UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH TERAPI REPERFUSI TERHADAP KESINTASAN SATU TAHUN PASIEN STEMI USIA LANJUT
TESIS
LIDYA JUNIARTI SILALAHI NPM : 0706311094
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVESITAS INDONESIA JAKARTA JANUARI 2015
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH TERAPI REPERFUSI TERHADAP KESINTASAN SATU TAHUN PASIEN STEMI USIA LANJUT
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam
LIDYA JUNIARTI SILALAHI NPM : 0706311094
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVESITAS INDONESIA JAKARTA JANUARI 2015
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
ii Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
iii Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
iv
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera untuk kita semua, Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena anugerah dan berkat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sekaligus pendidikan saya di Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari apa yang telah saya capai sampai saat ini, baik selama menjalani proses pendidikan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan selama mengerjakan tesis ini adalah tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dukungan, kerjasama serta doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini izinkanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada :
Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, KEMD sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, sekaligus anggota dewan penguji ujian tesis terbuka saya dan Dr. dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, KGer, M.Epid, FACP sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI terdahulu atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk dapat mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
dr. Aida Lydia, Ph.D, SpPD,KGH selaku Ketua Program Studi saat ini dan kepada Dr. dr. Aru W Sudoyo, SpPD, KHOM, FACP selaku Ketua Program Studi terdahulu, serta kepada para staf koordinator pendidikan, atas bimbingan dan perhatian yang diberikan selama masa pendidikan.
dr. Arya Govinda Roosheroe, SpPD, KGer selaku Ketua Divisi Geriatri yang telah memberikan kesempatan, kemudahan dan dukungan bagi saya untuk melakukan penelitian di Divisi Geriatri.
Prof. Dr. dr. Siti Setiati, SpPD, KGer, MEpid; dr. Sally Aman Nasution, SpPD. KKV; selaku pembimbing penelitian saya yang telah banyak memberikan saran, ide, arahan, dukungan dan waktu diskusi yang sangat berharga selama saya menjalankan penelitian ini.
dr. Esthika Dewiasty, SpPD, MSc selaku pembimbing statistik penelitian saya yang telah sabar dan banyak sekali memberikan bimbingan, masukan,
v
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
perhatian, dukungan koreksi juga waktu kepada saya sejak awal sampai akhir penelitian ini, sehingga tesis ini bisa diselesaikan.
Para Guru Besar dan Staf Pengajar di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSCM yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah menjadi guru dan teladan bagi saya selama masa pendidikan ini.
Para Koordinator dan Ketua Divisi beserta staf di lingkungan Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam
FKUI/RSCM
yang
telah
memberikan dukungan sarana dan prasarana selama proses pendidikan saya.
Staf Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang telah memberikan bantuan selama proses penelitian saya ini dengan memberikan saran, dukungan, konsultasi dan waktu diskusi yang sangat berharga.
Staf Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSCM yang telah memberikan saran dan bimbingan selama penelitian saya ini.
Staf administrasi di lingkungan Divisi Geriatri ( Mas Iwa, Mbak Anti), Staf administrasi di lingkungan Divisi Kardiologi ICCU RSCM (Mbak Lina, Mas Nana) serta staf administrasi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam ( Mbak Aminah, Bu Yanti, Mas Heri) yang telah banyak membantu dalam proses penelitian ini.
Kepada seluruh pasien dan keluarga yang bersedia mengikuti penelitian ini, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kesediaan Bapak dan Ibu yang rela diwawancara baik melalui telepon maupun kunjungan rumah untuk kepentingan perkembangan ilmu kedokteran di bidang geriatri, kardiologi serta perbaikan kualitas pelayanan kesehatan di masa depan melalui penelitian ini. Tanpa Bapak dan Ibu maka penelitian hanya angan-angan semata. Semoga penelitian ini memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk Bapak dan Ibu yang menderita penyakit STEMI yang berusia lanjut.
vi
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
Para perawat dan tenaga paramedis di unit gawat darurat, poliklinik serta ruang rawat di RSCM, RS Persahabatan, RSU Tangerang, RS Fatmawati yang namanya tidak dapat saya sebut satu persatu atas bantuan dan kerjasamanya selama saya menjalani proses pendidikan ini.
Para pasien di RSCM, RS Persahabatan, RSU Tangerang, RS Fatmawati yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang berharga kepada saya selama proses pendidikan ini.
Para senior dan teman sejawat sesama Peserta Program Dokter Spesialis di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam atas dukungan dan kerjasamanya selama ini.
Teman-teman seangkatan (Jaduls): dr. Andree Kurniawan, SpPD; dr. Annisa Maloveny, SpPD; dr. Anugrahini, SpPD; dr. Ayatullah Khomaini, SpPD; dr. Birry karim, SpPD; dr. Dipdo Petrus Wijaya, SpPD; dr. Dewi Martalena, SpPD; dr. Eka Widya Khorinal, SpPD; dr. Indra Wijaya, SpPD; dr. Kristoforus Hendra, SpPD; dr. Masra Lena
Siregar,
SpPD;
dr.
Nata
Pratama,
SpPD;
dr.
Rizki
Yaruntradani, SpPD; dr. Shirly Elisa Tedjasaputra, SpPD; dr. RM Suryo Anggoro, SpPD; dr. Vidhia Umami, SpPD, Trimakasih atas kebersamaan, dukungan dan kerjasamanya selama ini, sungguh merupakan kebanggan dan kehormatan dapat menjalani pendidikan ini bersama-sama dengan kalian. Semoga kebersamaan ini dapat kita bina selepas masa pendidikan.
Sahabat saya : dr. Mira Yulianti, SpPD; dr. Margareth Merlyn Tjiang, SpPD; dr. Indah Fitriani, SpPD; dr. Ratih Tri Kusuma Dewi, SpPD, sungguh bahagia memiliki sahabat seperti kalian, selalu membantu dan mendukung selama masa pendidikan, dan selalu siap menemani saya ketika saya mengalami masalah. Semoga persahabatan ini akan terus terbina sampai kita tua.
Kakak saya dr. Jane Estherina, SpPD, terimakasih untuk kebersamaan dan selalu mendukung saya dalam segala keadaan, memberikan inspirasi sehingga saya bisa semangat kembali menyelesaikan tesis ini.
vii
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
Kepada adik-adikku: dr. Gomgom, dr. Meri, dr. Christina, Budi, Bonita, atas semua dukungan dan doa yang kalian berikan, dan mohon maaf banyak waktu yang hilang bersama kalian ketika saya menjalani masa studi ini.
Kepada kedua orang tua yang saya cintai, Bapa (Saur Haposan Silalahi) dan Mama (Dortiana Sianturi) yang tidak pernah berhenti mendukung dan berdoa buat saya, kalian berdua sudah banyak berkorban terutama untuk studi saya. Kalianlah alasan saya untuk kembali berjuang menyelesaikan tesis ini. Setiap airmata dan pengorbanan kalian tidak bisa saya balas, hanya Tuhan yang membalas. Saya berdoa papa dan mama selalu sehat sehingga saya mempunyai kesempatan untuk membahagiakan kalian.
Kepada mama mertua (Tiurlina Situngkir) yang saya cintai, terimakasih buat semua pengertian, kasih sayang, pengorbanan, dan doa yang tulus diberikan kepada saya, sehingga saya mampu menyelesaikan tesis ini. Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga bisa terus mendampingi kami.
Untuk suamiku Safrin Marulitua Simarmata, Ak, MBA, CPA terimakasih atas kasih sayang, perhatian, pengorbanan, pengertian, dukungan, kesabaran dan doa yang telah diberikan pada saya selama menjalani pendidikan ini. Bahagia menjalani masa-masa yang penuh dengan tantangan bersamamu, semoga ini akan membuat rumahtangga kita semakin kokoh dalam menghadapi segala cobaan.
Untuk putriku Darlene Hananiah Shane yang mama sayangi, maafkan mama karena banyak waktu yang terbuang saat mama menyelesaikan tesis ini. Ada suatu saat mama ingin berhenti dan meyerah melanjutkan impian mama, namun ketika mama melihatmu tertawa mama diingatkan kembali untuk berjuang meyelesaikan mimpi mama, karena mama tidak mau suatu saat kamu tahu bahwa mama orang yang gampang menyerang saat menghadapi kesulitan, dan ini adalah pesan moral buat kamu ketika kamu dewasa nanti, mama berharap kamu tidak pernah meyerah dalam menghadapi kesulitan apapun, karena kalau kita sungguh-sungguh dan viii
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
berdoa, yakinlah semua yang kita kerjakan akan berhasil. Mama sangat mencintaimu. Dan tesis ini mama persembahkan untuk kamu.
Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang juga banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada saya selama ini, terima kasih, semoga Tuhan membalas budi baik Anda sekalian.
Jakarta, 25 Januari 2015
Lidya Juniarti Silalahi
ix
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
x
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
ABSTRAK Nama : dr. Lidya Juniarti Silalahi Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam Judul : Pengaruh Terapi Reperfusi Terhadap Kesintasan Satu Tahun PasienST EMI Usia Lanjut. Latar Belakang: Penelitian pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pasien STEMI usia lanjut sudah diteliti di negara lain sebelumnya, namun penelitian tersebut di Indonesia belum pernah dilakukan. Karena adanya perbedaan karakteristik, demografi dan budaya serta adanya kontroversi pemilihan terapi sehingga penelitian ini dilakukan. Penelitian-penelitian terdahulu belum banyak yang menggunakan analisis kesintasan, sehingga data survival pasien STEMI usia lanjut yang dilakukan terapi reperfusi sulit didapatkan. Tujuan: Mengetahui pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut. Metode: Penelitian menggunakan metode kohort retrospektif dengan analisis kesintasan. Sampel dikumpulkan dari pasien STEMI usia lebih dari atau samadengan 60 tahun yang dirawat di ICCU RSCM januari 2007- mei 2013, yang kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu pasien yang mendapat terapi reperfusi dan tidak reperfusi. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk mengetahui kesintasan masing-masing kelompok. Analisis bivariat mengunakan uji log-rank, analisis multivariat menggunakan cox proportional hazard regression. Besarnya hubungan variabel terapi reperfusi dengan kesintasan dinyatakan dengan crude HR dan IK 95% serta adjusted HR dan IK 95% setelah dimasukkan variabel perancu. Hasil: Terdapat 185 pasien STEMI usia lanjut yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 86 pasien kelompok terapi reperfusi dan 99 pasien kelompok tidak reperfusi. Hasil penelitian ini kelompok terapi reperfusi menurunkan mortalitas pada STEMI usia lanjut dengan crude HR 0,16 (0,07-0,33), p value <0,001, dengan kesintasan kumulatif satu tahun pasien STEMI usia lanjut yang dilakukan terapi reperfusi yaitu 91% (SE 3,1%), sedangkan kelompok tidak reperfusi 54% (SE % 5,0%). Rerata kesintasan pada kelompok terapi reperfusi 339,38 hari, dan kelompok tidak reperfusi 216,71 hari. Analisis multivariat menunjukkan terapi reperfusi merupakan prediktor independen terjadinya kesintasan satu tahun (Adjusted HR 0,17; IK95% 0,08-0,37). Simpulan: Terapi reperfusi memperbaiki kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut. Kata kunci: Usia lanjut, Terapi reperfusi, STEMI, Kesintasan
xi
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
ABSTRACT
Nama : dr. Lidya Juniarti Silalahi Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam Judul : The Effect of Reperfusion Therapy on One Year Survival in Elderly STEMI Patients . Background: This study was done because of the effect of reperfusion therapy on one year survival in elderly STEMI patients has not been studied in Indonesia. There are differences in characteristic, demographic and culture of elderly patients that had been studied in other countries and there are still controversies of therapy modality in elderly STEMI patients. Most of previous studies do not use survival analysis, hence, survival data of elderly STEMI patients is still limited. Aim: To know about the effect of reperfusion therapy on one year survival in elderly STEMI patients. Methods: Retrospective study was done with survival analysis approach. Sample was collected from STEMI patients aged > 60 years old that admitted to hospital in golden period (less than twelve hours) who was hospitalized in ICCU RSCM from january 2007 to may 2013, divided to reperfusion therapy and not reperfusion therapy group. Kaplan Meier curve was used to know survival in each group. Bivariate analysis was done by log rank test and multivariate analysis was done by cox proportional hazard regression test. The relation between reperfusion therapy variables with one year survival denoted as crude HR and 95%CI then as adjusted HR and 95%CI after confounding factors were calculated. Results: There are 185 STEMI elderly patients that divided into two groups : 86 patients in reperfusion therapy group and 99 patients in not reperfusion therapy group. The result is reperfusion therapy reduces mortality in elderly STEMI patient with crude HR 0,16 (0,07-0,33), p value <0,001, One year survival cumulative in reperfusion therapy group is 91% ( SE 3,1%) and 54% ( SE 5,0%) in not reperfusion therapy group. Mean survival of reperfusion therapy group is 339,38 days, and the not reperfusion therapy group is 216,71 days. Multivariate analysis shows that reperfusion therapy is an independent predictor in one year survival of elderly STEMI patients (Adjusted HR 0,17 ; 95%CI 0,08-0,37). Conclusion: Reperfusion therapy improves one year survival in elderly STEMI patients. Keyword: Elderly, Reperfusion, STEMI, Survival
xii
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................ i SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. iv KATA PENGANTAR ............................................................................................v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..............................x ABSTRAK ............................................................................................................. xi ABSTRACT .......................................................................................................... xii DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii DAFTAR TABEL ..................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN ........................................................... xviii BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................5 1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................5 1.4 Hipotesis Penelitian ...............................................................................5 1.5 Tujuan Penelitian ..................................................................................5 1.6 Manfaat Penelitian.................................................................................6 1.6.1 Manfaat Bagi Tenaga Medis ........................................................6 1.6.2 Manfaat Bagi Pasien.....................................................................6 1.6.3 Manfaat Bagi Perguruan Tinggi ...................................................6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................7 2.1 Fisiologi Kardiovaskular Usia Lanjut ...................................................7 2.2 Definisi dan Patofisiologi ......................................................................8 2.3 Perbandingan Terapi Reperfusi dan Tidak Reperfusi pada STEMI Usia Lanjut ........................................................................................11 2.4 Kerangka Teori ....................................................................................15 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................16 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................16 3.2 Variabel Penelitian .............................................................................16 3.3 Definisi Operasional ............................................................................17 BAB 4 METODE PENELITIAN ........................................................................23 4.1 Desain Penelitian .................................................................................23 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................23 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..........................................................23 4.4 Kriteria Penerimaan.............................................................................23 4.5 Perkiraan Besar Sampel ......................................................................23 4.6 Cara Pengambilan Sampel ..................................................................25 4.7 Cara Kerja ...........................................................................................25 xiii
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
4.8 Alur Penelitian.....................................................................................26 4.9 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................26 4.10 Etika Penelitian ..................................................................................27 BAB 5 HASIL PENELITIAN .............................................................................28 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ..........................................................28 5.2 Alur Pemilihan Pasien Penelitian ........................................................29 5.3 Terjadinya Kesintasan Satu Tahun Berdasarkan Jenis Reperfusi .......31 5.3 Alasan Pasien Tidak Dilakukan Terapi Reperfusi ..............................31 5.4 Hubungan Antara Terapi Reperfusi dengan Kesintasan Satu Tahun ..32 5.5 Jumlah Pasien yang Mengalami Kesintasan Berdasarkan Waktu .......33 5.6 Hubungan antara Variabel Perancu dengan Kesintasan Satu Tahun ..33 5.6 Analisis Multivariat antara Terapi Reperfusi dengan Kesintasan Satu Tahun ...................................................................................................34 BAB 6 PEMBAHASAN .......................................................................................36 6.1 Karakteristik Subyek Penelitian.. ........................................................36 6.2 Perbedaan Karakteristik Subyek Pada Pasien STEMI Usia Lanjut Yang Mendapat Terapi Reperfusi dengan Tidak Reperfusi ................38 6.3 Hubungan Antara Terapi Reperfusi Dengan Kesintasan Satu Tahun Pasien STEMI Usia Lanjut..................................................................44 6.4 Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian ...............................................46 6.5 Generalisasi Hasil Penelitian ...............................................................47 BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................49 7.1 Simpulan..............................................................................................49 7.2 Saran ....................................................................................................49 RINGKASAN ........................................................................................................50 SUMMARY ...........................................................................................................52 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................54
xiv
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
DAFTAR TABEL Definisi operasional……………………………………..
17
TABEL 5.1. Karakteristik penelitian………………………………….
30
TABEL 5.3
Alasan pasien tidak dilakukan terapi reperfusi………….
32
TABEL 5.4
Hubungan antara terapi reperfusi dengan kesintasan satu
TABEL 3.1
tahun……………………………………………………. TABEL 5.5
Jumlah pasien yang mengalami kesintasan berdasarkan waktu ……………………………………………………
TABEL 5.6
33
Hubungan antara variable perancu dengan kesintasan satu tahun………………………………………………..
TABEL 5.7
32
34
Crude HR dan Adjusted HR dengan IK 95% untuk variable perancu terhadap terapi reperfusi………………
xv
35
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2.1
Kerangka teori……………………………………….
15
GAMBAR 3.1
Kerangka konsep…………………………………….
16
GAMBAR 4.1
Alur penelitian……………………………………….
26
GAMBAR 5.1
Alur Pemilihan Pasien STEMI Usia Lanjut…………
29
GAMBAR 5.2
Analisis Kesintasan pasien STEMI usia lanjut yang mendapat dan tidak mendapat terapi reperfusi ……..
xvi
33
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Lembar data penelitian………………………………
66
LAMPIRAN 2
Cara menelepon...……………………………………
68
LAMPIRAN 3
Etik Penelitian……………………………………….
69
xvii
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN
ACC/AHA
American College of Cardiology/American Heart Association
ADA
American Diabetes Association
ASKES
Asuransi Kesehatan
CABG
Coronary Artery Bypass Grafting
CK
Creatin Kinase
CKMB
Creatin Kinase with Muscle and Brain Subunit
CRP
C-Reactive Protein
CVD
Cerebro Vascular Disease
eGFR
estimated Glomerular Filtration Rate
EKG
Elektrokardiogram
FKUI
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
GAKIN
Keluarga Miskin
GDS
Gula Darah Sewaktu
HR
Hazard Ratio
ICCU
Intensive Coronary Care Unit
IL
Interleukin
JAMKESDA
Jaminan Kesehatan Daerah
KJS
Kartu Jakarta Sehat
LVEF
Left Ventricular Ejection Fraction
MACE
Major Adverse Cardiac Event
NO
Nitrit Oxide
OR
Odds Ratio
PPCI
Primary Percutaneous Coronary Intervention
PCI
Percutaneous Coronary Intervention
PJK
Penyakit Jantung Koroner
RR
Relative Risk
RSCM
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
SE
Standar Error xviii
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
SKA
Sindrom Koroner Akut
SKTM
Surat Keterangan Tidak Mampu
STEMI
ST Elevation Myocard Infarction
WHO
World Health Organization
<
Kurang Dari
≤
Kurang Dari Atau Sama Dengan
>
Lebih Dari
≥
Lebih Dari Atau Sama Dengan
↑
Peningkatan
↓
Penurunan
xix
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Populasi usia lanjut di dunia semakin meningkat. Dengan harapan hidup rata-rata di dunia, terjadi peningkatan populasi usia lanjut dari 35 juta orang pada tahun 2000 menjadi 71 juta orang pada tahun 2030 di dunia.1 Keadaan ini memberi dampak timbulnya berbagai masalah kesehatan di populasi Usia lanjut. Salah satu masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus adalah sindrom koroner akut (SKA) yang merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia yang menyebabkan jumlah perawatan, serta biaya dan fasilitas yang dibutuhkan mencapai 20 milyar dolar pertahunnya.2 Di Indonesia, angka kematian karena penyakit kardiovaskular juga semakin meningkat, berdasarkan hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) 7,2% menduduki urutan ketiga penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi, dan semakin meningkat pada usia lanjut.3 Penelitian di Intensive Coronary Care Units (ICCU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode 1990-1994 didapatkan 642 kasus dan pada periode 2001-2005 terdapat peningkatan menjadi 683 kasus, sementara data tahun 2003-2007 didapatkan 1092 kasus SKA secara umum dengan angka kematian mencapai 12%. Humardani A pada tahun 2008 melaporkan antara tahun 2004-2007 terdapat 79 orang dari 237 orang (33%) penderita SKA yang meninggal selama perawatan di ICCU RSUPN-CM Jakarta.4 Mortalitas penyakit ini terjadi empat kali lipat pada pasien usia >75 tahun dibandingkan dengan orang muda.5 Berdasarkan data Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) yang dikumpulkan dari 14 negara, lebih dari 55 000 orang terdapat 24,7% pasien dengan ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) usia lebih dari 75 tahun.6 Mortalitas di rumah sakit setelah mendapat serangan STEMI meningkat
1
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
2
signifikan pada pasien usia lebih dari 70 tahun sebesar 19% dibandingkan pasien usia kurang dari 60 tahun sebesar 2,8%.7 Pasien STEMI usia lanjut mempunyai luaran yang lebih buruk dibandingkan pasien STEMI usia muda. Keadaan ini disebabkan oleh banyaknya penyakit penyerta (komorbiditas) pada usia lanjut seperti hipertensi, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan elektrolit dan anemia yang menyebabkan tingginya mortalitas pada pasien yang diberikan terapi medikamentosa maupun terapi reperfusi. Penyebab lainnya yaitu kurangnya evidence based mengenai tatalaksana STEMI pada populasi usia lanjut, presentasi klinis yang atipikal sehingga terlambat mendapatkan terapi yang tepat, serta kurangnya fasilitas kateterisasi di rumah sakit setempat.8 Sampai saat ini penelitian mengenai pemilihan terapi pada STEMI di populasi usia lanjut masih kontroversi. Penelitian-penelitian yang setuju dilakukan terapi reperfusi pada pasien STEMI usia lanjut antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Wu,dkk menunjukkan mortalitas enam bulan meningkat pada pasien STEMI usia lanjut yang tidak mendapat terapi reperfusi (50% vs 0%),9 penelitian Berger dkk menunjukkan mortalitas 30 hari pada pasien yang mendapatkan terapi reperfusi 13% sedangkan tidak reperfusi 20,6%, penurunan ini terjadi juga pada mortalitas satu tahun (19,3% vs 36,9%,).10 Penelitian lain, mortalitas selama perawatan di rumah sakit pasien yang mendapat terapi reperfusi dibandingkan yang tidak reperfusi pada usia lebih dari 75 tahun sebesar 48% vs 81% (risiko relatif (RR) 0,43, p=0,0002).11 Penelitian Zhang dkk menunjukkan major adverse cardiac events (MACE) satu tahun yang menurun signifikan pada pasien usia lebih dari 75 tahun yang mendapat terapi reperfusi (21.3% vs 45,2%, p=0,029).12 Sedangkan beberapa penelitian yang mengatakan bahwa terapi reperfusi meningkatkan mortalitas yaitu penelitian Global Utilization of Streptokinase and TPA for Occluded Coronary Arteries (GUSTO) yang menunjukkan terapi reperfusi berisiko terjadinya stroke dan perdarahan besar pada usia lanjut.13 Penelitian controlled Abciximab and Device Investigation to Lower Late Angioplasty Complications (CADILLAC) menunjukkan pasien yang mendapat terapi reperfusi mortalitas satu tahun meningkat tujuh kali lipat pada pasien usia
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
3
lanjut (1,6% menjadi 11%) dibandingkan pasien usia muda.14 Penelitian lain menemukan terdapat 17% risiko terjadinya ruptur dinding jantung dan 90% kematian pada pasien usia lanjut yang mendapat terapi reperfusi.15 Penelitian the Gruppo Italiano per lo Studio Della Sopravvivenza nell’Infarto Miocardico II (GISSI-2) menunjukkan terapi reperfusi menyebabkan kematian mendadak disebabkan ruptur jantung sebanyak 86% pada usia lanjut dibandingkan pasien 19% pada usia muda.7 Penelitian Thiemann dkk menunjukkan bahwa terapi reperfusi pada pasien dengan STEMI usia lanjut tidak bermanfaat mengurangi mortalitas.16 Penelitian lain yang menunjukkan tidak reperfusi menunjukkan mortalitas menurun (2,7% vs 0,5%) dan resiko perdarahan lebih rendah.17 Penelitian Collins dkk menunjukkan pasien usia lanjut yang dicurigai STEMI dan tidak mendapat terapi reperfusi terjadi penurunan mortalitas sebesar 25%. 18 Kontroversi pemilihan terapi yang ada saat ini disebabkan beberapa uji klinis menyatakan meningkatnya mortalitas bila diberikan terapi reperfusi karena efek samping seperti stroke, perdarahan, ruptur jantung, adanya komorbid (seperti hipertensi, diabetes melitus, gangguan ginjal, gangguan elektrolit dan anemia), coronary artery disease (CAD) yang berat, fungsi ventrikel kiri yang menurun, juga terdapat presentasi klinis yang tidak khas menyebabkan pasien datang terlambat.15,19 Studi Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) menunjukkan 30% pasien STEMI dengan keluhan gejala nyeri dada terjadi selama kurang dari 12 jam, namun tidak diberikan terapi reperfusi, hal ini disebabkan gejala klinis yang tidak khas, usia lebih dari 75 tahun (odds ratio [OR] 2,63 interval kepercayaan [IK]95% 2,04-3,38), jenis kelamin wanita, dan pada pasien congestive heart failure (CHF).20 Sementara itu di Indonesia sendiri masalah yang dihadapi adalah keterlambatan pasien datang ke rumah sakit yang disebabkan banyak hal, salah satunya karena takut datang ke rumah sakit, pasien tidak tahu kalau mendapat serangan jantung, tidak mempunyai biaya dan kemacetan lalulintas.21 Tujuan pengobatan pada pasien STEMI adalah untuk mencapai reperfusi secepat mungkin. Semakin dini reperfusi terjadi, semakin cepat miokard jantung dapat diselamatkan sehingga prognosis lebih baik. Pasien STEMI mempunyai risiko yang tinggi sehingga memerlukan reperfusi dengan tepat, baik dengan
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
4
trombolitik ataupun dengan PCI primer untuk mengurangi mortalitas.22 Guidelines american college of cardiology/American heart association (ACC/AHA) merekomendasikan reperfusi dilakukan dalam waktu kurang dari 12 jam dari onset gejala dengan trombolitik atau primary percutaneous coronary intervention (PCI primer) bila tersedia, sedangkan trombolitik dapat diberikan sampai 24 jam setelah onset.23 Usia merupakan faktor penentu yang kuat untuk prognosis jangka pendek dan jangka panjang pasien STEMI. Pada jaman sebelum ada terapi reperfusi pada usia lebih dari 65 tahun, mortalitas satu bulan dan satu tahun masing-masing sebesar 30% dan 75%.24 Keberhasilan PCI primer membuka arteri koroner yang tersumbat diatas 90% dan terus meningkat dari tahun ke tahun, dan terapi dengan trombolitik keberhasilannya mencapai sekitar 50–60%.25 Terbentuknya kembali sumbatan (reoklusi) dapat terjadi pada terapi reperfusi. Pada terapi trombolitik terdapat 25% pasien mengalami sumbatan kembali (reoklusi) dalam waktu 3 bulan.26 Sementara itu pada semua penelitian mengenai pemasangan stent pada pasien STEMI, dikatakan bahwa trombosis pada stent dapat terjadi 1,5% pada pasien yang mendapat bare-metal stent atau drug-eluting stent selama satu tahun pertama setelah STEMI.27 Dengan adanya kontroversi dalam pemilihan terapi pada STEMI di populasi usia lanjut di luar negeri menyebabkan pemilihan terapi menjadi kurang tepat dan tidak sesuai evidence based, sementara itu belum terdapat data di negara Indonesia mengenai pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut. Faktor adanya perbedaan karakteristik, demografi, budaya, dan keputusan pemilihan terapi diserahkan pada keluarga meyebabkan pasien usia lanjut kurang mendapatkan terapi optimal. Penelitian-penelitian terdahulu belum banyak yang menggunakan analisis kesintasan, sehingga data survival pasien STEMI usia lanjut yang dilakukan terapi reperfusi sulit didapatkan. Oleh sebab itu dilakukan penelitian ini dengan harapan setelah dilakukan penelitian ini dapat diketahui pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pasien STEMI usia lanjut, sehingga para klinisi dapat memberikan terapi yang optimal dan memberikan edukasi yang tepat pada pasien STEMI usia lanjut.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi masalah berikut yang menjadi dasar penelitian ini, yaitu:
Angka kejadian dan mortalitas STEMI pada usia lanjut cukup tinggi, sehingga dibutuhkan pemilihan tatalaksana yang tepat untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitasnya.
Masih terdapat kontroversi dalam pemilihan terapi pada pasien STEMI usia lanjut.
Sampai saat ini belum pernah di teliti di Indonesia mengenai pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pasien STEMI usia lanjut.
1.3 Pertanyaan Penelitian Apakah terapi reperfusi mempengaruhi kesintasan satu tahun pasien STEMI usia lanjut?
1.4 Hipotesis Penelitian Terapi reperfusi memperbaiki kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut.
1.5 Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
6
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Bagi Tenaga Medis Dengan diketahuinya pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut, maka tenaga medis dapat memutuskan pemilihan terapi yang terbaik bagi pasien STEMI usia lanjut sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
1.6.2 Manfaat Bagi Pasien Dengan diketahuinya pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut, diharapkan pasien mendapatkan informasi yang tepat terhadap pilihan terapi yang terbaik, maka pasien dapat memilih terapi yang tepat sehingga dapat menurunkan kematian, serta menurunkan lama dan biaya perawatan.
1.6.3 Manfaat Bagi Perguruan Tinggi Penelitian ini merupakan bagian upaya pengembangan ilmu pengetahuan dasar dan ilmu pengetahuan kedokteran, terutama ilmu penyakit dalam, dalam rangka menjalankan amanah Tridharma Perguruan Tinggi, serta menjadi dasar dari penelitian lain yang bertujuan mengkaji kesintasan pada pasien STEMI usia lanjut.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Kardiovaskular Usia Lanjut Pada usia lanjut terjadi peningkatan kolagen pada dinding arteri, dan kolagen tersebut secara permanen membentuk ikatan dengan kolagen lain yang terbentuk dari efek nonenzimatik produk advanced glycation end products (AGE).28 Ikatan dengan AGE ini akan membuat kolagen menjadi resisten untuk rutin merusak dan mengganti. Usia mempengaruhi regulasi elastisitas menjadi berkurang pada arteri pusat, sehingga menyebabkan berkurangnya elastic recoil dan distensibility.29 Selain terjadi perubahan struktural, fungsi endotelium pada pembuluh darah juga berubah, dengan terjadi penurunan produksi nitric oxide (NO) menyebabkan terjadinya dilatasi. Terjadi perubahan pada molekul biologi lain, seperti meningkatnya spesifik matrix metalloproteinases, perubahan growth factor-beta 1 dan angiotensin II yang juga menyebabkan disfungsi pada endotel. 30 Penurunan compliance dan elastisitas vaskular sering terlihat dalam praktek
klinis
sebagai
isolated
systolic
hypertension,
sindrom
yang
menggambarkan peningkatan tekanan sistolik, penurunan tekanan diastolik, perbedaan tekanan nadi yang lebar. Ketidakmampuan pembuluh darah untuk menyerap energi pada ejeksi sistolik dari jantung menyebabkan peningkatan kecepatan aliran darah di aorta dan arteri pusat.31 Kecepatan aliran darah tersebut menyebabkan peningkatan afterload jantung selama sistol, kemudian terjadi peningkatan aliran koroner selama diastol, akibatnya terjadi iskemia pada usia lanjut, meskipun tidak disertai lesi aterosklerotik yang berat, terutama bila disertai kebutuhan oksigen yang meningkat pada miokard seperti left ventricular hypertrophy (LVH) atau penurunan kebutuhan oksigen seperti pada anemia. Jantung pada usia lanjut biasanya membesar, meskipun tidak disertai peningkatan afterload yang sering kita lihat pada hipertensi atau stenosis aorta, namun konsentrik LVH ditemukan.32 Terdapat juga penurunan miosit yang disebabkan nekrosis dan apoptosis sehingga miosit yang tersisa membesar. Hipertrofi miosit tersebut kemungkinan disebabkan peningkatan afterload dari
7
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
8
aterosklerosis atau mungkin berhubungan dengan paparan stres kronik. Aktifitas fibroblast juga mempengaruhi fungsi jantung pada usia lanjut. Fibroblast berfungsi sebagai remodeling ventrikel, menghubungkan sisa miosit untuk meningkatkan cardiac output, namun kelebihan fibrosis menurunkan compliance ventrikel sehingga terjadi disfungsi.
2.2 Definisi dan Patofisiologi SKA adalah kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner yang terdiri dari Infark Miokard Akut dengan segmen ST elevasi (STEMI), infark miokard akut tanpa segmen ST elevasi (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil (UAP) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tidak stabil.33 STEMI disebabkan oleh oklusi lengkap pada arteri yang terjadi lebih dari 80% kasus.34 Oklusi akut karena adanya trombus pada arteri koroner yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium. Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi pada sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan). Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai Sindrom koroner akut. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respon inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis.35 Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang mengalami
disfungsi
ditandai
hal-hal
sebagai
berikut:36
Berkurangnya
bioavailabilitas nitric oxide (NO) dan produksi endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler, Peningkatan ekspresi molekul
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
9
adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 (VCAM-1)), Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal. Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag.35 Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.35 Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan
makrofag
memegang peranan
penting
dalam
stabilitas
plak
dan
kecenderungan untuk mengalami ruptur.35 LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
10
terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan mengalami ruptur. Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 7080%. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus.37 Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit.36 STEMI terjadi bila disrupsi plak dan trombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi iskemia transmural dan nekrosis. Pada usia lanjut seperti yang sudah dijelaskan diatas terjadi perubahan sistem kardiovaskular akibat proses degenerasi, sehingga menyebabkan denyut jantung basal menurun, respon terhadap stress menurun, compliance ventrikel kiri menurun akibat proses remodelling sehingga terjadi hipertrofi, senile amyloidosis, terjadinya kelainan katup karena sklerosis dan kalsifikasi yang berujung disfungsi katup, disamping itu juga terjadi perubahan sistem konduksi jantung akibat fibrosis, compliance pembuluh darah perifer menurun, sehingga terjadi peningkatan afterload dan terjadi proses aterosklerotik. Fungsi kognitif, fisik, penyakit komorbid seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, gagal jantung, gagal ginjal, riwayat stroke, sepsis, serta metabolisme obat juga diketahui bervariasi pada usia lanjut dan dapat menutupi gejala klinis STEMI yang khas menjadi tidak khas, begitupula respon terhadap terapi. Diagnosis STEMI yaitu adanya nyeri dada iskemik, gambaran EKG menunjukkan segmen ST-elevasi baru di J-point dalam 2 lead yang berdekatan dengan titik cut-off dari ≥ 0.2 mV pada pria atau ≥ 0,15 mV pada wanita di lead V2 dan V3 dan atau ≥ 0,1 mV di lead lain.38 Apabila terdapat gambaran EKG left bundle branch block (LBBB) baru dapat dipikirkan STEMI, dan gambaran ini
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
11
yang sering terlihat pada usia lanjut. Biomarker jantung meningkat pada STEMI tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis awal. Reperfusi harus segera diberikan berdasarkan presentasi klinis dan temuan EKG dan tidak boleh ditunda sampai terdapat hasil biomarker jantung. Nilai biomarker jantung seringkali normal pada awal sampai beberapa jam setelah serangan STEMI. Terapi utama STEMI adalah reperfusi dengan cepat dalam waktu kurang dari 12 jam setelah timbul gejala, Semakin cepat reperfusi semakin baik outcome. Reperfusi dapat dilakukan baik dengan PCI primer bila tersedia maupun trombolitik bila tidak ada kontraindikasi. Trombolitik dapat diberikan sampai 24 jam setelah timbul gejala, adanya gejala yang menetap, dan gambaran EKG ST-elevasi pada 2 lead EKG yang berdekatan, LBBB baru atau dianggap baru, atau infark miokard posterior.20
2.3 Perbandingan Terapi Reperfusi dan Tidak Reperfusi pada STEMI Usia Lanjut Berkembangnya pengobatan dengan terapi reperfusi dan tidak reperfusi pada pasien STEMI meningkatkan hasil klinis pada pasien STEMI. Namun STEMI pada pasien usia lanjut mempunyai risiko yang tinggi untuk dilakukan terapi reperfusi maupun tidak reperfusi. Kurangnya evidence based dalam pemberian terapi STEMI pada usia lanjut menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan untuk memberikan tindakan yang tepat. Guidelines merekomendasikan terapi reperfusi pada pasien STEMI usia lanjut, namun kenyataannya proporsi pasien usia lanjut yang mendapat terapi reperfusi berkurang dengan bertambahnya usia. Usia berhubungan dengan variasi terapi reperfusi baik prosedur invasif ataupun trombolitik.39 Terapi reperfusi adalah upaya mengembalikan perfusi miokard menjadi normal kembali. Karena yang menyumbat adalah trombus, upaya reperfusi dilakukan
dengan
cara
menghancurkan
atau
mengeluarkan
trombus.
Menghancurkan trombus dilakukan dengan menggunakan obat. Mengeluarkan trombus
dilakukan
dengan
menggunakan
alat
atau
tindakan.
Metode
menghancurkan trombus dengan obat dikenal sebagai terapi trombolitik. Trombolitik bekerja dengan merubah proenzim plasminogen menjadi enzim plasmin aktif melalui pelepasan ikatan peptida aginin-valin. Plasmin melisiskan
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
12
bekuan fibrin dan merupakan suatu serum protease nonspesifik yang mampu merusak plasminogen dari faktor V dan VIII, juga dapat bertindak sebagai penghambat agregasi trombosit pada stenisis arterial.40 Metode mengeluarkan trombus dengan alat atau tindakan dikenal dengan istilah PCI primer.41 Apabila fasilitas PCI tersedia, PCI harus dilakukan dalam 90 menit sejak pasien datang ke rumah sakit (door-to-balloon time). Apabila fasilitas PCI tidak tersedia dapat diberikan trombolitik dalam waktu 30 menit setelah pasien datang ke rumah sakit (door-to-needle time). Pada pasien usia lanjut transfer dari fasilitas PCI yang tidak tersedia ke fasilitas PCI yang tersedia harus dilakukan bila pasien mempunyai kontraindikasi dilakukan trombolitik, gagal dengan terapi trombolitik, atau PCI tidak dapat dilakukan dalam waktu 90 menit.25 Rescue PCI didefinisikan sebagai tindakan PCI pada pasca trombolisis tetapi arteri koroner tetap tersumbat. PCI dipertimbangkan jika terdapat tanda-tanda gagal trombolisis didasarkan pada data gejala klinis, resolusi segmen ST < 50%, adanya infark yang luas dan jika PCI dapat dilakukan dalam 12 jam setelah mulai keluhan nyeri dada.42 Data sebelumnya menunjukkan, pasien usia lanjut yang dapat dilakukan PCI dalam waktu 90 menit setelah datang ke rumah sakit hanya 4%-5% kasus.43 Pasien STEMI usia lanjut memiliki komorbiditas seperti diabetes mellitus, fungsi ginjal menurun, penyakit serebrovaskular, gagal jantung, terbatas kapasitas fungsional dan demensia, sehingga hal ini menjadi pertimbangan dalam memutuskan terapi yang akan dilakukan pada pasien. Disamping itu Efek samping obat lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut karena perbedaan dalam penyerapan obat, metabolisme, distribusi, dan ekskresi. Oleh karena itu, perhatian khusus harus diarahkan untuk menghindari interaksi obat yang merugikan serta memastikan penyesuaian dosis obat yang tepat sesuai dengan fungsi ginjal.6 Meskipun terapi reperfusi sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, namun di dalam beberapa penelitian tidak memasukkan populasi usia lanjut karena manfaat dan komplikasi terapi reperfusi masih kontroversi dilakukan pada usia lanjut.44 Meskipun manfaat dari terapi trombolitik baik diberikan pada pasien STEMI usia kurang dari 75 tahun, namun pada usia lebih dari 75 tahun masih kontroversi.45 Penting untuk menyoroti hal ini, karena faktanya pasien STEMI usia lanjut tidak mendapatkan terapi reperfusi sama sekali. Bahkan usia lanjut
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
13
merupakan salah satu prediktor kegagalan menggunakan terapi reperfusi pada pasien STEMI.46 Angeja dkk menunjukkan data dari Registry Nasional Myocardial Infark-2 (RNMI-2) bahwa terdapat penurunan mortalitas dan stroke di rumah sakit pada pasien usia kurang dari 85 tahun yang mendapat terapi reperfusi dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi.47 Demikian pula, Soumerai dkk melakukan evaluasi terhadap 2.659 pasien usia lebih dari 65 tahun dengan diagnosis STEMI di rumah sakit Minnesota sejak tahun 1992-1996, didapatkan bahwa dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi, terapi reperfusi menurunkan mortalitas pada pasien usia kurang dari 80 tahun, namun mortalitas meningkat 1,4 kali pada usia lebih dari 80 tahun.48 Penelitian lain menunjukkan bahwa meskipun tidak ada penurunan mortalitas pada jangka pendek, namun terdapat penurunan mortalitas pada jangka waktu menengah pada pasien STEMI yang mendapat terapi reperfusi. Penelitian gabungan dari the Maximum Individual Therapy in Acute Myocardial Infarction (MITRA) trial and Myocardial Infarction Registry (MIR) menunjukkan bahwa terapi reperfusi tidak berdampak terhadap mortalitas di rumah sakit pada pasien usia lebih dari 75 tahun, namun terdapat penurunan mortalitas yang signifikan bila dihubungkan dengan mortalitas 18 bulan dibandingkan pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi (OR 0,58; IK95% 0,39-0,88).49 Demikian pula, Berger dkk melakukan penelitian terhadap pasien usia lanjut, menunjukkan tidak ada dampak terapi reperfusi terhadap mortalitas 30 hari (OR 1,01; IK95% 0,94-1,09), namun terdapat penurunan mortalitas yang signifikan pada mortalitas satu tahun (OR 0,84; IK95% 0,79-0,89).10 Penurunan mortalitas satu tahun yang signifikan pada pasien STEMI lebih dari 75 tahun dengan menggunakan terapi reperfusi dilaporkan Stenestrand dkk (RR 0,88; IK95% 0,79-0,97).50 Studi lain yaitu Fibrynolytic Therapy Trialists (FTT) melakukan penelitian antara tahun 1982 dan 1992 pada 58600 pasien secara acak. Terdapat 5754 pasien berusia lebih dari 75 tahun dan mendapat terapi reperfusi (24,3%), dan hasilnya penurunan mortalitas 35 hari tidak signifikan dibandingkan plasebo (25,3%), namun terdapat pengurangan resiko kematian 10 orang per 1000 pasien (OR 0,94; IK95%, 0,84-1,07).51
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
14
Pasien STEMI usia lanjut banyak yang tidak memenuhi syarat untuk diberikan terapi reperfusi, hal ini disebabkan karena komplikasi dan tidak pastinya manfaat.53 Komplikasi yang paling berat terdapat ruptur dinding jantung pada 17,1 % pasien STEMI usia lanjut yang mendapat terapi reperfusi dibandingkan 7,9% pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi. Ruptur dinding jantung meningkatkan 50 % kematian setelah diberikan terapi reperfusi.52 Pemberian terapi yang kurang adekuat dan lambat serta tidak ada konsistensi dalam menangani STEMI pada pasien usia sangat lanjut, dan keinginan untuk memberikan terapi selain daripada terapi reperfusi, menimbulkan beberapa studi multisenter melakukan evaluasi luaran jangka pendek dan jangka panjang pada pasien usia sangat lanjut yang mendapat terapi PCI. Penelitianpenelitian tersebut mengevaluasi semua pasien dalam fase akut yang di rawat dan diberikan terapi sesuai rekomendasi, hasilnya terdapat 19% kematian di rumah sakit, sesuai dengan perkiraan pada pasien usia sangat lanjut dengan STEMI.53 Dari hasil tersebut kita dapat melakukan hipotesa, bahwa terapi reperfusi baik dengan PCI primer ataupun trombolitik dibandingkan tidak mendapat terapi reperfusi memberikan keuntungan jangka panjang pada terapi STEMI usia lanjut.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
15
2.4 Kerangka teori Perdarahan aktif Gangguan ginjal Usia > 75 Tahun CVD hemoragik Vascular compliance ↓
Hipertrofi Ventrikular
STEMI usia lanjut Terapi Reperfusi Nekrosis
Membuka arteri/ menghancurkan trombus
Kontraktilitas↓
CO2↓ Suplai O2↑
Perfusi sistemik ↓ Respon terhadap βadrenergik ↓
Limitasi luas infark Syok kardiogenik
Gagal Jantung/edema paru
Kesintasan Gambar 2.1 Kerangka Teori
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep Kesintasan satu tahun
Terapi Reperfusi
(
Usia >75 tahun Gangguan fungsi ginjal CVD hemoragik Perdarahan aktif
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
3.2
Variabel Penelitian
Variabel bebas adalah terapi reperfusi.
Variabel tergantung adalah kesintasan satu tahun setelah mendapat terapi reperfusi di ICCU RSCM
Variabel perancu adalah usia > 75 tahun, gangguan fungsi ginjal, CVD hemoragik, perdarahan aktif.
16
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
17
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Definisi
Segmen ST elevation myocardial infarction ( STEMI)
Adanya nyeri dada iskemik dengan adanya gambaran EKG menunjukkan segmen ST-elevasi baru dan peningkatan enzim jantung.38
Cara Pengukuran
Skala
Sesuai tertulis dalam rekam medis
Nominal
EKG: elevasi segmen ST baru di J-point dalam 2 lead yang berdekatan dengan titik cut-off dari ≥ 0.2 mV pada pria atau ≥ 0,15 mV pada wanita di lead V2 dan V3 dan atau ≥ 0,1 mV di lead lain, atau terdapat LBBB baru, ataupun perubahan EKG dari posterior MI, atau adanya evolusi gelombang Q Lab: CK, CK-MB > 2x batas atas. Troponin T >0,2 ng/dl
Usia lanjut
Usia saat pasien di rawat di ICCU RSCM yang lebih dari sama dengan 60 tahun
KTP/kartuidentitas
Numerik
lainnya/keteranganpasien/keluar
1: 60-75
ga, di hitung sejak kelahiran
2: > 75
hingga ketika pertama kali datang ke RSCM yang tertulis di rekam medis
Terapi reperfusi
upaya mengembalikan Sesuai tertulis dalam rekam medis perfusi miokard
Nominal
menjadi normal kembali dengan cara menghancurkan atau mengeluarkan trombus dengan primary percutaneous
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
18
Variabel
Definisi
Cara Pengukuran
Skala
coronary intervention (PCI primer), atau dengan trombolitik dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset (golden period).41 Rescue PCI adalah tindakan PCI pada pasca trombolisis tetapi arteri koroner tetap tersumbat (gagal trombolisis).42 Terapi Tidak reperfusi
Mortalitas satu tahun
Kesintasan satu tahun
Terapi konvensional dengan menggunakan obatobatan seperti antikoagulasi, anti agregasi trombosit, penyekat beta.23
Sesuai tertulis dalam rekam medis
Nominal
Kematian setelah dilberikan terapi reperfusi ataupun tidak reperfusi yang diamati sejak pemberian terapi sampai satu tahun setelah pemberian terapi Pasien yang survive setelah diberikan terapi reperfusi ataupun tidak reperfusi yang diamati sejak pemberian terapi sampai satu tahun setelah pemberian
Sesuai tertulis di rekam medis Pasien atau keluarga ditanyakan
Nominal
apakah pasien meninggal atau tidak lewat telepon
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
19
Variabel
Definisi
Cara Pengukuran
Skala
terapi Infark berulang
Infark yang terjadi Sesuai tertulis rekam medis, berulang selama serta pasien/keluarga di telepon perawatan sampai dan ditanyakan keadaannya pengamatan satu selama satu tahun setelah tahun mendapat terapi dari ICCU RSCM
Nominal
Riwayat reperfusi sebelumnya
Pasien pernah Sesuai tertulis dalam rekam dilakukan PCI atau medis trombolitik sebelum di rawat di ICCU RSCM
Nominal
Sepsis
Adanya infeksi pada Sesuai tertulis dalam rekam organ tertentu dan medis terdapat 2 atau lebih kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), yaitu54 :
Nominal
1. Suhu > 38°C atau < 36°C 2. Nadi > 90 kali /menit 3. Pernafasan >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg 4. Leukosit >12000/µl atau <4000/µl Gangguan fungsi ginjal
Penurunan fungsi ginjal yang dianalisa dengan menggunakan rumus estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR)
Sesuai tertulis dalam rekam medik
Nominal
- Normal atau gangguan fungsi ginjal ringan: ≥ 60 ml/men per 1,73 m2 - Gangguan fungsi ginjal sedang-berat: < 60 ml/men per 1,73 m2
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
20
Variabel
Definisi
Gagal Jantung
Cara Pengukuran
dinyatakan dengan Killip Class, yaitu derajat beratnya gagal jantung pada infark miokard akut, dinyatakan dengan kelas I, II, III, IV.5
Skala
Sesuai tertulis dalam rekam medis
Ordinal
Sesuai tertulis dalam rekam medis
Nominal
Perdarahan aktif Perdarahan yang cukup lama atau yang terus menerus mengeluarkan darah
Sesuai tertulis dalam rekam medis
Nominal
Jenis kelamin
Jenis kelamin berdasarkan keterangan tertulis saat pertama kali ke RSCM
Sesuai tertulis dalam rekam medis
Nominal
Merokok
Merokok aktif 1 tahun terakhir atau telah berhenti merokok dalam 1 tahun terakhir atau telah berhenti merokok lebih dari 1 tahun
Sesuai tertulis dalam rekam medis
Nominal
Riwayat SKA
Riwayat SKA
Sesuai tertulis dalam rekam
Nominal
sebelumnya
sebelum pemeriksaan
medis
Kelas I: tak ada tanda gagal jantung kongestif Kelas II : terdapat gallop S3 dan/atau ronki basah Kelas III: edema paru Kelas IV: kardiogenik Stroke hemoragik
syok
Perdarahan intrakranial
pertama di RSCM
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
21
Variabel
Definisi
Cara Pengukuran
Diabetes
Kriteria diagnosis DM Sesuai tertulis dalam rekam
Mellitus (DM)
tipe 2 (Konsensus
Skala Nominal
medis
Pengelolaan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI, 2011) yaitu pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dL atau kadar GDP ≥ 126 mg/dL atau dengan pemeriksaan pembebanan glukosa 75 gram kadar glukosa darah paska pembebanan ≥ 200 mg/dL.55 Dislipidemia
Kolesterol total > 200
Sesuai tertulis dalam rekam
mg/dL dan atau
medis
Nominal
kolesterol LDL > 130 mg/dL, dan atau kolesterol HDL < 45 mg/dL dan atau trigliserida > 150 mg/dL Hipertensi
Hipertensi esensial yang berdasarkan
Sesuai tertulis dalam rekam medis
Nominal
anamnesis ada riwayat -Hipertensi derajat 1: 140-159 mmHg/90-99mmHg hipertensi dan atau -Hipertensi derajat 2: menggunakan obat≥160mmHg/≥100mmHg obatan antihipertensi.56
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
22
Variabel Anemia
Definisi Hemoglobin <12 g/dl untuk perempuan
Cara Pengukuran Sesuai tetulis dalam rekam medis
Skala Numerik
yang tidak hamil dan <13 g/dl untuk lakilaki.57
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Disain Penelitian Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan analisis kesintasan.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dengan melakukan ekstraksi data dari rekam medis ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan April 2014. Data diperoleh dari catatan rekam medis pasien STEMI usia lanjut yang menjalani perawatan di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2007 – Mei 2013.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi target adalah semua pasien STEMI usia lanjut di Indonesia.
Populasi terjangkau adalah pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ruang perawatan ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2007 – Mei 2013.
Sampel penelitian adalah bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria pemilihan subyek penelitian.
4.4 Kriteria penerimaan Pasien STEMI usia ≥ 60 tahun yang datang ke rumah sakit dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset (golden period)
4.5 Perkiraan Besar Sampel Perkiraan besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus besar sampel untuk analisis kesintasan, yaitu: n1 = n2 = (Zα + Zβ)2{Φ(λ2) + Φ(λ1)} (λ2 - λ1)2
23
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
24
Untuk median dipilih 6 bulan, dengan perbedaan waktu kesintasan selama 6 bulan yang dianggap bermakna, sehingga: λ= -ln (0,5)/median λ2
=
-ln (0,5)/ 6 bulan
= 0,115
λ1
=
-ln (0,5)/ 12 bulan
= 0,057
λ2 - λ1 =
0,058
Φ(λ) = λ2/ (1-e-λt)
n
= jumlah subyek
α
= kesalahan tipe I, diambil 5%
Zα
= deviasi baku alpha
α
= tingkat kemaknaan 0,05; Zα = 1,96
β
= kesalahan tipe II, diambil 10%
Zβ
= deviat baku beta β = 0,1, didapatkan nilai konversi pada kurva normal = 1,282
λ2
= Hazard pada kelompok tidak reperfusi
λ1
= Hazard pada kelompok terapi reperfusi
t
= lama follow up (12 bulan)
Φ(λ) = λ2/ (1-e-λt) Φ(λ2) = 0,1152 / (1- 2,7 -0,115x12)
= 0,017
Φ(λ1) = 0,0572 / (1- 2,7-0,057 x 12)
= 0,006
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
25
Maka besar sampel adalah: n1 = n2 = (1,96+ 1,282)2 {0,017+ 0,006}
= 80,57 ~ 81
0,0582 Berdasarkan kedua rumus di atas, ditetapkan besar sampel minimal adalah 81 subyek untuk masing-masing kelompok, total jumlah seluruh sampel 162 subyek.
4.6 Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dengan menggunakan metode konsekutif. Data diambil dengan melakukan penelusuran dan pencatatan dari rekam medik pasien usia lanjut dengan diagnosis STEMI yang dirawat di ruang perawatan ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada kurun waktu yang telah ditentukan.
4.7 Cara Kerja a. Membuka data base elektronik pasien yang dirawat di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo. b. Mencatat nama dan nomor rekam medis pasien STEMI usia ≥ 60 tahun yang dirawat di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada kurun waktu Januari 2007 – Mei 2013. c. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran dan pencatatan dari rekam medis pasien STEMI usia ≥ 60 tahun yang datang ke rumah sakit dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset, yang menggunakan instrumen penelitian dengan borang yang terlampir. d. Data outcome yang bisa didapatkan dari rekam medis langsung dicatat, dan apabila tidak didapatkan data outcome di rekam medis, maka akan dilakukan penelusuran melalui telepon pasien atau keluarga atau mendatangi rumah pasien atau keluarga pasien yang alamatnya tercacat di rekam medis. e. Dilakukan pengolahan dan analisis data
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
26
4.8
Alur Penelitian
Membuka data base elektronik pasien yang di rawat di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Membuka Rekam medis pasien STEMI di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta sejak Januari 2007-Mei 2013 Kriteria penerimaan
Pengumpulan data: 1. karekteristik demografis dan klinis : usia, jenis kelamin, pekerjaan, anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan penunjang 2. jenis terapi yang didapatkan : reperfusi ( PCI primer, trombolitik) atau medikamentosa 3. data outcome : meninggal atau hidup Data didapatkan dari penelusuran rekam medis, telepon dan mendatangi rumah pasien atau keluarga pasien. Analisis dan pengolahan data
Pelaporan hasil penelitian Gambar 4.1 Alur Penelitian
4.9 Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diolah menggunakan perangkat lunak SPSS versi 17.0. Karakteristik dasar dan klinis subjek penelitian disajikan dalam bentuk tabel. Pengujian kemaknaan statistik dilakukan sesuai dengan karakteristik data serta tujuan penelitian. Perhitungan nilai rata-rata hitung dan sebaran baku dilakukan untuk data yang bersifat kuantitatif, sekaligus dihitung rentangan nilainya batas
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
27
95% interval kepercayaan. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk mengetahui kesintasan masing-masing kelompok terapi reperfusi dan kelompok tidak reperfusi, dan bila asumsi terpenuhi dimana semua variabel yang diteliti tidak saling berpotongan dilakukan uji log rank untuk analisis bivariat dengan nilai p < 0.05 dan time independent cox regression model untuk analisis multivariat (untuk mendapatkan adjusted hazard ratio (adjusted HR) ) berdasarkan batas kemaknaan (α) sebesar 5% dalam pengambilan kesimpulan kemaknaan statistik. Jika tidak memenuhi asumsi, yang dimasukkan hanya yang tidak berpotongan dengan uji log rank untuk analisis bivariat dan full atau reduced cox regression model untuk analisis multivariat. variabel perancu dimasukkan sebagai kovariat analisis multivariat. Tingkat kemaknaan yang dipakai adalah <0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
4.10 Etika penelitian Penelitian ini dimintakan ethical clearance (Nomor Etik: 373/H2.F1/ETIK/2014) dari Panitia Etik Penelitian Kedokteran. Semua data rekam medik yang dipergunakan akan dijaga kerahasiaannya. Etika penelitian meliputi: 1. Manfaat (beneficence). Penelitian yang dilakukan harus memberikan manfaat kepada peneliti, pasien, dan dunia medis. Melalui penelitian ini akan didapatkan informasi pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan pasien STEMI usia lanjut. 2. Tidak membahayakan (nonmaleficence). Pada penelitian ini tidak ada tindakan invasif yang dapat membahayakan. 3. Berkeadilan (justice). Prinsip ini menghendaki semua data pasien penelitian mendapatkan perlakuan yang sama untuk kepentingan penelitian dan mendapatkan jaminan kerahasiaan. 4. Bebas dari paksaan (Autonomy). Subyek berhak mendapatkkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan analisis kesintasan yang dilakukan pada pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU RSCM dalam kurun waktu januari 2007–mei 2013. Selama periode tersebut terdapat 274 pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU dan 185 pasien STEMI usia lanjut yang datang ke rumah sakit yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien yang dilakukan terapi reperfusi sebanyak 86 pasien dan yang tidak reperfusi sebanyak 99 pasien. Jenis terapi reperfusi yang dilakukan yaitu PCI primer dan trombolitik. Pasien yang mendapat terapi reperfusi dengan PCI primer sebanyak 68 pasien (79,1%) dan pasien yang mendapat terapi reperfusi dengan trombolitik sebanyak 18 pasien (20,9%). Dari data demografis terlihat bahwa pasien STEMI usia lanjut lebih banyak berjenis kelamin pria 73,5 % dibandingkan wanita 26,5 %, dengan usia 60 tahun sampai dengan 75 tahun sebanyak 90,8 %, usia lebih dari 75 tahun sebanyak 9,2 %. Jaminan pembayaran terbanyak adalah ASKES 41,6 %, diikuti pembayaran umum 34,6 %, SKTM 10,8 %, Jamkesmas/jamkesda 6,5 %, Gakin 4,3 %, KJS 1,6 %, dan jaminan perusahaan 0,5 %. Faktor risiko pada penderita STEMI usia lanjut paling banyak adalah hipertensi 70,3%, merokok 58,9%, dislipidemia 41,1%, diabetes mellitus 38,9%, riwayat infark 19,5%, obesitas 17,3 %, riwayat penyakit jantung koroner pada keluarga terdapat 15,2 %, dan riwayat penyakit cerebro vascular disease (CVD) 9,2%, riwayat PCI 7,6%, riwayat coronary artery bypass graft (CABG) 1,6%. Pasien STEMI usia lanjut yang menjalani angiografi koroner didapatkan multi-vessel diseases sebanyak 51,9 %, diikuti satu-vessels sebanyak 48,1 %. Selama perawatan didapatkan pasien killip 1 dan 2 sebanyak 65,4 %, killip 3 dan 4 sebanyak 34,6 %, gangguan fungsi ginjal sebanyak 63,8 %, anemia 30,3 %, dan setelah mendapat terapi selama perawatan, pasien yang mengalami mortalitas satu tahun setelah dilakukan terapi reperfusi sebanyak 9,3 %, sedangkan pasien yang tidak mengalami mortalitas setelah dilakukan terapi reperfusi sebanyak 90,7 %.
28
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
29
5.2 Alur Pemilihan Pasien Penelitian
Semua pasien SKA ≥ 60 tahun yang di rawat di ICCU RSCM periode Januari 2007-Mei 2013 N: 855 pasien
STEMI usia ≥ 60 tahun N: 274 pasien
Inklusi (golden period) N: 185 pasien
Kelompok reperfusi: 86 pasien
Kelompok tidak reperfusi : 99 pasien
Gambar 5.1 Alur Pemilihan Pasien STEMI Usia Lanjut
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
30
Tabel 5.1 Karakteristik Penelitian Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Rerata Umur 60-75 Tahun >75 Tahun Jaminan ASKES SKTM Umum KJS Jaminan Perusahaan Jamkesmas/Jamkesda Gakin Diabetes Melitus Ya Tidak Hipertensi Ya Tidak Merokok Ya Tidak Riwayat PJK Keluarga Ya Tidak Obesitas Ya Tidak Dislipidemia Ya Tidak Riwayat Infark Ya Tidak Riwayat PCI Ya Tidak Riwayat CABG Ya Tidak Riwayat CVD Ya Tidak
Terapi Reperfusi Ya Tidak (n=86) (n=99)
Total (n=185)
66 (76,7) 20 (23,3)
70 (70,7) 29 (29,3)
136 (73,5) 49 (26,5)
80 (93,0) 6 (7,0)
88 (88,9) 11 (11,1)
168 (90,8) 17 (9,2)
45 (52,3) 4 (4,7) 29 (33,7) 2 (2,3) 1 (1,2) 5 (5,8) 0 (0,0)
32 (32,3) 16 (16,2) 35 (35,4) 1 (1,0) 0 (0,0) 7 (7,1) 8 (8,1)
77 (41,6) 20 (10,8) 64 (34,6) 3 (1,6) 1 (0,5) 12 (6,5) 8 (4,3)
37 (43,0) 49 (57,0)
35 (35,4) 64 (64,6)
72 (38,9) 113 (61,1)
66 (76,7) 20 (23,3)
64 (64,6) 35 (35,4)
130 (70,3) 55 (29,7)
50 (58,1) 36 (41,9)
59 (59,6) 40 (40,4)
109 (58,9) 76 (41,1)
14 (16,5) 71 (83,5)
14 (14,1) 85 (85,9)
28 (15,2) 156 (84,8)
19 (22,1) 67 (77,9)
13 (13,1) 86 (86,9)
32 (17,3) 153 (82,7)
38 (44,2) 48 (55,8)
38 (38,4) 61 (61,6)
76 (41,1) 109 (58,9)
25 (29,1) 61 (70,9)
11 (11,1) 88 (88,9)
36 (19,5) 149 (80,5)
12 (14,0) 74 (86,0)
2 (2,0) 97 (98,0)
14 (7,6) 171 (92,4)
1 (1,2) 85 (98,8)
2 (2,0) 97 (98,0)
3 (1,6) 182 (98,4)
5 (5,8) 81 (94,2)
12 (12,1) 87 (87,9)
17 (9,2) 168 (90,8)
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
31
Killip Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Angiografi Koroner Satu-Vessel Multi-vessel Gangguan fungsi Ginjal Ya Tidak Anemia Ya Tidak Perdarahan aktif Ya Tidak Meninggal dalam 1 tahun Ya Tidak
47 (54,7) 15 (17,4) 6 (7,0) 18 (20,9)
33 (33,3) 26 (26,3) 9 (9,1) 31 (31,3)
80 (43,2) 41 (22,2) 15 (8,1) 49 (26,5)
20 (23,3) 66 (76,7)
69 (69,7) 30 (30,3)
89 (48,1) 96 (51,9)
51 (59,3) 35 (40,7)
67 (67,7) 32 (32,3)
118 (63,8) 67 (36,2)
26 (30,2) 60 (69,8)
30 (30,3) 69 (69,7)
56 (30,3) 129 (69,7)
0 (0,0) 86 (100,0)
1 (1,0) 98 (99,0)
1 (0,5) 184 (99,5)
8 (9,3) 78 (90,7)
46 (46,5) 53 (53,5)
54 (29,2) 131 (70,8)
5.3 Terjadinya Kesintasan Satu Tahun Berdasarkan Jenis-jenis Reperfusi Pada penelitian ini terdapat 86 pasien yang mendapat terapi reperfusi. Jenis terapi reperfusi yang dilakukan yaitu PCI primer dan trombolitik. Terapi reperfusi dengan PCI primer terdapat 5 pasien (7,3%) dari 68 pasien yang mengalami mortalitas, sedangkan pasien dengan terapi reperfusi trombolitik terdapat 3 pasien (16,7%) dari 18 pasien yang mengalami mortalitas.
5.4 Alasan Pasien Tidak Dilakukan Terapi Reperfusi Terdapat 99 pasien tidak dilakukan terapi reperfusi meskipun pasien datang ke rumah sakit sebelum 12 jam sejak onset. Alasan-alasan tersebut dikelompokkan menjadi 5 alasan, dan alasan yang paling banyak sehingga pasien tidak dilakukan terapi reperfusi yaitu biaya, kemudian diikuti oleh keluarga atau pasien menolak, dan keluarga tidak memberikan keputusan selama beberapa jam sehingga melewati waktu onset. Kontraindikasi dilakukan terapi reperfusi hanya ada satu pada penelitian ini yaitu perdarahan aktif, yang dapat dilihat pada table 5.2.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
32
Tabel 5.2 Alasan Pasien Tidak Dilakukan Terapi Reperfusi Alasan tidak reperfusi
Jumlah
Biaya Atipikal Keluarga/pasien menolak Kontraindikasi (Perdarahan aktif) Keluarga belum memberi keputusan
N 34 8 31 1 25
% 34,3 8,1 31,3 1,0 25,3
5.5 Hubungan antara Terapi Reperfusi dengan Kesintasan Satu Tahun Kurva Kaplan-Meier pada gambar 5.2 menunjukkan kelompok yang mendapatkan terapi reperfusi menurunkan mortalitas dengan crude HR 0,16 (0,07-0,33), p value < 0,001, dengan kesintasan kumulatif yang mendapatkan terapi reperfusi adalah 91% (standar error (SE) 3,1%, sementara kelompok yang tidak mendapat terapi reperfusi, kesintasan kumulatif sebesar 54% (SE 5,0%) pada tahun pertama., rerata kesintasan pada kelompok terapi reperfusi 339,38 hari, sedangkan kelompok tidak reperfusi 216,71.
Tabel 5.3 Hubungan antara Terapi Reperfusi dengan Kesintasan Satu Tahun Variabel Terapi Reperfusi Ya Tidak
Hidup 78 (90,7) 53 (53,5)
Status Meninggal 8 (9,3) 46 (46,5)
HR (IK 95%) 0,16 (0,07-0,33)
P < 0,001
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
33
Gambar 5.2 Analisis Kesintasan Kaplan-Meier STEMI pada Usia Lanjut Pada Kelompok Reperfusi dengan Kelompok Tidak Reperfusi
5.6 Jumlah Pasien yang Mengalami Kesintasan Berdasarkan Waktu Kurva Kaplan-Meier menunjukkan pada hari ke-30 terjadi penurunan kurva pada kelompok tidak reperfusi dengan kesintasan 30 hari adalah 65,7% (SE 4,8%) dan kesintasan 60 hari adalah 61,6% (SE 4,9%).
Tabel 5.4 Jumlah Pasien yang Mengalami Kesintasan Berdasarkan Waktu Waktu terjadi kesintasan Hari 30 Hari 60 Hari 90
Reperfusi (n=86)(%) 94,2% (SE 2,5%) 93,0% (SE 2,7%) 91,9% (SE 2,9%)
Tidak Reperfusi (n=99)(%) 65,7% (SE 4,8%) 61,6% (SE 4,9%) 60,6% (SE 4,9%)
5.7 Hubungan antara Variabel Perancu dengan Kesintasan Satu Tahun Hubungan antara variabel-variabel perancu yang mempunyai nilai p < 0,25 pada analisis bivariat, dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Variabel yang dimasukkan dalam analisis multivariat adalah variabel usia, gangguan fungsi ginjal dan perdarahan aktif yang dapat dilihat pada tabel 5.5.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
34
Tabel 5.5 Hubungan antara Variabel Perancu dengan Kesintasan Satu Tahun Variabel Usia >75 Tahun 60-75 tahun Gangguan ginjal Ya Tidak Perdarahan aktif Ya Tidak CVD hemoragik Ya Tidak
Status Hidup Meninggal
HR (IK 95%)
P
8 (47,1) 123 (73,2)
9 (52,9) 45(26,8)
2,35 (1,14-4,82)
0,019
80 (67,8) 52 (77,6)
38 (32,2) 15 (22,4)
1,69 (0,93-3,08)
0,082
0 (0,0) 131 (71,2)
1 (100,0) 53 (28,8)
4,35 (0,59-3,74)
0,109
0 (0,0) 185 (100)
0 (0,0) 0 (0,0)
Tidak bisa dinilai
5.8 Analisis Multivariat antara Terapi Reperfusi dengan Kesintasan Satu Tahun Analisis kesintasan bivariat menunjukkan hazard ratio terapi reperfusi sebesar 0,16 (IK95% 0,07-0,33). Analisis multivariat kemudian dilakukan untuk variabel usia, gangguan fungsi ginjal, dan perdarahan aktif. Perubahan adjusted HR untuk terapi reperfusi pada setiap penambahan variabel perancu dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
35
Tabel 5.6. Crude HR dan Adjusted HR dengan IK 95% untuk Variabel Perancu Terhadap Terapi Reperfusi
Variabel
Hazard Ratio (IK 95%)
Crude HR Terapi Reperfusi Adjusted HR
0,16 (0,07-0,33)
+ Usia + Gangguan fungsi ginjal + Perdarahan aktif
0,17 (0,08-0,35) 0,17 (0,08-0,36) 0,17 (0,08-0,37)
Setelah dilakukan Adjusted HR terhadap variabel-variabel diatas, tidak didapatkan perubahan > 10% dari Crude HR, sehingga disimpulkan tidak ada faktor perancu untuk variabel terapi reperfusi pada penelitian ini.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB 6 PEMBAHASAN
6. 1 Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif terhadap 185 pasien usia lebih atau sama dengan 60 tahun yang dirawat di ICCU RSCM dalam kurun waktu Januari 2007 sampai dengan Mei 2013 dengan diagnosis STEMI yang datang ke rumah sakit kurang dari 12 jam setelah onset (golden period). Pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu pasien usia 60-75 tahun sebanyak 90,8 % dengan median usia pasien 64 tahun dan pasien usia lebih dari 75 tahun sebanyak 9,2 % dengan median usia 79 tahun. Pasien termuda dengan usia 60 tahun dan paling tua usia 90 tahun. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Dzavik V dkk ( 2003) bahwa pasien usia kurang dari sama dengan 75 tahun sebanyak 68% dengan median usia 63 tahun dan pasien usia lebih dari 75 tahun sebanyak 32% dengan median usia 81 tahun.11 Thiemann DR dkk (2000) melakukan penelitian dan mendapatkan pasien ≤ 75 tahun sebanyak 32% dengan median usia 70 tahun, dan usia > 75 tahun sebanyak 30% dengan median usia 80 tahun.16 Begitupula penelitian Guagliumi G dkk (2004) dengan jumlah pasien ≤ 75 tahun sebanyak 22,6% dengan median usia 69 tahun, dan usia > 75 tahun sebanyak 13,1% dengan median usia 79 tahun.14 Penelitian Wenaweser P dkk (2007) terdapat pasien ≤ 75 tahun sebanyak 86,5% dengan median usia 65 tahun, sedangkan usia > 75 tahun sebanyak 13,5% dengan median usia 82 tahun.58 Dan penelitian yang dilakukan oleh Lim HS dkk (2009) membagi pasien dalam dua grup yaitu kelompok usia ≤ 75 tahun sebanyak 78,6% dengan median usia 65 tahun dan usia ≥ 75 tahun sebanyak 75,6% dengan median usia 82 tahun.59 Jumlah pasien usia > 75 tahun pada penelitian ini lebih sedikit dibandingkan penelitian lain, kemungkinan ini disebabkan oleh usia harapan hidup yang lebih rendah di Indonesia jika dibandingkan negara-negara maju lainnya. Usia harapan hidup di Indonesia pada tahun 2012 menurut world health organization (WHO) adalah 71
36
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
37
tahun, sedangkan usia harapan hidup di Amerika Serikat 79 tahun dan di Inggris 81 tahun.60 Pada penelitian ini terdapat 34,6% pasien yang tidak mempunyai jaminan, keadaan tersebut sesuai dengan data di Indonesia tahun 2010 bahwa penduduk yang memiliki jaminan kesehatan 54,8% sedangkan yang tidak memiliki jaminan kesehatan 40,9 %.61 Keadaan ini juga akan mempengaruhi tatalaksana pada pasien STEMI terutama pemberian terapi reperfusi. Thabrany dkk mengemukakan bahwa pendapatan penduduk yang rendah, edukasi yang kurang, akses geografi yang sulit, perbedaan kurtural, jumlah perusahaan asuransi yang masih terbatas, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan asuransi kesehatan di Indonesia.62 Penelitian Yi dkk menunjukkan sebagian besar pasien dalam kelompok terapi reperfusi memiliki asuransi kesehatan (OR=2,42, p=0,004), pendapatan ekonomi yang lebih tinggi, (OR=1,52, p=0,032) dan latar belakang pendidikan yang baik (OR=1,42, p=0,049). Pasien dengan asuransi kesehatan dan pendapatan yang lebih tinggi bisa menerima terapi reperfusi tepat waktu dan efektif, hal ini menunjukkan pembayaran yang tepat waktu untuk biaya medis juga merupakan faktor yang mempengaruhi penerimaan terapi reperfusi pada pasien usia lanjut dengan STEMI. Temuan ini berdampak pada sistem asuransi kesehatan untuk pengelolaan pasien usia lanjut dengan STEMI. 63 Subjek penelitian terbesar berjenis kelamin pria, pada usia 60-75 tahun sebanyak 74,4% sedangkan usia > 75 tahun sebanyak 64,7%. Hal ini sesuai dengan sebagian besar penelitian sebelumnya, seperti penelitian Thiemann DR dkk mendapakan jenis kelamin pria lebih banyak yaitu 63% pada usia ≤ 75 tahun dan berkurang di usia > 75 tahun yaitu 49%.16 Penelitian Lim HS dkk mendapatkan subjek laki-laki usia ≤ 75 tahun sebesar 77,6% dan usia > 75 tahun sebesar 53%.59 Penelitian Wenaweser dkk mendapatkan subjek laki-laki usia ≤ 75 tahun sebesar 80,1% sedangkan usia >75 tahun sebesar 63%.58 Penelitian Guagliumi dkk mendapatkan subjek laki-laki usia ≤ 75 tahun sebesar 65,1%, sedangkan usia >75 tahun sebesar 51,3%.14 Begitu juga dengan penelitian Dzavik V dkk mendapatkan subjek laki-laki usia ≤ 75 tahun sebesar 67,7% sedangkan usia > 75 tahun sebesar 53,4%.11 Dari penelitian ini dan beberapa penelitian di
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
38
atas dapat dilihat usia > 75 tahun kejadian STEMI pada pria berkurang sementara pada wanita terjadi peningkatan, hal ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa STEMI pada wanita terjadi 10 tahun lebih lambat dibandingkan pada laki-laki.64 Hal ini juga dihubungkan dengan status menopause, yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya infark, yang bukan saja mempengaruhi profil lipoprotein namun menurunnya kadar estrogen yang akan mempengaruhi mikrovaskularisasi dari pembuluh darah koroner.65 Douglas, dkk juga mengelompokkan status menopause sebagai faktor risiko mayor SKA pada perempuan bersama dengan angina tipikal, diabetes mellitus dan penyakit arteri perifer.66
6.2 Perbedaan Karakteristik Subyek pada Pasien STEMI Usia Lanjut yang Mendapat Terapi Reperfusi dengan Tidak Reperfusi Jenis kelamin pria yang mendominasi pada penelitian ini, dengan presentasi kelompok reperfusi dan tidak reperfusi hampir sama yaitu 76,7% dan 70,7%. Mayoritas jenis kelamin laki-laki juga ditemui pada penelitian Thiemann dkk dengan presentasi 59,3% pada kelompok reperfusi dan 56,8% kelompok tidak reperfusi.16 Alasan yang menyebabkan presentasi perempuan lebih rendah, sesuai dengan studi Jneid dkk bahwa wanita seringkali datang dengan keluhan nyeri dada atipikal sehingga tidak diberikan terapi reperfusi, dan bila diberikan sudah terlambat..67 Progresivitas aterosklerosis koroner meningkat dengan bertambahnya usia yang menyebabkan bertambah beratnya STEMI, keadaan ini membutuhkan tindakan reperfusi segera. Namun sebaliknya, pada penelitian ini persentasi subyek yang menjalani terapi reperfusi menurun seiring dengan pertambahan usia, hal ini terlihat pada usia ≤ 75 tahun terdapat 93,0% pasien yang menjalani reperfusi dan pada usia >75 tahun menurun menjadi 7,0%. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Thiemann dkk yaitu usia ≤ 75 tahun yang mendapat reperfusi sebanyak 72,6% dan menurun menjadi 26,3% pada usia > 75 tahun.16 Studi Hochman dkk menunjukkan bahwa reperfusi awal menunjukkan manfaat yang
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
39
signifikan pada pasien usia <75 tahun, sedangkan terapi medikamentosa terbukti lebih baik pada pasien usia >75 tahun.68 Guidelines merekomendasikan dilakukan terapi reperfusi pada kelompok usia lanjut, namun proporsi pasien usia lanjut yang menerima terapi reperfusi menurun seiring dengan bertambahnya usia.69,70 Keadaan ini disebabkan adanya kontroversi beberapa penelitian, adanya komorbid serta fungsi ventrikel kiri yang menurun, dan presentasi yang tidak khas pada usia lanjut. Sementara yang harus dipikirkan adalah tingginya cardiac event pada usia > 75 tahun yang menyebabkan kematian mencapai 60%.44 Penelitian CADILLAC menunjukkan pasien yang mendapat terapi reperfusi terjadi peningkatan tujuh kali lipat mortalitas satu tahun pada pasien usia lebih dari 65 tahun (1,6% menjadi 7,1%, p<0,001) dibandingkan pasien usia kurang dari 55 tahun.14 Sebaliknya Studi Klein dkk menunjukkan bahwa pasien yang > 75 tahun akan mendapatkan keuntungan secara substansial dari terapi reperfusi. Pengobatan dini meningkatkan outcomes pada populasi ini, seperti pada pasien yang lebih muda, meskipun risiko tinggi terhadap komplikasi.71 Faktor risiko terbesar yang ditemukan pada kelompok yang dilakukan reperfusi adalah hipertensi 76,7%, merokok 58,1%, dislipidemia 44,2 %, diabetes mellitus 43,0 %, riwayat infark 29,1 %, obesitas 22,1 %, riwayat penyakit jantung koroner pada keluarga terdapat (riwayat PJK pada keluarga) 16,5 %. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Qi Z dkk (2006) mendapatkan empat faktor risiko terbesar adalah hipertensi 70,6%, merokok 31,4%, dislipidemia 18,6 %, diabetes mellitus 21,5%.12 Penelitian Schuler J dkk (2006) juga mendapatkan faktor risiko yaitu hipertensi 62,5%, merokok 39,1%, dislipidemia 43,1 %, diabetes mellitus 27,7%, riwayat infark 18,2 %, obesitas 25,8 %.72 Penelitian Wenaweser P dkk (2007) yang mendapatkan faktor risiko terbesar pada populasi penelitiannya adalah dislipidemia 65,9%, merokok 60,8%, hipertensi 52,4%, riwayat PJK pada keluarga terdapat 35,5 %, diabetes mellitus 19,6%.58 Begitupula penelitian Yi G dkk (2014) mendapatkan faktor risiko hipertensi 62%, merokok 34,4 %, dislipidemia 22 %, diabetes mellitus 25 %.63
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
40
Penyakit hipertensi salah satu faktor utama yang menyebabkan aterogenesis dan berkembangnya plak yang tidak stabil dan dapat terjadi ruptur yang akan menyebabkan trombosis dan oklusi pada vessel yang bertanggung jawab terjadinya infark. Namun meningkatnya kejadian STEMI atau kematian mendadak pada pasien hipertensi berhubungan dengan beberapa faktor, seperti kerusakan endotel, aterosklerosis, resistensi insulin, hipertrofi ventrikel kiri, dan aritmia ventrikel.73 Penyakit diabetes mellitus menyebabkan STEMI sampai 50%.74 Hal ini terjadi melalui proses jalur hiperglikemia sehingga terjadi peningkatan advanced glycalation end products (AGES) dan stres oksidatif, inflamasi, resistensi insulin, dislipidemia, dan trombosis yang berakibat terjadinya aterosklerosis.75 Faktor risiko lain yaitu dislipidemia juga merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular terpenting yang dapat di modifikasi. Data penelitian pada populasi menunjukkan kadar kolesterol serum berhubungan langsung dengan mortalitas penyakit jantung koroner akibat pembentukan plak aterosklerosis.76 Perbedaan profil pasien mempengaruhi jenis kejadian STEMI dan survival pasien, seperti pada kelompok usia lanjut, lebih banyak penyakit komorbid seperti diabetes, hipertensi, dan gagal ginjal. Disamping itu perbedaan profil juga dapat disebabkan perkembangan penyakit jantung koroner dan vaskular yang lebih berat atau adanya faktor pemicu yang menetap seperti inflamasi.77 Kebiasaan merokok menyebabkan 1,5 sampai 3 kali lipat terjadinya infark miokard.78 Dan pasien yang berhenti merokok setelah mengalami infark miokard akan menurunkan mortalitas sampai 50%.79 Pasien yang mempunyai riwayat PCI dan dilakukan reperfusi lebih banyak yaitu 14,0% dibandingkan tidak reperfusi yaitu 2,0%. Hasil ini berbeda dengan penelitian Soumerai dkk (2002), yaitu pasien pasien dengan riwayat PCI yang dilakukan reperfusi hanya 11% sedangkan yang tidak reperfusi sebanyak 15%.48 Sedangkan pada pasien dengan riwayat CABG yang dilakukan terapi reperfusi tidak terdapat perbedaan bermakna dengan tidak reperfusi, yaitu 1,2 % dan 2,0%. Hal ini sama dengan penelitian Thieman dkk dimana riwayat CABG pada pasien STEMI yang dilakukan reperfusi tidak mempunyai perbedaan bermakna dengan pasien tidak reperfusi, yaitu 22,1% dan 37,3%.16 Welsh dkk (2010) melaporkan
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
41
terjadinya STEMI pada pasien dengan riwayat CABG berkisar 2%-10%. Meskipun kejadiannya jarang namun kondisi ini dikaitkan dengan komorbid dan outcomes klinis yang lebih buruk.80 Pada penelitian ini pasien yang mempunyai riwayat CVD hanya 5,8% yang dilakukan reperfusi dan 12,1% tidak dilakukan reperfusi. Kondisi ini sesuai penelitian Soumerai, dkk yang mendapat terapi reperfusi hanya 7,2% dan tidak reperfusi sebanyak 15,6%.48 Kondisi ini dihubungkan dengan terjadinya CVD maupun perdarahan mayor meningkat signifikan pada usia lanjut yang mendapatkan terapi reperfusi, meskipun sebelumnya tidak ada riwayat CVD, subakut trombosis, infark berulang, restenosis, sehingga pasien pada penelitian ini tidak dilakukan reperfusi.14 Pasien STEMI usia lanjut yang menjalani angiografi koroner pada penelitian ini didapatkan multi-vessel disease pada kelompok yang dilakukan terapi reperfusi sebanyak 76,7%. Sama dengan penelitian Wenaweser P dkk didapatkan multi-vessel disease lebih besar yaitu 55,7%.58 Penelitian Velders M dkk (2013) mendapatkan pasien dengan multi-vessel disease lebih besar yaitu 61%.81 Dan penelitian Muller dkk juga menunjukkan bahwa multi-vessel disease terjadi pada hampir 50% pasien STEMI yang menjalani reperfusi dan berhubungan dengan outcome yang lebih buruk.82 Kondisi ini sesuai dengan penelitian Sorajja, dkk melaporkan bahwa adanya multi-vessel disease merupakan faktor prediktor yang kuat terjadinya kematian.83 Dan studi Kurotobi dkk menunjukkan bahwa usia lanjut cenderung mempunyai multi-vessel disease dan sedikit pembuluh darah koroner kolateral, juga terdapat stenosis aorta, amiloidosis jantung serta penyakit penyerta jantung lainnya yang meningkat seiring dengan bertambahnya usia.84 Pasien dengan multi-vessel disease selain terdapat lebih banyak pada usia lanjut, juga pada pasien yang mempunyai riwayat infark sebelumnya dan riwayat dilakukan CABG, serta beberapa faktor risiko lain penyebab terjadinya aterosklerosis. Multi-vessel disease juga dikaitkan dengan kelas killip yang tinggi. Pasien dengan multi-vessel disease memiliki frekuensi yang lebih tinggi terjadinya infark berulang pada 30-hari dan terjadinya kematian meningkat pada satu tahun.83 Mekanisme bagaimana multi-vessel disease mempengaruhi survival
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
42
sampai saat ini tidak diketahui.85 Penelitian Bedotto dkk pada 1649 pasien usia lebih dari 65 tahun dengan multi-vessel disease, hanya 52% pasien yang mendapat terapi reperfusi dengan tingkat keberhasilan yang didapatkan mencapai 96% dan komplikasi mayor 3,2%.86 Selama perawatan pasien killip 1 dan 2 yang dilakukan terapi reperfusi sebanyak 72,1 %, sedangkan pada killip 3 dan 4 sebanyak 27,9 %, hal ini sesuai dengan penelitian Qi Z dkk yang mendapatkan pasien killip 1 dan 2 sebanyak 83,4 % dan killip 3 dan 4 sebanyak 16,7%.12 sedangkan penelitian Yi dkk mendapatkan pasien killip ≥ 2 sebanyak 18,2%.63 Kondisi ini dihubungkan dengan mortalitas pasien STEMI meningkat seiring dengan meningkatnya kelas killip, yaitu: killip I 8,0%, killip II 13,1%, killip III 18,8%, dan killip IV 50,5%.87 Klasifikasi killip, masih efektif digunakan sebagai stratifikasi risiko dan evaluasi prognostik pasien dengan STEMI pada dekade terakhir ini terutama secara digunakan di era reperfusi.88 Syok kardiogenik (Killip kelas IV) terjadi pada 5 sampai 15% pada pasien STEMI, dan laporan kematian pada pasien ini berkisar 50-80%. Beberapa laporan terbaru menunjukkan bahwa reperfusi agresif dapat mengurangi angka kematian pada syok kardiogenik sebesar < 40%.88 Fungsi ginjal yang menurun pada saat pasien dirawat terjadi pada kelompok pasien yang dilakukan terapi reperfusi sebesar 59,3%. Dewiasty dkk telah menunjukkan bahwa penurunan fungsi ginjal (eGFR < 60 ml/men) saat awal perawatan merupakan prediktor independen mortalitas pasien SKA selama perawatan ICCU ( OR 2,96; IK 95% 1,72-5,10).89 Lebih dari 30% pasien STEMI memiliki chronic kidney disease (CKD). Di sisi lain, setengah dari kematian pada pasien CKD disebabkan penyakit kardiovaskular terutama STEMI.90 Penelitian Skrzypczyk dkk (2013) menjelaskan bahwa terjadinya perdarahan besar berhubungan dengan fungsi ginjal. Setiap penurunan eGFR 10 ml / menit / 1,73 m2 meningkatkan risiko perdarahan besar (HR 1,6; IK95% 1,3-2,1, p<0,0005). Kematian meningkat dengan meningkatnya stadium CKD.91 Prosedur reperfusi koroner, menunjukkan hasil yang lebih buruk pada pasien CKD dibandingkan pada pasien dengan fungsi ginjal normal.7 Hal ini sebagian dijelaskan oleh adanya CKD dan aterosklerosis, seperti sebagian besar faktor risiko lain yaitu: usia, diabetes, hipertensi, obesitas, merokok dan dislipidemia.92 Untuk membuatnya
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
43
lebih buruk, gagal ginjal mempercepat pengembangan aterosklerosis, misalnya pada pasien lebih sering terdapat multi-vessel disease.93 Pasien pada kelompok terapi reperfusi yang mengalami anemia sebanyak 30,2%, Dengan mengurangi suplai oksigen, anemia sendiri dapat menyebabkan iskemia miokard dan memperburuk iskemia miokard yang sudah ada menjadi infark miokard. Penurunan suplai oksigen ke miokardium dikompensasi oleh peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah yang melindungi organ vital.94 Pada studi CADILLAC melaporkan kejadian anemia pada pasien STEMI yang akan menjalani reperfusi terjadi 12,8%. Keadaan ini meningkatkan mortalitas karena anemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian.95 Penelitian Aronson dkk menyebutkan anemia terjadi 17,8% pada pasien saat masuk dan terjadi 36% pada pasien keluar dari rumah sakit. Hal ini mungkin disebabkan adanya kehilangan darah saat dilakukan reperfusi, pemberian terapi anti koagulan dan terapi anti platelet yang agresif dan hemodilusi yang disebabkan pemberian cairan intra vena pada infark di hari pertama perawatan.96 Anemia disertai adanya sepsis diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya STEMI lebih dari 50%. Kondisi klinis ini, sering bersama penyakit gagal ginjal kronis dan secara signifikan menyebabkan penurunan kapasitas fungsional sedangkan di sisi lain menyebabkan risiko tinggi tehadap kardiovaskular sehingga memberikan tantangan yang besar dalam pengambilan keputusan.97 Terjadinya mortalitas dalam satu tahun pada penelitian ini lebih sering terjadi pada kelompok yang tidak dilakukan reperfusi yaitu sebesar 46,5% sedangkan kelompok yang dilakukan terapi reperfusi angka mortalitas satu tahun adalah 9,3%. Pada penelitian yang dilakukan Berger dkk menunjukkan hasil mortalitas satu tahun pasien dengan terapi tidak reperfusi yaitu 36,9%, sedangkan pasien yang dilakukan terapi reperfusi 19,5%.10 Serupa dengan penelitian Yoo dkk yang menunjukkan mortalitas pasien STEMI yang tidak dilakukan terapi reperfusi 46,4%, sedangkan yang dilakukan terapi reperfusi yaitu 28,7%.98 Penelitian Bedotto dkk juga menunjukkan keberhasilan terapi reperfusi yaitu mencapai 96% dan komplikasi mayor 3,2%.86 Meskipun terdapat risiko komplikasi yang tinggi, namun pengobatan dini reperfusi meningkatkan outcomes pada populasi usia lanjut, seperti pada pasien yang lebih muda.71 Penelitian Leal
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
44
dkk (2002) menunjukkan kesintasan satu tahun yang lebih tinggi yaitu 93,5%, lebih baik daripada pasien tanpa dilakukan reperfusi yaitu kesintasan satu tahun 40%.99
6.3 Hubungan antara Tterapi Reperfusi dengan Kesintasan Satu Tahun Pasien STEMI Usia Lanjut Kurva Kaplan-Meier pada penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kesintasan yang bermakna antara kelompok terapi reperfusi dengan kelompok tidak reperfusi terhadap kesintasan satu tahun (log rank p<0,001). Pada penelitian ini, rerata kesintasan pada kelompok reperfusi 339,38 hari, sedangkan kelompok tidak reperfusi 216,71 hari, dan pada kelompok tidak reperfusi kesintasan satu tahun sebesar 54%, sementara pada kelompok reperfusi kesintasan satu tahun adalah sebesar 91%. Hal tersebut menunjukkan bahwa mortalitas terjadi lebih besar pada pasien STEMI usia lanjut yang tidak mendapatkan terapi reperfusi dibandingkan dengan pasien STEMI usia lanjut yang mendapatkan terapi reperfusi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Yoo dkk menunjukkan kesintasan kelompok yang dilakukan terapi reperfusi 66%, sedangkan kesintasan kelompok yang tidak dilakukan terapi reperfusi yaitu 51%, dengan rerata kejadian survival pada kelompok yang tidak dilakukan terapi reperfusi yaitu 476 hari, sedangkan pada kelompok reperfusi 560 hari.98 Pada penelitian Yoo dkk perbedaan kesintasan saat dilakukan terapi reperfusi ataupun tidak reperfusi lebih rendah dibandingkan penelitian ini. Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Dari karakteristik usia, penelitian Yoo dkk dilakukan pada usia > 75 tahun, sementara penelitian ini usia ≥ 60 tahun. Perbedaan lain, penelitian Yoo dkk menggunakan subyek penelitian pada terapi tidak reperfusi lebih sedikit (56 subyek), sedangkan terapi reperfusi lebih banyak (310 subyek), dari klinis pada penelitian Yoo dkk hanya mengambil subyek dengan syok kardiogenik, dari terapi, terapi tidak reperfusi pada penelitian Yoo dkk didalamnya termasuk medikamentosa dan trombolitik, terapi reperfusi hanya PCI primer, sedangkan penelitian ini terapi tidak reperfusi hanya medikamentosa saja sedangkan terapi reperfusi didalamnya termasuk PCI primer dan trombolitik.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
45
Penelitian Leal dkk menunjukkan bahwa kesintasan satu tahun kelompok terapi reperfusi lebih tinggi yaitu 93,5%.99 Pada penelitian Leal dkk didapatkan kesintasan lebih tinggi dibandingkan penelitian ini. Perbedaan ini disebabkan karena pada penelitian Leal dkk terdapat kriteria penolakan yaitu pasien yang masuk ke rumah sakit dengan syok kardiogenik, pasien yang mengalami cardiac arrest, bradikardi, takikardi, multi-vessel disease, riwayat infark dan riwayat PCI, sedangkan penelitian ini memasukkan semua kriteria penolakan pada penelitian Leal dkk. Pada kurva Kaplan-Meier dapat dilihat 30 hari setelah serangan STEMI, kurva survival kelompok tidak reperfusi menunjukkan terjadi penurunan, dimana keadaan tersebut menggambarkan terjadi mortalitas pada awal serangan STEMI pada pasien yang tidak dilakukan terapi reperfusi. Kesintasan 30 hari pada kelompok reperfusi yaitu 94,6%, sedangkan kesintasan 30 hari pada kelompok tidak reperfusi yaitu 65,7%. Keadaan ini harus lebih diperhatikan karena mortalitas pada 30 hari pertama cukup tinggi pada pasien tidak reperfusi. Kontraindikasi dilakukan terapi reperfusi yaitu adanya perdarahan aktif, CVD hemoragik. Pada penelitian ini terdapat satu pasien yang saat masuk mengalami perdarahan aktif karena adenokarsinoma anorektal, sehingga diputuskan untuk tidak dilakukan terapi reperfusi. Selama pepenelusuran rekam medis didapatkan komplikasi setelah pasien mendapat terapi reperfusi, yaitu hematuria dan semua pasien tetap hidup, komplikasi lain yaitu CVD hemoragik yang dialami oleh satu pasien pada hari kedua setelah pemberian terapi reperfusi dan pasien meninggal. Tingginya mortalitas pasien yang tidak dilakukan reperfusi pada penelitian ini dipengaruhi oleh pengambilan keputusan oleh keluarga, keluarga yang belum memberikan keputusan sampai melebihi masa golden periode, serta tingkat sosioekonomi yang masih rendah. Begitu juga dengan studi yang dilakukan oleh Gartner dkk menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan datang ke rumah sakit sehingga tidak dilakukan terapi reperfusi yaitu faktor sosiodemografis (usia, jenis kelamin, kondisi sosioekonomi, pendidikan dan ras), faktor klinis, emosional kognitif.100 Hal lain yang mempengaruhi pasien STEMI usia lanjut menolak dilakukan terapi reperfusi disebabkan maraknya pengobatan tradisional belakangan ini, sehingga pasien
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
46
lebih memilih pengobatan tradisional yang lebih murah dan bila tidak tertolong dengan pengobatan tersebut pasien datang ke rumah sakit dengan kondisi penyakitnya sudah lanjut. Pada analisis multivariat, didapatkan crude HR 0,16 (IK95%: 0,07-0,33), untuk variabel reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut. Analisis multivariat dilakukan untuk variabel reperfusi dan variabel perancu dengan nilai p < 0,25, sehingga diperoleh adjusted HR untuk reperfusi terhadap kesintasan. Setelah dilakukan penyesuaian (adjustment) secara bertahap terhadap variabel-variabel lain yang mempengaruhi kesintasan yaitu usia, gagal ginjal, dan perdarahan aktif didapatkan perubahan adjusted HR yang tidak bermakna. Hal tersebut menunjukkan reperfusi merupakan faktor independen terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut.
6. 4 Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian Kelebihan penelitian ini adalah merupakan penelitian dengan analisis kesintasan untuk mendapatkan hubungan antara reperfusi dengan mortalitas satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut dan menggunakan desain kohort dimana desain kohort merupakan desain terbaik dalam menerangkan dinamika hubungan antara faktor risiko dengan efek secara temporal serta desain ini dapat meneliti beberapa efek sekaligus dari faktor risiko tertentu.101 Kelebihan lain pada penelitian ini adalah merupakan penelitian analisis kesintasan sehingga tidak hanya proporsi terjadinya event (dalam hal ini mortalitas) yang dapat diketahui, tetapi juga dapat diketahui waktu terjadinya event tersebut. Penelitian ini juga mempertimbangkan berbagai variabel perancu sehingga hubungan antara reperfusi dengan kesintasan yang didapat merupakan hubungan yang independen dan analisis multivariatnya ( Cox’s proportional hazard regression) lebih representatif dalam menilai risiko (dalam hal ini hazard pada setiap satuan waktu). Keterbatasan penelitian ini adalah karena mengambil data sekunder dari rekam medik dimana terdapat data yang tidak lengkap, ada beberapa status yang tidak menuliskan nomor telepon dan alamat pasien atau keluarga yang bisa
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
47
dihubungi, namun pada penelitian ini sampel yang diambil memenuhi jumlah sampel yang diinginkan.
6.5 Generalisasi Penelitian Pada bagian akhir dari pembahasan ini, akan sedikit diulas mengenai seberapa jauh hasil penelitian ini bisa diaplikasikan pada populasi yang lebih luas. Sesuai dengan prinsip representasi sampel terhadap populasi dan teknik pengambilan sampel, maka penilaian generalisasi dilakukan terhadap validitas interna serta validitas eksterna I dan II. Penilaian terhadap validitas interna dilakukan dengan memperhatikan apakah subjek yang menyelesaikan penelitian (actual study subjects) dapat merepresentasikan sampel yang memenuhi kriteria pemilihan subjek (intended sample). Pada penelitian ini, subjek yang berhasil direkrut hingga tulisan ini dibuat sebanyak 185 orang atau melebihi dari jumlah sampel minimal yang dibutuhkan yaitu 162 orang yang diambil dari rekam medis ICCU RSCM periode januari 2007-mei 2013. Pasien yang dipilih adalah pasien STEMI usia ≥ 60 tahun yang datang ke rumah sakit sebelum 12 jam setelah onset (golden periode). Pasien yang drop out pada penelitian ini tidak ada. Pasien dihubungi untuk mengetahui outcome setelah dilakukan reperfusi atau tidak reperfusi selama satu tahun setelah pemberian terapi. outcome yang dimaksud adalah pasien yang hidup atau meninggal selama satu tahun setelah pemberian terapi. Atas dasar ini, validitas interna dari penelitian ini diperkirakan baik. Untuk validitas eksterna I, penilaian dilakukan terhadap representasi subjek yang direkrut sesuai dengan kriteria pemilihan (intended sample) terhadap populasi terjangkau (accessible population). Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU RSCM. Teknik perekrutan subjek (sampling) dari populasi terjangkau diambil secara konsekutif sejak januari 2007- mei 2013 yang memenuhi kriteria penelitian. Teknik sampling ini merupakan
jenis
non-probability
sampling
yang
paling
baik
untuk
merepresentasikan populasi terjangkau. Pasien STEMI usia lanjut juga tidak
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
48
dipengaruhi waktu atau musim tertentu. Berdasarkan alasan ini, maka validitas eksterna I dari penelitian ini dianggap cukup baik. Untuk validitas eksterna II, penilaian dilakukan secara common sense dan berdasarkan pengetahuan umum yang ada. Dalam hal ini, perlu dinilai adalah apakah populasi terjangkau dari penelitian ini merupakan representasi dari populasi target (pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU di Indonesia). Dengan mempertimbangkan bahwa populasi terjangkau adalah pasien yang dirawat di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo dimana ICCU RSCM merupakan rumah sakit pusat rujukan, dan mortalitas dapat terjadi pada pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di semua ICCU rumah sakit di Indonesia, maka dapat diasumsikan bahwa generalisasi hasil penelitian ini dapat dilakukan pada semua pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU rumah sakit di Indonesia sehingga peneliti menilai bahwa validitas eksterna II dari penelitian ini cukup baik. Berdasarkan uraian diatas, maka generalisasi hasil dari penelitian ini dapat dilakukan pada pasien STEMI usia lanjut yang berobat ke Rumah Sakit di Indonesia.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN
7. 1 Simpulan.
Terapi reperfusi yang dilakukan pada pasien STEMI usia lanjut memperbaiki kesintasan satu tahunnya.
7. 2 Saran
Pasien STEMI usia lanjut yang tidak mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan terapi reperfusi karena kesintasannya akan lebih baik dibandingkan yang tidak dilakukan reperfusi walaupun terdapat risiko komplikasi.
Pentingnya edukasi pada pasien dan keluarga mengenai manfaat terapi reperfusi dan risiko komplikasi yang akan didapatkan dengan jelas.
Diperlukan penelitian mengenai pengaruh terapi reperfusi dengan PCI primer dibandingkan dengan terapi reperfusi trombolitik pada pasien STEMI usia lanjut.
49
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
RINGKASAN Mortalitas STEMI pada usia lanjut masih tinggi. Mortalitas di rumah sakit setelah mendapat serangan STEMI meningkat signifikan pada pasien usia lanjut. Sampai saat ini penelitian mengenai pemilihan terapi pada STEMI di populasi usia lanjut masih kontroversi. Kontroversi pemilihan terapi yang ada saat ini disebabkan beberapa uji klinis menyatakan meningkatnya mortalitas bila diberikan terapi reperfusi karena efek samping seperti stroke, perdarahan, ruptur jantung, adanya komorbid (seperti hipertensi, diabetes melitus, gangguan ginjal, gangguan elektrolit dan anemia), coronary artery disease yang berat, fungsi ventrikel kiri yang menurun, juga terdapat presentasi klinis yang tidak khas menyebabkan pasien datang terlambat. Sementara itu di Indonesia sendiri masalah yang dihadapi adalah keterbatasan fasilitas untuk PCI, alat angiografi dan operator yang belum ada di semua rumah sakit, masalah lainnya yaitu keterlambatan pasien datang ke rumah sakit yang disebabkan banyak hal, salah satunya karena takut datang ke rumah sakit, pasien tidak tahu kalau mendapat serangan jantung, tidak mempunyai biaya dan kemacetan lalu lintas. Tujuan pengobatan pada pasien STEMI adalah untuk mencapai reperfusi secepat mungkin. Semakin dini reperfusi terjadi, semakin cepat miokard jantung dapat diselamatkan sehingga prognosis lebih baik. Pasien STEMI mempunyai risiko yang tinggi sehingga memerlukan reperfusi dengan tepat, baik dengan trombolitik ataupun dengan PCI primer untuk mengurangi mortalitas. Sementara itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi reperfusi terhadap kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut. Dilakukan suatu studi kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan. Data diperoleh dari catatan rekam medis pasien STEMI usia lanjut yang menjalani perawatan di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada januari 2007 – mei 2013. Estimasi besar sampel adalah 185 orang, terdiri dari 86 pasien STEMI dengan terapi reperfusi dan 99 pasien STEMI tidak reperfusi. Dilakukan analisis dengan menampilkan kurva Kaplan-Meier kelompok terapi reperfusi dan tidak reperfusi, dan perbedaan kedua kurva tersebut diuji dengan uji Log-rank dan Analisis multivariat
menggunakan
Cox
proportional
hazard
regression
untuk
mendapatkan adjusted Hazard Ratio (adjusted HR) kelompok terapi reperfusi
50
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
51
terhadap kelompok tidak reperfusi untuk terjadinya kesintasan satu tahun, dengan memasukkan variabel-variabel perancu sebagai kovariat. Selama penelitian telah dilakukan pendataan rekam medik pasien STEMI usia lanjut yang dirawat di ICCU RSCM sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2013. Dari data 7 tahun tersebut dilakukan tehnik sampling konsekutif diambil 185 subyek, yang terdiri dari 86 pasien STEMI dengan terapi reperfusi dan 99 pasien STEMI dengan tidak reperfusi. Dari data demografis pada penelitian ini terlihat bahwa pasien STEMI lebih banyak berjenis kelamin pria (73,5 %), dengan usia 60 tahun sampai dengan 75 tahun sebanyak 90,8 %, usia lebih dari 75 tahun sebanyak 9,2 %. Dengan faktor risiko adalah hipertensi 70,3%, merokok 58,9%, dislipidemia 41,1%, diabetes mellitus 38,9%, riwayat infark 19,5%, obesitas 17,3%, riwayat penyakit jantung koroner pada keluarga terdapat 15,2 %, dan riwayat CVD 9,2%, riwayat PCI 7,6%, riwayat CABG 1,6%. Hasil yang di peroleh adalah terapi reperfusi menurunkan mortalitas pada pasien STEMI usia lanjut dengan crude HR 0,16 (IK95% 0,07-0,33), p value <0,001, dengan kesintasan kumulatif satu tahun pasien STEMI usia lanjut yang dilakukan terapi reperfusi yaitu 91% (SE 3,1%), sedangkan kelompok tidak reperfusi 54% (SE % 5,0%). Rerata kesintasan pada kelompok terapi reperfusi 339,38 hari, dan kelompok tidak reperfusi 216,71 hari. Analisis multivariat menunjukkan terapi reperfusi merupakan prediktor independen terjadinya kesintasan satu tahun (Adjusted HR 0,17; IK95% 0,08-0,37). Simpulan dari penelitian ini adalah Terapi reperfusi memperbaiki kesintasan satu tahun pada pasien STEMI usia lanjut.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
SUMMARY STEMI mortality remains high. In hospital mortality after STEMI attack significantly increases in elderly patients. To date, studies about therapy of choice in eldery STEMI patients remains controversial. The controversies are due to some clinical trials declared that reperfusion therapy increases the mortality because of side effects such as stroke, bleeding, heart rupture, existed comorbid diseases, severe CAD, diminished left ventricle function and unspesific clinical presentation that contributes to the late of patient admission. In Indonesia, the current problems are limited PCI fascilities in hospitals and the late of patient admission due to many reasons, like the fear of hospital, poverty and traffic jam. Meanwhile, the main goal of STEMI therapy is to achieve reperfusion as soon as possible. The earlier the reperfusion, the sooner miocard can be saved so the prognosis can be better. STEMI patients are high risk, hence they need appropriate reperfusion therapy, by trombolytic or primary PCI to reduce the mortality. The aim of this study is to know the effect of reperfusion therapy on one year survival in elderly STEMI patients. This is a cohort retrospective study with survival analysis approach. The study was done in ICCU RSCM medical record room from january to may 2013. Sample size estimation is 185 subject, divided to 86 patients with reperfusion therapy and 99 patients without reperfusion therapy. Kaplan-Meier curve was used to know survival in each group. Bivariate analysis was done by log rank test and multivariate analysis was done by cox proportional hazard regression test. The relation between reperfusion therapy variables with one year survival denoted as crude HR and 95%CI then as adjusted HR and 95%CI after confounding factors were calculated. During this study, data of hospitalized elderly STEMI patients in ICCU RSCM since 2007 to 2013 was collected and analyzed by consecutive sampling, 185 subjects were recruited, consist of 86 STEMI patients who had reperfusion therapy and the other 99 patients are without reperfusion therapy. Demographic data reveals that most of STEMI patients are men (73,5%). And 90,8% of subjects are in range of age 60 to 75 years old, and 9,2% more than 75 years old. Risk factors are hypertension (70,3%), smoking (58,9%), dyslipidemia (41,1%),
52
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
53
diabetes mellitus (38,9%), history of myocard infarct (19,5%), obesity (17,3%), family history of CAD (15,2%), history of CVD (9,2%), history of PCI (7,6%) and history of CABG (1,6%). The result is reperfusion therapy reduces mortality in elderly STEMI patient with crude HR 0,16 (0,07-0,33), p value <0,001, One year survival cumulative in reperfusion therapy group is 91% ( SE 3,1%) and 54% ( SE 5,0%) in not reperfusion therapy group. Mean survival of reperfusion therapy group is 339,38 days, and the not reperfusion therapy group is 216,71 days. Multivariate analysis shows that reperfusion therapy is an independent predictor in one year survival of elderly STEMI patients (Adjusted HR 0,17 ; 95%CI 0,08-0,37). The conclusions of this study is reperfusion therapy improves one year survival in elderly STEMI patients.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention. Trends in aging: United States and worldwide. MMWR. 2003;52:101–6. 2. Murray CJ, Lopez AD. Mortality by cause for eight regions of the world: Global Burden of Disease Study. Lancet. 1997;349:1269 –76. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan 4. Makmun LH, Alwi I, Ranitya R. Panduan Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Dengan Elevasi segemen ST. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009;1-55. 5. Alwi I. Tatalaksana Infark miokard akut dengan elevasi ST. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III.4th ed. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2006;1630-40. 6. Alexander KP, Newby LK, Armstrong PW, Cannon CP, Gibler WB, Rich MW, et al. Acute coronary care in the elderly (Part 2) ST-segment elevation myocardial infarction. A Statement for healthcare professionals from the Acute Cardiac Care Subcommittee, Council on Clinical Cardiology, American Heart Association, in Collaboration with the Society of Geriatric Cardiology. Endorsed by the European Society of Cardiology. Circ. 2007;115:2570–89. 7. Maggioni AP, Maseri A, Fresco C, Franzosi M, Mauri F, Santoro E, et al. Age-related increase in mortality among patients with first myocardial infarctions treated with thrombolysis. The Investigators of the Gruppo Italiano per lo Studio della Sopravvivenza nell’Infarto Miocardico (GISSI2). New Engl J Med. 1993;329:1442–8. 8. Alexander KP, Newby LK, Cannon CP, Armstrong PW, Gibler WB, Rich MW, et al. Acute coronary care in the elderly (Part 1):non–ST-segment elevation
acute
coronary
syndromes.
A
Statementfor
healthcare
professionals from the Acute Cardiac CareSubcommittee, Council on
54
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
55
Clinical Cardiology, American Heart Association, in Collaboration with the Society of Geriatric Cardiology. Endorsed by the European Society of Cardiology. Circ 2007;115:2549–69. 9. Wu YJ, Hou JY, Chou YS, Tsai CH. Percutaneous coronary intervention in nonagenarians. Acta Cardiol Sin 2004;20:73–82. 10. Berger AK, Radford MJ, Wang Y, Krumholz HM. Thrombolytic therapy in older patients. J Am Coll Cardiol. 2000;36:366 –74. 11. Dzavik V, Sleeper LA, Cocke TP, Moscucci M, Saucedo J, Hosat S, et al. SHOCK Investigators. Early revascularization is associated with improved survival in elderly patients with acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock: a report from the SHOCK Trial Registry. Eur Heart J. 2003;24:828–37. 12. Qi Z, Rui Z, Sheng Z, Jian H, Kun Z, Fang Z, et al. Outcomes of primary percutaneous coronary intervention for acute ST-elevation myocardial infarction in patients aged over 75 years. Chin Med J. 2006;119(14):11516. 13. The GUSTO Investigators. An international randomized trial comparing four thrombolitic strategies for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 1993; 329: 673-82. 14. Guagliumi G, Stone G, Cox D, Stuckey T, Tcheng J, Turco M, et al. Outcome in elderly patients undergoing primary coronary intervention for acute myocardial infarction: results from the controlled abciximab and device investigation to lower late angioplasty complications (CADILLAC) trial. Circ. 2004;110:1598–604. 15. Bueno H, Martinez-Selles M, Perez-David E, Palop L. Effect of thrombolytic therapy on the risk of cardiac rupture and mortality in older patients with first acute myocardial infarction. Eur Heart J. 2005;26:170511. 16. Thiemann DR, Coresh J, Schulman S, Gerstenblith G, Oetgen W, Powe N. Lack of benefit for intravenous thrombolysis in patients with myocardial infarction who are older than 75 years. Circ. 2000;101:2239-46.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
56
17. Yusuf S, Mehta SR, Chrolavicius S, Afzal R, Pogue J, Granger CB, et al. OASIS-6 Trial Group. Effects of fondaparinux on mortality and reinfarction in patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction: the OASIS-6 Randomized Trial. JAMA. 2006;295:1519-30. 18. Collins R, MacMahan S, Flather M, Baigent C, Remvig, Mortensen S, et al. Clinical effects of anticoagulant therapy in suspected acute myocardial infarction. BMJ. 1996; 313: 652–9. 19. Klein LW, Block P, Brindis RG, McKay CR, McCallister BD, Wolk MW, et al. Percutaneous coronary interventions in octogenarians in the American College of Cardiology National Cardiovascular Data Registry. J Am Coll Cardiol. 2002;40:394–402. 20. Eagle KA, Goodman SG, Avezum A, Budaj A, Sullivan CM, LopezSendon J. GRACE Investigators. Practice variation and missed opportunities
for
reperfusion
in
ST-segment–elevation
myocardial
infarction: findings from the Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE). Lancet. 2002;359:373-77. 21. Hanafi BT. Perkembangan terbaru intervensi koroner perkutan primer sebuah upaya meminimalkan mortalitas infark jantung akut. Pidato upacara pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam ilmu penyakit dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006. 22. Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus intravenous thrombolytic therapy for acute myocardial infarction: a quantitative review of 23 randomised trials. Lancet. 2003;361:13-20. 23. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Halasyamani LK, et al. Focused Update of the ACC/AHA 2004 Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines: developed in collaboration With the Canadian Cardiovascular Society endorsed by the American Academy of Family Physicians: 2007 Writing Group to Review New Evidence and Update the ACC/AHA 2004 Guidelines for the Management of Patients
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
57
With ST-Elevation Myocardial Infarction, Writing on Behalf of the 2004 Writing Committee. Circ. 2008;117(2):296–329. 24. Kaehler J, Meinertz T, Hamm CW. Coronary interventions in the elderly. Heart. 2006;92:1167–71. 25. Grines CL, Cox DA, Stone GW, Garcia E, Mattlos LA, Giambartolomei A, et al. Coronary angioplasty with or without stent implantation for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 1999;341:1949–56. 26. Gibson CM, Karha J, Murphy SA, James D, Morrow DA, Christopher P, et al. Early and long-term clinical outcomes associated with reinfarction following fibrinolytic administration in the Thrombolysis in Myocardial Infarction trials. J Am Coll Cardiol. 2003;42:7-16. 27. Bavry AA, Kumbhani DJ, Helton TJ, Bhatt DL. What is the risk of stent thrombosis associated with the use of paclitaxeleluting stents for percutaneous coronary intervention? A meta-analysis. J Am Coll Cardiol. 2005;45:941-6. 28. Wang M, Monticone RE, Lakatta EG. Arterial aging: a journey into subclinical arterial disease. Curr Opin Nephrol Hypertens. 2010;19:201–7. 29. Lakatta EG, Levy D. Arterial and cardiac aging: major shareholders in cardiovascular disease enterprises: Part I: aging arteries: a ‘‘set up’’ for vascular disease. Circ. 2003;107:139–46. 30. Maruyama Y. Aging and arterial-cardiac interactions in the elderly. Int J Cardiol. 2011. 31. Safar ME, Levy BI, Struijker-Boudier H. Current perspectives on arterial stiffness and pulse pressure in hypertension and cardiovascular diseases. Circ. 2003;107:2864–9. 32. Pugh KG, Wei JY. Clinical implications of physiological changes in the aging heart. Drugs Aging. 2001;18:263–76. 33. Battler A, Brindis RG, Cox JL, Ellis SG, Every NR, Flaherty JT, et al. American College of Cardiology Key Data Elements and Definitions for Measuring the Clinical Management and Outcomes of Patients With Acute Coronary Syndromes. A Report of the American College of Cardiology Task Force on Clinical Data Standards (Acute Coronary Syndromes
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
58
Writing Committee). Endorsed by the American Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation. JACC.2001;38:2114-30. 34. DeWood MA, Spores J, Hensley GR, Simpson CS, Eugster GS, Sutherland KI, et al. Coronary arteriographic findings in acute transmural myocardial infarction. Circ.1983;68(2):I39–49. 35. Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes. Diagnosis and Management Part I. Mayo Clin Proc. 2009;84(10):917-38. 36. Rosen AB, Gelfand EV. Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. In: Management of Acute Coronary Syndromes. West Sussex: Wiley Blackwell. 2009;1-11. 37. Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome. Adv Stud Med. 2006;6(6B):477-82. 38. Thygesen K, Alpert JS, White HD, Jaffe S, Aplle F, Galvani M, et al. Universal definition of myocardial infarction. White on behalf of the Joint ESC/ACCF/AHA/WHF Task Force for the Redefinition of Myocardial Infarction. Eur Heart J. 2007;28(20):2525–38. 39. Rathore SS, Mehta RH, Wang Y, Radford MJ, Krumholz HM. Effects of age on the quality of care provided to older patients with acute myocardial infarction. Am J Med. 2003;114:307–15. 40. Gumiwang I, Prasetya I, Ismail D. Antitrombotik dan trombolitik pada penyakit jantung koroner. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III.4th ed. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2006;1648-50. 41. O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, Casey DE, Chung MK, Lemos JA, et al. ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circ. 2013;127:529-55. 42. Silber S, Albertsson P, Aviles FF, Camici PG, Colombo A, Hamm C, et al. Guidelines for Percutaneous Coronary Interventions. The Task Force for
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
59
Percutaneous Coronary Interventions for European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2005;26:804-47. 43. Nallamothu BK, Bates ER, Herrin J, Wang Y, Bradley EH, Krumholz HM. Times to treatment in transfer patients undergoing primary percutaneous coronary intervention in the United States: National Registry of Myocardial Infarction (NRMI) analysis. Circ. 2005;111:761. 44. Gurwitz JH, Col NF, Avorn J. The exclusion of the elderly and women from clinical trials in acute myocardial infarction. JAMA. 1992;268:141722. 45. White HD: Thrombolytic therapy in the elderly. Lancet 2000;356:2028–30 46. American Hospital Association. The Annual Survey of Hospitals. Chicago, III: American Hospital Association.1994. 47. Angeja BG, Rundle AC, Gurwitz JH, Gore JM, Barron HV. Death or nonfatal stroke in patients with acute myocardial infarction treated with tissue plasminogen activator. Participants in the National Registry of Myocardial Infarction-2. Am J Cardiol. 2001;87:627–30. 48. Soumerai SB, McLaughlin TJ, Ross-Degnan D, Christiansen CL, Gurwitz JH. Effectiveness of thrombolytic therapy for acute myocardial infarction in the elderly: cause for concern in the old-old. Arch Intern Med. 2002;161:561–8. 49. Gitt AK, Zahn R, Weinberger H. Thrombolysis for acute myocardial infarction in patients older than 75 years: lack of benefit for hospital mortality but improvement of long-term mortality: results of the MITRA and MIR registries. J Am Coll Cardiol. 2001;37:648. 50. Stenestrand U, Wallentin L. Register of Information and Knowledge About Swedish Heart Intensive Care Admissions (RIKS-HIA). Fibrinolytic therapy in patients 75 years and older with ST-segmentelevation myocardial infarction: one-year follow-up for large prospective cohort. Arch Intern Med. 2003;163:965–71. 51. Fibrynolytic Therapy Trialists’ (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial infarction: collaborative
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
60
overview of early mortality and major morbidity results from all randomized trials of more then 1000 patients. Lancet.1994;343:311-22. 52. Gurwitz JH, Gore JM, Goldberg RJ, Barron HV, Breen T, Rundle AC, et al. Risk for intracranial hemorrhage after tissue plasminogen activator treatment for acute myocardial infarction. Ann Intern Med. 1998;129:597. 53. Danzi GB, Centola M, Pomidossi GA, Consonni D, De Matteis S, Stabile A, et al. Usefulness of primary angioplasty in nonagenarians with acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 2010;106:770–3. 54. Dellinger RP, Levy MM, Carlet, JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, et al. Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care Med. 2008;36:296–327. 55. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan diabetes melitus di Indonesia 2006,PB. PERKENI. Jakarta 2008. 56. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et al. National Heart, lung and blood institute. The seventh report of joint national committee on prevention, detection, evaluation and treatment high blood pressure: The JNC report. JAMA. 2003;289:2560-71. 57. Beutler E, Waalen J. The Definition of Anemia: What is th Lower Limit of Normal of the Blood Hemoglobin Concentration? Blood Journal. 2006;107(5):1747-50. 58. Wenaweser P, Ramser M, Windecker S, Tolf IL, Meier B, Seiler C, et al. Outcome of Elderly Patients Undergoing Primary Percutaneous Coronary Intervention for Acute ST-Elevation Myocardial Infarction. Catheterization and Cardiovascular Interventions. 2007;70:485–90. 59. Lim HS, Farouque O, Andrianopoulos N, Yan BP, Lim CC, Brennan AL, et al. Survival of Elderly Patients Undergoing Percutaneous Coronary Intervention for Acute Myocardial Infarction Complicated by Cardiogenic Shock. JACC.2009:2;146-52. 60. Life Expectancy: Life Expectancy Data by Count. Global Health Observatory Data Repository. World Health Organization 2013. Diunduh dari
:
www.apps.who.int/gho/data/node.main.688.
Diunduh
tanggal
24/7/2014.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
61
61. Sekretariat Kabinet RI Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Diunduh dari : http://binfar.kemkes.go.id. Diunduh tanggal 24/7/2014. 62. Thabrany H. Politics a national health insurance of Indonesia. A new era of universal coverage. The 7th European conference on health economics. Rome.NHI.2008:1-20. 63. Yi G, Zhang X, Zhang J, Wang X. Factors related to the use of reperfusion strategies in elderly patients with acute myocardial infarction. Journal of Cardiothoracic Surgery.2014;9:111. 64. Elsaesser A, Hamm CW. Acute coronary syndrome: the risk of being female. Circ. 2004;109:565-7 65. Second report of the Expert panel on detection, evaluation, and treatment og high blood cholesterol in adults (adult treatment panel II). Circ. 1994;89:1333-45. 66. Douglas PS, Ginsburg GS. The evaluation of Chest Pain in Women. N Eng J Med. 1996;334;1311-5. 67. Jneid H, Fonarow GC, Cannon CP, Hernandez AF, Palacios IF, Maree AO, et al. Get With the Guidelines Steering Committee and Investigators. Sex differences in medical care and early death after acute myocardial infarction. Circ. 2008;118:2803–10. 68. Hochman JS, Sleeper LA, Webb JG, Sanborn TA, White HD, Talley JD, et al. For the SHOCK Investigators: Early revascularization in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock. N Engl J Med. 1999;341:625-34. 69. Fox KA, Eagle KA, Gore JM, Steg PG, Anderson FA. The Global Registry of Acute Coronary Events, 1999 to 2009–GRACE. Heart. 2010;96:1095– 101. 70. Goodman SG, Huang W, Yan AT, Budaj A, Kennelly BM, Gore JM, et al. The expanded Global Registry of Acute Coronary Events: baseline characteristics, management practices, and hospital outcomes of patients with acute coronary syndromes. Am Heart J. 2009;158:193–201.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
62
71. Klein LW. Optimal Revascularization Strategies for ST-Segment Elevation Myocardial Infarction in the Elderly Patient. AJGC. 2007;16:295–303. 72. Schuler J, Maier B, Behrens S, Thimme W. Present treatment of acute myocardial infarction in patients over 75 years.
Clin Res Cardiol.
2006;95:360–7. 73. Claudio, Picariello C, Lazzeri C, Attana P, Chiostri M, Gensini GF, Valente S. The Impact of Hypertension on Patients with Acute Coronary Syndromes. International Journal of Hypertension. 2011;1-7. 74. Wahab NN, Cowden EA, Pearce NJ, Gardner MJ, Merry H, Cox JL. Is blood glucose an independent predictor of mortality in acute myocardial infarction in the thrombolytic era? J Am Coll Cardiol. 2002;40:1748–54. 75. Alwi I. Komplikasi Kardiovaskular pada Diabetes Melitus Tipe 2: Fokus pada
Penyakit
Jantung
Koroner,
Bagaimana
Penatalaksanaannya.
Tatalaksana Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.2011;11-25. 76. Alwi I. Peran Statin pada Atherosklerosis dan Penyakit Kardiovaskular. Tatalaksana Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.2011;187-99. 77. Alwi I. Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Tatalaksana Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.2011;20313. 78. Prescott E, Hippe M, Schnohr P, Hein HO, Vestbo J. Smoking and risk of myocardial infarction in women and men: longitudinal population study. BMJ. 1998;316:1043–47. 79. Gerber Y, Rosen LJ, Goldbourt U, Benyamini Y, Drory Y. Smoking status and long- term survival after first acute myocardial infarction a population based cohort study. J Am Coll Cardiol. 2009;54:2382–87. 80. Welsh RC, Granger CB, Westerhout CM, Blankenship JC, Holmes J, O’Neill W, et al. Prior coronary artery bypass graft patients with STsegment elevation myocardial infarction treated with primary percu taneous coronary intervention. JACC Cardiovasc Interv. 2010;3(3):343-51.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
63
81. Velders M, James S, Libungan B, Sarno G, Frobert O, Carlsson J, et al. Prognosis of elderly patients with ST-elevation myocardial infarction treated with primary percutaneous coronary intervention in 2001 to 2011: A report from the Swedish Coronary Angiography and Angioplasty Registry (SCAAR) registry. American Heart Journal. 2014;167:667-73. 82. Muller DW, Topol EJ, Ellis SG, Sigmon KN, Lee K, Califf RM. Multivessel coronary artery disease: a key predictor of short-term prognosis after reperfusion therapy for acute myocardial infarction. Thrombolysis and Angioplasty in Myocardial Infarction (TAMI) Study Group. Am Heart J. 1991;121:1042-9. 83. Sorajja P, Gersh BJ, Cox DA, McLaughlin MG, Zimetbaum P, Constantini C, et al. Impact of multivessel disease on reperfusion success and clinical outcomes
in
patients
undergoing
primary
percutaneous
coronary
intervention for acute myocardial infarction. Eur Heart J. 2007;28:1709-16. 84. Kurotobi T, Sato H, Kinjo K, Nakatani D, Mizuno H, Shimizu M, et al. For the OACIS Group Reduced collateral circulation to the infarct-related artery in elderly patients with acute myocardial infarction. Am Coll Cardiol.2004;44:28–34. 85. Goldstein JA, Demetriou D, Grines CL, Pica M, Shoukfeh M, O’Neill WW. Multiple complex coronary plaques in patients with acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2000;343:915–22. 86. Bedotto JB, Rutherford BD, McConahay DR. Result of multivessel transluminal coronary angioplasty in person aged 65 years and older. AM J Cardiol. 1991;67:1051-5. 87. Sanguanwong S, Srimahachota S, Tungsubutra W, Srichaiveth B, Kiatchoosakun S. Predictors of In-Hospital Mortality in Thai STEMI Patients: Results from TACSR. J Med Assoc Thai. 2007;90 (1):91-7. 88. Miller WL, Wright R, Grill JP, Kopecky SL. Improved Survival after Acute Myocardial Infarction in Patients with Advanced Killip Class. Clin Cardiol. 2000;23:751-8. 89. Dewiasty E, Alwi I, Dharmeizar. Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (eGFR) Sebagai Prediktor Mortalitas Pasien Sindrom Koroner Akut Selama
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
64
Perawatan Di ICCU RS Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Universitas Indonesia. 2008.Tesis. 90. Fox CS, Muntner P, Chen A, Alexander K, Roe M, Cannon C, et al. Use of evidence-based therapies in short-term outcomes of ST-segment elevation myocardial infarction and non-ST-segment elevation myocardial infarction in patients with chronic kidney disease. A report from the National Cardiovascular Data Acute Coronary Treatment and Intervention Outcomes Network Registry. Circ. 2010;121:357–65. 91. Skrzypczyk MP, Karcz M, Bekta P, Kepka C, Przyluski J, Kruk M, et al. Prognostic value of renal function in STEMI patients treated with primary PCI: ANIN Registry. Br J Cardiol. 2013;20:65. 92. Sarnak MJ, Levey AS, Schoolwerth AC, Coresh J, Culleton B, Hamm LL, et al. Kidney disease as a risk factor for development of cardiovascular disease: a statement from the American Heart Association Councils on Kidney in Cardiovascular Disease, High Blood Pressure Research, Clinical Cardiology, and Epidemiology and Prevention. Circ. 2003;108:2154–69. 93. Yagi H, Kawai M, Komukai K, Ogawa T, Minai K, Nagoshi T, et al. Impact of chronic kidney disease on the severity of initially diagnosed coronary artery disease and the patient prognosis in the Japanese population. Heart Vessels. 2011;26:370–8. 94. World Health Organization. Nutritional anaemias. Report of a WHO Scientific Group. World Health Organ Tech Rep Ser. 1968;405:5–37. 95. Nikolsky E, Aymong ED, Halkin A, Grines CL, Cox DA, Garcia E, et al. Impact of anemia in patients with acute myocardial infarction undergoing primary percutaneous coronary intervention: analysis from the Controlled Abciximab and Device Investigation to Lower Late Angioplasty Complications (CADILLAC) Trial. J Am Coll Cardiol. 2004; 44:547–53. 96. Aronson D, Suleiman M, Agmon Y, Suleiman A, Blich M, Kapeliovich M, et al. Changes in haemoglobin levels during hospital course and long-term outcome after acute myocardial infarction. Eur Heart J. 2007;11:1289-96. 97. Fox KA, Anderson FA, Dabbous OH, Steg PG, Lopez-Sendon J, Budaj A, et al. Intervention in acute coronary syndromes: do patients undergo
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
65
intervention on the basis of their risk characteristics? The Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE). Heart. 2007;93:177–82. 98. Yoo YP, Kang KW, Yoon HS, Myung JC, Choi YJ, Kim WH, et al. Oneyear clinical outcomes in invasive treatment strategies for acute STelevation myocardial infarction complicated by cardiogenic shock in elderly Patients. J Geriatr Cardiol. 2013;10:235-41. 99. Leal MF, Filho NF, Filho HH, Klosoviski ER, Munhoz EC. Acute Myocardial Infarction in Elderly Patients. Comparative Analysis of the Predictors of Mortality.The Elderly Versus the Young. Arq Bras Cardiol. 2002;79:369-74. 100. Gartner C, Walz L, Bauernschmitt E, Ladwig K. The causes of prehospital delay in myocardial infarction. Disch Arztebl Int. 2008;105(15):286-91. 101. Tambunan T, Soetomenggolo TS, Passat J, Agusman IS. Studi Kohort. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed 2. Jakarta: Sagung Seto.2002; 2128-42.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
66
Lampiran 1 Lembar Data Penelitian Profil pasien STEMI usia lanjut selama perawatan di ICCU RSCM No/Tanggal : / I. Identitas No. Rekam Medis RSCM : Nama : Agama : : Laki/ perempuan Suku : Jenis Kelamin Tanggal lahir/usia : Pekerjaan : Alamat : Pendidikan terakhir : Telp / HP : Tanggal pulang / meninggal : Tanggal masuk rawat : Masuk dari : IGD/poliklinik/PJT Cara pembayaran : II. Anamnesis (Lingkari yang sesuai) 1. Keluhan utama : 2. Keluhan tambahan : nyeri dada +/-, batuk +/-, sesak napas +/-, demam +/-, suara serak +/-, keluhan lain : Pengobatan yang didapat : 3. 4. Faktor risiko: DM / HT / Dislipidemia / merokok / riwayat PJK dalam keluarga 5. Komorbid: Riwayat infark/riwayat terapi PTCA/CABG/fibrinolitik/sepsis/stroke/perdarahan aktif Killip Class: Awitan gejala infark: III. Pemeriksaan Fisik Kes : , TD : mmHg, Nadi : x/menit, Suhu : ºC , Berat badan : kg Tinggi badan : cm Respirasi : x/menit Konjungtiva : pucat / tidak Sklera : ikterik / tidak : KGB : Leher Jantung : Paru : Abdomen : Ekstremitas : IV. Pemeriksaan Penunjang Hb : Leukosit : MCV/MCH/MCHC : Albumin/Globulin : /
Trombosit Diff count
: :
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
67
Ureum : Kreatinin SGOT/SGPT : Asam urat : A1c GDS Elektrolit (Na/K/Cl) : Kolesterol total/trigliserida/HDL/LDL : CK/CKMB/Troponin T: FotoToraks : EKG : Echocardiography: LVH : +/Corangiografi: PTCA: Pemeriksaan Penunjang lainnya a. b.
: : :
Masalah :
1. 2. 3.
4. 5. 6.
1. 2. 3. Lama perawatan: waktu terjadinya mortalitas :
4. 5. 6.
Terapi :
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
68
Lampiran 2 : Cara menelepon
Selamat pagi/siang/sore bapak/ibu, apakah benar ini dengan bapak/ibu/ keluarga dari bapak/keluarga dari ibu yang bernama……? Saya dr.Lidya dari ICCU RSCM meminta waktu bapak/ibu untuk menanyakan keadaan bapak/ibu…., apakah bapak/ibu bersedia? Saya mengadakan penelitian di ICCU RSCM tentang pengaruh hasil terapi reperfusi (PCI primer atau trombolitik) atau terapi dengan obat-obatan pada pasien serangan jantung. Saya mendapat data bapak/ibu di rekam medis ICCU RSCM. Yang ingin saya tanyakan: 1. Waktu bapak/ibu terkena serangan jantung, kira-kira berapa lama bapak/ibu datang ke RSCM? 2. Waktu bapak/ibu terkena serangan jantung apakah benar bapak/ibu mendapat tindakan PCI primer/trombolitik/tidak keduanya? 3. Apabila tidak mendapat terapi PCI primer/trombolitik, alasannya apa waktu itu? 4. Saat ini bagaimana kondisi bapak/ibu?bila sudah meninggal kira-kira tanggal berapa atau bulan dan tahun berapa?waktu meninggal kondisinya apakah terdapat serangan jantung lagi atau ada penyakit lain? Baiklah bapak/ibu Terimakasih atas waktu dan keterangan yang sudah diberikan. Selamat pagi/siang/sore
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015
69
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Lidya Juniarti Silalahi, FK UI, 2015