Ismail Setyopranoto Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UGM / Unit Stroke RSUP Dr Sardjito Abstract
Stroke is the clinical term for acute loss of perfusion to vascular territory of the brain, resulting in ischemia and a corresponding loss of neurologic function. Classified as either hemorrhagic or ischemic, strokes typically manifest with the sudden onset of focal neurologic deficits, such as weakness, sensory deficit, or difficulties with language. Ischemic strokes have a heterogeneous group of causes, including thrombosis, embolism, and hypoperfusion, whereas hemorrhagic strokes can be either intraparenchymal or subarachnoid.
Stroke defines an acute vascular event in the brain and is a leading cause of death and disability. Ischemic stroke results from decreased blood flow to a portion of the brain with consequent cell death. Hemorrhagic stroke, on the other hand, is a result of bleeding into the brain. Ischemic stroke is far more common and is potentially treatable with thrombolytic therapy. While effective, the wide application of this therapy has been hampered by restrictive selection criteria based on time since onset of symptoms. Successful treatment requires a system capable of rapidly identifying and evaluating prospective candidates. In this context, use of community education, specific ED protocols and designated treatment centers may demonstrate some advantages. Evidence is emerging that patient selection by time since stroke onset, imaging characteristics, and intra-arterial treatment may increase the probability of recanalization of occluded vessels. Normalization of serum glucose, acute blood pressure management and surgical extraction of intracerebral clot may be of benefit in some circumstances. Keywords: stroke acute management – protocols – emergency department – primery and secondary therapy. Pendahuluan
Tujuan dari manajemen stroke akut secara komprehensif adalah; (1) untuk meminimalkan jumlah sel yang mengalami kerusakan melalui perbaikan jaringan panumbra dan pencegahan terjadinya perdarahan lebih lanjut pada perdarahan intraserebral, (2) untuk mencegah secara dini terjadinya komplikasi neurologik maupun komplikasi medik, dan (3) untuk mempercepat perbaikan fungsi neurologis secara keseluruhan. Jika secara keseluruhan manajemen stroke dapat berhasil dengan baik, maka pasien diharapkan akan lebih baik prognosisnya.
Penegakkan diagnosis jenis patologis stroke dengan segera sekarang ini memungkinkan oleh karena di beberapa rumah sakit sudah ada dokter spesialis saraf maupun tersedianya layanan CT Scan, sehingga manajemennya akan lebih cepat sesuai dengan jenis patologisnya, walaupun demikian asuhan medik dan asuhan keperawatan secara umum, pencegahan terhadap komplikasi, dan fisioterapi secara lebih dini masih merupakan landasan utama pada manajemen stroke. Manajemen pra-rumah sakit
Jika ada serangan stroke akut maka baik pasien (jika sadar) atau keluarganya harus segera memanggil ambulan untuk segera dibawa ke rumah sakit yang terdekat, dan para dokter atau paramedis di rumah sakit harus terlatih dalam pertolongan pertama jika mendapatkan kasus stroke di masyarakat. Mereka harus memberikan prioritas utama terhadap upaya rujukan ke rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap (Porteous et al., 1999; Camerlingo et al., 2001), khususnya jika serangan stroke baru saja terjadi.
Sangat ditekankan kepada masyarakat bahwa pengenalan tanda dan gejala stroke secara dini dan upaya rujukan ke rumah sakit harus segera dilakukan karena keberhasilan terapi stroke sangat ditentukan oleh kecepatan tindakan pada fase akut (jendela terapi – therapeutic window) yang diberikan dalam hitungan menit, jam atau hari yang artinya makin lama upaya rujukan ke rumah sakit atau makin lama waktu antara saat serangan dengan waktu pemberian terapi berarti makin buruk prognosisnya.
Assessment terhadap pasien stroke akut meliputi evaluasi terhadap jalan nafas (Air way), pernafasan (Breathing) dan aliran darah (Circulation) atau resusitasi (Hachimi-Idrissi & Huyghens, 2002; Adams Jr et al., 2003), juga pemeriksaan gula darah harus segera dilakukan. Dokter harus menanyakan kepada pasien (jika sadar), atau keluarganya tentang kondisi kesehatan saat sebelum serangan, juga dievaluasi apakah terdapat defisit neurologis yang lain, kapan saat serangan berlangsung dan sudah berapa lama, faktor risiko yang dipunyai, faktor risiko tersebut terkontrol apa tidak, dan obat-obat apa saja yang biasa diminumnya. Kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat, jika ada pertimbangan kondisi medis maka dokter harus mendapinginya sampai rumah sakit. Penanganan di rumah sakit meliputi tindakan medik di ruang emergensi hingga penanganan di unit stroke. Assessment di ruang rawat darurat rumah sakit
Di ruang rawat darurat, evaluasi harus segera dilakukan secara simultan oleh dokter spesialis saraf dan dokter instalasi rawat darurat. Assessment tersebut meliputi fungsi neurologis dan fungsi vital yang dilaksanakan secara bersama-sama dengan pemberian tindakan kedaruratan sesuai dengan kondisi pasien pada saat itu bagai basic life support. Manajemen kedaruratan terhadap pasien stroke akut meliputi tiga proses secara paralel, yaitu; (1) manajemen terhadap kondisi mengancam yang dapat menyebabkan terjadinya perburukan maupun komplikasi pada fase akut, (2) evaluasi medik maupun neurologik dengan peralatan neuroimaging terkini, dan (3) manajemen terhadap strokenya itu sendiri dengan pemberian terapi primer.
Pemeriksaan awal yang harus dilakukan di ruang rawat darurat adalah pemeriksaan fungsi pernafasan, tekanan darah, fungsi jantung, dan pemeriksaan analisa gas darah. Secara simultan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah rutin, kimia darah, pemeriksaan koagulasi darah serta pemeriksaan fungsi hematologi yang lain, dan bersamaan dengan tindakan tersebut pasien dipasang infus intravena dengan cairan elektrolit standar hingga diganti dengan cairan lainnya sesuai dengan hasil pemeriksaan kimia darah, dan selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG). Juga dilakukan persiapan pemberian antitrombotik dengan mempertimbangkan beberapa pemeriksaan fungsi koagulasi, kemudian jika pasien akan diberikan antikoagulan oral maka harus dilakukan pemeriksaan International ormalized Ratio (INR). Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI untuk mendapatkan kepastian diagnosis berdasarkan jenis patologisnya. Manajemen Umum pada Stroke Akut Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah awal yang sangat berguna dalam rangka untuk menggali beberapa informasi penting untuk membantu menegakkan diagnosis stroke maupun TIA. Beberapa pertanyaan bisa diajukan secara berulang untuk menambah kejelasan dan juga untuk menentukan secara tepat deskripsi kronologis gejala yang muncul pada saat serangan kepada pasien sendiri jika sadar dan kooperatif, maupun kepada anggota keluarga yang melihatnya saat serangan, hal ini sangat penting untuk membedakan apakah hal ini merupakan serangan iskemik, migrain dengan aura, epilepsi kejang fokal, maupun gangguan psikogenik (Michel & Bogousslavsky, 2004). Pemeriksaan fisik
Pasien harus segera dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis saraf konsultan stroke, dan suatu keterlambatan dalam pemeriksaan akan menghambat upaya manajemen dan bisa memperburuk outcome (Bamford et al., 1991; Toni et al., 2000). Pemeriksaan klinik dimulai dengan assessment dan secara simultan melakuan tindakan untuk perbaikan jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah (circulation), dan pengawasan terhadap suhu tubuh.
Standar pemeriksaan neurologi yang sederhana dapat dilihat pada tabel 1. Untuk membuat suatu keputusan pemberian terapi, dapat digunakan beberapa parameter, misalnya Skala Stroke Gadjah Mada, atau standar internasional lain yang sering digunakan yaitu National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS).
No
Umum
Khusus
Umum
-
Tanda vital signs, termasuk irama jantung Bising kardial, meningismus
Kognitif
-
Tingkat kesadaran, behavior Orientasi, perhatian, gangguan lapang pandang Fungsi bahasa (kelancaran, komprehensi, repetisi) Refleks primitif (grasping, kurang inisiasi, perseverasi) Gangguan memori jangka pendek (3 kata dalam 5 menit)
Nervi kraniales
-
Ptosis, refleks cahaya pupil, konfrontasi lapangan pandang Gerakan okuler, nistagmus Paralisis fasial dan sensasi Deviasi lidah dan palatum, disartria
Anggota gerak
-
Kedua lengan dan kaki serta kemampuan untuk mengangkat dan kekuatannya Ataksia Sensasi Refleks (refleks tendo, refleks kutaneus plantar)
Memprediksi saat serangan dan saat serangan yang tidak diketahui
Saat kejadian stroke dapat ditentukan secara langsung dengan bertanya kepada pasien (jika sadar) maupun keluarganya, atau bukti-bukti lain secara tidak langsung yang dapat menjelaskan saat serangan. Saat serangan yang terjadi pada saat tidur didapatkan kurang lebih pada 25% pasien (Fink et al., 2002; Serena et al. 2003; Spengos et al., 2005).
Jika saat serangan stroke tidak dapat dipastikan, maka saat terakhir dimana pasien tersebut dijumpai adanya gejala stroke sudah sangat membantu untuk memprediksi kira-kira kapan saat serangan stroke tersebut terjadi. Untuk pasien yang gejala stroke muncul saat tidur kemudian pasien tersebut terjaga, maka saat serangan dapat diperkirakan jam berapa pasien tersebut tidur dan jam berapa saat pasien tersebut terjaga. Jika pasien mengalami gejala stroke yang ringan, tetapi kemudian perlahan-lahan mengalami perburukan dalam beberapa jam, maka saat serangan dihitung mulai saat gejala yang ringan tersebut terjadi. Sebaliknya, jika gejala pada pasien sebut segera pulih kembali oleh karena TIA dan kemudian terjadi serangan lagi maka saat serangan dihitung saat timbulnya gejala pada serangan yang kedua tersebut (Spengos et al., 2005).
Diagnosis stroke akut Selain anamnesis dan pemeriksaan neurologis, maka pemeriksaan kardiovaskuler, pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan neuroimaging (Tabel adalah sangat penting untuk membantu memprediksi diagnosis dan prognosis stroke akut. Pemeriksaan neuroimaging (CT Scan atau MRI) secara cepat, tepat dan a dapat membedakan antara stroke iskemik dengan stroke perdarahan intraserebral. Tabel 2. Pemeriksaan segera pada pasien dengan kecurigaan stroke No
Pemeriksaan
Penjelasan
Neuroimaging (minimal salah satu):
- CT Scan kepala, termasuk perfusion CT Scan - MRI kepala, termasuk imaging difusi dan perfusi, FLAIR dan T2
Pemeriksaan imaging pada servikal dan arteri intrakranial (minimal salah satu):
- CT angiografi atau MR angiografi - Doppler dan duplex ultrasonografi - Angiografi konvensional atau digital (jika akan dilakukan trombolisis intra-arterial)
Laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap, INR, aPTT, PTT, gula darah, Natrium, Kalium, ureum, kreatinin, CK, CK-MB, CRP - Tes kehamilan
Lain-lain
- EKG - Pungsi lumbal (jika curiga perdarahan subarakhnoid atau infeksi meningo-vaskuler)
Tabel 3. Pemeriksaan tambahan pada stroke akut
Tanda vital (aritmia, hipo-hipertensi, demam, desaturasi oksigen Tanda-tanda neurologis adanya komplikasi stroke Komplikasi sistemik awal (infeksi, problem kardial, DVT) Rontgen foto toraks Echocardiography: Transthoracic Transesophageal Injeksi intravena microbubble untuk deteksi cardiac shunt. Servikal dan transcranial Doppler dan duplex: Injeksi intravena microbubble untuk deteksi cardiac shunt Injeksi kontras untuk evaluasi kondisi arteri intrakranial Monitoring terhadap tanda-tanda emboli MRI otak dan angio MRI servikal dan arteri serebral Dengan difusi dan perfusi Dengan T2 dan FLAIR Angiografi servikal dan serebral konvensional Electroencephalography - EEG (untuk identifikasi epilepsi atau ensefalopati) Pemeriksaan Neuropsikologi Pemeriksaan laboratorium; fungsi hepar, profil lipid, total protein, serum atau protein immuno-electrophoresis, fibrinogen, viskositas darah, osmolalitas serum, hitung jenis lekosit, morfologi eritrosit (sickle cells), konsentrasi alkohol dalam darah, HIV, Serologi Sifilis (TPHA dan / atau VDRL), homosistein dan Antibodi Antiphospholipid, faktor rheumatoid, proteins C and S, anti-thrombin-III, defisiensi plasminogen and tPA. Pungsi lumbal Sedimen urin
Diagnosis stroke akut dapat ditegakkan dengan lebih cepat dan akurat dengan menggunakan MRI terkini (resolusinya lebih tinggi, munculnya gambaran abnormal lebih cepat, dan dapat menilai lesi di batang otak). Sekarang ini diagnosis stroke akut dapat juga menggunakan perfusion-CT Scan, dan berdasarkan penelitian dilaporkan lebih praktis untuk mendeteksi iskemia otak (Michel & Bogousslavsky, 2005) dan reliabel untuk membedakan iskemia yang reversible atau irreversible (Wintermark et al 2006). Jika secara klinis curiga adanya perdarahan subarakhnoid, tetapi hasil pemeriksaan CT Scan maupun MRI adalah negatif (kurang lebih 10% kasus pada 24 jam pertama), maka pungsi lumbal sangat membantu untuk menegakkan diagnosis perdarahan subarakhnoid. Pengelolaan di Unit Stroke
Setiap pasien stroke akut yang datang di rumah sakit setelah dilakukan penanganan di ruang Instalasi Rawat Darurat maka harus segera di kelola di Unit Stroke. Manajemen pasien di unit stroke ditujukan untuk pemberian terapi primer, pengendalian faktor risiko, mencegah perburukan serta mencegah terjadinya komplikasi pada fase akut serta manajemen rehabilitasi sedini mungkin dan semuanya dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi, dan diawasi selama 24 jam terus menerus, sehingga diharapkan dengan manajemen tersebut akan menurunkan angka kecacatan, morbiditas dan mortalitas.
Hingga saat ini masih terdapat beberapa model dalam manajemen pasien stroke di rumah sakit, misalnya dititipkan di ruang intensif (ICU), digabungkan dengan penyakit saraf yang lain maupun yang sudah dirawat tersendiri di unit stroke walaupun mungkin sarana dan prasarananya masih belum lengkap. Gambar 1. Alur pasien stroke
IRD Langsung
UNIT STROKE
Paviliun
Poliklinik
Pulang / Sembuh / Meninggal
- ICU / ICCU - Bangsal lain
Bangsal Saraf
Pasien stroke yang dirawat di unit stroke bisa langsung dari instalasi rawat darurat, poliklinik rawat jalan, pindahan dari bangsal lain atau bangsal VIP, atau langsung ke unit stroke (gambar 1), dan selanjutnya jika setelah melewati fase akut dimana beberapa parameter sudah menunjukkan adanya perbaikan maka pasien sebut bisa langsung pulang, pindah bangsal atau ruang VIP, dan jika pada fase akut didapatkan adanya tanda-tanda gagal nafas (respiratory distress) maka pasien dirujuk ke ruang intensif (ICU) untuk penanganan pemberian ventilator, dan jika terdapat miokard infark akut atau odem paru akut maka pasien stroke tersebut dirujuk ke ruang perawatan jantung intensif (ICCU).
Pemberian trombolisis pada pasien stroke iskemik akut harus dilakukan di unit stroke dengan mempertimbangkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi secara ketat, termasuk pemeriksaan dengan neuroimaging yang terkini sehingga dapat dipastikan terjadinya iskemia serebral. Pada pasien dengan perdarahan intraserebral
Steiner et al., 2006). Protokol standard dan clinical pathways pasien stroke akut
Semua tindakan dan pemberian terapi harus ditulis pada cheklist yang tersedia sesuai dengan protokol, baik pada saat pra-rumah sakit sampai pada follow up harian selama mondok di rumah sakit. Berdasarkan catatan tersebut perkembangan pasien dapat dimonitor dengan rinci dan hal itu merupakan informasi yang berharga sebagai pembelajaran untuk kasus-kasus lainnya sehingga outcome pasien akan lebih baik, dan kemampuan serta ketrampilan dari semua anggota tim stroke akan semakin meningkat juga (Kwan & Sandercock, 2004).
Aturan dan tanggung jawab semua pelaksana di Unit Stroke harus jelas dan perawatan pasien harus terstandarisasi. Protokol tersebut harus disepakati sebagai suatu standarisasi perawatan intensif stroke berdasarkan guidelines manajemen stroke yang terkini. Protokol tersebut harus berisi petunjuk-petunjuk sebagai berikut; Bantuan untuk fungsi vital dan diagnosis yang rinci, Triage perawatan ke bangsal biasa, ke Unit Stroke atau ke Perawatan Intensif, Batasan kapan dilakukan konsultasi ke Dokter Spesialis Bedah Saraf, Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Anestesi, Penggunaan obat-obat dan usaha pencegahan deteriorasi dan komplikasi akibat stroke, Koreksi faktor risiko dan usaha prevensi sekunder, usaha rehabilitasi awal, dan asuhan keperawatan.
Alur manajemen terhadap pasien stroke akut mungkin untuk setiap pasien tidak sama, dan hal itu tergantung dari kedatangan pasien ke rumah sakit, apakah hanya dalam beberapa jam setelah serangan langsung datang ke rumah sakit atau sudah lebih dari sehari baru datang ke rumah sakit. Beberapa kondisi dan komplikasi pada pasien stroke akut misalnya krisis hipertensi, peningkatan kadar gula darah, aspirasi, peningkatan tekanan intrakranial, bangkitan kejang, atau aritmia jantung harus selalu dimonitor dan dievaluasi dalam manajemen stroke akut dan masuk dalam clinical pathway manajemen stroke. Manajemen stroke akut di unit stroke
Pasien stroke akut harus dirawat di rumah sakit yang mempunyai fasilitas alat monitor yang terintegrasi di unit stroke maupun ruang perawatan neurointensif (Indredavik et al., 1998; Stroke Unit Trialists’ Collaboration, 2000). Beberapa keadaan pada pasien stroke akut yang harus dimonitor, yaitu: Observsi terhadap kemungkinan perburukan yang disebabkan oleh kondisi kardiovaskuler maupun neurologis, Menilai beberapa keadaan medis dan neurologis sebagai pencegahan terhadap timbulnya komplikasi, Adanya perbaikan kondisi medis dan neurologis berdasarkan etiologi stroke, Mendeteksi terjadinya perubahan secara cepat kondisi pasien, sehingga harus segera dilakukan tindakan medik maupun intervensi pembedahan.
Manajemen secara umum terhadap pasien stroke akut terdiri dari: Sistem respirasi dan kardial, Pemberian cairan dan manajemen terhadap gangguan metabolik, Pengendalian tekanan darah, Pencegahan terhadap deep venous thrombosis dan emboli pulmonum, Pencegahan terhadap aspirasi pneumonia dan infeksi lainnya, Pencegahan dekubitus. el 4. Penyebab perburukan klinik pada pasien stroke akut: No
Penyebab Infeksi
Penjelasan
Pneumonia
-
Saluran urin Endokarditis Sinusitis Lainnya
Sistem Respirasi
-
Aspirasi bronkhus / pneumonia Emboli Pulmonum Atelektasis Gagal nafas
Jantung
-
Gangguan output Aritmia, infark miokard
Metabolik
-
Hiperglikemia, hipoglikemia Hipernatremia, hiponatremia Gangguan elektrolt lain
el 5. Komplikasi, perburukan neurologis dan etiologinya pada stroke: No
Jenis stroke Stroke Iskemik
Perburukan -
Perburukan pada stroke iskemik: o Oklusi persisten / insufisiensi sistem kolateral o Progresivitas pembentukan stenosis, reoklusi o Hipotensi (sering pada malam hari atau iatrogenik) o Stroke oleh karena emboli yang berulang o Perubahan ke perdarahan.
-
Efek massa dengan hipertensi intrakranial Bangkitan epilepsi Withdrawal alkohol, nikotin, NAPZA, hipnotik Perburukan iatrogenik oleh karena NAPZA Gangguan fungsi luhur
Stroke Perdarahan
-
Sama dengan di atas, dan Perdarahan awal atau perdarahan terus menerus Hidrosefalus, khususnya dengan perdarahan intraventrikuler atau serebelum.
Manajemen tersebut dilaksanakan secara simultan, komprehensif dan terintegrasi, sehingga diharapkan akan menurunkan angka kecacatan, morbiditas, dan mortalitas serta meningkatkan kemadirian pasien jika sudah pulang. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan perburukan klinik dapat dilihat pada Table 4 dan 5.
Deteksi dini dan tindakan secara cepat terhadap komplikasi neurologik pada stroke iskemik akut maupun stroke perdarahan merupakan salah satu faktor yang akan meningkatkan survival pasien pada fase akut kejadian serangan stroke. Tindakan tersebut membutuhkan sarana prasarana medis yang lengkap, sumber daya manusia yang terlatih, serta monitoring kondisi neurologik secara kontinyu yang dilakukan baik di unit stroke, maupun di ruang neurointensif. Komplikasi neurologik yang paling sering pada stroke iskemik akut maupun stroke perdarahan intraserebral dapat dilihat pada tabel 5. el 6. Tindakan yang diberikan pada perburukan pasien stroke akut Anamnesis ulang pada pasien dan konfirmasi dengan perawat yang menjaganya Periksa tanda vital Periksa secara teliti permasalahan umum dan neurologis Periksa ulang neuroimaging dan vascular imaging Periksa elektrolit, darah rutin, CRP, Rontgen foto toraks, sedimen urin, kultur darah, dan lain-lain. Periksa analisis gas darah, CT Scan paru untuk melihat adanya emboli pulmonum, EEG, echocardiography, dan lain-lain.
Beberapa keadaan yang mungkin sebagai penyebab terjadinya perburukan pada stroke akut harus secara cepat dilakukan evaluasi (Tabel 6). Walaupun secara umum pada pasien didapatkan seakan-akan dalam kondisi normal secara fisiologis, tetapi dokter tidak salah untuk melakukan evaluasi melihat kondisi pasien tersebut dengan beberapa parameter, yaitu: penurunan tekanan darah secara cepat pada hipertensi pasien stroke akut bisa merupakan suatu tanda yang membahayakan, dan bukan sesuatu yang baik, hipotermia mungkin lebih baik daripada normotermia, pemberian makan lebih dini baik melalui mulut maupun nasogastric tube (NGT) pada pasien stroke akut dengan disfasia akan meningkatkan kejadian aspirasi.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) tahun 2007 sudah membuat pedoman terapi terhadap stroke akut yang dapat diterapkan di Unit Stroke dan Instalasi Rawat Darurat. Pasien stroke di Unit Stroke, berasal dari Instalasi Rawat Darurat, ICU, ICCU, unit perawatan lainnya di rumah sakit yang sama, atau rujukan oleh dokter secara individu, atau dari rumah sakit/institusi pelayanan kesehatan lainnya melalui unit rawat jalan, dan rangkaian tindakannya dibagi berdasarkan beberapa stadium, yaitu: Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebrokardiopulmoner. Usaha neuroresusitasi lebih diutamakan agar kerusakan organ otak dibatasi sekecil mungkin disamping penyelamatan jiwa pasien. Sebaiknya pasien dilakukan pemberian oksigen 2 L/menit dan pemberian cairan kristaloid/koloid, hindari pemberian cairan dekstrosa atau saline dalam air. Pemeriksaan sistim koagulasi dan hemostasis serta pemeriksaan kimia darah dilakukan sebelum pasien dipindahkan ke Unit Stroke.
Pada stadium hiperakut pasien dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto thoraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time , APTT, glukosa darah, kimia darah termasuk elektrolit, jika hipoksia dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah dan pemeriksaan CSF bila curiga kasus perdarahan sub arahnoid.
Tindakan suportif lain yang harus dilakukan di Instalasi Rawat Darurat adalah stimulasi dini terhadap penderita lebih ditujukan terhadap keadaan kognisi dan mental penderita serta memberikan penjelasan pada keluarga penderita agar keluarga tenang dalam menghadapi krisis yang menimpa penderita. Stadium Akut
Asuhan medis yang dilakukan terhadap pasien stroke akut pada stadium ini meliputi; tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta melakukan telaah sosial untuk membantu pemulihan penderita. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga penderita diperlukan yang menyangkut dampak stroke terhadap penderita dan keluarga serta tatacara perawatan penderita yang dapat dilakukan keluarga. Tujuan penatalaksanaan stroke akut (AAN 2002); (1) menetapkan diagnosa stroke secara pasti, (2) meminimalisasi cedera otak iskemik ataupun hemoragik encegah dan mengobati komplikasi yang terjadi, (4) mencegah stroke berulang, dan (5) memaksimalkan kualitas hidup penderita stroke. Berikut ini dijelaskan beberapa pedoman penatalaksanaan yang harus dikerjakan pada pasien stroke akut berdasarkan jenis patologisnya. Pedoman Terapi Stroke Iskemik Akut Terapi umum:
Posisi kepala 300, dengan kepala dan dada pada satu bidang. Posisi lateral dekubitus kiri bila disertai muntah. Ubah posisi tidur setiap 2 jam, dan mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Bebaskan jalan napas dan bila perlu dapat diberikan oksigen 1-2 liter/menit sampai ada hasil analisa gas darah. Kalau perlu dapat dilakukan tindakan intubasi, bekerjasama dengan (neuro) intensivist atau ICU. Atasi hipertermia dengan kompres dan antipiretik, dan cari penyebabnya. Kandung kemih yang penuh dikosongkan sebaiknya dengan kateter intermitten. Pemberian nutrisi: cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500 – 2000 mililiter dan elektrolit dengan komposisi sesuai kebutuhan pasien. Hindari yang mengandung glukosa murni atau isotonik salin. Nutrisi peroral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik. Bila terdapat gangguan menelan atau penderita dengan kesadaran menurun dianjurkan melalui pipa nasogastrik. Pemberian glukosa: hiperglikemia (>150 mg%) harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin atau intravena secara drip kontinyu selama 2 – 3 hari pertama. Hipoglikemia (<60 mg% atau <80 mg% dengan gejala) harus diatasi segera dengan memberikan dekstrosa 40% intravena sampai normal dan atasi penyebabnya. Pemberian obat-obat simptomatis: jika terjadi nyeri kepala, mual/muntah.
pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau ada gagal jantung, gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal 20%, dan obat yang direkomendasikan adalah; natrium nitropruside, golongan alfa-beta bloker, ACE inhibitor atau antagonis kalsium. Jika terdapat hipotensi (sistolik <90mmHg, diastolik <70 mmHg) berikan NaCl 0,9% 250 mililiter (1 jam) dilanjutkan 500 mililiter (4 jam) dan 500 mililiter (8 jam) atau sampai hipotensi dapat diatasi. Bila tidak menolong (sistolik <90 mmHg) berikan dopamin 2 – 20 µg/kg/menit sampai sistolik > 110 mmHg. Jika terdapat kejang berikan diazepam 5-20 mg IV perlahan (3 menit) maksimal 100 mg perhari dan dilanjutkan pemberian antikonvulsan peroral (fenitoin, karbamazepin) selama > 1 bulan. Bila kejang timbul setelah 2 minggu diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang. Tekanan intrakranial meningkat: berikan manitol bolus IV 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, bila dicurigai fenomena rebound (keadaan umum memburuk) dilanjutkan 0,25g/kg per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Pantauan osmolalitas <320 mmol. Sebagai alternatif dapat juga diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid. Terapi khusus: Mencegah reperfusi: antitrombotik (antiplatelet aspirin dan anti koagulan), rt-PA Pemberian neuroproteksi: dapat diberikan citicolin, pirasetam, atau nimodipin. Protokol Pemberian Antikoagulan. 2.3.1.
Indikasi pemberian antikoagulan:
Pencegahan, yaitu pada; (1) penderita pasca TIA atau pasca stroke iskemik yang memiliki risiko tinggi untuk emboli berulang yang terbukti bersumber dari jantung, misalnya; fibrilasi atrium non valvuler, trombus mural dalam ventrikel kiri, infark miokard baru, dan katup jantung buatan, dan (2) Trombosis vena dalam dan emboli paru pada penderita stroke iskemik dengan paresis berat yang tidak dapat bergerak. Terapi terhadap trombosis vena serebral dan trombosis vena dalam pasca stroke. 2.3.2.
Kontraindikasi pemberian antikoagulan:
Kontraindikasi mutlak, misalnya perdarahan intrakanial, gangguan hemostasis, ulkus peptikum aktif dan gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat. Kontraindikasi relatif,misalnya infark luas dengan pergeseran garis tengah, hipertensi berat tidak terkontrol (sistolik >200 mmHg, diastolik >120 mmHg), ulkus peptikum tidak aktif, riwayat perdarahan oleh karena pemberian antikoagulan dan riwayat idiosinkrasi dan hipersensitivitas terhadap antikoagulan karena potensial terjadi perdarahan, misalnya didapatkan adanya varises esofagus dan baru saja dilakukan tindakan operasi/biopsi. 2.3.3.
Pemeriksaan pendahuluan sebelum pemberian antikoagulan
Anamnesis, meliputi riwayat keluarga tentang adanya penyakit jantung, diabetes melitus, stroke, stroke usia muda, hiperlipidemia, penyakit perdarahan. Juga riwayat pasien tentang adanya penyakit jantung, diabetes melitus, hiperlipidemia, obesitas, penyakit hepar/ginjal, penyakit perdarahan. Pemeriksaan fisik, meliputi status generalis dan status neurologis yang lengkap dengan perhatian terhadap tekanan darah dan tanda-tanda perdarahan. Pemeriksaan darah, meliputi pemeriksaan awal meliputi darah perifer lengkap, APTT, PT/INR, fibrinogen, D-dimer. Pemeriksaan juga berdasarkan indikasi tertentu misalnya AT III, protein C dan S, homosistein. Pemeriksaan EKG; dicari tanda-tanda fibrilasi atrium, tanda-tanda insufisiensi koroner dan infark miokard. Pemeriksaan Echokardiografi dengan; (1) Trans Thoracal Echokardiography (TTE), hanya untuk menentukan adanya trombus mural kelainan katup dan miokard, dan (2) Trans Esophageal Echokardiography (TEE), hanya dilakukan bila hasil TTE negatif dan juga untuk menentukan adanya trombus mural di atrium kiri. Pemeriksaan CT scan kepala, untuk menyingkirkan adanya perdarahan intrakranial.
2.3.4.
Prosedur Pemberian Antikoagulan pada Fase Akut Stroke Iskemik
Stroke kardioembolik
CT Scan kepala
Infark hemoragik
Pemeriksaan ulang 6 minggu lagi
Infark hemoragik (-)
Indikasi pemberian antikoagulan Ya Pemeriksaan ulang CT Scan 48-72 jam lagi
Perdarahan (-) Efek massa (-)
Infark luas Efek massa (+)
Infark hemoragik
2.3.5.
Tatacara Pemberian Antikoagulan
2.3.5.1.
Untuk prevensi stroke berulang
Pemberian Heparin dimulai dengan dosis 1000 U/jam (10.000 U/ 24 jam), kemudian setelah 6 jam periksa APTT, jika didapatkan hasil; (1) kurang dari 1,5 kali terhadap kontrol maka dosis dinaikkan 2500 U/ 24 jam, (2) lebih dari 2,5 kali terhadap kontrol maka dosis tetap, dan (3) antara 1,5-2,5 terhadap kontrol, maka pada hari ketiga diberikan antikoagulan oral sampai INR berkisar 2,0-3,0 atau tromboses (Owren) 10-20%.
Pemberian Heparin berat molekul rendah (LMWH), mengandung unsur babi sehingga pemberian kepada penderita yang beragama Islam harus berdasarkan persetujuan penderita atau keluarganya. Pemberiannya adalah dosis 2 kali 0,4 cc subkutan selama 5-7 hari dan monitoring trombosit hari 1 dan 3, jika kurang dari 100.000 maka harus dihentikan. Pemberian golongan Kumarin: (1)
Warfarin, pemberiannya harus dilakukan pada malam hari, sebaiknya antara jam 17.00 sampai 19.00, dengan ketentuan sebagai berikut; Hari I : 8 mg Hari II : 6 mg Hari III : periksa INR (dilakukan antara jam 09.00 hingga 11.00), dan jika didapatkan; INR 1,1 - 1,4 maka dosis hari ke-3 (10-20% total dosis mingguan), kemudian periksa ulang INR 1 minggu lagi, INR 1,5 - 1,9 maka dosis hari ke-3 (5-10% total dosis mingguan), kemudian periksa ulang INR 2 minggu lagi, dan INR 2,0 - 3,0 maka tidak perlu perubahan dosis, kemudian periksa ulang INR 4 minggu kemudian.
(2)
Dikumarol, dengan ketentuan sebagai berikut; Hari I : 4 mg Hari II : 3 mg dan seterusnya Cara pemberiannya sama dengan warfarin (1 mg dikumarol sama dengan 2 mg warfarin).
2.3.5.7.
Untuk prevensi trombosis vena dalam dapat diberikan Heparin dengan dosis 2 kali 5000 Unit sub kutan atau low weight molecular heparin (LWMH) dengan dosis 2 kali 0,3 cc selama 7 sampai 10 hari (tidak perlu pemantauan APTT). Sedangkan untuk terapi trombosis vena serebral/ vena dalam sama dengan prevensi.
2.3.5.8.
Pemantauan pemberian antikoagulan: Efek terapetik APTT Fibrilasi atrium non valvuler Trombus ventrikel kiri Infark miokard baru Katup jantung buatan
2.3.5.9.
: 1,5 - 2,5 kali kontrol selama 5-10 hari : INR 2 - 3 (target 2,5) selamanya : INR 2 - 3 (target 2,5) selama 6 bulan : INR 2 - 3 (target 2,5) selama 6 bulan : INR 3 - 4 (target 3,5) selamanya.
Efek samping/ komplikasi
Golongan heparin, yaitu trombositopeni akibat induksi heparin, osteoporosis, perdarahan dan idiosinkrasi. Antikoagulan oral, yaitu nekrosis kulit, ruam kulit, diare dan perdarahan ekimosis, hematom, epistaksis, perdarahan serebral. 2.3.5.10.
Penatalaksanaan komplikasi
Golongan heparin, yaitu; (1) segera hentikan pemberian heparin, dan (2) jika terjadi perdarahan berat maka dapat diberikan protamin sulfat 10-20 mg. Golongan kumarin, yaitu; (1) jika perdarahan minor bersifat lokal maka dosis diturunkan, (2) jka perdarahan mayor maka segera hentikan warfarin dan dapat diberikan Vitamin K 5-10 mg subkutan dan FFP. 2.3.5.11. Interaksi Obat Gangguan absorbsi Potensiasi (Steroid anabolik, obat anti-inflamasi non steroid Simetidine, Fenilbutason, Metronidazol, Eritromisin, Trimetoprim-sulfametoksazol, Klofibrate, Flukonazol Inhibisi (Barbiturat, Rifampisin, Penisilin, Griseofulvin). 2.3.6. Tatacara Pemberian Antitrombotik
Asetosal (asam asetil salisilat) dapat diberikan dalam 48 jam pertama, obat-obat hemoreologik (misalnya pentoksifilin dan lain-lain) dan neuroprotektor dapat diberikan. Pedoman Terapi Stroke Perdarahan 2.2.1.
Terapi umum
Perawatan di ICU jika didapatkan volume hematoma lebih dari 30 cc, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus dan klinis cenderung memburuk, Tekanan darah diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau sebanyak 15-20% bila tekanan sistolik >180, diastolik >120, MAP >130, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung maka tekanan darah segera diturunkan dengan labetolol intravena dengan dosis 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enelapril intravena 0,625-1.25 mg per 6 jam; Captopril 3 kali 6,25-25 mg peroral, Jika didapatkan tanda-tanda tekanan intra kranial meningkat, mka posisi kepala dinaikkan 30 derajat, dengan posisi kepala dan dada pada satu bidang, bisa dilakukan pemberian manitol (lihat stroke iskemik), dan hiperventilasi (PCO2 20-35 mmHg), Penatalaksanaan terapi secara umum sama dengan stroke iskemik, Jika didapatkan tukak lambung maka harus dilakukan dan dapat juga dicegah dengan pemberian antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton,
2.2.2.
Terapi khusus
Pemberian neuroprotektor dapat diberikan pada perdarahan intraserebral kacuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah hanya dilakukan dengan mempertimbangkan usia dan letak perdarahan lesi yaitu pada pasien yang memburuk karena perdarahan serebelum dengan diameter lebih dari 3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, yaitu dilakukan pemasangan VP-shunting dan perdarahan lobar di atas 60 cc dengan tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada perdarahan subarakhnoid dapat diberikan Kalsium antagonis (nimodipine) maupun tindakan bedah (aneurisma, AVM) dengan ligasi, embolisasi, ekstirpasi, gamma knife. 2.2.3.
Penatalaksanaan komplikasi: Penatalaksanaan komplikasi terhadap pasein stroke perdarahan sangat tergantung dari jenis komplikasinya, yang meliputi;
Komplikasi neurologik Komplikasi medik Komplikasi imobilitas Komplikasi muskuloskeletal Komplikasi akibat care-giver 2.2.4.
Restorasi-Rehabilitasi:
Restorasi dan rehabilitasi terhadap pasien stroke perdarahan harus sesuai dengan kebutuhan pasien, yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif dan terapi okupasi. Stadium Sub Akut
Tindakan medik pada stadium sub akut dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, bicara dan bladder training termasuk terapi fisik. Mengingat perjalanan penyakit yang cukup lama, dibutuhkan penatalaksanaan khusus pasca stroke dengan penatalaksanaan secara intensif di rumah sakit yang akan memberikan perbaikan berupa kemandirian penderita, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder. Penatalaksanaan khusus seperti ini dapat dilakukan di Unit Stroke. Terapi stroke pada fase sub akut: Pada stroke iskemik, yaitu melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya, Pada stroke perdarahan, yaitu melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya, Penatalaksanaan komplikasi, Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif dan terapi okupasi, Prevensi sekunder Edukasi keluarga dan Discharge Planning Manajemen Umum di Unit Stroke Manajemen jalan nafas
Terdapat laporan tentang kondisi beberapa pasien pada fase akut stroke didapatkan adanya hipoksemia (Sulter et al., 2000). Penyebab hipoksemia adalah sangat kompleks, misalnya akibat penyakit paru atau jantung, penurunan fungsi ventilasi, kejang umum epilepsi, sumbatan jalan nafas, gagal jantung, dan penurunan kemampuan perubahan gas pada paru yang disebabkan oleh pneumonia, atelektasis, dan emboli pulmonum (Bassetti et al., 2006).
Pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGD) atau pengukuran tekanan parsial CO2 (pCO2) ekspirasi harus dilakukan terhadap pasien yang didapatkan adanya tanda an gejala gangguan fungsi respirasi atau kondisi stroke yang parah. Secara eksperimantal, penggunaan oksigen intraserebral dapat diukur dengan pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) atau dilakukan estimasi terhadap hasil pemeriksaan MRI (Geisler et al., 2006).
Mempertahankan saturasi oksigen diatas 92% sangat direkomendasikan (Adams Jr et al., 2003; Toni et al., 2004) dan dapat dipertahankan secara maksimal dengan pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui nasal tube. Pada pasien dengan desaturasi oksigen pada malam hari (nocturnal oxygen desaturation) oleh karena apnea sumbatan, pemberian tekanan oksigen non-invasif secara terus menerus melalui nasal tube atau masker wajah sangat membantu untuk memperbaiki kondisi tersebut (Iranzo et al., 2002).
Jika situasi dimana intubasi harus diberikan, maka perlu dipertimbangkan beberapa kondisi pasien misalnya, kemampuan pasien untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang mencukupi, penggunaan sedasi selama prosedur intra-arterial, risiko bronkhoaspirasi, manajemen pra-operasi oleh karena efek massa, dan terapi hipotermia. Prognosis pasien yang terpasang intubasi endotrakheal kebanyakan sangat buruk (Steiner et al., 1997). Manajemen hipertermia
Suhu tubuh pada pasien stroke fase akut akan naik pada kurang lebih 50% (Corbett & Thornhill, 2000). Sebagai penyebab utama peningkatan suhu tubuh pada pasien stroke pada fase akut adalah, kejadian stroke itu sendiri, khususnya pada serangan stroke yang parah (Boysen & Christensen, 2001) dan infeksi sebelumnya (G ., 1995) atau setelah serangan stroke (Grau et al., 1999).
Pada pasien stroke akut harus sering dilakukan pengukuran suhu tubuh, jika terjadi demam maka harus dicari secara teliti kemungkinan infeksi misalnya pneumonia, infeksi saluran kemih, plebitis, dan lain-lain.
Walaupun terdapat beberapa penelitian yang melaporkan bahwa pemberian dosis tinggi antipiretik kontroversial (Dippel et al., 2001; Koennecke & Leistner, 2001; Kasner et al., 2002), tetapi jika suhu tubuh dengan segera meningkat lebih dari 37.50 C maka harus diberikan antipiretik (Adams Jr et al., 2003; Toni et al., 2004). Tindakan lain selain pemberian preparat antipiretik adalah kompres dingin yang juga dapat menurunkan suhu tubuh pada penderita stroke. Manajemen infeksi
Infeksi yang paling sering dijumpai pada pasien setelah serangan stroke akut adalah pneumonia, dan sering bersamaan dengan disfagia. Infeksi saluran kemih juga sering didapatkan pada pasien stroke oleh karena imobilisasi dan menggunakan kateter. Dekubitus, sinusitis oleh karena pemakaian nasogastric tube, endokarditis, sepsis juga merupakan penyebab perburukan oleh karena infeksi.
Pemeriksaan suhu tubuh, darah lengkap, C-reactive protein (CRP), dan pemeriksaan sedimentasi urin harus dilakukan pada pasien stroke yang didapatkan tanda dan gejala dini infeksi. Pemeriksaan tersebut harus segera dilaksanakan jika pasien stroke mengalami demam disertai dengan kondisi neurologis yang memburuk,
sebagai penyebabnya.
Pemilihan antibiotik yang akan diberikan harus mempertimbangkan apakah infeksinya tersebut sudah didapatkan di rumah atau di rumah sakit, juga pertimbangkan kemungkinan resistensi antibiotik, maupun efek samping antibiotik yang akan diberikan. Suatu penelitian acak buta ganda (Randomized Control T melaporkan bahwa pemberian secara rutin antibiotik selama beberapa hari pertama mondok di rumah sakit sebagai profilaksi, secara bermakna tidak memperlihatkan adanya keuntungan (Chamorro et al., 2005). Manajemen Hipertensi
Selama masa stroke akut, kebanyakan pasien mengalami peningkatan tekanan darah (>140/90 mmHg), walaupun mereka tidak mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya (Leonardi-Bee et al., 2002). Walaupun mekanisme peningkatan tekanan darah selama fase akut stroke belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa faktor diduga berperanan misalnya; aktivasi sistem neuro-endokrin (kortikotropik, simpatis, renin–angiotensin), peningkatan cardiac output, kenaikan tekanan darah sekunder oleh karena adanya peningkatan tekanan intrakranial (Cushing reflex), nyeri, dan retensi urin (Carlberg et al., 1991). Adanya gangguan pada sensitivitas baroreseptor kardial etelah serangan stroke akut dan hal ini mungkin juga bisa mempengaruhi peningkatan tekanan darah (Robinson et al., 1997). Adanya oklusi persisten pada arteriserebral, juga akan meningkatkan tekanan darah secara persisten pada pasien stroke akut (Mattle et al., 2005).
Autoregulasi aliran darah otak juga mengalami gangguan terutama pada daerah infark yang mengalami perluasan (Eames et al., 2002). Kondisi tersebut dapat menyebabkan ketergantungan pada mean arterial pressure (MAP) aliran darah pada jaringan yang mengalami iskemia, sehingga untuk mempertahankan aliran darah otak di daerah ambang batas infark tersebut dibutuhkan tekanan darah yang tinggi. Penurunan takanan darah akan mengakibatkan aliran darah di bawah ambang batas kritis di rah zone panumbra dan ini menjelaskan antara tekanan darah yang rendah saat masuk rumah sakit dengan progresivitas perburukan stroke dan perburukan outcome (Ahmed et al., 2000; Leonardi-Bee et al., 2002; Willmot et al., 2004).
Autoregulasi aliran darah yang jelek pada daerah iskemik, pada beberapa pasien stroke akan menyebabkan hipertensi kronik. Sehingga tekanan darah pada pasien stroke lebih mudah ditoleransi pada tekanan darah yang lebih tinggi. Penurunan tekanan darah akan terjadi secara spontan dan pelan-pelan pada kebanyakan pasien stroke dengan hipertensi pada jam pertama sampai beberapa hari tanpa pemberian terapi antihipertensi (Broderick et al., 1993), hal tersebut diduga oleh karena terjadinya rekanalisasi spontan (Mattle et al., 2005). Hubungan antara tekanan darah selama fase akut dengan prognosis dapat dilihat secara kurva U-shaped (Leonardi-Bee et al., 2002; Bath, 2004; Willmot et al 2004). Tekanan darah yang tinggi pada stroke iskemik dapat muncul bersamaan dengan kejadian odem serebri atau pada stroke ulang (Leonardi-Bee et al., 2002) masih kontroversial apakah perubahan menjadi perdarahan pada stroke infark juga disebabkan oleh hipertensi yang persisten pada pasien tanpa trombolisasi (Leonardi ., 2002). Sedangkan pada stroke perdarahan intraserebral spontan, terbukti bahwa peningkatan tekanan darah akan menyebabkan perluasan perdarahan (Arakawa ., 1998).
Pemberian terapi antihipertensi jika didapatkan tekanan darah yang tinggi (hipertensi emergensi) diberikan dengan pertimbangan bukan hanya terhadap otak saja, tetapi juga terhadap kerusakan organ lain misalnya jantung dan ginjal. Meskipun demikian jika tekanan darahnya rendah pada pasien yang mempunyai riwayat hipertensi pada fase akut serangan stroke, hal tersebut mungkin menandakan deteriorasi neurologis dini atau peningkatan volume infark, dan merupakan outcome yang buruk pada bulan pertama saat serangan, khususnya penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg (Castillo et al., 2004).
Pemberian anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah secara progresif hanya dilakukan untuk pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombol atau terdapat kondisi medis lain yang menyertainya. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya tentang risiko perdarahan ulang, maka tekanan darah harus diturunkan secara progresif jika didapatkan adanya perdarahan intraserebral spontan dan juga perdarahan subarakhnoid.
Pada kebanyakan kasus stroke iskemik akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan, dan hanya direkomendasikan pemberian anti hipertensi jika didapatkan tekanan darah sistolik lebih dari 220 mmHg atau diastolik lebih dari 120 mmHg (Adams Jr et al., 2003; Toni et al., 2004). Jika anti hipertensi memang perlu dipertimbangkan untuk diberikan, maka ditargetkan tekanan darah sistolik kira-kira pada level 180 mmHg dan diastolik kira-kira 105 mmHg (Toni et al., 2004; Adams et al., 2005).
Pada pasien yang akan diberikan terapi trombolisis atau pemberian heparin, maka tekanan darah sistolik tidak boleh labih dari 185 mmHg dan diastolik tidak boleh lebih dari 105 mmHg, karena tekanan darah yang tinggi akan menimbulkan risiko perdarahan parensimal (Larrue et al., 2001). Berdasarkan penelitian terkini tekanan darah pada daerah disekitar ambang batas pemberian anti hipertensi juga direkomendasikan, yaitu pada pasien dengan stroke perdarahan intraserebral. Suatu guidelines terkini merekomandasikan untuk pemberian anti hipertensi jika didapatkan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan diastolik lebih dari 95 mmHg, pada pasien st perdarahan intraserebral walaupun tidak ada riwayat hipertensi (Steiner et al., 2006).
Preparat anti hipertensi oral misalnya Captopril, Angiotensi II Reseptor Antagonis, maupun Nicardipine dan Nitrogliserin perkutan kadang-kadang dapat juga diberikan, tetapi absorbsi dan durasinya kurang cepat. Pemberian preparat Calsium antagonis baik sublingual maupun intravena harus dihindari, karena sangat berisiko terjadi penurunan yang mendadak dari tekanan darah (Wahlgren et al., 1994), dan hal tersebut memungkinkan terjadinya serangan iskemik secara tiba-tiba (Jorgensen ., 1999; Ahmed et al., 2000).
Beberapa kondisi sistemik yang sering menyertai serangan stroke, misalnya infark miokard, insufisiensi kardial, gagal ginjal akut, ensefalopati hipertensi akut, atau aneurisme arcus aorta membutuhkan tekanan darah yang tetap rendah. Harus diingat bahwa pemberian obat-obat yang dapat mencetuskan tekanan darah menjadi sangat rendah harus dihindari, dan pemberian obat-obat anti hipertensi untuk stroke maupun kondisi sistemik yang menyertainya harus selektif. Pada perdarahan subarakhnoid, dipine dapat diberikan secara rutin selama beberapa hari, karena akan menyebabkan penurunan vasospasm yang berhubungan dengan outcome perbaikan dan menurunkan morbiditas (Mayberg et al., 1994; Oyama & Criddle, 2004). Manajemen Hipotensi
Terjadinya hipotensi dapat disebabkan oleh karena penurunan volume darah sistemik, perdarahan gastrointestinal, sepsis, perdarahan oleh karena aneurisme a yang pecah, penurunan cardiac output sekunder oleh karena iskemik jantung, aritmia jantung, dan emboli pulmonum. Tekanan darah rendah dan cardiac output mempengaruhi aliran darah otak regional di daerah iskemia pada pasien hipertensi kronik. Koreksi terhadap kondisi hipovolemia dengan pemberian NaCl fisiologis dapat diberikan jika terjadi penurunan volume darah sistemik, sepsis, dan perdarahan ekstrakranial akut.
Terapi harus segera diberikan terhadap penyebab yang mendasari terjadinya penurunan cardiac output, misalnya aritmia jantung, iskemia jantung dan emboli pulmonum. Diantara beberapa preparat inotropik, maka sebagai pilihan utama adalah dobutamine dengan dosis 5–50 mg/jam (Toni et al., 2004), karena dapat meningkatkan cardiac output sesuai dengan kebutuhan tanpa mempengaruhi heart rate. Dopamine mungkin sebagian dapat diberikan untuk pasien hipotensi atau insufisiensi ginjal.
Tubuh pasien diletakkan berbaring horisontal dengan posisi kepala agak ke bawah (Trendelenburg), dan posisi tersebut dapat meningkatkan aliran darah otak egional pada kondisi terjadinya kerusakan jaringan vasoaktif (Novak et al., 2003; Diserens et al., 2006) dan bermanfaat selama periode hipotensi. Manajemen cairan dan elektrolit
Baik hipervolemia maupun hipovolemia keduanya mempunyai efek negatif terhadap perfusi serebral dan homeostasis pada organ lain. Oleh karena itu tujuan dari manajemen cairan pada fase akut stroke adalah untuk menentukan dan mempertahankan kondisi normovolemia. Pemberian infus cairan isotonik intravena secara kontinyu tanpa glukosa merupakan pilihan terbaik yang sesuai dengan tujuan manajemen cairan pada stroke akut (Brainin et al., 2004). Adanya dehidrasi sedang atau berat pada pasien stroke saat masuk rumah sakit kebanyakan sering tidak diketahui oleh para dokter, dan hal tersebut dapat berperan terhadap outcome yang jelek (Bhalla et al
keterlambatan merujuk ke rumah sakit.
Hipervolemia biasanya disebabkan oleh gagal jantung, pemberian terapi cairan berlebihan atau sekresi antidiuretic hormone (ADH) yang inappropiate eseimbangan cairan negatif (walaupun minimal) diperlukan sekali untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadinya gagal jantung dan efek massa yang disebabkan oleh stroke itu sendiri. Dehidrasi berat harus dihindari, biarpun dari pengukuran memperlihatkan adanya perbaikan cardiac output dan penurunan tekanan intrakranial.
Cairan hipotonik (NaCl 0.45% atau glukosa 5%) merupakan kontraindikasi pada kondisi yang mempunyai risiko terjadinya peningkatan odem serebri sebagai konsekwensi dari penurunan osmolalitas plasma (Adams Jr et al., 2003; Toni et al., 2004). Selain itu, cairan glukosa tidak direkomendasikan karena mempunyai efek yang merusak dari hiperglikemianya. Gangguan elektrolit yang berat jarang didapatkan pada pasien stroke iskemik (Diringer, 1992), tetapi hiperosmolalitas pada pasien yang mengalami dehidrasi, hiperkalemia pada gagal ginjal akut, maupun hipokalemia pada pasien yang diberi diuretika mungkin dapat dijumpai pada pasien stroke akut. poosmolalitas oleh karena SIADH (Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone) atau pada cerebral salt wasting syndrome dapat terjadi pada beberapa hari pertama setelah onset stroke, khususnya pada pasien perdarahan subarakhnoid.
Beberapa percobaan hemodilusi isovolemik dengan infus cairan kristaloid maupun koloid untuk stroke iskemik akut menunjukkan hasil yang tidak bermakna (Scandinavian Stroke Study Group, 1987; Italian Acute Stroke Study Group, 1988). Disebabkan oleh adanya risiko terjadinya iskemia jantung, congestive heart failure (CHF), odem pulmonum, ensefalopati hipertensi, atau peningkatan odem serebri, maka penggunaan terapi cairan tersebut membutuhkan alat monitor kardiovaskuler. pasien yang secara jelas didapatkan manifestasi kekurangan cairan, atau bahkan overload, maka harus dilakukan pengukuran input cairan dan output urin dengan pemasangan kateter dan pengukuran tekanan vena sentral (central venous pressure).
Tidak ada konsensus apakah pemasangan infus dilakukan pada anggota gerak yang mengalami kelumpuhan atau pada yang sehat. Kateter vena sentral diindikasikan untuk kasus dimana kebutuhan volume cairan lebih banyak, cairan dengan osmolalitas yang tinggi atau cairan yang digunakan bersifat iritan, atau pada pasien yang tidak stabil kesadarannya, dan semua kondisi tersebut harus dilakukan pengukuran tekanan vena sentral (Toni et al., 2004). Pada pasien dengan volume cairan yang rmal, dan tidak ada kondisi lain yang spesifik, maka pemberian infus permulaan dapat dengan NaCl isotonik secara intravena, atau cairan Ringer (laktat maupun asetat) dengan dosis kira-kira 25 ml/kg BB/ 24 jam.
Penyebab paling sering terjadinya hipovolemia dengan hiperosmolalitas adalah insufisiensi pemberian cairan pada pasien dimana permintaan terhadap cairan sangat meningkat, misalnya pada pneumonia dan demam. Kekurangan cairan dapat dihitung pada kondisi tersebut, dan pasien sementara dapat diberikan cairan glu bebas hipotonik untuk mengoreksinya. Hipovolemia normo-osmolar yang disebabkan oleh insufisiensi cairan atau sepsis, maka harus dikoreksi dengan pemberian infus dengan kecepatan tinggi atau bolus cairan isotonik yang dapat diberikan berulang hingga terkoreksi.
Hipovolemia hiperosmolar mungkin berhubungan dengan dehidrasi. Jika cerebral salt wasting syndrome adalah sebagai penyebab terjadinya hipovolemia ( biasanya hipo-osmolar), maka dibutuhkan peningkatan jumlah natrium baik volume maupun muatannya. Pada hipervolemia oleh karena gagal jantung, harus dilakukan pembatasan input garam dan cairan. Diuretik kalau perlu dapat diberikan secara bolus atau secara kontinyu dengan infus intravena untuk mendapatkan keseimbangan cairan yang negatif, dan diharapkan secara cepat kondisi medis terkontrol, dengan pemberian obat-obat inotropik positif, atau penurunan after load akan memperbaiki fungsi kardial. Hipervolemia yang disebabkan oleh Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) dapat dilakukan dengan cara pembatasan cairan atau pemberian n NaCl hipertonik.
Gangguan elektrolit harus dilakukan pemeriksaan secara teliti, dan dikoreksi sesuai dengan tingkat keparahannya dan durasi terjadinya gangguan elektrolit. Gangguan kalium dapat meningkatkan aritmia jantung. Pada hiperkalemia berat harus dilakukan tindakan segera yaitu dengan pemberian glukosa intravena dan pemberian insulin. Hipokalemia dapat dikoreksi dengan pemberian kalium oral atau intravena. Manajemen hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan jika kadar glukosa dalam plasma lebih dari 6.7 mmol/l (120 mg/dl). Pasien dengan hiperglikemia pada fase akut stroke dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu; (1) pasien yang mengetahui bahwa dirinya adalah penderita diabetes melitus, (2) pasien yang baru diketahui menderita diabetes melitus pada saat itu, (3) pasien dengan glukosa puasa terganggu, dan (4) tanpa diketahui penyakit yang mendasarinya, juga disebut sebagai “stress hyperglycemia”.
Antara 5-28% pasien stroke mempunyai diabetes yang tidak terdiagnosis sebelumnya (Kiers et al., 1992). Hiperglikemia didapatkan pada pasien saat masuk rumah sakit kira-kira duapertiga pasien yang memang diabetes melitus dan kurang lebih 40% pada pasien non diabetes, dengan keseluruhan insiden hiperglikemia kurang lebih 50% pada pasien stroke (Capes et al., 2001; Muir et al., 2007). Kondisi tersebut dijumpai pada semua jenis patologis stroke, baik perdarahan maupun stroke lakuner (Scott et al., 1999).
Terdapat beberapa alasan yang dapat menjelaskan kenapa hiperglikemia menyebabkan outcome yang buruk pada pasien non diabetes, yaitu peningkatan asidosis sekunder pada jaringan otak oleh karena glikolisis anaerob, peningkatan permeabilitas sawar darah otak (Adams Jr et al., 2003), dan penurunan fibrinolisis. kemungkinan melalui mekanisme lain misalnya katabolisme protein, stres oksidatif, disfungsi endotelium, dan semuanya dapat menyebabkan berkurangnya jaringan panumbra yang selamat (Parsons et al., 2002) dan perluasan volume stroke (Toni et al., 1994). Hiperglikemia juga dapat menurunkan efikasi dan meningkatkan kejadian perdarahan pada terapi trombolisis (Bruno et al., 1999; Kase et al., 2001).
Kadar glikemia fluktuatif selama fase akut stroke dan terdeteksi hiperglikemia meningkat dengan pengukuran secara berkala kadar gula dalam plasma. Setelah pengukuran gula darah awal saat sebelum masuk rumah sakit, maka direkomendasikan untuk monitoring terhadap glukosa serum dalam kapiler dengan cara pungsi vena atau fingerstick. Jika gula darah awal adalah normal, maka pengukuran dapat diulang dengan interval 4-6 jam selama 24 jam, kemudian dilanjutkan sekali atau dua kali dalam sehari. Jika kadar gula darah meningkat, maka harus dilakukan pemberian dosis awal insulin intravena, selanjutnya pengukuran gula darah dapat dilakukan tiap jam, dan dilanjutkan setiap 2-4 jam sekali hingga glikemia terkendali dan kecepatan pemberian infus tetap jangan diubah. Saat ini di beberapa rumah sakit tersedia banyak peralatan untuk mengukur secara kontinyu kadar gula secara subkutan dan lebih praktis dan cepat.
Untuk mencegah hiperglikemia, pemberian infus yang berisikan cairan glukosa harus dihindari. Adanya infeksi dan demam harus dilakukan pemberian terapi secara tepat. Pemberian terapi terhadap kecurigaan hiperglikemia sebelum dirujuk ke rumah sakit tidak boleh dilakukan sebelum diperiksa kadar gula darahnya. perglikemia yang ditegakkan segera setelah tiba di rumah sakit dapat diberikan terapi, dan yang terbaik adalah pemberian insulin intravena secara kontinyu. Pemberian insulin tersebut adalah sesuai dengan guideline terkini, aman serta cepat, dan dalam beberapa menit segera tercapai kadar gula darah normal secara persisten.
Pemberian insulin subkutan secara intermiten memberikan hasil yang berbeda yaitu setelah beberapa hari kadar gula darah baru terkontrol. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hiperglikemia harus diberikan terapi jika kadar gula darah 10.0-16.6 mmol/l (180–300 mg/dl) (Adams Jr et al., 2003; Toni et al., 2004). Terdapat perbedaan dalam hal pemberian insulin intravena berdasarkan beberapa penelitian maupun yang sudah diterima (Trence et al., 2003; Goldberg et al., 2004). Selama pemberian infus insulin secara kontinyu, maka terjadinya kemungkinan hipokalemia harus diperhatikan dan jika terjadi maka harus dikoreksi. Penambahan glukosa untuk mencegah hipoglikemia pada infus insulin tidak dibenarkan (Trence et al., 2003; Goldberg et al., 2004). Manajemen hipoglikemia
Hipoglikemia harus segera diberikan terapi yang tepat yaitu dengan bolus intravena dextrose atau infus glukosa 10-20%. Pemberian glukosa oral atau dextrose merupakan alternatif untuk membangunkan pasien hipoglikemia, kecuali didapatkan adanya disfagia berat. Pengukuran kadar gula darah dengan fingerstick dianjurkan di awal kecurigaan hipoglikemia karena lebih cepat dan mudah serta dapat diulang untuk melihat adanya perbaikan. Manajemen pemberian nutrisi
lebih banyak ditemukan pada pasien stroke (Lees & Walters, 2005), tetapi adanya malnutrisi harus lebih mendapat perhatian pada pasien stroke akut. Kehilangan berat badan hingga 5-10% sering dijumpai pada pasien stroke pada minggu awal setelah serangan stroke (Finestone et al., 1995).
Malnutrisi dan khususnya hipoalbuminemia akan meningkatkan risiko kejadian komplikasi, juga akan mempengaruhi body mass index (BMI) (FOOD Trial Collaboration, 2003). Disfagia dijumpai kurang lebih 50% pada pasien stroke fase akut (Martino et al., 2005), dan kemudian akan menurun dengan variasi yang berbeda. Deteksi adanya disfagia sangat tergantung dengan ketelitian pemeriksaan dan sering secara klinis tersembunyi, dan muncul dalam beberapa minggu setelah serangan troke (Martino et al., 2005). Seperti halnya pada malnutrisi, disfagia juga merupakan prediktor adanya komplikasi, kelambatan perbaikan, dan perburukan outcome (Sharma et al., 2001). Pasien stroke dengan lesi di batang otak, atau lesi luas di hemisfer, mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya bronkhoaspirasi (Smithard, 2002). Tanda-tanda adanya bronkhoaspirasi harus selalu diperhatikan setiap saat, misalnya batuk atau perubahan suara setelah menelan, demam berulang atau persisten, perkusi dan auskultasi dinding dada memperlihatkan tanda-tanda abnormal, desaturasi oksigen, takhipnea, dan takhikardia.
Jika pasien dapat minum air sedikit demi sedikit kemudian dinaikkan volumenya dan pasien tidak terbatuk atau tidak terjadi perubahan suara (DePippo et al 1994), maka diet normal bisa diusahakan. Tetapi jika pasien tidak bisa menelan cairan dengan aman, maka cairan yang lebih kental (semacam jelly) mungkin bisa diusahakan.
Evaluasi terhadap status nutrisi pada pasien stroke akut saat masuk rumah sakit meliputi penghitungan BMI, pemeriksaan darah rutin, albumin, kreatinin kadar vitamin untuk pasien yang mempunyai indikasi dan jika memungkinkan. Selanjutnya pasien dilakukan penilaian terhadap adanya insufisiensi nutrisi dengan cara mengestimasi intake kalori harian, atau dengan menghitung kalori secara sistematik. Seminggu sekali ditimbang untuk melihat perkembangan berat badannya, dan juga untuk mendeteksi risiko timbulnya malnutrisi dengan menggunakan skor Kondrup (Kondrup et al., 2003). Selain disfagia, pasien dengan skor BMI rendah saat masuk rumah sakit, adanya komplikasi medis, nafsu makan menurun, dan adanya disfungsi kognitif mungkin berisiko juga untuk terjadinya malnutrisi setelah stroke. Pada saat dilakukan pengawasan terhadap status nutrisi, harus juga diperhatikan kadar gula dan jika didapatkan hiperglikemia maka harus dilakukan koreksi juga, terutama pasien stroke dengan hiperglikemia saat masuk rumah sakit.
Setelah dilakukan evaluasi disfagia pada pasien stroke selama perawatan, maka dapat diprediksi apakah pasien dapat dengan aman menelan terhadap beberapa makanan termasuk yang berbentuk cairan, cairan yang kental atau sama sekali tidak bisa menelan. Selanjutnya pasien harus dilakukan pemberian NaCl intravena, dan secara berkala setiap hari dilakukan tes menelan cairan. Pasien dengan disfagia yang persisten tidak hanya mempunyai risiko terjadinya aspirasi air liurnya sendiri maupun cairan lambung, tetapi juga bisa berasal dari makanan yang diberikan melalui nasogastric tube. Evaluasi dan latihan menelan yang dibimbing oleh perawat yang terlatih atau oleh fisioterapis terhadap pasien disfagia yang persisten mempunyai kontribusi terhadap perbaikan disfagianya (Carnaby et al., 2006). Pemeriksaan umum dan latihan yang dilakukan terhadap pasien disfagia meliputi menaikkan posisi kepala pasien di tempat tidur dengan segera sebagai upaya mobilisasi setiap hari. Mobilisasi dengan cara pasien turun dari tempat tidur, menghindari obat-obat yang berefek sedatif, higiene rongga mulut yang baik, adaptasi terhadap pakaian, suhu, dan rasa makanan akan sangat membantu untuk perbaikan menelan dan rehabilitasinya.
Jika didapatkan adanya hipersalivasi, cegukan (hiccup), dan mual maka harus diterapi dengan segera. Jika didapatkan disfagia berat dan persisten, mak pemberian makanan harus dilakukan melalui nasogastric tube dan paling lambat pada hari kelima setelah serangan stroke, tindakan tersebut akan menurunkan mortalitas dan perbaikan outcome (Dennis et al., 2005; Nakajima et al., 2006). Pemberian nutrisi parenteral dilakukan melalui tube, dan amati jika terjadi regurgitasi, diare dan hiperglikemia. Pemberian makanan melalui tube sebaiknya dihentikan minimal 4 jam sebelum tidur malam, karena pada saat itu risiko gastric reflux lebih tinggi, dan pada keadaan tersebut secara fisiologis terjadi proses pengasaman cairan gaster. 9.10.
Manajemen peningkatan tekanan intrakranial
Kebanyakan odem otak bersifat sitotoksik. Odem otak maligna mempunyai prognosis yang buruk, dan lebih dari setengahnya pasien akan meninggal, dan biasanya oleh karena herniasi (Hacke et al., 1996). Faktor risiko odem otak maligna antara lain adalah usia muda, stroke dengan multiple (Kasner et al., 2001), saat masuk kondisinya sudah jelek dengan parameter apapun, hipertensi maligna selama fase akut stroke (Krieger et al., 1999), dan gambaran hipodensitas yang luas pada pemeriksaan CT Scan kepala (Kasner et al., 2001).
Gejala klinik terjadinya peningkatan tekanan intrakranial antara lain; nyeri kepala, sering menguap, penurunan kesadaran, munculnya tanda-tanda kortikospinal ipsilateral oleh karena kompresi pedunculus serebri (mesensefalik) atau dinamakan Kernohan’s notch, dan biasanya jika didapatkan adanya midriasis kontralateral maka merupakan indikasi adanya progresivitas efek massa yang membahayakan (Ropper & Shafran, 1984).
Tindakan kraniektomi harus dilakukan selama periode hiperakut. Kerjasama yang baik antara dokter spesialis saraf konsultan serebrovaskuler, spesialis bedah saraf, neurointensivist, juga dengan pasien dan keluarganya akan sangat membantu dalam pengambilan keputusan secara tepat dan memuaskan. Kraniektomi dekompresi akan berhasil dengan baik jika pasien usianya kurang dari 50 tahun, penurunan kesadaran ringan sampai sedang, dan tidak ada midriasis pada waktu dilakukan tindakan pta et al., 2004; Uhl et al., 2004).
Hipertensi berat harus diberi terapi secara hati-hati, oleh karena tekanan perfusi serebral harus dipertahankan adekuat. Pasien yang akan dilakukan kraniektomi, jika mengkonsumsi aspirin maka harus dihentikan beberapa hari sebelum tindakan, karena mengkonsumsi aspirin mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya komplikasi perdarahan.
Pemberian diuresis osmotik dengan manitol akan efektif dengan dosis 25-50 gr yang diberikan secara intravena setiap 3-5 jam dan diturunkan secara tappering juga bisa diberikan furosemid 40 mg setiap hari hingga terjadi perbaikan klinis. Pemberian glukortikoid tidak direkomendasikan karena membahayakan. Disarankan untuk pemakaian intubasi trakhea dan ventilasi mekanik untuk mempertahankan tekanan parsial CO2 sekitar 30-35 mmHg, karena dapat menurunkan tekanan intrakranial potermia mungkin efektif untuk menurunkan efek massa (Schwab et al., 2001; Georgiadis et al., 2002; De Georgia et al., 2004), tetapi ternyata menimbulkan rebound effect jika dihentikan. 9.11.
Manajemen penyakit jantung
Iskemia miokardial, aritmia jantung, dan gagal jantung merupakan penyebab dan konsekwensi pada stroke akut. Kematian mendadak, aritmia, gagal jantung, dan infark miokard akut (Vingerhoets et al., 1993) mungkin merupakan faktor pencetus komplikasi neurogenik melalui mekanisme endokrin atau oleh karena penghentian obat (Oppenheimer, 2006).
Adanya kelainan EKG dan enzim-enzim jantung mempunyai hubungan dengan stroke, kadang-kadang mempunyai tanda dan gejala yang dominan sebagai penyakit jantung dan kadang-kadang sebagai serangan stroke (Chalela et al., 2004; Jensen et al., 2007). Berdasarkan laporan penelitian dikatakan bahwa peningkatan enzim troponin-T bersamaan dengan terjadinya peningkatan mortalitas setelah serangan stroke (James et al., 2000; Jensen et al., 2007). Sedangkan gambaran perubahan iskemia dan pemanjangan QT pada pasien dengan perdarahan subarakhnoid kebanyakan merupakan konsekwensi langsung dari penyakit neurologinya, hal tersebut kelihatannya lebih sering berhubungan dengan penyakit arteri koroner pada pasien stroke iskemik maupun stroke perdarahan (Khechinashvili & Asplund, 2002). Lesi di daerah insula kanan maupun kiri dan medula oblongata (Oppenheimer, 2006) mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya komplikasi kardial oleh karena daerah tersebut merupakan pusat pengaturan sistem otonom.
Semua pasien stroke harus dilakukan pemeriksaan EKG 12-lead dan Rontgen foto toraks, dan dilakukan monitoring EKG kontinyu selama 24 jam (Toni et al 2004), atau lebih lama lagi jika didapatkan adanya risiko komplikasi jantung. Nilai ambang hasil pemeriksaan serial troponin dan creatinine-kinase MB pada serum harus rendah. Juga pemeriksaan echocardiography jika didapatkan adanya dekompensasi jantung, dan angiografi koroner harus segera dilakukan untuk pasien dengan penyakit jantung yang unstable.
dengan pemberian obat-obat, demikian juga terhadap pasien yang asimtomatik. Pemberian terapi terhadap pasien stroke yang berhubungan dengan fenomena kelainan EKG direkomendasikan dengan beta atau alfa / beta blocker, kecuali jika ada kontraindikasi (Toni et al., 2004).
Pada pasien Acute Coronary Syndromes (ACS) biasanya membutuhkan intervensi yang lebih agresif, termasuk pemberian nitrogliserin, penurunan tekanan darah, pemberian anti platelet double maupun triple, pemberian heparin intravena, beta-blocking agents, converting enzyme inhibitors, statin, dan pemasangan coronary stenting. Hal yang sama juga bisa diberikan pada insufisiensi kardial akut yang biasanya membutuhkan tekanan darah yang lebih rendah, nitrogliserin, diureti -blocking agents. 9.12.
Manajemen Deep venous thrombosis (DVT) dan emboli pulmonum
Pada pasien stroke iskemik akut dengan usia lanjut, imobilisasi, paralisis pada ekstremitas bawah, paralisis yang berat, dan adanya atrial fibrilasi sering bersamaan dengan peningkatan risiko terjadinya DVT (Adams Jr et al., 2003).
Adanya emboli pulmonum akut dapat dicurigai pada pasien jika didapatkan adanya sesak nafas, takhikardi, atau nyeri dada, dan didapatkan adanya DVT pada pasien didapatkan adanya pembengkakan pada kaki secara unilateral. Gambaran klinik adanya emboli pulmonum ditetapkan berdasarkan Kriteria Geneva revisi (Le 2006), sedangkan diagnosis DVT ditegakkan dengan Kriteria Wells (Wells et al., 2000). Pemeriksaan D-dimers, CT Scan multi-array pada arteri pulmonaris (van et al 2006), maupun scintigraphy pulmonal, dan juga scanning vena dupleks pada kaki kemudian hasilnya disesuaikan dengan masing-masing kriteria untuk menentukan tingkat kecurigaannya.
Pemberian heparin subkutan dosis rendah, low-molecular-weight heparin, heparinoid (Gubitz et al., 2004) dan / atau aspirin per oral (PEP study group, 2000) merupakan tindakan terbaik untuk profilaksi DVT dan emboli pulmonum. Mobilisasi secara dini, penggunaan pressure stockings dan tindakan kompresi pneumatik intermiten (Kamran et al., 1998) dilaporkan juga efektif, dan metode tersebut sebagai pilihan terbaik untuk pasien dengan perdarahan subarakhnoid akut dan perdarahan intraserebral (Lacut et al., 2005). Konsensus terbaru dikatakan bahwa pemberian dosis rendah antikoagulan yang diberikan secara subkutan direkomendasikan setelah 24 jam pada pasien stroke akut yang stabil (Steiner et al., 2006). 9.13.
Manajemen Pemberian Antitrombotik untuk Stroke Akut
Pada pasien yang tidak dilakukan pemberian trombolisis, maka akan bermanfaat jika secara lebih dini diberi aspirin (160–300 mg/hari) (CAST Collaborative Group, 1997; IST Collaborative Group, 1997). Obat-obat antiplatelet yang lain belum banyak dilakukan penelitian untuk diberikan kepada pasien stroke fase akut.
Pemberian dosis rendah heparin subkutan, low-molecular-weight heparin, atau heparinoid (Gubitz et al., 2004) dan / atau aspirin per oral (PEP study group, 2000) mungkin lebih bermanfaat sebagai profilaksis trombosis vena dan emboli pulmonum, tetapi untuk strokenya sendiri ternyata tidak mencegah terjadinya kekambuhan. Pemberian secara dini antikoagulan setelah stroke iskemik akut pada semua faktor risiko atau pada atrial fibrilasi tidak memperlihatkan adanya manfaat oleh karena malah meningkatkan risiko terjadinya perdarahan (Paciaroni et al., 2007).
Pada pasien stroke iskemik akut yang sedang menjalani trombolisis intravena, maka pada pasien tersebut harus diberikan aspirin dosis 160-325 mg sekali, juga dosis profilaksis heparin maupun low molecular-weight heparin dapat diberikan. Jika antikoagulan memang harus diberikan secara dini, maka hindari pemberian secara bolus, kecuali untuk pasien dengan trombosis sinus vena serebral. Pemberian heparin intravena mungkin lebih baik daripada pemberian low-molecular-weight heparin subkutan, oleh karena cara kerjanya lebih cepat tetapi mempunyai risiko terjadinya komplikasi perdarahan. 9.14.
Manajemen Neurorehabilitasi
Pengenalan secara dini rehabilitasi pada pasien stroke akut dapat meningkatkan prognosis fungsional (Stroke Unit Trialists’ Collaboration, 2000) dan merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting mengapa pasien stroke akut yang dirawat di unit stroke lebih baik outcome fungsionalnya dibandingkan dengan yang dirawat diluar unit stroke (Jorgensen et al., 1999). Usia lanjut bukan sebagai alasan untuk tidak dilakukan program rehabilitasi (Jorgensen et al., 2000). Program rehabilitasi secara dini merupakan tindakan yang strategis untuk beberapa kondisi pada pasien stroke akut, misalnya disfagia, dan imobilitas, risiko jatuh, cedera pada kulit, nyeri, cedera bahu dan depresi (Tutuarima et al., 1997). Simpulan
Keberhasilan manajemen stroke sangat tergantung dari kecepatan, kecermatan dan ketepatan terhadap penanganan awal, diagnosis maupun terapi emergensi di rumah sakit. Pemeriksaan secara general selama fase akut stroke akan meningkatkan outcome prognosis. Deteksi klinis yang efektif sebelum dirujuk ke rumah sakit atau sistem triase dan selanjutnya segera dirujuk ke unit stroke, juga akan meningkatkan outcome prognosisnya oleh karena semua tindakan dan penanganan pasien stroke di unit stroke sesuai dengan standar manajemen stroke terkini. Manajemen pasien stroke pada tingkat pra rumah sakit, instalasi gawat darurat dan pemberian terapi secara dini mempunyai kontribusi yang besar terhadap keselamatan pasien. Daftar Pustaka
Adams, H., Adams, R., Del, Z.G., et al., 2005. Guidelines for the early management of patients with ischemic stroke: 2005 guidelines update a scientific statement from the Stroke Council of the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 36: 916–923.
Adams, H.P. Jr., Adams, R.J., Brott, T., et al., 2003. Guidelines for the early management of patients with ischemic stroke: a scientific statement from the Stroke Council of the American Stroke Association. Stroke 34: 1056–1083. Ahmed, N., Nasman, P., Wahlgren, N.G., 2000. Effect of intravenous nimodipine on blood pressure and outcome after acute stroke. Stroke 31: 1250–1255. Arakawa, S., Saku, Y., Ibayashi, S., et al., 1998. Blood pressure control and recurrence of hypertensive brain hemorrhage. Stroke 29: 1806–1809. Bamford, J., Sandercock, P., Dennis, M., et al., 1991. Classification and natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infarction. Lancet 337: 1521–1526.
Bassetti, C.L., Milanova, M., Gugger, M., 2006. Sleep-disordered breathing and acute ischemic stroke: diagnosis, risk factors, treatment, evolution, and long-term clinical outcome. Stroke 37: 967–972. Bath, P., 2004. High blood pressure as risk factor and prognostic predictor in acute ischemic stroke: when and how to treat it? Cerebrovasc Dis 17: 51–57. Bhalla, A., Sankaralingam, S., Dundas, R., et al., 2000. Influence of raised plasma osmolality on clinical outcome after acute stroke. Stroke 31: 2043–2048. Boysen, G., and Christensen, H., 2001. Stroke severity determines body temperature in acute stroke. Stroke 32: 413–417.
Brainin, M., Olsen, T.S., Chamorro, A., et al., 2004. Organization of stroke care: education, referral, emergency management and imaging, stroke units and rehabilitation. European Stroke Initiative (EUSI). Cerebrovasc Dis 17: 1–14. Broderick, J., Brott, T., Barsan, W., et al., 1993. Blood pressure during the first minutes of focal cerebral ischemia. Ann Emerg Med 22: 1438–1443.
Bruno, A., Biller, J., Adams, H.P. Jr., et al., 1999. Acute blood glucose level and outcome from ischemic stroke. Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST) Investigators. Neurology 52: 280–284.
with acute stroke. Neurol Sci 22: 357–361. Capes, S.E., Hunt, D., Malmberg, K., et al., 2001. Stress hyperglycemia and prognosis of stroke in non diabetic and diabetic patients: a systematic overview. Stroke 2426–2432. Carlberg, B., Asplund, K., Hagg, E., 1991. Factors influencing admission blood pressure levels in patients with acute stroke. Stroke 22: 527–530. Carnaby, G., Hankey, G.J., Pizzi, J., 2006. Behavioural intervention for dysphagia in acute stroke: a randomised controlled trial. Lancet Neurol 5: 31–37.
CAST Collaborative Group, 1997. The Chinese Acute Stroke Trial (CAST): randomised placebo-controlled trial of early aspirin use in 20,000 patients with acute ischaemic stroke. Collaborative Group. Lancet 349: 1641–1649. Castillo, J., Leira, R., Garcia, M.M., et al., 2004. Blood pressure decrease during the acute phase of ischemic stroke is associated with brain injury and poor stroke outco Stroke 35: 520–526. Chalela, J.A., Ezzeddine, M.A., Davis, L., et al., 2004. Myocardial injury in acute stroke: a troponin I study. Neurocrit Care 1: 343–346. Chamorro, A., Horcajada, J.P., Obach, V., et al., 2005. The Early Systemic Prophylaxis of Infection After Stroke study: a randomized clinical trial. Stroke 36: 1495–1500.
Corbett, D., and Thornhill, J., 2000. Temperature modulation (hypothermic and hyperthermic conditions) and its influence on histological and behavioral outcomes following cerebral ischemia. Brain Pathol 10: 145–152.
De Georgia, M.A., Krieger, D.W., Abou-Chebl, A., et al., 2004. Cooling for Acute Ischemic Brain Damage (COOL AID): a feasibility trial of endovascular cooling. Neurology 63: 312–317.
Dennis, M.S., Lewis, S.C., Warlow, C., 2005. Effect of timing and method of enteral tube feeding for dysphagic stroke patients (FOOD): a multicenter randomised controlled trial. Lancet 365: 764–772. DePippo, K.L., Holas, M.A., Reding, M.J., 1994. The Burke dysphagia screening test: validation of its use in patients with stroke. Arch Phys Med Rehabil 75: 1284–1286. Dippel, D.W., van Breda, E.J., van Gemert, H.M., et al., 2001. Effect of paracetamol (acetaminophen) on body temperature in acute ischemic stroke: a doublerandomized phase II clinical trial. Stroke 32: 1607–1612. Diringer, M.N., 1992. Management of sodium abnormalities in patients with CNS disease. Clin Neuropharmacol 15: 427–447. Diserens, K., Michel, P., Bogousslavsky, J., 2006. Early mobilization after stroke: Review of the literature. Cerebrovasc Dis 22: 183–190. Eames, P.J., Blake, M.J., Dawson, S.L., et al., 2002. Dynamic cerebral autoregulation and beat to beat blood pressure control are impaired in acute ischaemic stroke. Neurol Neurosurg Psychiatry 72: 467–472.
Finestone, H.M., Greene-Finestone, L.S., Wilson, E.S., et al., 1995. Malnutrisi in stroke patients on the rehabilitation service and at follow-up: prevalence and predictors. Arch Phys Med Rehabil 76: 310–316. Fink, J.N., Kumar, S., Horkan, C., et al., 2002. The stroke patient who woke up: clinical and radiological features, including diffusion and perfusion MRI. Stroke 33: 988–993. FOOD Trial Collaboration, 2003. Poor nutritional status on admission predicts poor outcomes after stroke: observational data from the FOOD trial. Stroke 34: 1450–1456. Geisler, B.S., Brandhoff, F., Fiehler, J., et al., 2006. Blood oxygen-level-dependent MRI allows metabolic description of tissue at risk in acute stroke patients. Stroke 1778–1784. Georgiadis, D., Schwarz, S., Aschoff, A., et al., 2002. Hemicraniectomy and moderate hypothermia in patients with severe ischemic stroke. Stroke 33: 1584–1588. Goldberg, P.A., Siegel, M.D., Sherwin, R.S., et al., 2004. Implementation of a safe and effective insulin infusion protocol in a medical intensive care unit. Diabetes Care 461–467. Grau, A.J., Buggle, F., Heindl, S., et al., 1995. Recent infection as a risk factor for cerebrovascular ischemia. Stroke 26: 373–379. Grau, A.J., Buggle, F., Schnitzler, P., et al., 1999. Fever and infection early after ischemic stroke. J Neurol Sci 171: 115–120. Gubitz, G., Sandercock, P., Counsell, C., 2004. Anticoagulants for acute ischaemic stroke. Cochrane Database Syst Rev 3: CD000024. Gupta, R., Connolly, E.S., Mayer, S., et al., 2004. Hemicraniectomy for massive middle cerebral artery territory infarction: a systematic review. Stroke 35: 539–543.
Hachimi-Idrissi, S., and Huyghens, L., 2002. Advanced cardiac life support update: the new ILCOR cardiovascular resuscitation guidelines. International Liaison Committee on Resuscitation. Eur J Emerg Med 9: 193–202. Hacke, W., Schwab, S., Horn, M., et al., 1996. ‘Malignant’ middle cerebral artery territory infarction: clinical course and prognostic signs. Arch Neurol 53: 309–315. ndredavik, B., Bakke, F., Slordahl, S.A., et al., 1998. Stroke unit treatment improves long-term quality of life: a randomized controlled trial. Stroke 29: 895–899. Iranzo, A., Santamaria, J., Berenguer, J., et al., 2002. Prevalence and clinical importance of sleep apnea in the first night after cerebral infarction. Neurology 58: 911–916. IST Collaborative Group, 1997. The International Stroke Trial (IST): a randomised trial of aspirin, subcutaneous heparin, both, or neither among 19435 patients with acut ischemic stroke. Lancet 349: 1569–1581. Italian Acute Stroke Study Group, 1988. Haemodilution in acute stroke: results of the Italian haemodilution trial. Lancet 1: 318–321.
James, P., Ellis, C.J., Whitlock, R.M., et al., 2000. Relation between troponin T concentration and mortality in patients presenting with an acute stroke: observational study. BMJ 320: 1502–1504. Jensen, J.K., Kristensen, S.R., Bak, S., et al., 2007. Frequency and significance of troponin T elevation in acute ischemic stroke. Am J Cardiol 99: 108–112. Jorgensen, H.S., Kammersgaard, L.P., Houth, J., et al., 2000. Who benefits from treatment and rehabilitation in a stroke unit? A community-based study. Stroke 31: 434 439.
Jorgensen, H.S., Kammersgaard, L.P., Nakayama, H., et al., 1999. Treatment and rehabilitation on a stroke unit improves 5-year survival. A community-based study. Stroke 30: 930–933. Kamran, S.I., Downey, D., Ruff, R.L., 1998. Pneumatic sequential compression reduces the risk of deep vein thrombosis in stroke patients. Neurology 50: 1683–1688. Kase, C.S., Furlan, A.J., Wechsler, L.R., et al., 2001. Cerebral hemorrhage after intra-arterial thrombolysis for ischemic stroke: the PROACT II trial. Neurology 57: 1603 1610.
Kasner, S.E., Wein, T., Piriyawat, P., et al., 2002. Acetaminophen for altering body temperature in acute stroke: a randomized clinical trial. Stroke 33: 130–134. Khechinashvili, G., and Asplund, K., 2002. Electrocardiographic changes in patients with acute stroke: a systematic review. Cerebrovasc Dis 14: 67–76. Kiers, L., Davis, S.M., Larkins, R., et al., 1992. Stroke topography and outcome in relation to hyperglycaemia and diabetes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 55: 263–270. Koennecke, H.C., and Leistner, S., 2001. Prophylactic antipyretic treatment with acetaminophen in acute ischemic stroke: a pilot study. Neurology 57: 2301–2303. Kondrup, J., Rasmussen, H.H., Hamberg, O., et al., 2003. Nutritional risk screening (NRS 2002): a new method based on an analysis of controlled clinical trials. Clin Nutr 321–336. Krieger, D.W., Demchuk, A.M., Kasner, S.E., et al., 1999. Early clinical and radiological predictors of fatal brain swelling in ischemic stroke. Stroke 30: 287–292. Kwan, J., and Sandercock, P., 2004. In-hospital care pathways for stroke. Cochrane Database Syst Rev 4: CD002924. Lacut, K., Bressollette, L., Le, G.G., et al., 2005. Prevention of venous thrombosis in patients with acute intracerebral hemorrhage. Neurology 65: 865–869.
Larrue, V., von Kummer, R., Muller, A., et al., 2001. Risk factors for severe hemorrhagic transformation in ischemic stroke patients treated with recombinant tissue plasminogen activator: a secondary analysis of the European–Australasian Acute Stroke Study (ECASS II). Stroke 32: 438–441. Le, G.G., Righini, M., Roy, P.M., et al., 2006. Prediction of pulmonary embolism in the emergency department: the revised Geneva score. Ann Intern Med 144: 165–171. Lees, K.R., and Walters, M.R., 2005. Acute stroke and diabetes. Cerebrovasc Dis 20: 9–14. Leonardi-Bee, J., Bath, P.M., Phillips, S.J., et al., 2002. Blood pressure and clinical outcomes in the International Stroke Trial. Stroke 33: 1315–1320. Martino, R., Foley, N., Bhogal, S., et al., 2005. Dysphagia after stroke: incidence, diagnosis, and pulmonary complications. Stroke 36: 2756–2763. Mattle, H.P., Kappeler, L., Arnold, M., et al., 2005. Blood pressure and vessel recanalization in the first hours after ischemic stroke. Stroke 36: 264–268.
Mayberg, M.R., Batjer, H.H., Dacey, R., et al., 1994. Guidelines for the management of aneurysmal subarachnoid hemorrhage. A statement for healthcare professionals from a special writing group of the Stroke Council, American Heart Association. Circulation 90: 2592–2605.
Mayberg, M.R., Batjer, H.H., Dacey, R., et al., 1994. Guidelines for the management of aneurysmal subarachnoid hemorrhage. A statement for healthcare professionals from a special writing group of the Stroke Council, American Heart Association. Stroke 25: 2315–2328.
Mayer, S.A., Brun, N.C., Begtrup, K., et al., The Recombinant Activated Factor, VII Intracerebral Hemorrhage Trial Investigators, 2005. Recombinant Activated Factor VII for Acute Intracerebral Hemorrhage. N Engl J Med 352: 777–785. Michel, P., and Bogousslavsky, J., 2004. Stroke for the general practitioner. Chapter 1: Introduction to Stroke and its Management. Cerebrovasc Dis 15: 1–10. Michel, P., and Bogousslavsky, J., 2005. Penumbra is brain: no excuse not to perfuse. Ann Neurol 58: 661–663.
Muir, K.W., and McCormick, M., VISTA-investigators, 2007. Hyperglycemia in acute stroke trials: prevalence, predictors, and prognostic value: an analysis of the virtual international stroke trials archive (VISTA). Stroke 38: Ref Type: Abstract. Nakajima, M., Kimura, K., Inatomi, Y., et al., 2006. Intermittent oro-esophageal tube feeding in acute stroke patients—a pilot study. Acta Neurol Scand 113: 36–39. Novak, V., Chowdhary, A., Farrar, B., et al., 2003. Altered cerebral vasoregulation in hypertension and stroke. Neurology 60: 1657–1663. Oppenheimer, S., 2006. Cerebrogenic cardiac arrhythmias: cortical lateralization and clinical significance. Clin Auton Res 16: 6–11. Oyama, K., and Criddle, L., 2004. Vasospasm After Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Critical Care Nurse, 24: 58-67.
Paciaroni, M., Agnelli, G., Micheli, S., et al., 2007. Efficacy and safety of anticoagulant treatment in acute cardioembolic stroke: a meta-analysis of randomized controlled trials. Stroke 38: 423–430.
Parsons, M.W., Barber, P.A., Desmond, P.M., et al., 2002. Acute hyperglycemia adversely affects stroke outcome: a magnetic resonance imaging and spectroscopy study. Ann Neurol 52: 20–28. PEP study group, 2000. Prevention of pulmonary embolism and deep vein thrombosis with low dose aspirin: Pulmonary Embolism Prevention (PEP) trial. Lancet 355: 1295 1302. PERDOSSI, 2007. Pedoman penatalaksanaan stroke.erhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), 2007 Porteous, G.H., Corry, M.D., Smith, W.S., 1999. Emergency medical services dispatcher identification of stroke and transient ischemic attack. Prehosp Emerg Care 3: 211 216. Robinson, T.G., James, M., Youde, J., et al., 1997. Cardiac baroreceptor sensitivity is impaired after acute stroke. Stroke 28: 1671–1676. Ropper, A.H., and Shafran, B., 1984. Brain edema after stroke. Clinical syndrome and intracranial pressure. Arch Neurol 41: 26–29. Scandinavian Stroke Study Group, 1987. Multicenter trial of hemodilution in acute ischemic stroke. I. Results in the total patient population. Stroke 18: 691–699. Schwab, S., Georgiadis, D., Berrouschot, J., et al., 2001. Feasibility and safety of moderate hypothermia after massive hemispheric infarction. Stroke 32: 2033–2035. Serena, J., Da´valos, A., Segura, T., et al., 2003. Stroke on awakening: looking for a more rational management. Cerebrovasc Dis 16: 128–133. Sharma, J.C., Fletcher, S., Vassallo, M., et al., 2001. What influences outcome of stroke—pyrexia or dysphagia? Int J Clin Pract 55: 17–20. Smithard, D.G., 2002. Swallowing and stroke. Neurological effects and recovery. Cerebrovasc Dis 14: 1–8. Spengos, K., Tsivgoulis, G., Manios, E., et al., 2005. Stroke etiology is associated with symptom onset during sleep. Sleep 28: 233–238. Steiner, T., Mendoza, G., De, G.M., et al., 1997. Prognosis of stroke patients requiring mechanical ventilation in a neurological critical care unit. Stroke 28: 711–715.
Steiner, T.,Kaste, M., Forsting, M., et al., 2006. Recommendations for the management of intracranial haemorrhage—Part I: spontaneous intracerebral haemorrhage. The European Stroke Initiative Writing Committee and the Writing Committee for the EUSI Executive Committee. Cerebrovasc Dis 22: 294–316. Stroke Unit Trialist’s Collaboration, 2000. Organised inpatient (stroke unit) care for stroke. Cochrane Database Syst Rev 2: CD000197. Sulter, G., Elting, J.W., Stewart, R., et al., 2000. Continuous pulse oximetry in acute hemiparetic stroke. J Neurol Sci 179: 65–69.
Toni, D., De, M.M., Fiorelli, M., et al., 1994. Influence of hyperglycaemia on infarct size and clinical outcome of acute ischemic stroke patients with intracranial arterial occlusion. J Neurol Sci 123: 1–2, 129–133. Toni, D., Iweins, F., von Kummer, R., et al., 2000. Identification of lacunar infarcts before thrombolysis in the ECASS I study. Neurology 54: 684–688.
Trence, D.L., Kelly, J.L., Hirsch, I.B., 2003. The rationale and management of hyperglycemia for in-patients with cardiovascular disease: time for change. J Clin Endocrinol Metab 88: 2430–2437. Tutuarima, J.A., van der Meulen, J.H., de Haan, R.J., et al., 1997. Risk factors for falls of hospitalized stroke patients. Stroke 28: 297–301. Uhl, E., Kreth, F.W., Elias, B., et al., 2004. Outcome and prognostic factors of hemicraniectomy for space occupying cerebral infarction. J Neurol Neurosurg Psychiatry 270–274. Van den Berghe, G., Wilmer, A., Hermans, G., et al., 2006. Intensive insulin therapy in the medical ICU. N Engl J Med 354: 449–461. Vingerhoets, F., Bogousslavsky, J., Regli, F., et al., 1993. Atrial fibrillation after acute stroke. Stroke 24: 26–30.
Wahlgren, N.G., De Keyser, J., Indredavik, B., et al., 1994. The Intravenous Nimidopine West European Trial of nimodipine in the treatment of acute ischaemic stroke. Cerebrovasc Dis 4: 204–210.
Wells, P.S., Anderson, D.R., Rodger, M., et al., 2000. Derivation of a simple clinical model to categorize patients probability of pulmonary embolism: increasing the models utility with the SimpliRED D-dimer. Thromb Haemost 83: 416–420. Willmot, M., Leonardi-Bee, J., Bath, P.M., 2004. High blood pressure in acute stroke and subsequent outcome: a systematic review. Hypertension 43: 18–24.
Wintermark, M., Flanders, A.E., Velthuis, B., et al., 2006. Perfusion-CT assessment of infarct core and penumbra: receiver operating characteristic curve analysis in 130 patients suspected of acute hemispheric stroke. Stroke 37: 979–985.