UNIVERSITAS INDONESIA
KORELASI KADAR D-DIMER DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DAN LAMA SAKIT PASIEN URTIKARIA KRONIS
TESIS
RIDHA ROSANDI 0906647381
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA NOVEMBER 2014
Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
KORELASI KADAR D-DIMER DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DAN LAMA SAKIT PASIEN URTIKARIA KRONIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar spesialis Kulit dan Kelamin
TESIS
RIDHA ROSANDI 0906647381
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA NOVEMBER 2014
Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
ii Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
iii Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
iv Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama Program studi Judul
: Ridha Rosandi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Kulit dan kelamin : Korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis.
Latar belakang : Terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis. D-dimer yang merupakan produk akhir jalur pembekuan darah secara tidak langsung dapat digunakan untuk menilai trombin di darah. Trombin dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktifkan komplemen C5a. Tujuan : Mengetahui rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis serta korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan penyakit dan lama sakit pasien urtikaria kronis. Metode : penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan subyek penelitian sebanyak 30 pasien. Dilakukan penilaian Urticaria Activity Score dan lama sakit serta pemeriksaan kadar D-dimer. Hasil: Nilai tengah kadar Ddimer pada 30 SP adalah 100 µg/L. Pada penelitian ini terdapat 5 SP (16,67%) yang terdapat peningkatan kadar D-dimer. Terdapat korelasi positif kuat antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,8; p = 0,0000). Terdapat korelasi positif lemah antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis (r = 0,05; p = 0,979). Kesimpulan: Terdapat korelasi positif kuat antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis dan korelasi positif lemah antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis.
Keywords : urtikaria kronis, kadar D-dimer, lama sakit urtikaria kronis
v Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Nama Study program Title
: Ridha Rosandi : Dermatovenereology Residency Program : Correlation of D-dimer levels with severity and disease duration of chronic urticaria patients .
Background : There are some studies that show blood clotting pathways involved in the pathogenesis of chronic urticaria . D - dimer is a blood clotting pathway end products can indirectly be used to assess thrombin in the blood. Thrombin can induce edema because it can increase capillary permeability , can stimulate mast cell degranulation , and activating the complement C5a . Objective : Knowing the average levels of D - dimer in chronic urticaria patients and the correlation between D - dimer levels with severity and disease duration. Methods : This study is a cross sectional study , the study subjects were 30 chronic urticaria patients. Assessment urticaria activity score ,disease duration and D – dimer level on all patients. Results : Median of the D - dimer levels in 30 patients is 100 ug / L . In this study there were 5 patients ( 16.67 % ) with elevated levels of D - dimer . There is a strong positive correlation between D- dimer levels with severity of chronic urticaria ( r = 0.8 ; p = 0.0000 ) . There is a weak positive correlation between D - dimer levels with disease duration ( r = 0.05 ; p = 0.979) . Conclusions : There is a strong positive correlation between D - dimer levels with disease severity and weak positive correlation between D - dimer levels with disease duration of chronic urticaria.
Keywords : chronic urticaria, levels of D-dimer, disease duration of chronic urticaria.
vi Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbil‘alamin. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas seluruh berkah, rahmat dan karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu saya selama menjalani pendidikan dokter spesialis hingga tersusunnya tesis ini. Terima kasih saya ucapkan kepada Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K), sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) saat ini. Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU(K) sebagai Direktur Utama Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta periode terdahulu dan Dr. dr. C. H. Soejono, SpPD-K.Ger, M.Epid, FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama RSCM Jakarta saat ini, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjalani pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) FKUI RSCM Jakarta. Saya menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga dan rasa hormat kepada Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, SpKK(K) atas kesediannya menerima saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) semasa beliau menjabat sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM terdahulu. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Shannaz Nadia Yusharyahya, SpKK, MHA sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat ini, dan kepada seluruh kepala divisi serta seluruh staf pengajar Departemen IKKK FKUI RSCM Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menimba ilmu dan pengalaman. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan, dukungan, teladan, dorongan dan motivasi yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan. Permohonan maaf saya haturkan sebesarbesarnya kepada seluruh guru yang saya hormati, apabila terdapat perkataan dan tindakan saya yang kurang berkenan selama ini. Rasa terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Herman Cipto, SpKK sebagai mentor akademis, yang senantiasa memberikan motivasi dan bimbingan dalam menyelesaikan pendidikan selama ini.
vii Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Kusmarinah Bramono, SpKK(K), PhD sebagai Ketua Program Studi PPDS IKKK FKUI, dan sebagai anggota Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI, atas segala bekal ilmu, wawasan, bimbingan, dan dukungan selama saya menempuh pendidikan hingga menyelesaikan tesis ini. Kepada dr. Sandra Widaty, SpKK(K) sebagai Sekretaris Program PPDS IKKK FKUI RSCM terdahulu saya haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bimbingan dan dorongan semangat selama menjalani pendidikan. Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Larisa Paramitha, SpKK sebagai Sekretaris Program PPDS IKKK FKUI RSCM saat ini. Ucapan terima kasih tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda, SpKK(K), almarhum Prof. Dr. dr. Unandar Budimulja, SpKK(K), Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK(K), Prof. Dr. dr. Siti Aisah Boediarja, SpKK(K), Prof. Dr. dr. Retno Widowati Soebaryo, SpKK(K) dan Prof. Dr. dr. Benny E. Wiryadi, SpKK(K) atas tauladan, bimbingan, dan wawasan yang telah diberikan selama masa pendidikan saya. Saya haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga kepada Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K), M. Epid sebagai pembimbing tesis dan pembimbing statistik, yang telah menyempatkan diri untuk memberikan bimbingan, asupan yang berharga, dan dukungan sejak penyusunan usulan penelitian hingga penyelesaian tesis ini. Rasa hormat dan terima kasih kepada dr. Triana Agustin, SpKK, sebagai pembimbing tesis yang telah menyediakan waktunya untuk memberikan bimbingan, memberikan saran dan asupan yang berharga, serta memberi semangat sejak awal penelitian hingga berakhirnya tesis. Kepada dr. Evita Halim Effendi, SpKK(K) sebagai pembimbing substansi dan penguji ujian tesis, rasa hormat dan ucapkan terimakasih atas asupan yang berharga, bimbingan, dan waktu yang telah diluangkan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Dr. dr. Sri Linuwih M, SpKK(K) sebagai salah satu penguji proposal dan tesis atas koreksi dan asupan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih kepada dr. Rahadi Rihatmadja SpKK, yang telah berkenan menjadi salah satu tim penguji proposal dan tesis, atas waktu yang diberikan untuk mengoreksi dan memberi asupan yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini. Kepada dr. Endi Novianto, Sp.KK sebagai penguji tesis saya juga ucapkan terimakasih atas asupan yang diberikan. Kepada dr. Wresti Indriatmi B Makes, SpKK(K), M. Epid., saat menjabat sebagai koordinator penelitian Departemen IKKK FKUI dan kepada dr. Sandra Widaty, SpKK(K) sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK FKUI saat ini, terima kasih
viii Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
saya ucapkan atas dukungan, petunjuk, bimbingan, dan kemudahan dalam
melakukan penelitian ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Retno Widowati S, SpKK(K), dr. Evita Halim Effendi, SpKK(K), dr. Endi Novianto, SpKK, dr. Windy Keumala B, SpKK, dr. Mardiati Ganjardani, SpKK yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di Divisi Alergi Imunologi Departemen IKKK. Terima kasih saya haturkan atas kesempatan, perhatian dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, SpFK sebagai ketua Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI atas persetujuan dan keterangan lolos kaji etik penelitian ini.
Terima kasih sebesar-besarnya saya haturkan kepada seluruh subyek penelitian atas keikutsertaan dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Terima kasih yang tulus kepada seluruh paramedis poliklinik dan rawat inap, staf, karyawan tata usaha, dan perpustakaan Departemen IKKK FKUI/RSCM atas semua bantuan dan kebersamaan selama saya menjalani pendidikan. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pasien baik di poliklinik maupun rawat inap, juga pasien di RS/klinik jejaring Departemen IKKK FKUI/RSCM yang telah memperkaya wawasan saya sebagai calon spesialis kulit dan kelamin. Ungkapan rasa sayang dan terima kasih yang tak ternilai kepada teman satu angkatan “keluarga kedua” selama saya menjalani pendidikan di Departemen IKKK FKUI RSCM, dr. Atika Damayanti, dr. Cut Natya Rucitra, dr. Eka Komarasari, dr. Evelyn Lina Nainggolan, dr. Salma Oktaria, dr. Rani Rachmawati, dr. Sari Chairunnisa, dr. Stefani Rachel Djuanda, dr. Terlinda C Barros, dr. Vini Onmaya, dr. Yunira Safitri atas sedih dan tawa bersama, dukungan, doa, serta persahabatan yang indah. Kepada teman seperjuangan saat ujian nasional dan ujian lokal serta para sahabat, senior, dan adik-adik yang saya temui selama masa pendidikan yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih saya ucapkan sebesar-besarnya atas pertemanan yang indah, kerjasama, dan dukungan yang diberikan selama menempuh pendidikan ini. Teman-teman yang yang telah dengan ikhlas membantu dalam penelitian ini, kepada dr. Jihan Rosita, dr. Zunarsih, dr. Yuda Ilhamsyah yang telah membantu saya saat mengumpulkan subyek penelitian di Divisi Alergi Imunologi Departemen IKKK FKUI RSCM. Saya ucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga atas bantuan dan dukungan teman-teman sehingga saya dapat mewujudkan penelitian ini.
ix Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
x Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................... HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. PERNYATAAN PUBLIKASI…………………………………………….. ABSTRAK………………………………………………………………… ABSTRACT……………………………………………………………….. UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………….. DAFTAR ISI……………………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR……………………………….....…………………… DAFTAR TABEL …………………………………………………….. DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………..
i ii iii iv v vi vii xi xiii xiv xv xvi
BAB 1 PENDAHULUAN.....……………………………………………….
1
Latar belakang ....…………………………………………….. Identifikasi masalah ....……………………………………….. Perumusan masalah ......……………………………………… Hipotesis penelitian .………………………………………….. Tujuan penelitian..……………………………………………. Manfaat penelitian.…………………………………………….
1 3 4 4 4 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....…………………………………………
6
2.1 Urtikaria……………………………………………………….
6
2.2 Urtikaria kronis………………………...................................... 2.2.1 Epidemiologi…………………………………………... 2.2.2 Etiopatogenesis urtikaria dan pembagian urtikaria kronis…………………………………………………… 2.2.3 Derajat keparahan urtikaria……………………………. 2.2.4 Urtikaria kronis yang melibatkan aktivasi system pembekuan darah………………………………………
6 6
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
7 7 8
2.3 D-dimer……............................................................................... 13 2.3.1 2.3.2 2.3.3 2.3.4 2.3.5
Definisi ....……………………………………………... Struktur dan sintesis D-dimer........…………………...... Peran pemeriksaan D-dimer……………………………. Metode pemeriksaan D-dimer………………………….. Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer…………………………………………………
13 13 14 14 16
2.5 Kerangka teori…........………………………………………… 17 2.6 Kerangka konsep……………………………………………… 18
xi Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 3. METODE PENELITIAN ……………………………………….....
19
3.1 Rancangan penelitian ……………………………………….... 3.2 Tempat dan waktu penelitian ...……………………………..... 3.2.1 Tempat penelitian …………………………………...... 3.2.2 Waktu penelitian…………………………………….....
19 19 19 19
………………………….....
19
3.3.1 Populasi penelitian …………………………………… 3.3.2 Subyek penelitian …………………….......…………...
19 19
3.4 Kriteria penerimaan dan penolakan........................…………..
19
3.4.1 Kriteria penerimaan …………………………………… 3.4.2 Kriteria penolakan …………………….......…………...
19 20
3.5 Estimasi besar sampel...... ……………………………………
20
3.6. Cara kerja penelitian................................…………………….
21
3.3 Populasi dan subyek penelitian
3.6.1 Tahap seleksi dan pengisian formulir persetujuan .…... 21 3.6.2 Pencatatan data dasar ......……………………….…...... 21 3.6.3 Pemeriksaan kadar D-dimer…..…………...…………... 21 3.6.3.1 Alat dan bahan...................…………………………... 21 3.6.3.2 Cara pengambilan darah dan pemeriksaan kadar homosistein D-dimer......................................... 22
3.6.4 Analisis kadar D-dimer…..……………...….……........... 23 3.7 Batasan operasional ....................................................................
23
3.8 Analisis statistik.......................................................................... 24 3.9 Kerangka operasional.................................................................. 25 BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………
26
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian………………………………… 26 4.2 Kadar D-dimer pada Subjek Penelitian………………………… 29 4.3 Korelasi Kadar D-dimer dengan Derajat Keparahan Urtikaria Kronis…………………………………………………………… 31 4.4 Korelasi Kadar D-dimer dengan Lama Sakit Pasien Urtikaria Kronis……………………………………………………………. 33 BAB 5. IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN…………………….
37
5.1 Ikhtisar…………………………………………………………. 37 5.2 Kesimpulan…………………………………………………….. 39 5.3 Saran…………………………………………………………… 39 DAFTAR PUSTAKA........ …………………………………………………
xii Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
40
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Penyaring subyek penelitian..............………………………... 45
Lampiran 2
Lembar Informasi Penelitian...................……..……………... 47
Lampiran 3
Formulir Persetujuan………...............………………………. 49
Lampiran 4
Status penelitian ...........………..……………………............. 53
Lampiran 5
Tabel UAS menurut EAACI/GA²LEN/EDF/WAO Guidelines 55
Lampiran 6
Tabel induk penelitian............................................................. 56
Lampiran 7
Keterangan lolos kaji etik......................................................... 57
xiii Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2.4.1 Jalur Pembekuan Darah
10
Gambar 2.2.4.2 Aktifasi jalur koagulasi pada urtikaria kronis
11
Gambar 4.3.1
Korelasi kadar D-dimer dengan keparahan urtikaria kronis
33
Gambar 4.4.1
Korelasi kadar D-dimer dengan lama sakit urtikaria kronis
36
xiv Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2.3.1 Penilaian Derajat Keparahan Urtikaria……………………. Tabel 3.7.1 Variabel, definisi operasional dan metode pengukuran.…... Tabel 4.1.1 Distribusi Karakteristik klinis subjek penelitian pasien Urtikaria kronis di RSCM bulan Juni-Agustus 2014………
xv Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
8 23 29
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
AHG
:
Anti hemophilic globulin
AT
:
Arterial thrombosis
Ca2+
:
Ion kalsium
DIC
:
Disseminated intravascular coagulation
DVT
:
Deep vein thrombosis
ECP
:
Eosinophil cationic protein
ELFA
:
Enzym linked fluororescence assay
ELISA
:
Enzym linked immuno sorbent assay
FDP
:
Fibrin Degradation Product
FSF
:
Fibrin Stabilizing Factor
GM-CSF
:
Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
HMWK
:
High Molecular Weight Kininogen
KTP
:
Kartu Tanda Penduduk
MBP
:
Major basic protein
PAF
:
Platelet Activating Factor
PAR1
:
Protease activated receptor
PE
:
Pulmonary embolism
PK
:
Pre Kallikrein
PTA
:
Plasma Thromboplastin Antecedent
RSCM
:
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
xvi Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
SP
:
Subjek penelitian
THT
:
Telinga, Hidung, dan Tenggorokan
UAS
:
Urticaria Activity Score
VIP
:
Vasoactive intestinal peptide
xvii Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Urtikaria adalah lesi kulit berupa edema intrakutan lokalisata yang dikelilingi oleh area kemerahan (eritema) dan terasa gatal. Lesi kulit dapat menetap 30 menit hingga 36 jam. Lesi dapat berukuran kecil hanya beberapa milimeter, hingga berdiameter 15-20 cm. Pada urtikaria terjadi pelebaran pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas vaskular di dermis superfisial dan melibatkan pleksus vena pada daerah tersebut.1 Urtikaria merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dalam praktek seharihari. Usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi faktor predisposisi urtikaria. Urtikaria sering terjadi pada kelompok usia 0-9 tahun dan 30-40 tahun. Dilaporkan di Inggris, 15% - 20% pelajar pernah mengalami urtikaria.1 Pada tahun 2012, kasus baru urtikaria kronis sebanyak 225 (62%) dari total kasus urtikaria di Poliklinik Alergi Imunologi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.2 Kasus urtikaria dianggap kronis apabila muncul hampir setiap hari atau paling kurang dua kali dalam seminggu, selama 6 minggu berturut-turut atau lebih. Urtikaria kronis dibagi menjadi urtikaria kronis autoimun (45%) dan urtikaria kronis idiopatik (55%).1,3 Grattan dkk. (2002) membagi urtikaria kronis menjadi urtikaria kronis autoimun, idiopatik, pseudoalergi, berhubungan dengan infeksi, vaskulitis dan fisis.4 Sebagian besar penyebab pasti urtikaria kronis masih belum banyak diketahui, namun, terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis. Penelitian Asero dkk. (2006) mendapatkan persentase kepositifan tes kulit plasma autolog lebih besar daripada tes kulit serum autolog (86% vs 53%) pada pasien urtikaria kronis.5 Pada
1 Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2
penelitian lainnya, Asero dkk. (2007) mendapatkan peningkatan faktor VII, Ddimer, dan protrombin fragmen 1 dan 2. Peningkatan protrombin fragmen 1 dan 2 menunjukkan aktivasi protrombin menjadi trombin, yang selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin yang terbentuk akan didegradasi oleh plasmin menjadi produk degradasinya berupa D-dimer. Penelitian tersebut menyimpulkan terdapat keterlibatan jalur koagulasi ekstrinsik pada urtikaria kronis.6 Pada penelitian yang menggunakan hewan coba, menunjukkan bahwa trombin dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler melalui efek langsung terhadap endotel dan efek tidak langsung melalui mediatormediator inflamasi yang terkait trombin.7,8 Selanjutnya, trombin dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktivasi
protease activated
receptor1 (PAR1) pada sel mast, dan mengaktifkan komplemen C5a.9,10 Produksi trombin diakselerasi oleh tissue factor di dermis. Tissue factor, yang diinduksi oleh zat-zat kimia, mikroba, atau stres, diduga dapat mengaktifkan jalur koagulasi pada urtikaria.11 Cugno dkk. (2009) menunjukkan, bahwa eosinofil merupakan sumber utama tissue factor pada lesi urtikaria kronis.12 Selain trombin, juga dilaporkan adanya peranan plasmin pada lesi urtikaria kronis. Plasmin dapat mengaktifkan sel mast, sehingga mengeluarkan histamin dan terjadi urtikaria.13,14 D-dimer merupakan hasil degradasi fibrin ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah menjadi fibrin monomer dan mengalami polimerisasi menjadi fibrin polimer, kemudian diaktifkan oleh faktor XIIIA dan merupakan protein yang dikeluarkan ke dalam sirkulasi selama proses pemecahan fibrin. D-dimer dapat dijadikan indikator terjadinya trombus yang akan terpecah di dalam tubuh. Pemeriksaan D-dimer menggunakan antibodi monoklonal (antibodi yang spesifik) merupakan baku emas untuk mendeteksi produk degradasi fibrin di dalam plasma atau whole blood.15 Morbiditas urtikaria kronis tergantung kepada durasi (lama sakit) dan keparahan penyakit. Sekitar 20% pasien dapat menderita urtikaria kronis selama 10 tahun. Urtikaria kronis dapat menurunkan kualitas hidup sebagai dampak keluhan gangguan tidur akibat intensitas gatal yang hebat, keletihan, isolasi sosial, kehilangan energi, serta gangguan emosional dan seksual. Metode baku emas Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
3
untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria activity score (UAS), berdasarkan jumlah lesi urtika dan keluhan gatal.16 Triwongwaranat dkk. (2013) meneliti 120 pasien urtikaria kronis, menemukan peningkatan kadar D-dimer plasma yang berkorelasi dengan keparahan penyakit. Pemeriksaan kadar D-dimer plasma dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengevaluasi tingkat keparahan penyakit urtikaria kronis.17 Penelitian Asero dkk. (2010) menyimpulkan pada pasien urtikaria kronis dengan peningkatan D-dimer didapatkan kurang berespons dengan terapi antihistamin, namun menunjukkan respons perbaikan dengan pengobatan heparin dan asam traneksamat.18 Pengobatan dengan antikoagulan, merupakan alternatif terapi baru untuk urtikaria dan masih sedikit literatur mengenai hubungan antara koagulasi dan urtikaria. Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada data kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis serta hubungannya dengan derajat keparahan dan lama sakit di Indonesia.
1.2
IDENTIFIKASI MASALAH
Kasus urtikaria kronis cukup sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Penyakit ini dapat rekuren dan menetap hingga beberapa tahun, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup sebagai dampak keluhan gangguan tidur akibat intensitas gatal yang hebat, keletihan, isolasi sosial, kehilangan energi, serta gangguan emosional dan seksual. Sebanyak 55% kasus urtikaria kronis tidak diketahui penyebabnya. Meskipun penyebab pasti urtikaria kronis belum banyak diketahui, namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesisnya. Pada penelitian yang menggunakan hewan coba, menunjukkan bahwa trombin yang terlibat dalam jalur pembekuan darah dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler melalui efek langsung terhadap endotel dan efek tidak langsung melalui mediator-mediator inflamasi yang terkait trombin.7,8 Selanjutnya, trombin dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktivasi
protease activated
receptor1 (PAR1) pada sel mast, dan mengaktifkan komplemen C5a.9,10
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
4
D-dimer yang merupakan produk akhir jalur pembekuan darah secara tidak langsung dapat digunakan untuk menilai adanya trombin di dalam darah. Adanya peningkatan kadar D-dimer menandakan adanya peningkatan trombin di dalam darah. Triwongwaranat dkk. (2013) meneliti 120 pasien urtikaria kronis, menemukan peningkatan kadar D-dimer plasma yang berkorelasi dengan keparahan penyakit. Peneliti ingin mengetahui korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis di Indonesia. 1.3
PERUMUSAN MASALAH
1.3.1
Berapa rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis?
1.3.2
Bagaimana korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan penyakit urtikaria kronis?
1.3.3
Bagaimana korelasi kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis?
1.4
HIPOTESIS PENELITIAN
1.4.1
Terdapat peningkatan kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis
1.4.2
Semakin tinggi kadar D-dimer, semakin berat derajat keparahan penyakit urtikaria kronis.
1.4.3
Semakin tinggi kadar D-dimer, semakin lama sakit
pasien
urtikaria
kronis.
1.5
TUJUAN PENELITIAN
1.5.1
Mengetahui rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis.
1.5.2
Mengetahui korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan penyakit pasien urtikaria kronis.
1.5.3
Mengetahui korelasi antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
5
1.6
MANFAAT PENELITIAN
1.6.1
Manfaat untuk bidang pendidikan
Pemeriksaan kadar D-dimer pada urtikaria kronis dapat menambah pengetahuan mengenai peran aktivasi jalur pembekuan darah pada patofisiologi urtikaria kronis, serta hubungannya dengan derajat keparahan dan lama sakit. 1.6.2
Manfaat untuk pengembangan penelitian.
Diharapkan penelitian ini dapat memberi data dasar kadar D-dimer pasien urtikaria kronis di Indonesia yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya mengenai hubungan D-dimer dengan efektivitas terapi antihistamin dan terapi antikoagualan pada pasien urtikaria kronis. 1.6.3
Manfaat Untuk Bidang Pelayanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menentukan tatalaksana urtikaria kronis yang lebih komprehensif sesuai patofisiologi yang mendasari, misalnya dengan pemberian terapi antikoagulan.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 URTIKARIA Urtikaria adalah reaksi vaskular kulit berupa edema setempat berwarna pucat atau merah muda, dikelilingi daerah kemerahan disertai rasa gatal, tersengat atau tertusuk yang bersifat sementara akibat peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran plasma ke jaringan. Lesi kulit dapat menetap 30 menit hingga 36 jam. Lesi dapat berukuran kecil hanya beberapa milimeter, hingga berdiameter 15-20cm. Urtikaria dapat disertai angioedema, bila reaksi terjadi pada dermis bagian bawah atau subkutan.1,19,20 Urtikaria merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dalam praktek seharihari. Prevalensi urtikaria di seluruh dunia berkisar 20%. Usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografi, dan musim dapat menjadi faktor predisposisi urtikaria.1,21 Berdasarkan durasi penyakit, urtikaria dibagi menjadi urtikaria akut dan urtikaria kronis. Urtikaria akut adalah urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu, sedangkan urtikaria kronis adalah urtikaria yang muncul hampir setiap hari atau paling kurang dua kali dalam seminggu selama 6 minggu berturut-turut atau lebih.1,3,4
2.2 URTIKARIA KRONIS 2.2.1. Epidemiologi Urtikaria kronis lebih jarang dibandingkan dengan urtikaria akut.21,22 Urtikaria kronis ditemukan pada 0,5-1% populasi.23,24 Urtikaria kronis terutama terjadi pada orang dewasa dengan rasio perbandingan laki-laki : perempuan adalah 1: 2.25 Penyakit ini dapat rekuren dan menetap hingga beberapa tahun. Dilaporkan
6 Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
7
sebanyak 40% pasien urtikaria kronis mengalami lesi urtika yang hilang timbul selama 10 tahun.26 Urtikaria kronis merupakan kondisi yang dapat mengganggu kualitas hidup sebagai dampak keluhan gangguan tidur akibat intensitas gatal yang hebat, keletihan, isolasi sosial, kehilangan energi, serta gangguan emosional dan seksual. Penting mengetahui penyebab urtikaria, karena dapat digunakan sebagai pertimbangan pendekatan terapi yang komprehensif.27 2.2.2 Etiopatogenesis urtikaria dan pembagian urtikaria kronis Sel mast merupakan sel efektor utama pada urtikaria. Sel mast kutan berikatan pada vibronektin, laminin dan vitronektin. Sel mast kutan melepas histamin sebagai respons terhadap compound 48/80, C5a, morfin dan kodein. Neuropeptida substansi P, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan somatostatin dapat mengaktifkan sel mast untuk sekresi histamin. Penyuntikan antigen spesifik intrakutan pada individu yang tersentisisasi membuktikan terdapat peran imunoglobulin E dan interaksinya dengan sel mast.1 Selain sel mast, terdapat juga peran sel eosinofil. Eosinofil mengandung granul toksik yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP). MBP dapat menyebabkan degranulasi sel mast secara nonimunologi.1 Urtikaria kronis dibagi menjadi urtikaria kronis autoimun (45%) dan urtikaria kronis idiopatik (55%).1 Grattan dkk. (2002) membagi urtikaria kronis menjadi urtikaria kronis autoimun, idiopatik, pseudoalergi, berhubungan dengan infeksi, vaskulitis dan fisis.4 Sebagian besar penyebab pasti urtikaria kronis masih belum diketahui, namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis. 2.2.3
Derajat keparahan urtikaria
Metode baku emas untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria activity score (UAS). Urticaria activity score merupakan instrumen kuantitatif yang memungkinkan klinisi membuat perkiraan derajat keparahan urtikaria dengan menjumlahkan skor jumlah lesi dan skor keparahan gatal. Jumlah skor
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
8
maksimal adalah 6.17,28-32 Beberapa penelitian memasukkan kriteria ukuran lesi dalam menilai derajat keparahan penyakit.6,21 Derajat keparahan urtikaria dikatakan ringan jika skor UAS 1-2, sedang jika skor UAS 3-4, dan berat jika skor UAS 5-6.17 Tabel 2.2.3.1 Tabel penilaian derajat keparahan urtikaria* Skor jumlah dan ukuran lesi urtika
Skor keparahan gatal
dalam 24 jam
Skor 0 : tidak ada lesi
Skor 0: tidak ada gatal
Skor 1: <20 lesi (lesi ukuran
Skor 1 : gatal ringan
< 3cm)
Skor 2 : gatal sedang,
Skor 2: 20-50 lesi ukuran < 3cm
mengganggu namun tidak
atau 1-10 lesi ≥ 3cm
sampai menghalangi aktivitas
Skor 3: >50 lesi ukuran < 3cm
sehari-hari maupun tidur
atau > 10 lesi ≥ 3cm atau lesi berkonfluen ukuran besar
Skor 3: sangat gatal, mengganggu aktivitas seharihari dan tidur
2.2.4 Urtikaria kronis yang melibatkan aktivasi sistem pembekuan darah Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid, dan ion kalsium. Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka Romawi yang sesuai dengan urutan ditemukannya.33 Proses pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur instrinsik yang dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan Faktor XII, Faktor XI, Faktor IX, Faktor VIII, high molecular weight kininogen (HMWK), pre kallikrein (PK),
_________________________________________ *dikutip dari kepustakaan no. 6,17,32
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
9
platelet factor 3 (PF. 3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan Faktor VII, ion kalsium. Kedua jalur ini akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan Faktor X, Faktor V, PF.3, protrombin, dan fibrinogen.33 Reaksi pertama pada jalur bersama adalah perubahan Faktor X menjadi Faktor Xa oleh kompleks yang terbentuk pada jalur instrinsik dan atau Faktor VIIa dari jalur ekstrinsik. Faktor Xa bersama Faktor V, PF.3, dan ion kalsium membentuk prothrombin converting complex yang akan mengubah protrombin menjadi trombin. Reaksi selanjutnya trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Plasmin memecah fibrin membentuk fibrin degradation product salah satunya berupa D-dimer.33 (lihat bagan 1) Meskipun penyebab pasti urtikaria kronis masih banyak belum diketahui, namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam etiopatogenesisnya.34 Penelitian Asero dkk. (2006) mendapatkan persentase kepositifan tes kulit plasma autolog lebih besar daripada tes kulit serum autolog (86% vs 53%) pada pasien urtikaria kronis.5 Pada plasma darah masih terdapat faktor-faktor pembekuan darah, sedangkan pada serum faktor pembekuan darah sudah dihilangkan. Pada penelitian lainnya, Asero dkk. (2007) mendapatkan peningkatan faktor VII, D-dimer, dan protrombin fragmen 1 dan 2 pada pasien urtikaria kronis. Peningkatan protrombin fragmen 1 dan 2 mengindikasikan aktivasi protrombin menjadi trombin, yang selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin yang terbentuk akan didegradasi oleh plasmin menjadi produk degradasinya berupa D-dimer. Penelitian tersebut menyimpulkan terdapat keterlibatan jalur koagulasi ekstrinsik pada urtikaria kronis.6
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
10
JALUR INTRINSIK
JALUR EKSTRINSIK
XII
VII HMWK
KONTAK
Ca
Kal
++
XIIa
TROMBOPLASTIN JARINGAN
HMWK XIIa
XI
VIIa
IXa PF3 VIII ++ Ca
IX
JALUR BERSAMA
X
Xa V PF3 ++ Ca FIBRINOGEN
PROTROMBIN
TROMBIN FIBRIN
PLASMIN FIBRIN DEGRADATION PRODUCT (D-DIMER)
Bagan 2.2.4.1 Jalur Pembekuan Darah*
_____________________________________ # dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 33
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
11
Pada penelitian yang menggunakan hewan coba, menunjukkan bahwa trombin dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler melalui efek langsung terhadap endotel dan efek tidak langsung melalui mediatormediator inflamasi yang terkait trombin.7,8 Selanjutnya, trombin dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktivasi
protease activated
receptor1 (PAR1) pada sel mast, dan mengaktifkan komplemen.9,10 Produksi trombin diakselerasi oleh tissue factor di dermis. Tissue factor, yang diinduksi oleh zat-zat kimia, mikroba, atau stres, diduga dapat mengaktifkan jalur koagulasi pada urtikaria.11 Cugno dkk. (2009) menunjukkan bahwa eosinofil merupakan sumber utama tissue factor pada lesi urtikaria kronis.12 Selain trombin, juga dilaporkan adanya peranan plasmin pada lesi urtikaria kronis. Plasmin dapat mengaktifkan sel mast, sehingga mengeluarkan histamin dan terjadi urtikaria.13,14
URTIKARIA
D-dimer
Bagan 2.2.4.2 Aktivasi jalur koagulasi pada urtikaria kronis*
_____________________________________________
* Dikutip dengan perubahan dari kepustakaan no.12 dan 35
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
12
Eosinofil mengandung granul toksik yaitu major basic protein (MBP) dapat menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast, merupakan sel yang penting dalam patogenesis urtikaria kronis menghasilkan GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor) dan PAF (platelet-activating factor). Kedua faktor ini yang akan menstimulasi eosinofil, menginduksi translokasi tissue factor ke membran sitoplasma, yang selanjutnya dapat mengaktifkan jalur koagulasi.(lihat Bagan.2.2.4.2)35 Pada penelitian Takahagi dkk. (2010) didapatkan peningkatan kadar D-dimer pada 35% pasien urtikaria kronis yang menjadi subjek penelitian. Peningkatan kadar D-dimer menunjukkan adanya proses fibrinolis pada pasien urtikaria kronis.36 Triwongwaranat dkk. (2013) meneliti 120 pasien urtikaria kronis, didapatkan hasil peningkatan D-dimer pada 48,3% subjek penelitian, dan peningkatan D-dimer ini berkorelasi dengan derajat keparahan urtikaria kronis.17
Penelitian Asero dkk. (2010) didapatkan hasil pada pasien urtikaria kronis dengan peningkatan D-dimer, mengalami urtikaria kronis yang lebih berat.18,37 Pasien urtikaria kronis dengan peningkatan D-dimer didapatkan kurang berespons dengan terapi antihistamin, namun menunjukkan respons perbaikan dengan pengobatan heparin dan asam traneksamat.18 Asero dkk. (2013) meneliti 91 pasien urtikaria kronis, dan mendapatkan kadar D-dimer meningkat pada 88% subjek penelitian yang tidak memberikan respon terhadap terapi cetirizin dengan dosis 10-30mg/hari selama 7-14 hari. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pemeriksaan D-dimer plasma dapat menjadi penanda prognostik keparahan urtikaria kronis dan dapat pula menjadi prediktor terhadap respons terapi antihistamin.38 Parslew dkk. (2000) melakukan penelitian terhadap 8 pasien urtikaria kronis yang tidak berespon terhadap terapi antihistamin, 6 dari 8 pasien tersebut memberikan perbaikan yang nyata dengan terapi warfarin oral.39
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
13
2.3. D-dimer 2.3.1. Definisi D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik. Sejak 1980, tes D-dimer digunakan untuk pemeriksaan trombosis. Hasil pemeriksaan yang lebih tinggi dari normal menunjukkan terdapat trombus, namun tidak menunjukkan lokasi kelainan dan menyingkirkan berbagai penyebab.33 2.3.2. Struktur dan sintesis D-dimer Dalam proses pembentukan bekuan darah normal, bekuan fibrin terbentuk pada tahap terakhir proses koagulasi. Fibrin dihasilkan oleh aktivitas trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Fibrinogen adalah glikoprotein dengan formula Aα, Bβ, dan γ. Terdiri atas 3 pasang rantai polipeptida yang tidak identik dan saling beranyaman yaitu 2 rantai Aα, 2 Bβ, dan 2γ. Molekul fibrinogen adalah dimer yang diikat oleh ikatan disulfida di bagian terminal end. Pasangan rantai Aα dan Bβ memiliki fibinopolipeptida berukuran kecil di bagian terminal yang disebut sebagai fibrinopolipeptida A dan B.33 Proses perubahan fibrinogen menjadi fibrin terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap enzimatik, polimerisasi dan stabilisasi. Pada tahap enzimatik, 2 molekul fibrinopeptida A dan 2 molekul fibrinopeptida B dipecah dan fibrinogen diubah oleh trombin menjadi monomer fibrin yang larut. Tahap polimerisasi, fibrinopolipeptida A dilepas yang akan menimbulkan agregasi side to side disusul dengan penglepasan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan unit-unit monomer dengan lebih kuat dan membentuk bekuan yang tidak stabil. Tahap selanjutnya adalah stabilisasi dengan penambahan trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+) sehingga terbentuk unsoluble fibrin yang stabil.33,40 Trombin menyebabkan aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa yang berperan sebagai transamidinase. Faktor XIIIa menyebabkan ikatan silang (cross-linked) fibrin monomer yang saling berdekatan dengan membentuk ikatan kovalen yang stabil
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
14
(fibrin mesh). Rantai α dan γ berperan dalam pembentukan unsoluble fibrin yang stabil.40-41 Plasminogen yang secara normal terdapat dalam plasma akan diserap oleh fibrin. Saat di dalam fibrin, plasminogen diubah oleh tissue-plasminogen activator (tPA) menjadi plasmin.41 Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang berfungsi memecah fibrinogen menjadi fibrin yang menghasilkan bermacam-macam produk degenerasi fibrin (fibrin degradation product / FDP). Jika plasmin melisiskan unsoluble fibrin, maka akan meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang terlarut.42 Fibrin degradation product (FDP) yang dihasilkan berupa fragmen X, Y, D dan E. Dua fragmen D dan satu fragmen E akan berikatan dengan kuat membentuk D-dimer.40
2.3.3. Peran pemeriksaan D-dimer Pemeriksaan D-dimer bermanfaat untuk mengetahui pembentukan bekuan darah abnormal atau kejadian trombosis (tidak langsung) dan untuk mengetahui lisis bekuan atau proses fibrinolisis (langsung). Hasil pemeriksaan kadar D-dimer memiliki nilai sensitifitas dan nilai prediktif negatif yang tinggi untuk thrombosis dan fibrinolisis.33 Indikasi pemeriksaan D-dimer, yaitu disseminated intravascular coagulation (DIC), deep vein thrombosis (DVT), pulmonary embolism (PE), venous dan arterial thrombosis (VT dan AT), terapi antikoagulan dan trombolitik, sebagai parameter tambahan pada penyakit jantung koroner, dan penyakit lainnya.33,43 2.3.4. Metode Pemeriksaan D-dimer Prinsip pemeriksaan D-dimer adalah menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang mengenali epitop pada fragmen D-dimer. Ada beberapa metode pemeriksaan yaitu:44-47
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
15
Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Latex agglutination
Whole blood agglutination
Immunoturbidometric assay
Immunofiltration assay
Metode ELISA sebagai baku emas pemeriksaan kadar D-dimer. Antibodi dengan afinitas tinggi terhadap D-dimer dilapiskan pada dinding atau microliter well dan mengikat protein dalam plasma. Metode ini memiliki sensitivitas yang tinggi, namun, memiliki beberapa kelemahan yaitu membutuhkan biaya yang lebih mahal untuk reagennya dan waktu pemeriksaan yang lebih lama sekitar 2,5 jam.48 Metode ELISA banyak digunakan pada penelitian, dan metode ELISA ini dikembangkan metode lain dengan instrumen yang berbeda, yaitu menggunakan fluoresen, sehingga pemeriksaan lebih cepat dan sensitifitas sama dengan ELISA. Metode latex agglutination menggunakan antibodi yang dilapiskan pada partikel lateks. Aglutinasi secara makroskopik terlihat bila ada peningkatan D-dimer dalam plasma. Cara ini kurang sensitif untuk uji saring. Prinsip metode ini adalah terbentuknya ikatan kovalen partikel polystyrene pada antibodi monoklonal terhadap cross-linkage region dari D-dimer. Sensitivitas metode ini sebanding dengan metode ELISA.49 Pemeriksaan D-dimer dengan metode whole blood assay, menggunakan antibodi tertentu untuk D-dimer dan antigen sel darah merah. Setetes darah utuh diinkubasi dengan larutan antibodi monoklonal, menyebabkan aglutinasi dari sel-sel darah merah jika D-dimer positif. Banyak laporan telah menunjukkan sensitivitas tinggi untuk pemeriksaan ini dan telah secara luas digunakan.45 Pemeriksaan D-dimer dengan metode ini lebih mudah pemeriksaannya dan waktu yang dibutuhkan lebih cepat daripada ELISA dan latex agglutination.48 Pemeriksaan D-dimer dengan metode immunoturbidometric assay, adalah pemeriksaan mikropartikel otomatis menggunakan cahaya monokromatik yang dilewatkan melalui suspensi lateks mikropartikel dan dilapisi oleh ikatan kovalen
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
16
dengan antibodi monoklonal spesifik untuk D-dimer. Panjang gelombang cahaya (540 nm) lebih besar dari diameter mikropartikel lateks, sehingga suspensi mikropartikel lateks hanya sedikit menyerap cahaya. Ketika plasma ditambahkan ke suspensi, setiap D-dimer yang terdapat di dalam plasma menyebabkan mikropartikel lateks menggumpal, menjadi agregat dengan diameter lebih besar dari panjang gelombang cahaya. Hal ini meningkatkan absorbansi cahaya, yang diukur secara fotometrik, dan sebanding dengan jumlah D-dimer ada dalam sampel uji. Kelebihan metode ini adalah biaya yang efektif, relatif cepat untuk dilakukan, dan memiliki sensitivitas sebanding dengan ELISA.45 Namun, pemeriksaan ini memiliki kelemahan yaitu memerlukan tenaga kerja terlatih.50 Metode
pemeriksaan
D-dimer
yang
dikembangkan
selanjutnya
adalah
immunofiltration assay. Metode ini merupakan metode kuantitatif yang dinilai dari intensitas warna yang terbentuk. Kelebihan metode ini adalah hasil yang cepat dalam waktu 2 menit, biaya yang relatif lebih murah, pengerjaan yang cukup mudah, dan sensitivitas sebanding dengan ELISA.
50-52
Rustandi. dkk
membandingkan pemeriksaan D-dimer menggunakan metode imunofiltrasi dengan metode imunoturbidimetri. Penelitian ini menyimpulkan metode imunofiltrasi dapat digunakan sebagai alat diagnosis kadar D-dimer secara cepat dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan metode imunoturbidimetri. Nilai normal kadar D-dimer plasma dengan metode ini adalah 0-300 µg/L.50 Pada penelitian ini menggunakan metode pemeriksaan D-dimer immunofiltration assay, karena metode ini yang digunakan di laboratorium Patologi Klinik RSCM, Jakarta.
2.3.5 Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer, yaitu:53
Terapi antikoagulan dapat menyebabkan temuan negatif palsu
Kadar D-dimer akan meningkat pada orang lanjut usia dan kehamilan
Sampel hemolisis disebabkan oleh pengumpulan dan penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan temuan positif palsu.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
17
2.4 KERANGKA TEORI
Fibrinogen
Eosinofil Zat kimia, stress, mikroba
Tissue Factor di dermis
Fibrin Trombin Sel mast
pembuluh darah plasmin
Histamin
peningkatan permeabilitas vaskular
URTIKARIA KRONIS Lama sakit Derajat keparahan urtikaria: -
D-DIMER
Ringan Sedang Berat
Autoimun Idiopatik Pseudoalergi Berhubungan dengan infeksi Vaskulitis fisis
Disseminated intravascular coagulation Deep vein thrombosis Pulmonary embolism Venous and arterial thrombosis Penyakit jantung koroner Antikoagulan Kehamilan Usia lanjut Rheumatoid arthritis Hemolisis Universitas Indonesia
Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
18
2.5. KERANGKA KONSEP
Kadar D-dimer
URTIKARIA KRONIS Lama sakit Derajat keparahan urtikaria - Ringan - Sedang - Berat
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1
RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik menggunakan rancangan potong lintang (cross-sectional) pada pasien urtikaria kronis. 3.2
TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
3.2.1
Tempat penelitian
1. Anamnesis, pemeriksaan fisis dilakukan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta 2. Pemeriksaan kadar D-dimer plasma di laboratorium Patologi Klinik RSCM, Jakarta 3.2.2
Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei 2014 sampai September 2014. 3.3
POPULASI DAN SUBJEK PENELITIAN
3.3.1
Populasi penelitian
1. Populasi target adalah pasien urtikaria kronis di Indonesia. 2. Populasi studi adalah pasien urtikaria kronis yang datang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, Jakarta. 3.3.2
Subjek penelitian
Subjek penelitian (SP) adalah bagian populasi yang terpilih berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. 3.4
KRITERIA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN
3.4.1
Kriteria penerimaan
1. Secara klinis didiagnosis sebagai pasien urtikaria kronis 2. Usia minimal 18 tahun dan maksimal 59 tahun
19 Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
20
3. Bersedia menjadi subjek penelitian (bersedia diwawancara, dilakukan pemeriksaan fisis, dan diambil darah) dengan menandatangani surat persetujuan penelitian setelah diberi penjelasan (informed consent) 3.4.2
Kriteria penolakan
1. Mengonsumsi antihistamin dalam 5 hari sebelum pengambilan darah 2. Mengonsumsi kortikosteroid setara prednison lebih dari 10 mg/hari dalam 72 jam sebelum pengambilan darah 3. Mengonsumsi obat-obat yang dapat memengaruhi kadar D-dimer plasma, yaitu:
antikoagulan/trombolisis
seperti
warfarin,
heparin,
aspirin,
sulfinpirazon, dipiridamol, dekstran, prostaksiklin, tiklopidin, dikumoral, anisindion, dan antifibrinolisis seperti asam traneksamat 4. Mengonsumsi obat-obatan yang mengandung kodein dan atau morfin 1 hari sebelum pengambilan darah 5. Sedang hamil. 3.5
ESTIMASI BESAR SAMPEL
Sampai saat ini tidak ada data mengenai rerata ( mean ) kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis. Penelitian terdahulu mendapatkan nilai median, dan kisaran nilai untuk itu tidak dihitung besar sampel minimal terkait kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis. Koefisien korelasi kadar D-dimer plasma dengan derajat keparahan urtikaria kronis dari beberapa penelitian sebelumnya memiliki nilai yang bervariasi, sehingga ditentukan perkiraan koefisiensi korelasi sebesar 0,5 yang merupakan median dari koefisien korelasi beberapa penelitian terdahulu. Berdasarkan rancangan penelitian untuk mendapatkan korelasi antara kadar D-dimer plasma dengan derajat keparahan urtikaria kronis, maka penentuan besar sampel dihitung menggunakan rumus berikut:
[
( [(
) ) (
)]
]
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
21
[
( [(
) ) (
] )]
Keterangan : n
= besar sampel pasien urtikaria kronis
α
= tingkat kemaknaan pada penelitian ini, untuk α = 5% maka Zα = 1,96
β
= ditetapkan 20%, maka power (1-β) penelitian ini adalah 80%, Zβ = 0,842
r
= perkiraan koefisien korelasi = 0,5
Besar sampel minimal yaitu 30 subjek.
3.6
CARA KERJA PENELITIAN
3.6.1
Tahap seleksi dan pengisian formulir persetujuan
Pemilihan SP dilakukan secara anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mendapatkan pasien dengan urtikaria kronis berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan, secara berurutan sampai terpenuhi jumlah sampel yang diperlukan (consecutive sampling). Selanjutnya dilakukan penjelasan lisan mengenai penyakit, tujuan, dan cara penelitian pada calon SP. Calon SP kemudian diminta menandatangani formulir persetujuan. 3.6.2
Pencatatan data dasar
Bagi SP yang telah menandatangani formulir persetujuan, akan dilakukan pencatatan meliputi identitas, anamnesis, pemeriksaan fisis, penilaian derajat keparahan urtikaria kronis dengan UAS. 3.6.3
Pemeriksaan kadar D-dimer
3.6.3.1 Alat dan bahan a. Disposible syringe 3cc b. Tabung vakum yang mengandung Na citrat c. Torniket
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
22
d. Kapas alkohol e. Alat sentrifugasi f. Sarung tangan karet g. Pipet 50 µL h. Alat untuk pemeriksaan kadar D-dimer dengan metode imunofiltrasi, terdiri atas Nycocard D-dimer dan Nycocard Reader II 3.6.3.2 Cara pengambilan darah dan pemeriksaan kadar D-dimer plasma Tidak ada persiapan khusus untuk pemeriksaan D-dimer plasma, dilakukan pengambilan darah vena SP. Sampel darah tidak dapat diperiksa jika terjadi hemolisis. Pemeriksaan kadar D-dimer plasma secara kuantitatif
dilakukan
dengan metode immunometric flow-through ( imunofiltrasi ). Nilai normal 0-300 µg/L. Pengumpulan bahan: Pada area lipat siku dilakukan pengusapan dengan kapas alkohol. Kemudian darah vena diambil menggunakan tabung vakum sebanyak 5cc dengan perbandingan sehingga Na citrat : darah vena = 1:9. Darah dikirim ke laboratorium Patologi Klinik RSCM Jakarta maksimal dalam 4 jam. Langkah pemeriksaan: a. Darah disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 2000 rpm lalu diambil bagian plasma b. Ditambahkan 50 µL washing solution ke dalam lubang tes, dan dibiarkan meresap c. Ditambahkan 50 µL plasma ke dalam lubang tes, dan dibiarkan meresap d. Conjugate dikocok, lalu ditambahkan 50 µL ke dalam lubang tes, dibiarkan meresap e. Ditambahkan 50 µL washing solution ke dalam lubang tes, dan dibiarkan meresap f. Hasil dibaca dengan menggunakan Nycocard Reader II
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
23
3.6.3.3 Analisis kadar D-dimer Setelah didapatkan hasil kadar D-dimer, dilakukan pencatatan dan penjelasan kepada SP. 3.7
BATASAN OPERASIONAL
Tabel 3.7.1 Variabel, definisi operasional dan metode pengukuran No
Variabel
Definisi operasional
1.
Urtikaria kronis
2.
Usia
Usia adalah umur yang dihitung dari tahun saat penelitian dikurangi dengan tahun kelahiran sesuai kartu tanda penduduk (KTP). Pembulatan ke atas bila ≥ 6 bulan dari ulang tahun terakhir, ke bawah bila < 6 bulan. Dihitung dalam satuan tahun.
Rekam medis, KTP / wawancara
Numerik (tahun)
3.
Jenis kelamin
Petanda gender dinilai berdasarkan bentuk anatomis genitalia eksterna
4.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang diperoleh SP
Rekam medis, KTP/ wawancara Rekam medis/ wawancara
5.
Derajat keparahan urtikaria/ Urticaria Activity Score (UAS)
Penjumlahan dari skor jumlah dan ukuran lesi urtika dan skor keparahan gatal, jumlah maksimal skor 6
Kategorik -Laki-laki -Perempuan kategorik Pendidikan rendah: tidak sekolah, sekolah dasar (SD), dan sederajatnya Pendidikan menengah: sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan sederajatnya Pendidikan tinggi: setingkat diploma/ akademi/strata-1 atau jenjang yang lebih tinggi - Numerik - Kategorik Ringan: skor 1-2 Sedang: skor 3-4 Berat : skor 5-6
Urtikaria yang telah berlangsung sekurangnya 6 minggu, dengan frekuensi serangan minimal 2 kali dalam seminggu
UAS: Skor jumlahdan ukuran lesi urtika: Skor 0 : tidak ada lesi Skor 1: <20 lesi ukuran < 3cm dalam 24 jam Skor 2: 20-50 lesi ukuran < 3cm atau 1-10 lesi ≥3cm dalam 24 jam Skor 3: >50 lesi ukuran < 3cm atau >10 lesi ≥3cm atau lesi berkonfluen ukuran besar dalam 24 jam Skor keparahan gatal: Skor 0: tidak ada gatal Skor1 : gatal ringan, tidak mengganggu aktifitas Skor2 : gatal sedang, mengganggu namun tidak sampai menghalangi aktifitas sehari-hari maupun tidur Skor 3: sangat gatal, mengganggu aktifitas seharihari dan tidur
Alat ukur/ cara ukur Anamnesis dan pemeriksaan fisis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis
Skala ukur Kategorik -Ya -Tidak
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
24
6
Lama sakit
7.
Kadar D-dimer plasma
3.8
lama waktu urtikaria kronis telah dialami, yang dihitung berdasarkan pertama kali gejala muncul sampai saat penelitian Konsentrasi D-dimer dalam plasma
Anamnesis
Nycocard Ddimer dan Nycocard Reader II dengan metode immunometric flow-through
Numerik (minggu)
- Numerik - Kategorik Normal: < 300 µg/L Meningkat: ≥300 µg/L
ANALISIS STATISTIK
Analisis akan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap deskriptif dan inferensial. Pada tahap analisis deskriptif, maka setiap variabel akan dijelaskan sesuai dengan jenis datanya. Data numerik akan dinilai sebarannya dengan menggunakan uji Skewness dengan batasan p> 0,05 untuk sebaran normal. Apabila sebaran data normal akan ditampilkan rata-rata dan simpang baku. Untuk data numerik sebaran tidak normal akan ditampilkan median, minimum dan maksimumnya. Data kategorikal akan ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase. Pada tahap analitik/inferens akan dilakukan analisis korelasi antara kedua variabel numerik, yaitu korelasi antara kadar D-dimer plasma dengan lama sakit dan derajat keparahan penyakit akan dianalisis untuk mendapatkan koefisien korelasi Pearson (jika sebaran data normal) atau Spearman (jika sebaran data tidak normal). Korelasi dinyatakan dengan nilai r. Korelasi kuat apabila nilai r = 0,71,0; korelasi sedang r = 0,3-0,69; dan korelasi lemah r =0-0,29.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
25
3.9
KERANGKA OPERASIONAL
Pasien urtikaria
Anamnesis Pemeriksaan fisis
Urtikaria kronis
Bukan urtikaria kronis
Seleksi : Kriteria penerimaan Kriteria penolakan
Subjek penelitian
Bukan subjek penelitian
Pemeriksaan kadar D-dimer plasma
Penentuan lama sakit dan derajat keparahan urtikaria kronis
Penatalaksanaan urtikaria kronis Pengolahan data dan analisis statistik
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Telah dilakukan pengumpulan SP sebanyak 30 pasien urtikaria kronis dengan cara consecutive sampling, sejak bulan Juni hingga bulan Agustus 2014 di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, Jakarta. Subjek yang diikutsertakan pada penelitian adalah pasien urtikaria kronis yang terpilih berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Pada seluruh subyek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, penghitungan skor aktivitas urtikaria, penilaian derajat keparahan urtikaria yang dikelompokkan berdasarkan UAS, serta pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar D-dimer di laboratorium Patologi Klinik RSCM, Jakarta. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dan dilakukan analisis korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis.
4.1
KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN
Pada penelitian ini ditemukan distribusi usia tidak normal, didapatkan nilai tengah usia SP adalah 32,5 tahun, usia termuda adalah 18 tahun dan paling tua 59 tahun. Urtikaria kronis dapat terjadi pada berbagai usia, terutama pada kelompok usia antara 20-40 tahun.23 Penelitian Mlynek dkk. (2008), mendapatkan usia rerata 43,7 (simpang baku 15,4) tahun dari 111 pasien urtikaria kronis, dengan rentang usia 18-83 tahun.28 Penelitian Nizam dkk. (2004), dari 81 pasien urtikaria kronis, didapatkan usia rerata SP adalah 36,5 (simpang baku 12,78) tahun, dengan rentang usia 15-69 tahun.54 Pada penelitian ini dipilih rentang usia SP antara 1859 tahun. Sesuai dengan kriteria penerimaan, anak-anak tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena urtikaria kronis jarang terjadi pada anak-anak dan pengambilan darah lebih sulit dilakukan pada anak-anak. Pasien geriatri juga tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena kadar D-dimer meningkat pada usia lanjut, hal ini disebabkan karena pembuluh darah mengalami penurunan elastisitas dan ditambah dengan timbunan lemak serta proses degeneratif pada usia lanjut
26 Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
27
menyebabkan gangguan hemostasis, sehingga mengaktifkan trombosit dan berbagai faktor pembekuan darah.55 Subjek penelitian perempuan pada penelitian ini berjumlah 15 orang (50%), dan SP laki-laki juga berjumlah 15 orang (50%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Triwongwaranat dkk. (2013), SP perempuan sebanyak 90 orang (75%) dan SP laki-laki sebanyak 30 orang (25%).
17
Pada penelitian Zhu, dkk. (2012)
dari 20 pasien urtikaria kronis didapatkan 55% SP laki-laki dan 45% SP perempuan. 27 Pendidikan SP terbanyak adalah tingkat pendidikan menengah (60%), diikuti oleh pendidikan tinggi (40%). Penelitian Nizam dkk. (2004) pada pasien urtikaria kronis, didapatkan sebagian besar SP berpendidikan tinggi (44,4%), sedangkan yang berpendidikan menengah sebanyak (35,8%), dan yang berpendidikan rendah sebanyak 19,8%.54 Penulis tidak mendapatkan literatur yang menghubungkan pendidikan dengan urtikaria kronis. Menurut data Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 2011, tingkat pendidikan penduduk DKI Jakarta terbanyak adalah tamat Sekolah Menengah Atas (37,27%).56 Nilai tengah lama sakit pada penelitian ini adalah 24 minggu, dengan lama sakit terpanjang adalah 156 minggu dan lama sakit tersingkat 7 minggu. Penelitian Zajac, dkk (2014), mendapatkan rerata lama sakit dari 66 pasien urtikaria kronis adalah 48 minggu, dengan rentang lama sakit 16-208 minggu.57 Urtikaria kronis dapat terjadi selama 1-5 tahun, dan bisa lebih lama pada kasus yang lebih parah. Sekitar 50% pasien urtikaria kronis mengalami masa bebas lesi dalam 1 tahun dan < 5% yang mengalami urtikaria lebih dari 10 tahun.23 Beberapa faktor yang dapat memengaruhi lama sakit urtikaria kronis antara lain, terdapat angioedema, hasil tes serum autolog dan antibodi antitiroid yang positif.58 Pada penelitian ini ketiga faktor di atas tidak dinilai. Kelemahan penilaian lama sakit pada penelitian ini adalah lama sakit hanya berdasarkan ingatan pasien, sehingga ada kemungkinan terjadi bias. Metode baku emas untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria activity score (UAS). Urticaria activity score merupakan instrumen kuantitatif
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
28
yang memungkinkan klinisi menilai derajat keparahan urtikaria dengan menjumlahkan skor jumlah lesi dan skor keparahan gatal. Jumlah skor maksimal adalah 6.28-32 Beberapa penelitian juga memasukkan kriteria ukuran lesi dalam menilai derajat keparahan penyakit.6,21 Nilai UAS pada penelitian ini tercantum pada tabel 4.1.1. Urticaria activity score pada penelitian ini paling banyak adalah skor 2 ( 43,3%), diikuti oleh skor 4 (20,0%). Pada penelitian Asero dkk. (2010) didapatkan skor terbanyak adalah skor 2 (62,5%).18 Derajat keparahan pada penelitian ini yang paling banyak adalah derajat ringan (43,3%), diikuti oleh derajat sedang (33,3%), dan derajat berat (23,3%). Hasil ini hanya sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Triwongwaranat dkk. (2013) yang mendapatkan derajat keparahan urtikaria kronis yang terbanyak adalah derajat ringan (52,5%), diikuti derajat sedang (30,8%), dan derajat berat (16,7%).17
Tabel 4.1.1 Distribusi karakteristik klinis subjek penelitian pasien urtikaria kronis di RSCM bulan Juni-Agustus 2014 (N = 30) Karakteristik
Jumlah (n)
Persentase(%)
0 13 4 6 3 4
0 43,3 13,3 20,0 10,0 13,3
13 10 7
43,3 33,3 23,3
Urticaria activity score 1 2 3 4 5 6 Derajat keparahan urtikaria Ringan Sedang Berat
Kedua penelitian ini sama-sama menggunakan UAS untuk menilai derajat keparahan urtikaria kronis. Penilaian derajat keparahan urtikaria menggunakan UAS sudah tervalidasi, namun masih memiliki kekurangan yaitu lebih bersifat
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
29
subjektif berdasarkan gejala yang dirasakan pasien seperti dalam penilaian skor gatal. Sebagai data tambahan pada penelitian ini didapatkan faktor yang diduga sebagai pencetus urtikaria kronis yaitu gigi berlubang 17 SP (56,7%), tekanan pada kulit sebanyak 5 SP (16,7%), infeksi tenggorokan berulang 2 SP (6,7%), dan sebanyak 6 SP (19,9%) tidak ditemukan faktor pencetus. Hasil ini berbeda dengan penelitian Brzewski, dkk. (2013) di Polandia, yang hanya menemukan infeksi gigi sebagai pencetus pada 10,7% SP,59 hal ini dapat disebabkan oleh kebersihan gigi yang lebih baik pada SP dari negara maju dibandingkan dari negara berkembang. Pada penelitian ini, pasien dengan faktor pencetus gigi berlubang dikonsulkan ke Departemen Gigi dan Mulut RSCM dan pasien dengan keluhan infeksi tenggorokan berulang dikonsulkan ke Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT) RSCM untuk penanganan lebih lanjut. Mekanisme pasti peran infeksi dalam mencetuskan urtikaria kronis masih belum diketahui, namun beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan antara urtikaria kronis dengan infeksi gigi dan THT.60,61
4.2
KADAR D-DIMER PADA SUBJEK PENELITIAN
Nilai tengah kadar D-dimer pada 30 SP adalah 100 µg/L, pada penelitian ini pemeriksaan kadar D-dimer menggunakan metode immunometric flow-through ( imunofiltrasi ) dengan batas nilai normal 0-300 µg/L. Nilai D-dimer terendah pada penelitian ini adalah 100 µg/L, dan nilai tertinggi 1700 µg/L. Pada penelitian Triwongwaranat dkk. (2013) didapatkan nilai tengah kadar D-dimer pasien urtikaria kronis sebesar 476,2 ng/mL dengan nilai terendah 107,7 ng/mL dan nilai tertinggi 9627,9 ng/mL, yang diperiksa dengan metode enzyme-linked fluorescence assay (ELFA) dengan batas nilai normal 0-500 ng/ml.17 Pada penelitian ini dan penelitian Triwongwaranat nilai tengah kadar D-dimer berada dalam batas normal. Penentuan batas nilai normal kadar D-dimer berbeda-beda tergantung pada alat yang digunakan untuk mengukur kadar D-dimer. Nilai batas normal kadar
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
30
D-dimer berbeda pada kedua penelitian ini. Perbedaan ini disebabkan karena penggunaan antibodi monoklonal yang bervariasi.62 Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian lain yang mengukur kadar D-dimer pasien urtikaria kronis menggunakan metode immunometric flow-through ( imunofiltrasi ). Peneliti memilih menggunakan metode immunometric flowthrough ( imunofiltrasi ) karena metode tersebut yang tersedia di laboratorium Patologi Klinik RSCM, Jakarta. Metode ELISA dianggap sebagai baku emas pemeriksaan D-dimer. Metode ELFA yang digunakan pada penelitian Triwongwaranat, dkk. merupakan bagian dari metode ELISA yang hasilnya dibaca dengan fluoresen. Metode ini memiliki sensitivitas 93-100%, namun memiliki kelemahan, yaitu memerlukan waktu pemeriksaan yang lebih lama karena memerlukan waktu untuk inkubasi reagen dengan plasma darah, dan biaya yang lebih mahal. Metode immunometric flowthrough (imunofiltrasi) yang dipakai pada penelitian ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu hasil yang cepat dalam waktu 2 menit, biaya yang relatif lebih murah, pengerjaan yang cukup mudah, dan sensitivitas sebanding dengan ELISA (sensitivitas 93-100%).50-52 Pada penelitian ini terdapat 5 SP (16,67%) dengan kadar D-dimer yang meningkat tanpa penyakit penyerta yang dapat memengaruhi kadar D-dimer, seperti DIC, DVT, PE, penyakit jantung koroner dan lainnya. Penilaian penyakit penyerta berdasarkan anamnesis dan catatan rekam medis pasien. Pada penelitian Asero, dkk. (2010) terdapat peningkatan kadar D-dimer pada 14 dari 68 SP (20%),18 sedangkan pada penelitian Triwongwaranat dkk. (2013) terdapat peningkatan kadar D-dimer pada 58 dari 120 SP (48,3%).17 Peneliti memikirkan bahwa peningkatan kadar D-dimer pada penelitian Asero, dkk. dan Triwongwaranat dkk lebih tinggi daripada penelitian ini karena SP pada kedua penelitian tersebut ada yang berusia lanjut. Rentang usia SP pada penelitian Asero dkk. (2010) adalah 14-84 tahun,18 dan rentang usia SP pada penelitian Triwongwaranat dkk (2013) adalah 16-73 tahun.17 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada usia lanjut kadar D-dimer dapat meningkat, hal ini disebabkan karena elasitas pembuluh
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
31
darah sudah berkurang dan ditambah dengan timbunan lemak serta proses degeneratif.55 4.3
KORELASI
KADAR
D-DIMER
DENGAN
DERAJAT
KEPARAHAN URTIKARIA KRONIS Dilakukan analisis korelasi derajat keparahan urtikaria kronis dengan kadar D-dimer. Derajat keparahan urtikaria kronis disajikan dalam skor 1 sampai 6 yaitu, ringan, sedang, dan berat. Pada penelitian ini distribusi kadar D-dimer tidak normal, sehingga uji kemaknaan korelasi menggunakan uji Spearman. Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif kuat yang bermakna antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,8; p = 0,0000) sehingga hipotesis penelitian ini diterima, berarti semakin tinggi kadar D-dimer, semakin berat derajat keparahan penyakit urtikaria kronis. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Asero dkk. (2011), yang mendapatkan korelasi positif kuat yang bermakna secara statistik antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,704, p = 0,02).63
Namun hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian Triwongwaranat dkk. (2013), yang mendapatkan korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis
2 1
S K o r
3
4
5
(r = 0,537, p < 0,05).17
0
500
1000 dimer 95% CI derajat
1500
2000
Fitted values
Gambar 4.3.1 Korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis pada seluruh subyek penelitian (N = 30)
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
32
Korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria pada penelitian Triwongwaranat dkk. (2013) lebih rendah daripada penelitian ini dipikirkan karena pada penelitian Triwongwaranat dkk. (2013) kadar D-dimer meningkat selain pada SP derajat keparahan berat, juga meningkat pada SP derajat keparahan ringan dan sedang, sedangkan pada penelitian ini kadar D-dimer hanya meningkat pada SP derajat keparahan berat. Diduga terdapat peningkatan kadar D-dimer pada derajat keparahan ringan dan sedang pada penelitian Triwongwaranat dkk. karena pada kelompok tersebut terdapat SP usia lanjut, sehingga dapat terjadi peningkatan kadar D-dimer. Pada penelitian ini, dari 7 SP (23,3%) urtikaria kronis dengan derajat keparahan berat, 5 SP (71,4%) di antaranya terdapat peningkatan kadar D-dimer. Nilai tengah kadar D-dimer pada SP derajat berat adalah 400 µg/L, dengan nilai terendah 400 µg/L, dan nilai tertinggi 1700 µg/L. Sampai saat ini masih belum jelas mekanisme aktivasi jalur pembekuan darah pada urtikaria kronis merupakan mekanisme primer atau sekunder akibat pengaruh dari komplemen, histamin, triptase dan sitokin lainnya yang mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik melalui ekspresi tissue factor, sehingga trombin yang dihasilkan merupakan pemeran akhir yang memperparah peningkatan permeabilitas kapiler.5 D-dimer merupakan produk degradasi fibrin. Pembentukan fibrin mengaktifkan reaksi proteolitik sehingga plasminogen berubah menjadi plasmin untuk mencegah koagulasi darah yang berlebihan. Fibrinolisis terlibat dalam patogenesis urtikaria karena plasmin diikat oleh C1, selanjutnya mengaktifkan kaskade komplemen untuk menghasilkan anafilatoksin, yaitu zat yang sangat poten
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga
terbentuklah edema pada urtikaria.64 Dengan peningkatan kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis, dapat disimpulkan terjadi aktivasi pembekuan darah pada patogenesis urtikaria kronis. Peningkatan kadar D-dimer secara tidak langsung menggambarkan adanya peningkatan plasmin dan trombin, yaitu semakin tinggi kadar D-dimer maka kadar plasmin dan trombin juga akan semakin tinggi sehingga urtikaria yang timbul akibat pengaruh plasmin dan trombin akan tampak lebih berat,9,10 sehingga perlu Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
33
dipikirkan tatalaksana yang sesuai. Subjek penelitian dengan peningkatan kadar D-dimer pada penelitian ini, dikonsultasikan ke Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut. Berdasarkan hasil konsultasi, pada SP dengan kadar D-dimer < 1000 µg/L hanya dilakukan observasi, sehingga belum diberikan terapi tambahan seperti terapi antikoagulan. Pada 1 SP dengan peningkatan kadar D-dimer > 1000 µg/L, belum dirujuk ke Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM karena pasien kembali ke kota asalnya dan tidak dapat dihubungi. Pada penelitian Asero dkk. (2010) diberikan terapi antikoagulan dan antifibrinolisis kepada 8 SP urtikaria kronis derajat berat dengan peningkatan kadar D-dimer. Subjek penelitian sebelumnya diberikan terapi cetirizin 10 mg/hari, selama 2 minggu, lalu dinilai respon terapi yang meliputi respon terhadap jumlah lesi urtika dan keluhan gatal. Apabila tidak ada respon, maka dosis cetirizin dinaikkan menjadi 30 mg/hari selama 1 minggu. Apabila gagal diberikan prednison 0,5 mg/kgbb/ hari selama 5 hari lalu diturunkan dosisnya. Pada 8 SP tersebut ternyata tidak terdapat respons terapi, sehingga bersedia diterapi dengan nadroparin 11.400 IU subkutan 1x sehari dan asam traneksamat 3x1g sehari selama 14 hari. Pada akhir penelitian didapatkan 5 SP memberikan respons terapi yang baik, namun cenderung relaps bila terapi dihentikan.18
4.4
KORELASI KADAR D-DIMER DENGAN LAMA SAKIT PASIEN URTIKARIA KRONIS
Dilakukan analisis korelasi lama sakit pasien urtikaria kronis dengan kadar Ddimer. Lama sakit pasien urtikaria kronis disajikan sebagai variabel numerik. Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif lemah yang tidak bermakna antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis (r = 0,05; p = 0,979) sehingga hipotesis penelitian ini ditolak. Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian lain yang memberikan data korelasi antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis. Pada penelitian Triwongwaranat dkk. (2013) didapatkan median lama sakit 12 bulan dengan lama sakit tersingkat 2 bulan dan lama sakit terpanjang 360 bulan, serta terdapat peningkatan kadar D-dimer pada
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
34
48,3% SP, namun penelitian ini tidak menilai korelasi antara peningkatan kadar
150
D-dimer dengan lama sakit.17
-50
0
50
100
m i n g g u
0
500
1000 dimer 95% CI
1500
2000
Fitted values
Gambar 4.4.1 Korelasi kadarlama_sak D-dimer dengan lama sakit urtikaria kronis pada seluruh subyek penelitian (N = 30) Pada penelitian ini, nilai tengah lama sakit pada 5 SP yang mengalami peningkatan kadar D-dimer adalah 24 minggu dengan lama sakit tersingkat 8 minggu dan lama sakit terpanjang 48 minggu. Nilai tengah lama sakit pada SP yang tidak mengalami peningkatan kadar D-dimer juga 24 minggu, dengan lama sakit tersingkat 8 minggu dan terpanjang 156 minggu. Tidak terdapat perbedaan lama sakit yang bermakna secara statistik pada SP dengan peningkatan kadar D-dimer dibandingkan dengan SP yang tidak mengalami peningkatan kadar Ddimer, p=0,992. Penelitian Filardi dkk. (2013), yang merupakan telaah sistematis dari 3 penelitian, dapat disimpulkan bahwa lama sakit urtikaria kronis berkorelasi dengan derajat keparahan penyakit.65 Pada penelitian ini didapatkan keparahan penyakit berkorelasi dengan kadar D-dimer, sehingga dipikirkan bahwa lama sakit juga berkorelasi dengan kadar D-dimer, namun pada penelitian ini hanya didapatkan korelasi lemah dan tidak bermakna secara statistik. Peneliti memikirkan hal ini dapat terjadi karena lama sakit urtikaria kronis juga dapat dipengaruhi oleh
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
35
berbagai faktor lain seperti angioedema yang menyertai, hasil tes serum autolog dan antibodi antitiroid yang positif.58 Pada penelitian Toubi dkk. (2004) yang meneliti 139 pasien urtikaria kronis, setelah diikuti selama 6 bulan, terdapat 94% SP masih mengalami urtikaria. Pada bulan ke 12, sebanyak 75% SP masih mengalami urtikaria. Pada bulan ke 24, masih terdapat 52% SP yang masih didiagnosis urtikaria kronis. Setelah diikuti selama 36 bulan, terdapat 43% pasien yang masih mengalami urtikaria, dan pada akhir studi setelah 60 bulan, terdapat 14% SP yang masih terdapat lesi urtikaria. Pada penelitian Toubi dkk. dinilai hubungan lama sakit urtikaria kronis dengan adanya angioedema yang menyertai, hubungan lama sakit dengan uji serum autolog dan hasil tes darah antibodi antitiroid. Didapatkan hasil 40% pasien yang mengalami angioedema bersamaan dengan urtikaria (minimal 3 kali dalam 1 bulan). Pada tindak lanjut 24 bulan, 64% dari SP yang positif angioedema masih mengalami urtikaria, sedangkan pada SP yang tidak angioedema 43% yang masih mengalami urtikaria. Pada akhir penelitian di bulan ke 60, terdapat 45% SP yang positif angioedema yang masih mengalami urtikaria, sedangkan pada SP yang tidak ada angioedema hanya 12%, dengan p= 0,002. Pada penilaian hubungan lama sakit dengan hasil uji serum autolog, didapatkan 28% SP yang positif hasil uji serum autolog dan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan p=0,004. Pada tindak lanjut 24 bulan, masih didapatkan urtikaria pada 78% SP dengan uji serum autolog yang positif dan hanya 43% pada SP dengan hasil uji serum autolog yang negatif. Pada penilitian Toubi dkk. ini juga didapatkan hubungan antara lama sakit dan hasil tes darah antibodi antitiroid yang bermakna secara statistik (p= 0,002). Didapatkan 12% SP yang hasil tes darah antibodi antitiroid yang positif, dan pada akhir penelitian didapatkan 52% SP dengan hasil tes darah antibodi antitiroid yang positif masih mengalami urtikaria, sedangankan pada SP yang hasil tes darah antibodi antitiroid yang negatif, hanya 16% SP yang masih mengalami urtikaria.58 Penilaian lama sakit pada penelitian ini belum dapat menggambarkan lama sakit yang sesungguhnya, sehingga perlu dipertimbangkan penelitian untuk menilai
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
36
lama sakit seperti pada penelitian Toubi dkk. (2004) yang mengikuti SP sampai beberapa tahun tertentu.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
BAB 5 IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN
5.1
IKHTISAR
Urtikaria adalah lesi kulit berupa edema intrakutan lokalisata yang dikelilingi oleh area kemerahan (eritema) dan terasa gatal. Lesi kulit dapat menetap 30 menit hingga 36 jam. Lesi dapat berukuran kecil hanya beberapa milimeter, hingga berdiameter 15-20 cm. Pada urtikaria terjadi pelebaran pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas vaskular di dermis superfisial dan melibatkan pleksus vena pada daerah tersebut.1 Urtikaria merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dalam praktek seharihari. Usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi faktor predisposisi urtikaria. Urtikaria sering terjadi pada kelompok usia 0-9 tahun dan 30-40 tahun. Dilaporkan di Inggris, 15% - 20% pelajar pernah mengalami urtikaria.1 Pada tahun 2012, kasus baru urtikaria kronis sebanyak 225 (62%) dari total kasus urtikaria di Poliklinik Alergi Imunologi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.2 Kasus urtikaria dianggap kronis apabila muncul hampir setiap hari atau paling kurang dua kali dalam seminggu selama 6 minggu berturut-turut atau lebih. Sebagian besar penyebab pasti urtikaria kronis masih belum banyak diketahui, namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis. Penelitian Asero dkk. (2006) didapatkan persentase kepositifan tes kulit plasma autolog lebih besar daripada tes kulit serum autolog (86% vs 53%) pada pasien urtikaria kronis.5 Pada penelitian lain oleh Asero dkk. (2007) didapatkan peningkatan faktor VII, D-dimer, dan protrombin fragmen 1 dan 2. Peningkatan protrombin fragmen 1 dan 2 menunjukkan aktivasi protrombin menjadi trombin, yang selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin yang terbentuk akan didegradasi oleh plasmin menjadi produk degradasinya berupa D-dimer.6
37 Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
38
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis dan mengetahui korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis. Subjek penelitian terdiri atas 30 pasien urtikaria kronis laki-laki dan perempuan berusia 18-59 tahun yang dikumpulkan dengan consecutive sampling, sejak bulan Juni hingga bulan Agustus 2014 di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, Jakarta. Subjek yang diikutsertakan pada penelitian sudah melalui seleksi berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Pada seluruh subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, penghitungan skor aktivitas urtikaria, penilaian derajat keparahan urtikaria, serta pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar D-dimer serum di laboratorium Patologi Klinik RSCM, Jakarta. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik subjek penelitian a.
Karakteristik demografik dan riwayat penyakit Nilai tengah usia SP adalah 32,5 tahun. Usia SP paling muda adalah 18 tahun dan paling tua 59 tahun. Pendidikan SP paling banyak adalah tingkat pendidikan menengah (60%), diikuti oleh Pendidikan Tinggi (40%). Nilai tengah lama sakit pada penelitian ini adalah 24 minggu. Lama sakit terpanjang adalah 156 minggu dan lama sakit tersingkat 7 minggu.
b.
Karakteristik derajat keparahan urtikaria kronis Skor derajat keparahan urtikaria kronis yang paling banyak adalah skor 2 ( 43,3%), diikuti oleh skor 4 (20,0%). Derajat keparahan urtikaria kronis pada penelitian ini yang paling banyak adalah derajat ringan (43,3%), diikuti oleh derajat sedang (33,3%), dan derajat berat (23,3%).
2. Nilai tengah kadar D-dimer pada 30 SP adalah 100 µg/L. Nilai D-dimer terendah pada penelitian ini adalah 100 µg/L, dan nilai tertinggi 1700 µg/L.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
39
Pada penelitian ini terdapat 5 SP (16,67%) yang terdapat peningkatan kadar D-dimer. 3. Korelasi kadar D-dimer dengan derajat keparahan pasien urtikaria kronis Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif kuat yang bermakna antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,8; p = 0,0000). 4. Korelasi kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif lemah yang tidak bermakna antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis (r = 0,05; p = 0,979) 5.2 KESIMPULAN 1. Nilai tengah kadar D-dimer pada 30 SP adalah 100 µg/L. Nilai D-dimer terendah pada penelitian ini adalah 100 µg/L, dan nilai tertinggi 1700 µg/L, sehingga hipotesis 1 ditolak. 2. Terdapat korelasi positif kuat yang bermakna secara statistik antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis, sehingga hipotesis 2 diterima. 3. Terdapat korelasi positif lemah yang tidak bermakna secara statistik antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis, sehingga hipotesis 3 ditolak.
5.3 SARAN 1. Dilakukan penelitian selanjutnya mengenai hubungan kadar D-dimer dengan efektivitas terapi antihistamin. 2. Dilakukan penelitian selanjutnya mengenai terapi antikoagulan pada pasien urtikaria kronis dengan peningkatan kadar D-dimer. 3. Dilakukan penelitian selanjutnya untuk mencari faktor-faktor lain yang mempengaruhi lama sakit dan pasien diikuti untuk menilai lama sakit yang sesungguhnya.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
40
DAFTAR PUSTAKA
1.
2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
Kaplan AP. Urticaria and angioedema. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke 8. New York:The McGraw-Hill companies; 2012. h. 414-30. Data morbiditas Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM tahun 2012. (tidak dipublikasi) Khan DA. Chronic urticaria: Diagnosis and management. Allergy Asthma Proc. 2008; 29: 439-46. Grattan CEH, Sabroe RA, Greaves MW. Chronic urticaria. J Am Acad Dermatol. 2002; 46: 645-57. Asero R, Tedeschi A, Riboldi P, Cugno M. Plasma of patients with chronic urticaria shows signs of thrombin generation, and its intradermal injection causes wheal-and-flare reaction much more frequently than autologous serum. J Allergy Clin Immunol. 2006; 117: 1113-7. Asero R, Tedeschi A, Coppola R, Griffini S, Paparella P, Riboldi P, et al. Activation of tissue factor pathway of blood coagulation in patients with chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2007; 119: 705-10. Vliagoftis H. Thrombin induces mast cell adhesion to fibronectin : Evidence for involvement of protease-activated receptor-1. J of Immunol.2002; 169: 4551-8. Nobe K, Sone T, Paul RJ, Honda K. Thrombin-induced force development in vascular endothelial cells: contribution to alteration of permeability mediated by calcium-dependent and –independent pathway. J Pharmacol Sci. 2005; 99: 252-63. Lang MH, Sarma JV, Zetoune FS, Rittirsch D, Neff TA, McGuire SR, Lambris JD, et al. Generation of C5a in the absence of C3: a new complement activation pathway. Nature Med. 2005; 12: 682-7. Asero R, Riboldi P, Tedeschi A, Cugno M, Meroni P. Chronic urticaria: A disease at a crossroad between autoimmunity and coagulation. Autoimmunity Rev. 2007; 7: 71-6. Asero R, Tedeschi A, Cugno M. Markers of autoreactivity, coagulation and angiogenesis in patients with nonallergic asthma. Allergy. 2011; 66: 1339-44. Cugno M, Marzano AV, Tedeschi A, Fanoni D, Venegoni L, Asero R. Expression of tissue factor by eosinophils in patients with chronic urticaria. Int Arch Allergy Immunol. 2009; 148: 170-4. Katayama I, Matsui S, Murota H. Platelet cctivation as a possible indicator of disease activity in chronic urticaria: Link with blood coagulation and mast cell degranulation. J Clin Exp Dermatol Res. 2013; 4: 1-6. Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
41
14. Takeda T, Sakurayi Y, Takahagi S, Kato J, Yoshida K, Yoshioka A, Hide M, Shima M. Increase of coagulation potential in chronic spontaneous urticaria. Allergy. 2010; 66: 428-33. 15. Suyono S, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H. Hemostasis normal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKU; 2001: 547-63. 16. Husain RN, Widjaja S, Yasmina A. Hubungan tingkat keparahan klinik urtikaria dengan kualitas hidup penderita urtikaria kronik. Berkala Kedokteran. 2013; 9: 143-9. 17. Triwongwaranat D, Kulthanan K, Chularojanamontri L, Pinkaew S. Correlation between plasma D-dimer leves and the severity of patients with chronic urticaria. Asia Pac Allergy. 2013; 3: 100-5. 18. Asero R, Tedeschi A, Cugno M. Heparin and tranexamic acid therapy may be effective in treatment-resistant chronic urticaria with elevated D-Dimer: A pilot study. Int Arch Allergy Immunol. 2010; 152: 384-9. 19. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffith C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke 8. United Kingdom: Wiley-Blackwell; 2010. h. 22.130. 20. Grattan CEH. Urticaria and angioedema. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, penyunting. Dermatology. Edisi ke-3. USA: Elsevier Saunders; 2012. h. 291-306. 21. Altunay IK, Demirci GT, Atis G. Clinical observations on acute and chronic urticaria: A comparative study. J Clin Exp Dermatol Res. 2011; 2: 1-4. 22. Uthman MAE. Current Concept in the pathogenesis and management of urticaria and angioedema. Bahrain Medical Bulletin; 2005; 27: 1-5. 23. Khan S, Maitra A, Hissaria P, Roy S, Anand MP, Nag N, Singh H. Chronic urticaria: Indian context-challenges and treatment options. Dermatology Research and Practice. 2013; 1-8. 24. Fourn EL, Giraudeau B, Chosidow O, Doutre MS, Lorette G. Study design and quality of reporting of randomized controlled trials of chronic idiopathic or autoimmune urticaria: Review. PLos ONE. 2013; 8: 1-7. 25. Halvorson C. An approach to urticaria. Cutis. 2012; 90: 1-7. 26. Ortonne JP. Chronic urticaria: A comparison of management guidelines. Pharmacother. 2011; 1-11. 27. Zhu H, Liang B, Li R, Li J, Lin L, Ma S, Wang J. Activation of coagulation, anti-coagulation, fibrinolysis and the complement system in patients with urticaria. Asian Pac J Allergy Immunol. 2012; 31: 43-50. 28. Mlynek A, Janowska AZ, Martus P, Staubach P, zubirbier T, Maurer M. How to assess disease activity in patients with chronic urticaria?Allergy. 2008; 63: 777-80.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
42
29. Mathias SD, Crosby RD, Zazzali JL, Maurer M, Saini SS. Evaluating the minimally important difference of the urticaria activity score and other measures of disease activity in patients with urticaria. Ann Allergy Asthma Immunol. 2012; 108: 20-4. 30. Maurer M, Magerl M, Metz M, Zuberbier T. Revisions to the international guidelines on the diagnosis and therapy of chronic urticaria. JDDG. 2013. 971-7. 31. Schoepke N, Doumoulakis G, Maurer M. Diagnosis of urticaria. Indian J Dermatol.2013; 58: 211-8. 32. Zuberbier T, Asero R, Jensen BC. EAACI/GA²LEN/EDF/WAO Guidelines : definition, classification, and diagnosis of urticaria. Allergy. 2009; 64: 141726. 33. Setiabudy RD, Silman E. Patofisiologi DIC dan fibrinolisis. Dalam: Setiabudy RD, penyunting. Hemostasis dan trombosis. Edisi ke 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012; h. 110-21. 34. Mlynek A, Maurer M, Zalewska A. Update on chronic urticaria: Focusing on mechanism. Allergy Clin Immunol. 2008; 8: 433-7. 35. Criado PR, Antinori LCL, Maruta CW, Reis VMS. Evaluation of D-dimer serum levels among patients with chronic urticaria, psoriasis and urticarial vasculitis. An Bras Dermatol. 2013; 88: 355-60. 36. Takahagi S, Mihara S, Iwamoto K, Morioke S, Okabe T, Kameyoshi Y, Hide M. Coagulation/fibrinolysis and inflammation markers are associated with disease activity in patients with chronic urticaria. Allergy. 2010; 65: 649-56. 37. Asero R, Tedeschi A, Riboldi P, Griffini S, Bonanni E, Cugno M. Severe chronic urticaria is associated with elevated plasma levels of D-dimer. Allergy. 2008; 63: 176-80. 38. Asero R. D-dimer: A biomarker for antihistamin-resistant chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2013;132: 1-3. 39. Parslew R, Pryce D, Ashworth J, Friedmann PS. Warfarin treatment of chronic idiopathic urticaria and angio-edema. Clin Exp Allergy. 2000;30: 1161-5. 40. Ziedins K, Orfeo T, Jenny NS, Everse SJ, Mann KG. Blood coagulation and fibrinolysis. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lubens JN, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke 11. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2003; h. 724-8. 41. Bachmann F. Plasminogen-plasmin enzyme system. Dalam: Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, penyunting. Hemostasis and thrombosis: Basic principles and clinical practice. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins. 2001; h. 275-320. 42. Castellone D. Overview of hemostasis and platelet physiology. Dalam: Cielsa B, penyunting. Hematology in practice. Philadelphia : FA Davis Company. 2007; h. 230-40.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
43
43. Wintrobe MM, Greer JP, Foerster J, Lukens JN. Clinical hematology. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lubens JN, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke 11. Phiadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2003; h. 722-32. 44. Adam SS, Key NS, Greenberg CS. D-dimer antigen: Current concept and future prospect. Blood Journal. 2008; 1-38. 45. D-dimer assays. [Internet]. 2013. [Diunduh 31 Desember 2013]. Tersedia dari www.pathology.vcu.edu/clinical/coag/D-dimer.pdf 46. Educational commentary D-dimer. [Internet]. 2013. [Diunduh 31 Desember 2013]. Tersedia dari www.api-pt.com/Reference/Commentary/2004Bchem.pdf
47. Bakhsi H, Moghaddam MA, Wu KC, Imami M, Banasiri M. D-dimer as an applicable test for detection of posttraumatic deep vein thrombosis in lower limb fracture. Am J Orthop. 2012; 41: 78-80. 48. Mavromatis BH, Kessler CM. D-dimer testing: The role of the clinical laboratory in the diagnosis of pulmonary embolism. J Clin Pathol. 2001; 54: 664-8. 49. D-dimer testing and acute venous thromboembolism. Institute for transfusion medicine update. [Internet]. 2000. [Diunduh 22 Desember 2013]. Tersedia dari: http://www.itmx.org/imu2000/tmu2-2000.htm 50. Rustandi, David. Uji kesahihan (validitas) pemeriksaan D-dimer cara penyaring kekebalan (metode imunofiltrasi) dan cara mengukur imunoturbidometri. Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2010; 17: 9-11. 51. Gogstad GO, Dale S, Brosstad F, Brandsnes O, Holtlund J, Mork E, Gartner T, Borch SM. Assay of D-dimer based on immunofiltration and staining with gold colloids. Clin Chem. 1993; 39: 2070-6. 52. Adam SS, Key NS, Grenberg CS. D-dimer antigen: current concept and future prospects. Blood. 2009; 113: 2878-87. 53. Pengukuran D-dimer. [Internet]. 2010. [Diunduh 22 Desember 2013]. Tersedia dari www.labkesehatan.blogspot.com/2010/04/pemeriksaanD-dimer 54. Nizam JR. Kepositivan uji kulit serum autolog metode sabroe pada pasien urtikaria kronik, distribusi dan gambaran klinisnya. Jakarta; 2004: 27-37. 55. Nwa FT, Bos A, Adjei A, Ershles W, Longo DL, Ferrucci L. Correlates of Ddimer in older persons. Aging Clin Exp Res. 2010; 22: 20-3. 56. DKI. Data penduduk WNI Provinsi DKI Jakarta berdasarkan pendidikan per November 2011. Jakarta: 2011. 57. Zajac AK, Grzanka A, Jarzab J, Misiolek M, Chlap MW, Kasperski J, Machura E. The association between platelet count and acute phase response in chronic spontaneous urticaria. Biomed Res Int. 2014; 1-6. 58. Toubi E, Kessel A, Avshovich N, Bamberger E, Sabo E, Nusem D, Panasoff J. Clinical and laboratory parameters in predicting chronic urticaria duration: a prospective study of 139 patients. Allergy. 2004; 59: 869-73.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
44
59. Brzewski P, Spalkowska M, Podbielska M, Chmielewska J. The role of focal infections in the pathogenesis of psoriasis and chronic urticaria. Postep Derm Alergol.2013; 2: 77-84. 60. Sonoda T, Anan T, Ono K, Yanagisawa S. Chronic urticaria associated with dental infection. Br J Dermatol. 2001; 145: 516-8. 61. Ertam I, Biyikli SE, Yazkan FA, Aytimur D, Alper S. The frequency of nasal carriage in chronic urticaria patients. J Eur Acad Dermatol Venereol . 2007; 21: 777-80. 62. Keeling DM, Mackie IJ, Moody A, Watson HG. The diagnosis of deep vein thrombosis in symptomatic outpatients and the potential for clinical assessment and D-dimer assays to reduce the need for diagnostic imaging. Brit J Haematology. 2004; 124: 15-25. 63. Asero R, Cugno M, Tedeschi A. Activation of blood coagulation in plasma from chronic urticaria patients with negative autologous plasma skin test. JEADV. 2011; 25: 201-5. 64. Cugno M, Marzano AV, Asero R, Tedeschi A. Activation of blood coagulation in chronic urticaria: Pathophysiological and clinical implications. Intern Emerg Med. 2010; 5: 97-101. 65. Filardi RR, Oliveira RD, Campos RA. Parameters associated with chronic spontaneous urticaria duration and severity: A systematic review. Int Arch Allergy Immunol. 2013; 161: 197-204.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
45
Lampiran 1 : penyaring subjek penelitian
PENYARING SUBJEK PENELITIAN
Kriteria penerimaan subjek penelitian (beri tanda v) Ya
Tidak
( )
( )
( )
Usia 18-59 tahun
( )
Menderita urtikaria kronis
Kriteria penolakan subjek penelitian (Beri tanda v) Ya
Tidak
( )
( )
Mengkonsumsi antihistamin dalam 5 hari sebelum pengambilan darah
( )
( )
Mengkonsumsi kortikosteroid setara prednison lebih dari 10 mg/hari dalam 72 jam sebelum pengambilan darah
( )
( )
Mengkonsumsi obat-obat yang dapat mempengaruhi kadar D-dimer plasma, yaitu: antikoagulan/trombolisis seperti warfarin, heparin, aspirin, sulfinpirazon, dipiridamol, dekstran, prostaksiklin, tiklopidin, dikumoral, anisindion
( )
( )
Mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung kodein dan atau morfin 1 hari sebelum pengambilan darah
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
46
( )
( )
Sedang hamil
Kesimpulan (Beri tanda v) ( )
Pasien memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian
( )
Pasien tidak memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
47
Lampiran 2 : lembar informasi penelitian INFORMASI PENELITIAN Bapak/Ibu Yth, Setelah melalui pemeriksaan, Bapak/Ibu mengalami suatu penyakit yang disebut urtikaria kronis. Urtikaria (biduran atau kaligata) adalah kelainan kulit berupa penonjolan atau bentol pada kulit yang dikelilingi oleh area kemerahan dan terasa gatal. Urtikaria kronis adalah biduran yang muncul hampir setiap hari atau paling kurang dua kali dalam seminggu selama 6 minggu berturut-turut atau lebih. Pada penyakit ini diduga terdapat peran pembekuan darah, yang berhubungan dengan lama sakit dan keparahan penyakit. Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara pembekuan darah dengan lama sakit dan derajat keparahan penyakit. Dilakukan pemeriksaan kadar D-dimer darah di laboratorium untuk mengetahui adanya pembekuan darah. Manfaat bagi Bpk/Ibu dengan menjadi subjek dalam penelitian ini adalah diketahuinya apakah terdapat peningkatan D-dimer atau tidak. Apabila terjadi peningkatan, maka Bapak/Ibu akan dikonsulkan ke Dokter Penyakit Dalam untuk dipertimbangkan mendapat terapi yang sesuai misalnya penambahan terapi anti pembekuan darah. Pada penelitian ini, setelah wawancara dan pengisian kuesioner, akan dilakukan pemeriksaan fisis untuk menentukan derajat keparahan urtikaria. Saya akan mengambil darah Bpk/Ibu sebanyak 5 ml (kira-kira 1 sendok teh) pada daerah lipat siku dengan menggunakan jarum pengambil darah steril. Pengambilan darah terkadang menimbulkan rasa nyeri ringan, bengkak, atau warna kebiruan yang akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Bila terjadi keluhan akibat pengambilan darah pada penelitian ini, maka Bpk/Ibu akan diberi pengobatan secara gratis. Darah yang telah diambil sebagian akan dikirim ke laboratorium untuk pengukuran kadar D-dimer.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
48
Seluruh data dari masing-masing pasien merupakan rahasia dan tidak akan disebarluaskan. Publikasi akan dilakukan pada akhir penelitian, yang hanya mencantumkan analisa dan kesimpulan dari berbagai data yang didapat. Penelitian ini tidak dipungut biaya dan keikutsertaan pada penelitian ini bersifat sukarela, tanpa ada paksaan. Sekiranya tidak berkenan, Bpk/Ibu dapat menolak atau sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri tanpa mempengaruhi pelayanan kesehatan yang diberikan. Bila telah mengerti dan menyetujui, dimohon kesediaan Bpk/Ibu untuk menandatangani formulir persetujuan. Bila keberatan, Bpk/Ibu dapat menarik diri setiap saat dari penelitian ini tanpa mendapat sanksi apapun dan tetap mendapatkan pelayanan dan pengobatan sebagaimana mestinya. Apabila Bpk/Ibu membutuhkan penjelasan, dapat menanyakan segala hal yang berhubungan dengan penelitian ini kepada saya, dr.Ridha Rosandi, PPDS Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM, Jakarta, di nomor telepon 085276701273. Terima kasih atas kerjasama Bapak/Ibu
Peneliti dr. Ridha Rosandi
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
49
RSCM
NRM Nama Jenis Kelamin Tanggal lahir
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
: : : :
(Mohondiisiatau tempelkan stiker jika ada)
Jl. Diponegoro No.71Jakarta 10430 Telp (021) 3918301 Fax (021)3148991
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN (FORMULIR INFORMED CONSENT) Peneliti Utama
dr. Ridha Rosandi
Pemberi Informasi
dr. Ridha Rosandi
Penerima Informasi Nama Subjek Tanggal lahir Jenis Kelamin Alamat No Telp (HP)
: : : : :
ISI INFORMASI
1.
JENIS INFORMASI Judul Penelitian
TANDAI
2.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui: Hubungan kadar D-dimer plasma dengan derajat keparahan urtikaria kronis (biduran) Hubungan kadar D-dimer plasma dengan lama sakit pasien urtikaria kronis (biduran)
3.
Metode Penelitian
Rancangan peneltian potong lintang
4.
Risiko & Efek samping dalam penelitian
Rasa nyeri saat pengambilan darah,bengkak, atau warna kebiruan ditempat pengambilan darah, yang akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari
5.
Manfaat Penelitian termasuk manfaat bagi subjek penelitian
Korelasi kadar D-dimer plasma dengan derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis
Menambah pengetahuan mengenai peran aktivasi jalur pembekuan darah pada biduran serta hubungannya dengan keparahan dan lama sakit Data dasar kadar D-dimer plasma pasien biduran di Indonesia yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya Membantu dalam menentukan terapi Universitas Indonesia
Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
50
biduran yang penyebabnya. 6.
Prosedur Penelitian
tepat,
sesuai
dengan
Subjek penelitian akan diwawancara dan dilakukan pemeriksaan fisis Setelah menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian, akan ditentukan keparahan penyakit dan dilakukan pengambilan darah Pengambilan darah sebanyak ± 5ml akan dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RSCM
7.
Ketidaknyamanan subjek penelitian
Nyeri saat pengambilan darah
8.
Alternatif penelitian
9.
Penjagaan kerahasiaan
Jika tidak bersedia ikut dalam penelitian, subjek penelitian akan tetap ditangani sesuai prosedur Semua data akan dijamin kerahasiaannya
10.
Efek samping yang terjadi akibat pengambilan darah, akan diobati secara gratis.
11.
Kompensasi bila terjadi efek samping Nama dan Alamat Peneliti, serta nomor telp yang dapat dihubungi
12
Jumlah Subjek
Minimal 30 orang
13
Bahaya potensial
Tidak Ada
14.
Biaya yang timbul
dr. Ridha Rosandi Alamat : Perumahan Jatinegara Baru, Jalan Gunung Salak Blok FA No.22 Jakarta Timur Telp 085276701273
15.
Insentif bagi subjek
Biaya pemeriksaan kadar D-dimer plasma ditanggung oleh peneliti Jika terdapat peningkatan kadar D-dimer plasma, maka biaya konsultasi ke bagian Ilmu Penyakit Dalam akan ditanggung oleh subjek penelitian
Diberikan cindera mata atau penggantian biaya transportasi
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
51
Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh dr. Ridha Rosandi dengan judul Korelasi kadar D-dimer plasma dengan derajat keparahan dan lama sakit pada pasien urtikaria kronis, informasi tersebut telah saya pahami dengan baik.
Dengan menandatangani formulir ini saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian di atas dengan sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, Saya berhak membatalkan persetujuan ini.
______________________
__________________
Tanda tangan Subjek & Nama
Tanggal
_______________________
__________________
Tanda tangan Saksi & Nama
Tanggal
Ket: Tanda tangan saksi/wali diperlukan bila subjek tidak bisa baca tulis, penurunan kesadaran, mengalami gangguan jiwa.
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
52
Saya telah menjelaskan kepada Subjek secara benar dan jujur mengenai maksud penelitian, manfaat penelitian, prosedur dan faktor risiko, serta ketidaknyamanan yang mungkin timbul. Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan sebaik-baiknya.
_________________ dr. Ridha Rosandi
_______________ Tanggal
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
53
Lampiran 4 : Status penelitian Tanggal pemeriksaan : Nomor rekam medik : 1. Nomor urut penelitian
:
2. Nama
:
3. Alamat
:
4. Nomor telepon
:
5. Tempat & tanggal lahir
:
6. Usia (tahun)
:
7. Tingkat pendidikan
:
(0) tidak sekolah (1) Pendidikan dasar (TK, SD) (2) Pendidikan menengah (SMP, SMU/SMK) (3) Pendidikan tinggi (diploma, sarjana, magister, dokter spesialis) 8. Anamnesis : 9.
Lama sakit (minggu) :
Faktor pencetus urtikaria kronis: (0) Gigi berlubang (1) infeksi tenggorokan berulang (2) Keputihan (3) Hepatitis/sakit kuning (4) Tekanan (5) Suhu dingin (6) Suhu panas (7) Aktifitas fisis (8) Pajanan sinar matahari
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
54
10. Penyakit penyerta:
11. Skor derajat keparahan penyakit:
Skor jumlah dan ukuran lesi urtika
Skor keparahan gatal
dalam 24 jam (9) tidak ada lesi
(0) tidak ada gatal
(1) <20 lesi (lesi ukuran < 3cm)
(1) gatal ringan, tidak mengganggu aktifitas
(2) 20-50 lesi ukuran < 3cm atau 1-
(2) gatal sedang, mengganggu namun tidak
10 lesi ≥ 3cm
sampai menghalangi aktifitas sehari-hari
(3) >50 lesi ukuran < 3cm atau > 10 lesi ≥ 3cm atau lesi berkonfluen ukuran besar
maupun tidur (3) sangat gatal, mengganggu aktifitas sehari-hari dan tidur
12. Derajat keparahan urtikaria: (1) Ringan (2) Sedang (3) Berat 13. Pemeriksaan laboratorium
Kadar D-dimer :
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
55
Lampiran 5: UAS menurut EAACI/GA²LEN/EDF/WAO Guidelines
_________________________________________ *dikutip dari kepustakaan no. 32
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
56
Lampiran 6: Tabel induk penelitian Nomer 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Usia Pendidikan 48 2 47 2 27 2 28 2 54 2 34 2 31 3 47 2 45 2 38 3 59 2 24 3 42 2 57 2 45 2 53 3 18 3 25 3 53 3 29 2 30 3 37 3 20 2 18 2 53 3 29 3 18 2 30 3 23 2 30 2
Lama Sakit 24 24 12 14 12 32 24 8 12 12 32 52 7 104 8 24 48 156 28 48 8 48 12 24 8 52 24 16 12 48
Skor UAS 2 3 6 2 2 4 3 2 6 4 2 3 2 6 5 5 2 4 5 4 2 6 4 4 2 2 2 2 2 3
Derajat Keparahan 1 2 3 1 1 2 2 1 3 2 1 2 1 3 3 3 1 2 3 2 1 3 2 2 1 1 1 1 1 2
D-dimer 100 100 700 100 100 200 100 100 300 200 100 100 100 200 400 400 100 100 600 100 100 1700 100 200 100 100 100 100 100 100
keterangan tabel: A: nomer urut B: usia (tahun) C: Tingkat pendidikan : 0 tidak sekolah, 1 pendidikan dasar (TK,SD), 2 pendidikan menengah ( SMP< SMU/SMK),
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014
57
3 pendidikan tinggi D: lama sakit (minggu) E: skor derajat keparahan penyakit F: derajat keparahan urtikaria: 1. ringan, 2. sedang, 3. berat G: kadar D-dimer
Universitas Indonesia Korelasi kadar..., Ridha Rosandi, FK UI, 2014