UNIVERSITAS INDONESIA
MUSEUM NEGERI PROVINSI LAMPUNG SEBAGAI INSTITUSI PENDIDIKAN INFORMAL PENDUKUNG PEMBELAJARAN IPS TINGKAT SMP
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
BUDI SUPRIYANTO 0706182103
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI MAGISTER ARKEOLOGI DEPOK JULI 2009
UNIVERSITAS INDONESIA
MUSEUM NEGERI PROVINSI LAMPUNG SEBAGAI INSTITUSI PENDIDIKAN INFORMAL PENDUKUNG PEMBELAJARAN IPS TINGKAT SMP
TESIS
BUDI SUPRIYANTO 0706182103
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI MAGISTER ARKEOLOGI DEPOK JULI 2009
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukam plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 16 Juli 2009
Budi Supriyanto
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutif maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Budi Supriyanto NPM : 0706182103 Tanda Tangan : Tanggal
: 16 Juli 2009
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis yang diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul
: : : : :
Budi Supriyanto 0706182103 Magister Arkeologi Museum Negeri Provinsi Lampung Sebagai Institusi Pendidikan Informal Pendukung Pembelajaran IPS Tingkat SMP
Ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Arkeologi pada Program Studi Magister Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Ketua
: Dr. Irmawati M. Johan
( .......................................... )
Pembimbing
: Prof. Dr. Norhadi Magetsari
( .......................................... )
Ko. Pembimbing : Dr. Ali Akbar
( .......................................... )
Penguji
: Dr. Wiwin Djuwita Ramelan
( .......................................... )
Penguji
: Kresno Yulianto, M.Hum
( .......................................... )
Panitera
: Isman Pratama Nasution, M.Si. ( .......................................... )
Ditetapkan di Tanggal
: Depok : 16 Juli 2009
Oleh Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Dr. Bambang Wibawarta, S.S., M.A. NIP. 131882265
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Arkeologi Jurusan Arkeologi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : (1)
Beasiswa Unggulan yang telah berkenan memberi beasiswa dan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan pada Program Magister Arkeologi.
(2)
Prof. Dr. Noerhadi Magetsari selaku pembimbing yang selalu sabar memberikan bimbingan kepada penulis dan menyediakan waktunya setiap hari Senin dan Rabu untuk berdiskusi bersama rekan-rekan yang lain.
(3)
Dr. Ali Akbar selaku ko.pembimbing yang telah dengan cermat mengoreksi setiap kesalahan yang dibuat bab demi bab hasil penulisan tesis.
(4)
Dr. Irmawati M. Johan yang semenjak saya mendaftarkan diri di Program Magister Arkeologi hingga selesainya tesis ini selalu memberi dorongan moril untuk selalu tepat waktu.
(5)
Gubernur Provinsi Lampung yang telah memberi izin untuk tugas belajar, sehingga saya tidak dibebani lagi dengan pekerjaan rutin di kantor.
(6)
Kepala Museum dan segenap unsur pimpinan di Museum Negeri Provinsi Lampung yang telah memberi dukungan moril kepada saya untuk mengikuti kuliah pada Program Magister Arkeologi UI.
(7)
Orang tua dan mertua saya yang selalu mendoakan dan memberi nasihat yang tulus, sehingga mendorong semangat saya untuk tidak mudur dalam mengahadapi tugas-tugas yang sulit.
(8)
Kepada Diana dan anak-anak tercinta Afaa dan Nauval yang menjadi energi dikala penulis merasa lelah dan jenuh terhadap perkuliahan yang tidak ringan.
(9)
Teman-teman kelompok sembilan Pri, mas Oki, Inyo, Misra, Dian, Arum, Anne dan Eko yang dengan canda dan persahabatannya selalu meyakinkan saya untuk selalu berbuat yang terbaik untuk diri sendiri dan untuk orang lain.
(10) Kepada orang-orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang secara langsung dan tidak langsung selalu membantu kelancaran perkuliahan hingga selesainya tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu museologi yang masih terus harus dikembangkan.
Depok, 16 Juli 2009,
Penulis
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : NPM : Program Studi : Departemen : Fakultas : Jenis Karya :
Budi Supriyanto 0706182103 Magister Arkeologi Arkeologi Ilmu Pengetahuan Budaya Tesis
Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Museum Negeri Provinsi Lampung Sebagai Institusi Pendidikan Informal Pendukung Pembelajaran IPS Tingkat SMP Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir sata selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 16 Juli 2009 Yang Menyatakan,
Budi Supriyanto
ABSTRAK Nama : Budi Supriyanto Program Studi : Magister Arkeologi Judul : Museum Negeri Provinsi Lampung Sebagai Institusi Pendidikan Informal Pendukung Pembelajaran IPS Tingkat SMP Tesis ini membahas tentang eksibisi pameran tetap Museum Negeri Provinsi Lampung yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar yang dapat mendukung proses pembelajaran IPS tingkat SMP. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini mengidentifikasikan bahwa eksibisi Museum Negeri Provinsi Lampung saat ini belum dapat dijadikan sebagai sumber belajar yang dapat mendukung pembelajaran IPS tingkat SMP, karena teori pendidikan yang diterapkan adalah teori pendidikan didaktik-ekspositori yang lebih cocok bagi orang dewasa yang terdidik. Eksebisi yang cocok bagi anak-anak adalah yang memungkinkan pengunjung untuk berpartisipasi terhadap eksibisi. Belakangan ini teori kunstruktivis dianggap sebagai teori yang tepat untuk museum karena memiliki karakteristik free choice learning. Kata kunci : Eksibisi, belajar, konstruktivis.
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Budi Supriyanto Study Program : Archaeology Post Graduate Program Title : Lampung Province Museum as Informal Education Which is Promote for Social Science Learning in Secondary School. The focus of this studi is about permanent exhibition within Lampung Province Museum as learning resources which is promote for Social Science learning in Secondary School. This research has descriptive characteristic with qualitative approach. The research identified that Lampung Province Museum until now not succeed as learning resources which is promote for Social Science learning in Secondary School, because museum used didactic-expository education theory which is appropriate only for adult and well educated visitors. Exhibition which appropriate for childrens should be enable for visitor to participate on exhibition. Therefore, the constructivist education theory reputed as appropriate theory for museum because its have free choice learning characteristic. Key word : Exhibition, learning, constructivist
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i SURAT PENYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................... ii HALAMAN PENYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv KATA PENGANTAR....................................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...................... vii ABSTRAK ......................................................................................................... viii ABSTRACT ........................................................................................................ ix DAFTAR ISI...................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xiv DAFTAR FOTO................................................................................................ xv 1 PENDAHULUAN........................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 7 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 8 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 8 1.5 Batasan Penelitian ................................................................................... 8 1.6 Metode Penelitian ................................................................................... 11 1.7 Sitematika Penulisan ............................................................................... 14 2 TINJAUAN TEORETIS............................................................................. 15 2.1.Jalur Pendidikan Formal dan Informal.................................................... 15 2.1.1.Pendidikan Formal Untuk Mata Pelajaran IPS Tingkat SMP .................................................................................. 18 2.1.2 Pendidikan Informal di Museum.................................................... 29 2.2 Teori Pendidikan di Museum .................................................................. 32 2.2.1 Karakteristik Museum dalam Teori Pendidikan Didaktik Ekspositori ...................................................................... 36 2.2.2 Karakteristik Museum dalam Teori Pendidikan Stimulus Respon ............................................................................ 40 2.2.3 Karakteristik Museum dalam Teori Pendidikan Belajar Diskoveri ........................................................................... 42 2.2.4 Karakteristik Museum dengan Teori Pendidikan Konstruktivis .................................................................................. 46 2.2.5 Pedagogi di Museum...................................................................... 47 2.2.6 Museum Sebagai Institusi Pembelajaran ....................................... 49 2.3 Model Belajar Kontekstual di Museum ................................................. 51 2.3.1 Konteks Personal............................................................................ 54 2.3.2 Konteks Sosiokultural .................................................................... 58 2.3.3 Konteks Fisik ................................................................................. 60 2.4 Museum Untuk Anak Sebagai Institusi Pendidikan................................ 61
Universitas Indonesia
xi
3
GAMBARAN UMUM MUSEUM NEGERI PROVINSI LAMPUNG “RUWA JURAI”............................................... 66 3.1 Sejarah Singkat Museum......................................................................... 66 3.2 Koleksi Museum ..................................................................................... 69 3.3 Pameran Museum.................................................................................... 73 3.3.1 Pemeran Tetap Museum................................................................. 73 3.3.1.1 Pameran Tetap Lantai Dasar .............................................. 74 3.3.1.2 Pameran Tetap Lantai Satu ................................................ 79 3.3.1.3 Penyajian di Luar Gedung Pameran Tetap......................... 80 3.3.2 Pameran Temporer ......................................................................... 81 3.3.3 Pameran Keliling............................................................................ 82 3.4 Kegiatan Edukatif Kultural ..................................................................... 82 3.5 Sarana dan Prasarana............................................................................... 85 3.5.1 Sarana Fisik.................................................................................... 86 3.5.2 Sarana Penunjang ........................................................................... 86 3.5.3 Sarana Non Fisik ............................................................................ 89 3.6 Pengunjung Museum............................................................................... 91 4 MUSEUM NEGERI PROVINSI LAMPUNG INSTITUSI PENDIDIKAN INFORMAL PENDUKUNG PEMBELAJARAN IPS TINGKAT SMP................................................. 93 4.1 Karakteristik Teori Pendidikan di Museum Negeri Provinsi Lampung.. 94 4.1.1 Fungsi Eksibisi dalam Pembelajaran ............................................. 94 4.1.2 Penggunaan Komponen Didaktik dalam Pembelajaran................. 98 4.1.3 Metode Penyajian Koleksi Museum .............................................. 101 4.1.4 Susunan Subjek Program Edukasi ................................................. 106 4.1.5 Tujuan Program Edukasi................................................................ 111 4.2 Museum Sebagai Sumber Belajar Pendukung Pembelajaran IPS Tingkat SMP .................................................................................... 115 4.2.1 Landasan Teori Pendidikan Eksebisi dan Program Edukasi yang Cocok untuk Anak-Anak......................................... 116 4.2.2 Model Belajar Kontekstual Sebagai Landasan Pengembangan Ruang Penemuan .................................................. 122 4.2.2.1 Konteks Personal................................................................ 123 4.2.2.2 Konteks Sosiokultural ........................................................ 128 4.2.2.3 Konteks Fisik ..................................................................... 129 4.3 Beberapa Alternatif Penyajian Objek dan Fenomana ............................ 133 4.4 Museum Sebagai Bagian dari Sistem Pendidikan Nasional ................... 139 4.4.1 Posisi Museum Sebagai Institusi Pendidikan Informal.................. 139 4.4.2 Museum Sebagai Perangkat Sistem Pendidikan Nasional. ........... 141 4.4.2.1 Penguatan Kelembagaan Museum Secara Internal. ........... 143 4.4.2.2 Penguatan Kelembagaan Museum Secara Eksternal ......... 144
Universitas Indonesia
xii
5 PENUTUP.................................................................................................... 147 5.1 Simpulan ................................................................................................. 147 5.2 Saran........................................................................................................ 151 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 153
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Konsep Kunci Museologi Gambar 2.1 Keterpaduan Cabang Ilmu Pengetahuan Sosial Gambar 2.2 Kontinum Teori Pengetahuan Gambar 2.3 Kontinum Teori Belajar Gambar 2.4 Teori Pendidikan Gambar 2.5 Model Belajar Kontektual Gambar 3.1 Bagan Struktur UPTD Museum Negeri
Halaman 6 25 34 36 36 55 68
Universitas Indonesia
DAFTAR FOTO
Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto Foto
1 Penyajian koleksi flora dan fauna 2 Panel persebaran flora dan fauna 3 Panel flora dan fauna serta koleksi batuan dari kompleks Gunung Anak Krakatau 4 Maket Gunung Anak Krakatau 5 Koleksi kebudayaan paleolitik 6 Koleksi kebudayaan neolitik 7 Panel persebaran manusia prasejarah 8 Panel Penemu fosil manusia prasejarah 9 Panel dan koleksi penyebaran agama Hindu 10 Panel dan koleksi penyebaran agama Buddha 11 Koleksi Arkeologi Masa Islam 12 Koleksi Filologika 13 Paner Perjuangan Radin Inten II 14 Panel Arsitektur Kolonial 15 Koleksi peralatan mengumpulkan Hasil Hutan 16 Koleksi Kain Tenun Tapis 17 Rumah Pesagi 14 Lumbung Padi
74 74 75 75 75 75 76 76 76 76 77 78 78 78 80 80 81 81
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.1
Statistik Pengunjung Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun 2001-2008 Tabel 3.1 Jumlah Koleksi Berdasarkan Klasifikasi UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2008 Tabel 3.2 Sarana Fisik Museum Negeri Provinsi Lampung UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006 Tabel 3.3 Sarana Penunjang UPTD Museum Negeri Provinsi LampungTahun Anggaran 2006 Tabel 3.4 Sarana Penunjang Perlengkapan Kantor UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006 Tabel 3.5 Sarana Penunjang Keamanan UPTD Museum Negeri Provinsi LampungTahun Anggaran 2006 Tabel 3.6 Sarana Penunjang Teknis UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun 2006 Tabel 3.7 Kondisi Sumber Daya Manusia Berdasarkan Tingkat Pendidikan UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006 Tabel 3.8 Kondisi Sumber Daya Manusia Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pangkat/Golongan UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun 2006 Tabel 3.9 Kondisi Sumber Daya Manusia yang Mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan Teknis Permuseuman UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun 2006 Tabel 3.10 Statistik Pengunjung Pameran Temporer, Pameran Keliling dan Museum Masuk Sekolah UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2001 – 2008 Tabel 4.1 Penyajian, Klasifikasi dan Koleksi Pada Lantai Dasar Museum Negeri Provinsi Lampung Tabel 4.2 Komponen Didaktik Museum Negeri Provinsi Lampung Tabel 4.3 Informasi Staf Edukasi yang Sesuai dengan Pelajaran Sekolah
2 69 86 87 87 87 88
89
90
90
92 95 99 107
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latarbelakang Perhatian terhadap museum belakangan ini semakin meningkat. Hal ini
ditandai dengan semakin banyaknya orang atau lembaga yang ingin mendirikan museum. Apalagi dengan adanya otonomi daerah, banyak Pemerintah Kabupaten Kota yang berkeinginan mendirikan museum di daerahnya masing-masing. Berdasarkan data Departemen Kebudayaan Pariwisata, museum di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 269. Namun di balik animo yang menggebu-gebu itu, yang harus mendapat pemikiran serius adalah bagaimana museum dapat bermanfaat bagi publiknya, karena museum didirikan bukan untuk memuaskan kepentingan kelompok tertentu, tetapi didirikan untuk dimanfaatkan oleh publik. Berdasarkan International Council of Museum (ICOM) museum adalah lembaga permanen yang tidak mencari keuntungan, didirikan untuk melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang bertugas mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan, memamerkan bukti-bukti bendawi manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan dan kesenangan (Definition Development of the Museum Definition according to ICOM Statutes (1946-2007), 1974 Section II Definition Article 3). Dalam definisi ini jelas bahwa keberadaan museum adalah untuk melayani masyarakat. Secara spesifik dinyatakan bahwa bentuk pelayanan yang diberikan oleh museum bertujuan studi, pendidikan dan kesenangan. Ini artinya pendidikan menjadi salah satu fokus utama dari pelayanan museum. Menurut Van Mensch (1992) dalam melaksanakan tanggungjawab di bidang pendidikan, museum memiliki tanggungjawab etis untuk mengaplikasikan koleksi dan sumber daya lain yang dimilikinya untuk pengembangan pengetahuan publiknya. Kaidah umum yang harus diupayakan adalah membuat museum dan koleksinya dapat diakses secara fisik, emosional dan intelektual – oleh sebanyak mungkin publiknya.
Universitas Indonesia
2
Hooper-Greenhill (1996: 140) berpandangan bahwa dalam karakternya yang fundamental di bidang pendidikan, maka museum harus memberikan kesempatan
kepada
masyarakat
untuk
menambah
pengetahuan
dan
pengalamannya. Untuk memenuhi tanggungjawabnya itu, museum harus meningkatkan perannya sebagai sumber pembelajaran yang dapat digunakan oleh seluruh komponen masyarakat atau kelompok-kelompok khusus yang harus dilayaninya (Edson dan Dean. 1996: 192). Museum Negeri Provinsi Lampung sebagai museum umum yang berada di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Lampung juga mempunyai tanggungjawab di bidang pendidikan. Sesuai dengan kedudukannya sebagai museum negeri provinsi, maka sumber daya museum yang harus dikelolanya adalah yang bersifat regional. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pada Dinas Daerah Provinsi Lampung Pasal 50 ayat (1) yang menyatakan bahwa UPTD museum negeri melaksanakan pengumpulan, perawatan dan penyajian serta penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kultural tentang benda bernilai budaya yang bersifat regional. Tabel 1.1 Statistik Pengunjung UPTD Museum Negeri Propinisi Lampung Tahun Anggaran 2001 – 2008 JENIS PENGUNJUNG Umum
Tamu Negara
1 2001 4,358 2 2002 1,604 3 2003 848 4 2004 1,131 5 2005 1,230 6 2006 737 7 2007 1,042 8 2008 1,146 12,096 Jumlah % TOTAL 3.73%
24 14 23 32 27 69 20 54 263 0.08%
No.
Thn.
Tamu Asing
78 19 15 17 10 15 11 21 186 0.06%
TK/SD
SLTP
SLTA
6,984 9,099 7,689 7,520 12,720 4,478 9,606 16,159 8,345 12,833 14,114 8,268 11,696 16,414 9,443 19,277 18,763 6,878 29,241 22,463 7,118 20,820 15,815 8,649 117,977 125,547 60,868 36.42% 38.76% 18.79%
Mhs.
798 612 496 383 832 1,011 834 1,011 5,977 1.85%
Peneliti
5 18 0 2 5 2 3 11 46 0.01%
Org. Sosial
31 46 42 13 444 297 0 105 978 0.30%
Sumber : Statistik Pengunjung Museum Lampung
Universitas Indonesia
Jumlah Total
29,066 27,031 35,534 36,793 40,101 47,049 60,732 47,632 323,938
3
Berdasarkan tabel 1.1 tampak bahwa kalangan pelajar merupakan kelompok yang paling banyak memanfaatkan museum. Jumlah pengunjung pelajar dari tahun 2001 hingga tahun 2008 merupakan pengunjung dengan jumlah terbesar. Bila digabungkan jumlah kunjungan pada tingkat SD hingga SMA, dari tahun 2001 hingga 2008, persentasenya mencapai 93,97% atau sama dengan 304.392 orang. Bila dilihat dari jenjang pendidikan, maka jumlah pengunjung SLTP merupakan pengunjung terbanyak, jumlahnya mencapai 38,76% atau sama dengan 125.547 orang. Fenomena pengunjung dari kalangan pelajar yang jumlahnya signifikan secara kuantitatif memperlihatkan bahwa Museum Negeri Provinsi Lampung menjadi salah satu target utama sekolah untuk melaksanakan kegiatan di luar lingkungan sekolah atau saat melakukan karya wisata. Jumlah ini sudah selayaknya mendapat perhatian lebih dari pihak museum. Potensi yang dimiliki museum berupa koleksi dan sumber daya lainnya seharusnya dapat dijadikan referensi oleh pelajar untuk memperkuat dan memperkaya pengetahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya dari proses pembelajaran di sekolah. Namun bentuk dari pengetahuan dan pengalaman tersebut tentu akan berbeda dengan yang didapatkan dari sekolah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa bentuk pelayanan museum bertujuan untuk studi, pendidikan dan kesenangan. Jadi museum adalah tempat yang paling ideal sebagai wadah kegiatan “edutainment” (education = pendidikan sekaligus entertainment= hiburan) (Daud Aris Tanudirjo, 2007: 16). Pendidikan seperti ini semestinya yang menjadi ciri dari museum. Sebagai institusi pendidikan informal Museum Negeri Provinsi Lampung sebenarnya telah berupaya memenuhi perannya itu melalui program edukasi dan eksibisi. Pada program edukasi hal ini tampak dari program bimbingan keliling museum yang pelayanannya lebih banyak diberikan kepada pengunjung dari kelompok sekolah, demikian juga dengan program lomba, bimbingan karya tulis dan museum masuk sekolah yang kegiatannya memang hanya untuk kalangan pendidikan. Dalam konteks eksibisi Museum Negeri Provinsi Lampung menggunakan konsep yang telah dilaksanakanya sejak museum berdiri, yaitu pola yang
Universitas Indonesia
4
ditentukan oleh Direktorat Permuseuman. Eksibisi yang disajikan adalah yang didasarkan pada klasifikasi koleksi. Bentuk dari klasifikasi tersebut didasarkan pada kreteria disiplin ilmu. Klasifikasi koleksi tersebut adalah biologika, geologika, etnografika, arkeologika, historika, numismatika dan heraldika, filologika, keramologika, seni rupa dan teknologika. Tujuan klasifikasi tersebut agar koleksi museum dapat dijadikan sebagai objek studi dan pendidikan (Suyati, 2000: 28). Museum Negeri Provinsi Lampung meskipun telah menyajikan koleksi berdasarkan disiplin ilmu, namun eksibisinya belum dapat menarik perhatian pelajar. Berdasarkan pengamatan tampak bahwa hampir semua koleksi museum disajikan di balik kotak kaca. Hanya koleksi keramik berukuran besar yang disajikan secara terbuka, tetapi tetap terdapat larangan untuk menyentuh koleksi. Ini artinya eksibisi yang disajikan oleh Museum Negeri Propinsi Lampung bersifat statis. Bagi anak-anak eksibisi yang disajikan dengan statis tidaklah menarik. Anak-anak lebih memiliki kapabilitas untuk memahami atau menguasai bahasa melalui benda, anak-anak akan merasa putus asa ketika dihadapkan dengan pemeran yang statis, tidak dipahami dimana koleksi yang disajikan tidak dapat dimainkan, disentuh atau dieksplorasi (Baxi et.al., 1973: 75). Bagi anak-anak eksibisi yang statis membuat mereka cepat bosan. Sementara itu, orang dewasa, khususnya yang terdidik, sangat tergantung pada informasi yang dapat mereka jumpai di label sebagai sumber data yang mereka anggap lebih penting daripada objeknya sendiri (Baxi, et.al., 1973: 75). Masalah problematis lainnya yang dihadapi museum adalah masih mendominasinya pemikiran bahwa yang menjadi penentu eksibisi di museum adalah kurator. Peran mereka yang dominan itu disebabkan karena museum belum dapat membuka diri terhadap kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat. Sebagian besar museum negeri propinsi dalam menjalankan misi pendidikan justru tidak memberikan apa-apa kepada khalayak pengunjungnya. Informasi yang disampaikan menjadi tidak berarti, bukan karena informasi itu tidak bermakna, tetapi karena informasi yang disampaikan bukan untuk target yang dimaksud. Museum sering dengan sepihak menentukan sendiri pengunjung imajiner yang dianggap mewakili pengunjung yang sebenarnya. Akan tetapi penentuannya
Universitas Indonesia
5
sering mengalami bias, karena kurator yang menentukan materi pameran dan program edukasi tidak menggunakan ukuran yang sebenarnya harus diperhatikan. Kurator dan edukator menggunakan ukuran dirinya sebagai pengunjung imajiner yang akan berkunjung ke museum. Rohmeder menyatakan, bahwa museummuseum seringkali menampilkan suatu gambaran yang palsu dan terlalu positif mengenai masa lampau (Schouten, 1992: 4). Kondisi di atas terjadi karena museum belum mengaktualisasi konsep kunci dalam museologi. Menurut Magetsari (2008: 13) konsep kunci itu adalah preservasi, penelitian dan komunikasi. Konsep preservasi berkaitan dengan tugastugas museum dalam pengelolaan koleksi yang di dalamnya termasuk memelihara fisik maupun administrasi koleksi, dan masalah manajemen koleksi yang terdiri dari
pengumpulan,
pendokumentasian,
konservasi
dan
restorasi
koleksi
(Magetsari, 2008: 13). Sementara konsep penelitian berkaitan dengan penelitian terhadap warisan budaya dan berkaitan dengan subject matter discipline. Konsep ini menjadi tugas baru dari kurator, karena dalam pandangan museologi kurator tidak lagi menjadi pengelola koleksi, tetapi menjadi peneliti yang melakukan interpretasi terhadap koleksi yang akan disajikan kepada pengunjung. Selanjutnya komunikasi mencakup kegiatan penyebaran hasil penelitian berupa knowledge dan pengalaman dalam bentuk pameran, program-program pendidikan, events, dan publikasi (Magetsari, 2008: 13). Dalam konsep komunikasi, penyajian objek hasil interpretasi disampaikan menjadi pesan yang dapat merangsang pengunjung untuk melihatnya. Artefak dan display dapat menjadi relevan dengan pengalaman dan identitas pengunjung melalui interpretasi (Magetsari, 2008: 14). Metode interpretasi yang baik akan dapat menarik perhatian dan minat pengunjung, karena objek yang dipamerkan dikaitkan dengan kerangka pikir dan pengalaman masyarakatnya. Ketiga konsep ini dalam penerapannya bekerja dalam kesinambungan yang tidak saling terlepas (lihat gambar 1.1).
Universitas Indonesia
6
Gambar 1.1 Konsep Kunci Museologi
research
preservastion
communication Basic Function
(Sumber : van Mensch, dalam Magetsari, 2008: 13) Museum dalam menjalankan perannya sebagai institusi pendidikan harus melakukan interpretasi terhadap koleksinya, karena proses ini membuat objek yang disajikan dalam eksibisi menjadi lebih bermakna bagi pengunjung. Dengan kata lain, objek yang disajikan tidak lagi menjadi benda asing berasal dari kebudayaan yang tidak pernah dijumpai lagi. Dalam konteks pembelajaran terhadap pendidikan formal yang dilakukan di sekolah, museum juga dapat menempatkan dirinya sebagai sumber pengetahuan dan pengalaman yang dapat mendukung terwujudnya kompetensi sesuai dengan standar minimal yang ditentukan oleh perundang-undangan. Namun sepanjang sejarah bendirinya museum-museum di Indonesia belum pernah ada upaya secara strategis menempatkan museum sebagai institusi pendidikan informal yang dapat mendukung pendidikan formal dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Langkah awal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui pengkajian ulang terhadap teori pendidikan yang diterapkan oleh museum. Secara garis besar teori pendidikan yang diterapkan museum memperlihatkan karakteristik museum dalam memandang potensi yang dimiliki oleh dirinya. Teori pendidikan tersebut, oleh Hein (1998: 25) diilustrasikan
Universitas Indonesia
7
dengan bentuk ortagonal dimana masing-masing teori berada pada masing-masing kuadran. Pada kuadran kiri atas terdapat teori pendidikan didaktik eskpositori, pada kuadran kiri bawah terdapat teori stimulus-respon, pada kuadran kanan atas terdapat teori pendidikan diskoveri dan pada kanan bawah terdapat teori pendidikan konstruktivis (Hein, 1998: 25). Masing-masing teori tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, pemilihan teori pendidikan harus dilandasi oleh peran yang akan dipilih museum untuk memenuhi kebutuhan publiknya. Perkembangan terakhir yang terjadi, teori konstruktivis menjadi acuan yang dianggap lebih memadai bagi museum dalam menjalankan perannya sebagai institusi pendidikan (Hein, 1998: 35). Hal ini disebabkan karena teori ini memiliki postulat yang sejalan dengan konsep free choice learning yang menjadi konsep belajar di museum. Postulat pertama menyatakan bahwa setiap orang selalu aktif menentukan hal-hal yang dianggap oleh dirinya dapat menambah pengetahuan dan pengalaman (Hein, 1998: 34). Kemudian postulat kedua menyatakan bahwa kesimpulan yang diambil tidak divalidasi dengan standar kebenaran eksternal, tetapi oleh pembelajar itu sendiri (Hein, 1998: 34). Dengan konsep belajar seperti ini, museum dapat menjadi tempat yang ideal untuk belajar berbagai pengetahuan. Museum yang menerapkan teori pendidikan ini memberi kesempatan kepada pembelajar untuk berinteraksi langsung dengan objek dan fenomena yang disajikan oleh museum. Ini artinya bila museum memposisikan dirinya sebagai institusi pendidikan informal yang mendukung proses pembelajaran pendidikan formal, maka pelajar dari berbagai jenjang pendidikan dapat menjadikan museum sebagai sarana belajar yang dapat memperkuat dan memperkaya pengetahuan dan pengalaman belajar yang didapatkan dari sekolah.
1.2
Perumusan Masalah Penelitian ini berupaya mendapatkan pemahaman yang komprehensif
mengenai peran Museum Negeri Provinsi Lampung sebagai institusi pendidikan informal dalam mendukung proses pembelajaran mata pelajaran IPS di tingkat SMP. Oleh karena itu, perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
8
1. Mengindentifikasi teori pendidikan yang diterapkan Museum Negeri Provinsi Lampung saat ini dan konsekuensi dari pemilihan teori pendidikan tersebut. 2. Menentukan teori pendidikan yang ideal diterapkan Museum Negeri Provinsi Lampung untuk dapat menjadi pendukung proses pembelajaran IPS di tingkat SMP
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
dari penelitian tesis ini adalah : 1. Memberi penjelasan pada pengelola Museum Negeri Provinsi Lampung bahwa eksibisi yang sekarang disajikan tidak cocok untuk dijadikan sumber belajar bagi pembelajaran IPS di tingkat SMP. 2. Memberi masukan kepada pengelola Museum Negeri Provinsi Lampung perlu diterapkan teori pendidikan konstruktivis untuk menjadikan museum sebagai sumber belajar yang ideal bagi pembelajaran IPS di tingkat SMP. 3. Memberi masukkan pada pemerintah daerah agar dapat membuat peraturan dan kebijakan yang terintegrasi antara museum dan sekolah sehingga museum dapat dijadikan sebagai laboratorium pembelajaran IPS di tingkat SMP.
1.4
Manfaat Penelitian
1. Menyumbangkan pemikiran tentang berbagai landasan teoretis yang dapat dijadikan penentu arah kebijakan eksibisi museum sebagai institusi pendidikan informal. 2. Memberi masukan kepada pengelola Museum Negeri Provinsi Lampung perlunya alternatif eksibisi sebagai penerapan free choice learning yang memungkinkan pelajar untuk belajar aktif di museum. 3. Mendorong kemungkinan dibuatkannya aturan main oleh pemerintah agar sekolah dapat menjadikan museum sebagai laboratorium IPS di tingkat SMP.
1.5
Batasan Penelitian Pembahasan yang berkaitan dengan peran museum sebagai institusi
pendidikan dalam mendukung proses pembelajaran IPS di tingkat SMP belum
Universitas Indonesia
9
pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, penulisan tesis ini dapat menjadi langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan tentang museum sebagai sumber belajar. Sebagai penelitian awal yang akan diungkap dalam pembahasan tesis ini adalah hambatan yang dihadapi Museum Negeri Provinsi Lampung dalam memposisikan dirinya sebagai institusi pendidikan informal yang mampu mendukung proses pembelajaran IPS di tingkat SMP, berbagai teori dan konsep yang berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran di museum dan desain eksibisi interaktif yang cocok mendukung pembelajaran IPS tingkat SMP. Teori dan konsep dalam pembahasan penting untuk dijabarkan mengingat hal ini merupakan hal baru yang perlu diperkenalkan dan dipahami oleh museolog dan praktisi museum. Batasan yang perlu menjadi perhatian dalam tesis ini adalah pada pemilihan materi mata pelajaran IPS tingkat SMP. Perlu digaris bawahi bahwa mata pelajaran IPS di tingkat SMP merupakan mata pelajaran yang mempunyai hubungan dengan konsepsi ilmiah dari klasifikasi koleksi yang digunakan museum. Unsur materi pelajaran IPS di tingkat SMP berkaitan dengan ilmu sejarah, geografi, antropologi dan ekonomi mempunyai padanannya dalam klasifikasi koleksi Museum Negeri Provinsi Lampung. Dengan demikian, materi mata pelajaran IPS di tingkat SMP dapat menggunakan koleksi museum sebagai referensi untuk memperkuat dan memperkaya pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan pelajar di sekolah. Selanjutnya batasan yang perlu ditentukan adalah jenjang pendidikan SMP. Pemilihan jenjang pendidikan SMP mempunyai kaitan langsung dengan materi mata pelajaran IPS, karena di SMA mata pelajaran IPS sudah dipecah dalam mata pelajaran yang lebih khusus seperti sosiologi, antropologi, sejarah, geografi dan ekonomi. Di samping itu, materi pembelajaran IPS di SMA tidak diajarkan sampai kelas XII, hanya pelajar yang memilih pengkhususan IPS saja yang melanjutkan belajar IPS. Sementara jenjang pendidikan yang lebih rendah seperti SD mempelajari IPS hanya pada tataran konsep yang sederhana, sehingga pembelajaran IPS di tingakat SD pun menjadi terlalu sempit untuk diambil sebagai konsep pembelajaran. Dengan demikian tingkat pendidikan SMP merupakan jenjang pendidikan yang ideal untuk dikaji.
Universitas Indonesia
10
Di samping itu, mengingat museum adalah lembaga yang terbuka untuk umum, maka yang menjadi audiensnya adalah seluruh komponen masyarakat. Akan tetapi, sebagai batasan yang menjadi objek peneltitian adalah kelompok pengunjung pelajar SMP. Penentuan pilihan pada kelompok ini didasarkan pada jumlah pengunjung Museum Negeri Provinsi Lampung. Berdasarkan Tabel 1.1 jumlah pengunjung untuk tingkat SMP dari tahun 2001 hingga 2008 merupakan pengunjung dengan jumlah persentase tertinggi, yaitu 38, 76%. Eksibisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pameran tetap Museum Negeri Provinsi Lampung. Pameran tetap adalah pameran yang diselenggarakan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 tahun (Direktorat Permuseuman, Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1998: 22). Jadi penyajian koleksi dan informasi di pameran kurun waktunya cukup panjang. Selain itu, jenis koleksi yang dipamerkan pada pameran tetap adalah seluruh jenis koleksi yang dimiliki oleh museum. Berbeda dengan pameran temporer yang sifatnya sementara, jangka waktunya pendek dan materi yang dipamerkan tematis. Lokasi penelitian adalah Museum Negeri Provinsi Lampung yang beralamat di Jalan H.Z.A Pagar Alam No. 64 Bandar Lampung. Bila dilihat berdasarkan statusnya, maka Museum Negeri Provinsi Lampung adalah museum pemerintah yang menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di bawah Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Lampung. Museum Lampung memiliki
karakteristik organisasi dan pengelolaan yang hampir sama dengan museum negeri provinsi lainnya. Di samping itu, bila dilihat dari standar jumlah koleksi dan fasilitas yang dimilikinya, Museum Negeri Provinsi Lampung memiliki kesamaan dengan sebagian besar museum negeri provinsi di Indonesia. Hanya saja bila dibandingkan dengan museum negeri provinsi yang ada di Jawa terdapat perbedaan karena museum negeri provinsi di Jawa memiliki jumlah koleksi yang lebih banyak dan fasilitas yang lebih baik daripada museum negeri di provinsi lain. Dengan demikian, kondisi Museum Negeri Provinsi Lampung dapat dianggap mewakili kondisi sebagian besar kondisi museum negeri provinsi di Indonesia.
Universitas Indonesia
11
1.6
Metode Penelitian Museologi merupakan kajian atau studi tentang museum (Magetsari, 2008:
5). Kajian tersebut dilakukan dengan melakukan studi terhadap sejarah dan latar belakang museum, pada peran museum di masyarakat, menjadi sistem yang spesifik bagi penelitian, konservasi, edukasi dan organisasi, hubungan museum dengan lingkungan fisik, dan klasifikasi terhadap berbagai macam museum. (Burcaw, 1983: 12). Dalam melakukan kajiannya museologi menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan yang bersifat empirsi dan bersifat filosofis (Magetsari, 2009: 2). Pendekatan empiris dalam penerapan teori ditujukan untuk dapat mengenali pola hubungan yang terjadi antara fenomena yang berbeda dalam realitas dengan cara mendeskripsikannya (van Mench, 1995: 134). Menurut Magetsari (2009: 2-3) dalam konteks permuseuman tujuannya adalah memahami koleksi, yang dalam pendekatan ini diperlakukan sebagai realitas yang terdiri atas fenomena yang berbeda-beda, yang kemudian diletakkan dalam konteks historis maupun sosial budaya. Dengan demikian maka kegunaan teori di sini bersifat heuristik. Pendekatan yang kedua menekankan pendapat bahwa museum harus lebih berperan dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya museum lebih memusatkan perhatian pada pengembangan masyarakat dan bukan berorientasi pada aspek kognitif (Magetsari, 2009: 3). Museologi menerapkan kedua pendekatan ini, sehingga yang pertama menjadi landasan teori bagi semua kegiatannya (heuristik) dan yang kedua berorientasi pada program yang berorientasi pada masyarakat. Berdasarkan uraian di atas penelitian tesis ini berada pada posisi pertama, yaitu penelitian museologi dengan pendekatan empiris. Fenomena yang diteliti dalam tesis ini adalah fenomena eksibisi yang dapat mendukung pembelajaran IPS di tingkat SMP. Dalam konteks ini koleksi dan informasi yang menjadi komponen dari eksibisi menjadi objek dari penelitian. Sebagai objek penelitian koleksi dan informasi dijadikan sebagai realitas yang dipandang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar yang mendukung pembelajaran IPS di tingkat SMP. Ini artinya koleksi dan informasi diletakkan dalam konteks sosial budaya sehingga dapat dipahami bahwa
Universitas Indonesia
12
koleksi dan informasi yang dimiliki museum mempunyai peran penting untuk memperkuat dan memperkaya pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan pelajar dari sekolah. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa penelitian museologi ini akan banyak meminjam konsep-konsep yang ada di dalam teori pendidikan, pedagogi dan teori belajar. Konsep-konsep tersebut diadopsi untuk dapat menjelaskan fenomena penyajian koleksi dan informasi dalam eksebisi dan proses belajar yang terjadi di museum. Berdasarkan permasalahan penelitian yang masuk ke dalam ranah pendekatan empiris, maka sifat dari penelitian yang tepat untuk tesis ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah untuk memaparkan situasi atau peristiwa tertentu (Rakhmat, 1984: 24). Situasi atau peristiwa yang dimaksud menyangkut semua aktivitas, objek, proses dan manusia (Basuki, 2006: 110). Dalam konteks permasalahan, penelitian ini akan mendeskripsi koleksi dan informasi yang menjadi komponen dari eksibisi untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar yang mendukung proses pembelajaran IPS tingkat SMP. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan yang diteliti (Basuki, 2006: 78). Oleh karena itu, dalam konteks penelitian ini, pembahasan akan dilakukan pada ide atau gagasan yang berkaitan dengan eksibisi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar untuk mendukung proses pembelajaran IPS tingkat SMP. Untuk mendapatkan hasil analisis yang memadai, maka penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : 1. Tahap pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan literatur dan pengamatan. Pengumpulan literatur dilakukan untuk menggali teori-teori yang telah berkembang dalam bidang ilmu yang berkepentingan, mencari metodemetode serta teknik penelitian, baik dalam pengumpulan data atau dalam menganalisa data yang pernah dipergunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu (Nazir, 1988: 111). Teori dan metode yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah teori pendidikan dan metode belajar di museum. Di samping itu, peneliti juga mengumpulkan data internal Museum Negeri Provinsi Lampung
Universitas Indonesia
13
berupa data pengunjung, laporan tahunan, laporan studi pengembangan sarana fisik dan non fisik Museum, dan data literatur lainnya. Data yang berkaitan dengan eksibisi dikumpulkan melalui pengamatan. Pengamatan dalam istilah sederhana adalah proses dimana peneliti atau pengamat melihat situasi penelitian (Sevilla, 1993: 198). Dalam melakukan pengamatan terdapat beberapa tipe yang dapat dipilih, yaitu pengamatan yang tidak berstruktur dan pengamatan yang berstruktur (Sevilla, 1993: 198). Tipe pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengamatan tidak berstruktur. Tipe pengamatan ini dipilih karena dianggap lebih fleksibel dan terbuka. Situasi terbuka, adalah pengamat melihat kejadian secara langsung pada tujuan (Sevilla, 1993: 198). Untuk itu, semua komponen eksebisi seperti koleksi dan informasi pendukung yang ada dalam pameran tetap Museum Negeri Provinsi Lampung direkam pada saat pengamatan berlangsung. Perekaman data dilakukan dengan menggunakan kamera digital. 2. Tahap pengolahan data dilakukan terhadap literatur dan hasil pengamatan. Literatur yang terdiri dari teori pendidikan di museum dijadikan sebagai kerangka pembahasan literatur data internal Museum Negeri Provinsi Lampung dan data hasil pengamatan. Kerangka pembahasan tersebut digunakan untuk menguji kebijakan eksibisi dan program edukasi sehingga dapat ditentukan teori pendidikan di museum yang digunakan oleh Museum Negeri Provinsi Lampung. 3. Tahap penyimpulan data dilakukan sebagai tahap akhir dari penelitian ini. Berdasarkan hasil pengolahan data, maka dapat disimpulkan kesesuaian antara kebijakan eksibisi yang telah diambil Museum Negeri Provinsi Lampung saat ini dengan fungsinya sebagai sumber belajar yang dapat mendukung pembelajaran IPS tingkat SMP. Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif peneliti selanjutnya menyampaikan teori pendidikan yang kebijakan eksibisinya dapat diaplikasikan sebagai sumber belajar yang mendukung pembelajaran IPS tingkat SMP. Teori belajar kontekstual juga diapalikasikan untuk mengembangkan desain eksibisi yang dapat mendukung proses pembelajaran IPS tingkat SMP. Dari seluruh uraian yang ada pada tahap ini diharapkan dapat ditentukan hal-hal yang perlu mendapat perhatian sehingga
Universitas Indonesia
14
Museum Negeri Provinsi Lampung dapat dijadikan sebagai institusi pendidikan informal yang dapat mendukung pembelajaran IPS tingkat SMP.
1.7 Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi tesis ini, maka sistematika penulisan disusun dengan urutan sebagai berikut: Bab 1 sebagai pendahuluan menjelaskan tentang latarbelakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 membahas tentang tinjauan teoretis yang meliputi: jalur pendidikan formal dan informal, model belajar kontekstual di museum dan museum untuk anak sebagai institusi pendidikan. Bab 3 membahas tentang gambaran umum Museum Negeri Provinsi Lampung yang meliputi: sejarah singkat museum, koleksi museum, pameran museum, kegiatan edukatif kultural, sarana dan prasarana serta pengunjung museum. Bab 4 membahas tentang Museum Negeri Provinsi Lampung sebagai institusi pendidikan informal pendukung pembelajaran IPS tingkat SMP yang meliputi: karakteristik teori pendidikan di Museum Negeri Provinsi Lampung, museum, museum sebagai sumber belajar pendukung pembelajaran IPS tingkat SMP, beberapa konsep penyajian objek dan fenomena pada Museum Negeri Provinsi Lampung, museum sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Tesis ini diakhiri oleh Bab 5 yang berisi tentang simpulan dan saran. Simpulan menguraikan hasil dari penelitian ini dan saran menguraikan posisi museum sebagai istitusi pendidikan informal.
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1
Jalur Pendidikan Formal dan Informal Istilah jalur pendidikan dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa sistem pendidikan nasional mengatur jalur pendidikan
sebagai
wahana
yang
dapat
dilalui
peserta
didik
untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan jalur pendidikan adalah wahana yang dipergunakan dalam proses pendidikan. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pada tesis ini yang akan dibahas hanya pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan informal akan membahas tentang institusi museum. Namun ketika pembahasan museum dikaitkan sebagai pendukung pendidikan formal, maka pembahasan tentang pendidikan formal dibutuhkan untuk mendapatkan sinkronisasi yang diajarkan di sekolah dan yang dapat dipelajari di museum. Untuk itu pembahasan tentang jalur pendidikan formal akan juga membahas mata pelajaran IPS tingkat SMP yang nantinya dijadikan sebagai rujukan menentukan eksibisi. Masing-masing jalur pendidikan mempunyai cara yang berbeda dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Namun perbedaan yang menonjol adalah pada terstruktur atau tidaknya proses pendidikan yang dijalankan. Berdasarkan PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Hein (1998: 7) menyatakan sekolah merupakan bentuk dari pendidikan formal; sekolah memberi pelajaran secara spesifik, memiliki kurikulun sesuai jenjang, dan sekolah umumnya memiliki aturan tentang kehadiran, waktu belajar di kelas, teman sekelas, dan mempunyai syarat tertentu untuk berhasil. Falk dan Dierking (2002:
Universitas Indonesia
16
10) menyatakan bahwa, pendidikan formal merupakan tempat dimana profesional membantu memandu mengembangkan keterampilan dasar dan membantu memperkenalkan pengetahuan pada bidang-bidang baru. Hal yang paling esensial dalam pendidikan formal adalah digunakannya kurikulum sebagai dasar menjalankan kegiatan pendidikan. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 ayat (13) dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman pengelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Suparman, 2007: 1). PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 1 ayat (15) menyatakan bahwa Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Berdasarkan Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Lima pilar belajar ini harus menjadi pedoman bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran di kelas. Sementara itu, yang dimaksud dengan pendidikan informal berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (13) adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Konsep ini tidak memberi batasan yang jelas, karena belum memperlihatkan secara eksplisit karakteristik pendidikan informal. Screvan (dalam Suzuki, 2005: 31) mendefinisikan belajar informal sebagai non-linier, dilakukan sendiri, secara sukarela dan bersifat eksploratif. Dengan sifatnya yang eskploratif maka hasil belajar secara informal akan berbeda dengan belajar secara formal. Pada proses belajar secara informal hasil yang didapatkan dari kegiatan belajar mungkin merupakan sesuatu yang memang telah direncanakan
Universitas Indonesia
17
sebelumnya atau mungkin sesuai dengan yang diharapkan, tetapi bukan merupakan suatu kewajiban (Hooper-Greenhill, 2007: 26). Hal ini terjadi karena belajar secara informal tidak selalu dievaluasi atau dinilai berdasarkan ketentuan standar seperti tingkatan kelas, dan belajar dapat terjadi tanpa direncanakan (Suzuki, 2005: 31). Falk dan Dierking menggunakan istilah free-choice learning untuk menggambarkan belajar informal (Suzuki, 2005: 30). Menurut Falk dan Dierking (2002: 9) free-choice learning sebagai tipe belajar yang diarahkan sendiri, dilakukan secara sukarela, dan didorong berdasarkan kebutuhan dan ketertarikan individu. Dengan demikian, proses belajar yang terjadi karena seseorang memilihnya bukan karena dia harus memperlajarinya. Aspek motivasi menjadi penting untuk mendorong agar orang mau belajar atas dasar pilihannya sendiri. Karakteristik penting lainnya yang ada dalam pendidikan informal adalah belajar dapat terjadi melalui pengalaman hands-on, aktivitas eksperimental, dan pendidikan informal merupakan perangkat belajar personal yang dapat memperkuat pemahaman terhadap konsep ilmu pengetahuan (Suzuki, 2005: 3233). Dalam praktiknya salah satu institusi pendidikan informal yang memperlihatkan bentuk belajar melalui pengalaman adalah museum. Museum sebagai institusi pendidikan secara fundamental mempunyai peran dalam mengumpulkan objek dan merawatnya dalam suatu lingkungan intelektual yang spesifik menjadikan dirinya sebagai gudang pengetahuan sebagaimana dia menjadi tempat menyimpan objek (Cannon-Brookes dalam Hooper-Greenhill, 1992: 4). Museum dengan eksibisinya yang interaktif – seperti di museum untuk anak – menyajikan objeknya dalam konteks lingkungan yang sangat dikenal pengunjungnya, sehingga memungkinkan pengunjung untuk meneliti sesuatu yang biasa dengan cara baru (Caulton, 1998: 19). Oleh karena itu, museum memiliki potensi besar untuk membuat pengunjung belajar melalui pengalaman personalnya pada objek yang menarik, sain dan teknologi, melalui masa lalu, masa sekarang dan masa datang dan pameran yang memungkinkan partisipasi dan fokus pada perhatian pengunjungnya (Suzuki, 2005: 33). Dengan potensi yang dimilikinya itu museum dapat mengembangkan kreativitas,
Universitas Indonesia
18
memberikan pencerahan dan memungkinkan belajar lebih mendalam dapat dilakukan lebih baik (Hooper-Greenhill, 2007: 23). Sebagai institusi pendidikan informal museum memberikan kebebasan kepada pengunjung untuk memilih mana yang akan menjadi pusat perhatiannya. Sama sekali tidak ada paksaan bagi pengunjung untuk menyaksikan koleksi yang mana terlebih dahulu. Setelah berkunjung pun museum tidak akan melakukan tes untuk menguji seberapa banyak informasi yang telah diketahui oleh pengunjung.
2.1.1 Pendidikan Formal untuk Mata Pelajaran IPS Tingkat SMP Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dalam melaksanakan kegiatan pendidikan dalam jalur formal digunakan kurikulum. Untuk pembelajaran IPS di tingkat SMP kurikulumnya dilaksanakan berdasarkan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pada PP. No. 19 Tahun 2005 Pasal 7 ayat (7) standar kompetensi IPS termasuk dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Standar kompetensi lulusan mata pelajaran IPS untuk tingkat satuan pendidikan SMP/MTs adalah: 1. Mendeskripsikan keanekaragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan, dan dampaknya terhadap kehidupan; 2. Memahami proses interaksi dan sosialisasi dalam pembentukan kepribadian manusia; 3. Membuat sketsa dan peta wilayah serta menggunakan peta, atlas, dan globe untuk mendapatkan informasi keruangan; 4. Mendeskripsikan gejala-gejala yang terjadi di geosfer dan dampaknya terhadap kehidupan; 5. Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan sejak pra-aksara, Hindu Budha, sampai masa kolonial Eropa; 6. Mengidentifikasikan upaya penanggulangan permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan; 7. Memahami proses kebangkitan nasional, usaha persiapan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Universitas Indonesia
19
8. Mendeskripsikan perubahan sosial-budaya dan tipe-tipe perilaku masyarakat dalam menyikapi perubahan, serta mengidentifikasi berbagai penyakit sosial sebagai akibat penyimpangan sosial dalam masyarakat, dan upaya pencegahannya; 9. Mengidentifikasi region-region di permukaan bumi berkenaan dengan pembagian permukaan bumi atas benua dan samudera, keterkaitan unsur-unsur geografi dan penduduk, serta ciri-ciri negara maju dan berkembang; 10. Mendeskripsikan
perkembangan
lembaga
internasional,
kerja
sama
internasional dan peran Indonesia dalam kerja sama dan perdagangan internasional, serta dampaknya terhadap perekonomian Indonesia; 11. Mendeskripsikan manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi serta mengidentifikasi tindakan ekonomi berdasarkan motif dan prinsip ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya; 12. Mengungkapkan gagasan kreatif dalam tindakan ekonomi berupa kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi barang/jasa untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan. Untuk memenuhi standar kompetensi lulusan IPS pada tingkat satuan pendidikan SMP, maka masing-masing satuan pendidikan membuat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran IPS. KTSP mata pelajaran IPS akan dijabarkan oleh guru IPS dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Berdasarkan pedoman inilah pembelajaran IPS diajarkan di sekolah. Berikut ini adalah uraian standar kompetensi dan kompetensi dasar pembelajaran IPS pada tingkat satuan pendidikan SMP pada setiap jenjang kelas 1. kelas VII Semester 1 : A. Standar Kompetensi mata pelajaran : 1) Memahami lingkungan kehidupan manusia. 2) Memahami kehidupan sosial manusia. 3) Memahami usaha manusia memenuhi kebutuhan. B. Kompetensi dasar berdasarkan disiplin ilmu: a. Disiplin ilmu Geografi:
Universitas Indonesia
20
Mendeskripsikan keragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan, dan dampaknya terhadap kehidupan. b. Disiplin Ilmu Sejarah: Mendeskripsikan kehidupan pada masa pra-aksara di Indonesia. c. Disiplin ilmu Sosiologi: 1) Mendeskripsikan interaksi sebagai proses sosial. 2) Mendeskripsikan
sosialisasi
sebagai
proses
pembentukan
kepribadian. 3) Mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi sosial. 4) Menguraikan proses interaksi sosial. d. Disiplin Ilmu Ekonomi: 1) Mendeskripsikan manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi yang bermoral dalam memenuhi kebutuhan. 2) Mengidentifikasi tindakan ekonomi berdasarkan motif dan prinsip ekonomi dalam berbagai kegiatan sehari-hari. 2. Kelas VII semester 2: A. Standar Kompetensi: a. Memahami
usaha
manusia
untuk
mengenali
perkembangan
lingkungannya. b. Memahami perkembangan masyarakat sejak masa Hindu-Buddha sampai masa kolonial Eropa. c. Memahami kegiatan ekonomi masyarakat. B. Kompetensi dasar berdasarkan disiplin ilmu: a. Disiplin ilmu Geografi: 1) Menggunakan peta, atlas, dan globe untuk mendapatkan informasi keruangan. 2) Membuat sketsa dan peta wilayah yang menggambarkan objek geografi. 3) Mendeskripsikan kondisi geografis dan penduduk. 4) Mendeskripsikan gejala-gejala yang terjadi di atmosfer dan hidrosfer, serta dampaknya terhadap kehidupan. b. Disiplin ilmu Sejarah:
Universitas Indonesia
21
1) Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan pemerintahan pada masa Hindu-Buddha, serta peninggalanpeninggalannya. 2) Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan pada masa Islam di Indonesia, serta peninggalanpeninggalannya. 3) Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan pada masa kolonial Eropa. c. Disiplin Ilmu Ekonomi dan Geografi : Mendeskripsikan pola kegiatan ekonomi penduduk, penggunaan lahan dan pola permukiman berdasarkan kondisi fisik permukaan bumi. d. Disiplin Ilmu Ekonomi : 1) Mendeskripsikan kegiatan pokok ekonomi yang meliputi kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi barang/jasa. 2) Mendeskripsikan peran badan usaha, termasuk koperasi, sebagai tempat berlangsungnya proses produksi dalam kaitannya dengan pelaku ekonomi. 3) Mengungkapkan gagasan kreatif dalam tindakan ekonomi untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan. 3. Kelas VIII semester 1 A. Standar Kompetensi: a. Memahami permasalahan sosial berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. b. Memahami proses kebangkitan nasional. c. Memahami masalah penyimpangan sosial. d. Memahami kegiatan pelaku ekonomi di masyarakat. B. Kompetensi berdasarkan disiplin ilmu: a. Disiplin ilmu Geografi: 1) Mendeskripsikan kondisi fisik wilayah dan penduduk. 2) Mengidentifikasi
permasalahan
kependudukan
dan
upaya
penanggulangannya.
Universitas Indonesia
22
3) Mendeskripsikan permasalahan lingkungan hidup dan upaya penanggulangannya dalam pembangunan berkelanjutan. 4) Mendeskripsikan permasalahan kependudukan dan dampaknya terhadap pembangunan. b. Disiplin ilmu sejarah : 1) Menjelaskan proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat, serta pengaruh yang ditimbulkannya di berbagai daerah. 2) Menguraikan proses terbentuknya kesadaran nasional, identitas Indonesia, dan perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia. c. Disiplin ilmu Sosiologi : 1) Mengidentifikasi berbagai penyakit sosial (miras, judi, narkoba, HIV/AIDS, PSK, dan sebagainya) sebagai akibat penyimpangan sosial dalam keluarga dan masyarakat. 2) Mengidentifikasi berbagai upaya pencegahan penyimpangan sosial dalam keluarga dan masyarakat. d. Disiplin ilmu ekonomi: 1) Mendeskripsikan hubungan antara kelangkaan sumber daya dengan kebutuhan manusia yang tidak terbatas. 2) Mendeskripsikan pelaku ekonomi: rumah tangga, masyarakat, perusahaan, koperasi, dan negara. 3) Mengidentifikasi bentuk pasar dalam kegiatan ekonomi masyarakat. 4. Kelas VIII semester 2: A. Standar Kompetensi: a. Memahami usaha persiapan kemerdekaan. b. Memahami pranata dan penyimpangan sosial. c. Memahami kegiatan perekonomian Indonesia. B. Kompetensi dasar berdasarkan disiplin ilmu: a. Disiplin ilmu Sejarah: 1) Mendeskripsikan peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi dan proses terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. 2) Menjelaskan proses persiapan kemerdekaan Indonesia.
Universitas Indonesia
23
b. Disiplin ilmu Sosiologi: 1) Mendeskripsikan bentuk-bentuk hubungan sosial. 2) Mendeskripsikan pranata sosial dalam kehidupan masyarakat. 3) Mendeskripsikan pengendalian dan penyimpangan sosial. c. Disiplin ilmu Ekonomi: 1) Mendeskripsikan permasalahan angkatan kerja dan tenaga kerja sebagai sumberdaya dalam kegiatan ekonomi, serta peranan pemerintah dalam upaya penanggulangannya. 2) Mendeskripsikan
pelaku-pelaku
ekonomi
dalam
sistem
perekonomian Indonesia. 3) Mendeskripsikan fungsi pajak dalam perekonomian nasional. 4) Mendeskripsikan permintaan dan penawaran serta terbentuknya harga pasar. 5. Kelas IX semester 1: A. Standar Kompetensi: a. Memahami kondisi perkembangan negara di dunia. b. Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan c. Memahami perubahan sosial budaya. B. Kompetensi dasar berdasarkan disiplin ilmu: a. Disiplin ilmu Sosiologi: 1) Mengidentifikasi ciri-ciri negara berkembang dan negara maju. 2) Mendeskripsikan perubahan sosial budaya pada masyarakat. 3) Menguraikan tipe-tipe perilaku masyarakat dalam menyikapi perubahan. b. Disiplin ilmu Sejarah: 1) Mendeskripsikan Perang Dunia II (termasuk pendudukan Jepang) serta pengaruhnya terhadap keadaan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. 2) Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 3) Mendeskripsikan
peristiwa-peristiwa
politik
dan
ekonomi
Indonesia pasca pengakuan kedaulatan. c. Disiplin ilmu Ekonomi :
Universitas Indonesia
24
1) Memahami lembaga keuangan dan perdagangan internasional 2) Mendeskripsikan uang dan lembaga keuangan. 3) Mendeskripsikan perdagangan internasional dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. 6. Kelas IX semester 2: A. Standar Kompetensi a. Memahami hubungan manusia dengan bumi. b. Memahami usaha mempertahankan Republik Indonesia. B. Kompetensi dasar berdasarkan disiplin ilmu a. Disiplin ilmu Geografi: 1) Menginterpretasi peta tentang pola dan bentuk-bentuk muka bumi. 2) Mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur geografis dan penduduk di kawasan Asia Tenggara. 3) Mendeskripsikan pembagian permukaan bumi atas benua dan samudera. b. Disiplin ilmu Sejarah: 1) Mendeskripsikan perjuangan bangsa Indonesia merebut Irian Barat. 2) Mendeskripsikan peristiwa tragedi nasional peristiwa Madiun/PKI, DI/TII, G 30 S PKI dan konflik-konflik internal lainnya. 3) Menjelaskan berakhirnya masa Orde Baru dan lahirnya Reformasi. c. Disiplin ilmu Politik: 1) Memahami perubahan pemerintahan dan kerja sama internasional. 2) Menguraikan perkembangan lembaga-lembaga internasional dan peran Indonesia dalam kerja sama internasional. d. Disiplin ilmu Sosiologi Menguraikan perilaku masyarakat dalam perubahan sosial budaya di era global. e. Disiplin ilmu Ekonomi. 1. Mendeskripsikan kerja sama antar negara di bidang ekonomi. 2. Mengidentifikasi dampak kerja sama antar negara terhadap perekonomian Indonesia.
Universitas Indonesia
25
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa pembelajaran IPS membutuhkan konfigurasi teori, konsep, dan prinsip disiplin ilmu sosial yang menjadi induk dari IPS (Sumaatmadja, 1980: 10). Teori, konsep dan prinsip yang dipakai dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial tingkat satuan pendidikan SMP/MTs antara lain berasal dari bidang ilmu sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya (Balitbang Diknas Pusat Kurikulum, n.d). Oleh karena itu, dalam pembelajaran IPS diperlukan integrasi berbagai cabang ilmu sosial tersebut. Hasil integrasi kemudian dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang pernah terjadi atau sedang berlangsung saat ini, baik dalam lingkup nasional, regional, maupun internasional sesuai dengan jenjang tingkatan satuan pendidikannya. Sejarah
Ilmu Politik
Geografi
Sosiologi
Ekonomi
Ilmu Pengetahuan Sosial
Psikologi Sosial Filsafat
Antropologi
Gambar 2.1 Keterpaduan Cabang Ilmu Pengetahuan Sosial Sumber : Depdiknas BP3N Pusat Kurikulum Pendekatan yang digunakan untuk membahas realitas dan fenomena sosial itu adalah pendekatan multidimensional, atau jika ditinjau secara akademis harus multisidisipliner ataupun interdisipliner (Sumaatmadja, 1980: 8). Ini artinya, realitas dan fenomena sosial tidak dipandang secara terpisah dari masing-masing cabang ilmu sosial, tetapi secara terpadu. Pengajaran IPS merupakan upaya menerapkan teori, konsep dan prinsip ilmu sosial untuk menelaah pengalaman, peristiwa, gejala dan masalah sosial yang secara nyata terjadi di masyarakat (Sumaatmadja, 1980: 21). Dengan demikian, pengajaran IPS adalah untuk melatih keterampilan peserta didik baik secara fisik maupun dalam cara berpikirnya untuk mengkaji dan mencari jalan keluar dari masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Universitas Indonesia
26
Keterampilan lain yang juga diharapkan dapat dikembangkan melalui pembelajaran IPS adalah pengembangkan potensi kepekaan peserta didik terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, dan memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan ketimpangan yang terjadi. Strategi pembelajaran IPS terpadu menekankan pada pembinaan konsep dan pengembangan generalisasi, mengajarkan keterampilan, nilai dan sikap, mengembangkan kemampuan inkuiri dan berpikir (Sumaatmadja, 1980: 80-81). Dalam pembinaan konsep yang diajarkan adalah aspek konotatif dari suatu konsep sampai membentuk abstraksi pada diri anak didik. Pembinaan konsep berlangsung mulai dari keadaan yang konkrit yang secara berangsur mengarah pada pengertian abstrak (Sumaatmadja, 1980: 82). Oleh karena itu, untuk memenuhi tuntutan ini guru IPS harus melakukan usaha dengan menggunakan berbagai metode dan media.
Ini artinya pendekatan pembelajaran IPS harus menggunakan multi
metode dan multimedia dalam pembelajaran. Pembelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan keterampilan motorik (motor-skill), keterampilan intelektual (intellectual-skill) dan keterampilan sosial (social-skill)
(Sumaatmadja, 1980: 85). Proses belajar-mengajar dalam
pengajaran IPS yang menggali kenyataan hidup dengan menggunakan berbagai media pengajaran merupakan sarana yang baik untuk melatih keterampilan motorik anak didik (Sumaatmadja, 1980: 85). Metode yang dapat dilakukan di sekolah
dalam
mengembangkan
keterampilan
motorik
adalah
melalui
pengumpulan artikel, gambar atau potret. Dalam mengembangkan keterampilan intelektual, pembelajaran IPS diharapkan dapat menyajikan banyak gejala, peristiwa dan masalah sosial yang dapat dibahas bersama untuk mempertajam daya-pikir, daya-nalar, daya-tanggap dan daya-kritis anak didik terhadap gejala-gejala kehidupan (Sumaatmadja, 1980: 86). Metode yang umum dilakukan di sekolah adalah melalui diskusi, yaitu membahas bersama fenomena yang terjadi di masyarakat. Keterampilan intelektual memiliki abstraksi yang lebih kompleks dibandingkan dengan keterampilan motorik, karena di samping membutuhkan daya nalar juga dibutuhkan kepekaan terhadap fenomena yang dipelajari.
Universitas Indonesia
27
Sementara yang berkaitan dengan keterampilan sosial adalah yang erat hungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Keterampilan sosial itu, antara lain keterampilan untuk hidup dan bekerja bersama-sama dengan orang lain, keterampilan mengambil giliran pekerjaan dalam kehidupan bermasyarakat, keterampilan menghormati dan menghargai orang lain, keterampilan terhadap kepekaan akan kehidupan bermasyarakat, keterampilan mengarahkan dan menguasai diri sendiri dalam kehidupan bermasyarakat, keterampilan mengajukan gagasan dan pandangan terhadap pengalaman orang lain, dan lain-lain sebagainya (Sumaatmadja, 1980: 86-87). Bila peserta didik dapat menguasai keterampilan ini dengan baik, maka peserta didik dapat menjadi anggota masyarakat yang baik, menjalin hubungan yang positif dengan anggota masyarakat lainya, dan berperan serta dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan. Agar pengembangan keterampilan dapat berjalan sebagaimana diharapkan, maka perlu pengembangan pembelajaran yang efektif. Menurut Mulyasa, pembelajaran yang efektif lebih menekankan pada interelasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati serta dipraktekkan dalam kehidupan oleh peserta didik (etos) (Mulyasa, 2005: 149). Untuk itu, dalam pembelajaran yang perlu diperhatikan adalah pengembangan kemampuan yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk selalu aktif, bukan sekedar mengembangkan kemampuan menghafal atau kemampuan menguasai teori, konsep atau prinsip-prinsip suatu ilmu tertentu saja. Merangsang peserta didik untuk belajar aktif, berarti juga mengembangkan kemampuan anak untuk dapat menerapkan materi pelajaran yang diajarkan kepadanya. Hal yang terpenting dalam pengembangan belajar efektif adalah pemanfaatan semua sumber belajar secara maksimal. Sumber belajar secara sederhana dapat dirumuskan sebagai segala sesuatu yang dapat memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar (Mulyasa, 2005; 48). Informasi, pengetahuan pengalaman dan keterampilan tidak hanya dapat di ambil dari buku pelajaran sekolah saja, tetapi bisa menggunakan sumber-sumber lain, seperti aktivitas di laboratorium atau ketika melakukan perjalanan karya wisata. Informasi yang didapatkan dari sumber-sumber lain
Universitas Indonesia
28
selain dari buku dapat memperluas pengetahuan dan memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik. Sumber belajar yang dimanfaatkan guru itu dapat berupa media pembelajaran yang membuat proses belajar dan mengajar menjadi menyenangkan bagi siswa. Menurut Sudiman (2005, 17 – 18) manfaat yang dapat dipetik dari penggunan media pembelajaran adalah sebagai berikut: 1. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka); 2. Mengatasi kerterbatasan ruang, waktu dan panca indra, seperti kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film, video, film bingkai, dan foto maupun secara verbal; 3. Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk : a. menimbulkan kegairahan belajar; b. memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan; c. memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya. 4. Dengan sifat yang unik pada setiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latarbelakang lingkungan guru dan siswa juga berbeda. Masalah ini hanya dapat diatasi dengan media pendidikan, yaitu dengan kemampuannya dalam: a. memberikan perangsang yang sama; b. mempersamakan pengalaman; c. menimbulkan persepsi yang sama. Di samping media pembelajaran yang dapat dibawa di kelas. Pengalaman belajar siswa adakalanya membutuhkan pengalaman lapangan. Karakteristik pengalaman lapangan biasanya adalah berbagai kegiatan yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan siswa tentang teori, konsep dan prinsip-prinsip yang ada dalam materi, namun tidak memungkinkan untuk dihadirkan di kelas, seperti objek yang ada di museum. Apabila kita mau menggunakan museum sebagai sumber belajar tidak mungkin guru dapat menghadirkan museum ke kelas, oleh
Universitas Indonesia
29
karena itu yang terbaik adalah mengatur waktu untuk dapat berkunjung ke museum. 2.1.2
Pendidikan Informal di Museum Di seluruh dunia bidang pendidikan memang merupakan tugas utama bagi
sekolah. Namun dengan diperluasnya konsep pendidikan, maka peran institusi informal untuk ikut menyebarluaskan pengetahuan pada abad ke 21 juga mendapat perhatian (Hooper-Greenhill, 1996: 140). Oleh karena itu, museum sebagai institusi yang melakukan preservasi, studi dan komunikasi mempunyai peran penting di dalam pendidikan. Museum dipandang sebagai salah satu tipe institusi di antara beberapa institusi yang dapat memberikan pendidikan secara masal (Hein, 1998: 4). Oleh karena itu, pendidikan menjadi peran utama bagi museum. Eksistensi museum di masyarakat menjadi sangat tergantung pada keberhasilannya untuk menjalankan perannya di bidang pendidikan. Sebagai lembaga yang mempunyai tanggungjawab untuk pengembangan pengetahuan publiknya, maka konsep pendidikan seharusnya menjadi hal yang penting bagi museum. George G. Goode sebagaimana dikutif oleh Tanudirjo (2007: 16) pernah menyatakan : Hendaknya museum menjadi rumah yang memelihara pikiran-pikiran yang hidup (“a nursery of living thoughts”) daripada sekedar kuburan barang rongsokan (“a cemetary of bric-a-brac”). Hanya dengan cara demikian museum dapat menjadi tempat belajar dan pencerahan bagi manusia, sekaligus menjadi tempat yang menyenangkan. Bahkan, jika perlu museum harus bekerja bersama-sama dengan perpustakaan dan laboratorium, menjadi bagian dari proses pendidikan dan pengajaran di sekolah dan universitas. Sebagai institusi pendidikan, museum dapat menjadi agen yang membantu masyarakat menjadi lebih baik. Pameran museum dapat berfungsi mendukung berbagai program yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat misalnya yang berkaitan dengan kesehatan, tentang pemanfaatan teknologi atau perlunya menjaga lingkungan hidup. Eksibisi yang dapat menumbuhkan kesadaran seperti itu dapat menjadikan museum sebagai tempat belajar dan pencerahan yang
Universitas Indonesia
30
bermanfaat bagi kehidupan masyaarakat. Dengan demikain, museum dapat menjadi agen perubahan yang membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Dalam menjalankan perannya di bidang pendidikan, museum tidak dapat bertahan dengan paradigma lamanya. Setelah seperempat abad memfokuskan diri pada peran tradisionalnya seperti mengumpulkan koleksi, konservasi, tugas-tugas kurator, penelitian dan komunikasi, museum harus lebih fokus di bidang pendidikan. Konfrensi ICOM di Grenoble 1971 dalam tema The Museum in the Service of Man, Today and Tomorrow, mengeluarkan pernyataan bahwa sekarang museum harus memberikan penekanan pada peran potensialnya di masyarakat, di bidang pendidikan dan kebudayaan, sehingga fungsi tersebut dapat dilihat sebagai fungsi pertama dan utama dalam memberikan pelayanan kepada seluruh umat manusia (van Mensch, 1992). Museum dan galeri mempunyai karakter pendidikan yang fundamental, keduanya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman (Hooper-Greenhill, 1996: 140). Akan tetapi, Bentuk pembelajaran yang ditawarkan museum berbeda dengan yang ditawarkan oleh sekolah. Pembelajaran di museum dan galeri lebih berorintasi pada proses daripada berorientasi pada hasil. Tidak ada silabus yang harus diikuti; aktivitas pembelajaran dapat dieksplorasi seluas-luasnya dan melalui pengalaman langsung (Hooper-Greenhill,
1996:
142).
Ciri-ciri
yang
dimiliki
museum
ini
memperlihatkan bahwa bentuk pendidikan yang diberikan oleh museum adalah pendidikan informal. Sebagai institusi pendidikan informal museum dapat memberikan nilai tambah bagi pendidikan formal di sekolah. Museum dapat menawarkan situasi belajar yang menyenangkan melalui berbagai objek yang disajikannya. Di museum anak-anak melalui penyajian evokatif dapat merasakan lingkungan asli tempat objek itu berada. Museum juga dapat memberi sensasi belajar yang berbeda bila pengunjung diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan objek yang disajikan. Penyajian eksibisi seperti ini memungkinkan pengunjung untuk belajar aktif melalui objek yang disajikan museum.
Universitas Indonesia
31
Pendidikan di museum juga tidak terbatas hanya untuk satu kelompok umur tertentu. Museum dapat menjadi tempat yang ideal mulai dari anak-anak usia prasekolah hingga pensiunan. Setiap orang yang datang ke museum memiliki kesempatan secara terbuka untuk berkunjung dan berkomunikasi dengan orang lain (dengan cara yang berbeda bila berkunjung ke teater atau konser) (Boylan e.d., 2004: 119). Ini artinya museum dapat memberikan pengalaman yang berbeda bagi siapa pun. Termasuk bagi kelompok pengunjung siswa untuk dapat merasakan pengalaman belajar yang berbeda dengan lingkungan belajar yang dialaminya di sekolah. Pengalaman dan pendidikan yang dapat dirasakan siswa di museum berbeda dengan yang terjadi di sekolah, karena secara fundamental museum sangat tergantung pada “objek (benda)” untuk memberikan pendidikan, sementara sekolah menggunakan “kata-kata (buku)” sebagai media pendidikan. Objek yang disajikan lewat eksibisi di museum memungkinkan pengunjung untuk langsung bertatap muka dengan berbagai benda asli yang mungkin terdapat dalam bukubuku pelajaran dan dijelaskan oleh guru di kelas. Ini artinya pengunjung dapat belajar secara tiga dimensi di museum dengan melihat, merasakan, memegang dan lain sebagainya. Hal lain yang menjadi karakteristik museum sebagai lembaga pendidikan informal adalah bahwa proses belajar di museum haruslah menyenangkan. Karena tidak ada sama sekali ikatan formal antara museum dan pengunjung, maka bila yang disajikan di museum tidak menarik atau tidak sesuai dengan yang diharapkan, pengunjung dapat berlalu begitu saja dari museum. Untuk itu museum harus menjadi tempat pembelajaran sekaligus membuat pengunjungnya terhibur atau gembira. Jadi, museum adalah tempat yang paling ideal sebagai wadah kegiatan “edutainment” (education = pendidikan sekaligus entertainment= hiburan) (Tanudirjo, 2008: 16). Edutainmen di museum, meskipun harus ditampilkan, namun hanya digunakan sebagai metode pembelajaran, sehingga semua pengetahuan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik dalam situasi yang menyenangkan (Hooper-Greenhill, 1994: 140).
Universitas Indonesia
32
2.2 Teori Pendidikan di Museum Hal yang penting disadari oleh pengelola museum adalah bagaimana interaksi yang terjadi antara pengunjung dengan koleksi dapat membuat pengunjung belajar. Lalu bagaimana pengalaman masa lalu yang dimiliki pengunjung berinteraksi dengan pengalaman baru di museum, sehingga pengunjung dapat memberikan makna terhadap apa yang dialaminya di museum. Untuk membahas hal ini menurut Hein (1998: 14) museum harus mengadopsi teori pendidikan untuk menjelaskan eksibisi museum, tata pamer dan suasana pendidikan di museum serta pesan yang akan disampaikan kepada pengunjung. Pembahasan tentang teori pendidikan berkait dengan tiga hal yang penting yaitu teori pendidikan, teori belajar serta aplikasi dari konsep bagaimana orang belajar dan apa yang dipelajarinya. Pembahasan teori pendidikan dan teori belajar diperuntukkan untuk membuktikan apakah museum merupakan institusi pendidikan, sementara yang ketiga menentukan bagaimana teori digunakan dalam praktiknya (Hein, 1998: 16). Untuk mempermudah pembahasan tentang teori pendidikan terlebih dahulu dibutuhkan pembahasan tentang teori pengetahuan. Teori pengetahuan sangat erat kaitannya dengan teori pendidikan, karena pendidikan berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan. Untuk itu, pertanyaan yang paling mendasar dalam teori pendidikan adalah bagaimana pengetahuan diterima oleh pembelajar. Sepanjang sejarah filsafat perdebatan tentang apakah pengetahuan itu hingga kini masih berlangsung. Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua pandangan. Pertama adalah pandangan dari pemikir filsafat idealisme. Menurut pandangan ini pengetahuan hanya ada di dalam pikiran orang dan tidak berkaitan dengan sesuatu yang yang ada di luar. Hal ini mengakibatkan tidak ada gagasan, tidak ada generalisasi, tidak ada hukum alam kecuali yang ada dalam pikiran manusia yang menciptakan dan mempertahankan pandangannya (Hein, 1998: 17). Pandangan ini memusatkan diri pada kemapuan mental yang dimiliki manusia sebagai faktor kunci dalam menerima dan mengembangkan pengetahuan. Berkeley, seorang filsuf Inggris yang terkenal, berpendapat bahwa tidak akan ada kata-kata pohon tumbang di hutan jika tidak ada satu pun yang
Universitas Indonesia
33
mendengarnya (dikutif di dalam Hein, 1998: 17). Pandangan ini kemudian digunakan oleh kaum konstruktivis radikal seperti von Glasersfeld yang menyatakan bahwa apa yang dapat kita lakukan di dalam dunia eksperimental, merupakan cara untuk menangani objek yang kita sebut fisik dan hal ini dapat digunakan untuk memikirkan konsep-konsep abstrak (Hein, 1998: 17). Pandang kemudian menjadi konsep dasar teori pendidikan konstruktivis yang menyatakan bahwa pengatahuan berada di dalam diri manusia. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai cara untuk mengetahui realitas absolut, karena makna tentang realitas diambil berdasarkan pada pengetahuan yang telah dimiliki oleh penerimannya. Dengan demikian makna sesuatu itu ada hanya melalui realitas dari dunia eksperimental dan tidak melalui ontologi." (Hein, 1998: 17). Pandangan kedua tentang pengetahuan adalah yang dinyatakan oleh kaum realis. Menurut pandangan filsafat realis pengetahuan berada di luar individu, sehingga pengetahuan tidak tergantung pada individu. Pandangan realis ini diformulasikan oleh Harre dan kemudian digunakan untuk mengkritik konstruktivisme dalam pendidikan oleh Osborne. Menurut Osborne tidaklah masuk akal bila menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah hanya berasal dari pemikiran individu saja apalagi jika pemikiran ilmiah harus dikaitkan dengan perilaku “riil” dari objek yang ada di dunia (dikutip dari Hein, 1998:17). Oleh karena itu, lebih lanjut Osborne mengemukakan konsep ”posisi realis sederhana” (modest realist position) yang mendukung eksistensi keberadaan objek yang ralatif stabil dalam penelitian ilmiah, sehingga mempertegas bentuk dari konsepsi pengetahuan pada manusia dan perubahan yang terjadi pada teori dan tentang konsep teoritis (Hein, 1998: 17). Ini artinya eksistensi mental manusia amat tergantung pada objek. Kemampuan berpikir hanya digunakan untuk menerima keberadaan objek yang dianggap relatif stabil, sehingga didapatkan pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu objek. Oleh karena, menurut pandangan ini, pengetahuan terbebas dari orang yang belajar. Bila diilustrasikan dengan kontinum, maka posisi masing-masing pandangan tersebut akan tampak seperti gambar berikut :
Universitas Indonesia
34
Pengetahuan terbebas dari yang belajar (realisme)
Teori Pengetahuan Gambar 3.1.
Pengetahuan berada di dalam pikiran, dibentuk oleh yang belajar
Gambar 2.2 Kontinum Teori Pengetahuan (Sumber : Hein, 1998: 18) Tampak bahwa pada di sisi kiri merupakan posisi dari realis dan di sisi kanan adalah posisi dari idealis. Pandangan yang berkaitan dengan teori pengetahuan di atas akan terkait dengan teori pendidikan yang akan digunakan. Oleh karena itu, dalam menentukan teori pendidikan yang akan diaplikasikan oleh museum, hal yang perlu dipertimbangkan pengelola museum adalah bagaimana museum menentukan benda yang akan dikoleksinya dan bagaimana benda-benda itu dipamerkan? Apakah museum dalam menentukan misinya memilih cara menyampaikan kebenaran yang terbebas dari pengalaman masa lalu dan kebudayaan pengunjungnya? Apakah museum berada pada posisi menentukan bahwa pengetahuan itu relatif, dipengaruhi oleh kebudayaan yang harus dieksplanasi dan diiterpretasikan, tergantung pada situasi? (Hein, 1998: 19). Jika museum berada pada posisi realis, maka pandangan yang menentukan adalah bahwa pengetahuan terbebas dari orang yang belajar, sehingga fokus dari kebijakan pameran berkaitan dengan informasi yang melekat pada koleksi yang dipamerkan. Kebijakan pameran seperti ini banyak digunakan dalam museum ilmu pengetahuan (science museum) yang didesain untuk mengilustrasikan kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan. Koleksi pada museum ini disusun berdasarkan pada subjek ilmu pengetahuan, seperti ilmu kimia, fisika, biologi, dan lain sebagainya. Cara penyajian dalam eksibis ditata mirip dengan penulisan buku-buku teks ilmu pengetahuan dari pandangan positifis (Hein, 1998: 20). Subjek buku susunannya diawali dengan hal yang sederhana atau gagasan yang penting, kemudian subjek dikembangkan langkah demi langkah sampai pada elemen yang paling sulit diletakkan pada bab terakhir. Dalam pandangan realis yang terpenting adalah susunan dari struktur subjeknya. Dengan demikian
Universitas Indonesia
35
susunan pengetahuan tidak ditentukan oleh aktivitas pemikiran manusia (Hein, 1998: 20). Sementara pada pandangan idealis yang mengarah pada sisi kanan dari kontinum mempunyai kecenderungan yang berbeda. Pengelola museum dalam prespektif idealis akan mempertimbangkan ketertarikan orang yang menyaksikan pameran atau makna koleksi yang dibuat oleh orang yang melihatnya. Oleh karena itu, kurator yang menggunakan perpektif idealis tidak menyajikan makna objek yang disajikan dari realitas eskternal, tetapi hasil dari interpretasi yang diambil dari objek itu sendiri, bukan dari kurator atau pengunjung. Kecenderungan yang akan muncul adalah pameran yang memungkinkan pengunjung untuk menggambarkan berbagai kesimpulan dari interaksi mereka dengan koleksi yang dipamerkan tergantung pada pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh masing-masing pengunjung (Hein, 1998: 20). Konsep kontinum juga dapat diterapkan dalam pembahasan teori belajar yang dapat diaplikasikan di museum. Di ujung kontinum pada sisi sebelah kiri teori belajar memperlihatkan penyerapan transmisi (transmission-absorption) gagasan ketika proses belajar terjadi (Hein, 1998: 21). Mereka melakukan proses belajar sedikit demi sedikit, langkah demi langkah, menambah satu persatu hasil transmisi informasi ke dalam pengetahuannya. Model seperti ini mirip yang dilakukan di sekolah tradisional dimana guru dalam proses pengajaran mengikuti langkah demi langkah instruksional yang perlu disampaikan kepada siswa. Sementara di ujung kontinum pada sisi sebelah kanan teori belajar didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakatlah yang membentuk pengetahuan (Hein, 1998: 22). Prespektif ini menekankan pada partisipasi aktif dari pemikiran pembelajar. Oleh karena itu, proses belajar tidak sesederhana seperti menambahkan sesuatu ke dalam pikiran seseorang tetapi merupakan proses transformasi pada seseorang yang berperan aktif dalam belajar dan berkaitan dengan memahami sesuatu yang berada di luar fenomena menjadi sesuatu yang dapat diterima pikiran (Hein, 1998: 22.
Universitas Indonesia
36
Belajar adalah proses peningkatan, penambahan sedikit demi sedikit pikiran reaktif (pasif)
Teori Belajar Gambar 3.2
Belajar adalah proses aktif untuk merestrukturisasi pikiran
Gambar 2.3 Kontinum Teori Belajar (Sumber : Hein, 1998: 23)
Menurut pandangan Hein (1998: 25) dua kontinum yang dijelaskan di atas dapat digambarkan dalam bentuk ortagonal sehingga memperlihatkan empat bidang. Masing-masing bidang menjelaskan keterkaitan teori pendidikan dan teori belajar (Gambar 3.3). Keterkaitan tersebut dapat digunakan untuk melihat bagaimana penerapan teori pengetahuan dan teori belajar di museum. Melalui penerapan tersebut akan tampak karakteristik dari masing-masing museum.
Pengetahuan berada di luar yang belajar
T e o r i Didaktik Ekspositori Belajar Tahap demi tahap, bertambah sedikit demi sedkit
Teori StimulusRespon
Diskoveri
P e n g Belajar e t a Konstruktivisme h u a n
Yang belajar membangun Pengetahuannya
Semua pengetahuan di bangun oleh yang belajar secara personal dan sosial
Gamabar 2.4 Teori Pendidikan (Sumber: Hein, 1998: 25)
Universitas Indonesia
37
2.2.1. Karakteristik Museum dalam Teori Pendidikan Didaktik Ekspositori Diagram sebelah kiri atas, yaitu teori pendidikan didaktik ekspositori telah dipraktikkan secara luas dikalangan pendidikan sehingga orang dapat belajar subjek akademis, bahasa, dan keterampilan (Hein dan Alexandra, 1998: 33). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan didaktik eskpositori merupakan representasi pembelajaran tradisional di sekolah. Sekolah pada umumnya melakukan pembelajaran didasarkan pada struktur subjek, dan guru menyampaikan informasi kepada siswa tahap demi tahap. Guru menyusun pelajaran, didasarkan pada struktur subjek kemudian mengajarkannya pada murid (Hein, 1998: 25-26). Dengan demikian, tugas guru di sini adalah menjelaskan prinsip-prinsip belajar, memberikan contoh-contoh untuk mengilustrasikan prinsip-prinsip tersebut. Agar dapat lebih dipahami, guru dapat mengulang beberapa bagian penting sehingga tertanam ke dalam pikiran pembelajar. Pendekatan pendidikan didaktik ekspositori dikembangkan dari beberapa pakar psikologi yang menjadi pendukung pendekatan behaviorisme. Nama seperti Edwin Thorndike (1874-1949) merupakan orang yang paling berpengaruh dalam memperjuangkan pandangan behavioris dalam pendidikan. Selanjutnya, Robert M Gagne mengembangkan model pembelajaran yang disusun dari atas ke bawah atau top down secara hirarkis (Hein dan Alexandra, 1998: 34). Model seperti ini disusun untuk mendapatkan rangkaian yang rasional, isi dari materi yang akan diajarkan disusun dalam urutan mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Dengan demikian, materi yang akan diajarkan harus dibagi menjadi unit-unit kecil, sehingga setiap unit dapat dipelajari (Hein, 1998: 26). Selanjutnya taksonomi Benjamin Blom yang membuat tingkatan belajar mulai dari tingkat menggambarkan dan membuat penjelasan sampai pada tingkat menganalisis, menggabungkan dan mengavaluasi (Hein dan Alexandra, 1998: 34). Sementara itu, penelitian di museum yang menggunakan karakteristik observasi terhadap perilaku telah dilakukan pada tahun 1920-an dan tahun 1930an. Penelitian tersebut dilakukan oleh Edward Robinson, Arthur Melton dan peneliti lainnya dari American Association of Museum (AAM). Penelitian ini menguji kekuatan daya tarik (attraction) dan kekuatan menahan perhatian (Holding power) dari pameran dan respon pengunjung terhadap tes yang
Universitas Indonesia
38
dilakukan (Hein dan Alexandra, 1998: 34). Pada tahun 1930-an penelitian dilakukan di museum ilmu pengetahuan dan museum sain yang menyimpulkan bahwa aktivitas belajar di kelas lebih sukses menghasilkan jawaban benar daripada kunjungan ke museum yang kurang terstruktur (Hein dan Alexandra, 1998: 35). Menurut Hein pendidikan didaktik ekspositori, maka bentuk aplikasi belajar di museum disusun berdasarkan bebarkarakteristik sebagai berikuti : 1. Pameran dijadikan sebagai contoh, dengan awal dan akhir yang jelas, dan dengan susunan yang jelas; 2. Komponen didaktik (label, panel) menjelaskan apa yang harus dipelajari dari pameran; 3. Subjek ditata secara hirarkis mulai dari yang simpel hingga yang kompleks; 4. Program
untuk
sekolah
menggunakan
kurikulum
sekolah
tradisional, disusunan berdasarkan subjek dari yang sederhana hingga yang kompleks; 5. Isi yang dipelajari dari program pendidikan mempunyai tujuan pembelajaran yang spesifik (Hein, 1998: 27-28)
Karakteristik pada poin pertama memperlihatkan bahwa dalam teori didaktik ekspositori konsep penyajian objek di museum ditata secara statis. Penyajian
yang
statis
mengakibatkan
pengunjung
harus
mengandalkan
penglihatannya saja untuk berinteraksi dengan koleksi. Bagi anak-anak bentuk penyajian yang statis sangat membosankan. Anak-anak cenderung menyukai bentuk penyajian yang dinamis yang memungkinkan mereka untuk bisa bermain, menyentuh atau mengeksplorasi objek (Baxi et.al., 1973 :75). Dengan demikian, anak-anak diberi kesempatan untuk berpartisipasi terhadap penyajian yang disajikan dan menemukan sendiri hal-hal yang menarik menurut perhatian mereka. Dengan sajian yang statis dibutuhkan penjelasan yang memadai terhadap eksibisi yang disajikan. Akibatnya komponen didaktik dalam bentuk label dan panel (poin kedua) harus disajikan dengan sangat lengkap. Dengan demikian
Universitas Indonesia
39
konsep yang disampaikan menjadi sangat jelas. Akan tetapi, penyajian informasi melalui label dan panel yang lengkap seperti ini akan dirasa berat bagi anak-anak. Kemampuan anak-anak untuk menerima informasi melalui panel atau label masih sangat terbatas, apalagi isi informasi mengandung istilah yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya. Untuk itu, model penyajian panel dan label seperti ini hanya cocok bagi orang dewasa atau orang yang pedidikannya memadai, karena orang dewasa menganggap komponen didaktik sebagai sesuatu yang penting dan perlu (Baxi et.al., 1973: 75). Poin ketiga, memperlihatkan sistem penyajian yang hirarkis dengan mengikuti pola penyajian dari mulai yang simpel hingga yang kompleks. Di satu penyajian seperti ini memiliki kelebihan, yaitu dapat memberi gambaran yang utuh tentang suatu konsep. Namun, di sisi lain memiliki kelemahan, karena museum sebagai institusi pendidikan informal memberikan pilihan kepada pengunjung untuk menentukan akan tetap melihat penyajian yang disajikan secara urut atau mengabaikan urutan itu, atau bahkan kemudian meninggalkan pameran begitu saja, tidak meneruskan menyaksikan eksibisi. Ini artinya bila sebagian objek yang disajikan tidak menarik, baik dari segi kualitas maupun dari sudut penataanya, sehingga pengunjung bisa saja memutuskan untuk tidak meneruskan melihat pameran yang disajikan kemudian beralih pada penyajian yang lainnya atau bahkan meninggalkan pameran begitu saja. Akibatnya konsep yang sengaja dibangun dengan sistem yang hirarkis tidak dapat memberikan pemahaman yang utuh kepada pengunjung. Dengan demikian kualitas objek yang didukung dengan cara penyajian yang menarik harus menjadi pertimbanan utama bagi museum jika ingin pengunjung tetap mengikuti alur cerita yang diharapkan. Museum yang menerapkan teori ini dalam eksibisinya memiliki kemiripan dengan
pembelajaran
pada
sekolah-sekolah
tradisional.
Apalagi
dalam
penyusunan program-program edukasinya museum menggunakan kurikulum sekolah tradisional sebagai acuannya. Hal ini tidak berbeda dengan yang dilakukan di museum, yaitu menata eksibisi berdasarkan konsep-konsep atau materi-materi yang ingin disampaikan melalui koleksi. Perbedaan yang mencolok antara museum dan sekolah adalah bahwa museum menggunakan visual tiga dimensi (melalui koleksi yang disajikan) sebagai sarana memberikan contoh
Universitas Indonesia
40
kepada anak-anak untuk memahami konsep. Di lain pihak, sekolah menggunakan buku sebagai sumber materi yang diajarkan kepada siswanya. Di samping itu, museum menggunakan panel dan label sebagi komponen didaktik untuk memberi penjelasan tentang objek yang disajikannya. Hal lain yang membedakan antara sekolah dan museum adalah, di museum proses pembelajaran tidak dilakukan di kelas, tidak ada guru yang mengajar. Meskipun museum mempunyai tenaga eduaktor, tetapi fungsinya mereka tidak sana dengan guru yang mempunyai otoritas penuh di kelas untuk menentukan materi yang diajarkan dan melakukan penilaian. Museum
ilmu
pengetahuan
alam
dan
museum
sejarah
banyak
menggunakan pandangan pendidikan didaktik ekspositori dalam penyajian eksibisi dan program edukasinya. Museum ilmu pengetahuan alam dan sejarah alam melakukan klasifikasi, dokumentasi, menyimpan dan menyajikan objeknya berdasarkan genus dan spesies (Hein dan Alexandra 1998: 40). Pada museum sejarah eksibisinya ditata secara kronologis, lalu pada museum seni yang dipamerkan dapat disajikan berdasarkan gaya atau asal negaranya. Di Indonesia penerapan penyajian eksibisi dengan menggunakan pendekatan pendidikan didaktik eskpositori bisa dijumpai hampir di seluruh museum negeri provinsi. Karakteristik seperti penyajian yang statis, penyajian objek untuk menjelaskan konsep ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan menggunakan label dan panel untuk menjelaskan objek yang disajikan menjadi bentuk penyajian yang tetap dipatuhi oleh pengelola museum negeri provinsi hingga sekarang.
2.2.2. Karakteristik Museum dalam Teori Pendidikan Stimulus Respon Kuadran yang ada di sebelah kiri bawah pada gambar 3.3 memperlihatkan posisi teori belajar stimulus respon. Prespektif dari pendidikan stimulus respons hampir mirip dengan teori didaktik ekspositori, hanya saja prespektif ini menolak gagasan bahwa setiap bagian dari materi harus dikuasai (Hein dan Alexandra, 1998: 33). Oleh karena itu, prespektif ini lebih menekankan pada metode belajar daripada isi yang diajarkan. Formulasi belajar stimulus respon merupakan inti awal dari pendekatan psikologi behavioris (Hein, 1998: 29). Teori stimulus respon
Universitas Indonesia
41
(behaviorisme) merupakan pendekatan yang dominan digunakan dalam pendidikan formal (Macdonald ed., 2006: 345). Oleh karena itu secara teoretis stimulus respon lebih banyak membahas tentang kemajuan pembelajaran di sekolah yang diukur dengan menggunakan tes tertulis atau hafalan dari siswa yang belajar. Menurut pandangan teori ini pengetahuan dan belajar setingnya dapat diisolasi dari konteks kehidupan nyata tanpa mengurangi makna belajar (Macdonald ed., 2006: 345). Landasan pemikiran teori ini adalah bahwa siswa atau pengunjung museum berada dalam posisi pasif dalam menerima dan menyerap informasi. Museum yang menggunakan teori stimulus respon memiliki karakteristik hampir sama dengan pemeran yang menggunakan teori didaktik ekspositori. Menurut Hein karakteristik tersebut adalah : 1. Komponen didaktik (label, panel) menjelaskan apa yang akan dipelajari dari pameran; 2. Pameran menjadi percontohan, dimana di bagian awal dan akhirnya jelas, dan disusun berdasarkan tujuan padagogi. (Hein, 1998: 29)
Pameran berdasarkan stimulus respon akan melakukan pengulangan kesan agar dapat menstimulus pembelajar dan memberikan penghargaan bagi yang memberikan repon sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bentuk pameran interaktif dengan menekan tombol bentuk penghargaan tampak dari ganjaran positip terhadap jawaban benar dengan jawaban seperti “Ya Jawaban Anda Benar.” (Hein dan Alexandra, 1998: 40). Model pendekatan ini banyak dipakai oleh museum di negara-negara yang beridiologi sosialis. Oleh pihak Barat museum-museum di negera-negara terebut dituduh hanya berisi propaganda yang tujuannya adalah untuk indoktrinasi, bukan untuk pendidikan (Hein, 1998: 30). Kontribusi dari pendidikan stimulus respon berasal dari pameran yang memberikan pengujian pemahaman kepada pengunjung sebelum berlanjut pada objek atau pengalaman berikutnya. Bentuk dari penghargaan atau imbalan menjadi salah satu metode pengujian yang dapat mengukur pemahaman
Universitas Indonesia
42
pengunjung. Untuk itu, setiap komponen pameran diciptakan untuk mendukung jawaban benar dan berusaha mengurangi kemungkinan kesalahan (Hein dan Alexandra, 1998: 40). Meskipun jawaban yang diberikan pengunjung mungkin benar, namun pada umumnya tidak merubah kesalahan konsepsi mereka tentang sesuatu fenomena.
2.2.3. Karakteristik Museum dalam Teori Pendidikan Belajar Diskoveri Bergeser pada kuadran sisi kanan atas, maka akan tampak teori pendidikan belajar diskoveri. Terdapat perbedaan mencolok antara posisi pada kuadran ini dengan sisi sebelah kiri kuadran, karena pada kuadran ini penekanannya difokuskan pada orang yang belajar bukan pada objek yang dipelajari. Gagasan pokok dari teori ini adalah belajar merupakan proses aktif. Belajar aktif sering diterjemahkan sebagai aktivitas fisik yang berasosiasi dengan belajar (Hein, 1998: 30). Para pakar belajar diskoveri berpendapat dengan manarik pembelajar untuk beraktivitas secara spesifik akan memberikan rangsangan sehingga hasil pendidikan dapat dicapai karena pembelajar akan belajar konsep yang kita ajarkan (Shulman dan Keislar dikutif dalam Hein, 1998: 30). Interaksi fisik itu bisa berkaitan dengan berbagai hal seperti menyusun sesuatu dari komponenkomponen lepas, menyusun puzzel atau menggunakan berbagai benda yang kita jumpai. Proses yang penting dalam kegiatan belajar aktif adalah terjadinya aktivitas mental yang mungkin terangsang oleh aktivitas fisik yang dilakukan, sehingga proses belajar bisa terjadi. Jika pembelajar diberikan data yang memadai, tentang fenomena dunia maka mereka akan sampai pada kesimpulan yang benar (Hein dan Alexandra, 1998: 35). Proses belajar diskoveri dapat diaplikasikan pada semua bentuk pendidikan. Proses belajar aktif bisa terjadi diberbagai tempat sepanjang bentuk partisipasi aktif menjadi bagian yang dilakukan oleh pembelajar. Oleh karena itu, pendukung teori belajar diskoveri berpendapat bahwa kombinasi berbagai benda yang patut disajikan akan membuat pembelajar untuk belajar. Pembelajar akan mendapatkan wawasan yang membawa mereka ke arah yang lebih mendalam untuk memahami konsep dasar seperti fisika, sejarah atau seni (Hein, 1998: 32).
Universitas Indonesia
43
Menurut Hein karakteristik museum yang menggunakan teori belajar diskoveri adalah sebagai berikut: 1. Pemeran dapat dieksplorasi, mungkin pada sebagian atau pada seluruh komponen pameran; 2. Lebih banyak menggunakan cara belajar aktif; 3. Komponen didaktik (label, panel) yang menyediakan jawaban atas pertanyaan diserahkan kepada pengunjung untuk menemukannya sendiri; 4. Pengunjung dapat memiliki interpretasi sendiri tentang kebenaran yang mungkin bertentangan dengan interpretasi pameran; 5. Program untuk sekolah memungkinkan murid untuk aktif sehingga membuat mereka dapat menerima kesimpulan; 6. Workshop disediakan bagi pengunjung dewasa yang membutuhkan keterangan dari pakar dan berbagai bentuk bukti lainnya untuk melengkapi pemikiran dan perkembanganya sehingga partisipan dapat memahami makna benda yang sebenarnya. (Hein, 1998: 33)
Prinsip belajar diskoveri terjadi sepanjang museum memiliki penyajian atau galeri yang objeknya dapat dieskplor dan pengunjung dapat melakukan eksperimen terhadapnya. Agar Proses eksplorasi dan eksperimen itu dapat berjalan, maka terkadang dibutuhkan bimbingan tenaga edukator atau staf yang terlatih, sehingga pengunjung mendapat arahan yang jelas tentang prosedur yang harus diikuti. Melalui proses ini pengunjung diharapkan bisa mendapatkan pengetahuan dan pengalaman. Kombinasi antara poroses belajar aktif dan teori pendidikan memberi kesempatan pengunjung untuk menemukan kebenaran dengan cara menemukan melalui dirinya sendiri (finding out for herself) melalui belajar melakukan (Learn through doing) (Hein, 1998: 31). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka desain pameran yang didasarkan pada teori diskoveri bisa disusun secara linier, sehingga tersusun mulai dari awal hingga akhir. Untuk itu, jika seluruh pameran bertujuan untuk membuat pengunjung dapat menarik kesimpulan yang benar, penempatan benda sebagai komponen pameran sebaiknya mempunyai panduan (Hein, 1998: 33). Jika
Universitas Indonesia
44
penyajian yang disajikan tidak saling terkait, maka tidak dibutuhkan arahan khusus dalam pemeran. Belajar diskoveri merupakan cara yang sangat efektif untuk diajarkan kepada pembelajar yang ingin belajar prinsip-prisip ilmu pengetahuan dengan mengobservasinya langsung objek atau fenomena yang akan dipelajari. Sebagai contoh, belajar tentang gravitasi dengan melihat benda yang jatuh setelah di lempar ke atas seberapapun berat benda tersebut. Ilmu pengetahuan akan menjadi sesuatu yang menarik karena bukan sekedar keterangan yang tertulis di buku. Dengan cara ini belajar ilmu pengetahuan bisa dikaitkan dengan apa yang mereka alami sehari-hari, karena di museum ilmu pengatuhuan menjadi sesuatu yang dapat dilihat, didengar, disentuh, dipahami dan digunakan oleh pengunjung. Fokus dari teori ini bukan pada isi, sehingga desain eksibisi dirancang untuk mengakomodasi berbagai gaya dan tipe belajar. Teks pada label dan panel sengaja dibuat dengan memunculkan pertanyaan, yang mendorong pengunjung untuk mencari sendiri jawabannya. Selain itu jawaban yang didapatkan di antaranya juga digunakan untuk menilai kebenaran dari kesimpulan yang dibuat oleh pengunjung. Untuk itu, desain pameran interaktif yang didasarkan pada belajar diskoveri ditata dengan tujuan untuk mengajak, menantang dan menstimulasi pengunjung untuk membantu mereka mecapai pemahaman baru yang diharapakan (Hein dan Alexandra, 1998: 42). Kadang-kadang pengunjung meniru pengalaman ilmiah melalui eksperimen yang dilakukan oleh penemu atau memainkan peran seperti mereka, sehingga dapat menstimulasi suatu peristiwa sejarah. Diharapkan dengan cara tersebut pengunjung dapat mencapai outcome yang sejak awal diharapkan dicapai oleh mereka. Namun belajar diskoveri tidak sesederhana seperti yang diperkirakan. Keliru bila berpandangan bahwa dengan posisi pengunjung untuk belajar secara aktif akan selalu menghasilkan proses belajar. Pernyataan ini muncul karena dalam menata eksibisi, kesimpulan dari konsep yang disajikan sebenarnya telah ditentukan oleh perancang eksibisi (Hein, 1998: 31). Oleh karena itu, meskipun pengunjung mempunyai kesempatan menentukan interpretasinya sendiri, namun kecil kemungkinan pengunjung dapat melakukan interpretasinya sendiri, karana
Universitas Indonesia
45
penyajian yang disajikan mengarahkan mereka pada kesimpulan yang sama dengan yang dibuat oleh perancang pameran. Dengan demikian, belajar diskoveri kurang mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang terjadi dalam proses belajar aktif. Meskipun pengunjung diberi kebebasan untuk mengeksplorasi dan melakukan eksperimen tetapi pada akhirnya yang menentukan outcome dari proses belajar adalah orang lain. Akibatnya kesempatan pembelajar untuk mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman baru tidak ditentukan oleh pembelajar sendiri tetapi oleh orang lain (Hein, 1998: 31). Hal ini jelas mengabaikan betapa pentingnya hubungan antara belajar aktif dengan kesempatan untuk mengkonstruk pengetahuan dan pengalaman yang dilakukan sendiri.
Apalagi
bila
kita
menggunakan
kuadran
pada
Gambar
3.3,
memperlihatkan hubungan antara posisi realis dan teori belajar aktif. Kecenderungan yang tampak adalah bila semakin mengarah ke sisi kanan kuadran, maka belajar diskoveri akan semakin sedikit memberi kemungkinan kepada pengunjung untuk mengkonstruk pengetahuan dan pengalamannya sendiri. Selain itu, beberapa pakar membuat perbedaan antara “D besar” untuk diskoveri dan penemuan secara umum (Hein, 1998: 32). Diskoveri dengan “D” besar mengacu pada gagasan besar, konsep-konsep besar dalam peradaban manusia, seperti hukum gravitasi, hukum Archimides, dan lain sebagainya. Namun belajar diskoveri tidak diarahkan untuk dapat melakukan generalisasi atas fenomena-fenomena besar yang terjadi di dunia. Karena terlalu naif bila pengunjung melalui eksperimen yang dilakukannya dengan menggunakan perangkat sederhana seperti yang pernah digunakan oleh penemu besar, tanpa mendapat dukungan informasi tentang pemikiran-pemikiran para penemu tersebut, mampu memahami gagasan-gagasan yang pernah dilahirkan oleh mereka. Oleh karena itu, terlalu berlebihan bila pembelajar dapat menarik kesimpulan yang diharapkan hanya dengan melakukan suatu eksperimen atau menyentuh berbagai objek yang disajikan dalam pameran. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dari pendekatan diskoveri adalah apakah meteri yang tersedia relevan dengan taraf kemampuan pengunjung. Karena apabila pengetahuan dan pengalaman pengunjung masih terbatas, maka mereka tidak memilik referensi yang cukup untuk menarik kesimpulan terhadap
Universitas Indonesia
46
penyajian yang disajikan. Dengan demikian, dalam menentukan penggunaan teori pendidikan belajar diskoveri museum harus terlebih dahulu menentukan target audien yang menjadi sasarannya agar proses belajar yang diharapkan dapat efektif.
2.2.4. Karakteristik Museum dengan Teori Pendidikan Konstruktivis Kuadran terakhir, yang berada pada sisi kanan bawah adalah pendekatan konstruktivis. Pada prinsipnya ada beberapa konponen penting dalam pendekatan ini. Menurut Hein prisnip tersebut adalah: Pertama pemahaman bahwa saat belajar membutuhkan partisipasi aktif dari pembelajar. Oleh karena itu, pameran menjadi sarana bagi orang yang belajar untuk menggunakan tangan dan pikirannya untuk berinteraksi, untuk mendapatkan kesimpulan, melakukan eskperimen dan menambah pemahamannya. Hal ini akan membuat mereka dapat menarik generalisasi tentang fenomena yang mereka pelajari. Kedua, pendekatan pendidikan konstruktivis mengharuskan kesimpulan yang diambil tidak divalidasi dengan standar kebenaran eksternal, tetapi oleh pembelajar itu sendiri. Gagasan validitas yang dibuat oleh kinstruktivis tidak tergantung pada kesesuaian dengan kebenaran objektif yang eksistensinya terpisah dari orang atau kelompok yang sedang belajar. (Hein, 1998: 34).
Dengan demikian, pameran konstruktivis akan memberikan kesempatan kepada pengunjungnya untuk mengkonstruk pengetahuannya. Eksebisi akan memberikan jalan kepada pengunjung untuk manarik kesimpulannya sendiri. Pandangan masing-masing pengunjung tidak akan sama dengan pandangannya kurator. Pameran konstruktivis akan tampak seperti mempresentasikan banyak prespektif, pengunjung memiliki kesempatan untuk menginterpretasikan objek, sehingga dimungkinkan banyak sudut pandang dan kebenaran mengenai objek yang dipamerkan. Pameran dengan pendekatan konstruktivis akan memiliki karakteristik sebagai berikut :
Universitas Indonesia
47
1. Akan memiliki banyak jalan masuk, tidak ada arah yang spesifik dari awal hingga akhir; 2. Akan banyak menyediakan cara belajar aktif; 3. Akan menampilkan banyak cara pandang; 4. Akan memungkinkan pengunjung untuk mengaitkan dirinya dengan objek (dan gagasan) melalui berbagai aktivitas dan pengalaman berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki mereka masing-masing; 5. Akan menyediakan pengalaman dan objek yang memungkinkan siswa dalam program untuk sekolah melakukan eksperimen, berbagai dugaan dan menarik kesimpulannya sendiri. (Hein, 1998: 35) Berdasarkan karakteristik yang dimilikinya museum menyediakan kombinasi antara belajar aktif dengan masing-masing pengunjung menciptaan maknanya sendiri (Hein dan Alexandra, 1998: 43). Karena museum adalah institusi belajar informal, maka kehadiran pengunjung ke museum adalah atas keinginan sendiri. Selain itu museum juga tidak menentukan makna yang harus ditangkap. Hal ini membuat pengunjung benar-benar bebas dan merasa senang. Museum
yang
konstruktivis
memperbolehkan
pengunjung
untuk
berkeliling sesuai keinginan masing-masing dan bergerak dengan bebas di sana. Dis amping itu, pengunjung diperkenankan memilih sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya dan menemukan gagasan baru dengan sangat menyenangkan.
2.2.5 Pedagogi di Museum Teori belajar dan Teori pengetahuan adalah hal yang esensial dalam menentukan teori pendidikan. Namun pembahasan yang telah dilakukan di atas baru mencakup bagaimana melaksanakan pendidikan di museum. Sementara yang berkaitan dengan bagaimana melaksanakan aktivitias pendidikan yang wujudnya ada dalam teori belajar juga penting. Membahas pendidikan tanpa menyinggung teori mengajar sama artinya dengan pendidikan tanpa aktivitas belajar mengajar.
Universitas Indonesia
48
Teori mengajar berisi tentang strategi pedagogi yang merupakan penjelasan dari bagaimana proses belajar mengajar berjalan. Pedagogi
untuk
pendekatan
pendidikan
didaktik
eskspositori
memfokuskan diri pada subjek yang eksklusif, sehingga untuk mengajarkan sesuatu
harus
diawali
dengan
menganalisisnya
terlebih
dahulu
baru
dipresentasikan. Hal terpenting dalam pedagogi didaktik ekspositori adalah menemukan struktur yang esensial dari subjek. Proses itu dilakukan dengan mengetahui setiap unit yang paling mudah di pelajari. Ini artinya apa yang disajikan di dalam pameran lebih menekankan pada penyeberluasan subjek yang di dalamnya terdiri dari unit-unit pengetahuan. Pengertian-pengertian dari sudut pandang ilmu sebagai subjek lebih menonjol dibandingkan dengan realitas objek yang dipamerkan. Pedagogi untuk pendekatan pendidikan stimulus-repon tidak jauh berbeda dengan pendekatan didaktik eskpositori, tetapi penekanannya lebih kepada metode, bukan pada kesesuaian dengan pengetahuan eskternal yang harus diajarkan. Pendekatan ini bertujun untuk membentuk perilaku yang seragam sehingga metode yang digunakan dalam proses belajar adalah brain-washing atau indoktrinasi (Hein, 1998: 37). Museum
yang
menggunakan
padagogi
stimulus-respon
akan
mendeskripsikan isi pameran secara linear, menyusun komponen pameran sebagai pencontohan, menentukan sasaran belajar yang spesifik dan memperbanyak model, dimana metode lebih mendominasi tanpa mempertimbangkan referensi. Hal terpenting yang ada pada pameran adalah pesan yang ingin disampaikan kepada pengunjung diterima sesuai dengan apa yang diharapkan oleh museum dengan tanpa mempertimbangkan makna sebenarnya yang mungkin ada di dalam objek yang dipamerkan. Pedagogi pendekatan belajar diskoveri membutuhkan situasi belajar aktif sehingga
orang
yang
belajar
mempunyai
kesempatan
untuk
merubah,
mengeksplor dan melakukan eksperimen. Namun yang sering menjadi permasalahan adalah aktivitas fisik menjadi lebih dominan dibandikan dengan aktivitas pikiran. Untuk itu yang perlu dipersiapkan adalah bagaimana situasi belajar menjadi lingkungan yang cocok dan menantang individu yang belajar
Universitas Indonesia
49
untuk juga berpikir. Dalam pendekatan ini, lingkungan tersebut menjadi referensi bagi gagasan dan konsep yang ingin diajarkan. Untuk itu, semua aktivitas dan wawasan yang ada di dalam pameran harus didasarkan pada objek yang dapat menjadi referensi bagi gagasan dan konsep yang ingin disampaikan. Pedagogi dengan pendekatan konstruktivis memiliki kesamaan dengan diskoveri yaitu untuk memberi pengalaman yang dapat menstimulasi dan menantang proses berpikir. Namun pendekatan konstruktivis memberi perhatian pada skema dan gagasan yang sudah dimiliki oleh orang yang belajar. Untuk itu, hal yang perlu mendapat perhatian adalah pertanyaan tentang lingkungan apa saja yang berkaitan dengan pembelajar? Apakah mereka terbiasa dengan referensi, objek, gagasan atau aktivitas yang membuat mereka dapat memahami sebuah isu? (Hein, 1998: 38). Pada museum yang menggunakan konstruktivis sebagai pendekatan akan menjadikan museum sebagai sumber belajar seperti ensiklopedia atau katalog, bukan seperti buku pelajaran (Hein, 1998: 38). Dengan demikian pengunjung akan mempunyai kebebasan untuk memilih objek yang menjadi sasaran mereka. Untuk itu setiap gagasan yang akan disajikan di musem disusun secara linier untuk mempermudah pengunjung menangkap makna dari objek yang disajikan. Untuk memperluas kemungkinan proses menangkap makna pengunjung akan berhadapan dengan aktivitas yang berkaitan merubah, mengeksplor dan melakukan eksperimen terhadap objek yang disajikan. Pengalaman yang didapatkannya ini diharapkan dapat menjadi stimulan bagi siswa untuk belajar.
2.2.6
Museum Sebagai Institusi Pembelajaran Berdasarkan pembahasan teori pendidikan, teori belajar dan mengajar
yang telah dibahas sebelumnya tampak bahwa museum dalam menentukan kebijakan pameran harus membuat pertimbangan yang matang untuk menentukan bagaimana proses belajar dapat dilakukan di museum. Kuadran di sisi kiri bila dibandingkan dengan kondisi eksibisi yang telah ada sekarang wujudnya tercermin pada eksibisi museum tradisonal. Pengunjung pada museum tradisional tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas merubah, mengesplor dan melakukan eksperimen terhadap apa yang dipamerkan. Ini artinya, pengunjung
Universitas Indonesia
50
harus menerima begitu saja semua komponen yang disajikan dalam eksibisi. Meskipun pada pendekatan didaktif ekspositori didasarkan pada referensi subjek yang dilandasi pendekatan ilmu pengetahuan, namun yang disajikan tidak diikuti oleh aktivitas yang memungkinkan pengunjung untuk berinteraksi secara intensif dengan objek yang disajikan. Apalagi pendekatan dalam pendekatan stimulusrespon, pengunjung seperti dipaksa untuk menerima informasi yang disajikan melalui pengulangan gagasan yang disampaikan. Permasalahan yang muncul dengan pendekatan ini adalah bahwa proses belajar di museum tidak sama seperti proses belajar di sekolah. Karena pengunjung yang datang ke museum sebenarnya mempunyai kebebasan untuk terus menyaksikan eksibisi yang disajikan atau pergi ke pintu ke luar ketika merasa tidak tertarik dengan yang disajikan. Melihat kondisi seperti itu, maka penyajian museum tradisional tidak dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai tempat untuk belajar. Pendekatan yang dapat mengoptimalkan proses belajar melalui eksibisi adalah yang berada pada kuadran sisi kanan, karena pada kuadran ini anak-anak belajar secara aktif melalui aktivitas fisik yang berasosiasi dengan belajar. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah pada pendekatan diskoveri anak-anak diharapkan menemukan kesimpulan yang benar dari aktivitas belajar aktif. Kekurangan dari pendekatan ini adalah dalam validasi kebenaran menggunakan standar yang telah ditentukan oleh orang lain. Ini artinya standar kebenaran yang dibuat oleh orang lain menjadi satusatunya acuan dalam proses belajar. Kekurangan dari pendekatan ini kemudian dijawab oleh pendekatan konstruktivis. Dalam pendekatan konstruktivis di samping belajar aktif, prinsip penting yang menjadi pandangan pendekatan ini adalah kesimpulan pembelajar tidak divalidasi dengan standar kebenaran orang lain, tetapi eksistensinya berada pada pembelajar sendiri. Pembelajar meciptakan sendiri makna dari pengalaman yang didapatkan dari fenomena yang ada dihadapannya. Terdapat banyak bukti penelitian yang mendukung bahwa pengetahuan untuk membuka berbagai fenomena dapat mengarahkan orang untuk mengambil kesimpulan yang berbeda tergantung pada latarbelakang dan pengalaman masing-masing (Hein, 1998: 34). Dengan demikian istilah salah atau eror adalah kata-kata yang tidak digunakan oleh konstuktivis, karena kesimpulan tidak selalu berkaitan dengan bukti yang ada dihadapan pembelajar, tetapi juga
Universitas Indonesia
51
dipengaruhi oleh latarbelakang dan pengalaman masing-masing. Hal ini membuka kemungkinan objek dan aktivitas yang disajikan di dalam eksibisi bisa digunakan oleh semua kelompok umur, latarbelakang dan pengalaman.
2.3 Model Belajar Kontekstual Di Museum Belajar di museum tidak hanya berkaitan dengan apa yang akan diajarkan oleh museum kepada pengunjung. Akan tetapi juga berkaitan dengan makna apa yang akan dipilih oleh pengunjung dari pengalamannya di museum. Oleh karena itu, menurut Falk dan Dierking pertanyaan yang muncul adalah: Apa yang individu pelajari dari kunjungannya ke museum atau setelah melihat eksibisi atau setelah menghadiri kegiatan ceramah di museum? Atau pertanyaan yang lebih realistis, bagaimana museum, eksibisi dan kegiatan ceramah dapat memberi kontribusi terhadap apa yang diketahui, diyakini dan rasakan atau mampu dilakukan seseorang? (Falk dan Dierking, 2000: 13)
Permasalah yang kemudian muncul adalah bahwa proses belajar merupakan hasil akumulasi dari proses yang panjang, proses membentuk makna dan mencari hubungan diantara yang dipelajari. Dengan demikian pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah yang benar-benar dipelajari oleh pengunjung dari pengalamannya di museum. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, karena harus terlebih dahulu diketahui adalah siapa yang berkunjung ke museum, mengapa mereka berkunjung ke museum dan dengan siapa mereka berkunjung, apa yang mereka lihat dan lakukan di museum dan bagaimana semua faktor-faktor ini saling berinteraksi dan berhubungan (Falk dan Dierking, 2000: 13). Konsekuensi dari penggunaan teori konstruktivis yang bermuara pada free-choice learning memperlihatkan proses belajar yang terjadi di museum cenderung tidak linier dan didorong oleh motivasi dari pembelajar sendiri dan berkaitan dengan berbagai pilihan terhadap kapan, dimana dan apa yang dipalajari (Falk dan Dierking, 2000: 13). Saat itu terdapat satu model belajar yang cocok dengan proses belajar tersebut. Model ini telah lebih dari satu dekade dijadikan
Universitas Indonesia
52
sebagai kerangka berpikir untuk proses belajar yang berusaha mengakomodasi berbagai perbedaan dan kompleksitas yang ada di dalam proses belajar. Model tersebut bisa digeneralisasikan untuk semua museum yang menggunakan prespektif konstruktivisme. Model tersebut adalah Model Belajar Kontekstual (Contexstual Learning Model) (Falk dan Dierking, 2000: 10). Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan yang dapat memberikan gambaran holistik belajar yang dapat mengakomodasikan banyak sekali hal yang spesifik dan detail yang dapat memperkaya dan berhasil dalam proses belajar (Falk dan Dierking, 2000: 10). Model belajar kontekstual memandang bahwa semua situasi pembelajaran berada dalam serangkaian konteks (Falk dan Dierking, 2000: 10). Dengan kata lain, belajar bukanlah pengalaman abstrak yang dapat diisolasi dalam laboratorium tetapi terintegrasi dengan pengalaman yang terjadi dalam dunia nyata. Model Kontekstual berkaitan dengan tiga konteks yang saling tumpang tindih, yaitu : konteks personal (personal context), konteks sosiokultural (sociocultural context) dan konteks fisik (fisical context). Belajar adalah proses atau produk dari interaksi di antara ketiga konteks ini. Kekuatan Model Kontekstual tidak mereduksi kompleksitas menjadi hanya satu atau dua aturan yang sederhana tetapi mencakup dan mengorganisir kompleksitas sehingga dapat diatur dan dapat dipahami semuanya (Falk dan Dierking, 2000: 10). Oleh karena itu, Model Kontekstual lebih dapat mengakomodasi berbagai kondisi belajar, meskipun tidak seluruhnya. Ketiga konteks tersebut faktanya tidak satu pun yang berjalan secara stabil atau konstan (Falk dan Dierking, 2000: 11). Masing-masing komponen tersebut tidak pernah statis, setiap saat selalu mengalami perubahan. Oleh karena itu, pembelajaran dapat dipandang sebagai proses yang dinamis. Akan tetapi meskipun selalu bergerak dalam dinamika yang tidak pernah berhenti, namun sebenarnya ketiganya berada dalam konteks interaksi yang tidak pernah ada akhirnya dari waktu ke waktu. Proses interaksi tersebut bekerja dalam konteks pembuatan makna baru dari pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan di museum.
Universitas Indonesia
53
Sebagaimana diketahui bahwa dalam kehidupannya tidak ada individu yang diam, sehingga konteks personal akan terlihat selalu bergerak terus menerus, pengalaman yang didapatkannya secara konstan dibentuk dan kembali dibentuk ulang oleh konteks fisik, dan keduanya selalu dimediasi oleh konteks sosiokulturalnya (Falk dan Dierking, 2000: 11). Penggambaran dari proses ini diperlihatkan dalam gambar 2.4. Model ini seharusnya digambarkan dalam gambar 3 dimensi sehingga dinamika pembelajaran di museum dapat ditangkap.
Konteks Personal
Konteks Fisik
Konteks Sosiokultural
Gambar 2.5 Model Belajar Kontekstual (Sumber : Falk dan Dierking, 2000: 12)
Falk dan Dierking (2000) berpendapat bahwa Model Belajar Kontekstual memberikan kerangka dalam skala besar didalam menyusun informasi yang akan dipelajari. Faktor yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap museum mungkin jumlahnya bisa mencapai ratusan. Namun banyak diantara faktor-faktor tersebut yang kurang penting dan tidak perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Dari ratusan faktor tersebut Falk dan Dierking (2000: 137) menemukan delapan faktor kunci sebagai faktor yang dianggap fundamental terhadap pengalaman belajar di museum. Faktor tersebut antara lain: a. Konteks Personal 1. Motivasi dan harapan 2. Pengetahuan yang sudah dimiliki, minat dan keyakinan 3. Pilihan dan kontrol
Universitas Indonesia
54
b. Konteks Sosiokultural 4. Mediasi sosiokultural yang ada di dalam kelompok 5. Mediasi yang difasilitasi oleh orang lain c. Konteks Fisik 6. Orientasi dan pengorganisasian 7. Desain 8. Memperkuat peristiwa dan pengalaman di luar museum Masing-masing faktor baik secara invidual maupun kolektif mempunyai kontribusi terhadap peningkatan kualitas pengalaman di museum. Jika ada salah satu dari kedelapan faktor ini tidak mucul, proses pembentukkan makna akan mengalami kesulitan. Di bawah ini akan dibahas lebih mendalam masing-masing faktor tersebut dalam konteksnya masing-masing.
2.3.1
Konteks Personal Belajar adalah pengalaman yang sangat personal. Proses belajar ini
tergantung pada sejumlah faktor yang memungkinkan belajar dalam konteks personal akan sukses dilaksanakan. Uraian di bawah ini akan menyajikan pembahasan yang berkaitan dengan sejumlah faktor yang berkaitan dengan konteks personal. Pertama, motivasi dan harapan orang datang berkunjung ke museum. Motivasi dan harapan ini secara langsung berpengaruh terhadap apa yang orang lakukan dan pelajari di museum (Falk dan Dierking, 2000: 137). Orang yang berkunjung ke museum umumnya sudah memiliki agendanya masing-masing. Agenda yang dimiliki oleh masing-masing pengunjung biasanya sesuai dengan realitas yang dijumpainya di museum. Namun terkadang hal ini dapat saja meleset. Ketika harapan yang dibawa oleh pengunjung terpenuhi, maka museum dapat menfasilitasi proses belajar yang dilakukan oleh pengunjung (Falk dan Dierking, 2000: 137). Namun jika harapan pengunjung tidak terpenuhi maka proses belajar tidak berjalan dengan sempurna. Bagaimana seseorang termotivasi untuk belajar akan lebih tampak jelas bila menggunakan sudut pandang psikologi. Sepanjang empat puluh tahun belakangan ini psikolog menyatakan bahwa terdapat dikotomi mendasar yang
Universitas Indonesia
55
membuat belajar dapat terjadi, yaitu orang belajar karena menginginkannya atau karena mereka merasa diharuskan mempelajarinya. Hasil dari kedua proses belajar tersebut secara signifikan tergantung pada apakah didorong oleh motivasi intrinsik atau ekstrinsik (Falk dan Dierking, 2000: 19). Tindakan yang termotivasi secara ekstrinsik akan terjadi ketika hasil yang diinginkan berada di luar dari aktivitas yang dilakukan (Falk dan Dierking 2000: 19). Contoh dari tindakan yang termotivasi secara ekstrinsik di antaranya adalah keinginan untuk mendapatkan ranking yang bagus di kelas atau terhindar dari hukuman dengan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Sementara yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah tindakan yang dilakukan karena keinginan pribadi, meskipun tidak ada imbalan eksternal yang akan didapatkannya (Falk dan Dierking, 2000: 19). Contoh dari motivasi intrinsik di antaranya berkunjung ke museum ketika sedang libur, berolahraga bersama teman-teman saat setelah pulang sekolah. Motivasi intrinsik akan muncul bila seseorang merasa bebas melakukan sesuatu dan hal itu dilakukannya untuk tujuan kesenangan. Menurut Scott Paris (dalam Falk dan Dierking, 2000: 20-21) menyatakan bahwa: Teori motivasi memiliki dua orientasi tujuan yaitu berorientasi penguasaan materi dan berorientasi prestasi. Individu yang berorinetasi pada penguasaan materi yakin bahwa usaha adalah hal yang terpenting untuk sukses. Individu dengan orientasi penguasaan materi akan meningkatkan kerja kerasnya untuk mencapai tujuan mereka, mengambil resiko, memperlihatkan kreativitasnya dan strategi yang efektif dan berupaya menyelesaikan tugas. Sementara individu yang berorientasi prestasi yakin bahwa sukses akan tercapai dengan memperlihatkan prestasi kepada orang lain. Perilaku dari individu yang berorientasi pada prestasi ditandai dengan usaha untuk menyelesaikan tugas dengan cepat, menolak tantangan terhadap dirinya, menyerah bila menghadapi kesulitan dan memandang kesalahan sebagai kekurangan personal. Pembelajar yang memiliki motivasi intrinsik akan
lebih cenderung
memiliki
orientasi
penguasaan
materi.
Universitas Indonesia
56
Sedangkan pembelajar yang memiliki motivasi ekstrinsik lebih cenderung memiliki orientasi prestasi.
Dengan demikian jelas bahwa orang yang benar-benar termotivasi untuk mendapatkan sesuatu dari kunjungannya ke museum adalah mereka yang memiliki motivasi intrinsik dengan orientasi tujuan penguasaan materi. Bila pilihan datang ke museum karena kemauan sendiri, maka motivasi dan harapan yang telah dimilikinya akan mendorong seseorang untuk belajar banyak dari museum. Kedua pengetahuan yang telah dimiliki, ketertarikan dan keyakinan. Faktor ini memainkan peranan penting dalam seluruh bentuk belajar. Berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki, minat dan keyakinan, pembelajar secara aktif menentukan apakah dia akan pergi ke museum atau tidak, tipe institusi seperti apa yang akan dikunjunginya, eksibisi seperti apa yang akan dilihatnya atau program apa yang akan diikutinya, dan aspek pengalaman yang mana yang akan dikenangnya (Falk dan Dierking, 2000: 138). Banyak penelitian yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini, menyatakan bahwa pengalaman dan penjelasan yang memungkinkan didapatkan pengunjung yang datang ke museum untuk memahami pandangan yang umum saja tidaklah cukup (Hein, 1998). Pembelajar akan memakai pengetahuan yang telah mereka miliki dengan mengabaikan instruksi yang diberikan oleh edukator atau yang ada pada label dan panel. Dengan kata lain, pengunjung harus terkait dengan apa yang mereka lihat, lakukan dan rasakan dengan apa yang telah mereka ketahui, pahami dan yakini, di dalam lingkungan dimana mereka bebas mengeksplor dengan cara mereka sendiri (Falk dan Dierking, 2000: 138) Menurut Piaget (Falk dan Dierking, 2000: 29) terdapat dua proses dalam belajar atau adaptasi yang dia sebut sebagai asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi
ketika
pembelajar
menginterpretasikan
dunia
eksternal
dengan
menggunakan skema atau cara berpikir terhadap sesuatu yang telah dimiliki oleh pembelajar, sehingga dapat menambah pemahaman dan menguatkan pemahanan terhadap sesuatu (Falk dan Dierking, 2000: 29). Dalam proses akomodasi, skema yang telah dimiliki sebelumnya direvisi untuk sampai pada pemahaman baru,
Universitas Indonesia
57
perubahan dan pemurnian struktur untuk sehingga dapat diadaptasi dengan lebih baik menjadi pengalaman yang lebih cocok (Falk dan Dierking, 2000: 29). Dengan demikian sebagian waktu yang dimiliki oleh manusia merupakan proses belajar untuk menguatkan kembali, mengasimilasi dan mengakomodasi pengetahuan baru yang datang dari kunjungan ke museum. Terkait dengan padangan psikolog Ulrich Schiefele yang berpendapat bahwa motivasi berlaku secara umum, sementara minat lebih kompleks, keadaanya lebih multidimensional (Falk dan Dieking, 2000: 22). Dengan kata lain seseorang dapat sangat berminat terhadap sejarah maka akan tertarik dengan sejian sejarah di museum, tetapi dia tidak akan tertaik pada seni atau ilmu pengetahuan alam sehingga menolak untuk datang kesana. Istilah minat disini tidak hanya berkaitan dengan apa yang seseorang sukai atau tidak sukai. Minat disini terkait dengan konsep psikologis yang terdiri atas perhatian, ketekunan dalam menyelesaikan tugas, dilanjutkan dengan rasa ingin tahu, semua faktor ini sangat penting untuk memahami apa yang memotivasi seseorang untuk belajar di museum, terlibat dengan eksibisi, program atau kegiatan di museum (Falk dan Dierking, 2000: 22) Pengetahuan yang telah dimiliki, minat dan keyakinan menjadi kerangka untuk memberi makna terhadap pengalaman yang didapatkan di museum. Hal yang fundamental dari ketiga kerangka ini adalah ketidak cocokan salah satu komponen dengan komponen lain dapat mengakibatkan orang tidak akan tertarik datang ke museum dan tidak ada hal yang akan dipelajarinya di museum meskipun dia datang ke museum. Kondisi belajar yang berbeda dan heterogennya populasi yang berkunjung ke museum, pengetahuan yang sudah dimiliki, minat dan keyakinan dari pengunjung museum sangatlah berbeda antara satu dengan yang lain (Falk dan Dierking, 2000: 138). Dengan demikian, belajar di museum benar-benar bersifat personal. Ketiga, faktor pilihan dan kontrol yang terkait dengan proses belajar untuk menentukan pilihan antara apa dan kapan mereka akan belajar dan merasakan mengontrol sendiri proses belajar yang dialaminya (Falk dan Dierking, 2000: 138). Sebagai institusi yang memiliki karakterirstik free-choice learning, maka pengunjung museum saat belajar seringkali tidak mendapatkan keleluasan untuk
Universitas Indonesia
58
melakukan keduanya. Hal ini dapat terjadi bila museum memaksakan kepada publik untuk mengikuti urutan penyajian sesuai dengan yang disusun oleh desainer museum, sehingga pengunjung tidak mendapat kesempatan secara bebas untuk memilih dan mengontrol proses belajarnya di museum. Akibat pemaksaan atau penyeragaman ini mengakibatkan porses belajar akan terganggu. Karena dalam situasi belajar yang seharusnya mengedepankan seting free-choice learning,
pemaksaan
seperti
ini
terkadang
mengakibatkan
keengganan
pengunjung untuk melanjutkan eksplorasinya. Pada eksibisi interaktif kedua kerangka ini menjadi mutlak harus diberikan kepada pengunjung. Karena instruksi dan arahan yang terlalu banyak akan membuat orang merasa enggan untuk berinteraksi dengan objek atau fenomena yang disajikan di museum.
2.3.2
Konteks Sosiokultural Konteks sosiokultural berkaitan dengan interaksi yang terjadi di dalam
lingkungan belajar. Interaksi tersebut dapat terjadi antar individu atau kelompok yang terlibat dalam kegiatan belajar. Interaksi yang terjadi melibatkan percakapan, gestur, emosi dan observasi antar individu dan kelompok. Nuansa yang hidup dalam konteks sosiokultural terjadi dalam latarbelakang kebudayaan dan sejarah yang di dalam terdapat sistem alat, tanda dan simbol yang berada di balik keyakinan, nilai dan norma sosial yang dianut. Semuanya ini merupakan fondasi dari sosiokultural. Oleh karena itu, siapa kita, seperti apa kita, dan bagaimana kita berprilaku adalah produk dari konteks sosiokultural dimana kita ada di dalamnya (Falk dan Dierking, 2000: 39). Konteks sosiokultural terdiri atas beberapa faktor yang akan diuraikan di bawah ini. Pertama, faktor mediasai sosiokultural yang ada di dalam kelompok. Bila diperhatikan pengunjung yang datang ke museum terdiri atas berbagai kelompok, seperti kelompok pelajar, pemerhati seni atau kelompok-kelompok lainnya yang menggunakan dasar pengelompokkan yang berbeda. Oleh karena itu, museum merupakan lingkungan yang unik karena dapat menjadi fasilitas belajar dimana anggota keluarga dapat saling berbagi dan melakukan konsolidasi terhadap pengalamannya masing-masing. Di museum orang dewasa dan anak-anak dapat saling membantu satu sama lain untuk memahami pameran dari berbagai
Universitas Indonesia
59
prespektif yang mereka miliki. Demikian pula dengan teman sebaya yang bertemu di museum dapat saling berbagi pengalaman dan mengembangkan ikatan sosial diantara mereka. Meskipun sangat sedikit penelitian konteks sosiokultural yang difokuskan pada kunjungan siswa sekolah dan peran yang dimainkan oleh anak-anak saat belajar, namun beberapa studi menyatakan bahwa interaksi sosial pengunjung siswa sekolah penting dan jika diakomodasi, dapat menghasilkan proses belajar yang signifikan (Falk dan Dierking, 2000: 102). Temuan ini konsisten dengan penelitian Azmitia yang memperlihatkan bahwa siswa lebih mudah mengingat dan dapat menyampaikan gagasan mengenai pameran yang mereka eksplor secara aktif dan dalam kolaburasi dengan teman sebayanya (Falk dan Dierking, 2000: 103). Bila diperhatikan kunjungan dari kelompok sekolah ke museum cenderung lebih terstruktur. Anak-anak dalam kelompok kunjungan sekolah umumnya akan merasa bebas jika dikelompokkan dalam kelompok kecil, sehingga mereka dapat bergerak dengan bebas memilih apa yang ingin dilakukannya. Siswa juga terindikasi merasa senang dapat belajar bersama, sementara tugas yang diberikan oleh guru dirasakan sebagai beban oleh mereka. Dalam studi disertasinya Griffind dan Symington mengembangkan pengalaman pengunjung sekolah yang disajikan kepada siswa agar mereka bebas memilih dan dapat melakukan interaksi sosial. Pengalaman yang tidak terstruktur ini tidak hanya disukai oleh siswa, mereka juga belajar dari kelompok siswa lainnya dalam struktur kunjungan sekolah (Falk dan Dierking, 2000: 104). Kedua, faktor mediasi yang difasilitasi oleh orang lain. Pada umumnya kondisi belajar di museum tidak hanya terjadi di dalam satu kelompok saja. Proses belajar mediasi sosial dapat juga terjadi dengan kelompok luar yang memiliki pengetahuan lebih (Falk dan Dierking, 2000: 139). Untuk itu, staf museum yang terlatih dan memiliki pengetahuan yang memadai dapat menjadi sumber yang dapat memberikan pemahaman terhadap pengetahuan yang ingin disampaikan oleh museum. Edukator atau pemandu museum dapat memfasilitasi kegiatan belajar pengunjung, sehingga dapat meningkatkan pengalaman pengunjung. Namun tidak tertutup kemungkinan staf museum justru menghalangi proses
Universitas Indonesia
60
transformasi
pengetahuan,
karena
katidakmampuannya
untuk
menjalin
komunikasi dengan pengunjung yang berasal dari berbagai kelompok sosial dan latarbelakang budaya yang berbeda. Oleh karena itu, kemampuan komunikasi dan pemahaman terhadap latarbelakang pengunjung menjadi hal yang perlu mendapat perhatian bagi edukator atau pemandu museum.
2.3.3
Konteks Fisik Detail kunjungan akan tetap teringat meskipun telah berselang beberapa
lama (Stevenson dikutif dalam Falk dan Dierking, 2000: 53). Konteks fisik merupakan konteks yang paling lama diingat oleh pengunjung, karena begitu diingatkan kembali tentang kunjungan ke museum setelah beberapa hari atau beberapa tahun berkunjung, ingatan yang muncul terlebih dahulu adalah ingatan terhadap kondisi fisik museum (Falk dan Dierking, 2000: 54). Oleh karena itu, konteks fisik dari lingkungan belajar memiliki pengaruh besar terhadap kualitas belajar dan penciptaan makna yang dikonstruk oleh pembelajar. Faktor-faktor yang berkaitan dengan kontek fisik lebih lanjut akan diuraikan di bawah ini. Pertama, faktor orientasi dan pengorganisasian yang berkaitan dengan suasana lingkungan museum yang dirasakan oleh pengunjung. Hasil studi menunjukkan bahwa orang akan belajar lebih baik bila mereka merasa aman dengan lingkungan yang mengelilinginya dan mengetahui apa yang diharapkan oleh lingkungannya (Falk dan Dierking, 2000: 139). Museum pada umumnya berupa bangunan besar dengan eksibisi yang dapat disaksikan secara visual dan memiliki objek yang disusun berdasarkan cerita yang jelas. Jika pengunjung mengalami disorientasi ketika berkunjung, maka hal ini akan berpengaruh terhadap fokusnya terhadap yang lain. Objek yang dipamerkan akan menjadi tidak menarik dan cerita yang disajikan menjadi membosankan. Hal ini harus dihindari karena proses belajar hanya akan terjadi bila orientasi dari setiap ruang jelas dan tidak membingungkan bagi pengunjung. Oleh karena itu, museum harus membuat konsep penataan yang diorganisir dengan baik agar menimbulkan rasa aman dan nyaman. Bila kondisi seperti ini berhasil diatur dengan baik, maka secara signifikan akan meningkatkan kemampuan pengunjung untuk mengkonstruk makna dari pengalaman yang didapatkannya.
Universitas Indonesia
61
Kedua, faktor desain eksibisi, program atau website. Faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap belajar di museum. Eksibisi pada umumnya didesain kaya dengan pengalaman mendidik. Orang yang datang ke museum bertujuan untuk melihat dan merasakan pengalaman dengan objek yang riil yang ditata dalam lingkungan yang memadai untuk dimanfaatkan sebagai media belajar. Untuk itu, museum tidak perlu terlalu menekankan pada otentisitas. Hal yang terpenting adalah penataan yang dapat memberikan makna kepada yang melihatnya. Desain eksibisi yang baik merupakan media belajar yang dapat dijadikan perangkat untuk memfasilitasi pemahaman yang konkret terhadap dunianya masing-masing. Desain yang efektif akan membuat pengunjung merasa nyaman karena memberikan orientasi yang jelas, sehingga dengan ruang yang dirasakan ramah akan memberi pesan yang jelas akan tujuan dan fungsi dari ruang dan semua yang dibutuhkan untuk pengalaman interaktif yang positif (Hein, 1998: 152). Ketiga, faktor memperkuat peristiwa dan pengalaman di luar museum. Publik yang datang ke museum dengan pemahamannya masing-masing saat meninggalkan
museum
akan
mendapatkan
tambahan
pengalaman
dan
pengetahuan baru. Dalam kondisi riil, pengetahuan dan pengalaman yang bertambah tidaklah selalu lengkap (Falk dan Dierking, 2000: 140). Oleh karena itu, harus dilakukan upaya untuk melengkapinya. Namun seringkali hal ini tidak dilakukan oleh museum. Hal yang perlu dilakukan adalah membuat konteks di luar lingkungan museum, untuk pengunjung, setelah seminggu, sebulan dan bahkan setahun setelah kunjungannya. Hal ini akan menjadi serangkaian penguatan pengalaman di luar museum yang posisinya sama pentingnya dengan pengalaman di dalam museum. Penguatan pengalaman di luar museum dapat berupa membaca buku, menonton film dan lain sebagainya yang dapat dijadikan referensi untuk mengkonfirmasi pengetahuan dan pengalaman yang di dapatkan di museum. Oleh karana itu, museum dapat bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mewujudkan hal ini.
Universitas Indonesia
62
2.4
Museum Untuk Anak Sebagai Institusi Pendidikan Di atas telah dibahas berbagai prinsip yang perlu diperhatikan dalam
menerapkkan teori konstruktivis dengan model belajar kontekstual yang terdiri atas berbagai konteks yang harus dipertimbangkan. Pembahasan di atas dapat menjadi pertimbangan untuk mendesain eksibisi dan program eduaktif di museum. Selanjutnya uraian di bawah ini secara spesifik akan membahas mengenai konsep-konsep dasar museum untuk anak atau galeri untuk anak yang juga menggunakan teori konstruktivis dalam penyajiannya. Menurut American Association of Museum (AAM) yang disebut museum untuk anak adalah: Institusi yang melakukan pelayanan kebutuhan dan ketertarikan anak melalui pameran dan program yang dapat menstimulasi rasa ingin tahu dan motivasi belajar. Museum untuk anak dikelola sebagai institusi permanen non provit, yang secara esensial mempunyai tujuan pendidikan, memiliki staf profesional, memiliki objek yang dapat digunakan dan dibuka untuk publik secara reguler (Caulton, 1998: 5).
Bila dicermati, definisi yang dikemukakan oleh AAM tersebut memberi penekanan terhadap kebutuhan dan ketertarikan anak. Pandangan yang berbeda disampaikan oleh museum untuk anak di lingkungan United Kingdon (UK). Penekanan museum untuk anak di UK lebih kuat pada objek dari pada terhadap masyarakatnya. Museum-museum di UK mendefinisikan museum untuk anak sebagai
institusi
yang
mengumpulkan,
mendokumentasikan,
melakukan
preservasi, memamerkan dan menginterpretasikan bukti material dan mengaitkan informasi untuk kepentingan publik (Caulton, 1998: 5). Bila dibandingkan dengan definisi museum tradisional, konsepsi pendidikan dalam definisi museum untuk anak tampak lebih tegas, karena definisi museum untuk anak lebih beroreintasi pada pengunjung dengan penekanan peran pendidikannya melalui strategi penyajian koleksinya. Objek yang disajikan dijadikan sebagai alat untuk memotivasi belajar dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan anak. Sementara pada museum tradisional, penyajian menggunakan penataan konvensional, yaitu dengan menaruh koleksi dalam kotak
Universitas Indonesia
63
kaca, kemudian informasi yang disajikan adalah nilai intrinsik dari benda yang disajikan. Dengan demikian definisi museum untuk anak, khususnya yang berkaitan dengan peran museum dalam pendidikan,
dapat dijadikan sebagai
pengisi kekurangan dan keterbatasan dari definisi museum tradisional. Jika dilihat dari perkembangan sejarahnya, museum untuk anak telah dirintis sejak abad ke XIX. Namun perkembangannya menjadi lebih pesat setelah tahun 1980-an. Pada masa itu, hingga sekarang museum untuk anak telah menjadi sektor museum yang tumbuh sangat cepat dibanding jenis museum lainnya (Caulton, 1998: 4). Berdasarkan catatan sejarah, museum untuk anak yang pertama didirikan adalah Brooklyn Children’s Museum, pada tahun 1899, kemudian dilanjutkan dengan dibukanya Boston Children’s Museum. Pada awalnya, museum untuk anak dalam penataan koleksinya tidak jauh berbeda dengan museum tradisional, yaitu penyajian benda-benda koleksi dalam lemari kaca. Hal yang berbeda adalah pada pemilihan koleksi yang dipamerkan. Kolaksi yang disajikan di museum untuk anak adalah benda-benda yang dianggap menarik bagi anak-anak (Caulton, 1998: 4). Pada tahun 1964, Michael Spock, Direktur Boston Children’s Museum berhasil melakukan penelitian terhadap museumnya dengan cara membuka kotak kaca penyajian koleksi dan menyusun kembali program eksibisi untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak-anak untuk belajar (Caulton, 1998: 4). Berdasarkan penelitian ini, kemudian pendekatan hands-on diadaptasi menjadi pendekatan eksibisi pada museum untuk anak. Pendekatan ini kemudian diikuti juga oleh Brooklyn Children’s Museum yang diikuti dengan kebijakan memperbolehkan pengunjung untuk memegang koleksi yang disajikan. Pendekatan
hands-on
dianggap
sebagai
pendekatan
yang
tepat
dibandingkan dengan pendekatan tradisional yang dianggap tidak interaktif dan menarik bagi anak-anak. Menurut Baxi secara psikologis anak-anak menyenangi warna, bentuk dan rupa yang membuat mereka lebih menghargai objek yang ada di sekeliling mereka (Baxi et.al., 1973: 75). Anak-anak akan lebih tertarik bila diberi kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru seperti merubah atau membangun kembali berbagai bentuk objek atau melakukan eksperimen terhadap sesuatu. Hal ini terjadi karena anak-anak lebih cepat belajar dari benda, belajar
Universitas Indonesia
64
menghubungankan dan memahami pola dari penyajian non verbal dibandingkan orang dewasa, khususnya orang yang berpendidikan, yang amat tergantung pada informasi sehingga menganggap label lebih penting sebagai sumber data daripada objeknya sendiri (Baxi et.al., 1973: 76). Untuk itu, museum yang eksibisinya disajikan secara statis tidak akan menarik perhatian anak-anak. Disamping itu, larangan untuk tidak menyentuh koleksi pada objek yang disajikan di luar kotak kaca, juga akan membuat anak-anak merasa tidak tertarik terhadap objek tersebut. Secara mendasar yang paling esensial membedakan antara museum untuk anak dan museum tradisional adalah: 1. Pendidikan dilakukan melalui setiap objek, aktivitas dan kegiatan. Terdapat tujuan dibalik setiap penyajian, cerita yang disampaikan pada setiap benda yang dipamerkan, dan terdapat gagasan untuk membuka setiap ruang pameran. 2. Ruang yang terang, warna yang
cerah dan efek cahaya yang
dramatis digunakan untuk menarik perhatian. Label dapat dipahami dengan mudah dan dengan gaya bahasa terkini. 3. Benda yang dipamerkan diposisikan dengan hati-hati sehingga dapat dinikmati oleh anak-anak dan materi yang dipamerkan dapat diidentifikasi secara berurutan. Terkadang mungkin benda yang dipamerkan dapat dipegang atau memungkinkan anak-anak untuk berpartisipasi terhadap pameran. 4. Tidak peduli bagaimanapun canggihnya pameran, kontak diantara pengunjung tetap menjadi sumber belajar yang baik. (Caulton, 1998: 5).
Sebagai salah satu tempat yang ideal untuk belajar ilmu pengetahuan museum untuk anak memiliki beberapa karakteristik yang lingkungannya ideal untuk belajar ilmu pengetahuan, yaitu: 1. memberikan lingkungan yang spesial dan berbeda dengan sekolah dimana murid dimotivasi dengan cara berhadapan langsung dengan objek yang riil dan tidak ada ditempat lain atau berinteraksi dengan pameran hands-on;
Universitas Indonesia
65
2. Secara fisik atau dengan pengetahuan yang dimilikinya muridmurid mengakses contoh-contoh kongkrit atau simulasi fenomena dan konsep ilmu pengetahuan yang abstrak (fenomena tersebut tidak dapat dengan mudah atau secara ekonomis di reproduksi di sekolah); 3. Menyediakan kesempatan untuk berinteraksi dengan pameran yang memungkinkan murid untuk mengaplikasikan dan menggunakan proses
kunci
ketrampilan
yang
dibutuhkan
dalam
ilmu
pengetahuan seperti bertanya, mempredisksi, mengobservasi, meneyelasikan masalah, membandingkan, menyelediki, membuat hipotesis dan menggunakan bukti dalam situasi yang baru, menarik dan menantang; 4. Menyediakan tempat di mana murid-murid dapat belajar menggunakan fenomena dan konsep ilmiah dalam konteks kehidupan sehari-hari; 5. Memberi kemungkinan untuk mengakses artefak, spesimen dan sistem yang langka atau tidak mudah untuk diakses; 6. Memungkinkan murid untuk memahami penemuan ilmiah, pengembangan teknologi atau kunci cara menyusun artefak, spesimen dan sistem menjadi satu keterkaitan sejarah atau hubungan yang saling terkait; 7. Meyediakan akses dan pemahaman pada cara kerja mesin atau sistemnya, sehingga dapat menjadi jendela bagi siswa untuk melihat apa yang ada di dalam kotak hitam ilmu pengatahuan dan teknologi; 8. Menawarkan kesempatan untuk membentuk dan mengembangkan perilaku murid terhadap ilmu pengetahuan dan, dalam perngetian luas, untuk belajar sendiri. Secara spesifik, murid dapat mengembangkan perilaku yang penting di dalam mempelajari ilmu pengetehuan seperti keingintahuan, pemikiran yang terbuka, refleksi kritis, kreativitas, keinginan untuk berkarya, menghargai
Universitas Indonesia
66
temuan ilmiah, kerjasama, tekun, toleran terhadap ketidakpastian dan sensitif terhadap lingkungan; 9. Menyediakan lingkungan yang aman dan dapat merangsang rasa ingin tahu di mana ilmu pengetahuan dipandang dan dipelajari dengan perasaan kagum dan ingin tahu (Braund dan Reiss ed., 2004: 97).
Universitas Indonesia
BAB 3 GAMBARAN UMUM MUSEUM NEGERI PROVINSI LAMPUNG 3.1 Sejarah Singkat Museum Pembangunan Museum Negeri Provinsi Lampung telah dirintis sejak tahun 1975, oleh Kepala Kantor Pembinaan Permuseuman Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung. Pembangunan fisik dilaksanakan terwujud pada tahun anggaran 1978/1979. Peletakan batu pertama pembangunan Museum Negeri Provinsi Lampung dilakukan Kepala Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Provinsi Lampung pada tanggal 13 Juni 1978, di lokasi museum di Jalan H. Zainal Abidin Pagar Alam No. 64 Gedung Meneng Bandar Lampung. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 0754/O/1987 Museum Negeri Provinsi Lampung resmi menjadi UPT Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kemudian pada tanggal 24 September 1988 bersamaan dengan peringatan Hari Aksara Internasional yang dipusatkan di PKOR Way Halim Bandar Lampung, Museum Negeri Provinsi Lampung diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Fuad Hassan (Wahyuningsih dan Winarto, 2008: 5). Penambahan nama “Ruwa Jurai” sebagai nama khas ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 0233/O/1990, tanggal 1 April 1990. Penambahan nama tersebut diambil dari slogan Provinsi Lampung “Sang Bumi Ruwa Jurai” (Wahyuningsih dan Winarto, 2008: 5). Sejak otonomi daerah seluruh museum negeri provinsi mengalami perubahan organisasi. Sebelumnya museum negeri provinsi merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional. Namun sejak otonomi daerah diberlakukan, maka museum negeri provinsi menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas. Masing-masing provinsi menempatkan museum pada dinas tenis yang berbeda. Museum Negeri Provinsi Lampung Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor 9 Tahun 2001 dijadikan UPTD Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Kemudian pada tahun 2008 berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung Universitas Indonesia
67
Nomor 14 Tahun 2008, tanggal 13 Mei 2008, tentang Pembentukkan Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pada Dinas Daerah Provinsi
Lampung, Pasal 2
ayat (6) dinyatakan bahwa UPTD Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, terdiri atas : 1) UPTD Museum Negeri; 2) UPTD Taman Budaya. Kedudukan baru Museum Negeri Provinsi Lampung ini menyesuaikan dengan kedudukan nomenklatur Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung No. 14 Tahun 2008 Pasal 50 ayat (1) tugas pokok UPTD Museum Negeri melaksanakan pengumpulan, perawatan dan penyajian serta penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kultural tentang benda budaya yang bersifat regional. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa UPTD Museum Negeri mempunyai fungsi: a. Pengumpulan, perawatan, pengawetan dan penyajian benda bernilai budaya dan ilmiah; b. Pelaksanaan urusan perpustakaan dan dokumentasi ilmiah; c. Pelaksanaan memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil penelitian koleksi; d. Pelaksanaan bimbingan edukatif kultural tentang benda yang bernilai budaya dan ilmiah; e. Pelaksanaan urusan ketatausahaan. Berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung No. 14 Tahun 2008 Pasal 51 ayat (1) susunan organisasi UPTD museum negeri, terdiri atas : a. Kepala; b. Sub Bagian Tata Usaha; c. Seksi Teknis; d. Seksi Pelayanan. Berdasarkan susunan organisasi tersebut, maka bagan organisasi UPTD museum negeri sebagaimana Lampiran VIa Peraturan Gubernur No. 14 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
68
Gambar 3.1 Bagan Srtuktur Organisasi UPTD Museum Negeri Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Seksi Teknis
Seksi Pelayanan
Sementara itu, tugas masing-masing struktur tersebut sebagaimana diuraikan dalam Pasal 52 adalah : (1) Kepala mempunyai tugas memimpin, mengendalikan dan mengorganisasikan sebagian tugas UPTD museum negeri sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pawiwisata serta ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; (2) Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan perencanaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, rumah tangga dan surat menyurat, kearsipan serta pelaksanaan ketatausahaan. (3) Seksi teknis mempunyai tugas : a. Menyusun program pengumpulan, penelitian, pengelolaan koleksi sejarah dan kebudayaan daerah; b. Mengelola, menganalisa dan menyajikan koleksi sejarah dan kebudayaan daerah; c. Melakukan kegiatan dan usaha konservasi preventif dan kuratif serta memelihara kelembaban suhu dan penyinaran di dalam ruang pamer; d. Melakukan usaha restorasi dan reproduksi koleksi yang meliputi perbaikan koleksi, pembuatan replika dan reproduksi foto, pembuatan slide, film dan rekaman koleksi; e. Menyusun laporan Seksi Teknis; dan f. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh atasan. (4) Seksi Pelayanan mempunyai tugas : Universitas Indonesia
69
a. Menyusun program bimbingan edukatif, publikasi dan preparasi tata pameran museum; b. Melaksanakan bimbingan terhadap pengunjung untuk pengenalan koleksi dan menanamkan daya apresiasi serta penghayatan nilai warisan budaya dan ilmu pengetahuan; c. Melakukan kegiatan publikasi dan penerbitan koleksi, seminar, ceramah, festival, parade, lomba serta pelayanan dan pemberian informasi kegiatan museum; d. Menyusun laporan kegiatan seksi pelayanan; dan e. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh atasan.
3.2
Koleksi Museum Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, hingga tahun 2008 Museum
Negeri Provinsi Lampung telah berhasil mengumpulkan 4.487 buah koleksi. Rincian jumlah koleksi berdasarkan klasifikasi koleksi dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah ini. Tabel 3.1 Jumlah Koleksi Berdasarkan Klasifikasi UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis Koleksi Biologika Geologika Etnografika Arkeologika Historika Numismatika dan Heraldika Filologika Keramologika Seni Rupa Teknologika
Jumlah Sumber : Statistik Koleksi Museum Lampung T.A. 2008
Jumlah 69 87 1.987 296 47 1.302 36 648 8 22 4.487
Universitas Indonesia
70
Pembagian koleksi menjadi 10 jenis seperti di uraikan dalam Tabel 3.1 pertimbanganya didasarkan pada fungsi museum sebagai salah satu institusi untuk mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, klasifikasi koleksi museum didasarkan pada kreteria disiplin ilmu (Suyati, 2000, 28). Tujuan klasifikasi berdasarkan disiplin ilmu agar koleksi museum dapat dijadikan sebagai objek studi dan pendidikan. Sifat koleksi museum sangat kompleks, sehingga yang dimaksud dengan disiplin ilmu itu didasarkan pada kesepakan atau konvensi kurator. Disiplin ilmu yang bersifat konvensi ini telah ditetapkan oleh Direktorat Permuseuman pada Januari 1993 berdasarkan hasil kajian koleksi dan diskusi baik langsung maupun tidak langsung antara Direktorat Permuseuman dengan museum negeri propinsi se Indonesia (Suyati, 2000: 28). Hingga kini, meskipun sudah mengalami otonomi daerah, Museum Negeri Provinsi Lampung, masih menggunakan konvensi tersebut untuk menentukan klasifikasi koleksinya. Pengertian peristilahan klasifikasi koleksi berdasarkan disiplin ilmu tersebut menurut Suyati adalah : 1. Geologika/Geografika adalah benda koleksi yang merupakan objek disiplin ilmu geologi/geografi antara lain meliputi batuan, mineral dan benda-benda bentukan alam lainnya (permata, granit, andesit), peta dan peralatan pemetaan. 2. Biologika adalah benda koleksi yang merupakan benda objek penelitian/dipelajari oleh disiplin ilmu biologi, antara lain tengkorak atau kerangka manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan baik yang berupa fosil maupun bukan. 3. Etnografika adalah benda koleksi yang menjadi penelitian antropologi, benda-benda tersebut merupakan hasil budaya atau menggambarkan identitas suatu etnis. 4. Arkeologika adalah benda koleksi yang merupakan hasil budaya manusia masa lampau yang menjadi objek penelitian arkeologi. Benda-benda tersebut merupakan hasil tinggalan budaya sejak masa prasejarah sampai masuknya pengaruh budaya Barat. Universitas Indonesia
71
5. Historika adalah benda koleksi yang mempunyai nilai sejarah dan menjadi objek penelitian sejarah serta meliputi kurun waktu sejak masuknya budaya Barat sampai dengan sekarang (maksudnya sejarah baru). Benda-benda ini pernah digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan suatu peristiwa (sejarah) yang berkaitan dengan suatu organisasi masyarakat (misal negara, kelompok, tokoh dan lain sebagainya). 6. Numismatika dan Heraldika Numismatika adalah setiap mata uang atau alat tukar (token) yang sah. Heraldika adalah setiap tanda-tanda jasa, lambang dan tanda pangkat resmi (termasuk cap dan stempel). 7. Filologika adalah benda koleksi yang menjadi objek penelitian filologika, berupa naskah kuno yang ditulis dengan tangan yang menguraikan sesuatu hal atau peristiwa. 8. Keramologika adalah benda koleksi yang dibuat dari bahan tanah liat yang dibakar (buked clay) berupa barang pecah belah. 9. Koleksi Seni Rupa adalah benda koleksi seni yang mengekspresikan pengalaman artistik manusia melalui objek dua atau tiga dimensi. 10. Teknologika/Modern adalah setiap benda/kumpulan benda yang menggambarkan teknologi atau perkembangannya berupa peralatan dan hasil produksi yang dibuat secara masal oleh suatu industri/pabrik (Suyati , 2000: 29-31). Dari klasifikasi di atas maka yang dimaksud dengan koleksi oleh museum akan berbeda dengan objek yang bukan koleksi museum. Koleksi museum adalah benda-benda bukti material manusia dan lingkungannya yang berkaitan dengan satu atau berbagai cabang ilmu pengetahuan (Asiarto, et.al., 2008: 20). Hal ini sesuai dengan
Keputusan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
No.
KM.33/PL.303/MKP/2004 tahun 2004 tentang Museum Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa koleksi museum adalah benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai Universitas Indonesia
72
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Sementara itu, secara khusus benda bukti material hasil budaya manusia serta alam tersebut termasuk diantaranya adalah benda cagar budaya. Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa benda cagar budaya di museum adalah semua koleksi museum berupa benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu yang disimpan, dirawat, diamankan, dan dimanfaatkan di museum. Selain benda cagar budaya, untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, maka koleksi museum di samping benda asli (realia), dapat juga berupa replika, atau reproduksi yang syah menurut persyaratan museum. Syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah benda untuk dapat ditetapkan menjadi koleksi museum adalah sebagai berikut : 1. Mempunyai nilai penting bagi perkembangan kebudayaan manusia dan
lingkungannya,
contoh
sebuah
arca
Prajnaparamitha
menggambarkan keindahan seni pengarcaan pada abad ke 13 Masehi. 2. Dapat diidentifikasi dari aspek ruang, waktu, bentuk, dan fungsinya, contoh hasil fosil Homo Florensis
ditemukan di Gua Liang Bua,
Flores, berumur sekitar 95.000 BP sampai 11.000 BP. 3. Dapat dijadikan dokumen dalam arti sebagai kenyataan dan kehadirannya bagi penelitian ilmiah, contoh prasasti-prasasti yang berasal dari masa Hindu Buddha (abad ke 5 – 15 Masehi). 4. Dapat dijadikan suatu monumen atau calon monumen dalam sejarah alam dan budaya, contoh kawasan Situs Sangairan. (Asiarto et.al., 2008: 21) Bila dilihat berdasarkan klasifikasi koleksinya, maka Museum Negeri Provinsi Lampung merupakan Museum Umum. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM.33/PL.303/MKP/2004 tahun 2004 tentang Museum pada Bab II Pendirian Museum, Pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa Museum Umum yang ciri koleksinya terdiri atas kumpulan bukti material hasil
Universitas Indonesia
73
budaya manusia dan/atau lingkungannya yang berkitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi.
3.3
Pameran Museum Untuk
dapat
dimanfaatkan
oleh
publik
maka
museum
harus
menyelenggarakan pameran sebagai bentuk dari penyebarluasan informasi dari koleksi yang dikumpulkan dan dirawat di museum. Pameran museum tersebut harus memperhatikan berbagai hal sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM.33/PL.303/MKP/2004, Pasal 21 ayat (1) dinyatakan
bahwa
pemanfaatan
koleksi
museum melalui
penyajian harus
memperhatikan nilai edukatif, informatif, estetika dan artistik.
Oleh karena itu,
Museum Negeri Provinsi Lampung dalam menyelenggarakan pameran melakukan berbagai jenis pemeran yaitu: pameran tetap, pameran temporer dan pameran keliling.
3.3.1
Pemeran Tetap Museum Pameran tetap adalah pameran yang diselenggarakan dalam jangka waktu
sekurang-kurangnya 5 tahun (Pedoman Tata Pameran di Museum, 1998: 4). Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat penetapan masa 5 tahun terhadap tata pameran museum negeri provinsi dianggap terlalu lama. Namun hingga saat ini sebagian besar museum negeri provinsi masih mematuhi ketentuan 5 tahun untuk pameran tetapnya, termasuk Museum Negeri Provinsi Lampung. Pameran tetap Museum Negeri Provinsi Lampung penyajiannya terdiri atas yang ada di dalam gedung dan di luar gedung. Luas bangunan gedung pameran tetap adalah 1.500 m². Gedung terbagi atas dua lantai, yaitu lantai dasar dan lantai satu. Luas lantai dasar sebesar 1.000 m² dan luas lantai satu sebesar 500 m². Secara umum tema pada lantai dasar adalah sejarah alam dan manusia dan tema di lantai satu adalah tujuh unsur kebudayaan universal. Dua tema tersebut terbagi lagi dalam sub tema yang pembagiannya didasarkan pada 10 jenis koleksi yang menjadi standar klasifikasi koleksi museum negeri provinsi.
Universitas Indonesia
74
3.3.1.1 Pameran Tetap Lantai Dasar Penataan eksibisi pada lantai dasar karena bertema sejarah alam dan manusia, maka penyajiannya disusun secara kronologis, khususnya yang berkaitan dengan sejarah manusia. Untuk dapat mengikuti penyajian secara kronologis maka pengunjung harus mengikuti alur sesuai dengan arah jarum jam. Penyajian yang pertama akan disaksikan oleh pengunjung adalah evokatif flora dan fauna. Jenis koleksi yang disajikan pada penyajian ini adalah dari jenis koleksi Biologika yang terdiri atas koleksi offset dari berbagai jenis binatang khas Sumatera dan jenis flora yang khas Lampung.
Foto 1 penyajian koleksi flora dan fauna Sumber : Dok. Museum Lampung
Foto 2 Panel persebaran flora dan fauna Sumber : Dok. Museum Lampung
Penyajian kedua adalah dari jenis koleksi Geologika. Penyajian jenis koleksi ini terdiri atas tiga vitrin, yaitu : a. Penggambaran kondisi Gunung Krakatau. b. Bahan mineral dan batuan geologi Lampung c. Kondisi paleontologi Lampung. Penyajian koleksi Geologika juga didukung dengan berbagai perangkat seperti: a. Maket peta Gunung Krakatau. b. TV boks sejarah Gunung Krakatau (berisi film berdurasi 5 menit tentang sejarah Gunung Krakatau dan letusan Gunung Krakatau pada tahun 2000). c. Panel informasi tentang tarikh geologi (dalam format dulatran). Universitas Indonesia
75
d. Panel informasi kondisi lapisan bumi. (dalam format dulatran).
Foto 3 Panel flora dan fauna dan koleksi batuan dari kompleks Gunung Anak Krakatau Sumber : Dok. Museum Lampung
Foto 4. Maket Gunung Anak Krakatau Sumber : Dok. Museum Lampung
Penyajian ketiga adalah dari jenis koleksi Arkeologika yang terbagi dalam tiga masa, yaitu masa prasejarah, masa klasik dan masa Islam. Penyajian masa prasejarah terdiri atas: a. Evolusi manusia (replika berbagai fosil manusia). b. Kebudayaan paleolitik. c. Kebudayan megalitik. d. Kebudayaan neolitik.
Foto 5 Koleksi kebudayaan paleolitik Sumber Dok. Museum Lampung
Foto 6 Koleksi kebudayaan neolitik Sumber : Dok. Museum Lampung
Universitas Indonesia
76
Untuk mendukung informasi yang berkaitan dengan evolusi manusia terdapat beberapa panel dalam format dulatran : a. Panel peta persebaran temuan fosil manusia di seluruh dunia. b. Panel informasi penemu fosil manusia di Indonesia. c. Peta pesebaran kebudayaan Neolitik di Indonesia.
Foto 7 Panel persebaran manusia prasejarah Sumber : Dok Museum lampung
Foto 8 : panel penemu fosil mnusia paresejarah Sumeber : Dok Museum Lampung
Penyajian keempat adalah jenis koleksi arkeologika dari masa Hindu Budha, Penyajian yang disajikan terdiri atas: a. Manik-manik dari berbagai bahan dan bentuk hiasan. b. Bukti penyebaran agama Hindu dan Buddha di Lampung. c. Taman prasasti (ditata secara kronologis yang berasal dari abad ke VII M sampai dengan abad XIV/XV M. d. Bukti penyebaran agama Buddha di Indonesia.
Foto 9 Panel dan koleksi penyebaran agama hindu Sumber : Dok. Museum Lampung
Foto 10 Panel dan koleksi penyebaran agama Buddha Sumber: Dok. Museum Lampung
Universitas Indonesia
77
Panel informasi yang tersedia untuk mendukung penyajian yang disajikan terdiri atas: a. Panel fungsi, bentuk dan bahan manik-manik. b. Panel kosmologi agama Hindu pada Candi Prambanan. c. Panel kosmologi agama Buddha pada Candi Borobudur. d. Panel arca tingkat kebuddhaan. e. Panel arca Hindu. f. Panel 10 keunggulan budaya bangsa Indonesia sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Barat. g. Panel kronologi prasasti. h. Panel prasasti tentang nama, jabatan/profesi, lokasi, sesaji/pasek-pasek, simbol, tujuan penerbitan prasasti. Penyajian kelima adalah jenis koleksi arkeologika dari masa Islam. Penyajian hanya terdiri atas satu vitrin yang berisi koleksi pengaruh kebudayaan Islam yang masuk ke Lampung. Penyajian ini didukung oleh : a. Panel peta masuknya kebudayaan Islam di Lampung. b. Panel pola persebaan masuknya kebudayaan Islam. c. Panel informasi arsitektur kebudayaan Islam di Lampung
Foto 11 Koleksi Arkeologika Masa Islam Sumber : Dok. Museum Lampung
Penyajian keenam adalah jenis koleksi Filologika. Penyajian terdiri atas berbagai koleksi naskah kuno dalam berbagai media seperti kulit kayu, daun lontar dan bambu. Penyajian ini didukung dengan panel informasi berupa : Universitas Indonesia
78
a. Panel perkembangan aksara dan bahasa Lampung. b. Panel aksara dan angka Lampung. c. Panel aksara kuno di Indonesia.
Foto 12 Koleksi Filologika Sumber : Dok. Museum Lampung
Penyajian ketujuh adalah jenis koleksi Historika. Penyajian yang disajikan terdiri atas berbagai senjata yang pernah dipergunakan untuk perlawanan terhadap penjajah dan sejarah perjuangan pahlawanan Nasional dari Lampung Radin Inten II. Penyajian ini didukung dengan berbagai panel informasi, antara lain : a. Panel peta kuna Sumatera-Lampung (alur pelayaran) b. Panel catatan perjalanan saudagar Cina (Itsing, Cheng Ho). c. Panel kerajaan Tulang Bawang. d. Panel peta situs Tulang Bawang, e. Panel arsitektur Kolonial. f. Panel perjuangan Radin Inten II. g. Panel foto peningglan benda Radin Inten II.
Foto 13 Panel Perjuangan Radin Inten II Sumber : Dok. Museum Lampung
Foto 14 Panel Arsitektur Kolonial Sumber : Dok. Museum Lampung Universitas Indonesia
79
Penyajian kedelapan adalah jenis koleksi keramologika yang terdiri atas penyajian keramik lokal berupa tembikar hasil kerajinan asli masyarakat Lampung dan keramik asing yang terdiri atas keramik impor dari Cina (dari berbagai Dinasti), Jepang, Thailand, Arab dan Eropa. Penyajian kesembilan adalah jenis koleksi Numismatika dan Heraldika. Penyajian Numismatika terdiri atas berbagai mata uang dari bahan kertas dan logam sebagai alat pembayaran yang sah. Penyajian Heraldika terdiri atas surat-surat berharga berupa surat Porwatin dan stempel marga. Penyajian kesepuluh dan kesebelas adalah koleksi kristal dan Pesihungan. Koleksi kristal berisi peralatan rumah tangga seperti botol dan perlengkapan minum. Koleksi Pesihungan adalah peralatan untuk menaruh ramuan upacara adat asah gigi. Saat ini upacara adat asah gigi tidak pernah dilaksanakan lagi sehingga termasuk kebudayaan yang telah punah.
3.3.1.2 Pameran Tetap Lantai Satu Penyajian yang disajikan di lantai satu terdiri atas jenis koleksi Seni Rupa, Teknologika dan Etnografika. Koleksi Seni Rupa milik museum Lampung jumlahnya tidak banyak, hanya 8 buah, sehingga penyajian yang disajikan di lantai satu koleksi saja, yaitu lukisan karya Abbas Alibasya yang berjudul Gudang Lelang. Koleksi Teknologika jumlah keseluruhan hanya 22 buah. Penyajian yang disajikan pada pameran tetap adalah berupa alat tenun bukan mesin. Jenis koleksi Etnografika merupakan koleksi dengan jumlah terbanyak, yaitu 1.987 buah. Oleh karena itu Penyajian di lantai satu didominasi oleh jensi koleksi ini. Dalam penataannya, penyajian etnografika mengikuti pola tujuh unsur kebudayaan universal, kecuali usur bahasa dan religi. Unsur bahasa dan religi telah diwakili oleh jenis koleksi Filologika dan Arkeologika dari masa Islam yang penyajiannya ada di lantai dasar. Untuk itu unsur kebudayaan universal yang ada di lantai satu adalah : a. Unsur sistem mata pencaharian dan unsur perlengkapan hidup yang diwakili oleh perlengkapan menangkap ikan di laut dan sungai, perlengkapan mengumpulkan hasil hutan dan peralatan dapur tradisional. Universitas Indonesia
80
b. Unsur sistem kemasyarakatan yang diwakili rumah miniatur sesat dengan perlengkapan upacara adat Pepadun, rumah tradisional Lampung serta berbagai perlengkapan adat berupa nampan dan wadah sirih, puade perkawinan dan pelaminan pengantin tradisional Lampung, serta pakaian tradisional pengantin Pepadun dan Saibatin. c. Unsur teknologi diwakili oleh peralatan tenun tradisional, pemintal benang, hasil pintalan benang,
berbagai bentuk modifikasi hasil tenun tapis, dan kain
tradisional Lampung berupa kain tapis, kain inuh dan batik tradisonal Lampung. d. Unsur kesenian yang diwakili oleh berbagai peralatan kesenian seperti Tupping dan Sakura (topeng tradisional Lampung) serta peralatan musik seperti gambus, rebana dan gamolan pekhing.
Foto 15 Koleksi peralatan mengumpulkan Hasil Hutan Sumber: Dok. Museum Lampung
Foto 16 Koleksi Kain Tenun Tapis Sumber : Dok. Museum Lampung
3.3.1.3 Penyajian di Luar Gedung Pameran Tetap Museum Negeri Provinsi Lampung memiliki taman yang juga dimanfaatkan sebagai tempat penyajian koleksi. Koleksi yang dipilih adalah benda yang dianggap tahan dengan cuaca dan iklim. Jenis koleksi yang ada di luar gedung terdiri atas: a. Koleksi Historika berupa meriam dalam berbagai ukuran. b. Koleksi Etnografika berupa rumah pesagi lengkap dengan perabot runah tangga dan lumbung padi. c. Koleksi Teknologika berupa rambu laut, alat penggiling kopi tradisional dan
Universitas Indonesia
81
Foto 17 Rumah Pesagi Sumber: Dok. Museum Lampung
3.3.2
Foto 18 Lumbung Padi Sumber: Dok. Museum Lampung
Pameran Temporer Pameran temporer adalah pameran yang diselenggarakan dalam jangka waktu
tertentu dalam variasi waktu yang singkat dari satu minggu sampai satu tahun dengan mengambil tema khusus mengenai aspek-aspek tertentu dalam sejarah, alam dan budaya (Pedoman Tata Pameran di Museum, 1998: 4). Museum Negeri Provinsi Lampung menyelenggarakan pameran temporer paling tidak satu kali selama satu tahun dengan tema-tema khusus yang menarik. Bentuk pameran temporer yang rutin dilaksanakan oleh Museum Negeri Provinsi Lampung adalah dengan ikut berpartisipasi dalam pameran pembangunan dalam rangka memperingati HUT RI yang diselenggarakan di PKOR Way Halim. Meskipun pameran ini tidak diselenggarakan di lingkungan museum tetapi karena kegiatan ini rutin dilakukan setiap tahun oleh Pemerintah Provinsi Lampung, maka Museum Negeri Provinsi Lampung mengagendakan acara ini sebagai pameran temporer. Tema-tema yang pernah dibawakan oleh museum lampung, di antara Pameran Senjata Tradisional Lampung, Pameran Tenun Tradisioan Lampung dan lain-lain.
Universitas Indonesia
82
3.3.3
Pameran Keliling Pameran keliling adalah pameran yang diselenggarakan di luar museum
pemilik koleksi, dalam jangka waktu tertentu, dalam variasi waktu yang singkat dengan tema khusus dengan jenis koleksi yang dimiliki oleh museum tersebut dipamerkan atau dikelilingkan dari satu tempat ke tempat lain (Pedoman Tata Pameran di Museum, 1998: 4). Pelaksanaan pameran keliling Museum Negeri Provinsi Lampung yang dilaksanakan di dalam lingkup Provinsi Lampung paling tidak diselenggarakan satu kali dalam satu tahun. Penyelenggaraan pameran ini dilaksanakan di kecamatan dengan meminjam tempat seperti balai pertemuan milik kecamatan. Tema pameran yang dipilih biasanya berkaitan dengan koleksi-koleksi yang berasal dari tempat tersebut. Selain itu, Museum Negeri Provinsi Lampung juga ikut dalam program Pameran Bersama Museum Negeri Se Sumatera yang diselenggarakan bersama oleh Museum-Museum Negeri Provinsi Se Sumatera secara bergilir. Program ini unik karena masuk dalam dua ranah jenis pameran, pada saat Koleksi Museum Negeri Provinsi Lampung menjadi tamu di Museum Negeri Provinsi se Sumatera lainnya maka penyelenggaraan pameran yang dilakukan masuk dalam ranah pameran keliling. Tetapi pada saat Museum Negeri Provinsi Lampung menjadi tuan rumah program ini, maka jenis pameran yang diselenggarakan adalah pemeran temporer. Demikian juga dengan program Pameran Nasional yang diikuti oleh Museum Negeri Provinsi Lampung, karena dengan mengikuti program ini ketika koleksi milik Lampung berkeliling ke seluruh Indonesia, maka penyelenggaraan pameran tersebut masuk dalam ranah pameran keliling, sementara pada saat Lampung menjadi tuan rumah maka Museum Negeri Provinsi Lampung menyelenggarakan pameran temporer.
3.4
Kegiatan Eduaktif Kultural Selain penyelenggaraan pameran dalam menyebarluasan informasi tentang
koleksi, Museum Negeri Provinsi Lampung juga menyelenggarakan kegiatan edukatif kultural. Pada umumnya tujuan bimbingan edukatif di museum adalah Universitas Indonesia
83
memberi stimulan (rangsangan) kepada pengunjung museum khususnya para pelajar, untuk mengembangkan imajinasi dan kepekaannya (Buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Edukatif, 1994: 9). Tetapi tujuan ini tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan pendidikan nasional ini harus dijabarkan kepada tujuan umum kegiatan edukatif dan yang kemudian dijabarkan lagi menjadi tujuan khusus kegiatan bimbingan edukatif di museum (Buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Edukatif, 1994: 9). Kegiatan edukatif kultural yang diselenggarakan UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung setiap tahun antara lain: a. Panduan keliling kepada pengunjung. Kegiatan ini merupakan kegiatan pemanduan yang diberikan kepada pengunjung yang datang ke museum. Umumnya Museum Negeri Provinsi Lampung memberikan pemanduan kepada pengunjung dalam kelompok besar, seperti pengunjung siswa sekolah atau pengunjung dari organisasi sosial. Hal terpenting untuk keberhasilan kegiatan ini adalah kerjasama yang baik antara pimpinan rombongan atau guru dengan petugas bagian bimbingan museum (Buku Petunjuk Pelaksanaan kegiatan bimbingan Edukatif, 1994: 11). Perlu disepaki antara pemimpin rombongan dengan petugas bimbingan target dari kunjungan yang diharapkan sekolah. Masalah yang sering muncul terhadap bimbingan keliling museum dari kelompok rombongan adalah tidak fokusnya peserta rombongan terhadap penjelasn atau informasi yang diberikan oleh pemandu. Hal ini terjadi karena kegiatan bimbingan keliling berlangsung monotan dan tidak menarik. Pemandu seringkali hanya mengulang tulisan yang tertera di lebel tanpa memberikan penjelasan tambahan yang mungkin bermanfaat untuk pengunjung. b. Ceramah Permuseuman. Kegiatan ini umumnya berlangsung di ruang khusus seperti auditorium. Kegiatan ceramah diadakan selain untuk memperkenalkan koleksi di museum, juga memperkanalkan kekayaan budaya bangsa (Buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Edukatif, 1994: 12). Isi ceramah harus
Universitas Indonesia
84
disesuikan dengan taraf pengetahuan pendengarnya. Cara yang paling mudah adalah dengan ilmu pengetahuan uang dipelajari di sekolah. c. Kegiatan pemutaran slide atau film. Kegiatan ini bertujuan agar pengunjung dapat melihat lebih jelas proses suatu kegiatan kebudayaan, seperti pembuatan kerajinan tradisional setempat. Kegitan ini dapat memperlihat proses budaya yang ada di balik benda atau kegitan adat yang prosesinya dapat menjelaskan fungsi dari benda tersebut. Diharapkan kegiatan pemutaran slide atau film dapat menarik dan menyenangkan bagi pengunjung museum, sehingga peserta kegiatan ini dapat bertambah pengetahuannya. d. Bimbingan karya tulis. Kegiatan bimbingan karya tulis adalah kegiatan memberikan bimbingan atau pelayanan kepada para siswa dalam menyusun karya tulis (Buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Edukatif, 1994). Museum dalam hal ini dapat memberikan informasi sesuai dengan keperluan atau tugas yang diberikan kepada siswa. Informasi tersebut dapat berasal dari wawancara dengan kurator museum atau dari berbagai hasil penelitian yang diterbitkan oleh museum. Bahan terbitan museum dapat diakses siswa di perpustakaan museum. Melalui wawancara dan terbitan tersbut siswa dapat menulis berbagai topik yang berkaitan dengan museum dan kolesksinya. e. Museum Masuk Sekolah. Kegiatan ini dilakukan di luar gedung museum. Lokasi kegiatan umumnya dipilih di sekolah pada salah satu kecamatan yang lokasinya jauh dari museum. Museum Masuk Sekolah terdiri atas berbagai kegiatan seperti penayang slide dan film, penyajian pameran “mini” dengan sejumlah kecil koleksi yang dibawa dari museum dan ceramah permuseman. Kegiatan ini diikuti oleh siswa sekolah, khususnya untuk kegiatan penayangan slide dan film serta pameran “mini”. Ceramah permuseuman diberikan kepada guru untuk memperkenalkan tugas pokok dan fungsi museum. Penyelenggaraan kegiatan museum keliling seperti ini dimaksudkan untuk memperluas pelayanan museum dalam memberikan informasi yang bersifat edukatif tentang museum kepada masyarakat yang relatif jauh tempat tinggalnya dari museum (Buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Eduaktif, 1994: 17). Universitas Indonesia
85
f. Lomba permuseuman. Lomba permuseuman merupakan lomba yang materi kegitannya berkaitan dengan koleksi museum. Sebagai contoh untuk siswa SD pelaksanaan lomba dapat berupa mewarnai gambar koleksi museum atau melukis koleksi museum. Contoh lain yang menarik adalah lomba permainan anak tradisional untuk tingkat SMP seperti engrang atau gasing. Lomba-lomba ini di samping dijadikan sebagai ajang prestasi juga dapat digunakan untuk membangun sportivitas dan kecintaan terhadap kebudayaan daerah. Penyelenggaraan lomba pada umumnya dapat digunakan juga sebagai ajang memperkenalkan berbagai dan koleksi dan tugas museum. g. Kegiatan paket kebudayaan. Kegiatan ini mirip dengan ceramah, namun yang unik di sini adalah pesertanya adalah pengunjung museum. Temanya yang dibawakan dipilih oleh pengunjung sendiri. Saat ini Museum Negeri Provinsi Lampung telah memliki Paket Prasejarah, Paket Tenun Tradisional dan Paker Sejarah Perjuangan Radin Inten II. Kegiatan ini menggunakan media slide dan film untuk menjelaskan materi yang diajarkan. Untuk memberikan efek belajar yang lebih mendalam peseta diperkenankan untuk berinteraksi langsung dengan koleksi museum yang berkaitan dengan materi yang diajarkan, seperti misalanya dalam menyampaikan Paket Prasejarah pengunjung diperkenankan memegang replika koleksi fosil manusia Homo Erectus dan mencoba menggunakan berbagai replika alat batu. Kegiatan ini telah berlangsung sejak tahun 2004. Hingga sekarang telah diikuti oleh puluhan sekolah dan materinya telah diajarkan kepada ribuan siswa sekolah dari berbagai tingkatan dari SD hingga SLTA. Ada beberapa sekolah yang telah menjadi langgan tetap untuk mengikuti program edukatif ini.
3.5 Sarana dan Prasana Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya museum membutuhkan sarana yang dapat memfasilitasi semua kegitannya sehingga dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Sarana tersebut dalam pembahasan ini akan dibagi menjadi sarana fisik, sarana penunjang dan sarana non fisik.
Universitas Indonesia
86
3.5.1 Sarana Fisik Ketersedian sarana fisik akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan museum dalam memberikan pelayanan kepada pengunjung. Kondisi sarana fisik hingga saat ini sebagian di antara sudah berusia tua namun masih dapat digunakan untuk memberi dukungan pada pelayanan museum. Kondisi sarana fisik dapat dilihat pada Tabel 3.2 sebagai berikut : Tabel 3.2 Sarana Fisik Museum Negeri Provinsi Lampung UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006 No. Nama Bangunan Luas m² 1. Gedung Administrasi 450 2. Gedung Pameran Tetap 1.500 3. Gedung Pameran Temporer 400 4. Gedung Auditorium 684 5. Gedung Bengkel 150 6. Gedung Laboratorium 150 7. Gedung Storage 400 8. Gedung Fumigasi 9 9. Gedung Diorama 160 10. Toilet 120 11. Mushola 36 12. Pos Satpam 9 13. Sumur Artesis 9 14. Bangunan Pagar 800 15. Jumlah 4.717 Sumber : Studi Kelayakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Museum Negeri Provinsi Lampung 3.5.2
Sarana Penunjang Untuk menunjang berbagai aktivitas dan pelayanan kepada pengunjung, selain
sarana fisik, Museum Negeri Provinsi Lampung mempunyai sarana pneunjang seperti yang diuraikan dalam Tabel 3.3.
Universitas Indonesia
87
Tabel 3.3 Sarana Penunjang UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006 No. 1. 2. 3. 4.
Nama Lahan
Luas m² Lahan Parkir 7.143 Jalan 2.427 Taman Lingkungan 7.440 Tanah Perluasan 1.800 Luas 18.810 Sumber : Studi Kelayakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Museum Negeri Provinsi Lampung
Tabel 3.4 Sarana Penunjang Perlengkapan Kantor UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006 Jumlah (unit) 1. Meja kursi kerja 68 2. Meja kursi sidang 24 3. Komputer 12 4. Mesik ketik 5 5. Lemari arsip 19 6. Lemari penyimpanan 5 7. Sofa 4 Jumlah 137 Sumber : Studi Kelayakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Museum Negeri Provinsi Lampung No.
Nama Alat
Tabel 3.5 Sarana Penunjang Keamanan UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006 No.
Nama Alat
Jumlah (unit)
1. 2. 3.
TV Monitoring (CCTV) 2 Pemadam Kebakaran 6 Alarm System 2 Jumlah 10 Sumber : Studi Kelayakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Museum Negeri Provinsi Lampung. Universitas Indonesia
88
Tabel 3.6 Sarana Penunjang Teknis UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun 2006 No.
Nama Alat
Jumlah (unit)
1.
Alat Pengelolaan Koleksi a. GPS 2 b. Skala Mohs 1 c. Tustel 5 d. Peralatan Studio 1 e. Alat Preparasi f. Bor Listrik 1 g. Sugu Listrik 1 h. Kompresor 1 i. Leteron 1 j. Gergaji Listrik 1 k. Mesin Jahit 1 2. Alat Laboratorium Konservasi a. Gelas Ukur 12 b. Kontainer 12 c. Sling Higrometer 1 d. Dray Oven 1 e. Luks Meter 1 f. Dehumidifier 2 g. Ultra Sonic Cleaner 1 3. Alat Bimbingan Edukasi a. Sound System 4 b. TV 4 c. Megaphone 2 d. Keyboard 1 e. LCD 2 f. Laptop/Notebook 2 g. Layar Proyektor 3 h. Kamera Video 2 i. Slide Projector 3 j. DVD Palayer 1 k. Jumlah 69 Sumber : Studi Kelayakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Museum Negeri Provinsi Lampung
Universitas Indonesia
89
3.5.3
Sarana Non Fisik Sumber daya non fisik yang amat menentukan berhasil atau tidaknya setiap
kegiatan adalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia Museum Negeri Provinsi Lampung merupakan pengelola seluruh aspek teknis dan administrasi museum. Sumber daya manusia tersebut terbagi atas dasar tingkat pendidikan dan pangkat/golongan. Di samping itu, dalam melaksanakan tugas-tugas teknis, sumber daya manusia museum juga memiliki keterampilan khusus yang didapatkannya dari pelatihan-pelatihan teknis yang dapat menunjang profesionalisme dan tingkat keberhasilan setiap tugas yang dilaksanakannya. Berikut ini adalah tabel yang memperlihatkan kondisi pendidikan sumber daya manusia, kondisi sumber daya manusia berdasarkan pangkat/golongan dan kondisi sumber daya manusia berdasarkan pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti. Tabel 3.7 Kondisi Sumber Daya Manusia Berdasarkan Tingkat Pendidikan UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006 No. 1. 2. 3.
4.
5.
Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA a. SMA b. SMEA c. STM d. KPAA Sarjana Muda./ DIII a. Sarjana Muda Perbankan b. D III Administrasi c. D III Bahasa Inggris Sarjana (S1) a. S1 Ilmu Pendidikan Luar Sekolah b. S1 Arkeologi c. S1 Pendidikan Sejarah d. S1 Sejarah e. S1 Sosiologi f. S1 Adminisitrasi
Jumlah (orang) 4 2 29 20 6 2 1 3 1 1 1 12 1 2 3 2 1 2 Universitas Indonesia
90
g. S1 Ekonomi 1 Jumlah 50 Sumber : Studi Kelayakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Museum Negeri Provinsi Lampung Tabel 3.8 Kondisi Sumber Daya Manusia Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pangkat / Golongan UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun 2006 No.
Tingkat Pendidikan
I SD 2 SLTP SLTA Sarjana Muda Sarjana S1 Jumlah 2 Sumber : Studi Kelayakan Pengembangan Provinsi Lampung 1. 2. 3. 4. 5.
Golongan Jumlah II III IV (orang) 2 4 2 2 29 29 3 3 11 1 13 33 13 1 50 Sarana dan Prasarana Museum Negeri
Tabel 3.9 Kondisi Sumber Daya Manusia yang Mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan Teknis Permuseuman UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun 2006 Jumlah (orang) 1. Penataran Permuseuman Tipe Dasar 11 2. Penataran Permuseuman Tipe Khusus 4 3. Pelatihan/Magang Konservasi 2 4. Pelatihan/Magang Edukasi 2 5. Pelatihan/Magang Preparasi 2 6. Pelatihan/Magang Koleksi 2 7. Pelatihan Database Koleksi 2 8. Pelatihan Simbada 2 9. Pelatihan Kepariwisataan 2 10. Manajemen Seni 2 11. Workshop Museum 2 12. Internship Program 1 Sumber : Studi Kelayakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Museum Negeri Provinsi Lampung No.
Jenis Pendidikan dan Pelatihan
Universitas Indonesia
91
3.6
Pengunjung Museum Lampung Tingkat keberhasilan pengelolaan museum dapat dilihat dari semakin
meningkatnya jumlah pengunjung. Namun, jumlah pengunjung baru memperlihatkan keberhasilan dari sisi kuantitas belum memperlihatkan sisi kualitas yang justru menjadi bukti terhadap keberhasilan museum dalam melaksanakan peran utamanya di bidang pendidikan. Bila dilihat pada tabel Pada Tabel 1.1 dalam era otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga tahun 2008, jumlah pengunjung siswa SLTP memiliki persentase tertinggi yaitu 38,76%, diurutan kedua adalah pengunjung dari tingkat SD dengan persentase 36,42% dan urutan ketiga terbesar adalah siswa tingkat SLTA dengan persentase 18,79%. Sementara dari kelompok pengunjung lain total jumlahnya sangat kecil tidak lebih dari 4%, bahkan dari kalangan peneliti hanya besarnya hanya 0,01%. Tingginya jumlah pengunjung siswa perlu mendapat perhatian, terutama bagi siswa SLTP yang mempunyai jumlah kunjungan paling besar. UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung perlu memberikan alternatif penyajian yang lebih interaktif seperti pembuatan ruang khusus untuk mereka belajar lebih efektif. Ruang Penemuan dapat menjadi alternatif yang menarik dan memberikan kepada mereka kebebasan untuk berinteraksi dengan objek dan fenomena yang disajikan di museum. Sementara dari tabel 4.10 disajikan statistik pengunjung tentang pameran temporer, pameran keliling, dan Museum Masuk Sekolah. Seluruh pameran kecuali pemeran temporer, penyelenggaraannya di luar museum. Bahkan, Pemeran se Sumatera dan Pemeran Nasional dilaksanakan di luar Lampung, kecuali bila Museum Negeri Provinsi Lampung menjadi tuan rumah. Kemungkinan menjadi tuang rumah Pameran se Sumatera terjadi hanya 8 tahun sekali, sementara Pameran Nasional 15 tahun sekali. Jadi jumlah kunjungan terbesar dari kedua pameran ini berasal dari daerah di luar Lampung. Khusus untuk museum masuk sekolah, program edukasinya dilaksanakan pada lokasi yang jauh dari Kota Bandar Lampung. Statistk pengunjung pada Tabel 4.10 memperlihatkan bahwa jumlah pengunjungnya dari tahun ke tahun terus Universitas Indonesia
92
meningkat. Namun sayang dua tahun terakhir tidak dapat dilaksanakan karena alasan dana. Padahal program ini menjadi salah satu ajang promosi bagi museum untuk memperkenalkan koleksi dan program-program edukasi lainnya kepada guru dan siswa. Tabel 3.10 Statistik Pengunjung Pameran Temporer, Pameran Keliling dan Museum Masuk Sekolah UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2001 – 2008
No.
1 2 3 4 5 6 7 8
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah
Pemeran Temporer (HUT RI)
22,762 37,528 24,187 27,700 29,574 0 0 141,751
Pameran Keliling Museum Masuk (Pameran Se Sumatera dan Sekolah Pameran Nasional
63,781 64,745 11,914 99,676 23,720 54,374 0 0 254,429
10,289 5,868 19,011 20,932 19,232 35,825 0 0 100,868
Sumber : Statistik Pengunjung Museum Negeri Provinsi Lampung Tahun 2008
Universitas Indonesia
BAB 4 MUSEUM NEGERI PROVINSI LAMPUNG INSTITUSI PENDIDIKAN INFORMAL PENDUKUNG PEMBELAJARAN IPS TINGKAT SMP
Pada bagian awal bab ini akan diuraikan analisis terhadap eksibisi Museum Negeri Provinsi Lampung dengan menggunakan karakteristik yang dapat memperlihatkan posisi museum dalam kuadaran teori pendidikan di museum. Hasil analisis tersebut akan dapat memberi gambaran apakah kebijakan eksibisi dan program edukasi yang telah diterapkan oleh Museum Negeri Provinsi Lampung cocok bagi anak-anak, sehingga museum dapat menjadi institusi pendidikan informal yang dapat mendukung pembelajaran IPS tingkat SMP. Pada bagian selanjutnya diuraikan konsep eksibisi Museum Negeri Provinsi Lampung yang dapat menarik untuk anak. Landasan teoretis yang digunakan untuk mengembangkan konsep tersebut adalah teori pendidikan konstruktivis dan konsep belajar kontekstual yang mengakomodasi kondisi belajar aktif di museum. Agar konsep tersebut dapat diterapkan, maka perlu dipertimbangkan kondisi yang sebelumnya telah menjadi karakteristik dari Museum Negeri Provinsi Lampung. Mungkin perlu dilakukan beberapa penyesuaian agar museum tetap dapat berfungsi sebagai museum umum. Beberapa alternatif penyajian objek dan fenomena juga akan diuraikan di sini dengan tujuan memberikan beberapa contoh desain penyajian yang dapat diterapkan di Museum Negeri Provinsi Lampung dengan menggunakan objek atau fenomena yang dapat disediakan oleh museum. Pada bagian akhir bab ini akan dibahas upaya-upaya untuk memperjelas posisi museum sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Penguatan ini penting agar secara sistematis museum dapat ikut berperan memperkuat dan memperkaya pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan oleh siswa dari sekolah. Upaya sistematis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kurikulum IPS Tingkat SMP sebagai referensi mendesain eksibisi yang dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa sebagai laboratorium IPS.
Universitas Indonesia
94
4.1 Karakteristik Teori Pendidikan Museum Negeri Provinsi Lampung Hal yang esensial untuk mengetahui kebijakan museum dalam menyajikan eksibisi dan melaksankan program edukasi adalah dengan mengetahui teori pendidikan yang diterapkannya pada kedua fungsi komunikasi museum tersebut. Tinjauan terhadap teori pendidikan tersebut dapat digunakan untuk membahas peran Museum Negeri Provinsi Lampung sebagai institusi pendidikan yang cocok untuk tempat belajar bagi anak-anak. Terdapat beberapa karakteristik yang akan digunakan untuk menilai arah kebijakan eksibisi dan program edukasi museum. Karakteristik tersebut diambil dari karakteristik umum yang ada pada masing-masing kuadran teori pendidikan di museum yang telah di uraikan pada bab 2. Oleh karena itu hasil penilaian nanti akan dapat digunakan menentukan posisi museum dalam kuadran teori pendidikan tersebut. Karakteristik yang dijadikan sebagai penilaian adalah : a. Fungsi eksibisi dalam pembelajaran. b. Penggunaan komponen didaktik dalam pembelajaran. c. Metode penataan koleksi museum. d. Susunan subjek program edukasi. e. Tujuan program edukasi.
4.1.1 Fungsi Eksibisi dalam Pembelajaran Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab 3 bahwa Museum Negeri Provinsi Lampung dalam melakukan pengumpulan koleksi menggunakan dasar pemikiran bahwa museum adalah salah satu institusi untuk mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, klasifikasi koleksi museum juga didasarkan pada kreteria disiplin ilmu. Museum Negeri Provinsi Lampung mengklasifikasikan koleksi menjadi 10 jenis, yaitu koleksi Geologika/Geografika, Biologika, Etnografika, Arkeologika, Historika, Numismatika dan Heraldika, Filologika, Keramologika, Seni Rupa dan Teknologika. Atas dasar klasifikasi koleksi tersebut, maka dalam eksibisinya di pameran tetap Museum Negeri Provinsi Lampung juga menerapkan penyajian berdasarkan klasifikasi. Sebagaimana diuraikan pada Bab 3 bahwa pada lantai dasar eksibisi yang disajikan adalah dari kelompok koleksi sejarah alam dan manusia. Untuk itu, bila
Universitas Indonesia
95
kunjungan dilakukan searah jarum jam, maka penyajian yang dapat disaksikan dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 Penyajian Berdasarkan Klasifikasi Koleksi Pada Lantai Dasar Museum Negeri Provinsi Lampung
No.
Penyajian
1.
Flora dan fauna
2.
Penggambaran kondisi Gunung Krakatau
3.
Bahan mineral dan batuan geologi Lampung
4.
Kondisi paleontologi Lampung
5.
Evolusi manusia
6.
Kebudayaan paleolitik
7.
Kebudayan megalitik
8.
Kebudayaan neolitik
9.
Manik-manik
Klasifikasi Koleksi Biologika
Koleksi
1. Koleksi berbagai fauna khas Sumatera hasil offset. 2. Koleksi flora khas Sumatera berupa beberapa jenis pohon yang telah langka khas Sumatera. Geologika 1. Koleksi lava bom Gunung Anak Krakatau. 2. Batuan di sekitar Gunung Anak krakatau. Geologika 1. Koleksi berupa beberapa contoh batuan bahan tambang yang ditemukan di Lampung. 2. Koleksi contoh minyak bumi. Geologika Koleksi beberapa contoh fosil seperti fosil kayu, kerang dan gigi gajah. Arkeologi (masa Koleksi berbagai fosil manusia prasejarah) yang disusun sesuai dengan kronologi usia. Arkeologi (masa Koleksi berbagai alat batu seperti prasejarah) kapak persegi kapak, lonjong dan alat tulang. Arkeologika 1. Koleksi berbagai arca batu (masa prasejarah) dan logam hasil temuan dari Lampung. 2. Koleksi replika arca Polenesia (replika arca dari situs Pugung Raharjo Arkeologika Koleksi nekara dan bejana hasil (masa prasejarah) eskavasi di wilayah Lampung Arkeologika Koleksi manik-manik dari (masa Klasik) berbagai bahan dan bentuk perhiasan.
Universitas Indonesia
96
No. 10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Klasifikasi Koleksi Koleksi Bukti persebaran Arkeologi (masa 1. Koleksi berbagai arca agama Hindu dan klasik) Trimurti dan pragmen dari Budha di Lampung bahan logam dan batu. 2. Relika arca Bhodisatwa (dari situs Pugung Raharjo) Taman prasasti Arkeologi (masa Berbagai replika prasasti yang klasik) ditemukan di wilayah Lampung dari abad ke VII M sampai dengan abad XIV/XV M. Bukti penyebaran Arkeologi (masa 1. Koleksi replika arca agama Hindu Budha klasik) Prajnaparamita di Indonesia 2. Koleksi arca Budhadipankara Bukti penyebaran Arkeologi (masa Koleksi hiasan dinding dengan agama Islam di Islam) kaligrafi aksara Arab, Keramik Lampung dengan hiasan kaligrafi Arab, teko dari logam yang bergrafir aksara Arab, Al Quran tulis tangan dan tikar sembahyang. Naskah kuna Filologika Koleksi berbagai naskah kuna yang ditemukan di Lampung dengan aksara Lampung kuna, Arab dan Bali kuna yang mengunakan bahasa Lampung Kuna, Arab, Melayu dan Jawa Kuna. Bahan yang dipakai adalah kertas, kulit kayu, bambu, lontar, tanduk, dan logam. Sejarah perlawanan Historika 1. Koleksi bukti-bukti sejarah terhadap penjajah perjuangan pahlawan Radin Inten II. 2. Koleksi berbagai senjata yang pernah dipergunakan melawan penjajah. 3. Koleksi meriam dalam berbagai ukuran (penyajian di luar gedung pameran tetap). Bukti sejarah Historika 1. Koleksi peralatan rumah masuknya pengaruh tangga dari krinstal. kolonial 2. Jangkar kapal (penyajian di luar gedung pameran. Keramik lokal Keramologika Koleksi gerabah dengan bentuk dan hiasan yang khas Lampung, Penyajian
Universitas Indonesia
97
No.
Penyajian
Klasifikasi Koleksi
18.
Keramik asing
19.
Alat pembayaran Numismatika yang syah Surat-surat berharga Heraldika
20.
21.
22. 23.
Keramologika
Karya seniman Seni Rupa terkenal dari Lampung Teknologi tenun Teknologika tradisional Teknologi pertanian Teknologika
24.
Unsur sistem mata Etnografika percaharian dan perlengkapan hidup
25.
Unsur sistem Etnografika kemasyarakatan
Koleksi hasil karya pengrajin gerabah Lampung. Koleksi berbagai bentuk keramik asing yang masuk ke Lampung, di antaranya berasal dari Cina, Jepang, Thailand, Arab dan Eropa Koleksi mata uang dari berbagai negara dan bahan. 1. Koleksi surat pengangkatan Perwatin. 2. Stempel Marga. Lukisan karya Abbas Alibasya berjudul Gudang Lelang. 1. Alat tenun bukan mesin Bola besi (penyajian di luar gedung pameran). 1. Peralatan menangkap ikan di laut dan di sungai. 2. Peralatan mengumpulkan hasil hutan 3. Peralatan dapur. 1. Nampan, bokor dan wadah sirih. 2. Miniatur sesat dengan perlengkapan upacara adat Pepadun, miniatur sesat, miniatur rumah tradisional Lampung Pepadun. 3. Pelaminan pengantin Saibatin. 4. Pelaminan pengantin Pepadun. 5. Puade Pengantin Pepadun. 6. Puade Pengantin Saibatin. 7. Pakaian pengantin tradisional Pepadun dan Saibatin 8. Rumah Pesagi lengkap dengan perabotnya (penyajian di luar gedung pameran). 9. Pakaian pengantin tradisional Pepadun dan Saibatin
Universitas Indonesia
98
26.
Unsur teknologi
Klasifikasi Koleksi Etnografika
27.
Unsur kesenian
Etnografika
No.
Penyajian
Koleksi 1. 2. 3. 4.
Peralatan tenun tradisional Pemintal benang tradisonal Contoh hasil pintalan benang Berbagai bentuk modifikasi hasil tenun tapis. 5. Beberapa kain tapis 6. Kain inuh 7. Batik tradisional Lampung Tupping dan Sakura (topeng tradisional Lampung) Perangkat musik tradisional seperti gambus, rebana, gamolan pekhing dan lain sebagainya.
Dari tabel 4.1 tampak bahwa eksibisi Museum Negeri Provinsi Lampung penyajiannya didasarkan pada klasifikasi koleksi. Bila melihat koleksi yang disajikan maka tampak bahwa fungsi koleksi adalah sebagai contoh dari klasifikasi koleksi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fungsi pembelajaran eksibisi dari Museum Negeri Provinsi Lampung adalah dengan memberikan berbagai contoh dari subjek bidang ilmu pengetahuan yang ditetapkan sebagai klasifikasi koleksinya. Karakteristik ini sesuai dengan ciri-ciri pertama dari eksibisi yang menggunakan teori pendidikan didaktik ekspositori, yaitu menjadikan
pameran
sebagai contoh. Pada beberapa penyajiannya jelas tampak bahwa penataan koleksi disajikan secara kronologis. Hal ini paling tampak pada klasifikasi koleksi arkeologika yang dibagi berdasarkan pembabakan arkeologi, yaitu masa parasejarah, masa, klasik dan masa Islam. Kronologi penyajian koleksi ini sekali lagi sesuai dengan karakteristik eksibisi yang menggunakan teori pedidikan didaktik ekspositori, yaitu eksibisi disajikan dengan awal dan akhir yang jelas dan dengan susunan yang jelas.
4.1.2 Penggunaan Komponen Didaktik dalam Pembelajaran Tata pameran Museum Negeri Provinsi Lampung sepanjang tahun anggaran 2006 dan 2007 mengalami renovasi khususnya untuk tata pameran lantai dasar.
Universitas Indonesia
99
Bagian terbesar renovasi dilakukan pada panel informasi. Terdapat banyak penambahan panel untuk mendukung kelengkapan informasi yang dibutuhkan pengunjung. Sebagian panel ditata di dalam vitrin menyatu dengan koleksi sebagian lainnya ditata di luar, dekat dengan vitrin. Panel yang ditata di luar memberikan informasi tambahan sesuai dengan tema penyajian yang disajikan. Tabel 4.2 di bawah ini akan memberi penjelasan lebih lengkap komponen didiktik yang dimiliki oleh Museum Negeri Provinsi Lampung. Tabel 4.2 Komponen Didaktik Museum Negeri Provinsi Lampung No. 1.
Penyajian Flora dan fauna
1. 2. 3.
2.
3.
4. 5.
Penggambaran kondisi 1. Gunung Krakatau 2. 3. 4. Bahan mineral dan 1. batuan geologi 2. Lampung Kondisi paleontologi 1. Lampung 2. Evolusi manusia 1. 2.
6.
Kebudayaan paleolitik
7.
Kebudayan megalitik
8.
Kebudayaan neolitik
9.
Manik-manik
Komponen Didaktik Label nama dan nama latin Flora dan Fauna. Panel Peta persebaran flora dan fauna di pulau Sumatera. Panel flora dan fauna khas dari komplek Gunung Anak Krakatau. Label koleksi (hanya nama koleksi). Panel informasi sejarah letusan Krakatau Panel sejarah geologi Panel lapisan bumi Label koleksi (hanya nama koleksi) Panel tabel skala kekerasan Mohs
Label (hanya nama koleksi) Lukisan ilustrasi kondisi kehidupan prasejarah. Label (hanya nama koleksi) Panel peta persebaran fosil manusia prasejarah Label. 3. Panel penemu fosil 1. Label koleksi (nama koleksi, keterangan lokasi temuan) 2. Panel peta persebaran kapak persegi dan kapak lonjong. Label koleksi (nama koleksi, bahan, keterangan lokasi temuan) 1. Label koleksi (nama koleksi, bahan, keterangan lokasi temuan dan perkiran usia/waktu) 2. Panel persebaran kebudayaan neolitik. 1. Label koleksi (nama koleksi, bentuk, bahan)
Universitas Indonesia
100
No. 10.
11.
12.
13.
14.
Penyajian
Komponen Didaktik 2. Panel fungsi, bentuk dan bahan manik-manik Bukti persebaran 1. Label koleksi (nama koleksi, bahan, tempat agama Hindu dan ditemukan, perkiraan usia). Budha di Lampung 2. Panel kosmologi agama Hindu 3. Panel kosmologi agama bhudda pada candi Borobudur 4. Panel tingkat kebhuddaan. 5. Panel arca Hindu. 6. Panel 10 keunggulan budaya bangsa Indonesia sebelum masuknya pengaruh kebudayaan. Taman prasasti 1. Label koleksi (nama koleksi, bahan, lokasi ditemukan, perkiraan usia) 2. Panel kronologi prasasti. 3. Penel parasasti tentang nama, jabatan/profesi, lokasi, sesaji/pasek-pasek, simbol, tujuan penerbitan prasasti. Bukti penyebaran 1. Label koleksi (nama koleksi, bahan, lokasi agama Islam di ditemukan, perkiraan usia). Lampung 2. Panel peta masuknya kebudayaan Islam di Lampung 3. Penel persebaran masuknya kebudayaan Islam. 4. Panel informasi arsitektur Islam di Lampung. Naskah kuna 1. Label koleksi (nama koleksi, bahan, jenis aksara dan bahasa). 2. Panel perkembangan aksara dan bahasa Lampung. 3. Panel aksara dan angka Lampung. 4. Panel aksaara kuno di Indonesia. Sejarah Perlawanan 1. Label koleksi (nama koleksi, bahan, ornamen Terhadap Penjajah atau hiasan) 2. Panel peta kuna Sumatera-Lampung (alur pelayaran) 3. Panel catatan perjalanan saudagar Cina (Itsing, Cheng Ho). 4. Panel kerajaan Tulang Bawang. 5. Panel peta situs Tulang Bawang, 6. Panel arsitektur Kolonial. 7. Panel perjuangan Radin Inten II. 8. Panel foto peninggalan benda Radin Inten II.
Universitas Indonesia
101
Penyajian selanjutnya tidak dibahas lebih detil disini karena komponen didaktiknya hanya berupa label yang isinya di antaranya adalah nama koleksi, bahan, ornamen atau hiasan, dan fungsi. Berdasarkan Tabel 4.2 dapat disimpulkan bahwa materi informasi yang disajikan dalam label dan panel di Museum Negeri Provinsi Lampung digunakan untuk menjelaskan koleksi dan berisi informasi tambahan yang dapat dijadikan referensi untuk memahami hubungan koleksi dengan bidang ilmu pengetahuan yang menjadi dasar pengklasifikasian koleksi. Semua informasi, baik yang ada di label maupun yang ada di panel menjadi referensi bagi pengunjung untuk mempelajari pameran. Karakteristik ini sesuai dengan fungsi komponen didaktik dalam teori pendidikan didaktif ekspositori, yaitu menjelaskan apa yang harus dipelajari dari pemeran.
4.1.3 Metode Penyajian Koleksi Museum Berdasarkan buku Pedoman Tata Pameran di Museum (1998: 26) dinyatakan bahwa museum negeri provinsi dalam menentukan metode penyajian koleksi harus mempertimbangkan motivasi orang yang berkunjung ke museum. Meskipun belum melakukan penelitian tentang motivasi pengunjung, tatapi menurut buku tersebut motivasi pengunjung museum adalah sebagai berikut : 1. Untuk melihat keindahan benda-benda yang dipamerkan; 2. Untuk menambah pengetahuannya setelah melihat benda-benda yang dipamerkan; 3. Untuk melihat serta merasakan suatu suasana tertentu pada pameran tertentu. Berdasarkan motivasi pengunjung di atas maka museum harus dapat menyajikan koleksinya untuk memuaskan apa yang diinginkan oleh pengunjung dengan menciptakan metode-metode penyajian yang menarik. museum negeri provinsi dalam menyajikan eksibisinya menggunakan metode penyajian sebagai berikut : 1. Metode penyajian artistik, dimana kita memamerkan benda-benda diutamakan benda-benda yang mengandung unsur keindahan;
Universitas Indonesia
102
2. Metode penyajian intelektual atau edukatif, dimana benda-benda yang dipamerkan tidaklah bendanya saja, tetapi dipamerkan juga semua segi yang bersangkutan dengan benda itu sendiri seperti urutan proses terjadinya benda tersebut sampai pada cara penggunaannya atau fungsinya; 3. Metode penyajian romantik atau evokatif, dalam hal ini benda yang dipamerkan harus disertakan dengan memamerkan semua unsur lingkungan dimana benda-benda tersebut berada (Pedoman Tata Pameran di Museum, 1998: 26).
Museum Negeri Provinsi Lampung dalam penyajiannya menggunakan semua metode tersebut. Metode artistik digunakan untuk penyajian seperti kristal, kain tapis, dan kain sebagi (batik Lampung). Pertimbangan yang digunakan untuk menyajikan koleksi tersebut adalah keindahan ornamen atau motif dan bahan yang digunakan. Keindahan pada kristal jelas tampak dari bahannya. Untuk kain tapis keindahan yang disajikan adalah dari motif dan bahan yang menggunakan benang emas atau benang perak. Semantara kain sebagi yang dipilih adalah keindahan motifnya. Namun demikian pada penyajian kain tapis dan kain sebagi, labelnya tidak hanya memberikan informasi tentang bahan dan motif saja, tetapi juga informasi tentang fungsi sosial yang berkaitan dengan motif dan warna. Pada kian tapis motif dan warna tertentu menunjukkan status tertentu. Dengan demikian, meskipun menggunakan pendekatan artistik tetapi bukan berarti penyajiannya tidak memperhatikan keterkaitan koleksi dengan tujuh unsur kebudayaan sebagai latar belakang penyajian koleksi etnografika. Metode penyajian intelektual atau edukatif paling menonjol tampak pada lantai dasar yang memang digunakan untuk penyajian bidang ilmu yang dipelajari di sekolah, yaitu biologika, geologika, dan historika. Oleh karena itu, penyajian yang disajikan berisi informasi yang lengkap tentang objek yang disajikan. Pada koleksi biologika informasi yang disajikan di samping keterangan tentang jenis spesies dan nama latin, juga disajikan persebaran dari flora dan fauna tersebut di pulau Sumatera.
Universitas Indonesia
103
Koleksi geologika di samping menyajikan informasi tentang Gunung Anak Krakatau yang menjadi gunung api paling aktif di dunia, juga menyajikan informasi tentang sejarah alam semesta dan tentang lapisan bumi. Pada koleksi arkeologika dan historika, pendekatan kronologis yang tipikal dalam studi sejarah digunakan untuk menyajikan informasi arkeologika yang memiliki materi prasejarah, masa klasik dan masa Islam. Periode yang menggambarkan kontinum itu disajikan melalui koleksi fosil manusia prasejarah, berbagai alat batu hingga perlengkapan logam. Demikian juga dengan koleksi dari masa klasik yang menyajikan koleksi manik-manik, arca batu dan logam disertai dengan panel informasi persebaran agama Hindu dan Buddha dan kosmologi yang menjadi keyakinan masing-masing agama yang diambil dari candi Borobudur dan candi Prambanan. Kemudian memasuki masa Islam dengan penyajian koleksi benda-benda hiasan yang berornamen kaligrafi Arab, tikar sembahyang dan Al Quran. Kemudian koleksi historika, menyajikan perjuangan Radin Inten II dan berbagai peralatan perang yang pernah digunakan untuk melawan penjajah. Dalam panel informasinya juga disajikan pengaruh kolonial dalam arsitektur. Meskipun tidak banyak, Museum Negeri Provinsi Lampung juga memiliki penyajian dengan metode evokatif, yaitu pada penyajian flora dan fauna (di lantai dasar) serta penyajian pelaminan dan puade pengantin Pepadun dan Saibatin. Evokatif flora dan fauna memperlihatkan fauna yang hidup di Pulau Sumatera yang telah di offset, seperti harimau Sumatera, beruang madu, anak gajah dan lain-lain. Sebelum direnovasi informasi yang tersedia hanya berupa label, tetapi pada tahun 2006, informasi ditambah dalam format dultran, sehingga menjadi lebih menarik dan lebih lengkap dengan dibuatkannya panel peta persebaran fauna di Sumatera. Sementara evokatif puade dan pelaminan memperlihatkan perbendaan antara suku Pepadun dan suku Saibatin yang menjadi dua suku terbesar di Lampung. Perbedaan ornamen dan warna dominan tampak dengan jelas dapat dibedakan, apalagi berdekatan dengan evokatif ini juga disajikan pakaian penganting kedua suku tersebut yang memperjelas perbedaan yang dapat dilihat oleh pengunjung. Penyajian evokatif lain yang lebih menarik adalah rumah pesagi dan lumbung padi yang diletakkan di
Universitas Indonesia
104
luar gedung pameran tetap. Kedua penyajian tersebut berasal dari bangunan asli yang dipindahkan dari lokasi aslinya kemudian dibangun kembali di Museum Negeri Provinsi Lampung. Kedua penyajian itu memiliki kelengkapan seperti rumah aslinya. Pengunjung jika bisa masuk ke dalam rumah pesagi dan lumbung untuk menyaksikan dan membayangkan bagaimana kehidupan orang Lampung yang tinggal di rumah pesagi dan bagaimana orang Lampung menyimpan hasil panennya di lumbung. Akan tetapi, hingga saat ini dua objek yang potensial itu belum dapat diakses oleh masyarakat. Jadi pengunjung hanya dapat melihat dari luar. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa penyajian yang menggunakan metode intelektual atau edukatif sangat memperhatikan subjek ilmu pengetahuan yang menjadi dasar dari klasifikasi koleksinya. Dengan memegang teguh fondasi ilmu pengetahuan, maka penyajiannya juga akan mengikuti cara pandang ilmu tersebut terhadap objek kajiannya. Sebagaimana umumnya pendekatan ilmiah, maka penyajian subjek dalam penyajian juga disajikan secara hirarkis, yaitu mulai dari informasi yang sederhana hingga yang kompleks. Cara pandang ini sesuai dengan karakteristik eksibisi yang menggunakan teori pendidikan didaktik ekspositori sebagai pendekatannya. Karakteristik teori pendidikan yang dimaksud adalah subjek ditata secara hirarkis mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Akan tetapi, pendekatan artistik meskipun tidak menunjukkan karakteristik yang kuat, namum secara keseluruhan penyajiannya tetap mengikuti pakem standar klasifikasi koleksi berdasarkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, meskipun pendekatannya lebih menonjolkan keindahan, namun pada label informasi terdapat keterangan fungsi sosial yang memperlihatkan keterkaitan koleksi dengan pendekatan tujuah unsur kebudayaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun tidak terlalu kuat, tetapi metode ini tetap memberikan sentuhan ilmiah di dalamnya. Artinya, meskipun penataan subjeknya tidak disajikan secara hirarkis tetapi informasi pendukungnya memperlihatkan hal itu. Di samping itu, penyajian dengan metode artisitik jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak tampak menonjol dari keseluruhan penyajian yang termasuk pada jenis koleksi etnografika.
Universitas Indonesia
105
Sementara metode evokatif lebih ditujukan untuk mengajak pengunjung untuk merasakan langsung keadaan sebenarnya baik yang berkaitan dengan lingkungan alam, maupun yang berkaitan dengan kebudayaan. Pada penyajian flora dan fauna pendekatan ilmu biologi sangat jelas tampak menjadi dasar klasifikasi koleksinya, karena terdapat dukungan data yang cukup banyak yang disajikan pada label dan panel. Sementara pada puade dan pelaminan tradisional Lampung informasi sangat minim, hanya ada nama benda dan asal suku bangsa saja. Bila dilihat secara khusus pada penyajian ini tanpa melihat penyajian yang lainnya maka pendekatan didaktik ekspostori tidak akan tampak, karena penyajiannya minim informasi. Akan tetapi, penyajian ini tidak dapat dilepaskan dengan penyajian lainnya, maka penempatan pada bagian akhir dalam alur kunjungan merupakan hal yang tepat. Bila dilihat secara keseluruhan penyajian koleksi etnografika memperlihatkan pendekatan penyajian yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau yang dikenal oleh banyak orang, hingga yang sangat sakral, sarat dengan adat istiadat dan aturan. Penyajian ini memperlihatkan bahwa penyajian koleksi etnografika disajikan secara hirarkis mulai dari yang banyak dikenal hingga yang kompleks, karena di dalamnya terkait dengan adat dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, bila penyajian koleksi dari jenis etnografika dilihat satu persatu, maka kebijakan teori pendidikan ekspositori tidak akan begitu menonjol. Namun bila antar penyajian koleksi etnografika dipandang secara utuh, maka kebijakan penggunaan teori pendidikan didaktik ekspositori akan tampak terlihat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya metode penyajian Museum Negeri Provinsi Lampung mengikuti teori pendidikan didaktik ekspositori. Meskipun pada penyajian yang menggunakan metode artistik dan evokatif, bila dilihat secara individual, tidak terlalu menonjol. Namun secara keseluruhan subjek yang disajikan oleh museum dalam setiap jenis koleksinya memperlihatkan penyajian dengan subjek yang ditata secara hirarkis. Dengan demikian, meskipun menggunakan tiga pendekatan yang berbeda dalam metode penyajian, akan tetapi semuanya didasari oleh teori didaktik eskpositori.
Universitas Indonesia
106
4.1.4 Susunan Subjek Program Edukasi Program
edukasi
Museum
Negeri
Provinsi
Lampung
ada
yang
diselenggarakan sebagai pelayanan rutin pada pengunjung atau yang didasarkan pada permintaan yang diajukan oleh pengunjung. Program edukasi seperti ini antara lain adalah: panduan keliling kepada pengunjung, bimbingan karya tulis dan kegiatan paket kebudayaan. Sementara kegiatan edukasi lainnya diselenggarakan dalam jumlah terbatas. Ceramah permuseuman hanya akan diselenggarakan satu kali dalam setahun dengan audiens guru-guru IPS dan sejarah dari berbagai jenjang pendidikan. Kegiatan pemutaran slide dan film juga dilaksanakan sekali dalam satu tahun dengan audiens siswa sekolah dari berbagai jenjang pendidikan. Museum Masuk Sekolah akan diselenggarakan paling banyak empat kali dalam setahun di lokasi sekolah yang letaknya jauh dari museum. Lomba permuseuman akan dilaksanakan paling banyak dua kali dalam setahun untuk jenjang pendidikan tertentu. Semua program yang tidak rutin dilakukan itu keberadaanyan sangat tergantung pada anggaran yang dimiliki museum. Ada kalanya kegiatan edukasi tersebut terpaksa tidak dilaksanakan karena anggaran tidak mencukupi. Untuk itu, pembahasan untuk program edukasi hanya akan difokuskan pada program rutin. Panduan keliling pada pengunjung, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya merupakan kegiatan pemanduan yang diberikan kepada pengunjung yang datang ke museum. Kegiatan ini paling banyak diberikan kepada pangunjung rombongan yang umumnya dari kelompok siswa. Kelompok pengunjung ini pada umumnya meminta dipandu keliling pada pameran tetap. Ada kalanya sekolah tidak meminta atau tidak ingin siswanya dipandu keliling museum karena mereka hanya berkunjung dalam waktu singkat, antara 15 sampai 30 menit. Oleh karena itu, hanya sekolah yang memberikan cukup waktu kepada siswanya untuk menerima panduan dari tenaga edukasi museum yang mau mendapat pelayanan panduan keliling. Agar pelayanan ini efektif, maka dibutuhkan kerja sama, antara guru pembimbing dengan staf edukasi mengenai penyajian yang perlu mendapat perhatian khusus agar target pengetahuan dan pengalaman yang diharapkan dapat tercapai. Akan tetapi banyak
Universitas Indonesia
107
guru yang tidak memiliki persiapan mengenai target kunjungan di museum. Siswa hanya diperintahkan mencatat semua label koleksi yang ada di museum. Ini artinya guru sendiri belum berupaya memanfaatkan museum untuk menunjang mata pelajaran yang telah diberikan kepada siswa. Staf edukasi museum yang diberi kebebasan oleh guru akan tidak memberikan perhatian khusus pada penyajian tertentu yang akan dijadikan bahan pembelajaran pada siswa. Bimbingan keliling jadi tidak terlalu fokus. Staf edukasi museum akan menjelaskan satu persatu penyajian dengan menekankan pada subjek kajian dengan menggunakan koleksi sebagai contoh. Informasi yang disampaikan akan menjelaskan berbagai hal yang dapat dikaitkan dengan pelajaran sekolah. Perlu digaris bawahi di sini meskipun masing-masing edukator mempunyai gaya dan cara penyampaian yang berbeda namun informasi yang disampaikan eduaktor relatif sama disesuaikan pada jenjang pendidikan siswa yang berkunjung ke museum. Pada tabel 4.3 ditampilkan beberapa contoh infomasi yang berkaitan dengan pelajaran sekolah khususnya dari mata pelajaran IPS tingkat SMP sesuai dengan pembahasan tesis ini. Tabel 4.3 Informasi Staf Edukasi yang Sesuai Dengan Pelajaran Sekolah No. 1.
Penyajian Flora dan fauna
Informasi Menjelaskan flora dan fauna khas Sumatera dan menjelaskan persebarannya di Sumatera
2.
Penggambaran Gunung Krakatau adalah kondisi Gunung salah satu gunung api yang Krakatau pernah meletus dahsyat pada tahun 1883. Gempa vulkanik yang terjadi mengakibatkan desa-desa disekitar Lampung Selatan dan wilayah Banten terkena sunami. Terjadi kerusakan hebat dan memakan korban puluhan
Materi Mata Pelajaran IPS Materi Kelas VIII Semerter 1: Menyajikan informasi persebaran flora dan fauna tipe Asia, tipe Australia serta kaitannya dengan pembagian wilayah.
Materi Kelas VII Semester I: 1. Mendeskripsikan gejala diastropisme dan vulkanisme serta sebaran tipe gunung api. 2. Mendeskripsikan faktorfaktor penyebab terjadinya gempa bumi dan akibat yang ditimbulkannya. 3. Mendeskripsikan dampak terjadinya gempa bumi
Universitas Indonesia
108
No.
3.
Penyajian
Informasi ribu jiwa.
Materi Mata Pelajaran IPS terhadap kehidupan.
Bahan mineral 1. Lampung mempunyai dan batuan kekayaan alam berupa geologi batu gamping, marmer, Lampung dan lain sebagainya. 2. Setiap mineral dan batuan dapat diukur kekerasannya dengan menggunakan skala Mohs Evolusi Fosil manusia manusia menunjukkan terjadinya proses evolusi manusia mulai dari Homo Erectus hingga Homo Sapiens Kebudayaan Manusia sejak jaman paleolitik prasejarah telah berupaya bertahan hidup dengan menggunakan alat batu.
Materi Kelas VII Semester I: Mengindentifikasi jenis batuan berdasarkan proses pembentukannya.
6.
Kebudayan megalitik
Materi Kelas VII Semester I: Mengidentiifikasi peninggalan–peninggalan kebudayaan pada masa praaksara
7.
Kebudayaan neolitik
4.
5.
8.
Tinggalan era megalitik di Lampung dapat dilihat pada situs Pugung Raharjo. Terdapat punden berundak dan arca Polenisia sebagai bukti keberadaan keudayaan tersebut.. Tinggalan era neolitik di Lampung berupa nekara dan bejana.
Materi Kelas VII Semester I: Mengidentifikasi jenis-jenis manusia Indonesia yang hidup pada masa praaksara Materi Kelas VII Semester I: a. Mendeskripsikan perkembangan kehidupan pada masa pra-aksara dan peralatan kehidupan yang dipergunakan. b. Mendeskripsikan perkembangan kehidupan pada masa pra-aksara dan peralatan kehidupan yang dipergunakan.
Materi Kelas VII Semester I: Mengidentiifikasi peninggalan–peninggalan kebudayaan pada masa praaksara. Bukti Menjelaskan dengan Materi Kelas VII Semester 2: persebaran berbagai bukti yang ada a. Melacak masuk dan Agama Hindu Lampung pernah berkembangnya agama
Universitas Indonesia
109
No.
9.
10.
11.
12.
Penyajian Informasi Materi Mata Pelajaran IPS dan Budha di mengalami masa Hindu Hindu Buddha ke Lampung dan Buddha Indonesia dari India dan Cina. b. Memberikan contoh peninggalan-peninggalan sejarah bercorak Hindu Buddha di berbagai daerah dalam bentuk arca. Taman Prasasti Menjelaskan aksara dan Materi Kelas VII Semester 2: bahasa yang digunakan, Memberi contoh peninggalan dan usia masing-masing peninggalan sejarah bercorak prasasti serta menjelaskan Hindu-Buddha di berbagai isi berdasarkan data daerah dalam bentuk transliterasi. prasasti. Bukti Menjelaskan penemuan Materi Kelas VII Semester 2: penyebaran bukti-bukti penyebaran dan 1. Melacak masuk dan agama islam di perkembangan Islam di berkembangnya agama Lampung Lampung Islam ke Indonesia 2. Mendeskripsikan saluran-saluran Islamisasi di Indonesia Sejarah 1. Menjelaskan awal Materi Kelas VIII Semester perlawanan tertariknya Belanda I: terhadap terhadap perdagangan 1. Mengidentifikasi bangsapenjajah lada antara Lampung bangsa Barat yang pernah dan Banten menjajah Indonesia. 2. Upaya untuk menguasai 2. Menjelaskan secara Lampung, sehingga kronologis masa kemudian mendapat penjajahan Belanda di reaksi dari Radin Imba, Indonesia s/d bubarnya VOC. orang tua Radin Inten II. Setelah Radin Imba di 3. Mengidentifikasi asingkan, perjuangan pengaruh yang ditimbulkan oleh dilanjutkan oleh Radin kebijakan–kebijakan Inten II sampai akhir pemerintah kolonial di khayatnya. berbagai daerah. Unsur sistem Menjelaskan mata Materi Kelas VII Semester I: mata pencaharian masyarakat Mengidentifikasi mata percaharian dan Lampung di tepi pantai dan pencaharian penduduk perlengkapan dataran tinggi. (pertanian, non pertanian). hidup
Universitas Indonesia
110
No. 13.
Penyajian Informasi Unsur sistem Menjelaskan upacara kemasyarakatan Cakak Papadun untuk mendapatkan gelar dan status sosial.
Materi Mata Pelajaran IPS Pengertian pranata sosial. Fungsi pranata sosial. Jenis-jenis pranata sosial.
Berdasarkan Tabel 4.3 tampak bahwa kegiatan eduaksi bimbingan keliling museum memberi informasi yang mempunyai kaitan dengan materi pelajaran sekolah. Ini artinya kurikulum tradisional sekolah menjadi salah satu dasar untuk menjelaskan subjek yang disajikan di museum. Program edukasi yang menggunakan kurikulum sekolah tradisional merupakan museum yang menggunakan teori pendidikan didaktik espositori. Program edukasi lainnya yang jelas memperlihatkan kurikulum sekolah tradisional sebagai dasar subjeknya adalah program paket kebudayaan. Paket kebudayaan yang menonjol digunakan oleh sekolah adalah paket prasejarah. Paket ini sengaja dirancang untuk mendukung pembelajaran IPS untuk materi prasejarah yang dipelajari di SMP. Jadi jelas, bahwa Museum Negeri Provinsi Lampung menerapkan teori pendidikan didaktik ekspositori sebagai dasar menjalankan program edukasinya. Program edukasi bimbingan karya tulis memiliki perbedaan dengan program edukatif liannya, karena program ini tergantung pada tema yang dibawa oleh siswa. Pada umumnya tema tersebut adalah yang diperintahkan oleh guru, sehingga isinya jelas berkaitan dengan pelajaran sekolah seperti misalnya yang berkaitan dengan pelajaran IPS. Materi seperti prasejarah, penyebaran agama Hindu Buddha di Indonesia dan materi-materi pelajaran lainnya menjadi tema pilihan yang harus ditulis siswa untuk karya tulisnya. Siswa diperintahkan untuk berkunjung ke museum untuk mendapatkan data-data yang dijadikan bahan untuk karya tulisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa program edukatif ini susunan program menggunakan pendekatan teori pendidikan didaktik ekspositori.
Universitas Indonesia
111
4.1.5 Tujuan Program Edukasi Karakteristik terakhir yang menjadi ciri dari penerapan teori didaktik eskpositori adalah bahwa program edukasinya mempunyai tujuan pembelajaran yang spesifik. Bila menggunakan Tabel 4.3 tampak bahwa program bimbingan keliling mempunyai tujuan pembelajaran yang beraneka ragam, karena masing-masing penyajian memiliki informasi yang berbeda sesuai dengan klasifikasi koleksi masingmasing. Oleh karena itu, bila sekolah terlebih dahulu menentukan tujuan pembelajaran yang spesifik, maka tujuan pembelajaran program bimbingan keliling juga akan spesifik, karena edukator akan langsung memfokuskan informasi yang disampaikannya pada penyajian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dibawa oleh sekolah. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, sekolah yang membawa
siswanya
berkunjung
ke
museum,
tidak
mempunyai
tujuan
pembelajarannya yang spesifik. Mereka berkunjung ke museum dengan rentang waktu yang pendek, antara 15 sampai 30 menit, atau jika waktunya cukup, sekolah hanya memerintahkan siswa untuk mencatat semua label. Akibatnya program bimbingan keliling pemanfaatanya pun jadi tidak optimal dan spesifik. Hal terpenting agar program ini menjadi efektif adalah museum harus melakukan kerja sama yang dengan sekolah. Guru-guru harus diberi kesadaran bahwa sekolah dapat menjadikan museum sebagai pendukung pelajaran sekolah. Museum dapat menjadi institusi yang dapat memperkuat dan memperkaya pengetahuan dan pengalaman siswa dari yang telah didapatkan dari sekolah. Museum dapat memberi gambaran tiga dimensi terhadap yang diajarkan di sekolah asalkan guru dapat membuat program-program kunjungan dengan tujuan-tujuan yang spesifik, sehingga siswa dapat diarahkan untuk melihat penyajian yang terkait dengan meteri yang ingin dicapai oleh sekolah. Oleh karena itu, pada saat berkunjung eduaktor dapat memberi penjelasan yang fokus dan mendalam sehingga siswa dapat mempelajari objeknya dengan seksama. Bila hal ini dapat dipahami oleh guru maka kunjungan ke museum dapat optimal. Ini artinya program edukasi museum akan lebih ceunderung mengarah pada teori pendidikan didaktik ekspositori.
Universitas Indonesia
112
Program edukatif selanjutnya adalah paket kebudayaan. Program ini umumnya mempunyai tujuan pembelajaran yang lebih spesifik, karena pesertanya memilih materi-materi yang spesifik. Dengan pilihan yang terarah, maka eduaktor museum akan mempersiapkan materi dan perlengkapan pendukung lainnya sesuai dengan permintaan. Program ini mirip dengan memberi pelajaran di kelas, dimana edukator berdiri di depan peserta yang mengikuti program ini, kemudian memberi penjelasan tentang isi materi yang akan dipelajari. Setelah mengikuti program ini diharapkan siswa mempunyai gambaran yang lebih jelas tentang materi yang diajarkan. Hal yang menarik dari program ini adalah karena paket program ini menggunakan berbagai media pembelajaran seperti slide, film dan replika koleksi yang boleh dipegang langsung oleh pesertanya. Perancang program ini menyadari bahwa dengan memegang koleksi, siswa akan mendapatkan sensasi tersendiri dibandingkan dengan hanya memandang koleksi di dalam kotak kaca. Dapat dibayangkan bila fosil dari manusia yang mereka pegang merupakan replika dari fosil yang ditemukan ribuan tahun yang lalu, bahkan mungkin jutaan tahun yang lalu. Pada awalnya banyak peserta yang merasa ragu memegang, tetapi setelah mendapatkan kesempatan mereka akan mengeskplor objek tersebut dengan melibatkan semua panca indranya. Metode ini diharapkan dapat menanamkan pengetahuan lebih banyak dibandingkan hanya dengan melihat. Selain itu, ingatan terhadap sensasi tersebut diharapkan akan berbekas dalam waktu lama dalam memori pesertanya. Dengan karakteristik pembelajaran yang spesifik maka dapat disimpulkan program edukasi inipun lebih bersifat didaktik ekspositori. Namun ada unsur yang perlu mendapat perhatian di sini, yaitu siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan koleksi yang menjadi bagian dari materi yang diajarkan. Konsep pembelajaran ini telah memasukkan unsur belajar aktif, hanya saja baru pada unsur interaksi dengan koleksi, belum pada kesempatan untuk dapat menarik kesimpulan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Program edukasi yang terakhir adalah bimbingan karya tulis. Program ini juga mempunyai tujuan pembelajaran yang jelas, sesuai dengan topik yang dipilih. Perbedaan dengan kedua program di atas, dalam program ini pilihan topiknya lebih
Universitas Indonesia
113
banyak. Pekerjaan museum yang dilakukan “di belakang layar” seperti konservasi dan restorasi dapat menjadi topik karya tulis. Dengan karakteristik yang mirip dengan kedua program edukasi di atas, maka program edukasi ini juga memperkuat pandangan bahwa museum menggunakan teori pendidikan didaktik ekspositori. Dari semua karakteristik yang dianalisis dapat disimpulkan bahwa Museum Negeri Provinsi Lampung menggunakan teori pendidikan didaktik ekspositori dalam menentukan kebijakan ekesebisi dan program eduaktifnya. Ini artinya museum dalam menyajikan eksibisi dan program edukasi memiliki kemiripan dengan pembelajaran pada sekolah-sekolah tradisional. Sekolah pada umumnya melakukan pembelajaran didasarkan pada struktur subjek, dan guru menyampaikan informasi kepada siswa tahap demi tahap. Guru menyusun pelajaran, didasarkan pada struktur subjek tersebut kemudian mengajarkannya pada murid. Guru menjelaskan prinsip-prinsip belajar, memberikan contoh-contoh untuk mengilustrasikan prinsip-prinsip tersebut, dan diulang pada beberapa bagian yang penting agar dapat ditanamkan ke dalam pikiran pembelajar. Perbedaan antara pendidikan di sokolah dan di museum hanya pada media yang digunakan untuk menjelaskan subjek yang diajarkan. Belajar di museum siswa akan dihadapkan pada koleksi dan informasi. Ini artinya yang dipelajari siswa adalah bentuk tiga dimensi dari subjek. Sementara yang diajarkan di sekolah adalah buku yang perlu dihafalkan dan diingat. Di samping itu, museum juga tidak melakukan evaluasi atas apa yang telah diajarkan kepada pengunjung. Sekolah setelah satu materi atau seluruh materi selesai akan memberikan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana pemahan siswa terhadap materi yang telah diberikan. Nilai yang didapatkan siswa dijadikan ukuran terhadap kompetensi yang dikuasai oleh siswa. Penggunaan teori ini saat ini mendapat banyak kritik, karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan karakter museum sebagai institusi pendidikan informal. Di museum pengunjung dapat dengan bebas memilih objek yang menjadi pusat perhatiannya. Waktu yang dihabiskan untuk belajar juga diatur oleh pengunjung sendiri, tergantung pada ketertarikan dan minat yang dimiliki oleh pengunjung. Museum juga tidak memiliki kurikulum baku seperti sekolah. Apalagi saat ini
Universitas Indonesia
114
pandangan bahwa pada saat pembelajaran terjadi siswa tidak lagi hanya menjadi objek pasif yang sedang diisi pengetahuannya. Tetapi mereka juga dapat memberi makna sendiri terhadap setiap informasi yang diberikan kepada mereka. Ini artinya siswa juga aktif dalam menentukan informasi yang akan diserapnya. Di samping itu penyajian eksibisi dengan teori didaktik ekspositori cenderung statik. Pengunjung hanya diberi kesempatan melihat koleksi dari balik kaca. Bagi anak-anak penyajian eksibisi yang statik akan membuat mereka cepat bosan. Apalagi eksibisi juga sarat dengan komponen didaktik. Anak-anak akan kurang tertarik bila mereka harus membaca banyak keterangan dalam panel dan label, kecuali jika mereka dipaksa harus mencatatnya karena diperintah oleh guru. Komponen didaktik yang panjang hanya akan cocok bagi orang dewasa yang mengaanggap berbagai keterangan koleksi itu penting untuk diketahui. Dengan berbagai kelemahan yang ada pada teori pendidikan didaktik ekspositori, maka bila pengunjung yang menjadi target audiens adalah anak-anak, akan sulit bagi museum untuk memenuhi harapan menjadi laboratorium IPS bagi siswa SMP. Jika selama ini terdapat fakta bahwa pengunjung dari kalangan siswa merupakan pengunjung terbesar di museum, hal ini lebih disebabkan karena adanya program wajib kunjung yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan kepada sekolah, bukan karena anak-anak mempunyai minat terhadap eksibisi yang disajikan oleh museum. Jika teori pendidikan didaktik espositori dianggap kurang memadai lalu teori pendidikan yang mana yang lebih tepat untuk dijadikan landasan bagi museum untuk menjadi mitra sekolah sehingga dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran pendukung pembelajaran IPS tingkat SMP. Berdasarkan kuadran yang dikemukakan oleh Hein (1998: 25) masih ada tiga teori pendidikan yang dapat menjadi pilihan, yaitu teori pendidikan stimulus respos, teori pendidikan penemuan dan teori pendidikan konstruktivis. Dari ketiga teori pendidikan tersebut, teori pendidikan konstruktivis cenderung lebih memadai dibanding dengan kedua teori lainnya. Teori konstruktivis memiliki beberapa kelebihan yang dapat mengakomodasi berbagai
Universitas Indonesia
115
kebutuhan yang mucul saat museum menentukan untuk menjadi sumber belajar yang dapat mendukung pembelajaran IPS ditingkat SMP.
4.2
Museum Sebagai Sumber Belajar Pendukung Pembelajaran IPS Tingkat SMP Bila menggunakan penelitian yang dilakukan Jean Piaget dan tokoh-tokoh
psikologi perkembangan seperti Froebel dan Vygotsky, maka belajar dianggap sebagai hasil dari interaksi langsung dengan lingkungan (Caulton, 1998: 18). Piaget sendiri melakukan penelitian terhadap perkembangan anak-anak secara berkelanjutan mulai dari lahir hingga dewasa. Meskipun dikritik, pandangan Piaget tetap penting karena dia memperkenalkan bahwa setiap anak-anak mempunyai kebutuhan yang berbeda tergantung pada usianya masing-masing, dan pandangannya dianggap valid untuk hal yang berkaitan dengan manusia secara terus-menerus belajar dari interaksi problem-solving dengan lingkungannya (Caulton, 1998: 18). Dengan karakteristik anak-anak seperti di atas, maka museum yang statis menjadi tidak cocok bagi anak-anak. Anak-anak akan merasa putus asa ketika dihadapkan dengan pemeran yang statis, tidak dipahami dimana koleksi yang disajikan tidak bisa dimainkan, disentuh atau dieksplorasi. (Baxi et.al., 1973: 75). Oleh karena itu, sekarang ini dikenal konsep museum untuk anak (Children’s Museum). Di negara-negara maju seperti Amerika, museum untuk anak merupakan institusi yang sudah ada sejak abad ke XIX, seperti Brooklyn Children’s Museum yang didirikan pada tahun 1899. Perkembangan museum untuk anak benar-benar seperti jamur setelah tahun 1970 an. Pada tahun 1980 an telah ada 400 lebih museum anak yang masuk dalam Association of Youth Museum, dan 350 buahnya ada di Amerika Serikat (Caulton, 1998: 5). Hingga saat ini wujud museum untuk anak telah berkembang menjadi beraneka ragam. Beberapa diantaranya dikhususkan untuk kelompok umur tententu, seperti untuk balita atau untuk anak remaja. Ada pula yang didasarkan pada topik, seperti seni atau komputer. Bagi anak-anak yang usianya lebih tua atau remaja museum yang cocok adalah museum ilmu pengetahuan dan eksploratorium (Gardner, 1999: 184).
Universitas Indonesia
116
Di Indonesia hingga saat ini museum untuk anak masih menjadi angan-angan. Akan tetapi bila menyadari bahwa sebagian besar dari pengunjung museum adalah kalangan pelajar, maka sudah sepantasnya museum memberi perhatian khusus kepada anak-anak. Bagi museum negeri provinsi perhatian itu dapat dilakukan melalui ruang khusus untuk anak-anak.
4.2.1 Landasan Teori Pendidikan Eksibisi yang Cocok untuk Anak-Anak Berdasarkan karakteristik yang dimiliki anak-anak, maka teori pendidikan di museum yang cocok bagi museum negeri provinsi adalah teori pendidikan konstruktivis. Teori ini mempunyai dua prinsip dasar yang berbeda dengan teori pendidikan lainnya. Prinsip pertama adalah pemahaman bahwa saat belajar membutuhkan partisipasi aktif dari pembelajar (Hein, 1998: 34). Ini artinya seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Dalam proses belajar aktif anak-anak akan memanfaatkan sarana belajar secara aktif. Ini artinya, pameran yang disajikan di museum negeri provinsi haruslah memberi kemungkinan kepada pengunjung untuk berinteraksi langsung dengan koleksi yang disajikan. Yang dimaksud interaksi di sini adalah koleksi museum haruslah dapat disentuh atau dipegang dan dapat merangsang proses berpikir anakanak. Pengunjung saat berkeliling menyaksikan eksibisi dapat aktif memanfaatkan serana belajar yang dijumpainya Untuk dapat memberikan rangsangan yang lebih mendalam terhadap proses berpikir, museum juga memberi kemungkinan kepada anak-anak untuk melakukan eksperimen terhadap fenomena-fenomena yang disajikan oleh museum. Bagi Museum Negeri Provinsi Lampung kemungkinan anak-anak untuk berinteraksi langsung dengan koleksi merupakan dilema. Akan mucul masalah bila koleksi yang disajikan adalah benda asli yang telah langka dan memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi. Namun bukan berarti hal ini mengurangi kesempatan anakanak untuk berinteraksi langsung dengan objek tersebut. Untuk itu, museum harus mencari alternatif penyajian yang tetap membuka kesempatan kepada siswa untuk dapat interaksi langsung dengan koleksi. Museum dapat mensiasati penyajian dengan
Universitas Indonesia
117
menggunakan replika agar objek yang disajikan tampak seperti aslinya. Hasil reproduksi benda tersebut dapat disajikan dalam ruang pamer tanpa takut benda aslinya akan rusak. Namun cara ini juga memiliki keterbatasan. Di Indonesia tidak banyak orang yang dapat membuat replika. Jika adapun harga pembuatan replika akan mahal sekali. Namun pembuatan replika bukan satu-satunya cara. Masih ada cara lain yang dapat dilakukan oleh museum, yaitu dengan membuat sarana belajar pengganti. Jadi sambil memanfaatkan sarana belajar tersebut anak-anak tetap dapat menyaksikan benda aslinya yang disimpan dalam kotak kaca. Sarana belajar ini dapat berupa permainan puzel atau bila memungkinkan museum dapat menggunakan komputer sehingga anak-anak dapat bermain-main dengan tombol yang tersedia untuk mengeksplorasi informasi di balik objek, sehingga mereka mendapatkan kesimpulan atas objek tersebut. Selain koleksi, museum juga dapat menciptakan sarana belajar yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, fenomena gunung api yang tidak mungkin dapat dijelaskan hanya dengan menyajikan batuan yang berasal dari gunung api saja, tetapi museum perlu memberi gambaran yang lebih kongkrit tentang fenomena tersebut sehingga anak-anak akan mempunyai gambaran yang konkrit tentang aktivitas gunung api. Cara menyajikan fenomena ini bisa dengan berbagai cara, misalnya dengan membuat miniatur salah satu gunung api yang dapat dilihat bagian dalamnya. Penyajian ini harus mendapat persetujuan dari ahli gunung api agar yang disajikan teruji kebenarannya. Penyajian koleksi yang memungkinkan untuk dieksplorasi ini diharapkan membuat siswa dapat melakukan generalisasi terhadap fenomena yang dipelajari. Prinisp kedua dari pendekatan konstruktivis yang perlu dipahami oleh pengelola museum negeri provinsi adalah bahwa kesimpulan yang diambil tidak divalidasi dengan standar kebenaran eksternal, tetapi oleh pembelajar itu sendiri (Hein, 1998: 34). Terdapat banyak bukti penelitian yang mendukung bahwa pengetahuan untuk membuka berbagai fenomena dapat mengarahkan orang untuk mengambil kesimpulan yang berbeda tergantung pada latarbelakang dan pengalaman masing-masing (Hein, 1998: 34). Oleh karena itu, anak-anak di sini mempunyai dapat
Universitas Indonesia
118
menarik kesimpulan dari apa yang dipelajarinya sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian istilah salah atau eror adalah katakata yang tidak digunakan oleh konstuktivis, karena kesimpulan tidak selalu berkaitan dengan bukti yang ada dihadapan orang yang belajar, tetapi juga dipengaruhi oleh latarbelakang dan pengalaman masing-masing. Pertanyaan yang muncul terhadap penggunaan teori pendidikan konstruktivis adalah bagaimana proses belajar di museum dapat memberi pengetahuan dan pengalaman kepada pengunjung. Sementara dalam proses belajar yang terjadi tidak ada satu pun fenomena dan aktivitas yang disajikan di museum akan diterima sebagai hal yang sama oleh pengunjung. dan tidak ada satu pun museum mempunyai lingkungan belajar yang sama persis dalam memberikan pengalaman dan pengatahuan. Definisi belajar konstruktivis memungkinkan hasil yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ketika berinteraksi dengan objek dan materi di museum, pengunjung dengan masing-masing latarbelakang personalnya dapat belajar dan mengkonstruk makna baru sesuai dengan pengatahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya. Interaksi sosial yang terjadi di museum antar pengunjung dan antara pengunjung dengan staf museum juga menjadi hal yang turut berpengaruh terhadap proses belajar di museum. Kontribusi konstruktivis tampak pada eksibisi yang memberikan banyak kemungkinan entri poin bagi pengunjung (Hein dan Alexandra, 1998: 43). Tidak ada arahan yang kaku dan eksibisi tidak disusun dengan urutan awal dan akhir seperti yang diterapkan pada pameran didiktik eskpositori. Museum didesain untuk memenuhi berbagai bentuk belajar aktif. Teks dalam label dan panel menyajikan berbagai cara pandangan (Hein dan Alexandra, 1998: 43). Pengunjung juga memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan objek dan fenomena dengan menggunakan pengalaman hidupnya masing-masing. Program untuk sekolah akan memberi pengalaman dan materi yang dapat digunakan oleh siswa untuk melakukan eksperimen, membuat dugaan, dan menggambarkan kesimpulan (Hein dan Alexandra, 1998: 43).
Universitas Indonesia
119
Dengan karakteristik seperti di atas semua museum dapat menerapkan pendekatan konstruktivis dalam penyajian koleksi dan program edukasinya. Hal yang terpenting ditentukan sebelum mendesain adalah bahwa ketika membangun suatu pengetahuan baru, pembelajar akan menyesuaikan informasi baru atau pengetahuan yang didapatkannya dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliknya melalui interaksi sosial dengan teman-temannya atau dengan sumber informasi lainnya (Yulaelawati, 2004: 109). Hal ini yang disebut sebagai prakonsep. Dalam mendesain eksibisi yang perlu mendapat perhatian paling awal adalah siapa yang akan menjadi target pengunjung museum. Dengan mengetahui target, maka museum dapat mecermati prakonsep umum yang telah dimiliki oleh kelompok yang menjadi sasarannya. Dalam konteks belajar IPS untuk tingkat SMP, prakonsep yang dapat dijadikan acuan oleh museum secara formal adalah kurikulum yang dipelajari siswa SMP di sekolah. Berdasarkan kurikulum yang dipelajari siswa itu, museum dapat mendesain berbagai pengetahuan dan pengalaman yang akan disajikan dalam eksibisinya. Hal yang perlu disepakati di sini adalah museum hanya akan menyajikan pengetahuan dan pengalaman yang dapat mendukung pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari di sekolah sehingga terjadi penguatan dan pengayaan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Desain eksibisi yang disajikan dapat berupa koleksi dan fenomena yang didasarkan pada klasifikasi koleksi yang dimiliki museum. Sebelum membahas lebih jauh mengenai desain pameran konstruktivis di Museum Negeri Provinsi Lampung, perlu digaris bawahi bahwa yang saat ini telah ada di museum bukan merupakan hal yang perlu diubah secara total, karena Museum Negeri Provinsi Lampung bukanlah museum khusus untuk anak. Museum Negeri Provinsi Lampung adalah museum umum. Ini artinya eksibisi museum sebenarnya ditujukan bagi semua kelompok usia. Agar museum dapat menyediakan eksibisi interaktif yang dapat dijadikan sebagai laboratorium IPS bagi siswa SMP, maka alternatif pengembangan ruang penemuan (discovery room) atau paviliun untuk anak dapat menjadi pilihan yang dapat mengakomodasi perangkat sumber belajar di museum.
Universitas Indonesia
120
Ruang penemuan atau paviliun untuk anak dapat diisi dengan berbagai materi yang
dapat
dieksplorasi
oleh
pengunjung.
Aktivitas
seperti
memegang,
memindahkan, membangun atau bahkan melakukan eskperiman terhadap materi atau fenomena dapat bebas dilakukan di ruang tersebut. Ruang penemuan dan paviliun untuk anak dapat menjadi jalan tengah bagi museum yang tetap akan mempertahankan eksibisinya dengan penyajian objek dibalik kotak kaca, tetapi ingin memberi kesempatan kepada anak-anak untuk belajar sesuai dengan karakteristiknya. Penekanan pada eksplorasi dengan memberi jawaban atas pertanyaan dan mendapatkan pengalaman dari meteri yang disajikan merupakan fokus dari lingkungan belajar yang ada di ruang penemuan atau paviliun untuk anak. Dampak dari adanya ruang penemuan atau paviliun untuk anak juga akan tampak pada penyusunan objek dan komponen didaktik. Benda yang dapat dieksplorasi bisa ditempatkan berdampingan dengan diorama atau koleksi aslinya. Label akan lebih banyak berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka yang merangsang anak-anak untuk membuktikannya dengan mengeksplorasi objek dan fenomena yang berada di hadapannya.. Pertanyaan yang muncul dari eksebisi yang interaktif seperti di atas, apakah anak-anak benar-benar belajar dari objek atau fenomena yang dieksplornya, atau mereka hanya bermain dan hal itu tidak berpengaruh terhadap pengetahuan dan pengelaman mereka? Museum ilmu pengetahuan di London merupakan contoh yang tepat untuk melihat sebuah institusi yang telah melakukan penelitian evaluatif secara luas pada pengembangan dan pelaksanaan dua galeri interaktifnya yaitu Launch Pad dan Flight Lab. Penelitiaan untuk kedua galeri tersebut dialakukan oleh Stephenson. ia mengikuti secara individual anggota keluarga yang mengunjungi galeri Launch Pad dan mengobesrvasi perilaku mereka, kemudian menanyakan kepada semua anggota kelompok setelah mereka melakukan kunjungan, mengirimkann kepada setiap kelompok kuesioner beberapa minggu kemudian, dan melakukan wawancara kepada setiap anggota enam bulan kemudian (Caulton, 1998: 21). Dalam penelitian tersebut Stephenson menarik kesimpulan bahwa anak-anak ketika berkunjung tidak menghabiskan waktu berkeliling tanpa tujuan. 81 % waktu yang dihabiskan anak-
Universitas Indonesia
121
anak digunakan untuk berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya atau dengan pengunjung lainnya (Caulton, 1998: 21). Penelitian Stephenson juga berhasil mendapatkan informasi tentang memori yang masih diingat setelah berkunjung ke Launch Pad dan Flight Lab. Responden ternyata mampu menceritakan kembali pameran secara bebas, dan beberapa bulan kemudian setelah kunjungannya orang-orang itu dapat mengingat kembali bukan hanya apa yang telah mereka lakukan saat menyaksikan pameran, tetapi juga perasaan mereka terhadap pameran. (Caulton, 1998: 21). Penelitian tersebut juga berhasil menggali manfaat dari eksibisi terhadap pengalaman pengunjung. Anak-anak nampaknya terinspirasi dan termotivasi oleh pameran dan memandang kunjungan mereka sebagai pengalaman mendidik yang menyenangkan. Secara keseluruhan, penelitian Stephenson memperlihatkan orang dapat menyimpan dalam ingatannya pameran yang interaktif dan perasaan yang mereka rasakan dalam waktu yang lama (Caulton, 1998: 21). Namun, penelitian ini hanya membuktikan adanya perubahan kecil pada perilaku dan pemahaman terhadap objek.
Namun
demikian,
banyak
pengunjung
menyatakan
bahwa
setelah
kunjungannya mereka lebih memiliki pandangan positif terhadap ilmu pengetahuan (Caulton, 1998: 21). Penelitian eksibisi interaktif sebagai media belajar dilakukan oleh Feher. Berdasarkan peneltian tersebut diketahui bahwa proses belajar ilmu pengetahuan melalui eksibisi adalah proses yang terjadi melalui pengalaman eksploratoris dan eksplanatoris (Caulton, 1998: 21). Eksploratoris adalah proses partisipasi pengunjung dalam eksibisi yang disajikan. Dalam proses tersebut pengunjung memberikan makna pada pengalamannya dengan melakukan interpretasi dan eksplanasi. Pada proses interpretasi dan eksplanasi pengunjung melakukan validasi atau dikonfrontasi pengetahuannya dengan pameran yang disaksikannya. Menurut Feher lingkungan museum memiliki potensi besar untuk merubah kesalahan konsepsi pengunjung, sehingga membuka pemahaman bagi orang yang terbuka dengan pemahaman baru (Caulton, 1998: 21). Akan tetapi, penelitian tersebut belum dapat mengindentifikasi banyak hal tentang museum sebagai media belajar.
Universitas Indonesia
122
Untuk itu, dibutuhkan penelitian yang sistematik yang berkaitan dengan mengapa kesalahan konsep tetap dipertahankan oleh pengunjung meskipun meskipun telah melihat bukti yang berlawanan dengan konsep mereka? Akan tetapi, secara keseluruhan penelitiannya ini memberikan banyak bukti tentang pengalaman pengunjung yang menyenangkan ketika menyaksikan eksibisi interkatif, bukti adanya perubahan sikap pengunjung terhadap ilmu pengetahuan, dan bukti bahwa ingatan pengunjung bertahan dalam waktu cukup lama setelah menyaksikan eksibisi interaktif (Caulton, 1998: 21). Dua penelitian di atas menjadi bukti bahwa manfaat eksibisi intekaktif terhadap anak-anak cukup signifikan. Di satu sisi pengalaman interaktif yang dialami di museum terekam dalam waktu cukup lama. Di sisi lain, pengalaman interaktif di museum juga dapat merubah sikap pengunjung terhadap ilmu pengetahuan dan kesalahan konsep yang dimiliki pengunjung tentang fenomena ilmu pengetahuan. Ini artinya, jika kesalahan konsepsi saja dapat dirubah, maka penguatan dan pengayaan pengetahuan dan pengalaman yang telah dipelajari dari sekolah menjadi lebih mudah dan akan memberi pengaruh positip terhadap siswa yang berkunjung ke museum.
4.2.2 Model Belajar Kontekstual Sebagai Landasan Pengembangan Eksibisi Interaktif Sebagaimana telah di kemukakan pada Bab 2 bahwa dalam satu dekade belakangan ini telah dikembangkan suatu model yang berkaitan dengan teori pendidikan konstruktivis yang bermuara pada free choice learning. Model tersebut adalah Model Belajar Kontekstual (Contexstual Learning Model). Model ini memandang bahwa semua situasi pembelajaran berada dalam serangkaian konteks (Falk dan Dierking, 2000: 10). Konteks tersebut adalah konteks personal (personal context), konteks sosiokultural (sociocultural context) dan konteks fisik (fisical context). Proses belajar merupakan hasil interaksi ketiga konteks ini. Model ini dianggap dapat mengakomodasi berbagai kondisi belajar. Untuk itu, dalam melakukan pembahasan terhadap proses belajar yang terjadi, model ini akan
Universitas Indonesia
123
digunakan sebagai acuan mendesain eksibisi interaktif di Museum Negeri Provinsi Lampung.
4.2.2.1 Konteks Personal Dalam konteks personal terdapat tiga faktor fundamental yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam melihat pengalaman belajar yang terjadi di museum. Ketiga faktor tersebut adalah faktor motivasi dan harapan, faktor pengetahuan yang telah dimiliki dan keyakinan serta faktor pilihan dan kontrol. Dalam konteks pengembangan ruang penemuan atau paviliun untuk anak hal yang perlu dilakukan adalah memahami motivasi dan harapan anak-anak terhadap museum. Pioner psikologi Jean Piaget dapat memberikan gambaran bagaimana fase perkembangan yang dialami oleh anak-anak. Menurut Piaget belajar merupakan hasil dari interaksi langsung dengan lingkungan, dan dia juga mengikuti perkembangan anak-anak secara berkelanjutan dan dalam fase yang berurutan mulai dari lahir hingga dewasa (dikuitif dari Caulton, 1998: 18). Konsep belajar dari lingkungan yang dikemukakan oleh Piaget ini merupakan dasar bagi institusi seperti museum untuk menjalankan fungsi sebagai institusi pendidikan. Dalam penelitiannya tersebut Piaget memperlihatkan bahwa pada awal pertumbuhan,
anak-anak
pada
umumnya
mengeksplor
diri
mereka
untuk
mengembangakan kemampuan motorik dan sensorik; mulai dari usia 2 hingga 4 tahun mereka mulai mengeksplor lingkungan tempat mereka tinggal, dan dari 4 hingga 7 tahun egosentris mereka akan berkurang sejalan dengan semakin seringnya mereka melakukan kontak dengan orang lain. Mulai dari usia 7 tahun anak-anak mulai memahami bagaimana dunia disekeliling mereka bekerja, dan melalui orang dewasa mereka mulai memahami logika dan prinsip-prinsip abstrak (dikuitif dari Caulton, 1998: 18). Fase perkembangan yang dialami individu mulai dari sejak lahir hingga dewasa ini memperlihatkan bagaimana proses belajar dari lingkungan berkembang sesuai dengan usia. Bila merujuk pada pandangan ini, maka kelompok usia yang masuk dalam pembahasan tesis ini adalah yang berada pada usia di atas 7 tahun. Untuk itu, eksibisi interaktif yang cocok untuk anak-anak dalam usia seperti
Universitas Indonesia
124
ini adalah yang berkaitan dengan pemahaman logika dan prinsip-prinsip abstrak. Artinya, museum tidak menyajikan objek dan fenomena untuk usia di bawah kemampuan siswa SMP, karena siswa tidak akan termotivasi berpartisipasi bila objek dan fenomena yang disajikan dianggap sebagai permainan anak kecil. Untuk itu, menggunakan materi mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang pendidikan SMP merupakan pilihan yang tepat. Prinsip-prinsip abstrak yang direpresentasikan dalam wujud objek atau fenomena menjadi sesuai dengan pengalaman yang telah dialami oleh siswa SMP di sekolah atau yang akan dipelajari di sekolah. Dengan demikian, siswa SMP sebagai target sasaran museum dapat benar-benar optimal belajar dari pameran interaktif yang disajikan di museum. Hal yang perlu mendapat pertimbangan dari museum adalah kesesuian antara objek dan fenomena yang disajikan dan materi yang diajarkan di sekolah. Mata pelajaran IPS merupakan pilihan yang tepat bagi Museum Negeri Provinsi Lampung, karena klasifikasi koleksi yang telah dimiliki museum sebagian mempunyai padanan dengan materi yang diajarkan di sekolah, seperti pada jenis koleksi geologika, arkeologika, historika, numismatika dan heraldika serta etnografika. Pandangan Piaget lainnya yang penting dipertimbangkan untuk menarik motivasi anak-anak belajar di museum adalah museum harus memberi kesempatan untuk belajar secara aktif daripada melalui observasi pasif. Belajar secara aktif dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kehidupan dan lingkungan serta memberi kemampuan kepada siswa untuk mampu menerapkan atau memanfaatkan apa yang dipelajarinya di masyarakat. Museum dengan eksibisi interaktif yang berkaitan dengan materi pembelajaran IPS tingkat SMP dapat melengkapi pengetahuan dan pengalaman yang dipelajarinya di sekolah dengan pengatahuan dan pengalaman yang dipelajariu di museum. Hal terpenting yang harus dikembangkan oleh museum menciptakan lingkungan dimana belajar dapat berjalan dengan efektif bukan hanya menanamkan pengetahuan kepada pengunjung. Oleh karena itu, anak-anak disini diberi kebebasan untuk memulai dari objek dan fenomena yang menarik perhatian mereka.
Universitas Indonesia
125
Di samping itu, anak-anak lebih mudah dapat menerima kondisi belajar yang memungkinkan mereka bermain dengan fantasinya, dapat melakukan eksperimen dan melakukan interaksi dengan objek (Hein dan Alexandra, 1998: 18). Dengan demikian, anak-anak pada saat berkunjung ke museum mungkin tidak akan melakukan hal seperti yang diharapkan oleh desainer eksibisi. Tetapi mereka akan mengikuti apa yang menurutnya menarik, sehingga interaksi yang dilakukan adalah yang sesuai dengan agenda personalnya. Dengan demikian, jelas bahwa dalam mengembangkan eksibisi interaktif, penekanan pada belajar aktif merupakan pilihan yang tepat. Dengan pendekatan ini motivasi anak-anak akan lebih terangsang untuk belajar aktif daripada pasif. Bentukeksibisi interkatif yang perlu dikembangkan adalah penyajian objek dan fenomena yang dapat dieksplorasi dengan cara dipegang, diubah dan anak-anak diberi kesempatan untuk melakukan eksperiman terhadap berbagai objek dan fenomena yang disajikan sehingga dapat mengembangkan kemampuan imajinasi dan fantasi anak-anak. Hal ini merupakan gambaran dari belajar aktif yang dapat memotivasi anak-anak untuk belajar di museum. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memberi kesempatan kepada anak untuk menentukan pilihan dan memegang kontrol atas pilihannya itu. Untuk itu, anak-anak harus diberi kesempatan untuk menentukan sendiri pilihan objek dan fenomena yang dianggapnya oleh mereka menarik sehingga harapan masing-masing anak dapat terakomodasi. Disamping itu, saat berhadapan dengan objek dan fenomena anak-anak harus merasakan bahwa apa yang dilakukannya adalah aras kendali mereka. Berbagai instruksi pada label mungkin saja akan diabaikan oleh mereka, namun yang terpenting adalah bahwa yang dilakukan oleh anak-anak tersebut adalah merupakan proses belajar yang perlu mereka alami. Kesalahan dan eror yang mungkin terjadi saat menyusun, mengubah atau melakukan eksperimen terhadap objek dan fenomena akan mendorong anak-anak untuk memperbaikinya hingga mendapatkan jawaban yang mereka anggap benar. Ini artinya motivasi instrinsik
dan motivasi penguasaan materi akan berkembang saat anak-anak
berinteraksi dengan objek dan fenomena. Dengan demikian efek belajar yang
Universitas Indonesia
126
dilakukan di museum akan memperkuat dan memperdalam pengetahuan dan pengelaman yang telah didapatkan dari sekolah. Pertanyaan selanjutnya yang muncul bagaiman mengetahui berbagai kemungkinan yang membuat anak-anak dapat belajar. Referensi yang dikemukan Howard Gardner dapat menjadi landasan bagi museum untuk menentukan intelejensi yang
akan
dikembangkan
melalui
eksibisi
interaktif.
Pandangan
Gardner
menyamakan eksibisi interaktif sebagai “tempat bermainan untuk pikiran”, yaitu tempat dimana anak-anak dapat menemukan benda yang menarik menurut mereka, sehingga mereka dapat mengeksplornya dengan caranya masing-masing, dan menciptakan pemahamanya masing-masing (Caulton, 1998: 19). Pandangan Gardner tentang tempat bermain untuk pikiran tersebut terkait dengan padangannya yang menyatakan bahwa kemampuan otak manusia paling tidak mendukung tujuh kemampuan atau intelejensi yang berbeda, Ketujuh kemampuan intelejensi tersebut adalah : 1. Intelejensi linguistik: kemampuan menggunakan bahasa untuk menginformasikan kegembiraan, kesenangan, keyakinan, memberikan rangsangan atau menyampaikan sesuatu. 2. Intelejensi logika-matematika: kemampuan untuk mengeksplorasi pola, kategori, menghubungkan dan melakukan penelitian dengan kontrol dan cara tertentu. 3. Intelejensi musikal: kemampuan untuk menikmati, memainkan atau membuat komposisi musik. 4. Intelejensi spasial: kemampuan untuk merasakan dan merubah secara mental bentuk atau objek, untuk menciptakan komposisi dan kesimbanan dalam visual atau display spasial. 5. Intelejensi bodily-kinaesthetic: kemampuan untuk menggunakan keterampilan motorik dalam olah raga, seni atau kerajinan, 6. Intelejensi
interpersonal:
kemampuan
untuk
memahami,
mengkomunikasikan dan mensosialisasikan kepada orang lain.
Universitas Indonesia
127
7. Intelejensi intrapersonal: kemampuan memahami gagasan dan perasaannya sendiri, bekerja sendiri dan melakukan inisiatif (Caulton, 1998: 19-20). Perkembangan intelejensi antara individu yang satu dengan individu yang lain berbeda. Menurut Gardner perkembangan intelejensi tidak dapat benar-benar berkembang dengan baik dalam lingkungan sekolah formal, karena waktu, sumber yang dipelajarinya dan kurikulumnya diatur secara ketat (Caulton, 1998: 20). Dengan demikian, eksibisi interaktif dapat menjadi lingkungan belajar yang ideal bagi anakanak, karena didalamnya kaya akan berbagai teknik interpretasi yang dapat merangsang berbagai kemampuan intelejensi. Museum Negeri Provinsi Lampung dapat menentukan intelejensi yang akan dikembangkan dalam ruang penemuan atau paviliun untuk anak. Dalam konteks materi pelajaran IPS di tingkat SMP hampir semua kemampuan intelejensi yang dapat dikembangkan, kecuali kemampuan intelejensi musikal. Berikut uraian mengenai kemampuang intelejensi yang dapat dikembangkan: 1. Intelejensi linguistik berkaitan dengan kemampuan siswa berinteraksi dengan sesama teman, guru atau staf museum. Di museum interaksi yang terjadi sangat membantu dalam memahami setiap objek dan fenomena yang disajikan. 2. Intelejensi logika-matematika berkaitan dengan kemampuan siswa dapat menarik kesimpulan dari berbagai objek dan fenomena yang disajikan. Di samping itu, eksperimen yang dapat dilakukan di museum sangat membutuhkan intelejensi ini. 3. Intelejensi spasial yang berkaitan dengan pemahaman terhadap peta, kondisi alam yang berkaitan dengan bumi sebagai tempat yang ideal bagi manusia, potensi sumber daya dan bencana karena gejala alam serta akibatnya. 4. Intelejensi bodily-kinaesthetic berkaitan dengan eksperimen-eksperimen yang mungkin dilakukan di museum untuk dapat memberi keterampilan-keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. 5. Intelejensi interpersonal yang berkaitan dengan berbagai fenomena sosial dan ekonomi seperti interaksi, perilaku menyimpang, kegiatan perekonomian dari tingkat sederhana hingga dalam bentuk korporasi dan lain.
Universitas Indonesia
128
6. Intelejensi intrapersonal yang berkaitan dengan kemampuan individu pembelajar untuk menerapkan berbagai konsep yang dipelajarinya. Menjadikan konsepkonsep itu sebagai landasan untuk melakukan berbagai inisiatif di masyarakat.
4.2.2.2 Konteks Sosiokultural Faktor-faktor penting dalam konteks sosiokultural berkaitan dengan mediasi sosiokultural yang ada di dalam kelompok dan mediasi yang difasilitasi oleh orang lain. Pada faktor mediasi yang ada di dalam kelompok hal yang dilihat adalah bagaimana interaksi yang terjadi pada sesama anggota kelompok dapat membuat proses belajar menjadi efektif. Kunjungan kelompok sekolah ke museum paling efektif bila kelompok tersebut dipisahkan dalam kelompok kecil-kecil. Dengan jumlah anggota yang tidak terlalu banyak, maka interaksi yang terjadi akan mengembangkan ikatan sosial di antara mereka. Kondisi interaksi yang terjadi adalah anak-anak dapat saling membantu untuk memahami pameran dengan berbagai perspektif yang mereka miliki. Museum Negeri Provinsi Lampung perlu menyadari hal
ini,
sehingga
dapat
mengembangkan
lingkungan
belajar
yang
dapat
mengembangkan mediasi antar sesama anggota kelompok. Interaksi yang terjadi di museum saat kunjungan juga tidak hanya dilakukan di dalam kelompok saja, tetapi juga terjadi dengan kelompok luar yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih. Mereka ini adalah staf museum yang kompeten karena menguasai informasi objek yang disajikan. Interaksi yang terjadi dengan staf museum dapat mempermudah proses belajar yang terjadi di museum. Untuk itu, Museum Negeri Provinsi tidak dapat sembarangan menunjuk orang untuk menjadi edukator, karena konpetensi mereka sangat mempengaruhi keberhasilan proses belajar di museum. Hal yang penting dipertimbangkan untuk edukator di museum disamping kemampuan penguasaan objek dan fenomena yang ada di museum, edukator juga harus mempunyai kemampuan komunikasi dengan pengunjung. Kemampuan komunikasi di sini tidak hanya berkaitan dengan dapat berbicara di depan banyak orang, tetapi apa yang disampaikan juga dipahami oleh audiensnya. Untuk itu, edukator juga harus mengetahui karakteristik setiap kelompok
Universitas Indonesia
129
pengunjungnya dan dapat menyesuaikan informasi yang perlu disampaikannya dengan karakteristik tersebut.
4.2.2.3 Konteks Fisik Konteks fisik berkaitan dengan faktor orientasi dan pengorganisasian, desain serta memperkuat peristiwa dan pengalaman di luar museum. Pada faktor orientasi dan pengorganisasian berkaitan dengan rasa aman terhadap lingkungan yang ada di sekelilingnya. Bila rasa aman itu muncul maka pengunjung akan fokus terhadap semua objek yang disajikan. Akan tetapi bila pengunjung sudah merasa tersesat maka fokusnya terhadap objek yang dipelajarinya akan lepas, sehingga proses belajar jadi terganggu. Oleh karena itu, dalam mendesain eksibisi interaktif, museum harus menatanya sedemikian rupa sehingga anak-anak merasa aman dan nyaman berada di ruang itu. Siswa jangan sampai merasa asing atau takut berhadapan dengan eksibisi. Mungkin atribut-atribut yang mereka kenal dapat digunakan untuk menghangatkan suasana ruang. Faktor desain berkaitan dengan bagaimana rancangan eksibisi, program atau website disajikan secara menarik oleh museum. Perlu digaris bawahi bahwa bila ingin melihat objek dua dimensi dapat dilakukan di tempat lain, komputer juga dapat dijumpai ditempat lain, demikian pula dengan teks, dapat dibaca dari media lain. Untuk itu, eksibisi museum harus dirancang dengan objek riil yang memiliki potensi mendidik dan lingkungan yang memadai sebagai tempat yang menyenangkan untuk belajar. Otentisitas tidak menjadi pertimbangan utama, yang terpenting adalah penataan dapat memberi makna kepada orang yang menyaksikannya. Desain eksibisi yang baik adalah menjadikan objek sebagai alat belajar yang tidak terbantahkan dan dapat dijadikan perangkat untuk memfasiltasi pemahaman yang kongkrit tentang masyarakat dan lingkungannya. Desain eksibisi interaktif di Museum Negeri Provinsi Lampung harus memperhatikan kepentingan belajar untuk anak. Penempatan objek yang berada dalam jangkauan penglihatan dan tangan anak-anak perlu mendapat pertimbangan utama. Di samping itu, warna dan penerangan ruangan harus menjadi perhatian
Universitas Indonesia
130
sehingga anak-anak merasa aman dan nyaman. Pada umumnya eksibisi interaktif dirangcang dengan desain yang menarik dan atraktif. Sebagai contoh, seperti Techniquest dan Eureka yang menggunakan warna-warna terang dan menempatkan tombol dan pengungkit dengan ukuran tinggi sesuai untuk anak-anak, sehingga menarik perhatian dan menghilangkan halangan berinteraksi dengan objek yang disajikan (Braund dan Reiss, 2004: 102). Sajian tersebut dibuat untuk satu tujuan, yaitu menciptakan lingkungan yang nyaman, aman dan bersahabat sehingga keengganan untuk berperilaku, berbicara dengan bebas tidak tampak lagi. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah objek yang disajikan haruslah terbuka. Hal ini mengikuti prinsip belajar dengan mengeksplorasi dan melakukan eksperimen. Di samping itu, objek juga harus berasal dari bahan yang aman bagi anak-anak dan bukan benda yang mudah rusak. Pengertian objek di sini juga perlu mendapat perhatian, karena yang dipelajari di museum bukan hanya objek berupa koleksi, tetapi juga berupa fenomena atau berbagai penjelasan tentang ilmu pengetahuan, seperti hukum gravitasi. Ini artinya museum perlu mempertimbangkan desain dan konsep yang cerdas sehingga anak-anak dapat memanfaatkannya dan dapat menarik kesimpulan sesuai dengan latar belakang dan kemampuannya masing-masing. Faktor yang berkaitan dengan memperkuat peristiwa dan pengalaman di luar museum adalah penguatan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan di dalam museum melalui berbagai media yang dapat dijumpai di luar museum. Bahan bacaan atau film dapat menjadi media konfirmasi yang dapat memperkuat pengetahuan dan pengalaman yang di dapatkan di museum Bagi pengunjung anak-anak, apalagi dari kelompok pengunjung sekolah, proses penguatan dapat dilakukan secara terencana, mulai dari persiapan sebelum berkunjung hingga akhirnya kembali ke sekolah. Terdapat perbedaan yang jelas antara kunjungan ke museum dengan persiapan yang matang dengan yang hanya ala kadarnya. Kita harus ingat bahwa kontribusi utama museum dalam belajar adalah membuat siswa memiliki perilaku positif untuk belajar ilmu pengetahuan dan mendorong mereka untuk menjadi lebih ingin tahu.
Universitas Indonesia
131
Oleh karena itu, untuk memenuhi hal-hal yang diinginkan dari kunjungan ke museum, berikut beberapa saran panduan yang dapat diikuti oleh sekolah agar kunjungan yang dilakukan di museum dapat mendukung pembelajaran materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Panduan berkunjung tersebut adalah : 1. Sebelum berangkat ke museum: a. Guru yang akan mengajak siswanya berkunjung ke museum harus menentukan terlebih dahulu materi pelajaran yang perlu mendapat dukungan dari objek dan fenomena yang disajikan di museum. Apakah kunjungan yang akan dilakukan untuk mendukung pelajaran yang telah didapatkan di sekolah atau pengetahuan baru yang akan diajarkan sekembalinya dari kunjungan ke museum, sehingga kunjungan ke museum bertujuan untuk terlebih dahulu membuka wawasan siswa agar menjadi lebih mudah menerima pelajaran. b. Menghubungi museum dan menyampaikan tujuan kunjungan, sehingga museum dapat mempersiapkan berbagai hal yang dapat mengakomodasi kebutuhan pengunjung. Bila memungkinkan dalam komunikasi dengan pihak museum, guru juga mendapatkan informasi tentang kapasitas eksibisi yang disajikan museum. c. Mengatur jadwal kunjungan dan lamanya waktu kunjungan yang dibutuhkan siswa, tujuannya agar semua siswa dapat mengeksplorasi dan melakukan eksperimen terhadap objek dan fenomena yang disajikan. d. Tentukan jalur kunjungan di museum yang perlu di lalui oleh siswa agar mendapatkan pengetahuan sesuai dengan yang diharapkan. e. Jika dibutuhkan guru dapat mempersiapkan berbagai daftar pertanyaan atau tugas-tugas yang berkaitan dengan objek dan fenomena yang dipelajari di museum. 2. Ketika berada di museum a. Lakukan perkenalan dengan tenaga edukator yang akan menjadi fasilitator dari museum agar proses belajar dapat berjalan dengan suasana yang akrab, sehingga proses belajar dapat berjalan dengan baik. Perkenalan ini dapat
Universitas Indonesia
132
digunakan untuk menyampaikan berbagai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi siswa saat berkunjung ke museum. b. Sampaikan kepada siswa apa yang harus mereka lakukan. Jika tugas-tugas yang mereka kerjakan bagikan tugas-tugas tersebut sambil menjelaskan halhal yang perlu mendapat perhatian. c. Membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Sebaiknya siswa dibagi dalam kelompok kecil agar tugas yang diberikan dapat dikerjakan bersama. Disamping itu, kelompok kecil akan mendorong interaksi yang lebih intensif antar anggota kelompok. d. Beri kesempatan kepada anak-anak untuk mengenali lingkungan eksibisi yang akan dipelajari, biarkan mereka bermain sesaat sehingga dapat akrab dengan lingkungan museum. e. Arahkan siswa untuk memulai kegiatan sambil tetap memberi kebebasan kepada mereka untuk mencoba objek atau fenomena yang disediakan. 3. Setelah berkunjung. a. Minta kepada siswa untuk menceritakan kembali di depan kelas pada saat mata pelajaran berlangsung apa yang mereka paling ingat dari kunjungannya ke museum? Apa yang menurut mereka paling menarik di museum? Hal apa baru yang dijumpai di museum? b. Jika memungkinkan siswa dapat diperintahkan untun membuat karangan bebas untuk menceritakan kembali pengalamannya di museum. c. Jika kunjungan di museum di dokumentasikan dalam bentuk foto atau video, hasilnya dapat ditayangkan kembali di kelas, sehingga dapat mengingatkan kembali aktivitas penting yang dilakukan di museum. Panduan di atas dapat diubah sesuai dengan tujuan kunjungan dan untuk mengoptimalkan materi yang akan dipelajari di museum.
Universitas Indonesia
133
4.3
Beberapa Konsep Penyajian Objek dan Fenomena Museum Negeri Provinsi Lampung Penyajian eksibisi interaktif di museum dapat di kembangkan dengan
beberapa konsep, seperti ruang penemuan atau paviliun untuk anak. Kedua konsep ini bila kembangkan akan memberi efek yang berbeda. Untuk ruang penemuan eksibisi interaktif yang dikembangkan berada menyatu dengan gedung pameran tetap di museum. Ruang dapat diletakkan di salah satu sudut ruang dari gedung pameran tetap. Museum ilmu pengetahuan di negara-negara maju banyak yang menggunakan konsep discovery room untuk menyajikan eksibisi interaktifnya. Namun bila pilihannya pada paviliun untuk anak, maka pengembangan eksibisi interaktif di museum diletakkan terpisah dengan gedung pameran tetap. Kelebihan dari paviliun untuk anak adalah pada objek dan fenomena yang disajikan semuanya hanya untuk anak-anak, sehingga pada saat masuk suasana yang ditangkap langsung berkaitan dengan sajian untuk anak. Pada ruang penemuan hal ini tidak dijumpai, karena pada saat masuk museum anak-anak dapat melihat objek lainnya yang disajikan tidak secara interaktif. Namun dengan arahan dari edukator museum dan berbagai objek yang disajikan di ruang penemuan, efek belajar yang didapatkan oleh anak-anak akan sama. Untuk mendesain ruang penemuan atau paviliun untuk anak, Museum Negeri Provinsi Lampung harus pula mempertimbangkan beberapa hal penting yang berkaitan dengan posisi dan perannya. Sebagai museum yang dikelola oleh pemerintah provinsi, maka yang perlu mendapat perhatian bukan hanya ilmu pengetahuan yang akan diajarkan, tetapi juga harus memperkenalkan potensi daerah, seperti kondisi alam, kekayaan alam atau keaneka ragaman komunitasnya. Artinya museum negeri provinsi harus menjadi jendela bagi pengunjung mengenai potensi alam dan kebudayaan yang dimiliki oleh provinsi tersebut. Hal
lain
yang
perlu
mendapat
perhatian
adalah
museum
harus
mempertimbangkan ketersediaan koleksi yang akan disajikan. Koleksi realia yang langka tentu perlu mendapat pertimbangan lain. Namun hal ini dapat digantikan
Universitas Indonesia
134
dengan replika. Hal yang perlu dipikirkan oleh pengelola museum adalah kerja sama dengan pakar di bidang ilmu pengetahuan tertentu, seperti pakar geologi, biologi dan pakar lainnya dalam mendesain berbagai fenomena yang akan disajikan dan dipelajarari secara interaktif oleh siswa. Untuk menentukan fenomena yang akan disajikan museum dapat menggunakan kurikulum IPS SMP sebagai panduan agar terdapat sinkronisasi terhadap yang diajarkan di sekolah dengan yang disajikan di museum. Dengan demikian museum dapat memperkuat dan menambah pengetahuan dan pengalaman siswa terhadap materi yang diajarkan di sekolah. Berikut beberapa usulan yang dapat digunakan oleh Museum Negeri Provinsi Lampung untuk menentukan berbagai hal yang dapat disajikan di ruang penemuan atau dipaviliun untuk anak: 1. Miniatur Gunung Anak Krakatau. Sajiannya dirancang dengan menggunakan miniatur Anak Gunung Krakatau. Rancangan ini harus mendapat konfirmasi dari pakar geologi agar yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Miniatur Anak Gunung Krakatau dirancang dapat dilepas sebagian dari tubuhnya sehingga dapat dilihat aktivitas gunung api yang terjadi di dalamnya. Siswa diperbolehkan untuk mencopot dan memasang ulang semua bagian dari Gunung Anak Krakatau. Rancangan ini dapat didukung oleh tayangan TV boks yang telah dimiliki museum yang materinya berisi film sejarah Gunung Anak Krakatau. Film ini dapat menjadi referensi aktivitas Gunung Anak Krakatau yang sebenarnya. Sajian bongkar pasang Anak Gunung Krakatau dapat dijadikan media belajar unutuk 3 siswa. Aktivitas ini dapat mendukung pengetahuan dan pengalaman siswa kelas VII semester 1 yang telah mempelajari: a. Gejala diastropisme dan vulkanisme serta sebaran tipe gunung api. b. Faktor-faktor
penyebab
terjadinya
gempa
bumi
dan
akibat
yang
ditimbulkannya. c. Dampak terjadinya gempa bumi terhadap kehidupan. 2. Evokatif Gua Prasejarah. Evokatif gua prasejarah dirancang dalam ukuran mini dipakai maksimal oleh lima orang. Di dalam area belajar ini disediakan berbagai alat batu dan bahan alat batu yang dapat dijadikan eksperimen oleh siswa untuk
Universitas Indonesia
135
membuat alat batu. Pada area belajar ini sebaiknya disediakan tenaga edukator yang mahir membuat alat batu. Siswa dapat belajar berasama edukator untuk membuat alat batu. Dari eksperiman yang dilakukan, siswa dapat mempunyai pengetahuan dan pengalaman bagaimana manusia prasejarah dapat bertahan hidup. Pengetahuan dan pengalaman ini mempunyai kaitan dengan materi pelajaran kelas VII semester 1: a. Mendeskripsikan pengertian dan masa pra-aksara di Indonesia. b. Mengidentifikasi jenis-jenis manusia purba di Indonesia. c. Mendeskripsikan perkembangan kehidupan masa para aksara di Indonesia. 3. Merangkai Bangunan Punden Berundak Pungung Raharjo. Rancangan ini dapat dikerjakan oleh tiga orang siswa. Merangkai bangunan punden berundank mirip dengan permainan menyusun balok, akan tetapi rangkaian bangunan yang akan dibuat berupa maket punden berundak dari situs Pugung Raharjo. Sebagai referensi siswa diberi gambar rancang bangun punden berundak dari berbagai sisi. Merangkai bangunan punden berundak ini bertujuan memperkenalkan salah satu situs prasejarah yang ada di Lampung berasal dari masa megalitik. Pengetahuan dan pengalaman ini mempunyai kaitan dengan materi pelajaran kelas VII semester 1, yaitu mengidentiifikasi peninggalan-peninggalan kebudayaan pada masa pra-aksara. 4. Puzzel Peta Persebaran Agama Islam di Lampung. Rancangan puzzel dapat dibuat dalam ukuran yang dapat dimainkan oleh tiga orang. Jika memungkinkan petanya dalam bentuk maket sehingga mempuyai kontur ketinggian sesuai dengan skala peta. Puzzel ini dapat digunakan untuk beberapa kebutuhan sekaligus. Selain untuk mendapatkan gambaran utuh tentang peta persebaran agama Islam hingga sampai ke Lampung, siswa juga dapat mempelajari tentang peta di antaranya: a. Mengidentifikasi jenis-jenis peta. b. Mengidentifikasi bentuk-bentuk peta. c. Mengidentifikasi pemanfaatan peta. d. Mengartikan berbagai skala. e. Menentukan letak suatu tempat menggunakan garis lintang dan bujur.
Universitas Indonesia
136
Ini artinya dari puzzel tersebut ada dua hal yang dapat dipelajari yaitu: melacak masuk dan berkembangnya agama Islam ke Indonesia dan mempelajari tentang peta. Pada kurikulum IPS SMP, pengetahuan dan pengalmana dari mempelajari puzzel ini siswa dapat memperkuat pengetahuan dan pengalamannya yang dipelajarinya pada kelas VII semester 1 dan 2. 5. Puzzel Peta Persebaran Agama Hindu Buddha di Lampung. Pola hampir sama dengan puzzel peta persebaran Islam di Lampung. Variasi yang berbeda dapat dibuat pada pemasangan Ikon-ikon pusat-pusat perkembangan Hindu Buddha di Indonesia berupa candi-candi. Pengetahuan dan pengalaman ini mempunyai kaitan dengan materi pelajaran kelas VII semester 2: c. Melacak masuk dan berkembangnya agama Hindu Buddha ke Indonesia dari India dan Cina. d. Memberikan contoh peninggalan-peninggalan sejarah bercorak Hindu Buddha di berbagai daerah dalam bentuk arca. 6. Alat Tenun Tradisional. Alat tenun tradisional ini terdiri atas alat tenun gedogan dan alat pemintal benang. Jadi perlengkapan ini dapat dimainkan oleh tiga siswa. Satu orang menenun dengan alat tenun gedogan dan dua teman yang lainnya memintal kapas menjadi benang. Perlengkapan ini sebaiknya dipandu oleh seorang edukator yang terampil menenun. Dengan panduan edukator siswa dapat melakukan eksperimen menenun yang dapat dijadikan mata pencaharian hidup. Pengetahuan dan pengalaman dari eksperimen ini dapat memperkuat pelajaran IPS pada kelas VII semester 1 tentang Mengidentifikasi mata pencaharian penduduk (pertanian, non pertanian). 7. Mengukur skala kekerasan batuan. Dalam area belajar ini dibutuhkan keterangan tentang skala kekerasan batuan dan berbagai benda kehidupan sehari-hari yang dapat digunakan untuk mengujinya. Perancangan sebaiknya dalam bentuk meja dengan laci-laci berisi contoh batuan dan berbagai alat yang dapat digunakan untuk menguji kekerasan batuan tersebut. Eksperiman dapat dilakukan oleh tiga orang anak sekaligus. Eksperimen ini akan memperkuat pengetahuan dan
Universitas Indonesia
137
pengalaman siswa dalam mengidentifikasi batuan dan skala kekerasannya. Materi ini dipelajari dalam materi IPS kelas VII semester 1. Dari usulan di atas tampak bahwa pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa SMP menjadi perhatian utama bagi museum untuk mendesain eksibisi yang interaktif. Saat belajar juga diperhatikan interaksi dan kerja sama yang harus dikembangkan untuk menyelesaikan semua materi pembelajaran yang disajikan. Dengan demikian usulan di atas desainnya mempertimbangkan konsep free choice learning yang aplikasinya dalam bentuk model belajar kontekstual. Model ini berkaitan dengan tiga konteks yang saling tumpang tindih, yaitu: konteks personal (personal context), konteks sosiokultural (sociocultural context) dan konteks fisik (fisical context). Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan yang dapat memberikan gambaran holistik belajar yang dapat mengakomodasikan banyak sekali hal yang spesifik dan detail yang dapat memperkaya dan berhasil dalam proses belajar. Masih banyak usulan yang dapat dibuat untuk mengembangkan ruang penemuan atau paviliun untuk anak. Hal terpenting yang harus dipahami oleh eduaktor museum dan disainer eksibisi adalah kedudukan museum sebagai institusi pendidikan bukan sebagai pengganti sekolah, tetapi justru menjadi institusi yang mendukung pembelajaran di sekolah sehingga museum dapat memperkuat dan memperkaya pengetahuan dan pengalaman siswa. Konsep untuk pengembangan eksibisi interaktif juga bisa di bawa dalam berbagai program edukasi yang dilakukan di luar museum, seperti pada museum keliling atau pada program museum masuk sekolah. Museum keliling merupakan kegiatan pameran yang di dilakukan di luar museum. Untuk itu eksibisi interaktif dapat dibawa menjadi salah satu sajian untuk menarik pengunjung. Konsep museum keliling yang perlu mendapat pertimbangan adalah umumnya koleksi yang disajikan oleh museum adalah koleksi yang berasal dari wilayah tempat penyelenggaraan pameran. Dengan demikian bila memungkinkan, maka sajian interaktif dikaitkan dengan kekayaan alam atau kebudayaan tempat diselenggarakannya pameran.
Universitas Indonesia
138
Pada museum masuk sekolah salah satu sajiannya adalah pameran mini. Audien acara ini adalah komunitas sekolah. Untuk itu, museum dapat menyajikan pameran mininya dengan eksibisi interaktif yang dapat dieksplorasi oleh anak-anak. Diharapkan anak-anak akan tertarik dan dapat belajar dari eksibisi yang disajikan. Tema yang disajikan dapat beraneka ragam, disesuaikan dengan waktu kegiatan dilakukan. Tujuannya agar eksibisi yang disajikan dapat disesuaikan dengan materi yang diajarkan di sekolah. Eksibisi yang disajikan juga dapat disesuaikan dengan audiensnya. Pada museum masuk sekolah yang menjadi pusat kegiatan adalah sekolah. Dengan demikian audien terbesar adalah siswa pada sekolah tersebut, disamping undangan perwakilan siswa dari sekolah-sekolah di sekitarnya. Dengan demikian tema eksibisi dapat disesuaikan dengan jenjang sekolah yang di jadikan pusat kegiatan. Jika sekolah yang dijadikan pusat kegiatan adalah SD maka yang harus disajikan adalah objek dan fenomena yang sesuai dengan jenjang SD, demikian pula untuk SMP dan SMA. Pesan yang disampaikan dalam pameran mini tersbut adalah museum adalah tempat belajar yang menyenangkan.
4.4
Museum Sebagai Bagian dari Sistem Pendidikan Nasional UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Padal 1 ayat (3)
menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional. Dalam mencapai tujuan pendidikan nasional dibutuhkan wahana yang dapat digunakan peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Hal ini dalam UU No. 20 Tahun 2003 di atur dalam Pasal 1 ayat (7) yang menyatakan bahwa jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Selanjutnya dalam pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Ini artinya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional tidak hanya menjadi tanggungjawab pendidikan formal, tetapi juga menjadi tanggungjawab dari pendidikan nonformal dan informal.
Universitas Indonesia
139
4.4.1 Posisi Museum Dalam Sistem Pendidikan Nasional Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pada pasal 27 ayat 1 dinyatakan bahwa kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar mandiri. Museum sebagai institusi pendidikan informaal merupakan bagian dari pendidikan yang dilakukan oleh lingkungan. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional museum semestinya turut berperan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Namun dalam UU No. 20 Tahun 2003 peran jalur pendidikan informal tidak diatur secara mendetail dibandingkan dengan pendidikan formal dan nonformal. Oleh karena itu, tampaknya pendidikan informal hanya menjadi pelangkap yang kurang penting artinya dalam sistem pendidikan nasional. Tidak adanya aturan hukum yang jelas dan mendetail bagi jalur pendidikan informal mungkin disebabkan karena jalur pendidikan ini memiliki sifat yang sangat longgar dan outcome dari pendidikan informal tidak dapat langsung dilihat. Kondisi ini juga didukung oleh definisi pendidikan pada UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Definisi tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana. Sementara pendidikan informal seringkali terjadi secara tidak sadar dan tidak direncanakan. Ketiadaan aturan yang jelas mengakibatkan peran museum sebagai institusi pendidikan informal jadi luput dari perhatian atau tidak mendapat perhatian serius, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Jika selama ini pengunjung terbesar yang datang ke museum adalah siswa, bukan berarti mereka yang paling banyak medapatkan informasi dari museum atau datang untuk belajar. Tetapi pengunjung siswa yang jumlahnya signifikaan itu terjadi karena guru menjalankan perintah wajib kunjung ke museum dari Dinas Pendidikan Provinsi atau Dinas Pendidikan
Universitas Indonesia
140
Kabupaten/Kota. Ini artinya siswa datang ke museum dengan terpaksa, karena mengikuti perintah gurunya. Oleh karena itu, siswa tidak termotivasi untuk belajar, meskipun dalam kunjungannya itu siswa juga diperintahkan mencatat label yang dilihatnya. Akibatnya kunjungan siswa tidak lain hanya sekedar jalan-jalan saja. Hal ini memperlihatkan bahwa perintah wajib kunjung tersebut tidak didasarkan pada konsep belajar yang komprehensif, sehingga kedatangan siswa ke museum juga kurang memberikan manfaat bagi siswa. Dengan demikian, proses meningkatkan pengetahuan dan pengalaman bagi siswa melalui kunjungannya ke museum tidak terlalu signifikan bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional. Dengan semua potensi yang dimilikinya, museum merupakan gudang pengetahuan dan dapat memberi pengalaman yang berbeda dengan belajar di sekolah. Dengan demikian semestinya museum masuk dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Dalam kerangka sistem, permasalahan yang muncul antara museum dan jalur pendidikan lainnya adalah pada interaksi antar subsistem. Sebagai perangkat sistem museum harus memperlihatkan bentuk interaksi yang saling mendukung dengan institusi pendidikan lainya dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pertanyaan yang muncul adalah dalam posisinya sebagai subsistem pendidikan nasional bagaimana interaksi yang terjadi antara pendidikan formal (sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan) dengan museum sebagai institusi pendidikan informal atau apakah museum telah menjadi target bagi sekolah sebagai tempat belajar dan sebaliknya apakah museum telah menjadikan siswa sebagai target pengunjungnya. Lalu kontribusi apa yang dapat diberikan museum untuk ikut mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Jika fakta yang berkaitan dengan wajib kunjung dijadikan jawaban, maka museum bukan menjadi tempat belajar yang ideal bagi siswa karena sebagai institusi pendidikan informal museum seharusnya menjadi tempat yang ideal bagi free choice learning, bukan keterpaksaan seperti yang dialami oleh siswa karena diharuskan datang ke museum. Motivasi untuk belajar semestinya muncul dari diri siswa sendiri, sehingga siswa dapat belajar sesuai dengan minatnya masing-masing. Sebaliknya eksibisi yang disajikan oleh museum tenyata juga tidak banyak menarik perhatian siswa untuk menghabiskan waktunya di museum. Dengan demikian
Universitas Indonesia
141
pertanyaan kedua pun jawabannya menjadi jelas bahwa museum, dalam kondisi seperti ini, konstribusinya sebagai tempat belajar sangat kecil. Ini artinya kontribusi museum dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional juga sangat kecil. Interaksi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dan kontribusi yang kecil mengakibatkan museum tidak dianggap terlalu penting sebagai perangkat sistem pendidikan nasional. Di samping itu, masalah departemental juga menjadi alasan, mengapa museum yang termasuk dalam jalur pendidikan informal tidak diatur secara mendetail dalam sistem pendidikan nasional. Museum sebagai institusi pendidikan informal secara departemental merupakan bagian dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sementara urusan pendidikan secara departemental menjadi wewenang Departemen Pendidikan Nasional. Perbedaan wewenang ini menghambat terjadinya pengintegrasian museum sebagai institusi pendidikan informal yang dapat dimanfaatkan oleh pendidikan formal sebagai sarana belajar yang dapat mendukung terwujudnya tujuan pendidikan nasional.
4.4.2 Museum Sebagai Perangkat Sistem Pendidikan Nasional Di negera-negara maju seperti Amerika dan Inggris peran museum sebagai institusi pendidikan informal telah dirancang menjadi bagian penting dari sistem pendidikan nasional. Di Amerika pada tahun 1984 American Association of Museums (AAM) membentuk komisi yang disebut the Commision on Museum for a New Century yang bertugas melakukan studi tentang pandangan publik terhadap museum dan posisioningnya yang tepat di dalam masyarakat (Hein, 1998: 8). Dalam laporannya komisi tersebut menyatakan bahwa museum belum merealisasikan secara penuh peran potensialnya sebagai institusi pendidikan. Oleh karena itu, pada tahun 1992 AAM menunjuk sejumlah professional educator dan direktur museum untuk melakukan konferensi. Hasil konferensi tersebut adalah menguatkan komitmen profesional pendidikan atau belajar di museum dan kembali menguatkan tema pelayanan terhadap komunitas merupakan hal yang esensial bagi museum. AAM Dalam laporannya menyatakan :
Universitas Indonesia
142
Komunitas museum di Amerika Serikat harus berbagi tanggungjawab dengan institusi pendidikan lainnya untuk memberikan kesempatan belajar seluas-luasnya bagi semua orang dan menjadi lingkungan yang dapat memberi pencerahan, sehingga dapat membentuk masyarakat yang lebih menghargai nilai masa lalunya, lebih bijaksana dan sensitif terhadap perkembangan masa kini, dan menentukan masa depannya dengan berbagai pengalaman dan berbagai cara pandang (American Association of Museum, dikutip dalam Hein, 1998: 8-9).
Sementara itu di Inggris, pencanangan kurikulum nasional baru pada tahun 1989 menentukan pemanfaatan museum untuk mendukung mandat negara dalam mencapai tujuan pendidikan (Hein, 1998: 9). Amanat ini mengharuskan pengelola museum bekerja sama dengan pihak berwenang di bidang kurikulum pendidikan. Hanya sayangnya, secara kebetulan topik yang menjadi tanggungjawab museum tidak dapat dipenuhi oleh museum karena museum tidak mempunyai koleksi yang dapat mendukung pendidikan (Hein, 1998: 9). Menurut Anderson, museum di Inggris nampak selalu terlihat sebagai institusi pendidikan, namun masih dibutuhkan penelitian mendalam untuk menguji peran pendidikan mereka secara penuh (Anderson, dikutip dalam Hein, 1998: 9). Publikasi ini memperlihatkan kesadaran baru tentang kontribusi museum untuk menjadi tempat belajar seumur hidup, dan kontribusi ini dapat berikan di masa depan jika tugas museum dikoordinasikan dengan pihak pemerintah lokal, regional dan nasional. Uraian di atas dapat menjadi inspirasi dan memperlihatkan harapan besar bagi museum untuk menjadi mitra pendidikan formal dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Meskipun kedua negara tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menentukan peran pendidikan museum, namun pada dasarnya perbedaan cara tersebut mengarah pada penguatan peran museum sebagai institusi pendidikan informal yang dapat mendukung proses belajar pendidikan formal. Dengan demikian jelas bagaimana posisi museum dalam sistem pendidikan nasional
Universitas Indonesia
143
4.4.2.1 Penguatan Kelembagaan Museum Secara Internal Untuk mendukung proses pendidikan formal, perubahan secara kelembagaan pada museum dapat terjadi dalam lingkup internal, yaitu penguatan yang didorongan oleh profesional museum melalui Asosiasi Museum Indonesia (AMI) dan dalam lingkup eksternal melalui penguatan dengan menerbitkan aturan perundang-undangan yang memastikan bahwa museum memiliki tanggungjawab untuk mendukung proses belajar pendidikan formal. Melakukan penguatan secara internal, dapat dilakukan dengan meninjau kembali definisi museum berdasarkan International Council of Museum (ICOM, 2006): Museum adalah lembaga permanen yang tidak mencari keuntungan (notfor-profit), diabdikan untuk kepentingan dan pembangunan masyarakat, serta terbuka untuk umum. Museum mengumpulkan, melestarikan, meneliti,
mengkomunikasikan,
memamerkan
bukti-bukti
bendawi
manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan dan kesenangan.
Definisi tersebut dengan jelas menyatakan bahwa museum adalah tempat yang ideal bagi orang yang ingin melakukan studi dan belajar sambil bersenang-senang. Ini artinya potensi yang dimiliki museum semestinya dapat digunakan untuk mengembangkan lingkungan yang ideal untuk belajar. Berdasarkan definisi tersebut AMI dapat membuat interpretasi yang lebih konkrit mengenai museum sebagai lingkungan belajar yang ideal bagi siswa. AMI di daerah dapat melakukan kerja sama dengan institusi pendidikan formal untuk mencari titik temu antara potensi yang dimiliki museum dengan kebutuhan pihak sekolah. Selanjutnya, dari sisi kelembagaan museum, sebagai perhimpunan museum Indonesia AMI dapat mengupayakan suatu pertemuan untuk membahas satu visi bersama museum-museum di Indonesia untuk mengambil bagian dalam mendukung pendidikan formal demi mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Visi bersama tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagi profesional museum untuk
Universitas Indonesia
144
menentukan kebijakan-kebijakan operasional yang dapat mendukung terwujudnya museum yang dapat mendukung pendidikan formal. Masing-masing museum, terutama museum negeri provinsi perlu didorong melakukan interpretasi ulang terhadap eksebisinya agar dapat menjadi tempat belajar yang ideal bagi siswa. Interpretasi tersebut dapat melibatkan pihak sekolah untuk mendapatkan informasi tentang materi pelajaran yang dapat diajarkan di museum. Jadi penentuan strategi yang sesuai untuk museum sebagai sarana pendidikan, idealnya dilakukan bersama antara museum dan sekolah, terutama di dalam menyusun garis besar isi program media atau jenis sumber belajar (Sudharto, 2001: 35). Tanpa adanya kebersamaan di dalam menyusun program kunjungan tersebut, pelaksanaan program tidak akan berkualitas.
4.4.2.1 Penguatan Kelembagaan Museum Secara Eksternal Di lain pihak pemerintah baik di tingkat pusat, maupun daerah dapat membuat peraturan perundang-undangan yang dapat memperkuat posisi museum untuk ikut memiliki kontribusi terhadap proses pembelajaran institusi pendikan formal. Dengan demikian arah kebijakan terhadap sekolah dan museum akan jelas. Sekolah dapat menjadikan museum sebagai salah satu sumber belalajarnya. Sementara museum dapat menentukan bahwa target kunjungan adalah siswa. Bentuk arahan ini akan menempatkan museum sebagai institusi pendidikan informal yang penting bagi sekolah, karena materi yang diajarkan di sekolah mempunyai keterkaitan dengan eksebisi yang disajikan di museum. Dengan demikian, di satu sisi sekolah akan mendapatkan mitra strategis dalam bidang belajar mengajar, sementara di sisi lain museum dapat menjalankan peran utamanya sebagai institusi pendidikan dengan baik. Ini artinya kualitas kunjungan akan meningkat seiring dengan kuantitas kunjungan siswa yang jumlahnya signifikan. Secara konkrit aturan yang dibuat pemerintah itu memberi arahan terhadap desain kerja sama yang dapat dilakukan antara museum dan sekolah. Bentuknya dapat berupa kurikulum sekolah yang melibatkan museum sebagai laboratorium bagi mata palajaran tertentu, seperti mata pelajaran IPS terpadu. Sementara perangkat
Universitas Indonesia
145
aturan yang ditujukan kepada museum juga memberi gambaran yang konkrit mengenai semua tugas pokok dan fungsi museum sebagai salah satu laboratorium bagi sekolah. Peran terbesar dari kerja sama ini dapat dibebankan menjadi tanggungjawab museum negeri provinsi. Hal ini bukan mengecilkan fungsi dari museum-museum khusus yang dikelola pemerintah atau museum swasta yang dikelola yayasan. Namun pertimbangan ini berpijak pada koleksi yang dipreservasi, dirawat, diteliti dan disajikan oleh museum. Museum negeri provinsi sebagai museum umum (general museum) merupakan museum yang berhubungan dengan pola berpikir interdisipliner sehingga dapat memberi perluang untuk menjabarkan secara visual mengenai kehadiran manusia dan alam lingkungannya, baik lingkungan alamiah yang memberikan segala sumber daya hidup, maupun mengenai lingkungan sosial budayanya (Sutaarga, 1997: 69). Pola berpikir interdispliner tersebut dapat dilakukan oleh museum negeri provinsi, karena dalam menterjemahkan kehadiran manusia dan alam lingkungannya museum membaginya menjadi 10 bidang kajian ilmiah yang kemudian dijadikan klasifikasi koleksi. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab 3, bahwa klasifikasi koleksi museum negeri provinsi terdiri atas 10 jenis. Klasifikasi tersebut didasarkan pada disiplin ilmu. Tujuan dari pembagian berdasarkan disiplin ilmu agar koleksi dapat dijadikan sebagai objek studi dan pendidikan. Ini artinya, museum negeri provinsi dapat menjadi referensi banyak bidang ilmu dibandingkan dengan museum khusus yang dikaji oleh satu bidang saja. Dengan demikian, mata pelajaran sekolah yang terdiri atas berbagai bidang ilmu akan lebih cocok untuk datang ke museum negeri provinsi dibandingkan pada museum khusus. Namun museum khusus dapat menjadi referensi yang lebih lengkap bila siswa mempunyai minat khusus di bidang studi tertentu. Siswa dapat melihat artefak, spesimen dan fenomena yang lebih detail dari museum khusus. Hal lain yang menjadi pertimbangan pemilihan museum negeri provinsi adalah karena hingga saat ini museum negeri provinsi telah ada di 26 provinsi. Ini artinya, persebaran museum negeri provinsi lebih luas dibanding museum khusus, sehingga dapat menjadi referensi bagi sekolah-sekolah yang berada di daerah. Di
Universitas Indonesia
146
samping itu, karena koleksi yang dikumpukannya adalah koleksi yang berasal dari lingkup provinsinya masing-masing, maka sekolah yang menjadikan museum sebagai laboratorium akan mendapatkan referensi tentang potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing. Referensi ini seringkali tidak dijumpai dari buku sekolah yang umumnya memberi ilustrasi dan contoh dari daerah-daerah tertentu saja. Oleh karena itu, museum dapat memperkaya wawasan siswa dengan ilustrasi visual dari berbagai kelompok suku yang ada di wilayah provinsinya masing-masing. Dengan demikian jelas bahwa museum negeri provinsi mempunyai potensi yang cukup memadai untuk mendukung berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Dalam konteks tesis ini pembahasan hanya akan difokuskan pada mata pelajaran IPS saja. Mata pelajaran IPS menarik untuk dibahas di samping karena museum memiliki berbagai koleksi yang berkaitan dengan materi yang diajarkan di tingkat SMP, ternyata sekolah juga mempunyai kesulitan untuk memberikan pengalaman laboratoris untuk materi pembelajaran IPS, karena laboratorium IPS tidak ekonomis untuk dibuat di sekolah.
Universitas Indonesia
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan Sepanjang dua dekade sejak masa berdirinya, Museum Negeri Provinsi Lampung tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Perspektif yang dipakai sebagai dasar eksebisi dan program edukasinya masih tetap sama dengan buku pedoman yang dibuat oleh direktorat pormuseuman sejak tahun 80 an. Untuk dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang telah mengalami perubahan sangat pesat, perspektif tersebut tidak dapat lagi tetap dipertahankan. Konsep penentuan teori pendidikan yang digunakan sebagai dasar kebijakan eksebisi dan program edukasi merupakan hal baru bagi museum negeri provinsi. Selama ini perkembangan teoriteori pendidikan yang dikaji oleh museolog dan ahli pendidikan seperti luput dari perhatian pengelola museum, sehingga mereka tidak mempunyai referensi lain selain dari yang telah ada sekarang. Di samping itu, fungsi Direktorat Museum sebagai regulator kebijakan tampaknya juga belum mengarah pada satu pengkajian yang mendalam tentang peran museum di bidang pendidikan. Berbagai perkembangan teori pendidikan yang berkaitan dengan museum yang di sajikan dalam tesis ini diharapkan dapat memperkaya persperktif yang sudah ada selama ini dan dapat menjadi alternatif pemikiran bagi museum negeri provinsi untuk kembali melihat posisi dirinya dalam menjalankan perannya sebagai institusi pendidikan. Proses indentifikasi ini menjadi penting karena dengan mengetahui teori pendidikan yang digunakannya sebagai dasar kebijakan eksebisi, maka museum kemudian dapat menentukan arah kebijakan eksebisi dan program edukasinya. Teori pendidikan ini juga dapat menjadi pedoman bagi museum untuk menentukan perubahan-perubahan yang dirasakan perlu oleh museum. Hein (1998: 25) menyatakan bahwa teori pendidikan di museum dapat dipandang sebagai kontinum dan dapat dibuat dalam bentuk kuadran. Masing-masing teori pendidikan berada dalam kuadran tersebut, yaitu teori pendidikan didaktik eskpositori, teori
Universitas Indonesia
148
pendidikan stimulus respon, teori pendidikan diskoveri dan teori pendidikan konstruktivis. Penempatan toori pendidikan dalam kontinum dan dalam bentuk kuadran dapat memudahkan museum untuk menentukan dirinya pada posisi mana dia akan menempatkan dirinya. Kontinum juga memungkinkan museum untuk menentukann berada pada sisi kontinum yang mana. Museum dapat menentukan dirinya berada di sisi paling tepi dari kontinum (posisi esktrim) atau mengeser agak ke tengah (lebih moderat). Pertimbangan-pertimbangan ini dapat menjadi diskusi para pengelola museum untuk menentukan bagaimana museum menyajikan eksebisi dan program eduaktifnya. Namun dalam perkembangan satu dekade terakhir anggapan bahwa museum merupakan institusi pendidikan yang memiliki karakteristik free choice learning semakin menguat. Untuk itu, \teori pendidikan konstruktivis dianggap lebih cocok sebagai teori yang diterapkan di museum. Konstruktivis memiliki dua postulat penting yang sesuai dengan karakteristik museum. Pertama, pemahaman bahwa saat belajar dibutuhkan partisipasi aktif dari pembelajar. Oleh karena itu, pameran menjadi sarana belajar yang memungkinkan pengunjung aktif menggunakan tangan dan pikirannya untuk dalam berinteraksi dengan objek dan fenomena yang disajikan. Ketika interaksi itu terjadi maka pengunjung bisa membuat kesimpulan, melakukan eksperimen dan menambah pemahamannya. Hal ini akan membuat mereka dapat menarik generalisasi tentang fenomena yang mereka pelajari. Kedua, pendekatan teori pendidikan konstruktivis mengharuskan kesimpulan yang diambil tidak divalidasi dengan standar kebenaran eksternal, tetapi oleh pembelajar itu sendiri. Gagasan validitas yang dibuat oleh konstruktivis tidak tergantung pada kesesuaian dengan kebenaran objektif yang eksistensinya terpisah dari orang atau kelompok yang sedang belajar. Oleh karena itu, kesimpulan yang dibuat oleh pengunjung tidak didasarkan oleh konteks benar atau salah tetapi didasarkan pada latarbelakang yang dimiliki pengunjung. Museum Negeri Provinsi Lampung sebagai institusi pendidikan informal dapat memperjelas fungsi dirinya sebagai institusi pendidikan informal yang mendukung pembelajaran IPS tingkat SMP. Jika posisi ini yang akan diambil, maka
Universitas Indonesia
149
Museum Negeri Provinsi Lampung secara khusus memposisikan siswa SMP sebagai target grupnya dan IPS sebagai acuan untuk menentukan pengetahuan dan pengalaman yang akan disajikan pada eksebisinya. Dengan posisi seperti di atas, maka penerapan museum untuk anak (children’s museum) menjadi posisi yang tepat. Hanya saja posisi ini dirasa terlalu ekstrim karena akan merubah konsep dasar museum negeri provinsi sebagai museum umum yang berbasis ke wilayahan. Untuk itu, jalan tengah yang diambil adalah dengan mengembangkan ruang penemuan (discovery room) sebagai konsep baru yang dirancang khusus untuk anak-anak. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa konsep belajar aktif merupakan landasan yang sesuai untuk wahana belajar free choice learning, maka dalam desainnya pengembangan ruang penemuan harus pula didasarkan pada konsep ini. Secara psikologis pendekatan eksebisi interaktif dianggap sebagai pendekatan yang tepat dengan konsep belajar aktif bagi anak-anak dalam seting free choice learning. Kemampuan anak-anak yang menyenangi warna, bentuk dan rupa membuat mereka lebih menghargai objek yang ada di sekeliling mereka. Anak-anak lebih cepat belajar dari benda dengan cara menghubungankan dan memahami pola penyajian non verbal dibandingkan orang dewasa. Anak-anak akan merasa putus asa bila harus dihadapkan dengan display yang statis dan tidak difahami dimana mereka tidak dapat memainkan, menyentuh atau mengeksplorasinya. Anak-anak harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi pada pameran dan mencari jawaban sendiri dari pertanyaan diajukan melalui objek. Untuk mempertegas proses belajar pada ruang penemuan Museum Negeri Provinsi Lampung dapat menggunakan Model Belajar Kontekstual (Contextual Learning Model) sebagai landasan mendesain proses belajar di ruang penemuan.. Dalam satu dekade ini telah diupayakan suatu instrumen yang dapat digunakan oleh museum untuk menentukan bagaimana proses belajar yang terjadi ketika pengunjung berkunjung ke museum. Falk dan Dierking menyatakan bahwa proses belajar yang terjadi di museum cendrung tidak linier dan didorong oleh motivasi dari pembelajar sendiri dan berkaitan dengan berbagai pilihan terhadap kapan, dimana dan apa yang
Universitas Indonesia
150
dipalajari (Falk dan Dierking, 2000: 10). Oleh karena itu model, yang cocok untuk melihat proses belajar di museum adalah Model Belajar Kontekstual (Contextual Learning Model) (Falk dan Dierking, 2000: 10). Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan yang dapat memberikan gambaran holistik proses belajar di museum dan dapat mengakomodasikan banyak hal yang spesifik dan detail yang dapat memperkaya hasil dalam proses belajar. Model Kontekstual berkaitan dengan tiga konteks yang saling berinteraksi, yaitu: konteks personal (personal context), konteks sosiokultural (socio-cultural context) dan konteks fisik (fisical context). Menurut Falk dan Dierking belajar adalah proses atau produk dari interaksi ketiga konteks ini (2000: 5). Masing-masing komponen tersebut selalu berubah. Oleh karena itu, pembelajaran dapat dipandang sebagai proses integrasi dan interaksi ketiga konteks yang tidak pernah ada akhirnya dari waktu ke waktu. Sebagaimana diketahui bahwa dalam kehidupannya tidak ada individu yang diam, sehingga konteks personal akan terlihat selalu bergerak terus menerus, pengalaman yang didapatkannya secara konstan dibentuk dan kembali dibentuk ulang oleh konteks fisik, dan keduanya selalu di mediasi oleh konteks sosiokulturalnya. Konteks yang saling berinteraksi itu, memiliki delapan faktor yang menentukan proses belajar di museum. Faktor-faktor tersebut adalah: A. Konteks Personal 1. Motivasi dan harapan. 2. Pengetahuan yang sudah dimiliki, minat dan keyakinan. 3. Pilihan dan kontrol. B. Konteks Sosiokultural 4. Mediasi sosiokultural yang ada di dalam kelompok. 5. Mediasi yang difasilitasi oleh orang lain. C. Konteks Fisik 6. Orientasi dan pengorganisasian. 7. Desain. 8. Memperkuat peristiwa dan pengalaman di luar museum.
Universitas Indonesia
151
Bila museum dengan seksama mempertimbangkan kedelapan faktor dalam mendesain ruang penemuan atau pavilun untuk anak, maka proses belajar interaktif yang terjadi di museum dapat memberikan hasil yang optimal bagi pembelajaran IPS pada tingkat SMP di museum.
5.2
Saran Saat ini, museum untuk anak di Indonesi seharusnya bukan merupakan angan-
angan lagi. Dengan dicanangkannya kurikulum berbasis kompetensi sebagai kurikulum sekolah, posisi museum untuk anak atau ruang khusus untuk anak menjadi semakin penting. Saat ini sekolah yang ingin menerapkan kurikulum berbasis kompetensi membutuhkan media pendidikan yang lebih beragam selain dari buku pelajaran sekolah. Jika buku lebih banyak memberi penjelasan tentang teori, prinsip dan konsep, maka diharapkan museum untuk anak atau ruang khusus untuk anak dapat memberi pengalaman yang membuktian kebenaran teori, prinsip dan konsep melaui interaksi dengan objek dan fenomena yang dapat dipegang dirubah dan dijadikan alat eksperimen.. Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan adalah pendidikan saat ini bukan sekadar proses mengisi pengetahuan seperti menuangkan air ke dalam botol, tetapi harus memberikan pengalaman yang dapat mempersiapkan seseorang untuk hidup di masyarakat dan hal itu terjadi sepanjang hidup. Oleh karena itu UNESCO melalui Komisi Internasional untuk Pendidkan Abad ke 21 membuat rumusan tentang empat pilar pendidikan abad ke 21 (The Four Pillars of Education in 21st Century) (Dolores et.al., 1998). Keempat pilar pendidikan itu adalah belajar untuk tahu (learn to Know), belajar untuk melakukan (learn to do), belajar untuk menjadi (learn to be), dan belajar untuk hidup bersama (learn to live together) (Dolores et.al., 1998: 37). Museum untuk anak dengan semua potensi yang dimilikinya dapat menjadi institusi yang ditugaskan untuk menopang salah pilar tersebut. Berdasarkan dua kondisi di atas, langkah awal yang dapat di ambil adalah dengan menjadikan museum negeri provinsi sebagai pioner yang menyediakan eksibisi dalam suatu ruang khusus sehingga anak-anak dapat secara interaktif
Universitas Indonesia
152
mengeksplor dan melakukan eksperimen terhadap objek yang disajikan. Dalam konteks ini realitas museum negeri provinsi yang telah ada di 26 provinsi menjadi alasan kuat untuk mewujudkan tersedianya eksibisi khusus untuk anak-anak. Ini artinya sebagaian besar pelajar yang ada di seluruh Indonesia dapat segera memanfaatkannya bila pengembangan eksibisi ini telah dilakukan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan pada setiap daerah baik di provinsi atau di kabupaten mengembangkannya. Bila hal ini terwujud, sekolah, guru dan siswa di seluruh Indonesia dapat menjadi pelanggan tetap museum ini. Artinya museum tidak akan pernah sepi dari pengunjung, apalagi bila pengelolanya terus mengembangkan objek dan fenomena yang disajikannya mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di dunia pendidikan.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Asiarto, Luthfi, et.al., Pedoman Museum Indonesia, Jakarta, Direktorat Museum Dirjen Sejarah Purbakala Depbudpar, 2008. Basuki, Sulistyo, Matode Penelitian, Jakarta, Penerbit Widatama Widya Sastra, 2006. Baxi, Smita J ed., Modern Museum Organisation and Practice in India, Abhinav, New Delhi, 1973. Boylan, Patrick et.al., Runnig a Museum A Practical Handbook, Paris, International Council of Museum, 2004. Burcaw, George Ellis, Introduction to Museum Work, Nashville, The American Association for State and Local History, 1983. Braund, Martin dan Reis, Michael ed., Science Outside The Classroom, Routledge, New York: 2004. Caulton, Tim, Hands-on Exhibition Managing Ineteractive Museum and Studies, Rautledge, New York: 1998. Dean, David, Museum Exhibition Theory and Practice, New York, Routledge, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Permuseuman, Pedoman Tata Pameran di Museum, Proyek Pembinaan Permuseuman Direktorat Permuseuman Dirjen Kebudayaan Depdiknas, Jakarta: 1998. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Permuseuman, Buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Edukatif, Depdikbud, Jakarta: 1994 Departemen Pendidikan Nasional, Model Pembelajaran IPS, Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan Nasional Pusat Kurikulum. Dolores, Jacques et.al, Learning The Treasure Within, Report to UNESCO of International Commission on Education for the Twenty-first Century. Edson, Gary dan David Dean, The Handbook for Museum, Routledge, London and New York : 1996.
Universitas Indonesia
154
Falk, Jhon H dan Dierking, Lynn D., Learning From Museum Visitor Experience and Making Meaning, Altamira, New York: 2000. ______________________________., Lessons Without Limit How Free-Choice Learning is Transforming Education, Altamira, New York: 2002. Gardner, Howard, Intelligence Reframed, New York, Basic Book, 1999 Hein, George E, Learning In The Museum, Routledge, New York : 1998. Hein, George E dan Alexander, Museum Place of Learning, AAM, Washington DC: 1998. Hooper-Greenhill, Eilean, Museum and Their Visitors, London, Routledge, 1996. ____________________, Museum and Education Purpuse, Pedagogy, Performanc, London, Routledge, 2007. ____________________, Museum and The Shaping of Knowledge, London, Routledge, 1992. J. Boylan, Patrick ed., Running a Museum: A Practical Handbook, Paris, International Council of Museum, 2004 Macdonald, Sharon, A Companion to Museum Studies, Blackwell, Malden : 2006. Mulyasa, R, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Implementasi, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005).
Karakteristik
dan
Rakhmat, Jalaludin, Metode Penelitian Komunikasi: Dilengkapi Contoh Analisis Statisti, Bandung, PT Rosdakarya, 1984 Sevilla, Consuelo G. et.al, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Pres, 1993 Schouten, FFJ., Pengantar Didaktik Museum, Jakarta : Proyek Pembinaan Permuseuman Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1992. Sudiman, Arief S, DR, M.Sc, et al, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2005. Suparman, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP dan MTs, Tiga Searngkai Pustaka Mandiri, Solo: 2007.
Universitas Indonesia
155
Sumaatmadja, Nursid, DR, Metodologi Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), (Bandung : Alumni, 1980). Sutaarga, Amir, Studi Museologia, Jakarta, Proyek Pembinaan Pemuseuman Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1997. Suyati, Tatik, Metode Pengadaan Dan Pengelolaan Koleksi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Museum, Jakarta, 2000. Wahyuningsih, Eko dan Wianarto, Bambang S, Buku Panduan UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa Jurai”, Bandar Lampung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, 2008. Yulaelawati, Ella, Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi, Pakar Raya, Jakarta: 2004
Tesis dan Disertasi: Suzuki, Midori, Towrd Ehanced Learning of Science: An Educational Scheme for Informal Science Institution, (Disertasi Untuk Doctor of Philosophy pada North Carolina State University, 2005). van Mensch, Peter, Toward a Methodology of Museology, PhD thesis, University of Zagreb, 1992.
Artikel dan Majalah: Magetsari, Nurhadi, “Filsafat Museologi,” Museografia Majalah Permuseuman, Museografia Vol II No. 2 Oktober 2008, hal. 5 – 15. ________________, Pemaknaan Museum Untuk Masa Kini, Makalah disampaikan dalam “Diskusi dan Komunikasi Museum”, Jambi 4-7 Mei 2009. Sudharto, “Pemanfaatan Museum Sebagai Wahana Pendidikan, ” Museografia Majalah Permuseuman, Museografia Jilid XXV No. 1 Th. 2001, hal. 26 – 37. Tanudirjo, Daud Aris, “Museum Sebagai Mitra Pendidik”, Museografia Majalah Ilmu Permuseuman, , Museografia Vol.1 No. 1 September 2007, hal. 15 - 32 van Mensch, Peter, “Magpies on Mount Helicon?”, Museum and Community, Stavanger, ICOFOM Studies Series 25 p. 133-138, 1995
Universitas Indonesia
156
Internet : Definition Development of the Museum Definition according to ICOM Statutes (1946-2007), 1974 Section II Definition Article 3, http:/icom.museum/definition.html. 17 Mei 2009.
Peraturan Perundang-undangan : Naskah Lengkap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM.33/PL.303/MKP/2004 tahun 2004 tentang Museum. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Peraturan Gubernur Lampung Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pada Dinas Daerah Provinsi Lampung.
Universitas Indonesia