PENGARUH KOMUNIKASI, KELEKATAN DENGAN ORANGTUA SERTA TEMAN SEBAYA, DAN TEKANAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI PELAJAR REMAJA DI BOGOR (Ujian Akhir Semester Studi Mini Pengukuran dan Penilaian Perkembangan Anak)
Oleh : Mahsiani Mina Laili I251130081
DEPARTEMEN ILMU ORANGTUA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
1
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
2 2
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
3 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA
7
KERANGKA PEMIKIRAN
11
METODE Desain, Lokasi, dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
12 12 12 13 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Remaja dan Orangtua Kepuasan Komunikasi dalam Orangtua Kelekatan dengan Orangtua Tekanan Teman Sebaya Kelekatan dengan Teman Sebaya Perilaku Pornografi dan Pornoaksi Pengaruh Karakteristik Remaja terhadap Perilaku Pornografi dan Pornoaksi Pengaruh Karakteristik Orangtua terhadap Perilaku Kepuasan Komunikasi, perilaku Pornografi dan Pornoaksi Pengaruh Kepuasan Komunikasi dengan orangtua terhadap perilaku pornoaksi dan pornografi remaja Pengaruh Kelekatan orangtua dan teman sebaya terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi Pengaruh Tekanan teman sebaya terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi Pembahasan
15 15 16 16 17 18 18 19 19 19 20 20 21
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
23 23
DAFTAR PUSTAKA
24
2
DAFTAR TABEL 1. Jenis data dan cara pengumpulan data 12 2. variabel, jumlah pertanyaan valid, nilai cronbach's alpha, dan nilai validitas kuesioner yang digunakan dalam penelitian 13 3. Sebaran orangtua berdasarkan usia 15 4. Sebaran orangtua berdasarkan pendidikan dan pendapatan 15 5. Sebaran remaja berdasarkan kepuasan komunikasi dengan orangtua 16 6. Presentase remaja berdasarkan kepuasan komunikasi dengan orangtua 16 7. Sebaran remaja berdasarkan kelekatan dengan orangtua 17 8. Sebaran remaja berdasarkan tekanan teman sebaya 17 9. Presentasi remaja dalam dimensi tekanan dari teman sebaya 17 10. Sebaran remaja berdasarkan kelekatan dengan teman sebaya 18 11. Sebaran remaja berperilaku pornografi dan pornoaksi 18 12. Presentase remaja berdasarkan perilaku pornografi dan pornoaksi 19 13. Koefisien regresi antara karakteristik orangtua dengan kepuasan komunikasi dan perilaku pornografi dan pornoaksi remaja. 19 DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka operasional penelitian
11
3
PENDAHULUAN Latar Bekalang Masa remaja merupakan masa dimana anak mulai tumbuh dan berkembang bersama kebutuhan akan sosialistis mereka. (Hurlock 1980) menyatakan bahwa tugas perkembangan masa remaja yang paling sulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Ketika anak mulai beranjak usia remaja mereka harus memulai menyesuaikan diri bergaul dengan lawan jenis, selain itu tujuan terpenting dan tersulit dalam sosialisasi adalah penyesuaian diri dari pengaruh kelompok sebaya serta nilai baru dalam seleksi persahabatan. Agar dapat menguasai tugas perkembangan dalam pembentukan hubungan yang lebih matang termasuk dengan lawan jenis, maka remaja mulai mendapatkan tekanan sosial, terutama minat remaja pada seks dan rasa keingintahuan tentang seks. Kurangnya sosialisasi dan pengetahuan orangtua akan pendidikan seks dapat menjadikan remaja mencoba mencari tahu sendiri akan rasa penasaran mereka terhadap seks melalui teman-teman kelompok dan sosial media. Sehingga hal ini menjadikan banyak remaja terjerumus untuk mencoba apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar tanpa menyadari bahaya akan konsekuensi tersebut. Kesehatan, keingintahuan dan gairah seksual adalah alasan umum mengapa remaja melihat seksual secara eksplisit (Cameron et al., 2005). Bebasnya pergaulan pada usia remaja menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya tindakan pornografi yang berujung pada perilaku pornoaksi. Berawal dari pornografilah berbagai kejahatan seksual akhirnya terjadi. Komnas Perlindungan Anak menetapkan tahun 2013, sebagai kondisi darurat nasional kejahatan seksual terhadap anak. Beberapa latar belakang kasus kekerasan seksual diantaranya karena pengaruh media pornografi sebanyak 81 kasus (8%), terangsang dengan korban sebanyak 178 kasus (17%), hasrat tak tersalurkan sebanyak 298 kasus (29%) dan alasan lainnya. Kasus Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) hasil pantauan Komnas Anak sepanjang tahun 2013 terdapat 556 kasus perkosaan 55 (9%) kasus. pelecehan seksual 11 (2%) kasus 21,2 % remaja mengaku aborsi. BKKBN tahun 2011 menyebutkan, 51 dari 100 remaja putri di kotakota besar telah melakukan seks bebas. Kasus pelecehan seksual juga terjadi di Kota dan Kabupaten Bogor yang saat ini telah memasuki fase krisis, kasus pelecehan yang ditangani oleh Polres dan Polresta mulai terjadi dari usia 3 tahun sampai 16 tahun. Kasus-kasus di atas dapat diminimalisir dengan memperkuat hubungan yang positif antara orangtua dan remaja. Semakin besar monitoring orangtua maka akan semakin rendah keterlibatan remaja dalam perilaku yang beresiko (StantondanFeigelman, 2000). Lancanrnya dan intensitas yang sering dalam berkomunikasi antara orangtua dan remaja tentang isu-isu yang berhubungan dengan seks cenderung akan mengurangi risiko kehamilan remaja (Vance 1985; Baumeister, Flores, dan Marin 1995). komunikasi dalam orangtua berfungsi sebagai bangunan fundamental dari unit orangtua (Galvin, Bylund, dan Brommel, 2004). Interaksi komunikatif dalam sistem orangtua juga akan memberi jalan kepada pola yang dirutinkan, bagaimana keluarga akan berbagi informasi dan menangani berbagai situasi (Caughlin, Golish, Olson, Sargent, Cook, & Petronio, 2000). Orang tua yang memiliki hubungan pengasuhan yang positif akan menjadikan anak remaja mampu mengatur perasaan mereka dan anak akan dapat menyelesaikan konflik mereka dengan positif pula (Brooks, 2001). Komunikasi, aturan dan pengasuhan orang tua juga menjadi faktor pelindung serta dapat menciptakan hubungan yang lebih erat antara orang tua dan remaja (Newman, Harrison&Dashiff, 2008). Namun tugas orangtua yang seharusnya memiliki hak penuh atas perkembangan anak-anak mereka terkadang menjadi terganti oleh peran teman sebaya, peran orangtua akan saling bersaing dengan peran teman sebaya remaja, sehingga ada kemungkinan remaja akan mencoba mencari informasi dengan berbagai cara termasuk dari teman-teman sebaya mereka yang merupakan sumber penting dari sosialisasi dan perilaku seks remaja
4
(East 1996; Bearman dan Bruckner 1999; Kornreich et al. 2003; Sieving et al. 2007). Sedangkan pesan informasi seks yang disampaikan teman sebaya, mengenai kontrasepsi dan kehamilan disampaikan secara lisan dan melalui pemodelan perilaku seksual (Brown dan Theobald 1999). Pengaruh teman sebaya merupakan jenis persahabatan untuk saling menjaga dengan sesama kelompok sebaya mereka, sehingga memiliki pengaruh yang cukup besar pada perilaku yang lain (Glaser, Shelton&Bree, 2010). Persahabatan yang memiliki timbal balik dan berkualitas akan memberikan pengaruh yang lebih baik (Mercken, Snijders, Steglich, Vartiainen&Vries, 2010). Oleh karena itu menjadi tugas penting bagi orang tua agar dapat membatasi kontak anak dengan teman sebaya mereka dan mempengaruhi persepsi dan niat mereka mengenai aktivitas seksual (Sieverding, Adler, Witt, & Ellen, 2005). Dengan demikian orangtua memiliki peran yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan remaja mereka, karena tugas tersebut tidak hanya sekedar kebutuhan materi saja, namun pendidikan serta nilai-nilai agama dan budaya yang kuat. Hal ini terkait pula dengan kualitas yang harus dimiliki setiap orangtua sesuai dengan UUD tahun 1992 Pasal 1 tentang fungsi orangtua nomor 13 bahwa kualitas orangtua adalah kondisi orangtua yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian orangtua, dan mental spiritual serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai orangtua sejahtera.
5
Perumusan Masalah Pornografi dan pornoaksi di Indonesia saat ini telah berada pada tahap kritis. Banyaknya kasus-kasus pelecehan seksual, bersumber karena bebasnya situs-situs porno, mudahnya transaksi penjualan video-video, film, komik porno, dan sejenisnya yang tersebar legal. Beberapa penelitian di Indonesia tentang kasus seks usia remaja umumnya yang terjadi pada penelitian DKT Indonesia (2005) telah membuktikan bahwa remaja secara terbuka menyatakan telah melakukan seks pra nikah di Jabodetabek sebanyak 51 %. Seiring berjalannya waktu kasus seks pada usia remaja kian meningkat pada tahun 2008 Survei Komnas Perlindungan Anak di 33 Provinsi, menyimpulkan terdapat 97 % remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno, 93,7 %, berciuman, genital stimulation atau meraba alat kelamin dan oral seks, 62,7 % tidak perawan, 21,2 % remaja mengaku aborsi. BKKBN tahun 2011 menyebutkan, 51 dari 100 remaja putri di kota-kota besar tidak perawan lagi. Selain itu salah satu kasus pelecehan seksual terhadap anak terbesar juga terjadi di Kota dan Kabupaten Bogor yang saat ini telah memasuki fase krisis, kasus pelecehan yang ditangani oleh Polres dan Polresta mulai terjadi dari usia 3 tahun sampai 16 tahun yang kebanyakan berasal dari orangtua tidak mampu. Pada tahun 2013 terdapat 80 kasus bahkan pada tahun 2014 mulai januari-april terjadi 75 kasus hanya dalam kurun waktu 4 bulan. Kejadian-kejadian tersebut terjadi lebih dari setengahnya terjadi pada usia remaja, hal ini tentu tidak lepas dari peran orangtua, maupun lingkungan di sekitar remaja yang terus mengintai mereka. Karena hal inilah, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya pengaruh dari peran orangtua, yang difokuskan pada interaksi komunikasi, kelekatan antara orangtua, teman sebaya, serta pengaruh tekanan dari teman sebaya pada perilaku pornografi dan pornoaksi yang dilakukan oleh remaja. Berdasarkan beberapa sebab yang memungkinan terjadinya perilaku pornografi dan pornoaksi tersebut, maka penelitian ini akan mencoba menjawab kemungkinan yang terkait dengan pertanyaan berikut; 1. Apakah karakteristik remaja memiliki hubungan dengan tindakan pornografi dan pornoaksi mereka? 2. Apakah karakteristik orangtua dapat memengaruhi cara mereka berkomunikasi kepada remaja? 3. Apakah karakteristik orangtua memengaruhi tindakan remaja untuk melakukan perbuatan pornografi dan pornoaksi? 4. Bagaimana kepuasan komunikasi yang berkaitan dengan seksual yang diberikan orang tua dapat memengaruhi perilaku pornografi dan pornoaksi pada remaja? 5. Apakah kelekatan dengan orang tua, serta teman sebaya akan memengaruhi tindakan pornoaksi dan pornografi pada remaja? 6. Bagaimana tekanan teman sebaya dapat memengaruhi perilaku pornografi dan pornoaksi yang dialami remaja?
6
Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk membuktikan validitas dan reliabel instrumen yang digunakan pada pengaruh kepuasan komunikasi, kelekatan dengan orangtua serta teman sebaya, dan tekanan teman sebaya terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi pelajar remaja. Tujuan khusus 1. Mengidentifikasikan karakteristik orangtua dengan cara mereka berkomunikasi kepada remaja. 2. Menganalisis karakteristik orangtua yang dapat memengaruhi tindakan remaja untuk melakukan perbuatan pornografi dan pornoaksi. 3. Menganalisis kepuasan komunikasi orangtua yang berkaitan dengan seksual yang dapat memengaruhi perilaku pornografi dan pornoaksi pada remaja. 4. Menganalisis kelekatan dengan orang tua, yang dapat memengaruhi tindakan pornoaksi dan pornografi pada remaja. 5. Menganalsisi kelekatan dengan teman sebaya, yang dapat memengaruhi tindakan pornoaksi dan pornografi pada remaja 6. Menganalisis tekanan teman sebaya yang dapat memengaruhi perilaku pornografi dan pornoaksi yang dialami remaja.
Manfaat Penelitian Hasil penelitan ini diharapkan dapat menyediakan informasi yang berharga bagi para peneliti untuk mengukur perilaku pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan instrumen pengukuran dari beberapa dimensi. Serta informasi bagi orangtua dan remaja mengenai penyebab terjadinya perilaku pornografi dan pornoaksi yang remaja alami melalui proses interaksi komunikasi, kelekatan dengan orangtua dan teman. Serta remaja agar lebih dapat memilah dan memilih teman yang sebagian keterlibatan tersebut dikarenakan tekanan teman. Selain itu orangtua lebih memantau pergaulan remaja mereka melalui keterampilan berkomunikasi terutama yang berkaitan dengan pengetahuan seksual serta dampak yang memungkinkan.
7
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Masa remaja juga dapat di sebut dengan masa pubertas, masa dimana remaja mulai menyadari perubahan pertumbuhan ukuran fisik yang paling pesat. Secara alami pada masa tersebut, remaja laki-laki mengalami pertama mimpi basah, dan anak perempuan tumbuhnya payudara serta membesarnya pinggul. Ketegangan dan ketidaknyamanan karena berkembangnya organ-organ seks sering menyebabkan anak memeganginya sehingga terjadinya masturbasi. Tingkat hormon seks meningkat selama masa pubertas yang mengakibatkan peningkatan dorongan seksual, yang akan menyebabkan aktivitas seksual pada remaja. Pada masa usia inilah tugas perkembangan pembentukan hubungan baru dengan lawan jenis di mulai dan menjadikan meningkatnya minat seks. Masa tersebut juga akan menjadikan remaja memulai hubungan romantis dan seksual yang merupakan bagian normatif dari perkembangan remaja serta transisi keperan perilaku dewasa (Florsheim, 2003; Furman, Brown, & Feiring, 1999). Sebagian besar masa pubertas pada anak laki-laki, berkisar usia 10 sampai 13 tahun, sedangkan akhir masa pubertas paling awal terjadi di usia 13 tahun dan paling lambat di 17 tahun. Sedangkan bagi anak perempuan dapat dikatakan normal jika pubertas itu mulai muncul pada usia 9 hingga 15 tahun (Santrock, 2012). Komunikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan komunikasi secara terminologi adalah pesan yang dikirim dan diterima atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Secara makna komunikasi adalah proses interaksi yang dapat mengurangi ketidakpastian melalui isyarat yang terditeksi dalam suatu hubungan (Lewis 1963). Sehingga jika proses komunikasi terjadi pada diri sendiri atau dapat juga disebut “berbicara pada diri sendiri”, maka sejatinya bukanlah komunikasi, karena komunikasi merupakan fenomena kognitif atau proses berpikir (Miller, 2002:8). Hal tersebut diperkuat Weaver (1949) tentang komunikasi yang merupakan prosedur pemikiran seseorang yang dapat mempengaruhi yang lain. Dengan demikian komunikasi menjadi proses seorang individu agar dapat mentransmisikan stimulus untuk memengaruhi tindakan orang lain (Hovland, Janis, & Kelley 1953). Orangtua Menurut UU tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan orangtua sejahtera pasal 1 ayat 10 tahun 1945 bahwa Orangtua adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isterIdan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sedangkan UU orangtua dalam rangka melaksanakan pembinaan pasal 25 ayat 4 mewajibkan pemerintah dan kelaurga untuk melakukan komunikasi, informasi dan edukasi komunikasi, informasi, dan edukasi terhadap penduduk tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan orangtua sejahtera. Komunikasi orangtua Komunikasi merupakan ciri-ciri kepribadian yang bersangkutan dengan perilaku simbolik manusia sehingga untuk memahami individu akan memiliki kecenderungan untuk berperilaku selama proses komunikasi adalah hal penting untuk mempelajari bagaimana ciriciri komunikasi dibentuk dan dikembangkan. Menurut Bandura (1977) bahwa komunikasi secara konteks sosial adalah bagaimana orang-orang dapat belajar satu sama lain. Teori belajar sosial tersebut akan menjadi pengalaman di dalam lingkungan yang memengaruhi pembentukan sifat mereka. Selain itu akan diperkuat juga melalui pemodelan perilaku orang lain dan lingkungan. Sedangkan lingkungan sosial diantaranya orangtua, sekolah, teman
8
sebaya, lingkungan dan media massa, adapun orangtua yang akan menjadi konteks sosialisasi primer untuk mengembangkan keyakinan, sikap dan pengetahuan melalui orangtua (Gecas, 1992).Chaffee, McLeod, & Wackman (1973) menganggap bahwa komunikasi orangtua-anak merupakan salah satu kekuatan yang dapat memengaruhi individu, ciri-ciri dan perkembangan kepribadian individu. Komunikasi antar orangtua dan remaja mereka, dapat mencakup tentang berbagai hal, termasuk mendiskusikan tentang isu-isu yang berhubungan dengan seks, religi hingga teman sebaya. Oleh karena inilah komunikasi dari orang tua harus sangat dijaga, termasuk mengkomunikasikan kegiatan kencan remaja mereka yang memungkinkan memiliki keterlibatan terhadap risiko perilaku seks (James et al, 1996). Dengan demikian anak-anak remaja akan memiliki perisai yang lebih kuat, seperti, dengan kondusif dan lancarnya komunikasi tentang seks antar orang tua dan anak remaja mereka akan dapat mengurangi risiko perilaku seks yang menyimpang (Vance, Baumeister, Flores, dan Marin 1995). Dibutuhkannya pengukuran khusus agar mengetahui sejauh mana hubungan komunikasi di dalam orangtua. James, Patricia, dan Vivian (2014) mengukur komunikasi orangtua dengan menggunakan kepuasan hubungan antara orangtua dan remaja mereka di dalam kepuasan berkomunikasi, kepuasan cinta dan kasih sayang orangtua, serta kepuasan jumlah waktu yang dihabiskan bersama-sama. Hubungan yang berkuallitas tersebut memengaruhi perilaku seksual remaja. Aktivitas tersebut meliputi tanggapan orangtua terhadap diskusi mengenai seks pranikah pada remaja mereka. Hal ini dikaitkan dengan kepuasan hubungan antar anggota orangtua yang menurun akan menjadikan keterlibatan perilaku seks pada remaja. Sehingga ketika kepuasan hubungan antara orangtua dan remaja rendah akan memungkinkan tingkat hubungan seksual menjadi dua kali lebih besar. Sebaliknya, jika remaja merasa puas dengan hubungan bersama orangtua mereka, maka memungkinkan remaja lebih cenderung untuk memperhatikan,memproses dan menerima informasi tentang topik seksual dari orangtua mereka selain itu ketidaksetujuan orangtua akan hubungan seksual pada remaja juga akan mengurangi aktivitas seksual mereka. Nilai orangtua tentang tanggung jawab akan berdampak pada besarnya kualitas hubungan yang positif terhadap remaja mereka. Kelekatan Kelekatan merupakan kelekatan serta kedekatan yang dibangun antara orangtua ataupun pengasuh utama dan anak. Kelekatan tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi timbul dan berkembang sesuai dengan tahapan anak (Santrock, 2007). Teori Kelekatan, merupakan temuan yang berasal dari teori John Bowlby dan dikembangkan oleh Mary Ainsworth sejak tahun 1991. Bowlby menyatakan bahwa, hubungan kelekatan seorang bayi dapat disebabkan oleh sejumlah respon komponen insting yang mempunyai fungsi untuk mengikat bayi terhadap ibunya dan ibunya terhadap bayi. Ainsworth menganggap, jika Kelekatan yang secure terjadi pada tahun pertama anak, maka hal ini akan menjadi pondasi dasar untuk perkembangan pondasi psikologi pada perkembangan di masa yang akan datang sehingga menjadikan anak memiliki respon yang positif terhadap lingkungannya. Sebaliknya terhadap pengasuhan yang tidak secure akan menjadikan anak menolak terhadap pengasuhnya, takut dengan lingkungan serta orang asing dan akan mudah terganggu serta sedih terhadap perpisahan yang terjadi sehari-hari. Kelekatan merupakan hal penting pada awal pengasuhan sehingga hal ini akan memengaruhi hubungan mereka dengan perilaku sosial terhadap tahap perkembangan berikutnya. Karena pentingnya mengetahui kedekatan Kelekatan antar pengasuh terutama orang tua dan anak pada masa mendatang, maka dibutuhkan penelitian tentang kelekatan pada masa remaja yang melibatkan pengasuhan, seperti yang pernah dilakukan Gulleno dan Robinson (2005) bahwa kelekatan yang terjadi pada remaja telah melibatkan pengasuhan tentang pengabaian, overprotection serta overcontrol orang tua untuk menjadi anak remaja
9
mereka lebih otonom, termasuk Kelekatan dalam aspek kepercayaan, komunikasi dan keterasingan terhadap perasaan remaja. Dengan demikian kelekatan akan tergambarkan secara terus menerus sesuai bertambahnya usia. Pentingnya kelekatan yang terbangun di dalam orangtua menjadikan kebutuhan penelitian untuk mengembangkan menilai kelekatan di luar masa bayi dan atau sebelum akhir remaja (Armsden & Greenberg, 1987). Gullone dan Herz (1992) meneliti kelekatan yang diperuntukkan bagi remaja dengan menggunakan versi PBI (parental Bonding Inventory), pengukuran sebuah respon yang berkaitan dengan pengalaman pengasuhan selama remaja, dengan persepsi remaja mengenai orangtua mereka. Versi ini diperkuat oleh Gay dan Mark (2009) yang mengukur kelekatan dengan menggunakan versi IPPA (Inventory of Parent and Peer Kelekatan) pengukuran sebuah persepsi dari dimensi kognitif/afeksi positif dan negatif terhadap hubungan remaja kepada orangtua mereka dan teman dekat dengan tiga tingkatan; kepercayaan, kualitas komunikasi, dan kemarahan atau keterasingan. Dengan versi Kelekatan ini, peneliti akan dapat mengetahui dan menilai kadar rasa aman dan nyaman remaja terhadap orangtua dan teman dekat mereka. Tekanan Teman Sebaya Peran teman sebaya pada usia remaja sangat mempengaruhi pola kepribadian anak, sehingga tekanan teman sebaya merupakan hal yang umum dalam kehidupan remaja. Tekanan tersebut akan mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok. Konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya (Hurlock, 1980). Oleh karena itu kepekaan yang terjadi terhadap teman sebaya meningkat pada awal masa remaja (Leventhal, 1994). Pada fase ini, remaja memiliki minat seks, dan kemampuan yang sama. Teman dekat akan saling mempengaruhi satu sama lain meskipun terkadang mereka juga bertengkar. Persahabatan ini kemudian meluas menjadi kelompok kecil yang terdiri dari kelompok teman-teman dekat dan mulai meliputi kedua jenis seks yang berbeda, sehingga terus berkembang menjadi kelompok besar. Bahaya yang bersumber dari minat teman sebaya menjadi penerimaan minat sendiri. remaja akan mulai mengembangkan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginan mereka. Hal yang serupa dengan minat yang sama dengan teman sebaya akan memudahkan penerimaan, sama halnya dengan minat yang menyimpang dan berbeda dari teman sebaya akan mempersulit penerimaan. Karena perbedaan ini akan dianggap sebagai kekurangan. Perilaku demikian akan membahayakan penyesuaian pribadi dan social yang baik (Hurlock, 1987). Selain minat-minat tersebut, usia remaja juga memiliki tekanan dari teman sebayanya yang menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya minat seks menjadi lebih besar. Richter (1996) telah menemukan bahwa pengalaman seksual remaja terindikasi menjadi aktif karena tekanan teman sebaya. Mereka mulai mengobrol tentang seks, apabila sedang berkumpul dengan anggota kelompoknya. Kemampuan menceritakan atau mengerti lelucon porno dan mampu menangkap humornya akan memperbesar reputasi sebagai remaja yang sportif, semakin popular pasangan kencan di dalam kelompok dan semakin tinggi status sosioekonomi orangtua pasangan kencan maka akan lebih menguntungkan bagi remaja (Hurlock, 1980). Robin dan Johnson (1981) mengoperasionalkan tekanan dari teman sebaya hanya berkolerasi dengan sejauh mana perilaku mereka, namun Brown (1986) mengukur hal tersebut dari sejauh mana remaja merasa tertekan untuk melakukan suatu tindakan ataupun berpikir dengan cara-cara tertentu. Tekanan teman sebaya didefinisikan secara eksplisit sebagai dorongan seseorang untuk melakukan sesuatu atau menjaga dari melakukan sesuatu yang lain, tidak peduli apakah orang tersebut menginginkannya atau tidak (Brown, 1986). Oleh karena hal inilah Brown dan Clasen (1985) mengukur dan merancang PPI (Peer Pressure Inventory) untuk menilai persepsi tekanan teman sebaya dari sejumlah domain,
10
temasuk teman di dalam kegiatan sosial, tindakan, kesuaian norma, keterlibatan sekolah dan orangtua. Tekanan teman sebaya merupakan suatu sikap atau persepsi sebagai pengalaman perasaan tertekan, desakan, atau berani karena orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu demi persetujuan kelompok sebaya, sedangkan kesesuaian merupakan disposisi perilaku dan bukan ukuran dalam menilai pengalaman tekanan teman sebaya. tekanan teman sebaya dan rekan sesuai merupakan faktor risiko yang berpotensi lebih besar dari kebutuhan untuk menjadi popular (santor et al 2000). Ukuran tekanan teman sebaya dan kesesuaian yang ada mungkin tidak cocok untuk skrining besarnya jumlah remaja yang efisien, dan beberapa penelitian telah membedakan tekanan teman sebaya dari teoritis konstruksi terkait, seperti kesesuaian atau ingin menjadi popular. Selain faktor tekanan karena teman sebaya yang terjadi. Pornografi dan Pornoaksi Menurut Andi Hamzah, dalam bukunya “Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan,” melihat pornografi dari segi etimologi. Bahwa pornografi berasal dari kata „Porno‟ dan „Grafi‟. Porno berasal dari bahasa yunani : ‘Porne’, yang artinya pelacur, sedangkan Grafi berasal dari kata „Graphein’, yang artinya ungkapan atau ekspresi. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro pornografi berasal dari kata pronos yang berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan grafi yang berarti tulisan, meliputi gambar atau barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan sesuatu yang menyinggung rasa susila dari orang yang membaca atau melihatnya. Sedangkan pornoaksi adalah aksi dari pornografi. UUD no 44 pasal 1 tahun 2008, mendefinisikan Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Sedangkan jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya. Tanda-tanda mulai munculnya pornografi dan pornoaksi pada remaja bermula sepanjang masa usia sekolah yaitu dimulai dari minat pada seks yang meningkat hingga pada puncaknya selama masa periode pubertas. Minat seks pada masa usia sekolah telah diterlihat, diawali dengan “bertanya” pada masa usia sekolah awal anak akan mulai bertanya, pertanyaan paling umum berkaitan dengan asal kedatangan bayi, perbedaan fisik, alat kelamin dan fungsinya, tahap berikutnya adalah eksplorasi alat kelamin, pertama-tama anak akan mengeksplorasi alat kelaminnya sendiri sehingga bereksplorasi dengan teman sebayanya, sebagai alat untuk memuaskan rasa ingin tahu, anak akan mencoba dengan sesama jenis terlebih dahulu. Dengan menyentuh dan mempermainkan alat kelaminnya anak belajar bahwa hal ini menyebabkan kesenangan. Anak akan mencoba-coba mengamati anak lain yang melakukan masturbasi atau bahkan diajarkan oleh anak yang lebih dewasa. Anak akan meneruskan informasi yang di dapat dari teman dan sumber lain sebagai fakta, lelucon maupun cerita porno (Hurlock, 1987). Perilaku terjadinya pornoaksi dan pornografi telah tercantum di dalam larangan RUU KUHP tahun 2004 yang mengatur pornografi dan pornoaksi, yaitu Pasal 469-475 (tentang pornografi), Pasal 476-479 (tentang pornoaksi). Grubbs dan Joshua (2010) merancang pengukuran pornography menggunakan CPUI (the Cyber Pornography Use Inventory) untuk mengukur sejauh mana tingkat pornografi pada remaja melalui cyber. Prinsip ini didasari tentang perilaku adiktif yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghentikan perilaku yang secara signifikan memiliki efek yang negatif sebagai akibat dari obsesi (Delmonico & Miller, 2003).
11
KERANGKA PEMIKIRAN Tanda-tanda munculnya pornografi dan pornoaksi pada remaja bermula sepanjang masa usia sekolah yaitu dimulai dari minat pada seks yang meningkat hingga pada puncaknya selama masa periode pubertas. Sehingga pada fase inilah dibutuhkannya saling keterbukaan antara orangtua dan remaja melalui komunkasi. Chaffee, McLeod, & Wackman (1973) menganggap bahwa komunikasi orangtua-anak merupakan salah satu kekuatan yang dapat memengaruhi individu, ciri-ciri dan perkembangan kepribadian individu. James, Patricia, dan Vivian (2014) telah membuktikan penelitiannya dengan mengukur komunikasi menggunakan kepuasan hubungan antara orangtua dan remaja mereka di dalam kepuasan berkomunikasi, kepuasan cinta dan kasih sayang orangtua, serta kepuasan jumlah waktu yang dihabiskan bersama-sama. Hubungan yang berkuallitas tersebut memengaruhi perilaku seksual remaja. Hasil penelitian Gay dan Mark (2009) tentang kelekatan dengan membuktikan sebuah persepsi dari dimensi kognitif/afeksi positif dan negatif terhadap hubungan remaja kepada orangtua mereka dan teman dekat. Richter (1996) telah menemukan bahwa pengalaman seksual remaja terindikasi menjadi aktif karena tekanan teman sebaya. teman sebaya didefinisikan secara eksplisit sebagai dorongan seseorang untuk melakukan sesuatu atau menjaga dari melakukan sesuatu yang lain, tidak peduli apakah orang tersebut menginginkannya atau tidak (Brown, 1986). Tekanan teman sebaya merupakan suatu sikap atau persepsi sebagai pengalaman perasaan tertekan, desakan, atau berani karena orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu demi persetujuan kelompok sebaya (santor et al 2000).
Tekanan dari teman sebaya
Remaja Jenis Kelamin
Karakteristik Orang Tua Usia pendapatan Pendidikan
Kelekatan dengan teman sebaya Peer Pressure Komunikasi dengan orang tua Kepuasan komunikasi Kelekatan dengan orangtua
Gambar 1Kerangka operasional penelitian
Perilaku Pornografi dan Pornoaksi
12
METODE Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian ini menggunakan topik tentang “Perilaku Pornografi dan Pornoaksi Remaja Sekolah Menengah Atas.” Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional study. Lokasi penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode purposif /Quota sampling. Metode Purposif/Quota sampling merupakan metode dengan pemilihan sampel tidak acak, dikarenakan populasi tidak diketahui , namun dapat dipilih secara sengaja sesuai kriteria dan kesediaan sampel (Puspitawati dan Herawati, 2013). SMK X di Kota Bogor adalah sekolah terpilih tempat penelitian dilakukan. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014. Teknik Penarikan Contoh Responden penelitian ini adalah pelajar SMK Kelas XII di wilayah kota Bogor. Pemilihan siswa kelas XII sebagai contoh dikarenakan siswa pada tingkat tersebut memiliki usia pada fase pubertas akhir dengan pertumbuhan fisik yang cukup matang dibanding kelas yang lebih rendah. Jumlah responden adalah 36 siswa, yang terdiri dari 8 siswa laki-laki dan 28 siswa perempuan. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui self-report dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang diisi oleh siswa setelah peneliti menjelaskan dan membacakan setiap item. Data primer terdiri dari kepuasan berkomunikasi, kelekatan dengan orangtua serta teman sebaya, tekanan dari teman sebaya dan perilaku pornografi dan pornoaksi. jenis pengumpulan data disajikan pada tabel 1. Kepuasan komunikasi dengan orangtua diukur menggunakan kuesioner dengan skala likert 1-4 (1=tidak setuju; 2=kurang setuju; 3=agak setuju; 4=setuju). Kelekatan dengan orangtua, serta teman sebaya, tekanan teman sebaya dan perilaku pornoaksi dan pornografi diukur menggunakan kuesioner dengan skala likert 1-4 (1=tidak pernah; 2=kadang-kadang; 3=sering; 4=selalu. Tabel 1 Jenis data dan cara pengumpulan data Jenis Data Primer Primer
Primer
Primer
Primer
Primer
Primer
Variabel Karakteristik remaja - Jenis kelamin Karakteristik keluarga - Usia orangtua - Pendidikan orangtua - Pendapatan orangtua Komunikasi dengan orangtua
Alat Bantu Kuesioner
skala data Nominal
Kuesioner Rasio Rasio Rasio Ordinal
Kuesioner The Parent/Adolescent Communication Scale (Jaccard, Dittus dan Gordon. 2000) Kelekatan dengan orangtua Kuesioner Inventory Of Parent Ordinal and Peer Attachmet (Gay Armsden dan Mark T. 2009). Tekanan teman sebaya Kuesioner Peer Pressure, Conformity, Ordinal and Popularity (B. Brown dan Clasen. 1986) Kelekatan teman sebaya Kuesioner Inventory Of Parent Ordinal and Peer Attachmet (Gay Armsden dan Mark T. 2009). Perilaku Pornografi Kuesioner Cyber Pornography Ordinal dan Pornoaksi Use Inventory (Grubbs, Sessons, Wheeler dan Volk 2010)
13
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh telah diolah melalui proses editing, scoring, entry data, coding, analisis data dan cleaning data. Analisis dan pengolahan data menggunakan program Microsoft Excel, Statistical Package for Social Science for windows (SPSS.16). Kualitas data varibel kepuasan komunikasi, kelekatan dengan orangtua, dan teman sebaya, tekanan teman dari sebaya, dan perilaku pornografi dan pornoaksi telah dikontrol menggunakan uji reliabilitas dan uji validitas internal. Seperti yang tertera pada tabel 2 berikut. Tabel 2 variabel, jumlah pertanyaan valid, nilai cronbach's alpha, dan nilai validitas kuesioner yang digunakan dalam penelitian. Variabel Komunikasi denganorangtua Kelekatan dengan orangtua Kelekatan dengan teman Tekanan dari teman sebaya Perilaku Pornografi dan Pornoaksi
Jumlah pertanyaan valid 14 20 20 19 17
Cronbach’s alpha 0.846 0.846 0.902 0.746 0.661
Validitas 0.611-746 -0.011-793 0.090-800 -0.089-764 -0.023-687
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah, analisis deskriptif untuk menggambarkan kepuasan komunikasi, kelekatan dengan orangtua dan teman sebaya, tekanan dari teman sebaya, serta perilaku pornografi dan pornoaksi. variabel-variabel tersebut menggunakan skor yang diperoleh kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu rendah (<60), sedang (60-80), dan tinggi (>80). Sistem skoring untuk kepuasan komunikasi, kelekatan dengan orangtua dan teman sebaya, tekanan teman sebaya, serta perilaku pornografi dan pornoaksi dilakukan dengan menggunakan rumus, sebagai berikut: skor total – skor minimal Indeks =
x 100 skor maksimal - skor minimal Keterangan: Indeks = skor siswa yang telah diindeks Skor total = skor total yang diperoleh siswa berdasarkan pengukuran Skor minimal = skor minimal pada instrumen Skor maksimal = skor maksimal pada instruemn
14
Definisi Operasional Karakteristik Remaja adalah ciri khas pada penelitian dari jenis kelamin remaja. Karakteristik Orangtua adalah ciri-ciri yang dimiliki orangtua, yang terdiri dari, usia orangtua, pendidikan orangtua, serta pendapatan orangtua. Pendidikan orangtua adalah lamanya pendidikan jalur formal yang ditempuh orangtua Pendapatan orangtua adalah total pendapatan dari orangtua baik ayah dan atau ibu yang merupakan hasil dari penjumlahan pendapatan keduanya. Pendapatan per Kapita adalah pendapatan dari keseluruhan pendapatan kedua orangtua, kemudian dibagi dengan seluruh anggota keluarga. Kepuasan Komunikasi dengan Orangtua adalah kepuasan yang dirasakan remaja terhadap diskusi antara orangtua dan mereka yang membahas perihal yang berkaitan dengan seksualitas. Melalui tiga dimensi, yaitu: 1) kepuasan berkomunikasi, 2) kepuasan cinta dan kasih sayang orangtua,3) serta kepuasan jumlah waktu yang dihabiskan bersama-sama. Kelekatan dengan Orangtua adalah hubungan kedekatan dan kelekatan orangtua terhadap remaja, baik dari persepsi yang positif maupun negatif yang diukur menggunakan tiga dimensi, yaitu; 1) kepercayaan, 2) kualitas komunikasi, 3) dan kemarahan atau keterasiangan. Tekanan dari Teman Sebaya adalah sikap atau persepsi remaja terhadap pengalaman perasaan tertekan, desakan, atau berani karena orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu, yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu; 1) Peer Presssure, 2) popularity, 3) conformity. Kelekatan dengan Teman Sebaya adalah hubungan kedekatan dan kelekatan remaja terhadap teman sebaya, baik dari persepsi yang positif maupun negatif yang diukur menggunakan tiga dimensi, yaitu; 1) kepercayaan, 2) kualitas komunikasi, 3) dan kemarahan atau keterasiangan Perilaku Pornografi dan Pornoaksi adalah pengalaman maupun tindakan remaja terhadap situasi pornografi dan pornoaksi yang pernah mereka alami.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Remaja dan Orangtua Penelitian ini menggunakan responden jenis kelamin perempuan lebih dari separuh remaja (77.8%). usia remaja tersebut ada pada rentang usia 15-17 tahun. Santrock (2012) menyatakan bahwa periode akhir masa pubertas remaja laki-laki terjadi di usia 13 tahun sampai 17 tahun dan bagi anak perempuan pada usia 9 hingga 15 tahun. Tabel 3 berikut ini, menunjukkan bahwa rata-rata usia ayah berkisar 45 tahun, sedangkan rata-rata usia ibu sekitar 42 tahun. hal ini sesuai dengan yang dituliskan Hurlock (1980) bahwa tahapan usia dewasa madya dini (40-50 tahun) dan usia madya lanjut (50-60) yang merupakan rata-rata usia kedua orangtua. Tabel 3 Sebaran orangtua berdasarkan usia Variabel
Rata-rata±Std
Usia ayah (tahun) Usia ibu (tahun)
45.0 ± 5.4 42.1 ± 5.0
Minimal-Maksimal 36-58 35-54
Orangtua dari responden yang terlibat pada penelitian ini lebih dari separuh ayah (66.7%) dan ibu (80.6%) memiliki lama pendidikan setara dengan tamatan Sekolah Dasar (SD). Lebih dari setengahnya remaja (91.7%) berada pada orangtua dengan pendapatan per kapita perbulan, ada pada garis kemiskinan atau masuk pada kategori miskin. Rata-rata pendapatan per kapita perbulan orangtua pada penelitian ini berkisar Rp. 141 588 (lihat tabel 4). Tabel 4 Sebaran orangtua berdasarkan pendidikan dan pendapatan Variabel Pendidikan Ayah SD SMP SMA Perguruan tinggi Total Rata-rata±Std Ibu SD SMP SMA Perguruan tinggi Total Rata-rata±Std Pendapatan per kapita per bulan (rupiah) Miskin Tidak miskin Total Rata-rata ±Std Keterangan: batas garis kemiskinan Kabupaten Bogor= Rp 235 682 (BPS 2011)
Kota
n
%
24 6 6 0 36
66.7 16.7 16.7 0 100 7.5 ± 2.3
29 4 2 1 36
80.6 11.1 5.6 2.8 100 6.9 ± 2.2
33 3 36
91.7 8.3 100 141588 6.9 ± 1308115
Bogor=
Rp
305
870;
batas
garis
kemiskinan
16
Kepuasan Komunikasi dengan Orangtua Kepuasan komunikasi dengan orangtua adalah mengenai kepuasan hubungan antara orangtua dan remaja mereka di dalam berkomunikasi. Terutama komunikasi yang melibatkan perilaku seksual (James, et al, 1996). Tabel 5 memperlihatkan bahwa lebih dari separuh remaja (75,0%) menunjukkan kepuasaan berkomunikasi dengan orangtua, masuk pada kategori rendah, dengan rata-rata skor sebesar 51.0. Artinya lebih dari separuh remaja merasakan ketidakpuasaan dalam berkomunikasi dengan orangtua. Tabel 5 Sebaran remaja berdasarkan kepuasan komunikasi dengan orangtua Variabel Kepuasan Komunikasi dengan orangtua Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata + std
n
%
27 5 4 36
75.0 13.9 11.1 100 51.0 ± 22.0
Keterangan: rendah= <60; sedang= 60-80; tinggi= >80
James, Patricia, dan Vivian (2014) merancang kepuasan komunikasi dengan orangtua yang terbagi menjadi tiga dimensi: 1) kepuasan berkomunikasi, yaitu komunikasi berupa diskusi maupun pertanyaan yang diajukan remaja pada orangtua mereka tanpa adanya batasan pertanyaan mengenai hal yang berkaitan dengan seksual, serta orangtua menjawab seluruh pertanyaan tanpa menutup-nutupi jawaban yang sebenarnya; 2) kepuasan cinta dan kasih sayang orangtua, yaitu komunikasi yang menunjukkan rasa sayang dari orangtua tanpa adanya kecurigaaan, mencerahami dan mengintimidasi terhadap pertanyaan maupun diskusi yang diajukan remaja mereka. Orangtua memberikan emosi positif dan bukan kemarahan; 3) kepuasan jumlah waktu yang dihabiskan bersama-sama, yaitu orangtua meluangkan waktu untuk saling berdiskusi bersama remaja mereka sehingga remaja mengetahui kapan waktu luang yang dimiliki orangtua mereka. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa seluruh remaja (100%) yang menjadi responden pada penelitian ini menyatakan bahwa remaja hanya mendapatkan kepuasan jumlah waktu yang diluangkan orangtua bersama mereka, namun tidak terhadap kepuasan berkomunkasi dan kasih sayang yang menyebabkan kategori kepuasan komunikasi menjadi rendah. Tabel 6 berikut, memperlihatkan bahwa dimensi kepuasan berkomunikasi dan kepuasan kasih sayang terpilih hanya setengahnya dari kepuasan jumlah waktu. Tabel 6 presentase remaja berdasarkan kepuasan komunikasi dengan orangtua Variabel Dimensi Kepuasan Komunikasi dengan orangtua Kepuasan berkomunikasi Kepuasan Kasih sayang Kepuasan jumlah waktu
Persen 54,7 50,5
100
Kelekatan dengan Orangtua Kelekatan orangtua adalah sebuah respon yang berkaitan dengan pengalaman pengasuhan selama masa remaja, dengan persepsi remaja tentang kedekatan, kasih sayang dan cinta dari orangtua mereka (Gullone dan Herz 1992). Tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari setengah remaja (52.8%) mendapatkan kelekatan dari orangtua mereka yang masuk ke dalam kategori sedang, dengan rata-rata skor kelekatan orangtua sebesar 72.7 artinya lebih dari separuh remaja pada penelitian ini merasakan bahwa kelekatan dari orangtua mereka telah cukup untuk membuat mereka merasakan dekat dan aman.
17
Tabel 7 Sebaran remaja berdasarkan kelekatan dengan orangtua Variabel kelekatan dengan orangtua Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata + std
n
%
6 19 11 36
16.7 52.8 30.6 100
72.7+ 13.5
Keterangan: rendah= <60; sedang= 60-80; tinggi= >80
Tekanan dari Teman Sebaya Peran teman sebaya pada usia remaja sangat mempengaruhi pola kepribadian anak, sehingga tekanan teman sebaya merupakan hal yang umum dalam kehidupan remaja (Hurlock 1980). Tabel 8 berikut, memperlihatkan bahwa lebih dari setengah remaja (61.1%) merasakan tekanan teman sebaya yang masuk ke dalam kategori sedang, dengan rata-rata sebesar 74.2. Artinya lebih dari setengah remaja pada penelitian ini bertindak atas tekanan dari peran teman sebaya mereka untuk memutuskan suatu tindakan. Tabel 8 Sebaran remaja berdasarkan tekanan teman sebaya Variabel Tekanan teman sebaya Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata + std
n
%
3 22 11 36
8.3 61.1 30.6 100
74.22 ± 8.53
Keterangan: rendah= <60; sedang= 60-80; tinggi= >80
Tekanan teman sebaya dalam penelitian ini, menggunakan penggukuran “Peer Pressure”, seperti yang dituliskan Brown dan Clasen (1986) bahwa “peer pressure” terbagi menjadi tiga dimensi: 1) tekanan/pressure, yaitu sikap atau persepsi sebagai pengalaman perasaan tertekan, desakan, atau berani karena orang lain; 2) populer/popularity, yaitu kebutuhan remaja untuk menjadi populer bersama teman-teman sebaya mereka; 3) kesusain/conformity temasuk tekanan teman di dalam kegiatan sosial, tindakan, kesuaian norma, keterlibatan sekolah dan orangtua. Dari dimensi tersebut menunjukkan bahwa 87 persen, remaja memiliki pengalaman perasaan yang tertekan serta desakan dari teman sebaya mereka dalam bertindak maupun dalam memutuskan suatu hal. Dengan demikian hasil ini memperlihatkan bahwa dibandingkan untuk terlibat menjadi populer bersama teman-teman ataupun keterlibatan dalam kegiatan di sekolah, sosial, serta orangtua dan kesuaian norma, remaja cenderung lebih bertindak atas desakan dari tekanan teman-teman mereka. (lihat tabel 9) Tabel 9 presentasi remaja dalam dimensi tekanan dari teman sebaya Variabel Dimensi tekanan dari teman sebaya Tekanan/Pressure Populer/Popularity Kesesuain/Conformity Total
n
%
31 2 3 36
87 8.5 11.1 100
18
Kelekatan dengan Teman Sebaya Kelekatan teman sebaya adalah kelekatan sebuah persepsi dari dimensi kognitif/afeksi positif dan negatif remaja terhadap hubungan mereka dengan teman-teman dekat (Gay dan Mark 2009). Tabel 10 berikut ini, menunjukkan bahwa separuh remaja (50.0%) memersepsikan kelekatan dengan teman sebaya berada dalam kategori rendah, dengan ratarata skor kelekatan teman sebaya sebesar 60.3. artinya, separuh remaja pada penelitian ini merasakan kelekatan dan kedekatan yang negatif ataupun rendah dengan teman-teman mereka. Tabel 10 Sebaran remaja berdasarkan kelekatan dengan teman sebaya Variabel kelekatan dengan teman sebaya Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata + std
n
%
18 14 4 36
50.0 38.9 11.1 100
60.3 ± 14.3
Keterangan: rendah= <60; sedang= 60-80; tinggi= >80
Perilaku Pornografi dan Pornoaksi Perilaku pornografi adalah representasi eksplisit berupa gambar, tulisan, foto maupun lukisan dari aktivitas seksual yang tidak senonoh, cabul dan mesum (R. Ogien 2003; dalam Haryatmoko, 2007). Sedangkan pornoaksi hal yang menggambarkan baik secara langsung maupun tidak langsung, tingkah laku erotis, melakukan hubungan seksual, baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain (Djubaedah 2005). Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden remaja (55.6%) masuk ke dalam kategori tinggi , dengan rata-rata skor perilaku pornoaksi dan pornografi sebesar 77.0. Artinya, lebih dari separuh remaja pada penelitian ini berada pada tingkatan tinggi untuk tidak terlibat dalam melakukan perilaku pornografi maupun pornoaksi. Tabel 11 Sebaran remaja berperilaku pornografi dan pornoaksi Variabel Perilaku pornografi dan pornoaksi Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata + std
n
%
1 15 20 36
2.8 41.7 55.6 100
77.0 ± 11.3
Keterangan: rendah= <60; sedang= 60-80; tinggi= >80
Perilaku pornografi dan pornoaksi terbagi menjadi empat dimensi: 1) Kecenderungan adiktif pornografi; 2) Adiktif pornografi; 3) Kecenderungan adiktif pornoaksi; 4) Adiktif pornografi. Penelitian ini memberikan kategori, semakin rendah hasil presentase maka remaja semakin terlibat dalam perilaku pornografi maupun pornoaksi, sebaliknya semakin tinggi presentase maka remaja semakin tidak terlibat. Presentase pada tabel 12 berikut ini, menunjukkan bahwa 60% remaja adalah presentase terendah, artinya remaja berada pada dimensi yang terlibat melakukan tindakan yang cenderung berperilaku adiktif pornografi. Adapun dimensi adiktif perilaku pornografi dan kecenderungan serta adiktif pornoaksi, remaja berada pada kategori tinggi untuk tidak terlibat.
19
Tabel 12 presentase remaja berdasarkan perilaku pornografi dan pornoaksi Variabel Dimensi perilaku pornografi dan pornoaksi Kecenderungan adiktif pornografi Adiktif pornografi Kecenderungan adiktif pornoaksi Adiktif pornoaksi
Persen 60 97,3 97,7 100
Pengaruh Karakteristik Remaja terhadap Perilaku Pornografi dan Pornoaksi Hasil uji hubungan Chi Square menunjukkan bahwa karakteristik remaja (jenis kelamin) tidak memiliki hubungan terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi (0.147). Uji hubungan ini dilakukan dengan asumsi, bahwa jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dalam mengkonsumsi pornografi dan pornoaksi dibandingkan perempuan. Artinya, perbedaan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan pada penelitian ini tidak menentukan terhadap tindakan pornografi dan pornoaksi remaja. Pengaruh karakteristik orangtua terhadap kepuasan komunikasi, perilaku pornoaksi dan pornografi Hasil uji pengaruh menunjukkan bahwa antara karakteristik orangtua dengan variabel kepuasan berkomunikasi dari orangtua serta terhadap perilaku pornoaksi dan pornografi remaja memperlihatkan beberapa hasil. Tabel 13 berikut, memperlihatkan bahwa tidak ada satu pun dari karakteristik orangtua yang memengaruhi secara signifikan dengan dimensi kepuasan komunikasi dengan orangtua maupun terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi. Tabel 13 Koefisien regresi antara karakteristik orangtua dengan kepuasan komunikasi dan perilaku pornografi dan pornoaksi remaja. Variabel Usia ayah (tahun) Usia ibu (tahun) Pendididkan ayah Pendidikan ibu Pendapatan per kapita
Kepuasan Komunikasi 0.478 0.863 0.927 0.706 0.175
Perilaku pornoaksi dan pornografi -0.906 0.338 -1.945 0.448 0.200
Keterangan: *= Korelasi signifikan pada p<0.05
Pengaruh Kepuasan Komunikasi dengan Orangtua terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi remaja Hasil uji regresi berganda menunjukkan bahwa kepuasan komunikasi orangtua berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi (0.031), adapun hasil pengaruh (beta = 0.335). Hal ini dapat diartikan bahwa kepuasan komunikasi orangtua berpeluang untuk mengidentifikasikan perilaku pornoaksi dan pornografi sebesar 0.335 point, dengan nilai R Square (0.360). Artinya semakin tinggi remaja merasakan kepuasan berkomunikasi dengan orangtua mereka maka akan semakin tinggi remaja untuk tidak terlibat pada perilaku pornografi dan pornoaksi. Nilai Adjusted R Square menjelaskan 33.5% kepuasan komunikasi orangtua berpengaruh terhadap perilaku pornoaksi dan pornografi remaja, dan sisanya 66.5% dipengaruhi variabel lain yang tidak diteliti.
20
Pengaruh Kelekatan orangtua dan teman sebaya terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi remaja Hasil uji pengaruh kelekatan orangtua tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi (0.715) pada remaja mereka. Artinya perilaku dan tindakan yang dilakukan atau tidak, oleh remaja tidak ada hubungannya dan atau memiliki pengaruh terhadap kedekatan maupun kelekatan yang orangtua berikan. Sama halnya dengan pengaruh kelekatan teman sebaya terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi (0.929) juga tidak memiliki pengaruh. Artinya, lekat atau tidaknya remaja terhadap teman sebaya mereka tidak memiliki dampak apapun pada perilaku remaja, terutama perilaku pornografi dan pornoaksi. Pengaruh Tekanan teman sebaya terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi Tekanan teman sebaya berpengaruh positif signifikan terhadap pornografi dan pornoaksi (0.004) yang dilakukan oleh remaja. Hasil uji regresi berganda menunjukkan bahwa tekanan teman sebaya memiliki pengaruh (beta = 0.476) terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi. hal ini berarti tekanan teman sebaya diduga akan dapat mengidentifikasikan perilaku pornografi dan pornoaksi sebesar 0.476 point, dengan nilai R Square 0.360. artinya, semakin teman sebaya memberikan tekanan ataupun desakan terhadap remaja maka remaja akan semakin terlibat pada tindakan pornoaksi dan pornografi. Nilai Adjusted R Square menjelaskan 47.6% pengaruh tekanan teman sebaya terhadap perilaku pornoaksi dan pornografi remaja, sisanya 52.2% dipengaruhi variabel lain yang tidak diteliti.
21
Pembahasan Penelitian ini mengukur perilaku pornografi dan pornoaksi pada usia remaja, dikarenakan beberapa sebab yang terkait: 1) kematangan usia remaja yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa,sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. 2) kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku untuk mencapai konsep diri. 3) hubungan yang erat dengan keluarga akan mengidentifikasikan remaja pada pengembangan pola kepribadian. 4) teman sebaya memengaruhi konsep diri yang berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian (Hurlock, 1980). Hasil penelitian karakteristik remaja (jenis kelamin) tidak memiliki hubungan dengan tindakan pornografi dan pornoaksi remaja. Jeremy Prichard, Caroline Spiranovic, Paul Watters, dan Christopher Lueg (2013) meneliti tentang kebiasaan remaja dalam mengkonsumsi pornografi online, bahwa laki-laki dan perempuan hampir memiliki minat yang sama. Hasil penelitian karakteristik orangtua yang hanya dapat digambarkan melalui pendidikan, usia serta pendapatan orangtua. Hasil tersebut menunjukkan bahwa karakteristik tersebut tidak memiliki pengaruh secara signifikan baik terhadap cara orangtua berkomunikasi maupun terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi pada remaja mereka. Hasil ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ojo Olubukola Olakunbi dan Akintomide Akinjide G.(2010) telah membuktikan bahwa tingkat pendidikan orangtua dan usia tidak memengaruhi secara signifikan terhadap komunikasi seksual antara orangtua dan remaja. Adapun karakteristik pendapatan pada penelitian ini menemukan bahwa kemiskinan di dalam orangtua tidak memengaruhi baik kepuasan komunikasi dengan orangtua maupun perilaku pornografi dan pornoaksi yang terjadi pada remaja. Komunikasi antara orangtua dan remaja merupakan salah satu cara untuk menghindari dampak yang terjadi terhadap tindakan pornografi dan pornoaksi yang dilakukan remaja. Ketika komunikasi antara orang tua dan anak memiliki hubungan yang positif, nilai-nilai yang lebih mudah untuk berbagi maka akan mempengaruhi keputusan akhir dalam hal perilaku seksual remaja (Resnick et al 1997.; Garnier dan Stein 1998) serta menghasilkan makna tentang keyakinan, sikap dan perilaku (Warren 1995). James, Patricia, dan Vivian ( 2014) telah meneliti sebelumnya dengan menggunakan dimensi komunikasi untuk mengukur kepuasan berkomunikasi antara orangtua dan remaja. Hasil penelitan menunjukkan bahwa kepuasan berkomunikasi di dalam orangtua memiliki pengaruh positif langsung terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi remaja. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Anne Kao (2008) yang membuktikan bahwa komunikasi orangtua tentang seks terbukti memiliki pengaruh secara konsisten terhadap perilaku seks remaja. Komunikasi merupakan komponen utama dari kemampuan sistem orangtua untuk berubah (Howell, 2001). Penelitian ini membuktikan bahwa diantara ketiga dimensi kepuasan komunikasi. Kepuasan jumlah waktu yang memiliki presentase tertinggi dibandingkan dimensi lainnya, sehingga dalam hal ini orangtua memiliki jumlah waktu yang cukup untuk saling berdiskusi. Karena salah satu faktor inilah yang menyebabkan tingginya ketidakterlibatan remaja dalam melakukan pornografi dan pornoaksi. Vance (1985) dan Baumeister, Flores, serta Marin (1995) menuliskan bahwa sering dan lancarnya komunikasi antara orang tua dan remaja tentang isuisu yang berhubungan dengan seksual akan cenderung mengurangi risiko kehamilan remaja maupun perilaku seks lainnya.
22
Penelitian ini menemukan bahwa kelekatan dengan orangtua dan teman sebaya, tidak memiliki pengaruh terhadap terjadinya perilaku pornografi dan pornoaksi pada remaja. Patrick Chin, Charlton dan Kok Chew (2014), telah membuktikan bahwa kelekatan orangtua dan teman sebaya tidak memiliki pengaruh terhadap kecanduan internet, salah satunya adalah adiktif pada cyber pornografi yang dilakukan remaja. Perilaku pornografi dan pornoaksi juga dapat dipengaruhi oleh dorongan tekanan teman sebaya. Dikarenakan teman-teman sebaya merupakan sumber penting untuk memperoleh sosialisasi dan perilaku seks pada remaja (East 1996; Bearman dan Bruckner 1999; Kornreich et al. 2003; Sieving et al. 2007). Hasil penelitian ini menemukan bahwa tekanan teman sebaya memiliki pengaruh positif signifikan langsung terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi remaja. tekanan teman sebaya terdiri dari tiga dimensi, yaitu tekanan/pressure, populer/popularity, dan kesesuain/conformity , diantara ketiga dimensi tersebut tekanan sebaya merupakan presentase tertinggi di dalam peran serta pengaruh terhadap perilaku remaja. Penelitian ini sesuai dengan temuan dari penelitian Santor et al (2000) yang membuktikan bahwa, tekanan teman sebaya memiliki kaitan dengan resiko kenakalan serta aktivitas seksual remaja untuk menunjukkan komitmen dan loyalitas pada anggota kelompoknya.
23
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan instrument dengan alat ukur nonkognitif untuk mengukur perilaku disetiap variabel. Instrumen komunikasi dengan orangtua, menggunakan dimensi kepuasan guna mendiskusikan seputar perilaku seksual remaja kepada orangtua mereka. Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana orangtua memfasilitasi dan memantau tindakan pornografi dan pornoaksi melalui komunikasi yang memungkinan melibatkan remaja mereka. Instrumen kelekatan dengan orangtua serta teman sebaya digunakan untuk mengukur sejauh mana kedekatan serta rasa aman yang dirasakan remaja. Dengan mengukur kelekatan antara orangtua, serta teman sebaya terhadap remaja, guna mendapatkan informasi kemungkinan terlibat atau tidaknya remaja pada tindakan perilaku pornografi dan pornoaksi. Kelekatan yang lebih dominan antara orangtua kepada remaja, dan atau antara teman sebaya kepada remaja, akan menghasilkan data tentang lekat atau tidaknya remaja terhadap orangtua dan atau teman sebaya, sehingga akan memungkinkan remaja terdorong untuk melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi. Instrumen tekanan dari teman sebaya, menggunakan alat ukur “peer pressure” yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu tekanan dari teman, populer dan kesesuaian. Instrumen ini guna mengukur tindakan remaja dalam memutuskan sikap, terutama yang difokuskan pada tindakan pornografi dan pornoaksi. Ketiga dimensi tersebut bertujuan untuk mengukur salah satu dimensi yang paling memengaruhi perilaku remaja dalam bersikap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi tekanan dari teman sebayalah yang paling memengaruhi perilaku pornografi dan pornoaksi remaja. Penelitian ini menemukan bahwa, perilaku pornografi dan pornoaksi remaja diduga tidak dipengaruhi oleh kelekatan dengan orangtua serta teman sebaya, namun dipengaruhi secara langsung dan tidak langsung oleh kepuasan berkomunikasi dengan orangtua dan dari tekanan yang dilakukan oleh teman sebaya. Karakteristik keluarga tidak memengaruhi terjadinya perilaku pornografi dan pornoaksi, meskipun lebih dari separuh remaja berjenis kelamin perempuan dan berasal dari keluarga miskin. Sama halnya dengan karakteristik orangtua yang tidak memengaruhi cara mereka berkomunikasi dengan remaja mereka. Lebih dari separuh remaja yang terlibat dalam penelitian ini diduga, tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung pada tindakan adiktif pornografi dan pornoaksi. Remaja masih pada fase kecenderungan untuk berperilaku pornografi saja. Saran Pemilihan instrumen variabel dependent perilaku pornografi dan pornoaksi sebenarnya tidak mengukur yang berhubungan dengan cyber, namun pada penelitian ini, perilaku pornografi dan pornoaksi menggunakan instrument “cyber pornography”, sehingga pengukuran ini membutuhkan modifikasi hampir semua item. Oleh karena itu seharusnya instrumen perilaku pornografi dan pornoaksi lebih dapat dikembangkan sesuai kebutuhan yang lebih tepat. Selain itu khusus pada instrumen pornografi dan pornoaksi, dibutuhkan pendekatan yang lebih mendalam kepada responden, dikarenakan isi pernyataan yang cukup fulgar sehingga dibutuhkan keterbukaan dan kejujuran responden untuk menjawab sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Adapun instrument “peer pressure” akan lebih mendalam jika hanya difokuskan pada dimensi tekanan dari teman sebaya saja, karena dimensi populer dan kesesuaian remaja masih kurang untuk berkonstribusi keterlibatannya dalam perilaku pornografi dan pornoaksi.
24
DAFTAR PUSTAKA Djubaedah, Neng. Harmonisasi Hukum Tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. 2005 Hovland, Janis, & Kelley 1953 dalam Edi Santoso & Mite Setiansah (2012). Teori Komunikasi. Graha Ilmu, Yogyakarta. Yuan Huang (2010). Family Communication Patterns, Communication Apprehension and Soci Communicative Orientative Orientation. Santrock John W.(2007) Perkembangan Anak. Erlangga. Jakarta. Bretherton Inge. (2002) The Origins of Kelekatan Theory: John Bowlby and Mary Ainsworth. Departement of Child and Family Studies. Gullone E. And Robinson K. (2005). The Inventory of Parent and Peer Kelekatan-Revised (IPPA-R) for Children: A Psychometric Investigation. Vance, Baumeister, Flores, dan Marin (1995) dalam Rouvier M, Campero L, Walker and Caballero M (2011). Factors That Influence Communication About Sexuality Between Parents and Adolescents in The Cultural Context of Mexican families. Sex Education. Hurlock. Elizabeth B. (1980) Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Santrock. John W.(2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta; Erlangga. Baltazar (2010) dalam Foubert John D. Integrating Religiosity and Pornography Use into the Prediction of Bystander Efficacy and Willingness to Prevent Sexual Assault. Journal of Psychology & Theology. Richter (1996) dalam B. Bradford Brown, Reed W. Larson dan T.S Saraswathi.(2004). The World‟s Youth. Book Adolescent in eight regions of the globe. Jaccard, J,. Dittus Patricia J and Gordon Vivian V. (1996). Maternal Correlates of Adolescent Sexual and Contraceptive Behavior. Journal Family Planning Perspectives. Gullone Eleonora and Robinson Kym (2005). The Inventory of Parent and Peer Kelekatan Revised (IPPA-R) for Children: A Psychometric Investigation. Journal Clinical Psychology and Psychotherapy Clin. Psychol. Psychother. 12, 67–79 (2005) Armsden Gay, Ph.D and T. Greenberg Mark, Ph.D.(2009). Inventory Of Parent and Peer Kelekatan (IPPA). Journal College of Health and Human Development. Brown dalam Darcy A. Santor and Deanna Messervey. (2000) Measuring Peer Pressure, Popularity, and Conformity in Adolescent Boys and Girls: Predicting School Performance, Sexual Attitudes, and Substance Use. Journal of Youth and Adolescence. 29, 163-182. Joshua B. Grubbs, John Sessoms, Dana M. Wheeler, Fred Volk.(2010) The CyberPornography Use Inventory: The Development of a New Assessment Instrument Santrock. John W (2012). Life-span Development. Edisi ketigabelas jilid I. Erlangga.
25
Puspitawati H, Herawati T. 2013. Metode Penelitian Orangtua. Bogor: IPB Pr. Novita L, (2014). Pengaruh Harapan Orangtua, Motivasi Intrinsik, dan Strategi Pengaturan diri dalam Belajar Terhadap Prestasi Akademik Siswa SMP. Annie Kao S.T (2008) Influences On AAPI Adolescents‟ Sexual Initiation: Mother Adolescent Interactions, Racial/Ethnicity, Gender, and Acculturation. Santor, Darcy A. and Messervey Deanna. (2000) Measuring Peer Pressure, Popularity, and Conformity in Adolescent Boys and Girls: Predicting School Performance, Sexual Attitudes, and Substance Use. East
(1996) Bearman dan Bruckner (1999) Kornreich et al. (2003) Sieving et al. (2007). dalam Molly Secor-Turnera, Renee E. Sieving, Marla E. Eisenberb and Carol Skay (2011). Associations Between Sexually Experienced Adolescents‟ sources of information about sex and sexual risk outcomes.
Resnick et al (1997).; Garnier dan Stein (1998) dalam Mariel Rouvier, Lourdes Campero, Dilys Walker and Marta Caballero (2011). Factors That Influence Communication About Sexuality Between Parents and Adolescents in The Cultural Context of Mexican families. Olakunbi Ojo Olubukola, and Akintomide Akinjide G (2010). Who Breaks the Ice in ParentChild Sexual Communication – Counselling Implications for Adolescent Health and Development?. International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education (IJCDSE), Volume 1, Issue 2, June 2010. Chin Patrick, John P. Charlton and Kok Wai Chew (2014) the Influence of Parental and Peer Kelekatan on internet usage motives and Addiction. peer reviewed journal on the Internet. Jeremy Prichard, Caroline Spiranovic, Paul Watters, Christopher Lueg (2013). Young People, Child Pornography, and Subcultural Norms on the Internet. DOI: 10.1002/asi.22816. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 44 tahun 2008. Tentang Pornografi.