UNIVERSITAS INDONESIA
IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA (2004-2011)
TESIS
Lelly Andriasanti 1006743595
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK DESEMBER 2012
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA (2004-2011)
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Hubungan Internasional
Lelly Andriasanti 1006743595
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL KONSENTRASI KEAMANAN INTERNASIONAL DEPOK DESEMBER 2012
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Lelly Andriasanti
NPM
: 1006743595
Tanda Tangan : Tanggal
:
28 Desember 2012
ii Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
:
Nama
: Lelly Andriasanti
NPM
: 1006743595
Program Studi
: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional
Judul Tesis
: Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia (2004-2011)
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 28 Desember 2012
iii
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
KATA PENGANTAR Islam bukan hanya milik Arab. Islam juga milik bangsa-bangsa non-Arab. Karena Islam adalah rahmat seluruh alam (Rahmatan lil Alamin), ia dapat tumbuh sesuai dengan konteks dan tempat perkembangannya. Islam di Indonesia khususnya, mampu beradaptasi dengan pluralitas sosio-kultural bangsanya sehingga berhasil menarik perhatian sebagian besar masyarakat di negeri ini. Islam pun menjadi agama yang mayoritas dipeluk bangsa Indonesia. Meski demikian, Islam tidak pernah menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan luar negeri sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Namun, praktik kebijakan luar negeri beberapa waktu belakangan ini menunjukan gejala yang berbeda. Indonesia tidak malu lagi mengusung keIslamannya ke ranah internasional dalam suasana yang moderat. Melalui penelitian ini, penulis mencoba memberikan gambaran tentang pencitraan Islam moderat dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Penulis menyadari, banyaknya keterbatasan dalam proses penulisan tesis ini belum mampu memberikan hasil yang sempurna. Meski demikian, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan analisis mengenai pengaruh Islam dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk itu, penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan khasanah keilmuan hubungan internasional. Puji syukur penulis panjatkan Allah SWT karena tanpa izin-Nya, penulis tidak dapat menyelesaikan tesis untuk memenuhi salah satu syarat pencapaian gelar Magister Sains pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia. Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1) Evi Fitriani, Ph,D, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan dan memberikan inspirasi dalam penyusunan tesis ini. (2)
Prof. Dzainuddin Djafar; Drs. Makmur Keliat; Drs. Fredy B.L. Tobing; M.Si; Drs. Edy Prasetyono, Drs. Andy Widjayanto; Broto Wardoyo, MA. Drs. Syamsul Hadi; Drs. Haryadi Wirawan.
iv
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
(3)
Segenap pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan FISIP UI yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan selama menjalani masa studi di Universitas Indonesia
(4)
Mbak Ice dan Pak Udin, selaku staf di Program Pasca Sarjana HI yang selalu setia melayani segala permintaan dan keluh kesah saya selama menjalani masa studi saya di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI.
(5)
Orang tua tercinta, Sudjarwanto Ismoyo, Sri Faturiyanti, Effendi Hasyim, dan Jubaedah yang tidak pernah berhenti memberikan doa, dukungan dan semangat dalam melaksanakan pendidikan di Universitas Indonesia dan dalam menyusun tesis ini.
(6)
Kekasih terncinta, Irmawan Effendi, yang selalu menjadi suami siaga selalu untuk mendukung dan menyemangati penulis.
(7)
Ananda tercantik, Hana Baizaa Dzuhaini, yang selalu menghibur penulis dengan manja dan centil.
(8)
Segenap atasan dan kolega saya di Megawati Institute yang telah mendukung saya dalam menjalankan tugas belajar dan memberikan pengertian bagi kelancaran penulisan tesis ini.
(9)
Teman-teman Pasca Sarjana Hubungan Internasional UI 2010, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas persahabatan, dan keakraban yang saya terima selama menjalankan masa studi.
Akhir kata, saya berharap semoga Allah berkenan membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyusun tesis ini. Sekali lagi, penulis berhadap semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Depok, 28 Desember 2012
Lelly Andriasanti
v
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Lelly Andriasanti
NPM
: 1006743595
Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Departemen
: Hubungan Internasional
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non eksklusif (Non exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia (20042011) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola
dalam
bentuk
pangkalan
data
(database),
merawat,
dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 28 Desember 2012
Yang menyatakan
(Lelly Andriasanti)
vi
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
ABSTRAK Nama : Lelly Andriasanti Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia (2004-2011) Dalam beberapa tahun belakangan ini, kebijakan luar negeri Indonesia tampak berusaha mencitrakan identitas Islam moderat dalam hubungan internasional. Hal ini berbeda dengan praktik-praktik kebijkan luar negeri Indonesia yang secara historis menghindari refleksi faktor Islam meski mayoritas penduduknya adalah Muslim. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan mengapa kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat. Metodologi yang digunakan dalam tesis ini adalah kualitatif dalam anilisis wacana. Hasil penelitian ini adalah Islam moderat Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya dengan membedakan dari negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur Tengah; adanya ekspektasi dunia internasional, khususnya negara-negara Barat, untuk memahami dan mendekatkan diri dengan dunia Muslim; pemerintah Indonesia ingin mengakomodasi suara komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini mengharapkan adanya perbaikan hubungan dengan dunia Islam; adanya motivasi Indonesia untuk mengambil peran dalam hubungan internasional sesuai dengan konsistensi cara pandangnya terhadap dunia.
Kata kunci: Identitas, Islam Moderat, kebijakan luar negeri Indonesia, dan peran.
vii
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
ABSTRACT Name : Lelly Andriasanti Study Program : International Relations Title : Moderate Islam Identity in Indonesia’s Foreign Policy (2004-2011) In recent years, Indonesia's foreign policy seemed to be portraying moderate Islamic identity in international relations. This is in contrast to practices foreign policy of Indonesia, which has historically avoided the reflection factor of Islam while the majority of the population is Muslim. This then begs the question why Indonesia's foreign policy promoting moderate Islamic identity. The methodology used in this thesis is a qualitative in discourse analysis. The results of this study are moderate Islam Indonesia wants to identify its self to distinguish from other Muslim countries, especially the Middle East region; there are expectations of the international community, especially Western countries, to understand and get closer to the Muslim world; Indonesia government wants to accommodate the voice of domestic Muslim community that had been hoping for a better relations with the Muslim world; the motivation of Indonesia to take part in international relations in accordance with the consistency of its worldview. Keywords: identity, Moderate Islam, Indonesia’s Foreign Policy, and Role
viii
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................. iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... vi ABSTRAK ................................................................................................... vii ABSTRACT ................................................................................................. viii DAFTAR ISI ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR, GRAFIK, DIAGRAM DAN TABEL ......................... xi
1. PENDAHULUAN................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 3 1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...................................................... 3 1.4 Tinjauan Pustaka ................................................................................ 4 1.5 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 11 1.5.1. Teori Identitas ............................................................................ 11 1.5.2. Teori Peran dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia .................. 13 1.6. Operasionalisasi Konsep .................................................................... 16 1.7. Model Analisa ................................................................................... 18 1.8. Hipotesis ........................................................................................... 18 1.9. Metode Penelitian .............................................................................. 19 1.10. Sistematika Penelitian ...................................................................... 21
2. Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia ...... 23 2.1 Dampak Serangan 11 September terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia................................................................................. 23 2.1.1. Pandangan Barat Terhadap Islam ............................................. 26 2.1.2. Tanggapan Dunia Islam terhadap Barat Pasca Serangan 11 September ................................................................................ 32 2.2 Presentasi Identitas Islam Moderat sebagai Respon atas Ekspektasi Internasional dan domestik ............................................... 42 2.2.1. Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat dan Islam.................................................................................. 45 2.2.2. Identitas Islam Moderat Sebagai Model bagi Dunia Islam ........ 52
ix
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
3. Faktor dan Aktor dalam Pembentukan Identitas Islam Moderat Indonesia ................................................................................................. 61 3.1. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia.............. 62 3.1.1. Pluralisme ................................................................................ 63 3.1.2. Modernitas ............................................................................... 66 3.1.3. Demokrasi ................................................................................ 72 2.2. Aktor-Aktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia ....................................................... 77 2.2.1. Pemerintah Sebagai Pengambil Keputusan ............................... 77 2.2.2. Partisipasi Kelompok-kelompok Islam Moderat Indonesia ....... 83 4. Peristiwa yang Memperlemah dan Aspek Penguat Pencitraan Identitas Islam Moderat ......................................................................... 89 4.1 Peristiwa yang memperlemah Pencitraan Islam Moderat Indonesia ..... 89 4.1.1. Peningkatan dan Penyebaran Gerakan Kelompok Islam Radikal 90 4.1.2. Regenerasi Terorisme ................................................................ 97 4.1.3. Penerapan Hukum Syariah di Tingkat Daerah ........................... 102 4.1.4. Pengaruh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ................................ 107 4.1.5. Intoleransi dan Dilema Pencitraan di Tingkat Internasional ....... 111 4.2 Aspek Penguat Pencitraan Identitas Islam Moderat ............................. 114 4.2.1. Penolakkan Hukum Sharia ........................................................ 114 2.2.2. Kemunduran Parpol Islam dalam Pemilu ................................... 117 5. Kesimpulan.............................................................................................. 121 4.1 Hasil Temuan Penelitian ..................................................................... 121 4.2 Rekomendasi ...................................................................................... 126 DAFTAR PUSTAKA
x
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar, Grafik, dan Diagram 2.1 Penyajian Opini Konfrontatif di Media AS ......................................... 29 2.2 Populasi Muslim Mayoritas di Asia Tenggara ..................................... 38 2.3 Jumlah Kedatangan Wisman Asal Amerika Utara, Eropa, dan Australia 2001-2006 .......................................................................... 48 2.4 Penerimaan Devisa dari Kunjungan Wisman Asal Amerika Utara, Eropa, dan Australia 2001-2006.......................................................... 48 2.5 Efek Domino dari Perubahan Politik di Tunisia dan Mesir .................. 53 3.1 Skema Intelegensia Muslim Indonesia ................................................ 70 3.2 Porsi Kekuatan Parpol Islam di Legislatif (1955-2009) ....................... 74 3.3 Perbandingan Partisipasi Parpol Islam dan Perolehan Kursi Parpol Islam di Legislatif dalam Pemilu 1997-2009 ....................................... 75 3.4 Pola Multi-track Diplomacy................................................................ 79 4.1.Frekuensi Aksi-aksi FPI 2008-2010 .................................................... 96 4.2 Kategorisasi Perda-perda Bernuansa Syariah di Indonesia .................. 104 4.3 Pemetaan Wilayah Kemunculan Perda-perda Syariah Berdasarkan Afiliasi Historis Gerakan DI ........................................... 105 4.4 Intoleransi Atas Dasar Agama Atau Keyakinan dan Pelanggaran Kebebasan Agama .............................................................................. 111 4.5 Kecondongan Penurunan Perda Syariah di Indonesia (1999-2007)...... 116 4.6 Orientasi Nilai Politik Komunitas Muslim Indonesia .......................... 118 4.7 Pandangan Muslim Indonesia Terhadap Nilai-nilai Politik Islam ........ 119 Tabel 1.1 Jumlah dan Prosentase Penduduk Indonesia Berdasarkan Agama Tahun 2000-2010 ............................................................................... 2 1.2 10 Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia 2010 ................... 4 2.1 Persepsi terhadap Muslim di enam negara anggota UE ....................... 30 2.2 Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Konflik Islam dan Modernitas ........................................................................................ 31 2.3 Pelaksanaan Bali Democracy Forum................................................... 50 2.4 Negara-negara dengan Rezim Otoriter di Timur Tengah dan Afrika Utara ....................................................................................... 52 2.5 Penempatan TKI di Timur Tengah dan Afrika Utara (2006-2011)....... 58 3.1 Ringkasan Korelasi antara Islam dan Unsur Demokrasi di Indonesia .. 76 4.1 Rangkaian Aksi Bom Bunuh diri di Indonesia yang Diarahkan pada Simbol-simbol Barat................................................................... 100
xi
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Negara bukan hanya entitas yang dibentuk oleh unsur material politik internasional, tapi juga unsur non-material seperti identitas. Selain membentuk kepentingan nasional, identitas juga menentukan nilai-nilai yang menjadi pedoman suatu negara dalam bertingkah laku di tengah hubungan internasional. Identitas sering kali dituangkan dalam kebijakan luar negeri sebagai atribut yang melekat kuat pada citra negara. Identitas yang diproyeksikan dalam kebijakan luar negeri dapat bersumber dari ras, jender, bangsa, agama, ataupun ideologi. 1 Dalam sistem internasional kontemporer, agama merupakan salah satu identitas yang paling menonjol. Agama menyediakan narasi dan keyakinan yang berpengaruh kuat pada diri aktor.2 Islam khususnya, menjadi sorotan tajam dalam tiap diskursus pasca peristiwa serangan menara kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Islam merupakan agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia. Pada tahun 2000, penduduk muslim Indonesia berjumlah 177,5 juta jiwa atau 88,2 persen dari total penduduknya. Dalam rentan waktu lima tahun, angka ini menunjukan peningkatan dengan menduduki angka 189 juta jiwa pada 2005. Nilai ini setara dengan 88,5 persen dari total penduduk Indonesia. 3 Sedangkan pada 2010, angka ini mencapi 205,1 juta jiwa atau 88,2 persen dari 232,5 juta jiwa total penduduk Indonesia (lihat tabel 1.1).4 Meski penduduk Muslim adalah mayoritas di Indonesia, negeri ini bukanlah negara teokrasi. Indonesia bukanlah negara yang dibangun oleh kesamaan agama, tapi oleh kemajemukan bangsa dan pluralisme agama yang terikat oleh ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Pengakuan pluralisme nyatanya turut mempengaruhi pola kebijakan luar negeri Indonesia. 1
Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity, (United States: Pearson Prentice Hall, 2007), hal. 396. 2 Catarina Kinnvall, “Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and the Search for Ontological Security”, Political Psychology, Vol. 25/5 (2004), hal 742. 3 Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2010, hal. 13. 4 Houssain Kettani, “World Muslim Population: 1950-2020”, International Journal of Environmental Science and Development (IJESD), Vol. 1/2 (June 2010), hal. 7.
1
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
2
Pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebijakan luar negeri diawasi secara ketat agar tidak didikte oleh pertimbangan-pertimbangan ideologi Islam. 5 Hal ini ditujukan untuk menjaga perasaan komunal keagamaan agar tidak merusak persatuan bangsa. Tabel 1. 1 Jumlah dan Prosentase Penduduk Indonesia Berdasarkan AgamaTahun 2000-2010 2000 Agama Islam
Jumlah
2005 %
Jumlah
2010 %
Jumlah
%
177.528.772
88,22
189.014.015
88,58
205.126.295
88,20
11.820.075
5,87
12.356.404
5,79
13.462.686
5,79
Katolik
6.134.902
3,05
6.558.541
3,07
7.138.246
3,07
Hindu
3.651.939
1,81
3.697.971
1,73
4.022.529
1,73
Buddha
1.694.682
0,84
1.299.565
0,61
1.418.348
0,61
Lainnya
411.629
0,20
448.791
0,21
1.395.097
0,60
Protestan
Jumlah 201.241.999 100,00 213.375.287 100,00 232.516.171 100,00 Penduduk Sumber: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM 2009 dan International Association of Computer Science and Information Technology Press (IACSIT) 2010
Namun
demikian,
Departemen
Luar
Negeri
(Deplu)
mulai
mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia sejak tahun 2004. Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda memaparkan, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memikul kewajiban untuk memproyeksikan wajah Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang moderat. 6 Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden secara demokratis semakin mempertegas pola tersebut. Melalui berbagai forum dan konferensi internasional, SBY berusaha membuktikan bahwa Islam, modernitas, dan demokrasi dapat bergandengan satu sama lain. Ekspresi kemoderatan Islam Indonesia ini setidaknya dapat ditemukan pada beberapa kesempatan seperti Bali Democracy Forum (BDF), World Movement for Democracy, Parliamentary Union Of OIC Member States (PUIC), dan International Conference on Global Movement of Moderates. Hal ini 5
Michael Leifer, Kebijakan Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hal xvi. Hassan Wirajuda, “Refleksi tahun 2003 dan Proyeksi tahun 2004” dipaparkan di Jakarta, 6 Januari 2004. 6
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
3
menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak lagi alergi terhadap unsur Islam dalam mencitrakan identitas nasional Indonesia ke panggung internasional. 7 Penempatan identitas Islam moderat sebagai dimensi penting dalam pencitraan
nasional
sepertinya
menunjukan
keinginan
Indonesia
untuk
menampilkan keunikan dirinya di tengah pergaulan internasional. Menurut Mark Woordward, sebagian besar muslim dunia adalah moderat.8 Akan tetapi, hanya sedikit negara Islam yang memiliki karakter kemoderatan yang komprehensif, Indonesia salah satunya. Kemoderatan Muslim Indonesia ditunjukan dengan keberhasilannya melakukan transformasi sistem kebijakan dari otoriter ke sistem yang lebih demokratis sehingga memperlihatkan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid menggambarkan kemoderatan Indonesia sebagai hasil dari semangat pluralisme sehingga tumbuh subur dalam konteks demokrasi.9 Kondisi ini cukup menjelaskan perbedaan karakter antara masyarakat Muslim Indonesia dengan Muslim di Timur Tengah.
1. 2. Rumusan Masalah Tesis ini akan mengambil rumusan masalah sebagai berikut: Mengapa kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat (20042011)?
1. 3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memahami argumentasi elit pemerintah secara spesifik dalam mengambil preferensi identitas Islam moderat pada
formulasi kebijakan luar negeri Indonesia. Sedangkan signifikansi dari
penelitian ini berkaitan erat dengan wajah Islam yang mendapat stigma teroris sepanjang satu dekade terakhir. Stigma demikian tentu tidak bisa digeneralisir. Untuk itu, tulisan ini hendak menampilkan wajah Islam yang lain. Melalui karya 7
Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia”, Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 439. 8 Mark Woordward, “kata pengantar”, dalam Abdurrahman Wahid, Islam, Pluralism, and Democracy, (Arizona: Center for the Study of Religion and Conflict (CSRC), 2007), hal 2. 9 ibid, hal. 12.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
4
ilmiah ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru tentang Islam yang lebih toleran. Signifikansi berikutnya terkait dengan urgensitas posisi Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Posisi ini dapat dilihat pada table berikut
Tabel 1. 2 10 Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia 2010 Negara
Indonesia
232.516.171
Persentasi Penduduknya yang Muslim 88,20
Pakistan
184.753.300
96,50
178.286.935
11,1
1.214.464.312
13,43
163.102.557
10,3
164.425.491
89,58
147.292.355
9,3
Mesir
84.474.427
94,12
79.507.331
5,0
Turki
75.705.147
99,17
75.076.794
4,8
Iran
75.077.547
99,43
74.649.605
4,7
Nigeria
158.258.917
44,56
70.520.173
4,5
Algeria
35.422.589
99,00
35.068,363
2,2
Sudan
43.192.438
78,90
34.078.834
2,1
India
Total Penduduk
Bangladesh
Jumlah Penduduk Muslim 205.126.295
Persentasi Populasi Muslim Dunia 12,9
Sumber: International Journal of Environmental Science and Development (IJESD) 2010
Tabel di atas memperlihatkan bahwa, Indonesia tidak hanya memiliki penduduk Muslim terbesar di kawasan Asia Tenggara tapi juga di dunia. Karena itu, kuantitas Muslim Indonesia yang signifikan di dunia diharapkan dapat mewakili dunia Islam. Sedangkan signifikansi internal terletak pada mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan pemaparan akan peluang dan tantangan kepada kelompok-kelompok Islam moderat Indonesia untuk dapat berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan luar negeri.
1. 4. Tinjauan Pustaka Studi mengenai identitas dalam kebijakan luar negeri bukanlah hal baru. Tidak sedikit akademisi yang mengkaji studi ini. Beberapa akademisi yang telah melakukan studi tersebut antara lain Elisabeth Johansson-Nogués, Hüsamettin İnaç, Andrei Piontkovsky, Zhu Liqun, dan Ahmad Sadeghi. Identitas yang dituangkan dalam karya mereka pun beraneka ragam dan tidak hanya sebatas persoalan agama saja. Studi yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini sengaja
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
5
dipilih berdasarkan kawasan tententu untuk mempermudah analisa dan kontekstualisasi fenomena identitas dalam studi kebijakan luar negeri. Studi pertama yang akan dibahas dalam tinjauan pustaka ini berjudul is the EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle? The European Union, the Northen Dimension and the Union for Mediterranean. Dalam studi ini, Elisabeth Johansson-Nogués
mengusung
identitas
dalam
kerangka
institusi
yang
mengatasnamakan kolektifitas negara-negara sebangsa. Preferensi Nogués tertuju pada kolektifitas Eropa yang terangkum melalui Uni Eropa (UE) sebagai institusi regional. Ia menempatkan regional multilateralisme, kebijakan multi-sektoral, dan intervensionisme sebagai identitas yang melekat dalam kolektifitas UE . 10 UE secara otomatis mempromosikan kerangka kerja multilateral ke dalam kebijakan luar negerinya untuk menjalin hubungan dengan negara-negara tetangganya, khususnya negara-negara di kawasan Mediterania dan Baltik yang bertetangga dekat dengan UE. Antusiasme UE terhadap kedua kawasan tersebut tidak lepas dari kebijakan multi-sektoral dalam wacana kerjasama yang lebih luas pada bidang kebijakan dan keamanan; ekonomi dan finansial; serta sosial dan kultural. Setali tiga uang, kedua identitas yang menjadi ciri UE juga memuat kecenderungan intervensionisme terhadap negara-negara tetanga yang menjadi mitranya. Akan tetapi, kerja sama yang diharapkan tercipta antara UE dengan kedua kawasan tersebut akhirnya mengalami kegagalan. Lebih lanjut, Nogués menjelaskan bahwa kegagalan tersebut lebih dikarenakan identitas kolektif UE yang meletakkan ide asbtrak atas kebijakan luar negeri bersama dibanding menyiapkan kekuatan berbasis aksi kolektif. Selain itu, kegagalan hubungan tersebut juga disebabkan kurang suksesnya UE memodifikasi diri dengan konteks sosio-ekonomi-kebijakan yang berkembang di Baltik maupun Mediterania. Hal ini pun mendorong kawasan Baltik dan Mediterania berasumsi bahwa UE selama 10 tahun terakhir belum berubah. Lembaga regional ini dianggap utilitarian, intrusif, dan terlalu Eropa.
10
Elisabeth Johansson-Nogués, “is the EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle? The European Union, the Northen Dimension and the Union for Mediterranean”, European Political Economy Review No. 9 (Autumn 2009), hal. 28-31.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
6
Meski paparan Nogués disampaikan secara komprehensif, ia kurang menaruh perhatian pada faktor Eropa. Hal ini ditunjukan Nogués dengan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang definisi identitas Eropa, baik yang diinterpretasikan oleh UE sendiri, maupun oleh kawasan Baltik dan Mediterania. Padahal, implikasi cara pandang masing-masing pihak turut berkontribusi atas kegagalan struktural yang terjadi dalam hubungan kerjasama antara UE dengan kawasan Mediterania dan Baltik. Terlebih lagi, kerjasama UE-Baltik atau dikenal dengan konsep kerjasama Utara melibatkan peran Rusia yang secara historis memiliki persepsi tersendiri sebagai hasil bentukan selama Perang Dingin berlangsung. Masih terkait dengan UE, Hüsamettin İnaç membahas integrasi kawasan ini berpengaruh besar terhadap pembentukan identitas Turki. Dalam Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process, İnaç menguraikan perubahan identitas Turki dalam proses modernisasi yang berkepanjangan. Modernisasi yang umumnya dipahami sebagai Westernisasi ini terjadi dalam tiga level: modernisasi Ottoman, modernisasi Kemal, dan Westernisasi di bawah kerangka integrasi UE. 11 Menurut İnaç, proses modernisasi ini merupakan proyek peradaban yang tak terelakkan selama dua abad berturutturut. Identitas Turki pun dihadapkan pada sejumlah tantangan baru dalam melawan shock culture dan culture gap dari proses integrasi UE. Pada masa modernisasi Otoman, identitas Turki kental dengan nilai-nilai Islam dan anti Barat. Masyarakat Turki pada periode ini menganggap Barat sebagai ancaman eksistensi dan persatuan negara. Dalam hal ini, modernisasi yang terjadi diarahkan sebagai upaya defensif untuk melawan ambisi Barat. Sedangkan modernisasi dalam kerangka integrasi UE mengkategorikan identitas Turki berdasarkan eksistensi partai kebijakan dan spesialisasi diri yang berbasis pada sosio-kultural masyarakat Turki. Karena itu, rasa memiliki atau tidak memiliki Eropa akan menentukan identitas Turki. Namun, proses modernisasi Turki terkait dan tergantung pada UE. Regionalisme kawasan ini merupakan sikap pragmatis Turki dalam menyediakan 11
Hüsamettin İnaç, “Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process”, Journal of Economic and Social Research, Vol. 6/2 (2004), hal. 33.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
7
solusi konkrit bagi ekonomi dan ekspektasi kebijakan. Untuk itu, integrasi UE merupakan hasil konkret dari proses Westernisasi Turki. 12 Tujuan ini ditantang pada kenyataan bahwa Islam masih menjadi formula sosio kultural yang hidup di tengah masyarakat Turki. Pertimbangan ini berbuah pada penolakan halus UE yang melihat bahwa Turki belum siap menerima nilai kebijakan dan kultur Barat. UE selalu menganggap Barat adalah peradaban yang unik di mana terdapat dinamika fundamental dari suatu transformasi sosial. Dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belum diterimanya Turki menjadi anggota UE hingga saat ini menandakan kegagalan Turki dalam menerjemahkan identitasnya. Tidak berbeda jauh dengan Nogués dan İnaç, perhatian terhadap identitas juga didasarkan pada akar kebangsaan (nation). Dalam tulisan yang berjudul East or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy, Piontkovsky menggambarkan krisis identitas Rusia pada masa pemerintahan Vladimir Putin yang dilanda kegamangan
akan
identitas
ideologis
seiring
keruntuhan
Uni
Soviet.
Kekhawatiran elite Rusia tertangkap dari pidato-pidato Putin yang sering menggunakan istilah-istilah pahit semasa perang ideologis seperti pragmatis nasionalis, fundamentalis nasionalis, dan liberal Barat. Dampaknya, kebijakan luar negeri Rusia diawal pemerintahan Putin cenderung anti-Amerika dan Barat. Padahal tantangan kebijakan luar negeri Rusia bukan lagi dilandasi ancaman ideologis. Terlebih lagi, Barat yang notabene berinduk dari Eropa memiliki kedekatan sejarah sosio-kultural dengan Rusia. Menurut Piontkovsky, terdapat tiga masalah keamanan yang dihadapi Rusia, yaitu instabilitas internal; fundamentalisme Islam dan terorisme; serta pertumbuhan China
yang
diperkirakan melebihi Rusia dan Siberia. Mau tidak mau, tantangan ini membutuhkan solusi berupa aliansi jangka panjang dengan Barat. Piontkovsky menyimpulkan, hanya dengan berkiblat pada Barat, Rusia dapat mencapai tujuan kebijakan luar negeri sekaligus menyelamatkan identitas ke-Eropa-annya di abad 21.13 Kekurangan dari studi ini terletak pada sudut pandang Piontkovsky yang menempatkan identitas ideologi sebagai terminologi masa lalu yang seolah-olah 12
Ibid., hal. 35. Andrei Piontkovsky, East or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy, (London: Foreign Policy Centre, 2006), hal. vii.
13
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
8
harus dihilangkan ketika Perang Dingin berakhir. Bagaimanapun juga, sistem sosio-kultural Rusia tak dapat lepas dari faktor ideologis. Karena itu, hal ini tidak dapat diabaikan sebagai pembentuk identitas Rusia. Penonjolan identitas Eropa yang diarahkan Piontkovsky seharusnya tidak hanya dijabarkan dalam bentuk kerjasama dengan negara-negara mitra Eropa lainnya. Konsolidasi internal Rusia juga menjadi bagian penting yang harus diperhatikan dalam membentuk keutuhan identitas Eropa itu sendiri. Masih dalam koridor identitas bangsa, Zhu Liqun tidak akan membahas identitas China melalui pendekatan entitas yang umum dipakai dalam paradigma Barat. Menurutnya, pendekatan proses lebih aplikatif dalam mengkaji identitas China. Pasalnya, China membangun identitas berdasarkan relasi sosial (social relations) yang merupakan aspek signifikan dalam kehidupan dan aktivitas sosial. Orang China percaya, baik power dan identitas sama-sama didefinisikan dalam jejaring relasi. Hal inilah yang kemudian dijadikan kebanggaan masyarakat China dalam istilah ‘peradaban 6000 tahun’. Secara fundamental, konsep relasi dan ide perubahan membentuk kepercayaan masyarakat China. Menurut kepercayaan ini aktor mengatur dan mejaga relasinya dalam proses interaksi internasional di mana aktor mungkin menikmati identitas yang beragam dalam beragam relasi pula. 14 Pemikiran tersebut otomatis ikut mendefinisikan kepentingan nasional dan strategi diplomasi China kontemporer. Mengingat signifikansi pertumbuhan ekonominya, China mulai mentransformasikan identitas yang tercermin dari formulasi kebijakan luar negeri dalam sistem internasional. Liqun mengungkapkan, interaksi antara China dan sistem internasional adalah proses dinamika perubahan. Interaksi merupakan proses membangun relasi dan proses saling mempengaruhi. Dalam relasi, China berusaha menemukan pengakuan dari sistem internasional. Hal ini tentu melalui proses kompleks dan berkepanjangan agar China mampu mendefinisikan peran internasionalnya. Untuk itu, China tidak hanya menjadi bagian dari organisasi internasional, tapi juga menjalin relasi dengan berbagai negara, baik besar ataupun kecil. Demi menjaga relasi, China akan mempertahankan banyak fitur, baik sebagai bagian dari negara berkembang 14
Zhu Liqun, China’s Foreign Policy Debates, (Paris: EU Institute for Security Study, 2010), hal. 21.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
9
maupun negara maju, sesuai dengan pihak yang diajak berinteraksi. Dengan kata lain, China konsisten mempertahankan keragaman identitas dalam berbagai peranan secara damai. 15 Paparan Liqun bisa dikatakan sebagai referensi alternatif dalam memahami identitas China. Namun, perlu diperhatikan bahwa identitas merupakan hasil konstruksi sebagai konsekuensi dari dua proses. Pertama, formasi ‘diri’ atau ego. Formasi ini merupakan proses yang dilalui aktor untuk memberikan atribut dan tujuan dari dirinya. Rancangan mengenai diri ini tentu berkontribusi pada persepsi ‘diri’ yang secara individual berbeda dengan pihak lain (alter).16 Sejauh ini, formasi diri China yang dijabarkan Liqun berujung pada kesimpulan bahwa China memegang identitas peran yang sifatnya damai. Kedua, afirmasi dari pihak lain yaitu proses implikatif setelah formasi diri dibentuk. Pada proses kedua inilah Liqun tidak memberikan penjelasan yang komprehensif. Hanya ekspektasi atas pengakuan dari formasi diri China yang lebih banyak diuraikan Liqun, sehingga identitas peranan damai yang berusaha ditampilkan China belum banyak bekerja. Kemunculan China dalam sistem internasional malah sering kali diwaspadai dan dikhawatirkan, baik oleh negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya yang menggali identitas kebijakan luar negeri dari faktor bangsa, Ahmad Sadeghi meletakkan identitas pada basis agama. Dalam tulisan yang berjudul Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and History, ia memaparkan faktor-faktor pembentuk kebijakan luar negeri Iran. Faktor-faktor yang dimaksud adalah identitas, budaya, dan sejarah. Ketiga faktor ini bermuatan ideologis sekaligus non-ideologis yang mempengaruhi perubahan dan keberlanjutan pola kebijakan luar negeri Iran. Negeri para Mullah ini memperoleh momentum perubahan ketika terjadi Revolusi Islam yang menjatuhkan rezim Pahlevi. Revolusi yang terjadi pada tahun 70-an kian menampakan karakteristik Islam yang bukan sekedar variabel sosial yang tumbuh di ranah domestik. Pasca revolusi, internalisasi Islam terjadi dalam tiap sendi kehidupan negara. Secara otomatis, identitas Islam segera melekat pada Iran. Melalui 15 16
Ibid., hal. 40. Elisabeth Johansson-Nogués, loc. cit., hal. 27.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
10
pendekatan genealogi, Sadeghi menguraikan keberlanjutan identitas ini dalam pola kebijakan luar negeri Iran. Selain identitas, konfigurasi kepentingan nasional yang hendak dicapai kebijakan luar negeri Iran merupakan kombinasi dari budaya, nasionalisme, kebijakan dan faktor ekonomi. Dalam hal ini, momentum revolusi tidak hanya dimanfaatkan untuk merubah peta geopolitik di Timur Tengah. Alhasil, revivalisme Islam Iran yang cenderung konfrontatif kian berkembang dan berlanjut. Revivalisme Iran tidak hanya ditujukan kepada dunia Barat, tapi juga negara-negara di kawasan Timur Tengah dan negara-negara bekas Uni Soviet. Sadeghi pun menyebut gelombang revivalisme ini sebagai ‘pengeksporan revolusi’. Bahkan, hal ini menjadi diskursus dominan jangka panjang dalam kebijakan luar negeri Iran. Pengeksporan revolusi dianggap sebagai tanggung jawab moral dalam rangka membangun tata dunia Islam. 17 Dapat ditarik garis besar bahwa identitas yang diungkapkan Sadeghi bersifat
konfliktual.
Sebab,
redefinisi
diri
yang
dilakukan Iran telah
mendikotomikan antara diri dengan pihak oposisi yang harus diperangi, khususnya AS. Studi yang menaruh tendensi rasa permusuhan dengan AS membuat Sadeghi kurang mengeksplorasi proses afirmasi akan identitas diri Iran yang datang dari negara-negara Timur tengah, khususnya yang bertetangga dekat dengan Iran. Hal ini berguna untuk memahami tujuan identitas Iran akan adanya tata dunia Islam yang berbasis pada unifikasi Islam dan solidaritas kemanusiaan. Basis hukum yang seharusnya dapat mengabaikan masalah etnis, kultural, bahkan permasalahan sektarian sesuai artikel ke-11 konstitusi Iran dirasa kurang dijabarkan oleh Sadeghi. Akhirnya, Iran seolah-olah tampak sebagai entitas yang terpisah dan eksklusif dari dunia Arab. Padahal, terdapat pula Irak dan Libyia yang memiliki semangat solidaritas kepada Palestina dan beroposisi dengan AS. Dari uraian referensi dalam tinjauan pustaka, terlihat jelas bahwa identitas umumnya menyebabkan problematika, baik di ranah domestik maupun internasional. Dalam ruang domestik, problematika ini berkutat pada pencarian dan pengakuan jati diri sehingga menimbulkan dilema dan krisis, seperti pada kasus UE, Turki, Rusia, dan China. Sedangkan dalam dinamika sistem 17
Ahmad Sadeghi, “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and History”, the Iranian Journal of International Affairs, Vol. XX/4 (Fall, 2008), hal. 22.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
11
internasional identitas memperlihatkan bagaimana anarki dapat terjadi. Seperti pada kasus Iran, identitas yang dimunculkannya cenderung menyulut konflik dengan negara-negara Barat khususnya AS. Sebab, identitas merupakan pemahaman kolektif yang mengkonstitusikan struktur sehingga mengorganisasi tingkah laku negara untuk dapat menentukan antara kawan atau lawan. 18 Dalam sistem internasional yang anarki, persepsi identitas yang membedakan lawan dan kawan ini penting untuk menjadi refrensi aktor dalam berinteraksi. Berangkat dari asumsi bahwa wajah identitas tidak selalu problematis dan konfliktual, karya ilmiah ini akan menaruh perhatian pada kapasitas identitas dalam memediasi konflik. Untuk itu, tesis ini akan menyoroti identitas Islam Moderat Indonesia (2004-2011) yang dianggap mampu menjembatani konflik antara Barat dan dunia Islam. Anggapan ini terbaca dari harapan-harapan kalangan internasional yang perlu disikapi oleh elit pemerintah Indonesia. Untuk itu, sudah sewajarnya jika Indonesia mengambil peran yang lebih signifikan di tengah dinamika isu internasional. Dalam pengambilan peran tersebut, kebijakan luar negeri tidak dapat diabaikan karena merupakan instrumen dalam menentukan tindak tanduk suatu negara. Untuk memahami proses pengambilan peran, tesis ini akan menggunakan konsep identitas dan teori peran (role theory) dalam kebijakan luar negeri.
1. 5. Kerangka Pemikiran 1. 5. 1. Teori Identitas Pada dasarnya, konsep identitas muncul dari pertanyaan dasar akan eksistensi diri, seperti siapa saya; siapa kamu; atau apa yang membedakan kita. Semua pertanyaan tersebut tidak mungkin terjawab tanpa interaksi sosial yang nantinya membentuk pemahaman akan diri dan pihak lain. Identitas dimunculkan kepada dunia luar agar dapat diberlakukan sebagai properti yang sengaja digunakan aktor untuk menggeneralisasikan motivasi dan tingkah laku yang berbeda dengan pihak lain. Artinya, identitas berfondasikan subjektivitas sesuai dengan pemahaman diri aktor itu sendiri. Akan tetapi, pemahaman diri dari aktor bergantung pada apakah aktor lain mengafirmasi aktor tersebut dengan cara yang 18
Alexander Wendt, Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of Power Politics,” International Organization Vol. 46/2 (Spring 1992), hal. 397.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
12
sama. Dalam hal ini, identitas meliputi intersubjektifitas atau kualitas sistemik yang dikonstitusikan baik oleh struktur internal maupun eksternal. 19 Untuk melihat karakter dari berbagai hubungan internal-external ini, Alexander Wendt menjelaskannya dalam empat jenis identitas. Pertama, corporate
identity
merupakan
identitas
yang
dikonstitusikan
oleh
pengorganisasian diri, struktur homeostatik yang membuat aktor sebagai entitas yang berbeda. Dalam proses interaksi sosial, identitas jenis ini sering kali menerapkan pembedaan kognitif secara rutin dengan mendiskriminasi anggota diluar kelompok (out-group) dari anggota kelompoknya (in-group).20 Aktor yang memegang identitas ini cenderung memiliki kesadaran dan memori akan diri sebagai tempat terpisah antara pemikiran dan aktivitas. Kedua, type identity mengacu pada kategori sosial atau penggunaan label pada aktor yang membagi sejumlah karakteristik dalam penampilan, tingkah laku, sifat, sikap, nilai-nilai, keterampilan, pengetahuan, opini, pengalaman, kesamaan sejarah, dan lainnya. Dalam identitas jenis ini, pengorganisasian diri dan kualitas sosial secara bersamaan dapat dilihat secara jelas dalam sistem bernegara atau sesuai dengan jenis rezim ataupun bentuk negara, seperti kapitalis, fasis, monarki, dan sebagainya. Ketiga, role identity bergantung pada diri dan respon lanjutan dari pihak lain. Aktor tidak dapat menetapkan sendiri identitas perannya karena identitas ini hanya ada dalam hubungan yang melibatkan pihak lain. Artinya, ada pembagian ekspektasi yang difasilitasi kenyataan bahwa peran diinstitusionalisasikan dalam struktur sosial pada interaksi yang sifatnya partikular. Hal ini menampilkan kenyataan bahwa aktor selalu membawa pihak asing ke dalam persepsinya sehingga ia dapat menetapkan identitas perannya sendiri.
21
Keempat, collective identity mengambil hubungan antara diri dan pihak lain ke dalam logika konklusi atau identifikasi. Identifikasi merupakan proses kognitif di mana pembedaan diri dan pihak lain menjadi kabur dan pada batasnya lebih pada kebersamaan. Dalam konteks interaksi, formasi collective identity 19
Alexander Wendt, Social Theory of International Relations, (New York: Cambridge University Press, 1999), hal. 224. 20 Alexander Wendt, “Collective Identity Formation and International Sate”, American Political Science Review, Vol. 88/2 (Juni 1994), hal. 387. 21 Social Theory of International Relations, op. cit., hal. 225-229.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
13
disokong oleh empat faktor utama. Faktor pertama adalah interdependence. Faktor ini menjelaskan bahwa aktor saling bergantung ketika hasil dari interaksi untuk masing-masing tergantung pada pilihan yang lain. Faktor selanjutnya ialah common fate. Faktor ini diartikan bahwa aktor menghadapi nasib yang umum ketika kelangsungan hidup atau kesejahteraan masing-masing tergantung pada apa yang terjadi pada kelompok secara keseluruhan. Jika interdependence berasal dari interaksi dua pihak, common fate didasarkan oleh pihak ketiga yang mendefinisikan presentasi simbolik dari situasi sebagai kesatuan bagi sebuah kelompok.22 Sedangkan faktor berikutnya merupakan Homogeneity. faktor ini merupakan konsep identitas kolektif yang mengandaikan bahwa anggota mengkategorikan diri mereka sama sepanjang dimensi yang mendefinisikan kelompok. Setidaknya homogeneity berdampak pada berkurangnya jumlah dan tingkat keparahan konflik yang dapat menimbulkan efek lain dari perbedaan jenis antara corporate identity dan type identity. Faktor terakhir yang dimuat dalam formasi identitas yaitu self-restraint. Hal ini dimaknai sebagai keterlibaan aktor dalam perilaku sosial yang mengikis batas-batas egoistik diri dan melapangkan diri mereka untuk menyertakan pihak lain. Proses interaksi sosial ini hanya dapat dilanjutkan jika aktor dapat mengatasi ketakutannya, baik secara fisik maupun psikis terhadap siapa saja yang mereka identifikasi.23
1. 5. 2. Teori Peran (Role Theory) dalam Kebijakan Luar Negeri Sebagai bagian dari ilmu hubungan internasional, tidak sedikit akademisi menemukan kesulitan dalam mengkorelasikan analisis kebijakan luar negeri dengan sistem internasional. Dalam mengintegrasikan analisis kebijakan luar negeri dan hubungan internasional, mereka umumnya dihadapkan pada pokok persoalan di tingkat analisis dan agen-struktur. Misalnya, permasalahan analisis terletak pada penyatuan dan pemilahan unit observasi yang hendak dipelajari dan dipahami. Hal ini berkenaan dengan masalah bagaimana menghubungkan pengamatan pada satu tingkat atau unit analisis tertentu dengan tingkat atau unit lainnya. 22 23
Ibid., hal. 344-352. Ibid., hal. 353-358.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
14
Lebih tepatnya, bagaimana menghubungkan karakteristik dari suatu agen dengan karakteristik sistem di mana ia berada, begitu juga sebaliknya. Masalah lainnya adalah bagaimana satu tingkat analisis menghasilkan tingkat lainnya. Dalam mengkaji peran, dua tingkat analisis ini sering kali menimbulkan kerentanan metodologis. Peran tidak seharusnya dikaji dari sisi agen ataupun struktur semata, tapi lebih pada interaksi dari keduanya. 24 Karena itu, tulisan ini akan menggunakan teori peran yang dianggap mampu mengintegrasikan analisis kebijakan luar negeri dalam hubungan internasional yang merupakan fenomena sosial. Teori peran berasal dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda, yakni sosiologi, psikologi, dan transdisiplin dari psikologi-sosial. Teori yang menjelaskan peran individu di tengah masyarakat ini kemudian digunakan dalam menjelaskan tingkah laku negara. Aplikasi teori peranan mengindahkan dua problematika mendasar dalam studi kebijakan luar negeri, yakni level analisis dan agen-struktur.25 Dalam melihat agen dan struktur, beberapa teoritisi berpandangan bahwa peran difokuskan pada komponen spesifik agen dari peran; sifat personal; pengalaman sejarah; dan identitas sebagai bentuk representasi diri atau citra diri. 26 Pandangan tersebut nyatanya tidak sepenuhnya mendapat persetujuan. Ada pun pandangan yang menekankan isyarat peran dan tuntutan, misalnya perubahan ekspektasi yang melekat pada institusi.27 Terkait situasi domestik dan ekspektasi internasional, proses pembuatan peran umumnya konfliktual. Untuk itu, pengkajian peran dalam kebijakan luar negeri perlu memperhitungkan berbagai mode pembuatan peran yang mengacu pada sikap dan tindakan pihak-pihak dalam 24
Stephen G. Walker, “Binary Role Theroy and Foreign Policy Analysis” disampaikan dalam the Foreign Policy Analysis Workshop, “Integrating Foreign Policy Analysis and International Relations Through Role Theory,” at the Annual Meeting of the International Studies Association, New Orleans, 16-20 Februari 2010, hal. 1. 25 Ibid. 26 K.J. Holsti, “Nationale Role Conception in the Study of Foreign Policy”, International Quarterley Vol. 14/3 (November 1970), hal 233-309; Philippe Le Prestre, Role Quest in the PostCold War Era: Foreign Policy in Transition, (Montreal: McGill-Queen’s UP, 1997); Ulrich Krotz, “Nationale Role Conception and Foreign Policies: France and Germany Compared” disampaikan pada the 97th Annual Meeting of the American Political Science Association in San Francisco, 30 August-2 September 2001. 27 Sebastian Harnisch, “Conceptualizing in the Minefield: Role Theory and Foreign Policy Learning” disampaikan dalam Workshop “Integrating Foreign Policy Analysis and International Relations through Role Theory” pada pada Annual ISA (Institute for Political Science) Conference, New Orleans, 15-20 February 2010; Elgström, Smith Ole, Michael, the European Union’s Roles in International Politics: Concept and Analysis, (New York: Routledge, 2006).
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
15
mengambil dan menentukan peranan. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang mendefinisikan peran nasional. Pada ranah domestik, pembuatan peranan dianalisa dari para pembuat keputusan kunci, yakni pemerintah. Di
samping
domestik,
kompleksitas
sistem
internasional
juga
berpartisipasi dalam proses pengambilan dan pembuatan peran. Sejalan dengan dinamika sistem internasional yang penuh dengan ketidakpastian, Stephen G. Walker mengungkapkan bahwa teori peran merupakan salah satu teori yang menyuguhkan prinsip ketidakpastian (uncertainty principle) dalam isu-isu sosial. 28 Ketidakpastian merupakan ciri dari kompleksitas sistem sosial sehingga fokus konsep ini terletak pada hubungan (relationship) daripada objek. Teori ini pun memperhatikan dinamika tingkah laku mental dan sosial pada berbagai level analisis, seperti individu, kelompok, institusi domestik, negara, supranasional, dan organisasi internasional yang dikonstitusikan oleh suatu jalinan yang terhubung sebagai sistem. Jalinan yang tercipta antar unit menunjukan adanya interaksi. Dalam kerangka interaksi ini, teori peran yang mengklaim sebagai ontologi konstitutif dari kebijakan luar negeri peranan berasumsi bahwa tanpa ekspektasi akan suatu peranan dari dunia luar sebagai penentu posisi dan fungsi dalam tata sosial, maka tidak akan terwujud peran nasional. 29 Intinya, negara dapat untuk tidak memainkan peran apapun pada tingkat internasional jika tidak ada ekspektasi dan praktik yang secara regular mengkonstitusikan ulang mereka sebagai negara berdaulat. Ekspektasi diri (ego) dan pihak lain (alter) membentuk kembali peran sebagai penentu posisi dan fungsinya yang dikonstitusi dan diregulasi aktor– struktur dan interaksinya. Perlu diingat bahwa pembentukan peran bukanlah tanpa tujuan. Dengan menyediakan tujuan yang pasti dari bernegara di tengah komunitas internasional, konsepsi peran nasional telah memberkahi negara dengan kepribadian atau identitas.30
28
Stephen G. Walker, op. cit., hal. 4. Sebastian Harnisch, Ibid., h. 8. 30 Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign Policy Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International Studies Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20 Agustus 2011. 29
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
16
1. 6. Operasionalisasi Konsep Teori Identitas
Pengelompokkan
Indikator Pengelompokkan (Grouping)
(Alexander
(Grouping)
dipahami sebagai proses terbentuknya
Wendt)
In-group
pembedaan kognitif antara anggota
Out-group
kelompok (in-group) dan anggota diluar kelompoknya (out-group). Penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran tentang bagaimana Indonesia: membedakan identitas Islamnya dari negara-negara dunia Islam lainnya; mencitrakan identitasnya sebagai Islam moderat.
Faktor
Interdependence, common fate, dan
Interdependence
homogeneity merupakan variable yang
Common fate
didasarkan pada objektifitas. Ketiganya
Homogeneity
dipergunakan aktor ketika dihadapkan
Self-restraint
pada interaksi dengan pihak lain dan situasi yang terjadi pada in-group. Sedangkan self-restraint lebih pada pengendalian ego aktor dengan mengikutssertakan pihak lain ke dalam dirinya. Penelitian ini akan memberikan gambaran faktor-faktor tersebut melalui hasil interaksi masyarakat Indonesia baik intra, inter, dan antar kelompok. Keempat faktor tersebut mewujud pada unsur-unsur berikut yang merupakan formula pembentuk identitas Islam moderat Indonesia: Pluralisme Demokrasi
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
17
Modernitas Kebijakan
Ekspektasi
Ekspektasi diri dan pihak lain
Luar
Eksternal
berkontribusi dalam pembentukan peran
Negeri
Internal
agar aktor dapat menenentukan posisi
(Stephen
dan fungsinya yang kemudian
G. Walker)
dikonstitusi dan diregulasi oleh aktor– struktur yang terealisasi melalui interaksi sosial. Dalam menjelaskan hal ini, penelitian ini akan memaparkan: Bagaimana ekspektasi eksternal terbentuk, khususnya dari konteks struktural; Bagaimana ekspektasi internal tercipta di tataran politik domestik. Aktor
Pada ranah domestik, pihak yang
Pemerintah
mendefinisikan peran nasional adalah
Non-pemerintah
pemerintah. Meski demikian, perkembangan politik dewasa ini juga mengakomodasi aktor-aktor individual ataupun kelompok di ranah domestik sehingga merepa dapat berpartisipasi dalam mempengaruhi proses pengambilan dan pembuatan peran nasional. Untuk itu, penelitian ini akan menjabarkan: Posisi pemerintah sebagai pembuat keputusan kunci; Partisipasi aktor non-pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
18
1. 7. Model Analisa
Variabel Independen
Teori Identitas
Pengelompokkan Identitas yang ingin dicitrakan oleh ingroup
Faktor Pluralisme Demokrasi Modernitas
Teori Peran
Variabel Dependen
Pengelompokkan Identitas yang ingin dicitrakan oleh ingroup
Kebijakan Luar Negeri Indonesia Islam Moderat
Aktor pemerintah non-pemerintah
1. 8. Hipotesis Mengingat bahwa penelitian ilmiah tidak bekerja dengan kebenaran mutlak, hipotesis atau kesimpulan sementara dibutuhkan untuk memulai penelitian. Karena hal ini baru merupakan dugaan sementara, data-data yang diperoleh pun belum cukup mantap dan memadai sehingga masih harus diuji oleh fakta-fakta dan informasi yang lebih komprehensif. Dari pemaparan yang telah dituangkan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
19
Argumen yang mungkin menyebabkan kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat dapat dijelaskan melalui dua alasan. Pertama, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, identitas Islam tidak dapat ditiadakan dari atribut Indonesia sebagai negara. Pemerintah sebagai mengambil keputusan kunci berusaha memanfaatkan kekhasan kultural (indigenous uniqueness) nilai-nilai Islam yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosio-politik masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pembedaan dengan negara-negara Muslim lainnya. Pembedaan yang ditampilkan Indonesia dalam istilah Islam moderat ini tidak lepas dari penyerapan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, dan modernitas yang telah lama tumbuh. Kedua, dinamika sistem internasional diduga mejadi pemicu yang melatari munculnya sejumlah harapan akan adanya pihak yang dapat memberikan pemahaman akan fenomena Islam pada sepuluh tahun terakhir. Harapan ini sepertinya sejalan dengan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pergaulan internasional. Partisipasi ini tidak dapat keluar dari koridor kebijkan luar negeri yang menjadikan pemerintah menjadi aktor utamanya. Akan tetapi, dinamika politik domestik kini semakin memungkinkan aktor-aktor nonpemerintah untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan. Karena itu, posisi mereka tidak dapat diabaikan dalam proses perumusan kebijakan.
1. 9. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yang dikenal dengan paradigma dasarnya yang bersifat induktif, interpretif, dan konstruktivis. Metode penelitian ini menekankan pada pendekatan humanistik untuk memahami realitas kehidupan sosial yang dipandang sebagai suatu kreativitas bersama. Karena itu, dunia sosial dianggap tidak tetap (statis) atau bersifat selalu berubah (dinamis). Hal ini sejalan dengan pendekatan konstruktivis yang memandang, identitas merupakan definisi diri yang dapat dibentuk, diciptakan, dan berubah. 31 Atas dasar definisi diri itulah identitas dipahami sebagai peran spesifik yang relatif
31
Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, loc. cit., (2007), hal. 396.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
20
stabil dan memuat harapan akan sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dalam susunan struktur hubungan sosial. 32 Akan tetapi, identitas juga dapat berubah bergantung konteks yang berlaku. Kontekstualisasi identitas, aturan, dan norma datang bersamaan dengan konsep logika kelaikan dalam konstruktivis. Logika kelaikan berasumsi bahwa aktor selalu mengikuti norma dan aturan yang diasosiasikan dengan identitas tertentu pada situasi tertentu pula.33 Dari beberapa metode penelitian identitas — survei (survey analysis), analisis isi (content analysis), analisis wacana (discourse analysis), dan analisis etnografi—, karya ilmiah ini akan menggunakan analisis wacana.34 Analisis wacana merupakan pembaruan dari metode kualitatif dan penafsiran makna atas bahasa yang digunakan aktor untuk menggambarkan dan memahami fenomena sosial. Sebagian besar peneliti yang menggunakan analisis wacana selalu berupaya untuk mengontekstualisasikan gagasan dalam relasi sosial yang lebih luas. Gagasan yang diwacanakan biasanya dipahami dari kumpulan teks, pidato, dokumen tertulis, dan praktek sosial yang menghasilkan makna dan mengatur pengetahuan sosial. Tulisan ini menggunakan dua tehnik pengumpulan data, yaitu studi kepustakaan (literature research) dan wawancara (interview), baik terstruktur maupun semiterstruktur. Pada tehnik studi pustaka, interpretasi mengenai teks — seperti pernyataan kebijakan, artikel koran, teks-teks klasik dari intelektual terkemuka, pidato-pidato para pemimpin kebijakan, dan risalah rapat pemerintah — sangat dibutuhkan. Seperti dengan metode lain, analisis wacana menempatkan tuntutan unik pada analisanya. Daripada melakukan statistika; pemrograman, pendalaman pengetahuan sosial dan keakraban dengan teks yang berkaitan diperlukan untuk memulihkan makna dari wacana. Tugas kritis dari peneliti yang menggunakan analisis ini adalah meyakinkan pembacanya bahwa rekonstruksi konteks intersubjektif dari beberapa fenomena sosial berguna untuk memahami hasil empiris. Sebab, peneliti 32
Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations Theory 4th Edition, (United States: Pearson Prentice Hall, 2010), hal. 286. 33 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, op. cit., 2007, hal. 287. 34 Rawi Abdelal, Yoshiko M. Herrera, Alastair Iain Johnston, dan Rose Mcdermott, Measuring Identity: a Guide for Social Scientist, (UK: Cambridge University Press, 2009), hal. 4.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
21
mengandalkan kemampuan interpretif mereka sendiri dan pengetahuan sosial untuk menulis secara meyakinkan tentang isi dan kontestasi identitas. Dengan demikian, analisis wacana dapat dianggap sebagai kontekstualisasi kualitatif teks dan praktek dalam rangka untuk menjelaskan makna sosial.
1. 10. Sistematika Penelitian BAB I merupakan pendahuluan dari tesis ini. Bab ini diawali dengan latar belakang yang berisi diskripsi singkat kondisi Islam Indonesia dan Islam moderat yang mulai dipomosikan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya. Sub bab berikutnya merupakan rumusan permasalahan dan berlanjut pada tujuan serta signifikansi studi. Sub bab berlanjut pada tinjauan pustaka yang merupakan rangkaian karya-karya yang masih berkaitan dengan konsep yang digunakan dalam tesis ini. Kerangka pemikiran menjadi sub bab berikutnya yang menjelaskan konsep dan teori yang akan digunakan. Penjelasan singkat atas konsep dan teori kemudian dielaborasi dalam operasionalisasi konsep dan model analisa. Bagian ini diiringi oleh hipotesis dan metode penelitian. Pada bagian akhir bab, terdapat sistematika penulisan yang berisi tentang hal-hal yang akan ditulis. BAB II memaparkan proses representasi identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia. Sebagai pembuka bab, pembahasan diawali dari pengaruh peristiwa Serangan 11 September terhadap politik internasional baik di Barat dan dunia Islam. Pembahasan berlanjut pada tanggapan Indonesia terhadap peristiwa tersebut dengan merepresentasikan identitas Islam moderat melalui praktik kebijakan luar negeri. Identitas yang dicitrakan ini kemudian dimanfaatkan Indonesia untuk memperluas peranannya, yaitu mediator antara dunia Islam-Barat dan peran model bagi kawasan Timur Tengah. BAB III membahas faktor dan aktor yang menjadi bagian dari proses pencitraan identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia. Pembahasan akan diawali dari faktor sosio-kultural yang berperan dalam proses pembentukan identitas Islam moderat Indonesia seperti pluralisme, modernitas, dan demokrasi. Sebagai pelengkap, bab ini akan ditutup dengan menjabarkan aktor-aktor yang memformulasikan identitas Islam moderat dalam kebijakan luar
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
22
negeri Indonesia. Aktor yang pertama akan dibahas adalah pemerintah sebagai agen kunci dari perumusan kebijakan. Kemudian pembahasan berlanjut pada aktor non-pemerintah, baik individu maupun kelompok, sebagai agen yang berasal dari masyarakat. BAB IV menguraikan peristiwa yang dianggap dapat melemahkan upaya pencitraan identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri. Beberapa peristiwa yang dibahas antara lain peningkatan dan penyebaran kelompok Islam konservatif radikal, perekrutan anggota teroris, penerapan hukum syariah di tingkat daerah, pengaruh MUI, intoleransi, dan kendala pencitraan di tingkat internasional. Bab ini ditutup dengan aspek yang memperkuat optimisme pencitraan Islam moderat Indonesia di tingkat internasional. Sedangkan BAB V merupakan penutup dari tulisan ini. Bab ini akan berisi kesimpulan akhir dari proses penelitian sebagai jawaban final atas rumusan masalah. Dalam penjabarannya, bab ini akan memuat beberapa ulasan singkat dan temuan-temuan yang dari bab-bab sebelumnya. Hal ini sengaja dilakukan untuk menjaga kesinambungan antar bab agar mudah dipahami. Pada bagian akhir dari bab ini terdapat rekomendasi yang mungkin bisa memberikan alternatif pandangan atas permasalahan yang dihadapi dalam pencitraan identitas Islam moderat Indonesia.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
23
BAB 2 IDENTITAS ISLAM MODERAT DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA
Berangkat dari konsep identitas dan kebijakan luar negeri, fokus pembahasan dalam bab ini terletak pada proses representasi identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk itu, bab ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, gambaran atas pengaruh peristiwa Serangan 11 September yang memicu Perang Global terhadap Teror. Dalam konteks ini, fokus pembahasannya adalah pada cara pandang Barat terhadap Islam dan tanggapan dunia Islam terhadap Barat pasca Serangan tersebut. Mengingat Perang Global terhadap Teror mendorong operasi militer di Afganistan dan Irak, pembahasan diuraikan berdasarkan per kawasan yang memiliki penduduk Muslim mayoritas. Hal ini guna melihat pandangan dan sikap negara-negara dunia Islam, termasuk Indonesia. Kedua, Pembahasan kemudian dikerucutkan pada kebijkan luar negeri Indonesia yang mempromosikan identitas Islam moderat dalam hubungan internasional. Paparan akhir dari bab ini memperlihatkan upaya Indonesia untuk mengambil peranan dari presentasi identitas tersebut, baik di dunia Barat maupun dunia Islam.
2. 1. Dampak Serangan 11 September terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pembahasan pada bagian ini terbagi menjadi dua, yaitu pandangan Barat terhadap Islam dan tanggapan dunia Islam dalam menyikapi Barat. Namun sebelumnya, bagian ini diawali dengan dampak serangan WTC pada 11 September 2001 yang merupakan salah satu katalisator isu global di awal abad 21. Peristiwa tersebut telah merubah kesadaran Barat bahwa Komunisme tidak lagi menjadi bahaya laten, melainkan Islam yang dianggap mampu mengancam kedigdayaan Barat. Perubahan yang dimotori Amerika Serikat (AS) ini tidak hanya dilatari oleh posisinya sebagai
objek dari serangan, tapi juga adanya
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
24
motivasi untuk menaikan kembali perannya di ranah internasional yang mulai menurun pasca Perang Dingin. 35 AS kemudian memberikan tendensi tragedi yang menelan 2600 jiwa itu sebagai aksi terorisme. Dalam menampilkan gaya kepemimpinan, AS menjadikan kebijakan luar negerinya sebagai instrumen dalam mengampanyekan Perang Global terhadap Terorisme (War on Terrorism). Sama halnya seperti Perang Dingin, Perang Global terhadap Terorisme pun bersifat ideologis. Hal ini mungkin dikarenakan, AS sulit melepaskan mentalitas ideologis selama Perang Dingin yang membutuhkan proyeksi akan musuh bersama. Dikotomi ideologis tampak dari diksi-diksi yang dipergunakan Bush pasca tragedi 11 September untuk mempertentangkan antara satu sama lain, seperti kebaikan dan kejahatan ataupun kita dan mereka. Menurut Debra Merskin, pernyataan-pernyataan dikotomik Bush memuat enam karakteristik yang memperkuat konstruksi musuh bersama dalam Perang Global terhadap Terorisme. 36
Secara
umum,
pidato-pidato
Bush
menyuratkan
karakter
identification with evil.37 Hal ini ditandai dengan adanya persepsi bahwa segala nilai yang dianut pihak musuh ditujukan untuk menghancurkan sistem nilai-nilai dalam kelompok. Salah satunya adalah pidato pertama Bush pasca tragedi tersebut yang tercantum di bawah ini. Today … our very freedom came under attack in a series of deliberate and deadly terrorist acts. ... Thousands of lives were suddenly ended by evil, despicable acts of terror. … These acts of mass murder were intended to frighten our nation into chaos and retreat. But they have failed. Our country is strong. A great people have been moved to defend a great nation. Terrorist attacks can shake the foundations of our biggest buildings, but they cannot touch the foundation of America. America was targeted for attack because we're the brightest beacon for freedom and opportunity in the world. Today, our nation saw evil, the very worst of human nature, and we responded with the best of America … The search is underway for those who are behind these evil acts. I've directed the full resources 35
Fraser Cameron, US Foreign Policy after the Cold War: Global Hegemon or Reluctant Sheriff 2nd eds., (London dan New York: Routledge, 2005), hal. 18. 36 Debra Merskin, “The Construction of Arabs as Enemies: Post-September 11 Discourse of George W. Bush”, Mass Communication & Society, Vol. 7/2 (2004), hal. 158. 37 Ibid., hal. 160.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
25
for our intelligence and law enforcement communities to find those responsible and bring them to justice. We will make no distinction between the terrorists who committed these acts and those who harbor them.38 Pidato tersebut dapat dikatakan sebagai pembentukan awal akan gambaran musuh bersama. Sebab, pidato ini dilengkapi dengan beberapa karakter yang disebut Merskin sebagai putting blame on the enemy. Karakter ini menempatkan musuh sebagai sumber ketegangan kelompok sehingga mereka dianggap bersalah atas segala kondisi buruk yang menimpa kelompok.39 Karakter ini juga dilengkapi dengan karakter zero-sum thinking yang diartikan apa yang baik untuk musuh adalah buruk untuk kita, begitu juga sebaliknya. Selain itu, terdapat pula karakter stereotyping and de-individualization yang diartikan siapa saja yang berpihak pada musuh juga merupakan bagian dari kelompok musuh. 40 Penggambaran Bush akan musuh bersama dilengkapi dengan adanya umpan balik yang tertuang pada pidato-pidato selanjutnya. Pidato-pidato ini pun pada akhirnya dipenuhi dengan karakter negative anticipation dan refusal to show empathy. Negative anticipation diartikan bahwa perlu adanya umpan balik untuk menghancurkan musuh. Sedangkan refusal to show empathy mengandung makna siapa pun yang berada di pihak musuh akan ditekan dan menerima ancaman dari kelompok.41
Kedua karakteristik terakhir dapat ditemukan dalam pernyataan
Bush saat rapat kongres gabungan 20 September 2001 yang tercantum berikut.
We will starve terrorists of funding, turn them one against another, drive them from place to place until there is no refuge or no rest.Every nation in every region now has a decision to make. Either you are with us or you are with the terrorists. From this day forward, any nation that continues to harbor or support terrorism will be regarded by the United States as a hostile regime. 42
38
“Text of Bush's addres”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-0911/us/bush.speech.text_1_attacks-deadly-terrorist-acts-despicable-acts?_s=PM:US pada Senin, 17 September 2012, pukul 15.40 wib. 39 Debra Merskin, op. cit. 40 Ibid. 41 Ibid. 42 “Transcript of President Bush's address”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-0920/us/gen.bush.transcript_1_joint-session-national-anthem-citizens?_s=PM:US pada Senin, 17 September 2012, pukul 15.50 wib.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
26
Pada perkembangannya, Islam dan pengikutnya dianggap sebagai ancaman sekaligus musuh bersama dalam Perang terhadap Terorisme. Hal ini tidak lepas dari stereotyping Al Qaidah sebagai jaringan organisasi teroris yang mempraktikan nilai-nilai Islam garis keras. AS pun memunculkan Osama Bin Laden, Muslim yang bersembunyi di Afghanistan, sebagai dalang dari aksi teror. Dengan alasan itulah AS dan Barat melegalkan operasi militer di Afghanistan pada Oktober 2001. Operasi militer berlanjut ke Irak dengan nama Operasi Pembebasan Abadi (Operation Enduring Freedom.) Operasi ini dilakukan setelah AS menetapakan Irak dan Iran yang notabene negara Islam sebagai negara pendukung terorisme (state-sponsored terrorism) dan dikategorikan ke dalam poros setan (Axis of Evil). Namun, masifikasi Islamofobia atau kekhawatiran terhadap Islam cenderung terjadi setelah Bush mengobarkan semangat Perang Salib dalam Perang terhadap Terorisme pada 16 September 2001. Tendensi ini kemudian dinterpretasikan publik dan media sebagai perang terhadap Islam. Dampak lanjutannya adalah persepsi dunia internasional yang mengeneralisir Islam sebagai teroris. Perlu diketahui bahwa pandangan konfrontatif Barat terhadap Islam tidak akan mudah tercipta tanpa narasi historis yang melatarinya. Untuk memahami konfrontasi antara Barat-Islam, pembahasan akan berlanjut pada proses pembentukan narasi historis tersebut.
2. 1. 1. Pandangan Barat terhadap Islam Hubungan konfrontatif antara Barat-Islam merupakan hasil narasi yang mengatasnamakan konflik historis dan konfrontasi politis. Motif protagonis dari narasi ini berawal dari asumsi yang meragukan kompatibilitas antara Barat dan Islam. 43 Shadid dan Koningsveld mengungkapkan, persoalan pokok konflik memang sengaja tidak diselesaikan agar tercipta pemahaman atas pola tingkah laku Muslim dan perbedaan secara implisit yang menekankan superioritas kebudayaan Barat.44 Berdasarkan hubungan kausalitasnya, pandangan konfrontatif 43
Abdul Aziz Said, Mohammed Said Farsi and Nathan C. Funk, “Islam and the West: Three Stories” disampaikan dalam konferensi “The Future of Islam-West Relations”, Washington DC: Center for Strategic and International Studies American University, 30 Juni 1998. 44 W. Shadid dan P.S. van Koningsveld, Religious Freedom and the Neutrality of the State: the Position of Islam in the European Union, (Lauven: Peeters, 2002), hal. 176.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
27
Barat terhadap Islam dapat dikategorisasikan dalam lima model eksplenasi, yaitu hubungan peralihan kekuasaan (the changing power relationship); benturan peradaban dan musuh yang diperlukan (the clash of civilizations and the indispensable enemy); politik Islam (the political Islam); layanan informasi yang tidak dinuansakan (the unnuanced information service); dan peningkatan imigran Muslim ke Barat (the increased Muslim-immigration to the West).45 Pada dasarnya, model hubungan peralihan kekuasaan diwarnai dengan silih bergantinya hegemoni antara Barat dan Islam. Karena itu, model ini terbagi ke dalam empat periode. Periode awal merupakan hegemoni dunia Muslim yang dimulai sejak 622 dan berakhir pada 1492 yang ditandai dengan jatuhnya Granada. Dunia Muslim banyak melakukan ekspansi yang dimulai dari semenanjung Arab, hingga Afrika Utara, serta beberapa wilayah di Asia dan Eropa. Periode kedua adalah serangan balik dari hegemoni Barat yang dilancarkan melalui Perang Salib pada abad ke-11. Periode berikutnya merupakan giliran imperium Muslim yang mengekspansi hingga daratan Eropa. Berhentinya ekspansi Muslim di Wina mengawali periode keempat yang menjadi milik hegemoni Barat dengan misi kolonialisme baik di dunia Muslim maupun di seluruh dunia pada abad ke-19 dan 20.46 Ada pun model yang diprakarsai oleh fenomena pasca Perang Dingin yaitu benturan peradaban dan musuh yang diperlukan. Runtuhnya Uni Soviet (US) yang dianggap sebagai musuh bersama menginspirasi beberapa kalangan akademisi Barat yang diwakili Samuel Huntington, Elie Kedouri, dan Bernard Lewis untuk menciptakan musuh baru bagi kedigdayaan Barat. Mereka membangun lima argumen dalam mempertentangkan peradaban Barat dan Islam: 1) nilai-nilai Islam tidak cocok dengan demokrasi dan cenderung menghambat proses demokrasi sehingga dapat mengancaman demokrasi Barat; 2) Muslim kurang percaya kepada institusi politik dalam sistem demokrasi; 3) nilai-nilai Islam menjadi sumber pemerintahan
autoritarian
di
negara-negara
Timur
Tengah
sehingga
meminimalisir partisipasi politik; 4) Muslim kurang memiliki komitmen
45 46
Ibid., hal. 177. Ibid., hal. 177-178.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
28
kewarganegaraan dan politik sebagai akibat dari fanatisme keagamaan yang berlebihan; 5) Islam cenderung intoleran, khususnya kepada penganut Kristiani. 47 Model benturan peradaban dan musuh yang diperlukan berimplikasi pada terbentuknya persepsi kekhawatiran akan munculnya Pan Islamisme yang diterjemahkan Barat dengan gambaran akan revivalisme dan fundamentalisme Islam. Atas dasar kekhawatiran tersebut, model berikutnya dinamakan Islam politis. Model ini meletakan tendensi menyesatkan dengan menggunakan pendekatan yang menaruh perhatian pada seluruh pembangunan di dunia Muslim sebagai sinyal-sinyal keagamaan yang ekstrim. 48 Bagi kalangan Barat yang mengamini pandangan ini, Islam diperhitungkan sebagai ideologi asing yang diarahkan oleh rasa irasionalitas, intoleransi, fanatisme, primitif, represif, dan berbahaya. 49 Karena itu, model ini digambarkan sebagai aksi-aksi kekerasan yang dilakukan beberapa gerakan ekstrimis Muslim yang biasa disebut dengan fundamentalis Sedangkan model-model eksplenasi selanjutnya merupakan hasil dari masifikasi tragedi 11 September yang salah satunya didasarkan pada peranan media massa. Pada dasarnya, media massa mempunyai kapabilitas dalam menyebarkan informasi, termasuk kesalahan informasi yang dibentuk oleh simplifikasi terhadap agama dan pengikutnya. Karena itu, model ini disebut layanan informasi yang tidak dinuansakan. Media sebagai penyaji informasi sering kali mengandalkan konsep simplifikasi dengan mengandalkan ukuran kultural. Khususnya media Barat, penyajian informasi terkait Islam lebih banyak merujuk pada kultur Arab klasik dalam menjelaskan pola tingkah laku dan asumsi Muslim di dunia modern. Akibatnya, muatan dan kerangka pemberitaan lebih mengidentifikasi kejahatan berdasarkan etnis ataupun agama tertentu.50 Kondisi lain yang menunjang disinformasi dalam menentukan proposisi pemberitaan adalah faktor struktural, seperti prasangka awal dari reporter yang kemudian diterjunkan untuk meliput berita dalam sebuah komunitas yang berbeda. Tugas peliputan sering kali tidak dibekali oleh pemahaman ataupun
47
Ibid., hal. 179. Ibid., hal. 183. 49 Ibid. hal. 173. 50 Ibid., hal. 188-189. 48
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
29
pengetahuan yang dibutuhkan reporter. Selain itu, proporsi berita juga ditentukan nilai jual berita itu sendiri. Adanya perbedaan dari apa yang berlaku umum di masyarakat memiliki nilai jual lebih karena akan menyedot perhatian publik. Untuk menghasilkan berita yang eksotis dan sensasional, media massa cenderung menampilkan opini yang konfrontatif untuk menarik perhatian publik, seperti tampak pada penyajian opini berikut ini.
Sumber: Council on American-Islamic Relations, Islamophobian and Its Impact in the United States January 2009-December 2010
Gambar 2. 1 Penyajian opini yang konfrontatif di media AS Khususnya di AS, media massa berperan besar dalam memasifikasi Islamofobia di tengah masyarakat. Menurut Abdus Sattar Ghazali Islamofobia adalah segala bentuk alienasi, diskriminasi, gangguan, dan kekerasan yang berakar
dari
misinformasi
dan
stereotipikal
yang
diyakini
dalam
merepresentasikan Islam dan pengikutnya. 51 Perlakuan buruk terhadap Muslim berlangsung baik di sektor publik maupun privat, mulai dari vandalisme terhadap masjid
hingga pembakaran Qur’an. Namun, tidak sepenuhnya insiden
penyerangan terhadap pihak yang dikarakteristikan sebagai Muslim karena penampilan ataupun asal negeranya didasarkan pada perasaan Islamofobia. Tidak jarang pula, insiden penyerangan terhadap Muslim lebih dimotivasi oleh perasaan anti imigran atau anti pencari suaka dan pengungsi, dibandingkan Islamofobia. Pada kondisi demikian konfrontasi Islam-Barat dapat dikategorikan ke dalam model selanjutnya, yaitu peningkatan imigran Muslim ke Barat. 51
Abdus Sattar Ghazali, Islam and Muslims in the Post-9/11 America, (Modesto: Eagle Enterprise, 2012), hal. 19.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
30
Peningkatan imigran Muslim menjadi isu utama dalam perdebatan publik di Eropa. Pasalnya, masyarakat Eropa masih meragukan kompatibilitas antara budaya Barat dan Islam. Topik ini kian menghangat ketika dugaan politik Islam yang mengarah pada revivalisme akan menyebar ke komunitas Muslim di Eropa. Masyarakat Eropa pun segera menganggap bahwa identitas Islam dari para imigran tersebut terasa kian menonjol sehingga menimbulkan relasi yang berjarak dengan mereka. 52 Hal ini tampak dari jejak pendapat yang dilakukan Pew Global Attitude berikut.
Tabel 2. 1 Persepsi terhadap Muslim di enam negara anggota UE Perception of Muslims Germany Spain Netherlands Great Britain France Poland
They want to remain They have an increasing sense distinct (per cent) of Islamic Identity (per cent) 88 66 68 47 65 60 61 63 59 70 42 20
Sumber: Pew Global Attitudes Project, Public Opinion Survey – May 2005 report
Tabel di atas memperlihatkan terdapat persepsi yang berkembang luas di masyarakat Jerman, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis bahwa komunitas imigran Muslim yang tinggal di negara-negara Barat tidak ingin melakukan asimilasi dengan masyarakat sekitarnya. Mayoritas masyarakat Eropa berpikir komunitas Muslim ingin tetap berbeda dari masyarakat Eropa umumnya dan bukannya merangkul cara hidup di negara-negara Barat. Bahkan, lebih dari dua pertiga masyarakat di Jerman dan Spanyol meyakini, komunitas Muslim tidak ingin mengadopsi kebiasaan nasional. Selain itu, lebih dari setengah masyarakat Jerman, Belanda, dan Perancis berpendapat bahwa identitas Islam dari komunitas Muslim cenderung menguat. Dalam jejak pendapat lainnya, masyarakat Eropa pun meragukan kemampuan imigran Muslim untuk beradaptasi dalam modernitas peradaban Barat, seperti tampak pada tabel berikut.
52
Pew Global Attitudes, “Muslim-Western Tensions Persist”, Pew Global Attitudes Project July 2011, Washingon DC, 2011, Hal. 7.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
31
Tabel 2. 2 Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Islam dan Modernitas Is there a conflict between being a devout Muslim and living in a modern society? Country Mainstream Population Muslim Population in the countries No Yes No Yes Germany 26 70 49 47 Spain 36 58 57 36 Great Britain 35 54 72 28 France 74 26 71 25 Sumber: Pew Global Attitudes Project, Public Opinion Survey – June 2006 report
Tabel di atas memperlihatkan bahwa lebih dari setengah masyarakat di Jerman, Spanyol, dan Inggris mengganggap bahwa ada konflik alamiah yang terjadi dalam diri Muslim itu sendiri, yakni antara menjadi Muslim yang taat dan hidup dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, keraguan masyarakat Eropa terhadap kemampuan imigran Muslim untuk beradaptasi dengan mereka lebih dilatari oleh persoalan pribadi atau psikologi dari Muslim itu sendiri. Secara keseluruhan, keraguan masyarakat Eropa akan kompabilitas dunia Barat-Islam memperuncing kebencian pada komunitas imigran Muslim Eropa. Kebencian ini akhirnya berakumulasi pada perlakuan buruk dan penyerangan terhadap komunitas Muslim tersebut. Akan tetapi, insiden penyerangan di Eropa kebanyakan didasarkan pada argumen etnisitas yang merujuk pada pandangan bahwa Muslim merupakan etnis non-Eropa.53 Berdasarkan penelitian European Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), banyak insiden yang terjadi di Eropa tidak dapat secara definitif ditandai sebagai Islamofobia, baik di pengadilan ataupun secara awam. 54 Karena itu, sulit untuk membedakan insiden Islamofobia dari insiden lainnya. Dapat dikatakan juga bahwa pandangan ini lebih didasarkan pada definisi rasisme dan diskriminasi rasial. Secara
keseluruhan,
kelima
model
eksplanasi
tersebut
cukup
menggambarkan perasaan anti-Islam di dunia Barat. Model-model tersebut tidak hanya menyediakan portofolio, tapi juga mengkonstruksi kekhawatiran dalam menjustifikasi konfrontasi Barat-Islam. Konfrontasi ini kian meruncing pasca 53
European Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), “Muslim in the European Union”, EUMC 2006, Austria, 2006, hal. 62. 54 Ibid.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
32
terjadinya tragedi 11 September yang diisyaratkan Barat sebagai sebuah bahaya laten. Isyarat ini mendapat masifikasi dari media massa sehingga memperkuat perasaan anti-Islam di dunia Barat. Tidak jarang pula hal ini diekspresikan masyarakat Barat dalam kehidupan sosialnya melalui praktik- praktik Islamofobia untuk mempertegas pembedaan antara Islam-Barat.
2. 1. 2. Tanggapan Dunia Islam terhadap Barat Pasca Serangan 11 September Jika tragedi 11 September meningkatkan intensitas perasaan anti-Islam di dunia Barat, tidak demikian dengan dunia Islam yang menanggapinya secara beragam. Pengutukan atas tragedi tersebut memang umum dilakukan dunia Islam, tetapi kondisional. Reaksi publik Arab misalnya, memuat kombinasi dari keduanya. Di satu sisi, banyak kalangan Arab mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan kriminal dan anti Islam. Di sisi lain, tidak sedikit kalangan merasa puas karena AS akhirnya merasakan sakit seperti yang dialami dunia Arab dan negaranegara miskin lainnya. Mereka berasumsi, tragedi tersebut sebagai kelaziman akibat kebijakan luar negeri AS. 55 Publik Arab juga menolak klaim media Barat yang menyebutkan bahwa pihak yang bersalah adalah Arab atau Muslim. Untuk menandingi klaim tersebut, berbagai teori konspirasi bermunculan di dunia Arab. 56 Kebanyakan teori berusaha menjelaskan bahwa serangan merupakan pekerjaan ekstrimis domestik atau orang AS sendiri, pemerintah AS, atau badan intelijen Israel – Mossad. Dibandingkan dengan tragedi 11 September, operasi militer di Iraq memberikan efek signifikan bagi dunia Arab. Jika negara-negara Arab menempatkan seragan 11 September sebagai isu di luar kawasan (outside). Operasi yang menjatuhkan rezim Saddam Hussein justru membuat mereka mulai melihat ke dalam (inside). Berbagai kritik segera dialamatkan ke AS pasca invasinya ke Iraq. Kaum radikal Islam di Timur Tengah cenderung mengkritik modernitas yang dipresentasikan Barat dan mengecam kebijakan AS di Irak sebagai serangan
55
Angel M. Rabsa, Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. all, the Muslim World after 9/11, (Santa Monica: Rand Corporation, 2004), hal. 50-52. 56 Hani Nasira, “Skepticism in the Arab World: the Base of Conspiracies”, Arab Insight, Vol. 2/2 (Summer 2008), hal. 104-105.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
33
terhadap seluruh umat Muslim. Kaum moderat di kawasan ini memandang kebijakan AS sebagai aplikasi dari benturan peradaban dan percobaan akan invasi kolonial. Meski AS relatif kebal dari tuduhan kolonialisme karena kurangnya sejarah kolonialiesme di Timur Tengah, invasi di Iraq secara otomatis dapat menciptakan portofolio akan kolonialisme itu sendiri. Dugaan akan invasi kolonial AS di Iraq muncul dari keyakinan bangsa Arab bahwa hal ini dilatarbelakangi faktor minyak. 57 Adapun kekhawatiran dari kalangan moderat di Timur Tengah akan adanya serangan balasan dari generasi muda Muslim yang bertindak radikal dengan bergabung dalam kelompok teroris. 58 Tidak berhenti sampai di situ, protes anti-Amerika diperbesar dengan pemberitaan
media
massa
seperti
Al-Jazeera
dan
Al-Arabiya
yang
mempublikasikan banyak korban kekerasan dan konflik. Terlebih lagi, ketika terdapat publikasi atas pelecehan terhadap tahanan di Abu Ghraib. Dunia Arab semakin berpandangan bahwa AS dan Barat sebagai pihak yang eksploitatif, hipokrit, gemar menerapkan standar ganda, immoral, agresif dan mendukung Israel. 59 Sama halnya dengan respon Timur Tengah secara umum,
kawasan
Mahgribi menanggapi invasi Irak dengan kekhawatiran dan kemarahan. Bahkan, invasi Irak menjadi katalisator hubungan AS dengan negara-negara di kawasan ini yang semuala harmonis menjadi beroposisi. Kawansan Mahgribi mencakup spektrum yang luas akan nilai-nilai Islam. Sebagian besar penduduknya pun mulai mengidentifikasi dirinya sebagai Arab. Kondisi sosio-kultural tersebut ternyata tidak menghalangi pemerintahan negara-negara di kawasan yang terdiri dari Maroko, Tunisia, dan Aljazair untuk menjalin hubungan kooperatif dengan AS. Ketika terjadi serangan 11 September, mereka mengutuk serangan tersebut dan menawarkan dukungannya kepada AS. Tawaran ini didasari pengalaman dalam menghadapi gerakan-gerakan militan di masing-masing negara. 60
57
Raymond Hinnebusch, "The US Invasion of Iraq: Explanations and Implications”, Critique: Critical Middle Eastern Studies, Vol. 16/3 (Fall 2007), hal. 212. 58 the Muslim World after 9/11. op. cit., hal. 131-132 59 Sobhi Asila, “Confusing Hearts and Minds: Public Opinion in the Arab World”, Arab Insight, Vol. 1/2 (Fall 2007), hal. 19-21. 60 the Muslim World after 9/11. op. cit., hal. 170.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
34
Perlu diketahui, model politik yang dipakai di Maroko, Tunisia, dan Aljazair merupakan modal utama dalam menjalin hubungan baik dengan AS. Model politik monarki konstitusional di Maroko, sekularisme otoriter sipil di Tunisia, dan sekularisme otoriter militer di Aljazair telah digunakan untuk membatasi pengaruh gerakan Islam. Perbedaan pendekatan di masing-masing negara ikut mempengaruhi tingkat efektivitas dalam mencapai tujuan ini. Dari ketiga negara, peran Islam dalam politik lebih mungkin diaplikasikan di Maroko, yaitu dengan pengembangan monarki agama yang bekerjasama dengan parlemen. Sedangkan di Tunisia dan Aljazair, pengaruh Islam tidak hanya dibatasi dalam kehidupan sipil tapi juga dilarang penggunaannya dalam politik. 61 Perubahan hubungan AS dengan negara-negara di kawasan Mahgribi terjadi ketika operasi militer di Irak dilaksanakan. Secara spontan, pemerintah Maroko mengungkapkan kekecewaan atas operasi militer tersebut dan menyatakan solidaritasnya kepada Iraq. Pemerintah Tunisia turut mengkritik penggunaan kekerasan dan perlunya kesepakatan tentang penyabab terjadinya terorisme, termasuk masalah kemiskinan dan konflik Palestina. Sedangkan di Algeria, masyarakat menentang invasi dan pemerintah menekankan absennya PBB dalam operasi tersebut.62 Jika negara-negara Timur Tengah dan Mahgribi merespon negatif operasi militer di Irak, Iran menanggapi hal ini secara berbeda. Iran yang sejak revolusinya pada 1979 cenderung konfrontatif terhadap AS ternyata menunjukan kerjasama pasif dengan AS. Hal ini tampak dari sikap Iran yang tidak menolak adanya pergantian rezim di Irak. Pengalaman historis dengan Irak menjadi alasan yang kuat mengapa Iran tidak berkebaratan atas penggulingan rezim Saddam. Keduanya terlibat dalam perang yang berlangsung dari generasi ke generasi, mulai dari rivalitas purba antara Persia-Arab hingga persaingan geopolitik dalam Perang Teluk.63 Hal lain yang perlu diperhatikan adalah cara pandang geopolitik Iran yang dipengaruhi ancaman dari lingkungan regionalnya. Terkait isu terorisme, cara
61
Ibid., hal. 148. Ibid., hal. 171. 63 Efraim Karsh, “Geopolitical Determinism: the Origins of the Iran Iraq War”, Middle East Journal, Vol. 44/2 (Spring, 1990), hal. 256-257. 62
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
35
pandang Iran mengesankan ambiguitas dalam hubungannya dengan AS. Kerjasama pasif yang ditunjukan Iran dalam invasi Irak ternyata tidak serta merta menghapus kecemasannya akan eksistensi AS di kawasan. Publik Iran memandang, operasi militer yang menjatuhkan rezim Saddam akan memberikan akses bagi AS untuk mendominasi Irak. Hal inilah yang dikhawatirkan Iran akan membawa dampak berkelanjutan pada kondisi domestiknya. Ambigutas relasi AS-Iran sudah terlihat dalam operasi militer di Afganistan. Dalam operasi ini, Iran membuka jalan bagi pasukan AS dan koalisi untuk menggulingkan rezim Taliban. Iran juga berpartisipasi aktif dalam pembentukan pemerintahan baru di Afganistan. Di sisi lain, kehadiran AS di Afghanistan tetap merupakan ancaman bagi Iran, khususnya setelah AS menyebut Iran sebagai bagian dari poros setan. AS menuduh Iran terlibat dalam jaringan Al Qaeda dan pengembangan program senjata nuklir. Kritik AS berlanjut pada sikap oposisi Iran dalam proses perdamaian Timur Tengah serta kebijakan domestiknya yang dianggap totaliter dan represif. Dari kedua kasus terbut dapat disimpulkan bahwa isu terorisme telah menempatkan kepentingan strategis AS-Iran secara tumpang tindih sehingga berpengaruh pada pola relasi keduanya. 64 Bagi dunia Muslim yang secara geografis dan kultural jauh dari Irak, dampak episentrum Invasi Iraq tidak begitu besar. Di Asia tengah, hubungan antara AS dan negara-negara di kawasan ini justru berlangsung dalam kerjasama kontra-terorisme, khususnya dalam menghancurkan rezim Taliban. Sedangkan di Asia Selatan dan Asia Tenggara umumnya merespon invasi Irak dengan kritik dan tentangan. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukan akan terjadinya evolusi politik Islam dan mengubah hubungan AS dengan pemerintahan negara-negara di kedua kawasan tersebut. Di Asia Selatan, populasi Muslim terbanyak berada di Pakistan dan India. Terkait isu terorisme, baik Pakistan maupun India menjalin hubungan kooperatif dengan AS. Dukungan dalam invasi di Afganistan dan kerjasama kontra-terorisme juga cukup menunjukan keduanya masih menjaga hubungan dengan AS. Namun, pola hubungan antara Pakistan-India sangat dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang sosio-politik dan konflik kawasan yang terpusat di wilayah Kasmir. 64
Muslim World after 9/11, op. cit., hal. 234.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
36
Pakistan sendiri merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Homogenitas sosio-kultural yang berbasis pada Islam telah mendorong Pakistan untuk mengidentifikasi diri sebagai negara Islam. Penonjolan identitas inilah yang kemudian mempengaruhi cara pandang Pakistan terhadap kawasannya. Bagi Pakistan, Islam seharusnya menjadi logika yang menyatukan penduduk Muslim di Asia Selatan. Karena itu, Pakistan merasa berkepentingan untuk mengamankan wilayah Kashmir yang mayoritas berpenduduk Muslim tetapi berada dalam kedaulatan India. 65 Pakistan sepertinya hendak menciptakan Kashmir sebagai bagian dari tanah air bagi Muslim Asia Selatan. Untuk mencapai tujuannya, Pakistan melakukan berbagai intervensi termasuk melalui gerakan Islam militan yang menargetkan Kashmir sebagai daerah operasi.66 Gerakan Islam militan di Pakistan mulai mendapat tantangan pasca tragedi 11 September. Hal ini tidak lepas dari reformasi madrasa yang berperan merekrut sumber daya manusia untuk kemudian disebarkan ke Afganistan, Kashmir, dan kawasan Asia Selatan lainnya. Menurut jejak pendapat di Pakistan pada 2001, opini publik menunjukkan adanya dukungan yang luas untuk peredaan militansi, pelarangan kelompok-kelompok militan, dan reformasi madrasa. 67 Namun, dukungan tersebut bertolak belakang dengan sentimen anti-Amerika yang makin menguat. Ketika operasi militer di Afganistan berlangsung, publik Pakistan mulai membenci kehadiran AS di kawasan dan di Pakistan pada khususnya. 68 Kehadiran AS dianggap berpotensi dalam memperburuk politik domestik Pakistan. Hal ini terkait kekhawatiran publik Pakistan akan degradasi kedaulatan negara pasca dikabulkannya mandat yang memberikan dukungan logistik, serta akses udara dan pangkalan udara Pakistan oleh pemerintah Musharraf. Kebanyakan elit Pakistan juga mulai berlaku pragmatis dalam melihat institusi mana yang dapat menuai keuntungan dalam isu terorisme. Preferensi elite pada institusi yang berkaitan dengan militer daripada sipil mengecewakan publik 65
“Kashmir, the History”, diakses dari http://www.pakun.org/kashmir/history.php pada 10 Desember 2012, pukul 11.40 wib. 66 Syed Shoaib Hasan, "Why Pakistan is boosting Kashmir militants", diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/south_asia/4416771.stm pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 11.55 wib. 67 Muslim World after 9/11, loc. cit, hal. 284. 68 Richard Weitz, "Afghan-Pakistan Border Rules: The U.S. Role", Eurasia Border Review, Vol. 3/1 (Spring 2012), hal.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
37
Pakistan. Mereka lantas berasumsi kebijakan AS di Pakistan lebih berpusat pada Musharraf secara individu dibandingkan kondisi Pakistan sehingga membawa kecenderungan sentimen anti-Musharraf sekaligus anti-Amerika. 69 Dengan kata lain, faktor Musharraf berpengaruh besar dalam memberkan dukungan terkait isu terorisme di Pakistan. Sedangkan bagi India, dukungan dalam isu terorisme lebih dimotori oleh persaingannya dengan Pakistan menyangkut wilayah Kashmir. Peningkatan operasi kelompok teroris di Kashmir lebih berbasis di Pakistan dibanding India Sendiri. Beberapa di antaranya operasi teroris di Kashmir tampaknya berniat untuk memisahkan wilayah Kashmir dari India. 70 Tidak sedikit dari kelompokkelompok teroris yang beroperasi di Kashmir memiliki hubungan dengan Al Qaeda, seperti Lashkar-e-Taiba dan Jaish-e-Mohammed.71 Selain faktor Kashmir, faktor lain yang mempercepat pertumbuhan kelompok Islam radikal di India adalah dinamika kekerasan antara Muslim dan penganut Hindu. Peningkatan nasionalisme Hindu menciptakan resistensi di kalangan Muslim India. Pasalnya, politik non-sekuler yang ditujukan dominasi Hindu memungkinkan terjadinya perpecahan dalam hukum Muslim oleh tradisi Hindu. Kalangan Muslim India sendiri merupakan pendukung negara sekuler. Secara historis, mereka tidak pernah mengidentifikasikan diri dengan gerakan Islam Internasional bahkan cenderung apolitis. Dukungan akan sekulerisme negara ini dilatari oleh posisi Muslim yang hanya sepertiga dari populasi India. Proporsi ini menempatkan Muslim sebagai minoritas terbesar di India. Bagi Muslim India, dukungan atas hak-hak minoritas merupakan isu politis. Untuk itu, kalangan Muslim India cenderung mempertahankan negara sekuler yang melindungi hak-hak minoritas. Menurut Rollie Lal, perubahan tatanan sekuler negara yang dilakukan Hindu nasionalis tanpa memperhatikan minoritas agama hanya akan menghasilkan konflik internal skala luas dan radikalisasi agama baik dari Muslim maupun masyarakat Hindu.72
69
Ibid., hal. 285. Surinder Singh Oberoi, “Ethnic Separatism and Insurgency in Kashmir”, Satu P. Limaye, Mohan Malik, Robert G. Wirsing, Eds., Religious Radicalism and Security in South Asia, (Hawai: Asia Pasific Center for Security Studies, 2004). hal. 176. 71 Ibid., hal. 308. 72 Ibid., hal. 306. 70
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
38
Di Asia Tenggara, resonansi operasi militer Irak tidak berpengaruh signifikan. Hal ini terangkum dari respon dua negara berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan, yaitu Malaysia dan Indonesia (lihat Gambar 2. 2). Muslim di kawasan ini hanya menaruh sedikit simpati terhadap Saddam. Hal ini dikarenakan adanya persepsi bahwa Saddam merupakan pemimpin tiran. Dalam kasus Malaysia, pemerintah berupaya mengatur dan mengendalikan protes dengan mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan bahwa perang di Irak tidak diarahkan terhadap Islam. Faktor lain yang membatasi dampak operasi di Irak di kawasan adalah preferensi publik secara luas yang mempriortaskan isu domestik sehingga menutup isu internasional. Di Indonesia khususnya, perubahan iklim politik akibat peritiwa bom Bali 12 Oktober 2002 mengubah aksi massa oleh kelompok radikal menjadi kurang dapat diterima. Secara komprehensif, Angel M Rabasa menyebut reaksi Muslim di kawasan ini relatif moderat.
Sumber: Congressional Research Service (CRS) 2005
Gambar 2. 2 Populasi Muslim Mayoritas di Asia Tenggara
Khususnya di Malyasia dan Indonesia yang mayoritas penduduknya merupakan Muslim, Islam merupakan bagian dari nilai-nilai sosio kultural yang membangun negara. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang cukup menonjol. Islam di Malaysia sendiri telah menjadi lebih homogen dan ortodoks. Konsolidasi Islam di Malaysia mencerminkan peran religio-politik para sultan dan pemerintah dalam mendefinisikan ortodoksi agama. Pembangunan otoritas keagamaan untuk
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
39
melihat masalah keagamaan di Malaysia telah dimulai sejak zaman kolonial Inggris. Meski tersisih dari hukum administrasi kolonial, hukum shari’a dan adat telah dikodifikasi dan relatif terbagun. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar negara Malaysia sebagai negara Islam. Beragama di Malaysia erat kaitannya dengan identitas politis dari kelompok dominan, Melayu. Dengan kata lain, Malaysia lebih menekankan pembangunan kerangka ideologis yang mempromosikan identitas tertentu berdasarkan etnis. Agenda Islamisasi pemerintah secara khusus pun menargetkan masyarakat Melayu sebagai upaya untuk mempromosikan visi Islam dalam melayani kepentingan rezim berkuasa. 73 Dalam mempromosikan kepentingan pemerintah, pendekatan keamanan Malaysia telah menggabungkan penggunaan aparatur koersif dengan mekanisme ideologis. Aparatur koersif yang terdiri dari sejumlah
undang-undang
represif
ditegakkan
oleh
polisi.
Sedangankan
mekanisme ideologis berfungsi untuk membatasi ruang bagi ide-ide yang mengancam legitimasi rezim. Fungsi lain dari ideologis adalah menjamin keamanan rezim dengan melegitimasi berbagai hal yang diaplikasikan aparat koersif maupun rezim. Mengingat bentuk Islam di Malaysia bergantung pada rezim yang berkuasa, maka karakter Islam Malaysia berpotensi untuk menjadi fundamentalis dan otoriter. Praktik fundamentalisme Islam oleh rezim yang berkuasa tidak hanya dimotivasi partai oposisi fundamentalis seperti Partai Islam Se-Malaysia (PAS), tapi juga penafsiran konsep yang cenderung fundamentalis oleh pemimpin rezim. Pada masa pemerintahan Abudullah Ahmad Badawi, Malaysia berkomitmen untuk menerapkan Islam Hadhari yang ternyata mengilhami pembacaan yang kaku terhadap teks-teks Al-Quran. 74 Sejak diperkenalkan konsep itu, Abdullah 73
Andrew Humphryes, “Malaysia Post-9/11 Security Strategy: Winning Hearts and Minds or Legitimising the Political Status Quo”, Kajian Malaysia, Vol. 28/ 1 (2010), hal. 27. 74 Islam Hadhari merupakan istilah yang cukup umum yang terdiri dari beberapa prinsip antara lain sebagai berikut: Pertama, iman dan takwa kepada Allah. Prinsip ini tampaknya meremehkan agama-agama di luar Islam, tetapi klarifikasi dilakukan pada prinsip berikutnya. Kedua, penekankan keyakinan dalam kebebasan beragama. Ketiga, tidak adanya paksaan dalam beragama. Keempat, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima, pembangunan ekonomi yang seimbang dan komprehensif yang menggambarkan fondasi ekonomi dari Islam Hadhari. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghadapi tantangan globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang integratif melalui produksi sumber daya manusia. Kelima, penggabungan praktik moral ekonomi'' dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang komprehensif. Singkatnya, prinsip-prinsip ini berusaha untuk dimasukkan ke dalam pengertian praktik Abdullah
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
40
mengklaim bahwa beberapa elemen di Malaysia sebenarnya telah menjadi lebih konservatif dan radikal. 75 Dengan memberikan dukungan ideologis kepada aparat koersif, Islam Hadhari pun digunakan untuk membenarkan serangan pemerintah terhadap sekte yang dianggap sesat. Salah satunya adalah tarikat Samaniah Ibrahim Bonjol yang kemudian ditangkap di Selangor pasca kemenangan Barisan Negara (BN) pada 2004. Penangkapan tersebut telah memotivasi Menteri Besar khir Toyo untuk menindak lanjuti 60 sekte menyimpang lainnya yang beroperasi di Selangor. Hal ini sesuai dengan kepercayaan BN bahwa mereka telah mendapatkan mandat dari pemilu untuk terus menggunakan aparat koersif pemerintah. Tindakan keras pemerintah lainnya ditujukan pada sekte Kerajaan Langit pada tahun 2005. Sekte agama di Terengganu ini ditutup dengan alasan memiliki dokumen yang bertentangan dengan Islam sehingga akan membahayakan agama maupun stabilitas politik.76 Di Indonesia, mayoritas penduduk yang beragama Islam tidak lantas menjadikan negeri ini berlandaskan sistem Islam. Bahkan, tumbuh pesatnya partai politik yang berlandaskan Islam pasca kemerdekaan dan pasca reformasi tidak menunjukkan
indikasi
pembentukan
Indonesia
sebagai
negara
Islam. 77
Implikasinya, kebijakan luar negeri Indonesia tidak berkarakter Islam atau nonIslam. 78 Menurut Rizal Sukma, alasan pemerintah untuk terus menghindari ekspresi formal faktor Islam dalam kebijakan luar negeri dikarenakkan sifat identitas negara yang mempertahankan identitas non-teokratik sehingga menolak faktor keagamaan eksklusif. 79 Lebih spesifik, Sukma menyebutnya sebagai dilema
bahwa Islam adalah agama untuk pengembangan. Keenam, integritas moral dan kultural yang terdiri dari internalisasi nilai-nilai moral yang menjamin kemakmuran, keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat multi-rasial. Dengan kata lain, perkembangan moral dilakukan secara bersamaan dengan pembangunan ekonomi. Prinsip-prinsip Islam Hadhari lainnya adalah terselenggaranya pemerintahan yang adil dan dapat dipercay; masyarakat yang merdeka dan mandiri; kualitas hidup bermasyarakat; perlindungan hak-hak kelompok minoritas dan perempuan; menjaga lingkungan hidup dan memperkuat kemampuan pertahanan. Ibid. hal. 36. 75 Ibid. hal. 40. 76 Ibid. hal. 39. 77 Dewi Fortuna Anwar, “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3,( 2010), hal. 43. 78 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy¸ (London: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 140 79 Ibid.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
41
identitas di mana masuknya Islam dalam kebijakan luar negeri hanya terbatas pada bentuk dan bukan substansinya. Namun demikian, perumusan kebijakan luar negeri dijaga agar tidak bersebrangan dan tidak menekan kepentingan-kepentingan Islam di dalam negeri. Alasan inilah yang melatari mengapa kebijakan luar negeri Indonesia tidak pernah mengadopsi penuh aspirasi kelompok-kelompok Islam di dalam negeri, sehingga terdapat jarak antara substansi kebijakan luar negeri secara formal dengan aspirasi kelompok muslim. Pada pemerintahan Orde Baru (Orba) misalnya, pendekatan yang menjadi preferensi adalah penggunaan kebijakan luar negeri yang ditujukan untuk politik dalam negeri. Sebab, Soeharto menempatkan stabilitas politik, pembangunan ekonomi, serta rezim keamanan dan legitimasi sebagai agenda prioritas.80 Sampai tahun 1989, Islam lebih diperhatikan sebagai faktor yang harus dikurangi pengaruhnya karena dianggap sebagai ancaman terhadap rezim yang berkuasa. Perhatian pada faktor Islam berubah Sejak 1990. Islam mulai dipandang sebagai kekuatan potensial dalam konteks memperluas dan memperkuat basis kekuatan, serta legitimasi rezim yang dapat membantu memenuhi kepentingan eksternal rezim. Secara praktis, keunggulan imperatif dalam negeri tetap menjadi faktor penting dalam kontinuitas hubungan luar negeri Indonesia yang tidak dapat menolak kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan Barat dan lembaga-lembaga internasional. Selama reformasi, faktor Islam tetap diekspresikan dalam skala yang terbatas. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, krisis ekonomi dan buruknya situasi politik dalam negeri mendorong Indonesia untuk mengandalkan bantuan dari IMF dan Barat. Meski terdapat kebencian terhadap IMF dan AS di ranah domestik
—termasuk
dari
komunitas
Muslim—
tidak
diterjemahkan
pemerintahan Habibie ke dalam kebijakan anti-Barat. Sedangkan masa pemerintahan Abdurahman Wahid, kebijakan luar negeri Indonesia menaruh perhatian pada negara-negara Islam Arab di Timur yang diiringi dengan rencana membangun hubungan perdagangan langsung dengan Israel. Rencana kedua tersebut segera memunculkan sikap oposisi dari komunitas Muslim untuk 80
Ibid., hal. 140-141.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
42
memastikan bahwa rencana tersebut tidak akan terjadi. Hal ini menunjukan faktor Islam berfungsi sebagai mekanisme kontrol daripada faktor pendorong utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia. 81 Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, keinginan untuk memulihkan kondisi ekonomi dan politik dengan menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat ternyata mendapat tantangan dari kelompok-kelompok Islam pasca peristiwa 11 September. Terkait isu global terhadap terorisme, Megawati mencoba mengikuti agenda pemerintah untuk menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat sembari mengakomodasi suara Islam dalam kebijakan luar negerinya. Aspirasi kelompok Islam yang tidak sepenuhnya terakomodasi menunjukan adanya keterbatasan untuk mengekspresikan faktor Islam dalam kebijakan luar negeri Indonesia.82 Untuk melihat pengaruh faktor Islam lebih lanjut, sub bab berikutnya akan memaparkan bagaiamana kebijakan luar negeri Indonesia merespon ekspektasi internasional akan eksistensi Islam moderat dan ekspektasi domestik yang menuntut perhatian pada isu-isu dunia Islam.
2. 2. Presentasi Identitas Islam Moderat Indonesia Sebagai Respon atas Ekspektasi Internasional dan Domestik Pada bagian ini, pembahasan diuraikan dalam dua kategori, yakni identitas Islam moderat sebagai mediator antara Barat-Islam dan sebagai model bagi dunia Islam. Sebelum masuk dalam pokok pembahasan, bagian ini dimulai dengan memberikan gambaran dampak perang global terhadap teror di kawasan Asia Tenggara. Hal ini berguna untuk memahami posisi dan sikap Indonesia di kawasan tersebut, terlebih lagi dalam upayanya mengambil peran yang lebih luas dalam hubungan internasional. Bagi kawasan Asia Tenggara, perang global terhadap terorisme justru lebih membawa pengaruh besar, dibandingkan operasi militer di Irak. Dari sudut pandang kawasan, perubahan isu keamanan regional bukan disebabkan serangan 11 September, tapi lebih dikarenakan kepemimpinan AS dalam perang melawan terorisme yang kemudian direspon pemerintah, aktor-aktor politik dan agama di
81 82
Ibid., hal. 142. Ibid., hal. 143.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
43
kawasan sebagai urgensi. Akibat dari persepsi tersebut, perang global terhadap terorisme membawa dua konsekuensi umum di Asia Tenggara. 83 Pertama, fokus perhatian dialamatkan pada hubungan antara Al-Qaeda dan kelompok-kelompok radikal lokal. Secara otomatis, hal ini mendorong terciptanya peluang kerjasama yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Barat dan negara-negara di Asia Tenggara. Beberapa peluang kerjasama itu antara lain, adanya kerangka kerja untuk meningkatkan bantuan militer; penyebarluasan informasi intelijen antara negara-negara di kawasan; dan perluasan akses militer untuk mendukung kerjasama kontra-terorisme. Kedua, Asia Tenggara diperhitungkan sebagai daerah transit bagi jaringan terorisme sehingga berpotensi sebagai medan dalam perang melawan terorisme. Penempatan Asia Tenggara sebagai front kedua dalam perang melawan terorisme dikemukakan AS saat melancarkan operasi militer di Afghanistan. Istilah front kedua mencerminkan tingginya tingkat ancaman teroris di Asia Tenggara. Ancaman yang dimaksud bersumber dari faksi Islam radikal dan milisi bersenjata, serta kemudahan akses bagi operasi kelompok teroris di daerah perbatasan yang kurang mendapat pengawasan dari pemerintah setempat. Isu utama AS dalam perang global terhadap terorisme bukanlah hanya memberantas kelompok teroris semata. Hal ini lebih pada bagaimanan menyesuaikan
antara
pemberantasan
gerakan
Islam
militan,
penguatan
pemerintahan yang bersehabat dan kelompok moderat di dunia Islam. 84 Bagi Barat, Muslim moderat merupakan aliansi potensial yang paling efektif karena merangkul tradisi yang berbasis pada nilai-nilai masyarakat modern seperti demokrasi dan pluralisme. 85 Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai musuh bebuyutan, maka lawan dari moderasi adalah ekstrimisme. Karena itu, jalan terbaik yang harus dibangun dalam masyarakat yang plural, yaitu rekonsiliasi antara demokrasi dan moderasi, demokrasi dan toleransi untuk menggempur kediktatoran dan ekstrimisme. 86
83
Muslim World after 9/11, op. cit., hal. 391-392. Ibid., hal. 52. 85 Angel Rabsa, Cheril Benard, Lowell H. Schwartz, et.al., Building Moderate Network, (RAND Corporation: Santa Monica, 2007), hal. 3. 86 Benazir Bhutto, Reconciliation: Islam, Democracy, and the West, (London: Simon and Schuster, 2008). 84
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
44
Dalam melawan teorisme, strategi yang digunakan Barat tidak lepas dari promosi demokrasi seperti pengalamannya selama Perang Dingin. Komitmen terhadap demokrasi sebagaimana yang dipahami dalam tradisi liberal Barat dan kesepakatan atas legitimasi politik berasal dari kehendak rakyat diungkapkan melalui pemilu yang demokratis merupakan isu kunci dalam mengidentifikasi Muslim moderat. Rabasa kemudian merinci Muslim moderat ke dalam empat karakteristik, yakni penerimaan akan sumber hukum yang non-sekterian; penghormatan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas; dan beroposisi terhadap terorisme dan aksi-aski kekerasan yang tidak sah. 87 Di sisi lain, Barat menyadari bahwa Islam Moderat kurang memiliki sumber daya finansial dan organisasional dalam membangun jaringan mereka sendiri. Kondisi ini bertolak belakang dengan kelompok Islam radikal yang terbilang sedikit tapi memiliki sumber pendanaan yang kuat dan jaringan yang luas. Kelompok radikal kebanyakan memperoleh dana dari Saudi selama tiga dekade terakhir. Dana ini merupakan kepanjangan dari ekspor Wahabisme Islam versi Saudi yang disengaja atau tidak berdampak pada pertumbuhan ekstremisme agama di seluruh dunia Muslim. 88 Yayasan Saudi Al-Haramain salah satunya, telah ditutup karena terbukti mendanai sejumlah organisasi teroris dari Bosnia ke Asia Tenggara. Selain itu, kelompok radikal telah mengembangkan jaringan selama bertahun-tahun hingga mencapai skala transnasional. 89 Perhatian Barat di Asia Tenggara pada dasarnya terletak pada upaya membangun jaringan Islam Moderat untuk menangkal jaringan terorisme di kawasan. Pada skala regional, perhatian AS dan Barat tertuju pada Indonesia yang dianggap sebagai pilar keamanan di Asia Tenggara. 90 Dalam pandangan Barat, Indonesia memiliki peran yang signifikan baik di kawasan maupun di luar kawasan. Hal ini didasarkan pada rekam jejak peranannya di dunia internasional —sebagai pendiri Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), pelopor 87
Building Moderate Network, Op. Cit., hal 67-68. Wahabisme merupakan bentuk internasionalisme Islam yang digunakan Arab Saudi sebagai bentuk strategi penangkalan ganda dalam menghadapi ancaman internasional yang berasal dari Nasserisme dan aliran Syi’ah, sekaligus meredam instabilitas internal yang bersumber dari Salafi. Naved S. Sheikh, the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a World of States, (London & New York: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 45. 89 Building Moderate Network, op. cit., hal. 3. 90 Lena Kay, “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for US Foreign Policy”, Issue & Insight, Vol. V/4 (Agustus 2005), hal. 8. 88
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
45
Gerakan Non-Blok (GNB), dan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Mengingat ukuran, posisi, dan peran di kawasan, apa yang terjadi di Indonesia otomatis akan berdampak di seluruh Asia Tenggara. Dengan demikian, Indonesia yang stabil menjadi kunci stabilitas kawasan. Tidak hanya itu, Indonesia pun dianggap memiliki preseden yang baik dalam pengalaman berdemokrasi. Keberhasilan Indonesia yang telah melakukan transformasi dari sistem politik otoriter ke sistem yang lebih demokratis ditandai dengan adanya pemisahan struktur kekuasaan dan prinsip checks and balances, penyelenggaran serangkaian pemilu mulai dari bupati, gubernur, hingga presiden dan wakil presiden yang diadakan pada 2004 dan 2009. Menurut Lena Kay, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi model bagi peradaban Islam dalam transisi ke abad ke-21 karena menunjukkan kemitraan yang layak dan kompatibel antara Islam dan demokrasi. 91
2. 2. 1. Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat dan Islam Terkait upaya pembangunan jaringan Islam moderat oleh Barat, Indonesia nampaknya menanggapi ekspektasi tersebut secara positif. Akan tetapi, ekspektasi tersebut bukanlah satu-satunya alasan mengapa Indonesia mencitrakan identitas Islam moderat. Cara pandang Indonesia dalam melihat dunia juga memiliki proporsi yang krusial dalam membangun pencitraan tersebut. Cara pandang nasional terhadap dunia (worldview) merupakan persepsi dominan dari watak sistem dunia dan sekaligus mengambil tempat dalam sistem itu sendiri. Menurut Paige Johnson Tan, meskipun mengalami perubahan kepemimpinan yang drastis, konsistensi cara pandang Indonesia melihat sistem global tampak dari sejarah kontemporer negeranya.92 Mulai dari awal kemerdekaan Indonesia hingga kini, cara pandang tersebut selalu dipenuhi oleh keinginan agar negaranya memiliki peranan di dunia internasional. Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2004 ternyata tidak mengubah cara pandangan Indonesia untuk mengambil peran aktif baik di tataran regional maupun global. Cara pandang ini termuat dalam Undang91
Lena Kay, h. 3. Paige Johnson Tan, “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and Foreign Policy”, Asian Perspective, Vol. 31/3 (2007), hal. 148. 92
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
46
undang Nomor 17 Tahun 2007 mengenai Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 di mana salah satu sasarannya adalah terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional. Kepada negaranegara Barat khususnya, Indonesia nampak mencoba untuk mengklarifikasi kesalahpahaman pandangan Barat yang mengklaim bahwa kegagalan konsolidasi demokrasi cenderung terjadi pada negara-negara berpenduduk Muslim. 93 Terkait fakta bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, upaya klarifikasi kemudian diterjemahkan kebijkan luar negeri dengan mencitrakan diri sebagai Islam moderat. Akan tetapi, kemoderatan Islam hanyalah komplemen dari identitas formal Indonesia. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah I (RPJMN I) 20052009, salah satu sasarannya difokuskan untuk memperkuat dan memperluas identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat internasional. Hal ini ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Indonesian Council on World Affairs (ICWA) pada 19 Mei 2005. Ia menyatakan, “We are fourth most populous nation in the world. We are home to the world’s largest Muslim polulation. We are the world’s third largest democracy. We are also a country where democracy, Islam and modernity go hand in hand.”94 Tendensi demokrasi dan Islam moderat sepertinya merupakan upaya Indonesia dalam mendekatkan diri dengan negara demokrasi maju, khususnya Barat. Dalam studinya mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru menggunakan kebijakan luar negerinya, Alison Stanger menemukan bahwa proses demokrasi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-negara demokrasi baru membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang lebih mapan. 95 Untuk menjelaskan fenomena ini, Philips J. Vermonte mengemukakan dua alasan. Pertama, kebijakan luar negeri bisa digunakan sebagai alat untuk 93
Samuel Huntington, Bernard Lewis, “Communism and Islam” dalam Walter Z. Laqueuer (ed), the Middle East in Transition, (New York: Frederick A. Praeger, 1958); dan Ellie Kedourie, Democracy and Arab Political Culture, (Washington DC: Washington Institute for Near East Studies, 1992). 94 Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disampaikan sebelum Indonesian Council on World Affairs (ICWA), Jakarta, 19 Mei 2005. 95 Alison Stanger, “Democratization and the International System: the Foreign Policy: the Foreign Policies of Interim Governments”, Yossi dan Juan Linz (eds), Between States: Interim Governments and Democratic Transitions, (Cambridge: Cambridge University Press, 1955), hal. 274-276.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
47
menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikan. Kedua, sebagai konsekuensi dari alasan yang pertama, prospek bagi kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses konsolidasi internal. 96 Perlu diingat, perekonomian Indonesia menerima banyak tekanan pasca rangkaian peristiwa bom teror di tanah air sejak Oktober 2002. Ekspor Indonesia ke AS contohnya, mengalami penurunan. Pada tahun 2001, nilai ekspor Indonesia berada di kisaran US$ 8,1 juta. Sedangkan pada tahun 2002, nilai ekspor hanya duduk pada kisaran US$ 7,9 juta. Nilai ekspor terus turun pada tahun 2003 dengan menempati jumlah US$ 7,7 juta.97 Akibat lain dari instabilitas kebijakan domestik yang ditimbulkan teror bom adalah peningkatan credit risk yang tidak menyisakan sedikit pun kemungkinan bagi munculnya investasi, baik dari pihak asing maupun domestik. 98 Bahkan, banyak investor yang lari dari Indonesia dan lebih memilih China sebagai ladang investasi, sehingga berdampak pada menurunnya perekonomian Indonesia dan tingginya angka pengangguran. 99 Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tujuan dari aksi teror bom di Indonesia yang umumnya dialamatkan pada simbol-simbol Barat. Akibatnynya, sejumlah kedutaan besar seperti AS, Australia, dan beberapa negara Eropa Barat mengeluarkan ketentuan pemberian visa yang lebih berat bagi warganya yang hendak berpergian ke Indonesia. Secara psikologis pun, isu teror bom di tanah air juga diduga telah mengurangi minat para wisatawan asing (wisman) datang ke Indonesia. Akibatnya, pariwisata menjadi sektor yang mendapat imbas cukup besar dari isu teror bom, seperti terlihat pada grafik berikut.
96
Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri”, Bantarto Bandoro ed., Mencari Desain Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and Internatonal Studies (CSIS) , 2005, hal. 29. 97 International Monetary Fund (IMF), Direction of Trade Statistics Yearbook 2006, Washington DC, h. 536. 98 Sjahrir, “Bali, Bangsa, dan Masa Depan” dalam Transisi menuju Indonesia Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 130. 99 BAPPENAS, Perekonomian Indonesia tahun 2004: Prospek dan Kebijakan, Jakarta, 2003, h. 11.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
48
Grafik 2. 3 Jumlah Kedatangan Wisman Asal Amerika Utara, Eropa, dan Australia 2001-2006
Sumber: diolah dari www.bps.go.id (2002-2006)
Pada grafik di atas tampak jumlah wisman yang berasal dari Eropa, Amerika Utara, dan Australia menurun drastis. Pada 2002, wisman dari ketiga kawasan tersebut mencapai lebih dari 1,4 juta orang, sedangkan pada tahun 2003 hanya sekitar satu juta orang. Tiga tahun pasca tragedi, kunjungan wisman dari kawasan tersebut memang menunjukan peningkatan, tetapi penurunan kembali terjadi ketika Bali yang menjadi simbol surga pariwisata Indonesia kembali diguncang teror pada 2005. Berkurangnya kunjungan wisman ini berdampak pada penurunan devisa negara di sektor pariwisata, seperti tampak pada grafik berikut. Grafik 2. 4 Penerimaan Devisa dari Kunjungan Wisman Asal Amerika Utara, Eropa, dan Australia 2001-2006
Sumber: Diolah dari Rencana Strategis Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (2010 – 2014)
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
49
Dari grafik tersebut, penurunan devisa yang diterima sektor pariwisata mencapai -4,7 persen pada 2001 jika dibandingkan dengan tahun 2000. Angka ini tidak menunjukan perbaikan bahkan cenderung terjun bebas pada tahun 2002 dan 2003, yakni -17,18 persen dan -10, 21 persen. Meski terdapat kenaikan hingga 18,83 persen pada 2004, devisa negara kembali menurun pasca terjadinya Bom Kuningan di Kedutaan Besar Australia pada 2004, yaitu sebesar -5,75 persen pada 2005 dan -1,66 persen pada 2006. Besarnya kerugian ekonomi dan politis yang dirasakan sepertinya menjadi salah satu alasan Indonesia untuk berusaha menghilangkan gambaran teror bom yang dimotori oleh gerakan-gerakan Islam radikal. Usaha ini dilakukan Indonesia dengan memberikan pencitraan Islam moderat, khususnya pada negara-negara Barat. Untuk menjalin kerjasama yang berkesinambungan dengan dunia Barat, Indonesia mengupayakan proses dialogis yang ditempuh melalui jalur diplomasi. Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, P. L. E. Priatna mengungkapkan, Islam moderat hanyalah bagian dari pencitraan dalam mempromosikan demokrasi yang digerakan melalui diplomasi. 100 Bentuk-bentuk dialog intensif yang diadakan oleh Indonesia antara lain dialog antar kepercayaan (inter-faith), antar budaya (inter-cultural), dan antar peradaban (inter-civilization). Hal ini dimaksudkan untuk membangun saling pengertian dan pemahaman antar agama dan kepercayaan, budaya, dan peradaban yang berbeda. Eksplorasi dari proses ini berlangsung secara bilateral, regional, maupun multilateral. Proses dialogis yang terwujud melalui hubungan bilateral dapat dilihat dari diselenggarakannya konferensi unity in diversity: the culture of coexistence in Indonesia antara Indonesia dan Italia. Sepanjang tahun 2008, Indonesia telah melakukan interfaith dialog dengan Inggris, Austria, New Zealand, Belanda, Kanada, Lebanon, dan Australia. Sedangkan dalam kerangka regional dan multilateral, dialog-dialog serupa dapat ditemukan dalam ASEM sejak tahun 2005.101 Khusus kawasan Asia Pasifik, konferensi Asia Pasific tentang
100
Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012. 101 Kegiatan ini telah diadakan di Cyprus, Beijng, dan Belanda.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
50
interfaith dialogue and cooperation juga telah dimulai pada 2004 dengan mengambil tempat di Yogyakarta.102 Inisiatif lain yang diambil Indonesia dalam pencapaian sasaran tersebut adalah dengan menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF) sejak tahun 2008. Forum yang berlangsung pada tataran inter-pemerintahan ini menempatkan Indonesia sebagai pihak yang mempelopori forum khusus yang membahas tentang demokrasi di kawasan Asia. Agar BDF lebih terasa implementatif, Indonesia membentuk Institute for Peace and Democracy (IPD) yang mendorong pertukaran pandangan dan pengalaman melalui berbagai kegiatan seperti workshop, seminar, kuliah umum, dan pelatihan bagi aparatur negara. Berikut ini merupakan tabel agenda penyelenggaraan BDF yang diinisiasi oleh Indonesia.
Tabel 2. 3 Pelaksanaan Bali Democracy Forum Waktu 10-11 Desember 2008 10-11 Desember 2009
9-10 Desember 2010 8-9 Desember 2011
Co-chair
Tema
Australia
Building and Consolidating Democracy: A Strategic Agenda for Asia Jepang Promoting Synergy between Democracy and Development in Asia: Prospects for Regional Cooperation Korea Democracy and the Promotion Selatan of Peace and Stability Bangladesh Participation in Changing World: Responding to Democratic Voices
Jumlah Peserta 40 negara
48 negara
86 negara 82 negara
Sumber: diolah dari www.deplu.go.id
Tabel di atas memperlihatkan peningkatan antusiasme negara-negara di dunia pada acara BDF. Pada gilirannya, antusiasme tersebut melahirkan interaksi yang lebih intensif antara Indonesia dengan negara-negara yang menghadiri acara tersebut, khususnya negara-negara demokrasi Barat. Pengakuan atas kredibilitas Islam Indonesia yang mampu berdampingan dengan demokrasi pun banyak berdatangan dari negara-negara Barat. 102
Kegiatan ini sudah terlembaga dan berlanjut tiap tahunnya. Secara berurutan, kegiatan ini telah diadakan di Seibu, Hawaii, Tangi New Zealand, Kamboja, dan Australia.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
51
Tidak hanya pengakuan, pencitraan identitas Islam moderat yang dilakukan Indonesia sepertinya juga mendapat motivasi dari Barat. Dalam catatan Rizal Sukma yang menghadiri acara Wilton Park Conference di Inggris pada Maret 2010, masyarakat internasional mengharapkan agar Indonesia dapat memainkan peran sebagai suara Islam dunia. 103 Ekspektasi ini bermuara pada saran agar Indonesia Indonesia dapat menjadi mediator antara Barat dan dunia Islam. Tidak hanya itu, Islam moderat Indonesia juga diharapkan dapat menjadi model alternatif yang mungkin diterapkan bagi masyarakat muslim lainnya. 104 Secara eksplisit, Presiden AS Barack obama mengatakan, Indonesia sebagaimana Chile dan Korea Selatan dapat dijadikan model demokrasi yang baik bagi Mesir.105 Untuk menjadi preseden alternatif Islam bagi kawasan Timur Tengah, kebijakan luar negeri Indonesia telah memiliki modal kuat pasca reformasi. Modal itu adalah Indonesia dianggap mampu untuk mensinergikan nilai-nilai demokrasi dengan Islam. Menurut Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Indonesia merupakan negara Muslim yang berhasil melakukan transisi kebijakan dari kediktatoran menuju demokrasi. 106 Untuk itu, Indonesia harus mendemonstrasikan kepada dunia, bahwa Islam yang bergandengan dengan demokrasi juga dapat menjadi kekuatan positif yang turut berpartisipasi dalam menyelesaikan permasalahan internasional. Harapan Barat agar identitas Islam moderat Indonesia dapat menjadi model alternatif tidaklah lepas dari pandangan akan banyaknya rezim otoriter di dunia Islam, khususnya Timur Tengah dan Afrika Utara. Dalam indeks demokrasi 2010 yang dikeluarkan the Economist Intelligence Unit, kedua wilayah ini merupakan kawasan yang paling represif di dunia. 107 Tabel berikut akan memberikan rincian pengukuran demokrasi dari negara-negara yang masuk dalam laporan tersebut.
103
Dewi Fortuna Anwar, loc. cit., hal 38-39. Ibid, hal. 45. 105 Ben Smith, “Obama Suggest Indonesia, Chile as models for Egypt”, Politico, 2 Maret 2011. 106 Mathew Lee, “Clinton: Indonesia Can be Democratic Role Model”, the Jakarta Post, 24 Juli 2011. 107 The Economist Intelligence Unit, “Democracy in Retreat”, Democarcy Index 2010, London, 2010. 104
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
52
Tabel 2. 4 Negara-negara dengan Rezim Otoriter di Timur Tengah dan Afrika Utara Negara
Peringkat demokrasi
Total Skor
Pemilu & Pluralisme
Fungsi Pemerintah
Partisipasi Politik
Budaya Politik
Kebebasan Sipil
Kuwait Maroko Yordania Bahrain Algeria Qatar Mesir Oman Tunisia Yaman UAE Sudan Syiria Iran Libya Arab Saudi
114 116 117 122 125 137 138 143 144 146 148 151 152 158 158 160
3,88 3,79 3,74 3,49 3,44 3,09 3,07 2,86 2,79 2,64 2,52 242 2,31 1,94 1,94 1,84
3,58 3,50 3,17 3,58 2,17 0,00 0,83 0,00 0,00 1,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
429 4,64 4,64 4,29 2,21 3,21 3,21 3,57 2,86 1,79 3,57 1,43 2,50 3,21 2,14 2,86
333 1,67 3,33 3,33 2,78 2,22 2,78 2,22 2,22 3,89 1,11 3,33 1,67 2,22 1,11 1,11
438 5,00 3,75 4,38 5,63 5,63 5,00 4,38 5,63 5,00 5,00 5,00 5,63 2,50 5,00 3,75
382 4,12 3,82 3,82 4,41 4,41 3,53 4,12 3,24 1,18 2,94 2,35 1,76 1,76 1,47 1,47
Sumber: the Economist Intelligence Unit (2010)
Tabel di atas memperlihatkan bahwa hampir seluruh pemerintahan di kawasan ini mencegah kebebasan berpolitik. Bentuk pemerintahan yang otoriter dan represif di Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menyebabkan ketimpangan ekonom-sosial masyarakat sehingga tuntutan akan perubahan politik tak dapat dihindari.
2. 2. 2. Identitas Islam Moderat Sebagai Model Alternatif bagi Dunia Islam Peranan yang hendak dicapai Indonesia melalui pencitraan identitas Islam moderat agaknya mengalami metamorfosis ketika dihadapkan pada pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang notabene negara berpenduduk mayoritas Muslim. Tuntutan akan perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara telah mengiinspirasi Indonesia untuk memainkan peran model Islam moderat. Perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara diawali dengan keberhasilan para demonstran di Tunisia yang menjatuhkan rezim Zine El Abidin Ben Ali. Hal ini disusul dengan mundurnya Housni Mubarak setelah 30 tahun memimpin Mesir — yang memegang posisi kunci di jazirah Arab. Efek domino
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
53
dari aksi-aski di Tunisia dan Mesir segera menjangkiti warga Libyia, Aljazair, Suriah, Yordania, Yaman, dan Libanon seperti yang terlihat dari gambar berikut ini. 108
Sumber: Gatra (2011)
Gambar 2. 5 Efek Domino dari Perubahan Politik di Tunisia dan Mesir Revolusi ini menjadikan internet sebagai kunci penggerak revolusi. Media sosial khususnya, merupakan instrumen penggerak emosi massa untuk berkumpul dan melakukan aksi protes yang menuntut kemunduran terhadap pemerintahan otoriter dan penyelenggaran pemilu yang demokratis. Salah satu pemicu aksi-aksi protes di negara-negara tersebut adalah besarnya kesenjangan ekonomi-sosial. Berdasarkan laporan dari Arab Human Development Report 2009, peningkatan jumlah populasi manusia yang tajam di negara-negara jazirah Arab berimplikasi pada kesimbangan distribusi air dan makanan, serta keterbatasan ketersediaan lapangan pekerjaan. 109 Pada tahun 2020, negara-negara di kawasan ini diprediksi akan membutuhkan pekerjaan bagi 51 juta warganya. Pihak yang paling rentan terhadap ancaman ini adalah kalangan muda Arab, khususnya perempuan. Keadaan ini diperburuk oleh struktur kebijakan dan ekonomi di negara-negara
108
“Dampak Tunisia dan Mesir ke Seluruh Arab”, Gatra, No, 14, Tahun XVII, 10-16 Februari 2011, h. 93. 109 UNDP Regional Bereau for Arab States (RBAS), Challenges to Human Security in the Arab Countries”, Arab Human Development Report 2009, New York, hal. 10.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
54
jazirah Arab seperti di Aljazair, Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman yang rata-rata didominasi oleh rezim yang borjuis, represif, dan otoriter. Dari berbagai aspek yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara memiliki banyak persamaan dengan Indonesia pada massa reformasi 1998. Dilihat dari aspek sosio kultural, Indonesia adalah rumah bagi Muslim terbesar di dunia. Begitu pula Timur Tengah-Afrika Utara yang berpenduduk mayoritas Muslim karena alasan historis yang menjadikannya sebagai tempat turunnya agama Islam. Sedangkan pada aspek sistem kebijakan, kedua kawasan tersebut sama-sama pernah dinaungi pemimpin otoriter yang didukung kalangan militer melalui jaringan politis yang luas dan patronase finansial. Sistem kebijakan yang dijalankan selama pemerintahan otoriter adalah secular nasionalis dengan memonopoli kekuasaan negara. Keduanya meminggirkan kekuatan kebijakan Islam dan sama-sama mengekang gerak media serta pihak oposisi. Dilihat dari aspek fenomenologis, aksi demonstrasi di Indonesia dan Timur Tengah-Afrika Utara juga tidak jauh berbeda. Pemicunya adalah faktor eksogenus, yaitu krisis yang menimbulkan efek domino. Sedangkan pelaku protes ialah pemuda yang merasa kecewa akan besarnya jurang pemisah antara pembangunan kebijakan dengan pertumbuhan ekonomi. Instrumen persuasif dalam melakukan aksi demonstrasi juga sama-sama mengandalkan jaringan internet. Respon dari pemerintahan yang diprotes juga tidak jauh dari aksi kekerasan hingga pembunuhan para demonstran. Kerusuhan yang terjadi selama demonstrasi berlangsung pun semakin memepertajam opini publik dalam melawan rezim yang berkuasa. Dari diskripsi di atas, terdapat pengalaman paralel antara kawasan Timur Tengah-Afrika Utara dan Indonesia. Indonesia yang merasa pernah merasakan pengalaman yang sama sepertinya menunjukan keinginan untuk melakukan sharing experience dalam rangka menjadikan dirinya model bagi dunia Islam, khususnya jazirah Arab. Dalam wawancara di CNN yang ditayangkan 15 Juni 2011, SBY menyatakan bahwa Indonesia dapat menjadi model di mana Islam dan demokrasi dapat bergandengan dan tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Lebih lanjut SBY menjelaskan, jika Indonesia dapat memegang demokrasi
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
55
sekaligus menghormati nilai-nilai Islam secara bersamaan, maka negara-negara Timur Tengah juga dapat melakukan hal yang sama. 110 Secara historis, Indonesia memiliki kedekatan hubungan dengan kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagi Indonesia, kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara telah berkontribusi besar bagi kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Menurut Muhammad Hatta, kemenangan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai dari kemenangan diplomasi di Timur Tengah. 111 Pengakuan de facto dan de jure dari negara-negara Arab yang dipelopori Mesir dan disusul Suriah yang gigih mendorong PBB untuk memasukan “Indonesian Question” ke dalam agenda siding Dewan Keamanan PBB (DK PBB) telah membuka jalan bagi pembentukan United Nations Commision for Indonesia (UNCI). Titik klimaks dari solidaritas negara-negara Timur Tengah berupa pengakuan kedaulatan RI pada 1949. Dari sinilah terlihat pola awal yang kelak membentuk karakter hubungan Indonesia dan Timur Tengah. Hubungan keduanya tidak hanya berlandaskan pada hubungan formal diplomatik semata, tetapi diperkuat dengan solidaritas perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan nasional berdasarkan semangat persaudaraan kultural yang mendalam. 112 Atas nama solidaritas pula, Indonesia memasukan agenda mengenai penggalangan dukungan bagi kemerdekaan bangsa-bangsa di Timur Tengah, khususnya Palestina dan Sudan, ke dalam tema besar KAA pada 1955. Konferensi yang diselenggarakan di Bandung ini mewariskan Dasa Sila Bandung yang menjadi fondasi dari semangat persaudaraan antara bangsa-bangsa di kawasan Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Dapat ditarik kesimpulan bahwa semangat solidaritas dan persaudaraan menjadi corak khas hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Untuk menjaga konsistensi dari aplikasi kebijakan luar negeri Indonesia di kawasan tersebut, semangat tekstual dalam Dasa Sila Bandung
110
Wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Andrew Steven ditayangkan di CNN, 15 Juni 2011. 111 Ronny Prasetyo Yuliantoro, “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak di Kawasan Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai Konsistensi Historis”, Jurnal Diplomasi, Vol. 3/ 2, (Juni 2011), hal. 2-3. 112 Ibid., hal. 3-4.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
56
ini dikonstekstualisasikan sesuai kondisi yang tengah terjadi. Untuk mengambil peran model alternatif di Timur Tengah dan Afrika Utara, kebijakan luar negeri Indonesia tampak diaplikasikan secara hati-hati sebagai bentuk konsistensi Indonesia atas prinsip non intervensi sesuai Dasa Sila Bandung. Dalam prinsip penghormatan
terhadap
kedaulatan
dan
integritas
teritorial,
Indonesia
berpandangan bahwa aspirasi menuju pencapaiannya juga harus tumbuh secara internal (home grown) dan tidak dipaksakan dari luar oleh aktor-aktor eksternal.113 Atas dasar proses transfer ide, upaya Indonesia dalam membagi pengalaman (sharing
experience)
kemungkinan akan dilakukan dengan
memperhatikan faktor kekhasan kultural (indigenous uniqueness) dari kawasan tersebut. Hal ini ditujukan untuk membantu menyelesaikan gejolak sosial dan politik yang tengah terjadi di kawasan tersebut. Agar tidak terkesan mendikte atau menggurui, proses berbagi pengalaman diapliasikan Indonesia dalam BDF IV dengan mengundang beberapa negara Timur Tengah seperti Yordania, Qatar, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Yaman. 114 Selain itu, melalui IPD, Indonesia juga melakukan people to people initiative dengan Timur Tengah dalam program Workshop on Egypt-Indonesia Dialogue on Democratic Transition pada Mei 2011. Bagi komunitas Muslim dalam negeri, perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara dapat dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan dunia Islam. Secara historis, hubungan Indonesia dan negara-negara Timur Tengah tidak berkembang secara cepat pasca pengakuan kemerdekaan nasional oleh Mesir, Irak, dan Syiria. Sepanjang pemerintahan Soeharto khususnya, Indonesia tidak pernah berusaha untuk menjadi pemimpin dari gerakan Islam meskipun memiliki penduduk Islam terbesar di dunia. Sebaliknya, Indonesia lebih tertarik untuk menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB).115 Komunitas Muslim memandang, isu utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia
dalam
hubungannya
dengan
Islam
bukanlah
113
bagaimana
Ibid., hal. 12. Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua, Bali, 8-9 December 2011. 115 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1998), hal. 218. 114
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
57
memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri secara Islami. Akan tetapi, lebih pada kebutuhan untuk memperbaiki hubungan dengan negaranegara Muslim dan menaruh perhatian terhadap isu-isu di dunia Islam sekaligus melakukan inisiatif yang berarti terhadap isu tersebut. Mereka umumnya berpandangan, adalah absurd jika Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar hanya menduduki posisi pinggiran dan memainkan peran marginal di dunia Islam. 116 Seiring dengan ekspektasi akan keharmonisan hubungan Indonesia dan Timur Tengah, bermunculan pula harapan agar hubungan tersebut dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Harapan ini disandarkan pada kenyataan bahwa meski perdagangan kedua kawasan tidak mengindikasikan penurunan, hubungan ekonomi Indonesia-Timur Tengah masih belum mencapai tahap yang diharapkan. Nilai dagang Indonesia-Timur Tengah masih jauh di bawah nilai perdagangan Indonesia-AS atau Indonesia-Eropa. Padahal, Timur Tengah memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 11 persen per tahun. 117 Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, investasi Timur Tengah di ternyata relatif minim. Dibandingkan dengan investasi Jepang dan Korea, Selatan, Indonesia masih belum menjadi salah satu tempat tujuan investasi utama negara-negara Timur Tengah. Perlu diketahui, potensi investasi dari Timur Tengah dianggap sangat signifikan, khususnya dari Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA) yang masuk menjadi bagian dari tiga besar negara dengan nilai PDB tertinggi di dunia versi World Bank. 118 Optimisme terhadap perkembangan bisnis di Timur Tengah juga terlihat dari beberapa kegiatan kunjungan delegasi pengusaha dari kawasan tersebut ke Indonesia selama semester pertama 2011. Berdasarkan data Kadin Indonesia Komite Timur Tengah, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan ICCI, kegiatan kunjugan dan forum bisnis antara Indonesia dengan Timur Tengah telah dilakukan beberapa kali mencakup kegiatan penjajakan bisnis. Delegasi bisnis Iran selama semester satu 2011 telah melakukan dua kali kunjungan pada, pada Februari dan 116
Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia” dalam Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 437. 117 118
Fachry Thaib, “Implikasi Gejolak Politik Timur Tengah Terhadap Kepentingan Ekonomi Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Vol. 3/2 (2011), hal. 35-42.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
58
Mei 2011. Dalam forum bisnis antara kedua negara yang diadakkan pada akhir Mei 2011, sejumlah sektor menjadi fokus bahasan termasuk sektor minyak dan gas, pertanian, keuangan, peralatan industri, dan kertas.119 Selain itu, Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menjadi tujuan utama sektor jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sektor ini merupakan penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Dari sektor ini, Indonesia memperoleh devisa sebesar US$ 6,617 miliar pada tahun 2009. 120 Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BPN2TKI), dari sekitar 3,8 juta TKI yang ditempatkan di luar negeri, lebih dari 50% bekerja di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.121 Besarnya penempatan TKI di kawasan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2. 5 Penempatan TKI di Timur Tengah dan Afrika Utara (2006-2011) Negara Penempatan Saudi Arabia UEA Kuwait Qatar Yordania Oman Bahrain Syria Aljazair Libya Mesir Yaman
2006
2007
281.087 22.685 24.600 7.980 10.978 5.210 639 -
257.217 28.184 25.756 10.449 12.062 7.150 2.267 123
2008
234.644 38.092 29.218 8.582 11.155 8.309 2.324 499 114 90 Total Sumber: diolah dari BPNP2TKI (2006-2011)
2009
2010
2011
Jumlah
276.633 40.391 23.041 10.010 10.932 9.700 2.837 1.155 453 35 2 30
228.890 37.337 563 13.559 5.695 9.259 4.844 6.381 609 251 13 7
137.643 39.857 2.723 16.578 134 7.292 4.375 4.222 1.084 83 265 59
1.416.114 206.546 105.901 67.158 50.956 46.920 17.286 11.758 2645 483 280 309 1.926.356
Tabel di atas menunjukan bahwa kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara masih menjadi tujuan utama penempatan TKI di luar negeri. Besarnya jumlah tersebut sudah seharusnya diiringi dengan upaya pengawasan dan perlindungan 119
Ibid. Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 14.22 wib. 121 "Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-penempatan-per-tahun-pernegara-2006-2012.html pada tanggal 11 Desember 2012, pukul 13.00 wib. 120
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
59
dari pemerintah agar kasus kekerasan terhadap TKI tidak terus berulang. Sejumlah
moratorium pun telah disepakati antara Indonesia secara bilateral
dengan Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, dan Syiria untuk melindungi TKI yang khususnya berprofesi sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). 122 Walau demikian, kekerasan terhadap TKI masih saja terjadi di kawasan yang kental akan tradisi Arab. Faktor kesamaan agama ternyata tidak membuat bangsa-bangsa Arab menaruh simpati dan hormat pada Indonesia. Dunia Arab kurang menunjukan minat pada Asia secara umum, apalagi bentuk sosio-kultural Islam di Indonesia.123 Terkait hal ini, Nurcholish Madjid memberikan penjelasan secara komprehensif. Secara geografis, Indonesia merupakan negeri Muslim yang paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Pada kondisi yang demikan, Islam di Indonesia pun berkembang dalam tradisi yang berbeda. Indonesia merupakan negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia, bangsa Indonesia tidak menggunakan huruf Arab untuk bahasa nasionalnya. Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur budaya lokal membuat Islam di Indonesia sering kali dianggap pinggiran oleh dunia Arab. Karena keadaannya yang mengesankan sebagai bersifat pinggiran itu, Islam di Indonesia sering dipandang tidak atau sekurangnya belum bersifat Islam secara sebenarnya. 124 Akibatnya, banyak negara-negara Arab cenderung memandang rendah muatan Islam di Indonesia.125 Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya Indonesia mencitrakan identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya merupakan bentuk pencitraan simbolik dalam interaksi sistem internasional. Menurut George Cronk, dengan pemberian isyarat dan pengambilan peran yang diungkapakan dalam sistem sosial telah membawa aktor ke dalam penerimaan peran dan aturan
122
"Diperpanjang Moratorium TKI ke Timur Tengah", diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbset-diperpanjang-moratorium-tkike-timur-tengah pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 16.50 wib. 123 Martin van Bruinessen, "Indonesia Muslims and Their Place in the Larger World of Islam", Indonesia Rising: The Repositioning Of Asia's Third Giant, (Singapore: ISEAS Publishing, 2012), hal. 121-122. 124 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 4244. 125 Dewi Fortuna Anwar, loc. cit. hal. 49
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
60
simbolik pada proses interaksi sosial.126 Dalam hal ini, Indonesia telah memunculkan diri dalam seperangkat kekhususan — identitas Islam moderat — pada hubungan sosial dengan negara-negra lain yang terlibat dalam himpunan proyek-proyek sistem internasinal. Karena pada dasarnya, diri selalu merupakan cerminan dari hubungan sosial tertentu yang didirikan atas modus tertentu dari aktivitas kelompok yang bersangkutan.127
126
George Cronk, Symbolic Interactionism: a Left-Meadian Interpretation," Social Theory and Practice, Vol. 2/3 (Spring 1973), hal. 323. 127 Ibid., hal 324.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
61
BAB 3 FAKTOR DAN AKTOR DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS ISLAM MODERAT INDONESIA
Pada bab sebelumnya telah dibahas bagaimana Perang Global terhadap Teror yang diakibatkan peristiwa 11 September mempengaruhi cara pandang Barat dan Dunia Islam. Narasi konfrontatif yang mendominasi cara pandang keduanya melahirkan sentimen tersendiri sebagai bentuk pembedaan. Keragaman sikap yang diperlihatkan dunia Islam pun menunjukan perbedaan posisi Islam dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri di masing-masing negara. Sebagai negara Muslim terbesar dunia, sikap Indonesia terhadap Perang Global terhadap Terror diaggap Barat identik dengan kemoderatan Islam. Hal ini kemudian memunculkan ekspektasi agar Indonesia dapat menjadi mediator antara Barat-Islam dan model Islam alternatif. Ekspektasi ini ditanggapi positif oleh Indonesia dengan mempromosikan identitas Islam moderat. Bagaimanapun juga, identitas merupakan fenomena kognitif yang dialami aktor sehingga mekanisme pembentukannya tidak lepas dari faktor-faktor yang terbangun dari lingkungan sosialnya. Menurut C. Mouffle, identitas adalah persoalan megenai bagaimana menggunakan sumber daya sejarah, bahasa, dan kebudayaan dalam proses menjadi. Identitas itu tunduk pada proses menyejarah secara radikal dan terus-menerus berada dalam proses perubahan dan transformasi; Individu-individu sendiri tersusun dari banyak identitas, dan keberagaman identitas individu ini dikonstruksikan dalam konteks yang berbedabeda.128 Dengan demikian, struktur bab ini terdiri dari dua bagian. Pertama, faktorfaktor pembentuk identitas Islam moderat sesuai dengan kondisi sosio-kultural di Indonesia. Kedua, aktor-aktor pembentuk identitas Islam moderat Indonesia dalam kebijakan luar negeri.
128
C. Mouffle, “Hegemony and New Political Subject: Toward a New Concept of Democracy” dalam ed. K. Nash, Readings in Contemporary Political Sociology, (Oxford: Blackwell Publisher,2000), hal 295-309.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
62
3. 1. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia Istilah Islam moderat tidak lepas dari perspektif Barat yang umumnya ditujukan untuk membedakan Islam garis keras atau radikal. Untuk mendapatkan informasi yang berimbang, sub bab ini akan memberikan penjelasan istilah Islam moderat dalam batasan yang dipemahami dan diyakini oleh kalangan Muslim di Indonesia.
Kalangan
intelektual Islam
Indonesia
lebih
memilih
untuk
memadankan terminologi Islam moderat dalam bahasa Arab modern. Baik Nurcholish Madjid maupun Ulil Abshar-Abdalla berpendapat, padanan kata moderat dalam bahasa Arab modern adalah wasat atau wasatiyya. Hal ini dimaksudkan untuk menerjemahkan konsep Islam moderat dengan memakai konsep wasat yang terdapat dalam Quran. Secara tersurat, wasat berarti tengahtengah (moderat) atau adil. Islam moderat dalam bahasa Arab modern disebut sebagai al-Islam al-wasat. Awalnya, makna tersirat dari kata wasat memiliki dua ruang, yakni individual (privat) dan sosial (publik). Dari segi individual, sikap wasat yang dimaksudkan Quran adalah agar tiap muslim bersikap tidak berlebih-lebihan atau ekstrim. Sikap moderat ini berlaku baik dalam menjalani kehidupan duniawi (material) dan ukhrawi (spiritual). Sedangkan pada segi sosial, sikap moderat dimaknai sebagai tugas umat Islam untuk menjadi penengah bagi umat-umat lainnya. Dalam hal ini, konsep wasat berhubungan erat dengan konsep kesaksian. Ulil memaknai konsep kesaksian di sini sebagai tugas yang dipikul umat Islam untuk meluruskan sikap-sikap ekstrim yang ada pada dua kelompok agama pada zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani. 129 Khususnya pada ruang sosial, pengertian wasat mengalami pergeseran. Sebab dalam perkembangannya, umat Islam memiliki ekstrimisme sendiri. Istilah Islam moderat atau al Islam al Wasat pun digunakan sebagai kritik internal dalam diri umat Islam. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran, seperti kata “wasat” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat
129
Ulil Abshar-Abdalla, “Islam Moderat” diakses dari http://islamlib.com/id/artikel/islam-moderat pada tanggal 2 Mei 2012, pukul 13.40 wib.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
63
pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah secara lentur.130 Begitu pun kontekstualisasinya pada penerapan Islam di Indonesia. Masyarakat Indonesia memaknai Islam moderat sebagai Islam yang penuh rasa toleransi,
perdamaian,
keseimbangan
dan
mengutamakan
dialog
dalam
memecahkan suatu masalah. Pemahaman umum ini tidak lepas dari tiga faktor utama yang menginisiasi pembentukan Islam moderat di Indonesia, yaitu pluralisme, modernisasi, dan demokrasi.
3. 1. 1. Pluralisme Berbicara tentang Islam di Indonesia tidaklah lepas dari pluralisme yang merupakan basis kemoderatan. Hal ini diafirmasi oleh Direktur Jendral Informasi dan diplomasi Deplu RI Andri Hadi yang mengungkapkan, pluralisme keIndonesiaan yang disatukan dengan Islam akan memunculkan model middle path, yaitu Islam moderat.131 Korelasi antara Islam dan pluralisme di Indonesia dapat dengan mudah dipahami baik dari perspektif teologis maupun sosiologis. Dari pandangan teologis, konsep-konsep dalam Islam telah mengarahkan Muslim untuk menghormati pemeluk agama yang berbeda. Sebab, masyarakat yang plural secara religius sesungguhnya telah terbentuk sebelum kehadiran Islam dan pluralitas sudah menjadi kesadaran umat Muslim. 132 Pluralitas agama tidak dapat dinafikkan, bahkan oleh ajaran Islam sendiri. Secara lebih rinci, Abdul Moqsith Ghazali menguraikan pengakuan atas pluralitas agama yang ditemukan dalam Al-Quran. Menurutnya, pluralitas agama dan umat beragama adalah kenyataan. Karenanya, setiap penganut agama seyogyanya mengetahui bahwa dirinya hadir selalu bersama dengan yang lain. Satu identitas akan bertemu dengan identitas lain. Kalaupun terjadi perselisihan antara umat Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jâdilhum billatî hiya ahsan).133
130
Ibid. Andri Hadi, “Demokrasi bukan Produk Barat”, Jurnal Diplomasi, Vol. 1/1 (Juni 2009), hal. 167. 132 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis AlAuran, (Depok: Katakita, 2009), hal. 5. 133 Ibid, hal.391. 131
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
64
Sedangkan secara sosiologis, terbentuknya pluralisme di Indonesia tidaklah lepas dari keberagamanan sosio-kultural masyarakatnya. Didiami ribuan etnis dan suku yang tersebar di belasan pulau, bangsa ini terikat dalam satu perasaan keIndonesiaan. Perasaan ini kemudian dituangkan dalam semboyan negara, Bhineka Tunggal Ika yang diterjemahkan dengan kalimat berbeda-beda tetapi tetap satu. Dari semboyan filosofis tersebut dapat diketahui bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini. 134 Dari kesadaran untuk hidup berdampingan itulah pluralisme tumbuh. Pada dasarnya, pluralisme mengacu pada ko-eksistensi dari banyak nilai-nilai dalam masyarakat dengan tujuan yang memungkinkan individu untuk mengejar kebahagiaan. Pluralisme memandang ko-eksistensi dari perbedaan nilai sebagai nyata, tidak dapat dihindari, serta berpotensi berguna dan baik. 135 Diskripsi di atas cukup menjelaskan bagaimana pluralisme melekat kuat dalam tradisi Islam di Indonesia. Sedangkan menurut Rizal Sukma, pluralisme merupakan karakteristik utama masyarakat Islam Indonesia. 136 Pluralisme yang merupakan nilai-nilai kearifan lokal Indonesia telah mempengaruhi Islam yang toleran sejak awal perkembangannya di tanah air. Rasa toleransi ditunjukan terhadap tradisi yang sudah lama berkembang, seperti Hindu, Budha, dan Jawa. Asimilasi antara nilai-nilai lokal dengan Islam pun sering kali terjadi. Jika pluralisme merupakan faktor endogen yang mempengaruhi karakter Islam Indonesia, maka asal kedatangan Islam adalah faktor eksogen yang memperkuat karakter tersebut. Pasalnya, Islam Indonesia tidak hanya berasal dari satu tempat saja. Terdapat tiga pendapat umum yang menjelaskan asal muasal Islam. Pendapat pertama mengklaim bahwa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat, India. Tendensi utama dari pendapat ini ada pada arti penting Gujarat sebagai pelabuhan tempat bertolaknya saudagar-saudagar Hindu dan Islam ke Indonesia.
134
Turita Indah Setyani, “Bhineka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa” disampaikan pada Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi Profesi Pengajar Bahasa, Sastra, Budaya, dan Seni Daerah se-Indonesia, di Yogyakarta, 8-9 Agustus 2009, hal. 3. 135 Eva Wollenberg, Jon Anderson and Citlalli López, Though all Things Differ: Pluralism as a Basis for Cooperation in Forests, (Bogor: Center for International Forestry Research, 2005), hal 5. 136 Rizal Sukma, loc. cit., hal. 4.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
65
Hubungan dagang antara kedua wilayah ini terus berlanjut meski orang-orang Hindu di Indonesia telah memeluk Islam. 137 Pendukung pendapat ini adalah Christian Snouck Hurgronje, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Namun, pendapat ini disanggah oleh pendapat yang menyatakan Islam Indonesia berasal dari Arab dan Mesir. Klaimnya didasarkan pada bukti adanya perkampungan Arab Islam pada abad ke 7 di pantai Barat Sumatera. Pendukung pendapat ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa Islam berasal dari Persia. Pendapat ini didasarkan pada kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Salah satu pendukung pendapat ini adalah Ridwan Saidi. Dengan kata lain, keragaman pendapat tersebut cukup menjelaskan asal muasal Islam Indonesia bukan monopoli dari Arab saja seperti yang selama ini diamini khalayak ramai. Untuk lebih memahami proses penyebarannya, Rizal Sukma menjelaskan proses ini dengan mengambil epistemis pada agen yang melakukan konversi. Pertama, penganut Islam yang hidup di kalangan bangsawan Jawa selama masa kejayaan Kerajaan Hindu Majapahit. Kelompok inilah yang menghidupkan atmosfer intelektual Islam di bawah perlindungan penguasa. Kedua, orang-orang di daerah pedalaman dibantu oleh guru-guru Muslim, Da'i, dan pedagang; baik yang berasal dari luar negeri maupun domestik. Peran Muslim asal luar negeri terbukti pada kasus Islamisasi pelabuhan pesisir. Ketiga, Penyebaran Islam oleh para sufi cukup menerangkan mengapa Islam banyak berkompromi dengan budaya lokal. kaum sufi telah menjaga eksistensi Islam di tengah masa kemunduran politik dan militer Islam, dengan menyebarkannya tanpa penaklukan militer.138 Dilihat dari aktor dan proses penyebarannya dapat ditarik garis besar bahwa pola penyebaran Islam di Indonesia lebih mengandalkan cara-cara damai (pacifique penetretation) dibandingkan paksaan. Hal inilah yang kemudian membawa Islam sebagai agama mayoritas
yang dianut
di Indonesia.
Perkembangan Islam Indonesia yang disebut Marshall G. S. Hodgson sebagai kemenangan Islam yang sempurna bukanlah tanpa daya tarik. Menurut Bill Dalton, daya tarik Islam yang pertama dan utama bersifat psikologis. Islam yang 137 138
Aboebakar Aceh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, (Solo: Ramadhani, 1985), h. 21. Rizal Sukma, op. cit., hal. 11-12.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
66
secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan itu, ketika datang pertama kali ke kepulauan ini merupakan konsep revolusioner yang sangat kuat yang membebaskan orang-orang kebanyakan dari belenggu feudal Hindunya. Islam memiliki kesederhanaan yang hebat dengan hubungan yang langsung dan pribadi antara manusia dan Tuhan. 139 Egalitarianisme mendapat perhatian utama dalam perkembangan Islam Indonesia. Karena dibidang inilah Islam dapat memberikan kontribusi yang paling penting bagi pembangunan bangsa di masa depan, khususnya pembangunan demokrasi. Semangat egaliterianisme yang berbarengan dengan semangat keilmuan membentuk Islam sesuai dengan semangat zaman modern. Kegairahan keagamaan yang meliputi banyak kalangan dewasa ini, khususnya keagamaan Islam, dapat menjadi pangkal pengembangan dan pengukuhan akar-akar Islam bagi konsep-konsep tentang masyarakat yang terbuka, adil, dan demokratis di Indonesia. 140 Kegairahan ini tentu harus diiringi dengan kemauan dan kesempatan untuk memperluas dan mempertinggi tingkat pemahaman akan ajaran-ajaran Islam dengan membedakannya dari budaya Arab.
3. 1. 2. Modernitas Selain pluralisme, modernitas merupakan faktor yang membentuk identitas Islam Indonesia. Perlu diketahui sebelumnya bahwa tidak sedikit kalangan yang meragukan kompabilitas antara Islam dan modernitas. Asumsi demikian tidak hanya menjangkiti akademisi Barat yang mengklaim sebagai motor modernitas, tapi juga akademisi Muslim. Salah satu narasi dominan yang lama hidup dalam persepsi masyarakat dunia adalah konfrontasi antara peradaban Islam dan Barat. Modernitas lantas dianggap sebagai suatu hal mustahal bagi dunia Muslim yang distigmakan Barat sebagai intoleran dan irasional. Faktanya tidaklah selalu demikian. Di Indonesia, Islam telah berkontribusi bagi perkembangan modernitas masyarakat pribumi. Oleh Merle Calvin Ricklefs, kedatangan Islam di kepulauan Nusantara dikategorikan sebagai awal kelahiran zaman modern Indonesia. 141
139
Bill Dalton, Indonesia handbook, (California: Moon Publications, 1982), h. 6. Nurcholish Madjid, loc. cit., hal. 50-52. 141 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008). 140
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
67
Modernitas Indonesia tidaklah lepas dari alur keyakinan historis. Bangsa Indonesia mula-mula menganut animisme atau dinamisme yang menyuburkan kepercayaan kepada klenik, mitos, dan hal-hal yang berkaitan dengan tahayul. Seorang Animis memandang sebuah benda mempunyai ruh yang perlu dibujuk dan dijinakkan, sehingga tingkah lakunya terhadap benda apapun merupakan kegiatan keruhanian. Kemudian datang agama Hindu dan Buddha yang relatif lebih sempurna dibanding kepercayaan asli tersebut. Akan tetapi, keduanya sangat menoleransi animisme, bahkan menyerapnya menjadi bagian dari dirinya sendiri. Ketika Islam datang, agama ini mengajarkan tauhid yang tidak mengenal kompromi. Dengan tauhid, seorang Animis diajari untuk melihat benda-benda secara objektif atau netral.142 Maka dengan tauhid itu, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Semua benda yang semula dipuja dan kesemuanya mengandung nilai akhirat, spiritual atau agama, sekarang ia campakan ke bumi, dan dipandangnya sebagai tidak lebih daripada benda duniawi belaka. Benda-benda itu, dengan demikian diduniawikan atau disekularisasikan. Sekarang ia mendekati benda tersebut dengan kapasitasnya sendiri selaku manusi, mahluk berpikir. Ia memikirkan benda tersebut: kejadiannya, hukum-hukumnya, dan cara mengguasai atau menggunakannya. Dalam kegiatan berpikir itu, ia tidak bergantung kepada upacara-upacara keagamaan lagi, ia bebas. Dan pengetahuannya tentang benda itu pun adalah pengetahuan bebas, berdiri sendiri, di luar masalah-masalah spiritual. 143 Karena itu, datangnya Islam ke Indonesia merupakan tahap awal modernisasi yang merupakan proses menuju modernitas. Seperti yang ditegaskan Nurcholish Madjid, modernisasi ialah rasionalisasi, bukan Westernisasi.144 Rasionalisasi merupakan proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah (berdasarkan akal). 145 Seiring dengan berjalannya modernisasi Indonesia, lahir kelompok-kelompok pembaru Muslim. Sejak akhir abad ke-19, para pembaru ini berusaha menemukan kompatibilitas Islam dan modernitas. 142
Nurcholish Madjid, op. cit, hal. 253-254. Ibid, h. 255. 144 Ibid, h. 145 Ibid, h. 180. 143
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
68
Mereka percaya bahwa Islam adalah agama dinamis yang mampu melewati berbagai tantangan sejarah. Para pembaru inilah yang kelak akan memaknai kemoderatan Islam dengan melakukan kontekstualisasi teks-teks Quran sebagai bentuk implementasi dari semangat zaman modern. Eksistensi pembaru Muslim Indonesia tidak lepas dari modernisasi politik etis yang dijalankan pemerintahan Belanda. Politik etis merupakan bentuk kebijakan moral yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan negara kolonial. Dari ketiga program yang dijalankan politik etis (educatie), irigasi (irrigatie), imigrasi (ëmigratie)
pendidikan
, pendidikan dianggap paling
esensial karena kelak akan melahirkan kaum terdidik Indonesia yang berpandangan modern. Perlu untuk diketahui bahwa era politik etis juga membawa perlakuan disriminatif pada Islam. Belanda merasa khawatir akan keberadaan Islam di Indonesia akan mengarah pada gerakan radikal karena penetrasi semangat Pan Islamisme. 146 Meski kekhawatiran Belanda dapat diantisipasi oleh teori Snouck, proyeksi Hindia yang ideal di masa depan membuat Belanda tidak akan mempercayakan kepemimpinan negeri kolonialnya terhadap kaum Muslim. Dalam asumsi Snouck, Muslim mayoritas Hindia hidup dalam ranah keagamaan semata, sehingga sulit untuk menciptakan elit pribumi yang berorientasi Barat. Sedangkan pihak Belanda menginginkan terjaganya hubungan antara Hindia dan negeri Belanda melalui elit-elit pribumi yang ter-Belanda-kan. Demi tercapainya tujuan itu, Snouck memberikan rekomendasi kepada pemerintah kolonial untuk mempromosikan organisasi pendidkan berskala-luas di atas landasan nilai-nilai universal
dan
bersifat
netral
secara
keagamaan
sehingga
146
akan
bisa
Pemerintah kolonial menunjuk ahli Arab dan Islam, Christian Snouck Hurgronje, untuk menjadi penasihat Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab. Snouck menggunakan pendekatanpendekatan baru untuk mengantisipasi ketakutan orang Belanda terhadap Islam. Dia menekankan watak damai dari Islam di kepulauan Hindia. Di sisi lain, dia juga mengakui adanya potensi yang harus diawasi dari minoritas kecil ulama fanatik yang terpengaruh gagasan Pan Islamisme. Atas dasar dua asumsi itu, Snouck mengajukan rekomendasi kebijakan terhadap Islam dalam kerangka kerja yang disebut splitsingstheorie. Teori ini membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu Islam yang bersifat keagamaan dan Islam yang bersifat politik. Pembagian ini otomatis berdampak pada perbedaan perlakuan yang diberikan pemerintah kolonial, yaitu toleransi terhadap kehidupan muslim yang pertama dan pemberantasan untuk persoalan kedua. Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 82.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
69
“mengemansipasi” elite baru dari keterikatan keagamaannya. “Mengemansipasi” dalam konteks ini mengandung arti menjauhkan elite baru dari ajaran Islam. 147 Seberapa keras “emansipasi” yang dilakukan Belanda nyatanya telah menyisihkan elit baru pribumi akibat sistem diskriminatif yang fatal. Di satu sisi, elit baru yang terdiri dari kalangan priyayi muslim merasa kecewa oleh penolakan golongan priyai konservatif yang merasa iri akan pendidikan yang mereka dapat. Di sisi lain, meski kalangan ini memperoleh pendidikan belanda, mereka tetap tidak diterima oleh masyarakat Belanda di Hindia yang ingin tetap mempertahankan superioritasnya atas negeri jajahan. Tak dapat dipungkiri, masalah krisis identitas menghinggapi perasaan elit didikan Belanda. Mereka pun terdorong untuk mencari pengakuan atas eksistensinya. Seperti yang diungkapkan Stuart Hall, identitas beroperasi di bawah proses hapusan dalam interval antara timbul dan tenggelam. Identitas tunduk pada sebuah proses historisasi yang radikal, dan terus-menerus mengalami proses transformasi. 148 Dari turbulensi identitas Islam dan Westernisasi itulah lahir kelompokkelompok pemikiran yang disebut Yudi Latif sebagai intelegensia muslim. Dengan kultur muslim yang masih melekat kuat pada identitas golongan elit yang tercerahkan tersebut, kesempatan untuk kembali ke komunitas muslimnya terbuka lebar. Bahkan beberapa di antaranya sanggup memulihkan kembali afinitas mereka dengan komunitas dan identitas Islam, seperti Agus Salim, Tirto Adisuryo, dan Cokroaminoto. Memperoleh pendidikan sekuler tetapi tidak bersedia menanggalkan keislamannya, beberapa inteligensia ini berusaha mempertahankan hubungan mereka dengan jaringan-jaringan intelektual Islam. Hal ini mendorong munculnya gugus inteligensia yang bersifat hibrida yang kelak akan melahirkan terbentuknya intelek ulama (intelektual/inteligensia modern yang melek dalam pengetahuan keagamaan) seperti tampak pada gambar berikut.149
147
Ibid., h. 83. Stuart Hall, “Who Needs ‘Identity’?” dalam S. Hall and P. du Gay (eds.), Questions of Cultucal Identity, (London: Sage Publications, 1997), hal. 2-4 . 149 Yudi Latif, Op. Cit., h. 104-107. 148
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
70
Sumber: Yudi Latif (2005)
Gambar 3. 2 Skema Intelegensia Muslim Indonesia
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
71
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam di Indonesia selama politik etis berlangsung semakin beradaptasi dengan kebutuhan zaman modern. Terdapat tiga alasan yang mendorong kaum muslim mengembangkan sekolah-sekolah Islamnya. Pertama, karena adanya keanekaragaman kepercayaan dan sistem nilai yang saling bersaing di Hindia, sekolah Islam memainkan sebuah peran kunci dalam membangun sebuah identitas yang jelas dan positif bagi Islam Hindia. Kedua, pendidikan Islam merupakan sebuah aparatur ideologi Muslim yang esensial dalam menjawah diskriminasi dan penindasan yang dilakukan oleh kebijakan-kebijakan kolonial. Ketiga, kurangnya peluang bagi anak-anak dari kalangan santri untuk masuk sekolah-sekolah pemerintah, ditambah dengan ketidaktertarikan pihak pemerintah kolonial untuk memajukan sekolah-sekolah Islam, memaksa ulama untuk mengembangkan sekolah-sekolahnya sendiri. 150 Pengembangan sekolah-sekolah Islam ditujukan sebagai counter-balance terhadap gempuran modernisme Barat yang menginspirasi masyarakat Muslim untuk merumuskan strategi perlawanannya. Dalam mengekspresikan perlawanan ini lahir dua strategi yang berbeda tetapi komplemen satu sama lain. Perbedaan strategi ini bukan dikarenakan adanya perpecahan di kalangan masyarakat Muslim, tapi lebih dilatari perbedaan asal muara pemikiran yang menginspirasi para ulama ― pelaku. Kalangan pertama datang dari ulama modernis-reformis yang terakomodasi dalam Muhammadiyah (1912). Perlawanan golongan modernis-reformis dilakukan dengan pengagungan terhadap autentisasi Islam yang dikombinasikan dengan strategi apropriasi. 151 Sedangkan kalangan berikutnya datang dari dari ulama konservatif–tradisionalis yang menggunakan metode pengagungan terhadap pribumisasi Islam. Untuk mengakomodasi gerakannya, kelompok ini tergabung dalam wadah yang dikenal dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada 1926. Dalam mengejawantahkan ide-idenya, kalangan tradisionalis berusaha mengkontekstualisasikan Islam tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi 150
Ibid, hal. 127-128 Istilah apropriasi merujuk pada suatu cara yang di dalamnya subjek yang terdominasi atau terjajah meniru aspek-aspek tertentu dari kebudayaan penjajah ― seperti bahasa, bentuk penulisan, pendidikan, teknologi, modus pemikiran, dan argumen ― yang kemungkinan berguna bagi mereka untuk bisa mengartikulasikan identitas-identitas sosialdan kulturalnya sendiri atau untuk bisa menentang control politik dan kultural dari pihak penjajah. Ashcroft, B. et al., Key Concept in Post Colonial Studies, (London: Routledge, 1998), h. 19 dalam Ibid, h. 130. 151
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
72
ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenalkan dengan konsep pribumisasi Islam. Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan praktek keagamaan menjadi suatu yang kontekstual. Hal inilah yang kemudian diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Sementara itu, kaum modernis-reformis mendirikan madrasah untuk meremajakan kembali masyarakat Islam. Peremajaan dilakukan dengan mengadopsi pendekatanpendekatan dan isntrumen modern, seperti rasionalisme modern, kurikulum pendidikan Barat, dan aparatus modern. Secara otomatis, lembaga pendidikan tersebut merepresentasikan ide-ide modernisme Islam. Setidaknya, pengakuan ini datang dari Clifford Geertz.
Sebuah sistem sekolah parokial yang kuat dan aktif, dalam konteks sebuah negeri Islam dan apalagi dalam konteks Indonesia, bukanlah sebuah musuh, melainkan sekutu buat elite modern yang sekuler. Dikatakan sebagai sekutu bukan karena dia memajukan idela-ideal dari sekularisme yang militan dan totalistik, melainkan karena sistem sekolah itu memungkinkan, dan bahkan dalam kenyataannya mendorong, tradisi keagamaan yang telah mapan untuk bisa menghadapi dunia moden, bukan dengan jalan semata-mata menolak kemodernan ataupun menelannya mentah-mentah, melainkan dengan menjadi bagian dari kemodernan itu.152 3. 1. 3. Demokrasi Di awal tahun 90-an, Islam dan demokrasi menjadi perbincangan yang hangat hampir di seluruh belahan dunia. Wacana yang memperdampingkan keduanya sering kali diperdebatkan. Terlebih lagi jika studi kasusnya adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Keragu-raguan segera bermunculan, mulai dari pertanyaan apakah Islam akan mengancam demokrasi jika pemerintahan yang terpilih secara demokratis menjadi teokrasi, sampai apakah aturan mayoritas dari demokrasi akan mengancam kemerdekaan dan kebebasan kelompok minoritas. Semua
keragu-raguan
itu
dirangkum
dalam
kekhawatiran
akan
terbentuknya sistem pemerintahan yang meskipun pemilu berlangsung secara
152
Ibid., h. 139.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
73
bebas, warga terputus dari keberdayaannya karena kurangnya kebebasan sipil. Hal inilah yang disebut Fareed Zakaria sebagai illiberal democracy. 153 Fokus perhatian dari Zakaria ialah legitimasi atas dominasi mayoritas secara konstitusional untuk mengendalikan seluruh aspek negara, sehingga menegasikan mereka yang minoritas. Dalam menengahi berbagai pandangan, John O. Voll menerangkan bahwa ketegangan diskursus yang terjadi di tengah masyarakat dan dalam hubungan internasional diciptakan oleh pemahaman yang berbeda dari ancaman dan kemungkinan partisipasi demokratis oleh gerakan keagamaan. 154 Tak pelak lagi, atensi internasional turut tertuju ke Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia yang sejak kemerdekaannya telah menyatakan diri sebagai
negara
demokrasi.
Sebagai
bentuk
realisasi,
pesta
demokrasi
diselenggarakan kali pertama pada tahun 1955. Pemilu ini menjadi langkah awal bagi gerakan Islam untuk berpartisipasi di ranah politik. Dari 172 parpol yang menjadi perserta pemilu, terdapat lima Parpol Islam yang mendapat kursi di badan legislatif. Kelima Parpol tersebut adalah Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Politik Tarikat Islam (PPTI). Total suara yang mereka himpun terbilang besar, yakni 43,7 persen dari total suara di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Memasuki rezim Orde Baru (Orba) pengaruh parpol Islam mulai menyurut. Pemilu kedua yang diselenggarakan pada 1971 hanya menyisakan tiga parpol Islam di legislatif, yaitu NU, PSII, dan PERTI. Ketiga parpol ini hanya mampu mendapatkan 70 dari 360 kursi yang diperebutkan. Pemerintahan Orba kian mengeliminasi suara politik Islam dengan menghimpunnya ke dalam satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sampai dengan Pemilu 1997, perwakilan kelompok Islam di DPR tak pernah melebihi 30 persen dari seluruh kursi yang diperebutkan. Secara komprehensif, perolehan kursi dan persentase suara legislatif parpol Islam dapat dilihat pada grafik berikut.
153
Fareed Zakaria, “the Rise of Illiberal Democracy”, Foreign Affairs, Vol. 76/6 (November/Desember 1997), h. 22. 154 John O. Voll, “Islam and Democracy: Is Modernization a Barrier?”, Religion Compass, Vol. 1/1 (2007), h. 171.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
74
Grafik 3. 2 Porsi Kekuatan Parpol Islam di Legislatif (1955-2009)
Sumber: diolah dari data KPU (2010)
Gejolak reformasi yang menjatuhkan rezim Orba serta merta mengangkat aspirasi Islam yang sebelumnya harus hidup di bawah tanah. Gerakan-gerakan Islam yang semula hanya aktif di ranah sosial mulai merambah kembali ke politik. Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto kala itu membuka peluang demokrasi seluas-luasnya dengan menjamin kebebasan pers dan membebaskan berdirinya partai-partai politik baru. Ratusan Partai Politik (Parpol) bernafaskan Islam segera menjamur seiring diadakannya Pemilu yang demokratis. Pemilu ini dianggap sebagai pemilu paling demakratis yang dilasanakan
Indonesia
sepanjang sejarahnya. Meski demikian, tidak seluruh parpol Islam yang terdaftar bisa ikut dalam pemilu pertama masa reformasi itu. Verifikasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya meloloskan 17 parpol Islam untuk bersaing dalam Pemilu 1999 dan sepuluh di antaranya yang berhasil memperebutkan kursi legislatif. Sedangkan pada Pemilu 2004 dan 2009, jumlah partisipasi parpol Islam menyusut hingga setengahnya. Bahkan, perwakilan suara Islam di legislatif hanya berkisar 18,8 persen pada Pemilu 2009. Dapat ditarik garis besar bahwa meski Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, reformasi tidak menjadikan faktor Islam sebagai preferensi yang mendominasi para pemilih.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
75
Grafik 3. 3 Perbandingan Partisipasi Parpol Islam dan Perolehan Kursi Parpol Islam di Legislatif dalam Pemilu 1997-2009
Sumber: diolah dari data KPU (2010)
Diskripsi di atas menunjukan, mayoritas di ranah sosial tidak selalu linier di ranah politik. Karena itu, faktor mayoritas Islam di Indonesia tidak mengancam demokrasi secara nasional. Hal ini bisa jadi disebabkan adanya perubahan pandangan kaum Muslim mengenai konsepsi antara Islam dan negara. Jika kesuksesan parpol Islam pada pemilu 1955 membawa semangat syariat dalam perdebatan konstitusi, maka Muslim Indonesia telah meninjau ulang dan menafsirkan kembali masa lalunya demi kebutuhan dan kepentingan saat ini. Karena itu, isu negara Islam tidak lagi menjadi isu pokok dalam pergerakan Muslim Indonesia kontemporer. Fenomena demokrasi di Indonesia dapat juga dipahami melalui pendekatan budaya politik. Secara lebih rinci,Saiful Mujani memaparkan korelasi antara demokrasi dan Islam di Indonesia melalui dua cara, yaitu sebagai kompleks budaya politik dan sebagai partisipasi politik. Sebagai sebuah kompleks budaya politik, demokrasi mencankup unsur-unsur saling percara antar sesame warga (interpersonal trust); jaringan keterlibatan kewargaan (network of civic engagement); toleransi; keterlibatan politik; kepercayaan pada institusi politik; kepuasan terhadap kinerja demokrasi; dan dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni negara-bangsa (nation-state). Sebagai partisipasi politik, demokrasi merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela, mulai dari voting
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
76
hingga protes―oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan publik.155 Dari
hasil
studi
tersebut,
argumen
akademisi
Barat
yang
mempertentangkan Islam dan demokrasi rasanya tidak berlaku bagi Muslim di Indonesia. Dalam studinya, Mujani menemukan bahwa sebagian besar unsur Islam di Indonesia memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan sebagian besar unsur demokrasi. Islam membantu kaum Muslim Indonesia untuk berpartisipasi dalam proses politik dan dalam mendukung demokrasi. Islam membantu menciptakan keharmonisan antara warga negara Muslim dan sistem demokrasi secara keseluruhan yang diyakini sebagai faktor menentukan bagi konsolidasi demokrasi. 156 Hasil studi Mujani dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 3. 1 Ringkasan Korelasi antara Islam dan Unsur Demokrasi di Indonesia157 Unsur Demokrasi Percaya antar sesame warga secara umum Percaya kepada non Muslim Keterlibatan dalam perkumpulan kewargaan secular Toleransi terhadap orang Kristen Toleransi terhadap kelompok yang tidak disukai Keterlibatan politik Kepercayaan pada institutsi politik Kepuasan terhadap kinerja demokrasi Dukungan terhadapprinsip-prinsip demokrasi Dukungan terhadap negara-bangsa Partisipasi politik Aktivis yang setia Aktivis yang tidak toleran
Islam 0 +++ + ++ + 0 0 + ++ ++ 0
Catatan: 0 = korelasi tidak signifikan; - = tidak ada unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dengannya; + = positif dan signifikan, tetapi korelasinya tidak konsisten; ++ = sejumlah besar unsure Islam yang memiliki korelasi positif, signifikan, dan konsisten; +++ = hamper semua unsure Islam memiliki korelasi positif, signifikan, dan konsisten.
155
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 313. 156 Ibid., hal. 324. 157 Ibid., hal. 325.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
77
Secara komprehensif, konsolidasi demokrasi, pluralisme masyarakat, dan dinamika modernitas telah merangkai fenomena Muslim di Indonesia dalam proses menyejarah. Ketiga faktor saling melengkapi yang pada gilirannya menginisiasi
pembentukan
identitas
Islam
moderat.
Namun
demikian,
penterjemahan identitas dalam praktik kebijakan luar negeri bergantung pada aktor dan motivasinya. Untuk mengenal lebih lanjut siapa saja yang terlibat dalam praktik kebijakan luar negeri, sub bab berikut akan mengupas aktor-aktor yang menterjemahkan dan mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia ke ranah internasional.
3. 2. Aktor Pembentuk Identitas Islam Moderat Indonesia dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia Identitas Islam moderat bukanlah bagian resmi dari kebijkan luar negeri sehingga representasinya dilakukan melalui jalur diplomasi. Perlu diketahui sebelumnya bahwa kebijakan luar negeri mempunyai perhatian pada substansi dan kandungan dari hubungan luar negeri, sedangkan diplomasi dipusatkan pada metodologi untuk melaksanakan kebijakan luar negeri. 158 Untuk itu, bagian ini menguraikan aktor-aktor yang terlibat diplomasi pencitraan identitas Islam moderat dalam dua bagian, yaitu pemerintah dan non-pmerintah.
3. 1. 1 Pemerintah Sebagai Pengambil Keputusan Pencitraan Islam moderat Indonesia kali pertama diinisiasi oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) Republik Indonesia (RI). Pertimbangan Deplu tampaknya berkaitan erat dengan stigma negatif Islam sebagai terorisme yang mendorong Deplu untuk menunjukkan kepada dunia internasional, terutama negara barat, bahwa Islam yang tumbuh dan hidup di Indonesia adalah Islam yang moderat dan bukan radikalis yang kental dengan anarkisme. Pernyataan resmi pertama disampaikan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di depan Dewan Umum PBB pada 15 November 2001 yang tengah membahas kompabilitas Islam Indonesia dan demokrasi. 158
Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, (Jakarta: STIH IBLAM, 2004), hal. 8.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
78
Indonesia today stands proud as one of the largest democracy in the world. As a nation, with an overwhelmingly Muslim Population, we are the living refutation of the erroneous notion that Islam and democracy are incompatible. Islam has stood for the equality and fraternity of all human beings. For the optimum exercise of the human will, and if only for that, we Indonesians have a natural affinity to democracy.159 Secara bertahap, istilah Islam moderat pun mulai diperkenalkan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Melalui paparan lisan yang mengawali tahun 2004, Hassan Wirajuda menekankan kewajiban Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia agar mampu memproyeksikan wajah Islam yang sebenarnya, yaitu Islam sebagai rahmatan lil alamin.160 Selanjutnya dia juga menempatkan penguatan kemoderatan sebagai tema besar kebijakan luar negeri Indonesia yang dilakukan dengan pemberdayaan kelompok moderat di dalam negeri sebagai langkah awal. Seiring dengan proses konsolidasi demokrasi Indonesia, pelibatan kelompok-kelompok moderat yang merupakan aktor non-negara menandai perubahan pola kebijakan luar negeri. Sebelum Indonesia menapaki tahap konsolidasi demokrasi, 161 kebijakan luar negeri Indonesia lebih diformulasikan oleh elite daripada massa melalui proses demokrasi. 162 Pemberdayaan kelompokkelompok moderat tersebut kemungkinan besar dikarenakan posisi Islam sendiri yang tidak menjadi bagian dari identitas resmi kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk mempromosikan kemoderatan Indonesia, kelompok-kelompok moderat tersebut diakomodasi dalam kerangka diplomasi. Menurut Hassan Wirajuda, promosi aset-aset diplomasi Indonesia akan dilakukan dalam kerangka total diplomacy.163 Pendekatan diplomasi ini memandang setiap isu secara 159
Hassan Wirajuda, “the democratic Response” disampaikan dalam the 56th Session of the UN General Assembly , New York, 15 November 2001. 160 Hassan Wirajuda, “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam paparan lisan yang disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6 Januari 2004. 161 Fase-fase demokrasi yang telah dilalui Indonesia: pra-transisi, liberalisasi, dan transisi demokrasi. Saat ini Indonesia tengah menikmati fase konsolidasi demokrasi yang dimulai sejak Presiden Megawati Soekarnoputri. Sedangkan fase terakhir dari demokrasi adalah pematangan demokrasi yang diprediksi akan memakan waktu yang cukup lama. 162 Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, Loc. Cit. hal. 163 Renne R.A Kawilarang, “Warisan Besar Menlu Hassan Wirajuda" diakses dari http://m.news.viva.co.id/news/read/98969-warisan_besar_menlu_hassan_wirajuda pada Minggu, 16 Desember 2012, pukul 13.14 wib.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
79
komprehensif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Selain itu, faktor intermestik juga menjadi pijakan bagi pendekatan total diplomacy. Faktor ini diartikan sebagai kemampuan para diplomat untuk mendekatkan jarak antara apa yang terjadi di luar negeri dengan apa yang menjadi aspirasi dan kepentingan domestik. 164 Jika diperhatikan lebih lanjut, aplikasi dari total diplomasi Indonesia memanfaatkan berbagai jalur diplomasi (multi-track diplomacy) yang tidak hanya mengandalkan jalur pemerintah (track one) semata. Ekspansi dari Multi-track diplomacy yang dikembangkan Louise Diamond dan John McDonald meliputi delapan jalur diplomasi lain yang saling terkoneksi satu sama lain seperti tampak pada gambar berikut.165
Sumber: Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010
Gambar 3. 4 Pola Multi-track Diplomacy 164 165
Ibid. Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010, Annual Report 2010, Arlington, 2010.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
80
Track two diplomacy didefinisikan sebagai interaksi informal atau tidak resmi antara kalangan profesional non-pemerintah yang bertujuan untuk membangun strategi, mempengaruhi opini publik dan mengorganisir sumbersumber material dan immaterial untuk memecahkan masalah. Track two diplomacy memang merupakan proses yang dirancang untuk membantu pemerintah dengan mengeksplorasi solusi yang mungkin keluar dari pandangan publik dan tanpa persyaratan negosiasi formal atau tawar-menawar yang membahas keuntungan semata.166 Track two diplomacy menyediakan skenario yang mungkin memenuhi keamanan dan kebutuhan dasar bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam memformulasikan suatu kebijakan politik. Pada tingkat yang lebih umum, lingkungan promosi yang dilakukan oleh diplomasi jalur ini diterapkan dalam komunitas politik, melalui pendidikan opini publik, yang akan membuatnya lebih aman bagi para pemimpin politik untuk mengambil risiko untuk perdamaian. 167 Tendensi dari diplomasi track two diplomacy adalah pada psikologi politik dari konflik yang tengah berlangsung lama dan berakar pada luka yang dialami masyarakat atau bangsa tertentu. Menurut Dalia Dassa Kaye, track two diplomacy menekankan dinamika psikologis dari jalur dialogis, khususnya klaim tentang sejumlah upaya yang dapat mentransformasi gambaran akan musuh atau memanusiakan pihak lain, kemudian membimbing ke arah hubungan baru yang lebih kondusif bagi resolusi dari konflik yang mendalam. 168 Terkait dengan tema karya ilmiah ini deplu pun merekomendasi sejumlah kalangan profeional dalam rangka mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Intelektual Muslim sekaligus Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra, Ketua Presidium ICMI Marwah Daud Ibrahim, salah satu Ketua PBNU Masykuri Abdillah,
166
Joseph V. Montville, “Track Two Diplomacy: the Work of Healing History”, the Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations, Vol. 7 (Maret 2009), hal. 16. 167 Ibid. 168 Dalia Dassa Kaye, Rethinking Track Two Diplomacy: the Middle East and South Asia, (Clingendael: Netherlands Institute of Internatonal Relations, 2005), hal. 2.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
81
Direktur Eksekutif CSIS Rizal Sukma, dan ekonom Islam Dr. M. Syafii Antonio.169 Track three diplomacy merupakan pelibatan jalur bisnis. Umumnya, bisnis tidaklah berorientasi pada perdamaian, tetapi memiliki efek perubahan yang cukup besar bagi perbaikan standar hidup yang diharapkan mampu mengurangi radikalisasi yang menyebabkan keterasingan ekonomi sosial. Perlu diketahui bahwa latar belakang sosio-politik Islam moderat Indonesia menjadi bahan pertimbangan bagi Eropa untuk menjalin kerjasama ekonomi dengan Indonesia. 170 Namun keterbatasan akses informasi, jalur diplomasi ini tidak dilengkapi dengan contoh-contoh kasus yang bisa menggambarkan upaya-upaya mempromosikan Islam moderat secara rinci. Track four diplomacy disebut juga diplomasi warga negara (citizen diplomacy). Pada dasarnya, diplomasi warga negara beranjak dari konsep bahwa semua warga negara memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam hubungan internasional, baik di dalam maupun luar negeri. 171 Sepintas, jalur diplomasi ini terasa rancu dengan jalur-jalur lain dalam multi-track diplomacy yang juga mengandalkan partisipasi warga negara di luar lingkungan pemerintah. Jika diperhatikan lebih lanjut, penempatan diplomasi warga negara pada jalur tersendiri atau terpisah dari jalur-jalur lain dalam kerangka multi-track diplomacy sepertinya sengaja dilakukan Diamond dan McDonald. Kesengajaan ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan bagi perkembangan kerangka multitrack diplomacy di waktu yang akan datang. Untuk mempermudah dalam memahami jalur diplomasi warga negara, pembahasan bagian ini mengacu pada praktik-praktik budaya yang belum diuraikan spesifik dalam jalur-jalur diplomasi lain. Dalam hal ini, the British Council menggunakan istilah hubungan budaya untuk menggambarkan praktik diplomasi warga negara. Tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan dan 169
“Deplu & Lembaga Islam Indonesia Promosikan Islam di London”, http://news.detik.com/read/2006/07/06/071444/630011/10/deplu-lembaga-islam-indonesiapromosikan-islam-di-london diakses pada Selasa, 27 November 2012, pukul 14.02 wib. 170 European External Action Service, Indonesia European Community Strategy Paper 2007-2013, Belgia. 171 U.S. Center for Citizen Diplomacy, "Citizen Diplomacy Organizations throughout the World: Opportunities for Cooperation", U.S. Summit and Initiative for Global Citizen Diplomacy, Washington DC, 16–19 November 2010, hal. 4.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
82
keterlibatan antar warga di seluruh dunia melalui pertukaran pengetahuan dan ide. Lebih lanjut, aplikasi budaya tersebut mencangkup aspek yang lebih luas dari sekedar seni. Sejauh ini diplomasi warga negara dapat ditemukan dalam sister cities international. Sejauh ini, ada empat kota di Indonesia yang tergabung dalam jejaring sister cities international, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya. 172 Track five diplomacy merupakan jalur penelitian, pelatihan, dan pendidikan dalam bentuk pertukaran pelajar untuk menciptakan netralitas politik. Tujuannya ialah untuk mencetak generasi baru yang berorientasi pada perdamaian. Aplikasi dari jalur diplomasi jenis ini antara lain kegiatan AsiaEurope Youth Interfaith Dialogue (AEYIFD) yang diselenggarakan pada tahun 2006 dan 2008. Kegiatan tersebut merupakan kerjasama Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Departemen Agama RI dan Direktorat Kerjasama Intra Kawasan Amerika-Eropa Departemen Luar Negeri RI dengan Asia-Europe Foundation (ASEF). Track six diplomacy menekankan pada pergerakan aktivis. Meski kalangan aktivis kurang mendapatkan penghargaan dari pemerintah, keberadaannya tetap dianggap esesnsial karena merupakan ekspresi umum dari warga negara yang di tuangkan dalam forum publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivis Islam di Indonesia cukup beragam, ada yang radikal maupun moderat. Dalam kerangka promosi Islam moderat, deplu agaknya lebih merangkul aktivis-aktivis Islam yang memiliki visi dan misi yang mempromosikan kemoderatan itu sendiri, seperti Muhammadiyah dan NU. Track seven diplomacy merupakan jalur keagamaan. Jalur diplomasi ini penting untuk mengklarifikasi kesalahpahaman yang terjadi antar umat beragama. Jalur ini dapat dilakukan melalui dialog antar agama maupun inter-agama, khususnya dengan adanya keragaman aliran dalam Islam. Salah satu implementasi dari jalur diplomasi ini adalah penyelenggaraan the international conference of Islamic Scholars (ICIS) dan konferensi interfaith dialogue pada tahun 2009 yang
172
Sister Cities International, 2012 Membership Directory, Washington DC, 2012.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
83
diinisiatif oleh Sant’ Egidio, sayap NGO Vatikan yang diakomodasi oleh deplu dan kementerian luar negeri Indonesia dan Italia. 173 Track eight diplomacy terletak pada masalah pendanaan dan umumnya berbasis pada filantropi. Jalur diplomasi ini penting untuk memperkuat programprogram yang mempercepat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu institusi yang berkepentingan dalam pembangunan jaringan Islam moderat di Asia umumnya dan Indonesia khususnya adalah the Asia Foundation yang mendonasikan dana ke International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Track nine diplomacy berada di ranah komunikasi dan media. Komunikasi ditujukan untuk menjalin relasi, baik dengan pihak internal maupun eksternal. Dengan pihak internal pemerintahan, komunikasi dibangun untuk menjaga hubungan sinergis antara Deplu dengan departemen-departemen lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan kebijakan luar negeri di seluruh jajaran elit pemerintahan. Sedangkan dengan pihak eksternal, komunikasi ditujukan untuk menginformasikan dan mengaitkan publik dengan isu-isu perdamaian dalam hubungan internasional. Sedangkan media yang digunakkan dapat berupa cetak dan elektronik, seperti situs deplu, tabloid diplomasi yang dicetak rutin ataupun dapat diakses melalui situs resmi deplu, dan lain-lain. Mengingat multi-track diplomacy merupakan satu kesatuan yang saling terhubung, partisipasi seluruh jalur diplomasi diharapkan juga melakukan komunikasi dengan pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pendiskusian ide dalam rancangan non-formal memiliki prospek, baik merefleksikan dan menyaring ide-ide tersebut ke dalam lingkaran pemikiran dari kebijakan resmi.
3. 1. 2 Partisipasi Kelompok-kelompok Islam Moderat Indonesia Sebagai bagian dari strategi pencitraan identitas Islam moderat Indonesia, pemerintah memberdayakan aktor-aktor non-pemerintah yang berasal dari kelompok-kelompok Muslim moderat. Permberdayaan dapat dilakukan melalui
173
“Italia Mengapresiasi Islam Moderat di Indonesia” dalam Tabloid Diplomasi No. 16, Thn. 2, 15 Maret-14 April, Jakarta: Direktorat Diplomasi Publik Deplu RI, 2009, h. 10.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
84
kerangka multi-track diplomacy seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, maupun dalam kerangka people to people diplomacy. Perbedaan kedua jenis kerangka tersebut terletak pada aktor yang terlibat, tujuan dan capain dari proses diplomasi. Jika multi-track diplomacy melibatkan baik pemerintah maupun non-pemerintah dan bertujuan untuk menemukan solusi dengan capaian berupa kebijakan. Pada people to people diplomacy, aktor hanya berasal dari non-pemerintah yang secara mandiri berkeinginan untuk mengenal, memahami, dan membangun pengalaman pribadi dengan pihak lain yang berbeda. karena itu, people to people diplomacy tidak ditujukan untuk mencari solusi dari permasalahan konfliktual.174 Lebih lanjut, kelompok-kelompok Muslim di Indonesia yang dapat dikatakan moderat memiliki beberapa karakteristik umum, yaitu toleransi terhadap komunitas non-Muslim dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan kelompok minoritas. Beberapa kelompok Muslim yang dapat dikatakan moderat antara lain NU, Muhammadiyah, JIL, dan ICIP. NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Melalui institusi pendidikan yang mereka kelola dan kiprah sosial politik
keagamaan
yang
mereka
mainkan,
NU
dan
Muhammadiyah
memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam dalam semangat toleransi beragama. Menurut Ahmad Syafii Ma’arif, dua sayap umat Islam, NU dan Muhammadiyah, sudah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah Islam yang ramah terhadap siapa saja, bahkan terhadap kaum tidak beriman sekalipun, selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan. 175 Baik Muhammadiyah, maupun NU merupakan organisasi Islam yang cukup produktif membangun dialog di kalangan internal masyarakat Muslim dan eksternal masyarakat non-Muslim. Tujuan awalnya bukan hanya untuk menangkal gerakan radikalisme, tapi juga untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Sebab, dalam masyarakat Muslim sendiri terbagi-bagi dalam berbagai golongan dan aliran. Fragmentasi tentu menjadi potensi yang kerap menghantui kondisi tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan melahirkan sikap-sikap 174
Dalia Dassa Kaye, Loc. Cit., hal. 6. Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan IslamTransnasional di Indonesia, (Jakarta: the Wahid Institute, 2009), h. 7.
175
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
85
ekstrim kelompok-kelompok tertentu. Sedangkan perbedaan agama secara otomatis berpotensi untuk menimbulkan konflik. Dilihat dari metodeloginya yang mengandalakan aspek kultural, NU sering kali
disebut
sebagai
kelompok
tradisionalis.
Dalam
mengaplikasikan
kemoderatan, kelompok moderat tradisionalis menyatu dalam elemen sufisme dalam mempraktik Islam di kehidupan sehari-hari. Konsekuensinya adalah penghormatan terhadap tradisi yang memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima secara utuh,
tetapi berusaha
secara
bertahap di-Islamisasi. 176
Menurut
Abdurahman Mas’ud, hal ini merupakan sebuah ekspresi dari Islam Kultural yang moderat di mana ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara mensubordinasi budaya ke dalam nilai-nilai Islam. 177 Semangat kemoderatan NU juga dipraktikan dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Salah satunya adalah kelompok Kyiai Kanjeng yang merupakan gerakan sosio-kultural. Kelompok kesenian ini bertujuan membangun dialog peradaban antara Islam dan Eropa. Dalam pencapaian dialog peradaban tersebut, kelompok Kyiai Kanjeng lebih mengedepankan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana dalam mengusung nilai-nilai humanisme universal melalui berbagai macam sarana pagelaran musik, puisi, dan percakapan antar kepercayaan dan budaya yang beragama. 178 Gerakan yang dibawa oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun) ini telah melakukan kunjugan ke Inggris, Italia, Skotlandia, Jerman, Perancis, Kanada, AS, dan Australia. 179 Berbeda dengan NU yang memperkenalkan Islam dengan cara-cara kultural, Muhammadiyah lebih dikenal dengan kelompok modernis yang dikarakterkan dengan metode apropriasi Barat. Kemoderatan Muhammadiyah tidak lepas dari pendirinya, Ahmad Dahlan yang berkomitmen untuk menajaga sikap toleransi beragama. Selama kepemimpinannya dapat terlihat adanya 176
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 148. 177 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 9. 178 Musa Maliki dan Abdullah, “Dialog Peradaban Islam Barat: Gerakan (Socio Political Culture) Kyiai Kanjeng di Eropa”, Kajian Wilayah Eropa, Vol. V/2 (2009), h. 274. 179 Ibid.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
86
kerjasama kreatif dan harmonis dengan hampir semua kelompok masyarakat. Salah satu contohnya adalah persehabatan erat antara Ahmad Dahlan dengan banyak pemuka agama Kristen. Menurut Alwi Shihab, Ahmad Dahlan adalah seorang praktisi dialog antar agama yang sejati, dalam pengertian dia mendengar apa yang dikatakan dan memperhatikan apa yang tersirat di balik kata yang diucapkan. 180 Muhammadiyah tidak hanya mempromosikan kemoderatan Islam di tingkat domestik, tapi juga internasional. Salah satunya adalah kerjasama Muhammadiyah dengan Deplu RI dan Kementrian Luar Negeri Australia yang mengadakan
International
Dialogue
diselenggarakan pada Desember 2004.181
On
Interfaith
Cooperation
yang
Pada kegiatan ini, Muhammadiyah
berperan sebagai organizing committee. Acara yang diadakan di Jogjakarta ini dihadiri oleh negara-negara anggota ASEAN, New Zealand, dan Negara-negara UE. Di samping kedua kelompok yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda tersebut, ada pula kelompok-kelompok Islam liberal yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok yang berdiri pada tahun 2001 ini dapat dikatakan modernis karena berusaha untuk membawa nilai-nilai Islam ke dalam harmoni dunia modern. 182 Hal ini nampak dari penafsiran Islam dengan beberapa landasan seperti pengutamaan semangat religio etik, bukan makna literal teks; kepercayaan pada kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural; keberpihakan pada yang minoritas dan tertindas; Keyakinan akan kebebasan beragama; dan pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.183 Sedangkan preferensinya pada bentuk jaringan dan bukan organisasi kemasyarakatan maupun partai politik tidak lepas dari
tujuannya untuk
menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Menurut mereka, dengan memakai bentuk jaringan, JIL merupakan wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. Meski JIL termasuk Melalui JIL, Indonesia mempelopori model media 180
Alwi Shihab, Islam Inklusif: menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 314. 181 “Dialog Antar Agama untuk Mengatasi Ketegangan Dunia”, Kompas, 6 Desember 2004. 182 Building Moderate Network, Op. Cit., hal. 71. 183 http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil pada tanggal 2 Mei 2012, pukul 13.40 wib.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
87
moderat di dunia. 184 Beberapa contoh media tersebut, antara lain: 1) program radio mingguan JIL, "Agama dan Toleransi," mencapai sekitar 5 juta pendengar melalui 40 stasiun radio nasional; 2) Lembaga Advokasi Warga dan Pendidikan menghasilkan talk show radio mingguan yang mencapai satu juta pendengar melalui lima stasiun radio di Provinsi Sulawesi Selatan; 3) Stasiun televisi nasional, TPI, memiliki program mingguan yang membahas tentang kesetaraan jender dalam Islam yang mencapai 250.000 pemirsa di wilayah Jakarta dan sekitarnya; 4) Sebuah talk show televisi bulanan tentang Islam dan pluralisme mencapai 400.000 pemirsa di Yogyakarta.185 Sejalan dengan pencitraan identitas Islam moderat, kelompok Muslim Moderat Indonesia melebarkan gerakannya hingga ke tingkat regional. Upya ini dilakukan dengan mendirikan International Center for Islam and Pluralism (ICIP) di Jakarta pada tahun 2003. Misinya adalah untuk membangun jaringan aktifis dan intelektual Muslim di Asia Tenggara, serta untuk menyediakan wahana bai penyebaran ide-ide pemikiran Muslim moderat dan progresif.
186
Beberapa
aktivitas yang telah dilakukan ICIP antara lain pendidikan pluralisme dan multikulturalisme bagi masyarakat pesantren; pendidikan perdamaian dan resolusi konflik; ODEL (Open, Distance, and Electronic Learning) untuk transformasi Islam melalui pesantren masyarakat; meningkatkan demokratisasi di komunitas Muslim Asia Tenggara, mengurangi stereotip antara Islam dan Barat, mempromosikan dialog antar agama dan kerja sama; dan memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 187
184
Building Moderate Network, hal. 82. Ibid. 186 Ibid., hal 111. 187 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009, hal. 21. 185
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
88
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
89
BAB 4 PERISTIWA YANG MEMPERLEMAH DAN ASPEK PENGUAT PENCITRAAN IDENTITAS ISLAM MODERAT
Berdasarkan faktor-faktor pembentuk kemoderatan Islam yang dibahas pada bab sebelumnya, Indonesia sepertinya memiliki modal cukup untuk mempromosikan identitas tersebut dalam pergaulan internasional. Faktor-faktor seperti pemahaman pluralisme yang bersumber dari keberagaman sosio-kultural Indonesia; modernitas yang dibangun Islam dalam sejarah keIndonesiaan; serta korelasi antara Islam dan demokrasi di Indonesia tidak hanya menginspirasi pemerintah sebagai aktor yang merumuskan kebijakan luar negeri untuk mempromosikan identitas Islam moderat, tapi juga mengangkat peran aktor-aktor non-pemerintah yang menghidupkan faktor-faktor tersebut melalui diplomasi. Hubungan sinergis faktor dan aktor dalam proses promosi identitas Islam moderat bukanlah tanpa tantangan. Untuk itu, bab ini tersusun dalam dua pokok bahasan. Pertama, peristiwa-peristiwa yang memperlemah pencitraan identitas Islam moderat. Peristiwa-peristiwa tersebut umumnya bersumber dari dalam negeri dan pengalaman masa lalu yang kemudian berimplikasi pada hubungan Indonesia dengan negara lain. Kedua, aspek yang memperkuat pencitraan identitas Islam moderat Indonesia. Mengingat sumber dari tantangan promosi identitas Islam moderat kebanyakan berasal dari dalam negeri, maka aspek-aspek yang memperkuat pun difokuskan pada ranah domestik.
4. 1. Peristiwa yang Memperlemah Pencitraan Islam Moderat Indonesia Untuk menggambarkan peristiwa-persitiwa yang memperlemah pencitraan Islam moderat Indonesia, bagian ini terdiri dari lima bahasan. 1) peningkatan dan penyebaran gerakan kelompok Islam radikal; 2) regenerasi terorisme; 3) penerapan hukum Syariah di tingkat daerah; 4) pengaruh Majelis Ulama Indonesia (MUI); 5) intoleransi dan dilema pencitraan di tingkat internasional. Kemunculan peristiwa-peristiwa itu berkaitan erat dengan kedatangan Islam ke Indonesia yang tidak hanya berasal dari satu sumber. Hal ini
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
90
memberikan keragaman sudut pandang, baik dalam melihat kondisi sosio kultural di Indonesia maupun dalam menginterpretasikan substansi dari ayat-ayat AlQuran. Keragaman sudut pandang tersebut tidak menjadikan semua elemen Islam yang datang ke Indonesia permisif terhadap pluralitas sosio-kultural di Indonesia. Ada pula elemen-elemen Islam yang menunjukan resistensi pluralitas meski jumlahnya tergolong sedikit. Kecondongan dari sebagian kecil golongan Islam tersebut antara lain upaya pemurnian agama, sikap permusuhan terhadap kalangan non-Muslim, dan keinginan untuk menerapkan hukum syariah. Semua kecondongan tersebut mengarah pada munculnya intoleransi di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Intoleransi yang terjadi di ranah domestik memang bertentangan dengan pencitraan identitas Islam moderat yang dipraktikan Indonesia melalui kebijakan luar negerinya. Hal yang perlu diperhatikan kemudian adalah kenyataan yang ada di dalam negeri tidak dapat dipisahkan dari kebijakan luar negeri. Sebab, kebijakan luar negeri selalu berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi yang ada di dalam negeri. Untuk itu, bagian ini akan menguraikan bagaimana bentukbentuk intoleransi di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi pencitraan Islam moderat dalam praktik kebijkan luar negerinya.
4. 1. 1. Peningkatan dan Penyebaran Gerakan Kelompok Islam Radikal Bagi masyarakat dan pemerintah pada umumnya memandang radikalisme secara negatif. Hal inilah yang membawa gerakan radikalisme dalam sebuah negara apapun dasar ideologinya kurang diterima sepenuh hati oleh pemerintah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, gerakan radikalisme memang nampak cukup merepotkan, terutama karena beberapa alasan. Pertama, gerakan radikalisme sering dinilai sebagai gerakan yang berkepentingan untuk membangun dan mewarnai dasar ideologi negara dengan faham ideologinya secara murni, atau mengganti ideologi negara dengan ideologi kelompok gerakan radikal tersebut.188 Khususnya kelompok Islam radikal di Indonesia, memiliki agenda untuk menerapkan hukum Islam atau syariah dalam konstitusi maupun regulasi negara. 188
Nuhrison M. Nuh, “Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham Islam Radikal di Indonesia”, Harmoni, Vol. VIII/31 (Juli-September 2009), hal. 38-39.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
91
Agenda tersebut dapat mengancam masa depan Indonesia sebagai negara dan pluralitas masyarakatnya yang terdiri dari agama, etnis, dan budaya. Sebab, mereka mendefiniskan syariah secara literal, kaku, dan syarat akan interpretasi eksklusif. Kedua, gerakan radikalisme menimbulkan instabilitas dan keresahan sosial, terutama karena sifat gerakan tersebut yang militan, keras, tidak kompromi, intoleran, dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis. Ketiga, gerakan radikal dipandang dapat mengancam eksistensi pemerintah. Dalam ranah domestik, pengaruh agitasi ideologi dan provokasi gerakan radikal yang meluas dalam masyarakat dapat menurunkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap rezim pemerintahan yang pada akhirnya akan melahirkan pembangkangan dan revolusi sosial yang menurunkan rezim penguasa.189 Sedangkan pada tingkat internasional, keberadaan geradakan radikal dapat menurunkan kredibilitas pemerintah karena dianggap kurang mampu dalam menjaga keamanan negaranya. Gerakan kelompok Islam Radikal bukanlah hal baru di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, gerakan-gerakan radikal Islam seperti Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII) sudah menjadi bagian dari pengalaman sejarah Indonesia. Meski dapat ditumpas, radikalisme Islam ternyata tetap diwariskan dan bermetamorfosis pada masa kini. Bahkan, aktivitas kelompok-kelompok radikal Islam menunjukan gejala yang meningkat. Bangkitnya gerakan kelompok Islam radikal dewasa ini tidak terlepas dari perkembangan iklim demokrasi politik yang tidak lagi sepenuhnya menjadi hegemoni rezim penguasa. 190 Peningkatan aktivitas kelompok Islam radikal di Indonesia juga dimotivasi oleh ideologi jihad yang mendorong radikalisasi kelompok-kelompok Islam fanatik. Akan tetapi, semangat jihad itu tidak muncul begitu saja. Kemunculan semangat jihad dapat dipengaruhi berbagai faktor seperti faktor ideologi politik, doktrin teologi, sosial budaya, dan solidaritas. 191 Terkait faktor ideologi politik, semangat jihad lebih ditentukan oleh konstruksi historis akan pengalaman pahit Indonesia di masa lalu. Bermula dari penjajahan yang dialami bangsa ini, Islam memainkan peran penting sebagai alat pemersatu untuk menentang kolonialisme Belanda. Fungsi pemersatu ini terletak pada simbolisasi Islam yang merangkum 189
Ibid. Ibid., hal. 45. 191 Ibid. hal. 43. 190
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
92
persamaan nasib dalam menentang penjajahan asing dan penindas yang diorientasikan berasal dari agama lain. 192 Aspek ideologi politik Islam ternyata juga berlanjut pada awal kemerdekaan Indonesia yang menyangkut penentuan dasar negara yang menimbulkan perdebatan. Sebagian kelompok Islam menghendaki perlunya dasar negara yang berasaskan Islam. Sedangkan sebagian yang lain sepakat dengan Pancasila sebagai dasar negara. Meski akhirnya Pancasila dipilih sebagai dasar negara, ternyata tidak menyurutkan keinginan sebagian kelompok Islam untuk menerapkan hukum Islam. Dalam hal ini, keinginan untuk menerapkan hukum Islam atau syariahh juga berkorelasi dengan faktor doktrin teologis. Berbicara tentang gerakan Islam radikal di Indonesia erat kaitannya dengan doktrin teologis yang berkembang di Timur Tengah, khususnya gerakan pemikiran Salafi-Wahabi. Secara umum, gerakan ini dipahami sebagai gerakan pemikiran yang berusaha menghidupkan kembali atau memurnikan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhamad SAW, sebagaimana yang diamalkan oleh para ulama terdahulu (salaf). Karenanya, tujuan dari gerakan pemikiran Islam Salafi-Wahabi adalah agar umat Islam kembali kepada dua sumber utama pemikiran Islam, yakni kitab suci Al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad SAW (Sunnah Rasul), serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar pada dua sumber ajaran tersebut.193 Perlu diketahui, gerakan pemikiran Islam Salafi-Wahabi merupakan bentuk puritanisme. Karenanya, gerakan ini juga bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam agar tidak tercampur dengan kepercayaan-kepercayan lama yang menyesatkan dan ajaran-ajaran tasawuf yang mengkultuskan tokoh agama termasuk kegiatan seperti memuja kuburan para wali atau tokoh agama tertentu. Sebagian gerakan pemikiran Salafi-Wahabi, juga menyadarkan umat Islam agar menentang berbagai bentuk neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan hegemoni dari dunia Barat yang membelenggu umat Islam. 194
192
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hal. 69-70. 193 Nuhrison M. Nuh, Op. cit., hal. 40-41. 194 Ibid.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
93
Dari faktor sosial budaya, kebangkitan gerakan-gerakan Islam radikal pada masa kini dimotori oleh pudarnya nilai-nilai dan norma budaya bangsa, serta tidak berlakunya penegakan hukum secara adil sehingga menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Kondisi inilah yang kemudian menjadi alasan yang mendorong gerakan-gerakan Islam radikal merasa perlu untuk meneggakkan kembali nilai-nilai moral dengan cara-cara yang mereka yakini benar. Faktor lain yang cukup menonjol bagi sebagian kelompok Islam di Indonesia adalah solidaritas sesama Muslim. Faktor ini merupakan rantai penghubung antar sesama Muslim untuk menjadi sebuah gerakan. Sebagian dari gerakan ini muncul sebagai reaksi atau pembelaan terhadap kelompok-kelompok Islam yang dipandang mendapat perlakuan tidak manusiawi dan tidak adil oleh kelompok-kelompok tertentu dan tidak segera memperoleh perlindungan yang memadai oleh pemerintah. Bentuk-bentuk pembelaan yang dilakukan, tidak saja terbatas pada dukungan moral melalui pernyataan-pernyataan, demonstrasi turun ke jalan dan pemberian bantuan dana pada korban kekerasan, tetapi juga dalam bentuk pengiriman tenaga dan senjata untuk ikut bergabung berperang secara fisik dengan mereka yang dianggap sebagai musuh Islam. 195 Dalam perkembanganya, gerakan Islam radikal di Indonesia tampil dalam dua varian umum. Varian pertama umumnya mentargetkan gerakannya untuk dapat berpartisipasi di ranah politik praktis. Beberapa diantaranya adalah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Tarbiyah-Ikhwanul Musliminan. Hizbut Tahrir (HT) merupakan gerakan politik Islam yang bersifat transnasional. Bermula dari partai politik di Palestina, gerakan ini kemudian menyebar ke Yordania, Afrika Utara, Pakistan, Inggris, bahkan hingga negara-negara bekas Uni Soviet seperti Tajikistan, Uzbekistan dan Kirgistan. Sedangkan di Indonesia, HT mulai dikembangkan oleh Abdurrahman al-Bagdadi sejak tahun 1982. Bagdad adalah pendatang dari Lebanon yang memang sejak awal berasal dari keluarga aktivis HT. Ia menetap di Indonesia untuk membantu Abdullah bin Nuh dalam mengasuh Pesantren al-Ghazali. 196
195 196
Ibid., hal 46. Rubaidi, “Variasi Gerakan Radikal Islam di Indonesia”, Analisis, Vol. XI/1 (Juni 2011), hal.
37.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
94
Gerakan Islam politik transnasional lainnya adalah Tarbiyah yang identik dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Gerakan ini menjadi salah satu varian gerakan Salafi yang berkembang di tanah air. Model Tarbiyah dipopulerkan oleh Imaduddin Abdurrahim melalui diskusi-diskusi intensif yang di selenggarakan oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang menggunakan Masjid Salman Institut
Teknologi Bandung
(ITB)
sebagai
pusat aktivitasnya. 197 Puncak
kematangan gerakan Tarbiyah di Indonesia mulai terlihat pada awal tahun 90an. Saat itu, aktivis-aktivis Tarbiyah praktis menguasai organisasi intra kampus di sebagian besar perguruan tinggi bergengsi di tanah air. Dan seiring dengan mulai munculnnya
krisis
nasional
pada
tahun
1998,
aktifis
Tarbiyah
mendirikan Kesatuan Aksi Mahasis Muslim Indonesia (KAMMI) dan Himpunan Antar Muslim Kampus (HAMMAS), tepatnya di bulan April 1998. Setelah jatuhnya Suharto, beberapa tokoh kunci gerakan Tarbiyah terlibat aktif dalam pembentukan Partai Keadilan (PK) atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 198 Varian
kedua
merupakan
gerakan
Islam
radikal
yang
sudah
bermetamorfosis, meskipun secara ideologis sangat berkesesuaian dengan gerakan Islam radikal transnasional di Timur Tengah. Kelompok-kelompok Islam radikal yang bermetamorfosis ini dapat dikenali melalui dua karakteristik umum. Pertama, berkaitan dengan pendefinisian syariah secara kaku dan ekslusif, kelompok-kelompok ini mengklaim bahwa syariah merupakan satu-satunya solusi bagi krisis multi-dimensi yang dialami Indonesia. Masalah muncul ketika kelompok-kelompok ini menjustifikasi kekerasan dalam meminta implementasi dari syariah, sehingga mengorbankan kalangan Muslim maupun non-Muslim. Bahkan, kapitalisasi pemikiran religius-politik untuk kepentingan mereka condong melemahkan hak-hak kalangan non-Muslim dan minoritas.199 Kedua, karakteristik lain dari kelompok-kelompok konservatif radikal Islam adalah adanya tendensi kuat untuk tidak menghormati pluralisme yang dianggap sebagai sebuah gagasan untuk menyerang Islam yang merupakan satusatunya kebenaran. Dalam hal ini, agama lain dianggap tidak memuat kebenaran 197
Ibid., hal. 38. Anthony Bubalo and Greg Fealy, Joining the Caravan: Middle East, Islamism and Indonesia (New South Wales: The Lowy Institute for International Policy, 2005), h. 69 dalam ibid., hal. 39 199 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009. 198
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
95
yang dikategorikan sebagai kafir. Kelompok konservatif radikal Islam percaya bahwa Tuhan telah memberikan garis yang tegas antara Muslim dan kafir. Meski memiliki tendensi yang sama dalam melihat kaum non-Muslim, perbedaan orientasi membagi kelompok-kelompok Islam radikal yang telah bermetamorfosis ini ke dalam dua jenis, yakni puritan dan militan. Orientasi utama dari kelompok puritan adalah komunitas Muslim sendiri, karena mereka ingin memperbaiki moral saudara sesama Muslimnya. Sebaliknya, kelompok militan berorientasi pada komunitas di luar Muslim yang dianggap kafir dan memiliki misi untuk memperbaiki seluruh dunia atau minimal dunia nonMuslim. 200 Gerakan Islam radikal yang cenderung puritan dapat ditemukan dalam Front Pembela Islam (FPI). Sedangkan kelompok yang militan dapat ditemukan pada Lasykar Jihad (LJ), Jam’ah Islamiyah (JI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Pembentukan Front Pembela Islam (FPI) oleh Habib Rizieq dilatari oleh dua alasan utama. Pertama, masih merajalelanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. kedua, adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam sendiri. Atas dasar kedua alasan tersebut FPI merasa perlu untuk mengambil inisiatif dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar atau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran di tengah masyarakat bermayoritas Muslim. Dalam aksi-aksinya, FPI menunjukan gejala radikalisme yang paling banyak dibandingkan dengan gerakan Islam radikal lainnya. Berdasarkan catatan, the Wahid Institute, eksklusivisme dan radikalisme FPI dimanifestasi dengan berbagai cara, mulai dari penutupan tempat hiburan malam, pembersihan minuman keras, razia Pekerja Seks Komersial, dan lain sebagainya. Sebagai catatan penting, FPI selalu memanfaatkan momentum tertentu dalam menjalankan aksinya, khususnya Ramadhan. Secara lebih rinci, grafik berikut menunjukan frekuensi aksi-aksi radikal FPI.
200
Achmad Munjid, “Militant and Liberal Islam”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 3/1 (June 2009), hal. 38.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
96
Grafik 4. 1 Frekuensi Aksi-aksi FPI 2008-2010 38
40 35
FPI
30
24
25 20
MMI
18
Laskar Jihad HMI
15
HTI
8
10 5
11
1112
2009
2010
11 1
0 2008
2011
Sumber: the Wahid Institute (2008-2011).
JI, MMI, dan LJ termasuk dalam kelompok Islam radikal militan karena menunjukan manifestasi idelogi dengan menyerang kelompok-kelompok yang dikategorikan non-Muslim atau kafir. Aksi ketiga kelompok tersebut dapat ikatakan cukup ekstrim, yaitu mengarah pada teror bom bunuh diri sehingga berdampak pada instabilitas ekonomi, sosial dan politik secara nasional. JI merupakan gerakan Islam radikal yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir pada tahun 1995 di Malaysia. Gerakan kelompok ini semakin ekstensif ketika mulai merintis alternatif perekrutan di luar Pesantren Lukmanul Hakim. Hal ini terlihat antara tahun 1999-2000 manakala JI semakin intensif merekrut banyak anggota untuk mendukung operasinya dan dilatih di luar
negeri, khususnya di Timur Tengah. Untuk mendukung percepatan
perekrutan anggota, JI membentuk aliansi Jihad atau kelompok jihad regional. Aliansi ini bertujuan
membangun kerja sama baik dalam bentuk pelatihan,
penyediaan perlengkapan senjata, bantuan keuangan maupun operasi teroris. Pembentukan MMI tidak lepas dari ketidakpuasan kaum muda yang lebih militan dalam JI terhadap kepemimpinan Ba’asyir setelah sepeninggalan Sungkar. Kelompok muda ini mengklaim Ba’asyir terlalu lemah, terlalu bersikap akomodatif dan terlalu mudah dipengaruhi orang lain. Akibat perpecahan itu, Ba’asyir dengan dua koleganya memutuskan keluar dan mendirikan MMI. LJ merupakan kombinasi antara puritan dan militan. Pembentukan LJ tidak lepas dari Forum Komunitas Ahlu-sunnah wal Jamaah (FKAJ) yang
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
97
merupakan kelompok pergerakkan eksklusif yang menaruh fokus pada permurnian keimanan dan integritas moral individu. Perubahan orientasi terjadi setelah peristiwa pembataian warga Muslim oleh warga Kristen di Maluku pada Desember 1999. Atas nama solidaritas, FKAJ merasa perlu untuk memiliki kelompok para-militer untuk membela saudara sesama Muslim. Agresifitas LJ tampak dalam sejumlah serangan terhadap gereja-gereja di Yogyakarta pasca pembentukannya di tahun 2000. Mereka pun turut berpartisipasi dalam melakukan penyerangan terhadap warga Kristen di Maluku dan mengirimkan anggotanya dalam konflik Poso. Perkembangan selanjutnya menunjukan jaringan LJ yang kian menguat. Mereka membangun jaringan dari Taman Kanak-kanak hingga sekolah umum melalui program pembelajaran dan penghafalan Al-quran. Sebagai sayap militer FKAJ, LJ memiliki struktur kelembagaan dan pola perekrutan yang memiliki kemiripan dengan organisasi tentara. LJ dibagi menjadi empat Batalyon yang dinamai dengan nama empat sahabat Nabi. Setiap Batalyon dibagi lagi menjadi empat Kompi dan masing-masing dibagi menjadi empat Pleton. Masing-masing dari empat Pleton dengan cara yang sama dibagi menjadi empat regu. LJ juga memiliki pasukan khusus (special forces), intelejen, dan termasuk pasukan yang mengurus perbekalan (logistik).201
4. 1. 2. Regenerasi Terorisme Aksi-aksi teror bom di Indonesia yang merupakan manifestasi dari militansi kelompok-kelompok Islam radikal tidak hanya meresahkan masyarakat, tapi juga mengundang perhatian dari kalangan internasional. Pada peristiwa Bom Bali I khususnya, Indonesia menuai kritik dari negara-negera tetangganya karena dianggap gagal untuk menangani isu terorisme secara serius. 202 Pada dasarnya, isu terorisme di Indonesia terkait dengan pergerakan terselubung kelompokkelompok radikal Islam, terutama dalam perekrutan generasi muda Muslim sebagai bagian dari strategi ofensif teroris.
201
Rubaidi, Op. Cit., hal. 49. H. C. Stackpole, “US-Indonesia Relations: Searching for Cooperation in the War Against Terrorism”, Asia Pacific Security Studies, Vol. 2/2 (Mei 2003), hal. 3. 202
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
98
Hal yang perlu dipahami dalam isu terorisme adalah perekrutan ditujukan untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Orang-orang yang direkrut teroris tidak hanya dipersiapkan untuk mati, tapi seperti mencari kematian itu sendiri. Dibalik fenomena terror bom bunuh diri di Indonesia, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi aksi tersebut, yaitu faktor kultural, indoktrinasi, dan situasi. 203 Faktor kultural memainkan peran penting dalam regenerasi terorisme. Narasi heroik yang disediakan faktor ini menjadi pembenaran dalam aksi teror bom bunuh diri. Paling tidak, faktor kultural bisa mempengaruhi perilaku dengan dua cara utama. Pertama, dengan meletakkan norma-norma yang sesuai dengan kondisi-kondisi di mana seseorang boleh melakukan bunuh diri dan kadangkadang
menggambarkan
cara-cara
melakukannya.
Kedua,
dengan
cara
mempengaruhi konsep orang-orang mengenai hal-hal yang akan terjadi setelah kematian. 204 Di Indonesia, faktor-faktor kultural yang memicu terorisme bunuh diri umumnya mengambil preseden dari pelaku-pelaku terorisme di Timur Tengah. Kisah-kisah heroik para pelaku teror bom bunuh diri di Palestina misalnya, dikemas dalam buku-buku dan novel-novel yang dengan mudah dapat ditemukan di toko-toko buku di Indonesia. Dalam hal ini, industri penerbitan berperan sebagai sarana utama dalam penyebaran ajaran jihad oleh kelomopok-kelompok Islam-radikal. Menurut laporan International Crisis Group, berkembangnya industri penerbitan buku-buku Islami di Indonesia telah dimanfaatkan kelompok Jemaah Islamiyah sebagai sarana ideologisasi ekstrimis, konsolidasi organisasi, dan penguatan jaringan di antara kelompok-kelompok Islam militan.205 Faktor indoktrinasi berkorelasi dengan ideologi yang dibawa kelompokkelompok Islam militan dalam proses perekrutan teroris. Factor ini dapat mempengaruhi dengan dua cara. Pertama, melalui proses pendidikan di mana seseorang diberi keyakinan tentang pentingnya latar belakang dan cara-cara yang diperlukan untuk pelaksanaan sebuah misi. Kedua, bujukan yang berorientasi 203
Ariel Merari, “Kesediaan untuk Membunuh dan Terbunuh: Terorisme Bunuh Diri di Timur Tengah”, dalam Walter Reich ed., Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 253. 204 Ibid. 205 International Crisis Group, “Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah”, Asia Report N⁰147, Jakarta/Brussel, Februari 2008.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
99
pada pencapaian misi bagi orang yang dimaksudkan untuk melakukan bunuh diri. Cara ini biasanya dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang kharismatik dalam politik, militer, atau agama. Jenis indoktrinasi ini relatif singkat dan terjadi sesaat sebelum pelaksanaan misi bunuh diri. 206 Dalam aksi teror bom bunuh diri, indoktrinasi sering kali disamakan dengan pencucian otak. Padahal, keduanya merupakan proses yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Pencucian otak adalah proses panjang dan luas yang menyangkut perlakuan yang bersifat fisik-mental dan dimaksudkan untuk memberikan efek pergantian permanen pada konsep-konsep, kesetiaan dan pola perilaku yang lama dengan yang baru. Dari segi waktu, tingkat keberhasilan jangka panjang dalam proses pencucian otak relatif kecil. Sebaliknya, indoktrinasi untuk misi bunuh diri hampir-hampir memang dibatasi untuk jangka pendek. Maksudnya, orang-orang yang terdoktrinasi tidak diharapkan hidup setelah misi selesai. 207 Terkait indoktrinasi kelompok Islam militan, aksi teror bom bunuh diri dianggap sebagai bentuk kesyahidan dalam memelihara ajaran Islam. Faktor kultural dan indoktrinasi ternyata mengikutsertakan kondisi-kondisi dan lingkungan-lingkungan tempat dilakukannya bunuh diri. Hal ini merupakan faktor situasi yang dapat mengarahkan orang untuk melakukan teror bom bunuh diri. Dalam faktor situasi, aspek pengaruh pemirsa mengambil porsi yang cukup besar dalam menunjukan signifikansi dari aksi yang dilakukan. Sebab teror bom bunuh diri yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik yang lebih luas bisa dikatakan sebgai tindakan demonstratif. Pada zaman media elektronik sekarang ini, persyaratan itu dapat dipenuhi lebih efisien oleh pemberitaan media dibandingkan terhadap hadirnya para pemirsa pada tempat kejadian. 208 Berdasarkan faktor situasi, aksi teror bom bunuh diri dianggap kelompokkelompok Islam radikal sebagai komunikasi efektif yang ditujukan untuk menantang musuh-musuh Islam, seperti AS dan Israel. Selain itu, aksi teror yang ditampilkan tersebut juga merupakan bentuk pembalasan dendam pada pihakpihak yang dinilai lalim. Rangkaian aksi-aksi bom bunuh diri di Indonesia cukup menggambarkan bagaiamana kalangan Islam militan mengarahkan aksinya 206
Ibid., hal. 256. Ibid., hal. 257. 208 Ibid., hal. 258. 207
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
100
kepada simbol-simbol Barat ataupun tempat-tempat yang banyak dihadiri oleh warga negara asing, seperti yang ditunjukan tabel berikut ini.
Tabel 4. 1 Rangkaian Aksi Bom Bunuh diri di Indonesia yang Diarahkan pada Simbol-simbol Barat 12 Oktober 2002 Ledakan di Bali dikenal dengan Bom Bali I. Jumlah korban tewas pada peristiwa ini mencapai 202 jiwa dan 300 orang korban luka. Sebagian besar korban adalah warga Australia. 5 Desember 2002 Ledakan di restoran McDonald di Makassar menewaskan 3 orang. 27 April 2003 Ledakan di Bandara Soekarno Hatta Jakarta dengan korban luka 10 orang. 5 Agustus 2003 Bom meledak di luar hotel JW Marriott Jakarta dan menewaskan 12 orang termasuk seorang WN Belanda, serta melukai 150 orang 10 Januari 2004 4 Orang tewas akibat ledakan bom di kafe karaoke di Palopo, Sulawesi. 9 September 2004 Bom berkekuatan tinggi meledak di dekat Kedutaan Besar Australia di Jakarta dan menewaskan 10 WNI serta melukai 100 lainnya. 28 Mei 2005 2 Bom meledak di Pasar Sentral di Tentena, Poso, menewaskan 22 orang. 1 Oktober 2005 3 Bom bunuh diri di Bali menewaskan 20 orang termasuk beberapa wisatawan asing. Bom ini terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran. Peristiwa ini dikenal dengan Bom Bali II. 17 Juli 2009 Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan RitzCarlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB. Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Dalam perkembangannya, aksi-aksi teror bom bunuh diri tidak hanya diarahkan pada simbol-simbol Barat, tapi juga aparat pemerintah yang dianggap lalim dan bekerja sama dengan Barat. Hal ini menunjukan gejala resistensi kelompok-kelompok teroris terhadap upaya kontra-terorisme dipertahankan melalui proses regenerasi. Regenerasi teroris dilakukan dengan perekrutan melalui beberapa cara berikut:
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
101
Pertama, pelarian merupakan proses mencari tempat yang aman untuk bersembunyi sehingga memaksa para teroris untuk saling berhubungan. Berdasarkan laporan International Crisis Group, teroris yang melakukan pelarian biasanya menghidupi diri mereka dengan berjualan keliling untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari. 209 Berjualan barang-barang yang relatif murah mempermudah mereka dari segi modal awal yang tidak banyak, pasar yang sudah siap, mobilitas tinggi dan tidak menarik perhatian. Mobilitas tinggi merupakan faktor penting bagi mereka. Sebab mereka bisa terus bergerak dan tetap bisa berkomunikasi dengan rekan-rekan mereka di wilayah lain. Kedua, penjara juga dimanfaatkan kelompok teroris untuk mengubah formasi organisasi dalam beberapa cara, seperti dengan mengumpulkan napi dari berbagai kelompok dalam satu tahanan; dengan merekrut penjahat biasa; atau interaksi rekan dan keluarga selama kunjungan ke penjara. Kunjungan dalam penjara juga merupakan cara penting untuk berbagi informasi, mempersatukan jaringan dan membangun kontak-kontak baru. Kunjungan penjara tidak hanya dapat berfungsi sebagai tempat bertemu, tapi juga bisa berfungsi untuk tujuan perekrutan. Salah satu kelompok yang paling rentan untuk direkrut oleh kelompok teroris mungkin adik laki-laki dari para ekstrimis yang ditahan atau tewas.210 Ketiga, pelatihan militer merupakan cara yang umum digunakan kelompok teroris. Cara ini menyediakan jalan lain bagi anggota berbagai kelompok ekstrimis untuk dapat berkumpul bersama dan membangun aliansi-aliansi baru. Hubungan diantara mereka tidak hanya terbangun ketika dalam latihan tapi juga dala m proses menggalang dana, mencari bahan-bahan yang diperlukan dan merekrut peserta. Kamp di Aceh adalah contoh paling baik dari ketersediaan sebuah lokasi latihan militer baru yang besar yang berhasil mengumpulkan anggota-anggota berbagai kelompok ekstrimis yang tanpanya mungkin tidak akan berkolaborasi.211 Keempat, forum internet merupakan bentuk pemanfaatan kelompok teroris yang beradaptasi dengan perkembangan media sosial. Dengan semakin meningkatnya tekanan dari polisi, peran forum internet kini mungkin akan
209
International Crisis Group, “Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru”, Asia Report N⁰228, Jakarta/Brussel, Juli 2012. 210 Ibid. 211 Ibid.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
102
menjadi lebih penting sebagai media komunikasi, perekrutan, dan pelatihan ketrampilan. Penggunaan internet bukan hal yang baru, pada tahun 1999, anggotaanggota baru JI mendapat instruksi lewat internet sebagai bagian pelatihan awal. Contoh lainnya adalah ceramah Imam Samudra sebelum dihukum mati tentang pentingnya hacking dan penipuan internet demi kepentingan jihad. 212 Kelima, pernikahan. Seperti halnya di masa lalu, pernikahan terus menjadi salah satu cara untuk memperkuat atau membangun kekuatan organisasi. Prioritas kelompok-kelompok ekstrimis adalah mencarikan istri yang sesuai buat para lajang, termasuk yang berada di penjara, serta suami buat para janda anggota ekstrimis yang tewas. Seperti kebanyakan ekstrimis di seluruh dunia, ekstrimis di Indonesia juga ingin menghasilkan sebanyak mungkin anak untuk menambah pengikut dan memperbesar organisasi mereka. Namun pernikahan juga bisa menjadi jalan untuk membangun aliansi-aliansi lintas wilayah atau lintas organisasi. Keenam, pengajian atau taklim khususnya yang dipimpin oleh ustadzustadz radikal, bisa menjadi kendaraan untuk upaya radikalisasi dan perekrutan kelompok-kelompok teroris. Taklim-taklim ini juga menjadi tempat dimana aliansi-aliansi baru bisa dibangun dan orang-orang muda bisa didorong dari yang semula hanya aktif dalam kegiatan-kegiatan anti-maksiat dan anti-murtad kemudian beralih ke penggunaan kekerasan yang terencana atas nama agama. 213
4. 1. 3. Penerapan Hukum Syariah di Tingkat Daerah Bagi kelompok-kelompok Islam radikal, penerapan hukum syariah merupakan capaian utama dalam pergerakan mereka. Mereka memandang, Syariah memuat semua aturan-aturan Tuhan yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah yang menyediakan arahan dan solusi komprehensif dan universal bagi seluruh permasalahan yang dihadapi manusia. Karena itu, kelompok-kelompok radikal Islam menganggap Syariah sebagai solusi bagi situasi krisis ekonomi, politik, dan sosial yang tengah dihadapi Indonesia. Berdasarkan implementasinya, Arskal Salim membagi syariah menjadi lima tingkatan. Pertama, sebagai hukum privat seperti nikah, cerai, wakaf, dan shodaqah. Kedua, aturan masalah ekonomi 212 213
Ibid. Ibid.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
103
seperti perbankan dan bisnis lainnya. Ketiga, praktik keagamaan termasuk arena publik seperti keharusan memakai jilbab, larangan minum alkohol, judi, dan praktik kehidupan lain yang tidak sesuai dengan aturan akhlak Islam. Keempat, pidana seperti hudud. Kelima, sebagai dasar negara. Secara historis, Syariah bukanlah preferensi bagi dasar negera Indonesia. Meski demikian, perkembangan politik di Indonesia beberapa waktu belakangan ini menunjukan formalisasi Syariah berlangsung di tingkat lokal. Gagasan otonomi daerah telah mendorong sejumlah pemerintahan daerah untuk mengatur penyelenggaraan urusan daerah yang menjadi kewenangannya dalam suatu Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa syariah. Berdasarkan pengamatan Robin Bush, terdapat 78 perda di 52 kabupaten/walikota di Indonesia yang disinyalir bermuatan syariah. 214 Untuk mempermudah spesifikasi perda-perda yang syarat akan syariah, Arskal Salim mengkategorikan perda-perda tersebut menjadi tiga, yaitu 1) perda yang berkaitan dengan tatanan publik dan masalah sosial, seperti pelacuran, konsumsi miras, dan perjudian; 2) Keahlian dan kewajiban keagamaan, seperti membaca Al-Quran dan zakat; 3) Simbolisme agama, khususnya yang berkaitan dengan pemakaian busana Muslim. 215 Pada dasarnya, kategori pertama merupakan perda yang berkaitan dengan isu moralitas yang dapat mencerminkan ajaran moral yang ada hampir di seluruh agama. Dari 78 perda yang diduga bernuansa syariah, hanya 35 atau 45 % yang tergolong ke dalam kategori moralitas. Perda ini dikenal juga dengan perda antimaksiat, seperti perda 21/2000 yang tidak mengizinkan prostisusi di Cianjur; qanun 13/2003 yang melarang perjudian di Aceh; perda 5/2004 yang melarang konsumsi miras di Tasikmalaya. Hanya kategori kedua dan ketigalah yang dapat dikatakan berkaitan langsung dengan ajaran Islam dan mencangkup 55 % dari total perda-perda yang diduga bernuansa syariah. Perda jenis ini dapat ditemukan di Banjar, Jawa Barat, yang mengharuskan petugas pelayanan publik untuk
214
Robin Bush, “Regional Syariah Regulation in Indonesia: Anomaly or Sympton?”, dalam Greg Fealy dan Sally White eds., Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008), hal. 175. 215 Arskal Salim, “Muslim Politics in Indonesia’s Democratisation” dalam R. McLeod and A. MacIntyre (Eds), Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance, (Singapore: ISEAS, 2007), hal 126. .
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
104
menggunakan jilbab atau baju koko setiap hari Jumat. Perda serupa juga terdapat di Enrengkang dan Bulukumba. 216
45% 55%
Berkaitan dengan Moralitas
Berkaitan denga Sharia
Sumber: Robin Bush (2008)
Gambar 4. 2 Kategorisasi Perda-perda Bernuansa Syariah di Indonesia Kemunculan perda-perda yang syarat akan nilai-nilai syariah ini sepertinya lebih dari sekedar pengaruh ideologis kelompok-kelompok Islam konservatifradikal. Terdapat empat faktor yang memainkan peran penting dalam kemunculan perda bernuansa syariah, yaitu peran sejarah dan budaya lokal, korupsi dan kebutuhan untuk mencegahnya, pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), dan kurangnya kapasitas teknis pemerintah daerah. 217 Sejarah dan budaya lokal berperan dalam memperkuat kesadaran identitas kedaerahan dan keagamaan dalam kerangka otonomi daerah. Umumnya, pemerintah daerah yang mengeluarkan perda syariah kebanyakan berada di area yang memiliki afiliasi sejarah dengan gerakan DI. Sebagai kelompok pemberontak di awal kemerdekaan Indonesia, pergerekan DI mencangkup Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Gerakan mereka kemudian disatukan oleh rasa ketidakpuasan terhadap kepemimpinan nasional dan keinginan untuk mendirikan 216 217
Ibid., hal. 176. Ibid., hal. 181.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
105
negara Islam. 218 Meski pergerakan kelompok ini mengalami kegagalan, mereka berhasil melakukan ideologisasi pada lingkup sosio-politik lokal yang menumbuhkan rasa kedaerahan dan berstimulus pada penerbitan perda-perda syariah. Gambar berikut ini akan menunjukkan afiliasi historis dengan lokasi mana saja yang memunculkan perda-perda syariah.
Sumber: Robin Bush (2008)
Gambar 4. 3 Pemetaan Wilayah Kemunculan Perda-perda Syariah Berdasarkan Afiliasi Historis Gerakan DI
Tingginya tingkat korupsi di Indonesia juga menjadi faktor yang mendorong pemerintah daerah yang dipimpin oleh kalangan Islam konservatif untuk menerapakan syariah di wilayahnya. Bagi mereka, syariah dianggap sebagai solusi efektif dalam menekan tingkat korupsi dan ketidakefektifan sistem di pemerintahan. Beberapa daerah lantas mengeluarkan perda syariah yang mengatur aparatur pemerintahan, seperti surat edaran yang mengharuskan setiap aparatur pemerintah daerah untuk membaca doa terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas; perda yang mensyaratkan hafalan al-Quran bagi seluruh aparatur pemerintah daerah; surat rekomendasi agar seluruh aparatur pemerintah daerah melaksanakan puasa senin-kamis. 218
Ibid., hal. 182.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
106
Faktor lain yang memicu munculnya perda-perda syariah adalah kondisi politik lokal yang tengah melangsungkan pemilukada. Pasalnya, perda syariah sering kali digunakan alat politik untuk memperkuat dukungan konstituen dari pemimpin yang sedang memangku jabatan dalam pemilu berikutnya. Sedangkan faktor terakhir adalah minimnya kapasitas pemerintah daerah baik dalam pembacaan hukum maupun teknis. Pembuatan perda syariah kemungkinan besar hanya dimanfaatkan untuk simplifikasi semata, tanpa diimbangi kemampuan teknis dan pemahaman akan syariah itu sendiri. Penerapan perda syariah di Sulawesi Selatan merupakan satu contoh yang cukup menjelaskan bagaimana persoalan pemahaman umat Islam tentang syariah yang masih kabur menuntut sosisalisai dari pemerintah daerah. 219 Keberadaan perda kian problematis ketika mengarah pada intoleransi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terkait intoleransi, perda syariah dianggap bertentangan dengan pluralitas agama di Indonesia karena meniadakan keberadaan agama-agama selain Islam. Hal ini kemungkinan besar akan mengganggu dan merugikan aktivitas komunitas non-Muslim yang secara tradisi keagamaan berbeda dari Islam. Pada gilirannya, sentimen agama sulit untuk dihindari sehingga dapat melahirkan konflik-konflik sosial. Contoh nyata dari perda yang berpotensi menumbuhkan intoleransi antara lain perda yang mengatur waktu penyelenggaraan industri pariwisata, tempat hiburan,
dan
pembukaan
rumah
makan
sepanjang
bulan
Ramadhan.
Konsekuensinya, tempat-tempat tersebut harus ditutup pada jam-jam tertentu dan merugikan pemiliknya.220 Perda ini kemudian memicu aksi sweeping atas rumah makan yang beroperasi pada siang hari di sejumlah wilayah seperti Pasuruan, Solok Banjarmasin, Cilegon, Banten, dan Bandung. Sweeping yang dilakukan polisi pamong praja dan kelompok Islam radikal ini kerap berujung pada ancaman pencabutan izin usaha hingga aksi pengrusakan yang mengakibatkan kerugian ganda bagi pemiliknya.
219
Siti Musdah Mulia, “Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan: Ada Apa dengan Demokrasi di Indonesia”, dalam Sediono Tjondronegoro (ed.), Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi, (Yogyakarta: Aditya Media, 2007), hal. 16. 220 Victor Silaen, “Tinjauan Kritis Atas Perda-perda Bermasalah”, Sociae Polites, Vol. 6/25 (2007), hal. 19.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
107
Sedangkan perda syariah yang berpotensi melanggar HAM, khususnya perempuan, seperti perlarangan perempuan keluar di malam hari. Menurut Musdah Mulia, perda ini dapat mengganggu ekonomi rumah tangga dari perempuan yang bekerja. 221 Penerapan perda syariah di Tangerang tentang anti pelacuran juga menuai kritik. Terkait pasal-pasal yang bersifat karet seperti siapa pun yang dicurigai sebagai pelacur dapat ditangkap, sehingga berakibat banyaknya kasus salah tangkap.
4. 1. 4. Pengaruh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Selain disuasanakan perda syariah, intoleransi ternyata juga bisa distimulus oleh institusi negara seperti MUI. Pada awalnya, pembentukan MUI ditujukan untuk membangun toleransi dialogis antar agama. Hal ini sesui dengan agenda menteri agama semasa Orba, Abdul Mukti Ali, yang ingin membangun semangat pluralisme. Ia percaya bahwa dialog agama haruslah dimulai dari pemimpin agama. Untuk itu, pemerintah Orba menginstitusikan agama-agama resmi di Indonesia sebagai perwakilan pada tahun 1972. Institusi-institusi tersebut antara lain MUI, Persatuan Wali Gereja Indonesia (PWGI), Dewan Gereja Indonesia (DGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).222 Pada perkembangannya, MUI menunjukan gejala yang lebih konservatif. Dalam hal ini, ilustrasi dari Piers Gillespie cukup menjelaskan bagaiamana latar belakang
sosio-politik
membentuk
sikap
konservatif
MUI.
Gillespie
mengungkapkan, dominasi Muslim neo-modernis selama diskursus Islam sepanjang pemerintahan Orba merupakan faktor yang membuat MUI mengambil posisi konservatif. 223 Posisi ini didukung oleh otonomi lebih yang dimiliki MUI ketika terjadi perubahan relasi antara negara dan MUI sendiri. Dampaknya, MUI merasa lebih berkewajiban untuk mengakomodasi permintaan kelompokkelompok Muslim.
221 222
Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011), hal. 156. 223 Piers Gillespie, “Current Issues in Indonesian Islam: Analyzing the 2005 Council of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism, and Secularism”, Journal of Islamic Studies, Vol. 2/18 (2007), hal 71.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
108
Namun, sikap akomodatif MUI tampaknya kurang diimbangi dengan kemampuannya untuk reseptif terhadap perubahan sosio-politik dalam rangka memenuhi kebutuhan komunitas Muslim di tengah dinamika modernitas. Karenannya, kecenderungan koservatisme semakin memenuhi cara pandang MUI dalam merespon realitas sosial yang ada. Hal ini secara otomatis berdampak pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI. Perlu diketahui, Fatwa MUI memiliki porsi penting bagi Islam di Indonesia karena berpengaruh pada perkembagan sosial dan politik secara nasional. Sebab, fatwa dikeluarkan sebagai respon terhadap isu kontroversial dan isu tidak terpecahkan yang terbangun di tengah masyarakat. 224 Meski demikian, tidak jarang pula fatwa MUI justru menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Dari 11 fatwa yang dikeluarkan MUI pada 28 Juli 2005, beberapa di antaranya dianggap cukup krontroversial dan menciptakan perselisihan dalam komunitas Muslim. Salah satunya adalah fatwa yang memuat larangan bagi umat Muslim untuk mengadopsi paham pluralisme di Indonesia. Dalam pemahaman MUI, pluralisme adalah konsep yang menunjukkan bahwa semua agama adalah sama. Karena itu, MUI percaya bahwa pluralisme tidak kompatibel dengan ajaran Islam dan akan mengganggu keimanan Muslim. 225 Pengeluaran fatwa ini bertolak belakangan dengan pluralitas agama di Indonesia yang menurut Komaruddin Hidayat membutuhkan toleransi dan inklusifitas. 226 Fatwa kontroversial lainnya adalah tentang pelarangan aliran Ahmadiyah. Pelarangan tersebut tidak lepas dari pandangan MUI yang menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Wacana penyesatan agama yang ditanggapi pemerintah melalui solusi pembatasan atau pelarangan yang diikuti dengan pembinaan ternyata menuai kekhawatiran ketika diterapkan ke kelompokkelompok lain secara lebih masif. Pasalnya, terdapat ketidakjelasan dalam pengakategorian penyesatan yang telah merembet ke kelompok-kelompok Islam
224
Pradana Boy ZTF, “the Function of Fatwa in Contemporary Muslim Societies: and Indonesian Experience”, Jurnal Salam, Vol. 15/1 (Juni 2012), hal 4. 225 M. Hilaly Basya, “the Concept of Religious Pluralism in Indonesia: a Study of the MUI’s Fatwa and the Debate among Muslim Scholars”, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS), Vol. 1/1 (Juni 2011), hal. 79. 226 Komarudin Hidayat, Agama di Tengah Kemelut, (Jakarta: Media Cita, 2001).
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
109
lain yang dianggap telah keluar dari mainstream Sunni, seperti Syi’ah dan Baha’iyyah. 227 Secara garis besar, MUI sebagai sebuah institusi dianggap sebagai simbol keagamaan yang berimplikasi baik pada komunitas Muslim maupun non-Muslim. Karena itu, fatwa MUI dapat dilihat sebagai instrumen legal-religius yang dapat memainkan peran dalam perubahan sosial dan instrumen ideologis. 228 Peran perubahan sosial ini dapat dilihat pada tendensi MUI dalam fatwa pelarangan pluralisme yang merupakan upaya untuk melindungi hukum Islam dari berbagai ancaman modernisasi. Lebih lanjut, hal ini dapat dilihat sebagai penolakan MUI terhadap perubahan sosial, khususnya ide-ide baru di tengah komunitas Muslim Indonesia. Di sisi lain, fatwa tersebut juga memicu perubahan sosial dalam bentuk lain. Gambaran toleransi yang telah lama terbentuk dari keharmonisan hubungan antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda di Indonesia berubah seketika fatwa tersebut dikeluarkan. Perasaan permusuhan tumbuh di sejumlah kelompok Muslim yang pada gilirannya akan memicu aksi-aksi agresif. Pada kondisi demikian, fatwa MUI berperan dalam memperkuat orientasi ideologis terhadap pihak yang berbeda atau non-Muslim. Bagaimanapun, ideologi berhubungan dengan keinginan untuk memelihara identitas kelompok. Masalah berlanjut ketika kebutuhan untuk memelihara identitas ini tidak hanya dilakukan melalui metode persuasi, tapi juga agresi. Dalam konteks ini agresi tidak selalu diasosiasikan dengan kekerasan fisik, tapi dapat pula berupa agresi simbolik. 229 Sebagai instrumen idelogis, fatwa sering kali dijadikan justifikasi oleh kelompok konservatif radikal sebagai pembenaran agama untuk melakukan tindak kekerasan. Fatwa pelarangan pluralisme misalnya, meski MUI tidak berniat mendorong orang untuk melakukan penyerangan pada pihak-pihak yang mempromosikan pluralisme, kekerasan nyatanya terjadi pada para aktivis pendukung pluralisme. Beberapa bulan setelah fatwa tersebut dikeluarkan,
227
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011, Yogyakarta, 2011. 228 Pradana Boy ZTF, Op. Cit., hal. 6. 229 Ibid., hal. 9.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
110
kelompok Front Pembela Islam (FPI) berusaha menyerang kantor JIL dan menjustifikasi kekerasan kepada para aktivis pluralisme. 230 Tindak kekerasan juga menjadi opsi ketika fatwa tentang penyesetan agama dikeluarkan. Pada umumnya, kelompok yang dituduh sesat selalu merupakan kelompok kecil di tengah masyarakat dengan pandangan keagamaan yang umum (mainstream).231 Konsekuensi dari posisi minoritas tersebut menjadikan mereka rentan akan tindak-tindak kekerasan. Paling tidak, terdapat dua bentuk kekerasan yang dialami para pengikut minoritas seperti Ahmadiyah, yaitu intimidasi dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu atas nama penegakan keputusan-keputusan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. 232 Pada dasarnya, Kekerasan yang dipicu oleh legitimasi fatwa tidaklah lepas dari ketidaktahuan Muslim akan posisi fatwa dalam konteks hukum Islam. Menurut M. Syafi’i Anwar, Meski fatwa dikeluarkan oleh kalangan ulama dan secara agama mungkin dibenarkan, posisinya hanya sebatas opini hukum dan tidak mengikat secara hukum. 233 Karena itu, sebuah fatwa dapat diterima ataupun ditolak, tergantung bagaimana Muslim menginterpretasikannya. Sehingga wajar, jika kebanyakan kelompok konservatif radikal lebih menginterpretasikan fatwa MUI untuk kepentingan kapitalisasi politis mereka. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI ternyata tidak selalu sejalan dengan pencitraan identitas Islam moderat yang menghormati pluralisme beragama. Padahal pencitraan tersebut merupakan praktik dari kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh Deplu RI. Meski samasama menjadi bagian dari pemerintah, MUI dan Deplu RI sepertinya kurang berkoordinasi satu sama lain sehingga terkesan bergerak secara sendiri-sendiri. Kurangnya koordinasi antara MUI dan Deplu RI sepertinya memperlemah pencitraan Islam moderat itu sendiri.
230
M. Hilaly Basya, Op. Cit., hal. 80. Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2009. 232 Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2011. 233 M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 9-10 November 2009. 231
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
111
4. 1. 5. Intoleransi dan Dilema Pencitraan di Tingkat Internasional Intoleransi mengisyaratkan ketidakmampuan menghadapi perbedaan dan ketidakmampuan hidup bersama di tengah pluralitas. Kasus-kasus intoleransi atas dasar agama atau keyakinan dan pelanggaran kebebasan agama di Indonesia dapat berupa penyesatan aliran keagamaan tertentu, pemaksaan keyakinan, intimidasi, diskriminasi, ancaman kekerasan, pembatasan ibadah dan rumah ibadah, penyerangan dan pengrusakan rumah ibadah, dan lain sebagainya. Fenomena tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Grafik 4. 2 Intoleransi Atas Dasar Agama Atau Keyakinan dan Pelanggaran Kebebasan Agama 250 200
195 151
150 100
105
103
50 0 2008
2009
2010
2011
intoleransi atas dasar agama atau keyakinan dan pelanggaran kebebasan agama
Sumber: the Wahid Institute (2008-2011)
Dari grafik 4. 2 memperlihatkan bahwa gejala intoleransi sepertinya menunjukan pola yang meningkat. Peningkatan ini menggugah tanya akan peran mediasi internal, khususnya pemerintah sebagai penyelenggara tertinggi urusan negara. Berdasarkan laporan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), pemerintah-pemerintah daerah semakin berani mengambil posisi lebih keras, bahkan berseberangan dari pemerintah pusat dalam isu-isu intoleransi. 234 Sementara di tingkat nasional ada kehati-hatian yang sangat tinggi untuk memutuskan
kebijakan
baru.
Akibatnya,
pemerintah
tampak
seperti
mempertahankan status quo di daerah inisiatif-inisiatif baru yang melampaui
234
CRCS, Loc. Cit., 2011, hal. 26.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
112
kebijakan tingkat nasional yang tak jarang merugikan dan mendiskriminasi kelompok-kelompok tertentu.235 Indonesia tidak dapat mengabaikan fenomena intoleransi di ranah domestik ketika tengah mencitrakan diri dalam kemoderatan Islam. Sebab, pencitraan ini ditujukan untuk untuk mengambil peranan lebih di tatanan internasional. Perlu diingat kembali bahwa promosi Islam moderat dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia bukan hanya ingin mengesankan bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan bersamaan. Promosi tersebut juga merupakan bentuk partisipasi Indonesia dalam perang terhadap terorisme yang lahir dari gerakan Islam radikal. Namun, pencitraan Islam moderat tampaknya tereduksi oleh publikasi media massa atas aksi-aksi intoleransi yang distimulasi oleh gerakan Islam radikal, teror bom bunuh diri, penerapan perda syariah yang mengabaikan HAM, dan pengaruh konservatif MUI. Terlebih lagi, frekuensi pemberitaan seluruh aspek yang mengarah pada intoleransi ini memiliki intensitas yang cukup tinggi. Dampaknya, perhatian publik internasional terfokus pada fenomena intoleransi sehingga memudarkan kenyataan dan kesadaran akan kemoderaran Islam Indonesia yang disebut Newsweek sebagai Islam with smiling face. Seiring harapan Barat akan kehadiran kemoderatan Islam Indonesia, muncul pula keragu-raguan manakala upaya pematangan demokrasi malah menyeret Indonesia ke dalam fenomena intoleransi beragama dari kelompok mayoritas. Berdasarkan laporan US Commission on International Religious Freedom (USCIRF), Indonesia ditempatkan dalam daftar Watch List karena tradisi keagamaan di Indonesia yang masih dipenuhi dengan ketegangan antara toleransi dan pluralisme.236 Ketegangan ini membuat kelompok agama minoritas terus mengalami intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan sosial. Diakui juga oleh USCIRF bahwa pemerintah menjadi salah satu penyebab dari ketegangan tersebut, termasuk polisi dan pejabat provinsi, kadang-kadang membiarkan kegiatan kelompok-kelompok ekstremis, hukum nasional, dan regulasi di tingkat daerah telah membatasi kebebasan beragama. 235
Ibid. US Commission on International Religious Freedom (USCIRF), Annual Report 2012, Washington DC, Maret 2012.
236
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
113
Bagaimanapun juga, demokrasi telah menjadi standar umum negaranegara maju Barat dalam membangun suatu relasi. Menurut Barat, demokrasi sejatinya menempatkan prinsip Majority's rule, minority's rights di mana demokrasi menjamin kehendak rakyat melalui aturan mayoritas dengan tetap melindungi hak-hak minoritas. Wajah demokrasi Indonesia yang menampilkan intoleransi dan konflik agama melalui peliputan media tidaklah menunjukan prinsip-prinsip tersebut. Akibatnya, segala bentuk intoleransi beragama di Indonesia memperlihatkan paradoks demokrasi dalam proses konsolidasi demokrasi itu sendiri. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pencitraan identitas Islam moderat Indonesia dalam rangka pengambilan peran model yang sinergis dengan Islam di Timur Tengah adalah peran dan posisi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sejauh ini, posisi Indonesia dalam OKI dapat dikatakan cukup marjinal. Hal ini tidak lepas dari pengabaian Indonesia terhadap peran OKI. Partisipasi Indonesia pun relatif kurang maksimal. Pada tahun-tahun pertama keanggotaannya, Indonesia menolak untuk menandatangani piagam pertama OKI yang dicetuskan pada 1972. Sikap menahan diri untuk menjadi anggota resmi OKI lebih dikarenakan bentuk negara Indonesia yang bukan Islam dan berdasarkan UUD 1945. Dalam kebijakan luar negeri sekali pun Indonesia tidak mendasarkannya pada nilai-nilai Islam, tetapi lebih menggambarkannya dalam pola bebas-aktif. Partisipasi aktif Indonesia dalam forum OKI baru nampak di awal tahun 90-an. Hal ini ditandai dengan kehadiran kali pertama Presiden Soeharto pada KTT OKI ke-6 pata tahun 1991. Kehadiran Soeharto merupakan langkah awal perubahan kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI. Walaupun partisipasi ini masih tidak seaktif keanggotaan Indonesia di forumforum multilateral lainnya.237 Reorientasi peran Indonesia dalam OKI tidak hanya untuk berperan aktif dalam membantu menciptakan stabilitas di kawasan Timur Tengah, tetapi juga untuk mencapai kepentingan Indonesia di dunia Internasional. OKI merupakan satu-satunya pintu masuk bagi Indonesia untuk ikut terlibat dalam upaya 237
Pandu Utama Manggala, Menyoal Proyeksi Identitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Gelombang Perubahan di Timur Tengah: sebuah telaah konstruktivis dalam Jurnal Diplomasi Vol. 3, No.2, 2011, h. 116.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
114
penyelesaian konflik di kawasan Timur Tengah. Sebab, Indonesia tidak bisa bersuara di forum regional lainnya di kawasan tersebut seperti Gulf Cooperation Council, Liga Arab, ataupun Uni Afrika karena alasan keanggotaan. 238 Kendala lain dalam pengambilan peran model Islam moderat di Timur Tengah adalah kecenderungan dunia Arab yang merendahkan kredensi Islam di Indonesia. Menurut Martin Van Bruinessen, otoritas keagamaan antara Indonesia dan dunia Islam didefinisikan oleh hubungan yang tidak setara.239 Bahkan, Indonesia hampir selalu berada pada penerimaan akhir dari hubungan tersebut. Bruinessen menambahkan, Muslim Indonesia telah mengembangkan berbagai macam ekspresi unik dari Islam, tetapi mereka tidak menunjukkan semangat untuk menyebarkannya ke bagian lain dari dunia Muslim.
4. 2. Aspek yang Memperkuat Pencitraan Identitas Islam Moderat Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencitrakan identitas Islam moderat memang beragam dan tidak sedikit. Akan tetapi, hal ini bukanlah tanpa aspek-aspek yang memperkuat. Untuk itu, bagian ini terdiri dari dua bahasan. Pertama, penolakkan terhadap penerapan perda syariah. Kedua, menurunnya dukungan komunitas Muslim terhadap partai politik (parpol) Islam dalam pemilu.
4. 2. 1. Penolakan Hukum Syariah Meski kelompok Islam radikal menuntut penerapan syariah, agenda ini ternyata hanya menyisakan sedikit prospek di masa depan. Hal ini karena sebagaian besar komunitas Muslim Indonesia lebih realistis dalam memecahkan masalah mereka sehingga mengabaikan syariah. Bagi mereka, syariah tidak akan mampu mengatasi krisis multi dimensi di Indonesia. Buktinya, klaim-klaim pemerintah daerah tentang penurunan dramatis dalam kejahatan sejak perda diberlakukan perlu dicermati lebih lanjut. Sebut saja kabupaten Bulukumba, meski perda syariah telah dikeluarkan sejak tahun 2003,240 pada tahun 2005 masih
238
Pandu Utama Manggala, h.116-117 Martin Van Bruinessen, “Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam” dalam Anthony Reid (ed.), Indonesia Rising: the Repositioning of Asia’s Third Giant, (Singapore: ISEAS Publishing, 2012), hal. 123. 240 Noorhaidi Hasan, Islamic Militancy, Sharia, and Democratic Consolidation in Post-Soeharto Indonesia, (Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, 2007), hal. 12-13. 239
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
115
terdapat hampir 200 kasus anak-anak kurang gizi; guru bekerja selama hampir 6 bulan tanpa gaji; dan penerangan jalan di kota yang padam karena pemerintah kota tidak bisa membayar tagihan listrik.241 Selain itu, sebagian besar komunitas Muslim Indonesia menyadari kejahatan justru menjelma dalam aksi-aksi anarkis yang mengatasnamakan agama yang tidak berakar dalam tradisi dan kondisi yang ada di Indonesia. Akibatnya, tuntutan untuk pelaksanaan syariah dan pembenaran atas penggunaan kekerasan dianggap kontraproduktif bagi masa depan Indonesia sebagai masyarakat plural. Menurut M.C. Ricklefs, gerakan-gerakan Islam radikal tidak memiliki prospek memenangkan kekuasaan politik di Indonesia. Sebaliknya, semangat Islam moderat, toleran, liberal, dan pluralis sangat dilembagakan di Indonesia. Penolakan terhadap penerapan perda syariah telah banyak dilayangkan baik oleh legislator, akademisi, dan masyarakat pada umumnya. Pada tahun 2006, puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meyampaikan petisi yang mendesak pemerintah agar memperhatikan perda-perda bernuansa Islam yang dianggap meresahkan dan berpotensi menyulut konflik. Meski tidak memperoleh hasil yang positif, petisi tersebut cukup memperlihatkan bahwa tidak sedikit jajaran legislatif Indonesia yang menolak kehadiran perda-perda syariah. Masih senada dengan pendapat tersebut, praktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution mengemukakan, keberadaan perda syariah yang diterapkan di sejumlah daerah melanggar konstitusi. Karenanya, gagasan syariah tidak boleh dimasukan salam undang-undang negara. Penolakan juga ditunjukan oleh dua organisasi Islam terbesar di tanah air, Muhammadiyah dan NU. Keduanya telah memperingatkan publik tentang implikasi dari penerapan syariah bagi demokratisasi. Syafi'i Maarif, mantan ketua Muhammadiyah dan intelektual Muslim terkemuka, mengingatkan komunitas Muslim akan keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam melalui perda syariah dapat melemahkan pilar integrasi sosial dan nasional. Ia menambahkan, perjuangan untuk membasmi imoralitas seharusnya menjadi perjuangan semua kelompok yang dapat dilakukan di bawah payung Pancasila, khususnya sila pertama. Sependapat dengan itu, Din Syamsuddin, ketua Muhammadiyah 241
Robin Bush, Op. Cit., hal. 185.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
116
menentang penerapan syariah dan penyamaannya dengan hukum pidana. Sebab, syariah merupakan jalan yang berkaitan dengan nilai-nilai etika dan moral, bukan untuk menentukan apa yang kriminal atau hukuman apa yang berlaku. Sementara itu, NU juga telah mengambil sikap oposisi bagi formalisasi syariah di tingkat daerah. Dalam konferensi ulama NU di Surabaya pada 2006, Sahal Mahfudz, kepala badan legislatif NU mengatakan bahwa NU harus menegaskan kembali komitmennya untuk tradisi sekuler di Indonesia sebagai cara untuk menindas gerakan-gerakan yang akan menggunakan syariah sebagai dasar untuk penyusunan undang-undang. Ia menambahkan, NU menjunjung tinggi pluralisme sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan akan terus berada di garis depan dalam kampanye untuk pelestarian nilai-nilai lokal. 242 Ketua NU Hasyim Muzadi menunjukkan kekhawatirannya akan penerapan syariah secara tekstual. 243 Kecenderungan lain yang perlu diperhatikan adalah terjadi penurunan signifikan penerapan perda syariah di Indonesia sejak tahun 2006, seperti tampak pada grafik berikut.
Grafik 4. 4 Kecondongan Penurunan Perda Syariah di Indonesia (1999-2007)
Sumber: Robin Bush (2008)
242 243
“NU States Opposition to Shari’a Based Bylaws,” The Jakarta Post, 29 July 2006. “NU Menolak Perda Syari’ah,” Koran Tempo, 29 July 2006
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
117
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robin Bush menunjukkan, terdapat 23 perda syariah yang dikeluarkan pada tahun 2003, 15 perda pada tahun 2004, hanya lima perda pada tahun 2006, dan tidak ada perda yang dikeluarkan pada tahun 2007.244
4. 2. 2. Kemunduran Parpol Islam dalam Pemilu Seiring menurunnya isu syariah, elektabilitas sejumlah partai Islam turut menunjukan gejala yang serupa. Penurunan elektabilitas parpol Islam di Indonesia pada dasarnya terkait dengan kampanye syariah yang nyatanya tidak mendapat respon positif pada tahun 2004 dan 2009. Beberapa parpol yang elektabilitasnya menurun secara signifikan antara lain PPP dan PBB. Dalam pemilu tahun 2004, PPP hanya memperoleh 8,2% dan PBB 2,6% dari total suara nasional. Namun, satu-satunya parpol Islam yang mampu meningkatkan suaranya adalah Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS) yang memperoleh 7,2%.245 Banyak pengamat tidak hanya terkejut dengan kinerja PKS, tetapi juga khawatir tentang agenda politiknya mengenai penerapan syariah. Perlu diingat bahwa peningkatan PKS pada Pemilu 2004 tidak terkait dengan kampanye syariah. Mereka lebih menyuarakan tentang pemerintahan yang bersih dengan mempromosikan anti-korupsi, tata pemerintahan yang baik dan perlunya kepedulian terhadap sesama. Selama periode kedua pemilihan presiden pada Juli 2004, tidak ada isu tunggal yang dikampanyekan PKS berkaitan dengan syariah. Kampanye mereka sebagian besar mengenai pemulihan perekonomian, menjaga stabilitas politik, dan penegakan supremasi hukum. Sementara pada pemilu legislatif 2009, parpol-parpol Islam tidak mendapat dukungan signifikan dari mayoritas rakyat Indonesia. Secara nasional, preferensi konstituen secara nasional lebih mendukung parpol-parpol sekulernasionalis seperti Partai Demokrat (PD), Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan lain-lain. Satu-satunya parpol Islam yang beruntung pada pemilu ini adalah PKS yang memperoleh sekitar 9% pada tahun 2009.246 244
Robin Bush, Op. Cit., hal. 177-178. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010. 246 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010. 245
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
118
Penurunan elektabilitas parpol Islam dapat ditelusuri dari orientasi nilai politik komunitas Muslim di tanah air. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2007, 57% komunitas Muslim Indonesia umumnya berorientasi terhadap nilai-nilai politik sekuler. Hanya 33% dari komunitas
Muslim menaruh orientasi pada
nilai-nilai politik Islam. 247
Perbandingan kedua orientasi umum dalam komunitas Muslim tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Grafik 4. 5 Orientasi Nilai Politik Komunitas Muslim Indonesia 57
60 50 40 30 20 10 0
33 10
Persentase (%)
Islami
Sekuler
Tidak Tahu
Sumber: LSI (2007)
Dalam hal ini, pengukuran keterdukungan nilai-nilai politik Islami dilakukan dengan membandingkan dengan nilai-nilai politik sekuler yang ditujukkan dengan ketidaksetujuan. Beberapa nilai-nilai yang diukur LSI antara lain pengawasan atas pemakaian jilbab bagi perempuan dewasa di ruang publik; penerapan hukum potong tangan bagi pencuri; pelarangan perempuan untuk menjadi presiden, pengawasan atas hubungan muhrim dan tidaknya bagi laki-laki dan perempuan yang berduaan di muka umum; hukum rajam bagi yang berzinah; pelarangan bunga bank karena haram; dan pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan ajaran Islam. 248
247
Lembaga Survei Indonesia (LSI), Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs Nilai-Nilai Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik, Jakarta, Oktober 2007. 248 Ibid.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
119
Grafik 4. 6 Pandangan Muslim Indonesia Terhadap Nilai-nilai Politik Islam
Pemilu untuk Ajaran Islam Hukum Potong Tangan Pelarangan Bunga Bank Pengawasan Muhrim Pelarangan Presiden Perempuan Rajam Pengawasan Jilbab 0 Setuju
10
20
30
Tidak Setuju
40
50
60
70
80
Tidak Tahu
Sumber: LSI (2007)
Secara komprehensif, hal ini menunjukan nilai-nilai Islami itu belum mampu diterjemahkan ke dalam kekuatan gerakan sosial dan organisasi politik. Setidaknya penurunan elektabilitas parpol Islam dapat disebabkan oleh empat faktor. Pertama, makin kentalnya fenomena Islam Yes, Partai Islam No atau mayoritas komunita Muslim Indonesia tidak ingin partai dengan aroma Islam menjadi mayoritas. Kedua, pendanaan parpol nasionalis lebih kuat daripada pendanaan parpol Islam. Ketiga, banyaknya tokoh-tokoh Islam yang diakomodasi oleh parpol-parpol nasionalis baik ke dalam struktur partai maupun dalam rekruitmen
anggota
parlemen.
Keempat,
munculnya
anarkisme
yang
mengatasnamakan Islam oleh kelompok tertentu dinilai berdampak pada munculnya kecemasan kolektif masyarakat pada umumnya. 249
249
“LSI: elektabilitas parpol Islam menurun” http://www.antaranews.com/berita/338574/lsielektabilitas-parpol-islam-menurun diakses pada Kamis, 22 November 2012, pukul 10.14 wib.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
120
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
121
BAB 5 KESIMPULAN
Bab ini tidak hanya ditujukan untuk mengulas hasil dari analisa identitas Muslim moderat yang dipraktikan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya, tetapi juga untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian. Berdasarkan analisa tersebut penelitian ini akan memberikan sejumlah rekomendasi atas pokok-pokok permasalahan yang dihadapi Indonesia jika pencitraan identitas Islam moderat masih terus dipraktikan.
5. 1 Temuan Penelitian Dalam beberapa tahun belakangan ini, kebijakan luar negeri Indonesia tampak
menunjukan praktik di
luar kebiasaan. Indonesia
yang sejak
kemerdekaannya tidak pernah merefleksikan identitas keIslaman dari mayoritas penduduknya kini justru mulai berani menyuarakan identitas Islam dalam nuansa yang lebih spesifik, moderat. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan mengapa kebijakan luar negeri Indonesia mempromosikan identitas Islam moderat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, karya ilmiah ini menggunakan konsep identitas yang umumnya dipresentasikan setiap negara. Melalui identitas, negara tampil sebagai entitas yang berbeda dari yang lain di tengah pergaulan internasional. Identitas negara umumnya berasal dari sumber daya immaterial yang tumbuh di dalam negeri. Bagi Indonesia, Islam merupakan sumber immaterial yang tak dapat dinafikan dari realitas sosio-kultural dan politiknya. Keragaman budaya, etnis, dan agama turut menjadi modal pembetuk pluralisme bangsanya sehingga berkontribusi pada perkembangan demokrasi di Indonesia. Untuk memahami proyeksi identitas yang diusung Indonesia di tingkat internasional, pengkajian dilakukan dengan memanfaatkan teori peran dalam kebijakan luar negeri. Peran sendiri merupakan salah satu karakter dari identitas yang menuntut pembedaan dalam dinamika sistem sosial internasional. Karenanya, pengambilan peran yang hendak dicapai kebijakan luar negeri sangat dipengaruhi situasi internasional yang diimbangi perhatian pada situasi dan kebutuhan nasional.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
122
Pembuat kebijakan atau pemerintah merupakan pemegang kunci dalam menentukan peran apa yang hendak dicapai kebijakan luar negeri. Namun, pemerintah bukan satu-satunya aktor yang berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Setelah reformasi di Indonesia pada 1998, kebijakan luar negeri tidak lagi menjadi monopoli pemerintah semata. Dalam prosesnya, kebijakan luar negeri Indonesia juga dipengaruhi oleh aktor-aktor nonpemerintah. Kondisi demikian turut berlaku dalam pencitraan identitas Islam moderat Indonesia. Indonesia tidak memiliki portofolio pencitraan Islam pada masa pemerintahan sebelumnya, baik di masa Orde Lama dan Orde Baru. Walaupun mayoritas penduduk, posisi Islam cenderung dipinggirkan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk merumuskan dan menampilkan citra Islam moderat, pemerintah membutuhkan kelompok-kelompok Muslim di masyarakat, khususnya Muslim moderat. Sebagai hasil dari pengamatan diusungnya identitas Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri Indonesia, penelitian ini memperoleh beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, peristiwa 11 September yang melahirkan wacana perang global terhadap teror mengakibatkan pendeskriditan Muslim melalui stereotype Arab, intoleran, ekstrim, dan anti-Barat. Seiring dengan Islamofobia yang berkembang di dunia Barat, kebencian dunia Muslim terhadap dunia Barat pun bermunculan setelah AS menjalankan operasi militer ke Afganistan dan Irak. Hal ini tidak lantas menimbulkan kesamaan reaksi pada tataran kebijakan di masing negaranegara Muslim. Sebagaimana terlihat di bab 2, reaksi Indonesia tergolong moderat baik dalam menyikapi perang global terhadap teror maupun operasi militer AS di Afganistan dan Irak. Kedua, adanya keinginan negara-negara Barat untuk mengembangkan jaringan Islam moderat sebagai rekan potensial untuk mengimbangi jaringan terorisme di sejumlah negara Muslim. Pertimbangan tersebut juga tidak lepas dari persamaan prinsip antara dunia Barat dan Muslim moderat yang memuat demokrasi dan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana dipaparkan di bab 2. Pada gilirannya, kehadiran Muslim moderat tampak dibutuhkan dunia Barat untuk
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
123
memediasi hubungan antara dunia Barat dan dunia Islam yang selama ini terkesan konfliktual. Ketiga, kemoderatan Islam di Indonesia bersumber dari sosio-kultural masyarakatnya yang plural, modern, dan demokratis. Sebagaimana diuraikan di bab 3, modal pluralisme, modernitas, dan demokrasi dianggap pemerintah Indonesia sebagai faktor yang dapat dieksplorasi dan dimanfaatkan untuk mendukung promosi identitas moderat dalam kebijakan luar negeri. Tujuannya antara lain untuk mengambil peranan yang lebih luas di ranah internasional. Keempat, keinginan Indonesia untuk memperoleh peranan di ranah internasional merupakan bentuk konsistensi dan kontinuitas cara pandangnya terhadap dunia. Meski di bawah kepemimpinan yang berbeda, Indonesia selalu menjaga eksistensinya di dunia internasional dengan mengambil sejumlah peranan. Terkait capaian peranan pada masa kini, UU No. 17 tahun 2007 mengenai RPJN 2005-20025 merupakan salah satu landasan bagi kebijakan luar negeri Indonesia untuk mewujudkan peranan tersebut. Kelima, identitas Islam moderat bukanlah menjadi bagian dari identitas resmi Indonesia. Berdasarkan RPJMN I 2005-2009, identitas nasional Indonesia adalah negara demokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam masih menjadi faktor pinggiran dalam kebijakan luar negeri Indonesia karena Indonesia bukan negara yang didirikan berdasarkan agama tertentu (non-teokratis). Keenam, karena tidak menjadi bagian resmi dari identitas negara, kemoderatan dipromosikan Indonesia melalui jalur diplomasi. Seperti terlihat pada bab 3, pemerintah dan masyarakat baik individu maupun kelompok menjadi agen diplomasi
yang
mempromosikan kemoderatan Muslim
ke
ranah
internasional. Partisipasi masyarakat dapat berupa diplomasi yang memang diakomodasi oleh pemerintah dalam kerangka multi-track diplomacy maupun didasarkan pada people to people diplomacy.
Berdasarkan temuan tersebut, alasan Indonesia untuk mempromosikan identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya dapat ditarik menjadi empat argumen utama. Alasan pertama, Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya dengan membedakan dari negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
124
Tengah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi stigma berkelanjutan tentang Muslim yang dipersepsikan media dan akademisi Barat sebagai intoleran, ekstrimis, dan anti-Barat. Identifikasi juga dimaksudkan untuk menjaga hubungan antara Indonesia dengan negara-negara Barat. Alasan kedua, adanya ekspektasi dunia internasional, khususnya negaranegara Barat, untuk memahami dan mendekatkan diri dengan dunia Muslim. Karena itu, negara-negara Barat membutuhkan negara-negara Muslim yang memiliki kesamaan prinsip dengan Barat dalam rangka mediasi dengan dunia Islam. Alasan ketiga, pemerintah Indonesia ingin mengakomodasi suara komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini mengharapkan adanya perbaikan hubungan dengan dunia Islam. Bagaimanapun juga, komunitas Muslim merupakan konstituen terbesar di Indonesia yang aspirasinya tidak dapat diabaikan dalam pertumbuhan demokrasi di tanah air. Alasan keempat, adanya motivasi Indonesia untuk mengambil peran dalam hubungan internasional sesuai dengan konsistensi cara pandangnya terhadap dunia (worldview). Indonesia mencoba mengambil peranan sebagai mediator antara dunia Barat dan Islam melalui dialog-dialog antar peradaban, budaya, dan agama. Indonesia kembali menemukan momentum untuk mengambil peran lain ketika terjadi pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Dengan mengandalkan pengalaman semasa reformasi dan semangat solidaritas AsiaAfrika dan sesuai dengan teori peran yang menjadi dasar dari analisa ini, Indonesia berusaha untuk mencapai peran model di kawasan ini.
Secara garis besar, pencitraan identitas Islam moderat tampaknya hanya sebuah pragmatisme pemerintah Indonesia. Pragmatisme ini dapat dilihat dalam dua tingkatan. Pada tingkat hubungan luar negeri, pencitraan tersebut dimanfaatkan untuk menyikapi Islamofobia yang berkembang pasca serangan 11 September. Selain itu, hal ini juga digunakan untuk mendekatkan diri dengan dunia Barat sekaligus demi pencapaian peran di tengah pergaulan dunia. Sedangkan di tingkat domestik, pengangkatan identitas Islam ke permukaan juga untuk menjaga perasaan konstituen di dalam negeri yang mayoritas Muslim. Hal
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
125
ini dilakukan dengan memfasilitasi kelompok-kelompok Muslim moderat dalam jalur diplomasi. Pencitraan Muslim moderat pun tampak seperti sebuah pemaksaan karena bertolak belakang dengan refleksi intoleransi di dalam negeri. Intoleransi yang terjadi di Indonesia umumnya dialamatkan pada kelompok minoritas. Kelompok – kelompok minoritas yang menjadi korban intoleransi memang dapat berasal dari etnis, suku, bangsa, dan ras. Namun terkait pembahasan dalam karya ilmiah ini, kasus-kasus intoleransi yang dimaksud berkorelasi dengan agama sehingga korbannya antara lain kelompok non-Muslim dan aliran Islam minoritas. Tantangan Indonesia dalam mencitrakan identitas Islam moderat cukup besar. Sebagaimana terlihat pada bab 4, aksi-aksi intoleransi di Indonesia umumnya dimotori oleh sejumlah persitiwa, yaitu 1) peningkatan dan penyebaran gerakan kelompok Islam radikal yang cenderung melakukan aksi-aksi anarkis, khususnya pada komunitas Muslim dan aliran Islam minoritas yang dinilai sesat; 2) regenerasi terorisme yang masih terjadi hingga saat ini. Salah satu tujuannya adalah penyerangan terhadap simbol-simbol Barat dan pihak-pihak yang dianggap membela kepentingan asing; 3) penerapan hukum syariah di tingkat daerah yang melukai pluralitas agama di Indonesia karena meniadakan keberadaan agamaagama selain Islam. Tidak jarang, perda sharia melanggar HAM dan mendeskriditkan perempuan; 4) pengaruh MUI melalui fatwa-fatwanya yang seringkali dijadikan bahan legitimasi bagi kelompok-kelompok Islam radikal untuk melakukan kekerasan. Dilihat dari jumlahnya kelompok Islam radikal di Indonesia relatif kecil, tetapi aksi kekerasan ternyata mendapat peliputan media dengan frekuensi yang cukup tinggi. Sepertinya, intensitas publikasi aksi-aksi intoleransi oleh media massa berpengaruh dalam mengambil perhatian publik, baik nasional maupun internasional. Akibat lebih jauh, peliputan media terhadap aksi-aksi intoleransi dapat
mereduksi
pencitraan
Islam
moderat
pada
skala
internasional.
Sebagaiamana terlihat di bab 4, beberapa NGO menganggap pemerintah sebagai salah satu faktor penyebab maraknya aksi-aksi intoleransi tanah air. Lebih jauh, pemerintah dianggap tidak serius dalam menangani aksi-aksi intoleransi. Sikap
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
126
pemerintah ini terlihat tidak konsisten dengan gambaran Islam moderat, sehingga pencintraannya dalam kebijakan luar negeri semacam dipaksakan.
5. 2. Rekomendasi Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa sumber ancaman dalam mempromosikan identitas Islam moderat Indonesia adalah inkonsistensi antara citra di luar negeri dan realita di dalam negeri. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya berperan ganda, baik sebagai pengambil kebijakan maupun sebagai pengawal kebijakan tersebut. Pemerintah yang dimaksud bukan hanya departemen luar negeri semata, tetapi seluruh elemen pemerintahan. Sejauh ini, implementasi kebijkan luar negeri terasa berjarak dengan elemen-elemen pemerintah lainnya. Kebijakan luar negeri yang mempromosikan identitas moderat khususnya, seiring kali tidak memiliki kaitan dengan kebijakan ataupun peraturan yang dikeluarkan elemen pemerintah lainnya. Otonomi yang terjadi setelah reformasi menjadikan tiap elemen pemerintahan baik departemen maupun pemda berdiri secara sendiri-sendiri. Koordinasi antar elemen pemerintah terkesan lemah sehinga tidak efektif. Akibatnya, tidak ada keselarasan antara kebijakan luar negeri dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh elemen pemerintah lainnya. Sebagai contoh fatwa larangan pluralisme yang dikeluarkan MUI pada 2005 kontras dengan pencitraan Muslim moderat yang menghormati pluralisme beragama. Contoh lainnya adalah penerapan perda syariah di Aceh dan Bulukumba yang diterapkan secara kaku dan literal sehingga tidak sejalan dengan citra Islam moderat.
Berdasarkan analisis di atas, terdapat tiga rekomendasi yang diberikan karya ilmiah ini. Pertama, perlu adanya koordinasi yang komprehensif di jajaran pemerintahan. Koordinasi ini diharapkan dapat berkontribusi bagi penyusunan kebijakan yang saling mendukung dan tidak kontradiktif. Khususnya pencitraan Islam moderat dalam praktik kebijakan luar negeri, Deplu RI sebaiknya tidak hanya melakukan koordinasi dengan Departemen agama tapi juga dengan elemen pemerintah lainnya seperti MUI. Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah diperlukan agar terbangun sinergi antara pencitraan identitas Islam
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
127
moderat di tingkat internasional maupun domestik. Misalnya penerapan perda syariah yang cenderung menciptakan intoleransi dan pelanggaran HAM. Kondisi ini tentu tidak sejalan dengan promosi Islam moderat Indonesia sehingga mengesankan bahwa pencitraan tersebut hanya simbolisme semata. Kedua, perlu adanya ketegasan dan kemauan (political will) pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik di tengah masyarakat khususnya yang berkaitan dengan pluralitas agama dan keyakinan. Selama ini, pemerintah cenderung menerapkan pola yang sama dalam menangani konflik menahun. Karena itu, diperlukan pola baru yang sifatnya antisipatif dalam penyelesaian konflik. Simbolisasi pemerintah sebagai penegak
hukum dan aparatur
penyelenggara negara dibutuhkan untuk memediasi ketegangan masyarakat. Untuk itu, pemerintah juga harus mengambil inisiatif untuk melakukan koordinasi dengan tokoh agama dan masyarakat. Hal ini untuk menghindari dan mengurangi ketegangan interaksi maupun konflik agama khususnya. Ketiga, melakukan koordinasi dengan media massa. Hal ini dilakukan untuk mambangun setting pemberitaan yang lebih menampilkan wajah Islam Indonesia yang moderat atau toleran. Hal ini berguna untuk memberikan kesan bahwa Indonesia adalah negara yang ramah, aman, dan kondusif bagi seluruh pihak. Gambaran ini diharapkan dapat mengundang wisatawan maupun investor asing datang ke Indonesia. Jikapun ada pemberitaan mengenai konflik agama, setting pemberitaan dapat lebih menonjolkan upaya penyelesaian konflik dibandingkan mengeksplorasi penderitaan korban. Selain itu, peran aktif pemerintah bisa ditampilkan melalui media secara lebih transparan. Hal ini untuk mengklarifikasi tuduhan pihak asing yang menganggap pemerintah berkontribusi atas terjadinya kasus-kasus intoleransi di dalam negeri.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
128
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdelal, Rawi; Yoshiko M. Herrera; Alastair Iain Johnston; dan Rose Mcdermott. Measuring Identity: a Guide for Social Scientist. UK: Cambridge University Press, 2009. Aceh, Aboebakar. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Solo: Ramadhani, 1985. Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute. 2011. Bhutto, Benazir. Reconciliation: Islam, Democracy, and the West. London: Simon and Schuster, 2008. Bruinessen, Martin Van. “Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam.” Indonesia Rising: the Repositioning of Asia’s Third Giant. Ed. Anthony Reid. Singapore: ISEAS Publishing. 2012. Bush, Robin. “Regional Sharia Regulation in Indonesia: Anomaly or Sympton?” Eds, Greg Fealy dan Sally White. Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 2008. Cameron, Fraser. US Foreign Policy after the Cold War: Global Hegemon or Reluctant Sheriff 2nd eds. London dan New York: Routledge, 2005. Dalton, Bill Indonesia handbook. California: Moon Publications, 1982. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES. 1994. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. 2011. Elgström, Smith Ole, Michael. the European Union’s Roles in International Politics: Concept and Analysis. New York: Routledge, 2006. Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Auran. Depok: Katakita. 2009. Ghazali, Abdus Sattar. Islam and Muslims in the Post-9/11 America. Modesto: Eagle Enterprise. 2012.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
129
Hall, S. “Who Needs ‘Identity’?” Eds, S. Hall and P. du Gay. Questions of Cultucal Identity. London: Sage Publications. 1997. Hasan, Noorhaidi. Islamic Militancy, Sharia, and Democratic Consolidation in Post-Soeharto Indonesia.Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies. 2007. Hidayat, Komarudin. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta: Media Cita. 2001. Kedourie, Ellie. Democracy and Arab Political Culture. Washington DC: Washington Institute for Near East Studies. 1992. Laqueuer, Walter Z. (ed). the Middle East in Transition. New York: Frederick A. Praeger. 1958. Latif, Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005. Leifer, Michael. Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1989. Liqun, Zhu. China’s Foreign Policy Debates. Paris: EU Institute for Security Study. 2010. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam bingkai Keindonesiaan, dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan. 2009. Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008. Mas’ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LkiS. 2004. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2007. Nash, K. ed. Readings in Contemporary Political Sociology. Oxford: Blackwell Publisher, 2000. Piontkovsky, Andrei. East or West? Rusia’s Identity Crisis in Foreign Policy. London: Foreign Policy Centre, 2006. Prestre, Philippe Le. Role Quest in the Post-Cold War Era: Foreign Policy in Transition. Montreal: McGill-Queen’s UP. 1997. Rabasa, Angel M., Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. al. the Muslim World after 9/11.Santa Monica: Rand Corporation. 2004.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
130
Rabasa, Angel; Cheril Benard; Lowell H. Schwartz; et.all. Building Moderate Network. RAND Corporation: Santa Monica, 2007. Reich, Walter, ed. Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2003. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2008. Sukma, Rizal. Islam in Indonesian Foreign Policy. London: RoutledgeCurzon, 2003. Shadid, W. dan P.S. van Koningsveld. Religious Freedom and the Neutrality of the State: the Position of Islam in the European Union. Lauven: Peeters. 2002. Sheikh, Naved S. the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a World of States. London & New York: RoutledgeCurzon, 2003. Shihab, Alwi. Islam Inklusif: menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan. 1997. Oberoi, Surinder Singh. “Ethnic Separatism and Insurgency in Kashmir.” Eds. Satu P. Limaye, Mohan Malik, Robert G. Wirsing. Religious Radicalism and Security in South Asia. Hawai: Asia Pasific Center for Security Studies. 2004. Stanger, Alison. “Democratization and the International System: the Foreign Policy: the Foreign Policies of Interim Governments.” Eds, Juan dan Linz Yossi. Between States: Interim Governments and Democratic Transitions. Cambridge: Cambridge University Press, 1955. Suryadinata, Leo. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES. 1998. Suryokusumo, Sumaryo. Praktik Diplomasi. Jakarta: STIH IBLAM. 2004. Tjondronegoro, Sediono, ed. Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi. Yogyakarta: Aditya Media. 2007. Vermonte, Philips J. “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra Diri.” Ed, Bantarto Bandoro. Mencari Desain Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and Internatonal Studies (CSIS). 2005.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
131
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity. United States: Pearson Prentice Hall, 2007. Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. International Relations Theory 4th Edition. United States: Pearson Prentice Hall, 2010. Volkan, Vamık D., Joseph V. Montville, dan Demetrios A. Julius. Psychodynamics of international relationship: Concepts and Theories 1st Eds. Lexington, MA: Lexington Books. 1990. Wahid, Abdurrahman. Islam, Pluralism, and Democracy. Arizona: Center for the Study of Religion and Conflict (CSRC), 2007. Wahid, Abdurrahman. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan IslamTransnasional di Indonesia. Jakarta: the Wahid Institute. 2009. Wendt, Alexander. Social Theory of International Relations (New York: Cambridge University Press. 1999 Wollenberg, Eva, Jon Anderson and Citlalli López. Though all Things Differ: Pluralism as a Basis for Cooperation in Forests. Bogor: Center for International Forestry Research. 2005.
Jurnal Asila, Sobhi. “Confusing Hearts and Minds: Public Opinion in the Arab World.” Arab Insight 1:2(Fall 2007):13-30. Anwar, Dewi Fortuna. “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia.” Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 3(2010): 37-54. Basya, M. Hilaly. “the Concept of Religious Pluralism in Indonesia: a Study of the MUI’s Fatwa and the Debate among Muslim Scholars.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS) 1:1(Juni 2011): 69-93. Cronk, George. “Symbolic Interactionism: a Left-Meadian Interpretation." Social Theory and Practice 2:3(Spring 1973):113-133. Gillespie, Piers. “Current Issues in Indonesian Islam: Analyzing the 2005 Council of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism, and Secularism.” Journal of Islamic Studies 2:18(2007): 202-240. Hadi, Andri “Demokrasi bukan Produk Barat.” Jurnal Diplomasi 1:1(Juni 2009): 166-172.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
132
Hinnebusch,
Raymond. "The US Invasion of Iraq: Explanations and
Implications.” Critique: Critical Middle Eastern Studies 16:3(Fall 2007): 9-27. Holsti, K.J. “Nationale Role Conception in the Study of Foreign Policy.” International Quarterley 14:3 (November 1970): 233-309. Humphryes, Andrew. “Malaysia Post-9/11 Security Strategy: Winning Hearts and Minds or Legitimising the Political Status Quo.” Kajian Malaysia 28:1(2010): 21-52. İnaç, Hüsamettin. “Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process.” Journal of Economic and Social Research 6:2(2004): 33-62. Karsh, Efraim. “Geopolitical Determinism: the Origins of the Iran Iraq War”, Middle East Journal 44:2(Spring, 1990): 256-268. Kay, Lena. “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for US Foreign Policy.” Issue & Insight V:4(Agustus 2005): 1-43. Kinnvall, Catarina. “Globalization and Religious Nationalism: Self, Identity, and the Search for Ontological Security.” Political Psychology 25:5(2004): 741-767. Kettani, Houssain. “World Muslim Population: 1950-2020.” International Journal of Environmental Science and Development (IJESD) 1:2(June 2010). Maliki, Musa dan Abdullah. “Dialog Peradaban Islam Barat: Gerakan (Socio Political Culture) Kyiai Kanjeng di Eropa.” Kajian Wilayah Eropa V:2(2009): 271-288. Merskin, Debra. “The Construction of Arabs as Enemies: Post-September 11 Discourse of George W. Bush.” Mass Communication & Society 7:2(2004): 157-175. Montville, Joseph V. “Track Two Diplomacy: the Work of Healing History.” the Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations. 7(Maret 2009). Nasira, Hani. “Skepticism in the Arab World: the Base of Conspiracies.” Arab Insight 2:2(Summer 2008): 103-113.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
133
Nogués, Elisabeth Johansson. “is the EU’s Foreign Policy Identity an Obstacle? The European Union, the Northen Dimension and the Union for Mediterranean.” European Political Economy Review 9(Autumn 2009): 24-48. Nuh, Nuhrison M. “Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham Islam Radikal di Indonesia”, Harmoni VIII:31(Juli-September 2009): 35-47. Rubaidi. “Variasi Gerakan Radikal Islam di Indonesia.” Analisis XI:1(Juni 2011): 33-52. Sadeghi, Ahmad. “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and History.” the Iranian Journal of International Affairs XX:4 (Fall, 2008): 1-40. Silaen, Victor. “Tinjauan Kritis Atas Perda-perda Bermasalah.” Sociae Polites 6:25(2007): 11-24. Stackpole, H. C. “US-Indonesia Relations: Searching for Cooperation in the War Against Terrorism.” Asia Pacific Security Studies 2:2(Mei 2003). Sukma, Rizal. “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia.” Analisis CSIS 39:4(Desember 2010): 432-445. Voll, John O. “Islam and Democracy: Is Modernization a Barrier?” Religion Compass 1:1(2007): 170-178. Tan, Paige Johnson. “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and Foreign Policy.” Asian Perspective 31:3(2007): 147-181. Wendt, Alexander. “Collective Identity Formation and International Sate.” American Political Science Review 88:2(Juni 1994): 384-396. Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of Power Politics.” International Organization 46:2(Spring 1992): 391425. Yuliantoro, Ronny Prasetyo. “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak di Kawasan Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai Konsistensi Historis.” Jurnal Diplomasi 3: 2:(Juni 2011): 1-16. Zakaria,
Fareed.
“the
Rise
of Illiberal
Democracy”,
Foreign
Affairs
76:6(November/Desember 1997): 22-43.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
134
ZTF, Pradana Boy. “the Function of Fatwa in Contemporary Muslim Societies: and Indonesian Experience.” Jurnal Salam 15:1(Juni 2012): 1-13.
Majalah dan Surat Kabar “Dampak Tunisia dan Mesir ke Seluruh Arab”, Gatra, No, 14, Tahun XVII, 10-16 Februari 2011 “Dialog Antar Agama untuk Mengatasi Ketegangan Dunia”, Kompas, 6 Desember 2004. Lee, Mathew. “Clinton: Indonesia Can be Democratic Role Model.” the Jakarta Post, 24 Juli 2011. Smith, Ben. “Obama Suggest Indonesia, Chile as models for Egypt.” Politico, 2 Maret 2011.
Laporan dan Makalah Abdul Aziz Said, Mohammed Said Farsi and Nathan C. Funk, “Islam and the West: Three Stories” disampaikan dalam konferensi “The Future of IslamWest Relations”, Washington DC: Center for Strategic and International Studies American University, 30 Juni 1998. Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2010. Center for Religious and Cross-cultural Studies, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011, Yogyakarta, 2011. European Monitoring Center on Racism and Xenophobia (EUMC), “Muslim in the European Union”, EUMC 2006, Austria, 2006 International Crisis Group, “Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah”, Asia Report N⁰147, Jakarta/Brussel, Februari 2008. International Crisis Group, “Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru”, Asia Report N⁰228, Jakarta/Brussel, Juli 2012. Institute for Multi-track Diplomacy (IMTD) 2010, Annual Report 2010, Arlington, 2010 Komisi Pemilihan Umum (KPU). Modul I Pemilih untuk Pemula, Jakarta 2010.
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
135
Lembaga Survei Indonesia (LSI), Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs Nilai-Nilai Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik, Jakarta, Oktober 2007. M. Syafi’i Anwar, “Islam and Pluralism in Indonesia” dipresentasikan dalam Seminar Internasional Muslims in the East: Islam in Pluralism, Sevilla, 910 November 2009. Sebastian Harnisch, “Conceptualizing in the Minefield: Role Theory and Foreign Policy Learning” disampaikan dalam Workshop “Integrating Foreign Policy Analysis and International Relations through Role Theory” pada pada Annual ISA (Institute for Political Science) Conference, New Orleans, 15-20 February 2010. Stephen G. Walker, “Binary Role Theroy and Foreign Policy Analysis” disampaikan dalam the Foreign Policy Analysis Workshop, “Integrating Foreign Policy Analysis and International Relations Through Role Theory,” at the Annual Meeting of the International Studies Association, New Orleans, 16-20 Februari 2010. The Economist Intelligence Unit, “Democracy in Retreat”, Democarcy Index 2010, London, 2010. Turita Indah Setyani, “Bhineka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa” disampaikan pada Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi Profesi Pengajar Bahasa, Sastra, Budaya, dan Seni Daerah se-Indonesia, di Yogyakarta, 8-9 Agustus 2009. Ulrich Krotz, “Nationale Role Conception and Foreign Policies: France and Germany Compared” disampaikan pada the 97th Annual Meeting of the American Political Science Association in San Francisco, 30 August-2 September 2001. U.S. Center for Citizen Diplomacy, "Citizen Diplomacy Organizations throughout the World: Opportunities for Cooperation", U.S. Summit and Initiative for Global Citizen Diplomacy, Washington DC, 16–19 November 2010, hal. 4. Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign Policy Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
136
Studies Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20 Agustus 2011.
Pidato Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua, Bali, 8-9 December 2011. Hassan Wirajuda, “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam paparan lisan yang disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6 Januari 2004. Hassan Wirajuda, “the democratic Response” disampaikan dalam the 56th Session of the UN General Assembly , New York, 15 November 2001. Susilo Bambang Yudhoyono disampaikan sebelum Indonesian Council on World Affairs (ICWA), Jakarta, 19 Mei 2005.
Website “Deplu
& Lembaga Islam Indonesia Promosikan Islam di London”, http://news.detik.com/read/2006/07/06/071444/630011/10/deplu-lembagaislam-indonesia-promosikan-islam-di-london diakses pada Selasa, 27 November 2012, pukul 14.02 wib. Text of Bush's addres”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-0911/us/bush.speech.text_1_attacks-deadly-terrorist-acts-despicableacts?_s=PM:US pada Senin, 17 September 2012, pukul 15.40 wib. “Transcript of President Bush's address”, diakses dari http://articles.cnn.com/2001-09-20/us/gen.bush.transcript_1_joint-sessionnational-anthem-citizens?_s=PM:US pada Senin, 17 September 2012, pukul 15.50 wib. Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 14.22 wib. "Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html pada tanggal 11 Desember 2012, pukul 13.00 wib. Renne R.A Kawilarang, “Warisan Besar Menlu Hassan Wirajuda" diakses dari http://m.news.viva.co.id/news/read/98969warisan_besar_menlu_hassan_wirajuda pada Minggu, 16 Desember 2012, pukul 13.14 wib. Wawancara
Universitas Indonesia Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012
137
Wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Andrew Steven ditayangkan di CNN, 15 Juni 2011 Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012.
Universitas Indonesia
Identitas Islam..., Lelly Andriasanti, FISIP UI, 2012