UNIVERSITAS INDONESIA
KORELASI ANTARA KADAR PROSTAGLANDIN E2 (PGE2) DENGAN DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN (DAP) PADA BAYI PREMATUR
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anak Konsultan (Sp.AK) pada program studi Ilmu Kesehatan Anak, bidang kekhususan Kardilogi Anak
MOCHAMMADING 1306416512
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS II DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK JAKARTA JUNI 2014 Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
“Setiap ilmu mesti ada permulaanya, tetapi sama sekali tidak ada pengakhirannya. Kita harus menyadari dan mengakui bahwa apa yang kita ketahui dari ilmu-ilmu jauh lebih sedikit daripada yang tidak kita ketahui” (Ulama). Segala puji dan syukur saya panjatkan pada kehadirat Allah SWT, untuk segala karunia yang dilimpahkan-Nya sehingga tesis ini dapat saya selesaikan. Sholawat dan Salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau oleh karena tuntunan-Nya saya meyakinkan diri untuk menyelesaikan tugas pendidikan ini.
Saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K) dan dr. Risma Kerina Kaban, SP. A(K) yang berkenan menjadi pembimbing materi pada penulisan tesis ini. Demikian juga penghargaan dan terima kasih saya sampaikan kepada Dr. dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K) yang juga berkenan menjadi pembimbing metodologi pada penulisan tesis ini. Demikian juga penghargaan setinggi-tingginya dan terima kasih saya kepada Prof. Dr.Bambang Madiyono, Sp JP, Sp.A(K), Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K), Dr. dr. Najib Advani, Sp.A(K), MMed.Paed dan Dr. dr. Rubiana Sukardi, Sp. A (K) atas bimbingannya selama saya mengikuti pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis II Konsultan Kardiologi Anak. Secara khusus, saya juga menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada dr. Anna Ulfah Rahayoe, Sp.JP, dari RS. Jantung Harapan Kita atas bimbingan dan masukan-masukan untuk kesempurnaan tesis saya.
Kepada Dr. dr. Sukman Tulus Putra Sp.A(K), FACC, FESC, Selaku Ketua Program Studi Program Pendidikan Dokter Spesialis II, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUIRSCM, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya, oleh karena telah berkenan memberi izin saya untuk mengajukan tesis ini.
iv Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Kepada Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM yang lama Prof. Dr.dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K) dan Dr. dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K) selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM yang baru, saya ucapkan terima kasih yang tulus oleh karena telah membukakan pintu bagi saya untuk kembali menimba ilmu di Departemen IKA ini.
Kepada Kepala Unit Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM Dr. dr. Jusuf Rahmat SpBTKV beserta seluruh stafnya, saya ucapkan banyak terima kasih atas izin, sikap terbukanya serta kerendahan-hatinya untuk berbagi ilmu selama saya menjalani pendidikan di PJT RSCM.
Kepada Ketua Divisi Perinatologi FKUI-RSCM, dr. Idham Amir, Sp.A(K) beserta seluruh stafnya saya ucapkan terima kasih atas segala bantuannya yang telah memberikan fasilitas untuk melakukan kegiatan penelitian ini.
Kepada Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn, KIC, MARS selaku Direktur Utama RSUP Fatmawati, Jakarta, saya haturkan banyak terima kasih atas ijin belajar yang beliau berikan sehingga saya dapat berkesempatan untuk mengikuti pendidikan ini.
Kepada dr. Dody Firmanda MA, sebagai Ketua Staf Medis Fungsional (SMF) Ilmu Kesehatan Anak RSUP. Fatmawati yang lama dan dr. Deddy Ria Saputra, SpA(K) selaku ketua Staf Medis Fungsional (SMF) Ilmu Kesehatan Anak RSUP. Fatmawati saat ini, saya ucapkan terima kasih setulusnya atas kesempatan, bantuan dan dorongan yang diberikan kepada saya untuk menjalani pendidikan Kardiologi Anak ini.
Kepada seluruh rekan-rekan senior saya di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP. Fatmawati, dr. Alinda Rubiati W, SpA(K), dr. Lola Purnama Dewi, SpA(K), dr. Rita Wahyunarti, SpA, dr. Srie Enggar Kencana Dewi, SpA, dr. Nuraini Irma Susanti, SpA, dr. Pratiwi Andayani, SpA, dr. Tumpal Yansen Sihombing, SpA, dr. Gunawan Sugiarto, SpA, dr. Debbie Latupeirissa, SpA(K), dr. Eka Nurfitri, SpA, dr. Bobby Setiadi Dharmawan, SpA dan DR. dr. Lanny Christine Gultom, SpA, terima kasih yang tak terhingga atas v Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
kesempatan dan dukungan rekan-rekan semua. Juga kepada rekan-rekan junior saya di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP. Fatmawati, dr. Dedy Rahmat, SpA, dr. Bina Akura, SpA, dr. Jaya Ariheryanto Efendi, SpA, dr. Nadia Dwi Insani, SpA, dr. Purnama Fitri, SpA dan dr. Nila Kusumasari, SpA, terima kasih selama ini atas kerelaan dan keikhlasannya sudah mau berbagi selama saya dalam masa pendidikan ini.
Kepada rekan-rekan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis II Konsultan Kardiologi Anak yakni, dr. Nikmah Salamiah Idris, SpA, dr. Winda Aswani, SpA, dr. Dedy Wilson, SpA, dr. Suprohaita, SpA, dr, Nusarintowati, SpA, dr. Dyahris Koentartiwi, SpA, dr. Liku Satriani, SpA, dr. Rizky Adrianssyah, SpA, dr. Ni Putu Veny Kartika Yantie, SpA, dr. Danny Dasraf, SpA, dr. Tri Yanti, SpA dan dr. Indah Kartika Murti, SpA, saya ucapkan terima kasih atas kerelaannya mau berbagi ilmu selama masa pendidikan ini, tak lupa pula saya ucapkan mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja selama kebersamaan kita.
Kepada Ibu Sugiarto dan Ibu Kartini dari Yayasan Jantung Anak Indonesia, Ibu Awiyah, Ibu Ribi dan Ibu Ros dari Divisi Kardiologi Anak saya ucapkan terima kasih atas bantuannya selama ini.
Untuk seluruh staf perawat di bagian Perinatologi RSUP. Fatmawati, Ibu Ns. Nining Caswini, Skep selaku kepala ruangan perinatologi, Departemen IKA RSCM, Ibu Sri Sunarti, Amd dan Ibu Neli Rosalina, Amd sebagai staf analisis laboratorium Divisi Perinatologi, Departemen IKA RSCM, tim research dan tim kurir Laboratorium PT. Prodia Widyahusada, terima kasih untuk bantuan dan kerjasamanya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ini. Kepada semua pihak yang ikut membantu tulisan ini yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya ucapkan terima kasih. Jakarta, 1 Juli 2014
Penulis vi Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
ABSTRAK Nama Program studi Tesis
: Mochammading : Program Pendidikan Dokter Spesialis II, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran. : Korelasi antara kadar Prostaglandin E2 (PGE2) dengan Duktus Arteriosus Persisten (DAP) pada bayi prematur
Latar belakang: Duktus Arteriosus Persisten (DAP) adalah penyakit jantung bawaan yang paling umum terjadi pada bayi prematur. Penutupan DA spontan pada bayi prematur berhubungan langsung dengan maturitas lumen duktus dan sensitivitas DA terhadap kadar prostaglandin E2 (PGE2). Tujuan: Untuk mengetahui korelasi antara kadar prostaglandin E2 (PGE2) dengan ukuran duktus arteriosus persisten (DAP) pada bayi prematur. Metode:Penelitian observasional dengan metode pengukuran berulang atau repeatedmeasure pada bayi yang terdeteksi DAP pada hari ke 2-3 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, dari bulan April-Mei 2014. Diagnosis DAP menggunakan ekokardiografi 2-D dan analisis kuantitatif kadar PGE2 menggunakan sistim immunoassay ELISA. Korelasi antara kadar PGE2 dengan diameter DA secara statistik dievaluasi menggunakan uji Korelasi Pearson. Hasilnya:Tiga puluh tiga bayi prematur {(UG rerata 31 (28-32) minggu, BL rerata 1360 (1000-1500) gram)} yang terdaftar pada penelitian ini. Hampir dua pertiga dari pasien adalah laki-laki. Hampir semua (30 dari 33) subyek mengalami penutupan spontan DA sebelum usia 10 hari. Rerata diameter DA adalah 2,9 (SD 0.5) mm dengan kecepatan maksimum aliran transduktal (DVmax) adalah 0,2 (SD 0,06) cm/detik dan rasio LA/Ao 1,5 (SD 0,2). Masing-masing rerata kadar PGE2 serum pada usia 2-3, 5-7, dan setelah 10 hari adalah 5238,6 (SD 1.225,2), 4178,2 (SD 1.534,5), dan 915,2, (SD 151,6) pg ml. Pada hari ke 2-3 kadar PGE2 serum berkorelasi dengan diameter DA (r = 0,667, p <0,001), tetapi tidak pada hari 5-7 (r = 0.292, p = 0,105) atau hari ke-10 (r = 0.041, p = 0,941). Kesimpulan: Ada korelasi positip yang kuat antara kadar PGE2 dengan diameter DA bayi prematur pada usia 2-3 hari, namun tidak ada korelasi yang bermakna antara kadar PGE2 dengan menetapnya DAP. Kata kunci: Duktus arteriosus persisten, prostaglandin E2, prematur
viii Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name Study Program Thesis
: Mochammading : Medical Education Specialist Program II, Departement of Child Health, Faculty of Medicine : Correlation between levels of prostaglandins E2 (PGE2) and persistent ductus arteriosus (PDA ) in premature infants
Background: Persistent ductus arteriosus (PDA) is a congenital heart disease most commonly occuring in premature infants. Spontaneous DA closure in premature infants has been suggested to be associated with the maturity of duct lumen and the sensitivity of DA to prostaglandin E2 (PGE2) Objectives: To determine the correlation between the serum levels of prostaglandin E2 (PGE2) to the size of a persistent ductus arteriosus (PDA) in premature infants. Methods: Observational study using repeated measures on premature infants with PDA detected at day 2-3 in Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital, Jakarta, from April-May 2014. Diagnosis of PDA using a 2-D echocardiography and the quantitative analysis of PGE2 levels using immunoassay ELISA system. The correlation between PGE2 level with DA diameter were statistically evaluated using the Pearson Correlation test. Results: Thirty-three premature infants (median gestational age 31 (28-32) weeks of gestational age, median birth weight 1360 (1000-1500) grams) were enrolled. Almost two thirds of patients were male. Almost all (30 of 33) subjects had spontaneous closure of DA before the age of 10 days. Mean DA diameter was 2.9 (SD 0.5) mm with maximum flow velocity of 0.2 (SD 0.06) cm/sec and LA/Ao of 1.5 (SD 0.2). Mean levels of PGE2 at the age of 2-3, 5-7, and after 10 days were 5238.6 (SD 1225.2), 4178.2 (SD 1534.5), and 915.2 (SD 151.6) pg/ml, respectively. The level of PGE2 level at day 2-3 was correlated with DA diameter (r = 0.667, p < 0.001), but not at day 5-7 (r = 0.292, p = 0.105) or day 10 (r = 0.041, p = 0.941). Conclusion: There is a quite strong correlation positive between the levels of PGE2 in DA diameter in preterm infants at 2-3 days of age, although the correlation between levels of PGE2 by the persistence of PDA was not significant. Keywords: Persistent ductus arteriosus, prostaglandin E2, premature infants
ix Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................... ABSTRAK ......................................................................................................... ABSTRACT ........................................................................................................ DAFTAR ISI ...................................................................................................... DAFTAR ALIH BAHASA .............................................................................. DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR FORMOLIR PENELITIAN ...............................................................
i ii iii iv vii viii ix x xiii xv xvi xvii xviii
1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1.2. Perumusan masalah dan pertanyaan penelitian ......................... 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.4. Hipotesis ..................................................................................... 1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................
1 1 4 4 5 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2.1. Bayi Prematur ........................................................................... 2.1.1. Definisi bayi prematur ................................................... 2.1.2. Etilogi, faktor resiko dan komplikasi .......................... 2.2. Duktus arteriosus persisten (DAP) pada bayi prematur ........... 2.2.1. Definisi ........................................................................ 2.2.2. Epidimiologi dan etilogi ................................................ 2.2.3. Insiden ........................................................................ 2.2.4. Struktus anatomi DA .................................................... 2.2.5. Proses penutupan atau menetapnya DAP .................... 2.2.6. Patofisiologi ................................................................... 2.2.7. Komplikasi .................................................................. 2.2.8. Klasifikasi .................................................................... 2.2.9. Diagnosis .................................................................... 2.2.10.Tata Laksana ............................................................... 2.3. Sejarah PGE2 ......................................................................... 2.3.1. Jalur siklooksigenase (sintesa prostaglandin) .............. 2.4. Faktor Lumen DA ...................................................................... 2.5. Pemeriksaan ekokardiografi ...................................................... 2.5.1. Sistem staging DA ........................................................ 2.5. Kerangka teori ...........................................................................
6 6 6 7 7 7 8 8 8 9 11 13 13 14 16 18 19 19 20 21 23
x Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2.6. Kerangka konseptual
............................................................
24
3. METODE PENELITIAN .......................................................................... 3.1. Desain Penelitian ..................................................................... 3.2. Waktu, Tempat dan Data Penelitian ....................................... 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................ 3.4. Perkiraan besar sampel ............................................................ 3.5. Kriteria Penelitian ...................................................................... 3.6. Identifikasi Variabel ................................................................. 3.7. Informed consent ................................................................... 3.8. Cara pemeriksaan dan terapi konservatif .................................. 3.8.1. Protokol penelitian ......................................................... 3.8.2. Tata cara pengambilan sampel ...................................... 3.8.3. Prinsip pemeriksaan PGE2 ............................................ 3.8.4. Tahap pemeriksaan PGE2 plasma ................................. 3.8.5. Cara pemeriksaan ekokardiografi ................................... 3.8.6. Tata laksana pemberian terapi cairan ............................ 3.8.4. Tata laksana pemberian cairan ....................................... 3.9. Definisi batasan operasional .................................................... 3.10.Pengolahan dan analisa data .................................................. 3.11.Kerangka operasional penelitian ............................................
25 25 25 25 26 27 27 28 28 28 28 30 21 32 33 33 34 37 39
4. HASIL PENELITIAN ............................................................................... 4.1. Pelaksanaan penelitian ............................................................. 4.2. Karakteristik subyek penelitian ............................................... 4.3. Hasil pemeriksaan parameter ekokardiografi ........................... 4.4. Hasil pemeriksaan kadar PGE2 ............................................... 4.5. Korelasi antara parameter ekokardiografi .................................. 4.6. Korelasi antara diamater DA dengan BL dan UG ................... 4.7. Korelasi antara diamater DA dengan kadar PGE2 ................... 4.8. Korelasi antara diamater DA dengan HSDAP ......................... 4.9. Kasus dengan DA menetap atau DAP .....................................
40 40 41 46 47 48 50 51 52 54
5. PEMBAHASAN .......................................................................................... 5.1. Keterbatasan pelaksanaan penelitian ....................................... 5.2. Karakteristik pasien prematur dengan DAP ........................... 5.3. Hasil pemeriksaan ekokardiografi ............................................ 5.3.1. Kecepatan maksimun DVmax ......................................... 5.3.2. Rasio dimensi LA/Ao ..................................................... 5.4. Korelasi antara diameter DA dengan BL dan UG ................... 5.5. Korelasi antara diamater DA dengan PGE2 .............................. 5.5.1. Peranan reseptor 3G Protein-Coupled ............................ 5.5.2. Peranan maturasi lumen DA ........................................... 5.6. Korelasi antara diamater DA dengan gejala klinis HSDAP .... 5.6.1. Manfaat sistim skoring HSDAP ...................................... 5.7. Anti-Prostaglandin vs ”watchful waiting” ................................
56 56 57 62 63 63 64 66 68 70 71 73 75
xi Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
5.7.1. Alur skematik tata laksana DAP pada prematur .............
77
6. RANGKUMAN HASIL, SIMPULAN DAN SARAN .............................. 6.1. Rangkuman hasil penelitian ..................................................... 6.2.Ssimpulan ................................................................................. 6.3. Saran ..........................................................................................
79 79 80 81
7. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 8. DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
82 88
xii Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ALIH BAHASA angka kejadian arteri pumonal kiri aliran retrograde aorta desenden berat badan lahir rendah berat badan lahir sangat rendah berat badan lahir ekstrim sangat rendah bising dua arah displasia bronkopulmonal dismatur desain duktus arteriosus duktus arteriosus persisten diameter duktus arteriosus enterokolitis nekrotikan ekstrim sangat prematur gagal jantung hasil hipertensi pulmonal hipoperfusi sistemik interval kepercayaan inhibitor prostaglandin intravena kecepatan maksimum aliran transduktal kecepatan maksimun aliran diastolik AP kerja napas kiri ke kanan kanan ke kiri leukomalasia periventrikular ligasi luaran luaran ventrikel kiri maturitas metode masukan organisasi kesehatan sedunia pandangan parasternal kiri letak tinggi pandangan parasternal kiri sumbu pendek pandangan parasternal sumbu panjang penyakit membran hialain pentahapan DA pemilihan waktu pembahasan sistematis pengukuran berulang
: incidence : left pulmonary artery : retrograde DAo Flow : low birth weight : very low birth weight, : extremely low birth weight. : murmur : bidirectional : bronchopulmonary dysplasia : dysmature : design : ductus arteriosus : persistent ductus arteriosus : ductal arteriosus diameter : necrotizing enterocolitis : extremely preterm. : heart failure : outcome : pulmonary hypertension : systemic hipoperfusion : confidence intervals : prostaglandin inhibitor : intravenous : ductal left-to-right maximum velocity : maximum diastolic flow velocity in the left PA : work of breathing : left to right : right to left : periventricular leukomalacia : ligation : output : left ventricle output : maturity : methods : imput : World Health organization (WHO) : view high left parasternal : short axis left parasternal : view long axis parasternal : hyaline membrane disease (HMD). : duktal Staging : timing : systematic reviews : repeated-measures xiii
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
perdarahan intraventrikular prematur prematur akhir pirau pemantauan rasio dimensi atrium kiri -aorta rentang reseptor rerata restriksi cairan sensitifitas spesifisitas sirkulasi berlebih pulmonal sindrom gangguan pernapasan sangat prematur simpang baku tidak restriktif tahanan tekanan terbuka ulang tunika intima muda uji t unit perawatan intensif neonatus uji klinis volume jantung berlebih vena cava superior ventilasi mekanik zona hipoksia
: Intraventricular Hemorrhage : preterm : late preterm : shunt : follow-up : left atrium to aortic dimensions ratio : range : receptor : mean : fluid restriction : sensitivity : specificity : pulmonary overcirculation : respiratory distress syndrome (RDS) : very preterm : standard deviation : unrestrictive : resistance : pressure : reopening : neointima : t test : neonatal intensive care unit : clinical trial : heart volume overload : superior vena cava : mechanical ventilation : hypoxic zone
xiv Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN duktus arteriosus duktus arteriosus persisten neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan prostaglandin prostaglandin E2 prostaglandin F2 alpha prostaglandin G2 prostaglandin H diameter duktus arteriosus usia gestasi berat lahir berat badan Rumah Salit Cipto Mangunkusumo penyakit jantung bawaan Berat badan lahir rendah bayi berat lahir ekstrim sangat rendah bayi berat lahir sangat rendah World Health organization Respiratory Distress Syndrome Hyaline Membrane Disease Intraventricular Hemorrhage Periventricular Leukomalacia Necrotizing enterocolitis intermittent positive pressure ventilation DA smooth muscle cells Cyclooxygenase inhibitor Video-Assisted Thoracoscopic Surgery hemodinamik signifikan DAP diameter duktus arteriosus rasio atrium kiri ke aorta sindrom gangguan pernapasan Penyakit membran hialin Anti prostaglandin
: DA : DAP : NKB-SMK : PG : PGE2 : PGF2α : PGG2 : PGH : DDA : UG : BL : BB : RSCM : PJB : BBLR : BBLASR : BBLSR : WHO : RDS : HMD : IVH : PVL : NEC : IPPV : DASMCs : COX inhibitor : VATS : HSDAP : DDA : rasio LA/Ao : SGP : PMH : APG
xv Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2-1 Modifikasi kurva Lubchenco ......................................................... Gambar 2-2 Skema proses relasi penutupan DA ............................................ Gambar 2-3 Variasi klasifikasi konfigurasi DAP ............................................ Gambar 2-4 Jalur skematik sintesis prostaglandin .......................................... Gambar 2-5. Beberapa parameter pemeriksaan ekokardiografi DAP .............. Gambar 4-1 Alur perekrutan subyek subyek penelitian .................................. Gambat 4-2. Diagram sebaran subyek penelitian ......................................... Gambar 4-3 Grafik estimasi rerata pengukuran diameter DA ......................... Gambat 4-4. Grafik estimasi hasil pemeriksaan PGE2 .................................. Gambar 4-3. Grafik Scatter Plot korelasi diameter DA dengan DVmax .......... Gambar 4-4 . Grafik Scatter Plot korelasi antara diameter DA dengan PGE2 .... Gambar 5-1 . Rancangan alur skematik tata laksana DAP pada prematur ..........
6 10 14 20 21 40 43 44 48 49 53 78
xvi Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
2-1 Keuntungan dan kerugian pilihan tata laksana DAP ........................ 2-2 Kriteria diagnostik HSDAP dengan ductal staging ....................... 3-1 Protokol penelitian ......................................................................... 3-1 Nilai kekuatan korelasi ................................................................... 4-1 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik demografi dan klinis ... 4-2 Sebaran subyek penelitian berdasarkan hasil ekokardiografi ....... 4-3 Sebaran subyek penelitian berdasarkan skor HSDAP ................... 4-4. Data rerata hasil pemeriksaan parameter ekokardiografi ............... 4-5 Data rerata hasil pemeriksaan kadar PGE2 ................................... 4-6. Korelasi antara diameter DA dengan Dvmax, LA/Ao dan DAo .... 4-7. Korelasi antara diameter DA dengan UG dan BL .......................... 4-8 . Korelasi antara kadar PGE2 dengan diameter DA .......................... 4-9 . Korelasi antara diamater DA dengan HSDAP ................................ 4-10 Karakteritik subyek penelitian dengan patensi DA ........................ 5-1. Rentang UG dan BL bayi prematur demgan DAP ...................... 5-2. Sebaran subyek penelitian berdasarkan skoring HSDAP ...............
18 22 30 37 42 43 45 46 47 49 50 51 54 54 58 74
xvii Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. LATAR BELAKANG Duktus arteriosus persisten (DAP) adalah Penyakit Jantung Bawaan yang paling umum terjadi pada bayi-bayi prematur.1-4 Penyakit ini didefinisikan sebagai kegagalan duktus arteriosus (DA) untuk menutup spontan yang kemudian menetap setelah usia lebih dari 7 hari.1,5-7 Angka kejadian sekitar 20%-60% pada semua kelompok umur prematur.2,4,8 Meskipun beberapa tahun terakhir terdapat kemajuan yang signifikan dalam penanganan penyakit-penyakit neonatal, akan tetapi tata laksana DAP pada bayi prematur masih menjadi topik perdebatan di dunia kedokteran hingga saat ini. 2,9
Beberapa literatur menjelaskan bahwa penutupan spontan DA pada bayi prematur berhubungan langsung dengan maturitas lumen duktus dan tingkat kepekaan DA terhadap prostaglandin (PG).2,10 Dampak utama dari immaturitas lumen DA akan mengakibatkan proses remodeling pembuluh darah DA tidak dapat berlangsung dan DA gagal menutup secara anatomik.11,12 Sedangkan kepekaan lumen duktus terhadap PG melibatkan salah satu derivat PG yakni prostaglandin E2 (PGE2). Dikatakan bahwa kadar PGE2 yang tinggi dalam DA akan menyebabkan kegagalan penutupan DA secara fungsional sehingga DA tetap terbuka dan menetap.13-17 Pada salah satu penelitian hewan coba yang dilakukan oleh Clyman RI dkk.15, yang melakukan penelitian pada domba-domba prematur yang terdiagnosis DAP menyimpulkan bahwa pada dua jam pertama setelah lahir, konsentrasi PGE2 yang beredar dalam darah domba prematur tersebut dua kali lebih tinggi dibandingkan domba yang tidak terdiagnosis DAP. Namun lamanya konsentrasi tinggi berlangsung tidak dijelaskan secara lebih rinci.
1 Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
2
Sebagian besar ahli kardiologi anak sepakat bahwa pemeriksaan ekokardiografi mutlak dilakukan pada bayi prematur untuk mendiagnosis atau menyingkirkan DAP.18-25 Pada salah satu laporan penelitian, dikatakan 25% kasus sindrom gangguan pernapasan ( SGP) terjadi akibat komplikasi langsung dari DAP pada prematur, dan sekitar 35% bayi prematur dengan penyakit SGP berat dan mendapatkan bantuan alat bantu napas kemungkinan disebabkan oleh DAP.2,4,9,13 Pemeriksaan ekokardiografi merupakan alat diagnosis utama untuk mendeteksi DAP pada prematur.19 Parameter adanya DAP adalah dengan pengukuran diameter DA, serta pemantauan gangguan oversirkulasi paru dan hipoperfusi sistemik yang mungkin timbul. Diameter transduktal ≥ 1.5 mm dan adanya gambaran pulsasi makasimum aliran transduktal (DVmax ≥ 2.0 cm/detik) serta ditambah dengan gejala-gejala peningkatan beban volume jantung kiri (mis: rasio LA/Ao 1:1.5-2) sudah cukup untuk mendeteksi adanya DAP pada pemeriksaan ekokardiografi.22-25
Tata laksana utama DAP pada bayi prematur adalah terapi medikamentosa dengan inhibitor PG, namun pada kenyataannya inhibitor PG tidak selalu sukses menyebabkan
penutupan
DAP.
Laporan
dari
Cochrane
Database26,
yang
dipublikasikan pada April 2013, yang telah melakukan ulasan sistematis untuk tingkat kegagalan penutupan DAP pasca-terapi ibuprofen (oral atau intravena) yang dibandingkan dengan indometasin (oral atau intravena ) pada 20 penelitian ilmiah dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 1.019 bayi, menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara ke-dua kelompok untuk kejadian kegagalan penutupan DAP pasca-terapi. Hal ini membuktikan bahwa ke-dua jenis inhibitor PG memiliki kemungkinan yang sama untuk mengalami kegagalan penutupan DAP. Penelitian di Qatar pada tahun 2012 yang mengambil data secara retrospektif 5 tahun pada 82 bayi prematur yang diberikan ibuprofen atau indometasin dengan rerata UG 32 minggu, juga menemukan bahwa 24% (20/82) bayi memerlukan bedah ligasi setelah gagal menutup pasca-terapi.27
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
3
Adanya kenyataan bahwa peristiwa kegagalan penutupan DAP pasca-terapi masih sangat mungkin terjadi dan pada satu sisi DA masih dimungkinkan menutup secara spontan, dapat dijadikan bukti awal bahwa ukuran diameter DA tidak selalu berkaitan langsung dengan tinggi-rendahnya kadar PGE2 dalam DA pada hari-hari pertama usia kelahiran bayi-bayi prematur. Penulis berasumsi bahwa ada kemungkinan PGE2 memiliki level tertentu untuk dapat merespon inhibitor PG secara efektif. Dengan kata lain bahwa inhibitor PG memerlukan kondisi-kondisi tertentu untuk dapat menghambat jalur produksi PG sehingga berefek pada penutupan DAP. Pada situasi lain, saat DAP dapat menutup secara spontan PGE2 bukanlah sebagai faktor penyulit untuk kejadian tersebut dan pada keadaan ini inhibitor PG sama sekali tidak diperlukan oleh karena PGE2 tidak memiliki peran yang cukup untuk kejadian penutupan DAP secara spontan. Penulis berpendapat nilai PGE2 di atas normal sangat terindikasi untuk pemberian inhibitor prostaglandin sesegera mungkin, namun sebaliknya jika nilai masih dalam batas normal atau rendah mungkin yang terbaik adalah tata laksana secara konservatif atau “watchful waiting” saja.
Dengan demikian pemeriksaan PGE2 mungkin dapat berperan dalam strategi pemilihan waktu tata laksana DAP pada prematur dan sekaligus dapat menambah nilai diagnostik hasil pemeriksaan ekokardiografi. Selain itu PGE2 dapat di pakai sebagai uji prognostik apakah kehadiran DAP berdampak klinis atau tidak ke depan, untuk menghindari penggunaan inhibitor PG yang tidak perlu pada kelompok DAP yang mungkin dapat menutup spontan. Dengan adanya bukti-bukti tersebut, maka upaya pemeriksaan PGE2 dengan mengkorelasikan dengan ukuran diameter DA berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi, mungkin dapat membantu tata laksana DAP secara lebih konprenhensif dan berbasis bukti.
Berdasarkan pembahasan diatas akan dilakukan penelitian berjudul “KORELASI ANTARA KADAR PROSTAGLANDIN E2 (PGE2) DENGAN UKURAN DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN (DAP) PADA BAYI PREMATUR”. Hasil
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
4
penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan untuk perbaikan pelayanan penyakit jantung bawaan (PJB) anak umumnya dan para penderita DAP bayi prematur khususnya.
1.2. PERUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN Berbagai penelitian yang berbasis populasi ataupun rumah sakit telah banyak dilakukan untuk DAP pada bayi prematur. Faktor kegagalan penutupan DAP terutama disebabkan oleh tingkat kepekaan lumen DA terhadap PGE2 dan faktor imaturitas perkembangan lumen duktus yang berhubungan langsung dengan usia gestasi (UG) dan rendahnya berat lahir (BL). Hal ini dianggap penting untuk diketahui oleh karena berdampak pada tata laksana dan komplikasi. Selain itu penelitian mengenai korelasi antara kedua faktor diatas belum pernah dilakukan sebelumnya pada manusia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dilakukan perumusan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah korelasi antara kadar PGE2 dengan ukuran DA pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram ? 2. Bagaimanakah korelasi antara kadar PGE2 dengan kejadian DAP pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram ? 3. Bagaimanakah korelasi antara ukuran DA dengan usia gestasi dan berat lahir pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui korelasi antara kadar PGE2 dengan DAP pada bayi prematur, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, Jakarta. 2. Tujuan khusus: a) Untuk mengetahui korelasi antara kadar PGE2 dengan ukuran DA pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
5
b) Untuk mengetahui korelasi antara kadar PGE2 dengan kejadian DAP pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. c) Untuk mengetahui korelasi antara ukuran DA dengan usia gestasi dan berat lahir pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram.
1.4. HIPOTESIS 1) Terdapat nilai korelasi yang kuat antara kadar PGE2 dengan ukuran DA pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. 2) Terdapat nilai korelasi yang kuat antara kadar PGE2 dengan kejadian DAP pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. 3) Terdapat nilai korelasi yang kuat antara ukuran DA dengan usia gesatasi dan berat lahir pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. 1.5. MANFAAT PENELITIAN a. Bidang akademis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukkan untuk tata laksana sekaligus nilai prognosis DAP pada bayi-bayi prematur di RSCM dan RSUP. Fatmawati, Jakarta. b. Bidang pengabdian masyarakat: Hasil penelitian dapat menjadi dasar dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan untuk para penderita PJB khususnya DAP pada prematur, yang selanjutnya diharapkan memiliki kegunaan dalam perumusan strategi tata laksana DAP yang lebih konfrehensif. c. Bidang pengembangan penelitian: Diharapkan hasil penelitian ini sebagai upaya untuk dapat menambah nilai diagnostik dan nilai prognosis DAP pada prematur dan juga sebagai dasar pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut tentang tata laksana DAP pada bayi prematur.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BAYI PREMATUR 2.1.1.Definisi Bayi Prematur. Menurut organisasi kesehatan sedunia atau World Health organization (WHO), kelahiran prematur adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu dengan berat lahir < 2500 gram.28-31 Pada beberapa literatur, klasifikasi bayi prematur sangat variatif,
jika prematur didefinisikan berdasarkan berat lahir (BL), terdapat tiga
klasifikasi yakni: Bayi berat lahir rendah atau BBLR, bayi berat lahir sangat rendah atau BBLSR dan bayi berat lahir ekstrim sangat rendah atau BBLESR.
Jika
klasifikasi berdasarkan UG terdiri dari prematur akhir, sangat prematur dan ekstrim sangat prematur.29-33 Namun secara definisi yang disebut prematur adalah neonatus dengan UG kurang dari 37 minggu dan BL sesuai dengan berat badan untuk masa kehamilan, atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKBSMK) dan pengukuran berat badan diantara persentil 10-90 berdasarkan kurva Lubchenko (Gambar 2-1) 34,35.
Gambar 2.1: A. Bayi prematur murni. B. Bayi dismatur (modifikasi dari kurva Lubchenco).34
6 Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
7
2.1.2. Etiologi, faktor risiko dan komplikasi prematur Berdasarkan data WHO tahun pada 2013, diperkirakan sekitar 15 juta bayi lahir prematur setiap tahun. Jadi dari setiap 10 kelahiran terdapat 1 bayi yang lahir prematur. Dari 184 negara, persentase bayi lahir prematur adalah sekitar 5–18% dari kelahiran hidup. Lebih dari 60% kelahiran prematur terjadi di Afrika dan Asia Selatan. Di beberapa negara maju, insidennya sedikit berbeda yakni sekitar 5-7% dari kelahiran hidup. Di Amerika Serikat sendiri insidennya cukup tinggi, yakni sekitar 12%. Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan angka kelahiran prematur tertinggi didunia.29 Risiko morbiditas dan mortalitas bayi-bayi prematur semakin meningkat dengan semakin mudanya UG dan semakin rendahnya BL. Meskipun beberapa laporan medis mencatat bahwa dari tahun 1995 sampai tahun 2004, angka kematian pada bayi prematur menurun sebesar 14,9%, namun, kelahiran prematur masih merupakan penyebab kematian nomor satu pada seluruh bayi di dunia. Semakin rendah UG atau BL, akan semakin tinggi tingkat kematian.30-33
Penyebab utama kelahiran prematur tidak diketahui secara pasti, namun umumnya dihubungkan dengan kejadian prematur dengan berbagai faktor risiko seperti faktor ibu saat masa kehamilan, faktor janin maupun faktor lingkungan. Dikatakan bahwa status sosial ekonomi rendah, perawatan kehamilan yang tidak memadai, gizi buruk, rendahnya tingkat pendidikan, pernikahaan usia dini, riwayat kelahiran prematur sebelumnya, penyakit kronik yang tidak diobati ataupun penyakit infeksi tertentu dapat menjadi predisposisi kejadian kelahiran prematur. Faktor risiko lain termasuk kelainan plasenta, pre-eklamsia, kehamilan ganda, inkompetensi serviks, dan riwayat aborsi berulang juga banyak dilaporkan sebagai penyabab kelahiran prematur.28,32
2.2. DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN (DAP) PADA BAYI PREMATUR 2.2.1.Definisi Duktus arteriosus (DA) adalah struktur normal pada pembuluh darah jantung janin, yang menghubungkan bagian proksimal aorta desenden dengan bagian atas dari
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
8
arteri pulmonalis.1,5,6 Pada sebagian besar bayi cukup bulan, DA akan menutup secara spontan dalam kurun waktu 48-72 jam setelah kelahiran, namun beberapa literatur menjelaskan, DA dapat tetap terbuka hingga usia 3 bulan atau lebih.1 Pada kelahiran prematur penutupan DA sering terlambat hingga 4-7 hari, yang diistilahkan sebagai patensi DA dan pada kondisi DA tetap tidak dapat menutup spontan setelah usia lebih dari 7-10 hari disebut Duktus Arteriosus Persisten atau DAP.1,5,7
2.2.2.Epidimiologi dan Etiologi Meskipun penyebab langsung DAP pada bayi prematur belum sepenuhnya dipahami, namun teori tentang adanya interaksi antara tekanan oksigen darah arteri (PO2) dan bahan vasoaktif PG cukup dapat diterima.4-6,36 Beberapa literatur menghubungkan kejadian DAP dengan peningkatan angka kejadian kelainan genetik, selain faktor lain seperti infeksi prenatal dan postnatal. Beberapa kasus DAP dikaitkan pula dengan paparan teratogenik tertentu, seperti rubella kongenital. Dikatakan bahwa rasio antara anak laki-laki dan perempuan adalah 1:2
2.2.3. Insiden Journal of the American college of Cardilogy tahun 2002 melaporkan tentang rerata insiden DAP adalah 799 per satu juta kelahiran bayi. Angka tersebut mungkin lebih tinggi dikarenakan banyak kasus yang terdiagnosis secara tidak sengaja.37 Angka kejadian DAP pada anak yang lahir di dataran tinggi juga dilaporkan lebih tinggi dibandingkan yang didataran rendah, hal ini berkaitan dengan mekanisme adaptasi morfologi dan sistem hemodinamik jantung. Di Indonesia sendiri, satu penelitian yang dilakukan di RSCM, Jakarta pada tahun 2004 melaporkan bahwa tingkat kejadian DAP pada prematur adalah 14%.38
2.2.4. Struktur anatomi DA Pada masa janin, DA adalah struktur normal pada pembuluh darah janin yang berfungsi menghubungkan bagian proksimal aorta desenden dengan bagian proksimal
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
9
arteri pulmonalis tepatnya dekat percabangan kiri dari arteri pulmonalis. Struktur DA dari luar ke dalam, tersusun oleh tunika adventia, tunika media dan tunika interna. Dinding DA terutama dibentuk oleh struktur tunika media dan jaringan endotelium. Tunika medianya mengandung banyak lapisan otot-otot polos longitodinal yang tersusun secara spiral. Kedua struktur ini dipisahkan oleh lamina elastis interna dan lapisan subendothelial yang tipis. Lamina elastis interna mengandung serat-serat elastin yang membentuk lapisan yang berfragmen. Hal ini sangat berbeda dengan aorta yang memiliki lapisan elastin yang tebal dan tersusun rapat (unfragmented). Sedangkan struktur tunika intima sendiri berbentuk acak dan tidak teratur, mengandung banyak jaringan tunika intima muda (neointima) dan jaringan endotel. Neointima tersebut terdiri dari otot-otot polos yang berfungsi sebagai bantalan dan dikenal sebagai the DA smooth muscle cells (DASMCs) yang bersifat sangat sensitif terhadap oksigen (oxygen-sensing), yakni suatu mediator vasodilator PG dan vasokonstriktor (pO2). Sedangkan jaringan endotelium berfungsi melepaskan zat vasoaktif yang penting dalam pengaturan modulasi DA.2,4-6,9
2.2.5. Proses penutupan atau menetapnya DA. Saat kehidupan janin, keadaan DA yang tetap terbuka dimungkinkan oleh tekanan oksigen yang tetap rendah dan peran PG yang jumlahnya cukup tinggi sebagai vasodilator. Kadar PG yang tinggi dimungkinkan oleh produksi PG secara kontinyu di plasenta dan disatu sisi paru-paru sebagai tempat metabolisme prostaglandin belum berfungsi.6,10 Akibat langsung dari adanya peristiwa ini, menyebabkan darah tidak mengalir ke paru-paru, melainkan melewati DA (sirkulasi janin). Pada kondisi ini paru-paru belum berfungsi sebagai tempat pertukaran gas.10
Proses penutupan DA berawal pada saat lahir. Mekanismenya merupakan proses aktif dari beberapa unsur petanda biologis yang bekerja secara simultan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sesaat setelah bayi lahir, secara bertahap sirkulasi janin akan digantikan oleh sirkulasi paru. Duktus arteriosus akan tertutup melalui
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
10
mekanisme fisiologis dan anatomis. Ketika bayi mulai bernapas, alveolus akan terbuka dan oksigen masuk ke dalam paru-paru untuk pertama kalinya. Paru-paru akan mengembang secara maksimal sehingga terjadi peningkatan tekanan oksigen (PO2) dalam paru, yang diikuti oleh penurunan tahanan arteri pulmonalis. Selanjutnya akan terjadi peningkatan saturasi oksigen, sehingga aliran darah akan segera masuk ke dalam paru-paru dan tidak melewati DA lagi. Darah yang telah bercampur oksigen dalam paru kemudian diditribusikan ke seluruh tubuh.2,5,6,10,39,40
Bahan vasoaktif PG yang diproduksi oleh plasenta, segera mengalami penurunan dalam sirkulasi darah seiring dengan pemotongan tali pusat. Selain itu penurunan kadar PG juga dikarenakan paru mulai berfungsi normal, sehingga terjadi proses degradasi PG dalam paru4-6. Peristiwa peningkatan tekanan oksigen (PO2) yang disertai penurunan kadar PG mengakibatkan konstraksi terus menerus dari DASMCs. Pada saat tersebut penutupan DA secara fisiologispun dimulai dan mekanisme tersebut disebut dengan Oxygen-sensing mechanisms. Proses ini berlangsung dalam waktu 10 - 15 jam atau lebih (Gambar 2.2). 2,5,6,10,39,40
Gambar 2.2.Skema proses relasi penutupan DA secara fungsional dan anatomi. Normal: selama kehidupan intrauterin DA diharapkan akan tetap patent. Penutupan fungsional dimediasi oleh kontraksi kontinyu DASMC yang terdiri dari tunika intima dan neointima.Sedangkan penutupan secara anatomis difasilitasi oleh perkembangan jaringan tunika intima dan jaringan endotel pembuluh darah duktus atau vascular endothelial growth factor (VEGF). Pada prematur kedua proses tidak atau terlambat terjadi sehingga menyebabkan DAP.40
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
11
Oxygen-sensing mechanisms pada DASMCs menyebabkan depolarisasi dalam membran sel, sehingga memungkinkan kalsium masuk kedalam sel dan mengakibatkan sel berkontraksi. Berkembangnya sistem regulasi dari saluran potassium akan menyebabkan saluran kalsium dapat membuka secara kontinyu sehingga akan mengakibatkan peningkatan jumlah kalsium yang masuk ke intrasel, yang selanjutnya akan memicu kontraksi terus menerus dari DASMC. Proses kontraksi yang terus menerus DASMCs akan menghasilkan Zona hipoksia pada lumen DA, sehingga merangsang produk hipoksik yang diinduksi oleh faktor pertumbuhan transforming β dan faktor endotel pembulah darah atau vascular endothelial growth factor (VEGF), yang selanjutnya mengakibatkan peristiwa remodeling pembuluh darah, yang pada akhirnya memicu proses penutupan DA secara anatomik.2,5,10,39
Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat diketahui bahwa proses penutupan DA melalui dua mekanisme yang bekerja secara simultan, yakni mekanisme fungsional, yang menjelaskan bahwa penutupan DA diakibatkan oleh peningkatan tekanan oksigen darah (PO2) sesaat setelah lahir dan reduksi level kadar hormon PG (PGE1, PGE2 dan PGI1) dalam sirkulasi darah yang menyebabkan DASMCs berkontraksi. Selanjutnya mekanisme anatomis, yang ditandai oleh proses remodeling yang sangat berkaitan dengan maturitas jaringan lumen DA.2,4 Dari dua proses tersebut sudah dapat dijelaskan etiologi kegagalan penutupan DA pada bayi prematur. Pertama, secara fungsional oleh karena faktor immaturitas sistem saluran potassium dan kalsium yang mengakibatkan tidak efektifnya proses konstraksi DASMCs atau ineffective oxygen-mediated constriction. Kedua, secara anatomik dikarenakan kegagalan untuk menghasilkan zona hipoksia pada lumen DA. 2,5,6,10,39,40
2.2.6. Patofisiologi Hemodinamik DAP akan berdampak pada sistem kardiovaskular. Hal ini berkaitan lansung dengan besar kecilnya pirau dari kiri ke kanan. Sedangkan besar kecil pirau
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
12
tersebut, ditentukan oleh tahanan aliran darah pada DA dan perbedaan gradien tekanan antara aorta dan arteri pulmonalis. Tahanan aliran darah DA dipengaruhi oleh panjangnya duktus, diameter duktus dan konfigurasi dari duktus. Selain itu, tingkat elastisitas dinding duktus mungkin mempengaruhi impedansi aliran darah. 2,5,6,10,39
Mula-mula peristiwa pirau dari kiri ke kanan DA pada bayi prematur tidak bersifat patologis, hal ini dikarenakan pada awal kelahiran tahanan arteri pulmonalis masih tinggi dan butuh waktu untuk turun ke nilai normal.10,39 Dikatakan bahwa gradien tekanan pembuluh darah (antara aorta dan arteri pulmonalis) bersifat sangat dinamis berdasarkan komponen sistolik dan diastolik. Besarnya perbedaan tekanan ini tergantung pada tahanan pada pembuluh darah masing-masing (arteri pulmonalis dan sistemik) dan curah jantung. Jadi pada DAP prematur, lama kelamaan akan menimbulkan perubahan aliran darah. Seiring dengan penurunan tahanan arteri pulmonalis yang secara bertahap namun kontinyu (hingga mencapai nilai normal), maka akan terjadi perubahan aliran darah yang seharusnya aliran darah ke sistemik justru menuju ke paru-paru.40
Dampak langsung dari perubahan tahanan arteri pulmonalis dan sistemik ini akan menyebabkan semakin besarnya tahanan aliran darah dalam DA. Pirau dari kiri ke kanan yang melewati duktus akan berakibat sirkulasi berlebih ke paru dan peningkatan volume jantung kiri.5,10,39 Sirkulasi berlebih di paru menyebabkan peningkatan volume cairan, sehingga tingkat pemenuhan (compliance) jaringan paru menurun, yang berakibat kerja paru semakin berat dan terjadi peningkatan kerja napas dengan gejala klinis takipneu. Untuk mengurangi aliran darah ke paru, tubuh akan mengadakan kompensasi dengan meningkatkan tahanan vaskular paru sehingga terjadi hipertensi pulmonal.5,10,39
Hipertensi pulmonal awalnya masih reversibel, jika pirau dari kiri ke kanan tetap terus berlangsung, akhirnya akan terjadi hipertensi pulmonal yang irreversibel dan
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
13
mengakibatkan penyakit vaskular paru. Jika pirau dari kiri ke kanan berlangsung lama, akan semakin banyak aliran darah ke paru-paru. Selanjutnya dapat menimbulkan peningkatan tekanan paru dan peningkatan aliran darah ke arteri pulmonalis. Bila proses terus berlanjut, dapat mengakibatkan perubahan pada jaringan vaskular paru dan akhirnya menyebabkan peningkatan tahanan vaskular paru yang progresif.9,10,12,14,16
2.2.7.Komplikasi Sindrom gangguan pernapasan (SPG) dan penyakit membran hialin (PMH) adalah masalah infeksi pernapasan utama pada bayi-bayi prematur yang berkaitan langsung dengan masalah sirkulasi berlebih keparu akibat DAP.2,4,9,13,36 Efek pada paru antara lain oedema dan perdarahan paru, gangguan fungsi mekanik paru, gangguan perfusi dan difusi hingga menimbulkan gejala-gejala hipoksemia dan hiperkapnia. Peningkatan aliran darah ke paru memicu kerusakan endotel kapiler paru yang merangsang terjadinya kaskade inflamasi, yang menyebabkan peningkatan resiko displasia bronkopulmonal, khususnya pada bayi dengan berat lahir sangat rendah.2,4,5,39 Pristiwa pirau transduktal yang menetap
secara bertahap dapat menyebabkan
gangguan perfusi sistemik, yang dapat mengakibatkan antara lain perdarahan intraventrikular, leukomalasia periventrikular, enterokolitis nekrotikan dan gagal ginjal prerenal.31,36,39,41
2.2.8.Klasifikasi Duktus arteriosus persisten dibagi menjadi 5 tipe. Tipe A adalah tipe terbanyak (65%) dengan duktus berbentuk corong, dengan bagian sempit dekat arteri pulmonalis. Tipe B (18%) duktusnya juga berbentuk corong dengan bagian yang sempit ke arah aorta. Tipe C berbentuk tubular memanjang. Tipe D berbentuk tasbih dengan daerah sempit lebih dari satu, dan tipe E berbentuk bizarre.9 (Gambar 2.2).
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
14
Gambar 2.3. Menunjukkan variasi klasifikasi konfigurasi DAP. Dikutip dari kepustakaan Schneider DJ dan Moore JW dengan modifikasi 9
2.2.9. Diagnosis Diagnosis DAP pada bayi prematur berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis yang sistematis dan lengkap sangat diperlukan, karena ketepatan diagnosis membawa dampak yang besar dalam keputusan tata laksana lanjut.18,19 Tata laksana DAP berdasarkan hasil pemeriksaan ekokardiografi, yakni dengan diameter DA yang terukur dan adanya gambaran pirau transduktal dari kiri-ke-kanan, disertai adanya efek dari hasil pengukuran hemodinamik jantung serta adanya gejala ketidakstabilan klinis.18-20,30
a. Pemeriksaan Fisis Pada bayi-bayi prematur bising jantung bukan kriteria mutlak untuk mendeteksi adanya DAP, karena resistensi vaskular paru yang masih tinggi dapat mengaburkan bising jantung pada pemeriksaan auskultasi.1,2,9,18 Terkadang hanya terdengar bising sistolik dengan asentuasi kresendo, karena pirau kiri ke kanan melalui duktus dari aorta ke arteri pulmonalis hanya terjadi selama fase sistolik sebagai efek dari tahanan paru yang masih tinggi.1,9,18 Bising kontinyu baru akan terdengar setelah usia bayi diatas 2-3 hari, yang terdengar jelas pada daerah batas atas sternum dengan auskultasi jantung. Gejala-gejala seperti; takipneu, dispneu, retraksi interkostal atau subkostal serta hepatomegali bisa memprediksi beratringannya penyakit. Hal ini bisa menjelaskan bahwa sudah terdapat komplikasi gagal jantung kongestif atau hipertensi pulmonal. Gejala klinis tersebut sering didapatkan pada kasus DAP dengan ukuran diameter duktus yang besar.1,9,18,19
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
15
b. Pemeriksaaan Penunjang 1. Radiologi: Gambaran Rontgen toraks pada DAP yang besar menunjukkan pembesaran atrium dan ventrikel kiri, dengan penonjolan segmen pulmonal. Sering tampak peningkatan corakan vaskular paru. Namun dilatasi aorta asenden biasanya tidak tampak pada bayi prematur dengan DAP.1,2, 9,18
2. Elektrokardiografi: Pada kasus DAP yang kecil, umumnya tidak memperlihatkan gambaran khas pada pemeriksaan elektrokardiografi, sedangkan DAP dengan duktus besar gambaran berupa hipertrofi ventrikel kiri. Adanya gambaran elevasi segmensegmen R-ST berhubungan dengan kelebihan beban diastolik, dan adanya gelombang Tprekordial kiri yang terbalik menandakan telah terjadi iskemik miokardial pada ventrikel kiri.1,2, 9,18
3. Ekokardiografi: Pemeriksaan ekokardiografi adalah pemeriksaan mutlak untuk diagnostik DAP, selain itu ekokardiografi sekaligus dapat menilai tingkat keparahan DAP.19-25 Pemeriksaan ekokardiografi memiliki tingkat akurasi sangat tinggi untuk mendeteksi dan mendiagnosis DAP pada bayi-bayi prematur.19 Pemeriksaan ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran ukuran diameter duktus, pirau transduktal dan memungkinkan estimasi tekanan arteri paru rata-rata. Sehingga pemeriksaan ekokardiografi penting untuk dalam tata laksana DAP.21-23 Pada pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi duktus dapat jelas terlihat pada pandangan parasternal kiri sumbu pendek, duktus akan terlihat menghubungkan arteri pulmonalis dengan aorta desenden. Dengan ekokardiografi doppler dapat menilai ukuran diameter, besarnya pirau dan tekanan arteri pulmonalis.21-25
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
16
2.2.10.Tata Laksana a. Terapi cairan. Terapi cairan pada bayi prematur yang terdiagnosis DAP, membutuhkan pemahaman tentang perubahan komponen cairan tubuh dan sistem kerja kardiovaskular. Tata laksana adalah dengan sistem restriksi cairan dan melakukan “watchful waiting”. Restriksi cairan yang direkomendasikan tidak melebihi 130 ml/kg/hari, selama 3 hari dan dibutuhkan penyesuaian
penggunaan ventilasi
mekanik selama masa terapi, yang dapat dilepas secara bertahap.15,26,27.42 Selain itu, terapi cairan juga bertujuan untuk mencegah kejadian komplikasi gangguan fungsi ginjal dan perdarahan intraventrikular, mengurangi penggunaan ventilasi mekanik serta untuk menjaga kestabilan hemodinamik secara keseluruhan. Terapi cairan juga sebagai cara pemenuhan kebutuhan kalori selama fase sakit dan dapat mengevaluasi efek rekstriksi cairan terhadap sirkulasi tubuh, serta sebagai dasar pengelolaan terapi cairan berikutnya pasca pemberian tindakan terapi atau prosedur bedah ligasi.11,43,44
b. Medikamentosa Para pakar mengembangkan dua strategi terapi medikamentosa untuk tata laksana DAP pada bayi-bayi prematur.45-48 Pertama, terapi profilaksis yakni pemberian medikamentosa dalam waktu 24 jam pertama setelah lahir, tanpa melihat DAP ada atau tidak ada. Kedua, terapi definitif adalah diindikasikan untuk kasus DAP pada bayi kurang bulan berusia di bawah 10 hari, dengan gejala klinis dan gambaran ekokardiografi yang mendukung diagnosis DAP.42,43 Indometasin dan ibuprofen masih jadi pilihan utama, baik sebagai terapi profilaksis maupun definitif. Rekomendasi dosis indometasin 0,2 mg/kg/dosis peroral atau intravena 1x sehari selama 3 hari. Sedangkan ibuprofen 10 mg/kg/dosis peroral atau intravena 1 x sehari selama 3 hari.47-49 Mekanisme kerja kedua obat ini adalah sama, yakni dengan cara menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX inhibitors) yang berperanan pada proses produksi prostaglandin, sehingga kadar
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
17
prostaglandin
akan menurun
dalam sirkulasi
darah. Syarat
pemberian
medikamentosa adalah trombosit dalam batas normal, tidak ada perdarahan gastrointestinal atau tempat lain, fungsi ginjal normal.46-49
c. Prosedur bedah ligasi Prosedur bedah ligasi terindikasi pada kasus DAP bayi prematur yang mengalami kegagalan terapi medikamentosa atau kemungkinan DAP yang harus ditutup sesegera mungkin akibat komplikasi gagal jantung yang berat.50 Beberapa metode operasi antara lain; prosedur ligasi ganda, ligasi dan divisi, torakotomi transaksilaris dan Video-Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) melalui torakotomi posterolateral kiri.30 Penutupan DAP dengan prosedur bedah ligasi dilakukan dengan pembiusan umum dan perlu pemantauan di unit perawatan intensif. Evaluasi hasil prosedur dengan pemeriksaan ekokardiografi.50-55
d. Intervensi Nonbedah. Belum banyak yang melaporkan tentang penutupan DAP dengan menggunakan prosedur transkateter perkutan pada bayi prematur. Meskipun hasil pencapaian metode ini secara klinis cukup baik, namun belum direkomendasikan untuk kasus DAP pada bayi-bayi prematur. Francis dkk,55 tahun 2010 melaporkan tentang pengalaman melakukan pemasangan oklusi koil pada delapan bayi prematur ( BL <2000 gram) dengan DAP yang simptomatis. Ukuran diameter duktus antara 23.5 mm. Penutupuan duktus secara komplit dilaporkan pada 7 pasien dan 1 pasien dengan pirau rasidual setelah 24 jam tindakan oklusi koil. Empat pasien dipulangkan setelah 3 hari perawatan, satu pasien dirawat selama sepuluh hari. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pamasangan koil transkateter perkutan dapat menjadi alternatif pilihan tata laksana DAP simptomatis pada bayi prematur, yang dipilih secara seleksi ketat. Hal yang menguntungkan adalah apabila prosedur transkateter perkutan mengalami kegagalan, maka prosedur bedah ligasi masih dapat dilakukan.56,57
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
18
Tabel 2.1*: Keuntungan dan kerugian pilihan tata laksana DAP pada bayi prematur, modifikasi berbagai sumber. Tata laksana Konservatif
Keuntungan Meminimalkan paparan medikamentosa
Kerugian Keterlambatan tata laksana terapi menurunkan respon obat-obatan inhibitor COX*, tingkat keberhasilan rendah.
Medikamentosa
Tingkat kesuksesan tinggi
Efek samping yang berat
Operasi ligasi
Tingkat kesuksesan tinggi, pilihan yang tepat jika terjadi kontraindikasi penggunaan mendikamentosa Keterangan: * COX = enzim siklooksigenase .
Biaya operasi yang tinggi, berhubungan dengan banyak kejadian komplikasi.
2.3. SEJARAH PGE2 Sejarah PGE2 tidak terlepas dari sejarah panjang penemuan ilmiah pertama tentang PG. Publikasi pertama tentang prostaglandin dikemukakan oleh Goldblat dan Von Euler pada tahun 1935, yang menjelaskan bahwa hormon PG yang diduga terkandung dalam cairan sperma, berefek menstimulir otot-otot polos jaringan uterus. Dikatakan bahwa ada unsur bahan tertentu dalam cairan vesika seminalis yang berefek vasodilator kuat dan dapat menyebabkan otot uterus berkontraksi. Hal tersebut yang mendasari istilah prostaglandin. Selain itu dijelaskan pula bahwa PG terdistribusi luas pada organ-organ utama selain pada uterus seperti: cairan amnion, plasenta, hingga otot-otot polos pembuluh darah.63-67 Prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin F2 α (PGF2α) adalah produk PG pertama yang dapat disintesa dari begitu banyak jenis PG didunia. Sintesa PGE2, pertama kali dilaporkan pada tahun 1960. Selanjutnya penjelasan tentang struktur kimia PGE2 mulai dipublikasikan pada tahun 1962. Pada tahun 1964, untuk pertama kalinya para ahli berhasil melakukan biosintesis PGE2 dari asam arakidonat. Sejak saat itu para peneliti menyimpulkan bahwa PGE2 dan PGF2α merupakan senyawa PG yang utama dan terpenting dari sekian banyak jenis prostaglandin.17,58-62
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
19
2.3.1. Jalur siklooksigenase (sintesis prostaglandin) Prostaglandin dihasilkan dari jalur siklooksigenase (COX). Dimulai dari terbentuknya induk dari semua prostaglandin yakni PGG2 dan PGH. Asam linoleat menghasilkan kelompok PG1, asam arakidonat menghasilkan PG2 dan asam pentanoat menghasilkan PG3. Asam arakidonat akan teroksidasi dan selanjutnya mengalami proses siklisasi sehingga menjadi endoperokside siklik, PGG2 dan PGH2.17 Kedua endoperokside ini bersifat tidak stabil. keduanya mengalami proses isomerisasi secara enzimatik dan non enzimatik menjadi PGE ,PGF dan PGD. Berdasarkan daya larutnya prostaglandin disebut PGE bila lebih larut dalam ester dan disebut PGF bila lebih larut dalam buffer fosfat. Endoperokside induk (PGH2 dan PGG2) dapat diubah tanpa bantuan enzim menjadi PGE2 (dengan autooksidasi), sedangkan bila dibantu oleh enzim menjadi PGE2, PGF2α, PGI2, TXA dan produk lain.(Gambar 2-4).17 2.4. FAKTOR LUMEN DA Salah satu hal yang juga sering disebut berperan dalam proses penutupan atau kegagalan penutupan spontan DAP pada prematur adalah lumen duktus. Beberapa pakar melaporkan bahwa lumen duktus sebagai faktor penyebab langsung kejadian DAP selain kadar PGE2 yang masih tinggi. Normalnya, fungsi lumen duktus adalah sebagai sumber utama nutrisi dalam DA, namun ada sebagian sumber nutrisi berasal dari jaringan vasa vasorum. Jaringan vasa vasorum akan masuk ke lumen melalui dinding luar duktus dan tumbuh ke arah lumen. Mereka berhenti tumbuh sekitar 400500
m dari lumen sebagai jarak titik antara lumen dan vasorum vasa. Ruang antara
tempat berhentinya jaringan vasa vasorum dengan lumen disebut zona avaskular.11,12
Proses tersebut menyebabkan dinding duktus menjadi iskemik yang berkembang sebagai cikal bakal proses remodeling pembuluh darah. Pada bayi prematur dinding pembuluh darah duktus hanya memiliki ketebalan jaringan vasa vasorum sekitar 200 m. Dengan ketebalan yang minim ini jaringan vasa vasorum hanya tersebar dipermukaan pembuluh darah disekitar lapisan tunika adventitia tanpa penetrasi
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
20
kedalam tunika media otot duktus. Sehingga dapat dibayangkan bahwa lumen duktus sangat luas dan tidak memiliki jaringan vasa vasorum untuk nuturisi lumen. Lumen tetap luas dan zona avaskular tidak menebal seperti bayi aterm, akibatnya tidak terbentuk zona hipoksia yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan peristiwa remodeling pembuluh darah dan penutupan DA.11,12
Gambar 2.4. Jalur skematik sintesis prostaglandin dan derivatnya dengan modifikasi dari kepustakaan Simmons DL, dkk.17
2.5. PEMERIKSAAN EKOKARDIOGRAFI Pemeriksaan ekokardiografi sangat akurat untuk diagnosis DAP pada bayi prematur.18-25 Dikatakan bahwa pemeriksaan ekokardiografi memiliki sensitifitas dan spesifitas yang baik.19 Tujuan utama dari pemeriksaan ekokardiografi adalah untuk menilai efek yang berkaitan langsung dengan kehadiran DAP. Struktur anatomi
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
21
DA dapat dinilai dengan pengukuran diameter DA. Parameter oversirkulasi paru dinilai antara lain dengan mengukur rasio dimensi atrium kiri ke aorta atau (rasio LA/Ao), kecepatan maksimum aliran transduktal (DVmax) dan kecepatan maksimun aliran diastolik arteri pulmonalis kiri (LPAd).20-25 Sedangkan parameter hipoperfusi sistemik dapat dinilai antara lain dengan mengukur pola aliran retrograde aorta desenden atau retrograde DAo Flow (DAo), aliran vena cava superior (SVC), luaran ventrikel kiri (LVO) dan lain sebagainya.
Gambar 2.5. Beberapa parameter pemeriksaan ekokardiografi pada DAP.23
2.5.1. Sistem staging DA (Duktal Staging). Shegal dan McNamara memperkenalkan metode untuk mendeteksi hemodinamik signifikan DAP (HSDAP) yang disebut metode pentahapan DA (Duktal Staging). Sistem ini adalah kombinasi antara hasil pemeriksaan ekokardiografi dengan gambaran klinis secara keseluruhan, untuk membantu dalam pengambilan keputusan tata laksana DAP pada bayi prematur. Setiap kasus dinilai berdasarkan staging klinis dan ekokardiografi.(Tabel 1).21,22
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
22
Tabel 2-2: Kriteria diagnostik HSDAP dengan sistem staging duktus berdasarkan gambaran klinis dan ekokardiografi DAP pada bayi-bayi prematur (modifikasi dari sistem duktal staging dari McNamara dan Shegal).21,22 Gambaran klinis
Gambaran ekokardiografi
C1
Asimptomatis
E1
Tak ada DAP
C2
Ringan:
E2
DAP kecil-tidak signifikan Diameter transduktal < 1.5 mm Resktriksi aliran kontinyu transduktal (DA Vmax > 2.0 cm/detik) Tak ada gejala beban volume jantung kiri (mis: jet MR >2.0 cm/detik atau LA:Ao >1.5:1) Tak ada gejala peningkatan tekanan jantung kiri (mis: E/A rasio>1.0 atau IVRT > 50) Tak ada komplikasi ke organ lain (Mis: ke arteri mesenterika superior, arteri serebral media atau arteri renalis). HSDA sedang
-
C3
Sedang -
C4
Kesulitan oksigenasi (IO <6) Desaturasi oksigen (<6) secara episodik, bradikardi atau apneu Membutuhkan dukungan respiratorik (nCPAP) atau ventilasi mekanik (MAP <8) Intoleransi diet (>20% residu lambung) Radiologi: peningkatan corakan vaskular paru
Kesulitan oksigenasi (IO 7-14) Episode desaturasi oksigen semakin sering (jam), bradikardia atau apneu Peningkatan kebutuhkan dukungan respiratorik (nCPAP) Intoleransi diet serius akibat distensi abdomen atau emesis Oliguria dengan peningkatan plasma kreatinin ringan Hipotensi sistemik (penurunan MAP atau diastolik), butuh terapi inotropik tunggal Radiologi: gambaran kardiomegaliatau oedem paru. Asidosis metabolik ringan (pH 7,1-7,25 dan / atau BE -7 sampai -12,0).
Berat
E3
-
E4 -
Kesulitan oksigensi (IO >15) Kebutuhan penggunaan ventilasi maksimal (MAP>12) atau kebutuhan ventilasi dengan frekuensi modus yang besar Perdarahan paru yang serius dan berulang Hematemesis “Seperti-NEC” distensi abdomen dengan nyeri tekan atau eritema Gagal ginjal akut Ketidakstabilan hemodinamik membutuhkan > 1 regimen obat inotropik. Asidosis metabolik sedang – berat (PH<7.1) atau defisit basa >-12.0
Diameter transduktal (1.5-3.0). Pulsasi aliran transduktal unrestrictive (DA Vmax <2.0 cm/detk) Beban volume jantung kiri antara ringansedang (mis: LA:Ao rasio 1.5-2:1). Peningkatan tekanan jantung kiri antara ringan-sedang (mis: E/A rasio > 1.0 atau IVRT 50-60) Penurunan atau tak ada aliran darah ke arteri mesenterika superior, arteri serebral media atau arteri renalis
HSDA besar Diameter transduktal (>3.0) Pulsasi aliran transduktal unrestrictive Bebanvolume jantung kiri sangat berat (mis: LA:Ao rasio >2:1). Peningkatan tekanan jantung kiri sangat berat (mis: E/A rasio > 1.5 atau IVRT >60) Gambaran aliran darah balik dari arteri mesenterika superior, arteri serebral media atau arteri renalis
Catatan: DA Vmax,= DA peak velocity (kecepatan maksimal DA), E/A = early passive to late atrial contractile phase of transmitral filling ratio (rasio pengisian aliran darah transmitral mulai awal atrium yang pasif ke fase akhir kontraksi atrium), MR = mitral regurgitation (regurgitasi katup mitral), IVRT = isovolemic relaxation time (waktu relaksasi isovolemik), LA: Ao ratio = left atrium to aortic ratio (rasio antara atrium kiri-aorta), MAP = mean airway pressure (tekanan udara rata-rata), nCPAP- nasal continuous positive airway pressure (tekanan udara positif kontinyu nasal), NEC = necrotizing eneterocolitis (enterokolitis nekrotikan), OI*= oxygenation index = (indeks oksigenasi). * = mean airway pressure (cm/H2O)FiO2x100/Pao2.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
23
KERANGKA TEORI
RDS
BL↓↓
Prematur NKB-SMK PO2↓ RVP ↑
Gangguan alveolar : atelektasis
R to L shunt L to R shunt
DA
Usia 0-3 hari
UG↓↓
Medikamentosaà
PGE2 ↑↑↑
RDS berat
RDS ringan DA PATENT Medikamentosaà
PGE2 ↑
PGE2 ↓
RVS ↑ RVP ↓ L to R shunt
Oversirkulasi paru
Udem paru Perdarahan paru Gagal jantung Ventilator dependent
Hipoperfusi sistemik
NEC IVH/PVL Gagal ginjal Disfungsi jantung kiri
Morbiditas/mortalias bayi prematur
Gambar 2.6. Kerangka teori DAP pada bayi prematur. ruang lingkup penelitian.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Usia >10 hari
BPD PPK
Perbedaan Resistensi intraduktus ↑
Usia 5-7 hari
DAP
TUTUP SPONTAN
24
KERANGKA KONSEP
DAP prematur NKB-SMK
Diagnostik
Pemeriksaan
CXR & EKG
Gejala Klinis
Ekokardiografi
BL dan UG
Laboratorium
RDS
PGE2 plasma
Kondisi umum: · Problem oksigenasi · Desaturasi · Bantuan ventilasi · Intoleransi diet
Parameter lain: - DA Vmax - LA:Ao - Dao
Diameter DA: · No DAP · DAP Kecil · DAP Sedang · DAP Besar
Koefisien korelasi Koefisien determinasi
Uji PGE2 plasma: · Normal · Peningkatan Ringan · Peningkatan sedang · Peningkatan berat
Morbiditas/mortalitas bayi prematur
Gambar 2.7. Kerangka konseptual hipotesis korelasi (pengukuran).
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
BAB 3 METODE PENELITIAN
3 .1. DESAIN PENELITIAN Desain penelitian adalah observasional analitik dengan menggunakan metode pengukuran berulang atau repeated-measure. Kasus-kasus prematur NKB-SMK dengan DAP dipilih sebagai subyek penelitian. Selanjutnya dilakukan identifikasi faktor risiko, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran berulang pada satu kelompok bayi prematur dalam periode waktu yang berbeda namun berurutan untuk memperoleh data efek yang timbul, selanjutnya dilakukan analisa korelasi.
3.2. WAKTU, TEMPAT DAN DATA PENELITIAN Penelitian dilakukan pada 2 Rumah Sakit yakni RSCM dan RSUP. Fatmawati, Jakarta. Waktu pelaksanaan penelitian pada April - Mei 2014. Data subyek penelitian diperoleh dari hasil pemeriksaan langsung dan rekam medis bayi-bayi prematur yang mendapatkan perawatan di unit perawatan intensif neonatus dan ruang perinatologi pada ke-2 RS tersebut.
3.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN a. Populasi target Populasi target adalah semua pasien bayi prematur yang ada di Indonesia. b. Populasi terjangkau Populasi terjangkau adalah semua pasien bayi prematur yang dirawat di unit perawatan intensif neonatus dan ruang perinatologi, divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM dan bagian perinatologi RSUP. Fatmawati, pada bulan April-Mei 2014.
25 Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
26
3.4. PERKIRAAN BESAR SAMPEL a. Perkiraan besar sampel untuk mengetahui korelasi kadar PGE2 dengan diameter DA pada bayi prematur menggunakan rumus uji korelasi dengan estimasi besar sampel sebagai berikut:70
ì ü (zα + zβ ) n=í ý +3 [ ] 0.5 Ln (1 + r)/(1 r) î þ 2
n
= Besar sampel yang diperlukan
Ln
= Logaritma natural
Zα
= Kesalahan tipe I, ditetapkan sebesar = 5%, maka Z α = 1,64
Zβ
= Kesalahan tipe II, ditetapkan sebesar = 10%, maka Zβ= 1,28
r
= Korelasi maksimal berdasarkan asumsi klinis = 0.7
Jadi besar sampel minimal yang akan diteliti pada penelitian ini adalah :
ì ü (1,64 + 1,28) n=í ý +3 î 0.5 In[(1 + 0.7) /(1 - 0.7)]þ 2
= 14.5 kasus ≈ 15 kasus Oleh karena populasi dari subyek penelitian cukup homogen dan jumlah sampel yang tidak terlalu banyak jumlahnya, maka tehnik pemilihan sampel adalah teknik acak sederhana (simple random sampling). Langkah berikutnya adalah identifikasi faktor risiko yakni penentuan bayi-bayi yang lahir prematur klasifikasi NKB-SMK.. Selanjutnya pengukuran berulang (repeated-measures) dilakukan terhadap lebih dari dua pengukuran pada satu kelompok bayi prematur (more than two measurements per subject) secara berurutan dan pada periode waktu berbeda.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
27
3. 5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI
a. Kriteria inklusi: 1. Bayi prematur NKB-SMK usia 2-3 hari. 2. UG 28-32 minggu. 3. BL 1000-1500 gram. 4. Penilaian HSDAP: C1E1, C2E2 atau C3E3 (Duktal Staging). 5. Mendapatkan persetujuan dari orangtua pasien. b. Kriteria eksklusi : 1. Bayi dismatur 2. Bayi prematur NKB-SMK usia > 3 hari 3. Bayi prematur NKB-SMK dengan RDS berat sejak usia 0 hari 4. Bayi prematur dengan riwayat terapi inhibitor PG 5. DAP dengan lesi tergantung duktus 6. DAP dengan PJB kompleks 7. DAP dengan multipel kogenital anomali 8. Tidak mendapatkan persetujuan dari orangtua pasien Apabila terdapat salah satu dari kriteria ekslusi tersebut, pasien dikeluarkan dari sampel penelitian.
3.6. IDENTIFIKASI VARIABEL Variabel yang akan diteliti : §
Umur
§
Jenis kelamin
§
UG saat lahir
§
BL saat lahir
§
Penilaian kadar PGE2 plasma (usia 2- 3 hari, 5-7 hari dan pada ≥ 10 hari atau pada saat DA menutup secara spontan)
§
Ekokardiografi (usia 2– 3 hari, 5-7 hari dan pada ≥ 10 hari hingga saat DA menutup secara spontan) untuk mengukur aspek-aspek sebagai berikut:
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
28
·
Diameter DA.
·
Kecepatan maksimal aliran darah transduktal (DVmax)
·
Rasio antara atrium kiri dengan aorta (rasio LA/Ao)
3.7. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) Diperoleh dari orang tua atau keluarga yang mewakili orangtua kandung subyek penelitian. ·
Informasi tentang nama peneliti, tujuan penelitian, pemeriksaan yang akan dilakukan, keikutsertaan yang bersifat sukarela, lama penelitian dan efek samping, manfaat penelitian dan kerahasiaan.
·
Surat persetujuan dan informasi lengkap akan dijelaskan pada halaman lampiran.
3.8. CARA PEMERIKSAAN DAN PEMBERIAN TERAPI KONSERVATIF. 3.8.1. Protokol penelitian: Protokol penelitian untuk pelaksanaan penelitian ini adalah pertama-tama dengan melakukan identifikasi, klasifikasi dan pemilihan pasien-pasien NKB-SMK yang termasuk dalam kriteria subyek penelitian, dilanjutkan dengan pencatatan rekam medis termasuk faktor-faktor prediktor (UG, BL, nilai ductal staging, penyakit primer, komplikasi, nilai laboratorium dan terapi yang diberikan). Selanjutnya pengukuran berulang (repeated-measures) dengan jadwal yang telah ditentukan (Tabel 3-1).
3.8.2. Tata cara pengambilan sampel darah Tugas pengambilan spesimen darah adalah petugas laboratorium/perawat yang telah ditunjuk oleh tim peneliti utama. a. Petugas laboratorium/perawat yang ditunjuk hanya akan mengambil spesimen darah pada subyek penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti utama.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
29
b. Pengambilan spesimen darah akan diulang dengan interval waktu antara usia 2-3 hari, usia 5-7 hari dan pada usia ≥ 10 hari (minimal 3 kali dan maksimal 4 kali). c. Jadwal pengambilan spesimen darah oleh petugas laboratorium/perawat adalah pada jam kerja (jam 08.00 – 10.00) disetiap hari kerja. d. Tempat/loksasi prosedur pengambilan spesimen darah adalah pada pembuluh darah perifer dengan menggunakan spuit steril 3 ml. e. Sebelumnya subyek penelitian dioleskan anestesi lokal (EMLA® cream) dan disinfektan alkohol 70% dilokasi permukaan kulit pengambilan spesimen darah. f. Kemudian spesimen darah (±2-3 ml) dimasukkan kedalam tabung EDTA atau dicampurkan dengan heparin sebagai antikoagulan. g. Selanjutnya plasma darah dalam tabung EDTA disimpan dalam cool bag atau freezer lemari pendingin pada suhu 2-8°C, yang selanjutnya akan dijemput oleh petugas kurir laboratorium PT. Prodia Widyahusada untuk pemeriksaan selanjutnya. h. Pencatatan dan peng-kode-an spesimen dilakukan oleh petugas pengambil spesimen darah sesuai dengan nama dan nomor yang telah ditentukan oleh peneliti utama. i. Formulir permintaan pemeriksaan spesimen darah akan disediakan oleh laboratorium PT. Prodia Widyahusada dan setiap pengiriman spesimen darah harus ditandatangani oleh peneliti utama. j. Penyerahan spesimen oleh petugas laboratorium/perawat ke petugas kurir dari laboratorium PT. Prodia Widyahusada dicatat dan dibuatkan surat bukti serah terima sampel sebanyak 3 rangkap (lembar 1 untuk petugas kurir prodia, lembar ke dua untuk petugas laboratorium/perawat dan lembar ke tiga untuk peniliti. k. Jadwal pengambilan spesimen darah oleh kurir laboratorium PT. Prodia Widyahusada pada jam kerja (jam 10.00 – 12.00) setiap hari kerja. l. Pengambilan spesimen darah diluar hari kerja, maka pengambilan spesimen darah diwakilkan oleh perawat yang ditunjuk langsung oleh peneliti utama.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
30
m. Spesimen darah yang diambil diluar hari kerja akan disentrifus oleh peneliti utama langsung dan akan disimpan pada freezer dengan suhu yang telah ditentukan, selanjutnya diambil oleh petugas kurir dari laboratorium PT. Prodia Widyahusada pada hari kerja pertama setelah libur. n. Diupayakan agar pengambilan spesimen secepat mungkin untuk meminimalkan rasa sakit atau rasa tidak nyaman o. Jika terjadi kesulitan dalam pengambilan spesimen darah, diputuskan untuk ditunda pada kesempatan berikutnya.
Tabel 3-1: Protokol penelitian Tata Laksana
Usia 0 hari
Usia 2-3hari
Usia 5-7 hari
Usia ≥ 10 hari
Diagnostik: Ekokardiografi
Tidak
Patensi / closed
Persisten/ reopening / closed/ tetap tertutup
Perisisten/ reopenin /closed/ tetap tertutup
Laboratorium: - PGE2
Tidak
Ya Sesuai indikasi
Ya/ Tidak* Sesuai indikasi
Ya Tidak* Sesuai indikasi
Nol /negatif
Nol/negatif
Nol/negatif
Tidak Sesuai indikasi Sesuai indikasi
Tidak Sesuai indikasi Sesuai indikasi
Tidak Sesuai indikasi Sesuai indikasi
CPAP/VM
Sesuai indikasi
Sesuai indikasi
Ya - Septic work-up Kebutuhan cairan : Nol - Balance cairan Medikamentosa: Tidak - Inhibitor PG** Sesuai indikasi - Diuretik Sesuai indikasi - Inotropik Sistem respiratorik: Topangan ABN CPAP
Keterangan: Usia O hari: tidak ada pemeriksaan ekokardiografi dan pemeriksaan PGE2, usia 2-3 hari: pemeriksaan ekokardiografi dan PGE2 yang pertama, usia 5-7 hari: pemeriksaan ekokardiografi dan PGE2 yang kedua (baik yang menutup maupun yang patensi DA), usia ≥ 10 hari pemeriksaan ekokardiografi dan PGE hanya pada yang patensi DAP atau yang reopening). *Jika tetap tertutup, **Inhibitor PG (parasetamol intravena).
3.8.3. Prinsip pemeriksaan PGE2. Secara umum seperti pemeriksaan kadar hormon dalam darah lainnya, PGE2 dapat dinilai kadarnya di beberapa organ tubuh.17,62 Salah satu cara untuk pemeriksaan kadar PGE2 adalah dengan alat pemeriksaan The Parameter PGE2 Immunoassay,
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
31
yang merupakan produk dari R&D Systems, Inc. 614 McKinley Place, Minneapolis, United States of America, yang dapat dirancang untuk mengukur PGE2 pada kultur jaringan, serum, plasma dan urin. Prinsip dasar pemeriksaan ini berdasarkan sifat kompetetif antara PGE2 plasma dengan enzim PGE2 konyugat untuk berikatan dengan antibodi tertentu. Hasil uji kuantitaif akan diperoleh dengan mengukur dan membandingkan dengan nilai standart yang telah tersedia. Tingkat degradasi warna berbanding terbalik dengan jumlah PGE2 dalam sampel atau standar. Sebelumnya sampel plasma darah yang tersedia ditempatkan kedalam tabung EDTA atau dicampurkan dengan heparin sebagai antikoagulan. Plasma darah sampel akan disintrifus selama 15 menit pada 1000 xg dalam suhu 2-8°C dan selanjutnya akan disimpan pada ≤-20 °C sebelum dilakukan tes pemeriksaan.63 3.8.4.Tahap pemeriksaan PGE2 plasma Hasil pemeriksaan PGE2 adalah pemeriksaan kuantitatif menggunakan teknik immunoassay dengan instrumen The Parameter PGE2 Immunoassay, produk dari R&D Systems, Inc. 614 McKinley Place, Minneapolis, United States of America 2009. Prinsip dasar pemeriksaan ini berdasarkan sifat kompetetif antara PGE2 plasma dengan enzim PGE2 konyugat untuk berikatan dengan antibodi tertentu. Sebelumnya spesimen plasma darah yang tersedia ditempatkan kedalam tabung EDTA atau dicampurkan dengan heparin sebagai antikoagulan. Plasma darah sampel yang telah disentrifus selama 15 menit pada 1000 xg dalam suhu 2-8°C dan selanjutnya akan disimpan pada ≤ -20 °C sebelum dilakukan tes pemeriksaan. Adapun tahap-tahap pemeriksaan PGE2 sebagai beriku: 63 a. Antibodi monoklonal spesifik untuk PGE2 dimasukkan ke microplate b. Sampel darah atau larutan standar ditambahkan kedalam microplate. c. Selanjutnya, enzim konjugasi yang telah diencerkan ditambahkan kedalam microplate kemudian campuran tersebut diaduk atau dikocok hingga merata. d. Tahap berikutnya campuran tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama satu jam. Selama inkubasi, terjadi kompetisi untuk berikatan dengan antibodi.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
32
e.
Selanjutnya dilakukan pembilasan untuk menghilangkan ikatan antara enzim antibodi dengan reagen.
f. Kadar enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi akan terdeteksi dengan menambahkan substrat tertentu dan menghasilkan warna yang optimal setelah 30 menit. g. Hasil uji kuantitaif akan diperoleh dengan mengukur dan membandingkan dengan nilai standar yang telah tersedia . h. Tingkat degradasi warna berbanding terbalik dengan jumlah PGE2 dalam sampel atau standar. Misalnya, tidak adanya PGE2 dalam sampel akan menghasilkan warna biru cerah, sedangkan kehadiran PGE2 akan mengakibatkan penurunan atau tidak ada degradasi warna.
3.8.5. Cara pemeriksaan ekokardiografi: Pemeriksaan ekokardiografi menggunakan alat ekokardiografi Philips HD-11 Digital Ultrasound Machine (philips medis, Belanda 2010), dengan transduser Philips S12 Ultrasound Transducer atau dengan alat ekokardiografi 2 dimensi yang sejenis. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan oleh dua pemeriksa. Hasil Pengukuran dari pemeriksa pertama akan diulang atau dianalisis berupa gambar rekaman ekokardiografi oleh pemeriksa ke dua. Sebelum pemeriksaan ekokardiografi dilakukan dipastikan bahwa subyek penelitian tetap ditempatkan dalam inkubator dengan suhu 36.5 °C -37.5 °C. Pemeriksaan ekokardiografi dengan probe diletakkan pada daerah permukaan dada (tidak menimbulkan rasa sakit). Diupayakan waktu pemeriksaan ± 15 menit. Protokol pemeriksaan ekokardiografi DAP antara lain adalah sebagai berikut: 24-26
a. Diameter duktus arteriosus (DA). Diukur pada pandangan parasternal kiri letak tinggi atau pada pandangan parasternal kiri sumbu pendek. Hasil pengukuran berupa visualisasi ukuran dan tipe DA menggunakan tampilan 2 dimensi (2D) dan gambar berwarna. Hasil pengukuran dirata-ratakan dari 3 kali pemeriksaan.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
33
Ukuran diameter DA dikelompokkan dalam 4 kategori: tidak ada DAP = 0, DAP kecil = <1.5 mm, DAP sedang = 1.5 – 3.0 mm, DAP besar = > 3.0 mm.64 b. Kecepatan maksimun aliran transduktal (DVmax). Diukur pada pandangan parasternal kiri sumbu pendek dengan menggunakan pulsasi gelombang Doppler. Kecepatan maksimum aliran transduktal diukur menggunakan calliper dan hasil pengukuran dirata-ratakan dari 3 kali pemeriksaan. Pulsasi aliran kontinyu transduktal dan lokasi kontraksi maksimal dinilai dengan melihat gambaran restriktif atau non restriktif dan DVmax. Jika aliran tidak ada dengan DVmax tidak terhitung = tidak ada DAP, jika aliran kontinyu restriktif dengan DVmax>2.0 cm/detik = DAP kecil, jika aliran kontinyu tidak restriktif dengan DVmax 1 - 2.0 cm/detik = DAP sedang, jika aliran kontinyu transduktal sangat tidak restriktif dengan DVmax< 1 cm/detik = DAP besar.64 c.
Ukuran rasio antara atrium kiri dan aorta (rasio LA/Ao): Gambaran visualisasi ukuran atrium kiri diperoleh dengan pandangan parasternal sumbu panjang yang diukur dari bagian dalam diameter maksimal atrium kiri. Nilai pengukuran diambil dari 3 kali pemeriksaan. Rasio LA/Ao dihitung menggunakan tampilan dua dimensi (2D) berdasarkan rasio perbandingan diameter atrium kiri dan diameter anulus aorta. Nilai Rasio normal = 1/1, nilai rasio ringan < 1.4/1, nilai rasio sedang = 1.5-2/1, nilai rasio berat >2/1.64
3.8.6. Tata laksana pemberian terapi cairan: Terapi cairan pada bayi prematur yang terdiagnosis DAP, membutuhkan pemahaman tentang perubahan yang dinamis komponen cairan tubuh dan sistem kerja kardiovaskular: 36,37 a. Restriksi kebutuhan cairan perhari: ≤ 80ml/kg/hari (ditingkatkan secara bertahap maksimal ≤ 130 ml/kg/hari) dengan penyesuain kebutuhan kalori. b. Pemberian Total Parenteral Nutrition (TPN) sesuai indikasi. c. Penggunaan alat bantu napas: oksigen nasal, nCPAP atau mesin ventilator disesuaikan dengan kondisi klinis.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
34
d. Terapi tambahan : diuretik 0.5 mg/kg/kali (3 dosis) dan inotropik sesuai dosis jika diperlukan.
3.9. DEFINISI BATASAN OPERASIONAL §
Kelahiran bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum UG < 38 minggu dengan BL < 2500 gram.
§
Prematur adalah neonatus UG < 37 minggu dan BL sesuai dengan berat badan untuk masa kehamilan, atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB-SMK).
§
Duktus areteriosus persisten adalah penyakit jantung bawaan (PJB) non sianotik akibat duktus arteriosus yang terbuka secara terus menerus dan menetap setelah beberapa hari kelahiran.
§
Patensi DA adalah keadaan keterlambatan penutupan DA setelah usia lebih dari 3 hari.
§
DAP pada prematur adalah DA yang tidak dapat menutup spontan dan menetap setelah usia lebih dari 7-10 hari usia kronologis.
§
Penutupan DA spontan adalah proses penutupan duktus yang terjadi secara langsung tanpa pemberian terapi medikamentosa, bedah ligasi ataupun intervensi.
§
Gejala klinis adalah gejala subyektif pada pemeriksaan fisis yang timbul sebagai kompensasi suatu penyakit atau kelainan dalam tubuh.
§
HSDAP adalah duktus arteriosus persisten yang bermakna secara klinis menimbulkan gangguan hemodinamik jantung.
§
Diagnosis DAP berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi.
§
Usia 2 - 3 hari adalah usia kronologis pada saat subjek penelitian pertama kali didiagnosis DAP berdasarkan hasil pemeriksaan ekokardigrafi.
§
Usia 5 - 7 hari adalah usia koronologis pada saat subjek penelitian akan dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dan PGE2 yang ke dua kalinya.
§
Usia ≥ 10 hari adalah usia koronologis pada saat subjek penelitian akan dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dan PGE2 yang ke tiga kalinya.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
35
§
Ukuran berat badan adalah hasil pengukuran berat badan pertama yang diambil pada saat hari pertama usia kelahiran sesuai usia kronologis.
§
Usia gestasi adalah usia kehamilan ibu terakhir sebelum pasien dilahirkan.
§
Ukuran diameter DA adalah ukuran DA berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi, diukur menggunakan ekokardiografi pada pandangan parasternal letak tinggi atau sumbu pendek parasternal kiri menggunakan satuan pengukuran millimeter (mm)
§
Nilai diameter DAP adalah tidak ada DAP = 0, DAP kecil = < 1.5 mm, DAP sedang = 1.5 – 3.0 mm, DAP besar = > 3.0 mm.
§
Pirau dari kiri ke kanan ( L to R shunt) adalah perubahan aliran darah dari aorta ke arteri pulmonalis melalui duktus arteriosus akibat penurunan tahanan arteri pulmonalis, yang dinilai dari pemeriksaan ekokardiografi pandangan parasternal sumbu panjang.
§
Pirau dari kanan ke kiri ( R to L shunt) adalah perubahan aliran darah dari arteri pulmonalis ke aorta melalui duktus arteriosus akibat peningkatan tahanan arteri pulmonalis, yang dinilai dari pemeriksaan ekokardiografi pandangan parasternal sumbu panjang.
§
Pirau bidirectional adalah aliran darah dua arah yang malalui duktus arteriosus yang diakibatkan oleh tahanan antara arteri pulmonalis dengan sistemik yang sama.
§
Pulsasi aliran kontinyu transduktal adalah turbulensi aliran darah dari aorta ke arteri pulmonalis melalui DA yang besar kecilnya tergantung kontraksi atau dilatasi intraduktal. Jika ada pulsasi aliran kontinyu = tidak ada DAP, restriktif = DAP kecil, non restriktif = DAP sedang dan sangat non restriktif = DAP besar
§
Kecepatan maksimal aliran transduktal (DVmax) adalah kecepatan aliran pirau melewati DA yang dinilai pada lokasi kontraksi maksimal dalam duktus. Nilai DVmax tidak terukur = tidak ada DAP, jika nilai DVmax > 2.0 cm/detik = DAP kecil, jika DVmax 1 - 2.0 cm/detik = DAP sedang, jika DVmax < 1 cm/detik = DAP besar
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
36
§
Rasio LA/Ao adalah perbandingan antara ukuran diameter atrium kiri dan annulus aorta yang dihitung dengan menggunakan ekokardiografi dua dimensi.
§
Nilai Rasio LA/Ao adalah normal = 1/1, nilai rasio ringan < 1.4/1, nilai rasio sedang = 1.5-2/1, nilai rasio berat >2/1.
§
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah zat biologik aktif kuat, yang merupakan salah satu hasil biosintesis dari asam arakidonat melalui jalus siklooksigenase PG.
§
Hasil pemeriksaan PGE2 adalah pemeriksaan kuantitatif menggunakan teknik immunoassay ELISA.
§
Spesimen plasma darah adalah spesimen darah yang diambil langsung pada pembuluh darah vana sebanyak 2 ml dengan menggunakan spoit 3 ml.
§
Hasil uji kuantitaif PGE2 adalah hasil yang diperoleh dari hasil pengukuran langsung yang dilakukan di laboratotium PT. Prodia Widyahusada dengan mengukur dan membandingkan dengan nilai standart yang telah tersedia.
§
Hasil pemeriksaan dikategorikan sebagai berikuit: tidak ada PGE2 = warna biru cerah, PGE2 ringan-sedang = biru mudah, PGE2 sedang-banyak = biru pucat, PGE2 sangat banyak = warna putih.
§
Korelasi adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier antara dua variabel dalam suatu penelitian.
§
Koefisien korelasi (r) adalah suatu metode korelasi untuk menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara dua variabel.
§
Korelasi Bivariate adalah metode analisa korelasi yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi.
§
Nilai korelasi adalah nilai sebagai acuan keeratan sutau hubungan korelasi. Nilai korelasi antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara dua variabel semakin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0 berarti hubungan antara dua variabel semakin lemah (Tabel 3-2).
§
Koefisien determinasi (R) adalah besarnya proporsi variabel Y yang dapat dijelaskan oleh variabel X, jadi jika r = 1 maka R = 100% .
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
37
§
Hasil kesimpulan uji korelasi adalah suatu pernyataan yang berarti bahwa ada hubungan secara signifikan antara dua variabel, jika hubungan koefisien korelasi nilainya positip, maka berarti korelasi bersifat positip dan signifikan terhadap keduanya. Jika hubungan koefisien korelasi nilainya negatip, maka berarti korelasi bersifat bertolak belakang namun signifikan terhadap keduanya.
§
Nilai p adalah besarnya kemungkinan hasil yang diperoleh karena faktor peluang, jika hipotesis benar.
§
Interval kepercayaan (IK) adalah taksiran rentang nilai pada populasi yang diperoleh pada sampel penelitian.
§
Nilai p < 0,05 adalah jika hasil uji korelasi terdapat hubungan korelasi yang bermakna antara ke-2 variabel.
Tabel 3-2: Nilai kekuatan hubungan berdasarkan interval koefisien, tingkat hubungan dikategorikan sangat rendah hingga sangat kuat. Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0.000 – 0.199
Sangat rendah
0.200 – 0.399
Rendah
0.400 – 0.599
Sedang
0.600 – 0.799
Kuat
0.800 – 1.000
Sangat kuat
3.10. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA. Pengelolaan data penelitian menggunakan program SPSS 17.0. Untuk variabel kategorik seperti data demografi (umur, jenis kelamin, UG dan BL, dan lain-lain) ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan prosentase. Variabel numerik (kadar PGE2 dan DDA) ditampilkan dalam bentuk mean, median, nilai minimummaksimum dan standar deviasi.70,71 Metode pengukuran menggunakan repeated measures design dilakukan pada periode waktu yang berurutan dan berbeda, selanjutnya dicatat, dikumpulkan dan dianalisis.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
38
Oleh karena pada penelitian ini akan dilakukan sekaligus lebih dari dua pengukuran pada satu kelompok bayi prematur (more than two measurements per subject) maka akan menggunakan repeated measures ANOVA, jika syarat tidak terpenuhi untuk repeated measures ANOVA maka pengelolaan data akan menggunakan uji nonparametrik ekuivalen atau Friedmans’s test.65,66 Untuk mengetahui normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk. Untuk menentukan HSDAP mengacuh pada ductal staging yang dibuat oleh McNamara dan Sehgal.42
3.10.1. Uji Signifikansi Koefisien Korelasi (Uji t) Untuk melihat korelasi antara nilai kadar PGE2 dengan diameter DA akan digunakan analisis bivariat uji korelasi Pearson atau Spearmen.67 Uji signifikansi koefisien korelasi digunakan untuk menguji apakah hubungan yang terjadi itu berlaku untuk populasi dan dapat digeneralisasi. Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi α =5% (uji dilakukan 2 sisi karena untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang signifikan). Tingkat signifikansi dalam hal ini berarti kita mengambil risiko salah dalam mengambil keputusan untuk menerima hipotesa yang benar sebanyak-banyaknya 5% dengan Interval Kepercayaan 95%. Kriteria Pengujian Hipotesis secara statistik adalah hipotesis diterima jika signifikansi p < 0,05, hipotesis ditolak jika signifikansi p > 0,05. Nilai p disajikan dengan tiga angka dibelakang koma dan jika didapatkan nilai p = 0,000, maka penulisan dalam laporan penelitian adalah p < 0,001.67
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
39
3.11. KERANGKA OPERASIONAL PENELITIAN (ALUR KERJA) Bayi Prematur
Kriteria Inklusi: · Usia 2-3 hari · UG : 28-32 minggu · BL: 1000-1500 gram · hs DAP:C1E1/C2E2/C3E3 Terapi konservatif
Parameter : - Diameter DA - DVmax - Rasio LA:Ao
Ekokardiografi I
Patensi DA
Pemeriksaan PGE2 I
DA menutup spontan Reopening DA
Usia 5-7 hari
Observasi
Terapi konservatif Pemeriksaan PGE 2 II
Ekokardiografi II
DA menutup spontan
DAP
Observasi
Usia ≥ 10 hari Terapi konservatif Ekokardiografi III
DA menutup spontan
Pemeriksaan PGE2 III
DAP
Observasi
Terapi definitif
Gambar 3-1. Skema kerangka operasional penelitian atau alur kerja.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. PELAKSANAAN PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga bulan Mei 2014, setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Komite Etik Penelitian Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Kelompok subyek penelitian adalah pasien bayi NKB-SMK dengan UG antara 28-32 minggu dan BL antara 1000-1500 gram. Dalam rentang waktu penelitian tersebut, jumlah subyek yang masuk kriteria penerimaan adalah 35 pasien (Gambar 4.1). Sebanyak 29 subyek direkrut dari ruang unit perawatan intensif neonatus dan ruang perinatologi, Departeman Ilmu Kesehatan Anak RSCM dan sebanyak 6 subyek penelitian dari ruang rawat perinatologi SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Fatmawati. Gambar 4.1. Alur perekrutan kelompok subyek penelitian bayi NKB-SMK dengan patensi DA, pada UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. 35 pasien Patensi DA
33 pasien
2 pasien
Observasi
DO
30 pasien
3 pasien
DA tutup spontan
DAP
Pasien meninggal : 1 usia 3 hari 1 usia 4 hari
Keterangan: Patensi DA: keadaan keterlambatan penutupan DA setelah 2-3 hari usia kronologis. DAP: DA yang tidak dapat menutup spontan dan menetap setelah usia ≥10 hari usia kronologis. DO: drop-out, subyek penelitian yang dikeluarkan dari penelitian oleh karena tidak sesuai kriteria penerimaan.
40 Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
41
Dari 29 subyek penelitian di RSCM, satu pasien dikeluarkan dari pengamatan pada usia mencapai 4 hari karena meninggal oleh sebab penyakit primer. Tiga subyek penelitian meninggal pada hari pengamatan ke 10 yakni pada rentang usia 9 - 11 hari, namun ke-3 subyek penelitian tetap diikutkan dalam penghitungan data oleh karena DAP pada ke-3 subyek penelitian tersebut telah menutup spontan sebelum subyek penelitian meninggal. Hingga hari pengamatan ke-10, sebanyak 3 subyek penelitian masih memiliki DAP dengan hemodinamik signifikan DAP (HSDAP) sedang-berat, sehingga diputuskan untuk mengakhiri pengamatan dan segera diberi terapi anti prostaglandin (APG) intravena. Pada 6 subyek penelitian yang direkrut dari ruang rawat inap perinatologi SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Fatmawati, satu subyek penelitian dikeluarkan dari pengamatan pada usia tiga hari karena meninggal akibat penyakit primer. Lima pasien tetap menjalani pengamatan hingga terjadi penutupan spontan DAP.
4.2. KARAKTERISTIK SUBYEK PENELITIAN Karakteristik subyek penelitian berdasarkan demografi dan klinis, diperlihatkan pada Tabel 4-1. Nilai median UG adalah 31 minggu (28-32). Nilai median BL adalah 1360 gram (1000-1500). Berdasarkan jenis kelamin, dari 33 subyek penelitian sebanyak 21 subyek atau 63,6% berjenis kelamin laki-laki dan 12 subyek (36,4%) adalah perempuan. Manifestasi gejala klinis sindrom gangguan pernapasan (SGP) dialami oleh 28 pasein (84,8%) sejak awal pengamatan dengan tingkat keparahan antara ringan-sedang. Sedangkan didapatkan 6 subyek penelitian yang pada awal penelitian tidak mengalami SGP, namun dalam perkembangan selanjutnya mengalami SGP. Tidak ada dari 33 subyek penelitian mendapatkan terapi surfaktan. Kasus meninggal yang dilaporkan sebanyak 5 pasien, dua (6,0%) subyek penelitian meninggal dalam masa pengamatan dan dikeluarkan dari penelitian, tiga (9,0%) subyek tetap dimasukkan dalam penelitian oleh karena meninggal setelah DAP menutup apontan.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
42
Tabel 4-1: Sebaran subyek penelitian berdasarkan karakteristik demografi dan klinis Karakteristik
Patensi DA (n= 33)
UG (minggu)- median (min-maks) BL (gram)- median (min-maks)
31 (28-32) 1361 (1000-1500)
Jenis kelamin (%): -
♂
21 (63,6)
-
♀
12 (36,4)
SGP (%): -
Ya
27 (81,8)
-
Tidak
6 (18,2)
CPAP usia 0 hari (%) -
Ya
27 (81,8)
-
Tidak
6 (18,2)
Tanpa terapi surfaktan (%)
33 (100)
Meninggal (%):
3 (9,1)
Keterangan: UG: Usia gestasi, BL: Berat lahir, SGP: Sindrom Gangguan Pernapasan, CPAP: Continuous positive airway pressure (tekanan positip kontinyu jalan napas).
Pada Gambar 4-2, diperlihatkan diagram Pie dari kelompok UG dan BL. Rentang usia gestasi sesuai kriteria penerimaan adalah 28-32 minggu. Terlihat bahwa subyek penelitian terbanyak pada UG 32 minggu yakni 32% sedangkan berdasarkan kriteria BL, subyek penelitian terbanyak adalah pada rentang berat lahir antara 1401-1500 gram yakni 39.3%.
Karakteristik perjalanan alamiah pasien prematur yang terdiagnosis DAP berdasarkan hasil pemeriksaan ekokardiografi dapat dilihat pada Tabel 4-2. Dari hasil pengamatan saat usia 2-3 hari, keseluruhan subyek penelitian terdiagnosis patensi DA (100%). Pada usia 5-7 hari, 23 subyek penelitian (69,7%) mengalami penutupan spontan DA dan 10 subyek penelitian (33,3%) masih dengan patensi DA.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
43
Gambar 4.2. Sebaran subyek penelitian berdasarkan kelompok usia gestasi dan berat lahir. Sebaran subyek penelitian berdasarkan BL (gram, %)
Sebaran subyek penelitian berdasarkan UG (minggu,%) 9
12
32
28 29 30 31 30
24
24
1000-1100
21.2
39.3
1101-1200 1201-1300
15
1301-1400
21.2
1401-1500 3.3
Keterangan: Diagram Pie kelompok UG dan BL. %: prosentase tiap-tiap kelompok.
Pada pengamatan usia 10 hari, dari 10 subyek penelitian yang masih dengan patensi DA, sebanyak 7 subyek penelitian (21,0%) mengalami penutupan spontan, dan 3 pasien (9,0%) dengan DA yang menetap atau DAP. Sehingga keseluruhan subyek penelitian dengan DA menutup spontan adalah 30 (90,9%), terdiri dari 23 subyek penelitian yang menutup spontan pada usia 5-7 hari dan 7 subyek penelitian yang menutup spontan pada usia 10 hari. Sehingga ada 3 (9,1%) subyek penelitian yang mengalami DAP, yang selanjutnya menjalani protokol pemberian APG intravena.
Tabel 4-2: Sebaran ekokardiografi Variabel
subyek
penelitian
berdasarkan
hasil
pemeriksan
Kasus patensi DA pada NKB-SMK (n = 33) Usia 2-3 hari
Usia 5-7 hari
Usia 10 hari
Usia 10-15 hari
0 (0,0%)
23 (69,7%)
7 (21,2%)
0 (0,0 %)
33 (100%)
10 (33,3%)
3 (9,1 %)
3*(9,1 %)
-
-
0 (0,0 %)
0 (0,0 %)
Pemeriksaan ekokardiiografi -
Tutup spontan
-
Patensi DA
-
Membuka kembali
Keterangan: *terdiagnosis DAP dan dilanjutkan dengan pemberian inhibitor PG, DAP: Duktus arteriosus persisten, DA: Duktus arteriosus. Data disajikan dalam bentuk frekuensi dan prosentase.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
44
Data pada Gambar 4-3, memperlihatkan estimasi rerata hasil pengukuran berulang DAP dengan jadwal yang berbeda. Pada pemeriksaan pertama di usia 2-3 hari, tampak grafik menunjukkan ukuran diameter DA > 4 mm, namun seiring dengan perjalanan waktu sebagian besar DA menutup spontan, sehingga rerata ukuran diameter DA berkurang hingga 0,4 mm pada usia ≥10 hari atau disebut DAP.
Diameter duktus arteriosus Gambar 4-3: Grafik estimasi rerata hasil pengukuran diameter DA menggunakan analisis general linear model berdasarkan repeated measurement (pengukuran berulang) pada jadwal yang berbeda, yakni pada usia 2-3 hari (1), usia 5-7 hari (2), usia 10 hari (3) dan usia lebih dari 10 hari pasca pemberian inhibitor PG (4).
Dari Tabel 4-3, memperlihatkan hasil penilaian gejala klinis HSDAP dengan sistem skoring berdasarkan modifikasi metode ductal staging. Pada keseluruhan subyek penelitian, gejala klinis HSDAP saat usia 2-3 hari berada pada kategori ringan sedang. Dua puluh tiga subyek penelitian (69,6%) masuk kategori ringan, dan 10 subyek penelitian (30,4%) masuk dalam ketegori sedang. Pada pengamatan usia 5-7 hari, sebanyak 3 subyek penelitian (9,1%) telah masuk kategori normal, sebanyak 21 subyek penelitian (63,6%) masih dalam ketegori ringan, dan 6 pasien (18,1%) masih
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
45
dalam kategori sedang. Pada hari pengamatan ini ditemukan 3 subyek (9,1%) penelitian mengalami gejala klinis HSDAP berat. Tabel 4-3: Sebaran subyek penelitian berdasarkan skor gejala klinis HSDAP Gejala klinis HSDAP pada NKB SMK (n = 33) Variabel Usia 2-3 hari
Usia 5-7 hari
Usia 10 hari
Usia 10-15 hari
Skor gejala klinis HSDAP*: -
Normal
0
3 (9%)
5 (16.1%)
5 (8.3%)
-
Ringan
23 (69,6%)
21(63,6%)
22 (70.9%)
22 (73.3%)
-
Sedang
10 (30,4%)
6** (18,1%)
1 (3.2%)
1 (3.3%)
-
Berat
-
3 (9,1%)
3*** (9.7%)
2 (6.6%)
Keterangan: HSDAP: Hemodinamik signifikan duktus artriosus persisten, *skoring gejala klinis HSDAP berdasarkan modifikasi ductal staging dari McNamara dan Shegal, ** pada 6 subyek terdapat 2 meninggal pada usia hari ke 10. *** dari 3 subyek terdapat 1 meninggal pada usia antara 10—15 hari.
Selanjutnya pada pengamatan usia 10 hari, ditemukan 2 dari 6 subyek penelitian yang masuk dalam kategori sedang meninggal namun dari hasil pemeriksaan ekokardiografi DAP sudah menutup spontan sebelum ke dua subyek tersebut meninggal. Sedangkan 3 subyek penelitian dalam ketegori sedang mengalami perbaikan klinis dan dimasukkan dalam kategori ringan. Sebagian besar subyek penelitian yang telah mengalami penutupan DA spontan masih dalam kategori gejala klinis HSDAP ringan yakni 22 subyek (70.9%), tidak ditemukan gejala membuka kembali (reopening) dari DA pada keseluruhan subyek. Pada pengamatan hingga usia 15 hari, terdapat 1 subyek penelitian meninggal, namun sebelumnya dinyatakan DA sudah menutup spontan. Pada akhir pengamatan sebanyak 22 subyek (73.3%) masuk dalam kategori ringan, 5 subyek yang sejak usia 5-7 hari dinyatakan telah menutup spontan dan tanpa HSDAP dan 3 subyek diputuskan untuk diberikan APG dengan ukuran diamater DA > 3 mm dan skor gejala HSDAP tetap pada kategori sedangberat, sehingga diputuskan untuk diakhiri pengamatan dan segera diberikan inhibitor PG.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
46
4.3. HASIL PEMERIKSAAN PARAMETER EKOKARDIOGRAFI
Data Tabel 4-4, memperlihatkan rerata hasil pemeriksaan ekokardiografi pada subyek penelitian berdasarkan pengukuran berulang (repeated measurment) dengan jadwal pengukuran yang berbeda. Dari tiga parameter pemeriksaan ekokardiografi yang dilakukan terhadap subyek penelitian terlihat bahwa rerata diameter DA pada usia 2-3 hari adalah 2,9 mm, dengan besarnya kecepatan maksimal aliran transduktal (DVmax) sebesar 0,2 cm/detik dan rasio perbandingan antara atrium kiri dan aorta (LA/Ao) adalah 1.5.
Tabel 4-4: Data rerata hasil pemeriksaan parameter ekokardiografi. Pemeriksaan ekokardiografi (n = 33) Variabel 2-3 hari
5-7 hari
≥10 hari
Diameter DA (mm)- rerata (SD)
2,9 (SD 0,5)
0,4 (SD 0.1)
0,5 (SD 0.1)
DVmax (cm/detik)- rerata (SD)
0,2 (SD 0,06)
0,2 (SD 0,02)
0,18 (SD 0,04)
Rasio LA/Ao- rerata (SD)
1,5 (SD 0,2)
0,2 (SD 0,04)
0,2 (SD 0,1)
Keterangan: DA: duktus arteriosus, DVmax: Ductus velocity maximal (kecepatan maksimal aliran trasnduktal), LA/Ao: Left atrium/aorta (rasio atrium kiri/aorta), mm: millimeter, cm/sec: centimeter/secent, Data disajikan dalam bentuk rerata (standar deviasi)
Pada pengamatan usia 5-7 hari, rerata diameter DA sangat kecil 0,4. mm (±0.8), dengan besarnya kecapatan aliran transduktal (DVmax) sebesar 0,2 cm/detik dan rasio LA/Ao adalah 0,2. Hasil pemeriksaan ekokardiografi pada usia ≥ 10 hari, rerata diameter DA adalah 0,5 mm, dengan besarnya kecapatan aliran transduktal (DVmax) sebesar 0,18 cm/detik dan LA/Ao adalah 1.2 .
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
47
4.4. HASIL PEMERIKSAAN KADAR PROSTAGLANDIN E2 (PGE2) Data Tabel 4-5, menjelaskan tentang rerata hasil pemeriksaan PGE2 pada subyek penelitian berdasarkan pemeriksaan berulang (repeated measurment) dengan jadwal yang berbeda. Hasil pemeriksaan kadar PGE2 pada keseluruhan subyek penelitian pada usia 2-3 hari adalah sangat tinggi yakni 5238.6 pg/ml (SD 1225,2) dan jauh dari rentang nilai standar untuk PGE2 serum (tak terdeteksi–2116 pg/ml). Pada usia 5-7 hari rerata nilai PGE2 mulai memperlihatkan penurunan pada keseluruhan subyek penelitian baik yang telah menutup spontan maupun yang masih patensi DA yakni 4178.2 pg/ml (SD 1534,5). Pada pengamatan hari ke ≥ 10, pemeriksaan PGE2 hanya dilakukan pada subyek yang masih patensi DA, yang terlihat penurunan kadar PGE2 dengan rerata 915,2 pg/ml (SD 151,6).
Tabel 4-5: Data rerata hasil pemeriksaan kadar prostaglandin E2 (PGE2). Usia saat pemeriksaan PGE2* Variabel 2-3 hari (n= 33)
5-7 hari (n=33)
≥10 hari (n=3)
5238,6 (SD 1225,2)
4178,2 (SD 1534,5)
915, (SD 151,6)
Pemeriksaan serum darah: - PGE2 (pg/ml)- mean (SB)
Ketarangan: *PGE2: prostaglandin E2, reagen kit yang digunakan adalah produk R&D System,Inc., Minneapolis, MN 55413, USA, sample value: serum = non detectable-2116 pg/ml (rentang standar adalah 39-2500 pg/ml). Data disajikan dalam bentuk rerata (SD: Standar Deviasi).
Data Gambar 4-4, memperlihatkan estimasi rerata hasil pemeriksaan PGE2 subyek penelitian dengan jadwal yang berbeda. Pada pemeriksaan pertama di usia 2-3 hari, tampak grafik menunjukkan kadar PGE2 jauh di atas standar nilai, namun seiring dengan waktu kadar PGE2 mulai berkurang pada saat usia 5-7 hari meskipun masih jauh dari rentang nilai normal. Hal ini berlanjut sampai pada usia ≥ 10 hari, terlihat pada grafik, bahwa pada hari ≥ 10 tersebut, dari beberapa subyek penelitian dengan DAP memiliki kadar PGE2 justru semakin menurun dibandingkan saat usia 5-7 hari, dan kadarnya telah mencapai nilai normal (rentang standard adalah 39-2500 pg/ml).
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
48
Gambar 4-4: Grafik estimasi rerata hasil pemeriksaan PGE2 menggunakan analisis general linear model berdasarkan repeated measurement (pengukuran berulang) pada jadwal yang berbeda yakni pada usia 2-3 hari (1), usia 5-7 hari (2), dan usia lebih dari 10 hari (3).
4.5 KORELASI ANTARA DIAMETER DA DENGAN DVmax DAN RASIO LA/Ao Data Tabel 4-6, memperlihatkan korelasi antara diameter DA dengan parameter pameriksaan ekokardiografi lain saat usia 2-3 hari. Saat dilakukan uji korelasi Pearson untuk menilai hubungan antara diameter DA dengan DVmax, didapatkan hasil koefisisen korelasi (r) = -0.744 dengan sifat korelasi negatip. Hal ini dapat menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan DVmax dan nilai korelasinya kuat. Ada kecenderungan bahwa jika kecepatan maksimal aliran transduktal rendah maka ukuran diameter DA semakin besar, dengan koefisien determinasi (R) yang mencapai 55,4%, berarti pengukuran DVmax berperan sebesar 55,4 % untuk membuktikan kejadian DAP pada prematur saat itu.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
49
Tabel 4-6. Korelasi antara diameter DA dengan DVmax, LA/Ao dan DAo Diameter DA Usia 2-3 hari Variabel Koefisien korelasi ( r )
Koefisien determinasi (R, %)
P
Parameter lain: -
DVmaks (cm/sec)
-0.744
55.4
< 0.001
-
LA/Ao
0.921
84.8
< 0.001
Keterangan: DA: duktus arteriosus , DVmax: Ductus velocity maximal (kecepatan maksimal aliran transduktal), LA/Ao ratio: Left atrium/aorta ratio (rasio atrium kiri/aorta), analisis dengan uji korelasi Pearson.
Pada Gambar 4-5, menjelaskan tentang grafik Scatter Plot korelasi antara diameter DA dengan DVmax dengan sebaran titik-titik berkumpul pada satu garis linier negatip, menunjukkan bahwa jika kecepatan aliran transduktal semakin rendah maka
Diameter DA
diameter duktus semakin besar.
P < 0.001
Kecepatan maksimun aliran tranduktal (DVmax) Gambar 4-5: Korelasi antara diameter DA dengan DVmax pada usia 2-3 hari. Grafik Scatter Plot memperlihatkan sebaran titik-titik menebar pada satu garis linier negatif yang menunjukkan bahwa jika kecepatan maksimal aliran transduktal semakin rendah maka diameter DA semakin besar.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
50
Sedangkan hasil uji korelasi antara diameter DA dengan rasio LA/Ao, didapatkan hasil bahwa koefisisen korelasi (r) = 0.921 dengan sifat korelasi positip. Hal ini dapat menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang sangat bermakna antara diameter DA dengan besarnya rasio LA/Ao dan nilai korelasi kuat. Ada kecenderungan bahwa jika rasio LA/Ao besar maka diameter DA juga besar, dengan koefisien determinasi (R) = 84.8%, semakin meyakinkan bahwa rasio LA/Ao berperan sebesar 84.8 % untuk kejadian DAP pada prematur. 4.6. KORELASI ANTARA DIAMETER DA DENGAN BERAT LAHIR DAN USIA GESTASI. Data Tabel 4-7, memperlihatkan korelasi antara diameter DA dengan UG dan BL pada saat usia 2-3 hari. Saat dilakukan uji korelasi menggunakan metode korelasi nonparametrik Spearman’s untuk menilai hubungan antara diameter DA dengan UG, didapatkan hasil bahwa dengan koefisien korelasi (r) = -0.141 dan sifat korelasi negatip, menjelaskan bahwa tidak ada korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan UG dan nilai korelasi sangat lemah. Meskipun pada korelasi ini ada kecenderungan bahwa jika UG semakin kecil maka diameter DA semakin besar, namun dengan koefisien determinasi (R) yang hanya mencapai 1.98%, berarti UG saat lahir berperan hanya sebesar 1.98% terhadap kejadian DAP pada prematur, sedangkan 98.02% oleh penyebab lain.
Tabel 4-7. Korelasi antara diameter DA dengan berat lahir dan usia gestasi saat usia 2-3 hari. Diameter DA Usia 2-3 hari Variabel Koefisien korelasi ( r )
Koefisien determinasi (R, %)
P
Usia Gestasi (gram)
-0.141
1.98
0.435
Berat Lahir (minggu)
-0.254
6.45
0.154
Keterangan: Analisis dengan Uji korelasi nonparametrik (nonparametric correlations) Spearman's.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
51
Hasil yang tidak berbeda jauh didapat pada hubungan antara diameter DA dengan BL saat lahir. Hasil yang didapatkan adalah besarnya (r) = -0.254 dan sifat korelasi negatip, juga dapat menjelaskan bahwa tidak ada korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan BL dan nilai korelasi lemah. Meskipun korelasi ini dapat menjelaskan bahwa ada kecenderungan bahwa semakin kecil BL maka diameter DA semakin besar, namun dengan koefisien determinasi (R) yang hanya mencapai 6.45%, yang berarti bahwa masalah BL hanya berperan 6.45% dari kejadian DAP pada prematur, sedangkan 93.5% oleh penyebab lain.
4.7. KORELASI ANTARA KADAR PGE2 DENGAN DIAMETER DA. Data Tabel 4-8, memperlihatkan korelasi antara diameter DA dengan kadar prostaglandin E2 (PGE2) serum. Saat pengamatan untuk uji hipotesis dilakukan pertama pada usia 2-3 hari dengan uji korelasi Pearson, didapatkan hasil bahwa besarnya (r) = 0.667 dan sifat korelasi positip, menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan kadar PGE2 dan nilai korelasi kuat. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar PGE2 maka semakin besar diameter DA, dengan koefisien determinasi (R) yang mencapai 44.5%, berarti kadar PGE2 memiliki peran sebesar 44.5 % terhadap kejadian DAP pada prematur. Tabel 4-8. Korelasi antara kadar PGE2 dengan diameter DA Ukuran diameter DA Variabel
PGE2
Usia 2-3 hari
Usia 5-7 hari
Usia ± 10 hari
r
R (%)
P
r
R (%)
P
r
R (%)
P
0.667*
44,5
<0.001
0.292**
8.5
0.105
0.041**
0.16
0.941
Ketefrangan: *Analisis dengan Uji korelasi Pearson, **analisis dengan uji korelasi nonparametrik (nonparametric correlations) Spearman's. PGE2: prostaglandin E2.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
52
Saat pengamatan kedua dilakukan di usia 5-7 hari terhadap subyek penelitian yang masih patensi DA, didapatkan hasil bahwa besarnya koefesien korelasi (r) = 0.292 dan sifat korelasi positip, hal ini menjelaskan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan kadar PGE2 dan nilai korelasi. Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R) yang hanya 8.5%, berarti bahwa kadar PGE2 hanya berperan sebesar 8.5 % untuk kejadian patensi DAP pada prematur pada saat itu. Uji hipotesis pada usia ≥10 hari yang ditujukan ke-3 subyek penelitian, yang dengan DAP, didapatkan hasil bahwa tidak ada korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan PGE2. Berdasarkan besarnya nilai koefisien korelasi (r) = 0.041, berarti nilai korelasi sangat lemah, hal ini dapat menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara diameter DA dengan PGE2 pada usia ≥10 hari, dengan koefisien determinasi (R) hanya mencapai 0.16.%, berarti bahwa kadar PGE2 berperan hanya sebesar 0.16.% pada kejadian DA yang menetap atau DAP saat usia mencapai ≥ 10 hari. Korelasi pada usia 2-3 hari diperjelas pada Gambar 4-6, tampak dalam grafik Scatter Plot korelasi antara diameter DA dengan kadar PGE2 dengan sebaran titiktitik berkumpul pada satu garis linier positip, menunjukkan bahwa jika semakin tinggi kadar PGE2 maka semakin besar diameter DA, dengan koefisien determinasi (R) yang mencapai 44.5%, berarti kadar PGE2 memiliki peran sebesar 44.5 % terhadap kejadian patensi DA pada prematur saat usia 2-3 hari.
4.8. KORELASI ANTARA DIAMETER DA DENGAN GEJALA KLINIS HSDAP Data Tabel 4-9, memperlihatkan korelasi antara diameter DA dengan gejala klinis hemodinamik siginifikan DAP (HSDAP). Pada uji korelasi antara diameter DA dengan gejala klinis HSDAP pada usia 2-3 hari, didapatkan hasil koefisien korelasi (r) = 0.327 dan sifat korelasi positip. Hal ini menjelaskan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan gejala klinis HSDAP dan nilai
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
53
korelasi lemah, dengan koefisien determinasi (R) hanya 10.7%, berarti gejala klinis HSDAP hanya memiliki peran sebesar 10.7%, sebagai petunjuk klinis terhadap kejadian DAP pada prematur pada usia saat itu.
R = 44.5% P <0.001
Gambar 4-6: Korelasi antara diameter DA dengan kadar PGE2 diperlihatkan pada grafik Scatter Plot dengan sebaran titik-titik menebar pada satu garis linier positip yang menunjukkan kekuatan korelasi yang kuat pada usia 2-3 hari.
Sedangkan pada pengamatan usia 5-7 hari, didapatkan hasil bahwa nilai koefisien korelasi (r) = 0.668 dan sifat korelasi positip, berarti terdapat korelasi yang cukup bermakna antara diameter DA dengan gejala klinis HSDAP dan nilai korelasinya kuat. Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R) yang mencapai 44,6%, berarti gejala klinis HSDAP memiliki peran sebesar 44,6% sebagai petunjuk klinis terhadap kejadian DAP pada saat itu. Saat pengamatan untuk uji hipotesis dilakukan pada usia ≥10 hari didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi (r) = 0.670 dengan sifat korelasi positip, berarti terdapat korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan HSDAP dan nilai korelasinya kuat. Ada kecenderungan bahwa semakin berat gejala klinis HSDAP maka semakin besar diameter DA, dengan koefisien determinasi (R) yang mencapai 44,9 %, berarti HSDAP pada usia ≥10 hari berperan sebesar 44.9 % sebagai petunjuk klinis kejadian DAP pada saat itu.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
54
Tabel 4-9. Korelasi antara diameter DA dengan gejala klinis HSDAP. Ukuran diameter DA Variabel
HSDAP
Usia 2-3 hari
Usia 5-7 hari
Usia ± 10 hari
r
R (%)
P
r
R (%)
P
r
R (%)
P
0,327**
10,7
0,063
0.668*
45,6
0,049
0,670**
44,9
<0,001
Ketefrangan: * Analisis dengan uji korelasi Pearson, ** analisis dengan uji korelasi nonparametrik (nonparametric correlations) Spearman's, HSDAP: hemodinamik signifikan duktus arteriosus persisten.
4.9. KASUS DENGAN DA MENETAP ATAU DAP Karakteristik subyek penelitian dengan DA tidak menutup spontan atau DAP hingga usia ≥ 10 hari diperlihatkan pada Tabel 4-10. Pada kasus pertama adalah subyek penelitian dengan BL/UG adalah 1140/30, ukuran diameter DA pada usia 2-3 hari adalah 5,0 mm dengan gejala klinis HSDAP kategori sedang, Hasil pemeriksaan kadar PGE2 menunjukkan nilai 5325,1 pg/ml (standar: 39-2500 pg/ml). Pada kasus kedua subyek penelitian dengan BL/UG 1500/32, ukuran diameter DA pada usia 2-3 hari adalah 4,5 mm dengan gejala klinis HSDAP kategori sedang, Hasil pemeriksaan kadar PGE2 menunjukkan nilai 6193,0 pg/ml (standar: 39-2500 pg/ml).
Tabel 4-10. Karakteristik subyek penelitian dengan patensi DA Hasil Pemeriksaan Ekokardiografi dan prostaglandin E2 No
Nama
BL/UG
Usia 2-3 hari
Usia 5-7 hari
Usia 10 hari
Usia < 15 hari
E1
P2 I
E2
P2 II
E3
P2 III
E4
T/
1
By. DS (♀)
1440/30
5,0
5325,1
4,5
4867,2
4.0
4220,1
4,0
IPG
2
By. WO (♂)
1500/32
4,5
6193,0
4,0
4952,9
4.0
1371,1
2,0
IPG
3
By. MA (♂)
1030/28
3,5
6051,5
3,4
4439,2
3.0
3192,4
2,8
IPG
Keterangan: *meninggal, BL: Berat lahir, UG: Usia gestasi, ♂/♀: Laki-laki/perempuan, E: Ekokardiografi (mm), P2 : Prostaglandin E2 (pg/ml), T/: terapi, IPG: Inhibitor prostaglandin.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
55
Pada kasus yang ketiga, subyek penelitian dengan BL/UG 1030/28, ukuran diameter DA pada usia 2-3 hari adalah 3,5 mm dengan gejala klinis HSDAP kategori sedang, Hasil pemeriksaan kadar PGE2 menunjukkan nilai 6051,5 pg/ml (standar: 39-2500 pg/ml). Dari hasil pengamatan hingga usia ≥10 hari, ketiga subyek penelitian DAP tetap dengan gejala klinis HSDAP sedang-berat, sehingga diputuskan mengakhiri pengamatan dan diberikan inhibitor PG.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. KETERBATASAN PELAKSANAAN PENELITIAN Jumlah subyek yang direkrut dalam penelitian ini adalah 35 pasien dari semula direncanakan adalah 15 subyek penelitian berdasarkan estimasi besar sampel penelitian. Hal ini cukup menguntungkan dalam proses analisis data. Dua pasien dikeluarkan dari penelitian karena meninggal pada awal-awal pengamatan. Satu subyek penelitian meninggal karena penyakit primer sepsis neonatorum dan satu meninggal kemungkinan infeksi intrakranial. Sehingga diakhir pengamatan didapatkan sebanyak 33 subyek penelitian.
Dalam hal perekrutan subyek penelitian tidak ada kendala yang berarti. Tingkat rawat inap pasien baru dengan diagnosis NKB-SMK cukup tinggi, khususnya ruang inap di unit perawatan intensif neonatal dan ruang perinatologi, Departeman Ilmu Kesehatan Anak RSCM dengan frekuensi ± 2 pasien baru/hari. Namun hal ini agak berbeda dengan situasi rawat inap perinatologi SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Fatmawati, frekuensi pasien baru dengan NKB-SMK tidak sebanyak yang dirawat di RSCM.
Kendala pertama yang ditemui adalah masalah cara pengambilan spesimen darah yang sering lisis, sehingga ada beberapa kasus batal direkrut oleh karena kegagalan pengambilan spesimen
darah pertama. Namun
pihak PT. Prodia Widyahusada
selaku penanggungjawab tim laboratorium penelitian segera mengantisipasi dengan menurunkan tim kurir dan analisis laboratorium sehingga selanjutnya pengambilan spesimen darah berjalan lancar. Penelitian dengan subyek penelitian adalah bayi prematur yang dilakukan pengambilan spesimen darah perifer, cukup berisiko untuk kejadian infeksi dan komplikasi penyakit lainnya, ditambah dengan faktor penyakit primer membuat tim peneliti benar-benar selektif dalam perekrutan subyek penelitian. Semula direncanakan bahwa pengambilan spesimen darah adalah minimal 3 serial
56 Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
57
untuk setiap subyek penelitian dengan jadwal waktu pengambilan yang berbeda, namun kenyataan dilapangan berbicara lain. Sebagian besar subyek penelitian lebih cepat kejadian penutupan spontan DA dari yang diperkirakan. Faktor keadaan umum subyek penelitian yang rentan terhadap segala perubahan suhu juga menjadi kendala sehingga diupayakan penggunaan waktu se-efisien mungkin dalam setiap kali melakukan pemeriksaan ekokardiografi pada subyek penelitian.
5.2. KARAKTERISTIK PASIEN PREMATUR DENGAN DAP. Berdasarkan hubungan BL terhadap UG, bayi prematur dikelompokkan dalam 2 kategori besar yakni prematur murni dan dismatur.34,55 Prematur murni adalah neonatus dengan UG kurang dari 37 minggu dan BL sesuai masa kehamilan. Sedangkan dismatur adalah neonatus dengan BL kurang dibandingkan dengan BL yang sesuai dengan UG
atau disebut bayi kecil masa kehamilan (KMK). Bayi
dismatur memiliki BL selalu dibawah persentil ke-10 dari kurva Lubchenco. Dengan kata lain dismatur dapat terjadi baik pada prematur maupun aterm. Berdasarkan penjelasan diatas, definisi prematur adalah neonatus dengan UG kurang dari 37 minggu dan BL sesuai dengan berat badan untuk masa kehamilan, atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB-SMK) dan pengukuran berat badan diantara persentil 10-90 berdasarkan kurva Lubchenko.34,35 Pada penelitian ini rerata UG subyek peneltian adalah 31 minggu (28-32) dan rerata BL 1360 gram (1000-1500), alasan utama pemilihan subyek penelitian dengan rentang UG dan BL tersebut dikarenakan populasi pasien prematur dengan DAP yang kemungkinan untuk dapat menutup spontan atau masih memungkinkan kejadian patensi DA yang terbanyak adalah pada rentang UG dan BL tersebut.7 Tabel 5-1 memperlihatkan beberapa literatur penelitian tentang DAP pada prematur. Umumnya para peneliti lebih memilih UG sebagai kriteria utama pemilihan subyek penelitian dibandingkan BL.67-69 Hanya satu penelitian yang perekrutan subyek
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
58
penelitian berdasarkan BL.70 Hal yang sama dijelaskan pada suatu laporan medis yang mengatakan bahwa bayi dengan UG antara 28-32 minggu dengan berat lahir (BL) ≥ 1000 gram, kemungkinan penutupan DA spontan masih sangat tinggi.7 Selain itu beberapa ahli berpendapat bahwa DAP pada kelompok seperti ini secara klinis jarang atau sama sekali tidak memerlukan perawatan yang serius, cukup dengan tata laksana konservatif hingga bayi melewati kondisi kritis penyakit primernya.42,43,44
Tabel 5.1. Beberapa penelitian tentang rentang UG dan BL serta pengukuran diameter DA dengan pemeriksaan ekokardiografi Doppler. Kriteria penelitian DAP pada prematur Penelitian El Hajjar 200567 Groves 200868 Paradisis 200969 El Khuffash 200570
UG (minggu) < 31 < 31 < 30 -
BL (gram) < 1500
Jumlah sampel
Diameter DA* (mm)
23 80 90 33
0 - 5.0 0 - 3.9 0 - 2.0 0 - 4.1
Keterangan:* pemeriksaan ekokardiografi melalui pandangan parasternal kiri sumbu pendek. UG: Usia gestasi, BL: Berat lahir. (modifikasi dari beberapa kepustakaan).
Dari beberapa literatur dijelaskan bahwa rasio kejadian DAP antara anak laki-laki dan perempuan adalah 1:2 tanpa faktor resiko lain, namun tidak ada data yang menghubungkan DAP bayi prematur dengan jenis etnis tertentu.4-6,9,10 Pada penelitian ini ditemukan bahwa dari 33 subyek penelitian, sebanyak 21 subyek penelitian atau 63.6% berjenis kelamin laki-laki dan 12 subyek (36.4%) adalah perempuan.
Bayi prematur cenderung berisiko untuk mengalami komplikasi berbagai penyakit yang signifikan dengan tingkat prematuritasnya.38,39 Pada umumnya komplikasi tersebut berhubungan dengan disfungsi sistem organ yang belum matur dan kerentanan terhadap hipoperfusi sistemik.40,41,46 Semisalnya pada organ paru-paru: gangguan produksi surfaktan disebut-sebut sebagai faktor yang berperan penting. Surfaktan sering tidak memadai untuk mencegah kerusakan jaringan ditingkat alveolar dan berakibat atelektasis paru, yang berujung dengan sindrom gangguan pernapasan (SGP) dan penyakit membran hialin (PMH).71,72 Pada beberapa laporan
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
59
medis dikatakan bahwa SGP dan PMH adalah masalah infeksi pernapasan utama pada bayi-bayi prematur yang berkaitan langsung dengan masalah sirkulasi berlebih ke paru akibat DAP. Kejadian akan semakin meningkat pada bayi prematur yang menggunakan ventilasi mekanik tekanan positip secara intermiten atau intermittent positive pressure ventilation (IPPV).2,4,9,13,43 Disamping itu bayi prematur, rentan pula mengalami sepsis atau meningitis dibandingkan bayi aterm.26
Pada penelitian ini ditemukan bahwa gejala penyakit utama pada hampir keseluruhan subyek adalah SGP. Manifestasi gejala klinis SGP dialami oleh 27 subyek penelitian (81.8%) sejak awal pengamatan dengan tingkat keparahan antara ringan-sedang. Sedangkan didapatkan 6 (18.2%) subyek penelitian yang pada awal penelitian tidak mengalami SGP, namun dalam
perkembangan selanjutnya pada beberapa hari
kemudian mengalami SGP selama masa penagamatan. Tidak ada satupun subyek penelitian mendapatkan terapi surfaktan.
Beberapa literatur menjelaskan bahwa surfaktan adalah salah satu pilihan utama terapi medikamentosa untuk kasus SGP. Dikatakan bahwa pemberian surfaktan secara dini adalah sebagai upaya untuk perbaikan fungsi paru secara progresif dan mengurangi penggunaan alat bantu napas mekanik selanjutnya. Namun penggunaan surfaktan masih banyak menghadapi kendala, selain harga yang cukup mahal juga masalah timing dan cara pemberian yang membutuhkan keahlian khusus. Belum banyak penelitian yang melaporkan tentang efek langsung penggunaan surfaktan pada RDS dengan DAP sebagai komorbiditas pada bayi-bayi prematur. Penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk81, hanya menjelaskan bahwa ada efek tidak langsung yang kurang baik dari pemberian surfaktan intratrakea terhadap sistem kardiovaskular dan paru pada bayi-bayi prematur dengan RDS yang memiliki DAP. Namun mereka menyimpulkan bahwa surfaktan tidak memiliki pengaruh langsung terhadap hemodinamik DAP.
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
60
Luaran perjalanan alamiah DAP pada prematur sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh multifaktor. Meskipun banyak litaratur menyimpulkan bahwa pada kelahiran prematur penutupan DA sering terlambat hingga 4-7 hari (yang diistilahkan sebagai patensi DA), namun pada sebagian kecil kasus kondisi DA selalu tetap tidak dapat menutup spontan setelah usia lebih dari 7-10 hari. Hal ini didefiniskan sebagai duktus arteriosus persisten atau DAP.1,5,7 Sebagian besar literatur melaporkan bahwa keterlambatan penutupan DAP pada bayi prematur dapat berlangsung hingga 3 bulan atau lebih.1 Akibat dari keterlambatan penutupan tersebut dapat berdampak terhadap sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan, yang secara signifikan cukup bermakna dan mempengaruhi penyakit primernya.
Pada penelitian ini, dari 33 subyek penelitian yang terdiagnosis patensi DA pada usia 2-3 hari, sebanyak 30 (90,9%) subyek penelitian mengalami penutupan spontan DA sebelum berusia 15 hari dan hanya 3 subyek penelitian (9,1%) yang DA tetap terbuka atau DAP hingga akhir pengamatan. Berdasarkan skor gejala klinis HSDAP, ke-tiga subyek penelitian tersebut masuk kategori sedang-berat, sehingga diputuskan untuk mengakhiri pengamatan dan segera diberikan APG intravena.
Hal yang sama telah dibuktikan pada penelitian prospektif tahun 2007 di Belgia terhadap 30 bayi dengan kisaran UG 28 minggu dan rerata BL 1010 gram. Dua puluh bayi (67%) terdiagnosis DAP namun tidak cukup signifikan. Bayi-bayi tersebut kesemuanya tidak mendapatkan perawatan khusus. Ada 10 bayi (33%) yang secara klinis seginifikan DAP, namun tidak ada perlakuan khusus yang diberikan pada ke sepuluh kasus, hanya terapi konservatif dengan restriksi cairan. Kesimpulannya bahwa DAP menutup spontan pada semua neonatus (100 %) tanpa memerlukan bedah ligasi.43
Tingginya prosentase penutupan spontan pada subyek penelitian saat ini mungkin saja dipengaruhi oleh faktor kriteria BL dan UG yang digunakan. Sehingga dapat
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
61
disimpulkan bahwa pada bayi NKB-SMK dengan BL ≥ 1000 gram dan UG ≥ 28 minggu yang terdiagnosis DAP memiliki kemungkinan untuk dapat menutup secara spontan sebelum bayi tersebut berusia 2 minggu. Dengan kata lain bahwa kecenderungan kejadian DAP pada prematur mungkin lebih banyak terjadi pada bayi prematur dengan BL < 1000 gram dan UG < 28 minggu. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di University of Texas Southwestern Medical Center, Texas, Amerika Serikat pada tahun 2006, yang menyimpulkan bahwa hanya sekitar 34% bayi prematur (42 dari 122 neonatus) dengan kriteria berat badan lahir sangat rendah (≤ 1.000 g) dan UG 26 ± 2 minggu yang terdiagnosis DAP menunjukkan penutupan spontan pada 4,3 ± 2 usia hari postnatal. 80
Dari seluruh subyek yang diteliti, skor klinis hemodinamik signifikan DAP (HSDAP) pada usia 2-3 hari berada pada kategori ringan sedang, 23 subyek penelitian (69.6%) masuk kategori ringan, dan 10 subyek (30.4%) masuk dalam ketegori sedang. Pada pengamatan usia 5-7 hari, sebanyak 3 subyek penelitian (9%) sudah masuk dalam kategori normal, sebanyak 21 subyek penelitian (63.6%) masih dalam ketegori ringan, dan 6 subyek penelitian (18.1%) masih dalam kategori sedang. Ditemukan 3 subyek penelitian (9%) mengalami gejala klinis HSDAP berat. Sebagian besar subyek penelitian yang telah mengalami penutupan DA spontan masih dalam kategori gejala klinis HSDAP ringan yakni 22 subyek penelitian (70.9%), tidak ditemukan gejala membuka kembali (reopening) dari DA pada keseluruhan subyek penelitian.
Pada salah satu laporan penelitian tentang hubungan DAP dengan SGP pada prematur, dijelaskan bahwa SGP yang terjadi sebagai komplikasi langsung dari DAP pada prematur adalah sebanyak 25% kasus, dan meningkat menjadi 35% pada bayi prematur yang mendapat alat ventilasi mekanik tekanan positip secara intermiten atau intermittent positive pressure ventilation (IPPV). Dijelaskan pula bahwa aliran pirau dari sistemik ke paru akibat penurunan tahanan vaskular paru pasca lahir pada kasus DAP akan berefek pada sistem kardivaskular dan sistem pernapasan, yang
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
62
secara signifikan cukup bermakna. Efek penyakit paru akut meliputi edema dan perdarahan paru, gangguan fungsi mekanik paru, gangguan perfusi dan difusi hingga menimbulkan gejala-gejala hipoksemia dan hiperkapnia. Peningkatan aliran darah ke paru juga dapat menyebabkan kerusakan pada endotel kapiler paru yang selanjutnya akan memicu kaskade inflamasi.
Hal ini semakin diperburuk dengan kenyataan
bahwa kebutuhan untuk penggunaan ventilasi mekanik akan lebih lama dan lebih agresif. Sehingga hal ini dapat menjelaskan hubungan kejadian DAP pada prematur dengan peningkatan resiko displasia bronkopulmonal, khususnya pada bayi dengan berat lahir sangat rendah.2,4,5,39
5.3. HASIL PEMERIKSAAN EKOKARDIOGRAFI Tujuan utama dari pemeriksaan ekokardiografi pada bayi prematur adalah untuk menilai efek yang berkaitan langsung dengan kehadiran DAP. Pemeriksaan ekokardiografi cukup akurat untuk diagnosis DAP pada bayi prematur.18-25. Struktur anatomi DA dapat dinilai dengan pengukuran diameter DA. Pada penelitian ini, dari ke-tiga parameter pemeriksaan ekokardiografi yang dilakukan terlihat bahwa rerata diameter DA pada usia 2-3 hari adalah 2.9 mm, dengan besarnya kecapatan maksimal aliran transduktal (DVmax) sebesar 0,2 cm/detik dan rasio LA/Ao adalah 1.5.
Hasil pemeriksaan ekokardiografi dari beberapa penelitian dengan subyek penelitian pasien DAP pada prematur diperlihatkan pada Tabel 5-1. Lima penelitian melaporkan ukuran diameter DAP antara 0 mm sampai dengan > 3mm.36,37,71-73 Dan hanya satu penenelitian yang rentang ukuran DAP antara 0 mm sampai dengan 2 mm.51. Hasil pemeriksaan ekokardiografi pada penelitian ini hampir sama dengan yang didapatkan oleh tim peneliti di RS Ibu dan Anak, Dublin, Irlandia pada tahun 200570, dalam penelitian tersebut subyek penelitian adalah bayi prematur (BL < 1500 dan UG 33 minggu), dengan rentang ukuran diameter DA adalah 0-4 mm. Juga sama dengan penelitian yang dilakukan di RS. Jeanne de Flandre, Prancis pada tahun
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
63
2005 dengan subyek penelitian sebanyak 23 pasien (UG < 31, BL <1500 gram), rentang ukuran diameter DAP adalah 0-5 mm 67
Beberapa ahli menilai bahwa pengukuran diameter DA dapat sebagai diagnosis awal adanya kehadiran DAP pada kasus-kasus prematur. Sehingga penilaian diameter DA dianggap sangat penting, selain itu dapat sebagai nilai prognosis apakah DA dapat menutup secara spontan atau tetap terbuka.20-25 Namun terdapat beberapa kelemahan dari hasil pengukuran diameter DA sehingga diperlukan parameter lain. Penilaian oversirkulasi paru dinilai antara lain dengan mengukur rasio dimensi atrium kiri ke aorta (rasio LA/Ao) dan kecepatan maksimum aliran transduktal (DVmax).20-25 Sedangkan parameter hipoperfusi sistemik dapat dinilai antara lain dengan mengukur pola aliran retrograde aorta desenden atau retrograde DAo Flow (DAo), aliran vena cava superior (SVC), luaran ventrikel kiri (LVO) dan lain sebagainya.20-25
5.3.1. Kecepatan maksimun aliran transduktal (DVmax). Kecepatan maksimum aliran transduktal (DVmax) dihasilkan oleh perbedaan tekanan antara ujung aorta dan pulmonal yang melewati duktus dan diameter DA. Kontraksi maksimal DA akan menyebabkan kecepatan lebih tinggi. Shu dkk,51 Menyimpulkan bahwa nilai Dvmax akan berbanding terbalik dengan ukuran diameter DA. Jadi semakin besar diameter DA maka nilai DVmax makin rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian saat ini, didapatkan korelasi yang bermakna dan kuat antara diameter DA dengan kecepatan maksimal aliran transduktal (Dvmax). Hal ini menjelaskan bahwa ada kecenderungan jika DVmax semakin rendah maka diameter duktus semakin besar, berarti pengukuran kecepatan maksimal aliran transduktal sangat berperan dalam membuktikan kejadian DAP pada prematur.
5.3.2. Rasio dimensi atrium kiri ke aorta(rasio LA/Ao). Rasio antara ukuran atrium kiri dengan diameter aorta (LA/Ao ratio) adalah parameter yang baik untuk mendeteksi adanya DAP, akan tetapi tidak untuk membedakan
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
64
ukuran diameter DA. Parameter ini memiliki kekurangan yakni bahwa nilai pengukuran yang diperoleh sangat bervariasi, hal ini berkaitan dengan adanya faktor penyulit dari kondisi klinis pada saat dilakukan pemeriksaan ekokardiografi. Dehidrasi adalah salah satu kondisi yang dapat sebagai faktor perancu nilai pengukuran. Selain itu performa dari ventrikel kiri dan adanya pirau dari atrium kiri juga bisa mempengaruhi nilai pengukuran. Beberapa ahli sepakat bahwa nilai rasio 1:1.5 dapat sebagai cut-off point rasio LA/Ao.24-25 Iyer dkk,74 telah melakukan penelitian tentang parameter rasio LA/Ao ini dan menyimpulkan bahwa jika menggunakan rasio LA: Ao 1,5 sebagai cut off point akan memberikan sensitivitas 79% dan spesifisitas 95% dari pemeriksaan diameter DA dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi.
Hasil dari penelitian ini juga membuktikan hal tersebut. Terdapat hubungan korelasi yang sangat kuat dan bermakna antara diamater DA dengan rasio LA/Ao. Hasil ini dapat menjelaskan bahwa jika rasio LA/Ao semakin besar maka diameter DA juga akan semakin besar. Dengan kata lain bahwa hasil pengukuran rasio LA/Ao pada penelitian ini berperan besar untuk membuktikan adanya kejadian DAP untuk saat ini. . 5.4. KORELASI ANTARA DIAMETER DA DENGAN BERAT LAHIR DAN USIA GESTASI. Beberapa literatur melaporkan kejadian DAP pada bayi-bayi prematur sekitar 4060%.2,4-6 Literatur lain melaporkan bahwa pada BBLSR (< 1500 gram) angka kejadiannya sebesar 36% dan yang BBLESR sebesar 42%. Pada umunya bayi prematur dengan UG 28 minggu, kejadian mencapai 60%.73 Hal yang hampir sama didapatkan pada penelitian ini, pada pengamatan lanjut saat usia 5 -7 hari, masih terdapat 10 dari 33 subyek penelitian (33.3%) yang masih dengan patensi DA. Namun hanya 3 (9.1%) dari keseluruhan subyek penelitian yang benar-benar masuk dalam kategori DAP, dengan gejala klinis HSDAP kategori sedang-berat.
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
65
Di Indonesia sendiri belum ada angka yang pasti tentang kejadian kelahiran prematur. Namun laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010,82 menyatakan bahwa proporsi BBLR mencapai 11,5% dari keseluruhan jumlah kelahiran bayi dan meskipun angka BBLR tersebut bersifat tidak mutlak untuk mewakili angka kejadian persalinan prematur yang sebenarnya namun jika menggunakan data tersebut, diperkirakan insiden kelahiran bayi prematur dengan DAP adalah sebesar 13,5 %, dengan asumsi bahwa perkiraan jumlah kelahiran bayi di Indonesia mencapai sekitar 4,5 juta bayi setiap tahun. Hal yang hampir sama dilaporkan pada penelitian di RSCM pada tahun 2004, yang menyimpulkan bahwa tingkat kejadian DAP adalah 14%. Duktus arteriosus yang menetap atau DAP sebagian besar ditemukan pada bayi pada usia gestasi kurang dari 28 minggu (8/9) dan berat badan lahir kurang dari 1000 gram (7/9).38
Perkembangan dan struktur dari DA mengikuti perkembangan dan pertumbuhan organ tubuh janin umumnya.2,6 Semakin muda usia gestasi dan semakin rendah berat badan lahir maka semakin besar kemungkinan kejadian DAP.36 Para ahli sepakat bahwa DAP berbanding terbalik dengan usia gestasi dan berat badan lahir serta berkaitan langsung dengan tingkat morbiditas dan mortalitas bayi-bayi prematur. Hal yang sedikit berbeda yang ditemukan pada penelitian ini. Pada saat dilakukan uji korelasi antara diameter DA dengan BL saat lahir, didapatkan hasil bahwa tidak ada korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan BL dan nilai korelasinya lemah. Meskipun arah korelasi menjelaskan ada kecenderungan bahwa semakin kecil BL maka semakin besar diameter DA, namun BL hanya berperan kecil pada kejadian DAP untuk saat ini, sedangkan lebih dari 90% oleh penyebab lain. Hasil yang tidak berbeda jauh juga didapat saat uji korelasi antara diameter DA dengan UG saat lahir. Disimpulkan bahwa tidak ada korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan UG saat lahir dan nilai korelasi sangat lemah. Meskipun arah korelasi menjelaskan ada kecenderungan bahwa semakin muda UG maka semakin besar diameter DA,
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
66
namun untuk penelitian saat ini nilai UG hanya berperan sangat kecil terhadap kejadian DAP.
Hal yang dapat menjelaskan perbedaan ini mungkin adalah faktor metode pemilihan subyek penelitian. Beberapa literatur menjelaskan bahwa luaran hasil penelitian pada DAP dengan prematur sangat berkaitan dengan kelompok populasi penelitian, faktor usia dan berat badan, serta metode yang digunakan. Hasil yang berbeda mungkin akan diperoleh pada penelitian ini jika faktor estimasi UG dan BL bayi prematur tidak dibatasi minimum UG 28 minggu dan BL 1000 gram
5.5. KORELASI ANTARA KADAR PGE2 DENGAN DIAMETER DA Prostaglandin E2 (PGE2) adalah derivat dari PG yang merupakan salah satu hasil biosintesis dari asam arakidonat. Derivat PG ini bersifat sebagai zat biologik aktif kuat yang berefek untuk mengstimulir otot-otot polos dan bersifat vasodepressor. Metabolisme PGE2 dalam sirkulasi darah melalui enzim 15-hydroksi prostaglandin dehydrogenase (HPGD) yang kemudian mengalami degradasi secara spesifik dalam paru-paru melalui mekanisme transpor aktif. Dari sirkulasi paru-paru, PGE2 selanjutnya akan diekskresikan 90% kedalam urin dan 10% kedalam feses.14-17 Pada penelitian saat ini, dari hasil pemeriksaan kadar PGE2 dengan metode pemeriksaan berulang (repeated measurment), didapatkan hasil bahwa pada usia 2-3 hari kadar PGE2 sangat tinggi, selanjutnya pada usia 5-7 hari hasil pemeriksaan kadar PGE mulai memperlihatkan kecenderungan turun (pemeriksaan dilakukan pada keseluruhan subyek penelitian baik yang telah menutup spontan maupun yang masih patensi DA). Pada pengamatan hari ke ≥ 10 terlihat kadar PGE2 sudah mencapai nilai normal (pemeriksaan PGE2 hanya dilakukan pada subyek yang masih patensi DA) .
Ada dua teori yang dapat menjelaksan tentang hal tersebut yakni bahwa bahan PG yang diproduksi oleh plasenta saat masa janin, akan berhenti berproduksi bersamaan
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
67
dengan proses pemotongan tali pusat, selain itu penurunan kadar PG juga dikarenakan paru mulai berfungsi normal, sehingga terjadi proses degradasi PG dalam paru.4-6 Sehingga semakin bertambah usia subyek penelitian maka semakin rendah kadar PGE2 dalam darah.
Adapun alasan untuk tidak melakukan pemeriksan PGE2 yang ke-tiga pada subyek penelitian yang DA telah menutup spontan, dikarenakan tujuan awal dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara DAP dengan kadar PGE2 pada bayi prematur, sehingga pada subyek penelitian yang dalam dua kali pemeriksaan ekokardiografi awal sudah dipastikan menutup tidak lagi dilakukan pemeriksaan PGE2 yang ke-tiga oleh karena secara teori dikatakan bahwa bahan vasoaktif PG segera akan mengalami penurunan dalam sirkulasi darah seiring dengan penutupan DAP. Selain alasan tersebut, alasan lain adalah untuk mengurangi tindakan invasif sehingga meminimalkan kejadian infeksi nosokomial dan risiko sepsis neonatorum yang lebih berat.
Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi pada jadwal yang berbeda antara diameter DA dengan PGE2. Saat pengamatan untuk uji hipotesis dilakukan pertama kali pada usia 2-3 hari, didapatkan hasil bahwa ada korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan PGE2 dan nilai korelasinya
kuat. Terdapat kecenderungan bahwa
semakin tinggi kadar PGE2 maka semakin besar diameter DA. Hal ini berarti kadar PGE2 cukup berperan terhadap kejadian DAP pada prematur pada pada saat ini. Penelitian ini hampir sama yang ditemukan oleh Clyman RI, dkk.15 Penelitian dengan menggunakan domba-domba prematur yang baru lahir dengan DAP, yang bertujuan untuk mengetahui level kadar PGE2 yang dapat mempertahankan DAP pada hari-hari pertama kehidupan domba. Dikatakan bahwa pada domba prematur selama dua jam pertama setelah lahir, konsentrasi PGE2 yang beredar dalam darah dua kali lebih
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
68
tinggi. Oleh karena itu disimpulkan bahwa konsentrasi PGE2 mungkin memainkan peran penting pada DAP anak domba prematur.
Pada salah satu penelitian tentang bagaimana konsep terkini dan potensi klinis antara PG, DA dan masalah sirkulasi paru pernah dilakukan pada tahun 1980. Dikatakan bahwa PGE2 bertanggungjawab langsung untuk menjaga duktus arteriosus tetap terbuka pada saat janin, sedangkan PGI2 kemungkinan terlibat langsung dalam proses vasodilatasi pembuluh darah paru pada saat bayi lahir. Teori ini dapat sebagai pedoman bahwa bila bayi lahir prematur kemungkinan kadar PGE2 masih tinggi yang menyebabkan DA tetap terbuka, selain hal tersebut, teori ini memberi pendekatan baru untuk tatalaksana beberapa kondisi patologis pada bayi baru lahir dengan penyakit jantung bawaan dengan lesi tergantung duktus. Prostaglandin berperan untuk tetap menjaga sirkulasi paru tetap stabil dan sebaliknya inhibitor PG dapat digunakan untuk menutup DAP.14
Penelitian lain yang juga berkaitan dengan peranan PGE2 terhadap potensi DA pada bayi prematur dilakukan pada tahun 2004. Pada penelitian tersebut para peneliti mencoba mengidentifikasi mekanisme yang bertanggung jawab untuk meningkatnya kepekaan DAP pada prematur terhadap PGE2. Mereka menyimpulkan bahwa ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan sehingga terjadi peningkatan sensitivitas DAP pada prematur terhadap PGE2: Pertama peningkatan produksi cAMP akibat peningkatan pengikatan PGE2 pada reseptor EP secara individu dan kedua adalah peningkatan potensi cAMP pada pengaturan proteinkinase jalur A.63
5.5.1. Peranan reseptor 3G Protein-Coupled. Aktifitas PGE2 bekerja melalui reseptor 3G-protein-coupled (EP2, EP3 dan EP4) terutama pada jaringan otak, ginjal, trombosit dan vascular smooth muscle cell (VSMCs) seperti pada jaringan vaskular DA.
Akibat kerja reseptor ini, akan
menyebabkan pengaktifan enzim adenilsiklase dan saluran kATP melalui mekanisme
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
69
siklus adenosin monofosfat (cAMP) sehingga pembuluh darah pada jaringan otot-otot polos duktus mengalami vasodilatasi.59-62 Siklus guanosin monofosfat (cGMP) akan menyebabkan pengaktifan cGMPkinase yang secara langsung mengakibatkan kanal K+ membran sel terbuka, sehingga ion K+ keluar dari sel, terjadi depolarisasi membran sel dan penghambatan kanal Ca2+. Menurunnya Ca2+ yang masuk dan pelepasan Ca2+ menyebabkan vasodilatasi. Dalam beberapa teori dijelaskan bahwa pada kasus prematur, aktivitas enzim-enzim Phosphodiesterase-5 (PDE-5) sebagai salah satu enzim PDE yang memecah cGMP dan cAMP, berada pada kadar yang sangat rendah sehingga kemampuan meng-degradasi cGMP dan cAMP sangat kecil, yang menyebabkan kepekaan terhadap PGE2 tetap tinggi, yang berakibat DA tetap terbuka.59-62 Gruzdev,76 dalam makalahnya menjelaskan bahwa dengan mengetahui dasar kerja dari PGE2 tersebut, maka dengan sendirinya penurunan fungsi aktifitas dari salah satu atau keseluruhan reseptor (PGE2 (EP2, EP3 dan EP4), akan secara langsung memicu proses maturasi dan penutupan spontan DA. Dikatakan bahwa berkurangnya reseptor PGE2 (misalnya EP4) atau enzim 15-hydroksi prostaglandin dehydrogenase (HPGD) akan menurunkan patensi DA secara drastis. Dengan kata lain bahwa penghilangan fungsi EP4, HPGD atau COX, dapat berperan dalam peristiwa penutupan spontan DAP.
Hal tersebut dapat terlihat pada penelitian ini, saat pengamatan kedua dilakukan pada usia 5-7 hari terhadap keseluruhan subyek penelitian, ada 23 dari 33 subyek penelitian yang mengalami penutupan spontan DA. Dari hasil uji korelasi pada saat itu, didapatkan hasil bahwa meskipun masih terdapat korelasi yang sifat korelasinya positif, namun korelasi tersebut tidak bermakna dan nilai korelasinya lemah. Peranan kadar PGE2 terhadap kejadian patensi DAP pada saat itu sangat kecil. Hal ini berlanjut hingga pengamatan hari ke-10, dari hasil uji korelasi pada saat tidak ditemukan korelasi yang bermakna antara diamater DA dengan PGE2 dan nilai
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
70
korelasinya lemah. Sehingga dapat dikatakan bahwa kadar PGE2 berperan sangat kecil atau sama sekali tidak ada terhadap kejadian DA yang menetap atau DAP pada usia mencapai hari ke-10. Hal ini hampir sama yang didapat oleh Hammerman C, dkk16 yang
melakukan
penelitian tentang level kadar prostaglandin sebagai prediktor untuk menilai responsif terapi indometasin pada DAP. Pemeriksaan PGE2 dilakukan sebelum terapi indometasin pada bayi-bayi prematur. Dari 16 bayi prematur dengan DAP yang diterapi indometasin. Sembilan bayi respon dengan DA tertutup dan dari 9 bayi tersebut ada 8 bayi yang kadar PGE2 plasma lebih tinggi dari kadar PGE2 plasma normal. Pada 7 bayi dari 16 bayi tersebut, tidak memperlihatkan respon tarhadap terapi indometasin dan DAP tetap terbuka, 6 bayi tersebut mempunyai nilai kadar PGE2 tetap normal sejak awal penelitian. Dari penelitian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa level tertentu kadar PGE2 dapat menyebabkan DAP dan terindikasi pemberian anti PG. Sedangkan ada sebagian DAP tidak berkaitan dengan PGE2. Kejadian menetapnya DAP hingga lebih dari usia 10 hari dan bukti bahwa hampir tidak ada peranan PGE2 dalam masalah tersebut, membuktikan bahwa ada faktor lain yang menyebabkan kejadian patensi DAP pada bayi prematur selain masalah aktifitas PGE2 dalam DA. Kemungkinan yang lain adalah masalah faktor waktu semata yang berperan dalam masalah ini. Dibutuhkan waktu yang labih panjang dalam pemantauan untuk dapat menjelaskan hal tersebut. Namun hal ini terkendala oleh faktor komplikasi yang menyertai DAP pada prematur yang sering memperberat penyakit primer.
5.5.2. Peranan maturitas lumen DA Faktor lumen duktus juga dilaporkan sebagai faktor penyebab langsung kejadian DAP yang menetap. Fungsi lumen duktus adalah sebagai sumber utama nutrisi dalam DA, namun ada sebagian sumber nutrisi berasal dari jaringan vasa vasorum. Jaringan vasa vasorum akan masuk ke lumen melalui dinding luar duktus dan tumbuh ke arah
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
71
lumen. Mereka berhenti tumbuh sekitar 400-500
m dari lumen sebagai jarak titik
antara lumen dan vasorum vasa. Ruang antara tempat berhentinya jaringan vasa vasorum dengan lumen disebut zona avaskular.11,12 Proses tersebut menyebabkan dinding duktus menjadi iskemik yang berkembang sebagai cikal bakal proses remodeling pembuluh darah. Pada bayi prematur dinding pembuluh darah duktus hanya memiliki ketebalan jaringan vasa vasorum sekitar 200
m. Dengan ketebalan
yang minim ini jaringan vasa vasorum hanya tersebar dipermukaan pembuluh darah disekitar lapisan tunika adventitia tanpa penetrasi kedalam tunika media otot duktus. Sehingga dapat dibayangkan bahwa lumen duktus sangat luas dan tidak memiliki jaringan vasa vasorum untuk nuturisi lumen. Lumen tetap luas dan zona avaskular tidak menebal seperti bayi aterm, akibatnya tidak terbentuk zona hipoksia yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan peristiwa remodeling pembuluh darah dan DA tetap paten atau terbuka.11,12
5.6. KORELASI ANTARA DIAMATER DA DENGAN GEJALA KLINIS HSDAP Gejala klinis yang mendukung diagnosis HSDAP pada bayi prematur antara lain sebagai berikut: terdengarnya bising sistolik, peningkatan volume pulsasi dan peningkatan aktivitas prekordial serta dengan bantuan alat bantuan napas mekanik.18,42 Pada saat pengamatan usia 2-3 hari, tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan gejala klinis HSDAP. Peranan gejala klinis HSDAP sebagai petunjuk klinis terhadap kejadian patensi DA pada saat itu sangat kecil. Namun saat pengamatan di usia 5-7 hari, didapatkan korelasi yang cukup bermakna antara diameter DA dengan gejala klinis HSDAP dan gejala klinis HSDAP cukup berperan sebagai petunjuk klinis terhadap kejadian DAP. Saat pengamatan dilanjutkan pada usia ≥10 hari, didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara diameter DA dengan HSDAP dan nilai korelasi yang kuat. Berarti bahwa ada kecenderungan semakin berat gejala klinis HSDAP, maka semakin besar pula
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
72
diameter DA. Gejala klinis HSDAP yang timbul pada usia tersebut bisa sebagai petunjuk klinis kejadian DAP pada saat itu.
Hasil penelitian saat ini dapat meperkuat beberapa teori yang menjelaskan bahwa gejala klinis pada awal-awal kejadian DAP pada pasien prematur tidak sangat akurat untuk mendiagnosis DAP, namun seiring dengan perjalanan waktu gejala klinis akan mulai signifikan terutama saat usia bayi mencapai 7-10 hari. Dikatakan bahwa hal ini sering menyebabkan keterlambatan
tata laksana DAP, sehingga beberapa ahli
merekomendasikan pemeriksaan ekokardiografi harus dilakukan sejak awal-awal kelahiran bayi prematur. Hasil penelitian in hampir sama dengan hasil penelitian Nemerofsky, dkk17 yang melakukan penelitian pada 55 bayi prematur (berat lahir ≤ 1500 gram), dengan mencoba melakukan analisis probabilitas untuk setiap keakuratan gejala klinis dalam mendeteksi HSDAP pada bayi prematur sesuai dengan kriteria ekokardiografi. Dalam penelitian tersebut, dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dan evaluasi gejala klinis setiap hari (repeated-measures) hingga usia hari ke tujuh. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dalam 4 hari pertama kelahiran, gejala klinis sangat tidak khas untuk mendeteksi HSDAP. Dalam rentang usia tersebut, terdapat 10 bayi yang HSDAP namun tidak terdengar bising jantung. Pada hari ke 4, gejala klinis sudah cukup signifikan, namun spesifisitas kurang baik oleh karena banyak yang positif palsu. Enam bayi memberikan gejala bising jantung yang dari pemeriksaan ekokardiografi DA sudah menutup. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa
perkembangan kearah HSDAP pada pemeriksaan ekokardiografi akan selalu diawali oleh perkembangan gejala-gejala klinis. Dikatakan pula bahwa gejala bising jantung pada usia hari pertama baik sensitivitas maupun spesifisitasnya bernilai 0%, pada usia hari ke tiga sensitivitas hanya 31% dan namun spesifisitasnya cukup tinggi yakni 99%. Setelah usia lebih dari 4 hari gejala-gejala klinis tersebut memperlihatkan tingkat sensitivtas dan spesifisitasnya mulai meningkat. Pada hari ke 7, bising jantung
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
73
memiliki spesifisitas 94 % dan sensitivitas 79 % . Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bila menentukan diagnosis HSDAP pada bayi prematur hanya berdasarkan gejala klinis dapat menyebabkan keterlambatan diagnostik rata-rata 2 hari.
5.6.1. Manfaat sistem skoring HSDAP Metode pentahapan DA (Duktal Staging) dikemukan pertama kali oleh Shegal dan McNamara. Sistem ini mengkombinasikan hasil pemeriksaan ekokardiografi dengan gambaran klinis secara keseluruhan, untuk membantu dalam pengambilan keputusan tata laksana DAP pada bayi prematur. Dengan kata lain metode ini berfungsi untuk membedakan antara HSDAP dengan DAP yang asimptomatis atau suatu kondisi yang mewakili adaptasi fisiologis.21,22 Setiap kasus dinilai berdasarkan staging klinis dan ekokardiografi, Contoh: Bayi dengan gejala klinis gangguan pernapasan berat dan perdarahan paru, hasil ekokardiografi terdapat DAP dengan diameter 3,2 mm unrestrictive, pirau kiri-ke-kanan, maka nilai pentahapan duktusnya adalah C4-E4 untuk kelas HSDAP (Tabel 1). Kekurangan sistem staging DA adalah tidak mempertimbangkan faktor individu bayi termasuk perkembangan usia gestasi dan berat lahir.21,22
Pada penelitian ini, metode pentahapan DA oleh Shegal dan McNamara dicoba diterapkan dengan membuat modifikasi untuk menilai gejala klinis yang mendukung diagnosis DAP pada prematur. Sistem skoring dan pengelompokan subyek sesuai dengan berat ringanya gejala klinis yang timbul sejak hari pertama hingga hari ke-10. Dikatakan gejala klinis normal jika nilai skoring adalah 0, kategori ringan adalah 1-7, kategori sedang adalah 8-16 dan kategori berat jika skoring 17-24 (tabel terlampir).
Dari keseluruhan subyek penelitian, skoring klinis HSDAP pada usia 2-3 hari berada pada kategori ringan sedang. Sebanyak 23 subyek penelitian (69.6%) masuk dalam kategori ringan dan sebanyak 10 subyek penelitian (30.4%) masuk dalam ketegori sedang. Pada pengamatan usia 5-7 hari, sebanyak 3 subyek penelitian (9%) sudah
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
74
masuk dalam kategori normal, sebanyak 21 pasien (63.6%) masih dalam ketegori ringan, dan 6 pasien (18.1%) masih dalam kategori sedang. Pada hari pengamatan ini ditemukan 3 subyek (9%) penelitian mengalami gejala klinis dengan hemodinamik signifikan berat (tabel 5-2).
Tabel 5-2: Sebaran subyek penelitian berdasarkan skoring gejala klinis HSDAP. Variabel
Usia
Usia
Usia
Usia >10-<15
2-3 hari
5-7 hari
10 hari
hari
Skor klinis HSDAP: -
Normal
0
3 (9%)
5 (16.1%)
5 (8.3%)
-
Ringan
23 (69.6%)
21(63.6%)
22 (70.9%)
22 (73.3%)
-
Sedang
10 (30.4%)
6 (18.1%)
1 (3.2%)
1* (3.3%)
-
Berat
3 (9.0 %)
3 (9.7%)
2* (6.6%)
Keterangan: HSDAP: Hemodinamik signifikan duktus artriosus persisten. Data disajikan dalam bentuk frekuensi prosentase. Modifikasi dari metode pentahapan DA oleh Shegal dan McNamara.
Selanjutnya pada pengamatan usia hari ke 10 ditemukan 2 dari 6 subyek penelitian yang masuk dalam kategori sedang meninggal namun dari hasil pemeriksaan ekokardiografi DAP sudah menutup spontan sebelum ke dua subyek penelitian tersebut meninggal. Sedangkan 3 subyek penelitian dalam ketegori sedang mengalami perbaikan klinis dan dimasukkan dalam kategori ringan. Sebagian besar subyek penelitian yang telah mengalami penutupan DA spontan masih dalam kategori gejala klinis HSDAP ringan yakni 22 subyek penelitian (70.9%).
Pada pengamatan hingga usia 15 hari, satu subyek penelitian dalam ketegori HSDAP berat meninggal, namun DA sudah menutup spontan. Pada akhir pengamatan, terdapat 22 subyek
penelitian (73.3%) telah dalam kategori ringan, 5 subyek
penelitian dinyatakan telah menutup spontan dan tanpa HSDAP sejak usia 5-7 hari dan 3 subyek penelitian diputuskan untuk diberikan inhibitor PG oleh karena gejala klinis HSDAP sedang-berat dengan diameter DA > 3 mm. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa metode pentahapan DA oleh Shegal dan McNamara dengan
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
75
modifikasi cukup membantu untuk menilai gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan HSDAP pada penelitian ini. Namun penggunaan secara luas di klinis belum dapat disarankan oleh karena butuh penelitian lebih lanjut dan khusus untuk hal tersebut.
5.7. ANTI-PROSTAGLANDIN vs “WATCHFUL WAITING” Pembahasan tentang tata laksana DAP pada bayi prematur masih banyak kontroversi.42,77,78 Tata laksana DAP meliputi tata laksana konservatif, suportif dan defenitif. Secara umum pilihan tata laksana ditujukan untuk meminimalkan risiko kejadian komplikasi, selain untuk penutupan segera duktus itu sendiri. Banyak literatur melaporkan hasil penelitian tentang tata laksana DAP pada bayi-bayi prematur, namun sebagian besar menyimpulkan bahwa respon terapi yang terjadi hanya berdampak jangka pendek dan tidak untuk jangka panjang. Belum ada kesepakatan yang pasti tentang strategi tata laksana yang tepat dan kapan saatnya untuk mengambil keputusan tindakan terapi defenitif atau bedah ligasi. Beberapa peneliti akhir-akhir ini justru mulai mengemukakan konsep tata laksana konservatif pada bayi-bayi prematur yang menderita DAP.79
Para ahli mengklasifikasikan pemilihan waktu untuk tata laksana DAP pada prematur dalam empat kelompok waktu yaitu (1) profilaksis, (2) presimptomatik, (3) simptomatik dini, (4) simptomatik lambat. Pada kelompok profilaksis, terapi diberikan pada saat usia< 24 jam, pada kelompok presimptomatik, pemberian terapi hanya berdasarkan bukti hasil pemeriksaan ekokardiografi sebelum usia 3 hari tanpa didukung oleh gejala klinis. Pada dua kelompok tersebut pemberian anti PG direkomendasikan oleh banyak ahli, namun pada kondisi ini kecenderungan untuk terjadinya efek samping dan overtreatment bisa saja terjadi terutama pada kasus DAP asimptomatik yang mungkin dapat menutup spontan.46-48,77,78 Pada 2 klasifikasi terakhir pemberian terapi hanya berdasarkan bukti adanya hemodinamik signifikan DAP (HSDAP)
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
76
Pada salah satu ulasan artikel yang dipublikasikan pada tahun 2007, menjelaskan bahwa ada tiga pilihan untuk tata laksana DAP pada bayi-bayi prematur: restriksi cairan
sambil
menunggu
penutupan
spontan
(watchful
waiting),
terapi
medikamentosa, dan ligasi bedah. Pilihan tata laksana berkaitan dengan faktor risiko komplikasi yang akan timbul. Dikatakan bahwa terdapat beberapa keuntungan cara pendekatan tata laksana watchful waiting untuk kasus DAP pada bayi-bayi prematur, yakni selain bertujuan untuk membatasi pajanan bayi terhadap agen medikamentosa tertentu yang mungkin memiliki efek samping yang signifikan, juga sekaligus bertujuan untuk menghindari risiko tindakan bedah ligasi.11
Pada penelitian ini, keseluruhan subyek penelitian mendapatkan terapi konservatif sejak usia 0 hari, dengan restriksi cairan rumatan ( 80% dari kebutuhan cairan rumatan per kgbb per hari) sambil menunggu penutupan spontan hingga usia ≥ 10 hari. Namun terdapat 3 subyek penelitian, hingga pemeriksaan ekokardiografi ke-tiga di usia hari ke-10, DA tetap terbuka atau DAP disertai gejala klinis HSDAP sedangberat. Sehingga diputuskan untuk diberikan inhibitor PG (Tabel 4-8). Pemilihan waktu atau “timing” untuk protokol tata laksana terapi pada ke-tiga subyek tersebut sesuai dengan kesepakatan awal penelitian bahwa pemberian terapi hanya berdasarkan pendekatan gejala klinis selain hasil pemeriksaan ekokardiografi (klasifikasi pilihan waktu adalah simptomatik dini).
Hanya satu dari tiga subyek penelitian yang sukses dengan pemberian inhibitor PG. Alasan yang mungkin dapat menjelaskan kejadian ini adalah bahwa PGE2 tidak berperan lagi pada proses penutupan atau menetapnya DA, sebagaimana yang telah dibuktikan dalam penelitian ini bahwa dari penilaian kadar PGE2 serum yang dilakukan secara repeated measurement dapat menjelaskan bahwa dengan semakin bertambahnya usia subyek penelitian maka kadar PGE2 juga semakin menurun hingga dapat mencapai nilai normal, dan dari uji statistik yang dilakukan juga
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
77
terbukti bahwa kejadian patensi DA pada usia diatas 1 minggu tidak berkorelasi dengan jumlah kadar PGE2 dalam darah. Hambatan lain adalah pada kenyataannya ke-tiga subyek penelitian telah menggunakan dan membutuhkan alat bantu napas sejak jauh hari sebelumnya, yang dengan kata lain bahwa mungkin telah terjadi gangguan kardiovaskular yang serius sebelum diputuskan untuk mendapatkan protokol terapi inhibitor PG.
Van Overmeire dkk48, telah melakukan penelitian prospektif multisenter pada 2 kelompok pasien prematur dengan DAP. Enam puluh empat pasien diberi terapi anti prostaglandin pada usia 3 hari, 63 pasien yang diterapi dengan obat yang sama pada usia 7 hari. Dari luaran hasil penelitian disimpulkan bahwa keberhasilan penutupan DAP pada kelompok terapi dini bermakna secara signifikan, namun tidak ada perbedaan pada kedua kelompok untuk menjalani bedah ligasi akibat kegagalan penutupan DA. Hal yang menonjol dalam penelitian ini adalah komplikasi dan efek samping lebih tinggi pada kelompok yang diberi terapi dini, yakni berkaitan dengan gangguan prerenal dan sindrom gangguan pernapasan, dan juga disimpulkan bahwa pemberian terapi dini tidak menurunkan akan kebutuhan penggunaan alat bantu napas mekanik. 5.7.1. Alur skematik tata laksana DAP pada prematur Penanganan DAP pada prematur masih berfokus pada alur skematik tata laksana dengan inhibitor PG sebagai terapi pilihan utama. Pada kondisi DAP gagal menutup atau kejadian terbuka kembali, maka dipertimbangkan untuk tindakan bedah ligasi secara definitif.45-49 Pemberian inhibitor PG didasari oleh teori bahwa ada peranan PGE2 dalam mempertahankan DAP, sehingga inhibitor prostaglandin dibutuhkan untuk menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX inhibitors) pada jalur pembentukan PGE2.16,17
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
78
Adanya bukti dari hasil penelitian ini bahwa korelasi DAP dengan PGE2 hanya tinggi pada awal-awal usia kelahiran dan dengan kenyataan bahwa 90% subyek penelitian mengalami penutupan spontan DAP antara usia 7-10 hari, maka sekiranya dapat dijadikan pedoman untuk pembuatan alur skematik tata laksana DAP pada prematur yang lebih sederhana dan efisien sehingga dapat mempermudah penanganan pada setiap pasien. Gambar 5-1: Rancangan alur skematik tata laksana DAP pada prematur
Keterangan: DAP: duktus arteriosus persisten, NKB-SMK: Neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan, DA: duktus arteriosus, HSDAP: Hemodinamik signifikan Duktus arteriosus persisten, APG: antiprostaglandin.
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014 Universitas Indonesia
BAB 6 RANGKUMAN HASIL, SIMPULAN DAN SARAN
6.1. RANGKUMAN HASIL PENELITIAN. Setelah dilakukan uji hipotesis dengan melakukan penelitian langsung untuk membuktikan hipotesis sementara terhadap pertanyaan penelitian, maka berikut ini adalah rangkuman hasil penelitian. 1. Hasil uji korelasi antara kadar PGE2 dengan ukuran DA pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. Hipotesis yang dikemukakan adalah terdapat nilai korelasi yang kuat antara kadar PGE2 dengan ukuran DA pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. Tiga puluh tiga subyek penelitian yang terdiagnosis patensi DA menjalani uji hipotesis pada usia 2-3 hari awal kehidupannya, didapatkan hasil koefesien korelasi (r) = 0.667 dengan sifat korelasi positip. Hal ini dapat menjelaskan bahwa korelasi antara kadar PGE2 dengan ukuran diameter DA pada hari-hari pertama terbukti kuat. Bahwa semakin tinggi kadar PGE2 maka semakin besar ukuran DA. Kadar PGE2 memiliki peran sebesar 44.5 % (R) terhadap kejadian DAP pada prematur dan secara statistik bermakna, dengan demikian hipotesis terbukti. 2. Hasil uji korelasi antara kadar PGE2 dengan kejadian DAP pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. Hipotesis yang diujikan adalah bahwa terdapat nilai korelasi yang kuat antara kadar PGE2 dengan kejadian DAPpad bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. Tiga puluh tiga subyek penelitian yang terdiagnosis DAP menjalani uji hipotesis pada usia ≥10 hari awal kehidupannya, didapatkan hasil koefesien korelasi antara DAP dengan PGE2 darah adalah kategori sangat lemah. Koefisien korelasi (r) =
79 Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
80
0.041, sehingga dapat dikatakan bahwa korelasi antara kadar PGE2 dengan kejadian DAP sangat lemah, dengan koefisien determinasi (R) yang hanya mencapai 0.16.%, berarti bahwa kadar PGE2 hanya berperan sebesar 0.16.% pada kejadian DAP pada prematur pada usia mencapai ≥10 hari, dan secara statistik tidak bermakna, dengan demikian hipotesis tidak terbukti. 3. Hasil uji korelasi antara ukuran DA dengan usia gestasi dan berat lahir pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. Hipotesis yang diujikan adalah terdapat nilai korelasi yang kuat antara ukuran DA dengan usia gestasi dan berat lahir pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. Tiga puluh tiga subyek penelitian yang terdiagnosis patensi DA menjalani uji hipotesis pada usia 2-3 hari awal kehidupannya, didapatkan hasil
bahwa
koefisien korelasi (r) untuk berat lahir = -0.254 dan usia gestasi = -0.141 dengan sifat korelasi negatip. Hal ini membuktikan bahwa hubungan antara ukuran DA dengan berat lahir adalah lemah dan hubungan dengan usia gestasi sangat lemah. Meskipun arah korelasi ini dapat menjelaskan ada kecenderungan
bahwa
semakin rendah berat lahir dan semakin mudah usia gestasi maka semakin besar ukuran DA, namun dengan koefisien determinasi (R) keduanya sangat rendah (BL 6.45%, UG 1.98% ) berarti baik berat lahir maupun usia gestasi hanya memiliki peran yang sangat kecil terhadap kejadian DAP pada prematur, dan secara statistik tidak bermakna, dengan demikian hipotesis tidak terbukti. 6.2. SIMPULAN. 1) Terdapat korelasi yang kuat dan bermakna antara kadar PGE2 dengan patensi DA pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. 2) Tidak ada korelasi yang bermakna antara kadar PGE2 dengan menetapnya DAP pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. 3) Tidak ada korelasi yang bermakna antara ukuran DA dengan usia gestasi dan berat lahir pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram.
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
81
4) Terdapat korelasi yang bermakna dan kuat antara diameter DA dengan Dvmax pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. 5) Terdapat korelasi sangat bermakna dan sangat kuat antara diameter DA dengan rasio LA/Ao pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 10001500 gram. 6) Terdapat korelasi kuat antara menetapnya DAP dengan gajala klinis HSDAP pada bayi prematur UG 28-32 minggu dan BL 1000-1500 gram. 7) Patensi DA pada NKB-SMK dengan UG ≥28 minggu dan BL ≥1000 gram 90,9% dapat menutup spontan pada usia 7-10 hari.
6.3. SARAN 1) Perlu penelitian lanjutan dengan desain penelitian prospektif kohor, antara bayi prematur tanpa DAP dan dengan DAP, agar dapat membandingkan peranan PGE2 pada keseluruhan bayi prematur. 2) Dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan untuk semua penderita DAP baik
di RSCM maupun di RSUP Fatmawati, khususnya DAP pada bayi prematur, metode
ductal
staging
sebaiknya
digunakan
selain
pemeriksaan
ekokardiografi agar diagnosis dan tata laksana lebih tepat dan berdasarkan EBM.
Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Fyler DC. Ductus ateriosus paten. Dalam: Fyler DC, penyunting. Nadas pediatric cardiology. Boston: Hanley & Belfus.Inc; 1992.p.598-608. 2. Hamrick SEG, Hansmann G. Patent ductus arteriosus of the preterm infant. Pediatrics 2010;125:1020-30. 3. Musewe NN, Olley PM. Patent ductus arteriosus. Dalam: Freedom RM, Benson LN, Smallhorn JF, penyunting. Neonatal heart disease. London: Springer-Verlag London;1992.p.593-609. 4. Sasi A, Deorari A. Patent ductus arteriosus in preterm infants. Indian Pediatrics 2011;48:301-8. 5. Obladeen M. History of the ductus arteriosus: Persisting patency in the preterm infant. Neonatology 2011;99:163-9. 6. Obladeen M. History of the ductus arteriosus: Anatomy and spontaneous closure. Neonatology 2011;99:83-9. 7. Nemerofsky SL, Parravicini E, Bateman D, Kleinman C , Polin RA, Lorenz JM, et al. The ductus arteriosus rarely requires treatment in infants > 1000 Grams, J Perinatol 2008; 25:661-6. 8. Horbar JD, Soll RF, Edwards WH. The Vermont Oxford Network: a community of practice. Clin Perinatol 2010;37:29–47. 9. Schneider DJ, Moore JW. Patent ductus arteriosus. Circulation 2006;114:1873-82. 10. Coceani F,Baragatti B. Mechanisms for ductus arteriosus closure. Semin Perinatol 2012;36:72-7. 11. Dice JE, Bhatia J. Patent ductus arteriosus: An overview. J Pediatr Pharmacol Ther 2007;12: 138-46. 12. Desantis ERH, Clyman RI. Patent ductus arteriosus: pathophysiology and management. J Pernatol 2006;26:514-8. 13. Thebaud B, Mazmonteil TL. Patent ductus artriosus in premature infants: A Never-closing act. Paediatr Child Health 2010;15:267-70. 14. Coceani F, Olley PM, Lock JE. Prostaglandins, ductus arteriosus, pulmonary circulation: Current concepts and clinical potential. European Journal of Clinical Pharmacology 1980;18:75-81 15. Clyman RI, Mauray F, Roman C, Heymann MA, Payne B. Effect of gestational age on ductus arteriosus response to circulating prostaglandin E2.J Pediatr. 1983;102:907-11 16. Hammerman C, Zaia W, Berger S, Strates E, Aldousany A. Prostaglandin levels: predictors of indomethacin responsiveness. Pediatr Cardiol. 1986;72:61-5. 17. Simmons DL, Botting RM, Timothy HLA. Cyclooxygenase Isozymes: The biology of prostaglandin synthesis and inhibition. Pharmacol Rev 2004;56:387– 437.
82 Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
83
18. Evans N, Malcolm G. Diagnosis of patent ductusartreriosus in preterm infants. Diunduh dari www.neoreviews.aappublications.org. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2012. 19. Skelton R, Evans N, Smythe J. A blinded comparison of clinical and echocardiographic evaluation of the preterm infant for patent ductus arteriosus. J Paediatr Child Health. 1994;30:406– 411 20. Afiune JY, Singer JM, Leone CR. Echocardiographic post-neonatal progress of preterm neonates with patent ductus arteriosus. J Pediatr (Rio J) 2005;81:454-60. 21. Sehgal A, McNamara PF. Does echocardiography facilitate determination of hemodynamic significance attributable to the ductus arteriosus?. Eur J Pediatr 2009;168:907-14. 22. Sehgal A,McNamara PJ. Echocardiographic markers of a haemodynamically significant ductus arteriosus. Diunduh dari www.Neonatologytoday.net. Diakses pada tanggal 8 September 2012. 23. Groves AM, Kuschel CA. International Perspectives, The Neonatologist as an Echocardiographer. NeoReviews 2006;7:391 -9. 24. Condò M, Evans N, Bellù R, Kluckow M. Echocardiographic assessment of ductal signifi cance: retrospective comparison of two methods. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2012;97:35−8. 25. Kluckow M, Evans N (1995). Early echocardiographic prediction of symptomatic patent ductus arteriosus in preterm infants undergoing mechanical ventilation. J Pediatr 1995;127:774-9. 26. Cochrane Database of Systematic Reviews. Ibuprofen for the treatment of patent ductus arteriosus in preterm and/or low birth weight infants. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth. Diakses pada tanggal 20 Juli 2013. 27. Nimeri N, Salama H. Short-term outcome of different treatment modalities of patent ductus arteriosus in preterm infants. five years experiences in Qatar. The Internet Journal of Cardiovascular Research 2012;7:15-20. Mosalli R, Paes B. Patent ductus arteriosus: optimal fluid requirements in preterm infants. Diunduh dari www.neoreviews.aappublications.org. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2012. 28. Goldenberg RL, Culhane JF, Iams JD, Romero R. Epidemiology and causes of preterm birth. Lancet 2008;371:75–84. 29. World Heart Organization (WHO). Preterm birth. Diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/factsheet. Diakses pada tanggal 30 November 2013. 30. Behrman RE, Butler AS. Preterm Birth: Causes, consequences, and prevention. Diunduh dari http://www.nap.edu/catalog/11622.html. Diakses pada tanggal 30 November 2013. 31. Lindström K. Long-term consequences of preterm birth: Swedish National Cohort Studies. Diunduh dari www.issues4life.org. Diakses pada tanggal 20 September 2013 32. McCormick MC, Litt JS, Smith VC, Zupancic JAF. Prematurity: An overview and public health implications. Annu. Rev. Public Health 2011;32:1–15. 33. Saigal S, Doyle LW. An overview of mortality and sequelae of preterm birth from infancy to adulthood. Lancet 2008;371:261-9.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
84
34. EuroNeoStat Annual Report for Very Low Gestational age infants 2010. The ENS Project. Hospital de Cruces, Unidad Neonatal. Barakaldo, Spain. Diunduh dari www.euroneostat.org. Diakses pada tanggal 18 Agustus 2013. 35. Lubchenco LO, Hansman C, Dressler M, Boyd E. Intrauterine growth as estimated from liveborn birth-weight Data at 24 to 42 weeks of gestation. Pediatrics 1963;32:793–800. 36. Saeidi R, Mahmoodi E, Eslami M, Gholami M. Evaluation of risk factors related with neonatal patent ductus arteriosus in hospitalized neonates of Neonatal Intensive Care Unit. Zahedan J Res Med Sci. 2012;14:33-5. 37. Hoffman JIE, Kaplan S. The incidence of congenital heart disease. J Am Coll Cardiol. 2002;39:1890–900. 38. Deselina B, Putra ST, Suradi R. Prevalence of patent ductus arteriosus in premature infants at the neonatal ward, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Paediatr Indones. 2004;44:223-7. 39. Stoller J, DeMaura SB, Dagie JM, Reese J. Current perspectives on pathobiology of the ductus arteriosus. J Clin Exp Cardiolog 2012;58:1-14. 40. Sehgal A, McNamara PJ. The Ductus Arteriosus: A Refined Approach!. Semin Perinatol 2012;36:105-13. 41. Vida VL, Lago P, Salvatori S, Boccuzzo G, Padalino MA, Milanesi O, et al. Is there an optimal timing for surgical ligation of patent ductus arteriosus in preterm infants?. Ann Thorac Surg 2009;87:1509-16. 42. McNamara PJ, Sehgal A. Towards rational management of the patent ductus arteriosus: the need for disease staging. Arch Dis Child Fetal Neonatal 2007;92:424-7 43. Vanhaesebrouck S, Zonnenberg I, Vandervoort P, Bruneel E, Theyskens C. Concervative treatment for patent ductus arteriosus in the preterm. Arch Dis Child Fetal Neonatal 2007;92:244-7. 44. Mosalli R, Paes B. Patent ductus arteriosus: optimal fluid requirements in preterm infants. Diunduh dari www.neoreviews.aappublications.org. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2012. 45. Clyman RI, Chorne N. Patent ductus arteriosus: Evidence for and against treatment. J Pediatr 2007;150:216-9. 46. Sekar KC, Corff KE. Treatment of patent ductus arteriosus: indomethacin or ibuprofen?. Diunduh dari www.nature.com.Diakses pada tanggal 19 Agustus 2012. 47. Fowlis PW, Davis PG. Prophylactic indomethacin for preterm infants: a systematic review and meta-analysis. Arch Dis Child Neonatal 2003;88:464-6. 48. Van Overmeire B, Van de Broek H, Van Laer P, Weyler J, Vanhaesebrouck P. Early versus late indomethacin treatment for patent ductus arteriosus in premature infants with respiratory distress syndrome. J Pediatr. 2001;138:205-11. 49. Jones LJ, Craven PD, Attia J. Network meta-analysis of indomethacin versus ibuprofen versus placebo for PDA in preterm infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed2011;96:F45-52. 50. Tschuppert S, Doell C, Arlettaz-Mieth R, Baenziger O, Rousson V, Balmer C, et al. The effect of ductal diameter on surgical and medical closure of patent ductus
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
85
artriosus in preterm neonates: size matters.J Thorac Cardiovasc Surg. 2008;135:78-82. 51. Su BH, Watanabe T, Shimizu M, Yanagisawa M. Echocardiographic assessment of patent ductus arteriosus shunt flow pattern in premature infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 1997;77(1):F36-40 52. Lee LCL, Tillett A, Tulloh R, Yates R, Kelsall W. Outcome following patent ductus arteriosus ligation in premature infants a retrospective cohort analysis. BMC pediatrics 2006;6:1-6. 53. Vida VL, Lago P, Salvatori S, Boccuzzo G, Padalino MA, Milanesi O, et al. Is there an optimal timing for surgical ligation of patent ductus arteriosus in preterm infants?. Ann Thorac Surg 2009;87:1509-16. 54. Lee GY, Sohn YB, Kim MJ, Jeon GW, Shim JW, Chang YS, et al. Outcome following surgical closure of patent ductus arteriosus in very low birth weight infants in neonatal intensive care unit. Yonsei Med J 2008;49:265-71. 55. Jhaveri N, Grady M, Clyman RI. 2010. Early surgical ligation versus a conservative approach for management of patent ductus arteriosus that fails to close after indomethacin treatment. J Pediatr 2010;157: 381-7. 56. Mosalli R, AlFaleh K . Prophylactic surgical ligation of patent ductus arteriosus for prevention of mortality and morbidity in extremely low birth weight infants (Review). Diunduh dari http://www.thecochranelibrary.com. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2012. 57. Francis E, Singhi AK, Lakshmivenkateshaiah S, Kumar RK. Transcatheter occlusion of patent ductus arteriosus in pre-term infants. J Am Coll Cardiol Intv 2010;3:550-5. 58. Hakim FA, Harahsheh AS. Transcatheter closure of persistent ductus arteriosus using the Amplatzer duct occluder in infants. Pak J Med Sci 2005;21:138-42. 59. Brunner B, Hoeck M, Schermer E, Streif W, Kohlendorfer UK. Patent ductus arteriosus, low platelets, cyclooxygenase inhibitors, and intraventricular hemorrhage in very low birth weight preterm infants. J Pediatr 2013;12:1-6. 60. Yokoyama U, Minamisawa S, Quan H, Akaike T, Suzuki S, Jin M, et al Prostaglandin E2-activated epac promotes neointimal formation of the rat ductus arteriosus by a process distinct from that of cAMP-dependent protein kinase A. The journal of biological chemistry 2008;283:702–9. 61. Gruzdev A. Discerning the role of prostaglandins in ductus arteriosus remodeling. Diunduh dari https://cdr.lib.unc.edu/cdm/uuid. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013. 62. Agren P, Sterren SVD, Cogolludo AL, Blanco CE, Villamor E. Developmental changes in the efects of prostaglandin E2 in the chicken ductus arteriosus. J Comp Physiol 2009;179:133–43 63. Waleh N, Kajino H, Marrache AM, Ginzinger D, Roman C, Seidner SR, Moss TJ, et al. Prostaglandin E2-mediated relaxation of the ductus arteriosus: effects of gestational age on g protein-coupled receptor expression, signaling, and vasomotor control. Circulation 2004;110:2326-32.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
86
64. R&D Systems, Inc. 614 McKinley Place, Minneapolis, United States of America. The Parameter PGE2 Immunoassay 2010. Diunduh dari www.funakoshi.co.jp. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2013. 65. Collins A, Joseph D, Bielaczyc K. Design Research: Theoretical and methodological issues. The Journal of the learning sciences 2004;13:15–42 66. Sullivan LM. Statistical primer for cardiovascular research: repeated measures. Circulation 2008;117:1238-43. 67. El Hajjar M, Vaksmann G, Rakza T, Kongolo G, Storme L. Severity of the ductal shunt: a comparison of different markers. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2005;90:19-22. 68. Groves AM, Kuschel CA, Knight DB, Skinner JR. Does retrograde diastolic flow in the descending aorta signify impaired systemic perfusion in preterm infants? Pediatr Res. 2008;63:89-94 69. Paradisis M, Evans N, Kluckow M, Osborn D. Randomized trial of milrinone versus placebo for prevention of low systemic blood flow in very preterm infants. J Pediatr. 2009;154(2):189-95. 70. El-Khuffash A, Higgins M, Walsh K, Molloy EJ. Quantitative assessment of the degree of ductal steal using celiac artery blood flow to left ventricular output ratio in preterm infants. Neonatology.2008;93(3):206-12. 71. Moss TJM . The Respiratory consequences of preterm birth. Proceedings of the Australian Physiological Society 2005;36:23-8. 72. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al. European consensus guidelines on the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants – 2010 Update. Neonatology 2010;97:402–17. 73. Laughon MM, Simmons MA, Bose CL. Patency of the ductus arteriosus in the premature infant: is it pathologic? Should it be treated? Curr Opin Pediatr. 2004;16:146–51 74. Iyer P, Evans N. Re-evaluation of the left atrial to aortic root ratio as a marker of patent ductus arteriosus. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 1994;70:112-7 75. Evans N, Kluckow M. Early ductal shunting and intraventricular haemorrhage in ventilated preterm infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 1996;75:183-6 76. Gruzdev A. Discerning the role of prostaglandins in ductus arteriosus remodeling. Diunduh dari https://cdr.lib.unc.edu/cdm/uuid. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013. 77. Sinha B. Controversies in management of patent ductus arterious in the preterm infant. J Pulmon Resp Med. 2013;7:1-5. 78. Gien J. Controversies in the management of patent ductus arteriosus. Diunduh dari www.neoreviews.aappublications.org. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2012. 79. Sekar KC. Protective strategies to prevent patent ductus arteriosus. Chin Med J 2010;123:2914-18. 80. Koch J, Hensley G, Roy L, Brown S, Ramaciotti C, MD, Rosenfeld C. Prevalence of spontaneous closure of the ductus arteriosus in neonates at a birth weight of 1000 grams or less. Pediatrics 2006;117:1113-21.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014
87
81. Kumar A, Lakkundi A, McNamara PJ, Sehgal A. Surfactant and patent ductus arteriosus. Indian J Pediatr 2010;77:51-5. 82. Riset Kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Desember 2010:82-5.
Universitas Indonesia Korelasi antara kadar ..., Mochammading, FK UI, 2014