UNIVERSITAS INDONESIA
KONSEP DAN KETENTUAN MENGENAI JUSTICE COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
SKRIPSI
MARIA YUDITHIA BAYU HAPSARI 0806342661
FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA DEPOK JULI 2012
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
KONSEP DAN KETENTUAN MENGENAI JUSTICE COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
MARIA YUDITHIA BAYU HAPSARI 0806342661
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN PRAKTISI HUKUM DEPOK JULI 2012
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Maria Yudithia Bayu Hapsari
NPM
: 0806342661
Tanda Tangan:
Tanggal
: 12 Juli 2012
ii
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Maria Yudithia Bayu Hapsari NPM : 0806342661 Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi : Konsep dan Ketentuan mengenai Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Pembimbing I
: Chudry Sitompul, S.H., M.H.
(
)
Pembimbing II
: Flora Dianti, S.H., M.H.
(
)
Penguji
: Hasril Hertanto, S.H., M.H.
(
)
Penguji
: Febby M. Nelson, S.H., M.H.
(
)
Penguji
: Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H.
(
)
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 3 Juli 2012
iii
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberkati Penulis dan memberikan pertolongannya dengan banyak cara sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. Penulisan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini pada pokoknya membahas mengenai konsep dan ketentuan mengenai justice collaborator dalam hukum acara pidana di Indonesia. Topik skripsi ini dipilih karena pada masa ini kejahatan terorganisir, khususnya tindak pidana korupsi, pencucian uang, terorisme, dan narkotika semakin berkembang dan sulit penangunggalangannya di Indonesia sehingga justice collaborator menjadi subyek yang perannya sangat diharapkan untuk membantu penegak hukum memberantas kejahatan tersebut. Tren pemberian perlindungan dan penghargaan bagi justice collaborator pun kini semakin marak diperbincangkan dalam media massa seiring dengan berkembangnya berbagai kasus korupsi yang melibatkan para politikus, mulai dari kasus korupsi Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 hingga kasus korupsi pembangunan wisma atlet Seagames tahun 2011. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak, sejak awal masa perkuliahan hingga akhir penulisan ini. Oleh karena itu Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis kepada seluruh pihak yang telah ikhlas membantu penulis dengan berbagai cara sehingga Penulis dapat menjalani masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan baik dan lancar hingga menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Rasa terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada: 1. Ibu Maharani Siti Shopia, S.H., Tenaga Ahli Bidang Hukum Diseminasi dan Hubungan Masyarakat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang telah
iv
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
meluangkan waktunya untuk menjalani wawancara dengan penulis dan memberikan bahan-bahan yang sangat berguna bagi penulisan skripsi ini. 2. Segenap staf Bidang Hukum Diseminasi dan Hubungan Masyarakat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang telah berbaik hati membantu penulis dalam pengumpulan data kepustakaan, seperti bahan-bahan seminar dan naskah-naskah lain yang menjadi salah satu bahan utama dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Chudry Sitompul, S.H., M.H. selaku Ketua Program Kekhususan Praktisi Hukum (PK III) pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus Dosen Pembimbing I (pembimbing materi) dalam penulisan skripsi ini atas persetujuannya akan topik dan judul skripsi ini. Beliau juga telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat waktu. Atas saransarannya juga penulis dapat membuat pola pikir yang lebih tepat dalam menyusus materi dan membuat analisis dalam skripsi ini. 4. Ibu Flora Dianti, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II (pembimbing teknis) dalam penulisan skripsi ini atas bantuan Beliau sehingga penulis lebih memahami mengenai teknis penulisan. Terima kasih juga karena sebelumnya telah menjadi Dosen Panel yang memberikan persetetujuannya atas topik dan judul skripsi ini, serta telah memberikan berbagai masukan yang sangat berharga berkaitan dengan materi selama proses penulisan skripsi ini. 5. Bapak Hasril Hertanto, S.H., M.H. selaku Penasehat Akademis penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang sudah dengan sabar membimbing penulis, khususnya dalam membuat rencana perkuliahan yang efektif. Terima kasih juga telah menjadi Dosen Panel yang memberikan persetujuannya atas topik dan judul skripsi ini, serta sebelumnya juga membantu mengarahkan penulis dalam membentuk pola pikir dalam penyusunan proposal skripsi ini. 6. Ibu Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Kekhususan
Praktisi
Hukum
sekaligus
Dosen
Penguji
yang
telah
menyempatkan diri di tengah kesibukannya untuk menyemangati penulis dan hadir dalam sidang skripsi ini.
v
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
7. Ibu Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji yang telah menyempatkan diri di tengah kesibukannya untuk hadir dalam sidang skripsi ini dan memberi masukan yang sangat berguna untuk perbaikan skripsi ini. 8. Bapak Selam yang telah dengan amat sangat sabar membantu penulis dan semua rekan angkatan 2008 lainnya dalam mengurus masalah administrasi pendidikan selama menjalani perkuliahan hingga menjalani masa persidangan, serta Pak Dedi yang juga dengan sabar dan perhatian membantu penulis dan rekan Program Kekhususan Praktisi Hukum lainnya dalam menjalani masa bimbingan dan sidang skripsi. 9. Kedua orang tua penulis, Bapak Agustinus Djoko Santoso dan Ibu Victrisia Triyatni atas kasih sayang, doa, dukungan, dan kebebasan yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Terima kasih banyak karena selama ini tidak pernah menuntut banyak dari penulis, serta selalu bangga dan mendukung semua hal positif yang dipilih penulis. Keduanya telah menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk menjalani perkuliahan dengan sebaik-baiknya dan segera menyelesaikan penulisan skripsi ini. 10. Kedua kakak penulis, Cornelius Pasattimur Fajardewa dan Christianus Taufan Darudriyo atas kasih sayang, arahan, serta teladan untuk memilih dan menjalani hidup sesuai dengan panggilan dan hasrat hidup masing-masing. 11. Keluarga Romualdus Kristianto, khususnya tante Veronica Sri Setyawati yang hingga saat ini masih terus menyayangi, mendukung, dan ikut merawat penulis, serta adik-adik sepupu penulis, Odilia, Sevio, dan Quina. 12. Keluarga besar Darno Karto Darsono, khususnya Bu Nuning, Bu Wiwik, Bu Retno, Pak Tedi, Pak Nugroho, Pak Rustam, Pak Teguh, dan Chrisna atas dukungannya selama penulis selama menjalani perkuliahan. 13. Sahabat-sahabat penulis selama tinggal di Depok, Stephanie Yetta Simbolon yang selalu ada saat penulis membutuhkan dan selalu menyemangati penulis, serta menjadi contoh bagi penulis untuk tekun dan serius dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih juga untuk Gabriella Anastasia Tampubolon, Luh Putu Sri Anggrayani, Clara Anastasia Sianipar, dan Dhinhawati Sembiring yang telah memberikan waktunya untuk bisa berkumpul sehingga dapat menyegarkan penulis selama penulisan skripsi ini.
vi
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
14. Sahabat-sahabat yang setia bersama dengan penulis sejak SMP, Rima Monique Karim yang telah menjadi sahabat sekaligus saudara yang tidak pernah bosan berbagi cerita dan mimpi dengan penulis, M. Rizki Pratama yang selalu memotivasi penulis untuk menikmati hidup ini, Deavy Anggita Simanjuntak yang walaupun terpisah Depok-Bandung namun tetap menjadi teman skripsi yang selalu saling menyemangati, Margaretha Quina yang selalu bersama dengan penulis hingga kuliah dan tidak pernah berhenti mengkritik dan menyemangati demi kebaikan penulis, serta Fallissa Ananda Putri, Antonius Budi Susilo, Priska Betya Aryanti, Aisyah Mulia, Yosefa Pratiwi Aulia, dan Riani Tania Nainggolan. 15. Sahabat-sahabat penulis di Kost Griya Pangestu, Ellen Kusuma dan Primanda Hutaminingrum yang selalu menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini dan selalu mengunjungi penulis untuk bertukar pikiran dengan cara pikir yang unik dan out of the box sehingga penulis menjadi lebih imajinatif, positive thinking, dan menikmati masa penulisan skripsi ini. Terima kasih juga untuk penghuni lainnya, Profesor E. Korah Go, Anike Motia, dan Irawaty Sinaga atas ilmu dan suka cita yang dibagi selama ini. 16. Sahabat-sahabat penulis selama menjalani masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rieya Aprianti, Femi Angraeni, Prakoso Anto Nugroho, Derry Patra Dewa, dan Fathan Nautika, serta Riko Fajar Romadhon, rekan skripsi yang selama ini telah berbagi mimpi dan semangat dengan penulis selama masa penulisan skripsi ini. 17. Sahabat-sahabat penulis, Hanna F. L. Marbun dan Destya Lukitasari Pahnael atas kebersamaannya dengan penulis sejak masa pendaftaran kuliah hingga selama semester-semester awal yang selalu mendukung pilihan masingmasing dalam menjalani perkuliahan. 18. Rekan kerja penulis selama mengabdi di Keluarga Mahasiswa Katolik FH UI, Lembaga Kajian Keilmuan, dan Law Student Association on Legal Practice (LaSALe), Margaretha Quina, Graciella Estrelita, dan Gusnandi Arief Haliadi yang telah menjadi rekan kerja yang selalu bisa diandalkan, selalu bisa mengisi kekurangan penulis dalam bekerja, tidak pernah mengeluh, dan
vii
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
menginspirasi penulis untuk selalu bekerja dengan total tanpa melupakan kuliah sebagai kewajiban utama. 19. Segenap Badan Pengurus Harian Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Periode Kepengurusan Tahun 2010, Prakoso Anto Nugroho, Femi Angraeni, Rieya Aprianti, Graciella Estrelita, M. Fathan Nautika, M. Reza Alfiandri, Rantie Septianti, Liza Farihah, Fadhillah Isnan, Derry Patra Dewa, Amanah Rahmatika, Najmu Laila, Radian Adi Nugraha, Anissa Tri Nuruliza, Pratiwi Astriasari, Archie Michael, Indri Astuti, dan Ires Amanda atas segala kerja samanya.. 20. Segenap Badan Pengurus Harian Law Student Association on Legal Practice (LaSALe) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Periode Kepengurusan Tahun 2011, Domas Manalu, Stephanie Simbolon, Gabriella Tampubolon, L.Pt. Sri Anggrayani, Rieya Aprianti, Randolph Siagian, Clara Sianipar, Gusnandi Arief Haliadi, Ichsan Zikri, Arya Bahana, Puspitarani Moeljanto, Timbul Aruan, Alldo Felix Januar, Fenny Marlinda, dan Ferny Tobing atas segala kerja samanya. 21. Rekan-rekan Keluarga Mahasiswa Katolik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Robertus Maylando, Yovita Dwi, Nadia Miranty, Irawati Ranti, Flavia Pinasthika, I.A. Sabrina Putri, Maria Jayanti, Maria A. Tota Asi, Aurora Meliala, Garry Goud Filmorems, Ronald Honarto, Kristiono Utomo, Franciscus Manurung, Hisar Johannes, Pakerti Wicaksono, Ryan Austra, Anne Aprina, Sisilia Nurmala Dewi, dan semuanya atas segala kerja samanya. 22. Tim
Universitas
Indonesia untuk
Kompetisi
Peradilan
Semu
Piala
Pringgodigdo Universitas Airlangga, Stephanie Yetta Simbolon, Devina Puspita, Hanna L.F. Marbun, Christine Elisia Widjaya, Aisiya Arifianty, Anindita Sasidwikirana Djatmiko, Genio Ladyan Finasisca, Diyana Theresia, Imam Purbo Jati, Walfrid H.P. Simanjuntak, Bagus Raditya, Gregorius Bintang Adhimayakasa, Frederic, Ryan Sembiring Meliala, dan Renhard Sibarani atas segala kerja samanya selama mempersiapkan kompetisi ini, tidak hanya sebagai suatu tim sementara, namun juga sebagai keluarga yang meninggalkan banyak pengalaman dan kenangan yang sangat berharga.
viii
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
Semoga ilmu yang didapatkan kemarin tidak begitu saja hilang, serta suatu saat kita dapat bertemu dan bekerjasama lagi. 23. Rekan-rekan Program Kekhususan Praktisi Hukum, Frans Rikardo Pardede, Siti Setyasari H., Devis Dersi, dan semuanya atas kekompakannya selama berjuang menyelesaikan skripsi ini, terutama pada hari menjelang sidang dengan saling membantu, mendukung, menyemangati, dan menenangkan satu sama lain. 24. Semua pihak lainnya yang telah ikhlas membantu Penulis dengan berbagai cara sehingga Penulis dapat menjalani masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan baik dan lancar hingga menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Penulis juga menyampaikan permohonan maaf jika selama masa perkuliahan dan Penulisan skripsi ini Penulis telah melakukan kesalahan. Semoga Tuhan membalas semua segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum, serta dapat menjadi bahan pendalaman oleh para penegak hukum dan segala pihak yang berkaitan dalam penegakan hukum pidana.
Depok, Juli 2012
(Maria Yudithia Bayu Hapsari)
ix
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Maria Yudithia Bayu Hapsari
NPM
: 0806342661
Program Studi : Ilmu Hukum Program
: Sarjana
Fakultas
: Hukum
Jenis karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : KONSEP DAN KETENTUAN MENGENAI JUSTICE COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai Penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 12 Juli 2012 Yang menyatakan
(Maria Yudithia Bayu Hapsari)
x
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Maria Yudithia Bayu Hapsari : Ilmu Hukum : Konsep dan Ketentuan mengenai Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Skripsi ini membahas konsep dan ketentuan tentang justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Kedudukan Agus Condro Prayitno sebagai justice collaborator dalam kasus korupsi pada Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004 dibahas sebagai bahan analisis dalam skripsi ini. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa Agus Condro memiliki peran yang signifikan dalam mengungkap kasus tersebut. Oleh karena itu pada dasarnya ia dapat diberikan perlindungan dan penghargaan, seperti keringanan hukuman atau kekebalan dari penuntutan. Namun, pada saat ia dijatuhi hukuman, belum ada peraturan yang mengenai perlindungan dan penghargaan bagi justice collaborator. Kata Kunci: Justice collaborator, saksi pelaku yang bekerjasama, perlindungan saksi, pengurangan hukuman, kekebalan dari penuntutan
xi
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Maria Yudithia Bayu Hapsari : Law : Concept and Regulation Considering Justice Collaborator in Indonesian Criminal Justice System
This study focuses on concept and regulations of justice collaborator in Indonesian criminal justice system. Normative juridical method is used to analyze the data. The role of Agus Condro Prayitno as a justice collaborator in the investigation of corruption case of Bank of Indonesia Senior Governor Deputy Election in 2004 is analyzed in this study. This analysis shows that Agus Condro had a significant role to reveal the crime. Therefore he actually could be awarded by such protection and mitigating punishment or immunity from prosecution. However, at the time he was sentenced by the court, the regulation considering protection or award to justice collaborator had not been established in Indonesia. Keywords: Justice collaborator, cooperating criminal witness, witness protection, mitigating punishment, immunity from prosecution
xii
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN ............................................... x ABSTRAK ......................................................................................................... xi ABSTRACT ....................................................................................................... xii DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi 1.PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1.2. Pokok Permasalahan ............................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 1.4. Kerangka Konsepsional .......................................................................... 1.5. Metode Penelitian ................................................................................... 1.6. Sistematika Penulisan .............................................................................
1 10 11 12 14 19
2.KONSEP JUSTICE COLLABORATOR DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA .................................. 23
2.1.Alat Bukti Keterangan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana ................. 2.1.1.Pengertian Saksi dan Keterangan Saksi ........................................ 2.1.2.Pengecualian Menjadi Saksi ......................................................... 2.1.3.Syarat Sah dan Berharganya Keterangan Saksi ............................ 2.1.4.Cara Menilai Keterangan Saksi ..................................................... 2.1.5.Jenis-Jenis Saksi ............................................................................ 2.1.6.Tahap Pemeriksaan Saksi .............................................................. 2.2. Justice Collaborator dalam Pembuktian Suatu Perkara Pidana ............. 2.2.1. Pengertian Justice Collaborator ................................................... 2.2.2. Justice Collaborator dalam Konsep Perlindungan Saksi .............. 2.2.3. Perlindungan Khusus bagi Justice Collaborator ........................... 2.2.4. Jenis Kejahatan yang Diungkap Justice Collaborator ..................
23 26 27 28 33 38 49 56 56 65 76 79
3.KETENTUAN MENGENAI JUSTICE COLLABORATOR DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN NEGARA LAIN ............................................ 85
3.1. Perlindungan bagi Justice Collaborator di Indonesia ............................ 87 3.1.1. Perlindungan bagi Justice Collaborator dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban88 ........................................................................................ 87 3.1.2. Perlindungan bagi Justice Collaborator dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu .................................................................. 91 3.1.3. Perlindungan bagi Justice Collaborator dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik xiii
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi
3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6.
Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama ....... 97 3.1.3.1.Kedudukan Peraturan Bersama dalam Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia ................................... 97 3.1.3.2.Pengertian Saksi Pelaku yang Bekerjasama ...................... 99 3.1.3.3.Syarat Mendapatkan Perlindungan ................................... 101 3.1.3.4.Bentuk Perlindungan ......................................................... 106 3.1.4.Perbedaan antara Justice Collaborator dengan Saksi Mahkota .... 122 Perlindungan bagi Justice Collaborator di Amerika Serikat ................. 125 Perlindungan bagi Justice Collaborator di Italia ................................... 133 Perlindungan bagi Justice Collaborator di Belanda .............................. 141 Perlindungan bagi Justice Collaborator di Jerman ................................ 146 Uraian Perbandingan antara Perlindungan bagi Justice Collaborator di Indonesia dengan di Negara Lain ........................................................... 153
4.IDENTIFIKASI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PRAKTEK (STUDI KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PEMILIHAN DEPUTI GUBERNUR SENIOR BANK INDONESIA PERIODE 2004-2009) ..................158
4.1.Posisi Kasus .............................................................................................. 158 4.2.Analisis mengenai Kedudukan Agus Condro Prayitno sebagai Justice Collaborator dalam Hal Diterapkannya SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama ......................................................... 169 4.2.1.Kedudukan Agus Condro sebagai Justice Collaborator .................. 169 4.2.2.Perlakuan Khusus dan Perlindungan yang Didapatkan oleh Agus Condro .............................................................................................. 178 4.2.3.Kedudukan Agus Condro dalam Pembuktian Kasus Tindak Pidana Korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004 ...................................................................................... 193 4.2.4.Permasalahan yang Dapat Timbul dalam Penerapan Ketentuan mengenai Justice Collaborator dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama .................................. 195 5.PENUTUP ...................................................................................................... 204 5.1.Kesimpulan ............................................................................................... 204 5.2.Saran .......................................................................................................... 206 DAFTAR REFERENSI ...................................................................................... 208 LAMPIRAN ....................................................................................................... 217 1. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu xiv
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
2. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
xv
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel Uraian Perbandingan antara Perlindungan bagi Justice Collaborators di Indonesia dengan di Negara Lain ....................................................................... 155
xvi
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dewasa ini istilah justice collaborator mulai dikenal dalam dunia
peradilan pidana di Indonesia, terutama sejak berkembangnya kasus tindak pidana korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangkan oleh Miranda Goeltom pada tahun 2004. Agus Condro Prayitno, mantan anggota Komisi Keuangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 oleh berbagai pihak disebut-sebut sebagai seorang justice collaborator karena berperan sebagai saksi yang membongkar kasus suap yang melibatkan sekitar 30 orang anggota DPR periode 2004-2009 tersebut. Sejak tahun 2008, Agus Condro melaporkan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa ia telah menerima travellers cheque senilai lima ratus juta rupiah sebagai imbalan karena telah memilih Miranda dan juga mulai menjadi saksi dalam berbagai persidangan. Dalam laporan dan kesaksiannya tersebut Agus Condro menyebutkan sejumlah rekannya dari Fraksi PDI-P yang juga menerima cek pelawat tersebut hingga akhirnya KPK dapat menetapkan sejumlah nama tersangka dalam kasus ini di mana Agus Condro termasuk di dalamnya. Agus Condro merupakan contoh nyata besarnya peran seorang pelaku dalam tindak pidana terorganisir untuk membongkar tindak pidana tersebut dengan duduk sebagai saksi.1
1
Dirangkum dari beberapa sumber: Anton Septia, “Seperti Prabu yang Dipenjara Musuhnya”, (Majalah Tempo, 13-20 Februari 2011), hlm. 79-80; Heru Margianto, “LPSK Ajukan Remisi bagi Agus Condro”, http://nasional.kompas.com/read/2011/08/05/1456420/LPSK.Ajukan .Remisi.bagi.Agus.Condro , diunduh pada 3 Januari 2011; Heru Margianto, “Bebas Bersyarat Agus Condro, Penghargaan bagi "Whistle Blower"”, http://nasional.kompas.com/read/2011/10/26/00 294966/Bebas.Bersyarat.Agus.Condro.Penghargaan.bagi.Whistle.Blower, diunduh pada 3 Januari 2011.
1
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
2
Beberapa bulan setelah dijatuhkannya pidana pada Agus Condro, yaitu pada tanggal 10 Agustus 2011, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower dan justice collaborator, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.2 Dengan SEMA ini, hakim diminta untuk mempertimbangkan pemberian keringanan dalam pemidanaan seorang justice collaborator berupa pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau pidana penjara paling ringan dibandingkan para terdakwa lainnya dalam perkara yang sama. Komitmen dari Mahkamah Agung ini akhirnya berlanjut pada lembaga-lembaga penegak hukum lainnya untuk mengeluarkan suatu peraturan dalam menghadapi fenomena munculnya whistleblower dan justice collaborator dalam dunia hukum pidana di Indonesia. Pada tanggal 14 Desember 2011 kemudian lahirlah Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (selanjutnya disebut sebagai Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama).3 Dalam Peraturan Bersama ini diatur mengenai definisi pelapor, saksi pelapor, saksi pelaku yang bekerjasama, tindak pidana serius dan yang terorganisir. Selain itu juga diatur mengenai syarat mendapatkan perlindungan, bentuk perlindungan, serta mekanisme untuk mendapatkan perlindungan dan membatalkan perlindungan. Peraturan bersama ini dimaksudkan 2
Mahkamah Agung, Surat Edaran tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, SEMA No. 4 Tahun 2011, Pasal 6. 3
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
3
untuk memberikan pedoman bagi para penegak hukum dalam melakukan koordinasi dan kerjasama dalam pemberian perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara pidana. Pedoman seperti ini diharapkan dapat menyamakan pandangan dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan tugas aparat hukum dalam mengungkap tindak pidana serius atau terorganisir.4 Baik SEMA No. 04 Tahun 2011, maupun Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama pada dasarnya lahir dari konsep perlindungan saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU No. 13 Tahun 2006). Strategisnya posisi pelapor dan saksi yang juga menjadi pelaku dalam pengungkapan suatu tindak pidana telah menjadi perhatian dalam konsep perlindungan saksi yang tertuang Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006. Pasal ini menyatakan, “Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.” Pasal ini pada dasarnya memberikan perlindungan kepada mereka yang telah berani memberikan laporan atau kesaksian karena pada prakteknya orang-orang seperti ini sering dituntut balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 berupaya melindungi pelapor dan saksi untuk tidak dapat dituntut secara hukum atas laporan atau kesaksiannya, namun perlindungan tersebut tidak akan diberikan apabila ternyata yang bersangkutan juga terlibat dalam perkara yang dilaporkannya itu. Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 ini sebenarnya berusaha menarik orang yang terlibat, bahkan menjadi tersangka dalam suatu kasus pidana yang sama untuk mau memberikan informasi sebagai saksi atau pelapor. Sementara itu Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa: Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. 4
Ibid., Pasal 2 ayat (1). Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
4
Berdasarkan ayat tersebut, apabila pelapor atau saksi tersebut ternyata juga pelaku tindak pidana tersebut, maka ia hanya akan mendapat “imbalan” berupa dipertimbangkannya kesaksiannya itu oleh hakim untuk keringanan pidana dari dalam menjatuhkan putusan pidana atasnya. Adapun yang bersangkutan tidak akan dibebaskan dari tuntutan pidana. Dalam pengungkapan
suatu perkara pidana, mulai dari tingkat
penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di persidangan, keberadaan dan peran saksi5 sangatlah penting, bahkan seringkali menjadi faktor penentu dalam pengungkapan kasus tersebut. Saksi, sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana (dramatis personae)6 memiliki peran yang sangat penting yang mana tanpanya sistem peradilan pidana akan berhenti berfungsi.7 Hampir tidak ada perkara pidana yang dalam pembuktiannya tidak menggunakan alat bukti keterangan saksi karena keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti yang paling utama dalam pembuktian perkara pidana.8 Keterangan saksi9 bukan satu-satunya alat bukti yang sah dalam perkara pidana. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang, diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa orang tersebut bersalah melakukan tindak pidana yang dituduhkan padanya. Alat bukti yang sah menurut KUHAP adalah sebagaimana 5
Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No.76 Tahun 1982, TLN No. 3209, Pasal 1 angka 26. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 6
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1991), hlm.12. 7
Nicholas Fyfe dan James Sheptycki, Facilitating Witness Co-operation in Organised Crime Cases: An International Review¸ (London: Crown Research Development and Statistics Directorate Home Office, 2005), hlm.33. 8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 286. 9
Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, op.cit., Pasal 1 angka 27. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
5
disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu i) keterangan saksi; ii) keterangan ahli; iii) surat; iv) petunjuk; dan v) keterangan terdakwa. Pentingnya keterangan saksi dapat dilihat dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. Dalam ayat ini memang diatur bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam membuktikan bahwa seorang terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Keterangan satu orang saksi itu harus disertai dengan alat bukti sah lainnya. Jika tidak ada alat bukti sah lainnya, maka untuk membuktikan kesalahan terdakwa sudah dapat dilakukan cukup dengan paling sedikit 2 (dua) orang saksi.10 Alat bukti yang sah di persidangan, khususnya alat bukti keterangan saksi sudah mulai dicari dan diperoleh sejak proses penyelidikan. Apabila seorang pelapor tidak takut untuk melapor segera setelah terjadinya tindak pidana, menjelaskan secara rinci apa saja yang telah terjadi dan mampu menunjukkan orang-orang maupun barang yang terkait perkara, serta menjadi saksi dalam pengadilan, maka kemungkinan besar kasus tersebut sukses. Sebaliknya, bila pelapor ketakutan dan tidak berharap banyak pada pengadilan, dan walaupun atau pun secara tertekan mengubah-ubah keterangan, hampir dapat dipastikan kasusnya tidak sukses. 11 Melihat pentingnya peran saksi atau pelapor tersebut, pembuat undangundang telah berupaya untuk mengeluarkan produk perundang-undangan yang dapat mendorong masyarakat untuk berani melapor dan bersaksi di pengadilan dalam mengungkap suatu tindak pidana. Dorongan ini khususnya diberikan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana yang melibatkan kejahatan terorganisasi dan orang yang berkuasa seperti tindak pidana korupsi. Salah satu upaya tersebut dapat dilihat pada PP No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut PP No. 71 Tahun 10
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 288. 11
Basil Fernando, “Arti Penting Perlindungan Saksi,” Kesaksian Edisi II (Mei - Juni 2009), hlm. 19. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
6
2000). Pasal 5 ayat (1) PP No. 71 Tahun 2000 memberikan hak pada saksi atau pelapor dalam tindak pidana korupsi agar saksi atau pelapor tersebut mendapat perlindungan hukum baik dalam satus hukum maupun rasa aman.12 Selain itu perlindungan terhadap pelapor juga diatur dalam Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Orang, UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.13 Perlindungan hukum yang diberikan oleh PP No. 71 Tahun 2000 ini walaupun bertujuan untuk merangsang masyarakat agar berani menjadi saksi atau pelapor dalam suatu kasus korupsi, namun masih sangat terbatas. Perlindungan hukum tidak akan diberikan jika terdapat bukti kuat keterlibatan pelapor dalam perkara korupsi yang dilaporkannya atau jika ia dituntut atas perkara lain.14 Dibatasinya subyek saksi atau pelapor yang diberikan perlindungan ini dapat mengurangi niat dari yang bersangkutan untuk “berkorban” membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus korupsi tersebut apabila ternyata ia juga terlibat dalam kasus tersebut atau jika ia dituntut atas kasus pidana lain. Pembatasan ini sangat disayangkan mengingat orang yang terlibat dalam kasus yang dilaporkannya tersebut berkemungkinan besar menjadi saksi yang dapat memberikan informasi yang secara signifikan dapat membantu mengungkap suatu kasus, terutama dalam kasus kejahatan terorganisasi. Kebanyakan dalam kasuskasus kejahatan terorganisasi, para pelaku telah mengembangkan ikatan yang kuat satu sama lain di mana ikatan itu digunakan untuk menghadapi proses hukum. Hal
12
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PP No. 71 Tahun 2000, Pasal 5. 13
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, (makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Jakarta, 19-20 Juli 2011), hlm. 4. 14
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, op.cit, Pasal 5 ayat (3). Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
7
ini membuat kejahatan terorganisasi lebih sulit untuk dibuktikan daripada kejahatan biasa.15 Dalam penegakan hukum atas kejahatan terorganisasi seperti korupsi, jarang ada informan yang berasal dari masyarakat umum. Yang sering terjadi adalah munculnya informan dari kalangan sesama penjahat, baik kompetitor bisnisnya maupun sesama pelaku tindak pidana. Semakin terlibat si informan dalam tindak pidana tersebut, semakin bergunalah bantuan dari si informan tersebut.16 Ia tidak hanya melihat, mendengar, atau mengalami saja, namun juga mengetahui motif dan modus operandi tindak pidana tersebut, bahkan turut serta melakukannya. Orang yang telah berpartisipasi dalam suatu tindak pidana yang berhubungan dengan suatu organisasi kejahatan memiliki pengetahuan penting tentang struktur organisasi, metode operasi, kegiatan dan hubungan dengan kelompok lain baik lokal maupun internasional.17 Indriyanto Seno Adji dalam makalahnya menyebutkan mengenai pentingnya saksi yang juga pelaku kejahatan yang merupakan “orang dalam” (inner-circle criminal). Kadangkala "orang dalam" ini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan dengan caranya tersendiri. Orang dalam dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan di mana bukti lainnya bisa ditemukan. Akhimya, orang dalam ini dapat menjadi saksi yang sangat penting dalam persidangan, memberi bukti sebagai orang pertama, saksi mata dari kejahatan dan atas kegiatan para terdakwa. 15
18
Tidaklah mudah untuk menarik salah satu pelaku
Abdul Haris Semendawai, loc.cit.
16
Howard Abadinsky, Organized Crime, Ninth Edition, (Belmont: Wadsworth, Cengage Learning, 2007), hal. 383. 17
Keterangan tertulis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 42/PUU-VIII/2010, tanggal 3 September 2010 dalam Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dengan pemohon Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc. 18
Indriyanto Seno Adji, “Prospek Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), (makalah disampaikan dalam Diskusi Panel dengan tema “UndangUndang Perindungan Saksi dan Korban di Indonesia, diselenggarakan oleh United States Department of Justice, Office of Overseas Prosecution Development Assistance and Training (OPDAT), 12-14 Juni 2007), hlm.4 dalam Dwinanto Agung Wibowo, “Peranan Saksi Mahkota Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
8
tindak pidana tersebut untuk melaporkan dan memberikan keterangannya sebagai saksi di pengadilan mengingat karena pada akhirnya ia juga akan diseret menjadi tersangka dalam perkara yang sama.19 Pada umumnya orang tidak mau atau takut menjadi saksi pelapor, apalagi pelaku pelapor sebab resiko yang dihadapi sangat besar dan berbahaya. Padahal laporan atau kesaksian mereka dapat mengungkap suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan umum atau negara. Tanpa adanya insentif atau perlindungan hukum yang jelas dan memadai maka tidak akan dapat memicu lahirnya saksi pelaku, sehingga kasus-kasus yang merugikan negara atau menyangkut kepentingan umum yang sulit pembuktiannya akan terkendala pengungkapannya. Akhirnya hal ini menyebabkan kejahatan sebagai “puncak gunung es”, dengan kata lain terjadi angka kejahatan yang tinggi di masyarakat tetapi tidak dapat diungkap aparat hukum.20 Untuk membujuk para orang dalam agar mau bekerja sama dalam penyidikan dan penuntutan dari pelaku lainnya dalam tindak kriminal ini, maka dibutuhkan menggunakan beberapa jenis perangkat hukum yang mampu menerobos kebuntuan. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) berpandangan bahwa justice collaborator memenuhi unsur kunci sebagai entitas yang dikategorikan sebagai saksi, karena dalam berbagai bentuk penerapannya dikenal dengan sejumlah nama, seperti saksi kolaborator, saksi yang bekerjasama, saksi mahkota, kolaborator hukum, saksi negara, supergrasses, dan pentiti dalam bahasa Italia. Di Indonesia, istilah saksi mahkota sudah lama dikenal dalam praktek peradilan pidana dengan nama saksi mahkota. Istilah saksi mahkota memang tidak dikenal dalam undang-undang, tetapi dalam prakteknya saksi mahkota ini dapat muncul karena adanya penuntutan yang terpisah (splitzing) yang dilakukan oleh penuntut umum berdasarkan Pasal 142 KUHAP. Untuk dalam Peradilan Pidana di Indonesia”, (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm.2. 19
Howard Abadinsky, loc.cit.
20
Surya Jaya, “Perlindungan Justice Collaborators dalam Proses di Pengadilan”’ (makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Jakarta, 19-20 Juli 2011), hlm. 1-2. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
9
mengungkap kasus di mana tidak ada saksi yang dapat digunakan untuk membuktikan surat dakwaan, maka penuntut umum melakukan pemecahan berkas perkara sesuai kebutuhan. Apabila hal itu dilakukan, maka masing-masing terdakwa akan menjadi saksi dalam perkara terdakwa lainnya.21 Di Italia saksi semacam ini dikenal dengan nama pentito atau pentiti yang artinya orang yang bertobat dan dalam perkembangannya berubah istilah menjadi collaborator della giustizia atau yang di Amerika Serikat dikenal dengan nama supergrass, crown witness, atau justice collaborator.22 Di Italia bahkan sudah diciptakan suatu undang-undang mengenai saksi mahkota yang memberi kewenangan pada jaksa untuk berunding dengan terdakwa yang paling ringan kesalahannya dalam komplotan itu untuk menuntutnya dengan pidana yang lebih ringan dibanding teman-temannya. Syaratnya adalah bahwa ia mau membongkar jaringan komplotannya itu, yaitu Undang-Undang No. 82 Tahun 1991 tentang Perlindungan Saksi dan Orang yang Bekerjasama dengan Hukum (Law on the Protection of Witnesses and Persons Cooperating with Justice atau Law No. 82. 15 March 1991). Justice collaborator memang termasuk saksi, namun hendaknya didukung dengan perlindungan dan penghargaan yang lebih dari sekedar saksi karena sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, perannya begitu strategis dalam pengungkapan suatu kasus pidana. UU No. 13 Tahun 2006 sebagai instrumen hukum yang paling penting dalam hal perlindungan saksi ternyata menurut Mas Achmad Santosa belum mendukung peran pelaku tindak kejahatan yang sangat penting dalam upaya pemberantasan kejahatan yang terorganisir dan pelakunya adalah orang yang berkuasa. UU No. 13 Tahun 2006 menurutnya belum mampu memperluas lingkup pihak yang dapat dilindungi LPSK.23 Bagi tersangka yang 21
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998), hlm. 90. 22
United Nations Office on Drugs and Crime, The Good Practices for the Protection of Witnesses in Criminal Proceedings involving Organized Crime, (New York: United Nations, 2008), hlm. 18. 23
Abdul Razak Asri, “Aturan Whistleblower Prioritas Dalam Revisi UU PSK” http://hukumonline.com/berita/baca/lt4c6028924862b/whistleblower-prioritas-dalam-revisi-uu-psk , diunduh 30 November 2011. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
10
berkontribusi sebagai saksi dalam pengungkapan tindak pidana dapat diberikan keringanan hukuman, namun kewenangan ini mutlak otoritas hakim.24 Terlihat dari isi Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 bahwa hakim diberi peran yang besar untuk mempertimbangkan saksi yang mana sajakah yang dapat diberi keringanan hukum berdasarkan kesaksiannya tanpa ada pedoman yang jelas. Kelahiran SEMA No. 04 Tahun 2011 serta Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang mengatur hal-hal mendasar mengenai justice collaborator dan perlindungan terhadapnya ini ditujukan agar Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 benarbenar dapat diimplementasikan. Kedua peraturan ini merupakan suatu hal yang baru dan belum pernah diterapkan. Sementara itu dalam prakteknya, terutama dalam kasus korupsi yang sedang ramai dipublikasikan sejumlah media massa, wacana mengenai justice collaborator sudah menjadi hal yang cukup sering dipermasalahkan. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, aparat penegak hukum harus bisa mendalami peraturan bersama tersebut agar dapat menerapkannya dengan benar dan tidak melupakan latar belakang peraturan bersama ini yang berangkat dari konsep perlindungan saksi yang telah diatur sebelumnya dalam UU No.13 Tahun 2006. Untuk itulah diperlukan suatu tinjauan yuridis mengenai konsep dan ketentuan mengenai justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang kini telah diatur dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
1.2.
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
penulis merumuskan pokok-pokok permasalahan yang menjadi acuan penulis, yaitu mengenai pengertian dan konsep justice collaborator dalam sistem peradilan pidana,
serta
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
mengenai
perlindungan terhadap justice collaborator, baik di Indonesia maupun di negara lain sebagai bahan perbandingan. Pokok permasalahan selanjutnya adalah mengenai penerapan konsep dan ketentuan tersebut dalam praktek peradilan 24
Abdul Haris Semendawai, op.cit., hlm. 8. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
11
pidana di Indonesia, khususnya dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004 di mana Agus Condro Prayitno sebagai salah satu pelaku tindak pidana tersebut mendapatkan berbagai bentuk perlindungan karena kerja samanya dengan penegak hukum. Adapun fokus penulisan ini dibatasi dengan pertanyaan (research question) sebagai berikut. 1. Bagaimana pengertian dan konsep justice collaborator dalam sistem peradilan pidana? 2. Bagaimana ketentuan mengenai perlindungan bagi justice collaborator dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan perbandingannya dengan negara lain? 3. Apakah Agus Condro dapat dinyatakan sebagai seorang justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi pada Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004 dan bagaimana penerapan ketentuan mengenai perlindungan bagi justice collaborator dalam kasus tersebut?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan tentang apa yang
hendak dicapai dengan penelitian ini dan dirumuskan secara tegas dan proporsionil.25 Berdasarkan permasalahan di atas, penulis hendak mencapai dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam mengenai konsep dan ketentuan tentang justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui pengertian dan konsep justice collaborator dalam sistem peradilan pidana;
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2010), hlm.18. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
12
2. Mengetahui ketentuan mengenai perlindungan bagi justice collaborator dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan perbandingannya dengan negara lain; dan 3. Mengidentifikasi adanya justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi pada Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004 dan mengetahui penerapan ketentuan mengenai perlindungan bagi justice collaborator dalam kasus tersebut.
1.4.
Kerangka Konsepsional Kerangka konsepsional merupakan suatu kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Pada hakikatnya kerangka konsepsional
merupakan suatu pengarah
atau pedoman agar
menghilangkan sifat abstrak dari penelitian.26 Untuk itu dalam kerangka konsepsional diperlukan definisi-definisi operasional untuk
memudahkan
pembahasan, memfokuskan penelitian, dan mencegah terdapatnya pengertian yang berbeda mengenai satu istilah. Pada penelitian ini ditetapkan definisi operasional sebagai berikut. 1. Sistem peradilan pidana yang dimaksud dalam penulisan ini adalah sistem peradilan pidana yang terpadu yang diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional antara aparat penegak hukum sesuai tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing yang bertujuan untuk menegakkan, menjalankan, dan memutuskan hukum pidana.27 2. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.28
26
Ibid., hlm.132-133.
27
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, ed. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 90. 28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm274. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
13
3. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.29 4. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.30 5. Saksi Mahkota adalah saksi yang juga merupakan terdakwa pada kasus yang sama pada persidangan rekannya.31 6. Justice collaborator atau collaborator of justice atau saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.32 7. Tindak pidana serius dan/atau terorganisir adalah tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan masyarakat luas.33 Penulis memilih menggunakan istilah “terorganisir”
29
Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, op.cit., Pasal 1 angka 26.
30
Ibid., Pasal 1 angka 27.
31
M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hlm. 848. 32
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, op.cit., Pasal 1 angka 3. 33
Ibid., Pasal 1 angka 4, Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
14
daripada “terorganisasi”34 agar sesuai dengan istilah yang digunakan dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
1.5.
Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sedangkan sistematis adalah berdasarkan suatu sistem dan konsisten berarti tidak ada hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Penelitian merupakan suatu bagian pokok dari ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mengetahui dan lebih memperdalam segala segi kehidupan.35 Untuk itu penelitian dilakukan dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik itu ilmu pengetahuan alam, maupun ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan budaya, dan lain sebagainya. Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Adapun ilmu hukum merupakan salah satu bidang ilmu pengetahuan sosial, namun memiliki perbedaan dengan penelitian sosial. Dalam penelitian hukum diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dari gejala tersebut.36 Penelitian hukum dimulai dengan menelusuri bahan-bahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan hukum terhadap kasus-kasus hukum yang konkret.37 Sementara itu, penelitian sosial mengarahkan perhatiannya pada fakta sosial dengan sikap bebas 34
Dalam Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. Ke- 3, cet, ke-1, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 803 tidak dikenal kata “terorganisir”, tetapi dikenal kata “terorganisasi”. Terorganisasi (v)= telah disusun dan diatur di suatu kesatuan. 35
Soerjono Soekanto, op.cit. hlm. 3.
36
Soerjono Soekanto, op.cit. hlm. 43.
37
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. Ke-2, (Surabaya: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 199. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
15
nilai (value free) yang berarti tidak mengandung interpetasi subyektif dari peneliti. Tujuan penelitian sosial adalah untuk mengetahui, meramalkan, dan mengendalikan proses-proses sosial untuk membantu terciptanya susunan masyarakat yang rasional. 38
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis serta didukung dengan hasil wawancara dengan narasumber dan informan.39 Penelitian ini sering juga disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang mengacu pada analisis hukum baik dalam arti law as it is written in the book, maupun dalam arti law as it is decided by judge through judicial process
40
Penelitian mengenai konsep dan ketentuan tentang
justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ini berangkat dari peraturan perundang-undangan, seperti Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. SEMA No. 04 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Penelitian norma hukum tertulis tersebut dilakukan tanpa melihat keberlakuannya.41 Metode atau cara pendekatan (approach) yang dilakukan dalam penelitian yuridis normatif ini adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) atau penelaahan sistematika perundang-undangan dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Metode pendekatan perundang-undangan harus digunakan dalam suatu penelitian yuridis normatif karena penelitian ini berfokus pada aturan-aturan hukum. 42 Metode pendekatan perbandingan dilakukan 38
Ibid., hlm. 153.
39
Ibid.
40
Ronald Dworking, Legal Research, (Daendalus, 1973), hlm. 250 dalam Dwinanto Agung Wibowo, “Peranan Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana di Indonesia”, (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm.2. 41 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.10. 42
Johnny Ibrahim, op.cit., hlm. 302. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
16
karena analisis hukum yang dihasilkan suatu pendekatan perundang-undangan akan lebih akurat dan cocok jika dilakukan dengan pendekatan lain.43 a. Metode Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach) Dalam penelitian yuridis normatif, peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat comprehensive, all inclusive, dan systematic. Comprehensive berarti norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait satu sama lain. All inclusive artinya kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum, yang ada sehingga tidak terjadi kekurangan hukum. Systematic berarti tersusun secara hierarkis.44 Dengan berdasar pada sifat tersebut, maka dilakukanlah metode pendekatan perundangundangan atau penelahaan sistematika perundang-undangan. Peneliti akan menelaah pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi pusat perhatian peneliti. Pengertian dasar dari sistem hukum yang dimaksud meliputi subyek hukum, hak dan kewajiban hukum, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum.
45
Dalam penelitian ini peneliti akan menelaah pengertian-
pengertian dasar mengenai justice collaborator yang terdapat dalam KUHAP, UU No. 13 Tahun 2006, SEMA No. 04 Tahun 2011, dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Penelitian yuridis normatif ini tidak hanya berguna untuk pendidikan hukum dan penilaian atas peraturan perundang-undangansaja, namun juga sebagai pedoman bagi penegak hukum.46 b. Pendekatan Perbandingan (comparative approach) Penelitian
perbandingan
hukum
dapat
dilakukan
untuk
membandingkan suatu lembaga hukum dari sistem hukum tertentu dengan
43
Ibid., hlm. 305.
44
Ibid., hlm. 302.
45
Soerjono Soekanto, op.cit. hlm. 255.
46
Sri Mamudji et al., op.cit. hlm. 10. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
17
lembaga hukum dari sistem hukum yang lain47 atau membandingkan pengertian dasar dalam tata hukum tertentu.48 Dari perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan. Pendekatan yang dilakukan
adalah
pendekatan
komparasi
mikro,
yaitu
dengan
memperbandingkan isi aturan hukum negara lain yang spesifik dengan aturan hukum yang diteliti. Perbandingan ini dapat digunakan sebagai ilm bantu (hulp wetenschap) untuk keperluan analisis dan eksplanasi terhadap ilmu hukum,
serta
dapat
membantu
mempertimbangkan
pengaturan
dan
penyelesaian tertentu dari tatanan hukum yang dianalisis.49 Dalam penelitian ini peneliti akan memperbandingkan pengertianpengertian dasar mengenai perlindungan terhadap justice collaborator dalam hukum acara pidana di Indonesia dengan hukum acara pidana negara lain. Negara-negara yang akan menjadi obyek perbandingan adalah Amerika Serikat, Italia, Belanda, dan Jerman. Dari penelitian ini akan diperoleh pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara konsep dan ketentuan mengenai justice collaborator dalam dalam hukum acara pidana di Indonesia dengan hukum acara pidana negara lain agar dapat diambil nilai positifnya dalam penerapan dan pembaharuan hukum di Indonesia. Dari sudut sifatnya tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif50 di mana penelitian
berusaha
untuk
menggambarkan
secara
tepat
gejala
makin
bermunculannya justice collaborator di Indonesia dan bagaimana konsep dan ketentuannya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dari tujuannya tipe penelitian ini adalah penelitian problem finding51, yaitu untuk menemukan permasalahan sebagai akibat dari dikeluarkannya ketentuan mengenai justice collaborator di Indonesia, khususnya dalam UU No. 13 Tahun 2006, SEMA No. 04 47
Johnny Ibrahim, op.cit. hlm. 313.
48
Sri Mamudji et al., op.cit.. hlm. 11.
49
Johnny Ibrahim, loc.cit.
50
Sri Mamudji et al., op.cit. hlm. 4.
51
Ibid. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
18
Tahun 2011, dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Dari peraturan-peraturan tersebut dan ditambah dengan perbandingan dengan negara lain, akan dilihat kekurangan dan masalah yang dapat timbul. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini menekankan pada penggunaan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan pustaka tanpa perlu diperoleh secara langsung dari masyarakat.52 Sumber data sekunder dalam penelitian ini dilihat dari kekuatan mengikatnya dapat dibagi menjadi: a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Bahan hukum primer digunakan untuk mencari landasan hukum mengenai justice collaborator. Pada penelitian ini digunakan bahan hukum primer yang berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, Surat Edaran Mahkamah Agung, peraturan menteri, peraturan kepala lembaga pemerintah non departemen, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan tersebut misalnya adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, dan lain-lain. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer, serta implementasinya. Bahan hukum sekunder digunakan untuk mencari landasan teori mengenai justice collaborator. Bahan Hukum Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku, tesis, disertasi, artikel, jurnal ilmiah baik nasional dan internasional, makalah, dan internet. Bahan tersebut misalnya buku Organized Crime, Ninth Edition karya Howard Abadisnky (Belmont: Wadsworth, Cengage Learning, 2007), buku The 52
Soerjono Soekanto, op.cit., hlm.51. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
19
Good Practices for the Protection of Witnesses in Criminal Proceedings involving Organized Crime dari United Nations Office on Drugs and Crime (New York: United Nations, 2008), makalah-makalah yang disampaikan
pada
Whistleblower as
International
Workshop on
The
Protection
of
Justice Collaborator yang diselenggarakan oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Jakarta,19-20 Juli 2011), dan lain-lain. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier digunakan untuk mencari dengan cepat informasi mengenai justice collaborator, misalnya definisi. Bahan Hukum Tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku saku, kamus, dan ensiklopedia elektronik, seperti Black’s Law Dictionary Seventh Edition (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1999), Microsoft® Encarta® 2009 [DVD], dan lain-lain. Untuk memperoleh data sekunder, alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen atau bahan kepustakaan yang dilakukan dengan riset ke perpustakaan, pusat dokumentasi, dan browsing internet. Dalam studi dokumen ini digunakan analisis isi (content analysis), yaitu teknik untuk menganalisis tulisan/dokumen dengan cara mengidentifikasi secara sistematis maksud yang terkandung dalam pengaturan mengenai justice collaborator dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan serta dari berbagai literatur. Penulis akan menelaah pengertian-pengertian dasar dari peraturan perundangundangan tersebut sehingga hasilnya akan mempermudah penegak hukum dalam melaksanakan peranannya secara konsisten.53 Pada akhirnya data sekunder ini akan dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis.
1.6.
Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman dari pembahasan dalam penelitian ini,
penulis membagi skripsi ini dalam bab-bab yang terdiri dari: 53
Ibid., hlm.255. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
20
BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini memaparkan latar belakang masalah, pokok permasalahan yang menjadi acuan penulis, tujuan penelitian, kerangka konsepsional, metode penelitian sebagai sarana untuk mencapai hasil penelitian secara metodologis dan sistematis, dan sistematika penulisan yang merupakan kerangka dari penelitian ini.
BAB 2 KONSEP JUSTICE COLLABORATOR DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI
ALAT
BUKTI
DALAM
SISTEM
PERADILAN
PIDANA Dalam bab ini terdapat uraian teoretis yang terbagi dalam 2 (dua) sub bab pembahasan. Sub bab yang pertama akan membahas mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang terbagi dalam 6 (enam) sub pokok bahasan, yaitu pengertian saksi dan keterangan saksi, pengecualian menjadi saksi, syarat sah dan berharganya keterangan saksi, cara menilai keterangan saksi, jenis-jenis saksi, dan tahap pemeriksaan saksi. Dalam sub bab kedua selanjutnya akan dibahas mengenai justice collaborator dalam pembuktian suatu perkara pidana yang terbagi dalam 4 (empat) sub pokok pembahasan. Sub pokok bahasan tersebut secara berurutan akan membahas
mengenai
pengertian
justice
collaborator,
justice
collaborator dalam konsep perlindungan saksi, penanganan khusus bagi justice collaborator, dan jenis kejahatan yang diungkap justice collaborator.
BAB 3 KETENTUAN MENGENAI JUSTICE COLLABORATOR DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN NEGARA LAIN Bab ini terbagi menjadi 5 (lima) sub bab. Sub bab pertama akan membahas mengenai perlindungan bagi justice collaborator dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dibagi dalam 4 (empat), yaitu mengenai UU No, 13 Tahun 2006, SEMA No. 04 Tahun Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
21
2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang masing-masing diuraikan dalam sub pembahasan tersendiri, serta ditambah dengan perbedaan antara justice collaborator dengan saksi mahkota. Sub bab kedua, ketiga, keempat, dan kelima akan membahas mengenai perlindungan bagi justice collaborator di negara lain, yaitu Amerika Serikat, Italia, Belanda, dan Jerman. Dalam tiap sub bab mengenai perlindungan di negara lain tersebut akan diuraikan mengenai pengaturan, tindak pidana yang diungkap, dan penghargaan yang didapatkan oleh justice collaborator. Dalam sub bab kenam kemudian akan
diuraikan
perbandingan
antara
perlindungan
bagi
justice
collaborator antara Indonesia dengan negara lain.
BAB 4 IDENTIFIKASI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PRAKTEK (STUDI
KASUS
TINDAK
PIDANA
KORUPSI
DALAM
PEMILIHAN DEPUTI GUBERNUR SENIOR BANK INDONESIA PERIODE 2004-2009) Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab. Sub bab pertama akan menjabarkan kasus posisi mengenai kasus suap dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004 di mana beredar pendapat bahwa Agus Tjondro Prayitno yang terlibat dalam kasus tersebut merupakan seorang justice collaborator. Dalam sub bab kedua akan diuraikan analisis mengenai kedudukan Agus Condro sebagai justice collaborator dalam hal diterapkannya SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Dalam sub bab kedua ini kemudian akan diuraikan apakah Agus Condro dalam kasus ini berkedudukan sebagai justice collaborator, apa saja perlakuan khusus dan perlindungan yang didapatkan oleh Agus Condro, kedudukan Agus Condro dalam pembuktian kasus tersebut, dan terakhir permasalahan yang dapat timbul dalam penerapan ketentuan mengenai justice collaborator dalam SEMA Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
22
No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
BAB 5 PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran mengenai konsep dan ketentuan mengenai justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya apa yang telah diatur dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Kesimpulan ini merupakan bentuk uraian terakhir yang penulis sampaikan berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Adapun saran merupakan usulan penulis terhadap hal-hal yang diperlukan sebagai rekomendasi.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
BAB 2 KONSEP JUSTICE COLLABORATOR DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
2.1.
Alat Bukti Keterangan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Dalam acara pemeriksaan biasa54 pada suatu perkara pidana, dengan
hadirnya terdakwa pada tanggal yang telah ditentukan maka proses akan dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa dan pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum. Terhadap pembacaan surat dakwaan ini penasihat hukum atau terdakwa dapat mengajukan eksepsi. Apabila eksepsi tidak diajukan atau halhal yang menyangkut proses eksepsi telah selesai, maka proses selanjutnya adalah tahap pembuktian. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan di mana melalui tahap ini ditentukan nasib terdakwa.55 Pembuktian dalam hukum acara pidana ini dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya
sehingga
harus
mempertanggungjawabkannya.56
54
Acara pemeriksaan perkara pidana dibedakan menjadi acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan cepat, dan acara pemeriksaan singkat. Acara pemeriksaan biasa umumnya diperuntukkan untuk perkara-perkara tindak kejahatan berat atau tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas dan masalah pembuktiannya memerlukan ketelitian. (M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 104). Acara pemeriksaan singkat diperuntukkan untuk perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana (Pasal 203 ayat (1) KUHAP). Sedangkan acara pemeriksaan cepat diperuntukkan untuk perkara tindak pidana ringan, yaitu perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini. 55
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 274. 56
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1989), hlm. 106.
23
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
24
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.57 Dalam hal pembuktian ini hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang lainnya harus mendapat hukuman yang setimpal. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah sampai mendapatkan hukuman atas perbuatan yang tidak dilakukannya.58 Oleh karena itu dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, majelis hakim harus mendasarkan keyakinannya pada alat bukti yang ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).59 KUHAP menganut sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijke bewijstheorie60 atau negatief wettelijk stelsel61) yang berarti bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.62 Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
57
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, loc.cit. 58
Darwan Prints, op.cit., hlm.105.
59
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 273274. 60
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 197.
Normatif,
Teoretis,
Praktik
dan
61
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 279. 62
Ibid. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
25
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan melihat ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP ini, hakim dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa harus memenuhi asas minimum pembuktian yang lahir dari acuan kalimat “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”.63 Yang dimaksud dengan alat bukti yang sah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu i) keterangan saksi; ii) keterangan ahli; iii) surat; iv) petunjuk; v) keterangan terdakwa. Dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap terdakwa apabila hakim tidak memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sebaliknya, keyakinan hakim saja juga tidak cukup jika keyakinan itu tidak ditimbulkan oleh sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah.64 Keterangan saksi memang bukanlah satu-satunya alat bukti yang sah yang yang dapat melahirkan keyakinan hakim sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam pengungkapan suatu perkara pidana, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah penting, bahkan seringkali menjadi faktor penentu dalam pengungkapan kasus tersebut. Saksi, sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana (dramatis personae)65 memiliki peran yang sangat penting yang mana tanpanya sistem peradilan pidana akan berhenti berfungsi.66 Hampir tidak ada perkara pidana yang dalam pembuktiannya tidak
63
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 198.
64
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 273274. 65
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1991), hlm.12. 66
Nicholas Fyfe dan James Sheptycki, Facilitating Witness Co-operation in Organised Crime Cases: An International Review¸(London: Crown Research Development and Statistics Directorate Home Office, 2005), hlm.33. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
26
menggunakan alat bukti keterangan saksi karena keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti yang paling utama dalam pembuktian perkara pidana.67
2.1.1. Pengertian Saksi dan Keterangan Saksi Istilah saksi memiliki pengertian yang berbeda dengan keterangan saksi. Pengertian saksi telah diberikan secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tepatnya dalam Pasal 1 angka 26. Pasal 1 angka 26 menyatakan, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan saksi menurut KUHAP telah disebutkan secara jelas dalam Pasal 1 angka 27 yang berbunyi: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sementara itu Pasal 185 ayat (1) KUHAP memberikan batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti yang secara redaksional menyatakan bahwa, “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga memberikan pengertian saksi yang sejalan dengan pengertian saksi dan keterangan saksi yang diberikan KUHAP. Dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
67
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 286. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
27
Dari pengertian yang diberikan KUHAP68 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 mengenai saksi dan keterangan saksi tersebut, dapat ditarik 3 (tiga) kesimpulan, yaitu: -
bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2 (dua) tingkat, yaitu di tingkat penyidikan dan di tingkat penuntutan dalam sidang pengadilan;
-
bahwa apa yang diterangkan adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang bersumber dari luar ketiga hal tadi tidak mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini juga menjadi suatu prinsip pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi;
-
bahwa dalam memberikan keterangannya, saksi harus menerangkan tentang sebab-sebab atau alasan dari pengetahuannya tersebut.
2.1.2. Pengecualian Menjadi Saksi Pada dasarnya setiap orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa dapat didengar sebagai saksi, namun KUHAP mengatur pengecualian mengenai siapa saja yang tidak didengar keterangannya sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Orang-orang yang dikecualikan tersebut menurut R. Soesilo terbagi menjadi tiga golongan, yaitu69: a. Saksi yang Relatif Tidak Kuasa, yaitu orang-orang yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 KUHAP. Mereka pada umumnya mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari kesaksian, akan tetapi menurut Pasal 169 KUHAP mereka dapat memberi keterangan dengan sumpah dalam hal mereka menghendakinya
dan
penuntut
umum
serta
terdakwa
secara
tegas
68
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2006), hlm. 38. 69
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana: Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi Penegak Hukum, (Bandung: Karya Nusantara, 1982), hlm. 113. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
28
menyetujuinya (ayat 1). Adapun apabila penuntut umum dan terdakwa tidak setuju, mereka tetap dapat memberikan keterangan tanpa sumpah (ayat 2) dan dengan demikian keterangan mereka tidak bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi. b. Saksi yang Absolut Tidak Kuasa, yaitu orang-orang yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah berdasarkan Pasal 171 KUHAP. Orang-orang tersebut adalah anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin, serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. Memberi keterangan tanpa sumpah berarti keterangan mereka tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai keterangan saksi. Alasan mereka tidak dapat disumpah adalah karena mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, sehingga keterangan yang mereka berikan di persidangan hanyalah dipergunakan sebagai petunjuk saja. 70 c. Para Pewajib Penyimpan Rahasia, yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia mengenai hal yang dipercayakan kepadanya. Berdasarkan Pasal 170 KUHAP, mereka dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi atas hal yang dipercayakan kepadanya. Dalam hal ini hakimlah yang menentukan sah atau tidaknya alasan permintaan tersebut. Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan itu misalnya adalah dokter yang harus merahasiakan penyakit pasiennya,
sedangkan
yang
dimaksud
karena
martabatnya
dapat
mengundurkan diri adalah pastor karena harus merahasiakan pengakuan dosa yang dilakukan umatnya kepadanya.71
2.1.3. Syarat Sah dan Berharganya Keterangan Saksi Untuk dapat dipakai sebagi alat bukti yang sah, keterangan saksi harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat formal dan syarat material.72 70
C. Djitsman Samosir, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, cet.2, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 81. 71
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ed. Ke-2, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008), hlm. 262. 72 Darwan Prints, op.cit., hlm. 108. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
29
a. Syarat Formal 1) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji Keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah. Sumpah ini dilakukan menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Keterangan saksi tanpa sumpah bukanlah merupakan alat bukti. Ia dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah yang lain jika keterangan saksi tersebut selaras dengan dengan saksi atas sumpah yang lain (Pasal 185 ayat (7) KUHAP). Dengan demikian, keterangan saksi yang tidak di bawah sumpah hanya boleh dipergunakan sebagai penambah kesaksian yang sah.73 Sementara itu, berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1990, keterangan saksi di bawah sumpah yang diberikan di hadapan penyidik, kemudian dibacakan di depan persidangan, nilainya sama dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diberikan di depan persidangan.74 Kepercayaan atas kebenaran isi keterangan yang diletakkan di atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah didasarkan pada dua alasan yang bersifat menekan secara psikologis. Pertama, sumpah yang harus diucapkan berdasarkan dan menurut cara agama masing-masing akan menekan kepercayaan terhadap sanksi dosa dan kutukan dari Tuhan apabila dengan sengaja melanggar sumpah. Kedua, Pasal 242 KUHP telah menentukan sanksi pidana maksimum 7 (tujuh) hingga 9 (sembilan) tahun penjara bagi orang yang memberikan keterangan palsu di atas sumpah sehingga akan membuat orang takut dipidana jika ia memberikan keterangan yang tidak benar.75
73
Ibid., hlm. 50.
74
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 173.
75
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 50. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
30
2) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan Sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1), keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang saksi atau orang lain nyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) sekalipun berhubungan peristiwa pidana yang sedang diperiksa tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.76
b. Syarat Material 1) Saksi menerangkan peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu Syarat material ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 jo. Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa saksi harus menerangkan suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu di depan sidang pengadilan.77 Dari penegasan bunyi Pasal 1 angka 27 dihubungkan dengan bunyi Pasal 185 KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa:78 i. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar apa yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian. ii. Keterangan saksi harus bersumber pada penglihatannya sendiri, dialaminya sendiri dan atau didengarnya sendiri langsung dari
76
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 288. 77
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 174.
78
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 287. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
31
sumbernya. Artinya fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi harus bersumber dari pribadinya sendiri. Keterangan tersebut tidak boleh didapat dari orang lain atau pemberitahuan atau cerita orang lain yang dalam doktrin disebut dengan testimonium de auditu atau hearsay evidence.79 Testimonium de auditu tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti80, namun perlu pula didengar oleh hakim untuk memperkuat keyakinan hakim yang bersumber pada dua alat bukti lain dan dapat juga dijadikan alat bukti petunjuk yang penilaian dan pertimbangannya diserahkan kepada hakim.81 iii. Pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP.82 Pendapat atau rekaan saksi bukanlah termasuk fakta karena tidak bersumber dari objek yang dilihat saksi, suara yang didengar saksi atau kejadian yang dialami saksi.83 Mengenai isi hal apa yang diterangkan saksi tidaklah diatur dalam KUHAP, yang penting isi keterangan itu bukanlah merupakan pendapat,
melainkan
fakta
yang
berhubungan/relevan
dengan
pembuktian atas tindak pidana yang didakwakan.84 Selain itu dari definisi yang diberikan Pasal 1 angka 27 KUHAP tentang keterangan saksi dapat ditarik pula syarat bahwa saksi tersebut harus menyebutkan alasan atau sebab ia mengetahui tentang apa yang ia terangkan di muka sidang. Kewajiban saksi untuk memberikan keterangan tentang alasan dari pengetahuan mengenai apa yang ia terangkan di muka sidang bertujuan agar peristiwa yang ia terangkan itu benar-benar mengenai hal yang 79
Adami Chazawi, op.cit., hlm.44.
80
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, loc.cit. 81
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia,op.cit., hlm. 265.
82
Lilik Mulyadi, loc.cit.
83
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 45.
84
Ibid., hlm. 46. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
32
dialaminya sendiri, didengarnya sendiri dan atau dilihatnya sendiri. Sebab ini haruslah dapat diterima akal sehat.85 2) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup Keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis).86 Syarat ini ditarik dari bunyi Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Menurut ketentuan ini, suatu fakta yang diperoleh dari keterangan saksi yang satu agar menjadi berharga haruslah didukung dengan keterangan saksi yang lain atau didukung oleh alat bukti lain. Dengan demikian pembuktian tersebut sudah dapat memenuhi syarat minimal pembuktian, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sebagaimana disyaratkan Pasal 183 KUHAP.87 Ketentuan ini hanya berlaku dalam proses pemeriksaan perkara acara biasa. Dalam pemeriksaan perkara acara cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang sah.88 Dibutuhkan lebih dari satu keterangan saksi yang bersesuaian atau setidaknya satu keterangan saksi yang bersesuaian dengan alat bukti lain, namun tidak berarti dengan adanya beberapa atau banyak keterangan saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan saksi yang secara kuantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian belum tentu secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan kesalahan terdakwa.89 Nilai pembuktian keterangan saksi adalah bukan terletak dari banyaknya (kuantitas) saksi, tetapi dari kualitasnya. Berapapun
85
Ibid., hlm. 49.
86
Darwan Prints, op.cit., hlm. 108.
87
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 53.
88
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali , op.cit., hlm. 289. 89
Ibid. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
33
banyaknya saksi tetapi jika isi keterangan saksi-saki tersebut berdiri sendirisendiri (tidak bersesuaian satu sama lain), maka tidaklah berharga.90 Syarat mengenai kesesuaian antara suatu keterangan saksi dengan keterangan saksi yang lain ini ditarik dari Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang mensyaratkan adanya hubungan antara keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian untuk dapat dipergunakan sebagai suatu alat bukti yang sah. Hal ini dinamakan kesaksian berantai (kettingbewijs) yang disebut juga dalam Pasal 300 ayat (2) HIR.91 Selain KUHAP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga mengatur mengenai syarat jumlah saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dalam Pasal 55 dinyatakan bahwa, “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya..” Di dalam penjelasan pasal ini, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami istri adalah pengakuan terdakwa. Jadi, terkait dengan asas ullus testis nullus testis menurut Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, untuk membuktikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga cukup diperlukan satu keterangan saksi korban dan pengakuan terdakwa.
2.1.4. Cara Menilai Keterangan Saksi Dalam menilai keterangan saksi, di samping harus memperhatikan syaratsyarat sah dan berharganya keterangan saksi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan hakim. Hal-hal ini dapat dianggap sebagai standar penilaian.92 Hal-hal yang harus diperhatikan tersebut 90
Adami Chazawi, loc.cit.
91
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia,op.cit., hlm. 270.
92
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 55. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
34
adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP yang berbunyi: Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim harus dengan sungguhsungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi atau segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Dari bunyi pasal tersebut yang menjadi standar penilaian hakim dalam menilai keterangan saksi adalah: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; Standar penilaian yang pertama ini pada dasarnya berhubungan erat dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis).93 Fakta yang diperoleh dari keterangan saksi yang satu agar menjadi berharga haruslah didukung atau bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain. Nilai pembuktian keterangan saksi adalah bukan terletak dari banyaknya (kuantitas) saksi, tetapi dari kualitasnya. Berapapun banyaknya saksi tetapi jika isi keterangan saksi-saki tersebut berdiri sendirisendiri (tidak bersesuaian satu sama lain), maka tidaklah berharga.94 b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; Sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, hakim dalam menilai kebenaran keterangan saksi tidak hanya harus memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, tetapi juga persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. Pada dasarnya, bukanlah menjadi suatu keharusan untuk menghadirkan keterangan saksi lebih 93
Darwan Prints, loc.cit.
94
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 53. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
35
dari satu. Satu saja sudah cukup, tetapi harus didukung atau bersesuaian dengan dengan setidaknya satu alat bukti lain sehingga memenuhi syarat minimum pembuktian.95 c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu Alasan saksi dalam memberikan keterangan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan hakim dalam menilai keterangan saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP. Alasan saksi yang dimaksud dalam pasal ini berbeda dengan alasan didapatnya pengetahuan mengenai suatu peristiwa pidana yang diterangkan saksi menurut Pasal 1 angka 27. Alasan yang dimaksud dalam Pasal 185 ayat (6) adalah berupa alasan yang terselubung yang tidak perlu diucapkan secara tegas di muka persidangan, tetapi merupakan hasil dari pemikiran atau analisis atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan.96 Contohnya putusan Mahkamah Agung No. 185 K/pid/1982 yang menilai keterangan saksi R. br Goeltom dan O.S. br Siahaan tidak mempunyai nilai pembuktian. Alasan yang mendasari pendapat itu bertitik tolak dari anggapan adanya “keadaan tertentu” yang mendorong dan melatarbelakangi saksi-saksi memberikan keterangan yang memebrtakan Terdakwa III, yaitu kedua saksi merupakan keluarga dekat korban. Keterangan saksi itu dianggap subyektif dan meragukan sehingga dinilai tidak memiliki nilai pembuktian.97 d. Cara hidup dan kesusilaan saksi atau segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya Dari Pasal 185 ayat (6) huruf d KUHAP dapat disimpulkan bahwa ada tiga keadaan yang dapat mempengaruhi kebenaran keterangan saksi, yaitu cara hidup saksi, kehidupan kesusilaan saksi, dan segala sesuatu yang pada
95
Ibid., hlm. 57.
96
Ibid.
97
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 291. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
36
umumnya dapat mempengaruhi kebenaran keterangan saksi.98 Tiga keadaan ini tidak dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut. Yang dimaksud dengan cara hidup saksi adalah pekerjaan atau cara yang bersangkutan mencari nafkah, pendidikannya, hubungan sosial, kedudukan dalam masyarakat, kebiasaan atau hobi, sifat pribadi, akhlak, ketakwaaan dan keimanan, kegiatan sehari-hari, pengalaman hidupnya, dan lain sebagaimana. Kehidupan kesusilaan adalah segala hal yang berhubungan dengan masalah kelamin atau birahi. Sifat pribadi yang berhubungan dengan masalah ini misalnya suka menikah dan cepat meninggalkan istri dan anaknya begitu saja, suka jajan, suka berjudi, pemabuk, dan lain sebagainya.99
Di samping keempat hal yang disebutkan dalam Pasal 185 ayat (6), KUHAP juga mengatur hal-hal lain yang perlu diperhatikan hakim dalam menilai keterangan saksi, yaitu:100 a. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi (Pasal 164 ayat (1) KUHAP) Sehubungan dengan tanggapan terdakwa atas keterangan saksi, Pasal 164 ayat (1) KUHAP memberikan kesempatan kepada terdakwa setiap kali saksi selesai memberikan keterangan untuk memberikan pendapatnya mengenai keterangan itu. Dalam kesempatan tersebut, terdakwa dapat membantah keseluruhan keterangan saksi, membantah sebagian dan membenarkan selebihnya atau membenarkan keseluruhan keterangan saksi.101 Sifat dari tanggapan terdakwa bukan merupakan keharusan sebagaimana Pasal 185 ayat (6), tetapi dalam praktek tanggapan terdakwa ini sering dijadikan pertimbangan, terutama bagi jaksa penuntut umum. Tanggapan terdakwa ini sering dimuat dalam requisitor dan hal ini dapat diterima mengingat pembenaran terdakwa atas keterangan saksi dapat dianggap sebagai alat bukti 98
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, op.cit., hlm. 59.
99
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 59.
100
Ibid., hlm. 55.
101
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 186. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
37
keterangan terdakwa jika disertai dengan alasan atau penjelasan yang masuk akal.102 b. Persesuaian keterangan saksi di persidangan dengan keterangan saksi di penyidikan Sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi yang dijadikan alat bukti adalah keterangan saksi dalam sidang pengadilan, bukan dalam tingkat penyidikan. Hal ini berarti persesuaian antara keterangan saksi di sidang pengadilan dengan keterangan saksi di penyidikan tidak menjadi syarat dari kekuatan pembuktian suatu keterangan saksi.103 Pada prinsipnya, keterangan yang harus diberikan saksi dalam sidang pengadilan sedapat mungkin sama atau sejalan dengan keterangan yang diberikan pada berita acara penyidikan. Akan tetapi hal tersebut tidak membatasi kebebasan yang diberikan kepada saksi dalam memberikan keterangan di depan persidangan walaupun kebebasan itu sendiri bukan berarti saksi bebas untuk berbohong.104 Hakim tidak dilarang untuk menilai keterangan saksi dengan memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi di sidang pengadilan dengan di tahap penyidikan.105 Hal ini diisyaratkan oleh Pasal 163 KUHAP yang mengatur bahwa hakim mengingatkan saksi jika keterangan yang diberikannya berbeda dengan keterangannya di tingkat penyidikan. Hakim meminta keterangan mengenai perbedaan itu dan akan dicatat panitera. Saksi boleh memberikan keterangan yang berbeda dengan yang terdapat pada berita acara penyidikan asalkan perbedaan tersebut didasari alasan yang jelas dan masuk akal. Apakah alasan perbedaan yang diutarakan saksi dapat diterima atau tidak tergantung pada penilaian hakim. Apabila alasan perbedaan tersebut tidak jelas atau tidak masuk akal, maka hakim dapat mengangap keterangan 102
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 60.
103
Ibid.
104
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 184. 105
Adami Chazawi, loc.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
38
saksi pada berita acara penyidikanlah yang benar106 dan mengabaikan keterangan saksi di depan persidangan.107 Berita acara penyidikan tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP.108
2.1.5. Jenis-Jenis Saksi Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas: a. Saksi A Charge Saksi a charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum karena kesaksiannya yang memberatkan terdakwa.109 Berdasarkan Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, baik saksi yang memberatkan
maupun
meringankan
terdakwa
wajib
didengarkan
keterangannya oleh Hakim Ketua Sidang dalam hal saksi tersebut tercantum dalam berkas pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan.
b. Saksi A De Charge Saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum yang kesaksiannya bersifat meringankan terdakwa. Sama halnya dengan saksi a charge, saksi a de charge juga wajib didengarkan keterangannya oleh Hakim Ketua Sidang berdasarkan Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. Saksi a de charge yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara pemanggilannya dilakukan oleh penuntut umum, sedangkan saksi a de charge yang dimintakan oleh terdakwa
106
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 185. 107
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 61.
108
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 178.
109
Darwan Prints, op.cit., hlm. 111. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
39
atau penasihat hukum pemanggilannya dilakukan oleh terdakwa atau penasihat hukum itu sendiri. 110
c. Saksi Korban Saksi korban adalah saksi yang menjadi korban dalam tindak pidana tersebut. Keterangan saksi korban akan didengar pertama dalam pemeriksaan saksi sesuai dengan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP. Keterangan saksi korban ini sangat penting karena ia mengalami sendiri dan merasakan akibat dari tindak pidana tersebut.
d. Saksi Mahkota Saksi mahkota berasal dari istilah dalam bahasa Belanda, yaitu kroongetuige atau yang dalam sistem Anglo Saxon dikenal dengan nama crown witness atau Queen’s evidence (atau King’s evidence dalam hal kerajaan dipimpin oleh seorang raja. Dalam definisi yuridis yang diberikan Fockema Andrea’s Juridisch Woorden Boek, kroongetuige berarti saksi utama (penting); saksi yang perlu sekali untuk memperoleh pembuktian yang sempurna.111 Black’s Law Dictionary mendefinisikan Queen’s evidence atau state’s evidence sebagai kesaksian yang dilakukan oleh terdakwa yang biasanya diberikan di bawah sebuah janji atau pengampunan, untuk melawan terdakwa lainnya. Janji tersebut biasanya berupa kekebalan dari penuntutan atau pengurangan hukuman.112 110
Ibid.
111
N.E. Algra dan H.R.W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae: Belanda Indonesia [Fockema Andrea’s Juridisch Woorden Boek], cet. Ke-1, diterjemahkan oleh Saleh Adi, A. Teloeki, dan Boerhanoeddin St. Batoeah, (Jakarta: Binacipta, 1983), hlm. 251 dan N.E. Algra dan H.R.W. Gokkel, Fockema Andrea’s Juridisch Woorden Boek, Zesde Druk, (Groningen: Wolters, 1948), hlm. 285. Kroongetuige = de getuige wiens verklaring inmisbaar is om tot volledig bewijs te komen. 112
Bryan A. Garner, ed., Black’s Law Dictionary: Seventh Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1999), hlm. 579-580. Terjemahan bebas dari: - Queen’s evidence= testimony provided bi one criminal defendant, usu. Under a promise or pardon, against another criminal defendant. Also termed (when a king reignsI King’s evidence. See also state’s evidence. - State’s evidence= = testimony provided bi one criminal defendant under a promise of immunity or reduced sentence, against another criminal defendant Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
40
Secara teoritis KUHAP tidak mengatur mengenai saksi mahkota, namun keberadaannya telah lama ada dalam praktek sehingga berkembanglah berbagai pendapat dari sarjana hukum mengenai saksi mahkota. Menurut Lilik Mulyadi, saksi mahkota pada hakikatnya adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa dan kepadanya diberikan suatu “mahkota”. “Mahkota” dalam konteks ini berarti saksi tersebut diberikan suatu kehormatan berupa perlakuan istimewa, yaitu tidak dituntut atas tindak pidana yang mana sebenarnya ia merupakan salah satu pelakunya atau ia dimaafkan atas kesalahannya. Oleh karena saksi mahkota diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa, berarti saksi mahkota hanya ada pada satu tindak pidana yang pelakunya (tersangka atau terdakwanya) lebih dari seorang dan saksi itu adalah salah seorang di antara tersangka atau terdakwa yang peranannya paling kecil atau dengan kata lain bukan pelaku utama.113 Sejalan dengan Lilik Mulyadi, Andi Hamzah juga mendefinisikan saksi mahkota sebagai salah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi. Saksi seperti ini dikenal dalam praktek pengadilan di Belanda dengan nama kroongetuige. Dasar hukumnya ialah asas oportunitas114 yang ada di tangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang ke pengadilan. Syaratnya ia bersedia membongkar komplotan itu.115 Mereka dijanjikan keringanan pidana atau pembebasan dan perlindungan bagi keselamatan diri mereka untuk bersaksi melawan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana tersebut. Saksi mahkota ini diperkenalkan terutama sebagai instrumen untuk melawan kejahatan terorganisasi.116
113
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 180.
114
Andi Hamzah, ed., Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 151. Asas oportunitas memberikan wewenag kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau ditiadakan penuntutan. 115
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, op.cit., hlm. 272.
116
Peter J. P. Tak. De kroongetuige en de georganiseerde misdaad: een rechtsvergelijkend onderzoek naar de kroongetuige als instrument ter bestrijding van de Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
41
R. Soesilo melihat bahwa dalam praktek keberadaan saksi mahkota ini sering dijumpai dalam suatu kejahatan yang dilakukan beberapa orang. Biasanya para pelaku akan didakwa dalam satu surat dakwaan yang berarti dijadikan satu perkara. Jika terjadi kekurangan bukti, agar jangan sampai ada beberapa terdakwa terpaksa dibebaskan dari hukuman, maka tidak semua terdakwa akan dikenakan penuntutan. Terdakwa yang tidak dituntut akan diangkat menjadi saksi guna membuktikan kesalahan terdakwa yang dituntut yang biasanya adalah terdakwa yang utama. Saksi semacam itulah yang menurut R. Soesilo dalam praktek disebut dengan saksi mahkota atau kroongetuige.117 Ketentuan mengenai saksi mahkota kini juga telah dimasukkan dalam Rancangan KUHAP Draf Tahun 2011. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 200 Rancangan KUHAP yang berbunyi: (1) Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan Saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila Saksi membantu mengungkapkan keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal 199 dan membantu secara substantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaan hakim pengadilan negeri. (3) Penuntut umum menentukan tersangka atau terdakwa sebagai saksi mahkota. Berdasarkan ketentuan Pasal 200 ayat (1) Rancangan KUHAP tersebut, yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan yang dapat dibebaskan dari penuntutan pidana karena telah membantu mengungkapkan keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam tindak pidana tersebut dengan
georganiseerde misdaad in het Belgische, Deense, Duitse en Italiaanse recht, (Arnhem: Gouda Quint, 1994), hlm. 20. 117
R. Soesilo, Teknik Berita Acara (proses verbal), Ilmu dan Bukti dan Laporan, (Bogor: Politeia, 1980), hlm. 10. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
42
menjadi saksi dalam perkara yang sama. Tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal 199 dan membantu secara substantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain juga dapat disebut sebagai saksi mahkota dan mendapatkan pengurangan pidana apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang paling ringan peranannya dalam tindak pidana tersebut. Pengakuan dari seorang terdakwa memang dimungkinkan dalam Rancangan KUHAP Draf Tahun 2011, yaitu dalam Pasal 199 yang berbunyi: (1) Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. (2) Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum. Dalam prakteknya, saksi mahkota di Indonesia sering dimaknai berbeda. Demi kepentingan pembuktian, pemisahan perkara ini dapat dilakukan penuntut umum semata-mata karena kurangnya alat bukti yang diperoleh untuk menuntut semua terdakwa. Oleh karena itu para terdakwa seakan-akan dalam hal ikut serta (medeplegen) perkaranya dipisah dan kemudian menjadi saksi bagi terdakwa yang sesama peserta dalam tindak pidana tersebut secara bergantian.118 Dihadirkannya seorang terdakwa sebagai saksi mahkota karena kurangnya alat bukti dapat dilakukan dengan adanya penuntutan yang terpisah atau pemisahan berkas perkara (splitsing) yang dilakukan oleh penuntut umum berdasarkan Pasal 142 KUHAP. Untuk mengungkap kasus di mana tidak ada saksi yang dapat digunakan untuk membuktikan surat dakwaan, maka penuntut umum melakukan pemecahan berkas perkara sesuai kebutuhan. Apabila hal itu dilakukan, maka masing-masing terdakwa akan menjadi saksi dalam perkara terdakwa lainnya.119
118
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia,op.cit., hlm.271.
119
Darwan Prints, op.cit., hlm. 90. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
43
Melakukan pemisahan berkas perkara (splitsing van zaken) merupakan salah satu kewenangan yang diberikan KUHAP kepada penuntut umum dalam melakukan penuntutan. diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.” Pasal 141 KUHAP120 mengatur mengenai penggabungan berkas perkara (voeging van zaken). Baik penggabungan maupun pemisahan berkas perkara dilakukan dalam hal penuntut umum pada waktu yang sama menerima beberapa berkas perkara mengenai beberapa tindak pidana yang berhubungan satu sama lain. Adapun pemisahan berkas perkara dilakukan apabila syarat dalam Pasal 141 KUHAP tidak terpenuhi. Pemisahan berkas perkara pada dasarnya harus didasarkan kepada kepentingan pemeriksaan semata-mata.121 Demi kepentingan pemeriksaan semata, dalam prakteknya sering terjadi pemisahan berkas perkara di luar persyaratab yang ditentukan dalam Pasal 142 KUHAP. Penuntut umum pun dapat melakukan pemisahan perkara sehingga para terdakwa dapat menjadi 120
Pasal 141 KUHAP: Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Penjelasan Pasal 141 KUHAP: Yang dimaksud dengan "tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain"apabila tindak pidana tersebut dilakukan dilakukan: 1. oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat yang bersamaan; 2. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya; 3. oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain. 121
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), cet.3., (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1990), hlm. 82. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
44
saksi bagi terdakwa yang sesama peserta dalam tindak pidana tersebut secara bergantian.122 Penuntut umum kemudian akan membuat berkas perkara yang baru baik terhadap terdakwa maupun saksi untuk diperiksa secara terpisah.123 Dengan dihadirkannya saksi mahkota ini diharapkan perbuatan terdakwa dengan mudah tertangkap. Di beberapa negara Anglo Saxon, saksi mahkota ini dikenal dengan nama Queen’s evidence. Berbeda dengan praktek peradilan pidana yang terjadi di Indonesia, Queen’s evidence ini adalah saksi yang semula merupakan pelaku dari suatu tindak pidana yang dibebaskan dari predikat terdakwa dengan syarat harus memberikan kesaksian mengenai tindak pidana tersebut. Ketika menjadi saksi, status yang bersangkutan tidak lagi merupakan seorang terdakwa. Hal seperti ini secara yuridis hanya layak ditawarkan pada pelaku tindak pidana yang perannya paling kecil, tetapi keterangannya akan sangat menentukan terungkapnya tindak pidana tersebut.124 Di Britania Raya, berdasarkan Criminal Evidence Act 1898, setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan dapat menjadi saksi yang kompeten dalam setiap tahap peradilan pidana, baik ia diperiksa sendiri maupun bersama-sama dengan tersangka/terdakwa lainnya.125 Orang tersebut tidak dapat dipanggil menjadi saksi sebelum statusnya sebagai tersangka/terdakwa dicabut dan diganti menjadi saksi126, kecuali ia sendiri yang mengajukan diri sebagai saksi. Jika orang yang masih berstatus sebagai tersangka/terdakwa itu menjadi saksi, maka ia tidak dapat diperiksa silang (cross examined) atau
122
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia,op.cit., hlm.271.
123
Djoko Prakoso, Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing), (Yogyakarta: Liberty, 1988),
hlm.113. 124
Peter Murphy, Evidence, 6th Edition, (London: Blackstone Press Ltd., 1997), hlm. 417 dalam Flora Dianti, “Tinjauan Yuridis Praktis Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Anak dalam Peradilan Pidana”, (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 60. 125
Simon Cooper, Peter Murphy, dan John Beaumont, Cases and Materials on Evidence, Fourth Edition, (London: Blackstone Press Ltd., 1997), hlm. 105. 126
Peter Murphy, op.cit., hlm. 418. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
45
diajukan pertanyaan yang mengarahkan pada perbuatan atau kesalahannya dalam tindak pidana tersebut.127 Kehadiran saksi mahkota sebagai alat bukti hingga saat ini masih memunculkan berkembangannya berbagai pendapat, baik yang menyetujui, maupun menolaknya. Pendapat-pendapat tersebut muncul karena di satu sisi, sebagai saksi ia harus memberikan keterangannya yang sebenarnya di bawah sumpah dan pelanggaran terhadap hal ini diancam pidana dalam ketentuan Pasal 424 KUHP. Di sisi lain, sebagai terdakwa ia diberi hak ingkar oleh undang-undang, yaitu hak untuk untuk membantah dakwaan, menyanggah keterangan para saksi dan bukti-bukti yang diajukan di depan persidangan.128 Beberapa yurisprudensi yang diikuti selama ini masih mengakui kehadiran saksi mahkota sebagai alat bukti, yaitu antara lain Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pd/1989 tanggal 2 Maret 1989 yang memperbolehkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi di persidangan pengadilan negeri dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian (gesplits).129 Putusan tersebut menyatakan:130 Penuntut umum/Jaksa diperbolehkan mengajukan teman terdakwa sebagai saksi, yang disebut “saksi mahkota (kroongetuige)”, asalkan perkara terdakwa dipisahkan dari perkara saksi tersebut (terdakwa dan saksi tidak termasuk dalam satu berkas perkara). Hal tersebut tidak dilarang oleh undang-undang. Pertimbangan
untuk
menghadirkan
saksi
mahkota
ini
harus
berpedoman pada Pasal 142 KUHAP di mana harus dilakukan pemisahan
127
Simon Cooper, Peter Murphy, dan John Beaumont, op.cit., hlm. 105-106.\
128
Lilik Mulyadi, loc.cit.
129
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung tentang Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, SEJA No. B-69/E/02/1997 dalam Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Satu Kompilasi Ketentuan-Ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional yang Relevan, cet. Ke-3, (Jakarta: Djambatan, 2006), hlm. 1076. 130
M. Ali Boediarto, “Masalah Saksi Mahkota dalam Perkara Pidana”, Varia Peradilan Majalah Hukum Bulanan Tahun VI No 62, November 1990, hlm. 43. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
46
perkara
(splitsing).
Selain
itu,
dalam
statusnya
sebagai
terdakwa,
keterangannya hanya berlaku untuk dirinya sendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 189 ayat (3) KUHAP.131 Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan perkara (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, terutama keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawaban sebagai pelaku pidana.132 Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung mengeluarkan pendapatpendapat yang menolak keberadaan saksi mahkota sebagai alat bukti. Putusan yang menolak saksi mahkota sebagai alat bukti adalah putusan dalam perkara pembunuhan buruh Marsinah, yaitu dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung Nomor 381 K/Pid/1994, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1706 K/Pid/1994, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995. Dalam putusan-putusan tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa:133 … pengadilan tinggi telah salah menerapkan hukum pembuktian di mana para saksi yang adalah para terdakwa dalam perkara dengan
131
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, loc.cit.
132
Setyono, “Eksistensi Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana”, Lex Jurnalica Vol. 5 No. 1, Desember 2007, hlm. 34. 133
M. Ali Boediarto, “Kasus Tokoh Buruh Marsinah; Saksi Mahkota Bertentangan dengan Hukum”, Varia Peradilan Majalah Hukum Bulanan Tahun X No. 119, Agustus 1995, hlm. 21 dan M. Ali Budiarto, “Kasus Tokoh Buruh Marsinah; Saksi Mahkota Bertentangan dengan Hukum (Bagian Ketiga)”, Varia Peradilan Majalah Hukum Bulanan Tahun X No. 120, September 1995, hlm. 27, 39, 43. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 dengan terdakwa Ny. Mutiara, Putusan Mahkamah Agung Nomor 381 K/Pid/1994 dengan terdakwa Yudi Astono, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1706 K/Pid/1994 dengan terdakwa Suwono dan Suprapto, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dengan terdakwa Karjono Wongso, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dengan terdakwa Bambang Wuryanto Cs. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
47
dakwaan yang sama yang dipecah adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, … Dari sisi yang menolak penghadiran saksi mahkota ini, berpendapat bahwa secara normatif, pengajuan dan penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti merupakan hal yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah hak asasi manusia yang diatur dalam KUHAP dan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Saksi mahkota pada dasarnya berstatus sebagai terdakwa sehingga memiliki hak absolut untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau berbohong. Hal ini merupakan
konsekuensi
dari
tidak
diwajibkannya
terdakwa
untuk
mengucapakan sumpah, sedangkan jika didudukkan sebagai saksi, maka ia wajib untuk bersumpah dan pelanggaran akan sumpah tersebut dapat diancam dengan Pasal 224 KUHP sebagai keterangan palsu. Pada hakikatnya, menurut Loebby Loqman, hal tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapatkan dengan menggunakan kekerasan.134 Hak ingkar yang dimiliki terdakwa ini diberikan oleh Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR yang berbunyi: In the determination of any criminal charges against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equalty: (g). not to be compelled to testify against himself or to confess guilty. Inti dari ketentuan ini adalah bahwa terdakwa tidak boleh dipaksa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri atau untuk mengaku bersalah yang mana hal ini dikenal sebagai asas non-self incrimination. Dalam KUHAP, asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
134
Setyono, loc.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
48
e. Saksi Verbalisant Istilah “verbalisant” merupakan istilah yang lazim tumbuh dan berkembang dalam praktek peradilan, serta pada dasarnya tidak diatur dalam KUHAP. Menurut J.C.T. Simorangkir, Edwin Rudy, dan Prasetyo J.T., “verbalisant” adalah petugas (polisi atau seorang yang diberi tugas khusus) untuk menyusun, membuat atau mengarang proses verbal. Eksistensi saksi verbalisant ini tampak jika dalam persidangan terdakwa menyangkal keterangan saksi atau jika keterangan saksi/terdakwa di sidang pengadilan berbeda dengan keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat penyidik atau jika terdakwa/saksi mencabut keterangannya pada Berita Acara Pemeriksaan karena adanya tekanan baik fisik maupun psikis.135 \ f. Testimonium de auditu Testimonium de auditu atau hearsay evidence adalah keterangan dari seorang saksi yang bersumber dari pemberitahuan atau cerita orang lain.136 Istilah testimonium de auditu ini terdapat dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menegaskan, “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.” Sesuai dengan penegasan Pasal 1 angka 27 KUHAP, agar isi keterangan saksi menjadi berharga dan bernilai pembuktian sehingga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk membentuk keyakinan hakim, maka keterangan saksi haruslah bersumber pada penglihatannya sendiri, dialaminya sendiri dan atau didengarnya sendiri langsung dari sumbernya. Artinya fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri dan tidak boleh didapat dari orang lain atau pemberitahuan atau cerita orang lain.137 Keterangan de auditu sering dijumpai dalam praktek pengadilan. Misalnya B diperiksa sebagai saksi dalam persidangan pembunuhan atas D 135
Ibid., hlm. 182.
136
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 45.
137
Ibid., hlm. 45. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
49
dan B menceritakan apa yang pernah didengarnya dari A yang tidak dapat lagi didengar karena A telah meninggal, maka keterangan dari B tersebut termasuk dalam keterangan de auditu. Keterangan de auditu tersebut perlu pula didengar oleh hakim walaupun tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti keterangan saksi. Keterangan de auditu dapat dijadikan alat bukti petunjuk yang penilaian dan pertimbangannya diserahkan kepada hakim.138
g. Saksi berantai Saksi berantai adalah saksi yang memberikan keterangan yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan. Berdasarkan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, keterangan saksi berantai (kettingbewijs)139 tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu sama lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Menurut S.M. Amin, ada 2 (dua) macam keterangan saksi berantai, yaitu beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan dan Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan.140
2.1.6. Tahap Pemeriksaan Saksi Keterangan dari seorang saksi diperlukan dalam 2 (dua) tahapan peradilam pidana, yaitu di tingkat penyidikan dan di tingkat penuntutan dalam sidang pengadilan.141 Pada tingkat penuntutan dalam sidang pengadilan, keterangan saksi digunakan sebagai salah satu alat bukti yang akan digunakan hakim untuk memenuhi keyakinannya dalam menjatuhkan putusan bagi sang terdakwa. Usaha untuk mencari alat bukti keterangan saksi tersebut sudah mulai dilakukan sejak 138
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia,op.cit., hlm. 265.
139
Ibid., hlm. 270.
140
Ibid.
141
Pasal 1 angka 26 KUHAP menyatakan bahwa, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
50
tingkat penyidikan. Penyidikan merupakan tahap pertama dalam mengumpulkan bukti guna membuat terang sebuah tindak pidana agar selanjutnya dapat dilimpahkan ke tahap penuntutan. Sebagai tahap pertama penyidikan memerlukan kesempurnaan karena berhasil atau tidaknya penuntutan tergantung pada mutu penyidikan sebelumnya. Oleh karena itu, terhadap hasil pemeriksaan tersangka dan beban pembuktian lainnya, sebelum diserahkan kepada penuntut umum, penyidik wajib secara obyektif menilai bahan pembuktian tersebut. 142 Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dari pengertian yang diberikan KUHAP, secara konkret dan faktual dimensi penyidikan dimulai ketika terjadinya tindak pidana. Oleh karena itu, melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang tindak pidana yang dilakukan, tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti), waktu tindak pidana dilakukan (tempus delicti), cara tindak pidana dilakukan, dengan alat apa tindak pidana dilakukan, latar belakang tindak pidana dilakukan, dan siapa pelakunya.143 Dalam usaha awal mengumpulkan bukti tersebut, penyidik yang tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP karena kewajibannya diberikan beberapa kewenangan dalam Pasal 7 KUHAP yang salah satunya adalah “memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi” (huruf g). Kualitas suatu keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah di persidangan bergantung pada proses penyidikan. Apabila seorang pelapor tidak takut untuk melapor segera setelah terjadinya tindak pidana, menjelaskan secara rinci apa saja yang telah terjadi dan mampu menunjukkan orang-orang maupun barang yang terkait perkara, serta menjadi saksi dalam pengadilan, maka kemungkinan besar kasus tersebut sukses. Sebaliknya, bila pelapor ketakutan dan tidak berharap banyak
142
Andi Hamzah, ed., Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, op.cit. hlm. 27.
143
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 55. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
51
pada pengadilan, dan walaupun atau pun secara tertekan mengubah-ubah keterangan, hampir dapat dipastikan kasusnya tidak sukses. 144 Tidak selamanya saksi yang diperiksa penyidik tersebut memberatkan tersangka walaupun pemanggilan dan pemeriksaan saksi yang dilakukan selama proses penyidikan bertujuan untuk mengumpulkan bukti yang dapat dijadikan sebagai bahan penuntutan. Selama pemeriksaan berlangsung di muka penyidik, tersangka dapat mengajukan kepada penyidik agar diperiksa saksi yang menguntungkan baginya. Bahkan, berdasarkan Pasal 116 ayat (3) KUHAP penyidik diharuskan bertanya kepada tersangka apakah ia akan mengajukan saksisaksi yang menguntungkan baginya (saksi a decharge). Jika tersangka mengajukan saksi tersebut, maka penyidik wajib untuk memanggil dan memeriksa saksi tersebut (Pasal 116 ayat (4) KUHAP). Berikut adalah uraian hal-hal penting dalam tata cara pemeriksaan saksi dalam prose penyidikan: a. Saksi memberikan keterangannya secara bebas Prinsip ini didasarkan pada Pasal 117 ayat (1) KUHAP yang menegaskan bahwa saksi dalam memberikan keterangan di hadapan penyidik harus terlepas dari segala macam tekanan apa pun dan dari siapa pun. b. Saksi dapat diperiksa di tempat kediamannya Berdasarkan Pasal 113 KUHAP, apabila saksi tidak dapat memenuhi panggilan pemeriksaan karena alasan yang patut dan wajar, misalnya sakit berat145, penyidik dapat datang ke dan melakukan pemeriksaan di tempat kediaman saksi tersebut. Terhadap saksi yang bertempat tinggal di luar wilayah
hukum
penyidik
juga
dapat
didelegasikan
pelaksanaan
pemeriksaannya kepada pejabat penyidik di wilayah hukum tempat tinggal atau kediaman saksi (Pasal 119 KUHAP). Dengan demikian saksi-saksi tersebut tetap dapat memenuhi kewajiban hukum mereka untuk diperiksa sebagai saksi. Lain halnya jika yang dipanggil tidak mau datang tanpa alasan yang dapat diterima, maka ia dapat dipidana menurut Pasal 216 KUHP. 144
Basil Fernando, op.cit., hlm. 19.
145
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia,op.cit., hlm. 127. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
52
c. Saksi diperiksa tanpa sumpah Tidak seperti pemeriksaan saksi di muka persidangan, saksi dalam memberikan keterangan di muka penyidik tidak berada di bawah sumpah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 116 ayat (1) KUHAP. Saksi dalam pemeriksaan penyidikan dapat dibebani sumpah apabila ada cukup alasan untuk menduga bahwa saksi tidak akan dapat hadir nanti sebagai saksi dalam sidang pengadilan. Alasan saksi tidak disumpah dalam pemeriksaan penyidikan adalah agar saksi dalam memberikan keterangan di persidangan tidak terikat dengan keterangannya saat pemeriksaan penyidikan. Hal ini dilakukan demi mewujudkan pencarian kebenaran materiil dalam sidang pengadilan.146 d. Saksi diperiksa sendiri-sendiri Berdasarkan Pasal 116 ayat (2) KUHAP, saksi diperiksa sendiri-sendiri walaupun penyidik tidak dilarang untuk mempertemukan para saksi. Pemeriksaan saksi yang dilakukan terpisah ini dilakukan demi menjaga agar para saksi tidak terpengaruh secara langsung atau tidak langsung oleh keterangan saksi yang lain sehingga mereka dapat memberikan keterangan yang sebenarnya.147 e. Berita acara yang berisi keterangan saksi ditandatangani oleh penyidik dan saksi Berdasarkan Pasal 117 ayat (2), keterangan tersangka dan saksi dicatat dengan teliti oleh penyidik sesuai kata yang digunakan oleh saksi. Setelah itu menurut Pasal 118 ayat (1), saksi menandatangani berita acara pemeriksaan terhadap dirinya setelah lebih dulu isi berita acara itu disetujuinya. Saksi dapat menolak menandatanganinya dan penolakan tersebut akan dicatat oleh penyidik dalam berita acara.
Dari pengertian yang diberikan KUHAP mengenai saksi dan keterangan saksi, saksi juga diperlukan untuk memberikan keterangannya dalam sidang 146
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali , op.cit., hlm. 143. 147
Ibid., hlm.143. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
53
pengadilan.148 Pemeriksaan saksi termasuk dalam tahap pembuktian di mana dalam tahap ini baik penuntut umum maupun penasihat hukum dan atau terdakwa berusaha menghadirkan alat bukti keterangan saksi bagi hakim. Pemeriksaan saksi didahulukan daripada pemeriksaan terdakwa sesuai dengan perintah Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yang menegaskan bahwa yang pertama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Didahulukannya pemeriksaan saksi daripada pemeriksaan terdakwa ini juga dinilai lebih manusiawi karena dengan demikian terdakwa akan mendapat gambaran yang lebih baik mengenai peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.149 Berikut adalah tata cara pemeriksaan saksi dalam proses pembuktian di persidangan: 1) Hakim memeriksa kehadiran saksi dan mencegah para saksi untuk berhubungan Berdasarkan Pasal 159 ayat (1) KUHAP, sebelum hakim memeriksa saksi, hakim ketua sidang meneliti terlebih dahulu apakah semua saksi yang dipanggil oleh penuntut umum telah hadir memenuhi panggilan. Hakim ketua sidang kemudian memerintahkan kepada penuntut umum untuk mencegah saksi-saksi yang telah hadir tersebut saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dilakukan agar para saksi itu tidak saling mempengaruhi dan tetap memberikan keterangannya secara bebas. 2) Saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang Sesuai dengan penegasan Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP, pemeriksaan saksi dilakukan satu persatu, tidak sekaligus disuruh masuk ke ruang sidang. Pemeriksaan seperti ini bertujuan agar jangan sampai keterangan seorang saksi didengar oleh saksi yang lain sehingga saksi tersebut terpengaruh saat memberikan keterangannya.150 Mengenai urutan pemeriksaan saksi mana yang lebih dulu didengar keterangannya menurut Pasal 160 ayat (1) huruf a didasarkan pada kebijaksanaan hakim ketua sidang setelah mendengar 148
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 38.
149
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali , op.cit., hlm. 169. 150
Ibid., hlm.172. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
54
pendapat penuntut umum, serta terdakwa atau penasihat hukum. Adapun pada huruf b ditegaskan bahwa yang didengar pertama kali adalah korban yang menjadi saksi. 3) Hakim memeriksa identitas saksi Sebelum mendengarkan keterangan saksi, berdasarkan Pasal 160 ayat (2) KUHAP hakim terlebih dahulu menanyakan identitas saksi dengan mencocokkannya dengan berita acara yang dibuat penyidik. Pemeriksaan tersebut meliputi: -
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan saksi;
-
apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya. Maksud pertanyaan ini adalah agar persidangan dapat melihat bagaimana kedudukan saksi dalam perkara tersebut sehingga hakim ketua sidang
dapat
menentukan
sikap
perlu
tidaknya
saksi
didengar
keterangannya atau untuk menentukan kualitas keterangan saksi di persidangan. 4) Saksi wajib mengucapkan sumpah Keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah. Sumpah ini dilakukan menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Berdasarkan Pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP, sumpah dapat dilakukan sebelum memberikan keterangan yang disebut dengan sumpah promisories atau setelah memberikan keterangan yang disebut dengan sumpah assertories.151 Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah dapat dikenakan penyanderaan paling lama 14 (empat belas) hari berdasarkan penetapan hakim ketua sidang (Pasal 161 KUHAP). 151
Leden Marpaung, Proses Penangan Perkara Pidana Bagian Pertama: Penyidikan dan Penyelidikan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 36. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
55
5) Hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan seluruh saksi Berdasarkan Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, baik saksi yang memberatkan
maupun
meringankan
terdakwa
wajib
didengarkan
keterangannya oleh Hakim Ketua Sidang dalam hal saksi tersebut tercantum dalam berkas pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan. Dalam prakteknya, kata “wajib” dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c ini diterapkan secara fleksibel. Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan fatwa dalam Surat
Ketua Mahkamah Agung RI
Bidang Tindak Pidana Umum No. 503/TU/1796/Pid/90 tanggal 22 September 1990 di mana kata “wajib” diartikan sepanjang terhadap saksi-saksi yang telah disetujui oleh Hakim Ketua Majelis untuk didengar keterangannya di depan sidang.152 6) Kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi Kewajiban saksi tidak hanya memberikan keterangan saja, tetapi juga menjawab
pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan
kepadanya
demi
diperolehnya kebenaran. Kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi diatur dalam Pasal 164 ayat (2) dan Pasal 165 KUHAP di mana yang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi adalah hakim ketua dan hakim anggota sidang, serta penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum melalui perantaraan hakim ketua sidang. Pada prinsipnya saksi harus memberikan keterangan secara bebas di hadapan hakim.153 Dalam memeriksa saksi, hakim, penuntut umum, penasehat hukum, dan terdakwa tidak boleh mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang bersifat mengarahkan saksi untuk memberikan jawaban tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 166 KUHAP. Pertanyaan menjerat merupakan pertanyaan yang diajukan oleh hakim atau penuntut umum terhadap suatu keterangan yang tidak pernah dinyatakan oleh saksi namun
152
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 179.
153
Darwan Prints, op.cit., hlm. 109. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
56
dianggap seolah-olah dinyatakan saksi. Pertanyaan menjerat seperti ini melanggar kebebasan saksi dalam memberikan keterangan. 7) Terdakwa diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atas keterangan saksi Sehubungan dengan tanggapan terdakwa atas keterangan saksi, Pasal 164 ayat (1) KUHAP memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyatakan pendapatnya atas keterangan saksi. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada terdakwa menilai dan menanggapi keterangan saksi. Dalam kesempatan tersebut, terdakwa dapat membantah keseluruhan keterangan saksi, membantah sebagian dan membenarkan selebihnya atau membenarkan keseluruhan keterangan saksi.154
2.2.
Justice Collaborator dalam Pembuktian Suatu Perkara Pidana
2.2.1. Pengertian Justice Collaborator Pada awalnya konsep justice collaborator tidak dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia, namun kenyataannya konsep ini lahir dalam praktek peradilan pidana di Indonesia. Berikut adalah beberapa pendapat mengenai apa atau siapa yang dimaksud dengan justice collaborators: 1. United Nations Office on Drugs and Crime Justice collaborators adalah seorang yang terlibat dalam suatu pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh atau berhubungan dengan organisasi kriminal yang memiliki pengetahuan penting tentang struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan organisasi tersebut dengan kelompok lain. Kebanyakan dari mereka bekerja sama dengan harapan mereka dapat menerima kekebalan atau setidaknya keringanan hukuman penjara dan perlindungan fisik bagi diri dan keluarga mereka. 155
154
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali , op.cit., hlm. 186. 155
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 19. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
57
2. Council of Europe Committee of Minister Collaborators of justice adalah seseorang yang berperan sebagai pelaku tindak pidana atau diyakini merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan terorganisir dalam segala bentuknya atau merupakan bagian dari yang kejahatan terorganisir, namun yang bersangkutan bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau terorganisir atau mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang terkait dengan kejahatan terorganisir maupun kejahatan serius lainnya.156 Dengan kata lain, collaborator of justice adalah peserta tindak pidana yang memutuskan untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan yang dipersiapkan untuk memberi kesaksian di pengadilan untuk melawan sesama pelaku tindak pidana tersebut.157 Tujuan mereka adalah untuk mendapat keuntungan-keuntungan seperti remisi, keuntungan-keuntungan selama di penjara, perlindungan dari organisasi kejahatan, dan bantuan ekonomi atau finansial.158 3. Undang-Undang Republik Albania Nomor 9205 tanggal 15 Maret 2004 tentang Perlindungan Justice Collaborators dan Saksi Collaborator of justice adalah seorang yang sedang menjalani hukuman pidana atau seorang tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana yang diberikan penanganan perlindungan khusus atas kerja sama, keterangan, dan pernyataannya yang dibuat selama selama
156
Council of Europe, The Protection of Witnesses and Collaborators of Justice: Recommendation R(2005)9 adopted by the Committee of the Ministers of Council of Europe on 20 April 2005 and Explanatory Memorandum, (Strasbourg: Council of Europe, 2005), hlm. 7. Dalam Recommendation R(2005)9 diberikan definisi collaborator of justice, yaitu “…any person who faces criminal charges, or has been convicted of taking part in a criminal association or other criminal organisation of any kind, or in offences of organized crime, but who agrees to cooperate with criminal justice authorities, particularly by giving testimony about a criminal association or organisation, or about any offence connected with organised crime or other serious crimes.” 157
Fausto Zuccarelli, “Handling and Protecting Witnesses and Collaborators of Justice: The European Experience”, (makalah disampaikan pada UNDP-POGAR Regional Workshop on Witness and Whistleblower Protection, Rabat, Maroko, 3 April 2009), hlm. 7. Dokumen dapat diakses pada http://www.pogar.org/publications/agfd/GfDII/ACINET/Rabat09/zuccarelli3.eng.pdf 158
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”, http://www.coe.int/t/dlapil/codexter/Source/ pcpw_questionnaireReplies/PC-PW%202006%20reply%20-%20Italy.pdf, hlm.1. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
58
proses persidangan pidana di mana yang bersangkutan mengalami situasi bahaya yang riil, nyata, dan serius.159 4. Mas Achmad Santosa Justice collaborators atau pelaku yang bekerjasama adalah seseorang yang membantu aparat penegak hukum dengan memberi laporan, informasi atau kesaksian yang dapat mengungkap suatu tindak pidana di mana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana tersebut atau tindak pidana lain. Hal yang diungkap oleh pelaku yang bekerjasama ini antara lain adalah pelaku utama tindak pidana, aset hasil tindak pidana, modus tindak pidana, dan jaringan tindak pidana. 160 5. Senat Republik Prancis Repentis atau collaborateurs de justice atau collaborators of justice adalah orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kriminal yang menerima kerja sama dengan pihak pengadilan atau kepolisian dan mendapat keuntungan sebagai imbalan dari kerja sama mereka. Kerja sama tersebut dapat berupa berbagai bentuk, misalnya memberikan informasi berharga yang dapat mencegah terealisasikannya suatu tindak pidana yang sudah direncanakan atau membantu mengidentifikasi pelaku tindak pidana yang telah terjadi. Sebagai imbalannya, orang yang bekerja sama tersebut bisa mendapatkan keuntungan, seperti tidak dilakukannya penuntutan oleh penuntut umum atau keringanan hukuman dari hakim. 161
159
Dalam versi Bahasa Inggris Undang-Undang Republik Albania Nomor 9205 tanggal 15 Maret 2004 tentang Perlindungan Justice Collaborators dan Saksi (Law No. 9205, Dated 15/03/2004 on the Justice Collaborators and Witness Protection) disebutkan dalam Pasal 2 huruf b, "A collaborator of justice" is considered a person that serves a criminal sentence or a defendant in a criminal proceeding, towards whom special measures of protection have been applied due to collaboration, notifications and declarations made during the criminal proceeding on the offences provided in letter "e" of this article, and for these reasons is in a real, concrete or serious danger.” Dokumen dapat diunduh pada http://www.coe.int/t/dlapil/codexter/Source /pcpw_questionnaireReplies/Albania%20legislation.pdf 160
Mas Achmad Santosa, “Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators)”, (makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Jakarta, 19-20 Juli 2011). 161
Le Sénat de la République française, “Les repentis face á la justice pénale”, Les documents de travail du sénat: Serié legislation compare, (Paris: Juni, 2003), hlm.5. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
59
6. Marie-Aude Beernaert Konsep collaborateurs de justice atau justice collaborator menawarkan beberapa keuntungan atau keringanan dari pidana yang seharusnya kepada pelaku-pelaku tindak pidana yang menerima tawaran kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan informasi mengenai sesama pelaku tindak pidana yang mana ia juga merupakan bagian atau pelaku dari kejahatan tersebut. 162 7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut sebagai UU No. 13 Tahun 2006) Perlindungan terhadap justice collaborator telah diatur dalam Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 yang berbunyi: (1) Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan; Perlindungan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) ialah perlindungan hukum yang diberikan kepada Saksi yang juga tersangka yang secara umum biasa disebut sebagai saksi mahkota, saksi kolaborator atau kolaborator hukum. Kedudukannya sebagai “seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama” mengisyaratkan bahwa seorang yang dapat diposisikan sebagai justice collaborator haruslah seorang saksi yang juga tersangka. Ini berarti posisi dari orang tersebut haruslah sebagai saksi seperti yang dimaksud dalam UU No. 13 Tahun 2006 yang dalam posisi lainnya juga adalah seorang tersangka. Pengertian ini belum mencakup pelaku bekerjasama yang kapasitasnya sebagai seorang pelapor atau informan yang mungkin tidak termasuk dalam pengertian saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006, namun memiliki peran yang
162
Marie-Aude Beernaert, “’Repentis’ ou ‘collaborateurs de justice’: quelle légitimé dans le système penal?”, Droit et sociètè, (2003/3-no 55), hlm. 695. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
60
signifikan dalam memberikan informasi tentang kasus tersebut, atau pelaku bekerjasama yang berstatus narapidana.163 8. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (selanjutnya disebut sebagai SEMA No. 04 Tahun 2011) Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut: a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangannya sebagai saksi di dalam proses peradilan.164 9. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (selanjutnya disebut Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama) Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat
163
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, “Naskah Akademik Penyusunan Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, (dibuat dalam rangka penyusunan Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, 4 November 2011). 164
Mahkamah Agung, SEMA No. 04 Tahun 2011, butir 9 huruf a. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
61
penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. 165 Dari berbagai pengertian di atas, secara garis besar terdapat persamaan pandangan mengenai apa atau siapa yang dimaksud dengan justice collaborator. Justice collaborator atau collaborator of justice atau pelaku yang bekerja sama adalah pelaku tindak pidana atau bagian dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau segala bentuk kejahatan terorganisir yang bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai tindak pidana tersebut dengan tujuan mendapatkan keuntungankeuntungan, seperti tidak dilakukannya penuntutan oleh penuntut umum atau diberikannya keringanan hukuman dari hakim. Justice collaborator memiliki peranan besar dalam membantu penyidik dan penuntut umum dalam membuktikan suatu perkara pidana karena sebagaimana diungkapkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), orang tersebut memiliki pengetahuan penting tentang struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan atau jaringan organisasi tersebut dengan kelompok lain. Adapun menurut pengertian yang diberikan oleh Senat Prancis, kerjasama tersebut dapat berupa pemberian informasi berharga yang dapat mencegah terealisasikannya suatu tindak pidana yang sudah direncanakan atau membantu mengidentifikasi pelaku tindak pidana yang telah terjadi. Beberapa pendapat di atas menyatakan bahwa dalam melakukan kerja sama dengan penegak hukum tersebut, justice collaborator diharuskan menyediakan alat bukti keterangan saksi sehingga ia harus berstatus sebagai saksi. Sementara itu, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa justice collaborator dapat saja merupakan seorang pelapor atau informan yang mungkin tidak termasuk dalam pengertian saksi, namun memiliki peran yang signifikan dalam 165
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, op.cit., Pasal 1 butir 3. Penggunaan istilah “Saksi Pelaku yang Bekerjasama” sebagai padanan istilah “justice collaborator” mulai digunakan dalam sistem peradilan pidana Indonesia sejak lahirnya SEMA No. 04 Tahun 2011 pada tanggal 10 Agustus 2011. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
62
memberikan informasi tentang kasus tersebut, atau pelaku bekerjasama yang berstatus narapidana sebagaimana diungkapkan oleh LPSK dalam Naskah Akademis Rancangan Perubahan UU No. 13 Tahun 2006. Demikian pula pendapat dari Senat Republik Prancis yang menyatakan bahwa kerja sama itu dapat dilakukan dengan pihak pengadilan atau kepolisian, tidak hanya untuk membantu penyidik mengidentifikasi pelaku suatu tindak pidana, tetapi juga untuk mencegah suatu tindak pidana yang sudah direncanakan. Sebelum istilah justice collaborator mulai diperkenalkan, masyarakat khususnya
di
Indonesia
lebih
mengenal
istilah
whistleblower.
Istilah
whistleblower ini semakin populer di Indonesia sejak munculnya Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji yang mengungkap kasus korupsi di instansi tempat ia bekerja. Istilah justice collaborator sering disamakan dengan whistleblower karena keduanya dianggap sama-sama berperan memberi kesaksian kepada aparat penegak hukum dalam membongkar kasus di instansi di mana mereka bekerja. Bahkan
ada
beberapa
pihak
yang
menggunakan
istilah
participant
whistleblower166 saat merujuk pada whistleblower yang juga menjadi pelaku dalam tindak pidana yang dibongkarnya. Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada kepada otoritas internal organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga pemantau publik. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi intinya ditujukan untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya.167 The American Heritage® Dictionary mendefinisikan seorang whistleblower sebagai, “one who reveals wrongdoing within an organization to the public or to those in positions of authority.”168 Artinya seorang whistleblower adalah orang yang mengungkap penyelewengan dalam sebuah organisasi kepada 166
Surya Jaya, op.cit.. hlm. 2.
167
Abdul Haris Semendawai, et.al., Memahami Whistleblower, (Jakarta: LPSK, 2011),
hlm. ix. 168
Mary B. Curtis, “Whistleblower Mechanisms: A Study of the Perception of ‘Users’ and ‘Responders’”, The Dallas Chapter of the Institute of Internal Auditors (April 2006), hlm. 4. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
63
publik atau kepada pemegang kekuasaan. Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat bahwa seorang whistleblower pada hakikatnya merupakan “orang dalam”, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Oleh karena itu seorang whistleblower benarbenar mengetahui dugaan pelanggaran dan kejahatan tersebut karena hal itu terjadi di tempatnya bekerja sehingga laporan yang diberikan whistleblower ini merupakan suatu peristiwa faktual.169 Motivasi seorang whistleblower dalam upaya mengungkap suatu pelanggaran atau kejahatan, baik di perusahaan atau suatu lembaga pemerintahan, memang dapat dilatari berbagai alasan. Ada yang menilai hal tersebut sebagai tindakan balas dendam, pengkhianatan terhadap perusahaan, ingin menjatuhkan institusi tempatnya bekerja atau mencari “selamat” sehingga termasuk dalam perilaku menyimpang. Pendapat ini dipelopori oleh Vardi dan Wiener serta Near dan
Miceli.
Sebaliknya,
ada
pula
yang
melihatnya
sebagai
tindakan
kewarganegaraan yang baik dengan syarat sebelum mengungkap ke publik, si whistleblower telah melakukan prosedur internal terlebih dahulu. Pendapat ini dipelopori oleh Dworkin dan Nera serta De George.170 Apapun motivasi tersebut, yang jelas seorang whistleblower memiliki motivasi pilihan etis yang kuat untuk berani mengungkap skandal kejahatan terhadap publik. Jeffrey Wigand, seorang whistleblower menekankan aspek moralitas dalam keberanian memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan. Menurutnya, whistleblower sebenarnya adalah manusia biasa yang berada dalam situasi luar biasa, namun whistleblower telah melakukan sesuatu yang benar yang seharusnya dilakukan oleh semua orang. Aspek moralitas ini walaupun tidak wajib, namun pada hakikatnya sangat penting karena yang ditekankan dari seorang whistleblower adalah muatan informasi yang sangat penting bagi kehidupan publik. Niat untuk melindungi kepentingan masyarakat itu akan muncul jika didukung dengan moral yang kuat.171 169
Abdul Haris Semendawai, et.al., Memahami Whistleblower, op.cit., hlm. 2.
170
Surya Jaya, op.cit.. hlm. 3.
171
Abdul Haris Semendawai, et.al., Memahami Whistleblower, op.cit., hlm. 7-8. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
64
Justice collaborator dan whistleblower sama-sama berperan sebagai orang dalam yang memiliki pengetahuan penting dan faktual mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh atau berhubungan dengan organisasinya, namun keduanya merupakan subyek yang berbeda. Sama halnya dengan justice collaborator, whistleblower memang sama-sama mengetahui struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan organisasi tersebut dengan kelompok lain, namun hal tersebut semata-mata karena ia bekerja di organisasi tersebut. Perbedaannya adalah bahwa justice collaborator tidak hanya mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh organisasi tersebut, tetapi juga ikut berperan serta dalam melakukan kejahatan tersebut. Ia dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan di mana bukti lainnya bisa ditemukan172 karena ia adalah salah satu pelaku kejahatan tersebut. Saat melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum, justice collaborator bahkan telah berstatus sebagai tersangka, terdakwa atau bahkan terpidana yang sedang menjalakan hukuman. Perbedaan selanjutnya adalah bahwa motivasi dari seorang justice collaborator yang memutuskan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum bukanlah semata-mata karena aspek moralitas, melainkan dengan harapan akan mendapatkan keuntungan-keuntungan bagi diri mereka sendiri. Tujuan mereka adalah untuk mendapat keuntungan-keuntungan, seperti menerima kekebalan penuntutan atau setidaknya keringanan hukuman penjara, serta perlindungan fisik bagi diri dan keluarga mereka.173 Selain itu, mereka juga dapat memperoleh remisi, keuntungan-keuntungan selama di penjara, perlindungan dari organisasi kejahatan, serta bantuan ekonomi atau finansial.174
172
Indriyanto Seno Adji, loc.cit.
173
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 19.
174
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”, op.cit., hlm. 19. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
65
2.2.2. Justice Collaborator dalam Konsep Perlindungan Saksi Dalam menentukan apakah justice collaborator termasuk dalam definisi saksi, patut diingat bahwa definisi saksi dapat berbeda-beda sesuai sistem hukum yang berlaku. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime, saksi dapat diklasifisikasikan menjadi 3 (tiga) kategori utama, yaitu justice collaborator, saksi korban, dan saksi jenis lainnya. Justice collaborator pada dasarnya telah dikenal di beberapa negara dengan berbagai nama, seperti cooperating witnesses (saksi yang bekerjasama), crown witnesses (saksi mahkota), witness collaborators (saksi kolaborator),
justice
collaborators,
state
witnesses
(saksi
negara),
“supergrasses”, dan “pentiti” (bahasa Italia untuk “mereka yang telah bertobat”). Dalam statusnya sebagai saksi, justice collaborator termasuk dalam golongan utama dalam perlindungan saksi. 175 Berbicara tentang justice collaborator tentu tidak lepas dari kelahiran konsep perlindungan saksi yang pertama kali diperkenalkan oleh negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Bahkan pada awalnya konsep perlindungan saksi ini justru ditujukan untuk melindungi kehadiran justice collaborators dalam rangka pemberantasan organisasi kejahatan bergaya Mafia di Amerika Serikat pada saat itu. Salah satu karakteristik kelompok Mafia yang membuat organisasi ini sulit untuk dilawan adalah adanya “sumpah diam” atau yang disebut sebagai omerta, yaitu sebuah aturan tidak tertulis yang mengikat anggotanya untuk selalu setia dan takut dengan organisasi mereka.176 Howard Abadinsky menyebutkan bahwa salah satu dari daftar aturan Mafia Amerika adalah setiap anggota harus menjaga mulutnya untuk tetap diam, apa yang dilihat dan didengar biarlah tetap terjaga di kepalanya, jangan pernah dibicarakan.177 Jika ada yang melanggar “sumpah diam” tersebut dan bekerja sama dengan polisi, maka keselamatan dirinya dan keluarganya akan terancam karena organisasi yang mereka khianati tidak akan segan untuk membunuh mereka. Dengan begitu, negara menjadi kesulitan untuk membujuk saksi-saksi penting untuk memberi kesaksian melawan bos mereka. 175
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 19.
176
Ibid., hlm. 7.
177
Howard Abadinsky, op.cit., hlm. 93. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
66
Hal inilah yang membuat Departemen Kehakiman Amerika Serikat meyakini bahwa program perlindungan saksi harus dijadikan suatu lembaga.178 Praktek perlindungan terhadap justice collaborator di Amerika Serikat ini secara resmi pertama kali diberikan pada tahun 1963 kepada Joseph Valachi, seorang anggota Mafia Amerika pertama yang berani melanggar omerta. Ia memutuskan untuk bersaksi dan membeberkan struktur internal organisasi Mafia dan kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh organisasinya itu di hadapan sebuah komite di Amerika Serikat. Keputusannya tersebut mengancam keselamatan dirinya karena Vito Genovese, bos Valachi yang juga adalah seorang bos keluarga Mafia yang sangat berkuasa saat itu mengancam akan membunuhnya. Bahkan kabarnya Vito Genovese rela membayar US$ 100.000 untuk kepala Valachi.
Ketakutan
Valachi
mendorongnya untuk
setuju
mendapatkan perlindungan.179 Justice collaborators muncul dalam sistem peradilan pidana Italia pada tahun 1979 saat pemberantasan tindak pidana terorisme sedang gencar dilakukan.180 Pada tahun 1970-an saat berkembangnya kelompok teroris MarxisLeninis yang dikenal dengan nama Brigade Merah (Red Brigades), di Italia diberlakukan sejumlah peraturan yang menganjurkan anggota-anggota kelompok teroris untuk keluar dari kelompok mereka dan bekerjasama dengan pemerintah. Akan tetapi anjuran tersebut tidak diimbangi dengan satu aturan pun yang menjamin bahwa mereka akan diberikan perlindungan oleh negara apabila mereka mau bekerja sama. Hingga akhirnya pada tahun 1984, perlindungan saksi benarbenar diberlakukan secara resmi saat Tommaso Buscetta, seorang Mafia Sisilia memutuskan
untuk
melawan
kelompok
Mafianya dan
menjadi
justice
collaborator. Berkat bantuan Buscetta, hampir 350 Mafia berhasil dipenjara dan pada akhir tahun 1990-an terdapat sekitar 1.000 orang yang terdorong untuk berani menjadi justice collaborator.181 178
United Nations Office on Drugs and Crime, loc.cit.
179
Ibid.
180
Marie-Aude Beernaert, op.cit., hlm. 696.
181
United Nations Office on Drugs and Crime, loc.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
67
Masalah-masalah dalam mendeteksi dan menuntut pelaku tindak pidana dalam kejahatan terorganisir, terorisme, korupsi, dan kejahatan serius lainnya terbukti dapat dihadapi dengan kehadiran seorang informan yang dapat menyediakan informasi yang penting mengenai kejahatan tersebut.182 Jika dilihat dari latar belakangnya informan dapat berasal dari kalangan “warga negara yang baik” dan “penjahat”. Dalam penegakan hukum terhadap kejahatan terorganisir, jarang ada informan yang merupakan warga negara biasa yang memberi bantuan semata-mata karena tujuan moral. Biasanya justru penegak hukum bekerja sama dengan informan yang merupakan sesama penjahat, baik kompetitor bisnisnya maupun sesama pelaku tindak pidana. Mereka bersedia membantu aparat penegak hukum demi keuntungan mereka sendiri, seperti imbalan uang dan kekebalan hukum. 183 Program perlindungan saksi yang selama ini diterapkan di berbagai negara cenderung digunakan untuk individu-melindungi individu yang berperan sebagai agen atau informan bagi kepolisian. Aparat penegak hukum semakin bergantung pada kesaksian, bantuan kerja sama, dan petunjuk mengenai bukti-bukti yang diberikan oleh sesama pelaku untuk melawan teman mereka sendiri. 184 Semakin terlibat si informan dalam tindak pidana tersebut, semakin bergunalah bantuan dari si informan tersebut.185 Ia tidak hanya melihat, mendengar, atau mengalami saja, namun juga mengetahui motif dan modus operandi tindak pidana tersebut, bahkan turut serta melakukannya. Indriyanto Seno Adji dalam makalahnya menyebutkan mengenai pentingnya saksi yang juga pelaku kejahatan yang merupakan “orang dalam” (inner-circle criminal). Kadangkala "orang dalam" ini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan dengan caranya tersendiri. Orang dalam dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, 182
Yvond Dandurand, A Review of Selected Witness Protection Programs, dipersiapkan untuk Research and National Coordination Organised Crime Divison Law Enforcement and Policy Baranch Public Safety Canada, (Ottawa: Department of Public Safety, 2010), hlm. 28. 183
Howard Abadinsky, op.cit., hlm. 383.
184
Yvond Dandurand, loc.cit.
185
Howard Abadinsky, loc.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
68
bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan di mana bukti lainnya bisa ditemukan. Akhimya, orang dalam ini dapat menjadi saksi yang sangat penting dalam persidangan, memberi bukti sebagai orang pertama, saksi mata dari kejahatan dan atas kegiatan para terdakwa.
186
Orang dalam ini pun harus dipanggil untuk
memberikan keterangan di muka persidangan sebagai saksi agar informasi dan bantuan dari memiliki kekuatan pembuktian dan dapat digunakan dalam tahap penuntutan. Tidaklah mudah untuk menarik salah satu pelaku tindak pidana untuk melapor atau menjadi informan, apalagi memberikan keterangannya sebagai saksi di pengadilan mengingat karena pada akhirnya ia juga akan diseret menjadi tersangka dalam perkara yang sama.187 Kebanyakan dari mereka yang terlibat juga mendapatkan keuntungan dari tindak pidana tersebut sehingga mereka enggan untuk melapor apalagi bersaksi melawan mitra kejahatan mereka sendiri.188 Alasan lain yang mendasari seseorang untuk enggan bersaksi melawan temannya sesama pelaku tindak pidana adalah ketakutan akan dimusuhi dan dianggap sebagai pengkhianat. Goffman berpendapat bahwa saat seorang anggota dari suatu kelompok mengungkapkan kehidupan “belakang layar” dari kelompok tersebut, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan pengkhianatan. Hal ini sebagaimana pula diungkapkan oleh Georg Simmel, seorang sosiolog Jerman yang menyatakan bahwa dalam sebuah hubungan, pengkhianatan akan membuat si pengkhianat diasingkan dan dibuang dari hubungan tersebut.189 Agus Tjondro misalnya, pengakuannya kepada penyidik KPK dalam penyidikan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 yang menyeret 30 anggota DPR membuat Agus dipecat dari DPR dan dijauhi koleganya di PDI-P karena dianggap mencoreng partai.190
186
Indriyanto Seno Adji, loc.cit.
187
Howard Abadinsky, loc.cit.
188
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, op.cit., hlm. 5. 189
Dina Siegel, “Secrecy, Betrayal and Crime”, Utrecht Law Review Volume 7, Issues 3 (October 2011), hlm. 117. 190
Anton Septia, op.cit., hlm. 79. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
69
Rasa takut akan ancaman yang dapat membahayakan diri dan keluarganya juga akan dirasakan oleh mereka yang harus menjadi saksi dalam tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir. Dalam mendefinisikan yang dimaksud dengan kejahatan terorganisir, Howard Abadinsky menguraikan 8 (delapan) atribut atau ciri kejahatan terorganisir yang salah satunya adalah penggunaan cara-cara kekerasan dalam mencapai melakukan kegiatan mereka.191 Kekerasan tersebut tentu akan lebih gencar lagi digunakan apabila mereka merasa kegiatan kelompok mereka terancam karena aparat penegak hukum sudah semakin mendekat. Howard Abadinsky juga memberikan contoh ekstrim dari Mafia Amerika yang dalam aturannya salah satunya menyebutkan bahwa kekerasan sekecil apa pun harus dilakukan demi membangun rasa hormat.192 Kejahatan terorganisir berbentuk korupsi pun walaupun dalam menggunakan kekerasan biasanya tidak seekstrim Mafia, namun biasanya melibatkan orangorang yang memegang kekuasaan yang tidak sulit untuk membayar orang melakukan kekerasan atau bentuk intimidasi lainnya. Selain terancam keselamatannya, baik whistleblower maupun justice collaborator, dalam menjalankan tugasnya dapat terancam mengalami serangan balik dari orang yang dilaporkannya karena laporan atau kesaksiannya atas dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi. Di negara yang penegakan hukumnya tidak kuat, bukan perkara sulit bagi para atasan atau pihak yang berkuasa dalam sebuah organisasi untuk mempidanakan atau menyeret pengungkap fakta ini menjadi pihak yang bersalah. Mereka yang diungkap keterlibatannya dalam skandal kejahatan dapat menggunakan aparat penegak hukum untuk mengkriminalisasikan orang yang melaporkan atau bersaksi melawan mereka.193 Sang whistleblower dan justice collaborator dapat terancam dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik atau dicari-cari kesalahannya atau tindak pidana yang pernah dilakukan untuk selanjutnya dapat dilaporkan ke pihak penyidik. Bahkan seringkali tindak pidana si justice 191
Howard Abadinsky, op.cit., hlm. 3.
192
Ibid., hlm. 93.
193
Abdul Haris Semendawai, et.al., Memahami Whistleblower, op.cit., hlm. 12. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
70
collaborator diproses terlebih dahulu dan dipidana lebih berat dari pelaku yang dilaporkan.194 Keberhasilan penegak hukum dalam mengungkap dan membuktikan tindak pidana banyak bergantung pada kebersediaan dan keberanian seseorang untuk menjadi saksi atau pelapor yang mau mengungkap dan bersaksi terjadap kejahatan yang terjadi. Whistleblower dan justice collaborator merupakan bentuk peran serta masyarakat yang tumbuh dari kesadaran membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana yang tidak banyak diketahui orang. Whistleblower dan justice collaborator berangkat dari kesulitan penyidik dan penuntut umum dalam mengungkap pelaku kejahatan terorganisir yang begitu sulit dijangkau dan hampir tidak meninggalkan jejak pembuktian. Menyadari pentingnya kehadiran pelapor atau saksi pelapor, terutama yang berasal dari sesama pelaku atau justice collaborator dalam mengungkap tindak pidana kejahatan terorganisir, terorisme, dan kejahatan serius lainnya, namun di sisi lain sulit untuk menghadirkannya karena adanya ancaman dan intimidasi yang ditujukan kepada mereka, membuat perlindungan saksi menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana. 195 Hingga sekarang sudah cukup banyak negara di dunia memberlakukan peraturan atau mengadopsi kebijakan-kebijakan untuk melindungi saksi-saksi yang kerjasamanya dengan penegak hukum atau kesaksiannya di persidangan membahayakan kehidupannya dan keluarganya. Perlindungan tersebut dapat bersifat sederhana, seperti memberikan pengawalan polisi saat saksi menuju ruang sidang, memberikan tempat tinggal sementara yang aman atau menggunakan teknologi komunikasi modern dalam memberikan kesaksian. Perlindungan ini juga dapat berupa upaya-upaya luar biasa demi menjamin keselamatan saksi, seperti memberikan identitas baru di tempat tinggal yang baru dan rahasia baik di dalam negeri maupun luar negeri. Upaya luar biasa seperti ini dilakukan dalam hal di mana kerjasama seorang saksi penting sekali untuk keberhasilan penuntutan,
194
Mas Achmad Santosa, “Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators)”, op.cit., hlm. 1. 195
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 1. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
71
akan tetapi jangkauan dan kekuatan kelompok kejahatan yang mengancam sangat kuat.196 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melihat bahwa perlindungan saksi, khususnya justice collaborator merupakan salah satu alat dalam upaya pemberantasan kejahatan terorganisir, terorisme, dan kejahatan serius lainnya. Sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir, PBB melahirkan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (selanjutnya disebut sebagai UNTOC) yang diadopsi pada tanggal 15 November 2000.197 Menurut Pasal 24 UNTOC198, negara-negara anggota perlu melakukan upaya-upaya yang pantas untuk memberikan perlindungan yang efektif dari pembalasan atau intimidasi bagi saksi yang memberikan kesaksiannya dalam perkara yang melibatkan kejahatan transnasional terorganisir. Upaya yang dimaksud termasuk perlindungan fisik, relokasi dan kerahasiaan atau pembatasan pengungkapan
196
Ibid.
197
United Nations, Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC), (General Assembly resolution 55/25 of 15 November 2000). Konvensi ini diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). 198
Article 24. Protection of witnesses 1. Each State Party shall take appropriate measures within its means to provide effective protection from potential retaliation or intimidation for witnesses in criminal proceedings who give testimony concerning offences covered by this Convention and, as appropriate, for their relatives and other persons close to them. 2. The measures envisaged in paragraph 1 of this article may include, inter alia, without prejudice to the rights of the defendant, including the right to due process: a. Establishing procedures for the physical protection of such persons, such as, to the extent necessary and feasible, relocating them and permitting, where appropriate, non-disclosure or limitations on the disclosure of information concerning the identity and whereabouts of such persons; b. Providing evidentiary rules to permit witness testimony to be given in a manner that ensures the safety of the witness, such as permitting testimony to be given through the use of communications technology such as video links or other adequate means. 3. States Parties shall consider entering into agreements or arrangements With other States for the relocation of persons referred to in paragraph 1 of this article 4. The provisions of this article shall also apply to victims insofar as they are witnesses Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
72
identitas dan lokasi saksi, dan penerapan peraturan pembuktian yang mengizinkan pemberian kesaksian dengan cara yang memastikan keamanan saksi.199 Melalui UNTOC, PBB juga melihat bahwa kehadiran justice collaborators sangat penting dalam proses peradilan pidana sehingga terhadap mereka perlu untuk diberikan perlindungan. Menurut Pasal 26 UNTOC200, setiap negara anggota harus mengambil upaya-upaya yang pantas untuk mendorong mereka yang berpartisipasi atau telah berpartisipasi dalam kelompok kejahatan terorganisir untuk memberikan informasi dan bantuan yang berguna bagi penegak hukum untuk tujuan penyidikan dan pembuktian. Informasi tersebut antara lain adalah identitas, nature, komposisi, struktur, lokasi atau kegiatan dari kelompok kejahatan terorganisir, hubungan organisasi tersebut dengan kelompok kejahatan terorganisir lain, serta tindak pidana yang dilakukan atau mungkin dilakukan kelompok tersebut. Terhadap orang-orang ini pun setiap negara peserta juga wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya unttuk memberikan “kekebalan dari penuntutan”. Pelaku yang
199
Perlindungan korban dan/atau saksi juga dibahas dalam protokol yang melengkapi UNTOC, yaitu Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children atau Protokol untuk Mencegah, Menindas dan Menghukum Perdagangan Orang, Khususnya terhadap Perempuan dan Anak, Pasal 6 dan 7, serta Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air atau Protokol melawan Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara, Pasal 5 dan 16. 200
1.
2.
3.
Article 26. Measures to enhance cooperation with law enforcement authorities Each State Party shall take appropriate measures to encourage persons who participate or who have participated in organized criminal groups: (a) To supply information useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes on such matters as: (i) The identity, nature, composition, structure, location or activities of organized criminal groups; (ii) Links, including international links, with other organized criminal groups; (iii) Offences that organized criminal groups have committed or may commit; (b) To provide factual, concrete help to competent authorities that may contribute to depriving organized criminal groups of their resources or of the proceeds of crime. Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence covered by this Convention. Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence covered by this Convention. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
73
memberikan kerja sama yang substansial dalam penyidikan atau penuntutan inilah yang dianggap UNODC sebagai justice collaborator. 201 Ketentuan terkait dengan perlindungan saksi juga terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption202 (selanjutnya disebut UNCAC). Konvensi ini memberikan beberapa tipe/bentuk perlindungan hukum dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, yaitu:203 1) Protection of Witnesses, Experts, and Victims (Pasal 32); 2) Protection of Reporting Persons (Pasal 33); 3) Protection of Cooperating Persons (Pasal 37). Merujuk pada isi Pasal 37 UNCAC, perlindungan terhadap orang-orang yang bekerjasama dengan penegak hukum dapat dikategorikan dalam 2 (dua) macam, yaitu pengurangan hukuman (mitigating punishment) bagi seorang terdakwa atau terpidana dan kekebalan penuntutan (immunity from prosecution) bagi seorang terdakwa. Kedua kategori tersebut juga terdapat dalam ketentuan tentang perlindungan terhadap orang-orang yang bekerjasama dengan penegak hukum yang tercantum dalam Pasal 26 UNTOC. Adapun baik Pasal 37 UNCAC maupun Pasal 26 UNTOC sama-sama mendorong negara-negara peserta untuk menerapkan
konsep
protection
of
cooperating
persons
dengan
tetap
menyesuaikannya dengan asas-asas hukum nasional masing-masing negara peserta. Jika dihubungkan dengan asas-asas hukum acara pidana di Indonesia, menurut Andi Hamzah, kekebalan penuntutan (immunity from prosecution) yang dicanangkan dalam Pasal 37 UNCAC ini pada dasarnya tidak didasarkan pada asas oportunitas. Jaksa Agung Abdurachman Saleh pernah mengeluarkan ide 201
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 19.
202
United Nations, Convention Against Corruption, (General Assembly resolution 58/4 of 31 October 2003). Konvensi ini diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). 203
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981), laporan dibuat oleh Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006 yang bekerja berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : G111.PR.09.03 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Tim-Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tahun Anggaran 2006, hlm. 82. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
74
untuk memberikan perlindungan hukum kepada para koruptor yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.204 Jaksa Agung memiliki ide untuk memberikan perlindungan hukum kepada Chariansyah, Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena telah berani melaporkan kasus suap Mulyana W. Kusumah dengan dasar asas oportunitas. Menurut Andi Hamzah, pengenyampingan perkara Chairiansyah tidaklah tepat apabila didasarkan pada asas oportunitas karena sangatlah sulit menentukan kriteria “demi kepentingan umum” yang sangat multitafsir dan subyektif sifatnya.205 Jadi, ide implementasi Asas Oportunitas terhadap pelaku korupsi yang kooperatif sebaiknya mempergunakan konsepsi protection of cooperating persons seperti yang terkandung dalam Pasal 37 UNCAC.206 Konsep protection of cooperating persons ini menurut Andi Hamzah juga sangat terkait dengan konsep saksi mahkota yang muncul karena penerapan ajaran deelneming (penyertaan) dalam Pasal 55 KUHP. 207 Jika merujuk pada pengertian justice collaborator yang telah diuraikan sebelumnya, justice collaborator pada dasarnya adalah sesama pelaku atau bagian dari tindak pidana yang sama collaborator of justice adalah peserta tindak pidana yang memutuskan untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan yang dipersiapkan untuk memberi kesaksian di pengadilan untuk melawan sesama pelaku tindak pidana tersebut.208 Orang yang turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum ini berdasarkan Pasal 55 KUHP akan dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana. Menurut R. Soesilo, pelaku penyertaan yang dapat dihukum sebagai orang yang melakukan di sini dibagi atas 4 (empat) macam, yaitu:209 1. Orang yang melakukan (pleger), yaitu seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. 204
Ibid., hlm. 77.
205
Ibid., hlm. 82.
206
Ibid., hlm. 84.
207
Ibid., hlm. 86.
208
Fausto Zuccarelli, loc.cit.
209
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum PIdana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bandung: Karya Nusantara, 1989), hlm. 72. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
75
Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status sebagai pegawai negeri. 2. Orang yang menyuruh melakukan (doenplegen), yaitu orang tidak melakukan sendiri suatu peristiwa pidana, tetapi ia menyuruh orang lain untuk melakukan peristiwa pidana tersebut. Di sini sedikitnya ada dua orang, yaitu yang menyuruh (doenpleger) dan yang disuruh (pleger). Pleger itu harus hanya merupakan suatu alat saja, maksudnya ia tidak dapat
dihukum
karena
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatannnya, yaitu dalam hal tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP, overmacht (Pasal 48 KUHP), melakukan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP), atau karena dalam perbuatannya pleger tersebut tidak ada kesalahan sama sekali. 3. Orang yang turut melakukan (medepleger) dalam arti kata “bersama-sama melakukan”, yaitu baik orang yang melakukan (pleger) maupun orang yang turut melakukan (medepleger) semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan dan dengan demikian melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana tersebut. Tidak boleh orang tersebut hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak termasuk medepleger
akan
tetapi
dihukum
sebagai
membantu
melakukan
(medeplichtige) sebagaimana dalam Pasal 56 KUHP. 4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan, dan sebagainya dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker). Orang yang membujuk harus menggunakan salah satu dari jalan yang disebutkan dalam pasal ini. Orang yang dibujuk, berbeda dengan orang yang disuruh, dapat dihukum juga sebagai pleger.
2.2.3. Perlindungan Khusus bagi Justice Collaborator Perlindungan bagi justice collaborator pada umumnya sama dengan model dan bentuk perlindungan yang diberikan dalam program perlindungan saksi. Hanya saja dalam beberapa hal secara spesifik perlindungan yang diberikan Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
76
kepada justice collaborator berbeda dari program perlindungan saksi.210 Seperti telah diuraikan sebelumnya, UNTOC juga mengamanatkan setiap negara anggota untuk mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu untuk mengurangi hukuman atas justice collaborator dalam kasus penyidikan dan penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini. Terhadap justice collaborator ini pun setiap negara peserta juga wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan”. Kombinasi antara keringanan atau bahkan kekebalan dari penuntutan dianggap sebagai alat yang sangat kuat dalam keberhasilan penuntutan perkara kejahatan terorganisir. Akan tetapi dalam prakteknya secara etika hal tersebut dapat dipandang sebagai pemberian hadiah kepada penjahat. Oleh karena itu “keuntungan” yang diberikan sejumlah sistem hukum
kepada
justice
collaborator
bukan
kekebalan
seutuhnya
dari
keterlibatannya dalam tindak pidana, melainkan hukuman yang lebih ringan yang hanya dapat diberikan pada akhir kerja samanya dalam proses persidangan. Menurut M.A. Beernaert, keuntungan-keuntungan yang ditawarkan kepada justice collaborators dapat dibedakan ke dalam tiga kategori berdasarkan tahap proses peradilan pidana di mana kerja sama tersebut dilakukan. Kategori yang pertama adalah keuntungan dalam tahap penuntutan di mana ia tidak akan dituntut sama sekali atau tidak akan dituntut atas keterlibatannya dalam pelanggaranpelanggaran tertentu. Kategori yang kedua adalah keuntungan yang diberikan dalam tahap penjatuhan pidana di mana justice collaborator dapat dijatuhi pidana yang lebih ringan daripada yang seharusnya atau tidak dijatuhi pidana sama sekali. Kategori terakhir adalah keuntungan bagi justice collaborator yang bekerja sama saat ia sudah menjadi terpidana, yaitu keuntungan untuk menjalani hukumannya sebagian saja atau keuntungan lainnya yang pelaksanaannya diserahkan pada pelaksana putusan (eksekutor).211 Pemberian keuntungan-keuntungan sebagai penghargaan dari kerja sama yang dilakukan oleh justice collaborator ini juga dapat dihubungkan dengan game 210
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, op.cit., hlm. 7. 211
Marie-Aude Beernaert, op.cit., hlm. 695. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
77
theory212 atau permainan strategi yang terkenal dalam ilmu pengetahuan sosial, yaitu Prisoner’s Dilemma. Permainan yang bertujuan untuk membantu memahami keseimbangan antara kerja sama dan persaingan dalam bisnis, politik, dan keadaan sosial lainnya213 ini sering digunakan untuk menganalisis kerja sama dalam bentuk non-zero-sum game.214 Dalam versi tradisional permainan ini, dikondisikan seorang polisi menahan 2 (dua) tersangka yang bekerja sama melakukan sebuah kejahatan dan menginterogasi mereka dalam ruangan yang terpisah. Polisi tidak memiliki alat bukti selain kesaksian mereka. Masing-masing tersangka diperbolehkan mengaku dan dengan demikian melibatkan tersangka yang lain atau tutup mulut. Apapun yang dilakukan tersangka lainnya (mengaku atau tutup mulut), pengakuan akan membuat posisi si pengaku itu lebih tinggi. Jika salah satu tersangka mengaku sedangkan yang lainnya tutup mulut, maka keduanya akan dihukum namun yang mengaku akan mendapatkan hukuman yang lebih ringan karena perannya sebagai saksi mahkota. Jika keduanya mengaku, maka keduanya tetap akan dihukum dengan hukuman yang sedikit lebih berat daripada hukuman jika mereka sama-sama tutup mulut. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pengakuan merupakan strategi yang dominan.215 Dalam penelitian yang dilakukan oleh James A. Schellenberg dari Departemn Sosiologi dan Antropologi Western Michigan University216 mengenai keadilan distributif dan kerja sama dalam non-zero-sum games dapat dilihat bagaimana orang yang tahu bahwa ia akan mendapat penghargaan yang lebih tinggi dari orang lain cenderung mau untuk bekerjasama. Pada eksperimen I, pemain-pemain dihadapkan pada situasi di mana mereka akan diberikan 212
Avinash Dixit and Barry Nalebuff, “Game Theory”, http://www.econlib.org/ library/ Enc/GameTheory.html, diunduh pada 27 Maret 2012. Game theory is the science of strategy. It attempts to determine mathematically and logically the actions that “players” should take to secure the best outcomes for themselves in a wide array of “games.” 213
Avinash Dixit dan Barry Nalebuff, “Prisoners’ Dilemma”, http://www.econlib.org/ library/Enc/ PrisonersDilemma.html, diunduh 27 Maret 2012. 214
F. Heylighen, “The Prisoners' Dilemma”, http://pespmc1.vub.ac.be/PRISDIL.html, diunduh 27 Maret 2012. 215
Avinash Dixit dan Barry Nalebuff, “Prisoners’ Dilemma”, loc.cit.
216
James A. Schellenberg, “Distributive Justice and Collaboration in Non-Zero-Sum Games”, The Journal; of Conflict Resolution, Vol. 8, No.2 (Juni, 1964), hlm. 147-150. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
78
penghargaan yang superior atau lebih besar dari pemain lain apabila mereka mau bekerjasama. Pada eksperimen I ini si pemain-pemain yang mau bekerjasama tidak tahu bahwa kebanyakan dari pemain lain tidak mau bekerjasama. Hasilnya, muncul respon yang lebih besar untuk bekerjasama dari pemain-pemain yang menginginkan penghargaan yang superior atau lebih tinggi dibanding pemain lain. Dalam hal ini dapat dilihat bentuk hipotesis satisfaction-collaboration di mana kerja sama akan sangat besar atau banyak dilakukan saat diberikan kenikmatan atau kesenangan pada tingkat tertinggi dan frustasi pada tingkat terendah. Kenikmatan dalam hal ini terlihat pada ukuran penghargaan yang diberikan. Dalam eksperimen II, si pemain yang bekerjasama dihadapkan pada situasi di mana ia akan mendapatkan penghargaan yang sama tinggi dibanding rekanrekannya, namun mereka juga tahu bahwa kebanyakan rekannya tidak bekerjasama. Hasilnya, pemain-pemain yang awalnya mau bekerjasama menjadi menunjukkan respon yang lebih kecil untuk bekerjasama karena mereka tahu penghargaan yang akan mereka dapatkan sama besarnya dengan jika mereka tidak bekerjasama. Selain itu, gejala seperti ini dapat disebut dengan “interaction effect” atau “efek interaksi” di mana adanya interaksi dengan pemain lain akan menimbulkan hasil pemain tersebut cenderung mengikuti pemain lain karena berbagai alasan. Dalam memberikan keuntungan-keuntungan kepada justice collaborator, penegak hukum juga harus memperhatikan substansi dari kesaksian si justice collaborator itu. Penegak hukum dalam menerima bantuan dari seorang sesama pelaku tindak pidana dan menawarkan keuntungan-keuntungan padanya harus melihat terlebih dahulu apakah keterangan dari saksi tersebut secara signifikan membantu tugas penegak hukum dalam mengumpulkan dan membuktikan tindak pidana yang berusaha diungkap. Sebagai orang yang mengetahui struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan organisasi tersebut dengan kelompok lain, substansi keterangan dari seorang justice collaborator seharusnya berisi informasi berharga, seperti informasi yang dapat mencegah terealisasikannya suatu tindak pidana yang sudah direncanakan atau membantu mengidentifikasi pelaku tindak pidana yang telah terjadi.217 Isi keterangannya itu 217
Le Sénat de la République française, op.cit., hlm.5. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
79
dapat pula mengenai pelaku utama tindak pidana, aset hasil tindak pidana, modus tindak pidana, dan jaringan tindak pidana. Selain itu harus diperhatikan bahwa pada umumnya justice collaborator ini bukanlah pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapnya, melainkan pembantu tindak pidana. Keuntungan-keuntungan sebagai imbalan dari kerja sama mereka kebanyakan hanya diberikan dalam kasus tindak pidana tertentu walaupun pengaturannya berbeda di tiap negara. Keuntungan-keuntungan tersebut kebanyakan hanya dapat diberikan pada justice collaborator dalam kasus terorisme, kejahatan terorganisasi atau kejahatan narkotika.218 Ketergantungan akan informasi dari justice collaborator memang lebih terasa terutama dalam kasus tindak pidana yang mengancam keamanan nasional. UNODC menguraikan tindak pidana apa saja yang menjadi kunci dari perlindungan saksi, yaitu kejahatan terorganisir (di antaranya juga termasuk perdagangan manusia dan penyelundupan migran), korupsi, terorisme, dan kejahatan lainnya yang berdampak sosial atau yang karena bawaan kekerasannya sangat memerlukan perlindungan saksi, seperti kejahatan dalam rumah tangga.219
2.2.4. Jenis Kejahatan yang Diungkap Justice Collaborator Kejahatan terorganisir, terutama yang telah menembus batas-batas negara, oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa telah dipandang sebagai suatu masalah global yang juga menyerang hak asasi manusia. Globalisasi, migarasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang cepat telah digunakan oleh kelompok-kelopok kejahatan terorganisasi dalam mengembangkan kegiatan kriminal mereka. Semangat PBB untuk memberantas kejahatan terorganisir yang bersifat transnasional tersebut pun akhirnya melahirkan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi yang diikuti 2 (dua) protokolnya, yaitu Protocol to Prevent,
218
Marie-Aude Beernaert, loc.cit.
219
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 26. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
80
Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children atau Protokol untuk Mencegah, Menindas dan Menghukum Perdagangan Orang, Khususnya terhadap Perempuan dan Anak, Pasal 6 dan 7, serta Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air atau Protokol melawan Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara. Menurut Pasal 2 UNTOC, kelompok kejahatan terorganisir adalah suatu kelompok terstuktur yang terdiri dari tiga atau lebih orang, yang bertahan dalam suatu periode waktu dan melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk melakukan satu atau lebih kejahatan serius atau pelanggaran lainnya yang disebutkan dalam konvensi ini, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan finansial atau keuntungan material lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut UNODC, kejahatan-kejahatan yang masuk dalam ruang lingkup UNTOC ini adalah keikutsertaan dalam kelompok kejahatan terorganisir, pencucian uang, korupsi dalam sektor publik, menghalangi proses hukum, perdagangan manusia, produksi dan penjualan senjata api, komponen senjata api, dan amunisi secara ilegal, penyelundupan migran, dan kejahatan serius lainnya yang dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi ini yang mengarah pada unsur transnasionalitas dan keterlibatan kelompok kejahatan terorganisir.220 Definisi serupa juga diberikan oleh Anne Katharina Zimmerman yang menyatakan bahwa suatu kejahatan terorganisasi dalam pandangan Uni Eropa dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa
harus
memenuhi
setidaknya
11
(sebelas)
karakteristik, yaitu:221 a. terdapat lebih dari dua orang yang terlibat; b. bertahan dalam suatu periode waktu yang tak ditentukan; c. terlibat dalam kejahatan-kejahatan serius; d. bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan/atau kekuasaan; e. adanya pembagian peran bagi setiap anggotanya; f. menggunakan berbagai bentuk kontrol atau disiplin bagi anggotanya; 220
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 23.
221
Anne Katharina Zimmerman, “Securing Protection and Cooperation of Witnesses and Whistle-Blowers: An Overview of the Law as it stands in Germany”, (makalah disampaikan pada UNAFEI Fourth Regional Seminar on Good Governance for Southeast Asian Countries, Tokyo, November 2011), hlm. 21. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
81
g. aktif secara internasional; h. menggunakan cara-cara kekerasan atau intimidasi; i. menggunakan struktur layaknya bisnis atau komersial; j. melakukan pencucian uang; dan k. menggunakan pengaruhnya pada dunia politik, media, administrasi publik, aparat penegak hukum dan perekonomian. Sementara itu Howard Abadinsky memberikan pandangan yang sedikit berbeda dalam mendefiniskan kejahatan terorganisir. Menurut Abadinsky, sebuah kejahatan terorganisir memiliki 8 (delapan) atribut, yaitu: (1) tidak memiliki tujuan politik; (2) bersifat hirarkis; (3) memiliki keanggotaan yang terbatas atau eksklusif; (4) membuat subkultur baru yang unik; (5) mengekalkan diri mereka; (6) menggunakan cara-cara kekerasan; (7) monopolistik; dan (8) memiliki aturanaturan yang mengikat anggotanya.222 Pada hakikatnya, saat kita membicarakan kelompok kejahatan terorganisir berarti kita membicarakan sebuah bisnis kejahatan ekonomi yang berkelanjutan karena dalam melakukan kegiatannya mereka menggerakkan sejumlah besar uang yang digunakan untuk mendanai operasi mereka. Atas dana tersebut mereka melakukan pencucian uang dan menginvestasikannya dalam beberapa sektor ekonomi sehingga perekonomian yang awalnya legal menjadi terkotori oleh kegiatan pencucian uang dan investasi tersebut. Kejahatan ekonomi seringkali diidentikkan dengan white collar crime223 atau kejahatan kerah putih yang menurut Sutherland merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh para pebisnis dalam melakukan kegiatan bisnisnya dengan memanfaatkan segala sarana dan kedudukan yang didapatkan dalam pekerjaannya.224 Kejahatan kerah putih lama kelamaan dianggap sebagai bentuk dari kejahatan terorganisir karena mereka
222
Howard Abadinsky, op.cit., hlm. 3.
223
Giuliano Turone, “Legal Frameworks and Investigative Tools for Combating Organized Transnational Crime in the Italian Experience”, (makalah disampaikan pada The United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI) 134th International Training Course, 28 Agustus-6 Oktober 2006), hlm 1. Dokumen dapat diakses pada http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No73/No73_10VE_Turone.pdf 224
Edwin Hardin Sutherland, White Collar Crime, (New York: Vail-Ballou Press, 1983),
hlm. 7. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
82
menciptakan perekonomian mereka sendiri, yaitu perekonomian kriminal di mana dilakukan sejumlah besar kegiatan ilegal yang profit oriented.225 Meskipun kejahatan terorganisir berbeda dengan terorisme dan kejahatan serius lainnya,226 namun dalam menghadapinya aparat penegak hukum sama-sama memngalami kesulitan terutama dalam hal mencari informan yang dapat menjadi saksi dan jika perlu dihadirkan ke muka persidangan. Kejahatan-kejahatan tersebut sama-sama sulit untuk dibongkar dan ditemukan pelaku utamanya dengan menggunakan metode investigasi yang konvensional atau tradisional. Kebanyakan dalam kasus-kasus kejahatan terorganisasi, para pelaku telah mengembangkan ikatan yang kuat satu sama lain di mana ikatan itu digunakan untuk menghadapi proses hukum.227 Begitu juga dengan kelompok teroris, selain memiliki ikatan yang kuat di antara pelaku, mereka juga memiliki sifat dasar yang tertutup228 yang hanya dapat dibuktikan melalui pertolongan pelaku yang terlibat dalam hubungan tersebut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, UNTOC juga mengkriminalisasi korupsi di sektor publik sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir. Dalam pertimbangannya, UNCAC menganggap korupsi berhubungan dengan bentuk kejahatan lainnya, terutama kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi di mana pencucian uang termasuk di dalamnya.229 Dalam menangani tindak pidana korupsi pun penyidik dan penuntut umum tak pelak dibuat kesulitan dalam memperoleh 225
Giuliano Turone, loc.cit.
226
Terorisme pada dasarnya bukanlah kejahatan terorganisir. Dari 8 (delapan) atribut yang diberikan Abadinsky, dapat dilihat bahwa sebuah kejahatan terorganisir tidak termotivasi oleh doktrin sosial, politik atau ideologi tertentu, namun semata-mata termotivasi oleh keuntungan finansial atau material lainnya. Teroris dan pelaku kejahatan terorganisir sama-sama melakukan aktivitas kriminal, seperti penjualan narkotika untuk mendanai kegiatan mereka, namun terorisme menggunakan dana tersebut untuk tujuan politik, seperti menggulingkan pemerintahan dan menyebarkan ideologi mereka. Kelompok teroris juga menanamkan pikiran bahwa apa yang mereka lakukan tersebut benar dan berusaha membuat orang-orang bersimpati kepada mereka, tidak seperti kelompok kejahatan terorganisir yang tidak segan menganggap diri mereka penjahat. Kelompok kejahatan terorganisir melakukan kegiatan mereka secara sembunyi-sembunyi, sedangkan teroris menggunakan kekuatan media untuk mempromosikan pesan dan tujuan mereka. 227
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, loc.cit. 228
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 24.
229
United Nations, Convention Against Corruption, Preamble. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
83
apalagi menghadirkan saksi. Korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintahan juga sering diatur secara vertikal, dengan partisipasi dari para pejabat di tingkat yang lebih tinggi yang mempunyai posisi cukup kuat untuk membujuk pejabat yang berada di tingkat lebih rendah agar tidak bekerja sama dengan penyidik dan bahkan menghalangi penyidikan.230 Selain itu seringkali salah satu pelaku adalah oknum penegak hukum sehingga membuat penegakan hukum menjadi sulit untuk dilakukan.231 Di samping itu, yang menjadi halangan utama dalam menghadirkan saksi dalam perkara korupsi adalah karena ketakutan akan adanya intimidasi di lingkungan kerja, ancaman kekerasan, penurunan jabatan dan tindakan serupa yang lebih menyerang masalah psikis dan ekonomi. 232 Sulitnya mengidentifikasi pelaku ini juga disebabkan karena tidak adanya tempat kejadian perkara yang pasti dan minimnya bukti forensik. Bukti fisik, seperti dokumen transaksi dan aset yang dibeli dengan uang hasil kejahatan dapat dengan mudah disembunyikan, dihancurkan, dan dialihkan terutama melalui pencucian uang.233 Ditambah lagi, perekonomian di negara ini sangat berdasarkan pada uang tunai sehingga membuat pendeteksian transaksi tunai yang mencurigakan semakin sulit untuk dilakukan.234 Sementara itu seringkali para penegak hukum baru mengetahui mengenai kejahatan tersebut lama setelah kejadian sehingga jejak sudah hilang, bukti sulit dilacak, dan para saksi telah dibayar atau memiliki kesempatan untuk membuat alibi-alibi palsu. Hal ini membuat kejahatan terorganisasi lebih sulit untuk dibuktikan daripada kejahatan biasa.235 230
Keterangan tertulis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Mahkamah Konstitusi, op.cit. 231
Mas Achmad Santosa, loc.cit.
232
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 25.
233
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, op.cit., hlm. 5. 234
Keterangan tertulis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Mahkamah Konstitusi, op.cit. 235
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, op..cit., hlm. 2.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
BAB 3 KETENTUAN MENGENAI JUSTICE COLLABORATOR DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN NEGARA LAIN
Istilah justice collaborator memang belum lama dikenal, baik di Indonesia maupun di negara lain. Adapun menurut UNODC konsep ini sudah lama ditemukan dalam praktek peradilan pidana dan diatur dalam peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan di berbagai negara. Seseorang yang mengambil bagian dalam suatu tindak pidana yang berhubungan dengan kejahatan terorganisir seringkali diajak bekerja sama oleh aparat penegak hukum sebagai upaya untuk menginvestigasi kejahatan tersebut karena orang itu memiliki pengetahuan penting seputar struktur, metode operasi, aktivitas, dan jaringan organisasi tersebut. Individu-individu seperti itu dikenal dengan banyak nama, seperti cooperating witness (saksi yang bekerjasama), witness collaborator (saksi kolaborator), justice collaborator, state witness (saksi negara)236, dan berbagai nama lainnya yang berbeda di tiap negara. Di Amerika Serikat mereka disebut dengan nama crown witness237, di Inggris dan Irlandia Utara disebut dengan supergrass238, dan di Denmark disebut dengan nama kronvide239. Di Italia subyek yang demikian dengan pentiti240, di Belanda disebut dengan kroongetuige241, di Prancis disebut dengan nama repentis242, dan di Jerman disebut dengan
236
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 19.
237
P.J.P. Tak, op.cit., hlm. 3.
238
Ibid., hlm. 9.
239
Ibid., hlm. 46.
240
Ibid., hlm. 8.
241
Ibid., hlm. 3.
242
Senat Republik Prancis, op.cit., hlm. 5.
84
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
85
kronzeuge243. Sementara itu di Indonesia, subyek yang demikian telah lama dikenal dalam praktek peradilan pidana dengan nama yang mirip seperti crown witness di Amerika Serikat, yaitu saksi mahkota, walaupun dalam prakteknya tidak hanya digunakan dalam rangka penegakan hukum atas kejahata terorganisir saja seperti konsep justice collaborator yang dimaksud oleh UNODC. Hingga akhirnya istilah istilah justice collaborator secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan dalam SEMA No. 04 tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Peraturan Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Dalam perkembangannya di Eropa, sebagaimana dikutip oleh Fausto Zuccarelli dari European Commision Working Document COM (2007) 693 dapat dilihat situasi terkini mengenai perlindungan saksi dan justice collaborator di negara-negara Uni Eropa. Situasi tersebut dibagi dalam 5 (lima) kategori, yaitu pertama, negara-negara yang telah mengatur melalui produk legislasinya dan telah menjalankan program perlindungan, seperti Cyprus, Estonia, Italia, Latvia, Polandia, Slovakia, dan Inggris. Kedua, negara-negara dengan regulasi yang lengkap dan memiliki program perlindungan saksi, namun lemah dalam pengaturan mengenai justice collaborator, seperti Jerman, Czech, Hungaria, Lithuania, Portugal, Rumania, dan Slovenia. Ketiga, negara-negara yang telah memiliki regulasi perlindungan saksi, namun lemah unit perlindungannya maupun bentuk perlindungan seperti penggantian identitas, seperti Belgia, Bulgaria, Malta,
243
Ibid., hlm. 13. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
86
Spanyol, dan Swedia. Keempat, negara-negara yang lemah legislasi perlindungan saksinya, namun memungkinkan untuk menjalankan
program perlindungan,
seperti Austria, Belanda, Irlandia, Denmark, Finlandia, dan Luxemburg. Kelima, negara-negara yang lemah baik dalam regulasi dan program, maupun unit perlindungannya, seperti Prancis dan Yunani. Gambaran tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa program perlindungan saksi, khususnya justice collaborator terus berkembang sesuai kebutuhan negara-negara yang bersangkutan, termasuk Indonesia.244 Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai perlindungan terhadap justice collaborator di Indonesia, Amerika Serikat, Italia, Belanda, dan Jerman untuk kemudian diperbandingkan. Penulis memilih Amerika Serikat karena Amerika Serikat adalah negara di mana konsep perlindungan saksi pertama kali lahir dan sekaligus merupakan negara dengan sistem common law yang mekanisme plea-bargaining-nya dapat dimanfaatkan untuk menarik orang menjadi justice collaborator. Italia dipilih karena juga merupakan salah satu negara pionir yang banyak dicontoh negara lain dalam mengatur perlindungan terhadap justice collaborator. Italia telah mengatur mengenai justice collaborator sejak lama dan berhasil menjalankannya. Sementara itu, Belanda dipilih karena adanya latar belakang sejarah dengan Indonesia di mana hukum acara pidana Indonesia yang terangkum dalam KUHAP walaupun merupakan produk nasional tetapi asas-asas hukum acara pidananya meneruskan asas-asas yang ada dalam HIR dan Ned. Strafvordering 1926 (Kitab Hukum Pidana Belanda)245. Penulis memilih Jerman karena walaupun dianggap European Commision Working Document COM (2007) 693 lemah dalam pengaturan justice collaborator, namun menurut penulis Jerman sudah lama memiliki sejarah pengaturan mengenai justice collaborator dan dapat dicontoh oleh Indonesia yang belum lama memiliki peraturan mengenai justice collaborator.
244
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, op.cit., hlm.2. 245
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, op.cit., hlm. 49. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
87
3.1.
Perlindungan bagi Justice Collaborator di Indonesia
3.1.1. Perlindungan bagi Justice Collaborator dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dalam konsep perlindungan saksi sebagaimana tertanam dalam UU No. 13 Tahun 2006, saksi dipandang sebagai unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Kehadiran saksi sangat penting dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana karena saksi mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana. Upaya mencari kebenaran material tersebut sering mengalami kesulitan karena penegak hukum tidak dapat menghadirkan saksi disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.246 Bukti-bukti untuk mengungkap suatu tindak kejahatan tidak akan terkumpul apabila orang yang terlibat atau orang yang sebenarnya mengetahui tindak kejahatan tersebut tidak mau memberikan informasi karena takut dengan resiko-resiko yang akan menimpa dirinya.247 Memberikan kesaksian di depan pengadilan merupakan suatu kewajiban hukum, bahkan saksi dapat dipanggil paksa untuk memenuhi kewajibannya, memberikan keterangan di inilah muka pengadilan. Kewajiban tersebut juga harus diimbangi dengan kewajiban negara untuk menjamin bahwa saksi dapat memenuhi kewajiban hukumnya dengan bebas tanpa ketakutan bahwa kesaksiannya akan menimbulkan ancaman serius terhadap keselamatan nyawanya dan sanak saudaranya.248 Demi menciptakan iklim yang kondusif tersebut diperlukan suatu upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk membantu mengungkap suatu tindak pidana. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pemenuhan perlindungan hukum dan keamanan bagi setiap orang yang
246
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, op.cit., Penjelasan Umum. 247
Firman Jaya, Whistle Blower dan Justie Collaborator dalam Perspektif Hukum, (Jakarta: Penaku, 2012), hlm. 20. 248
Widati Wulandari dan Tristam P. Moeliono, “Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Kesaksian Edisi II (Mei - Juni 2009, hlm. 5. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
88
mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.249 Untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana, UU No. 13 Tahun 2006 memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak saksi dan korban. Hak-hak hak saksi dan korban tersebut mulai dari memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiannya, hingga mendapat identitas baru serta memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.250 LPSK sebagai lembaga yang berwenang memutuskan untuk memberikan hak-hak tersebut tidak begitu saja memberikan hak-hak tersebut kepada saksi dan/atau korban, namun hanya kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasuskasus tertentu, yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.251 Perlindungan tersebut diberikan dengan mempertimbangkan sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban serta tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban.252 Strategisnya posisi justice collaborator dalam pengungkapan suatu tindak pidana juga telah menjadi perhatian dalam konsep perlindungan saksi dalam UU No. 13 Tahun 2006. Secara literal, keberadaan justice collaborator memang tidak dikenal secara utuh dalam UU No. 13 Tahun 2006,253 namun pada dasarnya konsep tersebut telah diadopsi dalam Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006. Kedudukan justice collaborator sebagai saksi yang sangat penting dalam sebuah proses peradilan pidana mulai dari tingkat penyidikan hingga memberikan alat 249
Firman Jaya, loc.cit.
250
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, op.cit. Pasal 5
ayat (1). 251
252
Ibid., Pasal 5 ayat (2) dan Penjelasan. Ibid., Pasal 28.
253
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, op.cit., hlm. 4. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
89
bukti keterangan saksi dalam pemeriksaan pengadilan terutama dalam kasus kejahatan terorganisir ini diakui dalam Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: (1) Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan; (3) Ketentuan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan Pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 sebenarnya mengakui peranan penting seorang
justice
collaborator
dalam
mengungkap
kasus-kasus
kejahatan
terorganisir dan berusaha menarik orang yang terlibat, bahkan menjadi tersangka dalam suatu kasus pidana yang sama untuk mau memberikan informasi sebagai saksi atau pelapor. Dalam pasal ini memang tidak digunakan istilah justice collaborator secara langsung, namun, frasa “Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama” menunjukkan bahwa ayat ini ditujukan untuk mereka yang berkedudukan sebagai justice collaborator. Tujuan utama ketentuan dalam pasal ini adalah memberikan perlindungan kepada whistleblower yang dalam prakteknya sering dituntut balik karena laporan atau kesaksiannya dengan tuduhan pencemaran nama baik sehingga terhadapnya perlu diberikan perlindungan khusus. Perlindungan ini luntur apabila sang saksi ini ternyata juga terlibat dalam perkara yang dilaporkannya itu sebagaimana ditegaskan dalam ayat 2 (dua) pasal tersebut. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, Saksi, Korban atau Pelapor yang bersedia memberikan laporan atau kesaksian diberikan kekebalan dari penuntutan baik secara perdata maupun pidana atas laporan atau kesaksiannya tersebut. Jika yang bersangkutan juga berstatus sebagai tersangka dalam kasus yang sama, maka berdasarkan ayat (2) pasal tersebut ia tetap harus dituntut secara pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Sebagai reward atau penghargaan atas keterangan atau kesaksian mereka yang Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
90
dapat membongkar suatu tindak pidana, terhadap yang bersangkutan dapat diberikan keringanan hukuman oleh hakim apabila ia secara sah dan meyakinkan dinyatakan bersalah.254 Politik hukum pidana yang hendak dibangun adalah adanya kepastian hukum pemberian reward and punishment bagi kesaksian yang bernilai sangat penting dalam pengungkapan kasus-kasus serius yang diberikan oleh saksi yang berstatus tersangka dalam kasus yang sama.255 Perlindungan yang diberikan dalam Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 dirasa masih jauh dari memadai karena beberapa faktor.256 Pertama, bentuk dan sifat perlindungannya terbatas hanya berupa pengurangan hukuman dan hanya berlaku bagi mereka yang memberikan kesaksian di persidangan. Kedua, perlindungan tersebut hanya bersifat fakultatif atau bukan kewajiban. Tidak ada jaminan atau tidak dapat diprediksi apakah penghargaan ini dapat diperoleh justice collaborator karena hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memiliki kebebasan dalam memutus perkara, bukan pihak di mana Pelaku yang Bekerjasama dapat ‘bertransaksi’, seperti pada penyidik dan penuntut umum. Pada asasnya implementasi penghargaan kepada justice collaborator lebih merupakan politik hukum yang berada di tangan eksekutif, dan tidak mengikat sepenuhnya kepada yudikatif. Karenanya untuk mengusahakan adanya pengurangan hukuman bagi justice collaborator harus dimulai dari adanya pengajuan tuntutan yang lebih ringan oleh penuntut umum terhadap Pelaku yang Bekerjasama. Meski tuntutan penuntut
umum
tidak mengikat
hakim,
namun
tentunya
hakim
akan
memperhatikan tuntutan tersebut.257
254
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, op.cit., hlm. 1. 255
Firman Jaya, op.cit., hlm. 29.
256
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, “Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama”, (makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Jakarta, 19-20 Juli 2011), hlm. 9. 257
Ibid., hlm. 21. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
91
3.1.2. Perlindungan bagi Justice Collaborator dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu Sadar bahwa ketentuan dalam Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 masih memerlukan pedoman lebih lanjut di dalam penerapannya, maka Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman melaksanakan fungsi pengaturannya dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower)
dan
Saksi
Pelaku
yang
Bekerjasama
(Justice
Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (selanjutnya disebut SEMA No. 04 Tahun 2011). SEMA No. 04 Tahun 2011 juga lahir dengan mengadopsi nilai-nilai moralitas hukum dari UNTOC dan UNCAC yang keduanya telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, Pasal 37 UNCAC dan Pasal 26 UNTOC telah memerintahkan kepada negara peserta untuk mempertimbangkan memberikan keringanan hukuman atau kekebalan dari penuntutan kepada justice collaborator seperti tertuang dalam Pasal 37 Konvensi ini. Selain itu kelahiran SEMA No.4 Tahun 2011 didorong pula pasca penandatanganan Pernyataan Bersama Terkait Perlindungan untuk Whistleblowers dan Justice Collaborator (Pelaku yang Bekerjasama) di Jakarta pada Juli 2011. Ketua Mahkamah Agung RI, Harifin A. Tumpa, turut menandatangani pernyataan bersama tersebut bersama dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Jaksa Agung Basrief Arief, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Muhammad Busyro Muqoddas dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai.258 Melalui SEMA No. 04 Tahun 2011, Mahkamah Agung meminta kepada para Hakim untuk memberikan perlakuan khusus jika dalam mengadili suatu 258
Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, op.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
92
perkara menemukan whistleblower dan justice collaborator antara lain dengan memberikan keringanan pidana dan/atau perlindungan lainnya. Menurut butir 9 SEMA No. 04 Tahun 2011, Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Tindak pidana yang dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 adalah yang disebutkan dalam butir 1, yaitu tindak pidana yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Untuk dapat disebut sebagai justice collaborator, yang bersangkutan harus memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan yang dapat membantu penyidik dan/atau penuntut umum mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. Jika halhal tersebut telah dilakukan oleh yang bersangkutan, maka jaksa penuntut umum akan menyatakannya dalam tuntutannya.259 Pernyataan dari penuntut umum tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan. Kepada justice collaborator yang telah memberikan bantuan itu Hakim dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dapat mempertimbangkan untuk:260 i. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau ii. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Hakim dapat memberikan keringanan pidana kepada terdakwa yang pribadinya dinilai sebagai seorang justice collaborator. Dalam hukum acara pidana di Indonesia keadaan pribadi terdakwa memang merupakan salah satu
259
Ibid., butir 9 huruf b.
260
Ibid., huruf c. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
93
aspek dari rangkaian alasan hakim dalam menjatuhkan putusan.261 Dalam memutus suatu perkara pidana, hakim dalam putusannya salah satunya harus mencantumkan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang apabila tidak dipenuhi, maka berdasarkan ayat (2) pasal ini akan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Keadaan yang memberatkan dan meringankan yang dimaksud di sini berkaitan dengan pertimbangan putusan tentang penjatuhan hukuman atau pemidanaan (sentencing atau straftoemeting).262 Berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim kepada terdakwa ini berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga harus didasarkan pada sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hakim pidana pada dasarnya bebas dalam menentukan berat ringannya pidana selama masih berada dalam batasan minimum dan maksimum pidana yang ditentukan dalam undang-undang. Kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak dalam artian hakim tidak dapat menjatuhkan suatu pidana hanya berdasar pada pandangan subyektifnya saja. Hakim harus memperhatikan sifat dan seriusnya (Ernst) delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang dihadapkan kepadanya, kepribadiannya, sifatnya sebagai bangsa, lingkungannya, dan lain-lain.263 Maksud dari dipertimbangkannya sifat baik dan jahat (keadaan pribadi) terdakwa menurut penjelasan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman adalah agar putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai
dengan
kesalahannya.
Dalam
perkembangannya
di
Indonesia,
pertimbangan mengenai keadaan yang meringankan dan memberat pada diri terdakwa biasanya didasarkan pada sikap terdakwa yang baik selama persidangan, mau mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya, tidak berbelit-belit
261
Oemar Seno Adji, Hukum-Hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 133.
262
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 363. 263
Oemar Seno Adji, op.cit., hlm. 8. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
94
dalam menjawab pertanyaan, belum pernah dihukum sebelumnya, masih memiliki tanggungan keluarga, dan lain-lain.264 Berkenaan dengan penerapan SEMA No. 04 Tahun 2011, sebelumnya patut untuk ditinjau terlebih dahulu sifat dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) itu sendiri. Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi nasehat, fungsi administratif, dan fungsi lain-lain. Dalam menjalankan fungsi pengaturan (regelende functie atau rule making power), Mahkamah Agung diberikan kewenangan oleh Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung. Peraturan tersebut dibuat sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Berdasarkan delegasi kewenangan yang diberikan undang-undang, bentuk pengaturan tersebut dikenal dalam 2 (dua) bentuk produk, yaitu: 265 a.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), yaitu suatu bentuk peraturan dari prinsip Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum beracara.
b.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) pada dasarnya merupakan suatu bentuk edaran dari Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi. Menurut Yahya Harahap, PERMA lahir dari wewenang membuat
peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diberikan Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 kepada Mahkamah Agung. Sedangkan terbentuknya SEMA secara hukum dilandasi oleh Pasal 32 ayat (4) UU No. 14 Tahun 1985 yang berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang memberi 264
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, loc.cit. 265
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari: Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 143-144. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
95
petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.” Dengan demikian, SEMA dapat berisi petunjuk, teguran, atau peringaran kepada pengadilan. Kekuatan mengikat SEMA pada dasarnya sama dengan PERMA walaupun berbeda landasan hukumnya. SEMA mengikat kepada Hakim dan Pengadilan dan dengan demikian, Hakim dan Pengadilan harus tunduk dan taat untuk menerapkannya dalam menjalankan tugas dan fungsi peradilan. Pelanggaran atas isi SEMA oleh Hakim dan peradilan yang lebih rendah dapat menjadi alasan bagi peradilan yang lebih tinggi untuk membatalkan putusan tersebut.266 Melihat dari kekuatan mengikatnya, dikeluarkannya SEMA No. 04 Tahun 2011 tampaknya belum cukup menjadi pedoman bagi para penegak hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator karena sifat SEMA itu sendiri pada dasarnya mengikat ke dalam, yaitu sebagai petunjuk, peringatan atau teguran bagi para Hakim dan Pengadilan. SEMA No. 04 Tahun 2011 memberi kewenangan yang besar bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan apakah seseorang dapat diklasifikasikan sebagai seorang justice collaborator. Dalam butir 9 huruf b disebutkan bahwa, Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan yang dapat membantu penyidik dan/atau penuntut umum mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelakupelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. Dari
catatan
penuntut
umum
tersebut
barulah
Hakim
dapat
mempertimbangkan apakah yang bersangkutan pantas untuk diberikan keringanan hukuman atau bentuk perlindungan lainnya. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa jaksa penuntut umum memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator dalam tahap penuntutan. Mengingat SEMA No. 04 Tahun 2011 hanya mengikat para Hakim, maka sulit untuk menjamin bahwa seorang justice collaborator yang telah berani
266
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 172-176. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
96
memberikan bantuannya akan dinyatakan sebagai justice collaborator oleh penuntut umum dalam tuntutannya apalagi mendapatkan keringanan tuntutan. SEMA No. 04 Tahun 2011 hanya berlaku pada ruang lingkup penuntutan dan pemeriksaan dalam persidangan.267 Padahal usaha untuk mencari alat bukti keterangan saksi sudah mulai dilakukan sejak tingkat penyidikan agar selanjutnya dapat dilimpahkan ke tahap penuntutan.268 Dengan demikian bantuan yang diberikan oleh justice collaborator beserta ancaman yang harus dihadapinya seharusnya juga menjadi perhatian bagi pihak penyidik baik penyidik Polri maupun KPK. Tidak hanya penyidik, penuntut umum, dan Hakim saja pihak yang berperan dalam perlindungan terhadap justice collaborator. Masih ada lembaga lain, seperti LPSK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk memutuskan saksi mana yang dapat diberikan perlindungan berdasarkan UU No, 13 Tahun 2006 serta lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga yang dapat memberikan
keuntungan-keuntungan
menjalani hukuman di penjara.
kepada
justice
collaborator
selama
269
267
Firman Jaya, op.cit., hlm. 38.
268
Andi Hamzah, ed., Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, op.cit. hlm. 27.
269
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”, op.cit., hlm.1. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
97
3.1.3. Perlindungan bagi Justice Collaborator dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama 3.1.3.1. Kedudukan
Peraturan
Bersama
dalam
Hierarki
Perundangan-Undangan di Indonesia Perlindungan
terhadap
justice
collaborator
dalam
rangka
pengungkapan tindak pidana serius dan terorganisir tidak akan berhasil apabila dipusatkan pada satu lembaga penegak hukum saja. Demi keberhasilan pengungkapan tersebut dibutuhkan kerja sama dan sinergitas antara para penegak hukum melalui upaya mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi justice collaborator. Dalam melakukan kerja sama tersebut dibutuhkan suatu pedoman untuk menyamakan pandangan dan persepsi agar para penegak hukum dapat melakukan koordinasi secara tepat dalam memberikan perlindungan terhadap pelapor, saksi pelapor dan/atau saksi pelaku yang bekerjasama. Menurut Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, hal inilah yang mendorong Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia sepakat untuk menandatangani Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama pada tanggal 14 Desember 2011. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang merupakan jenis Peraturan Perundang-Undangan selain jenis dan hierarki Peraturan Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
98
Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 undangundang ini. Peraturan Perundang-Undangan tersebut tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.270 Peraturan ini ditetapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia berdasarkan wewenangnya masingmasing sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.271
270
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No.82/2011, TLN No. 5234: Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 271
Kewenangan Menteri untuk membentuk peraturan bersumber dari Pasal 17 UUD 1945 di mana sebagai pembantu presiden, Menteri menangani tugas pemerintahan yang diberikan kepadanya. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Kementerian Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang hukum dan hak asasi manusia dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugasnya itu, ia juga berfungsi membuat perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang yang salah satunya adalah menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia). Kepala Kepolisian Republik Indonesia berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indoensia menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian. Selanjutnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga atau komisi Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
99
3.1.3.2. Pengertian Saksi Pelaku yang Bekerjasama Dalam
Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor,
Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, terdapat tiga subyek yang menjadi target perlindungan, yaitu Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelapor yang Bekerjasama. Terhadap ketiga subyek ini, aparat penegak hukum diwajibkan melaksanakan perlindungan, yaitu segala upaya pemenuhan hak, dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman dan penghargaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.272 Untuk disebut sebagai Pelapor, seseorang haruslah mengetahui dan memberikan laporan serta informasi tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana tertentu kepada penegak hukum dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.273 Pelapor ini berbeda dengan Saksi Pelapor. Saksi Pelapor atau whistleblower tidak hanya mengetahui suatu tindak pidana saja, namun melihat, mendengar, mengalami atau terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya suatu tindak pidana kepada pejabat yang berwenang. Target perlindungan selanjutnya dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah justice collaborator atau yang disebut sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang dibentuk oleh undang-undang juga memiliki kewenangan terkait dengan perlindungan bagi justice collaborator. LPSK dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan berdasarkan Pasal 12 bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan KPK dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Permberantasan Korupsi dan dalam menjalankan tugasnya untuk mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, KPK memiliki wewenang untuk mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. 272
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, op.cit., Pasal 1 butir 5. 273
Ibid., Pasal 1 butir 1. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
100
yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.274 Sama halnya dengan saksi yang dimaksud dalam KUHAP dan dalam UU No. 13 Tahun 2006, Saksi Pelaku yang Bekerjasama pada dasarnya juga merupakan orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri suatu perkara pidana dan karenanya ia mau bekerjasama dengan penegak hukum untuk memberikan keterangannya guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Perbedaannya, Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak hanya melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri suatu perkara pidana, tetapi juga pelaku suatu tindak pidana. Saksi Pelaku yang Bekerjasama mau untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan informasi dan menjadi saksi di pengadilan walaupun sebenarnya ia juga tersangka, terdakwa atau bahkan narapidana. Melihat bahwa justice collaborator juga berkedudukan sebagai saksi, maka kepada justice collaborator juga diberikan hak-hak saksi, yaitu berupa perlindungan fisik dan psikis, serta perlindungan hukum sebagaimana yang diberikan oleh UU No, 13 Tahun 2006. Selain perlindungan fisik dan psikis, serta perlindungan hukum, kepada justice collaborator juga diberikan bentuk perlindungan yang berbeda dengan saksi pada umumnya, yaitu berupa penanganan secara khusus dan penghargaan. Keempat perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Bersama tersebut, yaitu perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus, dan penghargaan diberikan sebagai pemenuhan hak-hak dari seorang justice collaborator.
274
Sub pokok bahasan 2.2.1 mengenai Pengertian Justice Collaborator. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
101
3.1.3.3. Syarat Mendapatkan Perlindungan Tidak semua orang yang dapat disebut sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat memperoleh perlindungan dari Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Seorang Saksi Pelaku yang Bekerjasama harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk mendapatkan perlindungan yang diatur dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama tersebut sebagai berikut.275 a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir; Yang dimaksud dengan tindak pidana serius dan/atau terorganisir menurut Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 4. Tindak pidana yang harus diiungkap
agar
seseorang
dapat
dinyatakan
sebagai
justice
collaborator antara lain adalah tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan masyarakat luas.276 Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, peran justice collaborator memang sangat diperlukan untuk mengungkap tindak-tindak pidana seperti ini. Kebanyakan dalam kejahatan terorganisir para pelaku telah mengembangkan ikatan yang kuat satu sama lain di mana ikatan itu digunakan untuk menghadapi proses
275
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, op.cit, Pasal 4. 276
Ibid., Pasal 1 butir 4. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
102
hukum.277 Selain memiliki ikatan yang kuat di antara pelaku, mereka khususnya kelompok teroris juga memiliki sifat dasar yang tertutup278 yang hanya dapat dibuktikan melalui pertolongan pelaku yang terlibat dalam hubungan tersebut.
b. memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir; Pentingnya informasi, bukti, maupun kesaksian yang diberikan oleh justice collaborator dalam mengungkap suatu tindak pidana merupakan faktor penting untuk melihat apakah yang bersangkutan layak mendapatkan perlindungan. Salah satu ukurannya adalah bahwa tanpa informasi, bukti, maupun kesaksian dari yang bersangkutan, maka suatu tindak pidana tidak dapat atau sangat sulit terungkap atau terbukti di pengadilan karena tidak ada bukti dari sumber lain.279 UNODC juga melihat bahwa nilai dan relevansi kesaksian seorang justice collaborator merupakan salah satu kriteria utama agar yang bersangkutan dapat diberikan perlindungan. Sebisa mungkin seorang justice collaborator sudah memberikan pernyataannya yang seutuhnya dan komprehensif sebelum penilaian dilakukan dan sebelum orang tersebut dimasukkan ke dalam program perlindungan. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa program perlindungan atau proses penilaian bukan sekedar bujuk rayu atas kerjasama saksi di pengadilan.280
c. bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya; Pemberian penghargaan, khususnya dalam bentuk penghapusan penuntutan, perlu memperhatikan faktor seberapa besar peran sang
277
Abdul Haris Semendawai, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”, loc.cit. 278
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 24.
279
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, op.cit., hlm. 23.
280
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 64. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
103
Pelaku yang Bekerjasama itu sendiri dalam tindak pidana yang dilaporkannya. Pelaku yang Bekerjasama yang dilindungi tentunya bukanlah pelaku utama atau otak dari tindak pidana yang dilaporkannya.281 Dalam Hukum Pidana tidak dikenal istilah pelaku utama. Menurut R. Soesilo, terdapat 4 (empat) macam pelaku penyertaan yang dapat dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana, yaitu orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang turut melakukan (medepleger), dan orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan, dan sebagainya dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker).282 Golongan-golongan di atas berbeda dengan golongan orang yang membantu melakukan. Orang yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu atau sebelum dilakukannya kejahatan akan dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan (medeplichtig) dan menurut Pasal 57 KUHP hukuman pokoknya akan dipotong sepertiganya. Sifat dari medeplichtige ini hanya membantu saja dan tidak boleh melakukan suatu unsur perbuatan pelaksanaan tindak
pidana
(medeplegen).283
sebagaimana Adapun
golongan
dalam
“turut
Peraturan
melaksanakan”
Bersama tentang
Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak dijelaskan apakah yang dimaksud dengan bukan pelaku
utama itu
adalah
orang
yang membantu
melakukan
(medeplichtig), orang yang dibujuk melakukan atau orang yang turut melakukan (medeplegen).
281
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, op.cit., hlm. 24.
282
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum PIdana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, loc.cit . 283 Ibid., hlm. 76. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
104
d. kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; Sedikit berbeda dengan SEMA No, 04 Tahun 2011, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak mensyaratkan adanya pengakuan dari yang bersangkutan untuk mendapat perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi
Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama mensyaratkan adanya kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan. Pengembalian sejumlah aset yang diperoleh dari tindak pidana yang bersangkutan dianggap sebagai bentuk dari pengakuan yang merupakan suatu hal yang penting sebagai bagian dari bargain atau penawaran agar penghapusan penuntutan dapat dilakukan secara efektif. Dengan bersedia mengembalikan aset tersebut otomatis Saksi Pelaku yang Bekerjasama tersebut sudah mengakui kejahatan yang dilakukannya. Pengakuan atas segala kejahatan yang dilakukannya tersebut juga harus
diberikan
secara
lengkap.
Tanpa
pengakuan
tersebut
penghapusan penuntutan secara administratif akan sulit dilakukan.284 Pernyataan tertulis akan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan tidak diatur mekanismenya dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Jika merujuk pada Pasal 30 UU No. 13 Tahun 2006, maka penyataan tertulis itu merupakan suatu pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi. Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan suatu bentuk memorandum of understanding yang dalam kebanyakan kasus dijadikan sebagai dokumen yang menjelaskan secara rinci mengenai hak dan kewajiban baik dari kedua belah pihak,
284
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, op.cit., hlm. 25. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
105
yaitu dari lembaga perlindungan saksi dan dari saksi itu sendiri. Memorandum of understanding ini tidak dapat dianggap sebagai perjanjian yang dapat digugat di muka pengadilan, namun tetap diperlukan oleh lembaga perlindungan saksi dalam menghadapi komplain atau tuntutan dari saksi dalam pelaksanaan perlindungan.285
e. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya. Syarat adanya ancaman yang membahayakan Saksi juga diatur dalam Pasal 28 UU No. 13 Tahun 2006 di mana LPSK dalam membuat perjanjian untuk memberikan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban salah satunya harus memperhatikan tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban. Yang dimaksud dengan ancaman dalam UU No. 13 Tahun 2006 adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana. Pada umumnya, ancaman yang dimaksud adalah ancaman terhadap nyawa saksi dan tidak mencakup kesehatan atau harta miliknya. Sedangkan dalam
Peraturan Bersama tentang
Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, ancaman yang dimaksud tidak hanya dilakukan terhadap nyawa saksi, tetapi diperluas menjadi terhadap fisik saksi, baik nyawa maupun kesehatannya Selain dilakukan secara fisik, ancaman yang diterima olehg Peraturan Bersama tersebut juga dilakukan secara psikis.286 285
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 65.
286
Ibid., hlm. 61. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
106
UNODC
menganggap
ancaman
serius
terhadap
saksi
merupakan salah satu syarat utama dalam memberikan perlindungan saksi. Bahkan menurut UNODC, saksi yang berada dalam ancaman serius dapat diterima dalam program perlindungan saksi, apapun tipe saksinya dan tipe kejahatan yang disaksikannya.287 Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama juga menganggap syarat ancaman serius ini sebagai syarat yang penting dengan memperluasnya dengan tidak hanya mengharuskan bahwa ancaman tersebut nyata terjadi, tetapi juga saat muncul kekhawatiran bahwa ancaman tersebut akan terjadi. Selain itu, dalam menentukan apakah Saksi Pelaku yang Bekerjasama tersebut benar-benar mengalami ancaman atau kekhawatiran akan adanya ancaman, perlu juga untuk dinilai apakah ancaman tersebut terjadi karena pengungkapan tindak pidana oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama tersebut.
3.1.3.4. Bentuk Perlindungan Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kepada justice collaborator juga diberikan hak-hak saksi, yaitu berupa perlindungan fisik dan psikis, serta perlindungan hukum sebagaimana yang diberikan oleh UU No, 13 Tahun 2006. Selain perlindungan fisik dan psikis, serta perlindungan hukum, kepada justice collaborator juga diberikan bentuk perlindungan yang berbeda dengan saksi pada umumnya, yaitu berupa penanganan secara khusus dan penghargaan. Pasal 6 ayat (1) Peraturan Bersama dengan tegas menyebutkan bahwa Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan: a. b. c. d.
287
perlindungan fisik dan psikis; perlindungan hukum; penanganan secara khusus; dan penghargaan.
Ibid. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
107
Adapun mekanisme pemberian perlindungan-perlindungan tersebut disesuaikan dengan aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Berikut uraiannya. a. Perlindungan Fisik, Psikis, dan/atau Perlindungan Hukum Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, perlindungan fisik, psikis, dan/atau perlindungan hukum diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum yang berhak didapatkan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama pada dasarnya sama dengan yang berhak didapatkan oleh saksi, yaitu hak-hak yang diberikan oleh Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006. Perlindunganperlindungan fisik tersebut adalah: i. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; ii. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; iii. mendapat identitas baru; iv. mendapatkan tempat kediaman baru; v. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; vi. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Bersama, perlindungan fisik dan psikis bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya, yaitu penyidik, penuntut umum atau hakim kepada LPSK. Pihak LPSK kemudian akan memberikan keputusan berdasarkan rekomendasi dari penyidik, Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
108
penuntut umum atau hakim. Jika rekomendasi tersebut diterima, maka LPSK wajib memberikan perlindungan fisik dan psikis tersebut dengan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum serta pihak terkait lainnya. Mekanisme pemberian perlindungan fisik dan psikis ini sedikit berbeda dengan mekanisme pemberian perlindungan fisik dan psikis kepada saksi yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006. Dalam Pasal 29 UU No. 13 Tahun 2006 diatur bahwa saksi dapat mengajukan permohonan tertulis ke LPSK baik dengan inisiatif sendiri maupun pejabat yang berwenang. LPSK kemudian akan memberikan keputusan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Sementara itu dalam Pasal 8 Peraturan Bersama, pengajuan rekomendasi untuk mendapatkan perlindungan fisik dan psikis bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama hanya diajukan oleh aparat penegak hukum kepada LPSK. Rekomendasi mengenai apakah Saksi Pelaku yang Bekerjasama benar-benar membutuhkan perlindungan fisik dan psikis hanya berada di tangan aparat penegak hukum. Merujuk pada Pasal 30 UU No. 13 Tahun 2006, jika LPSK menerima permohonan saksi untuk mendapatkan perlindungan fisik dan psikis tersebut, maka saksi harus menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi tersebut memuat kesediaan saksi untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan, menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya, tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK selama ia berada dalam perlindungan LPSK,
tidak
memberitahukan
kepada
siapa
pun
mengenai
keberadaannya di bawah perlindungan LPSK, dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Adapun dalam Peraturan Bersama, tidak diatur tentang keharusan Saksi Pelaku yang Bekerjasama untuk menandatangani
pernyataan
kesepakatan
ketika
LPSK
sudah
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
109
mengeluarkan keputusan untuk memberikan perlindungan fisik dan psikis kepada yang bersangkutan.
b. Penanganan Khusus Berdasarkan Pasal 6 ayat (3), Penanganan secara khusus bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat berupa: 1) pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka, terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan; Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Bersama, penanganan secara khusus ini diberikan setelah adanya persetujuan dari aparat penegak hukum sesuai dengan tahap penanganannya, yaitu penyidik, penuntut umum atau hakim. Yang dimaksud dengan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penempatannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 20 KUHAP, pihak yang berwenang untuk melakukan penahanan adalah penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan
wewenang
untuk
menentukan
apakah
seorang
terdakwa harus menjalani pidana badan berupa pidana penjara atau pidana kurungan berada di tangan hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang untuk mengadili dalam hal pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara seperti yang diatur dalam peraturan ini merupakan salah satu hal penting yang tidak diatur dalam peraturan-peraturan sebelumnya, baik dalam UU No. 13 Tahun 2006 maupun SEMA No.04 Tahun 2011. Pemisahan ini penting untuk menjamin keamanan dan Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
110
keselamatan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, serta menghindari adanya kemungkinan upaya dari pihak yang akan diungkap tindak pidananya untuk mempengaruhi pengungkapan tindak pidana yang akan dilakukan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.288 2) pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan atau diungkap; Pemisahan perkara merupakan wewenang dari jaksa yang diatur dalam Pasal 142 KUHAP, yaitu dalam hal dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan penggabungan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 KUHAP. Pemisahan atau pemecahan penuntutan perkara (splitsing) ini biasanya dilakukan dengan membuat berkas perkara yang baru atau terpisah dan demikian akan dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap terdakwa maupun saksi.289 Dalam prakteknya sering terjadi pemisahan berkas perkara di luar yang disyaratkan ketentuan Pasal 142 KUHAP karena pemisahan berkas perkara pada dasarnya harus didasarkan kepada kepentingan pemeriksaan semata-mata.290. Di Indonesia, praktek pemisahan berkas perkara ini sudah dilakukan sejak lama dengan tujuan menghadirkan saksi mahkota. Hal tersebut sering dilakukan semata-mata karena kurangnya alat bukti yang diperoleh untuk menuntut semua terdakwa. Pemberkasan perkara yang terpisah ini penting untuk 288
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 21.
289
Djoko Prakoso, op.cit., hlm. 113.
290
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), cet.3., (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1990), hlm. 82.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
111
dilakukan demi kepentingan kedua belah pihak, baik kepentingan aparat penegak hukum maupun kepentingan Saksi Pelaku yang Bekerjasama itu sendiri. Di satu sisi, dengan pemberkasan yang terpisah ini diharapkan salah satu dari mereka dapat dijadikan saksi yang mau bekerjasama. Di sisi lain, pemisahan berkas perkara akan mempermudah penuntut hukum dan hakim untuk mengajukan dan memberikan tuntutan dan hukuman yang tepat bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Hal ini dikarenakan pada saat penuntutan terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sudah diketahui hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku yang diungkap tindak pidananya sehingga penuntut umum dan hakim dapat menentukan tuntutan dan hukuman yang tepat bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama.291
3) penundaan penuntutan atas dirinya; Berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum berwenang untuk menghentikan penuntutan suatu perkara, dalam arti hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan oleh penyidik tidak dilimpahkan penuntut umum ke pengadilan.292 Alasan penghentian penuntutan tersebut adalah apabila perkara tersebut tidak memiliki cukup bukti sehingga kemungkinan besar terdakwa akan dibebaskan hakim, lalu karena peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau karena perkara ditutup demi hukum. Alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi
hukum
dapat
didasarkan
karena
tersangka/terdakwa
meninggal dunia, atas alasan ne bis in idem atau karena daluwarsa.293 Penghentian penuntutan tidak dengan sendirinya menurut hukum melenyapkan hak dan wewenang penuntut umum 291
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, op.cit., hlm. 15.
292
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:Penyidikan dan Penuntutan, op.cit., hlm.436. 293
Ibid., hlm.437. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
112
untuk melakukan penuntutan kembali perkara tersebut. Penuntut umum dapat melakukan penuntutan kembali terhadap tersangka apabila kemudian ada alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d) atau dengan adanya penetapan praperadilan yang menyatakan bahwa penghentian tersebut tidak sah. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa penghentian penuntutan itu merupakan suatu penangguhan sementara yang tidak bersifat permanen.294 Berdasarkan
penjelasan
resmi
Pasal
77
KUHAP,
penghentian penuntutan tidak termasuk pengenyampingan pekara untuk kepentingan umum (deponering). Penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pokok Kejaksaan secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan asas oportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi berwenang untuk tidak menuntut suatu perkara pidana di muka persidangan agar kepentingan umum tidak lebih
dirugikan.295
Tidak
seperti
penghentian
penuntutan,
pengenyampingan perkara untuk kepentingan umum ini sifatnya permanen.
Terhadap
perkara
yang
dikesampingkan
demi
kepentingan umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut di kemudian hari.296
294
Ibid, hlm. 440.
295
Menurut KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Sehubungan dengan wewenang penuntutan ini, di dalam hukum acara pidana dikenal dua asas penuntutan, antara lain adalah asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legalitas adalah asas yang mewajibkan penuntut umum untuk menuntut orang-orang yang telah dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan memang telah melakukan pelanggaran hukum. Sedangkan asas oportunitas adalah bahwa penunttut umum tidak wajib menuntut seseorang ang melakukan suatu tindak pidana jika menurut pertimbangannya apabila orang tersebut dituntut akan membawa akibat kerugian bagi kepentingan umum. Jadi, jika menurut pendapat penuntut umum kepentingan negara menuntut adanya penuntutan di muka hakim pidana, maka ia wajib untuk menuntut. Sebaliknya, walaupun seseorang itu benar melakukan tidak pidana, namun kepentingan umum tidak menghendaki adanya penuntutan atas orang tersebut, maka penuntutan wajib dikesampingkan. 296
Djoko Prakoso, op.cit., hlm. 41. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
113
Penundaan penuntutan yang dimaksud dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama bukanlah bentuk penerapan asas oportunitas. Tidak seperti Amerika Serikat yang mengenal pemberian kekebalan dari penuntutan (immunity of prosecution) sebagai kewenangan penuntut umum berdasarkan diskresinya, penundaan penuntutan ini menggunakan konsep protection of cooperating persons.297 Perkara Saksi Pelaku yang Bekerjasama bukan dikesampingkan demi kepentingan umum, melainkan ditunda sebagai imbalan atas kerja samanya dengan penegak hukum.
4) penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya; Pada UU No. 13 Tahun 2006, dimungkinkan whistleblower dan justice collaborator disidangkan lebih dahulu dari orang yang dilaporkan atau disidangkan bersamaan. Hal ini dikarenakan adanya frasa “.....tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah....” pada Pasal 10 ayat (2) yang bersifat ambigu dan menimbulkan multitafsir. Menurut Dr. Eddy O.S Hiariej dalam keterangannya sebagai ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010, Pasal 10 ayat (2) tidak memenuhi prinsip lex certa dalam hukum pidana dan cenderung contra legem dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang pada hakekatnya menyatakan bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya.298 297
Badan Pembinaan Hukum Nasional, op.cit., hlm. 84.
298
Mahkamah Konstitusi, , loc.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
114
Dalam praktek ditemui banyak kasus di mana pelapor dilaporkan kembali oleh terlapor dengan alasan memberikan keterangan palsu atau sumpah palsu yang diduga kuat sebenarnya dimaksudkan untuk membalas laporan pelapor atau strategi mengancam agar yang bersangkutan mencabut laporan atau keteranganya. Modus lain yang terjadi adalah terlapor baik dengan usaha sendiri maupun dengan bantuan oknum aparat penegak hukum sengaja mencari kesalahan hukum yang pernah dilakukan pelapor dan kemudian mempermasalahkannya sebagai sarana balas dendam. Bahkan banyak terjadi kasus di mana laporan dari terlapor diproses lebih dahulu dibanding laporan pelapor.299 Padahal seharusnya itikad baik dari orang yang melaporkan suatu kejahatan di mana ia sendiri merupakan bagian atau mata rantai dari suatu kejahatan seharusnya mendapat respon yang positif dari aparat penegak hukum.300
5) memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak menjelaskan mengenai apa dan bagaimana cara-cara yang boleh dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada Saksi Pelaku
yang
Bekerjasama untuk memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya. Jika merujuk pada pengalaman berbagai negara yang telah diteliti oleh UNODC, secara umum upaya perlindungan yang bersifat prosedural dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori umum sesuai dengan tujuannya, yaitu:301 299
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, op.cit., hlm. 16.
300
Surya Jaya, op.cit., hlm.1.
301
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., 32. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
115
a) Upaya untuk mengurangi rasa takut dengan menghindari konfrontasi langsung dengan terdakwa, termasuk upaya berikut. (i) Memperbolehkan penggunaan pre-trial statement atau pernyataan
pra-persidangan
(baik
pernyataan
tertulis
maupun rekaman audio ataupun video) sebagai alternatif kesaksian di persidangan; (ii) Memindahkan terdakwa dari ruang sidang; (iii) Memperbolehkan saksi memberikan keterangan melalui CCTV (closed circuit television) atau hubungan audiovideo, seperti videoconference; b) Upaya untuk mempersulit atau mencegah terdakwa atau kelompok terorganisir untuk melacak identitas saksi, termasuk upaya berikut ini: (i) Melindungi saksi yang sedang memberi keterangan di persidangan dengan menggunakan layar, tirai atau kaca dua arah; (ii) Memperbolehkan saksi memberikan keterangan tanpa nama (anonim); c) Upaya untuk membatasi keterbukaan saksi kepada publik dan stres psikologis: (i) Mengubah lokasi persidangan dan tanggal sidang; (ii) Memindahkan atau mengeluarkan publik dari ruang sidang; (iii) Menghadirkan seorang pendamping sebagai pendukung saksi.
Perlindungan yang bersifat prosedural ini bertujuan untuk memastikan agar saksi dalam memberikan keterangannya bebas dari intimidasi dan rasa takut terhadap nyawanya, serta untuk membatasi keterbukaan saksi kepada publik dan media selama persidangan.302
302
ibid., hlm. 31-32. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
116
Sehubungan
dengan
cara-cara
yang
dapat
digunakan
dalam
perlindungan yang bersifat prosedural ini, muncul berbagai potensi dilanggarnya hak terdakwa untuk mendapatkan persidangan yang adil melalui hak untuk melakukan pemeriksaan silang atau cross examination. Di beberapa negara, keterangan yang diberikan saksi di luar persidangan di hadapan penyidik, penuntut umum atau hakim (pretrial statement), baik berupa pernyataan tertulis atau rekaman audio ataupun video, dapat dijadikan bukti di persidangan walaupun saksi dalam keadaan dapat mengikuti persidangan. Di satu sisi hal ini sangat efektif untuk mencegah diintimidasinya saksi oleh terdakwa. Di sisi lain penggunaan keterangan di luar persidangan ini dapat memengaruhi hak terdakwa untuk melawan pernyataan saksi dan mengangkat poin-poin tambahan selain hal-hal yang telah direkam tersebut. Oleh karena itu, di beberapa negara seperti Jepang, penggunaan keterangan saksi di luar persidangan dapat dilakukan dengan persetujuan dari terdakwa atau penasehat hukumnya.303 Sehubungan dengan pre-trial statement dalam peradilan pidana di Indonesia, kembali pada pengertian keterangan saksi menurut KUHAP, agar keterangan saksi dapat bernilai sebagai alat bukti, keterangan tersebut harus dinyatakan saksi di sidang pengadilan (Pasal 185 jo. Pasal 1 angka 27 KUHAP). Menurut Pasal 162 ayat (2) KUHAP, keterangan saksi yang diberikan tidak dalam sidang pengadilan, yaitu dalam tahap penyidikan dapat dibacakan di persidangan dalam hal saksi tidak dapat hadir dan tetap bernilai sama dengan keterangan saksi di persidangan. Syaratnya, keterangan di penyidikan yang dibacakan di persidangan itu diberikan saksi di bawah
303
Ibid., hlm. 34. Lihat pula M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 186. Pasal 164 ayat (1) KUHAP memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyatakan pendapatnya atas keterangan saksi. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada terdakwa menilai dan menanggapi keterangan saksi. Dalam kesempatan tersebut, terdakwa dapat membantah keseluruhan keterangan saksi, membantah sebagian dan membenarkan selebihnya atau membenarkan keseluruhan keterangan saksi.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
117
sumpah. Adapun alasan ketidakhadiran saksi tersebut hanya dbatasi oleh Pasal 162 ayat (1) yang menyebutkan bahwa ketidakhadiran tersebut dikarenakan saksi meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena tempat tinggal atau kediamannya jauh atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara. Perlu ditekankan juga bahwa cross examination awalnya dikenal dalan hukum acara pidana di Amerika Serikat. Dalam peradilan pidana di Amerika Serikat, metode yang digunakan untuk menggali informasi dari saksi adalah dengan memberi kesempatan bagi para pihak untuk mengajukan pertanyaan kepada mereka, Pihak yang diberikan kesempatan pertama untuk bertanya adalah pihak yang menghadirkan mereka ke persidangan. Hak ini dikenal dengan nama direct-in-chief atau examination-in-chief. Setelah itu pihak lawan dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi atau yang dikenal dengan nama cross examination. Hak untuk bertanya, termasuk cross examination ini dipandang sebagai bagian yang fundamental bagi para pihak dalam mengkonfrontasi satu sama lain di persidangan.304 Secara filosofis dan teoritis,
cross
examination
dilakukan
dengan
maksud
untuk
menyediakan kesempatan untuk menguji kebenaran, akurasi, dan kelengkapan dari keterangan saksi.305 Menurut Yahya Harahap, cross examination bukan merupakan hak (right) sesuai dengan mixed system yang dianut KUHAP.306 Tidak seperti sistem common law yang menganut adversarial system di mana yang aktif mencari kebenaran sejati adalah penuntut umum dan penasihat hukum sesuai dengan asas counter balance, dalam sistem yang dianut KUHAP, hakimlah yang aktif memimpin dan mengajukan 304
Kevin Tierney, How to be a witness, (New York: Oceana Publication, 1971), hlm. 33.
305
O.C. Kaligis,ed., Cross Examination: The Case of Hendra Rahardja, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 12. 306
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 209. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
118
pertanyaan kepada saksi. Berdasarkan Pasal 164 ayat (2) KUHAP, penuntut umum atau penasihat hukum dapat diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dengan perantaraan hakim. Pertanyaan tersebut pun dapat ditolak hakim dengan memberi alasannya. Dengan demikian, cross examination bukanlah hak mutlak menurut KUHAP, melainkan hanya hak fakultatif.307 Hal penting selanjutnya yang harus diperhatikan dalam upaya perlindungan yang bersifat prosedural ini adalah apakah penasihat hukum dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa juga dapat memberikan pendapatnya atas keterangan saksi tersebut walaupun kepada justice collaborator ini diberikan anonimitas. Ada dua jenis anonimitas yang dapat diberikan kepada justice collaborator, yaitu anonimitas sebagian atau terbatas dan anonimitas penuh. Dalam anonimitas sebagian atau terbatas, saksi dapat diperiksa silang namun tidak diwajibkan untuk menyebutkan nama asli atau identitas personal lainnya, seperti alamat, pekerjaan atau tempat kerjanya.308 Sedangkan dalam anonimitas total, semua informasi mengenai identitas diri saksi benar-benar dirahasiakan sehingga hak terdakwa atau kuasa hukumnya untuk menguji keaslian, akurasi, dan kejujuran saksi tidak dapat dilakukan. Jika melihat pada negara-negara yang menerapkan anonimitas total, dalam menilai keterangan saksi biasanya keyakinan hakim harus didasarkan pada kesesuaian alat bukti yang ada dan tidak dapat hanya didasarkan pada keterangan saksi yang anonim itu saja. Terdakwa tetap dapat mengajukan pertanyaan ke saksi melalui kuasa hukumya secara tertulis atau cara lainnya.309
307
Ibid., hlm. 210.
308
United Nations Office on Drugs and Crime, e, op.cit., hlm. 39.
309
Ibid. hlm. 40. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
119
c. Penghargaan Berdasarkan Pasal 6 ayat (4) Peraturan Bersama, penghargaan yang dapat diberikan kepada Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah: 1) keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan Pemberian keringanan hukuman (mitigating punishment) sebagai bentuk penghargaan dan upaya untuk mendorong munculnya Saksi Pelaku yang Bekerjasama awalnya merupakan amanat dari Pasal 37 UNCAC yang juga menjadi salah satu dasar hukum Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Pengurangan hukuman yang akan dijatuhkan pada Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebelumnya telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 di mana Pasal 10 ayat (2) menyatakan hakim dapat mempertimbangkan kesaksian dari saksi yang juga tersangka dalam tindak pidana yang sama untuk meringankan pidana yang akan diajatuhkan. Kewenangan untuk memberikan keringanan pidana tesebut benar-benar berada pada hakim melalui pertimbangannya. Sementara itu, dalam butir 9 huruf b SEMA No. 04 Tahun 2011 disebutkan bahwa berdasarkan catatan penuntut umum barulah Hakim dapat mempertimbangkan apakah yang bersangkutan pantas untuk diberikan keringanan hukuman atau bentuk perlindungan lainnya. Pada asasnya implementasi penghargaan seperti ini lebih merupakan politik hukum yang berada di tangan eksekutif dan tidak mengikat sepenuhnya kepada yudikatif. Oleh karena itu, pengurangan hukuman bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama harus dimulai dari adanya pengajuan tuntutan yang lebih ringan oleh penuntut umum. Tentunya dalam menjatuhkan hukuman hakim akan memperhatikan tuntutan penuntut umum walaupun tuntutan tersebut tidak mengikat hakim sepenuhnya.310 Hukuman percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 14a 310
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, op.cit., hlm. 21. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
120
KUHP adalah pidana di mana terpidana tidak usah menjalani pidananya apabila sanggup memenuhi syarat yang ditentukan oleh hakim terhadapnya.311 Dalam pokoknya, orang tersebut tetap dijatuhi pidana, tetapi pidana itu tidak perlu dijalankan kecuali jika kemudian ternyata si terpidana sebelum habis waktu percobaan tersebut berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya. Hukuman bersyarat ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal dijatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun dan hukuman kurungan yang bukan kurungan pengganti denda.312 Sebelumnya, hukuman percobaan nyaris tidak mungkin diberikan kepada Saksi Pelaku yang Bekerjasama karena dalam tindak pidana terorganisir jarang ada hukuman yang kurang dari satu tahun.
313
Dengan adanya
Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, bentuk penghargaan penjatuhan pidana percobaan ini pun menjadi dapat dilakukan.
2) pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah seorang narapidana. Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam statusnya sebagai terpidana berhak memperoleh hak pengurangan masa pidana berupa remisi tambahan karena berbuat jasa kepada negara.314 Berdasarkan Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani pidana penjara 311
Mr.J.M. van Bemmelen, diolah oleh Mr.D.E.Krantz, Hukum Pidana 2: Hukum Penitentier, cet.2, (Bandung: Binacipta, 1991), hlm. 104. 312
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum PIdana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, op.cit., hlm. 40. 313
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, op.cit., hlm. 20.
314
Rachmat Prio Sutardjo, “Bantuan Pemenuhan Hak Prosedural bagi Whistleblower yang Bersikap sebagai Justice Collaborator”, (makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Jakarta, 19-20 Juli 2011). Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
121
sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan berkelakukan baik selama menjalani pidana. Remisi tersebut terdiri atas remisi umum yang diberikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan remisi khusus yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan.315 Remisi umum dan remisi khusus tersebut dapat ditambah dengan remisi tambahan apabila Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.316 Besarnya remisi tambahan bagi Narapidana atau Anak Pidana yang berbuat jasa kepada negara adalah ½ (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan.317 Selain remisi, narapidana juga berhak mendapatkan hak-hak lain seperti asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas.318 Yang dimaksud dengan Asimilasi adalah proses pembinaan
Narapidana
yang
dilaksanakan
dengan membaurkan
Narapidana dalam kehidupan masyarakat. Pembebasan Bersyarat Narapidana adalah proses pembinaan Narapidana di luar Lembaga 315
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Remisi, KEPPRES No. 174 Tahun 1999, LN No.223 Tahun 1999, Pasal 2. 316
Ibid., Pasal 3.
317
Ibid., Pasal 6. Lihat pula Pasal 4 yang berbunyi: (1) Besarnya remisi umum adalah : a. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih. (2) Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut : a. pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). b. pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan; c. pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat bulan; d. pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5 (lima) bulan; dan e. pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan setiap tahun. 318
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemasyarakatan, UU No. 12 Tahun 1995, LN 1995/77, TLN NO. 3614, Pasal 14 ayat (1). Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
122
Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan. Sementara itu Cuti Menjelang Bebas diberikan setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik. Sedangkan Cuti Bersyarat diberikan kepada Narapidana yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah, sekurang-kurangnya telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana minimal 6 (enam) bulan.319 Untuk mendapatkan hak-hak tersebut, narapidana harus memenuhi syarat substantif dan administratif.320 Adapun wewenang pemberian hak-hak tersebut berada di tangan Menteri Hukum dan HAM.321
3.1.4. Perbedaan antara Justice Collaborator dengan Saksi Mahkota Seperti telah diuraikan sebelumnya dalam pendahuluan bab ini, istilah justice collaborator di beberapa negara sering dipadankan dengan istilah seperti crown witness, kroongetuige, kronzeuge, dan lain-lain yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi saksi mahkota. Menurut doktrin yang berkembang, saksi mahkota adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa dan kepadanya diberikan suatu “mahkota”. “Mahkota” yang dimaksud adalah kehormatan berupa perlakuan istimewa, yaitu kekebalan dari penuntutan atau dengan kata lain ia dimaafkan atas kesalahan yang telah dilakukannya. Mahkota ini diberikan jika ia mau untuk bersaksi melawan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana tersebut.322 Statusnya tersangka/terdakwa yang mau menjadi saksi mahkota dicabut dan dinaikkan statusnya menjadi saksi, sehingga ketika menjadi saksi, status yang
319
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Peraturan Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, PERMEN No. M.HH-02.PK.05.06 TAHUN 2010, Pasal 1. 320
Ibid., Pasal 5, 6, 7.
321
Ibid., Pasal 10.
322
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 180. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
123
bersangkutan tidak lagi merupakan seorang terdakwa.323 Hal ini dilakukan agar jangan sampai ada beberapa terdakwa terpaksa dibebaskan dari hukuman karena kekurangan bukti sehingga tidak semua terdakwa akan dikenakan penuntutan.324 Tawaran untuk menjadi saksi mahkota ini secara yuridis hanya layak ditawarkan pada pelaku tindak pidana yang perannya paling kecil, tetapi keterangannya akan sangat menentukan terungkapnya tindak pidana tersebut.325 Saksi mahkota ini pada dasarnya sama dengan justice collaborator atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Pada intinya, yang dimaksud dengan justice collaborator menurut SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan keterangannya sebagai saksi di dalam proses peradilan. Kerja samanya ini dibutuhkan untuk mengungkap pelaku utama tindak pidana tersebut serta untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara. Perbedaan antara saksi mahkota yang dimaksud dalam doktrin dengan justice collaborator yang dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah status si terdangka/terdakwa saat memberikan kesaksiannya. Saksi mahkota saat memberikan keterangannya sebagai saksi, statusnya sebagai tersangka/terdakwa sudah dicabut dan dinaikkan menjadi saksi. Inilah mahkota atau perlakuan khusus yang dimaksud, yaitu kekebalan dari penuntutan.326 Sementara justice collaborator saat memberikan keterangannya 323
Peter Murphy, op.cit., hlm. 418.
324
R. Soesilo, Teknik Berita Acara (proses verbal), Ilmu dan Bukti dan Laporan, op.cit.,
325
Peter Murphy, op.cit., hlm. 417.
326
Lilik Mulyadi, loc.cit.
hlm. 10.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
124
sebagai saksi, statusnya sebagai tersangka/terdakwa tidak selalu dicabut. Perlakuan khusus yang diberikan kepada justice collaborator tidak hanya berupa kekebalan dari penuntutan tetapi beragam bentuknya di mana penundaan penuntutan hanyalah salah satu bentuk penanganan khusus yang diberikan dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.327 Justice collaborator dapat memilih bentuk perlindungan yang diberikan dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan perlindungan tersebut sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan bersama ini. Pemberian perlakuan khusus ini merupakan perbedaan sekaligus persamaan antara saksi mahkota dan justice collaborator. Perbedaan selanjutnya adalah mengenai tindak pidana yang diungkap oleh saksi mahkota dan justice collaborator. Doktrin yang berkembang tidak membatasi tindak pidana apa saja yang harus diungkap oleh seorang tersangka/terdakwa untuk mendapatkan perlakuan khusus sebagai seorang saksi mahkota. Saksi mahkota ini digunakan untuk pembuktian semua tindak pidana. Sementara SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama membatasi bahwa tindak pidana yang harus diungkap oleh seorang justice collaborator adalah tindak pidana serius dan terorganisir, seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, pencucian uang, perdagangan orang, dan lainlain.328 Adapun di beberapa negara seperti Belanda, saksi mahkota diperkenalkan terutama sebagai instrumen untuk melawan kejahatan terorganisasi.329
327
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, op.cit, Pasal 6. 328
Ibid., Pasal 4.
329
Peter J. P. Tak. loc.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
125
3.2.
Perlindungan bagi Justice Collaborator di Amerika Serikat Konstitusi Amerika Serikat Amandemen Kelima memberikan lima
perlindungan penting bagi setiap warga negara Amerika Serikat dari tindakan sewenang-wenang pemerintah. Salah satu perlindungan tersebut adalah bahwa setiap warga negara tidak dapat dipaksa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri dalam suatu perkara pidana (non self-incrimination).330 Semua warga negara Amerika Serikat yang dituduh atas suatu kejahatan dapat mengajukan hak non self-incrimination yang diberikan konstitusi tersebut ketika dipanggil untuk menjadi saksi dalam suatu perkara. Mereka berhak untuk menolak jika kesaksiannya dalam suatu perkara pidana digunakan untuk melawan dirinya sendiri dalam statusnya sebagai tersangka atau terdakwa.331 Orang tersebut tidak dapat dipanggil menjadi saksi sebelum statusnya sebagai tersangka atau terdakwa dicabut dan diganti menjadi saksi.332 Hal ini menghalangi dilakukannya kerja sama antara aparat penegak hukum dengan pelaku suatu tindak pidana untuk bersaksi melawan rekannya sesama pelaku tindak pidana tersebut.333 Penegak hukum di Amerika Serikat tetap dapat memanggil orang yang dituduh melakukan suatu kejahatan untuk menjadi saksi dengan memberikan mereka imbalan berupa kekebalan penuntutan. Ketentuan konstitusi mengenai “the right against self-incrimination” ini dapat diperluas maknanya sehingga penuntut umum dapat mengadakan kesepakatan dengan tersangka untuk bersaksi melawan pelaku tindak pidana lain dengan syarat tidak akan dilakukan penuntutan atas dirinya. Jika pada akhirnya kesalahannya dalam suatu tindak pidana memang 330
Jethro K. Lieberman, "Constitution of the United States" Microsoft® Encarta® 2009 [DVD], (Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008). The Fifth Amendment provides five important protections against arbitrary government actions. First, no one may be prosecuted for a federal crime without first being indicted (formally accused) by a grand jury. Second, a criminal suspect may be prosecuted only once for each crime. If a jury acquits the accused person, there can be no retrial. Third, a person cannot be forced to testify against himself or herself in any criminal case. This is the right against self-incrimination. Fourth, the due process Clause bars the government from arbitrarily depriving anyone of life, liberty, or property. Fifth, the government may not take anyone’s private property unless it is necessary for a public purpose and unless the government pays a fair price for it. 331
332
333
Senat Republik Prancis, op.cit., hlm. 52. Peter Murphy, op.cit., hlm. 418. Senat Republik Prancis, loc.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
126
terungkap dengan kesaksiannya tersebut, maka si saksi tetap dapat menggunakan hak yang diperolehnya dari kesepakatannya dengan penuntut umum, yaitu untuk tidak dituntut atas kesalahannya tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Kevin Tierney.334 The Fifth Amendment provides that no one may be compelled to be a witness against himself. By judicial interpretation, this Constitutional provision has been extended so that if the prosecution offers a deal to a suspected criminal by which he will not be prosecuted if he will testify against someone else, even if his testimony reveals his own criminal guilt, he is entitled to rely on that deal. Praktek pemberian kekebalan penuntutan kepada tersangka pelaku tindak pidana sudah lama berlangsung dalam sejarah sistem common law. Dalam hal terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang, aparat penegak hukum akan menawarkan suatu kekebalan penuntutan kepada satu atau beberapa dari mereka demi menjadikan mereka saksi untuk menuntut tersangka sisanya. Saksi yang memberikan keuntungan kepada negara dengan cara memberikan kesaksian untuk melawan teman sesama pelaku tindak pidana ini disebut dengan “turned state’s evidence” atau “saksi negara yang berbalik (melawan sesama pelaku)”. Insentif kepada seorang tersangka untuk menerima kekebalan ini sangat kuat karena ia dapat bebas tanpa hukuman sementara temannya sesama pelaku harus menghadapi hukuman berat.335 Pemerintah federal menggunakan instrumen pemberian kekebalan penuntutan ini dengan mendasarkannya pada Pasal 6001-6005 18 United States Code (Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Amerika Serikat, selanjutnya disebut 18 USC). Kekebalan penuntutan berdasarkan undangundang atau yang dikenal dengan nama statutory immunity ini merupakan suatu kekebalan yang dimiliki saksi berdasarkan Pasal 6002 18 USC yang memberi jaminan kepada seorang saksi bahwa kesaksianya tidak dapat digunakan untuk melawan dirinya sendiri dalam suatu perkara pidana, kecuali apabila ia memberikan keterangan palsu. Pasal tersebut berbunyi: 334
Kevin Tierney, op.cit., hlm. 98.
335
Ibid. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
127
Whenever a witness refuses, on the basis of his privilege against selfincrimination, to testify or provide other information in a proceeding before or ancillary to (1) a court or grand jury of the United States, (2) an agency of the United States, or (3) either House of Congress, a joint committee of the two Houses, or a committee or a subcommittee of either House, and the person presiding over the proceeding communicates to the witness an order issued under this title, the witness may not refuse to comply with the order on the basis of his privilege against self-incrimination; but no testimony or other information compelled under the order (or any information directly or indirectly derived from such testimony or other information) may be used against the witness in any criminal case, except a prosecution for perjury, giving a false statement, or otherwise failing to comply with the order. Statutory immunity diberikan kepada pelaku suatu tindak pidana yang mau bekerjasama dengan penegak hukum dengan memberikan kesaksiannya. Kekebalan ini tidak diberikan kepada saksi yang tidak berstatus sebagai tersangka atau terdakwa yang memang diwajibkan menjadi saksi berdasarkan penetapan pengadilan.336 Terhadap saksi yang diberikan statutory immunity ini tidak selalu dapat diberikan kekebalan penuntutan secara total sehingga ia tetap dapat dituntut atas tindak pidana yang dilakukannya. Penuntutan terhadap saksi tersebut harus didasarkan dari sumber-sumber dan unsur-unsur selain yang terungkap selama menjadi saksi dalam perkara sebelumnya. Berdasarkan kasus Kastigar v. United States tahun 1972, penuntut umum dapat melakukan penuntutan atas saksi yang juga pelaku tindak pidana dengan meminta penetapan dari Jaksa Agung yang menyatakan bahwa bukti-bukti tindak pidana yang penuntutannya akan ia lakukan
336
Ibid., hlm. 53. The United States can compel testimony from an unwilling witness who invokes the Fifth Amendment privilege against compulsory self-incrimination by conferring immunity, as provided by 18 U.S.C. 6002, from use of the compelled testimony and evidence derived therefrom in subsequent criminal proceedings, as such immunity from use and derivative use is coextensive with the scope of the privilege and is sufficient to compel testimony over a claim of the privilege. Transactional immunity would afford broader protection than the Fifth Amendment privilege, and is not constitutionally required. In a subsequent criminal prosecution, the prosecution has the burden of proving affirmatively that evidence proposed to be used is derived from a legitimate source wholly independent of the compelled testimony. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
128
tersebut diperoleh secara legal dan tidak terkait dengan kesaksiannya pada perkara pidana sebelumnya di mana ia didudukkan sebagai saksi.337 Selain pemberian statutory immunity, penuntut umum juga dapat menggunakan bentuk kekebalan lainnya dalam melakukan kerja sama dengan pelaku tindak pidana, yaitu dengan melakukan negosiasi dengan tersangka atau terdakwa yang akan bekerjasama atau yang dikenal dengan nama informal immunity. Negosiasi ini tidak diatur dalam undang-undang tertentu, namun pelaksanaannya diatur dalam The Federal Sentencing Guidelines. Baik statutory immunity maupun informal immunity agreement tidak hanya ditujukan untuk tindak pidana tertentu saja, tetapi untuk semua tindak pidana. Keduanya dapat diterapkan pada semua kasus kejahatan federal, terutama yang berhubungan dengan kejahatan terorganisir, kejahatan berat, dan terorisme.338 Negosiasi antara penuntut umum dengan terdakwa, menghasilkan apa yang disebut dengan plea bargain. Pada tahap arraignment, yaitu tahap di mana terdakwa pertama kali dihadapkan di depan persidangan untuk mendengar dakwaan yang dikenakan kepadanya, si terdakwa akan ditanyakan bagaimana plea atau pembelaannya atas dakwaan tersebut.339 Di semua negara bagian Amerika Serikat, pembelaan tersebut dapat berupa “guilty” (“bersalah”) atau “not guilty” (“tidak bersalah”) dan di beberapa negara bagian Amerika Serikat selain kedua pembelaan tersebut ada pula yang disebut dengan “no contest”.340 Negosiasi untuk “tawar-menawar” pembelaan tersebut dapat dilakukan sebelum sebelum dakwaan didaftarkan ke pengadilan atau setelah dakwaan tersebut dibacakan dalam proses arraignment. 337
Ibid, hlm. 54.
338
ibid.
339
Holten Lamar, The Criminal Courts: Structures, Personnel, and Processes, (New York: McGraw-Hill,Inc., 1991), hlm. 214. 340
Ibid., hlm. 215. “No contest” atau “Nolo Contendere” adalah pembelaan yang pada dasarnya berbentuk guilty plea atau pembelaan bersalah, namun memungkinkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak mengaku bersalah. Pembelaan semacam ini diperbolehkan secara hukum dalam situasi si terdakwa juga digugat secara perdata atas akibat yang disebabkan oleh tindak pidananya tersebut. Guilty plea dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam peradilan perdata, sedangkan nolo contendere plea tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam peradilan pidana sehingga dapat digunakan terdakwa untuk mengindari kedua tuntutan (pidana dan perdata). Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
129
Pada umumnya, produk plea bargain ini dapat berupa: 341 1. Perjanjian bahwa penuntut umum mengurangi jumlah dakwaan atau meringankan tingkat dakwaan (vertical plea bargain);342 Perjanjian seperti ini mensyaratkan adanya kesepahaman dan kesepakatan dari pihak terdakwa bahwa ia akan mengaku bersalah (plead guilty) pada dakwaan yang tingkat tindak pidana dan hukumannya lebih ringan daripada tindak pidana yang sebenarnya didakwakan kepadanya. Misalnya terdakwa seharusnya didakwa dengan pembunuhan tingkat pertama (murder), namun ia pada akhirnya dakwaan tersebut diperingan menjadi pembunuhan tingkat kedua (manslaughter) yang unsur-unsur tindak pidananya lebih sedikit dan hukumannya pun lebih ringan asalkan ia mau mengaku bersalah pada dakwaan pembunuhan tingkat kedua itu. 2. Perjanjian bahwa penuntut umum tidak akan menuntut beberapa dakwaan (horizontal plea bargain);343 Dalam kasus-kasus di mana terdakwa dapat didakwa dengan lebih dari satu dakwaan, penuntut umum dapat untuk tidak menuntut beberapa dakwaan apabila si terdakwa setuju untuk mengaku bersalah pada satu atau beberapa dakwaan. Hal ini terjadi dalam hal penuntut umum melakukan penuntutan sekaligus terhadap sejumlah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa. Misalnya seorang pencuri dapat didakwa dengan beberapa bahkan selusin dakwaan, namun pada akhirnya ia hanya didakwa dengan satu atau dua dakwaan saja dengan syarat ia akan megaku bersalah atas kedua dakwaan tersebut. 3. Perjanjian bahwa terdakwa akan menyetujui dakwaan-dakwaan yang diajukan demi mendapat putusan yang lebih ringan (sentence bargain).344 Dalam negosiasi ini, terdakwa setuju akan dikenakan dakwaan-dakwaan yang diajukan penuntut umum terhadapnya demi mendapatkan putusan 341
Ibid, hlm. 226.
342
Ibid., hlm. 227.
343
Ibid.
344
ibid, hlm. 228. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
130
hukuman yang lebih ringan. Penuntut umum sepakat untuk tidak menentang dan bahkan mendukung usaha penasihat hukum terdakwa untuk meminta keringan hukuman di persidangan. Menurut Holten dan Lamar, penuntut umum dapat melakukan plea bargain dengan tujuan untuk membujuk terdakwa agar mau memberikan kesaksiannya. Orang yang diajak bekerja sama ini biasanya adalah terdakwa yang memiliki peran kecil dalam tindak pidana yang dilakukannya bersama-sama dengan orang lain atau terdakwa yang latar belakang kriminalnya bersih. Orang tersebut biasanya akan memilih untuk mengaku daripada melawan bukti-bukti yang sudah jelas mengarah kepadanya, sementara bukti-bukti untuk menuntut temannya sesama pelaku tindak pidana sangat sedikit atau nyaris tidak ada sama sekali.345 Dalam kondisi seperti ini, penuntut umum akan menawarkan untuk meringankan tingkat dakwaannya jika ia mau memberikan kesaksian untuk melawan temannya sesama pelaku tindak pidana. Tawaran ini baru dapat dilakukan jika penuntut umum berhasil diyakinkan bahwa si terdakwa tersebut mengatakan hal yang sebenarnya.346 Orang-orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana memutuskan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan menjadi saksi saat mereka berhasil diyakinkan bahwa hal tersebut merupakan kepentingan terbaik mereka. Biasanya hal seperti ini terjadi saat mereka menyadari bahwa mereka terancam hukuman penjara yang berat sehingga kemudian mereka menggunakan 345
Ibid., hlm. 219. Lihat juga Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, op.cit., hlm. 258-259. Alat-alat bukti menurut Criminal Procedure Law Amerika Serikat yang disebut forms of evidence terdiri dari: 1. Real evidence (bukti sungguhan); 2. Documentary evidence (bukti dokumenter); 3. Testimonial evidence (bukti kesaksian); 4. Judicial evidence (pengamatan hakim). Tidak disebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa. Real evidence yang disebut sebagai “barang buti” dalam hukum acara pidana Indonesia dan Belanda merupakan suatu obyek materiil yang dipandang paling bernilai dibanding bukti lain dalam hukum acara pidana Amerika Serikat. 346
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: United States of America”, http://www.coe.int/t/dlapil /codexter/Source/pcpw_questionnaireReplies/PC-PW%202006%20 reply%20-%20USA.pdf, hlm. 1. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
131
kesempatan mereka untuk memperoleh pengurangan hukuman yang signifikan. Sebagai orang yang terlibat dalam tindak pidana tersebut, mereka memiliki pengetahuan dan bukti-bukti penting yang dapat mencegah dilakukannya tindak pidana tersebut atau dapat juga digunakan untuk membuktikan siapa pelaku tindak pidana tersebut. Peran penting pelaku tindak pidana tersebut dimanfaatkan oleh penuntut umum dengan diskresinya untuk mengajak mereka bekerja sama dengan memberikan imbalan berupa tuntutan yang lebih ringan.347 Dalam prakteknya, penuntut umum jarang mengambil keputusan untuk tidak menuntut sama sekali orang yang bekerjasama atas satu atau beberapa tindak pidana yang dilakukannya berdasarkan diskresinya.348 Penawaran kekebalan seperti ini sangat jarang diberikan sebelum kerjasama dan kesaksian benar-benar dilakukan karena sekali kekebalan ini diberikan, penuntut umum benar-benar tidak dapat melakukan penuntutan kepadanya.349 Dalam kesepakatannya dengan pelaku yang bekerja sama tersebut penuntut umum dapat memberikan imbalan berupa prosecutorial recommendation kepada hakim yang memutus untuk memberikan hukuman yang lebih ringan. Imbalan ini baru dilakukan setelah terdakwa yang bekerjasama ini mengaku bersalah atas semua tindak pidana yang dilakukannya dan setelah ia memberikan kerja sama dan kesaksiannya.350 Pilihan imbalan selanjutnya adalah post-verdict motion atau mosi pasca putusan kepada hakim yang dilakukan berdasarkan diskresi penuntut umum. Post-verdict motion dilakukan untuk mengurangi hukuman yang telah dijatuhkan kepada seseorang yang tidak memutuskan untuk bekerja sama dengan penuntut umum, namun akhirnnya mau bekerja sama setelah ia menerima hukuman penjara yang berat.351
347
Ibid.
348
Senat Republik Prancis, loc.cit.
349
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: United States of America”, op.cit., hlm. 2. 350
Ibid.
351
ibid.,hlm. 1. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
132
Dalam sistem common law, penuntut umum memang merupakan badan yang memiliki kewenangan yang sangat besar dalam sistem peradilan pidana352 di mana ia memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah terhadap suatu perkara akan dilakukan penuntutan atau tidak. Kekuasaan untuk menentukan hal tersebut dikenal dengan sebutan prosecutorial discretion atau diskresi penuntutan.353 Para Jaksa Amerika, baik United States Attorney, County Attorney, District Attorney maupun State Attorney hampir bebas sepenuhnya dari badan lain dalam melaksanakan wewenang diskresi (discretionary power) sejak awal penyidikan sampai pada pasca persidangan. Dalam menentukan apakah akan dilakukan penuntutan atau tidak para Jaksa Amerika (tidak mengenal asas oportunitas, namun menggunakan plea bargaining yang membuat jaksa dapat mengurangi tuntutan dengan adanya pengakuan terdakwa.354 Dalam memberikan informal immunity agreement melalui proses plea bargain, penuntut umum biasanya juga memperhatikan kriteria-kriteria orang yang dapat diajak bekerjasama sebagai saksi. Syarat utamanya adalah saksi tersebut haruslah orang yang melakukan satu atau beberapa tindak pidana yang pada dasarnya memiliki hak non-self incrimination yang diberikan Konstitusi Amerika Serikat Amandemen Kelima dan belum pernah dipidana. Dalam prakteknya, untuk mendapatkan informasi dalam upaya pemberantasan kejahatan terorganisir, subyek yang diberikan kekebalan tersebut dapat juga adalah sesama pelaku tindak pidana yang peranannya kecil dalam kejahatan terorganisir tersebut.355 Selain mendapatkan imbalan melalui proses plea bargain, saksi yang juga pelaku tindak pidana juga dapat memperoleh program perlindungan saksi. Melalui Organized Crime Control Act 1970, Jaksa Agung (Attorney General) di Amerika Serikat kewenangan untuk memberikan keamanan bagi saksi yang bekerjasama dan sepakat untuk memberikan keterangan yang sebenarnya dalam kasus yang 352
Kevin Tierney, op.cit., hlm. 187.
353
Ibid., hlm. 120.
354
Badan Pembangunan Hukum Nasional, op.cit., hlm. 54.
355
Senat Republik Prancis, op.cit., hlm. 53. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
133
melibatkan kejahatan terorganisir atau kejahatan serius lainnya dengan memberi mereka tempat tinggal baru dan menyediakan layanan yang dibutuhkan lainnya. Undang-undang ini kemudian diamandemen pada tahun 1984 dan melahirkan Witness
Security
Reform
Act
tahun
1984.356
Penuntut
umum
dapat
merekomendasikan orang yang bekerjasama tersebut untuk menjadi kandidat subyek yang diberikan perlindungan saksi secara khusus baik dalam penjara maupun dalam masyarakat.357
3.3.
Perlindungan bagi Justice Collaborator di Italia
3.3.1. Pengaturan mengenai Justice Collaborator di Italia Konsep perlindungan saksi di Italia mulai berkembang pada tahun 1970an, seiring dengan meningkatkannya kekerasan yang dilakukan oleh sebuah kelompok teroris Marxis-Leninis di Italia, Red Brigades. Berbagai upaya hukum mulai digencarkan untuk memecah belah kelompok tersebut dan mengajak para anggotanya untuk bekerjasama dengan penegak hukum. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan guna melucuti kekuatan Red Brigades, namun tidak ada satu peraturan pun yang menyediakan program perlindungan bagi mereka yang mau bekerjasama. Akhirnya pada tahun 1984, program perlindungan baru benar-benar secara formal diatur saat seorang Mafia Sisilia, Tommaso Buscetta berbalik melawan kelompok Mafianya dan memulai karir barunya sebagai justice collaborator. Buscetta adalah seorang saksi bintang dalam persidangan yang dikenal dengan nama Maxi Trial358 yang mengantarkan hampir 350 anggota Mafia ke penjara. Sebagai imbalan atas bantuannya, Buscetta direlokasi dan diberikan identitas baru. Kejadian ini merangsang lebih banyak lagi anggota Mafia yang
356
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: United States of America”, op.cit., hlm. 1 357
Ibid., hlm. 2.
358
Jeff Israely, “Meet The Modern Mob”, http://www.time.com/time/magazine/ article/0,9171, 257072,00.html. Maxi Trial atau Maxiprocesso adalah pengadilan pidana yang dilakukan di Sisilia pada pertengahan tahun 1980-an di mana penuntut umum Sisilia melakukan penuntutan kepada ratusan anggota Mafia dalam kasus pembunuhan dan kejahatan terorganisir lainnya. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
134
bahkan mencapai 1.000 orang pada akhir tahun 1990 untuk menjadi justice collaborator.359 Ide untuk melakukan kerja sama dengan anggota organisasi kriminal atau kelompok teroris sudah ada sejak lama dalam berbagai peraturan perundangundangan di Italia. Undang-Undang Hukum Pidana Italia pada tahun 1930 melalui beberapa pasalnya telah memperkenalkan konsep pemberian keringanan hukuman kepada orang yang dengan sukarela mencegah terjadinya suatu tindak pidana atau melakukan usaha untuk mengurangi atau menghilangkan kerugian yang disebabkan karena tindak pidana yang mereka lakukan.360 Sementara itu tidak ada ketentuan yang khusus dibuat untuk mengatur sistem perlindungan bagi mereka yang mau bekerja sama dengan negara, khususnya sebagai saksi.361 Ketentuan mengenai pemberian keringanan hukuman kepada orang-orang yang dikenal dengan nama pentiti362 ini tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana tertentu, seperti terorisme, organisasi Mafia, dan lain-lain.363 Upaya pemberian insentif kepada pentiti di Italia pertama kali diatur dalam Decree Law No. 625 of 15 December 1976 (yang diubah menjadi Law No. 15 of 6 February 1980) yang berjudul “Urgent measures to safeguard democracy and public safety”. Undang-undang ini memperkenalkan secara spesifik keadaankeadaan yang meringankan (mitigating circumstances) bagi orang yang melakukan suatu tindak pidana terorisme atau tindak pidana subversi364 yang mau
359
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit, hlm. 13.
360
Senat Republik Prancis, op.cit., hlm. 38.
361
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”, op.cit., hlm. 1. 362
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit., hlm. 19. Pentiti adalah bahasa Italia untuk “orang-orang yang bertobat”. Dalam tata bahasa Italia, pada kata benda dengan jenis kelamin laki-laki (maaschile atau maskulin), untuk kata benda tunggal (singolare) diakhiri dengan -o, sedangkan kata benda jamak (plurale) diakhiri dengan –i. Dengan demikian pentiti disebut pentito jika merujuk pada satu orang. (Luisa Rapaccini, Parlo Italiano; Decima Edizione, (Firenze: Le Monnier, 1969), hlm. 14)) 363
Senat Republik Prancis, op.cit., hlm. 39.
364
H.R. Sadili Sastrawijaya, Tindak-Tindak Pidana Subversi, (Jakara: Pusdiklat Kejagung RI, 1989), hlm. 19 sebagaimana dikutip dalam Ninik Suparni, Tindak Pidana Subversi: Suatu Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
135
memutus ikatannya dengan kelompok kejahatannya tersebut dan berusaha untuk mencegah berlanjutnya tindak pidana serta akibat dari tindak pidana tersebut. Pada tahun 1982, lahir pula Law No. 304 of 29 May 1982 yang berjudul “Measures to safeguard the constitutional system” yang juga diterapkan pada tindak pidana yang berhubungan dengan terorisme dan tindak pidana subversi. Berdasarkan undang-undang ini, orang yang membantu penegak hukum dalam memberantas sebuah organisasi teroris atau memutuskan hubungan dengan organisasi tersebut dengan memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai struktur organisasi tersebut akan mendapat imbalan berupa pemberian keadaan-keadaan yang meringankan (extenuating circumstances). Selain itu kepada orang-orang tersebut juga diberikan remisi dan keuntungan-keuntungan lainnya selama mereka menjalani hukuman di penjara. Terakhir, lahir Law No. 34 of 18 February 1987 yang berjudul “Measures in favour of persons dissociating themselves
from terrorism”
yang memperkenalkan
penghargaan
berupa
pengurangan pidana dan keuntungan-keuntungan selama menjalani hukuman penjara bagi tersangka atau terdakwa tindak pidana terorisme atau tindak pidana subversif yang secara resmi keluar dari kegiatan terorisme.365 Setelah diterapkannya beberapa peraturan mengenai pemberian insentif bagi justice collaborator dalam tindak pidana terorisme atau tindak pidana lainnya yang menggangu demokrasi serta keamanan publik, akhirnya pada tahun 1991 lahirlah peraturan yang mengatur secara khusus perlindungan saksi dan justice collaborator. Peraturan tersebut adalah Decree Law No. 8 of 15 January 1991 yang telah diubah menjadi Law No. 82 of 15 Maret 1991 yang berjudul “New provisions on kidnapping and on witness protection and protection and Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 48. Tindak pidana subversi merupakan tindak pidana yang sasarannya adalah mengenai hal ikhwal yang ada kaitannya dengan negara atau pemerintah, atau singkatnya tindak pidana politik (politiek delict atau political crime). Dalam ilmu hukum pidana, tindak pidana politk disistematisasi dalam 2 (dua) golongan, yaitu tindak pidana politik formil dan tindak pidana politik materiel. Tindak pidana politik formil terdiri dari tindak pidana politik murni yang sering disebut dengan pengkhianatan tinggi (hoogverraad) atau pengkianatan terhadap negara (landverrard), tindak pidana kompleks atau campuran, dan tindak pidana politik konneks atau tindak pidana biasa tetapi ada kaitannya dengan tindak pidana politik. Sedangkan tindak pidana politik materiel adalah tindak pidana umum (commune delicten) yang dilakukan dengan keyakinan politik. 365
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”, op.cit., hlm. 3. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
136
punishment of criminals collaborating with justice”. Law No. 82 of 15 Maret 1991 membedakan definisi antara saksi dan justice collaborator atau pentiti. Istilah “saksi” merujuk kepada orang yang memberikan alat bukti yang berkaitan pada tahap penyidikan dan persidangan, namun tidak terlibat dalam tindak pidana yang sedang diproses tersebut atau dengan organisasi kriminal atau teroris manapun. Sementara itu, justice collaborator adalah orang yang terlibat dalam sebuah organisasi kejahatan atau organisasi teroris yang memberikan bukti yang berkaitan kepada penyidik. Tujuan justice collaborator ini biasanya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan, seperti mendapatkan keringanan hukuman, keuntungankeuntungan selama di penjara, perlindungan dari organisasi kejahatan, dan bantuan ekonomi.366 Baik saksi maupun justice collaborator berada di bawah perjanjian untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Segala inkonsistensi antara bukti yang mereka berikan di persidangan dengan yang diberikan dalam pernyataan mereka saat mengajukan diri untuk bekerjasama dapat diuji. Lain halnya apabila justice collaborator berstatus sebagai terdakwa, maka ia memiliki hak untuk diam (the right to remain silent).367 Dalam hukum Italia, seorang terdakwa tidak pernah dianggap sebagai saksi sekalipun ia didudukkan di kursi saksi. Keterangannya pun tidak pernah diberikan di bawah sumpah.368 Dengan demikian tidak semua keterangannya sebelum persidangan dapat dianggap sebagai alat bukti.369 Keterangan yang diberikan oleh seorang justice collaborator yang berstatus sebagai seorang terdakwa di persidangan baru dapat dianggap sebagai alat bukti apabila sudah dievaluasi bersama dengan alat-alat bukti lain yang dapat memastikan bahwa keterangan tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 192 Kitab Hukum Pidana Italia). Dengan kata lain, keterangan dari terdakwa yang bekerjasama hanya dapat digunakan sebagai alat bukti apabila sudah dikoroborasikan dengan alat bukti lain, termasuk dengan keterangan justice 366
Ibid., hlm. 2.
367
Ibid.
368
Giuliano Turone, op.cit., hlm. 60.
369
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”, loc.cit. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
137
collaborator lainnya.370 Memperlakukan pentiti sama seperti saksi akan berdampak pada kesaksian yang salah atau dibuat-buat demi mendapatkan keuntungan dalam status mereka sebagai terdakwa.371 Walalupun istilah pentiti sering digunakan untuk menyebut seorang pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum, namun istilah ini tidak dimuat dalam perundang-undangan karena tidak selalu cocok dengan keadaan yang sebenarnya. Tidak semua dari mereka yang memutuskan untuk bekerja sama benar-benar bertobat atau menyesal atau bahkan mau untuk keluar dari organisasi mereka. Kriteria utama untuk menentukan apakah mereka dapat dikualifikasian sebagai justice collaborator bukanlah pertobatan mereka, melainkan keobyektifan keterangan mereka, yaitu kebaruan, kelengkapan, dan kredibilitas keterangan tersebut. Berdasarkan Pasal 51 ayat 3 bis Kitab Hukum Acara Pidana, kerja sama dan keterangan yang harus diberikan seseorang untuk dapat diberi penghargaan berupa
perlindungan
khusus
haruslah
memiliki
sifat
“dapat
dipertanggungjawabkan secara pribadi”, “baru dan lengkap”, dan memberikan bantuan yang signifikan baik dalam proses penyidikan maupun persidangan mengenai struktur organisasi, perlengkapan, hubungan internal dan eksternal, serta tujuan dari organisai kejahatan tersebut.372 Law No. 82/1991 tidak mengatur dengan tegas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi justice collaborator untuk mendapatkan perlindungan. Ketentuan megenai hal ini akhirnya diubah dalam Law No. 45/2001 dengan menambahkan Pasal 16 quarter-16 novies yang mana ketentuan ini mengatur lebih ketat mengenai kondisi-kondisi di mana justice collaborator baru dapat memperoleh
perlindungan.
Berdasarkan
Pasal
16
quarter,
orang
yang
mewujudkan niatnya untuk menjadi yang justice collaborator harus segera melapor ke Kantor Kejaksaan dalam waktu 6 bulan, segala informasi yang ia miliki yang berguna untuk merekonstruksi fakta dan keadaan yang berkaitan
370
Giuliano Turone, loc.cit.
371
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”, op.cit., hlm. 8. 372
Ibid., hlm. 2. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
138
dengan proses tindak pidana tersebut, untuk mengidentifikasi dan menangkap pelaku tindak pidana, serta untuk menyita aset yang diperoleh dari tindak pidana tersebut. Orang tersebut juga harus memberikan kesaksian bahwa ia tidak lagi memiliki informasi signifikan yang berkaitan dengan perkara tersebut selain dari yang telah ia ungkapkan.373
3.3.2. Tindak Pidana yang Diungkap oleh Justice Collaborator di Italia Berdasarkan Law No. 625/1979, Law No. 304/1982, dan Law No. 34/1987, tindak pidana yang harus diungkap oleh mereka yang ingin mendapatkan perlindungan atau penghargaan sebagai justice collaborator adalah tindak pidana terorisme dan tindak pidana subversi lainnya, seperti tindak pidana yang mengganggu stabilitas demokrasi dan keamananan masyarakat.374 Selain tindak pidana tersebut, justice collaborator juga dapat melakukan kerja sama dalam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 51 ayat 3 bis Kitab Hukum Acara Pidana, yaitu kejahatan terorganisir dengan bentuk organisasi Mafia, penculikan, kejahatan terorganisir dengan tujuan peredaran obat-obatan terlarang, dan kejahatan terorganisir dengan tujuan penyelundupan orang.375
3.3.3. Penghargaan yang Didapatkan Justice Collaborator di Italia Keuntungan yang dapat diperoleh oleh justice collaborator berbeda-beda sesuai dengan tindak pidana apa yang diungkap dan bagaimana sifat dari kerja sama yang dilakukan justice collaborator tersebut. Pada umumnya,
justice
collaborator yang berstatus sebagai terdakwa akan mendapatkan pengurangan pidana sebesar sepertiga hingga setengah dari total hukuman aslinya. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana terorisme, terdakwa yang bekerjasama tersebut bahkan dapat memperoleh kekebalan dari penuntutan. Narapidana yang
373
Ibid., hlm. 3.
374
Senat Republik Prancis, loc.cit.
375
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”, op.cit., hlm. 4. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
139
melakukan kerja sama dengan penegak hukum juga dapat memperoleh pembebasan dari pemidanaan dan mengadakan perjanjian dengan pihak penjara selama menjalani pidana penjaranya.376 Berikut uraiannya. 1) Keringanan Pidana a) Keringanan Pidana bagi Justice Collaborator yang Terlibat dalam Kelompok Mafia Ketentuan dalam Pasal 8 Law No. 203/1991 memberikan peghargaan bagi mereka yang didakwa karena keterlibatannya sebagai anggota sebuah kelompok Mafia yang berani dan mau untuk melanggar sumpah diam (omerta) dalam organisasinya dan berbalik membantu penegak hukum. Mereka akan diberikan penghargaan berupa pengurangan hukuman sebesar sepertiga hingga setengah dari total hukuman atau dipidana dengan pidana penjara 12-20 tahun sebagai pengganti hukuman seumur hidup. Penghargaan tersebut baru diberikan apabila yang bersangkutan mau memberi bantuan konkrit kepada polisi atau aparat penegak hukum lainnya dalam mengumpulkan bukti-bukti yang penting yang digunakan atau akan digunakan dalam suatu tindak pidana, serta membantu mengidentifikasi dan menangkap pelaku tindak pidana tersebut.377 b) Keringanan Pidana bagi Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Perdagangan Narkotika Berdasarkan Pasal 74 ayat 7 Law No. 309/1990 on Narcotics, bagi para terdakwa tindak pidana perdagangan narkotika yang dengan efektif membantu penegak hukum memastikan bukti-bukti kejahatan atau untuk merampas sumber daya yang sangat menentukan pelaksanaan tindak pidana tersebut akan diberikan pengurangan hukuman sebesar setengah hingga dua-pertiga hukuman aslinya.378 c) Keringanan Pidana bagi Justice Collaborator dalam Tindak PIdana Penculikan
376
Senat Republik Prancis, op.cit., hlm. 40.
377
Giuliano Turone, op.cit., hlm. 61.
378
Ibid.
. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
140
Pasal 630 Kitab Hukum Pidana Italia memberikan pidana penjara kepada pelaku tindak pidana penculikan sebesar 25-30 tahun atau pidana penjara seumur hidup apabila sanderanya terbunuh. Bagi para terdakwa tindak pidana penculikan yang mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam menemukan sanderanya tanpa tembusan, ia akan tetap dihukum namun atas tindak pidana penculikan biasa yang hukumannya hanya 6 bulan hingga 8 tahun penjara. Sementara itu, jika penculikan tersebut dilakukan oleh suatu organisasi kejahatan, maka akan diberikan pengurangan hukuman sebesar sepertiga hingga setengah dari total hukuman atau hukuman penjara selama 12-30 tahun penjara sebagai pengganti hukuman penjara seumur hidup bagi terdakawa yang mau membantu polisi atau penuntut umum untuk menemukan bukti-bukti penting yang dibutuhkan serta menemukan organisasi kejahatan tersebut.379
2) Kekebalan Penuntutan Decree Law No. 625/1979 memberikan penghargaan berupa kekebalan penuntutan bagi mereka yang mencegah direalisasikannya serangan terhadap keamanan negara yang telah direncanakan oleh suatu organisasi teroris, baik itu berupa pembakaran, penenggelaman kapal, peracunan air minum dan makanan secara missal, pengerusakan jaringan komunikasi, dan lain-lain. Selain itu, penghargaan semacam ini juga diberikan oleh Law No. 304 1982 untuk pelaku tindak pidana terhadap keamanan negara yang mau membubarkan organisasinya, melakukan cara-cara yang memungkinkan terjadinya pembubaran organisasi tersebut, menyediakan informasi tentang struktur organisasi tersebut, atau mencegah direalisasikannya tindak pidana yang sudah direncanakan organisasi tersebut.380
3) Perjanjian dengan Pihak Penjara Bentuk penghargaan ini terdapat dalam Law No. 45/2001 yang menguraikan mengenai penanganan khusus yang dapat diberikan bagi justice 379
Ibid.
380
Ibid., hlm. 41. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
141
collaborator, khususnya mengenai perjanjian pemberian keuntungan dengan pihak penjara. Ketentuan ini diperuntukkan kepada para terpidana tindak pidana terorisme, kelompok Mafia, perdagangan narkotika, dan penculikan yang memutuskan untuk bekerja sama secara penuh dengan penegak hukum setelah mereka dipidana. Setelah menjalani hukuman setidaknya seperempat dari seluruh masa hukuman (atau 10 tahun bagi terpidana penjara seumur hidup), mereka dapat menuntut hak mereka untuk untuk mendapatkan pembebasan bersyarat atau pembebasan sebagian. Kerja sama dengan penegak hukum ini juga dapat membuat hakim mengakhiri masa tahanan seseorang jika si hakim sudah mendapat jaminan bahwa yang bersangkutan benar-benar sudah memutuskan tali hubungannya dengan organisasi kejahatan dan telah melakukan
semua
kewajibannya
sebagai
pihak
yang
mendapat
perlindungan.381
3.4.
Perlindungan bagi Justice Collaborator di Belanda
3.4.1. Pengaturan mengenai Justice Collaborator di Belanda Kitab Hukum Acara Pidana Belanda hanya mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi yang terancam (threatened witnesses) sebagaimana terdapat dalam Pasal 226a-f Kitab Hukum Acara Pidana Belanda. Pada tahun 2006, hukum acara pidana Belanda mulai secara resmi memberlakukan konsep perjanjian dengan saksi yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa yang selanjutnya dikenal dengan nama justice collaborator. Melalui perjanjian semacam ini dilakukan negosiasi antara tersangka atau terdakwa dengan didampingi penasehat hukumnya dengan penuntut umum mengenai kemungkinan pengurangan pidana sebagai imbalan atas kesaksiannya melawan tersangka atau terdakwa lain.382 Instrumen perjanjian semacam ini pada awalnya dihindari karena resiko akan dirugikannya proses penuntutan itu sendiri serta keengganan dari 381
Ibid., hlm. 42.
382
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: The Netherlands”, http://www.coe.int/t/dlapil/codexter /Source/pcpwquestionnaireReplies/PC-PW%202006%20reply%20-%20Netherlands.pdf, hlm. 1. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
142
penuntut umum untuk memberikan penghargaan bagi pelaku tindak pidana. Lama kelamaan demi memberantas kejahatan serius dan terorganisir, maka instrumen ini diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana Belanda. 383 Pemberian janji atau jaminan kepada justice collaborator sebelumnya telah diinstruksikan kepada penuntut umum dalam Temporary Directive Pledges to Witnesses in Criminal Cases (Tijdelijke aanwijzing toezeggingen aan getuigen in strafzaken) yang disusun oleh Board of General Procurators.384 Mahkamah Agung Belanda dalam beberapa putusannya juga menyatakan bahwa perjanjian dengan saksi juga sangat disarankan untuk dilakukan.385 Instruksi sementara tersebut akhirnya ditetapkan menjadi Directive Pledges to Witnesses in Criminal Cases (De aanwijzing toezeggingen aan getuigen in strafzaken) yang mengatur lebih spesifik mengenai aspek-aspek perjanjian dengan saksi. Instruksi ini pun akhirnya benar-benar diberlakukan pada 1 April 2006. Berdasarkan Directive Pledges to Witnesses in Criminal Cases, justice collaborator dapat dikualifikasikan sebagai obyek perlindungan saksi sehingga terhadapnya dapat diberlakukan semua program perlindungan sebagaimana diberikan kepada saksi yang terancam. Perbedaannya dengan saksi yang terancam adalah bahwa terhadap justice collaborator tidak diberikan anonimitas penuh selama bersaksi di persidangan.386 Saksi yang terancam diberikan perlindungan berupa anonimitas dalam menghadapi terdakwa di persidangan sehingga terhadapnya hanya dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan atas kesaksiannya di persidangan tanpa kehadiran terdakwa atau penasehat hukumnya.387 Sementara itu, justice collaborator hanya dapat menyembunyikan identitasnya sementara 383
J.H. Crijns, “Witness Agreements in Dutch Criminal Law”, (makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Jakarta, 19-20 Juli 2011), hlm. 1. 384
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: The Netherlands”, loc.cit. 385
J.H. Crijns, loc.cit.
386
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: The Netherlands”, op.cit., hlm. 2. 387
Ibid., hlm. 5. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
143
dari terdakwa selama proses penyidikan pra-persidangan.388 Dengan demikian, kredibilitas justice collaborator sebagai saksi tetap dapat diuji selama di persidangan dan pada akhirnya hakimlah yang menentukan apakah keterangannya sah dan berharga. 389 Justice collaborator yang sudah sepakat untuk mengadakan perjanjian dengan penuntut umum ini menjadi terikat dengan beberapa kewajiban. Kewajiban utamanya tentu saja adalah memberikan kesaksiannya di depan persidangan tanpa menutupi identitasnya (tidak secara anonim sebagaimana saksi yang terancam). Mereka yang sudah sepakat dengan perjanjian ini juga tidak dapat menggunakan hak untuk menolak bersaksi atau menggunakan hak non-self incrimination.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk masuk dalam
perjanjian, saksi diwajibkan untuk memberitahukan kepada penuntut umum semua aspek tindak pidana yang ia lakukan agar penuntut umum dapat menilai apakah ia benar-benar dapat mengikuti perjanjian ini tanpa harus menghilangkan hak non-self incrimination-nya sendiri. Justice collaborator yang sudah sepakat dengan perjanjian tersebut, namun menolak untuk bersaksi di persidangan akan kehilangan penghargaan-penghargaan yang dijanjikan oleh penuntut umum. Ia juga dapat dipidana penjara selama satu tahun karena penolakannya itu (Pasal 192 ayat (2) Kitab Hukum Pidana Belanda). Pemberian kewenangan kepada penuntut umum untuk mengadakan perjanjian dengan saksi yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa tidak terlepas dari kewenangan penuntut umum sebagai pihak yang memiliki kewenangan tunggal untuk melakukan penuntutan. Hukum Acara Pidana Belanda didasarkan pada tradisi civil law dan menganut sistem inkuisitorial. Hakim memiliki kewajiban untuk mencari kebenaran materiil dan penyelesaian dari suatu
388
Ibid., hlm. 2.
389
Ibid., hlm. 6. juga Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, op.cit., hlm. 259. Alat-alat bukti menurut Nederlandse strafvordering 1926 terdiri dari: 1. eigen waarnemeing van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim); 2. verklaringen van de verdachte (keterangan terdakwa); 3. verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi); 4. verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli); 5. schriftelijke bescheiden (surat-surat).
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
144
perkara pidana dan dengan demikian ia tidak bersifat pasif saat penuntut umum mengajukan suatu perkara kepadanya. Dalam sistem inkuisitorial, penuntut umum memiliki posisi yang sangat kuat dalam semua tahap dalam sistem peradilan pidana. Penuntut umum memerintahkan kepada kepolisian untuk melakukan penyidikan dan ialah yang akan menentukan apakah perkara tersebut dapat dibawa ke proses pengadilan melalui penuntutan. Ia pula yang meminta kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang pantas bagi terdakwa. Penuntut umum memiliki suatu diskresi (opprtuniteitsbeginsel) yang berarti ia tidak diwajibkan melakukan penuntutan kepada semua perkara, tetapi ia boleh memutuskan untuk mengenyampingkan suatu perkara (dismissal).390
3.4.2. Tindak Pidana yang Diungkap oleh Justice Collaborator di Belanda Berbeda dengan negara-negara lain yang dapat memberikan kekebalan penuntutan kepada justice collaborator, peraturan-peraturan di
Belanda
memandang perjanjian dengan justice collaborator sebagai sesuatu yang ketat dan tidak mudah untuk dilakukan.391 Dalam mengadakan perjanjian dengan justice collaborator penuntut umum tetap dibatasi oleh banyak hal walaupun penuntut umum memiliki kewenangan yang sangat besar dalam semua tahap peradilan pidana. Penuntut umum hanya diperbolehkan untuk membuat perjanjian semacam ini dalam kasus tindak pidana serius. Yang termasuk tindak pidana serius adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimum 8 (delapan) tahun atau tindak pidana yang termasuk dalam kejahatan terorganisir yang diancam dengan pidana penjara minimum 4 (empat) tahun (Pasal 226g ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana Belanda). Dengan demikian penuntut umum tidak dapat menggunakan instrumen ini setiap hari dalam tindak pidana ringan atau tindak pidana biasa lainnya.392
390
J.H. Crijns, op.cit., hlm. 2
391
Ibid., hlm. 4.
392
Ibid., hlm. 3. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
145
3.4.3. Penghargaan yang Didapatkan Justice Collaborator di Belanda Mengenai bentuk-bentuk penghargaan yang dapat ditawarkan penuntut umum dalam melakukan perjanjian dengan justice collaborator, Directive Pledges to Witnesses in Criminal Cases memberikan batasan-batasan yang harus diperhatikan penuntut umum. Berikut adalah daftar bentuk penghargaan yang dilarang oleh Directive Pledges to Witnesses in Criminal Cases :393 1) Larangan yang paling utama adalah larangan untuk menawarkan kekebalan total dari penuntutan atas tindak pidana yang dilakukan saksi. Artinya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh saksi pasti akan dilakukan penuntutan oleh penuntut umum. 2) Penuntut umum dilarang untuk menjanjikan penghargaan yang memiliki akibat yang sama seperti kekebalan total dari penuntutan, seperti janji untuk menghentikan segala penyidikan yang dapat dilakukan kepada si saksi. 3) Penuntut umum juga dilarang untuk menjanjikan isi dari putusan. Ia dilarang untuk menjanjikan pidana yang lebih ringan dari yang seharusnya karena kewenangan untuk menjatuhkan pidana tersebut berada di tangan hakim. Penuntut umum juga tidak dapat mengupayakan pengampunan (clemency) lebih dari 15 persen dari total hukuman yang biasanya diminta penuntut umum dalam tuntutannya. Kesimpulannya adalah penuntut umum tidak dapat melakukan tawar-menawar (bargaining) mengenai pidana yang akan dijatuhkan. 4) Penuntut umum dilarang untuk tidak mengeksekusi suatu putusan hakim, terutama karena sekarang penuntut umum sudah tidak lagi dapat mengabaikan perintah pengadilan sesuai keinginannya (HR 1 Juni 1999, NJ 1999, 567 m.nt. Sch (Karman)). 5) Penuntut umum dilarang menjanjikan penghargaan secara finansial atau penghargaan berupa uang yang dapat disalahgunakan sebagai cara untuk membeli kesaksian.
393
Ibid., hlm. 5. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
146
6) Penuntut umum tidak dapat menjanjikan perlindungan saksi melebihi apa yang diberikan oleh Witness Protection Agency of the National Police Force sebagai lembaga yang berwenang.
Terdapat beberapa bentuk penghargaan yang dapat ditawarkan oleh penuntut umum kepada justice collaborator walaupun begitu banyak batasan bagi penuntut umum dalam memberikan penghargaan tersebut. Sebagai contoh, penuntut
umum
diperbolehkan
untuk
menjanjikan
akan
mengupayakan
keringanan hukuman dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang diperoleh justice collaborator secara ilegal dalam tindak pidana yang dilakukannya. Penuntut umum juga dapat menjanjikan penghargaan yang lebih sederhana, seperti pemindahan ke penjara yang lebih dekat dengan keluarga si justice collaborator.394
3.5.
Perlindungan bagi Justice Collaborator di Jerman
3.5.1. Pengaturan mengenai Justice Collaborator di Jerman Hukum acara pidana di Jerman mewajibkan badan yang berwenang melakukan penuntutan untuk menuntut semua tersangka apabila terdapai indikasi berdasarkan fakta yang memadai (sufficient factual indications) telah dilakukan sebuah tindak pidana yang dapat dituntut sebagaimana diatur dalam Pasal 152 Kitab Hukum Acara Pidana Jerman (Strafprozessorordnung atau StPO). Kewajiban ini disebut dengan prinsip mandatory prosecution yang mewajibkan penuntut umum untuk melakukan penuntutan kepada setiap tersangka dan menentukan dakwaannya. Kewajiban ini menjadi sulit dilakukan dalam tindak pidana serius dan terorganisir yang sulit untuk ditangani dengan metode investigasi biasa. Dalam kasus seperti ini dibutuhkan informasi dari orang-orang dari dunia kriminal yang dapat menyediakan informasi mengenai struktur dan operasi di balik layar kejahatan tersebut. Salah satu cara untuk membuat mereka
394
Ibid. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
147
mau bersaksi adalah dengan cara memberi penghargaan (rewards) bagi mereka yang mau bersaksi melawan pelaku tindak pidana yang lain.395 Dalam sistem peradilan pidana Jerman, saksi yang juga pelaku suatu tindak pidana yang melakukan kerja sama dengan penegak hukum demi mendapatkan keringanan pidana dikenal dengan nama Kronzeuge atau saksi mahkota.396 Bagi saksi mahkota, hal yang terpenting adalah bagaimana agar mereka dapat mendapat pengurangan hukuman dengan bekerjasama dengan penegak hukum.397 Pengaturan mengenai saksi mahkota ini tidak terdapat dalam hukum acara pidana Jerman, tetapi dalam hukum pidana Jerman baik yang diatur dalam Kitab Hukum Pidana Jerman (Strafgesetzbuch atau StGB) maupun undangundang pidana lainnya.398 The Federal Court (Bundesgerichtshof) telah mengeluarkan beberapa peraturan yang mengatur mengenai berbagai jenis plea bargaining yang dapat ditawarkan oleh penegak hukum kepada justice collaborator dengan memberikan pengurangan pidana. Penghentian penuntutan juga dimungkinkan untuk diberikan kepada saksi mahkota dengan izin pengadilan. Penghentian penuntutan ini dapat dilakukan jika penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh saksi mahkota tersebut tidak terlalu penting untuk dilakukan atau lebih ringan pidananya dari tindak pidana yang diungkap.399
3.5.2. Penghargaan yang Dapat Didapatkan Justice Collaborator di Jerman Pengurangan hukuman bagi pelaku suatu tindak pidana yang berkontribusi melakukan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana telah dikenal sejak lama dalam Pasal 129 ayat (6) StGB yang mengatur mengenai tindak pidana terorganisir. Kepada mereka yang dengan sukarela dan sungguh-sungguh 395
Anne Katharina Zimmerman, op.cit.,hlm. 1.
396
Ibid. hlm. 30.
397
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Germany”, http://www.coe.int/t/dlapil/codexter/Source /pcpw_questionnaireReplies/PC-PW%202006%20reply%20-%20Germany.pdf, hlm. 1. 398
Anne Katharina Zimmermann, loc.cit.
399
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Germany”, op.cit., hlm. 2. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
148
berusaha untuk mencegah kelangsungan atau keberadaan suatu kejahatan terorganisir beserta tujuannya akan diberikan penghargaan berupa pengurangan hukuman. Pada prakteknya ketentuan ini tidak banyak menarik minat para pelaku tindak pidana untuk bekerjasama karena terbatas hanya dalam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 129 StGB.400 Untuk pertama kalinya di luar ketentuan StGB, pada tahun 1981 Narcotics Act (Betäubungsmittelgesetz atau BtMG)401 mengatur mengenai pemberian pengurangan hukuman bagi informan dalam tindak pidana narkotika dengan memperkecil hukuman minimum dalam kasus tindak pidana narkotika si informan itu sendiri. Selain pengurangan hukuman, dimungkinkan pula dilakukan penundaan penuntutan dalam hal kasus informan tersebut lebih ringan daripada kasus yang diungkap. Ketentuan ini memungkinkan diperolehnya informasi yang komprehensif mengenai tempat kejadian perkara tindak pidana narkotika tersebut dan menangkap pengedarnya satu persatu hingga benang merah atau rangkaiannya dapat dipecahkan. Keringanan hukuman ini diatur dalam Pasal 31 BtMG yang mengatur bahwa pengadilan dengan diskresinya dapat untuk memberikan pengurangan atau penghentian penuntutan dalam tindak pidana yang berhubungan dengan narkotika kepada pelaku tindak pidana apabila ia:402 (i) memberikan
bantuan
yang
bernilai
dengan
secara
sukarela
mengungkapkan pengetahuannya dalam suatu tindak pidana yang sedang diperkarakan di mana ia juga terlibat dalam tindak pidana tersebut; atau (ii) secara sukarela mengungkapkan pengetahuannya mengenai suatu kejahatan yang sudah direncanakan kepada pihak yang berwenang
400
Johan P.W. Hilger, “Principal Witness Regulations to Suppress Organized Crime in Germany”, (makalah disampaikan pada The United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI): Effective Methods to Combat Transnational Organized Crime in Criminal Justice Processes, The 116th International Training Course, 28 Agustus-15 November 2000), hlm. 106. Dokumen dapat diakses pada http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No58/No58_13VE_Hilger4.pdf 401
Anne Katharina Zimmermann, op.cit., hlm. 30.
402
Johan P.W. Hilger, op.cit., hlm. 107. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
149
dalam waktu yang tepat ketika tindak pidana yang berhubungan dengan narkotika tersebut masih dapat dicegah.
Pengaturan mengenai saksi mahkota baru benar-benar diatur secara khusus dalam Principal Witness Act (Kronzeugengesetz) yang mulai berlaku pada 31 Desember 1994. Pasal 4 undang-undang ini memperbolehkan Federal Public Prosecutor General dengan persetujuan dari Panel of the Federal Court of Justice untuk melakukan peniadaan penuntutan bagi pelaku atau peserta tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Psal 129 StGB) yang mengungkapkan pengetahuannya mengenai suatu penuntutan terhadap suatu tindak pidana untuk:403 (1) mencegah pelaksanaan tindak pidana tersebut; (2) mendukung pengungkapan tindak pidana tersebut di mana ia juga terlibat di dalamnya; atau (3) memberi petunjuk dalam penangkapan para pelaku atau peserta tindak pidana tersebut. Saat surat dakwaan penuntut umum didaftarkan ke pengadilan, maka pengadilan berdasarkan diskresinya dapat mengupayakan dijatuhkannya hukuman minimum yang ditetapkan undang-undang atas tindak pidana tersebut atau mengganti hukuman penjara dengan hukuman denda. Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 5 undang-undang ini, yaitu pengurangan hukuman bagi saksi mahkota yang juga merupakan pelaku atau peserta tindak pidana kejahatan terorganisir yang diatur dalam Psal 129 StGB.404 Akhirnya pada akhir tahun 1999 undang-undang ini dihapus karena dianggap tidak sukses dalam memotivasi para teroris untuk membantu penegak hukum dalam menangkap pelaku tindak pidana teroris lainnya. Dalam prakteknya, pengurangan pidana yang diberikan dalam undang-undang ini dianggap tidak memberikan perbedaan yang berarti dari pidana
403
Ibid., hlm. 108.
404
Ibid. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
150
aslinya. Pengurangan pidana seperti ini lebih tepat jika diterapkan dalam tindak pidana pembunuhan yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup.405 Pengaturan mengenai saksi mahkota kemudian mulai dimasukkan ke dalam StGB yang mulai dberlakukan pada tanggal 1 September 1999 melalui “Act Amending the Criminal Code - Assessment of Punishment with Assistance in Solving and Preventing Crimes”. Pengaturan mengenai saksi mahkota ini dibuat dengan tetap mempertahankan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 BtMG dan Pasal 129 dan 129a StGB. Berdasarkan ketentuan ini, pelaku suatu tindak pidana serius akan dilindungi jika mereka memberikan kontribusi yang besar dengan secara sukarela mengungkap segala pengetahuan mereka untuk mengatasi atau mencegah suatu tindak pidana, namun mereka tidak harus terlibat sebagai pelaku dalam tindak pidana yang diungkap itu. Dengan kata lain, “mahkota” ini diperlebar tidak hanya untuk pelaku tindak pidana, tetapi juga untuk mereka yang memiliki pengetahuan akan tindak pidana tersebut namun bukan sebagai pelaku.406 Berdasarkan Pasal 49 ayat 1 StGB407, pengadilan berdasarkan diskresinya dapat memberikan pengurangan pidana kepada justice collaborator, termasuk bagi yang dikenai pidana penjara seumur hidup. Pengurangan tersebut adalah sebagai berikut. 405
Council of Europe, “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Germany”, loc.cit. 406
Anne Katherina Zimmermann, loc.cit.
407
Criminal Code in the version promulgated on 13 November 1998, Federal Law Gazette [Bundesgesetzblatt] I p. 3322, last amended by Article 3 of the Law of 2 October 2009, Federal Law Gazette I p. 3214, Strafgesetzbuches terjemahan Prof. Dr. Michael Bohlander. Section 49 Special mitigating circumstances established by law (1) If the law requires or allows for mitigation under this provision, the following shall apply: 1. Imprisonment of not less than three years shall be substituted for imprisonment for life. 2. In cases of imprisonment for a fixed term, no more than three quarters of the statutory maximum term may be imposed. In case of a fine the same shall apply to the maximum number of daily units. 3. Any increased minimum statutory term of imprisonment shall be reduced as follows: a minimum term of ten or five years, to two years; a minimum term of three or two years, to six months; a minimum term of one year, to three months; in all other cases to the statutory minimum. (2) If the court may in its discretion mitigate the sentence pursuant to a law which refers to this provision, it may reduce the sentence to the statutory minimum or impose a fine instead of imprisonment. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
151
-
pidana penjara seumur hidup diganti dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun;
-
pidana penjara paling ringan 5 (lima) tahun dikurangi menjadi pidana penjara 2 (dua) tahun;
-
pidana penjara paling ringan 2 (dua) atau 3(tiga) tahun dikurangi menjadi pidana penjara 6 (enam) bulan;
-
pidana penjara paling ringan 1 (satu) tahun dikurangi menjadi pidana penjara 3 (tiga) bulan;
-
dalam hal lamanya pidana penjara telah mutlak ditetapkan (dengan angka baku), maka dapat dikenakan pidana penjara tidak lebih dari tiga perempatnya. Berdasarkan Pasal 46b ayat 2 StGB, pengadilan harus melihat sifat dan
lingkup fakta-fakta yang diungkap dan hubungannya dengan penyelesaian atau pencegahan tindak pidana tersebut, waktu pengungkapannya, tingkat dukungan yang diberikan kepada penuntut umum, dan signifikan atau tidaknya pengungkapan tersebut dalam tindak pidana yang sedang diproses.408 Mengenai waktu pengungkapannya, saksi mahkota diberikan batasan waktu untuk mengungkapkan informasinya kepada penegak hukum, yaitu hanya selama proses penuntutan atas pelaku lain yang akan diungkapkannya masih berjalan (Pasal 49b StGB) dan proses penuntutan atas dirinya belum dilakukan (Pasal 207 StGB). Apabila penunututan atas dirinya sudah mulai dilakukan, maka ia tidak akan bisa mendapatkan pengurangan hukuman. Pengungkapan tersebut harus dilakukan selama dilakukannya proses penuntutan atas pelaku lain yang ia ungkap tindak pidananya, namun masih dimungkinkan untuk memberi penghargaan kepada saksi mahkota tersebut apabila ia mengungkapkan informasinya saat proses penjatuhan pidana.409
3.5.3. Tindak Pidana yang Diungkap oleh Justice Collaborator di Jerman Setelah melihat uraian sejarah peraturan mengenai saksi mahkota di Jerman, dapat dilihat bahwa tindak pidana yang diungkap oleh saksi mahkota 408
Ibid., hlm. 31.
409
Ibid., hlm. 32. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
152
adalah tindak pidana serius yang melibatkan kejahatan terorganisir sebagaimana diatur dalam Pasal 129 StGB dan Pasal 5 Principal Witness Act, serta tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Principal Witness Act. Tindak pidana korupsi tidak termasuk dalam konsep saksi mahkota yang terdapat dalam Principal Witness Act karena adanya penolakan dari kebijakan politik hukum pada saat itu, tepatnya pada tahun 1997.410 Sejak Pricipal Witness Act dihapuskan dan kini diberlakukan konsep saksi mahkota dalam StGB, tindak pidana yang diungkap saksi mahkota tetap sama seperti dahulu, yaitu tindak pidana serius yang melibatkan kejahatan terorganisir dan tindak pidana terorisme. Ketentuan ini pun kemudian ditambah dengan memasukkan daftar tindak pidana yang terdapat dalam Pasal 100a StPO411, yaitu sejumlah tindak pidana yang dilakukan dalam 410
Johan P.W. Hlger, op.cit., hlm. 110.
411
Code of Criminal Procedure in the version published on 7 April 1987 (Federal Law Gazette [Bundesgesetzblatt] Part I p. 1074, 1319), as most recently amended by Article 2 of the Act of 22 December 2010 (Federal Law Gazette [Bundesgesetzblatt] Part I p. 2300), Strafprozessorordnung terjemahan asli oleh Brian Duffett dan Monika Ebinger serta diperbaharui oleh Kathleen Müller-Rostin. (2) Serious criminal offences for the purposes of subsection (1), number 1, shall bepursuant to the Criminal Code: 1. Pursuant to Criminal Code: a) crimes against peace, high treason, endangering the democratic state based on the rule of law, treason and endangering external security pursuant to sections 80 to 82, 84 to 86, 87 to 89a and 94 to 100a; b) bribery of a member of parliament pursuant to section 108e; c) crimes against the national defence pursuant to sections 109d to 109h; d) crimes against public order pursuant to sections 129 to 130; e) counterfeiting money and official stamps pursuant to sections 146 and 151, in each case also in conjunction with section 152, as well as section 152a subsection (3) and section 152b subsections (1) to (4); f) crimes against sexual self-determination in the cases referred to in sections 176a, 176b, 177 subsection (2), number 2, and section 179 subsection (5), number 2; g) dissemination, purchase and possession of pornographic writings involving children and involving juveniles, pursuant to section 184b subsections (1) to (3), section 184c subsection (3); h) murder and manslaughter pursuant to sections 211 and 212; i) crimes against personal liberty pursuant to sections 232 to 233a, 234, 234a, 239a and 239b; j) gang theft pursuant to section 244 subsection (1), number 2, and aggravated gang theft pursuant to section 244a; k) crimes of robbery or extortion pursuant to sections 249 to 255; l) commercial handling of stolen goods, gang handling of stolen goods and commercial gang handling of stolen goods pursuant to sections 260 and 260a; m) money laundering or concealment of unlawfully acquired assets pursuant to section 261 subsections (1), (2) and (4); n) fraud and computer fraud subject to the conditions set out in section 263 subsection (3), second sentence, and in the case of section 263 subsection (5), each also in conjunction with section 263a subsection (2); o) subsidy fraud subject to the conditions set out in section 264 subsection (2), second sentence, and in the case of section 264 subsection (3), in conjunction with section 263 subsection (5); p) criminal offences involving falsification of documents under the conditions set out in section 267 subsection (3), second sentence, and in the case of section 267 subsection (4), in each case also in conjunction with section 268 subsection (5) or section 269 subsection (3), as well as pursuant to sections 275 subsection (2) and section 276 subsection (2); q) bankruptcy subject to the conditions set out in section 283a, second sentence; r) crimes against competition pursuant to section 298 and, subject to the conditions set out in section 300, second sentence, pursuant to section 299; s) crimes endangering public safety in the cases referred to in sections 306 to 306c, section 307 subsections (1) to (3), section 308 subsections (1) to (3), section 309 subsections (1) to (4), section 310 subsection (1), sections 313, 314, 315 subsection (3), section 315b subsection (3), as well as sections 361a and 361c; t) taking and offering a bribe pursuant to sections 332 and 334; 2. pursuant to the Fiscal Code:
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
153
suatu kejahatan terorganisir sebagai tindak pidana yang harus diungkap oleh saksi mahkota untuk bisa memperoleh penghargaan.412
3.6.
Uraian Perbandingan antara Perlindungan bagi Justice Collaborator di Indonesia dengan di Negara Lain Setelah melihat penjabaran mengenai perlindungan terhadap justice
collaborator di Indonesia, Amerika, Italia, Belanda, dan Jerman dapat dilihat adanya beberapa persamaan dan perbedaan di antara kelima negara tersebut. Dari kelima negara tersebut, semua telah memiliki regulasi mengenai perlindungan terhadap justice collaborator, baik yang diatur dalam suatu regulasi secara eksplisit, implisit, maupun tersebar dalam berbagai produk regulasi. Di Indonesia dan Italia, baik perlindungan fisik maupun penanganan khusus atau penghargaan terhadap justice collaborator telah diatur secara khusus dalam peraturan, walaupun di Italia ketentuan-ketentuan tersebut tersebar dalam berbagai peraturan. a) tax evasion under the conditions set out in section 370 subsection (3), second sentence, number 5; b) commercial, violent and gang smuggling pursuant to section 373; c) handling tax-evaded property as defined in section 374 subsection (2); 3. pursuant to the Pharmaceutical Products Act: criminal offences pursuant to section 95 subsection (1), number 2a, subject to the conditions set out in section 95 subsection (3), second sentence, number 2, letter b; 4. pursuant to the Asylum Procedure Act: a) inducing an abusive application for asylum pursuant to section 84 subsection (3); b) commercial and gang inducement to make an abusive application for asylum pursuant to section 84a; 5. pursuant to the Residence Act: a) smuggling of aliens pursuant to section 96 subsection (2); b) smuggling resulting in death and commercial and gang smuggling pursuant to section 97; 6. pursuant to the Foreign Trade and Payments Act: criminal offences pursuant to section 34 subsections (1) to (6); 7. pursuant to the Narcotics Act: a) criminal offences pursuant to one of the provisions referred to in section 29 subsection (3), second sentence, number 1, subject to the conditions set out therein; b) criminal offences pursuant to section 29a, section 30 subsection (1), numbers 1, 2 and 4, as well as sections 30a and 30b; 8. pursuant to the Precursors Control Act: criminal offences pursuant to section 19 subsection (1), subject to the conditions set out in section 19 subsection (3), second sentence; 9. pursuant to the War Weapons Control Act: a) criminal offences pursuant to section 19 subsections (1) to (3) and section 20 subsections (1) and (2), as well as section 20a subsections (1) to (3), each also in conjunction with section 21; b) criminal offences pursuant to section 22a subsections (1) to (3); 10. pursuant to the Code of Crimes against International Law: a) genocide pursuant to section 6; b) crimes against humanity pursuant to section 7; c) war crimes pursuant to sections 8 to 12; 11. pursuant to the Weapons Act: a) criminal offences pursuant to section 51 subsections (1) to (3); b) criminal offences pursuant to section 52 subsection (1), number 1 and number 2, letters c and d, as well as section 52 subsections (5) and (6).
412
Anne Katharina Zimmermann, op.cit., hlm. 31. Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
154
Sementara itu di Amerika Serikat dan Belanda, penanganan khusus atau penghargaan bagi justice collaborator tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi diatur melalui pedoman yang mengikat penuntut umum dalam melakukan perjanjian dengan saksi. Pedoman tersebut adalah Federal Sentencing Guidelines untuk penuntut umum Amerika Serikat dan Directive Pledges to Witnesses in Crminal Cases untuk penuntut umum Belanda. Berbeda dengan keempat negara lainnya, Jerman, selain diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, konsep justice collaborator juga dikembangkan dalam berbagai amandemen Kitab Hukum Acara Pidana Jerman, yaitu StPO. Jika diperbandingkan mengenai tindak pidana yang harus diungkap seorang justice collaborator, serta melihat fakta sejarah lahirnya konsep justice collaborator di Amerika Serikat dan Italia, dapat dilihat bahwa di kelima negara tersebut perlindungan fisik, penanganan khusus, dan penghargaan terhadap justice collaborator diberikan dalam tindak pidana tertentu, seperti kejahatan terorganisir terutama yang bergaya Mafia, terorisme, narkotika, dan lain-lain. Hal ini berbeda dengan di Amerika Serikat, syarat tindak pidana seperti ini hanya untuk pemberian perlindungan fisik saja, sedangkan plea-bargaining dapat dilakukan dengan saksi pelaku tindak pidana apa pun. Sementara itu di Belanda, walaupun justice collaborator juga dimanfaatkan untuk menumpas kejahatan terorganisir, namun tidak seperti negara lainnya Belanda sangat ketat dalam memberikan janji penanganan khusus dan penghargaan terhadap justice collaborator.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
Tabel Uraian Perbandingan antara Perlindungan bagi Justice Collaborators di Indonesia dengan di Negara Lain No. Hal yang Diperbandingkan
INDONESIA
1.
Ketentuan yang Mengatur
a. UU No. 13 Tahun 2006 b. SEMA No. 04 Tahun 2011 c. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
2.
Kedudukan dalam Pembuktian
Alat bukti keterangan saksi
AMERIKA SERIKAT
ITALIA
BELANDA
JERMAN
a. Law No. 15 a. Nederlandse a. Strafgesetzbuch of 29 strafvordering (Criminal Code) May1980 (Criminal b. Strafprozessorordnun b. Law No. 304 Procedure Code) g (Criminal Procedure of 6 February 1926 Code) 1982 b. Aanwijzing c. Kronzeugengesetz c. Law No. 34 toezeggingen aan (Principal Witness of 18 getuigen in Act) 1994 February strafzaken 1987 (Directive d. Law No. 82 Pledges to of 15 March Witnesses in 1982 Crminal Cases) 2006 - Testimonio - verklaringen van Testimonial evidence (bukti evidente (bukti een getuige kesaksian) kesaksian) (keterangan seorang saksi) a. Witness Security Reform Act 1984 dalam 18 United States Code b. Federal Sentencing Guidelines
155 Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
(sambungan) No. Hal yang Diperbandingkan 3.
Tindak Pidana yang Diungkap
INDONESIA
AMERIKA SERIKAT
ITALIA
Tindak pidana serius dan/atau tindak pidana terorganisir, yaitu tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan masyarakat luas
Perlindungan fisik dapat diberikan dalam pengungkapan kejahatan terorganisir, sedangkan plea bargaining dapat dilakukan dalam semua tindak pidana.
a. Tindak pidana terorisme dan tindak pidana subversi lainnya b.Kejahatan terorganisir dengan bentuk organisasi Mafia c. Tindak pidana penculikan d.Kejahatan terorganisir dengan tujuan peredara narkotika e. Kejahatan terorganisir dengan tujuan penyelundupan orang
156 Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
BELANDA a. Tindak pidana serius, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimum 8 tahun b. Tindak pidana yang termasuk kejahatan terorganisir yang diancam pidana penjara minimum 4 tahun
JERMAN a. Tindak pidana serius yang melibatkan kejahatan teroganisir Kronzeugengesetz) b. Tindak pidana terorisme c. Tindak pidana yang diebutkan dalam Pasal 100a StPO
Universitas Indonesia
(sambungan) No. Hal yang Diperbandingkan
INDONESIA
AMERIKA SERIKAT
4.
Penanganan Khusus berupa: a) pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara; b) pemberkasan perkara terpisah; c) penundaan penuntutan; d) penundaan proses hukum yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya; dan/atau e) memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya.
Pengurangan a. Penguranga hukuman n hukuman (Mitigating b. Kekebalan punishment) dari dan kekebalan penuntutan dari c. Perjanjian penuntutan (pemberian (immunity keuntungan) from dengan prosecution) pihak yang penjara didapatkan melalui plea bargaining
Penanganan Khusus atau Penghargaan yang Didapat
ITALIA
BELANDA
JERMAN
a. Pengurangan a. Pengurangan hukuman hukuman b. Pemberian b. Kekebalan keuntungan dari selama di penuntutan penjara
Penghargaan berupa: a) keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan; dan/atau b) pemberian remisi tambahan dan hakhak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku 157 Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 4 IDENTIFIKASI JUSTICE COLLABORATOR DALAM PRAKTEK (STUDI KASUS PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PEMILIHAN DEPUTI GUBERNUR SENIOR BANK INDONESIA PERIODE 2004-2009)
4.1.
Posisi Kasus Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada tahun 2004 yang
dimenangkan oleh Miranda Swaray Gultom memang telah berlangsung delapan tahun yang lalu. Masa jabatan Miranda Gultom pun telah berakhir sejak tahun 2009 dan telah digantikan oleh Darmin Nasution.413 Kasus korupsi pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang melibatkan setidaknya 30 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Periode 1999-2004 tersebut hingga kini masih belum benar-benar terungkap dan masih terus diupayakan penyelesaiannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan hukuman selama dua tahun enam bulan penjara terhadap Nunun Nurbaeti, salah satu pelaku tindak pidana tersebut yang beberapa waktu ini sering menjadi bahan pembicaraan di tengah masyarakat karena sulitnya yang bersangkutan untuk ditangkap oleh penyidik KPK hingga menjadi buronan International Police.414 Nunun Nurbaeti dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah memberi suap ke sejumlah anggota DPR RI Periode 1999-2004 terkait 413
s.n., “Dewan Gubernur”, http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Dewan+Gubernur/ darmin.htm, diunduh pada tanggal 5 Juni 2012. 414
s.n., “Wajah Nunun Terpampang di Situs Interpol “,http://www.tempo.co/read/news /2011/06/14/063340529/Wajah-Nunun-Terpampang-di-Situs-Interpol, diunduh pada tanggal 5 Juni 2012.
Universitas Indonesia 158 Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
159
pemenangan Miranda Swaray Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004-2009. Sementara itu , penyandang dana di balik pembelian cek perjalanan atau travellers cheque Bank Internasional Indonesia (TC BII) yang menjadi alat suap tersebut belum terungkap dalam putusan perkara Nunun Nurbaeti.415 Miranda Gultom sebagai pihak yang dimenangkan pun baru ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini pada Januari 2012 lalu.416 Kasus ini dimulai pada tanggal 8 Juni 2004 ketika diadakan Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia di Gedung Nusantara I DPR RI yang dihadiri oleh sekitar 57 anggota Komisi Keuangan dan Perbankan (Komisi IX) DPR RI. Dalam Pemilihan ini, Miranda Gultom menang mutlak dengan mengantongi 41 suara dan mengalahkan kedua peserta lainnya, yaitu Budhi Rochadi dan Hartadi A. Sarwono. Sehari sebelumnya, Nunun Nurbaeti, Presiden Komisaris PT Wahana Esa Sejati meminta Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo untuk menyampaikan tanda terima kasih kepada anggota DPR RI yang sudah mau memilih Miranda Gultom. Kemudian, setelah acara pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut selesai, Arie Malangjudo mulai melaksanakan perintah Nunun Nurbaeti untuk menemui perwakilan masingmasing fraksi dari Komisi IX DPR RI dan membagikan kantung-kantung berisi TC BII. Kantung berlabel merah diberikan kepada Dudhi Makmun Murod sebagai perwakilan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), kantung berlabel kuning kepada Hamka Yandhu dari Fraksi Golongan Karya (Golkar), kantung berlabel hijau kepada Endin Soefihara dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan kantung berlabel putih kepada Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri.417 Dudhi Makmun Murod, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI-P atas permintaan Sekretaris Fraksi PDI-P Panda Nababan menemui Arie Malangjudo di 415
Icha Rastika dan Heru Margianto, “Penyandang Dana Cek Perjalanan Belum Terungkap”, http://nasional.kompas.com/read/2012/05/09/14520376/Penyandang.Dana.Cek.Perjal anan.Belum.Terungkap, diunduh pada tanggal 5 Juni 2012. 416
s.n., “Miranda Tetap Bungkam Soal Cek Pelawat”.http://www.tempo.co/read/fokus/ 2012/04/09/2338/Miranda-Tetap-Bungkam-Soal-Cek-Pelawat, diunduh pada tanggal 25 Mei 2012. 417
Budi Setyarso,et.al., “Terseret Durian Runtuh”, http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2010/09/06/LU/mbm.20100906.LU134551.id.html, diunduh pada tanggl 25 Mei 2012.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
160
Restoran Bebek Bali di Kompleks Taman Ria Senayan untuk menerima titipan dari Nunun Nurbaeti tersebut. Dari Arie Malangjudo, Dudhi menerima sebuah tas karton berlabel merah berisi TC BII senilai Rp 9.800.000.000,00 (sembilan milyar delapan ratus juta rupiah). Atas saran Panda Nababan, uang tersebut dibagikan oleh Dudhi bersama dengan Emir Moeis, Ketua Komisi IX DPR RI kepada 17 anggota Komisi IX dari Fraksi PDI-P, termasuk Dudhi dan Panda sendiri. Tak ketinggalan, Emir Moeis pun juga mendapatkan bagian dari TC BII ini.418 Sebelumnya, semua terdakwa pernah mengikuti dua kali pertemuan di mana Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI-P dalam Komisi IX DPR RI memberi arahan bahwa anggota Fraksi PDI-P harus menjaga solidaritas suara dengan mendukung Miranda Gultom dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Dalam rapat internal yang kedua tersebut ditunjuk pula Panda Nababan sebagai Koordinator Pemenangan Miranda Gultom. Dalam rapat ini ada pembicaraan mengenai kesediaan Miranda Gultom untuk memberikan uang Rp 300.000.000,00 hingga Rp 500.000.000,00 jika ia berhasil dimenangkan. Hingga akhirnya, pada tanggal 29 Mei 2004 di Hotel Dharmawangsa Jakarta, para anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI-P melakukan pertemuan dengan Miranda Gultom dalam rangka mengenal pribadi Miranda Gultom dan upaya pemenangannya dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.419 Empat tahun berselang, barulah kasus suap ini terbongkar akibat laporan dari Agus Condro Prayitno, seorang anggota DPR RI masa keanggotaan tahun 2004-2009 yang mewakili Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dari daerah pemilihan Kabupaten Batang Jawa Tengah. Agus Condro pertama kali mengungkapkan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pertama kali kepada Indonesian Corruption Watch (ICW) melalui Wakil Kordinator ICW, Adnan Topan Husodo.420Kepada Adnan, Agus Condro menceritakan kronologis dan detail tentang kasus suap tersebut. Agus 418
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST, 16 Juni 2011, hlm. 30. 419
Ibid.,hlm. 37.
420
Syamsul Mahmuddin, “Saksi Meringankan buat Whistleblower”, http://www.forum keadilan.com/hukum.php?tid=222, diunduh pada tanggal 14 Mei 2012.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
161
menceritakan bahwa ia pernah menerima TC BII senilai Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Miranda Gultom dan uang tersebut telah habis dibelikan apartemen dan mobil.421 Atas cerita Agus tersebut, Adnan menyarankan agar Agus melaporkan kasus ini ke KPK dengan alasan apabila dilaporkan ke penegak hukum yang lain akan sulit diungkap. Selain itu menurut Adnan, Agus juga dapat memperoleh perlindungan karena saat itu LPSK belum terbentuk.422 Setelah menerima saran dari Adnan Topan Husodo, Agus tidak langsung serta-merta melaporkan kasus tersebut kepada penyidik KPK. Kepada media massa, Agus mengaku bahwa pada awalnya ia tidak pernah melaporkan kasus tersebut secara langsung, tetapi pelaporan tersebut justru terjadi ketika dirinya diperiksa dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi dalam Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dengan tersangka politisi dari Partai Golongan Karya, Hamka Yandhu. Agus ditanyai oleh penyidik KPK apakah dirinya pernah menerima sesuatu dari Hamka Yandhu dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Agus pun mengaku pernah diberikan uang sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), namun bukan dari Hamka Yandhu, melainkan dari Dudhi Makmun Murod. Penyidik KPK pun terkejut mendengar keterangan tersebut dan memintanya untuk menuturkan kronologi kasus tersebut.423 Penyidik KPK tersebut kemudian menyarankannya untuk melaporkan kasus tersebut secara terpisah.424 Masih dalam kasus korupsi YPPI, pada tanggal 28 Oktober dan 5 November 2008 Agus kembali dipanggil menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam persidangan terdakwa Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin dalam kasus YPPI. Agus pun memberi keterangannya di depan persidangan perihal diberikannya uang 421
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, op.cit.,hlm.
422
Syamsul Mahmuddin, loc.cit.
58.
423
Yuniadhi Agung, “Agus Tjondro Tak Sengaja Bocorkan Kasus Travel Cheque”’ http://202.146.4.121/read/artikel/147960/sitemap.html, diunduh pada tanggal 14 Mei 2012. 424
Anton Septia,op.cit., hlm. 79.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
162
sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepadanya oleh Dudhi Makmun Murod setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004.425 Beberapa waktu kemudian, Agus kembali duduk sebagai saksi untuk memberikan keterangannya seputar kasus suap pemilihan Dputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004
dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa Dudhie Makmun Murod pada tanggal 19 Maret 2010.426 Dari laporan dan kesaksian Agus Condro
tersebut, KPK lalu
mengembangkan kasus korupsi ini dan mengungkap oknum-oknum DPR yang menerima suap antara Rp 500.000.000,00 hingga Rp 1.400.000.000,00 dalam skandal pemilihan ini.427 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menelusuri pencairan cek serupa juga menemukan 480 cek mengalir ke sedikitnya 30 anggota DPR Periode 1999-2004.428 Pengakuan Agus tersebut menyeret empat bekas koleganya di Komisi IX DPR yang menerima TC BII langsung dari Arie Malangjudo, yaitu Dudhie Makmun Murod, Endin Soefihara, Hamka Yandhu, dan Udju Djuhaeri.429 Endin yang menerima aliran dana sebesar Rp 500.000.000,00 dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan. Dudhie dan Udju yang juga menerima aliran dana sebesar Rp 500.000.000,00 dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 2 tahun. Sedangkan Hamka yang menerima aliran dana Rp 2.250.000.000,00 (dua miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan. Keempat terdakwa tersebut dijatuhi pidana pada hari yang sama, yaitu pada tanggal 17 Mei 2010.430 425
Rita Ayuningtyas, “Agus Condro Jadi Saksi Sidang Hamka-Anthony”, http://nasional. kompas.com/read/2008/11/05/0826249/Agus.Condro.Jadi.Saksi.Sidang.Hamka-Anthony, diunduh pada 22 Mei 2012. 426
Reza Yunanto, “Agus Condro akan Bersaksi di Sidang Dudhi”, http://news.detik.com/read/2010/03/19/143043/1321247/10/-agus-condro-akan-bersaksi-di-sidangdudhie, diunduh pada tanggal 22 Mei 2012. 427
Dewi Safitri, “Remisi Hanya untuk Whistle Blower”, http://www.bbc.co.uk/indonesia /berita_indonesia/2011/10/111031_corruptionparolesystem.shtml, diunduh pada tanggal 5 Juni 2012. 428
Anton Septia, loc.cit.
429
Budi Setyarso, et.al., loc.cit.
430
Anton Septia, loc.cit.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
163
Pada tanggal 1 September 2010, bertolak dari putusan yang dijatuhkan kepada 4 politikus pada tanggal 17 Mei 2010 di atas, KPK menetapkan 26 anggota Komisi IX DPR RI Periode 1999-2004 sebagai tersangka penerima cek pelawat. Para tersangka tersebut terdiri dari 14 orang dari Fraksi PDI-P, 10 dari Fraksi Partai Golkar, dan 2 orang dari Fraksi PPP.431 Agus Condro sebagai salah satu penerima cek pelawat tersebut juga masuk dalam daftar tersangka dan mulai ditahan oleh penyidik KPK sejak tanggal 28 Januari 2011. Jauh sebelum dirinya menjadi tersangka, Agus Condro juga sudah menghadapi konsekuensi dari tindakannya melaporkan kolega-koleganya sendiri. Pada tanggal 25 Agustus 2008 ia diberhentikan dari DPR dengan surat No. 270/APTS/DPP/VIII/2008 dengan alasan telah mencemarkan nama baik organisasi dan melanggar disiplin sebagai anggota DPR RI. Menurut penasihat hukumnya, Agus sangat menyadari dan siap akan konsekuensi yang akan terjadi padanya ketika melaporkan masalah ini ke KPK. Ia sangat sadar bahwa ia juga akan ditetapkan sebagai tersangka bersama pelaku lainnya.432 Ia menepis isu bahwa kasus itu ia bongkar lantaran sakit hati setelah istrinya, Ellya Nuraeni ditolak PDI-P untuk maju menjadi calon Bupati di Batang, Jawa Tengah.433 Agus Condro kemudian ditetapkan menjadi terdakwa dan mulai disidang pada tanggal 28 Maret 2011 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersama keempat terdakwa lainnya, yaitu Max Moein, Rusman Lumban Toruan, Poltak Sitorus (meninggal dunia pada tanggal
431
Ibid. Lihat pula Budi Setyarso,et.al.,loc.cit. Nama-nama tersangka tersebut antara lain: a. Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI: Agus Condro Prayitno, Williem Tutuarima, Sutanto Pranoto, Jeffrey Tongas Lumban, Poltak Sitorus , Budiningsih, Muhammad Iqbal, Mathoes Pormes, Engelina Pattiasina, Rusman Lumbantoruan, Soewarno, Max Moein, Panda Nababan, dan Ni Luh Mariani Tirtasari. b. Fraksi Golongan Karya DPR-RI: T.M. Nurlif, Suhardiman, Aritonang, Baramuli, Reza Kamarullah, Antony Zeidra Abidin, Marthin Brian Seran, Paskah Suzetta, Ahmad Hafiz Zamawi, Asep Ruchimat Sudjana. c. Fraksi PPP DPR-RI: Sofyan Usman dan Daniel Tandjung. 432
Syamsul Mahmuddin, loc.cit.
433
Anton Septia, loc.cit.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
164
24 Mei 2011), dan Williem Max Tuturima. Atas perbuatan mereka, jaksa penuntut umum mendakwa mereka dengan dakwaan alternatif sebagai berikut:434 Kesatu : melanggar Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) butir b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kedua : melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.435 Dalam surat tuntutannya kemudian Penuntut Umum KPK pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim memutuskan untuk menyatakan Terdakwa I (Agus Condro Prayitno), Terdakwa II (Max Moein), Terdakwa III (Rusman Lumban Toruan) dan Terdakwa V (Williem Max Tutuarima) terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam 434
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, op.cit.,hlm.
5. 435
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN 134/2001, TLN 4150, Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuatsesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukandalam jabatannya. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau imbalan, padahal diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
165
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana didakwa dalam dakwaan kedua. Penuntut Umum menuntut Majelis Hakim agar menjatuhkan pidana terhadap Agus Condro Prayitno pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan dan denda Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Tuntutan hukuman ini berbeda dengan ketiga terdakwa lainnya di mana Max Moein dan Rusman Lumban Toruan masing-masing dituntut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan, sedangkan Williem Max Tutuarima dengan pidana penjara 2 (dua) tahun. Ketiganya juga dituntut pidana denda Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.436 Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim, perbuatan keempat terdakwa dinilai telah memenuhi semua unsur dari pasal di dalam dakwaan kedua Jaksa Penuntut Umum sehingga semua terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan semua perbuatan yang didakwakan.437 Majelis Hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan terlebih dahulu mepertimbangkan nota pembelaan dari keempat terdakwa. Dalam nota pembelaan (pledooi) dari Tim Penasihat Hukum Agus Condro, mereka secara yuridis tidak membantah atau keberatan dengan analisis yuridis yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutan pidananya. Mereka hanya mengajukan permohonan agar Agus Condro diberi putusan yang berdimensi keadilan sehingga dapat dijatuhi pidana seringan-ringannya karena ia adalah whistleblower yang membuka perkara ini pada aparat penegak hukum. Permohonan dalam nota pembelaan ini juga didukung dengan surat dari LPSK No.R.0706/1.3/LPSK/05/2011 tanggal 27 Mei 2011 yang pada pokoknya
436
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, op.cit.,hlm.
437
Ibid.,hlm. 101.
6.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
166
memohon keringanan hukuman bagi Agus Condro.438 Dalam proses penyidikan pun Agus Condro telah mengembalikan uang hasil tindak pidana sebesar Rp 100.000.000,00 dan menyerahkan 1 (satu) buah apartemen Teluk Intan, Jakarta Utara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.439 Berbeda dengan terdakwa lainnya, Agus Condro mengakui bahwa ketika menerima 10 (sepuluh) lembar TC BII total senilai Rp 500.000.000,00 tersebut ia mengetahui bahwa pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya selaku anggota Komisi IX DPR RI dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Berdasarkan keterangannya, Dudhi Makmun Murod pernah mengatakan, “Ini uangnya sudah cair.” yang mana hal tersebut juga didengar teman-teman lainnya sesama anggota Fraksi PDI-P. Selain itu sebelumnya sudah beredar informasi bahwa Miranda Gultom bersedia memberi uang Rp 200.000.000,00 hingga Rp 300.000.000,00 dan bahkan Rp 500.000.000,00 jika diperlukan. Sementara itu di lain pihak, ketiga terdakwa lainnya menyatakan bahwa mereka mengira pemberian tersebut adalah bantuan Fraksi PDI-P untuk kampanye pemilihan presiden di mana presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri yang juga adalah Ketua Umum PDI-P. Keterangan tersebut menurut Majelis Hakim tidak didukung alat bukti yang sah karena berdasarkan keterangan saksi Tjahjo Kumolo dan Dudhi Makmud Murod sebagai Ketua dan Bendahara Fraksi, tidak ada anggaran fraksi untuk bantuan anggota untuk kampanye.440 Dalam mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan dari para terdakwa, Majelis Hakim menilai bahwa tidak ada hal yang memberatkan dari Agus Condro dan Williem Max Tutuarima. Sebaliknya, Max Moein dianggap memiliki hal yang memberatkan karena tidak menyesali perbuatannya dan tidak menyerahkan uang yang diperolehnya dari kejahatan ke negara melalui KPK. Demikian pula dengan Rusman Lumban Toruan juga dianggap memiliki hal yang memberatkan karena tidak menyerahkan uang yang diperolehnya dari kejahatan ke negara melalui KPK. Sementara itu, kedudukan
438
Ibid.,hlm. 102.
439
Ibid.,hlm. 92; 104.
440
Ibid.,hlm. 60-63; 90-91.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
167
Agus Condro Prayitno sebagai pelapor perkara korupsi penerimaan TC BII oleh anggota Komisi IX DPR RI periode tahun 1999-2004 dan keterusterangannya dianggap sebagai hal-hal yang meringankan oleh Majelis Hakim. Adapun lengkapnya hal-hal meringankan yang dimiliki Agus Condro dalam pertimbangan Majelis Hakim adalah:441 1. 2. 3. 4. 5.
Terdakwa mengakui terus terang; Terdakwa bersikap sopan di persidangan; Terdakwa menyesali perbuatannya; Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa telah menyerahkan uang yang diperolehnya dari kejahatan ke negara melalui KPK, yaitu Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara dan menyerahkan 1 (satu) buah apartemen berikut dokumen kepemilikannya; 6. Terdakwa adalah sebagai pelapor sehingga dapat terungkap. Akhirnya pada tanggal 16 Juni 2011, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa Terdakwa I, II, III, dan V tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA”. Agus Condro Prayitno dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan, sedangkan Max Moein dan Rusman Lumban Toruan dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan, dan Williem Max Tutuarima selama 1(satu) tahun dan 6 (enam) bulan. Para terdakwa juga dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.442 Setelah menerima salinan putusannya, Agus Condro mengajukan permohonan kepada KPK pada tanggal 8 Juli 2011 agar ia tidak dipenjara di Jakarta dan tidak disatukan dengan terpidana kasus yang sama.443Ia memohon agar ia dapat menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Rawa Belang, Alasroban, Jawa Tengah agar keluarganya dapat dengan mudah
441
Ibid.,hlm. 107-108.
442
Ibid.,hlm. 109.
443
s.n., “Agus Condro Kirim Surat ke KPK”, http://edukasi.kompas.com/read/2011 /07/08/17452289/Agus.Condro.Kirim.Surat.ke.KPK, diunduh pada 14 Juni 2012.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
168
menjenguknya.444 Akhirnya Menteri Hukum dan HAM sebagai yang berwenang melakukan penempatan penjara pun mengabulkan permohonan tersebut pada tanggal 1 Agustus 2011 dan eksekusi penempatannya telah dilakukan KPK pada tanggal 2 Agustus 2011.445 Masih pada bulan Agustus 2011, Agus Condro mendapatkan keuntungan lagi berupa remisi pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-66..446 Beberapa bulan kemudian, Kementerian Hukum dan HAM memberikan pembebasan bersyarat kepada Agus Condro, yaitu pada tanggal 26 Oktober 2011.447 Pembebasan bersyarat ini didasarkan pada surat usulan yang disampaikan Kepala Rutan Batang kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Kepala Kantor Wilayah. Pembebasan bersyarat tersebut didapatkan oleh Agus Condro setelah menjalani dua pertiga masa tahanannya ditambah remisi 1,5 bulan. Total pidana penjara yang dideritanya adalah 15 bulan penjara dipotong remisi 1 bulan 15 hari sehingga total hukuman sama dengan 13 bulan 15 hari. Agus Condro telah menjalani dua pertiga dari 13 bulan 15 hari tersebut, yaitu 9 bulan penjara.448 Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, pembebasan bersyarat ini telah memenuhi semua persyaratan, baik substantif maupun administratif. Ia menyatakan bahwa selama menjalani pidana tersebut, yang bersangkutan menunjukkan perilaku yang baik dan belum pernah melakukan tindakan yang melanggar tata tertib Rumah Tahanan Negara.449 Masih menurut 444
Ratih P. Sudarsono dan Marcus Suprihadi, “Pelapor Kejahatannya Jangan Dipenjara”, http://nasional.kompas.com/read/2011/08/03/13123373/Pelapor.Kejahatannya.Jangan. Dipenjara, diunduh pada 14 Mei 2012. 445
Ratih P. Sudarsono dan Robert Adhi Kusumaputra, “Agus Condro akan Pindah ke LP Rawabelang”, http://nasional.kompas.com/read/2011/08/02/1134486/Agus.Condro.akan.Pindah. ke.LP.Rawabelang, diunduh pada tanggal 14 Mei 2012. 446
s.n., “Agus Condro Dapat Remisi Satu Bulan”, http://suaramerdeka.com/v1/index .php/read/news/2011/08/17/93940, diunduh pada tanggal 22 Mei 2012. 447
s.n., “Bebas Bersyarat Agus Condro, Penghargaan bagi Whistleblower”, http:/ /nasional.kompas.com/read/2011/10/26/00294966/Bebas.Bersyarat.Agus.Condro.Penghargaan.bag i.Whistle.Blower, diunduh pada tanggal 14 Mei 2012. 448
Icha Rastika dan Tri Wahono, “Agus Condro Bebas Bersyarat”, http://nasional .kompas.com/read/2011/10/25/22333659 , diunduh pada tanggal 22 Mei 2012. 449
Mega Putra Ratya, “Agus Condro Bebas Bersyarat”, http://news.detik .com/read/2011/10/25/192815/1752489/10/agus-condro-bebas-bersyarat?nd992203605, diunduh pada tanggal 22 Mei 2012.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
169
Denny Indrayana, pembebasan bersyarat yang lebih cepat dari terdakwa lainnya dalam kasus yang sama itu merupakan bentuk penghargaan negara kepada whistleblower seperti Agus, sekaligus menjadi pesan moral bagi masyarakat untuk mau membongkar kasus korupsi.450 Hal ini juga ditegaskan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mencantumkan tentang pemberian insentif berupa remisi atau kemudahan pemberian hak-hak yang lain antara lain pembebasan bersyarat.
4.2.
Analisis mengenai Kedudukan Agus Condro Prayitno sebagai Justice Collaborator dalam Hal Diterapkannya SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
4.2.1. Kedudukan Agus Condro sebagai Justice Collaborator Pedoman untuk menentukan apakah seseorang merupakan seorang whistleblower atau justice collaborator secara tegas diatur pertama kali dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 di mana hakim diminta untuk memberikan perlakuan khusus kepada mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai justice collaborator tersebut. SEMA No. 04 Tahun 2011 menggunakan istilah “Pelapor Tindak Pidana” sebagai padanan istilah “whistleblower” dan “Saksi Pelaku yang Bekerjasama” sebagai padanan istilah “justice collaborator”. Selain itu, pedoman untuk menentukan apakah seseorang merupakan seorang whistleblower atau justice collaborator juga diatur dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat diterapkan pada orang-orang seperti Agus Condro yang memenuhi kualifikasi sebagai seorang justice collaborator, serta dapat memberikan berbagai bentuk perlindungan selain keringanan hukuman kepada yang bersangkutan. Hanya saja, kedua peraturan ini baru lahir beberapa bulan
450
s.n., “Bebas Bersyarat Agus Condro, Penghargaan bagi Whistleblower”, loc.cit.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
170
setelah dijatuhkannyan hukuman pada Agus Condro dan kawan-kawan, yaitu pada bulan Agustus dan Desember 2011. Berdasarkan SEMA No. 04 Tahun 2011, untuk dapat disebut sebagai justice collaborator, yang bersangkutan haruslah: i. merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011, yaitu tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, dan lain-lain, namun bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut; ii. mengakui kejahatan yang dilakukannya; dan iii. memberikan keterangannya sebagai saksi di dalam proses peradilan.451 Selain itu, dalam butir 9 huruf b SEMA No. 04 Tahun 2011 juga diuraikan beberapa bantuan yang harus diberikan oleh seorang justice collaborator untuk dapat diberikan perlakuan khusus dari Majelis Hakim. Dalam butir 9 huruf b SEMA No. 04 Tahun 2011 disebutkan bahwa keterangan dan bukti-bukti yang diberikan oleh seorang justice collaborator haruslah secara signifikan dapat membantu penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana tersebut untuk menemukan pelaku tindak pidana tersebut yang peranannya lebih besar dan/atau mengembalikan hasil/aset tindak pidana tersebut.
Jaksa Penuntut Umum
diberikan peranan untuk menyatakan dalam surat tuntutannya apabila yang bersangkutan telah memberikan bantuan-bantuan tersebut. Untuk dapat dinyatakan sebagai seorang justice collaborator, Agus Condro harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah diuraikan di atas. Syarat pertama, Agus Condro harus merupakan pelaku dalam tindak pidana serius dan/atau terorganisir, namun bukan pelaku utama dalam tindak pidana tersebut. Sebagaimana telah diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Agus Condro terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilarang dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam melakukan
451
Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, op.cit., butir 9 huruf a.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
171
tindak pidana korupsi secara bersama-sama ini Agus Condro merupakan salah satu orang yang turut serta (medepleger) bersama keempat terdakwa lainnya, yaitu Max Moein, Rusman Lumban Toruan, Poltak Sitorus, dan Williem Max Tutuarima. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik pemberi maupun penerima suap sama-sama akan dipidana. Agus Condro merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011, yaitu tindak pidana korupsi, namun ia bukanlah pelaku utama dalam tindak pidana tersebut. Agus Condro memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 11 undang-undang tersebut sebagai orang yang turut serta sehingga ia dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana. Memang dalam KUHP sendiri tidak dikenal istilah “ pelaku utama” atau “bukan pelaku utama” dalam suatu penyertaan tindak pidana. Dalam konteks ini dapat dilihat bahwa di balik penerimaan uang yang dilakukan oleh Agus Condro dan rekan-rekannya, masih ada subyek-subyek lain yang lebih besar peranannya dalam tindak pidana korupsi ini, yaitu orang yang memberikan suap dan menyediakan dana untuk suap tersebut. Subyek ini dapat diartikan sebagai “pelaku utama” yang dimaksud. Mengenai siapa pendonor dana tersebut hingga saat ini masih belum terungkap. Miranda Gultom, pihak yang menurut fakta-fakta persidangan menjadi puncak dari tindak pidana ini di manadana tersebut mengalir karena kemenangannya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, pada saat penulisan ini masih berstatus sebagai tersangka. Syarat selanjutnya untuk dapat disebut sebagai justice collaborator adalah pengakuan dari yang bersangkutan atas tindak pidana yang dilakukannya. Sejak tahun 2008 hingga ia disidang sebagai terdakwa pada tahun 2011, Agus Condro selalu mengakui bahwa dirinya adalah salah satu orang yang menerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut. Pengakuannya ini tidak hanya diberikannya saat duduk menjadi terdakwa saja, namun sudah sejak awal proses penyidikan. Bahkan pengakuannya ini diberikannya saat duduk memberikan keterangannya sebagai saksi dalam beberapa persidangan Pengadilan
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
172
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelumnya, yaitu pada tanggal 28 Oktober dan 5 November 2008 dalam kasus YPPI dengan terdakwa Hamka Yandhu, serta pada tanggal 19 Maret 2010 dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dengan terdakwa Dudhi Makmun Murod. Dalam kedua persidangan tersebut, Agus duduk sebagai saksi dan memberikan keterangan bahwa ia pernah menerima TC BII sebesar Rp 500.000.000,00 melalui tangan Dudhi Makmun Murod usai pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004-2009. Dengan telah mengakui tindak pidana yang dilakukannya serta duduk sebagai saksi di persidangan, Agus Condro telah memenuhi kriteria orang yang dapat disebut sebagai justice collaborator menurut SEMA No. 04 Tahun 2011. Untuk dapat diberikan perlakuan khusus sebagai justice collaborator berupa penjatuhan pidana yang paling ringan di anatar terdakwa lainnya dan/atau penjatuhan pidana percobaan bersyarat oleh Majelis Hakim, Agus Condro juga harus memberikan bantuan-bantuan yang dimaksud dalam butir 9 huruf b SEMA No. 04 Tahun 2011. Keterangan dan bukti-bukti yang diberikan oleh seorang justice collaborator haruslah secara signifikan dapat membantu mengungkap tindak pidana tersebut. Bantuan tersebut harus dapat membantu penyidik dan/atau penuntut umum untuk menemukan pelaku tindak pidana tersebut yang peranannya lebih besar dan/atau mengembalikan hasil/aset tindak pidana tersebut. Jaksa Penuntut Umum memang tidak menyatakan secara eksplisit mengenai bantuan yang diberikan oleh Terdakwa I Agus Condro yang secara signifikan telah membantu pengungkapan tindak pidana korupsi dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada tahun 2004 ini. Jika melihat beratnya tuntutan pidana dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka dapat dilihat bahwa Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa Agus Condro memiliki peranan penting dalam pengungkapan sehingga Jaksa Penuntut Umum kemudian menuntut agar Agus Condro dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dikurangi masa tahanan dan denda Rp 50.000.000,00 subsidair 3 bulan kurungan. Tuntutan penjara ini lebih ringan 6 bulan daripada tuntutan terhadap Williem Max yang dijatuhi pidana penjara 2 tahun dikurangi masa tahanan, serta Max Moein dan Rusman Lumban Toruan yang masing-masing dituntut pidana penjara selama 2
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
173
tahun dan 6 bulan dikurangi masa tahanan. Dengan demikian, sesungguhnya Agus Condro telah dapat memperoleh perlakuan khusus sebagai seorang justice collaborator dari Majelis Hakim menurut SEMA No. 04 Tahun 2011. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seorang justice collaborator selain dapat memperoleh perlakuan khusus dari Majelis Hakim yang diatur dalam SEMA No. 04 Tahun 2011, yang bersangkutan juga dapat memperoleh berbagai bentuk perlindungan jika memenuhi definisi Saksi Pelaku yang Bekerjasama dan syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak menggunakan istilah whistleblower dan justice collaborator, melainkan Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Saksi Pelaku yang Bekerjasama menurut Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. Dalam pengertian Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelaku dalam konteks ini haruslah berstatus sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana. Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 yang dengan tegas menggunakan frasa “seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama”. Fakta bahwa Agus Condro adalah seorang pelaku didapatkan sebelum ia diberikan status sebagai tersangka atau terdakwa, tetapi setelah ia menjadi saksi dalam penyidikan dan persidangan Hamka Yandhu dan Dudhi Makmun Murod. Agus Condro akhirnya baru ditetapkan sebagai tersangka pada Januari 2011 setelah ia menjadi saksi dalam penyidikan tersangka Dudhi Makmun Murod. Pada tahun 2008 Agus Condro bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana korupsi di Komisi IX DPR RI yang terjadi
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
174
terjadi pada empat tahun sebelumnya, yaitu tahun 2004. Ia menjadi saksi dalam penyidikan kasus korupsi dalam Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia dengan tersangka Hamka Yandhu dan kemudian melaporkan kasus korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia secara terpisah. Kesediannya untuk membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus ini juga dibuktikannya dengan menjadi saksi dalam penyidikan dan persidangan Dudhi Makmun Murod, rekannya di Komisi IX DPR RI yang dalam kasus ini memberikan TC BII kepadanya. Tidak hanya itu, Agus Condro juga mengembalikan uang sebesar Rp 100.000.000,00 dan menyerahkan 1 (satu) buah apartemen Teluk Intan, Jakarta Utara kepada penyidik KPK. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Agus Condro pada dasarnya telah memenuhi definisi seorang Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Sebagai seorang Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Agus Condro dapat memperoleh berbagai bentuk perlindungan asalkan ia memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Syarat-syarat dalam pasal ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pedoman yang diberikan SEMA No. 04 Tahun 2011 dalam menentukan seseorang sebagai justice collaborator.
Untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang
Bekerjasama yang bersangkutan harus mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir, memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal, bukan pelaku utama dalam tindak pidana tersebut, bersedia mengembalikan asset hasil tindak pidana yang diperolehnya yang dinyatakan dalam pernyataan tertulis, serta mendapat ancaman yag nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman fisik atau psikis terhadap dirinya atau keluarganya. Agus Condro telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 4 Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, kecuali beberapa hal yang bersifat teknis karena pada saat itu peraturan ini memang belum lahir. Pertama, Agus Condro telah mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir di mana berdasarkan Pasal 1 Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tindak pidana korupsi termasuk di dalamnya. Kedua, keterangan
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
175
yang diberikan Agus Condro secara signifikan telah membantu aparat penegak hukum di mana berkat kesaksiannya dalam persidangan Dudhi Makmun Murod, penyidik KPK dapat menetapkan 26 nama anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P, Golkar, dan PPP yang menjadi tersangka dalam kasus yang sama. Informasi yang diberikannya ini relevan dan andal karena hal yang diungkap adalah salah satu bagian penting dari rangkaian kasus ini, yaitu keterlibatan para anggota DPR RI sebagai penerima suap tersebut. Ketiga, Agus Condro bukan pelaku utama tindak pidana ini. Ia memang terbukti menerima TC BII senilai Rp 500.000.000,00 sebagai imbalan telah memilih Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Kemudian,
dari
fakta-fakta
persidangan
Agus
Condro
(perkara
No.
14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST) terungkap bahwa uang tersebut diberikan oleh Nunun Nurbaeti yang dititipkannya kepada Arie Malangjudo untuk diberikan kepada Dudhi Makmun Murod yang kemudian dibagikan kepada anggota Komisi Keuangan DPR RI pada saat itu, termasuk Agus Condro. Mengenai siapa pendonor dana tersebut hingga saat ini masih belum terungkap. Miranda Gultom, pihak yang menurut fakta-fakta persidangan menjadi puncak dari tindak pidana ini di mana dana tersebut mengalir karena kemenangannya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, pada saat penulisan ini masih berstatus sebagai tersangka. Syarat selanjutnya yang harus dipenuhi oleh Agus Condro untuk mendapatkan perlindungan adalah kesediaan pengembalian asset hasil tindak pidana juga telah dilakukan Agus Condro. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Agus Condro telah mengembalikan aset hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik KPK. Hanya saja, kesediaan tersebut tidak dinyatakan dalam suatu pernyataan tertulis karena pada saat itu belum ada peraturan yang mengharuskan demikian. Kemudian, syarat terakhir adalah adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, baik secara fisik maupun psikis akibat pengungkapan
yang
dilakukannya
tersebut.
Peraturan
Bersama
tentang
Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak hanya mengharuskan bahwa ancaman tersebut nyata terjadi, tetapi juga saat muncul kekhawatiran bahwa ancaman tersebut akan terjadi. Pada saat itu Agus Condo dikhawatirkan akan menghadapi ancaman-ancama karena ia sendirian
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
176
melawan rekan-rekannya di DPR RI. Tidak hanya sesama anggota saja yang dilawannya, tetapi juga petinggi-petinggi DPR RI dan pengusaha-pengusaha yang tentunya memiliki kekuatan besar untuk menekannya. Secara psikis dan finansial Agus Condro juga sudah mengalami tekanan dengan diberhentikannya ia dari keanggoaan DPR RI pada tahun 2008 dengan alasan telah mencemarkan nama baik dan melanggar disiplin. Dengan telah dipenuhinya syarat-syarat tersebut, maka Agus Condro berhak
memperoleh
perlindungan
sebagai
seorang
Saksi
Pelaku
yang
Bekerjasama menurut Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Hal menarik selanjutnya dari keberadaan Agus Condro Prayitno dalam kasus ini adalah pendapat-pendapat yang menganggapnya sebagai seorang whistleblower dan justice collaborator. Penasihat hukum Agus Condro, baik dalam nota pembelaannya dalam persidangan maupun di hadapan media massa, menyatakan bahwa Agus Condro adalah seorang whistleblower yang mengungkap kasus suap ini di mana status tersebut layak untuk dipertimbangkan Majelis Hakim dalam menentukan berat ringannya pidana. Jika menilik isi ketentuan SEMA No. 04 Tahun 2011, yang dimaksud dengan whistleblower atau “Pelapor Tindak Pidana” adalah orang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan bukan bagian dari pelaku tindak pidana yang dilaporkannya tersebut. Hal utama yang membedakan whistleblower dengan justice collaborator menurut SEMA No. 04 Tahun 2011 adalah keterlibatan subyek tersebut dalam tindak pidana yang dilaporkannya itu. Seorang whistleblower mengetahui dan melaporkan suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir kepada penegak hukum, namun ia bukanlah pelaku dari tindak pidana tersebut. Apabila orang yang mengetahui tindak pidana ini bekerjasama dengan penegak hukum dengan memberikan informasi dan kesaksiannya, serta pada saat yang bersamaan ia juga merupakan pelaku tindak pidana tersebut, maka ia bukanlah whistleblower, melainkan justice collaborator. Berdasarkan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Agus Condro juga tidak tepat
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
177
apabila disebut sebagai whistleblower. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak menggunakan istilah whistleblower dan justice collaborator, melainkan Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Pelapor berbeda dengan Saksi Pelapor di mana Pelapor bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya, sedangkan Saksi Pelapor melihat, mendengar, mengalami atau terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya suatu tindak pidana kepada pejabat yang berwenang. Agus Condro dapat saja dikualifikasikan sebagai Saksi Pelapor karena ia melihat, mendengar, mengalami, serta terkait dengan tindak pidana korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 ini. Ia juga melaporkan kasus ini kepada penyidik KPK agar segera dtindaklanjuti. Dalam kasus ini Agus Condro tidak hanya sekedar “terkait”, tetapi ia juga melakukan tindak pidana tersebut sebagai seorang pelaku. Agus Condro lebih tepat dikategorikan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama karena ia tidak hanya “terkait”, tetapi juga “pelaku” tindak pidana tersebut. Ia menerima TC BII sejumlah Rp 500.000.000,00 dari Nunun Nurbaeti melalui tangan Dudhie Makmun Murod sebagai imbalan karena telah memilih Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 20042009. Fakta bahwa ternyata Agus Condro merupakan salah satu pelaku tindak pidana ini awalnya diketahui dari inti laporan dan kesaksiannya dalam penyidikan kasus YPPI di manaia mengakui bahwa ia pernah menerima uang tersebut dari Dudhi Makmun Murod dan uang tersebut telah habis dibelikannya mobil dan apartemen. Dalam persidangan terdakwa Dudhi Makmun Murod pun Agus Condro sebagai saksi menerangkan bahwa Dudhi pernah memberikannya TC BII dan uang tersebut telah ia terima. Pokok dari pengakuan tersebut adalah bahwa Agus merupakan salah satu penerima aliran dana tersebut di mana berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, pegawai negeri yang menerima imbalan yang diberikan karena kewenangannya merupakan pelaku tindak pidana korupsi.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
178
4.2.2. Perlakuan Khusus dan Perlindungan yang Didapatkan oleh Agus Condro 4.2.2.1.Perlakuan Khusus Berupa Pemberian Keringanan Pidana Pada tanggal 16 Juni 2011, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusannya atas Agus Condro Prayitno dan kawan-kawan dalam perkara No. 14/PID.B.TPK/2011/PN.JKT.PST. Perkara ini merupakan lanjutan dari kasus tindak pidana korupsi dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada tahun 2004 dengan Terdakwa I Agus Condro, Terdakwa II Max Moein, Terdakwa III Rusman Lumban Toruan, Terdakwa IV Poltak Sitorus (hak menuntut kepadanya gugur karena yang bersangkutan telah meninggal dunia), dan Terdakwa V Williem Max Tutuarima. Terdakwa I, II, III, dan V telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam Dakwaan Kedua..Keempat terdakwa tersebut terbukti secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001452 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka terbukti sebagai anggota DPR RI yang secara bersama-sama menerima hadiah atau janji yang diketahui atau patut diduga diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Para terdakwa secara bersama-sama menerima hadiah dari Nunun Nurbaeti melalui Dudhi Makmun Murod berupa TC BII masing-masing sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
452
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN 134/2001, TLN 4150, Pasal 11. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau imbalan, padahal diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
179
rupiah) sebagai imbalan karena telah memilih Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009. Dalam putusannya, Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Agus Condro yang lebih rendah dari ketiga terdakwa lainnya, yaitu pidana penjara 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan seperti ketiga terdakwa lainnya, pidana denda Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Pidana penjara yang diterima Agus Condro lebih ringan daripada ketiga terdakwa lainnya, yaitu Max Moein dan Rusman Lumban Toruan yang dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan, serta Williem Max Tutuarima selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan
walaupun
hanya
selisih
beberapa
bulan.
Padahal
dalam
pertimbangannya, Majelis Hakim menilai bahwa keempat terdakwa memenuhi kualifikasi sebagai orang yang turut serta (medepleger) yang berarti keempat terdakwa bersama-sama melakukan perbuatan yang didakwakan. Semua terdakwa melakukan perbuatan pelaksanaan atau semua unsur dari tindak pidana tersebut dengan peran yang sama besarnya. Pada saat dijatuhkannya pidana kepada Agus Condro dan kawankawan, yaitu pada Juni 2011, belum ada peraturan yang mengatur mengenai penanganan atau perlakuan terhadap whistleblower ataupun justice collaborator di Indonesia. Pada saat itu hanya ada satu ketentuan yang memberi kewenangan kepada hakim untuk meringankan pidana bagi saksi yang juga pelaku tindak pidana yang sama, yaitu ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006. Pasal ini mengatur bahwa terhadap saksi yang juga tersangka tindak pidana yang sama tetap dapat dikenakan penuntutan, namun kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Banyak pihak yang memandang bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tidak dapat melindungi subyek-subyek seperti Agus Condro karena frasa
“kesaksiannya
dapat
dijadikan
pertimbangan
hakim
dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan” hanya bersifat fakultatif dan tidak mengikat hakim.453 453
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum,op.cit., hlm. 21.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
180
Agus Condro adalah saksi yang juga pelaku dalam tindak pidana di mana ia menjadi saksi, namun dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana kepada Agus Condro, Majelis Hakim tidak menggunakan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006. Tetapi Majelis Hakim tetap menilai Agus Condro sebagai subyek yang layak mendapat keringanan pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut walaupun tidak secara eksplisit diungkapkan dalam pertimbangannya. Dalam memberikan pidana yang lebih ringan kepadanya, Majelis Hakim mempertimbangkan keadaan pribadi, yaitu sifat baik dan jahat dari Agus Condro sebagai terdakwa. Hal tersebut diwajibkan oleh Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman untuk dipertimbangkan hakim dalam menentukan pemidanaan. Majelis Hakim melihat tidak ada hal yang memberatkan atau sifat jahat, tetapi hanya terdapat hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa. Salah satu hal yang menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memberikan pidana kepada Agus Condro adalah nota pembelaan Tim Penasihat Hukum Agus Condro yang secara yuridis tidak membantah dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tetapi memohon kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan kedudukan Agus Condro sebagai whistleblower yang mengungkap perkara suap ini. Pledooi tersebut juga didukung dengan surat dari LPSK tanggal 27 Mei 2011 yang intinya menyangkut keringanan hukuman. Selain itu, Majelis Hakim mempertimbangkan pula tindakan sukarela dari Agus Condro pada tahap penyidikan untuk mengembalikan uang sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan menyerahkan satu unit apartemen Teluk Intan di Jakarta Utara yang dibelinya dari hasil pencairan TC BII yang diberikan oleh Dudhi Makmun Murod. Hal penting lainnya yang menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim adalah sikap mau bekerja sama dari Agus Condro yang tertuang dalam alat bukti keterangan terdakwa Agus Condro di mana ia mengakui
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
181
perbuatannya sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan siap menerima pidana dari Majelis Hakim. Jika membandingkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan antara keempat terdakwa, maka dapat dilihat bahwa dalam pandangan Majelis Hakim, penyesalan dari terdakwa dan tindakan terdakwa untuk menyerahkan uang yang diperoleh dari hasil kejahatan kepada aparat penegak hukum (yang dalam hal ini adalah penyidik KPK) merupakan halhal yang dapat meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Dapat dilihat dalam putusan tersebut bahwa Agus Condro dan Williem Max Tutuarima dianggap tidak memiliki hal-hal yang memberatkan, sedangkan Max Moein dan Rusman Lumban Toruan dianggap memiliki hal-hal yang memberatkan karena mereka tidak menyerahkan uang yang diperoleh dari hasil kejahatan ke negara melalui KPK. Max Moein juga dianggap memiliki hal memberatkan lain, yaitu tidak menyesali perbuatannya. Hal menarik lainnya yang dapat dilihat dalam putusan ini adalah bahwa tidak hanya Majelis Hakim yang berperan dalam memberikan keringanan pidana kepada Agus Condro atas kerja samanya dengan penegak hukum, tetapi juga Jaksa Penuntut Umum. Dalam surat tuntutannya dalam perkara No. 14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT. PST, Jaksa Penuntut Umum tidak menyatakan secara eksplisit mengenai bantuan yang diberikan oleh Terdakwa I Agus Condro yang secara signifikan telah membantu pengungkapan tindak pidana korupsi dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada tahun 2004 ini. Jika melihat tuntutan pidana dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka dapat dilihat bahwa Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa Agus Condro memiliki peranan penting dalam pengungkapan kasus ini melalui tindakan-tindakannya yang menunjukkan niatan untuk bekerjasama dengan penegak hukum. Atas sikapnya itu, Jaksa Penuntut Umum memandang Agus Condro layak untuk mendapatkan pidana yang lebih ringan daripada ketiga terdakwa lainnya. Jaksa Penuntut Umum kemudian menuntut agar Agus Condro dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dikurangi masa tahanan
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
182
dan denda Rp 50.000.000,00 subsidair 3 bulan kurungan. Tuntutan penjara ini lebih ringan 6 bulan daripada tuntutan terhadap Williem Max yang dijatuhi pidana penjara 2 tahun dikurangi masa tahanan, serta Max Moein dan Rusman Lumban Toruan yang masing-masing dituntut pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dikurangi masa tahanan. Jaksa Penuntut Umum juga menuntut dijatuhinya pidana tambahan kepada Max Moein dan Rusman Lumban Toruan berupa perampasan uang dan barang-barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi atau kekayaan yang senilai dengan hasil kejahatan tersebut, yaitu masing-masing sebesar Rp 500.000.000,00 yang ada pada diri terdakwa tersebut dan keluarganya. Majelis Hakim menilai bahwa tuntutan pidana tambahan ini haruslah ditolak karena hukuman yang setimpal yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim sudah cukup bagi diri kedua terdakwa. Menurut Majelis Hakim, pengembalian uang secara sukarela dari Agus Condro dan Williem Max merupakan hak terdakwa demi kepuasan batin dan jiwanya dan juga telah dijadikan hal-hal yang meringankan dari Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan pidananya. Majelis Hakim menilai bahwa tidak dilakukannya pengembalian uang hasil tindak pidana oleh Max Moein dan Rusman Lumban Toruan merupakan hal yang memberatkan dalam penjatuhan pidana. Oleh karena itu terhadap Max Moein dan Rusman Lumban Toruan tidak perlu lagi dijatuhi pidana tambahan. Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya telah menuntut diberikannya keringanan pidana yang signifikan kepada Agus Condro, namun keringanan pidana yang dijatuhkan kepada Agus Condro sebagai justice collaborator tidak jauh berbeda dari ketiga rekannya. Lamanya pidana penjara yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum atas Agus Condro lebih ringan 6 bulan daripada Williem Max Tutuarima yang dalam tahap penyidikan telah mengembalikan uang hasil tindak pidana kepada penyidik KPK, serta lebih ringan 1 tahun daripada Max Moein dan Rusman Lumban Toruan. Pada akhirnya lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepada Agus Condro hanya berbeda hanya berbeda 3 bulan dari
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
183
Williem Max Tutuarima, serta 5 bulan dari Max Moein dan Rusman Lumban Toruan. Kesenjangan pidana yang dijatuhkan antara keempatnya tidak jauh berbeda padahal peranannya dalam pengungkapan kasus ini sangat berbeda. Dalam persidangan tersebut, Agus Condro telah mengakui perbuatannya dan bahkan tidak membantah tuntutan Jaksa Penuntut Umum secara yuridis. Ia juga telah menyerahkan uang yang diperolehnya dari kejahatan ke negara melalui KPK, yaitu Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara dan menyerahkan 1 (satu) buah apartemen berikut dokumen kepemilikannya, serta pernah menjadi pelapor sehingga kasus ini dapat terungkap merupakan hal-hal yang dapat meringankan pemidanaannya. Hal-hal tersebut dilihat Majelis Hakim sebagai hal-hal yang meringankan pemidanaan atas Agus Condro dan bahkan tidak ada hal memberatkan pada diri Agus Condro yang dilihat oleh Majelis Hakim. Di luar fakta persidangan pun dapat dilihat bagaimana pada akhirnya Agus Condro akhirnya dikeluarkan dari keanggotaan DPR RI akibat laporan dan kesaksiannya selama ini. Hukuman yang dijatuhkan kepada Agus Condro ini tidak hanya kurang signifikan jika dibandingkan dengan ketiga rekannya yang duduk sebagai terdakwa bersamanya saja, tetapi juga dengan anggota DPR RI lainnya yang juga dipidana atas keterlibatannya dalam kasus ini. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 16 Juni 2011 juga telah menjatuhkan putusan kepada 4 politisi PDI-P lainnya dalam kasus yang sama dengan Agus Condro, yaitu Ni Luh Mariani Tirta Sari, Soetanto Pranoto, Soewarno, dan Matheos Pormes. Sama seperti Agus Condro dan kawan-kawan, keempat politisi ini juga dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana koruspi secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kepada mereka, Majelis Hakim menjatuhkan pidana yang tidak jauh
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
184
berbeda dengan Agus Condro, yaitu masing-masing pidana penjara 1 tahun 5 bulan dan dena Rp 50.000.000,00 subsidair 3 bulan kurungan. Panda Nababan, Sekretaris Fraksi PDI-P yang meminta Dudhi Makmun Murod menemui Arie Malangjudo untuk menerima titipan uang dari Nunun Nurbaeti dan menyuruhnya untuk membagikan uang tersebut kepada 17 anggota Komisi IX dari Fraksi PDI-P lainnya, juga dipidana dengan pidana penjara 1 tahun 5 bulan. Pidana yang tidak jauh lebih berat dari Agus Condro ini juga dirasakan oleh 10 anggota DPR RI dari Fraksi Golongan Karya yang juga terlibat dalam korupsi ini. Paskah Suzetta dan kesembilan rekannya dari Fraksi Golongan Karya dijatuhi pidana penjara 1 tahun 4 bulan dan denda Rp 50.000.000,00 subsidair 3 bulan kurungan pada tanggal 17 Juni 2011.454 Hukuman tersebut hanya berbeda 1 bulan dengan Agus Condro yang perannya dalam tindak pidana ini tidak jauh berbeda dengan para terpidana tersebut, tetapi peranannya dalam mengungkap kasus ini sungguh jauh berbeda.
4.2.2.2. Perlindungan-Perlindungan Lain yang Diberikan kepada Agus Condro Sebagai seorang Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 4 Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Agus Condro berhak mendapatkan berbagai bentuk perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Perlindungan tersebut adalah perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus, serta penghargaan. Agus Condro mendapatkan beberapa bentuk perlindungan yang kini telah 454
s.n., “10 Politisi Golkar Batal Bebas”, http://haluankepri.com/news/nasional/1991010-politisi-golkar-batal-bebas-.html, , diunduh pada tanggal 31 Mei 2012. Lihat pula s.n., “Politisi Golkar Diadili”, http://www.suarapembaruan.com/home/politisi-golkar-diadili/5385, diunduh pada tanggal 31 Mei 2012. Sepuluh politisi Golongan Karya yang diadili tersebut adalah Ahmad Hafiz Zawawi (AHZ), Marthin Bria Seran (MBS), Paskah Suzetta (PSz), Boby Suhardiman (BS),, Antony Zeidra Abidin (AZA), TM Nurlif (MN), Asep Ruchimat Sudjana (ARS), Reza Kamarullah (RK), Baharuddin Aritonang (BA), dan Hengky Baramuli (HB).
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
185
diakomodasi oleh Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama walaupun pada saat itu Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama belum lahir. Selain pemidanaan yang paling ringan di antara terdakwa lainnya oleh hakim, Agus Condro mendapatkan berbagai perlindungan lain, yaitu perlindungan fisik dari LPSK, pemisahan tempat penjara dari terpidana lain, dan pembebasan bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM. Perlindungan-perlindungan tersebut tentu saja tidak diberikan dengan berdasar pada Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, namun diberikan oleh aparat penegak hukum tetap dengan mempertimbangkan perannya sebagai orang yang telah membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus korupsi ini. Berikut ini adalah uraian mengenai perlindungan-perlindungan yang sudah diperoleh Agus Condro atas peranannya dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004: 1. Perlindungan Fisik Perlindungan fisik yang didapatkan Agus Condro selama ini diberikan oleh LPSK setelah diputuskan oleh paripurna LPSK pada tanggal 15 Maret 2011. Menurut Tenaga Ahli Bidang Hukum Diseminasi dan Hubungan Masyarakat LPSK Maharani Siti Shopia, yang
bersangkutan
mendapatkan
beberapa
perlindungan,
baik
perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, maupun pendampingan jika diperlukan.455 Anggota LPSK, Penanggung Jawab Bidang Perlindungan Teguh Soedarsono menyatakan bahwa selama ini LPSK telah memberikan perlindungan fisik berupa tindakan pengamanan dan pengawalan di mana LPSK telah melakukan pendampingan dalam
455
Syamsul Mahmudin, “LPSK Berikan Perlindungan pada Agus Condro”, http://www. forumkeadilan.com/hukum.php?tid=163, diunduh pada tanggal 14 Mei 2012.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
186
proses persidangan sebanyak lebih dari 13 kali.456 Perlindungan ini diberikan LPSK dengan berkoordinasi dengan KPK.457 Pemberian perlindungan fisik oleh LPSK kepada Agus Condro tersebut dilakukan berdasarkan Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006. Pasal tersebut menguraikan apa saja hak-hak yang dapat diperoleh seorang saksi yang dua di antaranya adalah bahwa saksi berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, serta berhak memberikan keterangan tanpa tekanan. Dalam memberikan persetujuan untuk memberikan hak-hak tersebut, berdasarkan Pasal 28 undang-undang ini LPSK harus mempertimbangkan beberapa syarat, yaitu: a) sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban; b) tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban; c) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; dan d) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban. Adapun data mengenai isi pertimbangan LPSK ini tidak dapat diakses oleh masyarakat umum karena sifat kerahasiaan perlindungan oleh LPSK.
2. Pemisahan Tempat Penjara dari Terpidana Lainnya Dalam kasus ini, Agus Condro mendapatkan pemisahan penjara dengan terpidana lainnya setelah ia mengajukan permohonan kepada KPK agar ia tidak dipenjara di Jakarta dan tidak disatukan dengan terpidana kasus yang sama.458 Sesuai dengan permohonannya, ia diizinkan oleh Menteri Hukum dan HAM untuk dapat menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Rawa Belang, Alasroban, Jawa Tengah agar keluarganya dapat dengan mudah 456
s.n., “Si "Peniup Pluit", Agus Condro Dalam Perlindungan LPSK”, http://www. komhukum.com/kriminal-feed-9075, diunduh pada tanggal 6 Juni 2012. 457
Syamsul Mahmudin, “LPSK Berikan Perlindungan pada Agus Condro”, loc.cit.
458
s.n., “Agus Condro Kirim Surat ke KPK”, loc.cit.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
187
menjenguknya.459 Eksekusi penempatannya pun telah dilakukan KPK pada tanggal 2 Agustus 2011.460 Permintaan persetujuan ini diajukan oleh Agus Condro kepada KPK sebagai penuntut umum yang melakukan eksekusi pidana. Bentuk perlindungan seperti ini telah diakomodasi dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan terhadap Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Berdasarkan Pasal 6 ayat (3), salah satu dari lima bentuk penanganan secara khusus yang berhak didapatkan Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka, terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap. Penanganan secara khusus ini berdasarkan Pasal 9 diberikan setelah adanya persetujuan dari aparat penegak hukum sesuai dengan tahap penanganannya, yaitu penyidik, penuntut umum atau hakim. Apabila diterapkan pada Agus Condro, persetujuan ini seharusnya dimintakan kepada hakim sebelum putusan dijatuhkan agar dimasukkan ke dalam amar putusan hakim. Jika baru dimintakan setelah putusan dijatuhkan, maka dapat diajukan kepada penuntut umum sebagai pelaksana putusan pengadilan.
3. Remisi dan Pembebasan Bersyarat Pada tanggal 17 Agustus 2011, Agus Condro mendapatkan penghargaan berupa remisi sebesar 1 bulan 15 hari. Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, remisi yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan bentuk remisi umum. Remisi umum ini berdasarkan Pasal 4 ayat (1) akan diberikan sebesar 1 bulan bagi Narapidana yang telah menjalani pidana selama 6 sampai 12 bulan atau sebesar 2 bulan bagi Narapidana yang telah menjalani
459
Ratih P. Sudarsono dan Marcus Suprihadi, loc.cit.
460
Ratih P. Sudarsono dan Robert Adhi Kusumaputra, loc.cit.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
188
pidana selama 12 bulan atau lebih. Remisi, baik berbentuk remisi umum, remisi khusus atau remisi tambahan dapat diberikan kepada setiap Narapidana yang berkelakuan baik selama menjalani pidana.461 Pada saat diberikan remisi, Agus Condro sudah menjalani masa pidananya selama 6 bulan, yaitu sejak masa penahanannya yang dimulail pada tanggal 28 Januari 2011 hingga 17 Agustus 2011. Pada saat itu Kementerian Hukum dan HAM sedang gencar melakukan pengetatan terhadap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat pada narapidana korupsi, terorisme, dan narkotika walaupun dilihat dari waktunya ia sudah berhak mendapatkan remisi. Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, pengetatan ini dapat mengecualikan narapidana-narapidana tindak pidana tersebut yang memenuhi kriteria sebagai justice collaborator, seperti Agus Condro. Menurutnya Agus Condro memenuhi kualifikasi sebagai justice collaborator, yaitu 1) memberikan informasi yang akurat dan informasi tersebut terbukti di persidangan, 2) bekerja sama, yaitu mengakui kesalahan dan mengembalikan uang hasil korupsinya, dan 3) oleh LPSK Agus Condro ditetapkan sebagai whistle blower dan justice collaborator.462 Tidak hanya itu, Agus Condro juga mendapatkan penghargaan berupa pembebasan bersyarat dari Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 26 Oktober 2011. Agus Condro diberikan pembebasan bersyarat karena teleh memenuhi syarat substantif dan administratif yang disyaratkan oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.Pk.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan
Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. 461
Indonesia, KEPPRES No. 174 Tahun 1999, op.cit.,Pasal 1.
462
s..n., “Wamenkum HAM: Kontrol Ketat, Bukan Obral Remisi dan Pembebasan Bersyarat”, http://bpsdm.kemenkumham.go.id/component/content/article/43-berita-hukum-danham/416-wamenkum-ham-kontrol-ketat-bukan-obral-remisi-dan-pembebasan-bersyarat-, diunduh pada tanggal 1 Juni 2012.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
189
Salah satu syarat substantif tersebut adalah bahwa yang bersangkutan harus telah menjalani 2/3 dari masa pidananya yang mana 2/3 masa pidana itu tidak kurang dari 9 bulan.463 Agus Condro dipidana penjara selama 15 bulan dan telah dipotong remisi sebesar 1 bulan 15 hari sehingga masih tersisa masa pidana 13 bulan 15 hari lagi. Dua pertiga dari 13 bulan 15 hari tersebut adalah selama 9 bulan. Perhitungan masa pidana ini berdasarkan Pasal 8 Peraturan Menteri tersebut dapat dimulai sejak masa penahanan di mana Agus Condro telah menjalani masa tahanannya sejak Januari 2011. Dengan demikian, dilihat dari masa menjalankan pidananya Agus Condro telah dapat diberikan pembebasan bersyarat. Alasan pemberian pembebasan bersyarat ini tidak hanya didasarkan pada jangka waktu pemidanaan yang sudah dilakukan Agus Condro saja. Menurut Denny Indrayana, pembebasan bersyarat yang lebih cepat dari terdakwa lainnya dalam kasus yang sama itu merupakan bentuk penghargaan negara kepada whistleblower seperti Agus, sekaligus menjadi pesan moral bagi masyarakat untuk mau membongkar kasus korupsi.464 Jadi, alasan utama dari pemberian pembebasan bersyarat ini adalah semangat pemberantasan tindak pidana korupsi melalui peran serta dari masyarakat. Jika Peraturan Bersama tentang Perlindungan terhadap Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama sudah diterapkan pada kasus ini, maka perlindungan seperti remisi dan pembebasan bersyarat ini juga dapat diberikan kepada mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dinyatakan bahwa terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang berstatus sebagai narapidana dapat diberikan penghargaan berupa remisi tambahan dan 463
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, PERMEN No.M.HH02.PK.05.06 TAHUN 2010, op.cit.,Pasal 5, 6, dan 7. 464
s.n., “Bebas Bersyarat Agus Condro, Penghargaan bagi Whistleblower”, loc.cit.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
190
hak-hak narapidana lain. Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999, remisi tambahan dapat ditambahkan pada remisi umum atau remisi khusus apabila yang bersangkutan selama menjalani pidana berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan465 Besarnya remisi tambahan bagi Narapidana atau Anak Pidana yang berbuat jasa kepadanegara adalah ½ (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan.466 Agus Condro dapat diberikan remisi tambahan karena ia telah berjasa kepada negara dalam mempertahankan kelangsungan negara
dengan
membantu
aparat
penegak
hukum
dalam
mengungkap tindak pidana korupsi.467 Tindak pidana korupsi dalam kasus ini tidak merugikan keuangan negara, namun hal tersebut tetaplah merupakan suatu extraordinary crime yang mengancam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Korupsi
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, terutama karena yang menjadi pelakunya adalah pejabat negara yang seharusnya mewakili rakyat, yaitu DPR RI. Tindak pidana yang
465
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, PERMEN No.M.HH02.PK.05.06 TAHUN 2010, op.cit.,Pasal 3. 466
Ibid.,Pasal 6. Besarnya remisi umum diatur dalam Pasal 4 yang berbunyi: (1)Besarnya remisi umum adalah : a. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih. (2) Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut : a. pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). b. pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan; c. pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat bulan; d. pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5 (lima) bulan; dan e. pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan setiap tahun. 467
Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.09.HN.02.01 TAHUN 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, Pasal 1 angka 6. Yang dimaksud dengan berbuat jasa kepada negara adalah jasa yang diberikan dalam perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan negara.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
191
terorganisir yang melibatkan puluhan anggota DPR RI Periode 1999-2004 ini telah terjadi pada tahun 2004. Namun karena ikatan yang kuat di antara para pelakunya, serta semangat kepegawaian atau esprit de corps dalam DPR RI, maka hingga tahun 2008 negara baru dapat mengungkap kasus ini melalui jasa dari Agus Condro. Dengan berbuat jasa terhadap negara, Agus Condro dapat dapat diberikan remisi tambahan pada remisi umum yang telah didapatkannya. Menurut Peraturan Bersama tentang Perlindungan terhadap Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, remisi tambahan ini diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan yang mengatur mengenai besarnya remisi tambahan ini, yaitu KEPPRES No. 174 Tahun 1999, besarnya remisi tambahan kepada narapidana yang berbuat jasa terhadap negara adalah 1/2 (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan. Remisi umum baru diberikan apabila yang bersangkutan telah menjalani pidana 6 hingga 12 bulan atau lebih dari 12 bulan penjara. Dengan demikian, walaupun remisi tambahan tersebut diberikan sebagai penghargaan atas jasa yang diberikan seorang justice collaborator, namun tetap harus mengikuti perhitungan waktu menjalankan pidana yang ditentukan dalam Keputusan Presiden No. 174 tahun 1999.
4.2.2.3. Perlindungan-Perlindungan Lain dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang Dapat Diberikan kepada Agus Condro Selain bentuk-bentuk perlindungan di atas, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama juga memberikan kesempatan kepada Saksi Pelaku yang Bekerjasama untuk mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung atau
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
192
Pimpinan KPK untuk memberikan keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan.468 Jika permohonan ini dikabulkan, maka Jaksa Agung atau Pimpinan KPK wajib menyatakannya dalam tuntutannya agar hal tersebut dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.469 Dalam proses persidangan perkara Agus Condro ini, pihak Agus Condro tidak mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung untuk mengajukan tuntutan yang ringan. Namun dalam menangani kasus ini, Jaksa Penuntut Umum telah memiliki pola pikir akan pentingnya penghargaan terhadap justice collaborator. Hal ini dapat dilihat pada petitum dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum di mana tuntutan yang diajukan atas Agus Condro lebih ringan daripada ketiga terdakwa lainnya. Jaksa Penuntut Umum memandang Agus Condro layak untuk mendapatkan pidana yang lebih ringan daripada ketiga terdakwa lainnya. Tuntutan penjara terhadap Agus Condro lebih ringan 6 bulan daripada tuntutan terhadap Williem Max, serta lebih ringan 1 tahun dari Max Moein dan Rusman Lumban Toruan. Sangat disayangkan saat melihat bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum atas Agus Condro yang paling ringan di antara semua terdakwa tersebut ternyata berbeda cukup jauh dengan putusan hakim. Pidana yang dijatuhkan atas Agus Condro hanya lebih ringan 3 bulan daripada Williem Max, serta 5 bulan lebih ringan dari Max dan Rusman. Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, hakim bebas dari campur tangan pihak mana pun sehingga tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum memang tidak mengikat hakim. Berkaca dari pengalaman ini, untuk ke depannya akan lebih baik apabila tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum
yang
menerapkan
pola
pikir
perlindungan
terhadap
468
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, op.cit., Pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 6 ayat (4) huruf a. 469
Ibid., Pasal 10 ayat (2).
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
193
justicecollaborator dapat menjadi bahan pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan pidana. Untuk mengusahakan adanya pengurangan hukuman bagi justice collaborator harus dimulai dari adanya pengajuan tuntutan yang lebih ringan oleh penuntut umum terhadap Pelaku yang Bekerjasama.470 Hal ini didukung dengan kelahiran SEMA No, 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan terhadap Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat membuat tidak hanya hakim yang berperan dalam menentukan seseorang pantas diberikan keringanan hukuman karena peranannya sebagai justice collaborator.
4.2.3. Kedudukan Agus Condro dalam Pembuktian Kasus Tindak Pidana Korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004 Perlindungan terhadap justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia kini telah diatur dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Kedua peraturan ini pada pokoknya lahir dari UU No. 13 Tahun 2006 yang bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak saksi dan korban demi memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Dalam konsep perlindungan saksi sebagaimana tertanam dalam UU No. 13 Tahun 2006, saksi dipandang sebagai unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Saksi, sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana (dramatis personae)471 memiliki peran yang sangat penting yang mana tanpanya sistem peradilan pidana akan berhenti berfungsi.472 Hampir tidak ada perkara pidana yang dalam pembuktiannya tidak menggunakan alat bukti keterangan saksi karena
470
Ibid.,hlm. 21.
471
Suryono Sutarto, op.cit., hlm.12.
472
Nicholas Fyfe dan James Sheptycki, loc.cit.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
194
keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti yang paling utama dalam pembuktian perkara pidana.473 Agus Condro memang bukan saksi yang “biasa” ditemui dalam praktek peradilan pidana di Indonesia, namun pada dasarnya ia adalah saksi yang dimaksud dalam KUHAP. Agus Condro adalah orang yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri tindak pidana korupsi yang terjadi di tempat kerjanya sehingga berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP ia dapat menjadi saksi. Agus Condro memberikan keterangannya mengenai tindak pidana yang ia lihat, dengar, dan alami tersebut di tahap penyidikan dan penuntutan di persidangan. Ia menjadi saksi dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi dalam
Yayasan
Pengembangan Perbankan Indonesia dan kasus tindak pidana korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Agus Condro juga telah memberikan alat bukti keterangan saksi kepada aparat penegak hukum dengan memberikan keterangannya sebagai saksi di depan persidangan. Tidak semua subyek yang menjadi target perlindungan dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama merupakan saksi yang dimaksud dalam KUHAP. Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) yang dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 atau hanya disebut sebagai Pelapor dalam Peraturan Bersama Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak termasuk dalam saksi yang dimaksud dalam KUHAP. Pelapor Tindak Pidana atau Pelapor hanya mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, tetapi ia tidak melihat, mendengar, dan mengalami sendiri tindak pidana tersebut. Lain halnya dengan Saksi Pelapor yang dimaksud dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang didefinisikan sebagai orang yang melihat, mendengar, mengalami atau terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya suatu tindak pidana kepada pejabat yang 473
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, op.cit., hlm. 286.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
195
berwenang untuk diusut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Saksi Pelapor ini memenuhi syarat untuk disebut sebagai saksi, namun tidak dapat memberikan alat bukti keterangan saksi karena ia tidak memberikan keterangannya di depan persidangan. Agus Condro merupakan Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang dimaksud dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) dengan tegas dinyatakan oleh kedua peraturan ini sebagai pelaku tindak pidana yang tertentu yang memberikan keterangan sebagai saksi di depan persidangan. Sebagai saksi ia sudah pasti melihat, mendengar, dan mengalami suatu tindak pidana karena ia secara langsung terlibat dan melakukan tindak pidana tersebut sebagai seorang pelaku. Dengan demikian ia memenuhi kriteria sebagai seorang saksi dan memberikan alat bukti keterangan saksi karena ia juga memberikan keterangannya di sidang pengadilan.
4.2.4. Permasalahan yang Dapat Timbul dalam Penerapan Ketentuan mengenai Justice Collaborator dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama Pola pikir mengenai pentingnya perlindungan atau perlakuan khusus bagi justice collaborator demi mendapatkan bukti-bukti yang signifikan dalam pengungkapan kejahatan terorganisir belum lama dikenal dalam praktek peradilan pidana Indonesia. Pada saat dijatuhkannya pidana terhadap Agus Condro dan kawan-kawan pada tanggal 16 Juni 2011, konsep perlindungan terhadap justice collaborator masih hanya sekedar wacana dan hanya diakomodasi dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006. Pada saat itu belum ada satu peraturan pun yang mengatur mengenai perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara khusus. Sementara itu, Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 sebagai ketentuan yang berusaha memberikan perlindungan terhadap saksi yang juga pelaku tindak pidana masih belum dapat melindungi justice collaborator seperti Agus Condro karena hanya bersifat fakultatif dan tidak mengikat hakim.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
196
Pada
saat
Agus
Condro
didudukkan
sebagai
terdakwa,
istilah
whistleblower dan justice collaborator belum benar-benar dikenal, namun pada saat itu dalam kasus ini telah ada pola pikir dasar mengenai pentingnya peranan subyek-subyek tersebut dalam pengungkapan suatu tindak pidana, khususnya kejahatan serius dan terorganisir. Mulai dari jaksa penuntut umum, hakim, hingga Menteri Hukum dan HAM dalam hal ini telah memiliki pandangan bahwa subyek seperti Agus Condro pantas untuk mendapatkan perlakuan khusus karena peranan pentingnya dalam membongkar kasus korupsi ini. Penerapan pola pikir tersebut memang masih belum hadir dalam suatu tindakan perlakuan khusus yang nyata dan signifikan, namun dalam kasus ini telah lahir bibit-bibit pemikiran baru dalam praktek peradilan pidana Indonesia dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorganisir melalui peran justice collaborator. Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini telah memiliki pola pikir bahwa seorang terdakwa yang telah membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu perkara pidana, serta mau mengakui tindak pidana yang dilakukannya pantas untuk diberikan penghargaan. Hal ini terlihat dari surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut dijatuhkannya pidana penjara atas Agus Condro paling ringan secara signifikan di antara ketiga terdakwa lainnya. Jaksa Penuntut Umum juga melihat bahwa pengembalian uang hasil tindak pidana yang dilakukan oleh Agus Condro merupakan suatu hal yang menambah “nilai plus” Agus Condro untuk lebih diringankan pidananya. Hal ini terlihat dari salah satu tuntutan Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkannya pidana tambahan berupa perampasan kekayaan atas Max Moein dan Rusman Lumban Toruan, sementara Agus Condro dan Williem Max Tutuarima tidak dituntut pidana tersebut. Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana penjara atas Agus Condro yang paling ringan di antara ketiga terdakwa lainnya. Majelis Hakim tidak menggunakan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 yang memperbolehkan hakim untuk mempertimbangkan keringanan pidana bagi pelaku yang menjadi saksi dalam perkara tindak pidana yang sama. Dalam hal ini, Majelis Hakim hanya menggunakan kewajibannya untuk mempertimbangkan sifat baik dan jahat terdakwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepadanya. Peran Agus Condro sebagai justice collaborator
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
197
dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagai hal meringankan dalam penjatuhan pidananya. Yang menjadi hal yang meringankan dari Agus Condro menurut Majelis Hakim sehubungan dengan perannya tersebut adalah keterusterangannya dalam mengakui tindak pidananya, pengembalian uang hasil tindak pidananya, dan perannya sebagai pelapor yang mengungkap tindak pidana ini. Selain Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim, Menteri Hukum dan HAM pada saat itu juga telah memiliki pandangan bahwa Agus Condro adalah berhak untuk diberi berbagai bentuk penghargaan. Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dengan tegas menyatakan bahwa Agus Condro adalah seorang justice collaborator karena yang bersangkutan memberikan informasi yang akurat dan informasi tersebut terbukti di persidangan, bekerja sama dengan aparat penegak hukum, yaitu dengan mengakui kesalahan dan mengembalikan uang hasil korupsinya, serta ditetapkan sebagai justice collaborator oleh LPSK.474. Untuk itu Agus Condro dapat diberikan hak-haknya sebagai narapidana, seperti remisi dan pembebasan bersyarat yang secara khusus dibedakan dari narapidana lainnya. Pembedaan ini misalnya terlihat dari bagaimana Agus Condro dapat diberikan remisi padahal saat itu sedang dilakukan pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, dan terorisme. Namun yang bersangkutan tetap dapat diberikan remisi karena perannya sebagai justice collaborator. Yang sangat disayangkan adalah bahwa upaya dari Jaksa Penuntut Umum untuk memberi penghargaan kepada Agus Condro tidak dilanjutkan secara signifikan oleh Majelis Hakim. Penuntut umum secara signifikan menuntut dijatuhkannya pidana kepada Agus Condro yang paling ringan di antara terdakwaterdakwa lain, bahkan berbeda hingga 1 tahun pidana penjara dari Max Moein dan Rusman Lumban Toruan. Tetapi dalam putusannya Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada Agus Condro yang tidak jauh berbeda dari ketiga rekannya, bahkan hanya berbeda 3 dan 5 bulan penjara. Majelis Hakim juga tidak menganggap bahwa pidana tambahan berupa perampasan kekayaan perlu untuk 474
s.n., “Wamenkum HAM: Kontrol Ketat, Bukan Obral Remisi dan Pembebasan Bersyarat”, http://bpsdm.kemenkumham.go.id/component/content/article/43-berita-hukum-danham/416-wamenkum-ham-kontrol-ketat-bukan-obral-remisi-dan-pembebasan-bersyarat-, diunduh pada tanggal 1 Juni 2012.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
198
dijatuhkan kepada Max Moein dan Rusman Lumban Toruan. Menurut mereka, pengembalian kekayaan dari Agus Condro hanya dilakukan demi kepuasan batinnya semata sehingga tidak perlu mengharuskan Max dan Rusman untuk melakukan hal serupa. Padahal tindakan pengembalian kekayaan tersebut merupakan salah satu bentuk bantuan yang dapat diberikan oleh seorang justice collaborator kepada aparat penegak hukum. Tidak signifikannya keringanan pidana yang dijatuhkan kepada Agus Condro sebagai justice collaborator ini pada dasarnya disebabkan karena pada saat itu pola pikir dari Majelis Hakim untuk memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berperan dalam pemberantasan tindak pidana yang serius dan teroganisir masih belum mendalam. Pemberian keringanan pidana tersebut dapat menjadi penghargaan bagi subyek-subyek seperti Agus Condro yang tidak hanya mau “menyerahkan diri”, tetapi juga “mengkhianati” kolega-koleganya dan akhirnya dikeluarkan dari tempatnya bekerja. Sebagaimana pendapat Goffman bahwa saat seorang anggota dari suatu kelompok mengungkap kegiatan ilegal dari organisasi mereka, maka orang tersebut akan menghadapi ketidakpercayaan, kemarahan, dan permusuhan. Hal ini sebagaimana pula diungkapkan oleh Georg Simmel, seorang sosiolog Jerman yang menyatakan bahwa dalam sebuah hubungan, pengkhianatan akan membuat si pengkhianat diasingkan dan dibuang dari hubungan tersebut.475 Pemberian keringanan kepada orang seperti Agus Condro ini tidak hanya menguntungkan yang bersangkutan saja, tetapi juga dapat mendorong masyarakat, khususnya mereka yang juga terlibat suatu tindak pidana serius dan terorganisir untuk berani membantu penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana tersebut. Seperti pernyataan Agus Condro sendiri bahwa ia sebenarnya sudah lama ingin melaporkan tindak pidana ini kepada pihak berwajib, namun pada akhirnya ia pendam lantaran merasa tidak enak dengan kolega-koleganya. Tentunya tidak hanya rekan-rekannya saja yang akan menghalangi orang-orang seperti Agus Condro ini untuk berani mengungkap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh organisasinya. Rasa takut akan dijatuhi hukuman sementara teman-temannya 475
Dina Siegel, “Secrecy, Betrayal and Crime”, loc.cit
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
199
belum tentu dijatuhi hukuman juga pasti akan menghantui seseorang yang ingin melaporkan tindak pidana yang dilakukannya bersama-sama teman-temannya tersebut. Apabila ternyata pada akhirnya ia diberi “imbalan” yang tidak jauh berbeda atau bahkan sama dengan rekannya yang “tutup mulut” tentulah akan membuat orang semakin tidak berminat untuk “buka mulut” karena selain dipidana, ia juga mendapat tekanan psikologis dengan dicap sebagai pengkhianat. Untuk menjadi seorang justice collaborator, yang bersangkutan tidak harus mengedepankan aspek moralitas dalam mengungkap tindak pidana yang dimaksud. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, baik whistleblower maupun justice collaborator, pada dasarnya tidak wajib untuk memiliki tujuan moral dalam mengungkap suatu tindak pidana. Pada hakikatnya aspek moralitas ini walaupun tidak diwajibkan, namun sangat penting karena niatan untuk mengungkap suatu muatan informasi yang sangat penting bagi kehidupan publik akan muncul jika didukung dengan moral yang kuat.476 Sebagaimana diungkapkan oleh UNODC, dalam penegakan hukum terhadap kejahatan terorganisir, jarang ada informan yang merupakan warga negara yang baik yang memberi bantuan semata-mata karena tujuan moral. Biasanya mereka memutuskan bekerja sama dengan penegak hukum dengan harapan akan mendapatkan keuntungankeuntungan bagi diri mereka sendiri, seperti menerima kekebalan penuntutan atau setidaknya keringanan hukuman penjara, serta perlindungan fisik bagi diri dan keluarga mereka.477 Dalam salah satu pernyataannya pada media massa, Agus Condro juga mengakui bahwa ia pada akhirnya mau melapor pada penegak hukum karena batinnya tertekan, serta ditambah dengan meruginya usaha kebun cabai dan rusaknya mobil yang dimodali dan dibelinya dengan uang hasil korupsi. Majelis Hakim menilai bahwa pengembalian uang hasil tindak pidana yang dilakukan oleh Agus Condro merupakan hak Agus Condro dan demi kepuasan batinnya. Terlepas dari apa sebenarnya tujuan dari Agus Condro untuk mengungkap kasus tersebut, apakah demi kepentingan masyarakat atau demi kepuasan batinnya, namun yang 476
Abdul Haris Semendawai, et.al., Memahami Whistleblower, op.cit., hlm. 7-8.
477
United Nations Office on Drugs and Crime, op.cit.,hlm. 19.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
200
terpenting adalah pentingnya informasi yang diberikannya sehingga secara signifikan dapat membantu menemukan pelaku lainnya dan/atau mengembalikan uang atau asset hasil tindak pidana tersebut. Pedoman bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana atas justice collaborator kini telah diatur dalam SEMA No. 04 Tahun 2011. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama juga menjadi pedoman bagi jaksa penuntut umum untuk mengajukan tuntutan pidana yang ringan pada justice collaborator agar dapat menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Hanya saja di dalam kedua peraturan tersebut tidak ada standar atau batas maksimum pidana sehingga membuka ruang interpretasi yang terbuka bagi hakim untuk menentukan besarnya pidana yang mereka angap pantas untuk dijatuhkan pada justice collaborator. Dalam kasus Agus Condro dapat dilihat bagaimana Jaksa Penuntut Umum sudah mengajukan tuntutan pidana yang paling ringan bagi Agus Condro di antara terdakwa lainnya. Majelis Hakim kemudian tetap memberikan keringanan pidana yang sebenarnya tidak signifikan, namun menurutnya sudah setimpal bagi kesalahan mereka. Hal seperti ini juga tidak dapat disalahkan karena memang tidak ada pedoman yang jelas mengenai bagaimana keringanan pidana yang signifikan tersebut. Hakim Agung Surya Jaya berpendapat bahwa saat ini lembaga peradilan sedang diuji untuk memberikan keadilan di tengan fenomena munculnya subyeksubyek seperti whistleblower dan justice collaborator. Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus mempertimbangkan perasaan keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam menghadapi fenomena seperti ini, kepekaan atau sensitivitas hakim dalam melihat perkembangan nilai keadilan yang tumbuh dalam masyarakat sangat dibutuhkan. Hakim juga tidak boleh menggunakan teori pemidanaan yang bersifat absolut atau pembalasan. Filosofi pemidanaan yang digunakan haruslah dapat mendorong lahirnya whistleblower lainnya untuk mengungkap kasus-kasus yang ada.478
478
Surya Jaya, op.cit.,hlm.5.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
201
Pemberian perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator di pengadilan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Salah satu hal yang harus dikaji menurut Surya Jaya adalah standar atau batas maksimum pidana yang diperlukan untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Menurutnya di dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 harus ditambahkan standar maksimum pidana guna memberikan pengurangan pidana yang signifikan. Standar pemidanaan ini diperlukan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya disparitas yang mencolok.479 Disparitas pidana dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang berkenaan dengan adanya perbedaan dalam penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya tanpa ada alasan pembenaran yang jelas.480 Disparitas pemidanaan dapat terjadi karena banyak faktor sebagaimana pendapat Beccaria yang mengakui bahwa setiap perkara pidana memiliki karakteristiknya sendiri yang disebabkan karena kondisi pelaku, korban, ataupun situasi yang ada pada saat tindak pidana terjadi. Di Indonesia, kebebasan hakim dalam memutus perkara pidana (judicial discretionary power) juga menimbulkan disparitas pemidanaan. Hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman memperoleh kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana yang ditanganinya secara bebas dari intervensi pihak manapun.481 Problema pemidanaan ini juga muncul karena dalam KUHP, hakim diberikan kewenangan yang begitu besar kepada hakim untuk menjatuhkan pidana yang rentang antara batas maksimal dan minimalnya begitu besar. Misalnya dalam pembunuhan, rentang pidana penjaranya adalah 1 hari sampai 15 tahun.482 Oleh karena itu seharusnya pada saat ini di mana sudah ada SEMA No. 04 Tahun 2011 yang menjadi pedoman bagi hakim, harus diatur dengan jelas 479
Ibid.
480
Hakristuti Hakrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, (disampaikan dalam Orasi Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003), hlm. 7 dalam Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm. 31. 481
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm. 32-33. 482
Ibid.,hlm. 43.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
202
mengenai standar pemidanaan tersebut. Sebagai perbandingan, Indonesia dapat mencontoh negara-negara lain yang juga memiliki ketentuan mengenai justice collaborator, seperti Italia dan Jerman. Kedua negara ini menetapkan berapa pengurangan pidana yang dapat diberikan sebagai penghargaan kepada justice collaborator. Di Italia pada umumnya, justice collaborator yang berstatus sebagai terdakwa dapat memperoleh pengurangan pidana sebesar sepertiga hingga dua pertiga dari total hukuman aslinya. Pengurangan ini berbeda tiap tindak pidananya sesuai dengan undang-undang masing-masing yang mengatur tindak pidana tersebut, yaitu bagi justice collaborator yang terlibat dalam kelompok mafia, perdagangan narkotika, dan penculikan. Contohnya dalam Law No. 203/1991 diatur mengenai dapat diberikannya pengurangan pidana sebesar sepertiga hingga setengah dari total hukuman atau pidana penjara 12-20 tahun sebagai pengganti pidana mati bagi anggota organisasi mafia yang mau berbalik membantu penegak hukum. Pengurangan pidana yang dapat diberikan oleh pengadilan kepada justice collaborator di Jerman bahkan dapat didasarkan pada Kitab Hukum Pidana mereka, yaitu dalam Pasal 49 ayat 1 StGB. Pengurangan tersebut adalah sebagai berikut.483 -
pidana penjara seumur hidup diganti dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun;
-
pidana penjara paling ringan 5 (lima) tahun dikurangi menjadi pidana penjara 2 (dua) tahun;
-
pidana penjara paling ringan 2 (dua) atau 3(tiga) tahun dikurangi menjadi pidana penjara 6 (enam) bulan;
-
pidana penjara paling ringan 1 (satu) tahun dikurangi menjadi pidana penjara 3 (tiga) bulan;
-
dalam hal lamanya pidana penjara telah mutlak ditetapkan (dengan angka baku), maka dapat dikenakan pidana penjara tidak lebih dari tiga perempatnya.
Dari pengaturan-pengaturan dalam kedua negara tersebut, Indonesia dapat mencontoh bagaimana agar hakim dan jaksa penuntut umum dapat menentukan 483
Criminal Code in the version promulgated on 13 November 1998, Federal Law Gazette [Bundesgesetzblatt] I, loc.cit.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
203
besarnya pidana yang pantas bagi justice collaborator. Dengan adanya pedoman yang jelas mengenai pengurangan pidana tersebut, diharapkan dapat mengurangi adanya disparitas pemidanaan dan dapat menarik justice collaborator lainnya untuk terus membantu aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana serius dan terorganisir.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
BAB 5 PENUTUP
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya mengenai
adanya justice collaborator dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau tindak pidana yang terorganisir yang bersedia untuk bekerjasama dengan penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai tindak pidana tersebut demi mendapatkan imbalan. Kehadiran saksi yang juga pelaku kejahatan sangat penting dalam pengungkapan suatu tindak pidana, khususnya dalam kejahatan terorganisir. Kejahatan serius dan terorganisir sangat sulit untuk dibongkar dan ditemukan pelaku utamanya dengan menggunakan metode investigasi yang konvensional atau tradisional. Kebanyakan dalam kasus-kasus kejahatan terorganisasi, para pelaku telah mengembangkan ikatan yang kuat satu sama lain di mana ikatan itu digunakan untuk menghadapi proses hukum. Kejahatan terorganisir begitu sulit dijangkau dan hampir tidak meninggalkan jejak pembuktian sehingga sangat diperlukan kehadiran orang dalam ini. 2. Strategisnya posisi justice collaborator dalam pengungkapan suatu tindak pidana sebelumnya telah diadopsi dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengakui peranan penting seorang justice collaborator. Sebagai pedoman lanjut dari Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
204
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
205
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku
yang Bekerja Sama (Justice
Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Komitmen ini kemudian dilanjutkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia dengan melahirkan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/0155/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Seperti Indonesia, Amerika, Italia, Belanda, dan Jerman juga telah memiliki regulasi mengenai perlindungan terhadap justice collaborator. Ketentuan mengenai perlindungan bagi justice collaborator di Italia diatur dalam Law No. 82 of 15 Maret 1991 yang berjudul “New provisions on kidnapping and on witness protection and protection and punishment of criminals collaborating with justice”, sedangkan di Jerman diatur dalam Kitab Hukum Pidana Jerman (Strafgesetzbuch atau StGB) maupun undangundang pidana lainnya. Sementara itu di Amerika Serikat dan Belanda, penanganan khusus atau penghargaan bagi justice collaborator tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi diatur melalui pedoman yang mengikat penuntut umum dalam melakukan perjanjian dengan saksi. Pedoman tersebut adalah Federal Sentencing Guidelines untuk penuntut umum Amerika Serikat dan Directive Pledges to Witnesses in Crminal Cases untuk penuntut umum Belanda. 3. Agus Condro sesungguhnya merupakan subyek yang dapat disebut sebagai justice collaborator berdasarkan SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Hanya saja pada saat dijatuhkannya pidana terhadap Agus Condro dan kawan-kawan pada tanggal 16 Juni 2011,
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
206
belum ada satu peraturan pun yang mengatur mengenai perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara khusus. Di tengah ketiadaan peraturan tersebut, pada saat Agus Condro didudukkan sebagai terdakwa dalam kasus ini telah ada pola pikir dasar dari penegak hukum mengenai
pentingnya
peranan
subyek-subyek
tersebut
dalam
pengungkapan suatu tindak pidana, khususnya kejahatan serius dan terorganisir.
5.2.
Saran 1. Pedoman mengenai perlindungan bagi justice collaborator yang kini telah diperjelas dalam SEMA No. 04 Tahun 2011 dan Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama hendaknya tidak hanya menjadi sekedar pemenuhan target saja, tetapi benar-benar diterapkan dalam menanggulangi kejahatan serius dan terorganisir yang kini terus berkembang di Indonesia. Semua jajaran penegak hukum harus benar-benar mendalami isi dan tujuan dibuatnya peraturan-peraturan ini, yaitu sebagai upaya memberantas tindak pidana serius dan terorganisir. Lembaga pemberantasan tindak pidana serius dan terorganisir yang terlibat dalam pembuatan peraturan ini memang hanya Komisi Pemberantasan Korupsi, namun hendaknya peraturan ini tidak hanya digunakan untuk tindak pidana korupsi saja, seperti yang sedang berkembang sekarang, tetapi juga tindak pidana serius dan terorganisir lain, seperti narkotika dan terorisme. Dalam penerapannya penegak hukum di Indonesia dapat mencontoh Belanda di mana walaupun justice collaborator juga dimanfaatkan untuk menumpas kejahatan terorganisir, namun tidak seperti negara lainnya Belanda sangat ketat dalam memberikan janji penanganan khusus dan penghargaan terhadap justice collaborator. 2. Pedoman bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana atas justice collaborator dalam SEMA No. 04 Tahun 2011. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama juga menjadi pedoman bagi jaksa penuntut umum untuk
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
207
mengajukan tuntutan pidana yang ringan pada justice collaborator agar dapat menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Hanya saja di dalam kedua peraturan tersebut tidak ada standar atau batas maksimum pidana sehingga membuka ruang interpretasi yang terbuka bagi hakim yang dapat berujung pada disparitas pemidanaan. Oleh karena itu, seharusnya komitmen untuk memberikan perlindungan kepada justice collaborator tersebut diperjelas dengan menetapkan standar pemidanaan tersebut. Sebagai perbandingan, Indonesia dapat mencontoh negara-negara lain yang juga memiliki ketentuan mengenai justice collaborator, seperti Italia dan Jerman. Kedua negara ini menetapkan berapa pengurangan pidana yang dapat diberikan sebagai penghargaan kepada justice collaborator. Dari pengaturan-pengaturan dalam kedua negara tersebut, Indonesia dapat mencontoh bagaimana agar hakim dan jaksa penuntut umum dapat menentukan besarnya pidana yang pantas bagi justice collaborator. Dengan adanya pedoman yang jelas mengenai pengurangan pidana tersebut, diharapkan dapat mengurangi adanya disparitas pemidanaan dan dapat menarik justice collaborator lainnya untuk terus membantu aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana serius dan terorganisir.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
208
DAFTAR REFERENSI
BUKU Abadinsky, Howard. Organized Crime, Ninth Edition. (Belmont: Wadsworth, Cengage Learning, 2007). Adji, Oemar Seno. Hukum-Hakim Pidana. (Jakarta: Erlangga, 1980). van Bemmelen, Mr.J.M. Diolah oleh Mr.D.E.Krantz. Hukum Pidana 2: Hukum Penitentier. Cet.2. (Bandung: Binacipta, 1991). Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. (Bandung: PT Alumni, 2006). Cooper, Simon. Peter Murphy dan John Beaumont. Cases and Materials on Evidence. Fourth Edition. (London: Blackstone Press Ltd., 1997). Council of Europe. The Protection of Witnesses and Collaborators of Justice: Recommendation R(2005)9 adopted by the Committee of the Ministers of Council of Europe on 20 April 2005 and Explanatory Memorandum. (Strasbourg: Council of Europe, 2005). Dandurand, Yvond. A Review of Selected Witness Protection Programs. Dipersiapkan untuk Research and National Coordination Organised Crime Divison Law Enforcement and Policy Baranch Public Safety Canada. (Ottawa: Department of Public Safety, 2010). Dworking, Ronald. Legal Research. (Daendalus, 1973). Dikutip dalam Dwinanto Agung Wibowo. “Peranan Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana di Indonesia”. (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2009). Fyfe, Nicholas dan James Sheptycki. Facilitating Witness Co-operation in Organised Crime Cases: An International Review. (London: Crown Research Development and Statistics Directorate Home Office, 2005). Hamzah, Andi. Ed. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986). . Hukum Acara Pidana Indonesia. Ed. Ke-2. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008). Harahap, M. Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
209
. Pembahasan dan Penerapan KUHAP. (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993). . Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Ed. Ke-2. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002). . Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Ed. Ke-2. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002). Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet. Ke-2. (Surabaya: Bayumedia Publishing, 2006). Jaya, Firman. Whistle Blower dan Justie Collaborator dalam Perspektif Hukum. (Jakarta: Penaku, 2012). Kaligis, O.C. Ed. Cross Examination: The Case of Hendra Rahardja. (Bandung: Alumni, 2000). Lamar, Holten. The Criminal Courts: Structures, Personnel, and Processes. (New York: McGraw-Hill,Inc., 1991). Mamudji, Sri. Et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005). Marpaung, Leden. Proses Penangan Perkara Pidana Bagian Pertama: Penyidikan dan Penyelidikan. (Jakarta: Sinar Grafika, 1992). Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya. (Bandung: Alumni, 2007). Murphy,Peter. Evidence. Sixth Edition. (London: Blackstone Press Ltd., 1997). Dalam Flora Dianti. “Tinjauan Yuridis Praktis Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Anak dalam Peradilan Pidana”. (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2004). Panggabean, Henry P. Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari: Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001). Prakoso, Djoko. Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing). (Yogyakarta: Liberty, 1988). Prints, Darwin. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1989). Prodjohamidjojo, Martiman. Komentar atas KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Cet.3. (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1990). Samosir, C. Djitsman. Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan. Cet.2. (Bandung: Binacipta, 1986).
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
210
Sastrawijaya, H.R. Sadili. Tindak-Tindak Pidana Subversi. (Jakarta: Pusdiklat Kejagung RI, 1989). Dikutip dalam Ninik Suparni. Tindak Pidana Subversi: Suatu Tinjauan Yuridis. (Jakarta: Sinar Grafika, 1991). Semendawai, Abdul Haris. Et. Al. Memahami Whistleblower. (Jakarta: LPSK, 2011). Soesilo, R. Hukum Acara Pidana: Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi Penegak Hukum. (Bandung: Karya Nusantara, 1982) . Teknik Berita Acara (proses verbal). Ilmu dan Bukti dan Laporan. (Bogor: Politeia, 1980). Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2010). Suparni, Ninik. Tindak Pidana Subversi: Suatu Tinjauan Yuridis. (Jakarta: Sinar Grafika, 1991). Sutarto, Sutyono. Hukum Acara Pidana Jilid I. (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1991). Sutherland, Edwin Hardin. White Collar Crime. (New York: Vail-Ballou Press, 1983). Tak, Peter J. P. De kroongetuige en de georganiseerde misdaad: een rechtsvergelijkend onderzoek naar de kroongetuige als instrument ter bestrijding van de georganiseerde misdaad in het Belgische, Deense, Duitse en Italiaanse recht. (Arnhem: Gouda Quint, 1994). Tierney, Kevin. How to be a witness. (New York: Oceana Publication, 1971). United Nations Office on Drugs and Crime. The Good Practices for the Protection of Witnesses in Criminal Proceedings involving Organized Crime. (New York: United Nations, 2008). Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. (Bandung: Lubuk Agung, 2011).
JURNAL Beernaert, Marie-Aude. “’Repentis’ ou ‘collaborateurs de justice’: quelle légitimé dans le système penal?”. Droit et sociètè. (2003/3-no 55). Hlm. 693-713. Schellenberg, James A. “Distributive Justice and Collaboration in Non-Zero-Sum Games”. The Journal; of Conflict Resolution, Vol. 8, No.2 (Juni, 1964). Hlm. 147-150.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
211
Setyono. “Eksistensi Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana”. Lex Jurnalica Vol. 5 No. 1, Desember 2007. Hlm. 29-37. Siegel, Dina. “Secrecy, Betrayal and Crime”. Utrecht Law Review Volume 7, Issues 3 (October 2011). Hlm. 107-119.
ESAI DAN MAKALAH Adji, Indriyanto Seno. “Prospek Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia). Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel dengan tema “Undang-Undang Perindungan Saksi dan Korban di Indonesia” yang diselenggarakan oleh United States Department of Justice, Office of Overseas Prosecution Development Assistance and Training (OPDAT). 12-14 Juni 2007. Dikutip dalam Dwinanto Agung Wibowo. “Peranan Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana di Indonesia”. Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2009. Crijns, J.H. “Witness Agreements in Dutch Criminal Law”. Makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH). Jakarta, 19-20 Juli 2011. Curtis, Mary B. “Whistleblower Mechanisms: A Study of the Perception of ‘Users’ and ‘Responders’”. The Dallas Chapter of the Institute of Internal Auditors (April 2006). Hilger, Johan P.W. “Principal Witness Regulations to Suppress Organized Crime in Germany”. Makalah disampaikan pada The United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI): Effective Methods to Combat Transnational Organized Crime in Criminal Justice Processes, The 116th International Training Course, 28 Agustus-15 November 2000). Dokumen dapat diakses pada http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No58/No58_13VE_ Hilger4.pdf Jaya, Surya. “Perlindungan Justice Collaborators dalam Proses di Pengadilan”. Makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Jakarta, 19-20 Juli 2011. Santosa, Mas Achmad. “Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators)”. Makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
212
bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH). Jakarta, 19-20 Juli 2011. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. “Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama”. Makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH). Jakarta, 19-20 Juli 2011). hlm. 9. Semendawai, Abdul Haris. “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Justice Collaborator dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi di Indonesia”. Makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH). Jakarta, 19-20 Juli 2011. Sutardjo, Rachmat Prio. “Bantuan Pemenuhan Hak Prosedural bagi Whistleblower yang Bersikap sebagai Justice Collaborator”. Makalah disampaikan pada International Workshop on The Protection of Whistleblower as Justice Collaborator yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH). Jakarta, 19-20 Juli 2011. Turone, Giuliano. “Legal Frameworks and Investigative Tools for Combating Organized Transnational Crime in the Italian Experience”. Makalah disampaikan pada The United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI) 134th International Training Course, 28 Agustus-6 Oktober 2006. Dokumen dapat diakses pada http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No73 /No73_10VE_Turone.pdf Zuccarelli, Fausto. “Handling and Protecting Witnesses and Collaborators of Justice: The European Experience”. Makalah disampaikan pada UNDPPOGAR Regional Workshop on Witness and Whistleblower Protection, Rabat, Maroko, 3 April 2009). Dokumen dapat diakses pada http://www.pogar.org/publications/agfd/GfDII/ACINET/Rabat09/zuccarel li3.eng.pdf
TESIS DAN DISERTASI Dianti, Flora. “Tinjauan Yuridis Praktis Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Anak dalam Peradilan Pidana”. (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2004). Hakrisnowo, Hakristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”. Disampaikan
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
213
dalam Orasi Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003). Dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan. (Bandung: Lubuk Agung, 2011). Wibowo, Dwinanto Agung. “Peranan Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana di Indonesia”. Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2009.
LAPORAN PENELITIAN, DOKUMEN KERJA, DAN NASKAH AKADEMIK UNDANG-UNDANG Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana (UU No, 8 Tahun 1981)”. Laporan dibuat oleh Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006 yang bekerja berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : G1-11.PR.09.03 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim-Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tahun Anggaran 2006. Council of Europe. “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Germany”. http://www.coe.int/t/dlapil/codexter/Source/pcpw_questionnaireReplies/P C-PW%202006%20reply%20-%20Germany.pdf. .“Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: Italy”. http://www.coe.int/t/dlapil/codexter/Source/pcpw_questionnaireReplies/P C-PW%202006%20reply%20-%20Italy.pdf. . “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: The Netherlands”. http://www.coe.int/t/dlapil/codexter/Source/pcpwquestionnaireReplies/PC -PW%202006%20reply%20-%20Netherlands.pdf. . “Replies to the Questionnaire on Protection of Witnesses and Pentiti in Relation to Acts of Terrorism: United States of America”. http://www.coe.int/t/dlapil/codexter/Source/pcpw_questionnaireReplies/P C-PW%202006%20reply%20-%20USA. pdf. Le Sénat de la République française. “Les repentis face á la justice pénale”. Les documents de travail du sénat: Serié legislation compare (Dokumen Kerja Senat: Seri Perbandingan Hukum). (Paris: Juni, 2003). Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. “Naskah Akademik Penyusunan Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”. Dibuat dalam rangka penyusunan Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, 4 November 2011).
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
214
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Albania. Law on the Justice Collaborators and Witness Protection. Law No. 9205, Dated 15/03/2004. Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No.76 Tahun 1982. TLN No. 3209. Indonesia. Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. UU No. 12 Tahun 1995. LN 1995/77. TLN NO. 3614. Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN 134/2001. TLN 4150. Indonesia. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. UU No. 12 Tahun 2011. LN No.82/2011. TLN No. 5234. Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PP No. 71 Tahun 2000. Indonesia. Keputusan Presiden tentang Remisi. KEPPRES No. 174 Tahun 1999. LN No.223 Tahun 1999. Jerman. Criminal Code in the version promulgated on 13 November 1998 (Federal Law Gazette [Bundesgesetzblatt] Part I). Last amended by Article 3 of the Law of 2 October 2009, (Federal Law Gazette I p. 3214). Strafgesetzbuches terjemahan Prof. Dr. Michael Bohlander. Jerman. Code of Criminal Procedure in the version published on 7 April 1987 (Federal Law Gazette [Bundesgesetzblatt] Part I). As most recently amended by Article 2 of the Act of 22 December 2010 (Federal Law Gazette [Bundesgesetzblatt] Part I p. 2300). Strafprozessorordnung terjemahan asli oleh Brian Duffett dan Monika Ebinger serta diperbaharui oleh Kathleen Müller-Rostin. Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Keputusan tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, KEPMEN Nomor M.09.HN.02.01 TAHUN 1999. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Peraturan Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. PERMEN No. M.HH-02.PK.05.06 TAHUN 2010.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
215
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/0155/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011. Mahkamah Agung Republik Indonesia. Surat Edaran tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA No. 4 Tahun 2011. Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Surat Edaran Jaksa Agung tentang Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, SEJA No. B-69/E/02/1997. United Nations. Convention Against Corruption. General Assembly resolution 58/4 of 31 October 2003. Konvensi ini diratifikasi dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). United Nations. Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC). General Assembly resolution 55/25 of 15 November 2000. Konvensi ini diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 42/PUU-VIII/2010, tanggal 3 September 2010 dalam Pengujian Pasal 10 ayat (2) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dengan pemohon Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan No. 14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST tanggal 16 Juni 2011.
ARTIKEL Boediarto, M. Ali. “Kasus Tokoh Buruh Marsinah; Saksi Mahkota Bertentangan dengan Hukum”. Varia Peradilan Majalah Hukum Bulanan Tahun X No. 119. Agustus 1995.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
216
. “Kasus Tokoh Buruh Marsinah; Saksi Mahkota Bertentangan dengan Hukum (Bagian Ketiga)”. Varia Peradilan Majalah Hukum Bulanan Tahun X No. 120. September 1995. . “Masalah Saksi Mahkota dalam Perkara Pidana”. Varia Peradilan Majalah Hukum Bulanan Tahun VI No 62. November 1990 Dixit, Avinash dan Barry Nalebuff. “Game Theory”. http://www.econlib.org/ library/ Enc/GameTheory.html. Diunduh pada 27 Maret 2012. Dixit,
Avinash dan Barry Nalebuff. “Prisoners’ Dilemma”. http://www.econlib.org/ library/Enc/ PrisonersDilemma.html. Diunduh pada 27 Maret 2012.
Fernando, Basil “Arti Penting Perlindungan Saksi,” Kesaksian Edisi II (Mei - Juni 2009). Heylighen, F. “The Prisoners' Dilemma”. http://pespmc1.vub.ac.be/PRISDIL. html. Diunduh Pada 27 Maret 2012. Lieberman, Jethro K. “Constitution of the United States" Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. (Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008). Septia, Anton. “Seperti Prabu yang Dipenjara Musuhnya”. Majalah Tempo. 13-20 Februari 2011. Hlm. 79-80. Wulandari, Widati dan Tristam P. Moeliono. “Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”. Kesaksian Edisi II (Mei - Juni 2009)
ARTIKEL INTERNET Agung, Yuniadhi. “Agus Tjondro Tak Sengaja Bocorkan Kasus Travel Cheque”. http://202.146.4.121/read/artikel/147960/sitemap.html. Diunduh pada tanggal 14 Mei 2012. Asri, Abdul Razak. “Aturan Whistleblower Prioritas Dalam Revisi UU PSK”. http://hukumonline.com/berita/baca/lt4c6028924862b/whistleblowerprioritas-dalam-revisi-uu-psk. Diunduh pada 30 November 2011. Ayuningtyas, Rita. “Agus Condro Jadi Saksi Sidang Hamka-Anthony”. http://nasional. kompas.com/read/2008/11/05/0826249/Agus.Condro.Jadi.Saksi.Sidang.H amka-Anthony. Diunduh pada 22 Mei 2012. Israely, Jeff. “Meet The Modern Mob”. http://www.time.com/time/magazine/ article/0,9171, 257072,00.html.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
217
Mahmuddin, Syamsul. “Saksi Meringankan buat Whistleblower”. http://www.forum keadilan.com/hukum.php?tid=222. Diunduh pada tanggal 14 Mei 2012. Margianto, Heru. “Bebas Bersyarat Agus Condro, Penghargaan bagi "Whistle Blower"“. http://nasional.kompas.com/read/2011/10/26/00294966/Bebas.Bersyarat. Agus.Condro. Penghargaan.bagi.Whistle.Blower. Diunduh pada 3 Januari 2011. Margianto, Heru. “LPSK Ajukan Remisi bagi Agus Condro”. http://nasional.kompas.com/read/2011/08/05/1456420/LPSK.Ajukan.Rem isi.bagi.Agus.Condro . Diunduh pada 3 Januari 2011. Rastika, Icha dan Heru Margianto. “Penyandang Dana Cek Perjalanan Belum Terungkap”. http://nasional.kompas.com/read/2012/05/09/14520376/Penyandang.Dana .Cek.Perjal anan.Belum.Terungkap. Diunduh pada tanggal 5 Juni 2012. Rastika,
Icha dan Tri Wahono. “Agus Condro Bebas Bersyarat”. http://nasional.kompas.com/read/2011/10/25/22333659 . Diunduh pada tanggal 22 Mei 2012.
Ratya, Mega Putra. “Agus Condro Bebas Bersyarat”. http://news.detik .com/read/2011/10/25/192815/1752489/10/agus-condro-bebasbersyarat?nd992203605. Diunduh pada tanggal 22 Mei 2012. Safitri,
Dewi. “Remisi Hanya untuk Whistle Blower”. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/10/111031_corrup tionparolesystem.shtml. Diunduh pada tanggal 5 Juni 2012.
Setyarso, Budi. Et. Al. “Terseret Durian Runtuh”. http://majalah. tempointeraktif.com/id/arsip/2010/09/06/LU/mbm.20100906.LU134551.i d.html. Diunduh pada tanggl 25 Mei 2012. Sudarsono, Ratih P. dan Marcus Suprihadi. “Pelapor Kejahatannya Jangan Dipenjara”. http://nasional.kompas.com/read/2011/08/03/13123373/ Pelapor.Kejahatanya.Jangan. Dipenjara. Diunduh pada 14 Mei 2012. Sudarsono, Ratih P. dan Robert Adhi Kusumaputra. “Agus Condro akan Pindah ke LP Rawabelang”. http://nasional.kompas.com/read/2011/08/02/ 1134486/Agus.Condro.akan. Pindah. ke.LP.Rawabelang. Diunduh pada tanggal 14 Mei 2012. Yunanto, Reza. “Agus Condro akan Bersaksi di Sidang Dudhi”. http://news.detik.com/read/2010/03/19/143043/1321247/10/-agus-condroakan-bersaksi-di-sidang-dudhie. Diunduh pada tanggal 22 Mei 2012.
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
218
s.n.
“10 Politisi Golkar Batal Bebas“. http://haluankepri.com/news /nasional/19910-10-politisi-golkar-batal-bebas-.html. Diunduh pada tanggal 31 Mei 2012.
s.n. “Agus Condro Dapat Remisi Satu Bulan”. http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/news/2011/08/17/93940. Diunduh pada tanggal 22 Mei 2012. s.n. “Agus Condro Kirim Surat ke KPK”. http://edukasi.kompas.com/read/2011 /07/08/17452289/Agus.Condro.Kirim.Surat.ke.KPK. Diunduh pada 14 Juni 2012. s.n. “Bebas Bersyarat Agus Condro, Penghargaan bagi Whistleblower”. http://nasional.kompas.com/read/2011/10/26/00294966/Bebas.Bersyarat. Agus.Condro.Penghargaan.bagi.Whistle.Blower. Diunduh pada tanggal 14 Mei 2012. s.n.
“Dewan Gubernur”. http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Dewan+ Gubernur/darmin.htm. Diunduh pada tanggal 5 Juni 2012.
s.n. “Miranda Tetap Bungkam Soal Cek Pelawat”.http://www.tempo.co/ read/fokus/2012/04/09/2338/Miranda-Tetap-Bungkam-Soal-Cek-Pelawat. Diunduh pada tanggal 25 Mei 2012. s.n. “Politisi Golkar Diadili”. http://www.suarapembaruan.com/home/politisigolkar-diadili/5385. Diunduh pada tanggal 31 Mei 2012. s.n. “Si "Peniup Pluit”. Agus Condro Dalam Perlindungan LPSK”. http://www. komhukum.com/kriminal-feed-9075. Diunduh pada tanggal 6 Juni 2012. s.n. “Wajah Nunun Terpampang di Situs Interpol ”. http://www.tempo .co/read/news/2011/06/14/063340529/Wajah-Nunun-Terpampang-diSitus-Interpol. Diunduh pada tanggal 5 Juni 2012. s.n. “Wamenkum HAM: Kontrol Ketat, Bukan Obral Remisi dan Pembebasan Bersyarat“.http://bpsdm.kemenkumham.go.id/component/content/article/4 3-berita-hukum-dan-ham/416-wamenkum-ham-kontrol-ketat-bukan-obral -remisi-dan-pembebasan-bersyarat-. Diunduh pada tanggal 1 Juni 2012.
KAMUS DAN ENSIKLOPEDIA Algra. N.E. dan H.R.W. Gokkel, Fockema Andreae Juridisch Woorden Boek, Zesde Druk. (Groningen: Wolters, 1948). . Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae: Belanda Indonesia [Fockema Andrea’s Juridisch Woorden Boek]. Cet. Ke-1. Diterjemahkan oleh Saleh Adi, A. Teloeki, dan Boerhanoeddin St. Batoeah. (Jakarta: Binacipta, 1983).
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
219
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Ke- 3. Cet, ke-1. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001). Garner, Bryan A. Ed. Black’s Law Dictionary: Seventh Edition. (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1999). Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. (Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008).
Universitas Indonesia
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
LAMPIRAN
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
LAMPIRAN 1
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
LAMPIRAN 1 (sambungan)
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
LAMPIRAN 1 (sambungan)
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
LAMPIRAN 2
PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR, SAKSI PELAPOR DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
:
a. bahwa keberadaan pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat membantu penegak hukum dalam upaya mengetahui, menemukan kejelasan dan mengungkap tindak pidana, termasuk pelaku utama suatu tindak pidana; b. bahwa ketentuan yang ada saat ini belum sepenuhnya
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
dapat memberikan jaminan dan perlindungan yang memadai bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama; c. bahwa perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama adalah merupakan bagian dari Program Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilaksanakan dengan melibatkan seluruh lembaga yang terkait dengan proses penyelesaian perkara pidana; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk peraturan bersama tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang–Undang
Hukum
Acara
Pidana,
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 2. Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614); 3. Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150); 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 5. Undang-Undang
Nomor
41
Tahun
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
1999
tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 6. Undang–Undang
Nomor
2
Tahun
2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); 7. Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250); 8. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284); 9. Undang-Undang Kejaksaan
Nomor
Republik
16 Tahun 2004 tentang
Indonesia
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401); 10. Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
2006
tentang
Pengesahan United Nation Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620); 11. Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635); 12. Undang-Undang Nomor
21 Tahun
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
2007 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720); 13. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009 tentang Pengesahan
United
Nations
Convention
Against
Transnational
Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang
Tindak
Pidana
Transnasional
yang
Terorganisasi) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960); 14. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062); 15. Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
2010
tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang
Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3995); 17. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011;
MEMUTUSKAN :
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
Menetapkan
: PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA, DAN KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR, SAKSI PELAPOR DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini, yang dimaksud dengan: 1. Pelapor adalah orang yang mengetahui dan memberikan laporan serta informasi tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana tertentu kepada penegak hukum dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. 2. Saksi Pelapor adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami atau terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya suatu tindak pidana kepada pejabat yang berwenang untuk diusut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3. Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. 4. Tindak pidana serius dan/atau terorganisir adalah tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan masyarakat luas. 5. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak, dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman dan penghargaan kepada Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
Pasal 2 (1) Peraturan Bersama ini dimaksudkan untuk: a. menyamakan pandangan dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir; dan b. memberikan pedoman bagi para penegak hukum dalam melakukan koordinasi dan kerjasama di bidang pemberian perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam perkara pidana. (2) Peraturan Bersama ini bertujuan untuk: a. mewujudkan kerjasama dan sinergitas antar aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana serius dan terorganisir melalui upaya mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi Pelapor, Saksi Pelapor dan/atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam perkara tindak pidana; b. menciptakan rasa aman baik dari tekanan fisik maupun psikis dan pemberian penghargaan bagi warga masyarakat yang mengetahui tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir untuk melaporkan atau memberikan keterangan kepada aparat penegak hukum; dan c. membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir dan membantu dalam pengembalian aset hasil tindak pidana secara efektif. BAB II SYARAT MENDAPATKAN PERLINDUNGAN Pasal 3 Syarat untuk mendapatkan perlindungan bagi Pelapor dan Saksi Pelapor adalah: a. adanya informasi penting yang diperlukan dalam mengungkap terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir; b. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman atau tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap Pelapor dan Saksi Pelapor atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya; dan c. laporan tentang adanya ancaman atau tekanan tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tahap penanganannya dan dibuatkan berita acara penerimaan laporan.
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
Pasal 4 Syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah sebagai berikut: a. b. c. d.
e.
tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir; memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir; bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya; kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
BAB III BENTUK PERLINDUNGAN Pasal 5 (1)
(2)
(3)
Pelapor dan Saksi Pelapor berhak untuk mendapatkan perlindungan secara fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelapor dan Saksi Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana, administrasi maupun perdata atas laporan atau keterangan yang diberikan di hadapan aparat penegak hukum sesuai dengan tingkat tahapan penanganan perkaranya kecuali dengan sengaja memberikan keterangan atau laporan yang tidak benar. Dalam hal Pelapor tindak pidana kemudian dilaporkan balik oleh terlapor, maka proses penyidikan dan penuntutannya atas laporan Pelapor didahulukan dari laporan terlapor sampai dengan adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 6
(1) Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan:
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
a. perlindungan fisik dan psikis; b. perlindungan hukum; c. penanganan secara khusus; dan d. penghargaan. (2) Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat berupa: a. pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka, terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan; b. pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan atau diungkap; c. penundaan penuntutan atas dirinya; d. penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya; dan/atau e. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya. (4) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa: a. keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan; dan/atau b. pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah seorang narapidana.
BAB IV MEKANISME UNTUK MENDAPATKAN PERLINDUNGAN DAN MEMBATALKAN PERLINDUNGAN Pasal 7
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
(1)
(2)
(3)
Perlindungan fisik dan psikis bagi Pelapor atau Saksi Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diajukan oleh Pelapor atau Saksi Pelapor kepada LPSK, atau kepada aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim) untuk diteruskan kepada LPSK, atau dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam hal permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud ayat (1) diterima oleh LPSK, maka LPSK wajib memberikan perlindungan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum. Dalam hal permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud ayat (1) diterima oleh aparat penegak hukum, maka aparat penegak hukum wajib berkoordinasi dengan LPSK.
Pasal 8 (1) Perlindungan fisik dan psikis bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim) kepada LPSK. (2) Perlindungan fisik dan psikis bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh LPSK berdasarkan rekomendasi dari aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim). (3) Dalam hal rekomendasi aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima oleh LPSK, maka LPSK wajib memberikan perlindungan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum serta pihak-pihak terkait. Pasal 9 Perlindungan dalam bentuk penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) bagi Saksi Pelaku yang bekerjasama diberikan setelah adanya persetujuan dari aparat penegak hukum sesuai dengan tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim).
Pasal 10 (1)
Perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
(2)
(3)
a. permohonan diajukan oleh pelaku sendiri kepada Jaksa Agung atau Pimpinan KPK; b. LPSK dapat mengajukan rekomendasi terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama untuk kemudian dipertimbangkan oleh Jaksa Agung atau Pimpinan KPK; c. permohonan memuat identitas Saksi Pelaku yang Bekerjasama, alasan dan bentuk penghargaan yang diharapkan; d. Jaksa Agung atau Pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan atau menolak memberikan penghargaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan permohonan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penuntut Umum wajib menyatakan dalam tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam membantu proses penegakan hukum agar dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam hal penghargaan berupa pemberian remisi dan/atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (4) huruf b, maka permohonan diajukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Jaksa Agung, Pimpinan KPK dan/atau LPSK kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk kemudian diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11
(1) Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dibatalkan apabila berdasarkan penilaian dari aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya yang bersangkutan telah dengan sengaja memberikan keterangan atau laporan yang tidak benar. (2) Terhadap Pelapor, Saksi Pelapor atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang memberikan keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. (3) Pembatalan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan tahap penanganannya kepada pejabat yang menerbitkan keputusan pemberian perlindungan dan pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pembatalan dimakud. (4) Apabila dalam persidangan ternyata tindak pidana yang diungkapkan oleh Pelapor, Saksi Pelapor atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak terbukti (terdakwa dibebaskan) maka hal tersebut tidak membatalkan perlindungan atau penghargaan yang telah atau akan diberikan kepadanya.
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
BAB V SOSIALISASI Pasal 12 Sosialisasi pelaksanaan Peraturan Bersama ini menjadi tanggungjawab masingmasing institusi yang terkait. BAB VI PEMBIAYAAN Pasal 13 (1) Segala pembiayaan yang timbul dalam pelaksanaan Peraturan Bersama ini menjadi tanggung jawab masing-masing institusi sesuai dengan tahapan proses penanganan perkara pidana. (2) Dalam hal pelaksanaan perlindungan terhadap Pelapor, Saksi Pelapor dan/atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang membutuhkan pembiayaan dan sumberdaya lainnya maka dapat dibebankan kepada LPSK.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 (1)
(2)
(3)
Hal-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Bersama ini akan diatur lebih lanjut oleh Pimpinan institusi terkait sesuai ruang lingkup kewenangannya selama tidak bertentangan dengan Peraturan Bersama ini. Dalam hal terdapat ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Bersama ini ternyata bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi yang dinyatakan berlaku. Peraturan Bersama ini berlaku sejak ditetapkan.
Ditetapkan di : J a k a r t a Pada Tanggal : 14 D e s e m b e r 2 011
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012
MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
BASRIEF ARIEF
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA
DRS. TIMUR PRADOPO JENDRAL POLISI
M. BUSYRO MUQODDAS
KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA
ABDUL HARIS SEMENDAWAI
Konsep dan ..., Maria Yudithia Bayu Hapsari, FH UI, 2012