UNIVERSITAS INDONESIA
PLACE HABIT SEBAGAI FENOMENA KEHADIRAN KELEKATAN ANAK PADA TEMPAT
DISERTASI
SUSINETY PRAKOSO NPM: 1206312611
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM DOKTOR ARSITEKTUR DEPOK JUNI 2015
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
PLACE HABIT SEBAGAI FENOMENA KEHADIRAN KELEKATAN ANAK PADA TEMPAT
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Arsitektur
SUSINETY PRAKOSO NPM: 1206312611
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM DOKTOR ARSITEKTUR DEPOK JUNI 2015
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, hanya karena anugrah dan karuniaNya, disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini ditulis dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Doktor Program Studi Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa penulisan disertasi ini tidak akan dimungkinkan tanpa campur tangan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, saya ingin mengucapkan syukur dan terima kasih kepada: 1. Ibu Paramita Atmodiwirjo, ST., M.Arch., Ph.D, selalu promotor dan Pembimbing Akademik saya, yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing, memberi masukan yang kritis dan konstruktif serta mengarahkan saya dalam penyusunan disertasi ini dari awal hingga akhir. 2. Bapak Prof. Ir. Triatno Yudo Harjoko, M.Sc., Ph.D selaku kopromotor yang telah membuka wawasan berpikir saya bahwa pengetahuan arsitektur bukan hanya suatu kehadiran yang fisik, namun pengetahuan arsitektur dapat dijelaskan melalui kehadiran metafisik. Beliaulah yang selalu menyediakan waktu untuk membaca dan mengkritisi tulisan saya untuk menjadi lebih fokus. 3. Ibu Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Psi., Ph.D selaku kopromotor, yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan saya dalam penyusunan disertasi ini. Beliau dengan teliti membaca dan memberi masukan-masukan yang berharga demi menyempurnakan disertasi ini. 4. Bapak Prof. Yandi Andri Yatmo, ST., M.Arch., Ph.D sebagai Ketua Departemen Arsitektur dan juga sebagai Ketua Penguji, yang memberikan masukan kritis bagi disertasi ini agar dapat membawa manfaat pada perkembangan ilmu pengetahuan arsitektur. 5. Anggota Tim Penguji: Ibu Evawani Ellisa, Ph.D., Bapak Hanson E. Kusuma, Dr.Eng., dan Ibu Purwanita Setijanti, Ph.D. yang telah memberikan kritik dan masukan-masukan yang konstruktif dalam membantu mempertajam argumentasi dalam disertasi ini.
iv
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
6. Kepada Ibu Rini Suryantini, ST., M.Sc. selaku Sekretaris Departemen Arsitektur dan kepada segenap staf sekretariat departemen Arsitektur yang selalu siap membantu segala keperluan terkait administrasi akademik studi saya. 7. Kepada semua ‘anak-anak saya’ dan orang tuanya yang berpartisipasi dalam penelitian ini, yang telah bersedia berbagi cerita dan pengalamannya yang sangat berharga. Tanpa mereka, disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan. Kepada Kepala Sekolah dan guru-guru Sekolah Ketapang I dan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi yang telah memberikan ijin bagi saya untuk melakukan penelitian dengan siswa-siswanya. 8. Kepada pimpinan UPH, pimpinan Fakultas Desain UPH dan Ketua Jurusan Arsitektur UPH, yang telah mendukung dan memberikan kesempatan studi lanjut ini. 9. Kepada rekan-rekan dosen dan staf Jurusan Arsitektur UPH serta kepada rekanrekan dosen dan staf Fakultas Desain UPH yang selalu memberi perhatian, dukungan, inspirasi, semangat dan doanya bagi saya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. 10. Kepada rekan-rekan seperjuangan mahasiswa S3 Arsitektur di UI yang selalu memberi dukungan dan perhatian bagi saya sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini. 11. Kepada orang tua saya yang selalu memberi perhatian terutama terkait dengan kesehatan saya selama menyelesaikan disertasi ini dari awal hingga akhirnya. 12. Kepada keluarga saya, Andreas Wiranta dan anak-anak saya, Liliane dan Anderson, yang selalu menjadi sandaran dan andalan saya untuk selalu semangat menyelesaikan disertasi ini. Kasih, perhatian dan doa mereka selalu menguatkan dan menyertai saya dalam menyelesaikan disertasi ini.
Depok, 30 Juni 2015
Susinety Prakoso
v
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Susinety Prakoso : Arsitektur : Place Habit sebagai Fenomena Kehadiran Kelekatan Anak pada Tempat
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat; mengungkap proses terbentuknya kehadiran kelekatan anak pada tempat; dan mengungkap kondisi spasial yang perlu dipenuhi agar keberlangsungan kelekatan anak pada tempat dapat berhasil. Meminjam dari pendekatan eksistensial fenomenologi, penelitian ini memandang tempat dalam place attachment sebagai konsep non-material both/and atau here/now: suatu konsep yang memahami anak dan tempat sebagai keutuhan pengalaman kehadiran manusia di dunia. Melalui grounded theory, penelitian ini menemukan bahwa fenomena hadirnya kelekatan anak pada ruang kota tertentu yang diamati merupakan fenomena non-material, hasil dari gagasan both/and atau here/now, yang dinyatakan sebagai place habit. Place habit merupakan tindakan menempati suatu ruang kota yang mendukung, hasil dialektika body habit dan pengalaman emosional. Place habit, dibentuk melalui proses internal yang terjadi di dalam body habit, yang melingkupi: pergerakan habitual anak, proses berdiam dan perjumpaan dengan ruang kota yang mendukung (supportive lived-existential space) pada ruang dan waktu tertentu, serta memicu pengalaman emosional pada anak yang dinamis. Place habit rapuh dan non-permanen. Place habit selalu bergerak, tergantung ruang dan waktu yang tidak fix. Keberlangsungan place habit tergantung pada agency, dukungan modal (ekonomi, budaya, sosial), body-habit, pengalaman emosional dan makna tempat. Sifat non-permanen place habit diindikasikan oleh empat sifat place habit, yaitu: secure, avoidant, diminished dan mobile. Keempat sifat place habit tersebut menunjukkan dinamisnya stabilitas keberlangsungan place habit. Kata kunci: Place habit, dialektika, anak, ruang kota, sifat, stabilitas, kelekatan.
vii Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Susinety Prakoso : Architecture : Place habit as the phenomenon of children’s place attachment
This study attempts to understand the phenomenon of children’s place attachment, the nature of the process through which children’s place attachments are formed, and the conditions that must be fulfilled to make children’s place attachments successful. Influenced by existential-phenomenological theories, this study views a place as a metaphysical phenomenon, which facilitates the understanding of child and place as a totality phenomenon of a wholeness experience of people-in-world. Based on grounded theory, this study found that the phenomenon of children’s place attachment as place habit. Place habit is the result of both/and or here/now: the interplay of the child’s body habit-in-the-place and their emotional experiences of being-in-place. Place habit is formed by an internal process occurred in a child’s body habit. Body habit is formed through a child’s repetitive movement, rest in and encounter with a supportive livedexistential space in a particular time-space routine and triggered the dynamic emotional experiences in children. A place habit is fragile and impermanent. It was a supportive urban space that was always in movement, following where a ‘child’s body habit’ and ‘emotional experiences’ encountered as one. The stability of place habit are determined by agency, capitals (social, economic and cultural), ability to body-habit, children’s emotional experiences in their favourite places and place meanings. This study found that individual differences in children’s agency, housing characteristics and peer supports, contribute to four styles of place habit: secure, avoidant, diminished and mobile. The four styles of place habit indicate the dynamic of stability of place habit and the impermanent of place habit. Key words: Place habit, lived-dialectics, child, place, style, stability, attachment.
viii Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN UCAPAN TERIMA KASIH HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
i ii iii iv vi vii ix xii xiii
1.
PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1.2. Permasalahan 1.3. Tujuan penelitian 1.4. Lingkup penelitian 1.5. Terminologi 1.6. Kerangka penulisan
2.
MEMAHAMI ATTACHMENT PADA MANUSIA DAN TEMPAT: EKSPLORASI TEORITIS 2.1. Attachment pada manusia 2.2. Attachment pada tempat 2.2.1. Konsep-konsep terkait place attachment 2.2.2. Penelitian-penelitian place attachment pada orang dewasa 2.2.3. Posisi penelitian place attachment pada orang dewasa 2.3. Place attachment pada anak 2.3.1. Konsep place attachment pada anak 2.3.2. Penelitian-penelitian place attachment pada anak 2.3.3. Posisi penelitian place attachment pada anak 2.4. Celah penelitian 2.5. Proposisi Teoritis: Keutuhan dialektika anak dan tempat 2.5.1. Penelitian sejenis 2.5.2. Pertanyaan penelitian
11
METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan penelitian 3.2. Metode penelitian kualitatif grounded theory 3.3. Etika penelitian pada anak
59 59 60 62
3.
1 1 6 6 7 7 9
ix Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
12 17 17 21 26 28 29 32 44 45 53 55 58
Universitas Indonesia
3.4.
Rancangan penelitian 3.4.1. Partisipan 3.4.2. Metode pengumpulan data 3.4.3. Tahapan penelitian Analisis dan interpretasi data Kredibilitas penelitian
64 65 69 76 80 84
4.
GAMBARAN KESEHARIAN PARTISIPAN 4.1. Gambaran lingkungan rumah tinggal partisipan 4.2. Gambaran institusionalisasi partisipan 4.2.1. Waktu 4.2.2. Tempat 4.3. Gambaran familialisasi partisipan 4.4. Gambaran ruang kota favorit partisipan
88 88 94 94 99 99 103
5.
PLACE HABIT 5.1. Konsep place habit 5.2. Pembentukan place habit 5.2.1. Pergerakan habitual 5.2.1.1. Rute dan urutan pergerakan 5.2.1.2. Frekuensi dan waktu pergerakan 5.2.1.3. Motivasi pergerakan 5.2.1.4. Halangan pergerakan 5.2.1.5. Upaya untuk bergerak 5.2.2. Berdiam (rest) di tempat 5.2.2.1. Waktu berdiam 5.2.2.2. Teritori 5.2.2.3. Tindakan di tempat 5.2.2.4. Ekspresi tindakan 5.2.2.5. Habitus tindakan 5.2.3. Perjumpaan (encounter) dengan tempat 5.2.3.1. Rentang waktu perjumpaan 5.2.3.2. Proses perjumpaan 5.2.4. Ruang kota favorit sebagai lived-existential supportive urban space 5.2.4.1. Konsep lived-existential supportive urban space 5.2.4.2. Makna subjektif ruang kota favorit 5.2.5. Sense of place dan pengalaman emosional 5.2.5.1. Sense of place 5.2.5.2. Pengalaman emosional ruang kota favorit 5.3. Kesimpulan Bab 5: Dialektika body habit dan pengalaman emosional
112 113 114 115 117 119 121 124 127 131 131 133 134 139 145 151 151 153 155
3.5. 3.6.
x Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
155 159 166 166 176 182
Universitas Indonesia
6
SIFAT DAN STABILITAS PLACE HABIT 6.1. Agency 6.2. Sifat-sifat place habit 6.2.1. Secure place habit 6.2.2. Avoidant place habit 6.2.3. Diminished place habit 6.2.4. Mobile place habit 6.3. Kesimpulan Bab 6: Sifat dan stabilitas place habit
186 186 188 188 194 197 202 205
7.
KESIMPULAN 7.1. Place habit 7.1.1. Body habit dan pengalaman emosional 7.1.2. Pembentukan place habit 7.1.3. Keberlangsungan place habit 7.2. Kontribusi penelitian dan implikasi penelitian pada praktik arsitektur 7.3. Keterbatasan penelitian dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan
213 214 216 218 221 225 229
DAFTAR REFERENSI
232
LAMPIRAN 1 2
257 258
3 4 5 6 7 8
Hasil kuesioner awal proses penjaringan partisipan Hasil kuesioner awal proses penjaringan partisipan yang menggunakan ruang terbuka dan memiliki tempat favorit Pertanyaan wawancara Jadwal pelaksanaan penelitian Lokasi rumah tinggal partisipan terhadap sekolah Waktu dan tempat aktivitas partisipan selama hari sekolah dan akhir pekan Data kelekatan partisipan dan ruang kota favorit Lingkungan rumah tinggal partisipan dan ruang kota favorit
xi Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
259 264 265 267 268 270
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Persamaan dan perbedaan human attachment dan place attachment orang dewasa dan anak Tabel 2.2. Persamaan dan perbedaan penelitian place attachment orang dewasa dan anak Tabel 3.1. Data partisipan Tabel 4.1. Deskripsi ruang kota favorit partisipan Tabel 6.1. Pemetaan secure place habit partisipan Tabel 6.2. Pemetaan avoidant place habit partisipan Tabel 6.3. Pemetaan diminished place habit partisipan Tabel 6.4. Pemetaan mobile place habit partisipan Tabel 6.5. Sifat-sifat kelekatan Tabel 6.6. Stabilitas kelekatan
xii Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
46 50 69 103 192 196 201 204 210 212
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9. Gambar 4.10 Gambar 4.11. Gambar 4.12. Gambar 4.13. Gambar 5.1. Gambar 5.2. Gambar 5.3. Gambar 5.4.
Daur hidup manusia dan implikasinya pada ruang kehidupan, terutama terhadap isu spasial place attachment anak usia 9-12 tahun Pola kelekatan orang dewasa Model-model place attachment Tripartite model dari place attachment Kecenderungan perkembangan penelitian place attachment Integrated model of human attachment dan place attachment Pemetaan perkembangan paradigma penelitian anak dan tempat Relasi tingkatan psikologis anak terhadap ruang spasial dan kelekatan Persamaan karakteristik human attachment dan place attachment Keutuhan dialektika anak dan tempat Tetrad of environmental experience Pelaksanaan tahapan penelitian Proses metode penelitian grounded theory Kompleks rumah susun Cinta Kasih Kompleks rumah susun Bumi Cengkareng Indah (BCI) Fasilitas ruang terbuka lingkungan rumah susun Permukiman padat partisipan #1 (Hani) Permukiman padat partisipan #2 (David) dan #3 (Dona) Jalan sebagai satu-satunya ruang terbuka publik di lingkungan permukiman padat Permukiman kurang padat dan tertutup partisipan #24 (Kris) Permukiman kurang padat dan tertutup partisipan #25 (Kevin) Potensi ruang terbuka hijau di lingkungan permukiman renggang Triangle of institutionalized arena Gambaran visual ruang kota favorit partisipan Ruang kota favorit partisipan berdasarkan ruang daur hidup Pemetaan fungsi, bentuk dan ruang daur hidup ruang kota favorit partisipan Ekspresi visual partisipan di ruang kota favorit Lefebvre’s spatial triad Tingkatan sense of place Gambar partisipan terkait pengetahuannya terhadap ruang kota favorit
xiii Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
1
16 19 22 28 30 33 40 51 54 73 80 81 89 89 90 91 91 92 93 93 94 99 107 109 111 143 158 167 175
Universitas Indonesia
Gambar 5.5. Gambar 6.1. Gambar 6.2. Gambar 7.1. Gambar 7.2. Gambar 7.3.
Gambar ruang kota dengan deskripsi teks Keterkaitan sifat-sifat kelekatan pada ruang kota favorit berdasarkan kondisi familialisasi strict Keterkaitan sifat-sifat kelekatan pada ruang kota favorit berdasarkan kondisi familialisasi moderate Place habit Sifat meruang body habit anak Keberlangsungan place habit
xiv Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
176 208 209 214 217 224
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Place attachment adalah ikatan emosi, kognitif, perilaku dan tindakan antara manusia dan tempat tertentu (Altman & Low, 1992). Pada anak, place attachment juga merupakan wujud ikatan emosi antara anak dan tempat tertentu. Seperti yang disampaikan oleh L. Chawla (1992, p. 64), “children attached to a place when they show happiness at being in it and regret or distress at leaving it, and when they value it not only for the satisfaction of physical needs but for its own intrinsic qualities”. Siklus perkembangan psikologi manusia sangat terkait dengan lingkungan hidupnya (Erikson, 1982, 1997). Ruang daur hidup manusia bermula sejak ia lahir dari ruang yang sangat ia kenali (familial space). Kemudian sejalan dengan bertambahnya usia, ruang daur hidupnya semakin luas dan jauh. Hingga akhirnya di usia tua, manusia akan kembali lagi ke ruang yang sangat ia kenali yaitu familial space. Ruang daur hidup ini mengakomodasi semua kebutuhan kegiatan manusia sesuai dengan bertambahnya usia, termasuk place attachment (lihat Gambar 1.1).
Gambar 1.1. Daur hidup manusia dan implikasinya pada ruang kehidupan, terutama terhadap isu spasial place attachment anak usia 9-12 tahun Sumber: Telah diolah kembali dari Erikson (1982, 1997); Harjoko (2011)
1 Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
2
Place attachment memberikan konsekuensi positif pada manusia, menumbuhkan kesejahteraan individual, rasa puas pada kehidupan, sikap pro-aktif dan partispatif terhadap lingkungan, ikatan kekeluargaan yang kuat, rasa kepemilikan, rasa aman, kesempatan untuk eksplorasi, dan rasa mengatur tempat, serta pembentukkan identitas individu, kelompok dan budaya (Altman & Low, 1992; Jack, 2012; Lewicka, 2011; Rollero & De Piccoli, 2010). Sebaliknya, tanpa adanya place attachment akan berakibat pada timbulnya rasa asing seseorang pada saat ia berada di suatu tempat tertentu (Cresswell, 2004; Relph, 1976), rasa tidak merasa memiliki lingkungannya, serta rasa tidak peduli pada lingkungannya (Altman & Low, 1992; Jack, 2012; Lewicka, 2011; Rollero & De Piccoli, 2010). Di kota besar, tempat untuk bermain, bereksplorasi dan beraktivitas disadari penting bagi anak demi perkembangan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, sosial dan identitas anak. Tempat, khususnya ruang publik terbuka kota, yang dinyatakan sebagai naturally dan normally adult space selayaknya digunakan oleh semua orang (Skelton, 2000) dan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kualitas hidup anak. Namun, kenyataannya ruang publik terbuka kota belum demikian (Churchman, 2003). Tempat di ruang terbuka publik kota yang digunakan untuk bermain, bereksplorasi dan beraktivitas semakin berkurang jumlahnya dan kualitasnya (Freeman & Tranter, 2011). Bagaimana kondisi ruang terbuka publik kota di Jakarta? Menurut UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, luas ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kota. Tetapi kenyataannya data ruang terbuka hijau1 di Jakarta hanya sekitar 2.44% dari luas kota Jakarta. Data ini berbeda dengan data yang diberikan oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta tahun 2014, bahwa luas ruang terbuka hijau di Jakarta baru mencapai ±9-10% dari total luas kota Jakarta. Dari data ini, jelas bahwa ruang terbuka di Jakarta, khususnya ruang terbuka hijau masih jauh dari harapan. Di Jakarta, ruang terbuka hijau sulit bertambah. Ruang terbuka hijau bahkan beralih fungsi menjadi ruang komersial, ruang privat, dan ruang untuk kendaraan.
1
Ruang terbuka hijau yang dimaksud adalah taman kota, taman interaktif, taman lingkungan, jalur hijau jalan, tepian air, dan tanah pemakaman (data direkapitulasi dari www.data.go.id, diakses tanggal 8 Desember 2014). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
3
Menurut Kepala Bidang Taman Kota Dinas Pertamanan dan Pemakaman, banyak permasalahan yang menyebabkan ruang terbuka hijau di Jakarta sulit bertambah, diantaranya adalah sengketa lahan, kebijakan pembebasan lahan, dan penggunakan lahan untuk permukiman yang mencapai 90% dari luas kota Jakarta.2 Jadi, ruang terbuka publik di kota Jakarta belum dapat menyediakan kebutuhan akan ruang terbuka hijau umum. Untuk kebutuhan umum saja ruang terbuka publik di Jakarta belum terpenuhi, apalagi ruang terbuka publik kota khusus untuk bermain, bereksplorasi dan beraktivitas yang aman dan nyaman bagi anak. Ruang terbuka publik di Jakarta belum digunakan dan dinikmati sepenuhnya oleh anak. Padahal, ruang terbuka publik kota perlu menjadi ‘teman’ bagi anak (Chatterjee, 2006; Ramezani & Said, 2009), aman dan ramah terhadap anak (Freeman & Tranter, 2011; Malone, 2006; Sipe, Buchanan, & Dodson, 2006; UNICEF, 2009). Selain persoalan ketersediaan ruang terbuka publik untuk anak di Jakarta, ruang terbuka publik secara umum menurut Valentine (1996) dipandang sebagai tempat yang terlalu beresiko untuk anak. Ruang terbuka publik dianggap berbahaya dan tidak aman juga telah menjadi ‘moral panics’ orang tua. Akibatnya, orang tua cenderung menjauhkan anak mereka dari jalan dan ruang terbuka publik lainnya. Hal ini merupakan upaya orang tua untuk melindungi anak mereka dari pengaruh jahat (Hallden, 2003; H. Matthews, Limb, & Taylor, 2000). Ruang terbuka publik juga dipandang beresiko untuk dirusak oleh ‘devil-like teenagers’, suatu anggapan bahwa kehadiran anak-anak (khususnya remaja) merupakan polusi bagi ruang terbuka publik kota (H. Matthews et al., 2000). Bila kondisi ruang terbuka publik kota seperti digambarkan di atas, bagaimana anak dapat lekat dengan ruang terbuka publik kota? Padahal, kelekatan anak dengan tempat, termasuk ruang terbuka publik kota, dapat mempengaruhi perkembangan identitas personal, integrasi sosial, dan wellbeing anak, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan jiwa dan fisik anak (Jack, 2008, 2012; Sipe et al., 2006; C. Spencer, 2004; C. Spencer & Blades, 1993). 2
Sumber http://www.tempo.co/read/news/2013/11/03/214526814/Ruang-Terbuka-Hijau-10-Persen-dariLuas-Jakarta, diakses 10 Desember 2014. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
4
Hal lain yang dialami anak di kota adalah adanya kecenderungan institusionalisasi dan familialisasi pada anak. Institusionalisasi merupakan suatu keadaan di mana keseharian anak lebih banyak dihabiskan di dalam institusi tertentu, seperti sekolah maupun tempat-tempat aktivitas lainnya. Keadaan tersebut membuat anak menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam ‘pulau yang terisolir’ (‘confine of island’), seperti rumah, daycare, tempat rekreasi, lapangan olah raga, dan taman bermain (Zeiher, 2003, p. 67). Orang tua atau pengasuh selalu mendampingi pergerakan anak dari satu institusi ke institusi lainnya. Akibatnya, anak semakin terlepas atau terisolasi dari urban space dan lebih banyak menempati tempat individual yang bersifat sementara (Zeiher, 2003). Familialisasi merupakan suatu keadaan di mana orang tua menempatkan dirinya sebagai penanggungjawab atas kesejahteraan, perlindungan dan perilaku anak mereka, sehingga mereka kemudian menempatkan anak pada lingkungan rumah yang dianggap aman (James & James, 2012, p. 51). Keadaan tersebut mengakibatkan anak semakin tergantung pada orang tua. Orang tua juga semakin membatasi pergerakan mandiri anak agar hanya terbatas di lingkungan rumah tinggal. Anak terbelenggu di dalam rumahnya sendiri atau di tempat-tempat yang terlindungi (sheltered spaces) dan tempat-tempat yang selalu diawasi. Keadaan ini disebut oleh Zeiher (2003) sebagai domestication of childhood3. Kondisi institusionalisasi dan familialisasi dianggap sebagai keadaan yang saling bertentangan. Di satu pihak, kondisi institusionalisasi mengakibatkan anak semakin di dorong keluar rumah untuk menghabiskan waktunya di suatu institusi di luar rumah, sedangkan kondisi familialisasi mendorong anak semakin masuk ke dalam lingkungan rumah tinggal (keluarga) karena rasa tanggungjawab orang tuanya. Kedua kondisi tersebut menurut P. Christensen and Prout (2005) mengakibatkan mulai menghilangnya anak-anak dari ruang terbuka publik kota. Bahkan kehadiran anak-anak di ruang terbuka publik kadang dipandang sebagai penyebab masalah, atau kadang dianggap salah
3
Suatu keadaan di mana sebagian besar anak-anak menghabiskan waktunya dengan berada di dalam suatu ruang tertutup, di mana ada pengawasan dari pengelola tempat (Zeiher, 2003).
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
5
tempat (‘out of place’) dan oleh karenanya menjadi subjek yang perlu diatur dan diawasi oleh orang dewasa (Hallden, 2003). Institusionalisasi dan familialisasi bukan menjadi satu-satunya penyebab semakin sempitnya dan semakin terbatasnya ruang gerak anak, serta menghilangnya anak-anak dari ruang terbuka publik kota (P. Christensen & Prout, 2005). Perubahan-perubahan dunia dan gaya hidup modern, seperti: kehadiran TV, kemudahan aksesibilitas internet, ketrampilan menggunakan teknologi komputer dan permainan digital (digital games), dianggap turut berkontribusi menghilangnya ruang terbuka publik dari kehidupan anak (Freeman & Tranter, 2011). Screen-based culture dari TV dan komputer dianggap sebagai toxic of childhood yang membuat anak berada dalam belenggu dunia virtual (Davies, 2010, p. 53). Kondisi institusionalisasi telah menjadi trend di berbagai negara (Zeiher, 2009). Sedangkan di Indonesia, khususnya Jakarta, saya belum menemukan penelitian yang menjelaskan apakah kondisi institusionalisasi dan familialisasi telah menjadi trend di Indonesia. Menurut data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2013, angka partisipasi sekolah anak Indonesia untuk usia 7-12 tahun adalah 98.87% dan usia 13-15 tahun adalah 93.79%. Sedangkan prosentase anak Indonesia, usia 0-17 tahun tinggal di perkotaan, yang mengikuti kursus tercatat ada 8.69%. Angka ini (8.69%) lebih tinggi daripada anak Indonesia usia 0-17 tahun tinggal di pedesaan yang mengikuti kursus (2.55%). Dari angka tersebut (8.69%), ada 53.19% anak mengikuti bimbingan belajar, 22% anak mengikuti kursus bahasa asing, 15.7% anak mengikuti kursus komputer, 1.46% anak mengikuti kursus seni dan budaya dan 7.65% anak mengikuti kursus lainnya (Buku Profil Anak Indonesia 2013, 2013). Menurut data yang sama, ada sekitar 98% anak Indonesia tinggal di perkotaan mengakses media melalui TV dan 37% anak mengakses media melalui internet (Buku Profil Anak Indonesia 2013, 2013). Berdasarkan data-data tersebut di atas, dapat diasumsikan, bahwa kondisi insitusionalisasi juga terjadi di Indonesia terutama di perkotaan serta akses media melalui TV dan internet sudah mendominasi kehidupan keseharian anak Indonesia di perkotaan. Namun, data-data tersebut di atas belum memberikan informasi terkait kondisi familialisasi anak di Indonesia, khususnya di Jakarta. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
6
1.2.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat beberapa permasalahan terkait ruang kota, keseharian anak dan place attachment, yaitu: a. Place attachment merupakan bagian penting dari ruang daur hidup manusia, termasuk anak. Place attachment perlu ada dan penting demi perkembangan fisik dan mental anak. b. Tempat, khususnya ruang terbuka publik di Jakarta, banyak beralih fungsi menjadi ruang komersial, ruang privat, dan ruang untuk kendaraan. Oleh karenanya, ruang terbuka publik kota tidak cukup tersedia bagi anak untuk bermain, bereksplorasi dan beraktivitas. c. Kondisi institusionalisasi dan familialisasi menjauhkan dan melepaskan anak dari ruang terbuka publik kota. Ketiga kondisi diatas menurut saya perlu diinvestigasi lebih lanjut. Apakah anak dapat lekat dengan suatu ruang terbuka publik di kota Jakarta, yang dianggap tidak cukup tersedia untuk anak dapat bermain, bereksplorasi dan beraktivitas? Apakah place attachment dapat hadir pada anak yang berada dalam kondisi institusionalisasi dan familialisasi, suatu kondisi yang dianggap menjadi penyebab menjauhnya anak dari ruang terbuka publik kota? 1.3.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat; mengungkap seperti apa proses terbentuknya kelekatan anak pada tempat; dan mengungkap kondisi spasial apa yang perlu dipenuhi agar keberlangsungan kelekatan anak pada tempat dapat berhasil. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini meminjam pendekatan eksistensial phenomenologi dari Merleau-Ponty (1962), yang memandang tempat sebagai fenomena non-material. Pendekatan ini memahami anak dan tempat, sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan utuh (Heidegger, 1962; Merleau-Ponty, 1962; Relph, 1976; Seamon, 1979, 2012, 2014). Pendekatan femonenologi terhadap tempat menurut Chris
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
7
Jenks (2005, p. 19) “could enable us to gain insight into an existential and generative sense of sociality that emerges from within the consciousness of the child”. Pendekatan ini bertujuan untuk melengkapi penelitian-penelitian place attachment pada anak yang umumnya memandang tempat melalui pendekatan transaksional, yang memandang hubungan anak dan tempat sebagai binari yang tetap, yang berasal dari materialitas tempat. 1.4.
LINGKUP PENELITIAN
Subjek penelitian ini fokus pada anak yang tinggal di Jakarta, berasal dari kondisi ekonomi menengah serta memperlihatkan kondisi institusionalisasi dan familialisasi, suatu kondisi yang diduga mempengaruhi hubungan anak dengan ruang terbuka publik kota dan secara perlahan menjauhkan dan melepaskan anak dari ruang terbuka publik kota (P. Christensen & Prout, 2005). Subjek penelitian, anak dalam kondisi familialisasi dan institusionalisasi, menjadi penting karena ke arah itu masyarakat menengah cenderung mengarah, sementara permasalahan kelekatan di kelompok ini belum terlalu dikaji selama ini. Lingkup penelitian ini secara teoritis fokus pada kehadiran tempat di anak daripada observasi tindakan anak di tempat, yang umumnya dilakukan oleh peneliti lain. Fokus ini merupakan pendekatan yang masuk akal untuk digunakan karena tempat dalam penelitian ini dipandang sebagai suatu keutuhan dialektika anak dan tempat. Lingkup ‘tempat’ dalam konteks penelitian ini tidak hanya dibatasi pada ruang terbuka publik kota di Jakarta, namun mencakup ruang kota yang mewakili kontinum dari sangat publik sampai sangat privat. Skala ‘tempat’ dalam penelitian ini mencakup mulai dari area rumah dan tetangga (familial space), area rumah-sekolah (neighborhood space) sampai dengan area perkotaan (economic space dan urban regional space). 1.5.
TERMINOLOGI
Anak (child) adalah “a human being in the early stages of its life-course, biologically, psychologically and socially; it is a member or a generation referred collectively by adults, as ‘children’, who together temporarily occupy the social spaces that is created Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
8
for them by adults and referred to as ‘childhood’” James and James (2012, p. 8). Menurut C. Jenks (1996), terminologi anak tidak dapat dirumuskan tanpa dikaitkan dengan konsep ‘adult’ (orang dewasa). Perbedaan utama yang membedakan anak dengan orang dewasa adalah perkembangan fisik, psikologis dan sosial. Faktor perbedaan kriteria perkembangan ini, mengakibatkan faktor usia yang menjadikan faktor utama bagaimana anak dibedakan dari orang tua. Walapun usia tidak sepenuhnya membantu dalam mendefinisikan seorang anak, namun secara luas usia digunakan untuk mendefinisikan anak. Anak menurut UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut The Convention of the Rights UNICEF, anak adalah seseorang dibawah usia 18 tahun, yang membutuhkan perhatian khusus dan perlindungan. Place, sebagai kata benda, berasal dari kata plane dalam rujukan bahasa Yunani plateia– ruang publik, public square, jalan yang lebar (wide street) atau VL plattea – city square, ruang terbuka (open space), piazza (Sp Plaza, G Platz) – city square (Partridge, 2006). Place, sebagai kata kerja, berarti suatu aksi untuk mencapai suatu tempat (posisi). Place memiliki beberapa aspek mendasar, yaitu: lokasi (aspek objektif yang pasti dan memiliki koordinat pada permukaan bumi – menunjukkan posisi), locale (material things – bentukan konkrit dari tempat, di mana didalamnya ada aktivitas sosial sehari-hari) dan sense of place (subjektifitas dan kelekatan emosional yang dimiliki orang terhadap tempat (Cresswell, 2004). Menurut Relph (1976, p. 48), tempat memiliki 1) konteks fisik dan aktivitas; 2) lokasi dan makna yang memberikan pengalaman akan lanskap/townscape; 3) aktivitas dan makna – sebagai tindakan sosial dan memiliki andil dalam sejarah. Sedangkan menurut Canter (1977) tempat memiliki komponen tindakan, konsepsi dan lingkungan fisik. Secara fenomenologi, place dapat diartikan sebagai “any enivironmental locus in and through which individual or group actions, experiences, intentions, and meanings are drawn together spatialy” (Seamon, 2014, p. 11) atau menurut Heidegger, “a place
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
9
signifies for being-in-the-world” (Casey, 1998). Jadi dapat disimpulkan, place merupakan keberadaan seseorang di dunia melalui tindakan, pengalaman, intensi, dan makna. Attachment, dengan kata dasar “tach” atau “tache”. Sebagai kata benda artinya gesper (a buckle), pegangan (a clasp) (Partridge, 2006). Sebagai kata kerja artinya memakukan/melekatkan (tack). Kata “tach” dapat di sambung dengan awalan dan akhiran menjadi attach, attaché, attachment; detach, detachment; attack. Kata attach berasal dari OF atachier, attachier, yang artinya sebagai kata kerja to attach, to join, artinya secara literal mengikatkan ke- atau secara figur bergabung ke- , baik itu benda mati/makhluk hidup, individu atau kelompok (Partridge, 2006). Terminologi ini memiliki makna pelekatan dua figur/objek secara fisik. Jadi, penelitian terkait dengan kelekatan anak pada tempat adalah penelitian yang ingin menginvestigasi apa yang membuat anak ‘melekatkan’ dirinya ke suatu tempat tertentu. 1.6.
KERANGKA PENULISAN
Penulisan laporan penelitian ini disusun dalam sembilan Bab. Bab Satu merupakan uraian isu-isu terkait dengan place attachment, anak dan ruang kota yang menjadi latar belakang penelitian ini. Bab ini bertujuan untuk memunculkan apa yang dipermasalahkan dalam place attachment dan akan dikaji lebih lanjut, serta pentingnya place attachment terhadap ruang daur hidup manusia, khususnya pada anak. Bab Dua merupakan eksplorasi teoritis terkait dengan topik place attachment. Ekplorasi teoritis dimulai dari dengan memahami teori human attachment dan bagaimana teori human attachment berkembang pada tempat dan menjadi perhatian banyak peneliti. Hasil kajian literatur terhadap berbagai penelitian-penelitian terkait place attachment pada orang dewasa dan anak bertujuan untuk mencari posisi terkini terkait penelitian-penelitian place attachment pada orang dewasa dan anak. Hasil kajian literatur menunjukkan bahwa masih ada beberapa celah penelitian yang berpotensi untuk diteliti lebih lanjut. Bagian akhir Bab ini akan menguraikan proposisi teoritis saya terhadap status penelitian place attachment terkini. Selanjutnya, akan diuraikan juga apa Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
10
yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sejenis lainnya. Bab ini ditutup dengan pertanyaan penelitian. Bab Tiga merupakan uraian mengenai metode penelitian yang diterapkan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Diawali dengan pendekatan metode penelitian yang ada dan mengapa metode penelitian kualitatif grounded theory yang dipilih. Siapa yang menjadi partisipan dan mengapa, apa yang menjadi instrumen penelitian dan bagaimana metode pengambilan data, serta bagaimana proses analisis dan interpretasi data akan diuraikan dengan rinci dalam bab ini. Bab Empat merupakan uraian terkait gambaran keseharian partisipan penelitian. Uraian dimulai dari gambaran lingkungan rumah tinggal partisipan, gambaran kondisi institusionalisasi dan familalisasi partisipan serta seperti apa gambaran ruang kota favorit partisipan. Gambaran ini penting untuk memberikan kontekstualisasi partisipan yang diteliti dalam penelitian ini. Bab Lima merupakan uraian terkait temuan utama penelitian ini yaitu place habit. Uraian diawali dengan menjelaskan apa itu place habit, seperti apa proses terbentuknya place habit, serta seperti apa konsep ruang kota favorit partisipan. Setiap uraian merupakan hasil analisis dan interpretasi terhadap kategori atau tema yang terungkap dari data. Bab Enam merupakan uraian sifat-sifat place habit dan kaitannya dengan stabilitas place habit. Bab Tujuh merupakan sintesis penelitian ini, yaitu place habit sebagai fenomena nonmaterial. Place habit merupakan tindakan menempati suatu ruang kota mendukung, hasil dari both/and atau here/now: dialektika body habit dan pengalaman emosional. Bab ini juga menguraikan apa yang membentuk dan menentukan keberlangsungan place habit anak pada ruang kota tertentu. Pada akhirnya, apa yang menjadi kontribusi dan implikasi pada penelitian dan praktik arsitektur serta apa yang menjadi keterbatasan penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya diuraikan sebagai penutup akhir bab ini.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
BAB 2 MEMAHAMI ATTACHMENT PADA MANUSIA DAN TEMPAT: EKSPLORASI TEORITIS
Seperti telah dijelaskan pada Bab Pendahuluan, kelekatan anak pada tempat merupakan wujud ikatan emosi antara anak dan tempat tertentu. Tempat tersebut dapat menimbulkan emosi gembira dan rasa senang bila anak berada di tempat tersebut dan emosi kekecewaan atau penyesalan bila harus meninggalkan tempat tersebut (L. Chawla, 1992). Ikatan emosional tersebut tidak saja menimbulkan rasa kepuasan terhadap kebutuhan fisik anak, namun juga karena nilai-nilai yang terkandung di dalam tempat. Ruang publik kota, khususnya di Jakarta, dianggap tidak cukup tersedia bagi anak untuk bermain, bereksplorasi dan beraktivitas. Ditambah lagi, kondisi familialisasi dan institusionalisasi yang diduga juga menjauhkan dan melepaskan anak dari ruang publik kota. Padahal, kelekatan anak pada suatu tempat tertentu merupakan bagian penting dari ruang daur hidup manusia, termasuk anak. Place attachment perlu ada dan penting demi perkembangan fisik dan mental anak. Penelitian ini merupakan penelitian yang ingin mengungkap fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat; mengungkap proses terbentuknya kehadiran kelekatan anak pada tempat; dan mengungkap kondisi spasial yang perlu dipenuhi agar kelekatan anak pada tempat dapat berhasil. Oleh karenanya, penting bagi penelitian ini untuk mengeksplorasi secara teoritis apa itu teori attachment pada manusia dan sejauh mana teori attachment berkembang dan diaplikasikan pada tempat, serta bagaimana perkembangan terkini terkait penelitian-penelitian place attachment pada orang dewasa dan anak. Eksplorasi teoritis ini bertujuan untuk memahami posisi terkini penelitian-penelitian place attachment pada orang dewasa dan anak, apa paradigma dominan penelitianpenelitian place attachment orang dewasa dan anak. Hasil eksplorasi teoritis ini bertujuan untuk mencari peluang-peluang penelitian yang mungkin diteliti lebih lanjut. 11 Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
12
Pada akhirnya, bab ini akan menguraikan proposisi teoritis yang menjadi argumentasi saya dalam penelitian ini. 2.1.
ATTACHMENT PADA MANUSIA
Pionir teori interpersonal attachment, Bowlby (1969, 1982), menjelaskan bahwa kelekatan anak tidak hanya didasarkan pada kepuasaan terhadap kebutuhan yang bersifat fisik seperi lapar. Akan tetapi, kelekatan lebih didasarkan atas kebutuhan yang bersifat psikologis seperti kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan. Menurutnya, pemisahan dengan pengasuh akan mengakibatkan permasalahan psikologis jangka panjang. Attachment pada manusia menurut Bowlby (1969, 1982)4 dan M.D.S. Ainsworth (1969)5, merupakan penggabungan dua individu secara fisik, antara anak dan figur tertentu (umumnya ibu) dengan perasaan kasih, yang dibangun relatif lama, ditandai dengan keinginan untuk selalu kontak dan dekat dengan figur tertentu (sebagai secure base) dengan tujuan untuk keamanan dan kenyamanan (safe haven). Perilaku kelekatan ditandai dengan terjadinya fenomena secure-base dengan attachment figure. Secure-base attachment figure adalah seseorang yang menyediakan rasa aman pada saat ada situasi bahaya atau situasi yang membahayakan (Colin, 1996). Menurut M.D.S. Ainsworth (1969), fenomena secure-base ini akan berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan usia. Ikatan pertama biasanya dibentuk spesifik terhadap figur ibu (monotropy). Tetapi sejalan dengan bertambahnya usia, bentuk dari kelekatan tidak hanya fokus pada figur ibu, namun dapat berkembang pada beberapa figur atau orangorang tertentu lainnya (multiple attachment figure). Kehilangan (detachment) terhadap figur tertentu yang memberikan secure-base, akan mengakibatkan rasa sedih, rasa kehilangan, dan kegelisahan. Pertemuan kembali dengan figur secure-base akan memberikan rasa kesenangan dan kegembiraan (Aldgate & Jones, 2006; Flanagan, 4
5
John Bowlby (1907-1990) adalah pionir dalam attachment theory. Menurutnya, attachment adalah ikatan antara individual dan figur yang dilekatkan (attachment figure). Ikatan tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk mencari dan mendapatkan kedekatan untuk alasan keamanan, keselamatan dan perlindungan (dalam kondisi stress anak mencari ibunya tapi dalam kondisi senang anak mencari teman bermain – playmates), dan seorang anak sebaiknya mendapatkan perawatan kontinu dari seorang attachment figure yang penting paling tidak selama dua tahun pertamanya Mary Ainsworth (1913-1999) adalah peneliti yang melakukan eksperimen “stange situation” dan menemukan tiga pola kelekatan pada bayi yaitu secure attachment, avoidant attachment, resistant attachment.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
13
1999; Pearce, 2009). Proses perkembangan kelekatan dimulai dari terbentuknya ikatan fisik antara bayi baru lahir dengan ibunya. Sejalan dengan bertambahnya usia, kelekatan fisik dapat berubah menjadi kelekatan emosional. Proses perkembangan kelekatan sudah dimulai sejak usia 0-8 bulan. Pada usia ini, bayi mulai menunjukan fase attachment in the making (Pearce, 2009; Prior & Glaser, 2006). Mulai usia 8 bulan hingga 1.5 tahun, seorang bayi mulai memiliki kelekatan yang aktif (Pearce, 2009; Prior & Glaser, 2006) dan spesifik pada satu figur tertentu (Flanagan, 1999), bahkan pada usia ini seorang bayi mungkin memiliki beberapa figur kelekatan (Aldgate & Jones, 2006; Flanagan, 1999; Pearce, 2009). Kelekatan yang aktif dan spesifik pada satu figur tertentu, terus berkembang hingga bayi berusia 3 tahun. Saat seorang anak memasuki usia pra-sekolah (4-6 tahun), seorang anak sudah mampu bergerak menjauh dari ruang secure-base mereka untuk mengeksplorasi dunia mereka yang lebih luas dan berhubungan dengan orang lain (termasuk orang asing dan teman sebaya) (Mary D. S. Ainsworth, 1991). Pada usia ini, anak mengembangkan kelekatannya dengan cara berpartisipasi dalam bentuk true-partnership dengan orang tua dan terutama kepada teman sebaya (Mary D. S. Ainsworth, 1991; Colin, 1996). Anak usia sekolah dasar (6-12 tahun) merupakan usia seorang anak mengembangkan kelekatan dengan teman sebaya dan lawan jenis, terutama pada saat anak memasuki usia remaja (12-18 tahun). Di usia dewasa muda hingga dewasa, seseorang akan mengembangkan kelekatan dengan lawan jenis untuk kehidupan berpasangan (Mary D. S. Ainsworth, 1991). Seorang di usia dewasa muda dan dewasa juga memerlukan persahabatan dan kekerabatan untuk dibangun dengan teman dan orang tua (Weiss, 1991). Pada usia tua, seseorang mengembangkan kelekatan atas dasar kekerabatan antara orang tua dan anak (Weiss, 1991). Proses perkembangan kelekatan tersebut dipengaruhi oleh serangkaian stimulus, yaitu activator dan terminator. Activator merupakan stimulus yang memicu timbulnya sistem perilaku
kelekatan.
Terminator
merupakan
stimulus
yang
menutup
atau
menenggelamkan sistem perilaku kelekatan. Stimulus-stimulus yang diterima oleh anak akan memicu sistem perilaku kelekatan dan sistem perilaku eksplorasi (Colin, 1996; Prior & Glaser, 2006). Proses kelekatan merupakan suatu proses mental dan proses
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
14
sosial, yang diperoleh dari akumulasi pengalaman seseorang akan orang/objek lain (image of others) dan dari pengetahuan (kognitif) akan kemampuan diri sendiri dan potensi diri (image of self) (Aldgate & Jones, 2006; Flanagan, 1999; Prior & Glaser, 2006). Pola kelekatan pada bayi/balita dapat dijelaskan dan diklasifikasikan berdasarkan karakteristik kualitatifnya. Menurut Prior and Glaser (2006), pola kelekatan dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok. Pertama, pola kelekatan yang menunjukkan strategi yang terorganisasi (organized strategy) dalam memperoleh kedekatan dengan suatu figur. Kedua, pola kelekatan yang tidak menunjukkan adanya strategi tertentu dalam memperoleh kedekatan dengan suatu figur, disebut disorganized strategy. Pola kelekatan juga diklasifikasikan berdasarkan rasa secure atau insecure seseorang terkait dengan tersedianya dan tanggapnya figur kelekatan. Menurut Bowlby (1973: 182) dalam Prior and Glaser (2006) ‘secure’, memiliki arti, ‘applies to the world as reflected in feeling and not to the world as it is’. Jadi, secure berarti perasaan aman seseorang terhadap suatu tempat atau orang lain yang bersifat subjektif. Berdasarkan eksperimen ‘strange situation’ yang dilakukan oleh M.D.S. Ainsworth, Blehar, Waters, and Wall (1978) pada bayi/balita, terungkap ada 3 kelompok pola kelekatan pada bayi/anak balita yaitu: secure attachment, avoidant attachment dan resistant/ambivalent attachment. Secure attachment merupakan pola kelekatan yang ditunjukkan bayi dengan selalu mencari kedekatan, mencari hubungan dan menjaga interaksi dengan attachment figure (ibu), walaupun telah melalui periode ‘stranger reaction’ (period of shyness). Bayi tidak menunjukkan kegelisahan terhadap kehilangan figur utama kelekatan (ibu). Bayi tetap merasa aman mengeksplorasi lingkungan yang asing tanpa menunjukkan rasa takut atau gelisah. Pada situasi ini, bayi mengembangkan sense of ‘basic trust’, yaitu suatu persepsi bahwa dunia itu tempat yang aman dan berhubungan dengan orang lain merupakan pengalaman yang memuaskan. Bayi tidak merasakan rasa takut ditinggal sendiri dengan orang asing untuk jangka waktu tertentu. Bayi menunjukkan kesenangan pada saat ibunya kembali dan menumpahkan rasa emosionalnya karena pemisahan sementara dalam bentuk perilaku memeluk sebelum kembali beraktivitas dan mengeksplorasi lingkungannya.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
15
Avoidant attachment merupakan pola kelekatan yang ditunjukkan dengan perilaku menghindari kedekatan dan menghindari interaksi dengan attachment figure. Pada saat dipisah dengan ibunya dan pada saat dipertemukan kembali, bayi dalam kelompok ini menunjukkan perilaku menghindari kedekatan dengan ibunya. Bayi tidak menunjukkan hubungan emosi yang kuat dengan ibunya. Bayi terlihat lepas dan tidak bergantung pada orang lain, lebih self-reliant bahkan self-absorbed. Bayi menghindari dan mengacuhkan orang lain dan jarang menginisiasi gesture yang afeksional. Jika bayi mendekat ke ibunya, ia cenderung menunjukkan perilaku menghindar seperti bergerak melalui ibunya atau memalingkan muka dari ibunya. Jika digendong, ia akan menunjukkan sedikit atau tidak ada kecenderungan untuk bergelayut, bahkan melawan untuk minta dilepaskan. Resistant/ambivalent attachment merupakan pola kelekatan yang ditunjukkan dengan perilaku marah, seperti mendorong, menolak atau memukul attachment figure. Anak dalam eksperimen ‘strange situation’ menanggapi kepergian ibu dengan kesedihan yang mendalam dan berlangsung lama. Bayi menunjukkan penolakan untuk kontak dan berinteraksi, tetapi juga menunjukkan perilaku mencari kontak dan kedekatan saat bertemu kembali dengan ibunya. Perilaku anak memberi kesan ambivalen. Anak cenderung sulit untuk ditenangkan oleh ibunya dan menunjukkan campuran antara ketergantungan dan penolakan. Main and Solomon (1986) menemukan pola kelekatan yang keempat, yaitu disorganized-disoriented attachment. Pola ini merupakan pola kelekatan yang tidak menunjukkan ketiga pola sebelumnya. Pada pola ini, bayi menunjukkan perilaku ganjil yang tidak biasa, disorientasi, tidak konsisten, tidak terorganisir dan saling kontradiktif. Perilaku-perilaku yang ganjil tersebut mucul pada saat bertemu kembali dengan ibunya. Orang dewasa juga menunjukkan empat pola kelekatan, yaitu secure attachment, preoccupied attachment, dismissive attachment dan fearful attachment (Bartholomew & Horowitz, 1991). Empat pola kelekatan orang dewasa (Lihat Gambar 2.1.) tergantung pada persepsi positif dan negatif antara diri sendiri (thought of self) dan orang lain (thought of partner).
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
16
Consistently associated with social insecurity & lack of assertiveness (ketegasan) Avoidant of close Gambar 2.1. Pola kelekatan orang dewasa Sumber: Bartholomew and Horowitz (1991)
Pola kelekatan preoccupied & fearful attachment memberikan indikasi personal insecurity yang terjadi akibat persepsi negatif diri sendiri dan persepsi negarif terhadap orang lain. Perbedaannya pada kesiapan untuk menjadi dekat dengan orang lain dan ketergantungan dengan orang lain. Sedangkan pola kelekatan dismissive attachment & fearful attachment menunjukkan seseorang mengalami kesulitan untuk menjadi dekat dengan orang lain dan menunjukkan ketergantung dengan orang lain. Perbedaannya adalah pada kemampuan merefleksikan internalized sense of self-worth. Hasil penelitian Bartholomew and Horowitz (1991) tersebut menemukan bahwa semua responden menunjukkan kecenderungan kombinasi beberapa gaya kelekatan, seperti kombinasi 2, 3 bahkan 4 pola kelekatan, tergantung pada waktu dan relasi dengan orang lain. Hubungan yang lekat dapat berubah menjadi lepas bila tidak ada lagi ikatan, baik fisik atau psikologis, yang kuat antara individu atau antara individu dengan objek. Menurut Bowlby (1969, 1982) dan Hazan and Shaver (1987), bayi manusia dan bayi primata bila dipisahkan dari ibunya (figur utama) akan mengakibatkan reaksi emosional seperti protes karena gelisah; putus asa karena rasa duka, kesedihan dan pemisahan; bahkan penolakan atau penyangkalan. Reaksi tersebut merupakan reaksi defensif dalam bentuk perilaku menghindar dan acuh tak acuh. Dalam jangka panjang, anak yang tidak memiliki attachment akan mengalami permasalahan psikologis di usia dewasa. Bila
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
17
detachment terjadi dalam hidup manusia (terutama anak), perlu ada tindakan pemulihan (terapi). Attachment dan detachment, yang terjadi selama hidup manusia, secara konsep filosofis, dapat ditempatkan dalam konsep intersubjective space ”ruang antara dua subjek” (dalam hal ini, Van Vuuren merujuk pada orang tua dan bayi) (Vuuren, 2007). Attachment dan detachment merupakan dua kondisi yang tidak dapat dihindari dan diprediksi selalu terjadi dalam suatu hubungan. 2.2.
ATTACHMENT PADA TEMPAT
Setiap orang memiliki pengalaman emosi dengan tempat, baik itu pengalaman yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Tempat yang dimaksud dalam hal ini adalah tempat di mana kita tinggal dan beraktivitas sehari-hari. Referensi awal yang memberikan kontribusi pada konsep place attachment menurut Giuliani (2003, p. 144) dikemukakan oleh Marc Fried (1963). Marc Fried (1963) meneliti apa yang menjadi efek psikologis dari orang-orang yang tersingkir secara paksa dari area pinggiran kota Boston. Temuannya menemukan bahwa kelekatan orang terhadap tempat memberikan kontribusi pada sense of community, kepuasan pada lingkungan, sense of belonging, komitmen pada lingkungan, rasa kepuasan atau ketidakpuasan pada lingkungan. Selanjutnya, teori place attachment berkembang dan mengambil posisi yang penting terutama berkaitan dengan kualitas suatu lingkungan, pembentukan identitas dan territorial (Giuliani, 2003). 2.2.1. KONSEP-KONSEP TERKAIT PLACE ATTACHMENT Place Attachment menurut Altman and Low (1992) merujuk pada suatu konsep yang terintegrasi, yang melingkupi: a. Interaksi antara afeksi dan emosi, pengetahuan dan kepercayaan, perilaku dan tindakan terkait dengan tempat b. Tempat yang bervariasi dalam skala, keunikan (specificity) dan kenyataan (tangibility) c. Berbagai aktor (individual, kelompok dan budaya) d. Berbagai hubungan sosial (individual, kelompok dan budaya) e. Aspek temporal (linear, cyclical)
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
18
Menurut Altman and Low (1992), kajian place attachment yang dominan muncul dalam setiap analisis adalah afeksi, emosi dan perasaan. Lanjutnya, beberapa penelitian menyatakan bahwa kualitas emosional yang timbul sering didampingi oleh kognisi (pikiran, pengetahuan & kepercayaan) dan praktik (tindakan dan perilaku). Place attachment melibatkan keterikatan yang saling terkait antara afeksi, emosi, pengetahuan, kepercayaan, perilaku dan tindakan pada suatu tempat (Altman & Low, 1992; Proshansky, Fabian, & Kaminioff, 1983). Place Attachment sebagai suatu konsep yang terintegrasi, yang melingkupi interaksi antara afeksi dan emosi, pengetahuan dan kepercayaan, perilaku dan tindakan terkait dengan tempat (Altman & Low, 1992), merupakan studi yang multidisiplin dengan pendekatan yang bervariasi. Hal ini mengakibatkan banyak istilah dan definisi yang diberikan untuk studi ini, seperti: rootedness, sense of place, appropriation, insideness, belongingness, embeddedness, attachment, affiliation, commitment, investment, dependence, identity, dan lain-lain (Giuliani, 2003, p. 138). Hernandez, Hidalgo, and Ruiz (2014, pp. 125-127) menjelaskan bahwa banyak peneliti lain berupaya memahami place attachment sebagai suatu konsep yang plural (Lihat Gambar 2.2.). Mereka menyatakan bahwa ada kelompok peneliti yang menganggap place attachment sebagai konsep satu dimensi, konsep yang multidimensi dan konsep yang superordinate. Menurut mereka, ada beberapa peneliti yang menganggap place attachment sebagai konsep satu dimensi yang sama tingkatannya dengan konsep place identity atau place dependence. Ada juga kelompok peneliti lainnya yang mencoba menganggap bahwa place attachment merupakan konsep yang dikonstruksikan secara multidimensi, yaitu terdiri dari dua, tiga bahkan lima dimensi. Kemudian, ada kelompok peneliti yang menganggap place attachment merupakan bagian dari konsep yang lebih general, seperti place attachment merupakan bagian dari komponen pembentuk place identity, atau komponen dari sense of place.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
19
Gambar 2.2. Model-model place attachment Sumber: Hernandez et al. (2014, p. 127)
Beberapa peneliti bahkan mencoba membuktikan posisi place attachment terhadap konsep-konsep place lainnya. Diantaranya, bahwa place attachment hadir sebelum place identity dan ada keterkaitan antara place attachment dan place identity (Ernawati, 2011; Hernandez-Garcia, 2012; Hernández, Carmen Hidalgo, Salazar-Laplace, & Hess, 2007; Lewicka, 2008; Proshansky et al., 1983; Twigger-Ross, Bonaiuto, & Breakwell, 2003; Ujang, 2008, 2012). Place identity dan place dependance terbukti mempengaruhi place attachment pada pengunjung national park (Harmon, 2005). Place dependence mempengaruhi place identity dan place identity dan secara signifikan mempengaruhi
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
20
environmental responsible behavior (Halpenny, 2006; Vaske & Kobrin, 2001). Place attachment merupakan salah satu konsep yang digunakan untuk menjelaskan dan mengukur sense of place (Hashem, Yazdanfar, Heidari, & Behdadfar, 2013; Najafi, Shariff, & M., 2011; Relph, 1976; Shamai, 1991; Stokols & Shumaker, 1981). Place attachment terdiri dari empat dimensi yaitu place identity, sense of place, place affiliation dan locus of place identity (Graaf, 2009). Hingga kini, belum ada kesepakatan diantara peneliti-peneliti lain mengenai apa itu konsep place attachment. Masih banyak peneliti lain berupaya untuk memisahmisahkan dan memposisikan konsep place attachment dengan konsep-konsep place lainnya (seperti place dependence, place identity, sense of place, topophilia, genius of place). Masih ada kesulitan untuk memisahkan konsep-konsep tersebut dengan jelas, karena semua konsep tersebut merepresentasikan ikatan afektif positif orang pada tempat (Hauge, 2007; Sudrajat, 2012). Namun, satu konsep yang paling dominan dikaitkan dengan place attachment adalah sense of place atau sering pula dibahas dengan menggunakan istilah ‘genius loci’ (Norberg-Schulz, 1980) atau spirit of place (Jackson, 1994). Sense of place secara umum dipahami sebagai pengalaman tertentu seseorang pada suatu setting tertentu (Steele, 1981, p. 11). Konsep ini berkaitan erat dengan konsep experience of place Relph (1976) dan topophilia6 Tuan (1974, 1977). Menurut Steele (1981), sense of place merupakan konsep interaksional. Bila seseorang berhubungan dengan tempat akan menghasilkan reaksi. Reaksi ini meliputi perasaan, persepsi, perilaku dan dampak terkait dengan kehadiran seseorang di lokasi tertentu. Sense of place tidak terbatas hanya pada pengalaman yang disadari seseorang, namun juga termasuk pengalaman yang tidak disadari (Steele, 1981, p. 12).
6
Topophilia adalah ikatan afektif antara orang dan tempat. Ikatan afektif ini dimanifestasikan melalui adanya: 1) kontak fisik antara orang dan lingkungannya, yang berbeda-beda setiap individu tergantung apa yang dialami (melalui panca indera) dan dipersepsikan; 2) perasaan kesenangan – sense of wellbeing, keakraban dan kelekatan – sense of belonging serta kesadaran akan masa lalu; 3) kesetiaan pada tempat (rumah, kota dan negara). Beberapa aspek yang mengikat seseorang terhadap tempat diantaranya adalah keakaran (rootedness), kepercayaan, penyembahan leluhur, upacara adat, emosi, landmark, memori akan suara dan bau, kegiatan komunal, kesenangan suasana rumah (homely pleasure) yang terakumulasi sejalan dengan waktu, keterjaminan akan pengasuhan (nurture) dan jaminan.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
21
Berdasarkan tingkatan sense of place yang diperkenalkan oleh Relph (1976) dan dikembangkan oleh Shamai (1991), attachment terhadap tempat dimulai dari sense of belonging, dengan ciri-ciri familiarity dengan tempat tersebut, ada emosi yang terhubung dengan tempat, tempat sangat berarti dan signifikan bagi orang. Tempat memiliki identitas dan karakter yang unik bagi orang melalui simbol-simbol yang dikasihinya dan diakhiri dengan rela berkontribusi dan memiliki komitmen untuk berkorban terhadap tempat. Relph (1976) menjelaskan bahwa rootedness dan kepedulian akan membawa kelekatan, bukan hanya keakraban terhadap tempat. Ia juga menyatakan bahwa kelekatan pada tempat dan ikatan yang dalam dengan tempat, penting bagi kebutuhan manusia. Memiliki akar pada tempat artinya memiliki secure point. Artinya, dari titik tersebut orang akan menjelajah dunianya (Relph, 1976). Keakaran pada suatu tempat artinya ada kelekatan terhadap tempat itu. Tempat itu telah menjadi home. Home merupakan landasan keberadaan manusia (sebagai konteks untuk beraktivitas) dan juga merupakan landasan keamanan, keterjaminan dan identitas untuk individu dan kelompok (Relph, 1976, p. 41). Jadi menurut Relph, attachment adalah prasyarat untuk secure base (home place) dan identitas tempat (place identity). 2.2.2. PENELITIAN-PENELITIAN PLACE ATTACHMENT PADA ORANG DEWASA Sudah banyak penelitian-penelitian sebelumnya yang mengangkat tema place attachment. Para pakar geografi seperti Tuan (1974), Relph (1976), Malpas (1999) dan Norberg-Schulz (1980), merupakan para pakar yang mengembangkan cara pandang tempat berdasarkan pengalaman dan persepsi manusia, yang menjadi rujukan penelitianpenelitian di bidang place attachment. Penelitian di bidang place attachment selama 40 tahun ini, telah berkembang dengan pesat, yang melibatkan banyak aspek yaitu aspek keanekaragaman (open vs gated, homogen vs heterogen), aspek skala (rumahlingkungan-kota-wilayah-negara-lingkungan alam-benua), aspek ukuran (desa-tetanggakomunitas-society), aspek tipe (residential – non-residential), aspek preferensi individu, aspek lokal vs global, aspek fisik (ekonomi-sosial-fisik lingkungan-estetika), aspek sosial (keluarga, keakaran, sejarah, ikatan sosial), aspek predictors dan aspek konsekuensi (positif dan negatif) (Lewicka, 2011).
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
22
Scannell and Gifford (2010) merupakan peneliti-peneliti yang berupaya untuk memahami berbagai definisi dan istilah muncul dari studi place attachment. Scannell and Gifford (2010) mengusulkan suatu kerangka organisasi yang terdiri dari tiga dimensi yang terpisah namun saling tumpang tindih dalam memahami place attachment. Mereka menyebut kerangka organisasi tersebut sebagai tripartite model of place attachment, yang terdiri dari dimensi orang, proses dan tempat (lihat Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Tripartite model dari place attachment Sumber: Scannell and Gifford (2010)
Scannell and Gifford (2010) menjelaskan bahwa dimensi pertama yang melibatkan place attachment adalah aktor, yaitu siapa yang lekat dengan tempat itu? Apakah kelekatan tersebut didasarkan pada makna yang diperoleh secara individual ataukah kolektif? Menurut mereka, place attachment dapat beroperasi pada tingkat individual maupun kolektif. Makna simbolik terhadap tempat tertentu terkait dengan pengalaman individual atau pengalaman kolektif. Dimensi kedua adalah proses psikologis. Bagaimana afeksi, kognisi dan perilaku termanifestasi dalam kelekatan? Menurut mereka, proses psikologis yang terlibat dalam place attachment terdiri dari berbagai kombinasi emosi, kognitif dan perilaku yang terkait dengan tempat tertentu, yang dimunculkan dalam bentuk perasaan kesedihan dan kerinduan bila dipisahkan dari
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
23
tempat tertentu. Dimensi ketiga adalah kelekatan pada apa? Apa yang menjadi natur dari tempat sehingga mempengaruhi proses kelekatannya? Menurut mereka, natur dari suatu tempat dapat dibagi menjadi komponen fisik (rootedness) dan komponen sosial (bondedness). Berikut adalah penelitian-penelitian place attachment pada orang dewasa yang dikaji berdasarkan tiga dimensi yang diusulkan oleh Scannell and Gifford (2010), yaitu: a. Dimensi tempat Berdasarkan dimensi fisik tempat, beberapa penelitian menunjukkan bahwa place attachment itu penting, bahkan pada area yang beresiko tinggi, mobilitas tinggi, pada orang dengan lebih dari dua tempat tinggal, dan lain-lain (Lewicka, 2011). Penelitian Gustafson (2014) menyatakan bahwa kelekatan yang pada umumnya berakar/melekat pada rumah yang dipengaruhi oleh lamanya menghuni, ikatan komunitas yang kuat dan pengetahuan lokal, sudah berubah di era dengan mobilitas tinggi. Menurutnya, kelekatan pada tempat tidak lagi dipandang sebagai suatu yang mengakar (root) namun sebagai rute (routes). Pada orang-orang dengan mobilitas tinggi, seseorang dapat merepresentasikan ikatan emosi terhadap tempat berdasarkan pilihan pribadinya, bukan pada keakarannya. Oleh karenanya, kelekatan pada tempat menurutnya, dapat terjadi pada beberapa tempat dan pada orang dengan mobilitas tinggi. Beberapa peneliti membuktikan bahwa aspek fisik tempat diprediksi mempengaruhi kelekatan orang pada tempat. Beberapa peneliti memprediksi skala tempat seperti skala rumah, lingkungan, wilayah, kota mempengaruhi kelekatan orang terhadap tempat (Hidalgo & Hernandez, 2001; Kamalipour, Yeganeh, & Alalhesabi, 2012; Lewicka, 2010). Aspek kualitas tempat seperti kualitas bangunan, aksesibilitas, organisasi bangunan, fungsi-fungsi lingkungan juga diprediksi mempengaruhi kelekatan orang pada tempat (Bonaiuto, Fornara, & Bonnes, 2003), termasuk kehadiran taman lingkungan (Ji, 2009), keberadaan lingkungan alam/lanskap (Arnberger & Eder, 2012; Stedman, 2003), keberadaan bangunan bersejarah
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
24
(Mezini, 2012) dan keberadaan aspek religius/kesucian pada tempat (S. Mazumdar, 2005; Shampa Mazumdar & Mazumdar, 2004). Dimensi sosial tempat yang diprediksi mempengaruhi kelekatan menurut Gerson, Stueve, and Fischer (1977) adalah institutional attachment, yaitu ikatan terhadap institusional; aktivitas sosial, yaitu derajat keterlibatan pada lingkungan dan interaksi sosial pada lingkungannya; local intimate, yaitu kehadiran teman atau saudara dalam lingkungan; dan affective attachment, yaitu kepuasan terhadap lingkungan dan keinginan untuk berdiam pada lingkungan (residential stability). Secara dominan, beberapa penelitian membuktikan bahwa dimensi sosial tempat memberikan pengaruh kelekatan yang lebih besar bila dibandingkan dengan dimensi fisik tempat (Aragones & Moros-Ruano, 2002; Dahl & Sorenson, 2010; M. Fried, 2000; Hummon, 1992; Kusuma, 2008; Lewicka, 2005; L. C. Manzo & Perkins, 2006; Mihaylov & Perkins, 2014; Oktay, 2009; Rollero & De Piccoli, 2010). Permukiman yang kumuh tidak berarti rendahnya kepuasaan penduduknya terhadap permukiman dan rendahnya kelekatan komunitasnya. Kelekatan komunitas terbukti memberikan kepuasan penduduknya, terlepas dari kondisi fisik permukiman yang dianggap kumuh, kotor dan perlu digusur (Li & Wu, 2013). Social disorder juga dibuktikan secara empiris memberikan pengaruh kepada penurunan/berkurangnya kelekatan orang dewasa pada tempat (Woldoff, 2001). b. Dimensi orang Asal usul orang dewasa seperti penduduk asli atau bukan penduduk asli, individu maupun kelompok, mempengaruhi kelekatan terhadap tempat (Hernández et al., 2007). Penduduk yang tidak menetap, melalui rutinitas ruang dan waktu yang dibangun oleh mereka sendiri, dapat mengembangkan place attachment mereka dan lebih mudah beradaptasi dengan relokasi. Penduduk yang mengandalkan kelekatannya pada prosedural memori dan ketergantungan pada kebiasaan seharihari, akan beraksi negatif terhadap relokasi (Lewicka, 2014). Penduduk yang selalu bergerak (mobile) memungkinkan dirinya menjaga dan mengembangkan ikatan dengan beberapa tempat (multiple places), seperti rumah
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
25
tinggal di masa kini dan rumah tinggal di masa lalu, rumah pertama dan rumah kedua, tempat rekreasi dan lainnya (Gustafson, 2009, 2014). Penduduk yang dipaksa pindah dari tempat aslinya akan tetap mampu membangun dan mengembangkan place attachment terhadap tempat baru, dengan cara mengimajinasikan tempat sebelumnya (imagine the place-as-it-was) dan mengembangkan perilaku restorasi tempat (place-restorative behavior) (Fullilove, 2014). Seorang individu akan memiliki place attachment dan perilaku keterlibatan yang pro-lingkungan (proenvironmental engagement) tergantung pada bagaimana kebijakan lingkungan dipersepsikan memberikan manfaat pada kesejahteraan ekonomi penduduk atau komunitas (Carrus, Scopelliti, Fornara, Bonnes, & Bonaiuto, 2014). c. Dimensi proses Proses bagaimana seseorang lekat dengan suatu tempat tertentu tergantung dari kemampuan ingatan, seperti memori masa kanak-kanak orang dewasa pada tempat (Giuliani, 1991; Lewicka, 2008; P. Morgan, 2010), prosedural memori atau timespace-routine dan nostalgia (Lewicka, 2014), familiarity orang dewasa pada lokasi/tempat (Ujang, 2008), meaning/makna yang diberikan orang dewasa pada tempat (Casakin & Kreitler, 2008; Saar & Palang, 2009), memberikan bukti adanya dampak kelekatan orang terhadap tempat. Beberapa penelitian juga menekankan dimensi waktu berpengaruh pada kelekatan orang dewasa pada tempat. Kunjungan berulang-ulang kali ke suatu tempat akan mempegaruhi kelekatan seseorang pada tempat tersebut (M. Morgan, 2009; Smaldone, 2006). Tindak dan perilaku orang dewasa, terutama yang dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya, akan mempengaruhi place attachment. Seperti kegiatan yang berlangsung pada suatu pemukiman di Afrika (Pellow, 1992), tindakan ritual tahunan (Lawrence, 1992), peristiwa harian di plaza ruang publik (Low, 1992), konstruksi ruang terbuka di lingkungan pemukiman informal yang dibangun oleh masyarakat sendiri (Hernandez-Garcia, 2012), tindakan yang terkait dengan ritual keagamaan, penggunaan artefak keagamaan, cerita (story telling) dan kunjungan tempat-tempat
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
26
suci (Shampa Mazumdar & Mazumdar, 2004), memberikan kontribusi pada kelekatan seseorang pada tempat. Sebagai konsekuensi dari relasi orang dan tempat, place attachment secara empiris memberikan kontribusi emosi, sikap, kepuasan positif yang menyenangkan (Lewicka, 2011). Place attachment juga bersifat temporal (Lewicka, 2014) dan kelekatan terhadap tempat dapat berubah (dinamis) karena perubahan emosi, kepercayaan dan perilaku (Watkins, 2007). Menurut Watkins (2007),
place attachment bukan merupakan
konsekuensi ikatan emosi yang bersifat statis atau hanya menyenangkan, namun place attachment dapat bersifat ambigu, yaitu ada pertentangan dan pertarungan antara cinta (love) dan keseganan (repulsion) terhadap tempat. 2.2.3. POSISI PENELITIAN PLACE ATTACHMENT PADA ORANG DEWASA Lewicka (2011) melakukan review yang komprehensif mengenai place attachment. Menurut Lewicka (2011), saat ini posisi penelitian place attachment ‘lack of theory’, ‘slow’, ‘stuck’, ‘unclear’ dan menunjukkan sedikit perkembangan bukti empiris. Perkembangan yang cukup pesat menurutnya, hanyalah pada alat pengukuran dan pada aplikasi konsep place attachment yang tidak lagi terbatas pada lingkungan rumah tinggal dan penduduk asli (permanen). Merujuk pada model tripartite orang-tempatproses dari Scannell and Gifford (2010), Lewicka (2011) menyatakan bahwa penelitian place attachment lebih memberikan perhatian pada dimensi orang dibandingkan dengan dimensi tempat dan proses. Penekanan pada perbedaan individual telah menghalangi perkembangan teoritis place attachment. Penelitian-penelitian place atachment pada umumnya, merupakan penelitian-penelitian yang bertujuan untuk memahami kompleksitas ikatan emosi, yang terbentuk karena interaksi individu atau kelompok dan tempat. Tempat sebagai pusat tindakan manusia dan interaksi yang terjadi, akan memberikan suatu pengalaman emosi pada seseorang atau kelompok. Proses terbentuknya ikatan emosi tersebut distimulasi oleh aspek fisik seperti skala lingkungan, prasarana, sarana, lingkungan buatan, lingkungan alam, aksesibilitas, kehadiran image lingkungan yang kuat dari bangunan bersejarah atau landmark dan tempat-tempat yang religius.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
27
Namun bila dibandingkan dengan aspek fisik, stimulasi yang diberikan oleh aspek sosial budaya terbukti lebih dominan dalam mempengaruhi kelekatan individu atau kelompok terhadap tempat, seperti ikatan sosial atau komunitas, tempat kerja (ekonomi), kehadiran keluarga, aktivitas sosial, budaya setempat, ritual budaya setempat, cultural events, ruang terbuka/bangunan yang diproduksi secara sosial. Berdasarkan kajian literatur yang telah disampaikan di Sub Bab 2.2.1 dan Sub Bab 2.2.2, maka dapat disampaikan bahwa posisi terkini terkait dengan penelitian-penelitian place attachment orang dewasa adalah: a. Pada umumnya studi-studi tersebut menempatkan prioritas/penekanan pada afeksi, emosi dan perasaan, yang timbul akibat pengalaman manusia pada suatu lingkungan (urban/rural), khususnya di negara Barat dan pada orang dewasa. b. Penelitian-penelitian place attachment didominasi oleh disiplin ilmu human geography, environmental psychology, tourism & recreation, urban sociology. c. Penelitian-penelitian yang menginvestigasi tema place attachment didominasi oleh metode penelitian kuantitatif. Teknik psychometrics, yang mengeksplorasi hubungan antara lingkungan fisik dan jiwa manusia dengan cara mengukur skala psiko-sosial kelekatan terhadap tempat (Hernandez et al., 2014; Lewicka, 2011), mendominasi penelitian place attachment. Teknik psychometrics tersebut bertujuan untuk mencari apa yang menjadi prediktor atau apa yang menstimulus kelekatan orang pada tempat. Apakah prediktor atau stimulus tersebut berasal dari dimensi orang, dimensi proses atau dimensi tempat. d. Place attachment didominasi oleh penelitian yang menyatakan bahwa place attachment itu lebih dibentuk oleh aspek sosial (socially constructed) daripada dibentuk oleh aspek fisik (physically constructed). e. Ada upaya peneliti-peneliti lain untuk memisahkan dan memposisikan konsep place attachment diantara konsep place lainnya, seperti place idendity, place dependence, sense of place, dan lain-lain. Tidak ada konsensus diantara peneliti lainnya, bagaimana posisi place attachment diantara konsep place lainnya, serta bagaimana place attachment perlu diukur atau diteliti (L. C. Manzo & Devine-Wright, 2014).
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
28
f. Ada upaya peneliti-peneliti lain dalam memandang place attachment sebagai konsep satu dimensi, konsep multi dimensi dan konsep superordinate (Hernandez et al., 2014). g. Aplikasi konsep place attachment tidak terbatas pada lingkungan rumah tinggal dan penduduk permanen atau penduduk asli, namun meluas pada lingkungan wilayah dan kota, pada lingkungan yang beresiko tinggi serta pada penduduk yang tidak menetap dan penduduk relokasi. h. Ada kecenderungan perkembangan penelitian place attachment dari yang tradisional ke arah yang lebih kontemporer (Lihat Gambar 2.4). Penelitian Place attachment: Tradisional
Bersifat diam/statis Mengakar (rooted) Pada satu tempat penduduk asli (native people) dan menetap
Penelitian Place attachment: terkini
Bersifat dinamis Temporal, routes Banyak tempat (multiple place attachment) Penduduk relokasi, nonnative/pendatang, mobile
Gambar 2.4. Kecenderungan perkembangan penelitian place attachment
2.3.
PLACE ATTACHMENT PADA ANAK
Kelekatan anak pada tempat merujuk pada kesenangan di tempat tersebut dan penyesalan atau kesedihan bila harus meninggalkan tempat tersebut. Emosi positif dan negatif tersebut terkait dengan bagaimana anak memaknai hakikat kualitas tempat, bukan hanya karena kebutuhan fisik anak terpenuhi dari tempat tersebut. (L. Chawla, 1992). Kelekatan anak pada tempat merupakan landasan bagi seorang anak untuk mengeksplorasi dunianya dan berdampak positif pada perkembangan emosional dan kognitif, perkembangan personal, perkembangan akademik dan perkembangan kompetensi sosial (L. Chawla & Malone, 2003; Jack, 2008, 2012; Sipe et al., 2006; C. Spencer, 2004; C.
Spencer & Blades, 1993). Kelekatan anak pada tempat juga
berdampak positif pada perilaku perlindungan lingkungan (Benson, 2009; Kals & Ittner,
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
29
2003) dan mendukung terbentuknya sense of place (V. Derr, 2002; M. H. Matthews, 1992). 2.3.1. KONSEP PLACE ATTACHMENT PADA ANAK Konsep kelekatan anak pada tempat didasarkan pada dua cara persepsi dan dua jenis hubungannya dengan dunia luar, yaitu autocentric atau self-centered perception dan allocentric atau other-centered perception (Schachtel, 1959). Autocentric berarti sensasi dan emosi yang berasal dari penyatuan kesenangan atau ketidaknyamanan, karena sesuatu objek diketahui memiliki nilai dan kegunaan. Sedangkan allocentric berarti kesenangan atau kepuasan seseorang pada saat seseorang terbuka pada suatu objek dan mencoba menemukan objek tersebut. Agar seorang anak dapat membuka dirinya terhadap tempat dan merasakan emosi kesenangan berada di suatu tempat, maka tempat perlu memberikan stimulasi positif untuk mengaktifkan sistem keinginan anak (arousal7 system) (Mehrabian, 1976). Stimulasi positif yang dikeluarkan oleh tempat akan membuat anak mendekat, mengeksplorasi dan melakukan tindakan-tindakan di tempat tersebut. Sedangkan stimulasi negatif yang dikeluarkan oleh tempat akan mengakhiri motivasi anak untuk mengeksplorasi tempat. Jadi suatu tempat, perlu memberikan stimulasi, aktivitasi arousal pada anak agar proses kelekatan dapat terjadi. Place attachment digambarkan oleh P. Morgan (2010) sebagai model (Lihat Gambar 2.5). Integrated model of human attachment dan place attachment yang diperkenalkan oleh P. Morgan (2010) menggambarkan siklus pola interaksi yang timbul dari sistem perilaku kelekatan dan sistem motivasi tuntutan eksplorasi anak terhadap tempat. Bagian atas diagram pada Gambar 2.5, menggambarkan bagaimana sistem tuntutan eksplorasi itu teraktivasi. Anak yang terekspos dengan suatu lingkungan binaan akan memicu sistem motivasi yang ada di dalam dirinya, sehingga mengakibatkan munculnya kondisi internal, seperti ketertarikan atau terpesona dengan daya tarik pesona lingkungan binaan tersebut. Sebagai konsekuensinya, anak akan bergerak menjauh dari attachment figure (ibu) untuk bereksplorasi dan berinteraksi, dalam bentuk perilaku bermain di lingkungannya. Interaksi yang terjadi di tempat tersebut 7
Arousal merupakan emosi yang paling berhubungan langsung dengan suatu lingkungan (Mehrabian, 1976, p. 21)
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
30
akan berdampak positif pada keberhasilan, petualangan, kebebasan dan rasa senang. Sisi bawah diagram menggambarkan sistem motivasi kelekatan. Ketika interaksi dengan lingkungan binaan mengakibatkan kesakitan (misalnya jatuh) atau kegelisahan (karena adanya perasaan ancaman atau kehilangan attachment figure untuk waktu yang cukup lama), maka sistem motivasi kelekatan akan menggantikan sistem eksplorasi. Anak akan mencari kedekatan dan kenyamanan dari attachment figure. Interaksi dengan attachment figure akan menghasilkan rasa keterhubungan dan rasa keamanan. Bila anak sudah merasa aman dan terhubung dengan attachment figure, serta lingkungan binaan mulai menstimulus sistem movitasi eksplorasi si anak, maka akan memicu terjadinya siklus yang ada di sisi atas diagram.
Gambar 2.5. Integrated model of human attachment dan place attachment Sumber P. Morgan (2010, p. 15)
Semakin bertambahnya usia anak, social attachment anak pada figur utama (atau keluarga) akan semakin berkurang. Lingkungan fisik akan mulai menarik perhatian anak. Anak secara gembira akan lekat pada suatu tempat yang dianggapnya aman, menarik, memikat, dapat diandalkan untuk dieksplorasi lebih lanjut (L. Chawla, 1992, p. 66). Terbentuknya sistem eksplorasi dan kelekatan anak pada lingkungan dimulai sejak usia pra-sekolah (4-6 tahun). Pada usia ini anak mengalami perkembangan kognitif, komunikasi, memori, interaksi sosial dan motorik (bisa berjalan dan berlari dengan mantap) yang cukup pesat (Mary D. S. Ainsworth, 1991). Anak mulai usia ini
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
31
juga memiliki kemampuan spasial untuk berorientasi secara geografi dan memiliki ikatan afeksi yang kuat pada lingkungannya (sense of place) (M. H. Matthews, 1992). Kemampuan ini mengakibatkan mereka mampu bergerak menjauh dari rumah (securebase) mereka untuk mengeksplorasi lingkungan yang lebih luas dan berhubungan dengan orang lain, termasuk orang asing dan teman sebaya. Tindakan dan perilaku menjelajah lingkungan dan kembali lagi ke rumah, kemudian kembali lagi menjelajah lingkungan secara berulang-ulang dipengaruhi oleh stimulus yang bersifat pemicu (activator) maupun stimulus yang bersifat mengakhiri (terminator) perilaku kelekatan dan perilaku eksplorasi. Stimulus-stimulus ini dapat datang dari kondisi internal anak atau tempat, maupun kondisi eksternal anak atau tempat. Stimulus-stimulus ini juga dapat datang dari keduanya, anak dan tempat. Pengulangan siklus tersebut terjadi melalui proses mental (internal working model/mental
representation)
yang
diperoleh
melalui
akumulasi
pengalaman
(environmental model – image/thought of others) dan berdasarkan pengetahuan akan kemampuan diri sendiri dan potensi diri (organismic model – image of self) (Prior & Glaser, 2006). Proses transaksional antara anak dan lingkungan yang terjadi melalui konsep representasi mental, penting dalam memahami perilaku terjadinya kelekatan anak pada tempat (Giuliani, 1991). Ikatan anak dengan tempat akan muncul, bila ada keinginan anak untuk selalu dekat dan menggunaan ruang terbuka lingkungan secara berulangulang. Pengalaman yang berulang-ulang dan langsung serta adanya makna sosial yang melekat pada anak dengan orang lain (seperti orang tua, guru dan teman sebaya) cenderung memberikan pengaruh dalam perkembangan kelekatan pada tempat (Jack, 2008). Akibatnya, pengetahuan abstrak mengenai tempat relatif lebih mudah dan lebih cepat diperoleh. Kelekatan pada tempat tertentu memerlukan waktu yang lebih lama untuk berkembang, yang tumbuh dari sejumlah besar aktivitas rutin dan pengalaman sehari-hari, juga kejadian/peristiwa yang penting (Jack, 2012). Jadi dapat disimpulkan, bahwa konsep place attachment pada anak berakar pada proses transaksional antara anak dan tempat. Keberhasilan kelekatan atau ikatan antara anak
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
32
dan tempat tergantung pada nilai dari objek atau tempat, pengulangan kepuasan dan emosi kesenangan anak berada di suatu tempat. 2.3.2. PENELITIAN-PENELITIAN PLACE ATTACHMENT PADA ANAK Secara umum, penelitian yang mengkaji anak dan tempat, termasuk kelekatan anak pada tempat, dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar (Holloway & Valentine, 2000), yaitu: 1. Penelitian yang menekankan pada aspek psikologis anak, yaitu bahwa hubungan anak dan tempat tergantung pada kemampuan dan perkembangan psikologisnya, seperti kemampuan sosialisasi, kemampuan spasial, kemampuan pemetaan, dan lain-lain. Pendekatan penelitian ini termasuk pendekatan tradisional yang digunakan dalam kajian anak (Oakley, 1994 dalam Holloway and Valentine (2000). Peneliti dengan latar belakang disiplin ilmu psikologi dan pendidikan, umumnya merupakan kelompok peneliti yang menekankan pada aspek psikologis anak dalam kajian anak dan tempat. 2. Penelitian yang menekankan pada aspek sosiologi anak, yaitu hubungan anak dan tempat tergantung pada bagaimana anak dipandang sebagai aktor sosial, bagian dari struktur sosial yang lebih besar, dan anak sebagai pihak yang aktif dalam mengkonstruksikan dan menentukan kehidupan sosial mereka sendiri, kehidupan orang disekitar mereka dan masyarakat di mana mereka tinggal. Dengan kata lain, anak bukan merupakan subjek pasif dari struktur dan proses sosial (James & Prout, 1997). Peneliti dengan latar belakang disiplin ilmu sosiologi, antropologi, umumnya merupakan kelompok peneliti yang menekankan pada aspek sosiologi anak dalam kajian anak dan tempat. 3. Penelitian yang menekankan pada aspek tempat, yang umumnya dilakukan oleh kelompok feminist, menekankan pentingnya tempat, ruang keseharian (everyday spaces) dan wacana spasial tempat (spasial discourse) dalam penelitian terkait anak dan tempat. Peneliti dengan latar belakang disiplin ilmu geografi dan perancangan lingkungan binaan umumnya merupakan kelompok peneliti yang menekankan pada aspek tempat dalam kajian anak dan tempat.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
33
Pemetaan posisi perkembangan paradigma tiga kelompok penelitan anak dan tempat tersebut diatas, dapat dilihat pada Gambar 2.6. 1877 - Darwin: “Biographical sketch of an infant”
1920-an, Piaget’s stage theory Paradigma psikologi 1970an- Studi tentang kemampuan kognitif spatial anak dan pemetaan Paradigma psikologi
Paradigma sosiologi & antropologi
Paradigma psikologi
1895, James Sully “Studies of childhood”
1977 Denzin “theories of socialization” 1950-an Mead & Wolfenstein “Studies the origin of culture in infant and children practice” Paradigma sosiologi & antropologi
2000-an - Penelitian yang memandang anak sebagai aktor sosial. Mulai berkembangnya metodologi penelitian yang child-center. Penelitian oleh peneliti feminist yang menekankan pada pentingnya tempat, ruang keseharian dan wacana spatial
Gambar 2.6. Pemetaan perkembangan paradigma penelitian anak dan tempat Sumber: disarikan dari Holloway and Valentine (2000); Kehily (2009)
Secara empiris, anak dapat mengembangkan kelekatannya terhadap tempat tertentu tergantung pada tanggapan positif kognitif yang diterima olehnya. Pada umumnya anak memberikan tanggapan positif pada tempat-tempat yang dianggap mereka khusus atau spesial (favorite places) (L. Chawla, 1992; T. Derr, 2006; Elsley, 2004; K. Korpela, 2002; K. Korpela, Kytta, & Hartig, 2002; M. Kytta, 2006; Tanner, 2009). Apa yang menentukan seorang anak dapat mengembangkan kelekatannya pada tempat-tempat yang mereka anggap favorit? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitianpenelitian terkait place attachment pada anak akan dikaji dari tiga dimensi, seperti yang diusulkan oleh Scannell and Gifford (2010), yaitu: a. Dimensi tempat Beberapa penelitian menegaskan bahwa anak mempunyai pendapat sendiri tentang tempat atau komunitas di mana mereka tinggal, misalnya tempat favorit dapat menjadi
tempat
untuk
menumbuhkan
social
stigma
atau
tempat
untuk
menumbuhkan harapan terhadap identitas positif; sebagai tempat untuk memperoleh
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
34
rasa aman atau dapat pula sebagai tempat yang menakutkan; sebagai tempat yang asing dan terisolasi atau tempat yang punya integrasi sosial; sebagai tempat yang membosankan atau tempat yang menarik untuk terlibat (L. Chawla & Malone, 2003, p. 125). Pemilihan tempat favorit tertentu menunjukkan adanya preferensi anak terhadap tempat-tempat tersebut. Secara empiris, anak menunjukkan preferensi terhadap tempat yang memiliki karakter lanskap yang natural dan privat (restorative place/retreat) adalah yang menjadi pilihan sebagai tempat favorit (L. Chawla, 1992; Corraliza, Collado, & Bethelmy, 2012; K. Korpela et al., 2002). Anak juga menunjukkan pilihan bukan hanya pada tempat-tempat yang bersifat formal seperti taman lingkungan namun juga pada tempat-tempat yang bersifat informal (Chatterjee, 2006; Ramezani & Said, 2009; Rasmussen, 2004). Secara empiris, letak tempat favorit anak dapat ditemui di dalam ruangan seperti window seats, hide away, niches, platforms ataupun ditemui di ruang luar, seperti couryard, elevated private garden, surrounded by garden, neighborhood green, hidey-holes, womb burrows for security, dens (Day, 2007). Tempat-tempat tersebut digunakan oleh anak untuk berbagai maksud, baik sebagai tempat persembunyian, tempat bermain, tempat bersosialisasi, tempat restoratif, dan lain-lain. Untuk di luar ruangan, jalan dan lingkungan dekat rumah merupakan lingkungan yang paling sering dialami oleh anak dan dijadikan sebagai tempat favorit serta dianggap mudah oleh orang tua untuk diawasi (L. Chawla, 1992; M. Kytta, 2006; H. Matthews et al., 2000; Ramezani & Said, 2009; Simms, 2008). Bagi anak yang tinggal di permukiman yang padat, khususnya anak remaja, jalan dianggap sebagai overspill space, merupakan pilihan tempat favorit anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya dalam jangkauan dekat (M. H. Matthews, 1992). ‘Jalan’ menurut Mathews (2003) adalah metafora semua ruang terbuka dalam domain publik, seperti tanah terlantar, garasi yang terkunci, belakang pasar, dan lain-lain. Tempat-tempat yang tidak diduga orang dewasa tersebut, disebutnya sebagai ‘liminal space’ dan ‘rite of passage’, suatu tempat yang memungkinkan seorang remaja laki-laki dan perempuan bertemu serta suatu tempat bagi seorang
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
35
remaja bertransisi menjadi seorang dewasa yang lebih mandiri (Mathews, 2003, p. 102). Beberapa penelitian lain menemukan bahwa ada banyak konsep ruang/tempat yang digunakan dan dijadikan tempat favorit oleh anak. Seperti: monomorphic space, tempat yang secara frekuensi didominasi oleh penggunaan tertentu, yang tidak memungkinkan tempat itu digunakan untuk yang lain. Tempat-tempat ini adalah tempat di mana orang dewasa melarang anak-anak untuk menggunakannya (Jones, 2000; Mathews, 2003). Polymorphic space, tempat yang didominasi penggunaanya oleh orang dewasa, namun masih dapat mengakomodasi penggunaan lain. Anakanak masih diizinkan untuk berada di tempat-tempat seperti ini. (Jones, 2000; Mathews, 2003). Disordered space atau abandoned space, tempat-tempat yang masih mentoleransi penggunaan lain. Di tempat-tempat seperti ini, anak-anak diizinkan untuk menggunakannya, merekonstruksi tanpa ada permusuhan dan larangan dari orang dewasa (Jones, 2000; Mathews, 2003). Smooth space atau otherable space, yaitu ruang geografi anak yang fisikal dan imaginatif. Ruang yang nomadic, folded, non-hirarki, tidak memiliki orientasi, non-metric, free-action space (Deleuze & Guattari, 1987; Jones, 2000). Striated space atau pure space, yaitu ruang yang dikontruksikan oleh orang dewasa (monomorphic space), yang memberikan batasan dan memberikan sedikit peluang untuk dieksplorasi anak-anak, seperti ruang yang diam, over-determined, euclidean, hirarki, punya orientasi, metrically, divisible & multiple work space (Deleuze & Guattari, 1987; Jones, 2000). Third space8, yaitu tempat di mana anak-anak berkumpul untuk menegaskan kesan perbedaan mereka dan merayakan perasaan kepemilikan mereka terhadap tempat (H. Matthews et al., 2000). Apa yang diperlukan dari suatu tempat, agar kelekatan anak terhadap tempat tertentu dapat terbentuk? Beberapa penelitian lain mengungkapkan bahwa lingkungan fisik tempat perlu menawarkan peluang-peluang agar anak sebagai pengguna merasa ditawari kesempatan untuk beraktivitas. Lingkungan atau ruang terbuka perlu 8
Third place merujuk pada “informal public places is a generic designation for a great variety of public places that host the regular, voluntary, informal and happily anticipated gatherings of individuals beyond the realms of home and work” (Oldenburg, 1989, p. 16)
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
36
memberikan kemungkinan bagi anak untuk bergerak secara mandiri dan memberikan peluang bagi anak untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan aktivitas baru (new affordances9) yang potensial untuk direalisasikan (Heft, 2010; M. Kytta, 2003; M. Kytta, 2006; Othman & Said, 2012). Menurut Harrison and Howard (1980), ruang terbuka perlu memiliki keunikan seperti imageability; komponen fisik yaitu lokasi (termasuk di dalamnya adalah areal location, spatial relationships, prominence, scope, activity, associated features, signs and markers); penampilan (yaitu usia bangunan, ukuran, warna, desain, bentuk, pola, wujud, material, kondisi, penghijauan, visual appeal); komponen makna sosial budaya (yaitu ekonomi, politik & sosial, agama & etnik, sejarah, convenience & welfare) dan komponen asosiasi sosial budaya (yaitu affinity, familiarity dan atmosphere). Tempat juga perlu meminimalkan sumber-sumber bahaya dan mengupayakan tandatanda untuk mencari jalan dan dilengkapi oleh signage (Cornell & Hill, 2006). Menurut L. Chawla (1992); Day (2007), agar suatu tempat dapat menjadi tempat favorit, tempat di mana anak lekat, maka tempat tersebut perlu menyediakan rasa aman. Tempat perlu menyediakan sense of autonomy, yaitu suatu kondisi tempat di mana anak merasa bebas berada di sana tanpa ada rasa khawartir atau takut (Day, 2007; Langhout, 2003). Tempat juga perlu mendukung terbentuknya afiliasi sosial dan memberi dukungan sosial serta perasaan positif pada anak (L. Chawla, 1992; Langhout, 2003; Morrow, 2003). Tempat perlu juga mendukung terbentuknya sense of belonging. Sense of belonging terhadap tempat lebih karena hubungan anak dengan teman sebaya daripada lokasi fisik tempat (Morrow, 2003). Tempat juga perlu menyediakan peluang bagi anak untuk bereksplorasi dan berekspresi secara kreatif (L. Chawla, 1992; Day, 2007) serta ramah terhadap anak dan menjadi teman10 bagi anak (Chatterjee, 2006; Cornell & Hill, 2006; Freeman & Tranter, 9
Affordance dinyatakan sebagai “perceptible properties of an environment that have functional significance for an individual” (Heft, 2010, p. 20). 10 Kriteria konsep teman pada tempat (place friendship), yaitu tempat yang peduli terhadap lingkungan, memungkinan pertukaran place-child, menyediakan kesempatan belajar (learning & competence), dapat diawasi, memicu perasaan dan emosi, serta memberikan kesempatan berekspresi secara bebas (Chatterjee, 2006).
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
37
2011; M. Kytta, 2006; Malone, 2006; Ramezani & Said, 2009; Simms, 2008; Sipe et al., 2006; Tranter, 2006). Secara empiris, beberapa peneliti lain memberikan penekanan pada pentingnya aspek fisik tempat pada anak agar perkembangan kelekatan anak pada tempat dapat berhasil, seperti desain dan kualitas lingkungan, keamanan dan kemampuan berfungsinya elemen-elemen suatu lingkungan (N. F. Aziz & Said, 2012), ketersediaan taman, sarana & prasarana (A. A. Aziz & Ahmad, 2012; LoukaitouSideris & Sideris, 2009; Veitch, Salmon, & Ball, 2007), ketersediaan infrastruktur (Davison & Lawson, 2006), keberadaan lingkungan alam (natural) (Corraliza et al., 2012). Namun, secara dominan, peneliti-peneliti lain lebih menekankan pentingnya aspek sosial dan budaya pada anak dalam menggunakan suatu tempat favorit. Secara empiris, status sosial, besaran populasi dan kondisi lingkungan sekitar anak sangat mempengaruhi penggunaan tempat oleh anak (N. F. Aziz & Said, 2012; Jack, 2008, 2012; Karsten, 2003; Lekies, 2011; C. Spencer & Blades, 1993). Penilaian keluarga terhadap kondisi keamanan dan resiko lingkungan tempat tinggal anak, kejahatan dan kesibukan lalu lintas juga terbukti mempengaruhi penggunaan tempat oleh anak (Jack, 2008, 2012; Tranter, 2006). Konteks lingkungan dan budaya yang lebih luas di mana anak tinggal terbukti juga mempengaruhi anak dalam menggunakan tempat dan menumbuhkan perkembangan kelekatan (Jack, 2008, 2012). Integrasi/ikatan sosial dan partisipasi sosial (N. F. Aziz & Said, 2012; Jack, 2008, 2012; C. Spencer & Blades, 1993; Veitch et al., 2007), social affordance lingkungan (Othman & Said, 2012) dan social setting, seperti mal dan tempat rekreasi lainnya, memberikan pengaruh pada penggunaan tempat oleh anak, mempengaruhi ikatan sosial anak dan pada akhirnya memungkinkan perkembangan kelekatan anak pada tempat (C. Clark & Uzzell, 2006). Peran anak sebagai aktor sosial dan budaya yang dipandang memiliki kemampuan menyuarakan pendapatnya terkait dengan lingkungan seperti apa yang diinginkannya, juga terbukti memungkinkan perkembangan kelekatan anak pada tempat (Brederode-Santos, Claeys, Fazah, Schneider, & Szelenyi, 2009; Hart, 1992; Rasmussen, 2004; Sipe et al., 2006).
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
38
Beberapa peneliti lain melakukan pengukuran untuk menentukan apa yang menjadi variabel kepuasan dan keterikatan anak, khususnya remaja, terhadap suatu tempat atau komunitas, seperti yang dilakukan oleh Lekies (2011) pada sekelompok remaja di daerah pedesaan di Jerman. Hasil penelitiannya menemukan bahwa variabel terkait lama tinggal dan variabel sosial mempengaruhi kelekatan anak pada tempat. Sedangkan variabel terkait kehidupan komunitas sosial, rekreasi dan permukiman mempengaruhi tingkat kepuasan remaja terhadap tempat. Hasil penelitiannya mendukung L. C. Manzo and Perkins (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara rasa keakaran terhadap komunitas dengan kelekatan terhadap tempat. Ketepatan kehadiran anak, keberadaan anak di suatu tempat, penggunaan dan tindakan di tempat, appropriation, modifikasi dan disposition akan menghasilkan emosional dan fisikal klaim pada tempat (Lynch, 1981). Adanya pengalaman anak pada lingkungan dengan segala kekayaan lingkungannya, secara empiris terbukti memberikan dampak positif pada perilaku perlindungan lingkungan (Benson, 2009; Kals & Ittner, 2003), identitas personal, integrasi sosial dan partisipasi (L. Chawla & Malone, 2003; Jack, 2008; C. Spencer, 2004; C. Spencer & Blades, 1993) dan mendukung sense of place (V. Derr, 2002; M. H. Matthews, 1992). b. Dimensi anak Menurut M. H. Matthews (1992), secara psikologis, anak memiliki kemampuan spasial untuk berorientasi secara geografi dan memiliki ikatan afeksi yang kuat pada lingkungannya (sense of place). Kognisi (pikiran, pengetahuan & kepercayaan) dan praktik (tindak) untuk bekerjasama mempengaruhi dan menghasilkan kualitas emosional seseorang, termasuk anak, pada tempat. Kemampuan psikologis tersebut berkembang sejalan dengan bertambahnya usia, mempengaruhi kemampuan anak dalam mengembangkan kelekatan pada tempat tertentu. First, young children do not view the world as egocentrically, and hence as inaccurately, as Piagetian developmental theory contends…they are seemingly capable of using spasial reference systems which reflect an incipient understanding of macrospace…Secondly, young children display a range of photogeographical skills well before the age of school entry….Thirdly,
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
39
environmental capabilities appears to depend on a number of individual differences in environmental experience…Fourthly, children have a strong affective sense of place. From a young age, children develop feelings and emotions about their everyday environments which induce powerful, positive or negative images. The role of affect is not only important in explaining how children learn about place, but also, as children’s place reactions are often very different to those expressed by adults, it provides a pointer to what sort of environments children find most satisfying. (M. H. Matthews, 1992, pp. 235236) Secara empiris, beberapa peneliti lain membuktikan bahwa aspek psikologis anak, seperti usia dan gender, mempengaruhi perkembangan kelekatan anak pada tempat (N. F. Aziz & Said, 2012; Jack, 2008, 2012; Karsten, 2003; Lekies, 2011; C. Spencer & Blades, 1993). Kemampuan anak untuk mempersepsikan diri sendiri dan apa yang menjadi tujuan aktivitasnya di ruang terbuka terbukti mempengaruhi perkembangan kelekatan anak pada tempat (M. H. Matthews, 1992). Kemampuan menjelajah anak di lingkungannya juga terbukti mempengaruhi pemilihan tempat favorit mereka (K. Korpela, 2002). Kemampuan spasial anak di ruang terbuka dipengaruhi oleh berapa lama mereka mengalami secara langsung ruang terbuka, aspek fisik dan sosial ruang terbuka, eksplorasi aktif dan pasif yang dilakukan anak, kontrol dan ketakutan orang tua (Tranter, 2006), persepsi anak akan kemampuan diri sendiri dan tujuan dari aktivitas di ruang terbuka (Liben, 1981; M. H. Matthews, 1992). Menurut Garbarino (1985) dalam M. H. Matthews (1992, p. 7), lingkungan anak adalah ‘multi-layered’ dan ‘multi-faceted’. Setiap tingkatnya ditentukan oleh seperangkat kondisi fisik, geografi dan kekuatan sosial, yang akan mempengaruhi tindak dan perilaku mereka di tempat. Semakin bertambahnya usia anak, semakin luas dan jauh pula batas lingkungan yang mampu untuk dijelajahi pada saat mereka tidak berada di dalam rumah dan di sekolah. Batas/rentang spasial yang dijelajah anak biasanya dimulai dari sekitar rumah tinggal, rumah teman atau fasilitas lingkungan terdekat. Kemampuan tersebut dimulai sejak anak berusia 6 tahun. Kemudian pada saat anak menginjak usia menengah sekolah dasar, akan semakin jauh jarak jelajahnya dan memuncak pada usia remaja. Lingkungan yang dijelajah anak termasuk lingkungan rumah tinggal,
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
40
ruang terbuka yang privat dan tempat-tempat komersial/pertokoan untuk kegiatan sosialisasi (L. Chawla, 1992; C. Clark & Uzzell, 2006). Rentang spasial ini overlap sejalan dengan bertambahnya usia (Elsley, 2004). Perkembangan rentang spasial ini terkait dengan bagaimana kemampuan anak mengatasi, mengeksplorasi, memanipulasi dan mentransformasi pengalaman lingkungan yang baru (M. H. Matthews, 1992). Perkembangan usia anak dan kondisi psikologis akan mempengaruhi sejauh mana tingkatan perilaku kelekatan, tingkatan ruang spasial dan ruang sosial mereka. Relasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Relasi tingkat psikologis anak terhadap ruang spasial dan kelekatan
Perkembangan rentang spasial anak tergantung dari negosiasi mereka dengan orang tua. Menurut Hart (1979) dalam M. H. Matthews (1992) ada tiga kondisi rentang teritori yaitu free-range adalah tempat-tempat di mana anak diizinkan untuk pergi sendiri tanpa izin orang tua. Range with permission adalah tempat-tempat di mana anak-anak diizinkan pergi sendiri namun harus ada izin orang tua. Range with permission with other children adalah tempat-tempat di mana anak diizinkan pergi
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
41
sendiri namun harus ditemani oleh anak yang lain. Perbedaan rentang spasial anakanak yang tinggal di kota dan di pinggiran kota, diakibatkan oleh adanya ketakutan orang tua terhadap lalu lintas, social fear (takut diserang/diculik), bahaya lingkungan (anjing, ular, tempat yang tinggi, dan lain-lain), ketakutan akan ketidakmampuan anak (takut tersesat, kurang cukup usia, dan lain-lain) (Moore & Young, 1978 dalam M. H. Matthews (1992). Secara empiris, beberapa peneliti lain menekankan perbedaan kemampuan psikologis anak akan mempengaruhi kemampuan anak dalam mengkonsepsi tempat dan ruang. Seperti yang dilakukan oleh Tzubota and Chen (2012) terhadap anakanak usia 2.5-5 tahun. Mereka menemukan bahwa anak-anak usia 2.5-5 tahun memiliki kemampuan mengintepretasi dan menggunakan simbol-simbol spasial dalam peta. Penelitian Gharahbeiglu (2007) menemukan bahwa, anak-anak usia sekolah dasar (6-12 tahun) memiliki kemampuan mengingat, mengkonseptualisasi, mengabstraksi dan imaginasi serta kemampuan memahami lingkungan, tidak hanya melalui pengalaman langsung di lingkungan/ruang terbuka tetapi juga melalui foto udara. Anak-anak pada usia ini juga menunjukkan kemampuan menemukan objekobjek yang ditandai di foto udara, kemampuan memahami orientasi, arah dan jarak (Plester, Blades, & Spencer, 2006). Anak-anak usia 6-12 tahun juga memiliki kemampuan menggambar peta dan mengidentifikasi tempat, jalur, landmark, dan fitur-fitur lain yang dianggap mengesankan anak-anak pada peta (Al-Zoabi, 2002). c. Dimensi proses Proses bagaimana seorang anak dapat mengembangkan kelekatan pada tempat tertentu tergantung pada tindakan yang dilakukan anak di tempat. Tindakan yang dilakukan oleh anak di tempat favoritnya merupakan sesuatu yang jelas terlihat oleh pengamat melalui kehadiran fisik mereka di tempat tersebut. Secara empiris, tindakan-tindakan yang dilakukan anak di tempat favoritnya, seperti berpetualangan, mengambil resiko, eksplorasi, membuat jalur-jalur khusus, membuat benteng dan tempat persembunyian untuk mengasingkan diri (retreat), berkebun, merawat binatang (Benson, 2009; Blizard & Schuster, 2004; T. Derr, 2006; Kjorholt, 2003), bermain, bersenang-senang, mencari ketenangan, belajar, bertemu teman, atau
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
42
alasan khusus lainnya seperti berinteraksi dengan kuda (K. Korpela et al., 2002), memberi tanda pada lingkungan melalui binatang, benda, orang, tempat, kejadian, cerita, dan lain-lain (Rasmussen & Smidt, 2003). Tindakan mengkolonisasi tempat yaitu suatu proses seseorang memberi makna pada tempat dan membuat tempat itu menjadi bagian dari identitasnya, terbukti tidak hanya memberikan kontribusi pada kelekatan anak pada tempat (Johan Asplund, 1983 dalam Hallden (2003, p. 32), tetapi juga memberikan kontribusi pada produksi lokalitas. Artinya lokalitas diperoleh bukan hanya melalui geografi tetapi juga melalui tempat di mana seseorang memperoleh rasa solidaritas. (Appadurai, 1995 dalam Hallden (2003, p. 32). Tempat favorit di mana anak lekat ditemukan pada tempat-tempat dengan konteks rural yang natural (seperti hutan) (Benson, 2009; Blizard & Schuster, 2004) juga pada tempat dengan konteks perkotaan (T. Derr, 2006). Semua tindakan yang dilakukan anak pada tempat melalui objek yang ada di tempat, aktivitas yang dilakukan di tempat, rutinitas dan aksesibilitas pada tempat favorit akan berkontribusi pada bangkitnya emosi atau perasaan (A. Clark, 2005). Tindakan yang dilakukan anak di tempat tertentu tidak hanya dilakukan bersamasama dengan teman sebaya yang terbukti memberikan pengaruh pada kelekatan anak pada tempat (Jack, 2008, 2012; Lekies, 2011; L. C. Manzo & Perkins, 2006), namun tindakan yang bersifat personalisasi yang dilakukan oleh anak sendiri di tempat favorit juga dibuktikan memberikan pengaruh pada place attachment (Fidzani, 2010). Proses bagaimana anak mengembangkan kelekatannya pada tempat tertentu, tergantung pada bagaimana anak mengalami, mengkonstruksikan pengetahuannya akan tempat tersebut dan mengembangkan sense terhadap tempat. Pada umumnya, seorang anak mengalami dan mengkonstruksi pengetahuannya akan tempat melalui pergerakan tubuh anak, yang bersifat fisik dan embedded di dalam tubuh mereka. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui keterlibatan dan penggunaan sehari-hari di tempat tersebut baik personal maupun kolektif bersama dengan teman-teman sebaya.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
43
Keterlibatan dan penggunaan sehari-hari suatu tempat oleh anak memampukan anak untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat emplaced11 (Pia Christensen, 2003), seperti yang ditemukan oleh Mathews (2003) dalam penelitiannya terhadap anakanak usia 10-16 tahun di Inggris. Menurut Mathews (2003), anak-anak muda memiliki kemampuan yang disebutnya “street literacy”, yaitu kemampuan anakanak muda dalam membaca dan membuat peraturan tak tertulis yang diperoleh dari lingkungannya agar dapat mengenal lingkungannya. Sehingga, anak-anak muda tersebut dapat mengetahui tempatnya, ke mana mereka akan pergi atau tidak pergi, apa yang dapat dikerjakan dan kapan akan dikerjakan. Penelitian yang dilakukan oleh Pia Christensen and Mikkelsen (2013) terhadap anak perempuan usia 10-13 tahun di Denmark menemukan bahwa anak-anak mengkonstruksi tempat melalui pergerakan yang kolektif untuk digunakan secara kolektif pula. Pergerakan yang terjadi di tempat merupakan pergerakan yang dinamis dan cair, ke dalam dan keluar serta terjadi di sekitar rumah tinggal mereka (Chistensen & O'Brien, 2003; McKendrick, Bradford, & Fielder, 2000). Pergerakan tersebut diperoleh anak-anak melalui negosiasi antara anak-anak dengan orang tua. Proses bagaimana seorang anak mengembangkan kelekatan pada tempat tergantung pada dimensi waktu. Pengalaman yang dilakukan secara berulang-ulang pada kurun waktu tertentu baik dilakukan sendiri maupun bersama dengan orang lain (seperti orang tua, guru dan teman sebaya) terbukti memberikan pengaruh dalam perkembangan kelekatan terhadap tempat (Jack, 2008, 2012). Jadi dapat dikatakan bahwa proses untuk dapat mengembangkan kelekatan pada tempat melibatkan faktor waktu, dapat bersifat temporal dan kadang bahkan anak perlu bersaing untuk menguasai tempat tertentu (Mathews, 2003). Namun, ada beberapa hal yang mengakibatkan seorang anak tidak mampu memproses kelekatannya pada tempat tertentu. Secara empiris, faktor-faktor yang mengancam kelekatan anak pada tempat tertentu adalah terjeratnya orang tua dalam 11
Emplace knowledge merujuk pada pengetahuan tempat yang diperoleh anak melalui keterlibatan langsung sehari-hari anak dalam menggunakan tempat tertentu. Keterlibatan tersebut meliputi keterlibatan tubuh anak, panca indera, kesadaran akan kehadiran dirinya di tempat tersebut (Pia Christensen, 2003).
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
44
perangkat sosial tertentu sehingga mempengaruhi kebebasan anak untuk bergerak (Tranter, 2006), adanya persepsi negatif anak terhadap lingkungan (L. Chawla & Malone, 2003) dan faktor lingkungan tempat tinggal yang tidak mendukung (N. F. Aziz & Said, 2012; Jack, 2008) serta ketergantungan pada televisi dan digital media (Clements, 2004). Hal ini mengakibatkan krisis kemampuan spasial anak di ruang terbuka (Williams, Jones, Fleuriot, & Wood, 2005), dan hilangnya sense of place anak pada ruang terbuka (V. Derr, 2002) serta terbatasnya akses mandiri anak di ruang terbuka terbatas (Jack, 2008). 2.3.3. POSISI PENELITIAN PLACE ATTACHMENT PADA ANAK Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan di Sub Bab 2.3.1. dan Sub Bab 2.3.2. sebelumnya, maka dapat disimpulkan posisi penelitian terkini terkait place attachment pada anak adalah sebagai berikut: 1. Penelitian terkait place attachment anak secara dominan berakar pada pendekatan dualistic transactional process antara anak dan tempat, yang memandang tempat sebagai gagasan binari yang tetap (fix). Pendekatan tersebut memahami kelekatan anak pada tempat dapat terjadi karena kemampuan psikologis anak yang memampukan anak memberi tanggapan positif terhadap tempat. Atau karena aspek fisik dan sosial budaya tempat yang diprediksi memberikan stimulasi anak untuk mendekat, bermain dan bereksplorasi di tempat tersebut. Keberhasilan kelekatan atau ikatan antara anak dan tempat tergantung pada nilai dari objek atau tempat, pengulangan kepuasan dan emosi kesenangan anak berada di suatu tempat. 2. Penelitian place attachment pada anak didominasi oleh dua kelompok penelitian. Kelompok pertama, yaitu penelitian yang menekankan tempat sebagai bagian dari konstruksi sosial atau disebut sebagai social constructionist approach to place. Kelompok kedua, yaitu penelitian yang menekankan hubungan anak dan tempat tergantung dari aspek psikologis anak, yaitu kemampuan dan perkembangan psikologisnya, seperti kemampuan sosialisasi, kemampuan spasial, kemampuan pemetaan, dan lain-lain. Umumnya, kelompok peneliti ini berasal dari disiplin ilmu sosiologi, antropologi, psikologi dan pendidikan.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
45
3. Penelitian place attachment pada anak juga dipengaruhi oleh penelitian-penelitian yang memandang tempat sebagai objek fisik, yaitu suatu entitas yang unik yang perlu memperhatikan aspek fisik, desain, lokasi, fungsi, sarana dan prasarananya, agar kelekatan kelekatan anak pada tempat dapat terjadi. Umumnya, kelompok peneliti yang menekankan aspek fisik tempat dalam kajian anak dan tempat berasal dari disiplin ilmu geografi dan desain lingkungan binaan. 4. Metode penelitian place attachment pada anak didominasi oleh metode penelitian kualitatif dengan cara melakukan observasi kehadiran fisik anak di tempat. Pengambilan data observasi dilakukan melalui teknik etnografi dan survey untuk mengungkapkan apa yang menjadi preferensi anak menggunakan tempat favoritnya. 5. Pada umumnya, peneliti fokus pada aspek preferensi anak menggunakan tempat tertentu, misalnya preferensi aspek fisik lingkungan saja (desain, kualitas lingkungan, ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana, citra dan konteks natural tempat) atau fokus pada preferensi aspek sosial budaya tempat terhadap penggunaan tempat oleh anak (karakter personal, penilaian keluarga, komunitas sosial/peer), atau fokus pada proses bagaimana anak mengalami, mengkonstruksi, bertindak di suatu tempat dengan cara melakukan observasi anak di tempat. 6. Penelitian-penelitian terkait place attachment pada anak didominasi oleh disiplin ilmu psikologi lingkungan, sosiologi, antropologi, geografi dan pendidikan anak. Belum banyak studi terkait dengan tema ini yang berangkat dari sudut pandang ilmu arsitektur. 2.4. CELAH PENELITIAN Sub Bab ini bertujuan untuk memberikan pemaparan apa yang menjadi potensi celah penelitian untuk dikembangkan berikutnya. Upaya untuk mengungkapkan apa yang menjadi potensial celah penelitian dilakukan melalui analisis persamaan dan perbedaan teori human attachment dan teori place attachment pada orang dewasa dan anak, yang diadaptasi dari Giuliani (2003); Scannel and Gifford (2014) dan pembahasanpembahasan yang telah diuraikan pada Sub Bab sebelumnya. Menurut Scannel and
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
46
Gifford (2014), apa yang menjadi persamaan dan perbedaan dari teori human attachment dan teori place attachment, belum sepenuhnya diuraikan. Hingga kini, pengetahuan-pengetahuan terkait place attachment telah berkembang semakin jauh terpisah dari pengetahuan-pengetahuan human attachment (Scannel & Gifford, 2014). Persamaan dan perbedaan dari teori human attachment dan teori place attachment tidak berarti bahwa keduanya dapat dipertukarkan. Menurut Scannel and Gifford (2014), kedua teori tersebut memiliki perbedaan yang tidak diragukan lagi. Analisis persamaan dan perbedaan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip atau kategori yang dikembangkan dari teori human attachment, yaitu definisi, teori, proses kelekatan, karakteristik figur kelekatan, perkembangan ikatan kelekatan, pola/sifat kelekatan dan stabilitas kelekatan. Prinsip-prinsip ini kemudian disandingkan dengan perkembangan penelitian place attachment orang dewasa dan place attachment anak. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Persamaan dan perbedaan human attachment dan place attachment orang dewasa dan anak. Kategori 1.
Definisi
2.
Teori
Human attachment Penggabungan (secara fisik) dua individu, antara anak dan figur tertentu (umumnya ibu) dengan perasaan tertentu (love), yang dibangun relatif lama yang ditandai dengan keinginan untuk selalu kontak dan dekat dengan figur tertentu (sebagai secure base) dengan tujuan untuk keamanan dan kenyamanan (Bowlby, 1969, 1982; Ainsworth, 1973). ‘Love between human’ (Bowlby, 1969, 1982). Ikatan didasarkan bukan hanya
Place attachment orang dewasa Interaksi antara afeksi dan emosi, pengetahuan dan kepercayaan, perilaku dan tindakan terkait dengan tempat yang bervariasi dalam skala, keunikan dan kenyataan. Melibatkan berbagai aktor (individual, kelompok dan budaya), berbagai hubungan sosial (individual, kelompok dan budaya) dan aspek temporal (linear, cyclical) (Altman, 1992). ‘Love for place’. Ikatan orang dan tempat (Altman, 1992). Konsep-konsep
Place attachment anak Anak lekat pada tempat tertentu, bila mereka menunjukkan kesenangan di tempat tersebut dan rasa menyesal atau kesedihan bila harus meninggalkan tempat tersebut. Emosi positif dan negatif tersebut terkait dengan bagaimana anak memaknai hakikat kualitas tempat, bukan hanya karena kebutuhan fisik anak terpenuhi dari tempat tersebut (Chawla, 1992). ‘Love for favorite places” (Chawla, 1992). Didasarkan pada dua persepsi yaitu
Celah penelitian Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Chawla (1992), apa yang menentukan hadirnya place attachment pada anak belum sepenuhnya terungkap.
Apakah place attachment anak hanya merujuk pada ‘love for favorite places’?
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
47
Kategori
Human attachment berdasarkan kebutuhan fisik, tetapi juga pada kebutuhan psikologis (seperti keamanan dan kenyamanan). Pemisahan akan mengakibatkan permasalahan psikologis di masa yang akan datang.
3.
Proses kelekatan
Ada 4 proses psikologis: Menjaga kelekatan (proximity seeking). Safe haven attachment figure.
Secure base attachment figure.
Place attachment orang dewasa terkait pengalaman subjektif: experience of place, sense of place (Relph, 1976), Topophilia (Tuan, 1974, 1977), Genius loci (Norberg-Schulz, 1980), dan lainlain. Konsep satu dimensi, konsep yang multidimensi dan konsep yang superordinate (Hernandez, Hidalgo, and Ruiz, 2014).
Place attachment anak autocentric dan allocentric (Schachtel, 1959). Konsep explorationassertion motivational system & attachmentaffiliation motivational system (Morgan, 2010). Berakar pada proses transaksional antara anak dan tempat. Keberhasilan kelekatan atau ikatan antara anak dan tempat tergantung pada nilai dari objek atau tempat, pengulangan kepuasan dan emosi kesenangan anak berada di suatu tempat.
Menjaga kedekatan dengan tempat (proximity seeking). Kelekatan pada tempat yang memberikan perlindungan keamanan (safe haven). Tempat yang menyediakan kenyamaan keamanan, titik tolak (reference point) umumnya diasosiasikan pada rumah tinggal, tanah kelahiran.
Upaya untuk kembali ke tempat (proximity seeking). Kelekatan pada favorite places, retreat places, explorative places, dan lainlain. Tempat menyediakan rasa aman, nyaman, mendorong eksplorasi ditemukan di mana-mana tergantung makna yang diberikan
Celah penelitian Tidak ada konsensus apa itu place attachment orang dewasa secara konseptual. ‘Lack of theory’, ‘slow’, ‘stuck’, ‘unclear’ dan menunjukkan sedikit perkembangan bukti empiris (Lewicka, 2011). Apakah mungkin konsep place attachment anak bukan sebagai either/or atau this/that seperti dalam pendekatan transaksional?
Sedikit pengetahuan yang dapat melalui proses seperti apa dan bagaimana seorang dapat lekat pada tempat (Lewicka, 2011) Bagaimana cara pemulihan terhadap pemisahan belum banyak diungkap (Scannel and Gifford, 2014).
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
48
Kategori
Human attachment Separation distress.
4.
Karakteristik dari attachme nt figure
Single attachment figure (umumnya adalah ibu). Multiple attachment figure. Diversity of attachment figure (siapa saja bisa jadi attachment figure), walaupun tingkat kelekatannya dapat berbedabeda, tergantung pada kepuasan yang diperoleh dari attachment figure.
5.
Perkemba -ngan ikatan kelekatan (attachment bonds)
Berkembang sejalan dengan usia, mulai sejak lahir (bayi) hingga usia tua.
Place attachment orang dewasa Perubahan tempat mempengaruhi ikatan orang dan tempat, seperti kesedihan, kegelisahan Place dapat menjadi attachment figure, terutama tempat yang memiliki kualitas fisik dan sosial dan identitas, seperti: skala, tangibility, familarity, atribut fisik, sosial dan aktivitas orang di tempat tersebut. Seseorang dapat memiliki beberapa tempat sebagai attachment figure. Walaupun tidak semua memberikan tingkat kelekatan yang sama. Tempat sebagai attachment figure dapat merupakan tempat yang beresiko tinggi maupun tempat tinggal menetap. Attachment figure dapat bergerak (dinamis/route) tidak hanya fix. Kurang banyak diketahui pada place attachment orang dewasa. Menempatkan prioritas/penekanan pada afeksi, emosi dan perasaan yang timbul akibat pengalaman manusia pada suatu lingkungan (urban/rural).
Place attachment anak anak pada tempat. Pemisahan terhadap tempat mengakibatkan kesedihan & kekecewaan.
Celah penelitian
Tempat dapat menjadi attachment figure bagi anak, terutama tempattempat yang dianggap favorite places untuk berbagai aktivitas (bermain, bersosialisasi, retreat, restorasi, bereksplorasi, berkreasi, dan lain-lain). Anak dapat memiliki beberapa tempat sebagai attachment figure. Attachment figure anak terutama berada di lingkungan rumah tinggal. Attachment figure umumnya fix secara lokasi.
Mungkinkah route menjadi attachment figure anak?
Ikatan kelekatan anak dengan tempat dimulai dari usia prasekolah (Ainsworth, 1991) dan usia sekolah dasar (Sobel, 1990 dalam Jack, 2012). Perkembangan place attachment pada anak merupakan suatu
Aplikasi model integrasi human attachment dan place attachment dari Morgan (2010) belum banyak diteliti (Scannel and Gifford, 2014). Apakah proses ini terjadi pada perkembangan ikatan orang dewasa belum diteliti (Scannel
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
49
Kategori
Human attachment
Place attachment orang dewasa
Place attachment anak proses interaksional antara anak dan tempat. Perkembangan kelekatan merupakan proses berulang yang meliputi sistem arousal, interaction dan pleasure (Morgan, 2010). Anxious attachment pada anak yang mengalami homesick dan secure attachment pada anak yang lebih mandiri dan berkeinginan mengeksplorasi lebih jauh dari rumah tinggal (Thurber & Sigman, 1998)
Ada empat pola Ada 4 pola place kelekatan pada attachment orang anak yaitu secure, dewasa: community avoidant, rootedness, resistant alienation, attachment relativity and (Ainsworth, placelessness 1978) dan (Graaf, 2009). disorganized Insecure disoriented attachment attachment (Main diasosiasikan pada & Solomon, tingkat place 1990). attachment yang Ada empat pola rendah, ikatan kelekatan pada sosial rendah dan orang dewasa, tidak terpenuhinya yaitu secure, kebutuhan dari dismissive, tempat (Tartaglia, preoccupied dan 2006) fearful attachment (Bartholomew, 1991) 7. Stabilitas Kelekatan yang Kurang ada studi Belum ditemukan kelekatan dimulai sejak bayi yang longitudinal penelitian yang terhadap untuk memahami mengungkap pengasuhnya stabilitas place stabilitas (caregiver) terbukti attachment. kelekatan anak cukup stabil Ekonomi, pada tempat. sosial, sepanjang waktu politik, lingkungan Penelitian Elder (lifespan), dan gangguan luar Jr (1996) walaupun ada lainnya dapat menunjukkan kemungkinan mengurangi ketidakstabilan seseorang stabilitas place place attachment mengembangkan attachment. pada anak remaja atau (kelas 8-11) yang mengkonstruksikan tinggal di daerah figur kelekatan pedesaan tambahan. Amerika tengah. Sumber: Diolah dari Giuliani (2003); Scannel and Gifford (2014) dan analisis pribadi 6.
Pola/Sifat kelekatan
Celah penelitian and Gifford, 2014).
Kurang ada perhatian dan belum banyak terungkap dalam penelitian place attachment orang dewasa dan anak. Belum ada penelitian yang secara spesifik menginvestigasi kemungkinan hubungan antara place attachment dengan pembentukkan pola/sifat kelekatan (Giuliani, 2003).
Apa yang menentukan stabilitas kelekatan merupakan peluang untuk diteliti lebih lanjut.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
50
Selain prinsip-prinsip yang dianalisis yang telah diuraikan pada Tabel 2.1 sebelumnya, berikut adalah celah penelitian yang diperoleh berdasarkan analisis kategori tambahan hasil kajian literatur seperti yang telah dibahas pada Sub Bab 2.2. dan Sub Bab 2.3 sebelumnya (lihat Tabel 2.2). Tabel 2.2. Persamaan dan perbedaan penelitian place attachment orang dewasa dan anak Kategori
Place attachment orang Place attachment anak dewasa Cara pandang Pendekatan dualistik Pendekatan dualistik tempat antara orang dan tempat. antara orang dan tempat Tempat dipandang Tempat dipandang sebagai entitas fisik atau sebagai objek fisik sebagai entitas sosial (sebagai suatu entitas yang mempengaruhi yang unik dari aspek kelekatan orang pada desain, lokasi, fungsi, tempat. sarana dan prasarananya) atau tempat dipandang Place attachment sebagai tempat yang didominasi oleh dikonstruksikan oleh penelitian yang kekuatan sosial (peer). menyatakan bahwa place attachment itu socially constructed daripada physically constructed. Metode Kuantitatif. Etnografi dan survey penelitian dengan mengobservasi Teknik psikometrik tindakan anak di mengukur tingkat tempat. psiko-sosial melekatnya orang pada tempat. Metodologi penelitian kualitatif yang Mencari prediktor dan berorientasi pada anak stimulator kelekatan. (child-centered). Meneliti apa yang menjadi preferensi anak menggunakan tempat. Konteks Negara Barat. Negara barat. penelitian & Lingkungan urban dan Lingkungan urban dan subjek rural. rural. penelitian Lingkungan rumah Lingkungan rumah tinggal, wilayah dan kota. tinggal. Penduduk menetap, Anak-anak lahir di negara berpindah (mobile) dan Barat. relokasi. Lingkungan yang beresiko tinggi. Disiplin ilmu Human geography, Childhood geography, environmental psychology, childhood sociology, urban sociology, tourism & childhood antropology, recreation environmental psychology, child education & health. Sumber: Analisis pribadi
Celah penelitian Ada potensi untuk mengungkap place attachment pada anak dengan memadang tempat bukan hanya sebagai atribut fisik atau juga bukan sebagai kekuatan sosial, tapi tempat merupakan suatu esensi pengalaman kehadiran manusia di dunia yang utuh.
Celah penelitian untuk mengungkap place attachment melalui tempat yang tersimpan di dalam pikiran/tubuh anak
Celah penelitian untuk konteks penelitian di Jakarta dan anak-anak yang telah mengalami kondisi institusionalisasi dan familialisasi.
Celah penelitian di bidang arsitektur.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
51
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada Tabel 2.2., dijumpai ada empat karakteristik proses psikologis yang membentuk proses kelekatan pada human attachment yang memiliki persamaan, bila disandingkan dengan place attachment orang dewasa dan anak. Empat karakteristik ini menjadi rujukan penelitian saya dalam memahami perilaku kelekatan. Pertama, affectional bonding, yaitu semakin lama pengalaman anak berada di suatu tempat maka akan semakin lekat ia pada tempat tersebut. Kedua, keunikan tempat sebagai attachment figure yang memberikan rasa aman dan nyaman. Ketiga, keinginan untuk kembali ke tempat tertentu dan berusaha dekat dengan tempat tertentu; dan keempat, kesenangan bila berada di tempat tersebut dan kesedihan bila harus meninggalkan atau berpisah dengan tempat tersebut. Empat persamaan karakteristik human attachment dan children place attachment dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Persamaan karakteristik human attachment dan place attachment Sumber: disarikan dari Giuliani (2003); Scannel and Gifford (2014)
Hasil analisis seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2, menghasilkan rangkuman empat potensi celah penelitian sebagai berikut:
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
52
1. Secara dominan, penelitian-penelitian terkait kelekatan anak pada tempat dipandang melalui pendekatan transaksional, yang memandang hubungan anak dan tempat sebagai binari yang tetap: either/or atau this/that atau here/there, yang berasal dari materialitas tempat. Kelekatan dapat berkembang karena aspek perkembangan psikologis anak, atau karena aspek fisik atau sosial budaya tempat yang berkontribusi pada kelekatan. Sedikit sekali penelitian yang memandang tempat sebagai fenomena non-material both/and atau here/now, yang menjadi esensi keutuhan pengalaman kehadiran manusia di dunia (experienced wholeness of people-in-world). Oleh karena itu, ada peluang untuk meneliti place attachment, dengan memandang tempat sebagai fenomena non material, yang bukan binari, tetapi both/and atau here/now. 2. Secara teoritis atau konseptual, apa yang sebenarnya menentukan kehadiran place attachment pada anak belum terungkap dan jelas. Apakah place attachment pada anak hanya merujuk pada ‘love for favorite places’? Tidak ada konsensus apa itu place attachment orang dewasa secara konseptual. ‘Lack of theory’, ‘slow’, ‘stuck’, ‘unclear’ dan menunjukkan sedikit perkembangan bukti empiris (little empirical progress) (Lewicka, 2011). Bahkan, ditekankan oleh Lewicka (2011, p. 224) “Despite hundreds of pages covered with various definitions of place attachment, sense of place, or place identity, and despite the already existing plethora of studies of correlates and predictors of place attachment, we still know very little about the processes through which people become attached to places”. Oleh karenanya, ada celah penelitian terkait secara konseptual apa yang menentukan kehadiran place attachment pada anak dan seperti apa proses terbentuknya kelekatan anak dengan tempat favoritnya. 3. Belum ada penelitian yang secara spesifik menginvestigasi kemungkinan hubungan antara place attachment dengan pembentukkan pola/sifat kelekatan khususnya place attachment anak. Apakah perbedaan individu anak, seperti kondisi institusionalisasi dan familialiasasi, memberikan perbedaan pola/sifat kelekatan? 4. Apa yang menentukan stabilitas kelekatan belum terungkap dan jelas.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
53
2.5. PROPOSISI
TEORITIS:
KEUTUHAN
DIALEKTIKA
ANAK
DAN
TEMPAT Berdasarkan celah penelitian yang telah dijelaskan pada Sub Bab 2.4, saya mengajukan proposisi teoritis yang menjadi argumentasi penelitian saya, yaitu: Penelitian ini ingin menajamkan pemahaman bahwa place attachment sebagai bagian dari ruang daur hidup arsitektural, bukan sebagai konsep binari yang tetap, seperti either/or atau this/that atau here/there yang berasal dari materialitas tempat, yang dominan menjadi pendekatan dalam penelitian-penelitian place attachment sebelumnya. Namun, penelitian ini ingin menajamkan pemahaman place attachment sebagai fenomena non-material yang berasal dari keutuhan anak dan tempat: both/and atau here/now. Artinya, konsep tempat dalam place attachment dipandang sebagai esensi keutuhan pengalaman kehadiran manusia di dunia (experienced wholeness of people-inworld), suatu konsep yang tidak memisahkan orang dan tempat (Heidegger, 1962; Malpas, 1999; Merleau-Ponty, 1962; Relph, 1976; Seamon, 1979, 2012, 2014). Anak dan tempat dipandang sebagai suatu keutuhan (both/and, here/now), selalu saling tukar bertukar atau selalu berdialog: seseorang berdiam di tempat dan tempat berdiam pada seseorang, seseorang tinggal di kota dan kota tinggal di dalam dia. “Experience of a place or space is always a curious exchange: as I settle in a space, the space settles in me. I live in a city and the city dwells in me. We are in a constant exchange with our settings; simultaneously we internalize the setting and project our own bodies, or aspects of our body schemes, onto the setting. Memory and actuality, perception and dream merge” Pallasmaa (2012b, p. 29). Dengan meminjam pendekatan eksistensial fenomenologi, maka penelitian ini mengakui bahwa hubungan anak dan tempat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipecah-pecah (undivided). Tubuh dan tempat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tubuh merupakan “the vehicle of being in the world” (Merleau-Ponty, 1962, p. 94). Kesatuan anak dan tempat dapat diungkapkan melalui pengalaman tubuh anak terhadap tempat, di mana tempat tersimpan di dalam pikiran anak. Tubuh anak akan digunakan sebagai jalan masuk untuk memahami pengalaman spasial anak dan
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
54
tempat, karena tubuh merupakan pusat pengalaman spasial (Merleau-Ponty, 1962). Melalui tubuh anak, formasi spasial subjektif yang diperoleh melalui persepsi selama anak mengalami dan mempraktikkan pengalaman ruangnya di suatu tempat favorit, dapat dipahami. Oleh karena itu, menjadi masuk akal bila pendekatan untuk mengungkap kehadiran place attachment pada anak dilakukan dengan mengandalkan pengalaman tempat yang tersimpan dalam pikiran anak (place in child), dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan yang dilakukan melalui observasi kehadiran tubuh anak di ruang kota favoritnya (child in place), seperti yang umum dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Narasi dan memori yang tersimpan pada tubuh anak, yang merupakan hasil persepsi dan pengalaman tubuhnya di tempat favorit, akan menjadi jalan masuk dalam memahami kelekatan anak pada tempat. Place attachment sebagai fenomena non-material, dapat diungkap melalui tubuh, ingatan dan ucapan anak. Kerangka proposisi teoritis penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9. Keutuhan dialektika anak dan tempat
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
55
2.5.1. PENELITIAN SEJENIS Memandang tempat melalui fenomenologi bukan sesuatu yang baru. Penelitian yang memandang tempat secara fenomenologi telah dipelopori oleh banyak tokoh seperti Tuan (1974, 1977), Relph (1976), Seamon (1979) dan Norberg-Schultz (1980), yang hasilnya menurut Lewicka (2011, pp. 223-224) adalah “the concept of place as bounded, unique, with a clear identity of its own, having a genius loci, being historically rooted, and providing rest rather than movement”. Pada saat digunakan dalam menjelaskan tempat, fenomenologi dapat membantu mengidentifikasi properti yang universal daripada tempat yang dapat memberikan peningkatan apresiasi, makna dan emosi terkait pada tempat (Lewicka, 2011). Penelitian sejenis dalam investigasi hubungan anak dan tempat yang menggunakan pendekatan fenomenologi adalah: 1. Rasmussen and Smidt (2003) dalam tulisannya yang berjudul “Children in the neighborhood: The neighborhood in the children”. Penelitian Rasmussen and Smidt (2003) merupakan penelitian empiris tentang bagaimana anak-anak usia 5-12 tahun, yang mengalami kondisi institusionalisasi di Denmark bercerita mengenai kehidupan kesehariannya di lingkungan rumah tinggal. Penelitiannya dilakukan terhadap anak-anak Denmark yang tinggal di 13 bagian wilayah kota, kabupaten dan desa di Denmark. Rasmussen and Smidt (2003) meggunakan pendekatan dengan teknik photonarrative sebagai suatu pendekatan terbuka untuk mengungkap tempat, orang dan objek yang dianggap berarti dan penting oleh anak-anak. Pendekatan tersebut diinspirasi oleh cara pandang fenomenologi dalam memahami subjek dan anak tanpa memisahkan keduanya, dengan tujuan untuk mengetahui lingkungan sebagai suatu pengalaman yang dirasakan, dipersepsikan dan dialami, yang tersimpan dalam tubuh anak sebagai tactile knowledge dan “a community of the senses”. Melalui photo-narrative, penelitian Rasmussen and Smidt (2003) menemukan bahwa anak memahami lingkungan rumah tinggal lebih jauh daripada sekedar
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
56
fungsi dan lokasi. Anak secara aktif memberi tanda pada lingkungan serta mampu menunjukkan pengetahuan yang detail tentang area di mana mereka tinggal, orang, tempat, objek, binatang, kejadian dan cerita-cerita lingkungan rumah tinggalnya. Penelitiannya menemukan bahwa anak-anak di Denmark, walaupun sudah dalam kondisi institusionalisasi, anak-anak tidak hanya hadir di lingkungan rumah tinggal, tetapi anak-anak Denmark memiliki pengetahuan yang mendetail tentang lingkungan rumah tinggal di dalam dirinya (neighborhood ‘under their skin’). 2. Garrett (2007) dalam disertasinya yang berjudul “A phenomenological investigation of the child-animal bond”. Penelitian
Garrett
(2007)
merupakan
penelitian
yang
bertujuan
untuk
mengungkapkan bagaimana seorang anak dalam kesehariannya dapat membentuk sikap, kepercayaannya dan struktur ikatan terhadap binatang dalam suatu periode tertentu. Pengalaman ikatan anak dan binatang menurutnya dapat membantu seorang anak mengembangkan ikatannya dengan orang lain dan dunianya di kemudian hari secara utuh. Metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi. Fenomenologi digunakan untuk membantu mengungkap bagaimana esensi ikatan tersebut dapat berkembang. Penelitiannya dilakukan pada konteks anak dan binatang di rumah tinggal dan konteks anak dan binatang di kebun binatang. Hasil penelitiannya menemukan bahwa ikatan anak dan binatang di dalam rumah, terbentuk karena sense of touch antara anak dan binatang. Special language yang digunakan dalam berkomunikasi dengan binatang juga terbukti memberikan ikatan anak terhadap binatang. Pendampingan oleh binatang akan memberikan sense of comfort terhadap anak. Ikatan anak dan binatang di kebun binatang dapat terbentuk karena peran pergerakan atau kinesthesia. 3. Raittila (2012) dalam tulisannya yang berjudul “With children in their lived place: Children's action as research data”. Raittila (2012) mengeksplorasi teori dan metode dalam menginvestigasi pengalaman keseharian anak-anak di pusat kota Finlandia. Penelitiannya bertujuan untuk
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
57
mengeksplorasi lingkungan perkotaan dari posisi anak-anak kecil (usia 4-6 tahun). Penelitiannya fokus pada proses relasional anak dan lingkungan urban yang dibuat oleh orang dewasa. Investigasi dilakukan dengan menggunakan ethnographic tours di sekitar kota dengan sekelompok anak-anak (2-4 orang per kelompok). Perbincangan dan tindakan spontan anak menjadi data utama untuk merefleksikan bagaimana anakanak menghidupi tempat dalam tindakan kesehariannya. Hasil penelitiannya menemukan bahwa lived places anak adalah multidimensi. Lived places anak muncul sebagai hasil dari proses transaksional dari kehidupan keseharian anak. Lived places anak merupakan keterkaitan antara material, konsepsi dan interpretasi serta lingkungan sosial dan budaya setempat. Ruang kota dapat menjadi lived places anak karena anak memberikan definisi baru terhadap ruang kota yang dianggap mereka penting, Anak menggunakan ruang kota dengan caranya sendiri, mengaktualisasikan potensi fungsional lingkungan (affordances) yang dianggapnya menarik dan penting buatnya. Anak juga merubah sebagian kecil dari budaya kota dan visi dari ruang kota. Jadi, penelitian yang dilakukan oleh Raittila (2012), Danaher and Briod (2005) dan Rasmussen and Smidt (2003), menjadi menarik dan penting, karena penelitian mereka menemukan bagaimana keseharian anak dalam berelasi dengan lingkungannya (termasuk hewan) dapat diungkap melalui tubuh anak dan tindak yang dilakukannya di suatu lingkungan atau objek tertentu. Namun, penelitian mereka tidak secara khusus menginvestigasi fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat. Hasil penelitian mereka belum sepenuhnya menjawab apa yang menentukan hadirnya kelekatan anak pada suatu tempat. Namun, teknik pengumpulan data seperti foto-naratif yang digunakan dalam penelitian Rasmussen and Smidt (2003), tour dan perbincangan serta tindakan spontan bersama anak yang dilakukan oleh Raittila (2012) dapat menjadi pembelajaran untuk memahami bagaimana anak menghidupi tempat favoritnya dalam tindakan kesehariannya sebagaimana akan dibahas dalam Bab 3.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
58
2.5.2. PERTANYAAN PENELITIAN Dalam penelitian ini, saya ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini: 1. Apa yang menentukan hadirnya fenomena kelekatan anak terhadap ruang kota tertentu di Jakarta? 2. Seperti apa proses terbentuknya kelekatan anak dengan ruang kota tertentu? 3. Apakah perbedaan kondisi institusionalisasi dan familialisasi anak menentukan perbedaan pola/sifat kelekatan anak pada ruang kota tertentu? 4. Apa yang menentukan keberlangsungan kelekatan anak pada ruang kota tertentu?
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini bertujuan untuk memberikan uraian mengenai pendekatan metode penelitian kualitatif dan menguraikan rasional pemilihan metode penelitian kualitatif grounded theory. Bab ini juga mencakup uraian detail mengenai rancangan penelitian, yang meliputi pemilihan partisipan, metode pengumpulan data dan tahapan penelitian. Prosedur terkait dengan analisis dan interpretasi data penelitian serta kredibilitas penelitian akan diuraikan pada akhir Bab ini. 3.1.
PENDEKATAN PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang dipinjam dari eksistensial fenomenologi, yang memandang tempat sebagai both/and atau here/now: esensi keutuhan pengalaman kehadiran manusia di dunia, suatu konsep yang tidak memisahkan orang dan tempat (Heidegger, 1962; Malpas, 1999; Merleau-Ponty, 1962; Relph, 1976; Seamon, 1979, 2012, 2014). Oleh karenanya, anak dan tempat dalam penelitian ini dipandang sebagai suatu keutuhan dan tidak dapat dipisahkan. Tubuh anak akan digunakan sebagai jalan masuk untuk memahami pengalaman spasial anak dan tempat, karena tubuh merupakan pusat pengalaman spasial (Merleau-Ponty, 1962). Pendekatan femonenologi terhadap tempat menurut Chris Jenks (2005, p. 19) “could enable us to gain insight into an existential and generative sense of sociality that emerges from within the consciousness of the child”. Untuk dapat memahami hadirnya kelekatan anak pada tempat dan seperti apa proses yang menentukan anak membentuk kelekatannya dengan tempat tertentu, maka penelitian ini akan fokus pada narasi dan memori yang tersimpan pada tubuh anak, yang merupakan hasil persepsi dan pengalaman tubuhnya di tempat tertentu. Melalui narasi dan memori, peneliti berupaya untuk memperoleh uraian detail dari suara anak-anak sendiri, yang hanya bisa diperoleh dengan berbicara dan mendengar dari anak-anak secara langsung dan intensif untuk memperoleh data yang kaya dan tebal. Oleh karenanya, anak merupakan sumber data
59 Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
60
yang perlu diperoleh melalui pengamatan yang dekat. Peneliti ingin memahami konteks setiap anak menentukan kehadiran place attachment mereka dengan cara fokus pada perspektif anak, makna dan pandangan subjektif mereka terhadap tempat tertentu. Oleh karenanya, metode penelitian kualitatif dianggap sebagai metode penelitian yang tepat untuk penelitian ini. Metode penelitian kuantitatif tidak dipilih, karena pengukuran kuantitatif dan analisis statistik tidak sesuai dengan persoalan yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini. Penelitian ini tidak terkait dengan strategi rancangan-rancangan eksperimen dan survei, tidak terkait dengan pendekatan yang sudah ditentukan sebelumnya, tidak terkait dengan data berupa angka-angka, tidak ditujukan untnuk menguji atau memverifikasi teori, tidak mengandalkan variabel dan tidak menerapkan prosedur-prosedur statistik (Creswell, 2009). Penelitian ini tidak bertujuan untuk mencari prediktor atau stimulator kelekatan dan tidak bertujuan untuk mengukur tingkat prediktor atau stimulator kelekatan anak terhadap tempat tertentu. Tempat sebagai fenomena non-material dalam memahami kelekatan anak pada tempat, memiliki kualitas yang sulit diukur secara kuantitatif karena persepsi dan pengalaman setiap anak sangat bersifat subjektif, unik dan berbeda-beda. 3.2.
METODE PENELITIAN KUALITATIF GROUNDED THEORY
Untuk memilih metode penelitian kualitatif yang tepat, seorang peneliti perlu menentukan asumsi filosofis dan paradigma metode penelitian. Asumsi filosofis merefleksikan pendirian tertentu yang diambil peneliti dalam menentukan metode penelitian kualitatif yang dipilihnya, kemudian pendirian tersebut dipertajam dalam paradigma atau worldview dalam investigasi penelitiannya (Creswell, 2007). Asumsi filosofis ontologis dalam penelitian ini digunakan untuk mencari apa yang menjadi realita kehadiran kelekatan anak pada ruang kota. Realita diperoleh melalui subjektivitas sekelompok anak yang berada dalam kondisi institusionalisasi dan familialisasi di Jakarta. Saya mengandalkan suara anak (emic) sebagai bukti dalam memperoleh berbagai pandangan realita kehadiran kelekatan mereka pada ruang kota. Dalam melaksanakan penelitian, asumsi epistemologis digunakan untuk mengetahui Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
61
bagaimana saya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi terkait kehadiran kelekatan anak pada ruang kota tertentu adalah dengan berusaha sedekat dan selama mungkin dengan anak. Sedekat dan selama mungkin dengan anak bertujuan untuk memahami ‘lapangan’ dengan lebih baik. ‘Lapangan’ dalam arti siapa anaknya, konteks keluarga anak, konteks lingkungan rumah tinggal anak, konteks sosial atau teman-teman anak. Penelitian ini bergantung pada paradigma fenomenologi yang mengandalkan deskripsi pengalaman diri individual (Moustakas, 1994). Penelitian ini bergantung pada narasi dan memori anak dalam mengungkap hadirnya kelekatan suatu ruang kota pada dirinya. Saya percaya bahwa hadirnya kelekatan suatu ruang kota tertentu pada diri setiap anak, merupakan suatu pengalaman subjektif yang dibentuk melalui interaksi anak dengan pihak lain dan melalui keterlibatan waktu dan norma-norma budaya yang beroperasi dalam setiap anak. Menurut Creswell (2007) dalam praktiknya, paradigma ini akan menerapkan pertanyaan terbuka untuk memperoleh sebanyak mungkin apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh seseorang. Pertanyaan terbuka juga ditujukan untuk memperoleh proses interaksi yang terjadi antara individual. Dalam penelitian ini, pertanyaan terbuka ditujukan untuk memperoleh interaksi apa yang terjadi antara anak dengan pihak lain dalam menghadirkan kelekatan ruang kota tertentu dalam dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab secara konseptual apa yang menentukan kehadiran place attachment pada anak dan seperti apa proses yang menentukan anak dapat membentuk kelekatan dengan tempat tertentu. Untuk menjawab pertanyaan penelitian ini, saya menganggap penelitian ini memerlukan penyelidikan yang lebih jauh daripada sekedar deskripsi apa yang dialami anak-anak dan bagaimana mereka mengalaminya. Penyelidikan ini perlu dibawa lebih dalam ke arah penjelasan kerangka teoritis yang dapat menjelaskan pemahaman konseptual dan abstrak atas fenomena kelekatan anak pada tempat. Untuk dapat memahami secara konseptual atau teoritis kehadiran place attachment pada anak, maka teori perlu dilandaskan (grounded) pada data yang diperoleh dari lapangan, terutama tindakan, proses interaksi dan proses sosial yang terjadi dalam suatu kelompok sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif grounded theory, agar dapat menjelaskan pemahaman teoritis atau konseptual dari fenomena kehadiran kelekatan anak pada suatu ruang kota Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
62
favorit. Karena metode penelitian grounded theory bertujuan “to move beyond description and to generate or discover a theory, an abstract analytical schema of a process, action or interaction” (Strauss & Corbin, 1998 dalam Creswell (2007, pp. 6263). Penelitian ini menerapkan metode grounded theory agar dapat membangun tesis-tesis atau teori-teori untuk mengungkapkan kehadiran fenomena kelekatan anak pada ruang pulik kota, khususnya anak yang berada dalam kondisi institusionalisasi dan familialisasi di Jakarta, melalui pendekatan eksistensial fenomenologi yang memandang hubungan anak dan tempat sebagai suatu keutuhan. 3.3.
ETIKA PENELITIAN PADA ANAK
Skanfors (2009) menyampaikan bahwa panduan riset yang ditetapkan oleh Swedish Research Council, mengatur prinsip-prinsip etika terkait dengan: 1) proses penelitian (yaitu perlunya penelitian yang dibangun atas pengetahuan-pengetahuan dan metodologi); 2) perlindungan terhadap individual participants. Perlindungan pada individual partisipan meliputi 4 elemen, yaitu: informasi, persetujuan/izin (consent) dari orang tua; kerahasiaan; dan penggunaan. Skanfors (2009) juga melanjutkan bahwa anak sebagai perwakilan penelitian memiliki kemampuan unutk merefleksikan dan membuat keputusan mengenai hal-hal yang mereka pedulikan dan menyadari bahwa segala tindakan mereka memiliki konsekuensi. Oleh karena itu, perlu ada ‘ethical radar’ dalam melakukan penelitian dengan anak. Ethical radar adalah adanya kesadaran akan berbagai perilaku anak pada saat penelitian dilakukan. Perilaku anak untuk menolak, menjauhkan diri, tidak menjawab, menarik diri, menjauh, dan lain-lain terhadap penelitian yang sedang dijalankan, perlu dicermati secara sensitif oleh peneliti (Farrell, 2005a; MacNaughton & Smith, 2005). Dalam penelitian ini, pada awal penelitian, ada dua puluh tujuh partisipan yang terlibat dalam pertemuan awal wawancara, namun ada dua anak dalam pertemuan wawancara berikutnya tidak pernah lagi hadir dalam pertemuan. Ada perilaku menjauhkan diri, tidak menjawab dan menanggapi dengan baik penelitian yang sedang dilaksanakan. Oleh karena itu, hanya ada dua puluh lima partisipan yang dimasukkan sebagai Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
63
partisipan dalam disertasi ini. Observasi ke lingkungan partisipan juga belum dapat sepenuhnya dilakukan. Masih ada tiga lokasi lagi yang belum dikunjungi. Hal ini dikarenakan perilaku di antara tiga partisipan yang tidak ingin dikunjungi rumahnya karena malu, dan sulit dihubungi. Di pertengahan penelitian, dari dua puluh lima partisipan, hanya ada sembilan belas partisipan yang bersedia untuk melanjutkan partisipasinya dalam penelitian ini. Hingga akhir penelitian, hanya ada tiga belas anak yang secara berkesinambungan selalu hadir dalam setiap pertemuan. Menurut Birbeck and Drummond (2007), seorang peneliti harus menciptakan lingkungan penelitian bagi anak agar merasa aman (baik secara fisik, emosional dan psikologikal), didukung dan dihargai. Lingkungan penelitian harus dibangun menurut cara pandang dan pemikiran anak. Anak harus dianggap sebagai sumber informasi yang kompeten. Saya pada saat masuk ke dalam lingkungan penelitian sebagai seseorang partisipan dewasa harus mampu mengangkat perannya secara sensitif, empati dan peduli. Saya harus membangun hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan dan saling menghormati yang menjunjung tinggi etika pada saat bekerja dengan anak. Oleh karena itu, lingkungan penelitian selama tahap wawancara dilakukan di lingkungan sekolah, setelah jam pelajaran sekolah berakhir. Ruangan yang dipilih adalah ruang diskusi di perpustakaan sekolah dan ruang multimedia. Hal ini dikarenakan hanya ruangan tersebut yang dianggap paling nyaman dan kondusif untuk melakukan penelitian. Karena penelitian ini melibatkan anak sebagai partisipan, maka saya harus mampu membangun kepercayaan dengan anak. Pada awal penelitian, saya memperkenalan diri, menyampaikan tujuan wawancara serta menjelaskan apa yang akan saya lakukan di tahapan selanjutnya. P. M. J. Christensen, Allison (2000) menyampaikan bahwa saya perlu memberikan perhatian pada keikutsertaan praktis dengan budaya lokal komunikasi yang dipakai sehari-hari oleh anak. Ini artinya, memperhatikan aspek bahasa yang dipakai oleh anak, arti konseptual anak dan tindakan anak dalam menggambarkan interaksi sosial. Jadi menurutnya, saya perlu menyimak dan mendengarkan apa yang dikatakan anak- dan memperhatikan
dengan
seksama
cara
anak
berkomunikasi.
Farrell
(2005b)
menyampaikan bahwa penelitian yang melibatkan anak hanya boleh dilakukan bila Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
64
penelitian tersebut penting untuk kesehatan dan kesejahteraan anak, partisipasi sangat diperlukan; metode penelitian sesuai dengan anak; dan kondisi penelitian menyediaan keamanan fisik, emosional dan psikologis. Oleh karena itu, agar partisipan merasa nyaman selama wawancara di sekolah, saya tidak menuntut mereka harus diam dan bersikap seperti pada saat jam pelajaran di kelas. Namun, mereka bisa bebas berbicara dengan teman dan bercanda. Bahasa yang digunakan diusahakan semudah mungkin dimengerti oleh partisipan dan merupakan bahasa komunikasi yang dipakai sehari-hari partisipan. Keterlibatan partisipan dalam penelitian ini adalah sebagai subjek yang sadar bahwa mereka sedang dicari tahu, ada persetujuan untuk diobservasi atau di wawancara, serta bersedia untuk mengambil bagian dalam penelitian. Teknik pengambilan data dilakukan dengan metode yang fleksibel dan beragam, seperti wawancara terstruktur, diari, foto, menggambar atau membuat peta (Danby & Farrell, 2005). 3.4.
RANCANGAN PENELITIAN
Menurut Groat and Wang (2002, p. 11), rancangan penelitian merupakan suatu rencana penelitian untuk membawa peneliti dari pertanyaan penelitian kepada penjelasan pengetahuan yang diperoleh dari penelitian. Rancangan penelitian grounded theory dimulai dari rekrutmen dan sampling partisipan, pengumpulan data, melakukan proses coding (dimulai dari initial coding, focused dan category coding), memoing hingga membangun teori dan penulisan hasil penelitian (Charmaz, 2014). Rancangan penelitian ini merupakan suatu proses penelitian yang tidak linear tetapi merupakan suatu proses yang berulang (iterative). Salah satu karakteristik yang dominan dari grounded theory adalah theoretical sampling. Theoretical sampling berarti mencari data yang relevan agar dapat memunculkan teori (Charmaz, 2014). Tujuan utamanya adalah untuk menguraikan dan mempertajam kategori dalam menghasilkan teori.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
65
“Theoretical sampling is the process of data collection for generating theory whereby the analyst jointly collects, codes, and analyzes his data and decides what data to collect next and where to find them, in order to develop his theory as it emerges. This process of data collection is controlled by the emerging theory, whether substantive or formal. The initial decisions for theoretical collection of data are based only on a general sociological perspective and on a general subject or problem area”Glaser and Strauss (2006, p. 45) Theoretical sampling membawa saya secara terbuka dalam melaksanakan sistematika pemeriksaan dan penajaman analisis. 3.4.1. PARTISIPAN Partisipan dipilih berdasarkan theoretical relevance dan purpose, yaitu: 1. Anak usia 9-12 tahun. 2. Sosial ekonomi menengah. 3. Berada dalam kondisi insitusionalisasi dan familalisasi. Kedua kondisi tersebut diduga mempengaruhi hubungan anak dnengan ruang terbuka publik kota. Menurut P. Christensen and Prout (2005), kedua kondisi tersebut menjauhkan dan melepaskan anak dari ruang terbuka publik kota hingga dapat menghilangkan anak dari ruang terbuka publik kota. 4. Tinggal di Jakarta. 5. Memiliki tempat favorit. Rentang usia subjek penelitian yang akan diteliti adalah anak usia 9-12 tahun (kelas 4 sampai dengan kelas 7). Pertimbangannya adalah karena pada usia ini, ruang daur hidup anak sudah keluar dari ruang microspace (ruang sekitar rumah tinggal) dan mengeksplorasi ruang mesosystem atau neighborhood space (Bronfenbrenner, 1979; Porteous, 1977). Anak di usia ini diasumsikan sudah lebih mandiri dan diberikan kepercayaan oleh orang tuanya untuk bergerak tanpa didampingi, Memiliki kemampuan berpikir secara konkrit (logika, induktif, deduktif, hubungan timbal balik dan mampu memecahkan masalah sederhana) (Piaget & Inhelder, 1956, 1967, 1969, 2000), sehingga dianggap mampu menjawab pertanyaan wawancara dengan baik dan berpartisipasi dalam penelitian dengan baik.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
66
Usia sekolah dasar dipilih sebagai usia subjek penelitian karena: 1. Anak usia sekolah lebih antusias terhadap tempat, mampu mendeskripsikan tempat dengan lebih detail/spesifik, mampu menyampaikan perasaannya terhadap tempat (Tuan, 1977). 2. Merupakan usia, di mana seorang anak menggunakan ruang terbuka secara ekstensif (L. Chawla, 1992). 3. Memiliki kemampuan mendemonstrasikan preferensi mereka terhadap tempat yang mereka gunakan dan kegiatan yang mereka lakukan pada tempat-tempat tersebut (N. F. Aziz & Said, 2012). 4. Memiliki kemampuan spasial untuk berorientasi secara geografi dan memiliki ikatan afeksi yang kuat pada lingkungannya (sense of place) (M. H. Matthews, 1992), seperti: kemampuan mengingat, mengkonseptualisasi, mengabstraksi dan berimajinasi serta kemampuan memahami lingkungan, tidak hanya melalui pengalaman langsung di lingkungan/ruang terbuka tetapi juga melalui foto udara (Gharahbeiglu, 2007), kemampuan menemukan objek-objek yang ditandai di foto udara, kemampuan memahami orientasi, arah dan jarak (Plester et al., 2006), kemampuan menggambar peta dan mengidentifikasi tempat, jalur, landmark, dan fitur-fitur lain yang dianggap mengesankan anak pada peta (Al-Zoabi, 2002). 5. Kurang egosentris dan lebih socio-centric dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang relasi anak terhadap orang lain (N. F. Aziz & Said, 2012). 6. Merupakan usia di mana fondasi kelekatan terhadap tempat sudah diletakkan (Jack, 2012; Sobel, 1993, 2002). Memiliki tempat tertentu, di mana seorang anak lekat, merupakan salah satu kriteria yang penting yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Kriteria ini terkait dengan pendekatan untuk mengungkap kehadiran place attachment pada anak dilakukan dengan lebih fokus pada kehadiran tempat di anak daripada observasi tindakan anak di tempat. Untuk itu, partisipan yang menunjukkan atau memiliki tempat tertentu di mana ia lekat, atau yang dikenal anak-anak dengan sebutan tempat favorit, adalah partisipan yang ingin diteliti.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
67
Secara acak, saya memilih subjek penelitian yang bersekolah di dua sekolah dasar swasta di Jakarta, yaitu Sekolah Ketapang I Jakarta Pusat dan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi di Jakarta Barat. Dasar pemilihan sekolah-sekolah tersebut adalah: 1. Sekolah Ketapang I merupakan sekolah swasta yang membebankan besaran uang sekolah perbulannya sebesar kurang lebih sekitar satu juta rupiah. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa siswa sekolah ini berasal dari kalangan ekonomi menengah. Sekolah tersebut dikenal sangat disiplin dalam pembinaan karakter dan menekankan pentingnya prestasi akademik siswa-siswanya. Jadi dapat diasumsikan, bahwa siswa-siswa yang mungkin menjadi partisipan dalam penelitian ini berasal dari keluarga ekonomi menengah dan mengalami tekanan akademik sekolah yang cukup berat, yang umumnya menjadi alasan bagi orang tua siswa untuk membatasi kebebasan anaknya untuk bermain dan bereksplorasi lingkungan rumah tinggalnya serta menjadwalkan berbagai kelas bimbingan belajar demi anak dapat berprestasi di sekolahnya. 2. Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi di Jakarta Barat merupakan sekolah swasta yang profil siswanya cukup heterogen (suku dan agama), datang dari berbagai ekonomi, mulai dari ekonomi bawah sampai menengah. Iuran bulanan sekolahnya cukup terjangkau, sekitar 150-230 ribu rupiah perbulan untuk siswa non-rusun dan 50-70 ribu rupiah perbulan untuk siswa rusun. Siswa sekolah ini juga berasal tidak hanya dari lingkungan dalam sekolah (kompleks rumah susun) namun juga dari luar lingkungan sekolah. Sekolah tersebut juga dikenal sangat disiplin dalam pembinaan karakter dan menekankan pentingnya prestasi akademik siswa-siswanya. Jadi dapat diasumsikan, bahwa siswa-siswa yang mungkin menjadi partisipan dalam penelitian ini berasal dari keluarga ekonomi menengah dan menengah bawah, serta mengalami tekanan akademik sekolah yang cukup berat. Tekanan akademik yang berat, umumnya menjadi alasan bagi orang tua siswa untuk membatasi kebebasan anaknya untuk bermain dan bereksplorasi lingkungan rumah tinggalnya serta menjadwalkan berbagai kelas bimbingan belajar demi anak dapat berprestasi di sekolahnya.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
68
3. Spasial lingkungan Sekolah Ketapang I merupakan area permukiman yang sangat rapat dan padat. Sedangkan spasial lingkungan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi di Jakarta Barat merupakan area dengan berbagai campuran bentuk permukiman (permukiman rumah susun dan permukiman rumah kavling), dengan rata-rata kepadatan pendukuk sedang. Jadi dapat diasumsikan, siswa-siswa yang mungkin menjadi partisipan dalam penelitian ini berasal dari spasial lingkungan rumah tinggal yang beragam. Proses awal dalam menjaring partisipan dilakukan dengan menyebarkan 409 kuesioner kepada siswa kelas 4-7 di Sekolah Ketapang I dan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Kuesioner awal ini bertujuan untuk memperoleh gambaran terkait dengan kondisi institusionalisasi anak, khususnya di Jakarta. Menurut P. Christensen and Prout (2005), kondisi institusionalisasi merupakan salah satu penyebab semakin sempitnya dan semakin terbatasnya ruang gerak anak, serta menghilangnya anak-anak dari ruang terbuka publik kota. Namun, kehadiran TV, kemudahan aksesibilitas internet, ketrampilan menggunakan teknologi komputer dan permainan digital (digital games), dianggap turut berkontribusi membuat menghilangnya ruang terbuka publik dari kehidupan anak (Freeman & Tranter, 2011). Hasil kuesioner awal tersebut (Lihat Lampiran 1), menunjukkan bahwa, kesibukkan sekolah memberikan kecenderungan aktivitas dan lokasi aktivitas anak berada di dalam ruangan. Hasil kuesioner awal tersebut, juga memperlihatkan kecenderungan berada di tempat institusi lain seperti tempat les, cukup banyak dialami oleh anak-anak dari kedua sekolah. Setelah data awal diperoleh, seleksi pertama dilakukan dengan menyeleksi data anak yang masih aktif menggunakan ruang terbuka tertentu di sekitar lingkungan rumah tinggal dan mengaku memiliki tempat favorit tertentu. Hasilnya menunjukkan bahwa ada 239 anak yang mengaku aktif menggunakan ruang terbuka dan memiliki tempat favorit di sekitar lingkungan rumah tinggal (Lihat Lampiran 2). Seleksi kedua terhadap 239 gambar anak tersebut, dilakukan melalui analisis gambar dengan menggunakan map life criteria12 (Freeman & Vass, 2010). Hasil seleksi menyempit menjadi empat 12
Kriteria penilaian map life criteria, yaitu lokasi rumah, keakuratan dari pengaturan spasial (accuracy of spatial arrangements), representasi skala dan proporsi, fitur dan landmark, hubungan (lingkages), Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
69
puluh delapan responden yang memenuhi kriteria berdasarkan theoretical relevance dan purpose. Selanjutnya, saya mengirim letter of consent termasuk jadwal wawancara mingguan kepada orang tua dari empat puluh delapan responden terpilih, untuk memperoleh izin keterlibatan anak mereka sebagai partisipan dalam penelitian ini. Hasilnya adalah hanya dua puluh lima responden (empat belas anak perempuan dan sebelas belas anak laki-laki) yang bersedia dan diizinkan orang tuanya terlibat dalam penelitian ini. Data partisipan dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Data partisipan
3.4.2. METODE PENGUMPULAN DATA Beberapa penelitian terkait anak dan tempat, menggunakan kombinasi beberapa strategi dan taktik pengumpulan data, seperti mosaic approach (A. Clark, 2010) yaitu wawancara, berjalan bersama anak, mental mapping atau peta untuk mengiluminasi observasi, sudut pandang dan pendapat anak-anak (Chistensen & O'Brien, 2003), dan pengambilan gambar/foto tempat-tempat yang sering dikunjungi mengenai apa yang perspektif, abstraksi dan simbolisasi, expressiveness (bagaimana gambar dapat menunjukkan kehidupan anak dengan lingkungannya), hubungan dengan komunitas, kemandirian dan kemampuan akademik sekolah (Freeman & Vass, 2010). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
70
anak-anak kerjakan, dengan siapa mereka berada, dan apa yang penting dan bermakna untuk mereka (Rasmussen & Smidt, 2003). Beberapa metode yang memakai pendekatan naratif seperti life stories, recollection, children writing stories, keeping diaries dapat digunakan untuk mengeksplorasi refleksivitas anak pada kejadian yang baru terjadi, kejadian sebelumnya dan untuk mengeksplorasi apa imajinasi anak ke depannya, serta untuk mengetahui apa yang dikerjakan, apa yang ia serap dan apa yang ia rasakan, serta bagaimana ia membuat cerita menjadi masuk akal melalui rangkaian atas kejadiankejadian atau pengalaman yang sebelumnya (Chistensen & O'Brien, 2003; Engel, 2005; Rasmussen & Smidt, 2003). Teknik observasi kehadiran anak di suatu tempat bertujuan untuk mengetahui “the children in the neighborhood” (Rasmussen & Smidt, 2003). Behavior mapping dapat digunakan untuk mengungkapkan behavior pattern, spasial pattern dan everyday life pattern (route) (Hester, 2006). Semiotik juga dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi apa yang dimaknai oleh anak-anak dari lingkungan luar secara umum, untuk mengeksplorasi elemen yang unik dan tertentu yang menjadi fitur dari lingkungan luar, dan mengidentifikasi apa dan bagaimana artifak yang ada pada ruang terbuka publik mempengaruhi perilaku dan sikap anak (Titman, 1994). Beberapa metode pengumpulan data perlu dilakukan untuk mengungkapkan tingkatan detail pengalaman sehari-hari anak dalam mengalami ruang terbuka (Trell & Van Hoven, 2010). Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada banyak strategi dan taktik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian anak. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data mengandalkan wawancara dan dikombinasikan dengan beberapa metode lainnya, dengan tujuan untuk memperoleh keutuhan pengalaman anak dan tempat, yang tersimpan dalam tubuh anak sebagai emplaced knowledge (Pia Christensen, 2003). Data dikumpulkan melalui pendekatan child-centered, artinya, memahami fenomena dari sudut pandang anak (James, 2013). Metode pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
71
1. Kuesioner, digunakan pada tahap awal penelitian dengan tujuan untuk menyeleksi partisipan. Tujuan pengisian kuesioner awal ini adalah untuk memperoleh gambaran terkait kondisi insitusionalisasi dan hal lainnya, seperti a. Data pribadi anak: nama, usia, kelas, alamat, jenis kelamin, lama tinggal di alamat tersebut, pekerjaan orang tua, anggota keluarga serumah, dan jumlah saudara kandung. b. Data aktivitas keseharian anak-anak di dalam dan luar rumah, aktivitas apa yang dilakukan, di mana lokasi aktivitas, dengan siapa aktivitas dilakukan, kapan dilakukan dan berapa lama dilakukan. c. Keberadaan waktu untuk beraktivitas di ruang kota sekitar rumah tinggal. d. Data aktivitas keseharian anak di ruang kota sekitar rumah: Bila ada, di mana, dengan siapa, seberapa sering, seberapa lama, dengan apa. Bila tidak ada, mengapa. e. Pengetahuan anak-anak mengenai lingkungan rumah tinggalnya dalam bentuk gambar peta. Anak-anak diminta memberi tanda hati pada tempat-tempat yang selalu dan sering dikunjungi (sebagai tempat favorit) dan memberi tanda fiturfitur lingkungan apa saja yang mereka ketahui ada di tempat tersebut. 2. Analisis gambar menggunakan map life criteria. Gambar anak merupakan salah satu sumber data tambahan yang digunakan dalam menginvestigasi kehadiran ‘tempat di anak’. Menurut Merleau-Ponty (2010, p. 164) dalam Welsh (2013, p. 121): “Childhood drawings represent an expressive grasp of nature that reflects the child’s global perception of the world. A global perception is the general manner in which one relates to the world and arise form one’s vision, history and emotive nature. Thus, what a child sees and what a child draws “are not exactly the same” because they do not separate their “internal vision of things” from the sight of the object”. Jadi dapat disampaikan bahwa deskripsi terkait dengan pengalaman anak-anak dengan suatu tempat dapat diungkapkan melalui gambarnya.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
72
Peta yang baik merepresentasi kesadaran spasial yang baik, yang berhubungan dengan tingginya kebebasan bergerak secara mandiri dan pengalaman hidup yang kaya (Freeman & Vass, 2010). Semua gambar yang dibuat oleh partisipan dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan map life criteria (Freeman & Vass, 2010). Namun seleksi terhadap kemampuan menggambar peta lingkungan tidak dilakukan secara mendetail dan menyeluruh seperti yang ditentukan oleh Freeman & Vass (2010). Kriteria yang dipakai dalam melakukan seleksi partisipan adalah partisipan yang mampu menunjukkan lokasi rumah, dan lokasi/tempat-tempat lainnya, jalan sehingga terlihat hubungan antara rumah dengan lokasi/objek lainnya, simbol-simbol dan fitur-fitur yang digunakan pada gambar serta ekspresi dari gambar. 3. Wawancara merupakan metode pengambilan data yang paling dominan dilakukan dalam penelitian ini. Penelitian ini fokus pada kehadiran tempat di anak daripada observasi tindakan anak di tempat. Oleh karenanya, penelitian ini mengandalkan wawancara sebagai andalan metode pengambilan data. Penelitian ini mengandalkan ucapan (speech) anak-anak yang keluar dari mulutnya pada setiap kegiatan wawancara. Ucapan menjadi data andalan. Menurut Merleau-Ponty (1962, p. 207), “Thus speech, in the speaker, does not translate ready-made thought, but accomplishes it”. Melalui ucapan, pengalaman yang hidup dan bermakna antara anak dan tempat tertentu akan tersampaikan. Sebagai tambahan, penelitian ini juga mengandalkan memori anak terhadap pengalaman berkesan di tempat tertentu. “Remembering is not only a mental event, it is also an act of embodiement and projection. Memories not only hidden in the secret electrochemical process of the brain, they also stored in our skeletons, muscles and skin. All our senses and organs think and remember” Pallasmaa (2012a, p. 29). Wawancara dilakukan secara intensif dan mendalam dengan tujuan untuk memperoleh data yang kaya untuk membangun konsep kehadiran kelekatan anak pada tempat. Wawancara ditujukan kepada partisipan yang sudah diseleksi dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Setiap wawancara direkam dengan voice recorder untuk kemudian dibuat transkrip wawancara secepatnya.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
73
Pertanyaan wawancara dilandaskan pada teori triad of environmental experience yang diperkenalkan oleh Seamon (1979) dalam bukunya yang berjudul “A geography of the lifeworld”. Dalam karyanya tersebut, Seamon (1979) menjelaskan proses seseorang menjadi bodily dan emotionally lekat pada suatu tempat (geographical world), dapat dipahami melalui tiga tema eksistensial pengalaman spasial yaitu pergerakan tubuh (bodily movement), diam (rest) dan perjumpaan (encounter) dengan tempat (Seamon, 1979, p. 131). Lebih lanjut, Seamon (1979, pp. 138-139) menjelaskan bahwa pada saat orang berjumpa dengan tempat melalui proses pergerakan dan diam, tinggal dan pergi, maka proses perjumpaan tersebut akan menciptakan rangkaian kesadaran dari “people-environment separateness” dan “peole-environment mergence”. Rangkaian kesadaran tersebut menciptakan yang “tetradic stucture of environmental experience” (Lihat Gambar 3.1.)
Gambar 3.1. Tetrad of environmental experience Sumber: digambar ulang dari Seamon (1979, p. 138)
Tiga tema eksistensial pengalaman spasial: movement, rest dan encounter (Seamon, 1979) menjadi landasan bagi saya untuk menyusun pertanyaan wawancara, dengan tujuan untuk menginvestigasi proses seorang menjadi bodily dan emotionally lekat pada tempat tertentu. Pertanyaan wawancara disusun secara terstruktur, diawali dengan wawancara untuk memperoleh data terkait dengan sejauh mana partisipan mengenal ruang kota di Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
74
sekitar rumah tinggalnya. Apa persepsi partisipan mengenai ruang kota yang ada di lingkungan rumah tinggal. Seperti apa keseharian partisipan di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah. Seperti apa perilaku orang tua terhadap mereka. Selanjutnya, pertanyaan difokuskan untuk mencari konfirmasi adanya fenomena kehadiran kelekatan anak pada suatu ruang kota dan apa yang menjadi tanda-tanda kehadiran fenomena kelekatan tersebut, serta ingin menegaskan bahwa partisipan memang memiliki kelekatan terhadap tempat tersebut. Wawancara yang mendalam ditujukan untuk memperoleh data yang kaya terkait dengan di mana tempat-tempat yang lekat dengan partisipan, tempat-tempat di mana partisipan merasakan kesenangan berada di sana, dan kesedihan atau kekecewaan bila harus meninggalkan tempat tersebut. Daftar pertanyaan wawancara dapat di lihat pada Lampiran 3. Wawancara dilakukan setiap minggu secara intensif dengan partisipan. Lokasi wawancara didominasi di lingkungan sekolah, khususnya ruang perpustakaan. Terkadang wawancara dilakukan secara berkelompok dan terkadang secara individu. Wawancara juga dilakukan pada saat melakukan kunjungan lapangan ke tempat-tempat yang ditemukan lekat. Selain wawancara dengan partisipan, wawancara juga dilakukan terhadap orang tua partisipan di rumah tinggal partisipan, dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai keseharian partisipan sekaligus untuk melakukan verifikasi data. 4. Guided tour merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan oleh saya bersama-sama dengan partisipan pada saat kunjungan ke tempat-tempat tertentu di mana partisipan mengaku lekat. Pada saat guided tour, peneliti melakukan wawancara dengan partisipan untuk memperoleh gambaran yang hidup dan nyata mengenai pengalaman-pengalaman partisipan dengan tempat tersebut. 5. Catatan aktivitas harian (time-log) merupakan alat yang digunakan oleh saya untuk memperoleh bukti lekat partisipan pada tempat tertenetu. Partisipan diminta untuk mengisi catatan aktivitas harian pada form yang disediakan oleh saya. Setiap minggu pertemuan wawancara, partisipan diminta untuk menceritakan kembali
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
75
pengalamannya dengan tempat tertentu seperti yang ditulisnya dalam catatan harian. Hambatan yang dirasakan saya adalah tidak semua partisipan bersedia dan rajin menulis catatan aktivitas harian. Bagi partisipan yang tidak mencatat, maka pencatatan untuk memperoleh frekuensi dan durasi lekat dan pengalaman lekat dilakukan oleh saya, yang diperoleh melalui wawancara dengan partisipan. 6. Observasi dilakukan saya seorang diri dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik fisik dan kualitas ruang kota di sekitar lingkungan rumah tinggal partisipan. Observasi untuk mengamati dan mengalami pengalaman lekat partisipan sulit untuk dilakukan saya. Hambatan ini dikarenakan saya sulit untuk selalu hadir setiap saat dalam kehidupan keseharian semua partisipan. Observasi dilakukan secara acak setelah saya memperoleh gambaran kebiasaan keseharian partisipan, namun kenyataannya beberapa observasi yang dilakukan secara acak tersebut tidak selalu berhasil merekam pengalaman partisipan secara utuh dan nyata (real time). 7. Foto naratif menjadi salah satu metode pengambilan data yang dapat mengungkapkan bagaimana anak berkontribusi dalam menciptakan pengetahuan lingkungan dan pengalaman hidupnya di suatu tempat (Rasmussen & Smidt, 2003). Foto naratif dilakukan oleh partisipan sendiri dengan kamera yang dipinjamkan oleh saya. Kamera dipinjamkan untuk waktu 1-3 minggu. Partisipan diinstruksikan untuk membawa kamera pada saat mereka beraktivitas di tempat-tempat di mana mereka lekat. Partisipan diminta untuk mendokumentasikan tempat-tempat tersebut dan aktivitas yang mereka lakukan di tempat tersebut. Kemudian, partisipan diminta menceritakan kembali foto-foto tersebut pada saat pertemuan wawancara. Foto naratif dilakukan saya dengan tujuan untuk memperoleh gambaran nyata dan lengkap mengenai apa yang dialami partisipan di ruang kota tertentu, karena saya tidak selalu berhasil merekam apa yang dialami partisipan di ruang kota favoritnya melalui observasi. Pengalaman utuh partisipan secara nyata sulit dilakukan oleh saya karena kesenjangan usia, dan banyaknya serta tersebarnya lokasi ruang kota favorit partisipan. Tidak semua partisipan diminta melakukan metode ini, karena keterbatasan alat foto. Ada empat partisipan yang menjadi sampling untuk Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
76
melakukan foto naratif. Keempat partisipan tersebut tidak menganggap foto naratif sebagai
suatu
pekerjaan
yang
membebankan
mereka.
Partisipan
bahkan
menunjukkan kesenangan mereka dapat mendokumentasikan pengalaman mereka di ruang kota favoritnya dengan kamera yang dipinjamkan. Melalui metode ini, saya berhasil memperoleh beberapa gambaran visual partisipan terkait dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang dialami oleh mereka di ruang kota favoritnya. 3.4.3. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah menjaring partisipan yang familiar (mengetahui lokasi, posisi, objek), beraktivitas (menggunakan dan mengalami) serta memiliki ikatan afeksi dengan tempat tertentu (ada tempat favorit) di lingkungan rumah tinggal. Metode yang dilakukan adalah pertama, dengan menyebarkan kuesioner terkait dengan aktivitas keserharian anak-anak, kemudian menguji kemampuan representasi spasial mereka terhadap lingkungan rumah tinggal. Seleksi dalam dua tahap tersebut bertujuan untuk menjaring partisipan yang memiliki ruang kota favorit di sekitar lingkungan rumah tinggalnya dan memiliki pengetahuan terkait ruang kota favoritnya. Hasil seleksi pertama adalah ada 239 anak (58%) dari total 409 anak yang disurvei, mengaku aktif menggunakan ruang terbuka dan memiliki ruang kota favorit di sekitar lingkungan rumah tinggal. Hasil seleksi kedua terhadap 239 anak, menghasilkan 48 anak (20%) yang memenuhi kriteria berdasarkan theoretical relevance dan purpose. Hasil akhir dari tahap pertama ini adalah dua puluh lima partisipan (empat belas anak perempuan dan sebelas anak laki-laki) yang bersedia dan diizinkan oleh orang tuanya terlibat dalam penelitian ini. Data partisipan dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebelumnya. Tahap kedua bertujuan untuk mengungkapkan di mana ruang kota partisipan lekat (tempat favorit), apa tanda-tanda kelekatan, mengapa mereka lekat dan apa tindak dan perilaku lekat dari dua puluh lima partisipan yang berpartisipasi.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
77
Kedua puluh lima partisipan yang terjaring adalah anak-anak yang familiar (mengetahui lokasi, posisi, objek), berperilaku bolak balik beraktivitas (menggunakan dan mengalami), memiliki tempat favorit tertentu, serta menunjukkan rasa afeksi yang positif dengan tempat tersebut. Metode yang dilakukan adalah melalui wawancara terstruktur seminggu sekali selama kurang lebih tiga bulan (Oktober-Desember 2013) secara berkelompok. Wawancara difokuskan untuk memperoleh narasi terkait pengalaman mereka dan ikatan afeksi mereka terhadap suatu ruang kota. Tujuannya adalah untuk mendalami di mana ruang kota yang mereka sering bolak-balik secara durasi, frekuensi bolak balik ke tempat tersebut, dan mengapa mereka bolak balik ke ruang kota tersebut. Setelah ruang kota tersebut terungkap, pemetaan tempat tersebut dan kunjungan ke lokasi dilakukan dengan dipandu oleh partisipan (guided tour). Wawancara mendalam dan guided tour diharapkan dapat mengungkapkan emic perspective anak-anak terhadap ruang kota dan mengungkapkan fenomena kehadiran kelekatan anak pada ruang kota. Aktivitas sehari-hari dicatat dalam buku oleh anak-anak selama kurun waktu 3 bulan periode wawancara. Namun, tidak semua anak menuliskan pengalaman mereka akan suatu ruang kota tertentu dalam catatan aktivitas harian. Jadwal wawancara dilakukan seminggu sekali setelah jam pulang sekolah selama kurang lebih 30-60 menit. Wawancara direkam menggunkan voice recorder dan kemudian dibuatkan transkrip wawancara paling lambat 2x24 jam setelah wawancara dilakukan. Semua transkrip wawancara disusun berdasarkan kronologis tanggal wawancara. Transkrip wawancara kemudian dicetak, untuk diproses menggunakan teknik menggunting dan menyortir berdasarkan persamaan dan perbedaan kasus kehadiran fenomena kelekatan anak pada tempat, dicari apakah ada pola kasus tindak dan perilaku yang berulang. Kemudian, saya juga mencari mengapa fenomena kelekatan pada satu kasus tidak muncul dan berbeda dengan kasus lain. Jadwal pelaksanaan penelitian tahap satu dan tahap dua dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada tahap ini, data diperoleh melalui ingatan anak-anak akan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yang tidak diketahui dengan faktual (hari, tanggal dan jam) kapan
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
78
sebenarnya peristiwa/pengalaman mereka dengan ruang kota tersebut terjadi. Data diperoleh dengan mengandalkan ingatan mereka yang terekam dalam tubuh mereka. Tahap ketiga bertujuan untuk mengungkapkan apa dan mengapa fenomena lekat anakanak hadir pada suatu ruang kota tertentu dan memperoleh bukti faktual kehadiran fenomena kelekatan. Metode yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara mendalam setiap minggunya selama kurun waktu kurang lebih 4 bulan (Maret s/d Juni 2014) untuk mendalami pengalaman partisipan dan ruang kota tertentu secara nyata dan aktual. Kemudian, partisipan diminta untuk menceritakan pengalaman mereka dengan suatu ruang kota favorit tertentu setiap pertemuan wawancara yang dijadwalkan. Data yang diperoleh tetap mengandalkan memori, namun pada tahapan ini memori yang digunakan adalah memori jangka pendek (yang terjadi sepekan sebelumnya). Metode ini diharapkan dapat memberikan deskripsi pengalaman faktual yang lebih nyata. Untuk membantu mengingat peristiwa pengalaman dengan suatu ruang kota, anak-anak diminta untuk mengisi jadwal aktivitas harian pada buku catatan aktivitas harian yang disediakan. Kemudian, dilakukan observasi ke lokasi rumah tinggal dan ruang kota tertentu ditemani oleh partisipan. Survey ke lokasi masing-masing dilakukan sesuai dengan perjanjian dengan partisipan dan orang tuanya. Observasi ke ruang kota favorit sebagian besar di pandu oleh partisipan dan dilakukan secara mandiri oleh saya. Setiap wawancara direkam dengan alat tape recorder dan kemudian di salin untuk di cetak.
Time log di kompilasi per partisipan, untuk
memperoleh bukti tindak dan perilaku bolak balik ke ruang kota tertentu. Catatan lapangan dilakukan dengan menggunakan kamera digital dan voice recorder. Hasil kunjungan lapangan langsung di catat dalam buku catatan lapangan paling lambat 2x24 jam setelah kunjungan lapangan. Jadwal pelaksanaan penelitian tahap tiga dapat dilihat pada Lampiran 4. Walaupun penelitian ini fokus pada keutuhan dialektika anak dan ruang kota, namun teknik partisipasi observasi seperti dalam penelitian antropologi yang melibatkan
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
79
keterlibatan penuh saya pada kehidupan natural partisipan, tidak dapat dilakukan. Ada keterbatasan saya untuk masuk dan tinggal dalam kehidupan natural partisipan dengan lokasi penelitian yang banyak (multi-sited). Oleh karena itu, teknik wawancara mendalam dalam bentuk pertemuan secara berkala (kurang lebih seminggu sekali) selama kurang lebih 4 bulan dilakukan untuk merekam pengalaman natural mereka dengan tempat favorit. Setiap partisipan diminta untuk mengisi time-log aktivitas sehari-hari untuk membuktikan frekuensi dan durasi bolak balik ke ruang kota tertentu serta menceritakan pengalaman partisipan kepada saya dalam setiap pertemuannya. Pada tahap ini, metode pengumpulan data juga mengandalkan foto naratif terhadap partisipan tertentu. Harapannya adalah dengan berbagai kombinasi pengambilan data, saya dapat memperoleh gambaran yang utuh terkait dengan fenomena yang akan diungkap. Kelekatan anak-anak pada lingkungan fisik dapat diukur dari pemahaman geografi lokal anak-anak (L. Chawla, 1992). Pemahaman geografi hanya hanya dapat diperoleh bila anak memiliki sense terhadap tempat. Sense of place hanya dimungkinkan bila anak hadir secara fisik dan melibatkan pergerakan tubuh di tempat. Berada di tempat melalui pegerakkan tubuh artinya seseorang menjadi sadar akan sensasi kehadirannya pada tempat itu dan merupakan proses utama dalam memperoleh pengetahuan akan tempat (Rasmussen & Smidt, 2003).
Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan, saya
meminta partisipan untuk membuat gambar tempat-tempat di mana partisipan lekat, untuk membuktikan kedalaman sense mereka terhadap suatu ruang kota favorit. Secara singkat, tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
80
Gambar 3.2. Pelaksanaan tahapan penelitian
3.5.
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Tujuan dari pengumpulan data dan prosedur analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman konseptual terkait dengan fenomena place attachment pada anak, yang dibangun berlandasan pada data. Secara metodologi, grounded theory adalah metode penelitian yang menjalankan sistematika tertentu mengenai bagaimana seorang peneliti melakukan analisis terhadap sejumlah data mentah yang banyak dengan melakukan logika coding tertentu dalam memperoleh kategori, tema dan pola keterkaitan antar kategori. Coding merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menentukan apa yang ingin disampaikan oleh data (Charmaz, 2014). Coding berarti membuat kategorisasi data dengan cara memberi nama pendek (label)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
81
yang secara simultan diringkas pada setiap data. Setiap kode menunjukkan bagaimana peneliti memilih, memisahkan dan mensortir data dan memulai proses analisisnya. Melalui coding, peneliti dapat memahami apa yang terjadi dan mulai memahami apa yang dimaksud oleh data (Charmaz, 2014). Kegiatan melakukan coding dalam grounded theory merupakan tulang punggung dalam proses penelitian grounded theory. Proses ini tidak terjadi secara linear namun selalu melibatkan proses yang iterative dan membuat peneliti selalu berinteraksi dengan data. Proses metode penelitian yang iterative mengakibatkan data selalu dianalisis secara berkelanjutan, refleksif, dibandingkan, dan diinterpretasi serta digeneralisai unit-unit makna atau menurut Moustakas (1994) dalam Creswell (2009) sebagai deskripsi esensi. Gambaran metode penelitian grounded theory dapat dilihat pada Gambar 3.3. Proses yang iterative tersebut mengakibatkan saya untuk selalu membuat catatan, memberi tanda (coding) pada setiap data yang diperoleh.
Gambar 3.3. Proses metode penelitian grounded theory Sumber: Digambar ulang dari Charmaz (2014, p. 18)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
82
Dalam penelitian ini, saya berupaya untuk taat kepada prosedur metode penelitian grounded theory yang meliputi proses pengumpulan data, memo-writing, proses coding sampai pada membangun teori melalui constant comparative method untuk menjelaskan konseptual teoritis mengenai kehadiran fenomena place attachment pada anak. Memo writing dilakukan oleh saya setiap selesai melakukan observasi lapangan dalam buku catatan maupun setelah wawancara, dengan tujuan agar saya selalu berinteraksi dan terlibat dengan data dan menganalisisnya sehingga dapat membantu saya untuk mencapai tingkatan abstraksi data. Pada saat saya menuliskan memo, saya berhenti sesaat dan menganalisis setiap gagasan dalam pikirannya mengenai setiap kode dan kategori yang muncul dari data. Catatan dibuat pada buku catatan dan pada transkrip wawancara maupun transkrip catatan lapangan (field notes). Catatan yang ditulis meliputi kondisi atau konteks observasi, kondisi partisipan pada saat wawancara, reaksi partisipan saat wawancara, dan tanggapan saya terhadap hasil observasi atau wawancara. Catatan dibuat untuk mendorong saya menindaklanjuti setiap gagasan yang muncul dari catatan agar dapat ditanyakan ke partisipan pada wawancara berikutnya. Catatan juga berguna bagi saya untuk mengevaluasi hasil wawancara atau observasi dan membandingkannya dengan apa yang sudah diketahui secara teoritis. Dalam penelitian ini, saya melakukan inisial coding melalui word-by-word coding dan line-by-line coding untuk memperoleh pemahaman terkait dengan apa yang menentukan fenomena anak lekat dengan suatu ruang kota. Inisial coding dilakukan terhadap data yang diperoleh dari catatan lapangan dan transkrip wawancara. Dalam inisial coding, saya berupaya untuk mencari apa yang menjadi persamaan dan perbedaan yang terungkap dari fenonema kelekatan (seperti perasaan, tindakan, kejadian, pengalaman, pemikiran, dan lain-lain dari semua partisipan) dan apa yang menjadi persamaan dan perbedaan ruang kota favorit partisipan (seperti apa karakteristik fisik tempat, kualitas tempat, dan lain-lain). Menurut Ryan and Bernard (2003), yang perlu dicari dari data adalah: repetisi, tipologi atau kategori, metafor dan analogi, transisi, persamaan dan perbedaan, hubungan bahasa dan data yang hilang dan data yang terkait dengan teori.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
83
Setiap tema atau coding yang muncul kemudian diorganisasi dengan menggunakan software kualitatif data analisis NVivo 10. Software NVivo memampukan saya untuk memperoleh gambaran visual tema dan kategori yang muncul dari wawancara dan observasi. Software tersebut juga memampukan saya untuk membandingkan satu kategori dengan kategori lainnya. Perbandingan tersebut membantu saya dalam menindaklanjuti kategori tersebut, hingga mengembangkan kategori baru. Saya berupaya melakukan constant comparative method. Saya berupaya untuk selalu membandingkan setiap tema atau kategori yang muncul dari satu partisipan untuk kemudian dibandingkan dengan partisipan lainnya. Metode perbandingan secara konstan ini membantu saya untuk memperoleh pemahaman mengapa ruang kota tertentu menjadi sangat bermakna bagi partisipan sehingga mereka selalu bolak balik ke tempat tersebut. Melalui proses melakukan inisial coding, saya memperoleh focus coding. Misalnya, pada penelitian ini, tema terkait dengan ‘kebiasaan’ sering muncul dari data. Tema ‘kebiasaan’ ini kemudian direfleksikan dalam catatan dan diperiksa bagaimana dan sejauh mana ‘kebiasaan’ ini muncul dan sesuai dengan data partisipan lainnya. Focus coding lainnya yang muncul terkait dengan waktu, emosi, tindakan, ekspresi, dan lain-lain. Selanjutnya saya menyortir, mensintesa dan mengorganisasi sejumlah data yang banyak dan menyusunnya kembali sehingga saya dapat memperoleh kejelasan mengenai apa yang menentukan fenomena place attachment hadir pada partisipan, baik yang menjadi persamaan maupun perbedaan. Software NVivo 10 membantu saya mengorganisasi kategori, mememodifikasi kategori dan menentukan relasi setiap kategori. Dalam tahap ini, saya dihadapkan pada banyak tantangan bagaimana setiap proses coding dapat membawa saya pada konstruksi teoritis atau konseptual dari fenomena place attachment pada anak. Metode perbandingan terus menerus membawa saya pada kategori-kategori utama yang menentukan kehadiran kelekatan anak-anak pada ruang kota tertentu. Saya dihadapkan tidak hanya membandingkan satu kategori pada suatu data dengan data lain, namun saya juga selalu dihadapkan pada proses membandingkan kategori utama yang muncul
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
84
dengan teori. Proses perbandingan itu, membawa saya untuk mencari arah teori mana yang ingin ditunjukkan oleh data. Penelitian ini merupakan penelitian yang mengandalkan ucapan sebagai sumber data teks utama. Ucapan merupakan ekspresi yang paling dominan yang perlu diinterpretasi agar dapat memahami fenomena yang muncul dari data. Oleh karena itu, hermenetik sebagai the art of interpretation (Schmidt, 2006) diperlukan untuk menginterpretasi ucapan. Setiap saya menjalankan prosedur metode penelitian grounded theory coding, saya melakukan interpretasi data melalui hermenetik, hingga membangun teori yang dapat menjelaskan konseptual teoritis mengenai kehadiran fenomena place attachment pada anak. Dalam melakukan proses interpretasi, saya berupaya untuk menginterpretasi apa yang diucapkan oleh partisipan, apa yang sedang dimaksud oleh partisipan atau apa yang sedang digambar partisipan. Terutama karena perbedaan usia yang sangat jauh antara saya dan partisipan, maka dibutuhkan ketrampilan saya dalam memahami bahasa yang diucapkan oleh anak, agar dapat memahami makna tersembunyi dari setiap kata atau kalimat yang terucap. Kegiatan ‘understanding’ menurut Heidegger, “an essence of existence” hanya bisa ditangkap dan dianalisis, bila saya dalam kondisi “being-situated” (Baumann, 1978), artinya dalam kondisi berada bersama-sama dengan partisipan, dengan tempat favoritnya, dengan keluarganya. Proses interpretasi juga dilakukan bertingkat, pertama memahami setiap kata atau kalimat yang diucapkan oleh partisipan dan kedua mendalami makna tersembunyi dari setiap kata atau kalimat yang terucap. Dalam penelitian ini, analisis mengandalkan proses coding penelitian grounded theory dan interpretasi mengandalkan hermenetik. Analisis dan interpretasi berjalan bersamaan dan merupakan proses yang iterative. 3.6.
KREDIBILITAS PENELITIAN
Menurut Charmaz (2014), kekuatan utama yang dimiliki oleh metode penelitian grounded theory adalah kemampuan grounded theory untuk menghasilkan teori dari data itu sendiri yang dilakukan melalui teknik pengumpulan dan analisis data yang sistematis namun fleksibel. Grounded theory dimulai dengan induktif data, strategi yang Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
85
iterative dan analisis yang menggunakan metode perbandingan sehingga membuat saya selalu berinteraksi dan selalu terlibat dengan data dan analisisnya, serta kemampuan mengendalikan data dan analisisnya dengan fokus tapi juga fleksibel. Kulminasi dari metode penelitian grounded theory adalah pemahaman abstrak teoritis atas pengalaman suatu fenomena yang diteliti. Kredibilitas penelitian kualitatif dihadapkan pada permasalahan terkait dengan reliabilitas dan validitas, bias dan subjektifitas (LeCompte, 1987; LeCompte & Goetz, 1982). Untuk menghadapi semua permasalahan tersebut, saya harus mengidentifikasi semua sumber bias dan kontaminasi yang mungkin mengancam kredibilitas penelitian saya sehingga sebagai seorang peneliti, saya perlu secara yakin dan akurat menerjemahkan cerita kehidupan partisipan, dalam hal ini pengalaman anak di ruang terbuka. Saya selalu dihadapkan pada dikotomi pilihan antara data subjektif atau objektif, proses analisis data yang otentik atau mengulang, antara representative samples atau purposive sample, antara generalisasi atau keunikan hasil. LeCompte and Goetz (1982, p. 55) menegaskan bahwa tidak mungkin sebuah penelitian menghasilkan validitas dan reliabilitas yang absolut. Yang dapat dilakukan oleh saya adalah menggunakan berbagai strategi untuk mengurangi ancaman terhadap reliabilitas dan validitas. Seorang peneliti menurutnya harus multimodality. Dalam penelitian ini, saya menerapkan beberapa strategi untuk mengurangi ancaman terhadap kredibilitas penelitian (Creswell, 2007), yaitu: 1. Keterlibatan yang intensif dan panjang dengan partisipan. Keterlibatan yang intensif dan cukup panjang membantu saya dalam membangun kedekatan dengan partisipan, sehingga partisipan merasakan kenyamanan dan kepercayaan dengan saya pada setiap pertemuan wawancara dan observasi. Keterlibatan dengan partisipan dibangun selama satu siklus tahun akademik bertujuan untuk memperoleh kekayaan dan kedalaman data. Keterlibatan yang intensif dan cukup panjang, membawa saya untuk dapat mempelajari dan memahami pribadi partisipan, lingkungan rumah tinggal dan lingkungan keluarga partisipan dengan lebih baik. Keterlibatan tidak hanya pada saat jadwal wawancara.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
86
Keterlibatan juga dilakukan di luar jadwal wawancara, misalnya melalui chat di media sosial. Hasil dari keterlibatan yang intensif dan cukup panjang, yang diperoleh dari bulan Oktober 2013 s/d Juni 2014, terkumpul tiga puluh delapan transkrip wawancara dan enam belas catatan lapangan. Data-data tersebut dirasakan cukup untuk memberikan suatu gambaran pengalaman hidup partisipan secara utuh dalam satu siklus tahun akademik sekolah. Wawancara yang intensif, catatan lapangan yang dikumpulkan mencakup data keseharian partisipan pada saat kegiatan sekolah berjalan, pada saat akhir pekan, pada saat libur nasional dan pada saat libur panjang sekolah. Oleh karenanya, saya cukup yakin bahwa konsep yang dibangun dari data cukup untuk memformulasikan pemahaman konseptual terkait place attachment pada anak. 2. Triangulasi data. Saya memanfaatkan berbagai sumber data dan beberapa metode untuk memperoleh informasi tentang pengalaman ‘tempat di anak’. Saya juga memanfaatkan orang tua untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai keseharian partisipan dan verifikasi pengalaman partisipan dengan suatu tempat seperti yang diceritakan atau ditulis dalam buku aktivitas sehari-hari yang disediakan. 3. Evaluasi berkelompok (peer review). Aktivitas wawancara yang dilakukan secara kelompok (peer) menjadi salah satu strategi untuk melakukan verifikasi data dan memperoleh data yang lebih kaya. Pengalaman satu partisipan dapat ditanyakan ke partisipan lainnya pada saat wawancara. Tujuannya adalah untuk memperoleh jawaban yang lebih kaya terhadap pertanyaan yang diajukan dan sekaligus untuk memperoleh gambaran dari sudut pandang partisipan lainnya terhadap suatu tema yang ingin diteliti. 4. Perbandingan data yang dilakukan secara terus menerus. Perbandingan data tidak hanya dilakukan oleh saya sebagai bagian dari prosedur metode penelitian grounded theory yang harus dilakukan. Namun, perbandingan data juga dilakukan oleh saya terhadap jawaban yang diberikan oleh satu partisipan dibandingkan dengan jawaban yang diberikan partisipan lainnya dalam satu Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
87
kesempatan wawancara yang sama maupun kesempatan wawancara yang berbeda. Saya memanfaatkan jawaban satu partisipan untuk memperoleh pertanyaan terhadap partisipan lainnya. Jawaban yang bersifat negatif yang diperoleh dari satu partisipan kemudian diperiksa terhadap partisipan lainnya. Perbandingan data juga dilakukan terhadap satu partisipan terus menerus. Hal ini bertujuan untuk memperoleh keyakinan terhadap konsistensi jawaban yang diberikan partisipan terhadap satu isu yang ditanyakan. 5. Deskripsi yang kaya dan tebal (rich and thick descriptions) Penelitian ini berupaya untuk memperoleh data yang kaya dan tebal. Upaya ini dilakukan dengan menerapkan beberapa metode pengambilan data (seperti kuesioner, wawancara mendalam dan wawancara terbuka, guided tour, observasi, analisis gambar, foto-naratif dan catatan aktivitas harian) dan jangka waktu keterlibatan saya dengan partisipan selama satu siklus tahun akademik. Strategi ini tidak hanya diterapkan dalam metode penelitian, namun juga dalam menuliskan hasil laporan penelitian. Saya berupaya mengutip ulang ‘suara’ anak secara detail agar pembaca dapat memahami bukti (evidence) yang berasal dari ‘suara’ anak tersebut, sehingga pembaca dapat membentuk penilaiannya terhadap interpretasi yang dilakukan oleh saya.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
BAB 4 GAMBARAN KESEHARIAN PARTISIPAN
Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran keseharian partisipan terkait dengan konteks lingkungan rumah tinggal partisipan, gambaran kondisi institusionalisasi dan familialisasi partisipan. Kemudian, bab ini juga memberikan gambaran terkait dengan tempat-tempat tertentu di mana mereka lekat. Pemaparan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kontekstualisasi partisipan yang diinvestigasi dalam penelitian ini. 4.1.
GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH TINGGAL PARTISIPAN
Kedua puluh lima partisipan tinggal relatif tidak terlalu jauh dari sekolah. Secara umum, partisipan tinggal tidak terlalu jauh dari sekolah. Sekitar 5-15 menit berjalan kaki atau 15-30 menit berkendaraan. Lokasi rumah tinggal partisipan terhadap letak masingmasing sekolah dapat dilihat pada Lampiran 5. Ada dua tipe karakteristik lingkungan rumah tinggal partisipan, yaitu: 1. Multi family housing Ada sepuluh partisipan (partisipan #9 s/d #18 dari Tabel 3.1.) tinggal di rumah susun (Lihat Gambar 4.1 dan Gambar 4.2).
88 Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
89
Gambar 4.1. Kompleks rumah susun Cinta Kasih
Gambar 4.2. Kompleks rumah susun Bumi Cengkareng Indah (BCI)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
90
Kompleks rumah susun tertutup (gated), memilik batas yang jelas, ada pagar, dapat diakses dari 1-3 pintu masuk yang dijaga oleh petugas keamanan. Fasilitas rumah susun cukup lengkap, seperti taman lingkungan, lapangan, fasilitas komersial (seperti warung, bengkel, dan lain-lain), pasar, tempat ibadah, dan lain-lain (Lihat Gambar 4.3.).
Gambar 4.3. Fasilitas ruang terbuka lingkungan rumah susun
2. Single-family housing Ada lima belas partisipan yang tinggal dengan keluarganya di rumah deret. Dari lima belas partisipan ini, ada sembilan partisipan (partisipan #1 s/d #8 dan #21 dari Tabel 3.1.) yang tinggal di permukiman yang sangat padat. Bersifat terbuka, tidak memiliki pagar dan batas yang jelas. Dua sampel foto udara kepadatan permukiman tersebut dapat di lihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
91
Gambar 4.4. Permukiman padat partisipan #1 (Hani)
Gambar 4.5. Permukiman padat partisipan #2 (David) dan #3 (Dona)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
92
Berdasarkan Gambar 4.4. dan 4.5. tersebut, dapat dilihat bahwa hampir tidak ada ruang terbuka hijau atau taman lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk beraktivitas. Satu-satunya ruang terbuka hanyalah jalan (lihat Gambar 4.6.). Tidak ada pengawasan dan penjagaan khusus
pada akses-akses tertentu pada
lingkungannya.
Gambar 4.6. Jalan sebagai satu-satunya ruang terbuka publik di lingkungan permukiman padat
Sisanya, enam partisipan (#19-20 dan #22-25 dari Tabel 3.1.) tinggal di lingkungan permukiman yang kurang padat (renggang). Bersifat tertutup, dengan batas yang jelas dan pagar yang melingkupi kompleks rumah tinggal. Hanya dapat diakses dari 1 pintu, dengan pengawasan dan penjagaan pihak keamanan lingkungan. Dua sampel foto udara kepadatan permukiman tersebut dapat di lihat pada Gambar 4.7 dan Gambar 4.8.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
93
Gambar 4.7. Permukiman kurang padat dan tertutup partisipan #24 (Kris)
Gambar 4.8. Permukiman kurang padat dan tertutup partisipan #25 (Kevin)
Berdasarkan Gambar 4.7. dan Gambar 4.8, dapat dilihat bahwa ada fasilitas lingkungan perumahan, seperti taman lingkungan yang dapat digunakan untuk beraktivitas. Lingkungan rumah tinggal juga memiliki cukup banyak ruang terbuka hijau yang berpeluang untuk digunakan, walaupun kondisi ruang terbuka hijau tersebut tidak selalu dalam perawatan dan pengelolaan yang baik (Lihat Gambar 4.9.).
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
94
Gambar 4.9. Potensi ruang terbuka hijau di lingkungan permukiman renggang
4.2.
GAMBARAN INSTITUSIONALISASI PARTISIPAN
Institusionalisasi merupakan suatu keadaan di mana keseharian anak lebih banyak dihabiskan di dalam suatu institusi, seperti sekolah maupun tempat-tempat aktivitas lainnya di luar sekolah (P. Christensen & Prout, 2005). Semua partisipan yang berpartisipasi
dalam
penelitian
ini
menunjukkan
kondisi
insitusionalisasi.
Intistitusionalisasi telah menjadi kecenderungan yang sekuler (Zeiher, 2009) dan dialami oleh semua partisipan. Gambaran institusionalisasi partisipan mempengaruhi dua hal, yaitu waktu dan tempat. 4.2.1. WAKTU Strukturisasi waktu merupakan isu yang terkait dengan proses institusionalisasi (Zeiher, 2009). Data keseharian aktivitas partisipan memberikan informasi bahwa setiap partisipan memiliki waktu yang terstruktur sehari-harinya, termasuk setiap akhir pekan. Waktu yang terstruktur ini, terutama berkaitan dengan waktu belajar, baik di sekolah, rumah dan tempat les maupun di rumah teman. Strukturisasi waktu ini merupakan cara orang tua mengorganisasi praktik keseharian partisipan di sekolah dan institusi lainnya
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
95
yang serupa, dalam kasus ini adalah tempat les. Waktu menjadi cara yang diperlukan untuk mengkoordinasi setiap aktivitas. Setiap strukturisasi waktu terutama belajar menjadi prioritas, dibandingkan waktu untuk melakukan aktivitas lainnya. Sehari-harinya, partisipan bangun rata-rata pukul 5 pagi, kemudian sikat gigi, mandi, berpakaian seragam (termasuk mempersiapkan atribut seragam, seperti kuncir, pita, dasi, topi, dan lain-lain), sarapan dan kemudian berangkat ke sekolah dengan diantar memakai motor atau mobil oleh orang tuanya, terutama bagi partisipan yang rumahnya cukup jauh dari sekolah. Sedangkan bagi partisipan yang tinggal di kompleks rumah susun dekat sekolah, mereka umumnya berjalan kaki ke sekolah. Sekolah dimulai pukul 6.30 pagi. Kegiatan sekolah baru selesai sekitar pukul 12.30 atau 13.30. Bila ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, maka partisipan akan tinggal lebih lama 1-2 jam di sekolah. Sebagian besar partisipan, dijemput oleh orang tua atau anggota keluarga dengan menggunakan motor atau mobil. Kecuali partisipan yang tinggal di kompleks rumah susun dekat sekolah, mereka pulang dengan berjalan kaki. Setelah pulang sekolah, mereka akan tiba dirumah sekitar pukul 2 atau 3 siang. Beberapa partisipan, akan langsung menuju tempat institusi belajar di luar sekolah seperti tempat bimbingan belajar. Bagi partisipan yang tidak langsung pergi belajar di tempat bimbingan belajar, mereka umumnya langsung pulang kerumah untuk makan siang dan beristirahat sejenak (tidur siang) dan kemudian berangkat les di tempat bimbingan belajar sekitar jam 4-6 sore. Sekitar jam 4-6 sore, bagi partisipan yang tidak mengikuti kegiatan belajar tambahan di tempat bimbingan belajar, mereka memiliki waktu untuk beraktivitas di luar rumah. Seperti bersepeda, main bola, bersosialisasi dengan teman di lingkungan rumah tinggal dan jajan di warung dekat rumah. Kalaupun aktivitas di luar rumah tidak dilakukan atau tidak diizinkan oleh orang tua, mereka menghabiskan waktunya di dalam rumah dengan menonton TV, tidur siang, main game di komputer, atau handphone, belajar dan membuat pekerjaan rumah. Setelah magrib (sekitar jam 6 sore), pada umumnya partisipan sudah berada di dalam untuk rumah, melakukan kegiatan mandi, makan malam, menyelesaikan pekerjaan rumah, belajar, mempersiapkan buku-buku untuk sekolah keesokan harinya. Bila masih
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
96
ada waktu sebelum jam tidur, sekitar jam 9 atau 10 malam, mereka juga menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik, menonton TV atau main game di komputer/HP, bermain dengan saudara mereka yang tinggal serumah, dan berbincang dengan keluarga. Ada juga sebagian dari partisipan yang mengikut bimbingan belajar di luar rumah setelah jam makan malam, yaitu sekitar jam 6-8. Setelahnya, mereka langsung pulang ke rumah. Jadwal keseharian partisipan selama hari sekolah dapat dilihat pada Lampiran 6. Kondisi insitusionalisasi yang dialami partisipan, dipandang alami/natural oleh partisipan. Berikut adalah narasi yang diceritakan oleh beberapa partisipan terkait dengan keseharian mereka selama hari-hari Sekolah: “Pulang sekolah makan mandi trus les mandarin jam 3-4. Setelah itu les privat di rumah sampai jam 6.30an. nonton TV sambil makan. Keluar kalau Sabtu Minggu aja. Pagi sambil olah raga pagi jam 5.30an lari pagi sama temen sampai jam 8.30an baru sampai rumah. Kadang-kadang les Bahasa Inggris jam 10-12. Kadang-kadang setelah itu diajak mama jalan-jalan” (Ricky) “Pagi kira-kira pas pagi-pagi bangun jam 4 pagi habis itu langsung berangkat sekolah. Pulang selesai sekolah 13.35. Kira-kira sampai rumah jam 4-an. Langsung mandi, makan kira-kira makan waktu sejaman lebih. Termasuk ganti baju sekalian gitu. Setelah itu kadang-kadang main laptop dan main keluar. Main keluar sih..gak nentu sama temen. Kalau lagi rame-rame main bola. Kalau lagi kira-kira lima orang main petak umpet. Kalau berdua-bertiga main ke sawah. Habis itu selesai kalau udah denger suara orang solat langsung pulang lari ke rumah. Mandi selesai. Langsung belajar. Kata mama setiap hari belajar. Batas waktu sejam jam 6-7. Habis itu kalau aku lagi belajar, cici pulang dari kampus. Habis itu nonton sama cici dan koko. Kalau di TV gak ada film bagus, main-main, aku yang dikroyok sama cici koko. Jam 8an papa pulang, becandabecanda. Kadang kalau papa ada kerjaan bantu papa kerja, bahkan satu keluarga bantu papa kerja. Kalau udah kerja kadang sampai jam 10, 11 paling lama jam 12. Tidur “. (Kevin) “Biasanya kalau Senin-Jumat, bangun jam 5, sholat subuh, mandi siap-siap berangkat. Dirumah ngak makan dulu, hanya minum susu. Kemudian pulang kayak biasa, kemudian main dulu di luar..minum-minum sama temen. Kemudian pulang rumah Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
97
biasanya nonton TV mainan sama adik. Kalau lagi kecapean sering tidur. Biasanya bangun jam 5. Trus siap-siap berangkat les. Kemudian di les sampai malam jam 10 kalau ada ulangan semesteran..bisa pulang jam 11-jam 12an. Kalau hari Sabtu Minggu, kegiatan sehari-hari buat main-main“. (Lala) “Sama kayak Lala. Bangun jam 5 sholat, mandi, masak sendiri buat bekal sekolah. Berangkat bareng temen-temen. Istirahat pertama baru makan. Pulangnya suka ngumpul-ngumpul bentar sama temen. Pulang ke rumah makan jagain adik sambil main di lapangan. Habis itu bantuin ibu dirumah, nyapu ngepel. Sore ibu masak, saya jagain adik lagi di bawah. Kalau udah azan pulang, baru solat lagi ngaji dan belajar”. (Sara) “Pertama kan bangun jam 5 siap-siap dari rumah sampai jam 5.30 trus jemputan dateng. Sampai sekolah jam 6an. Kemudian setelah sekolah sampai rumah jam 3-5 karena nunggu giliran jemputan. Sampe rumah mandi, main bola sama temen. Liat kondisi, kalau ada RT kita main di jalan. Katanya ngak boleh bu…waktu itu bawa golok. Kalau gak ada RT, mainnya di lapangan. Sampai magrib, pulang ke rumah. Habis mandi nunggu temen jemput untuk les. Sampai rumah jam 8 mandi lagi karena habis main bola kotor”. (Moris) Menurut ibunya, keseharian Ema lebih banyak di rumah. Sehari-harinya, Ema selalu menunggu ibu dan ayahnya pulang kerja baru bisa pulang ke rumah. Ibunya bekerja sebagai guru perpustakaan di sekolah Ketapang dan ayahnya bekerja sebagai karyawan di Yayasan Pendidikan Ketapang. Jadi setelah jam sekolah, Ema dan adiknya [Elisa] akan berada di sekolah sampai sore, mengerjakan pekerjaan rumah dan belajar sambil menunggu jam pulang kantor ibu dan ayahnya. Sesampai di rumah biasanya sudah sore sekitar jam 5, kemudian ia akan mandi makan, dan melakukan kegiatan lainnya di rumah seperti menggambar [Ema dan adiknya suka menggambar]. Mereka sekeluarga baru beberapa bulan tinggal di sana. Menurut ibunya, Ema tidak begitu banyak teman sebaya di lingkungan rumahnya. Ada tetangga sebelah yang sebaya tapi jarang bertemu. Jadi sehari- harinya Ema lebih banyak dirumah, main uno, main monopoli dan gambar dan Ema suka nonton ‘running man’ di Youtube. (Catatan lapangan 16 Des 2013) “Lesnya malam sih..tiap hari. Semua pelajaran. David ke tempat lesnya. Jam 7 sampe setengah 9” (David)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
98
“Kalau pulang sekolah, suka ke tempat les..tapi cuman seminggu sekali…Les Inggris tiap Kamis, Bu”. (Dona) “Les..seminggu 5 kali”. (Elina) “Ya..les..bimbel. Lesnya bareng. Bimbel di Blok Aster BCI…dari jam 2 sampai selesai atau sampai bisa” (Rina, Iksan dan Fiko) “Les bimbel…Senin-Jumat jam 5-7 malem”. (Fani) “..les tiap malem pasti. Les di luar rumah. Perginya sama temen. Ada 1 temen les juga temen main bola” (Moris) “Nanti setelah pulang sekolah pasti nge-les” (Siska)
Pada akhir pekan, partisipan bangun lebih siang dibandingkan hari biasa, seperti yang diceritakan oleh salah satu partisipan berikut ini: “Bangun tidur juga siang..jam 10. Habis itu siangnya aku selalu turun ke blok itu kalau gak di lapangan lah…kalau gak main di blok main di lapangan. Main sepeda”. (Sara)
Setelahnya mereka menghabiskan waktu di rumah dengan menonton TV, melakukan hobi mereka (seperti menggambar), bermain game, mendengarkan musik, membaca buku, membantu orang tua menjaga adik, dan lain-lain. Mereka menghabiskan waktu terbanyak dengan hanya berada di dalam rumah tinggal dan tempat rekreasi seperti mal dan restoran. Waktu beraktivitas di luar rumah seperti bersepeda, bermain bola, bersosialisasi ataupun berolah raga dilakukan pada pagi dan sore hari. Sebagian partisipan masih mengikuti pelajaran tambahan di luar sekolah (bimbingan belajar) pada hari Sabtu. Pada hari Minggu pagi, sebagian partisipan rutin mengikuti kegiatan ibadah bersama orang tuanya. Setelahnya, mereka diajak berekreasi oleh orang tuanya dengan makan siang di rumah makan, kemudian dilanjutkan dengan berekreasi di mal sampai sore harinya. Sepulangnya dari mal atau tempat rekreasi lainnya, mereka tidak lagi keluar rumah. Mereka melakukan aktvitasnya hanya di dalam rumah. Jadwal keseharian partisipan selama akhir pekan dapat dilihat pada Lampiran 6.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
99
4.2.2.
TEMPAT
Pada umumnya, tempat di mana semua aktivitas telah diatur dan terstruktur waktunya, adalah tetap (fix). Kondisi insitusionalisasi mengikat partisipan pada ‘intitutionalized triangle’ (Rasmussen, 2004), yaitu rumah, sekolah dan tempat les (Gambar 4.10.). Semua tempat tersebut merupakan tempat yang terlindungi. Setiap lokasi dari aktivitas merupakan tempat-tempat dirancang oleh orang dewasa untuk digunakan oleh anakanak.
Gambar 4.10. Triangle of institutionalized arena
Lokasi tempat bimbingan belajar umumnya tidak jauh dari rumah tinggal. Semua partisipan yang mengikuti bimbingan belajar di tempat les, pada umumnya berjalan kali atau bersepeda sendiri maupun bersama dengan teman. Semua partisipan dalam penelitian ini mengikuti kegiatan bimbingan belajar yang diatur oleh orang tuanya demi peningkatan prestasi akademik mereka di sekolah. Waktu pergerakan antara satu tempat institusi ke tempat institusi lainnya, telah memiliki jadwal yang ditetapkan oleh orang tuanya dan dianggap sebagai sesuatu yang alami oleh partisipan. Tidak ada partisipan yang mengikuti aktivitas seni atau olah raga yang terjadwal tetap dan dibiayai oleh orang tuanya. 4.3.
GAMBARAN FAMILIALISASI PARTISIPAN
Familialisasi merupakan suatu keadaan di mana orang tua menempatkan dirinya sebagai penanggungjawab atas kesejahteraan, perlindungan dan perilaku anak mereka sehingga mereka kemudian menempatkan anak pada lingkungan rumah yang dianggap aman (James & James, 2012, p. 51). Keadaan tersebut mengakibatkan orang tua sangat Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
100
mengatur cara sosialisasi anak, capaian prestasi akademik, dan perkembangan mental anak. Anak menjadi semakin tergantung dengan orang tua. Orang tua cenderung membatasi pergerakan mandiri anak, yang hanya terbatas di lingkungan rumah tinggal. Bila dipandang dari gambaran familialisasinya, partisipan-partisipan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Pertama, kelompok partisipan yang mendapatkan perlakuan yang ketat (strict) dari orang tuanya. Ada sembilan partisipan yang berada dalam kelompok pertama ini. Pada kelompok pertama ini, kehidupan dan aktivitas partisipan sangat diatur oleh orang tua. Orang tua memberlakukan banyak larangan. Partisipan cenderung dibatasi, bahkan dilarang untuk bergerak secara bebas dan mandiri di lingkungan rumah tinggal, tidak hanya pada saat hari-hari sekolah, bahkan juga pada akhir pekan atau masa liburan sekolah. Kehidupan sosial dan personal partisipan cenderung diatur dan ditentukan oleh orang tuanya. “Kalau saya mah..banyak larangan bu…penuh banget larangan…Pokoknya serba salah kalau kita pergi…ortu terlalu bahkan sering..banyak larang…. Kalau ada nenek dan mba pasti gak bolehin keluar”. (Siska) “Ditentuin…pagi-pagi harus minum susu. Harus sarapan. Gak boleh gak sarapan. Pulang sekolah harus tidur siang. Kalau gak, potong uang jajan. Harus les malem. Gak boleh nonton TV”. (David) “Kalau mama sih..agak ngatur sih ya. Habisnya, aku kan anak paling terakhir. Jadi mama suka ngejaga-jaga gitu. Kalau ke mana-mana gak boleh bawa HP takut di hipnotis gitu. Habis itu, mama suka agak ketat. Kalau ada keperluan buat sendiri, yang mama udah tahu pasti..ya dikasih. Kalau mama juga main juga ditanya dulu mau ke mana. Kalau saya bilang di taman yang biasa itu..ya di kasih. Tapi kadang-kadang doang. Kalau memang mama bilang, nanti papa mau ngajak ke mana..ya gak ke taman. Beda lagi, kalau papa ada di rumah, dan mama lagi pergi. Dan aku minta izin sama papa, pa boleh main gak sama temen. Papa pasti bilang, kamu telpon mama dulu deh jangan tanya papa. Papa aku sih suka ngasih-ngasih aja..bebas. Cuman kadang mama kalau tahu aku begini dimarhin akhirnya. Ntar papa sama mama berantem. Jadi papa Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
101
bilang lebih baik pastiin sama mama. Kadang aku tanya juga sama pho-pho. Sama phopho lebih bebas lagi. Main boleh main sampe malem, yang penting baju jangan kotor….Ya..kalau langsung lari main, nanti dihukum sama mami seminggu….“Pernah.. saya lagi diem. Mama lagi tidur. Saya gak enak, saya langsung pergi main.. terus satu minggu gak boleh keluar. Terus kalau main kelamaan sampai jam 7 ada mama di rumah, sampai rumah di marahin.. pernah dihukum sampai 3 bulan gak boleh keluar. Jadi di rumah ya main-main doang sama gambar-gambar”. (Kevin) “Gak boleh main game, gak boleh liat layar, gak boleh nonton…. Yang pasti cuci piring..beresin meja belajar..beresin kamar tidur….Tiap hari kalau habis pulang sekolah, ke rumah oma dulu..” (Ema) “Selama berbincang dengan ibunya Bety, ibunya juga menananyakan apakah ada PR kepada Bety. Ibunya sangat perhatian pada pelajaran sekolah Bety. Menurutnya, prestasi Bety kurang begitu baik bila dibandingkan kakak-kakanya. Pelajaran sekolah dianggapnya cukup berat. Setiap hari banyak ulangan dan PR. Jadi berenangnya menjadi jarang. Kalau bermain sepeda di depan rumah, juga hanya sebentar katanya. Menurutnya itu hanya terjadi kalau besoknya tidak ada ulangan di sekolah” (Catatan lapangan 15 Nov 2013). “Berdasarkan informasi dari ibunya, sehari-harinya Chelsea aktivitasnya di sekolah, tempat les dan di rumah. Setiap pagi pergi ke sekolah diantar ayahnya. Kemudian setelah pulang sekolah jam 1.30, Chelsea langsung pergi les di dekat sekolah. Setelah les, dengan dijemput ayahnya langsung pulang ke rumah. Sampai di rumah sekitar jam 3-4 sore sudah tidak lagi keluar rumah, karena ayahnya kembali lagi bekerja dan rumah di kunci dari luar….Menurut Chelsea, sehari-harinya hanya ia dan 2 orang saudara perempuannya di rumah. Tidak ada pembantu rumah tangga. Orang tuanya bekerja di luar rumah. Rumah dikunci dari luar, sehingga ia tidak bisa keluar rumah. Ia tidak pernah bermain di taman lingkungan dekat rumah, tidak lagi bermain sepeda. Kalaupun keluar rumah, hanya ke warung atau ke Alfamart jika ibunya sedang ada di rumah. Tanpa ada orang tuanya, ia dan saudara-saudaranya tidak boleh keluar rumah” (Catatan lapangan 20 Des 2013)
Kedua, adalah kelompok partisipan yang mendapatkan perlakukan dalam batas wajar (moderate) dari orang tuanya.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
102
Ada enam belas partisipan yang berada dalam kelompok kedua ini. Partisipan diizinkan untuk berada di ruang kota tertentu secara bebas, baik sendiri maupun dengan temanteman sebaya. Namun, hanya jika partisipan telah menyelesaikan bimbingan belajar, pekerjaan rumah atau pekerjaan rumah tangga yang ditugaskan. Larangan beraktivitas di luar rumah hanya berlaku dalam kondisi tertentu, misalnya pada saat ada tugas sekolah maupun ujian keesokan harinya. Namun, pada akhir pekan dan hari libur sekolah, partisipan memiliki lebih banyak kebebasan untuk bergerak disekitar lingkungan rumah tinggal dan berada di ruang kota tertentu, baik sendiri maupun bersama teman-temannya. “Bebas..gak dilarang…..Ke BCI boleh. Ke Palm boleh gak apa-apa. Ke rumah saudara sendiri aja gak apa-apa di Kapuk sendiri aja gak kenapa. Naik mobil lah. Angkot. Kadang-kadang sama temen naik motor. Sekalian main-main. Ke PIK. Boleh sama mama. Asal izin dulu”. (Fadli) “Gak terlalu bu. Kalau main HP sampai terlalu ini gak boleh. Disita. Kalau main di luar gak apa-apa bu, yang penting gak jauh-jauh gitu. Selalu bilang. Bukan ke sini aja. Ada satu lagi tapi jauh. Naik motor juga….Gak…gak apa-apa. Pernah dari pagi sampai sore jam 5. Ditanyain paling makan gak. Makan. Waktu itu main..habis itu ke rumah temen. Jadi lama”. (Moris) “Kalau aku lagi banyak pe-er suruh les. Ke tempat itu gak boleh. Tapi kalau lagi gak ada apa-apa. Boleh…..Ibu tidak larang main di sana, kecuali malam”. (Rina) ”Sama kayak Rina. Kalau ada ulangan, kalau ada pe-er gitu, disuruh les”. (Iksan) “Kalau urusan sekolah diatur-atur, kalau lain-lain yang suruh ngejalanin sendiri. Soalnya udah tau…udah sering di kasih tahu..jadi udah tahu. Mau apa terserah. Yang penting gak bandel”. (Hani) “Ibunya juga menjelaskan bahwa Kris punya jadwal yang teratur dan sudah tahu kapan harus les, kapan main, kapan pulang ke rumah. Jadi menurut ibunya, Kris tidak perlu lagi diatur. Sehari-harinya setelah pulang sekolah, Kris istirahat sebentar kemudian main dari jam 4-6. Setelah magrib pulang kerumah dan les sampai jam 8 malam”. (Catatan lapangan 12 Des 2013)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
103
4.4.
GAMBARAN RUANG KOTA FAVORIT PARTISIPAN
Penelitian ini menemukan bahwa, semua partisipan memiliki satu atau beberapa ruang kota favorit, suatu ruang kota di mana mereka lekat. Kondisi institusionalisasi dan familialisasi partisipan tidak menghalangi hadirnya kelekatan partisipan pada suatu ruang kota tertentu. Spasial lingkungan rumah tinggal partisipan juga tidak menghalangi hadirnya ruang kota tertentu tersebut, apakah partisipan tinggal di kompleks rumah susun, permukiman yang padat atau permukiman yang renggang. Dukungan sosial (peer) yang banyak (3-10 teman) atau sedikit (0-2 teman), juga tidak menghalangi hadirnya kelekatan partisipan pada suatu ruang kota favorit. Gambaran ruang kota favorit partisipan dan deskripsinya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Deskripsi ruang kota favorit partisipan No 1
Parisipan Hani
Ruang kota favorit Kolam renang Gajah Mada Plaza
Rumah teman Jalan (digunakan untuk bersepeda/sepatu roda)
Warung 2
David
Jalan (bersepeda)
Kolam renang Apartemen Bellmont Rumah nenek Mall (Gajah Mada, Central Park, Taman Anggerk) 3
Dona
4
Siska
5
Yona
Taman lingkungan di rumah sepupu di BSD Mall (Gajah Mada, Taman Anggrek, Central Park, Bay Walk Mall) Gramedia Rumah teman Rumah sendiri Mal (Central Park)
Deskripsi tempat Ruang terbuka milik privat (pengelola mal) yang dapat digunakan oleh publik dengan cara membayar. Rumah tinggal privat. Ruang jalan milik umum terletak di depan rumah, yang digunakan untuk kendaraan bermotor, namun digunakan juga untuk bersepeda atau bersepatu roda. Ruang privat digunakan oleh umum, terletak di tepi jalan. Ruang jalan milik umum terletak di depan rumah, yang digunakan untuk kendaraan bermotor, namun digunakan juga untuk bersepeda. Ruang terbuka milik privat (pengelola apartemen) yang hanya digunakan oleh pemilik apartemen. Rumah tinggal privat. Ruang tertutup yang dimiliki secara privat tapi dapat diakses oleh publik pada waktuwaktu operasional tertentu. Ruang terbuka hijau milik kompleks perumahan dan digunakan oleh penghuni kompleks perumahan. Ruang tertutup yang dimiliki secara privat tapi dapat diakses oleh publik pada waktuwaktu operasional tertentu. Toko buku yang terletak di dalam mal. Rumah tinggal privat. Rumah tinggal privat. Ruang tertutup yang dimiliki secara privat tapi dapat diakses oleh publik pada waktuwaktu operasional tertentu. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
104
No 6
Parisipan Bety
Ruang kota favorit Kolam renang Gajah Mada
Kolam renang PIK FIT
7
Ema
Kolam renang Splash
Jalan (bersepeda) di lingk. rumah sendiri
Jalan (bersepeda) di lingk. rumah oma
Mal (Central Park, Taman Anggrek, Gajah Mada) 8
Tim
Kolam renang Bunda Mulia
9
Amran
‘Bunderan’ rusun Cinta kasih
10
Fadli
Lapangan futsal
Lapangan rumput (bola)
Warnet 11
Ibra
Lapangan futsal
Lapangan rumput (bola)
Warnet 12
Lala
Warung cincau
Taman ‘Green Court’
Deskripsi tempat Ruang terbuka milik privat (pengelola mal) yang dapat digunakan oleh publik dengan cara membayar. Terletak di atap bangunan. Ruang terbuka milik privat (pengelola klub) yang dapat digunakan oleh publik dengan cara membayar. Terletak di dalam kompleks perumahan tertutup (gated community) Ruang terbuka milik privat (pengelola klub) yang dapat digunakan oleh publik dengan cara membayar. Terletak di dalam kompleks perumahan tertutup (gated community) Ruang jalan milik umum terletak di depan rumah, yang digunakan untuk kendaraan bermotor, namun digunakan juga untuk bersepeda. Ruang jalan milik umum terletak di depan rumah, yang digunakan untuk kendaraan bermotor, namun digunakan juga untuk bersepeda. Ruang tertutup yang dimiliki secara privat tapi dapat diakses oleh publik pada waktuwaktu operasional tertentu. Ruang terbuka milik privat (pengelola klub) yang dapat digunakan oleh publik dengan cara membayar. Bangku beton berbentuk lingkaran yang terletak di courtyard rumah susun. Lapangan tertutup (dikelilingi kawat) yang digunakan untuk bermain futsal. Dimiliki dan dikelola oleh rumah susun. Digunakan secara umum oleh penghuni rumah susun. Lapangan rumput milik rumah susun dan dikelola oleh manajemen rumah susun. Digunakan secara umum oleh penghuni rumah susun. Tempat bermain games komputer. Terletak di dekat rumah susun partisipan. Lapangan tertutup (dikelilingi kawat) yang digunakan untuk bermain futsal. Dimiliki dan dikelola oleh rumah susun. Digunakan secara umum oleh penghuni rumah susun. Lapangan rumput milik rumah susun dan dikelola oleh manajemen rumah susun. Digunakan secara umum oleh penghuni rumah susun. Tempat bermain games komputer. Terletak di dekat rumah susun partisipan. Berbentuk gerobak yang letaknya berada tepat di depan akses masuk rumah susun partisipan. Ruang terbuka hijau milik rusun yang umumnya digunakan oleh penghuni rusun. Ruang milik jalan yang berada di kompleks perumahan swasta. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
105
No
Parisipan
Ruang kota favorit Koridor rumah Lulu Jalan (‘main motor’)
13
Luna
Lapangan rumput
‘Green Court’ Koridor rumah Lulu Jalan (‘main motor’ & bersepeda)
14
Sara
Lapangan rumput
‘Green Court’ Koridor rumah Lulu Rumah teman di Kampung Gusti Jalan (‘main motor’ & bersepeda)
15
Rina
‘Pohon perosotan’
‘Mobil pintar’
16
Fani
Kapel dan halamannya
17
Iksan
Gereja Trinitas ‘Pohon ceri’ Saluran air
18
Fiko
Rumah teman (Fiko) ‘Pohon ceri’ Saluran air
19
Ricky
Rumah teman (Iksan) Lapangan rumput (bola)
Deskripsi tempat Jalur sirkulasi diantara unit rumah susun, terletak di lantai dasar. Ruang jalan milik umum terletak di depan rumah, digunakan untuk kendaraan bermotor. Lapangan rumput milik rumah susun dan dikelola oleh manajemen rumah susun. Digunakan secara umum oleh penghuni rumah susun. Ruang milik jalan yang berada di kompleks perumahan swasta. Jalur sirkulasi antara unit rumah susun yang terletak di lantai dasar. Ruang jalan milik umum terletak di depan rumah, digunakan untuk kendaraan bermotor. Lapangan rumput milik rumah susun dan dikelola oleh manajemen rumah susun. Digunakan secara umum oleh penghuni rumah susun. Ruang milik jalan yang berada di kompleks perumahan swasta. Jalur sirkulasi antara unit rumah susun yang terletak di lantai dasar. Rumah tinggal privat. Ruang jalan milik umum terletak di depan rumah, yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Pipa besi diameter 60-80cm, bekas pembangunan, yang diletakkan menyandar di suatu pohon. Lokasinya terletak di ruang negatif: ruang yang terlantar, belum di kembangkan dekat dengan rumah tinggal partisipan. Kegiatan untuk anak, seperti membaca, menggambar, dan lain-lain yang diselenggarakan setiap hari Sabtu bagi anak rusun oleh yayasan tertentu. Ruang terbuka hijau yang berada di depan kapel. Halaman gereja. Pohon berbuah ‘ceri’ yang dapat dipanjat dan terletak di tepi jalan dekat rumahnya. Saluran air disekitar rusun yang digunakan untuk mencari ikan. Rumah tinggal privat. Pohon berbuah ‘ceri’ yang dapat dipanjat dan terletak di tepi jalan dekat rumahnya. Saluran air disekitar rusun yang digunakan untuk mencari ikan. Rumah tinggal privat. Lapangan rumput dan dapat digunakan oleh umum.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
106
No 20
Parisipan Moris
Ruang kota favorit Lapangan rumput (bola) ‘Jalan buntu’
Lapangan futsal
21
Via
Taman lingkungan ‘Tempat dagangan’ orang tua
Lapangan dekat tempat dagangan
22
Chelsea
Kebun sayur
23
Elina
Taman Vihara Bogor ‘Pohon ceri’ tempat les
24
Kris
Lapangan rumput (bola) Lapangan voli
25
Kevin
‘Taman bunglon’ ‘Jalan balap’ ‘Sawah’
Kolam renang Splash
Mal Puri Indah
Deskripsi tempat Ruang terbuka hijau lingkungan yang digunakan untuk bermain bola. Ruang jalan buntu milik umum terletak di dekat rumah, yang digunakan untuk kendaraan bola. Lapangan tertutup yang digunakan untuk bermain futsal. Dimiliki dan dikelola oleh pengelola. Partisipan harus membayar untuk dapat menggunakannya. Ruang terbuka hijau milik umum yang digunakan oleh penduduk sekitar. Lokasi dekat rumah partisipan. Ruang berjulan bersama, yaitu tempat di mana terdapat beberapa gerobak dagangan disatu tempat yang sama. Ruang terbuka hijau milik umum yang digunakan oleh penduduk sekitar. Lokasi dekat rumah tempat dagangan partisipan. Ruang sisa disebelah rumah partisipan, yang digunakan oleh penduduk sekitar untuk menanam sayur. Halaman vihara. Pohon berbuah ‘ceri’ yang terletak di tepi jalan raya. Terletak di dekat tempat les partisipan. Ruang terbuka hijau lingkungan yang digunakan untuk bermain bola. Ruang terbuka hijau lingkungan yang digunakan untuk bermain voli. Ruang terbuka hijau lingkungan yang digunakan untuk bermain bola, menangkap bunglon, bermain basket, dan lain-lain. Jalan lingkungan beraspal mulus di sekitar kompleks rumah tinggal. Ruang terbuka hijau yang belum dikembangkan, namun digunakan oleh penduduk sekitar untuk menanam sayur. Ruang terbuka milik privat (pengelola klub) yang dapat digunakan oleh publik dengan cara membayar. Terletak di dalam kompleks perumahan tertutup (gated community) Ruang tertutup yang dimiliki secara privat tapi dapat diakses oleh publik pada waktuwaktu operasional tertentu.
Secara keseluruhan, ada enam puluh sembilan ruang kota favorit yang terungkap. Gambaran visual ruang kota favorit partisipan dapat dilihat pada Gambar 4.11. Ke enam puluh sembilan ruang kota favorit partisipan tersebut menunjukkan karakter ruang kota yang mewakili kontinum dari sangat publik sampai sangat privat. Secara dominan,
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
107
partisipan memiliki beberapa ruang kota favorit. Ada juga partisipan yang hanya memiliki satu ruang kota favorit.
Gambar 4.11. Gambaran visual ruang kota favorit partisipan
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
108
Gambar 4.11. Gambaran visual ruang kota favorit partisipan (lanjutan)
Berdasarkan empat sifat ruang kota yang dikembangkan oleh Carmona (2010), ruang kota favorit partisipan terdiri dari dua ruang positif, yaitu ruang terbuka publik hijau lingkungan. Tujuh belas ruang negatif, yaitu ruang sisa, ruang service, ruang yang belum dikembangkan untuk pembangunan, seperti got, lahan kosong, lahan sisa. Dua puluh tujuh ruang yang bersifat ambigu, artinya kepemilikan ruang kota tersebut tidak jelas, seperti warung pinggir jalan, toko tertentu di mal, mal, pohon ceri yang terletak di ruang privat yang terbuka oleh publik, lapangan bola, koridor rumah susun, toko buku di mal, bangku bundar di halaman rumah susun, restauran, warnet, dan halaman rumah ibadah. Dua puluh tiga ruang bersifat privat, seperti taman lingkungan kompleks perumahan, kolam renang di klub olahraga dan rumah tinggal teman atau kerabat. Secara objektif, ruang kota favorit di mana partisipan lekat dapat dipandang dari berbagai aspek. Dari aspek skala, partisipan dapat lekat pada ruang kota favorit dengan skala mikro, seperti pohon, tempat duduk berbentuk melingkar yang disebut salah satu partisipan sebagai ‘bunderan’, warung, gerobak penjual minuman, halaman rumah tinggal, salah satu sudur dari jalur sirkulasi atau koridor. Partisipan juga lekat pada Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
109
ruang kota dengan skala meso seperti taman lingkungan, lapangan olah raga, sampai dengan ruang kota yang berskala makro seperti mal. Fungsi ruang kota di mana partisipan lekat juga sangat beragam, ada yang berfungsi sebagai tempat olah raga, tempat duduk-duduk, jalan, median jalan, kolam renang, toko, warung, warnet, halaman, dan lain-lain. Secara wujud, ruang kota favorit ada di dalam ruang/bangunan yang tertutup (enclosed), semi tertutup (semi enclosed), dan berada di ruang terbuka, ada yang berupa jalur/jalan baik loop maupun linear. Berdasarkan letak/posisinya pada tapak, ruang kota favaorit ada yang berada di tepi/sudut bangunan, di atas bangunan, di dalam bangunan, di luar bangunan, di depan bangunan, di belakang bagunan dan di antara bangunan. Bila dipandang dari aspek ruang daur hidupnya (Erikson, 1982, 1997), ruang kota favorit ada yang dekat (near places), yaitu di area rumah-tetangga (familial space) dan ada yang jauh (far places) di area urban & sub urban (Lihat Gambar 4.12).
Gambar 4.12. Ruang kota favorit partisipan berdasarkan ruang daur hidup
Berdasarkan Gambar 4.12 tersebut, dua puluh partisipan memiliki kelekatan pada ruang kota yang berada di area di antara rumah dan tetangga. Ruang kota tersebut berada di area rumah dan tetangga karena tempat-tempat tersebut dekat, mudah di jangkau dengan
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
110
berjalan kaki, dapat dilakukan dengan mandiri, merupakan bagian dari rute pergerakan rumah ke sekolah atau rumah ke tempat les. “Deket sama rumah. Lagi pula anak-anak mainnya di lapangan”. (Luna) “Karena sering banget, setiap pulang ngaji pasti ketemunya lapangan dan main pastinya di situ. Kadang-kadang kalau ngaji dilewatin..emang jalannya kayak gitu”. (Ibra dan Fadli) “Deket Melati BCI”. (Rina) “Tempatnya. Karena paling deket…” (Hani) “Udah tau sendiri..kan setiap kali masuk gang aku kan udah keliatan tamannya”. (Via) “Tempatnya gak terlalu jauh, jadi bisa main sama adik dan kita bisa main di situ” (Lala)
Ada empat partisipan, yang memiliki ruang kota favorit di antara antara area tetangga dan sekolah. Pergerakan menuju ruang kota tersebut dilakukan dengan bersepeda, berkendaraan dan memerlukan pendampingan orang dewasa. Sedangkan ada delapan partisipan, yang didominasi oleh partisipan dengan kondisi familialisasi strict, memiliki ruang kota favorit yang jauh, yang perlu dijangkau dengan berkendaraan dan memerlukan pendampingan orang dewasa, serta ada dua partisipan memiliki ruang kota favorit di area sub-urban. Pergerakan mereka menuju tempat itu dilakukan dengan kendaraan dan sangat tergantung pada kesediaan orang tua. Pemetaan fungsi, bentuk dan ruang daur hidup ruang kota favorit partisipan dapat dilihat pada Gambar 4.13.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
111
Gambar 4.13. Pemetaan fungsi, bentuk dan ruang daur hidup ruang kota favorit partisipan Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
BAB 5 PLACE HABIT
Berdasarkan Gambar 2.8 yang telah diuraikan sebelumnya pada Sub Bab 2.4, ada empat karakteristik proses psikologis yang membentuk proses kelekatan pada human attachment yang memiliki persamaan bila disandingkan dengan place attachment orang dewasa dan anak (Giuliani, 2003; Scannel & Gifford, 2014), yaitu: 1. Affectional bonding, yaitu: semakin lama pengalaman anak berada di suatu tempat maka akan semakin lekat ia pada tempat tersebut. 2. Keinginan untuk kembali ke tempat tertentu dan berusaha dekat dengan tempat tertentu. 3. Kesenangan bila berada di tempat tersebut dan kesedihan bila harus meninggalkan atau berpisah dengan tempat tersebut. 4. Keunikan tempat sebagai attachment figure yang memberikan rasa aman dan nyaman. Empat karakteristik tersebut digunakan sebagai rujukan dalam memahami tanda-tanda kelekatan partisipan pada tempat tertentu. Bab ini akan menguraikan temuan utama penelitian ini yaitu place habit. Uraian akan diawali dengan menjelaskan konsep place habit, proses terbentuknya place habit, serta konsep ruang kota favorit partisipan. Setiap uraian merupakan hasil analisis dan interpretasi terhadap kategori atau tema yang terungkap dari data, terkait dengan proses hadirnya kelekatan partisipan terhadap suatu ruang kota tertentu, dengan cara memberi nama pendek (label) pada setiap data. Kategorisasi data yang disampaikan pada bab ini merupakan kategorisasi data yang signifikan (fokus coding) yang muncul dari data. Fokus coding ini bertujuan untuk memberikan kejelasan mengenai apa sebenarnya yang menentukan hadirnya fenomena kelekatan partisipan pada ruang kota tertentu. Bab ini bertujuan untuk memberikan jawaban terhadap apa yang menentukan hadirnya fenomena kelekatan anak terhadap ruang kota tertentu di kota Jakarta? Serta, seperti apa proses yang menentukan anak membentuk kelekatannya dengan ruang kota tertentu? 112 Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
113
5.1.
KONSEP PLACE HABIT
Penelitian ini menemukan bahwa feneomena hadirnya kelekatan anak pada tempat yang diamati bukan binari, tetapi hadir sebagai fenomena non-material yang dinyatakan sebagai place habit. Habit berasal dari Bahasa Latin Habere, artinya “to hold, hence to occupy or possess, hence to have” atau juga berarti “to dwell (habitare)” (Partridge, 2006, p. 1361). Artinya, kata ‘habit’ dalam place habit, mengandung arti tindakan menempati atau menduduki atau memiliki atau tinggal. Place habit merupakan tindakan menempati suatu ruang kota yang mendukung, sebagai hasil both/and atau here/now dialektika body habit anak dan pengalaman emosional. Tindakan menempati suatu ruang kota tertentu yang mendukung melibatkan proses internal yang terjadi di dalam body habit. Body habit merupakan pengulangan pengalaman tubuh anak dan praktik spasial yang dilakukan anak dalam waktu dan ruang kota tertentu, hingga berkembang menjadi kebiasaan (habit). Konsep body habit yang ditemukan ini berbeda dengan yang dijelaskan oleh P. Morgan (2010) yang telah diuraikan pada Sub Bab 2.3.1. sebelumnya. Menurut P. Morgan (2010), kelekatan anak pada tempat dipicu oleh pola interaksi antara sistem perilaku kelekatan anak pada figur ibu dan sistem motivasi eksplorasi anak terhadap suatu tempat atau lingkungan. Namun, meminjam tiga tema eksistensial pengalaman spasial Seamon (1979), body habit menunjukkan konsep being-in-the-place, yang bukan hanya sebagai suatu perilaku mencari kedekatan (proximity-seeking behavior), dalam hal pergerakan yang berulang (repetitive movements) seperti yang dijelaskan sebagai konsep being-there oleh de Certeau (1984). Konsep being-there, merupakan suatu konsep yang hadir pada praktik spasial dan dipandang sebagai “the repetition, in diverse metaphors, of a decisive and original experience, that of the child’s differentiation from the mother’s body” (de Certeau, 1984, p. 109). Dalam penelitian ini, body habit juga melingkupi proses berdiam di (rest in) tempat tertentu dan perjumpaan dengan (encounter with) tempat tertentu sebagai suatu keutuhan pengalaman yang tidak terpisahkan, sampai menjadi kebiasaan (habit). Tubuh (the body) merupakan jantung dari filosofi Merleau-Ponty, tidak hanya ‘in space’ atau
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
114
‘in time’ tetapi ‘inhabit’ space dan time (Merleau-Ponty, 1962, p. 161). Filosofis Merleau-Ponty mengenai tubuh adalah investigasi eksistensi tubuh, yang setara dengan signifikasi cogito13 Descartes. Menurutnya, “the lived body is one’s intentional opening to the world, through which alone one experiences meaningful things in the first place” (Morris, 2008). Dapat diartikan “melalui tubuh, aku ada”. Jadi, melalui tubuh dan pergerakan habitual anak, maka muncul persepsi anak terhadap tempat dan mempersatukan tempat tersebut ke dalam pengalaman tubuh anak yang mengalami tempat tersebut hingga kelekatan hadir. Body habit anak hadir agar anak dapat menjaga keberlangsungan tindakan-tindakan anak di ruang kota tertentu yang menyenangkan, menggembirakan, lucu, menantang, dapat dibagi bersama teman, dirindukan dan disayang. Tindakan-tindakan di ruang kota tertentu memicu pengalaman emosional pada anak, seperti kesenangan pada saat ia berada di ruang kota tertentu, sedih atau kesal pada saat dipisah dari ruang kota tertentu dan kangen pada saat di larang atau dijauhkan dari ruang kota tertentu yang menjadi tempat favoritnya. Pengalaman emosional dengan ruang kota tertentu yang mendukung menandakan adanya ikatan afeksi antara anak dan ruang kota tersebut. Dapat disimpulkan, bahwa penelitian ini menemukan place habit sebagai fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat, merupakan tindakan menempati suatu ruang kota mendukung, sebagai hasil both/and atau here/now dialektika child’s body habit-inthe-place dan emotional experiences of being-in-the-place. 5.2.
PEMBENTUKAN PLACE HABIT
Place habit sebagai tindakan menempati suatu ruang kota tertentu yang mendukung sebagai hasil both/and atau here/now dialektika body habit anak dan pengalaman emosional, melibatkan proses internal yang terjadi di dalam body habit. Proses internal yang terjadi di dalam body habit dipahami dan dilandasakan pada konsep triad of environmental experience (Seamon, 1979), yang mempertimbangkan pergerakan 13
Cogito ergo sum artinya aku berpikir maka aku ada (Descartes dalam Meditationes de Prima Philosophia, 1641).
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
115
(movement), diam (rest) dan perjumpaan (encounter) dalam memahami keutuhan pengalaman anak dan tempat, termasuk bagaimana seorang anak menjadi bodily dan emotionally lekat pada suatu ruang kota favoritnya. 5.2.1. PERGERAKAN HABITUAL Pergerakan merupakan salah satu dari tiga tema eksistensial pengalaman spasial dan dinyatakan oleh Seamon (1979) sebagai “any spatial displacement of the body or bodily parts initiated by the person himself or herself” (Seamon, 1979, p. 33).
Secara
etimologi, movement berasal dari kata movimentum (Old French), kata dasar movere (Latin) yang berarti “to set”, atau “to set oneself, going, to become displaced, to pass beyond” (Partridge, 2006, p. 2058). Dalam penelitian ini, partisipan sering menceritakan pergerakannya dari rumah ke tempat favorit atau sebaliknya, seperti: “Naik ojek dari depan rumah” (Fani) “Dari rumah langsung ke lapangan Futsal” (Fadli) “Pulangnya dari pohon ceri langsung ke rumah”. (Iksan) “Pulangnya dari pohon perosotan langsung ke rumah” (Rina) “Dari rumah langsung ke taman” (Via) “Dari rumah ke warung cincau setelah itu pulang ke rumah lagi” (Lala)
Pergerakan bolak balik ke tempat favorit sudah dilakukan selama paling tidak enam bulan hingga tujuh tahun lamanya, hingga menjadi kebiasaan (habit). Penelitian ini menemukan bahwa partisipan menunjukkan pergerakan yang dilakukan bolak balik secara konstan sampai terbiasa, yang dinyatakan sebagai habitual. Habitual (kata benda) berasal dari kata habitus (habit-us) – habitualis (ML) artinya “state of condition, appearance, manner of being, hence of doing” (Partridge, 2006, p. 1361). Jadi habitual berarti suatu kondisi yang nampak, terkait dengan perilaku kehadiran “tindakan menempati atau mengambil tempat atau memiliki tempat” (merujuk pada asal kata habit) yang dilakukan secara berulang hingga menjadi terbiasa.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
116
Pergerakan untuk menempati suatu ruang kota tertentu, sampai menjadi terbiasa diceritakan oleh partisipan dengan menggunakan kata-kata seperti “otomatis”, “biasanya”, “tau-taunya”, “rutin”, “gak sadar”, “pasti”. “Karena udah kebiasaan main di situ. Sejak 2003 udah main di situ. Jadi udah gak main di mana-mana lagi”. (Fadli) “Karena sering banget, setiap pulang ngaji pasti ketemunya lapangan dan main pastinya di situ”. (Ibra) “Biasanya kita jajan dulu…habis itu baru ke tempat itu…..kalau saya pasti..gimana ya..pastilah ke situ..”. (Lala) “Kalau lagi jagain dede…pasti ke lapangan. Memang suka dan tugas juga…”. (Sara) “Karena tuh tiap kali kita pasti ..pengen ke sini. Langsung ke sini. Pasti ke sini dulu. Pasti baliknya ke sini lagi. Setiap kali di sini lagi diem. Yok ke lapangan. Habis mainmain, pasti baliknya ke sini lagi…..Kalau lapangan bola kadang otomatis, kalau jalan balap sih sadar…. Waktu dibangun, udah tiap hari ke sana. Gak tau kenapa bisa di situ terus”. (Kevin) “Jadi rutinitas itu sudah jadi kebiasaan…gak mikir lagi”. (Luna) “Biasanya jajan dulu sebelum ke sana. Biasanya kan ke sana kan malam, di sebelah Alfamaret kan suka ada yang jualan somay, tempe mendoan, martabak. Biasanya jajan dulu atau pulangnya dari ibadah baru beli jajanan di situ. Trus makannya di rumah……Kenal tempat itu sejak umur 4 tahun. Sudah tinggal di sini sejak lahir. Ke sana diajak sama mama waktu umur 4 tahun. Rutin sampai sekarang”. (Fani) “Kadang-kadang tau-tau..udah main di lapangan. Gak sadar…otomatis aja.. kok main di lapangan terus. Suka diomelin sama nenek…kok main di lapangan melulu…Jadi rutinitas itu sudah jadi kebiasaan…gak mikir lagi”. (Luna) “Kalau di lapangan sudah jadi tempat yang tidak direncanain gitu..tiba-tiba kesono ke sono. Pas lagi hujan pengennya ke sono”. (Sara)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
117
Kata-kata yang diucapkan partisipan tersebut, mengekspresikan perilaku kebiasaan menempati suatu ruang kota tertentu, yang dinyatakan sebagai “any acquired behavior nearly or completely involuntary” (Seamon, 1979, p. 38). Meminjam dari terminologi Merleau-Ponty (1962), Seamon (1979, p. 41) menyebut hal ini sebagai body subject, yaitu “the inherent capacity of the body to direct behaviours of the person intelligently, and thus function as a special kind of subject which expresses itself in a pre-conscious way usually described by such words as ‘automatic’, ‘habitual’, ‘involuntary’ and ‘mechanical”. Jadi, penelitian ini menemukan bahwa perilaku kebiasaan menempati ruang kota tersebut diperoleh melalui pergerakan berulang-ulang ke tempat tersebut, yang dilakukan setidaknya enam bulan hingga tujuh tahun lamanya, hingga menjadi terbiasa. 5.2.1.1.RUTE DAN URUTAN PERGERAKAN Penelitian ini menemukan bahwa dalam melakukan pergerakan habitual menempati suatu ruang kota tertentu, partisipan menunjukkan kebiasaan yang terkait dengan rute dan urutan tertentu yang digunakan pada saat mereka bergerak antara rumah dan ruang kota favoritnya, seperti yang diucapkan oleh beberapa partisipan: “Karena sering banget, setiap pulang ngaji pasti ketemunya lapangan dan main pastinya di situ. Kadang-kadang kalau ngaji dilewatin..emang jalannya kayak gitu”. (Ibra) “Dari rumah ke rumah teman di satu blok, ke rumah temen yang lain lagi, ke rumah temen lagi baru ke pohon perosotan. Kadang suka janjian di sana. Tapi lebih sering jemput temen-temen dulu baru ke pohon perosotan. Pulangnya dari pohon perosotan langsung ke rumah. Kadang sih mampir main dulu ke rumah temen sebelum pulang….. Ke sana, di samper-samper. Sebelumnya main raket dulu baru ke sana. Raketnya punya sendiri-sendiri”. (Rina) “Dari rumah ke rumah Fiko dulu baru ke pohon ceri. Pulangnya dari pohon ceri langsung ke rumah”. (Iksan) “Kalau lagi anak-anaknya rame, dari rumah langsung ke lapangan Futsal. Selesai main, langsung pulang. Kadang-kadang pulangnya bareng karena temennya juga satu blok. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
118
Kalau temennya lagi sedikit, maka dari rumah, jemput teman baru ke lapangan futsal. Pulangnya langsung dari lapangan futsal ke rumah. (Fadli) “Dari rumah, kadang mampir ke toko buku untuk beli pulpen, ke tempat les untuk les, habis les baru ke pohon ceri. Pulangnya dari pohon ceri ke tempat les baru pulang”. (Elina) “Kalau gak ada temen dari rumah langsung ke taman. Kalau ada temen, dia yang nyamper aku. Baru berangkat ke taman. Kadang-kadang juga ketemu temen di taman. Pulangnya kadang-kadang langsung ke rumah, atau kadang-kadang ke rumah temen dulu. Baru pulang ke rumah”. (Via) “Temen 10-12 orang jemput ke rumah trus ke lapangan bola. Karena diajakin main. Jadi ada 10-12 anak ngajakin main, langsung ke lapangan bola. Dari lapangan bola, tergantung kadang bisa lanjut main sampai lebih dari magrib…biasanya dari lapangan bola, jajan dulu..kalau udah kecapean beli minum di warung, baru pulang”. (Kris) “Dari rumah ke warung cincau setelah itu pulang ke rumah lagi. Kalau lagi ke Green Court, mampir ke rumah Sara dulu, ke Green Court, habis itu pulangnya langsung ke rumah”. (Lala) “Ya.. dari sini ke arah naik jalan panjatan. Trus ke arah Palem ada belokan sebelum ke rumah sakit. Belok sini. Terus muter lagi”. (Sara) “Rumah langsung ke lapangan. Karena deket. Gak mampir ke mana-mana. Kalau setelah main di lapangan, ke warung dulu habis itu main sepedaan..dulu baru pulang”. (Luna) “Dari rumah, dijemput temen 3 orang trus ke rumah temen manggil 1 orang..ngambil bola baru langsung ke lapangan. Pulangnya langsung ke rumah masing-masing. Mainnya ke gang buntu kalau ada yang ngelarang main di lapangan misalnya Pak RT”. (Fuji) “Dari gereja atau dari mana. Baru ke mal. Dari mal langsung pulang kadang-kadang mampir lagi. Kalau pulangnya udah jam 6 setengah tujuh kan harus makan, paling ke GM atau ke mana”. (David)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
119
“Ini kan rumah saya di gang ke 4 dan ini gang ke 6 dan lapangan di seberang gang ke 6. Saya kan gak bisa lihat sekitar temen-temen saya ke mana.. saya jalan dulu..saya liat kalau gak ada orang, pasti mereka semua ada di rumah kosong. Jadi saya ke rumah kosong…cari temen kalau lapangan kosong. Kalau rumah kosong bener-bener gak ada orang. Saya ke rumah temen, saya ketok-ketok saya panggil. Kalau udah ke kumpul semua kira-kira 6 orang (6 rumah temen), trus ke lapangan. Pada ngumpul semua. Kita terus rundingan mau main apa nih..bola..kalau udah main udah bosen di lapangan/taman bunglon, kita ke lapangan sepak bola..main-main..kalau bosen lagi, kita ke jalan balap. Habis itu di sana kan ada konstruksi, kita suka naik truknya keliling mutermuter…kalau udah malem..pulang ke rumah langsung. Kadang mampir dulu ke rumah temen baru pulang. Habis dari jalan balap, trus konstruksi..takut-takut gitu mainnya..ya mainan portal. Habis itu baru pulang. Kadang pernah juga habis dari taman bunglon langsung pulang. Rute pendek: hari-hari biasa, rute panjang kalau hari libur”. (Kevin)
5.2.1.2.FREKUENSI DAN WAKTU PERGERAKAN Penelitian ini menemukan bahwa pergerakan habitual partisipan menempati ruang kota tertentu tergantung pada pada waktu dan hari tertentu, yang diizinkan dan ditentukan oleh orang tua. Pergerakan habitual menempati ruang kota favorit tertentu secara berulang hingga hingga terbiasa, yang dilakukan pada waktu tertentu dinyatakan oleh Seamon (1979, p. 55) sebagai time-space routine14. Pergerakan ke ruang kota favorit tertentu diceritakan oleh partisipan terjadi berulang-ulang kali, ada yang 3-5 kali/minggu, 1-2 kali/minggu, 1-2 kali/bulan, atau 3-6 kali/tahun. Penelitian ini menemukan bahwa partisipan yang berasal dari kondisi familialisasi moderate lebih menunjukkan perilaku pergerakan habitual menempati ruang kota tertentu yang lebih tinggi/sering dibandingkan partisipan yang berasal dari kondisi familialisasi strict. Partisipan, terutama yang mengalami kondisi familialisasi moderate, meyakini secara pasti frekuensi dan waktu pergerakan ke ruang kota favoritnya. Mereka menggunakan kata-kata “setiap saat”, “setiap hari”, “sering”, “malam”, “sore”. “udah gak ke hitung”, “sering banget”, “udah banyak kali”. Bagi kelompok partisipan ini, frekuensi dan waktu pergerakan habitual mereka lebih bersifat otomatis dan rutin. 14
“Time space routine is a set of habitual bodily behaviors which extend through a considerable portion of time” (Seamon, 1979, p. 55) Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
120
“Seminggu 5 kali…” (Kris) “Setiap saat, tiap hari….Kalau gak sore..kalau gak malem”. (Lala) “Tiap hari”. (Moris) “Kalau lagi gak ke mana-mana..hampir tiap hari ke taman bunglon”. (Kevin) “Kalau Sara di lapangan tiap hari” (Sara) “Tiap hari….Kapan aja kalau ada waktu”. (Luna) “Kadang kalau besok ada ulangan, gak main di situ. Seringnya sabtu minggu”. (Rina) “Setiap
hari
malam
pasti
ke
sana.
Kalau
lagi
ibadah,
hari
Rabu
dan
Minggu…..Gereja…Tiap minggu. Kadang-kadang aku juga ke sana Kamis, kalau ada acara.” (Fani) “Les..seminggu 5 kali. Hampir tiap hari ke sana” (Elina) “Seminggu 5 kali..Sabtu Minggu juga”. (Iksan) “Tiap hari ke sana, Sabtu Minggu juga”. (Via) “Sabtu kemarin..hampir tiap minggu ke sana….Gak ngitung” (Tim) “Bisa tiap hari”. (Fadli)
Namun, ada beberapa partisipan, terutama yang mengalami kondisi familialisasi strict, tidak meyakini pergerakan ke ruang kota favoritnya sebagai sesuatu yang pasti, karena pergerakan habitual mereka sangat tergantung pada izin dan persetujuan orang tuanya. Hal ini terungkap dengan kata-kata “gak tentu”. Oleh karenanya, pergerakan habitual partisipan dalam kelompok ini lebih bersifat tidak otomatis dan tidak terlalu rutin. “Rumah saudara…rumahnya sepupu aku. Di Serpong. Enak bisa main, bisa naik sepeda..sepi kompleksnya. Kadang-kadang bawa sepeda. Aku kan punya sepeda lipet..suka nginep kalau liburan. Sering sih ke sana. Sering sih. Sebulan bisa 3-4 kali. Tiap hari minggu”. (Dona)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
121
"Gak tentu" (Halli, Bety, David) “Cuman kadang sebulan sekali atau dua minggu sekali. Ke vihara dan kunjungi rumah teman papa di situ”. (Celestia) “Tempat favorit masih di rumah saudara di Serpong dan SMS [Summarecon Serpong Mal], rutin sebulan sekali…kadang tiap minggu, belum tentu nginep. Paling sebulan sekali nginep. Tapi kalau liburan suka nginep seminggu gitu”. (Dona) “2 bulan lalu, udah gak ke itung…sering banget berenang ke GMP [Gajah Mada Plaza]. Bulan ini belum tau tentu ke sana..gara-gara banyak ulangan”. (Hani) “3-4 kali berenang ke Bellmont”. (David) “Terakhir berenang sama Angie belum lama di GM [Gajah Mada]. 3-5 kali……Gak mau..kayaknya gak enak gitu bu..gak biasa. Di PIK [Pantai Indah kapuk] sekali…di sini udah ribuan kali..gak sampai ribuan sih bu..tapi udah banyak kali. Udah biasa. (Bety)
Bukti faktual pergerakan habitual dan frekuensi lekat partisipan dengan ruang kota tertentu dapat dilihat pada Lampiran 7. 5.2.1.3. MOTIVASI PERGERAKAN Motivasi (motivation) berasal dari kata motive atau motivus (Latin) artinya “capable of moving” (Partridge, 2006, p. 2058). Jadi apa yang mendorong partisipan bergerak menuju ke ruang kota favoritnya dan bertindak di sana? Menurut P. Morgan (2010), seorang anak yang terekspos pada suatu lingkungan binaan akan memicu sistem motivasi yang ada di dalam dirinya, sehingga mengakibatkan munculnya kondisi internal seperti ketertarikan atau terpesona akan daya tarik dan pesona lingkungan binaan tersebut atau yang disebut sebagai objectifying quality15 dari lingkungan tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa motivasi partisipan melakukan pergerakan agar dapat melakukan berbagai tindakan di ruang kota favoritnya, lebih dominan ditentukan oleh
15
Objectifying quality adalah aktualitas dari kehadiran suatu tempat apa adanya (Moustakas, 1994, p. 29). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
122
non-objectifying quality16 dari tempat tersebut, yaitu perasaan menyenangkan karena kehadiran teman-teman (peer) daripada daya tarik atau pesona fisik ruang kota itu sendiri. Motivasi untuk bergerak dan bertindak karena adanya ajakan seperti yang diucapkan oleh partisipan dengan kata-kata seperti “diajakin main”, “ayo main”, “temen ngajakin”, “suka dipanggil”. Motivasi pergerakan untuk bertindak di ruang kota favoritnya juga ditentukan oleh keinginan diri sendiri agar tidak bosan, untuk memperoleh koleksi komik, untuk olah raga, karena tugas atau kewajiban yang dibebankan pada diri anak, keseruan aktivitas di tempat tersebut dan kegiatan ibadah. “Temen-temen. Sampai kalau kita males main di situ, temen-temen bujukin untuk main di situ. Bikin sepi lapangan aja”. (Kris) “Kadang-kadang lagi di tempat PS, suka dipanggil untuk main bola”. (Fadli & Ibra) ”Gak..kalau ada temen 1 ngajakin ke situ ya..tapi kalau bisa rame-rame lebih enak”. (Rina) “Temen-temen bu..ngajakin gitu bu…Dijemput..naik motor sama temen. Kalau diajak main..kalau gak diajak gak main”. (Moris) “Mereka [teman dan sepupu] yang ngajakin. Ya..ke GM..Terus ke Baywalk”. (Dona) “Diajak. Biasanya kalau jam 3-4 di sms dulu nanti ntar malem mau nongkrong bareng, gak?“ (Lala) ”Temen-temen dan Pak RT yang mendorong kita main di situ. Kita kan banyak kompleks, blok A, B, D. Kalau lapangan sepak bola ada sparingnya. Kalau voli ada sparingnya. Pak RT mendorong kita biar kita bisa mengembangkan bakat dan bisa nandingin blok lain. Pak RT mendukungnya bersihin rumput, lapangan bolanya kita harus pake baik-baik“. (Kristopehr) “Temen dan properti. Benda-benda…gitu. Kalau lapangan cuman datar doang…gak ada apa-apa. Gak bisa main bareng temen. Tapi kalau main bola, gak ada bola gak ada gawang. Gawang pake sandal..gak enak…..Temen, habis itu bunglon” (Kevin). 16
Non-objectifying quality adalah perasaan menyenangkan yang muncul dalam diri oleh tempat tersebut (Moustakas, 1994, p. 29). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
123
“Karena tempatnya banyak orang..temen-temen..trus..permainannya juga seru-seru. Trus di situ juga sering ketemu temen-temen lama. Udah ke sana sejak 1 SD.” (Via) “Bukan karena dukungan sih..tapi karena serunya…olah raga yang mendorong aku main di sana”. (Ricky) “Karena tugas jagain adik..” (Sara) “Jadi motivasi ke sana karena ada kegiatan kapel”. (Fani) “Kan rumputnya baru di potong. Jadi rame lagi pada main di sana”. (Luna) “Gak ada…cuman bisa main doang. Karena di rumah gak ada temen”. (Hani) “Pokoknya aku sih maunya ke Gramed….Kadang-kadang [komik] ada karena masih berkelanjutan…kadang-kadang cari yang lain. Semua bakal kucari..korek-korekin. Miko udah lengkap. Asarichan..udah punya. Aku gak suka Sinchan..yang pasti tokoknya yang adventure, ceria gitu….”.(Siska)
Motivasi partisipan untuk bergerak dan bertindak di ruang kota favoritnya tidak selalu ditentukan oleh peer. Partisipan, khususnya yang mengalami kondisi familialisasi yang strict, untuk dapat bergerak dan melakukan berbagai tindakan di ruang kota favoritnya, lebih dikarenakan ajakan dan dorongan orang tuanya atau anggota keluarga. Mereka tidak memiliki kebebasan dan kemandirian untuk bergerak menuju ruang kota favoritnya karena tempat itu berada di tempat yang jauh dan sulit dijangkau dengan berjalan kaki. “Papa yang ajak”. (Chelsea, David) “Mami yang ajak…kadang koko yang ajakin”. (Bety) “Kalau mama yang ngajak, baru ke Gramed. Kalau gak ngajak ya gak ke mal”. (Siska) “Kadang-kadang pulang rumah, di motor tidur..terus sampai rumah tidur sebentar. Habis itu dibangunin papa. Ditanya mau ikut gak. Ikut ajalah kata papa, daripada di rumah sendirian”. (Via) “Ya..yang ngajakin papa. Udah males ngajakin. Suka gak dikasih”. (David) Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
124
5.2.1.4.HALANGAN PERGERAKAN Walaupun partisipan menceritakan ada motivasi untuk bergerak dan bertindak di ruang kota favoritnya, partisipan mengakui ada banyak halangan yang mengakibatkan tidak dimungkinkannya mereka untuk bergerak dan beraktivitas di ruang kota favoritnya. Penyebab utama halangan pergerakan adalah tidak adanya modal sosial atau teman sebaya. Alasan ini menjadi alasan yang paling dominan yang diceritakan partisipan terkait ketidakhadiran mereka di ruang kota favoritnya. “Ya gak tahu…paling ada yang bilang besok males bangun pagi ya gak …kalau dikit [temannya] ya gak jadi..”. (Rina) “Biasanya kalau gak jadi berenang gara-gara koko gak mau. Soalnya kalau aku mau berenang harus ada yang jagain…..katanya koko males nemenin”. (Bety) "Kan hari Sabtu malem, dia (Lala) kan ikut ngumpul di bawah itu. Kita tuh udah mau janjian besok pagi mau bangun. Kan udah janjian. Dia saya bbm gak dibaca-baca. Saya kira gak jadi..jadi saya bantuin ibu aja di rumah”. (Sara) “Yang [teman] di BCI belum ada informasi jadi belum ke sono”. (Lala) “Sekarang udah jarang [main di warnet]. Males ke sananya…kalau sendiri gak enak”. (Fadli)
Alasan lain yang mendominasi adalah kondisi institusionalisasi para partisipan. Kesibukan menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan kesibukan les menjadi halangan bagi mereka untuk bergerak dan beraktivitas di ruang kota favoritnya. “2 bulan lalu, udah gak ke-itung…sering banget berenang ke GMP. Bulan ini belum tau tentu ke sana..gara-gara banyak ulangan”. (Hani) "Di rumah doang..belajar terus bu..lagi ulangan…” (Dona) “Bukannya gak suka..aku sih masih suka. Males sih…karena Senin s/d Jumat makin cape. Karena pulang udah sore banget ….Gak karena cape..”. (Ema)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
125
“Gak…Paling hari ini atau gak besok. Dari kemarin ulangan melulu bu…Pusing”. (Hani) “Gak..orang aku kecapean..semalam sekalian buat PR matematika yang buat Selasa. PRnya banyak”. (Rina) “Gak juga…kadang-kadang gak boleh. Disuruh belajar. Sekarang sama mama disuruh belajar dari Senin sampe Jumat. Kata mama biar nilai ulangan bagus, pelajaran bagus. Raport sih dapet ranking 21. Sebelumnya 22. Naik satu. Tapi kata mama tetep jelek” (Via) “Gak main…karena beberapa minggu ini banyak ulangan. PR berjibun-jibun. Bingung juga kata saya, kalau mau main sama temen juga gak rasa enak sama mama. Biasa ma, boleh main gak. Kata mama, ada PR apa ulangan apa besok. Kalau aku bilang ada ulangan PKn. Gak kamu belajar dulu….PR bener-bener gila. Ada 20 nomor dan gambar-gambar semua. Susah”. (Kevin) “Minggu lalu ke gereja kok. Setelah Paskah gak..soalnya kan sibuk…ada pentas..tugasnya banyak. Tugasnya yang suruh di rumah, mading, warnet. Soalnya buat nilai”. (Fani)
Alasan lain yang menghalangi pergerakan adalah ada daya tarik lain yang lebih menarik, seperti aktivitas jalan-jalan dengan orang tua, hadirnya gadget baru seperti laptop, wifi atau HP. “Kalau jalan-jalan sama orang tua jadi gak ke sana [taman bunglon]”. (Kevin) “Lebih suka di rumah..main laptop. Kadang-kadang aku bawa laptop ke rumah Fiko”. (Iksan) “Males…karena ada gadget”. (Dona) “Sekarang saya udah jarang main di luar bu…main komputer bu..sendiri di rumah. Komputer udah lama. Kan paket internetnya baru dihidupin lagi bu. Cuman kalau lagi males main komputer main di luar bu”. (Hani)
Alasan lainnya yang ditemukan adalah karena kondisi fisik ruang kota favoritnya tidak
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
126
menjadi daya tarik lagi. Hal ini dikarenakan sedang dalam perbaikan atau rusak atau tidak ada sepeda yang memadai lagi (karena kekecilan). “Ya…tempatnya udah gak bisa main di sono. Karena tamannya mau ditinggiin”. (Moris) “Gak..ya karena sepedanya udah kecil”. (David) “Gak enak lah… main ayunan doang. Sekarang tamannya udah diperbagus..catnya. Tapi permainannya gak ditambahain..itu-itu aja, bosen. Waktu itu pohonnya ditebang jadinya kan gak sejuk lagi”. (Via) “Agak sih..habisnya beberapa hari ini semuanya rumput, tapi sekarang karena banyak anak dari kampung sebelah pada main-main sliding-sliding-an..habis itu akhirnya rumputnya copot tinggal tanah-tanah. Saya gak demen. Kalau hujan nanti basah. Kalau lagi main bola nanti kakinya cemplung masuk” (Kevin) “Lagi gak enak..kadang..banyak pohonnya….Kehalangan…karena rumput liarnya banyak….Banyak pohon yang numbuh jadi banyak…pokoknya kayak numbuh di depan-depannya gitu. Jadi susah lewat. Makanya jadi jarang mainnya. Kadang Minggu gak main di situ….Aku jarang main di pohon ceri, lagi kan orang temannya pada gak main lagi itu-in jalan lebarin jalan. Jadi agak susah lewatnya. Didepannya sini [nunjukkin area lapangan] kan panjang sini….Bukan lapangannya tapi jalan ke lapangan sananya gak bisa lewat…..Sekarang cerinya udah itu…gak banyak tumbuh. Udah banyak pohonnya. Di terowongan kadang juga gatel-gatel, panas”. (Rina)
Alasan lainnya adalah karena dilarang oleh orang tua. Alasan ini dominan diceritakan oleh partisipan yang mengalami kondisi familialisasi yang strict. “Ya..begitulah bu..dilarang melulu…Bukan…gak ada harapan ke Gramed..mama saya marah melulu..tadinya bukunya mau diloakin, aku bilang “jangan!”[takut kehilangan bukunya]. (Siska) “Gak…cape bu…pulang sekolah sama temen-temen suka dibilang jangan pulang dong temenin gua..lu ma gitu……trus pulang di rumah diomel-omelin sama oma…suruh makan mandi dulu..ganti baju dulu….jadi males bu…”. (Dona)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
127
Pada beberapa partisipan, kuatnya ikatan mereka dengan ruang kota favoritnya, mengakibatkan mereka tetap akan melakukan pergerakan dan aktivitas di ruang kota favoritnya walaupun ada halangan, seperti cuaca hujan, sakit, tempat rusak, tidak ada teman dan ulangan sekolah. “Pindah…aja..kalau ujan tetap main bu…”. (Fadli) “Tetep main bu..kalau hujanpun”. (Ricky) “Temen rasanya gimana gitu yang mendorong kita. Kalau sakit panas aja saya main bu…temen suka bilang ayolah kok elu baru sakit gitu aja kaga mau main. Kadang aku maksa mama mau main bentar. Trus di kasih sama mama. Kadang ujan-ujan main. Tapi sering kepleset..pulang-pulang sakit”. (Kris) “Gak peduli cuaca apapun, sakit selalu main keluar, kecuali ulangan”. (Kevin) “Kalau ulangan, tetep main. Nanti malemnya baru belajar”. (Kris) “Gak ada…aku sendiri aja. Gak ada temen gak masalah..main aja ke sana”. (Via) “Gak ada yang mutusin..mau ada PR ada ulangan…gak dipengaruhi apa pun, gak peduli..”. (Kris) “Kalau orangnya ada ya main..gak peduli ada PR atau ulangan”. (Moris)
5.2.1.5.UPAYA UNTUK BERGERAK Keinginan untuk kembali dan berusaha dekat merupakan salah satu karakteristik kelekatan yang juga dijumpai pada human attachment dan place attachment (Giuliani, 2003). Penelitian ini menemukan bahwa partisipan menunjukkan berbagai upaya untuk bergerak menuju ruang kota favoritnya. Partisipan menunjukkan berbagai upaya untuk dapat dekat dan kembali beraktivitas di ruang kota favorit mereka, seperti membohongi teman, memancing teman, membujuk teman, memaksa teman, memuji teman, menjemput teman, berteriak memanggil teman, mendatangi teman. “Kalau gak ada orang, ya…paling cari kek ..siapa aja yang bisa keluar. Kalau pada gak mau, aku akan ngibul-ngibulin yang bagus. Bilang aja gua punya bola voli baru..dia kadang keluar. Pasti keluar. Padahal gak ada. Ada pancingan…..” (Kevin) Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
128
“Ngebujukin temen…mungkin memuji dia..habis itu maksa lah…”. (Elina) “Ya..kita jemput orangnya”. (Kris) “Nyamper-nyamper. Kadang aku, kadang yang lain”. (Rina) Pertama kan saya lagi diem di sini, di dalam rumah. Habis itu saya kan agak bosenbosen dikit gitu kan. Akhirnya saya keluar. Jalan kaki. Saya teriak Jonathan yok main..Kevin T. Monang yok main. Aku diem dulu sini (sambil menunjuk posisi pada peta). Pas udah keluar. Langsung ke sini (di tunjuk posisi lain pada peta). Owen main yok…trus teriak bareng-bareng tiga-tiganya langsung tau..langsung keluar”. (Kevin) “Awas lu pada gak bangun lu…udah digitu-gituin tetep aja semua pada gak bangun”. (Luna)
Partisipan juga menunjukkan berbagai upaya seperti membujuk, merengek, bahkan memaksa orang tua, bahkan menggunakan strategi khusus seperti membujuk orang tua melalui adik atau kakak partisipan, demi untuk dapat bergerak dan beraktivitas di ruang kota favoritnya. “Kadang aku maksa mama mau main bentar”. (Kris) “Ada…paksain mama. Biasanya bilangnya enak banget..ke sana lagi dong…waktu itu mama gak ikut berenang waktu itu sama saudara-saudara. Seringnya pergi sama keluarga. Sama saudara baru sekali. Janjian ketemu di sana”. (Ema) Suka merengek sama mama papa…tapi sama papa selalu dikabulin. Kalau sama mama gak boleh…kalau papa bilang boleh, sama mama pasti di bolehin. Tapi sering gak pergi ke Splash..karena mama cape”. (Ema) “Pertama-tama ngajak koko dulu..ko..mau ke CP [Central Park] gak. Kalau koko mau, baru tanya mami. Mami bilang tanya papi. Kalau papi boleh, mami ngikutin. Kalau dari mami gak boleh, papi gak mau. Kalau gak boleh pergi, Yona merengek sama papi”. (Yona) “Aku suka ngambek kalau gak ke sana”. (Chelsea) “Merengek sama mami. Kadang-kadang dikasih kadang-kadang ngak”. (Hani) Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
129
“Pertama-tama bilang dulu sama dede. Suruh dede yang bilang sama mami. Soalnya kalau aku ngomong suka ngak diturutin. Yang diturutin dede. Ya dede yang ngomong dikasih”. (Dona) “Yang pasti ya…sering pokoknya sering marah-marah mama..ngerengek. Jadi masalahnya makin parah..marah-marah ntar timbul masalah apa aja..nanti saya yang dimarahin lah..ntar saya kabur dari rumah lah… Pokoknya kayak gitu”. (Siska) “Paling merengek-rengek aja. Tapi suka gak dikasih. Udah lama gak berenang ke sana. Gak tau juga kapan akan ke sana”. (David)
Pada umumnya, inisiatif untuk bergerak dan berupaya dekat dengan ruang kota favoritnya adalah dari pihak partisipan sendiri. “Aku yang ngajakin” (Dona) “Iksan kadang-kadang Fiko..ganti-gantian aja”. (Iksan dan Fiko) "Ya…dari rumah David yang ngajak…..Kadang-kadang aku yang ngajakin ". (David) “Aku yang minta…kalau gak papa yang minta”. (Ema) “Biasanya kalau jalan-jalan baru direncanainnya pagi-pagi atau sore-sore. Aku yang ngajak”. (Ema) “Yang mendorong adalah diri aku sendiri. Aku suka main sama anak tukang es itu. Aku anggap adikku sendiri. Jadi aku sering main ke sana” (Lala).
Upaya yang mereka lakukan untuk dapat bergerak dan beraktivitas di ruang kota favoritnya cukup kuat, hingga pada akhirnya mereka dapat beraktivitas di ruang kota favoritnya. Kata-kata yang diucapkan mereka seperti “Gak..sampe dapet”. Upaya partisipan untuk dapat bergerak dan beraktivtias di ruang kota favoritnya biasanya dilakukan melalui perjanjian atau kesepakatan bersama terutama dengan teman sebaya. Hal ini diceritakan oleh partisipan dengan mengucapkan kata-kata “selalu janjian”, “biasanya”. Kesepakatan atau perjanjian sebelumnya menandakan adanya perencanaan yang dilakukan sebelum bergerak menuju ruang kota favoritnya.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
130
“Bareng-bareng…kalau gak mau, ya mainnya di sekitar aja. Kalau pada mau, ya main ke lapangan”. (Fadli) “Kita janjian ke situ…” (Luna) “Kita sms-an dulu…kalau dia mau main..mau ketemuan atau gak. Kalau dia gak mau ya..kita cari tempat lain”. (Lala) “Bareng-bareng sama temen-temen…. Sore-sore biasanya lagi. Lagi duduk-duduk besok main warnet yok..sejam atau dua jam, main di mana, warnet mana…”.(Ibra) “Biasa kalau itu sore…lagi duduk-duduk main gambaran di bunderan terus ketemu temen-temen di situ. Terus ngomongin besok main apa. Main warnet..main warnetnya di mana…”. (Ibra) “Biasanya Sabtu malem kan main di lapangan depan rumah, di sana bilang sama tementemen..mau ngak main di situ. Tapi kalau Senin ulangan, aku gak ikut”. (Rina) “Janjiannya sehari sebelumnya….Hari Minggu kemarin (tgl 20 April). Janjian pake baju merah. Janjiannya hari Sabtu. Biasa..kayak main. Main petak jongkok, ya..gitu…”. (Rina). “Kadang-kadang gak jadi. Kadan-kadang main sendiri aja. Janjiannya jam 9 jam 8..sore-sorenya pulang ngaji. Dia juga bareng-bareng saya. Pulang ngaji janjian jam 8 jam 9 main di warnet”. (Ibra)
Partisipan, terutama dengan kondisi familialisasi moderate, menceritakan bahwa terkadang mereka secara spontan, tanpa perjanjian dan kapan saja langsung bergerak menuju ke ruang kota favoritnya. “Kalau lagi mau main sih main aja…ada 3- 4 kali”. (Luna) “Pertama kan gendong keponakan main di lapangan…trus kan ada si Geboy lagi main bola kan. Eh…pinjem dong bolanya. Trus dikasih pinjem..ya udah kita langsung main gitu. Si Adi baru dateng trus ikut main bola gitu. Sara dateng sendiri sama adiknya”. (Luna) “Aku….gak ada janji..main sendiri..di depan rumah..ya udah itu doang”. (Hani)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
131
“Kapan aja kalau ada waktu”. (Lala dan Luna)
Partisipan juga menceritakan bahwa terkadang tidak ada upaya tertentu yang dilakukan untuk dapat bergerak dan menjaga kedekatan mereka dengan ruang kota favoritnya. Mereka juga tidak menunjukkan kekhawatiran untuk tidak dapat bergerak dan beraktivitas di tempat tersebut. Partisipan-partisipan ini adalah mereka yang berada dalam kondisi familialisasi moderate. Orang tua mereka tidak melarang dan tidak membatasi pergerakannya untuk berada di ruang kota favoritnya. Hal ini juga didukung spasial lingkungan fisik yang banyak menawarkan ruang terbuka hijau bagi partisipan beraktivitas, lokasi ruang kota favorit dekat dengan rumah dan dianggap aman oleh orang tua. “Gak perlu…selalu boleh ke sana”. (Rina) “Pasti boleh sama mama…gak masalah. Gak perlu ada usaha”. (Fadli dan Ibra) “Gak perlu ada usaha”. (Iksan dan Fiko) “Kalau biasa..ya nunggu aja..gak ada merengek. Kalau minggu ini ya minggu depan. Gak ada kekhawatiran ke sana”. (Tim)
5.2.2. BERDIAM (REST) DI TEMPAT Secara etimologi, “rest” berasal dari kata “restan” (Old English) atau rasten (Germany), artinya “pause, repose, stopping-place, refreshment, refresh oneself” (Partridge, 2006, p. 2754). Rest dalam penelitian ini merujuk pada “any situation in which the person or an object with which he or she has contact is relatively fixed in place and space for a longer or shorter period of time” (Seamon, 1979, pp. 69-70). 5.2.2.1.WAKTU BERDIAM Penelitian ini menemukan bahwa secara relatif, partisipan berada atau berdiam di ruang kota favorit tertentu untuk waktu yang sangat singkat (5-30 menit), sedang (30 menit-1 jam), lama (1-2 jam) dan sangat lama (2-3 jam bahkan lebih). Partisipan menceritakan
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
132
waktu berdiam di ruang kota favoritnya dengan menggunakan kata-kata “sore”, “malam”, “siang”, “jam”, “bentar”, “sampai magrib”, “sampai lupa waktu”, “gak pasti”. “Sore jam 4-4.30 temen manggil ngajak main. Trus mainnya gak tentu. Voli bulu tangkis bola, sepeda muter-muter. Sampai jam 6 ampe magrib”. (Kris) “Kalau renang sampai lupa waktu. Biasanya masuk itu jam 10, setengah sepuluh…eh keluar-keluar loh udah jam 12 jam 1 gitu..” (Tim) “Biasanya jam setengah 8 main di sana ….Main sampai setengah 9” (Fani) “Bentar…10 menit, tapi tiap hari”. (Iksan) “Dari jam 3 sore kadang-kadang sampai jam 9-10 malem [di tempat dagangan]”. (Via) “Pulang dari sana jam 5.30 sore. Main di sana gak pasti sih..lamanya”.(Elina) “Sore-sore, 2 jam….Kadang-kadang sejam kadang-kadang 2 jam [di lapangan bola]” (Ibra) “Jam empat setengah lima sampai mau magrib baru pulang”. (Luna) "Dua jam…kadang-kadang ditungguin sama papa kadang-kadang ditinggal”. (Siska) “Kadang bisa sejam dua jam. Sekarang gak lama, paling setengah jam” (Rina) “Sore-sore jam 4-5 gitu…..Setengah jam satu jam gitulah”. (Kevin) “Dari jam 12 sampai jam 6 [di mal]” (Dona)
Partisipan menunjukkan kesadaran terkait dengan berapa lama mereka berada atau berdiam di ruang kota favoritnya. Mereka menyadari tanda-tanda kapan selesainya waktu beraktivitas, kapan mereka harus meninggalkan ruang kota favoritnya. Tandatanda berakhirnya waktu beraktivitas di ruang kota favorit, diceritakan melalui ucapan seperti: “Kalau lagi gak ada ulangan, boleh main…gak dilarang. Cuman gak boleh sambil magrib banget. Kalau langit nya udah agak gelap maka aku harus pulang”. (Via) “Kalau waktunya les…”. (Iksan)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
133
“Habis itu selesai kalau udah denger suara orang sholat langsung pulang lari ke rumah”. (Kevin) “Kalau udah sepi, udah gelapan sedikit, udah biru-biru langitnya”. (Fiko)
5.2.2.2.
TERITORI
Penelitian ini menemukan bahwa berdiam tidak hanya terkait dengan durasi, namun juga teritori. Teritori berasal dari kata “terra” (Latin) artinya “dry land (opp the sea), the earth hence a part of the earth, a region or a country” (Partridge, 2006, pp. 34193420). Secara spasial, teritori adalah “a bounded meaningful space” (Delaney, 2005, p. 15). Teritori merupakan ruang sosial yang diciptakan oleh manusia (Delaney, 2005, p. 10). Penelitian ini menemukan bahwa pada saat partisipan berada atau berdiam di ruang kota favoritnya, ada teritori tertentu yang diakui oleh partisipan. Teritori ini diucapkan oleh partisipan dengan kata-kata “dalam sini”, “dekat…ini”, “di area ini”, “di antara [tempat] dan [tempat], “di [tempat] aja”, “semua [tempat]”. “Biasanya main di deket pohon-pohon ini…… Di area halaman depan toilet dan diantara pohon jeruk bali dan pohon rambutan”. (Chelsea) “Gambar lapangan futsal..ini pagar..ini jaring..ini juga jaring. Mainnya di dalam sini [menunjuk ke dalam lapangan futsal]. (Fadli) “Mainnya hanya di area pohon ceri aja”. (Fiko dan Iksan) “Hanya main di pohon perosotan aja” (Rina) “Main di taman itu semuanya…”. (Via) “Areanya mainnya di lapangan bola aja”. (Ricky) “Semua taman bunglon itu”. (Kevin) “Hanya main di area warung cincau aja”. (Lala) “Sekarang main di semua lapangan bola”. (Kris) “Area main di lapangan bola dan gang buntu”. (Moris) Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
134
“Kan di tempat bakmi itu ada tempat seperti gudang taro Alto segala macem, kita main di situ. Ada buku dan kita sediain kursi senderan gitu. Kadang sama koko aku”. (Via) “Main di bawah di blok deket tangga turun”. (Sara) “Sampai malem…kalau malem main di warung…kadang-kadang di jembatan ngobrolngobrol. Deket rumah dia kan ada kali, ada jembatannya. Kalau main sepeda sore deket jembatan”. (Hani) “Di sini ada kayak got kecil situ..ya di situ”. (Sara) “Di situ kan ada parkiran motor. Kita duduk di motor orang atau deket got”. (Luna)
Penelitian ini menemukan bahwa partisipan pada saat berdiam di ruang kota favorit tertentu tidak hanya merujuk pada durasi, tetapi juga merujuk pada area tertentu dari ruang kota favorit mereka yang diklaim mereka sebagai “markas”, “base camp”. “Tapi selalu di situ aja. Gak mungkin jauh-jauh. Soalnya markasnya udah di situ. Gak tau siapa yang tentuin, aku cuman diajak doang main di situ”. (Lala) “Ya..base camp [merujuk pada koridor depan rumah Luna]”. (Sara)
5.2.2.3.TINDAKAN DI TEMPAT Tindakan (act) berasal dari kata “actus” (Latin), artinya “a thing done”, sesuatu yang dikerjakan (Partridge, 2006, p. 26). Merleau-Ponty (1962) menyatakan bahwa tindakan merupakan hadir sebagai hasil persepsi manusia terhadap keberadaan dan posisinya di di dunia. “Perception is not a science of the world, it is not even an act, a deliberate taking up of a position; it is the background from which all acts stand out, and is presupposed by them” (Merleau-Ponty, 1962, p. xi). Penelitian ini menemukan bahwa selama anak berdiam di tempat, partisipan menunjukkan berbagai bentuk tindakan, yaitu:
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
135
a. Bermain Pada saaat berdiam, partisipan melakukan berbagai tindakan yang menurut mereka dinyatakan sebagai tindakan bermain yang mereka suka lakukan di ruang kota favoritnya, seperti “lari-lari”, “naik sepeda”, “berenang”, “lompat tali”, “naik sepeda”, “metik buah”, “nangkep bunglon”, “duduk-duduk”, “jalan-jalan”, “ngumpul-ngumpul”. Seperti yang diucapkan oleh beberapa partisipan: “Main karet..lompat tali dan kadang main tak benteng”, (Via) “Aktivitas renang paling suka…..Di sana renang, ngomong-ngomong…cerita-cerita.” (Tim) “Main bola” (Fadli dan Ibra) “Main-main di lapangan depan kapel….lari-lari… main petak umpet..Main lomba lari, polisi maling…Kalau di lapangan rumput, main petak umpet…kan ada pohon-pohon deket parkiran itu”. (Fani) “Ya…kadang lari. Kadang main bulu tangkis…..Main bola kaki plastik buat main voli”. (Luna) “Main lari-lari, polisi maling”. (Rina) “Main sepatu roda, main sepeda” (Hani) “Bisa nangkep bunglon, main bola”. (Kevin) “Jalan-jalan doang bu…ke mal. Hari Sabtu ke Gajah Mada. Kalau Minggu suka pindahpindah, tapi kemarin ke Season City”. (Dona) “Main di bawah di blok deket tangga turun. Pada ngumpul-ngumpul di sana doang”. (Sara) “Duduk-duduk aja [di warung cincau]”. (Lala) “Di sana main kartu, main gambaran, main karambol” (Amran)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
136
b. Tindakan yang dilakukan bersama-sama Pada umumnya, saat berdiam di ruang kota favoritnya, partisipan menunjukkan berbagai tindakan yang dilakukan selalu bersama-sama dengan teman maupun keluarga. Tindakan bersama-sama ini diceritakan oleh partisipan dengan kata-kata “banyak”, “bareng-bareng”, “sama temen”. “Biasanya berenang berempat..bisa lebih”. (Tim) “Main di sana sama temen. Banyak…bisa 5 orang lebih….mainnya 5-6 orang di situ”. (Rina) “Temen-temen. Bareng-bareng gitu…6-7 orang”. (Fani) “Naik sepeda bareng temen-temen ke tempat pohon ceri….trus main di pohon ceri ber 4 atau ber 6”. (Elina) “Sama teman di sana…satu orang. Berdua doang”. (Iksan) “Kadang-kadang berlima, sini lima ngelawan”. (Fadli) “Bertiga doang sama Lala dan Sara”. (Luna) “Sama papi, mami dan dede”. (Dona)
c. Tindakan membuat tempat Selama berdiam, partisipan, terutama anak laki-laki, menunjukkan keterlibatan mereka dalam bentuk tindakan mengkonstruksi atau membuat tempat. Tindakan-tindakan ini dilakukannya agar mereka dapat tetap menjaga keberlangsungan tindakan-tindakan yang mereka suka lakukan di ruang kota tersebut, seperti bermain bola. Mereka menggunakan kata-kata yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam membuat tempat seperti “buat ayunan”, “ditumpuk-tumpuk”, “iket-iket”, “tancepin”, “ngangkat”. Mereka juga menceritakan bahan-bahan yang mereka gunakan dalam mengkonstruksi tempat demi aktivitas bermain bola dapat dilakukan, seperti “kayu”, “sandal”, “pralon”, “jaring ikan”, “bambu”, “barang bekas”.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
137
“Buat ayunan..dari kayu yang ditemuin di sana”. (Rina) “Gawang pake sandal ditumpuk-tumpuk….Semua bikin sendiri. Gawang lagi bikin satu lagi. Satu lagi udah selesai. Bikinnya sama temen-temen. Gawangnya dari pralon sama jaring ikan. Pake barang bekas”. (Ricky) “Kalau gawang dari bambu gitu kita iket-iket. Trus ditancepin ke tanah”. (Kris) “Gawang cuman ada 1, satu lagi pake sandal”. (Moris) “Dulu gak ada gawang, gak ada meja runding. Pertama kali meja runding dibuat, habis itu kedua gawang dari besi..beneran gawang seperti lapang sekolah. Pohon dan batu beton. Habis itu ring basket. Pendek…setinggi lemari perpustakaan lebih 10 jengkal..pendek. Habis itu..paling terakhir bikin lampu. Saya liat doang orang bikin lampu. Saya ikut ngangkat doang lampunya. Serunya itu saat bikin lampu, malemmalem gak bisa main..karena gelap..akhirnya mereka minta bikinin lampu. Sekarang malem-malem bisa main”. (Kevin) “Kadang main bola. Bukan lapangan bola, tapi bisa main bola. Kadang bikin sendiri gawangnya, garis out-nya” (Kevin)
Dalam penelitian ini, anak laki-laki mengkonstruksi tempat dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh anak laki-laki dari negara Barat. Pada umumnya, anak lakilaki di negara Barat dilaporkan membuat rute atau membuat benteng sebagai suatu tindakan bagaimana mereka mengalami tempat (Benson, 2009; Blizard & Schuster Jr., 2004; T. Derr, 2006; Kjorholt, 2003). Tindakan yang dilakukan partisipan lebih menunjukkan tindakan personalisasi pada ruang publik daripada tindakan personalisasi pada ruang privat, seperti yang diungkapkan dalam penelitian Fidzani (2010). Partisipan dalam mempraktikkan tindakan-tindakan membuat tempat, menginvestasi waktu dan tenaga, demi menjaga keberlangsungan tindakan yang mereka suka di ruang kota favorit mereka. “Trus kita di kasih gunting rumput. Kalian mau main gak..ya..kalau ya potong rumput dulu”. (Kevin)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
138
“Habis itu..paling terakhir bikin lampu. Saya liat doang orang bikin lampu. Saya ikut ngangkat doang lampunya”. (Kevin) “Bantuin potong rumput udah ada 20 kali kurang…18an…” (Kris)
d. Tindakan menamai tempat Partisipan menceritakan bahwa mereka juga memberikan nama tertentu pada ruang kota favoritnya. Nama-nama tersebut diberikan terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh mereka di tempat tersebut. “Jalan balap” sebagai tempat untuk balapan sepeda, skateboard dan motor. “Nobar” sebagai tempat untuk melakukan “nongkrong bareng”, “Pohon ceri” sebagai tempat untuk memetik dan mencicipi buah ceri. “Taman bunglon” sebagai tempat untuk menangkap bunglon. “Pohon perosotan” sebagai tempat untuk bermain ‘perosotan’. “Kalau lagi malas jalan ke jalan balap…ini bukan nama jalan, kalau aku sama tementemen sebutnya jalan balap karena buat main sepeda, skateboard, motor. Kemudian lapangan sepak bola, sawah, taman, gang 4 (gang rumahku), jalan raya dan kolam renang. Gang 4 yang paling rame. Gang 1 rumah besar-besar..anaknya masih bayi-bayi. Gang 4 paling rame, paling banyak temen. Ada gang setan karena ada anjing galak..diitung-itung ada 10. Taman bunglon….taman yang penuh bunglon..untuk nangkep bunglon” (Kevin) “Tempat nongkrongan di warung…di warung cingcau”. (Lala) “Di taman yang ada pohon itu, ada tempat duduk juga. Di situ kan duduk. Di situ pada main. Nobar itu duduk-duduk bareng, nongkrong bareng”. (Lala) “Ya…sawah juga termasuk…dulu ini sawah…sekarang udah jadi tanah-tanah..gitu. Pengen dibikin apalah gitu…. ini buat main peringkat doang karena tempatnya luas”. (Kevin) “Pohon ceri”. (Elina, Iksan & Fiko)
“Rumah pohon perosotan”. (Rina) “Bunderan dekat rumah…di sana main kartu, main gambaran, main karambol” (Amran) Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
139
5.2.2.4.
EKSPRESI TINDAKAN
Ekspresi (expression) berasal dari bahasa Latin “exprimere”, artinya “to press out” (Partridge, 2006, p. 2551). Jadi, ekspresi merupakan sesuatu yang diungkapkan atau dinyatakan. Bila dikembalikan kepada fenomena ekspresi, maka bahasa (language), ucapan (spoken) atau tulisan (written) memiliki makna. Kata-kata yang terucap melalui bahasa, ucapan atau tulisan menyempurnakan (accomplish) pikiran (thought) (Landes, 2013, p. 7). “Expression is any enduring response to the weight of the past, the weight of the ideal, and the weight of the present situation, broadly construed. As such, when viewed phenomenologically, expression is experienced as an embodied act that gears into trajectory of performances that are always been pure repetition and pure creation” (Landes, 2013, p. 10). Kutipan diatas merupakan interpretasi Landes (2013) terhadap pemahaman MerleauPonty mengenai apa itu ekspresi. Merleau-Ponty menyatakan pengalaman dari ekspresi (experience of expression) sebagai “human actions as between pure exteriority and pure interiority, between the ‘pure repetition’ of mechanical processes and the ‘pure creation’ of constituting consciousness” (Landes, 2013, p. 6). Pemahaman ekspresi Merleau-Ponty menurut Landes (2013) berbeda dengan pemahaman klasik expression sebagai “the act of making public”. Menurut MerleauPonty (1962), ekspresi ada di dalam tubuh. Bodily being as expressive expression: “Our body, to the extent that it moves itself about, that is, to the extent that it is inseparable from a view of the world and is that view itself brought into existence, is the condition of possibility, not only of the geometrical synthesis, but of all expressive operations and all acquired views which constitute the cultural world” (p.451). Jadi dapat disampaikan bahwa tubuh merupakan “expressive space” dan tubuh merupakan “the very movement of expression” (Merleau-Ponty, 1962, p. 169). Berdasarkan pemahaman teoritis terkait ekspresi, maka dapat disimpulkan bahwa semua tindakan yang dilakukan dan diucapkan oleh partisipan terkait dengan keberadaannya di
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
140
ruang kota favoritnya, dapat dipahami sebagai ekspresi. Ekspresi sebagai hasil both/and kehadiran dialektika anak dan tempat. Penelitian ini menemukan bahwa selama berdiam, partisipan menunjukkan berbagai ekspresi tindakan menempati ruang kota tertentu, seperti: a. Ekspresi tindakan yang menyenangkan Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh partisipan selama berdiam dan menempati ruang kota favoritnya, mengekspresikan berbagai tindakan yang menyenangkan, disukai, asik, seru, dapat ditertawakan, tertawa, bercanda, lucu, memuaskan dan menghasilkan suatu keterampilan (‘sampai jago’), seperti yang diucapkan oleh beberapa partisipan di bawah ini: Jawab Luna, “Sampai bosen. Naik sepeda boncengan”. Ia kemudian melanjutkan, “Aktivitas sepeda itu seru…suka balapan. Naik sepeda tiap hari..kadang ngak mandi”. (Catatan lapangan 8 November 2013) “Kalau lagi main bola, ada yang jato, kepleset masuk got, bisa diketawain, bisa buat becandaan, bisa jadi latihan”. (Kris) “Karena ada temen, seru, kejadian lucu..di lapangan bola. Temennya banyak…”. (Ricky) “Saya suka ke taman itu karena banyak kejadian lucu..banyak bunglonnya, suka mainmain, nangkep. Kalau di situ..di jalan balap kan…kalau lagi banyak yang kerja-kerja, konstruksi-konstruksi rumah..maka naik sepedanya gak di lapangan itu. Kan rumputrumput banyak gajrukan..situ. Kadang balap di situ sampai jato-jato. Main bola sama temen sih ada, seru…kalau misalnya lagi main-main tau-tau ada yang becanda …gol bunuh diri berapa kali. Kadang kocak”. (Kevin) “Ngebajak
HP
orang….foto-foto…di
mana
aja
bu..selalu
bu…kalau
pake
handphone..temen saya lagi ngapain gitu bu…di mal kan lagi belanja-belanja gitu kan..difoto langsung di share di Instagram. Langsung di ketawa-ketawain. Tiap bawa HP selalu bawa power bank dan wifi. Saya kan gak pake wifi dan temen-temen pake wifi kayak Bolt gitu..saya kan pake paket data. Yang penting charge power bank. Yang
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
141
paling ngeselin kalau power bank lupa di charge. Trus pinjem temen juga gak kasih karena takut baterenya juga habis”. (Dona) “Kemarin kita habis muter-muter gak jelas..sampai ke pom bensin…sampai ke Dongkaran..sampai malem. Pertamanya nyasar, sampai nanya-nanya ….Serulah..yang di rumah pada nyariin ke mana…”(Luna) “Asik..bu..happy banget…trus saya keluar, dede saya minta makan di J.Co. Saya makan yogurt..habis itu baru pulang…..Dari jam 12 sampai jam 6”. (Dona) “Ya..udah gak sabar…biasanya ganti baju renang dulu langsung nyebur. Makan di situ juga di kolam renangnya. Berangkatnya Sabtu, dari jam 4an sampai jam 6-an. Tapi gak sampai gelap banget. Habis itu pulang. Minggu gak ke mana-mana. Jumat ini mau berenang. Soalnya kata mami, besok gak bisa, karena ada undangan. Minggu gak tau lah..” [memo: Bety benar-benar menunjukkan ekspresi kesenangan luar biasa karena bisa berenang lagi dan memiliki jaminan bisa berenang lagi. Bety pada saat wawancara sangat menunjukkan ekpresi kesenangannya] “Dulunya gak bisa main bola, tapi belajar-belajar sampai jago”. (Kris) “Habis main..rasanya puas” (Ibra)
Partisipan menceritakan berbagai tindakan mereka di ruang kota favoritnya dengan cukup detail. “Kan di situ ada pondasinya..ada pagar dipanjat. Kan ada got terus ada pondasi. Itu tanah. Ada lobang. Badan kecil lewat lobang. Badan besar kayak saya ya..manjat….Kadang di situ ada anak-anak kampung lagi iseng kan. Dari kampung situ kan. Jadi jalannanya bergelombang. Lagi pada berdiri di pipa. Trus di timpukin batu ke pipa. Trus pada kaget trus langsung kabur bareng-bareng. Kadang di lempar tanah-tanah keras ke dalam pipanya ada bunyi-bunyi lucu..dung…[Kevin menyuarakan bunyinya]. Habis itu dari sini..udah kumpul semua 9 orang kan....kadang-kadang ada yang dari luar tapi jarang. Jadi kondisinya masih 8 orang, habis itu 4 orang ke sini langsung loncat dari pondasi ini yang badannya kecil langsung loncat kan. Yang badannya gede-gede badannya kayak aku, Kevin T, sama Owen lewat sini [sambil menunjukkan lokasi masuk ke area bermain pada peta]”.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
142
“Kayak semacam kejar-kejaran. Tapi kejar-kejarannya beda sendiri. Tiga orang di sini. Satu orang, Satu orang. Satu orang di tengah. Yang satu ini kejar ini. Ceritanya ini namanya Kejuaraan. Ini namanya Kekalahan. Nama permainannya Peringkat, buatan sendiri. Ini dia Macan. Permainannya tuh…Kejuaraan dan Kekalahan bisa lawan dia nih..dia bisa lawan Macan dan Macan bisa lawan dia. Pokoknya saling ketergantungan. Ada yang kalah kayak suit gitu lah”. “Ya…kalau main kejar-kejaran antara ini atau gak ini. Kalau ini buat main peringkat doang karena tempatnya luas. Habis itu Lapangan bunglon, dia biasa paling sering buat main bola, kucing tikus, bentengan. Pokoknya paling sering main di sini [menunjuk pada taman bunglon]”. “Ada pondasi batu-batu kan..kan saya duluan kan. Pertama saya pake tangan sini..dia injek di sini. Saya dorong. Pulangnya nanti ada yang dari atas kan, langsung ini-in tangan, saya langsung loncat gitu. Gampang sih..kalau di ituin mah tiap hari. Kan namanya orang bisa karena biasa. Orang pertama pas lagi pada main, yok manjat yok. Aku mah diem aja. Trus pada bilang Kevin mah gendut gak bisa manjat. Terus aku langsung itu-in..bisa..”.
Deskripsi narasi tersebut diatas, diceritakan Kevin pada saat wawancara tgl 21 April 2014. Deskripsi narasi tersebut menggambarkan berbagai ekspresi tindakan yang keluar dari tubuhnya dan menggambarkan suatu pengalaman yang menyenangkan dan tidak mudah dilupakan. Penelitian ini juga menemukan ekspresi wajah gembira terlihat dan suara yang ceria terdengar pada saat peneliti melakukan observasi lapangan, seperti yang tertuang dalam catatan lapangan berikut ini: Rina menunjukkan kepada saya bagaimana biasanya ia bermain dengan pohon perosotan itu. Rina mengajak Fiko dan Iksan untuk mencoba perosotannya. Mereka bertiga bermain dengan gembira dan tertawa- tawa. Setelah beberapa saat bermain naik turun di dalam tabung besi itu, mereka bertiga duduk-duduk sambil mengobrol di atas tembok rendah yang ada di samping pohon itu. Iksan dan Fiko bercerita bahwa mereka juga suka cari belalang. (Catatan lapangan, 4 November 2013).
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
143
Walaupun saya menyadari bahwa sulit untuk memperoleh rekaman visual ekspresi tindakan-tindakan partisipan di ruang kota favorit mereka. Namun, saya berhasil menangkap beberapa gambaran visual terkait ekspresi tindakan yang gembira dan menyenangkan yang keluar dari wajah dan perilaku partisipan pada saat observasi lapangan dan melalui foto naratif (Lihat Gambar 5.1).
Gambar 5.1. Ekspresi visual partisipan di ruang kota favorit
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
144
b. Ekspresi tindakan yang dibagikan (sharing) Partisipan mengekspresikan berbagai tindakan yang menyenangkan dan seru pada saat menempati ruang kota favorit mereka sebagai sesuatu yang dapat dibagi (share) pada teman, seperti “cerita-cerita”, “ngomong-ngomong”. “Sekarang udah jarang main bola dan kejar-kejaran. Sekarang lebih sering duduk di atas motor dan ngobrol-ngobrol. Cerita-cerita…eh gua habis gini..gini..diceritain..kadangkadang ambil bangku juga dari dalem buat duduk di pinggir lapangan”. (Luna) “Di sana renang, ngomong-ngomong… cerita-cerita” (Tim) “Seneng banget..tapi kayaknya seru gitu..soalnya cerita-cerita habis ngelakuin selalu diulang-ulang lagi diceritain-ceritain lagi. Jadi kesenengan gitu lah”. (Sara)
c. Ekspresi tindakan yang menantang Pada beberapa partisipan, mereka menceritakan bahwa tindakan-tindakan yang seru dan menyenangkan selama berdiam dan menempati ruang kota favorit sebagai suatu tindakan yang menantang, seperti “ngelawan”. Ekspresi tindakan yang menantang tersebut merupakan suatu pengalaman yang menyenangkan dan membuat mereka selalu ingin kembali ke tempat tersebut. “Karena di daerah sekitar lingkungan, bosan. Tempatnya gitu-gitu mulu. Kalau di lap bola, futsal..kadang main bola, train…lawan yang lain..”. (Ibra) “Kadang kita sparing gitu…tanding bareng”. (Kris) “Kalau lapangan sepak bola ada sparingnya. Kalau voli ada sparingnya”. (Kris)
d. Ekspresi tindakan yang selalu baru Partisipan menceritakan bahwa selama berada di ruang kota favoritnya, mereka selalu mengalami berbagai ekspresi tindakan yang selalu baru. Seperti yang diceritakan oleh Luna dan Sara mengenai pengalaman ‘naik motor’ mereka yang menyenangkan dan berbeda setiap kalinya.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
145
“Kan lagi naik motor…kan di sini ada anak-anak lain. Kan Sara yang bawa..tapi mau ke sini..eh dia ke kanan..hampir sampai mau jatoh karena takut sama anak-anak cowok itu”. (Luna) “Karena dia nih..kirain ada apa ya. Sara jangan lewat sini ..lewat sana aja. Tiba-tiba depannya ada mobil. Hampir aja ketabrak mobil. Emang ada apa sih? Itu karena ada anak-anak itu aja…hampir ketabrak mobil”. (Sara) “Ya…apalagi naik motor Sara kan macet..tau-tau berenti sendiri harus dorong dulu..harus diengkol dulu. Kalau motor Sara gitu..”. (Luna) “Kadang-kadang naik motor bertiga”. (Sara) “Kemarin kita habis muter-muter gak jelas..sampai ke pom bensin…sampai ke Dongkaran..sampai malem. Pertamanya nyasar, sampai nanya-nanya ….Serulah..yang di rumah pada nyariin ke mana…”(Luna)
Jadi, berbagai ekpresi tindakan yang diceritakan oleh partisipan selama berada di ruang kota favoritnya, merupakan pengalaman yang selalu baru dan memorable, tidak mudah dilupakan. Ruang kota favorit tertentu merupakan tempat yang penuh dengan kenangan. “Karena jadi… tempat bermain yang gak bisa dilupain”. (Ibra & Fadli) “Waktu itu pernah lagi main bola, tendang kena kaca orang..kata orang itu..kamu gak peduli ya. Jadi gak peduli sama alamnya…seperti di angkasa”. (Kevin) “Kalau di situ banyak kenangan sama temen. Suka main-main. Habis itu pernah ada yang jatuh. Pernah juga tuker-tukeran sepeda di situ”. (Elina)
5.2.2.5.
HABITUS TINDAKAN
Penelitian ini menemukan bahwa semua partisipan dalam penelitian ini tidak bertindak sendiri dalam membentuk place habit. Kondisi institusionalisasi dan familiasiasi yang strict maupun yang moderate, tidak menghalangi hadirnya berbagai praktik tindakan menempati ruang kota favorit. Walaupun perbedaan kondisi familialisasi menghadirkan perbedaan sifat place habit17. Menurut Bourdieu (1990) dalam Painter (2000, p. 242), practice merujuk pada “ongoing mix of human activities that make up the richness of everyday social life”. Menurut Bourdieu, practice muncul dari operasi ‘habitus’. Bourdieu (1990, p.53) dalam Painter (2000, p. 242) mendefinisikan ‘habitus’ sebagai “systems of durable, transportable dispositions, structured structures predisposed to 17
Perbedaan sifat-sifat place habit dibahas pada Bab 7. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
146
funcion as structuring structure, that is principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of operations necessary in order to attain them. Objectively ‘regulated’ and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of organizing acion of a conductor”. Teori habitus memberikan pemahaman bahwa seseorang individu dalam bertindak terkait dengan modus operandi, ada suatu sistem terstruktur yang teregulasi, reguler, tanpa harus terkait dengan aturan-aturan. Secara sederhananya, habitus merupakan “modus operandi or disposition that regulates the mental and bodily action” (Webster, 2011, p. 71). Teori Habitus bertujuan untuk memahami bagaimana dan mengapa anak sebagai aktor sosial bertindak di ruang kota favoritnya (disebut Bordieu sebagai field). Dalam penelitian ini, partisipan sebagai aktor sosial dalam bertindak di ruang kota favoritnya, menunjukkan sense bertindak dan bereaksi pada situasi tertentu tanpa harus selalu dalam keadaan yang mengikut aturan. Partisipan memahami situasi yang ada di tempat, sehingga mereka sudah memiliki sense untuk bertindak. Sense untuk bertindak tergantung pada situasi eksternal seperti peer, orang lain, cuaca dan situasi internal seperti “ketiduran”. “Main keluar sih..gak nentu sama temen. Kalau lagi rame-rame main bola. Kalau lagi kira-kira lima orang main petak umpet. Kalau berdua-bertiga main ke sawah”. (Kevin). “Liat kondisi, kalau ada RT kita main di jalan. Katanya ngak boleh bu…waktu itu bawa golok. Kalau gak ada RT, mainnya di lapangan. Sampai magrib, pulang ke rumah”. (Moris) “Kalau ngak panas jam setengah empat atau jam empat baru main di luar. Berdua sama adik doang”. (David) “Kalau ada uang jajan, ke warung. Kalau ngak ada uang jajan, main di rumah Chelsea aja sampe jam 7… kadang-kadang main di jalanan. Ngak main apa-apa, cuman ngobrol doang sambil jalan…main di dalam rumah aja. Main game, komputer…” (Hani)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
147
“Kalau temen mau, ya ke sana. Kalau temen gak mau…ya gak ke sana”. (Tim) “Kalau gak ke sana mah itu, kalau lagi banyak PR, kalau sore-sore ketiduran. Kalau ngak, main ke sana”. (Via) “Kadang-kadang berlima, sini lima ngelawan. Kalau orangnya sedikit main suit-suitan, main gocekkan . Tergantung temen-temennya. Baru main. Kalau mau main warnet main warnet, kalau bola ya bola”.(” (Fadli) “Kalau liat samping kiri kanan lagi sepi..ya langsung ke lapangan bola. Kalau gak, ke rumah temen dulu..samperin”. (Ricky) “Kalau naik motor lewat depan, kalau jalan kaki lewat pasar Saceng”. (Luna) “Kalau sepatu roda sendiri, tapi udah jarang. Kalau sepeda berdua. Sama temen”. (Hani)
Jadi dapat disimpulkan bahwa sense untuk bertindak yang ditunjukkan partisipan, merupakan akibat proses pengulangan pergerakan dan tindakan yang dilakuan mereka di ruang kota tertentu untuk waktu yang lama hingga menjadi kebiasaan. Sense untuk bertindak yang telah mengendap dan kuat tertanam dalam diri partisipan merupakan habitus (Bourdieu). Habitus tindakan tidak dapat dipisahkan dari konsep capital dan field a. Capital (modal) tindakan Pembentukan place habit pada suatu ruang kota favorit dapat dijelaskan melalui konsep capital, baik itu social capital18, economic capital19 maupun cultural capital20. Karakteristik habitus dalam praktik tindakan menempati ruang kota favorit dibentuk oleh cultural capital yang diperoleh dari keluarga, pendidikannya dan nilai-nilai yang dianutnya. Pada kasus Fani dan Via, mereka memiliki nilai-nilai budaya terkait nilainilai baik dan buruk dari suatu tindakan, yang ditanamkan oleh orang tuanya. Nilai-nilai ini yang menjadi modal Fani dan Via dalam menentukan tindakan-tindakannya di ruang 18
“Social capital refers to the power and resources that accrue to individuals or groups by virtue of their social networks and contacts” (Painter, 2000, p. 243). 19 “Economic capital refers to the material wealth and is roughly equivalent to captal in the traditional sense of the term used by political economist” (ibid). 20 “Cultural capital refers to knowledge and skills acquired in early socialization or through education. The possession of cultural capital is signified by formal eduation qualificatios” (ibid). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
148
kota favoritnya. Nilai-nilai ini mengakibatkan mereka membatasi bahkan menunda tindakan-tindakan di ruang kota favoritnya. Mereka tidak merasa keberatan bila tidak dapat hadir di ruang kota favoritnya pada waktu tertentu. “Suka..tapi di sekolah doang. Kalau di rumah, ada yang kecil-kecil..terus sombongsombong. Terus pergaulannya juga gak terlalu baik. Jadi mama kadang-kadang gak boleh main. Mama itu kasih pilihan. Misalnya, kalau mau keluar resikonya ini. Kalau di dalam resikonya ini. Jadi aku sendiri yang nentuin, tapi mama kasih tahu. Misalnya kalau lagi mau jalan-jalan sendiri sama temen-temen. Mama suka tanya ada orang tuanya atau gak, kalau aku bilang gak ada. Mama kasih pilihan, kalau orang tuanya gak ada ntar tanggung jawab sendiri. Tapi kalau di rumah, bisa kapan-kapan bisa bareng orang tua sama adik…..Gak..boleh kalau ada orang tua boleh. Misalnya ada orang tua temen. Kalau sama temen doang sendiri gak boleh”. (Fani) “Gak kenapa napa sih kalau dilarang, kalau lagi ulangan. Kan itu demi kepentingan aku juga”. (Via)
Karakteristik habitus dalam praktik tindakan partisipan dibentuk juga oleh modal ekonomi (economic capital). Kehadiran modal ekonomi memampukan partisipan untuk menjaga praktik tindakan-tindakan di ruang kota favoritnya secara terus menerus. Modal ekonomi berupa uang jajan yang diberikan oleh orang tuanya memampukan partisipan untuk memberikan sebagian uangnya demi untuk membeli bola atau menyewa lapangan. Partisipan juga rela mengeluarkan modal berupa barang milik sendiri (sepeda, sepatu roda) maupun meminjam dari orang lain, seperti bola, raket, motor, seperti yang diucapkan oleh beberapa partisipan dibawah ini: “Kita patungan..dari sisa uang jajan. Misalnya beli bola Rp.30.000..bersepuluh satu orang tiga ribu…..Trus beli bola plastik. Setelah beberapa tahun…rencana beli bola kaleb..harganya Rp.75.000”. (Kris) “Selalu dikasih. Kalau sekolah, gak ada bapak Rp.3.000. Kalau ada bapak tergantung bisa goceng (Rp.5.000) bisa Rp.10.000. Eh..pulangnya di kasih lagi Rp.5.000….Bisa berapa…bisa minta terus…Uangnya patungan minta sama mama. Selalu dikasih. Boleh bu kalau main begitu. Kalau gak main ke sana, main di rumah aja”. (Fadli)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
149
“Kadang pake [motor] punya Sara, kadang pake punya Sara. Motor A’a..tinggal minjem aja…Misalnya habis pake motornya Sara, mau main motor lagi pake motornya Netty”. (Luna) “Motor keluarga gitu lah..tinggal pinjem aja”. (Lala) “Punya..tapi kadang-kadang ada duitnya. Belinya barengan. Patungan..kadang-kadang bolanya udah lama. Kadang-kadang paling seribu. Kan banyak orangnya”. (Fadli) “Di lapangan paling main bulutangkis, raketnya bawa sendiri”. (Sara) “Paling pinjam bola…main dengan apa yang ada…punya orang main pake aja”. (Luna)
Partisipan juga menceritakan bahwa teman sebaya (peer) sebagai modal sosial (social capital) adalah modal yang paling dominan dalam mendorong mereka untuk bertindak di ruang kota favoritnya. Tanpa adanya teman sebaya, mereka tidak akan berada di ruang kota favoritnya atau menunda kehadirannya. “Jadi magnetnya orang-orang yang membuat Sara pengen main di sana”. (Sara) “Lapangan bola karena banyak temen. Karena banyak temennya habis itu ya..kita bisa main bola…Temen-temen dan Pak RT yang mendorong kita main di situ”. (Kris) “Karena ada temen, jadi pengen ikutan main”. (Sara) “Lebih senengnya kalau ada saudara....berenang, ke mal sama saudara..baru seneng banget. Kalau gak sama saudara mah males”. (Ema) “Tergantung…kalau yang bangunnya pagi banyak, ya..banyak. Ada Tia, Fatah, Cira, Imar, sama Nina”. (Rina) “..terus di sana kan banyak kos-kosan..jadi banyak temen juga”. (Via) “Sama mama papa biasanya..tapi sama temen-temen juga sering….Selalu satu geng terus, ada Yona, Lala, Vanessa, Jennifer, Angeline..banyak lah bu.. Suka sepuluh orang…”. (Dona)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
150
“Tapi terakhir main di ‘sawah’…yang deket lapangan bunglon. Main sama Jonathan, Kevin T, Owen dan Ruben. Mereka pada jago manjat juga. Mereka rumahnya satu kompleks. Kenal mereka udah lama dari kelas 5….Sama temen..kalau sendirian gak ada rasanya. Saya yang ngajak. Kan kalau main sendiri di deket rumah saya ada peraturan ‘No Friends No Games’ jadi gak ada temen gak ada permainan”. (Kevin) “Ya gak lah.. ya gak naik sepeda. Gak jadi. Males bu kalau gak ada temen. Gak ada yang bisa diajaak ngobrol”. (Hani)
b. Field (ruang) tindakan Menurut Bordieu, capital tidak akan berfungsi, kecuali direlasikan dengan field (Painter, 2000). Menurut Erikson (1982, 1997), anak-anak usia 9-12 tahun, perlu menanggulangi tuntutan sosial dan akademiknya. Mereka memerlukan teman sebaya untuk membantu diri mereka dalam mengembangkan diri dan identitas personal. Oleh karenanya, praktik tindakan menempati partisipan pada ruang kota favoritnya membutuhkan sosial capital agar ia dapat mempertahankan identitas dirinya di ruang sosial maupun ruang fisik. Seperti yang diceritakan oleh salah satu partisipan mengenai satu hari tindakannya di lapangan karena ia ingin mengembangkan keterampilan bermain bola demi dapat memenangkan pertandingan futsal. Pada hari ini saya pulang dari sekolah telat 30 menit karena ada pemilihan ketua OSIS. Jadi saya pulang dari sekolah jam 14.00 dan sampai di rumah jam 15.00 lalu saya saat sampai di rumah saya mandi, makan, membuat PR sampai jam 15.45. Pas sekali sahabat saya yaitu Benaldo memanggil saya untuk bermain sepak bola, langsunglah kami berdua yaitu saya dan Benaldo berjalan kaki ke lapangan. Saat sampai di lapangan, Benaldo memberi tahu saya bahwa hari ini tidak ada teman-teman lain yang bermain karena mengikuti Cup di sekolahnya. Jadi yang main bola hari ini hanya kami berdua dalam rangka latihan sparing futsal hari Sabtu di Viva Futsal. Kami berdua di lapangan melakukan latihan free kick dan penalti dan mengoper bola dengan baik. Yang kami perhatikan waktu itu adalah bola dan gawang karena itu benda dari latihan kami. Perasaan kami lumayan senang karena ada kejadian-kejadian lucu seperti terpeleset dan lain-lain. Seusai latihan, seperti biasa kami ke warung langganan kami dan membeli minuman. Waktupun sudah 17.35, lalu aku bertanya “Do masih mau lanjut atau
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
151
udahan?” dan Benaldo menjawab “udahan aja deh soalnya udah cape karena kita berdua aja hari ini”. Lalu akupun bilang “ok”. Dan kami berdua pulang ke rumah masingmasing jam 17.40” Catatan harian Kris, 29 Oktober 2013
Dari narasi tersebut di atas, tertulis kata-kata “seperti biasa” yang mengindikasikan tindakan-tindakan tersebut sudah berkali-kali dilakukan dan tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan-tindakan yang menyenangkan (karena ada kejadian-kejadian lucu). 5.2.3. PERJUMPAAN (ENCOUNTER) DENGAN TEMPAT Encounter berasal dari kata “en-contre” (F) atau “in-contra” (L) yang artinya “against“ (Partridge, 2006, p. 650). Secara spasial, encounter (perjumpaan) dengan tempat merujuk pada “any situation of attentive contact between the person and the world at hand” (Seamon, 1979, p. 99). 5.2.3.1.RENTANG WAKTU PERJUMPAAN Penelitian ini menemukan bahwa perjumpaan anak dengan tempat melibatkan rentang waktu yang cukup lama. Rentang waktu perjumpaan mereka dengan ruang kota favoritnya sudah terjadi selama minimal enam bulan hingga tujuh tahun lamanya. Selama itulah, mereka bergerak bolak balik menempati ruang kota favoritnya hingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan tersebut masih dilakukan hingga akhir penelitian. Partisipan menggunakan kata-kata seperti “udah lama banget”, “udah lama”, “dari kecil” dalam mengekspresikan lamanya rentang waktu perjumpaan mereka dengan ruang kota favoritnya. “6 tahun…Hampir 6 tahun…”. (Kris, 12 th). “7 tahun…dari umur 6 tahun”. (Moris, 13 th) “Sudah 4 tahun sejak pindah rumah udah di ajak ke situ..ada 4 tahun. Udah lama banget..” (Kevin, 12 th) “Sejak kelas 3..udah 4 tahun”. (Ricky, 12 th)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
152
“Kalau Lala baru setahun…karena warung cincau baru setahun. Sebelum ada warung cincau..gak ada tempatnya“. (Lala, 12 th) “Kalau Sara di lapangan udah 6 tahun kalau di pohon dari kelas 5 (2 th) karena tementemennya suka nongkrong di situ”. (Sara, 12 th) “Sejak sebulan-dua bulan Central Park dibangun…sudah suka ke sana”. (Yona, 10 th) “Rutinintas itu sejak liburan kemarin sampai sekarang. Sampai sekarang masih kes ana”. (Timothius, 12 th) “Udah lama....Dari TK malah…”. (Ibra dan Fadli, 12 th) "Sejak kelas 1 SD. Sampai sekarang main di situ. Tempatnya deket Melati BCI”. (Rina, 9 th) “Sejak kecil udah ke situ. Sampai sekarang masih”. (Chelsea, 11 th) “Udah sejak kelas 1 main ke sana”. (Via, 9 th) “Kenal tempat itu sejak umur 4 tahun. Sudah tinggal di sini sejak lahir. Ke sana diajak sama mama waktu umur 4 tahun. Rutin sampai sekarang”. (Fani, 11 th) “Sejak kelas 3 SD”. (Hani dan David, 9 th) “Sudah dari kecil lah..”. (Bety, 9 th)
Rentang waktu perjumpaan partisipan dengan ruang kota favoritnya, mengindikasikan bahwa proses membentuk place habit melibatkan waktu yang cukup panjang. Proses membentuk place habit telah terjadi sejak masa lalu, dan terus dijaga hingga sekarang. Merujuk pada filosofis Heidegger (1962), sebelum place habit terbentuk, suatu tempat sudah hadir di sana (being out there), mengokupasi suatu posisi tertentu dalam ruang. Ruang itu ada di sana, mempersiapkan dirinya (thrown in) untuk difungsikan (tune up) melalui perjumpaan pertama dengan partisipan. Setelah ‘tuning up’ muncul, partisipan yang terekspos pertama kalinya dengan ruang kota favoritnya akan membuka dirinya terhadap tempat tersebut, dengan menunjukkan minat dan perhatian untuk berinteraksi dengan ruang kota favoritnya. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
153
5.2.3.2.PROSES PERJUMPAAN Perjumpaan partisipan dengan ruang kota favoritnya merupakan suatu situasi anak menunjukkan minat dan perhatian untuk kontak dengan ruang kota favoritnya. Seperti yang telah dibahas oleh P. Morgan (2010) pada Sub Bab 2.3.1. sebelumnya, seorang anak yang terekspos dengan ruang kota tertentu akan memicu sistem motivasi dalam diri anak. Sistem motivasi yang terbangkitkan akan memicu ketertarikan dan perhatian anak untuk mendekat dan bereksplorasi. Dalam penelitian ini, sistem motivasi dan ketertarikan partisipan pada ruang kota favoritnya bangkit karena dorongan dari orang tua dan teman sebaya daripada kondisi fisik tempat tersebut. Partisipan menceritakan bagaimana awal proses perjumpaan mereka dengan ruang kota favoritnya hingga mereka terikat secara emosi dan fisik dengan tempat itu. Proses perjumpaan mereka dengan tempat diawali dengan ajakan teman secara terus menerus, seperti: “kenal dari teman”, “diajakin teman”, “sama temen sebelah”, “diajakin terus”, “minggu depan lagi yok”. Mereka juga menceritakan bahwa perjumpaan mereka dengan ruang kota favoritnya karena ajakan orang tua, seperti” “kata ayah…gih main”, “diajak main ke situ”. Ada juga yang mengungkapkan ketertarikkan diri sendiri terhadap sosial dan fisik ruang kota favorit, seperti: “lihat lapangan bagus amat”, “ngajak orang-orang”, “terus lihat”, “terus coba main ke situ”, “ada anak-anak lagi main”, “enak main di situ seperti suasana kampung”, “sudah tahu sendiri”. Partisipan juga menceritakan sejak kapan mereka berkenalan dengan ruang kota favoritnya, seperti “pas liburan”, “pas saya SD”, “pas pindah”, “tahun 2007”, “pertama pindah”, “waktu datang”, “sekitar umur 4 tahun”, “sejak kelas”, “waktu masih kecil”. Mereka juga menceritakan pergerakan habitual mereka dengan ruang kota favoritnya tersebut sampai sekarang, seperti “jadi terus-terusan”, “main terus-terus sampai sekarang”, “sejak itu mulai main”. “Kenal dari temen. Pas liburan, temen ngajak..yok renang yok di sini. Trus..ya udahlah. Pertama ngomong..minggu depan lagi yok..dan jadi terus-terusan”. (Tim)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
154
“Dulunya tinggal di rumah nenek…sejak lahir smp TKB. Kelas 1 pindah ke rumah baru. Di sana temennya banyak…pas saya SD, pas pindah. Trus lagi diajakin ayah saya..main bola sama temen..diajakin temen, kata ayah..gih main sama temen”. (Ricky) “Kelas 3 SD mainnya sama tetangga sebelah rumah. Pertama kali sama temen sebelah rumah. Kebetulan di situ ada temen yang satu sekolah. Udah main-main, karena berantem musuhan…lihat lapangan bagus amat. Ngajak orang-orang yang ada di situ yang lagi duduk-duduk di situ main yok…trus main itu di lapangan bunglon”. (Kevin) “Kenalan tempat itu dari temen, tahun 2007. Pertamanya kan itu taman ada pagernya kan…taman itu tempat perternakan kambing. Yang punya perternakan kambing bangkrut dan pagar-pagarnya itu dicopotin semua. Sejak itu mulai main”. (Kris) “Pertama pindah..ada acara ultah di taman. Diajakin temen main malem-malem. Ya udah.. Kalau malem-malem gak boleh kalau ada acara doang baru boleh. Keluar..diajakin main bola…main-main sampe besok-besoknya diajakin main trus..main-main terus sampai sekarang”. (Fuji) “Sejak umur 5 th..pindah sama orang tua. Sejak pindah, liat temen main, kenalan..main di lapangan”. (Sara) “Sejak kelas 1 SD. Pas lagi main sepeda Sabtu Minggu lagi main ke situ trus ngeliat trus di coba main ke situ. Seru aja”. (Rina) “Karena itu tempatnya waktu masih kelas 2 kelas 3, masih kecil gitu..dari bayi sudah diajak main ke situ. Jadi enak banget main di situ sama suasana di situ, seperti suasana di kampung. Pokoknya enak lah. Jadi kenalan dengan tempat itu waktu masih kecil, waktu masih bayi juga pernah diajak ke situ” (Chelsea) “Waktu itu kan les, dikasih tau sama temen. Banyak kenangan sama Pohon Ceri dan tempat les. Karena di tempat les banyak temen. Kenal tempat les dulu baru pohon ceri. Kenal pohon ceri dari temen. Temen lagi keliling, terus dia bilang di sini ada pohon ceri. Jadi ke sana”. (Elina) “Dari bulan puasa kan…tadinya cuman jalan-jalan doang..tau-taunya udah nyampe di situ..trus kan cape duduk…jadi..yok ke tempat yang kemarin yok..sehingga jadi terusterusan ke sana”. (Sara) Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
155
Jadi dapat disimpulkan bahwa partisipan telah melalui semua urutan proses perjumpaan antara diri mereka dengan ruang kota favoritnya, yaitu mulai dari obliviousness21, watching22, noticing23 sampai dengan hightening contact24 (Seamon, 1979, pp. 104111). Perjumpaan mereka dengan ruang kota favortinya dimulai dari berkenalan dengan tempat melalui orang lain atau karena ketertarikan diri sendiri, bagaimana kemudian mereka mengobservasi tempat, berkenalan dengan tempat, memperhatikan tempat hingga tertarik dan melakukan kontak dengan tempat dan pada akhirnya melakukan tindakan-tindakan di tempat bersama-sama dengan teman-temannya hingga saat ini. Jadi dapat disampaikan, bahwa proses perjumpaan partisipan dengan ruang kota favoritnya dapat dikatakan telah mencapai tingkat tertinggi ‘awareness continuum’ seperti yang dijelaskan oleh Seamon (1979, pp. 104-111), yaitu heightening contact: penyatuan orang dan lingkungan. 5.2.4. RUANG
KOTA
FAVORIT
SEBAGAI
LIVED-EXISTENTIAL
SUPPORTIVE URBAN SPACE Terlepas dari kondisi institusionalisasi dan familialisasinya, spasial lingkungan rumah tinggal dan dukungan sosial (teman dan orang tua), semua partisipan memiliki ruang kota favorit tertentu di mana mereka lekat. Deskripsi ruang kota favorit dapat dilihat pada Sub Bab 4.4 dan gambaran visual ruang kota favorit partisipan dapat dilihat pada Gambar 4.11. 5.2.4.1.
KONSEP LIVED-EXISTENTIAL SUPPORTIVE URBAN SPACE
Ruang kota favorit yang mendukung, di mana partisipan lekat, dapat dijelaskan sebagai lived-existential spaces, yang berbeda dengan physical dan geometrical space. Ruang
21
Obliviousness merujuk pada “any situation in which the experiencer’s conscious attention is not in touch with the world outside but directed inwardly – to thoughts, feelings, imaginings, fantasies, worries or bodility state which have notthin or little to do with the world at hand” (Seamon, 1979, p. 104). 22 Watching merujuk pada “a situation in which the person looks out attentively upon some aspect of the world for an extended period of time” (Seamon, 1979, p. 105). 23 Noticing merujuk pada “a thing from which we were insulated a moment before flashes to our attention. It is self-grounded or world grounded” (Seamon, 1979, p. 108). 24 Heightening contact merujuk pada “the person feels a serenity of mood and vividness of presence; his awareness of himself is heightened and at the same time, the external world seems more real”(Seamon, 1979, p. 111). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
156
kota favorit sebagai lived-existential space, merupakan suatu konsep ruang yang dipinjam dari representational space25 Lefebvre (1991) dan dideskripsikan oleh (Pallasmaa, 2012d) sebagai: “Lived-existential space is structured on the basis of meanings, intentions and values-reflected upon it by an individual, either consciously or unconsciously; thus existential spaces possess a unique quality interpreted through the memory and experience of the individual. Every lived experience takes place at the interface of recollection and intention, perception and fantasy, memory and desire” Pallasmaa (2012d, p. 28). Penelitian ini menemukan bahwa secara umum ruang kota favorit partisipan dapat dijelaskan sebagai representational space. Ruang kota favorit partisipan tersebut merupakan ruang kota yang memiliki makna khusus tersendiri bagi setiap partisipan. Pemberian makna khusus itu hadir melalui tindakan memberi nama pada tempat, seperti ‘pohon ceri’ (Fiko, Iksan Elina), ‘warung cincau’ (Lala), ‘taman bunglon’ (Kevin), ‘jalan balap’ (Kevin), ‘bunderan’ (Amran) , ‘lapangan’ (Fuji,
Kris, Sara, Luna),
‘sawah’ (Kevin), ‘pohon perosotan’ (Rina), ‘jalan’ (Luna, Lala, Sara), ‘Green Court’ (Luna, Lala, Sara), ‘kebun sayur’ (Chelsea). Pemberian nama pada ruang kota favorit terkait dengan spatial practice26 yang biasa dilakukan di tempat tersebut. Ada juga ruang kota favorit partisipan yang hadir dan digunakan oleh partisipan seperti bagaimana ruang kota tersebut dikonsepsikan, direncanakan dan ditentukan oleh perancang atau pengelola, seperti kolam renang (Bety, David, Ema, Tim), lapangan bola (Ibra, Fadli), lapangan futsal (Ibra, Fadli), mal (Dona, David, Yona), kapel & gereja (Fani), toko buku (Siska). Dalam hal ini, ruang kota favorit partisipan menjelaskan konsep ruang kota sebagai representation of space27.
25
“Representational space: Space as directly lived through its associatied images and symbols and hence the space of ‘inhabitants’ and ‘users’…who describe and aspire to do more than describe” (Lefebvre, 1991, p. 39). 26 “Spatial practice: The spatial practice of a society secretes that society’s space; It profounds and presupposes it in a dialectical interaction; It produces it slowly and surely as it masters and appropriates it. From the analytic standpoint, the spatial practice of a society is revealed through the deciphering of its space” (ibid. p.38). 27 “Representation of space: conceptualized space, the space of scientists, planners, urbanists, technocratic subdividers, and social engineers, as a certain type of artist with a scientific bent – all of whom identify what is lived, what is perceived with what is conceived” (ibid. p.38). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
157
Bila dipandang dari konsep affordances Gibson (1986), suatu lingkungan dikatakan memiliki potential affordance, bila muncul persepsi seseorang (tergantung dari dimensi fisik, kemampuan kebutuhan sosial dan intensi personal) yang sesuai dengan fitur-fitur lingkungan yang ditemukannya, sehingga lingkungan tersebut memungkinan seseorang untuk melakukan aktivitas yang potensial. Kemungkinan untuk melakukan aktivitas yang potensial kemudian diwujudkan secara nyata dalam bentuk tindakan seseorang di lingkungan tersebut. Tindakan nyata tersebut dinyatakan dengan actual affordance28 (M. Kytta, 2003; M. Kytta, 2006). Penelitian ini menemukan bahwa lingkungan, seperti jalan yang datar, sepi, jalan dengan aspal yang mulus pada beberapa partisipan (seperti David, Dona, Ema, Bety, Yona), ruang terbuka hijau yang berlimpah pada Chelsea, tidak selalu memberikan peluang untuk digunakan, dibentuk dan dipersepsikan yang pada akhirnya dapat membentuk place habit. Namun, ada beberapa partisipan, terutama anak laki-laki, memanfaatkan affordances lingkungan dengan mempersepsikannya, menggunakannya, dan bahkan membentuknya, seperti tindakan membuat atau mengkonstruksi tempat dengan material yang ada di tempat. Tindakan nyata di ruang kota tersebut berpeluang untuk membentuk place habit. “Tapi pohon lain susah manjatnya. Kalau di pohon itu kan bisa manjat”. (Iksan) “Buat ayunan..dari kayu yang ditemuin di sana”. (Rina)
Walaupun, konsep affordances memiliki potensi untuk dikembangkan karena meliputi emosi, sosial dan peluang-peluang kultural yang diterima individual di suatu lingkungan (Gibson, 1986), namun dalam penelitian ini, place habit dibentuk oleh ruang kota favorit yang mendukung. Ruang kota favorit yang mendukung di mana place habit terbentuk, lebih tepat dijelaskan sebagai konsep lived-existential spaces, karena ruang kota favorit tersebut dipikirkan (conceived), dipersepsikan (perceived) dan dihidupi (lived) melalui serangkaian pemaknaan dan simbol yang diberikan oleh partisipan pada tempat tersebut, sebagai suatu kesatuan yang utuh (Lihat Gambar 5.2) bukan ditentukan 28
Actual affordance menurut M. Kytta (2003); M. Kytta (2006) dibedakan menjadi active actualized affordances, yaitu tindakan menggunakan dan membentuk dan bahkan memodifikasi affordance; dan actualized passive affordance, yaitu tindakan hanya melihat/perceived affordances. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
158
oleh konsep dualistik interaksional anak dan tempat seperti yang dipahami dalam konsep affordances.
Gambar 5.2. Lefebvre’s spatial triad
Penelitian ini menumukan bahwa ada beberapa partisipan menyatakan bahwa tanpa adanya kehadiran ruang kota lain, mereka tidak mungkin dapat berada di ruang kota favoritnya. Partisipan menceritakan bahwa tindakan mereka di ruang kota favorit selalu diikuti dengan kehadiran ruang kota lain. Jadi dapat dikatakan bahwa ruang kota favorit hadir bersama-sama dengan ruang kota lain (co-presence), seperti yang diceritakan oleh beberapa partisipan ini: “Kalau gak les, gak akan ke pohon ceri. Jadi kalau mau ke pohon ceri harus les”. (Elina) “Kalau habis selesai renang, ada makan [di restaurant atau warung’]..ya kerumah teman…”. (Tim) “Kalau ke mal pasti makan sama ke TimeZone” (David) Via harus ada di ‘tempat dagangan’ bila ia mau bermain di taman lingkungan dengan teman-temannya. Log-book nya mencatat ada dua kali kunjungan ke rumah Lisa yang selalu berlanjut dengan main di taman. “Main karet..lompat tali dan kadang main tak benteng”, ceritanya. Ia mengatakan kalau tidak ada Aurel, ia akan main ke rumah Lisa. Biasanya jam 3 sore, ia akan ke rumah Lisa. Kemudian, bersama-sama mereka akan ke tempat dagangan bermain game di tablet kemudian kembali lagi ke rumah Lisa dan bermain di taman. Jam 5 sore sudah waktunya yang ditentukan orang tuanya untuk kembali ke tempat dagangan. (Catatan lapangan 18 Juni 2014 dengan Via)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
159
Kehadiran fenomena place habit yang bentuk oleh ruang kota favorit bersama-sama dengan ruang kota lain, belum pernah muncul dalam studi-studi terkait place attachment pada anak sebelumya. 5.2.4.2.
MAKNA SUBJEKTIF RUANG KOTA FAVORIT
Untuk dapat mendukung terbentuknya place habit, ruang kota favorit sebagai livedexistential space, hadir bukan hanya karena kepuasan kebutuhan fisik partisipan terpenuhi di tempat tersebut, namun karena kualitas nilai-nilai yang terkandung di dalam tempat tersebut (L. Chawla, 1992). Agar ruang kota favorit bernilai bagi partisipan, setidaknya ruang kota favorit memberikan tiga jenis kepuasan, yaitu pertama, keamanan, social affiliation dan ekspresi kreativitas dan eksplorasi (L. Chawla, 1992). Ruang kota favorit dimaknai secara subjektif oleh partisipan berdasarkan bagaimana ruang tersebut dipikirkan (conceived), dipersepsikan (perceived) dan dihidupi (lived). Makna-makna subjektif ruang kota favorit partisipan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: a. Rasa aman ruang kota Rasa aman merupakan salah satu makna subjektif yang menentukan terbentuknya place habit. Rasa aman ini juga merupakan salah satu karakteristik penting dari sifat kelekatan yang ditemukan pada manusia dan pada tempat. Rasa aman ini dinyatakan sebagai secure base attachment figure (Giuliani, 2003; Scannel & Gifford, 2014). Rasa aman dinyatakan oleh partisipan terhadap ruang kota favorit dengan rasa tidak ada kekhawatiran untuk beraktivitas di ruang kota favorit tersebut. Adanya petugas keamanan yang berada di ruang kota favorit tersebut, menambah rasa aman mereka di tempat tersebut. “Rasanya aman sih…gak ada kekhawatiran. Karena di situ emang ada yang ngejagain, kan ada bapak-bapak di pos itu”. (Fani) “Aman sih..ada pos satapamnya. Kadang-kadang ada satapamnya..kadang gak ada. Gak ada perasaan was-was..”. (Elina)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
160
Selain rasa aman, partisipan juga merasakan kenyamanan beraktivitas di tempat tersebut. Kualitas tempat yang dinyatakan “bersih”, “bisa lesehan”, “rumput” memberikan rasa nyaman pada tempat. “Kalau minggu pagi kita sering nongkrong di Green Court kompleks pasar bersih tapi bukan dalam kompleksnya ada kalinya…tempatnya enak banget..kita suka dudukduduk gitu. Ke sana jalan kaki. Di sana ada jalanan rumput..tempatnya nyaman gitu”. (Luna, Sara & Lala) “Jadi kita sibuk sendiri-sendiri. Yang penting tempatnya di bawah situ. Jadi kenyamanan tempatnya juga sih”. (Sara) “Lesehan…”. (Lala) “Bersih juga..enak juga..trus gimana gitu. Sebelah situ kurang enak gitu, gak bersih banget. Kalau di rumah Luna [koridor depan rumah Luna] kan bersih banget”. (Sara)
b. Makna sosial ruang kota Secara umum, ruang kota favorit memberikan makna sosial bagi partisipan. Mereka menyatakan bahwa sulit bagi mereka untuk memperoleh teman, memperoleh kesenangan bila tidak berada di ruang kota favoritnya. Ruang kota favorit sudah menjadi bagian dari diri mereka, bagian dari keluarga, tempat berkumpul, tempat berbagi cerita, tempat mengobrol, tempat bertemu teman, tempat menunggu teman, hingga tempat membina hubungan dengan keluarga. Menurut ibunya, warung cincau sudah seperti bagian dari keluarga.(Catatan lapangan 30 Mei 2014) “Saya, ibu, adik…tetangga. Ibu suka ngobrol sama tetangga. Kan tetangga juga suka ngobrol di situ..ada yang tukang jualan es cincau. Kayak udah akrab sama dia..kayak udah saudara angkat”. (Lala) Bagi Via, tempat [taman] itu sepertinya menjadi meeting point ia dengan temannya.(Catatan lapangan 18 Juni 2014) “Jalan balap dan taman yang penuh bunglon [kadal-kadal kecil]. Demen banget ke sana. Terutama sih lebih sering ke taman yang bnyk bunglon. Pengen ke sana. Kalau lagi gak
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
161
ke mana-mana. Diajak temen ke taman ini mau, besok ke sana lagi. Nunggu temen di mana-mana juga selalu di sana”. (Kevin) “Karena teman-temannya…kalau gak ada tempat itu, jarang ketemu. Tempat itu jadi tempat ketemuan”. (Fani) “Kalau misalnya gak punya rutinintas itu, rasanya…seperti gak punya temen. Jadi kalau gak ke sana sepertinya gak punya temen lagi gitu kalau gak ke situ …sedih aja”. (Elina) “Trus di situ juga sering ketemu temen-temen lama”. (Via) “Kalau gak ke situ rasanya susah nyari temen…” (Rina) “Sama..dua-duanya penting. Temen juga penting, karena aku butuh pergaulan. Aku demennya outdoor-outdoor”. (Kevin) “Artinya kita makin deket sama keluarga”. (Dona)
c. Makna restorasi ruang kota Kondisi insitusionalisasi dan familialisasi mengakibatkan partisipan membutuhkan ruang kota favoritnya untuk melepaskan kesibukan sekolah dan belajar. Mereka merasakan perlu untuk keluar dari rumah. Mereka merasa lebih baik bermain di luar rumah. Ruang kota favorit bagi mereka merupakan tempat untuk menghilangkan stres, untuk refreshing, untuk menghilangkan kebosanan dan kejenuhan di rumah, untuk ‘seru-seruan’, untuk menghindari kebisingan, dan untuk kesehatan fisik (olah raga). “Buat main..tempat untuk ngilangin kesepian. Kadang males sama ade..mending main sama adek. Di sekolah susah-susah..makanya main. Habis main..rasanya puas”. (Ibra) “Hampir sama. Tapi kalau di taman kan rasanya energetik gitu, seru main bareng sama temen-temen. Kalau di Puri rasanya refreshing cuci mata sambil main-main sama keluarga aja”. (Kevin) “Buat seru-seruan aja..sekalian ada waktu senggang, kan daripada bengong di rumah. Kalau lagi gak belajar. Ya main aja. Kadang juga bosen kan di rumah terus”. (Kevin)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
162
“Kadang di les..aku gak ada apa-apa, males belajar. Sama temen-temen suka ke sana [pohon ceri] aja”. (Elina) “Peduli sih…sedih kalau sehari gak main di situ..bosen. Di rumah paling main game dan nonton TV doang. Lebih enakkan main di luar”. (Ibra) “Kalau bosen, sama Fiko ke sana [pohon ceri]”. (Iksan) “Masih..sampai sekarang. Setiap Sabtu..untuk olah raga”. (Lala) “Biar bisa refreshing gitu. Ngilangin bosen..kan kita sekolah terus cape..jadi ketawaketawa…” (Luna). “Kadang-kadang cape ya dari sekolah. Di rumah juga di suruh-suruh terus. Marahmarah terus. Puyeng. Main di situ buat ngilangin rasa”. (Sara)
Peneliti seperti Benson (2009); Blizard and Schuster Jr. (2004); L. Chawla (1992); Corraliza et al. (2012); K. Korpela et al. (2002) melaporkan bahwa anak lebih menyukai tempat dengan lingkungan alamiah dan tempat-tempat yang privat sebagai tempat pemulihan (restorative places). Namun, penelitian ini menemukan bahwa semua ruang kota favorit partisipan merupakan ruang kota dengan sedikit sekali bahkan tidak ada lingkungan alamiah. Partisipan secara sengaja menggunakan ruang kota favoritnya untuk memulihkan diri dari kesibukan dan tekanan sekolah, pekerjaan rumah tangga dan kegiatan bimbingan belajar. Hal ini juga terungkap dalam penelitian yang dilaporkan oleh K. Korpela et al. (2002) pada anak-anak usia 8-9 tahun dan 11-12 tahun yang tinggal di pusat kota Tampere atau Helsinki. Menurut penelitian mereka, separuh lebih dari anak-anak yang diteliti menggunakan ruang kota favorit untuk pemulihan kognitifnya. Penelitian ini menemukan bahwa makna restorasi atau pemulihan ruang kota favorit dapat dipahami, mengingat kondisi insitusionalisasi dan familialisasi partisipan. d. Makna personal ruang kota Ruang kota favorit bagi partisipan memberikan makna sebagai tempat untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan kreativitas (L. Chawla, 1992; Day, 2007), seperti
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
163
toko buku Gramedia dan lapangan bola. Toko buku Gramedia bagi Siska merupakan tempat untuk memperoleh inspirasi untuk meningkatkan ketrampilan menggambar komik. Lapangan bola bagi beberapa anak laki-laki, merupakan tempat unutk meningkatkan ketrampilan bermain bola agar bisa menang dalam suatu pertandingan. Namun, ruang kota favorit tidak hanya untuk mengekpresikan kreativitasnya, namun tempat tersebut juga memberikan makna untuk mencapai suatu harapan tertentu, seperti kolam renang sebagai tempat untuk meninggikan badan. “Buat cari bunglon di jual-jualin, eksplorasi…buat bertemen juga. Kadang saya bikin komik. Itu ceritanya orangnya lagi… stick man, saya gambarnya kan. Orang di pohon dia ada bunglon gede dia pengen tangkep, digigit, trus tangannya putus..habis itu akibat yang lucu-lucu gitu. Idenya dari sendiri…inspirasinya dari taman”. (Kevin) “Bisa jadi latihan”. (Kris) “Sukanya berenang..karena bikin tinggi…..Soalnya di GM itu..kan ada barisan gitu…apa ya? ada batas..jadi kalau mau berenang ngambang-ngambang bisa belajar di 4 m”. (Bety) “Kalau aku ke gramedia selalu dapet inspirasi untuk bikin komik. Gak makan pun gak apa-apa..soalnya kalau lagi baca buku..betah..gak makan pun gak apa-apa..gak mau makan…Di sana enak banyak buku…..bikin gambar-gambar”. (Siska) “Main tandingan, main ngelawan”. (Ibra & Fadli) “Kan bisa main…bisa main guru-guruan..bisa main belajaran gitu. Dia kan pinter Bahasa Inggris dan Mandarin. Karena kan sekolahnya di BPK Penabur. Jadi kita belajar benaran. Nah tapi aku ngajarin dia Bahasa Indonesia karena acak-acakan gitu. Jadi bisa saling belajar… Ya lah..kan biar pinter”. (Via)
e. Makna sensori ruang kota Ruang kota favorit juga memberi makna sensori pada partisipan. Partisipan mengakui menyukai kenyamanan ruang kota karena memberikan sensasi sensori yang menyenangkan. Memanjat pohon ceri agar bisa melihat pemandangan memberikan sensasi visual yang menyenangkan. Bersepeda bisa merasakan sensasi sentuhan angin Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
164
berhembus yang menyegarkan. Udara sejuk di ruang pinggir kota memberikan kesegaran dinyatakan sebagai ‘suasana kampung’. Dinginnya air di kolam renang memberikan sensasi sentuhan yang menyenangkan dan menyegarkan. Manisnya buah ceri dari pohon ceri memberikan sensasi indera pengecap yang menyenangkan. “Ada panjat-panjatan bisa liat ke Citra 6”. (Via) “Karena itu tempatnya waktu masih kelas 2 kelas 3, masih kecil gitu..dari bayi sudah diajak main ke situ. Jadi enak banget main di situ sama suasana di situ, seperti suasana di kampung ….Dingin..di situ hawanya enak…sejuk”.”. (Chelsea) “Adem, gak rame”.(Iksan) “Naik sepeda menyenangkan, bisa balapan, bisa merasakan angin, segar”. (Catatan lapangan 16 Desember 2013 dengan Ema) “[berenang] Karena dingin” (Tim) “Rumah pohon … enak di situ..adem di situ.. gak panas”. (Rina) “Tempat pohon ceri…tapi kata koko bukan ceri sih..tapi merah-merah bulet-bulet manis. Suka diambilin”. (Elina) “Kalau di situ [kapel] lebih adem”. (Fani) “Soalnya kalau naik itu [pohon ceri] udaranya sejuk, dingin..bisa liat pemandangan gitu”. (Iksan)
f. Makna materialistik Pada sebagian partisipan, khususnya yang mengalami kondisi familialisasi yang strict, mal, sebagai ruang kota favorit, merupakan tempat yang menyenangkan. Mal memiliki karakteristik yang menurut Auge (1995) sebagai non-place29. Mal merupakan internalized ‘public’ space (Carmona, 2010), suatu ruang kota yang dimiliki secara privat namun pada waktu-waktu tertentu digunakan dan diakses oleh publik. Mal 29
“Non-place is non-symblized space, designates two complementary but distinct realities: spaces formed in relation to certain ends (transport, transit, commerce, leisure), and the relations that individuals have with these space” (ibid, p.94). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
165
menurut Auge (1995, p. 109) sebagai anthropological of supermodernity. Ruang yang menurutnya memiliki tiga ekses yaitu: overabundance of events, spatial overabundance dan the individualization of references. Penelitian ini menemukan bahwa mal merupakan tempat bagi partisipan agar dapat mengekspresikan tindakan berbelanja di toko-toko tertentu yang sudah menjadi incaran, tindakan bermain di entertainment center, tindakan menonton film di bioskop, tindakan makan-makan di restaurant. Ruang kota mal mengandung makna materialistik dan konsumtif bagi partisipan. Seringnya partisipan bergerak bolak balik ke mal sehingga mereka sudah hafal dan mengetahui merek-merek produk tertentu yang sedang turun harga atau acara-acara (events) tertentu yang sedang berlangsung. Pergerakan bolak balik partisipan dan aktivitas mereka di mal juga didukung oleh orang tua mereka. “Ke CP [Central Park Mal]….suka jalan-jalan. Di situ kan beda-beda..enak aja. Di sana suka sepatu-sepatu gitu, baju-baju. Ceweknya koko suka beliin baju sepatu gitu” (Yona) “Makan-makan…KFC…belanja ke supermarket”.(David) “Gramed dan restaurant. Kalau ke mal, aku pisah. Mama shopping-shopping aja. Bosen nungguin mama bisa 5-10 jam… Aku sama papa ke Gramed. Kalau aku tinggal-tinggal aja, kalau kelamaan”. (Siska) “Toko pernak pernik..kayak kalung gelang gitu. Selalu…ya itu jadi incaran kalau ke sana..sama toko buku juga”. (Dona) “Mal..rasanya gak enak kalau gak ke mal. Kan di situ ada tempat yang jual mainan..Kid Station..Nerf kadang suka diskon di situ, suka liat. Demen gitu”. (Kevin) “Tokonya di sana banyak bu. Soalnya baru buka. Jadi banyak yang lagi baru grand opening. Di iBox aja lagi discount. Cashback sampai 1 juta. Trus toko sepatu lagi discount 70%. Tapi gak jadi beli sepatu karena ngantrinya panjang banget. Di sana gak ada Carrefour gitu adanya farmer gitu…bagus-bagus gitu. Liatnya demen. Di lantai dua bisa liat pantai….Toko-tokonya. Ke Gramedia. Kalau ke Gramedia, bisa lama bu..bisa dua jam. Muter-muter. Gramedianya yang gede bu… yang ada lantai duanya…itu di mana..ya…di mal bu…Gramedianya dua lantai. Lantai pertama buat buku semua,
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
166
bagus-bagus. Lantai dua buat pernak pernik segala macem. Bukunya lagi diskon jadi mami kasih beli. Tapi kalau gak diskon juga dibeliin”. (Dona) “D’cost GM. Paling atas. Kalau di Baywalk paling seneng ke Scoop dan Daisho..yang semua barangnya Rp.20.000. Produk Jepang”. (Dona) “Ya..bu..minimal makan pasti bu..Time Zone gak pasti. Beli barang gak pasti. Papi suka bilang, masak udah gede masih main kayak gitu. Kecuali Fun World. Fun World dikasih soalnya. Soalnya itu di FunWolrd ada sesuatu Rp.12.000 gitu…yang lempar dapat hadiah gitu. Tapi kalau main kayak gitu gitu doang bosen bu…”. (Dona)
5.2.5. SENSE of PLACE DAN PENGALAMAN EMOSIONAL Penelitian ini menemukan bahwa partisipan dalam membentuk place habit melalui pergerakan habitual di tempat, berdiam dan bertindak di tempat dan perjumpaan dengan tempat untuk waktu yang cukup lama dengan ruang kota favorit yang mendukung, menghasilkan sense of place dan memicu pengalaman emosional dengan ruang kota favorit. 5.2.5.1.
SENSE of PLACE
Tidak mungkin seorang anak akan mengetahui tempat atau memiliki sense of place tanpa hadir secara fisik dan bergerak di tempat (Pia Christensen, 2003). Berada di tempat melalui kehadiran fisik dan pergerakan tubuh berarti seseorang menjadi sadar akan sensasi kehadirannya pada tempat itu dan merupakan proses utama dalam memperoleh pengetahuan akan tempat. Pengetahuan akan tempat akan terakumulasi dan dapat berubah-ubah sepanjang kehidupan seseorang melalui proses inhabiting, being dan becoming in a place. Anak mengalami dan mengkonstruksi tempat melalui pengalaman, memori, dan penggunaannya, melalui personal biography, hubungan sosial yang terjalin dengan eksplorasi, penggunaan dan penguasaan tempat (Pia Christensen, 2003). Penelitian ini menemukan bahwa perkembangan sense of place partisipan dapat dipahami melalui pengetahuan geografis mereka (L. Chawla, 1992), yang terakumulasi melalui pergerakan habitual, berdiam dan berinteraksi di tempat, perjumpaan dengan Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
167
tempat pada ruang dan waktu yang mendukung, bukan hanya sekedar mendiami (inhabiting), hadir (being) dan becoming in place seperti yang dinyatakan oleh Pia Christensen (2003). Sense of place partisipan dimungkinkan untuk berkembang jika mereka sendiri yang mengalami tempat tersebut melalui pengulangan pergerakan tubuh dan praktik spasial menempati ruang kota favorit yang mendukung. Penelitian ini menemukan bahwa setiap anak menunjukkan berbagai tingkatan sense of place seperti yang dinyatakan oleh Relph (1976); Shamai (1991); Steele (1981). Sense of place partisipan berkembang sejalan dengan berulangnya interaksi selama berdiam di ruang kota favoritnya dan berkembang sejalan dengan lamanya proses perjumpaan mereka dengan ruang kota tersebut. Partisipan merasa familiar dengan tempat, merasa memiliki tempat, peduli dengan tempat, sampai bahkan rela berkorban untuk tempat (Lihat Gambar 5.3).
Gambar 5.3. Tingkatan sense of place Sumber: Diadaptasi dari Relph (1976) dan Shamai (1991)
a. Familiarity dengan tempat Sense of place partisipan dimulai dari familiarity dengan ruang kota favorit. Partisipan menunjukkan bahwa mereka mengenal orang yang ada di ruang kota favorit. Mereka dapat menyebut nama orang-orang yang ada di sana. Partisipan terlihat menyapa dan disapa orang pada saat guided tour bersama saya. Walaupun kadang tidak semua nama orang di lingkungan sekitar ruang kota favoritnya diketahuinya, namun mereka Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
168
mengenal wajah orang-orang tersebut. Partisipan juga menyatakan bahwa familiarity mengakibatkan mereka tidak akan tersesat di lingkungan sekitar ruang kota favorit tersebut. Selama perjalanan kami, Via menunjukkan familiarity-nya dengan lingkungan itu. Ia mengenal dan menyapa beberapa orang yang kami temui di jalan. Bahkan ia disapa orang yang kami lalui. (Catatan lapangan 19 Mei 2014) “Gak juga sih..diajak ngobrol sih kenal.. banyak…hansip-hansip cuman beberapa. Aku kan tinggal di Kosambi udah dari kecil sampai udah gede sampai sekarang..jadi gak bakal tersesat”.(Via) “Kenal banyak…ada yang kenal muka doang, ada yang kenal nama. Sama aja banyaknya. Ada tante Fesi…jualan bakmi. Itu yang punya rukonya. Terus ada Aurel, temen yang sekolah di BPK. Ada Vedrik. Ada tante Septi, ada Gasta…ada cici Sauli. Ada Om Wi.. Tante Septi ngekos. Trus ada…Mellisa, temen aku dulu. Temen sekolah. Dia kan tinggal di gang sebelum tempat jualan aku." (Via) “Bisa… Ini rumah Kevin…Ini sawah kan ya…rumahnya di sini nih..Jonathan. Habis itu, di sini rumahnya Kevin T. Habis itu, ini rumahnya Monang. Rumah besar sendiri. Terus ke sini, ini rumah Rendi. Ruben sebelahnya. Di sini Owen, sebelahnya lagi Michael. Sebenarnya di rumah Jonathan ada kakak adik. Adiknya Fian. Ada beberapa hansip yang saya kenal. Habis itu, di gang saya kan ada rumah temen sekolah saya..cewek sih..Tesa dan Sofi..kakak beradik. Bekas teman di Santo Leo. Trus ini ada Darlin, cewek juga. Tapi dia udah pindah rumah. Sebelah sini namanya Shanon. Habis itu di depan ada cewek tapi saya gak gitu kenal namanya Putri. Cuman tau namanya doang sih. Habis itu sebelah Puteri juga ada kakak kelas di Santo Leo namanya Joseph. Jadi disekitar sini, tau semua. Sebelahnya ada om-om baik..gak tau namanya, taunya baik aja. Trus di Janur Kuning, itu temen juga gak gitu kenal…cuman dia suka main sama mereka. Jadi temenan”. (Kevin) “Ada Pak RT, ada ibu yang jualan nasi uduk. Ada anak Tuyul. Ada juga anak yang suka main sepeda. Suka bareng”. (David) “Jalanan depan rumah…soalnya itukan udah kenal banyak orang di situ. Kenal wajah doang. Ada kenal tetangga…..suka senyum..orang-orangnya ramah”. (Hani) Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
169
b. Awareness terhadap kondisi tempat Familiarity dengan ruang kota favorit membuat partisipan menyadari perubahanperubahan yang terjadi pada tempat tersebut, seperti perubahan pada banyaknya buah, perubahan pada rumput yang menjadi lebih panjang, perubahan pada pohon yang menjadi lebih gersang atau tidak berbuah, perubahan pada rusaknya peralatan permainan di taman lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut memberikan perasaan yang berbeda terhadap tempat tesebut, seperti “jadi gersang”, “jadi gak enak”, “jadi terang”, “susah lewat”, “jadi aneh”, “jadi becek”. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu mengakibatkan partisipan tidak lagi bolak balik ke tempat tersebut secara biasa, namun ada penundaan yang bersifat sementara dari partisipan untuk beraktivitas di tempat tersebut. Sesampainya kami di pohon itu, Rina menunjukkan bahwa sebelumnya di atas pohon itu ada rumah pohon, namun sudah roboh rumah pohonnya. Ia juga bercerita dulunya pohon itu berbuah kecil merah seperti ceri yang sangat lebat. (Catatan lapangan 4 November 2013) “Ya tau….pernah sekali…itu pas gak tahu…pohon buahnya udah diambil atau gak, pas ke situ udah gak ada. Rasanya ya..gak enak. Karena sering kita siremin. Kalau ke situ bawa air”. (Rina) “Lumayan hafal di sana ada apa…buahnya..buahnya tinggal dikit..tinggal yang di atas. Kemarin-kemarin kan buahnya banyak, eh kok buahnya tinggal dikit yang diatas tinggal satu doang. Orang yang jaga beda. Biasanya anak kecil di damping di Vihara gitu. Kalau sekarang orangnya beda. Yang damping ganti-ganti orangnya”. (Chelsea) “Ya..lumayan hafal di sana ada apa…buahnya juga. Waktu itu dateng buahnya dikit, kalau misalnya trus dateng bulan depannya lagi..buahnya udah banyak. Jadi berubahrubah buahnya…Kan itu deket tembok..jadi gak ada yang berubah”. (Elina) "Sadar…kadang-kadang pohonnya ditebang…trus misalnya mainannya rusak juga aku perhatiin. Ya kalau pohonnya ditebang..jadi gak enak main di sana”. (Via)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
170
“Pohonnya ditebang..jadinya jadi aneh gitu. Gak mempengaruhi bermain sih. Mainnya jadi lama sih..karena terang gitu”. (Luna) “Biasanya pohon ditebang..jadi terang-terang aneh..jadi silau. Perasaan gak berubah”. (Kevin) “Lagi gak enak..kadang..banyak pohonnya. Banyak pohon yang numbuh jadi banyak…pokoknya kayak numbuh di depan-depannya gitu. Jadi susah lewat. Makanya jadi jarang mainnya. Kadang Minggu gak main di situ”. (Rina) “Sekarang cerinya udah itu…gak banyak tumbuh. Udah banyak pohonnya. Di terowongan kadang juga gatel-gatel, panas”. (Rina)
c. Rasa memiliki tempat Sense of place juga ditunjukkan partisipan dengan rasa memiliki tempat. Seperti yang dicatat dalam catatan lapangan tanggal 30 Mei 2014, pada saat saya melakukan wawancara dengan ibu Lala. Ibu Lala mengatakan bahwa “warung cincau sudah seperti bagian dari keluarga”. Partisipan juga menyatakan bahwa mereka merasakan kehilangan bila tidak memiliki tempat tersebut. Rasa memiliki juga dirasakan tidak hanya oleh partisipan sendiri, tapi tempat tersebut juga merupakan bagian dari kelompok (peer). Rasa memiliki mengakibatkan partisipan memiliki inisiatif untuk melindungi tempat tersebut. “Ya merasa memiliki. Kalau gak ada tempat itu lagi ya…merasa kehilangan”. (Fani) “Ya..gak cuman aku aja..temen-temen juga. Kadang-kadang ada…”(Elina) “Ya…kadang-kadang ada. Kalau lagi gak bisa main di situ..ya gak bisa main. Gak ada tempat lain lagi”. (Via) ”Ya..merasa memiliki tempat itu”. (Sara, Luna dan Lala) “Kan itu milik bersama. Itu juga milik Pak RT, milik temen-temen aku. Milik aku. Semuanya. Kalau misalnya ada orang lagi main bola..wah..lapangan kita dipake nih. Kita juga mau main..jadi ajak main bola bareng”. (Kevin)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
171
d. Rasa diterima oleh tempat Rasa memiliki tempat membuat partisipan merasa diterima oleh tempat, terutama oleh sosial lingkungan tempat tersebut. Rasa diterima oleh tempat terkait dengan familiarity mereka dengan ruang kota favoritnya, seperti yang diucapkan oleh beberapa partisipan: “Diterima soalnya mama aktif dalam kegiatan lingkungan jadi banyak yang kenal juga”. (Fani) “Diterima bu…kalau sepi kayak gak ada di sana…justru kalau makin rame makin gak asik..berenangnya tambah sempit. Jadi mendingan pas-pasan aja…gak terlalu rame gak terlalu sepi juga”. (Ema) “Diterima sih…beberapa orang tergantung sama aku. Kalau gak ada aku, gak kuat angkat batu. Batunya kan buat gawang. Kalau pohon satu doang kan gak bisa. Jadi kasih batu”. (Kevin)
e. Rasa kebebasan di tempat Rasa memiliki tempat membuat mereka merasakan kebebasan beraktivitas di tempat tersebut. Partisipan menceritakan bahwa mereka merasakan kebebasan untuk berbuat apa saja di sana, tidak pernah dilarang, bebas untuk bergerak ke sana, diizinkan oleh orang tuanya. Partisipan juga memahami bagaimana bersikap di sana karena menyadari tempat tersebut adalah ruang kota milik umum. “Kemarin ke sana rasanya bebas…main”. (Fani) “Bebas..sih gak pernah dilarang”. (Tim, Rina, Via) “Kalau teriak-teriak gak boleh sama Bu RT, Bu RTnya galak. Kalau lari-lari gak pernah dilarang”. (Fani) “Pernah ada yang ngelarang. Kemarin ada ibu-ibu yang bilang jangan manjat-manjat. Di sana bebas-bebas aja” (Iksan dan Fiko) “Bebas..di sana boleh terus main di sana”. (Chelsea)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
172
“Bebas aja di pohon ceri…manjat-manjat pernah sih..dikasih tau gak boleh karena jato”. (Elina) “Ya…bebas..gak ada yang ngelarang. Jam 12 malem juga gak apa-apa. Pernah waktu liburan main jam 11 malem. Di sana ada lampu. Tapi sekarang-sekarang ini lampunya rusak. Jadi gak main malem-malem lagi”. (Kris) “Bebas sih..tapi gak terlalu berani. Gak boleh main terlalu kasar..temen lagi main, ditegur sama satpam”. (Tim) “Bebas sih. Kadang main apa aja gak apa-apa. Contohnya kan kita masing-masing punya sepeda. Kadang naik ke lapangan ini naik sepeda kebut-kebutan. Main bola bisa. Main gulat-gulatan bisa. Manjat pohon boleh, kadang dimarahin. Cuman ada keterbatasan waktu. Karena kadang Pak RT nya sibuk. Kan ada lampu kalau kita main ada tai anjing kita gak tahu. Kalau lagi bener-bener libur sekolah, bisa main sampai setengah tujuhan lebih. Kalau lagi sekolah gini, main sampai jam 6”. (Kevin) “Kalau di gang buntu..gak apa-apa sih bu..gak pernah dilarang”. (Moris)
f. Rasa kepedulian terhadap tempat Bila merujuk pada tingkatan sense of place dari Relph (1976) dan Shamai (1991), beberapa partisipan menunjukkan sense terhadap tempat yang cukup tinggi. Sense of place yang tinggi ditunjukkan oleh partisipan melalui keterlibatan secara aktif dalam memelihara tempat, menginvestasikan waktu, uang dan tenaganya dalam membuat tempat. Partisipan menceritakan kepedulian mereka dengan tempat dengan keterlibatan seperti “kerja bakti”, “siram pohon ceri”, bersihin lapangan”, “bantu potong rumput”, “tidak membawa jajanan”, “bersih-bersih”, “buang sampah”, “nyapu-nyapu”, “membuang daun yang jatuh”, “tidak nyampah”. “Ya..peduli. Kalau ada kerja bakti di situ ikut. Setengah tahun sekali. Kerja bakti yang menyelenggarakan lingkungan. Kadang ngecet ulang. Ikut bantuin bangun pembatas biar gak banjir”. (Fani) “Kalau aku suka sirem sih..airnya bawa sendiri siremin pohon ceri”. (Elina)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
173
“Yang bersihin lapangan rumput seminggu sekali. Saya ikut bersihin. Tapi kalau kita lagi ada kegiatan ya gak bisa bersihin ya gak apa-apa. Kalau lapangan udah kotor, baru bersihin. Gak ada jadwal khusus”. (Kris) “Bantuin potong rumput udah ada 20 kali kurang…18an…soalnya rumput kan lama tumbuhnya”. (Kris) “Kalau kita lagi main di lapangan gak bawa jajanan, makanan. Kalau makan jajanan ya kita duduk deket got. Gak di lapangan”. (Sara dan Luna) “Kalau di tempat itu sih bersih sih bersih, kalau ada yang minum orangnya langsung buang sampah di tempatnya. Kadang-kadang bantuin buang sampah dan nyapu-nyapu. Lagi pula tempatnya kecil jadi gak jauh lah buangin sampahnya”. (Lala) “Peduli dong bu…tapi saya pernah buang sampah sembarang. Iseng doang bu..Pernah buang bekas bungkus permen di pojokan”. (Yona) “Ya peduli. Deket-deket situ kan ada pohon, ada daun nya yang jatuh-jatuh. Ada orang yang ngambilin, bantu gitu…buangin daunnya keluar. Kemarin itu aku bantuin buangin 1-2 daun keluar”. (Tim) “Rina juga sirem pohon perosotan juga pake botol”. (Rina) “Pasti [peduli]. Kalau saya…habis main, kalau misalnya habis minum beli es..gak nyampah di sana. Tiap hari Minggu kalau rumputnya panjang, ikut bantu nyabutnyabutin..ditarikkin gak pake alat/gunting”. (Ricky) “Peduli bu…kalau makan sampah gak boleh buang situ. Habis makan gak boleh buang situ. Udah jadi perjanjian dengan temen-temen”. (Moris)
g. Pengetahuan ruang kota favorit Berada di ruang kota favorit melalui pergerakan habitual dan praktik spasial memungkinkan partisipan menjadi sadar akan kehadiran mereka di tempat tersebut. Kesadaran akan kehadiran di ruang kota favorit merupakan proses yang berkontribusi dalam membentuk pengetahuan mereka akan ruang kota favoritnya (Rasmussen & Smidt, 2003) dan pembentukan place habit. Pengetahuan ruang kota favorit yang Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
174
ditunjukan oleh partisipan melalui deskripsi verbal maupun gambaran visual adalah sekedar memberikan gambaran bahwa ruang kota favorit berada dan tersimpan di dalam tubuh serta menyatu dengan tubuh mereka. Namun, kemampuan atau ketidakmampuan menggambar peta tidak berhubungan dengan pembentukan place habit. Secara verbal, partisipan mampu menunjukkan pengetahuan mereka terhadap ruang kota favoritnya dengan menyebutkan nama objek, jumlah objek, karakteristik objek (material, skala) yang ada di tempat. Partisipan juga mampu menyebutkan posisi dan lokasi tempat dengan baik, serta konteks di mana tempat berada, seperti yang diucapkan oleh beberapa partisipan di bawah ini: “Kan taman bunglon itu punyanya Pak RT…jadi tuh sebelum pada main, jadi setiap hari dikasih semacam meja dari semen di taro buku. Di buku itu isinya perjanjianperjanjian. Pak RT udah janji gak akan digusur. Tempat itu udah permanen. Kalau Pak RT gusur, Pak RT yg rugi, karena Pak RT udah bangun udah bangun 10 pohon, tempat meja runding 2, lampu tiang 1, gawang 2, ring basket 1…..Dulu gak ada gawang, gak ada meja runding. Pertama kali meja runding dibuat, habis itu kedua gawang dari besi..beneran gawang seperti lapang sekolah. Pohon dan batu beton. Habis itu ring basket. Pendek…setinggi lemari perpustakaan lebih 10 jengkal..pendek. Habis itu..paling terakhir bikin lampu”. (Kevin) “Tempat jualan itu seperti ada ruko-rukonya. Kan ada ruko, di dalamnya ada gerobak. Ada 5 ruko..satu-satu.Ini kan rumahku ni.. terus keluar, terus belok sini, di sini ada Bumi Internet, diseberangnya…terus ada palang Bank Index. Itu ruko yang kedua tempat jualan papaku. Trus ntar di sini ada bakmi ayam dalam toko. Tukang bakmi ini, pemilik ruko-ruko ini. Dia punya anak, yang masih kecil 3-4 tahun dan yang gede kelas 2. Kadang-kadang aku main sama anaknya. Kan anaknya lagi ulangan jadi aku main sama adiknya yang kecil yang laki-laki”. (Via) “Ini kan rumah saya. Ini jalanan rumah saya. Ini ada rumah rumah. Ini kayak ada gini kan. Trus di sini ada perempatan. Ada yang ke sana, ke sono dan ke sono juga bu. Nah yang ke sini ke rumah Nanda. Ini jembatan di sini sama kali-kalinya. Kalinya di sanaan dikit bu. Ini kalau ke sini ke Kebon Jeruk 1 bu. Ini ada warung bu. Tulis aja ‘w’ bu..Di sini rumah-rumah, di sini rumah Nanda bu. Ini kayak rumah panjang ini ada bengkel. Terus ada perempatan lagi, di sini itu WC umum. Nah ini di sini counter pulsa. Dari sini Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
175
toko-toko gitu. Di sini ada Alfa tapi udah tutup. Di sini banyak toko-toko spare parts. Ini WC umum, nah di sini ada kali, ada jembatan. Masuk jalan ke situ, belok, lurus, belok lagi, lurus…rumah pho-pho saya..tulis aja ‘p’…”. (Hani)
Secara visual, partisipan juga mampu menunjukkan pengetahuannya terhadap suatu ruang kota favoritnya melalui kemampuan menggambar peta. Peta merupakan salah satu cara yang berguna untuk memperlihatkan ketrampilan eksplorasi spasial partisipan di ruang kota favorit dan memperlihatkan pengalaman pembelajaran yang diperoleh dari ruang kota (Freeman & Vass, 2010). Secara umum, partisipan mampu menunjukkan lokasi rumah dan fitur-fitur lingkungan yang dikenal, menampilkan skala dan proporsi, menunjukkan hubungan antar fitur, menunjukkan abstraksi dan simbolisasi, bahkan menunjukkan ekspresi kehidupan partisipan pada saat beraktivias di ruang kota favoritnya. Sebagian gambar yang dibuat oleh partisipan dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4. Gambar partisipan terkait pengetahuannya terhadap ruang kota favorit
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
176
Pengetahuan partisipan terhadap ruang kota favoritnya diungkapkan melalui kombinasi deskripsi verbal dan deskripsi visual suatu ruang kota favorit (Lihat Gambar 5.5).
Gambar 5.5. Gambar ruang kota dengan deskripsi teks
5.2.5.2.
PENGALAMAN EMOSIONAL RUANG KOTA FAVORIT
Proses pergerakan, berdiam dan perjumpaan dengan ruang kota favorit tertentu memicu pengalaman emosional partisipan terhadap ruang kota favoritnya. Partisipan menunjukkan lapisan pengalaman yang diasosiasikan dengan attachment sebagai notion of feeling subject, yaitu “a matrix of emotional intentionalities within the person which
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
177
extend outwards in varying intensities to the centres, places and spaces of a person’s geographical world” (Seamon, 1979, p. 76). Pengalaman emosional partisipan dengan ruang kota favoritnya menunjukkan ikatan afeksi (affectionate bonding) antara partisipan dan ruang kota favoritnya. Afeksi merupakan “a comprehensive, generic term for psychological experiences that are felt and fluctuate with respect to each other” (Cataldi, 2008, p. 163). Afeksi sangat menyatu dengan sense-perception yang terjadi dalam pengalaman tubuh. Menurut MerleauPonty, setiap objek yang dipersepsikan oleh seseorang secara simultan membangkitkan ingatan (ibid). Setiap tindakan yang dilakukan partisipan di ruang kota favoritnya bermakna dan memiliki tujuan. Perilaku sebagai living embodiement menurut MerleauPonty (ibid, p. 164), merupakan hasil hubungan antara stimulus dan tanggapan. Bukan sebagai sebab akibat, namun sebagai hubungan tanda dan penanda, yaitu proses dialektif atau pertukaran makna antara intentional actions dan phenomenal objects. Perilaku manusia tersusun dari relasi internal antara tujuan dan tanggapan yang diperoleh (acquire responses). Emosi sebagai struktur perilaku merupakan bentuk dari adaptive movement (ibid. 165). Jadi, emosi bisa berubah bila gagal dalam mengintegrasikan relasi antara harapan dan kenyataan. Kegagalan mengintegrasikan harapan dan kenyataan akan memicu variasi emosi. Pandangan Merleau-Ponty terhadap kesanggupan merasakan emosi sebagai “the intellectual elaboration of our experience of the world is constantly supported by the affective elaboration of our inter-human relations” (Cataldi, 2008, p. 172). Pengalaman emosional partisipan yang ditemukan dalam penelitian ini seperti: a. Rasa kecewa, kesal dan marah Pada saat partisipan ditanya mengenai apa yang mereka rasakan bila mereka tidak dapat bergerak dan beraktivitas seperti biasanya di ruang kota favoritnya, jawaban mereka adalah rasa kecewa, tidak enak, kesal dan marah. Jawaban yang sama juga diberikan pada saat mereka ditanya apa yang mereka rasakan bila tempat tersebut hilang atau rusak.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
178
“Kecewa, ngak bisa main lagi di situ” (Iksan, Chelsea, Sara) “Tapi kalau dilarang, ya…kadang…kecewa sih rasanya. Rasanya pengen ngerusak barang aja. Emosi” (Kevin). “Kalau lagi ujan…lapangan becek gak main di situ. Jadi main di dekat rumah aja. Perasaannya biasa aja…kecewa gitu lah…kalau di blok gitu, kan gak bisa berisik..paling cuman boleh ngobrol-ngobrol aja”. (Sara) “Gak enak. Kan papa suka bilang gini: waktu aku kelas 4 atau 5, tiap Sabtu atau Minggu sering berenang di apartemen oma. Dari dulu kan aku suka berenang. Kalau gak berenang rasanya gak enak gitu. Sekarang gak berenang di tempat oma aja..karena udah dijual” (Ema) “Ya..gak enak. Tapi..itu..mau pergi, temen-temenya pada pergi semua”. (Rina) “Kadang-kadang diusir sama yang punya rumah deket situ…”. (Luna) “Kita jadi ngedumel”. (Sara) “Kesel kehilangan karena banyak teman di sana”. (Elina) “Pengen di bakar....kecewa”. (Kevin) “Kalau saya seminggu gak jalan-jalan [ke mal] maunya marah-marah”. (Yona) “Sedih. Dulu di pohon itu ada rumahnya. Kita bikin sendiri gitu..tapi sekarang udah gak ada lagi. Tapi masih sering main di sana sih”. (Rina) “Sedih karena di sana bisa ketemu temen-temen”. (Fani) “Sedih…di sana bisa main layangan, bola” (Ibra, Fadli) “Kalau misalnya gak punya rutinintas itu, rasanya…seperti gak punya temen. Jadi kalau gak ke sana sepertinya gak punya temen lagi gitu kalau gak ke situ …sedih aja”. (Elina) “Peduli sih…sedih kalau sehari gak main di situ..bosen. Di rumah paling main game dan nonton TV doang. Lebih enakkan main di luar”. (Ibra)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
179
“Jadi kalau hujan..gak bisa ke sana ya sedih” (Chelsea) “Gak enak..rasanya badannya kering [karena tidak berenang]”. (Ema)
b. Rasa sayang dan rindu Partisipan juga menunjukkan rasa sayang dan rindu mereka terhadap ruang kota favoritnya, terutama bila ada halangan atau larangan untuk bisa beraktivitas di tempat tersebut. Ucapan yang paling sering muncul adalah “pengen banget”, “pengen”, “kangen”, “sayang”, “gak sabar”. “Nyesel..karena udah pengen banget”. (Tim) “Sehari-harinya pasti ke rumah JBW. Pasti…pengen...” (Siska) “Rasanya pengen ke sana”. (Yona) “Sayang sama warung cincau” (Lala) “Sebenarnya kangen sama pohon itu…masak kalau main berdua doang. [sama Sara]. (Lala) “Gak sabar [main sepeda di jalan]…Pengen beli sepeda yang baru..”. (David) “Pengen banget naik sepeda…”. (David) “Ya..pengen…Aku lebih suka di luar…tapi gak bisa.. Pernah dulu ke kompleks Citra..naik sepeda di sana keliling-keliling”. (Ema) “Ya kangen [main sepeda di kompleks rumah oma]…setiap hari kan ke Gelong..gak dibolehin lagi. Kan pulang udah sampenya jam setengah enam..kan kalau aku main dulu..nanti sampenya malem…. Aku udah pernah bilang sama papa..tapi gak boleh. Bilangnya gak aja…Aku tanya-tanya kenapa kenapa. Dijawabnya udah titik”. (Ema) “Apa lagi sekarang lagi panas banget…pengen banget berenang”. (Bety) “Pengen..pengen…tapi gak bisa…”. (Bety)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
180
c. Rasa senang Pengalaman menyenangkan partisipan di suatu ruang kota favorit ditunjukan dengan emosi positif, seperti keceriaan, kesenangan, kegembiraan, bebas, keseruan, kepuasan dan ketenangan pada saat berada di tempat tersebut, terutama bila dapat dilakukan bersama-sama dengan teman. Partisipan juga menceritakan rasa senang dan rasa gembira dapat berada di ruang kota favoritnya, karena kesempatan berada di ruang kota favoritnya tidak selalu dapat terpenuhi. Pengalaman berada di ruang kota favorit merupakan pengalaman yang sangat ditunggu-tunggu oleh partisipan, terutama oleh partisipan yang mengalami kondisi familialisasi strict. “Enak..enak…enak Bu…”. (Hani, Bety dan David) “seneng banget ke sana… Tempatnya menyenangkan” (Chelsea, Yona) “Tambah seneng…soalnya jarang bu…” (Bety, Dona, David) “Ini kan sudah lama tidak ke kapel? Apa rasanya? Fani: “Kurang aja ke sana…kemarin ke sana rasanya bebas…main”. Ia mengekspresikan rasa senangnya bisa ke kapel lagi. Ia ke kapel karena ada acara. Ia tidak ke sana, kalau tidak ada acara. (Catatan lapangan 30 Mei 2014) “Seneng….Paling senang kalau lagi ada perayaan Natal, doa-doa tahun lingkungan.…” (Fani) “Makin seneng Bu…gak pernah turun..itu tempat-tempat satu-satunya main bola. Kalau ke tempat lain musti bayar. Terakhir main di sana kemarin. Dari jam setengah empat sampai magrib jam 6. Mama papa tahu dan mengizinkan main di sana”. (Moris) “Karena ada temen..lucu….Senenglah pokoknya.…”. (Via) “Seneng banget..tapi kayaknya seru gitu..soalnya cerita-cerita habis ngelakuin selalu diulang-ulang lagi di ceritain-ceritain lagi. Jadi kesenengan gitu lah”. (Sara) “Cape bu…sama temen sih seneng gitu bu…rasanya puas”. (Moris) “Seneng..soalnya hobi”. (Ema) “Seneng…bisa main. Kadang kan gak boleh”. (Rina)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
181
“Cape..seru..rasanya enak aja..bisa main. Jarang-jarang”. (Kevin) “Demennya di Time Zonenya bu di situ..Gila bu..atasnya Time Zone, bawahnya Fun World. Puas banget…main di dua-duanya…..Asik..bu..happy banget…”. (Dona)
d. Emosi temporal Partisipan mengakui bahwa pengalaman emosional mereka terhadap ruang kota favoritnya bersifat temporal. Mereka mengakui emosi mereka selama rentang waktu tertentu terhadap tempat tersebut dapat bertambah senang dan kadang dapat kurang senang atau dua-duanya, tergantung situasi fisik dan sosial (peer) tempat tersebut. “Naik turun naik turun. Kalau naik itu kalau sama temen-temen. Kalau lagi turun itu waktu ngajakin temen, tapi temen gak mau”. (Elina) “Naik turun naik turun…perasaannya dengan tempat itu. Kadang lapangannya kaga enak suasananya. Kadang temen-temennya keras kepala. Kadang lapangannya gawangnya rubuh, Jadi males. Misalnya kita lagi bosen main bola, trus kita main bulu tangkis. Kalau udah bosen terus-terusan bulu tangkis kita main bola lagi. Baru kita ke sana bangun gawangnya kalau misalnya rubuh”. (Kris) “Kalau dulu kan biasa-biasa aja. Waktu tahun 2011, kita main 1 gang juga. Kita tanding bola sama dia 2011. Waktu masuk 2012 kita gak main sama dia…rasanya biasa. Eh..sejak januari 2013 seru banget walaupun gak sama gang itu”. (Sara) “Kalau lagi down sih…sampingnya kan kali. Kalau lagi ujan deres, lapangan banjir. Tunggu seminggu baru kering. Kalau temen-temen berantem karena kalah main bola”. (Ricky)
e. Emosi ambigu Pada beberapa partisipan, mereka juga mengalami pengalaman emosi yang kadang saling bertentangan. Disatu sisi, partisipan merasakan keinginan berada di tempat tersebut namun di sisi lain partisipan merasa malas untuk berada di sana. Emosi temporal yang saling bertentangan ini juga diungkapkan oleh Watkins (2007) dalam penelitiannya sebagai emosi yang ambigu dari place attachment. Emosi ini muncul pada
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
182
saat ada situasi atau kondisi yang tidak diinginkan, seperti yang diceritakan oleh beberapa partisipan di bawah ini: “Kalau sama oma dan mama papa males…karena cuman nemenin belanja”. (Ema) “Naik turun naik turun…perasaannya dengan tempat itu. Kadang-kadang kalau lagi seneng main di lapangan maka main terus gak ada berenti-berentinya. Misalnya kalau lagi kesel sama temen gang yang dulu …pasti gak mau lagi main ke lapangan males ke lapangan. Kadang-kadang main lagi ke sana”. (Luna) “Up and down. Kalau down gitu kan…kadang kalau orang nya lagi gak ada, giliran main gak niat…jadi kesel. Kalian mau main atau gak sih. Kesel sama temen juga kesel sama tempat…ini tempat apaan sih..ngak seru amat. Tapi giliran seru..ini tempat udah berasa kayak surga..lompat-lompatan…kayak orang gila lah..”. (Kevin)
Jadi, dapat disimpulkan, penelitian ini menemukan bahwa pengalaman emosional partisipan bersifat temporal, tergantung pada situasi fisik dan sosial yang terjadi di ruang kota favorit tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa pengalaman emosi yang ditunjukkan oleh partisipan ada yang negatif bila dipisah atau tidak diizinkan oleh orang tuanya berada di ruang kota favoritnya; ada yang positif bila dapat berada di ruang kota favoritnya, serta ada yang ambigu dan bercampur pada saat ada situasi yang tidak diinginkan partisipan berada di sana. Pengalaman emosi ini dipicu oleh variasi pengalaman pergerakan habitual, tindakan selama berdiam di tempat tertentu dan perjumaan dengan tempat tersebut.
5.3. KESIMPULAN BAB 5: DIALEKTIKA BODY HABIT DAN PENGALAMAN EMOSIONAL Bab ini bertujuan untuk memberikan jawaban terhadap apa yang menentukan hadirnya fenomena kelekatan anak terhadap ruang kota tertentu di kota Jakarta? Serta, seperti apa proses yang menentukan anak membentuk kelekatannya dengan ruang kota tertentu? Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada Sub Bab 5.1., penelitian ini menemukan bahwa feneomena hadirnya kelekatan anak pada tempat yang diamati bukan binari
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
183
seperti either/or, this/that, atau here/there yang merupakan hasil dari materialitas tempat dan dualisme transaksional anak dan tempat, seperti yang umumnya dipahami dalam konsep place attachment pada anak. Namun, fenomena kelekatan anak pada tempat yang diamati hadir sebagai fenomena non-material yang dinyatakan sebagai place habit. Place habit merupakan tindakan menempati (merujuk pada akar kata ‘habit’ dalam Bahasa Latin habere) suatu ruang kota yang mendukung, sebagai hasil both/and atau here/now dialektika body habit-in-the-place dan emotional experiences of being-in-theplace. Tindakan menempati suatu ruang kota tertentu hingga anak lekat dengan tempat tersebut melibatkan proses internal yang terjadi dalam body habit dan bagaimana proses internal tersebut memicu pengalaman emosional dengan ruang kota yang mendukung. Seperti yang telah diuraikan pada Sub Bab 5.2.1 sampai dengan Sub Bab 5.2.3. dengan meminjam tiga tema eksistensial pengalaman spasial Seamon (1979), penelitian ini menemukan bahwa pengulangan pengalaman tubuh anak dan praktik spasial menempati yang dilakukan anak dalam waktu dan ruang kota tertentu, hingga berkembang menjadi kebiasaan (habit), merupakan body habit. Body habit menunjukkan konsep being-inthe-place, bukan hanya sebagai suatu perilaku mencari kedekatan (proximity-seeking behavior) dalam hal pergerakan yang berulang (repetitive movements), seperti yang dijelaskan oleh sebagai konsep being-there (de Certeau, 1984), namun melingkupi proses berdiam di ruang kota tertentu dan perjumpaan dengan ruang kota tertentu hingga menjadi terbiasa dan menyatu sebagai satu kesatuan pengalaman anak dan tempat yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun secara umum, partisipan menunjukkan pergerakan habitual mereka hampir sepenuhnya otomatis dan rutin, body habit anak berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Seamon (1979, p. 54) sebagai body-ballet30. Body habit anak dalam penelitian ini tidak didasarkan pada latihan dan praktik sehari-hari yang membutuhkan ketrampilan atau keahlian bahkan bakat tertentu. Body habit anak juga bukan merupakan aktivitas 30
Body ballet merupakan “a set of integrated gestures and movements which sustain a particular task or aim. Body ballets are frequently an integral part of manual skill or artistic talent – for instance, washing dishes, ploughing, house-building, hunting or potting….Basic bodily movement fuse together into body ballet through training and practice” (Seamon, 1979, pp. 54-55). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
184
yang mengalir dan berirama yang bersifat organik, spontan dan terintegrasi dengan aktivitas lainnya yang menggunakan sedikit mugkin aktivitas kognitifnya (Seamon, 1979, p. 55). Namun, body habit anak dalam penelitian ini dibentuk dan berkembang karena hubungan yang cukup lama dan jangka panjang antara anak dan ruang kota tertentu. Body habit merupakan pergerakan berulang dan praktek spasial anak yang memiliki rute dan urutan tertentu, frekuensi dan waktu pergerakan tertentu yang diizinkan dan disetujui oleh orang tua anak. Body habit anak bukan merupakan hasil dari banyak pertemuan atau aktivitas tidak sengaja (accidental) seperti yang didiskusikan oleh (Seamon, 1979, p. 57). Body habit tidak terjadi dengan tidak sengaja, namun body habit memerlukan motivasi, dan berbagai upaya yang datang dari internal maupun eksternal anak, agar body habit dapat selalu terjadi. Body habit bukan hanya dibentuk melalui pergerakan habitual, namun juga melingkupi proses berdiam di (rest in) ruang kota tertentu dan proses perjumpaan dengan ruang kota tertentu. Proses berdiam di tempat tertentu melibatkan waktu berdiam yang diizinkan dan disetujui oleh orang tua anak, melibatkan teritori tertentu, melibatkan berbagai praktik tindakan bermain yang disukai anak bersama-sama dengan teman sebaya, melibatkan berbagai tindakan menamai dan mengkonstruksi tempat, serta melibatkan berbagai ekspresi tindakan yang menantang, seru dan dapat dibagikan bersama dengan teman sebaya atau orang tua. Proses berdiam yang lama dan panjang serta tindakan-tindakan yang dilakukan anak selama berdiam di tempat tertentu mengakibatkan anak memiliki sense untuk bertindak. Sense untuk bertindak yang telah mengendap dan kuat tertanam dalam diri partisipan merupakan habitus (Bourdieu). Habitus tindakan tidak dapat dipisahkan dari konsep capital dan field. Body habit dibentuk juga oleh proses perjumpaan antara anak dan ruang kota tertentu yang dipicu oleh dorongan orang tua dan teman sebaya daripada kondisi lingkungan fisik ruang kota tersebut. Proses perjumpaan anak dengan ruang kota tertentu telah berlangsung untuk jangka waktu yang cukup lama hingga anak dan ruang kota tersebut telah menyatu.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
185
Seperti yang telah diuraikan di Sub Bab 5.2.5., penelitian ini menemukan bahwa anak menunjukkan body habit demi untuk menjaga keberlangsungan ekspresi tindakantindakan anak di ruang kota favorit yang menyenangkan, menggembirakan, lucu, penuh canda, menantang, dapat dibagikan kepada teman, dirindukan, dan disayang. Ekspresi tindakan-tindakan yang ditunjukan oleh body-habits anak dengan ruang kota yang mendukung, memicu pengalaman emosional pada anak. Pengalaman emosional dengan ruang kota yang mendukung menandakan adanya ikatan afeksi (affectionate bond) antara anak dan ruang kota favoritnya. Ikatan afeksi merupakan salah satu karakteristik sifat kelekatan yang dominan yang ditemukan pada kajian human attachment dan place attachment (Giuliani, 2003; Scannel & Gifford, 2014). Anak juga menunjukkan pengalaman emosi yang dinamis, seperti kesenangan pada saat berada di ruang kota tertentu, sedih atau kesal pada saat dipisah dari ruang kota tertentu, rindu pada saat di larang atau dijauhkan dari ruang kota favoritnya tersebut. Seperti yang telah diuraikan di Sub Bab 5.2.4., penelitian ini menemukan bahwa ruang kota yang mendukung di mana dialektika body habit dan pengalaman emosional anak bertemu, dapat dipahami melalui konsep lived-existential spaces (Lefebvre, 1991) yang berbeda dengan physical dan geometrical space. Ruang kota mendukung tersebut merupakan ruang kota favorit anak yang dapat dijelaskan sebagai ruang kota yang dipikirkan (conceived), dipersepsikan (perceived) dan dihidupi (lived) melalui serangkaian pemaknaan dan simbol yang diberikan oleh anak pada ruang kota tertentu, sebagai suatu kesatuan yang utuh. Jadi dapat disimpulkan bahwa, penelitian ini menemukan bahwa place habit sebagai hasil dialektika body habit dan pengalaman emosional, menunjukkan tindakan menempati suatu ruang kota tertentu yang mendukung. Tindakan menempati suatu ruang kota tertentu tersebut, terjadi melalui proses pergerakan habitual, berdiam dan perjumpaan hingga memicu pengalaman emosional.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
BAB 6 SIFAT DAN STABILITAS PLACE HABIT
Bab ini bertujuan untuk menjawab apakah perbedaan kondisi institusionalisasi dan familialisasi anak menentukan perbedaan pola/sifat kelekatan anak pada ruang kota tertentu? Serta apa yang menentukan keberlangsungan kelekatan anak pada ruang kota tertentu? Seperti yang telah diuraikan pada Bab 5 sebelumnya, penelitian ini menemukan bahwa fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat hadir sebagai place habit. Berdasarkan fenomena kelekatan anak pada tempat yang diamati, penelitian ini menemukan ada empat sifat place habit, yaitu secure, avoidant, diminished dan mobile. Keempat sifat place habit tersebut mendukung fenomena place habit yang non-material. Place habit bersifat rapuh dan non-permanen. Place habit selalu bergerak, tergantung ruang dan waktu yang tidak fix, mengikuti penyatuan dialektika body habit anak dan pengalaman emosional
anak.
Sifat-sifat
place
habit
ini
mengindikasikan
dinamisnya
keberlangsungan stabilitas place habit. Sifat dan stabilitas place habit yang ditemukan dalam penelitian ini diharapkan dapat mengisi celah penelitan terkait dengan belum adanya penelitian yang secara spesifik menginvestigasi kemungkinan hubungan antara place attachment dengan pembentukkan pola/sifat kelekatan (Giuliani, 2003); dan belum adanya penelitian place attachment pada anak yang menginvestigasi apa yang menentukan stabilitas kelekatan anak pada tempat; serta bagaimana sebenarnya perbedaan individual dalam kaitannya dengan pengalaman pada tempat dan pembentukkan sifat-sifat kelekatan anak juga masih belum jelas (Giuliani, 1991, 2003; Scannel & Gifford, 2014). 6.1.
AGENCY
Agency menurut Giddens (1979, p. 55) merujuk pada “the stream of actual or contemplated causal intervensions of corporeal beings in the ongoing process of events-
186 Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
187
in-the-world”. Pemahaman agency menurut Giddens memiliki makna terkait kemampuan seseorang untuk membuat perbedaan suatu kondisi atau keadaan. Agency dapat berakhir, bila seseorang kehilangan kemampuannya untuk berbuat sesuatu yang berbeda (Loyal, 2003). Dalam hal ini, agency terkait dengan kekuasaan (power), suaut interplay antara autonomy dan dependence (Giddens, 1979). Manusia sebagai agent, menurut Giddens, merupakan seseorang yang secara rasional berperilaku terkait dengan apa yang diketahuinya atau dipercayainya yang akan berakibat pada setiap tindakan yang dilakukannya (Loyal, 2003, p. 56). Setiap manusia memiliki peran sebagai agent dan memiliki agency, termasuk anak-anak. Penelitian ini memandang anak sebagai aktor sosial dan sebagai agent. Aktor adalah seseorang yang melakukan sesuatu dan agent adalah seseorang yang melakukan sesuatu dengan orang lain (Mayall, 2002). Memandang anak sebagai aktor sosial berarti memandang anak-anak sebagai seseorang yang aktif dalam mengkonstruksikan kehidupannya sendiri. Sedangkan memandang anak sebagai agent, berarti menganggap anak memiliki kemampuan untuk membuat perbedaan suatu kondisi atau keadaan, baik kondisi kehidupannya sendiri maupun kondisi kehidupan orang-orang yang ada disekitar mereka, termasuk lingkungan sosial di mana mereka tinggal. Kemampuan peran tersebut dinyatakan sebagai agency31 (James, 2009). Jadi, agency dalam penelitian ini merujuk pada kemampuan seorang anak untuk bertindak bebas dan otonomi dalam membuat perbedaan suatu kondisi atau keadaan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Kemampuan otonomi tersebut memampukan anak untuk memberikan kontribusi pada proses sosial dan budaya yang lebih luas, termasuk place habit. Penelitian ini menemukan bahwa semua partisipan yang diamati mengalami kondisi institusionalisasi. Gambaran kondisi institusionalisasi partisipan sudah diuraikan pada Sub Bab 4.2. sebelumnya. Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak semua partisipan mengalami kondisi familialisasi yang sama. Gambaran kondisi familialisasi partisipan sudah diuraikan pada Sub Bab 4.3. Penelitian ini menemukan bahwa semua partisipan 31
“the capacity of individuals to act independently” (James & James, 2012, p. 3). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
188
yang diamati berperan sebagai aktor yang aktif dalam membentuk place habit seperti yang telah diuraikan di Bab 5 sebelumnya, namun tidak semua partisipan memiliki kemampuan dan peluang yang setara dalam memainkan peran mereka sebagai agent dalam membentuk place habit. Partisipan yang berada dalam kondisi familialisasi yang moderate memiliki derajat agency yang lebih besar daripada partisipan yang berada dalam kondisi familialisasi yang strict dalam menghasilkan place habit. Secara umum, perbedaan derajat agency lebih menentukan perbedaan sifat secure dan diminished place habit dibandingkan spasial lingkungan fisik rumah tinggal dan dukungan sosial (peer) dan kondisi institusionalisasi. Sedangkan sifat avoidant place habit dan mobile place habit kurang lebih berimbang ditentukan oleh agency, spasial lingkungan fisik rumah tinggal dan dukungan sosial. 6.2.
SIFAT-SIFAT PLACE HABIT
Perbedaan derajat agency partisipan menentukan perbedaan empat sifat place habit, yaitu: secure, avoidant, diminished dan mobile. Sifat-sifat ini diperoleh melalui penelitian selama bulan Oktober 2013 sampai dengan Juni 2014. 6.2.1. SECURE PLACE HABIT Secure place habit merujuk pada suatu fenomena yang ditunjukkan partisipan melalui tindakan untuk selalu mencari kedekatan, berhubungan dan menjaga interaksi dengan suatu ruang kota favorit yang mendukung secara secure, sehingga mereka lekat secara fisik dan emosi. Secara dominan, tiga belas partisipan yang mengalami kondisi familialisasi moderate menunjukkan kemampuan untuk mempertahankan kelekatan mereka pada satu atau lebih ruang kota favorit. Melalui naratif, kelompok partisipan tersebut menunjukkan bagaimana mereka secara fisik dan emosi lekat dengan ruang kota tertentu. Mereka menunjukkan tindakan untuk selalu mencari kedekatan dan berhubungan serta menjaga interaksi pada pada satu ruang kota tertentu untuk waktu yang cukup lama. Mereka menyuarakan betapa menyenangkannya perasaan mereka pada saat mereka berada di ruang kota tersebut, melalui kata-kata seperti ‘makin seneng’, ‘seneng banget’, ‘seru’, ‘enak’, ‘senenglah pokoknya’, ‘tambah seneng’, ‘enak’, ‘happy banget’, ‘asyik’.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
189
Pergerakan bolak balik ke ruang kota favorit untuk menempati tempat tersebut terjadi secara berulang-ulang untuk waktu yang cukup lama, hingga menjadi terbiasa. Kebiasaan tersebut diceritakan oleh partisipan dengan menggunakan kata-kata seperti “otomatis”, “biasanya”, “tau-taunya”, “rutin”, “gak sadar”, “pasti”. Pergerakan habitual ini diekspresikan sebagai sesuatu yang otomatis dan sesuatu yang tidak disadari (involuntary). Partisipan juga menceritakan bahwa mereka memiliki kebiasaan terkait dengan waktu, rute dan urutan menuju/pulang ke/dari ruang kota favoritnya. Kebiasaan pergerakan mereka dalam mengunjungi dan beraktivitas di ruang kota favoritnya dimungkinkan karena adanya dukungan teman sebaya dan orang tua, serta spasial lingkungan rumah tinggal yang mendukung. Kondisi familialisasi moderate mereka menentukan dan memungkinkan mereka untuk bebas bertindak sebagi agent dan menghasilkan agency yang berkontribusi pada pembentukan sifat place habit yang secure. Secure place habit secara dominan ditemukan pada spasial lingkungan rumah tinggal yang mendukung, artinya ada banyak tempat yang dapat digunakan untuk beraktivitas, seperti jalan lingkungan yang tenang, ruang terbuka hijau, taman lingkungan, lapangan. Tempat-tempat tersebut mudah dijangkau dan dicapai oleh anak-anak serta berada dalam lingkup rumah tetangga (familial space), seperti jalan lingkungan, rumah teman, lapangan rumput untuk bermain bola, warnet, ‘bunderan’, pohon ‘ceri’, halaman kapel, warung cincau, koridor depan unit rumah susun, taman lingkungan. Namun ada juga ruang kota favorit partisipan yang terletak di ruang daur hidup rumah-sekolah (neighborhood space), seperti kolam renang di sport club. Secure place habit juga dominan hadir pada anak yang tinggal di lingkungan rumah tinggal yang memiliki banyak potensi sosial yang mendukung, yang artinya ada banyak teman sebaya untuk bersosialisasi dan bermain bersama di lingkungan rumah tinggal. Partisipan memiliki kebebasan bergerak secara mandiri bolak balik dari rumah ke ruang kota tertentu, tanpa ada rasa kekhawatiran. Selama ini, partisipan belum pernah mengalami rasa kehilangan ruang kota favorit mereka dan mereka meyakini bahwa tempat tersebut akan selalu ada dan percaya bahwa tempat tersebut tidak akan hilang. Partisipan juga mengekspresikan bahwa ruang kota favorit mereka memberi maknaUniversitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
190
makna khusus yang berarti bagi mereka. Makna khusus ruang kota favoritnya merupakan hasil dari pengalaman dan interaksi mereka dengan tempat tersebut, yang dinilai bukan hanya karena adanya afiliasi sosial bersama teman sebaya saja tetapi karena di tempat tersebut mereka dapat meyalurkan kesenangan dan minat mereka untuk bermain bola atau hanya bermain dan bercengkrama dengan teman. Bagi partisipan, ruang kota favorit merupakan tempat untuk melepaskan rasa stres dari beban sekolah dan les serta pekerajaan rumah tangga. Ruang kota favorit juga merupakan tempat untuk menjaga kekerabatan dengan keluarga, tempat untuk mengekspresikan dan mengeksplorasikan kreatifitasnya. Namun, ada empat partisipan dengan kondisi familialisasi strict juga menunjukkan sifat secure place habit. Mereka mampu menjaga kebiasaan untuk bertindak di ruang kota favorit mendukung secara secure, walaupun tidak sesering yang ditunjukkan oleh tiga belas partisipan sebelumnya. Pada kasus Yona, ia menunjukkan sifat kelekatan yang secure pada mal yang berlokasi jauh dari rumah tinggalnya. Baginya, mal merupakan tempat untuk mengekspresikan diri, suatu tempat bagi dia untuk berbelanja pakaian atau asesoris mode, dan sebagai suatu tempat untuk melihat-lihat dan dilihat. “Kalau aku ke mall…gak masalah mal mana. CP [Central Park Mal) tempatnya enak. Di TA [Taman Anggerk] rame…kalau di CP di sana ada toko baju, toko sepatu dan makanannya. Kadang ke sana dua minggu sekali. Kadang makan doang dan ke Carrefour. Kadang minggu ini belanja sepatu, kadang minggu depannya belanja baju. Selalu mintanya ke CP..sampai koko marah sama aku, kenapa sih ke sana terus..bosen. Trus kubilang aja enak aja gitu, yang penting jalan-jalan ..ya udah…yang penting jalanjalan. Kalau saya seminggu gak jalan-jalan maunya marah-marah. Suka ke Carrefour, Little Things She Needs, tempat baju, ke Sogo atau ke mana gitu, trus makan..terutama makan. Selalu makan dulu baru jalan-jalan”. (Yona)
Pada kasus Siska, ia menunjukkan sifat kelekatan yang secure pada toko buku Gramedia yang berlokasi di mal. Baginya toko buku Gramedia merupakan tempat untuk baginya untuk memperoleh inspirasi untuk menggambar komik.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
191
“Kalau aku ke Gramedia selalu dapet inspirasi untuk bikin komik…..Gak makan pun gak apa-apa..soalnya kalau lagi baca buku..betah..gak makan pun gak apa-apa..gak mau makan…Di sana enak banyak buku…..bikin gambar-gambar”. (Siska)
Toko buku Gramedia merupakan tempat di mana ia dapat menyalurkan ekspresi dan kreatifitas diri. Walapun mal-mal tersebut, berada di luar jangkauan mandiri Yona dan Siska, mereka tetap menunjukkan kekukuhan dalam mencari kedekatan dan berhubungan dengan mal. Mereka menunjukkan berbagai upaya agar dapat berada di mal atau toko buku, dimulai dari membujuk, merajuk, berargumen bahkan marah kepada orang tuanya jika dilarang ke mal. Selama wawancara, mereka menunjukkan kerinduan yang sangat dalam untuk dapat berada di tempat tersebut karena kondisi familialisasi yang strict, yang tidak memungkinkan mereka untuk sering berada di mal. Jika mereka dapat berada di mal favoritnya, mereka menunjukkan emosi kesenangan dan kegembiraan. Pada kasus Kevin, ia menunjukkan sifat secure place habit pada taman lingkungan yang berlokasi di dalam kompleks rumah tinggalnya, walaupun taman tersebut tidak dalam kondisi terawat. Dia juga memberi nama pada tempat favoritnya, seperti ‘taman bunglon’ suatu tempat di mana ia suka menangkap bunglon, ‘jalan balap’ suatu jalan beraspal untuk bermain papan luncur, ‘sawah’ suatu lapangan berumput mirip sawah untuk bermain bersama temannya. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat baginya untuk bermain dengan teman, untuk melepaskan rasa jenuh sekolah, untuk mengekspresikan diri dan mengeksplorasi lingkungan. Pada kasus yang lain, Ema menunjukkan sifat secure place habit pada jalan lingkungan. Dia menceritakan betapa ia sangat senang bersepeda mengelilingi lingkungan rumah tinggalnya. Ia merasakan kehilangan berkeliling jalan lingkungan rumah tinggalnya dengan sepedanya, pada saat ia merasakan sepedanya telah kekecilan. Namun, pada saat ia memperoleh sepeda barunya, ia menunjukkan kelekatan yang secure kembali pada jalan lingkungannya. Semua partisipan ini, baik dengan kondisi familialisasi moderate maupun strict, mampu menjaga kelekatannya pada ruang kota favorit mereka dapat dijelaskan melalui konsep modal (capital) dari Bourdieu. Modal sosial seperti teman dan keluarga selalu tersedia untuk mendukung keberadaan partisipan di ruang kota favorit mereka. Modal ekonomi, Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
192
seperti uang jajan dari orang tua, memampukan partisipan membeli bola, koin untuk bermain game di warnet, atau membeli jajanan di warung. Modal budaya seperti pengetahuan, ketrampilan, pendidikan dan nilai-nilai keluarga memampukan partisipan untuk mengambil keputusan tempat yang baik bagi mereka atau kurang baik untuk menjadi tempat favorit. Mereka juga menunjukkan sikap rela berkorban untuk tempat favorit mereka, seperti merelakan uang jajan, waktu dan tenaga utnuk menggunting rumput lapangan boa, dan bahkan membantu membangun gawang hanya demi menjaga kebiasaan berada di ruang kota favorit mereka. Pemetaan sifat secure place habit dari ke tujuh belas partisipan yang didasarkan pada kondisi familialisasi, spasial lingkungan rumah tinggal dan potensi sosial (peer) dapat dilihat pada Tabel 6.1. Spasial lingkungan rumah tinggal mendukung berarti ada banyak tempat yang dapat digunakan untuk beraktivitas, seperti jalan lingkungan yang tenang, ruang terbuka hijau, taman lingkungan, lapangan. Spasial lingkungan rumah tinggal kurang mendukung berarti hampir tidak ada tempat atau ruang terbuka hijau atau lapangan yang dapat digunakan untuk beraktivitas kecuali jalan di depan rumah. Potensi sosial yang mendukung berarti dalam lingkungan rumah tinggal, partisipan memiliki banyak (3-10 orang) teman sebaya untuk bersosialisasi dan bermain bersama. Potensi sosial yang kurang mendukung berarti dalam lingkungan rumah tinggal, partisipan tidak atau hanya memiliki sedikit (0-2 orang) teman sebaya untuk bersosialisasi dan bermain bersama. Tabel 6.1. Pemetaan secure place habit partisipan
Potensi sosial (peer) mendukung
Familialisasi strict Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal mendukung kurang mendukung Kevin: Secure place habit pada Siska: secure place habit pada toko beberapa tempat di lingkungan rumah buku Gramedia. Gramedia merupakan tinggal (jalan balap, sawah, taman tempat yang memberikan kesempatan bunglon). Tempat-tempat tersebut bagi dirinya untuk mengeksplorasi merupakan tempat unutk diri. Ber-komik melalui ‘Gramedia’ mengekspresikan sisi kreativitas, memberikan makna tempat yang eksplorasi dan afiliasi sosial. Ia juga bernilai baginya. lekat kuat pada mall Puri Indah. Mal Puri Indah merupakan tempat untuk melekatkan diri dengan keluarga.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
193
Tabel 6.1. Pemetaan secure place habit partisipan (lanjutan)
Potensi sosial (peer) kurang mendukung
Potensi sosial (peer) mendukung
Potensi sosial (peer) mendukung
Potensi sosial (peer) kurang mendukung
Familialisasi strict Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal mendukung kurang mendukung Yona: Secure place habit pada mall (Central Park). Mall sebagai tempat untuk mengekspresikan diri (exploration of self): berbelanja, melihat dan dilihat. Ema: Secure place habit pada jalan lingkungan. Jalan sempat hilang atau lepas, tapi kembali lekat sejak memiliki sepeda baru. Familialisasi moderate Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal mendukung kurang mendukung Ibra, Fadli & Amran: Secure place Tim: Secure place habit pada kolam habit pada lapangan bola, warnet dan renang Bunda Mulia. Tempat itu bunderan. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat untuk afiliasi merupakan tempat untuk sosial. mengekspresikan tindakan bermain bola, bermain game dan mengobrol bersama teman. Fani: Secure place habit pada gereja dan kapel. Tempat ibadah sebagai tempat untuk retreat. Elina: Secure place habit pada pohon ceri di kompleks ruko di tempat les. Tempat sebagai tempat afiliasi sosial. Rana: Secure place habit pada pohon perosotan. Tempat sebagai ekspresi kreativitas dan afiliasi sosial. Kris & Ricky: Secure place habit pada taman lingkungan. Tempat sebagai social affiliation, creative expression dan exploration. Mereka menunjukkan kesedian untuk mengorbankan uang, waktu dan tenaga demi dapat bermain bola di tempat tersebut dengan temannya. Lala: Secure place habit pada warung cincau (place for family affiliation) dan taman (place for social affiliation) Luna dan Sara: Secure place habit pada lapangan, koridor rumah Luna, Green court. Hani: Secure place habit pada jalan dan rumah teman. Tempat sebagai social affiliation.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
194
6.2.2. AVOIDANT PLACE HABIT Avoidant place habit merujuk pada suatu fenomena yang ditunjukkan oleh partisipan dalam bentuk tindakan menghindari ruang kota tertentu, yang disebabkan oleh rasa ketidaknyamanan, rasa takut dan rasa tidak aman yang dialami partisipan atas ruang kota tertentu. Pada awal wawancara, ada empat partisipan menunjukkan tindakan untuk selalu mencari kedekatan, berhubungan dan menjaga interaksi dengan suatu ruang kota tertentu yang mendukung secara secure, sehingga mereka lekat secara fisik dan emosi. Namun, sejalan dengan waktu wawancara, ada situasi tertentu yang dialami partisipan mengakibatkan mereka menghindari tempat tersebut. Ada tiga partisipan dari kondisi familialisasi strict, menceritakan bahwa mereka mengalami rasa tidak aman dan tidak nyaman baik secara fisik maupun emosi, akibat dari kehadiran anak lain di ruang kota favorit mereka tersebut. Mereka merasakan bahwa kehadiran anak lain di ruang kota favorit mereka membuat mereka merasa terintimidasi. Pada kasus Via, ia merasa tidak nyaman bermain di taman dekat rumahnya karena adanya kehadiran anak lain yang tidak mau berbagi alat permainan dengannya. Via mengganggap anak lain tersebut sombong. “Ada sih. Kepengen main di taman..pengen main ayunan. Soalnya kalau main ayunan harus nunggu dulu. Kalau gak minta..eh..tukeran dong. Pada gak mau tukeran. Pada maunya main ayunan semua. Kalau main perosotan..anak-anaknya pada sombongsombong gitulah. Maunya main sendiri. Terus kalau kita main di perosotan itu, dia juga main. Trus dia ngusir-ngusir gitu. Kayak punya dia aja”. (Via)
Pada kasus David dan Dona, mereka menunjukkan perilaku menghindar suatu ruang kota favorit, yaitu jalan lingkungan yang digunakan untuk bersepeda. Awalnya ada rasa kelekatan pada jalan lingkungannya, namun karena adanya gangguan dari anak-anak lain di jalan tersebut, maka tempat itu dihindari. Akibatnya tidak ada kebiasaan berinteraksi dengan tempat tersebut lagi. “Anak-anak kampungnya….Soalnya anak yang jual nasi uduk itu..anaknya Pak RT..mentang-mentang anak RT yah gitu lah bu…”. (David)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
195
“Kalau naik sepeda, main bola suka-suka ditendangin [oleh anak kampung]..gitu..jadi kan kata papi takut jatoh jadi jangan lewat situ. Kan biasanya dari rumah David biasanya lurus aja, saya belok bu… biasanya lurus..soalnya suka banyak orang main bola bu…cici saya kalau naik sepeda diledekkin terus”. (Dona) “Ya sama anak-anak kampung gitu…dibilang sepedanya kecil lah..penyokpenyok…Dibilangnya jelek lah bu…gak pantes di pake..buang aja..tapi bukan sepeda saya bu…”. (Dona) “Kalau lagi naik sepeda suka di gini-giniin bu… [Dona memperagakan bagaimana ia di hadang saat naik sepeda]. Dede saya yang kecil Jojo..lagi naik sepeda roda di beginibeginiin…dia lagi naik sepeda roda tiga lagi ngebut…karena ada orang tiba-tiba ngerem..tiba-tiba anak kecil itu naik di atas..dari belakang aku ketawain aja…trus sama Jojo diturunin di tengah jalan”. (Dona)
Partisipan juga menghindari ruang kota favorit, terutama pada saat mereka tidak memiliki modal fisik lagi yang memadai, misalnya sepeda yang kekecilan. Sepeda yang kekecilan dianggapkan tidak lagi nyaman untuk digunakan, walaupun ada kerinduan untuk bersepeda lagi. Partisipan menceritakan bahwa bila sudah tidak ada gangguan dari lingkungan sosial, partisipan akan kembali berada di jalan lingkungan favoritnya untuk bersepeda. “Kalau lebaran kan pada pulang kampung [anak kampung] bu…enak bu…buat naik sepeda”. (Dona)
Pada kasus Moris, jalan dan taman lingkungan yang awalnya memberikan secure place habit berubah menjadi tempat yang dihindarinya. Hal ini diakibatkan karena jalan dan taman lingkungan sedang dalam perbaikan. Sifat ini merupakan sifat yang sementara. Setelah jalan dan taman lingkungan selesai diperbaiki, ia akan kembali lekat dengan tempat awal (taman lingkungan dan jalan). Sementara jalan dan taman lingkungan diperbaiki, ia pindah ke lapangan futsal agar aktivitas bermain bola tetap dapat dijaga. Lapangan futsal akhirnya menjadi tempat baru, di mana ia lekat. Perubahan sifat kelekatan ke lapangan futsal terjadi karena keinginannya untuk tetap bermain bola.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
196
Perubahan ini juga didukung oleh lingkungan sosialnya baik dari teman dan orang tua (izin dan uang). “Ya…tempatnya udah gak bisa main di sono. Karena tamannya mau ditinggiin….Kirakira Januari ditinggiin jadi gak bisa main…Sekarang sewa lapangan di Griya..naik motor bisa, jalan kaki bisa, naik sepeda bisa”. (Moris)
Jadi, sifat secure place habit dapat berubah menjadi avoidant place habit, karena sense of insecurity terhadap ruang kota favorit tersebut. Spasial lingkungan ruang kota yang memberikan rasa sense of insecurity dijumpai pada semua karakteristik spasial lingkungan rumah tinggal, baik spasial lingkungan rumah tinggal yang mendukung maupun kurang mendukung. Rasa sense of insecurity suatu ruang kota disebabkan karena kondisi fisik ruang kota tersebut yang sedang rusak atau kondisi sosial ruang kota yang mengancam kenyamanan dan keamanan anak. Namun, bila sense of social security sudah diperolehnya, partisipan akan kembali lekat ke ruang kota tersebut. Walaupun ruang kota tersebut dihindari, partisipan merasakan keinginan untuk kembali ke ruang kota tersebut. Pengalaman yang terjadi dengan ruang kota tersebut di suatu masa yang lalu memberikan kenangan yang menyenangkan yang rindu untuk dialami kembali. Pemetaan sifat avoidant place habit dari empat partisipan yang didasarkan pada kondisi familialisasi, spasial lingkungan rumah tinggal dan potensi sosial (peer) dapat dilihat pada Tabel 6.2. Tabel 6.2. Pemetaan avoidant place habit partisipan
Potensi sosial (peer) mendukung Potensi sosial (peer) kurang mendukung
Familialisasi strict Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal mendukung kurang mendukung Via: avoidant place habit pada taman lingkungan karena merasa tidak nyaman dengan kondisi sosial taman lingkungan. David dan Dona: Avoidant place habit pada jalan lingkungan karena social insecurity pada anak kampung dan ketiadaan modal (sepeda baru).
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
197
Tabel 6.2. Pemetaan avoidant place habit partisipan (lanjutan)
Potensi sosial (peer) mendukung
Potensi sosial (peer) kurang mendukung
Familialisasi moderate Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal mendukung kurang mendukung Moris: Avoidant attachment pada jalan dan taman depan rumah, karena secara fisik tidak memungkinan (dalam perbaikan), ia pindah ke lapangan futsal. Ia bersedia untuk mengorbankan uang untuk bisa memperoleh afiliasi sosial dan aktivitas bermain bola secara menerus. -
6.2.3. DIMINISHED PLACE HABIT Diminished place habit merujuk pada suatu fenomena secure place habit yang awalnya ditunjukkan oleh partisipan pada suatu ruang kota favorit tertentu, namun karena derajat agency yang rendah akibat kondisi familialisasi yang strict, maka sifat secure place habit menjadi mengecil dan akhirnya lepas (detach). Hampir semua partisipan (tujuh anak) yang mengalami kondisi familialisasi strict mengalami sifat diminished place habit. Mereka menceritakan pengalaman perubahan sifat place habit tersebut. Awalnya mereka secure terhadap satu tempat favorit yang umumnya berada di tempat yang jauh, seperti kolam renang di suatu kompleks apartemen atau sport club, rumah teman, taman lingkungan, taman vihara, rumah kerabat, toko buku Gramedia. Namun, setelah tiga bulan wawancara berlangsung, mereka menceritakan bahwa mereka telah kehilangan ruang kota favoritnya dan tidak mampu berada di sana kembali. Kondisi familialisasi yang strict memberikan kontribusi terhadap hilangnya rasa secure place habit di ruang kota tertentu menjadi mengecil dan akhirnya menghilang. “Pokoknya serba salah kalau kita pergi…ortu terlalu bahkan sering..banyak larang. Aku kalau main di depan rumah aku, aku selalu main di halaman sama kelinci. Saya kalau izin boleh ke rumah siapa aja ke rumah Feifei, atau siapa aja. Aku juga udah jarang main di warnet (sejak ada komputer sendiri di rumah)”. (Siska)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
198
“Saya udah jarang Bu..ke Serpong. Ada Liburan kemarin sekali.
Nginep sekali”.
(Dona) “Udah jarang [main di taman dekat rumah’]…Soalnya kalau pulang sekolah kan cape..tidur. Habis itu mandi. Biasa sama papa langsung di ajak ke warung. Jadinya gak sempat”. (Via) “Udah jarang [renang di Splash]..dinanti-nantiin juga sih..”. (Ema)
Partisipan sangat tergantung pada orang tuanya untuk dapat berada di ruang kota favorit dan orang tua cenderung membatasi kebebasan bergerak dan sosialisasi anak mereka. Kebanyakan partisipan dikurung di dalam rumah tinggalnya. Orang tua juga menyediakan mereka fasilitas seperti koneksi internet, komputer, TV dan aktivitas bimbingan belajar demi tetap menjaga anak mereka berada di dalam rumah atau ruangan. Walaupun saat ini, partisipan merasakan lepas dari ruang kota tersebut, namun mereka masih merasakan ikatan emosi dengan tempat tersebut, walaupun secara fisik tidak diketahui kapan akan dimungkinkan terjadinya kelekatan dengan ruang kota tersebut kembali. “Paling merengek-rengek aja. Tapi suka gak dikasih. Udah lama gak berenang ke sana [di Apartemen Bellmont]. Gak tau juga kapan akan ke sana”. (David) “Ada [keingingan ke sana]….Tapi gak bisa ke sana lagi, kata mami belum tau kapan bisa ke sana lagi karena tempatnya sedang dikontrakin. Gak tau kapan ke sana lagi”. (David)
Ada tiga partisipan dengan kondisi familialisasi moderate, juga mengalami sifat diminished place habit. Seperti pada kasus Hani, pengalaman menyenangkan berenang di kolam renang di Gajah Mada telah lepas dari dirinya. Pada awalnya, dia mengaku lekat pada kolam renang di Gajah Mada Plaza, namun karena perubahan pekerjaan orang tuanya (berdagang makanan di rumah), dia tidak mampu lagi menjaga kedekatan dan interaksi yang secure dengan tempat tersebut. Ruang geraknya semakin terbatas hanya di sekitar lingkungan rumah tinggal. Saat ini pergerakannya yang mandiri dan bebas hanya dapat dilakukan ke rumah teman (Chelsea dan Nanda) yang berada tidak
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
199
jauh dari rumahnya. Baginya, aktivitas mengobrol dan bermain dengan teman merupakan pengalaman yang menyenangkan. Sebagai pengganti kolam renang, dia menunjukkan perkembangan pembentukan kelekatan dengan jalan lingkungan depan rumahnya
untuk
bersepeda
dengan
temannya.
Kegiatan
bersepeda
menjadi
menyenangkan karena selalu disertai dengan kegiatan membeli jajanan dekat warung dan kemudian membawanya ke rumah temannya. Tiga aktivitas teresebut (bersepeda, membeli jajanan di warung, dan bermain di rumah teman) mengikat jadi satu sebagai place habit yang baru. Pada kasus Iksan dan Fiko, awalnya pohon ceri merupakan tempat yang menyenangkan dan lekat bagi mereka. Namun, sejalan dengan waktu wawancara mereka merasakan rasa kelekatan dengan pohon ceri berkurang dan bahkan lepas, walaupun lokasi pohon ceri dekat dengan rumah tinggal mereka dan ada kebebasan dari orang tua mereka untuk bermain di luar rumah. Namun, karena adanya aktivitas baru bermain komputer di rumah teman serta kegiatan mencari ikan di saluran air maka bermain di pohon ceri menjadi berkurang dan lepas. Walaupun saat ini, partisipan merasakan lepas dari pohon ceri tersebut, namun mereka masih merasakan ikatan emosi dengan pohon ceri tersebut, walaupun secara fisik tidak diketahui kapan akan bermain di pohon ceri lagi. “Lebih banyak nyari ikan [di saluran air/selokan]…sekarang jarang main di pohon ceri lagi”. (Iksan dan Fiko)
Partisipan, khususnya yang berada dalam kondisi familialisasi strict, memiliki derajat agency yaang rendah dan hampir tidak mampu bertindak sebagai agent. Orang tua sangat mendominasi dan mengatur keseharian hidup anak-anaknya, termasuk place habit mereka. Selama wawancara, partisipan menceritakan bagaimana ruang kota favoritnya merupakan tempat yang menyenangkan, menggembirakan dan berkesan. Partisipan mengekspresikan kesedihan mereka atas kehilangan mereka terhadap tempat favorit mereka tersebut, dengan kata-kata: “Sedih…kecewa-kecewa dikit gak bisa pergi”. (Chelsea) “Gak enak..rasanya badannya kering [karena tidak berenang]”. (Ema)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
200
“Sehari-harinya pasti ke rumah JBW. Pasti…pengen...” (Siska) “Rasanya pengen ke sana”. (Yona) Kutipan dari Baumann (1978, p. 156), "the world as world is only revealed to me when things go wrong", sepertinya cukup tepat dalam menjelaskan fenomena diminished place habit. Rasa kelekatan partisipan terhadap ruang kota favoritnya baru dirasakan dan terungkap pada saat mereka merasakan kehilangan terhadap ruang kota favorit mereka itu. Mereka mengekspresikan rasa kehilangan dan kerinduan untuk berada di tempat tersebut lagi, tetapi mereka tidak berdaya untuk menjaga kedekatan dengan tempat tersebut, walaupun tempat tersebut tetap berada di dalam ingatan mereka sebgai tempat yang menyenangkan dan berkesan. Pada akhirnya, partisipan merasakan apa yang menurut Relph (1976, p. 51) sebagai existential outsideness pada tempat: “a self-conscious and reflective uninvolvement, an alienation from people and place, homelessness, a sense of the unreality of the world, and of not belonging”. Sifat kelekatan seperti ini juga diungkapkan oleh Graaf (2009) dalam studinya sebagai placelessness. Graaf (2009) menyatakannya bahwa penghuni yang tidak terhubung dengan tempat dan memiliki perasaan negatif terhadap tempat mereka berdampak pada rendahnya tingkat kepuasan penghuni terhadap tempat tinggal mereka. Pemisahan seseorang dengan tempat, menurut Seamon (1979), merupakan salah satu kutub dari rangkaian kesadaran (awareness continuum). Dalam penelitian ini, partisipan mengalami pemisahan dengan ruang kota favoritnya, bukan karena persepsi negatif anak terhadap tempat atau karena rendahnya ketidakpuasan mereka terhadap tempat. Namun, lebih disebabkan karena derajat agency yang rendah. Sifat diminished place habit hadir secara dominan pada spasial lingkungan rumah tinggal yang kurang mendukung. Spasial lingkungan rumah tinggal kurang mendukung berarti hampir tidak ada tempat atau ruang terbuka hijau atau lapangan yang dapat digunakan untuk beraktivitas selain jalan lingkungan di depan rumah tinggal. Selain kondisi spasial lingkungan yang kurang mendukung, lingkungan sosial rumah tinggal yang kurang mendukung untuk bersosialisasi dan bermain bersama, menambah kecenderungan hadirnya diminished place habit. Sifat diminished place habit hadir Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
201
terutama karena ketidakmampuan anak menjaga pergerakan habitual dan kedekatan mereka dengan ruang kota favoritnya. Hal ini juga dikarenakan ketidakmampuan partisipan dalam menghasilkan agency dan bertindak sebagai agent, akibat dari kondisi familialisi mereka yang strict. Walaupun demikian, partisipan mampu membentuk place habit baru pada ruang kota lain yang mendukung, seperti pada mal dan kolam renang di tempat lain. Pembentukan place habit baru di ruang kota mendukung lain dimungkinkan karena dukungan dan persetujuan dari orang tua partisipan. Pemetaan sifat diminished place habit dari empat partisipan yang didasarkan pada kondisi familialisasi, spasial lingkungan rumah tinggal dan potensi sosial (peer) dapat dilihat pada Tabel 6.3. Tabel 6.3. Pemetaan diminished place habit partisipan
Potensi sosial (peer) mendukung
Potensi sosial (peer) kurang mendukung
Potensi sosial (peer) mendukung Potensi sosial (peer) kurang mendukung
Familialisasi strict Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal kurang mendukung mendukung Via: Diminished place habit pada taman lingkungan, berubah menjadi secure attachment pada tempat dagangan. Siska: Diminished place habit pada Gramedia dan rumah teman, pindah ke dalam rumah. Chelsea: Diminished attachment Ema: Diminished place habit pada pada Taman Vihara berubah menjadi kolam renang Splash, berubah menjadi secure attachment pada rumah mobile place habit pada mal. tinggal. Dona: Diminished place habit pada rumah saudara di BSD, berubah menjadi mobile place habit di mal. Bety: Diminished place habit terhadap kolam renang GM, berubah menjadi secure place habit terhadap kolam renang PIK-FIT. David: Diminished place habit pada kolam renang Apt Bellmont, pindah ke mall. Familialisasi moderate Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal kurang mendukung mendukung -
Iksan & Fiko: Diminished attachment pada pohon ceri, pindah ke saluran air & rumah teman.
Hani: Diminished attachment pada kolam renang GM, pindaj ke rumah teman dan jalan.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
202
6.2.4. MOBILE PLACE HABIT Mobile place habit merujuk pada suatu fenomena place habit yang mengikuti preferensi personal partisipan. Pada umumnya, ruang kota favorit partisipan berada pada lokasi dan posisi geografis tertentu. Sifat ini hadir pada anak dengan kondisi familialisasi strict maupun moderate. Ada tujuh partisipan dengan kondisi familialisasi moderate dan strict, mengungkap bahwa mereka memiliki sifat place habit yang selalu bergerak (mobile). Sifat mobile place habit juga hadir pada spasial lingkungan rumah tinggal apapun, baik spasial lingkungan yang mendukung maupun kurang mendukung. Sifat ini juga hadir pada kondisi sosial apapun yang ada di lingkungan rumah tinggal. Ada tiga partisipan dalam penelitian ini (Lala, Sara dan Luna), dengan kondisi familialisasi moderate, lekat pada rute jalan yang ada di lingkungan rumah tinggalnya yang digunakan untuk ber-‘main motor’. Place habit ini hadir karena ada dukungan modal ekonomi seperti motor, dan dukungan sosial seperti teman ‘main motor’ dan kepercayaan orang tua. Partisipan-partisipan ini menceritakan betapa menyenangkan dan menggembirakan bermain motor bersama, terutama karena mereka selalu menjumpai pengalaman baru yang berkesan setiap mereka bermain motor bersama. Jalan bagi mereka adalah tempat untuk mengekspresikan kesenangan dan pengalaman menyenangkan ‘bermain motor’. Sifat kelekatan ini hadir lebih pada kemampuan mereka untuk mengekspresikan tindakan ‘bermain motor’ daripada motor dan tempat tujuan bermain motor itu sendiri. Pada kasus yang lain, ada 3 partisipan (yaitu Ema, Dona, David dan Yona) dari kelompok familialisasi strict, menceritakan bahwa mereka lekat pada toko-toko tertentu yang terlekat di mal, seperti café ‘Starbuck’, toko minuman bubble tea ‘Chatime’, toko yogurt ‘Sour Sally’, tempat bermain ‘Timezone’, toko asesoris mode ‘Little Tokyo’ dan ‘Naughty’ dan restauran cepat saji ‘KFC’ dan ‘McDonald’. Sifat mobile place habit ini hadir karena mereka sudah memiliki pra-destinasi atau ekspektasi terhadap suatu image brand tertentu yang berada di dalam mal. Mereka tidak terlalu menghiraukan di mana mal tersebut berada, asalkan mereka dapat dekat dan berinteraksi dengan brand-brand tersebut. Mereka juga memiliki image mal yang mereka senangi dan sering dikunjungi.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
203
Tempat (mal) tersebut umumnya yang luas, bersih, terang. Image ruang komersial yang sempit seperti trade center tidak memberikan kehadiran kelekatan dalam diri mereka. Bila harapan tercapai, maka rasa kesenangan dan kepuasan akan diperoleh. “Ya bu…punya bu…Carrefour, Little Things She Needs, tempat baju, ke Sogo atau ke mana gitu, trus makan..terutama makan. Selalu makan dulu baru jalan-jalan. Tapi lebih sering di..sushi-sushi gitu..”. (Yona) “Karena ada Gramed, makan-makan dan Funworld atau gak Time Zone. Tiga-tiganya ada Gramed. Di TA [Taman Anggrek] ada Time Zone. Di CP [Central Park Mal] dan Puri ada Fun World. Tiga-tiganya ada makan”. (Ema) “Enggak…ganti-ganti…minggu ini ke KC, minggu depan..ke Chatime, kalau gak ke Love
Tea…atau
gak
di
Starbuck
juga..
Kalau
ke
GI
gak
boleh
bu..kejauhan…makanya….Kalau ke TA [Taman Anggrek] ini…Kalau ke CP [Central Park Mal], saya pengen banget ke Sour Sally. Saya sekarang jarang ke CP karena di GM [Gajah Mada Plaza] ada Sour Sally. Enak deh bu..terus toppingnya banyak. Kalau di J.Co kan cuman 3. Trus flavour-nya ada putih sama pink” (Dona).
Sedangkan pada kasus Siska, juga dari kondisi familialisasi strict, ia mengakui bahwa ia lekat pada toko buku Gramedia. Ia tidak menghiraukan di mana toko buku Gramedia ini berada, asalkan ia dapat mengekspresikan tindakan untuk memperoleh komik yang diinginkannya.
Baginya,
toko
buku
Gramedia
merupakan
tempat
untuk
mengekspresikan kreativitas diri. “Baca buku, main ipad sama komputer. Aktivitasnya …paling ke mal..masih sering ke mal. Setiap hari kan aku beli komik di setiap mal. Kalau aku ke Gramedia selalu dapet inspirasi untuk bikin komik”. (Siska)
Untuk menjaga kedekatan dan kelekatan mereka dengan mal, partisipan-partisipan ini menunjukkan perilaku persuasif terhadap orang tuanya. Dari catatan aktivitas harian mereka, menunjukkan bahwa orang tua mereka selalu mendampingi mereka dalam setiap kunjungan ke toko-toko favorit mereka tersebut, terutama di akhir pekan. Bagi kebanyakan partisipan, mal merupakan tempat yang sangat menyenangkan. Bagi orang tuanya, mal sebagai ‘internal public space’ (Carmona, 2010) merupakan tempat yang Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
204
dianggap aman oleh orang tua bila dibandingkan dengan ruang terbuka di lingkungan rumah tinggal mereka. Mal sebagai non-place dengan karakteristik overabundance of events, spatial overabundance dan the individualization of references (Auge, 1995), merupakan tempat di mana partisipan dapat menunjukkan tindakan-tindakan yang mereka sukai, seperti berbelanja di toko favorit, bermain di entertainment zone, makan di restauran cepat saji favorit atau beli buku komik di toko buku favorit. Bagi orang tua partisipan, mal merupakan tempat rutin untuk menyegarkan diri dari kesibukan bekerja dan tempat rutin untuk berbelanja keperluan rumah tangga. Sebagai akibatnya, partisipan menunjukkan kelekatan emosional dan fisik pada tempat yang tidak menetap pada geografis tertentu, namun mengikuti preferensi pribadi mereka. Fenomena ini dinyatakan sebagai mobile place habit. Pemetaan sifat mobile place habit dari empat partisipan yang didasarkan pada kondisi familialisasi, spasial lingkungan rumah tinggal dan potensi sosial (peer) dapat dilihat pada Tabel 6.4. Tabel 6.4. Pemetaan mobile place habit partisipan
Potensi sosial (peer) mendukung Potensi sosial (peer) kurang mendukung
Familialisasi strict Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal mendukung kurang mendukung -
-
Ema: mobile place habit pada mal. Baginya mal menjadi tempat yang menyenangkan, bila ada teman. Mal sebagai arena untuk afiliasi sosial dan memiliki makna materialistik (tempat untuk belanja, makan-makan). David: mobile place habit pada mal. Mal memberikan pengalaman makanmakan dan bermain di TimeZone, Fun World. Dona: mobile place habit pada mal. Mal memberikan pengalaman berbelanja di toko-toko tertentu (Chatime, Sour Sally, Starbuck, Little Tokyo, Scoop) yang menyenangkan. Yona: mobile place habit pada mal. Mal memberikan pengalaman berbelanja di toko-toko tertentu yang menyenangkan.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
205
Tabel 6.4. Pemetaan mobile place habit partisipan (lanjutan)
Potensi sosial (peer) mendukung Potensi sosial (peer) kurang mendukung
6.3.
Familialisasi moderate Spasial lingkungan rumah tinggal Spasial lingkungan rumah tinggal mendukung kurang mendukung Luna, Lala & Sara: mobile place habit pada jalan (movement space). Jalan merupakan tempat untuk ‘bermain motor’. -
KESIMPULAN BAB 6: SIFAT DAN STABILITAS PLACE HABIT
Penelitian ini menemukan bahwa perbedaan derajat agency lebih menentukan perbedaan sifat secure dan diminished place habit dibandingkan spasial lingkungan fisik rumah tinggal dan dukungan sosial (peer) dan kondisi institusionalisasi. Sedangkan sifat avoidant place habit dan mobile place habit kurang lebih berimbang ditentukan oleh agency, spasial lingkungan fisik rumah tinggal dan dukungan sosial. Secara dominan, anak yang mengalami kondisi familialisasi moderate, lebih mampu dalam menjaga dan mengembangkan secure place habit pada ruang kota yang mendukung. Apalagi jika spasial lingkungan ruman tinggal mendukung dan sosial lingkungan rumah tinggal juga mendukung. Ruang kota di mana mereka lekat pada umumnya berada dalam jangkauan dekat dengan rumah tinggalnya. Anak dalam kelompok ini mampu mengekspresikan pergerakan habitual mereka ke ruang kota favorit. Mereka mampu bolak balik ke tempat favorit baik sendiri maupun bersama teman dengan sedikit pengawasan orang tua, sampai menjadi terbiasa. Agency mereka memampukan mereka untuk mengembangkan place habit secara secure dan secara terus menerus keberadaan capital (seperti sosial, ekonomi dan budaya) mendukung tindakan menempati ruang kota tersebut. Anak dalam kelompok ini menunjukkan bagaimana ruang kota favoritnya begitu berarti bagi mereka dan mereka menghargai tempat itu melalui pergerakan dan tindakan habitual di tempat tersebut. Sifat secure attachment seperti ini juga ditunjukkan dalam penelitian human attachment pada bayi (M.D.S. Ainsworth et al., 1978) dan orang muda (Bartholomew & Horowitz, Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
206
1991). Pada manusia, sifat secure attachment ditunjukkan dengan perilaku mencari dan menjaga kedekatan dengan attachment figure (ibu). Salah studi yang dilakukan oleh Graaf (2009) juga mengungkapkan bahwa orang dapat memiliki secure attachment baik secara fisik maupun sosial, terutama pada saat mereka merasakan sense of community rootedness. Dalam studi yang dilakukan oleh Thurber and Sigman (1998), secure attachment juga ditemukan pada anak-anak yang lebih mandiri dan lebih memiliki keinginan untuk menjelajah tempat yang lebih jauh dari lingkungan rumah tinggalnya. Namun, dalam penelitian ini, kelekatan pada tempat yang secure ditandai dengan spasial lingkungan baik fisik maupun sosial yang mendukung, tingginya derajat agency, bagaimana tempat bermakna bagi anak, dukungan capital (sosial, ekonomi, budaya) dan kemampuan anak menjaga kedekatan dan pergerakan habitual-nya yang diekspresikan melalui tindakan di ruang kota favorit dan pengalaman emosional yang menyenangkan. Sebaliknya, anak yang mengalami kondisi familialisasi strict, cenderung kurang mampu menjaga stabilitas place habit dengan secure pada ruang kota favorit mereka. Mereka cenderung memiliki pergerakan habitual yang lebih jarang dan akibatnya juga lebih jarang dalam beraktivitas di ruang kota favoritnya. Ruang kota favorit mereka cenderung juga lebih jauh dan mereka sangat bergantung pada orang tuanya untuk membawa mereka ke ruang kota favoritnya. Orang tua mereka memegang peran yang dominan dalam menentukan kapan anak-anak dapat hadir di ruang kota favorit mereka. Anak-anak dalam kelompok ini cenderung menunjukkan sifat place habit yang paling tidak stabil. Pada akhir penelitian, anak-anak ini mengalami place habit yang makin mengecil dan akhirnya lepas atau hilang. Sifat place habit yang makin mengecil dan pada akhirnya hilang dinyatakan sebagai diminished place habit. Walaupun demikian, ruang kota favorit yang sebelumnya secure, tetap berada dalam ingatan mereka sebagai tempat yang menyenangkan dan berkesan. Anak-anak ini tidak memiliki kekuasaan atau otonomi dalam menjaga stabilitas place habit mereka terhadap suatu ruang kota favorit tertentu. Sifat diminished place habit ini bukan diakibatkan karena anak-anak ini merasa terasing, atau salah tempat atau tidak gembira atau menunjukkan persepsi negatif mereka terhadap tempat tersebut atau merasa tidakpuas terhadap tempat tersebut, seperti yang dilaporkan dalam studi Graaf (2009). Namun sifat dimished place habit ini lebih
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
207
pada ketidakmampuan anak menjaga pergerakan habitual dan kedekatan mereka dengan ruang kota favoritnya karena ketatnya kondisi familialisasi mereka. Walaupun demikian, anak mampu mengembangkan place habit baru pada ruang kota lain yang mendukung. Hadirnya place habit baru dimungkinkan karena dukungan dan persetujuan dari orang tuanya. Sifat ini belum pernah muncul dan dibahas dalam studi terkait human attachment dan place attachment sebelumnya. Penelitian ini menemukan bahwa dua kondisi familialisasi baik yang moderate dan strict, spasial lingkungan fisik rumah tinggal dan dukungan sosial, secara kurang lebih berimbang dalam menentukan sifat avoidant dan mobile place habit. Anak menunjukkan sifat avoidant place habit pada saat mereka merasakan tidak aman, tidak nyaman atau ancaman yang muncul secara fisik maupun sosial dari ruang kota favorit tersebut. Perilaku menghindari suatu tempat serupa dengan perilaku menghindar yang dijumpai pada human attachment yang dilaporkan oleh M.D.S. Ainsworth et al. (1978) dan Bartholomew and Horowitz (1991). Studi mereka mengungkapkan bahwa bayi dan anak muda secara sosial menghindari figur kelekatannya pada saat mereka mengalami pemisahan, social insecurity, dan tidak adanya minat dari diri mereka. Pada penelitian ini, anak-anak menunjukkan perilaku avoidant place habit lebih dikarenakan pengalaman fisik dan sosial tempat yang mengancam atau tidak aman daripada ketidakpuasaan terhadap tempat atau lemahnya ikatan sosial seperti yang banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti (Graaf, 2009; Lewicka, 2005; Li & Wu, 2013; Tartaglia, 2006). Sifat avoidant place habit ini bersifat sementara (temporal). Anak berkeinginan kembali lekat ke ruang kota tersebut pada saat rasa aman dan nyaman secara fisik dan sosial dari tempat tersebut diperoleh kembali. Anak-anak juga menunjukkan sifat mobile place habit yang tidak berakar pada lokasi dan posisi geografis tempat tertentu, tetapi selalu dinamis dan bergerak. Sifat mobile place habit ini lebih pada mengikuti gambaran (image) preferensi personal partisipan, daripada kondisi familialisasi mereka. Sifat avoidant dan mobile place habit ini memberikan indikasi ketidakstabilan dari fenomena place habit anak. Secara keseluruhan pemetaan keterkaitan sifat-sifat place habit pada ruang kota tertentu berdarkan kondisi familialisasinya dapat dilihat pada Gambar 6.1 dan Gambar 6.2. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
208
Gambar 6.1. Keterkaitan sifat-sifat kelekatan pada ruang kota favorit berdasarkan kondisi familialisasi strict
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
209
Gambar 6.2. Keterkaitan sifat-sifat kelekatan pada ruang kota favorit berdasarkan kondisi familialisasi moderate
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
210
Temuan sifat-sifat kelekatan yang ditemukan penelitian ini, bila disandingkan dengan sifat-sifat kelekatan pada human attachment, place attachment pada orang dewasa dan anak-anak dapat dilihat pada Tabel 6.5. Tabel 6.5. Sifat-sifat kelekatan Kategori Pola/sifat kelekatan
Interpersonal attachment Ada empat pola kelekatan pada anak-anak yaitu secure, avoidant, resistant attachment (Mary D.S. Ainsworth & Bell, 1970) dan disorganizeddisoriented attachment (Main & Solomon, 1986) Ada empat pola kelekatan pada orang dewasa, yaitu Secure, dismissive, preoccupied dan fearfull attachment (Bartholomew & Horowitz, 1991)
Place attachment orang dewasa Ada 4 pola place attachment orang dewasa: community rootedness, alienation, relativity and placelessness (Graaf, 2009). Insecure attachment diasosiasikan pada tingkat level place attachment yang rendah, ikatan sosial rendah dan tidak terpenuhinya kebutuhan dari tempat (Tartaglia, 2006)
Place attachment anak-anak Anxious attachment pada anak-anak yang mengalami homesick dan secure attachment pada anak-anak yang lebih mandiri dan berkeinginan mengeksplorasi lebih jauh dari rumah tinggal (Thurber & Sigman, 1998).
Temuan penelitian Secure place habit Avoidant place habit Diminished place habit Attachment place habit Mobile place habit
Ditemukannya empat sifat place habit dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa stabilitas keberlangsungan kelekatan anak pada tempat merupakan sesuatu fenomena yang bersifat dinamis dan sementara (temporal), seperti yang dilaporkan oleh beberapa peneliti
(Elder Jr, 1996; K. M. Korpela, Ylén, Tyrväinen, & Silvennoinen, 2009;
Lewicka, 2014; Watkins, 2007). Namun, penelitian ini mnemukan bahwa sifat sementara (temporality) dari place habit lebih didominasi oleh agency anak dan kemampuan mereka bertindak sebagai agent dalam relasinya dengan posisi mereka dalam keluarga, dibandingkan aspek emosi, kepercayaan, ekonomi, politik, kondisi lingkungan dan gangguan lainnya, seperti yang dilaporkan oleh Carrus et al. (2014); Gustafson (2009, 2014); Shampa Mazumdar and Mazumdar (2004); Watkins (2007); Woldoff (2001).
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
211
Secara umum, anak dengan kondisi familialisasi yang moderate, cenderung lebih mampu dalam menjaga dan mengembangkan secure place habit pada ruang kota yang mendukung. Anak dalam kelompok ini, memiliki semua atribut yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan secure place habit mereka, seperti spasial lingkungan yang mendukung, sosial lingkungan yang mendukung, agency, dukungan modal (ekonomi, budaya, sosial) untuk dapat mengekspresikan tindakan-tindakan mereka di suatu ruang kota secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan, pengalaman di ruang kota favorit yang berkesan dan menyenangkan, serta bermakna. Oleh karenanya, selama penelitian ini berlangsung, anak-anak lebih mampu menjaga place habit dengan secure dan place habit lebih stabil terjaga keberlangsungannya. Jika, salah satu atribut yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan secure place habit anak mengalami gangguan, misalnya gangguan spasial fisk dan sosial lingkungan, rendahnya agency, gangguan pengalaman emosional, adanya preferensi tertentu terhadap citra tempat, berubahnya makna tempat, maka anak dapat mengalami sifat avoidant, diminished atau mobile place habit. Sifat-sifat avoidant, diminished dan mobile place habit yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan ketidakstabilan kelekatan anak pada tempat. Ketidakstabilan kelekatan juga diungkapkan oleh penelitian Elder Jr (1996) terhadap remaja kelas 8-11 di area pedesaan Amerika Tengah selama masa krisis ekonomi. Namun, penelitian selama 10 bulan yang dilakukan oleh K. M. Korpela et al. (2009) pada orang dewasa di dua kota di Finland, menunjukkan bahwa orang dewasa lebih konsisten dalam menjaga stabilitas place attachment pada tempat-tempat favorit yang natural daripada pada tempat-tempat favorit yang urban. Menurut Giuliani (2003), place attachment diprediksi dapat bertahan untuk waktu yang lama, namun tahapan perkembangan usia memegang peranan penting dalam perkembangan dan kestabilan place attachment. Dalam penelitian ini, empat sifat place habit yang terungkap, menunjukkan dinamika stabilitas place habit. Artinya stabilitas dan ketidakstabilitas place habit ditentukan oleh sifat place habit itu sendiri yang rapuh dan tidak permanen. Place habit selalu bergerak, mengikuti di mana dialektika body-
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
212
habit anak dan pengalaman emosional anak bertemu dengan ruang kota yang mendukung. Jadi dapat disimpulkan, bahwa sifat-sifat place habit yang ditemukan dalam penelitian ini mengindikasikan dinamika stabilitas dari kelekatan anak pada tempat. Kiranya temuan ini dapat mengisi celah penelitian yang belum jelas dalam hal stabilitas kelekatan. Untuk lebih jelasnya, temuan terkait stabilitas kelekatan dalam penelitian ini bila disandingkan dengan stabilitas kelekatan pada human attachment, place attachment pada orang dewasa dan anak-anak dapat dilihat pada Tabel 6.6. Tabel 6.6. Stabilitas kelekatan Kategori Stabilitas kelekatan
Interpersonal attachment Kelekatan yang dimulai sejak bayi terhadap pengasuhnya (caregiver) terbukti cukup stabil spanjang waktu (lifespan), walaupun ada kemungkinan seseorang mengembangkan atau mengkonstruksikan figur kelekatan tambahan.
Place attachment orang dewasa Kurang ada studi yang longitudinal untuk memahami stabilitas place attachment. Ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan gangguan luar lainnya dapat mengurangi stabilitas place attachment.
Place attachment anak-anak Belum ditemukan penelitian yang mengungkap stabilitas kelekatan anak pada tempat. Penelitian Elder Jr (1996) menunjukkan ketidakstabilan pada anak remaja (kelas 8-11) yang tinggal di daerah pedesaan Amerika tengah.
Temuan penelitian Penelitian menunjukkan bahwa place attachment pada anak bersifat dinamis dan sementara. Ada yang cukup stabil (secure place habit) dan ada yang kurang stabil (avoidant, diminished dan mobile place habit)
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
BAB 7 KESIMPULAN
Penelitian ini ingin menajamkan pemahaman place attachment sebagai bagian dari ruang hidup arsitektural yang non-material. Pemahaman place attachment pada anak sebagai konsep non-material, memahami anak (sebagai subjek) dan ruang kota (sebagai objek) sebagai suatu konsep pengalaman anak dan tempat yang utuh, selalu saling tukar menukar atau selalu berdialog: konsep both/and atau here/now. Artinya, konsep tempat dalam place attachment dipandang sebagai esensi keutuhan pengalaman kehadiran manusia di dunia (experienced wholeness of people-in-world), suatu konsep yang tidak memisahkan orang dan tempat (Heidegger, 1962; Malpas, 1999; Merleau-Ponty, 1962; Relph, 1976; Seamon, 1979, 2012, 2014). Berdasarkan pemahaman eksistensialis tersebut, maka tubuh anak akan digunakan sebagai jalan masuk untuk menemukan proses terbentuknya pengalaman spasial subjektif yang diperoleh melalui persepsi selama anak mengalami dan mempraktikkan pengalaman ruangnya di suatu tempat favorit, karena tubuh merupakan pusat pengalaman spasial (Merleau-Ponty, 1962). Narasi dan memori yang tersimpan dalam tubuh anak, yang merupakan hasil persepsi dan pengalaman tubuhnya pada suatu tempat favorit, menjadi pendekatan yang digunakan untuk mengungkap kehadiran fenomena place attachment pada anak. Pemahaman place attachment sebagai konsep both/and atau here/now pengalaman anak dan tempat yang utuh, bertujuan untuk mengungkap fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat; mengungkap proses terbentuknya kelekatan anak pada tempat; dan mengungkap kondisi spasial apa yang perlu dipenuhi agar keberlangsungan kelekatan anak pada tempat dapat berhasil. Sintesis penelitian ini menemukan bahwa fenomena hadirnya kelekatan anak pada ruang kota tertentu yang diamati dinyatakan sebagai place habit. Place habit merupakan tindakan menempati suatu ruang kota yang mendukung, hasil dialektika body habit dan pengalaman emosional. Place habit, dibentuk melalui pergerakan habitual anak, proses 213 Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
214
berdiam di ruang kota tertentu yang mendukung dan perjumpaan dengan ruang kota yang mendukung (supportive lived-existential space) dalam rutinitas ruang dan waktu tertentu serta memicu pengalaman emosional pada anak yang dinamis. Place habit rapuh dan tidak permanen (tidak fix). Place habit selalu bergerak, mengikuti ruang kota yang mendukung di mana body habit anak dan pengalaman emosional anak bertemu. Sifat non-permanen place habit diindikasikan oleh empat sifat place habit, yang menunjukan dinamika stabilitas keberlangsungan sifat kelekatan. 7.1.
PLACE HABIT
Penelitian ini menemukan bahwa fenomena hadirnya kelekatan anak pada ruang kota tertentu yang diamati merupakan fenomena non-material, hasil dari gagasan both/and atau here/now, yang dinyatakan sebagai place habit. Gagasan both/and atau here/now merupakan gagasan eksistensialis yang tidak memisahkan orang dan tempat. Artinya: place habit, sebagai fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat, merupakan hasil dari penyatuan pengulangan pengalaman spasial tubuh anak dan praktik spasial ‘menempati’ yang dilakukan anak di ruang dan waktu yang mendukung (yang dinyatakan sebagai child’s body habit-in-the-place) dan pengalaman emosional anak di ruang dan waktu yang mendukung (yang dinyatakan sebagai child’s emotional experiences of being-in-the-place), yang selalu berdialog atau bertukar (Lihat Gambar 7.1.).
Gambar 7.1. Place habit
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
215
Merujuk pada etimologi kata ‘habit’32, place habit merupakan tindakan ‘menempati’ suatu ruang kota mendukung, hasil penyatuan atau keutuhan child’s body habit-in-theplace dan child’s emotional experiences of being-in-the-place, yang selalu bertukar atau berdialog. Artinya, setiap body habit hadir di tempat, maka hadir pula pengalaman emosional yang keluar dari tempat., Gagasan both/and atau here/now, yang ditemukan dalam penelitian ini, merujuk pada penyatuan body habit dan pengalaman emosional yang terus menerus untuk waktu tertentu, yang selalu bertukar atau berdialog. Dialog body habit dan pengalaman emosional menghadirkan kelekatan anak pada tempat, yang dinyatakan sebagai place habit. Penjelasan terkait body habit dan pengalaman emosional anak dapat dilihat pada Sub Bab 7.1.1. Place habit yang diamati, bukan merupakan gagasan binari seperti either/or, this/that, atau here/there, yang merupakan hasil dari materialitas tempat dan proses transaksional anak dan tempat. Place habit bukan dipahami sebagai proses transaksional antara anak dan tempat yang terjadi melalui konsep representasi mental seperti yang dijelaskan oleh Giuliani (1991) ataupun bukan ditentukan oleh konsep dualistik interaksional anak dan tempat seperti yang dipahami dalam konsep affordances (Gibson, 1986). Place habit bukan merupakan hasil yang dipicu oleh pola interaksi antara sistem perilaku kelekatan anak pada figur ibu dan sistem motivasi eksplorasi anak terhadap suatu tempat atau lingkungan seperti yang dijelaskan oleh P. Morgan (2010). Walaupun penelitian ini meminjam tiga tema eksistensial pengalaman spasial Seamon (1979), namun seperti yang telah dijelaskan di Sub Bab 5.3. sebelumnya, bahwa body habit berbeda dengan body ballet. Body habit dalam penelitian ini diamati sebagai pergerakan berulang dan praktik spasial anak menempati tempat tertentu, yang memiliki rute dan urutan tertentu, frekuensi dan waktu pergerakan tertentu yang diizinkan dan disetujui oleh orang tua anak. Body habit terjadi dengan sengaja, memerlukan motivasi dan berbagai upaya yang datang dari internal maupun eksternal anak agar body habit dapat terjadi. Oleh karena itu, penelitian ini menemukan bahwa place habit bukan place
32
Kata ‘habit’ (Latin habere) dalam place habit berarti “to hold, to occupy or possess, to have, to dwell (Latin habitare)” (Partridge, 2006, p. 1361). Kata tersebut mengandung arti tindakan menempati atau menduduki atau memiliki atau tinggal. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
216
ballet, seperti yang dijelaskan oleh Seamon sebagai “an interaction of many time-space routines and body ballets rooted in space” (Seamon, 1979, p. 56). Namun, place habit sebagai penyatuan body habit anak dan pengalaman emosional anak, dalam bentuk tindakan menempati suatu ruang kota yang mendukung, yang selalu berdialog. Place habit ditemukan hadir pada ruang kota manapun dan apapun. Place habit ditemukan pada ruang kota yang bersifat formal maupun informal. Place habit juga ditemukan pada ruang kota yang sangat bersifat sangat publik hingga yang bersifat sangat privat. Place habit juga ditemukan pada ruang daur hidup yang berada di familial space maupun di urban/suburban space. Jadi dapat disimpulkan bahwa, place habit rapuh dan tidak permanen. Place habit hadir pada suatu ruang kota yang mendukung, yang selalu bergerak, tergantung ruang dan waktu yang tidak fix. Place habit mengikuti pertemuan di mana body habit anak dan pengalaman emosional anak menyatu pada suatu ruang kota yang mendukung. 7.1.1. BODY HABIT DAN PENGALAMAN EMOSIONAL Dengan meminjam tiga tema eksistensial pengalaman spasial Seamon (1979), penelitian ini menemukan bahwa pengulangan pengalaman tubuh anak dan praktik spasial ‘menempati’ yang dilakukan anak dalam waktu dan ruang kota tertentu, hingga berkembang menjadi kebiasaan (habit), merupakan body habit. Body habit menunjukkan konsep being-in-the-place, bukan hanya sebagai suatu perilaku mencari kedekatan (proximity-seeking behavior) dalam hal pergerakan yang berulang (repetitive movements), seperti yang dijelaskan oleh de Certeau (1984) sebagai konsep being-there, namun juga melingkupi proses berdiam atau bertempat di ruang kota tertentu dan perjumpaan dengan ruang kota tertentu hingga menjadi kebiasaan dan menyatu. Konsep being-in-the place yang ditunjukkan oleh body habit, merupakan satu kesatuan pengalaman anak dan tempat yang tidak dapat dipisahkan. Body habit anak berbeda dengan body-ballet (Seamon, 1979, p. 54). Body habit anak dalam penelitian ini tidak didasarkan pada latihan dan praktik sehari-hari yang membutuhkan ketrampilan atau keahlian bahkan bakat tertentu. Body habit anak juga
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
217
bukan merupakan aktivitas yang mengalir dan berirama yang bersifat organik, spontan dan terintegrasi dengan aktivitas lainnya yang menggunakan sedikit mungkin aktivitas kognitifnya (Seamon, 1979, p. 55). Body habit anak berkembang dan terbentuk melalui hubungan yang cukup lama dan jangka panjang antara anak dan ruang kota tertentu. Body habit anak dikonstruksikan melalui pengulangan praktik spasial yang melingkupi pergerakan, berdiam dan perjumpaan dengan ruang kota yang mendukung pada suatu ruang dan waktu yang ditentukan dan seizin oleh orang tuanya (Lihat Gambar 7.2).
Gambar 7.2. Sifat meruang body habit anak
Body habit anak hadir karena anak ingin mempertahankan keberlangsungan ekspresi tindakan-tindakan anak di ruang kota tertentu yang menyenangkan, menggembirakan, lucu, penuh canda, menantang, dapat dibagikan kepada teman, dirindukan, dan disayang. Body habit anak juga hadir karena anak ingin melepaskan diri dan menyegarkan diri dari kebosanan dan kelelahan akibat tekanan kondisi insitusionalisasi dan familialisasi. Hadirnya body habit anak pada ruang kota tertentu memicu pengalaman emosional pada anak, seperti kesenangan pada saat berada di ruang kota favoritnya, rasa sedih atau rasa kesal pada saat dipisah, rasa rindu pada saat di larang atau dijauhkan dari ruang kota favoritnya. Pengalaman emosional anak terhadap ruang kota favoritnya bersifat temporal. Sifat temporal pengalaman emosi ini tergantung kondisi fisik dan sosial ruang kota. Pengalaman emosi anak pada ruang kota kadang bersifat ambigu. Di satu sisi, anak merasakan keinginan untuk bisa hadir di ruang kota tersebut, namun disisi lain anak merasa malas untuk berada di sana. Pengalaman emosional dengan ruang kota yang mendukung menandakan adanya ikatan afeksi Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
218
(affectionate bond) antara anak dan ruang kota favoritnya. Pengalaman emosional anak hadir karena konfrontasi anak dan ruang, pikiran dan benda (Pallasmaa, 2012c, p. 117). Hadirnya body habit anak dan pengalaman emosional anak dengan ruang kota yang mendukung merupakan suatu konsep pengalaman anak dan tempat yang utuh, selalu berdialog. Dialog (lived-dialectics) tersebut menurut Merleau-Ponty dalam The Structure of Behavior sebagai “the continuous and open process of individuation in a transductive movement” (Landes, 2013, p. 72). Tubuh anak selalu ekspresif dalam berdialog dengan ruang kota favoritnya secara berulang-ulang sampai terbiasa dan menyatu dengan ruang kota favoritnya. Jadi place habit sebagai fenomena non-material being-in-the-place, merupakan hasil dialektika body habit anak dan pengalaman emosional anak dengan ruang kota yang mendukung. 7.1.2. PEMBENTUKAN PLACE HABIT Penelitian ini menemukan bahwa place habit, sebagai fenomena kehadiran kelekatan anak pada tempat, merupakan hasil dari both/and atau here/now: dialektika body habit dan pengalaman emosional dengan ruang kota yang mendukung. Tindakan menempati atau menduduki atau memiliki atau tinggal (yang berasal dari akar kata ‘habit’ – Latin habere) di suatu ruang kota tertentu yang mendukung hingga anak lekat dengan tempat tersebut, melibatkan proses internal yang terjadi di dalam body habit dan bagaimana proses internal body habit memicu pengalaman emosional. Seperti telah dijelaskan di Sub Bab 7.1.1. sebelumnya bahwa body habit merupakan pengulangan pengalaman tubuh anak dan praktik spasial yang dilakukan anak dalam waktu dan ruang kota tertentu, hingga berkembang menjadi kebiasaan (habit). Merujuk pada Gambar 7.2., body habit anak dikonstruksikan melalui pengulangan praktik spasial yang diatur melalui pergerakan, berdiam dan perjumpaan dengan ruang kota yang mendukung pada suatu ruang dan waktu yang ditentukan dan seizin oleh orang tuanya. Oleh karena itu dapat dinyatakan, bahwa place habit sebagai fenomena non-material being-in-the-place, merupakan tindakan menempati suatu ruang kota tertentu, yang dibentuk melalui pergerakan habitual anak, proses berdiam dan perjumpaan dengan ruang kota yang mendukung (supportive lived-existential space) dalam rutinitas ruang Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
219
dan waktu tertentu serta memicu pengalaman emosional pada anak yang dinamis. Proses pembentukan place habit dipahami dan dilandaskan pada konsep triad of environmental experience (Seamon, 1979), yang mempertimbangkan pergerakan (movement), diam (rest) dan perjumpaan (encounter) dalam memahami keutuhan pengalaman anak dan tempat, termasuk bagaimana seorang anak menjadi bodily dan emotionally lekat pada suatu ruang kota favoritnya. Pergerakan habitual, merupakan suatu fenomena yang menggambarkan suatu perilaku kehadiran “tindakan menempati atau mengambil tempat atau memiliki tempat” (merujuk pada asal kata habit) yang dilakukan secara berulang untuk rentang waktu yang cukup lama, hingga menjadi terbiasa. Pergerakan yang habitual tersebut diekspresikan dalam kata-kata “otomatis”, “biasanya”, “tau-taunya”, “rutin”, “gak sadar”, “pasti”. Pergerakan habitual ke ruang kota favorit menggunakan rute dan urutan tertentu. Pergerakan habitual di ruang kota favorit memberikan rasa kepuasan, rasa aman dan rasa kebebasan untuk bergerak tanpa rasa takut seperti yang dilaporkan oleh L. Chawla (1992), Ellis (2005) dan Day (2007). Pergerakan habitual anak tidak hanya dimotivasi oleh karena kualitas keamanan dari ruang kota favorit, karakeristik utama yang ditemukan dalam penelitian human attachment dan place attachment. Namun, pergerakan habitual anak lebih didorong karena adanya perjanjian sebelumnya antara anak dan temannya. Anak menunjukkan berbagai upaya untuk dapat bergerak, mencari dan menjaga kedekatan serta berinteraksi dengan ruang kota favoritnya. Upaya untuk mendorong pergerakan habitual keluar dari dalam diri sendiri, seperti memanggil dan membujuk teman atau karena dipanggil dan dibujuk oleh teman. Pergerakan habitual anak lebih dominan ditentukan oleh teman dan pengalaman pratek spasial menempati tempat tertentu yang menyenangkan daripada kualitas fisik dari ruang kota favorit tersebut. Pada beberapa anak, pergerakan habitual ini sangat tergantung pada kehadiran ruang kota lain. Jadi ada hubungan ketergantungan antara ruang kota favorit anak dengan ruang kota lain. Ketergantungan pada kehadiran ruang kota lain dengan ruang kota favorit belum dijumpai dibahas dalam penelitian place attachment pada anak. Berdiam di ruang kota tertentu, merupakan situasi anak berada di ruang kota favorit untuk waktu yang lama maupun singkat. Berdiam di ruang kota favorit tidak hanya Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
220
terkait dengan berapa lama partisipan beraktivitas di tempat tersebut, namun ada teritori tertentu yang diakui oleh anak sebagai ‘markas’, ‘base camp’. Pada saat berdiam, anak melakukan berbagai aktivitas yang mereka suka dan umumnya dilakukan bersama-sama dengan teman atau orang tua. Anak, terutama anak laki-laki, menunjukkan tindakan mengkonstruksi tempat. Theory of Practice (Bourdieu) menjelaskan bagaimana dan mengapa anak bertindak pada saat berdiam di ruang kota favoritnya. Anak menunjukkan habitus bertindak dan bereaksi pada situasi tertentu tanpa harus selalu dalam keadaan yang mengikut aturan. Praktik tindakan anak di ruang kota favorit memerlukan capital (ekonomi, sosial dan budaya). Modal-modal tersebut penting bagi anak, agar anak dapat menjaga praktik spasialnya di ruang kota favoritnya. Berada di ruang kota favorit penting bagi anak, khususnya anak usia 9-12 tahun, dalam mengembangkan identitas personal dan sosialnya. Setiap tindakan berdiam di ruang kota favorit memberikan pengalaman yang selalu baru yang disukai dan dinikmati serta dapat dibagi dengan teman dan keluarga. Perjumpaan dengan ruang kota favorit tertentu merupakan suatu situasi anak menunjukkan minat atau perhatian yang besar untuk selalu kontak dengan ruang kota favoritnya. Perjumpaan dengan ruang kota tertentu akan memicu sistem motivasi yang ada di dalam dirinya. Sistem motivasi dan ketertarikan anak pada ruang kota favoritnya bangkit bukan hanya karena anak terkespos dengan lingkungan fisik ruang kota favoritnya (P. Morgan, 2010), namun lebih pada karena dorongan dari orang tua dan teman sebaya. Proses perjumpaan partisipan dengan ruang kota favoritnya dapat dikatakan telah mencapai tingkat tertinggi ‘awareness continuum’ yaitu heightening contact: penyatuan orang dan lingkungan (Seamon, 1979, pp. 104-111). Penelitian ini menemukan bahwa place habit hadir pada semua anak. Anak memiliki satu ruang kota favorit dan ada juga yang memiliki beberapa ruang kota favorit. Ada 69 tempat yang ditemukan. Tempat tersebut berada di lingkungan yang dekat (familial space) maupun di lingkungan yang jauh (urban dan sub urban space). Tempat tersebut dapat dijelaskan sebagai lived-existential spaces, suatu konsep ruang yang dipinjam dari representational space (Lefebvre, 1991), yang berbeda dengan physical dan geometrical space. Tempat tersebut merupakan ruang kota yang dipikirkan (conceived), Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
221
dipersepsikan (perceived) dan dihidupi (lived) melalui serangkaian pemaknaan dan simbol yang diberikan oleh anak pada tempat tersebut, hingga anak dan tempat menyatu sebagai keutuhan yang lekat dan tidak dapat dipisahkan. Hadirnya pergerakan habitual anak, berdiam dan perjumpaan dengan ruang kota yang mendukung dalam rutinitas ruang dan waktu tertentu, memicu pengalaman emosional pada anak yang dinamis dan bersifat temporal. Anak juga menunjukkan berbagai tingkatan sense of place (Relph, 1976; Shamai, 1991; Steele, 1981), yang berkembang sejalan dengan berulangnya interaksi selama menempati ruang kota favoritnya dan lamanya proses perjumpaan mereka dengan ruang kota tersebut. 7.1.3. KEBERLANGSUNGAN PLACE HABIT Penelitian ini menemukan bahwa ada empat sifat place habit, yaitu secure, avoidant, diminished dan mobile. Keempat sifat place habit tersebut mengindikasikan dinamisnya keberlangsungan stabilitas place habit. Penelitian ini menemukan bahwa perbedaan derajat agency lebih menentukan perbedaan sifat secure dan diminished place habit dibandingkan spasial lingkungan fisik rumah tinggal dan dukungan sosial (peer) dan kondisi institusionalisasi. Sedangkan sifat avoidant place habit dan mobile place habit kurang lebih berimbang ditentukan oleh agency, spasial lingkungan fisik rumah tinggal dan dukungan sosial. Secure place habit merujuk pada suatu fenomena yang ditunjukkan anak dalam bentuk tindakan untuk selalu mencari kedekatan, berhubungan dan menjaga interaksi dengan suatu ruang kota tertentu yang mendukung secara secure. Secure place habit secara dominan ditemukan pada spasial lingkungan rumah tinggal yang mendukung, artinya linkgunan memiliki banyak tempat yang dapat digunakan untuk beraktivitas, seperti jalan lingkungan yang tenang, ruang terbuka hijau, taman lingkungan, lapangan. Tempat-tempat tersebut mudah dijangkau dan dicapai oleh anak-anak dan berada dalam lingkup rumah tetangga (familial space). Secara umum, anak yang menunjukkan sifat secure place habit pada ruang kota tertentu yang mendukung, merupakan anak yang mengalami kondisi familialisasi moderate. Kondisi tersebut memampukan mereka dalam menjaga dan mengembangkan secure place habit pada ruang kota yang Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
222
mendukung. Secure place habit juga dominan hadir pada anak yang tinggal di lingkungan rumah tinggal yang memiliki banyak potensi sosial yang mendukung, yang artinya ada banyak teman sebaya untuk bersosialisasi dan bermain bersama di lingkungan rumah tinggal. Spasial fisik dan sosial lingkungan yang mendukung, mendorong agency anak dalam menjaga dan mengembangkan secure place habit mereka pada ruang kota tertentu. Avoidant place habit merujuk pada suatu fenomena yang ditunjukkan oleh partisipan dalam bentuk tindakan menghindari ruang kota tertentu, yang diakibatkan oleh sense of insecurity baik secara fisik maupun sosial, yang dirasakan partisipan terhadap ruang kota favorit tersebut. Sifat ini ditemukan pada semua karakteristik spasial lingkungan rumah tinggal, baik spasial lingkungan rumah tinggal yang mendukung maupun kurang mendukung. Rasa sense of insecurity suatu ruang kota disebabkan karena kondisi fisik ruang kota tersebut yang sedang rusak atau kondisi sosial ruang ktoa yang mengancam kenyamanan dan keamanan anak. Perubahan sifat secure place habit menjadi avoidant place habit, bersifat sementara. Anak akan kembali ke ruang kota favoritnya bila sense of security baik secara fisik maupun sosial diperolehnya kembali. Walaupun ruang kota tersebut dihindari, anak merasakan keinginan untuk kembali ke ruang kota tersebut. Pengalaman yang terjadi dengan ruang kota tersebut di suatu masa yang lalu memberikan kenangan yang menyenangkan dan dirindukan untuk dialami kembali. Sifat ini hadir pada anak dengan kondisi familialisasi strict maupun moderate dan semua kondisi spasial lingkungan rumah tinggal. Diminished place habit merujuk pada suatu fenomena secure place habit yang awalnya ditunjukkan oleh partisipan pada suatu ruang kota favorit tertentu, namun karena derajat agency, maka sifat secure place habit menjadi mengecil dan akhirnya lepas. Sifat ini hadir karena ketidakmampuan anak menghasilkan agency dan bertindak sebagai agent, akibat dari kondisi familialisi mereka yang strict. Mereka cenderung memiliki pergerakan habitual yang lebih jarang dan akibatnya juga lebih jarang dalam beraktivitas di ruang kota favoritnya. Akibatnya, ruang kota favorit mereka cenderung juga lebih jauh dan mereka sangat bergantung pada orang tuanya untuk membawa mereka ke ruang kota favoritnya. Orang tua mereka memegang peran yang dominan Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
223
dalam menentukan kapan anak-anak dapat hadir di ruang kota favorit mereka. Sifat diminished place habit hadir secara dominan pada spasial lingkungan rumah tinggal yang kurang mendukung, artinya lingkungan rumah tinggal hampir tidak memiliki tempat atau ruang terbuka hijau atau lapangan yang dapat digunakan untuk beraktivitas kecuali jalan lingkungan di depan rumah. Selain kondisi spasial lingkungan yang kurang mendukung, sosial lingkungan rumah tinggal yang kurang mendukung anak untuk bersosialisasi dan bermain bersama, menambah kecenderungan hadirnya diminished place habit. Namun, anak-anak mampu mengembangkan place habit baru di ruang kota mendukung lainnya. Hal ini dimungkinkan karena dukungan dan persetujuan dari orang tua partisipan, bukan karena karakteristik fisik spasial dan sosial lingkungan rumah tinggal yang berubah. Mobile place habit merujuk pada suatu fenomena place habit yang mengikuti preferensi personal partisipan. Sifat mobile place habit tidak berakar pada lokasi dan posisi geografis tempat tertentu, tetapi selalu dinamis dan bergerak mengikuti gambaran (image) preferensi personal partisipan, daripada kondisi familialisasi mereka. Sifat ini hadir pada anak dengan kondisi familialisasi strict maupun moderate. Sifat mobile place habit hadir pada spasial lingkungan rumah tinggal apapun, baik spasial lingkungan yang mendukung maupun kurang mendukung. Sifat ini juga hadir pada kondisi sosial apapun yang ada di lingkungan rumah tinggal. Empat sifat place habit mengindikasikan bahwa stabilitas kelekatan anak pada tempat merupakan sesuatu fenomena yang bersifat dinamis dan sementara, seperti yang dilaporkan oleh beberapa peneliti (Elder Jr, 1996; K. M. Korpela et al., 2009; Lewicka, 2014; Watkins, 2007). Namun, sifat sementara place habit ini, lebih didominasi oleh agency anak dan kemampuan mereka bertindak sebagai agent dalam relasinya dengan posisi mereka dalam keluarga, dibandingkan aspek emosi, kepercayaan, ekonomi, politik, kondisi lingkungan dan gangguan lainnya, seperti yang dilaporkan oleh Carrus et al. (2014); Gustafson (2009, 2014); Shampa Mazumdar and Mazumdar (2004); Watkins (2007); Woldoff (2001). Jadi, kondisi spasial apa perlu dipenuhi agar keberlangsungan place habit anak pada suatu ruang kota tertentu dapat berhasil?
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
224
Penelitian ini menemukan bahwa bila anak memiliki semua kondisi yang dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan secure place habit, seperti agency, dukungan modal (ekonomi, budaya, sosial) termasuk fisik dan sosial lingkungan untuk dapat mengekspresikan body habit mereka di suatu ruang kota sampai memicu pengalaman berkesan dan menyenangkan di ruang kota favorit yang bermakna, maka anak akan lebih mampu mengembangkan, membentuk dan menjaga secure place habit pada ruang kota yang mendukung. Anak yang mampu menjaga dengan stabil semua kondisi spasial keberlangsungan place habit itu lebih dominan dimiliki oleh anak dengan kondisi familialisasi moderate. Jika, salah satu kondisi spasial yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan secure place habit anak mengalami gangguan, misalnya gangguan body habit akibat gangguan kondisi fisik dan sosial dari ruang kota favorit, atau rendahnya derajat agency karena kondisi familialisasi yang strict, atau gangguan pengalaman emosional, atau karena ada preferensi tertentu terhadap citra tempat, atau berubahnya makna tempat, maka anak dapat mengalami sifat avoidant, diminished atau mobile place habit. Jadi, kondisi spasial yang diperlukan agar berhasil menjaga stabilitas keberlangsungan place habit anak pada ruang kota favoritnya, ditentukan oleh agency, capital, body habit, pengalaman emosional dan makna ruang kota (Lihat Gambar 7.3).
Gambar 7.3. Keberlangsungan place habit
Empat sifat place habit yang ditemukan dalam penelitian ini, mengindikasikan dinamika stabilitas keberlangsungan sifat kelekatan anak pada ruang kota tertentu. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
225
Artinya stabilitas dan ketidakstabilitas place habit ditentukan oleh karena sifat place habit itu sendiri yang rapuh dan tidak permanen. Place habit selalu bergerak, mengikuti ruang kota yang mendukung di mana body-habit anak dan pengalaman emosional anak bertemu dan menyatu. 7.2.
KONTRIBUSI PENELITIAN DAN IMPLIKASI PADA PRAKTIK ARSITEKTUR
Temuan penelitian ini memberikan beberapa kontribusi pada penelitian terkait kelekatan anak pada tempat serta implikasi pada praktik arsitektur. Pertama, penelitian ini memberikan kontribusi pada wawasan baru terkait fenomena kelekatan anak pada tempat sebagai place habit. Place habit merupakan gagasan both/and atau here/now, hasil penyatuan child’s body habit-in-the-place dan child’s emotional experiences of being-in-the-place, selalu bertukar atau berdialog secara berulang. Dialog body habit dan pengalaman emosional menghadirkan kelekatan anak pada tempat, yang dinyatakan sebagai place habit. Place habit dibentuk oleh penyatuan body habit anak dengan tempat. Penyatuan body habit anak dan tempat dikonstruksikan melalui pengulangan praktik spasial menempati suatu ruang kota tertentu, yang melingkupi pergerakan habitual anak berulang-ulang untuk rentang waktu yang cukup lama hingga menjadi kebiasaan, berdiam untuk mempraktikkan berbagai tindakantindakan yang mereka suka di tempat, serta perjumpaan dengan ruang kota yang mendukung dalam rutinitas ruang dan waktu tertentu yang ditentukan dan seizin orang tua. Semua proses penyatuan body habit anak dan tempat memicu pengalaman emosional yang dinamis pada anak. Temuan penelitian ini memberikan implikasi terhadap cara kita memandang arsitektur yang digunakan dalam kehidupan keseharian anak, bahwa kehadiran kelekatan anak pada tempat dapat dipahami sebagai gagasan both/and atau here/now, bukan hanya either/or atau this/that atau here/there, yang selama ini dipahami secara umum dalam penelitian place attachment pada anak. Gagasan either/or atau this/that atau here/there, yang berasal dari materialitas tempat, pada umumnya memandang kelekatan dapat berkembang karena aspek perkembangan psikologis anak yang memampukan anak Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
226
untuk memberi tanggapan positif terhadap tempat, atau karena aspek fisik atau sosial budaya tempat yang berkontribusi memberikan stimulasi pada anak untuk melekat. Gagasan either/or atau
this/that atau here/there umumnya digunakan dalam
perancangan lingkungan binaan. Perancangan lingkungan binaan pada umumnya memberi menekankan pada ketersediaan desain fisik lingkungan binaan yang berkualitas dan umumnya ditentukan melalui sudut pandang top-down atau dipandang dari sudut pandang luar (eksternal) tubuh anak. Bila menurut sudut pandang perancang, desain fisik lingkungan binaan sudah berkualitas, maka desain fisik lingkungan binaan tersebut dianggap akan menstimulasi anak untuk mendekat, bermain dan bereksplorasi hingga berkontribusi pada kelekatan. Namun, termuan penelitian ini memberikan implikasi bahwa perancangan lingkungan binaan anak yang dapat mendorong kelekatan, maka cara memandang kehidupan keseharian anak yang berlandaskan pada gagasan both/and atau here/now menjadi relevan. Gagasan both/and atau here/now dalam penelitian keseharian anak yang digunakan dalam penelitian ini memberikan implikasi terhadap cara kita memandang arsitektur atau perancangan lingkungan binaan anak yang perlu dilandaskan pada proses internal yang terjadi di tubuh anak, dan bagaimana proses internal tubuh anak tersebut menyatu dengan tempat sehingga menghadirkan kelekatan. Oleh karenanya, perancangan lingkungan binaan yang mendorong kelekatan, tidak dapat dilandaskan pada proses yang instan. Artinya suatu lingkungan binaan untuk anak tidak dapat dirancang dan dibangun, kemudian dilepas tanpa pengelolaan yang jelas dan baik. Perancangan lingkungan binaan perlu dikelola dengan jelas dan baik karena proses terbentuknya kelekatan anak pada tempat yang ditemukan dalam penelitian ini, bukan merupakan suatu proses yang instan. Namun, fenomena hadirnya place habit merupakan penyatuan body habit anak dan tempat melibatkan proses internal yang berulang dan panjang. Proses internal penyatuan anak dan tempat dikonstruksikan melalui pergerakan habitual, berdiam dan perjumpaan dengan ruang kota tertentu sampai menjadi kebiasaan dan semuanya itu memicu pengalaman emosional. Seperti yang disampaikan oleh Rykwert (2004, p. 5), bahwa “urban meaning is not determined by top down process but formed by a ground up process by its inhabitant”, demikian juga place
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
227
habit. Place habit merupakan fenomena yang muncul dari dalam (internal) tubuh anak dan dikonstruksikan melalui proses yang berulang, panjang dan dari bawah (bottom-up). Kedua, penelitian ini memberikan kontribusi terkait wawasan bahwa place habit rapuh dan tidak permanen. Place habit hadir pada suatu ruang kota yang mendukung, yang selalu bergerak, mengikuti di mana body habit anak dan pengalaman emosional anak bertemu. Sifat-sifat place habit yang rapuh dan tidak permanen, yang terungkap dalam penelitian ini mengindikasikan dinamisnya dialog anak dan tempat yang perlu diakomodasi yang mempengaruhi stabilitas keberlangsungan kelekatan anak pada tempat. Temuan penelitian ini memberikan implikasi bahwa perancangan lingkungan binaan untuk anak yang dapat mendorong keberhasilan keberlangsungan kelekatan yang secure atau stabil, maka pemahaman terkait dengan sifat place habit menjadi relevan. Terutama, agar dapat mendukung kelekatan anak pada lingkungan binaan yang bersifat secure dan stabil, maka perancangan lingkungan binaan perlu didasarkan pada bagaimana anak membentuk kelekatannya pada tempat. Temuan penelitian ini memberikan implikasi bahwa keberhasilan keberlangsungan kelekatan anak pada tempat bukan hanya tergantung pada nilai dari objek atau tempat, pengulangan kepuasan dan emosi kesenangan anak berada di suatu tempat atau bukan karena kemampuan psikologis anak, namun juga ditentukan oleh agency, terutama terkait dengan kemampuan seorang anak untuk bertindak bebas dan otonomi dalam membuat perbedaan suatu kondisi atau keadaan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, yang memampukan anak untuk memberikan kontribusi pada proses sosial dan budaya yang lebih luas, termasuk place habit. Keberhasilan keberlangsungan kelekatan anak pada tempat juga ditentukan oleh bagaimana tempat bermakna bagi anak, modal untuk mengekspresikan kebiasaan pergerakan dan tindakan di suatu lingkungan binaan. Semua kondisi ini bekerja sama dalam memicu hadirnya body habit anak dan pengalaman emosional anak dengan suatu lingkungan binaan. Penelitian ini menemukan bahwa lingkungan binaan yang dapat mendukung kelekatan anak yang secure dan stabil, maka lingkungan binaan perlu memiliki beberapa kualitas karakteristik spasial lingkungan binaan yang mendukung, seperti:
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
228
a. memiliki ruang terbuka yang berpotensi untuk digunakan oleh anak bermain dan bereksplorasi dengan aman dan nyaman; b. memiliki ruang terbuka yang mudah dijangkau agar rute dan pergerakkan anak dari rumah ke ruang terbuka tertentu dapat selalu berlangsung tanpa hambatan; c. memiliki ruang terbuka yang memberikan berbagai sensasi sensori yang menyenangkan; d. memiliki ruang terbuka yang memberikan kesempatan bagi anak untuk menyegarkan diri (restorasi), menamai tempat dan mempraktikan berbagai tindakan yang menyenangkan bagi anak dan memicu pengalaman emosional yang menyenangkan di tempat; e. memiliki berbagai dukungan sosial (baik dari orang tua, teman sebaya dan masyarakat sekitar) bagi anak bersosialisasi. Terpenuhinya beberapa kualitas karakteristik spasial lingkungan binaan diharapkan dapat mendorong agency anak, sehingga memberikan implikasi pada terbentuknya secure place habit. Ketiga, meminjam pendekatan yang terinspirasi dari eksistensial fenomenologi Merleau-Ponty (1962), temuan penelitan ini memberikan kontribusi pada gagasan bahwa ruang kota di mana anak lekat dapat dipahami melalui konsep non-material being-in-the-place, yang berasal dari keutuhan dialektika anak dan tempat: both/and atau here/now. Gagasan both/and atau here/now yang merupakan gagasan eksistensialis, memberikan implikasi terhadap cara kita memandang arsitektur atau perancangan lingkungan binaan anak sebagai satu kesatuan utuh hubungan anak/orang dan tempat, yang selalu berdialog atau bertukar. Kehadiran anak/orang di tempat merupakan satu kesatuan dengan kehadiran tempat di anak/orang tersebut. Temuan penelitian ini memberikan implikasi bahwa pendekatan yang mengandalkan pengalaman tempat yang tersimpan dalam pikiran anak, daripada mengandalkan observasi kehadiran tubuh anak di ruang kota favoritnya seperti yang umum dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, dapat digunakan untuk mempertajam pemahaman
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
229
fenomena kehadiran kelekatan pada tempat yang menerapkan konsep both/and atau here/now hubungan anak dan tempat. Place habit sebagai fenomena non-material ikatan anak dan tempat, dapat diungkap melalui tubuh, ingatan dan ucapan anak. Ingatan (remembering) menurut Pallasmaa sebagai “not only a mental event, it is also an act of embodiement and projection. Memories not only hidden in the secret electrochemical process of the brain, they also stored in our skeletons, muscles and skin. All our senses and organs think and remember” (Pallasmaa, 2012a, p. 29). Sedangkan ucapan merupakan suatu pengalaman tubuh seorang anak yang memiliki kandungan makna. Menurut Merleau-Ponty (1962, p. 207), “Thus speech, in the speaker, does not translate ready-made thought, but accomplishes it”. “This conception of spoken language as a bodily, living experience that holds its own meaning rather than its meaning being ‘somewhere else’ also entails that children are not excluded from the meaningfulness of speech. Children possess meanings that extend beyond our own, even when they are not masters of a particular language”. Welsh (2013, p. 17)
Jadi, tubuh, ingatan, ucapan merupakan representasi tindak kelekatan memberikan kontribusi sebagai pendekatan penelitian yang memandang tubuh sebagai pengalaman spasial tempat dalam konsep both/and atau here/now. Pendekatan ini memberikan implikasi terhadap pentingnya metode pendekatan dengan melihat ‘tempat di anak’ untuk melengkapi metode pendekatan yang melihat ‘anak di tempat’ yang sebelumnya ada. 7.3.
KETERBATASAN PENELITIAN DAN REKOMENDASI UNTUK PENELITIAN LANJUTAN
Penelitian ini memandang tempat dengan menggunakan pendekatan yang dipinjam dari eksistensial fenomenologi. Oleh karenanya, penelitian ini sangat mengandalkan ingatan dan ucapan yang tersimpan dalam tubuh anak sebagai metode pengumpulan data dalam mengungkap place habit. Akibatnya penelitian ini kurang memberi tekanan pada kehadiran aktual anak dalam ruang kota favoritnya, karena banyaknya jumlah ruang kota favorit anak dan tersebarnya ruang kota favorit anak serta tidak menentunya Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
230
kunjungan partisipan ke tempat-tempat tertentu tersebut. Perbedaan usia yang jauh antara usia peneliti dan anak yang diteliti juga mengakibatkan sulitnya peneliti untuk mendalami keseharian anak secara mendalam dan utuh. Keterbatasan ini mengakibatkan pembahasan terkait dengan aspek fisik dan sosial masing-masing ruang kota favorit anak yang mendukung place habit tidak terlalu didiskusikan dan dianalisis secara komprehensif. Diskusi dan analisis terkait kondisi ruang kota yang seperti apa yang dapat mendukung sifat place habit yang lebih secure atau kondisi ruang kota seperti apa yang akan mengakibatkan sifat place habit menjadi kurang secure atau lemah belum sepenuhnya terungkap. Oleh karena itu, untuk dapat lebih memperkaya pemahaman place habit secara lengkap, maka diperlukan penelitian lanjutan yang menggabungkan metodologi fenomenologi dan etnografi. Etnografi merupakan salah satu pendekatan penelitian yang direkomendasikan oleh James and Prout (1997), yang dianggap memungkinkan anak-anak menyuarakan pendapatnya dan ikut berpartisipasi aktif dalam menghasilkan pengetahuan terkait kehidupan sosial mereka. Jadi ada peluang dan tantangan untuk memperkaya place habit melalui pendekatan fenomenologi dan etnografi. Penelitian ini hanya dilakukan sepanjang sembilan bulan (Oktober 2013 sampai dengan Juni 2014) belum cukup untuk dianggap sebagai longitudinal study, terutama dalam mengungkap stabilitas kelekatan anak pada tempat. Menurut Giuliani (2003), place attachment diprediksi dapat bertahan untuk waktu yang lama, namun tahapan perkembangan usia memegang peranan penting dalam perkembangan dan kestabilan place attachment. Sebagai ruang kota yang mendukung (supportive lived-existential urban place), penelitian ini menemukan bahwa place habit rapuh dan tidak permanen, seperti yang ditunjukan oleh empat sifat place habit. Place habit selalu bergerak mengikuti di mana dialektika antara body habit anak dan pengalaman emosional bertemu. Oleh karenanya, merupakan tantangan lebih lanjut untuk merinci kualitas spasial apa yang dianggap mendukung keberlangsungan stabilitas place habit dan mendukung terbentuknya sifat secure place habit pada anak. Penelitian lanjutan yang lebih panjang (longitudinal study) juga dianggap menjadi tantangan untuk memahami seberapa jauh perubahan kualitas karakteristik spasial pada ruang kota tertentu
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
231
berdampak pada dinamika place habit. Penelitian ini juga menemukan bahwa place habit tidak merujuk pada tipe ruang tertentu, sehingga diperlukan pencarian kualitas spasial yang lain, di luar tipologi yang selama ini ada, yang dapat membangun agency anak. Penelitian ini belum memberikan perhatian yang berimbang pada setiap ruang kota favorit yang terungkap karena banyaknya jumlah ruang kota favorit yang terungkap dan tersebarnya lokasi ruang kota tersebut. Penelitian ini juga belum memberikan perhatian yang berimbang pada kehidupan keseharian masing-masing anak. Penelitian ini mengungkapkan bahwa pembentukan place habit melibatkan proses yang pergerakan berulang dan rentang waktu yang lama hingga menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, penelitian yang berskala lebih mikro, baik dari aspek spasial lingkungan maupun jumlah partisipan (anak), dianggap relevan untuk memperkaya pengetahuan spasial terkait dengan pembentukan dan perkembangan place habit. Penelitian ini mengungkapkan bahwa place habit hadir pada semua anak. Secara dominan, perbedaan kondisi familialisasinya yang berakibat pada perbedaan derajat agency anak, menentukan perbedaan sifat-sifat place habit, terutama secure dan diminished place habit. Penelitian ini menemukan bahwa bagi anak usia sekolah dasar, kondisi familialisasi merupakan kondisi yang cukup dominan dalam menentukan hadirnya secure dan diminished place habit, dibandingkan dengan karakteristik fisik spasial dan sosial lingkungan. Hal ini dikarenakan kondisi familialisasi berdampak pada perbedaan derajat agency anak dalam mengkonstruksi place habit-nya. Perbedaan derajat agency anak dalam penelitian ini mengakibatkan perbedaan kemampuan seorang anak untuk bertindak secara bebas dan otonomi dalam membuat perbedaan suatu kondisi atau keadaan, termasuk bagaimana otonomi mereka berkontribusi pada kehadiran dan keberlangsungan place habit. Oleh karena itu, penelitian-penelitian di bidang perancangan lingkungan binaan, sebaiknya tidak hanya melibatkan partisipasi anak, sebagaimana yang sudah cukup banyak dilakukan. Namun keterlibatan dan partisipasi orang tua, dianggap relevan dan perlu dilakukan untuk memperkaya bagaimana orang tua bersama-sama dengan anak berperan dalam mengkonstruksi dan menjaga keberlangsungan place habit anak. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
DAFTAR REFERENSI
Ainsworth, M. D. S. (1969). Object Relations, Dependency, and Attachment: A Theoretical Review of The Infant-Mother Relationship. child development, 40(4), 969-1025. Ainsworth, M. D. S. (1991). Attachments and Other Affectional Bonds Across the Life Cycle. In C. M. Parkes, Stevenson-Hinde, J. and Marris, P. (Ed.), Attachment Across the Life Cycle (pp. 33-51). Ainsworth, M. D. S., & Bell, S. M. (1970). Attachment Exploration and Separation: Illustrated by the Behavior of One-year-olds in a Strange Situation. child development, 41(1), 49-67. Ainsworth, M. D. S., Blehar, M. C., Waters, E., & Wall, S. (1978). Patterns of Attachment: A Psychological Study of the Strange Situation. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Al-Zoabi, A. Y. (2002). Children's Mental Map and Neighborhood Design of Abu Nuseir, Jordan. Paper presented at the The Children and the City Conference, Amman, Jordan. Aldgate, J., & Jones, D. (2006). The Place of Attachment in Children's Development. In J. Aldgate, Jones, D., Rose, W., Jeffery, C. (Ed.), The Developing World of the Child (pp. 67-96). London, GBR: Jessica Kingsley Publishers. Altman, I., & Low, S. M. (1992). Place Attachment: A Conceptual Inquiry. New York: Plenum Press.
232 Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
233
Aragones, J. I., & Moros-Ruano, O. (2002). An Empirical Study of Place Attachment to Malls. Paper presented at the International Association for People-Environment Studies. Arnberger, A., & Eder, R. (2012). The Influence of Green Space on Community Attachment of Urban and Suburban Residents. Urban Forestry & Urban Greening, 11(1), 41-49. Auge, M. (1995). Non-Places: Introduction to an Anthropology of Supermodernity (J. Howe, Trans.). London and New York: Verso. Aziz, A. A., & Ahmad, A. S. (2012). Low Cost Flats Outdoor Space as Children Social Environment. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 38, 243-252. Aziz, N. F., & Said, I. (2012). The Trends and Influential Factors of Children's Use of Outdoor Environments: A review. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 38, 204-212. Bartholomew, K., & Horowitz, L. M. (1991). Attachment Style Among Young Adults. Journal of Personality and Social Psychology, 61(2), 226-244. Baumann, Z. (1978). Hermeneutics and Social Sciences: Approaches to Understanding. London: Hutchinson & Co. Benson, C. L. (2009). Changing Places: Children's Experience of Place during Middle Childhood. (Master of Arts Social Science), The Faculty of Humboldt State University. Birbeck, D. J., & Drummond, M. J. N. (2007). Research with Young Children: Contemplating Methods and Ethics. Journal of Educational Enquiry, 7(2), 2131. Blizard, C., & Schuster Jr., R. (2004). "They all cared about the forest": Elementary school children's experience of the loss of a wooded play space at private school
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
234
in upstate New York. Paper presented at the The 2004 Northeastern Recreation Research Symposium. Blizard, C., & Schuster, R. J. (2004). "They all Cared about the Forest": Elementary School Children's Experience of the Loss of a Wooded Play Space at Private School in Upstate New York. Paper presented at the The 2004 Northeastern Recreation Research Symposium. Bonaiuto, M., Fornara, F., & Bonnes, M. (2003). Indexes of Perceived Residential Environment Quality and Neighbourhood Attachment in Urban Environments: A Confirmation Study on the City of Rome. Landscape and Urban Planning, 65(1-2), 41-52. Bowlby, J. (1969, 1982). Attachment and Loss (Second Edition ed. Vol. 1). New York: Basic Books. Brederode-Santos, M. E., Claeys, J., Fazah, R., Schneider, A., & Szelenyi, Z. (2009). Compasito: Manual on Human Rights Education for Children Second Edition. Budapest: Directorate of Youth and Sport of the Council of Europe. Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design. USA: Harvard University Press. . Buku Profil Anak Indonesia 2013. (2013).
Jakarta: Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Canter, D. (1977). The Psychology of Place. London: Architectural Press. Carmona, M. (2010). Contemporary Public Space: Critique and Classification, Part Two: Classification. Journal of Urban Design, 15(1), 157-173. Carrus, G., Scopelliti, M., Fornara, F., Bonnes, M., & Bonaiuto, M. (2014). Place Attachment, Community Identification, and Pro-Environmental Engagement. In L. C. Manzo & P. Devine-Wright (Eds.), Place Attachment: Advances in
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
235
Theory, Methods and Applications (pp. 154-164). London and New York: Routledge. Casakin, H. P., & Kreitler, S. (2008). Place Attachment as a Function of Meaning Assignment. Open Environmental Sciences, 2, 80-87. Casey, E. S. (1998). The Fate of Place: A Philosophical History. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Cataldi, S. L. (2008). Affect and Sensibility. In R. Diprose & J. Reynolds (Eds.), Merleau-Ponty: Key Concepts (pp. 163-173). Stocksfield: Acumen Publishing Charmaz, K. (2014). Constructing Grounded Theory (Second Edition ed.). London: Sage. Chatterjee, S. (2006). Children's Friendship with Place: An Exploration of Environmental Child Friendliness of Children's Environments in Cities. (Doctor of Philosophy Dissertation), North Carolina State University, Raleigh.
(UMI
No. 3232677) Chawla, L. (1992). Childhood Place Attachments. In I. Altman & S. M. Low (Eds.), Place Attachment. London: Plenum. Chawla, L., & Malone, K. (Eds.). (2003). Neighborhood Quality in Children Eye: Routledge. Chistensen, P., & O'Brien, M. (2003). Children in the City: Introducting New Perspective. In P. Chistensen & M. O'Brien (Eds.), Children in the City: Home, Neighborhood and Community (pp. 1-12). London & New York: Routledge. Christensen, P. (2003). Place, Space and Knowledge: Children in the Village and the City. In P. Chistensen & M. O'Brien (Eds.), Children in the City: Home, Neighborhood and Community (pp. 1-12). London & New York: Routledge.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
236
Christensen, P., & Mikkelsen, M. R. (2013). ‘There is Nothing Here for Us..!’ How Girls Ceate Meaningful Places of Their Own Through Movement. Children & Society, 27(3), 197-207. Christensen, P., & Prout, A. (2005). Anthropological and Sociological Perspectives on the Study of Children. In S. Greene & D. Hogan (Eds.), Researching Children's Experience: Approaches and Methods (pp. 42-60). London: Sage Publications, Ltd. Christensen, P. M. J., Allison. (2000). Researching children and childhood: Cultures of communication. In P. M. Christensen & A. James (Eds.), Research with Children Perspectives and Practices (pp. 1-8). London & new York: Falmer Press. Churchman, A. (2003). Is There a Place for Children in the City? Journal of Urban Design, 8(2), 99-111. Clark, A. (2005). Ways of Seeing: Using the Mosaic Approach to Listen to Young Children's Perspective. In C. Allison, A. T. Kjorholt & P. Moss (Eds.), Beyond Listeing: Children's Perspectives on Early Childhood Services (pp. 29-49). Bristol: Policy Press. Clark, A. (2010). Transforming Children's Spaces: Children's and Adult's Participation in Designing Learning Environments. London & New York: Routledge. Clark, C., & Uzzell, D. L. (2006). The Socio-Evironmental Affordances of Adolescence's Environments. In C. Spencer & M. Blades (Eds.), Children and Their Environment: Learning, Using and Designing Spaces (pp. 176-195). Cambridge: Cambridge University Press. Clements, R. (2004). An Investigation of the Status of Outdoor Play. Contemporary Issues in Early Childhood, 5(1), 68-80. Colin, V. L. (1996). Human Attachment. New York: Mc-Graw Hills Inc.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
237
Cornell, E. H., & Hill, K. A. (2006). The Problem of Lost Children. In C. Spencer & M. Blades (Eds.), Children and Their Environment: Learning, Using and Designing Spaces (pp. 26-41). Cambridge: Cambridge University Press. Corraliza, J. A., Collado, S., & Bethelmy, L. (2012). Nature as a Moderator of Stress in Urban Children. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 38, 253-263. Cresswell, T. (2004). Place: A Short Introduction. MA: Blackwell Publishing. Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions (third edition ed.). Thousand Oaks, California: Sage Publications. Creswell, J. W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches (third edition ed.). California: Sage Publications. Dahl, M. S., & Sorenson, O. (2010). The Social Attachment to Place. Social Forces, 89(2). Danaher, T., & Briod, M. (2005). Phenomenological Approaches to Research with Children. In S. Greene & D. Hogan (Eds.), Researching Children's Experience: Approaches and Methods (pp. 217-235). London: Sage Publications, Ltd. Danby, S., & Farrell, A. (2005). Opening the Research Conversation. In A. Farrell (Ed.), Ethical Research with Children (pp. 49-67). England: Open University Press. Davies, M. M. (2010). Children, Media and Culture. New York: Open University Press. Davison, K. K., & Lawson, C. T. (2006). Do Attributes in the Physical Environment Influence Children's Physical Activity? A Review of the Literature. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 3(19). Day, C. (2007). Environment and Children: Passive Lessons from Everyday Environment. Burlington, MA: Architectural Press.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
238
de Certeau, M. (1984). The Practice of Everyday Life (S. Rendall, Trans.). Berkeley: University of California Press. Delaney, D. (2005). Territory: A Short Introduction. Malden, MA: Blackwell Publishing. Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Mennesota Press. Derr, T. (2006). 'Sometimes Birds Sound Like Fish': Perspective on Chidren's Place Experience. In C. Spencer & M. Blades (Eds.), Children and Their Environment: Learning, Using and Designing Spaces (pp. 108-123). Cambridge: Cambridge University Press. Derr, V. (2002). Children's Sense of Place in Northern New Mexico. Journal of Environmental Psychology, 22(1-2), 125-137. Elder Jr, G. H. (1996). Attachment to Place and Migration Prospects: A Developmental Perspective. Journal of Research on Adolescence, 6(4), 397-425. Ellis, J. (2005). Place and Identity for Children in Classrooms and Schools. Journal of the Canadian Association of Curriculum Studies, 3(2), 55-73. Elsley, S. (2004). Children's Experience of Public Space. Children & Society, 18(2), 155-164. Engel, S. L. (2005). Narrative Analysis of Children's Experience. In S. Greene & D. Hogan (Eds.), Researching Children's Experience: Approaches and Methods (pp. 199-216). London: Sage Publications, Ltd. Erikson, E. H. (1982, 1997). The Life Cycle Completed: Extended version New York: W.W. Norton & Company, Inc. .
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
239
Ernawati, J. (2011). Faktor-Faktor Pembentuk Identias Suatu Tempat. Local Wisdom, 3(2), 1-9. Farrell, A. (2005a). New Possibilities for Ethical Research with Children. In A. Farrell (Ed.), Ethical Research with Children (pp. 177-178). England: Open University Press. Farrell, A. (2005b). New Times in Ethical Research with Children. In A. Farrell (Ed.), Ethical Research with Children (pp. 167-175). England: Open University Press. Fidzani, L. C. (2010). Personalization of Bedrooms by Urban Adolescents in Botswana: Expressing Identity and Developing Place Attachment. (Doctor of Philosophy), Oregon State University, Oregon. Flanagan, C. (1999). Early Socialisation: Sociability and Attachment. London & New York: Routledge. Freeman, C., & Tranter, P. (2011). Children and Their Urban Environment: Changing Worlds. London & Washington D.C.: Earthscan. Freeman, C., & Vass, E. (2010). Planning, Maps and Children's Lives: A Caustionary Tale. Planning Theory and Practice, 11(1), 65-88. Fried, M. (1963). Grieving for a Lost Home: Psychological Costs of Relocation. In L. J. Duhl (Ed.), The Urban Condition (pp. 359-379). New York: Basic Books, Inc. Fried, M. (2000). Continuities and Discontinuities of Place. Journal of Environmental Psychology, 20, 193-205. Fullilove, M. T. (2014). "The Frayed Knot": What Happens to Place Attchment in the Context of Serial Forced Displacement? In L. C. Manzo & P. Devine-Wright (Eds.), Place Attachment: Advances in Theory, Methods and Applications (pp. 141-153). London and New York: Routledge.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
240
Garrett, E. A. (2007). A Phenomenological Investigation of the Child-Animal Bond. (Doctorate of Philosophy), Purdue University, West Lafayette. Gerson, K., Stueve, A., & Fischer, C. S. (1977). Attachment to Place. In C. S. Fischer, R. M. Jackson, A. Stueve, K. Gerson, L. M. Jones & M. Baldassare (Eds.), Networks and Places: Social Relations in the Urban Setting (pp. 139-161). New York: Free Press. Gharahbeiglu, M. (2007). Children's Interaction with Urban Play Spaces in Tabriz, Iran. Visual Studies, 22(1), 48-52. Gibson, J. J. (1986). The Ecological Approach to Visual Perception. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Giddens, A. (1979). Central Problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis. London: Macmillan. Giuliani, M. V. (1991). Towards an Analysis of Mental Representations of Attachment to the Home. The Journal of Architectural and Planning Research, 8(2), 133146. Giuliani, M. V. (2003). Theory of Attachment and Place Attachment. In M. Bonnes, Lee, T. and Bonaiuto, M. (Ed.), Psychological Theories for Environmental Issues. England Ashgate Publishing Limited. Glaser, B. G., & Strauss, A. L. (2006). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. New Brunswick and London: Aldine Transaction. Graaf, P. v. d. (2009). Out of Place? Emotional Ties to the Neighbourhood in Urban Renewal in the Netherlands and the United Kingdom. Amsterdam: Amsterdam University Press. Groat, L., & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
241
Gustafson, P. (2009). Mobility and Territorial Belonging. Environment and Behavior, 41(4), 490-508. Gustafson, P. (2014). Place Attachment in an Age of Mobility. In L. C. Manzo & P. Devine-Wright (Eds.), Place Attachment: Advances in Theory, Methods and Applications (pp. 37-48). London and New York: Routledge. Hallden, G. (2003). Children's Views of Family, Home and House. In P. Chistensen & M. O'Brien (Eds.), Children in the City: Home, Neighborhood and Community (pp. 29-45). London & New York: Routledge. Halpenny, E. A. (2006). Environmental Behavior, Place Attachment and Park Visitation: A Case Study of Visitors to Point Pelee National Park. (Doctor of Philosophy), University of Waterloo, Canada. Harjoko, T. Y. (2011). Fenomena Bentuk dan Wujud Arsitektural: Antara Materialitas, Representasi dan Muatan Kehidupan Keseharian dari Permukiman Kampung Perkotaan. NALARs, 10(2), 131-154. Harmon, L. K. (2005). The Person-Place Relationshp in the Context of Isle Royale National Park: A Study of Place Attachmet and Place-Based Affect. (Doctor of Philosophy), The Pennsylvania State University, Pennsylvania. Harrison, J. D., & Howard, W. A. (1980). The Role of Meaning in the Urban Image. In R. Broadbent, Bundt, R., Llorens, T. (Ed.), Meaning and Behavior in Built Environment (pp. 163-182). New York: John Wiley & Sons. Hart, R. A. (1992). Innocenti Essays No. 4: Children's Participation from Tokenism to Citizenship. Italy: Unicef. Hashem, H., Yazdanfar, S. A., Heidari, A. A., & Behdadfar, N. (2013). Comparison the Concepts of Sense of Place and Attachment to Place in Architectural Studies. Geografia: Malaysian Journal of Society and Space, 9(1), 107-117. Hauge, A. L. (2007). Identity and Place. Architectural Science Review, 43(3). Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
242
Hazan, C., & Shaver, P. (1987). Romantic Love Conceptualized as an Attachment Process. Journal of Personality and Social Psychology, 52(3), 511-524. Heft, H. (2010). Affordances in the Landscape: A Theoretical Approach. In C. W. Thompson, P. Aspinall & S. Bell (Eds.), Innovative Approaches to Researching Landscape and Health (pp. 9-32). London and New York: Routledge. Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. M. a. E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row. Hernandez-Garcia, J. (2012). Open Spaces in Informal Settlements in Bogota, Expressions of Attachment and Identity. In H. Casakin, O. Romice & S. Porta (Eds.), The Role of Place Identity in the Perception, Understanding and Design of the Built Environment (pp. 92-106). London: Betham Science Publishers. Hernández, B., Carmen Hidalgo, M., Salazar-Laplace, M. E., & Hess, S. (2007). Place Attachment and Place Identity in Natives and Non-Natives. Journal of Environmental Psychology, 27(4), 310-319. Hernandez, B., Hidalgo, M. C., & Ruiz, C. (2014). Theoretical and Methodological Aspects of Research on Place Attachment. In L. C. Manzo & P. Devine-Wright (Eds.), Place Attachment: Advances in Theory, Methods and Applications (pp. 125-138). London and New York: Routledge. Hester, R. T. (2006). Design for Ecological Democracy. Cambridge: MIT Press. Hidalgo, M. C., & Hernandez, B. (2001). Place Attachment: Conceptual and Empirical Questions. Journal of Environmental Psychology, 21(3), 273-281. Holloway, S. L., & Valentine, G. (2000). Children's Geograpies and the New Social Studies of Childhood. In S. L. Holloway & G. Valentine (Eds.), Children's Geographies: Playing, Living, Learning (Vol. 8, pp. 1-22). London & New York: Routledge.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
243
Hummon, D. M. (1992). Community Attachment: Local Sentiment and Sense of Place. In I. Altman & S. M. Low (Eds.), Place Attachment: A Conceptual Inquiry. New York.: Plenum Press. Jack, G. (2008). Place Matters: The Significance of Place Attachments for Children's Well-Being. British Journal of Social Work, 40(3), 755-771. Jack, G. (2012). The Role of Place Attachments in Wellbeing. In S. Atkinson, S. Fuller & J. Painter (Eds.), Wellbeing and Place (pp. 89-104). England: Ashgate. Jackson, J. B. (1994). A Sense of Place, A Sense of Time. New Haven & London: Yale University Press. James, A. (2009). Agency. In J. Qvortrup, W. A. Corsaro & M.-S. Honig (Eds.), The Palgrave Handbook of Childhood Studies (pp. 34-45). London: Palgrave Macmillan. James, A. (2013). Socialising Children. England: Palgrave Macmillan. James, A., & James, A. (2012). Key Concepts in Childhood Studies (2nd ed.). London: Sage Publications Ltd. James, A., & Prout, A. (1997). Constructing and Reconstructing Childhood: Contemporary Issues in the Sociological Study of Childhood: Psychology Press. Jenks, C. (1996). Childhood: Routledge. Jenks, C. (2005). Childhood: Critical Concepts in Sociology (Vol. 1). Oxon: Routledge. Ji, Z. (2009). A Study of Place Attachment: The Case of Public Housing Residents and Neighborhood Parks. (PhD), National University of Singapore. Jones, O. (2000). Melting Geography: Purity, Disorder, Childhood and Space. In S. L. Holloway & G. Valentine (Eds.), Children's Geographies: Playing, Living, Learning (Vol. 8, pp. 1-22). London & New York: Routledge.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
244
Kals, E., & Ittner, H. (2003). Children's Environmental Identity: Indicators and Behavioral Impacts. In S. O. Clayton, Susan (Ed.), Identity and The Natural Environment: The Psychological Significance of Nature (pp. 135-178). USA: Massachusetts Institute of Technology. Kamalipour, H., Yeganeh, A. J., & Alalhesabi, M. (2012). Predictors of Place Attachment in Urban Residential Environments: A Residential Complex Case Study. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 35, 459-467. Karsten, L. (2003). Children's Use of Public Space: The Gendered World of the Playground. Childhood, 10(4), 457-473. Kehily, M. J. (2009). Understanding Childhood: An Introduction to Some Key Themes and Issues. In M. J. Kehily (Ed.), An Introduction to Childhood Studies (2nd ed., pp. 1-16). Great Britain: Open University Press. Kjorholt, A. T. (2003). 'Creating a Place to Belong': Girl's and Boys' Hut-Building as a Site for Understanding Discourses on Childhood and Generational Relations in a Norwegian Community. Children's Geographics, 1(1), 261-279. Korpela, K. (2002). Children's Environment. In R. B. Betchtel & A. Churchman (Eds.), Hanbook of Environmental Psychology (pp. 363-373). New York: John Wiley & Sons, Inc. Korpela, K., Kytta, M., & Hartig, T. (2002). Restorative Experience, Self Regulation, and Children's Place Preferences. Journal of Environmental Psychology, 22, 387-398. Korpela, K. M., Ylén, M., Tyrväinen, L., & Silvennoinen, H. (2009). Stability of SelfReported Favourite Places and Place Attachment Over a 10-Month Period. Journal of Environmental Psychology, 29(1), 95-100.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
245
Kusuma, H. E. (2008, 8-10 August). Working Base and Place Attachment. Paper presented at the Arte-Polis 2 International Conference and Design Charette: Creative Communities and the Making of Place, Bandung. Kytta, M. (2003). Children in Outdoor Contexts: Affordances and Independent Mobility in the Assessmenet of Environmental Child Friendliness. (Doctor of Philosophy), Helsinki University of Technology, Espoo, Finland. Kytta, M. (2006). Environmental Child-Friendliness in the Light of the Bullerby Model. In C. Spencer & M. Blades (Eds.), Children and Their Environment: Learning, Using and Designing Spaces (pp. 141-158). Cambridge: Cambridge University Press. Landes, D. A. (2013). Meleau-Ponty and the Paradoxes of Expression. London: Bloomsbury. Langhout, R. D. (2003). Reconceptualizing Quantitative and Qualitative Methods: A Case Study Dealing with Place as an Exemplar. American Journal of Community Psychology, 32(3-4), 229-244. Lawrence, D. L. (1992). Transcendence of Place: The Role of La Placeta in Valencia's Las Fallas. In I. Altman & S. M. Low (Eds.), Place Attachment: A Conceptual Inquiry (pp. 211-230). New York: Plenum Press. LeCompte, M. D. (1987). Bias in the Biography: Bias and Subjectivity in Ethnographic Research. Anthropology & Education Quarterly, 18(1), 43-52. LeCompte, M. D., & Goetz, J. P. (1982). Problems of Reliability and Validity in Ethnographic Research. Review of Educational Research, 52(1), 31-60. Lefebvre, H. (1991). The Production of Space (D. Nicholson-Smith, Trans.). Oxford, UK: Blackwell.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
246
Lekies, K. S. (2011). Connection to Place: Exploring Community Satisfaction and Attachment Among Rural Youth. Children, Youth and Environments, 21(2), 7799. Lewicka, M. (2005). Ways to Make People Active: The Role of Place Attachment, Cultural Capital, and Neighborhood Ties. Journal of Environmental Psychology, 25(4), 381-395. Lewicka, M. (2008). Place Attachment, Place Identity, and Place Memory: Restoring the Forgotten City Past. Journal of Environmental Psychology, 28(3), 209-231. Lewicka, M. (2010). What Makes Neighborhood Dfferent from Hme and City? Effects of Place Scale on Place Attachment. Journal of Environmental Psychology, 30(1), 35-51. Lewicka, M. (2011). Place Attachment: How Far Have We Come in the last 40 Years? Journal of Environmental Psychology, 31(3), 207-230. Lewicka, M. (2014). In Search of Roots: Memory as Enabler of Place Attachment. In L. C. Manzo & P. Devine-Wright (Eds.), Place Attachment: Advances in Theory, Methods and Applications (pp. 49-60). London and New York: Routledge. Li, Z., & Wu, F. (2013). Residential Satisfaction in China's Informan Settlements: A Case Study of Beijing, Shanghai and Guanzhou. Urban Geography, 34(7), 923949. Liben, L. S. (1981). Spatial Representation and Behavior: Multiple Perspectives. In L. S. Liben, A. H. Patterson & N. Newcombe (Eds.), Spatial Representation and Behavior Across the Life Span (pp. 3-38). New York: Academic Press. Loukaitou-Sideris, A., & Sideris, A. (2009). What Brings Children to the Park? Analysis and Measurement of the Variables Affecting Children's Use of Parks. Journal of the American Planning Association, 76(1), 89-107.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
247
Low, S. M. (1992). Symbolic Ties that Bind: Place Attachment in the Plaza. In I. Altman & S. M. Low (Eds.), Place Attachment: A Conceptual Inquiry (pp. 165185). New York.: Plenum Press. Loyal, S. (2003). The Sociology of Anthony Giddens. Sterling, VA: Pluto Press. Lynch, K. (1981). A Theory of Good City Form. Cambridge: MIT Press. MacNaughton, G., & Smith, K. (2005). Transforming Research Ethics: The Choices and Challenges of Researching with Children. In A. Farrell (Ed.), Ethical Research with Children (pp. 113-123). England: Open University Press. Main, M., & Solomon, J. (1986). Discovery of an Insecure-Disorganized/Disoriented Attachment Pattern: Procedures, Findings and Implications for the Classification of Behavior. In T. B. Brazelton & M. W. Yogman (Eds.), Affective Development in Infancy (pp. 95-124). NJ: Ablex. Malone, K. (2006). United Nations: A key Player in Global Movement for Child Friendly Cities. In B. Gileeson & N. Sipe (Eds.), Creating Child Friendly Cities: Reinstating Kids in the City (pp. 13-31). New York: Routledge. Malpas, J. E. (1999). Place and Experience: A Philosophical Topography. Cambridge: Cambridge University Press. Manzo, L. C., & Devine-Wright, P. (2014). Place Attachment: Advances in Theory, Methods and Applications. London and New York: Routledge. Manzo, L. C., & Perkins, D. (2006). Finding Common Ground: The Importance of Place Attachment to Community Participation and Planning. Journal of Planning Literature, 20(4), 335-350. Mathews, H. (2003). The Street as Liminal Space: The Barbed Spaces of Childhood. In P. Chistensen & M. O'Brien (Eds.), Children in the City: Home, Neighborhood and Community (pp. 29-45). London & New York: Routledge.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
248
Matthews, H., Limb, M., & Taylor, M. (2000). The 'Street as Thirdspace'. In S. L. Holloway & G. Valentine (Eds.), Children's Geographies: Playing, Living, Learning (Vol. 8, pp. 1-22). London & New York: Routledge. Matthews, M. H. (1992). Making Sense of Place: Children's Understanding of LargeScale Environments. Maryland: Harvester Wheatsheaf Barnes and Noble Books. Mayall, B. (2002). Towards a Sociology of Childhood. Buckingham: Open University Press. Mazumdar, S. (2005). Religious Place Attachment, Squatting and Qualitative Research: A Commentary. Journal of Environmental Psychology, 25, 87-95. Mazumdar, S., & Mazumdar, S. (2004). Religion and Place Attachment: A Study of Sacred Places. Journal of Environmental Psychology, 24, 385-397. McKendrick, J. H., Bradford, M. G., & Fielder, A. V. (2000). Time for a Party! Making Sense of the Commercialisation of Leisure Space for Children. In S. L. Holloway & G. Valentine (Eds.), Children's Geographies: Playing, Living, Learning (Vol. 8, pp. 1-22). London & New York: Routledge. Mehrabian, A. (1976). Public Spaces and Private Spaces: The Psychology of Work, Play and Living Environments. New York: Basic Books, Inc. Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of Perception (C. Smith, Trans.). London & New York: Routledge. Merleau-Ponty, M. (2010). Child Psychology and Pedagogy: The Sorbonne Lectures 1949-1952 (T. Welsh, Trans.). Evanston, Illinois: Northwestern University Press. Mezini, L. (2012, 19-21 April 2012). Designing "Based" on Place Attachment-Tirana Case Study. Paper presented at the 1st International Conference on Architecture and Urban Design, Albania.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
249
Mihaylov, N., & Perkins, D. D. (2014). Community Place Attachment and Its Role in Social Capital Development. In L. C. Manzo & P. Devine-Wright (Eds.), Place Attachment: Advances in Theory, Methods and Applications (pp. 23-36). London and New York: Routledge. Morgan, M. (2009). Interpretation and Place Attachment: Implications for Cognitive Map Theory. Journal of Interpretation Research, 14(1), 47-59. Morgan, P. (2010). Towards a Developmental Theory of Place Attachment. Journal of Environmental Psychology, 30(1), 11-22. Morris, D. (2008). Body. In R. Diprose & J. Reynolds (Eds.), Merleau-Ponty: Key Concepts (pp. 111-120). Stocksfield: Acumen Publishing Morrow, V. (2003). Improving the Neighbourhood for Children: Possibilities and Limitations of ‘Social Capital’ Discourses. In P. Chistensen & M. O'Brien (Eds.), Children in the City: Home, Neighborhood and Community (pp. 29-45). London & New York: Routledge. Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks: Sage Publications. Najafi, M., Shariff, M., & M., K. B. (2011). The Concept of Place and Sense of Place in Architectural Studies. International Journal of Human and Social Sciences, 6(3), 187-193. Norberg-Schulz, C. (1980). Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York: Rizzoli International Publications, Inc. Oktay, D., Rustemli, A., & Marans, R.W. (2009). Neighborhood Satisfaction, Sense of Community, and Attachment: Initial Findings from Famagusta Quality of Urban Life Study. ITU, 6(1), 6-20. Oldenburg, R. (1989). The Great Good Place: Cafes, Coffee Shops, Bookstores, Bars, Hair Salons, and Other Hangouts at the Heart of a Community. New York. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
250
Othman, S., & Said, I. (2012). Affordances of Cul-de-sac in Urban Neighborhoods as Play Spaces for Middle Childhood Children. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 38, 184-194. doi: 10.1016/j.sbspro.2012.03.339 Painter, J. (2000). Pierre Bourdieu. In M. Crang & N. Thrift (Eds.), Thinking Space (pp. 239-259). London and New York: Routledge. Pallasmaa, J. (2012a). Encounters 2: Architectural Essays. Finland: Rakennustieto Publishing. Pallasmaa, J. (2012b). Experience, Emotion and Thought: The Artistic Encounter and the Emergence of Meaning (2007). In P. MacKeith (Ed.), Encounters
2:
Architectural Essays. Finland: Rakennustieto Publishing. Pallasmaa, J. (2012c). Identity, Intimacy and Domicile: Notes on the Phenomenology of Home (1994). In P. MacKeith (Ed.), Encounters
1: Architectural Essays.
Finland: Rakennustieto Publishing. Pallasmaa, J. (2012d). Space, Place, Memory and Imagination: The Temporal Dimension of Existential space (2007). In P. MacKeith (Ed.), Encounters 2: Architectural Essays. Finland: Rakennustieto Publishing. Partridge, E. (2006). Origins - A Short Etymological Dictionary of Modern English. London & New York: Routledge. Pearce, C. (2009). Short Introduction to Attachment and Attachment Disorder. London, GBR: Jessica Kingsley Publishers. Pellow, D. (1992). Spaces that Teach: Attachment to the African Compound. In I. Altman & S. M. Low (Eds.), Place Attachment: A Conceptual Inquiry (pp. 187210). New York: Plenum Press. Piaget, J., & Inhelder, B. (1956, 1967). The Child's Conception of Space (F. J. L. Langdon, J.L., Trans.). New York: The Norton Library W. W. Norton & Company, Inc. Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
251
Piaget, J., & Inhelder, B. (1969, 2000). The Psychology of the Child. New York: Basic Books, Inc. Plester, B., Blades, M., & Spencer, C. (2006). Children's Understanding of Environmental Representations: Aerial Photographs and Model Towns. In C. Spencer & M. Blades (Eds.), Children and Their Environment: Learning, Using and Designing Spaces (pp. 42-56). Cambridge: Cambridge University Press. Porteous, D. J. (1977). Environment & Behavior: Planning and Everyday Urban Life. Menlo Park, California: Addison-Wesley Publishing Company. Prior, V., & Glaser, D. (2006). Understanding Attachment and Attachment Disorders : Theory, Evidence and Practice. London, GBR: Jessica Kingsley Publishers. Proshansky, H. M., Fabian, A. K., & Kaminioff, R. (1983). Place-Identity: Physical World Socialization of the Self. Journal of Environmental Psychology, 3, 57-83. Raittila, R. (2012). With Children in Their Lived Place: Children's Action as Research Data. International Journal of Early Years Education, 20(3), 270-279. Ramezani, S., & Said, I. (2009, 26-27 October). Children’s Perception of Place Friendliness in an Urban Neighborhood in Shiraz, Iran. Paper presented at the 1st CONVEEESH and 10th SENVAR, Manado, Indonesia. Rasmussen, K. (2004). Places for Children – Children’s Places. Childhood, 11(2), 155173. Rasmussen, K., & Smidt, S. (2003). Children in the Neighborhood: The Neighborhood in the Children. In P. Chistensen & M. O'Brien (Eds.), Children in the City: Home, Neighborhood and Community (pp. 29-45). London & New York: Routledge. Relph, E. (1976). Place and Placelessness. London: Pion Limited.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
252
Rollero, C., & De Piccoli, N. (2010). Does Place Attachment Affect Social Well-Being? Revue Européenne de Psychologie Appliquée/European Review of Applied Psychology, 60(4), 233-238. Ryan, G. W., & Bernard, H. R. (2003). Techniques to Identify Themes. Field Methods, 15(1), 85-109. Rykwert, J. (2004). The Seduction of Place: The History and Future of the City: Oxford University Press. Saar, M., & Palang, H. (2009). The Dimensions of Place Meanings. Living Reviews in Landsacpe Research, 3(3), 5-24. Scannel, L., & Gifford, R. (2014). Comparing the Theories of Interpersonal and Place Attachment. In L. C. Manzo & P. Devine-Wright (Eds.), Place Attachment: Advances in Theory, Methods and Applications (pp. 23-36). London and New York: Routledge. Scannell, L., & Gifford, R. (2010). Defining Place Attachment: A Tripartite Organizing Framework. Journal of Environmental Psychology, 30(1), 1-10. Schachtel, E. G. (1959). Metamorphosis: On the Development of Affect, Perception, Attention, and Memory: Basic Books. Schmidt, L. K. (2006). Understanding Hermeneutics. Durham: Acumen. Seamon, D. (1979). A Geography of the Lifeworld. London: Croom Helm. Seamon, D. (2012). Place, Place Identity, and Phenomenology: A Triadic Interpretation Based on J.G. Bennett's Systematics. In H. Casakin, O. Romice & S. Porta (Eds.), The Role of Place Identity in the Perception, Understanding and Design of the Built Environment. London: Betham Science Publishers. Seamon, D. (2014). Place Attachment and Phenomenology: The Synergistic Dynamism of Place. In L. C. Manzo & P. Devine-Wright (Eds.), Place Attachment:
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
253
Advances in Theory, Methods and Applications (pp. 11-22). London and New York: Routledge. Shamai, S. (1991). Sense of Place: An Empirical Measurement. Geoforum, 22(3), 347358. Simms, E.-M. (2008). Children's Lived Spaces in the Inner City: Historical and Political Aspects of the Psychology of Place. The Humanistic Psychologist, 36(1), 72-89. Sipe, N., Buchanan, N., & Dodson, J. (2006). Children in the Urban Environmentr: A Review of Research. In B. Gileeson & N. Sipe (Eds.), Creating Child Friendly Cities: Reinstating Kids in the City (pp. 86-102). New York: Routledge. Skanfors, L. (2009). Ethics in Child Research: Children's Agency and Researchner's Ethical Radar". Childhoods Today, 3(1). Skelton, T. (2000). ‘Nothing to Do, Nowhere to Go?’: Teenage Girls and ‘Public’ Space in the Rhondda Valleys, South Wales. In S. L. Holloway & G. Valentine (Eds.), Children's Geographies: Playing, Living, Learning (Vol. 8, pp. 1-22). London & New York: Routledge. Smaldone, D. (2006). The Role of Time in Place Attachment. Paper presented at the Northeastern Recreation Research Symposium, Newton square, PA. Sobel, D. (1993, 2002). Children's Special Places: Exploring the Role of Forts, Dens, and Bush Houses in Middle Childhood. Detroit, Michigan: Wayne State University Press. Spencer, C. (Ed.). (2004). Place Attachment, Place Identity and the Development of the Child's Self-Identity: Searching the Literature to Develop an Hypothesis. Spencer, C., & Blades, M. (1993). Children's Understanding of Place: The World at Hand. Geography, 78(4), 367-373.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
254
Stedman, R. C. (2003). Is It Really Just a Social Construction?: The Contribution of Physical Environment to Sense of Place. Society and natural resources, 16, 671685. Steele, F. (1981). The Sense of Place. USA: CBI Publishing Company, Inc. Stokols, D., & Shumaker, S. A. (1981). People in Places: A Transactional View of Settings. In J. H. Harvey (Ed.), Cognition, Social Behavior, and the Environment (pp. 441-488). Hillsdale, NJ: L. Erlbaum. Sudrajat, I. (2012). Conceptualizing a Framework for Research on Place in Indonesia. Paper presented at the International Seminar on Place Making and Identity, Candi Bentar Convention Hall, Putri Duyung, Ancol, Jakarta Utara. Tanner, J. (2009). Special Places: Place Attachment and Children's Happiness. Tartaglia, S. (2006). A Preliminary Study for a New Model of Sense of Community. Journal of Community Psychology, 34(1), 25-36. Thurber, C. A., & Sigman, M. D. (1998). Preliminary Models of Risk and Protective Factors for Childhood Homesickness: Review and Empirical Synthesis. child development, 69(4), 903-934. Titman, W. (1994). Special Places Special People: The Hidden Curriculum for School Grounds. UK: Learning Through Landscape. Tranter, P. (2006). Overcoming Social Traps: A Key to Creating Child Friendly Cities. In B. Gileeson & N. Sipe (Eds.), Creating Child Friendly Cities: Reinstating Kids in the City (pp. 121-135). New York: Routledge. Trell, E.-M., & Van Hoven, B. (2010). Making Sense of Place: Exploring Creative and (Inter)Active Research Methods with Young People. FENNIA, 188(1), 91-104. Tuan, Y. F. (1974). Topophilia: A Study of Environmental Perception, Attitudes and Values. Engliewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
255
Tuan, Y. F. (1977). Space and Place: The Perspective of Experience. London: Edward Arnold. Twigger-Ross, C., Bonaiuto, M., & Breakwell, G. (2003). Identity Theories and Environmental Psychology. In M. Bonnes, T. Lee & M. Bonaiuto (Eds.), Psychological Theories for Environmental Issues. England Ashgate Publishing Limited. Tzubota, Y., & Chen, Z. (2012). How Do Young Children's Spatio-Symbolic Skills Change Over Short Time Scales? Journal of Experimental Child Psychology, 111, 1-21. Ujang, N. (2008). Place Attachment, Familiarity and Sustainability of Urban Place Identity. Paper presented at the 21st EAROPH World Planning & Human Settlement Congress & Mayors' Caucus, Japan. Ujang, N. (2012). Place Attachment and Continuity of Urban Place Identity. Procedia Social and Behavioral Sciences, 49, 156-167. UNICEF. (2009). Child Friendly Cities Fact Sheet, September 2009. from http://www.childfriendlycities.org/ Valentine, G. (1996). Angels and Devils: Moral Landscapes of Childhood. Environment and Planning D: Society and Space, 14(5), 581-599. Vaske, J. J., & Kobrin, K. C. (2001). Place Attachment and Environmentally Responsible Behavior. The Journal of Environmental Education, 32(4), 16-21. Veitch, J., Salmon, J., & Ball, K. (2007). Children's Perceptions of the Use of Public Open Spaces for Active Free-Play. Children's Geographies, 5(4), 409-422. Vuuren, v. R. (2007). Beyond Attachment Theory. Collection du Cirp, 1, 231-250.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
256
Watkins, N. (2007). Mirror, Mirror on the Wall: Ambiguous Place Attachment and the Vietnam Veterans Memorial. Paper presented at the the 38th Annual Conference of the Environmental Design Research Association, Sacramento, California. Webster, H. (2011). Bourdieu for Architects. London and New York: Routledge. Weiss, R. S. (1991). The Attachment Bond in Childhood and Adulthood. In C. M. Parkes, J. Stevenson-Hinde & P. Marris (Eds.), Attachment Across The Life Cycle (pp. 66-76). London & New York: Routledge. Welsh, T. (2013). The Child as Natural Phenomenologist: Primal and Primary Experience in Merleau-Ponty's Psychology. Evanston, Illinois: Northwestern University Press. Williams, M., Jones, O., Fleuriot, C., & Wood, L. (2005). Children and Emerging Wireless Technologies: Investigating the Potential for Spatial Practice. Paper presented at the SIGCHI Conference on Human Factors in Computing Systems, Oregon. Woldoff, R. A. (2001). The Effects of Local Stressors on Neighborhood Attachment. Social Forces, 81(1), 87-116. Zeiher, H. (2003). Shaping Daily Life in Urban Environments. In P. Chistensen & M. O'Brien (Eds.), Children in the City: Home, Neighborhood and Community (pp. 29-45). London & New York: Routledge. Zeiher, H. (2009). Institutionalization as a Secular Trend. In J. Qvortrup, W. A. Corsaro & M.-S. Honig (Eds.), The Palgrave Handbook of Childhood Studies (pp. 127139). London: Palgrave Macmillan.
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
257
Lampiran 1: Hasil kuesioner awal proses penjaringan partisipan
Rekap aktivitas anak-anak setelah pulang sekolah
Rekap lokasi aktivias anak-anak setelah pulang sekolah
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
258
Lampiran 2: Hasil kuesioner awal proses penjaringan partisipan yang menggunakan ruang terbuka dan memiliki tempat favorit
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
259
Lampiran 3: Pertanyaan Wawancara
I.
Pengetahuan tentang lingkungan rumah tinggal 1. Mohon kalian ceritakan ke saya apa yang kalian gambar ini. 2. Konfirmasi lagi kegiatan/aktivitas yang suka dilakukan di luar rumah/tempat terbuka dan lokasinya.
II.
Keseharian 1. Aktivitas dan lokasi aktivitas sehari-hari (pada hari sekolah dan akhir pekan)
III.
Persepsi tentang lingkungan rumah tinggal 1. Apa pendapat kalian tentang lingkungan rumah tinggal kalian? 2. Apakah kalian suka bermain di luar rumah? Ya/tidak? Mengapa? 3. Seberapa sering main di luar rumah? Ke mana mainnya? Sama siapa? Naik apa ke sana? Kapan biasanya? 4. Apakah kalian diijinkan orang tua pergi bermain sendiri di luar rumah? Ya/tidak? Mengapa? 5. Apakah orang tua mengijinkan kalian pergi bermain di luar rumah? 6. Apakah ada tempat-tempat di luar rumah, dimana kalian dapat bermain, berolahraga, bertemu teman? Ada/tidak ada? Di mana? Di jalan, lapangan, taman? 7. Apakah kalian berinteraksi dengan teman sebaya lain di luar rumah? 8. Apakah kalian berinteraksi dengan orang yang lebih tua (orang dewasa)? 9. Sejauh mana kalian diijinkan orang tua untuk bermain sendiri di luar rumah? 10. Apakah kalian takut bila harus bepergian disekitar rumah untuk bermain sendirian? 11. Apakah ada hal-hal lain yang ingin kalian ceritakan mengenai lingkungan rumah kalian? 12. Apakah ada hal-hal yang kalian inginkan dari lingkungan rumah tinggal kalian tetapi saat ini belum ada?
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
260
Lampiran 3: Pertanyaan Wawancara (lanjutan) IV.
Tempat
favorit
(tempat
yang
menyenangkan,
menggembirakan,
memuaskan, aman) 1. Apakah kalian mempunyai tempat-tempat favorit? Tempat yang memberi rasa aman, menyenangkan, menggembirakan, memuaskan? 2. Apa arti/makna tempat favorit itu bagi kalian? 3. Bisakah kalian menyebutkan nama dan di mana letak tempat-tempat favorit tersebut? 4. Apa yang kalian suka atau tidak suka dari tempat favorit tersebut? 5. Apa motivasi kalian ke sana? Material culture of place: 6. Apa saja yang ada di tempat favorit tersebut sehingga menjadi begitu menyenangkan bagi kalian? (penjelasan mengenai apa yang ada pada tempat tersebut
dapat
meliputi:
apakah
ada
binatangnya?
Apakah
ada
pepohonannya? Apakah karena cuaca di tempat tersebut? Apakah karena bau-bauan di tempat tersebut? Apakah karena orang-orang yang ada di tempat itu? Apakah karena ada teman bermain disana? Apakah karena kebebasan untuk melakukan apa saja di tempat tersebut? Apakah karena kalian merasakan manfaat berada di sana? Atau apa? Movement (any spatial displacement of the body or bodily parts initiated by the person himself or herself): habitual movement, time space routine (a set of habitual body behaviors which extend through a considerable portion of time), body ballet (a set of integrated gestures and movements which sustain a particular task or aim): 7. Bagaimana cara kalian ke sana/transportasi pergerakkan? Jalan kaki? Naik sepeda? Naik mobil? Rute menuju ke sana? Order/urutan? Tempat asal – tempat tujuan – everyday movement.
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
261
Lampiran 3: Pertanyaan Wawancara (lanjutan) 8. Apa yang kalian kerjakan/lakukan di tempat tersebut? – moving in space? 9. Apa yang menjadi pusat kegiatan (centering), batas, teritori? – centering? 10. Apakah kalian merasakan manfaat atau kegunaan dengan menggunakan tempat itu? 11. Apakah kalian bebas melakukan apa saja yang kalian inginkan di tempat tersebut? 12. Dengan siapa kalian pergi di tempat tersebut? 13. Dengan siapa kalian berinteraksi di tempat itu? 14. Apakah kalian diijinkan untuk pergi ke tempat tersebut sendirian? Harus ditemani? 15. Apa yang kalian perhatikan pada saat kalian pergi menuju kesana? – noticing? 16. Apa yang menjaga rutinitas berkegiatan disana? Apa motivasinya? Rest: any situation in which the person or an object with which he or she has contact is relatively fixed in place and space for a longer or shorter period of time. 17. Apa yang diperhatikan pada saat bergerak/berkegiatan disana? – noticing? 18. Apa yang dilakukan di sana? Di mana? Dengan siapa? Berapa lama? Dengan apa? 19. Seberapa sering kalian mengunjungi tempat tersebut? 20. Sejak kapan kalian sudah menyenangi tempat tersebut? 21. Apa yang membuat kalian berada dan beraktivitas di tempat tersebut? 22. Apa yang kalian rasakan pada saat berkegiatan disana? Kenyamanan? Rasa memiliki? Kebebasan? Relaksasi? Kesenangan? Keramahan? Dukungan? Kebersamaan dengan tempat? Di mana? Dengan siapa? Dengan apa? 23. Apakah kalian merasa ada area/teritori di mana selalu disana kalian beraktivitas? 24. Apakah ada area di mana kalian bebas beraktivitas atau dibatasi/dilarang?
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
262
Lampiran 3: Pertanyaan Wawancara (lanjutan)
25. Apa yang menjadi tanda berkegiatan di sana telah berakhir? Encounter: any situation of attentive contact between the person and the world at hand. 26. Apa yang menarik perhatian kalian pada saat kalian berjumpa dengan tempat tersebut? 27. Apa yang dipikirkan kalian pada saat kalian berada di tempat itu? 28. Apa perasaan kalian pada saat kalian berjumpa dengan tempat tersebut? 29. Apa perasaan kalian bila kalian harus meninggalkan tempat tersebut? 30. Apa perasaan kalian bila tempat tersebut hilang atau rusak atau ada gangguan terhadap terpat itu? 31. Apakah kalian memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di tempat itu? Apa tanggapan kalian terhadap perubahan-perubahan itu? 32. Apakah kalian peduli dengan tempat tersebut? 33. Apakah kalian rela menjaga dan membersihkan tempat tersebut? 34. Bagaimana cerita perjumpaan kalian dengan tempat itu? 35. Bagaimana perasaan kalian terhadap tempat itu dibandingkan beberapa waktu lalu? (growing?) 36. Apakah ada pengalaman baru setiap kali beraktivitas disana? V.
Tempat yang tidak favorit (tempat yang tidak menyenangkan, tidak menggembirakan,
tidak
memuaskan,
tidak
aman,
menakutkan,
menggelisahkan) 1. Apakah ada tempat-tempat yang kalian tidak suka, karena tidak menyenangkan, kalian hindari? Ya? Di mana? Tidak? Mengapa? 2. Bisakah kalian menyebutkan nama dan di mana letak tempat-tempat yang negatif tersebut?
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
263
Lampiran 3: Pertanyaan Wawancara (lanjutan)
Material culture of place: 3. Apa saja yang ada di tempat tersebut sehingga menjadi begitu tidak menyenangkannya bagi kalian? (penjelasan mengenai apa yang ada pada tempat tersebut dapat meliputi: apakah karena ada binatangnya? Apakah karena pepohonannya? Apakah karena cuacanya? Apakah karena bau-bauan di tempat tersebut? Apakah karena orang-orang yang ada di tempat itu? Apakah karena tidak ada teman bermain di sana? Atau apa? mohon kalian tuliskan)
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
264
Lampiran 4. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Jadwal pelaksanaan penelitian tahap 1 dan 2
Jadwal pelaksanaan penelitian tahap 3
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
265
Lampiran 5: Lokasi Rumah Tinggal Partisipan Terhadap Sekolah
Lokasi rumah tinggal partisipan terhadap Sekolah Ketapang I
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
266
Lampiran 5: Lokasi Rumah Tinggal Partisipan Terhadap Sekolah (lanjutan)
Lokasi rumah tinggal partisipan terhadap Sekolah Cinta Kasih
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
267
Lampiran 6: Waktu dan tempat aktivitas partisipan selama hari sekolah dan akhir pekan
Waktu dan tempat aktivitas partisipan selama hari sekolah
Waktu dan tempat aktivitas partisipan selama akhir pekan (Sabtu-Minggu)
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
Ema
7
Strict
Strict Strict
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
Moderate
Moderate
12 Lala
13 Luna
Moderate
Yona Bety
5 6
Strict
11 Ibra
Siska
4
Strict
Moderate Moderate Moderate
Dona
3
Strict
8 Tim 9 Amran 10 Fadli
David
2
Renggang
Renggang
Renggang
Padat Renggang Renggang
Padat
Padat Padat
Padat
Padat
Padat
Banyak
Banyak
Banyak
Banyak Banyak Banyak
Kurang
Kurang Kurang
Kurang
Kurang
Kurang
Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Tidak terungkap Tidak terungkap Terungkap Tidak terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Tidak terungkap Terungkap Terungkap Tidak terungkap Tidak terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Tidak terungkap Terungkap Terungkap Tidak terungkap Terungkap Tidak terungkap Terungkap Tidak terungkap Tidak terungkap Terungkap Terungkap Tidak terungkap Tidak terungkap
sendiri sendiri orang tua orang tua orang tua orang tua orang tua orang tua teman orang tua orang tua orang tua orang tua orang tua orang tua teman orang tua teman sendiri teman teman teman teman teman teman sendiri teman teman teman teman sendiri teman teman teman
5-30 menit 30 menit-1 jam 1-2 jam 2-3 jam atau lebih 2-3 jam atau lebih 2-3 jam atau lebih 2-3 jam atau lebih 2-3 jam atau lebih 1-2 jam > 8 jam 2-3 jam atau lebih 1-2 jam 1-2 jam 2-3 jam atau lebih 30 menit-1 jam 30 menit-1 jam 2-3 jam atau lebih 1-2 jam 30 menit-1 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 30 menit-1 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 2-3 jam atau lebih 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 2-3 jam atau lebih
Warung 1-2 kali/mgg Jalan (bersepeda) 1-2 kali/mgg Kolam renang Apt. Bellmont 3-6 kali/tahun Rumah nenek 1-2 kali/mgg Mal (GM, Cibubur, CP, TA) 1-2 kali/mgg Rumah sepupu di BSD 3-6 kali/tahun Mal (GM, CP, TA, Bay Walk) 2-3 kali/bulan Gramedia 1-2 kali/bulan Rumah teman 1-2 kali/bulan Rumah sendiri setiap hari Mal CP 1-2 kali/bulan Kolam renang GM 1-2 kali/bulan Kolam renang PIK-FIT 1 kali/mgg Kolam renang Splash 3-6 kali/tahun Jalan (bersepeda) 1-2 kali/bulan Jalan (bersepeda) di 1-2 kali/mgg lingk.rumah oma Mal (CP, TA, GM) 1-2 kali/bulan Kolam renang Bunda Mulia 1 kali/mgg Bunderan setiap hari Lapangan futsal 3-5 kali/mgg Lapangan rumput (bola) 3-5 kali/mgg Warnet 3-5 kali/mgg Lapangan futsal 3-5 kali/mgg Lapangan rumput (bola) 3-5 kali/mgg Warnet 3-5 kali/mgg Warung cincau 3-5 kali/mgg Taman 1-2 kali/mgg Green Court 1-2 kali/bln Koridor rumah Lulu 3-5 kali/mgg Jalan (main motor) 3-5 kali/mgg Lapangan rumput setiap hari Green Court 1-2 kali/bln Koridor rumah Lulu setiap hari Jalan (main motor) 3-5 kali/mgg
Terungkap Terungkap
Perjumpaan Data Tahap II* (encounter ) Okt-Des 2013
orang tua teman sendiri
Frekuensi Durasi berdiam pergerakkan (resting ) (movement )
Plaza 3-6 kali/tahun 1-2 jam Rumah teman 1-2 kali/bulan 30 menit-1 jam Jalan (bersepeda/sepatu roda) 1-2 kali/bulan 30 menit-1 jam
kelekatan pada tempat Partisipan Kondisi Spasial Peer (tempat favorit) (nama Familalisasi Lingkungan support disamarkan) 1 Hani Moderate Padat Kurang Kolam renang Gajah Mada
lekat lekat
lekat
lekat
lekat lekat
lekat lekat lekat lekat
lekat lekat lekat
lekat lekat lekat lekat lekat
lekat
lekat lekat lekat
lekat lekat
lekat
Sifat lekat
Sifat lekat
lepas masih lekat lepas masih lekat lepas
masih lekat lepas lepas lekat lekat lepas lekat masih lekat lepas masih lekat
9x lekat n/a n/a tidak ada catatan masih lekat masih lekat lekat tidak ada catatan masih lekat masih lekat lekat 64x masih lekat 25x lekat 2x masih lekat 10x lekat 8x lekat 24x masih lekat 4x masih lekat 36x lekat 4x lekat
tidak ada catatan 0x 0x 13x 36x 1x 16x tidak ada catatan 0x setiap hari n/a 0x 6x 0x 3x 0x
0x lepas tidak ada catatan masih lekat tidak ada catatan masih lekat
Data Tahap III ** Maret-18 Juni 2014
268
Lampiran 7: Data Kelekatan Partisipan dan Ruang Kota Favorit
Universitas Indonesia
Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
Moderate
Moderate
Moderate Moderate
Strict
Strict
Moderate Moderate
17 Iksan
18 Fiko
19 Ricky 20 Moris
21 Via
22 Chelsea
23 Elina 24 Kris
Renggang
Renggang Renggang
Renggang
Padat
Renggang Renggang
Renggang
Renggang
Renggang
Renggang
Banyak
Banyak Banyak
Kurang
Banyak
Banyak Banyak
Banyak
Banyak
Banyak
Banyak
'Pohon Ceri' Saluran air Rumah teman (Nico) 'Pohon Ceri' Saluran air Rumah teman (Nico) Lapangan rumput (bola) Lapangan rumput (bola) Jalan Lapangan futsal Taman Lingkungan Tempat dagangan Tempat dagangan + main dg teman di lapangan Kebun Sayur Taman Vihara Bogor 'Pohon Ceri' tempat les Lapangan rumput (bola) Lapangan voli 'Taman Bunglon' 'Jalan balap' 'Sawah' Kolam renang Splash Mal Puri 1-2 kali/mgg 3-6 kali/thn 3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 1-2 kali/mgg 1-2 kali/mgg 1-2 kali/mgg 1-2 kali/bln 1-2 kali/bln
3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 1-2 kali/mgg 3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 3-5 kali/mgg 1-2 kali/mgg setiap hari 1-2 kali/bln 5-30 menit 2-3 jam atau lebih 5-30 menit 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 2-3 jam atau lebih
5-30 menit 5-30 menit 1-2 jam 5-30 menit 5-30 menit 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 5-30 menit > 8 jam 30 menit-1 jam
1-2 jam 1-2 jam
sendiri orang tua teman teman teman sendiri sendiri sendiri orang tua orang tua
sendiri sendiri sendiri sendiri sendiri sendiri orang tua sendiri sendiri teman sendiri orang tua sendiri
support:
Cukup s/d banyak: 3-10 teman
Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Tidak terungkap Tidak terungkap
Terungkap Tidak terungkap Tidak terungkap Terungkap Tidak terungkap Tidak terungkap Terungkap Terungkap Terungkap Tidak terungkap Terungkap Tidak terungkap Tidak terungkap lekat lekat lekat lekat lekat lekat lekat lekat
lekat
lekat lekat lekat
lekat
lekat
Terungkap lekat Tidak terungkap
1-2 kali/mgg 1-2 kali/mgg
Kapel & halamannya Gereja
orang tua orang tua
Tidak terungkap Terungkap lekat Tidak terungkap
3-5 kali/mgg 2-3 jam atau lebih teman 1-2 kali/bulan 30 menit-1 jam teman 1 kali/mgg 1-2 jam teman
* Sumber data berdasarkan wawancara dengan informan berdasarkan pengalaman masa lalu (mengandalkan ingatan/memori) ** Sumber data mengandalkan pengisian catatan harian (time-log) dan wawancara n/a Tidak ikut berpartisipasi di tahap 3 (Maret-Juli 2014) Kurang (0-2 teman) Peer
Strict
Moderate
16 Fani
25 Kevin
Moderate
15 Rina
Terungkap lekat Terungkap lekat Tidak terungkap Tidak terungkap
sendiri teman teman teman
1-2 jam 1-2 jam 1-2 jam 2-3 jam atau lebih
setiap hari 1-2 kali/bln setiap hari 1-2 kali/bulan
Green Court Koridor rumah Lulu Rumah teman (Kampung Gusti) Jalan (main motor) 'Pohon perosotan' 'mobil pintar'
Sifat lekat
Perjumpaan Data Tahap II* (encounter ) Okt-Des 2013
Frekuensi Durasi berdiam pergerakkan (resting ) (movement )
kelekatan pada tempat Partisipan Kondisi Spasial Peer (tempat favorit) (nama Familalisasi Lingkungan support disamarkan) 14 Sara Moderate Renggang Banyak Lapangan rumput
masih lekat masih lekat
lekat masih lekat lekat
masih lekat masih lekat lekat lekat
Sifat lekat
lepas lekat lekat tidak ada catatan lepas lekat lekat n/a tidak ada catatan lepas lepas lekat 0x lepas 98x lekat lekat 8x n/a n/a n/a n/a n/a 24x masih lekat masih lekat masih lekat 4x lekat 4x lekat
11x 6x tidak ada catatan (2x terlihat saat observasi) 3x 11 x termasuk misa minggu dan tugas tidak ada catatan
40x 4x 50x 6x
Data Tahap III ** Maret-18 Juni 2014
269
Lampiran 7: Data Kelekatan Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan)
Universitas Indonesia
270
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit
1. Hani
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
271
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 2.
David
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
272
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 3.
Dona
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
273
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 4.
Siska
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
274
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 5.
Yona
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
275
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 6.
Bety
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
276
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 7.
Ema
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
277
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 8.
Tim
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
278
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 9.
Amran
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
279
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 10. Fadli 11. Ibra
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
280
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 12. Lala, 13. Luna, 14. Sara
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
281
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan)
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
282
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 15. Rina
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
283
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 16. Fani
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
284
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 17. Iksan 18. Fiko
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
285
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 19. Ricky 20. Moris
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
286
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 21. Via
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
287
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 22. Chelsea
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
288
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 23. Elina
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
289
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 24. Kris
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.
290
Lampiran 8: Lingkungan Rumah Tinggal Partisipan dan Ruang Kota Favorit (lanjutan) 25. Kevin
Universitas Indonesia Place habit..., Susinety Prakoso, FT UI, 2015.