UNIVERSITAS BUDI LUHUR
UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) MATA KULIAH
: MANAJEMEN OPERASI KOMPUTER
DOSEN: Jonathan Sofian Lusa M.Kom, Iwan Kustiyawan.,MM HARI/TANGGAL JENIS
: SABTU, 13 JUNI 2009
: TAKE HOME ( 1 minggu)
Pahami pernyataan dan persoalan dibawah ini, Jelaskan dengan uraian yang singkat jeias dan tepat. Jawaban harus memiliki dasar teori sehubungan dengan mata kuliah manajemen operasi computer, sehingga jawaban merupakan solusi yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan. Anda diminta untuk mengerjakan semua .
UJIAN AKHIR SEMESTER – PROGRAM M.KOM // UNIVERSITAS BUDI LUHUR
1
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
Potret Kebingungan Investasi Teknologi Informasi Belum lama ini, seorang praktisi dan pengamat bisnis teknologi informasi (TI) kepada SWA menceritakan dua kekonyolan mahal yang kebetulan dilihat dengan mata kepalanya sendiri. Tentu, kekonyolan yang dimaksud ada kaitannya dengan bidang yang dia tekuni: dunia TI. Dan, "mahal" dalam pengertian yang sebenarnya, yakni menghabiskan duit yang tak sedikit (tapi tak jelas juntrungannya). Kekonyolan pertama, seperti diceritakannya, seorang konglomerat muka lama yang belum lama menjadi pemilik mayoritas satu stasiun TV lokal, membanggakan padanya bahwa stasiunnya baru saja membeli software aplikasi canggih berikut hardware pendukungnya. Kesemua perangkat itu, kata sang konglomerat, siap diimplementasi. Namun, begitu ditanya, untuk membantu proses bisnis apa saja semua perangkat TI tadi, sang konglomerat hanya mengangkat bahu, dan mengatakan bahwa orang TI-nya datang membawa gambaran skematis perangkat TI tadi. Konon, cerita sang pengamat, lantaran setelah dikonfirmasi tidak jelas pemanfaatannya, implementasinya pun ditunda. Bagaimana kabar perangkatperangkat berharga US$ jutaan itu? Terpaksa disimpan saja. Cerita kekonyolan kedua terkait dengan bersemangatnya beberapa Pemda Dati II di Kalimantan mengimplementasi e-government. Nah, si pengamat menceritakan, ada satu Pemda Kabupaten yang sejak beberapa waktu lalu sudah menginstal egovernment tergolong lengkap, tapi ternyata tak banyak staf Pemda yang memanfaatkannya. Alhasil, proses tradisional dalam mengurus kebutuhan penduduk kembali terulang, dan selama beberapa waktu sistem yang sudah dibangun dengan investasi miliaran rupiah itu menganggur. Usut punya usut, ternyata banyak staf Pemda tadi yang masih gatek (gagap teknologi), termasuk menggunakan PC. Untungnya, sang bupati punya inisiatif cukup pas: mulai tahun 2003 tak ada pembelian software-hardware baru, karena anggarannya untuk melatih para staf menggunakan sistem e-gov yang sudah dipasang. Meski contoh kekonyolan seperti di atas luar biasa, nasib mereka masih beruntung dibanding e-tailer (peritel online) lokal besar yang terpaksa tutup di tahun pertama operasionalnya pada 2001, lantaran gagal merespons pasar. Padahal, sekitar 60% investasi awalnya yang Rp 100-an miliar dialokasikan untuk membangun infrastruktur yang tangguh, mulai dari sistem call center, TI korporat (semisal supply chain management) dengan sistem informasi yang dikatakan real time, hingga gudang seluas ribuan m2 yang mampu menampung belasan ribu macam barang. Toh, semua itu bukan menjamin tak ada lagi masalah keterlambatan informasi maupun barang. Yang lebih parah, setelah mampu menarik ratusan ribu pelanggan di Jabotabek, e-tailer tersebut malah tak mampu menangani hujan pesanan sekitar 8 ribu order/hari. Contohnya, kalau ada order berbagai macam barang, sering yang dikirimkan ternyata berbeda dari yang dipesan.
UJIAN AKHIR SEMESTER – PROGRAM M.KOM // UNIVERSITAS BUDI LUHUR
2
UNIVERSITAS BUDI LUHUR Potret kebingungan semacam itu ternyata juga terjadi di industri yang sarat teknologi, dan kini tergolong masih berjaya, misalnya bisnis operator seluler. Sumber SWA yang mantan konsultan senior top mengungkapkan betapa bingungnya beberapa operator seluler nasional mencari sistem billing (penagihan) berbasis TI yang pas, sehingga terpaksa gonta-ganti. Bisa kita perkirakan, berapa ratus juta bahkan miliar rupiah yang terpaksa dikorbankan. Sebenarnya, buah manis TI bisa dinikmati cukup banyak perusahaan. Nama-nama besar di dunia sudah merasakannya, misalnya Merrill Lynch (ML), Boeing, Nestle, Visa, Nordea, dan sebagainya (seperti sudah pernah disajikan di SWA). perusahaan lokal yang sukses memanfaatkan TI seperti BCA contohnya. Dengan mengandalkan kekuatan infrastrukturnya -- delivery channel dan sistem back office berbasis TI -- BCA bisa dengan cepat dan sukses meluncurkan produk dan layanannya. Mulai dari layanan transaksi ATM, kartu debit, Internet banking KlikBCA dan mobile banking M-BCA. Dimulai sejak 1995, pembangunan infrastruktur TI BCA memakan investasi sekitar US$ 40 juta. Sekarang, setiap tahun BCA diperkirakan menganggarkan US$ 20 juta untuk investasi TI. Hasilnya memang kelihatan. Jika pada 1998 volume bisnis ATM BCA sebesar Rp 29,7 triliun, pada akhir 2002 sudah mencapai Rp 185 triliun. Kartu debit BCA yang pada Juli 1999 baru mencatat nilai transaksi Rp 1,19 triliun, pada akhir 2002 menclok di angka Rp 8,3 triliun. Lalu, KlikBCA yang pada Agustus 2000 baru meraih volume bisnis Rp 106 miliar, di akhir 2002 mencatat Rp 3,87 triliun. Sementara itu, M-BCA yang mencatat volume bisnis Rp 151 miliar per September 2001, pada akhir 2002 sudah mencapai angka Rp 2,13 triliun. Jika angka-angka yang diungkapkan GM BCA Stephen Liestyo ini benar, artinya pencapaian yang diraih BCA memang jauh memadai dibandingkan investasinya membangun TI. Belakangan, digandeng salah satu vendor software besar, kabarnya BCA malah makin maju lagi dengan berusaha mengimplementasi teknologi terbaru berbasis XML (eXtensible Markup Language), agar sistem-sistem aplikasinya bisa saling "berkomunikasi". Namun, kalau dilihat statistiknya, proyek-proyek berbau TI di Tanah Air yang berhasil agaknya jauh lebih kecil dibanding yang gagal ataupun sia-sia (idle). Angka pastinya memang belum tersedia. Namun, G. Hidayat Tjokrodjojo, Ketua Apkomindo (Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia) yang juga pemilik software house Realta Chakradarma, berani memperkirakan di Indonesia kemungkinan hanya 20% investasi TI yang mengenai sasaran dan bisa terpakai optimal. Sayangnya, kata Hidayat, banyak perusahaan di Indonesia yang tidak bersedia memberitahukan kegagalan proyek TI-nya. "Kalau ditanya, jawabannya biasanya mengambang, malah seolah-olah sistemnya berjalan baik-baik saja," ujarnya. Bisa ditebak, mereka malu mengungkapkan karena takut citranya di mata pelanggan atau stakeholder lainnya jatuh. Vendor dan para konsultannya pun biasanya lebih suka tak membahas untuk publik. Maklum, dana yang ditanamkan untuk proyek-
UJIAN AKHIR SEMESTER – PROGRAM M.KOM // UNIVERSITAS BUDI LUHUR
3
UNIVERSITAS BUDI LUHUR proyek TI ini banyak yang sudah miliaran rupiah. Yang jelas, melihat angka-angka yang dikemukakan lembaga-lembaga TI ternama, perkiraan Hidayat tidak berlebihan. Dalam banyak riset skala dunia, terungkap tingkat kegagalan proyek TI mencapai 50% lebih, bahkan hingga 70% lebih. Riset The Standish Group mengungkapkan, hanya 28% proyek TI skala besar yang mampu mencapai harapan. Lebih detail lagi ke aplikasinya, Standish menyebutkan hanya 10% proyek enterprise resource planning (ERP) yang berhasil diterapkan. Sisanya, 35% dibatalkan dan 55% mengalami keterlambatan. Lalu, Gartner Group melaporkan sekitar 2/3 proyek implementasi CRM (customer relationship management) gagal mencapai tujuannya. Angka ini hampir mirip dengan temuan Meta Group yang menyebutkan 55%-75% proyek CRM tak berhasil. Adapun CRM Forum melaporkan 50% lebih proyek CRM di AS, dan 85% lebih proyek serupa di Eropa juga gagal. Survei yang dilakukan Center for Information Systems Research (CISR), MIT, terhadap 1.000 manajer senior perusahaan besar di AS (Harvard Business Review, November 2002), menangkap rasa bingung, frustrasi bahkan kejengkelan terhadap kesia-siaan sistem TI perusahaan mereka. Pertanyaan yang sering muncul dari mereka, antara lain: "Apa yang dapat kami lakukan? Kami tidak cukup mengerti untuk mengurusnya secara detail. Orang-orang TI kami sepertinya sudah bekerja keras, tapi mereka kelihatan tidak memahami masalah bisnis sesungguhnya yang kami hadapi." Riset yang dilakukan Charles Philips, analis software dari Morgan Stanley terhadap perilaku CIO (chief information officer) --seperti dikutip Fortune, 25 November 2002 -- memperkuat gambaran ini. Philips menemukan cukup banyak fenomena shelf-ware, yakni software dibeli perusahaan, tapi kemudian disimpan saja, tanpa menghasilkan sesuatu. Yang jelas, sulit menutupi kenyataan banyaknya kengawuran dalam investasi TI perusahaan di Indonesia, seperti dipaparkan di atas. "Hambatan perkembangan TI kita memang pada SDM. SDM yang ada belum siap memanfaatkan produk TI yang dimiliki. Ini yang menyebabkan investasi TI yang dilakukan tidak efektif," ujar Peter Ong, President i2bc (Indonesia Infocosm Business Community). "Sering kali investasi pada SDM belum dijalankan, tapi investasi produk TI sudah dilakukan," tambah praktisi e-business dari Grup Sinar Mas ini. Selain itu, meskipun kebanyakan mereka sudah melihat biaya TI sebagai investasi bisnis, mereka belum tahu bagaimana mengukur keberhasilan investasi TI-nya. Padahal, mereka banyak juga yang sudah punya anggaran TI tahunan di atas Rp 1 miliar. Kalau dilihat dari inisiatif TI jangka panjang, boleh jadi benar, mereka juga belum punya blue print atau guidance book investasi TI. Perhatikan saja, 20% responden menjawab belum ada, 29% tidak menjawab, sedangkan 13% hanya punya proyek pemeliharaan dan upgrade sistem lama. Padahal, sekali lagi, rencana
UJIAN AKHIR SEMESTER – PROGRAM M.KOM // UNIVERSITAS BUDI LUHUR
4
UNIVERSITAS BUDI LUHUR anggaran tahunan mereka di tahun mendatang banyak yang mencapai di atas Rp 1 miliar. Mungkin, karena belum punya konsep dan rencana TI jangka panjang banyak responden yang mengaku bingung dengan perubahan teknologi yang terlalu cepat. Apalagi, banyak responden yang mewakili perusahaannya tak tahu persis visi-misistrategi bisnis perusahaannya. Di sisi lain, mereka mengaku tak cukup memiliki SDM yang ahli dan terampil, agar bisa mengoptimalkan sistem TI-nya ataupun mengadopsi teknologi baru yang paling pas. Karena itu, wajar jika muncul fenomena ketergantungan yang berlebihan terhadap vendor maupun konsultan TI. Temuan lainnya yang rasanya cukup penting, kebijakan TI yang mestinya menyangkut urusan perusahaan secara menyeluruh, sebagian besar lebih dibebankan ke manajer MIS. Malah, cukup banyak yang menyerahkan beban berat ini ke staf selevel penyelia. Ditambah, kalau melihat betapa banyak eksekutif puncak perusahaan responden yang enggan ikut menjawab survei ini, agaknya benar sinyalemen yang menyebutkan banyak pimpinan puncak bisnis di Tanah Air yang tak mau tahu kebijakan TI perusahaannya. Dengan melihat temuan dan potret semacam ini, kita mungkin jadi tak heran melihat beberapa kekonyolan seperti dilukiskan di awal tulisan. Siapa yang harus disalahkan? Jeanne W. Ross dan Peter Weill, dua pakar dari CISR MIT yang memimpin survei yang diungkapkan di atas, menyebutkan akar masalahnya adalah eksekutif puncak. Alasannya, banyak eksekutif senior yang tak mau mengambil tanggung jawab kepemimpinan (leadership role) dalam implementasi TI -- yang menurut keduanya memang bukan pekerjaannya IT people. Padahal, adopsi sistem TI baru bukan cuma menghadapi tantangan teknologi, tapi juga tantangan bisnis. Hamidjojo Surjotedjo, konsultan dari Accenture, melihat problem implementasi memang sering muncul, lantaran orang TI tidak bisa menerjemahkan bahasa bisnis, sementara orang bisnis sendiri tidak bisa memahami kompleksitas TI. "Idealnya, orang yang memimpin TI haruslah yang sangat mengerti bahasa bisnis, tapi juga mengikuti perkembangan TI," kata Hamidjojo. Menurutnya, orang yang sudah punya jabatan CIO biasanya punya visi bisnis sekaligus berlatar belakang TI yang kuat. "Tugas orang TI seharusnya menerjemahkan bahasa bisnis ke dalam bahasa sistem komputer," timpal Peter. Repotnya, lanjut Peter, kekurangan perusahaanperusahaan di Indonesia justru karena orang TI-nya benar-benar orang teknis dan tidak mengerti bisnis, sedangkan orang bisnisnya tidak mau mengerti TI. "Yang harus diperhatikan, bukan TI yang menyetir bisnis, tapi bisnis yang menyetir TI," lanjutnya. Betty berpendapat banyaknya proyek TI yang gagal di Indonesia, lantaran tidak
UJIAN AKHIR SEMESTER – PROGRAM M.KOM // UNIVERSITAS BUDI LUHUR
5
UNIVERSITAS BUDI LUHUR memiliki arahan dan tahapan yang baik. Menurutnya, tahapan itu seharusnya dijalankan mulai dari evaluasi situasi bisnis hingga evaluasi keberhasilan investasinya. "Agar lebih efektif sebaiknya proyek implementasi TI dimotori pihak yang akan memperoleh manfaatnya, tentunya didukung tim TI," ujar Betty. Ia mencontohkan kalau tujuan proyek TI itu meningkatkan penjualan, motornya seharusnya direktur penjualan, sehingga tanggung jawabnya lebih jelas. Tahapantahapan tersebut, kata Betty, bisa dilakukan mandiri atau bisa juga dibantu konsultan. Dikutip dan diringkas dari www.swanet.com (SWA 02/XIX/ 23 JANUARI - 5 FEBRUARI 2003)
1. Sehubungan dengan artikel di atas
tersebut Anda diminta untuk
menjawab pertanyaan nomer 1 dan 2 dibawah ini : ( 25 poin) 1.1 Jika
dikaitan
dengan
dalam
buku
managing
the
information
technoloogy resource (Jery N Luftman). Faktor – faktor apa saja yang menjadi prioritas dalam penerapan sebuah proyek teknologi informasi. Berikan analisa dan contoh yang relevan untuk masing-masing faktor. 1.2 Sebagian besar dari faktor diatas berkenaan dengan sumber daya manusia. Jika Anda sebagai seorang Chief Information Officer (CIO) apa yang Anda usulkan sebagai solusi sehingga
dapat
meminimalkan
untuk sumber daya manusia
kegagalan
penerapan
teknologi
informasi. 1.3 Bagaimana peranan IT Governance sehubungan dengan fakta diatas. Bagaimana Anda merancangnya sehingga dapat diimplementasikan. 2. Sebuah perusahaan perintis (pioneer) bidang ekpedisi (konvensional) berkembang pesat dan menguasai pasar. Ketika pesaing (follower) datang dan mulai menerapkan teknologi informasi (TI) dan internet, maka
terjadilah
persaingan
bisnis
semakin
UJIAN AKHIR SEMESTER – PROGRAM M.KOM // UNIVERSITAS BUDI LUHUR
ketat.
Kenyataannya,
6
UNIVERSITAS BUDI LUHUR penerapan TI dan internet bak seperti pisau bermata dua. Di satu sisi mendatangkan benefit dan kemudahan dalam komunikasi dan transaksi tapi di sisi lain mendatangkan ancaman dan kejahatan serius yang merugikan perusahaan. (15 poin) 2.1
Bagaimana Anda menyakinkan top management untuk menerapkan TI sebagai competitive advantages sehingga tetap unggul di pasar. Buatlah analisa faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan.
2.2
Apa perbedaan antara comparative advantage dengan competitive advantage. Faktor-faktor apa saja pembentuk sebuah competitive advantage. Berikan contoh kongkretnya.
3. Nicholas Carr dalam artikelnya “IT doesn’t matter” mengemukakan bahwa IT telah menjadi komoditas, sehingga teknologi informasi ini tidak mampu memberikan value add bagi bisnis. (15 poin) 3.1
Setujukan anda dengan pernyataan carr tersebut ? Berikan alasan anda dan penjelasan.
3.2
Bagaimana anda dapat mengetahui apakah IT mampu memberikan value add bagi bisnis anda sehingga investasi yang anda lakukan tidak
sia-sia ? Berikan alasan anda disertai dengan contoh !
4. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) khususnya internet telah merubah business model pada hampir setiap industri yang ada. (20 poin) 4.1 Menurut anda, apakah TIK dan perkembangannya menjadi acuan bagi perusahaan dalam merumuskan strategi korporat ? Berikan contoh ?
UJIAN AKHIR SEMESTER – PROGRAM M.KOM // UNIVERSITAS BUDI LUHUR
7
UNIVERSITAS BUDI LUHUR 4.2 Berikan penjelasan anda disertai dengan contoh perubahan bisnis model akibat perkembangan TIK pada salah satu industri yang anda ketahui. 4.3 Jelaskan
dan
berikan
contoh
perlakukan
terhadapa
teknologi
informasi di dalam sebuah perusahaan sebagai cost center, profit center, investment center, dan service center. 5 Rencana strategis (renstra) menjadi ancuan untuk pencapaian cita-cita (visi) dari sebuah perusahaan atau dengan kata lain menjadi roadmap sehingga memudahkan dalam perancangan, pelaksanaan, dan penilaian program-program secara fungsional di perusahaan. Dalam kaitannya dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) , idealnya pemanfaatan dan perancangan TIK yang efektif
harus sesuai dan selaras (align)
dengan renstra perusahaan. (25 poin) 5.1 Mengapa alignment antara bisnis dengan teknologi informasi menjadi penting ? Berikan contoh yang relevan. 5.2 Bagaimana menyusun agar renstra perusahaan selaras dengan teknologi informasi. Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan. 5.3 Buatlah sebuah cetak biru teknologi informasi di sebuah perusahan secara lengkap.
Selamat mengerjakan, good luck !
UJIAN AKHIR SEMESTER – PROGRAM M.KOM // UNIVERSITAS BUDI LUHUR
8