UNIVERSITAS INDONESIA
SISTEM RELIGI MASYARAKAT NIAS DALAM NOVEL MANUSIA LANGIT KARYA J.A. SONJAYA: SEBUAH ANALISIS SOSIOLOGIS
SKRIPSI
ALIVIA MAULITA NPM 0706292712
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INDONESIA DEPOK JULI 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
SISTEM RELIGI MASYARAKAT NIAS DALAM NOVEL MANUSIA LANGIT KARYA J.A. SONJAYA: SEBUAH ANALISIS SOSIOLOGIS
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
ALIVIA MAULITA NPM 0706292712
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INDONESIA DEPOK JULI 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena telah memberikan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Humaniora program studi Indonesia Universitas Indonesia. Pada kesempatan penulisan skripsi ini, penulis memilih tema sistem religi masyarakat Nias yang ada di dalam novel Manusia Langit. Penulis memilih tema tersebut karena penulis melihat sebelumnya belum ada novel yang mengangkat kehidupan masyarakat Nias. Penulis berharap penulisan skripsi tentang sistem religi masyarakat Nias ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Terima kasih kepada pihak keluarga, terutama ayah dan mama yang tak ada henti-hentinya memberikan doa serta semangat kepada saya hingga dapat terus menulis. Terima kasih kepada adik, Oki yang mengantarkan saya kesana kemari untuk membeli kebutuhan selama penulisan skripsi ini. Mbak Ocha, mbak Echi, dan tante yang selalu mendukung dan mengantarkan saya mencari bahan untuk penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Sunu Wasono selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada para penguji skripsi, Ibu Sri dan Bapak Rasyid karena telah memberi masukan dan mengoreksi kesalahan-kesalahan yang saya buat dalam skripsi ini. Terima kasih kepada pembimbing akademik, Bapak Untung Yuwono yang telah membantu saya dalam mengambil mata kuliah selama masa kuliah. Terima kasih kepada semua dosen program studi Indonesia atas bimbingan dan pelajaran yang telah diberikan selama masa studi saya di sini. Kepada para sahabat, Astri, yang selama hampir empat tahun ini menjadi pendengar setia semua cerita saya; Rian, yang selalu memberikan keceriaan dalam hari-hari saya melalui berbagai cerita dan mimik wajahnya yang menggemaskan; Arief, yang selalu siap sedia dimintai pertolongan saat saya menemukan kesulitan untuk memperbaiki berbagai macam benda, hehe. Kalian membuat empat tahun masa studi ini menjadi sangat berkesan dan menyenangkan. Terima kasih kepada
v
sahabat-sahabat cantikku, Wenty, yang selalu memberi wejangan bermanfaat dan mengajarkan banyak hal kepada saya; Yoan, yang lucu dan selalu bersemangat; Easter, yang terlihat cuek, tapi sebenarnya sangat perhatian; Yola, yang sangat saya rindukan. Semoga apa yang kita harapkan dalam hidup bisa tercapai dan persahabatan ini bisa berlangsung terus sampai kita tua nanti. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih atas kebersamaan selama ini untuk teman-teman lain di IKSI 2007, Icha, Nurul, Reisa, Gina, Gifa, Ayz, Kiki, Rasdi, Opank, Dita, Chitta, Damar, Dicil, Rissa, Itha, Dini, Tasya, Dewi, Susi, Sarah, Tyas, Elbram, Rina, Fini, Inay, Nila, Dantri, Ijonk, Rizal, dan Ananto. Untuk yang terakhir, saya berterima kasih kepada Bapak J.A. Sonjaya karena mau membantu memberikan informasi kepada saya tentang apa yang ditulisnya dalam novel Manusia Langit. Terima kasih pula karena telah memberikan sebuah buku yang sangat membantu penulisan skripsi saya ini. Semoga apa yang saya tuliskan dalam skripsi ini nantinya dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Depok, 4 Juli 2011
Alivia Maulita
vi
ABSTRAK Nama : Alivia Maulita Program Studi : Indonesia Judul : Sistem Religi Masyarakat Nias dalam Novel Manusia Langit Karya J.A. Sonjaya: Sebuah Analisis Sosiologis Skripsi ini berisi analisis sistem religi masyarakat Nias yang terdapat dalam novel Manusia Langit karya J.A. Sonjaya. Untuk menemukan sistem religi masyarakat Nias yang digambarkan dalam novel Manusia Langit ini dan melihat pandangan apa yang dimasukkan pengarang ke dalam novel, penulis mengkaji novel ini dengan pendekatan sosiologi sastra. Melalui pendekatan sosiologi sastra terlihat bahwa masyarakat Nias di dalam novel memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap leluhur dan terhadap mitos-mitos dalam masyarakat. Dalam novel juga terlihat adanya pandangan pengarang terhadap kehidupan kampus yang disampaikan seorang tokoh, sehingga novel Manusia Langit juga dibuat pengarang untuk menghubungkan sistem religi masyarakat Nias dengan kejadian dalam kehidupan sekarang. Kata kunci: Banuaha, Penggalian, Mitos, Upacara, Leluhur ABSTRACT Name Departmen Title
: Alivia Maulita : Indonesia : Religion System of Nias People in Manusia Langit by J.A. Sonjaya: Sociologic Analyze
This final assignment talks about religion system of Nias people which describes in Manusia Langit, novel by J.A. Sonjaya. To find the religion system of Nias people that’s described in Manusia Langit and to know about the author’s opinion in this novel, the writer uses sociology of literature approach to analyze this novel. By using this sociology of literature approach, we can conclude that in this novel, Nias people has a strong faith to their ancestral and myths around them. Beside that, in this novel also includes the author’s opinion about campus life which is told by a character. So that, this Manusia Langit novel was made by the author to relates the religion system of Nias people to any occasions that happen nowadays. Keywords: Banuaha, Excavation, Myth, Ceremony, Ancestral.
viii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................
i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ………………
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………...
iii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………..
iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………..
v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …...
vii
ABSTRAK ……………………………………………………………
viii
ABSTRACT …………………………………………………………..
viii
DAFTAR ISI .........................................................................................
ix
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................
1
1.1 Latar Belakang .........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................
4
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................
4
1.4 Metode Penulisan .....................................................................
5
1.5 Landasan Teori ……………………………………………….
5
1.5.1 Pendekatan Intrinsik Karya Sastra ……………………..
5
1.5.1.1 Tokoh dan Penokohan ……………………….....
5
1.5.1.2 Latar …………………………………………….
7
1.5.1.3 Alur dan Pengaluran ……………………………
7
1.5.2 Pendekatan Sosiologi Sastra ……………………………
9
1.6 Sistematika Penulisan ………………………………………...
10
BAB 2. J.A. SONJAYA DAN KARYANYA .....................................
12
2.1 Pengantar …………………………………………………….
12
2.2 Riwayat Hidup J.A. Sonjaya ...................................................
13
2.3 J.A. Sonjaya sebagai Seorang Penulis .....................................
16
BAB 3. MANUSIA LANGIT SEBAGAI KARYA SASTRA ..........
24
3.1 Pengantar .................................................................................
24
3.2 Sinopsis Novel Manusia Langit ...............................................
25
3.3 Petualangan sebagai Sumbu Cerita ..........................................
29
ix
Universitas Indonesia
BAB 4. MANUSIA LANGIT SEBAGAI SARANA PENJELASAN SISTEM RELIGI MASYARAKAT NIAS ................................................... 50 4.1 Pengantar .................................................................................
50
4.2 Analisis Sistem Religi Masyarakat Nias dalam Manusia Langit ………............................................................
51
4.2.1 Penghormatan terhadap Leluhur dan “Manusia Langit” sebagai Asal-Usul Orang Nias ........................................
52
4.2.2 Tradisi Perburuan atau Pemenggalan Kepala ..................
62
4.2.3 Mitos Roh Pemakan Bayi dan Tesafo ..............................
67
4.2.4 Upacara Pembangunan Rumah Adat................................
73
4.2.5 Upacara Pengangkatan Pemimpin Adat ………………...
75
4.2.6 Upacara Kelahiran ………………………………………. 79 4.2.7 Upacara Pernikahan …………………………………….. 81 4.2.8 Upacara Kematian ………………………………………
87
4.3 Dinamika Kehidupan Masyarakat Nias Setelah Masuknya Agama Kristen ……………….……………….………..…….... 90 BAB 5. KESIMPULAN ..........................................................................
94
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
97
x
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Karya sastra adalah sebuah teks hasil ciptaan seseorang yang bersifat imajinatif
yang di dalamnya terdapat nilai-nilai untuk disampaikan, baik secara tersirat maupun tersurat di dalam teks tersebut. Waluyo (1994: 41) menyebutkan bahwa selain menampilkan dunia rekaan atau imajinasi pengarang, sebuah cerita fiksi mungkin saja memuat sebuah kenyataan yang kemudian dikembangkan kembali melalui imajinasi pengarang, sedangkan karya sastra nonfiksi biasanya memuat kejadian atau peristiwa yang benar-benar pernah dialami dan dirasakan oleh pengarang itu sendiri. Oleh karena sifatnya yang imajinatif, kejadian atau peristiwa yang disampaikan oleh pengarang dapat dengan bebas dimaknai oleh pembacanya (Wellek, 1983: 16). Sementara itu, Teeuw (1991: 3-4) mengatakan “Setiap pembaca akan memiliki cara berbeda dalam mencari makna sehingga dapat menemukan nilai yang diangkat oleh seorang pencipta karya sastra dalam karyanya.” Pada bagian lain, disebutkan bahwa “Proses membaca, yaitu memberi makna pada sebuah teks tertentu, yang kita pilih, atau yang dipaksakan kepada kita (dalam pengajaran misalnya) adalah proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam, seperti bahasa dan kebudayaan.” (Teeuw, 1991:12). Pengetahuan sistem kode diperlukan dalam pemaknaan sebuah karya sastra karena dalam sebuah karya sastra, misalnya novel dijumpai kebudayaan lokal sekelompok masyarakat. Kehidupan sosial budaya, selain terlihat dari penggambaran latar tempat, juga terlihat pada penggambaran tokoh dalam cerita, seperti dari cara hidup, cara berpikir, hubungan antartokoh dalam konteks adatistiadat, kebiasaan, dan upacara adat dari sekelompok masyarakat. Sejak awal kelahiran sastra Indonesia, sudah dijumpai novel yang memasukkan kebudayaan lokal di dalamnya, seperti novel Sitti Nurbaya, Salah Pilih, Salah Asuhan, dan I Swasta Setahun di Bedahulu. Dalam perkembangannya, pada tahun 1970-an muncul pula novel Upacara, karya Korrie Layun Rampan. Novel-novel
1 Universitas Indonesia
2
yang mengangkat kehidupan sosial budaya suatu kelompok masyarakat dalam kesusastraan Indonesia modern saat ini juga banyak ditemui, misalnya karyakarya Oka Rusmini, seperti Tarian Bumi, Kenanga, dan Tempurung, novel karya Ni Komang Ariani yang berjudul Senjakala, serta novel Maluku, Kobaran Cinta yang ditulis oleh Ratna Sarumpaet. Dari judulnya sudah dapat terlihat bahwa novel karya Ratna Sarumpaet ini mengambil latar kehidupan masyarakat Maluku di dalamnya. Namun, sesuai dengan dimensi karya sastra ketika karya itu dihasilkan, konteks budaya lokal yang terkandung dalam setiap novel tersebut tentu berbeda-beda. Konteks kebudayaan lokal yang dimunculkan dalam karya sastra tahun 1920an adalah pemikiran-pemikiran yang terkait dengan modernitas. Budaya lokal sekelompok masyarakat dimasukkan ke dalam sebuah karya sastra untuk menjelaskan tema modernitas sebagai lawan dari tradisionalitas yang telah ada sebelumnya. Modernitas dalam karya sastra mulai terlihat dari lahirnya novel Siti Nurbaya. Sebagai sebuah novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, novel ini dilihat sebagai alat pendukung politik pemerintah kolonial saat itu. Seperti yang dikatakan oleh Mahayana (2007: 127), di dalam novel Sitti Nurbaya, masalah kawin paksa dan sisi negatif dari adat Minangkabau adalah pemicu konfik dalam cerita. Modernitas ditunjukkan dengan adanya gambaran perlawanan terhadap aturan kawin paksa yang menunjukkan masih kuatnya ikatan adat dalam masyarakat Minangkabau. Sekarang ini, konteks budaya lokal yang dimasukkan ke dalam karya sastra mungkin bukan untuk memerangi atau melawan tradisionalitas. Karya-karya Oka Rusmini biasanya memuat budaya lokal untuk memerangi ketidakadilan gender yang dialami wanita Bali atau dimuat untuk kepentingan investor dari luar melalui kedatangan turis ke Bali. Konteks budaya lokal dalam novel-novel baru yang bermunculan saat ini bisa saja merupakan sebuah usaha untuk membantu pembaca memahami budaya lokal dalam masyarakat tersebut, bukan untuk melawan tradisionalitas dari budaya lokal yang diangkat. Seiring dengan perkembangan waktu, semakin banyak bermunculan novelnovel yang juga membahas kebudayaan lokal kelompok masyarakat lain di Indonesia. Tidak hanya kebudayaan lokal dari masyarakat Minangkabau, Bali,
Universitas Indonesia
3
Jawa, Irian, dan Maluku yang diangkat dalam novel. Setelah bencana yang menimpa masyarakat Nias, Sumatera Utara pada tanggal 28 Maret 2005, muncul sebuah novel berjudul Manusia Langit yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Nias, Sumatera Utara. Manusia Langit bercerita tentang seorang tokoh bernama Mahendra yang pergi ke Nias, Sumatra Utara dan mendapat banyak penjelasan mengenai upacara adat berserta berbagai persyaratannya, mulai dari upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian, hingga pengetahuan mengenai mitos-mitos yang berlaku dalam masyarakat Banuaha. Secara tematik, novel ini menarik sebab di dalamnya dijumpai lukisan tentang mitos dan upacara-upacara yang terkait dengan sistem religi dalam kebudayaan orang Nias. Dari cara penyajiannya pun, novel ini menarik karena cerita dalam novel ini tidak hanya mengenai penggambaran budaya orang Nias, tetapi juga dibumbui dengan cerita percintaan dan cerita mistik. Dua hal itulah yang menjadikan cerita dalam novel ini menjadi lebih menarik dibandingkan jika keseluruhan novel hanya memuat budaya masyarakat Nias. Fakta bahwa hingga kini belum ada yang mengkaji dan memberikan tanggapan mendalam mengenai novel ini juga menjadi alasan lain bagi penulis untuk mengkaji novel Manusia Langit ini. Novel ini adalah novel yang sarat dengan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan budaya masyarakat, yaitu masyarakat Nias. Permasalahan yang muncul dalam tulisan ini menyangkut sistem religi yang tergambar dalam novel Manusia Langit akan digambarkan pada bagian rumusan masalah.
1.2
Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang sudah dikemukakan terlebih dahulu,
rumusan masalah yang muncul dan akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sistem religi apa saja yang digambarkan dalam novel ini? 2. Bagaimana sistem religi atau kepercayaan itu digambarkan dalam novel ini? 3. Adakah sikap atau pandangan pengarang yang terlihat dari penggambaran tokoh atau narasi tokoh yang digambarkan dalam novel ini?
Universitas Indonesia
4
1.3
Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan ini setelah disesuaikan dengan rumusan masalah yang
disampaikan
sebelumnya
adalah
untuk
mengetahui
sistem
religi
yang
digambarkan dalam novel ini dan bagaimana sistem religi dan kepercayaan masyarakat Nias, terutama masyarakat kampung Banuaha tersebut digambarkan dalam cerita. Penulis juga ingin mengetahui adakah sikap atau pandangan pengarang novel Manusia Langit ini dilihat dari narasi dalam novel ini.
1.4
Metode Penulisan Untuk menegaskan tujuan penulisan yang sudah dijelaskan sebelumnya,
penelitian ini menempuh langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, penulis membaca terlebih dahulu novel yang akan dikaji secara lebih dalam. Setelah itu, untuk dapat memahami hal-hal yang disampaikan dalam novel, penulis mencari dan membaca literatur lain yang terkait dengan apa yang disampaikan dalam novel. Langkah ketiga yang ditempuh penulis adalah melakukan penelusuran terhadap biografi pengarang. Meskipun karya sastranya merupakan hal yang utama, penelitian ini tidak hanya tertuju pada karya sastra tersebut. Untuk itulah diperlukan penelusuran terhadap biografi pengarang. Karena pengarang novel Manusia Langit ini memiliki profesi lain sebagai dosen dan peneliti budaya, perlu dilakukan wawancara dengan pengarang. Wawancara telah dilakukan sejak tanggal 27 April—9 Mei 2011 melalui media chatting. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan penulis kepada pengarang adalah pertanyaan mengenai masa kecil dan keluarga pengarang, pendidikan yang ditempuh oleh pengarang, pekerjaan yang dijalani pengarang, serta karya-karya tulis apa yang sudah dihasilkan oleh pengarang. Setelah data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini terkumpul, barulah penulis memulai pengkajian karya sastra novel ini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif—analitik. Metode deskriptif—analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2007: 53). Analisis dimulai dari penjabaran unsur-unsur
Universitas Indonesia
5
intrinsik dalam novel, seperti tokoh dan penokohan, latar, serta alur. Lalu, analisis dilanjutkan dengan analisis ekstrinsik berupa unsur budaya yang ada dalam novel untuk kemudian dihubungkan dengan unsur-unsur budaya yang ada di dalam masyarakat yang sebenarnya dilihat dari beberapa sumber mengenai budaya masyarakat Nias yang sudah dikumpulkan. Data yang dihasilkan dari pengambilan data melalui novel yang menjadi objek penelitan adalah data berupa kata-kata atau dialog tokoh dalam bentuk kutipan-kutipan. Kajian dalam tulisan ini juga didasarkan atas kajian sosiologi sastra. Kajian sosiologi sastra yang menjadi dasar dalam tulisan ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian selanjutnya.
1.5
Landasan Teori
Sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini, pendekatan yang
digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan intrinsik karya sastra dan pendekatan sosiologi sastra. 1.5.1
Pendekatan Intrinsik Karya Sastra
Unsur intrinsik inilah yang menunjukkan bahwa sebuah karya sastra, dalam hal ini novel merupakan sebuah karya fiksi yang di dalamnya terdapat unsur-unsur struktural yang bersifat fiktif. Pada dasarnya, analisis struktural ini dilakukan dengan tujuan untuk membongkar sebuah karya sastra hingga selanjutnya dapat dipaparkan secermat, seteliti, dan sedalam mungkin keterkaitan atau hubungan aspek dalam karya sastra tersebut hingga menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 2003:115). 1.5.1.1
Tokoh dan Penokohan Sudjiman, (1991: 16) mengatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan pengarang yang menjalankan cerita dalam karya sastra. Pada bagian lain, juga disebutkan adanya pembagian tokoh berdasarkan fungsinya di dalam cerita. Berdasarkan fungsinya, tokoh dalam sebuah cerita terbagi menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral sering juga disebut sebagai tokoh utama. Tokoh sentral memiliki porsi terbesar dalam cerita
Universitas Indonesia
6
dan frekuensi kemunculannya sangat sering. Tokoh ini juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Berbeda dengan tokoh sentral, tokoh bawahan bukanlah tokoh yang menjadi pusat penceritaan. Akan tetapi, tokoh bawahan juga memberi pengaruh terhadap cerita dan penceritaan tokoh sentral. Tokoh sentral di dalamnya terdiri dari tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Kedua tokoh ini adalah tokoh yang berlawanan karena tokoh antagonis merupakan tokoh yang dibuat untuk menentang tokoh protagonis. “Protagonis mewakili yang baik dan yang terpuji – karena itu biasanya menarik simpati pembaca, — sedangkan antagonis mewakili pihak yang jahat atau yang salah.” (Sudjiman, 1991: 19).
Jika tokoh
sentral dalam sebuah cerita terbagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh bawahan terbagi menjadi tokoh andalan dan tokoh tambahan. Dalam Sudjiman (1991: 20) dijelaskan bahwa tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang dimasukkan untuk memberikan gambaran terperinci mengenai tokoh utama dalam cerita. Tokoh andalan ini dapat juga dikatakan sebagai tokoh kepercayaan dari tokoh utama sedangkan tokoh tambahan tidak terlalu memiliki peranan di dalam penyampaian cerita. Setiap tokoh yang digambarkan dalam cerita memiliki watak atau karakter masing-masing. “Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain.” (Sudjiman, 1986: 80). Penggambaran watak setiap tokoh inilah yang dinamakan sebagai penokohan. Ada beberapa metode penokohan yang sering digunakan dalam penggambaran cerita. Metode yang pertama adalah metode langsung, seperti yang diungkapkan Hudson dalam (Sudjiman, 1991: 24). Dengan metode ini, pengarang mengisahkan sifatsifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya sekaligus memberi komentar tentang sifat-sifat tersebut melalui pencerita di dalam novel. Metode penokohan yang kedua adalah metode tak langsung yang dalam Sudjiman (1991: 26) disebut juga sebagai metode ragaan atau dramatik. Melalui metode tidak langsung, “watak tokoh dapat
Universitas Indonesia
7
disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.”(Sudjiman, 1991: 26). Selain kedua metode tersebut, pada penjelasan selanjutnya, Sudjiman (1991: 2627) juga menyebutkan ada sebuah metode lain yang dikemukakan Keney, yaitu metode kontekstual. Metode ini dilakukan dengan menyimpulkan watak tokoh dari bahasa yang digunakan pengarang yang mengacu pada penggambaran tokoh. Berdasarkan pembagian metode penokohan di atas, dalam Manusia Langit, penggambaran tokoh-tokohnya dapat dilihat melalui dialog-dialog tokoh dan penggambaran yang diucapkan antartokoh di dalamnya.
1.5.1.2
Latar Setiap peristiwa yang terjadi di dalam sebuah cerita terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Segala keterangan yang berhubungan dengan waktu dan tempat yang berpengaruh terhadap peristiwa dalam sebuah cerita dapat dikatakan sebagai latar cerita (Sudjiman, 1986: 46). Seperti yang dijelaskan oleh Hudson dalam Sudjiman (1991: 44), latar terbagi ke dalam dua macam, yaitu latar sosial dan latar fisik atau yang biasa disebut dengan latar material. Latar sosial merupakan penggambaran kehidupan masyarakat yang menjadi latar cerita tersebut, sedangkan latar fisik adalah tempat, berupa bangunan maupun daerah yang muncul di dalam cerita (Sudjiman, 1991: 44). Fungsi utama dari adannya penggambaran
latar
di
dalam
sebuah
cerita
adalah
untuk
menginformasikan kepada pembaca mengenai situasi dari ruangan atau tempat tokoh berperan. Metafor yang digunakan dalam penggambaran latar sebuah cerita juga membantu untuk menciptakan suasana yang ingin disampaikan (Sudjiman, 1991: 46).
1.5.1.3
Alur dan Pengaluran Setiap cerita yang disampaikan oleh pengarang tersusun oleh sebuah urutan waktu. Urutan peristiwa dalam cerita inilah yang dinamakan
Universitas Indonesia
8
dengan alur cerita. Dalam Sudjiman (1991: 29), dijelaskan bahwa alur dengan penyampaian cerita sesuai kronologis atau urutan waktu dinamakan sebagai alur yang linear. Kemudian, hubungan sebab akibat yang muncul dari penyampaian cerita disebut sebagai pengaluran. Seperti perkataan Abrams yang dikutip dalam Nurgiyantoro (1995: 114), ia melihat adanya perbedaan antara cerita dan plot, mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Nurgiyantoro (1995: 116) menyebutkan bahwa dalam pengembangan sebuah cerita ada tiga unsur yang sangat mendasar, yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks.
Ketiga unsur alur cerita tersebut kemudian
berkembang dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya tanpa harus sesuai dengan kronologis cerita. Pengembangan peristiwa-peristiwa inilah yang seperti dikatakan di awal disebut sebagai pengaluran. Pengaluran merupakan cara untuk menghasilkan sebuah alur atau plot cerita yang utuh. Dalam pengaluran, cerita, sebuah alur cerita yang lengkap haruslah terdiri dari bagian awal (beginning), bagian tengah (middle), dan bagian akhir (end) (Nurgiyantoro, 1995: 142) Dalam Nurgiyantoro (1995: 153), plot terbagi menjadi plot progresif dan plot regresif. Plot progresif adalah plot lurus dan maju, sedangkan plot regresif memasukkan sorot-balik atau flashback di dalam cerita. Hubungan sebab akibat yang ada di dalam cerita dimulai oleh pengenalan dan pemaparan menuju konflik. beranjak ke tengah cerita, unsur-unsur yang mengarah ke ketidakstabilan makin jelas menuju perwujudan suatu pola konflik atau tikaian. Tikaian ialah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan (Sudjiman, 1986: 42). Setelah bagian tikaian, cerita akan berkembang ke arah leraian. Sudjiman (1986: 42) menyebutkan bahwa bagian akhir atau selesaian yang muncul setelah leraian mungkin saja menjadi akhir yang menyenangkan (happy ending) atau justru menjadi akhir yang menyedihkan.
Universitas Indonesia
9
1.5.2
Pendekatan Sosiologi Sastra
Masyarakat itu sendiri sebenarnya merupakan suatu lembaga yang di dalamnya terdiri dari berbagai manusia yang saling berinteraksi sehingga memunculkan sebuah keunikan tersendiri. Setiap individu yang ada dalam kelompok masyarakat tersebut tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Masing-masing memiliki sifat, karakter, dan pemikiran yang berbeda. “Pengarang – lewat karyanya mencoba mengungkapkan fenomena kehidupan manusia yakni berbagai peristiwa dalam kehidupan ini. Karena karya sastra berisi catatan, rekaman, rekaan, dan ramalan kehidupan manusia, maka pada gilirannya, karya sastra, sedikit banyak, acap kali mengandung fakta-fakta sosial.” (Mahayana, 2007: 226). Sebagai sebuah karya sastra yang di dalamnya terdapat kehidupan masyarakat Nias, maka untuk mengkaji fakta sosial dalam masyarakat Nias dalam novel Manusia Langit ini digunakan kajian menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Mengenai pendekatan sosiologis yang digunakan dalam melihat kedudukan sastra di masyarakat juga dikemukakan dalam Damono (1984: 2). Menurutnya, Pada dasarnya, pengertian sosiologi sastra tidak berbeda dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra. Semuanya merupakan pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dan mengarah pada satu ciri yang sama, yaitu menaruh perhatian terhadap sastra sebagai sebuah lembaga sosial masyarakat yang diciptakan oleh sastrawan sebagai salah satu anggota masyarakat (Damono, 1984: 2) Dalam “Literature an Society”, seperti yang dikutip oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas, Ian Waat mengatakan bahwa “tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat.” Gambaran tersebut sangat penting artinya bagi peningkatan pemahaman dan penghargaan terhadap sastra itu sendiri. Hubungan timbal balik tersebut dilihat dari karya sastra dengan konteks sosial pengarangnya, karya sastra sebagai cerminan masyarakatnya, dan karya sastra dengan fungsi sosial karya sastranya. Seperti yang diungkapkan kemudian oleh Greibstein mengenai pendekatan sosio-kultural yang juga dikutip Sapardi Djoko Damono (Damono, 1987: 4), bahwa “karya sastra tidak dapat dipahami
Universitas Indonesia
10
secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan sehingga pada dasarnya, karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan obyek kultural yang unik.” Wellek dan Warren (1989: 111) juga mengklasifikasikan masalah sosiologi sastra sebagai berikut. Masalah yang pertama terletak pada sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah sosiologi sastra yang kedua adalah kedua adalah isi karya sastra, tujuan serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial, dan masalah yang ketiga merupakan permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Dari kajian sosiologi sastra atau sosio-kultural yang telah dijelaskan sebelumnya, pengaruh pengarang dalam karyanya dan bagaimana hubungan antara karya sastra yang dihasilkan dengan budaya dan kultur masyarakat budaya yang diceritakan di dalamnya merupakan kajian yang terikat dengan kehidupan sosial masyarakat Nias dalam novel Manusia Langit karya J.A. Sonjaya ini. Hubungan karya sastra yang dihasilkan dengan budaya masyarakat dilakukan dengan mengaitkan karya ini dengan referensinya. Karena skripsi ini dibuat untuk menggambarkan sistem religi masyarakat Nias, maka penelitian akan difokuskan pada sistem religi masyarakat Nias dalam novel lalu dikaitkan dengan sistem religi masyarakat Nias yang sudah ditulis atau dilukiskan oleh orang lain sebelumnya.
1.6
Sistematika Penulisan Untuk dapat menjawab masalah hingga nantinya mencapai tujuan dari
penulisan ini, maka penulis akan menjabarkan permasalahan dan pembahasan penulisan ini ke dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang di dalamnya terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, landasan teori, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tentang pengarang dan karya-karyanya. Di bagian awal bab kedua ini, penulis akan menggambarkan riwayat hidup pengarang dimulai dari lahir, jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh pengarang, dan masa kerja yang telah ditempuh
Universitas Indonesia
11
pengarang, serta pengalaman-pengalaman yang dialami pengarang sebagai seorang peneliti budaya. Setelah riwayat hidup pengarang, pada bab ini penulis akan menjelaskan kehidupan pengarang sebagai seorang penulis disertai dengan penjelasan dari beberapa buku yang telah ditulis olehnya. Pada bagian ini juga akan dicantumkan beberapa ulasan mengenai pengarang dan karya-karyanya. Bab ketiga tulisan ini berisi deskripsi novel dan pembahasan Manusia Langit sebagai sebuah karya sastra. Pembahasan pada bab ketiga ini merupakan pembahasan unsur intrinsik dalam novel. Unsur-unsur intrinsik yang akan dibahas dalam bab ini dilihat melalui penyampaian kisah yang penuh petualangan, kemunculan tokoh dari Nias dan tokoh dari luar Nias, serta dilihat dari penggambaran latar yang konkret. Bab keempat memuat sistem religi dalam novel Manusia Langit tersebut. Sistem Religi dalam bagian pembahasan ini dilihat dari penyebutan “Manusia Langit” sebagai asal usul masyarakat Nias, kepercayaan terhadap perburuan atau pemenggalan kepala oleh masyarakat, dan mitos roh pemakan bayi. Selain itu, sistem religi masyarakat Nias dilihat pula melalui kepercayaan mereka dalam upacara-upacara adat yang digambarkan dalam novel, seperti: upacara adat kelahiran yang masih berhubungan dengan mitos roh pemakan bayi dan tesafo, serta berbagai upacara adat, seperti upacara pembangunan rumah adat, upacara adat pengangkatan pemimpin adat, upacara adat perkawinan, dan upacara adat kematian. Dalam bab ini juga akan dijelaskan dinamika kehidupan masyarakat Nias dalam novel Manusia Langit setelah mendapat pengaruh dari masuknya agama Kristen. Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam bab ini ini juga akan dideskripsikan posisi pengarang dalam penyampaian cerita novel ini. Deskripsi ini dapat dilihat dari dialog-dialog tokoh dalam novel tersebut. Pembagian ini dibuat untuk memudahkan penulis dalam menganalisis hasil temuan. Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan. Pada bagian akhir, penulis akan menyajikan daftar pustaka dan lampiran yang berisi daftar pertanyaan beserta jawaban dari pengarang novel Manusia Langit. Sebelum memulai analisis dalam tulisan ini, pada bab selanjutnya akan dituliskan terlebih dahulu tentang pengarang dan karya-karyanya.
Universitas Indonesia
BAB 2 J.A. SONJAYA DAN KARYANYA
2.1
Pengantar Perkembangan dalam sastra Indonesia, khususnya dalam penulisan karya
sastra yang berwujud novel, dapat dilihat tidak hanya dari bermunculannya novelnovel baru yang semakin beragam dalam mengangkat tema karyanya, tetapi juga dari bermunculannnya pengarang-pengarang baru. Salah satu pengarang novel yang novel keduanya diterbitkan oleh penerbit buku Kompas pada bulan September 2010 adalah J. A. Sonjaya. Sebagai seorang penulis nonfiksi, J.A. Sonjaya sudah menghasilkan beberapa buku yang berhubungan dengan bidang keahliannya saat menempuh studi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yaitu beberapa buku penelitian arkeologi. Namun, sebagai seorang pengarang fiksi, boleh dikatakan orang baru karena hingga kini, baru dua buah novel yang dihasilkannya. Novel pertamanya merupakan novel sejarah maritim yang diterbitkan pada tahun 2009 lalu, sedangkan novel keduanya yang menjadi objek penelitian dalam karya tulis ini merupakan sebuah novel etnografi yang memuat gambaran kehidupan masyarakat Nias. Karena J.A. Sonjaya merupakan pengarang baru yang relatif belum dikenal banyak orang, pada bab ini dipaparkan selayang pandang tentang J.A. Sonjaya dan karya-karyanya. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, bab II ini merupakan bab yang memuat riwayat hidup dan karya-karya J.A. Sonjaya. Apa yang dituliskan di bawah ini merupakan hasil wawancara penulis dengan pengarang sejak tanggal 27 April—9 Mei 2011 melalui media chatting. Selain itu, data tentang pengarang didapat dari Curriculum Vitae yang dikirimkan kepada penulis. Informasi yang didapat dari biodata pengarang pada sampul karya-karyanya juga melengkapi uraian berikut. Diharapkan, dengan uraian dan pengenalan singkat ini akan diketahui sedikit banyak kaitan penulisan novel-novelnya dengan pekerjaannya sebagai peneliti dan pengajar.
12 Universitas Indonesia
13
2.2
Riwayat Hidup J.A. Sonjaya Jajang Agus Sonjaya adalah seorang penulis yang lahir di Kuningan, 25 Juni
1974 dari pasangan Dudung Masduki dan Opi Sopiah. Ia adalah putra pertama dari lima bersaudara yang dibesarkan di kelurahan Purwawinangun, kecamatan Kuningan, Jawa Barat. Selama dibesarkan oleh orang tuanya, Sonjaya banyak diajarkan cara-cara hidup bukan hanya dengan nasihat yang berkali-kali disampaikan, melainkan dengan diajarkan betapa pentingnya posisi keluarga dalam hidup dan betapa pentingnya menjalin dan menjaga silaturahmi di dalam keluarga. Hubungannya dengan orang tua juga sangat dekat. Karena kedekatan itulah, orang tua Sonjaya tidak pernah memarahi anaknya kecuali sang anak tidak melaksanakan ibadah sholat dan mengaji. J.A. Sonjaya menempuh pendidikan SD di SD Negeri Purwawinangun II Kuningan. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan SMP di SMP Negeri 1 Kuningan dan SMA Negeri 2 Kuningan. Keputusan dalam memilih sekolah ketika menempuh pendidikan SMP, SMA, dan perguruan tinggi juga murni berasal dari keinginan J.A. Sonjaya sendiri, tanpa ada paksaan dari kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya membebaskannya untuk belajar di mana pun dan bergaul dengan siapa pun. Orang tuanya mengetahui bahwa ia suka bergaul dengan anak-anak yang nakal, namun kedua orang tuanya tidak mengkhawatirkan dan hanya berkata, “Bagaimana Jajang bisa jadi orang baik jika tidak mengenal yang jahat." Selama ini, bapak dari J.A. Sonjaya bekerja sebagai kondektur di perusahaan bus Luragung Jaya. Dulu, saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Jajang Agus Sonjaya yang merokok juga tidak mendapat larangan dari orang tuanya. Bapak dari J.A. Sonjaya hanya mengajarkan kepadanya dengan berhenti merokok untuk menunjukkan sulitnya mencari uang. Akhirnya, setelah bapaknya berhenti merokok, ia juga ikut berhenti merokok. Sejak saat itu, ia tidak lagi merokok, kecuali jika sedang melakukan penelitian di lapangan atau jika sedang naik gunung. Itu pun hanya dilakukannya sesekali saja. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan studi di Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi S1 Arkeologinya pada tahun 1999. Pada semester lima ketika masih mengikuti studi S1, yaitu pada tahun 1996,
Universitas Indonesia
14
J.A. Sonjaya menikah dengan teman seangkatannya yang bernama Nurul Jannati. Setelah menikah, ia kemudian dikaruniai satu orang anak. Putra pertamanya lahir pada tahun 1998. Pada tahun 2006, ia dan istri dipercaya untuk membesarkan lagi seorang putri yang sebenarnya bukan anak kandung mereka. Anak perempuan itu sebenarnya adalah anak dari adik kandung J.A. Sonjaya yang telah ditinggal ayahnya saat masih di dalam kandungan. Sebagai seorang pengajar, penulis, dan peneliti, J.A. Sonjaya tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada kedua putra dan putrinya untuk mengikuti jejaknya sebagai pengajar, penulis, atau peneliti. Ia hanya suka mengajak kedua putra dan putrinya jalan-jalan dan sesekali ikut ke situs atau desa tempat ia melakukan penelitian. Ia hanya menekankan pada anak-anaknya untuk gemar membaca apa pun. Untuk membiasakannya, ia sering mengajak anak-anaknya jalan-jalan ke toko buku pada setiap akhir pekan. Anak laki-lakinya ingin menjadi peternak kuda sedangkan anaknya yang perempuan ingin menjadi dokter dan penari. Akan tetapi, pernah suatu hari J.A. Sonjaya mengajak Robi, anak lakilakinya, pergi ke Dieng. Sepulang dari sana, Robi dengan sangat baik menulis halhal tentang Dieng yang ia lihat sebelumnya. Hal ini membuat J.A. Sonjaya senang dan bangga terhadap anaknya yang saat itu masih berumur lima tahun. Keberadaan istri dan mertua mengubah kehidupannya yang semula ceria dan optimis, namun mudah emosi menjadi lebih sabar dan penuh rencana dalam memikirkan segala hal yang dilakukan. "Jika ingin memahami sesuatu, yang paling baik itu adalah dengan cara mengajarkannya." Kata-kata itu dipetik oleh Sonjaya dari bapak mertuanya. Menurutnya, mengajar dan menulis adalah salah satu cara dirinya belajar memahami sesuatu. Jika kelak ada orang lain bisa belajar dari kuliah atau tulisannya, hal itu merupakan dampak lain untuk bekal dia di akhirat nanti. Itulah yang dikatakan olehnya ketika ditanya tentang profesinya sebagai pengajar. Setelah menyelesaikan studi S1, Sonjaya melanjutkan studi S2 di tempat yang sama pada jurusan yang sama pula, Arkeologi, dan berhasil menyelesaikan program pendidikan Magister Humanioranya pada tahun 2005. Berbagai pengalaman profesional di dunia kerja telah dijalani oleh J.A. Sonjaya. Sejak tahun 1999 hingga saat ini, J.A. Sonjaya menjadi dosen dan mengajar beberapa mata kuliah, seperti Etnoarkeologi, Pengantar Prehistori,
Universitas Indonesia
15
Pengantar Teori Arkeologi, Metode Survei Arkeologi, Metode Ekskavasi, Arkeologi Maritim, dan Menulis Kreatif di Universitas Gajah Mada, serta mengajar mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif pada Program S-2 Psikologi di Universitas Gajah Mada. Selain menjadi dosen di Jurusan Arkeologi Universitas Gajahmada, J.A. Sonjaya juga menjadi dosen dan mengajar mata kuliah Komunikasi Mulikultur di Jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 yang lalu. Beberapa mata kuliah yang diajarkannya di jurusan Arkeologi adalah mata kuliah yang memang berhubungan dengan masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai objek penelitiannya, misalnya mata kuliah Etnoarkeologi. Etnoarkeologi adalah salah satu cabang ilmu arkeologi yang menggunakan data-data etnografi untuk memperhatikan tindakan-tindakan sekelompok masyarakat
yang terlihat dari
bahasa dan tindakan dalam kelompok masyarakat tersebut. Selain memiliki pengalaman kerja sebagai dosen di UGM dan UMY, ia juga bekerja sebagai seorang peneliti/koordinator pengabdian masyarakat di Pusat Studi Asia Pasifik UGM sejak tahun 2000 hingga sekarang. Ia pernah pula menjadi direktur Mangrove Asian Project dari tahun 2005 hingga 2009. Selain itu, ia juga bekerja sebagai konsultan dan organisator masyarakat di beberapa organisasi non-pemerintah. Sejak tahun 2008 hingga sekarang, ia juga menjabat sebagai manajer di CV Sahabat Bambu dan menjadi anggota dewan penasihat di Badan Pemberdayaan dan Warisan Nias. CV Sahabat Bambu tempat J.A. Sonjaya bekerja sebagai manajer adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengawetan aplikasi dan produk bambu Indonesia. Sebagai seorang arkeolog, J.A. Sonjaya pernah terlibat dalam tak kurang dari 50 proyek penelitian dan pengembangan masyarakat. Penelitian-penelitian tersebut sudah dimulai sejak tahun 2002 hingga saat ini. Dalam penelitianpenelitian tersebut, berbagai posisi telah ia jalani, mulai dari sebagai anggota, community organizer, staf ahli, project manager, koordinator lapangan, perencana dan pengawas, ketua pelaksana, hingga sebagai konsultan. Beberapa daerah yang secara intensif diteliti olehnya, antara lain Gunung Ciremai, Gunungkidul, Dieng, Segara Anakan, Suku Dayak Kalimantan, dan Nias.
Universitas Indonesia
16
2.3
J.A. Sonjaya sebagai Seorang Penulis Sebagai seorang dosen jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta,
Jajang Agus Sonjaya juga mempunyai hobi lain untuk mengisi waktu luangnya, yaitu dengan menyelam dan menulis. Sebagai seseorang yang memiliki hobi menyelam, ia telah mengikuti berbagai pendidikan/kursus/diklat selam yang diselenggarakan berbagai instansi dan lembaga. Ia mulai menulis setelah melakukan berbagai perjalanan sebagai peneliti masyarakat. Penelitian intensifnya di beberapa daerah, seperti Gunung Ciremai, Gunungkidul, Dieng, Segara Anakan, Suku Dayak Kalimantan, dan Nias. Hasil penelitian tersebut kemudian ditulis menjadi beberapa kisah perjalanan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk makalah dan laporan penelitian. Berdasarkan Curriculum Vitae yang dikirimkan pengarang, beberapa contoh hasil penelitiannya yang kemudian dituliskan dalam beberapa makalah dan laporan penelitian dapat dilihat dari tabel berikut. PUBLIKASI ILMIAH (TERPILIH) No Judul
Jenis
Tahun
1. Sebaran Situs-situs Megalitik di Kabupaten Kuningan: Kajian Mengenai Lingkungan dan Konsep Religi yang Mempengaruhinya, Skripsi. Fakultas Sastra UGM. Yogyakarta.
Skripsi
1999
2. Rekontruksi Bentuk Peti Kubur Batu Gunungbang dan Hubungannya dengan Tatacara Penguburan Masyarakat Pendukungnya, Makalah dalam Seminar Hasil PTKA II, Yogyakarta.
Makalah
2000
3. Pengantar Pemetaan Arkeologi, bersama Agus Tri Hascaryo dalam Modul Panduan Penelitian Lapangan Edisi I dan II Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis Gunungkidul Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UGM.
Makalah
2000
4. Upacara Bersih Sumber di Dusun Gunungbang, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis Gunungkidul Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta.
Laporan Penelitian
2000
Universitas Indonesia
17
5. Strategi Pemanfaatan Lahan pada Masyarakat Pendukung Situs-situs Megalitik di Lereng Gunung Ciremai, Proceding Seminar Prasejarah Indonesia II, Asosiasi Prehistorisi Indonesia, Yogyakarta.
Makalah
2000
6. Bibliografi Beranotasi tentang Hutan Kemasyarakatan, Laporan Penelitian bersama P.M. Laksono dkk., Kerjasama Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Yogyakarta.
Laporan Penelitian
2000
7. Studi Sosial Ekonomi dan Sumber Daya Alam di Kawasan Ekosistem Air Hitam, Sungai Puning, Kalimantan Tengah, bersama Drs. Tjahjono Prasodjo, M.A. dkk., Kerjasama Yayasan Kehati dan Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Yogyakarta.
Laporan Penelitian
2000
8. Masyarakat Jawa dalam Keseharian, bersama Drs. Ph. Soebroto dkk.
Laporan Penelitian
2000
9. Tumpang-tindih Situs-situs Megalitik dan Klasik di Gunungkidul: Cermin Pluralisme Kepercayaan?, Procceding Seminar Eksplorasi Arkeologis Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Makalah
2001
10. Perempuan di Hutan Mangrove: Studi Ekologi Budaya di Kawasan Lahan Basah Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Laporan Penelitian, di bawah ketua P. M. Laksono, Pusat Studi Asia Pasifik UGM bekerjasama dengan Yayasan Kehati.
Laporan Penelitian
2002
11. Pemberdayaan Masayarakat di Kawasan Hutan Mangrove Delta Berau, Kalimantan Timur Berperspektif Lingkungan, Laporan Penelitian, di Bawah Ketua Dr. P. M. Laksono, Pusat Studi Asia Pasifik UGM bekerjasama dengan DIKTI.
Laporan Penelitian
2002
12. SHS Consumers’ Satisfaction Survey in South Sumatra, Final Report, di Bawah Ketua Dr. P. M. Laksono, Yayasan Dian Desa bekerjasama dengan Pusat Studi Asia Pasifik UGM.
Laporan Penelitian
2002
13. Persepsi Masyarakat tentang Candi Plaosan, di bawah ketua Dr. Pujo Semedi Hadiyuwono, Pusat
Laporan
2003
Universitas Indonesia
18
Pengembangan Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Penelitian
14. Pengelolaan Warisan Budaya di Dataran Tinggi Dieng: Kajian Lansekap, Sejarah Pengelolaan, dan Nilai Penting, Sekolah Pascasarjana UGM
Tesis
2005
15. Involusi Pertanian dan Perubahan Penggunaan Lahan: Studi Kasus di Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, bersama Tim SP4 Jurusan Arkeologi FIB UGM.
Laporan Penelitian
2005
16. Samboro Hia: Membaca Pergulatan Identitas Orang Nias, Pusat Studi Asia Pasifik UGM dan Ford Foundation.
Makalah
2005
17. Pengembangan Matapencaharian Alternatif di Kawasan Segara Anakan, PSAP-UGM, MAP, dan Ford Motor Company.
Laporan Penelitian
2005
18. Makna Megalitik: Kontekstualisasi dalam Sejarah Budaya Boronadu, Pusat Studi Asia Pasifik UGM dan Ford Foundation.
Makalah
2006
19. Etnoarkeologi. Jurusan Arkeologi UGM
Makalah
2006
20. Bambu: Potensi dan Tantangan Pengembangannya. Sinopsis Diskusi Bambu kerjasama HRC – Sahabat Bambu – Laboratorium Teknik Struktur Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta, April 2007
Makalah
2007
Setelah menghasilkan cukup banyak laporan penelitian, ia kemudian memutuskan untuk membuat laporan-laporan penelitian tersebut menjadi buku ketika mulai merasa bosan dan resah karena baginya, bila tidak diterbitkan menjadi sebuah buku, setiap hasil penelitian akademisi hanya akan berakhir di rak buku atau meja sebagai laporan. Pembaca laporan itu pada akhirnya juga akan terbatas. Ia ingin hasil penelitian akademisnya bisa dibaca oleh banyak orang agar lebih banyak orang yang bisa belajar lebih banyak tentang hidup. Selain itu, sebagai seorang arkeolog, melalui buku-bukunya, ia ingin mencoba mengangkat sisi kehidupan yang terkait dengan dunia arkeologi dan etnografi. Maka, untuk
Universitas Indonesia
19
menyebarluaskan karya tulisnya, beberapa laporannya dibuat dalam bentuk artikel yang dimuat di media masa lokal dan nasional. Beberapa artikelnya yang dimuat dalam beberapa media massa belakangan ini, adalah “Orang Nias, Mereka Memburu Kepala untuk Bekal Kubur” yang dimuat dalam Newsletter Antarbudaya Edisi Juni 2008. PSAP-UGM dan Ford Foundation, “Candi untuk Masa Depan” yang dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat pada tanggal 12 Januari 2010, dan “Budidaya Bambu Kita segera Dijiplak Malaysia?” yang dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat pada tanggal 21 Januari 2010. Tujuh dari hasil penelitiannya juga ada yang dibuat menjadi film dokumenter. Salah satu film dokumenter yang dibuat berdasarkan hasil penelitiannya di lapangan adalah film dokumenter berjudul Lelaku yang telah ditayangkan di TV ONE. Berdasarkan tabel yang menunjukkan beberapa laporan penelitian yang dibuat oleh J.A. Sonjaya, maka terlihat bahwa ia adalah seorang peneliti yang tertarik dengan kehidupan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Beberapa buku karya J.A. Sonjaya yang sudah terbit adalah Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut, Belajar dan Membangun Bersama Masyarakat: Riset Aksi Partisipatoris di Segara Anakan, Melacak Batu Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias, Zanj, dan Manusia Langit. Buku Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut ditulis bersama PM Laksono dan diterbitkan oleh penerbit Galang Press, Yogyakarta pada tahun 2006. Buku yang kedua, yaitu Belajar dan Membangun Bersama Masyarakat: Riset Aksi Partisipatoris di Segara Anakan diterbitkan oleh PSAP UGM dan MAP-Indonesia di Yogyakarta pada tahun 2007. Buku Melacak Batu Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias adalah buku ketiga yang ditulis J.A. Sonjaya dan diterbitkan pada tahun 2009 oleh penerbit Kanisius. Buku ini memuat kepercayaan dan sistem religi yang dianut oleh masyarakat Nias yang mulai maju karena masuknya agama Kristen dan Katolik. Buku ini dibuat sebagai hasil penelitian yang dilakukan olehnya selama berada di Nias. Buku karya J.A. Sonjaya yang keempat adalah Zanj. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Kepel pada tahun 2009. Zanj ditulis oleh J.A. Sanjaya bersama Arba’atun Nashikin.
Universitas Indonesia
20
Buku Melacak Batu Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias adalah buku hasil dari penelitian J.A. Sonjaya saat berada di daerah Boronadu (boro: awal, adu: patung) yang diyakini oleh masyarakatnya sebagai asal suku Nias. Orang-orang Nias kebanyakan meyakini bahwa Boronadu adalah tempat manusia Nias pertama turun dari langit. Sekarang nama itu berubah menjadi Desa Sifalago Gomo terletak di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Tempat ini sangat terpencil dan dikelilingi gunung-gunung yang juga menggambarkan kekunoannya. Di Boronadu terdapat banyak batu megalitik (mega: besar, lithos: batu >artefak batu besar)seperti lompat batu di Teluk Dalam. Sayangnya, batu-batu megalitik tersebut sekarang sudah tidak digunakan lagi untuk aktivitas keseharian dan religi, tetapi hanya sebagai tempat menjemur pakaian atau biji cokelat, salah satu hasil perkebunan utama penduduk sana saat ini. Saat melakukan penelitian di sana, Jajang Agus Sonjaya mendapat kehormatan dengan dikukuhkan menjadi marga Hia dengan nama Ama Robi Hia (ama: bapak, robi: anak pertamanya, hia: marga orang tua angkatnya) setelah dua tahun bergaul dengan masyarakat pedalaman Nias tersebut. Di dalam buku tersebut juga digambarkan bagaimana ia berhasil melampaui tahap demi tahap cara membaur dan bergaul dengan masyarakat lokal di pedalaman Nias. Berbeda dengan banyaknya peneliti yang menyerah di Nias, bahkan ada yang dibunuh karena gagal berbaur dan menghargai orang Nias, ia justru mendapat tempat di antara masyarakat di sana. Tidak hanya asal-usul manusia, tradisi berburu kepala, berpadunya animisme dengan agama baru, serta pesta-pesta adat, pengamatan J.A. Sonjaya
terhadap perempuan Nias juga dituliskannya dalam buku ini. Setelah menulis buku hasil penelitiannya di Nias yang berjudul Melacak Batu Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias, J.A. Sonjaya kemudian menulis sebuah novel yang juga berlatar budaya Nias. Manusia Langit adalah buku kelima dan merupakan novel kedua yang ditulis oleh J.A. Sonjaya. Sama seperti buku berlatar budaya masyarakat Nias sebelumnya, novel yang diterbitkan oleh penerbit Kompas pada tahun 2010 ini merupakan hasil penelitiannya di Nias dan Yogyakarta dalam rentang waktu Agustus 2005 sampai Juni 2010. J.A. Sonjaya sudah sejak lama menaruh ketertarikan sejak tahun 1995 menaruh perhatian terhadap kehidupan dan kebudayaan masyarakat Nias. Namun, baru
Universitas Indonesia
21
pada tahun 2005 yang lalu belia mendapatkan kesempatan untuk mendatangi Nias secara langsung. Saat itu, ia mendapatkan kesempatan ke Nias ketika sedang membimbing seorang mahasiswa S2 Antropologi yang sedang menyusun tesis. Pada saat itu, penelitiannya selama berada di Nias dibiayai atau mendapat bantuan dari Ford Foundation. Saat ini, mahasiswa yang melakukan penelitian bersamanya selama di Nias itu sudah menjadi seorang dosen di salah satu universitas di Ambon. Mitos ”Manusia Langit” atau mitos asal-usul manusia yang berasal dari langit dan sangat dipercaya masyarakat di sana kebetulan sesuai dengan ide dan pemikirannya tentang kehidupan kampus yang ia jalani seharihari. Dalam novel ini, ia mencoba menulis kedua dunia itu dalam perspektif antarbudaya yang reflektif dan intersubjektif yang meletakkan subjektivitas pembaca pada subjektivitas orang lain. Pendekatan ini merupakan pendekatan baru dalam dunia antropologi yang ia rasakan penting untuk dikembangkan oleh bangsa Indonesia yang multikultural. Di Nias dikenal ungkapan “Lain Kampung Lain Adat”. Kampung yang Ia amati untuk cerita di dalam novel Manusia Langit ini adalah sebuah kampung di pedalaman Nias yang dianggap sebagai tempat turunnya manusia dari langit. Kampung ini bernama Banuaha. Menurut J.A. Sonjaya, di Banuaha, agama leluhur (animisme) masih mendarah daging. Kristen dan Katolik baru menyentuh kulitnya saja. Kepercayaan masyarakat akan leluhur dan upacara-upacara adat masih banyak dijalankan masyarakat meskipun ada beberapa yang sudah terhapu karena masuknya agama ke dalam kampung mereka. Namun, apa yang terjadi dalam masyarakat Banuaha ini tidak bisa mewakili masyarakat Nias secara keseluruhan sebab di bagian Nias lain banyak masyarakatnya yang sudah sangat berpikir lebih maju dan banyak masyarakat yang sudah memeluk Kristen-Katolik dengan sangat taat. Sebagai pengarang novel ini, Sonjaya juga mengakui bahwa sebagian dari tokoh Mahendra adalah refleksi dari pengalamannya ditambah dengan pengalaman beberapa teman. Jadi, tokoh Mahendra bisa dikatakan karakter yang dibangun dari empat sampai lima tokoh yang diramu jadi satu. Dengan demikian, kebanyakan apa yang diceritakan dalam novel ini, mengenai cerita dan tokoh di dalamnya merupakan pengalaman nyata. J.A. Sonjaya mengungkapkan bahwa
Universitas Indonesia
22
pengalaman yang menurutnya paling menarik ketika melakukan penelitian di Nias adalah pengalaman ketika mandi di sungai sedangkan pengalaman yang kurang ia sukai selama berada di Nias adalah ketika di sana terjadi konflik sosial yang tinggi. Konflik sosial di Nias tinggi, terutama mengenai status dan harga diri. Menurutnya, ukuran status dan harga diri di Jawa, tempatnya dibesarkan dengan di sana sangatlah berbeda sehingga ia selalu takut salah berbicara atau salah bersikap terhadap mereka. Mengenai hal ini juga ia gambarkan dalam novel Manusia Langit. Dekat dengan satu keluarga berarti menjadi musuh bagi keluarga lain yang tidak menyukai keluarga yang ia dekati. Hal itu saja yang membuat dirinya merasa kurang enak selama berada di Nias. Sampai saat ini, ia masih terus datang ke Nias setiap kali ada waktu libur hingga sudah 11 kali kunjungan. Ia berada di sana antara 10-45 hari setiap kali mengunjungi Nias. Setelah melihat cerita dalam buku Melacak Batu Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias dan novel Manusia Langit, terlihat bahwa novel Manusia Langit adalah pengembangan cerita dari sebagian kisah perjalanan J.A. Sonjaya yang sebelumnya telah digambarkan dalam buku laporan penelitian Melacak Batu Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias. Di dalam novel Manusia Langit juga terdapat penggambaran penghormatan masyarakat terhadap leluhur, religi, status sosial, dan pengetahuan semenjak masuknya agama. Yang membedakan adalah dalam buku Melacak Batu Menguak Mitos, sudut pandang yang digunakan adalah dari sudut pandang pengarang melalui tokoh Saya sedangkan di dalam novel Manusia Langit, pengarang memunculkan tokoh-tokoh lain, seperti Mahendra, Yasmin, dan Saita. Tokoh-tokoh itu kemudian menciptakan kisah percintaan yang menambah nilai dari novel ini. Novel ini menjadi berbeda dari sebuah buku laporan penelitian karena diselipkan kisah percintaan yang dialami oleh tokoh di dalamnya. J.A. Sonjaya menyatakan, bahwa Banuaha, kampung yang menjadi latar dalam novel Manusia Langit ini adalah kampung rekaan yang memang sengaja dibuatnya. Kampung ini dibuat setelah menggabungkan keempat kampung di kawasan Gomo, termasuk kampung Boronadu, kampung yang terdapat dalam buku Melacak Batu Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias. Sonjaya sengaja membuat sebuah kampung rekaan karena ada isu-isu sensitif yang ingin ia angkat dalam novelnya, seperti isu
Universitas Indonesia
23
pembunuhan bayi, dan perempuan di Nias. Dengan membuat sebuah kampung rekaan, diharapkan isu-isu yang dimunculkan dalam novel ini tidak akan menyinggung sekelompok masyarakat tertentu di Nias. Karya-karya J.A. Sonjaya sudah cukup banyak dibicarakan di media internet. Misalnya, novel Manusia Langit sudah banyak dibuat resensinya dalam beberapa halaman web, seperti: NiasOnline.com, Kompasiana.com, dan dimuat di beberapa blog. Namun, pembahasan yang banyak terdapat dalam halaman web dan blog tersebut biasanya mengenai percintaan antara tokoh Mahendra dengan Yasmin dan Saita yang keduanya terhalang oleh peraturan-peraturan dan adat yang mengikat. Setelah menyelesaikan novel kelimanya yang berjudul Manusia Langit ini pada tahun 2010 yang lalu, J.A. Sonjaya sekarang sedang menulis dua novel yang akan segera diterbitkan. Novel yang pertama berjudul Liyan. Novel ini berkisah tentang perjumpaan seorang pendaki dengan spiritualis kejawen di Gunung Lawu. Kisah tersebut juga didasarkan dari hasil penelitian yang pernah dilakukan olehnya. Hasil penelitian tersebut, sebelum dibuat menjadi buku, juga pernah dijadikan film dokumenter yang berjudul Lelaku dan sudah pernah dua kali ditayangkan di salah satu perusahaan televisi swasta di Indonesia, yaitu TV ONE. Novel lain yang sedang ditulis oleh Ia dan juga akan segera terbit adalah novel yang berjudul Aku Ingin Telanjang. Novel ini berkisah tentang dua perempuan bernama Yasmin dan Cici. Keduanya merupakan ayam kampus dan menjadi pekerja seks di kota Jogja. Satu impian J.A. Sonjaya yang hingga saat ini belum bisa terwujudkan adalah impian mendirikan rumah kecil dengan halaman yang luas di kaki gunung. Rumah itu nantinya akan digunakan J.A. Sonjaya dengan keluarganya saat dirinya sudah pensiun untuk menulis, bertani, dan beternak. Demikianlah gambaran singkat tentang J.A. Sonjaya dan karya-karyanya. Pada bagian selanjutnya akan dibahas Manusia Langit sebagai sebuah karya sastra dilihat dari beberapa unsur yang membentuknya. Pembahasan ini nantinya diharapkan akan membantu penggambaran unsur ekstrinsiknya.
Universitas Indonesia
BAB 3 MANUSIA LANGIT SEBAGAI KARYA SASTRA
3.1
Pengantar
Sebagaimana diungkapkan pada bagian-bagian sebelumnya, Manusia Langit adalah sebuah novel yang di dalamnya terdapat sistem religi dari masyarakat Nias. Meskipun demikian, sebagai sebuah karya sastra, keberadaannya dibangun oleh unsur-unsur karya sastra yang diciptakan oleh penulisnya. Bab ini dibuat untuk menambah uraian dan kajian mengenai Manusia Langit sebagai sebuah karya sastra sebelum pembahasan mengenai gambaran sistem religi masyarakat Nias yang dibuat oleh pengarang dijelaskan lebih lanjut. Ada tiga hal yang menarik dalam novel ini hingga tema yang ingin diangkat mencuat dan hadir tanpa menimbulkan kebosanan. Ketiga hal tersebut adalah penciptaan kisah yang penuh petualangan, kemunculan tokoh-tokoh dari Nias dan luar Nias, serta penggambaran latar cerita yang konkret. Latar digunakan oleh pengarang untuk memperkuat penggambaran situasi masyarakat yang sedang dibicarakan. Tokoh dan penokohan yang ada di dalam novel dilihat dari tokoh Nias dan tokoh dari luar Nias. Tokoh ini dibuat untuk mengantarkan cerita melalui dialog-dialog yang selanjutnya akan menunjukkan sikap tokoh dalam menanggapi sistem religi dalam masyarakatnya, sedangkan penciptaan kisah yang penuh petualangan dibuat untuk memperjelas jalannya cerita yang dialami tokoh dalam novel. Ketiga hal yang menarik yang dimunculkan pengarang dalam novel inilah yang kemudian memperlihatkan sistem religi sebagai tema umum dalam novel ini. Selanjutnya, penciptaan kisah yang penuh petualangan, kemunculan tokoh-tokoh dari Nias dan luar Nias, serta penggambaran latar cerita yang konkret akan dibicarakan selanjutnya dalam bagian ini. Untuk itu, sebelum melihat ketiga hal tersebut, terlebih dahulu akan diberikan sinopsis ceritanya.
24
Universitas Indonesia
25
3.2
Sinopsis Novel Manusia Langit
Mahendra adalah seorang arkeolog muda yang sekaligus merupakan pengajar di salah satu universitas di Yogyakarta. Pada tahun 2005, setelah terjadi bencana alam berupa gempa bumi yang banyak menelan korban di Nias, ia memutuskan untuk menjadi relawan di tempat yang sedang dilanda bencana tersebut. Dari situlah kemudian Mahendra mulai menjalani hidup dalam lingkungan masyarakat asli Nias. Mahendra sedang melakukan penggalian bersama Sayani di dekat sungai Gomo saat menemukan sebuah periuk yang pada awalnya dianggap sebagai sebuah artefak peninggalan masyarakat Nias zaman dulu. Sayani adalah anak dari kepala Banuaha, yaitu kampung yang yang ditinggali Mahendra selama berada di Nias. Saat melakukan penggalian ini, Mahendra kemudian bertemu dengan salah seorang penduduk Banuaha lain yang bernama Pak Nai Laiya. Pak Nai Laiya menawarkan kepada Mahendra untuk dapat berhubungan langsung dengan roh leluhur masyarakat Nias tanpa perlu melakukan penelitian di lapangan. Untuk menemui roh leluhur, Pak Nai Laiya menawarkan diadakannya upacara pemanggilan roh leluhur. Penawaran diadakakannya upacara pemanggilan roh leluhur ini mengingatkan tokoh Mahendra pada pesan teman-temannya. Saat ingin melakukan penelitian di daerah Banuaha, beberapa teman Mahendra di Gunung Sitoli ada yang mengingatkan bahwa di daerah Banuaha, khususnya daerah Sungai Gomo, terdapat tempat yang penting karena dipercaya sebagai tempat manusia pertama turun dari langit. Selain itu, masyarakat yang tinggal di daerah sekitar Sungai Gomo terkenal barbar karena dalam aturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakatnya
masih
ditemui
adanya
pembalasan
dendam
melalui
pemenggalan kepala. Di tengah kampung itu juga masih terdapat sembilan buah bekhu (menhir) yang dipercaya sebagai monumen sembilan leluhur penting yang menurunkan marga-marga besar di Nias. Periuk yang berhasil ditemukan oleh Mahendra tersebut menimbulkan kecurigaan tentang mitos roh pemakan bayi yang selama ini beredar di masyarakat Nias. Saat pulang ke rumah Sayani, Mahendra menanyakan kepada Ama Budi mengenai periuk yang ditemukannya tadi. Selama di Banuaha, Mahendra memang
Universitas Indonesia
26
tinggal di rumah Ama Budi bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri karena kakak Sayani yang bernama Budi lebih memilih meninggalkan Nias karena tidak mau terikat oleh adat. Mahendra memperkirakan bahwa periuk yang ditemukannya saat melakukan penggalian adalah periuk yang digunakan orang tua yang ingin mengubur bayinya karena keterbatasan ekonomi masyarakat yang mendapatkan penghasilan hanya dari hasil berkebun. Sempat teringat kembali oleh Mahendra akan kisah cintanya yang lalu bersama Yasmin. Kisah cintanya harus terhenti karena Yasmin memilih bunuh diri saat mengandung anak Mahendra. Sebagai pendatang, Mahendra mendapatkan berbagai informasi mengenai kehidupan masyarakat Nias. Dalam membangun sebuah rumah adat, diadakan berbagai tahapan upacara yang memerlukan waktu hingga bertahun-tahun. Pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang akan dibangun rumah. Setelah itu, untuk menguji kekuatan rumah tersebut, diundang puluhan laki-laki yang kemudian menari hewa-hewa di atas rumah. Setelah puluhan laki-laki itu menguji kekuatan rumah, mereka harus dijamu makan dalam dengan menyembelih puluhan ekor babi. Untuk meresmikan rumah yang telah didirikan itu, diadakan kembali pesta selamatan dengan menyembelih satu atau dua ekor ayam. Dulu, tidak hanya ayam, tapi seorang budak juga disembelih dan kepalanya disimpan di atas pole rumah. Mengenai pendapat Mahendra tentang periuk yang ia curigai sebagai periuk yang digunakan beberapa masyarakat Nias untuk membuang bayi, masyarakat lain yang mulai mendengar berita itu kemudian marah. Masyarakat menganggap apa yang disampaikan oleh Mahendra telah menghina mereka sebagai keturunan langit. Oleh karena berita yang disebarkannya, Mahendra dan Sayani diberi denda untuk memberikan sepuluh ekor babi dan menghentikan penggalian. Setelah penggalian dihentikan, Mahendra beralih profesi menjadi guru SMP di daerah Banuaha. Mahendra memberikan pelajaran biologi dengan membiarkan siswa melakukan observasi atau pengamatan langsung ke lapangan. Setelah itu barulah membahas secara bersama-sama di dalam kelas. Ternyata pola itulah yang juga dipakai masyarakat Nias dalam kehidupan sehari-hari. “Kami belajar
Universitas Indonesia
27
langsung di ladang, di sungai, di pasar. Mereka kemudian membicarakan dan membagi pengalamannya itu di warung atau di balai adat,” ujar Ama Budi. Mahendra kemudian menjalani hari-hari di Banuaha sebagai guru yang mulai menjalani rutinitas di desa sebagai orang biasa, bukan lagi sebagai peneliti. Semakin lama tinggal di sana, Mahendra semakin bertanya-tanya mengapa batu yang kalah oleh derasnya air sungai Gomo itu menjadi sebuah media pemujaan. Batu tersebut biasanya dibuat untuk menhir, dolmen, altar pemujaan, patung leluhur, fondasi bangunan adat, dan banyak lagi. Keterikatan masyarakat Banuaha terhadap batu juga terlihat dari setiap upacara adat kepercayaan masyarakat Banuaha. Ketika seorang bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan. Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kalinya, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes pada batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah menyatu dengan batu dan bumi. Ketika anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakan pesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Ketika Saita, gadis Banuaha yang berhasil menarik hatinya dijodohkan oleh keluarganya dengan anak Pak Nai Laiya yang bernama Arafősi. Mahendra sempat menanyakan syarat untuk melamar Saita kepada Ama Budi. Di Banuaha, perempuan itu dibeli dan anak muda di Banuaha tidak memiliki hak untuk memilih jodohnya sendiri. Memilih jodoh adalah hak dan pekerjaan orang tua. Sebagai seorang pria yang bukan berasal dari kampung Banuaha, Mahendra merasa rasa cintanya terhadap Saita sangat dibatasi oleh adat. Setelah kisah percintaannya bersama Yasmin yang tidak berakhir bahagia, baru kali ini Mahendra merasakan jatuh cinta lagi. Di Banuaha dikenal istilah bőli niha, yaitu memberikan harta kepada pihak perempuan. Pembelian perempuan bisa dilakukan sejak perempuan itu masih kecil dengan membayar 2/3nya untuk mengikat hubungan. Selanjutnya, untuk biaya pertunangan nantinya, atau yang dinamakan bobojiraha, kira-kira harus diserahkan 12 ekor babi tanggung. Orang tua perempuan juga harus diberi gari/ balőja’a atau emas sebanyak 60 ketip. Untuk kakek, nenek, saudara laki-laki, dan untuk istri kedua ayah calon pengantin perempuan, pihak laki-laki juga harus
Universitas Indonesia
28
memberikan babi. Saat menengok calon pengantin perempuan, pihak laki-laki juga diharuskan membawa 5 alisi babi. Harga kain untuk perempuan juga bernilai 5 alisi babi. Untuk tidur, memegang buah dada, dan memegang bagian tubuh pengantin yang lainnya, pengantin laki-laki juga harus membayar 5 sampai 10 alisi babi. Masih banyak lagi persyaratan yang harus dipenuhi pihak laki-laki ketika ingin menikah hingga Mahendra meminta Ama Budi untuk mencatatkan persyaratan pernikahan tersebut agar ia dapat lebih mengerti. Babi dipilih sebagai persembahan karena dianggap ketika babi terbunuh, maka putuslah semua masalah. Ama Budi menjelaskan bahwa semua upacara dan tatanan adat itu pada dasarnya hanya untuk menunjukkan kemakmuran dan harga diri seseorang di sana. Dulu, untuk dapat menikah di Banuaha, perlu dilakukan perburuan kepala untuk mas kawin, namun, saat ini hal seperti itu tidak dilakukan lagi oleh masyarakat. Setelah sempat jalan berdua dan mencium kening Saita saat mengantar Saita pulang dari pasar, Mahendra dipanggil oleh Ama Saita dan dituntut untuk membayar denda. Saat itu pula Mahendra mengetahui bahwa Saita akan dinikahkan. Saat pesta diadakan, Mahendra membaur dengan tamu-tamu lainnya. Ketika Mahendra memutuskan untuk pergi dari tempat pernikaham, tiba-tiba Saita berlari ke arahnya dan memeluknya. Mahendra yang nyaris habis diamuk massa kemudian diselamatkan oleh Sayani dan kehadiran kepala desa. Mahendra akhirnya memutuskan untuk keluar dari Banuaha dan kembali ke Yogyakarta secepatnya. Saat itulah Mahendra mulai menyadari bahwa kehidupannya yang sesungguhnya ada di kampus, tempatnya mengajar dan berbagi ilmu dengan rekan-rekan yang sudah lama tidak ia temui. Saat tiba di Simpang Hilinata, hujan deras mengguyur hingga memaksa Mahendra dan Sayani singgah sementara di sebuah gubuk. Malam harinya, ada yang mengetuk pintu dan ternyata di luar pintu datang Saita dengan suaminya. Mahendra yang kebingungan mengajak suami Saita untuk berbicara di luar. Tibatiba dari dalam terdengan teriakan Sayani. Saat itulah semua terkejut melihat Saita yang sudah meninggal karena gantung diri. Sayani yang khawatir akan tindakan masyarakat kemudian memukul Mahendra hingga tak sadarkan diri. Sayani memutuskan untuk membakar dirinya sendiri dengan memakai pakaian Mahendra
Universitas Indonesia
29
bersama Saita agar masalah terselesaikan. Setelah sadar, oleh Ama Budi, Mahendra pun disuruhnya kembali ke Yogya. Di kapal yang membawanya dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan beberapa mahasiswa, salah satunya bernama Fiqoh. Tak diduga, cuaca buruk membuat kapal tersebut terbelah dan membuat sebagian besar penumpangnya meninggal dunia, hanya Mahendra dan Fiqohlah yang tersisa. Lama kelamaan, Mahendra pun tidak kuat bertahan hidup lagi tanpa makanan dan minuman hingga akhirnya Mahendra meninggal dunia. Sebelum meninggal, Mahendra sempat memberikan catatan perjalanannya kepada Fiqoh. Catatan inilah yang membawa Fiqoh bertemu kembali dengan Yasmin. Di akhir cerita, Yasmin dan anak hasil hubungannya dengan Mahendra kemudian dibawa oleh Fiqoh ke Nias untuk bertemu dengan Ama Budi.
3.3 Petualangan Sebagai Sumbu Cerita Dari sinopsis cerita di atas, terlihat penggambaran sistem religi atau kepercayaan yang ada dalam masyarakat Nias. Penggambaran sistem religi masyarakat Nias tersebut hadir dalam bentuk kisah petualangan dan kisah percintaan yang mengambil latar di Nias dan Yogyakarta. Di Nias sendiri, beberapa tempat dipakai sebagai latar penceritaan, antara lain tempat penggalian di dekat Sungai Gomo, kampung Banuaha, rumah Ama Budi, sekolah di Banuaha, dan Pasar di Gomo. Daerah penggalian di dekat Sungai Gomo pertama kali muncul pada awal cerita. Di tempat inilah petualangan tokoh Mahendra dimulai. Mahendra dan Sayani melakukan penggalian untuk mendapatkan peninggalan-peninggalan terdahulu dari masyarakat Nias di sana. Hal tersebut bisa dilihat dalam kutipan berikut ini. “Gomo sangat penting bagi Nias karena dari sanalah tempat manusia pertama turun dari langit; kalian sendiri yang mengatakan itu.” (hlm. 8).
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa bagi masyarakat Nias, Sungai Gomo merupakan tempat yang di anggap penting hingga perlu dimasukkan menjadi latar dalam kisah novel ini. Saat melakukan penggalian di dekat Sungai Gomo inilah,
Universitas Indonesia
30
Mahendra dan Sayani menemukan sebuah periuk. Mahendra adalah seorang arkeolog yang sedang melakukan penelitian. Pekerjaan tokoh Mahendra sebagai seorang arkeolog ini diperjelas dengan kutipan berikut.
“Hehe, dasar, kamu sudah lebih seperti arkeolog dibanding aku!” kataku.” (hlm:2). “Begini, Sayani, bagi arkeolog, periuk ini kurang berarti apa-apa jika tidak diketahui hubungannya dengan artefak lain, dengan lapisan tanah yang jelas,” terangku. “Ibarat sedang menyusun kalimat, seorang arkeolog harus menemukan sebanyak mungkin kata dan menemukan benang merahnya dengan baik.” (hlm. 3).
Ketika menemukan sebuah periuk di tempat penggalian tersebut, Mahendra menunjukkan keingintahuannya yang tinggi terhadap penemuan tersebut. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
“Aku berharap bisa menemukan benda lain sebagai rentetannya, seperti rangka manusia, gelang batu atau apalah yang menjadi ciri penguburan prasejarah karena, ditempat lain, periuk biasanya terkait dengan penguburan.” (hlm. 3).
Rasa keingintahuan yang tinggi juga ditunjukkan oleh Sayani yang membantu Mahendra saat penggalian tersebut. Sayani adalah Sayani adalah tokoh orang Nias yang rumahnya ditinggali oleh Mahendra selama berada di sana. Sayani jugalah yang membantu Mahendra selama melakukan penggalian di dekat Sungai Gomo. Sayani yang yang tidak pernah mendapatkan pendidikan arkeologi sebelumnya sangat bersemangat untuk mencari tahu apa makna periuk yang ia temukan bersama Mahendra saat itu. Sayani banyak bertanya kepada Mahendra bahkan digambarkan memiliki semangat yang lebih besar daripada Mahendra. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Aku penasaran, Bang!” sahutnya. “Sayang melewatkan penemuan yang baik ini.” […]
Universitas Indonesia
31 “Kira-kira apa ya, Bang?” (hlm. 2).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Sayani adalah tokoh yang bersemangat dan memiliki rasa ingin tahu terhadap hasil penggalian peneliti yang menggali di daerah tempat tinggalnya. Pada bagian awal ini juga muncul seorang tokoh lain dari Nias yang bernama Pak Nai Laiya. Pak Nai Laiya merupakan salah satu orang Banuaha yang justru tidak menerima kehadiran Mahendra. Sikap tidak menerima orang dari luar Nias ditunjukkan tokoh Pak Nai Laiya dalam kutipan berikut ini.
Mereka menjabat tanganku terasa tidak dari hati. Matanya tetap tajam menghujam, seperti hendak membunuh keberanianku, meluluhlantakkan keinginanku untuk terus melakukan penggalian. Bibir dan mulutnya yang merah menegaskan raut marah. Salah satu dari mereka lalu bicara kepada Sayani dalam bahasa Nias (hlm. 5).
Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa Pak Nai Laiya kurang menyukai kedatangan Mahendra yang ingin melakukan penelitian di kampungnya. Saat bertemu dengan tokoh Pak Nai Laiya ini kemudian Mahendra mendapat pemaparan mengenai kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur. Pak Nai Laiya memberi usul kepada Mahendra agar memanggil saja roh leluhur melalui upacara hingga tak perlu lagi melakukan penggalian. Pak Nai Laiya juga digambarkan sebagai seorang pendendam. Setelah pertemuan dengan Pak Nai Laiya itu, Sayani bercerita tentang pemenggalan kepala yang dulu pernah terjadi antara keluaga Sayani dengan keluarga Pak Nai Laiya. Rasa ingin tahu Mahendra kembali muncul. Ia banyak bertanya kepada Sayani apa maksud dari pernyataan Pak Nai Laiya dan apa maksud Sayani mengenai pemenggalan kepala. Keingintahuan Mahendra terlihat dalam kutipan di bawah ini. Bagaimana cara saya berkomunikasi dengan roh leluhur? (hlm: 5). “Benarkah yang dikatakannya?” Tanyaku kepada Sayani. “Bila benar aku bisa bicara dengan roh, aku akan jadi arkeolog hebat, tidak perlu susah-susah lagi menggali, tinggal Tanya saja kepada mereka apa yang terjadi seratus atau seribu tahun lalu. Roh kan hebat, sakti.” (hlm. 6).
Universitas Indonesia
32 Kepala apa? Kepala manusia? Kenapa bisa berutang kepala? (hlm. 7).
Pertanyaan terus-menerus yang diucapkan oleh Mahendra menunjukkan bahwa ia adalah seorang peneliti yang tertarik dengan mitos atau kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan dan peranan leluhur, serta tradisi pemenggalan kepala. Setelah melakukan penggalian, Mahendra dan Sayani kembali ke rumah Ama Budi. Rumah Ama Budi terletak di kampung Banuaha. Banuaha adalah sebuah kampung yang letaknya jauh dari pusat kota Nias. Di dalam kampung inilah petualangan yang dialami tokoh Mahendra dimulai. Penggambaran letak kampung Banuaha ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. Banuaha sungguh terpencil, dikelilingi gunung-gunung. Jarak dari pusat kecamatan lebih-kurang 14 km yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki menyeberangi beberapa sungai dan naik turun bukit. Jarak tersebut bisa ditempuh empat jam berjalan kaki atau bisa pula dua hari satu malam jika Sungai Gomo sedang banjir.”(hlm. 11).
Di dalam novel juga dijelaskan kesederhanaan kampung Banuaha ini, sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut.
Di kampung ini belum ada listrik, belum ada HP, sehingga aku benar-benar putus hubungan dengan dunia luar. Hanya merekalah yang kini sedang dekat denganku (hlm. 21).
Dengan demikian, maka tak mengherankan jika masyarakat yang tinggal di dalamnya masih sangat sederhana dan menjalankan sistem religi yang sejak dulu berlaku. Letaknya yang cukup jauh dari pusat kota Nias mungkin menyebabkan kota ini jauh dari perkembangan teknologi modern. Rumah Ama Budi yang ditinggali Mahendra selama melakukan penelitian ini terletak di ujung kampung Banuaha. Deskripsi rumah Ama Budi terlihat dari kutipan berikut.
Universitas Indonesia
33 Aku tinggal di rumah adat milik keluarga Ama Budi, orang tua Sayani. Rumah ini berada di paling ujung kampung dan posisinya paling atas, berbatasan langsung dengan Sungai Gomo yang curam tebingnya. Kami melewati rumah adat paling besar di kampung itu (hlm. 11-12).
Pada bagian lain, deskripsi rumah Ama Budi dijelaskan lebih jelas lagi.
Aku dan Sayani langsung menaiki tangga masuk ke dalam rumah. Seluruh tiang dan dinding rumah itu terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari daun rumbia yang dianyam berlapis. Ruangan di dalam rumah dibagi menjadi dua, ruangan depan menghadap jalan kampung dan ruang belakang untuk ruang tidur dan dapur. Rumah kayu berukuran 10x8 meter persegi dihuni oleh tiga keluarga, yakni Ama Budi, istri, dan dua anaknya; Ama Berna, istri, dan dua anaknya; serta Pak Salawa atau kepala desa dengan istri dan tiga anaknya. […] (hlm. 14).
Hampir semua pembicaraan antara Ama Budi dan Mahendra terjadi di rumah tersebut. Pembicaraan yang terjadi di antara mereka biasanya seputar kehidupan masyarakat Nias sebagai latar sosial yang dimasukkan pengarang. Kehidupan masyarakat Nias yang disampaikan adalah mengenai sistem religi atau kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur ataupun kepercayaan dalam upacara siklus hidup. Berikut ini beberapa kutipan yang menunjukkan latar sosial masyarakat Nias dalam novel.
“Leluhur kami juga dulu turun dari langit, dari tete holi ana’a, dari negeri di atas awan. Makanya kami ini manusia langit yang sedang menjalani hidup susah di bumi. Di sini kami harus berbuat baik, mengikuti aturan, agar bisa kembali ke langit sebagai orang suci.” (hlm. 110). […]
“Dalam salah satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluhur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana’a. Sirao adalah anak dari hasil perkawinan dua angin di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angin tersebut diceritakan secara jelas layaknya perkawinan dan kehamilan manusia.” (hlm. 110-111).
Universitas Indonesia
34
Kutipan di atas menunjukkan kepercayaan masyarakat Nias terhadap leluhur. Upacara-upacara yang menyangkut siklus hidup masyarakat Nias juga dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Ketika seorang bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan. Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat. […] Ketika si anak sudah dewasa dan menikah, ia harus menyelenggarakan pesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. […] Ketika sakit dan akan meninggal, ia harus menyelenggarakan pesta fatome dengan memotong beberapa ekor babi dan mengambil batu dari gunug untuk didirikan saat ia meninggal kelak. Ketika ia meninggal dan tulangbelulangnya siap dikubur, sebuah menhir didirikan sebagai penanda bahwa ia sesungguhnya hidup di menhir tersebut (hlm. 96).
Latar sosial kehidupan di Nias sebagian besar diketahui Mahendra dari tokoh Ama Budi. Ama Budi adalah ayah dari Sayani. Ia memiliki karakter sebagai orang yang baik dan sabar. Sebagai salah satu orang yang dituakan di Banuaha, ia tidak hidup menutup diri dari pendapat orang lain terhadap budaya masyarakatnya. Kebaikan Ama Budi terlihat dari sikapnya yang menerima Mahendra untuk tinggal di rumahnya. Tidak hanya menerima untuk tinggal, Ama Budi bahkan menganggap Mahendra sebagai bagian dari keluarganya dan banyak bercerita mengenai kehidupan masyarakat Banuaha. Hal tersebut biasa terlihat dari kutipan di bawah ini.
“Baiklah kalau begitu, tapi tolong tutup dulu itu pintu, aku sudah mulai merasa kedinginan, maklum sudah tua,” Ama Budi menunjuk pintu atap rumbia. Aku merasa senang mendapat perintah seperti itu karena itu salah satu tanda bahwa aku sudah diterima di keluarga Ama Budi. Jika masih menganggap aku sebagai tamu, mana mungkin orang Banuaha akan memberi perintah kepada tamunya seperti itu. Bagi orang Banuaha, tamu benar-benar didudukkan sebagai raja yang harus dihormati. Jelas, aku tidak mau didudukkan sebagai raja. Hal itu akan membuatku rikuh saja.” (hlm. 16).
Universitas Indonesia
35
Setelah tiba di rumah, Mahendra dan Sayani bercerita mengenai periuk yang mereka temukan. Ternyata periuk itu terkait dengan roh pemakan bayi yang diceritakan Ama Budi. Sebagai seorang arkeolog yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik, tokoh Mahendra menanggapi mitos tersebut dengan mengaitkannya dengan peristiwa serupa yang pernah terjadi.
Menurutku, yang membunuh bayi-bayi itu adalah para orang tua mereka, bukan roh jahat. Sekarang bayangkan, bagaimana sebuah keluarga bisa hidup berburu dan berpindah-pindah, sementara perempuannya masih menyusui dan melahirkan bayi? […] Itu hanya dugaan saja, Sayani, ada mahasiswiku yang melakukan penelitian tentang ini […] (hlm. 21).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Mahendra adalah orang yang tidak dengan mudah menerima kebenaran mitos-mitos yang berlaku dalam masyarakat Banuaha. Pengarang menciptakan tokoh Mahendra sebagai tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik sehingga dalam cerita, Mahendra dapat berpikir secara kritis dan mengaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang pernah ia dapat selama berada di lingkungan kampus. Pernyataan Mahendra mengejutkan Ama Budi karena ternyata apa yang dikatakan Mahendra itu benar adanya. Ternyata, Ama Budi pernah melakukan pembunuhan terhadap bayinya sendiri. Ia akhirnya mengakui dan menerima pendapat Mahendra akan hal itu. “Kamu benar, Nak Mahendra!” kata Ama Budi tiba-tiba. “Sebenarnya hal itu yang ingin aku ceritakan kepada Sayani, tapi lidahku terasa sangat kaku karena ada kebohongan yang selalu kupendam di sini,” kata Ama Budi sambil menepuk dadanya.” (hlm. 22).
Pada saat inilah karakter Ama Budi yang mau menerima masukan dan pendapat dari orang lain diperlihatkan. Ama Budi bisa saling menyesuaikan diri dengan Mahendra. Mahendra yang merupakan seorang pengajar dan peneliti dari universitas tentu memiliki pemikiran yang kritis terhadap sistem religi yang berlaku dalam Masyarakat Banuaha. Sayani yang mendengar pengakuan Ama
Universitas Indonesia
36
Budi menjadi ingin tahu lebih banyak karena ternyata ia pernah mempunyai kakak yang telah dibunuh oleh Ama Budi sendiri. Berikut ini kutipan yang menunjukkan rasa ingin tahu Sayani yang besar terhadap penjelasan Ama Budi tersebut.
“Apa maksudnya?” tanya Sayani dengan nada yang agak keras mempertanyakan alasan kenapa Ama Budi tega membunuh anaknya sendiri, kakak Sayani.” (hlm: 23). “Apakah banyak orang kita yang melakukannya?” Suara Sayani sangat berat. Ia perlahan mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk.” (hlm. 24).
Penemuan periuk bayi dari hasil penggalian Mahendra yang diceritakan dalam awal bagian paparan tidak hanya membuat tokoh Sayani terkejut. Beberapa hari setelah pernyataannya itu, Mahendra mendapat protes karena mengatakan bahwa diperkirakan mitos roh pembunuh bayi itu sebenarnya tidak ada. Pernyataan Mahendra mengenai orang tua bayi-bayi yang dengan sengaja membunuh bayi mereka mendapat bantahan keras karena dianggap telah melecehkan martabat masyarakat Banuaha. Di saat itulah Sayani menunjukkan sifat pemberaninya. Ia dengan lantang mengakui bahwa ialah yang menceritakan pendapat Mahendra tersebut kepada beberapa masyarakat. Tidak hanya mengakui, Sayani juga memberikan dukungan terhadap pendapat Mahendra meskipun sedang berada di depan masyarakat yang menolak pendapat tersebut, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Aku yang bilang, Ama!” Tiba-tiba Sayani angkat bicara. “Aku tidak tahu dampaknya akan seperti ini. Niatku biar kita sama-sama sadar dan mengatasi masalah memalukan ini bersama-sama. Bahwa bukan roh jahat yang memakan bayi-bayi di kampung ini, tspi keputusasaan kitalah yang menyebabkan mereka mati.” […] “Tidak apa-apa, Bang Hendra tidak salah, Bang Hendra justru telah membukakan mata kami.” (hlm. 76).
Universitas Indonesia
37
Ketika mendapat masalah ini, Mahendra sempat ingin kembali ke Yogyakarta dan meninggalkan Banuaha. Namun, keinginan ini tidak jadi terlaksana karena Ama Budi mencegahnya.
“Jangan, Hendra, jangan!” Suara Ama Budi meninggi. “Keluarga ini sudah terlanjur sayang sama kamu. Sayani kelihatan lebih hidup di sini setelah ada kamu.” (hlm. 80).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ama Budi dengan tulus menerima kehadiran Mahendra di rumahnya. Semakin lama tinggal bersama dengan Mahendra, Ama Budi semakin menganggap Mahendra sebagai anaknya sendiri. Posisi Mahendra di depan Ama Budi seperti menggantikan posisi anaknya. Ama Budi yang menyayangi Mahendra juga mengatakan itu kepada anaknya, Budi saat pulang ke Banuaha. “Ini Mahendra!” jawabnya. “Dia yang menjadi gantimu selama kamu pergi!” (hlm. 116). Sebetulnya, kenyataan mengenai periuk bayi ini juga mengingatkan Mahendra pada masa lalunya selama berada di Yogyakarta. Masa lalu Mahendra ini dimunculkan sebagai sebuah kilas balik. Kilas balik mulai muncul pada bagian tengah cerita, sebagaimana terlihat dari kutipan berikut. Aku duduk di batu di tengah sungai kecil tak jauh dari gubuk. Gemercik air menghanyutkan anganku, menembus waktu dua tahun silam, melintasi samudera dan Pulau Sumatera, hingga ke Jawa, ke Yogya, ke kehidupanku sebelumnya, pada Yasmin. Di dalam kesendirian seperti itu beragam kejadian yang sudah kulewati hadir kembali dalam ingatan. Aku ternyata tidak bisa benar-benar melupakannya meski sudah berusaha menenggelamkan diri pada dunia yang masih terisolasi. Periuk bayi itu telah mengingatkan kepada nasib perempuan yang kucintai bersama bayinya yang malang (hlm. 28).
Dialog yang disampaikan oleh Mahendra inilah yang kemudian mengantarkan pembaca pada bagian kilas balik. Kilas balik yang ada dalam novel ini membawa pembaca melihat kehidupan Mahendra selama di Yogyakarta. Beberapa tempat di Yogyakarta yang dijadikan latar, yaitu ruang kampus, tempat biliar, dan kosan Yasmin. Ruang kampus tempat
Universitas Indonesia
38
Mahendra mengajar saat di Yogyakarta digambarkan pada awal bagian kedua novel, yaitu pada bagian “Kampus dan Biliar”. Ruang kelas 202 siang itu riuh. Para mahasiswa saling ngotot memperdebatkan persoalan perkawinan beda budaya. Tak sekadar mulutnya yang beraksi, telunjuknya pun kadang turut menuding. Sepintas mereka tampak liar. Kursi-kursi melingkar tak teratur sama sekali tidak mengurangi inti pembicaraan mereka. Aku lebih suka penataan kursi demikian ketimbang berbaris menghadap ke papan tulis seperti ruang-ruang kelas lainnya (hlm. 29).
Di ruang kelas itulah Mahendra menaruh perhatian kepada salah satu muridnya yang bernama Yasmin. Yasmin adalah mahasiswa Mahendra saat ada di Yogyakarta. Saat pertama kali bertemu di kelas, Mahendra melihat sosok Yasmin sebagai mahasiswi yang kritis. Saat di kelas, Yasmin mempresentasikan mitos roh pemakan bayi yang dipercaya oleh Suku Dayak. Mitos ini ia kaitkan dengan keadaan ekonomi masyarakat suku tersebut. Karakter Yasmin terlihat dari penjelasannya saat presentasi dalam kutipan berikut ini.
“Menurut dugaanku, yang menjadi kuyang adalah para orang tua mereka.” (hlm. 31). “Itulah salah satu cara manusia bertahan hidup.” Yasmin berusaha memberikan pemahaman kepada teman-temannya yang kelihatan penasaran. “Bayangkan bagaimana mereka harus berpindah tempat, sementara sang ibu baru saja melahirkan dan masih menyusui anaknya yang lain!” […] “ […] Nah, di suku Dayak cerita tetang roh jahat pemangsa bayi sudah diterima sebagai kebenaran. Itulah mitos, cerita yang sengaja diciptakan untuk melegalkan suatu tindakan.” (hlm. 32).
Setelah pertemuan di kelas, kemudian Mahendra membuat janji dengan Yasmin untuk berdiskusi lebih dalam tentang pembahasan Yasmin dalam diskusi di kelas tadi. Latar tempat yang selanjutnya muncul adalah tempat biliar. Di tempat biliar ini Yasmin bekerja. Setelah bertemu, kemudian Yasmin mengajari Mahendra bermain biliar. Kejadian ini terjadi beberapa kali hingga hubungan di
Universitas Indonesia
39
antara mereka semakin dekat hingga tercipta sebuah kisah percintaan di antara keduanya. Penggambaran tempat biliar tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Aku langsung menuju meja 21. Ruangan di situ remang-remang. Hanya beberapa lampu menyala, tepat di atas beberapa meja yang sedang ada pemainnya. Asap rokok yang memenuhi ruangan membuat mataku perih dan napasku sesak. Maklum, aku tidak biasa merokok. […] (hlm. 41).
Semakin lama, hubungan antara Yasmin dan Mahendra tidak hanya sebagai hubungan dosen dengan mahasiswanya. Mereka tidak hanya menjadi teman, tetapi juga menjadi sepasang kekasih. Namun, nama Yasmin yang sudah dipandang buruk oleh teman-temannya membuat Yasmin menyembunyikan hubungannya dengan Mahendra. Yasmin adalah seorang perempuan yang bekerja di tempat biliar. Ia tidak ingin nama baik Mahendra sebagai seorang dosen menjadi rusak karenanya. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini.
“ Aku ingin menjaga, Mas.” […] “Bagaimana kata orang nanti jika melihat kita pacaran?” Yasmin malah bertanya. […] “Tapi, Yasmin kan bukan perempuan baik-baik.” (hlm. 54).
Tempat kos-an Yasmin juga dideskripsikan melalui dialog yang diucapkan oleh tokoh Mahendra berikut ini.
Aku melihat sekeliling, mengamati detail kamar kos yang luas dan tertata rapi itu. Sebuah ranjang selebar 1,2 meter dipasang tepat di tengah ruangan. Di sudut barat terdapat sebuah bufet dengan cermin lebar. Beberapa peralatan dan kosmetik bertengger di situ. Di sisi timur dekat pintu kamar mandi terdapat lemari pakaian dari bamboo. Desainnya sangat unik dan terkesan tidak terlalu masif. Dispenser ada di sisi pintu kamar. Lalu sebuah televisi dipasang menggantung di tembok. Di bawahnya ada lemari kaca kecil yang
Universitas Indonesia
40 berisi DVD player dan koleksi music yang sangat banyak untuk ukuran perempuan. […] (hlm. 58).
Di tempat kos Yasmin inilah kemudian Mahendra dan Yasmin melakukan hubungan yang seharusnya tidak mereka lakukan hanya untuk mendapat restu orang tua Yasmin. Akhirnya, setelah tak seberapa lama menjalin hubungan, Yasmin justru pergi dengan cara bunuh diri saat mengandung anak Mahendra. Mahendra yang juga baru mengetahui kehamilan Yasmin sangat terpukul. Ternyata Yasmin pergi untuk menyelamatkan nama dan karir Mahendra sebagai seorang dosen di universitas. Pengorbanan tokoh Yasmin itu disampaikan melalui kutipan yang disampaikan Mahendra berikut ini.
Aku teringat kepada Yasmin yang telah menumbuhkan semangat dan berusaha menjaga nama baikku. Dia rela pergi agar nama baikku sebagai dosen di kampus tidak tercoreng. Yasmin jelas sudah mempertimbangkan bahwa reputasiku akan jatuh ketika khalayak mengetahui bahwa seorang dosen menghamili mahasiswinya tanpa ikatan pernikahan. Meski aku bisa saja menikahi Yasmin, tetap saja namanya MBA. Sekarang sudah terlambat karena Yasmin sudah pergi untuk selama-lamanya (hlm. 64).
Kemunculan tokoh Yasmin ini mejadi sebuah sarana yang digunakan pengarang untuk menghubungkan mitos roh pemakan bayi yang ada di Nias dengan kejadian serupa yang terjadi pada masa sekarang. Dari penjelasan yang dikemukakan tokoh Yasmin mengenai roh pembunuh bayi, dapat dilihat pula bahwa mitos-mitos seperti itu tidak hanya terjadi dalam masyarakat Nias, tapi juga di beberapa daerah Indonesia. Kenyataan yang membuatnya terpaksa sembunyisembunyi saat menjalin hubungan dengan Yasmin untuk menjaga nama baiknya sebagai pengajar di kampus inilah yang membuat Mahendra menunjukkan sikap kritisnya. Ia merasa terikat oleh dunia kampus dan harus selalu tampil sempurna. Berikut ini kutipannya.
Padahal aku rela meninggalkan kehidupanku di universitas demi Yasmin, tapi kenapa Yasmin tidak mengetahui perasaan dan keinginanku:, sesalku. Mengapa ia memutuskan pergi tanpa meminta pendapatku?
Universitas Indonesia
41 Kian dalam aku berpikir kian dalam aku menyadari bahwa aku ternyata tidak hidup sendiri. Aku telah terikat pada jaring, baik yang dipintal orang lain maupun yang dipintal sendiri. Akankah aku membiarkan diri terikat dan tergantung pada jaring itu terus? (hlm. 64-65).
Dalam bagian tengah novel ini juga pengarang memasukkan lagi penjelasan tentang kepercayaan masyarakat Nias terhadap leluhurnya. Pada bagian “Langit dan Bumi”, pengarang menggambarkan perbandingan yang dilakukan Mahendra terhadap “Manusia Langit” dalam masyarakat Nias dengan “Manusia Langit” yang disamakannya dengan orang-orang kampus.
“Iya, Ama, harus ada pesta,” jawabku dengan nada enggan. “Doktor itu harus pidato, seperti juga dalam pesta adat di sini. Lalu penguji akan mengetok palu untuk mengukuhkan statusnya, mirip huhugő dalam pesta di sini. Lalu sang doktor baru itu akan menjamu hadirin makan-makan, seperti juga dalam pesta pengukuhan gelar di sini. Sama saja, Ama.” (hlm. 107).
Berdasarkan penggambaran di atas, terlihat bahwa latar sosial yang digambarkan dalam novel ini bukan hanya kehidupan sosial masyarakat Nias, kehidupan kampus di Yogyakarta tempat ia mengajar juga digambarkan pada bagian selanjutnya, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Orang kampus harus tunduk kepada aturan yang dibuat dan disepakati para pengambil keputusan. Pihak-pihak yang bergabung belakangan, terutama mahasiswa, harus tunduk kepada aturan itu. Mahasiswa yang mengenakan kaus oblong dan sandal jepit tidak dilayani, demikian isi selebaran yang ditempel di pintu-pintu ruang dosen, tata usaha, dan dekanat. Ruang gerak mahasiswa jadi dibatasi. Mereka tidak bisa benar-benar menjadi mereka di kampus. Mereka harus tunduk pada nilai-nilai yang dipintal orang lain. Mereka terpaksa terikat di situ karena jika menentan, tidak akan bisa hidup nyaman.” (hlm. 128).
Penggambaran kehidupan kampus di dalam novel ini mungkin merupakan sebuah kritik yang ingin disampaikan pengarangnya terhadap kehidupan kampus. Latar Yogyakarta menunjukkan awal mula tokoh menjadi seorang peneliti sebelum pergi ke Nias, sedangkan Latar Nias digunakan sebagai analogi pengarang untuk
Universitas Indonesia
42
membandingkan kehidupan modern di Yogyakarta dengan kehidupan tradisional di Nias. Setelah kilas balik dan ditampilkan dalam novel, petualangan Mahendra di Nias dilanjutkan kembali penggambarannya. Cerita novel ini mulai memasuki bagian konflik. Konflik muncul ketika Mahendra mulai jatuh cinta kepada Saita. Setelah berhenti menjadi penggali, Mahendra mendapat tawaran untuk mengajar di salah satu sekolah yang ada di Banuaha. Saita merupakan salah satu murid di sekolah tempat Mahendra mengajar. Meskipun kakinya sedikit pincang, daya tariknya tetap memikat Mahendra. Saat menyukai Saita inilah Mahendra tertarik terhadap kepercayaan masyarakat terhadap syarat-syarat untuk menikahi seorang perempuan Nias. Karakter dari tokoh Saita yang pertama kali terlihat dari awalawal kemunculannya adalah pendiam dan pemalu. Ia jarang sekali berbicara, mungkin karena tidak terlalu bisa berbahasa Indonesia. Karakter tokoh Saita tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini. Saita memang tidak pernah terdengar berbicara dalam bahasa Indonesia. Barangkali memang ia tidak bisa berbahasa Indonesia seperti beberapa siswasiswi yang lain (hlm. 151).
Pernah pada suatu hari, Mahendra menunjukkan keberaniannya untuk menyatakan perasaan cintanya kepada Saita. Hari itu, ia mengikuti Saita pergi ke pasar Gomo. Pasar ini letaknya jauh dari Banuaha. Letaknya di pusat kecamatan yang kira-kira sejauh 14 km. Deskripsi pasar Gomo ini bisa terlihat dari dialog Mahendra berikut ini.
Setelah tiga jam berjalan kaki akhirnya aku tiba di pasar. Jangan membayangkan pasar di Gomo seperti pasar di Yogya atau kota-kota lain. Di sini pasar hanya terjadi sekali dalam seminggu. Bangunan pasar tidak permanen, hanya dari balai-balai bambu. Karena balai-balai itu, hari pasar di Nias disebut harimbale. Selain itu, banyak pula yang menggelar dagangan di pinggir jalan hanya beralaskan tikar dan daun (hlm. 149).
Pernyataan cinta Mahendra kepada Saita merupakan bagian konflik dalam novel ini karena karena ternyata Mahendra tidak bisa mendapatkan balasan atas
Universitas Indonesia
43
cintanya kepada tokoh Saita. Ia tidak akan bisa menikahi Saita karena dalam masyarakat Nias, perempuan itu harus dibeli dengan berbagai macam hitungan. Tentu saja Mahendra yang bukan orang Nias sangat menghadapi kesulitan untuk dapat memenuhi itu. Berikut ini kutipan yang menunjukkan konflik dalam diri Mahendra.
Berhubung aku bukan asli Nias, semua itu harus ditanggung sendiri karena aku belum benar-benar masuk dalam jalinan adat mereka. Paling-paling pihak yang bisa membantuku adalah keluarga inti Ama Budi (hlm. 149).
Konflik yang muncul dalam diri Mahendra ini mencapai klimaks atau titik puncaknya ketika Saita dinikahkan oleh keluarganya dengan Arafősi. Di pesta pernikahan Saita, Mahendra sudah tidak bisa menahan tangisannya saat Saita hendak dibawa pengantin laki-laki untuk pulang ke rumah pengantin laki-laki tersebut. Rombongan mengikuti kedua pengantin itu pergi ke rumah pihak lakilaki. Ketika Mahendra sudah tak kuat dan ingin pergi, tiba-tiba Saita berlari ke arahnya, memeluk, dan seketika jatuh pingsan. Mahendra yang masih kebingungan langsung mendapat pukulan dari massa yang ada saat itu. Berikut ini adalah kutipan yang menunjukkan kejadian tersebut.
Aku baru tersadar ketika pukulan dan tendangan menghantamku. Lalu aku spontan melarikan diri ketika sebilah pisau mengarah ke dadaku. Kerabat dan teman-teman yang aku kenal yang kebetulan datang di situ mencoba melindungiku. Teriakan dan bentakan dalam bahasa Nias terlontar dari puluhan lelaki yang hadir dalam pesta itu. Aku tidak mengerti. Kepalaku mulai linglung karena terkena pukulan para lelaki perkasa secara bertubi-tubi (hlm. 165).
Saat hari pernikahannya tiba, Saita tidak bisa lagi menahan rasa cintanya terhadap Mahendra. Saita kemudian menunjukkan keberaniannya untuk menyatakan cinta kepada Mahendra di depan seluruh tamu pesta penikahannya. Keberanian Saita ini bisa dilihat dalam kutipan berikut.
Universitas Indonesia
44 “Bang Hendra!” Aku menoleh ke arah suara itu. Tiba-tiba aku melihat Saita berlari mengejarku. Ia memelukku erat-erat. Semua orang tertegun dan terpukau melihat adegan itu. Aku menatap sekeliling dan tidak berani membalas pelukan Saita (hlm. 165).
Melalui tokoh Saita ini, pengarang seperti menggambarkan seorang perempuan yang terikat adat dan harus merelakan cintanya demi mengikuti ada dan kepercayaan yang memang harus dijalankan. Perbuatan yang dilakukan Saita dalam kutipan di atas menunjukkan keberaniannya. Ia berani memanggil bahkan memeluk Mahendra hanya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Setelah kejadian ini, terjadi perundingan antara keluarga Ama Budi dengan keluarga Arofősi. Hal tersebut bisa dilihat dari kutipan di bawah ini. Keluargaku dan keluarga Arofősi akhirnya melakukan pembicaraan. Kali ini dengan emosi yang tidak meluap-luap seperti tadi. Sayani memapahku pulang terlebih dahulu ke Banuaha menempuh jalan setapak, naik turun bukit dan sungai. Sepanjang perjalanan, pikiranku tidak lepas dari wajah Saita yang sedih dan pingsan di hadapanku pada hari pernikahannya. […] (hlm. 166).
Perundingan ini menjadi sebuah leraian dalam cerita sebelum munculnya penyelesaian. Mahendra kemudian memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta walaupun sesungguhnya belum ingin pergi dari Banuaha. Semua ini dilakukannya agar pertikaian yang terjadi tidaklah semakin meruncing. Pada bagian akhir novel, sebelum kembali ke Yogyakarta, Mahendra juga menyimpulkan bahwa di dalam hubunganya dengan Ama Budi, Ama Budi mencoba
memberi
kebebasan
kepada
Mahendra
untuk
mengeluarkan
pendapatnya. Ama Budi juga dirasakan oleh Mahendra telah banyak menyesuaikan diri dengan dirinya. Berikut ini kutipan pernyataan Mahendra tersebut. Ama Budi mencoba menegosiasikan identitas dirinya ketika berinteraksi denganku. Ia menjadi penuh basa-basi karena dikendalikan kesadaran bahwa ia saat itu sedang menjadi ayah untuk seorang anak Jawa (hlm. 128).
Universitas Indonesia
45
Bagian akhir atau penyelesaian dalam novel ini diberi nama bagian “Mati dan Hidup”. Mahendra akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Banuaha meskipun masih belum ingin pergi dari Banuaha. Karena perjalanan yang cukup jauh menuju pelabuhan, Mahendra yang ditemani Sayani memutuskan untuk bermalam di sebuah rumah. Ternyata Saita dan suaminya menyusul untuk menemui Mahendra. Saat suami Saita dan Mahendra sedang berbincang, Saita memutuskan untuk menggantung dirinya. Pada bagian akhir cerita ini juga terlihat bahwa tokoh Sayani adalah seorang pemuda yang sangat pemberani. Saita yang sudah dinikahkan pergi bersama suaminya mencari Mahendra. Jika masyarakat yang lain mengetahui keberadaan Saita ini, maka bisa saja masyarakat menghakimi Mahendra. Apalagi setelah itu Saita memutuskan untuk menggantung dirinya di rumah tersebut. Sayani mengkhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menimpa Mahendra. Oleh sebab itu, ia rela menyamar sebagai Mahendra dan membakar dirinya bersama dengan mayat Saita di dalam rumah itu. Mahendra telah dibuat pingsan sebelumnya dan dikeluarkan segera dari rumah itu. Keberanian Sayani bisa dilihat dalam kutipan berikut.
Nenek ini telah menceritakan semuanya kepadaku. Setelah memukulmu, Sayani segera mengganti pakaiannya dengan pakaianmu. Ia lalu membakar diri bersama Saita di dalam gubuk itu agar semua masalah terkait Nak Hendra dan Saita selesai. Biar semua orang tahu bahwa kalian berdua sudah tiada (hlm. 185).
Mahendra sempat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Sayani. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi dan benar-benar meninggalkan Banuaha. Setelah kepergian inilah akhir cerita baru terlihat. Dalam perjalanannya kembali ke Yogyakarta, Mahendra kembali mendapat cobaan. Saat di kapal laut, terjadi badai dan ombak besar sehingga kapal yang ditumpangi oleh Mahendra karam oleh ombak hingga ia terombang-ambing di lautan, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
Universitas Indonesia
46 Punggung dan leherku terasa sangat panas sehingga memaksa aku untuk membuka mata. Ternyata matahari berada tepat di atas. Aku menebar pandangan ke sekeliling. Hanya air. Beberapa puing terapung-apung di laut tanpa ujung. Aku mendapatkan tubuhku terapung di antara jeriken dan patahan beberapa papan yang masih terikat satu sama lain oleh tulangan kayu (hlm. 197).
Mahendra memang sempat bertahan untuk beberapa waktu. Namun, tak berrapa lama kemudian ia sudah tidak bisa bertahan lagi. Akhirnya, ia menghembuskan napas terakhirnya di tengah lautan.
Gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apa pun lagi, kecuali napasku yang tinggal sepotong-potong. Hanya ada satu kata yang ingin aku ucapkan pada Fiqoh, tapi sulit sekali. Tenggorokanku terkunci. Dengan susah payah….,”….ca…ta….tan…ku… “Jangan mati dulu, Bang… terus bicaralah.” To…long…tulis….A…ku…i…ngin…ma…ma…manusia la…ngit…mem…ba…ca…nya (hlm. 202).
Inilah akhir cerita yang diberikan oleh pengarang dalam novel Manusia Langit ini. Semua pengalaman tokoh Mahendra sebagai pengajar dan peneliti di Nias berakhir dengan kematian. Agar petualangan sebagai sumbu cerita dan tokoh sebagai penggerak terlihat lebih konkret, ada baiknya digambarkan sebuah skema yang menunjukkan hubungan tokoh Mahendra dengan tokoh-tokoh lain yang ada di dalam novel Manusia Langit ini. Ama Budi
1
1
3
1
Sayani
Mahendra
Yasmin
Pak Nai Laiya
2 3
Arofősi
Saita
4
Universitas Indonesia
47
Bila melihat skema di atas, secara keseluruhan, kisah yang ada di dalam novel terkait dengan tokoh Mahendra. Pada skema di atas, panah yang diberi nomor 1 adalah panah yang menunjukkan bahwa kedua tokoh yang dihubungkan dengan garis tersebut memiliki hubungan keluarga. Dari skema tersebut, dapat dilihat bahwa tokoh Ama Budi adalah ayah dari Sayani dan Pak Nai Laiya adalah ayah dari Arőfosi. Hubungan keluarga juga ditunjukkan dari hubungan antara tokoh Mahendra dan Ama Budi. Selama tinggal di Banuaha, Mahendra sudah dianggap sebagai anak oleh Ama Budi. Dalam skema ini, hubungan keduanya ditunjukkan melalui garis melengkung dengan panah nomor 1. Panah nomor dua dalam skema di atas menunjukkan bahwa tokoh Sayani dan Mahendra memiliki hubungan kekerabatan yang cukup erat karena selama di Nias, Mahendra dianggap sebagai kakak oleh Sayani. Panah nomor tiga menunjukkan hubungan percintaan tokoh Mahendra yang tidak berakhir dengan bahagia. Dari skema di atas terlihat bahwa hubungan percintaan Mahendra dengan Yasmin tidak berakhir dengan bahagia, begitu pula dengan hubungan percintaan Mahendra dengan Saita. Panah nomor 4 yang menunjukkan hubungan antara tokoh Saita dengan Arafősi menunjukkan hubungan pernikahan yang terjadi di antara keduanya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sebelum masuk ke Nias, Mahendra merupakan seorang dosen di Yogyakarta. Tidak banyak tokoh dari Yogyakarta yang dikisahkan berhubungan dengan tokoh Mahendra. Hanya ada satu perempuan yang diceritakan dekat dengan dengan Mahendra. Perempuan itu bernama Yasmin. Yasmin adalah seorang mahasiswi sekaligus kekasih dari Mahendra. Ia adalah orang yang pintar dan menarik. Karena bekerja di sebuah tempat hiburan, Yasmin memilih untuk meninggalkan Mahendra meskipun sedang mengandung anak dari hubungan mereka di luar pernikahan. Mahendra yang mendengar kabar bahwa Yasmin sudah meninggal kemudian pergi ke Nias. Tokoh Mahendra yang merupakan seorang pendatang di Nias bertemu dengan beberapa tokoh dan mendapat berbagai macam informasi dari tokoh-tokoh asal Nias tersebut. Tokoh Sayani, Ama Budi, Pak Nai Laiya, dan Saita sebagai tokoh dari Nias menunjukkan perannya masing-masing di dalam cerita. Tokoh Ama Budi, Sayani, dan Saita menggambarkan sebagian masyarakat yang mau menerima kedatangan orang dari luar kelompoknya. Mereka bahkan digambarkan bisa
Universitas Indonesia
48
beradaptasi dan menerima pendapat dari orang-orang yang bukan berasal dari kelompoknya. Ama Budi dalam novel ini digambarkan sebagai seorang bapak yang baik dan sabar. Sayani adalah pemuda Nias yang berani, sedangkan Saita adalah perempuan Nias yang pemalu dan disukai Mahendra saat di Nias. Sayangnya, kisa percintaan Mahendra dengan Saita tidak berakhir dengan bahagia karena Saita harus dinikahkan dengan Arofősi, anak Pak Nai Laiya. Berbeda halnya dengan penokohan Ama Budi, Pak Nai Laiya di dalam novel digambarkan sebagai masyarakat Nias yang sulit menerima kedatangan orang luar Nias yang ingin mengkaji kehidupan kelompoknya. Penggambaran tokoh seperti ini menunjukkan ada masyarakat yang dengan tangan terbuka menerima masuknya orang luar yang ingin meneliti kebudayaan mereka, namun ada pula yang menutup diri dari dunia luar. Terdapat kejutan di akhir cerita, tokoh Yasmin yang pada bagian kilas balik disebutkan telah meninggal kemudian mendatangi Nias setelah Mahendra meninggal. Bagian tersebut muncul sebagai sebuah kejutan yang bisa ditemui pembaca pada bagian akhir novel ini. Penggambaran latar dalam novel Manusia Langit ini memberikan kontribusi dalam cerita yang dialami tokoh-tokoh dalam novel. Latar yang digunakan dalam sebuah karya sastra tidak hanya latar fisik berupa latar tempat melainkan pula latar sosial. Latar sosial yang digambarkan dalam novel ini adalah latar kehidupan masyarakat Nias, khususnya masyarakat Banuaha dan kehidupan di Kampus. Latar Yogyakarta menunjukkan awal mula tokoh menjadi seorang peneliti sebelum pergi ke Nias, sedangkan Latar Nias digunakan sebagai analogi pengarang untuk membandingkan kehidupan modern di Yogyakarta dengan kehidupan tradisional di Nias. Penggambaran kisah dalam novel Manusia Langit ini menggunakan alur maju yang diselingi oleh kilas balik di bagian tengah cerita. Dengan penciptaan kisah petualangan dan kisah percintaan yang dikemas melalui imajinasi pengarang, maka informasi mengenai sistem religi masyarakat Nias yang akan diberikan oleh pengarang melalui novel ini menjadi lebih menarik dan jauh dari kata membosankan. Semua hal-hal menarik dalam novel Manusia Langit yang sudah dijelaskan kemudian mencuatkan tema sistem religi dalam masyarakat Nias. Sistem religi dalam masyarakat Nias ini akan dibahas pada bab selanjutnya dengan mengacu
Universitas Indonesia
49
pada beberapa sumber yang juga terkait dengan kehidupan budaya masyarakat Nias.
Universitas Indonesia
BAB 4 MANUSIA LANGIT SEBAGAI SARANA PENJELASAN SISTEM RELIGI MASYARAKAT NIAS
4.1
Pengantar
Sebagai salah satu bagian dari suku bangsa yang ada di Indonesia, suku bangsa Nias memiliki kebudayaan tersendiri yang berkembang dan berlaku di dalam kelompok masyarakatnya. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat terbagi menjadi tujuh, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Dari ketujuh unsur kebudayaan tersebut, sistem religi adalah unsur yang paling menarik untuk dikaji lebih mendalam dari masyarakat Nias. Dalam sistem religi yang ada dalam masyarakat Nias, kepercayaan menjadi salah satu dasar masyarakat untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Kepercayaan ternyata tidak hanya diberikan masyarakat Nias terhadap leluhur dan asal-usul mereka. Sebagian besar masyarakat Nias masih sangat percaya terhadap mitos dan tradisi yang sejak lama muncul dalam kelompok masyarakatnya. Mitos-mitos tersebut, misalnya mitos roh jahat pemakan bayi, tesafo (roh halus) dan tradisi pemenggalan kepala. Untuk menghormati leluhur, dalam berbagai upacara yang dilakukan di keseharian masyarakat Nias, dilakukan pula pemotongan babi. Pemotongan babi dalam upacara pembuatan rumah adat, upacara kelahiran, upacara pernikahan, dan upacara perkawinan dilakukan untuk memberikan persembahan kepada leluhur mereka. Perubahan dan perkembangan kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat Nias dari waktu ke waktu tentu akan berpengaruh terhadap kepercayaan mereka terhadap sistem religi yang mereka anut. Perubahan-perubahan yang masuk ke dalam masyarakat Nias ada yang menguntungkan dan memperkaya budaya Nias, namun ada juga yang justru membuat hilang beberapa kebudayaan asli mereka. Keunikan-keunikan dalam sistem religi yang ada dalam masyarakat Nias itulah yang membuat J.A. Sonjaya terdorong untuk menulis novel yang di dalamnya melukiskan sistem religi masyarakat Nias. Melalui novel ini, Sonjaya
50
Universitas Indonesia
51
menunjukkan sebuah novel, di dalamnya tidak hanya berlaku unsur-unsur karya sastra seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, tetapi juga terdapat unsur-unsur sistem religi yang ada pada suatu tempat. Pada bagian inilah sistem religi masyarakat Nias, khususnya masyarakat Banuaha akan dikaji lebih dalam.
4.2
Analisis Sistem Religi Masyarakat Nias dalam Novel Manusia Langit
Dari ringkasan cerita novel Manusia Langit yang sudah terlebih dahulu dijelaskan pada bab sebelumnya, terlihat bahwa sistem religi yang termasuk di dalamnya kepercayaan terhadap leluhur, beberapa elemen mitos dan upacaraupacara adat masyarakat Nias digambarkan oleh J.A. Sonjaya sejak awal cerita. Mitos yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah cerita yang di dalamnya mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara-cara gaib. (KBBI, 2008:922) Selain menggambarkan, latar belakang J.A. Sonjaya yang merupakan seorang arkeolog juga menjadi dasar yang digunakan olehnya untuk mengkaji apa yang terjadi dalam masyarakat Nias. Penjelasan yang disampaikan olehnya dilakukan tanpa menghakiminya. Ia hanya mencari pembenaran dari sistem religi atau dari mitos-mitos yang berlaku sejak dulu menggunakan dasar-dasar pendidikan yang telah ia jalankan selama ini. Maka, pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan satu persatu sistem religi yang terdapat pada masyarakat Nias. Sistem religi yang akan dibahas pada bagian selanjutnya, yaitu penghormatan terhadap leluhur serta kepercayaan terhadap “Manusia Langit” yang dianggap sebagai asal usul masyarakat Nias, kepercayaan terhadap tradisi perburuan atau pemenggalan kepala dalam masyarakat, kepercayaan terhadap mitos roh pemakan bayi dan tesafo (roh halus) hingga berbagai upacara-upacara adat yang berlaku dalam masyarakat Banuaha. Dinamika kehidupan religi masyarakat Nias setelah masuknya pengaruh agama ke kampung Banuaha juga akan dibahas dalam bagian selanjutnya.
Universitas Indonesia
52
4.2.1
Penghormatan Terhadap Leluhur dan “Manusia Langit”, Asal Usul Orang Nias
Pada
bagian
awal
novel
Manusia
Langit,
J.A.
Sonjaya
langsung
menggambarkan bahwa masyarakat Nias, yaitu masyarakat Banuaha, masih mempercayai keberadaan dan peranan roh leluhur dalam kehidupan mereka. Dalam novel Manusia Langit, pengarang juga beberapa kali memunculkan dialog tokoh di dalamnya yang menyebut leluhur masyarakat Nias. Penyebutan leluhur oleh masyarakat Nias pada awal cerita terlihat dari percakapan yang terjadi antara Pak Nai Laiya dengan Sayani. Pak Nai Laiya yang menanyakan kehadiran Mahendra mengatakan bahwa ia bisa memanggil roh leluhur untuk penelitian Mahendra. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini. “Bapak ini bilang, soal izin nanti akan mereka bicarakan lagi dengan Pak Mbőwő Laiya. Tapi, katanya, jika Bang Mahendra ingin tahu sejarah Banuaha, datang saja ke rumahnya. Pak Nai Laiya bisa mengundang roh leluhur ke rumahnya. Bang Mahendra bisa bicara dengan roh itu, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Tidak perlu repot-repot menggali, katanya.” (hlm. 5).
Tokoh Sayani adalah tokoh yang cukup banyak muncul dalam novel ini selain tokoh Mahendra dan tokoh Ama Budi. Sayani adalah anak Ama Budi, ketua adat masyarakat Banuaha tempat Mahendra tinggal. Sebagai anak orang penting di kampung, Sayani tentu sangat mengerti bagaimana aturan adat dan kepercayaankepercayaan yang berlaku dalam lingkungannya. Namun, di balik ketaatannya terhadap adat, sebagai seorang pemuda yang sudah pernah pergi ke Gunung Sitoli, Nias yang sudah lebih modern, ia sudah mulai bisa memilih kepercayaankepercayaan yang masih mungkin diberlakukan ataupun yang tidak. Dalam kutipan percakapan tersebut, terdapat tokoh lainnya, yaitu tokoh Pak Nai Laiya. Pak Nai Laiya adalah salah seorang keturunan dari Banuaha. Dulu, pernah terjadi ketegangan antara keluarga Sayani dengan keluarga Pak Nai Laiya. Oleh sebab itu, hingga saat ini, Pak Nai Laiya masih menaruh dendam, bahkan ingin memisahkan diri dari Banuaha dan mendirikan banua atau kampung lain. Kutipan Universitas Indonesia
53
tadi menjelaskan bahwa Pak Nai Laiya mempercayai roh leluhur bisa dipanggil melalui upacara dan bisa membantu orang yang ingin mengetahui perjalanan roh leluhur tersebut. Setelah roh leluhur dipanggil, nantinya Mahendra tidak perlu bersusah-susah menggali dan mengumpulkan data satu persatu. Tawaran dari Pak Nai Laiya ini kemudian membuat tokoh Mahendra yang asli Yogyakarta kebingungan dan menanyakan bagaimana proses komunikasi itu bisa terjadi. Hal ini bisa dilihat dari kutipan “Bagaimana cara saya berkomunikasi dengan roh leluhur?”(Sonjaya, 2010: 5). Cara berkomunikasi dengan roh yang disampaikan oleh Pak Nai Laiya adalah dengan memanggil roh leluhur melalui sebuah patung. “Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bisa bicara pada leluhur melalui adu zatua, patung orang tua, di rumah Pak Nai Laiya,” Sayani menerjemahkan. “Roh orang hebat itu bisa dipanggil, tapi harus upacara dulu.” (hlm. 6).
Dari pernyataan Pak Nai Laiya tersebut, terlihat melalui tokoh-tokoh dalam novel digambarkan bahwa dalam masyarakat Nias, khususnya masyarakat di Banuaha, masih ada kepercayaan dan penghormatan terhadap leluhur. Selain itu masyarakat juga mempercayai bahwa roh tersebut memiliki peranan penting dalam kehidupan mereka. Kepercayaan dan penghormatan terhadap leluhur tidak hanya dilihat dari kepercayaan dalam diri masyarakat, tetapi juga didukung dengan berdirinya beberapa patung atau batu bangungan peninggalan masa-masa Megalitikum. Kepercayaan masyarakat Banuaha terhadap leluhur beserta adanya tempat-tempat pemujaan leluhur ini terkait dengan kepercayaan masyarakat Banuaha mengenai tempat turunnya “Manusia Langit”. “Manusia Langit” yang digambarkan dalam novel adalah leluhur masyarakat Nias. Bagi masyarakat Nias, daerah dekat aliran sungai Gomo merupakan tempat yang dianggap sangat suci karena merupakan tempat turunnya “Manusia Langit” ke bumi.
Universitas Indonesia
54 “Gomo sangat penting bagi Nias karena dari sanalah tempat manusia pertama turun dari langit; kalian sendiri yang mengatakan itu. Mereka, teman-temanku yang asli Nias, hanya menunduk mendengar tekadku.” (hlm. 8).
Di
dekat
Sungai
Gomo
inilah
banyak
ditemukan
bangunan-bangunan
Megalitikum di depan atau pada bagian kanan dan kiri rumah. Bangunanbangunan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Banuaha masih sangat menghormati keberadaan leluhur mereka. Masyarakat biasanya membuat menhir dan kursi atau meja batu yang digunakan sebagai tempat perundingan adat. Di Banuaha, terdapat sembilan buah menhir atau yang biasa disebut bekhu oleh masyarakat kampung Banuaha, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut.
Di tengah kampung itu, tidak terlalu kelihatan dari bukit, terdapat sembilan buah bekhu (menhir) yang dipercaya sebagai monumen sembilan leluhur penting yang menurunkan marga-marga besar di Nias (hlm. 10). Tak jauh dari susunan bekhu tersebut terdapat kursi-kursi dan meja batu yang konon berfungsi sebagai tempat duduk pemuka agama ketika membicarakan adat (hlm.10).
Keberadaan bekhu atau menhir seperti yang terlihat dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa leluhur memiliki kedudukan yang penting dalam masyarakat Nias hingga dibuat monumen untuk tempat penghormatan. Terdapatnya meja batu untuk perundingan adat juga menunjukkan bahwa dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan, masyarakat harus tetap selalu dekat dengan leluhurnya. Dengan demikian, semua keputusan yang akan diambil menjadi sesuai dengan aturan-aturan dari leluhur mereka. Roh leluhur, oleh masyarakat Banuaha dinamai Lowalani. Pada setiap kejadian yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, nama Lowalani banyak disebut. Dalam novel, digambarkan penyebutan Lowalani pada saat tokoh Sayani dilahirkan.
Universitas Indonesia
55 “Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada Lowalani, penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar-menyambar di langit.” (hlm. 18).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa jika masyarakat berdoa kepada roh leluhur mereka, yang dalam masyarakat Nias disebut dengan Lowalani, segala hal yang dilakukan akan berjalan lancar. Doa-doa dan permohonan masyarakat tersebut akan dijawab dengan berbagai cara, salah satunya ditandai oleh kejadian alam melalui petir yang menyambar-nyambar. Penyebutan Lowalani sebagai leluhur juga tidak boleh sembarang dilakukan oleh masyarakat Banuaha. Masyarakat Banuaha sangat menghormati Lowalani sebagai leluhurnya sehingga ketika menyebut namanya, diharuskan terlebih dahulu untuk membaca doa dan memotong seekor hewan untuk dikorbankan, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut. “Tadi aku menyebut leluhurku Lowalani, tidak boleh itu, tidak boleh sembarangan menyebut namanya. Harusnya aku membaca doa dan memotong ayam dulu sebelum menyebut namanya. Dia yang di langit sana bisa marah, ujar Ama Budi.” (hlm. 19).
Dialog tersebut diucapkan oleh tokoh Ama Budi. Ama Budi adalah salah seorang masyarakat Banuaha yang rumahnya ditempati Mahendra selama berada di Banuaha. Sebagai seorang yang memiliki kedududukan tinggi dalam masyarakat Banuaha, terlihat bahwa kepercayaan masyarakat, terutama masyarakat yang sudah tua terhadap roh leluhur sangatlah tinggi. Penyebutan leluhur yang seharusnya sangat hati-hati juga diceritakan kembali pada bagian tengah novel. Pada bagian pertengahan cerita ini, terdapat bab “Langit dan Bumi”. Dalam bab ini, tokoh Mahendra menceritakan kehidupannya selama di kota dan menyebut kehidupan kota bagai kehidupan di langit. Baginya, kemajuan yang ada di dunia pendidikan atau dunia kampus justru tidak mendekat kepada masyarakat biasa, melainkan menjauh dan meninggi setinggi langit. Karena inilah ia Universitas Indonesia
56
menyebut manusia-manusia yang ada di lingkungan belajar atau kampus selama ini sebagai “Manusia Langit”. “Manusia Langit” yang dimaksud oleh Mahendra adalah ketika orang-orang harus selalu tunduk pada peraturan yang sudah dibuat petinggi-petinggi atau para pengambil keputusan. Sikap dan kritikan terhadap “Manusia Langit” khususnya dalam bidang pendidikan terlihat dari kutipan berikut ini. ‘Dasar manusia langit!’ Aku mengumpat dalam hati, aku sungguh marah. […] Karena keengganan mereka melihat dunia, mereka pun dengan egonya membuat soal ujian nasional untuk seluruh anak negri. Mereka menyamaratakan dunia yang sesungguhnya sangat berbeda-beda, sangat beragam. […] “Dasar manusia langit!” kini emosiku menggelegar mengalahkan suara gemuruh air Sungai Gomo (hlm. 108-109).
Penulis berpendapat bahwa bagian ini merupakan salah satu bagian yang menunjukkan sikap dan kritikan dari pengarang karena pengarang merupakan seorang pengajar, maka tidak mengherankan jika dalam kisah ini diselipkan kritik terhadap dunia pendidikan. Saat Mahendra bercerita inilah kemudian Ama Budi menceritakan asal-usul leluhurnya yang dinamai “Manusia Langit”. Berikut ini adalah kutipan yang menunjukkan cerita Ama Budi mengenai “Manusia Langit”. “Leluhur kami juga dulu turun dari langit, dari tete holi ana’a, dari negeri di atas awan. Makanya kami ini manusia langit yang sedang menjalani hidup susah di bumi. Di sini kami harus berbuat baik, mengikuti aturan, agar bisa kembali ke langit sebagai orang suci.” (hlm. 110). “Dalam salah satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluhur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana’a. Sirao adalah anak dari hasil perkawinan dua angin di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angin tersebut diceritakan secara jelas layaknya perkawinan dan kehamilan manusia.” (hlm. 110-111).
Apa yang disampaikan Ama Budi menunjukkan bahwa dalam kehidupannya, masyarakat Banuaha mempercayai asal usul leluhurnya didasarkan pada hoho. Universitas Indonesia
57
Hoho adalah sejais pantun asal Nias yang memuat asal-usul masyarakat Nias. (hlm. 206). Di sela-sela cerita Ama Budi tentang asal-usul leluhurnya, Mahendra sempat menanyakan apakah “Manusia Langit” yang dimaksud Ama Budi sama dengan suku Belada yang sudah ada sebelumnya di Nias. Ama Budi membantahnya dengan keras. Menurut Ama Budi, leluhurnya adalah manusia yang turun dari langit dan sudah dibekali berbagi perbekalan hidup. Hal itu berbeda dengan suku Belada yang dikatakan sebagai setengah manusia yang hidup di pohon dan guagua tanpa memiliki bekal dan harta apapun. Penjelasan Ama Budi mengenai perbedaan Suku Belada dengan leluhurnya tergambar dalam kutipan berikut ini. “Mereka bukan manusia; mereka setengah manusia karena mereka masih hidup di atas pohon dan gua-gua, tidak seperti kami, karena leluhur kami langsung menurunkan kami sebagai manusia, bukan setengah manusia seperti mereka.” […] “Sembarangan!” hardik Ama Budi.” Jelas bukan! Leluhur kami turun dari langit. Sirao turun ke bumi telah dilengkapi berbagai bekal, seperti bijibijian, emas, beliung, timbangan, dan periuk.” (hlm. 111).
Terlihat dari kutipan di atas bahwa Ama Budi tidak menerima anggapan mengenai kesamaan antara leluhurnya dengan suku Belada. Ama Budi semakin berbicara dengan nada yang tinggi ketika Mahendra mengatakan bahwa ciri-ciri dari leluhur Ama Budi sama dengan ciri orang Melayu Muda yang bermigrasi dari Asia Tenggara Daratan dan kemudian menyebar ke seluruh Nusantara. Bantahan Ama Budi terlihat dari kutipan “Leluhur kami bukan dari Asia, tapi dari langit!” suara Ama Budi meninggi (hlm. 112). Mahendra yang mulai merasakan kemarahan Ama Budi menghentikan argumennya karena takut menyinggung Ama Budi. Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat memercayai asal-usul leluhur mereka dan terus menjaga kepercayaan mereka tanpa ragu sedikit pun terhadap berita asal-usul tersebut. Universitas Indonesia
58
Setelah menceritakan asal-usul leluhur kepada Mahendra, tiba-tiba Ama Budi berteriak menyuruh Sayani memanggil semua anggota keluarga. Ternyata Ina Budi kena tesafo. Tesafo adalah salah satu roh jahat dalam kepercayaan mereka. “Ini semua gara-gara kamu, Bang!” teriak Sayani histeris. “Aku mendengar semua percakapanmu dengan ama tadi malam!” (hlm. 113). Sayani memarahi Mahendra karena telah banyak bertanya mengenai leluhur dan membuat Ama Budi bercerita tanpa diikuti upacara adat yang seharusnya dilakukan. Kejadian ini seperti menjelaskan kepercayaan masyarakat Banuaha yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap penyebutan leluhur haruslah diiringi atau diawali dengan serangkaian adat. Penyebutan leluhur dalam segala aktivitas masyarakat, didirikannya bangunanbangunan pemujaan, serta kepercayaan terhadap keberadaan dan peranan “Manusia Langit” yang merupakan asal-usul dari masyarakat Banuaha menunjukkan bahwa masyarakat Banuaha yang digambarkan dalam novel Manusia Langit, masih memegang nilai-nilai tradisional yang sudah sejak dulu berlaku di lingkungannya. Sejalan dengan kepercayaan masyarakat Nias terhadap leluhur dan terdapatnya beberapa bekhu yang disampaikan dalam novel Manusia Langit di atas, buku Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias juga memuat gambaran yang sama. Seperti yang dikatakan Rumbi Mulia dalam Sonjaya (2008: 30), terdapat beberapa peninggalan dan tradisi megalitik, seperti osa-osa (meja batu berkepala naga), behu (menhir), dan arca-arca megalitik di daerah Tundrumbaho (Gomo), Bawőmataluwo, dan Mandrehe. Dalam buku tersebut, J.A. Sonjaya yang juga merupakan penulis novel Manusia Langit ini mengungkapkan bahwa di Bőrőnadu terdapat sembilan buah behu atau menhir yang merupakan monumen leluhur mereka. Terdapatnya sembilan buah behu ini terlihat dari kutipan berikut.
Penelusuran saya mulai dari sembilan buah behu yan terdapat di tengah perkampungan. […] Universitas Indonesia
59 Menurut cerita penduduk setempat, sembialn buah behu ini adalah monumen dari para leluhur yang kelak menurunkan marga-marga besar di Nias (Sonjaya, 2008: 35).
Selain keberadaan behu, dalam Sonjaya (2008: 38) juga disebutkan adanya kuri dan meja batu untuk perundingan adat seperti yang juga digambarkan dalam Manusia Langit. Berikut ini adalah kutipan yang menunjukkan hal tersebut.
Tidak jauh dari susunan sembilan behu¸terdapat kursi-kursi dan meja batu. Kumpulan batu ini disebut Osalinadu, yakni tempat berkumpul pemuka adat dan wakil marga untuk membicarakan adat dan memutuskan sesuatu (Sonjaya, 2008: 38).
Mengenai bekhu peninggalan kehidupan megalitikum yang dijelaskan dalam novel juga dijelaskan dalam buku Legitimasi Kekuasaan pada Budaya Nias. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa tinggalan megalitik terdiri dari tinggalan megalitik berdiri/tegak dan tinggalan megalitik mendatar. Bekhu, batu peninggalan megalitik yang digambarkan dalam novel Manusia Langit dan terdapat di sekitar rumah tinggal dijelaskan oleh Ketut Wiradnyana sebagai tinggalan megalitik berdiri/ tegak.
Behu merupakan tinggalan Megalitik dalam posisi berdiri, yang biasanya di depannya terdapat batu datar dan merupakan pertanda bahwa telah dilakukan upacara owasa. Behu merupakan istilah bagi masyarakat Nias Selatan untuk menyebut bangunan Megalitik, seperti halnya gowe di Nias bagian Utara hanya khusus ditujukan kepada bangunan Megalitik yang posisinya berdiri (Wiradnyana, 2010: 44).
Dalam beberapa buku dan catatan sumber lain yang juga berkaitan dengan kehidupan Nias, juga banyak dibahas mengenai kepercayaan masyarakat Nias terhadap leluhur. Dalam buku Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara (1977-1978: 124), dijelaskan bahwa sebelum masuknya pengaruh agama Kristen, Islam, dan Katolik, masyarakat Nias menganut kepercayaan akan adanya Universitas Indonesia
60
kekuatan gaib. Wiradnyana (2010: 200) menyebutkan bahwa sebagai sebuah bentuk penghormatan terhadap leluhur, masyarakat Nias masih menyebut kata leluhur jika mendapatkan musibah atau mendapatkan keuntungan. Penyebutan leluhur tersebut menunjukkan bahwa leluhur yang dianggap berada di alam lain masih memiliki hubungan yang erat dengan keturunannya di alam nyata. Dalam Wiradnyana (2010: 148) juga disebutkan bahwa sekelompok masyarakat tradisional yang pernah hidup dalam masa megalitikum, tentu memiliki sistem religi yang terkait dengannya. Hubungan antara budaya megalitikum dengan sistem religi masyarakat bisa dilihat dari bangunan-bangunan yang didirikan. Biasanya, bangunan megalitik terlihat dari pendirian adu zatua dan pendirian menhir di depan atau halaman rumah masyarakat. Penyebutan adanya penghormatan terhadap leluhur yang dilakukan masyarakat Banuaha melalui adu zatua di dalam novel diperkuat dengan keterangan yang ada dibuat oleh Ketut Wiradnyana berikut ini. Bentuk penghormatan terhadap leluhur itu diwujudkan dalam simbol patung yang disebut adu zatua. Patung ini diletakkan di dalam rumah adat, pada kisi-kisi tembok ataupun pada bagian di sekitar tiang penyangga utama (Wiradnyana, 2010: 200).
Bambowo Laiya, dalam Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia (1983:28) juga menggambarkan, bahwa setiap keluarga di Nias memahat patung nenek moyang mereka masing-masing. Selain itu, setiap desa juga harus memahat patung kesatria yang dinamakan Adu Zato. Keduanya harus disembah secara bersamaan, sebagaimana terlihat dari kutipan berikut ini.
Orang harus menyembah kedua jenis patung ini demi hubungannya dengan keluarga dan masyarakat desanya. Adu Zato itu adalah patung para pendiri desa, patriot, berbakat, pemburu yang hebat dan sebagainya. Pasangan Adu Zato dan Adu Nuwu atau Adu Zatua tak boleh disembah secara terpisah (Laiya, 1983: 28).
Universitas Indonesia
61
Selain adanya penghormatan yang dilakukan terhadap leluhur, dalam konsep kosmologi atau kepercayaan yang dianut masyarakat Nias Selatan, dikenal adanya sembilan tingkatan langit. Seperti yang telah dikutip oleh Ketut Wiradnyana dalam buku Legitimasi Kekuasaan pada Budaya Nias, Ello Modigliani menyebutkan sembilan tingkatan langit itu, yaitu: Tuha Sihai, Lawalangi/roh baik/roh buruk, Fuli/Tuha Baregedano, Golu Banua, Tarewe Kara, Hulunogia, Drundru Tano, Sirao, dan Alam Manusia. Di dalam novel Manusia Langit, sembilan tingkatan langit ini diperlihatkan dengan adanya sembilan bekhu atau menhir yang menunjukkan sembilan leluhur masyarakat Nias. Data mengenai asal-usul masyarakat Nias yang juga didapat dari Profil Propinsi Republik Indonesia, Sumatera Utara dan dalam Dalam Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara yang diterbitkan oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua Sumber ini menunjukkan, bahwa mitos yang berlaku pada suku Nias adalah leluhurnya berasal dari lapisan langit Tetoholi Ana’a dan turun di wilayah Gomo sebelum menyebar ke seluruh pulau Nias. (Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992: 99). Masyarakat Nias dikatakan juga berawal ketika Lowalangi menciptakan sepasang dewa, yang laki-laki bernama Tuhamorai aanggi Tuhamora Ana’a dan yang perempuan bernama Burutiroanggi Burutiraoana’a. Keturunannya yang bernama Sirao Uwu Zihono kemudian mempunyai tiga istri dan sembilan anak. Delapan orang anaknya diturunkan ke bumi dengan berbagai bekal sedangkan anak bungsunya tinggal di langit. Empat dari delapan anak yang turun ke bumi inilah yang dipercaya sebagai leluhur orang Nias sedangkan empat anak lainnya ada yang menjadi ular, penyebab gempa, hantu air dan hantu di hutan (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978: 120). Gambaran tersebut sesuai dengan apa yang diceritakan dalam Manusia Langit karena dalam Manusia Langit, dipercaya bahwa masyarakat Banuaha merupakan keturunan “Manusia Langit” atau anak dari Sirao yang diturunkan ke bumi. Universitas Indonesia
62
Penyebutan Lowalani di dalam novel juga bisa ditemukan penjelasannya dalam beberapa sumber yang terkait dengan Nias.
Lowalani dalam Solidaritas
Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia (1983:23) adalah sebagai dewa yang sangat kuat dan berkuasa bagi orang Nias. Di beberapa sumber, Lowalani disebut sebagai Lowalangi. Lowalangi biasanya diucapkan oleh masyarakat Nias dari bagian utara. Di dalam Wiradnyana (2010:199) dijelaskan pula bahwa Lowalangi adalah sebuah patung perwujudan leluhur yang biasanya dipahat dalam media kayu hingga berbentuk seorang pria dalam posisi duduk atau jongkok. Berdasarkan penggambaran mengenai penghormatan terhadap leluhur dan kepercayaan terhadap asal-usul masyarakat Nias di dalam novel Manusia Langit yang kemudian dibandingkan dengan beberapa sumber yang berbicara tentang kehidupan masyarakat Nias, maka terlihat bahwa hampir tidak ada perbedaan di dalamnya. Beberapa istilah dalam novel sama dengan buku-buku sumber yang didasarkan oleh hasil penelitian. Apa yang disampaikan oleh Sonjaya dalam novel Manusia Langit sama dengan yang ia tulis dalam buku laporan penelitiannya yang berjudul Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias. Perbedaan pemakaian istilah yang terlihat di antara novel Manusia Langit dengan sumber lainnya, yaitu istilah bekhu dan Lowalani. Dalam beberapa sumber yang penulis dapatkan, istilah yang paling sering ditemukan adalah behu dan Lowalangi. Meskipun demikian, kedua kata yang penulisannya berbeda tersebut tetap memiliki arti yang sama. Bekhu yang ada di dalam Manusia Langit sama artinya dengan behu, yaitu menhir atau batu yang dibuat untuk menghormati para leluhur. Begitu pula dengan Lowalani dalam Manusia Langit dan Lowalangi, keduanya memiliki arti yang sama, yaitu dewa yang paling berkuasa bagi masyarakat Nias.
4.2.2
Tradisi Perburuan atau Pemenggalan Kepala
Selain kepercayaan terhadap leluhur dan asal-usul masyarakatnya sebagai keturunan “Manusia Langit”, masyarakat Nias yang digambarkan dalam novel Universitas Indonesia
63
Manusia Langit ini adalah masyarakat yang menjaga tradisi yang sudah turuntemurun. Salah satu tradisi yang banyak dilakukan masyarakat Nias, terutama masyarakat Nias pada masa lampau adalah tradisi perburuan kepala. Di dalam novel, penggambaran mengenai tradisi perburuan atau pemenggalan kepala, pertama kali muncul pada bagian awal cerita. Setelah bertemu dengan Pak Nai Laiya saat sedang melakukan penggalian di sebuah lokasi dekat aliran sungai Gomo, Sayani memperingatkan Mahendra untuk tidak datang ke rumah Pak Nai Laiya sendirian. Mahendra kemudian terkejut ketika Sayani mengatakan bahwa keluarga Pak Nai Laiya sering membuat masalah dengan keluarga Ama Budi, apalagi keluarga Pak Nai Laiya masih memiliki dendam berupa hutang kepala. Berikut ini kutipan yang menunjukkan penjelasan mengenai tradisi perburuan atau pemenggalan kepala yang pernah terjadi pada masyarakat Nias kuno. “Orang mereka selalu begitu, Bang, selalu mencari masalah, apalagi dengan keluarga kita, selalu saja begitu” “Kok?” “Biasalah, Bang, di sini seperti itu, apalagi mereka masih berutang satu kepala sama kami. Ini soal harga diri.” “Kepala apa?” “Kepala manusia?” “Dulu sekali, kakek mereka dipenggalnya kepala itu oleh kakek kami karena orang mereka menghina nenek kami.” (hlm. 7).
Seperti yang terlihat dalam kutipan di atas, sebagai seorang pendatang dari luar Nias, Mahendra sangat terkejut dengan pemenggalan kepala yang diceritakan Sayani. Hal tersebut tentu saja terlihat aneh dan asing bagi orang yang baru beberapa saat menetap di Nias. Percakapan tersebut menunjukkan bahwa ternyata, di antara keluarga Ama Budi dengan keluarga Pak Nai Laiya pernah terjadi sebuah perselisihan yang cukup hebat. Perselisihan ini selanjutnya menimbulkan sebuah tradisi bahwa hutang kepala harus dibayar dengan kepala. Dari penggambaran tersebut terlihat bahwa dalam menyelesaikan masalah, masyarakat Universitas Indonesia
64
Nias lebih dulu menggunakan emosi dan kemarahan sebagai alat penyelesaian. Diskusi maupun musyawarah tidak ada dalam solusi penyelesaian masalah orang Nias kuno. Dalam novel Manusia Langit, pemenggalan kepala digambarkan bukan hanya sebagai cara penebus kemarahan, melainkan digunakan untuk persembahan saat membangun rumah adat dan untuk menunjukkan kejantanan seorang pria sebelum menikah. Hingga saat ini, setiap sebuah rumah adat selesai dibangun, diadakan berbagai upacara untuk mengusir roh halus. Pada masa lampau, bukan hanya babi yang dipersembahkan dalam upacara tersebut. Untuk persembahan terhadap leluhur, kepala manusia juga sering dikorbankan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini. “Adat membuat rumah sekarang sebenarnya sudah lebih ringan,” kata Sayani kembali ke soal rumah. “Dulu, yang disembelih bukan hanya babi, juga seorang budak yang digulingkan dari bubungan atap yang sangat tinggi hingga jatuh ke bawah, lalu disembelih. Kepala budak itu kemudian disimpan di atas rumah.” (hlm. 13).
Ketika Sayani memikirkan bagaimana seorang dari luar Nias bisa menikah dan mengumpulkan persembahan untuk pengantin perempuannya, ia teringat pada perkataan Ama Budi tentang perburuan kepala untuk modal menikah. Perburuan kepala musuh ini terjadi pada masa ketika Ama Budi belum menikah.
Berjuang untuk bisa menikah bagi orang Nias sangat dihargai. Kata Ama Budi, dahulu mereka memburu kepala musuh untuk bisa menikah. Dengan bisa membunuh musuh, berarti ia sudah bisa diandalkan untuk melindungi keluarga (hlm. 147).
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa bagi orang Nias, kekuatan adalah hal yang paling utama diperhatikan. Siapa yang berhasil membawa kepala musuh akan berkuasa dan ditakuti orang lain. Ia akan dihormati dan dihargai sebagai seseorang yang kuat. Dengan memotong kepala budak dan mempersembahkannya Universitas Indonesia
65
kepada leluhur, maka orang yang memiliki rumah tersebut akan dianggap sebagai orang yang memiliki hubungan baik dengan leluhur. Dalam usaha meminang calon istri, setelah berhasil memenggal kepala, kedudukan pria Nias akan menjadi lebih tinggi dan lebih berharga di mata calon mertua hingga akhirnya diterima sebagai calon menantu. Namun, setiap penggambaran mengenai tradisi perburuan kepala yang ada di dalam novel ini disertai keterangan bahwa pada masa sekarang, kegiatan berburu kepala sudah tidak lagi ada dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh masuknya agama ke dalam kehidupan masyarakat Banuaha tersebut. Beberapa buku sumber yang berbicara tentang kehidupan masyarakat Nias, tidak terlalu banyak menceritakan tentang tradisi berburu kepala yang dilakukan masyarakat Nias kuno. Dalam blognya, pengarang menuliskan sebuah tulisan lepas, berjudul “Orang Nias – Mereka Memburu Kepala untuk Bekal Kubur”. Tulisan ini berkisah tentang Awuwukha, seseorang yang ditakuti karena berhasil membawa pulang belasan kepala manusia sebagai pembalasan dendam karena rumah ibu Awuwukha sebelumnya dibakar oleh pemilik kepala itu. Tulisan pengarang dalam blognya ini merupakan tulisan yang dibuat berdasarkan buku hasil penelitian yang sudah ia tulis sebelumnya, Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias. Pada bab “Mangani Binu: Tradisi Memburu Kepala”, Sonjaya (2008: 67), dijelaskan bahwa Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan kepada anak-anak dan seluruh keluarganya, Jika ia meninggal nanti, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam kubur. Seorang untuk menyiapkan minum, seorang untuk membuat sirih pinang, seorang untuk menyiapkan makanan, seorang untuk menjaga, dan seorang lagi sebagai tukang pijat. Sonjaya menuliskan bahwa tradisi memburu kepala yang disampaikannya sebagai Mangani Binu lebih dikenal masyarakat Nias sebagai tradisi öi ba danö alias mofanö ba danö alias möi emali alias mangai högö. Dalam artikel “Awuwukha Pemburu Kepala” yang ditulis oleh Victor Zebua dalam NiasOnline, ditegaskan
Universitas Indonesia
66
pula bahwa Binu diperlukan pula untuk pembangunan rumah, pengukuhan gelar bangsawan, atau penyambutan pengantin putri. (Zebua, 2008) Dalam sumber lainnya disebutkan bahwa kepala hasil dari perburuan kepala, tidak hanya digunakan untuk menaikkan status sosial seseorang dalam masyarakat. Kepala hasil perburuan ini juga banyak yang digunakan sebagai bekal kubur. Berikut ini kutipan yang menjelaskan pernyataan tersebut.
“Kepala orang yang diambil waktu expedisi pengayauan dari daerah lain akan ditempatkan di kuburan bangsawan itu pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologi suku Nias. Ada pandangan di Nias yang mengharapkan bahwa orang mati itu akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali.” (Laiya, 1980: 56).
Famaoso dola yang disebutkan dalam kutipan di atas adalah upacara penguburan yang berlaku di Nias pada zaman lampau atau dalam (Laiya, 1980:6) dijelaskan sebagai pengangkatan tulang-tulang kembali. Dalam Wiradnyanya (2009: 156) dijelaskan lebih detil bahwa binu atau kepala manusia yang diambil bukanlah berasal dari anak-anak atau dari wanita. Binu yang menjadi persembahan adalah binu yang dari laki-laki yang sudah tua dan beruban. Penggambaran pengarang mengenai kepercayaan masyarakat terhadap tradisi berburu atau pemenggalan kepala ini sudah cukup mewakili apa yang terjadi sebenarnya dalam masyarakat Nias kuno. Bila dibandingkan dengan beberapa sumber yang juga memuat tentang tradisi berburu kepala, kenyataan bahwa potongan kepala juga dijadikan sebagai bekal kubur tidak digambarkan oleh pengarang di dalam novel ini. Istilah binu atau mangani binu juga tidak dimunculkan oleh Sonjaya dalam novel. Ia hanya menyebutnya sebagai perburuan atau pemenggalan kepala. Persembahan yang diberikan masyarakat atau orang Nias kepada leluhur selain menunjukkan status sosial dalam masyarakat juga dilakukan untuk menunjukkan bagaimana penghormatan mereka terhadap roh-roh leluhur. Ternyata, tidak hanya roh-roh baik yang dipercaya oleh orang Nias. Ada pula roh jahat yang dipercaya Universitas Indonesia
67
selalu mengganggu kehidupan mereka, di antaranya roh pemakan bayi dan tesafo. Kepercayaan masyarakat terhadap mitos roh pemakan bayi dan tesafo ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
4.2.3
Mitos Roh Pemakan Bayi dan Tesafo
Dalam masyarakat Nias yang digambarkan oleh pengarang pada novel Manusia Langit, terlihat bahwa masyarakat Nias tidak hanya mempercayai rohroh baik dalam kehidupan mereka. Sebagai masyarakat yang masih jauh dari kehidupan modern, masyarakat di Nias yang tergambar dalam novel Manusia Langit ini mempercayai beberapa roh jahat yang mengganggu kehidupan mereka. Dua roh jahat yang dimunculkan dalam Manusia Langit adalah roh pemakan bayi dan tesafo (roh halus). Roh pemakan bayi pertama kali dimunculkan pada bagian awal cerita ketika Ama Budi bercerita tentang kelahirannya dulu. Saat itu Ama Budi berkata bahwa ia beruntung bisa lahir dengan selamat dan tidak dimakan oleh roh halus. Penjelasan Ama Budi ini dapat terlihat dari kutipan berikut.
“Ya iya, aku sangat beruntung. Zaman dulu banyak bayi yang lahir di ladang hilang di makan roh halus,” jelas Ama Budi (hlm. 19).
Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa masyarakat mempercayai bahwa pada masa itu banyak bayi yang dimakan oleh roh halus pemakan bayi hingga bagi yang selamat, sangatlah beruntung. Roh halus pemakan bayi ini mulai dikenal saat suku Belada (Orang Nias yang hidup dengan berburu di hutan) masih menempati Nias. Menurut orang-orang tua di Nias, suku ini mulai hilang populasinya karena banyak anak mereka yang dimakan oleh roh halus pemakan bayi tersebut, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Karena sering hilang dimakan roh halus itulah populasi Belada akhirnya tidak banyak dan tidak berkembang, bahkan punah. Anak-anak bayi mereka Universitas Indonesia
68 sering hilang dimakan roh jahat. Cerita itu masih hidup hingga sekarang. Banyak orang kita sekarang yang masih memercayai roh pemakan bayi itu.” (hlm. 20).
Sebagai anak muda yang sudah pernah mengenyam bangku sekolah, Sayani tidak mempercayai sepenuhnya apa yang dikatakan Ama Budi. Ia kemudian menanyakan pendapat Mahendra mengenai hal ini. Sebagai seorang peneliti yang dulunya juga pernah mengajar di universitas, tentu Mahendra memiliki pemikiran lain yang lebih rasional. Pemikirannya tersebut mengenai roh pemakan bayi terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Menurutku, yang membunuh bayi-bayi itu adalah para orang tua mereka, bukan roh jahat. Sekarang bayangkan, bagaimana sebuah keluarga bisa hidup berburu dan berpindah-pindah, sementara perempuannya masih menyusi dan melahirkan bayi? Untuk bisa bertahan hidup, mau tidak mau yang paling lemah dikorbankan. Bayi-bayi yang lemah itu ditimbun atau dihanyutkan di sungai. Si orang tua kemudian berteriak histeris. Lalu mereka membuat cerita bahwa bayinya telah dibawa oleh roh jahat. Tidak ada orang yang meragukan cerita itu. Tidak ada orang yang menyalahkan orang tua bayi yang malang itu.” (hlm. 21).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Mahendra yang berpendidikan tidak dengan mudah menerima mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat Nias. Ia berpikir lebih kritis dan mempertimbangkan kehidupan ekonomi masyarakat
hingga
dapat
mengambil
kesimpulan
tersebut.
Setelah
mengungkapkan pendapatnya, Mahendra justru mendapatkan pengakuan dari Ama Budi. Ama Budi mengaku bahwa ia pernah melakukan apa yang dikatakan Mahendra, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini.
“Aku pun pernah melakukannya, aku pernah membunuh bayiku sendiri ketika kami masih sering bermukim di ladang,” kata Ama Budi dengan suara lebih pelan. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. “Itu anak kedua kami, bahkan kami belum sempat memberi nama.” (hlm. 22).
Universitas Indonesia
69
Dengan pengakuan Ama Budi tersebut, terlihat bahwa ternyata memang benar roh pemakan
bayi yang berkembang di dalam masyarakat Nias dalam Manusia
Langit hanyalah mitos yang telah berlangsung lama hingga masih banyak dipercayai oleh masyarakatnya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada masa sekarang pun masih banyak masyarakat Banuaha yang mempercayai roh halus pemakan bayi ini. Dalam novel Manusia Langit ini, kepercayaan masyarakat juga ditunjukkan dengan adanya protes masyarakat terhadap pendapat Mahendra. Masyarakat yang mengetahui pendapat Mahendra tersebut menganggap apa yang disampaikan Mahendra sebagai penghinaan bagi mereka. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. “Menurut orang itu,” kata Amőli sambil menunjuk ke arahku, “periuk di ladang kami adalah kuburan bayi-bayi, kami tidak bisa terima itu, kami tidak sudi dituduh seperti itu. Itu penghinaan bagi kita orang-orang keturunan langit!” (hlm. 76).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ada sebagian masyarakat Nias yang masih sangat menjaga
kepercayaan-kepercayaan
yang
berkembang
dalam
lingkungannya sehingga tidak bisa dan tidak mau menerima pendapat lain yang menentang kepercayaan mereka. Selain penggambaran roh pemakna bayi, dalam novel Manusia Langit ini juga digambarkan kejadian akibat roh halus lainnya, yaitu tesafo. Tesafo artinya disentuh oleh roh jahat yang ada dalam kepercayaan mereka. Dalam Manusia Langit, cerita tesafo dimunculkan ketika Mahendra dan Sayani baru kembali dari penggalian. Ketika sampai di rumah, Ama Budi menyuruhnya lekas mandi agar tak kena tesafo dari sungai. Selanjutnya, tesafo juga diceritakan kembali setelah Ama Budi dan Mahendra berbincang mengenai asal-usul masyarakat Nias. Setelah berbincang, pagi harinya Ama Budi, Mahendra, dan Sayani dikejutkan karena Ina Budi, istri dari Ama Budi terkena tesafo. Penggambaran tersebut terlihat dari kutipan berikut ini. Universitas Indonesia
70
“Ina Budi kena tesafo!” kata Ama Budi panik. “Cepat panggil Pak Lektor kemari, kita perlu doa, kita perlu mengusir roh itu!” […] “Ina Budi, Ama, kena tesafo!” (hlm. 112)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa masyarakat Nias masih mempercayai sakit yang datang secara tiba-tiba adalah sakit yang disebabkan oleh gangguan roh halus. Untuk menyembuhkan Ina Budi yang terkena tesafo tersebut maka dipanggillah Pak Lektor. Pak Lektor adalah orang yang memiliki ilmu gaib sehingga dipercaya dapat menyembuhkan Ina Budi yang terkena tesafo. Untuk menyembuhkan Ina Budi, Pak Lektor membawa injil dan kain putih yang diisi sesuatu, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
Mendengar aku berteriak seperti itu, ia cepat-cepat masuk ke dalam, mengambil Injil dan kain putih yang berisi entah apa. Kamu berdua bergegas menuju rumah (hlm. 113).
Cara-cara seperti itu menunjukkan bahwa masyarakat Nias membutuhkan seseorang seperti Pak Lektor untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu. Meskipun demikian, keberadaan Injil ditunjukkan karena masyarakat Nias yang digambarkan dalam novel ini sudah mengenal adanya agama Kristen dan Katolik. Namun, meskipun telah memanggil Pak Lektor, Ina Budi tidak dapat diselamatkan lagi. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kemarahan Sayani terhadap Mahendra.
“Ini semua gara-gara kamu, Bang!” teriak Sayani histeris. “Aku mendengar semua percakapanmu dengan ama tadi malam!” “Maafkan aku, Sayani.” “Selalu saja mita maaf! Apa-apa minta maaf! Apakah ina akan kembali dengan maafmu!” Suara Sayani sangat keras sehingga perhatian seisi rumah Universitas Indonesia
71 tertuju kepadanya. “Kamu hanya membawa masalah saja di keluarga ini.” (hlm. 113).
Bila dilihat dari kutipan di atas, sebagai seorang anak yang tinggal dan dibesarkan dalam lingkungan adat, Sayani masih mempercayai adanya roh halus atau tesafo yang mengenai Inanya. Ia merasa perbincangan antara Ama Budi dan Mahendra pada malam sebelumnya telah melanggar penghormatan terhadap leluhur hingga Ina Budi terserang tesafo dan akhirnya meninggal dunia. Dalam beberapa sumber yang berbicara tentang Nias, kepercayaan masyarakat Nias terhadap roh-roh leluhur memang banyak ditemukan. Tidak hanya percaya terhadap roh-roh yang baik, masyarakat Nias juga mempercayai adanya beberapa roh halus jahat yang ada dalam kehidupan mereka. Seperti yang disampaikan oleh Sonjaya dalam Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias, Bagi orang Nias, roh dapat mengendalikan alam termasuk manusia di dalamnya. Roh itu sendiri tidak hanya terdiri dari roh baik melainkan terdapat pula roh jahat. Agar kehidupan masyarakat Nias tidak terganggu atau berjalan dengan lancar, maka masyarakat mengenal pantangan-pantangan dan aturan yang telah disepakati bersama sebelumnya. Aturan-aturan tersebut, misalnya tidak boleh bermain saat hujan rintik-rintik tetapi ada matahari terang, tidak boleh kencing sembarangan, serta tidak diperbolehkan menyebut nama leluhur secara sembarangan (Sonjaya, 2008: 76). Aturan tidak diperbolehkan menyebut nama leluhur secara sembarangan inilah yang digambarkan Sonjaya dalam Manusia Langit. Peristiwa ketika Ina Budi terserang tesafo mirip dengan apa yang dituliskan dalam Sonjaya (2008: 76). Dalam catatan perjalan Sonjaya tersebut, diceritakan bahwa suatu malam, ayah angkat Sonjaya di Nias bercerita tentang leluhur hingga larut malam. Tiba-tiba, ayah angkat Sonjaya berteriak kesakitan di bagian pinggangnya. Setelah keesokan harinya, ayah angkat Sonjaya tersebut berkata bahwa apa yang dialaminya semalam merupakan peringatan karena telah menyebut namanya dengan sembarangan, seperti yang terlihat dari kutipan berikut ini. Universitas Indonesia
72
“Tiba-tiba kami dikejutkan oleh teriakan ayah saya karena pinggangnya kesakitan amat sangat. Semua anggota keluarga dipanggil untuk berkumpul karena ayah seolah hendak meregang nyawa. Setelah dibacakan doa, akhirnya rasa sakit merda. Keesokan harinya, ayah bercerita bahwa ia telah diingatkan oleh leluhur karena telah menyebutkan namanya secara sembarangan.” (Sonjaya, 2008: 76).
Pada bagian selanjutnya juga digambarkan kejadian lain akibat mandi di sungai saat hujan rintik-rintik. Dalam Sonjaya (2008:77), diceritakan oleh Sonjaya ketika suatu hari, temannya yang bernama Reza jatuh sakit. Setelah diketahui bahwa sebelumnya Reza mandi di sungai saat hujan rintik-rintik, ia dikatakan terkena tesafo (disentuh roh halus). Dalam kepercayaan masyarakat Nias, seseorang yang terkena tesafo haruslah ditangani oleh orang yang mengerti ilmu gaib. Sama seperti yang dilukiskan Sonjaya dalam Manusia Langit, orang yang terkena tesafo ini kemudian dibawa ke Pak Lektor. Sumber lain tidak ada yang menyebutkan mengenai tesafo dan roh pemakan bayi. Hanya saja, dalam Laiya (1983: 24), disebutkan bahwa ada beberapa roh halus yang dipercaya. Salah satu roh halus yang disebut dalam buku tersebut adalah Maciana. Maciana adalah roh wanita yang mati ketika melahirkan bayi. Roh ini lalu kembali dan mengganggu setiap wanita yang akan melahirkan. Mungkin mitos Maciana ini berhubungan dengan mitos roh pemakan bayi yang digambarkan dalam novel Manusia Langit. Berdasarkan perbandingan mitos yang digambarkan dalam Manusia Langit dengan yang ada dalam beberapa buku sumber tentang masyarakat Nias, terlihat bahwa meskipun tidak sama dengan kisah aslinya, kisah tesafo yang dimasukkan pengarang dalam Manusia Langit didasarkan atas pengalamannya saat berada di Nias. Hal tersebut terlihat dari buku penelitian yang telah ditulis lebih dulu oleh pengarangnya. Berbeda dengan penggambaran tesafo, adanya kisah roh pemakan bayi mungkin dimunculkan pengarang untuk menambah ketegangan dalam novel dan dibuat untuk menunjukkan hasil amatan pengarang terhadap kehidupan ekonomi masyarakat Nias yang selama ini hidup dari hasil berladang. Universitas Indonesia
73
Selain dilihat dari kepercayaan terhadap roh-roh leluhur, sistem religi masyarakat Nias dalam novel Manusia Langit ini juga bisa dilihat dari diadakannya beberapa upacara adat dalam keseharian mereka, seperti upacara pada saat pembangunan rumah adat, upacara pengangkatan pemimpin adat, upacara kelahiran, upacara perkawinan, dan upacara kematian.
4.2.4
Upacara Pembangunan Rumah Adat
Dalam novel Manusia Langit digambarkan bahwa dulu, bagi masyarakat Nias, rumah merupakan hal yang berharga karena tidak hanya didirikan untuk tempat tinggal. Pendirian rumah bagi masyarakat Nias dulunya digunakan juga untuk menunjukkan status sosial pemiliknya. Dalam pendiriannya, sebuah rumah adat juga harus mengikuti beberapa tahapan upacara, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini. “Selain kayu-kayu besar sudah tak ada lagi di hutan, membangun rumah adat sangatlah berat bagi kami sekarang. Harus pesta-pesta, mulai dari menyiapkan kayu, membangun, hingga meresmikan rumah. Biaya pesta jauh lebih banyak daripada bahan untuk membuat rumah, apalagi untuk golongan bangsawan seperti kami. Mendirikan rumah adat memerlukan waktu bertahun-tahun sebab harus melalui berbagai tahapan upacara (hlm. 12).
Tahapan-tahapan upacara yang dilakukan dalam pendirian sebuah rumah adat ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Sayani, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.
“Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makanan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (hlm. 13).
Universitas Indonesia
74
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sistem religi yang dianut masyarakat Nias menunjukkan adanya kepercayaan terhadap roh-roh halus. Dari kutipan di atas terlihat bahwa pemukulan gong dan gendang dalam tahapan upacara dimaksudkan agar orang yang tinggal di dalam rumah tersebut nantinya terbebas dari gangguangangguan roh-roh jahat. Selain itu, adanya penyembelihan babi dapat dilihat sebagai sarana untuk memperlihatkan kemakmuran si pemilik rumah tersebut. Di dalam Manusia Langit juga disebutkan bahwa pada zaman dahulu, bukan hanya babi yang disembelih, kepala seorang budak juga ikut dikorbankan dalam upacara pembangunan rumah adat tersebut. Hal tersebut terlihat dari kutipan berikut. “Dulu, yang disembelih bukan hanya babi, juga seorang budak yang digulingkan dari bubungan atap yang sangat tinggi hingga jatuh ke bawah, lalu disembelih. Kepala budah itu kemudian disimpan di atas pole rumah.” (hlm. 13).
Penyembelihan kepala budak maupun babi dilakukan untuk menunjukkan harga diri dan kedudukan pemilik rumah dalam masyarakat maupun dalam kedudukannya di depan leluhur. Namun, seperti yang sudah dijelaskan, pembangunan rumah adat saat ini sudah tidak serumit itu karena terhalang oleh fasilitas dan masuknya agama dalam kehidupan mereka. Pada masa sekarang, masyarakat tidak dengan mudah dapat mengumpulkan pulihan bahkan ratusan ekor babi untuk dikorbankan. Hal inilah yang membuat syarat-syarat pembangunan rumah adat di Banuaha saat ini sudah jauh lebih mudah. Penggambaran upacara pendirian rumah adat yang digambarkan dalam Manusia Langit memiliki perbedaan dengan tahapan upacara pendirian rumah adat yang terdapat dalam Wiradnyana (2010: 127-128). Apabila seseorang mendirikan rumah, maka ia harus membayar adat yang disebut fanara nomo (pendirian rumah) berupa satu ekor babi, pada saat memberikan atap rumah juga membayar adat yang disebut fanouomo (pengatap rumah) berupa seekor babi, dan pada saat rumah telah selesai, maka kembali ada pembayaran adat yang disebut famaheu nomo Universitas Indonesia
75 (keselamatan rumah yang telah selesai) berupa enam ekor babi dengan berat masing-masing babi lebih kecil daripada babi yang dipakai membayar adat sebelumnya. Jadi, dalam pembuatan rumah adat tradisional ada tiga tingkat kegiatan yang harus dibayar sebagai hutang adat.” (Wiradnyana, 2010: 18).
Perbedaan antara pengambaran tata upacara adat pendirian rumah adat yang terdapat dalam Manusia Langit dengan tata upacara adat pendirian rumah adat yang terdapat dalam buku Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias adalah pada jumlah tahapan serta jumlah babi yang disembelih. Di dalam Manusia Langit, tahapan upacara pembuatan rumah hanya ada dua, yaitu ketika pembuatan fondasi rumah dan ketika pengujian kekuatan rumah. Jumlah babi yang dikorbankan untuk menjamu tamu mencapai puluhan babi. Semua tahapan upacara tersebut berbeda dengan apa yang dituliskan dalam Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias. Di dalam buku tersebut, tahapan pembangunan rumah adat terdiri dari tahap pendirian rumah, pengatapan rumah, dan keselamatan rumah yang sudah selesai. Jumlah babi yang dikorbankan juga tertulis sebanyak delapan ekor babi.
4.2.5
Upacara Pengangkatan Pemimpin Adat
Dalam novel Manusia Langit ini, tokoh Ama Budi digambarkan sebagai salah satu orang yang memiliki pengaruh penting di Banuaha. Ama Budi mendapatkan posisi tinggi dalam masyarakat karena sebelumnya telah melakukan upacara owasa atau mangowasa. Owasa atau mangowasa adalah pesta yang dilakukan untuk mengukuhkan posisi Ama Budi sebagai seorang kepala desa dan juga sebagai tetua adat di Banuaha. Sebelum melakukan owasa atau mangowasa, Ama Budi telah terlebih dahulu melaksanakan upacara pemotongan babi seperti terlihat dari kutipan berikut ini.
“Begitulah,” jawab Ama Budi lirih. “Keluarga dan kerabatku akhirnya mendorong aku buntuk membuat pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tak didengar.” (hlm. 101).
Universitas Indonesia
76
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa sebagai seorang kepada desa yang telah mengukuhkan dirinya melalui pesta atau upacara pengukuhan sebagai kepala desa, kedudukan atau statusnya masih belum dihargai oleh masyarakat.
“Menjadi kepala desa tak berarti membuat seseorang dihargai di kampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka para tetua marga dan adat,” tutur Ama Budi. “Belum lagi para tetua marga dan tetua adat itu banyak yang iri kepadaku.” (hlm.101).
Para tetua marga dan tetua adat banyak yang iri kepada Ama Budi karena Ama Budi berhasil menjadi seorang kepala desa. Banyak di antara mereka yang tidak bisa menjadi seorang kepala desa karena tidak bisa membaca. Ama Budi berhasil terpilih menjadi kepala desa di Banuaha karena memenuhi persyaratan bisa baca tulis dari pemerintah, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini.
“Karena hanya aku yang bisa baca tulis,” jawab Ama Budi dengan tegas. “Waktu itu ada pemerintah, salah satu syarat menjadi kepala desa harus bisa baca tulis. Karena syarat itu, bayak tetua marga dan adat yang tidak bisa menjadi kepala desa.” (hlm. 100).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, meskipun berhasil menjadi kepala desa, Ama Budi masih belum dihormati seutuhnya oleh masyarakat di sana. Ama Budi menjadi kepala desa sejak tahun 1982 hingga tahun 1992. Pada tiga tahun pertama menjadi kepala desa, ia masih juga belum didengar oleh masyarakat. Oleh karena itu, setelah tahun ketiga menjabat sebagai kepala desa, Ama Budi kemudian melaksanakan upacara adat atau pesta tertinggi untuk mejadi tetua adat. Pesta atau upacara adat tertinggi ini dimakan owasa atau mangowasa. Pelaksanaan mangowasa digambarkan dalam kutipan berikut ini.
“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan untuk Universitas Indonesia
77 menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh malam.” (hlm. 101).
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa untuk melaksanakan sebuah upacara atau pesta tertinggi agar bisa dihargai dalam masyarakat, Ama Budi banyak mengorbankan harta bendanya. Semua itu dilakukan agar bisa mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari masyarakat, seperti yang digambarkan melalui perkataan Ama Budi berikut ini.
“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha.” (hlm. 103).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk menghargai diri sendiri dan menghargai masyarakat, seorang Ama Budi mengorbankan harta yang ia punya. Namun, pengorbanan Ama Budi ini tidak sia-sia. Dengan melakukan upacara adat atau pesta adat ini, Ama Budi menjadi sangat dihargai di Banuaha. Hingga saat ini belum ada lagi orang Banuaha yang bisa mengadakan pesta owasa atau mangowasa sebesar yang diadakan Ama Budi. Sikap dan kritikan pengarang kembali muncul pada penggambaran upacara pemilihan pemimpin adat ini. Melalui tokoh Mahendra, pemerolehan gelar pemimpin adat di Nias disamakan dengan proses pemerolehan gelar sarjana di universitas, seperti yang tergambar dari kutipan ini. “Dunia kita berbeda, Ama, tapi isinya sama,” […] “Seperti masyarakat di sini yang dibagi menjadi tingkat-tingkat dan bergelargelar, di sana pun ada jabatan-jabatan, ada gelar-gelar.” […] “Ya, seperti ritual adat di sini, Ama!” Aku sedikit enggan menceritakan ritual wisuda yang dirasa membebani sebagian besar mahasiswa yang telah Universitas Indonesia
78 menyelesaikan pendidikan di universitas. Untuk keperluan wisuda, seorang mahasiswa diwajibkan membayar dua ratus ribu hingga lima ratus ribu rupiah kepada universitas.” […] (hlm. 105-106).
Perbandingan yang digambarkan melalui tokoh Mahendra bisa dianggap sebagai sebuah kritikan dari pengarang. Seperti pemunculan sikap dan kritik pengarang yang terlihat pada bagian-bagian sebelumnya, sebagai seseorang yang bekerja dalam lingkungan kampus, melalui kisah dalam cerita inilah kritikan-kritikan pengarang terhadap lingkungan kampus bisa tersampaikan. Sama halnya dengan apa yang digambarkan dalam Manusia Langit, pelaksanaan upacara atau pesta pengukuhan pemimpin adat owasa ini juga dijelaskan dalam Sonjaya (2008: 94). Melalui pesta owasa, seseorang akan diberi gelar lengkap dengan hak-hak istimewanya. Semua perkataan orang yang telah melaksanakan pesta owasa adalah hukum yang tidak bisa disanggah atau dilanggar (Sonjaya, 2008: 94). Penggambaran pesta owasa dalam Manusia Langit sama dengan penjelasan pesta owasa yang dijelaskan Sonjaya dalam buku hasil penelitiannya di Nias. Pesta owasa yang ditemui Sonjaya dalam penelitiannya digambarkan melalui kutipan berikut. Demi status itu, Ama Watilina Hia merelakan 101 ekor babi, 80 ekor ayam, enam pau emas, dan dua juta rupiah (nilai yang sangat besar untuk tahun 1984). Biaya itu menghabiskan seluruh tabungannya, bahkan terpaksa ditambah dengan cara berhutang (Sonjaya, 2008: 94).
Kisah pesta yang dilaksanakan oleh Ama Watilina Hia terlihat memiliki kesamaan dengan pesta owasa yang dilaksanakan Ama Budi. Owasa dalam kedua buku ini merupakan upacara yang dilakukan untuk mengukuhkan posisi dalam masyarakat setelah terpilih menjadi kepala desa. Tahun pelaksanaan upacara owasa juga sama, yaitu pada tahun 1984. Persamaan di antara kedua cerita ini juga terlihat ketika dalam Sonjaya (2008: 97) diceritakan bahwa sampai saat ini, belum ada orang lain yang sanggup melaksanakan owasa lebih besar bahkan sebesar yang dilakukan Ama Watilina Hia. Hal yang dialami Ama Watilina Hia ini sama Universitas Indonesia
79
dengan apa yang dialami tokoh Ama Budi dalam Manusia Langit. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Legitimasi Kekuasaan dalam Budaya Nias. Dalam Wiradnyana (2010: 156), upacara owasa merupakan sebutan untuk upacara peningkatan status sosial bagi masyarakat Nias bagian utara sedangkan bagi masyarakat Nias bagian selatan, upacara ini dinamai faulu. Upacara owasa/faulu ini juga dikatakan sebagai pesta besar yang memerlukan biaya yang besar sehingga
tidak
semua
masyarakat
Nias
mampu
untuk
melakukannya
(Wiradnyana, 2010: 157). Melihat penggambaran dari beberapa sumber, terlihat bahwa upacara owasa ini memang upacara besar hingga tidak banyak masyarakat yang bisa melaksanakannya.
4.2.6
Upacara Kelahiran
Sistem religi masyarakat Nias yang di dalamnya terdapat kepercayaan terhadap roh-roh halus juga terlihat pada upacara adat kelahiran yang digambarkan dalam novel Manusia Langit. Pada bagian awal cerita, Ama Budi sempat bercerita tentang proses kelahirannya dulu. Proses kelahiran yang diceritakan oleh Ama Budi digambarkan sangat terkait dengan bantuan roh leluhur yang dinamai Lowalani oleh masyarakat. Ama Budi bercerita bahwa saat dilahirkan, inang dari Ama Budi sedang berada di sebuah gubuk di tengah ladang. Saat inang Ama Budi melahirkan inilah kemudian inang Ama Budi meminta tolong kepada roh leluhur agar memudahkan jalan napas Ama Budi. Penggambaran ini terlihat dari kutipan berikut ini. “Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada , penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar-menyambar di langit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama.” (hlm. 18).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam proses kelahiran, peranan dari Lowalani sebagai roh leluhur sangatlah penting. Untuk itu, doa yang ditujukan Universitas Indonesia
80
kepada Lowalani perlu dipanjatkan agar bayi yang dilahirkan selamat serta dijauhkan dari roh-roh jahat. Setelah berlangsungnya proses kelahiran, perlu diadakan beberapa tahapan dalam upacara kelahiran. Dalam novel Manusia Langit ini, tahapan dalam upacara kelahiran masyarakat Nias tergambar pada bab “Air dan Batu”. Pada bab ini, terdapat cerita mengenai hubungan antara batu-batu peninggalan masa megalitikum dengan siklus hidup masyarakat Banuaha. Salah satu siklus hidup yang digambarkan adalah upacara kelahiran, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini. “Ketika seorang bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 9-12 ekor babi dikorbankan.” (hlm. 96).
Pendirian menhir sebagai tanda adanya kelahiran juga menunjukkan adanya penghormatan terhadap leluhur karena batu bagi masyarakat Banuaha dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur. Setelah pendirian menhir saat bayi dilahirkan, tahapan upacara kelahiran di Banuaha yang tergambar dalam Manusia Langit berlanjut kepada upacara menginjak batu, disunat, dan akhirnya melakukan upacara owasa saat beranjak dewasa. Tahapan upacara tersebut terlihat dari kutipan berikut ini.
“Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes pada batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah meyatu dengan batu dan bumi.” “Ketika si anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakanpesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dukukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya.” (hlm. 96).
Penggambaran tahapan upacara kelahiran di atas menunjukkan bahwa dalam setiap perkembangan anak tersebut, perlu dilakukan upacara-upacara sebagai Universitas Indonesia
81
ungkapan rasa syukur terhadap roh-roh leluhur mereka. Dengan melakukan dan mengikuti berbagai tahapan upacara ini, diharapkan nantinya sang anak akan tumbuh di bawah lindungan roh leluhur mereka. Upacara kelahiran yang digambarkan oleh Sonjaya dalam Manusia Langit berbeda dengan tahapan upacara kelahiran yang dituliskan dalam Wiradnyana (2010: 152). Upacara kelahiran yang digambarkan dalam Wiradnyana (2010:152) terdiri dari lima tahapan. Tahapan yang pertama adalah ketika melahirkan anak pertama, ayah si anak harus pergi ke rumah mertua untuk memberi kabar kelahiran. Sepulangnya dari rumah mertua, ia akan dibekali dengan anak babi, padi atau beras, dan lain-lain. Mertua dari ayah si anak juga harus menyelenggarakan pesta dengan memotong babi saat upacara pemberitahuan ini terjadi. Tahapan kedua dalam upacara kelahiran adalah dengan memberi nama kepada anak setelah anak tersebut berumur 1-2 bulan. Pada kegiatan ini juga dilakukan pemotongan seekor babi untuk pesta. Selanjutnya, orang tua anak memberikan persembahan kepada leluhur melalui ere atau pendeta dengan harapan si anak akan diberikan kesehatan oleh roh-roh leluhur. Tahapan keempat upacara kelahiran dilakukan dengan memanggil ere atau pendeta itu ke rumah untuk membacakan doa. Ketika pulang, ere atau pendeta itu akan diberi emas atau perak oleh orang tua si anak. Tahap terakhir dalam upacara kelahiran di Nias dilakukan dengan membayar jujuran kepada mertua saat anak itu berusia 3 bulan. Dari penggambaran upacara kelahiran dalam Legitimasi Kekuasaan di Nias terlihat bahwa di dalam Manusia Langit, tidak semua tahapan upacara kelahiran ditampilkan. Paling tidak, pemotongan babi dalam setiap upacara atau pesta yang diadakan tetap tergambar dalam cerita.
4.2.7
Upacara Pernikahan
Saat dewasa, setiap masyarakat Nias akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan sebagai salah satu siklus hidup manusia pertama kali digambarkan di dalam novel Manusia Langit pada saat Mahendra bertanya kepada Sayani Universitas Indonesia
82
mengapa sampai sekarang Sayani belum menikah. Saat ditanya seperti itu, Sayani hanya menjawab “Aku belum punya harta yang cukup untuk membayar mas kawin.” (hlm. 68). Besarnya mas kawin yang digunakan untuk melamar calon istri di Banuaha kemudian digambarkan kembali saat setelah sepeninggal Ina Budi, Ama Budi menikah lagi dengan seorang gadis gunung. Pernikahan bagi masyarakat Banuaha dalam novel Manusia Langit merupakan sebuah ikatan kekerabatan yang harus dijaga kekuatannya dengan membayarkan mas kawin yang tinggi untuk pihak perempuannya. Penggambaran yang menunjukkan bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan kekerabatan terlihat dari kutipan di bawah ini. Simpul kekerabatan adalah pernikahan. Mas kawin yang tinggi untuk perempuan adalah salah satu aturan yang sengaja diciptakan untuk menjaga agar simpul itu tidak kendur dan lepas. Mas kawin yang harus dibayarkan seorang lelaki jika ingin menikah tentu saja tidak akan mungkin dipenuhi si lelaki seorang diri. Pekerjaannya sebagai petani tidak akan pernah cukup untuk mengadakan babi, emas, dan uang sebanyak itu. Utang itu harus dibayar jika kerabat dan saudaranya menyelenggarakan pesta (hlm. 124).
Sulitnya mengumpulkan kekayaan untuk keperluan mas kawin inilah yang membuat orang-orang seperti Sayani dan Ama Budi mengalami keraguan untuk menikah dengan perempuan di Banuaha untuk waktu dekat. Tidak hanya melalui peristiwa yang di alami tokoh-tokoh dari Nias, upacara pernikahan juga terkait dengan apa yang di alami tokoh Mahendra. Mahendra yang merupakan orang dari luar Banuaha akhirnya jatuh cinta kepada Saita, perempuan dari Banuaha. Saat itulah penjelasan mengenai syarat-syarat dan pelaksanaan upacara pernikahan digambarkan.
“Di Banuaha perempuan itu dibeli. Di sini ada istilah bőni niha, kita harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan.” […] “Pembelian perempuan bisa dilakukan sejak perempuan itumasih kecil dengan membayar 2/3-nya dulu,” jelas Ama Budi. “Itu kami sebut solayairaono atau kawin gantung.” Universitas Indonesia
83 “Hah, usia berapa?” “Setelah dibayar 2/3-nya, anak perempuan itu dibawa ke rumah pihak lakilaki, yang kelak jika sudah dewasa akan dikawin.” (hlm. 140).
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa dalam masyarakat Banuaha, terjadi sistem kontrak. Kontrak ini dimaksudkan untuk mengikat hubungan dengan calon pengantin perempuan hingga pembayaran lunas dan bisa dinikahkan. Perhitungan pembelian perempuan yang dinamakan bőni niha juga dijelaskan oleh Ama Budi kepada Mahendra. Perhitungan bőni niha dilakukan menggunakan pucuk daun kelapa yang sudah mengering sebagai pengganti babi yang akan dikeluarkan. Biaya pertama yang harus dikeluarkan adalah biaya pertunangan yang dinamakan bobojiraha. Biaya pertunangan yang harus diberikan kepada orang tua perempuan adalah enam batu atau 6x5 alisi babi, kira-kira 12 ekor babi berukuran tanggung. Alisi adalah ukuran untuk babi, berupa rotan yang dilingkarkan pada bahu babi. Selain babi, orang tua perempuan juga mendapatkan gari/ balőja’a (emas) sebanyak 60 ketip. (hlm. 141-142) Dalam biaya pertunangan ini, tidak hanya orang tua perempuan yang mendapatkan penghargaan. Anak laki-laki pertama, nenek, kakek, orang-orang kampung, perantara dalam pernikahan, saudara perempuan, paman dan nenek dari pihak perempuan, bahkan istri kedua ayah dari pihak perempuan juga diberi penghargaan. Bőli niha untuk mereka digambarkan dalam Manusia Langit melalui kutipan berikut ini. “Berikutnya untuk anak laki-laki pertama, namanya ono zebu ono sia’a sebanyak 3x5 alisi babi.” […] “Berikutnya untuk ono zebua ono tatalu sebanyak 2x5 alisi babi. Ono zebua 3x5 alisi babi. Ayagawe atau untuk nenek sebanyak 8 alisi babi. Ayacua atau untuk kakek sebanyak 3x5 alisi babi. Bawi wanőrő atau babi yang dibawa ketika menengok calon pengantin perempuan sebanyak 5 alisi babi. Tali gerua atau istri kedua sang ayah perempuan diberi 8 alisi babi. […] “Selanjutnya nifugő atau harga kain untuk perempuan sebanyak 5 alisi babi.” Universitas Indonesia
84 “Nah, untuk tidur dengan calon istri untuk pertama kali, kamu harus membayar fosiawő, jumlahnya 8 alisi babi. […] “Folokhőmbalőnora atau bayaran untuk memegang buah dada pengantin perempuan sebanyak 8 alisi babi.” […] “Bahasa halusnya labuső atau ganti badan berupa babi utuh sebanyak 10 alisi dan tambali Labuső atau ganti badan untuk ibu sebanyak 8 alisi babi.” […] “Yang ini pemberian untuk orang-orang kampung, aya mbanua, sebanyak 5 alisi babi. […] Maso-maso,yaitu saudara ibu perempuan (paman) termasuk nenek dari pihak perempuan, pun harus diberi, masing-masing sebanyak 6x5 alisi. Hie dődő/ tahowu, yaitu sepupu masing-masing diberi 3x5 alisi babi.[…]” (hlm. 142-145).
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa perempuan di Banuaha dihargai sangat tinggi. Selain membayar perempuan dan seluruh anggota keluarganya, proses ketika mengunjungi rumah perempuan dan biaya kain yang dipakai oleh perempuan juga harus dibayar oleh pihak laki-laki. Penjelasan panjang lebar yang diberikan Ama Budi kepada Mahendra ini membuat Mahendra memikirkan harga yang harus ia bayar jika ingin menikah dengan Saita. Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa untuk menikahi Saita, ia harus membayar 56 ekor babi, 10 paung emas, dan 300 kg beras. Syarat ini menjadi sulit karena Mahendra bukanlah orang Banuaha sehingga akan sulit mendapatkan pinjaman babi dari masyarakat Banuaha lainnya. Setelah menjelaskan upacara pertunangan, upacara pernikahan dalam masyarakat Banuaha digambarkan ketika Saita, perempuan yang disukai Mahendra akhirnya dinikahkan dengan Arafősi. Proses pernikahan Saita dalam Manusia Langit dimulai dengan arak-arakan pengantin laki-laki saat menunju rumah Saita yang diiringi dengan suara gong bertalu-talu. Sesampainya di rumah pengantin perempuan, diadakan kembali pembicaraan adat yang dilakukan dengan berbalas pantun sambil diselingi dengan tarian famolaya (tari elang). Setelah pembicaraan yang berlangsung selama 1-2 jam itu selesai, Saita Universitas Indonesia
85
dikeluarkan dari rumah untuk selanjutnya dibawa ke rumah pengantin laki-laki, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini. “Setelah pembicaraan antarpihak selesai, Saita diekeluarkan dari rumah. Ia mengenakan pakaian adat dengan dominasi warna merah, kuning, dan hitam. Sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya; mahkota yang diperolehnya secara turun-temurun dari para leluhur. Saita tampak begitu cantik. Ia berjalan dipapah para kerabat perempuan untuk dipertemukan dengan pengantin laki-laki yang telah menunggunya di halaman (hlm. 160-161).
Setelah sampai di luar, muda-mudi lainnya menyambut dengan tarian maena dan nyanyian-nyanyian. Tari maena yang ditampilkan ini memiliki lirik yang unik, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Liriknya itu berisi minta sumbangan kepada hadirin, baik dalam bentuk uang maupun barang. Hadirin banyak yang memberi, mulai dari seribu rupiah hingga sepuluh ribu rupiah. Setiap orang yang hadir di situ yang dipanggil namanya dalam nyanyian harus maju ke depan sambil menari dan memberikan sumbangan.” (hlm. 162).
Lirik dalam lagu yang mengiringi tari maena ini menunjukkan bahwa tarian tersebut dilakukan untuk meminta sumbangan dari para tamu yang datang. Sumbangan yang diberikan melalui tarian maena ini merupakan sumbangan awal sebelum sumbangan yang sesungguhnya diberikan saat pesta di rumah pengantin laki-laki diadakan. Setelah diberi faotu atau pengarahan dan pesan terakhir, Saita dibawa ke rumah pengantin laki-laki. Ketika sampai di rumah pengantin laki-laki, Saita kemudian disambut oleh keluarga laki-laki tersebut dengan pemotongan babi untuk dijadikan korban dalam upacara pernikahan tersebut. Kejadian ini terlihat dari kutipan beikut. “Di halaman, suara babi sudah makin banyak yang dipersembahkan oleh kerabat pengantin laki-laki yang datang untuk mengucapkan selamat. Babibabi itu ditarik ke lapangan penjagalan. Setiap keluarga berhak menjagal satu babi. Keluarga yang paling terhormat mendapat bagian untuk mengeksekusi babi yang paling besar. Binatang malang itu ditarik oleh lima orang. Tanpa Universitas Indonesia
86 sepengetahuannya, sebilah ono nekhe menghunjam tepat pada jantungnya yang tersembunyi dibalik ketiak kaki depan. Darah menyembur dari luka itu, juga dari mulu disertai lolongan menyayat hati. Si babi tertatih-tatih sebentar, lalu menggelepar. Satu telah mati, giliran babi lainnya menyusul ditarik ke arena. Babi kedua dan seterusnya tampak panik, mungkin karena sudah mencium bau darah dan ancaman kematian. Tepat! Mereka pun akhirnya mati, menjadi korban upacara perkawinan.” (hlm.164).
Pemotongan babi seperti yang digambarkan dalam Manusia Langit tersebut selain untuk menjamu tamu pada pesta pernikahan, digunakan untuk menunjukkan status sosial setiap kerabat. Semakin tinggi derajat dan statusnya dalam masyarakat, maka akan semakin besar ukuran babi yang akan dipotong oleh keluarga tersebut. Proses upacara pernikahan yang digambarkan Sonjaya dalam Manusia Langit ini sama dengan upacara pernikahan masyarakat Nias yang digambarkan dalam beberapa buku mengenai kehidupan masyarakat Nias. Dalam Sonjaya (2008: 110-116), dijelaskan pula tahapan pernikahan mulai dari upacara lamaran, perhitungan boli niha, hingga upacara di hari pernikahan. Berikut ini adalah kutipan penggambaran upacara pernikahan yang terdapat dalam Sonjaya (2008:110).
“Setibanya di halaman, pengantin pria disambut oleh wakil keluarga pengantin perempuan. Lalu terjadi pembicaraan dalam bentuk sambutansambutan. Sambutan oleh kaum perempuan diawali oleh tarian famolaya (tari elang) lalu dikumandangkanlah semacam pantunyang harus dibalas pula dengan pantun oleh pihak pengantin laki-laki.” “Setelah pemicaraan antarpihak selesai, barulah pengantin perempuan dikeluarkan dari rumah.[…]” (Sonjaya, 2008: 110).
Kutipan dari buku Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias tersebut menunjukkan bahwa penggambaran upacara pernikahan yang disampaikan oleh Sonjaya dalam Manusia Langit didasarkan atas hasil penelitiannya selama berada di Nias. Namun, bila dibandingkan dengan beberapa sumber lainnya, ada tahapan upacara pernikahan yang tidak digambarkan oleh Sonjaya dalam Manusia Langit. Universitas Indonesia
87
Dalam Wiradnyana (2010: 155) dan dalam Laiya (1983: 47) terdapat tahapan lain dalam upacara pernikahan di Nias, yaitu tahap berkunjung ke rumah orang tua pengantin perempuan. Di dalam Wiradnyana (2010: 155), upacara menjenguk orang tua ini dinamakan famuli nucha sedangkan dalam Laiya (1983: 47), upacara ini dinamakan manőrő. “Pada waktu manőrő ini, kedua pengantin akan membawa makanan dan teman pengiring. Setelah selesai manőrő, maka kedua pengantin mulai memikirkan rencana-rencana masa depan mereka, bagaimana supaya mereka bisa berdiri sendiri.” (Laiya, 1983: 47).
Upacara mengunjungi orang tua inilah yang tidak ditampilkan Sonjaya dalam novel Manusia Langit. Konflik yang muncul pada upacara pernikahan Saita dalam Manusia Langit ini mungkin membuat bagian upacara mengunjungi orang tua menjadi tidak memungkinkan untuk masuk ke dalam cerita.
4.2.8
Upacara Kematian
Upacara kematian merupakan upacara terakhir dalam siklus hidup seseorang. Dalam novel Manusia Langit ini upacara kematian digambarkan ketika Ina Budi, ibu dari Sayani meninggal dunia. Pada awalnya, Ama Budi dan Sayani mempercayai meninggalnya Ina Budi diakibatkan serangan tesafo, seperti yang terlihat dalam kutipan “Ina Budi kena tesafo!” kata Ama Budi panik. “Cepat panggil Pak Lektor kemari, kita perlu doa, kita perlu mengusir roh itu!” (hlm.112). Sayani yang tidak menerima kematian mendadak ibunya mulai menyalahkan Mahendra karena telah mengajak ayahnya berbincang mengenai leluhur tanpa melakukan upacara sebelumnya. Ama Budi yang pada awalnya mengatakan Ina Budi terkena tesafo
kemudian menenangkan Sayani dan menjelaskan bahwa
meninggalnya Ina Budi bukan karena tesafo melainkan karena gangguan pernapasan. Upacara kematian yang dilaksanakan saat kematian Ina Budi sudah terpengaruh oleh masuknya agama Kristen di Banuaha. Jenazah Ina Budi Universitas Indonesia
88
dimasukkan ke dalam peti mati dan dikubur dengan tata cara pemakaman dalam agama Kristen. Saat pemakaman, Bang Budi, kakak dari Sayani bercerita bahwa dulu cara pemakaman masyarakat Banuaha tidak seperti itu. Jenazah dari orang yang meninggal didiamkan hingga membusuk dan tinggal tengkorak. Tengkorak itu nantinya akan diletakkan di dalam bekhu atau menhir. Upacara kematian yang dulu dijalankan oleh masyarakat Banuaha ini digambarkan dalam kutipan berikut ini.
“Waktu dulu, jika ada orang yang meninggal, kami meletakkan jenazahnya di depan rumah, di atas dipan dari bambu. Kami biarkan selama berbulanbulan hingga dagingnya luruh. Setelah tinggal tulang-belulang, maka kami menaruh tengkoraknya di atas piring dan meletakkannya di bawah awina.” (hlm. 118-119).
Awina yang disebut dalam kutipan tersebut adalah dolmen atau meja yang terbuat dari batu yang biasanya terdapat di depan rumah warga Banuaha. Keberadaan awina ini digunakan masyarakat Banuaha sebagai wadah kubur atau wadah tempat menaruh tengkorak jenazah. Sementara itu, dalam upacara kematian. Disiapkan pula puluhan babi serta sebuah patung kayu untuk menghormati orang yang sudah mati itu.
“Setelah kami siap dengan puluhan babi, kami membuat patung dari kayu dan membuat upacara memanggilo roh si mati agar mau sesekali kembali pada patung itu, saat kami membutuhkan bantuan mereka.” (hlm. 119).
Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa roh orang yang sudah mati dalam masyarakat Banuaha dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dan memiliki peranan dalam kehidupan. Untuk itulah mereka meletakkan tengkoraknya di atas bekhu dan di bawah awina. Selain itu, masyarakatnya juga membuat patung dari kayu sebagai penghormatan kepada roh orang yang sudah meninggal tersebut. Universitas Indonesia
89
Seperti yang terlihat dari kutipan di atas, dengan membuat patung, diharapkan roh orang yang sudah meninggal itu sewaktu-waktu dapat datang untuk membantu masyarakat. Penggambaran upacara kematian yang ada dalam novel Manusia Langit juga ditemukan dalam Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias dan dalam Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia. Dalam Wiradnyana (2010: 155), dijelaskan bahwa mayat tersebut diletakkan di depan rumah hingga habis karena membusuk. Setelah daging pada mayat habis, kepala mayat diambil dan dibersihkan dengan minyak kelapa untuk kemudian ditanam di bawah behu yang dipasang bersamaan dengan awina. Muka tengkorak saat diletakkan di atas behu dihadapkan ke arah rumah dan di antara tengkoraknya diletakkan pula binu (kepala manusia yang dipenggal untuk dijadikan tumbal). Dalam Laiya (1983: 56), upacara penguburan zaman lampau yang berlaku di Nias disebut sebagai famaoso dola yang berarti pengangkatan tulang-tulang kembali. Dalam upacara ini, kepala yang didapat dari hasil perburuan kepala diletakkan di atas kuburan bangsawan karena dianggap akan membuat orang yang sudah mati itu dapat hidup dan terlahir kembali. Bila melihat perbandingan upacara kematian yang digambarkan dalam Manusia Langit dengan upacara kematian dalam dua buku sumber lain yang telah disebutkan di atas, terlihat adanya sebuah perbedaan. Ada sebuah bagian dari upacara kematian yang tidak tergambar dalam Manusia Langit, yaitu bagian peletakkan kepala hasil perburuan di antara tengkorak orang yang sudah mati. Dalam kedua sumber lain, peletakkan kepala hasil perburuan digambarkan dan dijelaskan maksudnya untuk menjadi pelayan atau pembantu sekaligus penjaga orang yang sudah mati itu sebelum ia hidup dan terlahir kembali. Dalam setiap upacara adat yang berlaku dalam masyarakat Banuaha di dalam novel Manusia Langit, terlihat bahwa pemotongan babi selalu ada sebagai simbol yang menunjukkan status sosial orang yang menyelenggarakan upacara adat. Namun, tidak hanya itu, babi merupakan hewan yang terkait dengan leluhur
Universitas Indonesia
90
mereka. Dalam Laiya (1983: 25), disebutkan bahwa masyarakat Nias mempercayai manusia adalah “babi dewa-dewa (illah)”. “Orang Nias mempercayai bahwa manusia itu hanyalah sebagai ciptaan biasa dari dewadewa, sebagian dari ciptaan lainnya. Manusia itu adalah “babi dewa-dewa (illah)”. Bila dewa berselera memakan daging :babi” (dalam hal ini “babi” adalah manusia) maka secara bebas dewa mengambil dan membunuh satu atau lebih “babi”nya. Itulah maka “babi” merupakan unsur penting dalam kebudayaan Nias.” (Laiya, 1983: 25).
Dengan demikian, Penggunaan babi dalam setiap upacara adat Nias dimaksudkan untuk menggantikan “babi” atau manusia untuk dipersembahkan kepada dewa mereka.
4.3 Dinamika Kehidupan Masyarakat Nias Setelah Masuknya Agama Kristen. Sistem religi dan kepercayaan masyarakat Banuaha yang digambarkan dalam novel tidak hanya sistem religi dan kepercayaan pada masa lampau. Sejak masuknya agama ke dalam Banuaha, terjadi dinamika dalam kehidupan masyarakat. Banyak kepercayaan masyarakat Banuaha yang mulai berubah menjadi lebih sesuai dengan ajaran agama dan aturan-aturan dari gereja. Beberapa kepercayaan masyarakat Banuaha yang berubah sesuai dengan ajaran gereja dan aturan agama, antara lain berubahnya definisi Lowalani, hilangnya tradisi perburuan kepala, berubahnya nama penghitungan harta dalam upacara pernikahan, serta berubahnya tata cara upacara kematian yang berhubungan dengan berubahnya fungsi bangunan batu. Masuknya agama Kristen atau Katolik di Banuaha dalam Manusia Langit juga dijelaskan dalam Laiya (1983: 27), seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Misionaris Jerman pertama yang mendarat di Gunung Sitoli adalah pendeta L. Denninger. Misionaris lainnya menyusul kemudian.” (Laiya, 1983: 27)
Universitas Indonesia
91
Dalam Manusia Langit dijelaskan pula bahwa perubahan agama dalam masyarakat berpengaruh terhadap sikap masyarakat tersebut terhadap kebudayaan atau tradisi yang sudah mereka jalankan selama ini. Hal inilah yang juga terlihat oleh penulis dalam novel Manusia Langit. Pengarang tidak hanya menunjukkan sistem religi atau kepercayaan masyarakat Nias. Pengarang juga menggambarkan dinamika kehidupan masyarakat Nias setelah masuknya agama Kristen dalam kehidupan mereka. Dalam masyarakat Banuaha zaman dulu, Lowalani dianggap sebagai roh leluhur penguasa langit dan bumi hingga tak ada lagi kekuatan yang besar selain kekuatannya. Kepercayaan masyarakat Banuaha kepada Lowalani ini terlihat ketika Inang Ama Budi melahirkan Ama Budi. Saat melahirkan Ama Budi, nenek Sayani ini meminta pertolongan kepada Lowalani, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini. “Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada Lowalani, penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar-menyambar di langit.” (hlm. 18).
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa pada masa itu, masyarakat Banuaha mempercayai Lowalani sebagai roh leluhur penguasa langit dan bumi. Setelah masuknya agama Kristen ke dalam Nias, pengertian Lowalani bukan lagi sebagai dewa yang paling berkuasa melainkan sebagai pencipta dunia. Penjelasan mengenai perubahan pengertian Lowalani dalam masyarakat Nias ini dapat dilihat dalam Laiya (1983: 23). Istilah Lowalani sebenarya memang sudah ada dalam kehidupan masyarakat Nias. Istilah ini kemudian digunakan oleh para misionaris untuk menyamakan konsep Allah yang ada dalam agama Kristen. Dengan masuknya atau membaurnya agama Kristen dalam kehidupan mereka, penggunaan istilah Lowalani menjadi sedikit berubah. Lowalani yang pada awalnya dipercaya sebagai dewa yang amat berkuasa berubah menjadi Allah yang tinggi atau pencipta dunia (Laiya (1983:23). Universitas Indonesia
92
Masuknya agama Kristen di Banuaha juga berpengaruh pada tradisi perburuan kepala yang ada dalam masyarakat Banuaha. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian tradisi perburuan kepala, keluarga Pak Nai Laiya masih memiliki dendam berupa hutang kepala atas keluarga Ama Budi. Namun, tokoh Sayani kemudian menjelaskan bahwa setelah masuknya agama Kristen beserta aturan-aturan gereja yang diberlakukan dalam kampung Banuaha, tradisi perburuan atau pemenggalan kepala tidak lagi dilakukan masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari dialog yang diucapkan Sayani dalam kutipan berikut ini. “Tenang saja, Bang, tidak boleh ada rasa takut kalau kita benar!” Sayani mengepalkan tangannya. “Lagi pula sekarang penggal-memenggal kepala sudah jarang, sudah ada gereja. Pendeta melarang kami penggal-penggal kepala lagi. Jadi sekarang ada hukum adat dan hukum gereja yang mengatur kami, juga hukum pemerintah. Orang yang membunuh karena dendam tidak akan pernah sampai ke surge, tidak akan pernah sampai ke langit.” (hlm. 78).
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa setelah masuknya agama Kristen dalam masyarakat Banuaha, masyarakat mulai mengerti mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang tidak baik. Masyarakat tidak lagi menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah mengingat dalam kehidupannya sudah ada aturan baru yang mengikat. Pemenggalan kepala ini dulu juga biasa terjadi pada saat upacara pembangunan rumah adat. Untuk menunjukkan status sosial pemilik rumah, seorang budak juga digulingkan dari atap. Selanjutnya, kepala budak itu disembelih dan disimpan di atas rumah. Namun, pada masa sekarang, setelah masuknya agama dalam kampung Banuaha., kejadian ini sudah tidak pernah ada lagi. Satu lagi pengaruh agama Kristen yang ditampilkan pengarang dalam Manusia Langit. Dalam upacara pernikahan yang digambarkan dalam Manusia Langit¸ terdapat istilah bőli niha yaitu keseluruhan jumlah harta yang diberikan kepada pihak perempuan. Setelah masuknya agama Kristen, istilah bőli niha berubah menjadi jujuran yang dalam bahasa Indonesia berarti mas kawin. Pada dasarnya, Universitas Indonesia
93
apa yang menjadi inti dari prosesi ini adalah sama, hanya namanya saja yang diubah sesuai agar lebih halus pemaknaannya. Perubahan nama ini dijelaskan dalam Sonjaya (2008: 117), seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
Pihak gereja tampaknya sangat prihatin dengan tradisi membeli perempuan di Nias. Hal pertama yang mereka lakukan adalah mengganti istilah boli niha, yang katanya tidak manusiawi, dengan kata jujuran (mas kawin) (Sonjaya, 2008: 1117).
Selanjutnya, masuknya agama Kristen berpengaruh pada pembayaran jujuran yang dikeluarkan pihak laki-laki. Jujuran pada masa sekarang juga memasukkan pembayaran untuk pengurus agama yang ikut membantu proses pernikahan. Jujuran yang digambarkan dalam Manusia Langit adalah jujuran versi gereja yang berlaku di Nias karena telah memasukkan pengurus agama dalam perhitungannya.
Universitas Indonesia
BAB 5 KESIMPULAN
Novel Manusia Langit merupakan sebuah novel yang memuat beberapa sisi kehidupan masyarakat Banuaha sebagai bagian dari masyarakat Nias. Sistem religi yang merupakan dasar masyarakat dalam melakukan aktivitas terlihat dari adanya penggambaran keyakinan yang dijalankan oleh masyarakatnya. Di dalam novel ini, adanya keyakinan dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Banuaha terhadap leluhur dan asal-usul leluhur mereka, kepercayaan terhadap roh-roh halus, kepercayaan terhadap tradisi dan mitos-mitos yang berlaku dalam masyarakat, serta pelaksanaan upacara-upacara adat. Masyarakat Banuaha yang digambarkan dalam Manusia Langit ini memiliki kepercayaan bahwa leluhur mereka yang disebut Lowalani merupakan manusia yang diturunkan dari langit. Oleh karena itu, leluhur mereka ini disebut sebagai “Manusia Langit”. Untuk menghormati leluhur, masyarakat Banuaha dalam Manusia Langit ini mendirikan bekhu atau menhir sebagai tempat penghormatan. Dalam menyebut nama leluhur, masyarakat Banuaha juga mengikuti aturan-aturan yang sudah disepakati dalam adat karena jika melanggar, hal buruk akan terjadi pada diri mereka. Selain kepercayaan terhadap leluhur, masyarakat Banuaha dalam Manusia Langit ini juga mempercayai adanya roh-roh halus dalam kehidupan mereka, seperti roh pemakan bayi dan tesafo. Roh pemakan bayi dipercaya sebagai roh yang suka memakan bayi-bayi masyarakat Banuaha setelah dilahirkan. Meskipun berita roh pemakan bayi ini sudah berkembang dalam masyarakat Nias di dalam novel, pada akhirnya ditemukan kenyataan bahwa roh pemakan bayi tersebut hanyalah mitos yang diciptakan oleh masyarakatnya sendiri sebagai pembelaan atas tindak kejahatan yang mereka lakukan. Sama seperti dalam kepercayaan mereka terhadap leluhur, penyebutan leluhur dengan sembarangan menjadi salah satu penyebab seseorang terserang tesafo. 94
Universitas Indonesia
95 Tidak hanya terhadap mitos, masyarakat Nias pada masa lampau mempercayai adanya tradisi perburuan kepala. Tradisi ini bisa terjadi karena penyelesaian masalah dilakukan tanpa bermusyawarah, hanya mengandalkan kekerasan. Namun, sekarang ini tradisi perburuan kepala dalam masyarakat Banuaha digambarkan sudah tidak terjadi lagi setelah masuknya agama Kristen dalam kehidupan mereka. Dalam menjalankan kehidupannya, masyarakat Nias dalam Manusia Langit juga melakukan serangkaian upacara adat. Upacara adat yang digambarkan dalam Manusia Langit antara lain upacara pembangunan rumah adat, upacara pengangkatan pemimpin adat, upacara kelahiran, upacara pernikahan, dan upacara kematian. Dalam setiap upacara adat ini, masyarakat Banuaha pasti melakukan pemotongan babi. Selain untuk menunjukkan status sosial dan mendapat penghargaan tinggi dari masyarakat, babi digunakan sebagai simbol penghormatan dan pengorbanan manusia terhadap leluhur mereka. Semua penggambaran sistem religi atau kepercayaan masyarakat Nias dapat terlukis dengan baik melalui penggambaran latar yang konkret dalam cerita. Masing-masing latar yang ditampilkan memiliki fungsinya masing-masing. Latar Yogyakarta berfungsi sebagai titik awal tokoh sebagai seorang peneliti hingga bisa sampai ke Banuaha, sedangkan latar Nias berfungsi sebagai latar utama yang menunjukkan sistem religi masyarakat Nias di dalam novel Manusia Langit ini. Selain latar, sistem religi masyarakat Nias terungkap melalui penciptaan tokohtokoh di dalamnya. Tokoh dari Nias seperti Ama Budi, Sayani, dan Saita dimunculkan sebagai informan untuk tokoh Mahendra yang berasal dari Yogyakarta dalam meneliti kehidupan masyarakat Nias di Banuaha. Untuk dapat memunculkan sistem religi masyarakat Nias dengan baik, pengarang kemudian menciptakan kisah petualangan menegangkan dan kisah percintaan dalam alur cerita. Dengan penciptaan kisah yang menarik ini, maka sistem religi masyarakat Nias dalam Manusia Langit dapat hadir mengalir tanpa menimbulkan kebosanan bagi pembaca. Sebagai seorang peneliti yang pernah meneliti di Nias, pengarang terlihat menunjukkan sikap dan kritiknya melalui tokoh Mahendra. Penulis mengatakan demikian karena tokoh Mahendra yang merupakan seorang pengajar sekaligus peneliti yang melakukan penelitian di Nias sama dengan keseharian pengarang Universitas Indonesia
96 sebagai seorang pengajar sekaligus arkeolog. Dalam wawancara yang dilakukan dengan pengarang, ia juga mengakui bahwa sebagian besar cerita dalam novel ini merupakan kisah nyata yang didasarkan atas penelitiannya selama berada di Nias. J.A. Sonjaya sebagai pengarang tidak hanya mengungkpakan sistem religi masyarakat Nias. Dia mencoba menghubungkan sistem religi masyarakat Nias dengan kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Tokoh Mahendra dalam Manusia Langit menyampaikan kritik terhadap kehidupan di kota dengan membandingkannya dengan kepercayaan masyarakat Nias ketika tokoh Ama Budi bercerita mengenai “Manusia Langit” yang dipercaya sebagai leluhur mereka. Ungkapan “Manusia Langit” digunakan oleh Mahendra untuk menunjukkan keegosian orang-orang di kota yang selalu menyamaratakan keadaan. Padahal, kehidupan masyarakat di daerah-daerah terpencil masih sangat jauh tertinggal jika dipaksa mengikuti aturan-aturan yang mereka buat. Pengarang juga seperti memberikan kritiknya terhadap proses pemerolehan gelar sarjana saat dimunculkannya kisah mengenai pemilihan pemimpin adat. Ternyata, proses keduanya sama-sama membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Semuanya dikeluarkan demi mendapatkan status dalam masyarakat. Novel Manusia Langit yang ditulis oleh J.A. Sonjaya ini selain dibuat sebagai sebuah karya sastra fiksi, juga bisa disebut sebagai rujukan bagi kehidupan dan sistem religi yang dianut masyarakat Nias. Novel Manusia Langit ini bisa dikatakan sebagai sebuah rujukan karena kisah yang ada di dalamnya bernilai informatif. Nilai informatif ini ditemukan setelah mencocokkan apa yang diceritakan dalam Manusia Langit dengan beberapa sumber yang menggambarkan kehidupan masyarakat Nias.
Universitas Indonesia
97
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. 2005. Informasi Pariwisata Nusantara. Jakarta: Departemen Jenderal Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. —. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Aksara Baru. Laiya, Bambowo. 1983. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias—Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mahayana, Maman, S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977/1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Balai Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme
hingga
Poststrukturalime
Perspektif
Wacana
Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Sosiologi Kelompok. Bandung: Penerbit Karya CV Bandung. Sonjaya, Jajang A. 2008. Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias. Yogyakarta: Kanisius.
Universitas Indonesia
98
—. 2010. Manusia Langit. Jakarta. Kompas. Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. —. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Waluyo, Herman J. 1994.Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wiradnyana, Ketut. 2010. Legitimasi Kekuasaan pada Budaya Nias. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara. 1992. Profil Propinsi Republik Indonesia Sumatera Utara. Jakarta: Majalah TELSTRA Strategic Review dan PT Intermasa.
Daftar sumber dari internet: Sonjaya, Jajang A. 2008. Orang Nias – Mereka Memburu Kepala untuk Bekal Kubur, http://jasonjaya.blogspot.com/2008_04_17_archive.html.
Universitas Indonesia
Lampiran 1 Wawancara tanggal 27 April 2011 Penulis : Selamat malam, Pak. Pertama-tama, untuk mengetahui riwayat hidup bapak, apa boleh saya meminta CV bapak untuk dikirimkan ke email saya,
[email protected]? J.A. Sonjaya
: Sudah saya attch dalam email ini.
Penulis
: Apa saja kegiatan yang sedang Bapak jalani akhir-akhir ini?
J.A. Sonjaya
: Pekerjaan utama saya mengajar di Jurusan Arkeologi UGM, jadi peneliti di PSAP UGM, dan menjalankan bisnis bambu agar dapur di rumah tetap beasap ;) serta jadi anggota dewan pertimbangan sebuah NGO di Makassar. Jadi keseharian saya mengurus itu, plus sekali-sekali menyelam.
Penulis
: Bagaimana bapak memulai karier sebagai penulis buku dan Novel?
J.A. Sonjaya
: Saya bosan dan resah karena setiap hasil penelitian akademisi hanya berakhir di rak buku atau meja sebagai laporan. Yang baca sangat terbatas. Saya ingin hasil penelitian akademisi bisa dibaca banyak orang agar lebih banyak orang bisa belajar tentang hidup ini. Mengingat saya arkeolog, saya mencoba mengangkat sisi kehidupan yang terkait dengan dunia arkeologi dan etnografi.
Penulis
: Apakah yang membuat Bapak kemudian tertarik untuk menulis sebuah novel sebagai buku Bapak yang keempat?
J.A. Sonjaya
: Sebab saya suka menulis, detilnya seperti jawaban nomor dua di atas.
Penulis
: Mengapa Bapak mengambil latar kehidupan masyarakat Nias sebagai tema dalam novel Bapak yang berjudul Manusia Langit?
J.A. Sonjaya : Sebab saya tertarik dengan nias sejak 1995 lalu, dan baru kesampaian ke sana tahun 2005, ketika saya ada kesempatan membimbing mahasiswa S-2 Antropologi melakukan penelitian di Nias utk tesisnya. Kebetulan di sana ada mitos asal usul manusia yang berasal dari langit. Mitos itu klop dengan ide saya tentang Universitas Indonesia
(Lanjutan) orang-orang kampus yang mestinya membumi. Jadi saya mencoba menulis kedua dunia itu dalam perspektif antarbudaya yang reflektif dan intersubjektif (subjektivitas kita diletakkan pada subjektivitas orang lain). Ini pendekatan baru dalam antropologi dan penting utk bangsa ini yang multikultural. Sayangnya, belum banyak pembaca yang bisa memahami perspektif ini. Semoga aja karena baru, bukan karena saya gagal menulis. Penulis
: Apa topik yang menurut Bapak sendiri paling menonjol dalam novel "Manusia Langit" dan mengapa Bapak menggambarkan topik tersebut secara lebih dalam?
J.A. Sonjaya : Tentang perempuan yang terbelenggu tradisi. Penulis
: Apakah tokoh Mahendra dalam novel merupakan tokoh nyata ataukah Bapak mengalami sendiri kejadian dalam novel itu?
J.A. Sonjaya : Sebagian Mahendra adalah saya (refleksi pengalaman saya), ditambah dengan pengalaman beberapa teman. Jadi tokoh mahendra bisa dikatakan karakter yang dibangun dari 4-5 tokoh yang diramu jadi satu. Kebanyakan pengalaman nyata. Penulis
: Apa pendapat Bapak mengenai sistem religi atau kepercayaan dalam setiap upacara yang masih dianut masyarakat Nias hingga sekarang?
J.A. Sonjaya : Di Nias dikenal lain kampung lain adat. Yang saya amati adalah sebuah kampung di pedalaman Nias yang dianggap sebagai tempat turunnya manusia dari langit. Di kampung itu, agama leluhur (animisme) masih mendarah daging. Kristen dan Katolik baru menyentuh kulitnya saja. Tapi kampung itu tidak bisa mewakili Nias secara keseluruhan sebab di bagian Nias lain sudah sangat maju dan banyak yang memeluk Kristen-Katholik dengan sangat taat. Tentang religi Nias sudah saya tulis dalam buku tersendiri. Judulnya Melacak Batu Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya
Universitas Indonesia
(Lanjutan) di Nias, penerbit Kanisius 2008. Coba cari di internet, sebab buku itu sudah sering ditinjau dan dibicarakan, baik di media cetak maupun online.
Wawancara tanggal 28 April 2011 Penulis
: Apakah ada niat dari Bapak untuk menulis kembali sebuah Novel? dan apakah Novel yang diangkat berkaitan dengan budaya masyarakat Indonesia?
J.A. Sonjaya : Saya lagi menulis dua novel lagi. Pertama LIYAN: berkisah ttg perjumpaan seorang pendaki dengan spiritualis Kejawen di Gunung Lawu. Ini diangkat dari penelitian juga dan sudah dibuat film dokumenter oleh TVONE dan sudah dua kali tayang. Judulnya LELAKU. Kedua, AKU INGIN TELANJANG: berkisah tentang Yasmin dan Cici, mereka ayam kampus dan pekerja seks di Jogja. Penulis
: Bagaimana tanggapan Bapak mengenai Novel yang mengangkat budaya sekelompok masyarakat yang banyak terbit dalam perkembangan novel di Indonesia?
J.A. Sonjaya : Ya, saya beberapa membaca setting etnografi utk novel atau cerpen. Hanya saja saya tidak tahu apakah mereka menulis berdasarkan observasi mendalam atau tidak. Saya merasa nikmat menulis ttg Banuaha sebab saya 5 tahun di sana (bolak-balik setiap kali dapat libur, setahun 2-3 kali). Sebaliknya saya sedikit lelah ketika menulis ttg percintaan dg Yasmin sebab itu bekan pengalaman
saya
(tidak
mengalami
langsung).
Makanya
penggambaran Nias menjadi lebih kuat.
Wawancara tanggal 8 Mei 2011 Penulis
: Bapak berapa bersaudara?
J.A. Sonjaya : Saya lima bersaudara, saya anak pertama. Penulis
: Siapa nama ayah dan nama ibu? Universitas Indonesia
(Lanjutan) J.A. Sonjaya : Dudung Masduki dan Opi Sopiah. Penulis
: Di mana Bapak dibesarkan?
J.A. Sonjaya : Di Kelurahan Purwawinangun, Kecamatan Kuningan, Kabupaten Kuningan. Penulis
: Bagaimana cara Bapak dibesarkan oleh orang tua Bapak? Apakah orang tua mengajarkan hal-hal tertentu yang sangat bapak ingat hingga saat ini?
J.A. Sonjaya : Bapak dan ibu saya mengajari saya cara-cara hidup, bukan dalam bentuk omongan. Dia menempatkan saya sebagai teman. Mengajari saya pentingnya keluarga dan silaturahmi dengan keluarga besar. Mereka tidak pernah memarahi saya kecuali jika saya tidak sholat dan ngaji. Inisiatif memilih SMP, SMA, dan perguruan tinggi murni dari saya. Mereka membebaskan saya belajar di mana pun dan bergaul dengan siapa pun. Bapak dan ibu saya tahu kalau saya suka bergaul sama anak-anak yang nakal, tapi mereka tidak pernah khawatir. "Bagaimana Jajang bisa jadi orang baik jika tidak mengenal yang jahat," begitu katanya. Ketika saya merokok waktu SMP, Bapak dan Ibu juga tidak melarang. Bapak berhenti merokok dan menunjukkan pada saya sulitnya mencari uang sebagai kondektur bis (bapak saya seumur hidupnya kerja di perusahaan bisa (sekarang di Bis Luragung Jaya). Ini cara Bapak saya menghentikan kebiasaan saya merokok. Sampai sekarang saya tidak merokok (sesekali saja jika diperlukan saat penelitian di lapangan atau kalau lagi naek gunung). Penulis
: Apakah Bapak sudah bekeluarga? Sudah memiliki berapa putra/putri?
J.A. Sonjaya : Sudah, saya menikah saat semester 5 tahun 1996 dengan teman kuliah seangkatan. namanya Nurul Jannati. Dia dan ayahnya yang menggubah hidup saya yang tadinya sangat sanguinis menjadi penuh rencana, termasuk akhirnya saya bekerja di perguruan tinggi
Universitas Indonesia
(Lanjutan) dan jadi peneliti/penulis. "Jika ingin memahami sesuatu, yang paling baik itu adalah dengan cara mengajarkannya," kata-kata itu yang bisa saya petik dari bapak mertua saya. Makanya ketika saya mengajar dan menulis, itu adalah salah satu cara saya belajar memahami sesuatu. Jika kelak ada orang lain bisa belajar dari kuliah atau tulisan saya, maka itu dampak lain saja sebagai bekal saya di akhirat nanti. Saya dikarunia anak laki-laki tahun 1998, lalu tahun 2006 saya mendapat satu anak perempuan. Perempuan kecil itu ditinggal meninggal ayahnya saat masih di kandungan. Ayahnya adalah adik kandung saya. Jadi sekarang saya ditemani dua anak. Penulis
: Bagaimana awal mula Bapak melakukan penelitian di Nias?
J.A. Sonjaya : Saya dilamar oleh mahasiswa S-2 antropologi UGM untuk menemani penelitian di Nias untuk tesisnya. kami mendapat dana dari Ford Foundation. kami mulai penelitian di sana pada Agustus 2005. Mahasiswa saya sudah selesai dan sekarang menajdi dosen di Ambon. Setelah itu saya masih terus datang ke nias setiap kali ada waktu libur dan ada uang (sudah 11 kali) masing-masing kunjungan antara 10 hari - 45 hari). Penulis
: Pengalaman apa yang paling Bapak sukai selama melakukan penelitian di Nias?
J.A. Sonjaya : Mandi di sungai. Penulis
: Pengalaman apa yang paling Bapak kurang suka selama melakukan penelitian di Nias?
J.A. Sonjaya : Di sana konflik sosialnya sangat tinggi, terutama karena status dan harga diri. Ukuran status dan harga diri di Jawa sama di sana berbeda sehingga saya selalu takut salah omong atau salah bersikap dengan mereka (moga sudah tergambarkan dalam Manusia Langit). Dekat dengan satu keluarga berarti menjadi musuh keluarga lain yang tidak suka keluarga yang saya dekati. Itu saja yang membuat saya tidak enak. Yang lainnya sangat menyenangkan. Universitas Indonesia
(Lanjutan) Penulis
: Apa impian terbesar Bapak?
J.A. Sonjaya : Mimpi besar saya bisa punya rumah di kaki gunung, kecil saja, tapi halamannya luas. Rumah itu akan saya pakai jika pensiun nanti untuk menulis, bertani, dan beternak. Penulis
: Apakah sudah tercapai?
J.A. Sonjaya : Belum.
Wawancara tanggal 9 Mei 2011 Penulis
: Di mana Bapak bersekolah SD, SMP, dan SMA? (tidak ada di CV, Pak)
J.A. Sonjaya : SDN Purwawinangun II Kuningan. SMPN 1 Kuningan, SMAN 2 Kuningan. Penulis
: Apakah Bapak mengarahkan putra dan putri Bapak untuk menjadi seorang penulis, pengajar, atau peneliti seperti orang tuanya?
J.A. Sonjaya : Saya tidak mengarahkan mereka jadi apa, tapi saya suka mengajak mereka jalan-jalan dan sesekali ikut saya ke situs atau desa. Saya hanya menekankan pada mereka untuk gemar membaca apa pun dengan cara ngajak jalan-jalan ke toko buku seyiap akhir pekan. Anak saya yang cowok pengen jadi peternak kuda. Anak saya yang cewek pengen jadi dokter dan penari. Saya akan ikuti kemauan mereka. Tapi pernah suatu ketika saya ajak Robi (anak saya yang cowok) pergi ke Dieng. Pulangnya dia menulis bagus sekali tentang Dieng. padahal waktu itu baru kelas 5 SD. Saya seneng banget.
Universitas Indonesia