UNDANG – UNDANG MALAKA DAN KONFLIK ELIT KERAJAAN MALAKA ABAD XV Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Pendidikan Sejarah
SUPRIYADI NPM.07.12.0.021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN BATAM 2009 PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI 1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Undang-Undang Malaka dan Konflik Elit Kerajaan Malaka Abad XV” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Batam, Juni 2009
Penulis
ABSTRAK
2
Supriyadi. 2009. Judul Undang-undang Malaka Dan Konflik Elit Kerajaan Malaka Abad XV. Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Kepulauan Batam. Pembimbing (1) Yubahar, M.Pd dan Pembimbing (2) Mukmin,S.ip Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana isi Undang-undang Malaka Dan Konflik Elit Kerajaan Malaka Abad XV. Data yang dikumpulkan melalui, Teknik Dokumentasi dan Studi Komparatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Undang-undang Malaka tercipta tidak lepas dari sejarah berdirinya Kesultanan Malaka dan Undang-undang Malaka merupakan dasar hukum tertulis dan tidak tertulis yang diadopsi dari hukum adat dan hukum Islam, yang ternyata di dalam pasal-pasalnya Undang-undang Malaka dikelompokkan menjadi 4 (empat) komponen yaitu : (1) hukum adat yang meliputi kebiasaan moral, etika, dan peraturan-peraturan resmi (tidak tertulis), (2) Naskah dan dokumentasi Undang-undang (tertulis), (3) Undangundang Islam (Syafi'i), (4) Titah Raja, Patik, Murka, Karunia (Nugraha). Konflik elit adalah awal dari serangkaian konflik yang terjadi antara elit penguasa Melayu pada zaman Raja Ibrahim (Sultan Abu Syahid) – raja Malaka yang keempat. Konflik ini telah mengakibatkan serangkaian peristiwa antara elit penguasa sehingga berujung pada terjadinya kudeta dan bencana kematian. Raja Kasim kakak kandung lain ibu Raja Ibrahim dari ayah mereka Sultan Muhammad Syah – (raja Malaka yang ketiga) – telah menjadi “korban” kepentingan elit dengan diusirnya Raja Kassim dari Istana.
UNDANG – UNDANG MALAKA DAN KONFLIK ELIT KERAJAAN MALAKA ABAD XV
3
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Pendidikan Sejarah
SUPRIYADI NPM.07.12.0.021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN BATAM 2009 HALAMAN PENGESAHAN
JUDUL SKRIPSI NAMA NPM JURUSAN
: Undang-Undang Malaka Dan Konflik Elit Kerajaan Malaka Abad XV : SUPRIYADI : 07.12.0.021 : SEJARAH 4
PROGRAM STUDI
: PENDIDIKAN SEJARAH
Disutujui 1. Komisi Pembimbing UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Yubahar, M.Pd Dosen Pembimbing I
Mukmin,S.ip Dosen Pembimbing II
Mengetahui 2. Ketua Prodi. Pend. Sejarah
(Abdul Rahman, S.Pd)
3. Dekan FKIP
(Fitri Yanti, S.Pd, M.Si)
HALAMAN PERSETUJUAN LULUS UJIAN SKRIPSI
Dinyatakan Lulus Ujian setelah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Kepulauan Batam.
5
Judul Skripsi
: Undang-Undang Malaka Dan Konflik Elit Kerajaan Malaka Abad XV
Nama
: Supriyadi
NPM
: 07.12.0.021
Jurusan
: Pendidikan Sejarah
Fakultas
: FKIP Batam,
Juli 2009
TIM PENGUJI Nama
Tanda tangan
Ketua Sidang
: Yubahar, M.Pd
Anggota
: Abdul Rahman, S.Pd
(.......................)
(........................)
Anggota
: Wirdaroza,S.S
(........................)
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 28 Juli 1968, dari pasangan suami istri bernama, ibu Muriyati dan bapak Nitiharjo, tempat kelahiran di suatu desa terpencil yaitu desa Kedungbenda Kec.Kemangkon Kabupaten Purbalingga. Penulis merupakan anak sulung dari enam bersaudara. Lulusan SDN 001 Kedungbenda tahun 1983, kemudian SMP N II Sokaraja 1983, dan tamat tahun 1985. Melanjutkan di SGON Purwokerto, lulus pada tahun 1988, tamat dari SGO penulis hijrah ke Batam tahun 1995 . Pada tahun 2005 penulis tamat dari D.III pada Perguruan Tinggi di Batam 6
selanjutnya melanjutkan Program Sarjana (S1) UNRIKA, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Jurusan Sejarah tahun 2007. Pengalaman kerja penulis, pernah menjadi guru honor sejak tahun 1993 di SDN 001 Kedungbenda Kec. Kemangkong Purbalingga hingga tahun 1995. Selanjutnya penulis hijrah ke Batam dan melanjutkan menjadi guru honor SDN 012 Tiban dari tahun 1996 sampai tahun 1998, pada tahun 1998 akhir penulis pindah mengajar di SDN 007 Tiban BTN, hanya berlangsung 6 bulan di SD tersebut selanjutnya ditarik oleh Kepala SDN 006 Tiban BTN sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 akhir penulis menerima surat tugas dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Batam untuk bisa melaksanakan tugas mengajar dalam status PNS. Maka tugas awal sebagai PNS guru di SDN 005 Sungai Beduk hingga tahun 2005, selanjutnya dimutasikan oleh Dinas Pendidikan untuk bertugas di SDN 002 Bengkong sampai sekarang. Pengalaman organisasi penulis pernah duduk di kepengurusan Karang Taruna sebagai sekretaris tahun 1997 di Kelurahan Tiban Kampung hingga tahun 1999. Penulis juga pernah menjabat sebagai pengurus KKG Penjaskes Kec. Sei.Beduk sebagai sekretaris dari tahun 2000 sampai tahun 2004, pada tahun 2005 masuk dalam organisasi keagamaan sebagai sekretaris MWC ( Majelis Wakil Cabang) NU Kec. Bengkong hingga sekarang, dalam organisasi profesi pernah mendapat amanah sebagai ketua KKG Penjaskes Kec. Batu Ampar dari tahu 2005 sampai dengan tahun 2007, masih dalam organisasi yang sama di Kec. Bengkong sebagai Ketua KKG Penjaskes dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2008. Sebagai Panitia Pemungutan Suara Kelurahan, tahun 2009, kemudian bergabung dengan organisasi profesional GP.Tendik tingkat provinsi Kepri sebagai sekretaris tahun 2009 hingga sekarang.
KATA PENGANTAR
Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang disusun sebagai salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Pendidikan Sejarah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Kepulauan. Adapun judul skripsi ini adalah : Undang-Undang Malaka dan Konflik Elit Kerajaan Malaka Abad XV. Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapat dukungan dari 7
berbagai pihak dengan tulus dan ihklas penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan terima kasih kepada : -
Ibu Fitri Yanti, S.Pd, M.Si selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Kepulauan.
-
Bapak Abdul Rahman, S.Pd selaku ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Kepulauan.
-
Bapak Yubahar, M.Pd, selaku dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini, beliau telah banyak mencurahkan perhatiannya terhadap penulisan skripsi ini terutama mengenai literatur-literatur yang diperlukan dalam penulisan dan juga metodologinya.
-
Bapak Mukmin, S.ip, selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak menyumbangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam penulisan skripsi ini.
-
Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi pendidikan sejarah yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam setiap perkuliahan.
-
Ayahanda
dan
Ibunda
tercinta
yang
telah
besusah
payah
menyekolahkan penulis dari awal hingga bisa meneruskan ke Perguruan Tinggi. Orang yang telah melahirkan, mengasuh, membesarkan dan membimbing penulis. Terimakasih atas kasih sayang yang telah diberikan kepada ananda dan skripsi ini ananda persembahkan kepada Ayahanda dan Ibunda.
8
-
Istriku tercinta Nurbaya serta anak-anak tersayang Alif dan Sigit yang turut mendukung dan memberikan motivasi. Terima kasih ayah ucapkan atas perhatian dan bantuan dalam kelancaran studi ini.
Demikianlah ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah berperan. Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah SWT Batam, Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI..............................................
i
ABSTRAK ...............................................................................................
ii
HALAMAN JUDUL ................................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iv
HALAMAN PERSETUJUAN ..........................................................................
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................
vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
9
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
1.2 Batasan Masalah ..............................................................................
4
1.3 Rumusan Masalah .......................... ................................................
4
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................
5
1.5 Manfaat Penelitian ..........................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................. ........................ 7 2.1
Letak Geografis .................................. ............................................. 7
2.2 Asal Mula Kerajaan Malaka .... ......................................................... 7 2.3
Kejayaan Kerajaan Malaka ............................................................... 8
2.4 Runtuhnya Kerajaan Malaka .......... ................................................ 8 2.5 Kekuasaan dan Undang-undang Kerajaan Malaka .......................... 9 2.6 Makna Undang-undang Malaka ....................................................... 11
BAB III METODE PENELITIAN.................. .................................................. 13 3.1 Metode yang Digunakan ................................................................. 13 3.2 Deskripsi Observasi Penelitian ..................................................... 14 3.3 Sasaran Tempat dan Waktu penelitian ........................................... 14 3.4 Tehnik Pengumpulan Data ............................................................ 14
BAB IV UNDANG – UNDANG MALAKA INSTRUMEN PENGUASA DAN KONFLIK ELIT KERAJAAN MALAKA ......................................... 16
10
4.1 Sekilas Tentang Sejarah Kerajaan Malaka ...................................... 16 4.1.1 Pendiri..................................................................................... 16 4.1.2 Politik Negara......................................................................... 18 4.1.3 Hang Tuah............................................................................... 19 4.1.4 Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam................... 21 4.2 Silsilah ............................................................................................. 22 4.3 Periode Pemerintahan ...................................................................... 23 4.4 Wilayah Kekuasaan ......................................................................... 23 4.5 Pengertian dan Fungsi Undang-Undang Malaka.............................. 24 4.5.1 Pengertian Undang-Undang Malaka....................................... 24 4.5.2 Fungsi Undang-Undang Malaka.............................................. 26 4.3.3 Manuskrip Undang-Undang Malaka....................................... 29 4.6 Undang-Undang Malaka Sebagai Alat Propaganda........................ 32 4.6.1 Kekuasan Idiologis ............................................................... 36 4.6.2 Garis Keturunan dan Keistimewaan ..................................... 37 4.6.3 Daulat .................................................................................... 39 4.6.4 Golongan Elit ........................................................................ 40 4.7
Konflik Elit Malaka, Perebutan Kekuasaan Secara Internal .......... 44 4.7.1 Undang-Undang Malaka dan Kepentingan Elit Penguasa .... 49
4.8 Undang-Undang Malaka sebagai Bentuk Justifikasi Baru Kerajaan Malaka............................................................................................. 51 4.9 Konsep Durhaka ............................................................................
53
11
BAB V PENUTUP.......................................... .................................................. 56 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 56 5.2 Saran-saran ................. ................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59 LAMPIRAN GAMBAR
Lampiran gambar : Lampiran 1. Peta Wilayah Kekuasaan, Salah Satu Keturunan Raja Kesultanan Malaka dan Istananya Lampiran 2. Museum Istana kesultanan Malaka Lampiran 3. Masjid Kesultanan Malaka Lampiran 4. Makam Raja-raja Kesultanan Malaka Lampiran 5. Kapal Portugis dan Ilustrasi Hang Tuah Lampiran 6. Makam Keluarga dan Kerabat Sultan Suriansyah dan Pedagang Arab yang Berdagang di Malaka Lampiran 7. Jejak dan Situs Peninggalan Hang Tuah Lampiran 8. Makam Tumenggung Abdul Jamal dan Keluarga Bulang Lintang Lampiran 9. Istana dan Masjid Beserta Interior Kesultanan Suriansyah Lampiran 10. Gapura Makam Bulang Lintang dan Benda-benda Peninggalan Tumenggung Abdul Jamal
12
Lampiran 11.Wawancara dan dengan Tokoh Masyarakat oleh Team Peneliti Lampiran 12. Tim Peneliti di Makam Tumenggung Abdul Jamal dan Musium Mini Cik Puan Bulang Lampiran 13. Tombak dan Batu Nisan Tumenggung Abdul Jamal
13
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesultanan Malaka pada abad ke-14 sampai ke-15 M, yang berlangsung selama 111 tahun merupakan sejarah terpenting di antara sejarah-sejarah kerajaan yang pernah ada di Nusantara. Malaka pada masanya merupakan tempat tujuan utama para pedagang dan saudagar-saudagar asing dan juga tempat pengkajian dan penyebaran agama Islam. Sehingga Malaka menjadi pusat pertemuan antara Asia Barat dengan Asia Timur. Menurut Francois Velentijn (Belanda), hingga abad ke-17 masih banyak kapal yang datang ke selat Malaka yang berasal dari Benggala, Gujarat, Parsi, Ceylon, Jawa, Sumatera, Siam, Tonkin, dan Cina. (Hasim, Muhammad Yusoff,1989:46). Malaka merupakan objek kajian yang menarik oleh para sarjana untuk mencari pemahaman sejarah yang sebenarnya. Baik di bidang politik, ekonomi, ke-Islaman, maupun sosial budayanya. Kajian tentang sejarah Malaka baru dimulai secara serius oleh para sarjana pada pertengahan awal abad -19 oleh Sir Thomas Stamford Raffless tahun 1818, kemudian baru muncul sarjana-sarjana seperti, A.Meursinge tahun 1844. E. Netscher tahun 1854, J. R. Logan tahun 1855. Pada pertengahan abad kedua puluh hadir R.O. Winstedt dengan tulisantulisannya yang panjang dan luas. Ada J.E. Kempe. Liaw Yock Fang, Van Ronkel, A. Tiaw, Wan Cu dan penulis-penulis Melayu seperti Muhammad Yusoff Hasim dan yang lain lainnya.(Hasim, Muhammad Yusoff,1989:73). 14
Namun pengetahuan yang valid tentang Malaka hingga saat ini masih belum lagi sempurna. Masalah utamanya adalah keterbatasan referensi, ada catatan-catatan yang berasal dari Cina, namun catatan (record) Ming ini hanya menunjukkan pada 30 tahun pertama abad ke-15, karena setelah itu negeri Cina mengasingkan diri dari dunia luar. Ada juga sumber yang berasal dari catatan Portugis, tetapi catatan ini sangat tergantung pada sumber sekunder karena orang Portugis datang ke Malaka pada awal abad ke-16 dan sumber-sumber Melayu seperti Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, dan lain-lain baru ditulis abad ke-17. (Ahmad, Kassim. 1975: 79). Kurangnya referensi yang benar-benar layak untuk dijadikan bahan penelitian bukan berarti pemahaman sejarah yang benar tidak bisa diperoleh. Dengan asumsi atau apa yang disebut oleh Gadamer dengan “prasangka” serta memahami kronologi sejarah dan sosial budayanya banyak hal-hal baru justru bisa memberi pemahaman yang utuh. Karena pemahaman-pemahaman yang partikular justru bisa mengantarkan kita pada pemahaman yang seutuhnya. Salah satu buku referensi yang layak menjadi rujukan penelitian adalah kitab Undang-undang Malaka. Undang-undang Malaka yang dicapai oleh kerajaan Malaka merupakan tanda kebesaran Malaka yang diakui oleh siapapun juga. Ia merupakan kitab terpenting yang pernah dicapai kerajaan Malaka. Kitab ini diadopsi dan digunakan juga di Kedah, Pahang, Riau, Pontianak dan pernah dikutip untuk beberapa waktu digunakan di Brunei. Selain itu undang-undang lain seperti undang-undang Melayu, Undang-undang negeri serta Undang-undang Johor, undang-undang Pahang, undang-undang Kedah memperlihatkan bentuk
15
yang sama dengan undang-undang Malaka. Bahkan dalam dua kasus persamaannya tidak bisa dibedakan, yakni undang-undang Johor yang merupakan kopian dari undang-undang Malaka dan undang-undang Kedah adalah versi kedua atau versi lain dari undang-undang Malaka.(Ahmad, Kassim. 1975: 83). Undang-undang atau sistem perundangan adalah salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai konflik dan pertentangan dalam masyarakat baik sesama individu, ataupun di kalangan kelompok. Bagi ahli sosiologi, undang-undang sering dilihat sebagai fenomena dari hakikat masyarakat. Undang-undang tersebut mempunyai sejarah permulaannya kemudian ia berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakat. Undang-undang Malaka diciptakan untuk pertama kalinya sebagai media peredam konflik atau bisa juga disebut dengan pencarian justifikasi oleh para elit penguasa yang berada dalam situasi konflik. Kemunculan Undang-undang Malaka menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji, alasannya adalah : 1. Undang-undang Malaka dibuat dalam beberapa periode yang dalam sejarahnya sebagai kerajaan baru yang dimulai dari nol. 2 Undang-undang Malaka adalah konsep untuk melanggengkan kekuasaan. Beberapa bagian dari konsep yang terdapat dalam Undang-undang Malaka inilah yang menjadi fokus kajian. Penulis akan berusaha mencari sebab munculnya konsep pelanggengan kekuasaan dalam undang-undang Malaka.
16
1.2. Batasan Masalah Agar terfokusnya kajian ini, penulis perlu membuat batasan masalah, yakni untuk selalu tetap berada dalam tujuan penulisan ini. Ada banyak hal dan keadaan yang mungkin digunakan oleh elit penguasa untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya, seperti faktor sosial, misalnya mencari dukungan dari rakyat sehingga secara geopolitik dapat memudahkan dalam menentukan kebijakan. Penulis hanya akan membatasi dua persoalan yang dianggap sangat perlu yaitu : a. Undang-undang Malaka, sebagai alat propaganda elit penguasa untuk memperoleh “kekuasaan ideologis”. b. Undang-undang Malaka sebagai bentuk “justifikasi baru” elit penguasa.
1.3. Rumusan Masalah Jadi yang akan menjadi kajian penulis secara umum akan dihadapkan pada rumusan : Bagaimana Eksistensi Undang-undang Malaka di Kerajaan Malaka dan bagaimana konflik elit Kerajaan Malaka pada abad XV.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk menjelaskan motif elit penguasa Malaka pertama kali menciptakan undang-undang Malaka dan menjelaskan munculnya satu konsep pelanggengan kekuasaan yang terdapat dalam Undang-undang Malaka.
17
b. Penelitian ini bertujuan mencari atau gambaran tentang latar belakang munculnya konflik yang terjadi antara penguasa elit di kerajaan Malaka dan kaitan antara munculnya undang-undang Malaka yang digunakan oleh sebagian elit penguasa untuk memberi justifikasi terhadap kekuasaan dan konflik pada pertengahan abad ke-15.
1.5. Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka manfaat
yang dapat diambil dari
penelitian adalah : 1. Untuk menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta wawasan berfikir yang dituntut sebagai mahasiswa. 2. Bagi Penulis Menambah wawasan kesejarahan dan menjadikan penelitian ini sebagai media untuk menganalisis dan merekonstruksi suatu peristiwa sejarah, tentang Undang-undang Malaka dan konflik elit Kerajaan Malaka abad XV. 3. Bagi Pembaca Memberikan gambaran yang objektif tentang keberadaan Undang-undang Malaka dan konflik elit Kerajaan Malaka abad XV.
18
BAB
II
KERANGKA TEORITIS 2.1 Letak Geografis Negeri Malaka terletak di pantai barat semenanjung Malaysia, luas wilayahnya 1.657 km², panjang dari utara ke selatan 40 km² dan dari barat ke timur 69 km². Malaka bersebelahan dengan negeri tetangga. Di sebelah utara negeri Sembilan dan Johor di sebelah selatan. Tanahnya subur ditanami padi dan karet. Terdapat sungai Kesang, sungai Malaka dan sungai Linggi yang merupakan sungai terpenting di Malaka. Dan Malaka merupakan selat terpanjang di dunia. Selat Malaka di masa kejayaannya merupakan salah satu perairan tersibuk di dunia. (Mohamed,1987:2). Pengertian Undang-undang sebenarnya ada suatu kesukaran atau kekurangan dengan pemakaian istilah UU, yakni kita langsung membayangkan suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan pengertian yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat caracara pemerintahan yang diselenggarakan dalam suatu masyarakat. (Miriam Budiardjo, 2008:169) Dari sudut ilmu antropologi, undang-undang sering dilihat dari dua pendekatan; Pertama, undang-undang dilihat sebagai suatu sistem yang berfungsi. Fungsi ini berlaku di berbagai tingkatan pada kelompok-kelompok masyarakat dan dengan berbagai macam cara. Tujuan undang-undang yang mendasar dalam konteks ini ialah untuk menentukan berbagai macam aturan guna terselenggaranya 19
kehidupan yang harmonis dan kestabilan sosial dalam kehidupan masyarakat, Kedua, undang-undang dilihat sebagai suatu sistem yang terkonsep (conseptual system) yakni berbagai kategori sistem yang tersusun secara formal.(Miriam Budiardjo, 2008:171)
2.2 Asal-Mula Kerajaan Malaka Malaka didirikan oleh Parameswara, seorang raja keturunan Sriwijaya yang melarikan diri setelah kerajaan Sriwijaya runtuh. (Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. 1997 : 132). Ia mewarisi kepandaian politik dan karisma yang besar sehingga di waktu pelariannya itu, ia masih mendapat penghormatan dan dukungan dari tempat-tempat yang ia lalui. Setelah diusir dari Palembang, Parameswara pergi ke Tumasik (Singapura) dan berhasil membunuh rajanya. Ia menjadi raja di sana untuk beberapa tahun sebelum mendirikan Malaka. Tome Pires mengatakan ini menjadi pengalaman dan intrik politik secara alami untuk akhirnya bisa menjadi seorang penggagas sebuah kerajaan.(Ahmad, Kassim. 1975: 87).
2.3
Kejayaan Kerajaan Malaka. Kebesaran Malaka dalam waktu yang relatif singkat merupakan fakta
sejarah yang mengagumkan. Dalam masa beberapa generasi Malaka telah tumbuh sebagai wilayah perdagangan internasional. Disamping itu Malaka juga sebagai tempat terpenting penyebaran agama Islam. Winstedt dalam bukunya yang berjudul, A History of Malay Literature, mengatakan:
20
Mendekati abad ke -15 orang-orang datang dari Nusantara ke Malaka untuk belajar teologi Islam seperti halnya pada permulaan dan pertengahan abad itu Malaka lebih dipilih daripada ke Samodra Pasai, Malaka adalah sebenar-benarnya Mekah, Sultan Mahmud berkata kepada bapaknya dan beberapa orang Jawa mencatat bahwa ada dua orang wali terkenal, Sunan Bonang dan Sunan Giri datang ke Malaka untuk belajar pada triwulan terakhir abad ke 15. (Winstedt,1940 : 78). Selepas Malaka muncul sebagai sebuah pusat perdagangan baru menggantikan Sriwijaya pada Abad ke-15, Malaka telah berjaya mencapai kejayaan yang lebih besar, terutama pada sektor perdagangan yang semakin berkembang pesat. Malaka telah muncul sebagai pemegang kekuasan terbesar di Kepulauan Tanah Melayu yang setaraf dengan kerajaan lain seperti Siam, Sriwijaya, dan China. Malaka yang pada mulanya merupakan sebuah kerajaan kecil telah berkembang dan mengambil alih peranan pusat perdagangan yang dulunya dipegang oleh Sriwijaya. Kejayaan Malaka telah menarik pedagang dari Sriwijaya ini telah mengangkat martabat Malaka ke tahap yang lebih tinggi karena pada zaman dahulu hanya kerajaan saja yang mampu untuk mengendalikan pusat perdagangan yang lengkap dan berupaya menyediakan kemudahan infrastruktur yang modern. Usaha usaha Malaka telah menyebabkan beberapa negeri yang dulunya berada di bawah kekuasaan kerajaan Siam dan Jawa telah meminta naungan dan perlindungan dari kekuasaan Malaka. Contoh negeri tersebut ialah seperti Bernam, Klang, Selangor, Sungai Ujung, Kedah, dan Patani yang secara sukarela datang mendapatkan nobat dari Malaka. Ketika Pasai yang merupakan ‘abang tua’ dalam perdagangan dan agama, mereka selalu ‘berkirim salam’ kepada Malaka. Bukti kemunculan Malaka sebagai satu kerajaan yang baru ialah Malaka
21
telah dua kali berhasil menangkis serangan Siam dan akhirnya berhasil menguasai Kelantan, menjelang kurun ke-16 Malaka telah memutuskan hubungan dengan Siam. Hal ini menunjukkan Malaka bukan saja berhasil mencontohi kejayaan Sriwijaya dalam perdagangan tetapi juga dari segi perluasan wilayah. Kejayaan Malaka memainkan peranannya sebagai sebuah enterport baru dapat dilihat dalam tiga bentuk yaitu bertindak sebagai penerima atau pembeli barang-barang dagangan, menjadi perantara menemukan pedagang Timur dan Barat termasuk Nusantara, dan juga bertindak sebagai penyebar barang-barang yang dibawa ke Malaka ke tempat lain. Walaupun Malaka merupakan warisan Sriwijaya, namun pencapaian Malaka adalah berbeda daripada Srivijaya kerana Malaka merupakan tempat yang menjadi urat
nadi baik dalam perdagangan
maupun dalam menggerakan seluruh kegiatan pemerintahan dan rakyatnya sehingga sekarang
2.4
Runtuhnya Kerajaan Malaka. Pada tahun 1488, Sultan Mahmud Shah mewarisi Malaka yang telah
mencapai puncak kejayaan dan merupakan pusat dagang yang unggul di Asia Tenggara. Bendahara Tun Perak, pencipta keunggulan Malaka, mulai beranjak tua. Begitu juga dengan Laksamana Hang Tuah. Pemerintahan Sultan Mahmud Shah juga mengalami rancangan jahat dan ketidakadilan. Beliau bukan seorang raja yang cakap, akan tetapi beliau juga seorang korban keadaan. Ayahandanya (Sultan Alaudin Riayat Shah) mangkat pada usia yang masih muda. Oleh karena itu baginda menaiki takhta ketika masih kanak-kanak. Portugis pada awal abad ke-16 22
sedang melancarkan imperialisme ke luar negeri. Malaka ditaklukan oleh Portugis pada 24 Agustus 1511. Dipimpin oleh angkatan perang Portugis Alfonso d’Albuquerque. Peperangan yang hanya berlangsung sekitar satu bulan, telah menaklukan kebesaran Malaka. Pasukan yang berperang bersama Alfonso d’Albuquerque terdiri dari 16 buah kapal dengan jumlah prajurit Portugis 800 orang dan 300 orang tentara bayaran dari India. Pada awalnya kedatangan bangsa Portugis hanyalah untuk berdagang. Kapal Portugis pertama kali datang ke Malaka pada tahun 1509 dengan lima buah kapal yang dipimpin oleh Diege Lopez de Sequeira. Setibanya di Malaka, Diege Lopez de Sequeira memberikan hadiahhadiah. Namun sikap penghormatan ini justru tidak dihargai oleh Seri Maharaja, Bendahara Malaka. Ia mengirim satu pasukan untuk menangkap orang-orang Portugis. Sebanyak 18 orang tertangkap termasuk seorang pejabat yang bernama Ruy de Araujo, mereka dipenjara di Malaka.
2.5 Kekuasaan Dan Undang-undang Malaka Konstitusi di kerajaan Malaka dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, adalah konstitusi yang sejak awal menjadi tradisi dari kerajaan Palembang yang diterapkan oleh raja Malaka dengan para pembesar-pembesar yang sejak awal mengikutinya dan turut membangun Malaka. Kedua, Munculnya konstitusi baru (Undang-undang Malaka) yang disebabkan oleh kompleksnya keadaan sosial masyarakat Malaka, hal ini wajar dan memang umum terjadi di kerajaan manapun.
23
Undang-undang Malaka disusun dan ditulis melalui tradisi lisan dan ingatan yang dimiliki oleh para menteri Malaka. Pada tahap tertentu, peraturanperaturan yang sudah dituliskan dan didokumentasikan tidaklah berarti bahwa sasaran dan tujuan Undang-undang Malaka itu ‘wajib’ digunakan untuk semua permasalahan hukum. Ia hanya merupakan salah satu bukti eksplisit tentang hakikat adanya undang undang dalam sebuah kerajaan Melayu lama berdasarkan “...supaya jangan lagi bersalah adat segala hukum menterinya”. Ia hanya digunakan seperlunya, atau hanya menjadi kitab rujukan para hakim ketika hendak mengambil keputusan (untuk hukum-hukum Islam, untuk Bendahara, Laksamana dan Syahbandar; dan Penghulu Bendahari untuk undang-undang rakyat). Berikut adalah bagan undan-undang Malaka.
4. Unsur (Komponen) Undang-undang Malaka
Hukum Adat Kebiasaan, moral, etika, peraturanperaturan resmi (tidak tertulis) -
Naskah dan dokumentasi Undang-Undang bertulis
UNDANGUNDANG Undang-Undang Islam (Syafi’e)
Titah Raja patik murka karunia nugraha
Gb:Pemetaan 4 unsur/komponen Undang-undang Malaka. (Sumber: Sejarah Kesultanan Malaka)
24
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa Undan-undang Malaka terdiri dari 4 unsur (komponen) yaitu : 1. Hukum Adat yang meliputi kebiasaan, moral, etika, peraturan-peraturan resmi (tidak tertulis 2. Naskah dan dokumentasi Undang-undang tertulis 3. Undang-undang Islam 4. Titah Raja, patik, murka, karunia dan nugraha
2.6 Konflik Elit Dalam hal ini konflik biasanya dijelaskan dalam menggambarkan perselisihan antara dua kekuatan yang sama. Konflik kebudayaan misalnya munculnya persaingan antara dua masyarakat yang mempunyai kebudayan yang hampir sama. Konflik rumah tangga menjelaskan perselisihan antara suami dan istri (bukan anak dan orang tua) atau konflik di sekolah itu berarti perselisihan antara sesama guru (bukan guru dan murid-muridnya) Konsekuensi logis dari kekuasaan, terjadinya konflik dan benturan dalam banyak kepentingan, mengakibatkan terjadinya penyelewengan dari “aturan permainan” yang telah disepakati bersama, sehingga tidak ada “keseimbangan” lagi. Bentuk-bentuk perbuatan penyelewengan bisa berupa tidak terakomodirnya kepentingan, perbuatan tujuan dan ideologi, penguasa yang korup, hingga sentimen kelompok dan pribadi. Istilah konflik elit yang penulis maksudkan dapat secara jelas untuk menunjukkan makna pertentangan, perselisihan dan benturan kepentingan antara kaum elitis penguasa Melayu saat itu.
25
Sebab-sebab terjadinya konflik elit kerajaan Malaka yaitu : 1. Terjadinya perebutan kekuasaan atau kudeta pada masa Raja Ibrahim (Sultan Abu Syahid) raja Malaka ke-4. 2. Adanya peran kepentingan yang besar dari raja Rokan dan kalangan elit penguasa yang tidak menginginkan orang asing manjadi raja Malaka. 3. Kehadiran raja Kasim yang dianggap sebagai orang luar karena ibunya Tun Wati berdarah Melayu-Tamil. 4. Timbulnya isme atau kesukuan antara Melayu asli dan Melayu Tamil. 5. Adanya ketidakpuasan Seri Wak Diraja terhadap kekuasaan baru Raja Kasim yang telah melantik Tun Ali menjadi bendahara.
26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Metode Yang Digunakan Metode ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah
sistematis.
Dalam
penelitian
ini
penulis
menggunakan metode sejarah Naratif, deskriptif, dan Analisis Penulis ingin menceritakan dan menggambarkan semua peristiwa sejarah secara analisis dalam arti kata penelitian ini memang benar-benar sesuai dengan fakta. Selanjutnya penulis juga menggunakan metode sejarah, pengambilan data berdasarkan pada kejadian yang telah berlalu dan sesuai fakta, metode sejarah dapat diartikan sebagai suatu proses yang meliputi pengumpulan data-data dan penafsiran gejala-gejala pristiwa atau gagasan yang
timbul
dimasa
lalu
guna menemukan generalisasi yang berguna untuk memahami situasi sekarang serta meramalkan perkembangan yang akan datang. “ Metode sejarah adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang memberikan bantuan secara efektif untuk mengumpulkan bahan-bahan bagian sejarah menilai secara keritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa dari halhalnya dalam bentuk tertulis. Dalam hal ini diperlukan proses mencari dan menemukan sumber, diuji dan dinilai secara kritik eksteren dan interen, data dan fakta dirangkaikan dan kemudian diinterprestasikan dan dituangkan dalam penulisan sejarah. “ (Nugroho Notosusanto, 1984:11). Adapun teknik analisa data yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah dengan langkah-langkah menurut (Louis Gottschalk,1985:34) 1. Pemilihan subyek untuk diselidiki. 27
2. Pengumpulan sumber-sumber informasi yang memungkinkandiperlukan untuk subyek tersebut. 3. Menguji sumber tersebut untuk sejati tidaknya. 4. Pemetikan unsur-unsur yang dapat dipercaya dari sumber-sumber yang terbukti sejati (Louis Gottschalk, 1985:34) Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka penulis mengumpulkan datadata dan melakukan kritik eksteren (Fakta dari kesaksian) dan intern (Pengujian terhadap aspek-aspek dari dalam sumber sejarah) terhadap data yang diperoleh. Sehingga data tersebut dikaitkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi kisah sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah .
3.2 Metodologi Metodologi ialah suatu pengkajian dalam mempelajari suatu pengkajian dalam mempelajari suatu peraturan-peraturan suatu metode. Jadi metodologi penelitian ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam penelitian.(Husaini Usman, 2008:78)
3.3 Pendekatan Sejarah Lokal Sejarah Lokal merupakan bagian dari sejarah Nasional. Sejarah Lokal adalah sejarah yang terjadi di daerah, batasannya ditentukan oleh letak geografis yang mencakup dua atau tiga daerah administratip dan dapat pula disebut suatu kota atau desa (Taufik Abdullah 1990;15 ). Oleh karena itu dari sejarah lokalah kita dapat mengenal dan mempelajari
28
suatu peristiwa sejarah, atau konflik elit yang
bersifat geografis atau tokoh
maupun cerita rakyat.
3.4 Deskripsi Observasi Penelitian Keseluruhan data yang berhubungan dengan Undang-undang Malaka dan konflik elit kerajaan Malaka abad XV diperoleh melalui data-data yang didapat, dan ada dua indikator yang rinciannya sebagai berikut: 1. Undang-undang, sebagai alat propaganda elit penguasa untuk memperoleh “kekuasaan ideologis”. 2. Undang-undang Malaka sebagai bentuk “justifikasi baru” elit penguasa kerajaan Malaka.
3.5. Sasaran Tempat dan Waktu Penelitian. Sasaran tempat penelitian : •
Kunjungan ke situs peninggalan sejarah kesultanan Malaka, Makam raja-raja di penyengat-Tanjung Pinang , tanggal 2 Desember 2008t
•
Kutipan dari internet on line, Google. com, pada tanggal 21 Maret 2009
•
Kunjungan ke pustaka daerah Pemko Batam, tanggal 23 Maret 2009.
•
Kunjungan ke pustaka pribadi tokoh Melayu yakni bapak H.Khairul Saleh, tanggal 20 Mei 2009 di Bengkong Permai kota Batam.
•
Kunjungan ke pustaka kampus UNRIKA Batam, tanggal 16 Juni 2009.
Sasaran tempat penelitian ini adalah hal–hal yang berkaitan dengan
29
Undang-undang Malaka dan Konflik elit kerajaan Malaka abad XV. Penelitian dimulai sebelum pembuatan proposal pada tanggal, 2 Desember 2008 sampai pada penyelesaian akhir sekripsi sehingga layak untuk diuji.
3.6. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa tehnik pengumpulan data diantaranya; 1. Tehnik dokumentasi yaitu dengan cara mengumpulkan tulisan tentang bukti-bukti nyata dari sumber-sumber sukunder yang diperoleh. Teknik ini dipakai untuk mengetahui kenyataan dari peristiwa tersebut melalui piagam dan lain sebagainya untuk mengetahui kebenaran dari peristiwa itu. 2. Tehnik studi komperatif yaitu dengan menggunakan perbandingan dari data yang diperoleh baik berupa ide, konsep, toeri dari para ahli yang sesuai dengan fakta dan ada kaitanya dengan masalah yang diteliti, kemudian
dipelajari
dan
dianalisa
serta
diambil
kesimpulannya.
30
BAB IV UNDANG-UNDANG MALAKA DAN KONFLIK ELIT KERAJAAN MALAKA
4.1 Sekilas Tentang Sejarah Kerajaan Malaka 4.1.1 Pendiri Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera runtuh akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. (Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. 1997 : 182). Kemudian, bersama penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah. Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan. Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras. 31
Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang mereka miliki. (Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. 1997 : 123). Berkaitan dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut Sejarah Melayu ( Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara melarikan diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian tersebut, ia sampai ke Muar, tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan mencoba untuk bertahan disitu, tapi gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke Sening Ujong hingga kemudian sampai di Sungai Bertam, sebuah tempat yang terletak di pesisir pantai. (Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin.1997 : 132). Orang-orang Seletar yang mendiami kawasan tersebut kemudian meminta Parameswara menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka, dalam perburuan tersebut, ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia sangat terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang berteduh di bawah pohon Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan Malaka. (Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin.1997 : 149). Dalam versi lain, dikatakan bahwa sebenarnya nama Malaka berasal dari bahasa Arab Malqa, artinya tempat bertemu. Disebut demikian, karena di tempat inilah para pedagang dari berbagai negeri bertemu dan melakukan transaksi niaga.
32
(Muhammad, Hasim Yusoff.1989) Demikianlah, entah versi mana yang benar, atau boleh jadi, ada versi lain yang berkembang di masyarakat.
4.1.2 Politik Negara Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak lanjut dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang putri Majapahit. Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah) tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah (1459—1477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan Malaka juga menikahi seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping itu, hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas kembali persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak berani menyerang Malaka. (Muhammad, Hasim Yusoff. 1989) Pada tahun 1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina beserta istri,
33
putra, dan menterinya. Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta rombongannya disambut secara besarbesaran. Ini merupakan pertanda bahwa, hubungan antara kedua negeri tersebut terjalin dengan baik. Saat akan kembali ke Malaka, Raja Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar Cina, antara lain ikat pinggang bertatahkan mutu manikam, kuda beserta sadel-sadelnya, seratus ons emas dan perak, 400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa sutra, 1000 helai sutra tulen, dan 2 helai sutra berbunga emas. Dari hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan.(, Muhammad HasimYusoff. 1989 : 151) Di masa Sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung Lo dari Dinasti Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini, Sultan Mansur Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke negeri China untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombongan ini tiba di Malaka pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring. (Hasim, Muhammad Yusoff,1989:76) Demikianlah, Malaka terus berusaha menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan besar. Dalam melaksanakan politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka Hang Tuah sangat besar. Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah Mada atau Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina.(Kassim Ahmad, 1975:56).
34
4.1.3 Hang Tuah Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya di lautan. Bersama empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu bajak laut di sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat. (Kassim Ahmad. 1975 : 56) Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian diangkat menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka. Sedangkan empat orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh.Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki semboyan berikut. 1. Esa hilang dua terbilang 2. Tak Melayu hilang di bumi. 3. Tuah sakti hamba negeri. Hingga saat ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya,
35
Sungai Duyung di Singkep. (Kassim Ahmad, 1975:71). 4.1.4 Malaka sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah lama mengadakan hubungan dagang di sepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan mereka di kawasan timur semakin besar. Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute perdagangan ke Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah pemeluk Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak berkembang. Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam. (Muhammad Yusoff Hasim 1989 : 124). 36
Selanjutnya, Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459—1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam. Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antar keluarga. Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan). ( Muhammad HasimYusoff. 1989 : 97). Malaka runtuh akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir. (Wilkimson,R.J.1907).
4.2 Silsilah Sultan(Raja Malaka) Raja (Sultan) yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut: -
Perameswara yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1380—1424)
-
Sri Maharaja (1424—1444)
-
Sri Prameswara Dewa Syah (1444—1445)
-
Sultan Muzaffar Syah (1445—1459)
-
Sultan Mansur Syah (1459—1477)
37
-
Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488)
-
Sultan Mahmud Syah (1488—1551)
4.3 Periode Pemerintahan Setelah Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis menyebabkannya cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Akhir kesultanan Malaka terjadi ketika wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque pada tahun 1511. Saat itu, yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Mahmud Syah. (Bin Abd.Wahid, Zainal Abidin, 1997:47). Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad. Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu segera memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar, kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari dahulu bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang memecah belah persatuan dan kesatuan Melayu.(Bin Abd.Wahid, Zainal Abidin, 1997:69).
38
4.4. Wilayah Kekuasaan. Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut: 1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya). 2. Daerah Kepulauan Riau. 3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah. 4. Brune dan Serawak. 5. Tanjungpura (Kalimantan Barat). (http://ms.wikipedia.org/wiki/Kesultanan _Melayu_Melaka") Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut. 1. Indragiri. 2. Palembang. 3. Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran.(http://ms.wikipedia.org/ wiki/Kesultanan_Melayu_Melaka") 4.5 Pengertian dan Fungsi Undang-Undang Malaka 4.5.1 Pengertian Undang-Undang Malaka Seperti yang telah penulis utarakan pada Bab II tentang makna UndangUndang Malaka, bahwasanya Undang-Undang Malaka yang sebenarnya tidak mengacu pada Undang-Undang secara universal seperti halnya yang dibuat oleh negara-negara selain Malaka. Namun undang-undang Malaka mengacu pada masa kesultanan Malaka 39
tidak lain adalah hukum adat itu sendiri. Bukan itu saja, undang-undang di sini juga mengikutsertakan hukum syari’at Islam. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Yusoff Hasim (Muhammad Yusoff Hasim. 1989 : 136) bahwa hampir seperempat Undang-undang Malaka dalam bab perkawinan berdasarkan hukum Islam. Undang-undang Malaka bukan hanya mencangkup peraturan yang tertulis saja, ia meliputi peraturan dan perintah , adat yang diistiadatkan, etika, norma, dan akhlak. Sedangkan peran yang terbesar dalam manifestasi undang-undang adalah titah raja itu sendiri. Raja sebagai simbol kekuasaan tertinggi sekaligus sebagai sumber hukum yang mutlak, apapun yang diucapkannya merupakan undangundang. Raja mempunyai hak mutlak. Adapun ucapan-ucapan raja terbagi menjadi lima. Pertama, titah, kedua patik, ketiga murka, keempat karunia, dan kelima nugraha. Sebagaimana terdapat dalam pasal 2.1 Undang-undang Malaka yang berbunyi: “ Pasal yang kedua menyatakan hukum bahasa segala raja-raja itu perkara yang tiada dapat kita menurut kata ini melainkan dengan titah tuan kita juga maka dapat. Pertama titah, kedua patik dan ketiga murka, keempat karunia, kelima nugraha. Maka segala kata ini tiada dapat dikatakan oleh kita sekalian. Adapun berpatik dan bertitah dan murka itu dan karunia itu tiada dapat kita mengatakan pada seorang pun melainkan bahasa itu tertentulah kepada raja-raja juga...“. (Liaw Yock Fang,1976:64) Raja dianggap sebagai “wakil” Tuhan di dunia yakni zdulillah fil’ard atau zdulillah fil’a’lam. Otoritas inilah yang secara emplisit menegaskan kuasa raja atas segala-galanya. Hal ini sebenarnya merupakan suatu sistem politik untuk mengekalkan status quo kerajaan. Di samping itu, hukum yang terangkum dalam Undang-undang Melaka ini dijelaskan mengikuti dan menurut hukum adat istiadat 40
sejak zaman Sultan Iskandar Zulkarnain. Pasal 0.1 menyebutkan: “...Adapun ketahuilah olehmu sekalian akan adat ini turun temurun daripada zaman Sultan Iskandar Dzulkarnain yang memerintahkan segala manusia... “.(Mohamed, Mustafa Ali. 1987 : 112). Pengekalan status quo ini telihat dalam proses dan tujuannya. Hukum Kanun Malaka atau Undang-undang Malaka dibuat istana Malaka. Pihak-pihak yang terlibat secara langsung untuk menyusun undang-undang tersebut ialah raja sendiri dan para pembesarnya. Rakyat jelata yang berada di luar istana mungkin tidak tahu tentang undang-undang tersebut. Begitu juga dengan raja-raja ‘lokal’ yang berada dalam wilayah taklukan Malaka mungkin tidak terlibat di dalamnya. Akan tetapi penggunaan undang-undang yang luas dan menyeluruh bagi semua wilayah kekuasaan kerajaan Malaka adalah suatu kewajiban. Pasal 44:11 menyebutkan: “ Undang-undang Melayu yang dititahkan Duli Yang Dipertuan yang tersurat diatas ini, dilimpahkan kepada segala negeri, dari suatu negeri kepada suatu negeri, daripada suatu dusun kepada suatu dusun daripada suatu teluk kepada suatu teluk, dari pada suatu anak sungai kepada anak sungai sekalian“.(UU.Malaka,44:11) Dari pasal 44:11 mengandung maksud bahwa undang -undang Malaka dibuat dan dituliskan untuk bisa disebarluaskan dari segala penjuru negeri sampai kepelososk-pelosok negeri. Undang-undang tersebut agar dapat dilaksanakan dan dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari pada rakyat segala negeri dengan segala peraturan perundang-undangannya sesuai isi yang tersurat dan tersirat pada kitab undang-undang tersebut. (Fang, L.Y, 1976:175).
41
4.5.2 Fungsi Undang-Undang Malaka Selain sebagai maksud politis di atas, Undang-undang Malaka juga mempunyai fungsi untuk penegakan hukum dalam kehidupan Malaka saat itu. Adalah wajar Malaka mempunyai undang-undang secara tertulis di tengah masyarakatnya yang terus berkembang. Menurut laporan Tome Pires (tahun 15121515) Ketika Masa pemerintahan Kasultanan Muhamad Syah, jumlah bahasa yang digunakan oleh penduduk Malaka berjumlah 86. Penduduknya diperkirakan berjumlah sebanyak 190.000 orang menjelang kedatangan Portugis dengan jumlah hulubalangnya kurang lebih 100.000 orang. Jadi tidaklah heran jika Malaka mempunyai undang-undang yang diperuntukkan untuk mengatur kehidupan rakyatnya, baik di kota Malaka itu sendiri ataupun daerah-daerah yang berada di luar Malaka. (Cortesao, Armando,1944) Tujuan ditulisnya Undang-undang Malaka, selain sebagai hukum tertulis yang diperuntukkan untuk semua ‘anak negeri’, yang mengatur hukum pidana dan perdata, juga diperuntukkan untuk pengekalkan adat. Terutama dalam sistem Manajemen. Adat Melayu ini dikenal dengan Adat Temenggung, agar tidak terjadi kesalahan dalam melaksanakan adat-istiadat tersebut. Adat Temenggung diyakini sebagai adat pertama yang perkenalkan di dunin Melayu, ia berasal dari Minangkabau, Sumatera. Adat ini mempunyai pengaruh agama Hindu-Budha dan ketika Islam datang adat Temenggung juga ikut kena pengaruhnya. Jika dibandingkan dengan adat Melayu yang lain, adat Temenggung adalah adat yang paling lengkap. Ia meliputi kesseluruhan aspek dalam kehidupan manusia. Terdapat dua hal terpenting dalam adat ini, pertama.
42
sistem kekeluargaan dan sistem politik. Dalam adat perkawinan, adat Temenggung mengamalkan sistem perkawinan endogami yaitu perkawinan hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang tidak melanggar hukum dan hanya boleh sama satu agama, yakni Islam. Dalam perkawinan ini banyak mengambil dari hukum Islam bermahzab Syafi’i. Dalam sistem waris, Adat Temenggung mengamalkan sistem dengan hukum Islam walaupun terdapat sedikit perbedaan pada masalah persenannya. Kedua, untuk soal politik. adat Temenggung meletakkan sistem autokrasi. Raja atau Sultan yang memerintah diberi kuasa penuh untuk menjalankan kekuasaan secara penuh dan mutlak. Konsep daulat dan durhaka menjadi bagian dari sistem ini. Dalam konsep ini rakyat tidak boleh mempersoalkan setiap keputusan raja atau sultan dalam hal apapun. Berbeda dengan adat Temenggung, ada adat Perpatih yang juga berasal dari Minangkabau. Perbedaannya dalam beberapa hal adalah adat Perpatih dalam konsep kekeluargaan lebih mengutamakan mashab atau keturunan dari sebelah ibu. Keterangan lebih lengkap lihat
Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia (Azmah
Abdul Manaf, 2001: 187-197 ). Kekuatiran akan terjadinya kesilapan dan kekeliruan dalam pelaksanaan adat-istiadat kerajaan mungkin tidak merisaukan raja-raja Malaka, karena di sekeliling raja ada para menteri yang sudah sangat mengerti akan hal itu. Akan tetapi hukum adat raja diraja dirasa perlu untuk dimengerti semua rakyat agar tidak disalahgunakan. Hukum adat ini pada dasarnya untuk memperlihatkan wibawa raja-raja yang secara tegas harus dipisahkan dan diberi hak istimewa dari rakyat biasa.
43
Karena raja adalah simbol yang harus ditaati. Dalam bahasa Melayu harus “disembah”. Disebutkan dalam pasal 1.1: Pasal yang pertama pada menyatakan adat majelis segala raja-raja dan pakaian segala raja-raja segala larangan raja-raja itu, maka dipakai oleh rakyat. Ketahuilah olehmu bahwa tiada harus memakai seperti kekuningan dan kepada segala orang besar-besar sekalipun, jikalau tiada dengan anugraha raja-raja, maka iaitu dibunuh hukumnya. Dan demikian lagi tiada dapat memakai kain yang nipis berbayang-hayang seperli khasa (h) pada balai raja-raja atau pada pagar raja itu melainkan dengan kurnia titah raja atau diluar boleh dipakai. Jikalau lain dan pada itu niscaya dicarikan atau ditolakkan hukumnya. Dan demikian lagi memakai hulu keris emas seperti merubi dan bawang sebongkol. Itupun tiada dapat dipakai oleh orang keluaran, jikalau tiada dengan nugraha raja akan dia. (jikalau ada dengan nugraha raja-raja akan dia), maka dapat dipakai. Jikalau ada orang yang memakai dia, hukumnya dirampas. (UU.Malaka, pasal 1.1) Dari pasal 1.1 : mempunyai pengertian bahwa segala pakaian kebesaran kerajaan baik aksesoris dan atributnya, tidak diperbolehkan rakyat jelata mengenakannya bahkan meniru atau menyerupainya, kecuali merupakan penghargaan raja, baru boleh memakainya, apabila hal tersebut dilanggarnya maka segala pakaian atau atribut yang melekat akan dirampas oleh pihak kerajaan. Pasal 3 menyebutkan: Pasal yang ketiga menyatakan hukum segala rakyat mati dan orang besar besar dan orang yang mulia-mulia tiada dapat berpayung dan berpuadai dan mengambur dirham itu melainkan dengan nama anugraha, dirampas hukumnya itu. Demikian lagi bertilam beralas kuning atau batang bantal segala yang melihat dia, satupun tiada perkataan lagi. Itulah majelissegala raja-raja itu, baik diketahui oleh segala rakyat dan segala sakai bala tentara sekalian itu akan perintah martabat raja-raja supaya jangan kena murka raja-raja akan kami sekalian itu. (UU.Malaka, pasal 3) Penjelasan akan pasal 3 : tentang kekuasaan Raja bahwa, segala lapisan rakyat, orang besar bangsawan, tidak dapat berbuat sekehendak hati hidup berfoya -foya kecuali atas izin dari pihak kerajaan, dan apabila ada suatu pergerakan pada 44
sekelompok rakyat, maka harus diketahui secara luas dan tidak menimbulkan kemurkaan Raja yang memerintahnya.(Liaw Yock Fang 1976 :13)
4.5.3 Manuskrip Undang-undang Malaka Undang-undang Malaka terbagi dua bagian. Pertama, Undang-undang darat, yang sering disebut dengan Undang-undang Melaka, ia ditulis sebanyak 46 salinan dengan berbagai judul seperti Undang-undang Malaka, Undang-undang Negeri dan Pelayaran, Surat Undang-undang, Kitab Undang-undang, Undangundang Melayu, Undang-undang Raja Malaka, Undang-undang Sultan Mahmud Syah, Kitab Hukum Kanun dan Surat Hukum Kanun. (Liaw Yock Fang 1976 :3) Kedua, Undang-undang laut, atau juga dikenal sebagai Adat Pelayaran Melaka, Kitab Peraturan Pelayaran, dan Hukum Undang-undang Laut. Saat ini kajian terhadap Undang-undang laut lebih banyak mendapat perhatian dari para sarjana. Raffless misalnya, telah menerjemahkan kedalam bahasa Inggris pada awal tahun 1818. Pada tahun 1845, J. M. Pardessus dalam bukunya Collention de lois maritimes anterieures au XVIII e siècle yang lalu diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh E. Dulaurier dan pada 1956 terbit edisi baru yang dipublikasikan oleh R.O. Winstedt dan P. E. de Josselin de Jong.(Liaw Yock Fang 1976:3) Sedangkan kajian terhadap Undang-undang darat sejauh ini hanya ada satu yang telah diterbitkan. Kajian tersebut berjudul Risalah Hoekoem Kanoen jaitoe Oendang-Oendang Melaka editor Ph. S. van Ronkel yang diterbitkan di Leiden tahun 1919. Kajian inipun menurut Liaw masih jauh dan memuaskan, seperti asal
45
manuskrip yang menjadi acuannya, bukanlah merupakan text yang bagus. Di samping itu ada sedikit kajian tentang Undang-undang Malaka yang terdapat pada .IMBRAS Vol. XXIpt. I berjudul “A Malay Legal Digcst compiled for Ahd al-Gi’zafiir A’ ‘cl-din Shah, Sultan of Pahang l529-I A. D. Oleh John F. Kempe dan R. 0. Winstedt pada tahun 1948. Kajian yang lengkap tentang Undang-undang Malaka sesudah itu, dilakukan oleh Liaw Yock Fang dalam bukunya yang berjudul Undang-undang Malaka, baru dipublikasikan pada tahun 1976 Ia berhasil mengumpulkan sejumlah empat puluh empat (44) manuskrip. Ke empat puluh empat (44) manuskrip tersebut dibagi kedalam tujuh kelompok : a. Undang-undang Melaka yang sebenarnya (Undang-undang Melaka proper) b. Versi Ahceh (The Achehnese version) c. Versi Patani (The Patani version) d. Versi yang “panjang” (The “long” version) e. Undang-undang Islam dan Johor (The Muslim and Johor Laws version) f Versi “pendek” (The “short “ version) g. Naskah yang terpisah-pisah (The fragmentary ones) Umumnya naskah-naskah
tersebut ditulis
pada abad
ke-19,
ini
menunjukkan bahwa naskah yang sampai kepada kita saat ini bukanlah merupakan naskah yang asli, melainkan salinannnya. Bahkan naskah-naskah tersebut merupakan salinan yang kesekian kalinya. Satu contoh manuskrip tertua
46
yang ditemukan adalah Dublin 1638 yang ditulis pada tahun 1801. Hal ini wajar karena mengingat bahwa naskah itu berada dalam iklim tropis yang lembab, sehingga dengan mudah lapuk dan usang. Kegiatan penyalinan berlangsung pesat pada abad ke-19, yang sebagian besar dilakukan oleh perintah para pembesar yang berkuasa pada saat itu atas pesanan para kolektor barat. Naskah-naskah tersebut umumnya banyak tersimpan di Belanda dan Inggris dan beberapa tempat lainnya. Di samping itu mungkin ada juga sebagian naskah yang tidak diketahui jumlahnya berada di tangan perorangan, sebagai warisan keluarga turun-temurun, dan tidak pernah terjamah.
4.6 Undang-Undang Malaka sebagai Alat Propaganda Di tengah masyarakat yang majemuk dan menjadi bandar metropolitan, karena disingagahi oleh banyak saudagar asing, baik yang hanya ingin berdagang atau mengadu nasib di rantau ini, Malaka telah menjadi pelahuhan yang sangat ramai. Tome Pires menyebutkan bahwa pada saat itu Malaka dihuni oleh 190.000 ribu orang dan memiliki 100.000 ribu hulubalang, dengan jumlah 86 bahasa yang dituturkan., Kesultanan Melayu Malaka, ( Muhammad Yusoff Hasim,1989) Pembauran budaya pun menjadi keniscayaan, baik lewat interaksi sosial sesama anggota masyarakat ataupun lewat hubungan perkawinan. Sultan Muhammad Syah misalnya mempunyai dua orang istri dari suku yang berbeda. Istri pertama beliau adalah Tun Wati, campuran Melayu-Tamil dan yang kedua berasal dari keturunan Melayu-Rokan, Sumatra.(Martin., 1989:20). Bentuk kerajaan dengan sistem warisan (seperti di Malaka), menurut
47
Machiavelli akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang relatif lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan dan mitos yang terdapat pada masyarakat yang menghasilkan
“kekuasaan
ideologis”
masih
mudah
didapati
dan
terus
dimanfaatkan dan dilestarikan oleh penguasa. Keyakinan tentang legitimasi Tuhan, keturunan tokoh-tokoh yang hebat dan istimewa serta kewibawaan yang diturunkan langsung lewat garis keturunan melahirkan bentuk kekuasaan ideologis, yakni kekuasaan yang diperoleh dari gagasan (ide) yang datang dari kekuasaan kharismatik yang memiliki daya persuasi yang kuat. atau arketipe (Zainal Abidin, 1997:73). Rezim penguasa berkepentingan untuk terus menyakinkan rakyat bahwa rajanya adalah mempunyai kekuatan mukjizat. Dengan pola budaya protokoler yang ribet penguasa mendapatkan nilai kesucian, kewibawaan dan kemuliaan lewat jubah kebesarannya, ritual-ritual, upacara dan sebagainya. Upacara-upacara dan protokoler merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang sengaja dibuat untuk menciptakan jarak sosial dan dengan demikian akan menjaga kekuasaan kelas elit dengan rakyat biasa.(Chumaidi Syarief Romas,20 raan rakyat Melayu biasanya diungkapkan melalui ucapan-ucapan seperti “demikianlah adat istiadat, masingmasing orang sesuai dengan bahagiannya”, “masing-masing duduk sesuai dengan jabatannya,” “masing-masing duduk sesuai tempat duduknya, seperti adat istiadat purba yang tidak pernah berubah”,
“masing-masing duduk sesuai dengan
ukurannya”, “masing-masing sesuai dengan porsinya”,(W.G. Shellabear,1970:59) Untuk kepentingan ini, Undang-undang Malaka memberikan hak-hak istimewa kepada para penguasa. Disebutkan pada pasal 1.1, 2.1 dan 2.2
48
Pasal 1.1 mengatakan : Pasal yang pertama pada menyatakan adat majelis segala raja-raja dan pakaian segala raja-raja segala larangan raja-raja itu, maka dipakai oleh rakyat. Ketahuilah olehmu bahwa tiada harus memakai seperti kekuningan dan kepada segala orang besar-besar sekalipun, jikalau tiada dengan anugraha raja-raja, maka iaitu dibunuh hukumnya. Dan demikian lagi tiada dapat memakai kain yang nipis berbayang-hayang seperli khasa (h) pada balai raja-raja atau pada pagar raja itu melainkan dengan kurnia titah raja atau diluar boleh dipakai. Jikalau lain dan pada itu niscaya dicarikan atau ditolakkan hukumnya. Dan demikian lagi memakai hulu keris emas seperti merubi dan bawang sebongkol. Itupun tiada dapat dipakai oleh orang keluaran, jikalau tiada dengan nugraha raja akan dia. (jikalau ada dengan nugraha raja-raja akan dia), maka dapat dipakai. Jikalau ada orang yang memakai dia, hukumnya dirampas. (Liaw Yock Fang 1976 :9) Pasal 2.1 mengatakan : Fasal yang kedua menyatakan hukum bahasa segala raja-raja itu lima perkara yang tiada dapat kita menurut kata ini melainkan dengan titah tuan kita juga, maka dapat. Pertama titah, kedua patik, dan ketiga murka, keempat karunia, kelima nugraha. Maka segala kata ini tiada dapat dikatakan oleh kita sekalian….. Adapun berbatik dan bertitah dan murka itu dan karunia itu, tiada dapat kita mengatakan pada seorang pun melainkan bahasa itu tertentulah kepada raja-raja juga …(Liaw Yock Fang 1976 :16) Pasal 2.2 menyebutkan : Demikianlah lagi pada hal menjunjung duli, itupun dibunuh, jikalau tiada dengan anugraha itu. Demikianlah berbuat surat titah itu. Dan demikian adat hamba kepada tuannya, supaya bermulia tuannya pada hukum kanun.( (Liaw Yock Fang 1976 :16) Pasal-pasal di atas banyak dipengaruhi oleh hukum adat dan pengaruh Hindu-Budha. Warna kuning misalnya, mempunyai nilai yang tinggi, karena ia adalah wama emas, dimana dalam keyakinan agama Hindu-Budha emas mempunyai nilai sakral. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada raja merupakan salah satu instrument penguasa, pasal-pasal tersebut di atas jelas merupakan dasar hukum 49
yang kuat karena Undang-undang Malaka dibuat oleh elit penguasa. Sehangga secara dalam menjaga suatu susunan pemerintahan.. Undang-undang merupakan alat dalam mepropaganda satu kekuatan sistem kerajaan yang secara hukum kanun tetap berlangsung hingga akhir zaman. Dari propaganda tersebut dapat melahirkan satu kekuasaan ideologi sebagai hasil kemajuan secara intelektual. Namun ‘kekuasaan ideologi’ ini telah melahirkan konflik baru, bukan pada tataran penguasa versus rakyat tapi pda elit penguasa yang selama ini berlindung dan mengambil keuntungan dari pengaruh ideologi tersebut. Konflik elit ini justru menciptakan pola idialistis dimana kesetiaan rakyat – sebagai ‘korban ideologi’ – justru dicari justifikasinya untuk mencari pembenaran lewat menghitam-putihkan” keyakinan ke dalam Undang-undang oleh segelintir elit penguasa yang berseteru menjadi hukum Kanun Malaka. Undang-undang Malaka atau Hukum Kanun Malaka dianggap sebagai salah satu kemajuan peradaban intelektual terpenting temyata diawah oleh misimisi politik tertentu yang boleh juga disebut sebagai mediator elit penguasa dengan dasar pembodohan mengatasnamakan keyakinan hakiki. Dengan demikian Undang-undang Malaka digunakan sebagai instrument penguasa untuk kekuasaan.
4.6.1 Kekuasaan Ideologis Dalam pandangan Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ketiga susunan W.J.S. Poerwadarminta, bahwa ideologis adalah asas pendapat (keyakinan) yang dipakai (dicita-citakan) untuk dasar pemerintahan negara dan sebagainya. W.J.S Poerwadarminta 1988 : 241
50
Yang penulis maksudkan dengan kekuasaan ideologis adalah kekuasaan yang didapati dari hasil kreatif penguasa yang diperoleh dari asas pendapat atau gagasan dan kekuatan persuasi untuk mengelabui masa agar terciptanya keyakinan dan kepercayaan yang sesuai dengan kepentingan penguasa. Dengan istilah “ideologi” penulis bermaksud mengumpulkan kepercayaan yang memiliki karakteristik berikut: ‘ (a) Ia berusaha memberikan justifikasi bagi suatu tatanan politik, sosial dan ekonomi; (b) dalam upayanya itu, ia mengubah bagian dari kenyataan sosial yang cenderung bertentangan dengan kenyataan sebagaimana diperkirakan adanya; (c) ia terwujud dalam bentuk pemikiran lahiriyah (tatanan luar) yang sangat berbeda dengan bentuk pemikiran “laten”’ (d) ia bersifat otoriter; (e) Ia menyuarakan kepentingan suatu kelompok tertentu; (f) ia dapat mengambil ide dari sumber mana saja, misalnya ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, dan sejarah; (g) Ia timbul dari pertentangan kepentingan.(Sharif Maznah Syed Omar,1998:8-9) Penguasa dengan segala kemungkinannya, telah menggunakan pengaruh lewat opini manipulasi sebagai salah satu alat untuk memuluskan keinginankeinginannya. Dengan kesadaran palsu dan sikap rakyat yang tidak kritis (memang rakyat dibuat untuk tidak kritis), penguasa telah membangun suatu sistem status quo lewat unsur-unsur yang sangat licik dan tak bermoral. Di antara unsur-unsur tersebut seperti pemaksaan lewat sumpah setia (hanya mengakui satu raja), protokoler yang rumit, hak-hak istimewa, melalui opini itu sendiri. (Sharif Maznah Syed Omar,1998:8-9) Opini pembenaran yang dihembuskan berfungsi sebagai memberikan
51
justifikasi atau pembenaran terhadap keadaan sesuatu atau status merupakan alat yang paling lazim digunakan penguasa dari zaman dahulu bahkan hingga saat ini. Asumsi serta opini yang digunakan penguasa untuk mendapat kekuasaan ideologis biasanya berhuhungan dengan “keyakinan akan keturunan”, yakni menghuhungkan garis keturunan penguasa dengan tokoh-tokoh yang meiliki kelebihan khusus”, dan kedua asumsi atau opini ini juga dihubungkan dengan munculnya ligitimasi yang datang dari Tuhan atau dewa atau yang lebih umum dikenal dengan konsep daulat.
4.6.2 Garis Keturunan dan Keistimewaan Para penguasa Melayu menggunakan pembodohan asumsi tentang raja sebagai titisan dewa sekaligus menjadi inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan di muka bumi. Asumsi ini merupakan opini manipulasi yang sangat berarti di antara sekian banyak opini yang dibuat. Raja sebagai wakil tuhan di muka bumi memiliki keistimewaan dan indra keenam. Prinsip ini oleh Sharifah disebut sebagai keindraan yang memagari raja. Raja yang memiliki legitimasi dari tuhan sekaligus dibekalkan kemampuan-kemampuan supranatunal. (Zainal Abidin, 1997:173). Dalam Hikayat Hang Tuah diceritakan bahwa kemampuan raja yang memiliki kekuatan magis berasal dari garis keturunan Sang Sapurba. Tokoh ini menjadi simbol akan kesaktian, kramat, dan keberkahan. Diceritakan bahwa rajaraja Melayu berasal dari garis keturunan Sang Sapurba. Pada suatu waktu berkisah tentang seorang raja yang bernama Sang Perta Dewayang. Dalam kekuasaannya itu, langit dan bumi tidak terpisah. Sang raja sering turun ke bumi untuk berburu.
52
Pada salah satu perburuan itulah raja bertemu dengan seorang puteri mahkota, yakni Ratna Pelinggam Chahaya, yang ia kawini. Si raja dengan istrinya kemudian kembali ke kerajaan langit, meninggalkan putera mereka Sang Sapurba untuk memerintah kerajaan bumi di kerajaan Bukit Siguntang. Pada suatu hari, disaat ia berburu, ia pun bertemu dengan seorang putri raja yang terlahir dari muntah seekor lembu putih. Ia mengawini puteri tersebut dan dikarunia empat orang anak. Keempat putera mahkota tersebut diangkat menjadi raja pada empat buah kerajaan yang masing-masing mewakili empat penjuru dunia. Salah seorang dari putera mahkota tersebut, Sang Maniaka, memerintah Bintan dan dari sinilah dia dikatakan raja-raja Malaka berasal. (Sharif Maznah Syed Omar,1998:43) Berbeda dengan Hikayat Hang Tuah, ada versi cerita lain yang terdapat dalam Sejarah Melayu tentang garis keturunan ini. Raja Iskandar (the Alexander the Great) disebut-sebut sebagai nenek moyang raja-raja Melayu. Diceritakan bahwa Raja Iskandar mempunyai keturunan yang bernama Raja Suran. Raja Suran menikah dengan seorang puteri raja, yakni Puteri Mabtabul Bahri dan mempunyai tiga orang putera. Dua orang di antara mereka, Nila Pahlawan dan Kerisyna Pandita, masing-masing kawin dengan Wan Empuk dan Wan Malini dan anak keturunannya menjadi pelayan istana. Putera Mahkota yang satu lagi, Sang Sapurba, kawin dengan puteri Demang Lebar Daun, pejabat Setempat. (Abdul Manaf, Azmah. 2001 : 66) Garis keturunan yang diceritakan dalam hal ini sebagai salah satu cara bagi raja-raja Malaka untuk menjustifikasi diri mereka sebagai raja yang memiliki legitimasi dari langit dan membawa bakat alami lewat garis keturunan sebagai
53
personal yang mempunyai kekuatan-kekuatan dahsyat. Dengan demikian, penguasa dapat secara mulus untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Aspek emosional yang tercipta akan memberi kesan (image) pembenaran dan dengan sendirinya akan meligilitimasi dan mendominasi kekuasaan tersebut sebagai yang tak tergantikan kecuali dari garis keturunannya. Rasionalisasi ini dapat pula memenuhi kebutuhan psikologis penguasa. Asumsi atau opini ini berfungsi tidak hanya memberikan justifikasi untuk tujuan-tujuan politik, tapi dapat juga untuk menutupi dua bentuk kebobrokan moral penguasa, yaitu lema. (Sharif Maznah Syed Omar,1989:10)
4.6.3 Kekuasaan Raja(Sultan) Sintesis dari keturunan lalu keistimewaan dan legitimasi Tuhan akan munculnya kedaulatan raja. Raja berdaulat adalah raja yang memiliki tiga karakteristik tersebut. Jadi sebenarnya dalam sistem aristokrasi pemerintahan Malaka, kedaulatan raja bukan terlelak pada relasinya dengan rakyat semata, tapi kedaulatan itu timbul dari hukum dialektis yang bersumber pada pengaruhpengaruh yang telah diyakini oleh rakyat. Raja sebagai keturunan tokoh hebat, memiliki keistimewaan yang diwariskan dan legitimasi Tuhan melahirkan kedaulatan untuk menjadi pemimpin terbaik, raja berdaulat karena ia merupakan keturunan seorang ‘raja dunia’, mempunyai keistemewaan dan mewariskan hak memimpin atau legitimasi Tuhan. Daulat akan berhuhungan dengan konsep spiritual dan tradisi kepercayaan tentang durhaka. Kekuasaan yang berdaulat akan diikuti oleh seluruh rakyat,
54
dengan sikap patuh dan setia. Pembangkangan dan ingkar akan dengan sendirinya menjadi musuh kedaulatan dan musuh bersama, sikap ini dinamakan dengan durhaka. (Muhammad Yusoff hasim:279) Kepatuhan mutlak kepada raja merupakan sikap yang harus selalu dipegang, walaupun perbuatan raja itu merugikan orang lain. Salah satu contoh kepatuhan yang dilakukan oleh Bendahara Paduka Raja Tun Perak ketika mengetahui anaknya Tun Besar mau dibunuh oleh Raja Muhammad (anak Sultan Mansur). Karena takut untuk durhaka kepada raja ia mengatakan: “Anak Melayu tiada pernah durhaka kepada rajanya, tetapi janganlah kita bertuankan anak raja yang seorang ini !”. Jadi jelas bahwa kekuasaan raja adalah kekuasaan diatas segala-galanya, bila dilanggar akan mendapatkan hukuman sesuai peraturan yang berlaku. (Othman, A’fc’/aka 1989:42).
4.6.4 Struktur Kekuasaan Mulanya “teori elit politik” lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun 1950-an, antara Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuan politik) dan sosiolog C. Wright Mills, yang melacak tulisan-tulisan dan para pemikir Eropa masa awal munculnya Fasisme, khususnya Vilfredo Pareto dan Guetano Mosca (Italia) Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol). Pareto percava bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah merupakan yang terbaik. Merekalah yang
55
dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat. Mereka pada umumnya datang dari kelas yang sama yaitu orang-orang kaya dan juga pandai, yang mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari 2 kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Kelompok penguasa (the ruling class) biasa juga dibagi dengan pertentangan, yakni elit yang berkuasa (the ruling elite) dan elit tandingan. (S.P. Varma, 1999:199-200), Dalam struktur kerajaan Melaka, kelompok elit yang memerintah berada pada birokrasi-birokrasi kerajaan dan kelompok elit yang tidak memerintah terdiri dari para bangsawan, saudagar-saudagar kaya eksistensi mereka diwujudkan dalam pemilikan budak-budak dan para ulama serta kadi (hakim). Di Malaka dikenal dengan empat institusi kerajaan yang pertama, mereka terdari dari Bendahara, Temenggung, Laksamana dan Penghulu Bendahara. Sebenarnya ada kedudukan yang juga penting dalam system birokrasi kerajaan ini, yakni kedudukan Syahbandar seperti yang disebutkan dalam Undang-undang Malaka Pasal 1 berbunyi : Adapun segala raja-raja itu, pertama-tama menjadikan Bendahara kedua menjadikan Temenggung ketiga menjadikan Penghulu Bendahari keempat menjadikan syahbandar maka terpeliharalah segala raja-raja itu dengan segala rakyatnya. (Liaw Yock Fang,1976:24) -
Bendahara
56
Bendahara bertugas menggantikan peran raja, ketika raja tidak ada, ini menunjukkan taraf dan peran politiknya yang sangat penting. Tugas utamanya adalah sebagai ketua protokoler dan militer yang menguasai angkatan darat maupun laut. Keistimewaan Bendahara juga terdapat dalam banyak hal misalnya, istiadat menghadap raja dan bersirih nobat hanya boleh dilakukan bila Bendahara turut hadir. Dalam upacara menghadap raja di Balairung, Bendahara akan duduk dibarisan paling depan setelah para pembesar lainnya. Dalam istiadat pelantikannya, Bendahara dikaruniakan oleh sultan lima persalinan bagi satu ‘set’ anugerah, yaitu baju, kain, daster, sebagai dan ikat pinggang, sedangkan anak raja-raja kerabat hanya diberikan empat persalinan. (Armando Cortesao,1994 :168) Secara tradisi jabatan ini dipegang oleh mertua raja lalu diwariskan turuntemurun.
Penghulu Bendahari Secara terminology, makna Penghulu Bendahari adalah Ketua Bendahari. Kedudukan Penghulu Bendahari berada langsung di bawah Bendahara. Tugasnya adalah menjadi ketua pada seluruh Bendahari raja, kepala keuangan, membawahi semua Syahbandar dan bertanggung jawab terhadap hamba-hamba raja. Di samping itu ia juga bertugas untuk menyiapkan segala hal teknis protokoler dan upacara. Seperti mengatur untuk menghiasi balairung, membentangkan tikar, menyiapkan hidangan dan makanan.(ArmandoCortesao,1994:8168)
57
-
Temenggung Institusi ini baru muncul di Malaka, Temenggung (a police chief) bertugas menjaga keamanan dan terlibat langsung menjaga kestabilan sosial masyarakat, menjaga keselamatan raja, menyelidik, memeriksa dan menangkap orang. Pembukaan Undang-undang Malaka menyebutkan “Adapun hukum yang diserahkan kepada Temenggung itu barang yang dihukumkan di dalam negeri seperti tahafis
menahafus dan
tangkap
menangkap orang jahat di dalam negeri”(Liaw Yock Fang 1976 :16)
-
Laksamana Winstedt berpendapat bahwa konsep dan gelar Laksamana berasal dari tradisi Hindu yang merupakan adik tiri dan wira kedua dalam sastra Hindu, Ramayana.
Tetapi di Malaka, Laksamana mempunyai tugas
sebagai angkatan perang, terutama angkatan laut. Orang pertama yang menduduki jabatan ini adalah Hang Tuah. Tugas lainnya menjadi duta luar negeri dan pengawal pribadi Bendahara. (R.O.Winstedt,
1989:62-69)
Tome Pires menyebutkan bahwa institusi Syahbandar berhubungan dengan organisasi pelabuhan Melaka. Ia berfungsi untuk urusan perkapalan, pajak, pengawal urusan bisnis dan perniagaan, pengurusan anak-anak yatim, menjadi ketua para nakhoda dan sebagai institusi keamanan di pelabuhan Malaka. (Armando Cortesao,1994 :80). Pada pembukaan Undang-undang Malaka disebutkan “adapun hukum yang diserahkan kepada Syahbandar itu, yaitu
58
menghukumkan segala dagang dan anak yatim dan segala yang teraniaya dan adat segala jong dan baluk dan barang sebagaimananya. (pembukaan UU .Malaka). Namun institusi Syahbandar diartikan oleh Yusoff Hasim sebagai bagian dari institusi tinggi dengan alasan institusi Syahbandar tidak boleh terdiri orangorang dari kalangan kerabat keluarga raja. Hal ini dinilai tidak layak disebut sebagai institusi penting karena sistem pemerintahan Malaka berupa aristokrasi, alasannya siapapun dan dari golongan manapun bisa menduduki jabatan Syahbandar. Yusoff Hasim beralasan dengan dua kemungkinan. Pertama, kesalahan penyalin dan Kedua, naskah Undang-undang Malaka yang wujud ketika ini adalah salinan versi teks tersebut yang lahir sebelum wujudnya institusi Laksamana di Melaka tahun 1450-an. (Armando Cortesao,1994 :150)
4.7 Konflik Elit Malaka, Perebutan Kekuasaan Secara Internal. Istilah konflik biasanya dijelaskan untuk menggambarkan perselisihan antara dua kekuatan yang sama. Konflik kebudayaan misalnya berarti persaingan antara dua masyarakat yang mempunyai kebudayan yang hamper sama.(R.O. Winstedt,1989:62-69). Konflik rumah tangga menjelaskan perselisihan antara suami dan istri (bukan anak dan orang tua) atau konflik di sekolah itu berarti perselisihan antar sesame guru (bukan guru dan murid-muridnya) Konsekwensi logis dari kekuasaan, terjadinya konflik dan perbenturan dalam banyak kepentingan, akibatnya bisa terjadinya penyelewengan dari “aturan permainan” yang telah disepakati bersama, sehingga ketiadaan “keseimbangan”
59
lagi. Bentuk-bentuk perbuatan penyelewengan bisa berupa tidak terakomodirnya kepentingan, perbuatan tujuan dan ideologi, penguasa yang korup, hingga sentimen kelompok dan pribadi. Istilah konflik elit yang penulis maksudkan dapat secara jelas untuk menunjukkan makna pertentangan, perselisihan dan benturan kepentingan antara elitis penguasa Melayu saat itu. Konflik elit penguasa Melayu yang terjadi pada zaman Raja Ibrahim (Sultan Abu Syahid) – raja Malaka yang keempat, adalah awal dari serangkaian konflik antara elit penguasa. Konflik ini telah mengakibatkan terjadinya kudeta dan bencana kematian. Raja Kasim kakak kandung lain ibu Raja Ibrahim dari ayah mereka Sultan Muhammad Syah – raja Melaka yang ketiga – telah menjadi “korban” kepentingan elit dengan dihalaunya Raja Kassim dari Istana. Hal ini telah membuat dirinya kehilangan seluruh hak dan fasilitas kerajaan yang seharusnya diberikan kepadanya: Akhirnya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia menjadi seorang nelayan (as a fisherman) yang menjual hasil tangkapannya kepada pedagang di pelabuhan Malaka. Motif dari kejadian ini oleh banyak sarjana disebabkan oleh peran yang cukup besar dari Raja Rokan dan kalangan elit penguasa yang tidak menginginkan keberadaan “orang asing” menjadi raja Malaka. Raja Kassim dianggap sebagai orang luar karena ibunya Tun Wati berdarah Melayu-Tamil. (Marwilis, 1989:25-26). Tun Ali, seorang tokoh penting, penghulu bendahari di masa pemerintahan Raja Ibrahim sangat kecewa dan bersimpati kepada keponakannya tersebut. Ia menjaga dan memberikan perhatian pada Raja Kassim, namun untuk berbuat lebih banyak ia masih belum bisa. Kekecewaannya menjadi alasan dan penyebab
60
timbulnya “Politik kesukuan” yang berakibat terjadinya perpecahan dan persaingan antara golongan elit suku campuran Melayu-Tamil dan Melayu asli. Inilah yang secara khusus disebut dengan konflik elit, yakni konflik antara kaum Melayu asli dan Melayu campuran Tamil, India. Namun gejala ini belum tampak di permukaan dan belum menjadi motif politik utama untuk perebutan kekuasaan. Asumsi ini bisa dijelaskan dengan dukungan yang diberikan oleh para pembesar Malaka Melayu asli untuk mendukung aksi kudeta, bahwa tokoh-tokoh seperti Seri Wak Diraja telah ikut berperan untuk misi ini. Namun kasus ini tanpaknya lebih kepada reaksi daripada aksi, karena sewaktu pemerintahan Raja Ibrahim, tugas pemerintahan dipegang dan dikendalikan oleh Raja Rokan, mertuanya sendiri. Raja hanya menjadi simbol kerjaan. Hal ini telah mengakibatkan lahirnya reaksi negatif dari para pembesarpembesar Malaka, terutama Tun Ali dan Raja Kassim yang keduanya mempunyai kepentingan. Kesempatan ini digunakan oleh raja kasim untuk menentang pemerintahan adiknya. Akhirnya pemerintahan Sultan Ibrahim yang hanya berjalan tujuh belas bulan terakhir dengan kematiannya dan Raja Rokan ketika penyerangan terjadi berada di istana, juga mati terbunuh. Pergulingan
kekuasaan
lama
dengan
kepemimpinan
baru
telah
mengangkat konflik baru di antara elit penguasa. Tun Ali dilantik oleh Raja Kassim menjadi Bendahara, jabatan terpenting di Malaka. Hal ini akan mengukuhkan
kekuasaan
baru
dari
kalangan
elit
suku
Melayu-Tamil.
Pertentangan ini memuncak dengan munculnya reaksi keras dari golongan Melayu Asli oleh Seri Wak Diraja (II).
61
Pertentangan ini telah menjadikan perselisihan yang panjang antara dua suku tersebut, bahkan hingga jatuhnya Malaka kedatangan Portugis dikerenakan para pembesar-pembesar Melaka yang tidak semuanya tunduk dan setia pada pemerintah. Bendahara Seri Wak Raja, Ayah Tun Perak menunjukan reaksi negatif dengan memprotes dan bunuh diri dengan meminum racun. Pengarang sejarah Melayu nampaknya mencoba untuk melindungi kejadian yang sebenarnya dengan alasan yang kurang wajar dan bersifat anekdot. Hal ini wajar karena pengarang sejarah melayu Tun Seri Lanang adalah keturunan Melayu-Tamil. Cerita kematian tersebut dikisahkan sebagai berikut : Sultan Muzaffar Syah dihadap orang di balai penghadapan. Baginda bersemayam di balai itu lama juga. Bendahara Seri Wak Raja (II) masuk menghadap baginda di balai penghadapan itu, maka baginda keluar dari balai penghadapan itu lalu masuk ke istana baginda, apabila melihat Sultan Muzaffar Syah keluar dari balai penghadapan itu, bendaharapun menyangkakan baginda murka kepadanya. Padahal yang sebenarnya baginda tidak melihat bendahara itu datang hendak masuk menghadap. Oleh sebab bendahara merasa malu, dia pun balik kerumahnya lalu membunuh dari (makan racun). Bendahara Seri Wak Raja (II) pun meninggal dunia… (Hasim, :322). Masuknya golongan Melayu-Tamil dalam elit politik penguasa Melayu berawal ketika Malaka dalam pemerintahan Seri Maharaja (raja tengah) atau Sultan Muhammad Syah (Raja Malaka yang ketiga) melantik Tun perpatih Besar anak Tun Perpatih Permuka Berjajar Singapura menjadi Penghulu Bendahari, bergelar Seri Nara Diraja. Seri Nara Diraja beristrikan seorang anak dari Bendahara Seri Wak Raja dan mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Tun Runa Sandari. Tun Rana Sandari dinikahkan dengan seorang saudagar kaya dari india. Nama hartawan ini adalah Mani Purindam dan hasil dari perkawinan ini melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Tun Ali dan seorang anak 62
perempuan yang bernama Tun Wati. . (Muhammad Yusoff hasim 1989 :279) Setelah Tun Wati besar ia diperistrikan oleh Sultan Muhammad Syah. Hasil dari perkawinan itu baginda dikaruniai seorang putera yang bernama Raja Kasim, darah Melayu – Tamil mengalir padanya. Di saat yang sama Sultan Muhammad Syah juga mempunyai seorang istri yang berasal dari Rokan – sebuah kerajaan dari Sumatra yang namanya hanya disebut dengan Puteri Rokan (Rekan?) dan mempunyai seorang putera yang diberi nama Raja Ibrahim. Adik lain ibu Raja Kasim. (Muhammad Yusoff hasim 1989:279). Kematian Sultan Abu Syahid (Raja Ibrahim/Seri Perameswara Dewa Syah) berdampak cukup besar terhadap perpolitikan Melayu di Malaka. Hal ini menjelaskan kegagalan suku Melayu asli atas dominasinya yang sejak awal berdirinya kerajaan Malaka. Masalah ini telah terjadi “noda hitam” dan political foreboding bagi kegagalan Melayu asli. Selanjutnya untuk meneruskan tradisi pewarisan hanya kepada putra raja yang ibu bapaknya adalah Melayu asli. Perselisihan dan menipulasi politik demi kepentingan penguasa yang dilakukan oleh elit peguasa terus berlanjut dalam “babak permainan politik” seterusnya. Sejarah menunjukkan bahwa Bendaharalah yang bertanggung jawab atas pertikaian politik yang terjadi setengah abad lebih setelah raja Malaka yang ke-empat. Misi politiknya jelas, yakni untuk terus melanggengkan status quo politik keluarga dan nepotisme. Fakta membuktikan bahwa ketika Raja Muhammad, putra Sultan Mansor membunuh Tun Besar, Bendahara segera mengambil kesempatan untuk menyingkirkan Raja Muhammad ke Pahang dan melantiknya untuk dijadikna raja
63
di sana. Begitu juga dengan putra Sultan Alauddin, Raja Menawar yang beribukan Melayu keturunan Graha dan lebih tua dan lebih berhak untuk menjadi raja, dengan sengaja direncanakan untuk menjadi raja di Kampar (salah satu wilayah Malaka). Hal ini memberi kemudahan dan peluang kepada Raja Mahmud untuk menaiki tahta karena Raja Mahmud adalah anak saudara Bendahara Tun Mutahir, anak Tun Ali yang berdarah Melayu-Tamil. (Muhammad Yusoff Hasim 1989 : 323 ).
4.7.1 Undang-undang Malaka dan Kepentingan Elit Penguasa Setelah memahami definisi para elit penguasa yang dikategorikan sebagai elit yang memerintah, kita juga telah melihat pola rekayasa penguasa yang melahirkan konsep “Kekuasaan ideologis” tersebut, seperti apa yang disebut dengan “struktur logis teori politik” yang oleh beberapa penulis modern digambarkan dengan “dongeng filsafat politik” atau “ideologi” sebagai bagian terpenting untuk dapat memahami perilaku politik yang melahirkan bentuk peradaban baru, sebuah undang-undang. Lahirnya undang-undang Malaka merupakan suatu keputusan dari “hasil suatu pertentangan yang membentuk kekuasaan” atau merupakan hasil dari suatu “interaksi dalam arena politik”. Menurut Lasswell, pembuat keputusan yang rasional (dengan terciptanya Undang-undang Malaka) menyangkut: (a) Kejelasan konsep tujuannya. (b) Keseksamaan perhitungan kemungkinan, dan (c) Penerapan pengetahuannya tentang cara dan alat-alat yang tersedia.
64
(S.P.Varma 1999 : 260), Inilah yang disebut oleh Mosca tentang pentingnya “formula politik”. Formula politik ini sama dengan ‘Penyerapan”-nya Pareto. Dia percaya bahwa dalam setiap masyarakat, elit yang memerintah mencoba menemukan basis moral dan hukum bagi keberadaannya dalam benteng kekuasaannya serta mewakili sebagai “konsekuensi yang perlu dan logis atas doktrin-doktrin dan kepercayaankepercayaan yang secara umum telah dikenal dan diterima. (S.P. Varma 1999 : 204). Kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan kelas penguasa, yakni undangundang
Malaka,
meskipun
dirumuskan
sesuai
kepentingannya
sendiri,
dikemukakan dalam bentuk sebaliknya dengan maksud memberikan kepuasan moral dan hukum yang terkemas di dalamnya. Undang-undang Malaka tidak hanya sebagai media yang menjustifikasi para elit yang membuatnya, tetapi juga berfungsi untuk mencari dukungan kelas selain elit yang memerintah untuk samasama mendukung kekuasaan penguasa.
4.8 Undang-undang Malaka Sebagai Bentuk “Justifikasi Baru” Kerajaan Malaka. Undang-undang Malaka diciptakan untuk mencari justifikasi pembenaran atas kekuasaan yang sedang dalam keadaan konflik. Pada pembukaan Undangundang Malaka disebutkan: Adapun ketahuilah olehmu sekalian akan adat ini turun temurun daripada Siltan Iskandar Dhul’l-Karnain {The Alexander The Great, pen} yang memerintahkan segala manusia datang kepada zaman putranya Sultan Iskandar Syah… lalu turun kepada baginda Sultan “ala’ud-Din Ri’ayat 65
Syah dan turun kepada baginda Sultan Mahmud Syah, Khalifatulmu’minin, zillu’alahi fi’l a’lam (Liaw Yock Fang 1976 :16) Klaim adat yang turun-temurun berasal dari Iskandar Zulkarnain lalu ke raja pertama Malaka, meloncat langsung kepada Sultan Muzaffar Syah, raja ke-5, lalau ke Sultan’ala’ud-Din Ri’ayat Syah raja ke-6 dan turun kepada baginda Sultan Mahmud Syah, raja ke-7. Dengan tidak dimasukkannya raja-raja Malaka yang kedua, ketiga dan keempat ke dalam pasal ini berindikasikan bahwa mereka (raja kedua, ketiga dan keempat) berasal dari keturunan Melayu asli yang berbeda dengan raja-raja ini yang mempunyai pertalian darah Melayu-Tamil. Hal ini jelas menampakkan sentimen kesukuan antara dua golongan tersebut. Produk undang-undang ini diciptakan oleh elit penguasa yang berasal dari golongan elit berdarah Melayu-Tamil. Justifikasi telah memanipulasi sejarah dengan kebohongan dan penipuan yang sangat jelas. Untuk pembenaran terhadap kekuasaan yang dipegang oleh Melayu-Tamil mengatasi suku asli Melayu. Pasal tersebut secara eksplisit telah menjustifikasi raja Melayu, bahwa hanya merekalah yang berdarah Melayu-Tamil yang benar-benar mempunyai adat dan mewarisi sifat-sifat kemuliaan. Klaim implisit ini tentunya sangat tidak sesuai dengan sejarah. Kesalahan ini terjadi bukan tanpa ketidaksadaran, untuk mengaitkan garis keturunan mereka dengan tokoh The Alexander The Great adalah bentuk kebohongan yang dilakukan penguasa dengan maksud agar sifatsifat kemualiaan, kehebatan, dan kewibawaan yang terdapat pada pribadi tokoh ini ikut melekat pada anak cucunya lewat garis keturunan, namun sengaja dibuat dan diciptakan oleh elit penguasa yang memang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu, ia mungkin dituturkan dari mulut-kemulut dan telah menjadi” cerita 66
rakyat”, namun ketika undang-undang Malaka menyatakan secara tertulis atau “menghitam-putihkan”, maksud dari skenario politik ini semakin membuat sejarah mengerti bahwa ia memang diciptakan oleh elit penguasa sebagai propaganda demi kepentingan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat pada undang-undang Malaka yang secara tegas dalam pembukaan undang-undang Malaka sebagai berikut: “Adapun ketahuilah olehmu sekalian akan adat ini turun-temurun daripada zaman puteranya Sultan iskandar Syah. ialah raja pertama menyusup negeri Malaka…” Konflik yang terjadi antara elit penguasa berada dalam situasi yang sangat buruk dan mengharapkan kestabilan kembali. Kestabilan bisa saja diciptakan dengan atau tanpa kekerasan. Keadaan politik yang penuh dengan konflik ini bisa dilihat secara implisit pada UU Malaka berbunyi: “… bermula jika raja itu berani dan bijaksana sekalipun, maka menteri dan rakyat sekalian tiada ittifak, tiada akan sentosa, adalah seperti api, jikalau tiada dengan kayunya, niscaya tiada akan dapat bernyala. Demikian lagi akan raja-raja itu.”(UU.Malaka, pasal 43.2) Pasal ini menunjukkan bahwa tiada lagi kesepahaman dan kerjasama antara api (raja) dengan kayu (pembesar), keadaan ini memuncak pada zaman sultan mahmud, di mana perseilsihan antara para pembesar Malaka semakin meluas. Hal ini terbukti ketika Malaka diserang oleh Portugis, ada di antara mereka yang justru bekerjasama dengan Portugis untuk menggulingkan kekuasaan yang saat itu dipengang oleh Sultan Mahmud. Implikasi dari hal tersebut tidak lama kemudian memicu terjadinya keruntuhan dan kehancuran Kerajaan Malaka yang secara peta kekuatan Portugis
67
jauh lebih unggul dibanding kekuatan Malaka.
4.9 Konsep Durhaka Fungsi lain dari munculnya Undang-undang Malaka adalah terpolanya konsep
durhaka,
atau
dalam
undang-undang
Melaka
disebut
dengan
“Menderhaka” yang memberikan ‘penekanan lebih’ untuk tidak mentolerir sama sekali bentuk-bentuk oposisi yang terjadi di luar kekuasaan. Dengan merasionalisasikan konsep durhaka secara eksplisit, elit penguasa secara langsung dapat menjustifikasi prilaku individu-individu atau masyarakat yang “dianggap” tidak sejalan dengan kepentingan sang penguasa sebagai perbuatan yang “Mendurhaka”. Perbuatan yang dianggap sebagai tindakan durhaka adalah membunuh orang yang membawa titah raja, menyangkal titah raja, memberiotaka dan menentang perbiatan raja. Fasal 5.4 mengatakan: “ adapun segala orang yang membawa titah raja itu, maka ia mengambil istri orang yang beredakan laki-laki itu, maka tiada dapat dibunuh oleh lakinya. Jikalau dibunuhnya, durhakalah ke bawah duli Sultan, maka harus dibunuh pula hukumnya atau kena didenda tasnya sekali lima tahil. Inilah adatnya.”((Liaw Yock Fang 1976 :10). Hukuman bagi perbuatan durhaka seringkali kejam dan sangat berlebihan karena ia dimaksudkan untuk menjadi peringatan keras terhadap adanya daulat raja. Ia berfungsi sebagai sanksi terhadap sikap yang menentang dan dengan demikian akan melahirkan kepatuhan yang pasif di kalangan masyarakat terhadap penguasa. Salah satu contohnya adalah kasus yang dialami Hang kasturi, karena kedurhakaannya ia dan seluruh anak-istrinya dibunuh dan rumahnya dimusnahkan 68
(Sharifah Maznah Syed Omar 1995:66). Pandangan yang tidak sejalan dengan pemikiran dan kehendak raja dengan mudah dan dikualifikasikan ke dalam konsep durhaka. Contoh nyata dari pola ini adalah kasus pembunuhan Tan Muttahir. Raja sangat marah ketika mengetahui bahwa Tun Muttahir memiliki seorang anak perempuan yang cantik tapi tidak diberikan kepadanya, tapi malah dikawinkan dengan orang lain. Label durhaka juga diberikan kepada perbuatan-perbuatan yang bisa merugikan pemerintahan. Seperti urusan bisnis yang dilakukan oleh Syahbandar, agar tidak ada menopoli : Pasal 44.5 menyebutkan: ”Jikalau Syahbandar itu berniagakan timah sebesar-besar timah seratus tiga belas rial harganya. Jikalau sekali seratus ribu selaksa sekalipun, tiada lebih daripada itu lagi bilangan itu. Barang siapa tiada menurut dia ke bawah bumi yaitu huukmnya mati dan rumah tangganya masuk Bendahari.” (Liaw Yock Fang 1976 :96). Pengertian dari pasal tersebut di atas adalah mengatur sistem bisnis yang diterapkan pemerintah
lewat
pengawasan Syahbandar. Syahbandar memiliki
wewenang penuh untuk mengawasi dan memberikan sangsi terhadap rakyat yang melakukan monopoli dalam perniagaan. Monopoli dilakukan oleh kaum kapitalis atau kalangan niaga jika ternyata merugikan pemerintah, maka akan dituntut sesuai dengan ketentuan yang tercantum dipasal 44.5, hukuman mati dan harta dalam rumah tangganya disita.
69
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Pengungkapan kembali sejarah kerajaan Malaka dalam bentuk yang formal berupa undang-undang merupakan skenario politik besar para elit penguasa untuk terus menanamkan sistem-sistem pemerintahan yang sudah berkembang di masyarakat, yang pada akhirnya bagaimana dapat mendominasi kekuasaan secara berkelanjutan, keperluan untuk mengungkapkan kembali sistem pemerintahan yang penuh intrik politik tentang, keyakinan-keyakinan masyarakat, bukan karena sistem kepercayaan sudah mulai luntur atau berkurang kualitasnya, tapi lebih kepada penjustifikasian baru elit penguasa yang berada dalam konflik internal terus menerus. Hak-hak prerogatif raja diungkapkan secara jelas dengan menyertai sangsi-sangsinya. Legitimasi raja dikaitkan dengan menghubungkan kepada kehebatan dan keistimewaan tokoh. Ketiadaan kerjasama antara para pembesar oleh Undang-undang Malaka disimbolkan dengan “api dan kayu”, sebagai bentuk dari krisis politik dan kepercayaan. Sistem yang diserap ke dalam Undang-undang Malaka, sebagai media yang melahirkan kekuasaan ideologis digunakan oleh elit penguasa untuk menekan para lawan-lawan politiknya. Dengan adanya undang-undang, raja mempunyai legitimasi dan kewenangan yang sudah beradat. Ia harus menyakinkan lawan politiknya bahwa kekuasaan yang dimilikinya tersebut bukanlah hasil dari “kudeta” tapi merupakan warisan yang memang selayaknya. 70
Undang-undang Malaka memang tidak secara keseluruhan pasal-pasalnya memiliki maksud politik seperti yang sudah dibahas, Undang-undang Malaka juga berisikan hukum-hukum adat, etika, hukum perdata dan pidana. Hanya pasal-pasal tertentu justru menjadi penting untuk dimengerti karena ia merupakan sumber dan modal awal untuk mengisi pasal demi pasal oleh generasi selanjutnya. Konflik dan kepentingan elit penguasa dalam sejarah Malaka dan Undang-undang Malaka ternyata bisa dipahami sebagai bentuk hubungan kausalitas. Jadi lebih untuk mengatakan Undang-undang Malaka sebagai hasil dari kemajuan intelektual dan peradaban yang tinggi, perlu dipertanyakan.
5.2 Saran-Saran Ketika kajian ini diharuskan selesai oleh waktu dan desakan oleh tuntutan ilmu pengetahuan, kajian ini banyak menyisakan berbagai persoalan lain yang banyak mengundang tanda tanya, jadi penulis mempunyai saran-saran untuk diri sendiri dan mereka yang mempunyai minat tinggi untuk diri sendiri dan mereka yang mempunyai minat tinggi untuk mengkaji sejarah Malaka dari berbagai aspeknya lebih jauh dan mendalam. Setidaknya ada dua aspek yang menjadikan kajian-kajian ke depan yakni: 1. Perlu kajian yang lebih mendalam tentang produk undang-undang yang dihasilkan oleh raja-raja. Kajian ini berguna untuk melihat secara jelas produk undang-undang itu berasal dari mana. Dengan ini akan lebih mudah untuk kita pahami peta politik dan strategi elit untuk meredam konflik dan melanggengkan kekuasaan.
71
2. Sejauh mana sistem pemerintahan yang diundang-undangkan berfungsi sebagai penghasil kekuasaan ideologis jika dibandingkkan dengan kekuasa an renumeratif dan kekuasaan punitif, hal ini berguna untuk melihat dari sumber mana kekuasaan yang dominan berasal hingga kita bisa mengerti masyarakat dan politik yang terjadi di Malaka
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manaf, Azmah. (2001). Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia; Kuala Lumpur. Lohprint SDN. BHD. Cet. Ke-1. Ahmad, Kassim. (1975). Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur; Dewan Bahasan Pustaka. Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin. (1997). Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP). Cortesao, Armando. (1944). The Sume oriental of Tome Pires An Account of East, from the red sea to Japan, Witten in Malacca and Indian in 1512-1515; London. Hakluyt Society Works. 2 volumen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997). Kamus Bahasa Indonesia; Jakarta. Balai Pustaka, cet. Ke-9. Fang, L. Y. (1976). Undang-undang Malaka; Biblioteca Indonesica 13. Koninkljk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde. The Hague. Martinus Nijhoff. Hasim, Muhammad Yusoff. (1989). Kesultanan Melayu Melaka; Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran. http://ms.wikipedia.org/wiki/ (2009). Kesultanan Melayu, Melaka; Google.com halaman Indonesia. Louis Gottschlk. (1984). Historiografi (penulisan sejarah); PT. Bumi Aksara Jakarta. Mohamed, Mustafa Ali. (1987). Melaka, Selangor; Pelanduk publication. 73
Nugroho Notosusanto. (1964). Hakikat Sejarah dan Asas-asas Metode Sejarah; Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, Jakarta . Othman, Bahasa, Malaka. (1989). Sejarah Awal Negara Kita, Selangor; Marwilis. Poerwadarminta W.J.S. (2006). Kamus Umum Bahasa Indonesia.edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka. ––––––––––. (1982). Sejarah Kesultanan Melayu Klasik; Singapura: Pustaka Nasional. ––––––––––.
(1983).
Hikayat
Fungsi.Yogyakarta:
Hang
Tuah;
Analisa
Struktur
dan,
Gadjah Mada University Press.
Teeuw, A. (1960). Shair Ken Tambuhan; Kuala Lumpur. Oxford University Press and Universitas of Malaya Press. Usman Husaini. (2008). Metodologi Penelitian Sosial; PT.Bumi Aksara Jakarta. ––––––––––. (1981). A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia; ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Wilkimson, R. J. (1907). Papers on Malay Subjects; Kuala J. Russel at the F.M.S. Government Press.
74