TESIS
UJI RESISTENSI NEISSERIA GONORRHOEAE TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA PADA PENDERITA GONORE
DESAK MADE PUTRI PIDARI NIM 1114088107
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR 2016 i
UJI RESISTENSI NEISSERIA GONORRHOEAE TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA PADA PENDERITA GONORE
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESAK MADE PUTRI PIDARI NIM 1114088107
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 21 Juli 2016
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. dr. A. A. G. P. Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV NIP. 195609121984121001
Prof.dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV,FAADV NIP 195201011980031003
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK NIP. 195805211985031002
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K) NIP. 19530811198102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 21 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No 3360 / UN 14.4/HK/ 2016 Tanggal 21 Juli 2016
Ketua
: Dr. dr. A. A. G. P. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
Sekretaris
: Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Anggota
:
1. Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV 2. Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV 3. Dr. dr. I. G. A. A. Praharsini, Sp.KK, FINSDV
iv
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “ Uji Resistensi Neisseria Gonnorrhoeae Pada Penderita Gonore” dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. AAGP Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K),
FINSDV, FAADV sebagai pembimbing yang telah banyak
memberikan semangat, bimbingan dan saran dalam penyusunan karya akhir ini. Saya menyadari tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, FICS, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program v
Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree). Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A. Sri Saraswati, M.Kes, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada DR. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV, Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan penguji, yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal sampai akhir pendidikan penulis, Dr. dr Made Wardhana, SpKK, FINSDV, FAADV, Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV, FAADV dan Dr. dr. I.G.A.A. Praharsini, Sp.KK, FINSDV selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan, penyelesaian karya akhir ini. Seluruh guru-guru dan dosen yang telah mengajar dan membimbing penulis mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboratorium Mikrobiologi Universitas Udayana Denpasar, atas sarana dan prasarana untuk kelancaran penelitian ini. Kepada teman-teman seperjuangan dr. Azhar Ramadhan Nonci, dr. Tjok Istri Oka Handayani Prasetya, dr. Dulce Madalena da costa Alberto, dr. Herjuni Oematan, dr. Ida Ayu Putu Utami Dewi, dr. Made Dina Pranidya Ari dan seluruh teman-teman residen lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam suka dan duka selama vi
menempuh pendidikan. Seluruh tenaga paramedis dan non medis di unit rawat jalan dan rawat inap yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan penulis untuk menyelesaikan pendidikan. Rasa hormat dan sembah bakti juga penulis sampaikan kepada ayah Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH dan ibu A. A. Sagung Mas Partini, selaku orang tua yang telah mengasuh, membesarkan, memberikan dukungan moril dan materiil yang tiada henti serta tanpa pamrih., Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini sangat jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis tetap mohon petunjuk kearah perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.
Denpasar, Juli 2016
vii
ABSTRAK UJI RESISTENSI NEISSERIA GONORRHOEAE TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA PADA PENDERITA GONORE
Prevalensi infeksi gonore pada masih tinggi dan menurut data Surveilans Terpadu Badan Pusat pada tahun 2013 didapatkan prevalensi gonore dan klamidia merupakan penyakit IMS dengan kejadian terbanyak. Prevalensi infeksi gonore pada tahun 2011 didapatkan sebesar 38 % dan salah satu faktor angka prevalensi yang tinggi ini dapat diakibatkan oleh adanya resistensi terhadap pengobatan. Perilaku wanita penjaja seks dan kelompok risiko lain seperti laki-laki heteroseksual dan lakilaki yang berhubungan seks dengan laki-laki yang berisiko tinggi karena bergantiganti pasangan dan dengan prevalensi infeksi gonore yang tinggi dapat menimbulkan dampak peningkatan angka kejadian HIV. Saat ini, di Denpasar pada khususnya belum pernah dilakukan kajian mengenai uji resistensi antibiotika terhadap infeksi gonore sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap resistensi beberapa antibiotik terhadap Neisseria gonorrhoeae sehingga akan dapat membantu dalam penanganan infeksi gonore, mengurangi insiden gonore dan membantu dalam mengurangi penularan infeksi HIV Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Terdapat 45 sampel isolat yang memenuhi kriteria penerimaan sampel. Data umum mengenai karakteristik penderita diperoleh dengan wawancara. Bahan sampel dari swab duh tubuh endoserviks dan meatus uretra yang kemudian dilakukan kultur dan dilakukan tes resistensi terhadap beberapa antibiotika. Metode tes resistensi yang digunakan pada penelitian ini mengikuti standar Clinical Laboratory Standard Institute. Obat antibiotika yang dilakukan tes kepekaan terhadap Neisseria gonorrhoeae adalah sefiksim, seftriakson, tetrasiklin, siprofloksasin, asitromisin. Data mengenai uji resistensi kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif. Dari 45 sampel isolat Neisseria gonorrhoeae didapatkan bahwa antibiotika yang memiliki sensitivitas tertinggi terhadap Neisseria gonorrhoeae adalah asitromisin (76%), seftriakson (37,9 %), sefiksim (48,8 %), sedangkan tidak ada isolat yang memiliki kepekaan terhadap antibiotika siprofloksasin dan tetrasiklin. Kata kunci : Neisseria gonorrhoeae, resistensi, antibiotika
viii
ABSTRACT RESISTANCE TEST OF NEISSERIA GONORRHOEAE TO SEVERAL ANTIBIOTICS IN GONORE PATIENT
Prevalence of gonorrhea infection is still high and according to data IBBS in 2013 the prevalence of gonorrhea and chlamydia is an sexually transmitted diseases with the highest incidence. Prevalence of gonorrhea infections in 2011 obtained 38% and one of the factors of this high prevalence rate can be caused by resistance to treatment. The behavior of female sex workers and other risk groups who have multiple sexual partners and with a high prevalence of gonorrhea infection can cause impacts increase in the incidence of HIV. Currently, in Denpasar in particular has never done a study of antibiotic resistance testing against gonorrhea infection so it is necessary to study the resistance of some antibiotics against Neisseria gonorrhoeae that will assist in the handling of gonorrhea infection, reducing the incidence of gonorrhea and assist in reducing the transmission of HIV infection This study using descriptive method. There are 45 samples of isolates that meet the criteria for receipt of samples. General data on patient characteristics obtained by interview. Material samples from endocervical urethral meatus swab were then cultured and performed resistance tests to several antibiotics. Data on resistance tests were then processed and analyzed descriptively. According to this research, 45 samples of Neisseria gonorrhoeae isolates found that antibiotics had the highest sensitivity to Neisseria gonorrhoeae is azithromycin (76%), ceftriaxone (37.9%), cefixime (48.8%), whereas no isolates were sensitive to the antibiotic ciprofloxacin and tetracycline. Key words : Neisseria gonorrhoeae, resistance, antibiotics
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ………………………………………………………………
i
PRASYARAT GELAR……………………………………………………………
ii
LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………………
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………………………
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………………
vi
UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………………
vii
ABSTRAK………………………………………………………………………...
x
ABSTRACT……………………………………………………………………….
xi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..
xii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………..
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………..
Xix
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………………
Xx
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………
xxi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….
1
1.1
Latar Belakang ….…………………………………………..............
1
1.2
Rumusan Masalah ..…………………………………….....................
4
1.3
Tujuan Penelitian ..……………………………………………………
5
1.3.1
Tujuan umum ….……………………………………………. x
5
1.3.2 1.4
Tujuan khusus ……………………………………………….
Manfaat Penelitian .…………………………………………………...
5
1.4.1
Manfaat teoritis ….…………………………………………
5
1.4.2
Manfaat praktis ……………………………………….........
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………….. 2.1
5
7
Biologi Neisseria Gonorrhoeae.............................................................
7
2.1.1
Morfologi neisseria gonorrhoeae…………………………...
7
2.1.2
Klasifikasi dan variasi antigenik neisseria gonorrhoeae......
8
2.1.2.1
Klasifikasi neisseria gonorrhoeae.........................
8
2.1.2.2
Variasi antigenik neisseria gonorrhoeae...............
10
2.2
Patogenitas Neisseria Gonorrhoeae....................................................
12
2.3
Manifestasi Klinis Infeksi Gonore......................................................
14
2.4
Diagnosis Infeksi Gonore....................................................................
16
2.4.1
Pengecatan gram.....................................................................
16
2.4.2
Kultur......................................................................................
17
2.4.3
Tes nucleic acid amplification ..............................................
18
2.5
Penatalaksanaan.....................................................................................
18
2.6
Resistensi Bakteri terhadap Antibiotika………………………………
20
xi
2.6.1
Definisi dan klasifikasi resistensi bakteri terhadap resistensi
20
antibiotika................................................................ 2.6.2 2.7
Mekanisme resistensi bakteri secara umum.......................
20
Mekanisme Resistensi Neisseria Gonorrhoeae.....................................
22
2.7.1
24
Resistensi
neisseria
gonorrhoeae
terhadap
beberapa
antibiotika................................................................................. 2.7.2 2.8
Faktor yang berperan dalam penyebaran resistensi………
Sejarah Perkembangan Resistensi Neisseria Gonorrhoeae Terhadap
25 24
Antibiotika…………………………………………………………….
2.9
2.8.1
Era pra kuinolon………………………………………........
26
2.8.2
Era kuinolon………………………………………………..
27
2.8.3
Era paska kuinolon …………………………………..............
28
Resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap Sefalosporin…………….
29
2.9.1
29
Karakteristik
umum
dan
mekanisme
kerja
sefalosporin…………………………………………………..
2.9.2
2.9.1.2
Sefalosporin oral untuk gonore……………………
30
2.9.1.3
Sefalosporin parenteral untuk gonore……………..
30
Definisi
resistensi
31
neisseria
gonorrhoeae
terhadap
sefalosporin………………………………………………… 2.9.3
Epidemiologi resistensi sefalosporin………………………. xii
31
2.9.4
Mekanisme
resistensi
Neisseria
gonorrhoeae
terhadap
33
sefalosporin…………………………………………............. 2.9.4.1
Perubahan penicillin binding protein………………
33
2.9.4.2
Reduksi konsentrasi antimikroba intraseluler……..
34
2.9.4.3
Metode
35
untuk
medeteksi
resistensi
terhadap
sefalosporin ……………………………………….. 2.9.5
Pilihan
pengobatan
gonore
yang
resisten
terhadap
36
HIPOTESIS
41
Sefalosporin BAB
III
KERANGKA
BERPIKIR,
KONSEP
DAN
PENELITIAN …………………………………………………………………… Kerangka Berpikir ……………………………………………………
41
BAB IV METODE PENELITIAN …………………………………………….
43
4.1
Rancangan Penelitian ..……………………………………………….
43
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ..………………………………………..
44
4.3
Penentuan Sumber Data ……………………………………………..
44
4.3.1 Populasi target………………………………………………….
44
4.3.2 Populasi terjangkau…………………………………………….
44
3.1
4.3.2.1
Kriteria inklusi penelitian .....................................
44
4.3.2.2
Kriteria eksklusi penelitian……………………….
44
xiii
4.3.3 Teknik pengambilan sampel…………………………………...
45
4.3.4 Besar sampel …………………………………………………..
45
Variabel Penelitian …………………………………………………..
46
4.5.1 Definisi operasional variabel……………………………………
46
4.5
Bahan Penelitian ......…………………….…………………………..
49
4.6
Instrumen Penelitian.............................................................................
48
4.6.1 Instrumen ……………………………………………………….
49
4.6.2 Reagen dan media………………………………………………
50
4.6.2.1 Reagen dan media uji identifikasi ……………………..
50
4.6.2.2 Reagen dan media uji resistensi dan sensitivitas
50
4.4
antibiotika…………………………………………………….. 4.7
Prosedur Penelitian……………………………………………………
51
4.7.1 Prosedur pembuatan media……………………………………...
53
4.7.1.1 Media modified thayer martin (saponin GC agar
53
base)…………………………………………………………… 4.7.1.2 Media chocolate agar …………………………………
54
4.7.2 Prosedur identifikasi bakteri neisseria gonorrhoeae……………
55
4.7.3 Prosedur uji sensitivitas dan resistensi………………………….
56
xiv
4.7.4 Alur penelitian…………………………………………………..
59
4.8
Analisis Data ………………………………………………………..
60
4.9
Etika Penelitian………………………………………………………..
60
60
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1
Jumlah Sampel ………………………………………………………
61
5.2
Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin ……………..
61
5.3
Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Umur………………………
62
5.4
Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Faktor Risiko………………
63
5.5
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan………………….
64
5.5
Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jumlah Pasangan Seksual
63
dalam 1 Minggu Terakhir ……………………………………………. 5.6
Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sendiri………
64
5.7
Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Terinfeksi HIV………….
65
5.8
Distribusi
Gonore
66
Distribusi Sampel Berdasarkan Hasil Uji Kepekaan terhadap
67
Sampel
Berdasarkan
Riwayat
Terinfeksi
Sebelumnya 5.9
Antibiotika
BAB VI. PEMBAHASAN xv
6.1
Karakteristik Subyek Penelitian……………………………..………..
68
6.2
Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Sefiksim………
71
6.3
Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Seftriakson……
74
6.4
Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Asitromisin…
76
6.5
Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Tetrasiklin……
77
6.5
Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Siproflokasin….
79
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1
Simpulan………………………………………………………………
82
7.2
Saran………………………………………………………………….
82
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………
83
LAMPIRAN …………………………………………………………
88
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1
Patogenesis Gonore tanpa Komplikasi………………………………14 xvi
Gambar 2.3
Neisseria Gonorrhoeae pada Pengecatan Gram……………………..17
Gambar 4.1
Rancangan Penelitian Cross Sectional................................................43
Gambar 4.2
Alur Penelitian ………………………………………………………59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 : Ethical Clearance……………………………………………………. xvii
87
Lampiran 2 : Surat Ijin Penelitian…………………………………………………..
88
Lampiran 3 : Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian ………………………..
90
Lampiran 4 : Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ……………………………
93
Lampiran 5 : Kuesioner Penelitian …………………….………………………….
94
Lampiran 6: Data Sampel penelitian……………………………………………….
99
Lampiran 7 : Foto Prosedur Penelitian……………………………………………...
102
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Struktur N.Gonorrhoeae yang Terlibat pada Patogenesis Gonore……………….11 Tabel 2.2 Mekanisme Resistensi Antibiotika dan Rekomendasi Pengobatan
xviii
untuk N. Gonorrhoeae……………………............……………………...........15
Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin ………………..….67 Tabel 5.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Umur…………...…………..........68 Tabel 5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Faktor Risiko…………………….69 Tabel 5.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan……………………..…70 Tabel 5.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jumlah Pasangan Seksual dalam 1 Minggu Terakhir …………………………………………………………….72 Tabel 5.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sendiri…………….....73 Tabel 5.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Terinfeksi HIV………………..…..76 Tabel 5.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Terinfeksi Gonore Sebelumnya…..78 Tabel 5.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Hasil Uji Kepekaan terhadap Antibiotika ....80
DAFTAR SINGKATAN
xix
Arg
: Arginin
AGSP
: Australian Gonococcal Surveillance Programme
AHU
: Arg, hiposantin dan urasil
CDC
: Center for disease control and prevention
CLSI
: Clinical and Laboratory Standards Institute
DNA
: Deoxyribonucleic Acid
ECDPC
: European Centre for Disease Prevention and Control (ECDPC)
Euro-GASP
: European Gonococcal Antimicrobial Survelillance Programme
ESSTI
: Eropa Surveillance of Sexually Transmitted Infection
GRAPS
: Gonococcal Resistance Antimicrobial Surveillance Programme
Frps
: iron or oxygen-represible protein
LOS
: Lipo-oligosacharida
MIC
: Minimum Inhibitory Concentration
M
: metionin
Op
: Opak
Proto
: prototropik xx
PID
: Pelvic Inflammatory Disease
PCR
: Polymerase Chain Reaction
PPNG
: Penicillinase Producing Neisseria Gonorrhoea
PBPs
: Penicillin Binding Proteins
PRP
: penyakit radang panggul
IMS
: infeksi menular seksual
WPS
: wanita penjaja seks
STBP
: Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku
Tr
: transparan
U
: urasil
WHO
: World Health Organization
Pro
: prolin
Rmp
: Reduction modifiable protein
LOS
: Lipo-oligosacharida
GISP
: Gonococcal Isolate Surveillance Project
mtrR
: Methionine synthase reductase xxi
penA
: Penicilin binding protein A Gene
penB
: Penicilin binding protein B gene
HIV
: Human Immunodeficiency Virus
xxii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Gonore merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang sering terjadi dan merupakan tantangan kesehatan umum yang dijumpai saat ini. Meskipun gonore telah diketahui menginfeksi manusia sejak lama, akan tetapi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Angka kejadian infeksi gonore tinggi pada kelompok berisiko tinggi seperti wanita penjaja seks (WPS), akan berpengaruh pada penularan ke masyarakat yang lebih luas dan meningkatkan risiko penularan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada beberapa negara tingginya angka kejadian gonore dikaitkan pula dengan terdapatnya resistensi pengobatan terhadap infeksi ini. Kepekaan terhadap pengobatan yang semakin menurun akan menyebabkan angka kesembuhan menurun, pengobatan yang tidak tuntas, angka kekambuhan yang semakin meningkat dan angka penularan yang semakin tinggi. Gonore disebabkan oleh bakteri neisserria gonorrhoeae yaitu suatu bakteri diplokokus gram negatif yang bersifat fakultatif anaerob yang ditandai khas adanya duh tubuh uretra atau serviks mukopurulen. Gonore merupakan infeksi tersering kedua di Amerika Serikat yaitu sekitar lebih dari 333.004 kasus dilaporkan pada tahun 2013. Center for disease control and prevention (CDC) memperkirakan sekitar 820.000 kasus gonore muncul setiap tahunnya di AS (CDC, 2015). Terjadi penurunan angka infeksi gonore dari xxiii
106,7 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2012 menjadi 106,1 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2013, namun selama periode 2009 hingga 2013 angka infeksi meningkat sekitar 8,2%. Prevalensi gonore berdasarkan data dari Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada tahun 2013 di beberapa kota di Indonesia, dilaporkan mengalami peningkatan pada pria berisiko tinggi dari 0,7% pada tahun 2009 menjadi 8,5% pada tahun 2013, dan pada laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL) juga terjadi peningkatan dari sekitar 17% pada tahun 2009 menjadi 21,2% pada tahun 2013. Prevalensi infeksi gonore pada WPS langsung di Indonesia menurut STBP pada tahun 2013 adalah sebesar 32,2 % dan 34,8 % pada tahun 2009. Prevalensi infeksi gonore pada WPS tidak langsung adalah sebesar 17,7 % pada tahun 2013 dan 17,7 % pada tahun 2009. Prevalensi infeksi gonore pada WPS di Denpasar menurun dari 60,5 % pada tahun 1997 menjadi 22 % pada tahun 2010 (STBP, 2013). Berdasarkan register pasien yang berkunjung ke poliklinik Kulit dan Kelamin sub divisi IMS Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar pada tahun 2015 terdapat 39 kasus gonore. Masih tingginya angka prevalensi gonore erat kaitannya dengan terjadinya resistensi terhadap pengobatan infeksi gonore. Infeksi gonore umumnya diobati dengan antibiotika dosis tunggal yang dapat memberikan kesembuhan lebih dari 95% kasus. Kecenderungan resistensi terhadap N. gonorrhoeae diklasifikasikan menjadi tiga yaitu era pra kuinolon, era kuinolon, dan era paska kuinolon. Era pra kuinolon ditandai dengan pemakaian sulfonamid, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan penisilin. Era kuinolon ditandai dengan penggunaan turunan kuinolon sebagai pilihan terapi dan era post kuinolon ditandai dengan penggunaan sefalosorin generasi ketiga sebagai pilihan (Latel dkk, 2011). Menurut European Gonococcal Antimicrobial Survelillance Programme (Euro-GASP) didapatkan peningkatan xxiv
angka resistensi terhadap sefiksim yang meningkat menjadi 7,6 % dari 5,1 % pada isolat yang dideteksi pada tahun 2009. Sepuluh isolat didapatkan resisten terhadap seftriakson pada tahun 2011, tujuh diantaranya juga resisten terhadap sefiksim. Angka resistensi terhadap pengobatan siprofloksasin adalah 48,7 % dan asitromisin didapatkan 5,3 % (Michelle dkk., 2014). Penelitian mengenai uji kepekaan terhadap sefiksim pada wanita penjaja seks di Surabaya didapatkan 3 dari 12 isolat resisten terhadap sefiksim dan 9 dari 12 isolat (75 %) sensitif terhadap sefiksim. Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan resistensi antibiotika antara lain akibat pengobatan sendiri oleh penderita, adanya reinfeksi, penggunaan antibiotika yang tidak rasional, infeksi gonore pada heterokseksual, usia lebih dari 25 tahun, dan koinfeksi gonore dengan klamidia (Cole dkk, 2014). Metode untuk tes suseptibilitas dapat dikerjakan dengan berbagai teknik. Metode yang sering digunakan adalah menggunakan cakram difusi dan agar dilusi menurut kriteria Clinical Laboratory Standard Institute yang pertama kali dijabarkan oleh Bauer dkk dan merupakan modifikasi dari National Commitee for Clinical Laboratory Standards (NCLLS) dan yang paling terbaru adalah penggunaan Etest. Etest merupakan modifikasi dari cakram difusi dan agar dilusi dengan menggunakan strip antibiotika dan dapat mengetahui minimal inhibitory concentration (MIC). Penggunaan cakram difusi dengan metode CLSI merupakan suatu teknik yang dapat dikerjakan pada negara dengan keterbatasan fasilitas laboratorium, lebih murah dan dapat mudah diaplikasikan untuk mengetahui nilai zona hambat suatu antibiotika (Vikram, 2012). Berdasarkan pedoman Clinical laboratory Standard Institute antibiotika yang direkomendasikan untuk dilakukan tes suseptibilitas terhadap Neisseria gonorrhoeae adalah xxv
tetrasiklin, siprofloksasin, sefiksim, seftiakson (CLSI, 2015). Antibiotika sefiksim dan seftriakson yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan pertama dalam pengobatan infeksi gonore menurut pedoman infeksi menular seksual di Indonesia, sedangkan tetrasiklin dan siprofloksasin sudah tidak pernah dipergunakan lagi sebagai pilihan terapi (Pedoman, 2011). Pentingnya penanganan infeksi gonore untuk mengurangi prevalensi gonore yang cukup tinggi memberikan dasar untuk melakukan penelitian uji resistensi antibiotik terhadap Neisseria Gonorrhoeae. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberi kontribusi mengenai pola resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap beberapa antibiotika pada penderita gonore dan sebagai saran dalam menentukan strategi pengobatan infeksi gonore tanpa komplikasi. Saat ini masih sedikit data mengenai sensitivitas dan resistensi infeksi gonore terhadap antimikroba sehingga dibutuhkan monitoring berkelanjutan sebagai bagian dari pencegahan penggunaan antibiotik yang tidak efektif dalam pengobatan infeksi gonore.
1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah pola resistensi antibiotika sefiksim, seftriakson, tetraskilin siprofloksasin, asitromisin terhadap Neisseria gonorrhoeae? xxvi
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pola resistensi antibiotika sefiksim, seftriakson, tetrasiklin, siprofloksasin, asitromisin terhadap Neisseria gonorrhoeae
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika sefiksim terhadap Neisseria gonorrhoeae 2. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika seftriakson terhadap Neisseria gonorrhoeae 3. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika siprofloksasin terhadap Neisseria gonorrhoeae 4. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika tetrasiklin terhadap Neisseria gonorrhoeae 5. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika asitromisin terhadap Neisseria gonorrhoeae
xxvii
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis Untuk kepentingan ilmu pengetahuan sebagai data dasar epidemiologi resistensi pengobatan Neisseria gonorrhoeae
1.4.2 Manfaat praktis
1. Untuk kepentingan praktisi kesehatan sebagai pedoman dalam dasar pemilihan antibiotika yang tepat pada pasien gonore 2. Untuk
kepentingan
pemegang
kebijakan
dalam
menyusun
program
penatalaksanaan dalam penanggulangan IMS pada umumnya dan infeksi gonore pada khususnya.
xxviii
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Biologi Neisseria gonorrhoeae 2.1.1. Morfologi neisseria gonorrhoeae Gonore adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae), suatu diplokokus gram negatif.
Pada tahun 1879, N. gonorrhoeae
ditemukan oleh Neisser dengan pulasan sediaan hapusan dari eksudat uretra, vagina dan konjungtiva. Transmisi penyakit gonore terjadi melalui inokulasi langsung dari sekresi mukosa yang terinfeksi pada satu tempat ke tempat lainnya melalui kontak genital-genital, genital-anorektal, oro-genital, atau dari ibu yang terinfeksi ke bayinya pada proses persalinan (Sparling, 2008). Gonokokus adalah diplokokus gram negatif, tidak bergerak dan tidak berspora. Bentuk dari gonokokus menyerupai biji kopi dengan lebar 0,8 µ dan panjang 1,6 µ yang secara karakteristik tumbuh berpasangan dan bagian yang berdekatan adalah datar (rata). (Sparling, 2008). Gonokokus bersifat anaerob obligat, tidak tahan lama diudara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan zat desinfektan, hidup optimal pada suhu 25,5ºC dan pH 7,4. Untuk pertumbuhan optimal diperlukan kadar CO2 2-10% (Sparling , 2008).
xxix
Penentuan tipe gonokokus secara morfologi didasarkan pada dua hal, yang pertama berdasarkan bentuk koloni yang terjadi bila gonokokus dibiakkan pada media agar jernih, dan yang kedua berdasarkan opasitas koloni. Berdasarkan bentuk koloni gonokokus dibagi menjadi empat tipe. Koloni berbentuk kecil, cembung dan berkilau terdiri dari dua tipe yaitu tipe 1 dan tipe 2, koloni ini memiliki pili (piliated) dan ditandai dengan P+. Sedangkan koloni berbentuk besar dan datar juga dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe 3 dan tipe 4, tidak memiliki pili (nonpiliated) dan ditandai dengan P-. Dalam penelitian in vitro didapatkan koloni P+ bersifat virulen sedangkan koloni P- mengalami penurunan kemampuan untuk menimbulkan infeksi. Beberapa koloni memiliki kemampuan mengalami konversi dari P+ menjadi P- atau sebaliknya beberapa koloni P- dapat mengalami konversi menjadi P+ (Sparling, 2008; Criss dkk, 2005) Berdasarkan opasitasnya, koloni dibagi menjadi koloni yang opak (Op) tampak lebih gelap dan bergranuler bila dibandingkan dengan koloni yang transparan (Tr). Dasar biokimia perbedaan antara koloni Op dan Tr adalah adanya variasi ekspresi famili protein membran luar yang disebut protein II (P II), yang saat ini dikenal dengan istilah Opa. Koloni Op terdiri dari sel-sel yang menunjukkan Opa sedangkan Tr mengandung sel-sel yang tidak mengandung Opa (Sparling, 2005; Simms dan Jerse, 2006)
2.1.2. Klasifikasi dan variasi antigenik Nesisseria gonorrhoeae 2.1.2.1. Klasifikasi nesisseria gonorrhoeae
xxx
Klasifikasi strain typing Neisseria gonorrhoeae sangat diperlukan untuk studi epidemiologi. Terdapat sejumlah metode untuk penentuan strain typing ini, yaitu auksotipe, serotipe, kepekaan terhadap antimikroba dan genotipe. Metode auksotipe dan serotipe lebih sering digunakan secara luas dalam penelitian epidemiologi gonore (Simms dan Jerse, 2006) Auksotipe mengklasifikasikan gonokokus berdasarkan stabilitas kebutuhan nutrisi terhadap nukleotida dan asam amino yang bervariasi, baik dalam bentuk tersendiri maupun kombinasi. Contoh dari auksotipe yang sering dijumpai adalah strain yang memerlukan arginin (Arg), prolin (Pro), urasil (U), metionin (M) atau Arg, hiposantin dan urasil (AHU) untuk pertumbuhannya. Gonokokus yang tidak memerlukan satupun substrat dikenal dengan istilah prototropik (Proto) atau dikenal sebagai tipe yang jinak oleh beberapa penulis (Hook dan Handsfield, 2008). Serotipe protein I berdasarkan pada stabilitas perbedaan antigenik dari protein I, protein yang terdapat dalam jumlah banyak pada membran bagian luar gonokokus. Protein I dibagi menjadi dua klas yang berbeda satu, yaitu protein IA dan protein IB, yang mana masing-masing dapat dibagi lebih lanjut menjadi serovar-serovar dengan pemeriksaan koagulasi menggunakan reagen antibodi monoklonal spesifik. Masing-masing serovar ditandai oleh protein tipe I (IA atau IB) dan diberi angka berdasarkan pola koagulasi (misalnya IA-4, IB-3) (Cornelissen, 2011). Dengan kombinasi tehnik analisa auksotipe dan serovar tersebut, gonokokus dapat dibagi menjadi klas-klas auksotipe/serovar (A/S) yang berbeda dan dalam jumlah yang besar (lebih dari 70 strain) misalnya AHU/IA-1, Pro/IB-3, Proto/IB-12. Strain-strain tersebut xxxi
umumnya terdapat secara serentak pada masyarakat dan strain yang baru dapat dideteksi sepanjang waktu. Masing-masing strain gonokokus memiliki sifat serta berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit yang spesifik, misalnya strain AHU/IA-1 dan AHU/IA-2 memiliki sifat tumbuh lebih lambat daripada kebanyakan gonokokus lainnya dan cenderung menjadi resisten (Sparling, 2006).
2.1.2.2. Variasi antigenik Nesisseria gonorrhoeae Neisseria gonorrhoeae mengandung beberapa protein antigenik yang berperan dalam patogenitasnya. Protein antigenik tersebut antara lain pili, porin protein (PI atau Por), opacity protein (PII atau opa), reduction modifiable protein (PIII atau Rmp), protein H.8, iron or oxygen-represible protein (Frps), IgAI protease, lipo-oligosacharida (LOS) serta struktur permukaan lainnya. Mayoritas dari protein-protein tersebut terletak pada membran bagian luar gonokokus. Peranan dari masing-masing protein antigenik dalam patogenitas gonokokus dapat dilihat pada tabel 1 (Sparling, 2008).
xxxii
Tabel 2.1 Struktur N.Gonorrhoeae yang Terlibat pada Patogenesis Gonore (Sparling,2008) Struktur
Peranan dalam Infeksi
Por
Insersi ke dalam membran sel host Target untuk bakterisidal, antibodi opsonik
Opa
Perlekatan
Rmp
Target untuk blokade antibodi
Pili
Perlekatan
Lipooligosakarida
Resisten terhadap neutrofil
Peptidoglikan
Toksik terhadap jaringan
Iron repressible protein
Iron
uptake
dari
transferin,
laktoferin,
hemoglobin
Ada dua prinsip sistem untuk melakukan analisa genetik terhadap gonokokus yaitu transformasi dan konyugasi. Tidak seperti banyak transformable species lain yang kompetensinya terbatas pada fase tertentu dari siklus pertumbuhan, pada gonokokus yang xxxiii
kompeten, setiap sel memiliki kemampuan pada semua stadium pertumbuhan. Transformasi ini digunakan untuk transfer gen diantara strain gonokokus yang berbeda. Hal ini penting terutama dalam transfer chromosomal antibiotic resistance gene atau pilin silent gen (Criss, 2006). Dalam proses konyugasi gonokokal, yang berperan adalah plasmid konyugal 36-kb, yang dapat secara efisien memindahkan transfer seksual beberapa plasmid nonself lain. Plasmid juga berperan dalam resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap antibiotika, diantaranya adalah plasmid yang mengandung penisilinase 4,5-kb atau 7,2-kb, tetracycline resistance dan plasmid gonococcal β-lactamase. Plasmid konyugatif 36-kb juga memindahkan transfer mereka sendiri dengan efisiensi tinggi, namun tidak terdeteksi memindahkan gen kromosomal antar gonokokal (Cox, 2013).
2.2. Patogenitas Neisseria Gonorrhoeae Kemampuan N. gonorrhoeae untuk menginvansi host dan menentukan patogenitasnya diperankan oleh beberapa protein antigenik yang terkandung pada membran luar bakteri yang telah dijabarkan pada tabel 1. Patogenesis terjadinya infeksi oleh N. gonorrhoeae diawali dengan perlekatan (adherence) bakteri pada sel-sel mukosa kolumnar atau kuboid, sel epitel yang tidak mengalami kornifikasi melalui perantaraan pili dan Opa. Selanjutnya terjadi interaksi antara bakteri dan neutrofil, dimana sebagian besar bakteri (gonokokus tidak mengandung pili) akan mengalami fagositosis oleh neutrofil sehingga berada di dalam sel (Neisseria intraseluler). Sedangkan gonokokus yang mengandung pili mampu melekat lebih baik dan menghindar xxxiv
dari fagositosis. Perlekatan pada neutrofil diperankan oleh protein Opa dan porin bekerja menghambat maturasi fagosom dan fungsi neutrofil, menurunkan ekspresi opsonin-dependent receptor CR3, serta mengubah myeloperoxiadase-mediated oxidative killing. Perlekatan bakteri secara selektif pada sel-sel yang mensekresikan mukus tanpa silia akan mengalami invasi ke dalam sel, untuk mengadakan multiplikasi dan pembelahan intraseluler. Saat berada di dalam sel epitel, bakteri mampu bertahan dari antibodi, komplemen atau neutrofil. Invasi diperankan oleh P1A, protein Opa, dan LOS pendek nonsialylated. Kerusakan jaringan terjadi akibat enzim (fosfolipase, peptidase) yang dihasilkan oleh LOS dan peptidoglikan. (Sparling, 2008). Selama infeksi, lipopolisakarida (LOS) dan peptidoglikan bakteri dilepaskan melalui autolisis sel. Lipooligosakarida akan memicu produksi Tumor Necrosis Factor (TNF) yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel mukosa yang progresif dan invasi submukosa akan disertai dengan respon leukositik polimorfonuklear yang banyak, pembentukan mikroabses, dan eksudasi material purulen ke dalam lumen organ yang terinfeksi. Pada keadaan infeksi yang tidak terobati, leukosit polimorfonuklear secara gradual akan digantikan oleh sel mononuclear (Cornelissen, 2011). Selain kerusakan jaringan secara lokal, dapat terjadi diseminasi (bakterimia dengan atau tanpa disertai artritis septik). Diseminasi terjadi akibat kemampuan bakteri bertahan dari antibodi dan komplemen pada serum manusia (resistensi serum). Bakteri yang resisten terhadap serum manusia merupakan bakteri dengan LOS panjang. Resistensi serum terjadi pula akibat blokade akses antibodi pada LOS yang diperankan oleh Rmp dan Por (C4bp dan faktor H yang berikatan pada loops dari Por) yang menghambat deposit dan aktivasi komplemen (Hook dan Handsfield, 2008).
xxxv
Gambar 2.1 Patogenesis gonore tanpa komplikasi (Todar , 2012)
2.3 Manifestasi klinis infeksi gonore Manifestasi klinis gonore merupakan suatu spektrum yang meliputi infeksi asimptomatis, infeksi simptomatis lokal, infeksi komplikata lokal, dan diseminasi sistemik. Pria yang terinfeksi gonokokal dapat mengalami infeksi asimptomatis sebesar 10%, sedangkan pada wanita yang terinfeksi gonokokal, 50% adalah asimptomatis (Hook, 2008). Uretritis asimptomatis pada pria merupakan reservoir transmisi gonokokal yang terpenting. Manifestasi klinis gonokokal pada pria yang tersering adalah uretritis anterior akut. Infeksi urogenital pada wanita yang disebabkan oleh infeksi Neisseria gonorrhoeae paling sering xxxvi
terjadi pada endoserviks, yang merupakan infeksi primer. Infeksi gonokokal pada vagina jarang terjadi pada wanita masa reproduksi, karena terjadinya penebalan epitel kolumnar pada vagina dan oleh karena kuatnya pertahanan biologiknya. Sedangkan pada infeksi gonore pada anak-anak, wanita hamil dan pada wanita sesudah menopause mudah untuk terkena infeksi gonokokal pada vagina. Kolonisasi uretra terdapat pada 70-90% wanita yang terinfeksi, dan jarang terjadi bila tidak terdapat infeksi endoserviks. Tetapi, setelah histerektomi, tempat infeksi umumnya terdapat pada uretra. Infeksi pada kelenjar periuretra (skene) atau duktus kelenjar Bartholin juga sering terjadi, tetapi kejadiannya jarang bila tidak terdapat infeksi endoserviks atau uretra. Pada wanita yang mengalami servisitis gonokokal juga dapat terjadi infeksi pada mukosa rektum, dengan angka kejadian sebesar 35-50% (Todar, 2012) Masa inkubasi pada pria bervariasi antara 1-14 hari atau lebih panjang, tetapi mayoritas gejala pada pria muncul dalam waktu 2-5 hari. Gejala predominan adalah duh tubuh uretra yang awalnya dapat bersifat mukoid atau mukopurulen, kemudian dalam 24 jam setelah onset akan menjadi purulen dan profus. Disuria umumnya muncul setelah tampak adanya duh tubuh. Masa inkubasi gonore pada wanita lebih bervariasi dibandingkan pada laki-laki. Gejala lokal umumnya muncul 10 hari setelah infeksi, dengan gejala utama meliputi peningkatan eksudat dari vagina yang berasal dari endoserviks yang bersifat purulen, tipis dan agak berbau. Beberapa pasien dengan servisitis gonore kadang mempunyai gejala yang minimal. Gejala lainnya dapat berupa disuria yaitu keluar sedikit duh tubuh dari uretra yang mungkin disebabkan oleh uretritis yang menyertai servisitis. Dapat juga terjadi nyeri perut bagian bawah atau dispareunia, nyeri ini dapat diakibatkan dari menjalarnya infeksi ke endometrium, tuba falopi, ovarium dan peritoneum. Nyeri bisa terjadi bilateral, unilateral, xxxvii
dan tepat pada garis tengah. Dapat disertai panas badan, mual dan muntah. Nyeri pada perut bagian kanan atas dari perihepatitis (Fitz-Hugh-Curtis syndrome) dapat terjadi melalui penyebaran bakteri ke atas melalui peritoneum. (Hook dan Handsfield, 2008) Gejala lainnya dapat berupa perdarahan uterus diantara masa menstruasi dan menorrhagia. Masing-masing gejala tersebut dapat terjadi sendiri atau kombinasi dengan derajat minimal sampai berat. Komplikasi lokal pada wanita dapat berupa penyakit radang panggul (PRP) akut yang terdiri dari salfingitis dan kadang-kadang dapat terjadi endometritis, abses tubo-ovarium, atau peritonitis pelvis, komplikasi ini terjadi
pada 10-20% pasien wanita dengan infeksi
gonokokus akut. (Berggren, 2011).
2.4 Diagnosis infeksi gonore 2.4.1 Pengecatan gram Pengecatan gram merupakan tes yang cepat dan tidak mahal. Pengecatan gram mempunyai sensitivitas sebesar 50-60% dan spesifisitas sebesar 82-97%. Adanya lebih dari 30 sel polymorphonuclear (PMN) per lapangan pandang besar dari hapusan endoserviks mencerminkan adanya servisitis. Sensitivitas tertinggi dari pengecatan gram didapatkan dari spesimen uretra laki-laki yang simptomatis, yaitu sebesar 90-95%. Sensitivitas dan spesifisitas pengecatan gram lebih rendah pada spesimen endoservikal dan rektal. Pada pengecatan akan ditemukan diplokokus gram negatif, diameter kira-kira 0,8 m. Bila sendirisendiri, kokus berbentuk seperti ginjal dan bila organisme ini terlihat berpasangan bagian yang rata atau cekung saling berdekatan (Garcia, 2011). xxxviii
Gambar 2.3 Neisseria gonorrhoeae pada pengecatan gram (Todar, 2012)
2.4.2 Kultur Kultur spesifik hapusan dari tempat infeksi merupakan kriteria standar diagnosis dan juga dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan dengan memperoleh informasi mengenai kerentanan antibiotika terhadap organisme tersebut. Kultur sangat berguna pada saat diagnostik tidak jelas atau ketika terjadi kegagalan pengobatan. Neisseria gonorrhoeae adalah organisme yang memerlukan kelembaban, CO2 yang tinggi, dan tumbuh pada media yang diperkaya agar coklat yang berisi darah (Hook, 2008). Kultur endoserviks dengan menggunakan media selektif mempunyai sensitivitas sebesar 80-90%. Media selektif untuk N. gonorrhoeae adalah media Thayer Martin yang memiliki sensitivitas 80-95% (Sparling, xxxix
2008). Kultur Thayer Martin mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman gram positif, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif, nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur, trimetroprim untuk menekan pertumbuhan kuman Proteus spp. Pada kultur akan tampak koloni berwarna putih keabuan, mengkilat dan cembung. Media lain adalah agar coklat Mcleod, tetapi media ini dapat ditumbuhi oleh kuman lain selain gonococcus (Papp, 2014).
2.4.3 Tes nucleic acid amplification Tes ini lebih sensitif dan spesifik daripada tehnik amplifikasi, didesain untuk memperkuat rangkaian DNA. Tes ini dapat mendeteksi N. gonorrhoeae pada spesimen yang diperoleh dari hapusan uretra pada laki-laki dan spesimen urin yang diperoleh dari laki-laki maupun wanita. Tes ini lebih cepat daripada kultur, lebih spesifik daripada immunoassay serta tidak memerlukan organisme viabel. Tes ini tidak direkomendasikan untuk rektal dan faring. Tes nucleic acid amplification meliputi polymerase chain reaction (PCR), transcription-mediated amplification, dan strand displacement amplification.
2.5. Penatalaksanaan Dasar pengobatan gonore lebih bersifat epidemiologi daripada individual, oleh karena itu data epidemiologi mengenai resistensi gonokokus terhadap berbagai antibiotika adalah penting untuk pedoman menetapkan rekomendasi pengobatan infeksi gonokokus. The xl
Centers for Disease Control and prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) akan merubah rekomendasi pengobatan bila dijumpai prevalensi resistensi terhadap suatu antibiotika melampaui 5%. Selain itu terdapat beberapa kriteria dalam menetapkan regimen pengobatan gonore, yaitu harga murah, toksisitas dapat diterima, dosis tunggal, pemberian oral, tidak kontraindikasi untuk ibu hamil dan ibu menyusui serta tidak atau lambat terjadi resistensi mikrobial. Sedangkan kriteria khusus dalam menetapkan regimen pengobatan untuk infeksi gonokokus adalah obat tersebut harus memiliki efikasi yang tinggi yaitu memiliki angka kesembuhan diatas 95% dengan batas terendah dari 95% CI minimal 95%. Kriteria efikasi klinis ini telah digunakan untuk menentukan rekomendasi regimen pengobatan gonore oleh CDC sejak tahun 1993. Karena adanya perbedaan kepekaan gonokokus yang bervariasi luas pada wilayah geografi yang berbeda, maka regimen pengobatan yang berbeda pada masingmasing daerah harus tersedia. Menurut Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011 untuk terapi infeksi gonore tanpa komplikasi di Indonesia dapat dilakukan dengan regimen sebagai berikut
1. Sefiksim 400 mg dosis tunggal, per oral atau 2. Levofloksasin 500 mg dosis tunggal, per oral atau 3. Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal atau 4. Tiamfenikol 4,5 g per oral dosis tunggal atau 5. Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis tunggal xli
2.6. Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Antibiotika 2.6.1. Definisi dan Klasifikasi Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotika Resistensi bakteri terhadap antibiotika adalah kemampuan alamiah bakteri untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotika. Berdasarkan mekanisme molekuler, resistensi dapat terjadi secara intrinsik
atau dapat juga karena didapat
(Giedraitiene dkk, 2011) Resistensi
intrinsik
terjadi
akibat
adanya
struktur
inherent
atau
karakteristik fungsional, sehingga sejak kemunculan bakteri tersebut tidak pernah sensitif terhadap antibiotika tertentu. Resistensi intrinsik dapat berhubungan dengan kurangnya afinitas obat pada target kerja bakteri, tidak tersedianya akses obat ke dalam sel bakteri, ekstrusi obat secara kromosomal yang dikoding oleh eksporter aktif, dan produksi alamiah enzim-enzim yang menginaktivasi antibiotika (Cox, 2014). Resistensi didapat terjadi melalui suatu proses:1) mutasi pada gen sel (mutasi kromosomal) yang dapat memicu resistensi silang, atau 2) transfer genetik dari satu mikroorganisme ke mikroorganisme lainnya oleh plasmid (pada proses konyugasi atau transformasi), transposon (konyugasi), integron dan bakteriofaga (transduksi) (Tenover, 2005).
2.6.2. Mekanisme Resistensi Bakteri Secara Umum
xlii
Mekanisme resistensi antibiotika secara umum dapat terjadi melalui beberapa peristiwa biomekanik seperti: 1) inaktivasi antibiotik (melalui proses hidrolisis, transfer grup dan proses redoks), 2) modifikasi target kerja (perubahan struktur peptidoglikan, hambatan sintesis protein dan asam nukleat), 3) perubahan permeabilitas membran luar dan efflux pumps,dan 4) jalur pintas penghambatan antibiotika (Tenover, 2006 ; Lind, 1997). Inaktivasi atau modifikasi antibiotika diperankan oleh 3 enzim utama yaitu betalaktamase, aminoglikosida dan asetiltransferase kloramfenikol. Betalaktamase salah satunya dihasilkan oleh bakteri negatif Gram, yang dikodekan pada kromosom dan plasmid. Gen yang mengkodekan betalaktamase ditransfer oleh transposon juga ditemukan pada integron. Enzim ini dapat menghidrolisis semua antibiotika golongan betalaktam yang memiliki ikatan ester dan amida
seperti penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan
karbapenem (Tenover, 2006). Modifikasi pada target kerja dapat mempengaruhi ikatan antibiotika pada target kerja. Perubahan dapat terjadi pada struktur peptidoglikan, gangguan sintesis protein dan DNA. Mekanisme resistensi terkait ganguan sintesis DNA dapat terjadi melalui dua modifikasi enzim yaitu DNA girase (mutasi gen gyrA dan gyrB). Mutasi pada gyrA dan gyrC yang diikuti dengan kegagalan replikasi sehingga menyebabkan ikatan kuinolon dan fluorokuinolon tidak dapat berikatan dengan bakteri (Tenover, 2006). Efflux pump dan permeabilitas membran luar akan mempertahankan konsentrasi rendah antibiotik intraseluler. Efflux pump bersifat spesifik terhadap antibiotika. Kebanyakan mikrobakteria memiliki multidrug transporter yang mampu memompa berbagai antibiotika xliii
yang tidak berhubungan. Perubahan pada komponen efflux pump seperti peningkatan ekspresi MexAb-OprM menyebabkan minimal inhibition concentration (MIC) yang lebih tinggi terhadap penisilin, kuinolon, makrolid, sefalosporin, kloramfenikol, fluorokuinolon, novobiosin, sulfonamid, tetrasiklin, trimethoprim. Perpindahan molekul obat ke dalam sel terjadi melalui mekanisme difusi melalui porin, difusi melalui bilayer, dan melalui selfpromoted uptake. Mekanisme masuknya obat tergantung pada komposisi kimia molekul obat. Molekul hidrofilik berukuran kecil seperti betalaktam dan kuinolon dapat menembus membran luar hanya melalui porin, sedangkan aminoglikosida dan kolistin tidak dapat melalui porin, sehingga memerlukan self-promoted uptake menuju sel yang diawali dengan ikatan terhadap LOS. Penurunan permeabilitias membran luar akan menyebabkan penurunan pengambilan anitibiotika (Tenover, 2006). Mekanisme resistensi bakteri yang keempat yaitu melalui jalur pintas penghambatan antibiotika yang bersifat spesifik. Bakteri memproduksi target alternatif (biasanya enzim) yang resisten terhadap penghambatan oleh antibiotika, seperti misalnya MRSA yang menghasilkan PBP alternatif. Pada saat bersamaan bakteri juga menghasilkan native target yang sensitif terhadap antibiotika. Adanya terget kerja alternatif memungkinkan bakteri bertahan dengan mengadopsi peran native protein (Tapsal, 2005).
2.7. Mekanisme Resistensi Nesisseria gonorrhoeae Resistensi menurut definisinya adalah suatu fenomena in vitro. Resistensi bisa inherent atau intrinsik (yang menjadi sifatnya) atau acquired atau didapat melalui suatu xliv
proses mutasi atau transfer genetik. Mekanisme resistensi yang didapat terdiri dari 5 kategori sebagai berikut: 1) modifikasi enzimatik atau destruksi antibiotika; 2) penurunan uptake antibiotika ke dalam bakteri; 3) peningkatan efflux antibiotika dari bakteri; 4) perubahan atau pembuatan daerah target yang baru, dan 5) over ekspresi dari target obat. Beberapa bakteri bisa mempunyai lebih dari satu mekanisme (Giedraitiene, 2011). Secara genetik mekanisme resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap semua antimikroba terutama terdiri dari 2 tipe yaitu plasmid mediated (yang dimediasi plasmid) dan kromosomal. Oleh karena plasmid terletak diluar kromosom, maka resistensi yang dimediasi oleh plasmid disebut juga sebagai resistensi ekstra kromosomal. Sedangkan resistensi yang dimediasi struktur dalam kromosom seperti transposon, insertion sequences dan integron disebut juga sebagai resistensi kromosomal (Tenover, 2006). Plasmid merupakan elemen genetik ekstra kromosom, berbentuk bulat, dengan rantai ganda DNA yang dapat memperbanyak diri dalam sel. Dalam satu bakteri dapat ditemukan bermacam plasmid. Fungsi dari plasmid antara lain sebagai pembawa resistensi antibiotika, merupakan virulen faktor, dan untuk metabolisme. Ada dua jenis plasmid yaitu plasmid yang berpindah sendiri disebut self tranmissible plasmid. Plasmid ini mempunyai gen khusus yang mengkode protein yang dibutuhkan untuk proses konyugasi. Gen ini disebut “tra genes”. Plasmid yang lain adalah plasmid yang tidak bisa berpindah sendiri akan tetapi butuh self transmissible plasmid untuk dapat berpindah, disebut mobilizable plasmid. Resistensi terhadap antibiotika dapat terjadi karena satu bakteri mempunyai berbagai mekanisme resistensi dalam satu plasmid, sehingga satu plasmid dapat menjadikan bakteri resisten terhadap berbagai obat (Lind, 1997). xlv
Resistensi kromosomal terjadi akibat mutasi dalam gen yang memberi kode pada setiap tempat target obat atau sistim transport pada membran sel yang akan mengatur pengambilan obat, sehingga obat dalam sel kuman berkurang. Mutasi gen ini dapat terjadi spontan maupun akibat rangsangan sehingga kuman dapat bertahan terhadap pengaruh lingkungan. Resistensi kromosomal mengakibatkan penurunan sensitivitas tahap demi tahap akibat akumulasi gradual dari mutasi kromosomal yang terjadi perlahan-lahan bersama waktu. Deteksi resistensi kromosomal bisa melalui metode dilusi agar atau disk diffusion. Dalam periode 1988-1994, data dari Gonococcal Isolate Surveillance Project (GISP) Amerika Serikat, didapatkan resistensi total terhadap gonokokus sebesar 30,5%, yang mana 14,3% disebabkan karena resistensi plasmid dan 16,2% resistensi kromosomal (Tapsal, 2005).
2.7.1 Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Beberapa Antibiotika Mekanisme resistensi antibiotika pada N.gonorrhoeae dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pertama yang melibatkan penurunan akses antibiotika menuju target kerja, dan kedua yang melibatkan perubahan pada target kerja itu sendiri (Latel, 2011; Lind, 1997) Akses antibiotika menuju target kerja dibatasi oleh beberapa faktor seperti: 1) penurunan permeabilitas selubung sel akibat adanya perubahan pada protein porin, 2) adanya pengeluaran antibiotika secara aktif dari sel melalui efflux pump, dan 3) kerusakan antibiotika sebelum berinteraksi dengan target kerja. Sedangkan perubahan atau delesi target kerja antibiotika merupakan hasil dari penurunan afinitasnya terhadap antibiotika. Perubahan ini diperantarai oleh faktor kromosomal maupun ekstrakromosomal (plasmid) (Tapsal, 2005). xlvi
Resistensi pada N.gonorrhoeae yang diperantarai kromosomal pada umumnya muncul secara lambat dan diseminata. Resistensi yang diperantarai plasmid, saat ini terbatas resistensi terhadap penisilin dan tetrasiklin terjadi melalui proses konyugasi. Plasmid yang mengalami konyugasi akan memobilisasi plasmid yang membawa determinan resistensi. Karena tidak semua strain membentuk plasmid terkonyugasi, maka angka penyebaran resistensi bersifat terbatas. Namun plasmid terkonyugasi dapat dipindahkan saat konyugasi sehingga strain resipien dapat menjadi donor dengan sendirinya (Lind, 1997). . 2.7.2 Faktor Penyebaran Resistensi Resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap antibiotik banyak dijumpai di daerah dengan sektor kesehatan yang meresepkan penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol. Resistensi terhadap penicillin tersebar di Asia tenggara. Para pekerja seksual di Asia mengkonsumsi kuinolon oral sebagai profilaksis dan hal ini dapat menjadi faktor kontribusi resistensi antimikroba. Peranan meningkatnya jumlah wisatawan dan penyebaran infeksi menular seksual telah diamati. Wisatawan tersebut dapat memperantarai penyebaran strain yang resisten dari satu negara ke negara lain selama masa inkubasi infeksi. Laporan kasus di Swedia menunjukkan tingginya angka resistensi penicillin lebih banyak dijumpai pada warganya yang sering keluar negeri. Selain itu terdapat kelompok yang berpotensi mentransmisikan infeksi menular seksual diantaranya adalah sopir truk jarak jauh, pekerja imigran dan pelaut. Imigran gelap bertanggung jawab terhadap resistensi penisillin dan kuinolon di Sydney xlvii
Australia. Kelompok “sex tourist” juga bertanggung jawab terhadap penyebaran infeksi yang memang mereka berlibur dengan tujuan kesenangan seksual. Mulhall merekomendasikan pendekatan program kesehatan seksual pada kelompok wisatawan (Cole, 2014).
2.8. Sejarah Perkembangan Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Antibiotika 2.8.1. Era Pra kuinolon Pada tahun 1937, sulfonamid adalah antibiotika yang direkomendasikan untuk N. gonorrhoeae dan resistensi bakteri terhadap agen ini terjadi dalam dua tahun kemudian. Sementara pada waktu yang bersamaan, Alexander Flemming melaporkan efektifitas penisilin dalam menghambat N. gonorrhoeae, dan menjadi pilihan sebagai pengobatan gonore sejak tahun 1943 selama beberapa dekade. Resistensi N. gonorrhoeae terhadap penisilin dinilai berdasarkan MIC, dimana pada tahun awal terapi gonore dengan penisilin nilai MIC yang sensitif adalah kurang dari 0,0125 mg/L (0,02 IU/L). Kemudian terjadi peningkatan MIC secara bertahap hingga lebih dari 0,12 mg/L, selanjutnya menjadi lebih dari 0,5 mg/L. Peningkatan MIC ini berdampak pada peningkatan dosis penisilin dari 50.000 unit pada tahun 1945 menjadi 4,8 juta unit pada tahun 1970. Pada tahun 1989 penisilin tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan gonore karena tingginya tingkat resistensi, diawali di Madras pada tahun 1981 dilaporkan isolat N. gonorrhoeae betalaktamase. Tahun 1990 di India penisilin sudah tidak dipergunakan sebagai terapi gonore. Pada tahun 2000 dan 2001 dilaporkan peningkatan isolasi Penicillinase Producing Neisseria Gonorrhoea (PPNG). Bersamaan dengan resistensi terhadap penisilin juga terjadi resistensi N. gonorrhoeae
xlviii
terhadap beberapa antibiotika lain seperti tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan streptomisin (Latel, 2011).
2.8.2. Era Kuinolon Sebagai respon meningkatnya frekuensi isolat strain N. gonorrhoeae yang resisten penisilin, terasiklin, streptomisin, dan spektinomisin pada tahun 1989 di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, maka CDC merekomendasikan antibiotika sefalosporin dan fluorokuinolon spektrum luas untuk pengobatan gonore primer tanpa komplikasi. Sebagian besar negaranegara di dunia mengikuti kebijakan penggantian regimen terapi. Kuinolon generasi kedua (siprofloksasin, norfloksasin dan ofloksasin) secara luas mulai menggantikan penisilin. Fluorokuinolon dilaporkan memiliki efektifitas paling baik diantara kuinolon dalam hal absorpsi oral dan distribusi ke jaringan, yang menghasilkan kadar dalam jaringan interstitial dan penetrasi ke makrofag yang baik, disertai efek samping toksik serius yang minimal, serta menurunkan mutasi satu langkah secara spontan. Sejak tahun 1993 fluorokuinolon direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pengobatan gonore di seluruh dunia (Latel, 2011). Selama 20 tahun pemakaian secara luas kuinolon, mulai muncul reesistensi akibat penggunaan antibiotika yang salah. Kriteria Knapp merupakan kriteria untuk menilai resistensi terhadap kuinolon secara in vitro. Nilai MIC siprofloksasin yang kurang sensitif meningkat menjadi 1 mg/L (resistensi intermediet), selanjutnya menjadi 16 mg/L (resisten). Pada tahun 2004 CDC menghentikan penggunaan siprofloksasin sebagai terapi gonore (Tapsal, 2011) xlix
2.8.3. Era Paska kuinolon Peningkatan resistensi N. Gonorrhoeae terhadap kuinolon menyebabkan CDC tahun 2010 merekomendasikan sefalosporin generasi ketiga sebagai regimen pengobatan gonore seperti injeksi (seftriakson) maupun oral (cefiksim dan cefdinir). Pada kasus alergi sefalosporin, spektinomisin merupakan pilihan yang lain (Latel dkk, 2011) Sefalosporin merupakan antibiotika golongan betalaktam yang ditemukan pada tahun 1945, bekerja sebagai antibiotika dengan menghambat sintesis dinding sel melalui binding dan menghambat kerja enzim-enzim yang berperan pada insersi peptidoglikan ke dalam dinding sel (Ross dan Lewis, 2012) Resistensi terhadap sefalosporin pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 dan kemudian di Jepang pada tahun 2000. Kegagalan pengobatan gonore dengan sefalosporin oral pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 2001 dan selanjutnya dilaporkan di berapa daerah lainnya (Sparling, 2008).
2.9. Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin 2.9.1. Karakteristik Umum dan Mekanisme Kerja Sefalosporin Sefalosporin ditemukan oleh Guiseppe Brotzu pada tahun 1945 ketika ia mengisolasi jamur dari limbah di Sardinia, Italia yang memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas. Sefalosporin diklasifikasikan menjadi beberapa generasi berdasarkan spektrum aktivitas antimikrobanya. Sefalosporin generasi pertama merupakan antimikroba yang paling efektif melawan bakteri kokus Gram positif termasuk Stafilokokus aureus, generasi kedua lebih l
efektif melawan bakteri Gram negatif dan kurang efektif terhadap Gram positif. Generasi ketiga memiliki aktifitas melawan Gram negatif dengan spektrum yang lebih luas dibandingkan generasi kedua. Generasi keempat seperti sefipim memiliki aktivitas baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negative (Andes dan Craig, 2005). Sefalosporin generasi ketiga (oral maupun parenteral) merupakan antibiotika yang paling efektif melawan N.gonorrhoeeae. Mekanisme kerja sefalosporin dengan menghambat sintesis dinding sel melalui ikatan dan hambatan pada enzim yang berperan pada insersi peptidoglikan pada dinding sel. Enzim–enzim tersebut antara lain transpeptidase, karboksipeptidase, endopeptidase atau yang disebut sebagai enzim penicillin binding proteins (PBPs) (Barry dan Klausner, 2009).
2.9.1.2. Sefalosporin Oral untuk Gonore Sefalosporin oral yang efektif melawan N.gonorrhoeae antara lain sefuroksim aksetil, sefaklor, sefpodoksim proksetil, seftibuten, sefdinir, sefoperazon. World Health Organization merekomendasikan sefiksim 400 mg dan di AS, adalah satu-satunya agen oral yang direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena memiliki angka kesembuhan lebih dari 95%. Sefiksim juga digunakan di Inggris dan Indonesia. Di AS, sefiksim sempat tidak tersedia dari tahun 2002 hingga 2008, diganti dengan sefpodoksim 400 mg, sedangkan di Hongkong memakai seftibuten, dan di Jepang menggunakan sefditoren serta sefdinir sebagai terapi pilihan (Barry dan Klausner, 2009)
2.9.1.3. Sefalosporin Parenteral untuk Gonore li
Agen parenteral sefalosporin yang menjadi pilihan lini pertama pengobatan gonore adalah seftriakson. Seftriakson memiliki struktur kimia tiometil heterosiklik pada R2 (C3) sehingga memiliki waktu paruh lebih panjang akibat adanya perluasan dari ikatan protein. Dosis seftriakson masih sering menjadi perdebatan, di beberapa negara seperti di AS dan oleh WHO merekomendasikan 125 mg, sedangkan negara lain merekomendasikan 250 mg. Di Jepang merekomendasikan 100 mg intravena. Agen parenteral lainnya sebagai terapi alternatif adalah sefoksitin 2 gram intramuskuler (IM) dikombinasi dengan probenezid 1 gram dan sefotaksim 500 mg IM. Sefuroksim 1,5 gram IM direkomendasikan di Inggris, sedangkan sefodizim juga sebagai efektif melawan isolat resisten multi obat di Jepang (Barry dan Klausner ,2009).
2.9.2. Definisi Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin Definisi resistensi terhadap sefalosporin belum ditentukan secara standar karena terbatasnya data mengenai kegagalan pengobatan. Kebanyakan definisi resistensi berdasarkan pada MIC seftriakson terhadap N.gonorrhoeae. Beberapa peneliti mendefinisikan resistensi dengan peningkatan MIC
seftriakson ≥ 0,06 mg/L, ≥ 0,125 mg/L oleh Gonococcal
Resistance Antimicrobial Surveillance Programme (GRAPS) UK, > 0,125 mg/L oleh Eropa Surveillance of Sexually Transmitted Infection (ESSTI), Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) menentukan MIC ≤ 0,25 mg/L sebagai sensitif dan ≥ 0,5 mg/L sebagai tidak sensitive (Barry dan Klausner, 2009).
2.9.3. Epidemiologi Resistensi Sefalosporin lii
Resistensi terhadap sefalosporin telah terjadi dan meluas di Asia, Australia dan Eropa. Di Jepang kegagalan pengobatan gonore dengan sefalosporin telah dilaporkan sejak awal tahun 2000 dengan peningkatan MIC pada pemakaian sefpodoksim dan sefdinir. Pada tahun 2006, sefiksim tidak lagi digunakan sebagai terapi lini pertama dan hanya merekomendasikan seftriakson dan spektinomisin sebagai terapi lini pertama (Takahata dkk, 2006). Australian Gonococcal Surveillance Programme (AGSP) berhasil mengidentifikasi isolat dengan MIC seftriakson sebesar 0,06-0,5 mg/L (kurang sensitif) pada tahun 2001. Isolat ini terutama ditemukan pada daerah urban, para turis internasional dan mitra seksualnya, juga diduga terjadi transmisi secara domestik. Resistensi terhadap sefalosporin juga muncul di China dengan adanya peningkatan MIC pada isolat dari beberapa wilayah berbeda selama tahun 1990. Di Hongkong selama periode Oktober 2006 hingga Agustus 2007 melaporkan angka kegagalan seftibuten 400 mg dosis tunggal sebesar 3,7%. Dari 42 orang yang gagal dengan seftibuten, 7 orang memiliki MIC ≥1 mg/L, dan sekitar 23 isolat memiliki MIC terhadap seftriakson sebesar 0,06 atau 0,125 mg/L. Di Taiwan juga dilaporkan resistensi terhadap sefalosporin oral (Barry dan Klausner, 2009) Di beberapa negara Asia seperti Vietnam, Thailand dan Filipina melaporkan isolat dengan MIC seftriakson ≥0,5 mg/L. India, Bangladesh, Nepal dan Srilanka melaporkan isolat yang signifikan kurang sensitif/intermediet terhadap seftriakson (Barry dan Klausner, 2009) Eropa Surveillance of Sexually Transmitted Infection berhasil mengidentifikasi isolat dengan MIC seftriakson 0,25 mg/L dari Italia dan Swedia. Kriteria penurunan sensitifitas liii
terhadap seftriakson menurut
ESSTI adalah >0,125 mg/L. Sedangkan UK GRASP
melaporkan 2 isolat dengan penurunan sensitifitas terhadap sefiksim pada tahun 2007 dengan MIC > 0,25 mg/L. Denmark, Spanyol, Swedia, dan Yunani juga melaporkan isolat dengan peningkatan MIC terhadap sefalosporin (Carannante dkk, 2012). Gonococcal Isolat Surveillance Programme (GISP) AS melaporkan 4 isolat dengan MIC seftriakson 0,5 mg/L di San Diego (1987), Cincinnati (1992 dan 1993), dan Philadelphia (1997). GISP juga menguji sefiksim pada tahun 1992 hingga tahun 2006 teradapat 48 isolat dengan MIC sefiksim 0,5-2,0 mg/L. Di Hawai pada tahun 2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson 0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan sensitifitas sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L. Data terbatas dari Afrika dan Amerika Latin melaporkan resistensi namun tanpa disertai dokumentasi peningkatan MIC terhadap sefalosporin (Barry dan Klausner, 2009).
2.9.5. Mekanisme Resistensi N.Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin 2.9.5.1. Perubahan Penicillin Binding Proteins Neisseria gonorrhoeae memiliki 3 tipe PBP yaitu PBP1, 2, dan 3. Penicilline Binding Protein2 memiliki afinitas terhadap penisilin G 10 kali lebih tinggi dibandingkan PBP1 dan merupakan target ikatan utama untuk antimikroba betalaktam seperti sefalosporin. Perubahan pada PBP2 yang dikode oleh gen penA merupakan penyebab menurunnya ikatan terhadap penisilin melalui insersi tunggal asam amino. Perubahan ini juga ditemukan pada isolat yang resisten sefalosporin. Namun belum banyak diketahui mengenai mutasi spesifik pada PBPs, interaksi dan perubahan pada gen lainnya (Takahata dkk, 2006). liv
Perubahan PBPs terkait resistensi sefalosporin yang paling sering adalah perubahan PBP2 yang terkait resistensi sefiksim di Jepang pada uretritis laki-laki yang diisolasi oleh Ameyama dan kawan-kawan pada tahun 2002 (Barry dan Klausner, 2009)
2.9.5.2. Reduksi Konsentrasi Antimikroba Intraseluler Mekanisme dasar lain resistensi terhadap antimikroba adalah penurunan konsentrasi antimikroba. Penurunan konsentrasi antimikroba dapat terjadi melalui penghambatan masuknya antimikroba ke dalam sel atau aktivasi efflux pumpsel bakteri. Mutasi pada gen mtrR yang berperan untuk menekan sistem MtrC-D-E meningkatkan efflux pump dan memicu resistensi terhadap penisilin, tetrasiklin, makrolid, dan kemungkinan pada fluorokuinolon. Mekanisme mutasi ini pada reesistensi terhadap sefalosporin belum diketahui dengan jelas. Tanaka dan kawan-kawan melaporkan isolat yang resisten seftriakson dengan MIC 0.5 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR. Linberg dan kawan-kawan menemukan sekitar 13 dari 18 isolat dengan MIC seftriakson ≥ 0,06 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR, penA, penB, dan ponA (Barry dan Klausner, 2009). Mutasi pada penB suatu gen pada porin akan menurunkan permeabilitas terhadap antimikroba hidrofilik seperti penisilin dan tetrasiklin yang juga disertai dengan mutasi pada mtrR. Namun peranannya pada resistensi sefalosporin belum jelas dipahami. Betalaktamase tidak berperan pada resistensi terhadap sefalosporin (Barry dan Klausner, 2009) Ameyama dan kawan-kawan menemukan peranan mosaic penA dalam meningkatkan MIC sefiksim dari 0,001 menjadi 0,06 mg/L, dan MIC seftriakson dari 0,00025 menjadi 0,002 mg/L. Peneliti lain melaporkan mosaic penA meningkatkan MIC sefiksim 100 kali lv
lipat menjadi 0,12 mg/L dan MIC seftriakson 20 kali lipat menjadi 0,012 mg/L. Mosaic penA disertai yang disisipkan pada isolat resisten penisilin dengan beberapa mutasi (ponA, mtrR, penB) meningkatkan MIC seftriakson menjadi 0,25 mg/L, dan sefiksim menjadi 0,5 mg/L. Linberg dan kawan-kawan melaporkan bahwa mutasi multipel pada PBP2 diperlukan untuk meningkatkan MIC sefalosporin (Ohnisi dkk, 2011). Tanaka dan kawan-kawan melaporkan isolat resisten seftriakson dengan MIC 0,5 mg/L memiliki mosaic PBP2 juga memiliki mutasi pada ponA (L421P), penB (A120 dan A121), dan mtrR (Ohnisi dkk, 2011).
2.9.6. Metode untuk Mendeteksi Resistensi Terhadap Sefalosporin Metode untuk mendeteksi resistensi terhadap sefalosporin yang tersedia saat ini adalah melalui isolasi dan uji sensitibilitas. Kultur sebagai baku emas dalam menentukan MIC adalah dilusi agar. Namun dengan menurunnya penegakan diagnosis infeksi gonokokal berdasarkan kultur, maka makin sedikit isolat yang tersedia sebagai bahan uji sensitibilitas. Hal ini memungkinkan penggunaan uji molekuler untuk mendeteksi penanda resistensi pada spesimen yang dikumpulkan untuk uji diagnostik berbasis asam nukleat. Uji tersebut sudah dikembangkan untuk mendeteksi resistensi siprofloksasin namun belum digunakan untuk kepentingan klinis secara luas. Uji ini memliki keterbatasan karena tergantung pada pengetahuan mengenai mutasi tertentu yang mempengaruhi resistensi dan bagaimana mutasi tersebut berhubungan dengan MIC secara in vitrodan dengan hasil klinis, sedangkan imformasi tersebut belum tersedia untuk resistensi sefalosporin (Ng dan Martin, 2005)
lvi
Uji PCR untuk identifikasi gen mosaic penA sudah dipublikasikan, dan bermanfaat untuk mengidentifikasi organisme dengan mosaic penA dari spesimen klinis, namun pentingnya genotip ini belum dipahami secara lengkap, sehingga interpretasi hasilnya masih belum jelas (Low dkk, 2014).
2.9.7 Pilihan Pengobatan Gonore yang Resisten Terhadap Sefalosporin Selain penggunaan uji diagnostik yang sensitif dan spesifik, serta edukasi yang baik pada pasien, pengobatan dengan antibiotika yang efektif merupakan komponen utama dalam strategi kontrol gonore dengan ketidaktersediaan vaksin. Antibiotika yang dipilih sebaiknya memiliki efikasi dan kualitas yang tinggi, tidak toksik, dan memberikan keberhasilan lebih dari 95% bila diberikan secara empiris (Barry dan Klausner, 2009). Pengobatan gonore selama ini menggunakan antibiotika dosis tunggal yang diminum langsung di bawah pengawasan petugas. Hal ini mengakibatkan kegagalan agen antimikroba secara berturut-turut yang digantikan dengan antibiotika baru yang tidak atau jarang menyebabkan resistensi. Adanya penurunan kerentanan dan kegagalan pengobatan dengan sefalosporin spektrum luas, terbatasnya ketersediaan antimikroba alternatif, menimbulkan gonore yang sulit diobati bahkan tidak bisa diobati. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, CDC
dan
European
Centre
for
Disease
Prevention
and
Control
(ECDPC)
merekomendasikan strategi pengobatan terkini dalam upaya meningkatkan efektifitas pengobatan gonore (Unemo dan Shafer, 2014). Strategi yang pertama ditempuh adalah dengan meningkatkan dosis seftriakson parenteral. Dosis awal seftriakson 250 gram dilaporkan tidak cukup untuk membunuh lvii
gonokokus sehingga diperlukan peningkatan dosis. Di beberapa negara seperti Jepang, China, Azerbaijan dan Belaruz, direkomendasikan seftriakson 1 gram dosis tungal, bahkan dosis dapat ditingkatkan hingga 2 gram berdasarkan pengobatan untuk community acquired pneumonia. Peningkatan dosis menjadi 500 mg hingga 1 gram direkomendasikan oleh beberapa pedoman pengobatan untuk gonore, dan dosis ini dilaporkan cukup untuk membunuh kuman gonokokus, namun metode ini hanya merupakan solusi jangka pendek. (Unemo dan Shafer, 2014). Selain dengan metode peningkatan dosis monoterapi seftriakson, alternatif lain adalah dengan pengobatan antimikroba ganda. Pengobatan alternatif tersebut sudah mulai direkomendasikan di Amerika Serikat, Inggris dan seluruh Eropa seperti yang ditunjukkan pada tabel 2 dibawah ini. (Ross dan Lewis, 2012) Dua modalitas terapi lainnya yang memberikan harapan baru dalam pengobatan gonore telah dilaporkan oleh CDC. Regimen terapi tersebut adalah gentamisin 240 mg injeksi intramuskuler dikombinasi dengan azitromisin 2 gram oral atau gemifloksasin 320 mg oral dikombinasi dengan azitromisin 2 gram oral. Kedua regimen terapi ini telah melalui uji klinis dan masing-masing memberikan efektifitas terapi sebesar 100% dan 99,5% pada pengobatan gonore tanpa komplikasi. Namun efek samping gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare membatasi penggunaan regimen ini secara rutin (Tenover, 2006). Spektinomisin 2 gram intramuskuler efektif untuk pengobatan gonore namun tidak efektif untuk pengobatan gonore pada faring. Di Jepang spektinomisin merupakan salah satu dari 3 terapi lini pertama dimana resistensi sefalosporin oral sering terjadi. Resistensi terhadap spektinomisin dapat terjadi melalui satu tahap mutasi, dan berkembang dengan lviii
cepat akibat penggunaan secara luas pada tentara Amerika di masa lalu. Namun secara umum resistensi terhadap agen ini masih jarang dilaporkan dan terjadi secara sporadik. Resistensi terhadap kanamisin belum pernah dilaporkan, sedangkan resistensi terhadap gentamisin pernah dilaporkan di Malawi apabila digunakan sebagi agen tunggal. Rifampin merupakan obat yang tidak mahal namun dapat berkembang resistensi apabila digunakan sebagai terapi tunggal (Stefanelii, 2011).
Tabel 2.2 Mekanisme Resistensi Antibiotika dan Rekomendasi Pengobatan untuk N. Gonorrhoeae (Unemo dan Shafer,2014)
ANTIBIOTIKA Sulfonamid
MEKANISME RESISTENSI
Sintesis p-aminobenzoic acid berlebihan Mutasi kromosomal pada dihydroteroate synthetase gene lix
REKOMENDASI TERKINI Tidak direkomendasikan
Tiamfenikol
Penisilin
Tetrasiklin
Spektinomisin
Resistensi yang diperantarai plasmid tidak dilaporkan Mutasi kromosomal pada gen penB, mtrR dan chl Resistensi yang diperantarai plasmid tidak dilaporkan
Tidak direkomendasikan
Mutasi kromosomal pada gen penA, penB, ponA, promotor mtrR dan mtrR Mutasi kromosomal pada gen penC (pilQ2) namun mutasi berdampak pada formasi pilus dan masih meragukan sebagai infeksi didapat alamiah Perubahan ekspresi gen pem Produksi betalaktamase diperantarai plasmid
Direkomendasikan hanya pada wilayah dimana data dikumpulkan secara reguler dari program surveilen lokal yang mengkonfirmasi lebih dari 95% isolat yang sensitif terhadap penisilin
Mutasi kromosomal pada gen rpsJ, penB, promotor mtrR, mtrR Mutasi kromosomal pada gen penC (pilQ2) ) namun mutasi berdampak pada formasi pilus dan masih meragukan sebagai infeksi didapat alamiah Perubahan ekspresi gen pem Produksi protein TetM diperantarai Plasmid Mutasi kromosomal pada gen spc Resistensi yang diperantarai plasmid tidak dilaporkan
Tidak direkomendasikan
lx
Tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena dapat muncul resistensi Direkomendasikan sebagai terapi lini kedua dan ketiga
Aminoglikosida
Mutasi kromosomal pada gen kan Resistensi yang diperantarai plasmid tidak dilaporkan
Makrolid
Kuinolon
Mutasi kromosomal pada gen 23sRNA rrl, promotor mtrR/ mtrC, mtrR dan mtrC Ekspresi kromosomal gen yang mengkode metilase ermB, ermC dan ermF Peranan gen yang mengkode mef secara kromosom belum pasti Resistensi yang diperantarai plasmid tidak dilaporkan
Mutasi kromosomal gen gyrA dan parC Resistensi yang diperantarai plasmid tidak dilaporkan
lxi
Secara umum tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama meskipun kanamisin, gentamisin masih dipergunakan di negara-negara miskin Direkomendasikan sebagai terapi lini kedua dan ketiga Azitromisin tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama dapat terjadi resistensi Azitromisin dapat direkomendasikan sebagai terapi lini kedua dan ketiga
Direkomendasikan hanya pada wilayah dengan data yang dapat diperoleh dari hasil program surveilen lokal yang mengkonfirmasi lebih dari 95% isolat yang rentan terhadap kuinolon
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka berpikir Prevalensi infeksi gonore pada masih tinggi dan menurut data Surveilans Terpadu Badan Pusat pada tahun 2013 didapatkan prevalensi gonore dan klamidia merupakan penyakit infeksi menular seksual dengan kejadian terbanyak. Prevalensi infeksi gonore pada tahun 2011 didapatkan sebesar 38 % dan salah satu faktor angka prevalensi yang tinggi ini dapat diakibatkan oleh adanya resistensi terhadap pengobatan. Perilaku wanita penjaja seks dan kelompok risiko lain yang berganti-ganti pasangan seks dan dengan prevalensi infeksi gonore yang tinggi dapat menimbulkan dampak peningkatan angka kejadian HIV. Saat ini, di Denpasar pada khususnya belum pernah dilakukan kajian mengenai uji resistensi antibiotika terhadap infeksi gonore sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap resistensi beberapa antibiotik terhadap Neisseria gonorrhoeae sehingga akan dapat membantu dalam penanganan infeksi gonore, mengurangi insiden gonore dan membantu dalam mengurangi penularan infeksi HIV.
lxii
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian desktiptif. Subyek diambil dari pasien yang datang untuk berkunjung ke Klinik Amertha, Yayasan Kerti Praja, Denpasar dan Polikilinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Infeksi Menular Seksual Rumah Sakit Sanglah, Denpasar.
POPULASI SAMPEL Pasien dengan infeksi gonore
Pemeriksaan kultur dan uji resistensi antibiotika
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Cross Sectional
lxiii
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di Klinik Amertha, Yayasan Kerti Praja, Denpasar dan Poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Infeksi Menular Seksual RSUP Sanglah selama bulan Mei-Juni 2016. Penelitian juga akan melibatkan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Udayana untuk pembuatan media kultur dan uji resistensi antibiotika akan dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Sanglah, Denpasar.
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1. Populasi target Penderita infeksi gonore yang datang berkunjung ke Klinik Amertha, Yayasan Kerti Praja dan Poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Infeksi Menular Seksual RSUP Sanglah
4.3.2 Populasi terjangkau Penderita infeksi gonore yang datang berkunjung ke Klinik Amertha, Yayasan Kerti Praja dan Poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Infeksi Menular Seksual pada bulan Mei- Juni 2016.
4.3.2.1 Kriteria inklusi lxiv
1. Subyek yang pada pemeriksaan fisik didapatkan duh tubuh mukopurulen dan pemeriksaan laboratorium pengecatan gram ditemukan diplokokus gram negatif intraseluler 2. Subyek bersedia ikut dalam penelitian 3. Koloni yang tumbuh teridentifikasi Neisseria gonorrhoeae
4.3.2.2. Kriteria eksklusi
1. Subyek sedang menstruasi 2. Subyek sedang hamil
4.3.3 Teknik pengambilan sampel Pengambilan sampel dengan cara convinience sampling dari populasi terjangkau, yaitu penderita gonore yang berkunjung ke Klinik Amertha, Yayasan Kerti Praja, Denpasar dan Poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Infeksi Menular Seksual pada bulan Mei-Juni 2015, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dijadikan subyek penelitian sampai memenuhi jumlah sampel yang diperlukan.
4.3.4 Besar sampel n= Z2PQ
lxv
2
Keterangan : N
= jumlah sampel yang diperlukan
Z
= dengan kemaknaan sebesar 0,05 ( 95 % CI)= 1,96
P
= proporsi infeksi gonore
Q
= (1-P)
= tingkat kemaknaan yang dikehendaki
Besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah n = (1,96)2 x 0,03 (1-0,03) (0,05)2 n = 44,7 n=
45 sampel
4.4 Variabel Penelitian lxvi
4.4.1 Definisi operasional variabel
1. Wanita penjaja seks adalah wanita yang terlibat dalam pekerjaan seks yang menyediakan layanan seks untuk ditukarkan dengan uang atau berupa barang berharga yang setara dengan uang atau barang. 2. Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki adalah laki-laki yang mengidentifikasi dirinya sebagai gay atau homoseksual naupun laki-laki yang mengidentifikasi dirinya sebagai heteroseksual namun berhubungan seks dengan laki-laki. 3. Lelaki heteroseksual adalah lelaki dengan pasangan seks yang berganti-ganti dan memiliki pasangan lebih dari satu 4. Umur adalah jumlah tahun kehidupan ditentukan dari tanggal kelahiran sampai saat datang ke klinik yang dapat ditentukan dengan melihat data kelahiran pada kartu identitas atau melalui wawancara yang mendalam 5. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi yang pernah atau sedang diduduki subjek 6. Jumlah pasangan adalah jumlah pasangan yang diajak untuk melakukan hubungan seksual dalam 1 minggu terakhir 7. Pengobatan sendiri adalah upaya mencari pengobatan dengan membeli obat sendiri tanpa resep dokter
lxvii
8. Riwayat infeksi gonore sebelumnya adalah riwayat terdiagnosis infeksi servisitis gonore yang ditunjang dengan pemeriksaan fisik terdapat duh tubuh mukopurulen dan hasil pemeriksaan laboratorium diplokokus gram negatif intraseluler yang dilihat pada catatan rekaman medis 9. Riwayat HIV adalah status HIV berdasarkan hasil pemeriksaan spesimen darah dengan metoda rapid tes. Hasil tes HIV didapat dengan melihat catatan rekam medis sampel. 10. Resistensi adalah sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antibiotika. hambat menggunakan kriteria berdasarkan Clinical Laboratory Standards Institute. Kriteria diameter zona hambat untuk menentukan resistensi dan sensitivitas masing-masing antibiotika dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Kriteria sensitivitas dan resistensi antibiotika berdasarkan Clinical Laboratory Standard Institute (CLSI, 2015)
Grup
Agen
Kandungan cakram
Kritriea diameter zona hambat
Kritera MIC (g/mL)
I -
R -
S < 0.25
I -
R -
A
Ceftriaxone
30 g
S > 35
A
Cefixime
5 g
> 31
-
-
< 0.25
-
-
A
Tetrasiklin
30 g
> 38
31-37
< 30
< 0.25
0,5-1
>2
lxviii
A
Ciprofloxacin Asitromisin
5 g 15 g
> 41 > 25
28-40 -
< 27 -
< 0,06 < 0.12
0.12-
>1 -
4.5 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari swab duh tubuh endoserviks pada pasien wanita dan meatus uretra pada pasien lelaki.
4.6 Instrumen Penelitian 4.6.1 Instrumen Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain
1. Spekulum 2. Lidi kapas steril 3. Lubrikan gel 4. Objek glass 5. Sarung tangan 6. Lampu spiritus (bunsen) 7. Kasa steril 8. Larutan Nacl 9. Candle jar lxix
10. Oase/sengkelit 11. Mesin incubator
4.6.2 Reagen dan media 4.6.2.1 Reagen dan media uji identifikasi Media dan reagen yang digunakan untuk uji identifikasi Neisseria gonorrhoeae antara lain
1. Tes strip oksidase 2. Larutan H2O2 30 % 3. PCR Kit
4.6.2.2 Reagen dan media uji resistensi dan sensitivitas antibiotika Reagen dan media dan alat untuk tes uji sensitivitas yang digunakan antara lain
1. Kaldu mueller hinton 2. NaCl dan PBS pH 7,2 3. GC agar base medium + 1 % isovitalek (GC-1) 4. Cakram disk antibiotika setriakson, sefiksim, siproflokasin, tetrasiklin, asitromisin 5. Larutan standar Mcfarland 0,5 6. Kapas lidi dengan tangkai kayu (wooden swab). lxx
4.7. Prosedur Penelitian
1. Penderita gonore yang berkunjung ke Klinik Amertha, Yayasan Kerti Praja dan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui menentukan kriteria inklusi dan eksklusi a. Pemeriksaan fisik, meliputi: pemeriksaan spekulum pada wanita untuk melihat adanya duh tubuh yang mukopurulen, pemeriksaan meatus uretra pada laki-laki b. Pemeriksaan gram meliputi pemeriksaan untuk melihat ada tidaknya diplokokus gram negatif intraseluler. Bahan pemeriksaan diambil dari swab duh tubuh serviks, cairan uretra, cairan rektal 2. Pengambilan sampel dari duh tubuh wanita yang berlokasi pada endoserviks, dan duh tubuh lelaki pada meatus uretra. Proses pengambilan pada endoserviks dengan cara duh tubuh serviks dan vagina dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan kasa steril yang dibasahi larutan NaCl. Dilakukan pengambilan sampel dari swab dari endoserviks dengan menggunakan lidi kapas steril, lidi kapas diputar selama 3 detik atau diputar tiga kali. Proses pengambilan pada laki-laki dengan pengambilan duh tubuh ke dalam uretra sampai melewati fosa navikularis dari meatus uretra lxxi
menggunakan swab steril. Kemudian lidi kapas segera diusapkan ke media modifikasi Thayer Martin (media dipersiapkan terlebih dahulu pada suhu ruangan, tidak digunakan dalam keadaan dingin). Dengan menggunakan lidi kapas yang baru dilakukan swab yang kedua dan dioleskan pada obyek glass untuk dilakukan pemeriksaan gram. 3.
Media modified Thayer martin segera dimasukkan ke dalam candle jar, masukkan lilin yang telah dinyalakan dan tutup rapat candle jar. Segera inkubasi pada suhu 35° C dalam sungkup lilin, CO2 5-10 % selama 24-48 jam. Obyek glass dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pengecatan gram
4. Amati koloni yang tumbuh pada 24 jam, 48 jam. Koloni bakteri Neisseria gonorrhoeae yang khas akan ditemukan berbentuk bundar, diameter + 0,5 mm, warna putih keabuan, transparan, pinggir koloni rata, permukaan cembung dan licin. 5. Dilakukan pengecatan gram ulang yang diambil dari koloni yang tumbuh 6. Apabila pada pengecatan gram ulang ditemukan diplokokus gram negatif dilanjutkan dengan tes identifikasi yaitu tes oksidase dan katalase. Uji oksidase dengan menggunakan tes strip oksidase, akan positif jika kertas lakmus berwana keunguan. Uji katalase dengan menggunakan larutan H2O2, akan positif akan jika tampak gelembung-gelembung yang terbentuk karena pelepasan O2 lxxii
7. Jika didapatkan uji katalase dan oksidase positif, koloni yang positif ditanam kembali pada media chocholate agar untuk mendapatkan koloni yang murni. Inkubasi 18- 24 jam dalam candle jar pada suasana anaerob suhu 35-360 C 8. Koloni yang murni tumbuh pada media chocolate agar segera dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Sanglah untuk diidentifikasi dengan menggunakan PCR 9. Hasi uji identifikasi yang positif Neisseria gonorrhoeae disimpan di stok kultur pada media TSB + gliserin 20 % dan disimpan di freezer suhu -700 C untuk menunggu dilakukan uji resistensi dan sensitivitas antibiotika 10. Analisa data sesuai dengan hasil tes uji resistensi dan sensitivitas antibiotika
4.7.1 Prosedur pembuatan media 4.7.1.1 Media Modified Thayer martin ( Saponin GC agar base) Langkah pertama adalah pembuatan saponin 10 % dengan prosedur sebagai berikut
1. Timbang 5 gram bubuk saponin 2. Masukkan ke dalam labu Erlenmeyer 3. Tambahkan 50 ml aquades 4. Rebus dalam panci yang berisi air sampai larut 5. Steril dalam autoclave 1210 C selama 15 menit lxxiii
6. Saponin yang sudah steril diambil 6,75 ml 7. Tambah 90 ml darah kambing steril yang bebas fibrin 8. Homogenkan sampai merata 9. Taruh dalam inkubator pada suhu 370 C selama 20 menit kadang-kadang digoyang sampai darahnya lisis
Langkah kedua adalah pembuatan GC agar base dengan prosedur sebagai berikut
1. Timbangkan 36 gram bubuk GC agar base 2. Masukkan ke dalam labu Erlenmeyer 3. Tambahkan 1 liter aquades 4. Rebus dalam panci yang berisi air sampai larut 5. Steril dalam autoclave 1210 C selama 15 menit 6. Media yang sudah steril dan bersuhu 500 C 7. Tambahkan 96,75 ml darah kambing steril bebas fibrin yang sudah lisis oleh saponin 8. Homogenkan sampai rata 9. Tambah suplemen VCNT (2 vial) yang masing-masing sudah dilarutkan dengan akuades steril sebanyak 10 ml 10. Homogenkan sampai rata dan dituang dalam petrisidsh setril masing-masing sebanyak 20 ml lxxiv
11. Beri kode (nama media) dan tanggal pembuatan media 12. Setelah padat media ditaruh dalam inkubator pada suhu 370 C dalam posisi terbalik 13. Bila ada pertumbuhan bakteri, media tidak bisa digunakan
4.7.1.2 Media chocolate agar Berikut adalah prosedur pembuatan media chocolate agar yang digunakan sebagai kulur kedua (subkultur)
1. Timbang 40 gram bubuk blood agar base 2. Masukkkan ke dalam labu Erlenmeyer 3. Tambahkan 1 liter aquades dan di PH ( pHnya 7,3 + 0,2) 4. Rebus dalam panci yang berisi air sampai larut 5. Steril dalam autoclave 1210 C selama 15 menit 6. Media yang sudah steril and bersuhu 500 C ditambahkan darah kambing steril yang bebas fibrin sebanyak 50 ml ( 5 %) 7. Rebus dalam panci yang berisi air sampai berwarna coklat 8. Tambah suplemen vitox ( 2 vial) yang sudah dilarutkan dengan pelarutnya 9. Homogenkan sampai rata dan dituang dalam petridish seteril masing-masing sebanyak 20 ml 10. Beri kode (nama media) dan tanggal pembuatan media lxxv
11. Setelah padat media ditaruh dalam inkubator pada suhu 370 C dalam posisi terbalik 12. Bila ada pertumbuhan bakteri, media tidak bisa digunakan
4.7.3 Prosedur identifikasi Neisseria Gonorrhoeae Pemeriksaan PCR untuk identifikasi Neisseria gonorrhoeae
1. Sampel diambil dari seluruh isolat Neisseria Gonorrhoeae yang disimpan dalam suhu -80oC 2. Isolat tersebut kemudian disubkultur pada media TSA 3. Dilakukan ekstraksi DNA menggunakan DNA isolation kit dari Roche dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : a. Nyalakan inkubator pada suhu 370C. Inkubasi elution buffer pada suhu 700 C b. Resuspensikan pellet dengan 200 L PBS, tambahkan 5 uL lyzosime (10 mg/ml dalam 10 mM Tris HCL ph 8). Inkubasi dalam suhu 370 C selama 15 menit c. Tambahkan 200 uL binding buffer dan 40 L proteinase K, homogenkan kemudian inkubasi 700 C selama 10 menit d. Tambahkan 100 uL alkohol absolut vortex, pindahkan ke collection tube lxxvi
kemudaian centrifuge 8000 g selama 1 menit e. Ganti collection tube, tambahkan 500 l inhibitor removal buffer, kemudian centrifuge 8000 g selama 1 menit f. Ganti collection tube, tambahkan 500 l wash buffer, kemudian centrifuge 8000 g selama 1 menit g. Ganti collection tube, tambahkan 400 l wash buffer, kemudian centrifuge 8000 g selama 1 menit h. Ganti tube 1,5 ml, kemudian centrifuge 13.000 g selama 10 detik i. Ganti tube tambahkan 50 l elution buffer (70 C), kemudian centrifuge 13.000 g selama 2 menit 4. Formulasi PCR dibuat dalam 25 l, terdiri dari 12,5 l Master Mix( Ready To Go Master Mix Go Green, Promega). Konsentrasi Primer Forward dan Reverse yang digunakan adalah 0,3 uM. Jumlah DNA yang dimasukkan adalah sebanyak
1,0 l, kemudian ditambahkan H2O
sehingga volume total sebesar 25 Ul. 5. Kemudian dilakukan pemeriksaan PCR dengan tahapan sebagai berikut Amplifikasi DNA dilakukan dengan Thermal Cycler (Biometra, Enseval) dengan rincian sebagai berikut: Pre-denaturasi dijalankan pada suhu 940C selama 5 menit, dilanjutkan dengan 35 siklus denaturasi 940C selama 40 detik, annealing 540C selama 45 detik, dilanjutkan dengan ekstensi 720C selama 80 lxxvii
detik. Final ekstensi dijalankan selama 5 menit pada 720C sebanyak satu siklus. Produk PCR dianalisis menggunakan gel agarosa 1,5 % dengan pewarnaan Gel Red Nucleic Acid ( Biotoum, Biorad) dengan panjang basa 278 bp.
4.7.4 Prosedur uji resistensi dan sensitivitas antibiotika Prosedur uji resistensi dan sensitivitas antibitika pada penelitian ini sebagai berikut
1. Buat suspensi dari koloni yang terpisah di agar coklat dalam kaldu Mueler Hinton 1 ml dan votrex supaya menjadi suspensi yang halus 2. Sesuaikan suspensi dengan menambahkan kaldu phosphate buffer saline seperlunya sampai kepekatannya setara dengan Mc Farland 0,5 3. Biarkan lempeng agar GC-1 yang baru dikeluarkan dari lemari es di suhu ruangan. Permukaan lempeng agar harus kering, bila basah masukkan lempeng agar terlebih dulu ke inkubator 35 O C 4. Celupkan kapas lidi (swab) steril ke dalam suspensi biakan yang sudah standar (McFarland 0,5) dan tekan memutar (rotasi) kapas lidi ke dinding tabung diatas permukaan cairan untuk menghilangkan kelebihan cairan.
lxxviii
5. Inokulasi seluruh permukaan lempeng agar dengan cara mengusapkan kapas lidi tersebut ketiga arah yang berbeda., masing-masing usapan membentuk sudut 60 o. 6. Letakkan cakram antibiotika ke atas permukaan agar dan tekan perlahan-lahan dengan pinset agar seluruh permukaan strip bersentuhan dengan permukaan agar/biakan 7. Balikkan lempeng agar dan masukkan dalam sungkup Co2 (Co2 3-5 %) dan inkubasikan pada suhu 350 C selama 24 jam 8. Baca hasil tes dengan melihat pada bagian belakang lempeng agar dan ukur bayangan hitam yang terbentuk disekitar cakram dengan menggunakan kalimeter. 9. Hasil yang didapat disesuaikan dengan tabel 2.1 tentang kriteria sensitivitas dan resistensi masing-masing antibiotika
lxxix
Populasi target Penderita infeksi gonore Populasi terjangkau Penderita gonore yang berkunjung ke klinik Amertha, Yayasan Kerti Praja dan Poliklinik Kulit dan Kelamin pada bulan Mei-Juni 2016 Pemeriksaan duh tubuh didapatkan sekret mukopurulen
Subyek penelitian
-
Informed consent Anamnesis Kriteria inklusi dan eksklusi
Pengambilan swab duh tubuh
Tanam pada media modified Thayer martin.
Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan gram
Amati koloni
Koloni sesuai dengan koloni N. gonorrhoeae gonorrhoeae Diplokokus gram negatif
Pewarnaan gram pada koloni Diplokokus gram negatif
Tanam pada chocolate agar Uji oksidase, katalase Identifikasi spesies Hasil positif
Neisseria gonorrhoeae (+) lxxx
dengan PCR
Uji sensitivitas dan resistensi
Sampel Penelitian
Gambar 4.2 Alur Penelitian
4.8 Analisis data - Data dicatat dalam lembar pengumpulan data yang telah disusun - Data mengenai uji resistensi sampel diolah dan dianalisis secara deskriptif kemudian disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi.
4.9 Etika Penelitian Protokol penelitian untuk ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran
UNUD/RSUP
Sanglah
Denpasar
telah
diberikan
sebelum
penelitian
dilaksanakan. Subjek yang memenuhi kriteria penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan dari protokol penelitian serta diminta untuk mengisi informed consent secara tertulis. Subjek penelitian memiliki hak sepenuhnya untuk menolak ikut serta dalam penelitian apabila tidak bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini. Seluruh biaya penelitian dan biaya lainnya yang dibutuhkan akibat penelitian ini ditanggung oleh peneliti. lxxxi
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Sampel Selama 2 bulan mulai bulan Mei 2016 sampai Juni 2016 di Klinik Amertha, Yayasan Kerti Praja, Denpasar dan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar telah dilakukan penelitian terhadap 45 isolat yang memenuhi kriteria penerimaan sampel. Pada semua sampel tersebut dilakukan pencatatan data dasar, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk identifikasi yaitu pemeriksaan gram, tes oksidase katalase dan PCR. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi, frekuensi, yang secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu karakteristik infeksi gonore secara umum dan karakteristik infeksi gonore yang resisten terhadap masing-masing antibiotika.
5.2 Karakterisik Infeksi Gonore secara umum 5.2.1. Distribusi berdasarkan kategori jenis kelamin Pada penelitian ini didapatkan infeksi gonore lebih sering dijumpai pada wanita yaitu sebanyak 10 orang (22,2 %) dibandingkan pria yaitu sebanyak 35 orang (77,8 %). Distribusi infeksi gonore menurut kategori jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.1
lxxxii
Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase
Pria
10 orang
22,2 %
Wanita
35 orang
77,8 %
Jumlah
45 orang
100 %
5.2.2 Distribusi berdasarkan kategori umur Infeksi gonore lebih sering dijumpai pada kelompok usia 15-25 tahun sebanyak 25 orang (55,5%), kemudian kelompok umur 26-35 tahun sebesar 15 orang (33,3%) dan kelompok usia 36-55 tahun sebanyak 5 orang (11,2 %). Distribusi infeksi gonore menurut kategori umur dapat dilihat pada tabel 5.2
Tabel 5.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Umur Kelompok umur (tahun)
Jumlah
Persentase
15 - 25 tahun
25 orang
55,5 %
26- 35 tahun
15 orang
33,3 %
36- 55 tahun
5 orang
11,2 %
lxxxiii
Total
45 orang
100 %
5.2.3 Distribusi berdasarkan kategori faktor risiko Dari 45 penderita didapatkan faktor risiko penderita infeksi gonore adalah WPS sebanyak 35 orang (77.8%), LSL sebanyak 4 orang (8,9%) dan lelaki heteroseksual sebanyak 6 orang (13,3%). Distribusi sampel menurut faktor risiko dapat dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini.
Tabel 5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Faktor Risiko
Faktor risiko
Jumlah
Persentase
WPS
35 orang
77,8 %
LSL
4 orang
8,9 %
Lelaki Heteroseksual
6 orang
13,3 %
Jumlah
45 orang
100 %
5.2.4 Distribusi berdasarkan jumlah pasangan seksual dalam 1 minggu terakhir Dari 45 penderita didapatkan jumlah pasangan seksual dalam 1 minggu terakhir 1-5 orang adalah sebanyak 10 orang (22,1%), 6-10 orang sebesar 14 orang (31,1%), pasangan seksual lxxxiv
11-15 orang sebanyak 15 orang (33,3 %) dan pasangan seksual lebih dari 15 orang sebanyak 7 orang (15,5 %).
Tabel 5.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Jumlah Pasangan Seksual dalam 1 Minggu Terakhir
Jumlah Pasangan
Jumlah
Persentase
1-5
10 orang
22,1 %
6-10
14 orang
31,1 %
11-15
15 orang
33,3 %
> 15
6 orang
15,5 %
Jumlah
45 orang
100 %
5.2.5 Distribusi berdasarkan tingkat pendidikan Pada penelitian ini didapatkan pendidikan SLTP merupakan kelompok terbanyak, sebesar 22 orang (48,8 %), sedangkan pendidikan SLTA didapatkan sebanyak 10 orang (22,3 %). Pada penelitian ini didapatkan penderita dengan latar belakang tamatan sekolah dasar sebanyak 10 lxxxv
orang (22,3 %) dan pendidikan universitas sebanyak 3 orang (6,6 %)
Tabel 5.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan
Jumlah
Persentase
SD
10 orang
22,3%
SLTP
22 orang
48,8 %
SLTA
10 orang
22,3 %
3 orang
6,6 %
45 orang
100 %
Universitas Jumlah
5.2.6 Distribusi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sendiri Pada penelitian ini didapatkan penderita yang pernah melakukan pengobatan sendiri sebanyak 20 orang (44,5 %) dan yang tidak pernah melakukan pengobatan sendiri sebanyak 25 orang (55,5 %). Jenis antibiotika yang diminum adalah tetrasiklin sebanyak 10 orang (50 %), amoksisilin 17 orang (85 %), tiamfenikol 10 orang (50 %), ampisilin 9 orang (45 %), siprofloksasin 1 orang (5 %). Terdapat 7 orang (35 %) yang meminum jenis antibiotika lebih dari 1 macam antibiotika. Tempat mendapatkan pengobatan adalah di apotek sebanyak 12 orang (30 %), toko obat sebanyak 4 orang (20 %), warung sebanyak 2 orang (10 %), lain-lain sebanyak 4 orang (20 %). lxxxvi
Tabel 5.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sendiri
Pengobatan sendiri
Jumlah
Persentase
1. Ya
20 orang
44,5 %
Tetrasiklin
10 orang
50 %
Amoksisilin
17 orang
85 %
Tiamfenikol
10 orang
50 %
Ampisilin
9 orang
45 %
Siprofloksasin
1 orang
5%
Apotek
12 orang
30 %
Toko obat
4 orang
20 %
Warung
2 orang
10 %
Lain-lain
4 orang
20 %
25 orang
55,5 %
Jenis antibiotika
Tempat mendapat obat
2. Tidak
5.2.7 Distribusi berdasarkan riwayat terinfeksi HIV lxxxvii
Pada penelitian ini didapatkan penderita gonore yang memiliki riwayat HIV sebesar 8 orang (17,8 %), sedangkan yang tidak memiliki riwayat HIV sebanyak 32 orang (37,7 %). Penderita yang belum melakukan pemeriksaan tes HIV sebanyak 5 orang (13,3 %).
Tabel 5.7 Distribusi Berdasarkan Riwayat Terinfeksi HIV
Riwayat HIV
Jumlah
Persentase
Positif
8 orang
17,8 %
Negatif
32 orang
71,1 %
Belum diketahui
5 orang
11,1 %
Jumlah
45 orang
100 %
5.2.8 Distribusi berdasarkan riwayat terinfeksi gonore sebelumnya lxxxviii
Pada penelitian ini didapatkan penderita gonore yang memiliki riwayat terinfeksi gonore sebelumnya sebesar 20 orang (44,4 %), sedangkan yang tidak memiliki riwayat terinfeksi gonore sebanyak 25 orang (55,6 %). Tabel 5.8 Distribusi Berdasarkan Riwayat Terinfeksi Gonore Sebelumnya
Riwayat Gonore
Jumlah
Persentase
Ya
20 orang
44,4 %
Tidak
25 orang
55,6 %
Jumlah
45 orang
100 %
5.2.9 Distribusi berdasarkan kategori hasil uji kepekaan terhadap antibiotika Hasil persentase resistensi antibiotik terhadap Neisseria gonorrhoeaae pada penderita gonore didapatkan bahwa tetrasiklin dan siprofloksasin adalah yang paling banyak mengalami resistensi terhadap Neisseria gonorrhoeae yaitu tetrasiklin sebesar 95,6 % dan kemudian diikuti dengan siprofloksasin sebesar 88,9 %, yang paling sedikit resisten adalah asitromisin lxxxix
sebesar 17,2 %. Antibiotika sefiksim mengalami penurunan kepekaan sebesar 48,8 % dan seftriakson mengalami penurunan kepekaan sebesar 37,9 %.
Tabel 5.9 Distribusi Berdasarkan Kategori Hasil Uji Kepekaan Terhadap Antibiotika
Hasil uji Kepekaan
Sensitif
Intermediet
Resisten
Tetrasiklin
0%
4,4 %
95,6 %
Sefiksim
51,2 %
-
-
Seftriakson
62,1 %
-
-
Siprofloksasin
0%
11,1 %
88,9 %
Asitromisin
76 %
6,8 %
17,2 %
xc
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini menggunakan 45 isolat Neisseria gonorrhoeae yang telah dilakukan kultur, terdapat pertumbuhan koloni dan teridentifikasi Neisseria gonorrhoeae melalui pemeriksaan PCR. Isolat ini didapatkan dari subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Distribusi Neisseria gonorrhoeae berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 35 orang (77,8 % dibandingkan dengan perempuan sebanyak 10 orang (22,2 %). Pada penelitian ini oleh karena waktu yang terbatas. didapatkan sampel lebih banyak pada wanita oleh karena sampel lebih banyak didapatkan di Klinik Amertha yang dikunjungi oleh pasien wanita penjaja seks yang wajib datang setiap bulan untuk skrining pemeriksaan infeksi menular seksual. Distribusi Neisseria gonorrhoeae berdasarkan faktor risiko pada penelitian ini didapatkan WPS merupakan faktor risiko tertinggi yaitu sebanyak 35 orang (77,8 %), faktor risiko LSL sebanyak 4 orang (8,9 %) dan lelaki heteroseksual sebanyak 6 orang (13,3 %). Menurut data dari Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) dari beberapa kota di Indonesia pada tahun 2013, prevalensi infeksi gonore tertinggi terdapat pada kategori faktor risiko WPS langsung sebesar 34,8 %, pada LSL sebesar 21,2 % dan pada pria berisiko tinggi sebesar 8,5%. xci
Distribusi umur penting untuk diperhatikan, karena makin muda umur seorang wanita, makin rawan tertular IMS. Pada laki-laki kelompok umur 20-34 tahun dan pada perempuan umur 16-24 tahun tergolong berisiko tinggi untuk terinfeksi penyakit menular seksual. Pada perempuan remaja mudah terkena IMS disebabkan sel-sel organ reproduksi belum matang. Semakin muda kelompok umur WPS semakin tinggi prevalensi infeksi menular seksualnya (Heng, 2008) Berdasarkan penelitian ini distribusi Neisseria gonorrhoeae berdasarkan usia menunjukkan bahwa usia 15-25 tahun (55,5 %) sebanyak 25 orang merupakan kelompok usia yang tertinggi untuk terjadinya infeksi Neisseria gonorrhoeae, diikuti dengan kelompok usia 26-35 tahun sebanyak 15 orang (33,3 %) dan kelompok usia 36-55 tahun sebanyak 5 orang (11,2 %). Hal ini serupa dengan penelitian oleh Wang dkk (2013) bahwa penderita Neisseria gonorrhoeae terbanyak terdapat pada kelompok umur 15-25 tahun. Penelitian oleh Swan dkk (2011) juga melaporkan 23,9 % pasien dengan usia 25-29 terinfeksi gonore, lebih besar dibandingkan dengan pasien dengan usia > 30 tahun yang memiliki prevalensi infeksi gonore yang lebih kecil. Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah terutama pengetahuan mengenai infeksi menular seksual dan dampaknya. Berdasarkan penelitian ini distribusi Neisseria gonorrhoeae berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebanyak 10 orang (22,3 %) merupakan tamatan sekolah dasar, 22 orang (48,8 %) merupakan tamatan SLTP, tamatan SLTA sebanyak 14 orang (22,3%) dan tamatan universitas sebanyak xcii
3 orang (6,6%). Penelitian cross sectional yang dilakukan pada WPS di Thailand didapatkan tingkat pendidikan SMA atau yang lebih rendah 31 % terinfeksi gonore dibandingkan pendidikan diatas SMA yaitu 16 %. Sementara itu penelitian di Kamboja melaporkan pendidikan rendah berisiko terinfeksi gonore 26.2 kali dibandingkan WPS yang berpendidikan tinggi (Nyang, 2011). Tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku penderita gonore dalam melakukan hubungan seksual dan pemilihan serta penggunaan antibiotika. Faktor ini akan mendorong beberapa pasien untuk mencari pengobatan sendiri dan pengulangan terjadinya infeksi gonore sehingga berpengaruh terhadap kejadian resistensi yang mengakibatkan penyakitnya tidak sembuh. Penelitian yang dilakukan oleh Sutama (2005) terhadap 63 WPS di Yogyakarta, 30 % diantaranya adalah tamatan SLTP dan 54 % tamatan sekolah dasar, memiliki tingkat pemahaman dan pengetahuan yang beragam. Sebanyak 84 % mengetahui penyakit gonore bukan dari pendidikannya tetapi melalui perbincangan sesama WPS dan penyuluhan dari relawan dan dokter klinik. Sekitar 26 % dari mereka membeli sendiri antibiotika di toko obat dan atau apotik dan hanya sekitar hanya sekitar 30 % yang tahu cara pemakaian antibiotika yang benar. Menurut penelitian yang pernah dilakukan di Bali pada penderita IMS yang berobat ke dokter swasta sebanyak 2834 orang dari 1613 penderita (56,9 %) telah mengobati penyakit sendiri. Macam antibiotika yang dibeli adalah supertetra 50 %, amoksisilin 17 orang % (85 %), Cara penderita mendapatkan antibiotika tersebut adalah dengan jalan membeli obat di apotek sebanyak 958 orang (59,4 %), toko obat sebanyak 355 orang (22,0 %), warung 154 orang (9,5 %); lain-lain 146 orang (9,1 %) (Wiraguna dan Duarsa, 1998). Pada penelitian ini didapatkan penderita xciii
gonore yang mempunyai riwayat pengobatan sendiri sebanyak 20 orang (44,5 %). Jenis antibiotika yang sering digunakan adalah tetrasiklin sebanyak 10 orang (50 %), amoksisilin sebanyak 17 orang (85%), tiamfenikol 10 orang (50 %), ampisilin 9 orang (45 %) dan siprofloksasin 1 orang (5 %). Tempat mendapat obat adalah di apotek 12 orang (30 %), toko obat 4 orang (20 %), warung 2 orang (10 %), lain-lain 4 orang (20 %). Gonore serta beberapa penyakit kelamin lain dapat menyebabkan limfosit CD4 (limfosit T helper) berkumpul di daerah lokasi terinfeksi untuk melawan infeksi. Sedangkan CD4 adalah sasaran utama HIV sehingga menyebabkan orang terinfeksi gonore lebih mudah tertular HIV. Infeksi menular seksual merupakan kofaktor yang memudahkan penularan HIV sehingga penderita lebih rentan terhadap HIV, atau dengan kata lain IMS akan mempermudah penularan HIV. Pada penelitian ini didapatkan distribusi pasien gonore dengan riwayat infeksi HIV sebanyak 8 orang (17,8 %). Data STBP tahun 2013 menunjukkan bahwa 10,16 % WPS yang terinfeksi HIV sedangkan 89,84 % belum terdeteksi antibodi HIV dalam darahnya (STBP, 2013). Penelitian lain oleh Huso dkk (2012) di Beijing menyebutkan distribusi infeksi gonore yang disertai dengan riwayat infeksi HIV didapatkan pada 12,3 % sampel.
6.1. Karakteristik infeksi gonore terhadap beberapa antibiotika 6.1.1 Karakteristik infeksi gonore terhadap sefiksim Menurut centers for disease control and prevention kriteria resistensi terhadap xciv
sefiksim belum secara jelas didefinisikan. Kepekaan sefiksim terhadap Neisseria gonorrhoeae disebut sensitif bila zona hambatnya > 31 mm dengan menggunakan uji difusi dan MIC < 0,25 g/mL secara dilusi menurut kriteria Clinical Laboratory Standard Institute (CLSI) 2015. Pada penelitian ini uji kepekaan sefiksim secara difusi menunjukkan 22 dari 45 isolat (48,8 %) mengalami penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim dan 23 dari 45 isolat (51,2 %) belum mengalami penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim. Menurut penelitian Astindari (2015) di Surabaya yang dilakukan pada WPS didapatkan 9 dari 12 isolat (75 %) sensitif terhadap sefiksim. Empat dari 9 isolat (44,5 %) yang sensitif terhadap sefiksim mempunyai zona hambat dengan diameter 31 mm yang merupakan batas kemampuan sefiksim untuk menghambat pertumbuhan Neiseeria gonorrhoeae. Penelitian mengenai resistensi antibiotika terhadap Neisseria gonorrhoeae yang dipublikasikan lebih banyak menggunakan nilai MIC sebagai kriteria penurunan suseptibilitas. Persentase isolat dengan sefiksim MICs > 0,25 g/ mL meningkat dari 0,1 % pada 2006 menjadi 1,4 % pada tahun 2011, dan menurun menjadi 0,4 % pada tahun 2013. Gonococcal International surveillance project juga menguji sefiksim pada tahun 1992 hingga tahun 2006 terdapat 48 isolat dengan MIC sefiksim 0,5-2,0 mg/L. Di Hawai pada tahun 2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson 0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan sensitifitas sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L (, 2014). Faktor yang berpengaruh pada resistensi gonore terhadap sefiksim menurut penelitian xcv
Michelle dkk (2014) adalah faktor risiko lelaki heteroseksual dan pada WPS. Menurut penelitian oleh Wang dkk (2013) isolat dengan penurunan suseptibilitas paling banyak terjadi pada WPS yaitu sebanyak 17 isolat (77,8%). Begitu pula dengan penelitian di Inggris tahun 2013 didapatkan hasil penurunan kepekaan terhadap sefiksim didapatkan pada WPS lebih tinggi dibandingkan dengan pria heteroseksual dan LSL (Barry, 2014). Pada penelitian ini didapatkan dari 23 isolat yang mengalami penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim, usia yang paling sering adalah 25-35 tahun (75 %). Menurut the gonococcal resistance to antimicrobials surveillance programme in England and Wales pasien dengan usia 35-44 tahun merupakan kelompok paling berisiko tinggi untuk terjadi penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim, dibandingkan dengan usia 13-19 tahun (Unemo, 2014). Bebasnya pembelian antibiotika tanpa resep dokter dan penggunaan secara luas tanpa mengetahui dosis yang tepat juga menjadi pemicu resistensi. Penelitian di Semarang oleh Sumaryo (2006) terhadap 39 penderita gonore didapatkan hasil 26 % pasien telah mengkonsumsi antibiotika yang dibeli sendiri dan 90 % pasien tersebut telah resisten terhadap sefiksim. Pada penelitian didapatkan angka pengobatan sendiri oleh pasien sebanyak 20 orang (44,5%). Enam orang diantaranya memiliki penurunan kepekaan terhadap sefiksim (13,4 %) Dasar pengobatan gonore lebih bersifat epidemiologi daripada individual, oleh karena itu data epidemiologi mengenai resistensi gonokokus terhadap berbagai antibiotika adalah penting untuk pedoman menetapkan rekomendasi pengobatan infeksi gonokokus. The xcvi
Centers for Disease Control and prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) akan merubah rekomendasi pengobatan bila dijumpai prevalensi resistensi terhadap suatu antibiotika melampaui 5 % (Tapsal, 2001). Pedoman penggunaan pengobatan gonore pada beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Eropa tidak lagi menggunakan sefiksim sebagai pengobatan lini pertama dalam mengatasi infeksi gonore. Regimen sefiksim digunakan sebagai alternatif jika sefalosporin parenteral tidak tersedia dan dikombinasikan dengan regimen pengobatan lain seperti asitromisin atau doksisiklin (CDC, 2015), sedangkan di Indonesia berdasarkan pedoman nasional infeksi menular seksual masih menggunakan sefiksim dosis tunggal sebagai pengobatan lini pertama dalam penanganan infeksi gonore (Pedoman, 2011). Pada penelitian ini didapatkan angka penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim yang tinggi yaitu sebesar 48,8 %, melampaui batas kriteria CDC dan WHO bahwa perubahan rekomendasi pengobatan dapat dilakukan bila dijumpai prevalensi resistensi terhadap suatu antibiotika melampaui 5 %. Unemo dkk (2014) menyatakan adanya penA mosaic, mtrR dan penB bisa menyebabkan resistensi Neisseria. gonorrhoeae terhadap sefiksim. Ohnishi dkk (2014) menyatakan mekanisme molekuler yang menyebabkan terjadinya resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap sefiksim terjadi karena terbentuknya mosaik penA-X yang mengkode penicillin binding protein 2 (PBP2) dan terjadi mutasi kromosom sehingga terbentuk varian baru dari penA-X. Mosaik gen penA, yang mengkode PBPs-2 akan menyebabkan berkurangnya daya ikat penisilin dan sefalosporin yang pada akhirnya akan menyebabkan resistensi atau penurunan kepekaan terhadap sefiksim. xcvii
6.2 Karakteristik infeksi gonore yang resisten terhadap seftriakson Uji kepekaan seftriakson secara difusi menunjukkan 17 dari 45 isolat (37,9 %) mengalami penurunan suseptibilitas terhadap seftriakson dan 25 dari 45 isolat (62,1 %) sensitif terhadap seftriakson. Kepekaan seftriakson terhadap Neisseria gonorrhoeae disebut sensitif bila mempunyai zona hambat > 35 mm dengan uji secara difusi berdasarkan CLSI 2011. Definisi resistensi terhadap sefalosporin belum ditentukan secara standar karena terbatasnya data mengenai kegagalan pengobatan. Kebanyakan definisi resistensi berdasarkan pada MIC seftriakson terhadap Neisseria gonorrhoeae. Beberapa peneliti mendefinisikan resistensi dengan peningkatan MIC seftriakson ≥ 0,06 mg/L, ≥ 0,125 mg/L oleh Gonococcal Resistance Antimicrobial Surveillance Programme (GRAPS) UK, > 0,125 mg/L oleh Eropa Surveillance of Sexually Transmitted Infection (ESSTI), Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) menentukan MIC ≤ 0,25 mg/L sebagai sensitif dan ≥ 0,5 mg/L sebagai tidak sensitif. Gonococcal Isolat Surveillance Programme (GISP) AS melaporkan 4 isolat dengan MIC seftriakson 0,5 mg/L di San Diego (1987), Cincinnati (1992 dan 1993), dan Philadelphia (1997). Di Hawai pada tahun 2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson 0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan sensitifitas sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L (Barry dan Klausner, 2009). Menurut the gonocoocal resistance to antimicrobials surveillance programme di Inggris and Wales report pada tahun 2013 didapatkan penurunan suseptibilitas terhadap
xcviii
seftriakson lebih banyak pada terjadi pada kelompok usia 26-40 tahun dan sebagian besar terjadi pada kelompok LSL (Unemo dkk, 2014). Pada penelitian ini didapatkan kelompok usia yang tersering mengalami penurunan suseptibilitas adalah kelompok usia 25-35 tahun dan lebih banyak terjadi pada WPS. Gonococcal Isolat Surveillance Programme (GISP) AS melaporkan 4 isolat dengan MIC seftriakson 0,5 mg/L di San Diego pada tahun 1987, Cincinnati pada tahun 1992 dan 1993, dan Philadelphia pada tahun 1997. Di Hawai pada tahun 2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson 0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan sensitifitas sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L (Barry dan Klausner, 2009). Mekanisme resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap sefalosporin dapat melalui perubahan penicillin binding proteins dan merupakan target utama untuk antimikroba betalaktam seperti sefalosporin. Perubahan pada PBP2 yang dikode oleh gen penA merupakan penyebab menurunnya ikatan terhadap penisilin melalui insersi tunggal asam amino. Perubahan ini juga ditemukan pada isolat yang resisten sefalosporin. Namun belum banyak diketahui mengenai mutasi spesifik pada PBPs, interaksi dan perubahan pada gen lainnya. Mekanisme dasar lain resistensi terhadap seftriakson adalah penurunan konsentrasi antimikroba. Penurunan konsentrasi antimikroba dapat terjadi melalui penghambatan masuknya antimikroba ke dalam sel atau aktivasi efflux pump sel bakteri. Mutasi pada gen mtrR yang berperan untuk menekan sistem MtrC-D-E meningkatkan efflux pump dan memicu resistensi terhadap penisilin, tetrasiklin, makrolid, dan kemungkinan pada fluorokuinolon. Mekanisme mutasi ini pada resistensi terhadap sefalosporin belum diketahui xcix
dengan jelas. Tanaka dan kawan-kawan melaporkan isolat yang resisten seftriakson dengan MIC 0.5 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR. Linberg dan kawan-kawan menemukan sekitar 13 dari 18 isolat dengan MIC seftriakson ≥0,06 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR, penA, penB, dan ponA (Barry, 2009).
6.3 Karakteristik infeksi gonore yang resisten terhadap asitromisin Uji kepekaan asitromisin secara difusi menunjukkan 38 dari 45 isolat (17,2 %) resisten terhadap asitromisin dan 7 dari 45 isolat (76 %) sensitif terhadap asitromisin. Kepekaan asitromisin terhadap Neisseria gonorrhoeae disebut sensitif bila mempunyai zona hambat > 25 mm dengan uji secara difusi berdasarkan CLSI 2011. Kepekaan terhadap asitromisin memberikan hasil yang paling tinggi pada penelitian ini. Pada penelitian lain yang dilakukan di Brazil tahun 2012 dan penelitian di Afrika pada tahun 2015 didapatkan hasil kepekaan terhadap asitromisin sebesar 88, 9 %. dan 85,6 %. Centers for disease control and prevention merekomendasikan penggunaan asitromisin 1 g sebagai pengobatan infeksi gonore yang dikombinasikan dengan penggunaan sefalosporin injeksi dan asitromisin 2 g digunakan sebagai alternatif pilihan pertama pada pasien yang alergi terhadap sefalosporin (CDC, 2015) Menurut the gonococcal resitance to antimicrobials surveillance programme di Inggris dan Wales, resistensi terhadap asitromisin meningkat dari 0,8 % menjadi 1,6 % pada 2012 dan tiga isolat memiliki resistensi yang tinggi dengan MIC > 256 mg/L. Sedangkan di Amerika, peningkatan resistensi terhadap asitromisin diamati pada LSL dalam dua tahun terakhir, meningkat dari 0,7 % pada 2011 menjadi 2 % pada tahun 2013. Faktor yang terkait
c
dengan resistensi terhadap asitromisin adalah LSL dibandingkan dengan isolat yang berasal dari pria heteroseksual. Pada penelitian ini didapatkan resistensi terhadap asitromisin hanya terjadi pada 1 isolat pasien lelaki heteroseksual dan pada kelompok risiko WPS didapatkan 7 isolat resisten, dan pada kelompok risiko lelaki heteroseksual didapatkan 1 isolat resisten.
6.4 Karakteristik infeksi gonore terhadap tetrasiklin Uji kepekaan sefiksim secara difusi menunjukkan 43 dari 45 isolat (93,4 %) mengalami resistensi terhadap tetrasiklin dan 2 dari 45 isolat (4,4 %) intermediet terhadap tetrasiklin. Kepekaan tetrasiklin terhadap Neisseria gonorrhoeae disebut sensitif bila mempunyai zona hambat > 38 mm dengan uji secara difusi berdasarkan Clinicial and Laboratory Standards Institute tahun 2015 (CLSI, 2015). Tetrasiklin tidak digunakan lagi sebagai terapi Neisseria gonorrhoeae oleh karena tingkat resistensinya yang tinggi. Strain Neisseria gonorrhoeae yang resisten terhadap tetrasiklin (TRNG) pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1985 dan di Belanda pada 1988. Di Indonesia TRNG pada beberapa kota ditemukan 90-95 %. Strain Neisseria gonorrhoeae yang resisten terhadap penisilinase (NGPP) pertama kali ditemukan pada pertengahan tahun 1970-an dan dengan cepat meluas ke berbagai negara di dunia (Barry, 2009). Di Indonesia mulai dilaporkan pada tahun 1980 di Jakarta dan kota-kota besar lainnya sebanyak 40-60 %. Hasil persentase resistensi antibiotik terhadap Neisseria gonorrhoeae pada WPS di daerah Jondul, Pekanbaru didapatkan bahwa tetrasiklin mengalami 100 % resistensi terhadap Neisseria gonorrhoeae (Yuwono, 2000). Penelitian uji ci
resistensi antibiotika yang dilakukan di Vietnam pada tahun 2011 didapatkan hasil persentase antibiotik yang resisten terhadap tetrasiklin sebesar 82 % (Ngyen dkk, 2000). Penelitian yang dilakukan di India, Pakistan dan Bhutan pada tahun 2011 didapatkan hasil persentase antibiotik tetrasiklin yang resisten sebesar 55 %. Menurut the gonococcal resistance to antimicrobials surveillance programme in England and wales, dibandingkan tahun 2012, prevalensi resistensi terhadap tetrasiklin (MIC > 2mg/l) pada tahun 2013 tetap konstan (76,9 % pada tahun 2012 dibandingkan 77,8 % pada tahun 2013). Laki-laki seks laki-laki merupakan kelompok dengan isolat resisten yang tinggi terhadap tetrasiklin (92,5 %) dibandingkan dengan pria heteroseksual yaitu 59,5 % dan wanita 41,3 %. Pada penelitian ini resistensi terhadap tetrasiklin didapatkan hasil yang sangat tinggi yaitu 95,6 % dan WPS merupakan kelompok risiko yang paling tinggi dengan angka kejadian resistensi 100 %. Sampai saat ini data tentang resistensi Neisseria gonorrhoeae di berbagai kota di Indonesia menunjukkan hampir semua telah resisten terhadap tetrasiklin. Menurut pedoman infeksi menular seksual tetrasiklin tidak dipergunakan lagi sebagai pengobatan infeksi gonore (Pedoman, 2011). Tingginya penggunaan antibiotika pada penderita gonore yang tidak sesuai dengan acuan farmakologi merupakan salah satu faktor risiko meningkatnya angka resistensi kuman Neisseria Gonorrhoeae terhadap tetrasiklin. Pada penelitian ini didapatkan angka pengobatan oleh pasien sendiri sebanyak 20 orang (44,5 %) dan dari 20 orang tersebut 10 orang mengkonsumsi tetrasiklin. cii
6.5 Karakteristik infeksi gonore terhadap siprofloksasin Uji kepekaan siprofloksasin secara difusi menunjukkan 43 dari 45 isolat (88,9 %) mengalami resistensi terhadap siprofloksasin dan 2 dari 45 isolat (11,1 %) intermediet terhadap siprofloksasin. Kepekaan siprofloksasin terhadap N. gonorrhoeae disebut sensitif bila mempunyai zona hambat > 41 mm dengan uji secara difusi berdasarkan Clinicial and Laboratory Standards Institute tahun 2015 (CLSI, 2015). Sebagai respon meningkatnya frekuensi isolat strain Neisseria gonorrhoeae yang resisten penisilin, terasiklin, streptomisin, dan spektinomisin pada tahun 1989 di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, maka CDC merekomendasikan antibiotika sefalosporin dan fluorokuinolon spektrum luas untuk pengobatan gonore primer tanpa komplikasi. Sebagian besar negara-negara di dunia mengikuti kebijakan penggantian regimen terapi. Kuinolon generasi kedua (siprofloksasin, norfloksasin dan ofloksasin) secara luas mulai menggantikan penisilin. Fluorokuinolon dilaporkan memiliki efektifitas paling baik diantara kuinolon dalam hal absorpsi oral dan distribusi ke jaringan, yang menghasilkan kadar dalam jaringan interstitial dan penetrasi ke makrofag yang baik, disertai efek samping toksik serius yang minimal, serta menurunkan mutasi satu langkah secara spontan. Sejak tahun 1993 fluorokuinolon direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pengobatan gonore di seluruh dunia. (Latel, 2011). Selama 20 tahun pemakaian secara luas kuinolon, mulai muncul resistensi akibat penggunaan antibiotika yang salah. Kriteria Knapp merupakan kriteria untuk menilai ciii
resistensi terhadap kuinolon secara in vitro. Nilai MIC siprofloksasin yang kurang sensitif meningkat menjadi 1 mg/L (resistensi intermediet), selanjutnya menjadi 16 mg/L (resisten). Pada tahun 2004 CDC menghentikan penggunaan siprofloksasin sebagai terapi gonore (Tapsal, 2011) Penelitian oleh Donegan dkk (2006) dalam penelitiannya di Bali menunjukkan total 147 isolat gonokokal dari WPS didapatkan 62 isolat (42,4%) berada pada intermediet atau resisten terhadap siprofloksasin. Dari total 57 (40,1%) yang resisten terhadap siprofloksasin, 35 % (59,3 %) isolat menunjukkan resistensi tingkat tinggi. Penelitian lain oleh Bhuiyan dkk (2009) menunjukkan resistensi Neisseria gonorrhoeae pada siprofloksasin pada WPS di Bangladesh sebesar 72,3 %. Pada penelitian ini didapatkan nilai resistensi siprofloksasin terhadap Neisseria gonorrhoeae yang sangat tinggi dan pedoman penggunaan siprofloksasin di Indonesia sebagai terapi infeksi gonore sudah tidak digunakan lagi semenjak tahun 2010. Resistensi terhadap fluorokuinolon telah tersebar luas dan tampak pada galur penicillinase-producing Neisseria gonorrhoeae (PPNG) atau galur dengan resistensi kromosomal yang berarti bahwa strain-strain tersebut multiresisten. Resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap kuinolon terjadi karena mutasi kromosom yang mengakibatkan perubahan asam amino yang memodifikasi DNA gyrase sehingga tidak bisa diikat oleh kuinolon. Mekanisme terjadinya resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap antibiotika yang telah dipelajari adalah mutasi pada subunit gyr A dari DNA gyrase yang mendasari resistensi level rendah terhadap kuinolon, mutasi pada subunit gyr A dari DNA gyrase dan subunit par C dari topoisomerase IV yang mendasari terjadinya resistensi level tinggi pada kuinolon dan civ
umumnya disertai penurunan kepekaan pada sefalosporin termasuk seftriakson, mutasi pada subunit gyr B dari DNA gyrase yang umumnya hanya muncul pada strain laboratorium dan berkorelasi rendah pada kejadian klinis. Mekanisme lain adalah akibat adanya penurunan uptake antibiotika dikarenakan peningkatan impermiabilitas terhadap agen antimikroba dan over ekspresi sistem pompa efluks endogen (Cox, 2013). .
cv
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini menggunakan 45 isolat Neisseria gonorrhoeae yang telah dilakukan kultur, terdapat pertumbuhan koloni dan teridentifikasi Neisseria gonorrhoeae dan berasal dari subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Distribusi Neisseria gonorrhoeae berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 35 orang (77,8 % dibandingkan dengan perempuan sebanyak 10 orang (22,2 %). Pada penelitian ini didapatkan sampel lebih banyak pada wanita oleh karena sampel lebih banyak didapatkan di Klinik Amertha yang dikunjungi oleh pasien wanita penjaja seks yang wajib datang setiap bulan untuk skrining pemeriksaan infeksi menular seksual. Distribusi Neisseria gonorrhoeae berdasarkan faktor risiko pada penelitian ini didapatkan WPS merupakan faktor risiko tertinggi yaitu sebanyak 35 orang (77,8 %), faktor risiko LSL sebanyak 4 orang (8,89 %) dan laki-laki heteroseksual sebanyak 6 orang (13,3 %). Prevalensi gonore berdasarkan data dari Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada tahun 2013 di beberapa kota di Indonesia, dilaporkan terjadi peningkatan pada pria berisiko tinggi dari 0,7% pada tahun 2009 menjadi 8,5% pada tahun 2013, dan pada LSL juga terjadi peningkatan dari sekitar 17% pada tahun 2009 menjadi 21,2% pada tahun 2013. Prevalensi infeksi gonore pada WPS langsung di Indonesia menurut STBP pada tahun 2013 adalah cvi
sebesar 32,2 % dan 34,8 % pada tahun 2009. Prevalensi infeksi gonore pada WPS tidak langsung adalah sebesar 17,7 % pada tahun 2013 dan 17,7 % pada tahun 2009. Prevalensi infeksi gonore pada WPS di Denpasar menurun dari 60,5 % pada tahun 1997 menjadi 22 % pada tahun 2010 Berdasarkan penelitian ini distribusi Neisseria gonorrhoeae berdasarkan usia menunjukkan bahwa usia 15-25 tahun (55,5 %) sebanyak 25 orang merupakan kelompok usia yang tertinggi untuk terjadinya infeksi Neisseria gonorrhoeae, diikuti dengan kelompok usia 26-35 tahun sebanyak 15 orang (33,3 %) dan kelompok usia 36-55 tahun sebanyak 5 orang (11,2 %). Hal ini serupa dengan penelitian oleh Wang dkk (2013) bahwa penderita Neisseria gonorrhoeae terbanyak terdapat pada kelompok umur 15-25 tahun. Distribusi umur penting untuk diperhatikan, karena makin muda umur seorang wanita, makin rawan tertular IMS. Pada laki-laki kelompok umur 20-34 tahun dan pada perempuan umur 16-24 tahun tergolong berisiko tinggi untuk menderita infeksi menular seksual. Pada perempuan remaja mudah terkena IMS disebabkan sel-sel organ reproduksi belum matang. (Heng, 2008). Semakin muda kelompok umur WPS semakin tinggi prevalensi infeksi menular seksualnya. Hal ini menggambarkan secara nyata bahwa WPS yang lebih muda memiliki kejadian yang lebih tinggi untuk terinfeksi HIV. Penelitian di Kamboja dan Baltimore melaporkan 23,9 % pasien dengan usia 25-29 terinfeksi gonore dibandingkan dengan pasien dengan usia > 30 tahun memiliki prevalensi infeksi gonore yang lebih kecil (Swan, 2011). Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah terutama cvii
pengetahuan mengenai pencegahan terjadinya infeksi menular seksual dan dampaknya. Berdasarkan penelitian ini distribusi Neisseria gonorrhoeae berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebanyak 6 orang (13,3 %) merupakan tamatan sekolah dasar, 14 orang (37,7 %) merupakan tamatan SLTP dan yang tertinggi adalah tamatan SLTA sebanyak 22 orang (51,1%). Penelitian cross sectional yang dilakukan pada WPS di Baltimore (2003) untuk tingkat pendidikan SMA atau yang lebih rendah 31 % terinfeksi gonore dibandingkan pendidikan diatas SMA yaitu 16 %. Sementara itu penelitian di Kamboja melaporkan pendidikan rendah berisiko terinfeksi gonore 26.2 kali dibandingkan WPS yang berpendidikan tinggi. Gonore serta beberapa penyakit kelamin lain dapat menyebabkan limfosit CD4 (limfosit T helper) berkumpul di daerah lokasi terinfeksi untuk melawan infeksi. Sedangkan CD4 adalah sasaran utama HIV sehingga menyebabkan orang terinfeksi gonore lebih mudah tertular HIV. Infeksi menular seksual merupakan kofaktor yang memudahkan penularan HIV sehingga penderita lebih rentan terhadap HIV, atau dengan kata lain IMS akan mempermudah penularan HIV. Pada penelitian ini didapatkan distribusi pasien gonore dengan riwayat infeksi HIV sebanyak 8 orang (17,8 %). Data STBP tahun 2011 menunjukkan bahwa 10,16 %
wanita penjaja seks yang terinfeksi HIV sedangkan 89,84 % belum
terdeteksi antibodi HIV dalam darahnya (STBP, 2011). Penelitian lain oleh Huso dkk (2012) di Beijing menyebutkan distribusi infeksi gonore yang disertai dengan riwayat infeksi HIV didapatkan pada 12,3 % sampel.
cviii
6.1. Karakteristik infeksi gonore terhadap beberapa antibiotika 6.1.1 Karakteristik infeksi gonore terhadap beberapa sefiksim Menurut centre for disease control kriteria resistensi terhadap sefiksim belum secara jelas dijelaskan. Kepekaan sefiksim terhadap Neisseria gonorrhoeae disebut sensitif bila zona hambatnya > 31 mm dengan menggunakan uji difusi dan MIC < 0,25 g/mL secara dilusi menurut kriteria Clinical Laboratory Standart Institutes (CLSI) 2015. Pada penelitian ini uji kepekaan sefiksim secara difusi menunjukkan 22 dari 45 isolat (48,8 %) mengalami penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim dan 23 dari 45 isolat (51,2 %) belum mengalami penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim. Menurut penelitian Astindari (2015) di Surabaya yang dilakukan pada WPS didapatkan 9 dari 12 isolat (75 %) sensitif terhadap sefiksim. Empat dari 9 isolat (44,5 %) yang sensitif terhadap sefiksim mempunyai zona hambat dengan diameter 21 mm yang merupakan batas kemampuan sefiksim untuk menghambat pertumbuhan Neisseria. gonorrhoeae. Persentase isolat dengan sefiksim MICs > 0,25 g/ mL meningkat dari 0,1 % pada 2006 menjadi 1,4 % pada tahun 2011, dan menurun menjadi 0,4 % pada tahun 2013. Gonococcal international surveillance project juga menguji sefiksim pada tahun 1992 hingga tahun 2006 terdapat 48 isolat dengan MIC sefiksim 0,5-2,0 mg/L. Di Hawai pada tahun 2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson 0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan sensitifitas sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L (Unemo, 2014).
cix
Faktor yang berpengaruh pada resistensi gonore terhadap sefiksim menurut penelitian Michelle dkk (2014) adalah faktor risiko pria heteroseksual dan wanita, pasien dengan usia lebih dari 25 tahun, dan pasien tanpa disertai infeksi klamidia sebelumnya, Isolat paling banyak terjadi pada WPS yaitu sebanyak 17 isolat (77,8%). Begitu pula dengan penelitian di Inggris tahun 2013 didapatkan hasil penurunan kepekaan terhadap sefiksim didapatkan pada WPS lebih tinggi dibandingkan dengan pria heteroseksual dan gay (Barry, 2014). Pada penelitian ini didapatkan dari 23 isolat yang mengalami penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim, usia yang paling sering adalah 25-35 tahun (75 %). Menurut the gonococcal resistance to antimicrobials surveillance programme in England and Wales pasien dengan usia 35-44 tahun merupakan kelompok paling berisiko tinggi untuk terjadi penurunan suseptibilitas terhadap sefiksim, dibandingkan dengan usia 13-19 tahun (OR 6.63; 95 % CI: 2.97-14.81). Dasar pengobatan gonore lebih bersifat epidemiologi daripada individual, oleh karena itu data epidemiologi mengenai resistensi gonokokus terhadap berbagai antibiotika adalah penting untuk pedoman menetapkan rekomendasi pengobatan infeksi gonokokus. The Centers for Disease Control and prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) akan merubah rekomendasi pengobatan bila dijumpai prevalensi resistensi terhadap suatu antibiotika melampaui 5 % (Tapsal, 2001). Pedoman penggunaan pengobatan gonore pada beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Eropa tidak lagi menggunakan sefiksim sebagai pengobatan lini pertama cx
dalam mengatasi infeksi gonore. Regimen sefiksim digunakan sebagai alternatif jika sefalosporin parenteral tidak tersedia dan dikombinasikan dengan regimen pengobatan lain seperti asitromisin atau doksisiklin, sedangkan di Indonesia berdasarkan pedoman nasional infeksi menular seksual masih menggunakan sefiksim dosis tunggal sebagai pengobatan lini pertama dalam penanganan infeksi gonore (CDC, 2015). Unemo dkk (2014) menyatakan adanya penA mosaic, mtrR dan penB bisa menyebabkan resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap sefiksim. Ohnishi M dkk menyatakan mekanisme molekuler yang menyebabkan terjadinya resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap sefiksim terjadi karena terbentuknya mosaik penA-X yang mengkode penicillin binding protein 2 (PBP2) dan terjadi mutasi kromosom sehingga terbentuk varian baru dari penA-X. Mosaik gen penA, yang mengkode PBPs-2 akan menyebabkan berkurangnya daya ikat penisilin dan sefalosporin yang pada akhirnya akan menyebabkan resistensi atau penurunan kepekaan terhadap sefiksim (Onishi, 2014)
6.2 Karakteristik infeksi gonore yang resisten terhadap seftriakson Uji kepekaan seftriakson secara difusi menunjukkan 17 dari 45 isolat (37,9 %) mengalami penurunan suseptibilitas terhadap seftriakson dan 25 dari 45 isolat (62,1 %) sensitif terhadap seftriakson. Kepekaan seftriakson terhadap Neisseria gonorrhoeae disebut sensitif bila mempunyai zona hambat > 35 mm dengan uji secara difusi berdasarkan CLSI 2011. Definisi resistensi terhadap sefalosporin belum ditentukan secara standar karena terbatasnya data mengenai kegagalan pengobatan. Kebanyakan definisi resistensi berdasarkan cxi
pada MIC seftriakson terhadap Neisseria gonorrhoeae. Beberapa peneliti mendefinisikan resistensi dengan peningkatan MIC seftriakson ≥ 0,06 mg/L, ≥ 0,125 mg/L oleh Gonococcal Resistance Antimicrobial Surveillance Programme (GRAPS) UK, > 0,125 mg/L oleh Eropa Surveillance of Sexually Transmitted Infection (ESSTI), Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) menentukan MIC ≤ 0,25 mg/L sebagai sensitif dan ≥ 0,5 mg/L sebagai tidak sensitif. Gonococcal Isolat Surveillance Programme (GISP) AS melaporkan 4 isolat dengan MIC seftriakson 0,5 mg/L di San Diego (1987), Cincinnati (1992 dan 1993), dan Philadelphia (1997). Di Hawai pada tahun 2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson 0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan sensitifitas sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L. (Barry dan Klausner, 2009). Menurut The gonocoocal resistance to antimicrobials surveillance programme di Inggris and Wales report pada tahun 2013 didapatkan penurunan suseptibilitas terhadap seftriakson lebih banyak pada terjadi pada kelompok usia 26-40 tahun dan sebagian besar terjadi pada kelompok LSL. Pada penelitian ini didapatkan kelompok usia yang tersering mengalami penurunan suseptibilitas adalah kelompok usia 25-35 tahun dan lebih banyak terjadi pada WPS. Gonococcal Isolat Surveillance Programme (GISP) AS melaporkan 4 isolat dengan MIC seftriakson 0,5 mg/L di San Diego (1987), Cincinnati (1992 dan 1993), dan Philadelphia (1997). Di Hawai pada tahun 2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson 0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan
cxii
sensitifitas sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L (Barry dan Klausner, 2009). Mekanisme resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap sefalosporin dapat melalui perubahan penicillin binding proteins dan merupakan merupakan target utama untuk antimikroba betalaktam seperti sefalosporin. Perubahan pada PBP2 yang dikode oleh gen penA merupakan penyebab menurunnya ikatan terhadap penisilin melalui insersi tunggal asam amino. Perubahan ini juga ditemukan pada isolat yang resisten sefalosporin. Namun belum banyak diketahui mengenai mutasi spesifik pada PBPs, interaksi dan perubahan pada gen lainnya. Mekanisme dasar lain resistensi terhadap seftriakson adalah penurunan konsentrasi antimikroba. Penurunan konsentrasi antimikroba dapat terjadi melalui penghambatan masuknya antimikroba ke dalam sel atau aktivasi efflux pump sel bakteri. Mutasi pada gen mtrR yang berperan untuk menekan sistem MtrC-D-E meningkatkan efflux pump dan memicu resistensi terhadap penisilin, tetrasiklin, makrolid, dan kemungkinan pada fluorokuinolon. Mekanisme mutasi ini pada resistensi terhadap sefalosporin belum diketahui dengan jelas. Tanaka dan kawan-kawan melaporkan isolat yang resisten seftriakson dengan MIC 0.5 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR. Linberg dan kawan-kawan menemukan sekitar 13 dari 18 isolat dengan MIC seftriakson ≥0,06 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR, penA, penB, dan ponA (Barry, 2009).
6.3 Karakteristik infeksi gonore yang resisten terhadap asitromisin Uji kepekaan asitromisin secara difusi menunjukkan 38 dari 45 isolat (17,2 %) resisten cxiii
terhadap asitromisin dan 7 dari 45 isolat (76 %) sensitif terhadap asitromisin. Kepekaan asitromisin terhadap N. gonorrhoeae disebut sensitif bila mempunyai zona hambat > 25 mm dengan uji secara difusi berdasarkan CLSI 2011. Kepekaan terhadap asitromisin memberikan hasil yang paling tinggi pada penelitian ini. Pada penelitian lain yang dilakukan di Brazil tahun 2012 dan penelitian di Afrika pada tahun 2015 didapatkan hasil kepekaan terhadap asitromisin sebesar 88, 9 %. dan 85,6 %. Centers for disease control and prevention merekomendasikan penggunaan asitromisin 1 g sebagai pengobatan infeksi gonore yang dikombinasikan dengan penggunaan sefalosporin injeksi dan asitromisin 2 g digunakan sebagai alternatif pilihan pertama pada pasien yang alergi terhadap sefalosporin (CDC, 2015) Menurut the gonococcal resitance to antimicrobials surveillance programme di Inggris dan Wales, resistensi terhadap asitromisin meningkat dari 0,8 % menjadi 1,6 % pada 2012 dan tiga isolat memiliki resistensi yang tinggi dengan MIC > 256 mg/L. Sedangkan di Amerika, peningkatan resistensi terhadap asitromisin diamati pada laki-laki seks lelaki dalam dua tahun terakhir, meningkat dari 0,7 % pada 2011 menjadi 2 % pada tahun 2013. Faktor yang terkait dengan resistensi terhadap asitromisin adalah laki-laki seks laki-laki dibandingkan dengan isolat yang berasal dari laki-laki heteroseksual (Crude Odds Ratio (OR) 8.28; Confidence Interval (95 % CI): 1.11-61.5). Pada penelitian ini didapatkan resistensi terhadap asitromisin hanya terjadi pada 1 isolat pasien laki-laki heteroseksual dan pada kelompok risiko wanita penjaja seks didapatkan 7 isolat resisten, dan pada kelompok risiko pria heteroseksual didapatkan 1 isolat resisten.
cxiv
6.4 Karakteristik infeksi gonore terhadap Tetrasiklin Uji kepekaan sefiksim secara difusi menunjukkan 43 dari 45 isolat (93,4 %) mengalami resistensi terhadap tetrasiklin dan 2 dari 45 isolat (4,4 %) intermediet terhadap tetrasiklin. Kepekaan tetrasiklin terhadap N. gonorrhoeae disebut sensitif bila mempunyai zona hambat > 38 mm dengan uji secara difusi berdasarkan Clinicial and Laboratory Standards Institute tahun 2015 (CLSI, 2015). Tetrasiklin tidak digunakan lagi sebagai terapi Neisseria gonorrhoeae oleh karena tingkat resistensinya yang tinggi. Strain Neisseria gonorrhoeae yang resisten terhadap tetrasiklin (TRNG) pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1985 dan di Belanda pada 1988. Di Indonesia TRNG pada beberapa kota ditemukan 90-95 %. Strain neisseria gonorrhoeae yang resisten terhadap penisilinase (NGPP) pertama kali ditemukan pada pertengahan tahun 1970-an dan dengan cepat meluas ke berbagai negara di dunia (Barry, 2009). Di Indonesia mulai dilaporkan pada tahun 1980 di Jakarta dan kota-kota besar lainnya sebanyak 40-60 %. Hasil persentase resistensi antibiotik terhadap Neisseria gonorrhoeae pada wanita penjaja seks di daerah Jondul, Pekanbaru didapatkan bahwa tetrasiklin mengalami 100 % resistensi terhadap Neisseria gonorrhoeae (Yuwono, 2000). Penelitian uji resistensi antibiotika yang dilakukan di Vietnam pada tahun 2011 didapatkan hasil persentase antibiotik yang resisten terhadap tetrasiklin sebesar 82 % (Ngyen dkk, 2000). Penelitian yang dilakukan di India, Pakistan dan Bhutan pada tahun 2011 didapatkan hasil persentase antibiotik tetrasiklin yang resisten sebesar 55 %. Menurut the gonococcal resistance to antimicrobials surveillance programme in England and wales, dibandingkan
cxv
tahun 2012, prevalensi resistensi terhadap tetrasiklin (> 2mg/l ) pada tahun 2013 tetap konstan (76,9 % pada tahun 2012 dibandingkan 77,8 % pada tahun 2013). Laki-laki seks laki-laki merupakan kelompok dengan isolat resisten yang tinggi terhadap tetrasiklin (92,5 %) dibandingkan dengan pria heteroseksual yaitu 59,5 % dan wanita 41,3 %. Pada penelitian ini resistensi terhadap tetrasiklin didapatkan hasil yang sangat tinggi yaitu 95,6 % dan wanita penjaja seks merupakan kelompok risiko yang paling tinggi dengan angka kejadian resistensi 100 %.
Menurut pedoman infeksi menular seksual
tetrasiklin tidak dipergunakan lagi sebagai pengobatan infeksi gonore.
6.5 Karakteristik infeksi gonore terhadap siprofloksasin Uji kepekaan siprofloksasin secara difusi menunjukkan 43 dari 45 isolat (88,9 %) mengalami resistensi terhadap siprofloksasin dan 2 dari 45 isolat (11,1 %) intermediet terhadap siprofloksasin. Kepekaan siprofloksasin terhadap N. gonorrhoeae disebut sensitif bila mempunyai zona hambat > 41 mm dengan uji secara difusi berdasarkan Clinicial and Laboratory Standards Institute tahun 2015 (CLSI, 2015). Sebagai respon meningkatnya frekuensi isolat strain N. gonorrhoeae yang resisten penisilin, terasiklin, streptomisin, dan spektinomisin pada tahun 1989 di Amerika Serikat dan cxvi
di seluruh dunia, maka CDC merekomendasikan antibiotika sefalosporin dan fluorokuinolon spektrum luas untuk pengobatan gonore primer tanpa komplikasi. Sebagian besar negaranegara di dunia mengikuti kebijakan penggantian regimen terapi. Kuinolon generasi kedua (siprofloksasin, norfloksasin dan ofloksasin) secara luas mulai menggantikan penisilin. Fluorokuinolon dilaporkan memiliki efektifitas paling baik diantara kuinolon dalam hal absorpsi oral dan distribusi ke jaringan, yang menghasilkan kadar dalam jaringan interstitial dan penetrasi ke makrofag yang baik, disertai efek samping toksik serius yang minimal, serta menurunkan mutasi satu langkah secara spontan. Sejak tahun 1993 fluorokuinolon direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pengobatan gonore di seluruh dunia. (Latel, 2011). Selama 20 tahun pemakaian secara luas kuinolon, mulai muncul reesistensi akibat penggunaan antibiotika yang salah. Kriteria Knapp merupakan kriteria untuk menilai resistensi terhadap kuinolon secara in vitro. Nilai MIC siprofloksasin yang kurang sensitif meningkat menjadi 1 mg/L (resistensi intermediet), selanjutnya menjadi 16 mg/L (resisten). Pada tahun 2004 CDC menghentikan penggunaan siprofloksasin sebagai terapi gonore. ( Tapsal, 2011) Penelitian oleh Donegan dkk (2006) dalam penelitiannya di Bali menunjukkan total 147 isolat gonokokal dari WPS didapatkan 62 isolat (42,4 %) berada pada intermediet atau resisten terhadap siprofloksasim. Dari total 57 (40,1 %) yang resisten terhdap siprofloksasin; 35 % (59,3 %) isolate menunjukkan resistensi tingkat tinggi. Penelitian oleh Bhuiyan dkk (2009) menunjukkan resistensi neisseria gonorrhoeae pada siprofloksasin pada WPS di Bangladesh sebesar 72,3 %. cxvii
Pada penelitian ini didapatkan nilai resistensi siprofloksasin terhadap Neisseria gonorrhoeae yang sangat tinggi dan pedoman penggunaan siprofloksasin di Indonesia sebagai terapi infeksi gonore sudah tidak digunakan lagi semenjak tahun 2010.
.
cxviii
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Dari 45 sampel isolat Neisseria gonorrhoeae didapatkan:
1. antibiotika
yang
memiliki
sensitivitas
tertinggi
terhadap
Neisseria
gonorrhoeae adalah :
2.
asitromisin (76%)
seftriakson (52,1 %)
sefiksim (48,8 %)
tidak ada isolat yang memiliki kepekaan terhadap antibiotika siprofloksasin dan tetrasiklin
7.2 Saran Saran yang diberikan adalah
1. Perlu dilakukan penelitian berikutnya dengan pengambilan sampel di beberapa daerah di Indonesia sebagai pemantuan resistensi antibiotika secara
cxix
terus menerus yang dapat dipakai sebagai masukan penyusunan pedoman terapi IMS. 2. Alokasi waktu penelitian yang lebih lama 3. Asitromisin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi pertama dalam pengobatan infeksi gonore
cxx
DAFTAR PUSTAKA
Alen, V.G., Rebbapragada, A., Tan, J., Tijet, N., Perusini, S.J., Towns, L., Lo, S., Melano, R.G. 2011. Molecular analysis of Antimicrobial Resistance Mechanisms in Neisseria Gonorrhoeae Isolates from Ontario, Canada. Antimicrob Agents Chemother. 55(2):703-12. Andes, D.R., Craig, W.A., Cephalosporins. In: Mendell, G.L., Bennet, J.E., Dolin, R. Principles and Practice of Infectious Diseases. Vol 6. Philadelphia, Pennsylvania. Elsevier Inc. 2005. Annual Report of the Australian Gonococcal Surveillance Programme. 2007. Commun Dis Intell. 2008;32(2):227-31. Barry, P.M., Klausner, J.D. 2009. The Use of Cephalosporins for Gonorrhoeae: The Impending Problem of Resistance. Expert Opin Pharmacother.10(4):555-77. Bollen, L.J.M., Anartati, A.S., Morineau, G., Sulami, S., Prabawantu, C. and Silfanus, F.J. 2010. Addresing the high prevalence of gonorrhoeae and chlamydia among female sex workers in Indonesia: results of an enhanced, comprehensive intervention. Sex Trans Infect. 86: 61-5. Carannante, A., Latini, A., Cusini, M., Matteelli, A., Dal Conte, I., Ghisetti, V., D’Antuono, A., Cavrini, F., Antonetti, R., Stefanelli, P. 2012. Update on Antimicrobial Susceptibility and Genotype of Nesseria gonorrhoeae Isolated in Italy. Diagn Microbiol Infect Dis 72.;288-90. Cole, M.J., Spiteri, G., Town, K., Unemo, M., Hoffmann, S., Chisholm, S. A., AmatoGauci, A.J. Van de Laar, M., Ison, C.A. 2014. Risk Factor for AntimicrobialResistant Neisseria Gonorrhoeae. STD. 41(12):723-29. Centers for disease control and Prevention. 2015. Gonococcal Infections. (serial online) [cited 2016 Feb. 2]. Available from URL: www. cdc. Gov/std/tg015/gonorrhea.htm Centers for disease control and Prevention. 2012. Cephalosporin resistant Neisseria Gonorrhoeae Public Health Response plan. (serial online), [cited 2016 Feb. 15]. Available from URL: www. cdc.gov/std/treatment/ceph-r-responplanjuly30201.pdf cxxi
Centers for disease control and Prevention. 2015. Antibiotic Resistant Gonorrhea. (serial online), [cited 2015 Feb. 8]. Available from URL: www. cdc. Gov/std/gonorrhea/arg/ Centers for disease control and Prevention. 2014. Recommendation for the laboratorybased detection of chlamydia trachomatis and neisseria gonorrhoeae. (serial online). [cited 2016 march.2]. Available from: URL: www. cdc. mmwr/preview/mmwrhtml/rr6302a1.htm Clinical And Laboratory Standards Institute. 2015 Performance standards for antimicrobial susceptibility testing; twenty-fifth informational supplement. CLSI document M100-25. (35):3. Cornelissen, C.N. 2011. Molecular Pathogenesis of Neisseria Gonorrhoeae. Front Microbiol. 2:224-25. Cox, G., Wright, G.,D. 2013. Intrinsic Antibiotic Resistance: Mechanism, Origins, Challenges and Solutions. Int J Med Microbiol. 303(6-7):287-92. Criss, A.K., Kline, K.A., Seifert, S. 2005. The Frequency and Rate of Pilin Antigenic Variation in Neisseria Gonorrhoeae. Mol Microbiol. 58(2) : 510-19. European centre for disease Prevention and control. 2013. Gonococcal antimicrobial susceptibility surveillance in Europe. (serial online). [cited 2016 March. 23]. Available from: URL: http://ecdc. Europa.eu/en/publications/publications/gonoccoccal–antimcrobial susceptibilitysurvelilance-europe-2013.pdf. Giedraitienė, A., Vitkauskienė, A., Naginienė, R., Pavilonis, A.
2011.
Antibiotic Resistance Mechanisms of Clinically Important Bacteria. Medicina (Kaunas) 2011;47(3):137-46. Hook, E.W., Handsfield, H.H. Gonococcal Infection in Adult. 2008. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D. H. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York. McGraw Hill. p.627-45.
cxxii
Ison, C.A., Deal, C., Unemo, M. 2013. Current and Future Treatment Option for Gonorrhoeae. Sex Transm Infect. 0:1-5. Kirkcaldy, R.D., Weinstock, H.S., Moore, P.C., Philip, S.S., Wiesenfeld, H.C., Papp, J.R., Kerndt, P.R., Johnson, S., Ghanem, K.G., Hook, E.W. 2014. The Efficacy and Safety of Gentamicin Plus Oral Azithromycin and Gemifloxacin Plus Azithromycin as Treatment of Uncomplicated Gonorrhoeae. Clin Infect Dis. 59(8):1083-91. Latel, A.L., Chaundhry, U., Saluja, D. 2011. An Insight Into Drug Resistance Profile and Mechanism of Drug Resistance in Neisseria Gonorrhoeae. Indian J Med Res. 134(4):419-31. Lind, I. 1997. Antimicrobial Resistance in Neisseria Gonorrhoeae. CID. 24(1): 94-7. Lewis, A. D., Lukehart, S. A. Antimicrobial Resistance in Neisseria Gonorrhoeae and Treponema Pallidum: Evolution, Therapeutic Challenges and The Need to Sterngthen Global Surveillance. Clin Infect Dis. 60(8):1075-81 Low, N., Unemo, M., Jensen, J.S., Breuer, J., Stephenson, J.M. 2014. Molecular Diagnostic for Gonorrhoea: Implication for Antimicrobial Resistance and the Threat. Molecular Diagnostic and Gonococcal Resistance. 11(2): 58-9 Ng, L.K., Martin, I.E. 2005. The Laboratory Diagnosis of Neisseria Gonorrhoeae. Can J Infect Dis Med Micribiol. 16(1):15-25. Ross, J.D.C., Lewis, D.A. 2012. Cephalosporin Resistant Neisseria Gonorrhoeae: Time to Consider Gentamicin?. Sex Transm Infect. 88 (1):6-8. Sparling, P.F. Biology of Neisseria Gonorrhoeae. 2008. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D. H. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill .p.607-26. Tenover, F.C. 2006. Mechanisme of Antimicrobial Resistance in Bacteria. Am J Infect Control.34(5):3-10. Takahata, S., Senju, N., Osaki, Y., Yoshida, T., Ida, T. 2006. Amino Acid Substitutions in Mosaic Penicillin-Binding Protein Associated with Reduced Susceptibility to Cefixime in Clinical Isolat of Neisseria Gonorrhoeae. Antimicrob Agents Chemother. 50(11):3638-45.
cxxiii
Tapsal, J. 2005. Antimicrobial Resistance in Neisseria gonorrhoeae. CID. 41(4): 263-8 Simms, A.N., Jerse, A.N. 2006. In Vivo Selection for Neisseria Gonorrhoeae Opacity Protein Expression in The Absen of Human Carcinoembryonic Antigen Cell Adhesion Molecules. Infect Immun. 26(3). p.2965-74. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. (serial online). [ cited 2016. Jan 15]. Available URL from : www.slideshare.net/mobile/ditkeswa/finalstbp-totaldraft13-januari1. Stefanelli, P. 2011. Emerging Resistance in Neisseria Meningitidis and Neisseria gonorrhoeae. Expert Rev Anti Infect. 9(2):237-44. Ohnisi, M., Golparian, D., Shimuyta, K., Saika, T., Hoshina, S., Iwasaku, K., Nakayama, S.C., Kitawaki, J. Unemo, M. 2011. Is Neisseria gonorrhoeae Initiating A Future Era of Untreatable Gonorrhea?: Detailed Characterization of the Fisrst Stain with High-Level Resistance to Ceftriaxone. Antimicrob Agent and Chemother. p.353845. Papp, R.J., Scachter, J., Gaydos, A.A., Van der Pol, B. 2014. Recomendation for the Laboratory-Base Detection of Chlamidya Trachomatis and Neisseria Gonorrhoeae. MMWR. 63(2):1-19. Unemo, M., and Shafer W.M,. 2014. Antimicrobial resistance in Neisseria Gonorrhoeae in the 21st Century: Past, evolution, and Future. Clin Microbiol Rev. p. 587-613. Jana, S., Sethi, G. and Mandal, D. Sexually Transmitted Infections in the Females Sex Worker Community. In: Gupta S, Kumar B, editors. Sexually Transmitted Infections. 2nd ed. New Delhi: Elsevier Saunders; 2012. p. 429-52.
World Health Organization. 2013. Laboratory diagnosis of sexually transmitted disease infections, including human immunodeficiency virus. (Serial online). [cited 2016 April. 2]. Available from: URL: http :/apps.who.int/iris/bitstream/10665/85343/1/9789241505840_eng.pdf Wiraguna, A.A.G.P., Duarsa, N.W. 1999. Pedoman. Kongres Nasional PERDOSKI IX Temu Ilmiah Kelompok Studi Penyakit Menular Seksual. Surabaya 8-11 Juli.
cxxiv
Wirawan, D.N., Rowe, E. 2013. Long-term trends in Neisseria gonorrhea and Chlamydia trachomatis prevalence among
brothel-based female sex workers in Denpasar, Bali, Indonesia. Pub Health and Prev Med Archive. 1(2). 1-6. Hook III, E.W., Van der Pol, B. 2013. Evolving gonococcal antimicrobial resistance: research priorities and implications for management. Sex Trans Infect. 89: 60-2. Goire, N., Lahra, M.M, Chen, M., Donovan B., Fairley K., Guy R., Kaldor J., et al. 2014. Molecular approaches to enhance surveillance of gonococcal antimicrobial resistance. Microbiology. 12:223-9. Narasimhan, M.L., Silva, C.,L.,P., Temmerman, M. 2013. Moving forward in tackling antimicrobial resistance: WHO actions. Sex Transm Infect. 89 : 57–9 Nesa, L., Salam, A., Islam, A.U., Chouduri, A.U. 2013. Multi- drug resistant Neisseria Gonorrhoeae among hotel based sex workers in Rajshahi, Bangladesh. Int J Microbio Res. 4 (2): 167-176
cxxv
cxxvi
cxxvii
cxxviii
PENJELASAN PENELITIAN Judul
: Uji resistensi neisseria gonorrhoea terhadap beberapa antibiotika pada penderita gonore
Peneliti Utama : dr. Desak Made Putri Pidari
Latar Belakang Penelitian Gonore merupakan penyakit menular seksual yang sering dijumpai di Indonesia, dan masih menduduki peringkat atas sebagai penyakit infeksi menular seksual yang sering terjadi. Penyakit ini ditularkan melalui hubungan seksual, terutama hubungan seksual dengan cara yang tidak aman. Wanita lebih mudah terinfeksi daripada pria dan karena infeksi pada wanita tidak menimbulkan gejala, wanita umumnya tidak mencari pengobatan sampai terjadi komplikasi yang lebih berat. Komplikasi terberat ialah radang saluran telur atau penyakit radang panggul
yang pada akhirnya komplikasi ini dapat menyebabkan kemandulan,
kehamilan ektopik, nyeri panggul menahun dan penyakit radang panggul yang berulang. Infeksi gonore yang tidak diobati dengan baik dapat memudahkan penularan virus HIV. Masih tingginya angka kejadian infeksi gonore erat pula kaitannya dengan terjadinya kekebalan terhadap pengobatan gonore.
cxxix
Penelitian ini akan melibatkan 300 orang secara sukarela. Pengumpulan data dilakukan satu kali dengan wawancara menggunakan kuesioner diikuti dengan pemeriksaan klinis untuk menilai adanya cairan berupa nanah pada genitalia. Pada wanita akan dilakukan pemeriksaan dalam dengan memasukkan alat spekulum untuk melihat ada tidaknya gejala gonore pada saluran kelamin. Risiko yang terjadi mungkin akan sedikit tidak nyaman, nyeri pada saat memasukkan alat tapi tidak ada risiko berbahaya saat proses tersebut. Bahan pemeriksaan berupa cairan kelamin, akan dilakukan di laboratorium rujukan oleh dokter atau tenaga medis yang terlatih dan akan dilakukan tes kekebalan obat terhadap kuman gonore. Untuk pemeriksaan ini kami tidak akan menambah beban biaya pemeriksaan. Kami akan sangat menghargai apabila Bapak/Ibu//Saudara/Saudari berkenan untuk menyumbangkan bahan pemeriksaan tersebut. Tidak terdapat pemaksaan dalam penelitian ini. Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dapat mengundurkan diri atau membatalkan ikut dalam penelitian ini kapan saja tanpa prasyarat apapun. Walaupun Bapak/Ibu/ Saudara/Saudari mengundurkan diri dalam mengikuti penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/Saudari tetap akan mendapatkan pelayanan dan mendapatkan pengobatan sebagaimana mestinya. Kami menjamin bahwa bahan tersebut tidak digunakan untuk kepentingan lain dan data-data akan dijaga kerahasiaannya. Data ini mungkin akan dipublikasikan tanpa mencantumkan identitas data.
cxxx
Demikian penjelasan yang kami sampaikan, atas kesediaan ikut serta dalam penelitian ini kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Bila masih ada pertanyaan terkait dengan penelitian ini, maka Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dapat menghubungi : dr. Desak Made Putri Pidari, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, telepon 081353222828.
Hormat kami,
dr. Desak Made Putri Pidari Peneliti
cxxxi
Lampiran 5
PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN Setelah mendapatkan penjelasan, saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin : Laki-laki/perempuan* Alamat
:
Telefon
:
Dengan ini menyatakan SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Saya tidak keberatan bila kemudian bahan-bahan tersebut beserta hasilnya menjadi bagian dari Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, guna kepentingan ilmu pengetahuan. Denpasar,
Yang membuat pernyataan
Saksi cxxxii
2016
Peneliti
(
)
(
)
(dr.D.M Putri Pidari)
*coret yang tidak perlu.
Lampiran 6
KUESIONER PENELITIAN UJI RESISTENSI NEISSERIA GONORRHOEAE TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA PADA PENDERITA GONORE
I. IDENTITAS 1. Nama
:
2. Tanggal lahir
:
3. Asal
:
4. Alamat
:
5. No telepon
:
6. Kelompok risiko
: WPS/ LSL/ pria heteroseksual / wanita heteroseksual*
7. Pendidikan
: Tidak sekolah / SD / SMP / SMA / Sarjana cxxxiii
8. Status perkawinan
: Belum menikah/ Menikah/ Duda/ Janda
9. Tanggal pemeriksaan
:
10. Nomor urut penelitian
:
*Bila pasien termasuk kelompok risiko WPS lanjut ke form 1 Bila pasien termasuk kelompok risiko heteroseksual lanjut ke form 2
II. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG 1. Keluhan Keputihan : 1) Ya
2) Tidak
JIKA YA
o Sejak kapan
: .......................................................?
o Jenis keputihan
: warna……1) kuning 2) putih susu 3) bening Konsistensi…..1) encer jumlah..............1) banyak
2) pekat 2) sedang 3) sedikit
karakteristik….1) bau amis 2) gatal
III. RIWAYAT RISIKO 1. Berapa lama Anda bekerja sebagai wanita penjaja seks?.......................................... cxxxiv
1. Tempat bekerja sebagai wanita penjaja seks 2.1 Denpasar saja 2.2 Luar Denpasar . Sebutkan daerah 1)…………………..berapa lama?........... 2)…………………..berapa lama?..........
IV. RIWAYAT KONTAK SEKSUAL 1. Hubungan seks terakhir..........................................hari yang lalu 2. Kondom hubungan seks terakhir...........................1) Ya 2) Tidak 3. Jumlah pasangan seks 1 minggu terakhir ............................orang 4. Kondom hubungan seks 1 minggu terakhir.....................................
1) Selalu 2) Kadang-kadang 3) Tidak pernah 5. Apakah ada pelanggan yang merupakan warga negara asing (bule)? 1) ya
2) Tidak
JIKA YA
1. Darimana asal pelanggan tersebut ? sebutkan negara……………………. 2. Apakah memakai kondom saat berhubungan ? a. 1) selalu
2) kadang-kadang
3) tidak pernah
V. RIWAYAT KUNJUNGAN DAN PENGOBATAN cxxxv
1. Berapa kali kunjungan ke klinik ?..................................................................... 2. Apakah pernah terdiagnosis infeksi gonore sebelumnya? 1) ya
2) tidak
3. Apakah pernah ke dokter atau klinik lain untuk mendapatkan pengobatan penyakit kelamin? 1) ya 2) tidak 4. Jenis obat yang didapat dari dokter/ klinik yang lain. Sebutkan nama obat....................... 5. Apakah pernah membeli sendiri antibiotika di apotek untuk penyakit kelamin Anda tanpa resep dokter sebelumnya? 1) Ya
2) Tidak
JIKA YA 1. Jenis antibiotika yang dibeli sendiri di apotik?................................................... 2. Berapa kali minum antibiotika tersebut?............................................................. 3. Alasan membeli antibiotika sendiri? .................................................................
VI. RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGOBATAN PASANGAN JIKA ANDA MEMPUNYAI PASANGAN TETAP/PASANGAN Apakah pasangan tetap pernah ada keluhan keluar cairan nanah pada kelamin? 1) ya
2) tidak
JIKA YA
1. Dimanakah pasangan Anda berobat ? a. 1) klinik
2) puskesmas 3) dokter umum 4) dokter spesialis
cxxxvi
5) paramedis (bidan, perawat)
6) pengobatan sendiri
2. Apakah pasangan Anda sembuh setelah pengobatan yang didapatkan? a. 1) ya
2) tidak
VII. RIWAYAT HIV Status HIV : 1) reaktif 2) non reaktif
o Jika positif : sejak kapan...................................................................... o Jumlah CD4 terakhir …………………..tanggal…………………… o Minum ARV : 1) ya , sejak kapan …………………………………. 2) tidak 3) putus obat, sejak kapan? ………………………
VII. STATUS VENEREOLOGI 1. Lokasi: 2. Efloresensi
: 1) Duh tubuh serviks Jumlah :
1) minimal cxxxvii
2) sedang 3) banyak
2) warna :
1) purulen
3) konsistensi : 1) encer
2) serous
3) mukous
2) pekat
VIII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM 1. Pemeriksaan sediaan langsung dengan pewarnaan gram a. Diplokokus gram negatif intra sel b. Diplokokus gram negatif ekstra sel c. Tidak ditemukan diplokokus gram negatif
2. Pertumbuhan koloni ? 1) ya
2) tidak
JIKA YA Tanggal pertumbuhan : ………………………………….. Jenis koloni :………………………………………………. Hasil Pemeriksaan gram koloni : Hasil pemeriksaan tes oksidase : 1) negatif 2) Positif Hasil pemeriksaan tes katalase : 1) Negatif 2) Positif
3. Hasil uji identifikasi dengan menggunakan PCR………………………… 4. Hasil tes sensitivitas dan resistensi antibiotika ……………………………… cxxxviii
1) Seftriakson 1) Sensitif 2) Intermediate 3) Resisten Diameter zona hambat :…………………….. 2) Sefiksim 1) Sensitif 2) Intermediate 3) Resisten Diameter zona hambat :……………………. 3) Siprofloksasin 1) Sensitif 2) Intermediate 3) Resisten Diameter zona hambat :……………………. 4) Tetrasiklin 1) Sensitif 2) Intermediate 3) Resisten Diameter zona hambat :……………………. 5) Asitromisin 1) Sensitif 2) Intermediate 3) Resisten Diameter zona hambat :…………………….
cxxxix
LAMPIRAN 7 DATA PENELITIAN NO
RIS
K
Us
PND
HIV
Riw GO
CIP
CEF
CRO
TE
AZT
1
WPS
P
20
SMP
-
-
2 mm
16 mm
15 mm
4 mm
2 mm
2
WPS
P
25
SMP
-
+
2 mm
11 mm
15 mm
21 mm
25 mm
3
WPS
P
37
SMA
-
-
12 mm
23 mm
32 mm
14 mm
25 mm
4
WPS
P
26
SMA
-
+
15 mm
8 mm
14 mm
15 mm
18 mm
5
WPS
P
32
SMA
-
+
15 mm
43 mm
40 mm
15 mm
32 mm
6
WPS
P
38
SMP
-
-
21 mm
16 mm
19 mm
7 mm
12 mm
7
WPS
P
42
SMA
-
+
13 mm
4 mm
19 mm
5 mm
18 mm
8
WPS
P
47
SD
-
-
20 mm
10 mm
10 mm
2 mm
27 mm
9
WPS
P
49
SMA
-
+
27 mm
15 mm
26 mm
21 mm
16 mm
10
WPS
P
50
SMA
-
-
15 mm
13 mm
23 mm
23 mm
10 mm
11
WPS
P
17
SMA
-
+
15 mm
30 mm
46 mm
15 mm
30 mm
12
WPS
P
22
SMP
+
-
12 mm
5 mm
23 mm
7 mm
10 mm
13
WPS
P
37
SMP
-
+
15 mm
12 mm
24 mm
16 mm
12 mm
cxl
14
WPS
P
32
SMA
+
+
16 mm
14 mm
27 mm
11 mm
15 mm
15
WPS
P
21
SMA
-
-
22 mm
14 mm
12 mm
23 mm
15 mm
16
WPS
P
20
SMA
-
+
34 mm
22 mm
19 mm
8 mm
21 mm
17
WPS
P
15
SMP
-
+
45 mm
27 mm
30 mm
43 mm
13 mm
18
WPS
P
19
SMP
-
-
12 mm
20 mm
10 mm
16 mm
20 mm
19
WPS
P
28
SMA
-
-
23 mm
30 mm
12 mm
4 mm
27 mm
20
WPS
p
26
UNIV
-
+
22 mm
35 mm
10 mm
15 mm
21
WPS
P
19
SMA
-
-
12 mm
37 mm
15 mm
15 mm
15 mm
22
WPS
P
38
SMP
-
-
13 mm
12 mm
21 mm
13 mm
12 mm
23
WPS
P
39
SMA
+
+
16 mm
13 mm
13 mm
30 mm
15 mm
24
WPS
P
32
SD
-
-
17 mm
21 mm
17 mm
5 mm
16 mm
25
WPS
P
27
SMA
-
-
24 mm
16 mm
24 mm
12 mm
22 mm
26
WPS
P
18
SMA
-
+
26 mm
26 mm
26 mm
14 mm
34 mm
27
WPS
P
20
SMA
+
-
13 mm
13 mm
13 mm
14 mm
14 mm
28
WPS
P
25
SMP
-
-
24 mm
24 mm
24 mm
22 mm
22 mm
29
WPS
P
37
SMP
-
+
35 mm
35 mm
35 mm
27 mm
27 mm
cxli
30
WPS
P
26
UNIV
-
-
23 mm
23 mm
24 mm
24 mm
24 mm
31
WPS
P
32
SMA
-
+
24 mm
24 mm
26 mm
23 mm
23 mm
32
WPS
P
38
SMA
-
-
23 mm
23 mm
13 mm
11 mm
11 mm
33
WPS
P
42
SMA
+
-
11 mm
11 mm
24 mm
12 mm
12 mm
34
WPS
P
47
SMP
-
+
12 mm
12 mm
35 mm
23 mm
23 mm
35
WPS
P
49
SMP
-
+
23 mm
23 mm
23 mm
14 mm
14 mm
36
WPS
P
50
SD
-
-
14 mm
14 mm
24 mm
19 mm
19 mm
37
WPS
P
17
SMA
-
-
15 mm
11 mm
23 mm
10 mm
10 mm
38
WPS
P
22
SMA
-
-
16 mm
12 mm
11 mm
26 mm
26 mm
39
WPS
P
37
SMA
-
+
19 mm
23 mm
12 mm
23 mm
23 mm
40
WPS
P
32
SMP
+
+
12 mm
14 mm
23 mm
46 mm
46 mm
41
WPS
P
21
UNIV
-
-
22 mm
15 mm
14 mm
23 mm
23 mm
42
WPS
P
20
SMA
-
-
21 mm
16 mm
15 mm
24 mm
24 mm
43
WPS
P
15
SMA
-
-
25 mm
19 mm
23 mm
27 mm
27 mm
44
WPS
P
22
SMA
-
-
32 mm
12 mm
11 mm
12 mm
12 mm
45
WPS
P
24
SMP
-
-
12 mm
22 mm
12 mm
19 mm
11 mm
cxlii
cxliii