UNIVERSITAS INDONESIA
METAFORA SUFISTIK DALAM KACAPIRING KARYA DANARTO
SKRIPSI
MAHARDDHIKA 0806353570
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INDONESIA DEPOK JULI 2012
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
METAFORA SUFISTIK DALAM KACAPIRING KARYA DANARTO
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Humaniora
MAHARDDHIKA 0806353570
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INDONESIA DEPOK JULI 2012
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
KATA PENGANTAR
Skripsi Metafora Sufistik dalam Kacapiring Karya Danarto ini menganalisis cerpen terbaru Danarto, salah seorang sastrawan Indonesia yang karya-karyanya bercorak sufistik. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori metafora kontemporer. Analisis juga dilakukan untuk melihat makna dari penggunaan metafora dalam konstelasi sastra Indonesia pascareformasi. Semoga analisis dan telaah yang terangkum dalam skripsi ini bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya dunia sastra, dan masyarakat luas.
Penulis
v
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya karya ini, penghargaan dan terima kasih tidak terhingga patut penulis haturkan kepada: 1. Tuhan; 2. Prof. Riris Sarumpaet; 3. Tommy Christomy, Ph.D.; 4. Dr. Untung Yuwono dan Syahrial, M. Hum.; 5. seluruh jajaran dosen Program Studi Indonesia FIB UI; 6. Euis Masripah, Soetoto, Shafa Anindita, dan Julia Ikasarana; 7. teman-teman di Ikatan Keluarga Sastra Indonesia FIB UI, khususnya angkatan 2008; 8. teman-teman di Suara Mahasiswa UI, khususnya angkatan #17 sampai dengan #21; 9. teman-teman di Keluarga Besar Kuliah Kerja Nyata UI, khususnya keluarga Pulau Ende; 10. teman-teman di Silaturahim Mahasiswa dan Alumni Asal Garut. Semoga Tuhan berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Depok, 10 Juli 2012
Penulis
vi
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Maharddhika : Indonesia : Metafora Sufistik dalam Kacapiring Karya Danarto
Penelitian ini membahas pengunaan metafora yang berhubungan dengan gagasan sufistik dalam Kacapiring karya Danarto. Teori yang digunakan untuk menganalisis data adalah teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson. Penelitian ini juga memaknai penggunaan metafora pada Kacapiring dengan menempatkannya dalam konstelasi sastra Indonesia pascareformasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ranah sasaran, hal-hal yang dimetaforakan adalah pengalaman religius seperti kematian, malaikat, dan Tuhan. Di ranah sumber, konsep yang melekat pada kata pohon digunakan untuk mewakili pengalaman religiusnya. Metafora-metafora ini adalah strategi pengucapan dan penafsiran baru atas dakwah agama. Metafora-metafora ini menawarkan cinta dan spiritualitas dalam hati. Metafora-metafora ini menantang wacana posmodern dalam karya-karya sastra Indonesia pascareformasi. Kata Kunci: Metafora, gagasan sufistik, sastra Indonesia pascareformasi
viii
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Maharddhika : Indonesia : Sufism metaphor in Kacapiring written by Danarto
This research discusses about the using of Sufism metaphor in Kacapiring written by Danarto. The theory used to analyze the data is conceptual metaphor theory by Lakoff and Johnson. This research is also shows the meaning of metaphor by putting them in constellation of Indonesian literature after reformation. The result of this research shows that in target domain, religious experiences like death, angel, and God appear in metaphorical expression. In source domain, tree is used to present different religious experiences. These metaphors are strategy to express a new interpretation about religious endeavor. These metaphors emphasize love and spiritual. These metaphors challenge postmodern expressions in works of Indonesian Literature after reformation era. Key word: Metaphor, Sufism, Indonesian literature after reformation
ix
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………….…………………………………..…..……... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ………….……..…... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………….……..……….. HALAMAN PENGESAHAN …..…………………...…….………..……... KATA PENGANTAR …………..………………………..………………... UCAPAN TERIMA KASIH …………..………………………..………... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……..….…… ABSTRAK …………….…………………………………………...………... ABSTRACT …………….………………………………………...………... DAFTAR ISI …………..…………………………………………...………... DAFTAR GAMBAR ……..………………….…………………......………...
i ii iii iv v vi vii viii ix x xii
1. PENDAHULUAN .………………………………………..………….….. 1.1 Latar Belakang Permasalahan .…………………………..…….….. 1.2 Rumusan Masalah …………………………...….…………………. 1.3 Tujuan Penelitian ………………………….…………..………...… 1.4 Penelitian Terdahulu …………………………………..………...… 1.5 Metode Penelitian ………………….………………….………...… 1.6 Manfaat Penelitian ………..………..……….…………………...… 1.7 Sistematika Penyajian ……………..……….…………………...…
1 1 6 7 7 9 11 11
2. LANDASAN TEORI .……………………………………...………….….. 2.1 Metafora Kontemporer …………………..………….………….... 2.2 Teori Metafora Konseptual ……………………..……………….... 2.3 Tipe Metafora Konseptual …………..……..………..…....………
13 13 15 19
3. METAFORA SUFISTIK PADA KACAPIRING …..………………..….. 3.1 Pengantar .………………………………………………..…….….. 3.2 Gagasan Sufistik dalam Ungkapan Metafora ………………….…. 3.2.1 Kematian yang Menghidupkan .………………………...….….. 3.2.1.1 Metafora “Kematian Adalah Kepergian” …………………. 3.2.1.2 Metafora “Kematian Adalah Kebahagiaan” ……………… 3.2.1.3 Metafora “Mati Adalah Tidur” …………………………… 3.2.2 Keindahan yang Tersembunyi …………………………….… 3.2.2.1 Metafora “Malaikat Adalah Bunga” ……………………. 3.2.2.2 Metafora “Karya Seni Adalah Keindahan” ………..…..… 3.2.3 Cermin Wajah Tuhan ………………….…………….…..… 3.2.3.1 Metafora “Wajah Tuhan Adalah Sinar yang Memancar” ... 3.2.3.2 Metafora “Kekuatan Tuhan Adalah Kegaiban” …….…….. 3.3 Menelusuri Makna di Balik Metafora ………………………..… 3.3.1 Sesuatu yang Tersembunyi di Balik Pohon .…………………..
23 23 25 25 25 28 34 35 35 37 40 40 44 50 51
x
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
3.3.1.1 “Pohon yang Satu Itu” ………………………………….…. 3.3.1.2 “Pohon Rambutan” ……………………………...………… 3.3.1.3 “Pohon Zaqqum” ………………………………………..… 3.4 Fenomena Sastra Sufi dalam Konstelasi Sastra Indonesia Pascareformasi ………………………………………………….… 3.4.1 Situasi Sastra Indonesia Pascareformasi .……..……………… 3.4.2 Kacapiring dalam Konstelasi Sastra Indonesia Pascareformasi .…………………………………………………
51 52 54 56 56 60
4. PENUTUP .…………………………………………..………………….….. 65 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..…………...
xi
69
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Bagan Teori Metafora Konseptual Lakoff dan Johnson
xii
………..…..……...
16
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan Sufisme memiliki wujud yang sangat besar, tidak ada definisi yang mampu
menjelaskannya secara utuh. Hal ini diungkapkan Schimmel (1986: 1) yang mengibaratkan pendefinisian sufisme ini seperti orang-orang buta dalam kisah Rumi. Mereka menyentuh gajah. Masing-masing menggambarkannya sesuai dengan bagian tubuh gajah yang disentuhnya. Namun, tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan gajah seutuhnya. Sufisme adalah nama yang biasanya dipergunakan untuk menyebut mistisisme Islam. Mistisisme mengandung makna sesuatu yang misterius, yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual. Kata misteri (dalam bahasa Inggris, mystery) dan mistik (dalam bahasa Inggris, mystic) berasal dari kata Yunani myein, ‘menutup mata.’ Mistisisme dalam pengertian yang luas dapat didefinisikan sebagai kesadaran akan sebuah Realitas Tunggal, “The consciousness of the One Reality—be it called Wisdom, Light, Love, or Nothing” (Underhill yang dikutip oleh Schimmel, 1986: 4). Kesadaran ini telah disebut sebagai “arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.” Ide sederhana ini dapat ditemukan dalam setiap jenis mistisisme dalam berbagai agama. Tujuan sufisme yang tidak dapat terlukiskan sebetulnya tidak dapat dimaknai atau dijelaskan oleh berbagai macam persepsi. Hanya kebijaksanaan hati, gnosis, yang dapat memberikan wawasan yang mendalam hingga ke beberapa aspek. Pengalaman sufisme dapat dipahami sebagai cinta kepada Yang Mahamutlak. Cinta yang bersifat ketuhanan dapat membuat sang pecinta menikmati susah-payah dan kemalangan yang ditunjukkan oleh Tuhan untuk menguji dan memurnikan jiwanya. Cinta ini dapat membawa hati sang pecinta
1
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
2
kepada wujud Tuhan (Divine Presence) seperti elang yang menggengam mangsanya (Schimmel, 1986:4). Pengalaman ini muncul dalam simbol-simbol. Pengalaman sufisme ini jarang ditampilkan dalam bentuk yang murni. Pengalaman ini justru muncul dalam puisi-puisi sufisme, contohnya penggunaan simbol-simbol untuk menggambarkan Tuhan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian terhadap fenomena sufisme ini dianggap hampir tidak mungkin karena kata tidak mampu mewakili kedalaman pengalaman ini. “To analyze the mystical experience itself is next to impossible since words can never plumb the depths of this experience. Even the finest psychological analysis is limited; words remain on the shore, as the Sufis would say” (Schimmel, 1986: 7). Penelitian yang memungkinkan untuk dilakukan adalah penelitian yang berfokus pada bahasa dan pengelolaan mystical lexicon. Penelitian ini dapat membantu menjelaskan perkembangan pemikiran para sufi. Sementara itu, penelitian yang tidak kalah penting adalah penyelidikan terhadap simbol atau citraan yang digunakan untuk menggambarkan fenomena sufisme dan sifat saling ketergantungan antara simbol dan fenomena sufisme tersebut. Penelitian ini dapat membuka jalan untuk melihat kontribusi pemikiran atau gagasan sufisme dalam perkembangan Islam, bahasa, karya sastra, dan karya seni. Sastra sufi pada tataran nilai bukan saja sebagai wacana gerakan kesusastraan, melainkan lebih luas dari itu merupakan wacana gerakan sosial, politik, dan di atas semua itu adalah wacana gerakan kebudayaan (Salam, 2004: 27—28). Mutualisme sufisme dan sastra memunculkan gagasan-gagasan sufisme melalui perangkat-perangkat yang terdapat dalam karya sastra. Salah satu perangkat tersebut adalah metafora. Kesusastraan sufi berbicara dalam bahasa yang simbolik, yakni mengungkapkan realitas dan pengalaman kerohanian dan kejiwaan, yang pada hakikatnya sama sekali tidak dapat digarap dan digambarkan oleh pancaindera. Sufisme menggunakan metafora dan objek yang diperoleh dari alam kebendaan dengan cara yang amat tersendiri.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
3
Sejak permulaan perkembangannya, sufisme memiliki hubungan erat dengan sastra. Adanya kemiripan antara pengalaman kesufian yang bersifat mistikal dengan pengalaman estetik seniman membuat banyak sufi melibatkan diri dalam kegiatan sastra. Ini tampak pada tokoh-tokohnya yang awal seperti Rabiah al-Adawiyah, Dhun Nun al-Misri, Bayazid al-Bhistami, Hasan al-Nuri, Mansur alHallaj, dan lain-lain. Hasan Basri dan Rabiah al-Adawiyah (abad ke-7) adalah contoh yang menunjukkan sebagian besar wacana sufisme disampaikan dalam bentuk prosa atau puisi. Rabiah al-Adawiyah, wanita suci agung dari abad ke-8, adalah tokoh pertama dari sejarah tasawuf yang diperkenalkan dalam karangan-karangan orang Eropa. Legendanya dibawa ke Eropa oleh Joinville, duta Louis IX, pada abad ke13. Tokoh Rabiah ini dipergunakan dalam sebuah risalat abad ke-17 di Perancis tentang cinta murni. Rabiah merupakan model cinta Ilahi. Kisah tentangnya telah berulang kali diceritakan kembali di Barat, gemanya yang terakhir terdengar dalam sebuah cerita pendek Jerman “Die schoenen Hande” (Schimmel, 1986: 8). Di Nusantara, bangkit dan berkembangnya kesusastraan Melayu merupakan dampak langsung dari penyebaran agama Islam. Para cendekiawan sufi memainkan peranan penting dalam penulisan kitab keilmuan dan sastra Melayu. Karena itu, tidak mengherankan jika tasawuf memberikan warna dominan terhadap perkembangan sastra Melayu (al-Attas, 1972 yang dikutip oleh Hadi W. M, 2006). Pada akhir abad ke-16 M perkembangan sastra sufi mulai menapak masa puncaknya sejalan dengan derasnya proses islamisasi kepulauan Nusantara. Pada masa inilah muncul tokoh terkemuka seperti Hamzah Fansuri, dan muridmuridnya di Barus dan Aceh. Fansuri dianggap sebagai orang pertama yang menulis puisi sufi karena ia menuliskan karya-karyanya dalam bahasa MelayuIndonesia. Teeuw (1994) mengatakan bahwa Fansuri adalah pemula puisi Indonesia. Karya-karya Hamzah Fansuri yang terkenal antara lain Syarabul Asyiqin, Syair Dagang, Syair Burung Pingai, Asrar al-Arifin fi-Bayan ilm alSuluk wal Tauhid, dan Syair Ikan Tongkol.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
4
Secara umum, gagasan Fansuri adalah tentang hakikat keberadaan Tuhan, hakikat Rahman dan Rahim, ataupun hakikat Cinta Tuhan. Secara umum, gagasan Fansuri
tersebut
memperlihatkan
kecenderungan
wujudiyah,
yaitu
kecenderungaan Tuhan yang omni-present (Salam, 2004: 32). Fansuri dikenal sangat piawai membungkus ajaran-ajarannya dalam bait-bait panjang yang memesona sehingga membuatnya mendapatkan banyak pengikut dan tentu saja musuh-musuh yang tidak sepakat dengan yang diajarkannya. Ajaran Fansuri berpengaruh besar bagi perkembangan puisi sufi berikutnya hingga ke masa Syaikh Palimbani pada abad ke-18 di Palembang dan kepustakaan Jawa abad ke19. Peranan itu berlanjut terus, setidak-tidaknya hingga akhir abad ke-19 M. Karya para penyair sufi itu bahkan masih meninggalkan jejak dan pengaruh dalam kesusastraan Indonesia modern hingga akhir abad ke-20 M. Teeuw (yang dikutip oleh Salam, 2004: 33) mengatakan pengaruh tersebut dirasakan hingga karya sastra modern seperti Amir Hamzah, Danarto, Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, dan sastrawan lainnya. Gema estetika sufi Melayu abad ke-16 dan ke-17 yang asas-asasnya telah diletakkan oleh Hamzah Fansuri tampak dalam sajak-sajak Amir Hamzah dalam antologi Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Dalam sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah menyatakan “Pulang kembali aku padamu/ Seperti dahulu” yang memperlihatkan kerinduannya untuk kembali pada Tuhan. Selain itu, Amir Hamzah juga menggunakan perumpamaan kandil kemerlap sebagai penampakan cinta ilahi. Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo juga memunculkan perumpamaan yang telah ada pada tradisi Sufi terdahulu. Tamsil perjalanan mendaki ke atas gunung ditampilkan oleh Barman yang menemui Humam, kembaran dirinya yang dapat disimbolkan sebagai diri rohani yang selama ini tersembunyi dari penglihatannya. Tema pendakian juga dilukiskan Sutardji Calzoum Bachri dalam beberapa sajaknya. Misalnya dalam “Para Peminum” sebagai berikut. di lereng lereng para peminum mendaki gunung mabuk kadang mereka terpeleset jatuh dan mendaki lagi
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
5
memetik bulan di puncak mereka oleng tapi mereka bilang - kami takkan karam dalam laut bulan – mereka nyanyi nyanyi jatuh dan mendaki lagi di puncak gunung mabuk mereka berhasil memetik bulan mereka menyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka di puncak semuanya diam dan tersimpan (Bachri, 1981: 123) Tamsil pendakian ke puncak gunung banyak dijumpai dalam sufi Melayu seperti Hikayat Inderaputra, Hikayat Syekh Mardan, dan lain-lain. Perjalanan mendaki puncak gunung ini menyimbolkan alam kewujudan rendah ke alam kewujudan yang lebih tinggi. Sering pula digunakan tamsil penerbangan burung menuju puncak gunung yang tinggi seperti dalam Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Attar. Burung di situ tamsil bagi roh yang senantiasa diusik kerinduan kepada asal-usul kerohaniannya di alam ketuhanan (Hadi W.M, 2010a). Dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri kerap digambarkan bagaimana seorang pencinta harus melakukan pendakian sukar menuju puncak bukit tempat tinggal Mahbubnya. Annemmarie Schimmel (1986: 421) mengatakan bahwa dalam sastra sufi qurb, kekariban, dan kedekatan dengan Tuhan merupakan lambang dari pencapaian (maqam) tertinggi di jalan tasawuf. Pengarang lain yang juga dengan khas memuat gagasan sufistik adalah Danarto. Teeuw memandang karya-karya Danarto sebagai corak pembaruan dalam khazanah sastra Indonesia modern, yang secara paradoksal berakar dalam kebudayaan tradisional. Tampil mewakili panteisme Jawa, dia telah menjadikan berbagai hal luar biasa bertemu dan segala hal yang paling ganjil jadi mungkin (Teeuw, 1989: 201—203). Abdul Hadi W. M. berpendapat bahwa karya-karya
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
6
Danarto memperlihatkan kecenderungan sufistik dan gagasan-gagasannya memiliki pertalian dengan gagasan para sufi (Hadi W.M. 1999: 22). Konsepkonsep sufisme merupakan obsesi intelektual dan spiritual Danarto. Menanggapi sejarah sastra Indonesia modern, Danarto (dalam Berita Buana, 14 Februari 1978) berpendapat bahwa setelah Angkatan ’45 kalau orang ingin menyebut angkatan, yang ada ialah angkatan ’70 yang bercirikan penjelajahan ke alam mistik, atau kecenderungan ke mistisisme atau tasawuf. Perbedaan ciri Angkatan ’45 dan Angkatan ’70, menurut Danarto, adalah pada perubahan kesadaran dalam melihat manusia. Generasi baru tahun ’70 lebih berakar pada kebudayaan leluhur yang kaya dengan sumber-sumber kreatif (Prihatmi, 1989: 26). Danarto juga menjadi bagian dari angkatan ’70 yang diusungnya. Sejak Godlob (1975), Danarto banyak mengungkapkan perenungan religiusitas, panteisme, dan mistik. Namun, masalah sosial merupakan bumbu saja, yang kadang justru berubah menjadi digresi (Damono, 1988). Karya tersebut kemudian bergeser. Berhala menyasar masalah sosial yang lebih aktual. Hingga karyanya yang terbaru, Kacapiring (2008), Danarto masih tetap berjalan pada lintasan spiritual. Kacapiring mengusung konsep-konsep sufistik dan meramunya dengan isu-isu sosial yang aktual. Penelitian Tjitrosubono dkk (1985) juga menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Danarto bersifat alegoris. Tokoh, peristiwa, dan latar cerpen-cerpen itu harus dilihat sebagai personifikasi gagasan pengarang yang bersifat mistis Jawa dalam melihat kenyataan hidup ini, yaitu kerinduan makhluk untuk bersatu dengan Tuhan. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada subbab sebelumnya, dapat dikatakan bahwa
wacana sufisme memiliki kaitan yang erat dengan perangkat sastra. Sejak permulaan perkembangannya, wacana sufisme ini muncul dalam simbol-simbol yang terdapat pada teks puisi, syair, atau rubai dalam tradisi Persia. Setiap pengarang memiliki cara dan kekhasan dalam menggunakan perangkat sastra untuk menampilkan gagasannya tersebut. Salah satu perangkat tersebut adalah metafora. Permasalahan penggunaan metafora ini merupakan hal yang masih harus dikaji lebih jauh.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
7
Agar penelitian ini terarah, lingkup masalah penelitian ini dapat dirumuskan dengan membatasi masalah pada pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimana penggunaan metafora yang berhubungan dengan gagasan sufistik dalam Kacapiring? 2. Apa makna penggunaan metafora dalam Kacapiring? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penulisan memandu penulis ke arah hasil tertentu yang diinginkan.
Tujuan tersebut adalah untuk mendeskripsikan metafora yang digunakan dalam Kacapiring untuk mengekspresikan gagasan sufistik. Penelitian ini juga menjelaskan pemaknaan metafora yang digunakan pada Kacapiring dalam sejarah sastra Indonesia pascareformasi. 1.4
Penelitian Terdahulu Ada sejumlah penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini.
Penelitian yang terkait dengan gagasan sufistik dalam karya-karya Danarto boleh dibilang bukan hal yang baru dalam penelitian khazanah sastra Indonesia modern. Penelitian ini ditulis dalam bentuk esai, skripsi, dan tesis. Penelitian yang lebih berfokus kepada gagasan yang terdapat dalam karyakarya Danarto dilakukan oleh Jamal D. Rahman. Esai Rahman (2010) di Horison Online yang berjudul “Wahdatul Wujud di Indonesia Modern: Pantulan dari Cerpen-cerpen Danarto” mengungkap paham wahdatul wujud yang diusung oleh Danarto dalam kumpulan cerpen Godlob dan Adam Ma’rifat. Praktik wahdatul wujud Danarto dijelaskan dengan melihat hubungan Tuhan dan alam semesta. Pertama, alam semesta adalah milik Tuhan. Kedua, alam semesta bersujud dan bertasbih kepada Tuhan. Ketiga, alam semesta adalah Tuhan itu sendiri; alam semesta adalah wujud lahir dan wujud batin Tuhan sekaligus. Dengan melihat konteks ini, penelitian ini berkesimpulan bahwa wahdatul wujud Danarto tampak lebih menekankan imanensi Tuhan tinimbang transendensi-Nya. Tjitrosubono dkk (1985) dalam Memahami Cerpen-cerpen Danarto meneliti cerpen Danarto yang terkumpul dalam Godlob. Penelitian ini menitikberatkan
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
8
pada analisis unsur instrinsik seperti alur, tokoh, dan latar yang mendukung tema. Penelitian ini berkesimpulan bahwa cerpen-cerpen Danarto bernafaskan mistik atau kebatinan Jawa bercampur dengan ajaran Islam dan diwarnai oleh pandangan panteisme. Penelitian ini juga memperlihatkan struktur karya Danarto pada umumnya berplot lurus, peristiwa-peristiwanya berlangsung dalam dua alam, yaitu alam kodrati dan alam adikodrati. Tesis Prihatmi Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto: Dialog antara Dunia Nyata dan Tidak Nyata yang kemudian dibukukan (1989) meneliti Godlob dan Adam Ma’rifat dengan menggunakan pendekatan teori fantasi. Cerpen Danarto dianggap sebagai sebuah karya fiksi nonrealis. Dalam kumpulan cerpen tersebut, Danarto menyajikan sebuah dunia yang di luar batas logika, konvensi, dan indera. Dunia itu tidak hadir sendiri, melainkan bersama-sama dengan dunia yang di dalamnya ukuran logika, konvensi, dan indera berlaku penuh. Prihatmi menyebutkan bahwa dua dunia tersebut diramu merata ke seluruh jaringan unsur strukturnya, yaitu alur, tokoh, dan latar. Nugraheni (2007) dalam Aspek Sufistik dalam Kumpulan Cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril: Tinjauan Semiotik meneliti kumpulan cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril. Nugraheni mengungkap gagasan sufistik berupa hierarki atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga mendapat ridho-Nya. Jalan tersebut terdiri atas syariat, hakikat, tarikat, makrifat. Nugraheni mengungkapkan bahwa kumpulan cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril menyajikan keempat hierarki tasawuf secara lengkap. Tesis Gustaf Sitepu yang berjudul Strukturalisme Genetik Asmaraloka (2009) mengupas novel Asmaraloka dengan menggunakan teori Linguistik Fungsional Sistemik. Tesis ini mengungkap lima temuan. Pertama, tokoh-tokoh novel Asmaraloka melakukan penyerahan sepenuhnya kepada otoritas Tuhan. Kedua, sesuai dengan latar kehidupan sosialnya, Danarto dalam novel Asmaraloka berusaha memperjuangkan nilai-nilai sosial yang dianutnya. Ketiga, novel Asmaraloka dilatarbelakangi peristiwa perang antaretnis dan kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Keempat, Danarto berpandangan bahwa untuk keluar dari krisis moral akibat permusuhan antargolongan diperlukan
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
9
kesadaran penyucian hati semua manusia Indonesia. Kelima, novel Asmaraloka memuat 182 proses mental yang menunjukkan bahwa tokoh-tokoh dalam Asmaraloka berada dalam kondisi frustrasi dan gundah gulana. Sementara itu, penelitian yang menggunakan teori metafora dalam melihat isu sufistik pernah dilakukan oleh Meutia Fauziah dalam skripsinya yang berjudul Metafora Sufisme Ruba’i Hamzah Fansuri (2010). Penelitian ini mengupas syair Ruba’i Hamzah Fansuri dengan menggunakan teori metafora Lakoff dan Johnson. Penelitian ini memaparkan metafora yang berhubungan dengan sufisme, hubungan pemetaannya, hubungan dengan maknanya, dan pengklasifikasian. Penelitian ini berkesimpulan bahwa terdapat 13 buah metafora yang dipetakan secara stukrtural dan 22 buah metafora yang dipetakan secara ontologis. Data ini kemudian terkategorikan ke dalam enam tema pokok yaitu konsep ketuhanan, konsep Nur Muhammad, konsep hakikat manusia, konsep hakikat hidup, dan konsep wahdatul wujud. Sepengetahuan saya, setidaknya di Universitas Indonesia dan berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kumpulan cerpen Kacapiring belum pernah diteliti. Penelitian yang berfokus pada metafora gagasan sufistik berupa hubungan kesatuan antara Tuhan dan ciptaannya dan relevansinya dengan isu-isu aktual dengan menggunakan teori metafora Lakoff dan Johnson untuk mengungkap metafora, pemetaan, dan hubungannya dengan makna dalam kumpulan cerpen Kacapiring juga dapat dikatakan baru. 1.5
Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan pendekatan kualitatif.
Dalam pendekatan ini, hal yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan variabel. Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik (Mulyana, 2004). Tujuan penelitian kualitatif adalah memahami lebih dalam suatu fenomena sosial yang terjadi; membangun eksplanasi; dan memvalidasi atau merevisi ide, konsep, dan teori (Ritchie, 2004: 82).
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
10
Penelitian kualitatif akan langsung masuk ke objek, melakukan penjelajahan dengan pertanyaan, sehingga masalah akan dapat ditemukan dengan jelas. Melalui penelitian model ini, penulis melakukan eksplorasi terhadap suatu objek (Silalahi, 2009). Setelah masuk dan mengeksplorasi objek, penelitian dilanjutkan dengan merumuskan suatu model, konsep, teori, prinsip, proposisi, atau definisi yang bersifat umum. Dalam melakukan penelitian mengenai metafora gagasan sufistik, penulis memilih kumpulan cerpen Kacapiring (2008) sebagai sumber data primer. Sumber data primer adalah suatu objek atau dokumen asli (Silalahi, 2009: 289). Kacapiring memuat 18 cerpen yang ditulis dalam kurun waktu tahun 2000— 2008. Delapan belas cerpen itu di antaranya adalah “Jantung Hati,” “Lailatul Qadar,” “Jejak Tanah,” “Zamrud,” “Kacapiring,” “Nistagmus,” “Pohon yang Satu itu,” “Lauk dari Langit,” “Ikan-ikan dari Laut Merah,” “Telaga Angsa,” “Si Denok,” “Pohon Rambutan,” “Pasar Malam,” “O,Yerusalem,” “Pohon Zaqqum,” “Pantura,” “Alhamdulillah, Masih Ada Dangdut dan Mi Instan,” dan “Bengawan Solo.” Sumber data primer ini dipilih karena Kacapiring adalah karya terbaru Danarto. Dalam rentang waktu 38 tahun, sejak kemunculannya pertama kali di Horison tahun 1968, Danarto masih tetap berjalan pada lintasan spiritualitasnya. Selain itu, Kacapiring juga merekam keterlibatan Danarto terhadap isu-isu aktual yang terjadi pada sekitar tahun penulisan karya tersebut. Penulis menyelidiki dan mengumpulkan metafora yang terdapat dalam semua cerpen dalam Kacapiring. Untuk memudahkan dan memfokuskan analisis, metafora tersebut disusun berdasarkan kategori atau klasifikasi tertentu. Pertamatama, seluruh ungkapan yang dicurigai sebagai metafora dikumpulkan. Metafora yang berhubungan dengan tema pengalaman sufisme dipisahkan. Metafora yang berhubungan dengan sufisme ini diidentifikasi berdasarkan konsep metafora Lakoff dan Johnson (1980). Ungkapan-ungkapan ini, jika mengacu pada teori metafora Lakoff dan Johnson, diperlakukan sebagai set of mapping atau set of correspondences. Set of correspondences ini kemudian dianalisis untuk mengetahui bentuk konseptualisasi dan pemetaan persilangan ranah sumber ke ranah sasaran.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
11
Metafora tersebut kemudian dikelompokkan sesuai dengan formula ranah sumber dan ranah sasaran. Pengelompokan di ranah sumber dilakukan untuk mengetahui hal apa saja yang digunakan Danarto untuk mewakili pengalaman religiusnya. Sebagai contoh, di ranah ini dapat ditemukan konsep pada kata pohon untuk menjelaskan suatu peristiwa yang lain. Pengelompokan di ranah sasaran dilakukan untuk mengetahui tema apa saja yang sering ditampilkan dalam ungkapan metafora. Sebagai contoh, di ranah ini dapat ditemukan tema tentang Tuhan yang dimetaforakan dalam bentuk beragam. Setelah menunjukkan metafora-metafora yang berkaitan dengan gagasan sufistik, penelitian dilanjutkan dengan menempatkan penggunaan metafora tersebut dalam konstelasi sastra pascareformasi. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan posisi Kacapiring dalam sejarah sastra Indonesia pascareformasi dan juga memaknai metafora yang digunakan pada Kacapiring. 1.6
Manfaat Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yang mengaplikasikan ilmu linguistik, yaitu
semantik, untuk menganalisis makna metaforis gagasan-gagasan sufistik yang terdapat dalam Kacapiring. Penelitian dengan menggunakan teori metafora diharapkan dapat mengungkap metafora yang terbentuk yang menjadi ciri khas tema-tema sufisme. Hasil penelaahan bentuk-bentuk metafora ini diharapkan dapat membantu memaknai maksud penggunaanya dalam konstelasi sastra Indonesia pascareformasi. Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan dapat mengungkap kontribusi pemikiran atau gagasan sufisme dalam perkembangan Islam, bahasa, dan karya sastra Indonesia modern. 1.7
Sistematika Penyajian Secara keseluruhan, skripsi ini dibagi ke dalam empat bab. Bab 1, seperti
telah diuraikan, membicarakan pendahuluan. Bab ini memuat latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
12
Bab 2 menguraikan teori metafora yang dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson. Uraian bab ini dimaksudkan sebagai konsep teoretis yang mendasari dan cara teori ini digunakan sebagai kerangka acuan penelitian ini. Bab 3 membicarakan penjelasan mendalam dan hasil analisis penggunaan metafora gagasan sufistik pada Kacapiring berdasarkan teori-teori yang digunakan. Hasil analisis ini juga akan memperlihatkan metafora gagasan sufistik dalam Kacapiring tersebut dalam kaitannya dengan isu-isu aktual sosial dan kondisi kesusastraan Indonesia pada kurun waktu penerbitan Kacapiring. Skripsi ini ditutup dengan kesimpulan dari berbagai uraian yang telah dikemukakan. Kesimpulan ini berisi rangkuman pokok penting analisis dan kesan atau pemikiran peneliti terhadap karya yang diteliti.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Metafora Kontemporer Sejak teori klasik metafora pertama kali dikembangkan oleh Aristoteles,
metafora dianggap sebagai bahasa puitis yang tidak digunakan dalam bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari tidak mengandung metafora. Metafora hanya ada di luar bahasa konvensional sehari-hari. Dalam teori klasik tersebut, metafora dianggap sebagai persoalan ungkapan bahasa, bukan persoalan konseptualisasi gagasan. Metafora didefinisikan sebagai ekspresi puitis atau ekspresi yang terdapat pada novel berupa kata yang mempunyai makna di luar makna konvensional untuk menjelaskan konsep yang serupa, “novel or poetic linguistic expression where one or more words for a concept are used outside of its normal conventional meaning to express a similar concept” (Lakoff, 1992: 1). Teori kontemporer yang menekankan bahwa metafora adalah mengenai persoalan sistem konseptual dan bagian dari sistem gagasan dan bahasa muncul pada karya Michael Reddy, The Conduit Metaphor, yang diterbitkan pada tahun 1979. Reddy memperlihatkan bahwa bahasa Inggris sehari-hari pada dasarnya metaforis. Reddy berani mendobrak analisis linguistik yang menyebutkan bahwa metafora hanya ada pada karya sastra dengan membeberkan banyak contoh dalam bahasa Inggris sehari-hari. Dalam karangannya, Reddy menggambarkan konsep cara berkomunikasi yang pada dasarnya metaforis. Hal itu berefek pada cara berpikir. Menurut Reddy (yang dikutip oleh Knowles dan Moon, 2006: 36), fakta menunjukkan bahwa bahasa Inggris mempunyai kerangka untuk mengonseptualisasi komunikasi, “[The] evidence suggest that English has a preferred framework for conceptualizing communication, and can bias thought process toward this framework, even thought nothing more than common sense is necessary to devise
13
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
14
a different, more accurate framework.” Reddy menyebut kerangka ini sebagai conduit metaphor. Reddy mengemukakan konsep-konsep pokok dalam proses berkomunikasi, yaitu •
fungsi bahasa seperti pipa atau saluran (conduit);
•
dalam menulis atau berbicara, orang-orang menyisipkan gagasan atau perasaan pada kata;
•
kata menyempurnakan transfer tersebut dengan memuat gagasan atau perasaan dan menyampaikannya kepada orang lain;
•
dalam mendengarkan atau membaca, orang-orang menyarikan gagasan atau perasaan sekali lagi dari kata.
Berdasarkan hal tersebut, komunikasi dikonseptualisasikan sebagai transfer gagasan, kata, dan ide dari satu orang kepada orang lain. Gagasan, ide, dan kata dikonseptualisasikan mempunyai wujud fisik dan ditransfer dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan pipa atau saluran. Reddy juga menegaskan, berdasarkan konsep di atas, bahwa 70 persen kata dan frase dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah conduit metaphor. Beberapa contohnya adalah Try to get your thoughts across better (cobalah untuk menyampaikan pemikiranmu dengan lebih baik); Try to pack more thoughts into fewer words (cobalah untuk memasukkan lebih banyak pemikiran dengan kata yang ringkas); The sentence was filled with emoticon (kalimatnya diisi emoticon); dan Let me know if you find any good ideas in the essay (beri tahu saya jika kamu menemukan ide menarik dalam esai ini). Karya Reddy tentang konseptualisasi komunikasi ini memberikan sekilas pandangan mengenai teori metafora konseptual. Karya ini berkontribusi banyak dalam perkembangan teori metafora yang disusun oleh Lakoff dan Johnson dalam Metaphor We Live By (1980). Lakoff memaparkan (1992: 2), “Since its appearance, an entire branch of linguistics and cognitive science has developed to study systems of metaphorical thought that we use to reason, that we base our actions on, and that underlie a great deal of the structure of language.” Sejak
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
15
kemunculannya, seluruh cabang linguistik dan pengetahuan kognitif telah mengembangkan studi sistem pemikiran yang menjadi dasar dalam bertindak dan juga menjadi dasar struktur bahasa. 2.2
Teori Metafora Konseptual Lakoff dan Johnson dalam Metaphor We Live By (1980) menemukan bahwa
ternyata metafora dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Metafora tidak hanya menyangkut persoalan bahasa, tetapi juga tentang konseptualisasi gagasan dan perbuatan. Sistem konseptual (conceptual system) yang mengatur pikiran dan perbuatan pada dasarnya bersifat metaforis. “The concepts that govern our thought are not just matters of the intellect. They also govern our everyday functioning, down to the most mundane details. Our concepts structure what we perceive, how we get around in the world, and how we relate to other people. Our conceptual system thus plays a central role in defining our everyday realities. If we are right in suggesting that our conceptual system is largely metaphorical, then the way we think, what we experience, and what we do every day is very much a matter of metaphor.” (Lakoff dan Johnson, 2003: 4) Terbentuknya metafora dilandaskan pada sebuah sistem yang terbangun dalam konsep yang kita gunakan secara konstan dalam keseharian dan juga dalam proses berpikir. Dalam benak kita ada sistem konseptual yang memetakan persilangan ranah (cross-domain mapping). Persilangan ranah ini tidak terjadi pada ekspresi puitis saja, melainkan pada percakapan biasa sehari-hari. Pada intinya, metafora memaparkan bagaimana pikiran kita mengonseptualisasi satu ranah dengan menggunakan ranah yang lain. Metafora yang terdapat dalam karya sastra dan penelitian mengenai hal tersebut merupakan perluasan dari studi metafora dalam bahasa sehari-hari. Metafora dalam bahasa sehari-hari adalah salah satu penggolongan dari sistem pemetaan persilangan ranah. Sistem ini pulalah yang digunakan dalam metafora pada karya sastra. Metafora dalam teori Lakoff dan Johnson dimaknai sebagai pemetaan persilangan ranah dalam sistem konseptual, sedangkan kata, frase, atau kalimat yang merupakan ekspresi linguistik hanyalah realisasi dari proses persilangan ranah. Dalam teori ini, kata, frase, atau kalimat disebut ekspresi
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
16
metafora (metaphorical expressions). Ekspresi metafora inilah yang digunakan sebagai definisi pada teori klasik tentang metafora. Menurut Lakoff dan Johnson, metafora konseptual dianalisis sebagai proses konseptualisasi kognitif yang bergantung pada tiga hal, yaitu ranah sumber (source domain), ranah sasaran (target domain), dan pemetaaan atau korespondensi (a set of mapping relation or correspondences). Dengan kata lain, metafora konseptual melihat keterhubungan antara kedua ranah, yaitu ranah sumber dan ranah sasaran ke dalam bentuk pemetaaan atau korespondensi. Agar pemetaan lebih mudah diingat dalam sistem konseptual, Lakoff dan Johnson menggunakan strategi penamaan dengan bentuk “Ranah-Sasaran Adalah RanahSumber” (“Target-Domain Is Source-Domain”) atau “Ranah-Sasaran sebagai Ranah-Sumber” (“Target-Domain as Source-Domain”).
Bagan Teori Metafora Konseptual Lakoff dan Johnson
Untuk lebih memahami teori ini, Lakoff memberikan penjelasan melalui contoh berikut. Dalam bahasa Inggris, dikenal ungkapan our relationship has hit a dead-end street atau dalam bahasa Indonesia, “Hubungan cinta kita menemui
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
17
jalan buntu.” Ungkapan tersebut adalah ungkapan dalam bahasa sehari-hari, bukan ungkapan yang puitis atau ungkapan yang digunakan untuk menimbulkan kesan retoris. Bahasa Inggris juga mempunyai ungkapan lain (dalam bahasa sehari-hari), yaitu a.
look how far we’ve come;
b.
it’s been a long, bumpy road;
c.
we can’t turn back now;
d.
we’re at a crossroads;
e.
we may have to go our separate ways;
f.
the relationship isn’t going anywhere;
g.
we’re spinning our wheel;
h.
our relationship is off the track;
i.
the marriage is on the rocks; dan
j.
we may have to bail out of this relationship.
Prinsip umum yang mengatur ungkapan-ungkapan atau ekspresi linguistik tersebut bukan terletak pada masalah tata bahasa atau leksikon bahasa Inggris, tetapi pada sistem konseptual yang mendasar dalam bahasa Inggris. Sistem ini membantu memahami konsep cinta dengan menggunakan konsep perjalanan. Dalam contoh ini, nama pemetaannya adalah “Love Is A Journey” atau “Cinta Adalah Perjalanan.” Prinsip tersebut dapat dikemukakan dalam skenario atau pemetaan sebagai berikut. Kekasih yang terlibat dalam hubungan cinta adalah pelancong yang bepergian bersama. Tujuan hidup berdua adalah suatu tempat yang hendak dicapai. Hubungan cinta mereka dapat dianggap sebagai kendaraan yang dipakai untuk mencapai destinasi, tujuan bersama. Perjalanan ini tidak mudah. Perjalanan ini penuh rintangan dan akan ada persimpangan yang membuat mereka harus mengambil keputusan untuk melalui salah satu jalan dan tetap berjalan bersama. Metafora dapat dipahami sebagai pemetaan dari ranah sumber (dalam hal ini “perjalanan”) ke ranah sasaran (dalam hal ini “cinta”). Pemetaan ini terstruktur sangat ketat. Kesatuan dalam ranah “cinta” (misalnya “kekasih”, “tujuan
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
18
bersama,” “kesulitan,” dan “hubungan percintaan”) disesuaikan secara sistematis dengan kesatuan yang ada pada ranah perjalanan (“pelancong,” “kendaraan,” “destinasi,” dsb.). Metafora menguraikan pemahaman pada satu ranah dengan hal yang sama sekali berbeda. Metafora “Cinta Adalah Perjalanan” bukan sekadar kata atau ekspresi. Pemetaan ini terjadi sebagai bagian kerja sistem konseptual manusia. Sistem tersebut mengonseptualisasikan “cinta” sebagai “perjalanan.” Jika metafora dianggap hanya sebagai persoalan ekspresi linguistik, setiap ekspresi linguistik dianggap sebagai metafora yang berbeda. Contoh-contoh yang telah disebutkan seperti we’ve hit a dead-end street; we can’t turn back now dianggap sebagai metafora yang berbeda. Dalam teori ini, metafora sebenarnya hanya ada satu yaitu “cinta” yang dikonseptualisasikan sebagai “perjalanan.” Konseptualisasi ini menelurkan banyak ekspresi metafora yang berbeda-beda. Untuk memetakan satu konsep pada konsep lain, teori ini menggunakan prinsip bahwa pemetaan berada pada tingkatan superordinat dari pada tingkatan basic-level. Pada pemetaan “Cinta Adalah Perjalanan,” “hubungan percintaan” berkesesuaian
dengan
“kendaraan.”
“Kendaraan”
berada
pada
kategori
superordinat yang memuat kategori basic-level seperti “mobil,” “kereta api,” “kapal laut,” dan “pesawat.” Contoh-contoh yang ada menggambarkan hal yang terjadi pada basic-level. Contoh-contoh tersebut di antaranya adalah “mobil” (long bumpy road, spinning our wheels), “kereta api” (off the track), “kapal laut” (on the rocks, foundering), “pesawat” (just taking off, bailing out). Pemetaan yang berlaku bukan ‘A Love Relationship Is A Car’ atau ‘A Love Relationship Is A Boat.’ Pemetaan dilakukan dengan mengeneralisasi basic-level sehingga menjadi satu tingkat lebih tinggi. Dalam kasus ini, basic-level tersebut digeneralisasi dan didapatkan konsep superordinat vehicle atau “kendaraan.” Pada beberapa kasus, ranah sumber dipetakan ke dalam banyak ranah sasaran, contohnya war yang dipetakan ke dalam dua ranah sasaran, yakni argument dan illness. Sebaliknya, ranah sasaran dapat terdiri atas banyak ranah sumber, contohnya time yang dihasilkan dari dua ranah sumber, yakni commodity dan space. Ketidaksitematisan ini disebabkan oleh highlighting (fitur-fitur yang
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
19
ditegaskan dalam pemetaan antara ranah sumber ke ranah sasaran) dan hiding (fitur-fitur yang disembunyikan dalam pemetaan tersebut). Highlighting dan hiding ini terjadi karena hanya beberapa komponen makna yang dipindahkan dari makna harfiah ke makna metaforis (Knowles dan Moon, 2006: 41—43). 2.3
Tipe Metafora Konseptual Lakoff dan Johnson mengidentifikasi metafora konseptual ke dalam tiga
kategori, yaitu metafora struktural, orientasional, dan ontologis. Metafora struktural adalah metafora yang mengonseptualisasi secara terstruktur sebuah konsep dengan menggunakan konsep yang lain. Ranah sumber menyediakan kerangka bagi ranah target. Ranah sumber menentukan cara berpikir dan berbicara tentang sebuah kesatuan konsep pada ranah target. Lakoff dan Johnson memberikan contoh metafora ‘Argument Is War’ yang memunculkan ekspresi metafora sebagai berikut k.
your claims are indefensible;
l.
he attacked every weak point in my argument;
m. his criticisms were right on target; n.
I demolished his argument;
o.
I’ve never won an argument with him;
p.
you disagree? Okay, shoot!;
q.
if you use that strategy, he’ll wipe you out;
r.
he shoot down all of my arguments.
Menurut Lakoff, “Banyak hal yang dilakukan ketika beradu argumen disusun oleh konsep perang.” Oleh karena itu, apa yang terjadi pada perdebatan dikondisikan sebagai peristiwa yang terjadi pada perang. Lakoff dan Johnson memaparkan bahwa jika budaya yang mengonseptualisasikan perdebatan dengan metafora yang berbeda (tarian misalnya), struktur wacana perdebatan tersebut akan berbeda pula. Perdebatan yang dikonseptualisasikan sebagai perang memuat rangkaian berupa serang-menyerang serta kemenangan sebagai tujuan. Namun, jika perdebatan dikonseptualisasi sebagai tarian, sisi estetis dan keseimbangan mungkin akan menjadi prioritas.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
20
Metafora orientasional adalah metafora yang berdasar pada hubungan yang mencakup segala hal yang bersifat spasial atau keruangan. Sifat-sifat spasial itu di antaranya adalah atas/bawah dan masuk/keluar. Contoh metafora dari hal tersebut adalah “Happy Is Up”/ “Sad Is Down” dan “More Is Up”/ “Less Is Down.” Beberapa ekspresi metafora dari ‘More Is Up’/ ‘Less Is Down’ adalah sebagai berikut s.
the number of books printed each year keeps going up;
t.
my income rose last year;
u.
the number of errors he made is incredibly low;
v.
if you’re too hot, turn the heat down.
Metafora orientasional Up/Down lain muncul dalam contoh “Conscious Is Up,” “Health And Life Are Up,” “Having Control Or Force Is Up,” “High Status Is Up,” “Good Is Up,” beserta lawan katanya. Lakoff dan Johnson menyatakan bahwa banyak tipe metafora orientasional ini berlaku universal daripada berlaku pada budaya tertentu. Metafora ontologis adalah metafora yang memperbolehkan kita untuk mengonseptualisasikan benda, pengalaman, dan proses (seberapa pun samarsamar dan abstraknya hal tersebut) seolah-olah hal tersebut memiliki bentuk fisik. Menurut Lakoff dan Johnson (2003: 26), “Once we can identify our experiences as entities or substances, we can refer to them, categorize them, group them, and quantify them—and by this means, reason about them.” Ketika kita dapat mengidentifikasi pengalaman kita sebagai sesuatu yang sungguh ada, kita dapat mengacu padanya, kita dapat mengategorikannya, mengelompokkannya, dan mengukur atau menghitungnya. Contoh yang diberikan Lakoff dan Johnson adalah metafora “The Mind Is Machine” yang memunculkan ekspresi metafora sebagai berikut w. we’re still trying to grind out the solution to this equation; x.
my mind just isn’t operating today;
y.
boy, the wheels are turning now!;
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
21
z.
we’ve been working on this problem all day and now we’re running out of steam.
Metafora “The Mind Is Machine” membentuk konsep bahwa pikiran dapat dinyalakan, dimatikan, mempunyai tingkat efisiensi, mempunyai kapasitas produksi, mempunyai mekanisme internal, sebagai sumber energi, dan mempunyai kondisi yang dapat dioperasikan. Pada beberapa kasus, di antara klasifikasi ini dapat terjadi tumpang tindih. Metafora struktural dan metafora orientasional dapat berfungsi sebagai metafora ontologis. Metafora ontologis bergantung pada struktur ranah sumber. Knowles dan Moon (2006: 41) menyatakan, “Lakoff and Johnson refer to their earlier categorization as ‘artificial’, arguing that all conceptual metaphors are structural and ontological: they also comment that many conceptual metaphors are orientasional.” Lakoff dan Johnson mengacu pada pengkategorian awalnya yang menyatakan semua metafora konseptual adalah struktural dan ontologis. Mereka juga berpendapat bahwa banyak metafora konseptual adalah orientasional. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa metafora konseptual melihat fenomena kebahasaan sebagai fitur yang sistematis, sehingga konseptualisasi yang terjadi terstruktur dan dapat dipahami oleh manusia. Ada beberapa pokok penting yang perlu ditekankan dalam teori Lakoff dan Johnson ini. Pertama, metafora konseptual mempertalikan konsep, bukan persoalan leksikal. Kedua, banyak metafora konseptual yang mengaitkan fenomena abstrak yang sulit untuk didefinisikan. Ketiga, metafora konseptual mungkin berlaku pada budaya tertentu (culture-spesific). Metafora yang menyatakan perdebatan sebagai perang awalnya berlaku pada masyarakat Anglophone Western. Budaya lain mungkin melihat perdebatan berbeda dengan konsep perang. Lakoff dan Johnson percaya bahwa metafora tidak berdasar pada kemiripan, melainkan menyesuaikan konsep pada ranah sumber dengan ranah target. Jika terdapat kemiripan, kemiripan tersebut adalah hasil dari penyesuaian. Penggunaan istilah correspondence atau mapping membantu memastikan bahwa dalam menganalisis metafora konseptual, hubungan berkesesuaian dicapai dari pertalian
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
22
aspect, features, dan roles antara ranah sumber dan ranah target pada tingkatan konseptual. Dalam penelitian ini, teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson digunakan untuk menentukan ranah sumber dan ranah sasaran dari setiap unsur metaforis.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
BAB 3 METAFORA SUFISTIK PADA KACAPIRING
3.1
Pengantar Pemahaman atas dunia tidak mudah ditangkap dan dijelaskan begitu saja
dengan
formula
bahasa
yang
denotatif.
Goenawan
Mohamad
(2011)
mengungkapkan bahwa konsep dan rumus yang “lurus” dan rasional tidak akan pernah memadai untuk menangkap, mengekspresikan, dan mengomunikasikan pengalaman yang penuh rasa pesona, gentar, dan takjub—terutama pengalaman religius. Namun, metafora membantu mengatasi keterbatasan verbal tersebut. Metafora menawarkan jalan lain untuk memahami dunia. Dalam kata-kata Lakoff dan Turner (1989: xi), “Metaphor allows us to understand our selves and our world in ways that no other modes of thought can.” Metafora memperkenankan kita untuk memahami diri dan dunia dalam cara yang lain. Cara lain tersebut, oleh karenanya, menjadi salah satu alat yang penting dalam memahami realitas. Karya-karya sufistik sarat dengan metafora. Dalam setiap tahapan perjalanan rohani, penulis sufi berikhtiar menafsirkan makna keadaan jiwa dan peristiwa-peristiwa batin yang mereka alami serta
kemudian berusaha
mengungkapkan penafsirannya dalam ungkapan estetik sastra (Hadi W. M., 2010b: 1). Para penyair sufi mencoba mengungkapkan peristiwa batin yang dalam itu dalam perumpamaan yang penuh dengan tamsil. Metafora adalah salah satu perangkat yang digunakan untuk mengungkap kedalaman tersebut dalam konsepkonsep yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan teori metafora yang diusung Lakoff (1992), sebuah metafora menunjukkan sesuatu yang sulit dipahami lewat sesuatu yang dekat yang bisa dipahami. Danarto, sebagai salah satu pembawa tradisi sufisme dalam karyanya, juga banyak menggunakan ungkapan metafora. Peristiwa sehari-hari diracik dengan unsur fantastik, yakni sesuatu yang tidak tertangkap oleh nalar dan ilmu. Berbagai peristiwa yang
23 Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
24
disajikannya seakan kita kenal, masih hangat, juga sekaligus menghubungkan dunia seberang sana, yang menghubungkan hidup dengan kematian, kebahagiaan dengan kehancuran, dan keindahan dengan keburukan. Apa pun yang digunakan Danarto sebagai penunjang cerita berubah menjadi metafora, tanda, atau perbandingan terbalik antara dunia kasat dengan alam sunya ruri—istilah yang sering digunakan untuk membahasakan alam metafisika (Azwir, 2010). Sebagai contoh, dalam salah satu karyanya yang terbaru, Kacapiring, Danarto menggunakan tokoh yang bukan manusia. Ia menjadikan pohon dan manusia sebagai tokoh yang saling mengisi, tidak penting apakah pohon tersebut memiliki karakter atau tidak, tetapi pada praktiknya tokoh-tokoh itu lahir dengan unik dan terkadang menjadi ekspresi pengalaman religius atau gagasan Danarto. Bukan hanya benda-benda duniawi, Danarto pun kerap meminjam sosok lain, seperti contohnya malaikat, untuk menguntai jalinan cerita yang disusunnya. Kentalnya ruang mistis Islam Jawa dalam karyanya, masih bisa ditelusuri pada antologi cerpennya yang terbaru, Kacapiring. Dalam karyanya yang terbaru ini, ia mengolah gagasan estetiknya untuk menggambarkan pengalaman spiritual yang sedang ia alami. Metafora dalam Kacapiring karya Danarto layak ditelaah untuk melihat wacana spiritual Islam khususnya fenomena sufi yang berkembang dalam kurun waktu penerbitan karya tersebut—bagaimana sufi berkelindan dengan isu-isu sosial yang aktual. Penelaahan ini juga dilakukan untuk melihat kekhasan metafora yang digunakan Danarto untuk mengalirkan pengalaman religiusnya yang muskil dan gagasan yang terkandung di dalamnya. Metafora yang terdapat dalam Kacapiring sangat beragam. Untuk memudahkan dan memfokuskan analisis, metafora tersebut perlu disusun berdasarkan kategori atau klasifikasi tertentu. Pertama-tama, seluruh ungkapan yang dicurigai sebagai metafora dikumpulkan. Metafora yang berhubungan dengan tema pengalaman religius dipisahkan. Ungkapan-ungkapan ini, jika mengacu pada teori metafora Lakoff (1992), diperlakukan sebagai set of mapping atau set of correspondences. Set of correspondences ini kemudian dianalisis untuk mengetahui bentuk konseptualisasi dan pemetaan persilangan ranah sumber ke
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
25
ranah sasaran. Paparan lebih lanjut mengenai metode ini telah dijelaskan pada bab “Pendahuluan.” 3.2
Gagasan Sufistik dalam Ungkapan Metafora Pada ranah sasaran (target domain), tema yang dominan diusung oleh
Danarto adalah kematian, keindahan, dan Tuhan. Selain itu, terdapat juga tematema yang berkaitan dengan tiga tema inti tersebut. Sebagai contoh, dalam tema kematian, disinggung juga konsep hidup. Dalam tema Tuhan, dibahas juga kekuatannya. Tema-tema tersebut muncul dalam metafora yang beragam. 3.2.1 Kematian yang Menghidupkan Kematian adalah sesuatu yang tidak terelakkan dalam hidup manusia. Kematian adalah pilihan yang tidak memiliki opsi. Kematian adalah kepastian tunggal. Kematian hadir dengan proses yang beragam. Kematian juga ditanggapi dengan beragam. Namun, uniknya, manusia menanggapi kematian secara apriori—berpraanggapan sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya. Beragam tanggapan itu tidak hanya muncul dari penulis yang berbeda-beda. Dalam satu penulis saja, bahkan dalam satu kumpulan cerita pendek, kematian dapat diekspresikan berbeda-beda. Danarto dalam Kacapiring menggunakan beragam metafora untuk memaparkan pandangannya mengenai kematian. Ragam metafora kematian tersebut akan dipetakan dan dikelompokkan berdasar teori Lakoff dan Johnson. 3.2.1.1 Metafora “Kematian Adalah Kepergian” “Hari ini saya mati. […] Mereka sangat kehilangan karena kepergian saya yang tiba-tiba dalam usia muda” (Danarto, 2008: 7). Ungkapan tersebut adalah kalimat pertama yang membuka cerpen “Jantung Hati.” Kalimat tersebut mengguncang, sekaligus menawarkan suatu keadaan yang mendekatkan pembacanya pada alam setelah kehidupan. Selain itu, ungkapan yang menjadi awal cerpen “Jantung Hati” ini juga menawarkan kisah yang berbeda dengan tafsir tentang kematian. Danarto memosisikan keakuannya dalam kematian untuk menghilangkan kesan apriori. Cerpen ini memaparkan keadaan yang sedang
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
26
terjadi. Cerpen ini menghilangkan kesan cerita yang penuh dengan pandangan yang ada sebelum mengetahui keadaan kematian yang sebenarnya. “Jantung Hati” menyajikan laporan langsung dari seorang yang memang benar sudah berada di alam lain. Dalam ungkapan di atas, dapat ditemukan “Mereka sangat kehilangan karena kepergian saya.” Ungkapan ini sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga dikenal ungkapan “dia belum pergi” yang menunjukkan bahwa ‘dia’ masih hidup atau “kita kehilangan dirinya,” yang memberikan pemahaman bahwa ‘dirinya’ telah meninggal. Kematian diungkapkan dengan kata kepergian. Konsep kematian dijelaskan menggunakan konsep pergi. Penggunaan konsep pergi untuk menggambarkan kematian menunjukkan adanya sistem metafora pada pikiran yang bekerja. Hal tersebut muncul dalam skenario yang menyesuaikan kematian dengan kepergiaan. Kepergian adalah proses awal untuk meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang baru. Kepergian juga dapat dimaknai sebagai perpindahan. Konsep tersebut dapat membuat kematian bisa dipahami sebagai titik akhir kehidupan dan titik awal untuk pergi menuju kehidupan yang baru. Mengacu pada teori Lakoff dan Johnson, skenario ini memunculkan metafora yang menggunakan pemetaan “Kematian Adalah Kepergian.” Metafora “Kematian Adalah Kepergian” mengatur ungkapan-ungkapan lain yang juga muncul pada Kacapiring. Ungkapan tersebut dapat di antaranya adalah, a. b. c. d. e.
Mereka kehilangan karena kepergian saya yang tiba-tiba dalam usia muda (Danarto, 2008: 7); Serangan jantung adalah transportasi yang paling jitu untuk transformasi (Danarto, 2008: 10); Kematian telah memindahkan kesadaran ke alam lain (Danarto, 2008: 10); Baru saja saya menyadari telah berada di alam lain, (Danarto, 2008:7); Rumah sakit ini rasanya menebarkan arus kematian. Terasa pada tengkuk dan telapak tangan yang dingin (Danarto, 2008: 34).
Contoh yang paling eksplisit mengekspresikan metafora “Kematian Adalah Kepergian” yaitu contoh (a). Pada contoh (c) dijelaskan bahwa kepergian tersebut adalah perjalanan menuju alam lain. Hal tersebut juga dapat dilihat dalam contoh
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
27
(d). Perjalanan menuju alam lain ini membawa konsekuensi perubahan bentuk atau rupa tubuh. Tubuh bertransformasi. Transformasi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai perubahan rupa (bentuk, sifat, dan fungsi). Metafora ini juga memunculkan ekspresi metafora lain yang berhubungan yaitu transportasi. Dalam KBBI, transportasi bermakna pemindahan barang oleh kendaraan. Dalam contoh (c) dijelaskan bahwa kendaraan yang memindahkan kesadaran ke alam lain adalah serangan jantung. Contoh (e) menunjukkan gerak atau peredaran yang diwakili oleh frase arus kematian. Kepergian juga dapat disebabkan oleh undangan, ajakan, atau jemputan. Kematian ditandai dengan datangnya malaikat Izrail untuk mengajak pergi. Malaikat Izrail datang menjemput secara tiba-tiba. Ketiba-tibaan itu dijelaskan Alquran dalam surat Luqman ayat 31—34, "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Persilangan ranah yang menunjukkan konsep menjemput dan tiba-tiba ini terdapat pada kalimat “Pernah dua kali ia datang sebelumnya, tetapi tulang dan darah saya menolaknya dengan berkata bahwa saya belum siap dijemputnya” (Danarto, 2008: 8) dan “Kiai selalu mengingatkan bahwa kematian tidak mengetuk pintu” (Danarto, 2008: 25). Kematian juga diuraikan dalam metafora kendaraan. Hal tersebut dapat dilihat dalam ungkapan “Setiap orang butuh kendaraan. Hanya kapan kendaraan itu ditumpangi, sungguh masalah waktu. Kendaraan hidup, kendaraan mati, hanyalah pemisah jenis” (Danarto, 2008: 11). Tidak ada beda antara hidup dan mati, keduanya adalah kendaraan yang hanya berbeda nama. Kematian itu hanyalah kendaraan untuk perpindahan ke alam lain. Alam lain, sebagai sebuah destinasi dari kematian diungkapkan beragam pula. Alam setelah kehidupan itu dimaknai sebagai “pengadilan” dalam kalimat “Kematian adalah jalan menuju
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
28
pengadilan” (Danarto, 2008: 9) dan yang paling eksplisit adalah “alam yang jauh lebih baik ketimbang alam sebelumnya” (Danarto, 2008: 11). Metafora “Kematian Adalah Kepergian” ini memainkan alur cerita pada “Jantung Hati.” Cerpen ini membentangkan perjalanan dari titik awal kepergian— yaitu kematian—hingga titik akhir destinasi yang dituju. Tokoh utama aku-lirik meninggal karena serangan jantung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, serangan jantung adalah kendaraan yang mengantar tokoh aku-lirik menuju titik awal kepergian. Setelah meninggal, aku-lirik digiring oleh malaikat yang menjelma kembang-kembang yang memenuhi angkasa. Alur tersebut dengan lihai memainkan ketegangan sebuah perjalanan menuju destinasi akhir tempat segala perbuatan dipertanggunjawabkan. Aku-lirik masuk lorong kabut tebal yang terus bertambah panjang. Kabut tebal tersebut seakan menjadi pertanda begitu rahasia dan tertutupnya rupa surga. Bagian akhir cerita secara mengejutkan menggiring pembaca pada pelabuhan yang tidak dituju pada awalnya. Rupa surga, destinasi akhir dari sebuah perjalanan, ditampilkan lain. Surga ternyata tidak dipenuhi bidadari-bidadari cantik. Surga ternyata dihuni oleh keluarga aku-lirik. Aku-lirik bertemu anak dan istrinya dalam adegan yang sangat indah, “Terdengar suara musik yang lamat-lamat. Suara suling terdengar mengalun jauh. Disusul gerakan biola yang serempak bagai kaki-kaki yang diciumi buih laut di tepi pantai. […] Tiba-tiba dari gumpalan kabut depan muncul istri saya dan anak-anak. Begitu melihat saya, keempatnya berlari ke arah saya” (Danarto, 2008: 12—13). Keluargalah yang menjadikan hidup lebih berarti, bahagia, dan menyenangkan. Kira-kira itulah bentuk keindahan surga, berkumpul dengan keluarga di alam fana. 3.2.1.2 Metafora “Kematian Adalah Kebahagiaan” Penggunaan tokoh utama aku-lirik dalam cerpen “Jantung Hati” yang menceritakan peristiwa kematian yang pernah dialaminya memperlihatkan bahwa Danarto ingin menekankan bahwa kematian yang diceritakan oleh orang-orang yang belum pernah mengalaminya hanyalah sebuah praanggapan. “Jantung Hati” secara tegas mengungkapkan, “[…] Saat ini saya sedang menempuh alam kubur.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
29
Ketika menghadapi kenyataan di alam kubur ini, saya mendapati realitas yang berbeda, bahkan bertentangan dari tafsir para kiai” (Danarto, 2008: 11). Realitas berbeda tentang kematian yang diungkapkan jauh sekali dengan perumpamaan
kematian
yang
dilekatkan
dengan
peristiwa
Perumpamaan
kematian
yang
disajikan
“Jantung
Hati”
mengerikan. mengukuhkan
pertentangan dengan cerita kematian yang sering diungkapkan dan seolah menjadi doktrin agama. “Jantung Hati” ingin mendobrak cara pandang para kiai tentang kematian yang kemudian seperti menjadi doktrin agama. “Masalahnya, ‘pengalaman’ dan ‘berita’ bedanya seperti malam dan siang. Yang satu sudah mengalami alam kubur, sedang yang lain baru dalam taraf teori” (Danarto, 2008: 11). Ceramah kiai mengenai kematian biasanya ditekankan pada keadaan sakratulmaut. Sakratulmaut adalah keadaan saat menjelang kematian, keadaan “bergulat memperebutkan nyawanya dengan Malaikat Izrail” (Danarto, 2008: 34). Dalam hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasul menyebutkan, “Sakratulmaut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” Bukhari juga meriwayatkan sabda Rasul mengenai kematian, “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?” Doktrin rasa sakit dan mengerikan yang lekat dengan kematian ini seringkali menjadi bahan ceramah. Hal ini diperkuat dengan landasan yang ada pada Alquran surat al-An’am ayat 93, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata)“Keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya." Ketakutan menjadi gerbang utama dari persepsi kematian. Danarto juga mengamini pernyataan tersebut, “Mati adalah ketakutan itu sendiri.” Selain menakutkan, kematian ini juga dipersepsikan sebagai kepastian (takdir), tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati. Kepedihan kematian yang tidak terelakkan ini
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
30
menjadi realitas yang bercampur dengan rasa takut, cemas, ngeri dan sejumlah perasaan lain. Di tangan Danarto, kesan doktrin agama yang menekankan cerita kematian pada keadaan sakratulmaut berubah menjadi menarik dan unik, tiada kesan instruktif tetapi menyelami kesadaran dan mengubahnya. “Jantung Hati” menawarkan metafora “Kematian Adalah Kebahagiaan.” Taburan metafora yang memaparkan kematian sebagai sesuatu yang membahagiakan terungkap dari kalimat berikut. “Ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak berbatas, luas bagai cakrawala. Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir. Terhadap kematian, sungguh seharusnya tidak diucapkan ikut berduka-cita sedalam-dalamnya. Yang diucapkan mestinya ikut bersuka ria semeriah-meriahnya. Karena, ya itu tadi, kematian itu membahagiakan. Dalam kematian, bernapas lebih lega. Beban berat di hati terpunggah. Penderitaan hidup lenyap. Kematian telah memindahkan kesadaran ke alam lain. Kesedihan adalah penderitaan. Kematian bukan kesedihan. Bagi manusia, kematian adalah jantung hati. Pujaan. Pasangan kelahiran. Hasrat utama kehidupan” (Danarto, 2008: 10). Konsep metafora yang memperlihatkan kematian sebagai kebahagiaan ini bertalian dengan surat al-Baqarah ayat 94, “Katakanlah: Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar.” Dalam hal kematian, Danarto lebih menekankan sikap optimisme alih-alih menakut-nakuti. Danarto mengungkapkan bahwa di balik kematian itu ada kebahagiaan. Tema kematian sebagai sesuatu yang membahagiakan ini mirip dengan cerita Syekh Siti Jenar yang dihukum mati. Berbagai versi dan rujukan mengenai pengadilan Syekh Siti Jenar bisa didapatkan di banyak babad dan tek-teks keagamaan lainnya. Dalam banyak hal, unsur-unsur dasar ceritanya tetap sama (Woodward, 1999: 148). Syekh Siti Jenar ditangkap dan diminta datang ke masjid oleh murid utusan Sunan Giri di goa tempat Syekh Siti Jenar bertapa. Ketika utusan ini tiba, mereka diberitahu, hanya Allah yang ada dalam goa. Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke goa dan menyuruh Allah untuk segera menghadap para wali. Kedua santrinya itu kemudian
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
31
diberitahu, Allah tidak ada dalam goa, yang ada hanya Syekh Siti Jenar. Mereka kembali ke Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik Allah maupun Syekh Siti Jenar. Kali ini Siti Jenar keluar dari goa dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Kisah Syekh Siti Jenar ini mendapat pengaruh kisah historis al-Husain bin al-Manshur al-Hallaj, sufi Persia. Dialog antara Syekh Siti Jenar dengan utusan walisongo yang memanggilnya untuk datang ke sidang walisongo berikut dihukum matinya Syekh Siti Jenar sendri, persis sama dengan kisah al-Hallaj yang juga dihukum mati. Inti pernyataan Syekh Siti Jenar dalam dialog dengan utusan walisongo itu sama sebangun dengan inti pernyataan al-Hallaj, “Ana al-Haq.” (“Akulah kebenaran”; “Akulah Tuhan”) (Rahman, 2010: 10). Akhir hayat alHallaj sangat dramatis. Ia dianggap kafir oleh fatwa Muhammad bin Dawud, ulama madzhab Dhahiri. Ia kemudian dihukum mati. Jasadnya disiram minyak dan dibakar. Dikisahkan sebelum ajal, ia sempat membaca sajaknya sendiri, Bunuhlah aku, hai kepercayaanku sungguh dalam pembunuhanku adalah hidupku Matiku ada dalam hidupku dan hidupku ada dalam matiku Cerita tersebut tumbuh subur di tanah Jawa. Ketegangan dalam riwayat alHallaj—antara mereka yang berpegang pada hukum yang tersusun sebagai sistem dan mereka yang lebih hidup dengan bahasa mistik yang ‘liar’ dan personal— punya gema yang kuat di Jawa sejak abad ke-15. Pengaruh ini juga dirasakan pada kisah Malangsumirang yang sering dikaitkan dengan sebuah suluk yang konon ditulis Sunan Panggung. Malangsumirang yang dipetik dari Babad Jaka Tingkir ini diulas oleh Goenawan Mohamad (2011). Malangsumirang dianjurkan oleh Sunan Kudus untuk kembali berada di jalan syariat. Perintah itu tidak diindahkan Malangsumirang. Para wali kemudian bersepakat, Malangsumirang harus dihukum mati “karena menerjang/larangan syariat”, karena ia “mengaku jadi badan dari sang roh/ dan bahkan mengaku jadi tempat Ilahi”—“angaku badan rokani/kabanjuré angaken kahaning hyang.” Malangsumirang pun dibakar hidup-
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
32
hidup. Namun, Malangsumirang tidak gentar. Ia bahkan girang dan menggebu. Baris
sajak
al-Hallaj
di
atas
juga
bergaung
dalam
kata-kata
ketika
Malangsumirang menulis tembang di tengah api, “bisa mati jroning urip/urip sajroning praline.” Dalam sajak tersebut dapat diketahui bahwa al-Hallaj dan Malangsumirang tidak menganggap kematian sebagai sesuatu yang perlu ditakuti. Kematian dalam tradisi sufi dianggap sebagai puncak kesatuan mistis. Kepergian hamba kepada Tuhannya merupakan keniscayaan. Penyatuan diri dengan Tuhan dicapai lewat penyatuan roh, sementara raga atau tubuh hanya dianggap sebagai pakaian. Metafora yang menjelaskan raga atau tubuh adalah pakaian terdapat juga dalam Kacapiring. Untuk mendapat gambaran mengenai pandangan ini, berikut dikutip agak panjang. “Seperti dalam hal berpakaian, misalnya. Setiap orang berpakaian, kan? Kapan pakaian itu dilepas, hanya soal waktu. Tubuh, berfungsi sebagai pakaian, punya ukuran yang hanya pas untuk pemiliknya masing-masing. Tak bisa tubuh yang satu dipakai oleh orang lain. Begitu juga sebaliknya. Jika terjadi yang demikian, muncul kekacauan. Seperti kerasukan. Orang yang kerasukan tak mampu lagi memegang dirinya sendiri. Tak mampu lagi memegang dirinya sendiri. Tak mampu mengenali pakaiannya lagi. Ke mana-mana, kita memakai pakaian itu sehingga menjadi identitas. Tak tahunya malah menjadi beban. Selama hidup hanya disibukkan oleh pakaian itu. Mengapa orang mau berpikir keras perkara pakaian, mengapa orang mau berpikir tidak keras perkara pakaian? Setiap orang punya pilihan, padahal tidak ada yang menyuruhnya memilih. Orang senang karena punya penampilan. Sempat disiarkan televisi, tukang sapu jalanan memakai seragam yang apik, potongan maupun warnanya. Jika tidak suka berpenampilan, dianggap tak punya selera, padahal orang memilih penampikan karena kebutuhan dan rasa kesadaran. Pakaian memang didudukkan paling depan, lebih dari jati diri. Dari sini awalnya kesalahan penilaian. Saya cukup peduli soal pakaian, sedia makanan suplemen dan banyak vitamin, tetapi saya mati karena pakaian saya memberontak. Dalam beribadah kita telanjang, begitu khotbah Kiai Muhammad Nurullah dari sebuah kelompok pengajian di mana saya ikut sebagai jamaahnya. Pakaian tak ada gunanya. Tak ada rahasia yang bisa disembunyikan. Sering dalam beribadah kita mematut-matut diri seolah kita masih berpakaian. Banyak yang berharap bisa mati ketika sedang beribadah sesuci-sucinya sehingga tak perlu pakaian lagi. Tetapi, siapa yang cukup kuat dengan
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
33
mengesampingkan pakaian? Ah, pakaian, saya hanyalah manusia” (Danarto, 2008: 11—12). Manusia seringkali terlalu sibuk mengurus kehidupannya. Fokus manusia adalah mematut tampilan luar yang menjadi identitas duniawi. Tuhan tidak memandang hambanya dari identitas duniawinya, tetapi dari ibadahnya. Itu sebabnya identitas duniawi yang tidak ada gunanya ini ditanggalkan ketika beribadah. Dalam akhir metaforanya, dijelaskan bahwa ternyata manusia tidak cukup kuat untuk tidak memikirkan identitas dunianya. Kematian yang muncul dalam metafora kebahagiaan berhubungan dengan bagaimana Danarto memetaforakan kehidupan. Adanya kematian tidak lain karena adanya kehidupan. Dalam “Jantung Hati” terdapat ungkapan “Dalam kematian, bernapas lebih lega. Beban berat di hati terpunggah. Penderitaan hidup lenyap” (Danarto, 2008: 10). Ungkapan tersebut dapat dirumuskan dalam konsep metafora “Kehidupan Adalah Penderitaan.” Lakoff dan Turner juga pernah merumuskan metafora serupa dalam kaitannya dengan kematian. Lakoff dan Turner menggunakan konsep metafora “Life Is Burden.” Skenario metafora “Life Is A Burden” didapat dari metafora dasar “Difficulties Are Burdens” yang koheren dengan metafora “Life Is A Journey.” Rintangan dalam perjalanan berkesesuaian dengan kesulitan dalam kehidupan. Ketika kehidupan dipahami sebagai suatu keadaan yang konstan, keadaan yang tidak henti-hentinya diwarnai kesulitan, kehidupan akan dianggap sebagai beban dan penderitaan. Dalam Kacapiring, kehidupan diekspresikan dalam metafora yang mengisyaratkan penderitaan. Hal tersebut dapat dilihat dalam ungkapan berikut, f. g. h. i.
Dunia memang penuh penderitaan (Danarto, 2008: 34); Hidupnya sangat berat (Danarto, 2008: 135); Betapa hidup penuh pasang surut yang berbahaya (Danarto, 2008: 138); Seluruh pahit getir hidup yang saya alami ternyata berada di sebuah dunia yang tidak ada (Danarto, 2008: 10).
Kalimat (f) secara eksplisit menggambarkan bahwa dunia, tempat kehidupan, penuh penderitaan. Kalimat (g) menjelaskan bahwa hidup adalah beban. Kalimat
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
34
(i) menjelaskan bahwa hidup penuh pahit getir. Pahit getir tersebut menunjukkan berbagai kesulitan dan penderitaan dalam perjalanan hidup. Dalam kalimat (i) juga dijelaskan bahwa pahit getir itu sebenarnya adalah perasaan yang berada di alam mimpi. “Dunia tinggal kenangan di alam mimpi. Keluarga saya, ternyata keluarga yang ada di alam impian. Seluruh pahit getir hidup yang saya alami ternyata berada di sebuah dunia yang tidak ada. Adam dan keturunannya adalah maya, ciptaan yang tidak ada, tak ada tempat yang begitu buruk seperti dunia sehingga setelah menciptanya Tuhan pun melengos” (Danarto, 2008: 10). Hidup yang penuh penderitaan ini juga dimaknai sebagai alam yang sementara. Danarto menekankan prinsip metafisis bahwa alam semesta hanya wujud nisbi yang pada hakikatnya tiada dan dapat lenyap serta melebur. “Hidup barangkali sebuah ruang yang sesungguhnya tidak ada […] Apa yang dapat dipikirkan ketika memejamkan mata, hilang ketika merambah realita” (Danarto, 2008: 99). Hidup di dunia adalah sebuah fase yang akan berakhir pada suatu titik. Titik ini adalah awal perjalanan sesungguhnya, yaitu kematian. 3.2.1.3 Metafora “Mati Adalah Tidur” Konsep kematian atau mati juga dijelaskan menggunakan konsep tidur. Konsep pemetaan ini dapat disebut dengan pemetaan “Mati Adalah Tidur.” Tidur adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berhentinya kesadaran dalam waktu yang sesaat. Tidur ditandai dengan memejamkan mata dan biasanya dalam posisi berbaring. Konsep inilah yang dipinjam untuk menjelaskan konsep mati. Kematian ditandai dengan berhentinya kesadaran dalam waktu yang lama. Keterangan waktu yang lama ini biasanya ditambahkan untuk membedakannya dengan tidur. Hal itu dapat dilihat pada contoh, “Kamu hanya punya warga yang bergeletakan tidur di sepanjang abad” (Danarto, 2008: 54). “Di sepanjang abad” menunjukkan waktu yang tidak sebentar. Kata “pulas” juga digunakan untuk mengonsepkan keadaan yang tidak sebentar. Tidur pulas biasanya berlangsung lebih lama dari tidur yang tidak nyenyak. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh “Mayat-mayat itu lebih mengesankan sedang tidur pulas” (Danarto, 2008: 51).
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
35
Konsep lemahnya kondisi badan juga ditambatkan agar sesuai dengan konsep kematian. Kata terkulai digunakan dalam kalimat berikut, j. k.
“Ajeng dan Antok menangis sambil memeluk kaki Astri yang terkulai seperti mati” (Danarto, 2008: 37); “Rupanya jantung saya tidak kuat lagi menanggung ketegangan, putuslah perangkat itu, dan saya lantas duduk terkulai di belakang setir tak bangun-bangun lagi”(Danarto, 2008: 7).
Meskipun kalimat (k) menggunakan kata duduk, konsep kematian masih bisa dilihat karena duduk tersebut disandingkan dengan kata terkulai dan tak bangunbangun lagi. 3.2.2 Keindahan yang Tersembunyi Kacapiring menawarkan perbincangan mengenai keindahan. Konsepkonsep tentang keindahan muncul dalam Kacapiring untuk menerangkan peristiwa-peristiwa ataupun hal-hal yang berkaitan dengan agama. Pada bagian ini, pembahasan yang mendalam difokuskan pada konsep tentang keindahan. 3.2.2.1 Metafora “Malaikat Adalah Bunga” Dalam alur perjalanan kematian hingga menemui surga pada “Jantung Hati,” sosok aku-lirik beriringan bersama malaikat yang muncul dalam sosok yang indah. Kadang ia melentur, melenting, melayang, mengalun dengan sinar yang memancar. Munculnya malaikat dalam sosok yang mewakili keindahan tentu adalah konsekuensi dari alur perjalanan menuju kebahagiaan. Metafora yang memaparkan “Kematian Adalah Kebahagian” memunculkan metafora malaikat yang tidak dilambangkan dengan suatu sosok yang keji. Untuk menjemput orang menuju kebahagiaan, maka dimunculkan sosok yang lekat dengan keindahan. Sosok keindahan yang diwakili oleh malaikat Izrail dilambangkan dengan bunga. Bunga dalam hal ini juga tampak sebagai metafora untuk keindahan. Dalam KBBI, bunga bisa dimaknai sebagai “sesuatu yg dianggap elok (cantik).” Dalam kasus ini, bunga hanya salah satu contoh yang dapat mewakili keindahan. Bentuk metafora yang muncul dalam teks adalah metafora “Malaikat Adalah Bunga.” Bentuk ini bermakna bahwa malaikat muncul dalam sosoknya yang indah.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
36
Dalam Alquran, malaikat adalah makhluk Allah yang mempunyai ketaatan mutlak terhadap Allah. Surat Attahrim ayat 6 menyatakan bahwa malaikat, “[…] tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Malaikat diciptakan dengan fungsinya yang berbeda-beda. Malaikat, menurut hadis yang diriwayatkan Aisyah, diciptakan dari cahaya. “Malaikat diciptakan dari cahaya, Jin diciptakan dari api neraka, dan Adam diciptakan sebagaimana kalian (diciptakan).” Malaikat juga dijelaskan mampu berubah wujud di luar kebiasaan. Dalam kaitannya dengan kematian, ada malaikat yang ditugaskan untuk mencabut nyawa. Malaikat itu adalah malaikat Izrail. Wujud penampakan malaikat Izrail berkesesuaian dengan amalan orang yang hendak dicabut nyawanya. Salah satu surat dalam Alquran, misalnya surat Muhammad Ayat 27 menyebutkan, “Bagaimanakah (keadaan mereka kelak) apabila malaikat mencabut nyawa mereka, seraya memukul muka dan punggung mereka?” Dalam surat anNahl ayat 32, malaikat mewujud dalam bentuk yang sangat ramah, “(yaitu) orangorang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): ‘Salaamunalaikum’ (salam sejahtera bagimu), masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” Malaikat Izrail dalam Kacapiring muncul dalam sosoknya sebagai bunga, “Lalu muncul sekuntum malaikat di depan saya. […] Rasanya ialah sekuntum malaikat yang mencabut nyawa saya: Izrail” (Danarto, 2008: 8). Tubuh malaikat itu mewujud dalam beragam jenis bunga. “Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah-ubah bentuknya, “dari mawar, lalu melati, kemudian kenanga, lantas bunga matahari, lalu berubah lagi menjadi anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet, hijau, dan oranye” (Danarto, 2008: 9). Malaikat menjelma bunga dengan ukuran yang tidak lazim, “Kembang-kembang itu ukurannya lebih besar ketimbang manusia […] kadang mekar besar sekali memenuhi angkasa (Danarto, 2008: 9).” Malaikat adalah perantara yang menghubungkan keindahan dengan kebahagiaan. Wujudnya yang berbentuk bunga mencerminkan bahwa malaikat bisa menampilkan sosok keindahan kepada mereka yang di dunianya berlaku baik.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
37
Selain berwujud bunga, malaikat pada cerita ini juga ditampilkan dengan tubuh yang dipenuhi mata. “Tubuh malaikat itu dipenuhi mata yang bukan main banyaknya, boleh jadi tak terhitung” (Danarto, 2008: 8). Mata ini berfungsi ketika mencabut nyawa. “Setiap satu mata Izrail mengedip, satu nyawa tercabut dari tubuh manusia” (Danarto, 2008: 8). Izrail adalah suatu lambang kematian, dialah malaikat pencabut nyawa. Imaji banyak mata di atas identik dengan sikap Izrail yang terkesan tanpa belas kasihan, hanya taat pada perintah Tuhan. Tanpa tedeng aling-aling, dia mencabut nyawa manusia dengan mudah ibarat seseorang yang mengedipkan mata. Meskipun demikian, analogi tercerabutnya nyawa dengan kedipan mata yang dilakukan Izrail bukannya menjelaskan bahwa tiada kontrol darinya, namun itu adalah sebuah keteraturan tunggal yang telah ditetapkan Tuhan. Malaikat juga menjelma penuntun arah. Hal ini terkait dengan kondisi perjalanan setelah kematian yang digambarkan dengan kabut tebal. Kabut tebal ini memaparkan bahwa perjalanan tersebut diliputi misteri. Dalam misteri tersebut, malaikat menjadi pemandu agar si tokoh aku-lirik tetap berada pada jalur yang telah ditentukan. “Kabut itu cukup tebal, cukup menutupi jalan di depan sehingga keberadaan malaikat itu menjadi penentu arah jalan saya” (Danarto, 2008: 10). Terlepas dari bentuk Izrail yang sebenarnya, sosok yang ditawarkan Danarto ini cukup mengubah citra Izrail yang menakutkan. Metafora “Malaikat Adalah Bunga,” visualisasi tubuhnya yang dipenuhi mata, dan perjalanannya dalam kabut adalah penafsiran baru Danarto tentang dunia selanjutnya, dunia kubur dan akhirat. Danarto dalam metafora ini menawarkan pengungkapan baru bahwa dunia gaib tidak selamanya identik dengan wajah yang sudah digambarkan banyak tokoh keagamaan. 3.2.2.2 Metafora “Karya Seni Adalah Keindahan” Konsep keindahan dalam Kacapiring juga muncul dalam “Telaga Angsa.” Cerpen ini menceritakan perdebatan keluarga mengenai unsur pornografi dalam tarian. Tarian, dalam cerpen ini, memetaforakan keindahan. Sifat-sifat indah seperti kecantikan, keelokan, dan keadaan yang enak dipandang muncul juga
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
38
dalam tarian. Keindahan dapat dirumuskan dalam metafora “Tarian Adalah Keindahan.” Keelokan secara eksplisit diungkapkan melekat pada para penarinya, “Sekalipun dengan mata terpejam, siapa pun tak bakal salah memilih, semua balerina itu elok” (Danarto, 2008: 72). Keindahan itu juga diekspresikan dalam bahasa tari sebagai berikut. “Kaki-kaki jenjang putih para balerina meluncur ke sana kemari. Membentuk komposisi yang senantiasa berubah. Angsa-angsa putih menyelam, menyembul, dan mengepak beberapa saat di atas permukaan air, lalu mendarat kembali. Mereka saling memagut dan bercinta. Asmara angsa, adakah yang lebih indah daripada tubuh yang bergetar […]” (Danarto, 2008: 70). Tarian balet yang mewakili konsep keindahan ini adalah tarian balet para balerina Rusia, Russian State Ballet of Moscow yang memainkan Swan Lake karya Tchaikovsky. Lakon Swan Lake menceritakan dayang-dayang istana dan ratunya yang disihir menjadi angsa. Pertunjukkan balet ini ditonton oleh keluarga yang terdiri atas Zahra, ayahnya, ibunya, kedua adiknya, kakek dan neneknya, juga tante dan omnya. Keindahan ini menjadi dasar pendapat Zahra, yang pada cerpen ini menjadi tokoh utama, atas tuduhan kakeknya yang menganggap tarian ini mengandung unsur pornografi karena kostum para penarinya mengumbar aurat. Kakek menganggap kostum ketat para pebalet itu tidak mempertimbangkan moral dan agama. Namun, Kakek tidak berpendapat demikian terhadap tari bedoyo yang juga menggunakan pakaian tidak tertutup. Kakek juga mengaitkan moral dan agama ini dengan kepercayaan orang-orang Rusia yang ateis. Zahra berpendapat bahwa moral dan agama terletak pada keindahan kesenian itu. “Betapa luhurnya seseorang yang tidak percaya akan Tuhan, namun tariannya memberikan pencerahan kepada kita yang salat lima kali sehari, bukankah itu artinya mereka telah berdakwah tentang kebenaran?” (Danarto, 2008: 74). Dalam mempertahankan pendapatnya, Zahra juga mengungkapkan hubungan antara keindahan, Tuhan, dan wujudnya yang kental dengan gagasan sufistik. “Wajah Allah itu memancar memenuhi alam semesta dan kita makhluk
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
39
ciptaanNya dapat menatap Wajah itu secara gamblang. […] Allah itu indah, Allah mencintai keindahan” (Danarto, 2008: 76). Kisah serupa mengenai keindahan dijabarkan pula oleh cerpen “Si Denok.” Dalam cerita ini, keindahan diwakili oleh karya seni rupa. Keindahan dirumuskan oleh metafora “Karya Seni Rupa Adalah Keindahan.” Karya seni rupa yang dimaksud dalam cerpen ini adalah koleksi lukisan dan patung Bung Karno di istananya. Lukisan dan patung tersebut banyak sekali yang menggambarkan wanita telanjang. Karya seni rupa tersebut di antaranya adalah lukisan Si Denok karya Pastori dari Swiss dan patung laki-laki pemanah telanjang karya Strobl dari Hongaria. Karya seni rupa ini ditentang oleh pemuda revolusioner Indonesia yang menjadi tamu istana. Mereka menyebut koleksi seni rupa Bung Karno bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran yang luhur dan agung. Bung Karno membantah, “Lukisan dan patung wanita telanjang adalah lambang keindahan. Jika nilai-nilai ketimuran kita bukan keindahan, lebih baik aku tinggalkan” (Danarto, 2008: 81). Namun, “Si Denok” menempatkan moral dan agama di pihak yang berbeda dengan kesenian. “Moral dan agama di satu pihak dan kesenian di seberang yang lain. Kalau dicampur urusannya, bisa kacau” (Danarto, 2008: 83). Uniknya, Danarto menggunakan budaya Barat, dalam hal ini tari balet, sebagai lawan dari doktrin agama yang menganggap bahwa tari dengan kostum yang mengumbar aurat adalah dosa. Tidak tanggung-tanggung, negeri Barat itu adalah Rusia yang mayoritas ateis. Danarto juga menyebutkan pembuat karya seni rupa yang berasal dari Swiss dan Hongaria sebagai wakil budaya barat. Pelukis yang berasal dari Swiss ini juga merupakan seorang Pastori. Hal ini mau tidak mau juga mengundang perdebatan yang melibatkan ketuhanan di dalamnya. Improvisasi Danarto ini dapat dimaknai sebagai cara untuk tawar-menawar dengan tradisi, agama formal, anggapan umum, dan konstruksi sosial. Sangat masuk akal kiranya jika Danarto mengambil ke dalam ceritanya pengaruh sufisme yang lebih menekankan cinta dalam hati untuk melawan agama yang formal terorganisasi. Dalam dua metafora ini, Danarto seakan memberi alternatif
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
40
pemaknaan lain terhadap kaidah dan aturan yang ditekan-tekankan oleh tradisi, konstruksi sosial, dan agama. Pada akhir cerita “Telaga Angsa,” Danarto menawarkan dua pernyataan sama kuat “Tidak ada pornografi dan pornoaksi dalam tari bedoyo” dan “Sebagaimana balet, tidak ada ponografi dan pornoaksi.” “Si Denok” ditutup dengan “Ada wanita yang bisa mengangkat senjata, ada wanita yang khusus memberikan keindahan. Keduanya memiliki kekuatan yang setara.” Kalimat ini dibiarkan menggantung untuk kemudian dinilai (atau bahkan dianut) oleh pembacanya. 3.2.3 Cermin Wajah Tuhan Tuhan menjadi persoalan sentral dalam pembicaraan ilmu pengetahuan. Tuhan tidak hanya ditemukan dalam teks-teks keagamaan. Teks-teks filsafat, sejak dulu, juga menghimpun segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya mengenai Tuhan, alam, dan manusia. Tuhan juga muncul dalam karya seni dan sastra dalam berbagai bentuk dan ungkapan. Tuhan disajikan melalui ungkapan estetik tertentu dalam upaya seniman menyingkap kehadiran-Nya yang diliputi rahasia. Beberapa persoalan yang muncul dalam wacana ini adalah persoalan nama-nama, sifat-sifat, dan esensi Allah, serta bagaimana keesaan-Nya dipahami dan diterapkan oleh manusia (Woodward, 1999: 102). Dalam Kacapiring, konsep Tuhan dan pewujudannya juga memegang peranan penting dalam cerita. Konsep ini muncul dalam berbagai ekspresi metafora. Ekspresi metafora ini hadir tidak hanya dalam cuplikan saja, tetapi juga bisa menjadi inti cerita. Tuhan, yang diekspresikan beragam metafora ini, bisa menjadi tema cerita, menjelma tokoh yang mengendalikan cerita, atau menjadi kekuatan luar biasa yang tiba-tiba muncul mengubah dan menyempurnakan alur cerita. 3.2.3.1 Metafora “Wajah Tuhan Adalah Sinar yang Memancar” Danarto secara eksplisit mengungkapkan bahwa Wajah Allah adalah sebuah sinar yang memancar. Pancarannya itu terlihat pada alam semesta dan makhluk ciptaannya.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
41
“Wajah Allah itu memancar memenuhi alam semesta dan kita makhluk ciptaanNya dapat menatap Wajah itu secara gamblang. Ada api yang menyala-nyala. Ada air yang mudah mematikan api. Ada tanah yang bisa menumbuhkan padi sehingga kita tidak kelaparan. Ada angin yang tidak kelihatan yang membuat kita bernapas hidup puluhan tahun.” (Danarto, 2008: 76). Dalam kutipan ini, Danarto menekankan bahwa apa yang terlihat pada alam semesta adalah cermin Tuhan. Oleh karena itu, metafora yang berhubungan dengan hal ini bisa dirumuskan dengan “Wajah Tuhan Adalah Sinar yang Memancar” dan berhubungan dengan metafora “Alam Semesta Adalah Cermin Wajah Tuhan.” Metafora ini memunculkan konsekuensi bahwa wajah Tuhan dapat dilihat dalam segala bentuk. Hal ini berkaitan dengan sifat Tuhan yang Mahapencipta. Segala hal yang ada adalah ciptaan Sang Mahapencipta. Dengan merujuk pada metafora “Alam Semesta Adalah Cermin Wajah Tuhan,” maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wajah Tuhan dapat dilihat dalam segala bentuk. Metafora ini juga menunjukkan bahwa Danarto menganggap wajah Tuhan dapat dilihat secara gamblang. Di sisi lain, metafora wajah Tuhan ini menggambarkan bahwa Danarto enggan terjebak dalam mendefinisikan Tuhan. Ia hanya bisa mendefinisikan wajah Tuhan, wajah dalam hal ini bisa berarti hanya gambaran, sementara Tuhan itu sendiri adalah “entah siapa itu” dan “sumber yang tidak dipahami.” Danarto mengungkapkan, “Ucapan seseorang itu keluar tanpa sadar, alias mulutnya dipinjam oleh ‘entah siapa itu’ untuk berkata-kata di luar kemauannya (Danarto, 2008: 127). Pernyataan tersebut dikuatkan oleh kutipan berikut, “Jika saya bisa berkata-kata, itu dari sumber yang tidak saya pahami” (Danarto, 2008: 24). Selain wajah Tuhan bisa terlihat dalam api, air, dan angin seperti yang telah dikutip, wajah Tuhan juga dapat dilihat dalam bentuk lain. Bentuk-bentuk tersebut memegang peranan penting dalam jalannya cerita. Dalam cerpen “Kacapiring,” wajah Tuhan memancar dalam wujud manusia. Dalam hal ini, metafora yang berlaku adalah “Manusia Adalah Cermin Wajah Tuhan.” Metafora ini tidak secara eksplisit ditampilkan. Namun, jika dilihat
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
42
konteks keseluruhan cerpen tersebut, dapat dilihat bahwa tokoh Laksmi dalam cerpen “Kacapiring” adalah gambaran Tuhan. Hal ini diperkuat dengan kutipan, “Dia mengatur seluruh segi kehidupan kami sehari-hari, begitu cermat dan cekatan” (Danarto, 2008: 36). “Kacapiring” bercerita tentang kehidupan keluarga aku-lirik
yang
beristrikan Laksmi dan dikaruniai lima anak. Keluarga ini mendapat masalah ketika Astri, anak sulungnya, pingsan selama tiga hari. Pada saat bersamaan, Laksmi menghilang. Laksmi pada awalnya mengalienasi diri dengan membangun kamar sendiri. Dengan kamar barunya itu, Laksmi tidak memperbolehkan satu orang pun masuk ke dalam kamar itu. Hingga Astri siuman dan diungsikan ke rumah eyangnya, Laksmi tidak kunjung datang. Ketika kamar tempat semedi Laksmi didobrak, tidak ada satu perabot pun, hanya ada selembar karpet yang tergelar. Di kamar tersebut, aku-lirik merenung. “Ada yang terputus dalam alur perjalanan rumah tangga kami. Sebuah jalan raya yang tiba-tiba lenyap dirakus hutan. Lalu tercipta jalan setapak, menyanyi Tuhan dengan gelang Saturnus, api tiba-tiba terhunus” (Danarto, 2008: 41). Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa aku-lirik telah melenceng dari jalan lurus yang seharusnya ia tempuh. Perjalanan ini bisa dimaknai sebagai perjalanan menuju Tuhan. Hubungan rumah tangga antara aku-lirik dengan Laksmi dipandang sebagai hubungan hamba dengan Tuhannya. Hal ini dapat dilihat dalam percakapan antara aku-lirik dengan pembantunya. “‘Apa kamu pernah lihat Ibu minum jus itu, he?’/‘Ibu tidak ada tapi ada, Pak’” (Danarto, 2008: 41). Astri juga menyebut, “Tentu saja Mama selalu menang, habis Mama enggak kelihatan, sih” (Danarto, 2008: 43). Percakapan ini memperlihatkan bahwa sebetulnya Laksmi ada tetapi tidak terlihat lagi oleh suaminya. Di lain pihak, pembantunya masih bisa melihat Laksmi. Ini menunjukkan bahwa upaya aku-lirik dalam berjalan menuju Tuhan telah berbelok dari jalan lurusnya. Hal ini diamini oleh aku-lirik melalui pernyataan berikut, “Laksmi tidak ada, tetapi ada. Ini sudah keterlaluan dan sangat jauh menyimpang dari pengalaman perjalanan karier saya. Iman yang begitu
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
43
tinggi dari orang-orang sederhana seperti para pembantu dan para sopir memberi pelajaran betapa perjalanan hidup itu tidak lurus, bahkan perjalanan hidup orang-orang saleh sekalipun” (Danarto, 2008: 42). Laksmi ternyata menghilang karena suaminya berselingkuh. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya bukan perselingkuhan main-main. Perselingkuhan tersebut mengisyaratkan bahwa dia menduakan Tuhan. Berikut kutipan perkataan sang suami mengenai hal tersebut. “Ketika Astri bertanya, apakah saya punya salah padamu, saya sadar, inilah sumber dari segala yang mengerikan itu. Laksmi, saya minta maaf. Benar, saya bersalah kepadamu. Di depanmu ini, saya mengakui, saya berselingkuh. Berkali-kali. Secara sadar saya melakukannya. Itu kesalahan besar. Suatu dosa besar” (Danarto, 2008: 43). Kesalahan dan dosa besar yang dikatakan aku-lirik mengisyaratkan bahwa perselingkuhan tersebut adalah perbuatan menyekutukan Tuhan. Tuhan yang menjelma Laksmi ditegaskan dalam kalimat terakhir cerita ini, “Engkau suci, Laksmi sedang saya profan.” Laksmi adalah sosok suci yang tanpa celah. Ia menjelma sosok kesempurnaan, Mahasempurna. Hal tersebut dibenturkan dengan pernyataan “sedang saya profan” yang mewakili sifat manusia. Persoalan perwujudan Tuhan ini telah lama menjadi pokok perbincangan dalam gagasan sufistik. Alquran surat Fushilat ayat 54 “Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu” dan surat Qaaf ayat 16 “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” memperlihatkan bahwa Tuhan memiliki wujud yang meliputi alam semesta. Ayat ini kemudian menjadi landasan bagi sufi untuk menjelaskan kesatuan antara Tuhan dan alam. Alam semesta adalah Tuhan itu sendiri; alam semesta adalah wujud lahir dan wujud batin. Menurut Rahman (2010: 28), secara sederhana dapat dikatakan juga, Tuhan dan alam semesta adalah kesatuan wujud, kesatuan eksistensi. Alam semesta adalah penampakan lahir dari Tuhan yang bersifat spiritual dan batini. Pada semua alam semesta yang tampak terbayang wajah Tuhan yang tidak tampak. Sebaliknya, Tuhan menampakkan diri-Nya lewat alam semesta. Dengan kata lain, pada semua benda di alam semesta terdapat roh Tuhan. Dalam tasawuf, kesatuan ini dikenal dengan istilah wahdlatul wujud.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
44
Paham wahdlatul wujud ini juga berkembang di daerah Jawa. Hal itu tidak mengherankan, karena dalam kebudayaan Jawa sudah dikenal doktrin manunggaling kawula-Gusti, ajaran yang menekankan kesatuan Tuhan dan manusia. Rahman (2010: 29) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam proses islamisasi Jawa yang berlangsung ekstensif sejak abad ke-15, kosmologi Jawa diperkaya dan diperluas dengan menerima unsur-unsur Islam, termasuk dimensi mistik dan pemikiran spekulatifnya⎯sebagiannya melalui jalur kebudayaan Melayu-Nusantara.
Maka
dalam
konteks
Islam
Jawa,
diskusi
tentang
manunggaling kawula-Gusti tidak lain merupakan diskusi tentang wahdlatul wujud. 3.2.3.2 Metafora “Kekuatan Tuhan Adalah Kegaiban” Selain wujud Tuhan, Kacapiring juga bercerita tentang kekuatan Tuhan. Kekuatan ini dipaparkan oleh kegaiban yang bersifat luar biasa dan ada di luar jangkauan akal manusia. Dalam KBBI, gaib dimaknai sebagai “tidak kelihatan; tersembunyi; tidak nyata; tidak diketahui sebab-sebabnya.” Kekuatan ini bisa dimaknai sebagai balasan (atas perbuatan baik ataupun buruk). Kekuatan ini dimainkan Danarto sebagai pertentangan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Alih-alih mempertentangkannya dengan pihak lain, Danarto mendedahkan kembali kerusakan atau kebaikannya dengan bentuk lain yang di luar jangkauan akal tokoh-tokohnya. Tokoh-tokohnya saling bertukar tempat, menjadi dalang dan korban dari peristiwa dalam cerita. Pada cerpen pembukanya “Jantung Hati,” telah dijelaskan bahwa tokoh akulirik melakukan perjalanan setelah kematian hingga dia menemui keluarganya sendiri. Pertemuannya dengan keluarga tersebut adalah metafora dari rupa surga. Cerpen tersebut ditutup dengan pertanyaan, “Bagaimana mungkin istri dan anakanak menyusul saya secara bersamaan, kalau bukan oleh kekuatan yang sanggup memberangkatkan mereka sekaligus?” (Danarto, 2008: 13). Kekuatan yang sanggup memberangkatkan mereka sekaligus tersebut tidak lain adalah kekuatan Tuhan. Tidak ada lagi kekuatan yang bisa menciptakan surga.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
45
Pada cerpen “Zamrud,” pertolongan Tuhan disalurkan melalui sosok gaib yang tiba-tiba muncul kemudian juga menghilang dengan tiba-tiba. Pada cerita ini diceritakan tokoh aku adalah pemimpin perusahaan yang diam-diam berusaha menyelamatkan karyawan-karyawannya dari PHK. “Sungguh seratus persen saya berpihak kepada buruh,” ujarnya. Ia diceritakan menghormati dan mengagumi aktivis perempuan Dita Indah Sari yang memimpin ribuan buruh berdemonstrasi dan Wardah Hafiz yang memimpin ribuan abang becak untuk menuntut hak mereka. Di tengah perjalanan mudiknya, tokoh aku sekeluarga mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobil yang ditumpangi terjun ke dasar jurang. “Begitu mobil teronggok, keadaan hening. Tidak ada jerit. Tak terdengar tangis. Kening sopir berlelehan darah, diam tak bergerak. Kepala istri tokoh aku terkulai meneteskan darah terus menerus. Sekujur tubuh Liz, Atos, Brom, dan Lafas berdarah, mereka tumpang-tindih, tak bergerak” (Danarto, 2008: 31). Di dasar jurang tersebut, keluarga aku diselamatkan oleh orang tua bernama Kasan Menhad. Mereka dibantu naik. “Ketika saya terbangun saya melihat seorang tua sedang menarik mobil kami dengan tali ke atas. Saya terheran-heran, bagaimana mungkin seorang yang sudah sangat sepuh mampu menaikkan mobil yang sudah ringsek dari jurang ke atas jalan raya sendirian” (Danarto, 2008: 31). Dengan bingung, aku juga menyadari bahwa tubuhnya kembali utuh. Dengan mobil yang penyok, keluarga aku sampai di Solo—tempat tujuan mudiknya. Di kota tersebut, keluarga aku berkunjung ke rumah Kiai Kasan Menhad yang ternyata sebuah kuburan. Cerita serupa yang berkaitan dengan hak-hak kaum papa terdapat pada cerpen “Jejak Tanah.” “Jejak Tanah” menceritakan keluarga pengembang usaha real estate. Kepala keluarga tersebut terbunuh sehari setelah demonstrasi yang menentang pembebasan tanah untuk real estate yang akan dibangun. Dalam menjelaskan kejadian ini, Danarto menggunakan backtracking. Ia menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi di masa lampau. Ketika sedang diceritakan jenazah tidak bisa dikuburkan, ia menjelaskan kejadian sebelum si jenazah itu meninggal.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
46
Ibu dan Adik, yang terus mendapati jenazah ayahnya tidak bisa dikuburkan dan selalu kembali ke pelataran rumah, menemui Kiai yang menjadi penasihat keluarganya. Ia menanyakan penyebab kejadian ini kepada Kiai. Kiai menjelaskan bahwa ayah mereka menjadikan tanah sebagai barang dagangan sambil menyengsarakan warga miskin yang sudah puluhan tahun tinggal di situ. Namun mereka tidak percaya. Mereka menilai ayahnya sangat memperhatikan kekayaan spiritual yang ada pada seluruh tanah yang dibebaskan. Anaknya juga berkata, “‘Ayah saya memegang teguh nilai-nilai agama dan mempraktikkannya dengan baik.’” Kiai menjawab, “Saya tidak mampu menilai siapa pun. Juga terhadap ayah Nakmas. Jika saya bisa berkata-kata, itu dari sumber yang tidak saya pahami. Kedua cerita tersebut jelas mengkritik kaum mapan. “Zamrud” memaparkan balasan baik bagi mereka yang berusaha memenuhi hak-hak yang harus diterima kaum miskin. Sebaliknya, dalam “Jejak Tanah”, Danarto mengkritik golongan yang menggusur tanah-tanah kaum miskin. “Jejak Tanah” memaparkan balasan buruk bagi yang telah merampas hak kaum miskin. Kekuatan tuhan yang menjelma pertolongan oleh sosok gaib juga dapat dilihat dalam cerpen “O, Yerusalem.” “O, Yerusalem” bercerita tentang terjebaknya rombongan Indonesia di Gereja Nativity, Yerusalem, tempat lahir Yesus Kristus, sementara di luar pertempuran Israel dan Palestina terus menderu. Rombongan orang Indonesia dan sejumlah turis lain dari Barat mulai kehabisan logistik dan cemas karena perang tidak kunjung selesai. Pada saat itu, tiba-tiba muncul seorang gadis kecil berkerudung yang datang dengan membawa teh panas, roti tawar, dan madu untuk rombongan Indonesia dan turis Barat yang terjebak itu. Ia masuk ke gereja dan menemui semua yang terjebak itu dengan mengucap salam. Gadis kecil berumur kira-kira 12 tahun itu kemudian pamit sebelum berkenalan dan tidak ditemukan di sudut ruangan mana pun. Kekuatan yang menjelma gadis itu mencerminkan bahwa perbedaan agama janganlah menjadi soal yang menimbulkan perang. Gadis tersebut masuk ke
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
47
gereja dengan salam dan membagikan makanan untuk semua yang terjebak di dalam. Kritik sosialnya jelas, perdamaian antarumat beragama perlu ditegakkan. “Yerusalem milik kita bertiga. Jangan ada yang loba. Ketika kita menginjakkan kaki di tanah suci, ada debu kaki para rasul yang menempel di telapak kaki kita. Debu kaki siapakah ini? Siapa pun pemilik debu itu, itu debu sang suci yang telah menyadarkan bahwa kita hanyalah manusia” (Danarto, 2008: 101). Konflik di Yerusalem adalah konflik kepentingan yang harusnya bisa dihentikan. Danarto menyebut “Yerusalem milik kita bertiga” yang bermakna Yerusalem adalah tanah bagi umat Islam, Yahudi, dan Nasrani. Tanah tersebut tidak untuk diperebutkan. Lebih lanjut Danarto mengungkapkan secara eksplisit, “Persoalan Palestina adalah persoalan kita. Bagaimana mungkin pada milenium ketiga ini masih ada penjajahan” (Danarto, 2008: 97). Cerita lain yang juga menampilkan kekuatan Tuhan sebagai balasan atas perbuatan ditunjukkan pada cerita “Lailatul Qadar.” “Lailatul Qadar” bercerita tentang sebuah keluarga yang mudik dari Jakarta ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Keluarga yang terdiri atas Satoto, istrinya, dan empat anaknya beserta sopir pergi mudik setelah Isya. Dalam cerita ini disisipkan peristiwa keagamaan puasa dan Lailatul Qadar. Tradisi mudik yang lekat dengan perburuan karcis dibenturkan dengan keharusan beribadah sungguh-sungguh pada rangkaian sepuluh hari terakhir bulan puasa. Ketika harusnya puasa dilaksanakan dengan ketat untuk menggaet Lailatul Qadar, banyak orang yang berburu karcis mudik. “Menggaet Lailatul Qadar malah berantakan gara-gara berebut karcis mudik” (Danarto, 2008: 15). Keharusan menyelamatkan puasa ini didengung-dengungkan seorang kiai sepuh selama empat dasawarsa terakhir pada pengembaraannya dari desa ke desa di Tanah Jawa. “Kebahagiaan seseorang dalam satu tahun kehidupannya akan terselamatkan berkat puasa. Tidak ada aktivitas hidup lain yang begitu berguna selain puasa” (Danarto, 2008: 16). Selama empat puluh tahun, Pak Kiai menganjurkan untuk mudik setelah salat Ied di tempat masing-masing.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
48
Khotbah Kiai selama empat puluh tahun ini ternyata tidak dilaksanakan oleh Satoto. Ia setuju dengan anjuran untuk menyelamatkan puasa, tetapi ia tetap mudik sebelum salat Ied. Khotbah Kiai itu dibenturkan dengan ungkapan, “Toto sekeluarga sungguh-sungguh memelihara dan menyelamatkan puasanya, kata para tetangganya. Puasa adalah perintah Allah dan Allah sendiri yang mengaruniai pahalanya” (Danarto, 2008: 17). Hal ini menyiratkan bahwa penilaian terhadap puasa tidak hanya diukur pada ritual saja, tetapi juga kesungguhan berpuasa. Tidak ada yang bisa menilai keberhasilan puasa, bahkan kiai sekalipun, kecuali Allah. Kesungguhan puasa yang dilakukan Satoto sekeluarga dibalas oleh kekuatan Tuhan yang membukakan jalan yang mendadak muncul pada saat mereka terjebak macet. Jalan tersebut dideskripsikan dengan, “sebatang jalan panjang yang longgar terlihat jelas sekalipun malam gelap gulita. […] Jalan panjang yang longgar itu sepi. Tak ada satu pun kendaraan membarengi atau berpapasan” (Danarto, 2008: 17). Lebih lanjut, kekuatan tersebut juga dipaparkan melalui bertabur metafora yang berhubungan dengan cahaya dan musik. “Mendadak pepohonan di kanan kiri jalan seperti neon-neon cemerlang yang menerangi jalan dan angkasa. Langit dipenuhi bintang-bintang yang berselancar ke atas dan ke bawah. Bola-bola cahaya sebesar rumah berloncatana di kanan kiri mobil Satoto, berpacu, bercanda, pecah menjadi bola-bola kecil sebesar lampu-lampu taman lalu menghilang. Kemudian muncul berbatang-batang cahaya sebesar pohon kelapa yang memanjang, panjang sekali, mluncur kencang di kanan kiri mobil itu, berpacu, bercanda, pecah menjadi batang-batang cahaya kecil sebesar lengan lalu menghilang. […] Apakah sedang berlangsung festival semesta? Tiba-tiba musik yang merdu menyelimuti mobil itu sehingga mobil berayun-ayun. Alam musik itu keluar masuk lewat jendela mobil dan mengejawantah dalam bentuk sulur-sulur, bongkah-bongkah, irisan-irisan, pola-pola, lambang-lambang, dan Kristal-kristal, warna-warni yang berubah-ubah warnanya, menghangatkan, menggairahkan, mendinginkan, memimpikan, melayangkan, mentaksadarkan. Perasaan Satoto dan Indah dibuai, seperti berbulan madu di entah, rencana lama yang tak kunjung padam meski tak kunjung kesampaian. Siapa berkelebat itu?” (Danarto, 2008: 18). Sementara itu, Lailatul Qadar dideskripsikan dalam paragraf yang terdapat di awal dan juga akhir cerita. “Berkelebat dengan kecepatan cahaya, merangkum
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
49
ruang yang panjang. Seluruh jejak diteranginya, tak mengenal bayangan, tak mengenal gelap. Terang benderang wajahnya, merangkai kembang di alur dadanya. Ia mengintai siapa saja yang disayanginya” (Danarto, 2008: 14 dan 19). Lailatul Qadar dijelaskan Alquran melalui surat al-Qadr ayat 1—5. Surat tersebut berbunyi, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikatmalaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” Hadis riwayat bukhari menjelaskan bahwa malam Lailatul Qadar hadir pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Bila dilihat, terdapat kemiripan dalam deskripsi yang dipaparkan oleh Danarto dengan ayat Alquran tersebut. Ungkapan “berkelebat dengan kecepatan cahaya, merangkum ruang yang panjang” berkesesuaian dengan “malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” Selain itu, penggunaan ungkapan “cahaya” menjadi inti yang menghubungkan ungkapan metafora kekuatan Tuhan, Lailatul Qadar, dan surat alQadr. Cahaya dalam surat al-Qadr diwakili oleh sosok malaikat Jibril yang turun ke bumi. Malaikat menurut hadis yang diriwayatkan Aisyah adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dari cahaya. Dalam deskripsi Lailatul Qadar, Danarto menggunakan ungkapan “terang benderang wajahnya, merangkai kembang di alur dadanya. Ia mengintai siapa saja yang disayanginya.” Sementara itu, dalam metafora kekuatan Tuhan, dijelaskan “festival alam semesta” yang semarak dengan banyak cahaya-cahaya cemerlang meliputi jalan yang ditempuh keluarga Satoto. “Lailatul Qadar” juga mencoba memberi alternatif pemaknaan baru dari tafsir para kiai mengenai Lailatul Qadar. “Lailatul Qadar” menjadi semacam pengingat bahwa tiada yang mampu merumuskan keberhasilan seseorang dalam menjalankan puasa. Hanya Tuhan yang bisa menilai ibadah seseorang. Imbalan atau balasan baik Lailatul Qadar ternyata juga didapat oleh orang yang tidak menjalankan ritual mudik setelah salat Ied yang dianjurkan kiai. Dengan niat yang
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
50
sungguh-sungguh untuk tetap memelihara dan menyelamatkan puasa, Satoto ternyata mendapat malam Lailatul Qadar yang dalam cerpen tersebut disebut sebagai “sapaan, pembaruan hidup, sarana memperbaiki hubungan alam dunia dan alam akhirat, surga yang tampak, jati diri penciptaan, juga rasa sayang yang bertambah-tambah kepada Allah dan Rasulnya” (Danarto, 2008: 16). Hal yang perlu dilakukan manusia adalah membersihkan niat dalam hati untuk beribadah ikhlas tanpa menuntut imbalan, sebab Tuhan mampu memberikan kekuatankekuatan terduga pada siapa saja yang disayanginya. Secara keseluruhan, metafora kekuatan Tuhan yang menjadi balasan atas perbuatan tokoh sendiri memperlihatkan bahwa kekuatan Tuhan bisa mewujud sebagai kebaikan juga keburukan. Metafora ini juga menampilkan kemunculan dua dunia secara serentak. Tarik-menarik antara kedua dunia ini menimbulkan ketegangan yang menjiwai cerpen-cerpen yang terkumpul dalam Kacapiring. Selain itu, ketegangan ini juga menjadi perekat untuk menyatukan segala unsur cerita. Selain itu, cerita-cerita ini menawarkan konflik yang tajam antara kebenaran yang mengalir dengan kebenaran yang jelas garis-garisnya. Konflik tersebut tidak terjadi secara langsung antara pihak penyuara kebenaran yang mengalir berhadapan dengan penyuara kebenaran yang jelas garis-garisnya. Konflik dipaparkan dengan dialog tokohnya pada dirinya sendiri ketika suatu peristiwa terjadi kemudian didukung oleh munculnya kekuatan Tuhan. 3.3
Menelusuri Makna di Balik Metafora Jika pada bab “Gagasan Sufistik dalam Ungkapan Metafora” penelitian
difokuskan untuk melihat sebuah gagasan yang dimetaforakan dalam konsep yang beragam, bagian ini fokus pembahasan adalah mencari makna sebuah konsep yang pada dasarnya memetaforakan sesuatu. Pada data, ditemukan metafora yang menggunakan ranah sumber, tetapi tidak secara eksplisit dijelaskan makna di balik konsep pada ranah sumber tersebut. Penelusuran ini mencoba mengungkap gagasan yang tersembunyi di balik konsep pada ranah sumber.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
51
3.3.1 Sesuatu yang Tersembunyi di Balik Pohon Dalam Kacapiring, terdapat tiga cerpen yang bercerita tentang pohon. Cerpen tersebut adalah “Pohon yang Satu Itu,” “Pohon Rambutan,” dan “Pohon Zaqqum.” Pohon, dalam cerita ini, tentu saja tidak merujuk pada makna yang sebenarnya. Konsep pohon tersebut muncul dalam konteks yang beragam. Ekspresi ini terkadang sulit untuk ditelusuri maknanya. Pohon, yang berada pada ranah sumber, tidak secara gamblang digunakan untuk mengkonsepkan sesuatu dalam
ranah
sasaran.
Danarto
menggunakan
konsep
pohon
untuk
mengekspresikan gagasan tersembunyinya. Mengingat sangat beragamnya metafora yang menggunakan ranah sumber pohon, persoalan metafora ini akan dibahas satu per satu sesuai dengan cerpen yang membicarakannya. Hal ini juga dilakukan agar gagasan yang tersembunyi dalam konsep pohon dalam setiap cerpen tidak bercampur-aduk. 3.3.1.1 “Pohon yang Satu Itu” “Pohon yang Satu Itu” menunjukkan misteri sejak dari judul. Ungkapan “yang satu itu” menyembunyikan sesuatu. Ia tidak lantas menjadi sesuatu yang gamblang setelah selesai membaca seluruh cerita. Pohon ini tetap “Entah namanya. […] menjadi monumen yang kasar.” Pohon ini tumbuh setelah malapetaka gempa dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Peristiwa ini dibicarakan dengan bahasa yang puitis dengan pilihan kata yang setiap unsurnya mendukung konteks makna, misalnya bunyi dan irama. Hal itu misalnya terlihat pada beberapa kalimat yang membuka peristiwa ini. “Hari demi hari berlalu dengan lengang dan kepedihan. Tak terusik oleh angin, panas terik, dan kenangan. Apa yang bisa dicatat dari derit pintu yang karatan? Apa yang bisa dicatat dari jirigen minyak tanah yang dimainmainkan gelombang di tengah samudera? Di dalamnya telah terekam peluh dan keluh ibu yang berburu kebutuhan dapur. Ayah telah menyelam ke dasar lautan mencari jawab dari penderitaan sambil membawa anak-anaknya yang tak satu pun ketinggalan. Ibu barangkali telah lebih dulu mengurung diri di bawah rumah sambil menyelesaikan ulekan sambalnya yang belum rampung” (Danarto, 2008: 54).
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
52
Kepuitisan ini dibentuk oleh rima, irama, pengulangan yang sanggup mendukung konteks maknanya. Dari kutipan ini, suasana hening yang pedih sangat terasa. Bunyi uh uh pada peluh dan keluh menawarkan sesuatu yang berat menekan. Selain pilihan kata yang indah, susunan deret kalimat membentuk deret irama yang panjang, cepat, indah, dan mengalir. Rutinitas yang belum selesai telah ditelan gelombang. Pohon yang satu itu tetap tegak berdiri dengan warga yang mati akibat tsunami. Pohon ini semakin hari semakin membesar dan meninggi merebut titik embun sebelum jatuh jadi hujan. Di dalam pohon ini, ada suara orang yang boleh jadi adalah suara mereka yang selamat memanjat pohon itu ketika kota tenggelam oleh tsunami. Orang-orang yang selamat ini hidup di atas pohon. Pohon ini adalah metafora bagi kendaraan yang mengantarkan korbankorban tsunami ke kehidupan abadi. Sifatnya yang tumbuh dari bawah ke atas, meninggi, dipinjam untuk menjelaskan perjalanan dari kematian sampai tempat kehidupan abadi. Kematian membuat orang-orang ini bergeletakan tidur di bawah hingga dibawa pohon menuju ketinggian, tempat kehidupan abadi, tempat terindah yang tidak membuat orang yang telah tinggal di atasnya pergi turun. 3.3.1.2 “Pohon Rambutan” “Pohon Rambutan” bercerita tentang persahabatan dirinya dengan seorang laki-laki tua. Laki-laki itu adalah seorang yang menjelajah dari kota ke desa, dari gunung ke lembah, dari daratan ke lautan, serta dari pasar ke mal dan plaza pusat perbelanjaan kota. Mengunjungi para pegawai negeri, pemulung, pengemis, pengamen, tentara, polisi, serta petani dan perambah hutan. Laki-laki tua ini tidak dikenal kecuali oleh pohon rambutan itu. Pohon rambutan ini awalnya meranggas dan hampir mati. Dalam keadaan itu, pohon rambutan berdoa, “jika sudah tidak berguna, […] matikan secepatnya. Sedang jika Tuhan masih memberikan hidup, karuniai kesuburan batang dan rimbun buah” (Danarto, 2008: 86). Doa ini agaknya adalah doa orang yang ingin hidup dan matinya bernilai. Ia merasa ingin secepatnya dimatikan jika hidupnya di dunia tidak berguna.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
53
Namun Tuhan masih menginginkan hambanya ini hidup. Tuhan mengabulkan doanya dengan mendatangkan lelaki itu. Lelaki itu kemudian mengeluarkan Quran dan mengusap pohon rambutan tersebut. “Seketika pohon itu berbuah, ribuan jumlahnya. Saking rimbunnya, buah-buah itu hampir mencium tanah saat berayun-ayun ditiup angin.” Mengusap ini bermakna bahwa orang yang dimetaforakan sebagai pohon rambutan ini membaca, menekuni, dan meresapi kitab suci ini. Pohon rambutan ini bersahabat dengan seorang laki-laki yang memilih jalan yang berbeda dengan teman-teman sebayanya. Berikut dikutip agak panjang. “Engkau tampak berbeda dari anak-anak muda yang lewat di sini.” “Memang. Saya telah mengambil jalan pintas supaya lebih cepat sampai. Sedang seluruh teman prajurit lainnya, ada yang menjadi pengusaha, guru, dokter, insinyur, dan melanjutkan sebagai tentara di kota.” “Engkau kelihatan lelah. Apakah engkau habis melakukan perjalanan jauh?” “Ya, saya terus-menerus melakukan perjalanan jauh.” “Apa pekerjaanmu?” “Melakukan perjalanan jauh.” “Hahaha. Melakukan perjalanan jauh? Apa yang engkau dapat?” “Apa saja.” “Apa saja, apa itu?” “Ini, itu, ia, dia, kami, kita, mereka.” “Hahaha. Menyenangkan, ya?” “Sangat menyenangkan.” “Apakah ini, itu, ia, kami, kita, mereka, ada yang engkau bawa?” “Ada.” “Boleh lihat?” “Boleh.” Lalu pemuda itu memperlihatkan “ini” di telapak tangannya kepada pohon rambutan itu. “Ini ‘ini’.” “Saya tidak melihat apa-apa.” “Tidak soal.” “Tidak soal bagaimana?” “Tidak apa-apa engkau tidak melihatnya.” “Itu jadi persoalan bagi saya.” “Engkau akan menderita jika memaksa untuk bisa melihatnya.” “Mengapa hanya untuk bisa melihatnya harus menderita?” “Karena engkau harus berlatih bertahun-tahun untuk bisa melihatnya.” Dari kutipan ini terlihat bahwa laki-laki ini tidak memilih untuk mengejar pekerjaan dunia yang digeluti teman-teman sebayanya. Ia memilih untuk berada
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
54
pada perjalanan yang memungkinkannya mendapat banyak hal. Dari banyak hal tersebut, ada sesuatu yang dibawa oleh laki-laki ini. Benda ini selalu bersamanya dalam setiap perjalanan. Benda yang tidak terlihat oleh si pohon rambutan ini agaknya adalah Tuhan, “Engkau akan menderita jika memaksa untuk bisa melihatnya.” Untuk mencapai titik temu dengan Tuhan, dalam terminologi sufi, perlu adanya penderitaan dan kesakitan untuk menguji dan memurnikan jiwa. “Divine love makes the seeker capable of bearing, even of enjoying, all the pains and afflictions that God showers upon him in order to test him and to purify his soul” (Schimmel, 1986: 4). Buah-buah yang tumbuh rimbun adalah simbol pemantik kebahagiaan. Anak-anak yang sering memakan buah ini berpesta, “mendaur ulang segala kegembiraan.” Anak-anak ini bercucutan air mata kegembiraan. Di sela-sela cerita ini juga disisipkan kritik terhadap ujian nasional yang menjadi beban bagi anakanak. “Mereka sejenak melupakan ujian nasional brengsek yang sedikit pun tak ada gunanya itu. Yang hanya menyia-nyiakan tenaga” (Danarto, 2008: 89). Cerita ini berakhir dengan tawaran pemilik Grand Indonesia yang hendak membelinya dengan harga satu juta Dolar. Namun pohon ini menolaknya. Pohon ini tidak tergiur dengan gelimang materi yang bersifat duniawi. 3.3.1.3 “Pohon Zaqqum” “Pohon Zaqqum” berkisah tentang dirinya yang tumbuh di kota-kota besar. Pohon ini memiliki bentuk yang aneh. Pohonnya setinggi pohon kelapa. Batang pohonnya juga sebesar batang pohon kelapa, tetapi empuk bila dipegang, lebut bila digelitik, lentur bagai karet bila tertiup angin dengan embusan dari mulut sekalipun. “Pohon itu menari, meliuk-liuk, sampai di atas liukannya menggoyang daun-daun berbentuk ekor burung merak itu, lalu mengipas-ngipas. Udara Sekeliling pun hanyut” (Danarto, 2008: 102). Pohon Zaqqum, jika merujuk pada kitab suci, adalah pohon yang tumbuh di neraka. Surat yang menjelaskan hal ini adalah surat as-Shafaat ayat 63, 66, dan 67,
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
55
“Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim. […] Maka sesungguhnya mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu, maka mereka memenuhi perutnya dengan buah zaqqum itu. Kemudian sesudah makan buah pohon zaqqum itu pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas.” Pohon Zaqqum juga muncul pada surat ad-Dhukhan ayat 43, dan alWaqiaah ayat 52. Surat ini memuat hal yang sama, pohon ini tumbuh di neraka dan menjadi makanan penghuninya. Setelah memakan pohon ini, penghuni neraka disuguhkan air panas sebagai minumannya. Berbeda dengan ayat ini, dalam “Pohon Zaqqum” diceritakan pohon ini muncul di kota-kota besar. Pohon ini tidak bisa tumbuh di desa-desa. Pohon ini dapat melenyapkan rasa lelah yang diidap orang, mengantar ke tidur yang lelap, melupakan kesulitan hidup sehari-hari. “Tempat tumbuh pohon-pohon zaqqum akhirnya ramai sebagai tempat kunjungan wisata.” Namun, tentu saja pohon ini adalah metafora. Pohon zaqqum menjadi metafora bagi hawa nafsu yang berada dalam diri manusia. Hawa nafsu ini digambarkan dapat membuat orang berlena. Hal ini dapat dilihat pada kutipan, “Banyak keluarga yang piknik di kebun zaqqum ketiduran sampai berjam-jam bahkan sampai sehari semalam, begitu bangun tak menyadari kalau sang ayah harus ngantor, si anak harus bersekolah, sang ibu menjadi orang yang malas padahal mesti menyiapkan segala keperluan” (Danarto, 2008: 103). Di lain pihak, pohon zaqqum ini bisa berubah menjadi amarah ketika menguasai manusia dan tidak terkendali. Dalam “Pohon Zaqqum” diceritakan pohon tersebut menyulut huru-hara, menjadi biang kerok kerusuhan. Pohon ini tumbuh dari sifat jelek manusia. Bila manusia dikuasai hawa nafsu, berarti ia memakan buah pohon zaqqum. Buah yang akan menimbulkan rasa haus dahaga yang tidak berkesudahan, bahkan melupakan manusia dari dari segala sifat-sifat luhur dan kesucian. “Mereka adalah mesin pembantai yang lembut, lebih lembut dari kijang yang berseliweran di bawahnya, yang mengayomi dengan janji” (Danarto, 2008: 105).
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
56
Pohon zaqqum tidak akan mungkin tumbuh di dunia, di kota-kota besar, apabila manusia mengingat Tuhannya. Apabila segala godaan setan dapat dihindari, bukan saja pohon zaqqum di dunia tidak akan pernah dimakan buahnya, bahkan pohon zaqqum yang tumbuh di dasar neraka yang menyala juga tidak akan pernah dikenal, sebab, seorang mukmin yang beriman dan takwa, akan hidup di surga. 3.4
Fenomena
Sastra
Sufi
dalam
Konstelasi
Sastra
Indonesia
Pascareformasi Pembicaraan mengenai tema sufisme dengan menggunakan perangkat sastra metafora dalam Kacapiring mengindikasikan adanya implikasi tertentu bagi dunia sastra Indonesia. Bagian ini membahas pemaknaan metafora secara keseluruhan. Bagian ini juga mencoba mengungkap strategi penggunaannya dalam konstelasi sastra Indonesia pascareformasi. 3.4.1 Situasi Sastra Indonesia Pascareformasi Tahun 1998 adalah momen politik yang penting bagi sejarah Indonesia. Rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun runtuh pada Mei tahun 1998. Reformasi politik 21 Mei 1998 ini, menurut Yudiono K.S., adalah salah satu momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya. Reformasi menjadi semacam peluang untuk mereposisi sastra di dalam kehidupan. Para penulis bisa leluasa untuk memilih tema dan mengekspresikan pendapatnya terhadap segala macam soal. Sensor yang dianggap sebagai biang kerok kebangkrutan sastra sudah lumpuh (Wijaya, 2007). Karyakarya sastra pada masa ini terbit berdesakan dengan tema dan pengucapan yang beraneka ragam. Pada 1998, Ayu Utami menelurkan Saman yang berbau seks. Harian Kompas menyambutnya dengan istilah “sastra wangi.” Kemunculan gejala baru yang kontroversial ini agaknya memicu karya-karya fiksi lain yang masih beraroma seksual dari tangan segelintir pengarang perempuan muda (dengan konotasi cantik, seksi, berpendidikan tinggi, dan bergaya hidup metropolis). Kemunculan gejala ini kemudian disusul Larung (Ayu Utami, 2001), Ode untuk
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
57
Leopold von Sacher-Masoch (Dinar Rahayu, 2002), Tujuh Musim Setahun (Clara Ng.), Dadaisme (Dewi Sartika, 2004), Nayla (Djenar Maesa Ayu, 2005), juga kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! (Djenar Maesa Ayu, 2002), Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (Djenar Maesa Ayu, 2004), dan Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek (Djenar Maesa Ayu, 2006). Karya-karya tersebut di satu sisi dipandang telah memberikan kesegaran baru dalam estetika sastra Indonesia. Estetika sastra yang baru ini ditandai oleh penggunaan teknik bercerita maupun sentuhan stilistika yang baru. Di sisi lain, karya-karya ini dipandang sebagai dobrakan radikal yang mengungkapkan ketabuan dan keliaran seksual secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, dan terasa sangat vulgar. Persoalan seks bukan sesuatu yang baru, namun jika dibandingkan dengan para pengarang pendahulunya, kelompok penulis sastra wangi ini lebih berani dalam hal telanjang, menelanjangi, dan melumat-lumat kebugilan tubuh lawan jenisnya. Situasi
ini
menandai
perkembangan
masyarakat
menuju
zaman
posmodernisme yang disarati hutan rimba materialisme, pelepasan hasrat, kelimpahruahan, dan ekstremitas. Dalam wacana posmodern, hasrat—yang dapat menggerakan kebudayaan menuju kondisi yang lebih baik, tetapi dapat juga menuju kondisi yang lebih buruk dan merusak—diberi ruang yang sama untuk hidup.
Berbagai
dualisme
konsep
hasrat
yang
dipertentangkan
dibuat
mengambang setelah berbagai batasnya didekonstruksi atau dicairkan. Ketiadaan batas yang jelas inilah yang menyebabkan wacana posmodern penuh dengan perangkap-perangkap
ketidakpastian
(indeterminasi),
ketidakjelasan,
dan
kemenduaan hasrat (Piliang, 2000). Hampir bersamaan dengan munculnya fenomena sastra wangi, satu gejala lagi yang dipandang telah memberi warna tersendiri dalam perjalanan sastra Indonesia
pascareformasi
adalah
munculnya
karya-karya
fiksi
islami.
Kecenderungan baru genre fiksi ini digagas dan dimotori oleh Helvy Tiana Rosa melalui Forum Lingkar Pena (FLP) yang pernah dirintis dan diasuhnya. FLP yang berkembang dan membuka jaringan di berbagai daerah di Indonesia ini
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
58
memunculkan para pengarang muda yang melahirkan puluhan novel maupun kumpulan cerpen (remaja) islami. Munculnya gejala kontradiksi ini, pada tataran tertentu, boleh jadi merupakan upaya penyadaran atau justru menjadi tandingan atas dominasi karyakarya bercorak seksual. Dalam karya-karyanya, unsur dakwah Islam dan upaya penyadaran moral sangat menonjol. Kelompok pengarang fiksi islami ini pada umumnya lebih banyak mengeksplorasi persoalan kehidupan remaja dalam menghadapi masalah yang mereka alami. Dalam kaitan ini, agama Islam dihadirkan sebagai pembuka jalan dan sekaligus sebagai pemecahan masalah. Sementara itu, dalam hal usaha penerbitan karya, mereka telah melakukan kerja sama dengan beberapa penerbit misalnya DAR! Mizan, Syaamil, Naviri, dan Inisiasi Press. Karya-karya corak ini mencapai puncak dengan terbitnya novel Ayat-ayat
Cinta
(2006)
karya
Habiburrahman
El-Shirazy.
Kesuksesan
Habiburrahman melalui novel Ayat-ayat Cinta-nya ini kemudian segera diikuti oleh sejumlah penulis muda lainnya, baik dari kelompok FLP maupun dari kalangan penulis di luarnya. Setelah Ayat-ayat Cinta, muncul tendensi pengekoran terhadap kesuksesan dan popularitas Habiburrahman. Gejala ini kentara terlihat dari aspek temanya yang cenderung seragam, teknik berceritanya yang hampir selalu mengeksplorasi emosi kesedihan, dan kemiripan judul-judul buku yang mereka terbitkan. Reformasi juga membuat kehidupan pers menjadi lebih bebas. Keadaan ini mendorong terjadinya perkembangan sastra Indonesia yang mengalami lonjakan. Dibandingkan dengan genre sastra seperti roman, novel, atau puisi, cerita pendek (cerpen) lebih diuntungkan dengan keadaan pascareformasi ini. Pada dua dasawarsa terakhir, cerpen berkembang secara pesat di koran-koran dan paling menikmati perkembangan media massa. Hampir semua surat kabar, umumnya yang memiliki edisi Minggu, menyediakan rubrik cerpen dan tentunya telah banyak cerpen terpublikasikan melalui media tersebut. Dengan pesatnya perkembangan cerpen di koran ini, Kuntowijoyo menyatakan bahwa kita merasa beruntung dan sepatutnya berterima kasih kepada koran karena koran-koran kita sanggup menanggung risiko dengan menghadirkan cerpen yang termasuk fiksi,
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
59
padahal seharusnya mereka hanya memuat fakta. Koran-koran besar di luar negeri—seperti The New York Times—tidak pernah memuat cerpen, sehingga dia menduga bahwa kondisi tersebut khas Indonesia (Aisyah, 2010: 2). Cerpen berkembang dengan riuh kontroversi akan kemunculannya dalam koran. Kontroversi itu muncul akibat adanya stigma negatif terhadap koran, sebagai media massa, yang dianggap sebagai dunia yang hiruk pikuk, yang membuat tidak terbentuknya keheningan, iklim reflektif, dan kontemplatif yang dibutuhkan oleh sastra. Hal itu dibantah dengan pendapat bahwa ternyata koran saat ini lambat-laun telah mengalami pergeseran. Perkembangan audio-visual dan internet telah menggeser posisi koran. Koran telah bertransformasi menjadi media yang reflektif dan menjadi media yang menyampaikan informasi yang akumulatif. Informasi sensasional dan informasi cepat kini dipegang oleh media elektronik dan portal berita internet. Selain itu, sebagai media politik-ideologi maupun sebagai industri yang komersial, koran dianggap bersifat eksploitatif dan manipulatif, kekuatan yang melumpuhkan daya pikir dan daya reflektif manusia, yang justru menjadi motor utama sastra. Banyak kritikus menunjukkan bahwa hal tersebut tidak membuat karya sastra yang dimuat di dalamnya berkarakeristik seperti itu juga. Justru sastra menjadi penyeimbang bagi sifat yang demikian, memberi alternatif dan sudut pandang lain mengenai berbagai hal yang muncul di media masa. Hal ini terlihat, misalnya, pada Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma yang memperlihatkan fakta melalui kaca mata fiksi. Koran, sebagai industri, juga dianggap sangat terkait dengan pasar, sehingga menimbulkan hubungan sosial yang termediasi oleh uang. Budiarto Danujaya (1994) menegaskan bahwa tidak selamanya cerpen-cerpen surat kabar terjebak pada selera pop. Sebagai contoh, Budiarto menunjukkan bahwa tidak selamanya cerpen-cerpen surat kabar memakai pola tutur realis dan pola penceritaan konvensional (yang cenderung disukai pasar). Begitu pula dalam pemilihan tema, tidak sekadar mengemukakan jenis-jenis cerita segi tiga naksir-cinta-patah hati seperti banyak digandrungi dalam majalah hiburan.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
60
3.4.2 Kacapiring dalam Konstelasi Sastra Indonesia Pascareformasi Cerpen-cerpen yang dipublikasikan oleh koran menunjukkan kecenderungan mengangkat tema dan latar permasalahan tertentu. Tema dan latar permasalahan tersebut adalah masalah-masalah seputar peristiwa yang sedang terjadi. Goenawan Mohamad (2000) menyebut cerpen-cerpen ini ditulis dengan niat untuk ikut bicara dalam soal-soal sosial yang sedang hangat. Nirwan Dewanto (2000) dengan tajam menyatakan bahwa penulis cerpen kita sekarang ini sekadar memperalat bahasa dan menggunakan bentuk sebagai kendaraan bagi pesan, filsafat, atau “keterlibatan sosial.” Banyak kejadian yang tumbuh di zaman sekarang muncul dalam cerpen. Masalah-masalah sosial seperti penggusuran, ketertindasan rakyat oleh penguasa, sisi-sisi lain dari pembangunan, masalah-masalah ketidakadilan hukum, masalahmasalah politik, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang mewarnai cerpen koran pada dua dasawarsa terakhir ini. Kacapiring, yang beberapa cerpennya pernah dimuat di koran, mengadopsi kesegaran media massa atau keaktualan koran. Sepak terjang Danarto dengan cerpennya memang telah dimulai sejak lama. Danarto dianggap sebagai pembawa pembaruan pada dunia cerpen tahun 70-an. Pembaruan itu dari segi isi dan bentuk, cerita inkonvensional, menyalahi kaidah cerpen biasanya: kadang cerita tidak bercerita, cerita terdiri dari beberapa cerita, plot tidak jelas, dunia tampil serba kacau, tidak jelas latarnya, tokoh-tokohnya serba aneh, cerita sendiri irasional, menyalahi logika konvensional (Jassin, 1986). Pada karyanya yang terbaru ini, hal tersebut masih terlihat. Dari 18 cerpen yang disajikannya, 11 cerpen menyasar isuisu sosial yang aktual. Isu tentang penggusuran muncul pada cerpen “Jejak Tanah” dan “Alhamdulillah, Masih Ada Dangdut dan Mi Instan.” Isu tentang perburuhan muncul dalam cerpen “Zamrud.” “Telaga Angsa dan Si Denok” memaparkan kritik terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. “O, Yerusalem” menunjukkan kegelisahan pengarang terhadap konflik Palestina-Israel yang tidak kunjung selesai. Kacapiring juga menggunakan latar bencana seperti tsunami Aceh pada “Nistagmus,” “Pohon yang Satu Itu,” dan “Lauk dari Langit” serta banjir pada “Bengawan Solo” dan “Pantura.”
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
61
Isu-isu aktual ini dibalut dengan gagasan sufistik yang telah lama digeluti Danarto. Berbeda dengan sastra islami yang dirintis FLP, Kacapiring berusaha untuk tidak jatuh pada sebuah dakwah konvensional. Lewat karyanya ini, Danarto memberikan kemasan yang lebih universal tentang kehidupan beragama. Dakwah lewat karya sastra ini tidak secara eksplisit diperlihatkan, tetapi muncul dalam perangkat metafora yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sebagai contoh, Danarto menggunakan cerpen “Telaga Angsa” untuk ikut bicara mengenai persolan sosial yang sedang hangat. Danarto menyatakan sikapnya terhadap Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Untuk tidak jatuh pada dakwah, Danarto menggunakan perangkat metafora sebagai strategi pengucapan ketidaksetujuannya terhadap RUU tersebut. “Telaga Angsa”
mempermainkan
konsep
keindahan
dalam
menyatakan
ketidak
setujuannya ini. Keindahan dimetaforakan sebagai tarian. Tarian yang dimaksud adalah tari balet yang dimainkan oleh balerina Rusia. Tari ini dianggap berbau pornografi. Namun, pernyataan tersebut disangkal tokoh utama Zahra, “Ada yang jauh lebih sublim, yaitu bentuk tubuh secara utuh. Jenjang kaki panjang indah— laki-laki maupun perempuan—dalam menopang torso yang sepadan melahirkan kelenturan gerak bagai kijang” (Danarto, 2008: 74). Untuk memperkuat pernyataan tersebut, konsep keindahan ini dilekatkan dengan wujud Tuhan yang indah, “Wajah Allah itu memancar memenuhi alam semesta dan kita makhluk ciptaanNya dapat menatap Wajah itu secara gamblang. […] Allah itu indah, Allah mencintai keindahan.” Metafora kekuatan Tuhan pada “Zamrud” dan “Jejak Tanah” juga memperlihatkan hal serupa. Cerpen “Zamrud” menceritakan tokoh yang peduli terhadap nasib kaum buruh. Di perjalanan, mereka sekeluarga mengalami kecelakaan lalu lintas. Pertolongan dan kekuatan Tuhan menyelamatkan mereka. Kekuatan tersebut menjelma seorang tua yang mengangkatnya dari dasar jurang. Setelah ditelusuri, ternyata orang tua tersebut telah meninggal. “Jejak Tanah” menceritakan orang yang sering menggusur tanah. Jenazah orang tersebut tidak diterima tanah dan selalu pulang ke rumah. Pada dua cerpen ini terlihat kekuatan Tuhan menjelma balasan bagi perbuatan manusia. Balasan baik ditujukan pada
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
62
mereka yang berlaku baik, balasan buruk menimpa mereka yang merampas hak orang lain. Hal yang ditunjukkan pada cerpen “Telaga Angsa,” “Zamrud,” dan “Jejak Tanah” memperlihatkan keterlibatan sosial Danarto sambil menekuni jalan spiritualitas. Keterlibatan itu diungkapkan dengan strategi pengucapan metafora yang berkaitan dengan jejak spiritualitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa inti pembicaraan Danarto adalah isu-isu sosial yang hangat, sedangkan gagasan sufistik menjadi balutan isu-isu tersebut. Spiritualitas yang telah lama ditekuninya memberikan pengaruh pada tanggapan Danarto terhadap isu-isu tersebut. Meskipun inti cerita Kacapiring menyasar isu-isu aktual, Danarto masih mengekspresikan pengalaman batinnya dalam beberapa cerpen. Dalam cerpencerpen ini, terlihat gagasan-gagasan sufistik mengenai Tuhan, kematian, dan kehidupan muncul secara mandiri dalam satu keutuhan cerpen tanpa terlibat dengan isu aktual. Gagasan-gagasan ini juga muncul dalam perangkat metafora yang telah dijelaskan sebelumnya. Kehadiran gagasan sufistik yang terdapat pada Kacapiring dalam konstelasi sastra pascareformasi, yang dipengaruhi budaya posmodern, di satu sisi menjanjikan dan di sisi lain mengkhawatirkan. Di satu pihak, wacana sufisme pada Kacapiring dapat menjadi semacam penjaga moral di tengah banyaknya karya sastra yang disarati gejolak pelepasan hasrat tidak berbatas. Di pihak lain, sufisme dikhawatirkan dapat menggiring pada paradoks sufisme itu sendiri. Sufisme dikhawatirkan dapat terperangkap dalam hasrat masyarakat posmodern yang tidak terbendung. Piliang mempertentangkan wacana sufisme dengan posmodernisme. Perbedaan dasar antara sufisme dan posmodernisme terletak pada konsep pembebasan hasrat. Hakikat sufisme adalah pengendalian hasrat, sedangkan posmodernisme membebaskan hasrat (desiring liberation). “Yang satu mengekang ‘hasrat’, yang lain membebaskannya; yang satu membentengi ‘libido’, yang lain melepaskannya; yang satu mengutamakan ‘perenungan’, yang lain merayakan kepanikan (hysteria); yang satu menjunjung tinggi ‘kedalaman’, yang lain memuja ‘permukaan’ (surface);
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
63
yang satu mengutamakan kesederhanaan, yang lain memuja ‘ekstremisitas’ (hyper); yang satu menjauhkan diri dari materi, yang lain memuja pemilikan materi (consumerism)” (Piliang, 2000: 54). Hal-hal yang hendak dikendalikan oleh wacana sufisme sebaliknya justru ingin dibebaskan oleh wacana posmodernisme. Posmodernisme merupakan sebuah wacana pembebasan hasrat dari berbagai belenggu yang selama ini menghalangi. Kacapiring menawarkan pertentangan pada agama formal, tradisi, anggapan umum, dan kontruksi sosial. Hal tersebut dapat dilihat pada metafora kematian yang telah dijelaskan, “Ketika menghadapi kenyataan di alam kubur ini, saya mendapati realitas yang berbeda, bahkan bertentangan dari tafsir para kiai” (Danarto, 2008: 11). Pada “Jejak Tanah” juga terdapat anggapan bahwa tokoh “memegang teguh nilai-nilai agama dan mempraktekannya dengan baik,” tetapi jenazahnya tidak bisa dikuburkan. Pada cerita “Kacapiring” yang terdapat metafora “Manusia Adalah Wajah Tuhan,” dikatakan bahwa “perjalanan hidup itu tidak lurus, bahkan perjalanan orang-orang saleh.” Metafora “Tarian Adalah Keindahan” pada “Telaga Angsa” juga tawar-menawar dengan tradisi dan agama, “Moral dan agama ada pada keindahan kesenian itu.” Pertentangan-pertentangan tersebut adalah semacam redefinisi terhadap moralitas. Metafora yang ditampilkan dalam Kacapiring membongkar kembali kategori-kategori moral. Ukuran-ukuran moralitas yang ada telah dibawa ke dalam konteks baru. Ukuran ini tidak dapat dipegang lagi karena situasi yang berkembang telah melampaui batas benar-salah, baik-buruk, berguna-tidak berguna. Pada tataran ini, Kacapiring telah juga terhasut zaman posmodern. Ada permainan yang membawa batas-batas moral tersebut kesana-kemari, sehingga menciptakan keadaan dengan batas-batas yang kabur. Namun, ternyata Kacapiring juga meletakkan batas baru, alternatif pemaknaan lain terhadap kaidah dan aturan yang ditekan-tekankan oleh tradisi, konstruksi sosial, dan agama. Wacana sufisme masuk melalui metafora pada cerpen-cerpen yang terhimpun pada Kacapiring. Kacapiring menekankan kedalaman cinta pada Tuhan, menyelami kesadaran diri. Oleh karena itu, gagasan sufisme bergerak luwes pada alternatif pemaknaan baru atas kaidah dan aturan.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
64
Metafora-metafora ini menawarkan kedalaman makna dan jiwa yang ada di baliknya. Di tengah-tengah konstelasi sastra pascareformasi yang bertaburan cerita dengan dobrakan radikal, wacana spiritualitas masih tetap muncul. Jean Baudrillard mengungkapkan bahwa massa tidak akan menolak dan menampik apapun, selama apa yang disuguhkan pada mereka adalah permainan gaya, citra, dan tontonan. Mereka tidak perlu peduli dengan kedalaman makna, atau spirit di balik citra tersebut, “[…] Mereka hanya menginginkan tanda, mereka memuja permainan tanda-tanda.” Alvin Toffler, menawarkan sebuah prediksi, bahwa dalam milenium ketiga, peran agama dan spiritualitas akan makin menonjol, sebagai moralitas masyarakat. Hanya saja, tidak banyak manusia yang mau mendengarkan suara-suara moral dan spiritual itu—suara sejuk orang suci, suara kritis sang filsuf, suara lembut sang pujangga. Suara-suara tersebut tenggelam dalam keterpesonaan dan kegairahan yang ditawarkan mesin-mesin tontonan dan hiburan; lenyap dihisap jutaan bit informasi dan kecabulan dalam cyberspace (Piliang, 2000: 68). Kacapiring setidaknya meminimalisasi berbagai ketidakpastian, kekaburan, ekstremitas yang ditawarkan karya sastra pascareformasi. Hal ini dilakukan dengan upaya meletakkan kembali aturan-aturan pada konteks zaman sekarang. Upaya ini muncul dalam cerita dengan metafora, perumpamaan, dan simbol yang sarat makna. Perumpamaan ini menyembunyikan makna yang perlu diungkap. Seperti yang dituliskan kitab suci, dunia menyediakan perumpamaanperumpamaan bagi mereka yang berpikir. Danarto juga mengungkapkan, “Kau kejar ke sana, jangan hanya raga. Kau kejar kemari, jangan hanya surga. Tuhan menyembunyikan semua.”
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
BAB 4 PENUTUP
Berdasarkan analisis data, di ranah sasaran, tema yang ditampilkan dalam ungkapan metafora adalah kematian, konsep keindahan, dan wajah Tuhan. Di ranah sumber, konsep pohon digunakan untuk mewakili pengalaman religiusnya. Kematian diungkapkan dengan metafora kepergian. Metafora ini membawa konsekuensi bahwa kematian adalah titik akhir kehidupan dan titik awal untuk menuju kehidupan yang baru. Metafora ini berkaitan dengan alur yang dimainkan. Kematian menjadi titik awal perjalanan. Tokoh ini kemudian terus bergerak bergulir bersama malaikat menuju destinasi akhir. Destinasi akhir ini adalah rupa surga. Rupa surga digambarkan mengejutkan. Di akhir cerita diungkapkan bahwa surga dihuni keluarganya. Konsep perpindahan yang ada pada kepergian juga dipinjam untuk menjelaskan kematian yang membuat tubuh bertransformasi ke kehidupan yang baru. Metafora ini juga memunculkan ekspresi metafora lain yang berhubungan yaitu transportasi dan kendaraan. Kematian juga diungkapkan dengan metafora kebahagiaan. Realitas kematian diungkapkan berbeda dengan perumpamaan kematian yang dilekatkan dengan peristiwa mengerikan. Dalam kematian, bernapas bisa lebih lega tanpa beban. Metafora ini berhubungan dengan bagaimana Danarto memetaforakan kehidupan. Kehidupan dianggap sebagai beban. Kehidupan diekspresikan dalam metafora yang mengisyaratkan penderitaan. Kematian dianggap sebagai pertemuaan antara hamba dengan Tuhannya, puncak kebahagiaan. Konsep kematian juga dijelaskan menggunakan konsep tidur. Untuk membedakannya, tidur diungkapkan dengan penambahan keterangan, seperti keterangan waktu “di sepanjang abad,” keterangan “dengan pulas,” dan juga keterangan kondisi badan seperti “terkulai.”
65 Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
66
Kematian tidak dianggap sebagai sesuatu yang perlu ditakuti. Metaforametafora kematian ini mengisyaratkan puncak kesatuan mistis yang selalu diidamidamkan oleh kaum sufi. Kematian dalam tradisi sufi dianggap sebagai puncak kesatuan mistis. Selain kematian, Kacapiring juga menawarkan metafora konsep keindahan. Keindahan ini salah satunya diperlihatkan dalam metafora malaikat yang mewujud sebagai bunga. Malaikat yang menjelma bunga ini berhubungan dengan tugasnya yang mengantarkan roh menuju kebahagiaan. Konsep keindahan juga muncul dalam bahasa karya seni seperti tarian, lukisan, dan patung. Konsep ini muncul untuk menanggapi isu sosial yang berhubungan dengan pornografi dan pornoaksi. Kacapiring juga memetaforakan wajah Tuhan. Wajah Tuhan muncul dalam metafora alam semesta. Metafora “Manusia Adalah Cermin Wajah Tuhan” muncul otonom dalam satu cerpen berjudul “Kacapiring.” Secara eksplisit, metafora ini tidak mewakili Tuhan, tetapi hanya wajahnya. Metafora ini menyiratkan bahwa Danarto enggan terjebak dalam mendefinisikan Tuhan. Wajah Tuhan yang tercermin dalam alam semesta telah lama menjadi pokok perbincangan dalam gagasan sufistik. Tuhan dianggap memiliki wujud yang meliputi alam semesta. Metafora ini juga menunjukkan bahwa wajah Tuhan bagi Danarto dapat dilihat secara gamblang. Selain itu, terdapat juga metafora kekuatan Tuhan yang selalu muncul dalam sosok-sosok gaib. Metafora ini menggambarkan konflik perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Konflik tersebut tidak terjadi secara langsung antara pihak penyuara kebenaran yang mengalir berhadapan dengan penyuara kebenaran yang jelas garis-garisnya atau antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis. Konflik dipaparkan dengan dialog tokoh pada dirinya sendiri ketika suatu peristiwa terjadi kemudian didukung oleh munculnya kekuatan Tuhan. Pada
ranah
sumber,
konsep
pada
kata
pohon
digunakan
untuk
menggambarkan gagasan yang bermacam-macam. Metafora yang menggunakan pohon ini muncul dalam tiga cerpen, “Pohon yang Satu Itu,” “Pohon Rambutan,”
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
67
dan “Pohon Zaqqum.” Pada “Pohon yang Satu Itu,” pohon ini bermakna sebagai sesuatu yang bisa mengantarkan korban-korban tsunami ke kehidupan yang abadi di atas sana. “Pohon Zaqqum” menggambarkan pohon neraka yang ternyata tumbuh di kota-kota besar. Pohon ini tentu bukan pohon dalam arti literal, tetapi bermakna hawa nafsu yang melenakan manusia dan membuat manusia penuh dengan amarah ketika hawa nafsu ini tidak terkendali. “Pohon Rambutan” menggambarkan persahabatan yang dilandasi cinta pada Tuhan. Metafora-metafora yang disuguhkan dalam Kacapiring adalah penafsiran baru yang berbeda dengan dakwah yang didengung-dengungkan kiai. Dalam metafora kematian Danarto menawarkan pengungkapan baru bahwa dunia gaib tidak selamanya identik dengan wajah seram yang sudah digambarkan banyak tokoh keagamaan. Metafora keindahan adalah upaya tawar-menawar dengan tradisi, agama formal, anggapan umum, dan konstruksi sosial. Metafora yang sarat dengan pengaruh sufisme ini juga menekankan cinta dan spiritualitas mendalam dalam hati. Metafora-metafora yang menyangkut Tuhan dan kekuatannya menggambarkan konflik yang tajam antara kebenaran yang mengalir dengan kebenaran yang jelas garis-garisnya. Metafora-metafora ini juga adalah strategi pengucapan yang mencoba bermain-main dengan simbol dan tanda. Permainan ini sering muncul dalam karya-karya yang terbit dalam kurun waktu setelah reformasi. Simbol dan tanda pada metafora yang ada di Kacapiring tersebut menyembunyikan kedalaman makna dengan pengaruh tradisi sufi yang telah lama digeluti. Kedalaman hubungan cinta antara hamba dengan Tuhannya yang mistik dan personal menjadi kontradiksi bagi tataran agama formal yang jatuh pada dakwah. Aturan-aturan yang didengung-dengungkan agama dan ditafsir oleh kiai diredefinisi. Ukuran baik-buruk, benar-salah, berguna-tidak berguna yang batasnya semakin kabur, oleh Danarto di rumuskan kembali. Pengaruh sufisme sangat besar dalam pemaknaan baru yang dilakukan Danarto melalui metaforametafora dalam Kacapiring.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
68
Demikianlah, Danarto selama delapan tahun kiprah kepenulisannya dalam Kacapiring telah memanfaatkan berbagai khazanah dominan seperti Islam dan Jawa, tetapi masih mengambil sisi lain. Kacapiring muncul di tengah tantangan wacana posmodern, materialisme, dan ekstermisme dalam karya-karya sastra Indonesia pascareformasi yang sama sekali bertentangan dengan gagasan sufisme yang diusungnya. Danarto telah melenturkan khazanah-khazanah itu menjadi kritik dan pencerahan terhadap isu-isu sosial yang berkembang pada kurun waktu sekitar penerbitannya.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Nenden Lilis. 2010. “Masa Depan Cerita Pendek Kita.” Makalah. Diunduh dari http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS_DAN_ SASTRA_
INDONESIA/197109262003122-N._LILIS_AISYAH/
ARTIKEL_ Masa_Depan_ Cerita_pendek_Kita.pdf pada tanggal 2 Juni 2012. Azwir, Reno. 2010. “Studi Corak Sastra Sufistik Nusantara pasca-Poejangga Baroe.” Diakses di http://hikmahperennial.blogspot.com/2010/07/studicorak-sastra-sufistik-nusantara.html pada tanggal 16 Februari 2011. Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan. Damono, Sapardi Djoko. 1988. “Protes Sosial Danarto?” dalam Tempo No 7 Th. 18. 16 April 1988. Danarto. 2008. Kacapiring. Jakarta: Banana. Danujaya, Budiarto. 1994. “Tentang Sastra Koran Itu,” dalam Lampor, Cerpen Pilihan Kompas 1994. Jakarta: Kompas. Dewanto, Nirwan. 1992. “Penutup,” dalam Kado istimewa, Cerpen Pilihan Kompas 1992. Jakarta: Gramedia Hadi W. M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus. ---------------. 2006. “Sastra Melayu Bercorak Tasawuf: Pengelompokan dan Estetikanya.”
Diakses
di
http://ahmadsamantho.wordpress.com/
69
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
70
2008/08/13/sastra-melayu-bercorak-tasawuf-pengelompokan-danestetikanya/ pada tanggal 16 Mei 2011 pukul 11.42. ---------------. 2010a. “Estetika Sebagai Suluk Atau Jalan Kerohanian” Diakses di http://pasulukan.wordpress.com/2010/08/29/estetika-sebagai-suluk-ataujalan-kerohanian/ pada tanggal 11 Maret 2012. ---------------. 2010b. “Sastra Sufi Melayu dan Gemanya dalam Sastra Modern Indonesia.” Diunduh dari Horison online. Jassin, H.B. 1986. Analisa: Sorotan Atas Cerita Pendek. Jakarta: Gunung Agung. Knowles, Murray dan Rosamund Moon. 2006. Introducing Metaphor. London dan New York: Routledge. KS.,
Yudiono.
“Format
Baru
Sejarah
Sastra
Indonesia”.
Diakses
di
http://topengtopeng.blogspot.com/2009/03/yudiono-tentang-sejarahsastra.html. Diakses pada tanggal 20 Mei 2010. Dimuat pula pada Kompas 7 Maret 2004. Lakoff, George. 1992. “The Contemporary Theory of Metaphor” dalam Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. Lakoff, George dan Mark Johnson. 2003. Metaphors We Live By. Chicago: The University of Chicago Press. Lakoff, George dan Mark Turner. 1989. More than Cool Reason: A Field Guide to Poetic Metaphor. Chicago: The University of Chicago Press. Mohamad, Goenawan. 2011. “Metafor dan Metamorfosis: Membaca Kembali ‘Malarangsumirang’.” Diakses di http://goenawanmohamad.com pada tanggal 6 Mei 2011. ---------------. 2000. “Kenapa Menulis Cerita Pendek?” dalam Dua Tengkorak Kepala, Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: Kompas
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
71
Mulyana, Deddy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya Nugraheni, Sekar. 2007. “Aspek Sufistik Dalam Kumpulan Cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril Karya Danarto: Tinjauan Semiotik.” Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Piliang, Yasraf Amir. 2000. “Fenomena Sufisme di Tengah Masyarakat Posmodern: Sebuah Tantangan bagi Wacana Spiritualitas” dalam Jurnal alHuda Nomor 2 Volume 1. Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1989. Dialog Antara Dunia Nyata dan Tidak Nyata: Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto. Jakarta: Balai Pustaka. Rahman, Jamal. D. 2010. “Wahdatul Wujud di Indonesia Modern; Pantulan dari Cerpen-Cerpen Danarto”. Diunduh dari Horison online. Ritchie, Jane dan Jane Lewis (ed). 2004. Qualitative Research A Guide for Social Students and Researchers. London: Sage Publications. Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS. Schimmel, Annemarie. 1986. Mystical Dimensions of Islam. United States of America: University of North Carolina Press. Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Sitepu, Gustaf. 2009. “Strukturalisme Genetik Asmaraloka.” Tesis Universitas Sumatera Utara. Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Balai Pustaka. ---------------. 1994. “Hamzah Fansuri Sang Pemula Puisi Indonesia,” dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberkasaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Tjitrosubono, Siti Sundari, dkk. 1985. Memahami Cerpen-cerpen Danarto. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012
72
Wijaya,
Putu.
(2007).
“Sastra
Reformasi.”
Diakses
di
http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/04/sastra-reformasi pada tanggal 20 Mei 2010. Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (terj.). Jogjakarta: LKiS.
Universitas Indonesia
Metafora sufistik..., Maharddhika, FIB UI, 2012