Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No. 1, 2012, halaman 31-39
ISSN : 1410-0177
UJI TOKSISITAS PERKEMBANGAN SIPROFLOKSASIN DAN STUDI HISTOLOGI TERHADAP MENCIT PUTIH Noni Zakiah1), Almahdy2), M. Husni Muchtar3) 1) Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas Andalas 2) Staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Andalas
ABSTRACT A study was conducted to determine the “development toxicity” of ciprofloxacin and litters kidney. The aim of this study was to observe teratogenic effect of ciprofloxacin, and observing its effect on behaviour development and litters kidney. Twenty four pregnant mice were divided into 4 groups : control, and treatments with oral dose of ciprofloxacin of 14,3 mg, 28,5 mg, and 57,1 mg/kg body weight/day for 10 days, coincided with sixth day until fifteenth day of pregnancy for prenatal and posnatal test. Half of the animals were killed on day 18 of gestation and the others half were allowed to deliver. Fetuses were removed by caesarean section. For postnatal test, ciprofloxacin exposed at first day of lactation until weaning. Behaviour toxicity was conducted by Behavioral Test Battery, and observing its effect on litters kidney by paraffin method. Quantitative data were analyzed with Anova and Duncan’s Multiple Range Test. Results showed that teratogenic effects of ciprofloxacin were fetuses death, resorption and hemorrhage. For behaviour toxicity, delayed ability was noticed at 28,5 mg/kg BW obviously, histologically there were disturbances of kidney, which were the thickening of bowman’s capsule, constriction of glomerular capillaries and necrosis. Key words : ciprofloxacin, behaviour toxicity, kidney histology PENDAHULUAN Obat dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki pada janin selama masa awal kehamilan atau trimester pertama. Selama kehamilan dan menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat, salah satunya adalah golongan antibiotika (Depkes RI, 2006). Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin (Nahum et al., 2006). Hal ini terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta (Katzung, 2007), disamping antibiotika bekerja mempengaruhi sel, layaknya sel embrio yang sedang berkembang.
Siprofloksasin merupakan salah satu antibiotik spektrum luas yang cukup potensial, banyak digunakan untuk berbagai jenis infeksi seperti infeksi paru kronis dan akut pada anak (Douidar dan Wayne, 1989), sepsis (MacGowan et al., 1994) dan juga terbukti efektif terhadap septikemia yang terjadi pada neonatus (Chaudhari et al., 2004). Walaupun siprofloksasin efektif untuk berbagai jenis infeksi, tetapi tingkat keamanannya terhadap kehamilan dan laktasi berada di bawah antibiotik spektrum luas lainnya seperti amoksisilin (Berkovitch et al., 2004). Telah dilaporkan bahwa amoksisilin relatif aman penggunannya pada wanita hamil yang menderita infeksi penyakit kelamin menular (Sexually Transmitted Diseases) (Kacmar et al., 2001). 31
Noni Z., et al.
Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan florokuinolon yang berpotensi sebagai agensia teratogen, karena memiliki berat molekul yang relatif kecil, yakni 331 Dalton (Sweetman, 2007) dimana zat dengan berat molekul kurang dari 600 Dalton dapat dengan mudah melewati sawar plasenta (Polacheka et al., 2005). Dilaporkan juga bahwa siprofloksasin dapat dieksresi ke dalam air susu ibu (Mathew, 2004). Telah dilaporkan terjadinya kasus artropati pada anak tikus dengan pemberian dosis tinggi siprofloksasin selama lebih dari 15 hari (Mohanasundaram dan Shantha, 2000). Artropati juga dilaporkan terjadi pada pemberian golongan kuinolon pada anak anjing yang berusia 12 minggu (Akelsen dan Hol, 2006). Pada studi retrospektif yang dilakukan terhadap penggunaan siprofloksasin pada anak dilaporkan terjadinya artropati reversibel akut (Karande dan Nilima, 1996). Obat golongan florokuinolon ini juga dapat menyebabkan terjadinya fototoksisitas (Lietman, 1995), menginduksi terjadinya hepatitis (Jones dan Smith, 1997), nefrotoksisitas dan gangguan pada saluran cerna (Lipsky dan Baker, 1999), serta terjadinya peningkatan enzim transaminase (Ball et al., 1999). Namun data toksisitasnya terhadap masa laktasi dan masa sapih tidak banyak dibicarakan. Maka berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang efek toksik siprofloksasin terhadap anak mencit saat gestasi, laktasi serta pengamatan histologi terhadap organ ginjalnya. Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui efek teratogen siprofloksasin terhadap fetus mencit. 2. Mengetahui perkembangan tingkah laku dari anak mencit yang lahir dari
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
3.
induk yang terpapar siprofloksasin pada masa laktasinya. Mengetahui efek siprofloksasin terhadap fungsi ginjal anak mencit yang lahir dari induk yang terpapar siprofloksasin pada masa laktasi.
METODE PENELITIAN Pada penelitian ini sampel terdiri dari 24 ekor mencit betina yang dibagi secara acak dalam 4 kelompok yang masingmasingnya terdiri dari 6 ekor dengan nama kelompok K = kelompok kontrol (tanpa perlakuan), D1= kelompok perlakuan dosis siprofloksasin 14,3 mg/ kg BB/ hari, D2 = kelompok perlakuan dosis siprofloksasin 28,5mg/ kg BB/ hari dan D3 = kelompok perlakuan dosis siprofloksasin 57,1 mg/ kg BB/ hari. Laparaktomi dilakukan terhadap 3 ekor induk mencit setelah usia kehamilan mencapai 18 hari dan sisa 3 ekor induk dari masing-masing kelompok dibiarkan melahirkan secara spontan. Dalam penelitian ini, dosis siprofloksasin yang diberikan terdiri dari tiga dosis, yaitu dosis lazim, 2 x dosis lazim dan 4 x dosis lazim. Penentuan dosis ini dilakukan berdasarkan atas dosis pada manusia 500 mg/ 70 kg BB. Tablet siprofloksasin digerus dan disuspensikan ke dalam larutan Na. CMC 0,5 %, kemudian dimasukkan langsung ke lambung mencit dengan menggunakan jarum gavage peroral. Pemberian sampel uji terhadap 3 kelompok hewan dilakukan selama sepuluh hari berturut-turut, mulai dari hari ke-6 sampai hari ke-15 kehamilan dengan dosis yang telah ditentukan di atas. Kelompok kontrol hanya diberikan Na. CMC 0,5 %. Terhadap 3 kelompok hewan sisa, pemberian sampel uji dilakukan mulai pada hari pertama partus hingga masa laktasi selesai (post natal day 21). Pengamatan dilakukan terhadap fetus mencit, tingkah laku dan histologi ginjal 32
Noni Z., et al.
anak mencit. Perkembangan perilaku anak mencit diamati mulai umur 5 hari (Post Natal Day-5) sampai 21 hari (PND-21) dengan metode Test Perilaku Berurut (Behavioral Test Battery). Parameter yang diamati adalah persentase keberhasilan kemampuan refleks, kemampuan motorik, kemampuan sensorik, dan berat badan (Tanaka, 2005; Virgianti dan Pawestri, 2005; Hood, 2006). Anak mencit berasal dari induk yang dibiarkan melahirkan secara spontan. Selama studi dilakukan, anak mencit ditimbang beratnya pada hari pertama, 4, 7, 14 dan 21 kelahiran. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopis preparat histologi ginjal anak mencit (Kiernan, 1981; Bancroft dan Gamble, 2002). Seluruh data terhadap fetus dan anak mencit dianalisis dengan uji varian dan kai kuadrat. Khusus untuk histologi ditampilkan berupa gambar dan analisis deskripsi. HASIL DAN PEMBAHASAN Siprofloksasin merupakan antibiotik spektrum luas yang bekerja dengan mekanisme menghambat DNA girase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV yang terdapat dalam bakteri (Mitchell, 2008). Penggunaan siprofloksasin tidak direkomendasikan pada masa kehamilan, kecuali jika manfaatnya lebih besar dari resiko yang terjadi. Penelitian ini terdiri dari 4 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor induk mencit. Dari 6 ekor induk mencit tersebut, 3 ekor diantaranya diinduksi dengan siprofloksasin pada hari 6-15 kehamilan dan 3 ekor yang lain diinduksi dengan siprofloksasin pada masa laktasi. Kelompok pertama sebagai kontrol hanya diberikan suspensi Na. CMC 0,5 %, kelompok kedua diberikan suspensi
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
siprofloksasin 14,3 mg/ kg BB/ hari, kelompok ketiga diberikan suspensi siprofloksasin 28,5 mg/ kg BB/ hari dan kelompok keempat diberikan suspensi siprofloksasin 57,1 mg/ kg BB/ hari. Dari grafik kenaikan berat badan induk mencit terlihat bahwa siprofloksasin tidak mempengaruhi peningkatan berat badan induk hamil. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya pertambahan berat badan seiring dengan bertambahnya hari kehamilan. Pemeriksaan terhadap fetus dilakukan dengan mengeluarkan fetus dengan cara laparaktomi pada hari ke-18 kehamilan. Fetus mengalami resorbsi pada pemberian dosis 14,3 dan 28,5 mg / kg BB/ hari. Sedangkan pada dosis 57,1 mg/ kg BB/ hari terjadi kematian fetus. Pada penelitian ini, kelainan morfologi yang paling banyak ditemukan adalah hemoragi. Hemoragi yang terjadi ditemukan pada 5 ekor fetus, 1 ekor diantaranya mengalami hemoragi di 4 bagian tubuh yang berbeda. Hemoragi yaitu keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai penimbunan dalam ruangan atau jaringan tubuh (Price dan Wilson, 1984). Kemungkinan ini terjadi karena siprofloksasin diberikan berulang kali pada dosis cukup tinggi hingga konsentrasinya tinggi dalam darah dan terjadi ketidakseimbangan osmotik. Pada keadaan normal embrio berkembang dalam cairan amnion yang isotonis dengan cairan tubuh. Zat asing dalam jaringan dapat mengubah tekanan osmosis. Ketidakseimbangan osmotik dapat disebabkan gangguan tekanan dan viskositas cairan pada bagian embrio yang berbeda, antara plasma darah dan ruang ekstra-kapiler atau antara cairan ekstra dan intra embrionik (Wilson, 1973).
33
Noni Z., et al.
Selain hemoragi, efek teratogen dari siprofloksasin yang lain adalah ditemukannya 5 tapak resorpsi dari 3 induk yang berbeda. Efek embriotoksik siprofloksasin diduga karena siprofloksasin dapat dengan mudah melintasi sawar plasenta menuju embrio karena siprofloksasin memiliki berat
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
molekul yang relatif kecil, yakni 331 Dalton (Sweetman, 2007), dimana zat dengan berat molekul kurang dari 600 Dalton dapat dengan mudah melewati sawar plasenta (Polacheka et al., 2005), sehingga siprofloksasin bersifat embriotoksik atau teratogenik terhadap fetus.
Tabel 1. Pengamatan Fetus Secara Makroskopi No Kelompok Uji Pengamatan K D1 D2 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 Kaki n n n n n n n n 2 Jari n n n n n n n n 3 Rangka n n n n n n n n 4 Ekor n n n n n n n n 5 Langit-langit n n n n n n n n 6 Telinga n n n n n n n n 7 Kelopak mata n n n n n n n n 8 Organ otak n n n n n n n n - - - *1 *7 9 Lambat pertumbuhan - - - *1 - *1 *3 10 Tapak resorpsi *2 *3 11 Hemoragi - - 12 Mati Keterangan : K = Kelompok kontrol D1 = Kelompok siprofloksasin 14,3 mg/kg BB/hari D2 = Kelompok siprofloksasin 28,5 mg/kg BB/hari D3 = Kelompok siprofloksasin 57,1 mg/kg BB/hari n = Normal = Tidak ada * = Menunjukkan jumlah Hasil pengamatan terhadap skeleton fetus secara umum menunjukkan tidak ada perbedaan dengan kontrol. Begitu juga tidak terjadinya perbedaan terhadap ekor, organ otak, daun telinga, kelopak mata, bibir, langit-langit mulut, jumlah jari kaki depan dan belakang jika dibandingkan dengan kontrol. Uji statistik menunjukkan berat badan anak mencit tidak berbeda dengan kontrol pada usia kelahiran 1, 4, 7, 14 dan 21. Hal ini
1 n n n n n n n n *1
D3 2 n n n n n n n n -
3 n n n n n n n n -
menunjukkan bahwa siprofloksasin tidak mempengaruhi berat badan anak. Pada uji refleks membalikkan badan, masing-masing kelompok perlakuan memperlihatkan perbedaan dengan kelompok kontrol, dimana waktu yang paling lama dibutuhkan untuk membalikkan badan terdapat pada kelompok dosis 28,5 mg/ kg BB/ hari yaitu membutuhkan waktu 6,10 detik. Pada uji refleks menghindari jurang, keberhasilan 34
Noni Z., et al.
yang sempurna dilakukan oleh anak mencit pada kelompok perlakuan 28,5 mg/ kg BB/ hari yaitu mencapai 100 %. Keberhasilan tersebut ditandai dengan kemampuan anak mencit untuk memutar posisi tubuhnya menghindari jurang. Pada uji refleks geotaksis negatif, keberhasilan yang sempurna dilakukan oleh anak mencit pada kelompok perlakuan 28,5 mg/ kg BB/ hari yang mencapai 100 %. Keberhasilan tersebut ditandai dengan anak mencit berhasil menahan berat tubuhnya dan memutar posisi tubuhnya. Meskipun terdapat perbedaan seperti yang tertera di atas, berdasarkan uji kai kuadrat, diketahui bahwa pemberian siprofloksasin tidak mempengaruhi kemampuan refleks anak mencit (p>0,05). Hal ini disebabkan oleh siprofloksasin tidak mempengaruhi sistem motorik pada medula spinalis yang merupakan pengendali tonus otot skelet (Dewanto et al., 2009). Pemberian siprofloksasin pada masa menyusui tidak berpengaruh pada sudut kepala, penggunaan anggota gerak dan arah berenang pada anak mencit. Hal tersebut dikarenakan siprofloksasin tidak mempengaruhi sistem ekstrapiramidal (korteks serebrum basal ganglia yang terdiri dari nucleus caudatus, nucleus lentiformis dan globus pallidus) yang merupakan pusat gerakan bawah sadar. Fungsinya antara lain memelihara posisi tubuh normal dan mengatur tonus otot (Pearce, 2009). Uji signifikansi terhadap kemampuan mengangkat badan dan anggota belakang dilakukan pada usia yang ke-13 hari. Diperoleh hasil bahwa siprofloksasin tidak mempengaruhi kemampuan anak mencit dalam mengangkat badan dan anggota belakang (p>0,05). Hal ini diduga karena siprofloksasin tidak mempengaruhi sistem ekstrapiramidal yang mempersarafi tonus otot (Satyanegara, 2010). Pada usia yang ke-14 hari, seluruh anak mencit mampu
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
mengangkat badan dan anggota belakang dengan sempurna. Uji perkembangan kemampuan sensorik anak mencit terdiri dari uji kemampuan penglihatan, pendengaran dan penciuman. Terhadap uji penglihatan pada usia 14 sampai 17 hari diperoleh perbedaan yang sangat nyata dibandingkan kontrol (p<0,01). Hal ini menandakan dosis mempengaruhi terhadap kemampuan penglihatan anak mencit pada usia 14 hingga 17 hari. Pengujian dengan menggunakan analisis Duncan menunjukkan bahwa kelompok yang berbeda nyata yaitu kelompok dosis 28,5mg/ kg BB/ hari. Sementara pada usia ke-18, dosis tidak mempengaruhi kemampuan penglihatan anak mencit. Fungsi penglihatan berhubungan erat dengan retina. Retina mengandung selapis sel fotoreseptor (sel kerucut dan sel batang) yang peka terhadap berkas cahaya yang melalui lensa. Saraf yang keluar dari retina adalah saraf (sensoris) aferen yang menghantar impuls cahaya dari fotoreseptor melalui nervus optikus ke otak untuk interpretasi visual (Eroschenko, 2000). Bagaimana mekanisme siprofloksasin dapat menyebabkan tertundanya kemampuan melihat dari anak mencit belum sepenuhnya diketahui. Terhadap uji pendengaran, dosis tidak mempengaruhi pendengaran anak mencit, kecuali pada usia yang ke-13 hari. Hal ini diduga karena tidak terdapat reseptor siprofloksasin pada organ telinga. Reseptor yang terlibat untuk pendengaran merupakan mekanoreseptor terspesialisasi yang disebut sel rambut (Ward et al., 2009). Sel rambut merupakan sel reseptor auditori. Rangsangan auditori (suara) dibawa pergi dari sel reseptor melalui nervus koklearis ke otak untuk diinterpretasi (Eroschenko, 2000).
35
Noni Z., et al.
Pada uji penciuman, seluruh dosis tidak mempengaruhi kemampuan penciuman anak mencit. Hal ini ditandai dengan menghindarnya anak mencit ketika hidungnya didekatkan pada sebuah batang kapas (cotton bud) yang telah dicelupkan ke dalam cologne. Fungsi penciuman berhubungan erat dengan sistem olfaktorius. Sistem olfaktorius memberi respon terhadap molekul-molekul mudah menguap (volatil) di udara yang mencapai epitel olfaktorius melalui aliran udara keluar-masuk hidung. Epitel olfaktorius mengandung sel saraf terspesialisasi yang memanjang, yang disebut reseptor olfaktorius. Reseptor inilah yang berfungsi sebagai reseptor bebauan yang berfungsi untuk mendeteksi dan meneruskan bebauan (Eroschenko, 2000; Ward et al., 2009). Ginjal merupakan organ yang beratnya kurang dari 1 % dari berat badan, meskipun demikian menerima sekitar 25 % curah jantung (Ashley dan Morlidge, 2008). Indikator adanya gangguan pada ginjal dapat diketahui dengan mengamati adanya proliferasi glomerulus yang berasal dari pembengkakan maupun penambahan sel-sel endotel dan epitel. Juga terdapat struktur tubulus yang tidak normal karena adanya pembengkakan sitoplasma sehingga lumen tubulus menjadi lebih kecil (Kumar et al., 2005). Hasil pengamatan pada struktur histologis ginjal anak mencit menunjukkan bahwa
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
pada kelompok kontrol terlihat rongga glomerulus yang masih normal dan beberapa lumen tubulus yang terisi urin serta membran basalis tubulus yang masih jelas dan utuh. Pada kelompok perlakuan I (siprofloksasin 14,3 mg/ kg BB/ hari) terlihat secara umum rongga filtrat belum terganggu, tetapi mulai terlihat adanya pembesaran sel epitel kapsula Bowman parietal dan viseral. Jika paparan berlanjut, maka pembesaran sel tersebut dapat berlanjut pada penyempitan rongga filtrat. Pada kelompok perlakuan II (siprofloksasin 28,5 mg/ kg BB/ hari) tampak rongga filtrat glomerulus menyempit dan sel tubulus yang mulai udem dan membentuk jejas. Pada kelompok perlakuan III (siprofloksasin 57,1 mg/ kg BB/ hari) telah terjadi penyempitan rongga filtrat glomerulus dan nekrosis sel tubulus yang semakin meluas. Menurut Dharnidharka et.al. (1998) siprofloksasin dapat menyebabkan gagal ginjal akut yang ditandai dengan adanya nekrosis tubular akut (acute tubular necrosis, ATN). Nekrosis tubular akut (NTA) adalah kematian sel tubular yang disebabkan oleh sel tubular kurang mendapatkan oksigen (ischemic ATN) atau ketika sel mendapat pengaruh dari toksikan obat atau molekul (nephrotoxic ATN) (Stevens et.al., 2002). NTA biasanya disertai dengan rupturnya membran basalis dan oklusi lumen tubular.
36
Noni Z., et al.
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
1
3
4 2
5
A
1
B
1
1
C
D
Gambar 1. Gambaran histologis ginjal anak mencit (perbesaran 400 X). A = kontrol; B = siprofloksasin 14,3 mg/ kg BB/ hari; C = siprofloksasin 28,5 mg/ kg BB/ hari; D = siprofloksasin 57,1 mg/ kg BB/ hari Keterangan : 1. Glomerulus 2. Rongga filtrat 3. Kapsula Bowman 4. Tubulus kontortus proksimal 5. Tubulus kontortus distal
37
Noni Z., et al.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pada pemberian dosis lazim, siprofloksasin telah bersifat teratogen terhadap fetus mencit. 2. Siprofloksasin tidak mempengaruhi tingkah laku anak mencit pada semua dosis kecuali terhadap kemampuan melihat. 3. Pemberian siprofloksasin pada semua dosis terhadap induk mencit selama masa laktasi dapat menyebabkan perubahan struktur histologi organ ginjal anak mencit.
DAFTAR PUSTAKA Akselsen and J. Hol. 2006. Quinolone-related arthropathy in a 12 week old Pyrenean Mountain Dog – clinical and radiographic findings. EJCAP. 118 (8) : 523-528. Ashley, C and C. Morlidge (ed). 2008. Introduction to Renal Therapeutics. Pharmaceutical Press. USA. Ball, P., L. Mandell, Y. Niki and G. Tillotson. 1999. Comparative tolerability of the newer fluoroquinolone antibacterials. Drug Saf. 21 (5) : 407-421. Bancroft, J.D and M. Gamble (Ed). 2002. Histological Techniques. Ed. 5. Churchill Livingstone. London. Berkovitch, M., O.D. Citrin, R. Greenberg, M. Cohen, M. Bulkowstein, S. Shechtman, O. Bortnik, J. Arnon and A. Ornoy. 2004. First-trimester exposure to amoxycillin/clavulanic acid. British Journal of Clinical Pharmacology. 58 (3) : 298–302. Chaudari, S., P.Suryawanshi, S. Ambardekar, M. Chinchwadkar and A. Kinare. 2004. Safety profile of ciprofloxacin used for neonatal septicemia. Indian Pediatrics. 41 : 1246-1251. Dewanto, G., W.J. Suwono, B. Riyanto dan Y. Turana. 2009. Panduan Praktis Diagnosis danTata Laksana Penyakit Saraf. EGC. Jakarta.
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
Dharnidharka, V.R., K. Nadeau, C.L. Cannon, H.W. Harris and S. Rosen. 1998. Ciprofloxacin Overdose: Acute Renal Failure with Prominent Apoptotic Changes. American Journal of Kidney Diseases. 31 (4) : 710-712. Douidar, S.M. and W.R. Snodgrass. 1989. Potential role of fluoroquinolones in pediatric infections. Review of infectious diseases. 11 (6) : 878-885. Eroschenko, V.P. 2000. Di Fiore’s Atlas of Histology With Functional Correlations. Ed. 9. Lippincott Williams & Wilkins Inc. USA. Hood, R.D (Ed). 2006. Developmental And Reproductive Toxicology : A Practical Approach. Ed. 2. CRC Press. United States of America. Jones, S.F and R.H Smith. 1997. Quinolones may induce hepatitis. BMJ. 314 (7084) : 869. Kacmar, J., E. Cheh, A. Montagno and J.F. Peipert. 2001. A randomized trial of azithromycin versus amoxicillin for the treatment of Chlamydia trachomatis in pregnancy. Infect Dis Obstet Gynecol. 9 : 197–202. Karande, S. and N.A. Kshirsagar. 1996. Ciprofloxacin use: acute arthropathy and long-term follow up. Indian Pediatrics. 33 : 910-915. Katzung, B.G (Ed). 2007. Basic & Clinical Pharmacology. Ed. 10. McGraw-Hill Medical. United States of America. Kiernan, J.A. 1981. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. Ed. 1. Pergamon Press. Kanada. Kumar, V., A.K. Abbas, N. Fausto, S.L. Robbins and R.S. Cotran. 2005. Pathologic Basic of Disease. Ed. 7. Elsevier Saunders. Philadelphia. Lietman, P.S. 1995. Fluoroquinolone toxicities. An update. Suppl. 2 : 15963. MacGowan, A.P., L.O. White, N.M. Brown, A.M. Lovering, C.M. McMullin and D.S.Reeves. 1994. Serum ciprofloxacin concentrations in patients with severe sepsis being treated with ciprofloxacin 200 mg i.v.bd irrespective of renal function. J.
38
Noni Z., et al.
Antimicrob Chemother. 33 (5) :10511054. Mathew, J.L., Effect of maternal antibiotics on breast feeding infants. 2004. Postgrad Med J. 80 : 196-200. Mitchell, R. and N. Cranswick. 2008. What Is The Evidence of Safety of Quinolone Use In Children?. International Child Health Review Collaboration. Mohanasundaram, J. and S. Mohanasundaram. 2001. Effect of duration of treatment on ciprofloxacin induced arthropathy in young rats. Indian Journal of Pharmacology. 33 : 100-103. Nahum, G.G., K. Uhl and D.L. Kennedy. 2006. Antibiotic use in pregnancy and lactation: what is and is not known about teratogenic and toxic risks. Obstet Gynecol. 107 (5) : 1120-1138. Pearce, E.C. 2009. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia. Jakarta. Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui, Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan R I. 2006. Bakti Husada. Jakarta. Polacheka, H., Gershon, G. Sapirb, M.T. Tamira, J. Polachekc, M. Katzb and Z.B. Zvia. 2005. Transfer of ciprofloxacin, ofloxacin and levofloxacin across the perfused human placenta in vitro. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 122 (1) : 61-65. Price, S.A. and L.M. Wilson. 1984. Patofisiologi. EGC. Jakarta. Sarro, A.D. and G.D. Sarro. 2001. Adverse Reactions to Fluoroquinolones. An Overview on Mechanism Aspects. Current Medicinal Chemistry. 8 : 371384. Satyanegara (ed). 2010. Ilmu Bedah Saraf. Ed. 4. Gramedia. Jakarta. Stevens, A., J.S. Lowe and B. Young. 2002. Basic Histopathology : A Colour Atlas and Text. Ed. 4. Churchill Livingstone, New York. Sweetman, S.C (Ed). 2007. Martindale: The Complete Drug Reference. Ed. 35. The Pharmaceutical Press. London.
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
Tanaka,
T. 2005. Reproductive and Neurobehavioural Toxicity Study of Tartrazine Administered to Mice in The Diet. Doi:10.1016/j.fct.2005.06.011. Virgianti, D.P. dan H.A. Pawestri. 2005. Pengaruh Pendedahan Morfin Terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus) SwissWebster. Cermin Dunia Kedokteran. 149 : 44-48. Ward, J.P.T., R.W. Clarke and R.W.A. Linden. 2009. At a Glance Fisiologi. Erlangga. Jakarta. Wilson, J.G. 1973. Environment and Birth Defects. Academic Press. New York.
39