UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA : MENUJU SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA DALAM ERA PASCA REFORMASI, 1998-2012
TESIS
RIKA ANGGRAINI 1006737301
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM KENEGARAAN JAKARTA 2013
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA : MENUJU SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA DALAM ERA PASCA REFORMASI, 1998-2012
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.)
RIKA ANGGRAINI 1006737301
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM KENEGARAAN JAKARTA 2013
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Rika Anggraini
NPM
:
1006737301
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
21 Januari 2013
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : : : :
Rika Anggraini 1006737301 Magister Hukum Kenegaraan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing/ Penguji
:
Prof. Dr. Satya Arinanto S.H. M.H.
Penguji
:
Prof. Abdul Bari Azed S.H., M.H.
Penguji
:
Dr. Tri Hayati S.H., M.H.
Tanggal
: 21 Januari 2013
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : (1) Prof. Dr. Satya Arinanto S.H, M.H selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga,
dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini; (2) mama dan aba, mas obi, imam, adek ayu, mbak nanik dan caca atas doa dan kasih sayang, serta dukungan material dan moral; (3) my lovely denny
yang telah memberikan bantuan, dukungan dan setia
menemani hingga terselesaikannya tesis ini; (4) sahabat di HTN 2010 yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang. Jakarta, 2013 Rika Anggraini
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NPM Fakultas Jenis Karya
: : : :
Rika Anggraini Magister Hukum Kenegaraan Hukum Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Nonexclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 21 Januari 2013 Yang menyatakan
(Rika Anggraini)
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: : :
Rika Anggraini Hukum Tata Negara Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012
Tesis ini membahas tentang Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Menuju Sistem Multipartai di Indonesia Pasca Reformasi, dengan tujuan utama untuk mengetahui pengaturan dan dasar pemikiran kebijakan penyederhanaan partai, akibat hukum dalam pelaksanaannya terhadap partai politik dan sistem kepartaian dan batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dan membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai. Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat menempatkan kursi di DPR. Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik adalah : 1) Partai Politik tidak mendapat status badan, 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Meskipun terjadi penurunan jumlah partai politik yang diakui sebagai badan hukum dan parpol yang dapat mengikuti pemilu, namun dari pemilu 2004 sampai 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun demikian, Pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold telah sedikit menurunkan Nilai ENPP (jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07 menjadi 6.47. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk UndangUndang, namun demikian terdapat prinsip-prinsip yang harus dipedomani dalam pengaturan kebijakan tersebut, yaitu : prinsip demokratis, Rasional dan Non Diskriminatif. Kata Kunci : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik, Sistem Multipartai Sederhana, Konstitusionalitas.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ABSTRACT Name Study Program Title
: : :
Rika Anggraini Constitutional Law Political Party Simplification Policy in Indonesia : Towards Moderate Multiparty System, Post-Reform, 19982012
This thesis discusses Political Party Simplification Policy Towards Moderate Multiparty System in Indonesia Post-Reform, with main objective figuring out the arrangement and underlining idea at party Simplification, legal implication at its implementation on political parties and party system and its boundaries in keeping in line with the mandate of 1945 Constitution. The research was conducted using the method of normative legal research, literature study, and comparing applicable legislation to the associated problems, then with the principles of existing law or doctrine, and with regard to current practices as a study of the history of law. The results of this study demonstrate that the Political Party Simplification Policy Post-Reform in Indonesia aims to realize a simple multi-party system in an effort to strengthen the stability of the presidential system of government and also to create a political party as a national organization, promoting national integrity and strengthen the parties institutionallity. Manifestation of the simplification policies of political parties is through qualitative and quantitative terms in founding and registrating political parties as a legal entity, as well as qualitative and quantitative threshold requirement of seats (electoral threshold) for the party to take part in the elections and voting threshold requirement (parliamentary threshold) as a requirement to be able to put the seats in Parliament. The legal consequences of simplification policies of political parties are : 1) Political parties do not get the status of the legal body, 2) political parties do not take part in the elections and 3). Political parties can not gain seats in the House. Despite the decline in the number of political parties which are recognized as legal entities and political parties to follow the election, but the election of 2004 to 2009, it still creates extreme multiparty system. However, the policy Parliamentary Threshold enforcement lowered ENPP Value (effective number of parties in parliament) which was originally worth 7.07 in 2004 to 6.47 in 2009. Simplification policy do not conflict with the 1945 Constitution, simplification policy is an implementation of Article 28 of the 1945 Constitution and legal policy options of the former act. However, there are principles that should be followed in setting the policy, namely : democratic principle, rationality and non-discriminatory
Key Words : Political Party constitutionality.
Simplification
Policy,
Moderate
Multiparty
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
System,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..........................................................ii LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................iii KATA PENGANTAR ...............................................................................................iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ..................................v ABSTRAK .................................................................................................................vi ABSTRACT ...............................................................................................................vii DAFTAR ISI ..............................................................................................................viii DAFTAR TABEL ......................................................................................................xii DAFTAR BAGAN ....................................................................................................xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...........................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................8 1.3. Tujuan .........................................................................................................9 1.4. Kerangka Teori............................................................................................9 1.4.1. Demokrasi dan Negara Hukum ........................................................9 1.4.2. Teori Kedaulatan Rakyat ..................................................................13 1.4.3. Sistem Kepartaian .............................................................................17 1.4.4. Peradilan Konstitusi .........................................................................21 1.5. Kerangka Konsep ........................................................................................23 1.5.1. Partai Politik .....................................................................................23 1.5.2. Sistem Multipartai Sederhana ...........................................................24 1.5.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik.........................................26 1.5.4. Kurun Waktu Pasca Reformasi.........................................................28 1.6. Metode Penelitian........................................................................................28 1.7. Sistematika Penulisan .................................................................................31 BAB II PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA 2.1. Partai Politik ................................................................................................34 2.1.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik ...............................................34 2.1.2. Fungsi Partai Politik .........................................................................36 2.1.3. Klasifikasi Partai Politik ...................................................................40 2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara ...................40 2.2.1. Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang-Undangan ...40 2.2.2. Praktek Pengaturan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara ...............................................................................................47 2.2.2.1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia ...........48 2.2.2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Republik Ceko ...................................................................................49 2.2.2.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Jerman .........49 2.2.2.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Negara Lainnya ..............................................................................51
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2.2.3. Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik .....................54 2.3. Konsep Sistem Multipartai Sederhana ........................................................59 2.4. Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara ..............64 2.4.1. Sistem Multipartai Sederhana di Rusia ............................................65 2.4.2. Sistem Multipartai Sederhana di Republik Ceko .............................68 2.4.3. Sistem Multipartai Sederhana di Jerman ..........................................71 2.5. Analisis Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara 74 BAB III PENGATURAN KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI 3.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia ...........................................................................75 3.2. Partai Politik Pada Masa Pasca Reformasi .................................................80 3.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Partai Politik Pasca Reformasi ..............................................................................82 3.3.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Pendirian dan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum ................................................83 3.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Pemilihan Umum Paca Reformasi ...............................................................................99 3.4.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai Peserta Pemilu ..................................................................................99 3.4.2. Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu .......................................102 3.5. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi .........................................105 BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA 4.1. Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi. ...................................................................................................112 4.2. Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ...............................117 4.2.1. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai Badan Hukum ...................................................................................117 4.2.2. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral Threshold ..........................................................................................128 4.2.3. Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di DPR (Parliamentary Threshold) ................................................................132 4.3. Tahapan Kebijakan Penyederhanaan ..........................................................133 4.4. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap Partai Politik ..........................................................................................................135 4.4.1. Partai Politik Tidak Diakui sebagai Badan Hukum ..........................136 4.4.2. Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan Umum. .........141 4.4.3. Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR .............147 4.4.4. Penggabungan Partai Politik .............................................................147 4.5. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap pembentukan sistem Multipartai Sederhana ..............................................149
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB V JUDICIAL REVIEW PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK 5.1. Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal Kepengurusan bagi Pendaftaran Partai Politik...............................................................................152 5.1.1. Pemohon dan Ketentuan yang diuji ..................................................152 5.1.2. Pendapat Pemerintah ........................................................................153 5.1.3. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................154 5.2. Judicial Review Ketentuan tentang Electoral Threshold ..............................155 5.2.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji ....................................................156 5.2.2. Pendapat Pemerintah ...........................................................................158 5.2.3. Pendapat DPR ......................................................................................159 5.2.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi ......................................161 5.3. Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi Partai Politik untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009 ......................................................................163 5.3.1. Pemohon ..............................................................................................163 5.3.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon .........................................164 5.3.3. Penjelasan Pemerintah .........................................................................166 5.3.4. Pendapat DPR ......................................................................................166 5.3.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi ..........................................................167 5.4. Judicial Review Ketentuang tentang Parliamentary Threshold ....................168 5.4.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji ....................................................168 5.4.2. Pendapat Pemerintah ...........................................................................170 5.4.3. Pendapat DPR ......................................................................................172 5.4.4. Pendapat Mahkamah Konstitusi ..........................................................173 5.5. Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban Partai Politik agar tetap Diakui Sebagai Badan Hukum .......................................................................174 5.5.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji ....................................................174 5.5.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ...................................175 5.5.3. Pendapat Pemerintah ...........................................................................176 5.5.4. Pendapat DPR ......................................................................................177 5.5.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi ..........................................................178 5.6. Judicial Review tentang Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai Politik ......179 5.6.1. Pemohon ..............................................................................................179 5.6.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ...................................179 5.6.3. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi ......................................181 5.7. Judicial Review Ketentuan mengenai Syarat Partai Politik sebagai Peserta Pemilu ............................................................................................................183 5.7.1. Pemohon ..............................................................................................183 5.7.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ...................................185 5.7.3. Pendapat Pemerintah ...........................................................................187 5.7.4. Pendapat DPR ......................................................................................188 5.7.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi ..........................................................190 5.8. Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ........................195
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.9.
5.8.1. Pengaturan dan Persyaratan dalam Undang-Undang Partai Politik Merupakan Pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 .....................................197 5.8.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik adalah Pilihan Kebijakan (Legal Policy) Pembentuk Undang-Undang........................................198 Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik .........199
BAB VI PENUTUP 6.1. Simpulan .....................................................................................................203 6.2. Saran............................................................................................................205 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................207 A. Buku .....................................................................................................................207 B. Artikel ..................................................................................................................212 C. Majalah Ilmiah .....................................................................................................213 D. Surat Kabar...........................................................................................................213 E. Tesis/Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan ...................................213 F. Kasus Pengadilan .................................................................................................214 G. Internet .................................................................................................................215 H. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan ........................................218
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perdebatan Normatif : Kelebihan dan Kekurangan Sistem Dwi- Partai dan Sistem Multipartai .............................................................................60 Tabel 2.1 Negara dengan E (ENVP) antara 3 sampai 5 ...........................................64 Tabel 2.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2003 di Rusia ...................65 Tabel 2.3 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2007 di Rusia ...................66 Tabel 2.4 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2011 di Rusia ...................67 Tabel 2.5 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1998 di Republik Ceko .... 69 Tabel 2.6 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Ceko .... 69 Tabel 2.7 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2006 di Republik Ceko .... 71 Tabel 2.8 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Jerman 72 Tabel 2.9 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2005 di Republik Jerman 72 Tabel 2.10 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Republik Jerman ...................................................................................................................73 Tabel 3.1 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1999 di Indonesia ............106 Tabel 3.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2004 di Indonesia ............109 Tabel 3.3 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Indonesia ............110 Tabel 4.1 Persyaratan/Pembatasan Pembentukan Partai Politik...............................119 Tabel 4.2 Persyaratan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum ................122 Tabel 4.3 Persyaratan Pendirian Partai Politik di Beberapa Negara ........................125 Tabel 4.4 Pengelolaan Keuangan Partai Politik .......................................................127 Tabel 4.5 Persyaratan Partai Politik untuk Menjadi Peserta Pemilihan Umum .......129 Tabel 4.6 Ketentuan Ambang Batas (Parliamentary Threshold) .............................133 Tabel 4.7 Jumlah Partai Politik dan yang Memperoleh Status Badan Hukum ........140 Tabel 4.8 Jumlah Partai Politik yang Tidak Lolos Persyaratan Sebagai Peserta Pemilihan Umum .......................................................................................146 Tabel 4.9. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi .....................................151
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DAFTAR BAGAN Bagan 1.1 Rantai Hubungan Warga dan Partai Politik ..............................................39 Bagan 4.1. Tahapan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ..............135
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan penyederhanaan partai politik dalam mewujudkan sistem multipartai
sederhana
dapat
dilakukan
sepanjang
kebijakan
konstitusional, demokratis, rasional dan non diskriminatif.
tersebut Kebijakan
penyederhanaan partai politik sebagai salah satu upaya untuk menciptakan sistem kepartaian dan sistem pemerintahan presidensial yang stabil, harus tetap menghormati hak-hak konstitusional yang dimiliki oleh partai politik. Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik dilaksanakan melalui pembatasanpembatasan yang diterapkan mulai dari persyaratan pembentukan partai politik sebagai badan hukum, persyaratan partai politik sebagai peserta pemilihan umum dan persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) bagi partai politik untuk dapat menempatkan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa partai politik di satu sisi, mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara
proses-proses
pemerintahan
dengan
warga
negara. 1
Menurut
Schattscheider (1942), “political parties created democracy” partai politiklah yang menciptakan demokrasi, bukan sebaliknya. Partai politik merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat perlembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Derajat perlembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara. 2 1
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta 2006. hal 153. Pentingnya pelembagaan partai politik dikemukakan juga oleh Kenneth Wollack yang menyatakan bahwa Demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan berkelanjutan dengan kapasitas untuk mewakili warga negara dan memberikan pilihan kebijakan yang menunjukkan kemampuan mereka untuk memerintah bagi kepentingan umum. Kenneth Wollack kata pengantar dalam Kenneth Janda. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical Perspectives. Adopting Party Law. National Democratic Institute For International Affairs.Washington DC. 2005. hal1
2
Jimly Asshiddiqie. “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta. 2007. hal 710
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai politik merupakan cermin kemerdekaan berserikat (freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai perwujudan adanya kemerdekaan berfikir dan berpendapat
(freedom of thought) serta kebebasan berekspresi
(freedom of expression). Oleh karena itu, kemerdekaan berserikat sangat dilindungi oleh setiap undang-undang dasar negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy), atau negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat). 3 Partai politik di Indonesia merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih seratus tahun. 4
Partai politik pertama-tama lahir dalam
zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional.
Dalam
kenyataannya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai mengalami kesukaran untuk bersatu dan membentuk satu front untuk menghadapi pemerintah kolonial yang berlangsung sampai pendudukan jepang. Pola kepartaian yang telah terbentuk di zaman kolonial ini kemudian dilanjutkan menjadi landasan untuk terbentuknya pola sistem multi partai di zaman kemerdekaan. 5 Maklumat Pemerintah Nomor X Pada 3 November 1945 Tentang Anjuran Pemerintah Tentang Pembentukan Partai-Partai Politik, merupakan titik awal terbentuknya sistem multipartai di Indonesia. 6 Namun, dalam sejarah, sistem multi partai ini tidaklah disukai karena Banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa. Salah satu peristiwa yang ditunjuk sebagai bukti perpecahan adalah dalam forum Konstituante yang hingga 1959 tidak dapat menyelesaikan tugasnya membentuk
3
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta. 2006. hal 338
4
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik”. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. 2010. hal 422.
5
Ibid hal 424. Daniel Dakhidae menyimpulkan bahwa karakter politik diawal kemerdekaan dilingkupi oleh semangat untuk menegakkan aspirasi rakyat, sebagai respon dari penjajahan terutama fasisme Jepang. (Dhaniel Dakhidae. Partai-partai politik Indonesia: ideologi, strategi, dan program dalam Jurnal Penelitian Politik vol 4 Nomor 1. 2007. hal 52
6
Hanta Yuda HR. Presidensialisme Setengah Hati. Dari Dilema ke Kompromi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2010. hal 101
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
konstitusi. Hal itu terjadi karena perbedaan mendasar tentang dasar negara Islam dan Pancasila yang tidak menemukan titik temu. Bahkan pada saat diusulkan oleh pemerintah untuk kembali pada UUD 1945 pun tidak menemukan titik temu apakah harus dengan perubahan atau tanpa perubahan. 7 Pada masa demokrasi Terpimpin, ketidakstabilan pemerintah ini menimbulkan prinsip penyederhanaan partai dengan mengurangi jumlah partai politik. Presiden kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai. Penyederhanaan partai politik terulang pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara yang sedikit banyak radikal, di muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengumumkan sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. 8 Runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, memberi pengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Reformasi undang-undang politik, terutama Undang-Undang tentang Partai Politik, merobohkan batasan tentang jumlah partai politik dan memperbolehkan pendirian partai-partai baru yang cukup banyak. 9 Pada masa pasca reformasi, sejak tahun 2004, sistem partai di Indonesia bergeser dari sistem multipartai moderat/sederhana ke sistem multipartai ekstrim.10 Kembalinya Sistem multipartai ekstrim di Indonesia pada masa setelah reformasi dinyatakan pula oleh Herman dalam tesisnya, yaitu bahwa hasil pemilu tahun 7
Adnan Buyung Nasution. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante. Dalam Muhammad Ali Saafat. Pembubaran Partai Politik. Universitas Indonesia. Jakarta. 2009. hal 133. Badan konstituante disusun berdasarkan hasil Pemilu 1955, dengan empat partai besar penyusunnya yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. badan konstituante bersidang untuk membentuk UUD baru. Namun demikian sidang-sidang selama lima tahun gagal untuk membentuk UUD baru, sehingga Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden Tahun 1959 yang isinya membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945.(M. Nasruddin Anshoriy Ch, Djunaidi Tjakrawerdaya. Rekam jejak dokter pejuang & pelopor kebangkitan nasional. LKIS 2008 hal 114).
8
Miriam Budiardjo. Op cit. 2010. hal 445
9
Chris Maning dan Peter Van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi. Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis. Judul Asli : Indonesia In Transition, Social Aspect of Reformasi and Crisis. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. 2000. hal 314
10
Jungug Choi. Votes, Party Systems and Democracy in Asia. Routledge. 2012 hal 21
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
1999 menghasilkan bentuk sistem multipartai moderat dan berubah menjadi sistem multipartai ekstrim pada pemilu 2004. 11 Seperti yang dikemukakan Scot Mainwarring, Pada kenyataannnya, kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemerintahan presidential, merupakan kombinasi yang buruk. Tidak ada dari 31 negara dengan demokrasi yang stabil mempunyai konfigurasi institusi sistem presidensiil multipartai, hanya terdapat satu contoh sejarah, yaitu Chili dari tahun 1933 sampai dengan 1973 yang memiliki sistem tersebut. 12 Scott mainwarring dalam studinya menyatakan bahwa : 13 There are three reasons why this institutional combination is problematic. First, multiparty presidentialism is especially likely to produce immobilizing executive/legislative deadlock, and such can destabilize democracy. Second, multipartism is more likely than bipartism to produce ideological polarization, thereby complicating problems often associated with presidentialims. Finally, the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition building in presidential democracies, with delecterious consequences for democratic stability. Upaya penyederhanaan partai politik dalam praktik pasca reformasi dituangkan dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Partai Politik dan Pemilihan Umum. Pengaturan undang-undang tersebut bertujuan untuk mencapai sistem multipartai sederhana, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik 14, yaitu : Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana.
11
Herman. Sistem Kepartaian di Indonesia dilihat dari Model Laakso-Taagepera dan Indeks Rae dan Kaitannya dengan Ketahanan Nasional. Program Kajian Strategik Ketahanan Nasional. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. 2009
12
Scott P Mainwarring. Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The Difficult Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2. Sage Publications. 1993. hal 199
13
Ibid. hal 198
14
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Upaya penyederhanaanpun terus berlanjut seiring perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik, berturut-turut sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Akibat
hukum
diterapkannya
berbagai
aturan
dalam
upaya
penyederhanaan partai politik salah satunya adalah tidak lolosnya 13 partai dalam mengikuti verifikasi partai politik oleh Kementerian Hukum dan HAM sesuai dengan persyaratan yang diamanatkan oleh undang-undang Nomor 2 tahun 2011. 15 Praktek lainnya dalam usaha mengurangi jumlah partai adalah ditentukan juga persyaratan electoral threshold yaitu keadaan yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik yang boleh mengikuti pemilihan legislatif dan juga pemilihan presiden dan wakil presiden. 16 Ketentuan Electoral Threshold kemudian dirubah dengan kebijakan Parliamentary Threshold. Sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, polemik tentang penyederhanaan partai politik kembali mencuat ke permukaan. Materi perdebatan adalah soal ketentuan Parliamentary Thershold. 17 Kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia telah menimbulkan pro dan kontra. Setiap kebijakan mengenai pembatasan dan penyederhanaan partai politik hampir dapat dipastikan mendapat perlawanan dari masyarakat terutama dari pihak partai-partai kecil yang mengalami akibat hukum langsung dari kebijakan penyederhanaan tersebut. Pada tanggal 25 Mei 2011,
sekelompok
masyarakat yang bermaksud hendak mendirikan partai mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang baru saja disahkan karena dinilai menghambat dan membatasi hak seseorang untuk mendirikan 15
Kementerian Hukum dan HAM. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol. http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-umumkan-verifikasi-parpol. [3 Januari 2012].
16
Ibid. hal 451
17
Sunny Ummul Firdaus. Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan Pemilu yang Demokratis. Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 2 April 2010. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta, hal 93
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai. 18 Sikap kontra juga dapat dilihat dengan berbagai judicial review undangundang partai politik dan pemilihan umum berkaitan dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan partai politik. Judicial review tersebut diantaranya adalah Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 yang diajukan oleh sekelompok partai politik yang menentang pemberlakuan syarat Electoral Threshold dalam Pemilihan
Umum,
Perkara
Nomor
3/PUU-VII/2009
yang
menentang
pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold serta Perkara Nomor 35/PUUIX/2011 yang diajukan oleh sekelompok orang yang menganggap peryaratan pembentukan partai telah melanggar hak-hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945. Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) merupakan salah satu partai yang tidak lolos verifikasi partai politik pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menyatakan bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang pada dasarnya dibuat oleh koalisi kepentingan-kepentingan politik besar, memang dimaksudkan untuk menghalangi terbentuknya partai politik baru. Inilah pertanda betapa demokrasi sesungguhnya telah dibajak oleh kepentingan politik oligarki yang berupaya untuk terus menguasai politik nasional, dan mengabaikan hak-hak konstitusional rakyat. 19 Kebijakan penyederhanaan partai politik, pada dasarnya, tidaklah boleh melanggar hak-hak fundamental yang telah diberikan kepada partai politik. Partai politik haruslah dilindungi sebagai sebuah penyatuan ekspresi dari hak individuindividu untuk berserikat. 20 Menurut Venice Commission, keseimbangan yang tepat dari perundang-undangan yang mengatur partai politik sebagai aktor publik, dan penghormatan kepada hak dasar dari partai politik sebagai warga negara, termasuk haknya untuk berserikat memerlukan undang-undang yang disusun 18
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2035-PUU-IX 2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]
19
Partai Serikat Rakyat Independen. Pernyataan Partai SRI terkait Hasil Verifikasi Kemenkumham. http://srimulyani.net/2011 [4 Januari 2012].
20
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Guidelines On Political Party Regulation By Osce/Odihr And Venice Commission Adopted by the Venice Commission at its 84th Plenary Session (Venice, 15-16 October 2010). Hal 6 http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29024-e.asp [15 Juli 2012].
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dengan baik. Setiap undang-undang yang terkait dengan partai politik, tidaklah boleh melanggar hak kebebasan untuk berserikat. 21 Venice Commission kemudian menyatakan bahwa partai politik di mana saja dijamin keberadaannya oleh prinsip kebebasan berserikat. 22 Party Activities Everywhere Are Guaranteed By The Principle Of Freedom Of Association Sikap kontra dari masyarakat, instrumen hukum internasional dan kecenderungan pembentukan partai kartel oleh partai yang berkuasa serta jaminan hak-hak partai politik dalam UUD 1945 seperti yang telah diuraikan di atas, serta keniscayaan multipartai bagi bangsa Indonesia yang majemuk akan dianalisa dalam studi ini secara obyektif dengan mempergunakan teori-teori hukum guna mendapatkan pemahaman bagaimana seharusnya memformulasikan kebijakan penyederhanaan partai politik. Rambu-rambu yang akan digariskan dalam kajian ini,
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
dalam
menyusun
kebijakan
penyederhanaan partai politik untuk mencapai sistem multipartai sederhana dan juga untuk menciptakan stabilitas pemerintahan presidensiil. Penelitian lain yang juga membahas tentang penyederhanaan partai politik yang pernah dilakukan diantaranya adalah tesis Dadang Prayitna yang berjudul Sistem Multipartai Sederhana : Kajian Terhadap Penerapan Electoral Threshold dalam Proses Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia. 23 namun tesis ini, hanya menyoroti salah satu cara/perwujudan
penyederhanaan partai politik yaitu
melalui kebijakan electoral threshold sebagai syarat partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum, sedangkan dalam penelitian ini akan mengkaji cara-cara penyederhanaan partai politik secara menyeluruh mulai sejak pendirian dan pembentukkan partai, syarat partai sebagai peserta pemilihan umum hingga syarat partai politik untuk dapat menempatkan wakilnya di parlemen. Kajian ini
21
Ibid
22
Venice Commission. Guidelines on prohibition and dissolution of political parties and analogous measures. Hal 2 http://www.osce.org/odihr/37820. [2 Juni 2012]
23
Dadang Prayitna. Sistem multi partai sederhana: Kajian terhadap penerapan electoral threshold dalam proses penyederhanaan partai politik di Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
juga akan membahas tentang prinsip-prinsip yang dapat dipedomani dalam menyusun kebijakan penyederhanaan partai politik. Penyederhanaan partai politik juga menjadi topik dalam skripsi Arif Permana Putra yang berjudul Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun 1960. 24 Fokus penelitiannya adalah Penyederhanaan partai politik di Indonesia tahun 1960 dan Pengaruh diberlakukannya penyederhanaan partai politik terhadap stabilitas politik di Indonesia. beberapa kesimpulannya adalah penyederhanaan pada masa itu merupakan upaya menciptakan stabilitas politik masa demokrasi terpimpin dan dengan penyederhanaan partai politik, stabilitas terkesan semu, karena partisipasi kekuatan politik tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Penelitian
lain
yang
juga
bersinggungan
dengan
kebijakan
penyederhanaan partai politik adalah disertasi Muchamad Ali Safa’at yang berjudul Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959–2004), 25 yang salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa Pengaturan partai politik di masa yang akan datang bertujuan untuk menjamin dan melindungi kebebasan berserikat, sekaligus melindungi kostitusi, kedaulatan negara, serta keamanan nasional. Pengaturan partai politik sebaiknya dibuat dengan menggabungkan unsur-unsur dari paradigma libertarian, political market, managerial, progressive, dan pluralist. Pengaturan tersebut diharapkan dapat mewujudkan sistem kepartaian yang sesuai dengan model demokrasi di Indonesia, yaitu sistem multipartai sederhana dengan beberapa partai dominan.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia pasca reformasi? 24
Arif Permana Putra. Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun 1960. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.Surakarta. 2009
25
Muchamad Ali Safa’at. Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959 – 2004). Fakultas Hukum Program Pascasarjana Jakarta. 2009
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2. Bagaimana akibat hukum pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik pasca reformasi terhadap partai politik dan sistem kepartaian di Indonesia ? 3. Bagaimana konstitusionalitas penyusunan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia?
1.3. Tujuan 1. Mengetahui pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia pasca reformasi 2. Mengetahui akibat hukum pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik pasca reformasi terhadap partai politik dan sistem kepartaian di Indonesia 3. Mengetahui konstitusionalitas penyusunan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia
1.4. Kerangka Teori Teori yang digunakan untuk menganalisis kebijakan penyederhanaan partai politik adalah teori tentang kedaulatan rakyat, demokrasi, Teori Negara Hukum dan teori tentang peradilan konstitusi. 1.4.1. Demokrasi dan Negara Hukum Demokrasi awalnya ditemukan oleh Bangsa Yunani Kuno, sebagai yang pertama
menemukan
ide
tentang
pembuatan
keputusan
kolektif
dan
mengadopsinya ke dalam sistem pemerintahan. Fenomena demokrasi adalah dimulai semenjak tahun 1970an, yang muncul sebagai gelombang pasang yang nyata dari negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau totaliter dan memandang masa depan yang penuh pengharapan 26.
Gelombang demokrasi
dimulai dari bagian Selatan Eropa (Yunani dan Spanyol), ke Amerika Latin (Argentina, Chilie, Brazil, dan Uruguay), kemudian ke bagian Timur Eropa (Polandia, Jerman Timur dan Hongaria) dan Afrika Selatan serta negara-negara lainnya 27.
26
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2008. hal 97
27
Ibid 97
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Dalam demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat dan rakyatlah yang memerintah. 28
Hal ini berbeda dengan bentuk pemerintahan lainnya seperti
pemerintahan otoriter maupun komunis, dimana kedaulatan dan kekuasaan berada di satu orang atau disekelompok kecil orang. Masyarakat yang hidup di alam demokrasi pada umumnya lebih memiliki kebebasan politik dibanding dengan sistem pemerintahan lainnya. 29 Demokrasi dimaknai juga sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Seperti pendapat Abraham Lincoln yang menyatakan bahwa : 30 Government of the People, by the people and of the people shall not perish from the earth. Syarat-syarat negara demokrasi yang dinyatakan oleh Robert Dahl sebagaimana dikutip oleh Arend Lijpart adalah 31: 1. Kebebasan membentuk dan menjalankan organisasi 2. Kebebasan berekspresi 3. Hak memberikan suara 4. Eligibilitas menduduki jabatan publik 5. Adanya hak para pemimpin politik untuk bersaing secara sehat merebut dukungan dan suara 6. Tersedianya sumber-sumber informasi alternatif 7. Adanya pemilihan umum yang bebas dan adil 8. Adanya institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara-suara pemilih rakyat dan ekspresi pilihan politik lainnya.
Alex Wolf menyatakan bahwa kondisi ideal dari demokrasi adalah ketika setiap orang mengambil bagian dalam setiap keputusan tentang hukum dan kebijakan di suatu negara. Masyarakat mendatangi setiap pertemuan yang teratur yang membahas setiap kebijakan dan melaksanakan voting sesuai dengan apa
28
Alex Woolf. Democracy. Evan Brothers Limited. London. 2007. Hal 4
29
Ibid. Hal 4
30
Sue Van Der Hok. Op.cit hal 10
31
Ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
yang diinginkan. Hal ini dinamakan direct democracy. Namun, saat ini bentuk demokrasi langsung tidaklah sering dipraktekan, terutama di negara-negara yang memiliki jutaan penduduk yang besar dan tidak punya cukup waktu
untuk
mengikuti setiap isu-isu politik. Negara demokrasi moderen kemudian mengadopsi sistem yang dikenal sebagai demokrasi perwakilan (Representative democracy). 32 Dalam demokrasi perwakilan, rakyat memilih perwakilannya untuk membuat keputusan sesuai dengan kepentingannya. Setiap beberapa tahun, pemilihan umum diselenggarakan dan rakyat mendapatkan kesempatan untuk memilih perwakilannya. Calon perwakilan (candidate) pada pemilihan ini biasanya berasal dari Partai Politik.33 Adam Perzweroski dan Jose Maria Maraval mengemukakan bahwa Demokrasi yang murni (Pure Democracy) adalah kondisi ideal dimana tidak ada elemen-elemen yang bersifat oligarki. Kondisi utopis ini tidaklah pernah benarbenar terwujud dalam kenyataannya. Yang ada adalah demokrasi yang parsial dan dapat diputarbalikkan. 34 Dalam
proses
pengambilan
keputusan
dalam
negara
demokrasi
mengandung kelemahan yaitu terlalu mengandalkan prinsip suara mayoritas, padahal mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan. Untuk itu pengambilan keputusan haruslah diimbangi dengan prinsip keadilan, nomokrasi atau the rule of law (prinsip negara hukum). 35 Demokrasi, legitimasi dan Rule of Law adalah tiga komponen penting dari konsep good governance, Namun demikian, variable-variabel ini tidaklah bisa berjalan sendiri-sendiri. Pemilu yang bebas dan adil tidak selalu dapat melindungi
32
Alex Wolf. Op cit. hal 5 James Madison, presiden ke empat Amerika Serikat menyatakan bahwa demokrasi langsung (pure democracy) ada dimasyarakat dalam jumlah yang kecil yang berkumpul dan menjalankan pemerintahan dalam orang perorang. Sebagian besar demokrasi berbentuk demokrasi perwakilan (representative democracy), dimana rakyat memilih perwakilannya sesuai dengan kehendaknya (Sue Van Der Hok. Op cit. hal 11)
33
Alex Wolf. Op.cit. Democracy. hal 5
34
35
Adam Perzweroski dan Jose Mar ia Maraval. Democracy and The Rule of Law. The Press Syndicate of The University of Cambridge. Cambridge. 2003. hal 37 Jimly Asshiddiqie. op.cit (2). hal 146
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
terhadap korupsi dari proses legislatif. Demokrasi mayoritas tidak selalu dapat melindungi minoritas dari penindasan.
Supremasi Yudisial memiliki potensi
untuk membentuk otokrasi elitis serta untuk melindungi kebebasan dasar. Ketiga variable ini dapat bekerja maksimal membentuk pemerintahan yang ideal hanya jika ketika ketiga dikerahkan secara bersamaan. Pemerintahan yang ideal tidak hanya menuntut bahwa ketiga elemen digunakan secara bersamaan, tetapi dengan proporsi yang seimbang. 36 Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Terdapat 12 prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan negara hukum sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum yaitu : 37 1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law) 2. Persamaan dalam Hukum (Equality Before The Law) 3. Asas Legalitas (Due Process of Law) 4. Pembatasan Kekuasaan 5. Organ-Organ Penunjang yang Independen 6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak 7. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) 8. Perlindungan Hak Asasi Manusia 9. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat) 10. Berfungsi
sebagai
Sarana
Mewujudkan
Tujuan
Bernegara
(Welfare
Rechtstaat) 11. Transparansi dan Kontrol Sosial Perkembangan prinsip negara hukum tersebut dipengaruhi oleh semakin kuatnya penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam kehidupan bernegara menggantikan model-model negara tradisional. 38 Prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara beriringan 36
Thomas M. Franck Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the New York University School of Law March 7-10, 2000. http://www.loc.gov/bicentennial/abstracts_franck.html [3 Juli 2012]
37
Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. 2009. hal 397
38
Ibid hal 398
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal dengan negara hukum yang demokratis (democratische rechtstaat) atau dalam bentuk konstisional disebut constitutional
democracy. Hukum dibangun dan
ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.
Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan semata (machtstaat). Sebaliknya demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri. 39 Menurut Jamil Junejo Demokrasi memiliki arti yang lebih dari sekedar lembaga perwakilan yang berfungsi efektif. Demokrasi berarti menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar khususnya rule of law dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Rule of law dan persamaan di depan hukum adalah platform dimana bangunan demokrasi bertumpu. Menghormati hak asasi manusia sangat penting bagi berdirinya bangunan demokrasi. Bahkan, terdapat hubungan simbiosis antara hak asasi dan demokrasi yaitu : hak asasi manusia diperlukan untuk berfungsinya demokrasi, dan demokrasi yang berfungsi sangat penting untuk menjamin penikmatan penuh hak asasi manusia. 40
1.4.2. Teori Kedaulatan Rakyat Istilah kedaulatan lazimnya dipahami berasal dari terjemahan kata-kata seperti sovereignity, soverainette, sovereigniteit, souvereyen, superanus, summa potestas, maiestas (Majesty) yang diadopsi dari bahasa Jerman, Perancis dan Belanda yang banyak dipengaruhi oleh Bahasa Latin. Semua perkataan ini menunjukkan kepada pengertian kekuasaan tertinggi dalam atau dari suatu negara yang dalam Bahasa Inggris disebut sovereignity (kedaulatan). 41 Akan tetapi, akar kata kedaulatan sendiri berasal dari Bahasa Arab dari akar kata ‘daulat atau dulatan’ yang dalam makna klasik artinya pergantian atau peredaran. Pengertian kedaulatan dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai 39
Ibid hal 389
40
Jamil Junejo. Human Rights, Rule of Law and Democracy Training Manual . Center for Peace and Civil Society. 2010. hal 59
41
Jimly Asshiddiqie. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Gema Insani Press. Jakarta. 1995. Hal 9
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
kekuasaan tertinggi yang di dalamnya sekaligus mengandung dimensi waktu dan proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifa alamiah. 42 Paulina Ochoa Espezo, mendefinisikan kedaulatan rakyat sebagai paham yang memaknai bahwa keinginan rakyat merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara. 43 Popular Sovereignity is the contention that the unified will of the people is the supreme authority in the state. Jauh sebelumnya, masyarakat Yunani Kuno telah dikenal sebagai masyarakat demokratis pertama, pemerintahannya disebut demokratia yang berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti aturan. 44 Namun sistem tersebut berubah ketika munculnya Peradaban Romawi yang telah mewariskan hukum dan tertib hukum. Romawi menjelma menjadi masyarakat militer yang serakah terhadap tanah dan menjadi agen utama dalam penyebaran bahasa Latin, pemerintahan militer dan sistem hukumnya ke dunia barat. Negara berbentuk patriarki dimana Raja sebagai Kepala Keluarga. 45 Perlawanan rakyat terhadap kekuasaan raja yang mutlak kemudian memunculkan Teori tentang kedaulatan rakyat. 46 Pada
tahun
1712-78
Filsuf
Perancis
Jean
Jacques
Rosseau
memformulasikan teori tentang kedaulatan rakyat yang merupakan respon secara radikal terhadap konflik sosial yang terjadi, pembagian dan ketidaksetaraan yang menjadi karakteristik dan merusak negara-negara Eropa pada pertengahan abad ke
42
Ibid. Hal 11
43
Paulina Ochoa Espezo. The Time of Popular Sovereignity : Process and Democratic State. The Pennsylvania State University Press. United State Of America. 2011. hal 3
44
Sue Vander Hok. Democracy. ABDO. Publishing Company. Minnesota. 2011. hal 8
45
Hal yang sama terjadi di Rusia sampai tergulingnya Chzar pada tahun 1918, kerajaan menguasai negara secara mutlak. Kaisar Agustus pada awal abad 31 SM mencanangkan bentuk baru dari pajak, sistem pengadilan yang terpusat dan juga pemerintahan otonomi lokal. Raja menghukum berat para gubernur karena korupsi dan pemerasan serta menghukum sistem pertanian kuno dengan pajak kolektif dan sistem ini diadopsi oleh Raja Perancis dan Czars dan membuat mereka semakin sewenang-wenang.45 Para filsuf kemudian mencari pemahaman untuk mencari pembenaran mengenai kekuasaan raja dan hak-hak manusia. (Ibid. hal 9)
46
Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2), hal 145
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
18. 47 Teorinya dianggap sebagai pengganti dan penyempurna dari teori-teori sebelumnya yang dikemukakan oleh Hobes dan Locke yang merupakan pemikir paham
kebebasan
dengan
melindungi
hak-hak
individu.
John
Lock
mengemukakan bahwa manusia terlahir secara bebas, sederajat dan merdeka dan tidak ada kekuatan politik yang dapat menghilangkan hak-hak kebebasannya tanpa adanya persetujuan dari individu 48. Men being, as he said, by nature all free, equal and independent, no one can be put out of this estate and subjected the political power of another without his own consent. Seperti halnya Hobes dan Locke, Rosseau berusaha untuk mencari solusi terhadap permasalahan teori politik barat tentang ketegangan antara Kebebasan Individual (individual freedom) dengan kebutuhan akan ketertiban sosial dan kewenangan kolektif. 49 Locke mengajarkan bahwa kekuasaan bersifat terbatas dan bergantung pada kehendak rakyat, manusia memiliki hak-hak yang dibawa sejak lahir ada pada saat manusia ada, yaitu hak untuk hidup, kebebasan dan kemakmuran, dan negara berfungsi untuk melindunginya. Rosseau menyempurnakan teori Locke dengan menyatakan bahwa manusia membentuk kontrak sosial yang diselesaikan secara individual dan kolektif, yaitu dengan cara keinginan individu bergabung menjadi kehendak bersama yang terbaik untuk semua. 50 menyatakan
bahwa
pemikiran
Rosseau
adalah
Harold dasar
E
pemikiran
Rogers yang
menginspirasi demokrasi modern yaitu hak-hak yang sama dalam kebebasan dan revolusi Perancis adalah puncak dari runtuhnya kekuasaan yang absolut. 51 47
Tudor Jones. Modern Political Thinkers and Ideas : An Historical Introduction. Routledge. New York. 2002. hal 25
48
John Lock The Second Treatise of Government, dalam Satya Arinanto. Politik Hukum I. Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2001. hal 3.
49
Ibid hal 25
50
R.S Chaurasia. History of Western Political Thought. Atlantic Publisher and Distributors. New Delhi. 2001. hal 326
51
Hobes, Locke dan Rosseau merupakan para filsuf tentang Kontrak Sosial (Social Contract), tetapi hobes lebih unggul tentang konsep pemerintahan yang absolute, locke mendukung pemerintahan liberal yang mempengaruhi revolusi di Amerika dan Italia dan membela revolusi Inggris tahun 1688, locke unggul dalam konsep kedaulatan rakyat (popular sovereignity) yang membawa ke revolusi Perancis dan pemikiran atas Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776. Rosseau unggul dalam konsep kebebasan dan demokrasi dan idenya mempengaruhi refolusi
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pemikiran tentang hak-hak dasar manusia dan kebebasan diadopsi dan diterima secara global dengan ditetapkannya dalam The Universal Declaration of Human Rights, oleh United Nation pada 10 Desember 1948 yang merupakan hasil dari pengalaman Perang Dunia Ke II. Masyarakat internasional berjanji tidak pernah lagi untuk membiarkan kekejaman dan konflik dan menjamin hak-hak setiap individu di manapun berada. 52 Artikle 1 The Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa: All human beings are born free and equal in dignity and rights.They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood. Hak-hak individu dan kebebasan semakin penting dimaknai oleh masyarakat dunia sebagai hak-hak berpolitik dengan ditetapkannya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasca perang dunia ke –II.
53
Di Indonesia, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa dari segi internal atau kedaulatan internal, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 menganut paham kedaulatan yang unik. UUD 1945 menggabungkan konsep kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan secara sekaligus. 54 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar” Ketentuan ini mencerminkan bahwa UUD 1945 menganut kedaulatan rakyat atau demokrasi
yang
dilaksanakan
berdasarkan
undang-undang
dasar
atau
“constitutional democracy”. Sedangkan pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa : “Negara Indonesia adalah negara hukum”
Perancis, dengan ide-ide Rosseau yang brilian, telah membawa Perancis mengalami revolusi pada tahun 1789. Harold E Rogers op cit. hal 10 52
The United Nations. The Universal Declaration http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml [ 23 Juli 2012]
53
Office of The United Nations High Commisioner for Human Rights. International Covenant on Civil and Political Rights. http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm [23 Juli 2012]
54
Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2) hal 149
of
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Human
Rights.
Inilah yang dimaksud dengan paham kedaulatan hukum yang pada pokoknya menganut prinsip supremasi hukum. Hukumlah yang menjadi panglima tertinggi, bukan politik ataupun ekonomi. Artinya baik konsep kedaulatan rakyat maupun kedaulatan hukum sama-sama dianut oleh UUD 1945. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa kedaulatan Tuhan juga dianut dalam UUD 1945 yang dapat dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia dapat berhasil atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan Kemerdekaan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 9 ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan (2) serta pada Pasal 28J UUD 1945. 55 1.4.3. Sistem Kepartaian Daniel Caramani mengartikan Sistem Partai sebagai sekumpulan partai yang bersaing dan bekerja sama dengan tujuan meningkatkan kekuasaannya dalam mengontrol pemerintahan. 56 Party systems are sets of parties that compete and cooperate with the aim of increasing their power in controlling government Sistem partai menurut William N Chamber adalah pola interaksi antara dua atau lebih partai politik yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan dan untuk mendapat dukungan dari para pemilih, sehingga prilakunya perlu diperhitungkan dalam pemerintahan dan pemilihan umum. 57 Tipologi sistem partai yang mudah dipahami dan pertama kali dikemukakan oleh Duverger (1951).
Sistem partai terdiri dari sistem partai
tunggal, sistem dua partai dan sistem multi partai. Pembagian ini cukup banyak mendapat kritik dari para ahli lainnya karena dinilai terlalu sederhana. Beberapa faktor yang tidak dapat dijelaskan oleh Duverger antara lain adalah bagaimana internal partai mempengaruhi kompetisi dan kerjasama, ideologi partai dan
55
Ibid
56
Daniele Caramani, Comperative Politic. Oxford University Press. New York. 2008. hal 319
57
William N Chamber dalam Louis Sandy Maisel, Mark D Brewer.Parties and Election in America : The Electoral Process. Rowman and Littlefield Publishing Group. Maryland. 2010. hal 15
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
kekuatannya. 58 klasifikasi sistem partai kemudian berkembang antara tahun 1960an sampai dengan 1970an, para ahli mengembangkannya dengan alat analisis yang brilian. 59 klasifikasi sistem partai dikembangkan oleh Blondel (1968) yang menambahkan sistem dua setengah partai (two and half party system). Sartori (1966 : 1976) berkontribusi tidak hanya dalam aturan perhitungan, tetapi juga kunci perbedaan antara plularisme moderat (moderate pluralism) dan pluralisme terpolarisasi (polarized pluralism) yang merupakan klasifikasi dari Sartori sebagaimana juga istilah lainnya yaitu multipartai moderat dan multipartai ekstrim. 60 para peneliti partai politik berkonsentrasi pada kesinambungan dan perubahan dari sistem partai politik, menjauh dari Taksonomi yang direflesikan tidak hanya pada efektivitas klasifikasi baru, tetapi juga pengembangan penelitan tentang pengukuran yang mendalam seperti Rae’s (1967) Fraksionalisasi (Fe), Laakso and Taagepera’s (1979) Effective Number of Political Parties (N or ENEP and ENPP) dan Molinar (1991) NP. 61 Caramani mengemukakan bahwa tiga elemen penting yang membentuk sistem partai adalah 1). partai apa yang termasuk, 2). berapa banyak partai dan berapa besarnya serta 3). bagaimana prilaku masing-masing partai tersebut. 62 Sistem kepartaian pertama dikemukakan oleh Maurice Duverger yang digolongkan menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai dan sistem banyak partai. 63 Dalam negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter terdapat satu partai yang tak hanya memegang kendali atas militer dan pemerintahan, tetapi juga menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal totaliter biasanya merupakan partai doktriner dan diterapkan di negara-
58
Luis F. Clemente. Party Systems Stability in Latin America : A Comparative Study. State of University of Newyork. 2009. hal 20
59
steven b wolinetz. Classifying Party Systems: Where Have All the Typologies Gone?. Prepared for the Annual Meeting of the Canadian Political Science Association. Memorial University of NewfoundlandMonitoba. 2004.hal 1
60
ibid
61
ibid
62
Daniele Caramani, Comperative Politic. Oxford University Press. New York. 2008. hal 319
63
Ibid hal 124
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
negara komunis. Bentuk partai tunggal otoriter bisasnya diterapkan negara-negara berkembang yang menghadapi masalah integrasi nasional dan keterbelakangan ekonomi. 64 Sistem dua partai bersaing merupakan suatu sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat dua partai bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan memerintah melalui pemilihan umum. Dalam sistem ini terdapat pembagian tugas di antara kedua partai, yaitu partai yang memenangkan pemilihan umum menjadi partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah dalam pemilihan umum berperan sebagai kekuatan oposisi yang loyal. Sebagai partai yang kalah dalam pemilihan umum, partai ini melakukan kontrol atas partai yang menang dalam pemilihan umum tetapi partai yang kalah tetap loyal terhadap sistem politik. Walaupun berupaya keras untuk mengalahkan partai yang berkuasa tetapi tidak berupaya mengganti sistem politik yang berlaku. Sistem kepartaian ini biasanya dapat berkembang dengan baik apabila terpenuhi tiga kondisi berikut, yakni struktur masyarakat relatif homogeny, konsensus nilai (konsensus tentang prinsip-prinsip dasar menyelenggarakan negara dan tujuan negara yang fundamental) dan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang telah melembaga. 65 Sistem multipartai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri. 66 Klasifikasi sistem partai yang kemudian paling mempengaruhi pemikiran tentang sistem partai dikemukakan oleh Giovanni Sartori (1976).
Sartori
mengemukakan dua elemen penting dari sistem partai yaitu : jumlah partai politik dan derajat polarisasi dari ideologi. Tipologi sistem partai menurut Sartori terbagi menjadi empat tipe : sistem dua partai, Pluralisme Moderat (multipartai dengan
64
Ibid hal 125
65
Ibid hal 126
66
Ibid hal 128
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
derajat polarisasi ideologi yang rendah),
Pluralisme terpolarisasi (multipartai
dengan derajat polarisasi ideologi yang tinggi), dan pre-dominan (yaitu dimana partai yang sama secara konsisten memenangi mayoritas kursi). 67 Coppedge mengklasifikasikan Sistem partai berdasarkan jumlah partai politik yang efektif di parlemen (effective numbers of party voters (ENPV)). Yaitu : sistem dua partai dengan nilai ENPV antara 2 s/d 3, sistem multipartai moderat (sederhana) dengan nilai ENPV antara 3 s/d 5 dan sistem multipartai ekstrim dimana nilai ENPV lebih dari 5. 68 Pengukuran nilai ENPV atau ENPP dengan menggunakan rumus yang dikembakan oleh Laakso-Taagepera yaitu : 69 N v = 1/∑n i
Nv
=
Effective Number of Parties Voters (ENPV)
Vi
= Perolehan suara setiap parpol peserta pemilu dalam persen
Rumus Laakso dan Taagepera kemudian dimodifikasi menjadi Jumlah Effektif Parpol di Parlemen dari ENP (The Effective Number of Parties) dirubah menjadi ENPP (The Effective Number of Parliamentary Parties). Perolehan Suara (vi) diganti dengan perolehan kursi (Seat Si) dalam persen. 70 n
ENPP = 1/ (∑s i )2 = 1 (s1+s2+s3+s4+….Sn) i=1
67
Scott P Mainwarring. Rethinking Party Systems in The Third Wave of Democratization : The Case of Brazil. Stanford University Press. Stanford. California. 1999. hal 23
68
Michael Coppedge. The Dynamic Diversity of Latin American Party Systems. Party Politic Vol. 4 No. 4. Pp 547-568. SAGE Publication. London. 1998. http://cm.olemiss.edu hal 562 [28 Februari 2012]
69
Ibid hal 30
70
Ibid hal 30
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pipit Kartawidjaja dari Landesagentur fuer Struktur und Arbeit (LASA) Brandenburg GmbH Germany menyatakan bahwa suatu partai politik dapat dimasukkan ke dalam perhitungan sistem kepartaian jika parpol itu masuk ke parlemen dan punya potensi untuk berkuasa, berkoalisi atau oposisi, sehingga dapat mempengaruhi kehidupan kepartaian. Untuk memastikan jumlah parpol tidak ditentukan berdasarkan hitungan jari, tetapi dengan hitungan matematis Effective Number of Parliamentary Parties (ENPP). Sehingga dari jumlah hasil ENPP dapat diketahui Sistem Multikepartaian Dwi-Partai, Moderat/Sederhana, atau Ekstrim/Ultra. Semakin tinggi ENPP atau makin tidak sederhana sistem multikepartaian makin luas fragmentasi sistem multikepartaiannya. 71
1.4.4. Peradilan Konstitusi Kajian ini perlu membahas tentang teori Peradilan Konstitusi, dikarenakan terdapat pembahasan tentang judicial review Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraaan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri 72. Gagasan tentang pengujian undang-undang yang pertama kali dimunculkan oleh Hans Kelsen 73, seorang berkebangsaan Austria. Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (MK / Constitusional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Ide ini lebih dikenal dengan The Kelsenian Model. Ide Hans Kelsen mengenai pengujian Undang-undang tersebut sejalan dengan gagasan yang pernah 71
Pipit Kartawidjaja. Multikerpartaian Sederhana untuk Pemerintahan yang Kuat. Prasetya Online. 2012. http://prasetya.ub.ac.id/berita/Dr-Pipit-Kartawidjaja-Multikepartaian-Sederhanauntuk-Pemerintahan-yang-Kuat-8330-id.html [diunduh 16 November 2012]
72
Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Kompilasi Ketentuan UUD, UU, dan peraturan di 78 Negara, ( Jakarta : Pusat studi hukum Tata Negara FHUI dan asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 200, hal. 201.
73
Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, cet. III, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 115.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dikemukakan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPK 74. Ia mengusulkan, seharusnya
Balai
Agung (Mahkamah
Agung) diberi
wewenang
untuk
membanding Undang-undang. Namun usulan Muhammad Yamin itu disanggah oleh Soepomo. Ide pengujian Konstitusionalitas undang-undang yang diusulkan oleh Yamin tersebut tidak diadopsi dalam undang-undang 1945 sebelum mengalami perubahan pada 1999-2002. Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu MK muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada Supremasi Konstitusi. 75 Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstutusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar adanya pengujian UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD diberikan kepada sebuah Mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya MK yang berdiri sendiri disamping MA menjadi sebuah keniscayaan. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide MK menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian perubahan ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November 2001. Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk MK dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut. Dalam pasal 24 ayat (2) hasil perubahan ketiga UUD 1945, dinyatakan:
74
Koentjoro, “Muhammad Yamin Sang Pengusung Ide Judicial Review,” Konstitusi (Juni 2010) : 47.
75
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, cet. I, (Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2009), hal. 337.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.” 1.5. Kerangka Konsep 1.5.1. Partai Politik Secara etimologi, kata partai berasal dari bahasa latin, dari kata “partire” yang berarti membagi. Kata partai baru dikenal di dalam istilah politik pada abad ke 17. 76 Menurut Edmund Burke Partai adalah sekelompok orang yang bersatu untuk berjuang secara bersama dalam upaya mewujudkan kepentingan nasional, dan beberapa prinsip tertentu yang mereka sepakati. 77 Party is body of men united, for promoting by their joint endeavours the national interest, upon some particular principle in which they are all agreed. Menurut Miriam Budiardjo,
partai politik adalah suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan citacita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. 78
Partai politik itu pada pokoknya memiliki
kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut pilar demokrasi, karena memainkan peranan yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens). 79 Bahkan menurut Schattscheider (1942), “political parties created democracy” partai politiklah yang menciptakan demokrasi, bukan sebaliknya. 80 Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Pengertian Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk 76
Giovanni Sartori. Parties and Party Systems. A frame Work for Analysis. Ecpr Press. Colchester. 2005. hal 4
77
Edmund Burke. Thoughts on The Cause of The Present of Discontents. The Gordon Lester Ford Collection London 1770. hal 110
78
Miriam Budiardjo. op.cit.hal 404
79
Jimly Asshiddiqie. op.cit (2). hal 710
80
Ibid hal 710
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 81 King sebagaimana dikemukakan oleh Alan Ware berpendapat bahwa Partai politik terdiri dari tiga elemen yang terpisah yaitu :
82
partai dalam
pemilihan umum, partai sebagai organisasi dan partai dalam pemerintahan.
1.5.2. Sistem Multipartai Sederhana Istilah Sistem Multipartai Sederhana dapat ditemukan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yaitu : Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional. Konsepsi mengenai Sistem multipartai sederhana juga terdapat pada penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parta Politik, yaitu : Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat. Konsepsi sistem multipartai sederhana juga terdapat pada penjelasan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yaitu : Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana 81
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. LNRI Tahun 2011 Nomor 8 TLN Nomor 5189
82
Anthony King dalam Alan Ware Political Party and Party Systems. Oxford University Press. 1996. hal 6
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian,
dalam ke tiga Undang-Undang tersebut, tidaklah
dijabarkan pengertian dari sistem multipartai sederhana yang hendak dituju. Beberapa tokoh politik menjabarkan maksud dari sistem multipartai sederhana di berbagai media masa yaitu : Akbar Tanjung, sebagai Ketua Pembina Partai Golkar menyatakan bahwa : 83 tidak ada cara lain mengefektifkan pemerintahan dalam sistem presidensial saat ini kecuali meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen. Dengan demikian, jumlah partai menjadi sederhana, yakni sekitar 5 atau 6 partai saja yang lolos ke parlemen. ”Tetap multi-partai, tapi multi-partai sederhana. Agar bisa kompatible dengan sistem presidensial yang kita jalankan, Arif Wibowo, Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Komisi II DPR RI menyatakan bahwa : 84 Jumlah kekuatan di parlemen yang mengarah pada mayoritas parlemen berbasis multipartai sederhana cukup diisi tiga atau maksimal lima fraksi yang menunjuk fragmentasi politik besar dan ideologik. Ramlan Surbakti dalam Rapat Pansus RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pada point sistem multipartai sederhana menilai bahwa jumlah partai peserta pemilu 2009 masih terlalu banyak sehingga tidak menggambarkan kekuatan kolektif. 85 Pada dasarnya, sistem multipartai sederhana terkait dengan penyederhanaan jumlah partai politik. dalam dalil pemerintah pengujian Undang-Undang terkait 83
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Sederhanakan Partai Untuk Efektifkan Pemerintahan. KPU dalam Berita. http://mediacenter.kpu.go.id/kpu-dalam-berita/1116sederhanakan-partai-untuk-efektifkan-pemerintahan.html [diunduh 16 November 2012]
84
Koran Jakarta. RUU Pemilu. Jumlah Fraksi di Parlemen Jangan Terlalu Banyak. Indonesia Cukup Tiga Partai. http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/76053 [diunduh 16 November 2012]
85
Ramlan Surbakti. Laporan Singkat RDPU Pansus Pemilu. https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:J0HbPA4pnzwJ:dpr.go.id/complorgans/adhoc/5 2_lapsing_Lapsing_RDPU_Pansus_Pemilu_dengan_Ramlan_Surbakti_%26_Chusnul_Mar%2 7iyah.pdf+&hl=en&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESih_SYPsjWKhlYekR6fq5coVGNqNqs7jU l7GYkuQypJt5fUpWldR57qUchAvOvrDt6dYO_VNURHBSV1Oqp95KxExnKrcGrDCgoNgaUGb0gGgO5JhGpQslLmfwUJQwduD_y8_e&sig=AHIEtbQcf5nqiMeDhycyscHp-uUUL-CNCA [diunduh 16 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai politik, menyatakan bahwa ketentuan tentang pembatasan partai politik bertujuan untuk membentuk sistem multipartai sederhana. 86 Definisi sistem multipartai sederhana (moderate multiparty system) dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah : Sartori mengistilahkan sistem multipartai sederhana (moderate multiparty system) sebagai Pluralism moderat (moderate pluralism) dicirikan dengan sistem bipolar dan kompetisi sentripetal. Partai di kedua sisi berkompetisi untuk memenangkan suara di tengah dengan 3 sampai 5 partai yang relevan. multipartai
sederhana
(moderate
multipartism)
diartikan
87
Sistem
sebagaimana
disampaikan oleh Coppedge yaitu sistem partai dengan jumlah partai politik efektif di dalam parlemen sebanyak 3 sampai dengan 5 partai. 88 Caramani mendefinisikan Moderate Multiparty System adalah Jumlah partai politik terbatas, dibawah 5 partai. 89 Pada penelitian ini konsep sistem multipartai sederhana diartikan sebagai sistem partai dengan jumlah partai politik efektif di parlemen sebanyak 3 sampai 5 partai.
1.5.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukkan prilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok atau suatu lembaga pemerintah) atau suatu aktor dalam bidang kegiatan tertentu. 90 Mustopadjaja mengemukakan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya dengan kegiatan pemerintah, serta prilaku negara pada umumnya dan kebijakan itu dituangkan dalam bentuk peraturan. 91 Definisi kerja dari kebijakan adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi
86
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan 16/PUU-2007/hal 57
87
Steven B. Wolinetz. op.cit hal 6
88
Ibid
89
Daniele caramani. hal 330
90
Budi Winarno. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo. Yogyakarta. 2007 hal 16
91
Hanif Nurcholis. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo. 2005. hal 263
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman berprilaku dalam (1) pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran atau unit organisasi pelaksanaan kebijakan (2) penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan unit organisasi pelaksana atau kelompok sasaran dimaksud. 92 Jimly asshiddiqie menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahan dapat dijadikan pegangan dan mengikat untuk umum sepanjang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tertentu. 93 Semua bentuk peraturan perundang-undangan dan termasuk policy rules (aturan kebijakan) berisi norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norms) sebagai keseluruhan legal policy (kebijakan hukum) yang mengandung kebijakankebijakan kenegaraan, pemerintahan dan pembangunan.
Legal policy yang
tertinggi dimuat dalam Undang-Undang Dasar. Semua peraturan perundangundangan adalah bentuk formal dari legal policy yang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Bahkan pada prinsipnya, semua produk peraturan perundang-undangan itu berisi kebijakan hukum yang tidak boleh bertentangan dengan kebijakan hukum yang lebih tinggi sebagaimana tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 94 Yang dimaksud kebijakan penyederhanaan partai politik dalam penelitian ini adalah kebijakan hukum di bidang kepartaian untuk menyederhanakan jumlah partai politik yang dilakukan melalui pembatasan-pembatasan antara lain dengan penentuan persyaratan pendirian dan pembentukan partai politik, persyaratan partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu dan persyaratan ambang batas untuk dapat menempatkan wakil partai di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencapai sistem multipartai sederhana yang dituangkan dalam bentuk UndangUndang tentang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
92
Ibid hal 264
93
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Ekonomi. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2010. hal 19
94
Ibid hal 21
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
1.5.4. Kurun Waktu Pasca Reformasi Era reformasi merujuk pada masa pasca berhentinya Jenderal (Purn.) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) Pada tanggal 21 Mei 1998. Era ini kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpin oleh Presiden BJ. Habibie. Sekitar 13 Bulan kemudian diselenggarakan pemilihan umum pada tahun 1999. 95 Masa pasca reformasi juga ditandai dengan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. 96 Dalam penelitian ini, kurun waktu reformasi dalam pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik adalah sejak tahun 1999 hingga tahun 2012, yaitu diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai politik dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. 1.6. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan kajian terhadap kebijakan penyederhanaan partai politik untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana dengan tujuan utama untuk mengetahui esensi dari penyederhanaan partai, akibat hukum dalam pelaksanaannya terhadap partai politik dan pembentukan sistem kepartaian serta batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum dengan mempergunakan metode normatif dilakukan dengan membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah hukum. Penelitian ini bersifat eksplanatoris yang
bertujuan menggambarkan
secara lebih jelas dan tepat permasalahan penyederhanaan partai politik dengan beberapa variable seperti keadaan, gejala dan diagnosis yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Metode penelitian hukum normatif lebih mengutamakan dengan mempergunakan studi kepustakaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan 95
Satya Arinanto. op.cit. hal 57
96
Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2). hal 3
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
materi yang dibahas seperti melalui buku, majalah, artikel ilmiah atau jurnal ilmiah. Studi kepustakaan yang dilakukan dengan menggunakan literatur yang berasal dari kalangan akademis atau universitas seperti perpustakaan kampus juga menggunakan literatur yang berasal dari kalangan instansi terkait dengan masalah yang dibahas. Data diperoleh adalah data yang didapat melalui catatan-catatan terdokumentasi seperti, buku, jurnal ilmiah, majalah dan disebut sebagai data sekunder. 97 Dalam penelitian ini dapat juga menggunakan alat pengumpulan data lain sebagai pembanding, yakni wawancara. Dengan mempergunakan data atau sumber hukum yang diperoleh, selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data secara keseluruhan. Pengolahan data adalah kegiatan merapihkan data hasil pengumpulan data untuk kemudian dianalisis. Dalam kegiatan pengolahan dilakukan beberapa hal diantaranya meliputi kegiatan-kegiatan editing, koding dan tabulasi. 98 Untuk
mengetahui
bagaimana
pengaturan
tentang
kebijakan
penyederhanaan partai politik pasca reformasi, maka akan dilakukan penelaahan Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik 4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik 5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum 6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
97
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. 2007. hal 12
98
Ibid. hal 72
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 8. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, tentang Pemilihan Umum Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Untuk mengetahui bagaimana esensi dan implikasi hukum kebijakan penyederhanaan partai politik terhadap partai politik dan pembentukan sistem kepartaian,
maka akan di inventarisir kondisi/gejala partai-partai dan sistem
partai pasca berlakunya undang-undang tersebut dan juga akan dikaji secara mendalam dasar pemikiran dalam perumusan kebijakan tersebut. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan
kebijakan-kebijakan penyederhaan partai
politik dalam perspektif konstitusi, maka dalam penelitian ini akan dianalisa putusan-putusan
judicial
review
undang-undang
yang
terkait
dengan
penyederhanaan partai politik. Dalam penelitian putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review UndangUndang yang mengatur tentang Penyederhanaan Partai Politik. Analisa putusan dimaksudkan untuk mengetahui pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas dari kebijakan penyederhanaan partai politik. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diantaranya adalah : 1.
Putusan Nomor 020/PUU-I/2003
2.
Putusan Nomor 16/PUU-V/2007
3.
Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008
4.
Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009
5.
Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011
6.
Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011
7.
Putusan Nomor 52/PUU-/2012 Selain itu, untuk lebih memahami konsep dan subjek penelitian, dilakukan
pula perbandingan pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik dan akibat hukumnya terhadap partai politik dan pembentukan sistem kepartaian di beberapa negara lain serta membandingkannya dengan teori-teori hukum yang ada yaitu
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
teori tentang kedaulatan rakyat, demokrasi, konsepsi negara hukum serta teori peradial konstitusi. Bentuk hasil penelitian yang sesuai dengan penulisan ilmiah ini adalah deskriptif analitis berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain. 99 Selain peraturan perundang-undangan dan putusan yang merupakan bahan hukum primer tersebut, dalam penelitian ini juga digunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang Hukum Tata Negara, Konstitusi, Partai politik, Mahkamah Konstitusi dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini, merupakan data yang telah dijelaskan dengan berdasarkan teori yang bersifat umum untuk mencapai kesimpulan dan dapat menentukan saran.
1.7. Sistematika Pelaporan Penulisan penelitian ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan Dalam bab ini terdiri dari sub bab Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsep, dan Metode Penelitian.
Bab II Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Dan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara Bab ini terdiri dari Sub Bab Partai Politik (Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Fungsi Partai Politik), Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara (Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang-Undangan, Praktek Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara, Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia, Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Republik Ceko, Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Jerman, Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik), Konsep Sistem Multipartai Sederhana, Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai
99
Bambang Sugono. Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1997. hal 37-38
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Negara (Sistem Multipartai Sederhana di Rusia, Sistem Multipartai Sederhana di Republik Ceko, Sistem Multipartai Sederhana di Jerman).
Bab III Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Dan Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca Reformasi Bab ini terdiri dari Sub Bab Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia, Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Partai Politik Pasca Reformasi (Persyaratan Kualitatif dan Kuantitafif Pendirian dan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011), Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Pemilihan Umum Pasca Reformasi (Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai Peserta Pemilu : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012; Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012), Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi Bab
IV
Analisis
Dan
Penyusunan
Prinsip-Prinsip
Kebijakan
Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Bab ini terdiri dari Sub Bab Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi, Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik (Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai Badan Hukum, Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral Threshold, Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di DPR (Parliamentary Threshold), Tahapan Kebijakan Penyederhanaan, Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap Partai Politik (Partai Politik Tidak Diakui sebagai Badan Hukum, Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan Umum, Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR, Penggabungan
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai Politik), Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap pembentukan sistem Multipartai Sederhana. Bab V Judicial Review Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Bab ini terdiri dari Sub Bab Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal Kepengurusan bagi Pendaftaran Partai Politik,
Judicial Review
Ketentuan
tentang Electoral Threshold, Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi Partai Politik untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009, Judicial Review Ketentuang tentang Parliamentary Threshold, Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban Partai Politik agar tetap Diakui Sebagai Badan Hukum, Judicial Review tentang Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai Politik, Judicial Review Ketentuan mengenai Syarat Partai Politik sebagai Peserta Pemilu, Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik.
Bab VI Penutup Bab ini terdiri dari Sub Bab Simpulan dan Saran
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB II KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA 2.1. Partai Politik 2.1.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik Partai politik sebagai lembaga politik, bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara dan baru ada di negara moderen. 100 Susan Scarrow menuliskan bahwa kemunculan partai politik sebagi salah satu penemuan pada abad ke-19. Pada saat gelombang pertama negara-negara di Eropa dan Amerika Utara perlahan-lahan mengalami proses demokratisasi terutama dengan mentransfer kekuasaan kepada parlemen dan ekspansi partai politik dalam pemilihan umum yang dibentuk sebagai mekanisme penghubung utama untuk memfasilitasi proses perwakilan. 101 Menurut Lapolambara dan Weiner dalam Ramlan Surbakti, ada tiga teori yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik. 102 Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif dan eksekutif karena ada kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik lain ini biasanya dibentuk oleh kelompok kecil pemimpin masyarakat yang sadar politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka.
100
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. op.cit. hal 397
101
Ibid. hal 5
102
Joseph Lapalombara dan Myron Weiner. The Origin and Development of Political Parties, dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta. 2007. hal 113
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Teori kedua, teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Krisis situasi historis terjadi manakalah suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat moderen yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan, seperti pertambahan penduduk karena perbaikan fasilitas kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapanharapan baru dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan ini menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan pihak yang memerintah; menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar untuk ikut serta dalam proses politik. Untuk mengatasi tiga permasalahan inilah partai politik di bentuk. Partai politik yang berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat mengendalikan pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan kewenangan yang berlegitimasi
antara
pemerintah
dan
masyarakat.
Teori
ketiga
melihat
moderinasasi sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa dan transportasi,
perluasan dan peningkatan pendidikan,
industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentuk berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut, partai politik merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonomi. Partai politik sebagai institusi modern, yang berhubungan erat dengan parlemen dan pemilihan umum, muncul pertama kali di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke 19 dan pada akhir abad tersebut kemudian meluas ke hampir sebagian besar dunia non barat. 103 Partai politik sangat dipengaruhi oleh Stefan Eklӧf. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia. The Indonesia Democratic Party (PDI) and Decline of New Order (1986-1998). Nias Press. Denmark. 2004. hal 26
103
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
asal/sejarah pembentukkannya. 104 Adalah tidak mungkin untuk memahami perbedaan struktur antara misalnya partai buruh di Inggris dengan Partai Sosialis di Perancis tanpa mengetahui kondisi saat pembentukkannya. Menurut Alan Ware, di negara-negara masa kini, sangatlah sulit untuk dibayangkan adanya politik tanpa partai. Saat ini, hanya ada dua bentuk negara yang tidak memiliki partai politik. Pertama, negara yang kecil dengan masyarakat yang tradisional, terutama di Persian gulf, yang masih di kuasai oleh keluarga yang dominan pada wilayah itu sebelum dunia luar, mengenali mereka sebagai negara merdeka. Kedua adalah negara dengan rezim yang mengekang keberadaan partai, yaitu rezim militer atau dengan kekuasaan otoriter yang mendapat dukungan dari militer. 105
2.1.2. Fungsi Partai Politik Sudah sejak lama para ahli mengemukakan peran penting partai politik dalam sistem demokrasi perwakilan. Sartori berpendapat bahwa warga negara di negara-negara demokrasi barat direpresentasikan oleh dan melalui partai. Sementara Schattschneider menyatakan bahwa demokrasi modern tidaklah mungkin tanpa adanya partai politik (modern democracy is unthinkable save in terms of Political Party). 106 James Bryce mengatakan bahwa partai politik tak dapat dihindari dan tidak ada yang dapat menyaksikan bagaimana sistem pemerintahan perwakilan dapat berjalan tanpa partai politik (Parties are inevitable : no free country has been without them : and no one has shown how representative government could work without them). 107
104
Maurice Duverger. Political Parties and Their Organisations in Modern State. USA 1959. hal xxiii
105
Alan Ware. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. New York. 1996, hal 1
106
Anika Gauja. Political Party and Election. Legislating for Representatives Democracy. Ashgate Publishing Limited. England. 2010. hal 1
107
Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic Linkage. How Party Organize Democracy. Oxford University Press. 2011. hal 3
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Di negara demokrasi, partai politik mempunyai berbagai fungsi, sebagai saranan komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik dan sarana rekrutment politik.: 108 a. Sebagai Sarana Komunikasi Politik Dalam fungsi sebagai sarana komunikasi politik, partai politik berfungsi untuk melaksanakan agregasi dan artikulasi berbagai kepentingan (pendapat dan aspirasi) masyarakat. Setelah itu hasil dari agregasi dan artikulasi kepentingan tersebut dirumuskan menjadi usul kebijakan yang dimasukkan ke dalam program atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan dan disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik. Disisi lain, partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana kebijakan pemerintah, sehingga terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat dan di lain pihak pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat
b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu suatu proses yang melaluinya sesesorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi hak dan kewajiban.
c. Sebagai Sarana Rekrutment Politik Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan 108
Miriam Budiardjo, op cit hal 405-409
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk bursa kepemimpinan nasional. d. Sebagai Sarana Pengatur Konflik Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, terutama pada masyarakat yang heterogen. Peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya atau sekurang-kurangnya menekan akibat negatifnya seminimal mungkin. Elit partai dapat menumbuhkan pengertian dan juga memberikan keyakinan kepada pendukungnya. Russel J Dalton, David M Farrel dan Ian McAllister menjelaskan bahwa fungsi partai politik dapat dibagi menjadi tiga level yaitu di antara warga masyarakat, dalam organisasi-organisasi dan di pemerintahan. 109 Di level warga masyarakat, partai berfungsi untuk menyederhanakan pilihan bagi para pemilih, dengan fungsi ini partai telah juga mengurangi kompleksitas kebijakan pada pemerintahan moderen ke sejumlah kecil pilihan-pilihan yang dapat dimengerti dengan mudah oleh pemilih. Partai politik mendidik para pemilih tentang manfaat dan ketidakmanfaatan dari pilihan-pilihan kebijakan yang ditawarkan. Diantara warga masyarakat, partai politik diharapkan akan memobilisasi warga untuk aktif berperan serta dalam proses politik sehingga dapat menciptakan stabilitas sistem politik dalam jangka panjang. Dalam level organisasi, partai politik merekrut dan melatih pemimpin politik yang potensial dan para kandidat yang akan ditempatkan dalam pemerintahan, memperkenalkan kepada mereka tentang nilai dan norma dari pemerintahan yang demokratis. Secara organisasi, partai politik juga mengartikulasi kepentingan-kepentingan politik para pendukungnya. Pararel dengan perannya sebagai artikulasi kepentingan, partai politik juga berfungsi dalam agregasi kepentingan, menempatkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam bentuk yang komprehensif dan terhubung dan akan menjadi panduan bagi kebijakan pemerintahan jika dan ketika mereka terpilih menjadi partai di pemerintahan. 110 Pada level pemerintahan, partai politik mengorganisasikan cara 109
Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic Linkage. How Party Organize Democracy. op.cit. hal 5
110
Ibid hal 6
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
kerja pemerintahan dengan menciptakan mayoritas suara untuk memenangkan kebijakannya. Partai politik di pemerintahan memiliki tujuan-tujuan kebijakan yang komprehensif yang diklaimnya sebagai mandat dari yang diwakili. Partai politik atau koalisi partai akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dan mengorganisasikan pemerintahan hingga selesai. Mandat para pemilih juga menjadi legitimasi bagi partai dalam mengimplementasikan kebijakan dan akan menjadi kontrol untuk menilai kinerja partai/akuntabilitas apakah sesuai dengan apa yang mereka telah janjikan sebelumnya. Jika partai merupakan oposisi dapat juga berkontribusi untuk mengevaluasi dan mengkritisi keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 111 Hubungan (Linkage) antara partai dan pemilih dapat digambarkan pada gambar berikut ini : 112
Warga
Kampanye : menyeleksi kandidat membentuk debat mengorganisasik an pemilihan
Partisipasi : memobilisasi pemilih
Ideologi : memberikan pilihan kebijakan pilihan pemilih
Representatif : pemilihan menghasilkan pemerintahan perwakilan
Kebijakan : Partai politik menetapkan program-program kebijakan bagi pemilih
Kebijakan
Bagan 1.1 Rantai Hubungan Warga dan Partai Politik •
Penghubung pada Tahap Kampanye (Campaign Linkage) : partai merekrut calon/kandidat dan menyusun parameter-parameter dari proses pemilihan umum
•
Penghubung pada tahap partisipasi (Participatory Linkage) : partai mengaktifkan warga masyarakat selama waktu pemilihan dan memobilisasi mereka untuk memilih
•
Penghubung Ideologi (Ideological Linkage) : Partai menginformasikan kepada pemilih tentang pilihan-pilihan kebijakan dalam pemilihan dan pemilih akan memilih kebijakan-kebijakan tersebut.
•
Penghubung Perwakilan (Representative Linkage) : pemilihan akan memberikan kesesuaian antara pilihan-pilihan kebijakan dari warga
111
Ibid. hal 5-6
112
Ibid. hal 6
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
masyarakat dengan kebijakan-kebijakan partai yang direpresentasikan dalam parlemen maupun di pemerintah. •
Penghubung Kebijakan (Policy Linkage) : partai-partai melaksanakan kebijakan-kebijakan yang mereka tawarkan dalam pemilihan.
2.1.3. Klasifikasi Partai Politik Klasifikasi partai politik dapat dilakukan dengan berbagai cara. jika dilihat dari komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu partai massa dan partai kader. Partai Massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. kelemahan dari partai massa adalah bahwa masingmasing aliran atau kelompok yang bernaung di partai massa cenderung untuk memaksakan kepentingan masing-masing terutama pada saat-saat krisis, sehingga persatuan menjadi lemah bahkan hilang. Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota partai yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. 113 Klasifikasi selanjutnya dapat dilakukan dari segi sifat dan orientasi dalam hal mana partai-partai dapat dibagi dalam dua jenis yaitu : partai lindungan (patronage party) dan partai ideologi/partai azas (programmatic party). 114
2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara 2.2.1. Pengaturan
Partai
Politik
dalam
Peraturan
Perundang-
Undangan Berbagai kelemahan sistem multipartai, menyebabkan banyak negara menempuh kebijakan untuk menyederhanakan sistem partai tersebut melalui persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan 113
Miriam Budiarjo.op.cit hal 166
114
ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tentang Partai Politik.
Menurut Venice Commision, peraturan perundang-
undangan yang khusus mengatur tentang partai politik merupakan perkembangan yang relatif baru, sementara pemahaman tentang pentingnya keberadaan partai politik telah jauh sebelumnya dipahami dan diterima. Meskipun saat ini sudah banyak negara yang konstitusi dan perundang-undangannya secara spesifik mengatur tentang partai politik, namun derajat dari peraturan perundangundangan tersebut sangat bervariasi dikarenakan perbedaan tradisi hukum dan tertib konstitusi.115 Proses pengadopsian partai politik sebagai obyek dalam Undang-Undang dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu : 116 Pertama pada saat semester pertama abad ke 20, tiga negara yaitu Jerman, Finlandia dan juga Austria yang mengalami demokratisasi menjadi bagian dalam tahap pertama disusunnya Undang-Undang tentang partai politik. Meskipun terdapat perbedaan terhadap panjang dan juga detail yang diatur dalam undangundang tentang internal organisasi partai politik. Namun semuanya menyadari perlunya mengatur tentang pendanaan partai politik. Kedua, fase berikutnya adalah dari kesadaran munculnya undang-undang tentang partai politik
bertepatan dengan awal Huntington 'Third Wave', muncul di
Portugal dan Spanyol. Berbeda dengan fase pertama, undang-undang Partai politik di sini tujuan utamanya adalah tidak begitu banyak mengatur tentang pendanaan partai politik, tetapi kebutuhan untuk mengendalikan penciptaan dan aktivitas partai-partai yang mulai berkembang biak dalam lingkungan demokratis baru. baik Portugal dan Spanyol sebagian besar ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pertama hukum berkaitan dengan peraturan partai politik sebagai organisasi itu sendiri. Ketiga, fase ketiga dari Undang-Undang tentang Partai politik pasca perang sangat terkait erat dengan jatuhnya komunisme di Eropa Timur pada awal 90an. Dalam tahap ini,
bertepatan dengan apa yang disebut Fourth Wave of
115
OSCE/ODIHR And Venice Commission. Guidelines On Political Party Regulation. Adopted By The Venice Commission. at its 84th Plenary Session.Venice, 15-16 October 2010. http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDLAD%282010%29024-e.pdf [15 Juli 2012]
116
Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. ‘Party Law in Comparative Perspective’, Working Paper Series on the Legal Regulation of Political Parties. 2012. hal 5
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Democratization. Hubungan antara dua gelombang ini sangat menjurus bahwa tidak ada negara demokrasi Eropa Timur yang tidak terpengaruh oleh proses pengaturan tersebut sejak munculnya Undang-Undang tentang Partai Politik pertama di Hungaria Tahun 1989. Terlebih dikebanyakan kasus, Undang-Undang yang mengatur tentang partai politik diperkenalkan ditahun-tahun pertama terjadinya transisi politik. Van biezen menyebutkan secara umum Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik sebagai dasar hukum operasional partai politik ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang tentang partai politik, undang-undang tentang pendanaan partai politik, Undang-undang tentang pemilihan umum dan undangundang tentang kampanye dan juga peraturan administrasi, penetapan-penetapan dan putusan pengadilan. 117 Konstitusi memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang partai politik, karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi aturan politik melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan kekuasaan. Melalui konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format kelembagaan negara. Aturan hukum lainnya yang sebagai dasar
pembentuk
undang-undang tentang partai politik lebih menargetkan pada aspek nyata dari fungsi dan prilaku partai. Undang-undang yang mengatur tentang partai politik spesifik mengatur tentang internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang partai dalam undang-undang tentang pemilihan umum serta ada pula yang mengatur partai politik dalam berbagai bentuk instrumen hukum. 118 Wolfgang Muller berpendapat bahwa Jerman adalah negara barat yang memiliki peraturan perundang-udangan tentang partai politik dengan sangat detail dan mengikat. 119 Muller bahkan mengatakan bahwa Jerman sebagai the heartland
117
Fransje Molenaar. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17. 2012 hal 2
118
Ibid hal 2
119
Kenneth Janda. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical Perspectives. Adopting Party Law. National Democratic Institute For International Affairs.Washington DC. 2005. hal 17
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
of Party Law. Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik dimulai pertama kali di Jerman pada tahun 1967. 120 Konstitusi Jerman mengatur dan menyebutkan partai politik secara eksplisit dan detail. Dalam konstitusi Jerman article 21 menyebutkan partai politik sebagai 121: Political parties participate in the formation of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They must publicly account for their assets and for the sources and the use of their funds. Undang-Undang tentang partai politik mengatur tentang kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh partai politik. 122 Richard Katz menyatakan bahwa undang-undang tentang partai politik mengatur tentang : 123 1.
Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan partai politik Penentuan ini sering menimbulkan aturan tambahan seperti, siapa yang memenuhi syarat untuk dipilih, siapa yang memperoleh keuntungan dari masyarakat (misalnya subsidi, iklan media), siapa yang berpartisipasi dalam pemerintahan dan bagaimana caranya.
2.
Untuk mengatur bentuk aktivitas dari partai politik Ketentuan ini untuk membatasi peningkatan dan pengeluaran dana, kampanye, platform partai.
3. Untuk memastikan bentuk yang sesuai dari prilaku dan organisasi partai Mengatur pemilihan pimpinan partai, kesetaraan gender dan ras. Undang-Undang tentang Partai Politik memiliki 12 domain pengaturan partai yaitu : 124 (1) Prinsip-prinsip demokratis, (2) Hak-hak dan kebebasan (3) extraparliamentary party; (4) electoral party; (5) parliamentary party; (6) governmental party; (7) aktivitas dan prilaku; (8) identitas dan program; (9) keuangan; (10) akses media; (11) pengawasan eksternal; and (12) Undang-Undang ke dua 120
Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. Op.cit hal 4
121
Kenneth Janda. Op cit hal 14
122
Ibid Hal 3
123
Ibid
124
Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. Op.cit hal 9
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak serta kebebasan meliputi pilihan-pilihan yang mendefinisikan partai politik dalam kunci prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi
atau menyatukan partai-partai dengan hak-hak dan kebebasan
demokratis yang fundamental. Kenneth Janda mengemukakan empat model Undang-Undang tentang Partai politik yaitu : 125 1. The proscription model To proscribe, berarti menyatakan illegal atau melanggar hukum (outlaw). Namun tidak ada dari 159 Undang-Undang tentang partai politik menggunakan kata Illegal atau outlaw. Negara-negara cenderung menggunakan cara penolakan partai politik sebagai badan hukum daripada menggunakan istilah melanggar hukum. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan tidak menyebutkan partai politik secara eksplisit dalam konstitusi. Salah satu contoh adalah Konstitusi Aljazair, article 42 : political parties cannot be founded on a religious, linguistic, racial, sexual, corporatist or regional basis. They may not resort to partisan propaganda pertainingto these elements and they may not in any way submit to any interest or any foreignparty. No political party may resort to violence or constraint, of whatever nature or form 2. The permission model To permit, untuk mengizinkan. Model ini mengizinkan keberadaan dan operasionalisasi partai politik tanpa mengatur secara spesifik tentang keanggotaan partai, bagaimana partai harus diorganisasikan, bagaimana cara memilih pemimpin partai dan bagaimana pendanaan organisasi. Model ini adalah model peraturan partai politik yang minimalis. Sebagai contoh adalah Konstitusi Andora pada article 26 : Andorrans have the right freely to create political parties. Their functioning and organization must be democratic and their activities lawful. The suspension of their activities and their dissolution is the responsibility of the judicial organs. 3. The promotional model To promote, berarti untuk memajukan, mengatur lebih lanjut dan mendorong. Pemerintah terkadang tidak hanya membentuk undang-undang yang mengatur 125
Kenneth Janda. Op.cit. hal 8
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
aktivitas partai tetapi juga mengatur tentang pembentukannya. Biasanya melalui Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang mendukung keberadaan dan kelangsungan sejumlah besar partai politik. Sudah lama diketahui bahwa pemilihan legislative berdasarkan sistem proporsional representative dalam multimember district menghasilkan partai yang lebih banyak jika dibandingkan dengan sistem dimana kursi dimenangkan melalui simple voting pluralities in single-member districts. Bentuk lain adalah dengan pemberian subsidi dan bantuan pendanaan untuk mendukung partai politik. Sebagai contoh Konstitusi Colombia Article 109 : The state will contribute to the financing of the functioning and holding of election campaigns of parties and political bmovements with a legal identity. 4. The protection model To Protect, untuk melindungi dari kehilangan. Bentuk perlindungan yang paling ekstrim adalah perlindungan suatu partai untuk menjadi partai tunggal, seperti yang dilakukan Syria dalam konstitusinya untuk melindungi Partai Ba’th. The leading party in the society and the state shall be the Socialist Arab Ba’th Party. It shall lead a patriotic and progressive front seeking to unify the resources of the people’s masses and place them at the service of the Arab nation’s goals. 5. The Prescription Model To prescribe berarti mengeluarkan perintah, mendikte. Pemerintah mendikte partai melalui Undang-undang tentang kesalahan yang dilakukan partai. Pada kondisi ekstrim, Prescription model mengizinkan rezim untuk seolah-olah menyatakan bahwa mereka menganut sistem multipartai, namun pada kenyataannya mengontrol prilaku dan organisasi partai politik. Organisasi partai politik dapat dibagi menjadi empat kategori yang setiap kategorinya memiliki peran yang khusus-yaitu Partai di luar, partai di arena pemilihan umum, partai di parlemen dan partai dipemerintah. Kategori extraparliamentary meliputi ketentuan-ketentuan yang mengatur operasional struktur internal dari partai politik. Diantara ini adalah peraturan-peraturan
yang
dikhususkan ke dalam demokrasi internal partai politik, yang merefer kepada pemilihan badan partai, akuntabilitas, resolusi partai, konflik dan prosedur untuk memilih calon/kandidat. Kategori ini juga diatur tentang bentuk-bentuk organisasi
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai, status hukum dan perysaratan pendaftaran dan pembentukan partai politik. Kategori ke dua adalah partai politik peserta pemilihan umum. Kategori ini merefleksikan partai politik dalam kompetisi. Prilaku partai-partai dalam parlemen dalam kaitan dengan legislator local dan regional, partisipasi dalam komisi parlementer, staff dan formasi kebijakan adalah subjek dalam kategori partai di parlemen. Disini, semua referensi hukum mengacu pada partai di parlemen di tetapkan. Terakhir adalah kategori partai dipemerintahan yang meliputi referensi bagaimanan eksekutif baik ditingkat lokal, regional maupun nasional di susun. Di bawah kategori aktivitas dan identitas, skema aturan pendaftaran mensyaratkan pengetatan atau larangan beberapa bentuk prilaku atau ideologi yang mendasari partai politik. Banyak peraturan hukum mengandung kondisi yang menghormati hak asasi manusia, larangan untuk menggunakan kekerasan, penyebaran kebencian atau penggunaan metode non demokrasi pada partai politik. Sebagai contoh, Undang-Undang Partai politik di Spanyol melarang partai politik untuk merusak sendi-sendi demokrasi dan bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi. Beberapa negara juga mengatur tentang larangan bentuk partai politik dengan dasar etnis, nasionalis atau agamais. Sementara partai politik tidaklah diikat karena alasan identitas, ada beberapa larangan untuk menerima dana dari institusi agama contohnya di Bulgaria. Pengaturan tentang pendanaan partai politik dapat dibagi menjadi lima sub kategori yaitu : pendanaan public secara langsung, pendanaan publik tidak langsung, pendanaan pribadi, pengaturan tentang pengeluaran, pelaporan dan pembuktian. Kategori yang pertama meliputi jumlah, alokasi dan penggunaan dari pendanaan negara, sementara yang tiga focus pada pembatasan, transparansi dan penggunaan dari dana masyarakat. Persyaratan-persyaratan pendirian partai memiliki pengaruh penting terhadap kompetisi politik dan sistem partai di negara demokrasi. 126 UndangUndang
yang
mewajibkan
partai
politik
untuk
memenuhi
batas
minimum/threshold (misalnya jumlah kandidat dan anggota) telah membatasi akses masuk ke arena politik. 127 126
Anika Gauja. Op.cit hal 14
127
Ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Gauja dalam tulisannya tentang Legislative Regulation, Judicial Politics and the Cartel Party Model menyimpulkan bahwa aspek-aspek pengaturan dalam Undang-Undang yang mengatur tentang partai politik khususnya yang mengatur tentang pendaftaran partai politik dalam pemilu dan akses terhadap suara memiliki pengaruh dalam pembentukan karakter persaingan politik dan sistem partai dalam sistem demokrasi. Lebih lanjut Gauja menjelaskan bahwa undang-undang yang mensyaratkan pembatasan minimum misalnya batasan anggota dan bakal calon, pembayaran deposit sebagai syarat
peserta pemilu serta syarat memperoleh
subsidi memiliki aspek yang sama dengan tesis mengenai partai kartel, yaitu terdapat prilaku kolusif partai incumbent dalam membatasi atau memperketat partai politik lainnya untuk memasuki arena politik dan mengambil kekuasaan. 128 Gaujah menyatakan sebagai berikut : Laws that require parties to meet minimum thresholds (for example, candidates, members or signatures) as well as they payment of deposits in order to contest elections and receive state subventions have a particular resonance with aspects of the cartel party thesis that highlight the collusive behaviour of incumbents in limiting or restricting entry to the political arena and the spoils of the state 2.2.2. Praktek Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara Kebijakan penyederhanaan partai politik banyak dipraktekan di berbagai negara. venice commission mencatat beberapa negara yang menerapkan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui berbagai persyaratan dan juga parliamentary threshold di beberapa negara seperti Rusia, Jerman, Republik Ceko dan juga Turki. Pada studi ini, akan dibahas kebijakan penyederhanaan partai politik di Rusia, Jerman dan Republik Ceko serta di berbagai negara lainnya
sebagai
bahan
perbandingan
dalam
menganalisis
kebijakan
penyederhanaan partai politik di Indonesia.
128
Anika Gauja. Legislative Regulation, Judicial Politics and the Cartel.Party Model. Department of Government and International Relations School of Social and Political Sciences Room 443, Merewether Building The University of Sydney NSW 2006 Australia. 2011.http://sydney.edu.au hal 14. Tesis tentang partai kartel ini dijelaskan oleh Richard S. Katz and Peter Mair (2009) yang menyatakan bahwa partai politik semakin berfungsi seperti kartel, menggunakan sumber daya negara untuk membatasi persaingan politik dan memastikan kesuksesan pemilihan mereka. Richard S. Katz and Peter Mair (2009). The Cartel Party Thesis: A Restatement. Perspectives on Politics, 7. hal 753-766
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2.2.2.1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia Berdasarkan article 3.2 Russian Federation Federal Law on Political Party, persyaratan untuk mendaftar sebagai partai politik adalah : 129 a. Partai politik harus memiliki cabang-cabang regional di lebih dari setengah negara bagian dengan jumlah anggota lebih dari 100, dan minimum anggota di sisa cabang lainnya tidak kurang dari 50 anggota. b. Partai politik harus memiliki minimum 10.000 anggota Pada Tahun 2005, Russian Federation Federal Law on Political Party di Amandemen, dan berdasarkan article 3.2 persyaratan untuk terdaftar sebagai partai politik diperberat, yaitu : 130 a. Partai politik harus memiliki cabang-cabang regional di lebih dari setengah negara bagian, dengan jumlah anggota lebih dari 500 tiap cabang dan di cabang-cabang yang tersisa harus memiliki lebih dari 250 anggota b. Partai politik harus memiliki lebih dari 50.000 anggota untuk terdaftar. a political party shall comprise not less than fifty thousand members of political party, understanding that in more than half of the subjects of the Russian Federation a political party shall have its regional branches comprising not less than five hundred members of political party as is envisaged under Item 6 of Article 23 of this federal law. In the remaining regional branches, the membership of each such branch shall be not less than two hundred and fifty members of political party as is provided under Item 6 of Article 23 of this Federal Law; berdasarkan data dari venice commission, minimum threshold untuk memperoleh kursi di parlemen rusia sebelum tahun 2007 adalah sebesar 5 %, namun threshold meningkat menjadi 7 % pada tahun 2007. 131
129
http://www.cikrf.ru/eng/law/fz95_en_110701.html diunduh 18 November 2012
130
http://legislationline.org/documents/action/popup/id/4375 diunduh 18 November 2012 http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-e.pdf [19 November 2012]
131
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2.2.2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Republik Ceko Berdasarkan Act of Law 424/1991 Coll., on association in political parties and political movements yang telah diamandemen beberapa kali terakhir tahun 2006 132, proposal pendirian partai politik dibuat oleh panitia persiapan pendirian partai politik yang setidaknya terdiri dari tiga orang yang telah berusia di atas 18 tahun. Selanjutnya petisi pendirian partai politik harus ditandatangani oleh setidaknya 1000 warga negara yang menginginkan pendirian partai politik tersebut (article 6.2) Partai politik yang hendak menjadi peserta pemilu diwajibkan untuk mendeposit dana sebesar 200,000 crowns ($6,450). Partai politik harus mendeposit dana tersebut di setiap wilayah pemilihan umum yang akan diikuti. Sehingga jika suatu partai hendak mengikuti pemilihan umum di delapan wilayah, maka mereka harus memiliki deposit dana sebesar 1.6 million crowns (c. $51,600) 1.6 million crowns (c. $51,600) untuk dapat mengikuti pemilu di seluruh wilayah. (article 35.2). 133 Ketentuan tentang Parliamentary Threshold diatur pada article 49. 3 Act of Law 247/1995 Coll., on elections to the Parliament of the Czech Republic 134. Yang mengatur bahwa partai politik harus memperoleh 5-4% suara untuk mendapat kursi, koalisi dua partai harus memperoleh 10 sampai 6 % suara, koalisi tiga partai harus memperoleh 15 sampai 8% suara dan koalisi empat partai harus memperoleh 20 sampai 10% suara dari total keseluruhan suara. 2.2.2.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Jerman Di Jerman, partai politik memiliki status agak ambivalen. Di satu sisi, mereka adalah organisasi swasta, baik terdaftar atau tidak terdaftar organisasi yang didirikan berdasarkan peraturan hukum privat. Di sisi lain, mereka adalah 132
http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1991/424.html [19 November 2012]
133
http://www.osce.org/odihr/elections/czech-republic/16147 article 35.2, kemudian dihapus setelah UU diamandemen http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1995/247.html [19 November 2012]
134
http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1995/247.html [19 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
organisasi publik yang memiliki hak konstitusional tertentu. BL menjamin bahwa partai politik "dapat bebas didirikan. Tidak Ada ketentuan baik dalam konstitusi Jerman 1949 (the Basic Law of the Federal Republic of Germany) atau Law on Political Parties (LPP) yang direvisi tahun 1994, bahwa pembentukan partai politik tidak memerlukan pendaftaran, sehingga dapat diartikan bahwa partai politik di Jerman tidak perlu didaftarkan. 135 Partai politik yang hendak
berpartisipasi dalam pemilihan umum di
Jerman, diharuskan untuk memberitahukan tentang niat mereka ke Federal Returning Officer sebelum pemilihan, kecuali partai-partai yang telah diwakili oleh sedikitnya lima perwakilan di Bunderstag atau di Landtag (parlemen negara) sejak pemilihan terakhir. Pemberitahuan tersebut harus meliputi nama partai dan ditandatangani oleh setidaknya tiga anggota komite eksekutif nasional partai. Persyaratan lainnya adalah anggaran dasar partai, program partai dan bukti formal kepemimpinan. 136 Partai politik diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen berikut ke Federal Returning Officer: 137 (a) anggaran dasar partai dan artikel; (b) program partai, dan (c) nama dan fungsi anggota eksekutif partai dan cabang-cabang lokalnya. Salinan dokumen-dokumen tersedia untuk publik secara gratis. Untuk menjadi peserta pemilu, setiap organisasi di Inggris harus terdaftar di Komisi Pemilihan Umum, jika tidak, mereka hanya dapat mendaftar sebagai calon independen. 138
Berdasarkan section 6.6
Federal Elections Act partai politik
peserta pemilu dapat diikutkan dalam perhitungan kursi apabila memperoleh sedikitnya 5 % suara dari suara sah atau memenangkan kursi untuk setidaknya tiga konstituen. 139
135
CHAU Pak-kwan. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the United Kingdom, New Zealand and Singapore. Research and Library Services Division Legislative Council Secretariat.Hong Kong.2004. hal 5
136
Ibid. hal 6
137
Ibid
138
Ibid hal 16
139
http://www.bundeswahlleiter.de/en/bundestagswahlen/downloads/rechtsgrundlagen/bundeswahl gesetz_engl.pdf [19 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2.2.2.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Negara Lainnya Di banyak negara persyaratan pendirian partai politik pada umumnya meningkat dalam beberapa tahun terakhir, di sebagian negara partai harus berhadapan dengan adanya ketentuan tentang penyediaan dana kampanye publik, dan di sebagian lainnya partai politik harus menghadapi kompleksitas persyaratan birokrasi yang panjang untuk mendaftarkan secara legal sebagai langkah pertama untuk mendapatkan akses suara. Proses pendaftaran partai bervariasi lintas nasional (sebagaimana juga di negara-negara di Amerika) tetapi pada umumnya persyaratan pendaftaran mencakup persyaratan organisasi harus memberikan deposit kepada lembaga pemilihan umum, pernyataan tertulis dari prinsip dan konstitusi partai, peraturan partai, pernyataan tentang struktur organisasi, dan buku aturan, serta daftar pengurus partai, dan nama-nama dari sejumlah minimum tertentu dari anggota partai beserta tanda tangan. terkadang ada persyaratan distribusi regional dan partai perlu mencantumkan jumlah minimum kandidat 140 Di Negara Australia, partai politik harus terdaftar untuk mendapatkan pendanaan berdasarkan the Commonwealth Electoral Act 1918, partai politik haruslah didirikan berdasarkan konstitusi tertulis, memiliki minimal 500 anggota donatur atau satu orang yang menjadi anggota parlemen commonwealth. Anggota partai lain, tidak dapat digunakan oleh partai lainnya untuk mendaftar. Partai politik diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan dari
sumber
pendanaannya dan laporan keuangan partai diaudit oleh Komisi Pemilihan Umum Australia. 141
Di Meksiko, syarat pendaftaran partai politik adalah dengan
menyerahkan dokumen deklarasi prinsip, program dan kegiatan partai, serta peraturan internal partai. Memiliki 3000 anggota yang tersebar setidaknya 10 dari 32 entitas federal atau 300 anggota pada setidaknya 100 dari 300 single member district yang mana negara tersebut dibagi untuk kepentingan pemilihan umum. Di Kanada, partai didaftarkan dengan menyertakan pengurus partai dan deklarasi yang ditandatangani minimum 250 anggota. 142 Sedangkan di negara Austria, 140
Pippa Norris.op.cit. hal 8
141
Ibid.
142
Ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Spanyol dan Uruguay mensyaratkan memiliki 5000 anggota untuk mendirikan partai politik. 143 Pendaftaran partai politik juga tidak diwajibkan di Inggris. Jika suatu organisasi hendak mendaftar sebagai partai politik, maka harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : 144 1. formulir aplikasi memberikan rincian nama partai dan setidaknya dua pejabat partai 2. di mana partai itu harus terdaftar, dan apakah partai akan memiliki unit akuntan; 3. salinan Konstitusi Partai 4. Skema Keuangan, menunjukkan bagaimana partai memenuhi kebutuhan pendanaan 5. Biaya sebesar £ 150 Venice Commision berpendapat bahwa Undang-Undang tentang Partai Politik di Ukraina mengatur persyaratan pendirian partai baru dengan cukup sulit dan berat. Berdasarkan article 10 Undang-Undang tentang Partai Politik Ukraina tahun 2010, untuk membentuk partai baru, haruslah didukung oleh 10.000 tanda tangan dari warga negara Ukraina yang memiliki hak untuk memilih yang haruslah tersebar di 2-3 distrik atau 2 sampai 3 wilayah administratif Ukraina dan di Kota Kyiv dan Sevastopol dan 2 sampai 3 distrik di Republik Otonomi Crimea. 145 Dengan demikian meskipun ada beberapa negara yang tidak mengatur tentang pendirian partai politik secara khusus dalam Undang-Undang tentang Partai Politik, namun kebanyakan negara mengatur tentang syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai politik dengan tingkatan beratnya persyaratan bervariasi mencakup syarat minimum anggota, kepengurusan hingga ketersebaran. 143
OSCE/ODIHR AND VENICE COMMISSION. Op.cit (1) .hal 19
144
ibid hal 20
145
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The Ukrainian Legislation On Political Parties. Adopted By The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July 2002) Hal 3. http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDLAD%282002%29017-e.pdf [15 Juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Persyaratan untuk Mengikuti Pemilihan Umum Dalam permohonan pendaftaran berdasarkan UU Pemilu Kanada tahun 2000, partai politik harus memberikan rincian pemimpin, pejabat partai, agen dan auditor. Partai juga harus menyediakan nama, alamat dan tanda tangan dari 250 pemilih dan deklarasi pembentukan bahwa mereka adalah anggota partai dan mendukung aplikasi partai untuk
terdaftar.
partai juga harus menyerahkan
deklarasi dari pimpinan partai bahwa salah satu tujuan mendasar adalah untuk berpartisipasi dalam urusan publik dengan mendukung satu atau lebih sebagai calon anggota dan mendukung pemilihan mereka. 146 Penerapan batasan pada jumlah donor dapat memberikan kontribusi bagi partai atau calon adalah bentuk umum reformasi keuangan partai politik. Pembatasan kontribusi didasarkan pada prinsip untuk mengurangi disparitas pengaruh politik antara pendonor besar, pendonor kecil, dan non-donors. Beberapa
negara
juga
melakukan
pembatasan
terhadap
sumber-sumber
pendanaan. Negara Eropa beberapa, seperti Spanyol dan Perancis, misalnya, melarang atau membatasi sumbangan perusahaan kepada partai politik. Batas partai dan kandidat pengeluaran juga umum. Dalam upaya untuk tingkat lapangan antara partai, pemerintah memberlakukan plafon total pengeluaran, biasanya dilaksanakan hanya selama masa kampanye. 147 Persyaratan nilai parliamentary Threshold dipraktekkan secara beragam di berbagai negara. Di negara-negara Eropa, PT bervariasi antara 10%-0%. Turki adalah negara dengan PT tertinggi yaitu sebesar 10%. Rusia sejak 2007, menerapkan PT 7%, Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia menerapkan PT 5%, sementara negara Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia menerapkan PT sebesar 4%, Spanyol, Yunani, Rumania dan Ukraina menerapkan PT sebesar 3%, Denmark sebesar 2% dan Belanda 0.67%. 148 146
Anika Gauja. op.cit hal 6
147
Peter M.Manikas and Laura L. Thornton Political Parties in Asia Promoting Reform and Combating Corruption in Eight Countries .National Democratic Institute for International Affairs. 2003 hal 12
148
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Report On Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which Bar Parties From Access To
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Alasan utama untuk memperkenalkan ambang batas
adalah untuk
mencegah fragmentasi lebih lanjut dari spektrum politik. Efeknya adalah bahwa partai-partai kecil memiliki kesulitan untuk memperoleh kursi. Electoral threshold juga merupakan kendala penting bagi partai minoritas Untuk menurunkan threshold atau bahkan menghapuskan. Di Serbia partai minoritas gagal melewati ambang batas 5% pada pemilihan
parlemen
2003. Setelah
penghapusan dari ambang batas pada tahun 2004 lima partai minoritas yang mewakili Hongaria, Bosnia, Albania dan Roma kembali ke Parlemen dalam pemilu 2007. Di Polandia dan Jerman ambang 5% tidak berlaku untuk partai minoritas. Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam kasus Yumak dan Sadak v Turki, yang akan diinginkan untuk menurunkan threshold 10% diterapkan untuk Turki untuk memastikan optimal representasi. Venice commission menyatakan bahwa ambang pemilu tidak boleh mempengaruhi kemungkinan minoritas nasional untuk diwakili. Penurunan atau bahkan pencabutan ambang batas untuk partai minoritas dapat dibenarkan. 149 2.2.3. Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik Hak kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan dasar berfungsinya demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Partai politik sebagai instrumen dalam menyatukan ekspresi politik haruslah dapat menikmati hak-hak tersebut secara utuh. Seperti yang telah dirangkum oleh Venice Commission dalam Pedomannya bersama OSCE/ODHIR : 150 Parties have developed as the main vehicle for political participation and contestation by individuals, and have been recognized by the European Court of Human Rights as vital to the functioning of democracy. The Parliamentary Assembly of the Council of Europe has further recognized that political parties Parliament (II). Adopted by the Council for Democratic Elections at its 32nd meeting. (Venice, 11 March 2010).and by the Venice Commission at its 82nd plenary session. (Venice, 12-13 March 2010).http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-e.pdf hal 5 [15 Juli 2012] 149
ibid
150
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The Law On Political Parties Of The Russian Federation. Adopted by the Council for Democratic Elections at its 40th meeting (Venice, 15 March 2012). and by the Venice Commission at its 90th Plenary Session .(Venice, 16-17 March 2012). http://www.venice.coe.int/docs/2012/CDL-AD%282012%29003-e.pdf [16 Juli 2012] hal 3
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
are “a key element of electoral competition, and a crucial linking mechanism between the individual and the state” by “integrating groups and individuals into the political process…” As required by the Copenhagen Document, paragraph 3, political pluralism, as fostered by competition and opposition parties, is critical to the proper functioning of democracy.” Menurut Venice Commission tidaklah perlu demokrasi memiliki hukum tertentu yang mengatur partai politik. Namun, ketika hukum tersebut ada, seharusnya tidak "terlalu menghambat aktivitas atau hak partai politik". Undang-undang harus, sebaliknya, memfasilitasi peran partai politik sebagai aktor penting dalam demokrasi yang berfungsi dan menjamin perlindungan penuh hak-hak mereka. 151 Pada prinsipnya hukum harus memperlakukan semua partai secara sama, bukan membatasi atau diskriminasi untuk atau terhadap jenis tertentu dari partai, baik karena filsafat politik mereka, prinsip, atau program partai. Partai politik yang berbeda, kelompok, atau asosiasi harus memiliki hak untuk mengatur dan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Aktivis partai harus bebas untuk menyatu melalui pertemuan damai dan demonstrasi, pemimpin partai seharusnya bebas untuk menyebarluaskan dan mempublikasikan pandangan mereka, pengurus partai harus memiliki otonomi untuk mengelola urusan internal mereka, dan kandidat harus memiliki hak berkampanye untuk mendapatkan jabatan publik 152. Untuk lebih menyederhanakan perbandingan, tingkat regulasi hukum yang mengatur partai politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe ideal atau kategori analitis yaitu : 153 1. Monopolistik, secara eksplisit peraturan perundang-undangan condong terhadap partai yang berkuasa, membatasi semua partai oposisi dan gerakan penentang, untuk menopang rezim represif dan satu partai negara. 2. Kartel, menghormati hak asasi manusia secara umum tetapi tetap saja mereka membatasi kompetisi partai melalui berbagai praktek pembatasan dirancang untuk menguntungkan partai mapan di parlemen atau di pemerintahan. Peraturan ini termasuk persyaratan untuk mendapatkan suara, peraturan yang 151
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).op.cit Hal 4
152
Pippa Norris.Building political parties: Reforming legal regulations and internal rules.Harvard University Report commissioned by International IDEA 2004.hal 5
153
Ibid .Hal 5
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mengatur alokasi umum pendanaan, dan hak untuk kampanye gratis dan subsidi negara. Kartel dirancang untuk condong terhadap sumber daya internal, dengan ambang batas suara yang tinggi dan efektif melindungi terhadap penantang luar. 3. Terakhir, peraturan yang paling egaliter dirancang untuk memfasilitasi kompetisi jamak partai di antara beberapa pesaing, dengan akses yang sama terhadap sumber daya publik dan pembatasan hukum yang minimal pada partai. Venice Commission telah menyusun sepuluh prinsip-prinsip yang menjadi panduan dalam menyusun peraturan perundang-undangan tentang partai politik, yaitu : 154 1. Prinsip hak individu untuk berserikat Hak seseorang untuk berserikat dan membentuk partai politik harus sepenuhnya bebas dari pengaruh. Meskipun ada pembatasan terhadap hak untuk berasosiasi, pembatasan tersebut haruslah disusun secara ketat dan hanya karena alasan yang meyakinkan pembatasan tersebut dapat dilakukan. Pembatasan
haruslah
diatur
dalam
undang-undang,
diperlukan
oleh
masyarakat demokrasi, dan bernilai proporsional. Bergabungnya seseorang dengan partai politik haruslah terjadi secara sukarela dan tidak ada unsure paksaan bagi seseorang untuk bergabung dalam suatu partai politik 2. Kewajiban negara untuk melindungi hak individu akan kebebasan berserikat. Ini merupakan tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa perundangundangan yang relevan menetapkan mekanisme yang penting untuk memberikan jaminan kebebasan seseorang untuk berserikat dan mendirikan partai politik. Lebih lanjut, negara mempunyai tanggung jawab, untuk menetapkan perundang-undangan untuk melarang interfensi dari pihak-pihak di luar negara ataupun dari pemerintah sendiri. Ketika terjadi pelanggaran terhadap hak untuk berserikat, maka negara harus melakukan tindakan perbaikan yang sesuai untuk menghentikan pelanggaran tersebut. 3. Prinsip Legalitas
154
OSCE/ODIHR And Venice Commission. Op.cit (1).
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Setiap pembatasan terhadap hak individu untuk berserikat dan berekspresi harus mempunyai landasan yuridis berdasarkan konstitusi ataupun undangundang. Pembatasan-pembatasan bukanlah berasal dari kegiatan politik partisan, namun merupakan keinginan yang sah dari masyarakat demokratik. Konstitusi dan perundang-undangan haruslah menghormati hak untuk berserikat yang ada di peraturan-peraturan internasional. Hukum harus jelas dan tepat, menunjukkan kepada partai politik baik kegiatan apa saja yang dianggap melanggar hukum dan apa sanksi yang tersedia dalam kasus pelanggaran. Undang-undang partai politik harus diadopsi secara terbuka, setelah perdebatan, dan tersedia kesempatan
untuk ditinjau publik untuk
memastikan individu dan partai politik menyadari hak mereka dan pembatasan hak-hak tersebut. 4. Prinsip Proporsionalitas Pembatasan yang dikenakan pada hak-hak partai politik harus proporsional secara alami dan efektif untuk mencapai tujuan tertentu mereka. Terutama dalam hal partai politik, diberikan peran fundamentalnya dalam proses demokrasi, proporsionalitas harus hati-hati ditimbang dan diterapkan secara ketat. Sebagaimana dinyatakan di atas, satu-satunya pembatasan dikenakan harus yang diperlukan dalam suatu masyarakat yang demokratis dan ditentukan oleh hukum. Jika pembatasan tidak memenuhi kriteria tersebut, mereka tidak dapat dianggap sebagai proporsional dengan pelanggaran. Pembubaran partai politik, atau pembatasan pembentukan partai politik, merupakan sanksi paling ekstrim dan tidak boleh dikenakan kecuali ukuran tersebut adalah proporsional dan diperlukan dalam masyarakat demokratis. 5. Prinsip Non-Diskriminasi Peraturan
perundang-undangan
tentang
partai
politik
haruslah
tidak
mendiskriminasi setiap individu atau grup atas dasar apapun, misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, kebangsaan atau asal-usul sosial, kekayaan, kelahiran, orientasi seksual, atau lain status. Hak individu untuk bebas asosiasi tidak membuatnya dapat mengharuskan partai politik diminta untuk menerima anggota yang tidak
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
berbagi inti keyakinan dan nilai-nilai. Namun prinsip non-diskriminasi oleh partai politik dimungkinkan jika dilakukan secara sukarela. 6. Prinsip Perlakuan yang Sama Semua individu dan kelompok yang berusaha membentuk partai politik harus dapat memiliki dasar perlakuan yang sama dimata hukum. Tidak ada individu atau kelompok yang ingin mengasosiasikan sebagai partai politik harus diuntungkan atau dirugikan dalam usaha ini oleh negara, dan peraturan tentang partai politik haruslah seragam diterapkan untuk semua partai. Untuk menghilangkan kesenjangan historis langkah-langkah dapat diambil untuk menjamin kesempatan yang sama bagi perempuan dan minoritas. Sementara tindakan khusus yang bertujuan mempromosikan kesetaraan de facto untuk perempuan dan etnis, ras atau lainnya minoritas mengalami diskriminasi masa lalu dapat ditetapkan dan tidak boleh dianggap diskriminatif. 7. Prinsip pluralisme politik Legislasi tentang partai politik harus bertujuan untuk memfasilitasi pluralisme politik. memfasilitasi warga negara untuk menerima berbagai pandangan politik, seperti melalui ekspresi platform partai politik, umumnya diakui sebagai elemen penting dari masyarakat demokrasi. Yang dibuktikan dengan ayat 3 dari Dokumen Kopenhagen dan komitmen OSCE lain, pluralisme diperlukan untuk memastikan individu ditawarkan pilihan yang nyata dalam asosiasi politik mereka. Fungsi peraturan partai politik harus dipertimbangkan dengan cermat untuk memastikan mereka tidak melanggar atas prinsip pluralisme politik. 8. Prinsip administrasi yang baik dari perundang-undangan tentang partai politik. Pelaksanaan undang-undang yang relevan dengan partai politik harus dilakukan oleh badan yang bebas dan ketidakberpihakan dijamin baik dalam hukum maupun dalam praktek. Ruang lingkup dan kewenangan badan hukum harus secara eksplisit ditentukan oleh hukum. Legislasi juga harus memastikan bahwa badan pelaksana wajib menerapkan hukum secara obyektif dan tidak sewenang-wenang. Ketepatan waktu merupakan salah satu unsur administrasi yang baik. Keputusan yang mempengaruhi hak-hak partai politik
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
harus
dilakukan secara cepat, terutama keputusan-keputusan yang terkait dengan sensitif waktu, seperti pemilu. 9. Prinsip hak untuk mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak. Partai politik harus memiliki jalan lain untuk sebuah pemulihan hak yang efektif. Untuk semua keputusan yang mempengaruhi hak-hak dasar mereka, termasuk yang berserikat, berekspresi dan berpendapat. Apabila hak tersebut diberikan kepada individu, mereka umumnya dilaksanakan secara kolektif, yang membutuhkan bantuan karena untuk dugaan pelanggaran membawa tidak hanya oleh individu tetapi oleh partai secara keseluruhan. Dalam penerapan hak-hak ini, partai politik
juga harus memperoleh hak atas
perlindungan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Ganti rugi yang tepat dan efektif harus tersedia bagi partai jika setiap pelanggaran yang ditemukan telah terjadi. Prinsip efektivitas mensyaratkan bahwa beberapa pemulihan diberikan secepatnya. Pemulihan yang tidak disediakan dalam tepat waktu tidak cukup untuk memenuhi persyaratan bahwa pemulihan menjadi efektif. 10. Prinsip Akuntabilitas Partai politik dapat memperoleh hak hukum tertentu, karena terdaftar sebagai politik partai, yang tidak diberikan kepada organisasi lain. Hal ini terutama berlaku di bidang keuangan dan akses ke berbagai media selama kampanye pemilu. Sebagai hasil dari memiliki hak tidak diberikan kepada asosiasi lain, adalah tepat untuk menempatkan kewajiban tertentu pada partai politik karena diperoleh
status
hukum
mereka.
Kewajiban
tersebut
dapat
berupa
pemberlakuan persyaratan pelaporan atau transparansi dalam pengaturan keuangan. perundang-undangan harus memberikan rincian khusus mengenai hak-hak yang relevan dan tanggung jawab yang menyertai didapatkannya status hukum sebagai partai politik.
2.3. Konsep Sistem Multipartai Sederhana Di zaman sekarang ini, terutama sejak awal abad ke-20, muncul kecenderungan bahwa sistem partai tunggal dan sistem dua partai itu semakin popular. Sebaliknya, sistem multipartai seperti yang banyak diterapkan di berbagai negara yang menganut sistem kabinet justru banyak menghadapi kritik
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
karena kelemahan-kelemahannya yang kurang menjamin stabilitas. Karena itu dapat dikatakan bahwa muncul dan berkembangnya sistem partai tunggal dan sistem dua partai itu, bersamaan dengan semakin kurang populernya sistem banyak partai,
juga menjadi salah satu sebab yang mendorong terjadinya
pergeseran kekuasaan dari parlemen ke pemerintah dalam perkembangan sejarah abad ke-20. 155 Perdebatan normatif tentang kelebihan dan kekurangan dari sistem-sistem partai dikemukan oleh Daniele Caramani sebagai berikut
156
:
Tabel 1.1 Perdebatan Normatif : Kelebihan dan Kekurangan Sistem Dwi- Partai dan Sistem Multipartai Sistem Dwi-Partai
Sistem Multipartai
Konotasi Sejarah Positif Sistem Dwi-Partai adalah kasus utama yang tahan terhadap perpecahan demokrasi antara Perang Dunia I dan Perang Dunia Dua : Inggris dan Amerika Efektif pemerintahan yang dihasilkan setelah pemilihan adalah pemerintahan yang stabil karena dibentuk oleh partai yang tunggal Akuntabel karena hanya ada satu partai di pemerintahan, maka tanggungjawab dapat diidentifikasi dengan mudah Alternasi (Pergantian) dua partai utama saling bergantian memegang kekuasaan, perolehan suara mempengaruhi langsung formasi pemerintahan . sedikit peningkatan dapat menyebabkan perubahan pemerintahan. Tidak Representatif FPTP dibawah perwakilan minoritas dan di atas perwakilan partai mainstream yang besar dari kiri-kanan Politik Moderat
Konotasi Sejarah Negatif setelah Perang Dunia I di Italia, Weimar Jerman, Republik Ke II Spanyol dan Republik Ke IV Perancis (1946-56) mengalami Krisis demokrasi Tidak Efektif pembentukan pemerintahan butuh waktu yang panjang setelah pemilihan karena negosiasi antar partai. Koalisi membuat pemerintahan yang tidak stabil Tidak Akuntabel dikarenakan pemerintahan dibentuk dari banyak partai, maka tanggungjawab menjadi kabur Tidak Alternasi (tidak ada Pergantian) negosiasi koalisi jauh dari jangkauan pengaruh perolehan suara dan peningkatan perolehan suara tidaklah serta merta diikuti oleh perubahan pemerintahan Representatif PR secara fair mrepresentasikan minoritas dari masyarakat dengan ethnolingusitic dan minoritas agamais Politik Ekstrim
155
Jimly Asshiddiqie. op.cit(4). hal 51
156
Daniele Caramani, op cit. hal 331
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Sistem Dwi-Partai
Sistem Multipartai
semua partai utama mempunyai kesempatan untuk memerintah dan menghindari adanya claim yang ekstrim. Membutuhkan perolehan yang besar dari pemilihan Tidak Berkelanjutan keputusan dibuat oleh mayoritas dengan strategi yang jelas namun putusan tersebut kemungkinan tidak akan diulangi oleh pemerintah terpilih berikutnya. Legislasi sering dibalikkan
sistem multipartai memungkinkan hadirnya anti sistem partai yang ekstrim. Beberapa tidak memiliki prospek pemerintahan dan tidak ragu-ragu untuk meradikalkan klaim mereka Berkelanjutan keputusan dibuat dari hasil consensus melalui konsultasi. Lebih sulit untuk menemukan strategi yang jelas namun lebih berkelanjutan dalam legislasi.
Sistem multipartai memiliki beberapa keunggulan dibanding sistem partai lainnya, diantaranya sistem multipartai lebih mewakili keinginan rakyat banyak. Semakin banyak jumlah partai, maka semakin banyak pilihan bagi pemilih. Selain itu sistem multipartai adalah bentuk yang lebih baik dalam mewakili kepentingan minoritas. 157 Namun demikian sistem multipartai, menurut para ahli memiliki banyak kelemahan. Scot Mainwarring menyatakan bahwa kombinasi antara sistem presidensil dan sistem multi partai membuat demokrasi yang tidak stabil. 158 The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain. Dari hasil penelitiannya, tidak ada dari 31 negara demokrasi yang stabil di dunia mempunyai konfigurasi ini dan hanya satu contoh negara dalam sejarah, yaitu Chili antara 1933 ke 1973 yang mampu stabil dengan sistem presidensil dan multipartai. 159 Kombinasi antara presidensil dan multipartai akan menghasilkan imobilisasi eksekutif/ legislative deadlock daripada sistem parlementer atau sistem presidensil-sistem dwi-partai. Presiden dipilih secara independen dan ketika
157
Lowell. Barington. Comparative Politics.Structure and Choices. Wadsworth Cengage Learning. Boston. 2012. hal 264
158
Scott Mainwaring. Op.cit (1) . 1993. hal 199
159
Ibid hal 199
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pemenang tidak berasal dari partai mayoritas sehingga presiden tidak didukung mayoritas parlemen. 160 Tendensi menuju eksekutif-legislatif deadlock terjadi pada kombinasi antara sistem presidensil dan multipartai terutama dengan sistem partai dengan fragmentasi yang tinggi. Presiden sering tidak didukung oleh legislatif yang mengakibatkan terganggunya stabilitas demokrasi dan pemerintahan yang efektif. 161 Selain itu sistem presidensil menyebabkan sistem multipartai tidak berfungsi secara baik dikarenakan bangunan koalisi. Dalam sistem multipartai, koalisi antar partai menjadi penting untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tiga faktor yang menyebabkan sulitnya dibangun koalisi antar partai dalam sistem presidensil adalah : 162 Pertama,
dalam
sistem
presidensil,
presiden
(bukan
partai)
yang
bertanggungjawab untuk membentuk kabinet. Presiden dapat saja membuat kesepakatan dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan ini tidaklah semengikat kesepakatan yang dibuat dalam sistem parlementer. Presiden lebih bebas merombak kabinet yang menyebabkan lebih mudah kehilangan dukungan kongres, karena rendahnya ikatan antara presiden ke partai, maka partai-partai pun akan rendah pula ikatannya kepada presiden. Kedua, dalam sistem presidensil, komitmen dari para legislator secara individu untuk mendukung hasil kesepakatan pemimpin partai seringlah tidak konsisten dan tidak disiplin. Akibatnya tidaklah mungkin untuk digeneralisasi bagaimana dukungan partai terhadap pemerintahan dalam bentuk dukungan tiap individu dalam parlemen. Ketiga, dorongan kepada partai untuk memecah koalisi lebih kuat pada sistem presidensil dibanding sistem parlementer. Dalam sistem presidensil-multipartai, pada saat presiden terpilih, para pemimpin partai umumnya merasa perlu untuk membuat jarak kepada pemerintahan. Dengan menyisakan partner tersembunyi dalam pemerintahan koalisi, para pemimpin partai merasa takut kehilangan
160
Ibid hal 214
161
Ibid hal 215
162
Ibid hal 220
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
identitasnya, membagi kesalahan yang dibuat pemerintah dan tidak menikmati prestasi yang dicapai. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam sub bab sistem kepartaian, para ahli membagi sistem multipartai menjadi sistem multipartai sederhana (moderate) dan sistem multipartai ekstrim sebagaimana yang dikemukakan oleh Sartori. sistem multipartai sederhana terdiri dari 3 sampai 5 partai yang relevan, sedangkan sistem multipartai terpolarisasi (ekstrim) terdiri dari 6 sampai 8 partai politik yang relevan. 163 Partai politik yang relevan adalah partai yang memperoleh 3% atau lebih di parlemen setelah pemilihan umum. 164 Sartori memperhalus kategori sistem multipartai dikarenakan dia menyadari bahwa kontra terhadap opini Duverger bahwa sistem multipartai tidaklah sama. sebagian sistem multipartai (pluralisme moderat) berfungsi layaknya sistem dua partai (dan inilah mengapa disebutkan bahwa sistem ini adalah sistem bipolar yang dinamis), sementara sistem multipartai lainnya sangat berbeda dari sistem dua partai. dan dalam pandangan Sartori sistem ini adalah pluralisme yang terpolarisasi. 165 Sartori menemukan bahwa karakteristik struktural dari pluralisme terpolarisasi dicirikan oleh hadirnya lebih dari lima partai politik yang relevan dengan derajat polarisasi ideologi yang tinggi, dengan adanya partai anti pemerintah, dengan hadirnya oposisi bilatelar, dengan kenyataan bahwa oposisi tidaklah bertanggungjawab. 166 Siaroff membagi lagi sistem multipartai moderate menjadi sistem multipartai moderate dengan satu partai dominan (moderate multiparty with one dominant party), moderate multiparty with two main parties, moderate multiparty with a relative balance amongst the parties. 167 sistem multi partai cenderung 163
Wen Cheng Wu. Duverger Hypothesis Revisited. Department of Political Science, Soochow University, Taipei . 2001. hal 48. Bagaimanapun juga Wen Cheng Wu mengemukakan bahwa jumlah partai politik bukanlah yang utama, namun jumlah partai yang relevan membentuk ataupun menghambat koalisilah yang perlu untuk dihitung.
164
alan ware. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. 1996. hal 159
165
http://ink.library.smu.edu.sg/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&context=soss_research dunduh 20 november 2012] 166 http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5213.pdf [dunduh 20 november 2012] 167
http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5213.pdf [dunduh 20 november 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
menyerupai dan meniru mekanisme dan karakteristik dari dua partai sistem. Vis-àvis sifat dari sistem dua partai, sifat penting yang membedakan sistem multi partai moderat adalah pemerintah koalisi. Tetapi struktur sistem multi partai moderat tetap bipolar (bukan segitiga) dan oposisi tetap unilateral (bukan bilateral). Sistem multi partai moderat dicirikan oleh koalisi alternatif-satu di kanan dan yang lain di sebelah kiri. Pusat dari sistem ini adalah kosong. Sistem multi partai moderat kurang relevan anti-sistem partai baik di ekstrim kanan atau ekstrem kiri. Semua partai berorientasi kepada pemerintahan, sehingga mudah terbentuk koalisi. Dan koalisi biasanya cukup stabil dan kabinet jarang rusak dan reshuffle. 168 Daniel caramanie mengemukakan ciri dari Jumlah partai politik terbatas, dibawah 5 partai dan arah kompetisi sentripetal, yang berarti partai-partai utama cenderung menyatu ke arah pusat dari kiri-kanan untuk mendapat dukungan dalam pemilihan umum. Pada titik pusat, terdapat satu partai kecil atau beberapa partai yang akan membentuk koalisi ke masing-masing sisi. Peran dari partaipartai kecil ini amatlah penting, yang akan menentukan kecenderungan koalisi apakah ke arah kiri atau kanan. Jarak ideologi tidaklah jauh sehingga koalisi masih memungkinkan. 169
2.4. Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara Daniel Caramani dalam tulisannya menghimpun negara-negara yang menganut sistem multipartai sederhana, diantaranya adalah negara-negara pada tabel berikut ini : Tabel 2.1 Negara dengan E (ENVP) antara 3 sampai 5 170 No 1 2 3 4 5
Negara Canada Czech Republic Finlandia Jerman Irlandia
168
Wen Cheng Wu. op.cit. hal 48
169
Daniele caramani. hal 330 Caramani hal 33
170
Tahun Pemilu 2006 2006 2003 2005 2002
ENVP 3.2 3.1 4.9 4.1 3.3
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
6 7 8 9 10
Belanda Norwegia Polandia russia Swedia
2003 2005 2005 2003 2002
4.8 4.6 4.3 3.4 4.2
dalam studi ini, akan dikaji lebih dalam sistem multipartai sederhana di negara Rusia, Republik Ceko dan Jerman, agar terdapat kesinambungan antara kebijakan penyederhanaan partai politik di negara-negara tersebut yang telah dibahas pada Sub Bab sebelumnya. 2.4.1. Sistem Multipartai Sederhana di Rusia Pemilu tahun 2003 diikuti oleh lebih dari 24 partai politik, dan berdasarkan minimum threshold 5 %, maka sebanyak 12 partai politik memperoleh kursi di Parlemen. Berdasarkan perhitungan Nilai ENPP dengan rumus dari Laakso dan Tagepera, diperoleh angka ENPP sebesar 3.38 yang berarti pada pemilu 2003 telah menciptakan Sistem Multipartai Sederhana (Moderate Multiparty System) di Rusia. Jumlah Partai Efektif di Parlemen 3 sampai 4 Partai. Partai United Russia berhasil memperoleh kursi terbanyak, yaitu sebesar 49.55%, diikuti oleh communist party 11.55%, Rodina 8.22% dan Zhirinovsky Bloc 8%. Tabel 2.2. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2003 di Rusia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Partai United Russia Communist Party Zhirinovsky Bloc Rodina Yabloko Union of Rightist Forces Agrarian Party Russian Pensioners' Party-Party of Social Justice Party of Russia's Rebirth-Russian Party of Life People's Party Unity New Course–Automobile Russia
Jumlah Kursi 223 52 36 37 4 3 2 0
% Jumlah Kursi (si) 0.496 0.116 0.080 0.082 0.009 0.007 0.004 -
0.25 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 -
3
0.007
0.00
17 0 1
0.038 0.002
0.00 0.00
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
si2
No
Nama Partai
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Jumlah Kursi 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0
% Jumlah Kursi (si)
si2
For a Holy Russia Russian Ecological Party "The Greens" Development of Enterprise 0.002 0.00 Great Russia–Eurasian Union 0.002 0.00 Genuine Patriots of Russia Peace and Unity United Russian Party Rus' Democratic Party of Russia Russian Constitutional Democratic Party Union of People for Education and Science 23 People's Republican Party 0 24 Other parties 0 25 Independents 67 0.149 0.02 26 kursi kosong 3 0.007 0.00 Total 450 0.30 ENPP 3.38 Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2003 171 Pada pemilu tahun 2007, 11 partai politik menjadi peserta dan dengan threshold 7%, hanya 4 partai politik yang dapat memperoleh kursi di parlemen. perhitungan nilai ENPP sebesar 1.98 menunjukkan bahwa pemilu tahu 2007 telah menciptakan sistem satu partai atau multiparty systems with a predominant party (multipartai dengan satu partai dominan). United Rusia berhasil memperoleh kursi lebih dari 70%, diikuti oleh Communist Party of the Russian Federation 12.67%, Liberal Democratic Party of Russia 8.89% dan A Just Russia 8.44%. Tabel 2.3. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2007 di Rusia No
Nama Partai
Jumlah
% Jumlah
Kursi
Kursi (si)
si2
1
United Russia
315
0.700
0.49
2
Communist Party of the Russian
57
0.127
0.02
Federation
171
Wikipedia. Russian legislative election, 2003. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2003 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No
Nama Partai
Jumlah
% Jumlah
Kursi
Kursi (si)
si2
3
Liberal Democratic Party of Russia
40
0.089
0.01
4
A Just Russia
38
0.084
0.01
5
Agrarian Party of Russia
0
-
-
6
Russian Democratic Party "Yabloko" (
0
-
-
7
Civilian Power
0
-
-
8
Union of Rightist Forces
0
-
-
9
Patriots of Russia
0
-
-
10
Party of Social Justice
0
-
-
11
Democratic Party of Russia
0
-
-
Total
450
0.52
ENPP
1.92
Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2007 172 Jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu pada tahun
2011
kembali menurun, pemilu 2011 hanya diikuti oleh 7 partai politik dan 4 diantaranya berhasil memperoleh kursi di parlemen. Perhitungan nilai ENPP didapat sebesar 2.80 menunjukkan bahwa pemilu 2011 menciptakan sistem multipartai sederhana dengan 2 sampai 3 partai efektif di parlemen. United Russia memperoleh 52.89% kursi, Communist Party 20.44%, A just Rusia 14.22%, Liberal Democratic Party 12.44%. berdasarkan klasifikasi sistem partai Blondel, sistem kepartaian di rusia juga dapat disebut sistem multipartai dengan 1 partai dominan yaitu united russia yang memperoleh lebih dari 50% kursi di Parlemen. Tabel 2.4. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2011 di Rusia No
Nama Partai
Jumlah
% Jumlah
Kursi
Kursi (si)
172
si2
Wikipedia. Russian legislative election, 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2007 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No
Nama Partai
Jumlah
% Jumlah
Kursi
Kursi (si)
si2
1
United Russia
238
0.529
0.28
2
Communist Party
92
0.204
0.04
3
A Just Russia
64
0.142
0.02
4
Liberal Democratic Party
56
0.124
0.02
5
Yabloko
0
-
-
6
Patriots of Russia
0
-
-
7
Right Cause
0
-
-
Total
450
ENPP
0.36 2.80
Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2011 173 Dari data di atas, jika dikaitkan dengan kebijakan penyederhanaan partai politik di rusia, dapat dikatakan bahwa beratnya persyaratan untuk terdaftar sebagai partai politik yaitu harus mempunyai 50.000 anggota dan tingginya nilai parliamentary threshold (7%) telah mengakibatkan penurunan jumlah partai politik peserta pemilu dan juga partai politik yang memperoleh kursi di parlemen rusia sehingga menciptakan sistem multipartai sederhana dan bahkan pada pemilu tahun 2007 telah menciptakan sistem 1 partai (predominant party system). 2.4.2. Sistem Multipartai Sederhana di Republik Ceko pada pemilu tahun 1998, diikuti oleh 13 Partai politik. ketentuan Parliamentary Thershold sebesar 5% menyebabkan hanya 5 partai politik yang memperoleh kursi di Parlemen. Czech Social Democratic Party memperoleh 37% kursi, diikuti dengan Civic Democratic Party 32%, Communist Party of Bohemia and Moravia 12%, koalisi KDU dan CSL 10%, serta Freedom Union 10%. Nilai ENPP pemilu tahun 1998 sebesar 3.71 menunjukkan bahwa pemilu 1998 telah menciptakan sistem multipartai sederhana di Republik Ceko dengan 3 sampai 4 partai efektif di Parlemen. 173
Wikipedia. Russian legislative election, 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2011 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 2.5. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1998 di Republik Ceko No Partai
Perolehan % perolehan Kursi kursi (si) 74 0.37 63 0.32 24 0.12
1 2 3
si2
Czech Social Democratic Party 0.137 Civic Democratic Party 0.099 Communist Party of Bohemia 0.014 and Moravia 4 KDU-ČSL 20 0.10 0.010 5 Freedom Union 19 0.10 0.009 6 SPR-RSČ 0 7 Pensioners for Life Security 0 8 Democratic Union 0 9 Green Party 0 10 Independents 0 11 Moravian Democratic Party 0 12 Czech National Social Party 0 13 Civic Coalition - Political Club 0 total 200 0.270 ENPP 3.710 Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_1998 174 Jumlah peserta pemilu bertambah pada tahun 2002 sebanyak 28 partai dan hanya 4 partai yang berhasil memperoleh kursi di Parlemen Czech Social Democratic Party memperoleh 35% kursi, Civic Democratic Party 29% kursi, Communist Party of Bohemia and Moravia, 21%, dan koalisi KDU-ČSL-USDEU 16%. Perhitungan nilai ENPP sebesar 3.67 menunjukkan tidak ada perubahan sistem partai dari pemilu sebelumnya yaitu 3 sampai 4 partai efektif di parlemen. Tabel 2.6. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Ceko No 1 2
Partai Czech Social Democratic Party Civic Democratic Party
Perolehan Kursi 70 58
% perolehan kursi (si) 0.35 0.29
174
si2 0.123 0.084
Wikipedia. Czech_legislative_election 1998. http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_1998 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No 3
Partai
Perolehan Kursi 41
% perolehan kursi (si) 0.21
Communist Party of Bohemia and Moravia 4 KDU-ČSL-US-DEU 31 0.16 5 Union of Independents 0 6 Green Party 0 7 Republicans of Miroslav Sládek 0 8 Rural Party 0 9 Party for a Secure Life 0 10 Czech National Social Party 0 11 Hope 0 12 Right Bloc 0 13 Civic Democratic Alliance 0 14 Choice for the Future 0 15 Path of Change 0 16 Moravian Democratic Party 0 17 Common Sense Party 0 18 AZSD 0 19 BPS 0 20 Humanist Alliance 0 21 Republicans 0 22 National Democratic Party 0 23 Democratic League 0 24 Czech Right 0 25 Czech Social Democratic 0 Movement 26 Roma Civic Initiative 0 27 Party of Democratic Socialism 0 28 New Movement 0 Total 200 ENPP Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2002 175
si2 0.042 0.024 0.273 3.668
Pada pemilu tahun 2006, jumlah partai peserta pemilu lebih dari 8 partai dan lima partai berhasil memperoleh kursi di Parlemen. perhitungan ENPP sebesar 2.258 menunjukkan pemilu 2006 telah menciptakan sistem multipartai sederhana dengan 2 sampai 3 partai efektif di parlemen. Civic Democratic Party 175
Wikipedia. Czech Legislative Election. 2002 http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2002 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(ODS) memperoleh 41% kursi, Czech Social Democratic Party (ČSSD) 37%, Communist Party of Bohemia and Moravia (KSČM) 13% dan Christian and Democratic Union - Czechoslovak People's Party (KDU-ČSL) 7%. Tabel 2.7. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2006 di Republik Ceko No 1
Partai Civic Democratic Party (ODS) Czech Social Democratic Party (ČSSD)
2 3
Communist Party of Bohemia and Moravia (KSČM) Christian and Democratic Union Czechoslovak People's Party (KDUČSL) Green Party (SZ)
4
5
Perolehan Kursi 81
% perolehan kursi (si)
si2
0.41
0.164
0.37
0.137
0.13
0.137
0.07
0.004
74 26 13
6
0.03 SNK European Democrats (SNK ED) 0 Freedom Union - Democratic Union 0 (US-DEU) 8 Others 0 Total 200 ENPP Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2006 176 6 7
0.001 0.443 2.258
2.4.3. Sistem Multipartai Sederhana di Jerman Pemilu tahun 2002 diikuti oleh lebih dari 7 partai politik. 6 partai politik berhasil melewati thershold 5% dan memperoleh kursi di Parlemen. Social Democratic Party memperoleh 41.6% kursi, Christian Democratic Union 31.5%, Christian Social Union 9.6% dan Alliance '90/The Greens 9.1%. berdasarkan perhitungan diperoleh nilai ENPP sebesar 3.38, sehingga pemilu tahun 2005 di Jerman telah menciptakan sistem multipartai moderate (sederhana).
176
Wikipedia. Czech Legislative Election. 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2006 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 2.8. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Jerman No
Partai
Perolehan Kursi 1 Social Democratic Party 251 2 Alliance '90/The Greens 55 3 Christian Democratic Union 190 4 Christian Social Union 58 5 Free Democratic Party (FDP) 47 6 Party of Democratic Socialism 2 (PDS) 7 all others 0 Total 603 ENPP Sumber Data Diolah Dari :
% perolehan kursi (si) 0.416 0.091 0.315 0.096 0.078 0.003 -
si2 0.17 0.01 0.10 0.01 0.01 0.00 0.30 3.38
http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2002 177 Pada pemilu tahun 2005 diikuti oleh lebih dari 8 partai politik. 6 partai politik berhasil memperoleh kursi di parlemen. Social Democratic Party of Germany memperoleh 36.16% kursi, Christian Democratic Union 29.32%, Free Democratic Party 9.93%, The Left Party.PDS 8.79. Berdasarkan perhitungan didapat Nilai ENPP sebesar 4.05, yang dapat diartikan bahwa pemilu 2005 berhasil mempertahankan sistem multipartai sederhana (moderat) di Jerman. Tabel 2.9 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2005 di Jerman No 1 2 3 4 5 6 7 8
Partai Christian Democratic Union Christian Social Union in Bavaria Social Democratic Party of Germany Free Democratic Party The Left Party.PDS Alliance '90/The Greens National Democratic Party of Germany others
Perolehan Kursi 180 46 222 61 54 51 0
% perolehan kursi (si) 0.293159609 0.074918567 0.361563518 0.099348534 0.087947883 0.083061889 0
0
0
177
Wikipedia. German Federal Election 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2002 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
si2 0.09 0.01 0.13 0.01 0.01 0.01 -
No
Partai
Total ENPP Sumber Data Diolah Dari
Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
614
si2 0.25 4.05
http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2005 178 Pemilu 2009 juga menciptakan sistem multipartai sederhana, meskipun terjadi peningkatan Nilai ENPP sebesar 4.83, namun jumlah efektif partai di parlemen tetap dibawah 5 partai politik. Tabel 2.10. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Jerman No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Partai Christian Democratic Union Christian Social Union of Bavaria Social Democratic Party Free Democratic Party The Left Alliance '90/The Greens Pirate Party National Democratic Party Human Environment Animal Welfare The Republicans Ecological Democratic Party Family Party other total ENPP Sumber Data Diolah Dari :
Perolehan Kursi 194 45 146 93 76 68 0 0 0 0 0 0 0 622
% perolehan kursi (si) 0.311897106 0.072347267 0.234726688 0.149517685 0.122186495 0.109324759 0 0 0 0 0 0 0
si2 0.10 0.01 0.06 0.02 0.01 0.01 -
http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2009 179 Berdasarkan analisa tentang sistem multipartai di Jerman, dapat dijelaskan bahwa kebijakan parliamentary threshold sebesar 5 % telah berhasil menmbatasi 178
Wikipedia. German Federal Election 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2005178 [diunduh 21 November 2012]
179
Wikipedia. German_federal_election,_2009. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2009 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
0.21 4.83
jumlah partai yang dapat memperoleh kursi di Parlemen. sistem multipartai sederhana bertahan dan stabil pada masa tiga periode pemilu yaitu dari tahun 2002, 2005 sampai 2009.
2.5. Analisis Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara Berdasarkan uraian mengenai sistem multipartai sederhana di beberapa negara di atas, yaitu di Jerman, Rusia dan Republik Ceko, dapat dianalisa bahwa Kebijakan threshold 5% di Rusia, berhasil menyaring 50% peserta pemilu masuk ke parlemen, dan menciptakan sistem multipartai moderat di pemilu 2003, kenaikan angka threshold menjadi 7% dipemilu tahun 2007 menyebabkan hanya 4 partai yang memperoleh kursi dan menciptakan sistem multipartai dengan satu partai dominan. sistem partai kemudian berubah kembali pada pemilu 2011 menjadi sistem multipartai sederhana dengan jumlah 4 partai politik di parlemen. kondisi yang sama juga terjadi di Republik Ceko, dengan angka threshold sebesar 5% telah berhasil mempertahankan sistem multipartai sederhana di tiga pemilu yaitu pemilu 1998, 2002 dan 2006. Federasi Jerman yang juga menerapkan threshold sebesar 5% telah dapat mempertahankan sistem multipartai sederhana pada pemilu 2002, 2005 dan 2009.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB III PENGATURAN KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI 3.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia Partai politik sudah dikenal di Indonesia sejak masa perjuangan kemerdekaan. Partai politik tidaklah menghilang setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan, namun terus berkembang. 180 Munculnya partai politik di Indonesia sangat lekat dengan meningkatnya Nasionalisme di Hindia Belanda pada masa sekitar abad 1900. Periode pertama dari pergerakan nasional meningkat sampai pada pertengahan 1920 yang menunjukkan kepedulian politik di antara bangsa pribumi, dengan peningkatan permintaan terhadap partisipasi politik pribumi, termasuk juga seruan kemerdekaan dari Belanda. 181 Partai-partai politik pada masa ini, berdasar pada baik budaya atau persatuan agama atau ideologi sosialis. Di awal abad ke 20, bagaimanapun juga menunjukkan peningkatan konflik dan persaingan diantara partai dan pemimpin yang berbeda dari pergerakan nasionalis. Terdapat pembagian ideologi yang kuat diantara partai-partai setidaknya pada awal 1920an. Kesepakatan untuk berpisah dari Belanda adalah sedikit kesepakatan dari kesepakatan mengenai bentuk dan arah ideologi dari Negara Indonesia Merdeka. Perbedaan ideolgi secara umum diantara para pemimpin yang konservatif pada partai politik berbasis masa pertama, Sarekat Islam dan banyak lagi pemimpin yang radikal dari Partai Komunis Indonesia sulit untuk disatukan. 182
180
David Bourchier dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader. Routledge Curzon. London. 2003. hal 60
181
Stefan Eklof. Op.cit hal 26. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, op cit. Partai politik pertama lahir di zaman colonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah ia bertujuan social (seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah) atau terang terangan menganut asas politik/agama (seperti sarekat islam dan partai katolik) atau asas politik sekuler (seperti PNI dan PKI) memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Pola kepartaian masa itu menunjukkan keanekaragaman dan pola ini kita hidupkan kembali pada zaman merdeka dalam bentuk sistem multi partai. hal 423
182
Ibid hal 26
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pada tahun 1918 Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai badan perwakilan, dan ada beberapa partai serta organisasi yang memanfaatkan kesempatan itu untuk bergerak melalui badan ini. Pada awalnya partisipasi organisasi Indonesia sangat terbatas. Pada 1931 waktu diterimanya prinsip “mayoritas pribumi” dari 60 orang anggota, 30 orang adalah pribumi. Disamping itu, ada usaha untuk meningkatkan persatuan nasional melalui penggabungan partai-partai politik dan memperjuangkan Indonesia Berparlemen dan pada tahun 1939 terbentuk Komite Rakyat Indonesia (KRI) yang dibentuk oleh Gabungan Partai-Partai Beraliran Nasional (GAPI) dan Majelisul Islamil a’laa Indonesia (MIAI). Namun dalam kenyataannya partai dan organisasi kemasyarakatan lainnya sulit untuk bersatu yang kemudian menjadi landasan untuk terbentuknya pola sistem multipartai di zaman kemerdekaan. 183 Pola sistem multipartai ini juga disebabkan oleh kondisi masyarakat yang multi etnis dan multi agama. Keberagaman ini juga direfleksikan dalam partai-partai politik di Indonesia. 184 Pasca kemerdekaan, sejarah politik Indonesia biasanya dibagi menjadi beberapa periode atau rezim, yaitu : periode demokrasi parlementer atau dominansi kabinet, yaitu mulai dari masa peralihan kemerdekaan tahun 1949 sampai dengan parlemen kehilangan kewenanganya di tahun 1957, periode demokrasi terpimpin atau dominansi presidensil, yaitu dimulai sejak dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945 pada Juli 1959 sampai dengan kejatuhan Partai Komunis di tahun 1965 dan periode orde baru dari tahun 1965. 185 Periode orde baru berakhir setelah Presiden Suharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan Indonesia memasuki era reformasi. 186 Pada saat proklamasi kemerdekaan diumumkan oleh Soekarno-Hatta, secara formal Indonesia tidak lagi memiliki partai politik. Menjelang akhir pendudukan Jepang di Indonesia, seluruh kegiatan politik tidak diperbolehkan dan 183
Miriam Budiardjo.op.cit hal 423-424
184
Leo Suryadinata.Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. 1982. hal 1
185
Karl D Jakckson and Lucian W Pye. Political Power and Communications in Indonesia. University California Press. California 1978. hal 172
186
Kacung Marijan. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana Prenada Media Grup. Jakarta 2010. hal 2
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai-partai yang telah berkembang sejak 1900 dibubarkan. 187 Berdirinya partai politik pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia merupakan jawaban atas Maklumat Pemerintah Nomor X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. 188
Sebelumnya Presiden Soekarno
merencanakan untuk membentuk partai tunggal yaitu Partai Nasional Indonesia yang dimaksudkan agar kekuatan masyarakat tidak terpecah belah, namun rencana itu ditentang oleh tokoh pergerakan lainnya. 189 Maklumat Wakil Presiden itu dikeluarkan setelah ada usul dari Badan Pekerja KNPI supaya diberikan kepada rakyat seluas-luasnya hak untuk mendirikan partai politik. Isi dari Maklumat tersebut antara lain yaitu : 190 1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat 2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada Bulan Januari 1946. Mengikuti Maklumat Pemerintah itu, sejumlah partai politik tumbuh dalam kurun waktu singkat. Para anggota KNIP pun ikut berlomba mendirikan partai politik.191 Pada masa pemilihan umum pertama tahun 1955, ada lebih dari 30 partai politik dan hanya empat diantaranya yang dapat berfungsi efektif, yaitu : 192 Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memenangkan 22.3% suara, Masyumi (Partai Islam Modern) memenangkan 20.9 % suara, Nahdatul Ulama (NU) memperolah 18,4% suara sementara Partai Komunis Indonesia memperoleh 16.4% suara.
187
Ign Ismanto. Pemilihan Presiden secara Langsung 2004 : dokumentasi, analisis, dan kritik. hal 11
188
M. Dzulkifriddin. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia : peran Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia. PT. Mizan Pustaka. 2010. hal 93.
189
Ign Ismanto. op cit hal 13
190
Mohammad Hatta. Untuk Negeriku. Berjuang dan Dibuang. Sebuah Otobiografi. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2011. hal 115
191
Ign Ismanto. op.cit. hal 14
192
Leo Suryadinata. op cit hal 1
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dan jasa
Perkembangan selanjutnya adalah adanya suasana perdebatan di konstituante hasil pemilu 1955 tentang dasar ideologi negara telah membuat pembuatan Undang-Undang Dasar yang permanen menjadi terbengkalai dan pemerintah menganggap hal itu sebagai kemacetan konstitusional yang serius. Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dan membubarkan majelis konstituante yang dipilih oleh rakyat. Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No 7/1959 yang mengatur kehidupan dan pembubaran partai politik. Penpres itu memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai politik yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar negara atau pemimpinnya terlibat pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan. 193 Presiden Sukarno menilai kehidupan kepartaian saat itu dengan segala manuvernya telah membahayakan persatuan dan keselamatan negara. 194 Sesudah dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut, Sukarno kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden No 200/1960 dan Kepres 201/1960 yang dengan resmi memerintahkan membubarkan Masyumi dan PSI. 195 Soekarno, dalam amanat Presiden pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960, menyatakan pembubaran Masjumi dan PSI adalah karena kedua partai tersebut melanggar ketentuan Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959.196 Pada tanggal 21 September 1965, Presiden Sukarno kembali membubarkan partai politik, yaitu Partai Murba dengan Keputusan Presiden No 291 Tahun 1965 yang menetapkan pembubaran Partai Murba, termasuk cabang-cabang/rantingrantingnya di seluruh wilayah Republik Indonesia. 197 Disamping itu, untuk memobilisasi semua kekuatan politik di bawah pengawasan pemerintah. Wadah 193
Tohir Luth. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999. hal 51
194
Wawan Tunggul Alam. Demi Bangsaku : Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003. hal 284.
195
Tohir Luth. Op cit hal 52
196
Muchamad Ali Safa’at. op cit hal 169
197
Rosihan Anwar. Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 19611965. Yayasan Obor Indonesia. 2006. hal 372
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
yang mendasarkan pada NASAKOM dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front Nasional. Semua partai dan kelompok organisasi terwakili di dalamnya. Melalui Front Nasional, PKI berhasil mengembangkan sayapnya dan mempengaruhi semua aspek kehidupan
politik. Pada tahun 1965 gerakan Gestapu PKI
mengakhiri riwayat demokrasi terpimpin. 198 Letnan Jenderal Suharto, berbekal Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) pada 12 Maret 1966 membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia. 199 Keputusan Presiden tentang Pembubaran PKI tersebut kemudian dikukuhkan kedudukannya menjadi TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang, di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan, Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme. 200 Sebagai pemimpin orde baru, Soeharto mengusahakan dilaksanakannya pemilihan umum. Tapi baru pada tahun 1971, pemilu berhasil dilaksanakan.201 Pada Pemilu Tahun 1971, pemerintah mengelarkan beberapa kebijakan baru, diantaranya adalah keharusan bagi para pejabat negara untuk bersikap netral, diterapkannya stembus accord bagi partai peserta pemilu. Aturan ini menyebabkan konfigurasi politik berubah, beberapa partai yang sebelumnya Berjaya pada pemilu 1955 diwajibkan berafiliasi dengan partai lain karena kekurangan suara. Sejak Pemilu 1971, Golkar mulai mendominasi dunia politik Indonesia.
202
Golkar semakin Berjaya setelah pemerintah bersama DPR
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan 198
Miriam Budiardjo. Op cit hal 442
199
Syamsudin Haris. Partai Parlemen dan Parlemen Lokal di Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. hal 914
200
Samsudin. Mengapa G30S/PKI Gagal? : Suatu Analisis. Yayasan Obor Indonesia. 2004. hal 129.
201
Firmanzah. Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007. hal 6
202
J. Kristadi. Who Wants to be The Next President? : A-Z Informasi Politik Dasar dan Pemilu. Kanisius. 2009 hal 84
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Golongan Karya, peserta pemliu hanya 2 partai dan 1 golongan karya. Kedua Partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). 203 Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik pasca pemilu 1971, dimaksudkan pemerintah untuk menjamin stabilitas politik yang mantap. 204 Dengan persuasi yang kuat, akhirnya semua partai politik menyetujui untuk melaksanakan fusi, sehingga terbentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari empat partai Islam, yaitu NU, Parmusi, PSII dan Persi, sedangkan PDI merupakan fusi dari Partai-Partai Nasional, Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia. 205 Peluang politik PPP dan PDI sulit untuk mengalahkan Golkar, yang memang didesain untuk selalu menjadi pemenang pemilu dengan melalui tiga jalur yaitu : Jalur A PNS, Jalur B ABRI dan Jalur C (organisasi masyarakat yang mendukung Golkar). 206 Golkarpun selama lima kali pemilu berturut-turut, yakni pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, hingga tahun 1997 selalu menjadi pemenang dengan jumlah suara yang signifikan. Kondisi ini berubah ketika pemerintah orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto digulingkan oleh generasi muda Indonesia, sejak tanggal 21 Mei 1998 yang merubah orde politik menjadi orde reformasi. 207
3.2. Partai Politik pada Masa Pasca Reformasi Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian Orde Baru, yang sangat ramping, Indonesia mengalami ledakan partai politik luar biasa. Antara akhir Mei 1998 dan Februari 1999, kurang dari 10 bulan, telah lahir 160 partai politik baru. Ini berarti hampir setiap dua hari lahir satu partai politik baru. Sepeninggal Soeharto, sistem kepartaian Indonesia pun hiruk pikuk. Partai politik berjumlah 181 buah, dan 148 di antaranya mendaftarkan diri secara resmi ke Departemen Kehakiman. Departemen Kehakiman kemudian mengesahkan 141 di antaranya. 203
Ibid. hal 85
204
Sulastomo. Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Sebuah Memoar. PT. Kompas Media Nusantara. 2008. hal 200
205
Ibid
206
Ibid
207
J. Kristadi. op cit hal 85
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Dari 141 partai politik ini, 110 mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas untuk ikut Pemilu 1999, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai politik yang boleh ikut Pemilu 1999. 208 Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002, mengharuskan adanya perubahan tatanan dan kelembagaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya sistem politik.209 Sistem politik Indonesia yang harus dijalankan sesuai UUD 1945 adalah sistem politik demokrasi berdasarkan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD dan Negara Indonesia adalah Negara hukum. Dengan demikian tatanan kelembagaan politik, termasuk juga partai politik harus dijalankan berdasarkan aturan hukum yang demokratis. 210 Salah satu prinsip luhur dalam UUD 1945 adalah adanya jaminan kemerdekaan berserikat sebagai bagian dari hak asasi manusia (Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD1945). Partai politik adalah salah satu pilar kemerdekaan berserikat, sehingga pembubarannya hanya dapat dilakukan melalui mekanisme peradilan, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (1) UUD1945). Dalam sistem representative democracy, biasa dimengerti bahwa partisipasi rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan suara untuk membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap dengan sendirinya efektif untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan dan peran partai politik sangat dominan. 211 Peranan partai politik tersebut diatur dalam Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
208
Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia : Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com. 1999.
209
Jimly Asshiddiqie. op.cit (4). hal 268
210
Ibid
211
Ibid hal 283.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pentingnya peran dan kedudukan partai politik pasca reformasi diatur pula dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden. Sesuai dengan Pasal 6A ayat (2). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Pada masa reformasi, kebijakan pembatasan partai ditiadakan, tetapi sebagai gantinya diterapkan kebijakan ambang batas (threshold) yang sebenarnya juga merupakan pembatasan, meskipun tidak secara langsung. Pembatasan dilakukan dengan membuka peluang kepada semua pihak, semua partai politik untuk bersaing secara terbuka. Apabila dalam persaingan itu, partai-partai politik yang bersangkutan tidak dapat mencapai perolehan dukungan yang memadai, maka keberadaannya didiskualifikasi, baik untuk menjadi peserta pemilu (electoral threshold) atau pun untuk duduk di kursi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat (parliamentary threshold). 212
3.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Partai Politik Pasca Reformasi Kebijakan penyederhanaan partai politik sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sudah berlaku sejak zaman awal kemerdekaan. Di Masa kepemimpinan Presiden Soekarno selama demokrasi terpimpin dan masa kepemimpinan Presiden Suharto telah membentuk Undang-Undang yang bersifat represif terhadap kehidupan partai politik. Partai politik cenderung sangat dibatasi dan bahkan dibubarkan apabila tidak sesuai dengan kehendak penguasa. Sifat hukum represif ini dapat dikaitkan dengan rezim otoriter pada waktu itu, sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan Selznik dalam bukunya Law and Society in Transition Toward Responsive Law. Karakter hukum tersebut dapat dibagi menjadi karakter hukum represif (repressive law) dan karakter hukum responsif (responsive law) 213.
Menurut Nonet and Zelznik, timbulnya sifat
represif adalah karena apa yang disebut merriam sebagai the poverty of power, 212
Jimly Asshiddiqie. op.cit. hal 3
213
Philipe Nonet dan Philip Selznick. Law and Society in Transition : Toward Responsive Law dalam Satya Arinanto Politik Hukum 2. Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2001. hal 5
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
atau keterbatasan kekuasaan. Kekuasaan itu bergantung pada dukungan alat dan kepercayaan. Apabila dua hal itu tidak ada, maka kekuasaan akan menggunakan cara-cara yang represif. Hukum represif adalah berkaitan dengan bentuk rezim pemerintahan yang totaliter, In fact, the most extreme manifestations of repressive law occure in the totalitarian superstate of modern times. Meskipun demikian, politik represif sebenarnya dapat muncul di mana saja dan kapan saja baik di rezim yang stabil dan kuat bahkan pada lembaga yang liberal dan rasionalitas tinggi. Represi digunakan apabila tidak ada jalan lain untuk mengelola ketertiban masyarakat 214. Dengan kata lain timbulnya hukum yang represif adalah karena adanya : 1. Penyatuan yang kuat antara hukum dan politik 2. Kekuasaan pemerintah yang berlebihan
3.3.1. Persyaratan
Kualitatif
dan
Kuantitafif
Pendirian
dan
Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum 3.3.1.1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik merupakan Undang-Undang pertama pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dan Undang-Undang Nomro 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang dipandang sudah tidak dapat menampung lagi aspirasi politik yang berkembang. 215 Partai politik, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 diartikan sebagai setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum
214
Ibid
215
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22. Tambahan Lembaran Negara Nomor. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
[Pasal 1 ayat (1)]. Persyaratan-persyaratan yang membatasi partai politik dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dapat diuraikan sebagai berikut : A. Persyaratan Pembentukan Partai Politik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, untuk membentuk partai politik, harus dibentuk oleh minimal 50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun sebagaimana dijelaskan pada : Pasal 2 ayat (1) : Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik. Ketentuan syarat pembentukkan partai politik kemudian diatur dalam pasal 2 ayat (2) yang menambah syarat asas/ ideologi pembentukan partai yaitu : mencantumkan Pancasila dalam Anggaran Dasar Partai, Asas atau Ciri, aspirasi dan program partai tidak bertentangan dengan pancasila, tidak menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Negara Republik Indonesia, bendera negara asing, gambar perorangan serta lambang partai lain.
Pasal 2 ayat (2) : Partai Politik yang dibentuk sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai; b. asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila; c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera kebangsaan negara asing, gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada. Pada ketentuan Pasal 3 dijelaskan bahwa pembentukan partai politik tidak boleh membahayakan persaturan dan kesatuan nasional.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Syarat dan prosedur pendirian dan pendaftaran partai diatur dalam Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) yang mengatur bahwa partai politik didirikan dengan akta notaris dan kemudian didaftarkan pada Departemen Kehakiman RI. Partai Politik yang telah memenuhi persyaratan pembentukan sebagaimana dimaksud pada Pasal (2) dan Pasal (3) kemudian disahkan sebagai badan hukum dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 4 ayat (1) Partai Politik didirikan dengan akte notaris dan didaftarkan pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Pasal 4 ayat (2) Departemen Kehakiman Republik Indonesia hanya dapat menerima pendaftaran pendirian Partai Politik apabila telah memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang ini. Pasal 4 ayat (3) Pengesahan pendirian Partai Politik sebagai badan hukum diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. B. Ketentuan dan Persyaratan Keuangan Partai Politik Pada Bab VI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, diatur tentang Keuangan Partai Politik. Ketentuan mengenai keuangan partai meliputi ketentuan : 1) mengenai sumber pendanaan, 2) . Bentuk organisasi 3). Besaran maksimal penerimaan, 4). Laporan Keuangan. Pada Pasal 12 ayat (1), keuangan partai politik bersumber dari : iuran anggota, sumbangan dan usaha lain yang sah. Selain itu berdasarkan Pasal 12 ayat (2) partai politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara dan ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya dan partai politik dilarang menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing. Pasal 12 ayat (1), (2), (3) dan (4) : (1) Keuangan Partai Politik diperoleh dari: a. iuran anggota; b. sumbangan; c. usaha lain yang sah. (2) Partai Politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(3) Penetapan mengenai bantuan tahunan sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. (4) Partai Politik tidak boleh menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing. Bentuk organisasi partai dikaitkan dengan keuangan adalah merupakan organisasi nirlaba (organisasi yang tidak mencari keuntungan financial). Dengan demikian partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Pasal 13 ayat (1) dan (2) : (1) Partai Politik merupakan organisasi nirlaba. (2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Pada Pasal 14 ayat (1), (2), (3), diatur batasan maksimal sumbangan yang dapat diterima partai politik. Jumlah sumbangan dari setiap orang dibatasi sebesar Rp.15.000.000 (Lima Belas Juta) dalam setahun. Sedangkan jumlah sumbangan dari setiap perusahaan atau badan lainnya dibatasi sebesar Rp. 150.000.000 (Seratus Lima Puluh Juta) dalam setahun. Partai politik dapat juga menerima sumbangan yang berupa barang, namun nilainya disesuaikan dengan sumbangan berupa uang. Pasal 14 (1) Jumlah sumbangan dari setiap orang yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak-banyaknya adalah Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dalam waktu satu tahun. (2) Jumlah sumbangan dari setiap perusahaan dan setiap badan lainnya yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak-banyaknya adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dalam waktu satu tahun. (3) Sumbangan yang berupa barang dinilai menurut nilai pasar yang berlaku dan diperlakukan sama dengan sumbangan yang berupa uang. Laporan pengelolaan keuangan Partai Politik diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2). Partai politik diwajibkan untuk melapor daftar penyumbang, jumlahnya dan laporan keuangan yaitu : setiap akhir tahun, 15 hari sebelum dan 30 hari sesudah pemilihan umum kepada Mahkamah Agung. Laporan Keuangan partai dapat diaudit oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
C. Larangan, Pengawasan dan Pembubaran Partai Politik Ketentuan yang berbentuk larangan selain yang sudah diuraikan di atas diatur pula dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Partai politik dilarang untuk menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila. Pasal 16 huruf a : 10.1. menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila; Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) serta Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 berwenang untuk : mengawasi, membekukan, membubarkan dan menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian bantuan anggaran negara kepada partai politik. Selain itu Mahkamah Agung berwenang mencabut hak partai politik untuk mengikuti pemilihan umum jika melanggar ketentuan. Pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) (1) Pengawasan atas ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undangundang ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2) Dengan kewenangan yang ada padanya, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat membekukan atau membubarkan suatu Partai Politik jika nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16 undang-undang ini. (3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan. (4) Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) (1) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian bantuan dari anggaran negara apabila suatu Partai Politik nyata-nyata melanggar Pasal 15 undang-undang ini. (2) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat mencabut hak suatu Partai Politik untuk ikut pemilihan umum jika nyata-nyata melanggar Pasal 13 dan Pasal 14 undang-undang ini.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(3) Pencabutan hak sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar pertimbangan pengurus pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan. 3.3.1.2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002216 Pada tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai politik dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Kebijakan tentang penyederhanaan partai mulai dikemukakan secara eksplisit dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Tujuan dan Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik adalah melalui penetapan persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002: “Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional. Mekanisme ini di samping tidak cenderung menampilkan monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara optimal. Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai maupun dalam penggabungan partai-partai yang ada.” Ketentuan persyaratan penyederhanaan partai politik berdasarkan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 dapat diuraikan sebagai berikut :
A. Persyaratan Pembentukan dan Pendirian Partai Politik Ketentuan Pembentukan Partai Politik terdapat pada Bab II Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4. Pada Pasal 2 ayat (1) dan (2), disyaratkan bahwa partai politik dibentuk dan didirikan oleh minimal 50 orang WNI yang berusia 21 tahun dengan akta notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta kepengurusan di tingkat nasional. Untuk terdaftar sebagai badan hukum di departemen kehakiman, berdasarkan Pasal 2 ayat (3), Partai politik harus memenuhi persyaratan yaitu : memiliki akta notaris yang sesuai dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya, memiliki kepengurusan 216
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
minimal 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah Kabupaten/Kota di tiap Provinsi bersangkutan dan 25% dari jumlah kecamatan di setiap Kabupaten/Kota yang bersangkutan, memiliki nama, lambang dan tanda gambar yang tidak sama dengan nama, lambang dan tanda gambar partai politik lain serta memiliki kantor tetap. Pasal 2 ayat (1), (2), (3) : (1) Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. (2) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional. (3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya; b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25%(dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan; c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan. mempunyai kantor tetap. Prosedur pendaftaran partai politik menjadi badan hukum diatur pada pasal 3 ayat (1), (2) dan (3).
Partai politik yang telah memenuhi syarat pembentukan
didaftarkan ke Departemen Kehakiman. Selambat-lambatnya
30 hari setelah
penerimaan pendaftaran Menteri Kehakiman mengesahkan partai politik menjadi badan hukum dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 3 (1) Departemen Kehakiman menerima pendaftaran pendirian partai politik yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
B. Persyaratan Asas/Ideologi Partai Berdasarkan pasal 5 ayat (1) dan (2) ditentukan bahwa asas dan ciri partai politik tidaklah boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pasal 5 (1) Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Setiap partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan undangundang. C. Pengaturan dan Persyaratan Keuangan Partai Politik Pengaturan tentang Keuangan partai politik diatur dalam Bab IX yang terdiri dari aspek sumber pendanaan, batasan minimum penerimaan. Mengenai kewajiban tentang laporan keuangan diatur dalam Pasal 9 huruf h, i dan j. sumber pendanaan partai berasal dari : iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan dari anggaran negara yang diberikan sesuai perolehan kursi di DPR. Pasal 17 (1) Keuangan partai politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan dari anggaran negara. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa. (3) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat. Besaran sumbangan dari anggota dan bukan anggota maksimal Rp. 200.000.000 per tahun. Sumbangan dari perusahaan/badan usaha maksimal Rp. 800.000.000.per tahun.
Pasal 18 (1) Sumbangan dari anggota dan bukan anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun. (2) Sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu)tahun.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Terkait dengan keuangan, partai politik diwajibkan untuk membuat pembukuan, daftar penyumbang, jumlah sumbangan yang bersifat terbuka kepada masyarakat dan pemerintah. Laporan keuangan dibuat secara berkala per tahun disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum setelah sebelumnya diaudit oleh akuntan publik. Partai juga diwajibkan untuk memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum serta wajib menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada KPU selambatnya 6 bulan setelah hari pemungutan suara.
Pasal 9 : a. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah; b. membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan c. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara. D. Larangan dan Sanksi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, mengatur larangan dalam Bab tersendiri yaitu pada Bab X. Materi yang diatur terutama mengenai nama dan lambang partai, kegiatan partai, sumbangan/penerimaan, larangan mendirikan badan usaha dan larangan untuk menganut ajaran komunisme/Marxisme-Lenisme. 1. Larangan mengenai Nama dan Lambang Partai Berdasarkan Pasal 19 ayat (1), partai politik dilarang menggunakan nama, lambang atau tanda gambar yang sama dengan : a). bendera atau lambang negara Republik Indonesia, b). lambang lembaga negara atau lambang pemerintah, c). nama, bendera atau lambang negara lain dan nama, bendera atau lambang lembaga/badan internasional, d. nama dan gambar sesorang serta e). yang mempunyai persamaan dengan partai politik lain. 2. Kegiatan Partai Politik. Pada pasal 19 ayat (2), partai politik dilarang untuk melakukan kegiatan yang : a). bertentangan dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
lainnya, b). membahayakan keutuhan NKRI, c). bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka memelihara ketertiban dunia. 3. Sumber Pendanaan dan Pendirian Badan Usaha Partai politik berdasarkan Pasal 19 ayat (3) dilarang menerima dan memberikan sumbangan dari : a). pihak asing, b). pihak manapun tanpa mencantumkan identitas yang jelas, c). orang/lembaga melebihi batas yang ditentukan, d). BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Desa, koperasi, yayasan, LSM, organisasi kemasyarakatan dan organisasi kemanusiaan. Partai politik dilarang mendirikan badan usaha atau memiliki saham suatu badan usaha [pasal 19 ayat (4)]. 4. Partai politik dilarang menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme [pasal 19 ayat (5)]. Pelanggaran terhadap larangan dan ketentuan pada pasal-pasal sebagaimana yang diuraikan di atas akan berakibat dikenakannya sanksi kepada partai politik berupa : 1. Penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman jika melanggar pasal 2 dan pasal 5 ayat (1), pasal 19 ayat (1) 2. Sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum apabila melanggar Pasal 9 huruf h, Pasal 19 ayat (3) 3. Sanksi administratif berupa dihentikan bantuan dari anggaran negara jika melanggar pasal 9 huruf i dan j, 4. Pembekuan sementara paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan apabila melanggar pasal 19 ayat (2) 5. Larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan jika melanggar pasal 19 ayat (4).
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
3.3.1.3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008217 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 merupakan pengganti dari Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang dipandang belum optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern, sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui. Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara. 218 A. Persyaratan Pembentukan Partai Politik Pendirian partai politik berdasarkan pasal 2 ayat (1), (2) (3) dan (4). Partai politik didirikan oleh minimal 50 orang WNI yang berusia 21 tahun dengan akta notaris yang menyertakan 30% keterwakilan perempuan dan memuat AD dan ART serta kepengurusan di tingkat pusat. AD partai memuat : asas dan ciri partai, visi dan misi, nama, lambang dan tanda gambar, tujuan dan fugnsi partai, organisasi, tempat kedudukan dan pengambilan keputusan, peraturan dan keputusan partai, pendidikan politik dan keuangan partai. Pasal 2 (1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. (2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat. 217
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801.
218
Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(4)
(5)
AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. peraturan dan keputusan Partai Politik; h. pendidikan politik; dan keuangan Partai Politik. Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3 )disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pendaftaran dan prosedur penetapan partai politik sebagai badan hukum diatur pada pasal 3 dan pasal 4. Untuk menjadi badan hukum, partai politik harus mempunyai akta notaris pendirian, nama dan lambang/tanda gambar yang tidak sama dengan nama dan lambang partai lain, memiliki kantor tetap dan memiliki kepengurusan di minimal 60% dari jumlah provinsi, 50% pada kabupaten/kota provinsi yang bersangkutan dan 25% pada kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan dan memiliki rekening atas nama partai. Pasal 3 (1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum. (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. kantor tetap; d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan e. memiliki rekening atas nama Partai Politik. Prosedur penetapan sebagaimana pasal 4 dilakukan oleh Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. Departemen menerima pendaftaran dan memverifikasi yang dilakukan paling lama 45 hari kerja sejak
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
persyaratan lengkap. Pengesahan dilakukan dengan keputusan menteri paling lama 15 hari kerja sejak proses verifikasi dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
B. Persyaratan dan Pengaturan Asas/Ideologi dan Ciri Partai Berdasarkan Pasal 9, asas partai tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita partai politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
C. Pengaturan Keuangan Partai Politik Mengenai keuangan Partai diatur pada Bab XV pada Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36. Sumber keuangan partai dibatasi berasal dari
: iuran anggota, sumber
keuangan lain yang sah, bantuan keuangan dari APBN/APBD yang diberikan secara proporsional sesuai perolehan suara. Pasal 34 (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
dan
Belanja
Pada Pasal 36 diatur bahwa sumbangan dari anggota partai politik dalam pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART. Sumbangan yang berasal dari perseorangan yang bukan dari anggota partai politik dibatasi senilai 1 miliar rupiah per tahunnya, sedangkan sumbangan dari perusahaan dan Badan Usaha maksimal empat miliar rupiah pertahun. D. Larangan dan Sanksi Larangan yang harus dipatuhi oleh partai politik diatur pada Bab XVI tentang Larangan, yang meliputi : nama dan lambang partai, kegiatan partai, sumber pendanaan dan pendirian badan usaha, ajaran Komunisme. 1. Nama dan Lambang Partai Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa partai politik dilarang menggunakan nama dan lambang partai yang sama dengan :
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; e. nama atau gambar seseorang; atau f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain. 2. Kegiatan Partai Pasal 40 ayat (2) mengatur tentang larangan partai politik untuk melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Sumber Pendanaan Pada Pasal 40 ayat (3) ditentukan bahwa partai politik dilarang untuk menerima atau memberi sumbangan kepada pihak asing, dari pihak yang tidak jelas identitasnya, menerima sumbangan melebihi batas yang telah ditentukan serta menerima sumbangan dari BUMN/BUMD, menggunakan fraksi sebagai sumber pendanaan. 4. Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. 5. Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
Partai politik yang melanggar ketentuan Pasal Pasal 2, Pasal 3,Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I (laporan pertanggungjawaban keuangan) dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
berkenaan. Partai politik yang melanggar ketentuan pasal 40 (melanggar UUD 1945) dapat dikenakan sanksi berupa pembekuan hingga pembubaran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 3.3.1.4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011219 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 merupakan perubahan atas Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
2008
yang
dipandang
perlu
untuk
disempurnakan dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran Partai Politik. Sistem kepartaian yang hendak dituju adalah sistem multi partai yang sederhana sebagai salah satu upaya untuk memperkuat dan mengeefektifkan sistem presidensiil sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu : Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat. Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah : Persyaratan Pembentukan Partai, Persyaratan Kepengurusan Partai dan pengelolaan Keuangan Partai.
A. Persyaratan Pembentukan Partai Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 syarat-syarat pembentukan partai meliputi : syarat minimum jumlah pendiri yaitu 30 orang WNI berusia 21 tahun di setiap provinsi. Partai politik didaftarkan oleh minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai dengan akta notaris yang
219
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Akta notaris dilengkai dengan AD dan ART dan kepengurusan di tingkat pusat. Pasal 2 (1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. (1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris. (1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain. (2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan PartaiPolitik tingkat pusat. Prosedur pendaftaran diatur pada pasal 3 ayat (1), yang menyatakan partai politik didaftarkan pada Kementerian Hukum dan HAM untuk menjadi Badan Hukum dengan persyaratan sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 3 ayat (2) : Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan; d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan e. rekening atas nama Partai Politik. Pada Pasal 4 diatur mengenai prosedur penetapan Partai Politik sebagai badan Hukum,
mulai
dari
diterimanya
pendaftaran,
penelitian/verifikasi
oleh
Kementerian. Verifikasi dilakukan paling lambat 45 hari kerja sejak diterimanya dokumen lengkap. Pengesahan partai poltik sebagai badan hukum oleh Keputusan Menteri paling lama 15 hari sejak berakhirnya proses verifikasi dan diumumkan dalam Berita Negara NKRI.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
B. Persyaratan Pendanaan Keuangan Partai Politik diatur pada Pasal 34 ayat (1), Keuangan partai politik bersumber dari : a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Berdasarkan Pasal Pasal 34A ayat (1), Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. C. Larangan dan Sanksi Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.
3.4. Kebijakan
Penyederhanaan
Partai
dalam
Peraturan
Mengenai
Pemilihan Umum Pasca Reformasi 3.4.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif
Partai Politik sebagai
Peserta Pemilu 3.4.1.1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 220 Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia; c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi; d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik. Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: 220
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia; c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.
Syarat jumlah pengurus tersebut sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU 3 Tahun 1999 adalah untuk menunjukkan bahwa partai politik yang menjadi peserta Pemilihan Umum betul-betul memiliki jaringan organisasi dan basis keanggotaan yang representif secara nasional. 3.4.1.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003221 Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat: diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang Partai Politik; memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah provinsi; c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3
dari jumlah kabupaten/kota di
provinsi yang bersangkutan; d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik, harus mempunyai kantor tetap dan mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU. Syarat peserta pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa : Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang b. Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi; d. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurangkurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik; f. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c 221
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
g. harus mempunyai kantor tetap; h. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU. 3.4.1.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008222 A. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa : (1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU. 3.4.1.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012223 Persyaratan bagi partai politik sebagai peserta pemilu diatur pada Pasal 8 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa : Pasal 8 ayat (1) : Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Pasal 8 ayat (2) :
222
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836
223
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU. 3.4.2. Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu 3.4.2.1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 224 Selain mengatur tentang syarat-syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilu, UU 3 Tahun 1999 juga mengatur tentang persyaratan ambang batas perolehan kursi, jika partai politik hendak mengikuti pemilu berikutnya yaitu, harus memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki minimal 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3) yang menyatakan bahwa : Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½ 224
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain. [Pasal 39 ayat (4)]. 3.4.2.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003225 Persyaratan bagi parpol untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu juga diatur dalam mekanisme ambang batas perolehan kursi, yaitu : memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa : Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan di atas hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila (Pasal ayat 2 ): a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan persyaratan peserta pemilu ; b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan peserta pemilu dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah
225
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan peserta pemilu dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi. 3.4.2.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008226 ET yang dianut dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003 kemudian oleh UU 10/2008 diganti dengan kebijakan baru
yang terkenal dengan
istilah
“Parliamentary Threshold” (disingkat PT) yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.” Melalui kebijakan PT ini, tampaknya pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan sistem kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang dapat menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara sebelumnya dengan kebijakan ET yang bermaksud mengurangi jumlah peserta Pemilu. 227 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) yang menyatakan bahwa : Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
226
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836
227
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
3.4.2.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012228 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 208. 3.5. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi Sistem multi-partai dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dapat dikatakan merupakan keniscayaan. Dengan kebebasan berorganisasi (freedom of association) yang dibuka sangat lebar sejak reformasi, kita tidak mungkin berharap dapat memiliki jumlah partai politik yang terbatas, seperti 2, 3, 4, atau hanya 5, kecuali dengan menerapkan prinsip-prinsip yang membatasi jumlah partai politik itu secara ketat. 229 Kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya dari sisi etnis tetapi juga dari faktor agama. etnis terbesar di Indonesia terdiri dari 40.6% Jawa, Sunda 15%, Madura 3,3% dan cina 3 sampai 4 %. Mayoritas penduduk beragama Islam yaitu sebesar 86.1%, Kristen 8.7%, Hindu 1.8% dan Budha 1%. 230 Namun demikian, sistem multipartai ekstrim yang terbentuk memunculkan
beberapa
permasalahan.
Kombinasi
yang
sulit
antara
presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik yang tak terhindarkan pada masa pasca amandemen konstitusi. Kombinasi yang sulit itu sudah tampak diantaranya dalam beberapa realitas politik sebagai berikut : pertama, terpilihnya presiden dengan basis politik minoritas (minority president) seperti bukan hanya tampak pada sosok
Susilo Bambang Yudhoyono dengan
basis Partai Demokrat (56 dari 550 kursi di DPR), melainkan juga terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid (PKB 51 dari 500 kursi DPR) dan Presiden Megawati (PDI Perjuangan 153 kursi dari 500 kursi DPR). Kedua, terbentuknya 228
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316.
229
Jimly Asshiddiqie. Memperkuat sistem presidensil. op.cit. hal 3
230
Allen Hicken. Political engineering and party regulation in Southeast Asia. United Nations University Press. 2008. hal 71
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DPR tanpa kekuatan mayoritas. Walaupun memenangkan pemilu legislatif, baik PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 maupun Partai Golkar pada Pemilu 2004 gagal menjadi partai mayoritas. Ketiga, terciptanya “kohabitasi” atau semacam “kawinpaksa secara politik antara Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagai akibat perbedaan basis politik di antara mereka. Ironisnya hal ini tak hanya terjadi pada era Presiden Abdurrahman Wahid (dan Wakil Presiden Megawati) dan Megawati (dengan Wakil Presiden Hamzah Haz/PPP), melainkan juga ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Golkar). Perbedaan basis politik antara Presiden dan Wakil Presiden seperti ini tentu merupakan problematik tersendiri yang berpotensi menjadi kendala efektivitas pemerintahan. 231
Pemilu Tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik. 21 Partai Politik berhasil memperoleh kursi di DPR. PDI memperoleh kursi terbanyak yaitu sebesar 33.11 % dari Jumlah Keseluruhan kursi, diikuti Golkar 25.97%, PPP 12.55%, PKB 11.04%, PAN 7.36%, dan PBB 2.08%. Herman dalam tesisnya menyimpulkan bahwa bentuk sistem kepartaian di Indonesia berdasarkan hasil pemilihan umum 1999 dengan menggunakan model laakso-Taagepera (1979) dan klasifikasi Duverger (1954) dan Coppedge (1999) adalah bentuk kepartaian yang bercorak multipartai yang moderat dengan ENPP 4.72.
232
hal tersebut dapat diartikan
bahwa jumlah efektif partai politik yang ada di DPR adalah 4 sampai 5 partai politik. Tabel 3.1. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1999 di Indonesia No
Nama Partai
Perolehan Kursi
% Perolehan Kursi
231
(Si)2
AM. Fatwa. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2009. Hal Ixiv. Baca juga pendapat Adnan Buyung Nasution bahwa ketegangan dalam hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden yang berakibat jalan buntu (deadlock) selalu menjadi kemungkinan di Indonesia sekarang. Hal ini disebabkan karena keduanya mempunyai legitimasi yang sama. Kesulitan akan bertambah apabila partai politik pendukung presiden tidak menguasai suara mayoritas dalam parlemen. (Adnan Buyung Nasution. Pikiran dan Gagasan Demokrasi Konstitusional. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2010. hal 119)
232
Herman. op.cit
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Partai PDIP Golkar PPP PKB PAN PBB Partai Keadilan PKP PNU PDKB PBI PDI PP PDR PSII PNI Front Marhaenis PNI Massa Marhaen IPKI PKU Masyumi PKD PNI Supeni Krisna Partai KAMI PUI PAY Partai Republik Partai MKGR PIB Partai SUNI PCD PSII 1905 Masyumi Baru PNBI PUDI PBN PKM PND PADI PRD PPI
Perolehan 153 120 58.00 51.00 34.00 13.00 7.00 4.00 5.00 5.00 1.00 2.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
% Perolehan 0.3311688 0.25974026 0.12554113 0.11038961 0.07359307 0.02813853 0.01515152 0.00865801 0.01082251 0.01082251 0.00216450 0.00432900 0.00216450 0.00216450 0.00216450 0.00216450 0.00216450 0.00216450 0.00216450 0.00216450 0.00216450 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(Si)2 0.10967279 0.067 0.016 0.012 0.005 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
No 42 43 44 45 46 47 48
Nama Partai PID Murba SPSI PUMI PSP PARI PILAR Total ENPP
Perolehan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 462
% Perolehan 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000 0.00000000
(Si)2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.212 4.719
Sumber Data Diolah dari : Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.
233
Pemilu Tahun 2004 diikuti oleh 24 Partai politik dan sebanyak 15 partai memperoleh kursi di DPR. Partai Golkar meraih kursi terbanyak dengan 23% kursi, diikuti PDIP sebanyak 19.8%, PPP 10.5%, Partai Demokrat 10%, PAN 9.6%, PKB 9.5% dan PKS 8.2%. Hasil pemilu 2004 diketahui berganti menjadi sistem kepartaian multipartai ekstrim dengan ENPP 7.07. Berdasarkan acuan pada aspek tipologi numerik (numerical typology) sesungguhnya jumlah partainya sudah berkurang dari 48 pada tahun 1999 menjadi 24 partai pada tahun 2004, namun dengan rumusan ENPP
(Effective Number of Parliament Parties).
Angkanya justru meningkat. 234 Jumlah partai yang efektif di parlemen naik dari lima partai pada tahun 1999 menjadi tujuh partai pada tahun 2004, sehingga berdasarkan model laakso (1974) hasil pemilu 1999 menunjukkan sistem lima partai sedangkan pada pemilu 2004 menunjukkan sistem tujuh partai. 235
233
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. hal 41
234
Herman. Op.cit hal 73
235
ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 3.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2004 di Indonesia
No. Nama Partai
Jumlah Kursi
% Jumlah Kursi (Si)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 0 11 0 58 4 0 0 55 1 1 0
0.002 0.00 0.02 0.00 0.11 0.01 0.00 0.00 0.10 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 -
53 2 52 45 14 109 13 128 0 0 0 3 550
0.10 0.00 0.09 0.08 0.03 0.20 0.02 0.23 0.00 0.00 0.00 0.01
0.01 0.00 0.01 0.01 0.00 0.04 0.00 0.05 0.00 0.14 7.08
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Partai Buruh Sosial Demokrat Partai Bulan Bintang Partai Merdeka Partai Persatuan Pembangunan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan Partai Perhimpunan Indonesia Baru Partai Nasional Banteng Kemerdekaan Partai Demokrat Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Partai Penegak Demokrasi Indonesia Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 13 Partai Amanat Nasional 14 Partai Karya Peduli Bangsa 15 Partai Kebangkitan Bangsa 16 Partai Keadilan Sejahtera 17 Partai Bintang Reformasi 18 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 19 Partai Damai Sejahtera 20 Partai Golongan Karya 21 Partai Patriot Pancasila 22 Partai Sarikat Indonesia 23 Partai Persatuan Daerah 24 Partai Pelopor Total ENPP Sumber : Komisi Pemilihan Umum 236
(Si)2
Pada Pemilu Tahun 2009, diikuti oleh 38 partai politik, pemberlakuan PT mengakibatkan hanya 9 partai politik yang lolos dan memperoleh kursi di DPR. Partai Demokrat meraih 26.43% Kursi, diikuti Golongan Karya 18.93%, PDIP 16.79%, PKS 10.18%, PAN 8.21%, PPP 6.79%, PKB 5%, Partai Gerindra 4.64% 236
Komisi Pemilihan Umum.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dan Partai Hanura 3.04%. Model Laakso apabila diterapkan pada pemilu tahun 2009, menunjukkan bahwa : Jumlah partai peserta pemilu 2009 meningkat dari 24 partai menjadi 38 partai politik. dengan rumusan ENPP (Effective Number of Parliament Parties). Diperoleh angka efektif partai 6.4774652. angka ENPP tahun 2004 sebesar 7.072. meskipun angka efektif partai berkurang, namun dengan pembulatan jumlah partai yang efektif pada tahun 2009 tetaplah tujuh partai, sehingga di tahun 2009 Indonesia menunjukkan sistem multipartai ekstrim dengan jumlah tujuh partai efektif. Tabel 3.3 Pengukuran ENPP Pemilu Tahun 2009 No.
Nama Partai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Partai Demokrat Partai Golongan Karya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Persatuan Pembangunan Partai Kebangkitan Bangsa Partai Gerakan Indonesia Raya Partai Hati Nurani Rakyat Partai Karya Peduli Bangsa Partai Pengusaha Dan Pekerja Indonesia Partai Peduli Rakyat Nasional Partai Barisan Nasional Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia Partai Perjuangan Indonesia Baru Partai Kedaulatan Partai Persatuan Daerah Partai Pemuda Indonesia Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Partai Demokrasi Pembaruan Partai Karya Perjuangan Partai Matahari Bangsa Partai Penegak Demokrasi Indonesia
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Kursi
% Kursi
148 106 94 57 46 38 28 26 17
26.43 18.93 16.79 10.18 8.21 6.79 5.00 4.64 3.04
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(Si)2 0.0698469 0.0358291 0.028176 0.0103603 0.0067474 0.0025 0.0009216
No. 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Nama Partai Partai Demokrasi Kebangsaan Partai Republika Nusantara Partai Pelopor Partai Damai Sejahtera Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia Partai Bulan Bintang Partai Bintang Reformasi Partai Patriot Partai Kasih Demokrasi Indonesia Partai Indonesia Sejahtera Partai Kebangkitan Nasional Ulama Partai Merdeka Partai Nahdlatul Ummah Indonesia Partai Sarikat Indonesia Partai Buruh Jumlah
Kursi
% Kursi
560
(Si)2
3.04 0.1543814 ENPP 6.4774652 Sumber Partai Pemenang dan Perolehan Kursi : www.kpu.co.id
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA 4.1. Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi. Kebijakan penyederhanaan partai politik bukanlah kebijakan yang baru dalam sejarah
ketatanegaraan di Indonesia. Sebelum reformasi, yaitu sejak
kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, telah melaksanakan kebijakan penyederhanaan partai politik. Seperti yang telah diuraikan pada Bab I, Maklumat Pemerintah Nomor X Pada 3 November 1945 Tentang Anjuran Pemerintah Tentang Pembentukan Partai-Partai Politik yang ditandatangani wakil presiden Mohammad Hatta, merupakan titik awal terbentuknya sistem multipartai di Indonesia. 237 Namun, dalam sejarah, sistem multi partai ini tidaklah disukai karena Banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa. 238 Ketidakstabilan pemerintah ini menjadi alasan bagi Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai yang mengatur kehidupan dan pembubaran partai politik. Penpres itu memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai politik yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar negara atau pemimpinnya terlibat pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan. 239 Presiden Sukarno menilai kehidupan kepartaian saat itu dengan segala manuvernya telah membahayakan persatuan dan keselamatan negara. 240 Sesudah dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut, Sukarno kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden No 200/1960 dan Kepres 201/1960 yang 237
Hanta Yuda HR. op.cit. hal 101
238
Adnan Buyung Nasution. Op.cit. hal 133
239
Tohir Luth. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999. Hal 51
240
Wawan Tunggul Alam. Op.cit. hal 284.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dengan resmi memerintahkan membubarkan Masyumi dan PSI. 241 Pada tanggal 21 September 1965, Presiden Sukarno kembali membubarkan partai politik, yaitu Partai Murba dengan Keputusan Presiden No 291 Tahun 1965 yang menetapkan pembubaran Partai Murba, termasuk cabang-cabang/ranting-rantingnya di seluruh wilayah Republik Indonesia. 242 Kebijakan Penyederhanaan partai politik kemudian terulang pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara yang sedikit banyak radikal, di muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengumumkan sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. 243 Suharto kemudian menetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, peserta pemliu hanya 2 partai dan 1 golongan karya. Kedua Partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). 244 Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik pasca pemilu 1971, dimaksudkan pemerintah untuk menjamin stabilitas politik yang mantap. 245 Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian Orde Baru, yang sangat ramping, Indonesia mengalami ledakan partai politik luar biasa. Antara akhir Mei 1998 dan Februari 1999 pasca runtuhnya orde baru. Pasca reformasi, partai politik mengalami kebebasan dengan ditetapkannya undang-undang nomor 2 tahun 1999. Ratusan partai baru berdiri yang semula dibatasi dan dberedel secara paksa hanya menjadi 2 partai dan satu golongan karya pada zaman presiden soeharto menjadi bebas. Sebanyak 41 partai lolos menjadi peserta pemilu dan 27 partai mendapat kursi di DPR. Namun, pengambil kebijakan merasa jumlah partai yang ekstrim membawa dampak yang tidak baik terhadap sistem politik, sehingga menetapkan undang-undang tentang partai politik yang baru yaitu undang-undang Nomor 31 241
Tohir Luth. Op cit hal 52
242
Rosihan Anwar. Op.cit . hal 372
243
Miriam Budiardjo. Op cit. 2010. hal 445
244
Ibid. hal 85
245
Sulastomo. Op.cit. hal 200
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tahun 2002 dimana dipandang perlunya penyederhanaan partai. Tujuan pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik pada masa pasca reformasi dapat dilihat pada penjelasan dan dasar pemikiran Undang-Undang tentang partai politik dan juga pemilihan umum
yaitu untu membentuk Sistem Multipartai
Sederhana dan memperkuat sistem presidensil. Penjelasan UU 31 tahun 2002 : 246 Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional. Mekanisme ini di samping tidak cenderung menampilkan monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara optimal. Dengan sistem multipartai kekuatan-kekuatan politik akan lebih mudah mencapai sinergi nasional dan partai dapat lebih mengoptimalkan perannya. Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dinyatakan bahwa sistem multipartai sederhana dimaksudkan sebagai salah satu upaya memperkuat sistem presidensil di Indonesia. sebagaimana yang dinyatakan berikut : Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat. Pembentukan sistem multipartai sederhana untuk memperkuat sistem presidensil juga dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa : Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 247 246
Republik Indonesia. Penjelasan UU 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
247
Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah mengenai Kriteria penyusunan daerah pemilihan, ambang batas parlemen (Parliamentary Treshold), sistem Pemilu Proporsional, konversi suara menjadi kursi, penetapan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tujuan pembentukan sistem multipartai sederhana untuk memperkuat sistem presidensil, juga dikemukakan dalam pendapat-pendapat pemerintah dan DPR dalam pengujian/judicial review Undang-Undang tentang Partai Politik dan Pemilu. Namun demikian, dalam setiap undang-undang belum dapat dipastikan sistem multipartai sederhana yang seperti apa yang hendak dituju, Mahkamah konstitusi dalam putusannya memberikan kritik bahwa pengambil kebijakan cenderung bereksperimen dan berubah-ubah. Menurut para ahli, sistem multipartai memang tidaklah cocok apabila disatukan dengan sistem pemerintahan presidensiil. Salah satunya adalah pendapat dari Scott Mainwarring, seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa kombinasi antara sistem presidensil dan sistem multi partai membuat demokrasi yang tidak stabil. 248 The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain. Dari hasil penelitiannya, tidak ada dari 31 negara demokrasi yang stabil di dunia mempunyai konfigurasi ini dan hanya satu contoh negara dalam sejarah, yaitu Chili antara 1933 ke 1973 yang mampu stabil dengan sistem presidensil dan multipartai. 249 Kombinasi antara presidensil dan multipartai akan menghasilkan imobilisasi eksekutif/ legislative deadlock daripada sistem parlementer atau sistem presidensil-sistem dwi-partai. Presiden dipilih secara independen dan ketika pemenang tidak berasal dari partai mayoritas sehingga presiden tidak didukung mayoritas parlemen. 250 Tendensi menuju eksekutif-legislatif deadlock terjadi pada kombinasi antara sistem presidensil dan multipartai terutama dengan sistem partai dengan fragmentasi yang tinggi. Presiden sering tidak didukung oleh legislatif yang mengakibatkan terganggunya stabilitas demokrasi dan pemerintahan yang Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak 248
Scott Mainwaring. Op.cit. hal 199
249
Ibid hal 199
250
Ibid hal 214
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
efektif. 251 Selain itu sistem presidensil menyebabkan sistem multipartai tidak berfungsi secara baik dikarenakan bangunan koalisi. Dalam sistem multipartai, koalisi antar partai menjadi penting untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tiga faktor yang menyebabkan sulitnya dibangun koalisi antar partai dalam sistem presidensil adalah : 252 Pertama,
dalam
sistem
presidensil,
presiden
(bukan
partai)
yang
bertanggungjawab untuk membentuk kabinet. Presiden dapat saja membuat kesepakatan dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan ini tidaklah semengikat kesepakatan yang dibuat dalam sistem parlementer. Presiden lebih bebas merombak kabinet yang menyebabkan lebih mudah kehilangan dukungan kongres, karena rendahnya ikatan antara presiden ke partai, maka partai-partai pun akan rendah pula ikatannya kepada presiden. Kedua, dalam sistem presidensil, komitmen dari para legislator secara individu untuk mendukung hasil kesepakatan pemimpin partai seringlah tidak konsisten dan tidak disiplin. Akibatnya tidaklah mungkin untuk digeneralisasi bagaimana dukungan partai terhadap pemerintahan dalam bentuk dukungan tiap individu dalam parlemen. Ketiga, dorongan kepada partai untuk memecah koalisi lebih kuat pada sistem presidensil dibanding sistem parlementer. Dalam sistem presidensil-multipartai, pada saat presiden terpilih, para pemimpin partai umumnya merasa perlu untuk membuat jarak kepada pemerintahan. Dengan menyisakan partner tersembunyi dalam pemerintahan koalisi, para pemimpin partai merasa takut kehilangan identitasnya, membagi kesalahan yang dibuat pemerintah dan tidak menikmati prestasi yang dicapai. Perlunya kebijakan penyederhanaan partai politik dikemukakan juga oleh Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa pada masa reformasi, keran politik terbuka lebar, sehingga segala pembatasan terhadap prinsip kebebasan berserikat ditiadakan. Sesuai dengan jaminan konstitusional mengenai prinsip kebebasan, semua orang diakui berhak mendirikan partai politik, sehingga berkembang menjadi sistem politik yang biasa dikenal dengan ‘multi-party system’. Untuk 251
Ibid hal 215
252
Ibid hal 220
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mengatur dan mengarahkan agar kecenderungan dan nafsu orang untuk mendirikan partai politik menjadi rasional, perlu diadakan pembatasan jumlah partai politik. Apabila jumlah partai politik tidak dibatasi, maka jumlah yang terlalu banyak akan menurunkan citra partai itu sendiri secara keseluruhan di mata rakyat. 253
4.2. Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Kebijakan penyederhanaan partai politik diwujudkan dalam penetapan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif baik dalam pembentukan partai politik sebagai badan hukum, persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu dan juga persyaratan ambang batas penempatan wakil partai di DPR. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 yang menyatakan bahwa : Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai maupun dalam penggabungan partai-partai yang ada.” 4.2.1. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai Badan Hukum Perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik mulai dari sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sampai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 diikuti pula dengan perubahan persyaratan-persyaratan pembentukan dan penetapan partai politik sebagai badan hukum.
Penetapan partai politik
sebagai badan hukum merupakan salah satu persyaratan kualitatif yang merupakan perwujudan dari kebijakan penyederhanaan partai politik. Selain itu syarat kualitatif lainnya adalah partai politik harus memiliki kantor tetap. Sedangkan wujud pelaksanaan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui penetapan syarat kuantitatif meliputi mempunyai kepengurusan dan memiliki 253
Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Ke Empat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14-18 Juli 2003. hal 40
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dukungan yang kuat dari rakyat serta basis massa yang luas sebagaimana dijelaskan dalam pendapat pemerintah dalam putusan perkara pengujian undangundang nomor 20/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa :
254
Perwujudan sistem multi partai yang sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam pembentukan Partai Politik maupun penggabungan Partai Politik. Yang dimaksud dengan persyaratan kualitatif sebuah Partai Politik yaitu berbadan hukum, artinya dengan berstatus sebagai badan hukum, dengan sendirinya harus memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi badan hukum publik, dan bertindak sebagai badan yang transparan kepada public. Di samping merupakan badan hukum publik, juga harus mempunyai kantor yang tetap. Sedangkan persyaratan kuantitatif sebuah Partai Politik yaitu mempunyai kepengurusan dan memiliki dukungan yang kuat dari rakyat serta basis massa yang luas. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, partai politik dibentuk dan didirikan oleh sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah berusia 21, ketentuan ini tetap berlaku dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Syarat minimal jumlah pendiri partai berubah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Syarat minimal pendiri partai semakin diperberat yaitu 30
orang WNI telah
berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Undang-Undang tentang partai politik juga mengatur tentang batasan ideologi/asas partai politik. Dari semua Undang-Undang tentang Partai politik, asas partai adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, selain itu setiap partai politik dilarang untuk menganut dan menyebarkan aliran Leninisme/komunisme dan Marxisme. Selain itu Undang-Undang Partai Politik mengatur tentang batasan nama dan lambang partai, pendirian dengan akta notaris. Persyaratan kepengurusan partai ditingkat pusat ditetapkan sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Syarat kepengurusan kemudian ditambahkan syarat menyertakan 30% keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Ringkasan syarat pembentukan partai politik dari setiap Undang-Undang disajikan dalam Tabel 4.1.
254
ibid. hal 13
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 4.1 Persyaratan/Pembatasan Pembentukan Partai Politik No Perysaratan/ batasan 1 Kriteria dan Jumlah Minimal Pendiri
UU 2/1999
UU 31/2002
UU 2/2008
UU 2/2011
50 orang WNI berusia 21 tahun
50 orang WNI berusia 21 tahun
50 orang berusia 21 tahun
30 orang WNI telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi
2
Pancasila
Pancasila dan UUD 1945
Pancasila dan UUD 1945
Pancasila dan UUD 1945
ideologi/asas dan ciri
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
3
Nama dan dilarang Lambang menggunaka partai n: - Nama dan lambang negara asing - Bendera NKRI - Bendera negara asing - Gambar perorangan - Lambang partai yang sudah ada
4
dengan akta ya notaris AD dan ART Kepengurusa n
6 7
dilarang menggunakan : - Bendera atau lambang Negara RI - Lambang pemerintahan - Nama, bendera, lambang negara lain atau lembagan/ba dan internasional - Gambar perorangan - Lambang partai yang sudah ada
ya ya - Kepengurusa n di tingkat pusat
dilarang menggunaka n: - Bendera atau lambang Negara RI - Lambang pemerintah an - Nama, bendera, lambang negara lain atau lembagan/ badan internasion al - Nama, bendera, symbol gerakan separatis atau organisasi terlarang - Gambar perorangan - Lambang partai yang sudah ada ya
nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan dengan nama, lambang, atau tanda Gambar Politik lain
ya
ya ya - Kepenguru - Kepenguru san tingkat san tingkat pusat pusat (menyertak (menyertak an 30% an 30% keterwakil keterwakila an n perempuan Perempuan ) )
Partai politik yang telah terbentuk dengan akta notaris, diwajibkan mendaftar ke Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang untuk
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ditetapkan sebagai badan hukum dengan terlebih dahulu memenuhi berbagai persyaratan. Semua Undang-Undang tentang Partai Politik dari yang pernah berlaku, mengatur tentang syarat akta notaris pendirian partai serta nama dan lambang partai sebagai prasyarat pendaftaran partai sebagai badan hukum. Jumlah minimal pendaftar baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu partai politik didaftarkan oleh minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik.
Persyaratan mengenai jumlah minimum kepengurusan
partai baru diatur pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, untuk didaftarkan sebagai badan hukum, partai politik harus memenuhi persyaratan minimal kepengurusan 50% dari jumlah Provinsi, 50% dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi yg bersangkutan 25% dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Syarat kepengurusan kemudian diperberat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, terutama syarat kepengurusan di tingkat provinsi, yang semula minimal 50% dari jumlah provinsi menjadi 60% setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, syarat kepengurusan semakin diperberat, menjadi di setiap Provinsi, 75 % dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi dan 50 % dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap partai politik harus memenuhi kepengurusan di 33 provinsi, 373 kabupaten kota, dan 3.311 kecamatan. Pengaturan tentang syarat keputusan ini dimaksudkan untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai sebagaimana yang dikemukakan dalam opening statement pemerintah dalam putusan perkara pengujian undang-undang
Nomor 15/PUU-IX/2011 bahwa
Pengaturan tentang syarat kepengurusan partai politik dimaksudkan dan adanya alasan sebagai berikut : 255 a. Partai politik adalah organisasi yang sifatnya nasional, maka pendirinya juga bersifat nasional dan kepengurusannya tersebar di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. b. Untuk terciptanya integritas nasional. c. Sebagai bentuk perwujudan-perwujudan jaminan penguatan kemandirian kelembagaan partai politik itu sendiri. 255
ibid. hal 25
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Syarat pendaftaran lainnya adalah partai politik diwajibkan untuk memiliki kantor tetap dan memiliki rekening partai. Ringkasan perubahan persyaratan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Persyaratan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum No
Perysaratan/ UU 2/1999 batasan akta notaris ya pendirian Nama Lambang dan Tanda Gambar jumlah pendaftar -
UU 31/2002
4
jumlah Minimal Kepengurusan
4
Kantor tetap
- 50% dari - 60 % dari jumlah jumlah Provinsi Provinsi - 50% dr - 50% dr jumlah jumlah kabupaten/ kabupaten kota di /kota di tiap tiap provinsi provinsi yg yg bersangkut bersangku an tan - 25% dari - 25% dari jumlah jumlah kecamatan kecamata di tiap n di tiap kabupaten/ kabupaten kota yang /kota yang bersangkut bersangku an tan ya ya ya (pada tingkat
1 2
3
-
UU2/2008
UU 2/2011
ya
ya
ya
-
-
minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik - Setiap Provinsi - 75 % dr jumlah kabupaten/ kota di tiap provinsi - 50 % dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/ kota yang bersangkut an
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No
5 6
Perysaratan/ batasan
UU 2/1999
rekening partai Prosedur - Di pendaftaran dan Departemen pengesahan Kehakiman menjadi badan - Disahkan hukum jika memenuhi syarat pembentuka n partai - Pengesahan diumumkan di berita negara
UU 31/2002
UU2/2008
UU 2/2011
provinsi, kabupaten dan kota) sampai tahap akhir pemilu ya ya - Di - Departeme - Departeme Departeme hukum dan hukum dan n HAM HAM Kehakima - Proses - Proses n penelitia/v penelitia/ver - Pengesaha erifikasi, ifikasi, 45 n oleh 45 hari hari setelah menteri setelah berkas kehakiman berkas lengkap (maksimal lengkap - Pengesahan 30 hari - Pengesaha oleh menteri setelah n oleh (maksimal pendaftara menteri 15 hari n) (maksimal setelah - Pengesaha 15 hari proses n setelah verifikasi diumumka proses - Pengesahan n di berita verifikasi diumumkan negara - Pengesaha di berita n negara diumumka n di berita negara
Jika dibandingkan dengan pengaturan di negara lain, seperti yang sudah diuraikan dalam Bab II, ada beberapa negara yang memang tidak mengatur tentang syarat-syarat pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum. Perancis, Swedia dan Irlandia, tidak ada persyaratan bagi partai untuk mendaftar kepada lembaga yang berwenang sebelum muncul di surat suara. Tapi di banyak negara persyaratan pendirian partai politik pada umumnya meningkat dalam beberapa tahun terakhir, di sebagian negara partai harus berhadapan dengan adanya ketentuan tentang penyediaan dana kampanye publik, dan di sebagian lainnya partai politik harus menghadapi kompleksitas persyaratan birokrasi yang panjang untuk mendaftarkan secara legal sebagai langkah pertama untuk
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mendapatkan akses suara. Proses pendaftaran partai bervariasi lintas nasional (sebagaimana juga di
negara-negara di Amerika) tetapi pada umumnya
persyaratan pendaftaran mencakup persyaratan organisasi harus memberikan deposit kepada lembaga pemilihan umum, pernyataan tertulis dari prinsip dan konstitusi partai, peraturan partai, pernyataan tentang struktur organisasi, dan buku aturan, serta daftar pengurus partai, dan nama-nama dari sejumlah minimum tertentu dari anggota partai beserta tanda tangan. terkadang ada persyaratan distribusi regional dan partai perlu mencantumkan jumlah minimum kandidat. Beberapa contoh pengaturan persyaratan pendirian partai politik disajikan pada Tabel 4.3. 256 Di Jerman, partai politik memiliki status agak ambivalen. Di satu sisi, mereka adalah organisasi swasta, baik terdaftar atau tidak terdaftar organisasi yang didirikan berdasarkan peraturan hukum privat. Di sisi lain, mereka adalah organisasi publik yang memiliki hak konstitusional tertentu. BL menjamin bahwa partai politik "dapat bebas didirikan. Tidak Ada ketentuan baik dalam konstitusi Jerman 1949 (the Basic Law of the Federal Republic of Germany) atau Law on Political Parties (LPP) yang direvisi tahun 1994, bahwa pembentukan partai politik tidak memerlukan pendaftaran, sehingga dapat diartikan bahwa partai politik di Jerman tidak perlu didaftarkan. 257 Pendaftaran partai politik juga tidak diwajibkan di Inggris. Jika suatu organisasi hendak mendaftar sebagai partai politik, maka harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : 258 1. formulir aplikasi memberikan rincian nama partai dan setidaknya dua pejabat partai 2. di mana partai itu harus terdaftar, dan apakah partai akan memiliki unit akuntan; 3. salinan Konstitusi Partai
256
Pippa Norris.op.cit. Hal 8
257
Chau Pak-kwan. Op.cit Hal 5
258
ibid Hal 20
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
4. Skema Keuangan, menunjukkan bagaimana partai memenuhi kebutuhan pendanaan 5. Biaya sebesar £ 150
Tabel 4.3. Persyaratan Pendirian Partai Politik di Beberapa Negara
No 1
Negara Australia
Syarat Umum
Minimum anggota dan Kepengurusan
didirikan
minimal 500 anggota donator atau satu
berdasarkan
orang yang menjadi anggota parlemen
konstitusi tertulis
commonwealth. Anggota
partai
lain,
tidak
dapat
digunakan oleh partai lainnya untuk mendaftar 2
Meksiko
menyerahkan
Memiliki 3000 anggota yang tersebar
dokumen
setidaknya 10 dari 32 entitas federal atau
deklarasi prinsip,
300 anggota pada setidaknya 100 dari
program
300 single member district yang mana
dan
kegiatan partai,
negara
serta
kepentingan pemilihan umum
peraturan
tersebut
dibagi
untuk
internal partai. 3
Kanada
menyertakan
pengurus
partai
dan
deklarasi yang ditandatangani minimum 250 anggota 4
Austria,
5000 anggota
Spanyol dan Uruguay 5
rusia
harus
memiliki
membutuhkan minimal 400 anggota atau
cabang-cabang di
lebih
wilayah
membutuhkan minimal 150 anggota
dari
lebih
dan
di
wilayah
setengah
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
sisanya
No
Negara
Syarat Umum wilayah
Minimum anggota dan Kepengurusan
yang
berada
di
Federasi Rusia 6
ukraina
10.000 tanda tangan dari warga negara Ukraina
yang
memiliki
hak
untuk
memilih yang haruslah tersebar di 2-3 distrik
atau
2
sampai
3
wilayah
administratif Ukraina dan di Kota Kyiv dan Sevastopol dan 2 sampai 3 distrik di Republik Otonomi Crimea. 259
Dengan demikian meskipun ada beberapa negara yang tidak mengatur tentang pendirian partai politik secara khusus dalam Undang-Undang tentang Partai Politik, namun kebanyakan negara mengatur tentang syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai politik dengan tingkatan beratnya persyaratan bervariasi mencakup syarat minimum anggota, kepengurusan hingga ketersebaran. Selain mengatur tentang pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, Undang-Undang tentang Partai Politik mengatur juga batasan-batasan mengenai keuangan partai politik yang mencakup sumber pendanaan, batasan pengeluaran dan penerimaan, laporan keuangan, audit laporan dan juga rekening partai. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa kebijakan memberi bantuan kepada partai politik yang dapat memancing dan mendorong minat orang mendirikan partai dengan harapan dapat memperoleh dana bantuan dari pemerintah, bertentangan dengan kebutuhan untuk mengendalikan jumlah partai politik, dan karena itu sebaiknya dihentikan. 260 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, audit laporan dilaksanakan cukup oleh akuntan publik yang 259
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The Ukrainian Legislation On Political Parties Adopted By The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July 2002) Hal 3 260
Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan RI. hal 42
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ditunjuk, namun sejak berlakunya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, anggaran yang bersumber dari APBD haruslah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. ringkasan mengenai pengaturan tentang batasan keuangan partai politik disajikan pada Tabel 4.4
Tabel 4.4. Persyaratan Pengelolaan Keuangan Partai Politik
No 1
2
3
Perysaratan /batasan sumber pendanaan
UU 2/1999
- iuran anggota; - sumbangan; - usaha lain yang sah. - Bantuan dari anggaran negara batas - 15 juta per maksimal orang/tahun sumbangan/p - 150 juta per enerimaan perusahaan atau badan usaha per tahun
Pembukuan pengelolaan keuangan laporan keuangan
UU 31/2002 - Iuran anggota - Sumbangan yang sah - Bantuan dari anggaran negara - Dari anggota dan bukan anggota 200 juta per tahun - 800 juta per perusahaan atau badan usaha per tahun
ya
setiap akhir tahun dan setiap 15 hari sebelum serta 30 hari sesudah pemilihan umum kepada MAhkamah Agung
satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum
UU 2/2008
UU 2/2011
- Iuran anggota - Iuran anggota - Sumbangan - Sumbangan yang sah yang sah - Bantuan - Bantuan keuangan dari keuangan dari APBN/APBD APBN/APBD
- Anggota partai, diatur AD dan ART - Perseorangan bukan anggota partai 1 miliar per tahun - Empat miliar per perusahaan atau badan usaha per tahun ya
A. Satu tahun sekai kepada pemerintah
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
-
B. Satu tahun sekai kepada BPK
No
Perysaratan /batasan
UU 2/1999
UU 31/2002
4
audit laporan
akuntan public yang ditunjuk Mahkamah Agung
akuntan public
Anggaran yang bersumber dari anggaran negara di periksa oleh BPK
5
rekening partai
rekening khusus dana kampanye pemilu
rekening khusus dana kampanye pemilu
-
UU 2/2008
UU 2/2011
Anggaran yang bersumber dari anggaran negara di audit oleh BPK paling lambat 1 bulan setelah tahun anggaran berakhir -
4.2.2. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral Threshold Partai politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat menjadi peserta pemilihan umum. Untuk menjadi peserta pemilihan umum, partai politik diwajibkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Pasca reformasi berlaku Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, yang berturut-turut kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Persyaratan Partai Politik untuk mengikuti pemilu meliputi persyaratan kepengurusan, Kantor tetap, jumlah minimum anggota dan persyaratan ambang batas, serta persyaratanpersyaratan lainnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Partai Politik yang hendak menjadi peserta pemilihan umum, harus memenuhi syarat kepengurusan lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia; di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi yang bersangkutan. Syarat ini kemudian diperberat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, menjadi minimal
2/3 dari seluruh jumlah
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
provinsi; minimal 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, syarat kepengurusan partai politik kembali diperberat menjadi di seluruh provinsi, minimal di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; minimal di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan. Untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, harus memenuhi ambang batas (electoral threshold) 2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia. ketentuan ini diperberat pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menjadi 3% jumlah kursi DPR; b. 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar di
½
jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. 4% jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia. Namun ketentuan mengenai electoral threshold dihilangkan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Ketentuan ini kemudian diganti dengan ketentuan mengenai Parliamentary Threshold. Ringkasan mengenai syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilu disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Persyaratan Partai Politik untuk Menjadi Peserta Pemilihan Umum Syarat UndangUndangUndangUndangPeserta Undang Nomor Undang Undang Undang Pemilu 3 Tahun 1999 Nomor 12 Nomor 10 Nomor 8 Tahun 2003 Tahun 2008 Tahun 2012 kepengurusan
lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia; di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah abupaten/kotamad ya di propinsi yang bersangkutan
minimal 2/3 dari seluruh jumlah provinsi; minimal 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
minimal 2/3 jumlah provinsi; di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kot a di provinsi yang bersangkutan
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
di seluruh provinsi, minimal di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; minimal di 50% (lima puluh persen)
Syarat Peserta Pemilu
UndangUndang Nomor 3 Tahun 1999
UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003
UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008
UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012
30% keterwakilan Perempuan minimum anggota
-
-
ya
jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan ya
-
1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
Nama danTanda Gambar kantor tetap rekening dana Kampanye Pemilu electoral threshold(amb ang batas)
ya
ya
1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik ya
1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik ya
-
ya -
ya -
ya ya
2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotama dya seluruh Indonesia
3% jumlah kursi DPR; b. 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
-
Partai politik yang hendak
berpartisipasi dalam pemilihan umum di
Jerman, diharuskan untuk memberitahukan tentang niat mereka ke Federal Returning Officer sebelum pemilihan, kecuali partai-partai yang telah diwakili oleh sedikitnya lima perwakilan di Bunderstag atau di Landtag (parlemen negara) sejak pemilihan terakhir. Pemberitahuan tersebut harus meliputi nama partai dan ditandatangani oleh setidaknya tiga anggota komite eksekutif nasional partai. Persyaratan lainnya adalah anggaran dasar partai, program partai dan bukti formal kepemimpinan. 261 Partai politik diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen berikut ke Federal Returning Officer: 262 (a) anggaran dasar partai dan artikel; (b) program partai, dan (c) nama dan fungsi anggota eksekutif partai dan cabang-cabang lokalnya. Salinan dokumen-dokumen tersedia untuk publik secara gratis. Untuk menjadi peserta pemilu, setiap organisasi di Inggris harus terdaftar di Komisi Pemilihan Umum, jika tidak, mereka hanya dapat mendaftar sebagai calon independen. 263 Dalam permohonan pendaftaran berdasarkan UU Pemilu Kanada tahun 2000, partai politik harus memberikan rincian pemimpin, pejabat partai, agen dan auditor. Partai juga harus menyediakan nama, alamat dan tanda tangan dari 250 pemilih dan deklarasi pembentukan bahwa mereka adalah anggota partai dan mendukung aplikasi partai untuk
terdaftar.
partai juga harus menyerahkan
deklarasi dari pimpinan partai bahwa salah satu tujuan mendasar adalah untuk berpartisipasi dalam urusan publik dengan mendukung satu atau lebih sebagai calon anggota dan mendukung pemilihan mereka. 264 The Sustainable Governance Indicators 2009 Project dalam laporannya tentang Democracy and Electoral Process di 31 negara anggota The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengemukakan bahwa : 265 1. Australia 261
Chau Pak-kwan. Op.cit hal 6
262
Ibid
263
Ibid hal 16
264
265
Anika Gauja. op.cit Hal 6 Ibid hal 2-
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Sejak 1984, partai-partai politik telah diwajibkan untuk mendaftar kepada AEC sebelum pencalonan kandidat untuk pemilu. Tidak ada hambatan yang signifikan untuk pendaftaran, untuk setiap calon potensial atau partai haruslah memenuhi syarat yaitu partai harus memiliki minimal 500 anggota pemilih yang sah. Sejak pendaftaran partai harus mengikut aturan tentang pendanaan kampanye pemilu yang ketat. Calon perseorangan yang tidak terafiliasi dengan partai politik dapat mencalonkan diri untuk pemilu jika telah berusia 18 tahun atau lebih, memegang kewarganegaraan Australia dan berada di daftar pemilih. 2. Austria secara umum pendirian partai politik tidaklah dibatasi, pembatasan. Berdasarkan Undang-Undang tentang Partai tahun 1975, partai politik harus memiliki aturan internal Partai dan menyampaikannya kepada Kementerian Dalam Negeri sehingga dapat diterbitkan dalam brosur berkala. Aturan tentang pembatasan mendirikan dan mendaftarkan partai dan kandidat, hanya ada dalam Perjanjian Negara Wina (1955), yaitu larangan pembentukan organisasi fasis dan nasional sosialis. 3. Denmark partai-partai sudah memiliki wakil di parlemen otomatis dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum yang baru, sementara partai lain harus mendapatkan persetujuan dari menteri dalam negeri dengan menyediakan sejumlah besar tanda tangan pemilih pendukungnya partisipasi. Jumlah tanda tangan harus setidaknya 1/175 dari pemilih yang berpartisipasi dalam pemilu sebelumnya, yang dalam prakteknya berjumlah lebih dari 25.000. Kedua, nama partai yang baru harus mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa, pengaturan tentang syarat-syarat pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu juga bervariasi diatur di berbagai negara. 4.2.3. Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di DPR (Parliamentary Threshold) Partai politik yang memperoleh suara di pemilu DPR tidak serta merta dapat menempatkan wakilnya (memperoleh kursi) di DPR. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Partai Politik harus memperoleh
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
minimum 2.5% suara ditingkat nasional untuk dapat diikutsertakan dalam perhitungan kursi di DPR. Ketentuan ini semakin diperberat pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Yaitu menjadi 3 % perolehan suara nasional. Tabel 4.6 Ketentuan Ambang Batas (Parliamentary Threshold) Persyaratan /Batasan Parliamentary Threshold
UU 2/1999 -
UU 31/2002
UU 2/2008
UU 2/2011
-
2.5%
3%
Dalam praktek-praktek di negara lain, sebagaimana telah diuraikan pada Bab II, Penerapan besaran Parliamentary Threshold bervariasi. Di negara-negara Eropa, PT bervariasi antara 10%-0%. Turki adalah negara dengan PT tertinggi yaitu sebesar 10%. Rusia sejak 2007, menerapkan PT 7%, Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia menerapkan PT 5%, sementara negara Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia menerapkan PT sebesar 4%, Spanyol, Yunani, Rumania dan Ukraina menerapkan PT sebesar 3%, Denmark sebesar 2% dan Belanda 0.67%. 266 Dengan demikian, angka PT di Indonesia masih berada pada PT di negara-negara lain seperti Turki, Rusia Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia.
4.3. Tahapan Kebijakan Penyederhanaan Russel J Dalton, David M Farrel dan Ian McAllister sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II, menjelaskan bahwa fungsi partai politik dapat dibagi menjadi tiga level yaitu di antara warga masyarakat, organisasi-organisasi dan di pemerintahan. 267
Di
level
warga
masyarakat,
partai
berfungsi
untuk
menyederhanakan pilihan bagi para pemilih. Partai politik mendidik para pemilih
266 267
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Op.cit hal 5 Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Op.cit hal 5
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tentang manfaat dan ketidakmanfaatan dari pilihan-pilihan kebijakan yang ditawarkan. Diantara warga masyarakat, partai politik diharapkan akan memobilisasi warga untuk aktif berperan serta dalam proses politik sehingga dapat menciptakan stabilitas sistem politik dalam jangka panjang. Dalam level organisasi, partai politik merekrut dan melatih pemimpin politik yang potensial dan para kandidat yang akan ditempatkan dalam pemerintahan, memperkenalkan kepada mereka tentang nilai dan norma dari pemerintahan yang demokratis. Secara organisasi, partai politik juga mengartikulasi kepentingan-kepentingan politik para pendukungnya. Pararel dengan perannya sebagai artikulasi kepentingan, partai politik juga berfungsi untuk agregasi kepentingan, menempatkan
kepentingan-kepentingan
tersebut
ke
dalam
bentuk
yang
komprehensif dan terhubung dan akan menjadi panduan bagi kebijakan pemerintahan jika dan ketika mereka terpilih menjadi partai di pemerintahan. 268 Pada
level
pemerintahan,
partai
politik
mengorganisasikan
cara
kerja
pemerintahan dengan menciptakan mayoritas suara untuk memenangkan kebijakannya. Partai politik di pemerintahan memiliki tujuan-tujuan kebijakan yang komprehensif yang diklaimnya sebagai mandat dari yang diwakili. Partai politik atau koalisi partai akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dan mengorganisasikan pemerintahan hingga selesai. Mandat para pemilih juga menjadi legitimasi bagi partai dalam mengimplementasikan kebijakan dan akan menjadi kontrol untuk menilai kinerja partai/akuntabilitas apakah sesuai dengan apa yang mereka telah janjikan sebelumnya. Jika partai merupakan oposisi dapat juga berkontribusi untuk mengevaluasi dan mengkritisi keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 269 Hubungan (Linkage) antara partai dan pemilih dapat digambarkan pada gambar pada Bab II. Berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual 268
Ibid hal 6
269
Ibid hal 5-6
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan. 270 Hal tersebut setidaknya yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 alinea [3.15], huruf d. yang menyatakan bahwa Bahwa tambahan pula, berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan. Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET.
Apabila digambarkan hubungan antara ketentuan yang mengatur tentang tahapan kebijakan penyederhanaan partai politik dapat digambarkan sebagai berikut :
organisasi/ Partai Politik
Undang-Undang tentang Partai Politik
Partai Politik sebagai Badan Hukum
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
Partai Politik sebagai Peserta Pemilu
Undang-Undang tentang Organisasi DPR
Partai Politik dalam Parlemen/DPR
Bagan 4.1. Tahapan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
4.4. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap Partai Politik Vicky
Randal
menilai
bahwa
Indonesia
telah
sukses
mengimplementasikan Undang-Undang tentang Partai Politik. Undang-Undang dikombinasikan secara baik antara tujuan untuk membentuk partai politik yang berkarakter organisasi yang bersifat nasional dan ketentuan thershold telah sukses
270
Putusan 16/PUU-V/2007 Hal 82
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
menurunkan jumlah partai politik yang efektif dan meningkatkan kapasitas geografinya. 271 4.4.1.
Partai Politik Tidak Diakui sebagai Badan Hukum
Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, banyak bermunculan partai politik baru karena syarat-syarat untuk mendirikan partai politik belumlah diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, telah diatur syarat minimal jumlah anggota dan kepengurusan (Pasal 2) apabila hendak membentuk dan mendaftarkan partai politik di Departemen Kehakiman. Akibat hukum tidak terpenuhinya persyaratan tersebut adalah penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman, sehingga partai politik tersebut tidak diakui sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam : pasal 26 ayat (1) : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman. Penolakan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum akibat tidak terpenuhinya persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang juga diatur dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 menyatakan bahwa : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen.
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian.
271
Vicky Randal. Party regulation in conflict-prone societies: More dangers than opportunities?hal 246
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
148 partai mendaftarkan diri secara resmi ke Departemen Kehakiman. Departemen Kehakiman kemudian mengesahkan 141 di antaranya. Dari 141 partai politik ini, 110 mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas untuk ikut Pemilu 1999, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai politik yang boleh ikut Pemilu 1999.272 Hal tersebut menciptakan sistem multipartai yang ekstrim dan dinilai oleh pengambil kebijakan kurang sesuai dengan sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia.
sehingga
Undang-Undang tentang Partai Politik
berikutnya mengatur tentang upaya penyederhanaan partai politik untuk mencapai sistem multipartai sederhana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, untuk membentuk partai politik, haruslah memenuhi persyaratanpersyaratan antara lain yaitu : memiliki akta notaris pendirian partai politik, kepengurusan di 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan; memiliki nama, lambang, dan tanda gambar dan mempunyai kantor tetap. Partai politik yang telah memenuhi persyaratan tersebut, kemudian disahkan oleh departemen kehakiman untuk ditetapkan sebagai badan hukum. Kementerian Kehakiman melaksanakan tiga tahap verifikasi untuk menetapkan partai politik yang memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan di dalam UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik untuk menjadi badan hukum. Verifikasi tahap I, tahap II dan tahap III. Sejak departemen membuka pendaftaran partai politik untuk disesuaikan dengan ketentuan UU No. 31 Tahun 2002 pertengahan tahun 2003, secara keseluruhan ada 112 partai politik yang mendaftar (dalam 3 angkatan atau gelombang). 273 Sebanyak 66 parpol mendaftar pada tahap ke tiga. 274 Verifikasi tahap I dan II meloloskan 18 partai
272
Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia :Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com 1999.
273
Komisi Pemilihan Umum. Verifikasi Angkatan III Selesai, Secara Keseluruhan Ada 50 Partai yang Lolos di Depkeh dan HAM . http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5134&Itemid=76 [juli 2012]
274
Tempo Interaktif. Daftar Partai yang Lolos dan Tidak Lolos Verifikasi. 2003. http://www.tempo.co/read/news/2003/10/04/05519829/null [ 8 juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
politik.275 Pada tahap III, sebanyak 32 partai politik. Sehingga total partai politik yang lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai badan hukum sebanyak 50 partai politik. Dengan demikian implikasi hukum diterapkannya persyaratan pendirian partai politik pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah sebanyak 62 partai politik tidak dapat ditetapkan sebagai partai politik yang berbadan hukum dan tidak terdaftar di Kementerian Kehakiman. Pada tahun 2008, Undang-Undang tentang Partai Politik diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syarat pendirian partaipun mengalami perubahan dan semakin diperberat, terutama pada syarat kepengurusan partai di tingkat provinsi yang semula 50% menjadi 60% dari jumlah provinsi. Departemen Hukum dan HAM berdasarkan amanat UndangUndang menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran.
Pada Tahun 2008, sebanyak
24 Partai Politik
memperoleh status Badan Hukum dari 115 partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan HAM. 276 Hal yang sama, terjadi juga Pada Tahun 2011, pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syarat pembentukan partai politik semakin diperberat. Pasca diberlakukannya ketentuan ini, Setelah melalui proses verifikasi sejak tanggal 23 September 2011 sampai dengan 25 November 2011, dari paerol yang mendaftarkan diri untuk memperoleh status badan hukum, yang lolos verifikasi adalah partai Nasdem yang sesuai dengan keterangan pers menkumham tanggal 11 November 2011. Sedangkan 13 partai politik lainnya tidak memenuhi syarat untuk lolos verifikasi dan oleh karena itu tidak memperoleh status badan hukum sesuai dengan peraturan perundang –undangan yang berlaku mengenai partai politik. Ketiga belas partai politik yang tidak lolos
275
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. KPU Jelaskan Prosedur Pendaftaran dan Penelitian Kepada Partai Politik yang Telah Lolos Menjadi Badan Hukum. [8 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5109&Itemid=76 juli 2012]
276
Antara News . Sebanyak 24 Parpol Lolos Verifikasi Depkumham. http://www.antaranews.com/view/?i=1207296006&c=NAS&s= 2008. [8 juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
verifikasi tersebut adalah
277
: 1. Partai Demokrasi Pancasila (DEPAN), 2. Partai
Independent, 3. Partai Rakyat bangkit, 4. Partai Rakyat Republik (PAKAR), 5. Partai kekuatan Rakyat Indonesia, 6. Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN), 7. Partai Nasional Republik, 8. Partai Penganut Thariqot Islam Negara Islam Indonesia, 9. Partai Persatuan Nasional, 10. Partai Republik Perjuangan, 11. Partai Republik Satu, 12. Partai Satria Piningit, 13. Partai Serikat Rakyat Independent.
Namun pada tanggal 27 Maret 2012, Partai Serikat Rakyat
Independen (SRI) resmi berbadan hukum dengan keluarnya SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia M.HH-09.AH.11.01. 278 status badan hukum Partai SRI diperoleh setelah bersinergi dengan Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat (PDPR) yang memang telah berbadan hukum tetapi gagal lolos Pemilu 2009.279 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik telah menyebabkan tidak diakuinya partai-partai politik yang tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang sebagai badan hukum. Dalam prakteknya, akibat ini tidak serta merta diterima oleh partai politik yang tidak lolos verifikasi untuk menjadi badan hukum. Beberapa upaya judicial review terhadap Undang-Undang tentang Partai Politik diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Pada setiap Undang-Undang tentang Partai Politik sebagaimana telah dijelaskan di atas, diatur sanksi administrasi berupa penolakan bagi partai politik yang tidak memenuhi persyaratan pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum. Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang berwenang untuk menolak menetapkan partai yang tidak lolos persyaratan sebagai badan hukum. Ketentuan sanksi administratif berupa penolakan partai politik sebagai badan hukum diatur pada pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 , dan pada Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Dalam prakteknya dari sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 hingga Undang-Undang 277
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol. http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-umumkan-verifikasi-parpol
278
Kompas. Partai SRI Siap Ikuti Pemilu 2014. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/08/18123424/Partai.SRI.Siap.Ikuti.Pemilu.2014 [7 juli 2012]
279
ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Nomor 2 Tahun 2011, sejumlah partai politik tidak diakui sebagai partai politik berbadan hukum dan tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, yang dapat disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Jumlah Partai yang Memperoleh Status Badan Hukum
No 1 2 3 4
Pasca Berlakunya Undang-Undang
Jumlah Partai Politik yang mendaftar yang memperoleh Ke Kementrian Status badan hukum
Nomor 2 Tahun 1999 Nomor 12 Tahun 2003 Nomor 2 Tahun 2008 Nomor 2 Tahun 2011 Diolah dari berbagai sumber.
148 112 115 14
141 50 24 2
%
95.27 44.64 20.86 14.28
Dari tabel di atas, terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah partai politik baik yang mendaftar ke Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang dan jumlah partai politik yang ditetapkan sebagai badan hukum. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 sebanyak 148 partai mendaftar ke kementerian dan dikarenakan persyaratan yang diatur tidak terlalu ketat, maka sekitar 141 (95%) partai diterima dan terdaftar di kementerian. Namun pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang mulai mengatur secara ketat syarat-syarat pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, maka pada prakteknya jumlah partai politik yang mendaftar menurun menjadi 112 partai dan yang memperoleh status badan hukum hanyalah 50 partai saja atau sekitar 44.64%. semakin diperberatnya persyaratan pendirian dan pendaftaran partai politik pasca ditetapkannya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008, berakibat hukum hanya 24 partai yang dapat memperoleh status badan hukum, dari 115 partai yang mendaftar ke kementerian dan semakin berkurang pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, hanya 2 partai saja yang dapat memperoleh status sebagai badan hukum. Dengan demikian, syarat-syarat pendirian partai dan pendaftaran partai sebagai badan hukum, telah efektif menurunkan jumlah partai politik di Indonesia.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
4.4.2. Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan Umum. Partai politik yang telah memperoleh status sebagai badan hukum, tidak serta merta dapat menjadi peserta pemilihan umum. Berbagai persyaratan untuk menjadi peserta pemilu harus dipenuhi, dan persyaratan tersebut semakin diperberat di setiap perubahan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003, Partai Politik yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), berakibat hukum bahwa partai politik tersebut tidak dapat menjadi peserta pemilihan umum. Pasal 39 ayat (1) : Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia; c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik. Pasal 39 ayat (2) : Partai Politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak dapat menjadi Peserta Pemilihan Umum, namun keberadaannya tetap diakui selama partai tersebut melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Partai Politik. Untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik berdasarkan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang 3 Tahun 2009 harus memenuhi ambang batas perolehan kursi, sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia. Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang 3 Tahun 2009 : Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum. Akibat hukum dari berlakunya ketentuan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) adalah tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain sebagaimana diatur pada Pasal 39 ayat (4) yang menyatakan bahwa : Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.
Akibat hukum tidak terpenuhinya syarat-syarat partai untuk menjadi peserta pemilu juga diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 12 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa : Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta Pemilu. Ketentuan electoral threshold dalam UU 12 Tahun 2003, diatur pada pasal 9 ayat (1) dan akibat hukum tidak terpenuhinya ketentuan tersebut adalah partai politik masih dapat mengikuti pemilu berikutnya hanya apabila : a). bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan electoral threshold, b). bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan ET
dan
selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi ET atau c). bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan ET dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi ET sebagaimana dinyatakan pada Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa : Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila: a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi. Pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, partai politik dapat ditetapkan menjadi peserta pemilu apabila telah lulus verifikasi oleh KPU, sehingga partaipartai yang tidak lulus verifikasi, tidak dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 : Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 terdapat ketentuan peralihan yang mengatur persyaratan partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya, yaitu pada pasal 315 yang menyatakan bahwa : Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004. Pada pasal 316 memuat ketentuan bagi partai yang tidak memenuhi ketentuan pasal 315 dapat mengikuti pemilu pada tahun 2009 dengan ketentuan : a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pada Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, partai politik dapat ditetapkan menjadi peserta pemilu apabila telah lulus verifikasi oleh KPU, sehingga partai-partai yang tidak lulus verifikasi, tidak dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 : Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU. Pada Pelaksanaannya di pemilu tahun 1999, dari 110 partai politik yang mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai politik yang boleh ikut Pemilu 1999. Sehingga lebih dari separoh dari jumlah partai politik (52 partai) yang tidak dapat mengikuti pemilu karena tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. Pada Pemilu 2004, dari 50 parpol yang mendaftar ke KPU untuk Pemilu 2004, hanya 24 parpol yang ditetapkan sebagai peserta pemilu. Itu termasuk enam parpol besar yang bebas verifikasi karena lolos electoral threshold pada Pemilu 1999. 280 Pada pemilu 2009, sebanyak 68 partai politik mendaftar ke KPU sebagai calon peserta pemilu 2009. 281 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan 18 partai politik dinyatakan lolos verifikasi faktual KPU dan berhak menjadi peserta 280
281
Okezone.com. 68 Partai Politik Baru Gugur. http://jakarta.okezone.com/read/2008/02/28/1/87368/68-partai-politik-baru-gugur[22 juli 2012] Detiknews. 68 Parpol Sudah Ambil Form di KPU. http://news.detik.com/read/2008/04/11/165455/922127/10/68-parpol-sudah-ambil-form-dikpu?nd993303605 [8 September 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pemilu 2009 bersama 16 partai lainnya yang telah memiliki keterwakilan di DPR, sesuai pasal 315 dan 316 UU No 10 tahun 2008. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, KPU membuka Pendaftaran partai politik (parpol) calon peserta Pemilu 2014 yang dibuka sejak Jumat, 10 Agustus 2012 lalu, dan resmi ditutup pada 7 September 2012. Hingga, parpol yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), seluruhnya berjumlah 46 (empat puluh enam) partai . 282 Hingga 10 September 2012, telah 12 partai politik ditetapkan tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang Pemilu sehingga tidak dapat menjadi peserta pemilu. Dengan demikian dapat dkatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik khususnya persyaratan partai politik untuk menjadi peserta pemilu, telah berakibat tidak lolosnya sejumlah partai politik sehingga tidak dapat menjadi peserta pemilu. Pada setiap Undang-Undang tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, diatur persyaratan-perysaratan bagi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum, sehingga bagi partai-partai yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, berakibat hukum tidak dapat menjadi peserta pemilihan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 dan 12 Tahun 2003, diatur persyaratan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya harus memenuhi ketentuan ambang batas perolehan kursi, ketentuan ini berakibat hukum bagi partai-partai plitik yang tidak dapat memenuhi haruslah bergabung dengan partai politik lain atau membentuk partai baru. Dalam prakteknya dari sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 hingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sejumlah partai politik tidak lolos menjadi peserta pemilihan umum, yang dapat disajikan pada Tabel 4.8
282
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Pendaftaran Parpol Resmi Ditutup, Total 46 Partai Mendaftar Ke KPU. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7065&Itemid=1 [ 8 September 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 4.8 Jumlah Partai Politik yang Tidak Lolos Persyaratan Sebagai Peserta Pemilihan Umum Partai Politik No yang mendaftar peserta pemilu KPU 1 1999 110 48 2 2004 50 24 3 2009 68 38 sedang dalam tahap 4 2012 46 verifikasi Diolah dari berbagai sumber. Periode Pemilu Tahun
%
43.63 48.00 55.88
Pada Pemilu pertama pasca reformasi, sebanyak 110 partai politik mendaftar ke KPU, namun hanya sebanyak 48 partai saja yang dapat menjadi peserta pemilu. Partai politik yang mendaftar untuk menjadi peserta pemilu semakin berkurang pada pemilu tahun 2009, yaitu hanya 50 partai dan yang berhasil lolos persyaratan hanya 24 partai dan menjadi peserta pemilu. Pada tahun 2008, memang terjadi kenaikan jumlah partai yang mendaftar ke KPU dari 50 partai di tahun 2003 menjadi 68, hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan kebijakan yang semula menggunakan ET pada UU 3 tahun 1999 dan uu 12 tahun 2003 menjadi PT sehingga partai yang menjadi peserta pemilu naik dari 24 menjadi 38. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM, per akhir tahun 2012, jumlah partai politik yang diakui keberadaannya sebagai badan hukum adalah berjumlah 73 partai politik, namun pada kenyataannya hanya 46 partai yang mengajukan pendaftaran ke KPU untuk menjadi peserta pemilu karena beratnya syarat yang telah ditetapkan oleh UU Pemilu. Sebanyak 16 Partai Politik calon Peserta Pemilu 2014 dinyatakan memenuhi syarat verifikasi faktual tingkat pusat. Tiga Partai yang semula belum memenuhi syarat pada verifikasi faktual tahap pertama yakni partai bulan bintang, partai keadilan sejahtera, dan partai golongan karya, telah dinyatakan memenuhi syarat. 283 adapun 13 parpol yang terlebih dahulu lolos verifikasi faktual tingkat pusat berikut keterwakilan perempuan dalam kepengurusannya adalah PKBIB,
283
Kompas. 16 Parpol Penuhi Syarat.Peserta Pemilu diumumkan pada 9-11 Januari 2013. Politik dan Hukum. Kompas Edisi Senin 26 November 2012. hal 4
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai Hanura, PPN, PPRN, PArtai Nasdem, PDP, PKB, Partai Demokrat, Partai Gerindra, PAN, PPP, PKPI, PDI-P. 284 4.4.3. Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR Ketentuan Parliamentary Threshold yang diterapkan pada UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 telah mengurangi jumlah partai yang dapat menempatkan wakilnya di DPR karena partai yang tidak memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara tidak dapat diikutkan dalam penentuan kursi di DPR sebagaimana yang dinyatakan Pada Pasal 202 ayat 1 UU 10 Tahun 2008 dan Pasal 208 UU 8 Tahun 2012. Pasal 202 ayat (1) UU 10 Tahun 2008 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
Pasal 208 UU 8 Tahun 2012 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara dari seluruh 38 parpol peserta pemilu DPR, sebanyak 9 parpol yang lolos ketentuan ambang batas yaitu Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS, PAN, PKB, Partai Golkar, PPP, PDIP, dan Partai Demokrat sehingga dapat diikutsertakan dalam pembagian 560 kursi DPR. 285 4.4.4. Penggabungan Partai Politik Hasil dari kebijakan tersebut, pada Pemilu 1999 hanya enam Parpol yang memenuhi ET dan pada Pemilu 2004 hanya tujuh Parpol yang memenuhi ET, sedangkan bagi Parpol-Parpol yang tidak memenuhi ET untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya harus bergabung dengan Parpol lainnya yang memenuhi ET atau tidak memenuhi ET agar memenuhi ET sesuai dengan ketentuan yang diatur 284 285
ibid Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6520&Itemid=171 [5 Januari 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dalam UU 12/2003. Pasal 39 ayat 4 menyatakan bahwa partai politik yang tidak memenuhi ketentuan ambang batas sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (3), berakibat hukum tidak boleh ikut dalam pemilihan umum kecuali bergabung dengan partai politik lain. Pasal 39 ayat (3) : Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum. Pasal 39 ayat (4) : Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.
Pasal 9 ayat (2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila: a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi. Ketentuan mengenai ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) nasional sebagai syarat diikutkannya partai politik untuk mendapatkan kursi di DPR baru diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, menggantikan kebijakan ET yang diatur pada Undang-Undang sebelumnya. Akibat hukum dari ketentuan PT adalah bagi partai politik yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Pada Pemilu 2009, perolehan suara dari seluruh 38 parpol peserta pemilu DPR, sebanyak 9 parpol yang lolos ketentuan ambang batas yaitu Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS,
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
PAN, PKB, Partai Golkar, PPP, PDIP, dan Partai Demokrat sehingga dapat diikutsertakan dalam pembagian 560 kursi DPR. 286 Menurut Venice Commission Efek dari penerapan threshold adalah bahwa partai-partai kecil memiliki kesulitan untuk memperoleh kursi. Electoral threshold juga merupakan kendala penting bagi partai minoritas Untuk menurunkan threshold atau bahkan menghapuskan. Di Serbia partai minoritas gagal melewati ambang batas 5% pada pemilihan
parlemen
2003. Setelah
penghapusan dari ambang batas pada tahun 2004 lima partai minoritas yang mewakili Hongaria, Bosnia, Albania dan Roma kembali ke Parlemen dalam pemilu 2007. Di Polandia dan Jerman ambang 5% tidak berlaku untuk partai minoritas.
Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam
kasus Yumak dan Sadak v Turki, yang akan diinginkan untuk menurunkan threshold 10% diterapkan untuk Turki untuk memastikan optimal representasi. Pada tahun 2007 dalam Resolusi nya 1.547 Dewan Majelis Parlemen Eropa memilih untuk Batas 3%, meskipun dengan reservasi penting bahwa rekomendasi ini diterapkan untuk demokrasi yang sudah mapan. Ambang ini tampaknya terlalu rendah, jika kita mengakui pentingnya perbedaan antara demokrasi yang sudah mapan dan yang kurang mapan di mana sistem kepartaian masih sedang dibuat. Pada sistem yang pertama, ambang batas 3 sampai 5 % masih dapat diterima. Dalam negara demokrasi baru, sebaliknya, ambang batas yang lebih tinggi mungkin dipertimbangkan untuk mendorong pembentukan sistem partai yang sederhana dan efektif dan tentunya tidak melebihi angka 10% yang sudah cukup tinggi. 287
4.5. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap pembentukan sistem Multipartai Sederhana Perjalanan sistem multipartai di Indonesia disertai karakateristik tersendiri. Penerapan multipartai di Indonesia disertai dengan tingkat pelembagaan sistem kepartaian yang rendah. Rendahnya tingkat pelembagaan ini akan berimplikasi 286
287
KPU. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40 http://www.kpu.go.id/dmdocuments/saku_h.pdf Venice Commission. Report On Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which Bar Parties From Access To Parliament (II). Maret 2012. hal 12 http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD(2010)007-e.pdf [diunduh 29 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pada sistem multipartai yang cenderung terfragmentasi. Kondisi fragmentasi politik ini menyebabkan partai politik pemenang pemilu akan sulit mencapai kekuatan mayoritas tanpa adanya koalisi dalam pemerintahan. 288 Pemilu tahun 1999, diikuti oleh 48 partai politik dan sebanyak 24 partai politik memperoleh kursi di DPR. PDIP memperoleh kursi terbanyak dengan 33.11%, diikuti oleh partai golkar 25.97% kursi di DPR, PPP 12.55%, PKB 11,03%, PAN 7.35%, . Nilai ENPP pemilu tahun 1999 sebesar 4.71 yang dapat diartikan bahwa sistem partai hasil pemilu 1999 adalah multipartai moderat (sederhana) dengan 4 sampai 5 partai efektif di parlemen. tidak ada partai yang mendominasi parlemen, karena tidak ada partai yang memperoleh lebih dari 40% suara atau berdasarkan kategorisasi Blonde, dapat dikatakan juga bahwa sistem partai saat itu adalah sistem multipartai dengan tidak ada partai dominan (multiparty systems without a predominant party). sistem partai di Indonesia berubah menjadi sistem multipartai ekstrim (extreme multiparty system) setelah pemilu tahun 2004. pemilu diikuti oleh 24 partai politik dan sebanyak 15 partai memperoleh kursi di DPR. Partai Golongan Karya memperoleh 23.27% kursi di DPR, diikuti oleh PDIP 19.81%, Partai Persatuan Pembangunan 10.54%, Partai Demokrat 10%, PAN 9.63%, PKB 9.45%, dan PKS 8.18%. nilai ENPP sebesar 7.07 menunjukkan bahwa jumlah partai politik yang efektif di DPR lebih dari 7 partai, sehingga sistem partai saat itu bergeser dari sistem multipartai sederhana (moderat) pada tahun 1999 menjadi sistem multipartai ekstrim (extreme multiparty system). berdasarkan klasifikasi Blondel, tidak ada partai yang mendominasi mayoritas suara di DPR (40%) sehingga sistem partai dapat dikatakan pula sebagai sistem multipartai tanpa ada partai dominan (multiparty systems without a predominant party). pada pemilu tahun 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim dengan nilai ENPP 6.47. namun dapat dikatakan bahwa jumlah efektif partai di parlemen mengalami penurunan menjadi 6 sampai 7 partai politik. pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik, dan sebanyak 9 partai memperoleh kursi di DPR. Partai Demokrat memperoleh 26.43% kursi, diikuti oleh partai Golongan Karya 18.93%, PDIP 16.79%, Partai Keadilan Sejahtera 10.18%, PAN 8.21%, PPP 288
Hanta Yuda HR. Presidensialisme. Op cit hal 102
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
6.79%, PKB 5%, Gerindra 4.64% dan Hanura 3.04%. sistem partai dapat dikatakan juga sebagai sistem multipartai tanpa ada partai dominan yang memperoleh lebih dari 40% (multiparty systems without a predominant party). Tabel 4.9 Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi No 1 2 3
Pemilu Tahun 1999 2004 2009
Nilai ENPP 4.71 7.07 6.47
Sistem Partai moderate multiparty Extreme multiparty Extreme multiparty
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB V JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR TENTANG KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK
5.1. Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal Kepengurusan bagi Pendaftaran Partai Politik. 289 5.1.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji Pemohon adalah Ketua Umum Partai Persatuan Rakyat Indonesia (PPRI) yang mengajukan permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 290 Pasal yang diujikan salah satunya adalah Pasal 2 ayat (3) sub b, yang dianggap bertentangan dengan isi Pasal 28 dan pasal-pasal yang terkait dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945. Pasal 2 ayat (3) Sub b, menyatakan bahwa : Partai politik harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat : b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan; Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dikarenakan PPRI merupakan salah satu partai yang tidak dapat memenuhi ketentuan pada Pasal 2 ayat (3) sub b yang mengakibatkan PPRI : 1).Tidak bisa ikut serta sebagai Partai Politik peserta pemilihan umum, 2) Tidak diakui keberadaannya oleh Departemen Kehakiman dan HAM. 291
289
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor PUU 20/PUU-I/2003. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan020PUUI2003.pdf [2 Juni 2012]
290
Ibid hal 1
291
Ibid hal 4
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.1.2. Pendapat Pemerintah Pemerintah mengemukakan bahwa Maksud penyusunan Undang-undang tentang Partai Politik adalah memberikan landasan yang kokoh bagi kaidahkaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, transparansi, akuntabilitas, berkeadilan, aspiratif, dan tidak diskriminatif, sehingga terwujud Partai Politik sebagai aset demokrasi yang mandiri dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efektif.
Sedangkan tujuan penyusunan undang-undang
tentang Partai Politik adalah menumbuhkan dan memperkokoh kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat, sebagai upaya untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang kondusif bagi penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, berdasarkan atas hukum. Selain itu, tujuan pembangunan kehidupan demokrasi melalui penataan Partai Politik adalah untuk menjamin jumlah Partai Politik yang dikehendaki bangsa Indonesia dengan tidak menempuh cara otoriter tetapi juga tidak menempuh cara liberal, melainkan menyepakati persyaratan jumlah dukungan rakyat kepada Partai Politik sebagai syarat berperan-serta dalam pemilihan umum. Dengan demikian Partai Politik dapat ikut berperan serta dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu. 292 Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dimaksudkan untuk membangun Partai Politik yang berkualitas, mandiri dan mengakar di masyarakat. Di samping itu, dengan pengaturan tersebut diharapkan tercipta suatu Partai Politik yang mempunyai kredibilitas dan ketersebaran kepengurusan di seluruh Indonesia, memiliki dukungan massa yang kuat, dan bersifat nasional (Indonesia sebagai negara kepulauan dan beragam suku bangsa serta agama). Dengan persyaratan dan kriteria dimaksud pada saatnya nanti akan terwujud Partai Politik yang dapat merefleksikan keanekaragaman suku, bangsa, budaya, dan agama dalam satu wadah dan tujuan demi kepentingan bangsa dan negara. 293
292 293
Ibid hal 11-12 Ibid hal 16
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Selanjutnya esensi pengaturan tersebut bukan merupakan pembatasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tetapi lebih kepada pembelajaran dan pendewasaan politik bangsa. selain mengatur juga membatasi. Pengaturan dan pembatasan masih dapat dibenarkan dan sah sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Secara formal, suatu undang-undang sah berlakunya sepanjang telah dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Prosedur ini telah dipenuhi dalam pembahasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 294
5.1.3. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 2 ayat (3) sub b, tidak bertentangan dengan isi Pasal 28 dan pasalpasal yang terkait dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pendapat Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusan tersebut adalah sebagai berikut : Pengaturan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b ini dimaksudkan untuk membangun Partai Politik yang berkualitas, mandiri, dan mengakar di masyarakat. Di samping itu dengan pengaturan tersebut diharapkan partai politik dapat tumbuh dan berkembang dengan kredibilitas dan didukung oleh ketersebaran kepengurusan di seluruh Indonesia, serta memiliki dukungan massa yang kuat dan bersifat nasional. Pengaturan sebagaimana tersebut di atas diperlukan bagi negara yang tengah berada dalam proses pematangan demokrasi. Dalam keadaan seperti itu, hukum bukan saja diperlukan sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan, melainkan harus pula berperan sebagai sarana pembangunan masyarakat. 295 Undang-undang yang mengatur tentang partai politik, yang didalilkan Pemohon, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Dengan demikian, tidak satu 294
Ibid hal 18
295
Ibid hal 35
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pun dari pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pengekangan atau pembatasan terhadap kebebasan untuk mendirikan partai politik, melainkan hanya pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. Demikian pula, pengaturan tersebut tidak dapat dipandang diskriminatif karena berlaku terhadap semua partai politik.296 Pengaturan demikian, bahkan juga pembatasan, bukan saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tetapi juga tidak bertentangan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional sebagaimana terlihat dari rumusan Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan:
297
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society”; 5.2. Judicial Review Ketentuan tentang Electoral Threshold. 298 Ketentuan tentang syarat electoral threshold diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dalam prakteknya ketentuan ini dan juga ketentuan persyaratan partai politik sebagai peserta pemilu
pernah dimohonkan untuk
dijudicial review oleh lima partai berbasis Islam ke Mahkamah Agung pada tahun 2003. 299 Ke lima Partai tersebut adalah DPP PII Masyumi, DPP Partai Nadhatul Ulama Umat, DPP Partai Kebangkitan Umat, DPP Partai Islam Indonesia, DPP Partai Al-Islam Sejahtera Indonesia. pasal yang diuji : 300 Pasal 7 ayat (1) butir b, c, d dan ayat (2) serta ayat (3), tentang syarat minimal kepengurusan partai politik untuk dapat menjadi peserta partai politik. Pasal 9 ayat (1), tentang syarat 296
Ibid hal 35-36
297
Ibid hal 36
298
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 16/PUU-V/2007. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan16PUUV2007ttgUUPemilu23102007.pdf [2 Januari 2012]
299
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=1512&coid=3&caid=21&gid=2
300
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resumesidangResume%20007PUU2003.pdf
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
electoral treshold untuk mengikuti pemilu berikutnya. Pasal 142 dan 143, tentang syarat penetapan sebagai peserta pemilu.
Pada tanggal 15 Oktober, perkara
pengujian UU ini kemudian dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi. 301 namun demikian, pemohon pada akhirnya menarik kembali permohonannya sehingga MK mengeluarkan penetapan yang berisi mengabulkan permohonan penarikan perkara pengujian Undang-Undang tersebut. 5.2.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji Pemohon merupakan 13 partai politik yang mangajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon adalah partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 9 ayat (1). Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, menyatakan: (1)
Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten kota seluruh Indonesia;
Ketentuan Electoral Thershold oleh pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, karena pembentuk undang-undang dengan sewenang-wenang mencabut hak para Pemohon untuk turut serta membangun demokrasi melalui jalur pemilu oleh partai politik sebagaimana telah dilakukan sejak pemilu pertama pada tahun 1955. Keikutsertaan partai politik dalam pemilu bukanlah muncul tiba-tiba dan bukan tanpa dasar hukum. Keberadaan para Pemohon sendiri telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Oleh karena itu harus dicegah upaya penghilangan hak para Pemohon tersebut sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. dan juga Terhadap Pasal 28D 301
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/BOOK_BMK1.pdf
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Bahwa para Pemohon dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memperjuangkan untuk memperoleh perlakuan yang adil dan sama di hadapan hukum. Bahwa para Pemohon adalah badan hukum yang berbentuk partai politik telah diatur dalam hukum positif serta telah lama menyelenggarakan kegiatan politik telah diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, sehingga undang-undang tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Para Pemohon dalam dalilnya juga menyatakan ketentuan Electoral Threshold bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, karena jelasjelas pasal tersebut bersifat diskriminatif, sebab partai politik dibatasi partisipasinya dalam kegiatan pemilu. Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang bersifat diskriminatif tersebut secara perlahan mematikan peran serta dan keberadaan para Pemohon yang menyelenggarakan kegiatan politik, dengan sendirinya. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 bersifat diskriminatif dan telah bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UndangUndang Dasar 1945; Kerugian nyata para Pemohon dapat dirinci sebagai berikut: 1. Para Pemohon tidak dapat lagi mengikuti pemilu pada tahun 2009 dan seterusnya, padahal para Pemohon masih eksis sebagai partai politik, sehingga para Pemohon tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai partai politik, untuk mengikuti pemilihan umum dalam menyalurkan aspirasi politik para anggota dan konstituennya, untuk menempatkan wakil-wakilnya di DPR dan di DPRD; 2. Para Pemohon akan kehilangan waktu dan biaya yang telah dikeluarkan para Pemohon dalam rangka mendirikan partai politik; 3. Para Pemohon juga harus melakukan verifikasi ulang apabila harus mengganti nama partai untuk mendirikan partai politik baru guna dapat mengikuti pemilu yang akan datang; Kerugian konstitusional para Pemohon apabila terjadi penggabungan partai politik
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
1. meskipun para Pemohon memiliki ideologi yang sama yaitu Pancasila, tetapi secara spesifik sangat berbeda-beda, misalnya Partai Bulan Bintang yang berakar dari Masyumi memperjuangkan Syariat Islam, sedangkan para Pemohon yang lain tidak satupun yang memperjuangkan Syariat Islam. Dengan demikian secara konstitusional penggabungan partai politik adalah sangat merugikan hakhak dasar yang diperjuangkan oleh masing-masing para Pemohon; 2. apabila para Pemohon bergabung, maka para Pemohon akan kehilangan pemilihnya masing-masing, karena para Pemohon mempunyai masing-masing pemilih yang fanatik, dengan penggabungan itu para Pemohon akan kehilangan identitas dirinya atau perjuangannya tidak akan murni lagi sebagaimana prinsip dasar awal berdirinya para Pemohon sebagai partai politik;
5.2.2. Pendapat Pemerintah Dalam keterangan tertulisnya pemerintah menerangkan bahwa ketentuan Electoral Threshold, antara lain bertujuan agar terbangun sistem multi partai sederhana (the multiple simple party system), guna mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan, kenegaraan yang berwawasan kebangsaan agar tercipta sistem pemerintahan yang stabil, juga ketentuan a quo dapat digunakan sebagai pengukuran (parameter) legitimasi dukungan public terhadap partai politik, yang pada gilirannya masyarakat diberikan hak dan/atau kesempatan untuk memilih partai politik yang memiliki kapabilitas memadai; Disisi lain ketentuan a quo juga memberikan kesempatan yang sama terhadap partai politik lain (baru) yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Partai Politik
maupun
Undang-Undang
Pemilu,
untuk
mengikuti
tahapan
penyelenggaraan pemilihan umum guna memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 302
Selain itu, ketentuan yang mengatur tentang batasan suara minimal yang harus didapat oleh sebuah partai politik (electoral threshold), untuk dapat 302
Ibid hal 57-58
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
megikuti pemilihan umum berikutnya, tidaklah serta merta dianggap sebagai perlakuan maupun pembatasan yang bersifat diskriminatif sepanjang pembatasan atau pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik [vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Masi Manusia, maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and Political Rights]; Sehingga ketentuan yang mengatur tentang batasan suara minimal yang harus didapat oleh sebuah partai politik (electoral threshold) untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya, tidak dapat dipandang secara serta merta dianggap telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan pilihan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji, kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undangundang (detournement de pouvoir). 303
5.2.3. Pendapat DPR Warga Negara Indonesia memang memiliki kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran sebagaimana diakui dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu media untuk menyalurkan aspirasi itu adalah membentuk Partai Politik sebagai sarana yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi. Melalui Partai Politik maka rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat mengenai arah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat pendelegasian untuk pengaturan lebih lanjut dengan undang-undang. Jadi undang-undang tersebut, termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 berfungsi sebagai penjabaran ketentuan yang bersifat "asas" dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 304
303
Ibid hal 58
304
Ibid hal 63-64
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Hak dasar dalam Undang-Undang Dasar yang dijadikan dasar hukum para Pemohon, tidak berlaku secara mutlak. Hal ini secara tegas juga diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni: 305 a. Pasal 28I ayat (5) yang menyatakan "Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan"; b. Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis"; jika dilihat dari tujuan akhir kedua sistem tersebut pada hakikatnya adalah sama yaitu sebagai penyaring dari banyaknya peminat di satu sisi sedangkan di sisi lain terbatasnya "kursi/anggota perwakilan" yang telah ditetapkan dalam undang-undang; Oleh karena itu, "electoral threshold" merupakan ukuran yang jelas dan rasional terhadap upaya pendewasaan partai politik dan untuk melaksanakan pendidikan politik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 huruf a Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang berbunyi: "Partai politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadiwarga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara". Electoral threshold yang berlaku pada partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, juga berfungsi sebagai sarana bagi rakyat pendukung untuk mengevaluasi seberapa jauh misi dan visi dari Partai Politik tersebut mendapatkan apresiasi dan dukungan dari masyarakat luas. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak menutup hak Partai Politik untuk mengikuti pemilu berikutnya, tetapi mengatur persyaratan yang harus dipenuhi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya. Banyak pakar mengemukakan bahwa sistem multipartai mutlak itu tidak compatible dengan sistem presidensiil. Maka demi kestabilan politik dan partisipasi penuh
305
Ibid hal 64
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dalam pengambilan keputusan politik dari parlemen, upaya penyederhanaan partai politik secara bertahap tetap harus dilakukan.
5.2.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam pertimbangan hukumnya pada alenea [3.15], Mahkamah Konstitusi menyatakan pendiriannya bahwa Partai politik menempati posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undangundang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. 306 Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu tidak bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, yakni: 307 1. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, karena pasal a quo hanya memuat persyaratan objektif bagi semua parpol tanpa kecuali apabila ingin mengikuti pemilu berikutnya dan tidak mengurangi kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, bahkan seharusnya para Pemohon sebagai warga negara Indonesia wajib menjunjung ketentuan tersebut 306
Ibid hal 80
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undangundangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud UU HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 3. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik yang
bersangkutan
dan
dukungan
dari
pemilih,
bukan
kesalahan
undangundangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud UU HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);
Lebih lanjut Mahkamah mengemukakan bahwa berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan. Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET. 308 Menurut Mahkamah, kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya sistem tiga partai pada era Orde Baru melalui penggabungan partai yang dipaksakan.Dalil para Pemohon yang menyatakan keharusan untuk bergabung bagi partai politik yang tidak memenuhi ET sangat sulit misalnya bagi Partai Bulan Bintang (PBB) yang memperjuangkan syariat Islam secara demokratis dan konstitusional dan bagi Partai Damai Sejahtera (PDS) yang aspirasinya Kristiani, menurut Mahkamah hal itu tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu. Lagi pula, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU Parpol setiap partai politik harus bersifat terbuka bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi. 309
5.3. Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi Partai Politik untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009 5.3.1. Pemohon Pemohon adalah Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Merdeka. 310 Para pemohon mengajukan
perkara permohonan Pengujian Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal yang diuji adalah Pasal 316 huruf d, yang berbunyi : 308
Ibid hal 82
309
Ibid hal 83
310
Mahkamah konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 12/PUU-VI/2008. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%2012%20Parpol %20Baca%2010%20Juli%202008.pdf hal 1 [2 Juni 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan : d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004
5.3.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon Kepentingan para Pemohon adalah sebagai partai politik yang selanjutnya akan mengikuti Pemilihan Umum berikutnya pada tahun 2009, sebagai sarana dalam memperjuangkan aspirasi politik rakyat dalam menempatkan wakil-wakilnya dalam parlemen. 311 Para pemohon adalah partai politik yang pada pemilu 2004 memperoleh suara kurang dari 3%. 312 Menurut pemohon, dengan adanya Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 yang dirumuskan dan ditetapkan secara sewenang-wenang, dan tidak memberikan pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil, sehingga menyebabkan hak konstitusional para Pemohon secara langsung maupun tidak langsung dirugikan, sebagai berikut: 313 Pasal 316 hurud d UU Nomor 10 Tahun 2008 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum, Pasal 28D ayat (1) sepanjang kalimat “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil”, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sepanjang kalimat “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan yang diskriminatif itu.314 Menurut para Pemohon, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sebab dalam negara hukum semua warga negara, termasuk pembentuk undang-undang harus mematuhi hukum, dalam hal ini ketentuan undang-undang mengenai berlakunya kebijakan electoral threshold yang oleh Mahkamah telah dinyatakan konstitusional menurut Putusan Nomor 16/PUU-V/ 2007. Selain itu, 311
Ibid hal 10
312
Ibid ha 11
313
Ibid hal 11 Ibid hal 17
314
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dalam negara hukum juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk adanya perlakuan yang sama di depan hukum bagi semua warga negara atau kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 telah melanggar ketentuan undang-undang mengenai electoral threshold dan juga memberi perlakuan yang tidak sama kepada partai-partai yang tidak memenuhi electoral threshold. Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebab pasal a quo telah tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta memberikan perlakuan yang tidak sama kepada Parpolparpol yang sebetulnya oleh undang-undang telah dinyatakan tidak memenuhi electoral threshold, hanya karena alasan diperoleh tidaknya kursi di DPR. Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Sebab menurut para Pemohon, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 telah mendiskriminasi Parpol-parpol yang sama-sama tidak memenuhi electoral threshold, ada Parpol-parpol yang karena mempunyai wakil di DPR, meskipun hanya satu kursi, langsung dapat mengikuti Pemilu 2009, sedangkan sebaliknya, para Pemohon, yakni Parpol-parpol yang tidak mempunyai wakil di DPR, kendati pun perolehan suaranya lebih banyak dari pada Parpol yang memperoleh satu kursi di DPR, tidak dapat langsung mengikuti Pemilu 2009. Menurut pemohon, ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 telah melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ““persyaratan untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui Pemilu”. Frasa “berlaku untuk semua partai politik” ternyata tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008, karena seharusnya partai-partai politik yang sama-sama tidak memeuhi ET baik yang mempunyai kursi maupun tidak mempunyai kursi di DPR harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat mengikuti Pemilu 2009. 315
315
Ibid hal 50
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.3.3. Penjelasan Pemerintah Pemerintah
tidak
sependapat
dengan
anggapan
dan
dalil
yang
dikemukakan para Pemohon, karena jikalaupun anggapan para Pemohon benar adanya, dan permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul atau terjadi atas keberlakuan ketentuan a quo tidaklah dapat dipulihkan atau dengan perkataan lain dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi sangatlah tidak mungkin, karena sebagai Parpol yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tetap saja harus memenuhi ketentuan electoral threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 315 UU 10/2008. 316 Ketentuan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji, karena kebijaksanaan yang demikian adalah merupakan kewenangan pembuat undang-undang itu sendiri (Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat). Dengan perkataan lain proses pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, telah memenuhi prosedur sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 317 Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon.
5.3.4. Pendapat DPR Menurut DPR dalam keterangannya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d merupakan ketentuan tambahan dan berupa alternatif serta tidak mereduksi ketentuan yang telah diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 316 317
Ibid hal 97 Ibid hal 97
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2003. Pasal 316 huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah pengaturan tambahan terhadap partai politik yang tidak mencapai 3% dari jumlah kursi DPR dan tidak memilih untuk bergabung untuk dapat mengikuti Pemilu 2009. Pengaturan tambahan ini adalah gambaran dari kondisi objektif dan hasil kristalisasi dari berbagai aspirasi yang berkembang dalam pembahasan RUU tentang Pemilu. 318
5.3.5. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi Menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya alinea [3.10], Pasal 316 huruf d UU 10/2008 mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan (unequal treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum (legal uncertainty), dan bersifat diskriminatif terhadap Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008, maka anggapan para Pemohon mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagai akibat berlakunya Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tersebut, menurut Mahkamah beralasan dan berdasar hukum. meskipun sama-sama tidak memenuhi electoral threshold, namun ada Parpol yang hanya karena memiliki minimal 1 (satu) kursi di DPR dapat dengan sendirinya mengikuti Pemilu 2009, sedangkan Parpol lainnya yang tidak memiliki kursi di DPR, meskipun perolehan suaranya dalam Pemilu 2004 lebih banyak dari pada partai yang memiliki satu kursi di DPR, tidak dapat dengan sendirinya mengikuti Pemilu 2009. 319 Menurut Mahkamah Konstitusi, Ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tidak jelas ratio legis dan konsistensinya sebagai pengaturan masa transisi dari prinsip electoral threshold ke prinsip parliamentary threshold yang ingin diwujudkan melalui Pasal 202 UU 10/2008. Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004, baik yang memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 maupun yang tidak memenuhi, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, sebagaimana dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU 318 319
Ibid hal 106 Ibid hal 118
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
10/2008.
Mahkamah Konstitusi kemudian Menyatakan Pasal 316 huruf d
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 320 Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 justru menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold. Perlakuan yang tidak adil tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi peserta Pemilu 2009, sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak, tetapi tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk dapat mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan verifikasi faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undangundang, in casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang tidak sama kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang memiliki wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 321 5.4. Judicial Review Ketentuang tentang Parliamentary Threshold. 322 5.4.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji Pemohon adalah 11 partai politik peserta pemilu tahun 2009, 186 Calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009 dan 306 Anggota Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Pemohon 320
Ibid hal 128
321
Ibid hal 128-129
322
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkaran Nomor 3/PUU-VII/2009. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_putusan_sidangPUTUSAN3 -PUU-VII-2009.pdf [2 Januari 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mengajukan perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 yang menyatakan bahwa : “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.” Ketentuan ambang batas perolehan suara yang dirumuskan dalam Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang a quo menurut pemohon bertentangan dengan UUD 1945, karena : 323 1. Telah terjadi kesewenang-wenangan (willekeur) oleh pembentuk undangundang. Pembentuk Undang-Undang merumuskan pasal tersebut dengan tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi. 2. Ketentuan ambang batas perolehan suara bertentangan dengan asas pemilu proporsionalitas, keterwakilan dan derajat keterwakilan yang lebih tinggi sebagaimana tersirat dalam Penjelasan UU 10/2008 Tentang Pemilu. 3. Adanya suara rakyat yang hilang. Hilangnya suara rakyat sama dengan hilangnya aspirasi pemilih. Hal itu bertentangan dengan jaminan hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi. Jika ambang batas diberlakukan, maka berdasarkan simulasi Pemilu legislative 2004 akan terjadi peningkatan suara hangus dari 4,81 % (empat koma delapan puluh satu perseratus) menjadi 16,52% (enam belas koma lima puluh dua perseratus). Hasil ini berdasarkan simulasi Pemilu legislatif 2004, berkursi 550 dan penghitungan suara hangus hanya berdasarkan pada suara yang tidak terkonversi menjadi kursi. Ketentuan a quo melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yaitu akan menyebabkan hilangnya jutaan suara pemilih anggota DPR yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan PT, yang berarti secara tidak langsung merugikan hak konstitusional para anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan
323
Ibid hal 63
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
sebagai pemilih secara otomatis hangus, yang berarti melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 4. Ketentuan a quo menyebabkan hilangnya kesempatan yang sama bagi warga negara dalam pemerintahan, karena Calon Anggota Legislatif Partai Politik yang tidak memenuhi PT meskipun dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil) suaranya lebih besar daripada Calon Anggota Legislatif Partai Politik yang memenuhi PT, tidak mendapat kursi DPR, sedangkan yang lebih kecil namun Partai Politiknya memenuhi PT mendapat kursi. Hal tersebut berarti bertentangan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. 5. Persyaratan ambang batas perolehan suara menyebabkan partai politik tidak diikutkan dalam penentuan kursi dan pembagian sisa kursi legislatif, sehingga bertentangan dengan prinsip representasi dan legitimasi anggota legislative berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 22 dan 24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008.
5.4.2. Pendapat Pemerintah Pemerintah dalam persidangan menerangkan bahwa terkait dengan threshold, baik itu electoral threshold, political parties threshold, maupun local leaders threshold, Pemerintah sependapat dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut: 1) Putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-V/2007 terkait dengan persentase electoral threshold 3% bagi Parpol oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, 2). Putusan Mahkamah Nomor 020/PUU-I/2003
terkait
dengan
persentase
political
parties
threshold
(kepengurusan 50% di provinsi, 50% dari kabupaten/kota dan 25% kecamatan) oleh Mahkamah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, 3). 324 Menurut Pemerintah pengaturan dalarn pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo adalah pengaturan yang didelegasikan oleh UUD 1945, dibuat dengan memperhatikan dan berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembentuk Undang-Undang guna mengatur Pemilu 324
Ibid hal 106-107
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
legislatif Tahun 2009, dan tidak bersifat diskriminatif, selengkapnya diuraikan sebagai berikut: 325 a. Delegasi pada Undang-Undang Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 berbunyi, "ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undangundang". Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUUV/2007, menjelaskan bahwa makna ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan Undang-Undang dalam Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 adalah pembentuk Undang-Undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. b. Pembatasan berdasarkan Pasal 28J UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 berbunyi, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” Pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo adalah pembatasan atau pengaturan terkait dengan prosedur dan mekanisme Pemilu serta ditetapkan pula dengan Undang-Undang, bukan dengan peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden. Pengaturan atau pembatasan demikian dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, yang menyatakan pembatasanpembatasan dalam bentuk mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan hakhak tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 283 ayat (2) UUD 1945. c. Pilihan Kebijakan (Legal Policy) Pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo seharusnya tidak diajukan pengujian oleh para Pemohon karena ketentuan a quo merupakan pilihan kebijakan (legal policy) bagi pembentuk UndangUndang (DPR bersama Presiden) guna mengatur Pemilu legislatif. Pemerintah sependapat dengan Mahkamah dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 yang menegaskan bahwa pilihan kebijakan (legal policy) demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Pembatasan dengan Undang-Undang 325
Ibid hal 107-108
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dibolehkan sepanjang tidak bersifat diskriminatif. Berkaitan dengan pengertian diskriminasi, Mahkamah dalam Putusan Nomor 06/PUU-III/2005, menyatakan bahwa pengertian diskriminasi yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dijabarkan lebih jauh dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak Iangsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin,
bahasa,
keyakinan
politik,
yang
berakibat
pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Dengan demikian, pembatasan yang diatur dalam pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo tidak dapat diartikan sebagai ketentuan yang bersifat diskriminatif, tidak pula diartikan sebagai pelanggaran terhadap persamaan kedudukan dan kesempatan yang sama bagi warga negara dalam pemerintahan yang memang dijamin konstitusi. Ketentuan dalam pasalpasal tersebut hanya mengatur mekanisme mengenai penentuan perolehan kursi DPR.
5.4.3. Pendapat DPR Menurut DPR, ketentuan ambang batas yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008, untuk mudahnya disebut parliamentary threshold (PT) adalah pilihan kebijakan untuk memperkuat sistem presidensiil dan membangun sistem kepartaian yang sederhana. Pilihan kebijakan PT ini untuk menggantikan pilihan kebijakan sebelumnya, yaitu electoral threshold (ET) yang dianut dalam Undang-Undang Pemilu sebelumnya yang ternyata tidak mampu memperkuat sistem presidensiil dan menciptakan sistem kepartaian sederhana. Sebagai pilihan kebijakan, kebijakan mengenai PT tidak diskriminatif, karena berlaku untuk seluruh partai politik peserta Pemilu dan tidak memakai istilah partai politik besar atau partai politik kecil sebelum Pemilu berlangsung, semuanya diserahkan kepada rakyat pemilih. Kebijakan PT justru menguntungkan partai politik Peserta
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pemilu karena telah dijamin untuk dapat ikut Pemilu berikutnya tanpa harus bergabung atau membentuk partai politik baru sebagaimana ketentuan dalam kebijakan ET. 326
5.4.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 202 ayat (1) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pertimbangan hukumya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, Pasal 22E UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi rambu-rambu Konstitusi mengenai Pemilu adalah : a) Pemilu dilakukan secara periodik setiap lima tahun sekali; b) dianutnya asas Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; c) tujuan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden; d) peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan; dan e) penyelenggara Pemilu adalah suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dengan demikian, ketentuan selebihnya yang berkaitan dengan Pemilu, misalnya tentang sistem Pemilu, Daerah Pemilihan, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, dan sebagainya, oleh UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya dalam Undang-Undang secara bebas sebagai kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang. 327 Lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau UndangUndang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasanpembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya 326 327
Ibid hal 105 Ibid hal 127
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk UndangUndang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat. 328
5.5. Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban Partai Politik agar tetap Diakui Sebagai Badan Hukum. 329 5.5.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji Pemohon adalah 14 partai politik yang terdiri dari Partai Persatuan Daerah (PPD); Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI); Partai Patriot, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), Partai Pelopor, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Perjuangan Indonesia Baru, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Merdeka, Partai Indonesia Sejahtera (PIS). 330 Pemohon melakukan pengujian terhadap Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2008 Tentang Partai Politik. Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa : Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi.
328
Ibid hal 131
329
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. www.mahkamahkonstitusi.go.id [3 Januari 2012]
330
Putusan
Nomor
Ibi hal 2
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
15/PUU-IX/2011.
5.5.2. Alasan/Kerugian Pemohon Pemohon mendalilkan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011, sebagai partai politik yang telah memiliki kedudukan badan hukum karena telah memenuhi prosedur pendirian partai politik sebagaimana
disyaratkan
oleh
ketentuan
Undang-Undang
yang
berlaku
sebelumnya, telah dirugikan hak konstitusionalnya. Kerugian konstitusional tersebut disebabkan oleh adanya ketentuan baru yang mewajibkan kepada para Pemohon untuk mengikuti verifikasi dalam tenggang waktu selambat-lambatnya dua setengah tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum 2014. Menurut para Pemohon proses verifikasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 menimbulkan akibat bahwa meskipun para Pemohon telah sah sebagai badan hukum apabila tidak lolos dalam proses verifikasi maka sebagai akibat hukumnya tidak memiliki hak konstitusional sebagai peserta pemilihan umum. Bahwa menurut para Pemohon adanya frasa “tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut UndangUndang ini dengan mengikuti verifikasi” adalah frasa yang tidak jelas maksudnya sehingga dapat merugikan para Pemohon. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol di atas membatasi kiprah dari para Pemohon sebagai partai yang sah dan berbadan hukum, masih saja diwajibkan untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang yang baru dengan cara akan dilakukan verifikasi ulang setelah selesai verifikasi ulang dalam batas waktu yang telah ditentukan, barulah para Pemohon sebagai partai yang sudah berbadan hukum berdasarkan hukum positif yang berlaku, akan diberikan legalitas kembali sebagai partai yang berbadan hukum. 331 Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, sepanjang menyangkut frasa “dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi” adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 332 331
Ibid hal 9
332
Ibid hal 11
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.5.3. Pendapat Pemerintah Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 diletakkan dalam Bab 20 tentang Ketentuan Peralihan yang memuat penyesuaian terhadap peraturan perundangundangan yang sudah ada, pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku. Dengan tujuan agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Pada saat suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun sesudah peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku, tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru.
333
Karena itu, menurut pemerintah, keberadaan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011, justru dibuat agar menjamin kepastian hukum tentang keberadaan seluruh partai politik yang telah berbadan hukum yang tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban untuk melakukan penyesuaian sebagaimana ditentukan oleh undangundan a quo.
334
Lebih lanjut menurut pemerintah, jika tidak terdapat
ketentuan a quo maka kehendak mewujudkan multipartai sederhana di Indonesia sebagaimana diinginkan oleh pembentuk undang-undang, yang juga telah sejalan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, yang terkait dengan electoral threshold maupun parliamentary threshold niscaya akan sulit dapat diwujudkan pemerintah, ketentuan a quo tidak dalam rangka mengurangi atau menghalanghalangi keinginan setiap orang termasuk para Pemohon untuk membentuk atau melanjutkan keberadaan partai politik yang telah berbadan hukum tersebut, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Juga, ketentuan tersebut merupakan perwujudan perlakuan yang sama dan setara (equal treatment) baik terhadap partai politik lama yang telah berbadan hukum maupun terhadap partai politik baru yang belum berbadan hukum. 335
333
Ibid hal 26
334
Ibid hal 26-27
335
Ibid hal 27
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.5.4. Pendapat DPR Ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah ketentuan peralihan. Terkait dengan hal tersebut, DPR berpandangan bahwa ketentuan peralihan dari sisi peraturan perundang-undangan merupakan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku. Tujuannnya untuk mengisi kekosongan hukum agar peraturan perundangundangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. 336 Demikian halnya mengenai Partai Politik, dengan adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik perlu diatur mengenai keberadaan Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008. Karena itu, menurut DPR keberadaan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 justru dibuat agar menjamin adanya suatu kepastian hukum tentang keberadaan seluruh Partai Politik yang telah berbadan hukum yang tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban untuk melakukan penyesuaian sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang a quo. DPR berpandangan salah satu bentuk penyesuaian adalah adanya kewajiban terhadap seluruh partai politik yang berbadan hukum (saat ini berjumlah 74 partai politik) untuk melakukan verifikasi ulang pada Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga menurut DPR adalah konsekuensi logis karena telah terjadinya perubahan hukum yang mengamanatkan seluruh partai politik yang berbadan hukum wajib melakukan penyesuaian sebgaimana ditentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Selanjutnya menurut DPR, jika tidak terdapat ketentuan a quo, maka untuk mewujudkan multy party sederhana di Indonesia sebagaimana diinginkan oleh pembentuk undang-undang. 337
336
Ibid hal 38
337
Ibid hal 38
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.5.5. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Amar Putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan status badan hukum partai politik, baik oleh UU 2/2008 maupun UU 10/2008, telah tepat dan benar. Oleh karena partai politik masih tetap diakui berstatus badan hukum maka status badan hukum tersebut haruslah tetap mendapat perlindungan konstitusional oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. 338 Mahkamah sependapat dengan para Pemohon bahwa adanya frasa ”tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi” yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 adalah tidak jelas maksudnya. Dengan adanya kata ”keberadaannya” dalam Pasal a quo menimbulkan pertanyaan apakah hal ini menyangkut eksistensi partai politik sebagai badan hukum. Frasa ”kewajiban mengikuti verifikasi” mempunyai akibat hukum terhadap eksistensi para Pemohon sebagai partai politik yang berbadan hukum, yaitu apakah hasil verifikasi dapat secara langsung mempengaruhi eksistensi partai politik dalam hal ini para Pemohon. Artinya, sebagai partai politik para Pemohon akan kehilangan status badan hukumnya karena tidak lolos verifikasi. Mahkamah berpendapat bahwa hal yang demikian akan melanggar kepastian hukum terhadap para Pemohon yang oleh Undang-Undang sebelumnya telah dijamin keberadaannya sebagai partai politik yang berbadan hukum. 339 Pembuat Undang-Undang seharusnya membedakan antara tata cara pembentukan atau pendirian partai politik dengan aturan tentang syarat-syarat yang dibebankan kepada partai politik agar sebuah partai politik dapat mengikuti pemilihan umum, serta ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR.340 338
Ibid hal 48
339
Ibid hal 49
340
Ibid hal 49
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tata cara pembentukan atau pendirian partai politik adalah tata cara yang harus dilakukan oleh warga negara yang akan mendirikan partai politik, sehingga partai politik yang didirikan tersebut mendapatkan status badan hukum. Adapun syaratsyarat partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang tersendiri agar partai politik yang telah berbadan hukum tersebut dapat menjadi peserta pemilu untuk dapat menempatkan wakilnya di dalam lembaga perwakilan yang harus diraih melalui pemilihan umum. Mengenai ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR juga diatur dalam Undang-Undang tersendiri yang antara lain mengatur tentang susunan organisasi, keanggotaan, tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan, dan sebagainya. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 mencampuradukkan ketiga hal tersebut.
5.6. Judicial Review tentang Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai Politik. 341 5.6.1. Pemohon dan Perkara Pengujian pasal dalam UU 2/2011 yang akan diuji adalah sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) UU 2/2011 berbunyi, "Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi". Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 berbunyi, "Untuk menjadi badan hukum sebagaimana imaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan". 5.6.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon Ketentuan tersebut telah mempersulit Pendirian Pembentukan Partai Politik Baru Yang dimaksudkan "mempersulit" tersebut dikarenakan persyaratan sukar dipenuhi, berbiaya tinggi, dan waktu yang tersedia untuk menghadapi verifikasi sangat singkat. Akibatnya dengan persyaratan-persyaratan yang berat 341
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2035-PUU-IX2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tersebut mengakibatkan tidak semua orang dapat melaksanakan "haknya untuk berserikat" (Pasal 28 UUD 1945) dan hak bahwa "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya" [Pasal 28C ayat (2) UUD 1945]. UU Sengaja Mempersulit demi Penyederhanaan Sistem Kepartaian. 342 Para Pemohon berpendapat bahwa setiap partai politik di dalam suatu sistem yang demokratis dengan sendirinya berkehendak untuk mengikuti pemilihan umum. Para Pemohon memandang bahwa tindakan itu bukan saja melawan Pasal 28 UUD 1945 melainkan juga para pembuat seolah-olah hendak membekukan masyarakat sehingga pada akhirnya partisipasi politik masyarakat hanya bisa diwakili oleh mereka sendiri (monopoly by law). Membiarkan hal ini berarti menjadikan partai-partai politik yang ada sekarang, khususnya partai-partai politik besar, sebagai partai kartel yang akan terus menerus menguasai negara ini. 343
Kondisi kemajemukan Indonesia tampaknya tidak memungkinkan mewujudkan sistem dwi-partai. Dalam keadaan demikian, maka opsi lain adalah sebenarnya bentuk presidensialisme itu yang harus diubah; Sungguh pun begitu, perlu disadari bahwa betapa pun pentingnya tuntutan penyederhanaan sistem kepartaian tersebut, prinsip ini dalam skala nilai harus tetapditempatkan di bawah dan bukan di atas kebebasan berserikat yang merupakan hak yangmelekat pada warga negara. Dengan kata lain, penyederhanaan sistem kepartaian tidak boleh melumpuhkan kebebasan berserikat (Pasal 28 UUD 1945). Undang-Undang telah keliru Menerapkan Konsep "bersifat nasional" yang hanya
memaknainya
secara
geografis
sehingga
mengharuskan
adanyakepengurusan partai politik di setiap provinsi, di sejumlah kabupaten/kota dan kecamatan.Padahal, "bersifat nasional" tidak bisa melulu hanya dimaknai sebagai sebaran geografis diseluruh wilayah negara, tetapi juga bisa dimaknai sebagai "wilayah kerja" yangdimaksudkan tanpa harus berada di suatu wilayah
342
Ibid hal 6-7
343
Ibid hal 8
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tetapi kegiatan dan hasil kerjanyaterasa pengaruhnya sampai di wlayah tersebut. 344
5.6.3. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah berpendapat bahwa syarat pendirian dan pembentukan partai politik yaitu didirikan paling sedikit 30 orang dari setiap provinsi merupakan pilihan kebijakan yang wajar, dan syarat demikian tidaklah berlebihan. Apabila dasar yang dijadikan perbandingan para Pemohon untuk menilai berat atau tidaknya dalam pendirian partai politik baru tersebut menggunakan UndangUndang Partai Politik yang lama in casu UU 2/2008, maka terlihat persyaratan pembentukan partai politik baru memang berat, namun menurut Mahkamah, untuk mendirikan partai politik seharusnya tidak hanya digunakan perbandingan dengan Undang-Undang Partai Politik yang lama, melainkan juga harus mempertimbangkan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Karena persyaratan pendirian partai politik baru tersebut menggunakan pertimbangan bertambahnya penduduk, maka menjadi wajar jika disyaratkan bahwa pendirian partai politik baru oleh paling sedikit 30 orang pendiri di setiap provinsi. Hal demikian merupakan jumlah yang relatif sedikit dan sederhana atau setidaktidaknya mudah untuk dipenuhi oleh partai politik baru tersebut. Selain itu, sebagai negative legislator pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat membentuk norma sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan sehingga apabila pasal tersebut dibatalkan atau dinyatakan inkonstitusional maka akan terjadi kekosongan hukum. Terlebih lagi berdasarkan pengalaman di masa lalu, setiap terjadi perubahan Undang-Undang tentang kepartaian selalu pula terjadi perubahan syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai baru. Hal tersebut dapat dipahami sebagai penyesuaian tingkat perkembangan bangsa dan negara. Oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; 345 Para Pemohon mendalilkan Undang-Undang a quo telah mempersulit partai politik untuk menjadi badan hukum, Selain itu, menurut para Pemohon Undang-Undang a quo telah menyamakan persyaratan partai politik menjadi badan hukum dengan persyaratan partai politik untuk mengikuti Pemilu. 344 345
Ibid hal 10 Ibid hal 20-21
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Penyamaan demikian telah melahirkan pembatasan terhadap pendirian dan pembentukan partai politik bagi warga negara, padahal hak untuk berserikat dan berkumpul, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, partai politik merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita dalam memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Untuk dapat mengikuti pemilihan umum, partai politik tersebut harus berbadan hukum yang didaftarkan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 346 Apabila dicermati Undang-Undang Partai Politik yang berlaku sejak reformasi, pengaturan syarat partai politik untuk dapat menjadi badan hukum selalu berbeda antara Undang- Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lainnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU 2/2008, serta pada n UU 2/2011. 347 Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif,
dan
merupakan
upaya
alamiah
dan
demokratis
untuk
menyederhanakansistem multipartai di Indonesia. Kebijakan yang demikian itu, tergambar dalam penjelasan umum UU 2/2011 yang menyatakan: “Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsipprinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kaderkader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Upaya untuk 346
Ibid hal 22
347
Ibid hal 22
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat”. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah menilai bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Jika pun pasala quo menetukan aturan yang ketat dalam pembentukan partai politik baru, haltersebut dimaksudkan untuk penguatan partai politik di tengah masyarakat karenatujuan dibentuknya partai politik bukan hanya untuk ikut serta dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk: (i) pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agarmenjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannyadalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (ii) penciptaan iklim yangkondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakanmasyarakat; (iii) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakatsecara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (iv)wahana partisipasi politik warga negara; dan (v) rekrutmen politik dalam prosespengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikankesetaraan dan keadilan gender; 348
5.7. Judicial Review Ketentuan mengenai Syarat Partai Politik sebagai Peserta Pemilu (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012) 349 5.7.1. Pemohon dan Perkara Pengujian Pemohon adalah 17 partai politik
yaitu Partai Kebangkitan Nasional
Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Persatuan Nasional (PPN), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Sarikat Indonesia (PSI), 348
349
Ibid hal 25 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 52/PUU-X/2012. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_52%20PUU%202012TELAH%20BACA%2029-8-2012.pdf [9 September 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai Kedaulatan, Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Republika Nusantara, Partai Pemuda Indonesia (PPI), mendalilkan sebagai badan hukum publik (partai politik) yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu : Pasal 8 ayat (1) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya; sepanjang frasa, “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”; Pasal 8 ayat (2) Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sepanjang frasa, “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”; Pasal 208 yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” atau setidak-tidaknya sepanjang frasa, “DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”; terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2).
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.7.2. Alasan Kerugian Pemohon Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal 208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota“ UU Pemilu jelas akan merugikan setidak-tidaknya potensial merugikan para Pemohon. Hal ini karena mengatur ketentuan yang sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif yang diberlakukan kepada para Pemohon sebagai partai politik peserta pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009) yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau parliamentary threshold/PT) dalam kepesertaan Pemilu pada Pemilu berikutnya (2014), melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebaliknya, sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif hanya menetapkan partai politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009) yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu berikutnya (2014) dengan tanpa harus melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU. Para Pemohon telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya karena diperlakukan sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif, suatu perlakuan yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. 350 Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu jelas menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertainty) bagi para Pemohon. Sebab, para Pemohon dari sebelumnya sudah mendapatkan jaminan untuk menjadi peserta pemilu berikutnya (Pemilu 2014) sebagaimana ketentuan Pasal ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008. Namun demikian, karena sebagai akibat adanya 350
Ibid hal 18
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
perubahan atau penggantian menjadi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu Tahun 2012, maka para Pemohon tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil (fair legal uncertainty) dalam kepesertaan pemilu berikutnya (Pemilu 2014). 351 Menyimak ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, dapat diperoleh penjelasan yang tegas bahwa pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut membedakan secara jelas sasaran penggunaan hak pilih, dan sekaligus penegasan terhadap pemberian hak suara dilakukan dengan tingkat representasi yang berbeda. Sebagai salah satu wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, suara yang ditujukan ke dalam kotak suara tertentu, tidak boleh menegasikan dan mereduksi makna pemberian suara ke kotak suara yang lain. Hal ini berarti masing-masing kotak sebagai representasi hak suara sebagai hak asasi untuk memilih, memiliki nilai keterwakilan masing-masing, sehingga tidak mungkin karena tidak mencapai pada ambang batas tertentu pada kota tertentu menghilangkan representasi pada kotak yang lain. Tegasnya, representasi keterwakilan pada anggota DPR tidak dapat mereduksi representasi keterwakilan pada DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional sebagaimana dituangkan dalam Pasal 208 UU Pemilu 2012 jelas menciderai asas demokrasi yang dibangun oleh Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Selain itu, ketentuan Pasal 208 UU Pemilu 2012 berpotensi mereduksi kebhinekaan pilihan pemilih, dan sangat potensial membunuh hak rakyat dalam menentukan representasi mereka di lembaga legislatif pada setiap tingkatan yang berbeda. Hal itu sekaligus bermakna bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional menjadi mesin pembunuh masal kebhinekaan berpolitik sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Dengan hilangnya kebhinekaan berpolitik, menjadi ancaman serius dan sangat mungkin partai politik yang secara tradisional hanya memiliki basis dukungan di daerah tertentu, tetapi karena tidak
351
Ibid hal 31
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mencapai ambang batas parlemen secara nasional, secara otomatis suara pemilihnya akan hilang sampai pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 352
5.7.3. Pendapat Pemerintah Persoalan besaran nilai ambang batas mengikuti pemilu (electoral threshold/ET) maupun ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. PT merupakan tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan perwakilan kursi di DPR. Berkaitan dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 mempunyai arti bahwa partai politik yang memenuhi PT pada Pemilu terakhir dijadikan sebagai ET untuk Pemilu tahun berikutnya.
353
Dengan demikian, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD memberlakukan PT tahun 2009 sebagai ET tahun 2014 dengan melengkapi persyaratan sebagai diatur pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemerintah berpendapat bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 membolehkan perlakuan khusus dimaksud. Hal ini berarti, partai politik yang memiliki kursi di DPR tidak perlu diverifikasi lagi. Ketentuan pasal a quo dapat menimpa semua partai politik jika yang bersangkutan tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan datang. Sebab hasil sebuah pemilu dimana partai politik memperoleh sejumlah suara yang kemudian dapat dikonversi menjadi kursi, merupakan indikasi atau parameter utama apakah partai politik tersebut mendapatkan dukungan rakyat secara signifikan atau tidak. Pemilu adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut. Oleh karena itu, ketentuan persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk diskriminatif penyempurnaan sistem kepartaian mutlak dilakukan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah yang efektif dan produktif, serta menciptakan stabilitas politik. Apabila penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan tercipta iklim pemerintahan yang kuat, tegas, bersih, berwibawa, bertanggung jawab, dan transparan, sehingga 352 353
Ibid hal 42 Ibid hal 63
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
bangsa Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi bangsa yang besar, damai, dan bermartabat. 354 Pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas program yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah. Fakta yang terjadi sebelumnya sering kali program yang dicanangkan pemerintah pusat tidak sejalan dengan kebijakan yang ada di daerah. Hal ini disebabkan masing-masing keterwakilan partai politik di DPR dan DPRD berbeda latar belakangnya dikarenakan dalam Pemilu Tahun 2009, partai politik yang terwakili di DPR belum tentu mempunyai keterwakilan di DPRD, begitu juga sebaliknya. Hal ini sangat memengaruhi sinergitas program pembangunan di pusat dan daerah, sehingga penyelenggaraan Pemerintah kurang efektif. 355
5.7.4. Pendapat DPR sebagai sebuah upaya menciptakan sistem presidensiil yang efektif dan efisien dengan beberapa asas yang harus kita penuhi, maka diatur beberapa ketentuan yang merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. Untuk diketahui bahwa asas-asas sistem presidensiil yang dikemukakan Lijphart adalah sebagai berikut: 356 1. stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden yang tertentu (fixed term); 2. pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dianggap lebih legitimate; dan 3. pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasisehingga terjadi perlindungan individu atas tirani pemerintah. Pembentuk
Undang-Undang
berupaya
untuk
mendekatkan
agar
sistem
presidensiil berlangsung di Indonesia secara lebih baik. Hal itu tercermin dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) bahwa partai politik yang hendak mengikuti pemilu harus memenuhi sejumlah persyaratan. Disadari bahwa terdapat frasa “... yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” yang sebenarnya merupakan sebuah mekanisme reward and 354
Ibid hal 64
355
Ibid hal 64-65 Ibid hal 72
356
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
punishment bagi setiap partai politik yang akan ikut Pemilu. Disadari pula bahwa threshold bukan satu-satunya cara untuk menyederhanakan partai politik, namun threshold juga harus diakui sebagai salah satu cara yang paling banyak digunakan di berbagai negara untuk membatasi jumlah partai politik yang dapat duduk di parlemen dan dalam UU Nomor 8 tahun 2012 merupakan salah satu persyaratan bagi partai politik untuk mengikuti pemilu berikutnya yang tercermin dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 2012. Penentuan threshold merupakan sebuah electoral system engineering guna menciptakan sebuah sistem Pemilu yang lebih berkualitas. DPR, sebagai lembaga pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan itu (open legal policy) yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Patut disadari oleh semua parpol bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 bukan merupakan ketentuan diskriminatif tapi justru merupakan persyaratan berat sebuah Parpol untuk bisa ikut serta pada Pemilu berikutnya dan ketentuan tersebut berlaku bagi semua Parpol. Sebab sebuah parpol tidak mudah untuk dapat lolos angka PT jika tidak mendapat dukungan rakyat dalam pemilu. Sebuah parpol tidak cukup hanya dengan modal loloas syarat administratif untuk ikut pemilu, tetapi syarat pengakuan dukungan rakyatlah yang terpenting. Hal itu terlihat nyata dalam syarat lolos PT. 357 Terkait dengan keberatan para Pemohon dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) tersebut dianggap merugikan dan bersifat diskriminatif, dan akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak sama dalam hukum bagi semua partai politik sehingga para Pemohon akan terhalangi hak-hak konstitusionalnya dalam hal memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, dapat dijelaskan bahwa sebenarnya ketentuan Pasal a quo berlaku untuk semua partai politik jika yang bersangkutan tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan datang. Sebab, hasil sebuah pemilu di mana partai politik memperoleh sejumlah suara yang kemudian dapat dikonversi menjadi kursi merupakan indikasi atau parameter utama apakah partai politik tersebut mendapat dukungan rakyat secara signifikan atau tidak. Pemilu adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut. 357
Ibid hal 72
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Oleh karena itu ketentuan persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk diskriminatif. 358 5.7.5. Pertimbangan Hukum dan Putusan Mahkamah Konstitusi Menurut Mahkamah semua partai politik yang didirikan di Indonesia dimaksudkan untuk mengikuti pemilihan umum dan menempatkan wakilnya di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Fakta terbatasnya jumlah kursi di lembaga perwakilan akan membatasi pula partai politik yang dapat menempatkan wakil-wakilnya. Keadaan tersebut pada akhirnya menjadikan keragaman aspirasi, yang berbanding lurus dengan jumlah partai politik, tidak dapat terwakili seluruhnya, karena faktanya hanya ada beberapa partai politik saja yang dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan tersebut. Dengan demikian, hal yang harus diperhatikan adalah kecilnya dukungan pemilih kepada partai politik tertentu berkemungkinan menghalangi keterwakilan pemilih yang bersangkutan di DPR maupun di DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, politik hukum berkenaan dengan pembatasan partai politik adalah suatu kewajaran karena banyaknya jumlah partai politik yang tidak secara efektif mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga partai politik tersebut tidak dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan adalah wajar bila partai politik yang bersangkutan harus menggabungkan diri dengan partai lain yang sepandangan/sejalan dengannya. 359 Dalam membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan mengikuti pemilihan umum, pembentuk undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan syarat-syarat administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu yang akan mengikuti pemilihan umum merupakan perwujudan dari maksud pembentuk undang-undang dalam mengakomodasi kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul, sekaligus menunjukkan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama untuk mendirikan atau bergabung dengan
358
Ibid hal 73
359
Ibid hal 87-88
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai politik tertentu, tentunya setelah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pengertian yang demikian, menurut Mahkamah, tindakan pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai politik peserta pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai peserta Pemilu adalah pilihan kebijakan yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undang-undang melainkan ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya secara alamiah. 360 Dalam
peraturan
perundang-undangan
di
Indonesia,
Mahkamah
menginventarisasi adanya dua tahapan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik dan tahapan keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum. Tahap pendirian atau pembentukan partai politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Tahap pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari kedua Undang-Undang yang mengatur tahapan tersebut, menurut Mahkamah, ada kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melakukan penyederhanaan partai politik. Selain itu, penyederhanaan partai politik dilakukan dengan menentukan pemenuhan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold atau PT) pada pemilihan umum sebelumnya sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik lama untuk mengikuti pemilihan umum [vide Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012] dan menentukan bahwa partai politik lama yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tersebut serta partai politik baru harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum [vide Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012]. 361 Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, menurut Mahkamah, tidak memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk 360
Ibid hal 88
361
Ibid hal 88-89
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009 telah dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya diwajibkan memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Ketentuan yang demikian, menurut Mahkamah, tidak memenuhi prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama. 362 Dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008 berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Dengan demikian, meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Ketidakadilan juga terdapat pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Hal yang terakhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak ada penjelasan dari suatu pasal yang dapat berdiri sendiri, sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 harus mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya. 363
Pengujian Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 Setelah mempersandingkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dengan Pasal 8 UU 8/2012 mengenai persyaratan partai politik menjadi peserta pemilihan umum, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif 362
Ibid hal 89
363
Ibid hal 90
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai politiktahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009. Dengan demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai politik baru, sementara partaipolitik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti verifikasi dengan syarat yang lebih berat. PT sejak awal tidak dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya [vide Pasal 1 angka 27, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008], tetapi adalah ambang batas bagi sebuah partai poltik peserta Pemilu untuk mendudukkan anggotanya di DPR Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk UndangUndang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang berlainan kepada masing-masing partai politik. Memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi politik atau pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014. Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undangundang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2014 tanpa kecuali.
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian,
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah; Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal 3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada satu partai politik yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi;
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian, ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota;
5.8. Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik adalah dasar hukum operasional partai politik yang ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang tentang partai politik, undang-undang tentang pendanaan partai politik, Undangundang tentang pemilihan umum dan undang-undang tentang kampanye dan juga peraturan administrasi, penetapan-penetapan dan putusan pengadilan. Konstitusi memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang partai politik, karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi aturan politik melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan kekuasaan. Melalui konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format kelembagaan negara.
364
Undang-undang yang mengatur tentang partai politik spesifik mengatur tentang internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang partai dalam undangundang tentang pemilihan umum serta ada pula yang mengatur partai politik dalam berbagai bentuk instrumen hukum. 365 Konstitusi Jerman mengatur dan menyebutkan partai politik secara eksplisit dan detail. Dalam konstitusi Jerman article 21 menyebutkan partai politik sebagai 366: Political parties participate in the formation of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They must publicly account for their assets and for the sources and the use of their funds.
364
Fransje Molenaar. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17. 2012 hal 2
365
Ibid hal 2
366
Kenneth Janda. Op cit hal 14
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai politik memiliki kedudukan yang penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia Pasca Reformasi, sehingga Undang-Undang yang mengatur tentang Parta Politik tidaklah boleh bertentangan dengan hak-hak konstitusional yang telah diberikan UUD 1945 kepada Partai Politik. Kedudukan partai politik setidaknya diatur dalam beberapa pasal dalam UUD 1945 yaitu : Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa : Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa : Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dari beberapa putusan perkara pengujian Undang-Undang yang mengatur tentang kebijakan penyederhanaan partai politik, beberapa kebijakan dinyatakan konstitusional, namun demikian terdapat pula kebijakan yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi inkonstitusional dan juga konstitusional bersyarat. Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi seperti yang telah diuraikan pada Bab V, dapat dianalisa bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak melanggar UUD 1945 dikarenakan Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undangUndang.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.8.1. Pengaturan dan Persyaratan dalam Undang-Undang tentang Partai Politik merupakan Pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Perkara Nomor PUU-20/PUU-I/2003, substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 yang mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen Kehakiman, Pasal 3 ayat (2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal 23 huruf a, b, c, dan d yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang partai politik, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan bukan bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan merupakan pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. 367 Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan mengikuti pemilihan umum tidak bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan syaratsyarat administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu yang akan mengikuti pemilihan umum merupakan perwujudan dari maksud pembentuk undang-undang dalam mengakomodasi kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul, sekaligus menunjukkan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama untuk mendirikan atau bergabung dengan partai politik tertentu, tentunya setelah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pengertian yang demikian, menurut Mahkamah, tindakan pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai politik peserta pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai peserta Pemilu adalah pilihan kebijakan yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena 367
Putusan PUU-20/PUU-I/2003. hal 35-36
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undang-undang melainkan ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya secara alamiah. 368
5.8.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik adalah Pilihan Legal Policy Pembentuk Undang-Undang Pada putusan perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 Nomor 16/PUU-V/2007 dalam pertimbangan hukumnya [3.15], Mahkamah mengemukakan bahwa Partai memang politik menempati posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undangundang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. 369 Berdasarkan ketentuan berbagai Undang-Undang Partai Politik yang pernah berlaku tersebut, tampak bahwa UU 2/1999 tidak memasukkan adanya kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu persyaratan badan hukum sebuah partai politik, sedangkan UU 31/2002, UU 2/2008, dan UU 2/2011 mengharuskan pembentukan kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu syarat untuk pendirian badan hukum sebuah partai politik, yang selalu 368
52 PUU 2012. Hal 88
369
16/PUU-V/2007 hal 80
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
membedakan jumlah kepengurusan di daerah. Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia. 370
5.9. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan, meskipun menyatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik tidak bertentangan dengan UUD 1945, tidaklah serta merta setiap kebijakan bersifat konstitusional, ada persyaratan dan batasan yang dinyatakan oleh Mahakamh Konstitusi yaitu prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh kebijakan tersebut yaitu : prinsip demokratis, Rasional dan Non Diskriminatif. A. Demokratis Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, kebijakan tentang PT yang terkandung dalam pasal a quo didasarkan atas Undang-Undang, in casu UU 10/2008, yang dibuat secara demokratis oleh DPR dan Pemerintah, serta tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan tetap menjamin hak hidup Parpol Peserta Pemilu serta kesempatan yang sama untuk mengikuti Pemilu berikutnya. 371
B. Konstitusional Partai politik menempati posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. 370
35/PUU-IX/2011. hal 24
371
3/PUU-VII/2009. hal 128
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undangundang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945; 372
C. Tidak Bersifat Diskriminatif Substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 yang mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen Kehakiman, Pasal 3 ayat (2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal 23 huruf a, b, c, dan d yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang partai politik
tidak
dapat dipandang diskriminatif karena berlaku terhadap semua partai politik. 373 Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-undangnya. 374 Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold [Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 juncto Pasal 315 UU 10/2008]. Perlakuan yang tidak adil tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang
372
16/PUU-V/2007
373
PUU-20/PUU-I/2003 hal 35-36
374
Putusan 16/PUU-V/2007 hal 81-82
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi peserta Pemilu 2009; sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak, tetapi tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk dapat mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan verifikasi faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undang-undang, in casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang tidak sama kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang memiliki wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. 375 Menurut Mahkamah, kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama melalui kompetisi secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya memang ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap sama 376 Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 bersifat diskriminatif dan tidak rasional, sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua Parpol Peserta Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari Parpol Peserta Pemilu, tanpa kecuali, juga tidak ada faktorfaktor
375
12/PUU-VI/2008 Hal 128-129
376
3/PUU-VII/2009. hal 129
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pembedaan ras, agama, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). 377
377
3/PUU-VII/2009. hal 129
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB VI PENUTUP 6.1. Simpulan 1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk mewujudkan partai politik
sebagai organisasi yang bersifat nasional,
menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai. Kebijakan penyederhanaan partai politik diatur
dalam Undang-Undang
tentang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik dalam Undang-Undang tentang Partai Politik yaitu
melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif
pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, sedangkan dalam Undang-Undang Pemilu Kebijakan Penyederhanaan partai politik diwujudkan dalam persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat menempatkan kursi di DPR.
Pada prakteknya, persyaratan-persyaratan
sebagai wujud kebijaksanaan penyederhanaan partai politik, semakin diperberat seiring dengan perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Pasca Reformasi.
Partai
politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat menjadi peserta pemilihan umum. Persyaratan Partai Politik untuk mengikuti pemilu meliputi persyaratan kepengurusan, Kantor tetap, jumlah minimum anggota dan persyaratan ambang batas perolehan Kursi (electoral threshold) di DPR. Namun ketentuan mengenai electoral threshold dihilangkan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008. Ketentuan ini kemudian diganti dengan ketentuan mengenai Parliamentary Threshold. Yaitu ambang perolehan suara nasional untuk diikutkan dalam perhitungan perolehan kursi di DPR. 2. Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik adalah 1) Partai Politik tidak mendapat status badan hukum apabila tidak
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
memenuhi syarat pendirian dan pendaftaran sebagai badan hukum, 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu apabila tidak memenuhi syarat untuk dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR, apabila tidak memenuihi ketentuan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold).
Semakin diperberatnya
persyaratan pendirian dan pendaftaran partai politik berakibat hukum berkurangnya partai politik yang dapat memperoleh status badan hukum dan berkurangnya partai politik menjadi peserta pemilu. Pada tahun
2008,
memang terjadi kenaikan jumlah partai yang mendaftar ke KPU untuk menjadi peserta pemilu, hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan kebijakan
yang
semula
menggunakan
Elecotral
Threshold
menjadi
Parliamentary Threshold (PT). Diberlakukannya kebijakan PT menyebakan berkurangnya parpol yang lolos ke DPR. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik belum optimal membentuk sistem multipartai sederhana. Meskipun jumlah partai peserta pemilu menurun karena kebijakan persyaratan mendirikan partai politik, persyaratan mengikuti pemilu dan juga elektoral threshold, namun jumlah efektif partai di DPR meningkat dari 4 sampai 5 partai di tahun 1999 menjadi lebih dari 7 partai di tahun 2004. Sistem partai di Indonesia berubah dari multipartai moderat (sederhana) menjadi ekstrim. Pemilu Tahun 2009, juga menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun demikian, Pemberlakuan kebijakan PT telah sedikit menurunkan Nilai ENPP (jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07 menjadi 6.47, yang berarti jumlah efektif partai menurun menjadi 6 sampai 7 partai efektif di DPR. 3. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Keharusan partai politik untuk didaftarkan sebagai badan hukum dengan berbagai persyaratannya
merupakan
pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan bukan bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan merupakan pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan mengikuti pemilihan umum tidak bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan syarat-syarat administratif. Partai politik memang menempati posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-undang. Hal ini berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan umum dan partai politik, sepanjang undang-undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, bersifat objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia.
6.2. Saran 1. Partai Politik sebagai elemen penting dalam
menegakkan demokrasi
memanglah dapat diatur dan dibatasi menurut UUD 1945, karena merupakan kewenangan yang didelegasikan dan diberi kebebasan bagi pengambil kebijakan. Namun demikian, pengaturan tersebut memerlukan kehati-hatian karena dibatasi oleh prinsip-prinsip yang tidak boleh dilanggar karena telah ditetapkan oleh UUD 1945. Prinsip-prinsip sebagaimana telah dianalisa sebelumnya adalah prinsip konstitusional, demokrasi, rasional dan non diskriminatif haruslah tercermin dalam setiap kebijakan penyederhanaan partai politik.
2. kebijakan penyederhanaan partai politik pada prakteknya belum maksimal membentuk sistem multipartai sederhana. kebijakan PT yang terbukti dapat menghambat jumlah partai politik yang efektif di DPR masih dapat ditingkatkan sampai dengan 5%. Alternatif lain, bahwa kebijakan PT dapat
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
juga diperuntukkan bagi koalisi partai, sebagaimana yang dipraktekan di Republik Ceko, koalisi dua partai harus memperoleh 10 sampai 6 % suara, koalisi tiga partai harus memperoleh 15 sampai 8% suara dan koalisi empat partai harus memperoleh 20 sampai 10% suara dari total keseluruhan suara.
3. Penelitian lebih lanjut dapat difokuskan pada sumber keuangan partai politik, terutama tentang perlunya pembatasan kebijakan pemberian bantuan pendanaan kepada partai politik oleh negara yang akan memicu keinginan untuk membentuk partai baru sehingga tidak sejalan dengan upaya pembentukan sistem multipartai sederhana.
Dibeberapa negara justru
sebaliknya, pendirian partai politik dikenakan pungutan biaya, misalnya di Inggris atau di Republik Ceko. Dengan pengenaan biaya baik pada saat tahap pendaftaran sebagai badan hukum ataupun sebagai peserta pemilu diharapkan akan mengurangi keinginan untuk mendirikan partai-partai baru.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adam Perzweroski dan Jose Mar ia Maraval. Democracy and The Rule of Law. Cambridge. : The Press Syndicate of The University of Cambridge. 2003 Alam, Wawan Tunggul. Demi Bangsaku : Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003 AM. Fatwa. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara. 2009 Anwar, Rosihan. Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2006 Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008 Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006. ------------------------------, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. 2007. ------------------------------,. Model-model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, cet. III. Jakarta: Konstitusi Press, 2006 ------------------------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta : Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006. ------------------------------,. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta : Sinar Grafika. 2011 ------------------------------, Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta : Gema Insani Press. 1995.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
------------------------------, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer. 2009. ------------------------------,
Konstitusi Ekonomi. Jakarta : PT. Kompas Media
Nusantara. 2010 Barington, Lowell. Comparative Politics.Structure and Choices. Boston : Wadsworth Cengage Learning. 2012 Bourchier, David dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader. London. : Routledge Curzon. 2003 Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka. 2010 Burke, Edmund. Thoughts on The Cause of The Present of Discontents. London : The Gordon Lester Ford Collection. 1770 Chaurasia, R.S. History of Western Political Thought. New Delhi. : Atlantic Publisher and Distributors. 2001. Choi, Jungug. Votes, Party Systems and Democracy in Asia. Routledge. 2012 Dalton, Russell J, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic Linkage. How Party Organize Democracy. Oxford University Press. 2011 David Bourchier dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader. Routledge Curzon. London. 2003 Duverger, Maurice. Political Parties and Their Organisations in Modern State. USA 1959. Espezo, Paulina Ochoa Espezo. The Time of Popular Sovereignity : Process and Democratic State. United State of America : The Pennsylvania State University Press. 2011.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Firmanzah. Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007 Gauja, Anika. Political Party and Election. Legislating for Representatives Democracy. England : Ashgate Publishing Limited. 2010 Gauja, Anika. Legislative Regulation, Judicial Politics and the Cartel.Party Model. Australia : Department of Government and International Relations School of Social and Political Sciences Room 443, Merewether Building The University of Sydney NSW 2006. 2011 Haris, Syamsudin. Partai Parlemen dan Parlemen Lokal di Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. Hatta, Mohammad. Untuk Negeriku. Berjuang dan Dibuang. Sebuah Otobiografi. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. 2011 Hok, Sue Vander. Democracy. Minnesota : ABDO. Publishing Company. 2011 HR, Hanta Yuda. Presidensialisme Setengah Hati. Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2010 Jakckson, Karl D and Lucian W Pye. Political Power and Communications in Indonesia. California : University California Press. 1978 Janda, Kenneth. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical Perspectives. Adopting Party Law. Washington DC : National Democratic Institute For International Affairs. 2005 J. Kristadi. Who Wants to be The Next President? : A-Z Informasi Politik Dasar dan Pemilu. Kanisius. 2009 Jones, Tudor. Modern Political Thinkers and Ideas : An Historical Introduction. New York. Routledge. 2002 Junejo, Jamil. Human Rights, Rule of Law and Democracy Training Manual . Center for Peace and Civil Society. 2010
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
King, Anthony dalam Alan Ware Political Party and Party Systems. Oxford University Press. 1996 hal 6 Lapalombara, Joseph dan Myron Weiner. The Origin and Development of Political Parties, dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo. 2007 Lock, John. The Second Treatise of Government, dalam Satya Arinanto. Politik Hukum I. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2001. Luth, Tohir. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999 Maning, Chris dan Peter Van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi. AspekAspek Sosial Reformasi dan Krisis. Judul Asli : Indonesia In Transition, Social Aspect of Reformasi and Crisis. Singapore : Institute of Southeast Asian Studies. 2000. Mainwarring, Scott P. Rethinking Party Systems in The Third Wave of Democratization : The Case of Brazil. California : Stanford University Press. Stanford. 1999. --------------------------------, Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The Difficult Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2. Sage Publications. 1993. Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. 2010 M. Dzulkifriddin. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia : peran dan jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia. PT. Mizan Pustaka. 2010 Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante. Dalam Muhammad Ali Saafat. Pembubaran Partai Politik. Jakarta : Universitas Indonesia. 2009.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Nonet, Philipe dan Philip Selznick. Law and Society in Transition : Toward Responsive Law dalam Satya Arinanto Politik Hukum 2. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2001. Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo. 2005 Pak-kwan, Chau. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the United Kingdom, New Zealand and Singapore. Hong Kong : Research and Library Services Division Legislative Council Secretariat..2004 Prayitna, Dadang. Sistem multi partai sederhana: Kajian terhadap penerapan electoral threshold dalam proses penyederhanaan partai politik di Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia. 2006 Rogers, Harold E. Jr. The History of Democracy From The Middle East to Western Civilizations. Bloomington. Author House. 2006 Samsudin. Mengapa G30S/PKI Gagal? : Suatu Analisis. Yayasan Obor Indonesia. 2004 Sartori, Giovanni
Parties and Party Systems. A frame Work for Analysis.
Colchester : Ecpr Press. 2005 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. 2007 Stefan Eklӧf. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia. The Indonesia Democratic Party (PDI) and Decline of New Order (1986-1998). Nias Press. Denmark. 2004 Sugono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1997 Sulastomo. Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Sebuah Memoar. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. 2008
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Suryadinata, Leo. Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia. Singapore : Institute of Southeast Asian Studies. 1982 Ware, Alan. Political Parties and Party Systems. New York : Oxford University Press. 1996 Woolf, Alex. Democracy. . London : Evan Brothers Limited. 2007 B. Artikel/Makalah Asshiddiqie, Jimly. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Ke Empat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14-18 Juli 2003 Franck , Thomas M. Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the New York University School of Law March 7-10, 2000
Manikas, Peter M. and Laura L. Thornton Political Parties in Asia Promoting Reform and
Combating Corruption in Eight Countries .National
Democratic Institute for International Affairs. 2003 Molenaar, Fransje. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17. 2012 Norris, Pippa. Building political parties: Reforming legal regulations and internal rules.Harvard University Report commissioned by International IDEA 2004 Pak-kwan, Chau. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the United Kingdom, New Zealand and Singapore. Hong Kong : Research and Library Services Division Legislative Council Secretariat. 2004
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
C. Majalah Ilmiah Biezen, Ingrid van & Ekaterina R. Rashkova. Breaking The Cartel The Effect of State Regulation on New Party Entry. Netherlands : Department of Political Science. Leiden University. 2011 Caramani, Daniele, Comperative Politic. New York: Oxford University Press. 2008 Chamber, William N dalam Louis Sandy Maisel, Mark D Brewer.Parties and Election in America : The Electoral Process. Maryland: Rowman and Littlefield Publishing Group. 2010 Clemente, Luis F. Party Systems Stability in Latin America : A Comparative Study. Newyork : State of University of Newyork. 2009 Firdaus,
Sunny
Ummul.
Relevansi
Parliamentary
Threshold
terhadap
Pelaksanaan Pemilu yang Demokratis. Jakarta : Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 2 April 2010. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Mainwarring, Scott P. Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The Difficult Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2. Sage Publications. 1993. The Sustainable Governance Indicators 2009. Democracy. Electoral Process. Bertelsmann Stiftung. 2009 D. Surat Kabar Kompas. 16 Parpol Penuhi Syarat.Peserta Pemilu diumumkan pada 9-11 Januari 2013. Politik dan Hukum. Kompas Edisi Senin 26 November 2012. hal 4
E. Tesis/Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan Herman. Sistem Kepartaian di Indonesia dilihat dari Model Laakso-Taagepera dan Indeks Rae dan Kaitannya dengan Ketahanan Nasional. Program
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Kajian Strategik Ketahanan Nasional. Jakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. 2009 Putra, Arif Permana. Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun 1960. Surakarta : Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. 2009 Safa’at Muchamad Ali. Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959 – 2004). Jakarta : Fakultas Hukum Program Pascasarjana 2009 F. Kasus Pengadilan/Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor PUU 20/PUU-I/2003. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan020PUUI2003.pdf [2 Juni 2012] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 16/PUUV/2007. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan16 PUUV2007ttg-UUPemilu23102007.pdf [2 Januari 2012] Mahkamah konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 12/PUUVI/2008. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN %2012%20Parpol%20Baca%2010%20Juli%202008.pdf
hal 1 [2 Juni
2012] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkaran Nomor 3/PUUVII/2009. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_putusan_sida ngPUTUSAN3-PUU-VII-2009.pdf [2 Januari 2012] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011. www.mahkamahkonstitusi.go.id [3 Januari 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2 035-PUU-IX 2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 52/PUU-X/2012. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_52%20PU U%202012-TELAH%20BACA%2029-8-2012.pdf [9 September 2012] G. Internet Antara
News
.
Sebanyak
24
Parpol
Lolos
Verifikasi
Depkumham.
http://www.antaranews.com/view/?i=1207296006&c=NAS&s=
2008. [8
juli 2012] Coppedge, Michael The Dynamic Diversity of Latin American Party Systems. Party Politic Vol. 4 No. 4. Pp 547-568. London : SAGE Publication. 1998. http://cm.olemiss.edu (28 Februari 2012) Detiknews.
68
Parpol
Sudah
Ambil
Form
di
KPU.
http://news.detik.com/read/2008/04/11/165455/922127/10/68-parpolsudah-ambil-form-di-kpu?nd993303605 [8 September 2012] Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia : Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com. 1999.
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Guidelines On Political Party Regulation By Osce/Odihr And Venice Commission Adopted by the Venice Commission at its 84th Plenary Session (Venice, 15-16 October 2010). Hal 6 http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29024-e.asp [15 Juli 2012] European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The Ukrainian Legislation On Political Parties. Adopted By
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July 2002) Hal 3. European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Report On Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which Bar Parties From Access To Parliament (II). Adopted by the Council for Democratic Elections at its 32nd meeting. (Venice, 11 March 2010).and by the Venice Commission at its 82nd plenary session. (Venice, 12-13 March 2010).http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007e.pdf hal 5 [15 Juli 2012] European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The Law On Political Parties Of The Russian Federation. Adopted by the Council for Democratic Elections at its 40th meeting (Venice, 15 March 2012). and by the Venice Commission at its 90th Plenary Session .(Venice, 16-17 March 2012). http://www.venice.coe.int/docs/2012/CDL-AD%282012%29003-e.pdf [16 Juli 2012] hal 3 Kementerian Hukum dan HAM. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol. http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumhamumumkan-verifikasi-parpol. [3 Januari 2012]. Komisi Pemilihan Umum. Verifikasi Angkatan III Selesai, Secara Keseluruhan Ada 50 Partai yang Lolos di Depkeh dan HAM . http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=513 4&Itemid=76 [juli 2012] Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. KPU Jelaskan Prosedur Pendaftaran dan Penelitian Kepada Partai Politik yang Telah Lolos Menjadi Badan Hukum. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=510 9&Itemid=76 [8 juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Pendaftaran Parpol Resmi Ditutup, Total 46 Partai Mendaftar Ke KPU. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=706 5&Itemid=1 [ 8 September 2012] Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=652 0&Itemid=171 [5 Januari 2012] Kompas. Partai SRI Siap Ikuti Pemilu 2014. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/08/18123424/Partai.SRI.Siap.Iku ti.Pemilu.2014 [7 juli 2012] Office of
The United Nations High Commisioner for Human Rights.
International Covenant on Civil and Political Rights. http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm [23 Juli 2012] OSCE/ODIHR And Venice Commission. Guidelines On Political Party Regulation. Adopted By The Venice Commission. at its 84th Plenary Session.Venice, 15-16 October 2010. http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDLAD%282010%29024-e.pdf
[15
Juli 2012] Tempo Interaktif. Daftar Partai yang Lolos dan Tidak Lolos Verifikasi. 2003. http://www.tempo.co/read/news/2003/10/04/05519829/null [ 8 juli 2012] The
United
Nations.
The
Universal
Declaration
of
Human
Rights.
http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml [ 23 Juli 2012] http://www.sgi-network.org/pdf/SGI09_Democracy_ElectoralProcess.pdf [14 September 2012] hal 2 Thomas M. Franck Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the New
York
University
School
of
Law
March
7-10,
http://www.loc.gov/bicentennial/abstracts_franck.html [3 Juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2000.
Venice Commission. Guidelines on prohibition and dissolution of political parties and analogous measures. hal 2 http://www.osce.org/odihr/37820. [2 Juni 2012] Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo. 2007 http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL-AD%282002%29017-e.pdf [15 Juli 2012] H. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22. Tambahan Lembaran Negara Nomor. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013