UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EPILEPSI LOBUS TEMPORAL POTENSIAL RESISTEN OBAT
TESIS
ANDINI ASWAR 0906647154
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI JAKARTA JANUARI 2015
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EPILEPSI LOBUS TEMPORAL POTENSIAL RESISTEN OBAT
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SPESIALIS-1 NEUROLOGI
ANDINI ASWAR 0906647154
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI JAKARTA JANUARI 2015 i Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Andini Aswar
NPM
: 0906647154
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 16 Januari 2015
ii Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : Andini Aswar : 0906647154 : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi : Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis-1 Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing I
: dr. Fitri Octaviana, Sp.S(K), M.Pd.Ked
(
)
Pembimbing II
: dr. Astri Budikayanti, Sp.S(K)
(
)
Pembimbing III
: DR. dr. Joedo Prihartono, MPH
(
)
Penguji I
: dr. Zakiah Syeban, Sp.S(K)
(
)
Penguji II
: Dr. dr. Tiara Aninditha, Sp.S(K)
(
)
Penguji III
: Dr. dr. Yetty Ramli, Sp.S(K)
(
)
Moderator
: dr. Luh Ari Indrawati, Sp.S
(
)
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal
: 16 Januari 2015
iii Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EPILEPSI LOBUS TEMPORAL POTENSIAL RESISTEN OBAT
Mengetahui Kepala Departemen
dr. Diatri Nari Lastri, Sp.S(K)
Ketua Program Studi
dr. Eva Dewati, Sp.S(K)
Koordinator Penelitian
Dr. dr. Tiara Aninditha, Sp.S(K)
iv Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
UCAPAN TERIMAKASIH
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Puji syukur yang tak terhingga saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan nikmat yang dilimpahkan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini dan seluruh tahapan pendidikan saya di Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Shalawat dan salam saya sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis-I Departemen Neurologi FKUI/RSCM. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, selama menjalani proses pendidikan di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sampai dengan penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada: (1) Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Direktur
Rumah
Sakit
Umum
Pusat
Nasional
Cipto
Mangunkusumo, Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh jajarannya, saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan dan sarana yang telah diberikan kepada saya untuk menempuh pendidikan spesialis di Departemen Neurologi FKUI/RSCM. (2) Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, Sp.S(K), saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan, bantuan, dan kemudahan yang diberikan kepada saya selama mengenyam pendidikan dokter spesialis neurologi. (3) Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati, SpS(K), saya mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan perhatian yang diberikan kepada saya selama menjalani masa studi di Departemen Neurologi FKUI/RSCM. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada para Staf Program Studi dan Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan Staf v Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Pengajar dilingkungan Departemen Neurologi FKUI/RSCM yang telah memberikan dukungan, sarana dan prasarana selama proses pendidikan saya. (4) Para pembimbing sekaligus guru saya, yang telah memperkenalkan dan mengajarkan ilmu epilepsi kepada saya, dr. Fitri Octaviana, Sp.S(K), M.Pd.Ked terima kasih atas kesempatan, bimbingan, perhatian,dan motivasi yang diberikan kepada saya selama proses penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih atas segala kesabaran dan juga nasihat yang dokter berikan; dr. Astri Budikayanti, SpS(K), terima kasih atas semua bimbingan, kepercayaan, masukan, perhatian, dan dukungan selama proses penelitian berlangsung. Terima kasih atas waktu dan kesabaran yang diberikan hingga saya dapat menyelesaikan tesis ini;
Dr. dr. Joedo
Prihartono, MPH, selaku pembimbing statistik, saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih karena tidak pernah bosan meluangkan waktu dan pikiran dalam membantu saya selama proses penelitian. Kepada moderator dr. Luh Ari Indrawati Sp.S, terima kasih atas masukkan dan bantuan yang diberikan kepada saya selama penyusunan tesis. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala kebaikkan mereka. (5) Para penguji saya: dr. Zakiah Syeban, Sp.S(K), Dr. dr. Tiara Aninditha, Sp.S(K), Dr.dr. Yetty Ramli, Sp.S(K), terima kasih atas semua saran, pemikiran, dan perbaikkan yang telah diberikan dalam tiap tahap ujian tesis ini. Semoga Allah SWT memberikan kelimpahan rahmat kepada mereka. (6) Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Tiara Aninditha Sp.S(K) sebagai koordinator penelitian, untuk inspirasi, bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini. (7) Kepala ruangan, perawat serta staf Instalasi Rawat Jalan Departemen Neurologi, Kepala unit rekam medis beserta staf, serta seluruh pihak yang telah membantu saya dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan. (8) Dosen pembimbing akademik saya Dr. dr. Al Rasyid, SpS(K), saya menyampaikan salam hormat dan ungkapan terima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan dorongan yang diberikan kepada saya selama proses pendidikan.
vi Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
(9) Seluruh guru saya di Departemen Neurologi FKUI, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas semua ilmu, teladan, dan pengalaman yang telah diberikan selama saya menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi, semoga ilmu yang saya miliki dapat saya terapkan dengan sebaikbaiknya dalam kehidupan profesi saya, memberikan manfaat bagi masyarakat, dan kemajuan bidang neurologi. (10) Kepada seluruh perawat dan pegawai ruang rawat Neurologi di lantai 5 Gedung A RSCM, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama proses pendidikan saya berlangsung. (11) Kepada pegawai departemen neurologi yang sangat banyak membantu saya selama menjalani pendidikan di neurologi, terima kasih yang setulustulusnya. (12) Kedua orang tua saya, dr. Aswar Aboet, SpOG, K-Fer dan Dra. Rina Fauzia, terimakasih atas kasih sayang, dorongan, dukungan, nasehat, serta doa yang tiada putus-putusnya kepada saya. Sungguh saya belum dapat membalas semua yang telah mereka berikan selama ini. Semoga Allah melimpahi rahmat, rezeki, kesehatan, serta umur yang bermanfaat kepada mereka. (13) Kepada abang dan adik saya, dr. Andri Putranda Aswar, SpOG, dr. Andra Aswar SpPD, Andru Aswar, terimakasih atas dukungan, saran, dan doa yang diberikan kepada saya selama pendidikan. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada kakak ipar dan keponakkan saya tercinta yang telah memberikan keceriaan dalam keluarga saya. (14) Kepada kakek dan nenek saya, H. Zainuddin dan Alm. Hj. Djusmanidar. Saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan, nasihat, serta didikan yang diberikan sampai saat ini. Mohon maaf atas segala kekurangan saya selama masa pendidikan yang telah banyak menyita waktu saya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat serta ganjaran surga untuk mereka berdua. (15) Sahabat dan rekan satu angkatan: dr. Meidianie Camelia Sp.S, dr. Donna Octaviani Sp.S, dr. Norma Mediciani Sp.S, dr. Weirna, dr. Henry Riyanto Sofyan, terima kasih atas kerjasama, dukungan, dan kebersamaan kita selama ini. Rekan-rekan OSCE Makassar September 2014: dr. Hadet vii Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Prisdhiany, dr. Yudhisman Imran, dan dr. M. Arief Rachman, terima kasih atas kerjasama yang luar biasa. Terima kasih juga kepada dr. Ni Nengah Rida Ariarini Sp.S atas semua bantuan yang diberikan selama saya pendidikan. Tak lupa juga ucapan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh rekan-rekan junior, dan senior kerukunan PPDS Neurologi, terima kasih atas persahabatan, persaudaraan, serta bantuannya. (16)
Teman saya dr. Rahmi Ulfah, dr. Mutiara Annisa dan dr. Vina
Tri Septiana, terimakasih atas bantuan dari awal proses pendidikan dan selama penyusunan tesis saya. Akhir kata, kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya menyelesaikan pendidikan spesialis dan penerbitan tesis ini, setulus hati saya ucapkan terima kasih dan penghargaan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikkan Bapak, Ibu, Saudara, Saudari dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga tesis ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, Januari 2015
Penulis
viii Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Andini Aswar
NPM
: 0906647154
Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Departemen
: Neurologi
Fakultas
: Kedokteran
Jenis Karya
: Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EPILEPSI LOBUS TEMPORAL POTENSIAL RESISTEN OBAT beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti NonEksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengolah dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal
: 16 Januari 2015
Yang menyatakan
(Andini Aswar)
ix Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
ABSTRAK
Nama : Andini Aswar Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Judul : Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat Latar Belakang. Tatalaksana epilepsi bertujuan untuk mencapai keadaan bebas bangkitan tanpa efek samping obat, sehingga tercapai kualitas hidup optimal untuk penderita epilepsi. Saat ini tatalaksana farmakologis masih menjadi pilihan terapi yang banyak digunakan namun diduga sekitar 30% pasien akan resisten terhadap pengobatan. Epilepsi lobus temporal (ELT) merupakan epilepsi fokal yang paling sering resisten terhadap pengobatan. Kegagalan dalam merespons obat antiepilepsi (OAE) merupakan suatu masalah klinis penting. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat. Metode. Desain penelitian adalah potong lintang pada pasien ELT di Poliklinik Epilepsi RSCM. Subjek dikelompokkan menjadi potensial resisten obat dan tidak potensial resisten obat. Dilakukan wawancara dan pencatatan rekam medis mencakup usia saat onset epilepsi, frekuensi bangkitan awal, respons terhadap pengobatan pertama, etiologi epilepsi, riwayat status epileptikus, riwayat kejang demam, riwayat keluarga dengan epilepsi, gambaran CT-Scan/MRI Kepala, dan gambaran EEG. Hasil. Didapatkan 71 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 60 (84,51%) subjek potensial resisten obat. Pada analisis bivariat didapatkan hubungan bermakna antara frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan dan tidak respons terhadap pengobatan pertama dengan ELT potensial resisten obat. Pada analisis multivariat adanya riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap pengobatan pertama merupakan faktor yang berpengaruh secara independen terhadap ELT potensial resisten obat, sedangkan usia saat onset < 15 tahun, frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan, dan adanya riwayat kejang demam tidak secara independen berpengaruh terhadap ELT potensial resisten obat. Simpulan. Faktor yang mempengaruhi ELT potensial resisten obat adalah riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap pengobatan pertama sehingga perlu dievaluasi pada semua pasien ELT. Kata Kunci. Epilepsi lobus temporal, potensial resisten obat, obat antiepilepsi.
x
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Andini Aswar Study Program: Neurology Specialization Educational Programme Title : Factors influencing potential drug resistant temporal lobe epilepsy Background. The goal of management patients with epilepsy is to achieve seizure-free without medication side effects, in order to reach optimal quality of life for people with epilepsy. Currently antiepileptic drugs (AEDs) are widely used as a therapeutic option, nevertheless approximately 30% of patients are thought to be resistant to drug treatment. Temporal lobe epilepsy (TLE) is the most common type of epilepsy which is prone to be drug resistant. Failure to respond to AEDs is a problematic clinical issue. The objective of this study is to determine the factors influencing potential drug resistant temporal lobe epilepsy. Method. This was a cross sectional study involving patients with TLE in Epilepsy Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects were grouped into potential drug resistant and non potential drug resistant. Data obtained from interviews and medical records were age of onset, initial seizure frequency, response to the first AED, etiology of epilepsy, history of status epilepticus, history of febrile seizures, family history of epilepsy, head CT Scan/MRI features, and EEG features. Result. There were 71 eligible subjects. Potential drug resistant was found in 60 subjects (84,51%). In bivariate analysis there was a significant association between initial seizure frequency of ≥ 1x/month and no response to first AED with potential drug resistant TLE. In multivariate analysis, history of status epilepticus and no response to first AED are independent factors influencing potential drug resistant TLE, while age at onset < 15 years, initial seizure frequency ≥ 1x/month, and history of febrile seizures did not independently influence potential drug resistant TLE. Conclusion. Factors influencing potential drug resistant TLE are history of status epilepticus and no response to first AED and need to be evaluated in TLE patients. Keywords. Antiepileptic drugs, potential drug resistant, temporal lobe epilepsy.
xi
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... ABSTRAK ....................................................................................................... ABSTRACK .................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah ................................................................ 1.2 Rumusan masalah ......................................................................... 1.3 Tujuan penelitian .......................................................................... 1.4 Manfaat penelitian ........................................................................ 1.4.1 Bidang penelitian ................................................................. 1.4.2 Bidang pendidikan ............................................................... 1.4.3 Bidang pelayanan masyarakat ............................................. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi ............................................................................... 2.2 Epilepsi lobus temporal .............................................................. 2.2.1 Definisi ............................................................................ 2.2.2 Gejala klinis ................................................................... 2.2.3 Pemeriksaan penunjang .................................................. 2.3 Epilepsi resisten obat .................................................................. 2.3.1 Definisi ............................................................................ 2.3.2 Mekanisme selular dan molekular epilepsi resisten obat .................................................................................. 2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi resisten obat .................................................................................. 2.3.4 Pola epilepsi resisten obat ............................................... 2.3.5 Tatalaksana...................................................................... 2.4 Kerangka teori............................................................................. 2.5 Kerangka konsep......................................................................... BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain penelitian ......................................................................... 3.2 Tempat dan waktu penelitian ...................................................... 3.3 Populasi dan sampel .................................................................... 3.4 Teknik pengambilan sampel ....................................................... 3.5 Kriteria penelitian ....................................................................... 3.5.1 Kriteria inklusi ................................................................... xii
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
i ii iii v ix x xi xii xiv xv xvi 1 3 3 4 4 4 4
5 6 6 6 8 11 11 12 13 23 24 28 29
30 30 30 30 31 31
Universitas Indonesia
3.5.2 Kriteria ekslusi ................................................................... 3.6 Cara kerja .................................................................................... 3.7 Identifikasi variabel .................................................................... 3.8. Definisi operasional .................................................................... 3.9. Pengolahan dan analisa data ....................................................... 3.10 Kerangka operasional................................................................. BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik demografi .............................................................. 4.2 Karakteristik medik ..................................................................... 4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat ................................................................
31 32 33 34 37 38
39 40 41
BAB 5. PEMBAHASAN ................................................................................
45
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 6.1 Simpulan ...................................................................................... 6.2 Saran ............................................................................................
50 50 50
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
51
xiii
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Gambaran semiologi epilepsi lobus temporal-nilai lateralisasi atau lokalisasi .............................................................
7
Tabel 2.2 Faktor risiko epilepsi lobus temporal resisten obat .......................
23
Tabel 2.3 Dosis OAE untuk orang dewasa ....................................................
25
Tabel 4.1 Sebaran subjek menurut karakteristik demografi ..........................
39
Tabel 4.2.1 Sebaran subjek menurut karekteristik medik ..............................
40
Tabel 4.2.2 Frekuensi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat ...........
41
Tabel 4.3.1 Hubungan faktor penentu dengan ELT potensial resisten obat..............................................................................................
42
Tabel 4.3.2 Analisa Logistik Regresi terhadap ELT potensial resisten obat..............................................................................................
43
Tabel 4.3.3 Sebaran subjek berdasarkan gambaran atrofi hipokampus dan epilepsi potensial resisten obat .............................................
44
Tabel 4.3.4 Sebaran subjek berdasarkan jumlah terapi dan epilepsi potensial resisten obat ................................................................
xiv
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
44
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
ELT
: Epilepsi lobus temporal
mTLE
: Mesial temporal lobe epilepsy
ILAE
: International League Against Epilepsy
OAE
: Obat anti epilepsi
EEG
: Electroencephalography
PDA
: Polymorphic Delta Activity
TIRDA
: Temporal Intermitten Rhytmic Delta Activity
PLEDs
: Periodic-Lateralized Epileptiform Discharge
GABA
: Gamma-Aminobutyric acid
NAA
: N-Asetil Aspartat
MCD
: Malformation of Cortical Development
MRI
: Magnetic Resonance Imaging
MRS
: Magnetic Resonance Spectroscopy
SPECT
: Single Photon Emission Computed Tomography
FDG-PET
: Fluorodeoxyglucose Positron Emission Tomography
P-gp
: P-glycoprotein
ABC
: Adenosine triphosphate (ATP)-Binding Cassete
MDR
: Multiple Drug Resistance
ADPEAF
: Autosomal dominant epilepsy with auditory features
FTLE
: Familial temporal lobe epilepsy
xv
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Formulir data pasien .....................................................................
55
Lampiran 2 Jadwal penelitian ..........................................................................
58
Lampiran 3 Anggaran penelitian ......................................................................
59
Lampiran 4 Surat keterangan lolos kaji etik ....................................................
60
Lampiran 5 Surat keterangan persetujuan izin penelitian ................................
61
xvi
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tatalaksana epilepsi bertujuan untuk mencapai keadaan bebas bangkitan tanpa efek samping obat, sehingga tercapai kualitas hidup optimal untuk penderita epilepsi.1 Saat ini tatalaksana farmakologis masih menjadi pilihan terapi yang banyak digunakan. Akan tetapi diduga sekitar 30% pasien akan mengalami epilepsi resisten obat dan tetap mengalami bangkitan meskipun telah menggunakan politerapi dengan dosis optimal.2 Epilepsi Lobus Temporal (ELT) merupakan bentuk epilepsi fokal yang paling sering ditemukan dengan prevalensi mencapai 30-40% dari seluruh epilepsi.3 ELT adalah epilepsi fokal yang paling sering resisten terhadap pengobatan. 4 Kegagalan dalam merespons obat antiepilepsi (OAE) ini merupakan suatu masalah klinis penting yang dapat menimbulkan konsekuensi dibidang medis, sosial, dan ekonomi.5 Risiko kematian pada pasien epilepsi resisten obat dapat mencapai 2-10 kali lebih besar dibandingkan populasi umum dimana bentuk kematian tiba-tiba yang tidak diharapkan (sudden unexpected death in epilepsy) merupakan bentuk kematian yang paling sering ditemukan.6 Bangkitan yang tidak terkontrol berhubungan dengan meningkatnya risiko efek samping obat, menimbulkan
komplikasi
psikiatri
meningkatkan
penggunaan
layanan
seperti dan
depresi,
biaya
gangguan
kesehatan,
kognitif,
menyebabkan
pembatasan lapangan kerja dan sosial, menimbulkan luka fisik, serta kematian.5 Penelitian oleh Wiratman (2012) di RSCM melaporkan sebanyak 68,3% pasien ELT mengalami bangkitan yang menetap dimana 20,9% diantaranya telah menggunakan politerapi.7 Kemungkinan penyebab tidak terkontrolnya bangkitan pada sebagian pasien ELT ini salah satunya karena telah terjadi resistensi terhadap OAE yang digunakan dan epilepsi telah berkembang menjadi epilepsi resisten obat. Epilepsi resisten obat menurut International League Against Epilepsy (ILAE) adalah kegagalan penggunaan dua (atau lebih) OAE yang adekuat, dapat Universitas Indonesia
1
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
2
ditoleransi, dipilih secara tepat, menggunakan jadwal pemberian OAE baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi untuk mencapai keadaan bebas bangkitan.8
Untuk
kepentingan
klinis
terdapat
skala
resistensi
yang
mengklasifikasikan epilepsi resisten obat menjadi potensial, probable, dan definit. Potensial resisten obat yaitu apabila tidak tercapai bebas bangkitan dengan penggunaan OAE kurang dari 1 tahun, dan terdapatnya faktor prediktor resistensi obat. Probable resisten obat adalah jika tidak ditemukan bebas bangkitan selama lebih dari 1 tahun dengan penggunaan minimal dua macam OAE. Sedangkan definit resisten obat yaitu jika tidak ditemukan bebas bangkitan selama lebih dari 1 tahun setelah 5 tahun pengobatan dengan minimal 3 macam OAE.9 Evaluasi sedini mungkin adanya epilepsi resisten obat perlu dilakukan untuk menghindari akibat-akibat yang mungkin terjadi karena tidak terkontrolnya bangkitan pada pasien epilepsi. Dengan demikian dapat diambil langkah-langkah yang tepat dalam tatalaksana penyakit. Pada pasien epilepsi apabila dengan dua atau lebih regimen OAE tidak dapat mencapai kondisi bebas bangkitan, maka diagnosis epilepsi harus dievaluasi kembali. Dalam hal ini jika kemudian diagnosis epilepsi resisten obat ditegakkan maka harus dipertimbangkan kemungkinan dilakukannya tatalaksana nonmedikamentosa seperti pembedahan maupun terapi paliatif lainnya.9 Penelitian terhadap operasi epilepsi telah banyak dilakukan dan sebagian besar pada pasien ELT. Dari penelitian-penelitian ini didapatkan keluaran jangka panjang berupa tercapainya keadaan bebas bangkitan pada pasien ELT pascaoperasi lebih baik dibandingkan epilepsi ekstratemporal.10 Untuk memudahkan dalam deteksi dini kelainan ini, beberapa studi mengevaluasi faktor risiko yang berperan dalam terjadinya epilepsi resisten obat. Kwan dkk (2000) menyebutkan frekuensi bangkitan awal yang tinggi dan respons yang tidak adekuat terhadap pengobatan pertama merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi resisten obat.2 Pittau dkk (2009) melaporkan kejang demam, sklerosis temporal mesial, usia dini saat onset bangkitan, dan gambaran EEG yang abnormal merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi resisten obat.11 Wassenaar dkk (2013) dalam sebuah systematic review melaporkan usia muda saat onset bangkitan, penyebab simtomatik, frekuensi bangkitan awal yang tinggi, riwayat medis seperti Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
3
kejang demam dan status epileptikus, gambaran EEG (Electroencephalography) yang abnormal, dan kegagalan penggunaan OAE sebelumnya merupakan faktor prognostik independen terjadinya epilepsi resisten obat pada minimal 2 dari 11 penelitian.12 Mengetahui faktor risiko epilepsi resisten obat merupakan suatu keharusan dalam tatalaksana epilepsi dan perlu dievaluasi pada semua pasien.9 Dengan mengetahui faktor-faktor ini diharapkan dapat dilakukan identifikasi awal pasien yang berisiko mengalami epilepsi resisten obat, diberikan tatalaksana yang sesuai, sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat tidak terkontrolnya bangkitan, menghindari penggunaan OAE yang tidak efektif, dan memungkinkan dilakukannya konseling lebih awal mengenai pilihan pengobatan, termasuk operasi epilepsi sebagai pengobatan yang berpotensi kuratif.5,13 Di Poliklinik Epilepsi RSCM belum terdapat data mengenai prevalensi epilepsi lobus temporal resisten obat pada orang dewasa. Berdasarkan penelitian Wiratman (2012) sebagian besar pasien dengan bangkitan tidak terkontrol masih menggunakan monoterapi sedangkan pasien yang menggunakan politerapi hanya 20,6%. Oleh sebab itu sebagai gambaran awal penulis ingin mengetahui proporsi epilepsi lobus temporal yang potensial resisten obat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Berapa proporsi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat 1.3 Tujuan penelitian 1. Mengetahui proporsi pasien epilepsi lobus temporal potensial resisten obat di Poliklinik Epilepsi RSCM.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
4
2. Mengetahui faktor-faktor berupa usia onset epilepsi, frekuensi bangkitan awal, respons terhadap OAE pertama, etiologi epilepsi, gambaran CT scan/MRI kepala, gambaran EEG, riwayat status epileptikus, riwayat kejang demam, dan riwayat keluarga dengan epilepsi yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat.
1.4 Manfaat penelitian 1.4.1
Bidang penelitian Hasil penelitian ini dapat dipakai untuk mengetahui faktor-faktor yamg mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat dan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.
1.4.2
Bidang pendidikan Penelitian ini merupakan sarana untuk berlatih melakukan penelitian sesuai dengan metodologi penelitian.
1.4.3
Bidang pelayanan masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dokter untuk deteksi dini epilepsi lobus temporal potensial resisten obat dengan mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhinya yang dapat menjadi suatu tanda awal terjadinya epilepsi resisten obat dikemudian hari. Sehingga dapat dipertimbangkan untuk tatalaksana nonmedikamentosa.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Prevalensi epilepsi di negara maju bervariasi dari 4-10 kasus per 1000 orang. Di negara berkembang jumlah ini meningkat dengan rata-rata 14-57 kasus per 1000 orang. Epilepsi parsial dapat ditemukan pada 60% kasus epilepsi dan ELT merupakan bentuk epilepsi parsial yang paling banyak ditemukan dengan prevalensi mencapai 30-40% dari seluruh epilepsi.3,14 Pada penelitian berbasis rumah sakit oleh Semah dilaporkan dari 2200 pasien dengan epilepsi sebanyak 62,2% merupakan epilepsi parsial. Dari kasus ini sebanyak 66% adalah epilepsi lobus temporal, 25% epilepsi frontal, 3% oksipital, 2% parietal, dan 3% multilobar.4 Penelitian lain pada pasien epilepsi yang menjalani operasi didapatkan sebanyak 73% adalah epilepsi lobus temporal dan 27% ekstratemporal. Pada penelitian yang berbeda dilaporkan dari 100 pasien yang menjalani reseksi, sebanyak 76% adalah epilepsi lobus temporal, 23% frontal, dan 1% parietal.15 Epilepsi resisten obat dapat ditemukan pada 30-40% pasien epilepsi.9 Kurang lebih 60% pasien dengan epilepsi parsial memiliki bangkitan yang sulit terkontrol. ELT merupakan epilepsi parsial yang paling sering resisten obat.16 Semah melaporkan hanya 20% dari pasien dengan ELT yang mengalami bebas bangkitan.4 Penelitian lain oleh Pittau melaporkan pada ELT mesial sebanyak 79,4% pasien resisten terhadap pengobatan.11 Pada penelitian dengan skala yang lebih kecil oleh Wiratman didapatkan sebanyak 68,3% pasien ELT memiliki bangkitan yang tidak terkontrol.7
Universitas Indonesia
5
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
6
2.2 Epilepsi Lobus Temporal 2.2.1 Definisi Epilepsi adalah suatu keadaan
yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Epilepsi lobus temporal berdasarkan klasifikasi ILAE 1989 termasuk dalam localized-related symptomatic epilepsy.1 Pada ELT bangkitan dapat berasal dari lobus temporal baik struktur mesial dan/atau neokortikal. Definisi ini didasari oleh gambaran klinis ditambah dengan gambaran EEG. Selain itu juga disarankan penggunaan beberapa pemeriksaan tambahan untuk menunjang diagnosis seperti pemeriksaan pencitraan (imaging).14 2.2.2 Gejala Klinis Bangkitan yang berasal dari lobus temporal memiliki onset yang lebih bertahap, gejala dapat berkembang dalam waktu lebih dari satu menit, dengan durasi bangkitan yang lebih panjang dan terdapat periode pascaiktal. Beberapa pasien akan mengalami gejala preiktal yang berlangsung beberapa menit, jam, hingga hari dapat berupa sakit kepala, perubahan kepribadian, mudah marah, cemas, atau gugup. Gejala ini dapat dikenali oleh keluarga dan teman tapi bukan oleh pasien.15,16 Pada ELT bangkitan seringkali didahului oleh aura, dapat berupa aura viseral, sefalik, pengecapan, penciuman, dan pendengaran. Aura dapat terjadi beberapa detik hingga 1-2 menit sebelum hilangnya kesadaran. Pada ELT mesial, aura epigastrik merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, yaitu berupa rasa tidak nyaman di derah epigastrium yang berhubungan dengan gejala otonom (warna kulit, denyut nadi, tekanan darah, diameter pupil, piloereksi).
Aura
eksperiental dan psikis seperti deja-vu (perasaan terbiasa/akrab) sering ditemukan pada benign familial TLE syndrome. Kedua tipe aura ini lebih sering ditemukan pada ELT dengan fokus temporal kanan, sedangkan pada ELT kiri dapat berupa Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
7
menggigil dan merinding. Aura pendengaran menunjukkan fokus pada lobus temporal lateral. Halusinasi penciuman atau pengecapan jarang ditemukan, namun biasanya berhubungan dengan keterlibatan dari kortek entorhinal atau insula.15,16,17 Mengikuti aura, bangkitan dapat berkembang menjadi bangkitan parsial kompleks. Bangkitan parsial kompleks lobus temporal mesial dapat berupa motor arrest, oroalimentary automatisms (lip smacking, mengunyah, menelan), atau automatisme ekstremitas seperti membuka kancing, mengusap-usap, dan lain-lain. Automatisme dapat dibagi dua yaitu de novo dan preservatif. Automatisme de novo dapat terjadi spontan, berupa fenomena “release” yaitu aksi yang secara normal dihambat atau fenomena “reaktif” apabila terjadi sebagai reaksi terhadap stimulus eksternal. Contoh pasien minum dari gelas yang diletakkan di tangan atau mengunyah permen karet yang diletakkan dimulut. Automatisme preservatif berupa kelanjutan dari tindakkan motor kompleks yang dimulai sebelum onset bangkitan, misalnya membuka dan menutup pintu berulang kali. Automatisme ditemukan pada hampir 2/3 bangkitan parsial kompleks yang berasal dari lobus temporal mesial.
15,16,17
Bangkitan lobus temporal biasanya ditandai oleh fese
pascaiktal yang lebih panjang dan konfusi. 15,16 Tabel 2.1 Gambaran semiologi epilepsi lobus temporal- nilai lateralisasi atau lokalisasi16 Semiologi Automatisme Automatisme ekstremitas unilateral Automatisme oral Kedipan mata unilateral Batuk postiktal Menyeka hidung postiktal (nose wiping) Meludah atau minum (iktal) Tertawa (Gelastic seizure) Menangis (Dacrystic seizure) Bersiul
Lokasi Ipsilateral fokus Lobus temporal (mesial) Ipsilateral fokus Lobus temporal Ipsilateral lobus temporal Fokus Lobus temporal (Kanan) Temporal (m), hipotalamus, frontal (singulata) Temporal (m), hipotalamus Lobus temporal
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
8
Otonom Muntah iktal Dorongan berkemih Piloereksi
Fokus lobus temporal (Kanan) Fokus lobus temporal (Kanan) Fokus lobus temporal (Kiri)
Motor Kepala menoleh diawal tanpa paksaan Late version Mata deviasi Sentakan klonik fokal Asymmetrical clonic ending Fencing Bentuk 4 Sikap tonik ekstremitas Paresis iktal unilateral Todd’s paresis postiktal
Ipsilateral fokus Kontralateral fokus Kontralateral fokus Fokus perirolandik kontralateral Fokus ipsilateral Kontralateral (supplementary motor) Kontralateral fokus Kontralateral fokus Kontralateral fokus Kontralateral fokus
Speech Ictal speech arrest Ictal speech preservation Afasia postiktal
Lobus temporal (hemisfer dominan) Lobus temporal (nondominan) Lobus temporal (hemisfer dominan)
2.2.3 Pemeriksaan Penunjang Electroencephalographic (EEG) Gambaran EEG interiktal pada pasien ELT dapat menunjukkan adanya perlambatan fokal, gelombang epileptiform ipsilateral (gelombang tajam dan gelombang paku) atau dapat normal. Penggunaan elektroda anterior temporal (T1,T2) atau elektroda invasif sfenoid untuk melengkapi perekaman EEG standar dapat meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi aktivitas epileptiform temporal mesial. Aktivitas epileptiform dapat unilateral atau bilateral.15 Focal polymorphic delta activity (PDA) sering ditemukan pada pasien epilepsi parsial. Gambaran ini dapat berhubungan dengan adanya kelainan struktural, dan nilai prediksinya untuk epilepsi rendah. Namun, apabila tidak ada kelainan struktural yang dapat menjelaskan perlambatan fokal yang terusmenerus, maka PDA berhubungan dengan terjadinya bangkitan pada 50% pasien. Temporal intermittent rhythmical delta activity (TIRDA) merupakan bentuk perlambatan lain yang dapat ditemukan dan sangat erat kaitannya dengan ELT. Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
9
Gambaran ini dapat berlangsung 3-20 detik dan sering ditemukan bersama dengan gelombang epileptiform interiktal. Periodic Lateralized Epileptiform Discharge (PLEDs) merupakan gelombang tajam dengan amplitudo sedang-tinggi dan frekuensi 0.5-2 Hz. PLEDs sering ditemukan pada lesi destruktif akut dan biasanya perbaikan dalam beberapa hari-minggu. Gambaran ini berhubungan dengan adanya bangkitan klinis yang selanjutnuya dapat berkembang menjadi epilepsi. Sebanyak 70-80% pasien dengan PLEDs pada gambaran EEG menunjukkan bangkitan klinis yang jelas, dimana 3%-66% dapat berkembang menjadi epilepsi.18 Gambaran EEG iktal pada bangkitan parsial menunjukkan onset, evolusi, dan akhir yang jelas. Gambaran awal seringkali tidak spesifik apakah fokal atau desinkronisasi umum, voltase rendah aktivitas cepat, fokal iregular atau aktivitas delta bilateral. Gambaran onset EEG iktal yang khas berupa aktivitas ritmik 5-9 Hz pada regio temporal atau penekanan fokal aktivitas latar belakang yang berhubungan dengan aktivitas cepat voltase rendah diikuti oleh aktivitas 5-9 Hz, atau gelombang tajam. Saat terjadi evolusi bangkitan, gambaran EEG menunjukkan perubahan dari amplitudo rendah aktivitas cepat menjadi aktivitas dengan amplitudo tinggi dan frekuensi lebih lambat. Apabila bangkitan berakhir maka terlihat aktivitas lambat yang kurang berirama dibanding saat iktal.18 Pada pasien dengan epilepsi lobus temporal mesial (MTLE), gambaran EEG interiktal sering memperlihatkan adanya gelombang paku pada temporal anterior. Sebuah penelitian menyebutkan irama 5-9 Hz selama lebih dari 5 detik menunjukkan onset pada lobus temporal mesial. Sedangkan irama 2-5 Hz yang dapat berkembang menjadi 5-9Hz menunjukkan onset pada daerah neokortikal lateral.15 Aktivitas perlambatan fokal pascaiktal ditemukan pada 70% bangkitan dan gambaran ini secara konsisten menunjukkan dengan tepat sisi onset bangkitan pada 90% pasien. Pada epilepsi lobus temporal neokortikal aktivitas epileptiform interiktal dan aktivitas iktal terdistribusi lebih luas dan menyebar hingga daerah parasagital. Aktivitas iktal lebih lambat, dan amplitudo seringkali lebih tinggi pada daerah parasagital.18 Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
10
Perekaman EEG juga dapat dilakukan dengan long-term video EEG monitoring. Video dan EEG monitoring merupakan pemeriksaan yang perlu dilakukan pada pasien epilepsi yang direncanakan untuk intervensi bedah. Pada pasien epilepsi resisten obat
dengan beberapa bangkitan dalam sehari maka
sebelum pemeriksaan biasanya obat antiepilepsi akan tetap dilanjutkan, akan tetapi apabila jumlah bangkitan lebih sedikit maka obat antiepilepsi akan diturunkan atau bahkan dihentikan selama perawatan sehingga memungkinkan terjadinya bangkitan secara terkendali. Data EEG iktal dan interiktal yang memadai dapat membantu menentukan lokasi bangkitan pada localized relatedepilepsy. Neurologis dapat mengevaluasi apakah terdapat satu fokus, banyak fokus, atau bangkitan umum. 19 Pencitraan (neuroimaging) Pemeriksaan pencitraan otak diperlukan untuk mengevaluasi adanya kelainan struktural. MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan. Direkomendasikan pemeriksaan MRI 1,5T atau 3T. Pemberian kontras tidak selalu diperlukan kecuali terdapat indikasi seperti pada kasus-kasus tumor otak.19 Protokol rutin MRI yang harus dilakukan termasuk sekuens T1 dan T2 weighted, proton density dan fluid attenuated inversion recovery (FLAIR). Indikasi pemeriksaan MRI pada pasien epilepsi menurut ILAE tahun1997 yaitu bangkitan fokal, bangkitan umum atau tidak dapat diklasifikasikan pada usia ≤ 1 tahun atau pada usia dewasa, terdapat defisit neurologis atau neuropsikologis pada pemeriksaan, kesulitan mencapai kontrol bangkitan dengan OAE lini pertama, bangkitan tidak terkontrol atau perubahan pola bangkitan. Di negara maju, kelainan struktural yang paling sering ditemukan pada pasien epilepsi resisten obat adalah sklerosis hipokampus dan malformation of cortical development (MCD). Setelah itu diikuti oleh malformasi vaskular, tumor, paska trauma, lesi inflamasi atau iskemik.20 Pemeriksaan pencitraan lainnya berupa magnetic resonance spectroscopy (MRS). MRS dapat mengukur metabolit tertentu di otak berupa N-asetilaspartat
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
11
(NAA), kolin, kreatinin, laktat, GABA, dan glutamat. Pada pasien ELT, MRS dapat menilai lateralisasi fokus bangkitan hingga 80-90%.20 Pencitraan single photon emission computed tomography (SPECT) mengukur perubahan aliran darah otak pada daerah dengan aktivitas epileptiform. Pemeriksaan pada saat iktal atau segera setelah fase pascaiktal menunjukkan area hiperperfusi akut, sedangkan pada saat interiktal menunjukkan area hipoperfusi. Gambaran SPECT pada saat iktal memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi dalam melokalisasi onset bangkitan pada ELT resisten obat. Pada bangkitan parsial kompleks pemeriksaan ini dapat melokalisasi fokus bangkitan dengan tepat pada lebih dari 90% pasien ELT. Pada saat pascaiktal sensitivitas dan spesifisitas berkurang dimana ketepatan lokalisasi fokus bangkitan hanya ditemukan pada 70% pasien ELT, dan lebih rendah lagi pada saat interiktal (4050%). Namun, penelitian menunjukkan bahwa modalitas ini sangat bermanfaat pada bangkitan lobus temporal. Penting diketahui bahwa hiperperfusi yang terlihat pada SPECT setelah bangkitan melibatkan seluruh area yang terlibat dalam bangkitan, tidak hanya fokus bangkitan. Kelemahannya adalah pemeriksaan ini tidak bermanfaat pada pasien dengan fokus multipel atau bilateral karena hanya akan memperlihatkan fokus bangkitan yang aktif pada saat pemeriksaan.19,20 Pencitraan dengan fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET) juga bermanfaat untuk mengevaluasi fokus bangkitan. Metode ini menunjukkan area hipometabolisme dan hipermetabolisme glukosa pada jaringan otak. Pada ELT saat interiktal
terlihat hipometabolisme gkukosa ipsilateral
dengan fokus bangkitan pada 60-90% pasien. FDG-PET lebih bermanfaat dalam melateralisasi dibandingkan melokalisasi fokus bangkitan.19,20
2.3 Epilepsi Resisten Obat 2.3.1 Definisi Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi resisten obat adalah kegagalan penggunaan dua (atau lebih) obat antiepilepsi Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
12
(OAE) adekuat, dapat ditoleransi, dipilih secara tepat, menggunakan jadwal pemberian OAE (baik sebagai terapi tunggal atau kombinasi) untuk mencapai keadaan bebas bangkitan. Epilepsi resisten obat juga dikenal sebagai epilepsi refrakter, intraktabel atau farmakoresisten.8 Bebas bangkitan atau responsif obat adalah bebas dari semua bentuk bangkitan termasuk aura selama minimal 12 bulan atau selama tiga kali interval antar bangkitan terpanjang sebelum pengobatan. Jika terjadi bangkitan berulang setelah diberikan pengobatan yang adekuat maka terjadi kegagalan pengobatan.8 Pengobatan adekuat adalah pengobatan dengan dosis yang efektif secara klinis dalam jangka waktu yang cukup panjang. Tepat dalam hal ini adalah sebelumnya telah terbukti efektif, terutama melalui randomized controlled studies, dengan level of evidance tertinggi.8 Untuk kepentingan klinis berdasarkan durasi epilepsi dan pengobatan, kontrol bangkitan, serta jumlah obat antiepilepsi yang digunakan, terdapat skala resistensi yang mengklasifikasikan epilepsi menjadi:9 1. Potensial Tidak ditemukan bebas bangkitan dengan penggunaan OAE kurang dari 1 tahun, dan terdapat faktor prediktor terjadinya resisten obat. 2. Probable Tidak ditemukan bebas bangkitan selama lebih dari 1 tahun dengan minimal dua macam OAE. 3. Definit Tidak ditemukan bebas bangkitan selama lebih dari 1 tahun setelah 5 tahun pengobatan dengan minimal 3 macam OAE.
2.3.2 Mekanisme selular dan molekular epilepsi resisten obat Salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya epilepsi resisten obat adalah terdapatnya gangguan penetrasi obat ke dalam otak yang disebabkan oleh adanya transporter effluks. Salah satu dari transporter effluks ini adalah PUniversitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
13
glycoprotein (P-gp). P-gp merupakan pompa effluks aktif yang berasal dari superfamili protein adenosine triphosphate (ATP)-binding cassete (ABC). P-gp di kode oleh dua gen yaitu multiple drug resistance 1 (MDR-1) dan multiple drug resistance 2 (MDR 2) yang berlokasi di kromosom 7q21.1. Protein yang terletak pada sel endotel kapiler ini bekerja sebagai pompa effluks mengembalikan obat yang masuk ke dalam sel kembali ke darah. P-gp dan transporter obat lainnya kemudian ditemukan pada lobus temporal pasien epilepsi resisten obat yang menjalani temporal lobektomi. Overekspresi dari P-gp dan transporter effluks lainnya di sekitar fokus epileptik dapat menyebabkan epilepsi resisten obat.21,22 Teori lain yang mendasari ELT resisten obat adalah hilangnya sensitivitas OAE pada target obat tertentu. Beberapa penelitian menyebutkan hilangnya farmakosensitivitas obat yang bekerja pada kanal natrium (Na) dapat ditemukan pada hewan coba maupun pasien dengan ELT resisten obat. Selain kanal Na target obat lain yang mungkin berubah pada ELT resisten obat adalah gamma aminobutyric acid (GABA)A. Reorganisasi reseptor GABAA dapat ditemukan pada hipokampus pasien ELT, menyebabkan berkurangnya potensi OAE yang bekerja meningkatkan inhibisi GABAergik via reseptor GABA.21 2.3.3 Faktor –faktor yang mempengaruhi epilepsi resisten obat Etiologi epilepsi Penelitian
menunjukkan
terdapat
beberapa
faktor
yang
dapat
mempengaruhi terjadinya epilepsi resisten obat. Salah satu faktor yang penting adalah etiologi epilepsi. Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 kategori yaitu idiopatik, kriptogenik, simtomatik.
Penelitian jangka panjang selama 30 tahun
pada anak dengan epilepsi menunjukkan hanya 13% pasien dengan epilepsi umum idiopatik dan tidak ada kasus pasien dengan epilepsi fokal idiopatik yang menjadi resisten obat. Di lain pihak pada kasus yang lebih jarang sebanyak 78% pasien dengan epilepsi umum simtomatik tidak mengalami remisi dan pada kasus yang lebih sering sebanyak 49% pasien dengan epilepsi parsial simtomatik juga tidak mengalami remisi. Hal ini menunjukkan bahwa epilepsi idiopatik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan epilepsi simtomatik. Pada Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
14
penelitian lainnya disebutkan 82% pasien dengan bangkitan umum idiopatik mengalami 1 tahun bebas bangkitan dibandingkan dengan hanya 35% pasien dengan epilepsi parsial simtomatik dan 45% pasien dengan epilepsi parsial kriptogenik.9,23 Ada tidaknya penyebab simtomatik merupakan faktor prognosis penting terjadinya remisi yang telah dibuktikan melalui banyak penelitian. Penyebab simtomatik dari epilepsi baik bawaan atau didapat merupakan kondisi yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan kerusakkan otak hingga meningkatkan risiko epilepsi. Kasus epilepsi umum resisten obat pada anak dapat berupa sindrom Ohtahara, sindrom West, sindrom Dravet, dan sindrom Lennox-Gastaut. Pada epilepsi fokal, sklerosis hipokampus, kortikal displasia, dan perdarahan seringkali berkaitan dengan epilepsi resisten obat. Lokasi dari zona epileptogenik juga berperan dalam terjadinya epilepsi resisten obat. Lobus temporal mungkin merupakan area yang paling epileptogenik dan merupakan epilepsi fokal yang paling sering ditemukan. 9 Penyebab simtomatik Seiring dengan perkembangan pemeriksaan MRI, beberapa penelitian memperlihatkan hubungan antara penyebab epilepsi dengan kontrol bangkitan. Sebuah penelitian menyebutkan epilepsi resisten obat dapat ditemukan pada 97% pasien dengan sklerosis hipokampus dan malformasi perkembangan kortikal (dual patologi) di lobus temporal, 89% pasien dengan sklerosis hipokampus saja, 76% pasien dengan malformasi perkembangan kortikal saja, 65% pasien dengan cedera otak, 50% pasien dengan malformasi vaskular, dan hanya 46% pasien dengan epilepsi pascastroke. Penelitian lain menemukan bahwa sklerosis temporal mesial dan kortikal displasia memiliki prognosis yang buruk, dengan rata-rata masingmasing 58% dan 46% tidak mengalami bebas bangkitan, diikuti oleh tumor (37%), stroke (33%), dan malformasi arteriovenous (22%). Epilepsi pascastroke memiliki rata-rata remisi yang lebih baik dibandingkan pasien dengan tumor otak. Sebuah penelitian menyebutkan kebanyakkan epilepsi pascastroke akan mengalami bebas bangkitan, hanya 2% pasien yang mengalami bangkitan Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
15
berulang ketika dalam pengobatan.24 Penelitian lain melaporkan risiko terjadinya bangkitan pascastroke adalah 4,1% setelah infark serebri, 18,2% setelah perdarahan intraserebri, dan 27,8% setelah perdarahan subarachnoid.25 Sklerosis hipokampus merupakan kelainan yang banyak ditemukan pada pasien ELT resisten obat, sehingga seringkali diduga bahwa sklerosis hipokampus berperan dalam mekanisme terjadinya epilepsi ini. Di hipokampus, girus dentate biasanya berfungsi sebagai gerbang resistensi tinggi atau filter yang mencegah penyebaran aktivitas sinkron yang berasal dari kortek entorhinal ke daerah hipokampus yang rentan terjadi bangkitan. Pada pasien dengan ELT dan hewan coba dengan ELT hilus GABAergik interneuron hilang, sehingga sel-sel granul dentate membentuk jaringan sinaps yang saling berhubungan menyebabkan fungsi girus dentate sebagai filter atau gerbang terganggu. Diduga hilangnya neuron pada hilus girus dentate berkaitan dengan terjadinya disinhibisi sel granul dan hipereksitabilitas yang mendasari terjadinya fokus bangkitan pada daerah hipokampus. Sebuah penelitian dilakukan untuk melihat apakah perubahan morfologi hipokampus berkaitan dengan resistensi terhadap OAE. Penelitian ini membandingkan kerusakkan hipokampus pada tikus percobaan dengan epilepsi yang respon atau tidak dengan fenobarbital. Dari penelitian ini didapatkan hilangnya neuron yang signifikan pada CA1, CA3c/CA4 dan hilus dentate paling banyak ditemukan pada kelompok nonresponders (>90%), sedangnya pada sebagian besar responders (>90%) tidak berbeda dengan kontrol nonepilepsi. Hal ini memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara farmakoresisten dan farmakoresponsif epilepsi. Berdasarkan hasil observasi ini, perubahan fungsional pada girus dentate sebagai respons terhadap hilangnya sel hilus berperan dalam terjadinya resistensi obat antiepilepsi. Perubahan struktural dan fungsional jaringan ini juga dapat mempengaruhi target obat antiepilepsi. Hal ini kemudian mendasari timbulnya hipotesis jaringan pada mekanisme terjadinya epilepsi resisten obat. 26 Epilepsi juga dapat terjadi pascatrauma kepala. Penelitian menyebutkan cedera ringan tanpa adanya fraktur tulang kepala, dan dengan amnesia Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
16
pascatrauma kurang dari 30 menit tidak meningkatkan risiko terjadinya epilepsi dibandingkan dengan cedera kepala yang lebih berat. Sekitar 75% pasien akan mengalami bangkitan pertama kalinya 1 tahun pascatrauma. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara bangkitan yang terjadi dalam minggu pertama dengan bangkitan yang terjadi kemudian sebagai faktor risiko terjadinya bangkitan berulang. Bangkitan yang terjadi segera setelah cedera kepala (immediately) tidak memberi prognosis buruk untuk terjadinya kejang berulang. Penelian menyebutkan 25% pasien dengan early seizure (bangkitan yang terjadi dalam 7 hari setelah trauma) akan mengalami epilepsi dikemudian hari dibandingkan dengan hanya 3% pasien tanpa early seizure. Ketika faktor risiko lain seperti adanya fraktur impresi tulang kepala dan perdarahan otak di ekslusi maka didapatkan epilepsi hanya terjadi pada 1,2% pasien yang tidak mengalami early seizure dibandingkan dengan 51% pasien dengan early seizure. Faktor lainnya yang meningkatkan risiko terjadinya epilepsi pascatrauma adalah adanya perdarahan intrakranial (31%) dan fraktur impresi (15%). Pada pasien tanpa gambaran ini post traumatic amnesia yang lebih lama meningkatkan risiko terjadinya epilepsi. Prognosis epilepsi pascatrauma lebih buruk dibandingkan dengan epilepsi tanpa ada penyebab yang ditemukan. Penelitian menyebutkan rata-rata remisi hanya 50%. Prognosis yang lebih buruk ditemukan pada bangkitan yang berasal dari lobus temporal.25 Tumor merupakan penyebab epilepsi yang jarang ditemukan. Diagnosis tumor sebagai penyebab epilepsi biasanya didasari oleh adanya gejala defisit neurologis fokal, gambaran EEG fokal yang abnormal, dan dari gambaran neuroimaging. Pasien-pasien dengan tumor jinak lebih besar kemungkinan untuk mengalami epilepsi. Epilepsi juga dapat terjadi setelah infeksi otak. Risiko terjadinya epilepsi setelah ensefalitis viral diperkirakan mencapai 10-25%, dan 310% setelah meningitis bakterial, terutama apabila ditemukan defisit neurologis yang menetap.25
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
17
Genetik Adanya polimorfisme gen diduga berperan dalam terjadinya epilepsi resisten obat. Hal ini menjelaskan kenapa suatu lesi otak yang serupa dapat menyebabkan resistensi obat pada beberapa pasien tapi tidak pada sebagian lainnya. Obat-obatan epilepsi juga memiliki efektifitas yang tidak dapat diprediksi, reaksi efek samping dan dosis optimal yang berbeda untuk masingmasing individu pasien sehingga hal ini dianggap sebagai konsekuensi dari variasi genetik. Semakin jelas bahwa polimorfisme genetik berperan dalam variasi farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obat antiepilepsi. Polimorfisme nukleotida tunggal yaitu variasi pada satu sisi DNA merupakan bentuk variasi genom yang paling sering ditemukan dan dapat mempengaruhi efektifitas, tolerabilitas, dan durasi kerja obat-obat antiepilepsi. Target obat dan transporter obat juga dapat dipengaruhi oleh variasi genetik. Dua
polimorfisme gen
dikaitkan dengan resistensi OAE yaitu reseptor GABAB dan glikoprotein P170 (Pgp atau MDR 1 untuk multi drug resistance protein 1). Sehubungan dengan reseptor GABAB, polimorfisme A/G pada posisi 1465 berperan dalam substitusi Gly489Ser pada reseptor, yang dapat mengganggu fungsional. Sebuah penelitian melaporkan sebanyak 17%
pasien dengan epilepsi lobus temporal memiliki
genotip A/G dibandingkan hanya 0,5% pada populasi normal. Pada penelitian ini genotip A/G menunjukkan odds rasio 6,47 untuk berkembang menjadi resistensi obat. Meskipun demikian ternyata temuan ini tidak ditemukan pada penelitian lainnya.24 Berkaitan dengan gen P-gp atau gen ABCB1 (ATP binding cassette subfamily B 1 gene), banyak studi fokus pada polimorfisme 3435C-T, meskipun varian genetik lainnya juga dijelaskan (1236C-T, 2677G-T). Polimorfisme 3435CT berhubungan dengan ekspresi P-gp yang tinggi pada beberapa sel. Penelitian pada pasien yang mendapat obat antiepilepsi tunggal (fenitoin atau fenobarbital) yang ditransport oleh P-gp menunjukkan bahwa farmakoresisten akan lebih sering terlihat pada pasien dengan genotip CC pada polimorfisme MDR1 C3435T. Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa genotip CC berhubungan dengan Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
18
rendahnya kadar fenobarbital pada cairan serebrospinal dibandingkan dengan genotip CT atau TT. Genotip CC pada posisi 3435 berhubungan dengan meningkatnya risiko resistensi obat. Penelitian mengenai variasi gen ini kemudian dalam mekanisme terjadinya epilepsi resisten obat dikenal dengan hipotesis variasi gen.26 Beberapa penelitian menyebutkan adanya riwayat keluarga dengan epilepsi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya epilepsi resisten obat. Terkait genetik, pada klasifikasi ILAE 2010 berdasarkan usia saat onset epilepsi pada saat remaja dan dewasa, ELT dapat dibagi menjadi autosomal dominant epilepsy with auditory features (ADPEAF) dan familial temporal lobe epilepsies (FTLE). ADPEAF merupakan sindrom epilepsi fokal idiopatik dengan manifestasi iktal berupa gejala auditorik dan atau afasia reseptif.. Diagnosis ADPEAF didasari oleh klinis, riwayat keluarga, sedangkan gambaran imaging biasanya normal. Pada sekitar 1/3 keluarga yang menderita kelainan ini diidentifikasi adanya mutasi dari LGI1. Pemberian OAE pada kelainan ini menunjukkan respon yang baik dan kontrol bangkitan dapat tercapai dengan terapi medikamentosa. FTLE merupakan sindrom epilepsi yang diwariskan secara autosomal dominan. Kelainan ini dapat dibagi dua menjadi Mesial familial temporal lobe epilepsy (MFTLE) dan Lateral familial temporal lobe epilepsy (LFTLE). LFTLE merupakan kelainan yang sama dengan autosomal dominant epilepsy with auditory features seperti yang disebutkan sebelumnya. Pada MFTLE bangkitan biasanya jarang, dan terkontrol baik dengan OAE. Bangkitan parsial sederhana lebih sering ditemukan dibandingkan dengan bangkitan parsial kompleks (90% vs 66%). Manifestasi iktal dapat berupa deja’vu, halusinasi dengan atau tanpa gejala otonom, gejala emosional seperti panik dan takut, ilusi visual dan auditorik, serta gejala somatosensori difus. Gejala epigastrium biasanya tidak ditemukan pada kelainan ini. Meskipun diduga terdapat mutasi genetik pada MFTLE, namun sampai saat ini belum ada mutasi gen yang berhasil diidentifikasi.27
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
19
Frekuensi bangkitan awal Frekuensi bangkitan awal yang tinggi sebelum pengobatan merupakan faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten obat yang telah dibuktikan melalui beberapa penelitian. Namun dalam literatur dikatakan faktor ini tidak berdiri sendiri dan terdapat faktor lain yang ikut berperan. Dalam sebuah penelitian pada hewan percobaan dengan epilepsi lobus temporal, ditemukan adanya resistensi terhadap fenobarbital pada semua hewan coba dengan frekuensi bangkitan yang tinggi sebelum pengobatan. Namun dalam penelitian ini juga disebutkan frekuensi bangkitan yang tinggi hanya ditemukan pada 46% kelompok nonresponden, sementara 54% lainnya tidak berbeda dengan kelompok responden. Hal ini mendukung bahwa frekuensi bangkitan yang tinggi merupakan faktor prediktor kuat terjadinya resisten obat, akan tetapi ada faktor lain yang juga terlibat dalam resistensi obat dalam model ini. Berdasarkan penelitian sebelumnya disebutkan bahwa pada kelompok nonresponden terhadap fenobarbital, sebagian besar menunjukkan kerusakkan hipokampus (90%) dibandingkan hanya 7% pada kelompok responden, dan penelitian lain menyebutkan selain kerusakkan hipokampus, terdapat perbedaan dalam peningkatan ekspresi transporter P-gp di otak dan ekspresi subunit dan karakteristik reseptor GABAA antara kelompok responden dan nonresponden.28 Bangkitan dapat menyebabkan peningkatan P-gp. Sebuah penelitian yang dapat menjelaskan mekanisme ini yaitu, studi pada hewan percobaan dengan epilepsi lobus temporal menyebutkan setelah bangkitan dapat ditemukan ekspresi berlebih dari P-gp pada sel endotel kapiler otak, astroglia, dan neuron. P-gp merupakan salah satu transporter efluks yang berperan untuk mengeluarkan obatobat dari sistem saraf pusat sehingga membatasi pengambilannya oleh otak. Salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya epilepsi lobus temporal resisten obat adalah gangguan penetrasi obat ke otak akibat adanya transporter effluks. Hal ini mendasari timbulnya hipotesis transporter obat dalam mekanisme terjadinya epilepsi resisten obat. Dalam hipotesis transporter obat disebutkan kegagalan obat antiepilepsi dalam mengontrol bangkitan disebabkan karena kadar subterapeutik Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
20
obat tersebut pada daerah kerjanya yang disebabkan oleh adanya aktivitas dari transporter obat.26,29 Frekuensi bangkitan lebih dari 1 per bulan yang terjadi segera setelah diagnosis epilepsi baik sebelum atau setelah pengobatan, berkaitan dengan resisten obat untuk jangka pendek (2-4 tahun) dan jangka panjang (30-35 tahun).9 Tripathy melaporkan frekuensi bangkitan yang tinggi lebih dari 1 kali perbulan merupakan faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten obat.30 Status epileptikus Status epileptikus merupakan salah satu faktor prediktor epilepsi resisten obat pada beberapa penelitian. Pada status epileptikus dapat terbentuk sinaps eksitasi baru pada sel granul fasia dentate yang beroperasi melalui reseptor kainate (bagian dari reseptor glutamat) yang tidak ditemukan pada sel granul naive. Bangkitan berulang pada daerah limbik yang dihasilkan oleh aktivasi reseptor kainate ini kemudian menyebabkan pembentukan sinaps baru yang memfasilitasi munculnya bangkitan lebih lanjut. Bangkitan dapat mencetuskan bangkitan melalui kaskade peristiwa meliputi kerusakkan neuron, pertumbuhan serabutserabut saraf, dan terbentuknya sinaps baru yang bergantung pada sinyal yang berbeda dengan sel naive dan berperan dalam epileptogenesis. Serabut saraf mossy tumbuh dan membentuk sinaps baru yang hanya dapat dilihat pada jaringan epilepsi.31 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya peningkatan ekspresi P-gp dapat mempengaruhi kadar obat diotak. Sebuah penelitian memperlihatkan adanya peningkatan ekspresi P-gp pada daerah epileptogenik yang telah direseksi (lobus temporal) pada pasien epilepsi. Selain itu terjadi penurunan akumulasi fenitoin pada kultur buatan sel yang mengekspresikan P-gp dibandingkan dengan yang tidak. Peningkatan ekspresi P-gp ini dapat membatasi akses obat antiepilepsi ke jaringan otak. Penelitian lain melaporkan bahwa setelah bangkitan, mdr1 mRNA (gen yang mengkode P-gp) mengalami ekspresi berlebihan pada daerah hipokampus tikus percobaan. Ketika fenitoin diberikan secara sistemik pada tikus Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
21
ini maka rasio plasma-otak obat ini 30% lebih rendah dibandingkan dengan tikus yang tidak mengalami bangkitan, yang menunjukkan berkurangnya konsentrasi obat di otak. Perubahan konsentrasi fenitoin diotak ini dapat mempengaruhi efektifitasnya. Peningkatan P-gp pada daerah otak yang epileptogenik dapat menurunkan konsentrasi OAE yang merupakan substrat P-gp didaerah otak tersebut menyebabkan OAE tidak efektif.26,29 Usia saat onset bangkitan Usia muda saat onset epilepsi merupakan salah satu faktor prediktor epilespsi resisten obat. Bangkitan pada otak imatur dari seorang anak berperan terhadap tingginya jumlah gap junction yang menyebabkan konektivitas abnormal pada kortek.9 Gap junction pada sistem saraf pusat berperan dalam komunikasi cepat, nonsinaptik antara sel-sel yang berdekatan. Gap junction diyakini mendasari sinkronisasi aktivitas epileptiform dan berkontribusi terhadap osilasi frekuensi tinggi (300-400 Hz) yang mendahului timbulnya cetusan iktal pada epilepsi lobus temporal.32 Penelitian oleh Ohtsuka dkk (2000) di Jepang mendapatkan usia < 1 tahun saat onset bangkitan epilepsi merupakan faktor prediktor
terjadinya epilepsi
resisten obat yang signifikan.33 Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Casetta dkk (1999).34 Penelitian Gilioli pada pasien dewasa dengan epilepsi fokal membagi onset bangkitan menjadi
kurang dan lebih dari 15 tahun. Pada
penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara onset bangkitan dengan kejadian epilepsi resisten obat.35 Studi MRI kualitatif menunjukkan pada pasien dengan hipokampus normal onset bangkitan terjadi pada usia yang lebih tua dibanding pasien dengan kerusakkan hipokampus. Peneliti lain menyebutkan pula bahwa pasien epilepsi lobus temporal resisten obat dengan atrofi hipokampus mengalami onset epilepsi pada usia muda dibandingkan pasien dengan hipokampus normal. Disebutkan juga bahwa onset bangkitan awal merupakan salah satu faktor penentu terjadinya kerusakkan hipokampus pada epilepsi lobus temporal kronik.36 Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
22
Respons terhadap obat antiepilepsi pertama Salah satu faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten obat adalah respons awal pada penggunaan OAE pertama. Kontrol bangkitan yang tidak adekuat setelah pengobatan awal dapat memberikan prognosis yang buruk. Disebutkan penambahan obat antiepilepsi baru pada pasien yang telah mendapat 2-5 obat antiepilepsi sebelumnya tidak bermanfaat dan resistensi obat akan tetap berlanjut. Rata-rata bebas bangkitan akan menurun dari 61,8% pada penggunaan obat antiepilepsi pertama menjadi 41,7% hingga 16,6% setelah penggunaan 2-5 obat antiepilepsi yang tidak efektif. Setelah penggunaan 6 obat antiepilepsi dapat terjadi resistensi absolut (bebas kejang 0%). Probabilitas terjadinya remisi bangkitan berkurang secara signifikan setiap kali terjadinya kegagalan pengobatan.9 Terdapat peranan dari multiple drug resistance gene (MDR-1) yang menyebabkan berkurangnya sensitivitas terhadap OAE. MDR-1 mengekspresikan P-gp yang dapat mengeluarkan obat keluar dari sel. Apabila obat tidak dapat mencapat target, maka efektifitasnya akan berkurang. Overekspresi dari MDR-1 ini ditemukan pada fokus bangkitan pasien epilepsi resisten obat.37 Kejang demam Kejang demam diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya sklerosis hipokampus, dimana kelainan ini banyak ditemukan pada epilepsi lobus temporal dan pada kasus resistensi obat. Beberapa studi menunjukkan korelasi antara kejang demam dengan kerusakkan hipokampus.36,38 Gambaran EEG Gambaran EEG merupakan salah satu faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten obat. Penelitian oleh Yilmaz dkk menyebutkan abnormalitas EEG merupakan faktor prediktor epilepsi resisten obat. Pada penelitian oleh Yilmaz dkk ini gelombang paku baik fokal maupun multifokal merupakan kelainan yang paling banyak ditemukan pada kedua kelompok baik resisten obat maupun tidak, Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
23
akan tetapi kelainan ini secara signifikan lebih sering pada kelompok dengan epilepsi resisten obat.39 Tabel 2.2 Faktor risiko epilepsi lobus temporal resisten obat Faktor risiko Epilepsi resisten obat Etiologi epilepsi Epilepsi simtomatik Penyebab simtomatik/Imaging Terdapat abnormalitas/adanya lesi Frekuensi bangkitan awal >1 bangkitan perbulan Status epileptikus Terdapat riwayat status epileptikus Usia saat onset bangkitan <1 tahun Respon awal terhadap OAE pertama Tidak bebas bangkitan dengan OAE pertama Kejang demam Terdapat riwayat kejang demam Gambaran EEG Perlambatan, aktivitas epileptiform Riwayat keluarga dengan epilepsi Terdapat riwayat keluarga dengan epilepsi
2.3.4 Pola epilepsi resisten obat De novo Teori ini menyebutkan pada beberapa pasien resistensi obat telah berkembang sepenuhnya pada onset bangkitan pertama sebelum dimulai pemberian obat antiepilepsi. Yang mendukung studi ini adalah karena ditemukannya pasien-pasien yang gagal menunjukkan respons pada penggunaan obat antiepilepsi pertama. Pada sebuah penelitian disebutkan pasien yang gagal pada penggunaan obat antiepilepsi pertama karena kurangnya efektifitas (bukan karena efek samping obat atau sebab lainnya), hanya 11% yang mengalami remisi 12 bulan kemudian dengan obat antiepilepsi lainnya. Penelitian lain menyebutkan bahwa respons terhadap obat antiepilepsi pertama merupakan faktor prediktor keluaran. Pasien yang gagal mengontrol bangkitan pada penggunaan obat antiepilepsi pertama akan mengalami resistensi pada hampir semua obat antiepilepsi.6,29 Resistensi obat progresif Pada beberapa pasien epilepsi pada awalnya dapat dikontrol kemudian secara bertahap menjadi resisten obat. Pola ini dapat dilihat sebagai contoh pada Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
24
epilepsi dengan sklerosis hipokampus. Sebuah penelitian melaporkan pasien yang baru terdiagnosis epilepsi dapat mengalami epilepsi resisten obat meskipun sebelumnya menunjukkan respons awal yang bagus terhadap obat antiepilepsi. Penelitian lainnya melaporkan pasien epilepsi resisten obat yang merupakan kandidat untuk pembedahan sebelumnya mengalami remisi selama > 5 tahun. Resisten obat dapat terjadi dalam beberapa tahun bahkan sampai > 10 tahun.29 Diperkirakan 7-9% pasien yang bebas bangkitan dan direncanakan untuk menghentikan pengobatan antiepilepsi gagal mencapai remisi kembali dan mengalami epilepsi resisten obat. Sekitar 50% pasien membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai remisi setelah menghentikan obat antiepilepsi.6,29 Resistensi waxing dan waning Pada beberapa pasien, epilepsi mempunyai pola waxing dan waning yaitu berubah dari remisi (farmakoresponsif) dan relaps (farmakoresisten). Pasien dengan epilepsi resisten obat dapat bebas bangkitan ketika diberikan obat antiepilepsi jenis lainnya.
Sebuah penelitian menyebutkan penambahan obat
antiepilepsi baru dapat mengurangi bangkitan pada pasien dengan
epilepsi
resisten obat.6,29 2.3.5 Tatalaksana Medikamentosa Pada pasien epilepsi resisten obat terdapat tiga strategi pengobatan yang dapat
dilakukan
yaitu
dengan
monoterapi
sekuensial,
politerapi,
atau
mengoptimalkan OAE yang diberikan. Monoterapi sekuensial, yaitu mengganti regimen obat pasien dari satu atau banyak OAE menjadi OAE tunggal yang belum pernah didapat pasien sebelumnya. Politerapi yaitu merubah regimen obat pasien menjadi beberapa OAE yang berbeda yang diberikan secara bersamaan. Mengoptimalkan OAE yang diberikan yaitu mengubah dosis, minimal satu obat pada regimen obat pasien dengan mengganti dosis total harian, frekuensi pemberian, dan sediaan obat (seperti menggunakan sediaan lepas lambat) atau Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
25
mengurangi jumlah total obat. Belum terdapat penelitian yang membandingkan efektifitas dari ketiga strategi pengobatan ini.40 Tabel 2.3 Dosis OAE untuk orang dewasa1 OAE Dosis Awal Dosis Rumatan (mg/hari) (mg/hari) Carbamazepin 400-600 400-1600 Phenytoin Asam Valproat
200-300 500-1000
200-400 500-2500
Phenobarbital 50-100 Clonazepam 1 Clobazam 10 Oxcarbazepine 600-900 Levetiracetam 1000-2000 Topiramat 100 Gabapentin 900-1800 Lamotrigine 50-100 Zonisamid 100-200 Pregabalin 50-75 CR: Controlled release
50-200 4 10-30 600-3000 1000-3000 100-400 900-3600 50-200 100-400 50-600
Jumlah dosis per hari 2-3x (untuk CR 2x) 1-2X 2-3X (untuk CR 1-2X) 1 1 atau 2 1-2X 2-3X 2X 2X 2-3X 1-2X 1-2X 2-3X
Pembedahan Berdasarkan tujuannya, pembedahan pada epilepsi dapat diklasifikasikan menjadi prosedur kuratif atau paliatif. Yang termasuk prosedur kuratif adalah lobektomi,
lesionektomi,
dan
pembedahan
multilobar
atau
hemisfer
(hemisferektomi). Lobektomi temporal anterior dan hipokampektomi merupakan prosedur yang sering dilakukan pada pembedahan epilepsi (>50%). Pasien dengan bangkitan yang disebabkan oleh adanya lesi struktural di otak dapat mengalami bebas bangkitan setelah dilakukan reseksi pada lesi tersebut (lesionektomi) atau meluas hingga ke lobus (lobektomi). Epilepsi lobus temporal mesial dengan sklerosis hipokampus adalah epilepsi fokal yang sering ditemukan, dimana prognosisnya buruk, namun menunjukkan respon yang baik dengan pembedahan. Apabila bangkitan berasal dari area yang luas atau multifokal pada satu hemisfer, dapat dilakukan reseksi multilobar atau hemisferektomi.6 Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
26
Tidak seperti pada prosedur kuratif, prosedur paliatif jarang dapat menghentikan bangkitan secara keseluruhan. Sangat penting dapat menentukan bahwa pasien bukan merupakan kandidat prosedur kuratif sebelum memutuskan untuk melakukan prosedur paliatif seperti corpus callosotomy, transeksi subpial multipel, atau vagus nerve stimulation.
Corpus callosotomy dilakukan pada
sekelompok kecil pasien dengan tipe bangkitan yang dengan cepat menjadi umum atau serangan yang dapat melukai pasien dan bukan merupakan kandidat untuk reseksi fokal. Prosedur ini bertujuan untuk mencegah penyebaran cepat cetusan bangkitan interhemisfer dengan memutuskan hubungan antara kedua hemisfer. Transeksi subpial multipel dilakukan pada bangkitan yang berasal dari kortek eloquent atau dari daerah yang tidak dapat diangkat tanpa menimbulkan defisit neurologis. Oleh sebab itu ahli bedah hanya melakukan transeksi secara vertikal sehingga mengganggu hubungan kortek horizontal tanpa reseksi. Pendekatan ini dianggap dapat mengganggu penyebaran cetusan dengan mempertahankan fungsi fisiologis.6 Ketogenik Diet Ketogenik
Diet
merupakan
salah
satu
alternatif
pengobatan
nonfarmakologi pada pasien usia muda dengan bangkitan yang tidak terkontrol. Pada diet ini terjadi perubahan biokimia yang mirip dengan perubahan yang terjadi pada saat kelaparan dimana tubuh akan mulai memetabolisme lemak sebagai ganti glukosa. Komposisi yang digunakan adalah tinggi lemak, rendah karbohidrat dan protein yang adekuat dengan rasio 4:1 atau 3:1 pada remaja dan anak-anak. Penggunaan terapi ini harus dengan pemantauan ketat dari ahli gizi. Mengingat efek samping jangka panjang pada pertumbuhan dan kesehatan secara keseluruhan, ketogenik diet biasanya hanya digunakan pada kelompok kecil pasien usia muda dengan epilepsi intraktabel dan jarang digunakan dalam jangka waktu panjang.6
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
27
Vagus nerve stimulation Vagus nerve stimulation merupakan alternatif pengobatan nonfarmakologi untuk orang dewasa atau remaja dengan usia lebih dari 12 tahun, bangkitan fokal yang resisten obat, dan bukan merupakan kandidat yang tepat untuk pembedahan. Efektifitasnya pada pasien yang lebih muda dan pasien dengan bangkitan umum yang resisten obat masih belum jelas, meskipun beberapa penelitian melaporkan manfaatnya dalam hal berkurangnya frekuensi bangkitan dan kualitas hidup yang lebih baik. Vagus nerve stimulation terdiri dari generator yang ditanamkan subkutaneus pada prekordium melekat pada nervus vagus kiri.
dan kawat timah ditanam dibawah kulit dan 6
Efek samping yang sering ditemukan berupa batuk, perubahan suara, suara serak, yang biasanya tergantung pada stimulasi dan cenderung berkurang seiring waktu. Vagus nerve stimulation tidak mempunyai efek samping terhadap fungsi kognitif seperti yang dapat ditemukan akibat peningkatan dosis obat antiepilepsi. Kurang lebih 1/3 dari pasien yang mendapat pengobatan ini memberikan respons dengan berkurangnya frekuensi bangkitan sebanyak 50% atau lebih, dan hanya beberapa yang mengalami bebas bangkitan. Terapi ini termasuk tatalaksana paliatif dan dilakukan pada pasien yang bukan kandidat untuk prosedur bedah atau mereka yang gagal pada prosedur bedah.6
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
28
2.4 Kerangka Teori 21,22,26 Epilepsi lobus temporal
e
Genetik
Struktural
Fungsional
Usia muda saat onset epilepsi
Riwayat status epileptikus Perubahan sirkuit jaringan (network)
Perubahan target obat
Riw. keluarga dengan epilepsi Kanal Na
Riw. Kejang demam
Hipereksitabi litas neuron
+
Reseptor GABA
Overekspresi transporter obat
Gangguan proses pengambilan
Respons terhadap OAE pertama
OAE di otak Frek. bangkitan awal
Perubahan komposisi subunit Na+ / reseptor GABAA
↓ efektifitas obat ↓ sensitifitas obat
Potensial resisten obat
Tidak potensial resisten obat
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
29
2.5 Kerangka konsep
Pasien epilepsi lobus temporal
Etiologi epilepsi Respons terhadap OAE pertama Riwayat keluarga dengan epilepsi Riwayat status epileptikus Usia saat onset epilepsi Frekuensi bangkitan awal Riwayat kejang demam Gambaran EEG Gambaran CT Scan/MRI Kepala
Potensial resisten obat
Tidak potensial resisten obat
Keterangan Variabel bebas Variabel tergantung
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
30
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang. 3.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Poliklinik Epilepsi RSCM Jakarta setelah mendapat persetujuan oleh komite etik (november 2014) sampai dengan desember 2014. 3.3. Populasi dan Sampel Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien epilepsi lobus temporal yang berobat ke Poliklinik Epilepsi RSCM Jakarta. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian. 3.4. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan metode consecutive sampling yaitu semua pasien epilepsi lobus temporal yang sedang menjalani pengobatan di poliklinik Epilepsi RSCM akan di evaluasi. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi akan dimintai persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian, kemudian dilakukan wawancara dengan menggunakan kuisioner dan evaluasi rekam medis. Estimasi Besar Sampel Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus sebagai berikut: n = Zα2PQ d2 n
= jumlah subjek minimal 30
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Universitas Indonesia
31
zα = nilai konversi pada kurva normal = 1,96 P = proporsi = 68,3% (proporsi pasien epilepsi lobus temporal dengan bangkitan yang tidak terkontrol pada penelitian Wiratman, 2012) Q = 100% - P = 100 – 68,3% = 31,7% d
= tingkat ketepatan absolut = 10%
maka besar subjek minimal untuk penelitian ini adalah: n = (1,96)2 x 0,68 x 0,32 = 84 0,12 3.5. Kriteria Penelitian 3.5.1. Kriteria Inklusi 1.
Usia ≥ 18 tahun
2.
Pasien yang sudah ditegakkan diagnosis epilepsi lobus temporal
3.
Telah mendapat pengobatan epilepsi dengan dosis rumatan baik monoterapi atau politerapi di Poliklinik Epilepsi RSCM selama minimal 1 tahun dan masih berobat pada waktu pengambilan sampel.
3.5.2. Kriteria Eksklusi 1. Pasien dengan kepatuhan minum obat yang buruk (poor compliance) pada saat pengambilan sampel 2. Pasien dengan bangkitan menetap pada penggunaan OAE dengan dosis kurang dari dosis terapi pada saat pengambilan sampel.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
32
3.6. Cara Kerja Dilakukan wawancara terhadap pasien atau keluarga melalui kuisioner dan pencatatan data rekam medis pasien epilepsi lobus temporal yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang dikumpulkan mencakup: 1. Nama dan nomor rekam medis 2. Data demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan) 3. Usia saat onset epilepsi (< atau ≥ 15 tahun) 4. Frekuensi bangkitan awal (< atau ≥ 1x/bulan kali) 5. Respons terhadap pengobatan pertama Dilakukan pencatatan terhadap frekuensi bangkitan setelah mendapat OAE pertama. Termasuk jenis obat, dosis dan frekuensi pemberian, lama penggunaan obat, efek samping, dan kepatuhan minum obat (compliance). 6. Etiologi epilepsi (idiopatik, kriptogenik, atau simtomatik) 7. Riwayat status epileptikus 8. Riwayat kejang demam 9. Riwayat keluarga dengan epilepsi (first degree relative) 10. Gambaran CT scan/MRI kepala Dilakukan pencatatan terhadap kelainan yang ditemukan pada lobus temporal melalui kesimpulan atau laporan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala. Kelainan pada CT scan/ MRI kepala diluar daerah tersebut diatas juga dicatat. 11. Gambaran EEG Dilakukan pencatatan terhadap kelainan yang ditemukan melalui kesimpulan atau laporan pemeriksaan EEG. Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
33
12. Pengobatan Dilakukan pencatatan terhadap OAE yang pernah atau saat ini masih dikonsumsi pasien, tidak termasuk OAE yang dihentikan karena efek samping obat atau diberikan dengan dosis yang tidak jelas dan tidak diminum sesuai dosis yang dianjurkan. Data yang dikumpulkan mencakup nama obat, dosis dan frekuensi pemberian, lama penggunaan obat, frekuensi bangkitan sebelum dan setelah mendapat obat dengan dosis terapi, efek samping obat selama penggunaan, serta alasan menghentikan pengobatan. 13. Frekuensi bangkitan saat ini Dilakukan pencatatan terhadap frekuensi bangkitan dalam 1 tahun terakhir sebelum pemeriksaan. Bangkitan yang terjadi akibat pengaruh faktor eksternal seperti demam, deprivasi tidur, menstruasi tetap dianggap sebagai kontrol bangkitan yang tidak adekuat. Bangkitan yang timbul karena withdrawal obat tidak dihitung, dimana bangkitan tidak berulang setelah pemberian kembali obat tersebut. 14. Dilakukan tabulasi data sesuai dummy table 15. Dilakukan analisis data 3.7.
Identifikasi Variabel Variabel yang digunakan adalah: 1. Variabel tergantung: epilepsi potensial resisten obat/tidak potensial resisten obat 2. Variabel bebas: a. Etiologi epilepsi b. Penyebab simtomatik/gambaran CT scan/MRI kepala
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
34
c. Usia saat onset epilepsi d. Frekuensi bangkitan awal e. Respons terhadap pengobatan pertama f. Gambaran EEG g. Riwayat status epileptikus h. Riwayat kejang demam i. Riwayat keluarga dengan epilepsi (first degree relative) Definisi Operasional
3.8.
1. Pasien epilepsi lobus temporal adalah pasien dengan klinis bangkitan berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi dengan semiologi menunjukkan onset lobus temporal disertai gambaran EEG iktal atau interiktal menunjukkan aktivitas epileptiform di lobus temporal. 2. Epilepsi potensial resisten obat adalah kegagalan penggunaan OAE baik monoterapi maupun politerapi yang dipilih secara tepat dan diberikan dalam dosis rumatan untuk mencapai keadaan bebas bangkitan. 3. Bebas bangkitan adalah bebas dari semua bentuk bangkitan termasuk aura minimal selama 1 tahun atau 3 kali interval antarbangkitan terpanjang jika bangkitan jarang terjadi. 4. Usia pasien : Dinyatakan dalam tahun, jika belum genap satu tahun dan diatas enam bulan, maka dibulatkan menjadi tahun berikutnya. Dibagi menjadi 1)<20 tahun, 2) 21-39 tahun 3) ≥ 40 tahun 5. Jenis kelamin : Jenis kelamin pasien epilepsi lobus temporal dan tercatat dalam rekam medis. Dibagi menjadi 1)laki-laki, 2)perempuan 6. Pendidikan: Pendidikan terakhir pasien epilepsi lobus temporal. Apabila pasien belum menyelesaikan pendidikan di kelompokkan dalam jenjang pendidikan sebelumnya. Dibagi menjadi 1) tidak sekolah, 2) Dasar (SD
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
35
dan SMP), 3) Menengah (SMA), 4) Tinggi (Akademi dan Perguruan Tinggi) 7. Pekerjaan: Pekerjaaan pasien epilepsi lobus temporal saat ini. Dibagi menjadi 1) Tidak bekerja, 2) Bekerja 8. Etiologi epilepsi dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu: idiopatik, simtomatik, dan kriptogenik. 9. Idiopatik yaitu penyebab epilepsi tidak diketahui, tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia. Pasien dengan gambaran CT scan/MRI kepala normal atau pasien tanpa pemeriksaan CT scan/MRI kepala namun tidak memiliki defisit neurologis fokal atau global pada pemeriksaan fisik dan memiliki riwayat keluarga dengan epilepsi dimasukkan dalam kelompok idiopatik. 10. Kriptogenik yaitu dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Pasien dengan gambaran CT scan/MRI kepala normal atau pasien tanpa pemeriksaan CT scan/MRI kepala namun tidak memiliki defisit neurologis fokal atau global pada pemeriksaan fisik serta tidak memiliki riwayat keluarga dengan epilepsi dimasukkan dalam kelompok kriptogenik. 11. Simtomatik yaitu bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak. Dalam hal ini berupa kelainan sistem saraf pusat dengan abnormalitas fokal yang jelas pada CT scan/MRI kepala atau dapat berupa mental retardasi dan atau serebral palsi, maupun pasien dengan defisit neurologis fokal atau global pada pemeriksaan fisik. 12. Pemeriksaan CT scan/MRI kepala adalah pemeriksaan pencitraan otak yang dilakukan untuk mengetahui penyebab simtomatik epilepsi lobus temporal dengan hasil kesimpulan yang dinyatakan oleh spesialis radiologi dapat berupa tumor, lesi paska stroke (perdarahan/iskemik),
trauma
kepala (perdarahan, fraktur impresi), infeksi, atrofi /sklerosis hipokampus. 13. Usia saat onset epilepsi adalah usia saat terjadi bangkitan tanpa provokasi pertama kali. Dibagi menjadi 1) < 15 tahun 2) ≥ 15 tahun Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
36
14. Frekuensi bangkitan awal adalah jumlah bangkitan dalam 1 tahun pertama onset epilepsi 1) ≥ 1x/bulan 2) < 1x/bulan 15. Respons terhadap pengobatan pertama yaitu kontrol bangkitan dalam 1 tahun setelah mendapat OAE pertama dengan dosis terapi. Apabila tercapai keadaan bebas bangkitan setelah penggunaan OAE pertama maka dikatakan pengobatan berhasil (respons). Jika tidak tercapai keadaan bebas bangkitan maka pengobatan tidak berhasil (tidak respons). 16. EEG: Pemeriksaan untuk merekam aktifitas listrik otak dan membuktikan adanya epilepsi lobus temporal. 17. Abnormalitas gelombang EEG: Gelombang abnormal yang terekam melalui elektroda dikulit kepala, dapat berupa gelombang epileptiform dan gelombang lambat fokal. 18. Perlambatan fokal: Gambaran gelombang lambat 4-7 Hz (theta) atau 1-3 Hz (delta) yang muncul secara intermitten atau persisten, unilateral, dan bilateral dengan dominasi salah satu hemisfer yang terlihat pada gambaran EEG. 19. Gelombang epileptiform: Gelombang paku (durasi 20-70 ms) dan tajam (durasi 70-200 ms) dengan polaritas negatif dan sering diikuti oleh gelombang lambat yang terlihat melalui pemeriksaan EEG, yang terekam pada saat pasien mengantuk dan tidur non-rapid eye movement (REM) (tidur stadium I dan II) 20. Status epileptikus adalah bangkitan berulang lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana di antara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran atau pasien pernah didiagnosis status epileptikus dari catatan rekam medis. 21. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang ditemukan pada masa anak >1bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan kenaikkan suhu tubuh dan tidak disebabkan infeksi intrakranial maupun kejadian simtomatik akut lainnya atau pasien pernah didiagnosis kejang demam baik dari anamnesis maupun catatan rekam medis.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
37
22. Riwayat keluarga dengan epilepsi yaitu kerabat tingkat pertama yang menderita epilepsi (first degree relatives). 23. Compliance adalah kepatuhan minum obat pasien sesuai dengan aturan yang diberikan dokter. Compliance di katakan jelek apabila jumlah oba/t yang diminum dalam waktu tertentu (1 bulan) dibandingkan dengan jumlah obat yang diresepkan ≤ 80%. 24. Dosis terapi adalah rentang dosis rumatan OAE yang efektif yang biasa digunakan untuk terapi epilepsi pada orang dewasa sesuai dengan pedoman tatalaksana epilepsi 25. Dosis maksimal yang dapat ditoleransi/dosis optimal adalah dosis terapi yang tidak menimbulkan efek samping obat. 26. Efek samping obat adalah reaksi yang tidak diinginkan yang timbul akibat penggunaan obat dengan dosis yang biasa digunakan pada manusia. 3.9.
Pengolahan dan Analisa Data Pengumpulan data dilakukan secara manual melalui wawancara dan data rekam medis. Data penelitian dicatat dalam formulir penelitian. Setelah melalui proses editing dan koding,. data disimpan dalam cakram keras penyimpan (hard disk) komputer dengan back up data di flash disk. Data yang telah diuji keabsahannya akan diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang sesuai dengan tujuan penelitian menggunakan program SPSS versi 11.5.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
38
3.10 Kerangka Operasional Pasien Epilepsi lobus temporal yang berobat di Poliklinik EEG dan Epilepsi RSCM
Kriteria Inklusi
Dilakukan wawancara dan evaluasi rekam medis medis
Pengumpulan data
Pengolahan data
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
39
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Poliklinik Epilepsi RSCM sejak bulan November hingga awal Desember 2014. Pada penelitian ini didapatkan 71 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. 4.1. Karakteristik Demografi Pada penelitian ini didapatkan 71 subjek yang sebagian besar adalah lakilaki (63,4%). Rerata usia adalah 35,2 ± 12,4 tahun. Sebagian besar pasien dengan tingkat pendidikan menengah (52,1%) dan tidak bekerja (56,3%). Gambaran karakteristik demografi dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Sebaran subjek menurut karakteristik demografi (n=71) Karakteristik
Jumlah (%)
Jenis Kelamin a. Laki-laki
45 (63.4%)
b. Perempuan
26 (36,6%)
Usia (tahun) a. ≤ 20 tahun
8 (11,3)
b. 21-39 tahun
39 (54,9)
c. ≥ 40 tahun
24 (33.8)
Pendidikan a. Tidak sekolah
4(5,6)
b. Dasar (SD, SLTP)
19(26,8)
c. Menengah (SLTA)
37(52,1)
d. Tinggi (Akademi, Perguruan Tinggi)
11(15,5)
Pekerjaan a. Bekerja
31 (43,7)
b. Tidak Bekerja
40 (56,3)
39 Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
40
4.2 Karakteristik Medik Pada penelitian ini, dari 71 subjek didapatkan rerata usia saat onset epilepsi adalah 17,4 ± 13,6 tahun. Tabel 4.2.1 Sebaran subjek menurut karakteristik medik
Karakteristik Usia saat onset epilepsi a. <15 tahun b. ≥15 tahun Frekuensi bangkitan awal pengobatan a. ≥1x/bulan b. <1x/bulan Respons terhadap OAE I a. Tidak respons b. Respons Etiologi a. Simtomatik b. Kriptogenik c. Idiopatik Gambaran CT scan/MRI Kepala (n=61) a. Normal b. Abnormal - Atrofi hipokampus - Lain-lain c. Tidak ada CT scan/MRI Kepala Gambaran EEG a. Aktivitas epileptiform b. Perlambatan c. Aktivitas epileptiform+Perlambatan Riwayat status epileptikus a. Ya b. Tidak Riwayat kejang demam a. Ya b. Tidak Riwayat keluarga dengan epilepsi a. Ya b. Tidak Ket: *)persentase dari abnormalitas CT scan/MRI Kepala
Jumlah (%) 34 (47,9) 37 (52,1) 62 (87,3) 9(12,7) 60 (84,5) 11 (15,5) 47 (66,3) 22 (30,6) 2(2,8)
14 (19,7) 47 (66,2) 38 (80,85)* 9 (19,1)* 10 (14,9)
34 (47,9) 6 (8,5) 31 (43,7) 11 (15,5) 60 (84,5) 31 (43,7) 40 (56,3) 6 (8,5) 65 (91,5)
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
41
Sebanyak 61 subjek melakukan pemeriksaan CT scan/MRI kepala dan kelainan struktural pada CT scan/MRI dapat ditemukan pada 47 subjek (66,2%). Diantara subjek dengan kelainan struktural sebagian besar (80,9%) berupa atrofi hipokampus, sedangkan sisanya berupa kortikal displasia, infark serebri, tumor, kista, kalsifikasi, dan kelainan kongenital. Dari keseluruhan subjek dengan kelainan struktural pada pemeriksaan imaging, 1 subjek tidak menunjukkan kelainan pada lobus temporal. Epilepsi simtomatik dapat ditemukan pada 47 subjek (66,3%) dimana pada kelompok ini ditemukan adanya kelainan pada CT scan/MRI kepala baik ditemporal maupun ekstratemporal. Subjek dengan gambaran pencitraan normal atau yang tidak melakukan pemeriksaan CT scan/MRI kepala, tidak ditemukan defisit neurologis fokal maupun global pada pemeriksaan fisik serta tidak mempunyai riwayat keluarga dengan epilepsi dikelompokkan sebagai epilepsi kriptogenik (n= 22 (30,6%)). Dua subjek (2,8%) didiagnosis sebagai idiopatik epilepsi karena tidak menunjukkan kelainan struktural pada gambaran imaging dan terdapat riwayat keluarga dengan epilepsi. Gambaran karakteristik medik dapat dilihat pada tabel 4.2.1 Dari penelitian ini didapatkan hampir semua subjek dengan epilepsi lobus temporal potensial resisten obat (tabel 4.2.2) Tabel 4.2.2 Frekuensi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat Potensial resisten obat
Jumlah (%)
Ya
60 (84,51)
Tidak
11 (15,49)
4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi epilepsi lobus temporal potensial resisten obat Pada analisis bivariat didapatkan adanya hubungan antara frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan dengan ELT potensial resisten obat dengan nilai Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
42
p=0,027 [OR 6.29 (CI 95% 1.36-29.09)]. Selain itu tidak respons terhadap pengobotan pertama juga berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat dengan nilai p=0,001 [OR 13.20 (CI 95% 2.949-59.09)]. Data hubungan antara epilepsi lobus temporal potensial resisten obat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dilihat pada tabel 4.3.1 Tabel 4.3.1 Hubungan faktor penentu dengan ELT potensial resisten obat. Faktor penentu
Usia saat onset epilepsi < 15 tahun ≥ 15 tahun Frek. bangkitan awal *) ≥1x/bulan < 1x/bulan Respons OAE I *) Tidak Responsif Responsif Etiologi epilepsi *) Simptomatik Kriptogenik Idiopatik CT Scan/MRI (n=61) *) Abnormal Normal Gambaran EEG Akt. Epileptiform *) Perlambatan Riw. St. epileptikus *) Ya Tidak Riw. Kejang demam*) Ya Tidak Riw. Epl keluarga *) Ya Tidak
Pot. Resistensi
p
Ya
Tidak
31 29
3 8
0.137
55 5
7 4
55 5
OR
95% CI Low
High
2.85
0.69
11.79
0.027
6.286
1.36
29.09
5 6
0.001
13.20
2.949
59.09
41 17 2
6 5 0
0.310
2.010
0.54
7.483
41 12
6 2
1.000
1.139
0.20
6.39
55 5
10 1
1.000
1.10
0.12
10.44
11 50
0 11
0.194
5.343
0.64
44.8
29 31
2 9
0.098
4,2
0.84
21.14
5 55
1 10
1.000
0.91
0.96
8,63
Ket: *) Uji Fisher exact Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
43
Pada analisa bivariat didapatkan lima variabel yang berpengaruh terhadap ELT potensial resisten obat. Dari kelima variabel tersebut, pada analisis multivariat didapatkan adanya riwayat status epileptikus {p=0.194 [OR 5.34 (CI 95% 0.64-44.80)]} dan tidak respons terhadap pengobatan pertama {p=0.001 [OR 13.20 (CI 95% 2.95-5.93)]} berpengaruh secara independen terhadap ELT potensial resisten obat (tabel 4.3.2). Tabel 4.3.2 Analisa logistik regresi terhadap epilepsi lobus temporal potensial resisten obat Variabel penentu (enter)
p
Onset bangkitan < 15 tahun
OR
95% CI Low
High
0.376
2,12
0,40
11,24
awal
0.545
1.81
0.26
12.40
Tidak respons terhadap pengobatan pertama
0,016
1.49
50.08
Frekuensi ≥1x/bulan
bangkitan
8.64
0.194
5.34
0.64
44.80
0.553
1.74
0.28
10.73
Ada riwayat status epileptikus
0.194
5.34
0.64
44.80
Tidak respons terhadap pengobatan pertama
0.001
13.20
2.95
5.93
Ada riwayat status epileptikus Ada riwayat kejang demam Backward stepwise
Pada penelitian ini didapatkan gambaran abnormalitas CT scan/MRI kepala tidak berhubungan bermakna dengan epilepsi lobus temporal potensial resisten obat (tabel 4.3.1). Namun dari 47 subjek dengan kelainan struktural pada pencitraan didapatkan atrofi hipokampus merupakan bentuk kelainan yang paling banyak ditemukan (74,47%) dan kelainan ini paling banyak ditemukan pada subjek dengan ELT potensial resisten obat. {tabel 4.3.3} Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
44
Tabel 4.3.3 Sebaran subjek berdasarkan gambaran Atrofi hipokampus dan epilepsi potensial resisten obat Atrofi hipokampus
Potensial Resisten Obat Ya
Tidak
35 (74,47)
3(6.38)
Tidak
6(12,77)
3(6,38)
Total
41(87,23)
6 (12,77)
Ya
Pada penelitian ini terlihat hampir semua subjek dengan politerapi potensial resisten obat, hanya 1 subjek dengan politerapi yang tidak potensial resisten obat (tabel 4.3.4) Tabel 4.3.4 Sebaran subjek berdasarkan terapi dan epilepsi potensial resisten obat Terapi
Potensial Resisten Obat Ya
Tidak
Monoterapi
22 (36,67)*
10 90,91)
Politerapi
38 (63,33)*
1 9,09)
Total
60 (84,51)
11 (15,49)
Ket:*)persentase terhadap total subjek dengan epilepsi potensial resisten obat )persentase terhadap total subjek dengan epilepsi tidak potensial resisten obat
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
45
BAB 5 PEMBAHASAN Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar pasien dengan ELT potensial resisten obat, dimana keadaan bebas bangkitan tidak tercapai meskipun telah menggunakan OAE yang tepat baik monoterapi maupun politerapi. Penelitian oleh Wiratman tahun 2012 di rumah sakit yang sama menemukan sebanyak 68,3% pasien ELT tidak bebas bangkitan.7
Pada penelitian ini
didapatkan 84,51% pasien dengan ELT potensial resisten obat dan mengalami bangkitan yang menetap. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol bangkitan sulit dicapai pada mayoritas pasien ELT. Dari sebaran demografi didapatkan sebagian besar pasien berpendidikan menengah dan tinggi, meskipun demikian lebih dari 50% pasien dengan ELT berstatus tidak bekerja. Pada penelitian ini didapatkan adanya riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap OAE pertama merupakan dua faktor yang berpengaruh secara independen terhadap ELT potensial resisten obat. Status epileptikus dapat menyebabkan perubahan pada subunit reseptor GABAA sehingga mengurangi efektifitas kerja obat terutama yang bekerja pada reseptor GABA.29 Riwayat status epileptikus pada beberapa penelitian dikatakan berhubungan dengan epilepsi resisten obat.33,39 Selain riwayat status epileptikus, respons terhadap pengobatan pertama juga berpengaruh secara independen dengan ELT potensial resisten obat. Penelitian oleh Tripathi dkk menemukan bahwa respon terhadap pengobatan awal merupakan faktor prognostik penting terjadinya epilepsi resisten obat.30 Berdasarkan penelitian retrospektif kohor pada anak oleh Dlugos diketahui bahwa kegagalan pengobatan awal dapat memprediksi terjadinya ELT resisten obat dalam 2 tahun setelah onset.41 Hasil ini mendukung teori resistensi obat de novo dimana dalam teori ini disebutkan pada beberapa pasien resistensi obat telah berkembang sepenuhnya pada onset bangkitan pertama sebelum dimulai pemberian obat antiepilepsi.6 Pasien yang gagal mengontrol bangkitan pada penggunaan OAE pertama akan mengalami resistensi pada hampir semua obat antiepilepsi. Diketahui terdapat peranan dari MDR-1 yang mengekspresikan P-gp 45
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Universitas Indonesia
46
yang dapat mengeluarkan obat keluar sel kembali ke sawar darah otak sehingga efektivitasnya berkurang. Overekspresi dari MDR-1 ini ditemukan pada fokus epileptik beberapa pasien dengan epilepsi resisten obat. Hal ini menjelaskan kegagalan berulang pasien dalam merespons obat.37 Pada penelitian ini didapatkan onset bangkitan < 15 tahun, frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan, dan riwayat kejang demam merupakan faktor yang juga berpengaruh pada ELT potensial resisten obat. Akan tetapi ketiga faktor ini tidak berpengaruh secara independen dimana harus ditemukan juga faktor-faktor lainnya yang ikut berperan pada ELT potensial resisten obat. Dalam literatur disebutkan usia saat onset epilepsi merupakan salah satu faktor prediktor penting terjadinya epilepsi resisten obat, dimana semakin awal onset bangkitan merupakan predisposisi proses epileptogenesis pada jaringan otak. Bangkitan pada otak immature dapat menyebabkan perubahan dalam proses pembentukkan sinaps otak yang bersifat ireversibel. Perubahan konektivitas neuron normal ini menyebabkan konsekuensi rentan terjadinya bangkitan.42 Penelitian ini membagi usia onset menjadi <15 tahun dan ≥15 tahun berdasarkan studi yang dilakukan oleh Gilioli dkk sebelumnya pada pasien-pasien epilepsi fokal dewasa. Penelitian oleh Gilioli dkk tidak menemukan hubungan bermakna antara usia saat onset epilepsi dengan resistensi obat. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara keduanya.35 Frekuensi bangkitan yang sering dapat menyebabkan overekspresi transporter P-gp di otak yang berperan sebagai transporter effluks dan mengganggu penetrasi obat ke otak. Beberapa penelitian kemudian dilakukan untuk melihat hubungan antara frekuensi bangkitan awal yang sering dengan kejadian epilepsi resisten obat, diantaranya yaitu penelitian oleh Yilmaz dkk menyebutkan frekuensi bangkitan awal secara signifikan lebih sering pada epilepsi resisten obat.39 Tripathi dkk melaporkan frekuensi bangkitan yang tinggi lebih dari 1x perbulan merupakan faktor prediktor terjadinya epilepsi resisten obat.30 Pada penelitian ini juga didapatkan frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat. Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
47
Salah satu faktor risiko lain yang diduga berperan terhadap epilepsi resisten obat adalah riwayat kejang demam. Beberapa studi
telah meneliti
hubungan antara riwayat kejang demam dengan epilepsi resisten obat. Beberapa diantaranya tidak menemukan hubungan antara keduanya13,45. Namun beberapa penelitian lain menemukan adanya hubungan antara riwayat kejang demam dengan epilepsi resisten obat. Salah satunya yang dilakukan oleh Tripathi dkk, menemukan bahwa kejang demam merupakan faktor prediktor independen yang berhubungan dengan epilepsi resisten obat.30 Yilmaz dkk mendukung dengan menyebutkan bahwa riwayat kejang demam lebih banyak ditemukan pada pasien dengan epilepsi resisten obat.39 Pada penelitian ini adanya riwayat kejang demam tidak berhubungan dengan ELT potensial resisten obat. Kaitan kejang demam dengan epilepsi resisten obat sendiri diduga karena gejala ini sering ditemukan pada kasus-kasus sklerosis hipokampus, dimana kelainan ini banyak ditemukan pada ELT dan pada kasus resistensi obat.36,38 Pittau dkk menemukan riwayat kejang demam pada pasien sklerosis hipokampus lebih banyak dibanding pasien tanpa sklerosis hipokampus. Meskipun demikian, studi oleh Pittau dkk ini tidak sependapat dengan peranan kejang demam dalam etiopatogenesis sklerosis hipokampus.11 Salah satu faktor prediktor epilepsi resisten obat lainnya adalah ada atau tidaknya penyebab simtomatik. Yilmaz dkk menyebutkan penyebab simtomatik ditemukan pada 41% pasien dengan epilepsi resisten obat dibandingkan dengan 18,3% pada kelompok yang responsif obat, dan penyebab simtomatik ini merupakan faktor prediktor independen epilepsi resisten obat.39 Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian ini dimana penyebab simtomatik tidak berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat. Selain itu juga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara abnormalitas CT scan/MRI kepala dengan ELT potensial resisten obat. Hasil serupa juga didapatkan oleh Zhang dkk, yang menyebutkan abnormalitas neuroimaging tidak mempengaruhi keluaran pada pasien epilepsi.43 Meskipun pada penelitian ini penyebab simtomatik dan abnormalitas CT Scan/MRI kepala tidak berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat, namun terlihat hampir semua pasien dengan atrofi Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
48
hipokampus potensial resisten terhadap pengobatan. Dalam literatur disebutkan bahwa penyebab paling sering localization-related epilepsy resisten obat pada orang dewasa adalah sklerosis hipokampus. Semah dkk menemukan bahwa sklerosis hipokampus pada ELT merupakan faktor prognostik penting dimana pasien dengan kelainan ini hanya sedikit yang mengalami bebas bangkitan dibandingkan ELT tanpa sklerosis hipokampus.4 Dari penelitian ini juga tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara gelombang epileptiform maupun perlambatan pada EEG terhadap ELT potensial resisten obat. Penelitian oleh Zhang dkk juga tidak menemukan hubungan yang bermakna antara abnormalitas EEG baik gelombang epileptiform maupun perlambatan dengan epilepsi resisten obat.43 Hasil berbeda di dapatkan oleh Yilmaz dan ohtsuka, dimana disebutkan gelombang epileptiform lebih banyak ditemukan pada epilepsi resisten obat.33,39 Faktor lain yang juga tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan ELT potensial resisten obat adalah adanya riwayat keluarga dengan epilepsi. Beberapa penelitian menilai hubungan antara riwayat keluarga dengan epilepsi dengan kejadian epilepsi resisten obat dan sebagian besar tidak menemukan hubungan antara keduanya. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan epilepsi dan ELT potensial resisten obat. Dari penelitian ini didapatkan adanya riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap OAE awal merupakan faktor yang berpengaruh secara independen terhadap ELT potensial obat. Dengan demikian adanya kedua faktor ini harus dievaluasi pada pasien-pasien ELT. Dengan demikian adanya ELT potesial resisten obat dapat diketahui lebih awal, sehingga memungkinkan dilakukannya konseling dan tatalaksana yang tepat pada pasien. Tatalaksana yang baik dari ELT potensial resisten obat ini dapat mencegah pengaruh buruk yang mungkin terjadi akibat kurangnya kontrol bangkitan. Kelemahan penelitian ini adalah penelitian dalam bentuk retrospektif, beberapa data tidak ditemukan secara lengkap. Jumlah subjek yang diperoleh 71 orang, namun hal ini hanya
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
49
menyebabkan perubahan akurasi sebesar 0,8%. Penelitian juga dilakukan dirumah sakit rujukan dimana kasus-kasus potensial resisten obat lebih banyak ditemukan.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
50
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 84,51% subjek dengan ELT potensial resisten obat, dimana riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap pengobatan pertama merupakan faktor yang berpengaruh secara independen terhadap ELT potensial resisten obat. Usia onset < 15 tahun, frekuensi bangkitan awal ≥ 1x/bulan, dan riwayat kejang demam merupakan faktor yang tidak secara independen berpengaruh terhadap ELT potensial resisten obat. Pada penelitian ini etiologi simtomatik serta gambaran CT scan/MRI kepala tidak berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat, meskipun demikian hampir semua pasien dengan atrofi hipokampus potensial resisten obat. Gambaran EEG dan riwayat keluarga dengan epilepsi juga tidak berhubungan bermakna dengan ELT potensial resisten obat. 6.2 Saran Riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap pengobatan pertama perlu diketahui pada setiap pasien ELT untuk deteksi dini kemungkinan terjadinya ELT potensial resisten obat, sehingga tatalaksana yang tepat dapat segera diberikan. Selanjutnya perlu dilakukan studi kohort prospektif terhadap pasien ELT dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mengetahui faktor risiko potensial resisten obat selain riwayat status epileptikus dan tidak respons terhadap pengobatan pertama.
50
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
Universitas Indonesia
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editor. Pedoman tatalaksana epilepsi. 4th ed.Jakarta:PERDOSSI:2012:3-19. 2. Kwan P. Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N Eng J Med. 2000;342(5):314-319. 3. Hwang SK, Hirose S. Genetics of temporal lobe epilepsy. Review article. Brain & Development.2012;34:609-616. 4. Semah F, Picot MC, Adam C, Broqlin D, Arzimanoglou A, Brazin B, et al. Is the underlying cause of epilepsy a major prognostic factor for reccurence?. Neurology. 1998; 51(5):1256-1262. 5. Perucca P, Hesdorffer DC, Gilliam FG. Response to first antiepileptic drug trial predict health outcome in epilepsy. Epilepsia.2011;52(12):2209-2215. 6. Pati S, Alexopoulus A. Pharmacoresistant epilepsy: From pathogenesis to current
and
emerging
therapies.
Cleveland
Clinic
Journal
of
Medicine.2010;77(7):457-466. 7. Wiratman W. Keberhasilan pengobatan epilepsi lobus temporal di RSCM periode juni 2010-mei 2011. Neurona.2012;29(3):35-37. 8. Kwan P, Arzimanoglou A, Berg AT, Brodie MJ, Hauser WA, Mathern G, et al. Definition of drug resistant epilepsy:Consensus proposal by the ad hoc Task Force of the ILAE Commission on Therapeutic Strategies. Epilepsia. 2010;51(6):1069-1077. 9. Beleza P. Refractory Epilepsy: A clinically oriented review. Eur Neurol.2009;62:65-71. 10. Zenteno-Tellez JF, Dhar Rah, Wiebe S. Long-term seizure outcomes following surgery: a systematic review and meta-analysis. Brain. 2005;128:1188-1198. 11. Pittau F, Biisulli F, Mai Roberto, Fares JE, Vignatelli L, Labete A, et al. Prognostic factors in patient with mesial temporal lobe epilepsy. Epilepsia.2009;50(Suppl. 1):41-44. Universitas Indonesia
51
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
52
12. Wassenaar M, Leijten FS, Egbert TC, Moons KG, Uijl SG. Prognostic factors for medically intractable epilepsy: A systematic review. Epilepsy Research.2013;106:301-310. 13. Moinuddin AKM, Rahman MM, Sakhter, Kawser CA. Predictors of childhood intractable epilepsy-a retrospective study in a tertiary care hospital. Bangladesh J Child Health.2009;33(1):6-15. 14. Zenteno JF, Ronquillo LH. A review of the epidemiology of temporal lobe epilepsy. Epilepsy research and treatment.2012:1-5. 15. Chiosa V, Seeck M, Vulliemoz S. Temporal lobe epilepsy: From electroclinical semiology to surgical outcome. Epileptologie. 2010;27:94-100. 16. Blair RD. Temporal lobe epilepsy semiology. Article review. Hindawi Publishing Corporation. Epilepsy research and treatment. 2012:1-10. 17. Abou-Khalil BW. Semiology of temporal lobe epilepsies. Neurosciences. 2003;8(3): 139-142. 18. Verma A, Radtke R. EEG of partial seizure. Journal of Clinical Neurophysiology. 2006;23(6):333-339 19. Kelly KM, Chung SS. Surgical treatment for refractory epilepsy: Review of patient evaluation and surgical options. Epilepsy research and treatment. 2011:1-10. 20. Salmenpera TM, Duncan JS. Imaging in epilepsy. Diakses dari www.jnnp.com. 5 Desember 2014. 21. Chayasirisobhon S. The mechanisms of medically refractory temporal lobe epilepsy. Acta Neurol Taiwan. 2009;18:155-160 22. Elger CE. Pharmacoresistance: Modern concept and basic data derived from human brain tissue. Epilepsia. 2003;44(suppl. 5):9-15. 23. Neligan A, Sender Jw. The long-term prognosis of epilepsy. Diakses dari http://discovery.ucl.ac.uk/1336066/1/1336066.pdf. 20 September 2014. 24. Semah F, Ryvlin P. Can we predict refractory epilepsy at the time of diagnosis?. Epileptic Disord. 2005;7(suppl. 1):s10-s13..
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
53
25. Gunn
Rugg
FJ.
Adult
onset
epilepsy.
Diakses
dari
http://www.epilepsysociety.org.uk/sites/default/files/attachments/Chapter1 2Rugg-Gunn.pdf. 15 Desember 2014 26. Loscher W. Current knowledge on basic mechanism of drug resistance. In Kahane P, Berg A, Loscher W, Nordli D, Perucca E, editors. DrugResistant Epilepsies. United Kingdom: John Libbey Eurotext: 2008. p.4757. 27. R.Ottman. Autosomal dominant partial epilepsy with auditory features. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books. 8 Agustus 2015. 28. Loscher W, Brandt C. High seizure frequency prior to antiepileptic treatment is a predictor of pharmacoresistant epilepsy in a rat model of temporal lobe epilepsy. Epilepsia. 2010;51(1):89-97. 29. Loscher W, Schmidt D. Drug resistance in epilepsy: Putative neurobiologic and clinical mechanism. Critical Review;Epilepsia.2005;46(6):858-877. 30. Tripathi M, Padhy UP, Vibha D, Bhatia R, Srivastava MV, Singh MB, et al. Predictors of refractory epilepsy in North India: A case-control study. Seizure.2011;20:779-783. 31. Ari YB, Crepel V, Represa A. Seizure beget seizure in temporal lobe epilepsies: the boomerang effects of newly formed abberant kainatergic synapses. Epilepsy currents. 2008;8(3):68-72. 32. Sills GJ. Molecular targets of antiepileptic drugs. In Kahane P, Berg A, Loscher W, Nordli D, Perucca E, editors. Drug-Resistant Epilepsies. United Kingdom: John Libbey Eurotext: 2008. p.85-105. 33. Ohtsuka Y, Yoshinaga H, Kobayashi K. Refractory childhood epilepsy and factors related to refractoriness. Epilepsia.2000;41(suppl. 9):14-17. 34. Casetta I, Granieri E, Monetti VC, Gilli G, Tola MR, Paolino E, et al. Early predictors of intractability in childhood epilepsy: a community-based casecontrol study in Copparo, Italy. Acta Neurol Scand. 1999;99:329-333. 35. Gilioli I, Vignoli A, Visani E, Casazza M, Canafoglia L, Chiesa V, et al. Focal epilepsies in adult patients attending two epilepsy centers:
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
54
Classification of drug-resistance, assessment of risk factors, and usefullness of “new” antiepileptic drugs. Epilepsia.2012;53(4):733-740. 36. Kalviainen R, Salmenpera T. Do recurrent seizures cause neuronal damage? A series of studies with MRI volumetry in adults with partial epilepsy. Progress in Brain Research. 2002;135:279-295. 37. French JA. Response to early AED therapy and its prognostic implication. Epilepsy Currents. 2002;2(3):69-71. 38. Regesta G, Tanganelli P. Clinical aspects and biological bases of drug-
resistant epilepsies. Epilepsy Research. 1999;34:109-122. 39. Yilmaz BS, Okuyaz C, Komur M. Predictors of Intractable Childhood Epilepsy. Pediatric Neurology. 2013;48:52-55. 40. US Department of health and human services. Management of treatment
resistant epilepsy. Diakses dari http://archive.ahrq.gov/ clinic/epcsums/ epilsum.htm. 14 November 2014. 41. Dlugos DJ.Sammel MD, Strom BL, Farrar JT. Response to first drug trial
predicts outcome in childhood temporal lobe epilepsy. Neurology. 2001:2259-2264. 42. Holmes GL, Ben-Ari Y. The neurobiology and consequences of epilepsy in
the developing brain. Pediatric research. 2001;49(3):320-324. 43. Zhang Y. Yu N, Su L, Di Q. A prospective cohort study of prognosis for
newly diagnosed epilepsy in east china. BMC Neurology. 2013;13:2-8.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
55
LAMPIRAN 1 FORMULIR DATA PASIEN 1. No. Register/ RM
:
2. Nama
:
3. Tanggal Lahir/Usia
:
4. Berat badan
:
5. Alamat dan No Telp
:
6. Jenis kelamin
: 1. Laki-laki
2. Perempuan
7. Pendidikan
: 1. SD
3. SLTA
2. SLTP
5. Perguruan Tinggi 8. Pekerjaan
: 1. PNS
4. Akademi
6. Tidak sekolah 2. Swasta
3. Dagang
4. Tidak bekerja
5. Lain-lain 9. Anamnesis
: ...............................................................
10. Usia saat onset bangkitan : 1. < 15 tahun 11. Jumlah bangkitan awal 1. ≥ 1x sehari
2. ≥ 15 tahun
: .........................................
2. 2-6x /minggu
3. 1-4x/bulan
4. < 1x/bulan
12. Respon terhadap pengobatan pertama a. Nama obat
:
b. Dosis dan frekuensi pemberian
:
c. Lama penggunaan obat
:
d. Frekuensi bangkitan setelah pengobatan : 13. Riwayat status epileptikus: 1. Ya
2. Tidak
14. Riwayat kejang demam
2. Tidak
: 1. Ya
15. Riwayat keluarga dengan epilepsi : 1. Ya
2. Tidak Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
56
16. CT Scan/MRI kepala
:
1. Lobus temporal: a. Normal jenis........................
b.abnormal,
2. Kelainan ekstra temporal: a. Lokasi................. Jenis.......................................
b.
17. Gambaran EEG
: 1. aktivitas epileptiform
18. Etiologi epilepsi
: 1.Idiopatik
2. Perlambatan
2.Kriptogenik
3. Simtomatik 19. Obat antiepilepsi
:
I. a. Jenis obat
:
b. Dosis dan frekuensi pemberian
:
c. Lama pengobatan
:
d. Frekuensi bangkitan sebelum penggunaan obat : e. Frekuensi bangkitan setelah penggunaan obat
:
f. alasan tidak menaikkan dosis obat
:
II. a. Jenis obat
:
b. Dosis dan frekuensi pemberian
:
c. Lama pengobatan
:
d. Frekuensi bangkitan sebelum penggunaan obat : e. Frekuensi bangkitan setelah penggunaan obat
:
f. alasan tidak menaikkan dosis obat
:
III. a. Jenis obat
:
b.Dosis dan frekuensi pemberian
:
c. Lama pengobatan
:
d. Frekuensi bangkitan sebelum penggunaan obat : e. Frekuensi bangkitan setelah penggunaan obat
:
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
57
g. alasan tidak menaikkan dosis obat 20. Frekuensi bangkitan saat ini a. ≥ 1x sehari
:
:......................................................
b. 2-6x /minggu
c. 1-4x/bulan
d. < 1x/bulan
e. Bebas bangkitan: 1. Ya, lama.....................
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
58
LAMPIRAN 2 JADWAL PENELITIAN Bulan
Januari Maret Juli Oktober November Desember 2014 2014 2014 2014 2014 2014
Januari 2014
Refrat Penelitian Inisiasi rencana penelitian Proposal penelitian Pengurusan etik penelitian Pengumpulan data Pengolahan data Seminar hasil penelitian
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
59
LAMPIRAN 3 Anggaran Penelitian 1.
Pencarian literatur (internet, jurnal bebayar, penggandaan)
Rp.
500.000
2.
Penggandaan referat penelitian 30 eks @ Rp. 5.000
Rp.
150.000
3.
Penggandaan praproposal penelitian 10 eks @ Rp. 10.000
Rp.
100.000
4.
Penggandaan proposal penelitian 10 eks @ Rp. 10.000
Rp.
100.000
5.
Penggandaan hasil penelitian 10 eks @ Rp. 20.000
Rp.
200.000
6.
Penggandaan tesis dengan hard cover 10 eks @ Rp. 50.000
Rp.
500.000
7.
Penggandaan formulir isian penelitian 90 eks @ Rp. 1.000
Rp.
90.000
8.
Administrasi dan penggandaan untuk perizinan komite etik
Rp.
250.000
9.
Biaya pencarian rekam medis 80 status @ Rp. 1.000
Rp.
80.000
10. Biaya presentasi referat penelitian
Rp. 100.000
11. Biaya presentasi praproposal penelitian
Rp. 700.000
12. Biaya presentasi proposal penelitian
Rp. 700.000
13. Biaya presentasi seminar hasil penelitian
Rp. 1.200.000
14. Biaya konsultasi ahli statistik
Rp. 4.000.000
Total
Rp. 8.670.000
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
60
LAMPIRAN 4
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015
61
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
Faktor-faktor Yang..., Andini Aswar, FK UI, 2015