UNIVERSITAS INDONESIA
TIGA KARYA VINCENT MAHIEU: SEBUAH TINJAUAN POSKOLONIAL
SKRIPSI
KINANTI MUNGGARENI 0706292933
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INDONESIA DEPOK JULI 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama NPM Tanda Tangan Tanggal
: Kinanti Munggareni : 0706292933 : : 12 Juli 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
KATA PENGANTAR
Suatu bentuk yang baru selalu tidak mudah diterima dan memang belum tentu dapat diterima. Penolakan-penolakan terhadap bentuk yang baru selalu saja terjadi dan menimbulkan ketidaknyamanan. Poskolonialisme memanglah bukan hal yang sama sekali baru, jika kita melihat perkembangan ilmu ini di khazanah ilmu pengetahuan. Namun demikian, kajian tentang poskolonialisme belumlah banyak dilakukan di lingkungan tempat saya belajar. Oleh karena itu, penyusunan skripsi ini dapatlah dikatakan sebuah kerja yang sangat tak mudah. Dibutuhkan waktu kurang lebih satu setengah tahun untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Dalam waktu yang panjang itu, berbagai macam ide muncul. Seiring dengan itu, semangat pun datang dan pergi. Namun demikian keingintahuan dan keinginan untuk terus mempelajari tema ini terus tumbuh. Keberhasilan saya dalam menyusun skripsi ini juga tak lepas dari dukungan banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1)
Dr.
Tommy
Christommy,
selaku
dosen
pembimbing
yang
telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas kesediaan Bapak dalam membimbing saya. Mohon maaf yang sedalamnya jika selama penyusunan skripsi ini, saya memiliki banyak kekurangan. 2)
Prof. Dr. Multamia RMT Lauder dan Rasjid Sartuni, M. Hum. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran-saran agar skripsi ini dapat terbentuk dengan lebih baik lagi.
3)
Ratna Djumala, M. Hum., selaku panitera dalam ujian skripsi.
4)
Prof.dr. W.H. (Wim) Willems, Profesor Sejarah Sosial Universitas Leiden, yang telah memberikan tulisan-tulisannya tentang Vincent Mahieu. Semoga suatu saat nanti, saya bisa berjabat tangan dan berguru tentang Vincent Mahieu kepada Anda.
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
5)
Kedua orang tua saya, Etty Sukaesi (Ibu) dan Dede Marco (Ayah). Terima kasih telah memberikan saya kesempatan untuk lahir ke dunia ini dan tumbuh besar. Kasih sayang Ayah dan Ibu adalah anugrah terbesar yang diberikan semesta kepada saya. Terima kasih pula telah membangun saya menjadi sosok yang terus menerus ‘bertanya’. Maafkan saya karena mengerjakan skripsi ini dengan waktu yang cukup lama, dan membuat Ayah dan Ibu menunggu. Saya menyayangi kalian dengan segenap diri saya. Kebanggaan terbesar saya adalah memiliki orangtua seperti Ibu dan Ayah. Terima kasih dan terima kasih.
6)
Adik saya, Arsalan Banyuadjie. Jarak usia yang jauh, ternyata tak menjadi penghalang bagi kita untuk saling mengenal dan menjadi teman. Semoga sepuluh tahun mendatang saya dapat melihat karya-karya Anda. Belajarlah banyak hal, pertanyakanlah banyak hal, hiduplah dengan kegelisahan, dan cintailah hidup itu, agar Anda dapat menjadi manusia yang bijaksana. Saya menyayangi Anda dan akan selalu menjaga Anda dengan segenap diri saya.
7)
Frendy Kurniawan, terima kasih atas kebesaran hati Anda dalam membimbing dan menemani saya dalam perjalanan hidup ini. Terima kasih telah memberikan saya cinta yang begitu besar. Terima kasih pula telah mengajarkan saya untuk mencintai hidup. Diri Anda adalah semesta yang penuh dengan kebijaksanaan. Semoga kita akan terus bergandengan tangan dalam segala pencarian. Semoga cinta yang kita bangun selalu dirahmati semesta. Hidup menunggu kita untuk menggoreskan hal-hal lain lagi.
8)
Keluarga di Jogja, yaitu Ibu Sri Sugiarti, Bapak Mukirin, dan Dian Pertiwi. Terima kasih karena telah memberikan doa dan dukungan kepada saya. Semoga saya dapat bertemu lagi secepatnya dengan Ibu, Bapak, dan adik Dian.
9)
Teman-teman ex. 28w, kostan Pondok Cina, Markassastra: Vauriz Bestika (Ayz), Peggy Angelina (Peggy), Bachtiar Agung Nugraha (Betty), Agung Dwi Ertato (Agung), Biyanto (Binyo), Bagas Adi Prihantono (Ucok). Terima kasih telah menjadi teman dalam segala sisi kehidupan, baik di kampus maupun di luar kampus. Canda tawa, air mata, kekesalan, dan kebahagiaan adalah bumbu pertemanan kita. Kalian adalah saudara dalam
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
1)
kehidupan ini. Semoga kita dapat meraih segala cita-cita dan kebijaksanaan. Terkhusus untuk Ayz, terima kasih telah begitu sabar menghadapi saya. Terima kasih masih atas kesediaan Anda untuk terus menjadi teman saya.
2)
Teman-teman Antropologi FISIP UI dan Sosiologi FISIP UI: Faisal Kamandobat, Aji Dwi, Yohannes Mauritz, Ajidamar Sattomo, Geger Riyanto, Sarah Monica, Vitamaya Wisnu Safitri, Arie Putra. Terima kasih telah mengenalkan saya pada banyak hal. Terima kasih pula telah membagi banyak ilmu yang kalian miliki.
3)
Teman-teman PDGCKLT, Dhania Rishanti, Gita Lestari, dan Vinna Marwa. Terima kasih untuk dukungan kalian. Terima kasih telah menjadi teman dalam waktu yang panjang.
4)
Teman-teman Program Studi Indonesia angkatan 2007, 2008, 2009, 2010, 2006 dan angkatan-angkatan lainnya. Kesempatan belajar dengan Anda semua adalah hal yang sangat menyenangkan. Terima kasih. Tentu masih banyak ucapan yang belum tersampaikan, namun tidak dalam
maksud melupakan semua pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan skripsi ini. Semoga waktu akan selalu memberikan kesempatan untuk segala minat yang ada di dalam diri. Sampai jumpa di lain kesempatan!
Cimanggis, Juli 2012
Kinanti Munggareni
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis Karya
: Kinanti Munggareni : 0706292933 : Indonesia : Ilmu Pengetahuan Budaya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: TIGA TEKS VINCENT MAHIEU: SEBUAH TINJAUAN POSKOLONIAL beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencan-tumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 12 Juli 2012 Yang menyatakan
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Kinanti Munggareni : Indonesia : Tiga Karya Vincent Mahieu: Sebuah Tinjauan Poskolonial
Skripsi ini membahas tiga teks karya Vincent Mahieu. Dalam penelitian ini tiga teks tersebut ditinjau dengan pendekatan poskolonialisme. Hasil penelitian membuktikan adanya jejak-jejak poskolonialitas di dalam tiga teks tersebut. Jejak-jejak tersebut adalah kanonisitas, kejanggalan peristiwa, hibriditas, mimikri, dan ambivalensi. Jejak pertama dan kedua terkait dengan masalah bahasa, sedangkan jejak ketiga, keempat, dan kelima terkait dengan masalah identitas. Jejak-jejak tersebut terlihat dalam unsur tokoh, ruang, struktur waktu, dan peristiwa.
Kata kunci: Teks, poskolonialisme, poskolonialitas, kanonisitas, kejanggalan, hibriditas, mimikri, ambivalensi
ABSTRACT Name : Kinanti Munggareni Study Program : Indonesian Title : Vincent Mahieu’s Texts: in a review of postcolonial This study examines three texts by Vincent Mahieu. In this study three texts are reviewed by postcolonialism approach. The results prove the existence of traces of postcoloniality in the three texts. The traces are canonicity, kejanggalan peristiwa, hybridity, mimicry, and ambivalence. The first and second traces associated with language problems, while traces of the third, fourth, and fifth issues related to identity. The traces are visible in the figure element, space, time structure, and events. Key words: Text, postcolonialism, postcoloniality, hibridity, mimicri, ambivalence
canonicity,
viii Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
kejanggalan,
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................... vii ABSTRAK ........................................................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii 1. PENDAHULUAN ...........................................................................................1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................5 1.3 Tujuan Penelitian..........................................................................................6 1.4 Metodologi ...................................................................................................6 1.5 Sistematika Penyajian ..................................................................................8 2. TEKS SASTRA DAN POSKOLONIALITAS .............................................9 2.1. Memandang Sastra .......................................................................................9 2.2. Teks ............................................................................................................10 2.3. Teks Naratif................................................................................................12 2.4. Unsur-Unsur Bangun Dunia Cerita dalam Teks Naratif ............................13 2.4.1 Peristiwa ............................................................................................13 2.4.2 Tokoh ................................................................................................14 2.4.3 Ruang ................................................................................................14 2.4.4 Struktur Waktu ..................................................................................15 2.5. Mendekati Pendekatan Poskolonial ...........................................................16 2.6. Poskolonialitas dalam Teks Naratif ...........................................................19 2.6.1 Poskolonialitas dalam Bahasa ...........................................................20 2.6.1.1 Kanonisitas ................................................................................20 2.6.1.2 Kejanggalan Peristiwa ...............................................................22 2.6.2 Poskolonialitas dalam Indentitas .......................................................22 2.6.2.1 Hibriditas ...................................................................................23 2.6.2.2 Mimikri ......................................................................................24 2.6.2.3 Ambivalensi ...............................................................................25 2.7. Ciri-Ciri Poskolonial dalamTeks Naratif ...................................................25 3. VINCENT MAHIEU DAN KARYA-KARYANYA ..................................27 3.1. Vincent Mahieu Selayang Pandang ...........................................................27 3.2. Karya-karya Vincent Mahieu .....................................................................35 3.3. Tentang Kumpulan Cerita Cis dan Cuk .....................................................36 3.4. Ringkasan Tiga Teks Vincent Mahieu .......................................................40 3.4.1. Sahabat Si Ulat .....................................................................................40 3.4.2. Vivere Pericolosamente .......................................................................41 3.4.3. Cuk .......................................................................................................42 4. JEJAK-JEJAK POSKOLONIALITAS TIGA TEKS VINCENT MAHIEU ........................................................................................................43
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
4.1. Kanonisitas dalam Tiga Teks Vincent Mahieu ..........................................43 4.2. Kejanggalan Peristiwa dalam Tiga Teks Vincent Mahieu .........................49 4.3. Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi dalam Tiga Teks ...........................54 4.3.1. Hibriditas dalam Tiga Teks ..................................................................54 4.3.2. Perilaku Mimikri dan Ambivalensi Tiga Tokoh Utama ......................56 4.3.3. Ambivalensi Ruang dan Waktu Tiga Teks ..........................................64 4.4. Sebuah Gugusan yang Tak Padu ................................................................72 5. KESIMPULAN..............................................................................................77 BIBLIOGRAFI
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Jan Boon dan Sander .......................................................................... 32 Gambar 3.2 Jan Boon Sebagai Seorang Pelajar. .................................................... 33 Gambar 3.3 Jan Boon di Hindia-Belanda .............................................................. 33 Gambar 3.4 Jan Boon, Lilian Ducelle, dan anak-anak mereka di Sampit pada tahun 1952. ............................................................................................................. 34 Gambar 3.5 Keluarga Besar Cornelis Boon (Cimahi, 1917) ................................. 34 Gambar 3.6 Beberapa karya Vincent Mahieu. ....................................................... 35 Gambar 3.7 Sampul Buku Cis................................................................................ 38 Gambar 3.8 Sampul Buku Cuk............................................................................... 38 Gambar 4.1 Little Lord Fauntleroy ........................................................................ 45 Gambar 4.2 Ilustrasi Baju Baru Sang Raja oleh Vilhelm Pedersen (1). ................ 47 Gambar 4.3 Ilustrasi Baju Baru Sang Raja oleh Vilhelm Pedersen (2) ................. 47 Gambar 4.4 Skirnir’s Message to Gerd (1908) karya W.G. Collingwood. ........... 48 Gambar 4.5 Ruang dalam Teks “Sahabat Si Ulat”. ............................................... 69 Gambar 4.6 Ruang dalam Teks “Vivere Pericolosamente”. .................................. 70 Gambar 4.7 Ruang dalam Teks “Cuk”. .................................................................. 71
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Daftar Edisi Cis dan Cuk........................................................................ 39 Tabel 4.1 Kutipan “Sahabat Si Ulat”. .................................................................... 57 Tabel 4.2 Kutipan “Vivere Pericolosamente”. ....................................................... 57 Tabel 4.3 Kutipan “Cuk” ....................................................................................... 57 Tabel 4.4 Kutipan Ruang “Sahabat Si Ulat”. ......................................................... 65 Tabel 4.5 Kutipan Ruang “Vivere Pericolosamente”. ........................................... 65 Tabel 4.6 Kutipan Ruang “Cuk” ............................................................................ 66
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Hari ini telah banyak orang yang tertantang dan terdorong untuk
mengungkapkan sebuah ingatan, kebenaran, ataupun jejak-jejak dari kisah-kisah masa lalu. Poskolonialisme adalah kata yang kemudian dapat digunakan untuk merangkum usaha-usaha tersebut. Berbekal kata-kata kunci yang telah disebutkan sebelumnya, poskolonialisme lantas dapat dipahami sementara sebagai usaha atau semangat untuk ‘mengingat’, ‘mencari kebenaran’, ataupun ‘pencarian jejakjejak’ dari fakta mengenai kolonialisme di masa lalu. Poskolonialisme telah banyak menjelajahi bidang kajian. Salah satunya adalah kajian-kajian kritis terhadap teks-teks (Aschroft, Griffiths, dan Tiffin, 1989, hal. 5). Yang kemudian dilakukan adalah melihat “teks-teks dengan berbagai caranya mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial” (Foulcher dan Day, 2008, hal. 2). Jejak-jejak tersebut kemudian dapat dipahami sebagai situasi bertemunya orang-orang dari ras, bangsa, serta budaya yang berbeda, sebagai akibat langsung dari proses kolonialisme itu sendiri. Yang kemudian harus dipahami adalah ‘perjumpaan’ tersebut seringkali berwujud ruang hubungan yang tidak setara. Perhatian terhadap teks, dalam hubungannya dengan kolonialisme, menyiratkan
adanya
peran
bahasa
dalam
prosesnya.
Fanon
(1967)
mengungkapkan bahwa sebuah bahasa, dalam situasi kolonialisme, dapat menjadi alat penuntun yang baik dalam suatu ‘promosi’ dan usaha dominasi politik ataupun budaya dari kelompok ‘French’ terhadap ‘Negro’ Martinique (hal. 1718). Namun demikian, melalui bahasa pula berbagai ‘protes’ atas segala macam usaha dominasi politik dan budaya kolonial dilakukan oleh pihak terkoloni (Caute, 1970, hal. 28). Bahasa ternyata digunakan juga sebagai medium dalam
1 Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
2
melakukan perlawanan situasi ataupun pengaruh besar budaya kolonial (Adele, 1976, hal. 609). Melalui bahasa juga, secara lebih spesifik kata-kata dan gagasan-gasasan dalam tulisan (teks), Maier mencoba menunjukan situasi yang pernah terjadi di wilayah Melayu/Indonesia pada tahun 1900-an. Menurutnya, “tulisan Melayu masa postkolonial bisa menjadi ilustrasi sangat kongkret mengenai interaksi antara elemen-elemen kenyataan dan diskursif sebagaimana nilai-nilai, kata-kata, gagasan-gagasan [...] (yang) muncul di wilayah yang sekarang dinamakan ‘Indonesia’ sekitar tahun 1880, ketika kata kolonialisme (dan padanan Inggrisnya ‘colonialism’) telah menjadi kata kuat dalam wacana Belanda, menciptakan praktik-praktik dan cerita-cerita yang mengabadikan dan meluaskan peranannya di seluruh kepulauan dan di luarnya, mendatangkan cerita-cerita dan praktik-praktik yang pada akhirnya meniadakan peranan itu sendiri” (Maier, 2008, hal. 77) Kajian Maier tersebut berusaha menunjukan suatu fenomena poskolonialisme melalui tulisan-tulisan yang berkembang pesat sekitar tahun 1900 di wilayahwilayah jajahan Hindia-Belanda. Secara singkat, bagi Maier, perkembangan tulisan berbahasa Melayu pada waktu itu bergerak di sekitar “menjelaskan dan melestarikan kata kolonialisme, baik dengan cara yang konstruktif maupun dengan cara yang subversif dan bersifat perlawanan” (Maier, 2008, hal. 82). Salah satu obyek yang digunakan Maier adalah tulisan-tulisan atau teksteks naratif Pramoedya Ananta Toer. Maier berusaha mengamati perkembangan tulisan Toer hingga tahun 1950-an, masa ketika secara ‘formal’ situasi poskolonial 1 terjadi di wilayah ini. Simpulan yang didapatkan oleh Maier tersebut, menyiratkan tentang ciri-ciri ‘ambiguitas’ dalam kata-kata ataupun gagasangagasan dalam teks-teks naratif Toer. Menurut Maier, hal tersebut menunjukan adanya visi ganda (dan keragu-raguan) psikologi (pos)kolonial sang pengarang.
1
Day dan Foulcher (2008) membedakan istilah postkolonialisme degan postkolonialisme. Istilah pertama ditujukan untuk pendekatan teoretis dan kritis. Istilah kedua, yang menggunakan tanda hubung, digunakan untuk mengacu masa historis sesudah kemerdekaan formal masyarakat terjajah.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
3
Kritik Maier memang terasa ‘pedas’ dan memberikan tekanan yang, secara sepintas, buruk terhadap usaha-usaha dari bahasa (dan tulisan) Melayu dalam mendorong perlawanan wacana. Namun demikian, situasi pengamatan Maier dapat saja dilihat memiliki ‘kelonggaran’ dengan alasan obyek yang ia tunjukkan hanyalah para pengarang lokal (pribumi). Pada kenyataannya, dalam kehidupan kolonial Hindia-Belanda, tidak saja hidup para pengarang pribumi. Sosok-sosok pengarang yang lain, seperti pengarang-pengarang ‘berdarah campur’ (Eurasia), sebenarnya dapat dibaca juga untuk menambah informasi tentang adanya situasi ‘pelestarian’ ataupun ‘perlawanan’ terhadap kata kolonialisme. Teks-teks yang ditulis oleh para pengarang berdarah campur memang seringkali tidak mendapat perhatian yang cukup. Bahasa yang digunakan, serta kebangsaan pengarangnya lantas membuat teks-teks tersebut dikategorikan ke dalam kategori Sastra Hindia Belanda. Kategori tersebut kemudian didefinisikan Subagio Sastrowardoyo, dalam bukunya Sastra Hindia Belanda dan Kita, sebagai: Rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan HindiaBelanda, ditulis oleh orang-orang Belanda terutama dan oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangsa Eropah lainnya. (Sastrowardoyo, 1990, hal. 1) Sejalan dengan definisi tersebut, Bert Paasman (1991) menyatakan bahwa “karya sastra yang dapat dikategorikan sebagai Sastra Hindia-Belanda adalah semua teks ekspresif yang mempunyai keterkaitan erat dengan Hindia-Belanda” (Suprihatin, 2008, hal. 266). Definisi ataupun istilah Sastra Hindia-Belanda sendiri nampak berakar dari pandangan Rob Nieuwenhuys (1973) yang mengategorikan karya-karya yang dihasilkan dari singgungan budaya Barat (Belanda) dengan budaya lokal dari daerah yang menjadi koloni (Hindia-Belanda) sebagai Indisch-Nederlandse Letterkunde yang berarti Sastra Hindia-Belanda (Suprihatin, 2008, hal. 266). Kategori atau penamaan tersebut tentu memiliki paradoksnya sendiri. Jika memang embel-embel ‘Hindia-Belanda’ didasarkan pada sebutan ruang geografispolitik tempat teks itu lahir, pertanyaan yang kemudian (pasti) akan lahir adalah
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
4
“Bagaimana dengan teks-teks yang dihasilkan di ruang geografis-politik tersebut ketika telah merdeka dan berganti nama menjadi Indonesia?” Cara pandang yang memarjinalkan teks-teks yang dikategorikan sebagai ‘Sastra Hindia-Belanda’ tersebut bisa kita lihat pula sebagai representasi cara pandang kita dalam melihat realitas kehidupan. Dari kenyataan yang ada kita bisa melihat bahwa: subjek atau orang Indonesia dan demikian pula teks-teks sastra Indonesia, melihat teks-teks sastra Hindia-Belanda beserta penulisnya sebagai ‘yang
lain’.
Dengan
menyampingkan
teks-teks
sastra
Hindia-Belanda,
menyatakan bahwa ia bukan bagian dari keakuannya, maka orang Indonesia tersebut menganggap bahwa segala sejarah hidup yang terjadi pada dirinya hanyalah karena dirinya sendiri, seolah-olah tidak ada andil tangan lain di dalammnya. Padahal sesungguhnya, realitas yang dilihat hanya melalui kacamata subjek, tanpa mempertimbangkan kacamata ‘yang lain’, hanyalah realitas yang partikular. Untuk mempertimbangkan segala sudut pandang, dan kemudian menerimanya dengan gamblang, memanglah mustahil. Namun demikian usaha untuk melihat dari sudut pandang ‘yang lain’ perlu pula dilakukan. Melihat Indonesia melalui mata seorang Pribumi, Tionghoa, Arab, dan tentu Eurasia pastilah tak sama. Tiap sudut pandang adalah kepingan puzzle yang kemudian bertumpuk dan membuat definisi bersama tentang segala kehidupan di pulau dan samudra tempat kita hidup ini. Dengan membaca karya-karya pengarang Eurasia, kita mungkin akan mendapatkan gambaran yang dapat melengkapi wajah Indonesia. Salah satu pengarang Eurasia yang menarik untuk diperbincangkan adalah Vincent Mahieu. Vincent Mahieu, yang memiliki banyak nama samaran lainnya, terlahir dengan nama Jan Johannes Theodorus Boon. Ia lahir di Nijmegen pada tanggal 10 Januari 1911 dan wafat pada tanggal 22 April 1974. Ayahnya adalah seorang Belanda yang berprofesi sebagai tentara KNIL. Sedangkan ibunya adalah seorang Eurasia dengan komposisi Inggris-Jawa. Meskipun ia lahir di Belanda, masa kecil hingga dewasanya dihabiskan di wilayah Hindia-Belanda. Sebagai pengarang yang termasuk dalam golongan Eurasia, Vincent Mahieu menarik untuk dikaji secara mendalam. Tulisan-tulisannya dapat
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
5
dijadikan pengantar untuk mengenal cara pandang orang-orang Eurasia dalam memahami situasi poskolonialisme. Keberhasilan dari orang-orang ‘pribumi’ dalam melakukan perlawanan kolonial, dengan membentuk bahasa nasional dan berdirinya otoritas politik negara yang merdeka, telah sedikit banyak membawa situasi ‘tidak mengenakkan’ bagi mereka. Gelombang migrasi besar-besaran menuju negeri-negeri induk, salah satunya Belanda, menjadi salah satu konsekuensi poskolonialisme bagi mereka. Berpindah ke negeri-negeri baru, meskipun digemakan sebagai tanah air, tentu saja tidak mudah dijalani. Berbagai efek dari ‘dekolonialisasi’ dan migrasi tersebut telah dicoba diungkapkan pada masa-masa sekarang (Oostindie, 2010, hal.82), terutama berkait dengan masalah identitas. Salah satunya adalah perihal kategori identitas indisch atau indo. Sosok Vincent Mahieu, dalam kaitannya dengan masalah tersebut, adalah orang yang mendorong pengakuan atas adanya golongan orang-orang indo beserta budayanya. Usaha yang kemudian dilakukan oleh Vincent Mahieu adalah menulis beragam artikel bagi golongan orang-orang indo, salah satunya dalam Piekerans van een straatslijper (1952-1954). Selain itu, Vincent Mahieu juga menuliskan teks-teks cerita yang kemudian dikumpulkan dan diberi judul Cis (1955) dan Cuk (1957). Menariknya, teks-teks cerita Cis dan Cuk dibuat sekitar tahun 1950-an, yaitu selama Vincent Mahieu bermigrasi ke wilayah Kalimatan karena perubahan situasi di Jawa. Perlu untuk diketahui, Toer juga mencipta beberapa karya selama tahun 1950-an tersebut. Beberapa contohnya adalah Cerita dari Jakarta (1957), Korupsi (1954) dan Mereka jang dilumpuhkan (1954). Dengan demikian, jika Maier berusaha mencari ‘jejak-jejak’ poskolonialisme dalam tulisan-tulisan Toer tersebut, maka perlakuan yang sama dapat saja diterapkan bagi teks-teks karya Vincent Mahieu ini.
1.2
Rumusan Masalah Tulisan-tulisan berbahasa Melayu dan terbit dalam kurun tahun 1900-an,
menurut Henk Maier, memiliki karakteristik yang dapat disebut tulisan poskolonialisme
(2008,
hal.
82).
Telah
ditunjukkan
juga
usaha-usaha
‘perlawanan’ terhadap kata kolonialisme sebagai sebuah wacana, meskipun bagi
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
6
Maier ada kondisi ambiguitas kepaduan gagasan yang tampil dalam usaha-usaha tersebut. Obyek penelitian yang digunakan Maier adalah tulisan-tulisan berbahasa Melayu yang ditulis para pengarang yang berlatar belakang golongan pribumi. Situasi alam kolonial di wilayah Hindia-Belanda yang begitu majemuk, yaitu tidak dihuni oleh orang-orang pribumi ataupun Eropa saja, melainkan juga golongan orang-orang campur ataupun orang-orang berbangsa yang lain, dapat memberi cara pandang berbeda atas situasi poskolonialisme. Oleh karena itu, teksteks cerita dari Vincent Mahieu, sebagai representasi dari pengarang Eurasia, akan digunakan dalam penelitian ini. Pertanyaan penelitian yang kemudian muncul adalah: “Jejak-jejak poskolonialitas apa saja yang kemudian dapat terbaca dari teks “Sahabat Si Ulat”, “Vivere Pericolosamente”, dan “Cuk”, yang terkumpul dalam Cis dan Cuk karya Vincent Mahieu?”
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini kemudian bertujuan untuk memperlihatkan jejak-jejak
poskolonialitas yang ada di dalam teks “Sahabat Si Ulat”, “Vivere Pericolosamente”, dan “Cuk” yang terkumpul dalam Cis dan Cuk karya Vincent Mahieu.
1.4
Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kritik teks poskolonialisme.
Pendekatan ini dipahami sebagai usaha “memahami efek-efek kolonialisme yang terus ada di dalam teks-teks” (Day dan Foulcher, 2008, hal.3). Usaha memahami efek-efek tersebut mengarahkan pada pencarian poskolonialitas di dalam teks sebagai kata sifat dari penyebaran efek-efek tersebut. Dengan demikian, suatu kritik teks poskolonialisme adalah sebuah pendekatan yang berusaha mencari, membongkar, memahami efek dari kolonialisme dan terepresentasi di dalam sebuah teks poskolonial. Perlu diingat bahwa obyek dari penelitian ini adalah sebuah teks naratif. Oleh karena itu, dalam usaha memahami poskolonialitas di dalam teks-teks yang menjadi obyek penelitian, digunakan jalur pembacaan kritisi unsur-unsur teks
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
7
cerita. Pemahaman unsur-unsur teks cerita dalam penelitian ini menggunakan konvensi yang terdapat dalam Luxemburg, Bal, Weststeijn (1989a dan b). Proses kerja dari penelitian ini dapat terlihat dalam poin-poin di bawah ini: 1)
Mencari bahan utama penelitian, yaitu teks Cis dan Cuk versi berbahasa Indonesia. Kedua kumpulan teks cerita itu didapatkan dari perpustakaan FIB UI. Kedua bahan tersebut telah disalin ulang sebagai sarana untuk memudahkan pembacaan. Hal ini dilakukan karena cukup sulit untuk membeli teks-teks tersebut, mengingat tahun penerbitannya sudah cukup lama (1976). Sampai dengan penelitian ini dilakukan, belum terdengar rencana akan diterbitkannya kembali kedua kumpulan teks cerita tersebut. Oleh karennya, penyalinan kedua kumpulan teks tersebut dilakukan untuk penelitian ini.
2)
Proses berikutnya adalah dilakukannya pembacaan terhadap semua teks cerita yang terdapat dalam teks Cis dan Cuk secara cepat. Proses pembacaan ini juga mengarahkan pada pemilihan sampel teks sebagai obyek utama penelitian. Pada awalnya dipilih lima teks cerita dalam judul “Sahabat Si Ulat”, “Berburu”, “Vivere Pericolosamente”, “Cuk”, dan “Tembok”. Pilihan ini tidak mudah dilakukan. Beberapa kali pilihan ini berubah-ubah terus, entah pengurangan ataupun penambahan. Dengan alasan penguatan terhadap pilihan tema dan kemampuan untuk fokus terhadap permasalahan, maka dipilihlah hanya tiga teks dari lima pilihan di atas sebagai obyek penelitian. Ketiganya adalah “Sahabat Si Ulat”, “Vivere Pericolosamente”, dan “Cuk”.
3)
Setelah tiga teks cerita dipilih maka proses analisis terhadap tema cerita kemudian dilakukan. Analisis memberi fokus pada penokohan, alur (peristiwa), dan sudut pandang dari cerita. Selama proses pembacaan, dilakukan juga pendalaman terhadap materi kritik poskolonialisme itu sendiri melalui berbagai referensi. Isu poskolonialitas dalam aspek bahasa dan identitas kemudian menjadi tolak ukur pencarian. Perlu diperhatikan secara cermat, penelitian ini menggunakan kumpulan
teks Cuk dan Cis yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin. Usaha untuk dapat memperbandingkan dengan teks terbitan pertama telah
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
8
diupayakan, salah satunya dengan mendapatkanya melalui arsip digital dari laman website Digital Bibliotheek voor de Nederlandse letteren dengan alamat www.dbnl.org. Namun, teks Cis dan Cuk yang ada pada website tersebut adalah yang terdapat dalam edisi Verzameld Werk suntingan E.M Beekman. Tidak ditemukannya terbitan pertama Cis dan Cuk membuat usaha untuk memperbandingkan secara detail tidaklah dilakukan. Namun demikian, pokok tersebut tidak menjadi persoalan yang utama karena seperti yang diketahui: suatu teks naratif yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa lain dilakukan dengan upaya mempertahankan ‘struktur’ dari teks itu sendiri. Dalam konteks teks naratif, maka kebertahanan struktur teks adalah struktur dari narasi teks itu sendiri. Dengan demikian, penelitian yang mencoba mengkritisi struktur teks naratif tentunya tidak mengalami permasalahan yang berarti dengan pengesampingan perbandingan alihbahasa tersebut. Dengan demikian, pokok inilah yang menjadi batasan dalam penelitian ini.
1.5
Sistematika Penyajian Skripsi ini disajikan dalam lima bab. Bab pertama merupakan bab
pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi, serta sistematika penyajian. Bab selanjutnya, yaitu bab kedua, berisi landasan teori. Pada bab tersebut akan dijelaskan mengenai teoriteori yang berkaitan dengan teks naratif dan poskolonial. Bab selanjutnya, yaitu bab ketiga, berisi tentang Vincent Mahieu beserta karya-karyanya. Pada bab keempat, akan disajikan analisis terhadap unsur-unsur teks naratif untuk mencari jejak-jejak poskolonialitas. Bab selanjutnya adalah bab kelima. Bab tersebut berisi kesimpulan dari tulisan ini.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
BAB 2 TEKS DAN POSKOLONIALITAS
Untuk dapat menjawab pertanyaan yang ada di dalam rumusan masalah, diperlukan perangkat teoretik yang dapat membantu. Di dalam bab kedua ini, akan dipaparkan teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan sebagai landasan penelitian ini. Dalam empat subbab pertama akan dipaparkan segala hal mengenai sastra, teks, dan teks naratif. Segala teori dan konsep yang digunakan adalah hasil gagasan Luxemburg, Bal, dan Weststeijn. Setelah hal-hal tersebut dipahami dengan baik, hal selanjutnya yang perlu dipaparkan adalah teori-teori poskolonial yang berkaitan dengan hal-hal yang ditanyakan dalam pertanyaan penelitian. Halhal tersebut akan dipaparkan dalam tiga subbab terakhir. Segala teori dan konsep yang digunakan adalah gagasan-gagasan beragam ahli poskolonial terutama Homi K. Bhabha, Henk Maier, Tony Day, dan Keith Foulcher. Semua hal tersebut kemudian akan diramu sedemikian rupa agar dapat berguna dalam penelitian ini.
2.1
Memandang Sastra Usaha mendefinisikan sastra telah banyak dilakukan berbagai pihak.
Meskipun demikian, hasil yang didapatkan seringkali tidak memuaskan dan berujung pada polemik-polemik tertentu. Usaha pendefinisian sastra kemudian terlihat begitu penuh dengan ketegangan dan sering membingungkan khalayak, terutama ketika terkait dengan perbedaan antara definsi deskriptif dan definsi evaluatif (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 4). Definisi deskriptif terkait dengan pertanyaan ‘apa itu sastra?’, sedangkan definisi evaluatif terkait dengan nilai baik dan buruk dari suatu karya sastra (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 4). Secara umum, usaha-usaha untuk memberikan definisi sastra mengarah pada pencarian aspek ontologis atau hakikat sastra itu sendiri. Arah pencarian yang demikian memang menjadi suatu ciri dalam perkembangan ilmu
9
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
10
pengetahuan sebelum abad ke-19. Suatu ilmu, dalam hal ini ilmu sastra, dituntut untuk dapat memberikan pengertian ontologisnya sebagai sebuah syarat agar dapat disebut ilmu pengetahuan. Akan tetapi, hal-hal yang demikian, alih-alih memberikan suatu kejelasan, pada akhirnya lebih mengarah pada polemik antarkelompok yang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Perkembangan
ilmu
pengetahuan,
dengan
meningkatnya
upaya
pemahaman empiris atas suatu obyeknya, telah menuntun perubahan cara pandang terhadap sastra. Perdebatan yang sifatnya mendasar, sebagai konsekuensi dari sikap etis dalam melihat sastra, secara perlahan telah ditinggalkan. Pada konteks penilaian sastra di masa-masa sekarang, sikap obyektif, dengan suatu ukuran yang jelas lebih, banyak dituntut. Penilaian etis atas suatu sastra dengan hasil akhirnya pada penyebutan secara acak dan subyektif jelas sukar untuk diterima, terutama dalam lingkungan akademis. Sering dilupakan bahwa sastra, hendaknya, didefinisikan di dalam situasi para pembacanya (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 4). Selain itu, setiap definisi sastra terikat pada waktu dan budaya, mengingat sastra adalah hasil kebudayaan (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 21). Salah satu upaya untuk memahami definisi atau batasan sastra dapat dirumuskan melalui segi hubungan antara pengarang dengan teks, kenyataan dengan teks, dan teks dengan pembaca, serta teks sebagai teks itu sendiri (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 6-7). Tinjauan sastra dengan menekankan pada segi teks tersebut merupakan satu usaha memujudkan suatu penilaian karya sastra yang obyektif. Hal tersebutlah yang akan menjadi batasan dalam penelitian ini.
2.2
Teks Dalam penelitian ini, bahasan mengenai sastra didekati dengan tinjauan
teks. Hal ini didasari bahwa teks sastra dapat ditinjau dalam segi hubungannya sebagai teks itu sendiri. Selain daripada itu, bahasan ini didasari juga atas pengertian wujud sastra secara umum di kehidupan sekarang adalah teks tertulis (tercetak), sekalipun wujud sastra yang bukan tertulis masih bertahan dan dipergunakan. Akan tetapi, teks juga dapat dipahami sebagai struktur linguistik, yaitu dilihat sebagai tanda bahasa. Teks yang dilihat sebagai tanda bahasa
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
11
mencakup hubungan antartanda satu sama lain, antara tanda dan pemakai tanda, serta antara tanda dan makna atau isi teks (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 51). Sastra dalam tinjauan teks, dengan demikian, memberi ketegasaan atas pernyataan bahwa adanya teks sastra adalah berkat penilaian terhadap suatu teks yang dapat berfungsi sebagai sastra (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 99). Maksudnya, suatu teks sastra, oleh banyak kaum kritisi, dinilai sebagai teksteks yang “menarik atau bersifat baik secara moral atau tipikal, artinya bersifat sastra konvensional, atau hanya secara tidak langsung berkaitan dengan pengalaman kita” (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 99). Dengan kata lain, dalam posisi yang obyektif, adanya sekelompok pembaca ataupun peneliti yang membaca teks merupakan faktor determinan dalam menghadirkan suatu teks menjadi teks sastra. Jika kita kembali pada bahasan mengenai teks, terutama teks sastra, akan diketahui bahwa banyak ahli sastra yang mengatakan bahwa kekhasan sastra terletak dalam bangun teksnya (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 20). Jika merujuk pada gagasan-gagasan formalis Rusia tahun 1915-1930, unsur ‘kesastraan’ dalam suatu teks dapat dilihat secara khas dari cara pengungkapannya (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 20). Kekhasan ini adalah adanya kecenderungan pemaknaan ganda atau ambiguitas dalam teks-teks sastra. Pokok ambiguitas dalam teks-teks sastra tersebut rupanya menjadi semacam patokan bagi ciri khas sastra. Disadarinya pokok ambiguitas makna dalam pembacaan terhadap teks sastra memberi jalan bagi pembacaan dalam segala tataran, serta menghasilkan banyak ‘tempat terbuka’ untuk ditafsir secara beragam. Ambiguitas itu ditandai oleh kemungkinan untuk memberi arti yang bermacam-macam kepada kata, kalimat, dan bahkan teks (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 20). Ambiguitas makna pada teks sastra memang sedikit menyusahkan kalangan pembacanya, namun demikian, adanya ‘kesusahan’ ini semakin menjelaskan karakteristik teks yang layak untuk disebut sebagai teks sastra.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
12
2.3
Teks Naratif Telah disebutkan sebelumnya bahwa penggunaan kata sastra ataupun teks
sastra seringkali dapat menimbulkan kesan bahwa bahasan mengenai teks sastra mengacu kepada sekelompok teks yang homogen (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 23). Perlu diketahui bahwa teks sastra memiliki banyak ragam. Usaha secara terus menerus telah dilakukan dalam membuat sistematik ragam bentuk sastra ini. Salah satunya adalah pengelompokan sederhana dengan didasarkan pada situasi bahasa. Pengelompokan ini mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Plato, yaitu teks yang penceritanya mengarang sendiri (sajak pujian), teks yang menampilkan tiruan orang lain (drama), dan bentuk campuran yang silih-berganti antara kedua jenis diatas (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 23). Pemahaman masa sekarang atas ketiga jenis pengelompokan itu dikenali dalam nama teks puisi, teks drama dan teks kisahan (naratif). Teks naratif, teks kisahan ataupun kisahan merupakan sederet istilah yang dapat disamakan pengertiannya. Suatu teks yang dimaksudkan dengan teks naratif secara sederhana mengarahkan pada informasi mengenai adanya suatu ‘kisah’ dalam keseluruhan teks tersebut. Dapat disederhanakan juga bahwa teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog, dan isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 119). Suatu teks naratif mengisyaratkan adanya “campuran peristiwa, pelukisan, informasi tentang siapa yang melakukan apa” (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 114) serta mengarah pada suatu gambaran tentang “suatu keseluruan, suatu rentetan kejadian yang saling berkaitan” (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 114). Dalam membaca dan menilai serta menentukan suatu teks dapat diidentifikasi sebagai teks naratif, khalayak dapat memahami dengan mengenali ciri-cirinya. Ciri-ciri dari suatu teks sendiri adalah adanya segi pencerita, sudut pandang, dan bangun dunia cerita. Ciri yang ketigalah yang akan diperhatikan dalam penelitian ini. Hal-hal lebih lanjut mengenai ciri ketiga tersebut akan dipaparkan dalam subbab selanjutnya.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
13
2.4
Unsur-Unsur Bangun Dunia Cerita dalam Teks Naratif Pokok pembicaraan mengenai bangun dunia cerita memiliki unsur-unsur
seperti: peristiwa dan rangkaian yang membentuk kisahan, tokoh yang menjadi pelaku atau mengalami perlakuan, dimensi ruang dunia tempat terjadinya peristiwa dan struktur waktu (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 114). Unsur-unsur dalam bangun dunia cerita dari teks naratif inilah yang akan digunakan secara khusus dalam penelitian ini. Oleh karena itu, bahasan yang selanjutnya adalah mendeskrispikan penjelasan dari masing-masing unsur tersebut.
2.4.1
Peristiwa Peristiwa biasanya digambarkan sebagai peralihan dari satu keadaan pada
keadaan yang lain (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 137). Bentuk peralihan ini dapat diamati melalui ‘belum adanya sesuatu lantas menjadi ada’. Dalam sebuah teks naratif, adanya peristiwa menjadi syarat yang tidak dapat ditawar-tawar. Cerita yang berjalan di dalam teks naratif secara umum berusaha menggambarkan bergeraknya suatu peristiwa ke peristiwa yang lain. Paling tidak terdapat dua jenis peristiwa, yaitu peristiwa fungsional dan peristiwa acuan. Peristiwa fungsional dipahami sebagai yang menentukan perkembangan kisahan. Sedangkan peristiwa acuan tidak secara langsung menentukan perkembangan kisahan, melainkan mengacu kepada unsur-unsur lain, seperti watak seseorang dan suasana yang meliputi para pelaku (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 151). Perlu juga diberikan informasi mengenai alur dalam hubungannya dengan unsur peristiwa. Yang dinamakan alur ialah “konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku” (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 149). Alur biasa dipahami sebagai jalan cerita dari kisahan. Analisis terhadap suatu alur kisahan dapat membantu pencarian terhadap ikhtisar terpenting dari maskud teks. Suatu cerita yang baik tentu memiliki alur yang dapat dipahami secara rasional oleh para pembaca. Sedangkan perubahan alur yang serba tiba-tiba
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
14
atau mendadak serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional tentunya memperlihatkan suatu ‘kejanggalan’ kisahan di dalam teks.
2.4.2
Tokoh Tokoh dalam sebuah teks naratif dapat dilihat sebagi pelaku dari peristiwa-
peristiwa yang dikisahkan. Secara umum, tokoh dapat dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan. Tokoh utama berperan dengan sangat khas sebagai inti dari kisahan peristiwa. Sedang tokoh sampingan, dapat berjumlah satu ataupun banyak, sering menjadi pendamping tokoh utama dalam menjalani takdir kisahan ataupun bahkan menjadi sosok penentang perjalanan tokoh utama. Tokoh-tokoh tersebut “dicirikan oleh cara mereka memandang hal ikhwal sekitar mereka” (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 137). Suatu pengamatan terhadap tokoh tiada lain berusaha menganalisis gambarannya (citranya) di dalam teks. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan kesatuan antara tokoh dengan teks secara keseluruhan, ataupun dilihat sebagai pokok-pokok yang berdiri sendiri. Pengamatan tokoh dalam aspek kesatuannya dengan teks adalah memperhatikan hubungan antara satu tokoh dengan tokoh lain, dan hubungan tokoh dengan suatu peristiwa. Sedangkan untuk melihat tokoh sebagai pokok tersendiri maka dapat dilakukan dengan mengumpulkan gambaran yang diberikan secara langsung oleh teks (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 130).
2.4.3
Ruang Suatu kisahan di dalam teks, yang terkait dengan tokoh dan peristiwa,
tentunya
harus
terjadi
pada
tempat-tempat
atau
lokasi-lokasi
tertentu.
Penggambaran mengenai ruang ini seringkali berjalan dengan sudut pandang pengamatan pencerita (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 142). Visi dari pencerita dapat membantu memudahkan atau menyusahkan suatu penunjukan tempat dan lokasi kisahan. Analisa ruang dapat dilakukan dengan pengamatan empat indera manusia, yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan dan penciuman (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 142). Sajian suatu ruang dalam kisahan teks dengan demikian teramati dalam bentuk-bentuk, ukuran, warna,
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
15
bahkan bunyi-bunyian yang dilihat, didengar, ataupun dirasakan tokoh ketika mengalami suatu peristiwa. Teks-teks naratif yang realis sering memiliki kekuatan dalam sajian ruang kisahan ini. Deskripsi teks naratif yang begitu detail dan mempesona secara visual sangat membantu pembaca dalam penafsiran. Namun tak boleh dilupakan ada pula teks-teks naratif yang bukan realis. Biasanya, dalam teks seperti itu, ruang seringkali hadir dalam wujudnya yang berlipat-lipat dan bercampur aduk secara samar-samar. Dengan demikian, para pembaca teks naratif yang bukan realis sering mendapatkan kesusahan dalam menganalisis ruang kisahan. Sajian mengenai ruang dengan demikian dapat berfungsi ganda. Di satu pihak, ruang tersebut dapat memberikan latar belakang realistis tertentu. Di lain pihak, gambaran mengenai ruang mendapatkan makna dalam hubungannya dengan peristiwa, yaitu sebagai makna simbolik (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 133).
2.4.4
Struktur Waktu Selain memperlihatkan adanya suatu ruang dalam kisahan, aspek
mengenai waktu jelas tidak dapat ditinggalkan begitu saja perannya. Seringkali ruang dan waktu menyatu dalam pokok-pokok tertentu. Pembicaraan mengenai ruang sebenarnya tidak dapat dipisahkan secara tegas dengan pembicaraan mengenai waktu. Dalam sebuah perjalanan kisahan, pencerita di dalam teks naratif mengadakan perubahan-perubahan urutan peristiwa (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989a, hal. 146). Situasi yang demikian inilah yang kemudian dapat disebut sebagai struktur waktu. Ada atau tiadanya penentuan waktu dalam suatu teks naratif dapat berfungsi dengan berbagai cara. Waktu dalam teks seringkali berfungsi sebagai daerah antara. Di satu pihak, dapat disebut sebagai daerah perbatasan antara masa lalu dan masa depan, antara lingkungan sendiri dengan tempat yang tidak dikenali sama sekali (Luxemburg, Bal, dan Weststeijn, 1989b, hal. 134). Penyajian tersebut tiada lain membantu dalam menguatkan peristiwa kisahan para tokohtokoh cerita. Para pembaca, dengan adanya struktur waktu, tentu semakin dapat
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
16
membayangkan bagaimana kisah berserta perubahan-perubahannya terjadi di dalam teks.
2.5
Mendekati Pendekatan Poskolonial Dalam ragam tinjauan terhadap teks, terdapat satu pendekatan yang
dikenali sebagai pendekatan poskolonial. Pendekatan poskolonial merupakan divergensi berbagai asumsi, penekanan, strategi, dan praktik dalam membaca dan menulis suatu teks. Sebelumnya perlu dibahas mengenai pengertian kolonialisme. Kata kolonialisme berasal dari kata Latin colonia yang berarti pemukian ataupun lahan pertanian. Kata tersebut digunakan sebagai penunjuk situasi dari orangorang Romawi yang bermukim di wilayah selain teritorialnya, baik dalam penaklukan ataupun tidak, serta mempertahankan ciri ke-Romawian-nya. Oleh karena itu, kolonialisme dalam perjalanan istilahnya dihubungkan dengan penaklukan dan penguasaan wilayah dari penduduk asli oleh para pendatang (Loomba, 1998, hal 1-42). Selain daripada itu, kolonialisme juga perlu dipahami sebagai sebuah penataan dalam bentuk separasi ras dan etnis (Bosma dan Raben, 2002, hal. 1). Seperti yang diungkap dengan apik oleh Fanon, kolonialisme merupakan suatu promosi dan usaha-usaha untuk menegaskan adanya nilai dominasi dari jenis budaya tertentu (Fanon, 1967, hal 17-18). Nilai dominan ini secara langsung diambil berdasarkan pelapisan komposisi ras dan etnis, serta umumnya diukur berdasarkan cara pandang Barat (Eropa) sebagai nilai paling luhur. Terdapat
isyarat
dari
Ania
poskolonialisme
dalam
kerangka
Loomba
berpikir
bahwa
oposisi
digunakannya (pertentangan)
kata antara
kolonialisme dan poskolonialisme sebagai tanggapan terhadap kolonialisme juga merupakan suatu masalah tersendiri. Situasi poskolonialisme, sering diperlihatkan dalam tanda-tanda adanya ‘perlawanan’ terhadap suatu kondisi dominasi tatanan kolonial (Loomba, 1998, hal 1-42). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah ‘kolonialisme yang mana?’. Fakta paling umum atas kolonialisme adalah asosiasi langsungnya terhadap gejala perluasan kekuasaan dan imperialisme Eropa ke seluruh penjuru dunia (Aschroft, Griffiths, dan Tiffin, 1989, hal. 1). Loomba kemudian memberikan sebuah pertanyaan kritis mengenai khalayak yang sering
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
17
mengasosiasikan kolonialisme dengan sejarah Eropa, bukan dengan segala praktik dari peradaban dan kekuasaan sebelumnya (non-Eropa) yang sama-sama menampilkan fakta perluasan kekuasaan. Kendati demikian, perlu ditekankan bahwa fakta kolonialisme yang dilakukan oleh Eropa telah memberikan pengaruh, efek-efek, dan jejak-jejak yang (memang) luar biasanya hebatnya. Hal ini dapat dipahami dalam isyarat-isyarat yang diungkap oleh Homi K. Bhaba. Bhaba menunjukkan banyaknya perilakuperilaku ‘ganjil’ atau kontradiktif dalam kehidupan kolonialisme dengan hadirnya sosok-sosok mimic man (manusia-manusia peniru). Alam kolonialisme, lewat mimic man tersebut, melahirkan banyak sekali kondisi mimikri, yaitu akibat langsung dari pembentukan tatanan (Bhaba, 1994, hal. 86). Bhabha kemudian memberikan contoh mimikri dengan mengutip tulisan Macaulay. Dalam tulisan tersebut Macaulay mengungkapkan impian-impian subjek kolonial, yaitu terciptanya suatu kelas manusia berdarah dan berkulit India namun berselera, bermoral, dan berpandangan layaknya seorang Inggris (Bhabha, 1994, hal. 87). Impian tersebut, bagi Bhabha, adalah efek langsung yang ditimbulkan dari adanya kontradiksi kolonialisme. Dengan demikian, penerimaan poskolonialisme sebagai suatu kata dan digunakan sebagai istilah dan perangkat konseptual tetap dapat berterima dalam konteks diajukan sebagai sikap esensialisme strategis seperti yang didorong oleh Gayatri Spivak (Spivak, 1990, hal. 95-112). Sikap ini digunakan sebagai bagian dari upaya kritisi terhadap kondisi-kondisi kolonialisme berserta efek-efeknya, terutama bagi wilayah-wilayah yang dahulu dijadikan koloni (wilayah jajahan). Pendekatan poskolonial dalam teks, dengan demikian, menekankan pada efek diskursif dan material dari fakta kolonialisme dan berpengaruh terhadap teksteks yang terbentuk. Penekanan tersebut berusaha melihat segala situasi perbedaan budaya dan kondisi-kondisi keterpinggiran (Aschroft, Griffiths, dan Tiffin, 2004, hal. 198) yang dijejak oleh suatu teks, dan pernah tercipta dari masa-masa kolonialisme masih berlangsung. Bhaba kemudian mengenalkan situasi sistem diskursif teks-teks kolonial (poskolonial) sebagai sebuah kondisi ambivalensi kolonial (Bhaba, 2004, 86) dapat membantu usaha tersebut. Maksudnya adalah situasi-situasi ‘ganjil’ dari
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
18
mimikri tidak saja memberikan keterputusan terhadap kesatuan gagasan kolonialisme, namun juga menyediakan gambaran yang parsial dari setiap subyek kolonial. Teks-teks poskolonial menyediakan secara samar-samar jati diri, kesadaran dan keutuhan kehidupan setiap manusia-manusianya dalam menjalani alam kolonialisme. Perlu ditekankan, dalam hal ini, situasi mimic man tersebut tidak hanya dijalani oleh golongan orang-orang terjajah, tetapi juga golongan para penjajahnya. Dengan demikian, usaha pendekatan poskolonial dalam kritisi teks adalah menjelajah postur, gestur, dan situasi yang kemudian disebut sebagai mimikri. Secara psikologis, karakteristik dari para mimic man tersebut mengarahkan pada asumsi-asumsi
hadirnya
praktik-praktik
kegamangan,
kegelisahan
dan
kejanggalan. Banyaknya istilah berkenaan pada penelitian ini, terutama terkait dengan poskolonialisme dan teks, membuat perlu adanya informasi deskriptif atas penggunaan kata-kata tersebut. Poskolonialisme dalam penelitian ini digunakan sebagai dalam dua kondisi arti. Pertama, kata tersebut mengacu pada masa historis dari berakhirnya fakta kolonialisme. Namun demikian, poskolonialisme juga dipahami dalam artinya yang kedua, yaitu sebagai efek-efek atas kolonialisme itu sendiri pada masa kolonialisme itu masih dapat dikatakan berlangsung. Dua kondisi arti tersebut digunakan dalam catatan bahwa situasi kolonialisme, dalam pandangan kritisnya, terlampau untuk tidak mudah untuk dicari sekaligus ditemukan masa berakhirnya. Catatan historis dapat menunjukan bahwa masa sesudah kemerdekaan formal suatu wilayah bekas koloni menandai berakhirnya kolonialisme. Namun, melalui suatu penyelidikan mendalam dan kritis kita dapat saja menangguhkan dan mempertanyakan fakta-fakta tersebut. Penelitian ini, pada akhirnya lebih menggunakan cara pandang yang ‘terbuka’ dalam menempatkan masa historis poskolonialisme. Seperti mengikuti cara Maier dalam tinjauannya terhadap teks-teks Melayu poskolonial, yang disebutkan bahwa, “Kata ‘postkolonialisme’ mungkin merupakan istilah yang tepat untuk menunjukan ciri tulisan berbahasa Melayu di Batavia dan pusat-pusat urban lain di negeri jajahan ini sekitar tahun 1900. Istilah ini mengacu pada
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
19
usaha-usah percetakan lokal yang dilakukan untuk menjelaskan dan melestarikan kata kolonialisme, baik dengan cara yang konstruktif maupun dengan cara yang subversif dan bersifat perlawanan. Bagaimanapun, tulisan postkolonial berbahasa Melayu telah membuka pintu bagi gagasan-gagasan dan praktik-praktik tentang bagaimana mentransformasikan dunia lokal, dan bukan bagaimana merepresentasikan atau menyelematkannya. Tulisan ini telah mencoba menjangkau lebih jauh situasi kolonial, walau dengan banyak cara tulisan tersebut terikat pada situasi kolonial tersebut.” (Maier, 2008, hal. 82) Cara pandang dari penelitian ini dapat dikatakan serupa dengan pengertian Maier tersebut. Poskolonialisme yang dapat ditangkap dalam teks-teks, lebih dilihat sebagai efek-efek diskursif teks dalam menanggapi kata, istilah dan daya kolonialisme sebagai suatu tatanan abstrak, nilai, budaya, moral sekaligus bentuk (struktur). Istilah lain yang perlu juga diberikan informasi adalah tinjauan poskolonial. Tinjauan poskolonial dimaksudkan sebagai istilah dan nama bagi pendekatan terhadap teks, secara spesifik teks naratif, dan dicoba dilakukan dalam penelitian ini. Selain itu, akan digunakan juga istilah poskolonialitas sebagai kata sifat ataupun ciri-ciri yang dapat dilihat dalam sebuah teks poskolonial.
2.6
Poskolonialitas dalam Teks Naratif Sebelumnya telah disebutkan bahwa tinjauan poskolonial dalam teks
menekankan pada efek diskursif dan material dari fakta kolonialisme dan berpengaruh terhadap teks-teks yang terbentuk (Aschroft, Griffiths, dan Tiffin, 2004, hal. 198). Atau dalam kata lain, sebuah pendekatan kritis dalam memahami jejak-jejak kolonialisme yang terus ada di dalam teks-teks (Day dan Foulcher, 2008, hal. 3). Telah disebutkan juga bahwa kolonialisme, salah satunya adalah, sebagai sebuah penataan dalam bentuk separasi ras dan etnis (Bosma dan Raben, 2002, hal. 1), maka dalam poskolonialisme teks akan dilihat jejak-jejak dari separasi masyarakat berdasar ras dan etnis ataupun efek diskursif berupa kegelisahan dan kejanggalan dalam menanggapi tatanan separasi tersebut. Salah satu cara
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
20
mengetahui hal tersebut adalah dengan kupasan dan bahasan ciri-ciri poskolonialitas dalam teks. Melalui kerangka Day dan Foulcher, elaborasi yang dapat dilakukan dalam pembacaan terhadap teks-teks poskolonial adalah menggunakan dua kategorisasi umum, yaitu 1) bahasa, dan 2) identitas. Kedua kategori cara baca tersebut akan dipaparkan secara lebih lanjut dalam subbab berikut.
2.6.1
Poskolonialitas dalam Bahasa Dalam pembicaraan mengenai poskolonialitas dalam bahasa akan ditemui
dua subsider. Demikianlah yang dipaparkan oleh Day dan Foulcher (2008) dalam pengantar kumpulan tulisan berjudul Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (hal. 5). Subsider pertama adalah kanonisitas, sedangkan subsider kedua adalah kejanggalan peristiwa. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai dua hal tersebut, perlu ditekankan bahwa pembicaraan mengenai poskolonialitas dalam bahasa di sini ditekankan pada ‘struktur’ (bentuk) sebuah teks. Dalam perbincangan mengenai kanonisitas, kita akan melihat adanya ‘struktur’ (bentuk) naratif khas kanon-kanon sastra Barat (Eropa) yang digunakan dalam teks-teks yang ditulis sekitar abad ke-20 di Hindia Belanda. Dalam perbincangan mengenai kejanggalan peristiwa, kita akan melihat adanya ‘struktur’ (bentuk) naratif sebuah teks yang tak memiliki kepaduan dalam penyusunan narasi.
2.6.1.1 Kanonisitas Kanonisitas adalah subsider pertama yang disebutkan oleh Day dan Foulcher (2008) dalam pengantar untuk kumpulan tulisan berjudul Sastra Indonesia
Modern:
Kritik
Postkolonial.
Dalam
pembahasan
mengenai
kanonisitas, Day dan Foulcher merujuk pada tulisan Doris Jedamski yang berjudul “Sastra Populer dan Subjektivitas Postkolonial”. Dalam tulisan tersebut, Jedamski (2008, hal. 27) membahas penyaduran teks-teks bacaan Barat (Eropa), seperti Robinson Crusoe, The Count of Monte Cristo, dan Sherlock Holmes, di wilayah Hindia-Belanda. Dalam penelusuran tersebut, Day dan Foulcher melihat bahwa Jedamski mengamati peranan kanon-kanon sastra Barat pada umumnya dalam sejarah sastra Indonesia (2008, hal. 12). Selain itu, melalui pembacaan
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
21
terhadap tulisan Jedamski, kita dapat melihat bahwa peranan kanon-kanon sastra Barat tersebut adalah timbulnya teks-teks yang memiliki struktur serupa (tapi tak sama), baik dalam narasi maupun dalam karakter tokoh-tokohnya, dengan kanonkanon itu. Hal-hal demikian menjadi sebuah penjelasan dari efek kanonisitas. Jedamski juga mengungkapkan bahwa proses penyaduran teks-teks bacaan populer tersebut, secara normatif, dianggap “tidak lebih dari reproduksi produkproduk budaya Eropa dalam bahasa pribumi” (2008, hal. 57). Ia kemudian melanjutkan bahwa tidak ada tinjauan mengenai “transformasi budaya yang ada dalam novel-novel ‘asli’ yang dilakukan oleh para kawula kolonial” (Jedamski, 2008, hal. 57). Jedamski menjelaskan bahwa penyaduran yang terjadi di HindiaBelanda adalah ‘penyaduran tak lengkap’. Maksudnya, di dalam hasil penyaduran tersebut sering ada hal-hal yang dihilangkan. Hal tersebut kemudian membuat teks saduran menjadi cukup sangat berbeda dari teks ‘aslinya’. Namun demikian, hal tersebut diterima begitu saja sebagai sebuah kewajaran. Jedamski kemudian melihat bahwa hal tersebut memperlihatkan sebuah fakta adanya reposisi diri mengenai subjektivitas poskolonial (2008, hal. 58). Hal ini sejatinya mengingatkan kita pada kebiasaan dalam teks ‘Melayu lama’. Teks-teks tersebut seringkali ditemukan dalam banyak versi ataupun varian, namun demikian tak memunculkan masalah yang cukup berarti. Perlu diperhatikan pula bahwa Jedamski kemudian memaparkan bahwa meskipun teks saduran memiliki banyak perbedaan dengan teks ‘asli’, tetap ada pula hal-hal yang dipertahankan. Hal-hal tersebut adalah tetap munculnya impresi petualangan
dan
tokoh-tokoh
heroik
yang
pantang
menyerah.
Dalam
kesimpulannya, Jedamski (2008, hal. 58) lantas menekankan bahwa situasi sadurmenyadur tersebut adalah kenyataan atas adanya ‘visi ganda’ mimikri seperti dalam pandangan Homi K. Bhabha (1997). ‘Visi ganda’ mimikri ini dipahami sebagai “fragmentasi tekstual otoritas kolonial dan munculnya sebagai gantinya praktik-praktik diskursif budaya postkolonial yang sedang berkembang” (Jedamski, 2008, hal. 58). Sosok-sosok yang kemudian membantu proses penyaduran seperti yang telah dijelaskan di atas adalah para pengarang Eropa ataupun Eropa campuran dan Melayu-Tionghoa (Jedamski, 2008, hal. 29). Penyaduran yang mereka lakukan
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
22
dilandaskan pada sumber-sumber Belanda, Inggris, dan kadang-kadang Perancis (Jedamski, 2008, hal. 29). Ketiga golongan pengarang tersebut pada akhirnya dapat disebut sebagai ‘katalisator’ bagi berkembangnya dan terlembaganya ragam-ragam teks bacaan baru dengan formula ala Barat (Eropa).
2.6.1.2 Kejanggalan Peristiwa Subsider
selanjutnya
adalah
kejanggalan
peristiwa.
Maier
(2008)
menuliskan bahwa ciri poskolonial yang terlihat dalam bentuk bahasa adalah adanya kejanggalan peristiwa. Maksudnya adalah adanya “jalan cerita yang tersusun sebagai rangkaian peristiwa, fragmen, perbuatan kebetulan, dan irasionalitas” (Maier, 2008, hal. 83). Maier kemudian memberikan contoh-contoh dari jalan cerita yang penuh dengan perbuatan kebetulan dan irasionalitas yang menimbulkan kejanggalan tersebut. Contoh-contohnya antara lain adalah 1) perubahan-perubahan membingungkan; 2) perhentian-perhentian mendadak; dan 3) kejadian-kejadian kebetulan seperti pembunuhan, surat kaleng, mimpi, munculnya hantu, dan tubrukan mobil. Segala kejanggalan peristiwa yang ada di dalam sebuah teks poskolonial kemudian dipadatkan Maier ke dalam satu kata, yaitu kegagapan.
2.6.2
Poskolonialitas dalam Identitas Dalam pembicaraan mengenai poskolonialitas yang terkait dengan
masalah identitas akan ditemui tiga subsider. Demikianlah yang dipaparkan oleh Day dan Foulcher (2008) dalam pengantar kumpulan tulisan berjudul Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (hal. 5). Subsider pertama adalah hibriditas; subsider kedua adalah mimikri; sedangkan subsider ketiga adalah ambivalensi. Ketiga subsider ini merangkum segala kondisi yang disebabkan oleh pertemuan antara pihak penjajah dan terjajah. Biasanya kondisi yang hadir dilihat dalam dua cara pandang, yaitu sebagai sebuah bentuk kepaduan dan ketakpaduan. Untuk dapat lebih jauh memahami ketiga subsider tersebut akan dipaparkan pengertian-pengertiannya di bawah ini.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
23
2.6.2.1 Hibriditas Subsider pertama, hibriditas, hingga saat ini belum menjadi lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lema yang ditemukan adalah ‘hibrida’. Pengertian ‘hibrida’ dalam kamus tersebut dilekatkan pada studi biologi dan linguistik, yaitu 1) turunan yang dihasilkan dari perkawinan antara dua jenis yang berlainan dan 2) kata kompleks yang bagian-bagiannya berasal dari bahasa berbeda. Pengertian hibriditas dalam studi poskolonialisme sendiri masih memiliki nuansa yang sama dengan penegertian dalam dua studi di atas. Hibriditas seringkali dimengerti sebagai “cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang satu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri” (Day dan Foulcher, 2008, hal. 12). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui pertemuan-pertemuan antara (paling tidak, jika dapat digeneralisasi) terjajah dan penjajah, akan terjadi sebuah tumpang tindih dan ‘sinkretisme’ budaya. Pemahaman akan adanya pembentukan budaya baru atau ‘produk paduan budaya’ dapat mengingatkan kita pada pembahasan atas karya Macaulay yang ditulis oleh Bhabha. Bhabha menulis adanya obsesi dari kolonialisme dalam mencipta manusia-manusia baru: “tubuh berwarna hitam tetapi selera serupa dengan kulit putih” (Bhabha, 1994, hal.87). Namun demikian, praktik langsung dari kolonialisme dan yang menjadi ruang atas hadirnya kemungkinan-kemungkinan hibriditas itu ternyata tidak selalu sekuat obsesinya. Kolonialisme, sebagai sebuah sistem diskursif, telah diungkap secara gamblang oleh Bhaba sebagai sebuah sistem yang tidak pernah berhasil secara utuh untuk dapat menegaskan wujud idealnya. Pertemuan budaya dalam ruang kolonialisme tidak serta merta berjalan secara ideal dan lancar hingga terjadi suatu produk paduan budaya yang benar-benar utuh. Ketika kita menelusuri jejak-jejak (pos)kolonialisme, dengan cara pandang Bhaba, kita akan menemukan fakta bahwa gambaran langsung dari ‘paduan budaya’ hanyalah ruang ambivalen dan perilaku-perilaku kontradiktif (Bhaba, 1994, hal.38). Tidak akan dengan mudah ditemukan suatu contoh paduan yang berhasil mencipta manusia hitam dengan
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
24
selera putih, hanya ada belang-belang yang tidak pernah ‘kesampaian’ menjadi hitam ataupun putih. Aspek lain dalam membahas masalah hibriditas ini adalah proses negosiasi budaya. Negosiasi ini dipahami sebagai situasi dan kondisi yang melangsungkan praktik ‘perubahan budaya’, baik dalam bentuk penerimaanpenerimaan ataupun penolakan-penolakan tegas dan halus. Suatu penerimaan atas kehendak dari budaya yang dominan dalam ruang kolonialisme tidak serta merta menjadikan proses resapan budaya berlangsung secara mulus. Sikap curiga dalam melihat proses tersebut akan membantu dalam membongkar kedok kolonialisme yang sebenarnya. Fakta bahwa penolakan menjadi bagian yang paling banyak dalam praktik diskursif kolonial jelas harus diakui. Dengan demikian, negosiasi dalam masalah hibriditas ini tiada lain mengungkap ragam bentuk ‘penolakan-penolakan’ atas adanya ‘paksaaan’ untuk menerima suatu nilai ataupun campuran budaya tertentu. Sifat negosiatif dalam gejala-gejala hibriditas semakin menegaskan adanya suatu ‘keretakan tatanan kolonial’. Asumsi inilah yang kemudian dapat digunakan untuk menggugurkan kekuataan obsesi atas produk paduan budaya antara ‘kulit hitam dalam selera putih’. Bhaba, sekali lagi dapat ditegaskan, kerap menggunakan rumusan ruang ambivalensi sebagai jejak dari hibriditas yang retak tersebut (Bhaba, 1994, hal. 38).
2.6.2.2 Mimikri Subsider kedua dalam pembahasan mengenai poskolonialitas yang terkait dengan identitas adalah mimikri. Pengertian mimikri yang tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia masih terbatas dalam pengertian yang berkaitan dengan studi biologi. Dalam kamus tersebut tertulis bahwa mimikri adalah “tindakan menirukan (misal menirukan suara kera, jalannya katak) atau penyesuaian diri (dengan mengubah warna dan sebagainya) sesuai dengan alam sekitarnya untuk melindungi diri dari bahaya (misal pada bunglon)”. Mimikri, dalam studi poskolonialisme dan secara khusus dalam pandangan Bhabha (1994), adalah “reproduksi belang-belang subjektivitas Eropa di lingkungan kolonial yang sudah ‘tidak murni’, tergeser dari asal-usulnya dan
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
25
terkonfigurasi ulang dalam cahaya sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme” (Foulcher, 2008, hal. 105). Foulcher (2008) kemudian menjelaskan bahwa operasi mimikri tersebut, yang dapat dilakukan oleh pihak penjajah maupun terjajah, menghasilkan efek-efek yang ambigu dan kontradiktif (hal. 105). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil dari mimkri selalu “hampir serupa tapi (tetap) tidak sama”. Hasil dari mimikri yang demikian adanya adalah disebabkan oleh upaya otoritas kolonial yang terus berusaha mengendalikan dengan ketat peniruan yang dilakukan oleh pihak terjajah. Pengendalian itu adalah membatasi peniruan agar “jangan sampai melewati batas-batas ‘rasa terima kasih’ ataupun agar jangan sampai “mengajukan tuntutan untuk memperoleh otoritas, [...] yang tidak pernah dimaksudkan untuk si terjajah.” (Foulcher, 2008, 106). Kondisi mimikri ini adalah sebuah pilihan yang diberikan Bhabha sebagai
tanggapan untuk pandangan
Frantz Fanon tentang “pilihan psikis yang dihadapi oleh kawula-kawula kolonialisme” (Foulcher, 2008, hal. 108). Menurut Fanon pilihan bagi mereka hanyalah dua, yaitu ‘menjadi putih atau menghilang’ (Foulcher, 2008, hal. 108). Mimikri kemudian dipahami sebagai sebuah pilihan ketiga yang ambivalen 1.
2.6.2.3 Ambivalensi Subsider yang terakhir adalah ambivalensi. Lema ambivalensi yang tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikaitkan dengan studi psikologi. Di sana tertulis bahwa ambivalensi adalah “perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama”. Bhabha, sebagai pencetus istilah ini dalam studi poskolonialisme, memang mengambil istilah tersebut dari studi psikologi. Namun demikian, dalam studi poskolonialisme,
penyebabnya
dari
kondisi
tersebut
dikaitkan
dengan
kolonialisme. Ambivalensi lantas dijelaskan sebagai sebuah kondisi fragmentasi dan duplikasi tiada henti dan tidak mudah untuk diramalkan. Seperti yang telah 1
Di dalam Foulcher (2008, hal 108) tertulis demikian: “Sebagai gantinya, Bhabha mengisyaratkan bahwa ‘ada pilihan yang lebih ambivalen, pilihan ketiga: kamuflase, mimikri, kulit hitam/kedok putih’ (1994: 12).”
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
26
disebutkan sebelumnya pada pembahasan mengenai mimikri, manusia di dalam alam kolonialisme seringkali ditemukan melakukan upaya-upaya peniruan terhadap sosok kolonial. Namun demikian, upaya peniruan tersebut tidak pernah berjalan dengan sempurna. Suatu kondisi yang kemudian akan timbul adalah ambivalensi. Bhabha kemudian melihat bahwa, ketika kita menelusuri jejak-jejak (pos)kolonialisme, kita akan menemukan fakta bahwa gambaran langsung dari ‘paduan budaya’ hanyalah ruang ambivalen dan perilaku-perilaku kontradiktif (Bhaba, 1994, hal.38). Subjek-subjek kolonial kemudian mewujud dalam posisi yang bimbang, ragu ataupun bahkan tegas namun ironik atas segala pilihanpilihan jati diri, dari kategori dan klasifikasi yang tersedia di wacana kolonial. Bhabha kemudian “mengisyaratkan bahwa pantulan pandangan penjajah, pembiasannya lewat prisma ‘serupa tapi tidak sama’ itu, menimbulkan efek destabilisasi terhadap ‘tuntutan narsistik otoritas kolonial’ ” (Foulcher, 2008, hal. 107). Dengan
demikian,
dapat
disimpulkan
bahwa
gejala
ambivalensi
mengarahkan pada kondisi fragmentasi dan duplikasi tiada henti dan tidak mudah untuk diramalkan. Siapa pun itu, entah pihak pengkoloni ataupun terkoloni mengalami situasi ini –karena sejatinya penataan kolonial dilakukan tidak secara khusus saja untuk pihak terkoloni tetapi juga para pengkoloninya. Situasi alam kolonial hendak ditata sedemikian rupa agar dapat berjalan sesuai dengan irama yang mengarah pada ‘misi pengadaban’ kolonialisme.
2.7
Jejak-Jejak Poskolonialitas dalam Teks Naratif Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan bahwa jejak-jejak poskolonial
dalam teks naratif terfokus pada dua aspek, yaitu: 1) bahasa , yang terkait dengan masalah kanonisitas dan kejanggalan peristiwa, serta 2) identitas, yang terkait dengan hibriditas, mimikri, dan ambivalensi. Semua ciri tersebut mewujud dalam teks naratif, terutama pada empat unsurnya, yaitu: 1) peristiwa, 2) tokoh, 3) ruang, dan 4) struktur waktu. Oleh karena itu, penelitian ini akan meninjau keempat unsur tersebut dalam pencarian akan lima jejak poskolonial yang telah disebutkan dalam sebuah teks naratif.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
BAB 3 VINCENT MAHIEU DAN KARYA-KARYANYA
3.1.
Vincent Mahieu Selayang Pandang Seratus tahun yang lalu, lahirlah seorang anak, buah cinta dari seorang
Eropa dan seorang Eurasia. Mungkin pada saat itu, kedua pasangan yang berbahagia tersebut tak pernah menyangka, bayi kecil itu di kala dewasa akan membuka sebuah pintu menuju dunia yang terselubung kabut gelap kolonialisme juga nasionalisme. Kedua pasangan itu adalah Cornelis Boon, seorang tentara Dutch East Indies Army, dan Fela Robinson, seorang gadis Eurasia beribu Jawa dan berayah Inggris. Cornelis Boon sendiri, si anak pedagang batu bara, adalah seorang Belanda totok. Di tahun 1906 ia datang ke Kepulauan Nusantara, yang pada saat itu dikenal dengan nama Hindia Belanda. Di sanalah ia bertemu Fela Robinson. Empat tahun kemudian, di tahun 1910 mereka pun menikah. Setahun kemudian, Cornelis Boon harus kembali ke Belanda untuk mendapatkan pelatihan tambahan. Ia pergi ke negeri itu dengan Fela Robinson. Di sanalah, tepatnya di kota Nijmegen, pada tanggal 10 Januari 1911, bayi dalam kandungan Fela Robinson dilahirkan. Bayi itu kemudian dinamakan Jan Johannes Theodorus Boon. Tiga bulan setelah kelahiran Jan Johannes Theodorus Boon, atau Jan Boon, keluarga itu kembali ke Hindia-Belanda. Di negeri tropis inilah, Jan Boon tumbuh besar. Masa kecilnya dihabiskan di Cimahi dan kemudian di sebuah rumah di Jalan Gunung Sahari 23, Batavia. Di negeri inilah ia belajar banyak hal dan juga menciptakan banyak hal. Namun tidak dengan mudah saja semua itu dijalaninya. Sebagai seseorang yang lahir dari keluarga campur, tentu ia menjadi sulit untuk dikategorikan. Kulitnya sawo matang, selain itu garis-garis wajahnya pun begitu Jawa. Untuk disebut sebagai seorang Eropa, rasa-rasanya tidak mudah. Darah Belanda dan Inggris yang mengalir dalam tubuhnya, serta kelahirannya di Belanda, tidak dapat membantu banyak nampaknya. Ia pun menjadi bagian dari
27
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
28
kelompok manusia- manusia berwarna. Ia adalah bagian dari orang-orang berdarah campur, ‘mixed- bloods’. Karena ayahnya adalah seorang Belanda, maka ia dikategorikan sebagai seorang Indo-Belanda ‘Indo-Dutch’. Genealogi Jan Boon yang beragam membuat hidupnya juga begitu beragam. Ia hidup dalam dunia-dunia yang berbeda: sekolah, rumah, jalanan. Hal tersebut membuatnya memakai dua bahasa sekaligus: bahasa Belanda yang diajarkan di sekolah dan juga digunakan untuk berkomunikasi dengan orangtuanya; bahasa ‘petjok’, campuran bahasa Belanda dan bahasa lokal, yang digunakannya dalam pergaulan. Dalam sebuah karangan yang ditulisnya dalam bahasa ‘petjok’, Jan Boon menulis kisah tentang seseorang yang bernama Louis de Rambelje. “Kalau di rumah atau di sekolah Louis de Rambelje bersikap dan omong-omong seperti si Tikus (wataknya yang sebetulnya), ia dihardik oleh orang tuanya. Tetapi kalau dalam pergaulan dengan teman-temannya ia bersikap seperti Louis de Rambelje (namanya resmi yang tertera pada rapornya), ia dicaci-maki oleh mereka. (Bianglala Sastra, 331) Begitu sulit nampaknya hidup sebagai seorang Jan Boon. Hidup, bagi Jan Boon, menjadi sebuah permainan yang benar-benar menegangkan. Ia terus terhimpit dua dunia yang dihidupi dan menghidupinya. Himpitan tersebut membuat Jan Boon harus memakai begitu banyak nama samaran. Pada awal kariernya di dunia penulisan ia telah memakai nama samaran. Ketika itu ia menjadi wartawan berita olahraga untuk Het Bataviaasch Nieuwsland. Dalam menulis berita-berita, ia menggunakan nama Jan van Nimwegen. Nama itu ia buat berdasarkan nama kota kelahirannya (Nijmegen) yang ‘dipelesetkan’. Nama itu adalah nama samaran pertama Jan Boon. Penggunaan nama samaran itu kemudian menjadi kebiasaan di waktu-waktunya mendatang. Hingga pada akhirnya didapatkanlah cukup banyak nama samaran yang dipakai Jan Boon. Paling tidak ditemukan lima nama lain yang juga menjadi nama samaran Jan Boon, yaitu 1) Tjalie Robinson, 2) Vincent Mahieu, 3) Didi, 4) Andronikos Favre, 5) Erik van Roofsand. Jan Boon, dalam banyak tulisan, lebih dikenal sebagai Tjalie Robinson dan Vincent Mahieu. Jan Boon sebagai Didi, Andronikos Favre, dan Erik van Roofsand sangat jarang dibicarakan oleh para
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
29
pembahas terdahulunya. Dua nama terakhir ini diketahui dari sebuah tulisan dari Rudy Kousbroek yang berjudul “Jawa yang Manis” (Krousbroek, 1989). Nama-nama tersebut mewakili tiap kerumitan bagian dirinya. Sebagai seorang Jan Boon ia, tak dapat dipungkiri lagi, adalah seorang Eurasia, seorang Indo-Belanda. Namun, melalui kedua nama yang ia gunakan, yaitu Tjalie Robinson dan Vincent Mahieu, Jan Boon adalah yang lain lagi. Dengan nama Tjalie Robinson, ia dikenal sebagai seorang aktivis pembela orang-orang Indo. Margaret Alibasah menuliskan dalam sebuah pengantar buku The Hunt for the Heart: […] Jan Boon: Indo-Dutch. Tjalie Robinson was the Indo part of him, the straatslijper, the wanderer and idler, and later the journalist/cartoonist/activist striving to maintain the identity of the Indo-Dutch group; [...] (Alibasah, 1995: ix) [...] As Tjalie Robinson, he did not deny his origins; on the contrary, he ‘put his people on the map’, so to speak; (Alibasah, 1995: xi) Robinson dalam nama tersebut ia ambil dari nama kakek dari pihak ibunya; sedangkan Tjalie berasal dari nama Charley (Sastrowardoyo, 1990) yang disesuaikan dengan lidah Eurasia. Nama yang berikutnya, mewakilkan sisi keeropaanya: Vincent Mahieu. Dengan nama tersebut ia mewujud sebagai sosok Barat yang menulis tentang kehidupan di Indies. Seperti yang dikatakan Margaret Alibasah [...] and Vincent Mahieu was the Dutch, the ‘Western’ writer in the Indies, who had ‘emancipated’ himself from his Indo origins and whose literary work, mainly short stories, won awards in Holland (the Amsterdam Prize for the Best Short Stories), in Belgium, and in Indonesia, […] (Alibasah, 1995: ix) Vincent Mahieu, dibentuk Jan Boon dari 1) nama seorang pelukis Belanda terkenal bernama Vincent van Gogh; dan 2) nama pendiri Komedie Stamboel, seorang Eurasia, bernama August Mahieu. Seperti yang dituliskan oleh Wim Willems dalam “Tjalie Robinson (1911-1974). A Mediator between East and West”:
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
30
As an alter-ego for this different style of writing he chose the name Vincent Mahieu, a reference to the painter Van Gogh, whom he admired, and to the founding father of a type of Indies’ popular drama, August Mahieu. (Willems, tt) Dengan nama Vincent Mahieu, ia dikenal juga sebagai penulis cerita pendek, sebagai pendongeng. Alibasah menyebutnya sebagai berikut: and as Vincent Mahieu, the writer, the ‘teller of tales’, he explored what it is like to be an individual human being living in the world, in this case the world of the Indo at a certain time in history, a uniquely different social and cultural situation. (Alibasah, 1995: xi) Sedangkan Wim Willems, dalam mengomentari Jan Boon sebagai Vincent Mahieu menyebutkan: [...] because in that personality (Vincent Mahieu –pen.), he was able to express his individual ‘confessions of a dreamer’. Under that pseudonym, he explored the depth of his Dutch East Indies experiences in travels to ‘the heart of darkness’ of the colonial world. On first impressions, they are stories about very personal experiences. On reflection, they are expressions of the hidden mechanisms of colonial society. If Jan Boon felt freedom anywhere at all, it must have been in the guise of Vincent Mahieu. (Willems, tt) Dengan nama tersebut pula kemudian ia menulis dua kumpulan cerpen, yaitu Tjies dan Tjoek. Kedua terjemahan kumpulan cerpen tersebutlah (Cis dan Cuk) yang kemudian dijadikan bahan dalam penelitian ini. Dengan berlandaskan keterangan dari istri ketiga Jan Boon, yaitu Lilian Ducelle, E.M. Beekman menulis bahwa Jan Boon menulis semua tulisan dalam nama Vincent Mahieu, yaitu Tjies dan Tjoek, ketika ia tidak lagi bertempat tinggal di Jakarta. De jaren tussen 1950 en 1952 schijnen zijn meest productieve te zij geweest. Hij schreef fulltime. Zijn vrouw beweert dat hij op Borneo alle teksten heeft geschreven die later onder de naam Vincent Mahieu gepubliceerd zijn in de bundels tjies en tjoek. (Beekman, 2008: 514)
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
31
Pada tahun 1950 Jan Boon pindah ke Kalimantan. Di sana Jan Boon bekerja pada sebuah perusahaan tambang. Di Kalimantan pula, pada tahun 1950, Lilian Ducelle dan Jan Boon menikah. Namun Jan Boon dan keluarganya tak terlalu lama tinggal di sana. Pada tahun 1952, mereka kembali ke Jakarta dengan alasan untuk menyekolahkan anak di tempat yang lebih baik (Beekman, 2008). Jan Boon sebenarnya menikah sebanyak tiga kali. Pada tahun 1934, diumurnya yang masih sangat muda, 23 tahun, ia menikah dengan Edith de Bruijn. Namun pernikahan tersebut tak berjalan lama. Tahun 1938 istri pertamanya itu meninggal. Jan Boon menduda selama 2 tahun. Di tahun 1940 ia menikah lagi dengan Ivonne Benice Christine Niggerbrugge. Pernikahan tersebut berakhir di tahun 1949 karena perceraian. Dari ketiga pernikahannya itu Jan Boon memiliki tujuh anak. Dari istri pertama ia memiliki 1 putra dan 2 putri; dari istri kedua 1 putra dan 1 putri; sedangkan dari istri ketiga 1 putra dan 1 putri. Pada 1954, seperti yang juga dilakukan oleh orang-orang Indo lainnya yang berayahkan orang Belanda, Jan Boon berimigrasi ke Belanda. Ia tinggal di sana selama kurang lebih dua puluh tahun. Sangat sebentar jika dibandingkan total waktu yang dihabiskannya di kepulauan Nusantara, yaitu 44 tahun lamanya. Dua puluh tahun kemudian, Jan Boon berpulang ke haribaan Yang Kuasa. Setahun sebelumnya, ia sempat pulang ke tanah Jakarta, tempat ia dibesarkan. Setelah kematiannnya, jasad Jan Boon dikremasi dan abunya ditebarkan di laut Jakarta. Penaburan itu diiringi dengan alunan lagu-lagu keroncong, sebuah warisan dari orang-orang Indo.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
32
Gambar 3.1 Jan Boon dan Sander Sumber: KITLV Digital Image Library
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
33
Gambar 3.2 Jan Boon Sebagai Seorang Pelajar Sumber: www.leestrommel.nl
Gambar 3.3 Jan Boon di Hindia-Belanda Sumber: KITLV Digital Image Library
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
34
Gambar 3.4 Jan Boon, Lilian Ducelle, dan anak-anak mereka di Sampit pada tahun 1952 Sumber: www.leestrommel.nl
Cornelis Boon Fela Robinson Jan Boon Lisa Boon
Gambar 3.5 Keluarga Besar Cornelis Boon (Cimahi, 1917) Sumber: www.moorsmagazine.com
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
35
3.2.
Karya-karya Vincent Mahieu Seperti yang telah diketahui sebelumnya, Jan Boon menulis dengan
banyak nama. Piekerans van een straatslijper, Piekeren in Nederland, Piekerans bij een voorplaat, Ik en Bentiet, misalnya, adalah beberapa karya yang ditulis Jan Boon dalam nama Tjalie Robinson. Sketsa-sketsa dalam Piekerans tersebut, seperti yang dituliskan oleh Sastrowardoyo (1990), menyuguhkan pemandangan sehari-hari di kota Jakarta dekat sesudah perang dunia kedua. Karya lainnya, yaitu Didi in Holland ditulisnya dalam nama samaran Didi. Dalam nama Vincent Mahieu, Jan Boon menghasilkan empat buah karya. Dari empat karya tersebut, dua di antaranya adalah kumpulan cerpen yang menjadi bahan utama dalam penelitian ini, yaitu Cis dan Cuk. Selain kedua kumpulan cerpen ini, masih ada pula Schuilen voor de regen dan Schat, schot, schat.
Gambar 3.6 Beberapa karya Vincent Mahieu (dari kiri ke kanan:The Hunt for the Heart: Selected Tales from the Dutch East Indies; Schat, schot, schat; Tjies; Cis. Di bawah Cis [tidak terlihat] adalah Cuk) Sumber: Koleksi Kinanti Munggareni
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
36
3.3.
Tentang Kumpulan Cerita Cis dan Cuk Ketiga teks yang dijadikan bahan utama penelitian ini adalah “Sahabat Si
Ulat”, “Vivere Pericolosamente”, dan “Cuk”. Teks pertama dan kedua terdapat di dalam buku berjudul Cis; sedangkan yang ketiga berada dalam Cuk. Dari kolofon pada kedua buku diketahui bahwa keduanya adalah terjemahan dari Tjis 1 dan Tjoek karangan Vincent Mahieu yang diterbitkan oleh Uitgeverij Tong-Tong. Terjemahan ini dikerjakan oleh Hans Bague Jassin dan kemudian diterbitkan pada tahun 1976 oleh penerbit Djambatan. Tjies dan Tjoek sendiri diterbitkan dan juga dicetak berulang-ulang. Penerbitan pertama Tjies dilakukan di Bandung pada tahun 1955. Judul lengkap terbitan ini adalah Tjies: een bundel. Terbitan pertama ini diterbitkan oleh penerbit Gambir. Dalam terbitan pertama ini, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Belanda. Tiga tahun setelah penerbitan pertama ini, Tjies diterbitkan lagi oleh penerbit Leopold. Kali ini penerbitan dilakukan di Den Haag. Hal ini dapat terjadi mengingat pada tahun tersebut Vincent Mahieu telah berpindah ke Belanda. Setelah terbitan pertama dan kedua tersebut, Tjies juga pernah diterbitkan oleh penerbit Querido pada tahun 1987. Kali ini, penerbitan dilakukan di Amsterdam. Dua tahun setelah penerbitan kedua ini, Vincent Mahieu menerbitkan kumpulan cerpen keduanya yang berjudul Tjoek: vertellingen. Penerbitan ini dilakukan di Den Haag pula. Bahasa yang digunakan dalam terbitan ini pun adalah bahasa Belanda. Setelah penerbitan pertama ini, Tjoek diterbitkan kembali oleh penerbit berbeda, yaitu Moesson, di tahun 1978. Meskipun penerbitnya berbeda, kota tempat diterbitkannya masih sama, yaitu Den Haag. Tjoek juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1993. Penerjemahnya, yang sekaligus bertindak sebagai penyunting, adalah Waltraud Husmert. Penerbitan Tjoek dalam bahasa Jerman ini dilakukan oleh penerbit Twenne Verlag di kota Berlin, Jerman. Judul Tjoek, dalam terbitan ini berganti nama menjadi Tschuk.
1
Di dalam buku Cis dan Cuk versi bahasa Indonesia tertulis Tjis tanpa ‘e’.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
37
Tjies dan Tjoek kemudian juga diterbitkan bersama-sama dengan keseluruhan karya Vincent Mahieu sebagai Tjalie Robinson. Semua karya itu terkumpul dalam Verzameld Werk. Kumpulan berbahasa Belanda ini diterbitkan pada tahun 1992 oleh penerbit Querido di Amsterdam. Terbitan terakhir yang tercatat adalah The Hunt for the Heart: selected tales from the Dutch East Indies. Dalam terbitan ini, Tjies dan Tjoek diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Penerjemah dan penyuntingnya adalah Margaret M. Alibasah. Terbitan yang berjumlah 206 halaman ini diterbitkan pada tahun 1995 oleh Oxford University Press di New York .
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
38
Gambar 3.7 Sampul Buku Cis
Gambar 3.8 Sampul Buku Cuk
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Gambir
Tjies en bundel vertellingen van Vincent Mahieu
Tjies: vertellingen
Tjies: vertellingen
Tjoek: vertellingen
Cuk
Cis
Tjoek: vertellingen
Tjies
Verzameld Werk
Tschuk
Tt.
1958
1959
1960
1976
1976
1978
1987
1992
1993
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
New York
Oxford University Press
The Hunt for the Heart: selected tales from the Dutch East Indies
1995
206
187
215
512
175
187
186
164
187
175
175
167
Jumlah Halaman
Tabel 3.1. Daftar Edisi Cis dan Cuk
Amsterdam
Querido
Tjoek
Berlin
Twenne Verlag
1994
Amsterdam
Amsterdam
Den Haag
Jakarta
Jakarta
Den Haag
Den Haag
Den Haag
Bandung
Tempat Terbit
Querido
Querido
Moesson
Djambatan
Djambatan
H.P. Leopold
H.P. Leopold
H.P. Leopold
Penerbit
Judul Terbitan
Tahun Terbit
Penerjemah dan penyuntiing: Margaret M. Alibasah Bahasa: Inggris
Penyunting: Rudy Kousbroek
Penyunting dan Penerjemah: Waltraud Husmert
Kumpulan karya Jan Boon dalam nama Vincent Mahieu Bahasa: Belanda
Tidak ada keterangan lebih lanjut.
Tidak ada keterangan lebih lanjut.
Bahasa: Indonesia (EYD) Penerjemah: H.B. Jassin
Bahasa: Indonesia (EYD) Penerjemah: H.B. Jassin
Bahasa: Belanda
Bahasa: Belanda
Bahasa: Belanda
Bahasa: Belanda
Keterangan Lain
39
Universitas Indonesia
40
3.4.
Ringkasan Tiga Teks Vincent Mahieu Sebelum melakukan pembahasan, akan disajikan terlebih dahulu ringkasan
dari ketiga teks tersebut dalam subbab-subbab di bawah ini. Subbab pertama berisi ringkasan teks “Sahabat Si Ulat”; subbab kedua berisi ringkasan teks “Vivere Pericolosamente”; sedangkan subbab ketiga berisi ringkasan teks “Cuk”. Pada ketiga ringkasan tersebut akan disebutkan pula tokoh-tokoh yang berperan dalam ketiga teks tersebut.
3.4.1. Sahabat Si Ulat Teks “Sahabat Si Ulat” menceritakan kepada kita sebuah kehilangan yang dialami seorang anak bernama Lord Fauntleroy. Kehilangan itu berwujud perpisahan dengan seekor anjing yang ia kenal. Perpisahan itu terjadi dengan begitu tiba-tiba dan cepat. Ketika mereka tak sengaja bertemu, setelah lama tak berjumpa, tiba-tiba dua orang penangkap anjing datang dan menangkap si anjing. Lord Fauntleroy terkejut dan tak mengerti mengapa itu harus terjadi. Yang dapat ia lakukan ketika itu adalah mengejar para penangkap anjing dan mengatakan bahwa anjing itu baik. Sebagai seorang anak berumur delapan tahun, hanya itulah yang dapat ia lakukan. Ia juga tidak dapat berbuat banyak, meskipun merasa sangat marah, ketika mendengar komentar dari dua sosok orang Eropah yang juga menyaksikan peristiwa tersebut. Peristiwa kehilangan tersebut terjadi ketika Lord Fauntleroy masih kanakkanak. Kini setelah ia jauh dari kehidupan itu, ia menceritakannya kembali. Ia menciptakan sebuah kisah masa lalu; sebuah kisah metamorfosis dirinya dari kupu-kupu menjadi kepompong dan kemudian menjadi ulat. Proses metamorfosis tersebut adalah sebuah metafor dari pendewasaan yang ia alami saat bertempat tinggal di Kemayoran, di sebuah rumah Hindia bertuliskan Anno 1880. Lord Fauntleroy adalah tokoh utama dalam teks ini. Selain sebagai tokoh utama, ia bertindak pula sebagai pencerita. Sebagai tokoh utama, Lord Fauntelroy adalah seorang anak-anak yang pernah memiliki nama julukan Little Lord Fauntleroy. Sebagai pencerita ia adalah Lord Fauntleroy dewasa yang telah bermetamorfosis sebagai ulat, dan menceritakan masa lalunya. Selain Lord Fauntleroy, seperti yang terlihat dalam paragraf di atas, ada pula tokoh-tokoh
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
41
sampingan yang penting untuk diperhatikan. Mereka adalah anjing, penangkap anjing, dan dua orang Eropah.
3.4.2. Vivere Pericolosamente Teks kedua, yaitu “Vivere Pericolosamente”, bercerita tentang aib yang harus diterima oleh seorang Indo yang disebut sebagai Tuan Barkey. Ia adalah seorang indo yang tampilan fisiknya sangat mirip dengan seorang Eropa. Bahkan, orang-orang Eropa totok seringkali mengira bawha tuan Barkey adalah seorang totok juga. Namun demikian, ‘teman-teman sejawat yang berkulit coklat’ mengetahui bahwa Barkey adalah seorang Indo. Dikisahkan, suatu hari sang tuan membetulkan pintu di belakang rumahnya dan karenanya ia menemukan sebuah dunia yang sama sekali baru dan begitu menarik hatinya. Dunia itu adalah kali yang mengalir di belakang rumahnya, kali Ciliwung. Tuan Barkey yang melihat kali itu merasa begitu tertarik. Ia pun memutuskan untuk memberanikan diri berenang di kali itu. Pada hari-hari pertama ia berenang di kali itu, ia begitu dipenuhi kebahagiaan. Sampai pada suatu saat, hari naasnya tiba. Arus yang ada di kali itu menyeretnya ke dalam suatu situasi yang sangat membahayakan dan memalukan. Ia pun terpaksa harus meminta tolong pada orang di salah satu rumah yang berdiri di depan kali itu. Hal ini adalah keputusan yang berat untuk diambil. Selama melakukan petualangan di kali itu, ia berusaha menyembunyikan kebiasaannya itu, bahkan pada istrinya sendiri. Perbuatannya berenang di kali adalah sebuah aib yang harus disembunyikan. Dengan meminta tolong pada orang lain, itu berarti rahasianya tak menjadi rahasia lagi. Apa daya, ia tetap meminta tolong. Rumah yang ia ketuk adalah rumah Nyonya Aubrey, seorang janda. Sikap nyonya Aubrey tak sama dengan apa yang ada dipikirannya. Nyonya itu mau menolong dirinya. Namun sayang, ia tak hanya membantu. Pertemuannya dengan nyonya Aubrey malah membawanya pada perbuatan yang lain lagi: perselingkuhan. Setelah semua kejadian yang dialaminya, yang berakhir dengan sebuah perselingkuhan, Barkey merasa harus mengakhiri petualangannya di kali itu. Sepulang dari rumah nyonya Aubrey, ia langsung masuk ke rumahnya dan bergegas menuju pintu belakang rumahnya,
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
42
pintu yang membawanya pada sebuah petualangan penuh aib. Ia mengunci pintu itu, memalangnya, menutupnya hingga tak terbuka lagi. Ia meninggalkan aib itu pada tempatnya yang kotor. Seperti yang terlihat dalam ringkasan di atas, tokoh utama di dalam teks “Vivere Pericolosamente” adalah Tuan Barkey. Selain tuan tersebut, tokoh-tokoh sampingan lain yang penting untuk diperhatikan adalah Nyonya Aubrey, orang kampung, orang Eropah, dan teman sejawat.
3.4.3. Cuk Teks yang terakhir adalah “Cuk”. Teks ini berkisah tentang hubungan percintaan Cuk dengan dua laki-lakinya, Elmo dan Man. Keduanya adalah teman sepermainan Cuk di dunia perburuan. Jalinan kasih Cuk dengan masing-masing pemuda tersebut tidak berjalan dengan mudah saja. Ada permasalahan mendasar di antara mereka yang tak dapat diselesaikan dan menjadi onak bagi hubungan itu. Hal yang membuat mereka bisa terpersatukan adalah perburuan akan seekor babi hutan yang disebut Si Badak. Hubungan Cuk, baik dengan Elmo maupun dengan Man, berakhir dengan begitu tragis. Kedua laki-laki itu terbunuh oleh satu senapan. Elmo terbunuh karena kecerobohannya sendiri, sedangkan Man terbunuh karena kecerobohan Cuk. Cuk mengira ia melihat Si Badak, maka ia menembaknya. Namun ternyata itu adalah Man. Kematian Man membuat Cuk merasakan dukacita yang sangat mendalam. Kematian itu pula yang membuatnya kembali pulang ke rumah ibunya di Rumah Tiga. Selain Elmo, Man, dan ibunya, tokoh sampingan lainnya yang juga hadir adalah Muhamad Nur. Ia adalah sosok yang menyatakan bahwa Cuk adalah seorang Indo.
Universitas Indonesia Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
BAB 4 JEJAK-JEJAK POSKOLONIALITAS DALAM TIGA TEKS VINCENT MAHIEU
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bab Pendahuluan, tujuan penelitian ini adalah memperlihatkan jejak-jejak poskolonialitas pada tiga teks Vincent Mahieu, yaitu “Sahabat Si Ulat”, “Vivere Pericolosamente”, dan “Cuk”. Jejak-jejak poskolonialitas yang akan dicoba untuk ditemukan terkait dengan permasalahan bahasa dan identitas. Subsider yang akan dibahas di bawah pokok bahasa adalah kanonisitas dan kejanggalan peristiwa; sedangkan subsider yang akan dibahas di bawah pokok identitas adalah hibriditas, mimikri, dan ambivalensi.
4.1
Kanonisitas dalam Tiga Teks Vincent Mahieu Melalui analisis yang dilakukan terhadap tiga teks Vincent Mahieu dapat
ditemukan pula efek dari kanonisitas. Meskipun upaya perbandingan dengan teksteks naratif Barat (Eropa) belum dilakukan secara menyeluruh, kita tetap dapat menemukan jejak-jejak dari efek kanonisitas tersebut. Jejak-jejak tersebut terlihat dalam unsur-unsur yang berbeda pada tiap teks Vincent Mahieu. Untuk itu akan dipaparkan satu persatu jejak dari efek kanonisitas tersebut beserta letaknya dalam teks. Pada teks “Sahabat Si Ulat”, jejak kanonisitas termaktub dalam sosok tokoh utama serta pada referensi yang digunakan oleh tokoh utama tersebut. Tokoh utama dalam teks tersebut adalah Little Lord Fauntleroy atau sering disebut sebagai Lord Fauntleroy. Ia adalah seorang anak yang dapat diidentifikasi sebagai representasi sosok Eropa. Nama tokoh utama tersebut tak lain adalah judul sebuah cerita dongeng anak-anak. Cerita tersebut ditulis oleh seorang wanita pengarang cerita anak-anak berkebangsaan Inggris bernama Frances Eliza Hodgson Burnett. Karangannya yang berjudul Little Lord Fauntleroy pertama kali
43 Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
44
diterbitkan sebagai serial dalam St. Nicholas Magazine pada November 1885 hingga Oktober 1886. Serial tersebut kemudian dibukukan pada tahun 1886. Pada awal tahun 1900-an, Little Lord Fauntleroy mulai direproduksi ke dalam bentuk film. Reproduksi tersebut pertama dilakukan pada tahun 1914. Setelah itu pada tahun 1918, 1921, 1936, 1980, 1988, dan 1995 dibuat lagi oleh pihak-pihak yang berbeda-beda. Penyalinan ulang buku Little Lord Fauntleroy juga banyak dilakukan. Selain penyalinan, di Hindia-Belanda dilakukan juga penerjemahan terhadap buku teresebut oleh lembaga Volkslectuur. Penerjemahan terhadap buku tersebut adalah salah satu kerja yang dianggap sukses oleh pejabat Volkslectuur (Jedamski, 2005, hal. 224). Jika kita membandingkan tokoh utama dalam teks “Sahabat Si Ulat” dengan tokoh utama dalam teks Little Lord Fauntleroy hal yang paling mencolok adalah kesamaan gambaran fisik mereka. Di dalam teks pertama tokoh utama digambarkan demikian: Pada foto-foto semasa kecil orang melihatku sebagai seorang anak berpakaian beludru dengan kerah renda dan dengan rambut keriting berwarna pirang. Semacam nama kehormatan –nama bujukan—yang aku ingat dari masa itu ialah Little Lord Fauntleroy. (Mahieu, 1976a, hal. 2) Teks-teks Little Lord Fauntleroy pun menggambarkan Lord Fauntleroy seperti demikian. Melalui ilustrasi yang terdapat dalam buku Little Lord Fauntleroy dapat diketahui bahwa Lord Fauntleroy memiliki rambut ikal dan menggunakan pakaian berkerah. Jejak dari efek kanonisitas kemudian juga terlihat melalui penyebutanpenyebutan beberapa teks bacaan ala Barat. Teks-teks tersebut ditampilkan sebagai sebuah acuan yang digunakan oleh tokoh utama dalam melihat keadaan di sekitarnya. Teks-teks yang disebutkan tersebut adalah Menuju Pusat Bumi dan Si Janggut Biru. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan Menuju Pusat Bumi adalah Voyage au centre de la Terre karya Jules Verne, seorang pengarang Perancis, yang terbit pada tahun 1864. Karya-karya Jules Verne sendiri memang cukup banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan diterima dengan baik oleh pembaca di Hindia-Belanda (Jedamski, 2008). Untuk teks yang kedua, kemungkinan besar yang dimaksud adalah La Barbe bleue karya Charles Perrault, Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
45
seorang pengarang Perancis. Dongeng ini pertama kali dipublikasikan dalam Histoires ou contes du temps passé pada tahun 1697 (Bottigheimer, 2008).
Gambar 4.1 Little Lord Fauntleroy Sumber: E-book Little Lord Fauntleroy dari www.forgottenbooks.org
Perlu diketahui juga, kemudian, bahwa sosok Lord Fauntleroy pada teks “Sahabat Si Ulat” juga serupa dengan sosok-sosok yang ditemui oleh Jedamski, yaitu memiliki sifat heroik dan pantang menyerah. Keheroikan Lord Fauntleroy Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
46
dalam teks “Sahabat Si Ulat” terlihat dalam hubungannya dengan satu tokoh sampingan, yaitu anjing. Dalam teks tersebut, nampak Lord Fauntleroy digambarkan sebagai sosok ‘penolong’ anjing. Selain itu ditampakkan pula sifat pantang menyerah dalam hubungannya dengan sosok anjing tersebut. Sifat heroik dan pantang menyerah itu kemudian dicoba untuk ditampilkan pula dalam teks “Vivere Pericolosamente”. Sifat-sifat tersebut terlihat dalam tokoh utama teks tersebut, yaitu Tuan Barkey. Sifat pantang menyerah tuan Barkey sebenarnya lebih mengarah pada sifat keras kepala. Dalam teks tersebut, tuan Barkey digambarkan sebagai sosok yang merepresentasikan sosok Eropa. Namun demikian, ia melakukan kegiatan yang hanya dilakukan oleh pribumi, yaitu berenang di kali. Sesungguhnya Tuan Barkey telah mengetahui bahwa perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma yang dipahami
oleh
orang-orang
sejenisnya.
Meskipun
demikian,
ia
tetap
melakukannya dan tak memedulikan norma yang berlaku tersebut. Tuan Barkey menjadi sosok yang tak tahu malu. Ia baru menyadari bahwa perbuatannya adalah sebuah aib yang memalukan ketika ia mengalami kecelakaan di kali dan kemudian ditertawai oleh beberapa orang kampung. Sifat keras kepala Tuan Barkey dan tak tahu malunya tersebut mengingatkan kita pada sosok raja dalam dongeng “Baju Baru Sang Raja”. Dongeng Barat (Eropa) tersebut, yang berjudul asli “Kejserens nye Klæder” atau “The Emperor’s New Clothes”, ditulis oleh Hans Christian Andersen, seorang penulis cerita dongeng ternama asal Denmark. Dongeng tersebut pertama kali dipublikasikan dalam Eventyr, fortalte for BBørn. Første Samling. Tredie Hefte pada tahun 1837 oleh penerbit C.A. Reitzel di Kopenhagen. Dongeng tersebut berkisah tentang seorang raja yang dibohongi dan dibodohi oleh dua orang penjahit. Mereka mengaku akan membuatkan raja tersebut sebuah baju yang sangat indah. Namun pada kenyataannya mereka tak membuat apa-apa. Raja yang percaya begitu saja pada kedua penjahit tersebut hanya menurut ketika mereka berpura-pura mengenakan baju itu kepadanya. Setelah itu Raja berjalan keliling negeri dan disaksikan seluruh rakyatnya. Semua mata memandang dengan heran, namun semua hanya diam. Sampai pada akhirnya seorang anak berteriak keheranan mengomentari sang Raja. Baru ketika itulah sang Raja menyadari Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
47
bahwa ia memang tak mengenakan apa-apa. Ia pun menjadi begitu malu. Hal yang sama telah kita lihat terjadi pula pada tuan Barkey.
Gambar 4.2 Ilustrasi Baju Baru Sang Raja oleh Vilhelm Pedersen (1) Sumber: www.wikipedia.com
Gambar 4.3 Ilustrasi Baju Baru Sang Raja oleh Vilhelm Pedersen (2) Sumber: www.wikipedia.com
Penyaduran tokoh-tokoh dalam kanon sastra Barat juga terlihat dalam teks “Cuk”. Kali ini Mahieu menggunakan sosok-sosok yang ada di dalam mitologi Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
48
klasik bangsa Nordik (Beekman, 1998, hal. 532). Beekman menulis sebagai berikut. Het lijkt misschien vreemd om in deze tropische context te verwijzen naar Noorse mythen, maar Boon deelt mee dat de oorspronkelijke naam van Man Herman was, en die van Tjoek, Gerda. Beide zijn bekende Germaanse namen: Herman betekent ‘man’, ‘held’ of ‘strijder’ en Gerda, de verkorte vorm voor Gerhardina, was de vrouw van Freyr. (Beekman, 1998: 532) Beekman menyebutkan bahwa sosok tersebut adalah Gerhardina (Gerðr dalam bahasa Nordik klasik) atau sering pula disebut Gerda. Di dalam teks “Cuk” kita akan mengetahui bahwa Gerda adalah nama asli Cuk. Sedangkan nama Man, yang merujuk pada nama ‘Herman’ adalah nama khas Jerman.
Gambar 4.4 Skirnir's Message to Gerd (1908) karya W. G. Collingwood. Sumber: www.wikipedia.com
Di sini kita dapat melihat bahwa pemahaman Jedamski tentang peranan kanon-kanon sastra Barat juga terlihat dalam tiga teks karya Vincent Mahieu. Ketiga teks tersebut dapat dilihat sebagai teks-teks yang memiliki struktur serupa (tapi tidak sama), terutama, dalam karakter tokoh-tokohnya dengan kanon-kanon sastra Barat. Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
49
4.2
Kejanggalan Peristiwa dalam Tiga Teks Vincent Mahieu Hal lain yang juga merupakan ciri poskolonialitas dalam teks adalah
adanya kejanggalan-kejanggalan peristiwa. Seperti yang telah disebutkan dalam bab 2, kejanggalan seperti demikian disebutnya sebagai sebuah bentuk kegagapan. Di dalam tiga teks Vincent Mahieu kejanggalan-kejanggalan tersebut berwujud perpindahan, kesialan, kehilangan, dan kematian yang dialami tokoh-tokohnya. Semua kejadian tersebut terjadi begitu tiba-tiba dan seringkali tidak dapat ditelusur penyebabnya yang jelas. Dalam paragraf-paragraf di bawah ini akan dipaparkan kejanggalan-kejanggalan yang ada di dalam ketiga teks. Setelah itu akan diberikan pula pembahasannya. Pertama-tama kita akan melihat kejanggalan dalam teks “Sahabat Si Ulat”. Kejanggalan tersebut pertama-tama terlihat saat Lord Fauntleroy menjelaskan tentang perpindahannya ke Kemayoran. Perpindahan itu tidak dia ketahui dengan benar penyebabnya. Ia hanya mengira-ngira bahwa ada yang terjadi, dan tiba-tiba ia terbangun begitu saja: Ada sesuatu yang terjadi di dunia sekitarku, yang aku tidak mengerti. Jaman malaise? Ayah dipecat? Susah perumahan? Ketiga-tiganya sekaligus? Pada suatu hari yang baik kupu-kupu terbangun dalam sebuah kepompong. (Mahieu, 1976a, hal. 2) Di sini nampak bahwa keganjilan tersebut ditegaskan sendiri oleh pencerita dalam teks. Seolah-olah ia memang sadar akan adanya kejanggalan. Selain kejanggalan, ketiba-tibaan juga dapat kita lihat dalam teks “Sahabat Si Ulat”. Peristiwa tibatiba yang dialami Lord Fauntleroy adalah peristiwa penangkapan anjing. Kejanggalan yang disadari oleh tokoh seperti Lord Fauntleroy tidak dialami oleh Tuan Barkey. Peristiwa kecelakaan yang dialaminya begitu mengagetkan dan membuatnya benar-benar panik. Peristiwa itu adalah terseretnya dirinya oleh arus kali Ciliwung saat sedang berenang di sana. Kecelakaan tersebut sangatlah tiba-tiba. Hanya disebutkan bahwa air kali pada waktu itu memang cukup terlalu deras. Perhatikan kutipan berikut. Juga yang penghabisan kali itu tuan Barkey terjun ke dalam air dengan perasaan gembira dan tidak curiga apa-apa. Dua hari sudah turun hujan keras, rupanya juga di Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
50
pegunungan sana. Sebab air di kali naik sehinggapun tepi kali di belakang bangunan-bangunan tambahan terbenam dalam air. Namun demikian tuan Barkey terjun lagi ke dalam air seperti anjing laut putih yang menganggap air bukan lagi suatu bahaya yang mengancam tapi hanya unsur alam saja. [...] Jadi tuan Barkey merasa senang sekali, belum pernah ia merasa sesenang itu. Sambil mendengus ia menguak menempuh air, tidak sejengkalpun mau mengalah kepada arus. Pun di tengah kali ia tidak mau mengalah, meskipun arus di situ paling keras. Ia mengawasi kotoran yang mengapung ke arahnya, sambil dengan cekatan mengelakkan dahan-dahan dan batang pisang. Tapi bahaya menyergapnya dengan cara yang hina dari belakang. Tali celana kolornya tiba-tiba putus dan arus keras segera meloloskan celananya dari pinggangnya. Tuan Barkey tiba-tiba terputar-putar dalam perasaannya dan di dalam air. Ia malahan merasakan dirinya telanjang bulat secara memalukan dalam air coklat yang pekat, [...] (Mahieu, 1976a, 66-67) Di dalam teks “Cuk” begitu banyak peristiwa janggal yang dapat ditemukan.
Peristiwa-peristiwa
janggal
tersebut
adalah
kematian
Elmo,
menghilangnya senapan Elmo, menghilangnya Man, serta kematian Man. Kematian Elmo dapat disebut sebagai peristiwa yang janggal karena penyebab kecelakaannya adalah kecerobohan Elmo sendiri. Seperti yang telah dikethaui melalui teks, Elmo dikenal sebagai pemburu yang handal. Tentu dengan demikian, ia sudah sangat mahir menggunakan senapan. Perhatikan kutipan tentang sosok Elmo di bawah ini: Elmo adalah pemburu yang paling baik dari semua. Dari semua laki-laki yang dikenal Cuk dialah yang paling kuat, yang paling tidak kenal lelah, yang paling cepat, paling cerdik dan paling berani. Di manapun ia berburu dan bagaimanapun ia berburu, dengan cis persis di depan rumah atau dengan Mauser empat puluh mil lebih jauh, tidak pernah ia pulang tanpa perolehan. (Mahieu, 1976, hal. 33) Dengan kenyataan yang terlihat dari kutipan di atas, tentu sangat aneh ia sampai harus meregang nyawa karena kecerobohannya sendiri –tersandung dan
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
51
kemudian tertembak senapan yang sedang ia sandang. Perhatikan kutipan tentang peristiwa kematian Elmo di bawah ini. Itulah hari Elmo pulang tanpa membawa apa-apa. Mula-mula orang hampir tidak tahu. Dan ketika orang tahu, orang tertawa (agak lega juga). Dan orang mengejek sambil tertawa. Dan orang juga agak kesal, karena Elmo rupanya selalu teringat kepada nasibnya yang sial itu. Ia tidak berkata-kata dan termenung-menung. Dan gelisah saja. Omong kosong. Bukankah di sini sekali lagi terbukti dengan jelas bahwa ada apa yang disebut nasib mujur seorang pemburu? Senapan mana yang tidak pernah luput? Tangan mana yang tidak pernah gagal? Mata mana yang tidak pernah melihat bayangan? Tapi sisihkan segala logika: agak mengecewakan juga melihat Elmo dalam kekecilan jiwanya. Dan orang mendengarkan setengahsetengah saja keterangan Elmo yang aneh: ‘Ada sesuatu yang mengatakan: tidak bakal lagi. Tangan. Tembok. Aku tidak mengerti.’ Agak linglung ia ke luar berajalan-jalan, separoh mendengar berbagai cerita. Tiba-tiba ia berkata: ‘Itu tentu saja omong kosong. Aku pergi sebentar menembak sesuatu di seberang sana. Mandar cukuplah. Atau burung kuntul. Burung pipit boleh juga.’ Ia berjalan di serambi dan melompati sekolan. Ia tersandung. Senapan meletus, larasnya di sisinya, sehingga bunyi letusan hampir-hampir tidak kedengaran. Dan ia tewas seketika. Mereka meletakkannya di atas tanah dalam salah sebuah kamar kosong dan seseorang pergi dengan mobil Indiannya memberitahu polisi. Suasana malam yang sial menimpa rumah itu di siang hari yang cerah. Orang bicara berbisik-bisik dan berjalan sambil berjingkat. Cuk tidak dapat percaya bahwa Elmo sudah mati. (Mahieu, 1976b, hal. 35) Dari kutipan di atas, satu-satunya peristiwa yang terjadi sebelum kematian Elmo adalah kesialan Elmo dalam mencari buruan. Seolah-olah karena ia tidak mampu mendapatkan buruan ia menjadi begitu frustasi dan kehilangan arah. Hal tersebut kemudian berujung pada kematiannya. Namun demikian, kematian tersebut juga tidak terjadi karena ia membunuh dirinya sendiri. Tidak ada keterangan tentang hal tersebut, yang ada adalah bahwa ia tersandung. Peristiwa tersandungnya Elmo
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
52
ini tentu sangat aneh, begitu tiba-tiba dan tidak ada penyebabnya. Ia hanya harus mati saja, tanpa ada alasan apa-apa. Peristiwa kematian tersebut, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bukanlah satu-satunya kejanggalan. Menghilangnya senapan Elmo setelah kematian dirinya juga bentuk kejanggalan lain. Perhatikan kutipan di bawah ini. Tapi perasaan kesedihan orang karena kematian Elmo yang tiba-tiba itu sekonyong-konyong berobah menjadi kekagetan ketika dalam penyelidikan yang segera dilakukan oleh polisi ternyata bahwa senapan Bayard Elmo hilang. Dicuri orang? Mana bisa? Tidak ada orang yang meninggalkan tempat itu sejak letusan yang celaka itu. Lagipula: siapa yang mau mencuri senapa seorang sahabat? Siapa yang mau mencuri senapan sial dari seorang sahabat atau dari siapapun juga? Di sini dan pada saat ini lahirlah dongeng mengenai senapan setan itu, dongeng yang menyebabkan daerah itu lama menjadi aman. Penyelidikan polisi sia-sia (sampai-sampai menunjuk orang tidak bersalah dan menggeledah rumah) sudah beberapa waktu dihentikan –tentu saja. Sebab-sebab hilangnya yang gaib akhirnya menjadi begitu panjang, begitu umum diketahui! Senapan ajaib yang tidak pernah luncas, rumah setan, seluruh daerah hantu itu! rumah perburuan itu hilang dan rumah setan itu lahir kembali lebih dahsyat dari sebelumnya. Orang tidak pernah lagi datang ke sana. (Mahieu, 1976b, hal. 36) Kejanggalan dalam peristiwa hilangnya senapan ini adalah tidak adanya keterangan atau petunjuk-petunjuk tentang adanya tokoh lain yang memang memiliki keinginan untuk memiliki senapan tersebut. Sekali lagi, seolah-olah memang senapan itu harus saja hilang, tanpa ada alasan apa-apa. Teks lalu mengarahkan kecurigaan pada Man, seorang tokoh yang lain lagi, yang belum pernah disebutkan sebelumnya. Kecurigaan tersebut timbul hanya karena Man hilang setelah peristiwa kematian Elmo. Dan ada lagi yang hilang tanpa bekas hari itu. Yaitu seorang anak laki-laki, miskin, bertubuh kecil, pendiam, berkulit hitam. Namanya si Man. (Mahieu, 1976b, 37)
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
53
Cuklah yang kemudian menemukan Man di sebuah kuburan. Pada pertemuan mereka itu, Man nampak panik dan takut melihat Cuk. Namun tetap, meskipun pada akhirnya diketahui bahwa senapan Elmo ada di sana, tidak ada bukti bahwa memang Man lah yang mengambil senapan itu. Selain itu, memang tidak disebutkan bahwa Man pernah menginginkan senapan tersebut, meskipun ia memang pernah menggunakannya. Peristiwa janggal selanjutnya adalah kematian Man. Kematian Man ini disebabkan oleh Cuk. Perhatikan kutipan di bawah ini. Ketika bulan yang tipis seperti sabit merobah Rawa Besar menjadi impian yang hidup, begitu mutlak, begitu mendesak, shingga yang dapat mengembalikannya ke pada kenyataan hanya munculnya si Badak. Dan Si Badak muncul. Dari profil pokok perdu dan semak-semak yang membatu, bayangannya melepaskan diri tanpa suara dalam gerak yang magis melintasi air yang biru. Sekarang. Sekarang! Tangan-tangan Cuk yang berat mengangkat Baryad dengan susah payah bergulat dengan kantuknya ia menyandang senapannya dan membidik. Sekarang! Sekarang juga! Lalu letusan menggelegar mengembalikan suasana ke pada kenyataan, tamparan kembali senapan ditembakkan dan teriakan Man yang mengerikan: ‘Cuuuuuk!!!’ Suaranya menghilang dalam belahak kerongkongan, bayangan tadi sesaat berdiri dalam rupa Man tersayang yang kemudian terbenam ke dalam rawa, saat terakhir lengannya lurus ke atas, sampai jatuh lemas terkulai. Seperti tanda isyarat: selesai. (Mahieu, 1976b, hal. 62) Dalam peristiwa kematian Man ini, pelakunya memang nampak lebih jelas. Meskipun demikian, peristiwa yang didasari oleh ketaksengajaan menambah kejanggalan teks “Cuk” ini. Seolah-olah dua tokohnya, Elmo dan Man, memang harus tertembak mati senjata tersebut. Tidak diperlukan alasan yang jelas, seolaholah memang suratan takdir.
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
54
4.3
Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi dalam Tiga Teks Hibriditas, perilaku mimikri dan kaitannya dengan ambivalensi, seperti
yang telah dipaparkan pada bab kedua, adalah tiga jejak poskolonialitas yang dapat ditemukan dalam sebuah teks naratif. Jejak-jejak tersebut dapat terbaca dari empat unsur teks naratif, yaitu 1) tokoh; 2) peristiwa; 3) bangun ruang kisah, dan 4) struktur waktu. Perlu ditekankan pula bahwa secara khusus yang dibahas adalah tokoh utama. Tokoh utama tersebut, selain dijelaskan penggambarannya, dilihat pula dalam kaitannya dengan tokoh sampingan serta dengan peristiwa; sedangkan bangun ruang kisah akan dilihat dalam kaitannya dengan struktur waktu. Melalui penggambaran-penggambaran teks tentang keempat unsur tersebut, akan kita temukan 1) hibriditas yang terlihat dalam sosok tokoh utama dan bangun ruang kisah; 2) ambivalensi dan perilaku mimikri yang termaktub dalam para tokoh utama; serta 3) ambivalensi yang termaktub dalam bangun ruang kisah dan struktur waktu.
4.3.1
Hibriditas dalam Tiga Teks Seperti yang telah disebutkan dalam bab kedua, hibriditas dimengerti
sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya yang berbeda. Interaksi tersebut lantas menghasilkan pembentukan budaya-budaya baru dan identitas-identitas baru. Jejak hibriditas dapat terlihat dalam ketiga teks yang menjadi bahan penelitian ini; terutama pada para tokoh utamanya dalam menjalani kehidupan. Para tokoh utama tersebut, meskipun secara biologis adalah seorang Eurasia, direpresentasikan oleh narator ataupun tokoh lain sebagai sosok-sosok Eropa. Dengan demikian kehidupan yang mereka jalani pun merupakan paduan dari budaya-budaya yang berbeda. Selain itu, bangunan-bangunan yang ada juga seringkali memperlihatkan jejak hibriditas tersebut. Dalam teks “Sahabat Si Ulat” akan ditemukan rumah yang merupakan hasil dari paduan budaya yang berbeda. Kepompong itu berupa sebuah rumah Hindia kuno dengan dinding bambu anyaman yang dikapur putih, dengan hanya sebuah dinding depan yang disemen. Agak megah juga, dengan tangga-tangga yang lebar ke serambi depan yang luas, tiang-tiang, sebuah dinding muka yang megah dengan tulisan Anno 1880 di atasnya, sedangkan Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
55
atap depan dari seng sudah mulai karatan dan rayap-rayap sibuk melubangi fondamen-fondamennya. Semakin orang masuk ke dalam rumah, semakin miskin kelihatannya. Tangganya dari batu pualam, serambi luarnya juga, serambi dalam dari ubin yang licin dan dari sana hanya ada ubin yang merah dan murah harganya, namun demikian terasa sejuk, dingin dan lembut bagi kaki tiada beralas. Dinding-dinding terbuat dari bambu dianyam, kapurnya mengelupas dan malam hari kedengaran terus menerus bunyi bisikan bubuk. Setelah bangunan utama, bangunan tambahan. Semakin kita ke belakang, semakin sedikit tampak kayu dan semakin banyak bambu, semakin gundul dan semakin miskin. (Mahieu, 1976a, hal. 2) Dalam teks berikutnya, yaitu “Vivere Pericolosamente”, kita akan menemukan sosok Tuan Barkey yang direpresentasikan sebagai sosok Eropa, namun berlaku seperti pribumi. Ia berenang di kali Ciliwung, seperti kebanyakan pribumi di daerah itu. Meskipun demikian, ia tetap berupaya menjalani kehidupan Eropanya seperti berlangganan tromol baca. Salah satu hal yang Mereka membaca buku-buku romannya, berlangganan tromol bacanya, [...]. Si nyonya mempunyai kebiasaan membaca sampai jauh malam di tempat tidur, tapi kekurangan tidur itu diperbaikinya dengan tidur siang yang lama: dia tidur dari setengah dua, segera sesudah makan nasi yang banyak, sampai jam lima seperti kerbau. (Mahieu, 1976a, 62) Di dalam teks “Cuk”, paduan budaya atau hibriditas terutama dapat terlihat dari minat tokoh Cuk. Sebagai seorang berdarah Eropa, meskipun hanya sebagian, ia menyukai musik-musik klasik Barat/Eropa. Sehari-hari, ia menggunakan baju bermodel gaun, meskipun demikian ia tidak menggunakan alas kaki. Kakinya selalu tidak memakai apa-apa dan gaunnya selalu lusuh. [...] Cukpun memakai gaun kepanjangan, yang kadang-kadang dipendekkannya di bagian perut dengan benang hitam, beberapa peniti dan jepitan kertas. (Mahieu, 1976b, hal. 20) Meskipun sehari-hari ia nampak begitu miskin, Cuk memiliki mimpi untuk pergi ke negeri-negeri Barat:
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
56
“Ia ingin ke Eropah dan Amerika dan Syanghai dan Singgapura. Betapapun juga pergi dari orang-orang kota ini. Ia mengumpulkan gambar-gambar majalah, tuantuan pakai baju rok, wanita-wanita dalam pakaian malam, vila-vila dan jamuan pesta malam. (Mahieu, 1976b, 48) Seperti yang telah disebutkan pada bab kedua, praktik langsung dari kolonialisme dan yang menjadi ruang atas hadirnya kemungkinan-kemungkinan hibriditas itu ternyata tidak selalu sekuat obsesinya. Selain itu, Bhabha juga mengatakan bahwa fakta bahwa gambaran langsung dari ‘paduan budaya’ hanyalah ruang ambivalen dan perilaku-perilaku kontradiktif. Hal tersebut dapat terlihat dalam subbab-subbab berikutnya yang membahas mimikri dan ambivalensi.
4.3.2
Perilaku Mimikri dan Ambivalensi Tiga Tokoh Utama Untuk melihat posisi tiga tokoh utama sebagai sosok yang ambivalen, kita
dapat melihat pilihan-pilihan posisi yang mereka ambil. Tokoh-tokoh tersebut nampak terjebak di antara 1) konstruksi yang diberikan oleh pencerita dan tokohtokoh sampingan dan 2) keinginan-keinginan mereka sendiri. Namun demikian, seringkali mereka tetap memiliki keinginan untuk berperilaku yang ‘berbeda’ dari konstruksi yang diberikan tersebut. Dapat dikatakan pula, seolah-olah selalu ada keinginan untuk mencari tahu apakah pandangan atau konstruksi yang diberikan oleh para orang ketiga tersebut (pencerita dan tokoh sampingan) adalah benar. Pencerita dan tokoh-tokoh sampingan tersebut mengkonstruksi tiga tokoh utama dalam tiap cerpen sebagai sosok Eropa ataupun Indo yang condong ke Eropa. Seringkali hal tersebut didasarkan pada ciri fisik dan nama para tokoh utama tersebut. Hal ini sangat terlihat pada teks “Sahabat Si Ulat” dan “Vivere Pericolosamente”. Sedangkan pada teks “Cuk” keeropaan hanya terlihat dari nama asli sang tokoh utama. Ciri fisik sang tokoh utama tersebut tidak seperti sosok Eropa. Untuk melihat konstruksi, yang berkaitan dengan ciri fisik dan nama, masing-masing pencerita dan tokoh-tokoh sampingan terhadap para tokoh utama, berikut tabel kutipan yang diambil dari masing-masing teks.
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
57
1.
Orang (melalui pencerita)
2.
Pencerita
Sahabat Si Ulat “Pada foto-foto semasa kecil orang melihatku sebagai seorang anak berpakaian beludru dengan kerah renda dan dengan rambut keriting berwarna pirang” (Mahieu, 1976a, hal. 1). Semacam nama kehormatan –nama bujukan– yang aku ingat dari masa itu ialah Little Lord Fauntleroy. (Mahieu, 1976a, hal. 1) Tabel 4.1. Kutipan “Sahabat Si Ulat”
Vivere Pericolosamente Tuan Barkey sebenarnya seorang Indo, seperti nyata dari namanya menurut orang yang tahu. (Mahieu, 1976a, hal. 62). 2. Pencerita Tapi ia suatu tipe yang sangat istimewa, jenis yang lengkap, kulitnya putih. (Mahieu, 1967a, hal. 62) 3. Orang Eropah Banyak orang Eropah yang menyangka ia seorang (melalui pencerita) totok karena rambutnya yang pirang, matanya yang biru dan kulitnya yang putih. (Mahieu, 1967a, hal. 62) 4. Penduduk Pun penduduk kampung di atas sana sudah kampung terbiasa dengan orang Belanda aneh yang suka (melalui pencerita) berenang itu. [...] Si orang Eropah Barkey pun menjadi suatu gejala biasa di kali. (Mahieu, 1976a, hal. 66) 1.
Pencerita
Tabel 4.2. Kutipan “Vivere Pericolosamente”
1.
Pencerita
2.
Muhamad Nur (lewat pencerita)
3.
Pencerita
Cuk Kakinya selalu tidak memakai apa-apa dan gaunnya selalu lusuh. Rambutnya hitam, di sanasini coklat dan dia anak biasa saja. (Mahieu, 1976a, hal. 20) Ia mengendap-endap mendekatinya dan dilihatnya gadis kecil itu, gadis Eropah dari Rumah Tiga. (Mahieu, 1976a, hal. 24) Tidak ada orang yang bisa melawan gadis berkulit sawo matang itu. Sebagian tentu saja karena ia berdarah Eropah, meskipun campuran dan meskipun pakaiannya lebih buruk dari pakaian anak kampung yang paling miskin. (Mahieu, Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
58
4.
Pencerita
1976a, hal. 31) Sebenarnya ia bernama Gerda. Tapi Gerda adalah nama untuk segala yang manis juita dan sabar. (Mahieu, 1976a, hal . 32) Tabel 4.3. Kutipan “Cuk”
Dari kutipan di atas, kita melihat bahwa sosok yang dikategorikan sebagai sosok Indo ataupun Indo yang condong ke Eropa secara eksplisit hanyalah Tuan Barkey dan Cuk. Hal tersebut terlihat dalam poin 1, 3, 4 dalam tabel Vivere Pericolosamente dan poin 2 dan 3 dalam tabel Cuk. Berbeda dengan itu, sosok Lord Fauntleroy tidak secara eksplisit dihadirkan sebagai sosok tersebut. Kita hanya dapat menebak-nebak melalui ciri fisik dan namanya saja. Perlu diperhatikan pula bahwa yang mengategorikan Tuan Barkey dan Cuk sebagai seorang Eropa adalah pencerita dan para tokoh sampingan. Secara spesifik lagi, tokoh sampingan yang mengategorikan Tuan Barkey adalah ‘penduduk kampung’ dan ‘orang Eropah’. Lalu keindoan Cuk ditunjukkan oleh penglihatan Muhamad Nur seperti yang terlihat pada poin 2 tabel Cuk. Melalui pandangan para pencerita dan tokoh-tokoh sampingan tersebut tidak hanya secara fisik saja dapat dilihat sebagai representasi dari sosok Eropa. Kehidupan yang mereka jalani juga dapat menjadi representasi sosok tersebut. Tuan Barkey dan istrinya, misalnya, mempunyai kebiasaan khas kelompok Eropa. Perhatikan penggambaran dari pencerita tentang kebiasaan mereka tersebut di bawah ini. Mereka membaca buku-buku romannya, berlangganan tromol bacanya, melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil di rumah dan sibuk dengan hobinya, tanpa saling mengganggu; semua mereka lakukan seperti anak-anak yang manis. Si nyonya mempunyai kebiasaan membaca sampai jauh malam di tempat tidur, tapi kekurangan tidur itu diperbaikinya dengan tidur siang yang lama: dia tidur dari setengah dua, segera sesudah makan nasi yang banyak, sampai jam lima seperti kerbau. (Mahieu, 1976a, 62) Melalui anotasi yang diberikan oleh Winniefred Anthonio (1991), kebiasaan berlangganan tromol baca adalah kebiasaan orang-orang Eropa (indo?) untuk Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
59
menjaga ‘kedekatan’ mereka dengan kehidupan Eropa. Bacaan-bacaan tersebut antara lain adalah Wereld Kroniek, De Lach, Sports in Beeld, d’Orient, dan La Vie Parisienne. Perhatikan kutipan di bawah ini. To keep up with the events in the West, many Europeans had a subscription for a book-dispatch box containing Western journals, magazines, and newspapers. Some of the magazines were the Wereld Kroniek [World Chronicle] comparable with Life Magazine; De Lach [The Smile] which focused on movies and lives of movie stars; Sports in Beeld [Sport Images] which gave an account of sports events in Europe; d'Orient, another news magazine; and La Vie Parisienne, a cultural magazine, which was written in Dutch in spite of its French name. Because a subscription to a book-dispatch box was rather costly, many Indo families shared one subscription. One usually kept the book-dispatch box for a week or two; then it was picked up and replaced with a new supply. All this information comes from my father and my mother's cousin. (Anthonio, 1991) Jika melihat keterangan Anthonio tersebut, menjalani kehidupan ala Eropa itu sesungguhnya sangatlah berat. Namun demikian, apapun kendalanya, hal tersebut terus saja dilakukan. Hal demikian juga dialami oleh Cuk. Meskipun ia berasal dari keluarga yang cukup miskin, ia tetap bersekolah. Kemiskinan tersebut, misalnya, dapat kita lihat dari pakaian yang biasa digunakan oleh Cuk. Perhatikan narasi pencerita di bawah ini. Mereka itu bajunya selalu lusuh, kebesaran atau kekecilan. Cuk selalu memakai gaun sampai menjadi kependekan baginya dan sampai ibunya berhasil meminta baju lain dari keluarga yang tidak erat lagi hubungannya dengan mereka. Atau dari Bala Keselamatan 1. Dan Cukpun memakai gaun kepanjangan, yang kadang-kadang dipendekkannya di bagian perut dengan benang hitam, beberapa peniti dan jepitan kertas. Bila sekolah, ia memakai sepatu yang
1
Bala Keselamatan (Salvation Army) adalah salah satu denominasi di kalangan Gereja Protestan. Mereka terkenal dengan pelayanan sosialnya seperti melaksanakan program dapur umum untuk kaum miskin, rumah tumpangan, panti asuhan, rumah sakit, ataupun proyek-proyek pembangunan lainnya untuk masyarakat. Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
60
terlalu besar baginya, sepatu tenis coklat, karena tidak ada kapur putih untuk mengapurnya. (Mahieu, 1976b, hal. 20) Namun demikian, meskipun Cuk berasal dari kelas sosial bawah, mimpinya adalah pergi ke tanah Eropa. Selain itu panutan-panutan Cuk pun adalah hal-hal yang berasal dari dunia Barat tersebut. Dalam kutipan di bawah ini, sang pencerita menerjemahkan kepada kita keinginan-keinginan Cuk. Cuk ingin pergi dari negeri ini. Ia ingin ke Eropah dan Amerika dan Syanghai dan Singapura. Betapapun juga pergi dari orang-orang kota ini. Ia mengumpulkan gambargambar majalah, tuan-tuan pakai baju rok, wanita-wanita dalam pakaian malam, vila-vila dan jamuan pesta malam. Dan ia menempelkannya di tembok hijau. (Mahieu, 1976b, hal. 48) Hal ini juga terlihat dalam sosok Lord Fauntleroy. Ia pun mendapat pendidikan khas Eropa semenjak kecil. Selain itu, buku-buku yang ia baca adalah buku-buku Eropa, seperti Menuju Pusat Bumi 2 dan dongeng Si Janggut Biru 3. Selain itu ia juga memiliki pengetahuan tentang pelukis mancanegara, yaitu Picasso 4. Perhatikan kutipan di bawah ini. Aku belajar membaca waktu masih kecil sekali dan aku dapat mengutip karangan orang dan berdeklamasi dengan cara yang manis sekali. (Mahieu, 1976a, hal. 2) [...] aku mengintip dari celah-celah pagar bambu kepada orang-orang seperti dalam dongeng si Janggut Biru [...]. (Mahieu, 1976a, hal. 2)
2
Kemungkinan besar yang dimaksud dengan Menuju Pusat Bumi adalah Voyage au centre de la Terre (1864) karya Jules Verne, seorang pengarang Perancis. Buku tersebut berkisah tentang seorang professor berkebangsaan Jerman yang melakukan perjalanan menuju pusat bumi. Perlu diketahui pula bahwa karya-karya Jules Verne dalam versi terjemahan ke dalam bahasa Melayu diterima dengan baik oleh pembaca Indonesia (Jedamski, 2008). 3 Kemungkinan besar yang dimaksud dengan dongeng Si Janggut Biru adalah La Barbe bleue karya Charles Perrault, seorang pengarang Perancis. Dongeng itu berkisah tentang seorang bangsawan yang mempunyai kebiasaan membunuh istri-istrinya. Dongeng ini pertama kali dipublikasi di Histoires ou contes du temps passé pada tahun 1697 (Bottigheimer, 2008). 4 Picasso (1881-1973) adalah seorang pelukis kelahiran Spanyol. Lukisannya dikategorikan dalam aliran kubisme. Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
61
Di tengah pekarangan belakang ada pohon mangga yang gundul dan hampir mati, seperti huruf kuno yang besar dari buku ‘Menuju Pusat Bumi’. (Mahieu, 1976a, hal. 7) Baru bertahun-tahun kemudian, pada Picasso, aku akan melihat kembali makhluk yang semustahil itu jeleknya. (Mahieu, 1976a, hal. 7) Di sini kita dapat melihat bahwa sosok-sosok tersebut melakukan sebuah peniruan atau mimikri untuk dapat dilihat merepresentasikan sosok Eropa. Namun demikian, selalu saja ada yang membuat keeropaan itu tidak dapat mereka tiru dengan sangat baik. Jika kita melihat kutipan di atas mengenai Lord Fauntleroy, dapat terlihat bahwa sesungguhnya hal tersebut disebabkan oleh adanya usahausaha perbandingan, yang nampaknya sangat acak dan serampangan, antara konsep-konsep atau pengetahuan Eropa/Barat dengan segala kehidupan yang ada di tempat hidup mereka yang notabene sangat jauh dari Eropa. Tidak dapat dipungkiri, mereka hidup di dalam sebuah lingkungan sosial yang memiliki kebudayaan berbeda. Oleh karena itu, timbul pula keinginankeinginan atau ketertarikan terhadap hal-hal tersebut. Tuan Barkey, misalnya, melihat kali di belakang rumahnya sebagai hal yang menarik. Maka dari itu, ia memiliki keinginan untuk berenang di sana. Namun demikian, karena hal tersebut tidak sesuai dengan gaya hidup dan pandangan hidupnya selama ini, ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Perhatikan keterangan mengenai hal tersebut dalam teks. Sejam kemudian barulah ia masuk rumah lagi. Sesudah seabad bermain-main seperti anak kecil, bertualang seperti anak nakal, berenang seperti seorang jantan. Waktu itu belum ada kolam renang di Betawi. Jadi tuan Barkey tidak pernah berenang. Ia bahkan tidak punya baju mandi. Tapi tidak mengapa kalau ia mandi memakai baju dalamnya. Kan tidak ada orang di sini. Permainan di kali itu menyenangkan seperti setiap pekerjaan terlarang dan menarik seperti sesuatu yang unik sekali. Kepala kantor mana yang berenang di kali? Bahkan komis tiga pun tidak akan melakukannya! Begitu istimewa dan begitu khas, sehingga tuan Barkey bahkan tidak menceritakannya kepada isterinya. Ia mandi bersih-bersih dengan Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
62
mempergunakan banyak sabun untuk menghilangkan bau kali. Ia berhasil menyimpan rahasianya beberapa bulan lamanya. (Mahieu, 1976a, hal. 65) Kebiasaan mandi, sesungguhnya adalah sesuatu yang dibenci orang-orang yang lahir di Belanda (Soekiman, 2011, hal. 83). Berbeda dengan itu, bagi Tuan Barkey nampaknya mandi menjadi hal yang biasa saja. Hal ini menimbulkan sebuah interpretasi bahwa ia adalah seorang Indo yang memang lahir dan besar di Hindia Belanda. Yang kemudian menjadi janggal adalah kegiatan tuan Barkey berenang di kali Ciliwung. Orang dengan ciri fisik demikian memang sangat janggal bila berdekatan dengan kali Ciliwung. Hanya orang-orang pribumi saja, khususnya perempuan, yang memiliki kebiasaan untuk beraktivitas secara langsung di kali (Soekiman, 2011, hal. 81). Dalam konsep pengetahuan barat, seperti dalam pandangan dr. Keuchenius, mandi di kali bukanlah kebiasaan yang sehat (Soekiman, 2011, hal. 82). Berdekatan dengan anjing yang penuh dengan bekas luka dan banyak kutunya juga bukanlah sebuah kebiasaan yang sehat. Lord Fauntleroy pun tahu hal tersebut. Maka dari itu ia tidak membawa anjing kampung yang dikenalnya pulang ke rumah meskipun keinginan untuk lebih dekat dengannya sangatlah besar. Perhatikan kegelisahan Lord Fauntleroy yang termaktub dalam kutipan di bawah ini. Aku pernah memikirkan untuk melepaskannya, tapi aku tidak boleh membawanya ke rumah. Di sini ia masih melakukan pekerjaan yang berguna dan betapapun juga ia dipelihara olehku. Apakah ia tidak dapat diikat pada tiang rumah? Tidak, terlalu busuk baunya, banyak kutunya dan ia ribut. Bagaimana mungkin aku sampai pada pikiran seperti itu? (Mahieu, 1976a, 9) Cuk, sebagai seorang perempuan, bahkan tidak hanya berdekatan dengan sesuatu yang tidak sehat saja. Ia mendekati kehidupan yang lebih berbahaya lagi, yaitu kehidupan ‘perburuan’. Sesungguhnya, pilihan untuk menjalani kehidupan tersebut juga merupakan pengaruh dari para tokoh sampingan, yaitu orang-orang di sekitarnya. Mereka melihat Cuk sebagai sosok yang memang dekat dengan sifat-sifat seorang pemburu. Ia “penuh nafsu dan mudah meledak” (Mahieu, Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
63
1976b, 32). Oleh karena itu, Cuk memperoleh nama panggilannya tersebut. Sesungguhnya nama asli Cuk adalah Gerda. Namun teman-teman Cuk melihat bahwa Gerda “adalah nama untuk segala yang manis juita dan sabar” (Mahieu, 1976b, 32); maka dari itu nama tersebut tidak cocok untuk Cuk. Nama julukan ‘Cuk’ pun kemudian seolah-olah “memaksanya bersikap sesuai dengan arti nama itu. Oleh karena itu Cuk lebih sengit, lebih langsung dan lebih berbahaya dari Cuk yang di rumah dan di sekolah bernama Gerda.” (Mahieu, 1976b, hal.33). Meskipun demikian, pertemuan Cuk dengan Elmo dan khususnya dengan Man membuat Cuk kemudian mengalami dilema yang cukup besar. Elmo melihatnya sebagai sosok perempuan yang seharusnya dapat berlaku manis dan anggun. Elmo kemudian memberikan Cuk perangkat yang dapat membentuk Cuk tersebut, seperti jepitan rambut ataupun baju (Mahieu, 1976b, 34). Selain itu ia juga seringkali memberikan nasihat-nasihat seperti: “Kau tidak boleh lagi duduk begitu, Cuk, dengan kaki-kakimu yang cantik. Kau anak perempuan, jangan lupa.” (Mahieu, 1976b, hal. 34). Di sini kita dapat melihat bahwa para tokoh utama tersebut memilih posisi yang penuh dengan nuansa ambivalensi. Di satu sisi, Lord Fauntleroy tahu bahwa anjing dapat saja menularkan penyakit kepadanya. Namun demikian ia tetap saja memiliki keinginan untuk mendekati anjing tersebut. Hal ini juga terjadi pada tuan Barkey. Pengetahuannya tentang kali Ciliwung sudah cukup luas, namun ia tetap memiliki keinginan untuk berenang di kali tersebut. Cuk pun demikian. Meski telah diberikan ‘pendidikan’ bahwa ia harus berlaku santun, ia tetap ingin menjadi pemburu. Keinginan-keinginan yang berbenturan dengan konstruksi yang diberikan orang lain membuat para tokoh mengalami situasi yang tidak nyaman. Mereka tidak bisa, dan mungkin juga tidak ingin, hanya memilih salah satu saja. Dengan demikian, kita akan menemukan Tuan Barkey yang sembunyi-sembunyi; Lord Fauntleroy yang terus meragu; serta Cuk yang penuh kecurigaan. Kita kemudian dapat menginterpretasi bahwa para tokoh memilih untuk melakukan mimikri terhadap dua kebudayaan yang ada, Barat dan Timur. Mereka menjadi sosok yang serupa tapi juga tak sama dengan sosok Barat ataupun Timur. Maka dapat kita lihat bahwa para tokoh utama tersebut kemudian berada dalam kondisi Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
64
fragmentasi dan terus melakukan duplikasi tiada henti. Pilihan-pilihan mereka begitu sulit untuk dapat diramalkan. Ambivalensi adalah jalan yang mereka pilih untuk bertahan hidup.
4.3.3
Ambivalensi Ruang dan Waktu Tiga Teks Tokoh tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu. Dengan demikian, dalam
sebuah kelogisan struktur naratif teks, perlu juga diperhatikan unsur ruang dan waktu para tokoh. Dalam tiga teks yang menjadi bahan penelitian ini, kita akan menemukan ruang dan waktu yang begitu samar-samar. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan tentunya: jika ruang dan waktu tempat hidup mereka saja samar, apakah para tokoh tersebut nyata adanya? Pertanyaan ini kemudian mengarah pada jawaban seperti pandangan Homi Bhabha mengenai adanya ruang ketiga yang bisa diisi oleh kawula-kawula kolonial. Dengan demikian, ruang dan waktu yang samar tersebut juga turut andil dalam menunjukkan adanya ciri poskolonial dalam teks sastra, yaitu ruang ambivalensi yang terbentuk dari perilaku mimikri. Di bawah ini, akan dipaparkan beberapa kutipan dari tiga teks Vincent Mahieu yang menunjukkan kesamaran unsur ruang dan waktunya.
Sahabat Si Ulat 1)
2)
3)
Aku dulu seekor kupu-kupu. Sampai usiaku delapan tahun. Aku dimasukkan ke dalam kepompong Kemayoran dan keluar dari dalamnya sebagai ulat yang culas. (Mahieu, 1976a, hal. 1) Ada sesuatu yang terjadi di dunia sekitarku, yang aku tidak mengerti. Jaman malaise? Ayah dipecat? Susah perumahan? Ketiga-tiganya sekaligus? (Mahieu, 1976a, hal. 2) Pada suatu hari yang baik kupu-kupu terbangun dalam sebuah kepompong. Kepompong itu berupa sebuah rumah Hindia kuno dengan dinding bambu anyaman yang dikapur putih, dengan sebuah dinding depan yang disemen. Agak megah juga, dengan tanggatangga yang lebar ke serambi depan yang luas, tiang-tiang, sebuah dinding muka yang megah dengan tulisan Anno 1880 di atasnya, sedangkan atap depan dari seng sudah mulai karatan dan rayap-rayap sibuk melubangi fondamennya. Semakin orang masuk ke dalam rumah, semakin miskin kelihatannya. Tangganya dari batu pualam, serambi luar juga, serambi dalam dari ubin yang licin dan dari sana hanya ada ubin yang merah Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
65
4)
5) 6) 7)
8)
dan murah harganya, namun demikian terasa sejuk, dingin dan lembut bagi kaki tiada beralas. Dinding-dinding terbuat dari bambu dianyam, kapurnya mengelupas dan malam hari kedengaran terus menerus bunyi bisikan bubuk. Setelah bangunan utama, bangunan tambahan. Semakin kita ke belakang, semakin sedikit tampak kayu dan semakin banyak bambu, semakin gundul dan semakin miskin. Begitulah aku melihatnya sekarang. Tetapi ketika aku masih kupu-kupu yang menjadi kepompong, aku tidak melihatnya. Rumah itu baru, menarik hati dan penuh petualangan. (Mahieu, 1976a, hal. 2-3) Di samping rumah kami ada tempat pembantaian dan petang hari apabila orang tuaku tidur, aku mengintip dari celah-celah pagar bambu kepada orang-orang seperti dalam dongeng si Janggut Biru, [...] (Mahieu, 1976a, hal. 3) Kampung yang agak kotor itu sebenarnya merupakan wilayahnya. (Mahieu, 1976a, hal. 4) Perut dan limpa merupakan makanan enak masa itu. (Mahieu, 1976a, hal. 4) Jauh kemudian aku mendengar cerita tentang harga diri untuk lebih baik minta berhenti bekerja dan sebagainya [...] Dahulu beberapa orangtua menanggung penderitaannya dan harga dirinya yang terluka sendiri-sendiri. Ada suatu keanehan waktu itu: orang tuaku tak pernah bertengkar dan tak pernah menangis melolong-lolong seperti sekian banyak orang tua dan sekian banyak teman-teman di sekitar itu. (Mahieu, 1976a, hal.4) Bunyi itu adalah bunyi anjing melolong. Tua sekali, jauh, mengerikan. (Mahieu, 1976a, 7) Tabel 4.4. Kutipan Ruang “Sahabat Si Ulat”
Vivere Pericolosamente 1)
2)
Di kali Ciliwung, di tengah-tengah kota Betawi, ada rumah-rumah yang mempunyai kehidupan ganda seperti itu. Tentu saja rumah-rumah itu tidak secara resmi letaknya di kali Ciliwung. Ciliwung mengalir di belakangnya. (Mahieu, 1976a, 60-61) Dari kali hanya nampak dinding-dinding belakang bangunan-bangunan tambahan yang tegang, kotor dan penuh debu, dengan lubang-lubang ventilasi yang laksana mata tiada berkedip, dengan pecahan-pecahan beling yang tajam di atas tembok, dengan dinding setengah bobrok dan tiada bercat, kuncinya sudah berkarat dan gang di belakangnya penuh barang-barang rombengan yang dibuang, sehingga tamu yang tidak Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
66
3)
4)
5)
diundang tidak akan bisa masuk, meskipun ia hendak membuka pintu dengan paksa. Dari dinding-dinding belakang itu sampai ke tepi sungai kadang-kadang masih ada juga beberapa keping tanah repih ditumbuhi rumputan yang hidup sia-sia antara botol-botol pecah, barang pecah belah dan kaleng berkarat yang pernah dilemparkan dari atas tembok dengan kesal. (Mahieu, 1976a, hal. 61) Di sebelah sana lagi, di tikungan menghilir, ada kampung yang tidak kelihatan karena pepohonan yang lebat, tapi kehadirannya dapat diketahui karena adanya rakit bambu di sungai; di atasnya perempuanperempuan mencuci pakaian. (Mahieu, 1976a, hal. 63) Barangkali juga karena pekarangan belakang tuan Barkey dengan barang-barang matinya yang selalu tenang maka kali yang bergerak itu menarik juga dan bahkan memberahikan. Barangkali juga karena semuanya serba acak-acakan, tepi sungai yang rapih dengan tumbuhtumbuhan yang liar, sesudah segala yang rapih teratur dalam rumah tuan Barkey, maka ia dapat melihat semua itu penuh perhatian. Bagaimanapun juga tuan Barkey entah bagaimana tertarik oleh kali itu. Dengan cara yang tidak dapat diterangkan bahkan seolah-olah ada sesuatu yang menariknya ke tepi kali dan ia perlahan-lahan berjalan ke sana dengan terompah kayunya. (Mahieu, 1976a, 64) Ia berjalan melalui pagar samping masuk ke rumahnya dan berjalan terus tanpa berhenti sampai ke serambi belakang. Ia berdiri di gang samping antara kamar mandi dan dapur di pintu belakang. Dilihatnya sejalur kali yang sempit. Coklat, dahsyat, tidak tertahan, menyeret, kolosal. Dirasakannya di belakangnya benda-benda mati yang lamban di rumah itu, serambi ke bangunan utama, serambi belakang yang tenteram, keheningan yang mendesah di kamar tidur dengan Mus yang sedang lelap, kamar depan yang hening dengan meja tulis dan kertaskertasnya. (Mahieu, 1976a, hal. 75-76) Tabel 4.5. Kutipan Ruang “Vivere Pericolosamente”
Cuk 1)
Anak-anak menyebutnya Rumah Tiga. Suatu tempat beberapa jarak melewati jembatan terakhir di kota, suatu oasis kehidupan aneh di tengah belantara pemakaman Cina yang luas sekali. Sebenarnya pemakaman ini tidak punya suasana padang kematian yang biasa. Untuk itu ia terlalu besar. Sampai ke kaki langit dan masih jauh lagi di belakangnya. Lagipula ia tidak dikelilingi tembok dan tidak pula ada gerbang atau yang semacam itu. Ia terletak begitu saja di jalan besar ini yang menuju kota lain, suatu padang belantara, tiada lebih. BerbukitUniversitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
67
2) 3)
4) 5)
6)
7)
8)
bukit rendah, tanpa aturan, terlantar. (Mahieu, 1976b, hal. 13) Di seberang sana jalan ada Rawa Besar. Sebenarnya suatu bentuk kenyataan pertengahan antara tanah dan air. (Mahieu, 1976b, hal. 13) Antara Rawa dan Pemakaman ada jalan, sebagai satu-satunya keping kenyataan dan kehidupan, betapapun sempitnya. Tapi lurus dan keras, rata dan pasti. Dari kota di sebelah Timur ke ufuk yang terus menjauh bertambah sepi di Barat. [...] Sebenarnya semua itulah Tiga Rumah. Anak-anak yang membuat nama itu. [...] sepotong tanah laterit merah merkea sebut Pasir Merah dan tempat di mana ada sebatang pohon besar dan sebatang pohon kecil mereka sebut Pohon Satu Setengah Sen. Ke daerah Tiga Rumah mereka pergi kalau hendak berburu. (Mahieu, 1976b, hal. 14) Rumah Tiga juga ada di situ. Lewat jembatan, di tengah-tengah antara kuburan dan rawa-rawa, ada tiga rumah. (Mahieu, 1976b, hal. 16) Sebenarnya rumah-rumah itu bukan rumah. Semuanya hanya papan nama yang rusak tapi masih bisa dikenali, papan nama untuk dunia anak-anak: keluasan tanpa batas pemakaman dan rawa-rawa. Di sinilah pula satu-satunya kehidupan yang masih bisa dikenali, sebab di sini tingga; manusia, tapi mereka itu ada hanya sebagai manifestasi kebetulan dari lingkungannya, [...] (Mahieu, 1976b, hal. 16) Di dekat jembatan mereka bubar: semua anak-anak dari kota menggok ke kanan ke kompleks rumah-rumah yang banyak, Cuk membelok di kiri seorang diri ke Rumah Tiga, Rumah Setan. (Mahieu, 1976b, hal. 21) Ruang kuburan itu dibuat dari pelat-pelat besar jenis batu hijau muda, tingginya satu setengah meter lebih dan tiga meter lebar dan dalam. Man berjalan mengelilingi lenteranya. Setiap kali ia melewati berkas cahaya, seorang raksasa hitam separoh badan berjalan memutar dengan cepat. Raksasa suruhan Aladin. Bagus sekali. Dan baik sekali. Di sini ia akan tidur. Di sana ia akan masak. Di situ akan ditaruhnya alat-alat senjata. Nah. Ia ke luar lagi dari dalam ruang kuburan untuk mengambil senapan Elmo. (Mahieu, 1976b, hal. 44) Sesudah lama, berbulan-bulan kemudian, Man menyadari betapa kehidupan baru dengan cara yang tulus telah masuk mendesakkan diri ke dalam kehidupannya. Mula-mula Cuk hanya menyingkirkan tulang-tulang di mana ia duduk. Sesudah itu semua tulang-tulang dikumpulkan di suatu tempat di dalam guha itu. Lalu dibawalah sapu. Bersama-sama dengan koleksi barang-barang yang lama kelamaan jadi banyak sekali, seperti panci-panci dan sendok-sendok, jarum dan benang serta gunting dan sebuah para-para, gambar-gambar di tembok, lilin untuk mengusir lalat dan sebuah lampu tempel. CelahUniversitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
68
celah ditutup, sarang-sarang semut dibinasakan – pendeknya guha itu dirobah dengan perlahan tapi baik sekali menjadi Rumah Hijau. (Mahieu,1976b, hal. 46-47) Tabel 4.6. Kutipan Ruang “Cuk”
Rumah nampaknya menjadi tempat terjadinya segala peristiwa ketiga teks tersebut. Gambaran tentang rumah kemudian seringkali digambarkan dengan begitu detail. Perlu diperhatikan pula bahwa rumah, meskipun menjadi tempat tinggal mereka, dirasakan sebagai tempat yang tidak nyaman. Dalam teks “Vivere Pericolosamente, misalnya, akan kita temukan pandangan tuan Barkey, yang disampaikan oleh pencerita, tentang rumahnya yang membosankan. Perhatikan di dalam teks “Sahabat Si Ulat” kita juga dapat melihat pandangan Lord Fauntleroy sebagai pencerita terhadap rumahnya dengan nada yang sama dengan teks sebelumnya. Namun demikian, sewaktu ia masih kecil, ia begitu menyenangi rumah tersebut. Adanya kebosanan-kebosanan akan ‘rumah’ membuat mereka mencoba untuk membangun sebuah ruang dan waktu yang baru. Di dalam teks “Cuk” kita melihat sosok Cuk yang selalu saja berpergian ke rumah atau tempat lain selain rumahnya. Hingga pada akhirnya ia berpindah ke sebuah kuburan dan tinggal di sana bersama Man. Pada tuan Barkey kita melihat bahwa ruang ketiga yang ia coba masuki adalah kali dan rumah nyonya Aubrey. Di dalam ruang ketiga tersebut tuan Barkey mengalami berbagai macam kegelisahan. Ia tidak mau kehadirannya dalam ruang tersebut diketahui oleh orang-orang sesamanya. Hal ini disebabkan adanya pengetahuan akan norma baik dan buruk ala Baratnya. Pengalaman seperti demikian juga dialami oleh Cuk. Dalam ruang barunya tersebut, ia harus hidup dengan Man. Berbagi ruang dengan manusia lain nampaknya tidak mudah saja. Berbagai masalah muncul, terkait dengan ketakpercayaan masing-masing pihak. Hal demikian juga dialami oleh Lord Fauntleroy. Ruang ketiga Lord Fauntleroy adalah lapangan tempat ia bertemu dengan anjing di malam hari. Setiap perjumpaan yang mereka lakukan selalu dibumbui oleh kecurigaan dan ketakpercayaan masing-masing pihak. Di sini kita dapat melihat, melalui hal-hal tersebut dapat dipahami bahwa hidup dan menghidupi ruang ketiga tersebut Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
69
adalah hal yang berat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tatanan kolonial telah menseparasi tiap anggota masyarakat berdasar fungsinya masing-masing. Melalui teks-teks di atas kita dapat melihat bahwa tatanan tersebut sangatlah kaku dan begitu merasuk ke tiap-tiap individu. Tiap ruang geografis telah teridentifikasi sedemikian rupa dalam bentuk stereotifikasi tertentu. Seperti kali Ciliwung, dalam teks “Vivere Pericolosamente”, sudah begitu lekat dengan kepribumian. Demikian pula halnya dengan kampung di teks “Sahabat Si Ulat”. Bentuk ruang yang terseparasi tersebut dapat terlihat dalam tiga gambar di bawah ini.
A
B
Pohon mangga dan kelapa
pagar
rumah
Penghuni:
Lord Fauntleroy Keluarganya
dan
Lapangan
kampung
Penghuni Penduduk Kampung Anjing (di lapangan)
Gambar 4.5 Ruang dalam Teks “Sahabat Si Ulat”
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Bagian Depan
Kali Ciliwung
70
Kampung
Rumah Ganda
Penghuni:
Tuan Barkey Pompelmusye Nyonya Aubrey Refendaris-refendaris Pegawai-pegawai staf Akademikus
Penghuni Penduduk Kampung (anak-anak, tiga orang perempuan)
Gambar 4.6 Ruang dalam Teks “Vivere Pericolosamente”
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
71
Rumah Tiga
Rawa
Rumah 1
Rumah Pertama
Tuan Barres (representasi Eropa)
Rumah 2
Rumah 3
Rumah Tengah
Tempat Berkumpul Para Pemburu
Kuburan / Pemakaman
Rumah Ketiga
Cuk dan Ibu Cuk (representasi Indo)
Gambar 4.7 Ruang dalam Teks “Cuk”
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
72
Melalui gambar di atas, kita dapat melihat bahwa separasi antarorang Eropa dan penduduk kampung, dalam teks “Sahabat Si Ulat” disimbolkan oleh adanya pagar bambu di antara rumah Lord Fauntleroy dan kampung. Pada gambar kedua, yaitu gambar ruang teks “Vivere Pericolosamente”, terlihat bahwa separasi disimbolkan dengan adanya kali Ciliwung yang mengalir di antara tempat tinggal orang-orang Eropa dan tempat tinggal orang-orang kampung. Sedangkan pada gambar terakhir, yaitu gambar ruang teks “Cuk”, kita melihat di antara rumah Cuk dan Tuan Barres ada rumah kosong yang tidak dihuni siapapun. Rumah itu menjadi tempat pertemuan para pemburu. Separasi-separasi tersebutlah yang membuat para tokohnya mencoba untuk membangun sebuah ruang ketiga. Ruang ketiga yang cukup nyaman nampaknya hanya terlihat dalam teks “Cuk”. Ironisnya ruang tersebut berwujud sebuah kuburan. Kuburan tentu identik dengan kematian. Interpretasi yang kemudian muncul adalah nampaknya bagi teks tersebut hanya kematian sajalah yang membuat semua orang dapat hidup bersama-sama tanpa ada separasi yang berarti. Pada teks “Sahabat Si Ulat” ruang ketiga dihadirkan pula lewat sosok pencerita dengan cara menceritakan kisah masa lalunya itu. Nuansa ironis seperti dalam teks “Cuk” lantas kita temukan juga. Bagi teks “Sahabat Si Ulat”, ruang ketiga itu berupa ruang imajiner yang terbentuk lewat penceritaan kembali.
4.4
Sebuah Gugusan yang Tak Padu Suatu bentuk yang baru selalu tidak mudah diterima dan memang belum
tentu dapat diterima. Penolakan-penolakan selalu saja terjadi dan menumbuhkan ketaknyamanan pada tatanan yang telah ada sebelumnya. Beberapa terjadi dengan sangat lama, seperti yang terjadi di kepulauan ini. Kedatangan orang-orang Eropa, yang salah satunya berasal dari Belanda, yang berusaha mengubah tatanan masyarakat di kepulauan ini (dalam tulisan ini pada khususnya di pulau Jawa, di wilayah yang kemudian kita kenal dengan nama Batavia). Untuk orang-orang kulit putih itu, kepulauan ini begitu asing dan begitu membahayakan. Iklim tropis yang menyediakan matahari menyengat sekaligus hujan yang begitu lebat membuat kepulauan ini nampak bagai sebuah kuburan, tempat orang-orang dari daerah dingin mati menyerah pada udara yang sungguh tak berterima pada tubuhUniversitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
73
tubuh putih itu. Maka dilakukanlah segala daya upaya untuk membuatnya nampak seperti surga, agar mereka bisa nyaman hidup bertahan di sini. Dengan jumlah yang sedikit, tentu bukanlah hal yang mudah mengubah sebuah tatanan yang telah hidup begitu lama. Oleh karena itu, tak dapat dipungkiri segala macam konflik terjadi. Percampuran ras secara badani memang dapat terjadi, namun apa yang ada di kepala, cara hidup ataupun cara pandang, lanskap pengetahuan, tiap-tiap kelompok ras yang telah ada tetap sulit untuk membaur. Sejak kedatangan pertama mereka (orang-orang Eropa) di beberapa bagian kepulauan ini, ternyata tetap ada jurang yang cukup lebar antara dua kutub berbeda. Mereka tetap terpisah, meskipun garis pemisah itu bukanlah garis yang tegas. Yang Barat pada kutubnya sendiri, demikian juga yang Timur. Namun tidak lantas kemudian kita dapat membebankan hal tersebut pada tubuh yang terlihat. Maksudnya, tubuh tidak dapat menjadi penanda utama kecenderungan pandangan. Hal tersebut terlihat pada generasi-generasi yang lahir karena percampuran ras secara badani. Dalam teks “Cuk”, misalnya, kita akan menemui sosok Cuk, seorang Indo, yang bisa lari ke dua kutub yang berbeda sekaligus. Memang tubuh Cuk pun ada di antara dua kutub, garis-garis wajahnya bisa dirujuk kepada sosok Eropa sekaligus Pribumi. Namun mari kita lihat dalam teks “Vivere Pericolosamente”. Di sana ada pula Tuan Barkey, juga seorang Indo, yang tubuhnya begitu Eropa, namun punya ketertarikan pula kepada sisi ketimuran. Namun demikian, dari sisi ekstern mereka, tubuh menjadi penanda untuk orang-orang dalam mengidentifikasi mereka. Hal tersebut dapat terlihat dari cara para pencerita dan tokoh-tokoh sampingan menggambarkan para tokoh utama. Kategori fisik menjadi hal yang pasti disebut dalam membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya, ataupun dalam menerangkan Eropa atau Pribumikah tokoh tersebut. Dalam ketiga teks yang telah ditinjau pada subbab-subbab sebelumnya, tokoh utama yang mengalami segala macam kendala dapat diidentifikasi sebagai sosok-sosok indo dan juga Eropa. Jika selama ini masyarakat Indo atau Eropa lebih banyak dilihat sebagai sosok yang lekat dan dekat dengan orang-orang Belanda, paling tidak oleh orang-orang di Indonesia, di dalam teks ini indo dan Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
74
Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda dapat dilihat sebagai bentuk yang beragam. Hal ini terlihat jelas, terutama, dalam teks “Sahabat Si Ulat” dan “Cuk”. Dari kenyataan yang ada di dalam teks, kita dapat melihat bahwa ras dan etinisitas yang ada di Hindia Belanda tidak dapat dengan mudah dikategorikan secara serampangan. Orang-orang yang dapat disebut Eropa tidak dapat langsung dikategorikan sebagai orang Belanda seperti yang dipahami pada umumnya. Keragaman etnik di Eropa dapat terlihat dari cara hidup, nama, tempat tinggal, jabatan, tiap-tiap tokohnya. Bosma dalam Being Dutch in the Indies menyebutkan bahwa Hindia Belanda tidak dihidupi oleh satu komunitas saja (Bosma, 2008: xii). Perlu diingat penyebutan orang Eropa ini seringkali juga menyertakan kelompok masyarakat Indo sebagai bagian dari masyarakat Eropa yang ada di Hindia Belanda. Pandangan seperti, yang menyederhanakan orang Indo sebagai orang Eropa, juga kurang tepat. Kita dapat melihat dalam ketiga teks, tokoh-tokoh Indo yang ada tidak hanya menjalani kehidupan sebagai orang Eropa. Terkadang mereka juga menjalani kehidupan layaknya orang-orang lain (non-Eropa) yang hidup di Hindia Belanda. Pada praktiknya, sosok-sosok manusia di dalamnya dapat berwajah mendua. Lord Fauntleroy, sebagai seorang Eropa, harus menghadapi sebuah posisi dilematik ketika harus berhadapan dengan sosok anjing. Di satu sisi, ia telah mendapatkan pengetahuan bahwa perbedaan yang begitu besar di antara dirinya dan anjing mengharuskan dia untuk tidak menjadikan anjing tersebut sebagai ‘temannya’ (Aku pernah memikirkan untuk melepaskannya, tapi aku tidak boleh membawanya ke rumah). Pokok masalah menyangkut penyakit-penyakit yang dapat merugikan masyarakat menjadi semacam pembenaran tindakan penangkapan anjing. Di satu sisi, Lord Fauntleroy tidak menghendaki tindakan tersebut, dengan melakukan suatu mekanisme perlawanan. Akan tetapi, pada sisi yang lain, terdapat juga suatu rasionalisasi ataupun usaha menerima tindakan tersebut. Lord Fauntleroy menyatakannya dengan suatu sikap bahwa ia harus belajar lebih banyak lagi. Dalam cara pandang Bhaba, sikap yang demikian inilah yang sering disebut-sebut sebagai posisi ambivalen.
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
75
Posisi ambivalensi ini, haruslah dilihat sebagai situasi ketika kategori baku dan kaku dalam soal-menyoal representasi identitas masyarakat kolonial tidak pernah berjalan secara sempurna. Bagaimana sikap yang seharusnya dalam memperlakukan si anjing masih tampak terlihat mendua, tidak secara tegas ditunjukan. Cara pandang Lord Fauntlory terhadap diri sendiri maupun pandangannya terhadi si anjing masih sering bernaung dalam sikap samar-samar dan kemenduaan. Apakah dengan demikian posisi ambivalensi merupakan suatu pilihan dalam strategi masyarakat kolonial? Dari tinjauan sebelumnya, persoalan jati diri yang ganda sebagai sesuatu yang sangat khas dari setiap karakter tokoh-tokoh utama teks dapat menjadi pentunjuk persoalan ini. Dalam teks “Vivere Pericolosamente” misalnya, sikap sang pencerita sudah sedari awal memberikan suatu informasi tentang kenyataan kehidupan yang ganda dari setiap rumah tangga di Hindia-Belanda, secara khusus orang-orang Eropa. Teks tersebut menyatakan bahwa kehidupan ganda dimungkinkan terjadi karena adanya suatu prestise yang masih harus terus dijaga dalam kehidupan sosial orang per orang. Kehidupan dan sosok diri orang yang tampak dapat saja begitu berbeda dengan diri yang sesungguhnya dihayatinya. Ambil saja contoh dari Tuan Barkey, yang dalam kehidupan normalnya adalah seorang pegawai pemerintahan (amtenar) yang baik dan taat, namum dalam waktu-waktu tertentu menyimpan suatu rahasia dan aib tertentu. Situasi yang kemudian mendorong apakah sikap ambivalensi tersebut adalah kondisi umum kehidupan manusia atau tidak, perlu untuk dicermati secara hati-hati. Pandangan yang menerima bahwa ambivalensi sepertinya merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari dari hidup manusia dapat saja dibenarkan. Namum demikian juga, perlulah diperlihatkan bagaimana kenyataan dari munculnya sikap tersebut sebagai suatu kondisi hubungan-hubungan antar orang yang susah untuk dijalankan dengan baik. Prasangka dan kecurigaan lebih sering mewarnai cara pandang dalam penilaian-penilaian. Jauh dari sikap yang berusaha dengan keras membuka suatu tatanan komunikasi melintasi perbedaan. Dari teks “Cuk” sebagai misal, kita dapat menemui bahwa suatu usaha dan jalan hubungan antar orang hingga berakhir dalam suatu kehidupan bersama yang Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
76
harmonis masih terasa sebagai mimpi yang tidak akan pernah terwujud. Cuk, yang pada situasi pertamanya berusaha dengan sekuat tenaga menerima sosok Elmo sebagai pasangan perburuan ataupun juga kemungkinan pasangan hidup terpaksa harus kandas dalam pertikaian sengit dan kekhawatiran tertentu. Teks tersebut malah menunjukan situasi ganjil dengan kematian Elmo secara mendadak dan konyol. Situasi yang dapat ditunjuk sebagai sebuah representasi kehadiran ‘takdir yang aneh’ ataupun larangan-larangan (pamali) terselubung.
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN
Pada akhirnya, melalui segala penelusuran yang telah dilakukan, pertamatama, dapat dinyatakan bahwa tiga teks yang menjadi objek penelitian ini adalah teks poskolonial karena terdapat jejak-jejak poskolonialitas di dalamnya. Jejak pertama yang terlihat adalah adanya efek dari kanonisitas sastra Eropa dalam teksteksnya. Kanonisitas tersebut terlihat melalui struktur dan penggambaran tokohtokoh utama dalam ketiga teks. Jejak poskolonialitas yang kedua adalah ditemukannya banyak peristiwa janggal dalam ketiga teks naratif. Kejanggalan di sini terwujud oleh adanya peralihan satu keadaan ke keadaan lain yang tidak wajar atau tanpa alasan yang logis serta tak dapat dipahami secara rasional oleh pembaca. Kejanggalan-kejanggalan tersebut, seperti yang telah dipaparkan pada bab 4, berwujud perpindahan, kesialan, kehilangan, dan kematian yang dialami tokoh-tokohnya. Kejanggalan-kejanggalan tersebutlah yang kemudian dilihat oleh Maier sebagai sebuah kegagapan (Maier, 2008, hal. 83). Jejak-jejak poskolonialitas yang selanjutnya adalah hibriditas. Jejak tersebut dapat terlacak dari perilaku tokoh-tokoh utama dan bangun ruang teks. Setelah itu, jejak selanjutnya terlihat pada sikap-sikap tokoh, dalam tiga teks. Jejak tersebut adalah ambivalensi. Ambivalensi tersebut terwujud dalam perilaku mimikri mereka. Ambivalensi dan mimikri adalah sebuah ruang ketiga yang dipilih dan diciptakan oleh tokoh-tokoh tersebut. Ruang ketiga tersebut kemudian diwujudkan pula dalam gambaran ruang dan waktu di dalam teks. Kedua unsur tersebut seringkali terlihat begitu cair, bergantung pada sudut pandang tokoh-tokoh dan pencerita yang ada di dalamnya. Gambaran ruang dan waktu yang diberikan pencerita seringkali berbeda dengan gambaran yang diberikan tokoh-tokohnya. Tidak hanya itu, antartokoh pun seringkali memiliki gambaran yang berbeda tentang ruang dan waktu. Di sini kita
77 Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
78
dapat melihat bahwa ruang dan waktu sebuah wilayah bernama Hindia-Belanda tidaklah dapat diidentifikasi dengan sederhana dan mudah. Hasil dari penelitian ini kemudian dapat dijadikan komentar bagi gagasan Maier mengenai kegagapan tekstual dalam teks-teks Melayu poskolonial (Maier, 2008, hal. 83). Jika ia mengatakan bahwa kegagapan tekstual dapat terjadi di teksteks Melayu poskolonial, seperti yang ia tunjukkan melalui tinjauan terhadap teksteks Pramoedya Ananta Toer, dalam teks-teks Vincent Mahieu ternyata dapat kita temukan pula gejala yang serupa. Dalam tulisan Maier tentang teks Toer, gejala yang digelisahkan terkait dengan tanggapan terhadap kata dan wacana kolonialisme. Toer sebagai pengarang pribumi, dalam pandangan Maier, menggelisahkan kebebasan dan upaya-upaya konfrontasi langsung terhadap tatanan kolonialisme. Berbeda dengan itu, teks-teks Mahieu juga menanggapi kata-kata dan wacana yang sama namun dalam bentuk yang berbeda. Di dalam teks-teks Mahieu terdapat sosok-sosok manusia, yang direpresentasikan dalam wujud Eropa, yang memilih posisi ambivalensi. Hal tersebut juga disebabkan oleh konstruksi dari tatanan kolonial. Tatanan kolonial itu sendiri terepresentasi oleh pencerita dan para tokoh sampingan. Dengan demikian, melalui analisis yang telah dilakukan, ketiga teks Vincent Mahieu dapat dikatakan memiliki jejak-jejak poskolonialitas. Jejak-jejak tersebut terlihat dengan cukup jelas dalam empat unsur teks, yaitu tokoh, peristiwa, ruang, dan struktur waktu. Penelitian ini kemudian memiliki beberapa manfaat. Manfaat tersebut antara lain adalah melalui penelitian dengan pendekatan poskolonial ini, kita dapat mengambil jarak dan melihat masa lalu dengan cara yang berbeda. Sebuah teks sastra ternyata dapat mengisi celah tidak diisi dalam teks-teks historis. Melalui analisis terhadap tiga teks Vincent Mahieu ini, misalnya, kita dapat melihat posisi ambivalensi orang-orang Indo. Kita juga dapat mengetahui pula kehidupan masyarakat Hindia-Belanda dari sudut pandang yang lain. Selain itu, kita dapat pula melihat dampak kolonialisme di dalam sosok-sosok Indo yang hidup di masa itu. Meskipun demikian, penelitian ini pun memiliki keterbatasan. Pertama, data yang digunakan untuk melengkapi analisis tidaklah terlalu banyak. Selain itu, Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
79
tiga teks naratif yang digunakan sebagai objek penelitian pun adalah teks terjemahan. Tentu hal tersebut akan mengurangi ketajaman dalam melihat ekspresi kebahasan yang terdapat dalam teks aslinya. Terkait dengan itu, aspek poskolonial yang masih dapat dikaji pun menjadi terbatas. Dengan demikian, penelitian selanjutnya yang dapat dilakukan untuk melengkapi hasil penelitian ini adalah melakukan analisis yang lebih mendalam terhadap teks asli Cis dan Cuk.
Universitas Indonesia
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
BIBLIOGRAFI
Alibasah, M. M. (1995). Introduction: Jan Boon, Tjalie Robinson, Vincent Mahieu. Dalam V. Mahieu, The hunt for the heart: selected tales from the Dutch East Indies (M. M. Alibasah, Penerj., hal. vii-xiv). Singapore: Oxford University Press. Ashcroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (2002). The Empire Writes Back: Theory and Practice in post-colonial literature (Second Edition ed.). (B. Ashcroft, G. Griffiths, & H. Tiffin, Penyunt.) London: Taylor & Francis e-Library. Beekman, E. (1998). Paradijzen van weleer: koloniale literatuur uit NedelandsIndie 1600-1950. Amsterdam: Promotheus. Bhaba, H. K. (1994). The Location of Culture (First Edition ed.). London: Routldge. Bosma, U., & Raben, R. (2008). Being "Ducth" In The Indies: A History pf Creolizaztion and Empire 1500-1920. (W. Shaffer, Penerj.) Singapore: NUS Press. Caute, D. (1970). Frantz Fanon. New York: Viking Press. Day, T., & Foulcher, K. (2008). Bahasan Postkolonial dalam Sastra Indonesia Modern. Dalam K. Foulcher, T. Day, K. Foulcher, & T. Day (Penyunt.), Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (K. S. Toer, & M. Soesman, Penerj., Edisi Revisi ed., hal. 1-23). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KILTV-Jakarta. Fanon, F. (1967). Black Skin, White Mask. New York: Grove Press. Foulcher, K. (2008). Larut di Tempat yang Belum Terbentuk: Mimikri dan Ambivalensi dalam 'Sitti Noerbaja' Marah Roesli. Dalam K. Foulcher, & T. Day (Penyunt.), Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (K. S. Toer, & M. Soesman, Penerj., Edisi revisi ed., hal. 105-135). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KILTV-Jakarta. Jedamski, Doris. (2008). Sastra Populer dan Subjektivitas Postkolonial: Robinson Crusoe, Count dari Monte Cristo, dan Sherlock Holmes di Indonesia Masa Kolonial. Dalam K. Foulcher, & T. Day (Penyunt.), Sastra
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (K. S. Toer, & M. Soesman, Penerj., Edisi revisi ed., hal. 105-135). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KILTV-Jakarta. Jinadu, M. L. (1976). “Language and Politics: On The Cultural Basis of Colonialism”. Cahiers d'etudes africaines , Vol 16 No 63-64, 603-614. Kousbroek, R. (1989). Jawa yang Manis: Tentang Tjalie Robinson. Dalam R. Kousbroek, & K. Groeneboer (Penyunt.), Studi Belanda di Indonesia, Nederlandse Studien in Indonesie (D. A. Arif, Penerj., hal. 141-149). Jakarta: Djambatan. Luxemburg, J. v., Bal, M., & Westeijn, W. G. (1989a). Pengantar Ilmu Sastra (Cetakan ketiga ed.). (D. Hartoko, Penerj.) Jakrta: PT. Gramedia. ________. (1989b). Tentang Sastra (Seri ILDEP ed.). (A. Ikram, Penerj.) Jakarta: Intermasa. Mahieu, V. (1976). Cis. (H. Jassin, Penerj.) Jakarta: Djambatan. ________. (1976). Cuk. (H. Jassin, Penerj.) Jakarta: Djambatan. ________. (1995). The hunt for the heart: Selected Tales from the Ducth East Indies. (M. M. Alisabaha, Penerj.) New York: Oxford University Press. ________. (1995). The hunt for the heart: selected tales from the Dutch East Indies. (M. M. Alibasah, Penerj.) Oxford University Press. Maier, H. (2008). Suara Gagap dan Pintu yang Berderit, Tulisan Pramodya Ananta Toer dalam Bahasa Melayu. Dalam K. Foulcher, & T. Day (Penyunt.), Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (K. S. Toer, & M. Soesman, Penerj., Edisi Revisi ed., hal. 75-104). Jakarta: Yayasan Obor dan KILTV-Jakarta. Nieuwenhuys, R. (1979). Bianglala sastra: bunga rampai sastra Belanda tentang kehidupan di Indonesia. (D. Hartoko, Penerj.) Jakarta: Djambatan. Oostindie, G. (2010). Postcolonial Netherlands: Sixty-five years of forgetting, commemorating, silencing. Amsterdam: Amsterdam University Press. Robinson, Tjalie dan Winniefred Anthonio (1991) “Vivere Pericolosamente”. Indonesia. Vol. 52, 105-118. Sastrowardoyo, S. (1990). Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai Pustaka.
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Soekiman, Djoko. (2011). Kebudayaan Indis: dari zaman kompeni sampai revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu. Suprihatin, Cristina. (2008). “Cerita dari Timur: Genre dan tema dalam Sastra Hindia-Belanda dari masa VOC”. Wacana. Vol. 10, 264-276.
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012
Tiga karya..., Kinanti Munggareni, FIB UI, 2012