dalam masyarakat merupakan keberadaan yang dapat mendukung fungsi-fungsi kehidupan sosial, dan keberadaan terdakwa dalam masyarakat adalah sebagai pemimpin kelompok atau tumenggung, maka terdakwa harus dapat dan bisa dijadikan contoh tauladan.” Majelis Hakim juga berpendapat bahwa ”hukuman yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa dalam amar putusan ini adalah setimpal dengan kesalahan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dan selanjutnya Majelis sependapat dengan pembelaan yang disampaikan terdakwa pada akhirnya tujuan dari proses penanganan perkara terhadap terdakwa tercapai kemanfaatan, keadilan, kepatutan
282
Pertimbangan hukum dalam Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln, hal. 44.
283
Ibid., hal. 44-45.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
118
dan kepastian hukum.”284 Majelis juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebelum menjatuhkan putusan, yaitu:285 “Hal-hal yang memberatkan: - Terdakwa adalah Tumenggung atau pimpinan kelompok yang seharusnya menjadi contoh dan tauladan di lingkungannya. Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa bersikap sopan, menghormati dan tidak mempersulit jalannya persidangan; - Terdakwa mempunyai tangggungan dan juga sebagai tulang punggung keluarga, serta keberadaannya dalam kelompok sangat dinantikan; - Dan diantara kelompok terdakwa dengan kelompok korban telah disepakati perdamaian.” 4.2.1.3.Amar Putusan Majelis Hakim dengan mengingat Pasal 351 ayat (1) KUHP, UndangUndang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta peraturan-peraturan lain yang bersangkutan, mengadili sebagai berikut:286 “1.Menyatakan bahwa terdakwa Celitai Bin Netar telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan”; 2.Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 20 (dua puluh) hari; 3.Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4.Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5.Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).” 4.2.2. Analisa Putusan Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim selama tiga bulan 20 hari untuk perkara penganiayaan adalah terbilang rendah, mengingat ancaman pidana untuk Pasal 351 ayat (1) KUHP, maksimal dua tahun delapan bulan penjara. Menjadi suatu analisa disini adalah apakah yang menjadi tujuan pemidanaan dan pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Menurut Muladi ”tujuan pemidanaan adalah yang justru mengikat atau menjalin setiap tahap pemidanaan menjadi suatu mata
284
Ibid., hal.45.
285
Ibid., hal.46.
286
Amar putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn, hal. 46-47.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
119
rantai dalam suatu kebulatan sistem yang rasional.”287 Dengan demikian menurut Solehhudin,”apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi patokan.”288 Menururt Norval Morris tentang tujuan pemidanaan yaitu:289 “My premise throught is that penal purposes are properly retributive, deterrent, and incapacitative. Attempts to add reformative puposes to that mixture-as an objective of the sanction as distinguished from a collateral aspiration-yield neither clemency, justice, nor as presently administered social utility.” Gerry A Ferguson juga pernah menyatakan sebagai berikut:290 “Generally, the courts refer to four or fives purposes in imposing sentences: deterrence, retribution or „just deserts‟, rehabilitation, incapacitation or public protection and compensation to victims.” Demikian juga Petter J.P Tak, mengatakan bahwa: “The aims of sentencing are now considered to be retribution, special or general deterrence, reformation, protection of society and reparation.” 291 Di Indonesia, keadaannya memang berbeda sama sekali, rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif belum pernah ada. Jadi pembahasan mengenai apa, kenapa dan bentuk apa pemidanaan itu, selama ini lebih banyak bersifat teoritis. Namun demikian dalam Rancangan Kitab Undang-
287
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hal. 2. 288
Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 119. 289
Norval Morris, The Future Imprisonment, Michigan law Review (Chicago: University of Chicago Press, 1974), hal. 1161, sebagimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 290
Gerry A Ferguson, Criminal Liability and Sentencing of Coorporation, makalah diskusi hukum pidana dan kriminologi, (Surabaya: Universitas Erlangga, 1993), hal. 28, sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 291
Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan hukum, (Surabaya; UBHARA, Oktober 1997), sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
120
Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah diatur tentang tujuan pemidanaan. Dalam Pasal 54 RKUHP, yaitu:292 ”(1) Pemidanaan bertujuan: a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. “ Memang ini baru sebatas sebuah rancangan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi sebagai suatu karya ilmiah yang diperoleh melalui penelitian dan ada dasar ilmiah yang dapat dipertimbangkan. Menurut Soedikno Mertokusumo, “terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak lengkap, maka harus menemukan hukumnya. Metode penemuan hukum melalui interpretasi atau metode penafsiran.293 Salah satu metode interpretasi yang disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau futuristis, yaitu penafsiran antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan undang-undang.294 Dengan demikian melalui interpretasi antisipasif atau futuristis, pendekatan restorative justice dapat diterapkan di pengadilan, khususnya dalam putusan pengadilan. Namun jika dasar itu belum kuat adanya, kiranya dapat menjadi suatu solusi jika melihat kepada kenyataan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara yang harus diadilinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
292
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.
293
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
294
Ibid., hal. 80.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
121
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” 295 Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas, mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 296 Dalam kaitannya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, Hakim dapat melihat kepada hukum adat. Hukum adat merupakan living law, hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dalam penyelesaian perkara pidana melalui adat, juga ada pemberian sanksi adat (pemidanaan). Tujuan sanksi adat menurut I Made Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Di bali, sanksi adat mempunyai peranan yang penting untuk mengembalikan keseimbangan tersebut.297 Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih desa (pura/tempat suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu.298 Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi (koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”299 Pendapat Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat adalah terjadinya
295
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.
296
Ibid.
297
I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.
298
Ibid.
299
Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
122
harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut, sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf maka terjadi kerukunan antara dua komunitas tersebut.”300 Senyatanya tujuan sanksi adat ini sejalan dengan tujuan pemidanaan khususnya dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c RKUHP ”menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.”301 Tujuan pemidanaan ini juga seperti yang dimaksudkan oleh restorative justice, dan tergambar dari keadilan yang ingin dicapai dari restorative justice seperti yang dimaksudkan oleh Dignan yaitu: “Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work and and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the person causing the harm, and the affected community.302 Menyelesaikan konflik yang dimaksudkan oleh Dignan merupakan respon terhadap pelanggaran dengan memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan pengaruhnya dalam masyarakat. Dalam hukum adat, jelas ini terakomodir dalam tujuan sanksi adat tersebut. Dengan demikian Hakim dapat mengambil nilai yang hidup ini, nilai yang terkandung dalam tujuan sanksi adat, yang juga bisa digunakan dalam tujuan pemidanaan di putusan.
300
Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh Prof Rehngena berada di Medan. 301
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.
302
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook, 2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal.18, terjemahan bebas dari penulis:”Keadilan Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang secara cepat dapat diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta kelompok masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
123
Pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa: “mengenai hukuman yang akan dijatuhkan terhadap diri terdakwa, Majelis berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman dalam sistem pemidanaan di Indonesia bukan ditujukan sebagai sarana pembalasan akan tetapi sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran supaya terdakwa dapat menyadari kesalahan yang telah dilakukanya, serta dapat merubah tingkah lakunya dalam bermasyarakat sehingga keberadaannya dalam masyarakat merupakan keberadaan yang dapat mendukung fungsi-fungsi kehidupan sosial, dan keberadaan terdakwa dalam masyarakat adalah sebagai pemimpin kelompok atau tumenggung, maka terdakwa harus dapat dan bisa dijadikan contoh tauladan.” mengisyaratkan suatu tujuan pemidanaan yang diinginkan oleh Majelis Hakim. Tujuan
pemidanaan
disini
jelas
bukan
yang
bersifat
retributive/penghukuman/balas dendam/teori absolut, karena jelas Majelis menyatakan tujuan pemidanaan bukan sebagai sarana pembalasan akan tetapi sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran. Tentang tujuan pemidanaan sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran dalam teori tujuan pemidanaan, adalah sama dengan yang dimaksudkan dengan teori relatif. Teori relatif disebut juga sebagai teori tujuan (utilitarian theory), karena menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat.303 Ada tiga bentuk teori tujuan yang mungkin saja tidak terlalu penting untuk membedakannya sari sudut pandang praktis, tapi bagi seorang utilataris, faktor terpenting adalah bahwa suatu pemidanaan dapat menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat secara preventif (penebalan kata oleh penulis), apapun artinya penjeraan dan penangkalan, reformasi dan rehabilitasi atau pendidikan moral (penebalan kata oleh penulis).304 Namun demikian, kepedulian teoretis menuntut usaha untuk lebih mendalami utilitarian theory menurut tiga belahan interpretasi tersebut, yaitu:305
303
M.Solehhudin, Op.Cit., hal. 43.
304
Ibid.
305
Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 33, sebagaimana dikutip M.Solehhudin, Op.Cit., hal.43-45.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
124
1. Tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Oleh Karena itu, pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi sikap dan perilaku si terpidana maupun warga masyarakat. Pengaruh ini dianggap bisa sangat berdaya-hasil bila dikomunikasikan secara negatif, yaitu dengan
menakut-nakuti
orang,
atau
menurut
perkataan
Philip
Bean”maksud di balik penjeraan ialah mengancam orang-orang lain untuk kelak tidak melakukan kejahatan.” 2. Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan mengganggap pula pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegrative dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca pula sebagai simpton disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal yang membtuhkan terapi psikiatris, conselling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya. Itulah sebabnya ciri khas dari pandangan tersebut ialah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitasnya secara wajar. Dalam bahasa utilitarianisme dapat dikatakan sebagai efek preventif dalam proses rehabilitasi ini terutama terpusat pada si terpidana. 3. Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk ketiga teori tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan terpidana adalah salah, tak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu, dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang telah dituduhkan atasnya. Penjara atau lembaga pemasyarakatan, dilukiskan sebagai tempat pendidikan moral, yaitu tempat refleksi-refleksi moral dan spiritual diadakan serta ’penebusan dosa’ terjadi. Para terpidana perlu diberikan
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
125
pengajaran moral dan agama agar keyakinan dan pandangannya diperbaharui, kecenderungan-kecenderungan jahatnya dikendalikan dan hidupnya disegarkan. Semuanya itu berdasar atas tesis bahwa setiap bentuk kejahatan melawan hukum merupakan ekspresi ketidakpedulian sosial pada orang lain. Berdasarkan uraian diatas maka tujuan pemidanaan yang dimaksudkan Majelis Hakim sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran adalah seperti yang dimaksudkan pada nomor tiga dari teori relatif atau utilitarian theory. Menurut Majelis Hakim sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran ini mengingat fungsi terdakwa sebagai pemimpin kelompok yang seharusnya memberikan contoh tauladan. Menurut Hakim Enan Sugiharto kelompok suku anak dalam sering melakukan pelanggaran hukum namun tidak pernah ada yang diproses mengingat mereka selalu menyelesaikan dengan hukum adatnya.306 Dan ini kali pertama ada anggota suku anak dalam bahkan pemimpin kelompok suku anak dalam yang diproses secara hukum, bahkan ditahan.307 Majelis berpendapat bahwa dengan memberikan pendidikan dan pembelajaran melalui proses hukum ini, agar terdakwa sebagai pemimpin kelompok suku anak dalam menyadari kesalahannya yang telah melanggar aturan hukum dan seharusnya memberikan contoh tauladan yang baik.308 Hal ini pun diakui oleh Jaksa Syafri Hadi bahwa masyarkat suku anak dalam sering melakukan pelanggaran hukum, seperti menebang kayu di hutan, berkelahi sesama anggota kelompok suku anak dalam, dsb.309 Menurut penulis, jika dihubungkan dengan keterangan Jaksa Syafri Hadi, tentang peran Celitai sebagai pemimpin kelompok sangat besar dimana kata-katanya ditaati oleh anggota kelompoknya, maka tidak heran jika Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa Celitai bin Netar sebagai pemimpin kelompok untuk memberikan 306
Wawancara melalui telepon dengan Hakim Enan Sugiharto pada tanggal 22 Desember
307
Ibid.
308
Ibid.
309
Wawancara dengan jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November
2012.
2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
126
contoh tauladan, maka dimaksudkan pemidanaan sebagai pendidikan dan pembelajaran agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Namun jika memperhatikan salah satu dasar peringan adalah diantara kelompok terdakwa dengan kelompok korban telah disepakati perdamaian, berarti Majelis melihat keadaan yang telah pulih, harmonis kembali. Menurut Hakim Enan Sugiharto juga mengatakan bahwa”di persidangan ketika saksi memberikan keterangan, dengan perintah Ketua Majelis maka terdakwa meminta maaf kepada saksi dan saksi pun menerimanya. Majelis menilai bahwa saling memaafkan di persidangan, menandakan bahwa memang sudah tidak ada masalah lagi.”310 Hal ini pun diakui oleh Jaksa Syafri Hadi dan menyatakan hal yang sama” antara terdakwa dan saksi korban sudah saling memaafkan di persidangan, sehingga dilihat tidak ada masalah, tidak terlihat dendam diantara mereka, saya melihat bahwa perbuatan saling memaafkan tersebut terlihat tulus, tidak ada karena paksaan bahkan mereka saling berpelukan”311 Baik Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Syafri Hadi secara terpisah, menyatakan bahwa “selama persidangan berlangsung tidak ada ancaman, paksaan dan tekanan. Bahwa memang ada masyarakat suku anak dalam kelompok Celitai yang menginap di Pengadilan dengan membuat tenda di halaman persidangan, bukan merupakan suatu ancaman. Ancaman juga tidak ada dari korban yang menuntut agar terdakwa dihukum seberat-beratnya atau sebaliknya tuntutan dari terdakwa agar korban juga diproses hukum mengingat dari kelompok korban Celitai ada satu orang yang meninggal, juga tidak pernah diutarakan.”312 Penasehat Hukum terdakwa Celitai Bin Netar, Abdul Hair juga mengatakan bahwa terdakwa dari kelompok Celitai dengan korban dari kelompok Majid telah saling memaafkan di persidangan, dari sejak pemeriksaan, tuntutan bahkan putusan tidak pernah ada tuntutan dari korban, agar terdakwa dihukum seberatberatnya, begitu juga dari terdakwa tidak ada menuntut kepada korban agar 310
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
311
Wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November
2012. 2012. 312
Wawancara dengan hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012 dan wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 Novemner 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
127
diproses secara hukum. Sejak putusan sampai dengan sekarang antara kedua kelompok suku anak dalam tersebut tidak terjadi bentrokan.313 Mengenai penyelesaian adat, baik Hakim, Jaksa maupun Penasihat Hukum tidak terlalu banyak mengetahui, informasi dapat diperoleh melalui Nelly Akbar sebagai pendamping/advokasi terhadap suku anak dalam dari Lembaga Swadaya Masyarakat Warsi. Menurut Nelly proses penyelesaian adat bukanlah hal yang mudah, begitu Warsi mengetahui ada bentrokan dua kelompok suku anak dalam, Warsi langung memberikan advokasi, karena pemberdayaan suku anak dalam salah program kerja LSM ini. Kendala penyelesaian adat dari kelompok Majid (korban) yang tidak mau menyelesaiakan secara adat tetapi memilih proses hukum nasional. Hal ini dapat dimengerti oleh Warsi, karena kelompok Majid telah tinggal menetap di pedesaan, sehingga telah banyak mengerti tentang hukum nasional. Namun melalui pembicaraan dengan melibatkan kelompok suku anak dalam lainnya, akhirnya kelompok Majid mau untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara adat.314 Menurut Nelly telah disepakati sanksi adat dan belum semuanya dibayarkan pada saat putusan pengadilan dibacakan, mengingat jumlah yang sangat banyak, namun hal tersebut tidak mengurangi kesepakatan untuk melaksankan sanksi adat dan keyakinan bahwa kerukunan telah tercapai.315 Hal tersebut menjawab pertanyaan ketika pada saat tuntutan dan putusan dibacakan, tidak ada kerusuhan dan sampai sekarang pun tidak ada bentrokan yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dan Majid.316 Sikap Hakim yang melihat bahwa tidak ada masalah lagi antara terdakwa dengan korban pada saat saling memaafkan di persidangan, mendasari untuk menerima bahwa memang telah terjadi perdamaian diantara mereka. Mengenai sanksi adat yang dijatuhkan Hakim Enan Sugiharto mengakui bahwa memang terungkap di persidangan, dan tidak dibantah oleh terdakwa dan korban namun karena tidak
313
Wawancara dengan Penasihat hukum terdakwa Celitai Bin Netar, Abdul hair melalui telepon pada tanggal 12 Oktober 2012. 314
Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal 13 Oktober 2012. 315
Ibid.
316
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
128
adanya pembuktian tentang telah dibayarkannya sanksi adat tersebut, sehingga Majelis tidak mempertimbangkannya tetapi cukup melihat dari adanya perdamain yang telah terjadi.317 Sikap majelis hakim yang telah mempertimbangkan perdamaian sebagai dasar terjadinya kerukunan antara pelaku, korban dan karena dalam penyelesaian adat tersebut melibatkan anggota kelompok dari Celitai dan Majid, maka ini mewakili masyarakat di dua kelompok yang berkonflik, dan inilah yang dimaksudkan oleh Dignan. Menurut Dignan, Restorative justice sebagai kerangka kerja baru yang dalam hal ini yaitu sistem peradilan pidana khususnya dalam putusan pengadilan, untuk menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.318 Menarik jika dibandingkan dengan kasus di Kanada, yang menjadi landmark decision yaitu Gladue case, karena adanya persamaan yaitu anggota suku atau kelompok hukum adat juga, dimana terdakwa merupakan orang aborigin. Kasus Gladue menjadi landmark decision karena dari putusan tersebut, legislatif menambahkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf e, dimana orang aborigin juga harus diperhatikan mengingat keadaan mereka yang terpinggir. Hellen Bowen dan Terri Thompson memnguraikan dengan jelas tentang ketentuan Pasal 718 yang tidak lain merupakan tujuan pemidanaan di Kanada, yaitu:319
317
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012. 318
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook, 2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal. 18. 319
Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume 3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354 dan lihat juga melalui www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
129
“Section 718 contains objectives supporting the fundamental purpose of sentencing.59 Some of these restate of basic sentencing aims while others focus on restorative goals. s718. The fundamental purpose of sentencing is to contribute, along with crime prevention initiatives, to respect for the law and the maintenance of a just, peaceful and safe society by imposing just sanctions that have one or more of the following objectives: a. to denounce unlawful conduct; b. to deter the offender and other persons from committing offences; c. to separate offenders from society, where necessary; d. to assist in rehabilitating offenders; e. to provide reparation for harm done to victims or to the community and f. to promote a sense of responsibility in offenders, and acknowledgement of the harm done to victims and to the community. [Emphasis added.]” Menurut Helen Bowen dan Terri Thompson pertimbangan Mahkamah Agung Kanada terhadap kasus Gladue memperhatikan restorative justice sebagai tujuan pemidanan, dan menambahkan tiga unsur (d, e dan f) yaitu:320 “The restorative aspects of the above sentencing aims have been interpreted recently by the Canadian Supreme Court in R v Gladue, where they held: [W]hat is new, though, are paras. (e) and (f), which along with para. (d) focus upon the restorative goals of repairing the harms suffered by individual victims and by the community as a whole, promoting a sense of responsibility and an acknowledgement of the harm caused on the part of the offender, and attempting to rehabilitate or heal the offender.…In our tanggal 7 Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis ”Bagian 718 berisi tujuan mendukung tujuan mendasar dari pemidanaan. Beberapa menyatakan kembali dari hukuman dasar bertujuan sementara yang lain fokus pada tujuan restoratif. S718. Tujuan mendasar dari hukuman adalah untuk memberikan kontribusi, bersama dengan inisiatif pencegahan kejahatan, untuk menghormati hukum dan pemeliharaan masyarakat yang adil, damai dan aman dengan memberlakukan sanksi baru yang memiliki satu atau lebih dari tujuan-tujuan berikut: a. untuk mengecam tindakan melawan hukum; b. untuk mencegah pelaku dan orang lain dari melakukan pelanggaran; c. untuk memisahkan pelaku dari masyarakat, di mana diperlukan; d. untuk membantu pelaku rehabilitasi; e. untuk memberikan reparasi bagi kerugian yang ditanggung korban atau masyarakat dan f. untuk mempromosikan rasa tanggung jawab dalam pelanggar, dan pengakuan darikerugian yang ditanggung para korban dan masyarakat. [Penekanan ditambahkan.] " Ibid, terjemahan bebas dari penulis “"Aspek-aspek restoratif dari tujuan hukuman atas telah ditafsirkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung Kanada di R v Gladue, di mana mereka mengatakan: “Pemikiran yang baru, yaitu paragraf (e) dan (f), yang bersama dengan paragraf (d) yang fokus pada tujuan restoratif memperbaiki bahaya yang diderita oleh korban individu dan masyarakat secara keseluruhan, mendukung rasa tanggung jawab dan pengakuan atas kerugian yang disebabkanoleh pelaku, dan mencoba untuk merehabilitasi atau menyembuhkan pelaku .... Dalam pandangan kami, pilihan DPR untuk memasukkan (e) dan (f) di samping tujuan hukuman tradisional harus dipahami sebagai membuktikanniat untuk memperluas parameter analisis hukuman untuk semua pelanggar. Prinsip menahan diri dinyatakan dalam s. 718,2 (e) tentu akan diinformasikan dengan orientasi kembali.” 320
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
130
view, Parliament‟s choice to include (e) and (f) alongside the traditional sentencing goals must be understood as evidencing an intention to expand the parameters of the sentencing analysis for all offenders. The principle of restraint expressed in s. 718.2(e) will necessarily be informed by this reorientation. Sedangkan Pasal 718 ayat (2) KUHPidana Kanada berbicara tentang pedoman pemidanaan yang menjadi petunjuk teknis dalam menjatuhkan pemidanaan juga diperbaharui sebagai dampak logis dari diperbaharuinya (penambahan) pedoman pemidanaan. Menurut Hellen Bowen dan Teri Thompson yaitu:321 Tabel 4.1 Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah Kasus Gladue Sebelum kasus Gladue Sesudah kasus Gladue [s.] 718.2.(e) provides the s718.2(e). s 718.2 A court that necessary flexibility and authority imposes a sentence shall also take for sentencing judges to resort to into consideration the following the restorative model of justice in principles: … (e) all available sentencing aboriginal offenders and sanctions other than imprisonment to reduce the imposition of jail that are reasonable in the sentences where to do so would not circumstances should be considered sacrifice the traditional goals of for all offenders, with particular sentencing. attention to the circumstances of aboriginal offenders.” Dari tabel tersebut terlihat bahwa dalam ketentuan sebelumnya, jika pelaku orang aborigin mendapatkan pengurangan pidana penjara sedangkan dalam ketentuan sesudah kasus Gladue, hakim harus mempertimbangkan semua sanksi yang tersedia dengan memperhatikan keadaan dari pelaku orang aborigin. Dalam kasus Gladue,
mendapatkan
pembebasan
bersyarat
dan
keluar
dari
lembaga
pemasyarakatan setelah enam bulan di penjara. Menarik mambaca tulisan dari Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond tentang kritik terhadap putusan ini yang terkesan memberikan kemudahan kepada
321
Ibid, table dibuat oleh penulis untuk memudahkan membandingkan, terjemahan bebas dari penulis, sebelum kasus Gladue, “menyediakan fleksibilitas yang diperlukan dan kewenangan bagi hakim dalam menjatukan hukuman untuk menggunakan model keadilan restoratif dalam menghukum pelaku Aborigin dan untuk mengurangi pengenaan hukuman penjara di mana untuk melakukannya tidak akan mengorbankan tujuan tradisional hukuman. Sedangkan sesudah kasus Gladue” semua sanksi tersedia selain penjara yang wajar dalam situasi harus dipertimbangkan untuk semua pelaku, dengan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
131
orang aborigin karena dalih diskriminasi yang terjadi, namun justru menjadi diskriminasi yang terbalik terhadap orang yang bukan aborigin, yaitu:322 “The potential impact of the Gladue decision on the judiciary is arguably profound. The Supreme Court of Canada has clarified that Parliament‟s decision to add section 718.2(e) to the Criminal Code means that one must, as a matter of criminal law, recognize that Aboriginal people experience incarceration differently than others. While some might suggest that an Aboriginal person who receives the same sentence as a nonAboriginal person is being treated equally, this has been rejected as fallacious reasoning by the Supreme Court of Canada. Sometimes treating different people the same results in inequality. Justices Cory and Iacobucci considered the argument that this treatment of Aboriginal peoples is “reverse discrimination” against non-Aboriginal people.20 They concluded that section 718.2(e) is not unfair to non- Aboriginal people, it simply requires judges to treat Aboriginal people fairly by taking into account their difference.” Oleh karena itu menurut Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond berpendapat bahwa putusan kasus Gladue, mempedomani hakim dalam memutus dimana pelaku orang aborigin, yaitu:323
322
Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September 1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan, 1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7 Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis ”Dampak potensial dari keputusan Gladue di pengadilan ini bisa dibilang mendalam.Mahkamah Agung Kanada telah menjelaskan bahwa keputusan DPR untuk menambahkan pasal 718, 2 (e) ke KUHP berarti bahwa seseorang harus mengakui bahwa dalam masalah pidana untuk orang Aborigin mempunyai penahanan pengalaman yang berbeda dari yang lain. Sementara beberapaorang berpendapat mungkin mengatakan bahwa orang Aborigin diperlakukan sama karena yang menerima pemidanaan yang sama sebagai orang non-Aborigin, penalaran yang keliru ini telah ditolak Mahkamah Agung Kanada. Kadang-kadang memperlakukan orang yang berbeda dengan hasil yang sama dalam ketidaksetaraan. Hakim Cory dan Iacobucci menganggap argument bahwa pengobatan masyarakat Aborigin adalah "diskriminasi terbalik" terhadap orang non-Aborigin. Mereka menyimpulkan bahwa bagian 718, 2 (e) tidak adil untuk non-Aborigin orang, itu hanya karena hakim cukup dengan memperhatikan perbedaan mereka, maka dapat mengobati mereka " 323
Ibid, terjemahan bebas dari penulis: "Keputusan ini akan mempengaruhi peradilan dalam setidaknya tiga cara mendasar.Pertama, hakim akan perlu dididik mengenai masyarakat Aborigin di Kanada, termasuksejarah masyarakat Aborigin ', budaya, dan pengalaman diskriminasi. Kedua, hakim akan perlu menghabiskan lebih banyak waktu pada sebelum menjatuhkan proses hukuman untuk memastikan bahwa semua informasi yang diperlukan pengadilan untuk mengevaluasi pendekatan yang lebih restoratif untuk terdakwa dan masyarakat. Ketiga, independensi peradilan akan sangat penting
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
132
“This decision will affect the judiciary in at least three fundamental ways. First, judges will need to be educated regarding Aboriginal peoples in Canada, including Aboriginal peoples‟ history, culture, and experiences of discrimination. Second, judges will need to spend more time on the sentencing process to ensure that all information is before the court which is required to evaluate a more restorative approach to the defendant and the community. Third, judicial independence will be vital in discharging this function as individual judges and the judiciary may be subjected to considerable criticism and public attack for.” Jika Hellen Bowen dan Terri Thompson, melihat kepada dampak putusan Gladue terhadap kebijakan legislatif adanya penambahan di tujuan pemidanaan dan perubahan ketentuan di pedoman pemidanaan maka Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond melihat kepada hal-hal yang akan mendasari hakim menjatuhkan putusan terhadap pelaku orang aborigin. Department of justice Canada memandang putusan Gladue case sejalan dengan keadilan yang dianut oleh Aborigin, yaitu:324 “There is a strong relationship between restorative justice and Aboriginal justice. Both philosophies emphasize healing, forgiveness, and active community involvement, and restorative models have drawn heavily upon Aboriginal methods of resolving disputes. Aboriginal concepts of restorative justice tend to be strongly focussed on the community, with an emphasis on collective well-being rather than individual rights. They stress the need to heal relationships between clans or family groupings as well as between the offender and the victim, so that balance may be restored to the community as a whole. Aboriginal communities attempt to look at all of the factors leading to an incident, in order to understand the offender as a person and to uncover the causes of their behavior.”
dalam melaksanakan fungsi ini sebagai hakim peradilan dapat mengalami kritik dan serangan publik. "
individu
324
dan
lembaga
Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation Paper, Mei 2000, ditelusur melalui internet http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses pada tanggal 7 Desember 2012, terjemahan bebas dari penulis: “Keadilan Aborigin dan keadilan restoratif ada hubungan kuat diantaranya. Kedua filsafat menekankan penyembuhan, pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat, dan model restoratif telah ditarik berat pada metode Aborigin penyelesaian sengketa. Konsep Keadilan dan keadilan restoratif cenderung sangat difokuskan pada masyarakat, dengan penekanan pada hak-hak kesejahteraan kolektif bukan individu. Mereka menekankan perlunya untuk menyembuhkan hubungan antara klan atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban, sehingga keseimbangan itu dapat dikembalikan kepada masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat Aborigin mencoba untuk melihat semua faktor yang menyebabkan sebuah insiden, untuk memahami pelaku sebagai pribadi dan untuk mengungkap penyebab perilaku mereka.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
133
Department of Justice of Canada, melihat putusan Gladue Case, sebagai berikut: “In its recent decision in Gladue v. the Queen, the Supreme Court of Canada endorsed the concept of restorative justice and the use of community-based alternatives to imprisonment. The Court was asked to consider the meaning of paragraph 718.2(e) of theCriminal Code , which stated that judges are to consider all reasonable alternatives to incarceration for all offenders, but "with particular attention to the circumstances of Aboriginal offenders." The Court ruled that this passage imposes a duty upon judges to recognize factors that particularly affect Aboriginal people, such as poverty, substance abuse, and lack of education or employment opportunities, and to consider the role these factors may play in bringing the Aboriginal offender before the courts. In determining a sentence, judges must consider the types of sanctions that might be appropriate for an offender given his or her Aboriginal heritage. This decision should take into account whether there is community support for the offender and community programs that provide alternatives to incarceration. The Court recognized that restorative justice approaches may differ from one Aboriginal community to another, but that they tend to be community-based. The Gladue decision highlights the importance of using restorative processes in sentencing Aboriginal offenders.” 325 Department of Justice Canada selain melihat kepada konsep keadilan Aborigin yang selaras dengan restorative justice yaitu menekankan penyembuhan, pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Keadilan Aborigin dan restorative justice sama-sama menekankan perlunya untuk menyembuhkan hubungan antara klan atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban, sehingga keseimbangan itu dapat dikembalikan kepada masyarakat secara keseluruhan. Selain itu Department of Justice Canada juga melihat bahwa Hakim harus mempertimbangkan keadaan terhadap pelaku aborigin, yang melihat dari 325
Ibid., terjemahan bebas dari penulis: “Dalam keputusan baru-baru ini di Gladue v Ratu, Mahkamah Agung Kanada telah mendukung konsep keadilan restoratif dan penggunaan berbasis masyarakat alternatif penjara. Pengadilan diminta untuk mempertimbangkan makna ayat 718,2 (e) Kode theCriminal, yang menyatakan bahwa hakim harus mempertimbangkan semua alternatif yang masuk akal untuk penahanan untuk semua pelaku, namun "dengan perhatian khusus pada keadaan pelanggar Aborigin." Pengadilan memutuskan bahwa bagian ini membebankan kewajiban kepada hakim untuk mengenali faktor-faktor yang sangat mempengaruhi orang-orang Aborigin, seperti kemiskinan, penyalahgunaan zat, dan kurangnya pendidikan atau kesempatan kerja, dan untuk mempertimbangkan peran faktor-faktor ini sebelum Pengadilan menjatuhkan pemidanaan kepada pelaku Aborigin. Dalam menentukan hukuman, hakim harus mempertimbangkan jenis sanksi yang mungkin cocok untuk pelaku Aborigin. Keputusan ini harus mempertimbangkan apakah ada dukungan masyarakat untuk program pelaku dan masyarakat yang memberikan alternatif untuk penahanan. Pengadilan mengakui bahwa pendekatan keadilan restoratif mungkin berbeda dari satu komunitas Aborigin yang lain, tetapi mereka cenderung berbasis masyarakat. Keputusan Gladue menyoroti pentingnya menggunakan proses restoratif dalam menghukum pelaku Aborigin.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
134
segi sejarah, sosial, ekonomi kurang menguntungkan, dengan demikian dapat menentukan sanksi yang tepat dan wajar. Dalam kasus Gladue, selain melihat kepada tujuan pemidanaan juga kepada pedoman pemidanaan, karena kedua hal ini saling berkaitan dan pada akhirnya menentukan pemidanaan apa yang akan diberikan. Di Indonesia telah dijelaskan bahwa untuk tujuan pemidanaan belum diatur dan baru tahap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, begitu juga dengan pedoman pemidanaan. Pedoman pemidanaan diatur dalam Pasal 55 RKUHP yaitu:326 Pasal 55 (3) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: l. Kesalahan pembuat tindak pidana; m. Motif dan tujuan melakukan pidana; n. Sikap batin pembuat tindak pidana; o. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncakan atau tidak direncanakan; p. Cara melakukan tindak pidana; q. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; r. Riwayat hidup, keadaaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; s. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; t. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; u. Pemaaf dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau v. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. (4) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan. Dalam kasus Celitai Bin Netar, Majelis Hakim mempertimbangkan perdamaian yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dengan kelompok suku anak dalam Majid. Bahkan hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Penuntut Umum, Syafri Hadi mengatakan bahwa antara kelompok suku Celitai/terdakwa dengan kelompok suku sikap saling memaafkan di persidangan dan tidak terlihat ada masalah, dendam.327 Namun demikian ternyata, majelis hakim juga mempertimbangkan riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan
326
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.
327
Wawancara melalui telepon dengan Hakim Enan Sugiharto pada tanggal 22 Desember 2012 dan wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
135
ekonomi terdakwa. Menurut Hakim Enan Sugiharto, keadann sosial dan ekonomi terdakwa memang kurang beruntung jika dibandingkan dengan kelompok korban.328 Hal ini juga diakui oleh Jaksa Syafri Hadi.329 Ini tidak mengherankan jika berdasarkan keterangan Nelly Akbar kelompok suku anak dalam Celitai masih hidup secara nomaden dibandingkan dengan kelompok suku anak dalam Majid yang sudah tinggal menetap di pedesaan.330 Menurtut Nelly Akbar pencaharian sebagian besar dari kelompok suku anak dalam Celitai adalah berburu, menjual hewan buruan seperti misalnya babi hutan ataupun menjual pinang.331 Kondisi pada saat persidangan, anggota kelompok suku anak dalam Celitai tinggal di depan halaman pengadilan dengan mendirikan tenda-tenda. Mereka memang terbiasa dengan itu, namun yang membuat miris istri Celitai baru melahirkan dan bayinya kerap diletakkan di lantai kantor pengadilan negeri Sarolangun.332 Mereka yang tinggal di tenda kantor pengadilan banyak juga wanita dan anak-anak, mereka menuntut pemimpin mereka dibebaskan atau mereka juga ikut bersama ditahan.333 Ini tidak mempengaruhi Majelis Hakim karena tidak ada bentuk ancaman secara fisik, namun demikian Majelis memandang dengan kondisi terdakwa Celitai Bin Netar
yang sudah ditahan
(memperhatikan sosial ekonominya) dan keadaan anggota kelompok yang menginap di pengadilan serta telah adanya perdamaian dengan korban sehingga tidak ada masalah lagi, maka Majelis berpikir tidak ada gunanya untuk memutuskan lebih lama lagi di tahanan.334
328
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
329
Wawancara dengan Jaksa Syafri hadi secara langsung pada tanggal 22 Desember
2012.
2012. 330
Wawancara dengan Nelly Akbar, aktivis dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal 13 Oktober 2012.
2012.
331
Ibid.
332
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
333
Ibid.
334
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
136
Atas pertimbangan tersebut, bahkan sesaat sebelum putusan Majelis Hakim mengeluarkan penetapan pengalihan penahanan rutan menjadi penahanan kota. Hal ini menurut Hakim Enan Sugiharto, pastinya di luar dugaan dari Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum. Majelis memperhitungkan waktu tiga bulan dua puluh hari sebagai waktu lamanya terdakwa Celitai Bin Netar ditahan termasuk di dalamnya waktu tujuh hari berpikir-pikir untuk melakukan upaya hukum.335Menurut Hakim Enan Sugiharto, pengalihan penahanan kota ini “memaksa” jaksa penuntut umum dan penasihat hukum untuk menerima putusan dan tidak melakukan upaya hukum, mengingat susahnya menghadirkan terdakwa yang hidup secara nomaden di hutan.336 Hal ini diakui Jaksa Syafri hadi yang membuatnya untuk melaksanakan penetapan hakim tersebut dan walaupun di persidangan menyatakan pikir-pikir, namun karena berpikir memang sudah ada perdamain, adanya permaafan atau lebih tepatnya saling memaafkan antara kelompok Celitai dengan kelompok Majid sehingga tidak ada masalah lagi diantara kedua kelompok tersebut, maka menerima putusan tersebut.337 Melakukan upaya hukum sepertinya juga akan menjadi hal yang tidak bermanfaat, sehingga Jaksa Syafri Hadi pun selain melaksanakan penetapan pengalihan penahanan juga melaksanakan eksekusi putusan, mengingat kesulitan untuk bertemu dengan terdakwa yang hidupnya nomaden di hutan.338 Penasihat Hukum terdakwa juga tidak melakukan upaya hukum, walaupun di persidangan menyatakan pikir-pikir. Menurutnya, tidak ada manfaatnya jika melakukan upaya hukum, karena melihat kerukunan telah terjadi antara kelompok Celitai dan kelompok Majid. Dan terpenting melihat kliennya dikeluarkan dari
335
Ibid.
336
Ibid.
337
Wawancara dengan Jaksa Syafri hadi secara langsung pada tanggal 14 November
2012. 338
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
137
tahanan yang disambut dengan kesenangan dari anggota kelompok Celitai yang menginap di pengadilan, sudah cukup dianggap selesai kasus ini.339
4.3. Kesimpulan
analisa
putusan
No.21/Pid.B/2009/PN.Srln
dan
No.22/Pid.B/2009/PN.Srln serta kasus Gladue Sebelum memberikan pembahasan kesimpulan, untuk memudahkan maka dibuat dalam tabel, sebagai berikut: Tabel 4.2 Perbedaan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue Putusan Tujuan Pemidanaan Pedoman Pemidanaan Pemidanaan Putusan Adanya surat Terdakwa berjanji Pidana no.21/Pid.B.20 perdamaian antara tidak akan mengulangi penjara yang 09/Pn.Srln kelompok terdakwa lagi sama dgn dengan kelompok masa korban penahanan ditambah tujuh hari waktu pikirpikir Putusan Sebagai pendidikan Adanya perdamaian Pidana no.22/Pid.B.20 dan pembelajaran antara kelompok penjara yang 09/Pn.Srln kepada terdakwa yang terdakwa dengan sama dgn sebagai pemimpin kelompok korban masa kelompok untuk penahanan memberikan contoh ditambah taulan tujuh hari waktu pikirpikir Kasus Gladue d. to assist s718.2(e). s 718.2 A Pembebasan in rehabilitating off court that imposes a bersyarat enders; sentence shall also setelah enam e. to provide take into bulan di reparation for consideration the penjara harm done to following principles: victims or to the … (e) all available community and sanctions other than f. to promote a sense imprisonment that are of responsibility in reasonable in the offenders, and circumstances should acknowledgement be considered for all of the harm done to offenders, with victims and to the particular attention to community. the circumstances of aboriginal offenders.” 339
Wawancara dengan Penasihat Hukum, Abdul Hair melalui telepon pada tanggal 12 Oktober 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
138
Dalam memberikan kesimpulan antara ketiga putusan pengadilan tersebut, penulis membuat barometernya tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan pemidanaan. Hal tersebut didasarkan pertimbangan dari pembahasan penulisan ini yang melihat penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Pembahasan tentang pedoman pemidanaan dan pemidanaan merupakan hal yang saling berkaitan dengan tujuan pemidanaan, sehingga dengan sendirinya tidak dapat dipisahkan. Adalah
tidak
adil
sebenarnya
untuk
membandingkan
putusan
no.21/pid.B/2009/pn.srln dan no.22/pid.B/2009/pn.srln dengan putusan yang menjadi landmark decision Canada, yaitu kasus Gladue, karena di Indonesia belum ada pengaturan tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Ini menjadi kesimpulan yang sangat pesimis rasanya walaupun realistis. Mengenai tujuan pemidanaan walaupun belum diatur, tetapi literatur yang membahas tentang tujuan pemidanaan bisa dilihat dan dibaca dari teori-teori pemidanaan. Hal tersebut pun sudah juga dipelajari di dunia pendidikan, sehingga hakim tidak bisa ini dijadikan dasar pembenarnya. Belum lagi jika ingin mengkaji dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, telah diuraikan juga tentang tujuan sanksi adat. Pengertian tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan tidak ditemui secara eksplisit, namun menguraikan bentuk-bentuknya memberikan pengertian yang implisit. Jika melihat dari terminologi kata tujuan dan pedoman, maka dapat diketahui bahwa “tujuan berarti maksud, sasaran.340 Sedangkan Pedoman berarti sebagai berikut:341 “alat untuk menunjukkan, mengetahui arah atau mata angin, bentuknya seperti jam berjarum besi berani; buku petunjuk: sesuatu yang menjadi dasar penganan, ukuran dan sebagainya; buku petunjuk yang menerangkan cara mengerjakan cara menjalankan atau mengerjakan sesuatu; pimpinan atau pengurus perkumpulan.” Jika melihat dari pengertian pedoman tersebut berarti yang tepat dalam pembahasan ini adalah buku petunjuk yang menerangkan cara mengerjakan cara
340
Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kesebelas (Semarang: Widya Karya, 2011), hal.590. 341
Ibid., hal. 364.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
139
menjalankan atau mengerjakan sesuatu. Dengan demikian hubungan antara pedoman pemidanaan dengan tujuan pemidanaan adalah, pedoman pemidanaan merupakan cara untuk mencapai sasaran atau tujuan pemidanaan. Jika Pasal 54 RJUHP yang menguraikan tentang tujuan pemidanaan dan Pasal 55 RKUHP yang menguraikan tentang pedoman pemidanaan yang hanya menguraikan bentuknya saja, sedangkan di dalam penjelasannya dapat disimpulkan pengertiannya, yaitu mengatakan sebagai berikut:342 Pasal 54 “Ayat (1) pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Ayat (2)Meskipun pidana pada dasarnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia. Pasal 55 Ayat (1)Ketentuan ini membuat pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang dirinci dalam pedoman pemidanaan tersebut diharapkan pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun terpidana. Rincian dalam ketentuan ini tidak bersifat limitative artinya hakim dapat menambahkam pertimbangan lain selain yang tercantum pada ayat (1) ini. Unsur “berencana” sebagaimana ditemukan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang lama, tidak dimasukkan dalam rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal buku kedua. Tidak dimuatnya unsur ini bukan berarti unsur berencana tersebut ditiadakan, tetapi lebih bijaksana jika dijelaskan dalam penjelasan ayat (1) ini. Berdasarkan hal ini, maka dalam menjatuhkan pidana hakim harus memperhatikan unsu berencana, kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan dilakukannya, cara melakukan tindak pidana, dan sikap batin pembuat tindak pidana. Ayat (2) ketentuan pada ayat ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang 342
Penjelasan Pasal 54 RKUHP tahun 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
140
sifatnya ringan (tidak serius). Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan penjelasan Pasal 54 RKUHP, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan bersifat abstrak, yang harus ditentukan lebih dulu untuk menghasilkan pemidanaan yang merupakan suatu proses (mengkonkretkan tujuan pemidanaan). Hal ini selaras dengan yang dikatakan Barda Nawawi dalam pokokpokok pemikiran tentang pidana dan pemidanaan yaitu:343 “Bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok yaitu”perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana.” Sue Tirus Reid menggunakan konsep filsafat pemidanaan dalam arti yang sama dengan tujuan pemidanaan.344 Dalam satu hal dinyatakan sebagai filsafat pemidanaan, tetapi pada elaborasi berikutnya dikatakan sebagai tujuan pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya sebagai berikut: “four basic punishment philophies are used to justify sentencing: rehabilitation, incapacitation, deterrence, and retribution.345 Dalam penjelasannya kemudian Sue Tirus Reid, mengatakan:346 “Four basic objective are generally recognized: deterrence, rehabilitation, incapacitation and retribution.” Dengan demikian tujuan pemidanaan yang disamakan dengan filsafat pemidanaan bersifat abstrak yang merupakan tahap awal yang harus ditentukan lebih dahulu untuk dapat menghasilkan pemidanaan yang bersifat konkret.
343
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua edisi revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 88. 344
M.Solehhudin, Op.Cit., hal. 129.
345
Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedure and Issues, (New York: West Publishing Company, 1987), hal.347, sebagaiman dikutip M.Solehhudin, Ibid. 346
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
141
Jika memperhatikan penjelasan Pasal 55 maka pedoman pemidanaan diartikan sebagai pertimbangan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Tentang hal yang menjadi keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, telah diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,347 sebagai hal yang harus termuat dalam surat putusan pemidanaan. Namun ketentuan tersebut tidak memperinci tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, melainkan hanya memerintahkan agar hal tersebut terdapat dalam putusan. Berdasarkan uraian tersebut dapat digambarkan bahwa pedoman pemidanaan yang merupakan petunjuk untuk menjelaskan cara menghasilkan pemidanaan dengan melihat kepada sasaran/maksud, tujuan pemidanaan. Tahap bekerjanya jika pemidanaan merupakan suatu proses maka tahap awal menentukan tujuan pemidanaan dengan menggunakan alat pedoman pemidanaan dan menghasilkan pemidanaan. Setelah mengetahui hubungan dan cara kerja antara tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan pemidanaan maka kita dapat membuat kesimpulan tentang ketiga putusan tersebut dengan melihat dari kelebihan dan kekurangannya, yang lebih mudahnya dibuat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 4.3 Kelebihan dan Kekurangan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue Putusan Kekurangan Kelebihan Putusan no.21/pid.B/2009/pn.srln
-Pemidanaannya sudah tepat, karena dengan kondisi ditahan, tidak mungkin untuk pemidanaan percobaan baik dengan syarat khusus ataupun tidak. Putusan yang mendasarkan adanya permaafan dari korban, sudah tidak ada masalah lagi, membuat perkara korban yang seharusnya menjadi terdakwa, tidak diproses hukum, karena
-Menempatkan tujuan pemidanaan dalam pedoman pemidanaan (bagian hal yang meringankan terdakwa) dan menempatkan pedoman pemidanaan dalam tujuan pemidanaan. -Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan tidak secara tegas dikatakan, namun mengakui bahwa antara terdakwa dengan korban
347
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
142
Putusan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln
Kasus Gladue
dianggap kasus tersebut sudah selesai, dengan telah terjadinya keharmonisan antara kedua kelompok tersebut. - Pemidanaan sudah tepat, karena dengan kondisi ditahan, tidak mungkin untuk pemidanaan percobaan baik dengan syarat khusus ataupun tidak. - Menempatkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan pada tempatnya. Putusan yang mendasarkan adanya permaafan dari korban, sudah tidak ada masalah lagi, membuat perkara korban yang seharusnya menjadi terdakwa, tidak diproses hukum, karena dianggap kasus tersebut sudah selesai, dengan telah terjadinya keharmonisan antara kedua kelompok tersebut. -menyebutkan dengan jelas dan tegas tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. bahkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan dari putusan ini merubah/memperbaharui ketentuan yang sudah ada (hal tersebut dimungkinkan mengingat sistem common law, dimana putusan hakim merupakan sumber hukum, sesuai dengan asas judge made law).
sudah rukun, tidak ada masalah.
Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan tidak secara tegas dikatakan, namun mengakui bahwa antara terdakwa dengan korban sudah rukun, tidak ada masalah.
Penerapan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan lebih melihat kepada keadaan pelaku (pelaku orang aborigin), tidak terlihat kepentingan korban.
Dalam putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn, Majelis Hakim telah salah menerapkan apa yang dimaksud dengan tujuan pemidanaan dengan pedoman pemidanaan, karena meletakkan tujuan pemidanaan di bagian hal-hal yang meringankan, yang merupakan bentuk dari pedoman pemidanaan. Dengan demikian walaupun tidak secara tegas dan jelas putusan no.21/pid.B/2009/Pn.Srln
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
143
dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln telah menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan. Walaupun kedua putusan ini tidak menjadi landmark decision, namun kiranya dapat memenuhi apa yang dimaksudkan oleh Muladi dari putusan hakim yaitu: ”Selain mengadili dan memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara dan memberikan penilain bagi pihak-pihak yang berperkara, ada fungsi-fungsi lain yang harus tercermin dalam putusan hakim tersebut meliputi: fungsi pendidikan hukum bagi masyarakat, fungsi pembaharuan hukum melalui proses penemuan hukum dan penyelesaian konflik secara luas.”348 Sesuai dengan juga yang dimaksudkan Dignan, maka kedua putusan ini telah menyelesaikan konflik antara korban, pelaku dan masyarakat. Dengan demikian tujuan restorative justice dari kedua putusan ini telah diterapkan dan keadilan juga dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat, keadilan dimana tidak ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan, keadilan sebagai fairness. Dengan demikian kedua putusan ini tidak juga buruk jika dibandingkan dengan kasus Gladue, walaupun merupakan landmark decision di Kanada, namun Majelis Hakim tidak terlihat mempertimbangkan kepentingan korban, tetapi lebih menitikberatkan kepada pelaku khususnya keadaan dari pelaku yang merupakan orang aborigin. Padahal dalam kasus tersebut, akibat perbuatan Gladue telah mengakibatkan matinya orang dan ini bukan hal yang mudah dimaafkan bagi keluarga
korban,
sehingga
seharusnya
Majelis
Hakim
Kanada
juga
mempertimbangkannya.
348
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hal. 16, sebagaiman dikutip Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, cetakan pertama (Bandung: Alumni, 2005), hal. 312.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan Putusan
Pengadilan
dengan
kata-kata
irah-irah”Demi
Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengisyaratkan tanggung jawab Hakim dalam mewujudkan keadilan. Keadilan yang diharapkan dapat dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat dalam perkara pidana. Sistem peradilan pidana belum menempatkan korban sebagai subyek yang perlu mendapatkan tempat dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan. Posisi korban masih terbatas sebagai orang yang melaporkan atau mengadukan suatu tindak pidana dan sebagai pembuktian dengan memberikan keterangannya di persidangan. Sistem peradilan pidana yang demikian memberikan ketidakpuasan dan kekecewaan yang hampir terjadi di seluruh Negara. Dan karenanya PBB mengusung konsep restorative justice sebagai solusinya. Dalam penelitian ini sampai kepada suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Indonesia belum mengatur konsep restorative justice (kecuali dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Pada tahun sebelum diberlakukannya Undang-Undang tersebut, penulis mencatat setidaknya ada lima putusan yang menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan. Putusan tersebut antara lain: Putusan No.1600 K/Pid.B/2009, Putusan No. 2238 K/Pid.B/2009 dan Putusan No. 307 K/Pid.B/2010, sedangkan dua putusan yang menjadi analisa dalam penelitian ini
yaitu
Putusan
No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln
dan
Putusan
No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln adalah putusan yang diputus di tingkat pertama. Penelitian ini memang tidak mencari berapa banyak putusan pengadilan yang menerapkan restorative justice namun menegaskan bahwa walaupun belum ada pengaturannya, Hakim dapat menerapkannya dalam putusannya. Hal ini didasarkan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara karena hukum yang tidak ada atau tidak jelas. Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai yang hidup, living law- di dalam masyarakat untuk menemukan hukum tersebut. Hal ini dapat
disimpulkan
bahwa
restorative
justice
telah
diakui
Universitas Indonesia Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
145
keberadaannya/eksistensinya dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. 2. Adanya nilai-nilai hukum adat dalam Restorative justice. Restorative justice yang bertujuan menyelesaikan konflik antara korban, pelaku dan masyarakat, adalah sama dengan tujuan sanksi adat yaitu mengembalikan keseimbangan, keharmonisan, kerukunan antara pihak yang berkonflik. Dengan sistem penyelesaian dalam hukum adat yang tidak membedakan pidana dengan perdata, sehingga korban dan masyarakat ikut berpartisipasi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dan hukum adat ini adalah jelas merupakan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Penyelesaian konflik dengan mempertimbangkan kepentingan dari pelaku, korban dan masyarakat maka keadilan pun dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat, keadilan yang dimana tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan, keadilan sebagai fairness. 3. Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Putusan
No.21/Pid.B/2009/pn.Srln
dan
No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln
telah
menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan, walaupun tidak disebutkan secara tegas dan jelas. Dalam kedua putusan tersebut yang merupakan suatu kejadian yang sama (bentrokan dua kelompok suku anak dalam) namun karena berdasarkan fakta hukum pembuktian, maka berkas dipisahkan, telah berhasil menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan masyarakat. Majelis Hakim telah melihat dan mempertimbangkan permaafaan yang terjadi antara kelompok Celitai/terdakwa dengan kelompok Majid/korban. Majelis Hakim melihat bahwa sudah tidak ada permasalahan diantara mereka, karena tidak adanya tuntutan dari kedua kelompok (kedua kelompok samasama menjadi korban). Penyelesaian adat yang telah terjadi diantara kedua kelompok, membantu Majelis untuk menyelesaikan konflik tersebut dan berkeyakinan bahwa sudah tidak ada masalah lagi antara kedua kelompok tersebut.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
146
5.2. Saran Berdasarkan uraian diatas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Pengaturan Restorative Justice dalam peraturan perundang-undangan. Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan memang tidak disebutkan secara tegas dalam Pasal 54 RKUHP tahun 2012. Namun di huruf c-nya dimana mengatakan bahwa tujuan pemidanaan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat adalah identik dengan yang dimaksudkan dengan restorative justice. Pengaturan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan dalam KUHP menjadi hal yang penting, karena dengan legalitas yang ada diharapkan Hakim menerapkan restorative justice dalam putusan pengadilan. Jika telah ada pengaturannya, maka tidak ada keraguan lagi bagi Hakim untuk menerapkan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. 2. Hakim menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Walaupun belum ada pengaturan restorative justice dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam KUHP, Hakim dianjurkan untuk meningkatkan pengetahuannya. Dalam menerapkan Restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan, Hakim harus lebih banyak
mempelajari
lagi
tentang
Tujuan
pemidanaan,
pedoman
pemidanaan dan pemidanaan, walaupun hal ini belum juga diatur namun Hakim dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat memahami dan meresapinya, sehingga dapat menerapkannya. Hal ini juga telah dijelaskan dalam kesimpulan, bahwa nilai-nilai hukum adat selaras dengan restorative justice, khususnya tentang tujuan dari sanksi adat. 3. Mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan dapat menyelesaikan konflik antara korban, pelaku dan masyarakat, sehingga keadilan dirasakan oleh para pihak tersebut. Oleh karena itu jika restorative justice diterapkan dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan, maka para pihak yang bersengketa telah merasakan keadilan dan tidak melakukan upaya
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
147
hukum. Dengan demikian perkara cukup selesai di tingkat pengadilan negeri, tanpa harus membebani Mahkamah Agung dengan menambah penumpukan perkara karena adanya upaya hukum. Hal ini juga sesuai dengan cetak biru Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang pembaharuan Mahkamah Agung tahun 2010-2035, yaitu pembatasan perkara untuk kasasi. Restorative justice dapat menjadi pembatasan perkara untuk kasasi, karena tidak adanya upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak mengingat telah mendapatkan manfaat keadilan dari putusan pengadilan. 4. Mengembalikan kepercayaan dan kewibawaan pengadilan Pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan konflik antara para pihak yang bersengketa, dalam perkara pidana antara pelaku, korban dan masyarakat. Dengan menerapkan restorative justice, maka para pihak yang bersengketa yaitu korban, pelaku dan masyarakat dipertimbangkan keberadaannya sehingga juga mendapatkan keadilan dari penyelesaian konflik tersebut. Hal ini dapat membuat masyarakat percaya bahwa Pengadilan dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dengan memberikan keadilan dan putusan sebagai wadahnya. 5. Persamaan konsep restorative justice sebagai tujuan pemidanaan antara penegak hukum. Walaupun dalam penelitian ini memang dibatasi tentang restorative justice dalam putusan pengadilan, dimana Hakim sebagai penentunya, namun demikian adalah menjadi lebih mudah dan tercapainya restorative justice sebagai tujuan pemidanaan jika antara penegak hukum juga mempunyai ideologi
yang sama.
Ideologi
tentang tujuan pemidanaan
yang
menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan masyarakat, sehingga keadilan dirasakan manfaatnya oleh pelaku, korban dan masyarakat. Ini yang dimaksudkan restorative justice sebagai ideologi, hal yang dicitacitakan dalam menjatuhkan pemidanaan, sebagai tujuan pemidanaan.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
148
DAFTAR REFERENSI Buku Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua edisi revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. _______________, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, cetakan ketiga, Semarang: Pustaka Magister Semarang, 2010.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Anwar, Yesmil, dan Adang, Kriminologi, cetakan kesatu, Bandung, Refika Aditama, 2010.
Bazemore, G and Mark Umbreit, Balanced and Restorative Justice: Program Summary: Balanced and Restorative Justice Project, Washington: US Departement of Justice, Office of Juvenile and Delinquency Prevention, 1994. Braithwaite, John, Restorative Justice & Responsive Regulation, New York: Oxpord University Press, 2002. Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arif Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Cunneen, Chris and Carolyn Hoyle, Debating Restorative Justice, United Kingdom: Hart Publishing, 2010. Dewi, DS dan Fatahillah A Syukur, Mediasi Penal:Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia, cetakan pertama, Depok: Indie Publishing, 2011. Durkheim, Emile, Causal and Functional Analysis, (Sociological Theory), New York: Mac Milan Press, 1976. Erlich, Eugen, Fundamental Principles Of The Sociology Of Law, terjemahan Walter L.Moll, Harvard University Press, 1936, vol. 5, 2000. Farid, H.A.Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Haar, Ter, Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976. Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Jakarta: Rajawali, 1961.Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
149
_________, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003. Hadjon, Phliipus M dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi ke Reformasi, cetakan pertama, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. Hiariej, Eddy O.S., Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga, 2009. Jaya, Nyoman Serikat Putra, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006. Lamintang, P AF dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2011, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011. Mansyur, Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), cetakan pertama, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010.
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia:Pengembangan konsep Diversi dan Restorative Justice, cetakan pertama, Bandung: Refika Aditama, 2009. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010. Muhammad, Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Muhammad, Bushar, Pengantar Hukum Adat, Jakarta: Balai Pustaka, 1961. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Bandung, Alumni, 1984. _______, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Universitas Diponegoro, 1995. _______ dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cetakan kedua Bandung: Alumni, 1998. Mulyadi, Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, Bandung: Alumni, 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
150
Moerad, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, cetakan pertama Bandung: Alumni, 2005. Morris, Norval, The Future Imprisonment, Michigan law Review Chicago: University of Chicago Press, 1974. Ohoitimur, Yong, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Pandjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, cetakan pertama Jakarta: Indhill CO, 2007. Pangaribuan, Luhut M P, Lay Judges&Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Papas Sinar Sinanti, 2009. Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, cetakan pertama, Bandung: Refika Aditama, 2006. Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010. Rawls, John, A Theory of Justice, terjemahan Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan buku ketiga Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007. __________, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana , kumpulan karangan buku kelima, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007. __________, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan buku kedua Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007. Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, cetakan kedua, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012. Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, cetakan kesebelas, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2011.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
151
Shelton, Dinah, Remedies In International Human Rights Law, New York, Oxford University Press, 1999. Simpson, Sally S, Corporate Crime, Law and Social Control, UK, Cambridge, Cambridge University Press, 2002. Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan: Kumpulan Catatan Hukum Dan Pengadilan Di Indonesia, Jakarta: Gema Insani, 1995. Sirtha, I Nyoman, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Denpasar: Udayana University Press, 2008. Siswosoebroto, Koesriani, Pendekatan Baru Dalam Kriminologi, Jakarta, Universitas Trisakti, 2009
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1978. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas IndonesiaPress, 2010. _____________, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, Jakarta: Academika, 1979. _____________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat, Jakarta: Raja Grafindo, 1995. Soepomo, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, Bandung: Alumni, 1978. ____________, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan ke-14, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1994. Solehhuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System&Implementasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Soeripto, Hukum Adat dan Pancasila Dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Bandung: Alumni, 1978. Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kesebelas, Semarang: Widya Karya, 2011. Strang, Heather Strang dan John Braitwaite,, Restorative Justice Philosophy to Practice, ed. Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
152
Syukur, Fatahillah A, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, cetakan pertama, Bandung: Mandar Maju, 2011. Vollenhoven, C Van, Penemuan Hukum Adat, cetakan kedua, Jakarta: Djambatan, 1987. Wahid, Eriyantouw, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Universitas Trisaksi, 2009. Wahyudi, Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, cetakan pertama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011. Walgrave, Lode, Repositioning Restorative Justice, ed, USA: Wilan Publishing, 2003. Waluyo, Bambang, Pidanda dan Pemidanaan, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Widyana, I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco, 1993. Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1975. Zehr, Howard, Restorative Justice, Good Books, Intercourse, PA, 2002. Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011. _________________, Keadilan Restoratif, Jakarta: FHUI, 2009. Artikel Bondan, Gandjar L, Karakteristik Korban Dari Setiap Tindak Pidana Yang Menjadi Fokus AKtivitas Perlindungan Saksi Dan Korban (Korupsi, Terorisme, Narkotika, Pelanggaran HAM Dan Tindak Pidana Lain Yang Ditentukan LPSK) Dan Kewenangan LPSK dalam Rangka Pemberian Reparasi dan Kompensasi, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice, Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011. Braithwaite, Jhon dan Philip Pettit, Republicanism and Restorative Justice: An Explanatory and Normative Connection, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
153
Daly, Kathleen, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000. John O Haley, Beyond Retribution An Integrated Approach To Restorative Justice, Washington: Washitong Jounal Of Law And Policy, 2011.. Manan, Bagir, Restorative Justice (suatu perkenalan), Jakarta, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun ke XXI No. 247 Juni 2006. Marshall, Tony, Restorative Justice on Trial in Britain.”in Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International Research Perspectives, edited by H.Messmer and H.U.Otto.Dordrecht, Boston: Kluwer Academic Publishers, 1992. Mason, The Hon.Sir Anthony Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris: Dartmouth, 2000. Miller, Seumas dan John Blackler, Restorative Justice: Retribution, Confession and Shame, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000. Morris, Allison dan Warren Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of Restorative Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000. Mulyadi, Lilik, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Praktik dan Prosedurnya, makalah yang dilampirkan dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010. Notopuro, Hardjito, Tentang Hukum Adat Pengertian Dan Pembatasan Dalam Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional No.4 Tahun 1969. Sihite, Romany, Kedudukan dan Hak-Hak Korban Dalam Tata Peradilan Pidana, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice, Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
154
Utomo, Setyo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Jakarta: Majalah Hukum Nasional Nomor 01 Tahun 2011, BPHN. Zehr, Howard, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on Crime and Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victim Offender Ministeries Program The MCC, U.S, Office of Criminal Justice vo.4 Ontario: Canada Victim Offender Ministries Program, 1985. Zulfa, Eva Achjani, Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011. Skripsi/Tesis/Disertasi Ali, M.Hatta, Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan Keadilan Restoratif Dalam Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, Bandung, Desertasi Doktor Universitas Padjajaran, 2011.
Effendy, Marwan, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012. Qurniawan, Ari, Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Tesis Universitas Andalas, Padang, 2010). Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif Di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Jakarta, Desertasi Doktor Universitas Indonesia, 2009.
Makalah Atmasasmita, Romli, Cita Keadilan Restoratif Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012. Alkotsar, Artidjor, Urgensi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Medik Di Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam diskusi di Mahkamah Agung, Jakarta, tanggal 22 Juli 2010. Hamzah, Andi, Restorative Justice Dan Hukum Pidana Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
155
Jaya, Surya, Keadilan Restoratif Tuntutan Dan Kebutuhan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012. Kartayasa, Mansyur, Restorative Justice Dan Prospeknya Dalam Kebijakan Legislasi, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012. Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012. Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan hukum, Surabaya; UBHARA, Oktober 1997. Sapardjaja, Komariah Emong, Keadilan Restoratif Dalam Putusan Mahkamah Agung, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012. Soponyono, Eko, Keberpihakan Hukum Pidana Yang Beorientasi Pada Korban, makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Dscussion (FGD), Pengkajian Hukum tentang Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, Jakarta 29 Mei 2012. Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076. Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332. Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara RI Tahun 1981 No.76, Tambahan Lembaran Negara No.3209. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun 2009.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
156
Pemerintah Kabupaten Banggai, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai, Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 Tahun 2008, http://www.palu.bpk.go.id/wpcontent/uploads/2010/03/Perda-Banggai-No.1-Tahun-2008-tentangPemberdayaan-PELESTARIAN-LEMBAGA-ADAT-BANGGAI.pdf diakses pada tanggal 20 Oktober 2012. Pemerintah Kabupaten Muara Enim, Peraturan tentang Lembaga Adat Marga, Peraturan Daerah Nomor Tahun 2007, http://palembang.bpk.go.id/web/files/2010/08/Perda-No.2-Thn-2007-ttgLembaga-Adat.pdf yang diakses pada tanggal 20 Oktober 2012. Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara No.12 Tahun 2004, http://www.wgtenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Perda_Kab.LuwuUtara_12_2004.pdf yang diakses pada tanggal 20 Oktober 2012. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012. United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%252 0justice%2520criminal% diakses pada tanggal 15 September 2012 United Nations Office on Drugs and Crime, Handbook on Restorative Justice Programmes, New York: United Nation, 2006, http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diakses pada tanggal 21 november 2012. United Nations, Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and Abuse of Power, A/Res/40/34/, New York: United Nation, 1985. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 1600 K/Pid.B/2009 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 2238 K/Pid.B/2009 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 237 K/Pid.Sus/2010 Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun no. 21/Pid.B/2009/Pn.Srln Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln Clotworthy Case, New Zealand: 1998 Gladue Case, Kanada: 1999
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
157
Wawancara Wawancara Prof Mardjono Reksodiputro secara langsung di kampus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba-Jakarta, pada tanggal 13 November 2012. Wawancara Prof Adrianus Meliala, secara langsung di gedung Nusantara I kampus FISIP UI, Depok pada tanggal 2 November 2012. Wawancara Hakim Syahrul Mahmud melalui telepon pada tanggal 12 November 2012. Wawancara Hakim Lilik Mulyadi secara langsung di Pengadilan Ngeri Jakarta Utara pada tanggal 31 Oktober 2012. Wawancara Prof Rehngena Purba melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012. Wawancara Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012. Wawancara Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012. Wawancara Penasihat hukum Abdul hair melalui telepon pada tanggal 12 Oktober 2012. Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi pada tanggal 13 Oktober 2012. Wawancara Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November 2012. Internet Azhari, Daud, Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok, www.scribid.com/daud-azhari-9865 diakses pada tanggal 20 Desember 2012. Bowen, Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume 3, 1999, www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354 dan www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada tanggal 7 Desember 2012. Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation Paper, Mei 2000, http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses pada tanggal 7 Desember 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
158
Faizal, Elly Burhaini, Liputan Peradilan Adat Di Sanggau Kalimantan Barat, http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Suara-Pembaruan-15_17Des-03-Catatan-Dari-Peradilan-Adat-Sanggau.pdf diakses pada tanggal 19 Desember 2012. Kewa, Kornelis, Hukum Adat Mendominasi Hukum Positif di Papua, 30 April 2004, http://www.huma.or.id diakese pada tanggal 20 Desember 2012. Kusumaningrum, Santi, Penggunaan Diversi Untuk Anak yang Berhadapan Dengan Hukum (dikembangkan dari laporan yang disusun Chris Graveson) http://ajrcaceh.org/wp-content/upload/2009/05/diversion-guidelines_adopted-from-chrisreport.pdf pada tanggal 21 november 2012.
Lapond, M.E Turpel, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of R. v. Gladue, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September 1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan, 1999 jurnal Criminal Law, ditelusur elalui internet www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7 Desember 2012. Sebayang, Mahmud, Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif, Prakarsa Rakyat, Jakarta, Sinar Harapan Rakyat, 28 April 2009 http://www.prakarsarakyat.org/artikel/opini/artikel_kirim.php?aid=33984 yang diakses pada tanggal 24 September 2012 Tempo, Undang-Undang Peradilan Anak Disahkan, http://www.tempo.co/read/news/2012/07/03/173414478/Undang-UndangPeradilan-Anak- Disahkan. diakses pada tanggal 15 September 2012. UNDP, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, penelitian Proyek Keadilan Aceh UNDP dengan Masyarakat Adat Aceh (MAA) dan Pemerintah NAD, http://ind.adatjustice.org/wpcontent/uploads/publikasi/Buku%20Pedoman%20Peradilan.pdf diakses pada tanggal 20 Desember 2012 Zulfa, Eva Achjani, Restorative Justice Di Indonesia (Peluang dan Tantangan Penerapannya), http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-diindonesia.html diakes pada tanggal 15 September 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013