UNIVERSITAS INDONESIA
PENILAIAN CAGAR BUDAYA ISTANA MAIMUN
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaiora
LOLITA REFANI LUMBAN TOBING 0606086571
PROGRAM STUDI ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JULI 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PENILAIAN CAGAR BUDAYA ISTANA MAIMUN
SKRIPSI
LOLITA REFANI LUMBAN TOBING 0606086571
PROGRAM STUDI ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JULI 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Lolita Refani Lumban Tobing
NPM
: 0606086571
Tanda Tangan :
Tanggal
: 17 Juli 2012
iii Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
KATA PENGANTAR
Pertama kali saya ucapkan rasa terima kasih, hormat, dan sayang kepada kedua orang tua tercinta ibunda (Desy Irany), ayah (Bontor Lumban Tobing) atas pengorbanan tak terkira yang selama ini dilakukan untuk mengantarkan saya ke jenjang pendidikan yang setinggi-tingginya. Ucapan rasa sayang dan terima kasih juga tak lupa saya sampaikan pada seluruh anggota keluarga Melani Tobing S.E, Lusinda Tobing S.E, Nola Friyanti Tobing S.P, Juan Freddy Tobing S.H, Brian Reza Tobing, dan Tita Maharani Tobing atas semua doa dan dukungan yang diberikan selama saya menimba ilmu di Universitas Indonesia. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Humaniora pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dalam rangka mengerjakan skripsi ini penulis menyadari bahwa banyak rintangan, hambatan dan kesulitan yang tidak mudah untuk dilalui tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu meskipun tidak semuanya pihak dapat disebutkan dalam ketikan yang singkat ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Supratikno Rahardjo M.Hum selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya dalam mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada dosen-dosen penguji; Dr. Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan M.Si dan Dr. Kresno Yulianto Soekardi S.S., M.Hum yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan kritikan dan masukan yang sangat penting bagi skripsi ini. 2. Terima kasih kepada dosen-dosen pengajar yang telah memberikan dan menyalurkan ilmunya, selama enam tahun saya menimba ilmu di jurusan arkeologi. Ilmu pengetahuan
merupakan harta tak terkira yang beliau-beliau
wariskan kepada saya. 3. Pihak-pihak yang telah membantu di dalam penyusunan skripsi ini: Archangela Yudi Aprianingrum, M.Hum dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Arkeologi Medan, Badan Warisan Sumatera, Dian Sulistyowati M.Hum, Annisa
iv Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Gultom S.Hum, M.A, Andriyati Rahayu M.Hum, Mirza Ansyori S.Hum, M.Sc yang memberikan data serta koreksi terhadap penulisan skripsi ini. 4. Teman-teman saya sejak kecil Ruth Sianturi S.Psi, Ns. Bunga Theresia Purba S.K, Putri Christina Tobing S.K, Putri Sitompul S.Kom, Swasti Tobing yang selalu menemani dan mengingatkan saya untuk menyelesaikan skripsi. 5. Sahabat-sahabat dari jurusan Arkeologi yang selalu menyemangati hingga membantu secara finansial hingga skripsi ini dapat selesai: Rizky Fardhyan S.Hum sang ketua angkatan, Anjali Nayenggita, Clara Agustin S.Hum, Virta Permata Sari S.Hum, Agung Nugraha S.Hum, Yogi Abdi Nugroho, Agnilasa Pratiko S.Hum, Hutomo Putra S.Hum, Tornado Gregorius S.Hum, Zulfikar Fauzi S.Hum, Ario Febrianto S.Hum, Jaka Marsita, Achmad Ghazali S.Hum, Alvin Abdul Jabar S.Hum, Edi Gunawan S.Hum, Kemas Andrey, Prayogi Ari, Yusi Bimantoro, Widya S.Hum, Felisiani Thanti S.Hum, Juniawan Dahlan S.Hum, Ninik Setrawati S.Hum, Kanya Suhita S.Hum, Ariesta S.Hum, Chaidir Ashari S.Hum, Suci Septiani S.Hum, dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. 6. Teman-teman Kosan, Ns. Ully Samosir S.K, Rabiah Al Adawiyah M.Sos, Ria Sinaga, Vebrina Sari Sihombing S.Sos, dan Anggreini Ginting yang selalu menemani saat pengumpulan data skripsi ini sedang berlangsung. Akhir kata, saya berharap semoga Tuhan berkenan membalas segala kebaikan semua pihak-pihak yang membantu penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pengembangan ilmu Arkelogi pada khususnya dan berbagai bidang ilmu lain pada umumnya.
Depok, 5 Juli 2012
Lolita Refani Lumban Tobing
v Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
ABSTRACT
Name
: Lolita Refani Lumban Tobing
Dicipline
: Arkeologi
Title
: Assessing Cultural Heritage, Maimun Palace
This thesis discusses about criteria and indicators of the importance or significance of cultural heritage. Criteria and indicators are obtained by referring to the opinion of the Indonesian researchers and foreign terms. This thesis used qualitative assessment method by puting symbol "v" if the criteria is fulfill, and the symbol "-" if the criteria aren’t or not considered yet. Significance of the measurement scale using the scale of the administrative procedures in accordance with the provisions of Law no. 11 of 2010 about Cultural Heritage, the city/county, provincial, and national levels. Conclusions drawn by comparing the number of assessment criteria is met the value of each rating scale. The study was a descriptive qualitative research design. The study recommends the Maimun Palace to be a provincial cultural heritage, because its significance is more representative of the interests of the province Key words : Assessment, cultural heritage, criteria, indicator
vii Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
ABSTRAK
Nama
: Lolita Refani Lumban Tobing
Program Studi : Arkeologi Judul
: Penilaian Cagar Budaya Istana Maimun
Skripsi ini membahas mengenai kriteria dan indikator nilai penting atau signifikansi cagar budaya. Kriteria dan indikator tersebut diperoleh dengan mengacu pada pendapat para peneliti Indonesia dan juga ketentuan-ketentuan asing. Metode penilaian yang digunakan adalah metode penilaian kualitatif dengan menggunakan symbol “v” jika suatu kriteria terpenuhi, dan symbol “-“ jika suatu kriteria dianggap belum atau tidak terpenuhi. Skala pengukuran signifikansi nilai menggunakan skala wilayah administrasi yang berlaku sesuai dengan ketentuan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu kota/kabupaten, provinsi, dan nasional. Kesimpulan penilaian diambil dengan membandingkan jumlah kriteria nilai yang terpenuhi dari setiap skala penilaian. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian merekomendasikan Istana Maimun untuk menjadi cagar budaya provinsi, karena signifikansinya lebih mewakili kepentingan wilayah provinsi. Kata kunci : Penilaian, cagar budaya, kriteria, indikator
viii Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ========================================================== Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawahini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis karya
: : : : : :
Lolita Refani Lumban Tobing 0606086571 Arkeologi Arkeologi Ilmu Pengetahuan Budaya Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : ” Penilaian Cagar Budaya Istana Maimun” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNoneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Depok Pada tanggal: 17 Juli 2012 Yang menyatakan
(Lolita Refani Lumban Tobing)
vi Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................. ii HALAMAN PERNYATAAN ORIGINALITAS ...................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................. v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................ vii ABSTRAK .................................................................................................... viii ABSTRACT ................................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................ x
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1. Latar Belakang................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 5 1.3. Manfaat dan Tujuan Penulisan .......................................................... 7 1.4. Metode Penelitian .............................................................................. 8 1.5. Batasan Penelitian ............................................................................. 12 1.5. Sistematika Penulisan ........................................................................ 12
BAB 2. KETENTUAN DAN KAJIAN SEBELUM UU CB TAHUN 2010 2.1. Kategori Cagar Budaya .................................................................... 14 2.2. Kriteria Nilai Penting Cagar Budaya ................................................. 14 2.3. Penetapan Cagar Budaya ................................................................... 15 2.4. Contoh-contoh Kajian ........................................................................ 16 2.4.1 Timbul Haryono
.................................................................. 16
2.4.2 Hari Untoro Dradjat ............................................................. 19 2.4.3 Daud Aris Tanudirdjo ........................................................... 21 2.4.4 Mundardjito ............................................................................. 24 2.4.5 Yudi Suhartono ....................................................................... 27 2.4.6 Supratikno Rahardjo ............................................................... 31 ix Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
2.5. Tinjauan dan Simpulan ...................................................................... 31 2.5.1 Konsep dan Definisi Istilah yang Digunakan ......................... 29 2.5.2 Perbandingan kriteria dan Metode Pengukuran Yang Digunakan Peneliti ..................................................................... 35
BAB 3. KETENTUAN MENURUT UU RI NO. 11 TENTANG CAGAR BUDAYA DAN MENURUT KETENTUAN DI BEBERAPA NEGARA LAIN 3.1. UU RI No. 11 Tahun 2010 .............................................................. 38 3.1.1. Kategori Cagar Budaya ......................................................... 38 3.1.2. Bangunan Cagar Budaya ......................................................... 39 3.1.3. Kriteria Nilai Penting ............................................................ 39 3.1.4. Kriteria Pemeringkatan .......................................................... 42 3.1.5. Prosedur Penetapan ............................................................... 43 3.2. Ketentuan Asing ............................................................................... 45 3.2. 1. UNESCO .............................................................................. 45 3.2. 2. Amerika Serikat ..................................................................... 49 3.2. 3. Cina ..................................................................................... 52 3.2. 4. Inggris ................................................................................... 55 3.2. 5. Jepang ................................................................................... 58 3.3. Tinjauan ............................................................................................. 63 3.3.1. Konsep dan Sistem Penilaian Warisan Budaya ...................... 63 3.3.2. Kriteria dan kategori Warisan Budaya ................................. 66 3.3.3. Metode Penilaian Cagar Budaya untuk kategori bangunan . 70 1. Definisi dan Kategori Bangunan Cagar Budaya .................... 70 2. Kriteria Awal Bangunan Cagar Budaya ................................ 70 3. Indikator Penilaian Kriteria Awal .......................................... 71 a. Nilai Sejarah ...................................................................... 72 b. Nilai Ilmu Pengetahuan ..................................................... 75 c. Nilai Agama ....................................................................... 78 d. Nilai Pendidikan ................................................................ 78 e. Nilai Kebudayaan .............................................................. 79 x Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
4. Kriteria Tambahan untuk kategori Bangunan Cagar Budaya .................................................................................... 80
BAB 4. PENILAIAN DAN PEMERINGKATAN CAGAR BUDAYA ISTANA MAIMOON MEDAN .................................................................. 81 4.1. Identifikasi Nilai Sejarah ................................................................ 81 1. Peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan Istana Maimoon ......................................................................... 81 2. Tokoh sejarah ............................................................................. 83 4.2. Identifikasi Nilai Ilmu Pengetahuan ............................................... 84 4.3. Identifikasi Nilai Agama ................................................................. 122 4.4. Identifikasi Nilai Kebudayaan ........................................................ 123
BAB 5. Kesimpulan 5.1. Hasil Evaluasi Nilai Istana Maimun ............................................... 127 5.2. Penilaian Cagar Budaya Tidak Dapat Dilakukan Oleh Satu Bidang Ilmu.................................................................... 128 5.3. Pemeringkatan Tidak Hanya Membahas Masalah Signifikansi Informasi ......................................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 129 LAMPIRAN ................................................................................................. 135
xi Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masyarakat terus berkembang, demikian pula perkembangan tersebut sebanding dengan kebutuhan mereka yang semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pihak pengembang baik pemerintah maupun swasta terus-menerus mengadakan pembangunan terhadap fisik kota. Pembangunan fisik yang semakin cepat ini tidak mungkin dapat dihindari karena semakin lama banyak pihak yang membutuhkannya. Sebagaimana adanya, sebuah perubahan selalu memberikan dampak positif dan negatif, dan dalam hal ini salah satu dampak negatif dari cepatnya pembangunan fisik tersebut adalah banyaknya pihak yang menjadi tidak atau kurang peduli terhadap kelestarian bangunan-bangunan peninggalan sejarah dan purbakala (Nurbaiti, 1998: 475). Pembangunan fisik yang terus-menerus berlangsung seringkali menjadi penyebab kerusakan, hilangnya, dan hancurnya data arkeologi yang diperlukan untuk dapat memahami masyarakat dan kebudayaan masa lalu (Mundardjito, 1995: 2). Data arkeologi perlu dilestarikan untuk kepentingan penelitian di masa mendatang ataupun untuk memupuk kesadaran terhadap pentingnya sejarah guna memperkokoh jati diri sebagai bangsa. Gerakan perlindungan terhadap benda-benda arkeologi muncul pada awal abad ke-20. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, gerakan perlindungan ini semakin gencar karena tingginya angka kerusakan tinggalan arkeologi akibat perang dan tingginya angka pembangunan. Selanjutnya gerakan perlindungan terhadap benda cagar budaya di selaraskan dengan gerakan perlindungan cagar alam (Renfrew & Bahn, 2004: 165-166). Dalam usaha pelestariannya, benda tinggalan arkeologi, secara legal disebut dengan berbagai istilah; cultural property di Amerika, 文化財 (dibaca bunkazai) di Jepang, heritage di Inggris, 문화 유산 (dibaca munhwa yusan) di Korea, 文物 古籍 (dibaca Wénwù gǔjí) dan cagar budaya di Indonesia. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), badan PBB yang khusus menangani permasalahan dunia yang berkaitan dengan
1 Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
2
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan pada tahun 1954 meluncurkan sebuah kampanye internasional yang bertujuan untuk melindungi tinggalantinggalan masa lalu. Pada tahun 1972, dikeluarkan Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage yang menandai dimulainya pendaftaran tinggalan-tinggalan masa lalu yang dianggap sangat luar biasa. Daftar tinggalan masa lalu tersebut kemudian diberi nama World Cultural Heritage atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai warisan budaya dunia atau pusaka budaya dunia. Pemerintah Indonesia sendiri menyebut tinggalan-tinggalan masa lalu yang patut dilindungi dengan istilah benda cagar budaya. Penggunaan istilah tersebut tecantum dalam UU No. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Namun setelah ditetapkannya UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar budaya untuk menggantikan UU No. 5 tahun 2010, istilah benda cagar budaya pun diganti dengan istilah cagar budaya. Sesuai dengan UU No. 11 tahun 2010, untuk selanjutnya istilah cagar budaya hanya akan digunakan untuk menyebut benda, struktur, bangunan, situs, dan kawasan budaya yang terdapat di Indonesia dan statusnya sudah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan benda, struktur, bangunan, situs, dan kawasan budaya yang statusnya belum ditetapkan secara resmi disebut dengan istilah tinggalan budaya masa lalu. Untuk tinggalan masa lalu asing yang sudah ditetapkan statusnya, seperti cultural property, bunkazai, heritage, munhwa yusan, dan wénwù gǔjí selanjutnya akan diterjemahkan dengan istilah warisan budaya, mengikuti terjemahan istilah world heritage yang sudah lazim digunakan. Sebelum memiliki status sebagai warisan budaya, tinggalan-tinggalan masa lalu selalu didahului dengan proses penilaian dan penetapan. Penetapan nilai menjadi sangat penting dalam pengelolaan warisan budaya karena nilai adalah alasan utama mengapa cagar budaya dilestarikan. Nilai membuat suatu benda menjadi penting bagi yang lain, dan nilai menjadi alasan mengapa suatu cagar budaya harus dipertahankan (Avrami, dkk, 2000: 7). Menurut Michael Pearson dan Sharon Sullivan dalam ”Looking After the Heritage Places”, terdapat tiga alasan mengapa penetapan nilai warisan budaya penting untuk dilakukan.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
3
1. Penetapan nilai warisan budaya dapat menjembatani perbedaan sudut pandang antara pihak-pihak yang terkait mengenai seberapa penting suatu warisan budaya dapat dipertahankan. 2. Penetapan nilai warisan budaya berkaitan dengan usaha pelestarian warisan budaya itu sendiri, yaitu untuk mengetahui hal-hal yang paling atau cukup penting untuk dilestarikan dan juga untuk mengetahui nilai-nilai tambahan apa saja yang dapat diperoleh 3. Tanpa penentuan nilai penting, sebenarnya tidak mungkin ditentukan tindakan atau perlakuan untuk pemugaran dan pelestariannya, karena pada hakekatnya tujuan pelestarian itu sendiri adalah mempertahankan nilai penting warisan budaya agar tidak hilang atau berkurang (Pearson and Sullivan, 1995: 126131). Secara umum, hampir seluruh negara di dunia setuju bahwa suatu warisan budaya dilestarikan karena dianggap mewakili karya cipta manusia dengan nilai penting tertentu. Namun setiap negara, yayasan, dan peneliti memiliki pemikiran tersendiri mengenai kriteria suatu warisan budaya. Nilai warisan budaya memang bersifat multi-dimensional, kualitatif, subjek tif, dan berubah-ubah seiiring waktu (David Throsby, 2006: 43). Lalu jika dalam ilmu ekonomi nilai diukur dengan mata uang, dalam ilmu sosial nilai diukur dengan perilaku, dan dalam ilmu matematika nilai diukur dengan satuan pengukuran, apa yang menjadi satuan pengukuran nilai cagar budaya? Jawabannya adalah batas-batas yang diciptakan oleh subjek
penilai
cagar budaya. McGimsey dan Davis (1977) dalam buku mereka yang berjudul ”The Management of Archaeological Resources: The Airline Report” mengemukakan pendapat bahwa pada dasarnya semua sumber daya budaya mempunyai potensi nilai penting. Untuk dapat melakukan penentuan nilai penting, perlu suatu kerangka acuan (frame of reference), kiblat masalah, dan konteks (geografis/spasial dan temporal) yang dapat dipakai untuk mengevaluasi sumber daya budaya (McGimsey dan Davis: 1977: 31). Undang-undang cagar budaya terbaru yang baru ditetapkan pada tahun 2010 merupakan kerangka acuan dalam proses penilaian dan penetapan cagar budaya. Namun harus diakui, implementasi dari UU No. 11 Tahun 2010 belum
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
4
dapat dilaksanakan karena sistem yang digunakan sama sekali berbeda dengan yang digunakan ketika berlakunya UU No. 5 Tahun 2010. Perubahan undangundang ini juga menyebabkan sistem yang digunakan juga berubah. Perubahan pada sistem tersebut antara lain meliputi, perubahan pada paradigma pelestarian yang berorientasi ke masyarakat, proses penilaian dan penetapan yang boleh diusulkan
oleh
masyarakat,
adanya
proses
pemeringkatan
berdasarkan
kewenangan administrasi (kabupaten/ kota, provinsi, dan nasional), keberadaan tim ahli cagar budaya, diizinkannya pihak swasta untuk mengembangkan cagar budaya, dan sebagainya. Sistem yang baru ini membutuhkan perangkat operasional baru. Termasuk di dalamnya adalah mengenai kriteria dan kriteria cagar budaya. Penelitian ini mencoba mengkaji satu masalah yang menjadi bagian dari pengelolaan cagar budaya, yaitu proses penilaian dan penetapan. Pengetahuan tentang nilai penting sangat diperlukan dalam menentukan strategi perlestarian, perlindungan dan pemanfaatan warisan budaya. Untuk memudahkan dalam pelaksanaannya, maka perlu ditentukan peringkat-peringkatnya (pembobotan). Pembobotan dapat menunjukkan tingkat kedudukannya sebagai aset budaya bangsa, juga dapat digunakan sebagai pedoman di dalam menentukan prioritas usaha-usaha pengelolaan dan penyelamatannya (Subroto, 1995). Selain itu dasar dari penilaian dan penetapan yang kuat dan jelas, akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum. Proses penetapan nilai bukan hanya mempertimbangkan mengapa tinggalan tersebut harus dilestarikan tetapi juga untuk apa dilestarikan dan bagaimana menyediakan payung hukum yang dapat mengakomodasi implementasi pelestarian yang menjadi tindak lanjut setelah penetapan nilai. Sehingga nantinya pelestarian cagar budaya di Indonesia menjadi lebih menjadi lebih lengkap, sistematis, dan lebih terencana. Sehingga tujuan pelestarian cagar budaya nantinya tidak hanya semata-mata melestarikan tinggalan dari masa lalu, namun juga melestarikan nilai-nilai luhur yang menyertainya.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
5
1.2. Rumusan Masalah Nilai, merupakan salah satu topik yang sudah dibahas sejak zaman Yunani kuno. Konsep mengenai nilai begitu abstrak hingga sulit untuk dikenali (Lossky dan Marshall, 1935: 15-27). Namun terdapat perbedaan yang sangat jelas antara objek dan subjek dalam proses penilaian. Objek memiliki nilai sedangkan subjek memiliki standart evaluasi nilai. Tanpa adanya subjek penilai, tidak mungkin ada proses penilaian (Pauls, 1990: 4). Hubungan nilai antara subjek dan objek dapat dilihat pada bagan berikut:
Gambar 1.1. Hubungan Subjek dan Objek dalam Proses Penilaian (Pauls, 1990: 4)
Apa yang dimaksud dengan nilai penting warisan budaya? Jawaban dari pertanyaan ini begitu beragam namun tidak pernah dapat diungkapkan secara eksplisit. Banyaknya subjek penilai warisan budaya seperti yang diungkapkan oleh English Heritage menyebabkan munculnya beragam kriteria. Ukuran penting nilai-nilai tersebut sangat bergantung pada pandangan subjek penilai (Pauls, 2006: 1-4). Immanuel Kant dalam esainya yang berjudul ”The Critique of Pure Reason” mengemukakan bahwa setiap penilaian akan sangat sulit digeneralisasi apabila tidak ada kriteria. Kriteria ini berasal dari pengalaman-pengalaman yang sudah dirasakan dan merupakan asal dari kebenaran. Dalam suatu penilaian kualitatif, perlu dilakukan tiga tahap, yaitu penyamaan konsep, mendeduksi kebenaran dari konsep tersebut, dan kemudian menyamakan konsep kembali (Bohn, 1855: 70). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penentuan kerangka acuan nilai penting (bagi beberapa sistem penilaian disebut signifikansi) ini dapat diperoleh dengan membuat suatu kriteria dan kriteria yang berkaitan dengan warisan budaya. Setiap negara memiliki pandangan tersendiri mengenai
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
6
kategori dan kriteria yang akan diaplikasikan pada proses penetapan warisan budaya. Pandangan (mengenai nilai warisan budaya) ini juga seringkali dipengaruhi oleh ideologi politik dan ragam kebudayaan yang berkembang dalam satu negara. Selain kategori dan kriteria, nilai warisan juga berkaitan dengan masalah metode penilaian. Di Indonesia, sudah cukup banyak peneliti dan mahasiswa yang tertarik dengan masalah metode penilaian cagar budaya. Walaupun, sejauh yang terlihat peneliti – peneliti tersebut baru berasal dari ilmu arkeologi. Hal ini patut dimaklumi karena memang selama ini publik memandang tugas menjaga bendabenda kuno adalah “pekerjaan” arkeolog. Beberapa akan disajikan beberapa artikel dan tesis yang membahas mengenai metode penilaian cagar budaya antara lain: 1. Timbul Haryono, ”Benda cagar budaya: pengertian dan kualitas nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan” yang terbit pada tahun 1995. 2. Hari Untoro Dradjat, ”Benda cagar budaya peringkat lokal, regional, nasional, dan global” yang terbit pada tahun 1995. 3. Daud Aris Tanudirjo, ”Penetapan Nilai Penting pada Pengelolaan Benda Cagar budaya” dan ”Kriteria Penetapan Benda Cagar Budaya” yang terbit pada tahun 2004. 4. Mundardjito, ”Metode Penilaian Benda Cagar Budaya”, ”Valuasi tinggalan budaya yang terselamatkan dari bencana alam”, ”The Problems in Assessment of Heritage Values” yang terbit pada tahun 2006. 5. Yudi Suhartono, ”Pelestarian sumber daya arkeologi dalam konteks keruangan di kawasan borobudur (studi kasus candi borobudur, mendut dan pawon)” yang terbit pada tahun 2008, dan 6. Supratikno Rahardjo, ”Pengelolaan warisan budaya di Indonesia” yang terbit pada tahun 2010. Walaupun cukup banyak kajian mengenai kategori, kriteria, dan metode penilaian cagar budaya, namun hingga saat ini penilaian-penilaain tersebut belum didasarkan pada satu cara yang lebih rinci sehingga belum tercapai penilaian yang lebih obyektif (Mundardjito, 2006:1). Ide pembentukan tim ahli cagar budaya
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
7
yang terdiri dari berbagai ahli dari bidang ilmu adalah salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. 1 Penelitian ini tidak bermaksud untuk menjawab semua masalah mengenai penilaian cagar budaya di Indonesia. Penelitian lebih memungkinkan untuk dianggap sebagai salah satu upaya mendeskripsikan kriteria, kriteria nilai, dan mengimplementasikan metode penilaian cagar budaya yang sudah ada selama ini. Cagar budaya yang digunakan sebagai studi kasus implementasi metode penilaian adalah bangunan Istana Maimun. Bangunan Istana Maimun adalah satu dari sekian banyak cagar budaya yang dimiliki Indonesia. Bangunan ini berada di kota Medan, Sumatera Utara. Istana Maimun terkenal karena rancangan bangunannya yang dianggap megah, unik sekaligus indah. Kemegahan bangunan Istana Maimun merupakan bukti kejayaan kesultanan Deli yang hingga kini masih terus dijaga sebagai bagian dari kebudayaan Melayu Deli. Istana Maimun ditetapkan menjadi cagar budaya melalui Peraturan Daerah Kotamadya Medan No. 6 pada tahun 1988 dan kemudian disempurnakan melalui Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 188.342/3017/SK/2000 Tentang Penyempurnaan surat keputusan walikota medan nomor 188.342/382/SK/1989 tentang pelestarian bangunan dan lingkungan yang bernilai sejarah arsitektur kepurbakalaan serta penghijauan dalam daerah kota Medan. Namun dalam Perda tersebut tidak terdapat alasan mengapa Istana Maimun dipilih menjadi cagar budaya (disebut dengan istilah justifikasi). Perda tersebut hanya menyebutkan bangunan-bangunan yang dilindungi memiliki nilai bagi sejarah dan arsitektur. Alasan Istana Maimun dipilih sebagai cagar budaya untuk kasus implementasi penilaian adalah karena bangunan cagar budaya tersebut yang sudah dianggap sebagai salah satu icon kota Medan bahkan Sumatera Utara. Nilai cagar budaya yang dianggap sebagai icon kota bahkan provinsi, tentunya harus dapat diidentifikasi sehingga pelestarian dan pengembangannya sejalan dengan informasi dan potensi yang terkandung di dalamnya. Selain itu, pemilihan istana Maimun sebagai cagar budaya studi kasus dilandasi dengan ketersediaan data baik itu fisik bangunan maupun data lain berupa dokumen sejarah, penelitian, foto, dan peta. Ketersediaan data ini 1
Hasil diskusi dengan Prof. Mundardjito pada tanggal 16 Mei 2012.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
8
memungkinkan dilakukannya proses penilaian dengan indikator yang sudah disusun. Dari penjelasan di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi tiga pertanyaan, yaitu: 1. Data-data apa saja yang diperlukan dalam melakukan penilaian cagar budaya? 2. Bagaimana cara pengambilan keputusan penilaian? 3. Apa hasil yang diperoleh jika metode tersebut diimplementasikan pada cagar budaya Istana Maimun?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinggalan budaya yang dipilih untuk dijadikan studi kasus, statusnya sudah ditetapkan menjadi cagar budaya. Adapun tujuan penelitian ini mengulang suatu proses yang sudah dilakukan adalah untuk mendeskripsikan kriteria dan kriteria cagar budaya dan mencoba mengimplementasikan proses penilaian dan penetapan tinggalan masa lalu menjadi cagar budaya dengan cara yang sistematis dan menggunakan UU No. 11 tahun 2010 sebagai landasan acuannya. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk membuka pandangan baru mengenai penilaian dan penetapan cagar budaya.
1.4. Metode Penelitian Tahapan penelitan yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari buku Looking After Heritage Places; The Basics of Heritage Planning for Managers, Landowers, and Administration yang ditullis oleh Michael Pearson dan Sharon Sullivan. Tahapan tersebut terdiri dari delapan tahap, Lebih jelasnya, tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat dari bagan 1. Dalam penelitian ini, ketujuh tahap tersebut tidak akan digunakan seluruhnya karena dilakukan penyesuaian dengan ketersediaan data. Oleh sebab itu, tahapan penilaian Pearson dan Sullivan, akan diadaptasi dan disesuaikan tiga tahap penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, dan kesimpulan.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
9
1.4.1. Pengumpulan data Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan berupa dokumen-dokumen sejarah, dokumen penetapan Istana Maimoon sebagai BCB, data penelitian mengenai Kawasan Istana Maimoon yang pernah dilakukan, denah bangunan, foto bangunan, dan hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan bangunan cagar budaya.
1.4.2. Pengolahan data Pada proses ini, tahap tiga hingga tahap enam pada proses penaksiran nilai milik Pearson dan Sullivan akan digabung menjadi tahap pengolahan data. Pada tahap ini terlebih dahulu akan didefinisikan kriteria nilai penting dan indicator terpilih. Kriteria nilai yang digunakan sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, yaitu nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Sedangkan indikator penilaian diperoleh dengan menggunakan indikator yang sudah disusun oleh peneliti atau ketentuan asing. Setelah itu, dilakukan identifikasi data istana Maimun yang berkaitan dengan kriteria nilai penting dan indikator tersebut.Pada tahap ini disusun suatu rangkaian perubahan dari cagar budaya Istana Maimun. Kemudian ditentukan poin-poin yang tepat untuk dijadikan nilai penting (significant values) dengan menjabarkan data tentang cagar budaya yang ditemukan dikaitkan dengan indikator penilaian yang sudah disusun.
1.4.3. Penarikan Kesimpulan Pada tahap ini ditentukan kriteria nilai mana yang terpenuhi oleh cagar budaya sekaligus menentukan peringkat nilai sesuai dengan kriteria yang ada
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
10
Tabel 1. Tahapan dari metode yang digunakan
Pengumpulan dipublikasi Pengumpulan data
data
pustaka
yang
maupun
yang
tidak
data
keadaan
fisik
dipublikasi Pengumpulan
bangunan di lapangan Pembuatan suatu rangkaian perubahan dari BCB/ Situs Menyusun konteks BCB/Situs Melakukan identifikasi nilai sesuai Pengolahan data
dengan indikator nilai yang sudah disusun Menentukan signifikansi nilai sesuai dengan peringkat nilai yang sudah disusun Merumuskan hasil penilaian sebuah
Penarikan kesimpulan
pernyataan mengenai signifikansi nilai penting yang dimiliki oleh cagar budaya
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
11
1. Pengumpulan
data:
2.
literatur
Pengumpulan
data:
data
terkait, peta, dokumen sejarah,
keadaan fisik bangunan di
wawancara
lapangan
3.
Pembuatan suatu rangkaian perubahan dari bangunan
4. Menyusun konteks BCB/Situs, baik secara sejarah, ilmu pengetahuan, rancangan, latar belakang, dan kaitannya dengan komunitas lokal.
5.
Melakukan analisa dengan membandingkan BCB dari tipe yang sama namun di tempat yang berbeda
6. Menentukan nilai dari skala penilaian 1-5 terhadap benda/situs yang dianggap sebagai nilai signifikan.
7. Menetapkan cara menentukan poin mana yang penting sekaligus menentukan peringkat nilai sesuai dengan kategori yang ada
8. Merumuskan poin-poin penting yang menjadi sebuah pernyataan mengenai nilai penting yang dimiliki oleh BCB
Gambar 1.2. Proses Evaluasi Nilai Bangunan Cagar budaya (Pearson & Sullivan, 1995: 131).
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
12
1.5. Batasan Penelitian Penelitian mengenai nilai cagar budaya merupakan jenis penelitian yang sangat luas cakupannya. Oleh sebab itu, penelitian yang berjudul ”Penilaian bangunan cagar budaya Istana Maimun” ini membatasi pengertian nilai itu sendiri. Nilai yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada nilai cagar budaya yang ditetapkan oleh UU No. 11 Tahun 2010, yaitu nilai sejarah, ilmu pengetahuan,
agama,
pendidikan,
dan
kebudayaan.
Bagaimana
cara
menganalisis dan mengukur nilai tersebut akan disusun berdasarkan metodemetode penilaian yang sudah disusun oleh peneliti dan beberapa ketentuan asing. Dalam registrasi cagar budaya yang dimiliki oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Istana Maimun masuk dalam kategori bangunan. Oleh sebab itu, ruang lingkup penelitian adalah bangunan cagar budaya Istana Maimun, tidak termasuk bangunan ataupun lingkungan sekitar bangunan Istana. Hal-hal yang diteliti berkaitan dengan sejarah bangunan, gaya bangunan, tokoh, peristiwa, dan kebudayaan yang berkaitan dengan bangunan.
1.6. Sistematika Penulisan Bab I, pendahuluan berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II, berisi mengenai perundang-undangan yang berlaku sebelum UU No. 11 tahun 2010 berserta kajian-kajian mengenai penilaian dan penetapan cagar budaya saat undang-undang yang lama masih berlaku. Bab ini kemudian diakhiri dengan tinjauan dan kesimpulan dari pembahasan sebelumnya. Bab III, berisi mengenai UU No. 11 tahun 2010 berserta penilaian dan penetapan dari ketentuan asing. Bab ini kemudian diakhiri dengan tinjauan dan kesimpulan dari pembahasan sebelumnya. Bab IV, Berisi mengenai studi kasus menjelaskan mengenai penerapan metode penilaian cagar budaya untuk kategori bangunan dengan studi kasus cagar budaya Istana Maimun. Bab V, berisi mengenai kesimpulan dan penutup.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
BAB II KETENTUAN DAN KAJIAN SEBELUM UU CAGAR BUDAYA TAHUN 2010
Sebelum diresmikannya UU No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, terdapat dua peraturan yang digunakan pemerintah Indonesia untuk melindungi tinggalan-tinggalan masa lalu. Peraturan yang pertama adalah Monumen Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad
Tahun 1931 Nomor 238) 1.
Undang-undang ini kemudian diganti dengan UU No. 5 tahun 1992. Undangundang No. 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya tersebut kemudian diikuti dengan ditetapkannya peraturan-peraturan pelaksana.
Peraturan Pemerintah: 1. Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 2. PP No. 19 Tahun 1995 tentang Perlindungan dan Pemanfaatan BCB di Museum 5 (lima) Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: 1. No. 087/P/1993 tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya; 2. No. 062/U/1995 tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan BCB dan/atau Situs; 3. No. 063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya; 4. No. 064/U/1995 tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs; 5. Peraturan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Nomor:PM.49.
UM.001/MKP/2009 Tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 dan Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan.
1
Disebutkan pada pembukaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
10 Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
14
Pada bab ini, terdapat bahasan mengenai ketentuan-ketentua cagar budaya ketika UU No. 5 Tahun 1992 masih berlaku.
2.1. Kategori Cagar Budaya Wujud benda cagar budaya dibagi menjadi dua kategori, yaitu benda dan situs. Kategori benda, terbagi menjadi dua subkategori, yakni benda hasil karya manusia dan benda alam. Hal ini dijelaskan pada pasal 1 UU No. 5 tahun 1992 yang berbunyi:
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Benda cagar budaya adalah: a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. 2. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
2.2. Kriteria Nilai Penting Cagar Budaya Berdasarkan pasal 1 UU No. 5 tahun 1992 yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat tiga kriteria yang harus dimiliki benda/ situs yang akan ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Kriteria tersebut adalah: a. Berumur sekurang-kurangnya lima puluh tahun; b. Mewakili masa gaya sekurang-kurangnya lima puluh tahun; c. Nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
15 2.3. Penetapan Cagar Budaya 2 Informasi mengenai proses penetapan cagar budaya sejak awal diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1992 hingga tahun 2005 tidak dapat diperoleh. Namun sejak tahun 2006 dibentuk tim ahli yang bertugas melakukan penilaian terhadap cagar budaya. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan
keputusan
Direktur
Peninggalan
Purbakala
Tentang
Pembentukan Kelompok Kerja Kegiatan Pengolahan dan Penilaian Usulan Penetapan Benda Cagar Budaya. Lingkup kegiatan penilaian dan penetapan benda cagar budaya sejak tahun 2006 meliputi : 1. Persiapan, yaitu pemilihan koordinator dan tim kerja untuk kegiatan lapangan. Selain itu dibahas pula jadwal kegiatan, langkah-langkah kerja, pembagian tugas kerja, dan sebagainya. 2. Pengumpulan data primer, yang berupa gambar, peta, pustaka, maupun foto sehingga perkembangan kondisi objek tinggalan sejarah dan purbakala dapat diketahui. 3. Pemilahan dan pengolahan data primer. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kelengkapan informasi yang dimiliki objek tinggalan sejarah dan purbakala. 4. Pengumpulan data lapangan Kegiatan pengumpulan data di lapangan dilakukan untuk melengkapi informasi yang dimiliki objek tinggalan sejarah dan purbakala yang akan ditetapkan sebagai situs/ benda cagar budaya. 5. Pengolahan data lapangan. Tahapan ini merupakan tahap pengolahan data lapangan dan sekaligus penggabungan (cross check) antara data primer dan data lapangan. 6. Penilaian Proses penilaian terhadap objek tinggalan sejarah dan purbakala yang akan ditetapkan sebagai situs/ benda cagar budaya dilakukan oleh tim penilai yang terdiri dari beberapa ahli dari bidang arkeologi, sejarah, konservasi, dan hukum. 2
Laporan kegiatan pengolahan dan penilaian usulan penetapan benda cagar budaya tahun 2006
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
16
Setelah proses penilaian selesai, tim ahli dan anggota tim kerja mengadakan rapat finalisasi draf peraturan Menteri sebelum diajukan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata melalui Biro Perencanaan dan Hukum Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 7. Pembuatan draf surat keputusan Menteri Hasil rapat tim ahli dan tim kerja kemudian dikoreksi kembali oleh tim kerja sebelum kemudian disusun menjadi sebuah draf yang nantinya akan diajukan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
2.4. Contoh-contoh Kajian Mengenai Penilaian Benda Cagar Budaya 2.4.1 Timbul Haryono 3 Timbul Haryono mengusulkan untuk menggunakan penilaian secara kualitatif atas benda budaya masa lalu dengan melihat kriteria kuantitas, keaslian, integratif, dan in situ. Namun kriteria tersebut bukan sebuah kriteria yang tidak dapat diubah lagi. Haryono juga menambahkan jika perlu kriteria tersebut dapat ditambah lagi dengan kriteria lain yaitu: keutuhan, kelangkaan, konteks historis, dan konteks budaya. 4
Tabel 2.1. Kriteria Menurut Timbul Haryono
Kriteria Kuantitas
3
4
Penilaian Jika jumlah BCB banyak, maka nilai informasinya juga banyak, dan hal ini penting untuk mencapai suatu generalisasi. Sebaliknya jika hanya ditemukan sedikit, maka nilai informasinya juga sedikit. Namun perlu diingat bahwa meskipun jumlah BCB banyak, tetapi jika wujudnya tidak utuh, maka nilai informasinya menjadi sedikit atau nilainya rendah. Sementara meskipun jumlah BCB hanya satu, tetapi kalau wujudnya masih utuh, maka nilainya tinggi (contoh keterkaitan antara kriteria no. 1 dengan no. 4).
Guru besar Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Haryono, Timbul. Benda Cagar Budaya: Pengertian dan Kualitas Nilai Sejarah, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan. Makalah disampaikan dalam Rapat Penyusunan Petunjuk Teknis Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan dan Perlindungan Peninggalan Purbakala dan Sejarah di Cisarua, Bogor, tanggal 20-23 Maret 1995.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
17
Keaslian
Jika BCB memiliki keaslian, nilainya tinggi, sebaliknya jika tidak asli, nilainya rendah. Masalahnya ialah banyak BCB dari masa kolonial telah diubah, ditambah, diperbaiki, diganti, dsb. sehingga sukar untuk mengetahui bagian mana dari BCB yang asli dan bagian mana yang tidak asli. Contoh: Gedung Arsip Nasional di Jl. Gajah Mada.
Integratif
Jika dalam suatu situs terdapat BCB dalam jumlah banyak, dan saling terkait satu sama lain dalam hal bentuk, gaya, periode, kedekatan jarak, dsb., maka BCB itu bernilai tinggi.
Keutuhan
BCB yang wujudnya utuh, memiliki informasi yang memadai, karena itu nilainya tinggi. Sebaliknya jika BCB itu dalam keadaan fragmentaris, maka nilainya rendah. Namun demikian meskipun kondisinya fragmentaris tetapi jika BCB itu langka, sudah tentu nilainya menjadi tinggi (contoh keterkaitan kriteria no. 4 dengan no. 5). Mungkin pula ada BCB yang meskipun wujudnya utuh, tetapi karena tidak memiliki konteks historisnya, maka .nilainya menjadi rendah (contoh keterkaitan kriteria no. 4 dengan no. 6).
Kelangkaan Kelangkaan yang dimaksud adalah kelangkaan dalam hal bentuk, ukuran, bahan, gaya, dan teknologinya. Demikian pula kelangkaan dalam hal keberadaannya di dalam wilayah budaya tertentu, kelangkaan dalam suatu periode tertentu, dan kelangkaan dalam jumlah satuannya. Semua kelangkaan ini dapat menyebabkan nilai BCB menjadi tinggi. Konteks historis
Jika suatu BCB terkait dengan suatu peristiwa sejarah tertentu, maka nilainya tinggi, sebaliknya jika tak jelas kaitannya dengan peristiwa sejarah, maka BCB itu dinilai kurang. Perlu diingat bahwa dalam mengaitkannya dengan peristiwa sejarah, objektivitas perlu dijaga, sehingga dapat terhindar dari konflik kepentingan: pendapat yang satu menganggap terkait dengan sejarah A, sedangkan yang lain dengan sejarah B. Kemungkinan BCB itu dibongkar oleh salah satu pihak.
Konteks budaya
Nilai BCB akan naik jika dapat dikaitkan dengan budaya masyarakat masa kini (living monument dalam on going society), dan terkait dgn budaya masyarakat masa lalu (dead monument dalam extinct society).
Sumber: Haryono, 1995: 9
Ini berarti sekurang-kurangnya dalam menilai objek tinggalan sejarah dan purbakala dapat menggunakan empat kriteria untuk menilai secara kualitatif, atau sebanyak-banyaknya delapan kriteria. Setiap kriteria dinilainya dengan
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
18
hanya dua nilai yaitu: ada atau terpenuhi dengan lambang (+), dan tidak ada atau tak terpenuhi dengan lambang (-). Berikut akan disajikan tabel penilaian yang disusun oleh Timbul Haryono.
Tabel 2.2. Assessment Nilai Cagar Budaya Versi Timbul Haryono Tabel 2.2a. Penilaian I
No.
Kriteria
Artefak Bergerak
1 2 3 4
Kuantitas Keaslian In situ Integratif
+/+/+/+/-
Tak Bergerak +/+/+/+/-
Non-Artefak (Ekofak) Bergerak Tak Bergerak +/+/+/+/+/+/+/+/-
Tabel 2.2b. Penilaian II (Tambahan)
No.
1 2 3 4
Kriteria
Keutuhan Kelangkaan Konteks historis Konteks budaya
+ -
Artefak Bergerak +/+/+/+/-
Tak Bergerak +/+/+/+/-
Non-Artefak (Ekofak) Bergerak Tak Bergerak +/+/+/+/+/+/+/+/-
unsur kriteria terpenuhi unsur kriteria tak terpenuhi Sumber: Haryono, 1995: 10-11
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
19 2.4.2 Hari Untoro Dradjat 5 Hari Untoro Drajat menulis makalah yang membahas tentang penilaian cagar budaya 6. Terdapat tiga hal penting yang dikemukakan Drajat dalam makalah tersebut. Yang pertama mengenai pemeringkatan, yang kedua mengenai kriteria, dan yang terakhir mengenai penilaian berbentuk numerik. Mengenai masalah pemeringkatan, Drajat mengusulkan dilakukan pemisahan pengelolaan cagar budaya (saat itu masih menggunakan istilah ”Benda Cagar Budaya”) atau yang disebut dengan istilah pemeringkatan. Terdapat empat peringkat yang diusulkan yakni lokal, regional, nasional, dan global. Peringkat tersebut ditentukan pada saat dilakukannya proses penilaian, yaitu proses penentuan apakah benda atau situs layak ditetapkan sebagai cagar budaya. Dalam makalahnya, Hari Untoro Drajat juga mengusulkan tujuh kriteria yang digunakan dalam proses penilaian. Tiap kriteria yang diusulkan dinilai dengan
sistem
pembobotan.
Sistem
ini
mengizinkan
peneliti
untuk
melipatgandakan nilai dari kriteria yang dianggap lebih prioritas. -
keunikan,
-
kelangkaan,
-
kejamakan,
-
sejarah,
-
ilmu pengetahuan,
-
kebudayaan, dan
-
ekonomi. Kolom pertama menunjukkan kriteria nilai yang digunakan untuk
pengambilan keputusan dan untuk mengevaluasi sistem, kolom kedua adalah daftar bobot
yang diberikan pengambil keputusan pada tiap kriteria
5
Mantan Direktur Sejarah dan Purbakala yang kini menjabat sebagai staf ahli menteri pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia 6 Dradjat, Hari Untoro. Benda Cagar Budaya Peringkat Lokal, Regional, Nasional, dan Global. Makalah disampaikan dalam Rapat Penyusunan Petunjuk Teknis Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan dan Perlindungan Peninggalan Purbakala dan Sejarah di Cisarua, Bogor, tanggal 20-23 Maret 1995.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
20
keputusannya. Kolom ketiga menunjukkan daftar nilai yang diberikan pengambil keputusan terhadap objek yang dinilai. Tabel 2.3. Identifikasi dan pemeringkatan cagar budaya versi Hari Unturo Drajat dengan sistem pembobotan. Semakin besar total nilai cagar budaya , maka semakin tinggi tingkatan pemerintah yang mengelolanya. Tabel 2.3a. Penilaian BCB Candi Borobudur
Bobot No. 1 2 3 4 5 6 7
Kriteria Keunikan Kelangkaan Kejamakan Sejarah Ilmu Pengetahuan Kebudayaan Ekonomi
t
s
r
2
Nilai sk
k
ck
kk
tk
5 3
2 3
10 12 10 15 8 6 4 65
4 5 5
2 2
4 3
1
Bobot/ Nilai
4 Total nilai
t = tinggi; s = sedang; r = rendah; sk =sangat kuat; k = kuat; ck = cukup kuat; kk = kurang kuat; tk = tidak kuat
TABEL 2.3b. Penilaian dengan kategori terbesar
Bobot No.
1 2 3 4 5 6 7
Nilai
Bobot/ nilai
Kriteria T s 2
r
sk 5 5 5 5 5 5 5
k
ck
kk
Tk
Keunikan 10 Kelangkaan 3 15 Kejamakan 2 10 Sejarah 3 15 Ilmu Pengetahuan 2 10 Kebudayaan 2 10 Ekonomi 1 5 Total nilai 75 t = tinggi; s = sedang; r = rendah; sk =sangat kuat; k = kuat; ck = cukup kuat; kk = kurang kuat; tk = tidak kuat Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
21
TABEL 2.3c. Penilaian dengan kategori terkecil
Bobot No.
Kriteria
t
s
Nilai r
sk
k
ck
1 2 3 4 5 6 7
kk
Keunikan 2 Kelangkaan 3 Kejamakan 2 Sejarah 3 Ilmu Pengetahuan 2 Kebudayaan 2 Ekonomi 1 Total nilai t = tinggi; s = sedang; r = rendah; sk =sangat kuat; k = kuat; kuat; kk = kurang kuat; tk = tidak kuat
Tk
Bobot/ nilai
1 1 1 1 1 1 1
2 3 2 3 2 2 1 15 ck = cukup
Sumber: Drajat, 1995:6-10
2.4.3 Daud Aris Tanudirdjo 7 Daud Aris Tanudirdjo menulis beberapa artikel mengenai penetapan dan penilaian Cagar budaya. Dua artikelnya yang berjudul “Penetapan Nilai Penting pada Pengelolaan Benda Cagar budaya” dan ”Kriteria Penetapan Benda Cagar Budaya” membahas mengenai usulan kerangka acuan penilaian Cagar budaya di Indonesia Salah satu usulan Tanudirdjo adalah mengenai enam atribut penilaian yang digunakan untuk mengukur setiap kriteria nilai benda cagar budaya (nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan). Keenam atribut tersebut adalah: - kelangkaan, - keunikan, - umur, - pertanggalan, - integritas (keutuhan dengan konteksnya), dan - keaslian bahan.
7
Arkeolog sekaligus pengajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
22
Tanudirdjo
mengungkapkan
bahwa
metode
penilaian
yang
digunakan menggunakan sistem pembobotan. Metode tersebut memiliki arti yang sama seperti metode penilaian numerik yang digunakan oleh Hari Untoro Drajat. Sayangnya, Tanudirjo tidak menunjukkan implentasi dari model penilaian yang rancangannya. Dalam artikelnya yang berjudul “Kriteria Penetapan Benda Cagar budaya”, Tanudirdjo membahas mengenai signifikansi nilai penting. Signifikansi nilai penting berkaitan erat dengan kualitas, keterwakilan, kelangkaan, dan keunikan dari tiap-tiap informasi yang diperoleh dari suatu Cagar budaya (Tanudirjo, 2004: 2-4). Kerangka Acuan Penilaian yang disusun oleh Daud Aris Tanudirdjo banyak mengacu pada kerangka penilaian di negara Australia dan Amerika. Berikut akan disajikan tabel penilaian yang dirancang oleh Daud Aris Tanudirdjo. Tabel 2.4. Identifikasi (assessment) Nilai Cagar Budaya 8
1. Nilai penting Sejarah : apabila Sumber daya budaya tersebut dapat menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu A B
C
D 2.
Berkaitan erat dengan peristiwa (event) penting yang terjadi pada masa prasejarah maupun sejarah Berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah atau merupakan tinggalan/karya tokoh terkemuka (master) dalam bidang tertentu Berkaitan erat dengan tahap perkembangan yang menentukan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, atau mewakili salah satu tahapan penting tersebut, a.l. penemuan baru, munculnya ragam (style) baru, penerapan teknologi baru, Berkaitan erat dengan tahap perkembangan suatu kehidupan tertentu atau tinggalan yang mewakili salah satu tahapan tersebut (misalnya, pasang-surut kehidupan ekonomi, sosial, politik) Nilai penting Ilmu Pengetahuan : apabila Sumber daya budaya itu mempunyai potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab
8
Tabel ini didesain oleh Daud Aris Tanudirdjo, seorang peneliti dan pengajar Arkeologi dari Universitas Gadjah Mada. Walau tidak terlihat di dalam tabel, Tanudirdjo menyarankan untuk menggunakan sistem pembobotan (pemberian nilai angka pada setiap nilai)
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
23
masalah-masalah dalam bidang keilmuan tertentu Arkeologi mendeskripsikan, menjelaskan dan menjawab masalahmasalah yang berkaitan dengan peristiwa atau proses-proses budaya A di masa lampau, termasuk di dalamnya pengujian teori, metode, dan teknik tertentu di bidang ini Antropologi, untuk mengkaji prinsip-prinsip umum dalam bidang ini, khususnya proses-proses perubahan budaya dalam jangka waktu yang panjang dan proses adaptasi ekologi, termasuk di B dalamnya evolusi ragawi (biological evolution dan palaeoantropologi) Ilmu-ilmu Sosial, untuk mengkaji prinsip-prinsip umum dalam bidang ilmu sosial humaniora, terutama yang berkaitan dengan C interaksi sosial, struktur sosial, kekuasaan dan politik, dan prosesproses sosial lainnya. Arsitektur dan Teknik Sipil, untuk mengkaji prinsip-prinsip umum dalam bidang seni bangun, rancang bangun, dan susunan (kontruksi) bangunan, termasuk kajian penggunaan bahan dan D ketrampilan merancang, atau merupakan hasil penerapan teknologi dan materi baru pada masa dibangun. Ilmu-ilmu Kebumian, untuk mengkaji prinsip-prinsip umum dalam ilmu kebumian (geologi, geomorfologi, geografi, geodesi), E atau menjadi bukti peristiwa-peristiwa alam yang dikaji dalam bidang ilmu ini Ilmu-ilmu lain, mengandung informasi yang sangat khusus bagi kajian ilmu-ilmu tertentu yang belum disebutkan di atas. (Kriteria ini dimasukkan untuk mengakomodasi kemungkinan Sumber daya F budaya mengandung informasi untuk ilmu yang biasanya tidak bersinggungan sama sekali dengan masa lampau, sehingga bersifat prediktif) 3. Nilai penting Kebudayaan : apabila Sumber daya budaya tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas tertentu
A
B
Etnik, dapat memberikan pemahaman latarbelakang kehidupan sosial, sistem kepercayaan, dan mitologi yang semuanya merupakan jatidiri suatu bangsa atau komunitas tertentu, merupakan bagian dari jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu Estetik, mempunyai kandungan unsur-unsur keindahan baik yang terkait dengan seni rupa, seni hias, seni bangun, seni suara maupun bentuk-bentuk kesenian lain, termasuk juga keserasian antara bentang alam dan karya budaya (saujana budaya); menjadi
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
24
sumber ilham yang penting untuk menghasilkan karya-karya budaya di masa kini dan mendatang
C
Publik, berpotensi untuk dikembangkan sebagai sarana pendidikan masyarakat tentang masa lampau dan cara penelitiannya, menyadarkan tentang keberadaan manusia sekarang; berpotensi atau telah menjadi fasilitas rekreasi; dan berpotensi atau telah menjadi Sumber daya yang dapat menambah penghasilan masyarakat, a.l lewat kepariwisataan Sumber: Tanudirdjo, 2004:6-8
2.4.4 Mundardjito 9 Dalam makalahnya yang berjudul “Metode Penilaian Benda Cagar Budaya” 10. Mundardjito membahas mengenai kepentingan pelestarian benda cagar budaya, proses seleksi dan pemeringkatan objek tinggalan sejarah dan purbakala, kriteria benda cagar budaya, dan penggolongan benda cagar budaya. Dalam melakukan pemeringkatan tersebut, menurut Mundardjito setidaknya ada tiga macam kelompok kriteria yang diperlukan, yaitu: 1. Kelompok kriteria untuk menilai benda dalam rangka menetapkannya menjadi BCB. 2. Kelompok kriteria yang digunakan untuk menilai dan menetapkan peringkat pelestarian BCB apakah akan ditangani dengan cara perlindungan atau pemeliharaan, atau gabungan keduanya. 3. Kelompok kriteria yang digunakan untuk menilai dan menetapkan peringkat kewenangan pengelolannya apakah ditangani secara lokal (Pemerintah Kota), regional (Pemerintah Provinsi), nasional (Pemerintah Pusat), dan internasional (UNESCO) (2005, 11). Tiga macam pemeringkatan atau seleksi ini semacam ini dapat dijadikan dasar penilaian yang lebih tepat terhadap BCB karena tidak hanya mencakup masalah pemanfaatan namun juga pelestariannya. Ketiga tingkat penyeleksian itu dapat diaplikasikan, baik terhadap benda tak bergerak maupun benda bergerak. Contoh penggolongkan BCB atas dasar kondisi keterawatannya (state of
9
Guru Besar Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi Ke-X, diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pada tanggal 26—30 November 2005 di Hotel Sahid, Yogyakarta.
10
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
25
preservation) adalah sebagai berikut: BCB yang sudah rusak berat hendaknya diberi peringkat tinggi agar pemerintah dapat segera melindungi dan memelihara secara lebih intens. Sebaliknya BCB yang masih baik, tingkat pemeliharaannya tidak terlalu berat, dan karena itu dapat diberi peringkat rendah.
Benda Buatan Manusia
Menilai benda untuk ditetapkan menjadi BCB (Seleksi A)
Peringkat Pelestarian:
Menilai BCB dengan sejumlah kriteria untuk ditetapkan peringkat pelestariannya
Perlindungan Pemeliharaan
BCB Peringkat Kewenangan
Menilai BCB dengan sejumlah kriteria untuk ditetapkan peringkat kewenangan pengelolaannya
Pengelolaan: Lokal
Gambar 2.1. Tiga tahap pemeringkatan dan seleksi menurut Mundardjito (Mundardjito, 2005: 12)
Mundardjito tidak mengajukan tipologi kriteria ataupun metode penilaian cagar budaya seperti yang dilakukan Haryono, Drajat, dan Tanudirdjo. Langkah yang dilakukan Mundardjito adalah menjelaskan kekurangan tipologi kriteria yang sudah tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1992 dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya (Perda 1999). .
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
26
Lebih jauh, menurut Mundardjtio nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan adalah tiga nilai yang berbeda. Jika suatu benda sudah lama sekali diyakini masyarakat sebagai bagian dari sejarah kehidupan mereka. Maka dalam hal ini UU BCB dapat mempertimbangkan nilai sejarah yang dipercaya masyarakat pendukung untuk dapat menetapkan benda tersebut sebagai BCB. Demikian pula ada suatu lokasi yang dianggap masyarakat amat penting peranannya dan amat terkait dengan sejarah kehidupan mereka, tetapi lokasi itu tidak dapat dipastikan sebagai situs jika ditilik dari sudut keilmuan. Perundangundangan kita dapat menetapkan lokasi itu sebagai situs yang harus dilindungi dan dilestarikan (2005: 9) Jika suatu BCB dianggap penting dari segi kebudayaan karena sudah lama dianggap menjadi bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, tetapi tidak dapat diverifikasi dari segi ilmu pengetahuan karena tidak didukung oleh penalaran ilmiah yang masuk akal. Dalam hal nilai ilmu pengetahuan sudah tentu termasuk di dalamnya nilai dipandang dari segi ilmu antropologi, sosial, seni, arsitektur, teknik sipil, tata ruang, kesehatan, filsafat, dsb. Ini berarti dalam penilaian atas kriteria itu diperlukan pendekatan multidisipliner (2005: 10). Kriteria keaslian suatu bangunan juga dapat diperhitungkan sebagai kriteria tambahan. Pertanyaannya ialah apakah nilai keaslian itu mencakup seluruh komponen bangunan atau boleh hanya satu komponen atau beberapa unsur. Demikian juga mengenai kriteria kelangkaan. Nilai kelangkaan suatu bangunan dalam satuan ruang tingkat lokal berbeda dengan satuan ruang tingkat regional, nasional dan internasional. Selain itu ada kriteria lain yang perlu dipertimbangkan seperti kriteria keunikan, nilai pemanfaatan ekonomi, pemanfaatan idelogik dan akademik/edukatif (2005: 10).
Cara Menilai Mengenai
bagaimana
cara
menilai
kriteria
tersebut,
Mundardjito
berpendapat untuk menggunakan penilaian yang dinyatakan secara kuantitatif atau dalam bentuk angka. Karena penilaian dengan angka akan lebih memungkinkan untuk dilakukan seleksi yang lebih tegas dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
27
Masalah berikutnya ialah bagaimana caranya menilai kriteria-kriteria tersebut sehingga suatu benda masa lalu dapat ditetapkan menjadi BCB. Dari cara penilaian dan pembobotan yang berbeda antarkriteria, dapat dilihat peringkat dari setiap bangunan dan lingkungan bangunan yang akan dinilai dan ditetapkan menjadi BCB. Jika pemberian nilai dilakukan dengan angka, maka nilai yang akan diberikan dapat berupa rentangan nilai, misalnya 1 sampai 5. Selanjutnya jika masing-masing kriteria itu diberi bobot, maka rentangan nilainya bisa dari 1 sampai 3 (2005: 11). 2.4.5 Yudi Suhartono 11 Di dalam tesisnya yang berjudul
”Pelestarian Sumber daya Arkeologi
Dalam Konteks Keruangan Di Kawasan Borobudur (Studi Kasus Candi Borobudur, Mendut dan Pawon)”, Suhartono merancang suatu metode penilaian numerik untuk cagar budaya dengan mengikutsertakan publik sebagai subjek penilai. Subjek penilai tersebut dipilih secara acak dengan cara menyebarkan kuesioner yang berisi intisari nilai penting yang terkandung dari masing-masing Sumber daya arkeologi. Responden yang diambil untuk menilai setiap Sumber daya arkeologi berjumlah 21 orang. Untuk Candi Borobudur, responden terdiri dari pengunjung candi (19,1 %), arkeolog (14,3 %), pelajar (4,7 %), mahasisiwa (4,7 %), pedagang (9,5 %), dan masyarakat umum (47,7 %). Candi Mendut, responden terdiri dari pengunjung candi (14,3 %), arkeolog (14,3 %), pelajar (4,7 %), mahasisiwa (4,7 %), pedagang (14,3) %), dan masyarakat umum (47,7 %). Candi Pawon, responden terdiri dari pengunjung candi (14,3 %), arkeolog (14,3 %), pelajar (9,5 %), mahasisiwa (4,7 %), pedagang (9,5 %), dan masyarakat umum (47,7 %). Angka yang diperoleh dari keseluruhan kuesioner kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah sampel, dengan hasil akhir rata-rata dari keseluruhan sampel (2008:107-10) Kriteria nilai yang dirancang oleh Suhartono disesuaikan dengan jenis cagar budaya yang akan dinilai. Dalam hal ini, Suhartono melakukan penilaian terhadap candi Borobudur, Mendut, dan Pawon dengan kriteria nilai meliputi nilai sejarah, ilmu pengetahuan, asosiasi, estetika, arkeologi, ekonomi dan nilai 11
peneliti dari Balai Konservasi Borobudur
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
28
legitimasi. Setiap objek Sumber daya arkeologi yang ada diberi penilaian berdasarkan pada tujuh aspek variabel nilai penting. Masing-masing aspek mempunyai bobot nilai antara 60 sampai dengan 100, dengan hasil akhir penilaian sebagai berikut (2008:44-45)
Tabel 2.5. Kategorisasi nilai penting yang dirancang oleh Yudi Suhartono (Suhartono, 2008:114)
Nilai
Kategorisasi
600 – 700
Sangat penting
500 – 599
Penting
400 – 499
Cukup Penting
300 – 399
Kurang Penting
Hasil akhir dari penilaian oleh publik ini kemudian dijumlahkan dengan hasil penilaian yang dilakukan peneliti. Berikut adalah tabel penilaian cagar budaya yang dirancang oleh Yudi Suhartono untuk kasus penilaian candi Borobudur.
Tabel 2.6. Identifikasi (assessment) nilai warisan budaya Borobudur dengan sistem scoring versi Yudi Suhartono
No
1
Nilai Penting
Kriteria
Arkeologi
• Berusia ± 1200 tahun • Bentuk arsitektur bangunan merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia asli dan arsitektur India • Bentuk bangunan masih asli • Denah bangunan candi berukuran 121,70 x 121, 40 m dengan tinggi bangunan yang masih tersisa 35,40 m dan tersusun dari batu andesit dengan sistem tumpuk tanpa perekat diperkirakan mencapai 55.000 m3 atau 2.000.000 blok batu
Nilai Versi Peneliti
Nilai Versi Masyarakat
100
90.7
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
29 • Data arkeologi adanya petunjuk keberadaan
2
3
4
5
Estetika
Sejarah
Ilmu Pengetahuan
Asosiasi
• Berusia ± 1200 tahun • Bentuk arsitektur bangunan merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia asli dan arsitektur India • Bentuk bangunan masih asli • Denah bangunan candi berukuran 121,70 x 121, 40 m dengan tinggi bangunan yang masih tersisa 35,40 m dan tersusun dari batu andesit dengan sistem tumpuk tanpa perekat diperkirakan mencapai 55.000 m3 atau 2.000.000 blok batu • Data arkeologi adanya petunjuk keberadaan
100
92.9
95
88.6
95
90.1
85
86.5
• Merupakan peninggalan kerajaan Mataram Kuna (abab VIII – X M) • Menurut legenda, Candi Borobudur didirikan oleh arsitek Gunadharma, namun secara historis belum diketahui secara pasti. Pendapat Casparis berdasarkan interpretasi prasasti Karang Tengah 824 M dan prasasti Sri Kahulunan 842 M, pendiri Candi Borobudur adalah Samaratungga yang memerintah tahun 782 - 812 M pada masa dinasti Syailendra • Data untuk melihat bentuk arsitektural pada masa Jawa Kuna (abad VIII – X M) • Data relief dapat digunakan untuk merekontruksi kondisi sosial masyarakat pada masa Jawa Kuna • Diperkirakan ada hubungan dengan Candi Mendut dan Candi Pawon • Sungai Progo dan Sungai Elo memiliki hubungan yang penting
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
30
dengan candi Borobudur pada masa lalu dan diangap sebagai sungai suci oleh masyarakat yang beragama Buddha
6
7
Ekonomi
Legitimasi/ hukum
• Telah dimanfaatkan sebagai objek pariwisata tingkat dunia dan menambah devisa negara • Di kunjungi sekitar 2 juta orang setiap tahun baik wisatawan asing maupun wisatawan domestik • Memiliki dampak pada perkembangan ekonomi masyarakat secara luas tidak hanya masyarakat di sekitar candi • Setiap tahun dijadikan sebagai tempat prosesi perayaan Waisak tingkat Nasional, yang berdampak pada penambahan penghasilan masyarakat sekitar • Telah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO • Dilindungi oleh Undang-undang Nomor. 5 tahun 1992 tentang Banda Cagar budaya , Undangudang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Tata Ruang Nasional, Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan lindung dan peraturan perundangan lannya yang terkait • Telah diakui oleh masyarakat dunia sebagai objek pariwisata yang menarik untuk dikunjungi. Jumlah Nilai
100
87.7
100
93.7
665
630.2
Sumber: Suhartono, 2008:110 – 111
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
31
2.4.6 Supratikno Rahardjo Supratikno Rahardjo adalah dosen sekaligus peneliti dari Universitas Indonesia yang banyak menulis tentang pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya. Pada tahun 2011, Supratikno Rahardjo menerbitkan buku berjudul ”Pengelolaan Warisan Budaya di Indonesia”. Walaupun buku ini terbit setelah UU No. 5 tahun 1992 diganti dengan UU No. 11 tahun 2010, akan tetapi buku ”Pengelolaan Warisan Budaya di Indonesia” merupakan himpunan tulisan hasil riset yang dilakukan sejak tahun 2002 hingga 2009. Dalam buku tersebut Rahardjo mencetuskan beberapa ide mengenai penilaian, tipologi nilai, dan pemeringkatan untuk pengelolaan cagar budaya. Adapun ide-ide ini sebagian besar diadaptasi dari pengelolaan warisan budaya di Amerika Serikat. Tipologi nilai yang dikemukakan oleh Rahardjo adalah sebagai berikut: 1. Nilai Sejarah - Tokoh - Peristiwa 2. Nilai Ilmu Pengetahuan - Penemuan baru - Munculnya ragam baru - Penerapan teknologi baru - Munculnya spesies baru 3. Nilai Kebudayaan - Identitas - Seni 4. Nilai Pendidikan Apabila benda memiliki potensi untuk dapat memberikan pengetahuan dan penanaman nilai moral bagi anak-anak dan dewasa 5. Nilai Politik Peristiwa-peristiwa penting sejarah yang terjadi di objek tinggalan sejarah dan purbakala dapat dianggap penting bila memiliki kecocokan dengan prioritas politik masa kini. Makna penting tersebut dapat digunakan dalam upaya untuk meningkatkan perhatian publik dalam upaya perlindungan dan pelestarian.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
32
6. Nilai Ekonomi - Nilai fungsional - Revitalisasi 7. Nilai Keutuhan atau nilai integritas - Desain - Tata lingkungan fisik - Bahan - Material - Pengerjaan (2010: 52-54) Nilai-nilai tersebut diterapkan dengan mengambil kasus kawasan Trowulan. Pemeringkatan dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan kriteria warisan budaya dunia sebagai acuannya. Atas dasar kajiannya itu kawasan Trowulan ditempatkan dalam peringkat cagar budaya nasional. Walaupun melakukan penilaian dan pemeringkatan, namun Rahardjo tidak mengeluarkan tabel penilaian seperti peneliti-peneliti yang dijelaskan sebelumnya. Namun ada beberapa ide yang patut diperhatikan untuk melakukan suatu proses penilaian seperti menggunakan analisis SWOT untuk menghindari penilaian yang terlalu optimis atau terlalu pesimis ataupun rekomendasi kepada pemerintah untuk membuat suatu penetapan mengenai periode dan peristiwa apa saja yang dianggap penting bagi negara Republik Indonesia.
2.5 Tinjauan dan Simpulan 2.5.1
Definisi dan Konsep Istilah yang Digunakan Kajian mengenai penilaian dan penetapan cagar budaya memiliki
beberapa istilah yang sering digunakan. Dari kajian yang dijelaskan sebelumnya, para peneliti menggunakan beragam istilah untuk menjelaskan mengenai proses penilaian cagar budaya. Istilah-istilah tersebut adalah kriteria, kategori, aspek penilaian, atribut penilaian, dan nilai penting. Definisi
dari
tiap
istilah
tersebut
dijelaskan
oleh
Mendoza,
G.A.,Macoun, P.Prabhu, R.Sukadri, D.Purnomo, H.Hartanto 12, dalam ”Panduan untuk menerapkan analisis multikriteria dalam menilai kriteria dan indikator” 12
Peneliti dari Center for International Forestry Research
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
33
tahun
2000.
Walaupun
dalam
buku
tersebut
Mendoza,
dkk
mengimplementasikan penilaian terhadap pengelolaan hutan, namun teknik dan definisi yang digunakan masih memiliki kesamaan dengan pengelolaan cagar budaya, dibandingkan apabila mengacu pada teknik dan definisi penilaian yang digunakan pada ilmu ekonomi dan matematika. Mendoza, dkk menjelaskan bahwa dalam kerangka penilaian terdapat tiga perangkat utama, yaitu prinsip, kriteria, dan indikator. Namun untuk penelitian ini akan ditambahkan satu perangkat lagi, yaitu pengukur. Prinsip adalah suatu kebenaran atau hukum pokok sebagai dasar suatu pertimbangan atau tindakan. Prinsip tersebut memberikan landasan pemikiran bagi kriteria, indikator, dan pengukur. Kriteria adalah suatu prinsip atau patokan untuk menilai suatu hal. Kriteria dapat dilihat sebagai prinsip ”tingkat dua” yang menambah arti dan cara kerja dalam suatu prinsip tanpa membuatnya sebagai suatu pengukur kinerja secara langsung. Kriteria merupakan titik lanjutan dimana informasi yang diberikan oleh indikator dapat digabungkan dan dimana suatu penilaian dapat dipahami menjadi lebih tajam. Sedangkan indikator didefinisikan sebagai variabel-variabel yang digunakan untuk memperkirakan status kriteria tertentu. Indikator membawa satu ”pesan tunggal yang berarti” yang disebut dengan informasi. Pengukur adalah data atau informasi yang meningkatkan spesifitas atau kemudahan penilaian suatu indikator. Pengukur memberikan perincian khusus yang menunjukkan atau mencerminkan suatu kondisi yang diinginkan dari suatu indikator. Pengukur dapat dianggap sebagai sub-indikator (Mendoza, 2000: 7-9). Hubungan antara prinsip, kriteria, indikator, pengukur dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
34
Ukuran Kelestarian
Prinsip
Kebijakan
Sosial
Ekologi
Produksi
Kriteria Indikator Pengukur
Gambar 2.2 Hierarki struktur kriteria dan indikator (sumber: Mendoza, dkk. 2000:9)
Untuk melakukan penilaian yang memiliki dua atau lebih kriteria (multikriteria), Mendoza, dkk mengungkapkan ada dua metode yang paling sederhana untuk dapat menilai, yakni dengan membuat suatu penetapan peringkat (rangking) atau membuat suatu penetapan nilai (rating). 1. Penetapan peringkat (rangking) : adalah pemberian suatu peringkat bagi tiap elemen keputusan yang menggambarkan derajat kepentingan relatif elemen tersebut, terhadap keputusan yang dibuat. Elemen-elemen keputusan kemudian disusun berdasarkan peringkatnya (pertama, kedua, dst). 2. Penetapan nilai (rating) : mirip dengan penetapan peringkat, hanya elemenelemen keputusan diberi skor antara 0 – 100. Seluruh skor elemen yang dibandingkan jumlah harus mencapai 100. Dengan demikian apabila suatu elemen diberi skor tinggi, berarti elemen lainnya harus diberi skor rendah (Mendoza, 2011: 12-13) Terdapat dua jenis pendekatan ketika proses penilaian sedang dilakukan. Pendekatan pertama disebut dengan pendekatan Top – down, yaitu penilaian yang dilakukan oleh tim penilai yang terdiri dari para profesional atau pakar yang mewakili berbagai disiplin ilmu yang ada dalam sistem. Sedangkan pendekatan yang kedua disebut pendekatan Bottom – top, yaitu penilaian yang Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
35
dilakukan dengan melibatkan stakeholder lokal. Dapat dilakukan dengan menyusun kuesioner yang hasilnya kemudian diperlihatkan ke tim penilai (Mendoza, 2000: 20-21). Salah satu contoh penilaian dengan menggunakan pendekatan bottom – top dilakukan oleh Suhartono.
2.5.2 Perbandingan Kriteria dan Metode Pengukuran Para Peneliti Dari kajian-kajian yang sudah dijelaskan tersebut, terlihat persamaan dan perbedaan kriteria yang digunakan para peneliti. Secara keseluruhan, setiap peneliti memiliki kriteria yang tidak digunakan oleh peneliti lain. Haryono menggunakan kriteria: kuantitas, integratif, dan keutuhan yang tidak digunakan oleh peneliti lain; Drajat menggunakan kriteria kejamakan; Tanudirdjo menggunakan kriteria pertanggalan, dan umur; Suhartono menggunakan kriteria arkeologi, asosiasi, legitimasi/hukum, dan estetika; dan Rahardjo menggunakan kriteria pendidikan dan politik. Namun Drajat, Tanudirdjo, Suhartono, dan Rahardjo sepakat dengan adanya kriteria sejarah, dan ilmu pengetahuan. Ketiga peneliti tersebut (kecuali Suhartono) juga menggunakan kriteria kebudayaan. Akan tetapi kriteria ekonomi yang diperhitungkan oleh Dradjat, Suhartono, dan Rahardjo tidak digunakan oleh Haryono dan Tanudirdjo. Persamaan kriteria lain yang diajukan peneliti-peneliti tersebut antara lain: - Nilai keutuhan, hanya diajukan oleh Haryono, Tanudirdjo, dan Rahardjo - Nilai kelangkaan, hanya diajukan oleh Haryono, Drajat, dan Tanudirdjo - Nilai keaslian, hanya diajukan oleh Haryono dan Tanudirjo - Nilai keunikan, hanya diajukan oleh Drajat dan Tanudirjo Dari kelima peneliti tersebut, hanya tiga peneliti (Haryono, Drajat, dan Suhartono) yang menyusun metode penilaian benda cagar budaya, dan hanya dua peneliti (Drajat dan Suhartono) yang mengimplementasikan kriteria dan metode
pengukuran
nilai
hasil
rancangannya.
Peneliti
yang
mengimplementasikan kriteria dan metode pengukuran nilai hasil rancangannya adalah peneliti yang menggunakan metode pengukuran numerik. Perbedaan dan persamaan tersebut dapat dilihat secara jelas pada tabel 2.6.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
36
2.5.3 Kriteria dan Metode Pengukuran Yang Digunakan Mengingat bahwa kriteria yang disusun para peneliti ini diajukan sebelum UU No. 11 tahun 2010 ditetapkan, maka kriteria tersebut tidak digunakan. Namun indikator-indikator yang disusun oleh para peneliti masih dapat dijadikan bahan tinjauan, karena kriteria yang tercantum di UU No. 5 tahun 1992 tidak terlalu berbeda dengan kriteria yang tercantum di UU No. 11 tahun 2010. Kriteria yang akan digunakan tersebut akan dibahas pada bab selanjutnya. Tahap penyeleksian yang digunakan mengacu pada tahap penyeleksian milik yang diajukan oleh Mundardjito. Dampak dari adanya tiga tahap penyeleksian tersebut, adanya tiga jenis kriteria pada setiap tahap penyeleksian, yaitu: 1. Kelompok kriteria untuk menilai benda dalam rangka menetapkannya menjadi BCB. 2. Kelompok kriteria yang digunakan untuk menilai dan menetapkan peringkat pelestarian BCB apakah akan ditangani dengan cara perlindungan atau pemeliharaan, atau gabungan keduanya. 3. Kelompok kriteria yang digunakan untuk menilai dan menetapkan peringkat kewenangan pengelolannya apakah ditangani secara lokal (Pemerintah Kota), regional (Pemerintah Provinsi), nasional (Pemerintah Pusat), dan internasional (UNESCO). Adapun kriteria yang akan disusun adalah kriteria yang berkaitan dengan penyeleksian pertama. Bentuk pengukuran nilai yang akan digunakan pada penelitian ini adalah bentuk
penilaian
dirancang
sendiri
oleh
peneliti.
Penilaian
tersebut
menggunakan simbol ”v” jika kriteria terpenuhi, dan simbol ”-” jika kriteria belum atau tidak terpenuhi. Cara menarik kesimpulan diinterpretasikan dengan jumlah kriteria terbanyak yang dapat terpenuhi. Tentu saja hal ini bukan merupakan hasil akhir karena tentu ada faktorfaktor lain yang patut diperhatikan dalam proses pemeringkatan cagar budaya.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
37
Tabel 2.7. Perbandingan kriteria dan metode pengukuran nilai benda cagar budaya menurut UU No. 5 Tahun 2010 dan kajian-kajian yang sudah dilakukan
Perbedaan dan Persamaan
Kriteria yang sama
Kriteria
UU No. 5 Tahun 1992
Haryono (1995)
Drajat (1995)
Tanudirdjo (2004)
Suhartono (2008)
Rahardjo (2011)
Nilai Sejarah
✓
✓
✓
✓
✓
✓
Nilai Ilmu Pengetahuan Nilai Kebudayaan Keutuhan
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓
✓ ✓
✓
Ekonomi
Kriteria yang berbeda
Kelangkaan Keunikan
✓
Keaslian Integratif In situ Kuantitas Kejamakan Pertanggalan
✓ ✓ ✓ ✓
✓
✓
✓ ✓ ✓ ✓
✓ ✓
Umur
✓
Asosiasi
.
✓
Arkeologi
✓
Legitimasi/ hukum Estetika
✓ ✓ ✓
Nilai Pendidikan Nilai Politik Metode Pengukuran
Kualitatif Kuantitatif
✓
✓ ✓
✓ ✓
✓
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
38
BAB III KETENTUAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 11 TENTANG CAGAR BUDAYA DAN MENURUT KETENTUAN DI BEBERAPA NEGARA LAIN
Tiap kerangka penilaian memiliki dasar-dasar yang jelas. Karena suatu sistem penilaian melibatkan berbagai sumber data untuk penilaiannya. Adapun pada bab II ini akan dijelaskan data yang dijadikan acuan dalam proses penyusunan kerangka acuan penilaian Cagar Budaya. Indonesia sudah mengadaptasi sistem penilaian designation (sering disebut dengan istilah pemeringkatan) sehingga kerangka penilaian yang disusun turut pula membahas kriteria pemeringkatan ini.
3.1. UU No. 11 Tahun 2010 3.1.1. Kategori Cagar Budaya Jika pada UU No. 5 Tahun 1992 benda Cagar Budaya hanya dibagi menjadi dua kategori, pada UU No. 11 Tahun 2010 Cagar Budaya dibagi menjadi lima kategori. Kelima kategori tersebut adalah benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan. Pengertian dari tiap-tiap kategori dijelaskan pada pasal 1 UU No. 11 tahun 2010 butir 2 hingga 6 yang berbunyi:
2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. 3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. 4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi 38 Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
39
kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. 5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. 6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
3.1.2. Bangunan Cagar Budaya Sub kategori bangunan Cagar Budaya, dijelaskan dalam pasal 7 UU No. 11 tahun 2010 yang berbunyi: “Bangunan Cagar Budaya
dapat: a.
berunsur tunggal atau banyak; dan/atau b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam”. Dari pasal tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat 4 sub-kategori untuk kategori bangunan Cagar Budaya, yaitu: 1. Bangunan Cagar Budaya tunggal yang berdiri bebas (tidak menyatu dengan formasi alam) 2. Kelompok Bangunan Cagar Budaya yang berdiri bebas (tidak menyatu dengan formasi alam) 3. Bangunan Cagar Budaya tunggal yang menyatu dengan formasi alam 4. Kelompok Bangunan Cagar Budaya yang menyatu dengan formasi alam
3.1. 3. Kriteria Nilai Penting Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya diresmikan sejak Oktober 2010 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dengan adanya penggantian ini, terdapat pula beberapan perubahan mengenai pengertian Cagar Budaya , pembagian kategori, proses penetapan, dan pemeringkatan. Sebagai suatu landasan hukum, UU No. 11 Tahun 2010 menjadi pusat dari penyusunan kerangka acuan penilaian ini. Untuk itu, akan dijabarkan
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
40
beberapa poin penting dari Undang-Undang tersebut yang berkaitan langsung dengan proses penetapan Cagar Budaya . Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Cagar Budaya
adalah warisan budaya bersifat kebendaan
berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 nilai penting yang dimiliki sebuah Cagar Budaya; nilai ilmu pengetahuan, nilai sejarah, nilai pendidikan, dan agama. Dengan adanya kata penghubung “dan/atau” pada isi pasal tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa setiap tinggalan sejarah dan purbakala yang akan ditetapkan menjadi Cagar Budaya harus memenuhi setidak-tidaknya satu nilai penting atau memenuhi kelima nilai penting tersebut. Sumber untuk kriteria Cagar Budaya diambil dari pasal 5 hingga pasal 11 UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang berbunyi:
Pasal 5
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya ,Bangunan Cagar Budaya , atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria: a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
41
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
3.1. 4. Kriteria Pemeringkatan Pemeringkatan Cagar Budaya bukan dimaksudkan untuk menyusun rangking dari tiap-tiap Cagar Budaya . Pemeringkatan ini lebih dimaksudkan untuk pembagian tanggung jawab terhadap pengelolaan Cagar Budaya antara pemerintah nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten terkait dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah. Pemeringkatan ini dapat memberikan dampak positif karena pemantauan dan pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan Cagar Budaya akan lebih mudah dan lebih cepat dilakukan. Perihal mengenai pemeringkatan ini disebutkan pada pasal 42 UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang berbunyi:
Pasal 41
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
pemeringkatan Cagar Budaya
dapat
melakukan
berdasarkan kepentingannya
menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya .
Disusunnya sebuah sistem pemeringkatan terlebih dahulu harus ditetapkan kriteria dari tiap-tiap peringkat. Kriteria dari tiap-tiap peringkat dijabarkan pada pasal 42 hingga 44 UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang berbunyi: Pasal 42
Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat nasional apabila memenuhi syarat sebagai: a. wujud kesatuan dan persatuan bangsa; b.karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia; Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
42
c. Cagar
Budaya
yang
sangat
langka
jenisnya,
unik
rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia; d.bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau e. contoh penting kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah.
Pasal 43
Cagar Budaya
dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya
peringkat provinsi apabila memenuhi syarat: a. mewakili kepentingan pelestarian Kawasan Cagar Budaya lintas kabupaten/kota; b.mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah provinsi; c. langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di provinsi; d.sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran budaya lintas e. wilayah kabupaten/kota, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau berasosiasi dengan tradisi yang masih berlangsung.
Pasal 44
Cagar Budaya
dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya
peringkat kabupaten/kota apabila memenuhi syarat: a. sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam wilayahkabupaten/kota; b.mewakili masa gaya yang khas; c. tingkat keterancamannya tinggi;
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
43
d.jenisnya sedikit; dan/atau e. jumlahnya terbatas
3.1. 5. Prosedur Penetapan Pada skema proses penetapan yang akan diaplikasikan oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, diinterpretasikan akan terdapat empat proses penilaian Cagar Budaya. Prosedur penetapan warisan budaya menjadi Cagar Budaya dimulai dari proses
pendaftaran
atau
pengusulan.
Pengusulan
dapat
dilakukan
perseorangan, kelompok, atau pemerintah setempat dengan cara pengisian formulir Cagar Budaya . Dalam proses pengusulan ini, diperlukan suatu panduan untuk mendeskripsikan suatu warisan budaya agar informasi yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Setelah diusulkan atau didaftarkan, pemerintah yang menerima berkas usulan (kota, provinsi, dan nasional) melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis objek. Proses ini dinamakan proses pengkajian. Proses pengkajian ini dilakukan oleh sebuah tim ahli Cagar Budaya
yang dibantu oleh unit pelaksana teknik
pemerintah setempat. Kemudian setelah dikaji, dilakukan proses penilaian terhadap kelayakan objek menjadi Cagar Budaya . Proses penilaian pertama terjadi saat suatu warisan budaya diusulkan menjadi Cagar Budaya
peringkat Kota/ Kabupaten. Kemudian setelah
ditetapkan sebagai Cagar Budaya dalam register Cagar Budaya
peringkat Kota/ Kabupaten dan dicatat
tingkat Kota/ Kabupaten, berkas warisan
tersebut akan dikirimkan ke pemerintah Provinsi untuk diusulkan menjadi Cagar Budaya peringkat Provinsi. Setelah ditetapkan sebagai Cagar Budaya peringkat Provinsi dan dicatat dalam register Cagar Budaya tingkat Provinsi, warisan budaya
tersebut baru dapat diusulkan sebagai Cagar Budaya
peringkat Nasional. Setelah ditetapkan sebagai Cagar Budaya peringkat
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
44
Dilakukan Tim Ahli
Masyarakat (pemilik/ pemangku kepentingan)
Pengisian Formulir
Registrasi
Masyarakat (pemilik/ pemangku kepentingan)
Pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan Objek
Dilakukan Tim Ahli
Pemasangan Papan Cagar budaya diterima
Perhimpunan Register Cagar budaya Kabupaten/ Kota di Provinsi (Register Cagar budaya tingkat Provinsi)
Usulan Cagar budaya Nasional
Pengisian Database/ Inventaris Kabupaten/Kota (Register Cagar budaya tingkat kab./kota)
Penetapan Status Cagar budaya oleh Bupati/ Walikota
Penilaian Usulan Cagar budaya Daerah
ditolak Penilaian Usulan Cagar budaya Nasional
Dilakukan Tim Ahli
Penghapusan status cagar budaya
ditolak
diterima
Penetapan Status Cagar budaya oleh Menteri
Pemasangan Papan Cagar budaya NASIONAL Dilakukan Tim Ahli Pengisian Database/ Inventaris Nasional (Register Cagar budaya tingkat Nasional)
Usulan Cagar budaya Dunia
ditolak
Penilaian Usulan Cagar budaya Dunia
diterima Pemasangan Papan Cagar budaya Dunia (oleh Indonesia)
Pengisian database/ Inventaris Warisan Dunia (oleh Indonesia)
Pengisian database/ Inventaris Warisan Dunia (oleh UNESCO)
Penetapan Status Cagar budaya Dunia oleh UNESCO
Gambar 3.6. Bagan prosedur penilaian dan penetapan cagar budaya dengan pengolahan kembali Sumber : Data Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Tahun 2011 Keterangan warna : : proses penetapan di tingkat kota
: proses penetapan di tingkat nasional
: proses penetapan di tingkat provinsi
: proses penetapan di tingkat dunia Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
45
Nasional warisan budaya tersebut dicatat dalam register Cagar Budaya peringkat Nasional untuk selanjutnya diusulkan sebagai World Heritage. Bagan proses penilaian dan penetapan Cagar Budaya yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dapat dilihat pada gambar 3.6.
3.2. Ketentuan Asing 3.2. 1.UNESCO 1 Dalam menetapkan
warisan dunia, dasar dari seluruh penilaian dan
pelestarian yang digunakan oleh UNESCO adalah OUV atau ”Outstanding Universal Value” atau dapat diterjemahkan sebagai pernyataan nilai luar biasa universal. Di dalam operational guidelines for the implementation of the world heritage convention pasal 4 dijelaskan mengenai makna dari pernyataan nilai luar biasa universal.
”The cultural and natural heritage is among the priceless and irreplaceable assets, not only of each nation, but of humanity as a whole. The loss, through deterioration or disappearance, of any of these most prized assets constitutes an impoverishment of the heritage of all the peoples of the world. Parts of that heritage, because of their exceptional qualities, can be considered to be of “outstanding universal value” and as such worthy of special protection against the dangers which increasingly threaten them.” Terjemahan bebas:
”warisan budaya dan alam merupakan beberapa aset yang tak dapat diukur
harganya
(priceless)
dan
tidak
dapat
digantikan
(keberadaannya), tidak hanya bagi negara (tempat warisan tersebut berada), tapi juga bagi seluruh umat manusia. Kerugian, akibat deteriorasi ataupun kehilangan, beberapa dari warisan-warisan ini 1
Mengacu pada buku panduan UNESCO yang berjudul Preparing World Heritage Nominations World Heritage Resource Manual tahun 2011
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
46
merupakan
pemiskinan
warisan
masyarakat
dunia.
Karena
kualitasnya yang luar biasa, bagian-bagian dari warisan budaya/ alam tersebut dapat dianggap sebagai ”nilai luar biasa universal” dan cukup berharga untuk mendapatkan pengamanan khusus terhadap hal-hal yang membahayakan.
Semua situs yang memenuhi sifat OUV, ditetapkan sebagai warisan dunia. Artinya, situs tersebut tidak lagi menjadi milik satu budaya atau negara, akan tetapi milik seluruh masyarakat dunia. Sifat priceless dan irreplaceable warisan dunia yang dikemukan oleh UNESCO dalam convention of cultural heritage tahun 1972 tersebut kemudian direfleksikan menjadi 10 kriteria warisan dunia. Suatu situs atau bangunan dapat dikatakan sebagai warisan dunia jika memenuhi satu atau lebih dari 10 kriteria tersebut. Adapun 10 kriteria yang ditetapkan oleh UNESCO tersebut adalah: Terjemahan: i. to represent a masterpiece of human creative genius; ii. to exhibit an important interchange of human values, over a span of time or within a cultural area of the world, on developments in architecture or technology, monumental arts, town-planning or landscape design; iii. to bear a unique or at least exceptional testimony to a cultural tradition or to a civilization which is living or which has disappeared; iv. to be an outstanding example of a type of building, architectural or technological ensemble or landscape which illustrates (a) significant stage(s) in human history; v. to be an outstanding example of a traditional human settlement, land-use, or sea-use which is representative of a culture (or cultures), or human interaction with the environment especially when it has become vulnerable under the impact of irreversible change; vi. to be directly or tangibly associated with events or living traditions, with ideas, or with beliefs, with artistic and literary works of outstanding universal significance. (The Committee considers that this criterion should preferably be used in conjunction with other criteria); vii. to contain superlative natural phenomena or areas of exceptional natural beauty and
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
mewakili sebuah karya agung dari kejeniusan umat manusia (baik intelektual dan teknikal) menunjukkan nilai kemanusiaan penting untuk jangka waktu tertentu atau dalam area budaya dunia, pada perkembangan bidang arsitektur atau teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap memiliki bukti unik (satu-satunya) atau luar biasa atas sebuah tradisi budaya atau peradaban yang masih hidup atau sudah punah. merupakan contoh luar biasa dari sebuah tipe bangunan, kesatuan bangunan atau lansekap arsitektur atau teknologi yang menunjukkan tingkatan penting dalam sejarah manusia. merupakan contoh luar biasa dari permukiman tradisional, tata guna lahan atau laut yang mewakili sebuah atau beberapa kebudayaan atau interaksi manusia dengan lingkungan di tengah perubahan jaman. memiliki keterkaitan nyata dan langsung dengan kejadian atau tradisi hidup atau kepercayaan atau legenda yang memiliki nilai universal yang luar biasa. memiliki fenomena alam yang sangat tinggi, atau area yang memiliki keindahan alam yang luar biasa.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
47
aesthetic importance; viii. to be outstanding examples representing major stages of earth's history, including the record of life, significant on-going geological processes in the development of landforms, or significant geomorphic or physiographic features; ix. to be outstanding examples representing significant on-going ecological and biological processes in the evolution and development of terrestrial, fresh water, coastal and marine ecosystems and communities of plants and animals; x. to contain the most important and significant natural habitats for in-situ conservation of biological diversity, including those containing threatened species of outstanding universal value from the point of view of science or conservation
viii. merupakan contoh luar biasa yang menunjukkan tahap-tahap perubahan sejarah bumi, termasuk catatan kehidupan, proses perubahan geologis yang berlangsung dalam perkembangan bentuk muka bumi ix. merupakan contoh luar biasa yang menunjukkan proses ekologis dan biologis penting dalam evolusi dan perkembangan tanah, air tawar, ekosistem tumbuhan dan binatang di pantai dan laut x. memiliki habitat alami yang sangat penting bagi konservasi in-situ terhadap keragaman biologis, termasuk spesies luar biasa yang terancam punah.
Proses penilaian warisan dunia terdiri atas tiga pilar utama: 1. Warisan yang dinominasikan harus memenuhi sekurang-kurangnya satu kriteria yang ditetapkan oleh UNESCO. 2. Warisan yang dinominasikan harus memenuhi kriteria keutuhan dan keaslian 3. Warisan yang dinominasikan harus memenuhi kriteria untuk perlindungan dan pengelolaan Kriteria keutuhan warisan budaya yang ditetapkan oleh UNESCO adalah tujuh atribut berikut ini: 1. Bentuk dan rancangan 2. Material dan bahan 3. Kegunaan dan fungsi 4. Tradisi, teknik, dan sistem pengelolaan 5. Lokasi dan latar 6. Bahasa, dan bentuk-bentuk lain warisan tak berwujud 7. Semangat dan rasa Yang dimaksud dengan keaslian untuk warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO adalah tiga atribut berikut ini: 1. Keseluruhan, seluruh atribut yang terkait berada di (lokasi) warisan 2. Kelengkapan, seluruh atribut masih terlihat – tidak ada yang hilang atau mengalami kerusakan yang signifikan
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
48
3. Tidak terancam, seluruh atribut yang berkaitan dengan warisan tidak berada dalam ancaman yang disebabkan oleh pengembangan (kota), deteriorasi, atau terabaikan. Assessment nilai, dilakukan dengan cara melakukan kritik berulang terhadap OUV yang direpresentasikan oleh nominator dan melakukan komparasi dengan warisan sejenis yang sudah ditetapkan sebagai warisan dunia. Proses penilaian dilakukan oleh komite warisan budaya dunia. Pilar terakhir, yang dimaksud dengan kriteria perlindungan dan pengelolaan yang ditetapkan oleh UNESCO adalah ketersediaan area untuk dijadikan wilayah penyangga. Untuk kriteria perlindungan dan pengelolaan ini, tidak dilakukan komparasi ataupun kritik berulang. Pada pasal 1 Convention Concerning The Protection Of The World Cultural And Natural Heritage tahun 1972 dijelaskan bahwa warisan budaya dunia, dibagi menjadi tiga kategori umum, yaitu: 1. Monumen Termasuk di dalam kategori monumen adalah ”architectural works, works of monumental sculpture and painting, elements or structures of an archaeological nature, inscriptions, cave dwellings and combinations of features, which are of outstanding universal value from the point of view of history, art or science”. Contoh dari monumen warisan budaya dunia di Indonesia adalah Borobudur
2. Kelompok bangunan Termasuk di dalam kategori kelompok bangunan adalah ”groups of separate or connected buildings which, because of their architecture, their homogeneity or their place in the landscape, are of outstanding universal value from the point of view of history, art or science” Contoh dari kelompok bangunan warisan budaya dunia di Indonesia adalah kompleks Prambanan.
3. Situs Termasuk di dalam kategori situs adalah ”works of man or the combined works of nature and man, and areas including archaeological sites which are of outstanding universal value from the historical, aesthetic, ethnological or anthropological point of view”.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
49
Contoh dari situs warisan budaya dunia di Indonesia adalah situs prasejarah sangiran.
3.2. 2. Penilaian dan Penetapan Warisan Budaya di Amerika Serikat 2 Amerika menyebut warisan budaya dengan istilah cultural property. Kawasan warisan budaya yang dianggap sangat berharga bagi negara dan budaya Amerika disebut dengan istilah National Heritage Site, National Heritage Parks, National monument, dan National Historic Landmark. Perlindungan hukum terhadap cultural property diatur oleh National Historic Preservation Act tahun 1966. Bidang yang dianggap berkaitan dengan cultural property adalah sejarah, arsitektur, arkeologi, teknik, dan budaya sehingga kelayakan signifikansi (qualify of significance) cultural property berkaitan dengan kelima bidang tersebut. Warisan budaya Amerika dibagi menjadi lima jenis, yaitu: bangunan, distrik, objek, situs, dan struktur. Dalam proses penilaiannya, tiap jenis warisan budaya ini juga dinilai dengan kriteria khusus: 1. Bangunan, adalah struktur yang dibuat untuk tempat penampungan segala bentuk aktivitas manusia, seperti gudang, rumah, gereja, hotel, atau struktur serupa. Bangunan bisa merujuk ke sebuah kompleks historis terkait seperti gedung pengadilan dan penjara atau rumah dan gudang. 2. Distrik, adalah wilayah geografis yang sudah didefinisikan, seperti perkotaan atau pedesaan yang memiliki konsentrasi signifikan, penghubung, atau situs berkelanjutan, bangunan, struktur, atau benda yang disatukan oleh peristiwa masa lalu atau memang dirancang dengan memperhatikan nilai estetika. 3. Objek, adalah hal benda material yang mungkin memiliki nilai fungsional, estetika, budaya, sejarah atau ilmu pengetahuan yang terbentuk secara alami atau memang suatu rancangan, dapat dipindahkan (bergerak) namun masih terkait dengan pengaturan (tema sejarah) atau lingkungan tertentu. 4. Situs, adalah lokasi peristiwa penting baik prasejarah atau sejarah atau suatu lokasi pemukiman atau kegiatan, atau bangunan atau struktur, apakah berdiri,
2
Hardesty, Donald L, dan Barbara J. Little. 2009. Assessing Site Significance A Guide for Archaeologists and Historians. New York: AltaMira Press.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
50
hancur, atau hilang, di mana lokasi itu sendiri mempertahankan nilai sejarah atau arkeologi berapapun nilai dari setiap struktur yang ada. 5. Struktur, adalah karya yang terdiri dari bagian-bagian saling tergantung dan saling terkait dalam pola tertentu organisasi. Dibangun oleh manusia, seringkali merupakan proyek teknik dalam skala besar. Kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika untuk mengevaluasi signifikansi tersebut adalah jika wilayah (kawasan), situs, bangunan, struktur, dan objek tersebut memiliki nilai kesatuan lokasi, desain, tata letak, material, keahlian, perasaan, dan asosiasi (kaitan/ hubungan) dengan A. Peristiwa yang memiliki kontribusi besar terhadap pola sejarah Amerika, atau B. Peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan tokoh-tokoh penting dalam sejarah, atau C. Wujud dari karakteristik khusus suatu tipe, periode, metode pembangunan/ konstruksi, atau representasi dari karya seorang maestro, atau wujud suatu nilai artistik yang tinggi, atau merepresentasikan suatu kepentingan, dan/atau D. Informasi penting berkaitan dengan prasejarah ataupun sejarah. Keempat kriteria tersebut dievaluasi dengan cara yang berbeda-beda dan harus disebutkan dalam proses evaluasi. Selain kriteria signifikansi yang sudah ditetapkan, terdapat pula dua kriteria tambahan untuk menetapkan warisan budaya di Amerika. Kriteria tersebut adalah kriteria integritas dan konteks sejarah. Kriteria integritas sejarah yang dimaksud dalam perlindungan warisan budaya Amerika berkaitan dengan keaslian informasi sejarah suatu warisan budaya yang dibuktikan dengan adanya sisa karakteristik-karakteristik tertentu yang mencerminkan suatu periode prasejarah atau sejarah yang terlihat di fisik warisan budaya tersebut. Integritas sejarah pada warisan budaya dinilai dari tujuh aspek, yaitu: 1. Lokasi 2. Desain 3. Tata Letak 4. Material 5. Keahlian
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
51
6. Perasaan 7. Asosiasi Sementara itu, kriteria konteks sejarah yang dimaksud dalam perlindungan warisan budaya Amerika adalah informasi mengenai trend sejarah dan warisanwarisan yang dapat dikelompokkan menurut tema penting dalam rangkaian peristiwa sejarah, ataupun sejarah suatu komunitas, Negara bagian, atau Negara selama periode waktu tertentu. Setiap cultural property dikategorikan menurut tema-tema yang sudah disusun (thematic categories) menurut fungsi dan kegunaannya pada masa lalu. Kategori berdasarkan fungsi dan kegunaan ini terdiri dari 16 sub kategori 3: 1. Domestic atau rumah, termasuk di dalamnya penginapan, rumah, gua, pemukiman sementara, panti asuhan, lumbung, dan pos-pos jaga. 2. Komersil/ Perdagangan, termasuk di dalamnya berbagai macam jenis kantor, studio, gudang, toko, restaurant, dan pasar 3. Sosial, termasuk di dalamnya gedung pertemuan, hall, klub (gedung societiet). 4. Pemerintahan, termasuk di dalamnya balai kota, gedung pusat pemerintahan (kantor gubernur, istana, kantor kedutaan, kantor dewan perwakilan), gedung pusat pelayanan publik (kantor Pos, PLN, Telkom, PAM, LP, kantor Polisi, Pengadilan). 5. Pendidikan, temasuk di dalamnya sekolah, kampus, perpustakaan, pusat penelitian, observatorium, asrama yang berkaitan dengan suatu institusi pendidikan. 6. Agama, temasuk di dalamnya gereja, masjid, klenteng, pura, kuil, cathedral, candi, pathirtan, pagoda, dan sarana-sarana yang berkaitan dengan keagamaan seperti susteran, pastoran, dan sekolah keagamaan (seminari). 7. Pemakaman, termasuk di dalamnya makam, situs pemakaman, crematorium, kamar mayat, rumah duka, dan situs-situs terkait.
3
U.S Departement of the Interior National Park Service Interagency Resources Division. T.th. National Register Bulletin Technical Information on Comprehensive Planning, Survey of Cultural Resources, and Registration in the National Register of Historic Places. Washington D.C: Author, hal: 20-23.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
52
8. Rekreasi dan budaya, termasuk di dalamnya bioskop, gedung teater, auditorium, museum, fasilitas olahraga, karya-karya seni (patung, lukisan), monument commemorative 9. Pertanian dan peternakan, termasuk di dalamnya persawahan, perladangan, situs agrikultur, situs peternakan, situs perikanan, situs horticultural, sistem irigasi. 10. Industri, termasuk di dalamnya pabrik dan gudang. 11. Pusat kesehatan, termasuk di dalamnya rumah sakit, klinik, sanitarium, resort, dan apotek. 12. Bangunan pertahanan, termasuk di dalamnya benteng, fort, pos militer, battlefield (lapangan perang), mercusuar, segala fasilitas militer baik dari angkatan laut, udara, dan darat. 13. Lanskap, termasuk di dalamnya taman, plaza, kebun, situs-situs non pemukiman, tempat parkir. 14. Sarana dan prasarana transportasi. 15. Tidak diketahui 3.2. 3. Penilaian dan Penetapan Warisan Budaya di Negara Cina 4 Di Cina, warisan budaya disebut dengan istilah 文物 古迹 (dibaca wénwù gǔjī). Secara umum warisan budaya di Cina dibagi menjadi empat kategori: situs, lanskap, desa, dan kota. Kategori situs terdiri dari tiga sub-kategori, yaitu: wénwù gǔjī (gabungan dari benda budaya dan tinggalan kuno), wénwù (benda budaya), dan gǔjī (tinggalan kuno ). Sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Cina, situs warisan diartikan sebagai sisa-sisa fisik tak bergerak yang diciptakan selama sejarah umat manusia dan memiliki signifikansi; termasuk di antaranya situs dan reruntuhan arkeologi, makam, arsitektur tradisional, gua kuil, ukiran batu, patung, prasasti, prasasti, dan batu berukir, serta tempat modern/ kontemporer, bangunan peringatan, dan juga desa atau kota bersejarah bersama dengan komponen asli situs, secara resmi dinyatakan sebagai situs yang dilindungi.
4
Mengacu pada Neville Agnew dan Martha Demas. 2002. Principles for the Conservation Sites in China English Language Text. Los Angeles: Getty Conservation Institute
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
53
Adapun signifikansi yang ditetapkan agar suatu benda atau tempat dapat diajukan sebagai warisan budaya adalah jika warisan budaya tersebut memiliki asosiasi dengan: 1. Peristiwa yang signifikan dan aktivitas yang berkaitan dengan tokoh sejarah 2. Memiliki signifikansi ilmu pengetahuan, teknologi, produksi, transportasi, dan komersial. 3. Institusi tradisional 4. Kelompok etnik dan religi 5. Keluarga dan kelompok masyarakat 6. Sastra dan seni 7. Adat istiadat dan periode trend 8. Atribut sejarah yang memiliki signifikan khusus Luas wilayah dan rentang sejarah budaya yang sangat panjang membuat negara Cina sangat ketat dalam menerapkap peraturan situs-situs dan benda apa saja yang layak dijadikan sebagai warisan budaya. Secara umum, nilai yang dianggap fundamental untuk dilestarikan di Cina ada 3, yaitu nilai sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan. Nilai sejarah bagi warisan budaya Cina adalah jika warisan budaya tersebut: 1. Memiliki alasan kuat saat pembangunannya dan ke-otentik-an situs harus merefleksikan alasan tersebut 2. Lokasi kejadian dari suatu peristiwa bersejarah, atau lokasi tempat tokoh bersejarah melakukan sebagian besar kegiatannya disana, dan setting sejarahnya haruslah secara akurat merefleksikan peristiwa atau aktivitas tokoh tersebut 3. Situs mengilustrasikan produksi material, gaya hidup, adat istiadat 4. Keberadaan situs dapat membuktikan, meluruskan, atau menambahkan faktafakta yang terdokumentasi dalam catatan sejarah 5. Tinggalan sejarah tersebut memiliki keunikan atau berasal dari periode dan tipe yang langka, atau merupakan representasi dari sebuah tipe situs 6. Di situs dapat terlihat tiap tahap transformasi situs dari waktu ke waktu
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
54
Nilai seni bagi warisan budaya Cina adalah jika warisan budaya tersebut dapat menunjukkan: 1. Seni rancang bangunan (arsitektur), termasuk komposisi wilayah, gaya bangunan, dekorasi, dan bentuk estetika 2. Seni rancang bentang alam, termasuk di dalamnya bentang alam dari suatu lokasi berpanorama budaya, kota, dan taman. 3. Memiliki asosiasi dengan seni pahat dan dekorasi 4. Karya seni berupa pahatan yang tidak dapat dipindahkan, yang unik dari segi periode, tipe, subjek, penampilan, dan keahlian seni. 5. Menunjukkan proses kreatif dan merupakan sarana ekspresi dari seni-seni yang sudah disebutkan sebelumnya Nilai ilmu pengetahuan bagi warisan budaya Cina adalah jika warisan budaya tersebut dapat menunjukkan: 1. Rencana dan rancangan, termasuk di dalamnya pemilihan bentuk situs, perlindungan ekologis, reaksi terhadap ancaman bencana, dan bentuk arsitektural dan struktural. 2. Menunjukkan level konstruksi, material, teknik, teknologi dan ilmu pengetahuan yang sudah dicapai pada suatu periode dan merupakan ciri khas dari periode tersebut, atau situs tersebut berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 3. Sebuah fasilitas atau lokasi suatu eksperimen ilmu pengetahuan, produksi, atau transportasi. 4. Sebuah tempat dimana informasi mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi terekam dan terpreservasi. Ketika melakukan assessment terhadap nilai sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan, komponen awal yang harus diperhatikan adalah: 1. Kondisi situs 2. Keuntungan yang diperoleh masyarakat melalui interpretasi terhadap situs setelah dilakukannya konservasi 3. Nilai potensial dari situs belum teridentifikasi 4. Keuntungan sosial dan ekonomi yang diperoleh dari situs yang revitalisasi
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
55
5. Signifikansi situs dalam pembentukan konsep ”Kota yang terkenal dari segi sejarah dan budaya” atau daerah bersejarah yang memiliki fungsi sosial terhadap komunitas lokal. 3.2.4. Penilaian dan Penetapan Warisan Budaya di Negara Inggris 5 Sebagian besar warisan budaya di Inggris dikelola oleh English Heritage. English Heritage didirikan oleh parlemen Inggris sesuai dengan Undang-Undang warisan budaya tahun 1983 (National Heritage Act 1983). English heritage dilebur dengan Royal Commission for Historical Monuments for England tahun 2000. English Heritage didirikan untuk melestarikan kawasan-kawasan bersejarah Inggris. Inggris menyebut warisan budaya dengan istilah heritage. Bidang yang dianggap berkaitan dengan cultural property adalah arsitektur, arkeologi, dan sejarah sehingga kelayakan signifikansi (qualify of significance) cultural property berkaitan dengan ketiga bidang tersebut. Adapun signifikansi yang dimaksud adalah: 1. Signifikansi Arsitektur: Daftar yang disusun mencakup semua bangunan yang penting bagi bangsa karena rancangan bangunannya, dekorasi, dan keahlian pengerjaannya. 2. Signifikansi Sejarah: Daftar yang disusun mencakup semua bangunan yang menampilkan aspek-aspek penting dari sejarah sosial bangsa, budaya, ekonomi atau militer. 3. Asosiasi sejarah: bangunan yang berhubungan erat dengan tokoh atau peristiwan penting secara nasional; 4. Nilai komunitas: Khusus untuk bangunan yang dianggap membentuk suatu kesatuan arsitektur atau kesejarahan penting atau contoh bagus untuk tata perencanaan (misalnya, kotak, teras, model desa). Warisan budaya Inggris dibagi menjadi enam jenis, yaitu: bangunan (dan struktur), monumen kuno, monumen, situs kapal karam, taman dan kebun, dan lapangan/medan perang. Dalam proses penilaiannya, tiap jenis warisan budaya ini juga dinilai dengan kriteria khusus: 5
Mengacu pada website resmi English Heritage, http://www.english-heritage.org.uk/
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
56
1. Kriteria untuk bangunan : -
Umur dan kelangkaan: sebagian besar bangunan yang dibangun sebelum tahun 1700 yang bertahan seperti kondisi asli mereka akan masuk daftar, hal yang sama juga berlaku untuk bangunan yang dibangun antara tahun 1700 dan 1840
-
Bangunan yang dibangun dalam waktu 30 tahun terakhir dan dalam kondisi terancam, harus segera didaftarkan. Sebuah bangunan harus berusia lebih dari 10 tahun untuk memenuhi persyaratan daftar.
-
Signifikansi arsitektur: bangunan yang penting secara nasional untuk kepentingan arsitektur, dekorasi, teknik, merupakan bangunan unggulan atau merupakan contoh penting dari jenis bangunan tertentu.
-
Signifikansi sejarah untuk bangunan maksudnya adalah bangunan yang menggambarkan aspek penting dari sejarah bangsa dalam bidang sosial, ekonomi, budaya atau militer.
-
Memiliki hubungan kesejarahan yang erat dengan tokoh atau peristiwa penting nasional.
-
Nilai komunitas, terutama di mana bangunan adalah bagian dari kelompok atau arsitektur bersejarah penting atau adalah contoh baik dari perencanaan (seperti kotak, teras dan desa model)
Kriteria pemeringkatan untuk bangunan : -
Peringkat I adalah bangunan yang luar biasa signifikan, kadang-kadang dianggap signifikan secara internasional, hanya 2,5% dari bangunan yang tercantum adalah kelas I
-
Peringkat II * adalah bangunan bangunan yang lebih dianggap penting dari bangunan yang memiliki signifikansi khusus; 5,5% gedung tercantum adalah peringkat II *
-
Peringkat II adalah bangunan nasional penting dan memiliki signifikansi khusus; 92% dari semua bangunan yang tercantum adalah di kelas ini dan itu adalah kelas yang paling mungkin dimiliki oleh pemilik rumah.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
57
Kriteria untuk situs kapal karam adalah situs yang diidentifikasi memiliki kemungkinan mengandung sisa-sisa kapal, atau isinya, yang penting bagi bidang sejarah, seni atau arkeologi. Sedangkan kriteria untuk lapangan/ medan perang adalah sebagai berikut: -
Sebagai titik balik dalam sejarah Inggris, misalnya Penaklukan Norman yang diikuti Pertempuran Hastings tahun 1066, atau gejolak Perang Sipil pada abad ketujuh belas yang mengubah peran monarki dan parlemen. Reputasi para pemimpin politik dan militer yang besar seringkali dibangun pada. keberhasilan medan perang.
-
Taktik dan keterampilan perang yang masih relevan dengan perkembangan pertahananan negara dalam sejarah perang
-
Medan Perang adalah tempat peristirahatan terakhir bagi ribuan tentara tidak diketahui, bangsawan dan rakyat jelata sama, yang hidupnya dikorbankan dalam sejarah pendirian negara Inggris.
-
Di mana para tentara bertahan hidup, medan perang mungkin berisi bukti topografi dan arkeologi penting yang dapat meningkatkan pemahaman kita tentang peristiwa penting sejarah yang terjadi di tanah mereka.
Kriteria untuk taman dan kebun: -
Peringkat I adalah situs yang luar biasa menarik
-
Peringkat II * situs yang sangat penting, lebih dari signifikansi khusus
-
Peringkat II berkaitan dengan signifikansi khusus, upaya dalam menjaga bangunan-bangunan ini akan dijamin.
Pada tahun 2004, English Heritage memperkenalkan kerangka penilaian mereka yang baru. Kerangka penilaian ini berpijak pada tiga nilai yang dianggap dimiliki oleh setiap warisan budaya. Ketiga nilai ini merupakan representasi dari tiga subjek penilai yang berada di lingkup pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya. Ketiga nilai itu adalah instrinsik, instrumental, dan institusional. Nilai intrinsik adalah nilai yang dimiliki oleh warisan budaya yang dirasakan oleh individu yang mengunjungi warisan budaya tersebut. Nilai
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
58
instrinsik ini berkaitan dengan pengetahuan, emosional, dan spiritual yang dapat menggerakkan naluri seseorang. Nilai ini tidak dapat digeneralisasi karena sangat tergantung dengan pengalaman, ikatan emosi seseorang, namun setiap orang pasti akan merasakan keberadaan nilai ini. Dalam kategori yang disusun oleh UNESCO, nilai ini dimasukkan dalam kriteria spirit and feeling yang dapat diterjemahkan sebagai semangat dan perasaan. Nilai instrumental adalah nilai yang diperoleh orang-orang yang berkat keberadaan warisan budaya. Nilai instrumental dikaitkan dengan nilai sosial dan ekonomi. Nilai Institusional; nilai warisan budaya yang diadopsi oleh suatu institusi demi mencapai tujuan tertentu tujuan-tujuan tertentu, mis. untuk menciptakan ikatan di dalam masyarakat (Clark, 2006: 15-20). Jika nilai instrinsik muncul dari hubungan antara individu atau pengujung dengan warisan budaya, maka nilai instrumental muncul dari hubungan antara warisan budaya dengan ahli, praktisi, maupun akademisi dari bidang terkait (professional). Sedangkan nilai institusional muncul dari hubungan antara warisan budaya dengan pembuat kebijakan (pemerintah) ataupun politisi. Setiap nilai-nilai tersebut, memiliki kriteria dan cara evaluasi yang berbeda-beda. Nilai yang timbul akibat interaksi antara publik dan warisan budaya juga digunakan oleh UNESCO, walaupun tidak dibedakan secara eksplisit. 3.2. 4. Jepang 6 Di Jepang, warisan budaya dilestarikan untuk memahami sejarah dan kebudayaan Jepang dan merupakan pondasi untuk pengembangan kebudayaan. Kriteria pemilihan warisan budaya Jepang adalah sebagai berikut: 1. Objek dari berbagai periode sejarah yang dianggap penting dalam sejarah kebudayaan Jepang yang menunjukkan keunggulan dalam produksi mereka. 6
Mengacu pada : • Agency for Cultural Affair, Japan. 2011. Policy of Cultural Affairs in Japan ― Fiscal 2011. Tokyo: Author. • Agency for Cultural Affair, Japan. 2011. Cultural Properties for Future Generations – Outline of the Cultural Administration of Japan-. Tokyo: Author. Hal: 3, dan • website resmi Bunka di http://www.bunka.go.jp
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
59
2. Objek yang dianggap sangat penting sebagai tinggalan penting dalam sejarah lukisan dan patung Jepang; 3. Objek yang menampilkan fitur yang luar biasa (terutama keanehan) dalam hal materi subjek, kualitas estetika, kondisi, dan teknik; 4. Objek yang menunjukkan ciri-ciri gaya yang timbul dari penulis atau penulis yang unik, sekolah, atau wilayah geografis; 5. Objek produksi asing memiliki signifikan pada sejarah budaya Jepang (seperti sebuah lukisan China) (Yoshiaki Shimizu, 2001: 121-125) Warisan budaya yang terpilih adalah warisan budaya yang dianggap memiliki nilai artistik, sejarah, dan ilmu pengetahuan sangat tinggi. Berdasarkan jumlah warisan budaya penting yang sudah ditetapkan oleh Jepang, ada kesan bahwa pemerintah Jepang lebih cenderung melestarikan benda-benda seni yang mewakili kebudayaan Jepang. Salah satu contohnya, hingga tahun 2010, jumlah lukisan yang ditetapkan sebagai warisan budaya penting berjumlah 1.969 dengan jumlah national treasure dari kategori ini 158 lukisan. Demikian pula patung dan hasil kerajinan yang ditetapkan sebagai warisan budaya penting jumlah masing-masing subkategori melebihi angka 2000. Sedangkan artefak arkeologi hanya berjumlah 578, dan yang ditetapkan sebagai national treasure hanya 44. 7 Dalam mengidentifikasi nilai warisan budaya, Jepang melibatkan dewan khusus dari kementrian terkait dan komite yang beranggotakan ahli-ahli dari bidang terkait. Menurut Undang-Undang Perlindungan terhadap Warisan Budaya Jepang, warisan budaya di wilayah Jepang dibagi menjadi enam kategori. Setiap kategori tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda. Berikut adalah keenam kategori tersebut: 1. 有形文化財yūkei bunkazai/ Tangible Cultural Properties/ Warisan Budaya Kebendaan, termasuk di dalamnya struktur, lukisan, patung, hasil kaligrafi, buku-buku klasik, dokumen kuno, artefak arkeologi, dan benda-benda bersejarah lain yang memiliki nilai pengetahuan yang tinggi. Warisan
7
Agency for Cultural Affair, Japan. 2011. Cultural Properties for Future Generations – Outline of the Cultural Administration of Japan-. Tokyo: Author. Hal: 3
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
60
Budaya Kebendaan yang memiliki nilai sangat tinggi di Jepang dapat ditetapkan sebagai 重要文化財jūyō bunkazai atau Warisan Budaya Penting. Jūyō bunkazai yang memiliki nilai khusus akan ditetapkan sebagai National Treasures atau 国宝. Yūkei bunkazai dan jūyō bunkazai yang membutuhkan preservasi dan rancangan pemanfaatan akan didaftarkan dalam Warisan Budaya Terdaftar. 2. 無形文化財mukei bunkazai/ Intangible Cultural Properties/ Warisan Budaya tak-Benda, termasuk di dalamnya drama, musik, teknik kerajinan, dan seluruh keahlian manusia yang diwujudkan dalam bentuk individu atau kelompok yang menguasai keahlian terkait. Warisan Budaya tak-Benda yang memiliki nilai sangat tinggi di Jepang dapat ditetapkan sebagai 重要無形文化財jūyō mukei bunkazai atau Warisan Budaya tak- Benda Penting. Jūyō mukei bunkazai/ yang memiliki nilai khusus akan ditetapkan sebagai National Living Treasures. Mukei bunkazai dan jūyō mukei bunkazai yang membutuhkan preservasi dan rancangan pemanfaatan akan didaftarkan dalam Warisan Budaya Terdaftar. 3. 民俗文化財minzoku bunkazai/ Folk Cultural Properties/ Warisan Budaya Tradisional adalah seluruh item
seperti perilaku dan kebiasaan yang
berkaitan dengan makanan, pakaian, rumah, keyakinan, perayaan tahunan, pertunjukan seni ataupun keahlian-keahlian yang berkaitan dengan hal-hal yang disebutkan di atas, yang sangat diperlukan untuk memahami perubahan cara hidup masyarakat Jepang. Minzoku bunkazai dibagi menjadi dua, yaitu: a. 有形民俗文化財yūkei minzoku bunkazai/ Tangible Folk Cultural Properties. Bagi yūkei minzoku bunkazai yang memiliki nilai khusus akan
ditetapkan
sebagai
Tangible
Folk
Cultural
Properties
(有形民俗文化財yūkei minzoku bunkazai). b. 無形民俗文化財mukei minzoku bunkazai/ Intangible Folk Cultural Properties. Bagi yūkei mukei minzoku bunkazaiminzoku bunkazai yang memiliki nilai khusus akan ditetapkan sebagai Important Intangible Folk Cultural Properties (重要無形文化財jūyō mukei minzoku bunkazai).
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
61
4.
記念物kinenbutsu atau Monumen, termasuk di dalamnya shell mounds, makam kuno, istana, benteng, kastil, kediaman, taman, jembatan, tempattempat lain yang memiliki panorama indah (pantai, jurang, pegunungan), serta hewan, tanaman, atau bentukan mineral dan geological yang memiliki nilai pengetahuan yang tinggi. Kriteria untuk kategori ini ada tiga, yaitu : a. Historic Sites (史跡shiseki) diartikan sebagai situs Bersejarah b. Places of Scenic Beauty (名勝meishō) diartikan sebagai Wilayan Berpanorama Indah c. Natural Monuments (天然記念物tennen kinenbutsu) diartikan sebagai Monumen Alam Tingkat tertinggi bagi 記念物kinenbutsu atau Monumen adalah status sebagai Special Historic Sites (特別史跡tokubetsu shiseki), Special Places of Scenic Beauty (特別名勝tokubetsu meishō), and Special Natural Monuments (特別天然記念物tokubetsu tennen kinenbutsu).
5. 文化的景観bunkazai keishiki atau Lanskap Budaya, ini adalah lanskap yang berkaitan dengan cara hidup masyarakat (geo-kultural) yang sangat dibutuhkan untuk memahami gaya hidup atau kehidupan masyarakat Jepang. 6. 伝統的建造物群Dentōteki kenzōbutsu-gun atau Kelompok Bangunan Tradisional, kumpulan bangunan tradisional yang memiliki nilai tinggi yang mana membentuk pemandangan indah jika dikombinasikan dengan lingkungan di sekitar mereka. 7. 埋蔵文化財maizō bunkazai atau Warisan Budaya Terkubur adalah warisan budaya Jepang yang terkubur di dalam tanah seperti makam, gua, reruntuhan,
dan
situs-situs
lain
yang
masih
belum
diekskavasi.
Perlindungan Warisan Budaya Terkubur meliputi pelarangan untuk melakukan ekskavasi atau kegiatan konstruksi di sekitar warisan budaya tersebut tanpa adanya pemberitahuan. Jika preservasi in-situ tidak mungkin dilakukan, maka pihak developer atau pengembang kawasan dituntut untuk melakukan tindakan ekskavasi penyelamatan. Jika dana untuk hal ini tidak
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
62
memungkinkan, maka organisasi publik setempat dapat melakukan ekskavasi dengan menggunakan dana publik. Mungkin dari keseluruhan proses penilaian warisan budaya, proses penilaian warisan budaya Jepang termasuk yang paling rumit dan paling berbeda. Salah satu penyebab kerumitan ini adalah karena Jepang merupakan negara yang kebudayaan kunonya terus berlangsung. Hal ini menyebabkan adanya nilai-nilai tradisional yang diikutkan dalam sistem penilaian warisan budaya Jepang, contohnya adalah pelestarian baju zirah seorang legenda samurai atau pelestarian individu atau grup yang menguasai keahlian tradisional Jepang tingkat tinggi. Seluruh hal yang berkaitan dengan budaya Jepang ditetapkan sebagai 文化財bunkazai/ Cultural Properties of Japan atau bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia bisa disebut sebagai bukanzai
tersebut
nantinya
akan
Warisan Budaya Jepang. Seluruh mengalami
proses
penilaian
dan
pemeringkatan (designation system/指定制度) untuk dipilih menjadi sebagai 重要文化財jūyō bunkazai atau Warisan Budaya Penting. Selama proses penilaian dan pemeringkatan ini, warisan budaya tersebut tidak diizinkan untuk diubah, diperbaiki, maupun dijual keluar negeri. Penilaian dan penetapan warisan budaya ini diatur oleh 3 level pemerintahan, pemerintah kota atau 市定重要文化財, pemerintah daerah atau 県定重要文化財, atau pemerintah pusat (nasional) atau 県定重要文化財. Proses penilaian dan penetapan dilakukan oleh pihak Kementrian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan konsultasi dari Dewan Urusan Budaya, Sub-Divisi Warisan Budaya dan konsultasi dari Komite Ahli Warisan Budaya. Sistem penilaian dilakukan pertama kali oleh pemerintah lokal. Pemerintah lokal dapat mengubah status benda atau ahli menjadi warisan budaya penting. Setelah dilakukan penilaian dan penetapan, 重要文化財jūyō bunkazai atau Warisan Budaya Penting dapat dicalonkan kembali untuk menjadi National Treasures atau 国宝. Butuh proses penelitian yang sangat
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
63
panjang sebelum suatu benda, ahli, atau tempat dijadikan sebagai National Treasures. Namun
untuk
warisan-warisan
budaya
yang
terpilih
menjadi
重要文化財jūyō bunkazai atau Warisan Budaya Penting akan didaftarkan dalam Daftar Warisan Budaya Jepang untuk dilakukan preservasi (termasuk konservasi) dan penentuan pemanfaatan. Kegiatan preservasi meliputi: •
Memandu dan memberikan tunjangan dana untuk kegiatan perlindungan dan pengelolaan kepada pemilik dan pemerintah setempat.
•
Memberikan tunjangan kepada pemerintah setempat untuk membeli lahan atau struktur yang merupakan warisan budaya.
•
Mengatur segala pemindahan, dan pelarangan.
•
Mengatur pembebasan pajak
•
Pembuatan dokumentasi warisan budaya yang dapat diakses oleh public
•
Preservasi lingkungan.
Sedangkan kegiatan pemanfaatan meliputi: •
Rekomendasi, perintah, atau petunjuk kepada pemilik atau pemerintah setempat untuk aksesibilitas publik terhadap warisan budaya tersebut.
•
Mendirikan atau mengelola suatu museum, teater, fasilitas publik, ataupun pusat penelitian warisan budaya. Inti dari designation dan registration system yang diterapkan di Jepang
adalah mengajak para pemilik untuk melestarikan warisan budaya tersebut secara sukarela. Sehingga pemerintah pusat dan lokal bisa fokus melestarikan National Treasures dan 重要文化財jūyō bunkazai atau Warisan Budaya Penting.
3.3. Tinjauan 3.3.1. Konsep dan Sistem Penilaian Warisan Budaya Dalam berbagai traktat, buku referensi, ataupun Undang-Undang yang berhubungan dengan warisan budaya terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses penilaian. Istilah tersebut adalah assessment, designation, dan valuation. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang kurang lebih sama, yaitu penilaian. Namun di dalam ruang
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
64
lingkup pelestarian warisan budaya, ketiga istilah tersebut sebenarnya bukan hanya sebuah istilah, tapi konsep. Assessment, designation, dan valuation adalah tiga konsep berbeda yang sama-sama membahas mengenai nilai warisan budaya. Konsep yang paling awal adalah assessment atau yang dapat diterjemahkan menjadi identifikasi nilai. Identifikasi nilai warisan budaya muncul setelah Alois Riegl menerbitkan artikelnya yang berjudul Der Moderne Denkmalkultus: Sein Wesen und Seine Entstehung (The Modern Cult Of Monuments: It’s Essence And Its Development) pada tahun 1903. Di dalam artikelnya, Riegl membahas mengenai definisi dari nilai sejarah dan artistik yang selalu dikaitkan dengan pelestarian monumen bernilai seni dan bersejarah. Walaupun sama sekali tidak menyebutkan istilah assessment dalam artikelnya, namun Riegl membuka wawasan para pembacanya mengenai apa yang sebenarnya dilestarikan pada sebuah monumen bersejarah dan bernilai seni tinggi. Selanjutnya UNESCO pada konvensi Convention Concerning The Protection Of The World Cultural And Natural Heritage tahun 1972 mulai menggunakan istilah identifikasi nilai. Istilah assessment dipopulerkan oleh ICOMOS dan pemerintah Australia saat dikeluarkannya piagam Burra (Burra Charter) pada tahun 1979 bersamaan dengan istilah cultural significance. Proses assessment cultural significance ini terdiri dari dua proses. Proses yang pertama adalah menentukan elemen dari benda/ bangunan/ situs yang membuat benda/ bangunan/ situs menjadi signifikan. Proses kedua adalah menentukan tingkat nilai yang dimiliki benda/ bangunan/ situs yang berguna untuk lingkungan sosial (Michael Perason dan Sullivan, 1995: 146). Designation
adalah
konsep
perlindungan
warisan
budaya
yang
berkembang selanjutnya. Assessment sebenarnya tidak bisa dibedakan dengan designation, karena di dalam designation juga terdapat proses assessment. Perbedaan paling jelas antara assessment dan designation terletak pada keberadaan perlindungan hukum. Istilah designation system memang digunakan untuk menyebutkan sistem penilaian warisan budaya yang disertai dengan pemberian perlindungan hukum, baik itu maksudnya pemeringkatan (lokal,
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
65
regional, nasional) ataupun
pengkategorian (cultural landscape, national
treasure/ property, historic site). Designation-Registration system adalah konsep perlindungan warisan budaya yang digunakan di Jepang. Inti konsep perlindungan ini adalah semua benda/ bangunan/ situs yang dianggap memiliki nilai sebagai warisan budaya akan didaftarkan. Walaupun kemudian benda itu tidak lolos kriteria sebagai warisan budaya, atau terdapat sesuatu hal yang menyebabkan benda tersebut tidak dapat dijadikan warisan budaya setidaknya terdapat daftar yang mencatat keberadaan benda tersebut. Daftar itu dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Registration system ini muncul karena Jepang juga melestarikan warisan budaya tak benda (intangible) yang artinya seseorang dengan ketrampilan langka yang mencerminkan kebudayaan Jepang juga akan dilindungi. Valuation adalah konsep perlindungan warisan budaya yang juga membahas mengenai nilai. Yang berbeda adalah valuation (diterjemahkan sebagai valuasi), hanya membahas nilai warisan budaya dilihat dari sudut pandang ekonomi. Di dalam sistem ini, warisan budaya tidak dikira-kira berapa harganya, namun permasalahan yang dibahas lebih kepada perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk pelestarian dengan perbandingan biaya yang akan diperoleh jika warisan budaya tersebut diberi fungsi baru. Dalam proses valuasi ini kesan yang diperoleh adalah kepedulian terhadap pelestarian warisan budaya harus sejalan dengan kenyataan bahwa pelestarian tersebut membutuhkan dana yang tidak kecil. Apakah pajak harus dihabiskan sebagian besar untuk memelihara warisan budaya sementara masih ada hal yang penting dalam masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan bantuan bagi masyarakat miskin yang harus diperhatikan (Navrud dan Ready, 2002: 3). Bahkan kalimat warisan budaya sebagai milik masyarakat harus benarbenar diperhatikan karena
istilah “milik masyarakat” memiliki defenisi dan
konsep tersendiri. Para ekonom sangat presisi dalam menentukan apa yang dimaksud dengan “milik masyarakat” (public goods). Sesuatu yang menjadi milik masyarakat berarti bersifat bebas untuk dimiliki dan bebas untuk dinikmati. Hal tersebut tentu tidak sejalan dengan prinsip pelestarian warisan budaya karena
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
66
warisan budaya memang sengaja dilestarikan karena sifat kelangkaannya. Yang artinya, ketika warisan budaya tersebut rusak, akan sangat mustahil untuk menggantikannya (Navrud dan Ready, 2002: 3-6). Valuasi adalah salah satu cara untuk menghubungkan dua kepentingan ini sehingga atribut penilaian yang digunakan akan sama sekali berbeda dengan assessment dan designation. Di dalam valuasi, atribut yang digunakan adalah WTP (willingness to pay) dan WTA (willingness to accept). Visitation frequency model, site choice model, travel cost method adalah beberapa metode valuasi yang sudah diaplikasikan.
3.3.1. Kriteria dan Kategori Warisan Budaya Setiap negara memiliki ketentuan kriteria dan kriteria warisan budaya yang berbeda. Signifikansi nilai yang ditetapkan pun berbeda-beda. Perbedaan kriteria dan kategori tersebut akan dirangkum pada tabel 3.1 berikut ini.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
67
Tabel 3.1 Tipologi signifikansi, kriteria, kategori warisan budaya berdasarkan ketentuan asing UU No. 11 Tahun 2010
Kriteria Signifikansi
Kriteria tambahan
Sejarah Ilmu Pengetahuan Pendidikan Agama Kebudayaan Nilai penguatan kepribadian bangsa
(Tergantung dengan jenis warisan budaya)
UNESCO
Amerika Serikat
Cina
Inggris
Jepang
OUV (Outstanding Universal Value)
Sejarah Arsitektur Arkeologi Teknik Budaya
Sejarah Seni Ilmu Pengetahuan
Sejarah Arkeologi Arsitektur
Sejarah Nilai Artistik Ilmu Pengetahuan
1. Kondisi situs 2. Keuntungan yang diperoleh masyarakat melalui interpretasi terhadap situs setelah dilakukannya konservasi 3. Nilai potensial dari situs belum teridentifikasi 4. Keuntungan sosial dan ekonomi yang diperoleh dari situs yang revitalisasi 5. Signifikansi situs dalam pembentukan konsep ”Kota yang terkenal dari segi sejarah dan budaya” atau daerah bersejarah yang memiliki fungsi sosial terhadap komunitas lokal.
(Tergantung dengan jenis warisan budaya)
(Tergantung dengan jenis warisan budaya)
Nilai Integritas warisan budaya: 1. Bentuk dan rancangan 2. Material dan bahan 3. Kegunaan dan fungsi 4. Tradisi, teknik, dan sistem pengelolaan 5. Lokasi dan latar 6. Bahasa, dan bentukbentuk lain warisan tak berwujud 7. Semangat dan rasa
Kriteria Integritas : 1. Lokasi 2. Desain 3. Tata Letak 4. Material 5. Keahlian 6. Perasaan 7. Asosiasi Kriteria Konteks Sejarah
Otentitas: 1. Keseluruhan 2. Kelengkapan 8. Tidak terancam
38
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
68
Kriteria Pemeringkatan
1. Benda 2. Struktur 3. Bangunan 4. Situs 5. Kawasan
Berdasarkan keputusan pemerintah daerah dengan rekomendasi dari komite ahli. 1. 2. 3. 4. 5.
Object Monument Structure Site District
Berdasarkan keputusan pemerintah daerah 1. Situs, terdiri dari i. Culture + property + ancient + remains ii. Culture + property iii. Ancient + remains 1. Lanskap 2. Desa 3. Kota
Kategori warisan budaya
Berdasarkan keputusan pemerintah daerah dan komunitas lokal 1. Building (and structure) 2. Ancient Monuments 3. Monument 4. Wreck sites 5. Parks and Gardens 6. Battlefield
Berdasarkan keputusan pemerintah daerah dengan rekomendasi dari komite ahli. 1.有形文化財yūkei bunkazai/ Tangible Cultural Properties/ Warisan Budaya Kebendaan, 2. 無形文化財mukei bunkazai/ Intangible Cultural Properties/ Warisan Budaya takBenda, 3.民俗文化財minzoku bunkazai/ Folk Cultural Properties/ Warisan Budaya Tradisional 4. 記念物kinenbutsu atau Monumen, 5.文化的景観bunkazai keishiki atau Lanskap Budaya, 6.伝統的建造物群Dent ōteki kenzōbutsu-gun atau Kelompok Bangunan Tradisional
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
69
7. 埋蔵文化財maizō bunkazai atau Warisan Budaya Terkubur
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
70
3.3.2. Metode Penilaian Cagar Budaya untuk Kategori Bangunan Setelah menganalisis semua informasi yang berkaitan dengan Cagar Budaya dan warisan budaya, sebenarnya Indonesia sudah memiliki prosedur yang jelas mengenai tata cara pengubahan status suatu tinggalan masa lalu menjadi Cagar Budaya. Namun dalam prosedur tersebut masih terdapat beberapa hal yang belum ditetapkan oleh pemerintah Indonesia khususnya mengenai masalah bagaimana menilai Cagar Budaya yang berbeda kategori. Prosedur penilaian benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan seharusnya berbeda. Karena satu sama lain memiliki bagian-bagian yang tidak dimiliki oleh kategori lain.
1.
Defenisi dan Kategori Bangunan Cagar Budaya Pada pasal 1 butir 3 UU No. 11 tahun 2010, Bangunan Cagar Budaya didefenisikan sebagai “susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap” Pada pasal 7 UU No. 11 Tahun 2010 yang berbunyi ”Bangunan Cagar Budaya dapat: a: berunsur tunggal atau banyak; dan/atau b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam”. Dari keterangan tersebut, kategori bangunan Cagar Budaya dapat disusun menjadi: a. Bangunan tunggal yang berdiri bebas (tidak menyatu dengan formasi alam) b. Kelompok bangunan yang berdiri bebas (tidak menyatu dengan formasi alam) c. Bangunan tunggal yang menyatu dengan formasi alam d. Kelompok bangunan yang menyatu dengan formasi alam
2. Kriteria Awal Bangunan Cagar Budaya Suatu bangunan dapat diusulkan untuk menjadi Bangunan Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria: a. Bangunan berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
71
b. Bangunan yang mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; c. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi sejarah, d. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi ilmu pengetahuan, e. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi pendidikan, f. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi agama, g. Bangunan yang memiliki arti khusus bagi kebudayaan; dan h.
Bangunan yang memiliki arti khusus bagi nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
3. Indikator Penilaian Kriteria Awal Pada dasarnya, semua tinggalan masa lalu yang sudah ditetapkan statusnya menjadi Cagar Budaya berarti sudah dianggap memiliki arti khusus (untuk selanjutnya disebut sebagai signifikansi) bagi sejarah, kebudayaan, agama, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Namun seberapa besar signifikansi tersebut sangat tergantung pada ketetapan subjek penilai, dalam hal ini subjek penilai adalah tim ahli Cagar Budaya baik di tingkat kabupaten/ kota, provinsi, ataupun nasional. Berikut akan dicoba dijelaskan mengenai indikator-indikator untuk dapat mengidentifikasi signifikansi
sejarah,
kebudayaan,
agama,
pendidikan,
dan
ilmu
pengetahuan Parameter ini disusun berdasarkan 2 sumber. Sumber pertama adalah Undang-Undang No. 11 tahun 2010, dan sumber kedua adalah perbandingan dari sumber yang digunakan untuk penilaian (pendapat para ahli dan acuan penetapan asing). Dalam UU No. 11 tahun 2010, sudah ada pembagian kriteria Cagar Budaya berdasarkan tingkatan pemerintah (lokal, provinsi, nasional). Kriteria tersebutlah yang akan digunakan sebagai parameter signifikansi dan akan dibagi jenis informasi yang diwakili.
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
72
Kriteria Nilai Kategori
Indikator
signifikansi
signifikansi
signifikansi
kriteria untuk
kriteria untuk
kriteria untuk
wilayah lokal
wilayah provinsi
wilayah nasional
Tokoh
Sejarah
Peristiwa Teknologi yang
Ilmu
digunakan
Pengetahuan
Periode Gaya seni Tokoh
Agama
Periode Simbolis Berkaitan dengan Kebudayaan Kuno
Kebudayaan
Berkaitan dengan Kebudayaan yang masih berlangsung
Tabel 3.2. Parameter signifikansi informasi berdasarkan pendapat para ahli dan acuan penetapan asing
a. Nilai Sejarah Negara Cina dan Amerika sangat spesifik dalam menentukan kriteria informasi untuk nilai sejarah. Namun ada dua poin penting yang sama pada kriteria yang ditetapkan oleh kedua negara tersebut, yaitu mengenai tokoh dan peristiwa. Mohammad Iskandar, seorang sejarahwan dari Universitas Indonesia juga memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda. Iskandar berbendapat nilai sejarah yang berkaitan dengan penetapan Cagar Budaya adalah: •
Peristiwa yang merupakan isu Nasional/ Lokal
•
Unik (langka)
•
Makna/ dampak (bagi masyarakat dan juga bagian pemerintah) 8
8
Disampaikankan pada seminar “Pengembangan Model Pemeringkatan Bangunan Dan Situs Dalam Rangka Otonomi Daerah” di Fakultas Ilmu Kebudayaan Universitas Indonesia, Maret 2010
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
73
Kriteria suatu nilai sejarah berkaitan dengan kriteria peristiwa sejarah yang ditetapkan oleh suatu Negara. Namun karena Indonesia belum memiliki peristiwa sejarah yang dianggap penting, maka Moh. Iskandar mengaitkannya dengan kriteria pahlawan yang sudah ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Daud Aris Tanudirdjo juga mengeluarkan pendapat yang sama mengenai hal ini (Tanudirjo, 2004: 6). Sebenarnya Tanudirdjo menambahkan dua kategori lain yang berkaitan dengan informasi sejarah, namun kategori tersebut lebih sesuai untuk kategori informasi ilmu pengetahuan. Dalam penelitian ini defenisi nilai sejarah yang akan digunakan adalah pengertian yang dikemukakan oleh Rahardjo, yaitu:
”Ada dua aspek yang terkait dengan nilai sejarah yaitu peristiwa penting dan tokoh penting dalam sejarah suatu masyarakat. Peristiwa sejarah dalam hubungan ini adalah kejadian penting yang memberi pengaruh terhadap keberadaan suatu tempat atau benda. Sedangkan tokoh sejarah mengacu kepada peran penting seseorang dalam konteks sejarah lokal, regional, maupun nasional. Peristiwa sejarah maupun tokoh sejarah ini tidak hanya terkait pada peristiwa atau tokoh politik semata, tetapi bisa mencakup berbagai aspek kehidupan lainnya, misalnya seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, agama, pertanian, pengendalian lingkungan, industri, dan lain-lain. Dengan demikian segi-segi yang harus diperhatikan adalah seberapa besar pengaruh peristiwa dan tokoh terhadap berbagai aspek kehidupan suatu masyarakat. Aspek pokok dari kriteria ini adalah asosiasi, yaitu hubungan antara peristiwa atau tokoh terhadap benda atau tempat yang diberi makna tertentu oleh masyarakat yang mewarisinya” (Rahardjo, 2010, 52)
Kualitas informasi nilai sejarah tersebut dijelaskan dengan mengacu pada pendapat Donald L. Hardesty and Barbara J. Little yang mengatakan bahwa suatu peristiwa bersejarah dapat diidentifikasi dengan tahap-tahap berikut, yaitu:
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
74
1. Mengidentifikasi peristiwa atau pola sejarah yang memiliki hubungan dengan objek tinggalan sejarah dan purbakala. 2. Mencari dokumen yang dapat membuktikan peristiwa tersebut 3. M encari asosiasi yang kuat terhadapat peristiwa 4. Melakukan taksiran terhadap integritas lokasi, setting, dan asosiasi yang dapat menggambarkan peristiwa bersejarah tersebut (2009:47) Dan jika kualitas informasi ini juga dihubungkan dengan untuk sub-kategori tokoh sejarah, maka dapat disimpulkan, kualitas untuk informasi tokoh sejarah harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Memiliki dokumen yang dapat membuktikan keberadaan tokoh tersebut 2. Memiliki asosiasi yang kuat terhadap tokoh, terutama di masa-masa puncak karir dimana ia sangat dikenal ataupun berkarya. 3. Memiliki integritas lokasi, setting, dan asosiasi yang dapat menggambarkan tokoh bersejarah tersebut Adapun tokoh bersejarah yang dimaksud bisa seorang pahlawan, ilmuwan, seniman, maestro, sastrawan, pemimpin pergerakan atau politik, dan/ atau seorang budayawan. Tokoh-tokoh tersebut bisa ada yang sudah ditetapkan lewat UndangUndang (tentang pahlawan nasional) atau memang disepakati oleh masyarakat setempat sebagai tokoh yang berpengaruh.
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
75
b. Nilai Ilmu Pengetahuan Tanudirjo mengungkapkan nilai ilmu pengetahuan dapat terpenuhi apabila sumberdaya budaya itu mempunyai potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam bidang keilmuan tertentu (2004: 6). Sedangkan Rahardjo mengeluarkan pendapat bahwa yang dimaksud dengan nilai ilmu pengetahuan dapat terpenuhi apabila Cagar Budaya tersebut:
- Memberikan informasi penting tentang pengetahuan tertentu yang belum dikenal sebelumnya, baik tentang kebudayaan manusia ataupun tentang fenomena alam - Mengandung informasi yang dapat menggambarkan salah satu tahapan penting dalam ilmu pengetahuan tertentu, misalnya pengetahuan baru, munculnya ragam baru, penerapan teknologi baru, ataupun kemunculan spesies baru. Pemerintah Cina menganggap suatu warisan budaya memenuhi kriteria nilai ilmu pengetahuan apabila: 1. Rencana dan rancangan, termasuk di dalamnya pemilihan bentuk situs, perlindungan ekologis, reaksi terhadap ancaman bencana, dan bentuk arsitektural dan struktural. 2. Menunjukkan level konstruksi, material, teknik, teknologi dan ilmu pengetahuan yang sudah dicapai pada suatu periode dan merupakan ciri khas dari periode tersebut. Atau situs tersebut berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 3. Sebuah fasilitas atau lokasi suatu eksperimen ilmu pengetahuan, produksi, atau transportasi. 4. Sebuah tempat dimana informasi mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi terekam dan terpreservasi. Ir. Nadia Purwestri adalah Kepala PDA (Pusat Dokumentasi Arsitektur) Indonesia
mengungkapkan beberapa kriteria bangunan-bangunan yang dapat
ditetapkan menjadi Cagar Budaya. Kriteria tersebut adalah: 1. Bangunan yang menggunakan teknologi-teknologi pionir dalam suatu wilayah 2. Bangunan-bangunan yang terkait dengan “nation building” dari gagasan Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno 3. Bangunan-bangunan
yang
mewakili
perdebatan
mengenai
Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Arsitektur
76
4. Bangunan-bangunan yang menerima penghargaan baik lokal maupun dunia. Penelitian ini mendefenisikan nilai ilmu pengetahuan dengan kriteria nilai penting C dan D dari Amerika Serikat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, yaitu: C. wujud dari karakteristik khusus suatu tipe, periode, metode pembangunan/ konstruksi, atau representasi dari karya seorang maestro, atau wujud suatu nilai artistik yang tinggi, atau merepresentasikan suatu kepentingan, dan/atau D. Informasi penting berkaitan dengan prasejarah ataupun sejarah. Dari beberapa penjelasan di atas dapat diinterpretasikan terdapat 3 indikator inti dari nilai ilmu pengetahuan, yaitu teknologi (dan tekniknya), periode perkembangan, dan gaya seni. Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “teknik” diartikan sebagai pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan hasil industry. Sedangkan kata teknologi berarti keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Indikator yang dipilih untuk mengukur informasi mengenai teknologi adalah indikator yang disusun oleh Rahardjo. Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, “periode” diartikan sebagai kurun waktu Indikator yang dipilih untuk mengukur informasi mengenai periode adalah indikator yang disusun oleh Tanudirjo, yaitu periode yang di susun menurut berbagai ilmu pengetahuan (arkeologi, sejarah, anthropologi, ekonomi, dsb). Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, “periode” diartikan sebagai kurun waktu Indikator yang dipilih untuk mengukur informasi mengenai periode adalah indikator yang disusun oleh Tanudirjo, yaitu periode yang di susun menurut berbagai ilmu pengetahuan (arkeologi, sejarah, anthropologi, ekonomi, dsb). Kata “gaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai gaya: rupa, bentuk (baik mengenai tulisan, bahasa, bangunan, dsb). Banyaknya media seni membuat defenisi terhadap indikator ini sangat beragam. Pada kriteria warisan budaya acuan asing, ditemukan adanya kriteria artistik (lihat: Jepang, Inggris, Cina) ataupun berkaitan dengan seni rancang
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
77
bangunan (arsitektur, lihat: Amerika, Inggris) yang tidak ditemukan pada kriteria Cagar Budaya. Padahal tidak sedikit benda-benda yang ditetapkan menjadi Cagar Budaya dianggap memiliki nilai seni yang tinggi. Kriteria seni ini sebenarnya dapat dimasukkan ke dalam kriteria nilai kebudayaan (menurut Rahardjo), atau dapat dimasukkan ke dalam kriteria ilmu pengetahuan (menurut Tanudirdjo). Untuk penelitian ini, kriteria seni dimasukkan ke dalam pembahasan kriteria ilmu pengetahuan. Keputusan ini diambil setelah menimbang bahwa pembahasan mengenai keartistik-an benda atau bangunan dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai keadaan masyarakat pendukungnya. Kualitas dari sebuah benda seni atau budaya sulit untuk dihitung karena kesan yang diperoleh pengamat berbeda-beda. Menurut Ir. Nadia Purwestri, kepala Pusat Dokumentasi Arsitektur, salah satu opsi yang bisa ditawarkan untuk penilaian suatu bangunan adalah dengan menimbang penghargaan atau pengakuan yang diterima baik lokal ataupun internasional. 9 Mengutip Burra Charter menyatakan nilai estetis berkaitan dengan aspek keinderaan (sensory), sehingga harus mempertimbangkan keserasian hubungan antara bentuk, ukuran (scale), warna, tekstur, bahan, bau, dan suara dengan lokasi dan pemanfaatannya. Apabila nilai estetis ini masuk dalam konteks saujana (landscape) dapat pula dinilai kemampuannya untuk menyajikan pemandangan yang mengesankan (scenic or visual quality), untuk membangkitkan perasaan khusus bagi masyarakat, untuk memberikan makna tertentu bagi masyarakat (keterikatan pada tempat, misalnya), untuk menumbuhkan rasa keterikatan dengan tempat tersebut, dan merupakan paduan serasi antara alam dan budaya manusia. Dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tidak ada pasal khusus yang menyinggung mengenai nilai seni. Namun pada kriteria Cagar Budaya untuk peringkat nasional, disebutkan istilah karya adiluhung. Karya adiluhung ini merupakan cerminan dari tingginya teknik (keahlian) manusia Indonesia. Dengan mengangkat objek-objek ini sebagai Cagar Budaya dapat menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang unggul dalam bidang seni.
9
Disampaikankan pada seminar “Pengembangan Model Pemeringkatan Bangunan Dan Situs Dalam Rangka Otonomi Daerah” di Fakultas Ilmu Kebudayaan Universitas Indonesia, Maret 2010
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
78
c. Nilai Agama Nilai agama adalah nilai yang cukup baru dalam pelestarian warisan budaya, bahkan di dunia. Selama ini, pelestarian warisan-warisan budaya yang dibangun dengan berlandaskan nilai agama masuk dalam kategori kebudayaan ataupun pengetahuan. International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural property (ICCROM) sejak tahun 2005 mulai membahas mengenai konservasi monumen ataupun bangunan keagamaan yang terus-menerus digunakan (living monument). Hal ini mulai diungkapkan sejak terjadinya beberapa konflik akibat klaim beberapa religi terhadap satu kawasan warisan budaya. Kemunculan topik ini juga dipicu dengan keberadaan kelompokkelompok ekstrimis yang dengan sengaja menghancurkan warisan budaya dari agama lain karena dianggap tidak sejalan dengan agama mereka. Selain itu, masalah sekularisme juga menjadi salah satu problem tersendiri bagi perlindungan bangunan-bangunan keagamaan. Tidak hanya berubahnya suatu fungsi bangunan keagamaan, tapi juga kedatangan wisatawan-wisatawan yang bermaksud berziarah ataupun tidak berziarah ke suatu wilayah yang dianggap sakral (Herb Stovel, Nicholas Stanley-Price, dan Robert Killick, 2003: 2-5). Belum terdapat suatu acuan apapun yang dapat menjelaskan kriteria ini. Oleh sebab itu, peneliti menawarkan indikator tokoh, periodem dan simbolis untuk mengukur keberadaan nilai agama pada cagar budaya, khususnya pada bangunan. Periode dan tokoh tersebut tentunya dihubungkan dengan agama tertentu dan sudah diakui oleh suatu komunitas. Selain itu, nilai agama juga berkaitan dengan simbolisasi suatu ajaran pada bangunan atau monumen keagamaan.
d. Nilai Pendidikan Dari seluruh peneliti dan ketentuan asing, hanya Rahardjo yang mengungkapkan pendapat mengenai kriteria nilai pendidikan. Rahardjo berpendapat bahwa suatu objek tinggalan sejarah dan purbakala memenuhi kriteria nilai pendidikan apabila memiliki potensi untuk dapat memberikan pengetahuan dan penanaman nilai moral bagi anak-anak dan dewasa (2010: 53).
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
79
Kajian mengenai nilai pendidikan Cagar Budaya belum terlalu banyak dilakukan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan seluruh nilai yang dimiliki oleh Cagar Budaya sebenarnya ditujukan untuk pendidikan masyarakat. Masih sedikitnya kajian mengenai nilai pendidikan menyebabkan tidak dapat dilakukan perbandingan sehingga indikator untuk nilai pendidikan tidak diperoleh.
e. Nilai Kebudayaan UNESCO mengungkapkan bahwa nilai kebudayaan berkaitan dengan nilai seni dan identitas diri. Jepang adalah salah satu negara yang sangat peduli sekali dengan kebudayaan mereka. Hal ini terlihat dari keputusan pemerintah Jepang untuk melindungi orang-orang yang dianggap memiliki keahlian-keahlian budaya yang sangat indah dan langka. Perlindungan terhadap budaya tak berwujud ini (aktivitas dan keahlian) juga diikuti oleh UNESCO dan negara Korea Selatan). Satu hal yang penting yang harus diketahui mengenai nilai kebudayaan, yaitu keberadaan kebudayaan kuno atau budaya masyarakat masa lalu (dead monument dalam extinct society) dan kebudayaan yang masih berlangsung atau disebut juga kebudayaan masyarakat masa kini (living monument dalam on going society, selanjutnya akan disebut dengan istilah kebudayaan tradisional) (Haryono, 1995: 9) Indikator nilai kebudayaan tradisional secara lebih khusus dapat dilihat dari seberapa banyak unsur budaya/ gaya hidup masyarakat (suku-suku) Indonesia yang terwakili. Adapun unsur budaya tersebut dapat dikutip dari pendapat anthropolog Indonesia Koentjaraningrat, yaitu: a. Sistem pengetahuan dan Teknologi b. Sistem mata pencaharian (ekonomi) c. Bahasa dan Aksara d. Sistem Kepercayaan/ Religi e. Kesenian f. Sistem Kemasyarakatan g. Organisasi Sosial/ Sistem kekerabatan
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
80
4. Kriteria Tambahan untuk Kategori Bangunan Cagar Budaya Yang dimaksud dengan kriteria tambahan ini disusun untuk mengidentifikasi kemampuan Cagar Budaya untuk dapat merepresentasikan informasi yang diwakili. Berdasarkan pendapat para ahli yang mengkaji mengenai nilai Cagar Budaya, kriteria tambahan ini meliputi kriteria keutuhan/ integrasi, kelangkaan, keunikan, keaslian, konteks sejarah/budaya, kejamakan, usia, asosiasi, dan estetika. Untuk beberapa poin, indikator untuk kriteria tambahan ini kurang sesuai apabila diajukan dan dinilai oleh arkeolog. Hal ini disebabkan adanya kriteria yang membahas mengenai masalah estetika, keaslian, integritas, keunikan bangunan yang merupakan lingkup kajian bidang ilmu arsitektur. Selain itu, proses penilaian untuk kriteria tambahan ini juga perlu memperhitungkan proses penilaian untuk kriteria pelestarian yang diajukan oleh Mundardjito. Kriteria dan indikator untuk pelestarian ini juga lebih tepat jika dilakukan ahli konservasi.
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
88
BAB IV PENILAIAN DAN PEMERINGKATAN CAGAR BUDAYA ISTANA MAIMUN MEDAN
4.1.Identifikasi Nilai Sejarah Berdasarkan susunan kriteria yang sudah diperoleh sebelumnya, diperoleh indikator terhadap kriteria Kriteria Nilai untuk kategori sejarah, yaitu tokoh dan peristiwa. Tolak ukur tokoh dan peristiwa tersebut adalah signifikansinya untuk wilayah lokal, provinsi, dan nasional. Hal ini disesuaikan dengan kebijakan pembagian kewenangan pengelolaan cagar budaya yang sudah ditetapkan melalui UU No. 11 Tahun 2010. Tabel 4.1 Tabel penilaian nilai sejarah signifikansi
signifikansi
signifikansi
kriteria untuk
kriteria untuk
kriteria untuk
Indikator
wilayah lokal
wilayah provinsi
wilayah nasional
Tokoh
v
v
-
Peristiwa
v
v
-
Kriteria Nilai Kategori Sejarah
1. Peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan Istana Maimun Sejak masa pendiriannya, kesultanan Deli beberapa kali mengalami perpindahan pusat pemerintahan. Perpindahan pusat pemerintahan yang tercatat adalah perpindahan dari daerah pertemuan Sungai Deli dan Babura menuju daerah Kampung Pulo Brayan yang dilakukan pada masa pemerintahan Tuanku Panglima Paderap pada abad ke 18, kemudian pada masa pemerintahan puteranya Pasutan Gandar Wahid pada akhir abad 18, pusat pemerintahan dari Kampung Pulo Brayan dipindahkan ke daerah Labuhan yang kelak dikenal dengan nama Labuhan Deli. Perpindahan pusat pemerintahan terakhir dilakukan selama masa pemerintahan Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah pada akhir abad ke 19, yaitu dari daerah Labuhan menuju kota Medan. Perpindahan pusat pemerintahan dari daerah
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
82
Labuhan ke kota Medan dipengaruhi keadaan ekologi, ekonomi, dan sosial politik saat itu (Jufrida, 2008: 66). Untuk mengakomodir perpindahan ini, Sultan Ma’mun Perkasa Alamsyah membangun Istana Maimun pada tahun 1888. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1988 dan mulai ditempati tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1891 (Sinar, 1991: 104). Pembangunan istana Maimun menandai secara resmi perpindahan ibukota Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan Untuk mengakomodir perpindahan pusat pemerintahan ke kota Medan, pada tanggal 12 November 1905 Sultan Makmun Alrasyid mendirikan Istana Kota Maksum dimana ia dan kerabat-kerabatnya tinggal disana. Sedangkan Istana Maimun
hanya dijadikan tempat upacara resmi dan
kantor Sultan pribadi (Sinar, t.th: 358). Bukti keberadaan Istana Puri Sultan Deli Kota Maksum adalah adanya dokumentasi berupa foto Istana yang berasal dari tahun 1905 dan tahun 1940. Pada tanggal 3 Maret 1946 di daerah Sumatera Timur, terjadi sebuah peristiwa yang dinamakan ”revolusi sosial” (al: Sinar, t.th; Reid, 1987, Said, 1973). Pada hari itu, terjadi pembantaian terhadap Sultan dan Bangsawanbangsawan penguasa di daerah Sumatera Timur yang didilakukan oleh pemuda-pemuda radikal yang berada di dalam tubuh gerakan Persatoean Perdjoeangan. Tujuan gerakan itu adalah untuk menjatuhkan kekuasaan Sultan-sultan agar terciptanya suatu pemerintahan rakyat (Reid, 1987: 366367). Gerakan Revolusi Sosial ini terjadi hampir di seluruh wilayah Sumatera yang dikuasai oleh Raja atau Sultan, termasuk Aceh, Karo, Tapanuli, dan Riau. Sasaran utama adalah Sultan atau Raja yang dianggap pro-Belanda, namun pada kenyataannya banyak penyimpangan yang terjadi saat gerakan ini berlangsung. Ketika tragedi tersebut berlangsung, Sultan Deli meminta pertolongan dari pasukan Inggris yang saat itu menguasai kota Medan. Pasukan Inggris ini kemudian bekerja sama dengan pasukan Istana sehingga Sultan Deli dan Istana Maimun dapat diselamatkan. Namun, pemuda-pemuda tersebut berhasil membakar seluruh kota Maksum termasuk Istana Puri Sultan Deli
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
83
Kota Maksum. Selanjutnya, keluarga-keluarga Sultan Deli yang masih selamat mengungsi ke Istana Maimun (Sinar, t.th: 504). Sejak tahun 1946, sebagian keluarga besar Kesultanan tinggal menetap di Istana Maimun hingga saat ini.
2. Tinjauan Nilai Tokoh/ Figur Sejarah yang Berkaitan dengan Istana Maimun Istana Maimun dibangun di masa pemerintahan Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah pada tahun 1887 dan mulai dihuni pada tahun 1991 (al: Buiskool, Sinar). Tidak banyak catatan sejarah mengenai pemerintahan Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Namun di bawah kepemimpinannya, Kesultanan Deli berkembang dengan sangat pesat. Berkat izinnya pula, Nienhuys, seorang pengusaha asal Belanda mendirikan usaha tembakau (Buiskool, 2005: 274). Pendirian usaha tembakau ini adalah cikal bakal berkembangnya kota Medan dan menjadi faktor penyebab kedatangan bangsa-bangsa asing (Cina, India Tamil, Belanda) ke wilayah Medan. Selain menjadi pemimpin negara, Sultan dalam kebudayaan Melayu juga dianggap sebagai pemimpin agama atau imam. Bangunan Istana Maimun dirancang oleh seorang Arsitek sekaligus perwira Belanda yang bernama Th. Van Erp 1. Th. Van pernah menjabat sebagai Kepala Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera, yaitu lembaga yang menangani kepurbakalaan di Jawa dan Madura pada masa Kolonial. Pada tahun 1905 – 1911, Theo Van Erp menjadi pimpinan kegiatan Restorasi Borobudur. Restorasi ini merupakan restorasi Borobudur yang pertama (JICA, 1979: 73). Kesamaan nama ini, belum dapat membuktikan bahwa arsitek Istana Maimun sama dengan pimpinan kegiatan restorasi I Borobudur tersebut. Karena sebelumnya arsitek Istana Maimun disebut berkebangsaan Italia, sedangkan Van Erp berkebangsaan belanda.Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya dokumen sejarah yang dapat menghubungkan kedua tokoh ini. 1
Memorie van overgave, asisten residen deli – serdang, N.J.V.D. Brandhof
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
84
4.2. Identifikasi Nilai Ilmu Pengetahuan Berdasarkan susunan kriteria yang sudah diperoleh sebelumnya, diperoleh indikator terhadap kriteria nilai untuk kategori ilmu pengetahuan ada tiga, yaitu teknologi. Periode, dan gaya seni. Skala penilaian untuk kriteria tersebut sama seperti sebelumnya, yaitu signifikansinya untuk wilayah lokal, provinsi, dan nasional. Tabel 4.2 Tabel penilaian nilai ilmu pengetahuan
Kriteria Nilai Kategori
Indikator
signifikansi
signifikansi
signifikansi
kriteria untuk
kriteria untuk
kriteria untuk
wilayah lokal
wilayah provinsi
wilayah nasional
-
-
-
Teknologi yang Ilmu
digunakan
Pengetahuan
Periode
v
v
-
Gaya seni
v
v
v
4.2.1
Denah Di Istana Maimun Istana Maimoon berdiri di atas tanah seluas 2772 m2 sedangkan luas
bangunan Istana Maimoon sendiri adalah 1262,25 m2. Denah bangunan Istana Maimoon berbentuk persegi panjang berukuran 24 m x 39 m yang melintang dari utara ke selatan (
). Denah dasar ini kemudian
divariasikan dengan menambahkan empat penampil yang berada di empat sisinya. Penampil pertama dan kedua berada di sisi utara dan selatan denah dasar. Keduanya berbentuk huruf t kapital (T shape) yang menempel ke denah dasar pada bagian alasnya (
). Istilah penampil digunakan penulis untuk
mempermudah pembaca untuk memahami bentuk denah Bangunan Istana Maimoon. Untuk selanjutnya penampil pertama dan kedua ini disebut sebagai bangunan sayap. Penampil di bagian utara akan disebut Bangunan Sayap Kiri, sedangkan penampil di bagian selatan akan disebut sebagai Bangunan Sayap Kanan. Penampil ketiga berada di sisi barat, bentuknya juga persegi panjang namun berukuran lebih kecil dari pada denah dasar (
). Penampil ketiga
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
85
ini berukuran 10,5 m x 19, 5 m. Penampil keempat berada di sisi timur, bentuknya persegi panjang yang melintang dari utara ke selatan. Salah satu sisi panjangnya menempel di pertengahan sisi utara denah dasar (
). Penampil keempat
ini berukuran 9 m x 13,5 m. Pada tahun 1979-1981 bangunan Istana Maimun dikonservasi oleh Bidang Permuseuman, Sejarah, dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Utara (Depdikbud, 1981/1982: 25). Saat ini, jumlah kamar di Istana Maimun sudah bertambah menjadi 40 kamar. Dengan pembagian 20 kamar di lantai 1, dan 20 kamar di lantai 2. Penambahan ruangan ini dilakukan dengan cara memberikan sekat pada ruangan-ruangan berukuran besar dan dengan menutup teras-teras beratap yang dulu ada di sisi barat lantai 2 bangunan Istana Maimun Berikut akan disajikan denah asli bangunan Istana Maimun tanpa adanya penambahan ruang baru.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
88
Gambar 4.1 Denah Istana Maimun Lantai I
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
87
Gambar 4.2 Denah Istana Maimun Lantai 2
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
88
4.2.2 Unsur Bangunan 1. Pondasi Pondasi yang digunakan pada bangunan Istana Maimun adalah pondasi masif. Hal ini berbeda dengan pondasi rumah panggung yang umumnya digunakan pada bangunan tradisional melayu. Walaupun sudah menggunakan pondasi masif, namun penggunaan ruang istana masih dipengaruhi kebiasaan rumah tradisional melayu. Hal ini didasarkan pada keletakan ruang jamuan istana, tetap berada di lantai 2. Sedangkan lantai 1 justru digunakan sebagai penjara dan gudang (berdasarkan keterangan denah istana maimun tahun 1979/1980).
2. Lantai Bangunan Istana Maimun terdiri dari tiga tingkat dan memiliki tiga jenis lantai yang dibagi menurut bahan pembuatnya. Lantai jenis pertama terbuat dari batu yang dilapisi pasir dan semen. Lantai dari jenis ini digunakan untuk menutupi seluruh lantai 1 bangunan. Lantai yang terbuat dari semen ini berwarna abu-abu gelap. Lantai jenis kedua, terbuat dari bahan marmer. Lantai jenis ini digunakan pada bangunan utama lantai dua. Gambar-gambar yang digunakan untuk membentuk motif marmer adalah gabungan bentuk geometris dan bentuk tanaman yang sudah dibentuk sedemikian rupa atau dalam seni rupa Islam disebut dengan arabesque. Hal ini dipengaruhi dengan kuatnya pengaruh Islam pada budaya melayu, sehingga motif-motif berbentuk manusia dan hewan tidak diizinkan untuk digambarkan. Lantai jenis ketiga, terbuat dari bahan kayu yang dicat dengan warna coklat kemerah-merahan. Lantai jenis ini terdapat di seluruh teras beratap bangunan lantai 2, dan seluruh lantai bangunan tingkat ketiga. Terdapat lima jenis motif marmer yang digunakan, empat motif merupakan jenis motif bersambung sedangkan satu jenis lagi merupakan marmer bermotif polos. Marmer bermotif polos, digunakan untuk melapisi tangga utama. Tangga utama ini berada tepat di depan bangunan utama. Keempat motif lain akan dijelaskan sebagai berikut:
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
89
Motif marmer pertama dihias dengan bentuk sulur yang saling membelit. Bagian atas dan bawah sulur diberi masih-masing sepasang garis merah dan biru yang sejajar. Untuk menciptakan pola dari motif ini adalah dengan cara menyambung motif sebelumnya, dengan motif sama yang sudah dibalikkan 180 derajat, demikian seterusnya. Pola ini cocok digunakan sebagai pembatas karena sifat polanya yang memanjang. Untuk selanjutnya motif ini dinamakan motif sulur. Marmer motif sulur dapat ditemukan di balairung, di daerah yang dekat dengan pintu-pintu keluar.
(a)
(b)
Foto 4.1 Marmer motif sulur a) motif sulur tunggal b) motif sulur setelah digabungkan (foto dengan olahan) (dok. Lolita Tobing, 2010)
Motif marmer kedua dihias dengan bentuk dua kelopak bunga berwarna emas yang terpotong. Ruang kosong diantara kelopak tersebut Bagian diberi hiasan daun-daun kecil berwarna biru. Untuk menciptakan pola dari motif ini adalah dengan menyambung empat motif untuk menciptakan satu bunga utuh. Caranya adalah dengan memutar motif selanjutnya 90 derajat searah jaruh jam. Untuk selanjutnya motif ini dinamakan motif kelopak bunga. Marmer motif kelopak bunga dapat ditemukan di balairung, di daerah yang dekat dengan pintu-pintu keluar.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
90
(a)
(b) Foto 4.2 Marmer motif kelopak bunga a) marmer motif kelopak bunga tunggal b) marmer motif kelopak bunga setelah digabungkan (foto dengan olahan). (dok. Lolita Tobing, 2010)
Motif marmer ketiga dihias dengan 3 bentuk seperempat lingkaran yang disusun melebar dengan pusatnya terletak di sudut marmer. Lingkaran yang terletak ditengah kemudian ditumpuk dengan bentuk geometris belah ketupat. Sebuah garis panjang yang menghubungkan lingkaran dalam dalam lingkaran terluar memotong ketiga lingkaran itu tepat di tengah-tengah. Untuk menciptakan pola dari motif ini, cara yang dilakukan sama dengan cara pada motif kedua, yaitu dengan menyambung 4 motif secara terpusat untuk menciptakan satu lingkaran utuh. Untuk selanjutnya motif ini dinamakan lingkaran lidah api. Marmer motif ini digunakan untuk menutupi lantai pada ruang penghubung antara ruang ruang jamuan dan balairung.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
91
(a)
(b) Foto 4.3 Marmer motif lingkaran lidah api a) marmer motif lingkaran lidah api tunggal b) marmer motif lingkaran lidah api setelah digabungkan (foto dengan olahan). (dok. Lolita Tobing, 2010)
Motif marmer keempat dihias dengan 4 bentuk seperempat oktagonal, 2 bentuk bintang, 2 bentuk lingkaran, dan 2 bentuk oktagonal bergerigi. yang disusun melebar dengan pusatnya terletak di sudut marmer. Bentuk-bentuk ini disusun sedemikian rupa sehingga apalagi 4 marmer motifnya disusun akan membentuk 3 bentuk oktagonal yang saling bertumpuk, yang dikelilingi 4 bentuk bintang. Untuk menciptakan pola dari motif ini, cara yang dilakukan sama dengan cara pada marmer motif kedua dan ketiga, yaitu dengan menyambung 4 motif secara terpusat untuk menciptakan satu bentuk oktagonal utuh. Untuk selanjutnya motif ini dinamakan motif oktagonal. Motif oktagonal ini digunakan untuk melapisi seluruh lantai pada teras utama di lantai dua.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
92
(a)
(b) Foto 4.4 Marmer motif oktagonal a) marmer motif oktagonal tunggal b) marmer motif oktagonal setelah digabungkan (foto dengan olahan). (dok. Lolita Tobing, 2010)
3.Dinding Menurut Dictionary of Architecture and Building Construction yang diterbitkan oleh Architectural Press, dinding adalah konstruksi vertikal yang berfungsi membagi atau menutup ruang di dalam bangunan. Dinding bangunan Istana Maimun memiliki tinggi 3,5 meter. Dinding pada bangunan lantai 1 dan bangunan induk lantai 2 terbuat dari tembok. Namun pada bangunan sayap kiri dan kanan lantai 2, dinding terbuat dari bahan kayu. Seluruh dinding luar bangunan lantai 1 dicat dengan menggunakan warna putih polos, sedangkan dinding luar bangunan lantai 2 dicat dengan menggunakan dua warna, kuning pada bagian bawah, dan putih pada bagian atas. Batas antara warna kuning dan putih pada dinding diberi hiasan motif tanaman tembakau berwarna kuning. Motif yang sama juga ditemukan menghiasi kapital pilaster yang terdapat di ruang balairung Istana. Namun motif tersebut sudah diberi warna dan bentuk yang lebih kaya.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
93
(a)
(b) Gambar 4.3 Hiasan motif tanaman tembakau a) Hiasan motif tanaman tembakau yang terdapat di dinding luar, b) Hiasan motif tanaman tembakau yang terdapat di kapital pilaster.
Sisi timur (depan) bangunan Istana, dikelilingi barisan tiang dan lengkungan atau yang disebut juga sebagai arcade. Sisi luar arcade di lantai 1 dilapis dengan cat berwarna hijau tua, sedangkan sisi luar arcade di lantai 2 dilapis dengan cat berwarna kuning terang. Motif yang berbeda ditemukan di arcade terdepan yang berada tepat di depan tangga utama (timur). Sisi luar bagian atas arcade dihias dengan motif belah ketupat, yang ditumpuk dengan motif bunga 8 kelopak, dan ditumpuk lagi dengan bentuk bintang 8 arah yang hampir membulat. Adapun warna dasar motif tersebut tetap berwarna hijau tua.
Gambar 4.4 Motif tumpukan belah ketupat, bunga 8 kelopak, dan bintang 8 arah
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
94
Seluruh dinding dalam bangunan lantai 1 dicat dengan menggunakan warna putih polos, sedangkan dinding dalam bangunan lantai 2 dicat dengan beberapa warna dan motif. Pola hiasan seluruh dinding dapat dijabarkan sebagai berikut: motif pertama berukuran 50 cm dan berada di bagian bawah dinding, motif kedua adalah cat kuning polos berukuran tinggi 1 meter. Kedua motif tersebut dipisahkan kayu yang sudah dibentuk dan dicat dengan tinggi sekitar 7,5 cm. Motif ketiga adalah motif semut beriring. Motif ini berukuran tinggi 7,5 cm, dan menghias dinding bagian atas di seluruh bagian dalam bangunan 1, kecuali ruangan yang terletak di sisi luar arcade dalam. Motif keempat adalah motif tanaman tembakau setinggi 20 cm. Motif kelima mulai digunakan diatas motif tanaman tembakau hingga ke dinding bagian atas.
Gambar 4.5 Motif semut beriring
Selain bentuk tanaman tembakau dan semut beriring, bentuk lain yang banyak digunakan untuk menghiasi dinding bangunan adalah bentuk kelopak bunga, sulur, bujur sangkar, dan oktagonal. Berikut akan dijelaskan pola-pola motif yang digunakan untuk menghiasi dinding bagian dalam bangunan Istana Maimun. 1. Dinding bawah Ada dua motif yang ditemukan menghiasi dinding dalam bagian bawah bangunan Istana Maimun. Motif pertama adalah motif panil, dan motif kedua adalah motif bunga 17 kelopak. Motif panil terdiri dari dua variasi. Variasi pertama warna dasarnya hijau tua, sedangkan panilnya berwarna kuning. Variasi kedua, warna dasarnya kuning, sedangkan panilnya berwarna hijau dengan bagian dalamnya terdapat panil berwarna hijau.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
95
Motif panil berwarna dasar hijau terdapat di ruang tamu, sedangkan motif panil berwarna dasar kuning terdapat di dinding sisi dalam ruang balairung. Motif bunga 17 kelopak terdapat di dinding dalam ruang balairung sisi utara, timur, dan selatan.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.6 Motif-motif yang terdapat di dinding dalam bagian bawah bangunan Istana Maimun a) motif panil berwarna dasar hijau, b) motif panil berwarna dasar kuning, c) motif bunga 17 kelopak
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
96
2. Dinding atas Ada 4 motif yang ditemukan menghiasi dinding dalam bagian atas bangunan Istana Maimun. Tiga motif yang terdapat di balairung berbentuk pita yang dibelah menjadi dua bagian dan digunakan untuk menghias dinding atas lengkungan arcade di dalam ruangan. Sedangkan motif yang ditemukan di ruang tamu menghiasi seluruh dinding bagian atas. Tiga motif berbentuk pita terbelah, dihias dengan bentuk-bentuk sulur. Pada motif pertama sisi dalam pita terdapat bentuk bintang. Pada motif kedua, di tengah-tengah pita terdapat lambang kesultanan Deli, dan pada motif ketiga di tengah-tengah pita terdapat bentuk tanaman tembakau.
(a)
(b)
(c) Foto 4.5 Motif-motif yang menghias dinding atas lengkungan arcade di dalam ruangan bangunan Istana Maimun a) motif pita terbelah dengan bentuk bintang, b) motif pita terbelah dengan lambang kesultanan Deli, c) motif pita terbelah dengan bentuk tanaman tembakau
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
97
Foto 4.6 Motif yang menghias seluruh dinding atas ruang tamu
Ruang balairung Istana Maimun merupakan ruangan yang memiliki hiasan paling kaya. Tidak hanya dihias dengan berbagai motif dan ditutupi dengan arcade, balairung Istana Maimun juga dihiasi dengan berbagai jendela semu. Jendela semu tersebut adalah bagian bangunan yang berfungsi sebagai sumber penerangan atau pertukaran udara, atau bahkan dihias dengan kaca pantul (hias). Bagian atas jendela-jendela semu tersebut, diberi bentuk lengkungan yang dihias dengan sulur-sulur berwarna hijau. Bagian atas lengkungan tersebut dihias dengan bentuk pita simpul besar berwarna hijau, yang di sekelilingnya dihias dengan bentuk-bentuk sulur. Motif hias jendela semu tersebut dapat dilihat pada foto 4.6.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
98
Foto 4.6 Motif yang menghias jendela semu (dok. Lolita Tobing, 2010)
4.Jendela Bangunan Istana Maimun memiliki 39 jendela dengan pembagian pada bangunan induk lantai 1 terdapat 13 jendela, bangunan induk lantai 2 terdapat 10 jendela, 8 jendela masing-masing terdapat di bangunan sayap kiri dan kanan. 39 Jendela tersebut terbagi menjadi 5 tipe, yaitu: 1. Tipe 1, terdiri dari dua daun pintu dengan satu panil panjang. Panil yang terdapat pada daun jendela adalah hiasan, sedangkan seluruh daun jendela terbuat dari kayu. 2. Tipe 2, terdiri dari dua daun pintu dengan dua panil, yaitu panil panjang dan pendek. Panil yang terdapat pada daun jendela adalah hiasan, sedangkan seluruh daun jendela terbuat dari kayu. Namun terdapat beberapa variasi untuk tipe ini. Variasi tersebut adalah panil yang tidak hanya menjadi hiasan, namun bentuk dan bahannya diganti. Variasi pertama dari tipe 1
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
99
adalah panil yang bentuknya diganti menjadi kisi-kisi kayu. Sedangkan variasi kedua dari tipe 1 adalah panil yang bahannya diganti menjadi kaca. 3. Tipe 3, terdiri dari dua daun pintu dengan tiga panil, yaitu 3 panil pendek. Panil yang terdapat pada daun terbuat dari bahan kaca. 4. Tipe 4 adalah jendela model baru yang kisi-kisinya pun terbuat dari kaca. 5. Tipe 5 adalah jenis jendela yang menyatu dengan dinding yang memang dirancang hanya sebagai sumber penerangan, bukan sebagai tempat pertukaran udara. Jendela ini terdapat di balairung.
Gambar 4.7 Jendela tipe 3 dan variasi-variasinya
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
100
a b
d c Gambar 4.8 a) Jendela tipe 1, b) Jendela tipe 2, c) Jendela tipe 4, d) Jendela tipe 5
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
101
5.Pintu Menurut Dictionary of Architecture and Building Construction yang diterbitkan oleh Architectural Press, pintu adalah bukaan pada dinding yang memiliki bagian yang dapat ditarik, didorong atau digeser, yang memungkinkan akses dari satu ruang ke yang lain. Ada beberapa tipe pintu yang digunakan di bangunan Istana Maimun. Tipe pintu tersebut antara lain: 1. Tipe 1, terdiri dari dua daun pintu dengan satu panil panjang. Panil yang terdapat pada daun pintu adalah hiasan, sedangkan seluruh daun pintu terbuat dari kayu. 2. Tipe 2, terdiri dari dua daun pintu dengan dua panil, yaitu panil panjang dan pendek. Panil yang terdapat pada daun pintu adalah hiasan, sedangkan seluruh daun pintu terbuat dari kayu. Namun terdapat beberapa variasi untuk tipe ini. Variasi tersebut adalah panil yang tidak hanya menjadi hiasan, namun bentuk dan bahannya diganti. Variasi pertama dari tipe 1 adalah panil yang bentuknya diganti menjadi kisi-kisi kayu. Pintu dibuka dengan cara ditarik/dorong. 3. Tipe 3, terdiri dari dua daun pintu dengan tiga panil, yaitu 3 panil pendek. Panil yang terdapat pada daun pintu adalah hiasan, sedangkan seluruh daun pintu terbuat dari kayu. Namun terdapat beberapa variasi untuk tipe ini. Variasi tersebut adalah panil yang tidak hanya menjadi hiasan, namun bentuk dan bahannya diganti. Variasi pertama dari tipe 1 adalah panil yang bentuknya diganti menjadi kisi-kisi kayu. Sedangkan variasi kedua dari tipe 1 adalah panil yang bahannya diganti menjadi kaca. Pintu dibuka dengan cara ditarik/dorong. 4. Tipe 4, terdiri dari satu daun pintu yang dihias dengan 2 panil. Pintu dibuka dengan cara ditarik/dorong. 5. Tipe 5, terdiri dari satu daun pintu yang dihias dengan 3 panil. Pintu dibuka dengan cara ditarik/dorong. 6. Tipe 6, terdiri dari dua daun pintu yang dihias dengan 6 panil. Pintu dibuka dengan cara ditarik/dorong.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
102
7. Tipe 7, terdiri dari dua daun pintu yang dibuka dengan cara digeser. Daun pintunya terdiri dari 4 panil. 2 panil horizontal terletak di bagian bawah dan atas daun pintu, dan 2 panil vertikal yang bersebelahan terletak di tengahtengah daun pintu. Salah satu panil vertikal pada daun pintu ditutup dengan jaring logam.
Gambar 4.9 Pintu tipe 1
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
103
2a
2b
Gambar 4.10 Pintu tipe 2 dengan variasi-variasinya
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
104
3a
3b
3c Gambar 4.11 Pintu tipe 3 dengan variasi-variasinya
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
105
4a
4b
5a
5b
Gambar 4.12 4a) & 4b) Pintu tipe 4 dengan variasi-variasinya. 5a) & 5b) Pintu tipe 5 dan variasivariasinya Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
106
a
b
Gambar 4.13 a) Pintu tipe 6, b) Pintu tipe 7
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
107
6.Ventilasi Ventilasi atau lubang angin yang digunakan pada bangunan istana terdiri dari 5 tipe. 1. Tipe 1, bingkainya berbentuk kipas dengan lubang angin berbentuk seperti kelopak bungan yang sempit. 2. Tipe 2 bingkainya juga berbentuk kipas namun lubang anginnya berbentuk seperempat lingkaran yang diisi dengan kisi-kisi kayu. 3. Tipe 3, bingkainya berbentuk persegi panjang dengan lubang angin berbentuk persegi panjang yang ujung-ujungnya membulat 4. Tipe 4, bingkainya berbentuk persegi panjang dengan lubang angin berbentuk persegi panjang. 5. Tipe 5, bingkainya berbentuk persegi panjang dengan lubang angin berbentuk lingkarang-lingkaran yang saling bersinggungan. Motif lubang angin ini disebut dengan nama motif kawung. 6. Tipe 6, bingkainya berbentuk lengkungan dengan lubang angin berbentuk bintang sepuluh.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
108
a
b
c Gambar 4.14 a) Ventilasi tipe 1, b) Jendela tipe 2, c) Jendela tipe 3
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
109
a
b
c Gambar 4.15 a) Ventilasi tipe 4, b) Jendela tipe 5, c) Jendela tipe 6
7. Pagar Langkan (balustrade) Pagar langkan atau balustrade adalah pagar yang berfungsi untuk membatasi teras atau balkon pada bangunan bertingkat. Pada bangunan Istana Maimun terdapat 4 tipe pagar langkan.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
110
1. Tipe 1, berbentuk seperti huruf kapital Y yang sambung-menyambung. Pagar langkan tipe 1, terdapat di teras bangunan lantai 2 yang terletak di timur laut bangunan. 2. Tipe 2, berbentuk seperti belati yang saling berhadapan. Motif yang digunakan pada pagar langkan ini disebut dengan nama motif trali jantung. Pagar langkan tipe 2 banyak terdapat di bangunan sayap kiri dan kanan. 3. Tipe 3, tersusun dari bentuk setengah lingkaran, persegi panjang, lingkaran penuh, persergi panjang, dan setengah lingkaran. Pagar langkan dengan motif ini banyak terdapat di teras utama. 4. Tipe 4, susunan dari bentuk geometris oval, belah ketupat yang dibentuk menjadi pola berulang. Pagar langkan dengan motif ini, banyak terdapat di teras utama.
a
a
b Gambar 4.16
a) Pagar langkan tipe 1, b) Pagar langkan tipe 2
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
111
a
b Gambar 4.17 a) Pagar langkan tipe 3, b) Pagar langkan tipe 4
8. Tangga Terdapat dua jenis pagar di Istana Maimun menurut bahan pembuatnya. Tangga pertama adalah tangga semen yang dilapisi marmer. Tangga ini menjadi penghubung antara halaman depan dan teras lantai 2. Jenis tangga kedua adalah tangga yang berbahan kayu. Tangga ini terletak di empat tempat. Satu berada di teras belakang (dekat bangunan sayap kiri), satu berada di belakang bangunan sayap kiri, satu tangga kayu berada di sebelah kamar jamuan, dan tangga kayu terakhir berada di bangunan sayap kanan. Baik tangga kayu dan batu memiliki bentuk yang relatif sama, hanya saja lebar tangga kayu lebih sempit dibandingkan dengan tangga batu. Apabila pembatas tangga batu adalah dinding dan pagar langkan, maka tangga kayu
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
112
memiliki bentuk pembatas sendiri. Pembatas tersebut berupa susunan kayu-kayu lonjong yang bagian tengahnya dibentuk. Kayu-kayu lonjong tersebut saling dihubungkan dengan papan yang dibentuk sedemikian rupa agar nyaman untuk dipegang.
Gambar 4.18 Pembatas tangga kayu
9.Arcade Arcade adalah sebuah lengkungan yang saling menyambung yang dinaikkan dengan kolom atau pilar, 2. Sebuah jalan yang ditutupi dengan lengkungan di satu sisi atau kedua sisi. Ada 3 tipe arcade yang dapat digunakan pada bangunan Istana Maimun. 1. Tipe 1, lengkungannya berbentuk tapal kuda dan tiang yang digunakan adalah tiang batu berbentuk balok berlapis semen dan dicat dengan warna putih. Lengkungan diberi motif goresan-goresan garis lurus di sepanjang lengkungan. Tembok diatas lengkungan diberi warna hijau tua. Tiang penyambung memiliki dasar berwarna hitam yang berbentuk limas persegi empat yang bertumpuk dengan balok batu pendek. Kapital dari tiang
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
113
tersusun atas lengkungan dan balok batu pendek. Arcade tipe 1, terdapat di sepanjang sisi bangunan sayap Istana. 2. Tipe 2, lengkungannya berbentuk setengah lingkaran dan tiang yang digunakan adalah tiang batu berbentuk balok berlapis semen dan dicat dengan warna kuning. Setiap sisi panjang balok dipotong berbentuk lengkungan ke dalam dan dicat dengan warna abu-abu kemerahan. Bila dilihat dari depan, tiang akan berbentuk seperti cawan panjang. Arcade tipe 2 terdapat di sepanjang teras depan bangunan utama.
Gambar 4.19 Arcade tipe 1
3. Tipe 3, lengkungannya berbentuk setengah lingkaran bergerigi. Apabila arcade tipe lain tiang penyangganya hanya satu maka tipe ini tiang
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
114
penyangganya ada dua. Kapital tiang penyangga dihias dengan bentukbentuk geometris sederhana. Arcade tipe 3 terdapat di sepanjang teras depan bangunan sayap, baik itu bangunan kiri maupun kanan.
Gambar 4.20 Arcade tipe 2
Gambar 4.13 Arcade tipe 3
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
115
4. Tipe 4, lengkungannya berbentuk lengkungan yang membulat di bagian bawahnya. Kapital tiang penyangga dihias dengan bentuk-bentuk tanaman tembakau berwarna coklat kemerah-merahan. Arcade tipe 4 terdapat di di bagian dalam Istana, di ruang balairung.
Foto 4.7 Arcade tipe 4
10.
Pilaster Pilaster adalah Dekoratif fitur yang mengimitasi pilar namun
sebenarnya bukan struktur penyangga, memiliki dasar, shaft, dan capital (bagian-bagian dari sebuah kolom) dan kemungkinan dibangun sebagai proyeksi dari dinding tersebut.
11.
Langit-langit Pada bangunan Istana Maimun, terdapat dua jenis langit-langit apabila
dilihat dari bahan baku yang digunakan. 1. Langit-langit berbahan kayu Langit-langit tipe ini berada di seluruh lantai 2 dan bangunan sayap lantai 1. 2. Langit-langit berbahan tembok
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
116
Langit-langit kayu ini dihias dengan 5 tipe motif, yaitu: a. Motif langit-langit tipe 1, adalah motif langit-langit polos. Langit-langit bermotif polos hanya dihias dengan satu warna. Langit-langit pada bangunan lantai 1 diberi warna putih, sedangkan langit-langit pada bangunan lantai 2 diberi warna kuning menyala. Pada bangunan lantai 2, langit-langit bermotif polos hanya ditemukan di daerah teras bangunan. b. Motif langit-langit tipe 2, kombinasi bunga, oktagonal, hexagonal, dan belah ketupat. Motif ini merupakan salah satu dari 3 motif yang menghiasi ruang balairung.
Foto 4.8 Motif langit-langit tipe 2 (Foto dengan olahan)
c. Motif langit-langit tipe 3, kombinasi bentuk hexagonal panjang, lingkaran, persegi, oktagonal, kelopak bunga, dan sulur. Motif ini merupakan salah satu dari 3 motif yang menghiasi ruang balairung.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
117
Foto 4.9 Motif langit-langit tipe 3 (Foto dengan olahan)
d. Motif langit-langit tipe 4, kombinasi bentuk persegi panjang, persegi, belah ketupat, lingkaran, kelopak bunga, dan sulur. Motif ini merupakan salah satu dari 3 motif yang menghiasi ruang balairung.
Foto 4.10 Motif langit-langit tipe 4 (Foto dengan olahan)
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
118
e. Motif langit-langit tipe 5, kombinasi bentuk hexagonal, bintang 6 arah, kelopak bunga, sulur, dan lengkungan. Motif ini digunakan untuk menghias langit-langit di ruang tamu. \
Foto 4.11 Motif langit-langit tipe 5
f. Motif langit-langit tipe 6, kombinasi bentuk sulur dan kerucut yang mengelilingi batas langit-langit ruangan. Motif ini digunakan untuk menghias langit-langit di kamar dayang, ruang tamu, dan ruang-ruang yang terletak di sisi luar arcade dalam.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
119
Foto 4.12 Motif langit-langit tipe 6
g. Motif langit-langit tipe 7, kombinasi bentuk bintang 8 arah, kelopak bunga, dan oktagonal tak beraturan. Motif ini digunakan untuk menghias langit-langit di ruang jamuan.
Foto 4.13 Motif langit-langit tipe 7
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
120
12. Atap Atap adalah bagian bangunan yang berfungsi menutupi bagian sisi atas bangunan. Atap bangunan Istana Maimun berbentuk limasan dan kubah. Atap kubah jumlahnya ada tiga dan terletak di sisi timur Istana. Sedangkan bagian lain, ditutupi dengan atas limasan. Bahan yang digunakan untuk membentuk kubah adalah kayu, sedangkan atap limasan terbuat dari ijuk atau sirap. Atap bangunan di di sisi barat atau belakang terbuat dari seng. Ujung-ujung atap yang menutupi teras, dihias dengan bentuk gantungan atap pucuk rebung. Ujung atap kubah, dihias dengan motif gantungan yang berbentuk seperti salib. Sedangkan ujung atap limasan dihias dengan motif gantungan atap yang bentuknya seperti sarang lebah.
Gambar 4.14 Gantungan atap berbentuk salib
Gambar 4.15 Gantungan atap berbentuk sarang lebah
Gambar 4.16 Gantungan atap berbentuk pucuk rebung
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
121
4.1.3.1
Identifikasi Kategori dan Gaya
Istana memiliki beberapa istilah yang mengandung pengertian yang sama. Dalam kamus Tesaurus Indonesia, istilah Istana bersinonim dengan puri, keraton, istana, kastel, keraton, puri, mahligai,dan palis. Dalam Dictionary of Architecture Istana yang dalam bahasa Inggris disebut palace, diartikan sebagai sebuah kediaman yang mewah, khususnya kediaman mewah yang didiami oleh orang yang berkuasa, pemerintah, aristokrat, ataupun tokoh lain yang berkuasa seperti uskup. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Istana didefenisikan sebagai rumah kediaman resmi raja (kepala negara, presiden) dan keluarganya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ikhdar Pasaribu, Istana Maimun memiliki 2 unsur arsitektural, yaitu unsur arsitektur tradisional (lokal) dan arsitektural luar (asing). Ciri arsitektur tradisional yang dimaksud adalah arsitektur tradisional melayu. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat pada denah, tangga, lantai, bentuk-bentuk jendela. Sedangkan ciri atau unsur arsitektur asing dapat dilihat pada halaman, denah, pondasi, tangga depan, lantai, pintu, jendela, ventilasi, tiang, pilaster, lengkungan, dan atap. Unsur arsitektur asing yang dimaksud berasal dari wilayah India dan Eropa (Pasaribu, 2004: 189-196). Istana Maimun mungkin dapat digolongkan menjadi bangunan berarsitektur indisch-empire. “Indische Empire Style” adalah suatu gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada abad ke 19, sebelum terjadinya “westernisasi” pada kotakota di Indonesia di awal abad ke 20 (Handinoto, 1994: 1). Gaya indisch-empire ini diadaptasi dari empire style (neo-classical) yang berkembang di Prancis pada awal abad 19 di masa pemerintahan Napoleon (idem: 2).
a. Berdasarkan kategori cagar budaya menurut UU No.11 tahun 2010 Menurut pengkategorian cagar budaya yang disebutkan dalam UU No. 11 tahun 2010, Istana Maimun dapat dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya yang hanya terdiri dari satu bangunan (atau dapat disebut juga sebagai bangunan tunggal). Adapun fungsi dari situs ini pada masa lalu adalah sebagai bangunan pusat pemerintahan.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
122
b. Berdasarkan wujud situs Berdasarkan wujudnya, Istana Maimun dikategorikan sebagai cultural tangible heritage atau warisan dunia buatan manusia (kebudayaan) yang memiliki wujud. Namun selain mewakili cultural tangible heritage, Istana Maimun sebenarnya juga menjadi pusat pemeliharaan budaya tak wujud melayu. Hal ini didasarkan pada kegiatan kebudayaan yang dilakukan setiap tahun di Istana ini.
4.3.Identifikasi Nilai Agama
Kriteria Nilai Kategori
Indikator
signifikansi
signifikansi
signifikansi
kriteria untuk
kriteria untuk
kriteria untuk
wilayah lokal
wilayah provinsi
wilayah nasional
Tokoh Agama
Periode Simbolis
Tabel 4.3 Tabel penilaian nilai agama 4.3.1.Simbolisasi Motif hias yang digunakan pada Istana Maimun selalu menghindari bentuk-bentuk hewan dan manusia sesuai dengan ajaran Islam. Namun bentuk hewan tetap yang terlihat menjadi motif hias, yaitu adanya gambar singa pada lambang kesultanan Deli. Atap berbentuk kubah yang merupakan salah satu ciri bangunan agama Islam juga terlihat digunakan pada bangunan Istana. Ciri keislaman ini juga ditambah dengan arcade-arcade yang lengkungannya berbentuk berbentuk kubah bawang.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
123
4.4.Identifikasi Nilai Kebudayaan
Kriteria Nilai Kategori
Indikator Berkaitan dengan Kebudayaan Kuno
Kebudayaan
signifikansi
signifikansi
signifikansi
kriteria untuk
kriteria untuk
kriteria untuk
wilayah lokal
wilayah provinsi
wilayah nasional
-
-
-
v
v
v
Berkaitan dengan Kebudayaan yang masih berlangsung
Tabel 4.4 Tabel penilaian nilai kebudayaan
4.4.1 Latar Kebudayaan Istana Maimun dibangun pada tahun 1888 di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Perkasa Alamsyah dari Kesultanan Deli. Kesultanan Deli merupakan nama sebuah kerajaan melayu di daerah pesisir barat Sumatera Utara yang bercorak Islam. Nama Deli diketahui keberadaan dengan jelas setelah tercantum dalam Daghregister VOC pada April 1641. Saat itu belum diberitakan bahwa Deli telah menjadi sebuah kesultanan. Penyebutan Deli hanya sebagai nama suatu daerah. Pada Daghregister VOC Mei 1644, pemberitaan mengenai Deli kembali muncul. Pada pemberitaan ini, tercantum istilah penguasa Deli yang bergelar Panglima Deli. Pada Daghregister VOC 1667 baru disebutkan adanya keinginan dari Deli untuk melepaskan diri dari kesultanan Aceh. Dari pemberitaan ini, dapat disimpulkan bahwa hingga tahun 1667, Deli masih merupakan sebuah kawasan yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Di beritakan dalam Daghregister bahwa pada abad ke 17, Kesultanan Deli mendeklarasikan dirinya lepas dari kekuasaan kesultanan Aceh. Mulai saat itu, kekuasaan kesultanan Siak mulai berpengaruh. Pada awal abad ke 18, terjadi perebutan kekuasaan antara putera mahkota dengan putera lain dari selir Raja yang menyebabkan kesultanan Deli pecah menjadi dua, yaitu Kesultanan Deli dan Serdang (Sinar, 1971: 33).
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
124
Ketika pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan Hindia Belandadari tangan VOC, dilakukan perjanjian mengenai wilayah kekuasaan. Sesuai dengan politik kontrak antara Kesultanan Deli dan Belanda 2, wilayah kesultanan Deli terdiri dari : 1. Wilayah langsung Sultan 3 2. Urung XII Kota Hamparan Perak yang dikepalai Datuk Hamparan Perak Setia Diraja 3. Urung Serbanyaman – Sunggal yang dikepalai Datuk Sukapiring Sri Indra Asmara 4. Urung Senembah – Petumbak dikepalai Kejeruan Senembah Deli 5. Negeri Percut dikepalai oleh Kejeruan Percut Paduka Raja 6. Jajahan Negeri Bedagai dikepalai oleh Pangeran Nara Kelana Raja Bedagai 7. Jajahan Negeri Padang dikepalai oleh Maharaja Negeri Padang (Sinar, 1991: 29). Kesultanan Deli secara politik berakhir ketika pada tahun 1946, terjadi peristiwa Revolusi Sosial yang ingin menciptakan pemerintahan rakyat. Sejak Konferensi di Den Haag disepakati pada tahun 1949, seluruh wilayah Sumatera – termasuk didalamnya daerah Deli, Serdang, dan Langkat- resmi diakui oleh dunia Internasional berada di bawah kekuasaan pemerintahan Republik. Namun secara budaya, kesultanan Deli hingga saat ini masih berlangsung. Pada tanggal 22 Juli 2005, kesultanan Deli melantik Aria Lamanjiji sebagai Sultan Deli ke-14 dengan gelar Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam.
4.4.1 Konteks Sejarah dan Budaya Data mengenai konteks sejarah dan budaya Istana Maimun diperoleh dari 7 peta kuno kota Medan yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Peta kota Medan yang tertua ditemukan adalah peta yang berasal dari tahun 1895. Dari peta tahun 1895, dapat dilihat bahwa kawasan kesultanan Deli berada di dalam wilayah 2
Acte Van Verband dan Acte van Bevestiging, diterjemahkan oleh Tengku Luckman Sinar dalam Sinar, Tengku Luckman. 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, hal.29. 3 Yang dimaksud dengan wilayah asli Deli (Sultan-gebied) adalah dari pesisir pantai mudik di sekitar kiri dan kanan Sungai Deli sampai Medan, yang didiami oleh suku bangsa Melayu. Wilayah ini diperintah oleh Sultan secara langsung, kadangkala melalui pamongprajanya yang bergelar “Raja Muda”, “Bendahara”,”Temenggong”,”Laksamana”, dan lain-lain (Sinar, 1991:33).
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
125
Gemente (Kota Praja) Medan. Kawasan ini diberi keterangan dengan nama Sultans Kampongs (Kampung Sultan). Medan sebenarnya masih termasuk wilayah Kesultanan Deli namun pada tahun 1886 telah terbentuk ”Gemeente Fonds Medan” yang diketuai oleh pamongpraja Belanda (Sinar, t.th: 334-338). Karena Lingkungan di sekitar Istana Maimoon merupakan wilayah yang disebut Kampung Sultan, maka subjudul perkembangan Lingkungan di sekitar Istana Maimoon ini akan membahas perkembangan kawasan Kampung Sultan. Dari penggambaran peta Medan tahun 1895, terlihat belum banyak pembangunan bangunan-bangunan besar di Kampung Sultan. Bangunan besar yang digambarkan di kawasan tersebut baru Istana Maimoon saja. Berdasarkan peta ini, di dalam kawasan Kampung Sultan, terdapat wilayah yang diberi nama Kota Maksum (tertulis dengan nama Masoen di dalam peta). Dalam artikelnya yang termuat dalam buku ”Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”, Tengku Luckman Sinar menjelaskan bahwa kota Maksum merupakan wilayah yang di dalamnya berdiri rumah-rumah kerabat Raja. Di dalam kota Maksum ini, terdapat sebuah Istana Sultan Deli. Istana ini diberi nama Istana Kota Maksum (tahun, halaman). Namun pada peta tahun 1895, tidak ada tercantum gambar Istana di wilayah Kota Maksum sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1895, Istana Kota Maksum belum dibangun atau belum selesai dibangun. Istana Maimoon sendiri berada di luar kawasan Kota Maksum yang merupakan kawasan pemukiman kesultanan. Istana Maimoon berada. Batas halaman Istana belum ada pada tahun 1895. Pagar halaman Istana terlihat jelas di foto tahun 1905. Halaman Istana ditumbuhi rumput dan di tengah-tengahnya terdapat air mancur bulat yang hingga kini masih dapat dilihat. Pintu pagar depan ada 3, 2 pintu pagar terdapat di ujung pagar dan 1 pintu pagar lagi terdapat di bagian tengah. Berdasarkan peta kota Medan tahun 1913 dan 1919, diketahui bahwa terdapat 2 area di kota Medan yang disebut kesultanan gronds oleh pemerintah Belanda. Area pertama adalah area yang disebut sebagai kota Ma’soem atau dengan ejaan saat ini disebut Maksum. Sedangkan area kedua disebut dengan Soengai Krah Pertjoet. Adapun pusat kesultanan Deli berada di kota Maksum.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
126
Peta Medan tahun 1913 cukup detail menggambarkan wilayah Kampung Sultan. Dari peta ini bisa terlihat adanya penambahan bangunan, misalnya bangunan Mesjid Al-Maksum, Kediaman Tengku Besar, dan Istana Kota Maksum baru ditemukan mulai peta Medan tahun 1913. Istana Kota Maksum berada diantara jalan Radja, jalan Puri, jalan Laksana, dan Jalan Amaliun (nama jalan dicantumkan pada peta tahun 1933). Kediaman Tengku Besar berada di antara jalan Amalioen dan jalan Utama. Kedua bangunan ini terletak berdekatan. Sedangkan bangunan Masjid, berada di timur Istana Maimoon. Kedua bangunan ini dipisahkan oleh rel kereta api (yang menuju Pancur Batu) dan jalan Mahkamah. Begitupun kota Medan juga semakin ramai dengan berbagai bangunan baru, dan semakin meluas ke arah utara. Selain itu, wilayah ini dulunya juga dilintasi jalur kereta api yang menuju ke batu gemuk. Peta Medan tahun 1920 hingga tahun 1926 tidak terlihat perubahan terjadi pada kota maksum. Namun pada peta Medan tahun 1935, terjadi penambahan bangunan besar di wilayah ini, yaitu adanya balai kerapatan atau pada peta disebut dengan istilah Sultan Lawcourt. Taman Seri Deli tidak dimuat dalam peta Gemente Medan tahun 1935. Baru di peta tahun 1945 taman ini tercantum dalam Peta, selain itu ditemukan pula dokumentasi berupa foto yang berasal dari tahun 1940, sehingga bisa disimpulkan bahwa Taman Seri Deli dibangun antara tahun 1935-1940. Hingga tahun 1945, tidak terjadi perluasan area kota Maksum sedangkan kota Medan sendiri semakin meluas ke arah utara dan barat. Batas-batas area kota Maksum masih terlihat jelas pada peta tahun 1945. Bangunannya terlihat bertambah banyak namun kediaman tengku besar tidak dijelaskan lagi di peta ini. Sayangnya tidak ditemukan peta setelah tahun 1945 sehingga perubahan setelah terjadinya Revolusi sosial tidak dapat dilihat. Namun yang jelas, pada peta terbaru tahun 2012, bangunan yang dapat bertahan dari seluruh bangunan di kota Maksum hanya ada 3, yaitu bangunan Istana Maimun, Masjid Al-Maksum, dan Taman Seri Deli.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
127
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Bab V KESIMPULAN
5.1 Hasil Evaluasi Nilai Istana Maimun Hasil identifikasi nilai bangunan cagar budaya Istana Maimun berdasarkan indikator yang sudah ditetapkan kemudian dievaluasi signifikansinya terhadap peringkat tingkat kabupaten/ kota, provinsi, atau nasional. Dalam penilaian ini tidak akan disimpulkan apakah signifikansi Bangunan Istana Maimun tinggi atau tidak. Tapi yang lebih diutamakan adalah signifikansi bangunan Istana Maimun lebih mewakili kepentingan kabupaten/ kota, provinsi, dan nasional baik secara administrasi, politik, maupun kebudayaan.
Pemenuhan
Kriteria Nilai
Kriteria signifikansi untuk Kriteria
Indikator
peringkat lokal
Pemenuhan
Pemenuhan
Kriteria signifikansi untuk peringkat provinsi
Kriteria signifikansi untuk peringkat nasional
Tokoh
+
+
-
Peristiwa
+
+
-
Teknologi
-
-
-
Periode
+
+
-
Gaya seni
+
+
+
Tokoh
-
-
-
Periode
-
-
-
Simbolis
+
+
+
Kebudayaan Kuno
-
-
-
Kebudayaan Baru
+
+
+
6 + dari 10
6+ dari 10
3 + dari 10
subkategori
subkategori
subkategori
Sejarah
Ilmu Pengetahuan Pendidikan Agama
Kebudayaan
Total
Hasil
Bangunan Istana Maimun lebih mewakili signifikansi lokal dan provinsi.
Tabel 5.1 Evaluasi Nilai Cagar Budaya Istana Maimun
127 Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
128
Berdasarkan penilaian yang dijelaskan sebelumnya, Istana Maimun termasuk dalam kategori bangunan, dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan. Latar kebudayaan yang diwakili adalah kebudayaan Melayu, secara khusus kebudayaan melayu tersebut adalah melayu Deli. Berdasarkan evaluasi nilai yang dijelaskan sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa Istana Maimun sudah memenuhi kriteria sebagai cagar budaya untuk sub-kategori bangunan tunggal yang berdiri bebas. Namun demikian sebenarnya akan lebih baik jika Istana Maimun dipreservasi bersama-sama kolam sri Deli dan Masjid Al-Maksum dikarenakan ketiga bangunan tersebut berasal dari konteks sejarah dan budaya yang sama. Signifikansi informasi yang dimiliki Istana Maimun lebih mewakili wilayah provinsi ataupun kabupaten/ kota. Oleh sebab itu, bangunan Istana Maimun, untuk saat ini masih direkomendasikan untuk dijadikan cagar budaya provinsi. Bangunan Istana Maimun dapat direkomendasikan kembali menjadi cagar budaya nasional apabila untuk selanjutnya ditemukan informasi-infomasi baru yang mendukung hal tersebut.
5.2 Penilaian Cagar Budaya Tidak Dapat Dilakukan Oleh Satu Bidang Ilmu Di Indonesia secara keilmuan cagar budaya merupakan salah satu kajian dari ilmu Arkeologi. Penilaian cagar budaya dilihat dari ilmu Arkeologi dapat dilakukan, namun penilaian tersebut tidak bersifat komprehensif dan tetap membutuhkan data-data yang diperoleh dari kajian-kajian yang dilakukan bidang ilmu lain seperti arsitektur, konservasi, seni, ekonomi, dan teknik sipil (konstruksi).Oleh sebab itu, peneliti mendukung keberadaan tim ahli cagar budaya dalam proses penilaian, pelestarian, dan pengelolaan cagar budaya agar penilaian yang dilakukan lebih komprehensif dan obyektif.
5.2. Pemeringkatan Tidak Hanya Membahas Masalah Signifikansi Informasi Masalah pemeringkatan bukan saja terkait apakah suatu cagar budaya memiliki signifikansi informasi atau tidak. Pemeringkatan adalah satu tahap kecil dalam designation system, yang juga mencakup identifikasi nilai (assessment),
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
129
penentuan pengelola, pendaftaran, perlindungan hukum, dan pemanfaatan. Semua tahap itu saling terkait dan saling mendukung. Inti dari pelestarian cagar budaya bukan terletak pada fisiknya, namun nilai yang terkandung dalam cagar budaya. Kecuali untuk benda seni, nilai cagar budaya yang dimaksud adalah informasi dan potensi. Pelestarian fisik cagar budaya dimaksudkan untuk melestarikan informasi yang dikandungnya dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Namun pemanfaatan yang diaplikasikan pada cagar budaya harus sesuai dengan informasi yang terkandung dalam cagar budaya tersebut atau setidaknya tidak menimbulkan interpretasi yang salah. Pelestarian cagar budaya di Indonesia yang berbasis pemanfaatan memang bertujuan untuk menempatkan kembali cagar budaya dalam konteks sosial masyarakat. Hal ini dilakukan tidak hanya bertujuan agar informasi dan potensi yang dimiliki cagar budaya sampai ke masyarakat, tapi juga agar masyarakat turut peduli dan menjaga cagar budaya tersebut. Namun sebelum menuju proses pemanfaatan tersebut, suatu cagar budaya harus benar-benar dipastikan dapat mengakomodir kegiatan pemanfaatan yang akan dilakukan dan dapat mewakili informasi yang dikandungnya. Oleh sebab itu, dalam proses pemeringkatan dilakukan pula identifikasi terhadap potensi pelestarian dan pemanfaatan. Apabila hal ini tieak dilakukan ditakutkan akan muncul kerusakan fisik cagar budaya akibat pemanfaatan. Adanya pembedaan pengelola cagar budaya (lokal, provinsi, dan nasional) bukan dimaksudkan untuk memilih cagar budaya mana yang paling baik diantara yang lain. Pembedaan pengelola ini dimaksudkan agar informasi dan potensi yang dimiliki oleh cagar budaya, dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Universitas Indonesia Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, Agnew, Neville dan Martha Demas. 2002. Principles for the Conservation of Heritage Sites in China. Los Angeles: Getty Conservation Institute Avrami, Erica, dkk. 2000. Values and Heritage Conservation; Research Report. Los Angeles: Getty Conservation Institute Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia (edisi revisi). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Bohn, Henry G. 1855. Critique of Pure Reason Translated From the German of Immanuel Kant. London: Bohn’s Philosophical Library. Buiskool, Dirk. “Medan, A Plantation City on the East Coast of Sumatera 18701942” dalam Kota Lama Kota Baru. 2005. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hal 275 – 300. Clark, Kate (ed). Capturing the Public Value of Heritage The Proceeding of The London Conference, 25-26 January 2006. London: The Department for Culture, Media and Sport, English Heritage. Davies, Nikolas dan Erkki Jokiniemi. 2008. Dictionary Of Architecture and Building Construction. UK: Elsevier/Architectural Press Dradjat, Hari Untoro. “Benda Cagar Budaya Peringkat Lokal, Regional, Nasional, dan Global”. Makalah disampaikan dalam Rapat Penyusunan Petunjuk Teknis Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan dan Perlindungan Peninggalan Purbakala dan Sejarah di Cisarua, Bogor, tanggal 20-23 Maret 1995. Ellis, Linda. 2000. Archaeological Method and Theory. New York: Garland Publishing ltd. UNESCO. 2011. Preparing World Heritage Nominations World Heritage Resource Manual: author JICA. 1979. Republic of Indonesia Borobudur Prambanan Archaeology National Park. Author Harris, Cyril M. 2006. Dictionary of Architecture and Construction Forth Edition. New York: McGraw-Hill Prof Med/Tech Haryono, Timbul. “Benda Cagar Budaya: Pengertian dan Kualitas Nilai Sejarah, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan” dalam Amoghapasa no. 4 Th II, January 1st 1995, pp. 7-12 Hardesty, Donald L. dan Barbara J. Little. 2009. Assessing Site Significance A Guide for Archaeologists and Historians. New York: AltaMira Press. Koestoro, Lucas Partanda, dkk. 2006. Medan, Kota di Pesisir Timur Sumatera Utara Dan Peninggalan Tuanya. Medan: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Lossky, N.O & John S. Marshall. 1935. Value and Existence. London:
George Allen & Unwin.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
McGimsey. C.R dan Davis, H.A (ed). 1977. The Management of Archaeological Resources: The Airline Report. Washington D.C: Society for American Archaeology. Mendoza, G.A, dkk. 2000. Panduan untuk menerapkan analisa multikriteria dalam menilai kriteria dan indicator. Bogor: CIFOR Navrud, Stale dan Richard C. Ready. 2002. Valuing Cultural Heritage Applying Environmental Valuation Techniques to Historic Buildings, Monuments and Artifacts. UK: Edwar Edgar Publishing Ltd. Nurbaiti, Siti. “Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda cagar budaya Terhadap Pelestarian Bangunan Bersejarah” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII di Cipanas, 12-16 Maret 1996. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta. Hal. 475 – 482. Mundardjito, “Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya”. Pidato pada Upacara Pengukuhan Gurubesar Universitas Indonesia Tanggal 7 Oktober 1995. Depok: Fakultas Sastra UI. Mundardjito, ”Penyelamatan Benda Budaya dari Bencana dan Peran Masyarakat”. Makalah disampaikan dalam Program Pendidikan dan Latihan Manajemen Siaga Bencana Budaya, diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 20-30 Agustus 2003 di Yogyakarta. Mundardjito, “Masalah Metode Penilaian Benda Cagar Budaya”. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi Ke-X, diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pada tanggal 26—30 November 2005 di Hotel Sahid, Yogyakarta. Pasaribu, Ikhdar. 1995. Istana Maimun sebuah tinjauan arsitektur (skripsi.) Depok: UI Pauls, Reinhard. 1990. Concepts of value:a multi-disciplinary clarification. Selandia Baru: Lincoln University and University of Canterbury Pearson, Michael & Sharon Sullivan, 1995 Looking After Heritage Places. Melbourne : Melbourne Universty Press Prahasta, Eddy. 2002 Sistem Informasi Geografis, Tools dan Plug-ins. Bandung : Penerbit Informatika. Pott, PH. 1966. Yoga and Yantra. The Haque Martinus Nijhoff. Rahardjo, Supratikno. 2010. Pengelolaan Warisan Budaya di Indonesia. Bandung: Penerbit Lubuk Agung. Rahtz, Philip A (ed.), 1974 Rescue Archaeology. Birmingham : Penguin Books Randal Mason. “Assessing Values in Conservation Planning: Methodological Issues and Choices”, dalam Torne, Marta de la. 2002. Assesing The Value of Cultural Heritage. Los Angeles: Getty Conservation Institute Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Renfrew, Colin, dan Paul Bahn. 2004 (edisi keempat). Archaeology; Theory, Method, and Practice. London: Thames and Hudson. Renfrew, Colin, dan Paul Bahn (ed). 2004 (edisi keempat). Archaeology; The Key Concept. New York: Routledge. Romli, Mohammad. Benda Cagar Budaya Peringkat Lokal, Regional, Nasional, dan Internasional. Makalah disampaikan dalam Rapat Penyusunan Petunjuk Teknis Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan dan Perlindungan Peninggalan Purbakala dan Sejarah di Cisarua, Bogor, tanggal 20-23 Maret 1995. Samidi. “Perkembangan Konservasi Arkeologi Di Indonesia” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII di Cipanas, 12-16 Maret 1996. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta. Hal. 434 – 445. Sampurno, 1969. ”Penelitian Tanah-Dasar Tjandi Borobudur,” Pelita Borobudur Seri B no. 3. Depdikbud Schiffer, M.B, dan Gummerman, G.D (ed). 1977. Conservation Archaeology: A Guide for Cultural Resouce Management Studies. New York: Academic. Scovil, Gordon and Anderson, 1977 “Guidelines for the Preparation of Statements of Environmental Impact on Archaeological Resources” dalam Schiffer, M.B dan G.J. Gumerman (ed) Conservation Archaeology. New York : Academic Press. Sidharta dan Eko Budiharjo. 1989. Konservasi lingkungan dan bangunan kuno bersejarah di Surakarta. Yogyakarta : Gajah Madah University Press Sinar, Tengku Luckman. 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. ‾‾‾‾, t.th. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Sharer, Robert J dan Ashmore W. Fundamental of Archaeology. London : The Benyamin / Cuming Publishing Company, 1980. Subroto, Ph. 1995 Peringkat-peringkat Benda Cagar Budaya Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Stovel, Herb. Risk Preparadness: A Management Manual for World Cultural Heritage. 1998, Rome (Italy): ICCROM Subroto, Ph. “Pola-pola Zonal Situs-situs Arkeologi”, dalam Berkala Arkeologi Manusia dalam Ruang : Studi Kawasan dalam Arkeologi. Tahun 1994. XVI, edisi Khusus. Yogyakarta : Balai Arkeologi -----. “Peringkat-peringkat Benda Cagar Budaya”. Makalah disampaikan dalam Rapat Penyusunan Petunjuk Teknis Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan dan Perlindungan Peninggalan Purbakala dan Sejarah di Cisarua, Bogor, tanggal 20-23 Maret 1995. ---.“Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bangunan Bata Pasca Pugar Untuk Kepentingan Pendidikan dan Imu Pengetahuan”, Makalah dalam Rapat Penyusunan Kebijakan Pemanfaatan BCB, Cisarua April 2003, tidak terbit. Surbakti, Asmyta. 2004. Konservasi Istana Maimoon Dilihat dari Perspektif Pariwisata. Denpasar. Universitas Udayana Press. (Thesis) Suhartono, Yudi. 2008. Pelestarian Sumberdaya Arkeologi Dalam Konteks Keruangan di Kawasan Borobudur. Yogyakarta: UGM. Tanudirjo, Daud Aris. “CRM Sebagai Manajemen Konflik”. Makalah dalam Artefak No. 19, 1998 Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Yogyakarta ----. “Penetapan Nilai Penting Dalam Pengelolaan Benda Cagar budaya”. Makalah yang disampaikan dalam Rapat Penyusunan Standardisasi Kriteria (Pembobotan) Bangunan Benda cagar budaya di Rumah Joglo Rempoa, Ciputat, Jakarta, 26-28 Mei 2004. Tidak terbit.
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
----. “Kriteria Penetapan Benda Cagar budaya”. Makalah yang disampaikan dalam Rapat Penyusunan Pedoman Penetapan Benda Cagar budaya , Cirebon, 16 Juni 2004. Tjandrasasmita, Uka. 1982. Usaha-usaha Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Torne, Marta de la. 2002. Assesing The Value of Cultural Heritage. Los Angeles: Getty Conservation Institute. Yoshiaki Shimizu, Japan in American Museums: But Which Japan?. Dalam ART BULLETIN Vol. 83. 2001. hal: 123-131 Young, Geoffrey. 1977. Conservation Scene; How Building Are Protected – and Why. Harmondsworth: Penguin Books. Zanten, Wim van. 1994. Statistik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
2. Serial Jufrida. "Mesjid Raya Al-Mashun, sebuah karya arsitektur masa Kesultanan Deli Awal Abad ke-20)". Dalam Berkala Arkeologi "Sangkhakala" Nomor : VII tahun 2000, hal.1-12. Jufrida & Ery Soedewo :"Jejak Kejayaan Kerajaan Deli di Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan". Dalam Berkala Arkeologi "Sangkhakala" Nomor : XIII tahun 2004, hal.30-38. Oetomo, Repelita Wahyu. 2000. Perpindahan kota pusat kerajaan di Tanah Deli. Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 8, 63-75 Wiradnyana, Ketut. 1997. Model Pemukiman dan Penggunaan Kerang Masa Mesolitik di Situs Bukit Kerang Kampung Baru, Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara (Studi Awal). Berkala Arkeologi Sangkhakala no. 1, 34-47 Wiradnyana, Ketut. 2010. Pentarikhan Situs Hoabinhian Dan Berbagai Kemungkinannya. Berkala Arkeologi Sangkhakala no. 26, 222-233 U.S Departement of the Interior National Park Service Interagency Resources Division. T.th. National Register Bulletin Technical Information on Comprehensive Planning, Survey of Cultural Resources, and Registration in the National Register of Historic Places. Washington D.C: Author 3. Publikasi Elektronik Agency for Cultural Affair, Japan. 2007. Cultural Properties for Future Generations. Tokyo: Cultural Properties Departemen Japan (Bunka) http://www.bunka.go.jp/bunkazai/pamphlet/pdf/pamphlet_en_03_ver03.pdf Agency for Cultural Affair, Japan. 2011. Cultural Properties for Future Generations – Outline of the Cultural Administration of Japan-. Tokyo: Author http://www.bunka.go.jp/english/index.html Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Agency for Cultural Affair, Japan. 2011. Policy of Cultural Affairs in Japan ― Fiscal 2011. Tokyo: Author http://www.bunka.go.jp/english/index.html Said, Mohammed H, Benedict Anderson, & Toenggoel Siagian. “What Was the “Social Revolution of 1946” in East Sumatra?” dalam Indonesia, Vol. 15, april 1973, hal. 144-186. http://links.jstor.org/sici?sici=00197289%28197304%2915%3c144%3awwt%22ro%3e2.0.co%3b2-f English Heritage. 2008. Conservation Principles Policies And Guidance For The Sustainable Management Of The Historic Environment. (http://www.heritagebc.ca/resources/guides-tips-1/terms-definitions) Kriteria pemeringkatan Inggris melalui situs resmi English Heritage http://www.english-heritage.org.uk/caring/listing/criteria-for-protection/
6. Lain-lain • Keputusan Walikota Kepala Daerah Tingkat II Medan Tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan serta Penghijauan dalam Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan • Salinan Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 188.342/3017/SK/2000 Tentang Penyempurnaan surat keputusan walikota medan nomor 188.342/382/SK/1989 Tentang Pelestarian Bangunan Dan Lingkungan Yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan Serta Penghijauan Dalam Daerah Kota Medan. • Charter For The Protection And Management Of The Archaeological Heritage tahun 1990 dari International Council of Monument and Sites (ICOMOS) • Convention Concerning The Protection Of The World Cultural And Natural Heritage • Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia (Indonesia Charter For Heritage Conservation) tahun 2003 dari Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia dan International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) • Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar budaya • Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar budaya diunduh pada tanggal 25 Januari 2011
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
Foto 1. Istana Maimoon tahun 1905 dari arah tenggara (sumber : Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
Foto 2. Istana Maimoon tahun 1905 dari arah timur (sumber : Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
Foto 3. Istana Maimoon tahun 1925 (sumber : Yayasan Sultan Ma’mun Perkasa Alamsyah)
Foto 4. Istana Maimoon dari arah Timur (dok. Lolita Tobing, 2009)
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
5
6
7
8
Foto 5 - 8. Beberapa bentuk pintu yang ada di Istana Maimun (dok. Lolita Tobing, 2010)
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
Foto 9. Arcade bagian luar Istana Maimoon (dok. Lolita Tobing, 2010)
Foto 10. Arcade bagian dalam Istana Maimoon (dok. Lolita Tobing, 2011)
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
Foto 11. Sisi barat laut Istana Maimun (bagian belakang bangunan sayap kiri) (dok. Lolita Tobing, 2010)
Foto 12. Pintu masuk utama Istana Maimun (sisi timur) (dok. Lolita Tobing, 2010) Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
Foto 13. Istana Puri Kota Maksum tahun 1940 (Sinar, t.th)
Foto 14. Taman Sri Deli tahun 1940 (sumber: Koninlijk Instituut voor Troppen)
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
(sumber : Koninklijk Instituut voor troopen) Gambar 1. Peta Medan Tahun 1895 Wilayah di dalam garis merah merupakan Pusat Pemerintahan Kesultanan Deli atau yang di dalam peta diberi Istilah Sultans Kampongs/ Sultan Gronds (Kampung Sultan)
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
(sumber : Koninklijk Instituut voor troopen) Peta 2. Peta Medan Tahun 1919 Peta asal penentuan wilayah Sultan. Wilayah yang diarsir dengan garis lurus hitam putih disebut dengan Sultans Grond yang dapat diterjemahkan dengan istilah wilayah Sultan. Atau pada peta tahun 1985 disebut dengan Sultans Kampong atau kampung Sultan
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
Peta 3. Peta Medan Tahun 1933 sumber : Koninklijk Instituut voor troopen)
Universitas Indonesia
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
Peta 4. Peta Medan Tahun 1945 (sumber : Koninklijk Instituut voor troopen)
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Lampiran
1. Gathering documentary evidence – published and unpublished documents, maps, plans, plates, drawings, and oral history.
2. Gathering physical evidence – survey of places and fabric, identification of objects and materials.
3. Establishing sequence of changes to the place
4. Establishing context – historical, technological, design, etc. Background of the place, and its significance to local communities.
5. Comparative analysis with other places of similar type
6. Determining the elements of points 1 to 5 that make up this place and that may prove to be of significance (including a statement of evidence not available at the present time)
7. Determining the way in which the various elements of the place are significant, and what degree of value they may have to society
8. Formalizing point as a statement of significance for the place
Gambar 1. Proses penilaian warisan budaya yang digunakan dalam penelitian Sumber : Pearson dan Sullivan, 1995:131
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Warisan budaya Berwujud
Warisan budaya Penting
Harta Negara/ National Treasure
Struktur, karya seni, dan kerajinan Lukisan, patung, kerajinan, karya kaligrafi, buku kuno, dokumen kuno, artefak arkeologi, dan sumber-sumber sejarah Warisan budaya Terdaftar Warisan budaya Tak Berwujud
Warisan budaya Penting Tak Berwujud
Drama, music, teknik kerajinan, dsb
Warisan budaya Tak Berwujud yang perlu didokumentasi
Warisan Budaya Rakyat (Folk)
Warisan Budaya Jepang
Warisan Budaya Rakyat (Folk) Berwujud
Warisan budaya rakyat berwujud kain, peralatan, rumah, dan objek yang memiliki koneksi dengan warisan budaya rakya tak berwujud Warisan budaya rakyat berwujud kain, peralatan, rumah, dan objek yang memiliki koneksi dengan warisan budaya rakya tak berwujud
Monumen
Warisan Budaya Rakyat (Folk) Tak berwujud Warisan Budaya Rakyat (Folk) terdaftar
Situs bersejarah Istimewa
Situs bersejarah
Situs kuno Tempat dengan Pemandangan Indah Bukit kerang, makam kuno, istana, benteng, Monumen Alam rumah tinggal Tempat dengan pemandangan indah Taman, jembatan, tebing, tepi pantai, gunung Hewan, tanaman, bentukan geologis dan mineral
Tempat dengan Pemandangan Indah Istimewa Monumen Alam Istimewa
Monumen terdaftar
Lanskap budaya
Lanskap budaya Penting
Persawahan, desa di pegunungan, aliran air Lanskap yang memiliki asosiasi dengan cara hidup suatu masyarakat dan geo-kultural suatu wilayah, yang sangat diperlukan untuk memahami gaya hidup atau tata kehidupan masyarakat Jepang Kelompok bangunan tradisional
Daerah Terlindungi Kelompok bangunan tradisional
Daerah Terlindungi Kelompok bangunan tradisional Penting
Kota militer, istana kota, peternakan, atau desa nelayan Teknik konservasi terpilih
Teknik konservasi untuk warisan budaya
Teknik yang penting untuk produksi material atau peralatan yang penting untuk proses perbaikan Warisan budaya terkubur
Keterangan warna garis:
Warisan budaya yang masih berada di dalam tanah
Pemeringkatan Pendaftaran
Gambar 2. Bagan designation system di Jepang
Diseleksi oleh pemerintah pusat
Sumber : http://www.bunka.go.jp
Diseleksi oleh pemerintah kota berdasarkan pengusulan Ditentukan oleh pemerintah kota
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
1.
Investigasi • Identifikasi dan investigasi • Survey dan inventarisasi • Investigasi awal terhadap situs terpilih • Investigasi lebih detail terhadap situs terpilih • Mengumpulkan material hasil dokumentasi
2.
Penelitian dan proses assessment • Nilai (sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan) • Kondisi • Manajemen konteks
4.
Determinasi objektivitas dan merancang master plan untuk konservasi • Objektivitas • Menentukan parameter konservasi • Menentukan fungsi • Interpretasi • Manajemen
3.
Implementasi 4 prasyarat warisan budaya dalam undang-undang • Penetapan batas-batas zona inti situs dan zona penyangga • Pemasangan tanda peringatan • Penyusunan arsip • Mendirikan manajemen pengelolaan
Pengelolaan per hari
5.
Implementasi master plan • Konsep parameter intervensi • Determinasi aksi • Survey dan rancangan • Tinjauan ulang
6.
Melakukan peninjauan ulang master plan dan action plan secara berkala
Gambar 3. Bagan Proses penilaian warisan budaya di Cina Sumber : Agnew dan Demas, 2004:77
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012
Tabel 1. Tabel perbandingan kriteria nilai yang digunakan peneliti Indonesia. Adapun kriteria nilai ini disusun ketika UU No. 5 Tahun 1992 masih berlaku
Kriteria yang sama
UU No. 5 Tahun 1992
Haryono (1995)
Drajat (1995)
Tanudirdjo (2004)
Suhartono (2008)
Rahardjo (2011)
Nilai Sejarah Nilai Ilmu Pengetahuan Nilai Kebudayaan
Konteks historis
Sejarah
Nilai Sejarah
Sejarah
Nilai Sejarah
Ilmu Pengetahuan
Nilai Ilmu Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan
Nilai Ilmu Pengetahuan
Kebudayaan
Nilai Kebudayaan Integritas (Keutuhan Dengan Konteksnya)
Konteks budaya Keutuhan
Kelangkaan
Ekonomi Kelangkaan Keunikan
Keaslian Integratif In situ Kuantitas
Nilai Kebudayaan Nilai Keutuhan Ekonomi
Nilai Ekonomi
Kelangkaan Keunikan Keaslian Bahan
Kejamakan Pertanggalan Kriteria yang berbeda
Umur .
Asosiasi Arkeologi Legitimasi/ hukum Estetika Nilai Pendidikan Nilai Politik
Penilaian cagar..., Lolita Refani Lumban T., FIB UI, 2012