UNIVERSITAS INDONESIA
KONOTASI DAN IDEOLOGI PEREMPUAN DALAM “OPINI” SERAMBI INDONESIA:ANALISIS SEMIOTIK
TESIS
Yang Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Perolehan Gelar Magister Humaniora Pada Progam Studi Linguistik
IKA APRIANI FATA 0806481103
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGAM STUDI LINGUISTIK DEPOK JULI 2011
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari saya melakukan tindakan plagiarism, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia terhadap saya.
DEPOK, 18 JULI 2011
Ika Apriani Fata
ii Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini. Nama NPM Progam Studi Departemen Fakultas Jenis karya
:Ika Apriani Fata :0806481103 :Linguistik :Linguistik :Ilmu pengetahuan Budaya :Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Konotasi dan ideologi perempuan dalam “Opini” Serambi Indonesia:Analisis Semiotik Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
:
Depok
Pada Tanggal : 18 Juli 2011 Yang menyatakan
( Ika Apriani Fata)
iii Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, Dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk Telah saya nyatakan dengan benar.
NAMA
: Ika Apriani Fata
NPM
: 0806481103
Tanda Tangan
:
TANGGAL
: 18 Juli 2011
iv Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
HALAMAN PENGESAHAN Tesis yang diajukan oleh : Nama : Ika Apriani Fata NPM : 0806481103 Progam Studi : Linguistik Judul :Konotasi dan ideologi perempuan dalam “Opini” Serambi Indonesia:Analisis semiotik Ini telah berhasil dipertahankan di hadapan dewan penguji dan Diterima sebagai sebagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora Pada Progam Studi Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Tommy Christomy, Ph. D.
( …………………………)
Penguji
: M. Umar Muslim, Ph. D.
(…………….…………… )
Penguji
: Dr. Lilie Suratminto
( ………….…...………… )
Ditetapkan di : Depok Tanggal
:
Juli 2011
oleh Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Dr.Bambang Wibawarta S.S., M.A. NIP 196510231990031002
v Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Alhamdulillah, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora Program Studi Linguistik pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini. 1) Bapak Tommy Christomy Ph.D., selaku pembimbing yang senantiasa menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini dengan penuh kesabaran, 2)
Bapak M.Umar Muslim, Ph.D., Ketua Program Studi Linguistik,
sekaligus penguji yang memberikan banyak saran, kritik, dan masukan demi perbaikan tesis ini sehingga menjadi lebih baik, 3) Bapak Dr. Lilie Suratminto., penguji sekaligus dosen semiotik yang memberikan banyak ilmu tentang semiotik, ide, saran dan perbaikan dalam pengembangan penulisan tesis ini, 4) Kedua orang tua dan adik-adik saya yang selalu memberikan doa dan segala dukungan baik moral maupun materiil demi kelancaran penyusunan karya tulis ini, 5) Seluruh dosen dan karyawan di Program Pascasarjana FIB UI yang selalu memberikan semangat dan menyediakan waktu bagi saya untuk bertanya dan berdiskusi seputar bidang keilmuan yang berhubungan dengan objek kajian dalam penelitian ini, 6) Teman-teman di Program Pascasarjana FIB UI angkatan 2009. Semoga segala ilmu, tukar pikiran dan saran mendapat balasan dan berkah dari-Nya, 7) Rekan-rekan editor yang selalu memberikan saran untuk perbaikan dalam penulisan tesis ini, 8) Serambi Indonesia, selaku pihak yang telah bersedia mengizinkan peneliti untuk mengumpulkan data dari surat kabarnya untuk penulisan tugas karya ilmiah ini, vi Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
9) Kepada seorang abang pencerah jiwa, pengisi relung hati yang telah setia menemani, membantu serta memberi perhatian agar tidak menyerah dalam menyelesaikan tesis ini Hanya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang dapat membalas kebaikan pihak-pihak yang telah berjasa di dalam penyusunan tesis ini. Saya menyadari bahwa tesis ini tidak sempuma dan masih terdapat kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat bagi pengembangan tesis ini sehingga menjadi lebih baik. Akhirnya, semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca khususnya peminat semiotik dan pemberitaan.
Jakarta, 18 Juli 2011
Penulis
vii Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini. Nama NPM Progam Studi Departemen Fakultas Jenis karya Demi
: Ika Apriani Fata : 0806481103 : Linguistik : Linguistik : Ilmu pengetahuan Budaya : Tesis
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
menyetujui
untuk
memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Konotasi dan ideologi perempuan dalam “Opini” Serambi Indonesia : Analisis Semiotik Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya
tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Depok
Pada Tanggal : 18 Juli 2011 Yang menyatakan
( Ika Apriani Fata)
viii Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
ABSTRAK Nama : Ika Apriani Fata Progam Studi : Linguistik Judul :Konotasi dan ideologi perempuan dalam “Opini” Serambi Indonesia:Analisis Semiotik Tesis ini merupakan kajian semiologi yang dikaitkan dengan perempuan. Penelitian kualitatif ini membahas teori konotasi dan ideologi Barthes untuk melihat makna perempuan. Korpus berasal dari rubrik “Opini” yang berjenis tulisan narasi dan argumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penanda (signifier) konotasi perempuan menggunakan pendekatan petanda (signified) tematis, yaitu benda hidup, benda mati, sifat, dan aktivitas. Sementara itu, hasil temuan ideologi berdasarkan tematis tersebut menunjukkan perempuan dipandang secara positif dan negatif. Pandangan positif terdapat dalam tema konotasi sifat dan aktivitas, sedangkan pandangan negatif terdapat dalam tema benda hidup dan benda mati. Pandangan negatif lebih dominan dibandingkan pandangan positif terhadap perempuan.
Kata kunci: Semiotik, Konotasi, Ideologi, Perempuan, Barthes
ix Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
ABSTRACT Name : Ika Apriani Fata Majority : Linguistics Title :Connotation and ideology of women in “Opini” Serambi Indonesia: semiotic analysis. This thesis is a semiological research associated with women. This qualitative study discusses Barthes’ theory of connotation and ideology related to women. The corpus was taken from a colomn named ”Opini” Serambi Indonesia. The corpus was a combination between narrative’s and argumentative’s writing type. The result showed up that signifier’s connotation of women were discussed by the signifieds of four kinds. The four kinds were living thing, inanimate thing, adjective and activity. Meanwhile based on four kinds theme the result of ideology told that women were viewed in negative’s and positive’s perspective. The negative’s perspective was on adjective and activity theme, and positive’s ones was on living and inanimate thing. The negative’s perspective of women were definitely dominant rather than positive’s ones.
Keywords: Semiotics, Connotation, Ideology, Woman, Barthes
x Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISM ....................................ii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...............................................iv HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................v KATA PENGANTAR .........................................................................................vi KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .........................viii ABSTRAK ...........................................................................................................ix ABSTRACT ………………………………………………………….…………..x DAFTAR ISI ……………………………………………………….……………xi BAB I
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8
BAB 2
Latar Belakang ……………………………………………………1 Rumusan Masalah…………………………………….………….. 5 Tujuan Penelitian ………………………………………………... 6 Kemaknawian penelitian …………………………………………6 Ruang Lingkup …………………………………………………..6 Kerangka konseptual... ……………………………………………7 Metode Penelitian …………………………………………….…..8 Sistematika Penulisan …………..…………………………………9
LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar ………………………………………………………...11 2.2 Tinjauan Pustaka………………………………………………….. 2.3 Denotasi ……………………………………………………….…15 2.4 Konotasi …………………………………………………………16 2.5 Ideologi ………………………………………………………….18 2.6 Rubrik ………………………………………………………….19 2.6.1.Korpus……………………….……………………..………….8 2.6.1.1 Definisi Korpus ……….………………………….……..8 2.6.1.2 Pengumpulan Korpus……………………………………8 2.6.1.3 Metode Analisis Korpus ………………………………..11
xi Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
BAB 3 KONOTASI PEREMPUAN DALAM “OPINI” 3.1 Pengantar ………………………………………………………….20 3.2 Hewan AKP 1 3.2.1 Rubrik 1 ………………………………………………… .21 3.2.2 Rubrik 2 …………………………………………………...23 3.3 Pakaian AKP 2 ………………………………………………………25 3.3.1 Rubrik 3 …………………………………………………...25 3.3.2 Rubrik 4……………………………………………………26 3.3.3 Rubrik 5 …………………………………………………..28 3.4 Laut AKP 3 Rubrik 6………………………………………………………….30 3.5 Alat AKP 4 3.5.1 Rubrik 7 …………………………………………………...32 3.5.2 Rubrik 8 ……………………………………………………35 3.5.3 Rubrik 9 ……………………………………………………37 3.5.4 Rubrik 10 ………………………………………………….40 3.6 Kedokteran AKP 5 3.6.1 Rubrik 11 …………………………………………………..43 3.6.2 Rubrik 12 ………………………………………………….45 3.7 Pameran AKP 6 Rubrik 13 ………………………………………………………..46 3.8 Kekerasan AKP 7 3.8.1 Rubrik 14…………………………………………………..49 3.8.2 Rubrik 15 ………………………………………………… 51 3.8.3 Rubrik 16 ……………………………………..……………52 3.9 Ekonomi AKP 8 3.9.1 Rubrik 17 …………………………………………………..53 3.9.2 Rubrik 18 …………………………………………………..55 3.9.3 Rubrik 19 ………….……………………………………….57 3.10 Benih AKP 9 Rubrik 20 ………………………………………………………..59 3.11 Profesi AKP 10 Rubrik 21 ………………………………………………………..62 3.12 Makanan AKP 11 Rubrik 22 ………………………………………………………..64 3.13 Keperkasaan AKP 12 Rubrik 23 ………………………………………………………..67 3.14 Komoditas AKP 13 Rubrik 24 ………………………………………………………..70 3.15 Aktivitas AKP 14 3.15.1 Rubrik 25 …………………………………………………72 3.15.2 Rubrik 26 ………………………..……………………….74 3.16 Kecenderungan Konotasi …………………………………..……...76 BAB 4 IDEOLOGI PEREMPUAN DALAM “OPINI” 4.1 Pengantar ………………………………………………………….79 xii Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
4.2 Hewan AIP 1 4.2.1 Rubrik 1 ………………………………………………… .79 4.2.2 Rubrik 2 …………………………………………………...83 4.4 Pakaian AIP 2 4.4.1 Rubrik 3 ……………………………………………………85 4.4.2 Rubrik 4…………………………………………………….87 4.4.4 Rubrik 5 …………………………………………………..88 4.4 Laut AIP 3 Rubrik 6………………………………………………………….88 4.5 Alat AIP 4 4.5.1 Rubrik 7……………………………………………………89 4.5.2 Rubrik 8……………………………………………………89 4.5.4 Rubrik 9………………………………………………..…..90 4.5.4 Rubrik 10…………………………………………………..90 4.6 Kedokteran AIP 5 4.6.1 Rubrik 11 …………………………………………………91 4.6.2 rubrik 12…………………………………………………...92 4.7 Pameran AIP 6 Rubrik 13…………………………………………………………92 4.8 Kekerasan AIP 7 4.8.1 Rubrik 14…………………………………………………..92 4.8.2 Rubrik 15…………………………………………….....….93 4.8.3 Rubrik 16…………………………………………………..93 4.9 Ekonomi AIP 8 4.9.1 Rubrik 17………………………………………………......94 4.9.2 Rubrik 18………………………………………..…………94 4.9.3 Rubrik 19…………………………………………………..94 4.10 Benih AIP 9 Rubrik 20……………..………………………………………….94 4.11 Profesi AIP 10 Rubrik 21……………..………………………………………….94 4.12 Makanan AIP 11 Rubrik 22………………..……………………………………….96 4.13 Keperkasaan AIP 12 Rubrik 23……………… ……………………………………….96 4.14 Komoditas AIP 13 Rubrik 24………….. ……………………………………………97 4.15 Aktivitas AIP 14 4.15.1 Rubrik 25 …………………………………………………97 4.15.2 Rubrik 26 …………………………………………………97 4.16 Kecenderungan Ideologi …………………………...………………98 BAB 5 Simpulan….………………………………….......................................102 DAFTAR SINGKATAN ………………………..……………………………103 DAFTAR PUSTAKA ………….……………………………………………..104 LAMPIRAN xiii Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perempuan di Aceh mengalami peristiwa penting mulai dari Konflik TNI-
GAM, referendum, tsunami, pemilu setelah tsunami, perjanjian Helsinski, sampai penegakan Undang-undang Syariat Islam. Aceh berupaya memulihkan diri setelah mengalami peristiwa yang tidak biasa selama kurun waktu 2004 hingga 2010. Sejak kurun waktu tersebut pemberitaan tentang Aceh berfokus pada pemulihan kondisi masyarakat. Pemulihan kondisi masyarakat yang dimaksud adalah usaha seluruh masyarakat Aceh untuk bangkit
setelah menjadi korban atas segala
musibah yang telah dialami. Pada kenyataannya, korban konflik sosial dan musibah di Aceh adalah perempuan. Pada saat konflik TNI-GAM misalnya, perempuan Aceh menjadi bagian yang penting dalam rumah tangga karena ruang gerak pria ketika itu terbatas. Pria menjadi pihak yang dicurigai dan dimata-matai oleh TNI. Saat itu, tidak perlu diragukan lagi, perempuan harus mengambil alih kewajiban menjadi kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah keluarga. Di samping itu, perempuan tetap melaksanakan tugas sebagai istri dan ibu bagi suami dan anak-anak mereka. Pascatsunami, perempuan Aceh banyak menjadi yatim piatu, janda, bahkan menjadi orang tua tunggal secara mendadak. Keterkejutan perempuan dalam menjalani peran yang mau tidak mau harus dipikulnya tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah perempuan Aceh. Di satu pihak, sosok perempuan yang awalnya berada di balik layar dan mendukung kegiatan suami berubah drastis menjadi sosok terdepan dalam membiayai dan membesarkan keluarga. Terlebih lagi perempuan yang menjadi bagian dari korban tsunami ini juga mendapat guncangan psikis yang sangat berat. Pada saat perjanjian Helsinki, salah satu poin yang diterapkan oleh pemerintah Aceh adalah penegakan Undang-undang Syariat Islam. Pada hakikatnya rancangan penerapan ini dirasakan sesuai dengan keinginan
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
2
masyarakat Aceh. Kendati demikian, pada kenyataannya syariat Islam membawa dampak yang cukup besar dalam kehidupan bermasyarakat, terutama perempuan. Di samping itu, perempuan menjadi sorotan mutlak penegakan Undang-undang Syariat Islam. Kewajiban menutup aurat bagi perempuan dengan dalil naqli (AlQur’an dan Hadits) memaksa perempuan untuk menutup aurat dengan berpakaian muslimah secara lahiriah, tetapi bukan berasal dari niat pribadi (motivasi internal). Keterpaksaan perempuan untuk menutup aurat secara benar belum berasal dari niat pribadi. Sementara itu, Aceh telah menjadi daerah syariat Islam, maka perempuan muslim Aceh wajib berjilbab. Perempuan Aceh diwajibkan memakai pakaian muslimah yang tidak ketat dan jilbab panjang dalam kesehariaannya. Sementara itu, pria tidak mendapatkan penekanan apapun dalam urusan berpakaian berdasarkan Undang-undang Syariat Islam kecuali pelaksanaan kewajiban beribadah. Di sisi lain, akhlak yang seharusnya menjadi bagian penting, tidak terekspos dan tidak menjadi perhatian undang-undang Islam. Bukan hal aneh, jika ada perempuan yang menutup aurat ketika berada di Aceh, tetapi ketika keluar dari Aceh ia membuka pakaian muslimahnya (Alaidinsyah, 2009:12). Perempuan yang tidak menutup aurat sesuai Undangundang akan mendapat sanksi yang diberikan oleh Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah). Jenis sanksi bemacam-macam bergantung pada tingkat dan jenis kesalahannya. Berdasarkan sejarah, beberapa pemimpin di Aceh adalah kaum perempuan. Misalnya Cut Nyak Dhien, Malahayati, Ratu Sulthanah Safiatuddin, dan Cut Meutia. Dalam kaitannya dengan konteks perempuan yang diteliti, Aceh memiliki berbagai latar belakang mulai dari sejarah, agama, budaya, dan politik sehingga perempuan Aceh memiliki sebuah tempat spesial untuk dikaji sejauh mana pemberitaannya. Aceh memiliki pandangan tersendiri tentang perempuan yang salah satunya tertuang dalam sejarah Aceh. Perempuan menjadi sangat menarik di mata dan pandangan setiap orang. Selain itu, belakangan ini media massa memberikan porsi yang cukup banyak untuk mengekspresikan perempuan. Ekspresi adalah wahana yang memiliki
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
3
makna. Wahana yang memiliki makna dapat digambarkan oleh tulisan dan berita. Wahana yang memiliki makna ini dapat dibahas untuk menentukan jenis ekpresi yang digunakan. Barthes dalam bukunya Elements of Semiology (1967:89) mengemukakan bahwa “expression is a plane”. Expression is a plane bermakna ekspresi merupakan wahana. Wahana sebagai wadah untuk mendapatkan ekspresi. Ekspresi yang didapatkan kemudian menjadi konotasi. Barthes (1967:89) menyatakan “connotation is a second order; expression and content”. A second order expression and content, disebut tingkat kedua (second order) karena perluasan dari tingkat pertama yaitu denotasi. Konotasi terbentuk pada tingkatan kedua dan mengalami perluasan makna. Konotasi berada pada second level of meaning; bahasa pada tataran kedua. Sementara first level of meaning; bahasa pada tataran pertama adalah denotasi. Pada bidang linguistik, denotasi menurut Barthes (1967) adalah “In the linguistics sign, the denotative meaning is what the dictionary attempts to provide”. Makna denotatif yang dimaksud oleh Barthes berdasarkan kutipan tersebut adalah makna yang terdapat dalam kamus. Terlebih lagi definisi ini juga diperkuat oleh pendapat Kridalaksana. Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (2008:40) mengatakan denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif. Untuk itu makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas merujuk pada bahasa yang dipahami oleh masyarakat. Berdasarkan definisi dalam kamus, dinyatakan bahwa kata ekspresi berasal dari bahasa Inggris expression. Dalam kamus Oxford, The New Shorter Oxford (1993:101) ekspresi adalah cara mengungkapkan sesuatu atau perasaan; ujaran lisan, deklarasi tulisan, sebuah tindakan atau kegiatan yang diwujudkan, dimanifestasikan atau disimbolisasikan dengan tanda. Barthes (1967:90) mengatakan, “ideology while connotation becomes natural”. Connotation becomes natural bermakna ketika konotasi menjadi hal yang biasa dan diterima oleh masyarakat. Ketika itu, konotasi menjadi hal yang Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
4
biasa dan diterima oleh masyarakat serta membentuk sebuah rancangan besar atau grand design. Grand design ini dinamakan ideology. Ideology menurut Barthes (1967:91) ialah a form; bentuk. Ideologi dalam konteks ini merupakan bentuk lain dari petanda konotasi. Desain yang terbesar dan membentuk sebuah pemahaman tentang konsep konotasi yang ada. Konsep konotasi yang ada dapat dianalisis dengan melihat persamaan form (bentuk). Persamaan bentuk yang dimaksud terdapat dalam konotasi. Dalam ideologi, peneliti mendapatkan bentuk konotasi yang menjadi suatu gambaran atau perspektif yang dibangun oleh penulis rubrik tentang perempuan. Di kalangan ilmuwan filsafat dan semiotik, ilmuwan selain Barthes mengemukakan pendapat tentang ideologi dengan pembahasan berbeda. Pembahasan berbeda tersebut, misalnya menurut Marx dan Engels, seperti yang dikutip dalam Kamus Filsafat (Bagus:1996), ideologi adalah seperangkat keyakinan
yang
disajikan
sebagai
objek,
meskipun
sebenarnya
hanya
mencerminkan kondisi-kondisi material masyarakat. Ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani “idea” dan “logos”. Idea adalah ide atau gagasan, sementara logos adalah studi tentang sesuatu atau ilmu pengetahuan. Pendapat ini dipertajam oleh Bagus (1996) dalam Kamus Filsafatnya yang menyatakan bahwa ideologi adalah sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal, filosofis, ekonomis, politis, dan sosial. Di sisi lain, Eco (1986) memaparkan ideologi merupakan kode-kode yang mengeneralisasi pesan secara konotatif. Kode-kode yang mengeneralisasi pesan secara konotatif merupakan ideologi yang diterapkan dalam kehidupan. Pendapat-pendapat ini telah hadir dalam masyarakat. Akan tetapi dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan Barthes sebagai acuan dan landasan berpikir. Dalam hubungannya dengan perempuan, ekspresi tentang perempuan merupakan hal yang menarik dibahas untuk menemukan bagaimana seseorang berpendapat tentang perempuan. Pemberitaan tentang perempuan bak magnet yang menyedot perhatian konsumen atau pembaca. Misalnya di dalam majalah Femina, ekspresi perempuan cantik adalah berkulit putih, tinggi, langsing, dan mulus. Ekspresi perempuan cantik berkulit putih, tinggi, langsing, dan mulus
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
5
dapat menjadi konotasi. Apabila dikembangkan lebih lanjut konotasi ini dapat membentuk dan membangun ideologi tertentu. Pemberitaan tentang perempuan dan ekspresinya dapat dikaji melalui media cetak, seperti salah satu media cetak yang terbit di Aceh yaitu Serambi Indonesia. Muis (2000:11) mengemukakan bahwa media cetak terdiri dari serangkaian tanda dan makna. Tanda dan makna dapat dilihat melalui ekspresi (Barthes,1967:89). Serambi Indonesia merupakan media cetak yang telah terbit sejak 1989. Serambi Indonesia diasumsikan memuat banyak ekspresi perempuan di Aceh. Dalam Serambi Indonesia terdapat beberapa rubrik atau artikel. Salah satu artikel atau rubrik itu ialah “Opini”. “Opini” merupakan sebuah artikel atau rubrik berupa pendapat dan pandangan tentang semua fenomena dan topik sosial yang terjadi yang ditulis oleh masyarakat Aceh. Topik sosial yang diangkat salah satunya ialah perempuan dalam pandangan masyarakat Aceh. Pandangan masyarakat yang mengekspresikan seperti apa dan bagaimana perempuan. Dalam kaitannya dengan wadah pemberitaan, “Opini” Serambi Indonesia di Aceh menjadi bagian penting untuk diteliti karena banyak terdapat ekspresi perempuan di Aceh dan mencerminkan pendapat orang Aceh tentang perempuan. Pada dasarnya teori tentang sistem signifikasi Barthes (1967) membahas denotasi, konotasi, ideologi dan mitos. Namun untuk kepentingan penelitian ini, peneliti memutuskan menganalisis konotasi dan ideologi. Mempertimbangkan beberapa hal tersebut di atas, peneliti memutuskan mengangkat topik masalah ekspresi konotasi dan ideologi perempuan dalam “Opini” Serambi Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Memperhatikan latar belakang di atas, masalah yang akan diteliti adalah ekspresi perempuan di dalam “Opini”. Ekspresi perempuan dalam “Opini” tentunya bermakna denotasi, konotasi, juga ideologi. Dengan demikian, pertanyaan yang akan diteliti adalah sebagai berikut.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
6
1. Bagaimana konotasi tentang perempuan dibangun di dalam “Opini” ? 2. Ideologi apa yang terkait dengan perempuan di dalam “Opini” ? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1.4
1.
menjelaskan konotasi tentang perempuan di dalam “Opini”,
2.
menjelaskan ideologi tentang perempuan di dalam “Opini”.
Kemaknawian Penelitian Manfaat penelitian ini berdimensi teoretis dan praktis. Secara teoretis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan persoalan konotasi dan ideologi yang dikemukakan oleh Barthes (1967:89-91). Selain itu, melalui penelitian ini bentukbentuk kalimat yang menunjukkan konotasi atau ideologi dapat diketahui. Penelitian ini diharapkan melengkapi dan menambah khazanah kajian konotasi dan ideologi yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini juga diharapkan memberi kontribusi dan manfaat bagi ilmu pengetahuan, terutama dalam linguistik Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu alternatif pemikiran dan informasi mengenai kajian konotasi dan ideologi. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan untuk melakukan penelitian konotasi dan ideologi dalam surat kabar secara lebih mendalam. Hal ini terkait dengan pentingnya konotasi dan ideologi dalam sebuah pemaknaan tanda. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan membahas konotasi dan ideologi perempuan dalam “Opini” Serambi Indonesia. Sumber korpus diunduh dalam
situs Serambi
Indonesia. 1.6 Kerangka Konseptual
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
7
Kerangka konseptual dalam penelitian ini digambarkan dalam skema berikut.
Denotasi
Rubrik
Similarities/ persamaan
Klasifikasi
Korpus
Ideologi
Konotasi Sinkronik Differences/per bedaan
Gambar 1.1: Skema Kerangka Konseptual
Barthes mendefinisikan konotasi sebagai sebuah penanda dan petanda pada level kedua. Penanda dan petanda dapat dijumpai dalam ekspresi. Ekspresi menurut Barthes adalah sebuah wahana yang luas. Salah satu wahana atau tempat untuk menemukan penanda dan petanda adalah rubrik. Penanda dalam penelitian ini adalah perempuan. Sementara petanda dikaji berdasarkan penggambaran oleh penulis rubrik. Penggambaran petanda dibahas berdasarkan klasifikasi tertentu. Klasifikasi bertujuan agar ditemukan persamaan dan perbedaan antara perempuan dan petandanya. Penanda dan petanda diambil dalam paragraf dan dianalisis dalam tataran kalimat. Penanda dan petanda pada level kedua adalah konotasi. Disebut pada level kedua karena makna awal berada pada level pertama (denotasi). Setelah menemukan penanda dan petanda pada level kedua, tahapan berikutnya adalah ideologi. Sebagai sebuah sistem konotasi penanda dan petanda dalam rubrik dapat ditafsirkan bermacam-macam oleh siapa pun yang melihat rubrik tersebut. Hasil
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
8
analisis penanda dan petanda konotasi menghasilkan ideologi.Ideologi berasal dari petanda konotasi pada level kedua. Petanda konotasi menghasilkan nilai-nilai terkait isu perempuan. 1.7 Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian semiologi. Menurut Barthes (1967:95) penelition semiologi bertujuan “to reconstitute the functioning of the systems of significations other than language in accordance with the process typical of any struturalist activity”. Tujuan penelitian semiologi adalah menyusun kembali fungsi sistem siginifikasi. Untuk membentuk penelitian semiologi dibutuhkan prinsip tertentu. Prinsip ini
sangat terkait linguistik, prinsip dimaksud yaitu
relevansi (Barthes,1967:95). Sehubungan dengan relevansi, Barthes (1967) mengemukakan “relevance is decided to describe the facts which have been gathered from one point of view only and consequently to keep from the heterogeneous mass of these facts”. Relevansi bermakna menggambarkan fakta yang berasal dari satu sudut pandang. Satu sudut pandang sebagai upaya konsisten banyaknya fakta atau dengan kata lain keanekaragaman fakta. Fitur terkait satu sudut pandang diistilahkan dengan fitur yang relevan. Dengan istilah lain, relevansi dimaksud adalah fakta dan fitur berasal dari satu sudut pandang. Dalam pada itu, korpus “Opini” dianalisis berdasarkan fakta dan fitur (ide pendukung) dari satu sudut pandang. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif analitis untuk mengkaji korpus. Metode deskriptif adalah metode pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian. Keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana mestinya
(Nawawi,2001:63).
Peneliti
menggambarkan
ekspresi
tentang
perempuan. Ekspresi kemudian dianalisis untuk dilihat pola konotasi. Petanda konotasi (signified of connotation) kemudian membentuk ideologi. Penelitian semiologi ini
merupakan penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif dijelaskan oleh Cresswell (2000:3)
adalah suatu proses untuk
memahami masalah sosial berdasarkan penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata; melaporkan pandangan informan secara jelas dan
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
9
disusun dalam sebuah latar ilmiah. Dalam hubungannya dengan konotasi dan ideologi perempuan di dalam surat kabar Aceh “Serambi Indonesia” penelitian ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam informasi kualitatif suatu permasalahan, gejala ataupun fenomena. 1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab. Pendahuluan di bab pertama menguraikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kemaknawian, ruang lingkup,kerangka konseptual, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan penelitian. Bab kedua adalah landasan teori. Dalam bab ini, peneliti menguraikan teori mengenai teori semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Teori semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes adalah konotasi dan ideologi. Bab ini merupakan dasar dari analisis yang akan dilakukan. Setelah peneliti mendapatkan informasi dan teori-teori yang akan digunakan dalam analisis, barulah peneliti sampai ke bab ketiga, yaitu analisis. Bab ini menguraikan analisis konotasi perempuan dalam “Opini”. Analisis semiotika konotasi dilihat berdasarkan tulisan penulis rubrik. Bab empat berisi analisis ideologi yang terkait perempuan. Ideologi ini dilihat berdasarkan signified of connotation. Signified of connotation merupakan hasil analisis dari konotasi. Signified of connotation merupakan bagian form:bentuk dari ideologi. Form yang terbentuk lalu dilihat perspektif apa yang dibangun. Perspektif yang dibangun oleh penulis “Opini” terkait perempuan. Dengan kata lain, peneliti ingin mengetahui bagaimana penulis rubrik memandang dan menggambarkan perempuan. Hasil pandangan dan gambaran ini dinamakan
ideologi. Bab lima merupakan penutup. Penutup terdiri dari simpulan dan saran. Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan secara umum. Setelah melakukan analisis semiotika pada bab ketiga, keempat dan kelima peneliti akan mendapatkan beberapa hasil. Hasil–hasil dari analisis tersebut kemudian disimpulkan secara
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
10
umum pada bab ini. Selain simpulan penelitian, peneliti juga akan memaparkan beberapa saran.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
11
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Bab 2 ini berisi tinjauan pustaka dan landasan teori yang menjadi acuan analisis. Landasan teori dimaksud untuk
menjadi acuan analisis. Tinjauan
pustaka berisi penelitian terdahulu terkait semiotik dan perempuan. Sementara itu, dalam landasan teori peneliti menampilkan konsep-konsep teori Barthes yang dirangkum kembali oleh peneliti sebagai acuan analisis. Teori Barthes diperjualbelikan karena dianggap sesuai untuk melihat penggambaran ekspresi. Ekspresi tersebut dianalisis terkait relasi atau hubungannya dengan perempuan dalam rubrik “Opini”. Acuan analisis dalam bab ini terdiri atas tidak hanya denotasi dan konotasi tetapi juga ideologi dan rubrik. 2.2 Tinjauan Pustaka Ada dua penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang peneliti laksanakan ini. Pertama, tesis yang ditulis oleh Eva Leiliyanti pada tahun 2004 yang berjudul “Kontruksi Identitas Perempuan Dalam Majalah Cosmopolitan” di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Tesis ini menggunakan teori Stuart Hall (1997) dan Roland Barthes yang dikutip dalam Storey (1998). Untuk sumber korpus, Eva menggunakan iklan di dalam majalah Cosmopolitan. Iklan-iklan yang diperjualbelikan oleh Eva tentang perempuan. Untuk teori iklan dan teks Eva menggunakan teori Cook. Hasil penelitiannya menyatakan iklan perempuan yang ditampilkan oleh majalah Cosmolitan menggunakan
kecantikan berupa wanita yang berkulit
mulus, tinggi, cantik, langsing dan menampilkan aura seksi. Keseksian dalam balutan busana yang minim ingin memberi kesan bahwa konotasi perempuan seperti inilah yang menjadi trend disukai oleh masyakat modern. Secara analisis iklan, identitas perempuan cantik seperti yang disebutkan berguna untuk menarik minat para konsumen sekaligus pembaca majalahnya. Keterkaitan tesis yang ditulis oleh Eva dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah implementasi teori Barthes. Peneliti tidak menggunakan sumber
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
12
Barthes dalam Storey, tetapi buku Barthes Elements of Semiology (1967). Teknik penerapan yang dilakukan oleh Eva memberi contoh bagaimana menandai suatu korpus. Kesamaan lainnya, peneliti menggunakan objek perempuan begitu juga Eva. Meskipun korpus peneliti berupa teks dan bahasa sementara Eva menggunakan kode iklan, akan tetapi tesis Eva memberikan arahan bagaimana peneliti membaca suatu tanda yang hadir di dalam teks. Kajian yang dilakukan oleh Eva adalah kajian budaya. Penelitian kedua, tesis yang ditulis oleh Noor Intan berjudul “ Feminitas dalam Budaya Pupolar dalam Film Animasi Barbie in the nutcracker, Barbie as Rapunzel, Barbie of Swan Lake” di FISIP-Universitas Indonesia pada tahun 2004. Teori yang digunakan oleh Noor adalah teori Barthes (1967) dikaitkan dengan konstruksi feminisme di film yang disutradai oleh Mattell yang berjudul Barbie in the nutcracker, Barbie as Rapunzel, dan Barbie of Swan Lake. Ditambah pula, Noor menggunakan teori tentang metode visual film oleh Dyer dan metode aspek komunikasi oleh van Zoonen. Peneliti mendapatkan bahwa hasil penelitian tesis di atas adalah Mattel (sutradara film) memakai feminitas dalam ketiga film animasi Barbie seperti urusan domestik (merawat, mengurus dan mengerjakan pekerjaan rumah), taat beribadah dan perawan. Nilai
lainnya yang diterapkan oleh Mattel bahwa
perempuan bersifat pasif digantikan dengan girl power. Akan tetapi, girl power yang diambil oleh Mattell hanya pada permukaan. Perjuangan perempuan untuk mendapatkan kebebasan dan otoritas diri “dihadiahi” pangeran. Pada akhirnya film ini tidak jauh berbeda dengan dongeng Cinderella dan Putri Salju. Di sisi lain metode visual dari Dyer memperlihatkan bahwa Barbie masih tentang citra cantik perempuan yang bertubuh tinggi, putih dan langsing. Keterkaitan tesis Noor dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah landasan teori dan objek perempuan. Teori yang digunakan oleh Noor adalah Barthes tentang konotasi dan ideologi. Hasil gambaran dari penelitian Noor menunjukkan bahwa perempuan cantik adalah bertubuh tinggi, putih dan langsing.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
13
2.3 Denotasi Denotasi menurut Barthes (1967) adalah …“the denotative meaning is what the dictionary attempts to provide”. Denotasi is a first level of meaning; bahasa pada tataran pertama atau makna awal. Denotasi is a primary system comprises signifier and signified; denotasi berada pada sistem pertama yang terdiri atas penanda dan petanda. Sebuah contoh penanda dan petanda pada tahap pertama ialah kalimat perempuan ibarat
sapi yang diperjualbelikan. Penanda dimaksud ialah
perempuan, sementara itu petanda dimaksud adalah
ibarat sapi yang
diperjualbelikan. As a first level of meaning; sebagai makna pada tahap pertama atau dengan kata lain denotasi dalam kalimat tersebut ialah perempuan sama dengan sapi. Perempuan diumpamakan seperti sapi karena beberapa persamaan misalnya menyusui anak dan bermanfaat. Manfaat sapi adalah diambil dagingnya, perempuan dimanfaatkan kecantikannya. Makna denotasi ini tidak lepas dari makna perempuan dan sapi dalam kamus. Berdasarkan makna kamus perempuan adalah ‘orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita’ (KBBI:2008). Sapi merujuk kepada ‘binatang pemamah biak, bertanduk, berkuku genap, berkaki empat, bertubuh besar, dipiara untuk diambil daging dan susunya; lembu’ (KBBI:2008). Makna perempuan dan sapi dirujuk berdasarkan makna kamus merupakan makna pada level pertama atau makna awal. Arti
denotasi juga diperkuat oleh pendapat Kridalalaksana, Menurut
Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (2008:40) denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif. Makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas merujuk terhadap bahasa yang difahami oleh masyarakat. Kembali kepada makna denotasi, Barthes (1967) menjelaskan bahwa denotasi merupakan sistem primer atau primary system dari pemaknaan tanda.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
14
Sistem primer dimaksud adalah tanda yang dipahami atau diberi makna awal, tidak mendapatkan pengembangan dan hanya merujuk pada sesuatu yang umum. Peneliti menyimpulkan denotasi menurut Barthes adalah makna awal. Makna awal dapat dirujuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Definisi ini akan dijadikan acuan dalam menganalisis korpus. 2.4 Konotasi Menurut Barthes (1967:91) ‘konotasi’ adalah “a second level of meaning”. Dengan kata lain konotasi adalah makna pada tataran kedua. ‘Konotasi’ is an extended meaning of signification (Barthes,1967:91). Tambahan pula, konotasi memiliki perluasan makna (Barthes:1967:91). Perluasan makna dimaksud berasal dari makna denotasi. Konotasi Barthes dapat dijelaskan dalam ilustrasi sebagai berikut. Konotasi dapat dilihat dalam ilustrasi Barthes sebagai berikut, Sr: rhetoric
3.Connotation 2.Denotation:metalanguage
Sr
Sd=ideology Sd
1.Real system Sr
Sd
Ilustrasi.1: Konotasi Barthes
(Barthes,1967:89) Konotasi berada pada level kedua. Level pertama disebut primary sistem atau denotasi. Pada level pertama (denotasi) terdiri atas signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier dan signified pada tahap pertama menjadi signifier pada tahap kedua (secondary system). Tahap kedua ini disebut oleh Barthes sebagai konotasi. Seperti contoh kalimat yang peneliti sebutkan sebelumnya yaitu perempuan seperti
sapi yang diperjualbelikan. Kalimat perempuan seperti sapi yang
diperjualbelikan ditujukan kepada perempuan yang ikut kontes kecantikan.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
15
Perempuan yang ikut kontes dan memamerkan kecantikan diumpamakan sapi. Sapi dan perempuan berkontes memiliki persamaan, yaitu sama-sama dijual,diambil manfaatnya dan menjadi korban. Berdasarkan pemaknaan dimaksud, maka kalimat perempuan seperti sapi yang diperjualbelikan telah mengalami perluasan makna. Arti konotasi juga diperkuat oleh pendapat ilmuwan linguistik lainnya. Ilmuwa linguistik dimaksud adalah kridalalaksana, menurutnya dalam Kamus Linguistik (2008:67) konotasi ialah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca) dan merupakan pengembangan makna awal tanda. Peneliti menyimpulkan bahwa konotasi adalah penanda dan petanda pada level kedua dan mengalami perluasan makan dari tahap pertama (denotasi). Definisi ini diterapkan dalam menganalisis korpus pada bab tiga. 2.5 Ideologi Menurut Barthes (1967) Ideologi didasarkan pada signified di level bahasa sebagai sistem kedua atau dengan kata lain ideologi adalah signified dari sebuah konotasi. ideologi is a form; sebuah bentuk. Ideology is a form of signified connotation; dalam konteks ini ideologi adalah bentuk lain petanda konotasi. ideology depicts values; ideologi berisi nilai-nilai. Ideologi dapat dilihat dalam skema Barthes berikut, 3.Connotation 2.Denotation:metalanguage
Sr: rhetoric Sr
Sd=ideology Sd
1.Real system Sr
Sd
Ilustrasi.2:Ideologi Barthes
(Barthes,1967:89)
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
16
Dalam skema di atas, Barthes mengatakan connotation has signifier and signified which ideology take a part in signified of its; konotasi terdiri atas penanda dan petanda,ideologi berada dalam petanda konotasi tersebut. Barthes memaparkan lebih lanjut dalam elements of semiologynya (1967), ideologi adalah ilmu tentang nilai-nilai untuk mengatasi permasalahan di masyarakat. Ideologi merupakan petanda konotasi yang memuat perspektif, sudut pandang seseorang. Dalam bukunya mythologies […] ideology can be defined as the way in which the dominant classes and power within a particular society at a particular time can impose their values on the rest of society (Barthes:1972); Ideologi merupakan cara melihat dominasi dan kekuasaan dalam masyarakat dengan waktu tertentu. Dominasi dan kekuasaan dalam masyarakat dengan waktu tertentu mengungkapkan nilai-nilai dalam masyarakat. Ideologi merupakan petanda konotasi yang memuat perspektif, sudut pandang penulis terkait perempuan. Dalam konteks penelitian ini, sudut pandang penulis “Opini” dapat dilihat bagaimana mereka menggambarkan tentang perempuan. Peneliti menyimpulkan, ideologi adalah bentuk dari petanda (signified) konotasi untuk mengungkapkan nilai-nilai dan sudut pandang seseorang. Definisi ideologi ini digunakan dalam menganalisis korpus. 2.6 Rubrik Onong Uchjana Effendy (1989: 316)
memaparkan
definisi mengenai
rubrik bahwa ‘rubrik’ berasal dari bahasa Belanda yaitu rubriek, yang artinya ruangan pada halaman surat kabar, majalah atau media cetak lainnya mengenai suatu aspek atau kegiatan dalam kehidupan masyarakat; misalnya rubrik wanita, rubrik olahraga, rubrik pendapat pembaca dan sebagainya. Sementara itu, dikutip dari Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS. Poerwadarminta dijelaskan ‘rubrik’
adalah kepala (ruangan) karangan
dalam surat kabar, majalah, dan lain sebagainya” (WJ.S Peorwadarminta, 2003: 83). Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
17
Seperti pada media massa lain, Koran Serambi Indonesia juga menyajikan rubrik. Salah satunya yaitu “Opini” yang menyoroti berita aktual dan fenomena sosial berisi pendapat-pendapat dari masyarakat, berupa saran, solusi, kritik dan sebagainya. Pendapat-pendapat berupa saran, solusi, kritik
ditulis oleh
perseorangan atau pembaca Serambi Indonesia di setiap edisinya. Bentuk “Opini” sama seperti artikel dan kolom pada majalah dan surat kabar lainnya. Peneliti mengambil intisari bahwa rubrik ialah kepala (ruangan) karangan dalam surat kabar. Peneliti memilih rubrik “Opini” sebagai korpus.
Rubrik
“Opini” yang dimaksud terdapat dalam Serambi Indonesia. 2.6.1 Korpus 2.6.1.1 Definisi Korpus Korpus sebagaimana yang disebut Barthes (1967:96) adalah “a finite collection materials, which is determined in advance by the analyst”. Korpus adalah koleksi materi tertentu atau dengan kata lain sekumpulan data. Korpus ditentukan oleh peneliti dengan pertimbangan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Korpus memiliki periode atau waktu karena Barthes (1967:98) mengatakan “… if one studies press phenomena, for instance a sample of newspaper which appeared at the same time will be preferable to the run of a single paper over several years”. Apabila seorang meneliti media seperti surat kabar maka dianjurkan memilih salah satu tulisan dalam surat kabar tersebut dengan periode waktu tertentu. 2.6.1.2 Pengumpulan Korpus Dalam penelitian semiologi suatu korpus memenuhi tiga syarat antara lain sebagai berikut. (1) “corpus must be wide enough to give reasonable hope that its elements will saturate a complete system of resemblances and differences, (2) the corpus must be homogenous as possible; homogenous in substance, and (3) homogenous in time” (Barthes,1967:97-98).
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
18
Korpus menurut Barthes harus memenuhi tiga syarat, yaitu cukup luas untuk memberi ruang terhadap titik persaman dan perbedaan antara data. Mengingat tiga syarat tersebut, peneliti menggunakan Serambi Indonesia sebagai sumber pengumpulan korpus. Pemilihan Serambi Indonesia sebagai sumber korpus karena beberapa. Pertama, Serambi Indonesia merupakan surat kabar di Aceh yang terbit sejak tahun 1989. Berdasarkan sejarah, harian Serambi Indonesia ini pada mulanya bernama mingguan Mimbar Swadaya yang dipimpin oleh M. Nourhalidyn (1989-2000). Manajemen yang kurang baik pada masa itu membuat mingguan yang berdiri pada 1970-an tersebut sering tak terbit. Menurut profil perusahaan surat kabar Serambi Indonesia, tepat pada tanggal 9 Februari 1989, Mimbar Swadaya akhirnya menjelma menjadi harian Serambi Indonesia. Pada saat tsunami meluluhlantakkan Aceh tahun 2004, Serambi Indonesia pun ikut menjadi korban. Kantornya yang megah berikut mesin cetaknya di kawasan Desa Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, hancur lebur. Tak kurang 55 karyawan, tiga belas di antaranya adalah redaktur dan wartawan senior, hilang dihempas tsunami. Serambi Indonesia pun terpaksa berhenti terbit. Kedua, berdasarkan sisi penjualan, Serambi Indonesia mencapai tiga puluh lima ribu eksemplar per hari, artinya ia mampu menjangkau sekurang-kurangnya 35.000 penduduk Aceh. Tiga puluh lima ribu penduduk Aceh diperkirakan meletakkan surat kabar ini di warung kopi pada saat berkumpul, beristirahat, dan berdiskusi. Warung kopi tersebut kemudian dikunjungi oleh masyarakat Aceh bukan hanya pagi, tetapi siang, bahkan malam hari. Ketika anggota masyarakat Aceh datang dan berada di warung kopi itu diasumsikan sebagian dari mereka membaca Serambi Indonesia. Dengan demikian, Serambi Indonesia dibaca oleh sebagian besar penduduk Aceh. Selanjutnya, berdasarkan pengamatan, peneliti menemukan Serambi Indonesia mengangkat tema perempuan dengan pendekatan agama, sosial, dan budaya/adat istiadat. Kesimpulannya Serambi Indonesia sesuai untuk dijadikan sumber korpus dalam penelitian semiologi ini. Pada umumnya setiap surat kabar memiliki rubrik (Muis: 2000). Rubrik memuat berita tentang fenomena yang dialami oleh masyarakat. Dalam
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
19
hubungannya dengan surat kabar, sebuah rubrik menjadi bagian dalam memperlihatkan makna dan tanda. Mengingat banyaknya rubrik dalam Serambi Indonesia, seperti “Ekonomi/Bisnis”, “Donya”, “Nusantara”, “Panteu”, “Droe Keu Droe”, “Konsultasi Agama Islam”, dan “Opini”, peneliti memutuskan untuk mengambil satu rubrik yang kemudian dianalisis lebih lanjut. Dalam hal ini, peneliti memutuskan memilih rubrik “Opini” karena beberapa hal berikut. Pertama “Opini” merupakan wahana untuk menampung pendapat masyarakat Aceh tentang fenomena sosial. “Opini” merupakan jenis tulisan gabungan antara narasi dan argumentasi. Keraf (1997:109) menyatakan “narasi adalah jenis tulisan untuk mengisahkan suatu peristiwa atas kejadian secara kronologis”. Dengan kata lain narasi adalah jenis tulisan yang bercerita baik berdasarkan pengamatan atau observasi maupun pengalaman yang biasanya tersusun secara kronologis. Di pihak lain, argumentasi adalah jenis tulisan yang menekankan pembuktian berdasarkan penalaran yang logis dan kritis. Selaras dengan jenis tulisan dimaksud, rubrik “Opini” merupakan gabungan dua jenis tulisan tersebut. Alasan kedua, isi “Opini” berupa pendapat subjektif masyarakat Aceh. Pendapat subjektif masyarakat Aceh yang mengemukakan kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap fenomena sosial yang terjadi di Aceh. Ketiga, tulisan dalam “Opini” sama seperti artikel dan kolom di surat kabar lainnya. Seiring berkembangnya teknologi, Serambi Indonesia dapat dibaca dan diakses di situs resminya tanpa adanya perbedaan dengan versi cetak yang diperjualbelikan. Sehubungan dengan sumber korpus, peneliti memutuskan untuk menggunakan tulisan dalam “Opini” yang terdapat dalam surat kabar Serambi Indonesia dalam situs resminya www.serambinews.com sebagai sumber korpus. Peneliti melakukan langkah pengumpulan korpus, seperti masuk ke situs resmi Serambi Indonesia, memilih kolom “Opini”, mengetik kata kunci seperti perempuan, wanita, ibu, mama, istri, inong, dara, poe rumoh, dan gadis dalam tab search “Opini”. Kemudian langkah yang terakhir adalah menyimpan korpus.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
20
Setelah didapatkan keseluruhan korpus, korpus tersebut dihitung dan jumlahnya dalam penelitian ini ada dua puluh enam. Dua puluh enam rubrik yang dimaksud itu merupakan rubrik yang terkait dengan perempuan. 2.6.1.3 Metode Analisis Korpus Korpus pada prinsipnya dapat dikaji secara diakronis maupun sinkronis. Sekalipun demikian, Barthes (1967:98) menyatakan “Without here entering into the teoritical debate between synchrony and diacrony we shall only say that,from an operative point of view, the corpus must keep as close as possible to the synchronic sets”. Dengan kata lain, dalam penelitian semiologi lebih dianjurkan melakukan analisis sinkroni. Penelitian semiologi ini menggunakan analisis sinkroni. Analisis sinkroni dipakai dalam penelitian semiologi untuk berbagai alasan, Barthes (1967:98) mengungkapkan alasannya adalah (1) “a varied but temporally limited corpus will therefore be preferable to a narrow corpus stretched over a length of time”,(2) “some system established their own synchrony of their own accord that may change every year, but for the others one must choose a short period of time”. Alasan pertama berkaitan jenis data yang bervariasi diprioritaskan agar korpus memiliki periode waktu tertentu. Untuk tujuan ini korpus semestinya memiliki periode waktu tertentu untuk dianalisis.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
20
BAB 3 KONOTASI PEREMPUAN DALAM “OPINI”
3.1 Pengantar Di dalam bab 3 ini, peneliti menguraikan analisis konotasi perempuan. Dalam bab sebelumnya, telah dipaparkan beberapa teori mengenai konotasi dan ideologi oleh Barthes (1967). Teori – teori tersebut merupakan dasar peneliti untuk menganalisis data-data yang telah didapatkan. Menurut Barthes (1967) ‘konotasi’ adalah perluasan makna (extended meaning) dari suatu ungkapan yang disebut language of
second order. Konotasi merupakan bahasa pada tataran
kedua yang didasarkan pada relasi signifier (penanda) dan signified (petanda) di tahap pertama (denotasi) atau first language order. Konotasi terdiri dari ekspresi (signifier) dan isi (signified). Signified konotasi berasal dari relasi signifier dan signified di tahap pertama (denotasi). Setiap analisis dalam penelitian ini disertai kutipan dari rubrik. Kutipan berisi konotasi dan ekspresi pendukung yang dikutip secara utuh tanpa diubah ejaan dan kata-katanya. Kutipan konotasi ditulis dengan tanda petik, sementara penjelasan konotasi atau ekspresi
dicetak miring. Kutipan tulisan yang
digambarkan oleh penulis rubrik ditampilkan dalam bentuk huruf cetak miring. Analisis rubrik akan dimulai dengan parafrase. Setelah parafrase kemudian analisis. Dalam bab ini, peneliti menganalisis kehadiran konotasi di dalam rubrik ‘Opini’. Sehubungan dengan hal itu, secara tematik setiap ekspresi konotatif akan dikelompokkan ke dalam satu tema yang sama. Peneliti memberikan singkatan analisis konotasi perempuan menjadi AKP untuk memudahkan penulisan. Terkait dengan tema dimaksud secara garis besar terbagi atas empat tema, yaitu yaitu benda hidup, benda mati, sifat dan aktivitas. Pendekatan tema terssebut diperinci sebagai berikut: hewan, pakaian, laut, benda/alat, kedokteran, pameran, kekerasan ,ekonomi/investasi, benih, profesi, makanan, keperkasaan, komoditas dan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
21
aktivitas. Di akhir bab, peneliti memberikan uraian kecenderungan konotasikonotasi yang ditemukan berdasarkan korpus. 3.2 Hewan AKP 1 3.2.1 Rubrik Isi tulisan ini menggambarkan perempuan yang menjadi korban kecantikan semu. Kecantikan semu diekspresikan dengan menggunakan lipstik dan kain yang minim. Menurut penulis rubrik, lipstik diibaratkan pemerah bibir untuk menimbulkan kesan cantik yang semu. Sementara itu kain tipis dan minim dilukiskan untuk menampilkan lekuk tubuh, bentuk pinggang dan ukuran payudara. “Menampilkan lekuk tubuh, bentuk pinggang dan ukuran payudara sebagai kecantikan yang semu pula” (Guci:2009). Perempuan yang telah menggunakan lipstik dan kain minim kemudian mengikuti kontes-kontes kecantikan. Kontes-kontes kecantikan yang diikuti perempuan banyak menuai kontroversi. Kegiatan di bawah judul putri, ratu dan lain-lain itu, sejak kemunculannya memang selalu menghasilkan pro dan kontra. Yang kontra senantiasa mengusung alasan pembodohan perempuan. Yang pro menilai acara ini justru mengangkat harkat perempuan, karena mereka yang ikut serta bukan cuma cantik, tetapi juga cerdas dan berprestasi. Akan tetapi yang kontra menyatakan kontes kecantikan “Menuai kontroversi karena perempuan diibaratkan seperti sapi yang diperjualbelikan” (Guci:2010). Sapi yang diperjualbelikan merupakan ekspresi penulis dalam tulisannya ini. Sapi yang diperjualbelikan diibaratkan kepada perempuan berkontes karena beberapa persamaan. Persamaan itu antara lain: dipilih dari sekian banyak jumlah, dipilih yang baik, diperjualbelikan, dan dimanfaatkan oleh si pemilik dan penjual.
Dalam tulisan ini terdapat konotasi perempuan yang berkontes seperti sapi yang diperjualbelikan. … “maka kontes lomba cantik tadi sama saja dengan mencari induk sapi yang paling mampu menghasilkan anak. Kecerdasan dan kepribadian yang konon turut dinilai itu sekedar tambahan. Karena kalau dua hal ini yang
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
22
menjadi faktor utama, maka seharusnya tak usah ada prasyarat tinggi badan serta ukuran vital. Itu artinya, ada hampir seribu dua ratus perempuan yang rela dijejerkan di panggung dan diperbandingkan satu sama lain, persis seperti memilih panci-atau memilih sapi” (Guci:2009). Konotasi terdapat pada paragraf kelima. Konotasi yang digunakan merupakan hewan. Secara denotatif perempuan ibarat sapi yang diperjualbelikan adalah perempuan memiliki persamaan dengan sapi dalam hal melahirkan anak, menyusui anak dan diperjualbelikan. Secara konotatif perluasan makna sapi yang diperjualbelikan adalah diumpamakannya ungkapan itu
kepada perempuan yang mengikuti kontes
kecantikan. Ekspresi-ekspresi dalam rubrik ini yang berhubungan dengan sapi adalah dijual di pasar dan dipilih diantara kumpulan sapi. Peneliti menemukan istilah sapi yang diperjualbelikan diungkapkan secara
eksplisit oleh penulis
rubrik. Sapi yang dipilih merupakan ekspresi kekecewaan penulis rubrik terhadap perempuan berkontes. “Sapi memang hewan yang cukup banyak diternakkan di Aceh” (Guci:2009) ekspresi penulis. “Akan tetapi ia selalu menjadi korban untuk disembelih”, (Guci:2009) lanjutnya. Ekspresi disembelih
bertendensi untuk
menggambarkan perempuan yang mengikuti kontes. Pada sapi, disembelih maksudnya
adalah
diambil
dagingnya, perempuan diambil manfaatnya.
Perempuan dimaksud adalah yang mengikuti kontes kecantikan. Ekspresi lainnya mengapa disebut disembelih karena perempuan yang berkontes sama dengan sapi; menjadi korban. Pada dasarnya, perempuan berkontes ingin menunjukkan sesuatu. Sesuatu yang dapat menarik perhatian lawan jenisnya. Penulis menyatakan ...”perempuan harus menampilkan semua aset tentang kesuburan yang dia miliki. Maka berparadelah perempuan-perempuan ini di atas panggung, lengkap dengan lipstik, bedak, maskara yang memalsukan sinyal alam tentang masa subur, sambil mengenakan pakaian yang memperlihatkan kerampingan pinggang dan keindahan payudara, tanda-tanda alam yang menunjukkan kemampuan hamil dan memberi makan anak” (Guci:2009). Kembali pada kata disembelih, Makna disembelih ialah sama dengan menjadi korban. Korban dimaksud ialah perempuan Aceh yang ikut kontes kecantikan. Perempuan yang ikut kontes menjadi korban pihak penyelenggara
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
23
kontes. Terkait dengan sapi, sapi yang diperjualbelikan diumpamakan seperti perempuan yang ikut kontes karena mereka memiliki persamaan. Persamaannya yaitu, dijual dan dipilih oleh orang lain.pada akhirnya, perempuan adalah sapi yang diperjualbelikan. Perempuan yang berkontes seperti pemilihan ratu, putri dan sebagainya tak ubahnya seperti sapi yang dijual di pasar (Guci:2009). Kesimpulannya, signifier (penanda) konotasi dalam tulisan ini adalah perempuan berkontes, sementara itu signified (petanda) konotasinya adalah ibarat sapi yang diperjualbelikan. Terlebih lagi, perempuan berkontes ibarat sapi yang diperjualbelikan telah mengalami perluasan makna yaitu perempuan yang berkontes ibarat sapi
karena menjadi korban dan diambil manfaatnya oleh
penyelenggara kontes. 3.2.2 Rubrik 2 Isi rubrik ini menceritakan hukum di Indonesia dan dampaknya terhadap perempuan. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum dan bukan pada kekuasaan semata. Menurut penulis rubrik seyogianya, “hukum tidak digunakan sebagai instrumen untuk memaksakan kepentingan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah” (Tripa:2009). Ekspresi lemah ditujukan kepada perempuan dan kaum golongan bawah. Penggunaan hukum sebagai instrumen pemaksaan kepentingan, telah menyebabkan sebuah hubungan yang tidak seimbang. Bila penggunaan hukum digunakan sebagai alat pemaksaan, maka yang muncul adalah “keberpihakan hukum pada kepentingan yang lebih kuat” (Tripa:2009). Penulis rubrik menjelaskan hukum dibuat agar masyarakat menjadi tertib dan menjamin keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. “Tidak bisa kita bayangkan bila tujuan hukum kemudian berbalik arah dan tidak lagi bertujuan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan tersebut” (Tripa:2009). Konotasi Perempuan seperti terjerat sarang laba-laba terdapat pada paragraf keempat dalam rubrik. Hal ini jelas terbukti berdasarkan pernyataan penulis, yaitu …”Perempuan dalam mencari keadilan hukum ibarat terjerat menjadi sarang laba-laba. Bila melihat analogi sarang laba-laba, kita lantas menjadi tersadar
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
24
bahwa yang bisa terjaring hanya binatang kecil saja, semisal lalat, nyamuk, serangga lainnya, atau burung pipit. Sarang laba-laba tidak bisa menahan geliat elang putih atau kelinci hutan”. Perempuan terjerat sarang laba-laba karena ia makhluk yang tidak berdaya. (Tripa:2009). Konotasi yang digunakan merupakan istilah hewan. Laba-laba secara denotatif bermakna ‘hewan serangga besar berkaki, berwarna abu-abu kehitamhitaman, menjalin jaring benang sutra dari perutnya yg berfungsi sebagai perangkap mangsa (KBBI:2008). Ekspresi yang bertendensi menunjukkan sarang laba-laba dalam rubrik ini adalah terikat, tersangkut hewan yang kecil dan menyusahkan diri sendiri. Konotasi Perempuan seperti sarang laba-laba dikaitkan dengan ekspresi terikat. Penulis menyatakan “perempuan selalu terikat dan terbelenggu ketika mencari keadilan” (Tripa:2009). Seperti contoh yang digambarkan oleh penulis rubrik, seorang perempuan tua karena mencuri tiga buah kakao, divonis bersalah satu setengah bulan. Ekspresi lain yang menjelaskan sarang laba-laba adalah terjerat. Terjerat ditujukan kepada perempuan yang mencari keadilan hukum. Terjeratnya perempuan
dengan usahanya mencari keadilan. Perempuan yang berusaha
mencari keadilan diekspresikan hanya akan menyusahkan dirinya sendiri. Ekspresi tersangkut hewan yang kecil seperti nyamuk dan lalat sama layaknya perempuan pencari keadilan. Kaitan dengan hukum adalah hukum hanya mampu menangkap dan menahan mangsa-mangsa yang kecil dan lemah. Yang kecil dan lemah ini diidentikkan oleh penulis rubrik adalah perempuan. Peneliti mengambil intisari dalam tulisan ini bahwa perempuan seperti terjerat sarang laba-laba adalah perempuan mencari keadilan selalu mendapat perlakuan diskriminatif/berbeda (Tripa:2009). Diskriminatif
karena mereka
adalah rakyat kecil. Rakyat kecil ibarat laba-laba sehingga hukum hanya mampu menjerat perempuan yang hanya rakyat kecil dan rakyat jelata. “Layaknya sarang laba-laba: hanya mampu menjerat yang kecil” (Tripa:2009). Kesimpulannya, perempuan yang mencari keadilan seperti sarang labalaba merupakan konotasi. Secara konotatif ungkapan ini bermakna perempuan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
25
kaum lemah dan jelata sehingga ia dijerat oleh hukum.Signifier (penanda) konotasi dalam tulisan ini adalah perempuan yang mencari keadilan di sisi lain signified (petanda) konotasi adalah seperti sarang laba-laba. 3.3 Pakaian AKP 2 3.3.1 Rubrik 3 Isi tulisan ini
menggambarkan
kewajiban seorang muslimah yaitu
berpakaian yang menutup aurat. Menutup aurat bukan sekedar menutup badan. “Jika hanya menutup badan sesungguhnya sama saja dengan telanjang” (Nurchaili:2009). Misalnya, pakaian yang dikenakan itu sangat ketat, tipis dan tembus pandang. Pakaiannya juga terbuka di sana-sini sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuh dan menampakkan sebagian aurat secara jelas. Hal ini dikarenakan “perempuan adalah sumber fitnah” (Nurchaili:2009). Fitnah terbesar dari perempuan adalah auratnya. Aurat adalah bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain selain muhrimnya. Aurat adalah barang berharga yang semestinya dijaga dengan baik. Tak sepantasnya dipamer-pamerkan dan diobral dengan murah, sehingga menjadi barang yang rendah dan mudah dinikmati oleh setiap orang. Batas aurat perempuan adalah seluruh tubuh selain wajah dan dua telapak tangan, sehingga kedua bagian ini boleh saja diperlihatkan jika dirasakan tidak menimbulkan fitnah. Perempuan seperti pameran merupakan konotasi terdapat pada paragraf ketiga. Penulis rubrik jelas menyebutkan ...”Berpakaian muslimah adalah suatu keharusan bagi seorang muslimah. Menutup aurat bukan sekedar menutup badan namun sungguhnya sama saja dengan telanjang. Misal, pakaian yang dikenakan itu sangat ketat, tipis dan transparan. Pakaiannya juga terbuka di sana-sini sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuh dan menampakkan sebagian aurat secara nyata. Perilaku ini adalah perilaku “jahiliyah”. Perempuan dengan membuka aurat tak ubahnya seperti pameran yang berjalan. (Nurchaili:2009). Perempuan seperti pameran telah mengalami perluasan makna. Kalimat ini jelas terbukti dalam kutipan di atas. Terkait Perluasan makna, perempuan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
26
yang seharusnya menutup dada dan leher dengan pakaian lebar namun tidak; ia justru memakai pakaian sempit seperti memamerkan tubuhnya kepada orang lain. Orang lain yang tentu saja bukan muhrimnya. Hal ini dilarang dalam islam, dimana islam menyuruh perempuan menutup aurat dan tidak memamerkan tubuhnya kepada non muhrimnya. Penulis rubrik menggambarkan ...”Berpakaian muslimah adalah suatu keharusan bagi seorang muslimah. Menutup aurat bukan sekedar menutup badan namun sungguhnya sama saja dengan telanjang. Misal, pakaian yang dikenakan itu sangat ketat, tipis dan transparan. Pakaiannya juga terbuka di sana-sini sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuh dan menampakkan sebagian aurat secara nyata. Perilaku ini adalah perilaku jahiliyah” (Nurchaili:2009). Dalam rubrik ini ekspresi-ekspresi yang bertendensi menggambarkan konotasi perempuan seperti pameran ialah telanjang, berjilbaba tetapi ketat, tidak mengerti syariat dan jilbab terulur menutupi tubuh. Perempuan yang memakai pakaian terbalut rapat ialah pakaian dikenakan rapat sekali di tubuh sehingga pakaian dapat membentuk lekuk tubuh. Sementara “Lekuk tubuh adalah aurat” (Nurchaili:2009). Aurat yang semestinya ditutupi dengan pakaian yang longgar malahan tidak dittupi secara baik dan benar oleh perempuan berjilbab. Perempuan berjilbab tetapi ketat adalah secara sempurna (kaffah).
perempuan itu tidak berjilbab
Perempuan tersebut tidak mengerti syariat yang
digambarkan oleh penulis rubrik ialah “tidak menjalankan perintah ajaran Islam” (Nurchaili:2009). Jilbab terulur menutupi tubuh adalah ekpresi untuk menjelaskan cara berjilbab. “Jangan
berjilbab ketat tetapi berjilbablah yang terulur”
(Nurchaili:2009). Terulur hingga menutupi tubuh. Tubuh terutama bagian aurat; dada dan leher atau bagian aurat yang dijelaskan ialah selain wajah dan tangan. Perempuan yang menggunakan jilbab sepatutnya memahami syariat penggunaan jilbab yang benar. Penggunaan jilbab yang benar adalah tidak ketat. Oleh karena hal itu, jilbab tetapi ketat merupakan ungkapan seperti berbaju tetapi tipis. Berbaju tetapi tipis ibarat dua hal yang bertolak belakang. Sewajarnya,
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
27
jilbab yang digunakan oleh perempuan merupakan alat untuk menutup aurat dan sesuai syariat Islam. 3.3.2 Rubrik 4 Penulis rubrik menyampaikan tentang tradisi perempuan di Aceh. Perempuan seperti pajangan adalah perempuan yang menggunakan celana panjang ketat sehingga memancing syahwat pria. Penulis “Opini” ini adalah seorang
Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, ia mengatakan, celana
panjang merupakan tradisi orang Aceh termasuk kaum perempuan. “Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi wanita Aceh untuk memakai celana panjang, kecuali celana ketat yang mengumbar aurat” (Nazar:2010). Hal itu dikatakan Muhammad Nazar dalam ceramah Israk Mikraj Nabi Muhammad SAW di Kompleks Dayah Raudhatul Jannah, Desa Suka Makmur, Kecamatan Simpang Kiri, Kota Subulussalam, Jumat (30/7). Menurut Wagub Aceh itu, dalam hal mendorong masyarakat untuk menutup aurat tidak perlu ribut dengan masalah mekanisme. “Tutup aurat, katanya, sesuai dengan musim dan zamannya yaitu boleh pakai celana ataupun rok” (Nazar:2010). Dikatakan, dulu di Aceh kain sangat susah didapat sehingga di kampungkampung, orang tidak dipaksakan harus tutup aurat tapi begitu shalat mesti menutup aurat sesuai keadaannya waktu itu. Akan tetapi, lanjutnya, sekarang ini pakaian begitu mudah, kain ada di mana-mana, harganyapun murah sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak menutup aurat secara totalitas alias 100 persen. Katanya, menutup aurat bukan soal memakai celana atau memakai rok karena masalah tersebut merupakan mekanisme sedangkan tradisi orang Aceh memakai celana termasuk perempuan, bahkan celana panjang yang pertama digunakan yaitu di Aceh, tetapi tidak ketat atau dengan tidak menimbulkan aurat,’ ujarnya. Perempuan seperti pajangan adalah konotasi kepada perempuan yang memamerkan bentuk tubuh dalam balutan celana ketat sehingga menimbulkan syahwat pria. Hal ini jleas dikutip dari pernyataan penulis “Opini”: “Para bupati, walikota maupun gubernur dan seterusnya tidak boleh menjadi sekedar penguasa, tetapi harus menjadi khalifah (pemimpin). Pemimpin
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
28
harus secara tegas menyebutkan mana yang salah dan yang benar. Perempuan dalam konteks memakai celana panjang tidak dilanrang, tetapi yang dilarang adalah ketika menggunakan celana yang ketat sehingga menimbulkan nafsu lawan jenisnya” (Nazar:2010). Ulasan tersebut, menurut Nazar berkaitan dengan peringatan Israk dan Mikraj yang kerap dilakukan oleh kalangan umat muslim. “Para bupati, walikota maupun gubernur dan seterusnya tidak boleh menjadi sekedar penguasa, tetapi harus menjadi khalifah (pemimpin). Pemimpin harus secara tegas menyebutkan mana yang salah dan yang benar. Perempuan dalam konteks memakai celana panjang tidak dilarang, tetapi yang dilarang adalah menggunakan celana yang ketat sehingga menimbulkan nafsu lawan jenisnya”. Perempuan dibolehkan bercelana panjang tetapi tidak ketat karena jika celana itu ketat perempuan seperti pajangan. Perempuan dipajang karena ia bernilai murah dan kurang berharga. Hal ini terbukti oleh perkataan penulis “perempuan Aceh yang tidak memahami syariat hakikatnya telah membuat dirinya sendiri seprti pajangan yang sangat murah” (Nazar:2010). Peneliti menemukan perluasan makna dalam tulisan ini, bercelana panjanglah bagi muslimah asal tidak ketat merupakan anjuran seorang wakil gubernur Aceh agar masyarakat Aceh tidak mempermasalahkan celana tetapi lebih kepada esensi menutup aurat. Peneliti menemukan konotasi perempuan seperti pajangan merupakan istilah untuk memaknai perempuan yang bercelana ketat. Istilah yang digunakan pajangan tergolong dalam tema adalah benda mati. 3.3.3 Rubrik 5 Penulis rubrik menggambarkan Perempuan pemicu dosa. Pemicu dosa karena perempuan tidak mau menutup aurat secara benar. Hal ini terbukti dalam pernyataan penulis “perempuan muslimah tidak mengumbar tubuhnya. Apabila ia mengumbar tubuhnya merupakan pemicu bagi lawan jenis melakukan kesalahan sehingga banyak terjadinya dosa.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
29
Konotasi yang digunakan adalah kata sifat. Perempuan pemicu dosa ditujukan kepada perempuan yang tidak mau menutup auratnya sesuai anjuran islam. Perintah islam agar perempuan menutup aurat sesungguhnya membawa kemashlatan umum. Kemashlatan kepada perempuan juga pria. 3.4 Laut AKP 3 Rubrik 6 Penulis rubrik menggambarkan sosok po ma (ibu) dengan sangat indah dalam artikel ni. Penulis rubrik terlebih dahulu memberikan puisi untuk ibu. Ibu “/aku rindu wajahmu/ memancarkan selaksa kasih/ selalu hadir dengan mawar/ di setiap ruang adalah cinta/ setiap detak nadi berkumandang Tuhan/Ibu /aku rindu tanganmu/ yang mengajaib dalam tiap sentuhan/ mengusap kepala hingga terlelap/ dalam kehangatan tak bertepi. Ibu/aku rindu suaramu/ yang menendangkan tembang-tembang harapan/ meninabobokan dengan shalawat/ memperdengar doa-doa agung sejati/ dalam fitrah kepekaan nalurikeikhlasan nurani/ yang setiap nafas tak henti/ memohon rahmat surgawi. Ibu/aku ingin memanggilmu/ yang menoreh cinta tanpa pamrih/ ketika genting jiwaku retak/ metetas hidup makin memenatkan//” (Devayan:2009) Puisi tentang ibu dan segala perjuangan ibu dalam membesarkan keluarga. Terlihat sekali ‘Opini’ ini ditujukan dalam rangka memperingati hari ibu. Penulis rubrik mengungkapkan betapa besar dan tulus pengorbanan ibu kepada anak dan keluarga. Penulis rubrik pula menyuratkan arti penting tangan wanita dalam keluarga sebab dari kelembutan tangan seorang wanita (ibu), terdidiklah pria dan wanita yang agung. Maka di sini pentingnya pendidikan bagi perempuan agar memperoleh ilmu dan memberikan kepada anak-anaknya. “Akhlak-akhlak yang baik, perbuatan shaleh dan pembicaraan terdidik dari seorang ibu akan dilihat dan membuat sang anak akan tumbuh berdasarkan akhlak itu” (Devayan:2009). Maka pantas jika ada pernyataan, jika bangsa kehilangan wanita yang tangguh dan pendidik generasi muda, maka bangsa tersebut akan mengalami kemunduran. Di akhir “Opini”, penulis rubrik mengutip kalimat Kartini , “kita dapat menjadi manusia sepenuhnya tanpa berhenti menjadi wanita
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
30
sepenuhnya” (Devayan:2009). Kalimat yang dituliskan oleh Kartini ini layak menjadi renungan bagi perempuan. Di dalam ‘Opini’ ini, konotasi ibu ibarat samudera mahaluas terdapat pada paragraf ketiga. “Islam-lah yang menjadi pelopor dengan batasan-batasan yang konkrit mengenai pemahaman perempuan agar mereka tidak terjebak pada gerakangerakan yang menjatuhkan keagunannya sendiri. Karena perempuan sebagai ibu diberikan amanah untuk menjadi pemelihara generasi umat ini. Dimensi kelembutan dan kedamaian yang dimiliki ibarat barat samudera mahaluas-- tempat anak-anaknya merengkuh kasih sayangnya” (Devayan:2009). Perempuan atau ibu ibarat samudera mahaluas karena ibu menerima segala kesalahan dan kekurangan anaknya, berjiwa besar, sangat penyayang dan pemaaf. Samudera atau samudra (KBBI:2008) diartikan sebagai ‘lautan: Kepulauan Indonesia diapit oleh -- Pasifik dan -- Indonesia; 2 ki besar; raksasa: rapat -sering diselenggarakan di stadion utama’. Secara denotatif, ibu ibarat samudera mahaluas bermakna ibu seperti lautan yang besar dan raksasa. Akan tetapi dalam konteks tulisan ini, tidak dijelaskan lautan raksasa dan besar. Dalam pada itu, ibu ibarat samudera mahaluas telah mengalami perluasan makna. Konotasi yang digunakan
merupakan istilah
menggambarkan samudera mahaluas merengkuh kasih
sayang, pelabuhan
dalam rubrik
laut. Ekspresi ini
yang
seperti tempat
cinta dan sikap pengertian tiada tara.
Ekspresi tempat merengkuh kasih sayang ditujukan kepada seorang ibu yang telah merawat dan membesarkan anak-anaknya. Kasih sayang yang terpancar dalam pandangan ibu yang penuh dengan cahaya merupakan manifestasi dari kasih sayang dan rahmat Allah Swt. Oleh karena itu disebut mahaluas. Mahaluas samudra kasih sayang ibu kepada keluarganya. Kemudian pelabuhan cinta menggambarkan tempat sandaran bagi cinta kasih anak dan keluarga dengan rasa mengerti yang tiada tara. Ekspresi pengertian tiada tara diungkapkan oleh penulis rubrik sebagai ungkapan sifat sang ibu. Sifat
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
31
ibu yang terus mengerti tanpa henti kepada anak dan keluarga. Gambaran dan ekspresi tersebut sangat menggambarkan sosok ibu yang
baik. Peneliti
menemukan kaitan ekspresi pengertian dan cinta tiada tara sangat terkait dengan konotasi ‘samudera mahaluas’. Peneliti berkesimpulan bahwa ibu adalah samudera mahaluas merupakan konotasi. Penanda konotasi adalah ibu sementara itu petanda konotasi adalah ibarat samudera mahaluas. ibu adalah samudera mahaluas secara konotatif bermakna ibu memiliki cinta tiada tara, sifat cinta dan kasih sayang. 3.5 Alat AKP 4 3.5.1 Rubrik 7 Tulisan ini membahas Prita yang digambarkan sebagai pejuang pencari keadilan. Prita seorang perempuan dan ibu rumah tangga biasa yang terjerat kasus hukum atas pelayanan rumah sakit. Prita dikurung dalam tahanan. “Prita hanyalah korban, korban elit penguasa yang menjerumuskan masyarakat kecil dengan tuduhan mencemarkan nama baik” (Bantasyam:2009). Pada akhirnya,
Prita
dibebaskan dari kurungan dan mendapatkan simpati besar dari masyarakat. Menurut rubrik ini, kasus Prita
merupakan contoh penegakkan hukum yang
tebang pilih. Hukum yang tebang pilih seperti kasus Prita diekspresikan cermin retak dalam penegakkan hukum di Indonesia. Menurut Donald Black dalam tulisan ini, penulis rubrik menjelaskan keberlakuan hukum dalam konteks strata sosial tertentu. Black menilai bahwa (penegak) hukum sering berlaku keras tanpa tedeng aling-aling, tanpa kasihan, saat berhadapan dengan orang-orang biasa atau yang berbeda strata, budaya, pengetahuan dan aspek sosial lainnya. “Namun jika berhadapan dengan orang berpangkat, kaya, berstatus sosial tinggi, maka (penegak) hukum menjadi sosok yang lemah, loyo, tak ada tenaga” (Bantasyam:2009). Perilaku yang ditulis Black sungguh-sungguh membuat penulis galau ketika kemudian perilaku itu bukan lagi sekedar hadir di Negara Obama pada suatu ketika dulu, melainkan juga hadir di halaman dalam rumah bangsa, di Indonesia.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
32
“Beberapa tahun lalu, banyak koruptor kelas kakap yang kabur dari negeri ini bukan karena mereka memiliki ilmu menghilangkan diri, melainkan karena penegak
hukum
bersikap
lemah
saat
berhadapan
dengan
mereka”
(Bantasyam:2009). Tambahan pula, terdapat banyak pelaku illegal logging yang leluasa menjalankan bisnisnya, bukan karena mereka itu mampu bekerja secara tidak kasat mata, melainkan karena penegak hukum menyembah mereka. Lihat pula Satpol PP yang bertindak sangat garang dan bengis kepada penghuni liar, namun lemah lunglai saat berhadap dengan pemilik villa mewah di beberapa tempat di Jawa. Semua kisah tersebut memaparkan contoh betapa ironis penegakkan hukum di Indonesia. Pada saat sekarang, ramai pula hukum yang terkait dengan perempuan seperti yang dialami Prita. “Kasus prita adalah cermin retak. Cermin retak
karena
penegakkan
hukum
di
Indonesia
masih
tebang
pilih”
(Bantasyam:2009). Pada paragraf kesembilan dalam rubrik ini terdapat ekspresi konotasi yaitu Kasus Prita seperti cermin retak. Hal ini jleas dikutip dari rubrik, …”Namun munculnya kasus Prita, memberi semacam tanda bahwa reformasi mental belum lagi selesai di negeri ini. Kasus Prita sesungguhnya juga cermin retak dalam kehidupan berbangsa, cermin cara bertindak dan berpikir Cermin retak karena penegakkan hukum di Indonesia masih tebang pilih” (Bantasyam:2009).
Cermin merupakan alat untuk melihat bayangan benda. Secara denotatif Kasus Prita seperti cermin retak; kasus Prita merupakan alat untuk melihat bayangan yang retak. Retak
bermakna
‘tampak bergaris pada barang keras
(seperti piring, batu) yang menandakan akan pecah’ (KBBI:2008). menandakan akan pecah dimaksud adalah
Yang
karena kasus Prita. Di sisi lain,
ekspresi konotasi kasus Prita adalah cermin retak mengalami perluasan makna. Kasus Prita merupakan cermin retak dalam penegakkan hukum di Indonesia. Dalam rubrik ini, konotasi yang digunakan merupakan istilah alat berkaca diri yaitu cermin. Penulis rubrik menggunakan ekspresi pendukung seperti sulit mendapatkan keadilan; dilayani hanya bagi yang sanggup membayar
untuk
menggambarkan cermin retak.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
33
Penulis mengatakan …”Sedemikian itulah, sehingga kemungkinannya adalah rakyat selalu sulit mendapatkan keadilan, misalnya karena mereka bukan siapa-siapa. mereka bukan siapa-siapa ditujukan kepada semua rakyat khususnya perempuan dalam konteks ini. Perempuan yang biasa-biasa saja; tidak mendapatkan keadilan” (Bantasyam:2009). Lebih lanjut, penulis rubrik menggambarkan .”dalam hukum acara, dikenal asas praduga tak bersalah” (Bantasyam:2009). Namun jika berhadapan dengan orang kecil, sering asas ini menguap begitu saja. Terlebih lagi muncul “slogan ‘berani membela yang bayar,’ plesetan dari ‘berani membela yang benar.’ berani membela yang bayar” (Bantasyam:2009). Berani membela yang bayar merupakan ekspresi bahwa pelayanan hukum hanya bagi yang sanggup membayar dan memiliki uang yang banyak. Yang sanggup membayar, memiliki uang yang banyak merupakan ekspresi orang kaya dan pemiliki modal. Sementara itu, jika orang miskin, orang biasa saja, perempuan yang tidak memiliki uang banyak, tidak akan mendapatkan praduga tak bersalah; persamaan sebelum diadili; keadilan hukum. Diekspresikan cermin retak karena tidak mampu mencerminkan kondisi yang semestinya. Menurut penulis rubrik, perempuan adalah makhluk lemah dan harus dilindungi. Lemah dan harus dilindungi digambarkan sebagai ekspresi tentang Prita. Perempuan harus dilindungi karena ia makhluk yang lemah merupakan kondisi yang semestinya terjadi. Kondisi yang semestinya terjadi disebut
cermin yang baik. Kondisi semestinya terjadi maksudnya adalah
perempuan mendapatkan perlindungan tetapi jika sebaliknya perempuan tidak mendapatkan perlindungan maka inilah gambaran cermin yang retak. Kesimpulannya, perempuan yang tidak mendapatkan keadilan adalah cermin retak adalah konotasi. perempuan yang tidak mendapatkan keadilan adalah cermin retak secara konotatif bermakna perempuan sebagai makhluk lemah dan dilindungi oleh hukum malah tidak mendapatkan keadilan. Penanda konotasi adalah perempuan yang tidak mendapatkan keadilan, sementara itu petanda konotasi adalah cermin retak.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
34
3.5.2 Rubrik 8 Di dalam rubrik ini, penulis rubrik menceritakan tentang pengalaman dan pendapatnya tentang perempuan di Aceh sekitar awal 70-an. Perempuan disebut sebagai barse— singkatan dari barang sementara-- sebuah istilah yang terkenal saat itu. Barang sementara maksudnya ialah selingkuhan atau pelacur yang sekarang diganti nama dengan PSK. Artinya si lelaki itu sudah punya isteri, tetapi kemudian dia menggandeng perempuan lain untuk barang mainannya. Penulis rubrik “menggambarkan ironisnya keadaan perempuan saat itu. Keadaan perempuan saat itu yang menjadi barang dan mainan” (Amiruddin:2010). Di saat yang bersamaan terdapat sebuah kebiasaan yang salah di kalangan kaum lakilaki. Laki-laki sering menilai orang perempuan berdasarkan sisi cantiknya saja. Apabila terjadi pembicaraan masalah perempuan di kalangan laki-laki maka pasti seputar kecantikannya. Jikapun ada pembicaraan seputar hal lainnya maka itu jarang sekali. Tidak diketahui kenapa kaum laki-laki senang membicarakan perempuan cantik. Penulis rubrik menutup pendapatnya dengan berargumentasi budak juga sering dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan. Ketika dia masih dapat digunakan termasuk untuk pemuas nafsu, dia akan dibeli. Tetapi ketika dia tidak berguna mereka tidak ada yang beli. Mungkin sebab-sebab itulah kemudian Allah mewajibkan kaum perempuan agar menutup auratnya termasuk memakai jilbab agar kaum perempuan ini tidak dianggap sebagai barang. Konotasi perempuan ibarat simpanan adalah barse (barang sementara) terdapat pada paragraf pertama. Penulis menyatakan “Awalnya saya berkenalan dengan kota Lhoksemawe, ketika saya duduk di bangku SLTA, sekitar awal 70-an. ‘Barse’— singkatan dari Barang Sementara, istilah yang terkenal saat itu. Barang sementara ini maksudnya selingkuhan, atau pelacur yang sekarang diganti nama dengan PSK. Artinya si lelaki itu sudah punya isteri, tetapi kemudian dia menggandeng perempuan lain untuk barang mainannya” (Amiruddin:2010).
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
35
Konotasi yang digunakan adalah istilah alat. Perempuan simpanan diumpamakan barse (barang sementara) dalam rubrik ini karena ada relasi ekspresi seperti dapat dibeli, digunakan/dipakai dan masa pakai. Dapat dibeli maksudnya dibeli dengan sejumlah uang. Sementara itu dipakai atau digunakan yaitu dipakai oleh para pria dan masa pakai bermakna sifat sementara karena terdapat periode waktu tertentu. Setelah periode waktu tertentu, perempuan simpanan ditinggalkan dan pria kembali kepada istri sahnya. Ekspresi kembali kepada istri sah menunjukkan gambaran bahwa perempuan yang lama ditinggalkan begitu saja. Ekspresi barang sementara dikaitkan dengan perempuan merupakan cerminan perempuan tidak memiliki manfaat dan harga diri. Perempuan hanya dipakai sementara dan setelahnya dibuang. Ekspresi perempuan yang menjadi istri simpanan sama dengan budak yaitu sama-sama dapat dibeli. Dapat dibeli dengan mudah, dibuang dan dilupakan. Tak ubahnya sebuah barang. untuk mencegah perempuan dianggap sebagai barang, perempuan dianjurkan menutup aurat. “Budak sebagai mana kita baca dalam sejarah juga sering dianggap sebagai barang yang diperjual belikan. Ketika dia masih dapat digunakan termasuk untuk pemuas nafsu dia akan dibeli. Tetapi ketika dia tidak berguna mereka tidak ada yang beli. Mungkin sebab-sebab itulah kemudian Allah mewajibkan kaum perempuan agar menutup auratnya termasuk memakai jilbab agar kaum perempuan ini tidak dianggap sebagai barang” (Amiruddin:2010). Peneliti menemukan intisari bahwa tulisan ini berisi konotasi perempuan simpanan merupakan barang sementara (barse). Secara konotatif perempuan simpanan merupakan barang sementara (barse) adalah perempuan simpanan tidak menjadi simpanan dan bertobat serta menutup aurat agar kehormatan mereka terjamin. Penanda konotasi adalah perempuan simpanan di pihak lain petanda konotasi adalah barang sementara (barse). 3.5.3 Rubrik 9 Rubrik ini membahas pergerakan politik inong (perempuan). Salah satu yang menarik adalah istilah perempuan yang digunakan disini disebut dengan inong: bahasa Aceh yang artinya perempuan. Tulisan ini memberikan uraian sejarah
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
36
yaitu setelah Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 disahkan, inong masih terpinggirkan dan dikesampingkan dari proses perdamaian. Sampai hari ini lembaga-lembaga PBB masih membahas tentang indikator partisipasi inong dalam perdamaian dan keamanan. Menurut pengamatan penulis rubrik, Aceh tidak banyak berubah. “Proses perdamaian masih menjadi dunia laki-laki, dan kalau pun perempuan disertakan hanya sebagai etalase” (Marhaban:2010). Perempuan masih terpinggirkan dan dikesampingkan dari proses perdamaian. Ketika militer menang dalam perang melawan LTTE (Kelompok Milisi Macan Tamil Elam) di Srilanka, hampir tidak ada perhatian internasional tentang apa yang terjadi di sana untuk para perempuan dalam situasi pasca perang. Bahkan, beberapa perempuan yang merupakan bagian dari tim negosiasi dalam perundingan damai yang difasilitasi oleh Norwegia sekarang meringkuk di penjara. Penulis mencontohkan,”Baik Norwegia, maupun organisasi resmi dunia atau LSM internasional, tidak berupaya untuk membebaskan mereka karena Srilanka dan kekuatan militernya berhasil membungkam mata internasional dari ketidakadilan ini” (Marhaban:2010). Mungkin dalam mengekspresikan sentimen gembira kita bisa berhenti sebentar dan bercermin diri atas situasi saat ini, bahwa melaksanakan Resolusi Dewan keamanan PBB sebanding dengan membesarkan anak berusia 10 tahun. Menghadapi sakit yang tumbuh dan nyeri ketidakpastian. Pada akhirnya penulis mengingatkan masyarakat Aceh inilah kesempatan untuk mengangkat marwah perempuannya, sebagai ibu dan juga tokoh penting politik, seperti indatu-indatunya’. Konotasi perempuan sebagai etalase terdapat pada paragraf ketujuh dalam rubrik. Hal ini jelas disebutkan oleh penulis, yaitu …”Sampai hari ini lembaga-lembaga PBB masih membahas tentang indikator partisipasi inong dalam perdamaian dan keamanan. Sayangnya hari ini, satu dekade setelah keputusan telah dibuat, situasi yang sebenarnya tidak banyak berubah. Proses perdamaian masih menjadi dunia laki-laki, dan kalau pun perempuan disertakan hanya sebagai ‘etalase’ (Marhaban:2010).
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
37
Secara denotatif, etalase (KBBI:2008) bermakna
‘tempat memamerkan
barang-barang yg dijual (biasanya di bagian depan toko)’. Barang-barang yg dijual dipamerkan di depan toko. Namun dalam konteks tulisan rubrik, tidak ada barang yang disebutkan untuk dijual. Subjek dari ‘etalase’ adalah perempuan. Artinya secara denotatif, perempuan dijadikan sebagai pameran untuk diletakkan di depan toko. Ungkapan pameran untuk diletakkan di depan toko ternyata tidak sesuai dengan isi tulisan, maka ‘perempuan sebagai etalase’ telah mengalami perluasan makna. Konotasi yang digunakan adalah istilah alat pajang. Ekspresi-ekspresi yang bertendensi etalase dalam rubrik ini seperti korban elit kuasa, dikesampingkan dan terpinggirkan. Posisi perempuan diekspresikan dalam pelbagai bidang tidak banyak berubah. Kondisi damai yang justru menggambarkan ketakutan yang baru bagi perempuan dengan mengatasnamakan agama yang sebenarnya hanya merupakan kontrol kuasa dan pembenaran-pembenaran ide patriarkhal atas nama budaya, moral dan tradisi. Mengatasnamakan agama yang sebenarnya hanya merupakan ekspresi kontrol dari elit penguasa. Ekspresi terpinggirkan mendeskripsikan perempuan tidak mendapatkan prioritas utama. Dikesampingkan juga merupakan ekspresi etalase. Sementara itu,selain memfokuskan perdamaian pemerintah lebih tertarik membahas investasi dan keuangan. Penulis mengatakan “Situasi di Aceh pada transisi damai ini, para elitenya lebih banyak berbicara tentang investasi karena modal dan suntikan baru dari perusahaanperusahaan internasional yang kaya atau negara lain yang diduga akan membawa manfaat bagi rakyat. Lupa bahwa kadang-kadang apa yang benarbenar dibutuhkan oleh rakyat adalah perdamaian dan keamanan, hukum, ketertiban, dan rasa keadilan” (Marhaban:2010). Lupa merupakan ekspresi terpinggirkan mendeskripsikan perdamaian Aceh yang tidak mendapatkan prioritas utama. Terkait dengan perdamaian dan peran perempuan Menurut penulis berdasarkan Deklarasi Beijing dan Millenium Development Goals perempuan harus lebih baik di masa depan. “Terutama perempuan di daerah konflik yang sering menjadi ‘objek penyerangan’ baik dari kelompok musuh atau sendiri. Saat ini, negara-
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
38
negara di dunia membentuk Rencana Aksi Nasional 1325, masih pada tahap rencana dan bukan aksi, tak terkecuali negara maju di Barat. Tentu saja ada beberapa perkembangan positif di sana-sini, seperti dalam pengaturan pascakonflik di Nepal, di mana perempuan tidak termasuk dalam perundingan damai namun mereka berhasil membangun konsolidasi gerakan dan meyakinkan pemerintahnya bahwa konstribusi perempuan adalah penting” (Marhaban:2010). Berdasarkan konteks rubrik ini, peran perempuan lebih ditinjau dari sisi perdamaian. Ekspresi dikecualikan: Dari Aceh ke Afghanistan, dari Darfur ke Fiji, perempuan telah dikecualikan baik sengaja atau hanya diabaikan sebagai tidak relevan.
Perempuan dalam pemberdayaan dan optimalisasi peran menjaga
perdamaian Ekspresi dikesampingkan dan terpinggirkan sebenarnya telah mengurangi nilai perdamaian itu sendiri yang selama konflik Aceh merupakan daerah yang piawai memperjuangkan HAM. Bah”kan para wanita harus memperjuangakan haknya; Para wanita masih menghadapi tantangan yang sama dan belum berhasil membawa masalah ini ke tingkat yang lebih tinggi dan menggunakan beberapa momentum DK PBB 1325 untuk membuat setiap bangsa lebih memperhatikan nasib warga perempuan mereka” (Marhaban:2010). Di sisi lain, Situasi di Aceh pada transisi damai ini, para elitenya lebih banyak berbicara tentang investasi karena modal dan suntikan baru dari perusahaan-perusahaan internasional yang kaya atau negara lain yang diduga akan membawa manfaat bagi rakyat. Ekspresi perhatian kepada modal dan investasi merupakan pendukung terhadap ekspresi perdamian daerah konflik adalah korban elit kuasa. Ekspresi kebijakan elit kuasa turut mengenyampingkan peran perempuan dan perdamaian di Aceh. Bercermin dari kasus Nepal, maka seharusnya perempuan di Aceh mendapat tempat lebih baik dalam peran perdamaian aceh. Yang dipajang dari perempuan
bukan sisi kepintaran, tetapi
objek, pengenyampingan dan
terpinggirkan. Peneliti menarik simpulan, perempuan adalah etalase
adalah konotasi.
Secara konotatif perempuan adalah etalase bermakna perempuan dimanfaatkan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
39
secara fisik dan tidak diikutsertakan dalam proses perdamaian Aceh. Penanda konotasi adalah perempuan dan petanda konotasi etalase. 3.5.4 Rubrik 10 Penulis rubrik menggambarkan keadaan perempuan yang ditinggalkan suami pasca DOM dan daerah Ulee Glee dalam rubrik ini. Di satu sisi orang Ulee Gle mungkin agak sedikit bangga bila orang menyebutkan sebagai masyarakat parang lam situek karena fanatisme kelokalan primordial itu. Cap ‘Parang lam situek’ yang diberikan pada orang Ulee Gle mengindikasikan bentuk masyarakat berkarakter beringas, kejam dan keras, serta berani dan tak mau kompromi, karena ketertinggalan cara berfikir mereka yang masih kolot, serta fanatis primordial tak beralasan hingga membentuk watak dan karakter masyarakat yang sangat lokal. “Meskipun kadang kala mereka kalah gertak ketika berhadapan orang lain di luar kandang sendiri”(Bahany:2010). Artinya, karakter keberingasan dan keberanian masyarakat Ulee Gle yang dikenal dengan parang lam situek hanya berani ketika mereka berada di wilayahnya, begitu ke luar kandang dan merantau ke daerah lain baru menyadari bahwa mereka yang menganggap dirinya kha (hebat) dan berani di Ulee Gle, ternyata di luar itu masih banyak orang lain yang lebih kha lagi dibandingkan keberanian mereka. Menurut penulis rubrik,
perempuan merupakan
jaring merah TNI
merupakan konotasi. Hal ini terdapat pada paragraf kedelapan dalam artikel. “Ulee Gle termasuk wilayah basis ‘jaring merah’ yang menjadi sasaran utama Operasi Militer.Pertanyaan kita, siapa yang bertanggungjawab terhadap para janda di desa Cot Keng(Ulee Gle) dan masa depan anak-anak mereka di saat para petinggi GAM menikmati hasil perdamaian hari ini” (Bahany:2010). perempuan menjadi sasaran utama Operasi Militer. Ulee Glee pernah didatangi oleh Komnas HAM untuk memfalisitasi tiga perempuan janda dari desa Cot Keng Ulee Gle. Memfalisitasi tiga perempuan janda untuk melaporkan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Mereka dibawa ke Jakarta oleh komnas HAM. Kedatangan tiga perempuan janda ini mendapat liputan media luar biasa dari dalam dan luar negeri. “Kemudian Komnas HAM turun ke Aceh
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
40
menginvestigasikan hasil laporan tiga perempuan janda korban kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat keamaan negara di Ulee Gle” (Bahany:2010). Sebagai simpulan, penulis rubrik menggambarkan seiring munculnya generasigenerasi terdidik baru yang mencoba melepas diri dari ekspresi kultur kelokalan karakter yaitu parang lam situek. Cap parang lam situek yang pernah diberikan pada masyarakat ini telah buyar dengan sendirinya. Secara denotatif, makna jaring dan merah
adalah; jaring bermakna ‘alat
penangkap ikan, burung, dsb yg berupa siratan (rajutan) tali (benang) yg membentuk mata jala.’ Sementara itu, merah memiliki arti ‘warna dasar yg serupa dng warna darah.’ Jaring merah alat penangkap yang memiliki warna dasar yg serupa dng warna darah. Akan tetapi, tidak ditemukan ekspresi dan penjelasan yang mengindikasikan bahwa jaring merah yang dimaksud adalah alat penangkap yang memiliki warna dasar yang serupa dengan warna darah. Oleh karena itu, jaring merah telah mengalami perluasan makna. Konotasi janda merupakan korban jaring merah TNI menggunakan istilah jaring. Janda merupakan jaring merah TNI bermakna istri berubah menjadi janda karena TNI telah membuat daerah suami mereka target,basis utama dan penangkapan pada masa DOM. Ekspresi-ekspresi korban, basis utama dan pelanggaran HAM merupakan ekspresi yang terkait dengan jaring merah. Penangkapan, target
dan sasaran utama menjadi ekspresi jaring merah.
Penulis menyatakan; “Pada saat DOM daerah Ulee Glee, Pidie Jaya merupakan Jaring merah. Daerah ini merupakan basis utama GAM. Pada saat DOM usai, para wanita yang menjadi janda bertempat tinggal di desa Ulee Glee masih tetap dijadikan jaring merah TNI. Desa Ulee Glee ini disebut oleh penulis rubrik menjadi jaring merah TNI karena dikuatirkan akan muncul bibitbibit GAM yang baru (Bahany:2010). Penulis rubrik memaparkan terdapat kasus tiga perempuan janda di Ulee Glee. Tiga orang janda ini menjadi korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Ulee Glee. Kasus perempuan janda korban kekerasan dan pelanggara HAM oleh aparat keamaan negara di Ulee Gle. Tiga Perempuan janda desa Cot Keng Ulee
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
41
Gle ini difalisitasi oleh LSM dan dosen untuk melaporkan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh ke Komnas HAM di Jakarta tahun 1998. Kedatangan tiga perempuan janda dari Cot Keng Ulee Gle ke Komnas HAM ini mendapat liputan media luar biasa dari dalam dan luar negeri. Peneliti menyimpulkan janda merupakan jaring merah TNI adalah konotasi. Secara konotatif janda merupakan jaring merah TNI bermakna istri kehilangan suami mereka karena menjadi korban penangkapan dan kekerasan TNI pada masa DOM. Penanda konotasi adalah janda di pihak lain petanda konotasi adalah jaring merah TNI. 3.6 Kedokteran AKP 5 3.6.1 Rubrik 11 Tulisan ini mengangkat tentang perempuan dalam kancah politik. Menurut penulis rubrik, kehadiran kaum hawa di parlemen diharapkan guna memenuhi panggilan nurani untuk berbuat, berfikir dan berkiprah untuk kemajuan bangsa dan negara, serta sangat di haramkan untuk sebagai momen dan ajang untuk mencari kepentingan pribadi. “Sentuhan tangan wanita sarat dengan kelembutan, kekuatan dan ketegaran. Kaum wanita melalui pemilu 2009 mendapat angin segar untuk menunjukkan eksistensi diri, menebarkan pesona dan keindahan bagai banyak orang serta menjadi suri tauladan bagi masyarakat luas“ (Soekardi:2009). Akan tetapi, sayang kuantitas jumlah wanita di DPR,DPRD dan DPRK masih sangat minim. Ini dipicu pula oleh slogan wanita yang terjun dalam perpolitikan seakan mengkotomi para pria. Konotasi kaum wanita di parlemen seakan mengkotomi peran lelaki terdapat pada paragraf kesembilan dalam rubrik. Konotasi yang digunakan adalah istilah kedokteran. Hal ini jleas disebutkan oleh Penulis bahwa
”Akan tetapi , sayang kuantitas jumlah wanita di DPR,DPRD dan DPRK masih sangat minim. Ini dipicu pula oleh slogan wanita yang terjun dalam perpolitikan seakan mengkotomi para pria” (Soekardi:2009). Merujuk dalam KBBI (2008) tidak terdapat kata mengkotomi. Akan tetapi yang ada hanyalah kata dikotomi yang bermakna ‘n pembagian atas dua kelompok yg saling
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
42
bertentangan’. Namun, dalam konteks ini wanita seakan mengkotomi peran pria telah mengalami perluasan makna. Ekspresi-ekspresi yang menggambarkan makna mengkotomi peran dalam rubrik ini adalah membelenggu, mengambil dan membatasi. Peneliti menemukan ekspresi wanita lebih sering digunakan daripada ekspresi perempuan. Wanita yang ikut andil dalam parlemen diekspresikan membelenggu dan mengambil peran yang seharusnya dimiliki oleh lelaki, menurut penulis. Wanita mengkotomi peran lelaki di parlemen dalam rubrik ini diekspresikan mengambil peran ini secara tidak wajar. Ekspresi dikotomi merupakan ungkapan negatif bagi perempuan yang terjun dalam perpolitikan. Seutuhnya, niat dan keberadaan wanita dalam legislatif dapat bahu membahu dengan para pria. mengkotomi dimaknai seperti belenggu dan batasan. Keberadaan perempuan tidak bermaksud untuk membatasi dan saling membelenggu. Ekspresi membelenggu memungkinkan para pria untuk lebih maju daripada wanita. Jika awalnya wanita sudah dibelenggu ,hal yang mustahil kesetaraan dan kesejajaran dengan pria terwujud. Sebagai kesimpulannya, Wanita
mengkotomi peran lelaki meruapak
konotasi. Secara konotatif Wanita mengkotomi peran lelaki bermakna wanita dalam parlemen dianggap membatasi dan membelenggu keberadaan pria. Penanda konotasi adalah kaum wanita petanda konotasi adalah mengkotomi peran pria. 3.6.2 Rubrik 12 Dalam tulisan ini digambarkan pandangan penulis tentang kebijakan terkait pakaian perempuan. Penulis mempertanyakan perempuan yang dilarang berkiprah di pelayanan publik seperti dokter bekerja di rumah sakit hanya karena mereka memakai celana ketat. Ketat sangat relatif. “Kriteria ketat yang disebutkan dalam peraturan
daerah
tersebut
adalah
yang
menampakkan
bentuk
tubuh”
(Kemalawati:2010). Ironis sekali jika hanya perempuan yang disorot sebagai sumber maksiat. Akan tetapi yang membuat penulis rubrik bertanya-tanya apa urgennya mengurus celana ketat perempuan.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
43
Sementara di dalam benak sebagian para lelaki berselemak maksiat sejak mata mulai nanar menatap layar kaca. Di setiap ruang keluarga atau di layar HP, laptop, komputer dengan fasilitas internet bahkan bisa menikmati oleh lelaki dengan bebas. “Misalnya buah dada bintang iklan, tanpa terhalang kain serupa bahan celana jeans yang menutup ketat paha si belia” (Kemalawati:2010) . Apakah dengan memakai rok dapat menjamin berkurangnya maksiat di Meulaboh. Apakah yang harus menjaga aurat itu hanya perempuan, sedangkan lelaki tidak. Contoh kasus tiga dokter spesialis yang dicopot hanya karena memakai celana ketat meskipun mereka sudah berjilbab merupakan cermin. Cermin ketidakadilan. Cermin penerapan peraturan daerah yang salah.
Sebagai
kesimpulan, penulis rubrik berekspresi ‘Saya hanya bermimpi suatu saat Bupati Meulaboh akan membuat S.K (Surat keputusan) supaya semua dokter ahli harus ada dan menetap di Meulaboh dengan fasilitas yang memadai sesuai dengan kemampuan daerah” (Kemalawati:2010). Terlebih lagi Penulis mengingatkan untuk berhenti merasa lebih ahli dari orang yang ahli dalam mengambil keputusan. Perempuan penyebab alergi merupakan konotasi dan terdapat pada paragraf keempat dalam rubrik. Penulis menggambarkan konotasi alergi sebagai berikut. “Alergi terhadap celana ketat bagi perempuan berjilbab. Pemimpin tentu bisa melakukan apa saja yang dianggap benar .Membuat peraturan melarang perempuan memakai celana ketat dan mencopot dokter spesialis. Tetapi dengan lumpuhnya layanan rumah sakit apakah tindakannya itu benar dan memihak rakyat. Menghambur-hamburkan uang dengan membeli rok lalu membagi gratis kepada perempuan yang terkena razia apakah hal itu suatu tindakan yang lebih penting dari membenahi moral diri sendiri, keluarga dan masyarakat” (Kemalawati:2010). Alergi merujuk kepada ‘perubahan reaksi tubuh terhadap kuman-kuman penyakit; 2 keadaan sangat peka thd penyebab tertentu (zat, makanan, serbuk, keadaan udara, asap, dsb) yg dalam kadar tertentu tidak membahayakan untuk sebagian besar orang’. Secara denotatif, pemakaian celana ketat bagi perempuan berjilbab mengakibatkan perubahan reaksi dalam tubuh. Akan tetapi penulis tidak
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
44
memberi
penjelasan terkait hal tersebut. Dalam pada itu, Konotasi yang
digunakan adalah istilah kedokteran. Ekspresi yang menggambarkan alergi dalam rubrik ini adalah luat (jijik yang berlebihan), merasa gatal dan fobia. Ekspresi Luat menggambarkan kesan jijik terhadap para perempuan berjilbab yang memakai celana ketat. Ekspresi merasa gatal dan fobia diyakini bertendensi untuk memberi penjelasan bahwa penulis rubrik
terkait konotasi. Merasa gatal karena tidak
merasa sesuai dengan pemakaian celana ketat bagi perempuan yang berjilbab. Konotasi alergi pemakaian celana ketat terhadap perempuan cenderung bersifat negatif. Ekspresi yang mendukung makna negatif ini adalah luat, merasa ahli dan fobia. Penulis meminta agar Bupati meulaboh Turun dan lihatlah bagaimana keadaan rakyat kecil yang engkau pimpin, hidup penuh dengan kemelaratan. Rakyat kecil berduyun-duyun antri menuju rumah sakit pemerintah dengan mengandalkan surat miskin untuk dapat dilayani. Kadang penyakit yang diderita sudah sangat kronis. “Dengan tak cukupnya dokter ahli maka rakyatmu akan terus meminum obat yang salah sehingga jangankan berharap panjang umur malah kuburan bertambah dekat” (Kemalawati:2010). 3.7 Pameran AKP 6 Rubrik 13 Tulisan ini membincangkan kontroversi pemakaian celana panjang jeans oleh wanita Aceh. Larangan perempuan bercelana panjang jeans dan ketat serta ancaman gunting di tempat bagi yang melanggar sedang berlangsung saat tulisan ini dimuat khususnya di Aceh Barat. Ketika itu pemerintah setempat mengeluarkan peraturan daerah bahwa wanita tidak boleh menggunakan jeans dan celana ketat.
Untuk mempertahankan pendapat, penulis rubrik memperkuat
argumentasinya dengan menyebutkan dua dalil syar’i. Pertama, dalil Alquran menyatakan bahwa perempuan harus menutup kepala yang memanjang sampai ke dada (An-Nur:31). Kedua, hadist
yang menyatakan bahwa wanita yang
berpakaian seperti telanjang, berjalan lenggak lenggok, menggoda/memikat, kepala mereka berpanggul besar dibalut laksana punuk unta; mereka ini tidak akan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
45
masuk sorga dan tidak akan dapat mencium harumnya, padahal keharuman sorga dapat tercium dari jarak yang jauh (HR Muslim). Penulis rubrik mengasumsikan tampaknya “celana panjang perempuan Aceh masa lampau mencerminkan ketaatan pada syariat Islam sekaligus menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan yang dinamis” (Abubakar:2009). Penulis rubrik berharap agar prinsip-prinsip berpakaian dalam Islam di satu sisi juga mampu menyerap kebutuhan muslimah Aceh masa kini. Masa kini yang sudah jauh berbeda dengan kebutuhan muslimah Arab dulu. Dalam rubrik ini, konotasi perempuan adalah pameran terdapat pada paragraf ketiga. “Tampaknya, aturan melarang celana panjang bagi wanita yang digagas Bupati Aceh Barat, Ramli, sebagai aktualisasi semangat bersyariat Islam begitu besar; hal ini tentu saja harus kita syukuri. Ide ini juga dianggap dapat menyelesaikan masalah kecenderungan banyak perempuan Aceh kepada mode pakaian masa kini yang cenderung ‘memamerkan’ perempuan”. Konotasi yang digunakan merupakan istilah pameran.
Kalimat yang
menggekspresikan pameran dalam rubrik ini adalah mempertontonkan kepada khalayak setiap lekuk tubuhnya. Ekspresi mempertontonkan merupakan ekspresi penulis rubrik untuk menjelaskan perempuan berjilbab yang bercelana panjang dan ketat. Peneliti melihat keterkaitan antara ekspresi pameran dengan hadist yang dicantumkan oleh penulis rubrik. Ekspresi membungkus kulit tubuh sehingga tidak kelihatan. Melapisi badan dengan kain tipis sehingga warna kulit dan bentuk tubuh tampak transparan. Akan
tetapi menutup bagian-bagian tubuh wanita
sehingga ciri kewanitaan pada tubuhnya tidak diketahui orang lain, baik warna kulit maupun bentuk atau lekukan-lekukan tubuh. Dengan cara itulah Islam menjaga kehormatannya sebagai wanita. Artinya, tujuan perintah menutup aurat adalah untuk menghormati dan melindungi wanita itu sendiri. “Sebetulnya yang dituntut oleh Islam bukanlah rok dan jilbab yang sekedar ‘membungkus’ kulit tubuh sehingga tidak kelihatan, atau ‘melapisi’ badan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
46
dengan kain tipis sehingga warna kulit dan bentuk tubuh tampak transparan. Tetapi ‘menutup’ bagian-bagian tubuh wanita, sehingga ciri kewanitaan pada tubuhnya tidak diketahui orang lain, baik warna kulit maupun bentuk atau lekukan-lekukan tubuh” (Abubakar:2009). Dengan cara itulah Islam menjaga kehormatannya sebagai wanita. Artinya, tujuan perintah menutup aurat adalah untuk menghormati dan melindungi wanita itu sendiri. Di sisi lain, penulis menyebutkan perbandingan dengan keadan perempuan Aceh berjilbab pada masa dahulu. Penulis menggambarkan, “Secara sosiologis, wanita Aceh dulu memang membutuhkan pakaian yang seperti itu karena aktivitas mereka sebagai serdadu perang (inong balee), bahkan panglima laut seperti Laksamana Malahayati. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya anggota laskar inong balee tersebut turun naik gunung, berlari, melompat, dan merayap, sambil menyandang senjata sekiranya pakaian mereka adalah jenis baju kurung atau rok panjang” (Abubakar:2009). Di samping itu, terdapat Aktivitas lain wanita Aceh seperti bersawah dan berkebun di pedalaman Aceh. Pada saat bersawah dan berkebun memang sangat membutuhkan pakaian yang tidak sekedar menutup aurat tapi juga dapat digunakan dengan tetap terasa nyaman dan aman di badan. Nyaman dan aman sehingga aktivitas tetap dapat dilakukan dengan semestinya. Karena itu, tampaknya celana panjang perempuan Aceh masa lampau mencerminkan ketaatan pada syariat Islam sekaligus menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan yang dinamis. Berdasarkan
penjelasan
tersebut,
peneliti
menyimpulkan
bahwa
perempuan berjilbab menggunakan celana jeans ketat ibarat pameran merupakan konotasi. Secara konotatif perempuan berjilbab menggunakan celana jeans ketat ibarat pameran bermakna perempuan berjilbab menggunakan celana jeans telah mempertontonkan lekuk tubuh sehingga dilihat oleh non muhrimnya. Pada saat bersamaan perempuan telah meruntuhkan martabatnya. 3.8 Kekerasan AKP 7 3.8.1 Rubrik 14
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
47
Penulis rubrik memaparkan pendapatnya tentang peran perempuan dalam BRR dan lembaga non pemerintahan. Penulis mengungkapkan bahwa kegiatan lembaga non pemerintahan di Aceh memiliki fungsi yang jelas untuk membantu dan membangun Aceh pasca bencana. “Kiprah laki-laki dan perempuan diharapkan harus berimbang” (Mahdi:2006). Berimbang baik dari sisi kedudukan, pengambil kebijakan dan intelektualitas dalam berkirah di lembaga tersebut. Banyak lembaga yang telah ada seperti, BRR, UNDP dan lainnya. Ironisnya, di lembaga tersebut, peran perempuan masih sangat minim. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Kedudukan penting seperti manager tidak diberikan kepada perempuan. Penulis rubrik mengharapkan perempuan dan laki-laki harus terjun aktif di lembaga yang memang bertujuan membangun Aceh kembali pasca musibah. Konotasi minimnya jumlah perempuan di BRR adalah tamparan terdapat pada paragraf kedua dalam rubrik. Konotasi ini merupakan istilah kekerasan. Tamparan merujuk kepada ‘ pukulan keras di pipi atau wajah’ (KBBI:2008). Akan tetapi, dalam konteks tulisan ini minimnya jumlah perempuan di BRR adalah tamparan tidak berisi pukulan keras di pipi/wajah. Oleh karena itu, ungkapan minimnya jumlah perempuan di BRR adalah tamparan ini mengalami perluasan makna. Ekspresi memalukan dan ironis merupakan pendukung konotasi dalam rubrik ini. Tamparan terhadap perempuan karena tidak diberikan ruang yang sama untuk bergabung dalam BRR (Badan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi) Aceh oleh kaum pria. Hal ini dianggap memalukan. Penulis rubrik mengekspresikan pukulan keras kepada perempuan dengan membandingkan jumlah aktifis dan jumlah tokoh politik di Aceh. Jumlah aktifis perempuan dan jumlah tokoh politik perempuan di Aceh tidak sebanding dengan perempuan yang bekerja di BRR. Jumlah di BRR jauh lebih sedikit. Padahal, aktifis dan elit politik perempuan adalah bibit unggul. Penulis menyebutkan “Menarik untuk diketahui, berapa orang dari 68 staf perempuan tersebut yang menempati posisi cukup strategis di level direktur dan manajer. Minimnya jumlah perempuan di BRR adalah tamparan bagi perempuan Aceh yang pernah leluasa berkiprah di ruang publik. Apalagi cukup banyak
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
48
tokoh, aktifis dan organisasi perempuan yang aktif sejak masa konflik dan periode darurat pascatsunami” (Mahdi:2006). Penulis rubrik memaparkan sebuah ekspresi yaitu ironis. Ironis mengingat perempuan yang pernah leluasa berkiprah di ruang public yang cukup banyak misalnya tokoh, aktifis dan organisasi perempuan yang aktif sejak masa konflik dan periode darurat pasca tsunami. Ekspresi ironis kian mempertegas konotasi tamparan bagi perempuan. Ironis menunjukkan ekspresi kesedihan, tidak sewajarnya dan sebagainya. Minimnya jumlah perempuan di BRR
“dianggap penurunan martabat
perempuan dan hal yang memalukan bagi penegakkan kesetaraan hak dan kewajiban kiprah perempuan di masyarakat” (Mahdi:2006). Kenyataan peran perempuan di tempat yang strategis seperti BRR tidak terlaksana dengan semestinya. Bukan SARA ketika penulis Berbicara masalah peran SDM lokal dalam rehab-rekon Aceh. Bukanlah masalah suku agama ras (Sara) yang tabu. “Bukan pula masalah etno-nasionalisme (asshabiyah) yang berbalut ego kedaerahan, etniscentris” (Mahdi:2006). Apalagi ketika yang dimaksudkan sebagai SDM lokal bukanlah atas dasar etnisitas tertentu, tapi lebih pada posisinya dalam melihat proses rekonstruksi di Aceh. Ketika
jargon-jargon
developmentalis
seperti
empowerment
(pemberdayaan), capacity building (peningkatan kapasitas), participatory approach (pendekatan partisipatoris) digunakan dalam berbagai workhsop, program dan proyek di Aceh. Semuanya meniscayakan adanya pemilahan orang asli Aceh (asoe lhok), masyarakat setempat,( buya krueng) dari orang luar buya tamong. Mereka yang pertama adalah pemilik semua dana, proyek dan program rekonstruksi di Aceh. Peneliti mengambil simpulan bahwa minimnya jumlah perempuan di BRR merupakan tamparan adalah konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud bermakna perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan dalam BRR sangat
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
49
memalukkan. Penanda konotasi adalah minimnya jumlah perempuan di BRR,di pihak lain petanda konotasi adalah tamparan. 3.8.2 Rubrik 15 Tulisan ini membicarakan perempuan di mata feminis. Seorang perempuan yang memutuskan untuk menikah menemui beberapa konsekuensi. Konsekuensi yang dimaksud ialah kehilangan hak. Hak untuk merdeka, mengekspresikan diri dan terkukung saat telah menikah. “Perempuan yang sudah menikah (istri) disandera oleh suami” (Pamulutan:2010). Disandera oleh suami maksudnya ialah perempuan tidak dapat menjalankan karier dan pekerjaan. Di akhir tulisan, penulis rubrik menyampaikan agar perempuan menentukan pilihan. Pilihan menjadi istri yang tersandera atau istri yang tetap merdeka. Merdeka menjalankan perannya sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial yang dapat bekerja. Gerakan feminimisme beranggapan seorang istri ibarat disandera oleh suami merupakan konotasi. Konotasi tersebut terdapat pada paragraf pertama dalam rubrik.
Konotasi yang digunakan adalah istilah kekerasan. Gerakan
feminimisme mengekspresikan seorang istri disandera oleh suami. Penyanderaan disini mengalami perluasan makna karena ekspresi tersebut bermakna bukan sebenarnya. Ekspresi-ekspresi yang menjelaskan konotasi sandera dalam rubrik ini seperti penangkapan, merampas, paksa, menahan dan terkukung. Ekspresi perempuan yang berkomitmen menjadi istri diibaratkan telah dirampas haknya, terpaksa mengurus keluarga dan terkukung dalam belenggu perkawinan. Secara denotatif sandera merujuk kepada orang yg ditawan untuk dijadikan jaminan (tanggungan): lima orang pegawai kedutaan telah dijadikan -- oleh kaum teroris; 2 orang yg tergadai (bekerja di tempat orang untuk tanggungan utang);
(KBBI:2008). Istri
diekspresikan
telah kehilangan haknya sebagai manusia yang
merdeka. Perempuan dipaksa menaati dan mematuhi segala kemauan suami. Terkukungnya kebebasan istri (perempuan yang menikah) merupakan peran dan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
50
resiko yang diambil pada saat ia berkomitmen melangsungkan pernikahan dengan seorang pria. Ekspresi penyanderaan memiliki kecenderungan rasa terpaksa mengambil hak yang semestinya diberikan kepada perempuan. Hak untuk merdeka dengan segala keinginan primer, sekunder dan tersier, semestinya dimiliki oleh setiap perempuan menikah atau tidak menikah. Ditekankan bahwa penyanderaan hak perempuan dilakukan bukan dari orang lain atau musuhnya akan tetapi oleh suaminya sendiri. Menurut peneliti, konotasi penyanderaan oleh suami bersifat negatif. Ekspresi terkukungnya kebebasan istri dan merampas paksa semakin mempertegas konotasi perempuan dan penyanderaan oleh suami. Kesimpulannya, seorang istri ibarat disandera oleh suami adalah konotasi. Secara konotatif seorang istri ibarat disandera oleh suami bermakna setelah menikah perempuan tidak dapat berkarier dan mendapatkan hak kebebasan. 3.8.3 Rubrik 16 Penulis menceritakan susah jadi perempuan diskriminasi terhadap perempuan di Aceh kembali mencuat beberapa hari terakhir. Isu ini berawal dari statemen ketua DPRK Bireuen yang melarang kaum perempuan menjadi pemimpin di daerah itu dan dikaitkan dengan pelaksanaan syariat Islam. penulis
tidak membicarakan apakah
kepemimpinan seorang perempuan
diperbolehkan atau tidak dalam pandangan Islam. “Sebab sudah dibahas oleh yang berkompeten di bidangnya, misalnya Ampuh Devayan dalam kolom Panteu berjudul “Ibu Camat” (Serambi, 10/10), Raihana Diani dengan judul Perempuan “Tak Boleh Memimpin?” (Serambi, 13/10) dan Dr. Nurjannah Ismail, MA dengan Judul “Pemimpin Perempuan” (Serambi, 16/10)” (Husita:2010). Sebagai seorang guru dia lebih fokus melihat hal ini terhadap efek psikologis pelajar yang berjenis kelamin perempuan. Penulis menyatakan …”visi dan misi Aceh ke depan ingin menjadikan Aceh lebih bermartabat. Untuk mencapai tujuan yang mulia itu tidaklah dapat dilakukan oleh segolongan orang tertentu. Tidak dapat juga dilakukan oleh kaum lelaki saja. Aceh ini dapat bangkit dan maju bila semua komponen bangsa bersatu padu termasuk kaum perempuan. Jangan lupa, pada hakekatnya kaum
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
51
perempuan mampu memberi inspirasi dalam mengembangkan inovasiinovasi baru untuk kemajuan Aceh ke depan. Ini fakta sejarah, dan kita tidak perlu berulang-ulang membahas tentang keperkasaan perempuan Aceh masa lampau” (Husita:2010). Konotasi perempuan seperti tokoh kuat dan perkasa terdapat dalam rubrik ini. keperkasaaan perempuan Aceh dianggap mampu mengembangkan inovasi baru terdapat pada paragraf ketujuh dalam rubrik. Konotasi yang digunakan adalah istilah kekuatan. Ekspresi Keperkasaaan perempuan Aceh dianggap mampu mengembangkan inovasi baru mengalami perluasan makna dalam rubrik ini karena keperkasaan bermakna sebenarnya adalah ‘kuat, tangguh dan gagah’ (KBBI:2008). Keperkasaan diidentikkan kepada kaum pria. Akan tetapi dalam konteks ini, keperkasaan dipadukan kepada perempuan. Perempuan diasumsikan memiliki kekuatan ketangguhan dan kemampuan yang sama dengan kaum pria. Kekuatan yang dimiliki perempuan dapat membawa dan mengembangkan inovasi baru. Kesimpulannya,keperkasaaan
perempuan
Aceh
dianggap
mampu
mengembangkan inovasi baru merupakan konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud bermakna perempuan dengan segala kemampuannya dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan Aceh. Penanda konotasi adalah keperkasaaan perempuan Aceh sementara itu petanda konotasi adalah mengembangkan inovasi baru. 3.9 Ekonomi AKP 8 3.9.1 Rubrik 17 Tulisan ini memfokuskan diri untuk membahas pendidikan bagi perempuan Aceh. Penulis menjelaskan “arti dan hakikat pembangunan di Aceh. Ada dua jalan pertama, kemajuan infrasturktur dan pendidikan perempuan” (Kurien:2009). Dalam tulisan ini, pendidikan bagi perempuan diibaratkan seperti investasi. Perempuan berpendidikan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangganya.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
52
Pendidikan bagi perempuan menciptakan pengaruh berlipat ganda dari generasi ke generasi. Dikatakan dari generasi ke generasi karena perempuan akan mendidik anak-anaknya di kemudian hari. Oleh karena itu, investasi di bidang pendidikan bagi perempuan berarti investasi bagi kemajuan generasi dan ekonomi di masa yang akan datang - tidak hanya untuk keluarga saat ini saja. Pada umumnya, masyarakat Aceh sudah mengalami kemajuan. Kemajuan di bidang pendidikan bagi perempuan di Aceh saat ini. Sepanjang sejarah dan nilai budayanya, peran pendidikan bagi perempuan telah membawa Aceh ke arah persamaan gender yang lebih luas dan peran
serta perempuan lebih tinggi di
sektor ekonomi. Perempuan di Aceh juga telah memiliki peran yang cukup besar dalam formasi dan pengambilan keputusan di dalam rumah tangga. Pada kesimpulannya, peneliti menemukan sebuah harapan dari penulis rubrik,penulis berharap bahwa pendidikan bagi perempuan semoga menghasikan buah manis di Aceh. Pada paragraf kedua
terdapat konotasi Pendidikan bagi perempuan
merupakan investasi Aceh dalam rubrik ini. Konotasi yang digunakan merupakan istilah ekonomi. Ekspresi investasi merujuk kepada ‘penanaman modal /saham berhubungan dengan kegiatan ekonomi jangka panjang’ (KBBI:2008). Investasi mengalami perluasan makna dalam rubrik ini yaitu pemberian saham berbentuk kegiatan non ekonomi. Pemberian saham berbentuk kegiatan non ekonomi yang dimaksud ialah pendidikan bagi perempuan. Pendidikan bagi perempuan dianggap sebagai modal.
Modal
pendidikan kepada perempuan dianggap
mampu menjadi bekal pembangunan non infrastruktur di Aceh. Perempuan berpendidikan diekspresikan dapat memberikan kontribusi. Kontribusi yang dimaksud tidak hanya di bidang ekonomi keluarga tetapi juga kesejahteraan anakanaknya. Kesejahteraan ank-anak karena perempuan berpendidikan akan membesarkan anak-anaknya kelak. Seorang ibu yang terpelajar tidak akan membeda-bedakan perlakuannya terhadap anak laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama berharga didalam keluarganya. Kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak perempuan akan meningkat secara dramatis pula jika ibunya mampu baca-tulis (kurien:2009).
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
53
“Perempuan berpendidikan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga mereka. Ini menciptakan pengaruh berlipat ganda melintasi generasi kegenerasi. Oleh karena itu, investasi di bidang pendidikan bagi perempuan berarti investasi bagi kemajuan generasi dan ekonomi di masa yang akan datang” (Kurien:2009). Investasi Tidak hanya untuk keluarga saat ini namun di masa mendatang. Kendati pandangan ini masih memerlukan pendalaman di banyak daerah bagian India. Namun sepertinya masyarakat Aceh sudah memahami hal ini. Peneliti menyimpulkan pendidikan perempuan adalah investasi merupakan konotasi. Secara konotatif bermakna perempuan yang mendapatkan pendidikan menjadi modal tidak hanya bagi keluarga namun juga agama dan bangsa, serta bermanfaat bagi keluarga juga negara. 3.9.2 Rubrik 18 Zahra diekspresikan dalam rubrik ini sebagai seorang perempuan yang layak dijual karena keahliannya. Zahra kelahiran desa Sapek Kecamatan Setia Bakti kabupaten Aceh Jaya tidak terdidik secara mapan, tidak terampil dan tidak melek huruf. Ia masih muda, janda, memiliki tiga anak kecil, miskin, terisolasi dari kemajuan, dipaksa kawin dalam usia dini, tinggal di desa bekas konflik dan tsunami. Jadi seorang perempuan yang benar-benar berada pada satu titik ekstrim, sehingga keadaannya sangat layak dieksploitasi membuat perempuan itu menjadi buah bibir. “Zahra dengan keterbatasannya berjuang untuk menulis. Ia menulis sampai mampu menerbitkan sebuah buku” (Hanafiah:2010).
Buku tentang
biografi dan pengalaman hidupnya. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Pekka (Perempuan Kepala Keluarga). Dengan bahasa lain, Zahra bukanlah sosok perempuan biasa. Ia sangat layak jual. Perempuan layak dijual merupakan konotasi dan terdapat pada paragraf keenam dalam rubrik. Secara denotatif, dijual (KBBI:2008) bermakna ‘diberikan sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang’. Perempuan layak dijual barmakna seorang perempuan dapat diberikan kepada orang lain untuk
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
54
memperoleh uang. Akan tetapi dalam konteks ini, perempuan layak dijual telah mengalami perluasan makna. Penulis rubrik menggambarkan bahwa perempuan Aceh yang memiliki keahlian tertentu patut untuk dijual. “Jadi seorang perempuan yang benar-benar berada pada satu titik ekstrim, sehingga ‘keadaannya’ sangat layak ‘dieksploitasi’ sedemikian rupa sehingga menjadi buah bibir. Atau dengan bahasa lain, Zahra bukanlah sosok perempuan biasa. Ia sangat layak jual” (Hanafiah:2010). Ungkapan konotasi
terbentuk oleh ekspresi-ekspresi seperti jual, bernilai,
bermanfaat, dan modal. Di dalam rubrik ini terdapat ekspresi-ekspresi pendukung terkait dengan konotasi perempuan layak dijual.
Ekspresi
tersebut adalah
kemampuan menulis dan menerbitkan buku. Diekspresikan ekspresi pendukung karena dengan kemampuan menulis, maka perempuan akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Dengan kemampuan menulis dan menerbitkan buku menegaskan perempuan dapat bernilai jual dan bermanfaat. Kemampuan menulis digambarkan oleh penulis …”sang kartini dari Aceh ini telah menghasilkan sebuah buku karya tulis tangannya sendiri. Tulisan ini hanya untuk mengisi dan membangunkan kembali spirit perjuangan kaum wanita Indonesia di seluruh pelosok Nusantara untuk bangkit membela nama baik bangsa Indonesia. Kebetulan mengambil momen Hari Kartini 21 April 2010” (Hanafiah:2010). Ungkapan penulis bahwa Zahra adalah kartini Aceh. Kartini yang justru tidak sama dengan sosok R.A Kartini. Tetapi bila seorang ‘Kartini’ lain dari Aceh yang notabene tidak menamatkan sekolah dasarnya hingga ia tak dapat membaca dan menulis, maka baru tidak wajar. Zahra adalah seorang perempuan yang tidak tamat SD, tidak dapat menulis dan membaca namun pada akhirnya dapat menulis sebuah buku biografi. Penulis menggambarkan dilihat dari isi buku tentu saja tidak ada yang luar biasa. Karena jalan ceritanya dengan mudah bisa dibayangkan. Mudah dibayangkan karena buku ini ditulis oleh seorang wanita yang baru belajar
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
55
membaca dan menulis. Akan tetapi Zahra dipilih karena ia memiliki sesuatu. Sesuatu itu adalah …”Karena Zahra adalah berjenis kelamin perempuan, tidak terdidik secar mapan, muda, janda, tiga anak kecil, kondisi miskin, tidak terampil, tidak melek huruf, terisolasi dari kemajuan, dipaksa kawin dalam usia dini, tinggal di desa bekas konflik dan tsunami. Jadi Zahra adalah seorang perempuan yang benar-benar berada pada satu titik ekstrim” (Hanafiah:2010). Ekspresi kemampuan menulis dan membuat buku tergambar jelas dalam tulisan ini. Peneliti menyimpulkan perempuan layak dijual merupakan konotasi. Makna
konotatif
ungkapan
dimaksud
ialah
perempuan
seperti
Zahra
berkemampuan menulis dan membuat buku layak untuk dihargai dan diapresiasi. Ia menjadi contoh sosok janda yang berhasil. Penanda konotasi adalah Zahra (perempuan) sementara itu petanda konotasi adalah layak dijual. 3.9.3 Rubrik 19 Isi tulisan ini menganggap perempuan yang tidak berjilbab menggadaikan harga diri Aceh demi kepentingan diri sendiri. Menurut penulis rubrik, sebagai seorang muslim dan warga Aceh semestinya dijunjung tinggi. Penulis rubrik “menyinggung muslimah yang tidak berjilbab sedang mempertaruhkan dan menghinakan identitas suatu komunitas dan agama. menghinakan identitas suatu komunitas yang dimaksud adalah masyarakat Aceh” (Banun:2009). Sementara menghina agama maksudnya adalah perintah berjilbab. Menurut penulis rubrik, Qori mewakili Aceh untuk perwakilan Miss Indonesia. Qori lahir dan besar di Jakarta. Akan tetapi Qori mewakili Aceh untuk perwakilan Miss Indonesia. Qori adalah aktivis gender dan sebagai pembela hak wanita.ia tidak menggunakan jilbab dalam keseharian. Tidak menggunakan jilbab merupakan pilihan hidup Qori. Akan tetapi, Qori mengikuti Miss Indonesia sebagai perwakilan Aceh. Mewakili Aceh yang bersyariat Islam. “Semestinya Qori memahami adat dan peraturan Aceh. Qori yang tidak menggunakan jilbab dianggap menggadai harga diri perempuan Aceh. Ini pelajaran bagi perempuan Aceh” (Banun:2009).
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
56
Konotasi terdapat pada paragraf
ketujuh dalam rubrik. Konotasi
menyebutkan bahwa perempuan Aceh yang tidak menggunakan jilbab (dituduh) menggadai simbol agama. Kutipan dalam tulisan …“Kita menyesalkan, sebagai putri yang sejatinya akan memperomosikan kebudayaan daerah harusnya ia tahu Aceh, tidak sebaliknya menghinakan identitas suatu komunitas apalagi ini menyangkut simbol keyakinan beragama (jilbab). Ia menggadai agama demi kepentingannya” (Banun:2009) Dalam hal ini konotasi yang digunakan penulis rubrik merupakan istilah transaksi. Ekspresi-ekspresi yang mendukung gadai dalam rubrik seperti jual-beli dan nilai tukar. Secara denotatif, gadai merujuk kepada ‘v meminjam uang dl batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yg memberi pinjaman’(KBBI:2008). Dari sudut konotasi, kalimat ini telah mengalami perluasan makna dari makna sebenarnya. Menggadai agama merupakan sebuah perluasan makna. Perluasan makna dimana yang semestinya digadaikan berupa barang atau benda. Namun dalam hal ini, yang digadaikan adalah agama. Menggadai agama diyakini sebagai ekspresi untuk menunjukkan bahwa betapa perempuan
yang tak
berjilbab telah menjual agama demi kepentingan pribadinya. Seorang gadis Sunda yang mewakili daerah Aceh dalam pemilihan Putri Indonesia 2009 di Pentas Teater Tanah Airku, Jakarta. Drama ini berakhir dengan terpilihnya seorang putri ‘jadi-jadian’ oleh Yayasan Putri Indonesia untuk mengemban misi Putri Indonesia 2009 yang berujung pada kesertaan pada Kontes Internasional Miss Universe.”Yang mencengangkan bagi rakyat Aceh yang masih punya urat cengang, Qori Sandrioviva yang mewakili Aceh tidak mengenakan jilbab seperti umumnya kebiasaan dan keharusan pada wanita Aceh” (Banun:2009). “Perempuan itu dengan santai dan lugas ketika MC menanyakan; kenapa ia tidak mengenakan berjilbab? Qori menjawab, bahwa menurutnya rambut adalah mahkota dan ia bangga dengan rambutnya yang indah: (Banun:2009). Lalu dimana masalahnya, apakah pada rambut indah atau pada jilbab yang tidak
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
57
dikenakan? Beragam pikiran berkecamuk di kepala orang-orang Aceh ketika itu. Tilik punya tilik, ternyata Qori adalah gadis Sunda dari keturunan ayahnya dengan ibu dari Gayo, Aceh Tengah. Qori ini lahir dan besar di Jakarta, ribuan kilometer jauhnya dari Aceh. Ulama Aceh memberikan pernyataan; bahwa Qori bukan cerminan putri Aceh. “Qori mungkin tidak tahu apa yang ada di benak wanita Aceh ketika ia menolak memakai jilbab dalam kontes yang disiarkan langsung secara nasional tersebut. Ini wajar karena Qori memang bukan keturunan Aceh dan tidak pernah hidup di Aceh. Sehingga ia tidak sadar ketika ekspos media, ia dinilai dengan membuka jilbab tidak berarti sedang berpihak pada perempuan Aceh. Ia juga tidak paham karakter perempuan Aceh, dan karakter orang Aceh” (Banun:2009). Kesimpulannya perempuan Aceh yang tidak menggunakan jilbab (dituduh) menggadai simbol agama merupakan konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud bermakna perempuan Aceh dalam segala kegiatan apapun harus menjaga iman dan islam,serta mengamalkan perintah ajaran Islam. Penanda konotasi ialah perempuan Aceh yang tidak berjilbab sementara itu petanda konotasi adalah menggadai simbol agama. 3.10 Benih AKP 9 Rubrik 20 Rubrik ini bercerita tentang sosok Datu Beru. Datu Beru adalah putri raja di daerah Gayo, Aceh Tengah. Beliau cerdas, menguasai ilmu agama, politik, falsafah dan hukum. Oleh sebab itu, Raja Linge mengutus Qurrata‘aini (nama kecil Datu Beru) sebagai wakil resmi dari Kerajaan Linge dalam Parlemen Aceh di Kutaraja. “Prestasi gemilangnya, sempat menggemparkan dunia pradilan Aceh pada ketika itu, hanya saja tidak diketahui secara meluas, karena kurangnya minat para pakar sejarah (khususnya dari Gayo) untuk meneliti dan menulis demi memperkaya khazanah sejarah Aceh” (Gani:2008). Jadi, wajar jika hanya ketokohan Tjut Malayati, Tjut Muthia, Tjut Njak Dien, Tjut Meuligoë, Tjut Meurah Gambang dan Tjut Meurah Intan, yang mencuat dan mendominasi
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
58
referensi sejarah wanita Aceh. Terlebih dari itu, ketokohan wanita Aceh dalam perang melawan penjajah -keperkasaannya- diidentikkan dengan kaum lelaki, tidak dalam arti lain. Padahal, Tajul Alam Syaifiatuddin, Nurul Alam Nakiyatuddin dan Inayatsyah Zakiyatuddin adalah diantara wanita yang tidak kurang harumnya dalam lembaran sejarah Aceh, tetapi deretan nama wanita yang disebut terakhir ini kurang populer berbanding ketokohan militer wanita Aceh. Apa ini suatu indikasi bahwa wanita Aceh hanya suka dengan perang. Qurrata‘aini (Datu Beru) punya warna lain, berkiprah dalam dunia politik, hukum dan telah menempatkan dirinya sebagai satu-satunya wanita Aceh yang disegani dan layak menduduki kursi Parlemen pusat pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayatsyah. Datu Beru digambarkan sebagai sosok wanita yang bijaksana dan cerdas. Bijaksana karena pada saat pembunuh kakak kandungnya diadili, Datu Beru mengambil langkah beda. Langkah beda yang dilakukan oleh Datu Beru ialah memaafkan pelaku pembunuhan. Ia memaafkan sang pembunuh dengan syarat tambuk kekuasaan pembunuh diserahkan kepada masyarakat kerajaan Linge, Gayo. Sebagai pengganti hukuman,
pembunuh diharuskan
mengabdikan keintelektualitasan dan kemampuannya kepada kerajaan Linge. Datu Beru ibarat énéh bereden (benih unggul) merupakan konotasi dalam rubrik dan terdapat pada paragraf keempat belas. ..”Qurrata‘Aini, asal dataran tinggi Gayo, adalah seorang tokoh wanita Aceh yang sejak kecil sudah melekat ciri-ciri kepemimpinan dan membela kebenaran. Beliau cerdas, menguasai ilmu agama, politik, falsafah dan hukum... Qurrata‘aini yang diceritakan panjang-lebar tadi ialah: nama Datu Beru sewaktu kecil. Dalam bahasa Gayo: ‘Geral turun mani. Datu Beru adalah benih unggul (énéh bereden) yang sulit dicari penggantinya, walau pun riwayatnya sudah lebih dari lima abad yang silam. Datu Beru; … Datu kita” (Gani:2008).! Konotasi yang digunakan Datu Beru (tokoh pejuang perempuan dari Aceh Tengah) dilambangkan sebagai énéh bereden
(benih unggul) yang tak
tergantikan. Makna awal dari benih berdasarkan KBBI (2008) adalah ‘1.biji atau buah yg disediakan untuk ditanam atau disemaikan: yg akan dijadikan -- haruslah buah yg baik dan cukup tua; 2. bibit atau semaian yg akan ditanam: -- cengkih itu
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
59
sebaiknya dipindahkan setelah setengah meter tingginya; 3. sperma untuk bibit pengembangbiakan ternak dsb: -- sapi pejantan unggul dapat disimpan lama di tempat yg bersuhu dingin; -- penyakit cacar; 4. sesuatu yg menjadi sebab; asal mula: ucapan yg kasar dapat menjadi -- perkelahian; 5. keturunan; turunan; asal; 6. sesuatu yg akan tumbuh atau akan menjadi: -- penyakit cacar’. Berdasarkan makna kamus, peneliti menyimpulkan makna benih terkait dengan buah, hewan, keturunan dan asal mula. Namun dalam konteks tulisan ini, Datu Beru tidak digambarkan berdasarkan lima kategori tersebut. Kategori buah, hewan, keturunan dan asal mula. Konotasi benih unggul merupakan istilah pertanian. Ekspresi dalam rubrik ini yang berhubungan dengan benih unggul adalah langka, berciri khas dan kebanggaan. Penulis rubrik memberikan argumentasi seorang Datu Beru adalah benih unggul karena gambaran sikap dan kepribadiannya. Sikap dan kepribadiannya sangat memiliki ciri khas. Ciri khas kepribadian Datu Beru diekspresikan dengan ekspresi bijaksana. Ia disebut Bijaksana karena
Pada
masanya Datu Beru, sebagai anggota kerajaan membuat kebijakan baru. Kebijakan baru karena menurut Islam dan adat Dan pembunuh harus dibunuh. Namun Datu Beru memaafkan pembunuh abang kandungnya. Penulis rubrik menceritakan bahwa pada saat pertempuran, abang Datu Beru ini tewas terbunuh. Namun pembunuhnya berhasil ditangkap oleh prajurit kerajaan Linge,Aceh Tengah. Datu Beru kemudian menjadi pewaris tahta kerajaan. Datu Beru tidak menghukum si pembunuh. Ekspresi ekspresi ‘memaafkan’ yang dilakukan oleh Datu Beru menunjukkan sikap bijaksana Datu Beru. Bijaksana karena Datu Beru tidak hanya memikirkan balas dendam. Ekspresi merupakan gambaran yang mencerminkan
memaafkan dan
bijaksana
benih unggul. Benih unggul atau
disebut juga énéh bereden . Isi rubrik yang berisi tentang ekspresi ‘bijaksana dan memaafkan’ diekspos dan dijelaskan oleh penulis rubrik. Peneliti mengambil kesimpulan dari pemaparan penulis rubrik bahwa perempuan adalah benih unggul adalah konotasi. Perempuan yang dimaksud adalah Datu Beru. seorang tokoh perempuan yang berjuang dalam bidang politik
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
60
dan hukum. Penanda konotasi adalah datu beru,sementara itu petanda konotasi adalah benih unggul (énéh bereden). 3.11 Profesi AKP 10 Rubrik 21 Isi rubrik ini mengkatkan tema zina dan celana pendek ditinjau dari kacamata Islam. Penulis rubrik menjelaskan pandangannya berdasarkan dalil Naqli yang ia fahami. Dalam konteks ini penulis rubrik menyebutkan pandangan imam Hambali. Inti dari pandangan tersebut adalah perempuan dan lelaki berzina dicambuk seratus kali yang dipahami dengan beberapa kali zina baru dapat dihukum cambuk.” Alasan pemahaman tersebut, pertama karena dengan masuk alif lam pada ekspresi pelaku zina sehingga bermakna jamak (seorang perempuan dan lelaki sah dicambuk kalau telah melakukan beberapa kali zina)” (Nuriqmar:2009). “Alasan kedua dipahami dari ekspresi al-zaaniatu dan al-zaani sebagai pelaku zina adalah sebuah pekerjaan rutin atau menjadi profesi” (Nuriqmar:2009). Pemahaman seperti ini sama seperti seorang tukang sedang membangun rumah dengan modal satu gergaji, jadinya bisa berantakan. Dijabarkan oleh penulis rubrik bahwa
Ini ijtihad paksaan karena
ijtihad seperti Al-Syeikh Yusuf
Qardhawi dia sudah sangat mapan dengan berbagai perangkat ilmu sebagai perangkat untuk menunjang ijtihadnya. Sebagai kesimpulan wacana ini, penulis rubrik berharap kepada pembuat Qanun yaitu DPRA agar memproduksi Qanun yang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi
dan segera
melaksanakan perintah sesuai dengan amanah UUPA. Pada paragraf
kelima terdapat konotasi perempuan tidak sama dengan
tukang jahit. Konotasi ini menggunakan istilah pekerjaaan. Secara denotatif tukang jahit merujuk kepada ‘pekerjaan jahit pola pakaian’. Akan tetapi zina tidak terkait dengan menjahit. Oleh karena itu terdapat perluasan makna pada konteks ini. “Tidak bisa disamakan pelaku (tukang) zina dengan tukang jahid dari sisi kebiasaan, pekerjaan, sehingga menjadi keahlian. Menjadi tukang jahid
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
61
misalnya, ada proses pembelajaran, dan terus mengulang pekerjaan tersebut sehingga menjadi sebuah keahlian. Sebaliknya pelaku zina tidak demikian, walaupun sebagai pemula, tidak perlu belajar dan sambil tutup mata tetap bisa dilakukan perbuatan haram dan keji itu” (Nuriqmar:2009). Ekspresi-ekspresi yang menggambarkan tukang jahit dalam rubrik ini adalah dipesan ukuran terlebih dahulu, mendapatkan balasan/bayaran setelah bahan usai dijahit. Di sisi lain, pezina perempuan dapat diketahui indikasi perzinahan bahkan sebelum zina dilakukan seperti khalwat:berduaan di tempat umum dan tersembunyi bagi yang bukan muhrim. Pezina tidak sama dengan tukang jahit karena pezina dapat dihukum sebelum zina dilakukan. Dalam konteks ini, penulis rubrik ingin mengingatkan kepada masyarakat Aceh zina tidaklah kegiatan yang direncanakan. Zina dapat terjadi kapan saja. Oleh karena itu hukum harus tegas. Ekspresi tidak dipesan dahulu menunjukkan bahwa zina antar perempuan dan laki-laki sering tidak terencana. Justru untuk memproteksi ini, penulis rubrik menggambarkan pezina tidak sama dengan tukang jahit. Proteksi sebelum zina terjadi. Upaya proteksinya
dengan membuat Qanun yang tegas. Peneliti
menemukan adanya ekspresi yang sama untuk laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan berzina diekspresikan dengan tukang jahit. Oleh karena itu, ekspresi tukang jahit menggambarkan bagaimana selayaknya Qanun disusun untuk hukum perzinahan. Dalam tulisan diekspresikan …”Sangat diharapkan kepada anggota dewan baru agar memproduksi qanun yang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, dan segera melaksanakan perintah sesuai dengan amanah UUPA, mualai masalah social, kemiskinan, pendidikan dan kesehatan dan lain-lain sehingga pasisi rakyat betul-betul menjadi keberpihakan. UU Korupsi itu sudah ada dan dia mengatur penyelewengan keuangan Negara baik secara administratif atau praktik” (Nuriqmar:2009). Terlebih lagi penulis mencantumkan kutipan seorang Imam yaitu, “Kata imam alGhazali ‘banyak membaca dan menghayatinnya agar tidak salah beramal dan bersikap’, ini doktrin filsafat beliau “(Nuriqmar:2009). Peneliti mendapat simpulan dari tulisan ini, perempuan yang berzina tidak sama dengan tukang jahit adalah sebuah konotasi. Secara konotatif ungkapan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
62
dimaksud bermakna “pezina tidak diketahui perbuatannya,karena itu hukum harus melarang sebelum zina itu terjadi” (Nuriqmar:2009). 3.12 Makanan AKP 11 Rubrik 22 Rubrik ini menceritakan tentang jilbab di Aceh. Pada beberapa tahun yang lalu, sebelum syariat Islam, perempuan berjilbab di Aceh masih sering mendapat ejekan oleh kaum pria. Ejekan seperti ninja lewat’,’kue timphan’ dan tentara parasut’ sudah bukan hal asing lagi. Namun, setelah tsunami hikmat beragama di Aceh mulai berbeda. Apalagi setelah penegakkan syariat Islam di Aceh. Perempuan berjilbab sudah cukup banyak dan mayoritas di Aceh. Pada dasarnya, perempuan dewasa telah wajib menutup auratnya, ekspresi penulis rubrik. Cara untuk menutup aurat adalah dengan menggunakan jilbab, tambahnya. Pada akhir tulisan, penulis rubrik mengungkapkan perempuan harus memperkuat niat dan takwa dan kesabaran. Selama niat dan kesabaran untuk berjilbab kuat maka apapun sindiran orang tidak berpengaruh bagi perempuan tersebut. “Perempuan Aceh zaman sekarang beruntung karena sekarang tidak perlu berjuang untuk menutup aurat. Dulu seorang muslimah terpaksa buka tutup jilbab” (Hamzah:2009). Jika bekerja sebagai pelayan swalayan yang berada di lantai 3 Pasar Atjeh di Banda Aceh, dia terpaksa mengenakan rok yang panjangnya lima centi meter di atas lutut. Sebaliknya jika kuliah, maka dia berjilbab. Suatu saat pernah terjadi insiden ketika karyawati satu hotel yang berada 100 meter dari Masjid Raya, saat itu manajemen hotel melarang pekerja memakai seragam selain yang ditentukan. Hal itu juga dialami seorang Polwan dan pekerja wanita satu bank. Mereka disuruh memilih; ikuti peraturan atau cari kerja di tempat lain.
Perempuan seperti kue timphan merupakan ekspresi konotasi yang terdapat pada paragraf ketiga dalam rubrik. Isi tulisan tersebut ialah ...”Siswi atau gadis yang memakai jilbab mendapat gelar yang tidak menyenangkan. Mengantisipasi hal ini, teungku atau ustad sudah mempersiapkan resep mujarab yakni pemakai jilbab harus tabah dan sabar
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
63
menerima sindiran. Sebutan seperti ‘ninja lewat, timphan (kue khas Aceh), tentara parasut, bau surga lewat, sok alim atau bunyi suit-suit dari kalangan pemuda’ dan lain-lain” (Hamzah:2009). Ekspresi yang digunakan dalam rubrik ini merupakan istilah tokoh kartun Jepang (ninja), makanan (kue timphan) dan pakaian tentara untuk terjun payung (parasut). Secara denotatif, ninja bermakna ‘tokoh kartun Jepang menggunakan pakaian yang tertutup dari muka hingga mata kaki’. Selanjutnya, kue timphan merupakan ‘kue Aceh berisi srikaya atau kelapa parut berbalut adonan tepung beras,
dikukus dan dibalut daun pisang’(KBBI:2008). Tentara parasut
(KBBI:2008) menggambarkan ‘atribut pakaian dan alat perlengkapan untuk terjun payung’. Keseluruhan pakaian tentara parasut adalah tertutup. Ditambah dengan parasut yang diletakkan di badan dalam keadaan terbalut. Makna denotatif tidak seluruhnya didapatkan dalam kamus. Akan tetapi berdasarkan kaitan pengetahuan dan sosial. Penulis rubrik membeberkan sebuah ekspresi untuk menggambarkan konotasi, kue timphan yaitu, ‘tertutup rapat’. Ekspresi tertutup rapat tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Ninja merupakan istilah tokoh kartun Jepang menggunakan pakaian yang tertutup dari muka hingga mata kaki. Selanjutnya, kue timphan merupakan kue Aceh berisi srikaya atau kelapa parut berbalut adonan tepung beras, dikukus dan dibalut daun pisang. Tentara parasut menggambarkan atribut pakaian dan alat perlengkapan untuk terjun payung. Keseluruhan pakaian tentara parasut adalah tertutup. Ditambah lagi dengan parasut yang diletakkan di badan dalam keadaan terbalut. Peneliti menyimpulkan ‘tertutup rapat’ dengan konotasi perempuan berjilbab ibarat ninja lewat, kue timphan dan tentara parasut terdapat relasi yang positif. Sebelum tahun 1990-an, jilbab di Aceh belum diwajibkan seperti sekarang. Penulis rubrik menggambarkan ...”Sebelum tahun 1990-an belum ada kewajiban siswi muslim membungkus kepala dengan jilbab. Bagaimana dengan istri tokoh bahkan ulama? Bila diintip lembaran demi lembaran, pada masa itu, jilbab masih barang asing di Serambi Mekkah. Bukalah buku biografi gubernur, tokoh masyarakat, ulama atau album foto keluarga masing-masing, besar kemungkinan belum
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
64
ada sebutan jilbab. Justru kadangkala mereka memakai kebayan yang ketat”(Hamzah:2009). Ekspresi ninja lewat, kue timphan dan tentara parasut disebutkan oleh penulis rubrik merupakan panggilan ejekan oleh pria. Pria
yang duduk di
samping jalan kepada perempuan berjilbab. Panggilan ejekan karena perempuan berjilbab yaitu menutup rapat anggota tubuhnya. Penulis rubrik memaparkan sebuah resep dari ustad agar para siswi dan perempuan berjilbab kuat menghadapi sindiran tersebut. “Ustad sudah mempersiapkan resep mujarab yakni pemakai jilbab harus tabah dan sabar menerima sindiran” (Hamzah:2009). Manusia yang membuat kue timphan ,yang berpakaian seperti ninja atau manusia tentara parasut. Akan tetapi perintah menutup aurat sesuai dengan syariat Islam. Syariat Islam yang diusung oleh rakyat Aceh dan disetujui oleh pemerintah Indonesia. Sesuai sejarahnya “Gus Dur berkoar-koar bahwa rakyat Aceh perlu Syariat Islam,bukan butuh merdeka. Pada era Presiden Megawati yakni 9 Agustus 2001 diteken UU No 18 tentang Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam yang antara lain penerapan hokum Islam. Setahun kemudian, Gubernur Aceh Abdullah Puteh pada 15 Maret 2002 (1 Muharram 1423 H) mendeklarasikan penerapan Syariat Islam di Padang Arafah (Blang Padang) Banda Aceh” (Hamzah:2009).. Peneliti berkesimpulan, perempuan berjilbab adalah kue timphan merupakan konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud ialah perempuan berjilbab tersebut tertutup dan terbalut rapat. 3.13 Keperkasaan AKP 12 Rubrik 23 Dalam tulisan ini menggambarkan tentang perempuan dan kepemimpinan. Untuk diketahui polemik kepemimpinan wanita di Aceh bukan lagi masalah baru. Polemik mengenai boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin pernah terjadi sekitar 350 tahun yang lalu. Naiknya Ratu Safiatuddin (1641-1675 M) menjadi Sultanah di Kerajaraan Aceh Darussalam menggantikan suaminya Sultan Iskandar Sani (1636-1641 M) bukan tidak menimbulkan masalah, dengan diangkatnya
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
65
Safiatuddin menjadi Sultanah di Kerajaraan Aceh telah menimbulkan polemik besar dan bahkan telah menuai konfik luar biasa di kalangan ulama Wujudiyah dan Syafiiah di Aceh kala itu. “Ulama wujudiyah menentang habis kesultanan wanita di Aceh. Akan tetapi, setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) para ulama wujudiyah di Aceh tidak lagi memiliki kekuatan politis” (Bahany:2009). Akibat kuatnya pengaruh Syeh Nuruddin Ar-Raniry yang kala itu telah menjabat Qadhi Malikul Adil (Mufti) kerajaan Aceh sejak naiknya Iskandar Sani menjadi Sultan. Nuruddin Ar-Raniry melegalkan Ratu Safiatuddin naik menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan yang melantik Safiatuddin menjadi Sultanah adalah Nuruddin Ar-Raniry sendiri dalam posisinya sebagai Qadhi Malikul Adil ketika itu. Dengan diangkatnya Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah di Kerajaan Aceh sekaligus telah menimbulkan dua konflik besar di kalangan ulama yang sangat mengganggu jalannya roda pemerintahan kerajaan Aceh. Pada paragraf ketujuh terdapat konotasi kuatkah wanita bertahta. Kuat merujuk kepada ‘banyak tenaganya (gayanya, dayanya); mampu mengangkat (mengangkut dsb) banyak: meskipun kurus, lembu itu sangat --;’(KBBI:2008). Secara konotatif, kuat tidak diartikan mampu mengangkat, akan tetapi terjadi perluasan makna. Ungkapan kuatkah wanita bertahta berbentuk kalimat Tanya. Namun,pada kenyataan maknanya tidak mempertanyakan, tetapi penulis memnyampaikan makna tidak setuju jika perempuan berkuasa. Oleh karena itu terjadi perluasan makna. Perluasan makna terhadap wanita dipertanyakan memiliki kekuatan untuk memimpin. Kutipan hadist Nabi hanya mengatakan, ‘Sungguh tidak beruntung bila
suatu
kaum
menyerahkan
urusan
kepemimpinan
mereka
kepada
wanita’.secara tidak langsung penulis menyatakan bahwa wanita tidak diberikan urusan kepemimpinan, meskipun sejarah Aceh telah menunjukkan contoh pemimpin wanita. Penulis menyatakan, …”Itu sebabnya, mengapa sebagian para ulama kerajaan Aceh dulu, terutama kalangan ulama wujudiah menentang diangkatnya wanita menjadi
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
66
Sultanah untuk memimpin negara. Tentu saja, penentangan itu selain didasarkan pada hadis di atas, yang kemudian penentangan itu ternyata juga dikuatkan sebuah fatwa ulama Mekkah yang dikirim khusus untuk kerajaan Aceh, yang isi fatwanya adalah bertentangan dengan syariat bila sebuah kerajaan Islam diperintah oleh wanita. Dengan datangnya fatwa ini, maka berakhirlah rezim kepemimpinan wanita di Kesultanan kerajaan Aceh” (Bahany:2009). Dua konflik terjadi saat pemerintahan Nuruddin, selain pertentangan Nuruddin Ar-Raniry yang menganggap ulama wujudiyah zindik, sehingga Nuruddin memfatwakan halal terhadap pembunuhan pengikut Wujudiyah di Aceh saat itu. Juga terjadinya konflik pro kontra para ulama terhadap pengangkatan Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah yang telah dilegalkan oleh Nuruddin Ar-Raniry memimpin kerajaan Aceh. Dua konflik yang sempat memicu pada terjadinya pertumpahan darah ini adalah nuansa politik yang tidak menyenangkan yang telah dimainkan Nuruddin Ar-Raniry dalam sejarah Aceh, di samping tidak sedikit jasa Ar-Raniry lainnya yang harus diakui selama ulama asal Ranir India ini berada di Aceh hingga tahun 1644 M. Setelah tiga tahun kepemimpinan Safiatuddin, Nuruddin Ar-Raniry tiba-tiba menghilang dari Aceh, kembali ke negara asalnya Ranir India. Kepulangan ArRaniry secara mendadak ke Ranir India menurut Hujjah As Siddiq (2003) disebabkan kekalahannya dalam berargumen masalah keagamaan dengan seorang ulama Wujudiyah Sayf ar-Rijal, yang saat itu Sayf ar-Rijal baru saja kembali ke Aceh dari Surat India setelah beberapa tahun memperdalam ilmunya di sana. Diduga akibat kekalahan itu Nuruddin Ar-Raniry merasa malu sehingga secara diam-diam ia kembali ke negaranya. Menariknya lagi, pada kepulangan Syech Abdul Rauf Syiah Kuala ke Aceh tahun 1661 M dari menutut ilmunya di tanah Arab (Mekkah) membuat kalangan istana kerajaan Aceh jadi kalang kabut. “Saat itu Ratu Syafiatuddin yang sudah diangkat sebagai Sultanah langsung mengutus utusannya untuk melobi Syech Abdul Rauf guna mengetahui apakah Abdul Rauf mendukung kepemimpinan wanita sebagai kepala negara di Kesultanan Aceh. Persekongkolan Syech Abdul Rauf dalam mendukung Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah (kepala negara wanita)
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
67
di kerajaan Aceh sepertinya tak bisa dibantahkan” (Bahany:2009). Hal itu terbukti Abdul Rauf bersedia menulis sebuah kitab khusus Mir’at al Thullab yang kemudian kitab itu dipersembahkan kepada Sultanah Safiatuddin. “Kitab ini adalah sebuah kitab Fiqh terlengkap karya Syech Abdul Rauf Syiah Kuala. Akan tetapi karena Mir’ar al Thullab ini merupakan kitab pesanan dari Sultanah Safiatuddin, maka dalam kitab tersebut menurut Azyumardi Azra (1994) tidak satu bagian pun yang menyinggung masalah hukum Islam boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin. Yang dikemukakan Abdul Rauf dalam kitab ini malah wanita dibolehkan menjadi hakim. Secara tidak langsung dalam kitab tersebut Abdul Rauf ikut membolehkan wanita jadi pemimpin” (Bahany:2009). Akibatnya stabilitas politik dan keamanan kerajaan makin tak terkendali sehingga satu per satu wilayah taklukan kerajaan Aceh saat itu lepas dari kekuasaan kerajaan Aceh. Semua itu membuktikan bahwa wanita memang tidak kuat untuk bertahta. Rasulullah memang tidak mengatakan secara tegas wanita tidak boleh menjadi pemimpin. Nabi hanya mengatakan, ‘Sungguh tidak beruntung bila suatu kaum menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepada wanita’. Kesimpulannya kuatkah wanita bertahta meruapakan konotasi. Secara konotatif
bermakna perempuan tidak akan kuat utuk memimpin dan
menyebabkan rakyat yang dipimpinnya tidak akan beruntung. Kendatipun di aceh terdapat pemimpin perempuan yaitu sultanah safiatuddin tetapi ia bersekongkol dengan syekh abdul rauf. Artinya pemilihan ini sangat tidak sesuai prosdur kerajaan. Penanda konotasi adalah kuat sementara itu petanda konotasi adalah wanita bertahta. 3.14 Komoditas AKP 13 Rubrik 24
Tulisan ini berisi perempuan di pangkuan islam. Tokoh feminis di Amerika dan R.A. Kartini (1879-1904) di Indonesia “menyuarakan selain hak pendidikan dan politik, para tokoh ini menyuarakan reformasi hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Tak cukup hanya itu,
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
68
kaum perempuan mulai mendambakan kesetaraan dengan laki-laki di semua aspek kehidupan” (Pamulutan:2010). Seperti persamaan pembayaran gaji, pembagian kerja, dan penugasan. Selanjutnya segala bentuk pembedaan berdasarkan pembedaan
berbasis
jenis
kelamin
(gender-based
differentiation)
harus
dihapuskan, yang untuk memuluskan cita-cita itu dan menghindari beban pengasuhan dan pemeliharaan anak. Pemerintah diminta mendirikan tempattempat penitipan dan pengasuhan anak. Agenda berikutnya, memprovokasi perempuan bahwa mereka sedang berada di bawah cengkraman dan dominasi kaum laki-laki (male dominated world) yang--diyakini bahwa--dengan cara inilah mereka dapat mebebaskan diri dari eksploitasi dan subordinasi. “Namun, akhir-akhir ini gerakan feminisme cenderung kebablasan Akibatnya, gerakan feminisme disalahkan karena dianggap mengebiri laki-laki, menyuburkan hubungan sesama jenis dan mengubah perempuan menjadi makhluk yang ‘gila karir’ tukang bersolek, hidup dalam kesepian, pulang ke rumah hanya untuk tidur, mandi dan berganti pakaian atau memberi makan hewan pelihararaan setelah seharian ‘berkeliaran’ di luar” (Pamulutan:2010). Apabila pada kenyataannya di kalangan muslim masih dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, maka yang seharusnya dikoreksi adalah masyarakatnya, bukan agamanya. Gagasan emansipasi wanita, feminisme, gender dan nama-nama lain yang bertujuan memuliakan wanita bukanlah sesuatu yang tabu, bahkan patut didukung. Dengan catatan emansispasi tersebut berlandaskan agama. “Akan tetapi harus diwaspadai jangan sampai berlebihan hingga menabrak rambu-rambu agama dan budaya bangsa seperti yang terjadi di belahan dunia Barat dan para pengekor mereka. Sebab kata Imam al-Ghazail, segala sesuatu jika melampaui batas justru memantulkan kebalikannya (kullu syai’in idza balagha haddahu in’akasa ‘ala dhiddihi). Wallahu a’lam. Selamat hari ibu, karena kami selalu sayang ibu” (Pamulutan:2010).
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
69
Perempuan menjadi komoditi nafsu merupakan Konotasi yang terdapat pada paragraf kedua. Penulis menyatakan, …”Islam datang pada abad ke-7 Masehi, zaman di mana perempuan menjadi komoditi dan objek pemuas nafsu serta memuluskan kepentingan ekonomi-politik kaum laki pada era ‘jahilyah.’ Islam telah lebih awal memelopori emansipasi wanita dengan mengeliminasi adat jahiliyah yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan dan menganggap perempuan hanya sekadar perhiasan dan objek untuk diperlombakan bagi kaum laki-laki” (Pamulutan:2010).
Konotasi yang digunakan adalah istilah komoditas. Makna sebenarnya komoditi adalah ‘produk untuk diperjualbelikan’ (KBBI:2008). Namun , pada konteks ini perempuan disebutkan menjadi komoditi nafsu tidak dalam makna sebenarnya. Dalam rubrik ini berdasarkan sejarah pada saat Islam datang abad ke-7 Masehi, zaman di mana perempuan menjadi komoditi dan objek pemuas nafsu serta memuluskan kepentingan ekonomi-politik kaum laki pada era jahilyah. “Islam
telah
lebih
awal
memelopori
emansipasi
wanita
dengan
mengeliminasi adat jahiliyah yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan” (Pamulutan:2010).
Adat jahiliyah yang juga menganggap perempuan hanya
sekadar perhiasan dan objek untuk diperlombakan bagi kaum laki-laki. Di era jahiliyah, orang Arab mempraktikkan pola perkawinan yang ‘melecehkan’ perempuan seperti nikah al-dayshan (anak sulung boleh menikahi janda mendiang ayahnya dengan cara melempar sehelai kain kepada wanita itu), nikah syighar (seorang bapak saling bertukar anak perempuan untuk dinikahi tanpa mahar), nikah badal (saling bertukar pasangan yaitu istri berdasarkan kesepakatan para suami), bahkan ada pula zawaj istibda (suami menyuruh istri untuk bersetubuh dengan laki-laki lain sampai hamil dengan tujuan ingin mendapatkan bibit unggul dari laki-laki tersebut dan setelah hamil istri tersebut dipaksa untuk kembali kepada suaminya).
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
70
Semua pola perkawinan tersebut telah dieliminir secara tegas oleh Islam dengan mengembalikan martabat perempuan ke tempat yang layak, bahkan memberikan penghormatan yang tinggi bagi mereka. Sebagai kesimpulannya perempuan merupakan komoditi nafsu adalah konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud adalah “perempuan telah diangkat oleh islam derajat dan martabatnya,sehingga perempuan diharapkan menjalankan aturan dan ajaran islam sebaik-baiknya” (Pamulutan:2010). Penanda konotasi adalah perempuan di pihak lain, petanda konotasi adalah komoditi nafsu. 3.15 Aktivitas AKP 14 3.15.1 Rubrik 25 Dalam tulisan ini, penulis rubrik menggambarkan perempuan berpolitik. Politik seperti perempuan menjadi calon anggota DPR maupun pejabat pemerintahan. Menurut penulis rubrik, perempuan memiliki landasan untuk untuk mencalonkan diri karena nafsu politik, materialis dan ingin melakukan perubahan. Pola relasi antara materialisme dan nafsu politik sebenarnya lebih terbaca dari sekedar melakukan perubahan. Berdasarkan pendapat penulis rubrik, keinginan melakukan perubahan terkesan lebih kepada peluang untuk menikmati ‘kursi empuk’. Seolah-olah perempuan yang tak terpilih sebagai pejabat politik, tak
dapat melakukan
perubahan. Secara garis besar, konsep perubahan yang ditawarkan oleh para caleg perempuan tentu membawa ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan itu akan semakin terasa pada saat rakyat tidak merasakan bahwa para caleg adalah pelaku perubahan sosial. “Mana mungkin mampu melakukan perubahan besar jika perubahan kecil yang merupakan akumulasi perubahan besar, diabaikan dalam kehidupan sehari-hari oleh para calon legislatif perempuan. Sejatinya konsep perubahan, jika mampu mengubah diri sendiri” (Meutia:2009). Perubahan ini tak tersekat oleh pemilihan umum yang hanya dilakukan setiap lima tahun sekali tersebut. Penulis rubrik mencoba memaparkan bedanya janda (inong balee) dengan perempuan sebagai caleg. Bedanya janda (inong balee) dengan perempuan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
71
sebagai caleg ialah perempuan sebagai caleg menikmati kursi, memperoleh uang dan kekuasaan, sementara janda
berbungkus kesedihan. Berbungkus kesedihan
merupakan keadaan seorang janda. Menikmati kursi, memperoleh uang dan kekuasaan merupakan gambaran caleg perempuan. Disebutkan oleh penulis rubrik, janda dengan sedih ibarat dua sisi mata uang
yang tidak mampu
dipisahkan. Penyatuan diri seorang perempuan kepada kesedihan merupakan sikap putus asa. Pada akhir tulisan, penulis rubrik menyarankan agar perempuan Aceh, khususnya janda (inong balee), sewajarnya tidak menyatu dan berbalut dengan sedih. Janda justru harus mengambil sikap melakukan perubahan sekecil apapun di lingkungannya sendiri. Konotasi perempuan berbungkus sedih dalam rubrik terdapat pada paragraf kelima. “Pasukan Inong Balee (janda) mampu menunjukan menjadi janda bukan berarti hari-hari yang berbungkus sedih. Mereka bangkit dan melawan para penjajah itu. Peluang untuk melakukan sesuatu tidak berhenti sebab status janda semata” (Meutia:2009). Pada level denotatif, Janda berbungkus sedih, bermakna ‘janda yang sedang berbalut kesedihan’. Bungkus menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) bermakna ‘kata penggolong untuk benda yg dibalut dengan kertas; (daun, plastik, dsb); bahan yg dipakai untuk membalut: daun – nasi’; . Dari makna kata bungkus dapat diketahui bahwa kata bungkus tersebut adalah ‘benda untuk membalut’. Seperti daun -- nasi. Dalam konteks, ‘janda berbungkus sedih’ telah mengalami perluasan makna. Berbungkus bermakna memakai bungkusan. Seperti kalimat, bersepatu baru dan berbaju kurung artinya memakai sepatu baru; memakai baju kurung. ‘Janda berbungkus sedih’ mengalami perluasan makna karena perempuan tidak memakai balutan yang terbuat dari benda, kertas dan sebagainya. Akan tetapi perempuan berbalut sesuatu yang tidak terlihat, yaitu kesedihan. Perempuan yang digambarkan dalam rubrik ini diibaratkan menyatu dengan kesedihan. Perempuan Aceh, khususnya janda (inong balee), sewajarnya tidak menyatu dan berbalut dengan sedih. “Pasukan Inong Balee (janda) mampu menunjukan menjadi janda bukan berarti hari-hari yang berbungkus sedih” (Meutia:2009). Penyatuan diri seorang perempuan kepada kesedihan merupakan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
72
sikap menyerah. Perempuan khususnya janda harus bangit. Bangkit dan melawan para penjajah itu. Ekspresi lainnya yang terkait konotasi janda adalah wanita ditinggalkan suami dan hidup kepala keluarga. [...]…kehilangan suami merupakan kenyataan pahit. Menurut gambaran penulis rubrik, wanita yang ditinggalkan suami dan menjadi janda memiliki kecenderungan sedih. Sedih karena seorang perempuan menghadapi kenyataan yang tidak manis; pahit. Saran positif yang diungkapkan dalam rubrik yaitu, perempuan Aceh khususnya janda (inong balee) sewajarnya tidak menyatu dan berbalut dengan sedih. “Janda tetap harus melakukan sesuatu dan mencari peluang.Peluang untuk melakukan sesuatu tidak berhenti sebab status janda semata” (Meutia:2009). Penulis rubrik menyatakan janda dan perempuan Aceh tidak boleh gagal mengambil peluang. Peluang sekecil apapun dengan peran masing-masing, dapat menyelamatkan negeri ini. … Jika memang para perempuan Aceh berpikir seperti itu, sungguh kita sudah tergagap melihat peluang dan perubahan untuk menyelamatkan di negeri ini. Dalam tulisan ini, peneliti menyimpulkan janda berbungkus
kesedihan
merupakan konotasi. Janda berbungkus kesedihan merupakan konotasi yang dibentuk penulis dengan makna janda Aceh mesti bergerak dan mencari peluang yang seluas-luasnya untuk melakukan perubahan di negeri ini. Penanda konotasi adalah janda sementara itu petanda konotasi adalah berbungkus sedih. 3.15.2 Rubrik 26 Penulis rubrik menggambarkan Aceh pasca konflik. Tatanan masyarakat Aceh selalu berjalan secara sistematis dalam lingkaran ‘Konflik-Damai’. Siklus itu terus berputar baik by design maupun secara alamiah kulturalnya. “Ketika siklus berada pada ranah konflik, semua potensi merapat untuk berfikir bagaimana mengupayakan perdamaian” (Zain:2010). Begitu juga sebaliknya, ketika kondisi Aceh berada pada titik damai, baik secara sengaja atau tidak,
banyak yang
‘merapat’ untuk kembali ke konflik. Itulah Aceh negeri dengan segala jenis kerentanannya. Hal yang dominan timbul konflik kembali di Aceh bersifat horizontal. Sebelum adanya MoU
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
73
Helsinki, konflik di Aceh bersifat vertikal kewilayahan antara wilayah Aceh dengan wilayah pemerintahan Pusat. Sebaliknya pasca-MoU, Aceh dihadapkan pada kerentanan konflik kewilayahan horizontal antara wilayah Provinsial dengan wilayah kedaerahan kabupaten/kota. Indikasi konflik horizontal sangat rentan untuk eksistensi damai dan akan merusak sendi-sendi struktur masyarakat Aceh nantinya. Konotasi perempuan
penjaga perdamaian terdapat pada paragraf
kesepuluh. Penulis mengemukakan … “Masyarakat Aceh selalu berjalan secara sistematis dalam lingkaran ‘Konflik-Damai’.Siklus itu terus berputar baik by design maupun secara alamiah kulturalnya. Ketika siklus berada pada ranah konflik semua potensi termasuk wanita merapat dalam perdamaian” (Zain:2010) Secara denotatif merapat bermakna ‘menjadi rapat; mendekat: ia duduk ~ ke ayahnya; 2 berlabuh dekat pangkalan dsb: perlahan-lahan perahu itu pun ~ lah; 3 menjadi (berusaha) supaya akrab, erat ( persahabatan): keluarga yg berselisih itu mulai ~;(KBBI:2008)’. Akan tetapi wanita merapat dalam perdamaian tidak hanya bermakna denotatif. Merapat dalam perdamaian berarti menjaga perdamaian. Oleh karena itu, wanita merapat dalam perdamaian telah mengalami perluasan makna. Ekspresi pendukung terkait perdamaian ialah spirit kebersamaan. Seharusnya, Aceh pasca-MoU perlu diarahkan untuk semua elemen, bukan untuk golongan tertentu saja. Ekspresi semua elemen termasuk wanita yang pada saat konflik masih berlangsung menjadi korban yang sangat dirugikan. Artinya kewajiban untuk menjaga perdamaian merupakan tanggung jawab semua lapisan masyarakat. Terkait kepemimpinan pasca konflik, kepemimpinan untuk Aceh hak semua elemen masyarakat Aceh, bukan malah menjadikan pola kepemimpinan parsial yang mementingkan constituent politik temporer.
Membangun Aceh,
tidak mudah. Butuh kerja keras, ikhlas dan sudi menerima masukan. Aceh pascaMoU harus dibangun dengan spirit kebersamaan tanpa berpihak kepada siapan pun, melainkan harus berpihak kepada rakyat Aceh. Aceh bukan milik elemen
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
74
tertentu, melainkan Aceh adalah milik orang Aceh secara keseluruhan dengan segala etnis dan keragaman jenis kelamin dan budayanya. Kesimpulannya, perempuan penjaga perdamaian merupakan konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud adalah perempuan melakukan aktivitas yang mendukung
upaya
perdamaian
Aceh,tidak
hanya
tinggal diam
namun
berpartisipasi aktif. Penanda konotasi adalah perempuan sementara itu petanda konotatif adalah merapat dalam perdamaian. 3.16 Kecenderungan Konotasi Dalam penelitian ini jelas terbukti bahwa konotasi perempuan dibicarakan dengan tema tertentu . secara garis besar dua puluh enam konotasi perempuan diperbincangkan dengan dua tema besar yaitu benda, sifat dan aktivitas. Konotasi dapat lebih lanjut dijelaskan dalam tabel sebagai berikut. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Konotasi perempuan seperti sapi yang diperjualbelikan perempuan seperti terjerat sarang laba-laba perempuan seperti pameran perempuan seperti pajangan Perempuan pemicu dosa perempuan ibarat samudera mahaluas perempuan seperti cermin retak perempuan ibarat barse (barang sementara) perempuan seperti etalase Perempuan merupakan korban jaring merah TNI Perempuan ibarat penyebab dikotomi peran lelaki Perempuan ibarat penyebab alergi perempuan seperti pameran Perempuan seperti tamparan Perempuan ibarat disandera oleh suami perempuan ibarat sosok kuat dan perkasa perempuan merupakan investasi Aceh perempuan layak dijual perempuan ibarat penggadai simbol agama Perempuan ibarat énéh bereden (benih unggul) Perempuan tidak sama dengan tukang jahit. Perempuan seperti kue timphan Perempuan ibarat ratu tak bertahta perempuan menjadi komoditi nafsu perempuan berbungkus sedih
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
75
26
Perempuan ibarat penjaga perdamaian Tabel 1. Konotasi
Konotasi yang peneliti
sebutkan di atas, menunjukkan bahwa perempuan
dideskripsikan oleh penulis “Opini” secara tematis, yaitu benda hidup, benda mati, sifat dan aktivitas. Dengan kata lain perempuan dibicarakan dengan konotasi: “seperti sapi yang diperjualbelikan, seperti terjerat sarang laba-laba, seperti pameran, seperti pajangan, pemicu dosa, ibarat samudera mahaluas, seperti cermin retak, ibarat barse (barang sementara), seperti etalase, merupakan korban jaring merah TNI, penyebab dikotomi peran lelaki, penyebab alergi, seperti pameran, seperti tamparan, ibarat disandera oleh suami, merupakan sosok kuat dan perkasa, merupakan investasi
Aceh, layak dijual, ibarat
penggadai simbol agama, ibarat énéh bereden (benih unggul), tidak sama dengan tukang jahit. seperti kue timphan, ibarat ratu tak bertahta, menjadi komoditi nafsu, berbungkus sedih dan penjaga perdamaian”. Konotasi di atas terdiri dari signifier dan signified dengan makna pada bahasa kedua (second level). Disebut makna kedua karena makna pertama terdapat dalam denotasi (first system). Konotasi dimaksud disampaikan oleh penulis “Opini” melalui pendekatan terkait benda; hewan, pakaian, laut, alat, kedokteran, pameran, kekerasan, ekonomi/investasi, benih, ekonomi, profesi, makanan, keperkasaan komoditas dan aktivitas.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
76
BAB 4 IDEOLOGI PEREMPUAN DALAM “OPINI”
4.1 Pengantar Ideologi didasarkan pada signified di level bahasa sebagai sistem kedua atau dengan kata lain ideologi adalah signified dari sebuah konotasi. Oleh karena itu, pola konotasi yang telah penulis sebutkan di depan erat kaitannya dengan nilai-nilai dan sudut pandang penulis “Opini”. Dalam pandangan Barthes, sudut pandang yang mendasari sebuah pola konotasi disebut ideologi (1967). Di dalam bab ini, peneliti menganalisis ideologi perempuan dalam “Opini”. Untuk memudahkan penulisan, peneliti memberikan ssingkatan analisis ideologi perempuan menjadi AIP. Dalam analisis bab 3, peneliti telah menentukan analisis berdasarkan tema. Tema dimaksud adalah
hewan, pakaian, laut, benda/alat,
kedokteran, pameran, kekerasan, ekonomi/investasi, benih, profesi, makanan, keperkasaan, komoditas dan aktivitas. Tema tersebut akan digunakan dalam analisis bab 4 ini. Di akhir bab, peneliti memberikan uraian kecenderungan ideologi perempuan dari sudut pandang penulis “Opini” dan peneliti. 4.2 Hewan AIP 1 4.2.1 Rubrik 1 Dalam rubrik ini, petanda (signified) konotasi adalah seperti sapi yang diperjualbelikan. Petanda (signified) konotasi dimaksud untuk menggambarkan ketidaksetujuan penulis “Opini” terhadap perempuan berkontes. Ideologi penulis “Opini” memandang perempuan secara negatif. Penulis “Opini” tidak setuju perempuan Aceh mengikuti kontes, karena perempuan seperti itu terlihat seperti sapi yang diperjualbelikan. Kendatipun penulis “Opini” tidak setuju tetapi ia memberikan solusi. Terkait solusi dimaksud
penulis “Opini” memaparkan
“sebenarnya sederhana saja apa yang dituntut dari mereka yang mengaku mewakili Aceh yaitu
pemahaman terhadap perasaan dan etika orang Aceh”
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
77
(Guci:2009). Terlebih lagi penulis “Opini” mengatakan “cukup dengan mengetahui etika dan kepantasan yang berlaku bagi orang Aceh, maka mereka yang mengaku mewakili Aceh itu seharusnya tahu nilai-nilai apa yang mereka bawa ketika menempelkan nama “Aceh” pada selempang yang mereka kenakan” (Guci:2009).. Ini juga berlaku pada mereka yang memberikan mandat kepada para wakil Aceh itu untuk mewakili sekian juta orang Aceh di dunia. Menurut penulis “Opini” , perwakilan Aceh dalam kontes kecantikan sepatutnya mengetahui nilai dan budaya Aceh. Dengan bekal pengetahuan nilai dan budaya dimaksud, putri Aceh diharapkan akan membantu mengangkat harkat dan nama baik Aceh di mata dunia nasional maupun internasional. Peneliti kurang sependapat dengan perumpamaan sapi kepada perempuan berkontes.
Terlepas
dari
persamaan
diargumentasikan
penulis
“Opini”,
seyogyanya perbandingan diumpamakan dengan hal yang lebih wajar. Manusia dan hewan memiliki perbedaan yang signifikan, terlebih lagi sapi adalah hewan yang sering disembelih dan diambil manfaatnya yaitu daging. Terlebih lagi,pada hakikatnya penulis “Opini”
setuju perempuan Aceh berkontes dengan syarat
perempuan dimaksud mengetahui nilai dan budaya daerah yang diwakili yaitu Aceh. Hukum adat sendiri terdiri dari berbagai lapangan hukum, seperti hukum adat ketatanegaraan, pidana, perdata, waris, kekeluargaan, dan perkawinan. Namun dalam kehidupan kosmopolitan sehari-hari, asal-usul suku seseorang tidak lagi menjadi isu penting. Kesukuan seseorang tidak mempengaruhi haknya sebagai warga negara, atau sebagai warga kota, warga RW, warga RT. Masalah baru timbul ketika identitas kesukuan ini diperlukan sebagai prasyarat awal untuk menentukan tindakan yang berkaitan dengan hukum adat sukunya. Waris misalnya. Atau, saat menjadi isu dalam suatu kegiatan yang mengatasnamakan daerah. Maka Qory yang kelahiran Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat saja mengaku sebagai keturunan Aceh-meski pun istilah ‘Aceh’ jadi agak rancu karena Qory berdarah Gayo-atas nama hukum parental.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
78
“Ada satu pertanyaan yang layak diajukan, tentang keacehan, atau kegayoan, kejameean dan sebagainya itu. Apakah Qory dan Erika, merasa “menjadi” Aceh, atau “memiliki” Aceh? Sebab ketika masyarakat merasa memiliki sesuatu maka masyarakat merasa berhak untuk berbuat apa saja terhadap hak milik tersebu” (Guci:2009). Tidak hanya kesukuan yang diberikan catatan oleh penulis “Opini” kepada wakil Aceh,tetapi juga filosofi menjadi atau memiliki Aceh. Makna memiliki Aceh adalah menyayangi, memelihara, dan menjaga Aceh. Terlebih lagi jika barang itu milik masyarakat maka masyarakat merasa berhak juga untuk menelantarkan, meletakkan secara sembarangan, merusak, atau bahkan membuangnya. Tetapi ketika masyarakat “menjadi” sesuatu, maka masyarakat akan memahami, sebagian atau sepenuhnya, segala aspek yang dibebankan kata “menjadi” tadi. Penulis “Opini” mengatakan “Menjadi Aceh artinya memahami Aceh. Menjadi Aceh juga berarti menjaga Aceh, karena menjadi Aceh berarti, kalau Aceh hancur, diri masyarakat juga hancur. Tidak perlu berdarah Aceh untuk menjadi Aceh. Seseorang berdarah Sunda yang minum air Aceh dan menyintai Aceh, menghormati segala warisan dan nilai Aceh, berbicara mewakili kepentingan Aceh, adalah orang yang menjadi Aceh tanpa memerlukan gen atau DNA dalam darah, yang membuktikan bahwa dia adalah orang Aceh. Kebanyakan dari masyarakat masih merasa “memiliki”. Masih berhak untuk menguras kekayaan, membiarkan kotor, dan tidak peduli dan tidak memelihara. Atas nama kata “memiliki” masyarakat baru marah ketika orang lain mengambil milik masyarakat. Tapi bila masyarakat “menjadi”, maka sebelum orang lain mengambil, masyarakat akan sudah menjaga hak masyarakat itu, karena “menjadi” berarti menyatu sepenuhnya, dalam satu tubuh, dengan apa yang masyarakat cintai” (Guci:2009). Dengan keyakinan “menjadi” Aceh,penulis “Opini” berharap kepada wakil Aceh dapat lebih memaknai arti Aceh. Terlebih lagi, wakil Aceh membawa nama dan mewakili masyarakat Aceh yg jutaan jumlahnya semestinya memahami dan menjaga perasaan daerah Aceh. Penulis “Opini” berharap wakil Aceh tidak hanya memiliki Aceh dengan garis keturunan tetapi juga dapat menjadi Aceh. Menjadi Aceh dimaknai menyatu dan membaur dengan Aceh.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
79
Lagi pula seseorang disebut mewakili sesuatu bila dia menjadi represntasi dari apa yang diwakilinya. Perumpamaannya, wakil populasi terong belanda tentu terong belanda, bukan terong ungu. Terong ungu tidak berhak mewakili terong belanda karena dia tidak menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan terong belanda, baik dari segi fisik mau pun kimiawi . Maka, bila bermaksud mewakili Aceh, maka selayaknya sesosok wakil itu “menjadi Aceh”, lengkap dengan segala tanggung jawab yang dibebankan. Kalau hanya merasa “memiliki Aceh”, sebaiknya jangan mewakili Aceh, karena itu artinya, bila sudah tak ada lagi yang dapat diberikan oleh Aceh, maka yang merasa “memiliki” itu akan merasa bebas juga untuk membuang Aceh begitu saja. Penulis “Opini” memperbincangkan menutup aurat tidak hanya terkait dengan doktrin agama, tetapi nilai dan budaya . secara logis penulis “Opini” menggambarkan …“semakin tua umur peradaban suatu bangsa, dan semakin tinggi status sosial manusianya, maka semakin banyak anggota tubuhnya yang ditutupi dengan kain. Peradaban, yang akar katanya, adab, berasal dari bahasa Arab, secara sempit berarti “perilaku terpuji/terhormat, serta sifat-sifat yang mulia”. Dengan kata lain, “peradaban yang tinggi” mengacu pada kemampuan manusia untuk berperilaku terhormat, yang bahkan pada awal abad 20 masih disimbolkan dengan banyaknya kain penutup tubuh yang dikenakan” (Guci:2009). Akan tetapi agaknya hukum “semakin terhormat semakin tertutup” sudah tak berlaku lagi kini. Agaknya sekarang berbeda dengan nilai-nilai zaman dahulu, kaum perempuan yang dulu menunjukkan ketinggian status sosialnya dengan cara sesedikit mungkin menampilkan kulitnya di depan umum, kini bangga mengenakan secarik kain yang hanya dapat menutupi bagian vital tubuh. Penambahan kain pada bagian atas kepala juga dinamakan pengekangan pada kebebasan. Mempertanyakan sekiranya benar perempuan merasa terkekang karena dianjurkan (secara kuat) untuk menutup kepala dan tubuhnya.jawaban pastinya ada pada perempuan. Singkatnya, nilai-nilai menutup aurat yang ada sejak dulu mulai terjadi pergeran pada sebagian perempuan.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
80
4.2.2 Rubrik 2 Dalam rubrik ini konotasi tentang perempuan adalah perempuan seperti terjerat sarang laba-laba. Isi petanda (signified) konotasi
dimaksud untuk
mentautkan perempuan dan keadilan. Ideologi penulis “opini” memandang bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan sangat membutuhkan perlindungan terlebih dalam hal keadilan dan hukum. Penulis “Opini” mengatakan bahwa perempuan semestinya mendapat perhatian lebih oleh pemerintah dalam bidang hukum. Namun kenyataannya, perempuan mendapatkan porsi dan perhatian sempit dalam hukum dan keadilan. Misalnya kasus nenek pencuri tiga buah kakao dan kasus Prita. Penulis “Opini” mengatakan bahwa terdapat persamaan antara perempuan yang ditindas oleh hukum dan sarang laba-laba, yaitu “1). perempuan adalah rakyat kecil dan lemah, 2). hukum di Indonesia hanya menjerat orang atau kaum lemah dan 3). penegakkan hukum di Indonesia masih tebang pilih” (Tripa:2009). Mengingat alasan tersebut, penulis “Opini”menginginkan hukum di Indonesia lebih proporsional dan akomodatif. Tidak tebang pilih dan membela semua golongan tidak hanya golongan kuat dan kaya tetapi juga golongan miskin dan lemah termasuk perempuan. Penulis mengatakan fakta bahwa gugatan terhadap rasa keadilan muncul di banyak tempat. Gugatan Itu muncul karena banyak orang kecil yang bila ada sesuatu kasus, dengan segera diajukan ke pengadilan dan dalam sekejap mendapatkan putusan hukumnya. “Namun untuk orang-orang besar, tunggu dulu!” (Tripa:2009). Untuk mereka tersedia waiting list. Faktnya terkesan sangat sulit untuk membawa orang besar ke meja hukum walau secara kasat mata, dugaan pelanggarannya begitu nyata. Mereka yang punya kekuasaan, ada banyak bahasa untuk menyelamatkannya. Apabila sewaktu-waktu mereka tergelincir dan kesandung kasus tertentu, para penegak hukum dengan sigap akan mengatakan ‘belum cukup bukti’ untuk memprosesnya. Ada perbedaan pula dalam hal prosesnya. Biasanya untuk kasus-kasus yang menimpa orang besar, akan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
81
didampingi secara bersusun dan berlapis oleh para pembelanya sedangkan untuk orang miskin, paling-paling hanya pembela yang disediakan oleh negara. “Hukum di dunia sudah berubah menjadi sarang laba-laba” (Tripa:2009). Bila melihat analogi sarang laba-laba, setiap orang tersadar bahwa yang dapat terjaring hanya binatang kecil saja, semisal lalat, nyamuk, serangga lainnya, atau burung pipit. Sarang laba-laba tidak dapat menahan geliat elang putih atau kelinci hutan. Terlepas dari bagaimana konteks ungkapan itu, menarik untuk melihat realitas berhukum di negara masyarakat. Pada kenyataannya berulangkali masyarakat menyaksikan banyak orang kecil yang langsung dihukum dan dipenjara gara-gara hal yang sepele. Namun untuk ‘orang-orang kuat’, tunggu dulu. Bila analogi laba-laba sudah mengental, maka konsep ‘orang sehat’ juga otomatis bergeser. Orang-orang yang ‘lurus’, ketika berada dalam rombongan ‘orang-orang sakit’, akan disebutkan sebagai orang-orang yang tidak beres. Orang-orang yang berharap tegaknya hukum, ketika berada dalam lingkaran orang-orang yang tidak patuh hukum, akan dianggap sebagai orang yang perlu ‘dibereskan’. Tampaknya masyarakat harus memperingatkan lagi, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, dan bukan pada kekuasaan semata. Seyogianya, hukum tidak digunakan sebagai instrumen untuk memaksakan kepentingan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Penggunaan hukum sebagai instrumen pemaksaan kepentingan, telah menyebabkan sebuah hubungan yang tidak seimbang. Jika penggunaan hukum digunakan sebagai alat pemaksaan, maka yang muncul adalah keberpihakan hukum pada kepentingan yang lebih kuat. Apabila
pemaksaan hukum terjadi, maka sesungguhnya bertentangan
dengan tujuan hukum itu sendiri. Berdasarkan tujuan hukum secara filosofi adalah untuk mewujudkan keadilan, menstabilkan kehidupan, dan bahkan menciptakan kesejahteraan manusia. Alasan inilah yang harus menjadi cambuk untuk mengingatkan kembali negara masyarakat sebagai negara hukum. Hukum dibuat agar masyarakat menjadi tertib dan menjamin keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Tidak dapat masyarakat bayangkan bila tujuan hukum kemudian
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
82
berbalik arah dan tidak lagi bertujuan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan tersebut. 4.3 Pakaian AIP 2 4.3.1 Rubrik 3 Dalam tulisan ini, signified (petanda) konotasi adalah perempuan seperti pameran. Perempuan berjilbab namun berpakaian ketat tak ubahnya seperti pameran. Penulis tidak setuju terhadap perempuan berjilbab namun berpakaian ketat. “Perempuan yang menggunakan jilbab sepatutnya memahami syariat penggunaan jilbab yang benar” (Nurchaili:2009). Penggunaan jilbab yang benar adalah tidak ketat. Oleh karena hal itu, jilbab tetapi berpakaian ketat merupakan ungkapan yang sama maknanya dengan berpakaian tetapi tipis. “Jika hanya menutup badan sesungguhnya sama saja dengan telanjang” (Nurchaili:2009). Sewajarnya, jilbab yang digunakan oleh perempuan merupakan
alat untuk
menutup aurat dan sesuai syariat Islam. Aurat adalah bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain selain muhrimnya. Perempuan muslimah dengan menggunakan jilbab yang tidak ketat sesungguhnya telah menjaga kehormatan dirinya sendiri. Dengan demikian, perempuan dimaksud telah menaati ajaran Islam. Apabila
perempuan tidak
menutup auratnya dengan benar, maka dapat memancing gairah seksual laki-laki. Jadi tidaklah mengherankan bila di daerah barat dan kota-kota besar lainnya yang sebagian besar perempuannya mendedah aurat banyak terjadi kasus perkosaan dan pelecehan seksual lainnya. Oleh Karena itu berhati-hatilah dalam berpakaian, yang paling mulia di sisi Allah adalah pakaian takwa. Perempuan yang menutup auratnya secara benar sesuai syariat Islam adalah kaum perempuan yang terpelajar dan panutan bagi setiap orang yang merupakan karunia Allah dan utusan perdamaian bahkan merupakan sumber kebahagiaan dan kesejahteraan. Dengan menutup aurat berarti seorang perempuan
telah memberikan
sumbangan terbesar bagi tertutupnya sumber fitnah dan menghindarkan orang lain dari perbuatan dosa. Sebagai seorang muslimah yang cinta agama dan ingin diridhai Allah Swt. cukuplah baginya memperlihatkan aurat dan berdandan untuk
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
83
suaminya, bukan untuk pamer di jalanan sebagaimana yang dibudayakan paham modernis
liar
sekarang
lewat
gerakan-gerakan
perempuan
yang
ingin
menghancurkan Islam. Fitnah terbesar dari perempuan adalah auratnya. Menutup aurat bukan sekedar menutup badan. Misalnya, pakaian yang dikenakan itu sangat ketat, tipis dan tembus pandang. Pakaiannya juga terbuka di sana-sini sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuh dan menampakkan sebagian aurat secara jelas. Hal ini dikarenakan “perempuan adalah sumber fitnah” (Nurchaili:2009). Penulis rubrik menggambarkan ...”Berpakaian muslimah adalah suatu keharusan bagi seorang muslimah. Menutup aurat bukan sekedar menutup badan namun sungguhnya sama saja dengan telanjang. Misal, pakaian yang dikenakan itu sangat ketat, tipis dan transparan. Pakaiannya juga terbuka di sana-sini sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuh dan menampakkan sebagian aurat secara nyata. Perilaku ini adalah perilaku jahiliyah” (Nurchaili:2009). 4.3.2 Rubrik 4 Tulisan ini berisi petanda (signified) konotasi adalah perempuan seperti pajangan. Tulisan ini merupakan anjuran seorang wakil gubernur Aceh agar masyarakat Aceh tidak mempermasalahkan celana ketat terhadap perempuan berjilabab tetapi lebih kepada esensi menutup aurat. Namun dijelaskan celana ketat tak ubahnya menjadikan perempuan seperti pajangan.
Persoalannya
masyarakat Aceh pada saat itu mempersoalkan pemakaian celana. Di samping itu, sebagian masyarakat Aceh tidak ingin perempuan dilarang memakai celana. Bahkan ada banyak polemik terkait celana panjang bagi perempuan berjilbab di Aceh. Penulis “Opini” berharap
agar masyarakat Aceh lebih mementingkan
esensi menutup aurat. Dengan tidak memperdebatkan celana panjang. Perempuan yang berjilbab dan menggunakan celana panjang yang tidak ketat, sebetulnya telah melakukan esensi menutup aurat.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
84
Perempuan yang menggunakan jilbab sepatutnya memahami syariat penggunaan jilbab yang benar. Penggunaan jilbab yang benar adalah tidak ketat. Oleh karena hal itu, jilbab tetapi ketat merupakan ungkapan seperti berbaju tetapi tipis. Berbaju tetapi tipis ibarat dua hal yang bertolak belakang. Sewajarnya, jilbab yang digunakan oleh perempuan merupakan alat untuk menutup aurat dan sesuai syariat Islam. 4.3.3 Rubrik 5 Dalam rubrik ini petanda (signified) konotasi adalah perempuan pemicu dosa. Perempuan bersifat seolah-olah pemicu dosa manakala ia tidak menutup auratnya secara kaffah (sempurna). Apabila seorang perempuan muslimah tidak menutup tubuhnya dengan jilbab dan pakaian yang tidak ketat, ia memamerkan tubuhnya sehingga memancing syahwat para pria. Perempuan seperti digambarkan tersebut sebenarnya menjadi penyebab terjadi perbuatan dosa. Perempuan menjadi sasaran jika tindakan kriminal seperti zina dan lainnya terjadi dalam masyarakat. Ideologi penulis memandang perempuan secara negatif. Perempuan harus disalahkan jika terjadi dosa yang dilakukan orang lain karena ia tidak menutup aurat. 4.4 Laut AIP 3 Rubrik 6 Dalam rubrik ini petanda (signified) konotasi adalah perempuan ibarat samudera mahaluas merupakan konotasi. Sementara penanda (signifier) konotasi adalah ibu. Penulis “Opini” menerangkan, peran ibu sebagai pelabuhan cinta tiada tara, penuh kasih dan ng. Tambahan pula bahwa sosok ibu merupakan sosok penuh dengan cahaya. Ibu merupakan manifestasi dari kasih ng dan rahmat Allah Swt. Untuk itu, ibu disebut mahaluas cintanya. Ibu adalah samudera mahaluas secara konotatif bermakna ibu memiliki cinta tiada tara, sifat cinta dan kasih sayang. Penulis berharap agar pendidikan bagi
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
85
perempuan diperhatikan. Perempuan diberi kesempatan untuk memperoleh ilmu dan kelak memberikan ilmunya kepada anak-anaknya. “Akhlak-akhlak yang baik, perbuatan shaleh dan pembicaraan terdidik dari seorang ibu akan dilihat dan membuat sang anak akan tumbuh berdasarkan akhlak itu” (Devayan:2009). Maka pantas jika ada pernyataan, jika bangsa kehilangan wanita yang tangguh dan pendidik generasi muda, maka bangsa tersebut akan mengalami kemunduran. 4.5 Alat AKP 4 4.5.1 Rubrik 7 Dalam rubrik ini petanda (signified) konotasi adalah perempuan ibarat cermin retak. Dikatakan cermin retak karena perempuan sebagai makhluk lemah dan dilindungi oleh hukum justru tidak mendapatkan keadilan. Pada saat itu, kasus prita telah menjadi pembicaraan publik. Simpati masyarakat datang dari seluruh penjuru nusantara. Simpati masyarakat misalnya, pengumpulan koin, demo besar-besaran, dan sebagainya. Hal yang lebih mendasar adalah menuntut Prita bebas dan menuntut balik pihak rumah sakit. Penuntutan balik kepada pihak rumah sakit untuk menjadi tersangka merupakan upaya untuk menegakkan keadilan. Penulis “Opini” menegaskan reformasi hukum belum lagi selesai di negeri ini. Kasus Prita sesungguhnya juga cermin retak dalam kehidupan berbangsa, cermin cara bertindak dan berpikir. Kasus Prita merupakan contoh penegakkan hukum yang tebang pilih. Hukum yang tebang pilih seperti kasus Prita diekspresikan cermin retak dalam penegakkan hukum di Indonesia. Sedemikian itulah, sehingga kemungkinannya adalah rakyat selalu sulit mendapatkan keadilan, misalnya karena rakyat itu bukan orang kaya,bukan siapasiapa. Dalam konteks ini, dimaksud adalah rakyat perempuan. Perempuan yang biasa-biasa saja; tidak mendapatkan keadilan di mata hukum. 4.5.2 Rubrik 8
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
86
Dalam artikel ini petanda (signified) konotasi adalah perempuan seperti barang sementara (barse). Barang sementara merujuk kepada perempuan simpanan. Penulis “Opini” mengingatkan bahwa perempuan simpanan telah ada di Aceh setidaknya tahun 70-an. Ketika itu penulis “Opini” masih sekolah di tingkat menengah pertama. Di saat bersamaan terdapat sebuah kebiasaan yang salah di kalangan kaum laki-laki. “Laki-laki sering menilai orang perempuan berdasarkan sisi cantiknya saja. Apabila terjadi pembicaraan masalah perempuan di kalangan laki-laki maka pasti seputar kecantikannya. Jikapun ada pembicaraan seputar hal lainnya maka itu jarang sekali. Tidak diketahui kenapa kaum laki-laki senang membicarakan perempuan cantik” (Amiruddin:2010). Penulis “Opini” berpendapat pada umumnya mindset pria tidak dapat diubah. Pria memandang wanita umumnya dari sisi kecantikan fisik. Oleh karena itu, perempuan harus lebih menjaga diri. Untuk tujuan itu,perempuan dianjutkan menutup aurat sesuai syariat Islam. 4.5.3 Rubrik 9 Peneliti menarik simpulan, perempuan adalah etalase Secara konotatif
adalah konotasi.
perempuan adalah etalase bermakna perempuan dimanfaatkan
secara fisik dan tidak diikutsertakan dalam proses perdamaian Aceh. Penanda konotasi adalah perempuan dan petanda konotasi etalase. Penulis “Opini” mengemukakan bahwa faktanya perempuan masih menjadi nomer dua dalam peran perdamaian Aceh. Terlebih lagi perempuan hanya dimanfaatkan sisi kecantikan fisik bukan kecerdasan dan kemampuan lainnya. Untuk itu, perempuan melalui UU PBB diharapkan mampu bangkit dan menyejajarkan diri dengan peran pria.
4.5.4 Rubrik 10
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
87
Peneliti menyimpulkan janda merupakan jaring merah TNI adalah konotasi. Secara konotatif janda merupakan jaring merah TNI bermakna istri kehilangan suami mereka karena menjadi korban penangkapan dan kekerasan TNI pada masa DOM. Penanda konotasi adalah janda di pihak lain petanda konotasi adalah jaring merah TNI. Dalam tulisan ini penulis “Opini” menyampaikan bahwa status janda diakibaktkan oleh kekejaman DOM (daerah operasi militer). Namun hingga saat tulisan itu dituiskan masih terdapat cap janda di gampongulee glee. Akibatnya, janda masih dipantau karena khawatir anak-anak mereka didik membalas dendam. Kendatipun demikian, janda di Gampong Ulee Glee diajak untuk menghapuskan stereotipe orang Ulee Glee; orang keras. Salah satu upayanya adalah meningkatkan pendidikan dan ketakwaan. 4.6 Kedokteran AIP 5 4.6.1 Rubrik 11 Peneliti berkesimpulan bahwa
perempuan penyebab alergi. Secara
konotatif perempuan penyebab alergi
karena orang lain melihat perempuan
berjilbab namun bercelana ketat merasa jijik berlebihan. Penanda konotasi adalah perempuan berjilbab namun bercelana ketat sementara itu petanda konotasi adalah alergi. Persoalannya sebagian masyarakat khawatir celana ketat menjadi bumerang bagi Bupati Aceh Barat. Peraturan tentang pelarangan celana ketat dan kewajiban memakai rok tanpa dibarengi dengan penyosialisasian dan penyuluhan akan berdampak buruk. Dampak buruk tidak hanya pada perempuan tetapi pegawai pemerintahan yang tidak serta merta setuju tentang larangan celana.
4.7 Pameran AIP 6 Rubrik 13 Berdasarkan
penjelasan
tersebut,
peneliti
menyimpulkan
bahwa
perempuan berjilbab menggunakan celana jeans ketat ibarat pameran merupakan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
88
konotasi. Secara konotatif perempuan berjilbab menggunakan celana jeans ketat ibarat pameran bermakna perempuan berjilbab menggunakan celana jeans telah mempertontonkan lekuk tubuh sehingga dilihat oleh non muhrimnya. Pada saat bersamaan perempuan telah meruntuhkan martabatnya. Anjuran menutup aurat seperti berjilbab secara panjang dan tidak ketat dengan cara itulah Islam menjaga kehormatan wanita. Artinya, tujuan perintah menutup aurat adalah untuk menghormati dan melindungi wanita itu sendiri. Terlepas dari pro dan kontra, manfaat berjilbab dan tidak menggunakan celana ketat jauh lebih banyak dibandingkan berpakaian ketat. 4.8 Kekerasan AIP 7 4.8.1 Rubrik 14 Peneliti mengambil simpulan bahwa minimnya jumlah perempuan di BRR merupakan tamparan adalah konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud bermakna perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan dalam BRR sangat memalukkan. Penanda konotasi adalah minimnya jumlah perempuan di BRR,di pihak lain petanda konotasi adalah tamparan. Penggunaan kata tamparan terkesan keras. Kendatipun demikian ini ditujukan sebagai upaya keras menyadarkan perempuan dan laki-laki terhadap kesetaraan hak. Penulis “Opini” “Opini” mengekspresikan pukulan keras (tamparan) ditujukan kepada perempuan dengan membandingkan jumlah aktifis dan jumlah tokoh politik di Aceh. Jumlah aktifis perempuan dan jumlah tokoh politik perempuan di Aceh tidak sebanding dengan perempuan yang bekerja di BRR. Jumlah di BRR jauh lebih sedikit. Padahal, aktifis dan elit politik perempuan adalah bibit unggul. Untuk itu, perempuan harus lebih pro aktif dalam mensejajarkan peran dengan pria. Khususnya peran dalam bekerja dan pendidikan.
4.8.2 Rubrik 15
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
89
Peneliti mengambil simpulan , seorang istri ibarat disandera oleh suami adalah konotasi. Secara konotatif seorang istri ibarat disandera oleh suami bermakna setelah menikah perempuan tidak dapat berkarier dan mendapatkan hak kebebasan. Petanda konotasi adalah disandera oleh suami. Penulis “Opini” menerangkan lebih lanjut istri
diekspresikan
telah
kehilangan haknya sebagai manusia yang merdeka. Perempuan dipaksa menaati dan mematuhi segala kemauan suami. Terkukungnya kebebasan istri (perempuan yang menikah)
merupakan peran dan resiko yang diambil pada saat ia
berkomitmen melangsungkan pernikahan dengan seorang pria. 4.8.3 Rubrik 16 Dalam tulisan ini ditemukan perempuan seperti tokoh yang kuat dan perkasa. Keperkasaaan perempuan Aceh dianggap mampu mengembangkan inovasi baru merupakan konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud bermakna perempuan dengan segala kemampuannya dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan Aceh. Penanda konotasi adalah keperkasaaan perempuan Aceh sementara itu petanda konotasi adalah mengembangkan inovasi baru. Semestinya saat ini di Aceh sudah banyak perempuan hebat. Bukan hanya sekadar menjadi seorang camat atau dalam tataran pemerintahan provinsi hanya menjadi kepala bagian pemberdayaan perempuan saja tetapi di tempat strategis juga. Kenyataannya, mereka tak ubahnya bagai bunga yang pada awalnya tumbuh subur dengan bunga-bunga yang indah namun kemudian tidak dihiraukan apalagi diberi pupuk sehingga layu bahkan mati sebelum cukup berkembang. Akibatnya, banyak perempuan Aceh tidak dapat mengembangkan diri sebagaimana Srimulyani yang mampu menjadi Managing Director Bank dunia. Sebagai seorang guru, penulis “Opini” mengajak agar masyarakat memperhatikan efek epsikologis, larang perempuan memimpin. Terlebih lagi, hal ii berdampak pada generasi muda perempuan. 4.9 Ekonomi AIP 8 4.9.1 Rubrik 17
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
90
Peneliti menyimpulkan pendidikan perempuan adalah investasi merupakan konotasi. Secara konotatif bermakna perempuan yang mendapatkan pendidikan menjadi modal tidak hanya bagi keluarga namun juga agama dan bangsa, serta bermanfaat bagi keluarga juga Negara. Petanda konotasi adalah investasi. Investasi merupakan modal jangka panjang. Menurut penulis “Opini”, pendidikan perempuan memang diperlukan karena kehidupan menghadapi persoalan cukup berat. Untuk itu,pendidikan perempuan membawa manfaat tidak hanya bagi dirinya tetapi juga keluarga dan bangsa. 4.9.2 Rubrik 18 Dalam rubrik ini, perempuan layak dijual adalah konotasi. penanda konotasi adalah Zahra (perempuan) sementara itu petanda konotasi adalah layak dijual. Penulis “Opini” menerangkan Zahra,sosok perempuan yang bangkit tidak hanya dari keterpurukan tetapi juga ketidakpercayaan diri karena kecilnya keahlian yang dimiliki Peneliti menyimpulkan perempuan layak dijual merupakan konotasi. Makna
konotatif
ungkapan
dimaksud
ialah
perempuan
seperti
Zahra
berkemampuan menulis dan membuat buku layak untuk dijual. Ia menjadi contoh sosok janda yang berhasil. Penulis “Opini” menyarankan perempuan di Aceh tidak hanya berpangku tangan, tetapi perempuan harus mengejar peluang dan berusaha sekuat tenaga untuk mengubah nasib kehidupannya. 4.9.3 Rubrik 19 Dalam rubrik ini, perempuan ibarat penggadai simbol agama merupakan konotasi. perempuan Aceh yang tidak menggunakan jilbab (dituduh) menggadai simbol agama merupakan konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud bermakna perempuan Aceh dalam segala kegiatan apapun harus menjaga iman dan islam,serta mengamalkan perintah ajaran Islam. Penanda konotasi ialah perempuan Aceh yang tidak berjilbab sementara itu petanda konotasi adalah menggadai simbol agama. 3.10 Benih AIP 9
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
91
Rubrik 20 Peneliti mengambil kesimpulan dari pemaparan penulis “Opini” rubrik bahwa perempuan adalah benih unggul adalah konotasi. Perempuan yang dimaksud adalah Datu Beru. seorang tokoh perempuan yang berjuang dalam bidang politik dan hukum. Penanda konotasi adalah datu beru,sementara itu petanda konotasi adalah benih unggul (énéh bereden). Penulis “Opini” berpendapat,tokoh seperti Datu Beru sepatutnya menjadi panutan kepada perempuan Aceh. Panutan dalam hal kecerdasan, pendidikan, sikap bijaksana dan kepemimpinan yang adil. 3.11 Profesi AIP 10 Rubrik 21 Peneliti mendapat simpulan dari tulisan ini, perempuan yang berzina tidak sama dengan tukang jahit adalah sebuah konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud bermakna pezina tidak diketahui perbuatannya, karena itu hukum harus melarang sebelum zina itu terjadi. Petanda konotasi adalah tidak sama dengan tukang jahit. Tukang jahit merupakan profesi jahit pakaian,sebelumnya diharuskan memesan,mengukur, membentuk pola kemudian kain dijahit. Menjahit sangat dibutuhkan perencanaan setelah itu pelaksanaan. Lain pula halnya dengan zina, zina tidak terencana melainkan terjadi mendadak dan hanya diketahi pelaku. Karena itu, hukum tentang zina harus lebih tegas dalm upaya preventif perbuatan zina. Pada saat bersamaan, disarankan agar perempuan lebih menjaga diri. Zina lebih banyak membawa dampak buruk kepada perempuan.
3.12 Makanan AIP 11
Rubrik 22 Peneliti
berkesimpulan, perempuan
berjilbab seperti
kue timphan
merupakan konotasi. Secara konotatif ungkapan dimaksud bermakna perempuan berjilbab tertutup dan terbalut rapat. Kue timphan merupakan petanda konotasi.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
92
Penulis “Opini” menggambarkan sejak dulu sindiran perempuan berjilbab telah hadir dalam masyarakat. Misalnya sindiran perempuan berjilbab seperti kue timphan. Kendatipun demikian para gadis diharapkan lebih mempersiapkan mental ketika memutuskan berjilbab. Godaan yang datang dari luar akan banyak. Untuk tujuan itu, pembekalan diri hakikat perempuan berjilbab semestinya diberikan kepada gadis guna mereka siap menghadapi godaan di masa mendatang. “Perempuan Aceh zaman sekarang beruntung karena sekarang tidak perlu berjuang untuk menutup aurat. Dulu seorang muslimah terpaksa buka tutup jilbab” (Hamzah:2009). Jika bekerja sebagai pelayan swalayan yang berada di lantai 3 Pasar Atjeh di Banda Aceh, dia terpaksa mengenakan rok yang panjangnya lima centi meter di atas lutut. Sebaliknya jika kuliah, maka dia berjilbab. Suatu saat pernah terjadi insiden ketika karyawati satu hotel yang berada 100 meter dari Masjid Raya, saat itu manajemen hotel melarang pekerja memakai seragam selain yang ditentukan. Hal itu juga dialami seorang Polwan dan pekerja wanita satu bank. Mereka disuruh memilih; ikuti peraturan atau cari kerja di tempat lain. Jika pada akhirnya ada yang menggugah bahkan mengugat secara tersembunyi terkait menutup aurat, ini bagian kecintaan kepada Islam yang hakiki tanpa balutan politik. Mengutip ucapan Wakil Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal pada Pembekalan Qanun-Qanun Syariat Islam “di kota-kota besar di luar Aceh, banyak kaum hawa tidak mengenakan jilbab namun saat adzan mereka ke masjid atau musalla untuk shalat” (Hamzah:2009). Hal yang seperti itu, mulai kontras di Aceh yang melaksanakan Syariat Islam.
4.13 Keperkasaan AIP 12
Rubrik 23 Dalam rubrik ini, peneliti berkesimpulan bahwa perempuan adalah ratu tanpa tahta
merupakan konotasi. Penanda konotasi adalah kuat sementara
petanda konotasi adalah wanita bertahta. Secara konotatif bermakna perempuan
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
93
tidak akan kuat utuk memimpin dan menyebabkan rakyat yang dipimpinnya tidak akan beruntung. Kendati demikian di Aceh terdapat salah satu contoh pemimpin perempuan yaitu Sultanah Safiatuddin tetapi ia bersekongkol dengan Syekh Abdul Rauf. Artinya pemilihan ini sangat tidak sesuai prosdur kerajaan. Penulis “Opini” sejatinya kurang setuju ,apabila urusan kepemimpinan diserahkan kepada wanita. Jawaban ini ditunjukkan oleh dalil hadist nabi. Sabda Nabi “Sungguh tidak beruntung bila suatu kaum menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepada wanita”. “Itu sebabnya, mengapa sebagian para ulama kerajaan Aceh dulu, terutama kalangan ulama wujudiah menentang diangkatnya wanita menjadi Sultanah untuk memimpin Negara” . Tentu saja, penentangan itu selain didasarkan pada hadis tersebut. Berikutnya keluar fatwa yaitu bertentangan dengan syariat jika sebuah kerajaan Islam diperintah oleh wanita. Dengan datangnya fatwa ini, maka berakhirlah rezim kepemimpinan wanita di Kesultanan kerajaan Aceh. Kembali pada pemerintahan yang dipimpin oleh perempuan, kendati demikian pemerintahan Sultanah (pemimpin perempuan) ini relatif lama, tapi satu persatu wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Aceh di Semenanjung Melayu dan Sumatera saat melepaskan diri dari kekuasaan Aceh. Hal ini disebabkan makin melemahnya pertahanan keamanan kerajaan Aceh. Di samping itu ketidakstabilan politik dalam negeri Aceh yang diakibatkan oleh kekacauan agama dan politik yang tak mampu dikendalikan para Sultanah sebagai pemimpin kerajaan Aceh ketika itu. Akibatnya stabilitas politik dan keamanan kerajaan makin tak terkendali. Sehingga satu per satu wilayah taklukan kerajaan Aceh saat itu lepas dari kekuasaan kerajaan Aceh. Semua itu membuktikan bahwa wanita memang tidak kuat untuk bertahta. 3.14 Komoditas AIP 13 Rubrik 24
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
94
Dalam tulisan ini perempuan merupakan komoditi nafsu disimpulkan sebagai konotasi. Secara konotatif ungkapan kalimat perempuan adalah komoditi nafsu bermakna perempuan merupakan sumber hawa nafsu. Perempuan telah menjadi korban nafsu bagi kaum laki-laki. Ideologi terkait kalimat perempuan adalah komoditi nafsu adalah sebagai berikut. Pertama, perempuan harus melakukan upaya agar
tidak dijadikan
komoditi nafsu. Kedua, upaya perempuan sebaiknya mengikuti perintah dan syariat Islam. Ketiga, Semestinya perempuan tidak tinggal diam pada saat disudutkan menjadi komoditi nafsu. Ia harus membela diri dan melakukan kegiatan agar istilah “komoditi nafsu” tidak lagi melekat pada perempuan. Salah satu cara disarankan penulis “Opini” agar tidak menjadi komoditi nafsu adalah perempuan harus menutup aurat. Menutup aurat seperti yang diperintahkan dalam ajaran Islam. Berdasarkan gerakan feminism, perempuan telah mengambil menuntut kesetaraan. Kaum perempuan mulai mendambakan kesetaraan dengan laki-laki di semua aspek kehidupan” (Pamulutan:2010). Seperti persamaan pembayaran gaji, pembagian kerja, dan penugasan. Selanjutnya segala bentuk pembedaan berdasarkan pembedaan berbasis jenis kelamin (gender-based differentiation) harus dihapuskan, yang untuk memuluskan cita-cita itu dan menghindari beban pengasuhan dan pemeliharaan anak. Pemerintah diminta mendirikan tempattempat penitipan dan pengasuhan anak. Agenda berikutnya, memprovokasi perempuan bahwa mereka sedang berada di bawah cengkraman dan dominasi kaum laki-laki (male dominated world) yang--diyakini bahwa--dengan cara inilah mereka dapat mebebaskan diri dari eksploitasi dan subordinasi. “Namun, akhir-akhir ini gerakan feminisme cenderung kebablasan Akibatnya, gerakan feminisme disalahkan karena dianggap mengebiri laki-laki, menyuburkan hubungan sesama jenis dan mengubah perempuan menjadi makhluk yang ‘gila karir’ tukang bersolek, hidup dalam kesepian, pulang ke rumah hanya untuk tidur, mandi dan berganti pakaian atau memberi makan hewan pelihararaan setelah seharian ‘berkeliaran’ di luar” (Pamulutan:2010).
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
95
Apabila pada kenyataannya di kalangan muslim masih dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, maka yang seharusnya dikoreksi adalah masyarakatnya, bukan agamanya. Gagasan emansipasi wanita, feminisme, gender dan nama-nama lain yang bertujuan memuliakan wanita bukanlah sesuatu yang tabu, bahkan patut didukung. Dengan catatan emansispasi tersebut berlandaskan agama. 4.15 Aktivitas AIP 14 4.15.1 Rubrik 25 Dalam tulisan ini, peneliti menyimpulkan janda berbungkus
kesedihan
merupakan konotasi. Janda berbungkus kesedihan merupakan konotasi yang dibentuk penulis “Opini” dengan makna janda Aceh mesti bergerak dan mencari peluang yang seluas-luasnya untuk melakukan perubahan di negeri ini. Penanda konotasi adalah janda sementara itu petanda konotasi adalah berbungkus sedih. Bahkan janda Aceh memiliki peluang yang besar membawa perubahan dibandingkan perempuan yang ingin menjadi caleg dengan tujuan melakukan perubahan. Terkait pemilu penulis mengungkapkan agar perempuan berbuat lebih banyak kepada lingkungan. Mengubah hal-hal kecil demi tercipta perubahan besar. Secara garis besar, konsep perubahan yang ditawarkan oleh para caleg perempuan tentu membawa ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan itu akan semakin terasa pada saat rakyat tidak merasakan bahwa para caleg bukanlah pelaku perubahan sosial. Mana mungkin mampu melakukan perubahan besar jika perubahan kecil yang merupakan akumulasi perubahan besar, diabaikan dalam kehidupan sehari-hari para calon legislatif perempuan. Sejatinya konsep perubahan, jika mampu mengubah diri sendiri. Ini adalah peluang yang tak tersekat oleh pemilihan umum yang hanya dilakukan setiap lima tahun sekali. Kembali ke persoalan perempuan dan pemilu, Berpijak pada semangat yang dilakukan pejuang perempuan Aceh. Mengabaikan kepentingan materialisme dan individualisme tentunya. Penulis membayangkan jika ada setiap harinya
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
96
semasyarakatr 304 perempuan menjadi volunteer pada lembaga-lembaga pendidikan. Berapa banyak murid yang terselamatkan masa depan mereka. Penulis membayangkan, jika ada setiap harinya para perempuan Aceh menghujani sms kepada Komite Penyiaran Indonesia (KPI) yang memuatkan kekhawatiran mereka akan tayangan yang menghancurkan moral bangsa. Berapa banyak tayangan itu harus hilang dari peredaran. Sebab satu kali sms saja sangat menjadi pertimbangan KPI untuk membrandel tayangan tersebut. Penulis membayangkan, jika ada ibu rumah tangga setiap harinya berkisar 304 orang, sepakat untuk memisahkan sampah organik dan non organik. Betapa banyak sumberdaya alam negeri ini akan terselamatkan. Pemerintah tak harus pusing dengan sampah rumah tangga yang mendominasi tempat pembuangan sampah. Masyarakatpun dapat segera mengelola sampah mereka secara mandiri. Semua itu dapat masyarakat lakukan tanpa menjadi caleg. Haruskah menunggu pemilu untuk melakukan hal yang diutarakan tadi. Jika memang para perempuan Aceh berpikir seperti itu, sungguh masyarakat sudah tergagap melihat peluang dan perubahan untuk menyelamatkan di negeri ini. 4.15.2 Rubrik 26 Dalam tulisan ini petanda konotasi yang dibangun oleh penulis “Opini” adalah perempuan penjaga perdamaian. Kalimat perempuan adalah penjaga perdamaian mengandung nilai-nilai tertentu. Nilai dimaksud adalah perempuan diajak untuk ikut serta dalam menjaga perdamaian Aceh. Secara konotatif ungkapan dimaksud adalah agar perempuan melakukan aktivitas yang mendukung upaya perdamaian Aceh dan tidak boleh hanya tinggal diam. Perempuan semestinya
berpartisipasi aktif. Sejatinya laki-laki dan
perempuan bahu membahu menangani masalah perdamaian Aceh. Namun pada kenyataannya perempuan masih menjadi nomer dua. Apabila perempuan turut berkecimpung, ia hanya diletakkan sebagai posisi pemanis. Segi fisik dan kecantikan
lebih
diprioritaskan.
“Sisi
kecantikan
memegang
peranan
penting”(Ilyas:2010). Oleh karena itu, perempuan harus berupaya dalam
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
97
kesejajaran mendapatkan peran penjaga perdamaian. Tidak ada kata berdiam diri, pasif, sebaliknya terus bergerak dan aktif dalam upaya menjaga perdamaian. Untuk itu, sudah saatnya masyarakat semua sensitif terhadap semua indikasi-indikasi yang berdampak negatif untuk eksistensi perdamain Helsinki. Poin penting terletak pada pemangku kekuasaan di Aceh untuk mengelola supaya gerakan dan sejumlah gejala yang mengakibatkan kerentanan konflik di Aceh harus direspons dengan cepat, tanggap dan akurat, komunikatif serta harus hatihati. Kenapa harus komunikatif dan hati-hati, karena ada sinyal kemarahan memuncak dari masyarakat arus bawah pasca-MoU ketika janji-janji para politisi Aceh tidak pernah direalisasi. Bagi masyarakat arus bawah, hari ini hampir tak ada beda politisi Aceh hari ini dengan para politisi masa Orde Baru. Pada umumnya
kebijakan
yang
tidak
memihak
kepada
masyarakat
yang
membutuhkan. Aceh pasca-MoU semestinya perlu diarahkan untuk semua elemen, bukan untuk golongan tertentu saja. Artinya kepemimpinan untuk Aceh hak semua elemen masyarakat Aceh, bukan malah menjadikan pola kepemimpinan parsial yang mementingan constituent politik temporer. Membangun Aceh, tidak mudah. Butuh kerja keras, ikhlas dan sudi menerima masukan. Aceh pasca-MoU harus dibangun dengan spirit kebersamaan tanpa berpihak kepada siapan pun, melainkan harus berpihak kepada rakyat Aceh. Aceh bukan milik elemen tertentu, melainkan Aceh adalah milik orang Aceh secara keseluruhan dengan sagala etnis dan keragaman budayanya. Akhirnya
masyarakat
harus
sering-sering
mengingat
hadis
Nabi
Muhammad SAW, “Setiap manusia adalah pemimpin, dan suatu saat akan dipertanyakan tentang kepemimpinannya,”. Dalam ungkapan kata-kata bijak juga disebutkan, apabila sebuah pekerjaan/urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran sebuah bangsa akan tiba. Untuk itu, siapa saja yang bernyawa dan hidup di Aceh, perlu melakukan kegiatan-kegiatan perubahan yang arahnya untuk mencegah kembalinya terjadi konflik. Perubahan itu minimal menggeser pola berfikir negatif kepada positif demi kemaslahatan bersama untuk dapat hidup rukun dan damai sepanjang masa.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
98
4.16 Kecenderungan Ideologi Dalam penelitian ini jelas terbukti bahwa pandangan penulis “Opini” “Opini”terkait perempuan terbagi atas positif dan negatif. Sisi positif perempuan diberikan hak pendidikan, diapresiasi sebagai sosok ibu, diberi penghormatan jika dapat melihat contoh pemimpin wanita di masa lalu. Di sisi lain,pandangan terkait perempuan masih bernilai negatif atau dengan kata lain belum baik. Perempuan menjadi objek ketidakadilan hukum, objek etalase elit kuasa, diperdebatkan menjadi pemimpin. Tidah hanya itu, hal mendasar disebutkan oleh penulis “Opini” adalah perempuan Aceh sangat dianjurkan menutup aurat dengan jilbab terulur dan menggunakan pakaian tidak ketat. Dengan menutup aurat secara sempurna tersebut, perempuan mengangkat derajat dan martabat sendiri, seperti yang telah dilakukan oleh Islam. Islam mengangkat meminta wanita menutup aurat sebagai bentuk kepatuhan dan kemashlahatan hidup. Kecuali itu, peneliti memiliki pandangan terhadap sejumlah ideologi yang diperbincangkan oleh penulis “Opini”, seperti pada rubrik 1 Peneliti kurang sependapat dengan perumpamaan sapi yang diperjualbelikan kepada perempuan berkontes. Dengan catatan memang benar perempuan yang berkontes menjadi mesin pencetak uang bagi sponsor kontes kecantikan. Namun pemilihan kata “sapi” menggiring kepada penyamaan manusia dengan hewan dalam konteks yang jauh berbeda. Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang pada hakikatnya adalah sebuah penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini tak lain adalah untuk meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu seperti perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, atau salon kecantikan yang mengeksploitasi kecantikan sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitive dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk hidup mewah. “Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis. Namun, bisnis tidak boleh mengesampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara” (Guci:2009).
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
99
Terlepas dari persamaan diargumentasikan penulis “Opini”, seyogyanya perbandingan diumpamakan dengan hal yang lebih wajar. Manusia dan hewan memiliki perbedaan yang signifikan, sapi adalah hewan yang sering disembelih dan diambil manfaatnya yaitu daging, sedangkan perempuan lebih tinggi derajatnya daripada sapi atau hewan lainnya. Terlebih lagi, pada hakikatnya penulis “Opini”
setuju perempuan Aceh berkontes dengan syarat perempuan
dimaksud mengetahui nilai dan budaya daerah Aceh. Secara umum ideologi yang disampaikan penulis “Opini” membahas tentang perempuan dan pakaian, perempuan dan karier,perempuan dan peran. Namun kecenderungan pembahasan rubrik dalam penelitian ini adalah mengenai perempuan dan pakaian. Implikasinya terhadap pemahaman perempuan, perempuan hanya dibicarakan pada sistem pakaian,cara berpakaian dan aturan berpakaian. Membicarakan manusia dan pakaian hanyalah pembicaraan yang sempit. Sebaiknya perempuan juga dilihat dari sisi intelektualitas, produktivitas, hasil karya, kebijakan, dan sebagainya.
Universitas Indonesia Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
105
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Ali. ”Celana Panjang Wanita Aceh“. www.serambinews.com. (4 Jan. 2011). Alaidinsyah. (2009). Musibah Aceh Pasca Tsunami. Banda Aceh: IAIN Press. Amiruddin, M. Hasbi. “Jika Perempuan Tidak Mau Dianggap Barang”. www.serambinews.com. (2 Jan. 2011). Bagus, Lorens. (1996).
Kamus Filsafat. Edisi ke-1. Jakarta:
PT Gramedia
Pustaka Utama. Bahany, Nab. “Awak Parang Lam Situek”. www.serambinews.com. (3 Jan. 2011). ________ .
“Kuatkah Wanita Bertahta?”.
www.serambinews.com. (3 Jan.
2011). Barker, Chris. (2003). Cultural Studies Theory and Practice. 2nd Edition. Great Britain London: Sage Publications. Bantasyam, Saifuddin. “Balada Prita”. www.serambinews.com. (2 Jan. 2011). Banun, Aprisah . “Drama Qori, Putri Indonesia 2009”. www.serambinews.com. (4 Jan.2011). Barthes, Roland. (1967). Elements of Semiology. (Terj. Annete Lavers dan Colin Smith). New York: Jonathan Cape Ltd. ______________. (1972). Mythologies. (Terj. Ebenezer Baylis). London: Jonathan Cape Ltd. _____________. (1994). The Semiotic Challenge. California: University of California Press. Brown, Lesley. (1993). Oxford dictionary. The New Shorter Oxford English Dictionary. 5th Edition. New York: Oxford University Press. Devayan, Ampuh. ”Po Ma“. www.serambinews.com. ( 2 Jan. 2011).
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
106
Eco, Umberto. (1986). Semiotics and the philosophy of language. (Edisi ke-1). USA: Indiana University Press Effendy, Onong Uchjana. (1989). Kamus komunikasi. Universitas Michigan FIB UI. (2009). Buku Pedoman Penulisan Tugas Akhir. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Gani, Habib. Yusra. “Datu Beru, Datu Siapa?”. www.serambinews.com. ( 4 Jan. 2011). Guci, Dian. “Lipstik dan Sehelai Kain”. www.serambinews.com. (1 Jan.2011). Hadi, Amirul. (2010). Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hamzah, Musrizal. “Jejak Jilbab Di Tanoh Endatu”. www.serambinews.com. (5 Jan. 2011). Hanafiah, Muhibuddin . “Bila Kartini Aceh Menulis”. www.serambinews.com. (4 Jan.2011). Hoed, Benny. H. (2008). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Edisi Ke-1. Jakarta: Komunitas Bambu. _______________. (2010). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Edisi Ke-2. Jakarta: Komunitas Bambu. Husita, Djamaluddin. “Susah Jadi Perempuan”. www.serambinews.com. (4 Jan. 2011). Ilyas, Mukhlisuddin . ”Aceh Rentan Konflik”. www.serambinews.com. (5 Jan. 2011). Kemalawati, D .”Dua Mata Rencong” .www.serambinews.com. (3 Jan.2011). Keraf, Gorys. (1997). Komposisi:Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. EndeFlores: Penerbit Nusa Indah.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
107
Kurien, John.”Pendidikan Perempuan Aceh”.www.serambinews.com. (4 Jan. 2011). Kridalaksana, Harimurti. (2008). Kamus Linguistik. Edisi Ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mahdi, Saiful. “Buah Simalakama Rekonstruksi Aceh”. www.serambinews.com. (4 Jan. 2011). Marhaban, Shadia. “Politik Inong Aceh”. www.serambinews.com. ( 3 Jan.2011). Meutia, I. Cut. “Perempuan Dan Peluang”. www.serambinews.com. (5 Jan. 2011). Muis, A. (2000). Peran Media Massa. Jakarta: Multimedia press. Nazar, Muhammad. ”Tak Dilarang Wanita Aceh Pakai Celana Panjang”. www.serambinews.com. (2 Jan. 2011) Nurchaili. “Aurat Perempuan”. www.serambinews.com. (2 Jan. 2011). Nuriqmar, Harmen . “Bercelana Pendek dan Zina”. www.serambinews.com. (5 Jan. 2011). Nöth, Winfried. (1990). Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Pamulutan, M. Arqom. ”Perjuangan Perempuan”. www.serambinews.com. (4 Jan.2011). _________________. ”Perempuan di Pangkuan Islam”. www.serambinews.com. (4 Jan.2011). Peorwadarminta, W. J. S . (2003). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Pusat Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Soekardi, Syahrir . ”Di cari, Caleg Wanita Merakyat”. www.serambinews.com. (3 Jan.2011). Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011
108
Tripa, Sulaiman. “Seperti Sarang Laba-laba“. www.serambinews.com. (1 Jan. 2011). Yakob, Mukhtaruddin. ”Silak Rok”. www.serambinews.com. (2 Jan. 2011). Zoest, Aart Van. (1992). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Universitas Indonesia
Konotasi dan ideologi...,Ika Apriani Tata,FIBUI,2011