Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
Uji Adaptasi Galur – Galur Padi Lahan Pasang Surut Pada Tiga Kabupaten Di Provinsi Riau The Adaptation Frials Of Swamps Rice Lines Riau Province 1)
Emisari Ritonga 1)*2) dan Saripah Ulpah 2) Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Riau, 2) Pasca Sarjana Universitas Islam Riau Jl. Kaharuddin Nasution 346, km 10. Pekanbaru. Telp. 0761-674206 *Coressponding author:
[email protected]
ABSTRACT The high rate of population growth requires the availability of food, especially rice. Until now about 50% of the rice is still imported from outside of Riau Province. Utilization of tidal land for the expansion of rice crops encounter by many obstacles such as low soil fertility due to high soil acidity (pH 3.0-4.5), nutrient deficiency, presence of ions or compounds that poisoning (Al, Fe, SO4) and undecomposed organic material. Research was carried out at three locations (Pelalawan; Siak; and Rokan Hilir regency) from February until August 2014. 11 Rice Lines used wereG1 , G3, G4, G6, G7, G8, G17, G20, G23, G45, G53. Using the split-plot randomized block design (RAK) with three replications. The results showed that three rice lines were adaptation and gives the significant effect on the number of productive tillers that are G7 at Rokan Hilir (4,71 t / ha). G4 at Siak (6,27 t / ha) and G53 at Pelalawan (9,43 t / ha). G53 can be categorized as the stable lines and adaptation on the environman due to the highest average yield was Pelalawan 7,33 t / ha, Siak 4,47 t / ha, and Rokan Hilir 3,71 t / ha). However, the rice lines productivity levels are still below their genetic potential. Key words: Strain ,Tidal Swamp land. ABSTRAK Tingginya laju pertumbuhan penduduk mengharuskan tersedianya pangan khususnya beras Sampai saat ini sekitar 50 % kebutuhan beras untuk penduduk Provinsi Riau masih didatangkan dari luar Provinsi. Pemanfaatan lahan pasang surut untuk perluasan pertanaman padi menghadapi berbagai kendala secara diantaranya rendahnya kesuburan tanah karena kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0-4,5), kahat hara makro, adanya ion atau senyawa yang meracun (Al, Fe, SO4) dan bahan organik yang belum terdekomposisi. Penelitian di laksanakan di tiga lokasi Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Rokan Hilir bulan Februari sampai Agustus 2014. Galur yang di uji ada 11 galur (G1, G3, G4, G6, G7, G8, G17, G20, G23, G45, G53 ). Menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) petak terbagi 33 perlakuan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi galur berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah anakan produktif. Rata-rata jumlah anakan produktif lebih tinggi di Siak dan Rokan Hilir. Galur G7 menghasilkan anakan produktif tertinggi di Rokan Hilir dan terendah di Pelalawan . Galur Pelalawan G53 (9.43 t/ha), Siak G4 (6.27 t/ha) dan Rohil G7 (4.71 t/ha). Dari hasil tersebut G53 adalah galur terbaik dan dapat dikatagorikan sebagai galur stabil dan adaptif terhadap lingkungan dengan rata-rata hasil tertinggi di Kabupaten Pelalawan 7.33 t/ha, Siak 4.47 t/ha, Rokan Hilir 3.71 t/ha. Galur tesebut beradaptasi baik terhadap lingkungan 748
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
tumbuh yang baru. Namun demikian tingkat produktivitas padi Galur tersebut masih di bawah potensi genetiknya. Kata Kunci : Galur, Pasang Surut PENDAHULUAN Indonesia mempunyai lahan pasang surut diperkirakan seseluas 24.7 juta hektar terdapat di daerah Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, sedangkan 9,53 juta ha diantaranya berpotensi di kembangkan untuk pertanian. Namum demikian, rata-rata hasil panen dari lahan pasang surut 3 – 4 t/ha GKP pemanfaatan belum optimal. Di Provinsi Riau setidaknya terdapat 24.982.03 ha lahan pasang yang tersebar di Kabupaten Indaragiri Hilir, Siak , Pelalawan dan Rokan Hilir (BPS, 2011). Kabupaten Pelalawan termasuk terluas untuk pengembangan padi sawah di lahan pasang surut yaitu didesa Kuala Kampar 9.970 ha, Teluk Meranti 9.159 ha ( Pelalawan dalam angka 2010 ). Dari potensi lahan sawah yang dimiliki Kabupaten Rokan Hilir sebagai areal sawah berbentuk pasang surut seluas 4.303 ha sebagian masih belum di usahakan atau terbengkalai. Permasalahan rendahnya produktivitas usahatani padi lahan pasang surut diduga berkaitan erat dengan persoalan efisiensi penggunaan input. Alokasi penggunaan input juga diduga masih belum optimal. Salah satu indikator dari efisiensi adalah jika sejumlah output tertentu dapat dihasilkan dengan menggunakan sejumlah kombinasi input yang lebih sedikit dan dengan kombinasi input-input tertentu dapat meminimumkan biaya produksi tanpa mengurangi output yang dihasilkan. Dengan biaya produksi yang minimum akan diperoleh harga output yang lebih kompetitif (Kurniawan, 2008). Dilihat dari karakteristik yang khas dari lahan pasang surut di atas, pemanfaatan lahan pasang surut terutama untuk tanaman padi menghadapi berbagai kendala. Secara garis besar meliputi, rendahnya kesuburan tanah karena kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0-4,5), kahat hara makro, adanya ion atau senyawa yang meracun (Al, Fe, SO4) dan bahan organik yang belum terdekomposisi. Selain itu, keadaan tata airnya yang kurang baik menjadi faktor pembatas dalam pengelolaannya (Noor, 1989). Meskipun dalam pemanfaatannya menghadapi banyak kendala, namun lahan pasang surut memberi harapan dan prospek yang baik.Untuk mengatasi permasalahan pengelolaan lahan pasang surut tersebut diperlukan beberapa komponen teknologi optimalisasi lahan pasang surut untuk tanaman padi antara lain : (1). Pemilihan varietas unggul padi adaptif, (2). Sistem pengelolaan air, (3). Penyiapan lahan, (4). Pengelolaan hara dan amelioran, (5). Pengendalian gulma terpadu, dan (6). Penentuan pola tanam. (Ar-Riza, 2001; Akmal, dan Yufdi, 2008). Berdasarkan tipologinya lahan pasang surut digolongkan ke dalam empat tipologi utama, yaitu: (1) lahan potensial adalah lahan yang mempunyai kedalaman pirit ( lapisan beracun) pada kedalaman > 50 cm di atas permukaan tanah, luasannya diperkirakan sekitar 10 %, tekstur tanahnya liat, kandungan N dan P tersedia rendah, kandungan pasir kurang dari 5 persen, kandungan debu 20 % dan derajat kemasaman 3,5 hingga 5,5, (2) lahan sulfat masam adalah lahan yang mempunyai lapisan piritnya pada kedalaman 0 - 50 cm diatas permukaan tanah , luasannya sekitar 33 % dan berdasarkan tingkat oksidasinya lahan sulfat masam ini dibagi lagi lahan sulfat masam potensial yaitu lahan sulfat masam yang belum mengalami oksidasi dan lahan sulfat masam aktual yaitu lahan sulfat masam yang telah mengalami oksidasi, (3) lahan gambut/bergambut adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dengan kedalaman yang sangat bervariasi , luasannya sekitar 55 % , berdasarkan ketebalan gambutnya lahan ini dibagi ke dalam empat sub tipologi 749
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
yaitu lahan bergambut, gambut dangkal, gambut dalam dan gambut sangat dalam, umumnya lahan gambut kahat beberapa unsur hara mikro yang ketersediaannya sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan; (4) lahan salin adalah lahan yang mendapat intrusi air laut sehingga mengandung garam dengan konsentrasi yang tinggi, terutama pada musim kemarau, luasannya sekitar 2 %. Intrusi air laut mempunyai daya hantar listrik 4 MS/cm, kandungan Na dalam larutan tanah 8 – 15 % (Minsyah, N.I. 2001). Secara umum, produktivitas padi sawah di Provinsi Riau baru mencapai rata-rata 4 t ha-1 dan padi pasang surut rata-rata 3 t ha-1, Kabupaten Pelalawan pada tahun 2010 tercatat l9.842 ha (laporan Tahunan, 2010) Hal ini disebabkan oleh sistem budidaya padi yang diterapkan masih bersifat tradisional antara lain penggunaan benih padi yang sudah mengalami degradasi mutu karena ditanam turun temurun sehingga persentase campurannya tinggi dan pemupukan yang belum optimal serta tidak sesuai anjuran serta tata air dan budidaya ala kadarnya, menyebabkan rendahnya produktivitas. Oleh karena itu perluasan areal di lahan sub optimal seperti lahan pasang surut berpotensi untuk dikembangkan. Suatu kultivar yang akan dilepaskan selalu memiliki daya hasil tinggi, diharapkan juga memiliki stabilitas tinggi terhadap rentang lingkungan tertentu (subandi, 1981) suatu varietas dikatakan stabil jika koefisien regresi (b 1) sama dengan 1 dan simpangan regresi (Sd1) mendekati nol ( Cberhanr dan Russel, 1966). Koefisien regresi 1 atau mendekati 1 memiliki makna bahwa penampilan karakter suatu genetik akan meningkat 1 unit dengan bertambahnya 1 indek lingkungan . Subandi,1981. Pusat penelitian tanaman Bogor. Tujuan Penelitian menghasilkan galur - galur padi lahan pasang surut di Provinsi Riau. BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan di tiga sentra penanaman padi pasang surut, yaitu Desa Sungai Solok Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan laksanakan bulan Februari 2014 sampai Juni 2014, Desa Tua Indra Pura Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai Juni 2014, Desa Pematang Sikek Kecamatan Rimbo Melintang Kabupaten Rokan Hilir dilaksanakan pada Bulan Maret 2014 sampai bulan Juli 2014. Kondisi lingkungan antara tiga lokasi penelitian ditandai dengan adanya perbedaan seperti ketinggian dari permukaan laut ,curah hujan dan tekstur tanah. Bahan yang digunakan adalah: 11 jenis galur padi pasang surut (G1, G3, G4, G6, G7, G8, G17, G20,G23, G45, G53), pupuk Urea 100 kg/ha, TSP 150 kg/ha, KCl 50, dolomit, pupuk kandang (1ton/ha), herbisida, pestisida. Alat yang digunakan adalah cangkul dll, bagan warna daun, plastik pagar, perangkap tikus, moisture tester, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Petak Terbagi dengan 33 perlakuan 3 ulangan Sehingga di diperoleh di peroleh 99 satuan percobaan. Setiap petak perlakukan berukuran 5 m x 5 m, jarak antar petak 0.5 m. Pelaksanaan Penelitian 1. Persemaian Lokasi persemaian dekat dengan lahan pertanaman dan tempat yang tinggi , aman dari serangan organisme pengganggu (OPT). Tanah Persemaian diolah dengan cangkul, dibiarkan dalam kondisi macakmacak selama minimal 2 hari , biarkan mengering sampai 7 hari . Buat bedengan dengan ketinggian 5 cm , lebar 110 cm panjang 10 meter, luas selokan 30 cm. 750
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
Pemberian pupuk urea 50 kg/ha, KCL 25 kg/ha seluruhnya diberikan satu hari sebelum tebar benih. Pupuk dasar Urea 100 kg/ha, TSP 150 kg/ha, KCL 50 kg/ha diberikan bersamaan dengan furadan 16kg/ha satu hari sebelum tanam dengan cara ditaburkan. Kebutuhan benih untuk 1 ha adalah 20 kg. sebelum di sebar terlebih dahulu di rendam selama 24 jam kemudian diperam selama 24 jam. Benih yang mulai berkecambah ditabur di persemaian dengan kerapatan 25-50 g/m2 atau 0,5-1 kg per 20 m2, kemudian ditutup dengan abu pembakaran sekam. Benih yang tumbuh dapat dipindahkan kelapangan sudah berumur 18 hari.
2.Pengolahan Tanah Pengolahan tanah dilakukan 2 (dua) kali, dengan tahan sebagai berikut : Pengolahan tanah pertama dilakukan dengan bajak singkal (kedalaman 10-20 cm ). Sebelum dibajak, tanah tersebut digenangi air selama satu minggu untuk melunakkan tanah. Pengolahan tanah ke dua dilakukan, dengan bajak sampai melumpur, kemudian tanah diratakan sampai siap tanam. Pupuk organik diberikan dua minggu sebelum tanam dengan dosis 1 ton/ha. 3.Penanaman. Sebelum penanaman dilaksanakan terlebih dahulu bibit direndam dengan Furadan agar bibit tidak dimakan ulat dan keong . Penanaman dilakukan saat umur bibit 18 hari di persemain, satu bibit perlobang. Jarak tanam 20 cm x 20 cm . Sisa bibit yang telah d cabut di persemaian di letakkan di pinggir petakan, digunakan untuk penyulaman dan dilakukan setelah 7 hari. 4.Pemupukan. Pupuk dasar Urea 100 kg/ha, TSP 150 kg/ha, KCl 50 kg/ha, diberikan bersamaan dengan Furadan 16 kg/ha satu hari sebelum tanam dengan cara ditabur. Pupuk susulan Urea 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha diberikan pada umur 35 hst. Sisa urea diberikan empat minggu setelah tanam. penyiangan menggunakan herbisida. pengendalian terhadap hama dan penyakit dengan metode PHT. 5.Pemeliharaan Penyiangan menggunakan herbisida. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dengan metode PHT. Pengaturan air dipertahankan setinggi 5 cm hingga pengisian biji 6.Panen. Panen dilakukan saat 95 % bulir pada malai telah berwarna kuning. Pemotongan batang saat panen dilakukan pada ketinggian 20 cm dari permukaan tanah. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi lingkungan Penelitian Perbedaan ketinggian tempat memberikan dampak terhadap suhu maksimum sedangkan suhu minimum dan suhu rata-rata tidak berbeda. Jumlah hari hujan per bulan 751
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
tertinggi ditemukan di Kabupaten Siak , sementara relatif rendah di Kabupaten Pelalawan seperti disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Kondisi lingkungan penelitian di tiga lokasi Penelitian dari bulan Februari 2013 sampai Juni 2013 lokasi Kondisi lingkungan Pelelawan Rokan Hilir Siak Karakter Lahan Pasang surut Pasang surut Pasang surut Curah hujan
119.36
105.4
156
Sumber : Stasiun Klimatologi Pelelawan, Rokan Hilir, dan Siak Analisa Tanah Tabel 2. Analisa tanah di tiga Kabupaten Lokasi
pH H2 O
Kriteria
4,2
Sangat masam
Bungaraya 4.38 Pematang Sikek
Sungai Solok
5.5
C-Organik (%)
Kriteria
P-Bray
P2O5
(ppm)
Kriteria
(mg/100 g)
Kriteria
2,87 Sedang
7,84
Sedang
18,61
Rendah
Sangat masam
1.17
Rendah
0.65
Sangat rendah
38.85
Sedang
Sangat masam
1.37
Rendah
11.3
Sedang
12
Rendah
Hasil 1.Tinggi Tanaman (cm). Genotipe berbeda menunjukkan penampilan yang berbeda setelah berinteraksi dengan lingkungan. Tarjoko dkk (1996) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman sampai pemasakan buah. Pada tanaman padi populasi tanaman akan mempengaruhi tinggi tanaman (Bostoni dan Sutarto, 1978). Tinggi tanaman galur galur yang diuji berkisar antara 73 – 131 cm, sedang varietas kontrol Margasari 121 cm. Galur galur introduksi dari IRRI, umumnya mempunyai tinggi tanaman yang lebih pendek (kurang 100 cm) dibanding galur- galur hasil persilangan yang lebih 110 cm (yang merupakan gabungan antara varietas lokal yang tinggi dengan varietas unggul yang pendek sebagai tetuanya.). Tanaman yang pendek, untuk lahan pasang surut dengan tipe genangan yang tinggi kurang cocok, karena bibit akan mati terendam.Sebaliknya tanaman yang terlalu tinggi apalagi dengan batang yang kecil akan mudah rebah. Tanaman yang pendek, untuk lahan pasang surut dengan tipe genangan yang tinggi kurang cocok, karena bibit akan mati terendam. Sebaliknya tanaman yang terlalu tinggi apalagi dengan batang yang kecil akan mudah rebah. Menurut Harahap et al (1984) bahwa bibit yang kokoh dan tanaman yang tidak mudah rebah, sangat diperlukan untuk pembentukan varietas unggul pasang surut. Kerebahan sangat mengurangi hasil, karena banyak gabah yang hampa.
752
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
Tabel 3 : Tinggi Tanaman (cm) Galur-Galur Padi lahan Pasang Surut di Tiga Lokasi Yang Berbeda . Lokasi Galur Pelalawan Siak Rokan Hilir G1 124.63 a 112.01 98.70 b G3 108.14 c 110.10 127.73 a G4 120.31 b 112.45 125.83 a G6 116.13 c 115.31 122.53 a G7 122.79 b 119.12 131.40 a G8 119.19 b 109.76 130.30 a G17 112.31 c 112.98 126.83 a G20 100. 01 b 115.33 108.33 a G23 117.50 c 111.69 129.60 a G45 101.71 c 106.01 128.73 a G53 101.49 c 103.49 130.97 a Rerata 115.12 102.06 125.98 Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti Berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %.
Galur G1 menghasilkan tanaman tertinggi yaitu 124.63 cm di Pelalawan, G7 131.40 cm di Rokan Hilir dan G7 di Siak 119.12 cm dan terendah di G1 di Rohil 98.70 cm, sehingga hara yang tersedia baik di dalam tanah maupun dari pupuk yang diberikan dapat dipergunakan untuk pertumbuhan tinggi tanaman sehingga Galur G1 tanaman menunjukkan tinggi tanaman yang lebih tinggi. Tinggi tanaman merupakan karakter agronomis yang penting dalam seleksi pada lahan pasang surut dengan tipe genangan tinggi. Tanaman yang rendah kurang sesuai ditanam di lahan pasang surut, karena genangan air yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman padi terhambat dan mati (Sutami, 2004) 2.Jumlah Anakan (batang). Meningkatnya jumlah anakan, maka jumlah daun akan meningkat sehingga potensi fotosintesis juga meningkat, dan akan diperoleh asimilat lebih banyak yang merupakan salah satu penyusun organ tanaman. Sesuai dengan pendapat Jhonson (1978), bahwa dengan bertambahnya luas daun menyebabkan bertambahnya aktifitas fotosintesis, sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Analisis ragam terhadap jumlah anakan tanaman menunjukkan bahwa interaksi lokasi dan galur berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan Data anakan jumlah tanaman utama dari galur-galur padi lahan pasang surut pada tiga lokasi berbeda setelah dilakukan uji lanjut BNJ 5 % .
753
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
Tabel 4 : Jumlah Anakan (batang) Galur-Galur Padi Lahan Pasang Surut di Tiga lokasi Yang Berbeda . Lokasi Galur Pelalawan Siak Rokan Hilir G1 4.13 b 8.33 b 6.67 b G3 5.00 b 7.33 b 10.67 b G4 7.43 a 8.67 b 13.67 b G6 4.67 b 8.00 b 8.67 b G7 5.67 b 8.00 b 16.00 b G8 3.73 b 7.00 b 22.33 a G17 0.73 b 8.67 b 15.33 b G20 5.23 b 7.67 b 11.33 b G23 4.73 b 8.67 b 9.67 b G45 4.07 b 6.33 b 14.33 b G53 5.07 b 16.67 a 11.00 b Rerata 4.59 8.67 12.70 Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti Berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %.
Disisi lain , jumlah anakan maksimum dapat mencerminkan keviguran. Jumlah anakan yang cepat bertambah pada fase vegetative menunjukkan kemampuan galur untuk mengakumulasi biomassa lebih cepat per satuan waktu. Menurut Sinaga et al (2014) kevigoran tanaman yang dapat dilihat dari pertambahan bobot rumpun yang pesat pada stadia vegetative, berkorelasi dengan kemampuan meratun. Galur mengahasilkan tanaman terbanyak pada galur G4 (7.43 ) Pelalawan, G53 (16..67) Rokan Hilir ,G8 (22,33) dan yang terendah di tiga Kabupaten adalah galur G17 (0.73) di Kabupaten Pelalawan. Vergara (1995) menyatakan bahwa kesanggupan dalam membentuk anakan yang baik menjamin jumlah anakan per satuan luas meskipun beberapa tanaman mati pada stadia awal pertumbuhan. Anakan tegak menghasilkan penyebaran cahaya yang lebih baik. Umumnya tanaman padi memproduksi anakan lebih sedikit di musim kemarau dari pada di musim hujan. Fagi et al. mengemukakan bahwa padi tipe baru memiliki ciri jumlah anakan 8 – 10. Jumlah anakan (produktif) sangat berperan dalam menentukan potensi hasil galurgalur. Terbatasnya varietas padi spesifik lokasi dengan keunggulan tertentu, menyebabkan peningkatan produksi padi menjadi terhambat. Oleh karena itu upaya pengujian berbagai varietas unggul baru spesifik lokasi yang beradaptasi baik dan punya potensi hasil yang tinggi harus tetap dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani. Ciri khas varietas padi unggul spesifik lokasi adalah : a) Dapat beradaptasi terhadap iklim dan tipe tanah setempat, b) Citarasanya disenangi dan memiliki harga jual yang tinggi di pasar lokal, c) Daya hasil tinggi, d). Toleran terhadap hama dan penyakit dan e). Tahan rebah (Sembiring dan Wirajaswadi, 2001). 3. Jumlah Anakan Produktif (batang). Analisis ragam terhadap anakan produktif menunjukkan bahwa interaksi lokasi dan galur berpengaruh nyata terhadap anakan produktif . Anakan produktif per rumpun atau per satuan luas merupakan penentu terhadap jumlah malai dengan demikian anakan produktif merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh langsung terhadap tinggi rendahnya hasil gabah (Simanulang, 2001). Dari data ini terlihat bahwa kemampuan 754
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
membentuk anakan produktif dipengaruhi oleh interaksi genetik dan lingkungan tumbuhnya. Pembentukan anakan produktif sangat menentukan jumlah malai dari tanaman padi. Makin banyak anakan produktif makin banyak jumlah malai. Terdapat korelasi antara jumlah malai dengan hasil, karena makin banyak jumlah malai makin tinggi hasil tanaman padi. Peningkatan suhu di siang hari pada musim kemarau dapat meningkatkan jumlah anakan, suhu udara yang tinggi diperlukan pada fase vegetatif untuk merangsang pembentukan anakan (Fagi dan Las, 1988). Suatu galur dapat dikatakan adaptif apabila dapat tumbuh baik pada wilayah penyebarannya, dengan produksi yang tinggi dan stabil, mempunyai nilai ekonomis tinggi, dapat diterima masyarakat dan berkelanjutan (Somaatmadja, 1995 dalam Susilawati, dkk, 2005). Penampilan dari berbagai galur biasanya bervariasi pada lingkungan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara genotipe dengan lingkungan. Adaptabilitas merupakan kemampuan tanaman untuk tetap menghasilkan pada berbagai lingkungan, karena hal itu hasil adalah suatu kriteria penting untuk mengevaluasi daya adaptasi varietas Tabel 5: Jumlah Anakan Produktif (batang) Galur-Galur Padi Lahan Pasang Surut di Tiga Lokasi Yang Berbeda. Lokasi Galur Pelalawan Siak Rokan Hilir G1 3.00 b 5.00 6.00 G3 4.00 b 6.67 9.00 G4 4.67 b 8.00 11.33 G6 4.67 b 7.33 11.67 G7 5.00 b 7.00 16.00 G8 3.67 b 6.67 10.00 G17 5.00 b 7.67 12.67 G20 5.00 b 9.00 11.33 G23 4.67 b 8.00 7.00 G45 4.00 b 6.67 12.00 G53 6.33 a 15.00 10.00 Rerata 4.49 7.82 7.82 Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %. Hal ini menyebabkan asimilat kurang terdistribusi ke pembentukan jerami padi, sehingga unsur hara pada saat pembentukan anakan kurang tercukupi untuk pertumbuhan anakan. Komponen tanah yang berpengaruh terhadap penggunaan pupuk adalah tekstur tanah, derajat keasaman (pH) dan kandungan hara tanah. Sedangkan untuk tanaman itu sendiri faktor yang berpengaruh terhadap pemupukan yaitu karakter tanaman yang berkaitan dengan penyerapan unsur hara. Anakan produktif berasal dari anakan total yang telah mengalami perubahan, seperti terjadi pembengkakan pada ruas batang. Menurut Yoshida (1981) batang tanaman padi terdiri dari ruas yang dibatasi oleh buku batang. Pada permulaan stadia tumbuh, batang padi memiliki pelepah-pelepah daun dan ruas-ruas yang tertumpuk padat. Ruas-ruas tersebut kemudian memanjang dan berongga setelah tanaman memasuki stadia reproduktif. Oleh karena itu, stadia produktif disebut juga sebagai perpanjangan ruas tanaman padi. Hal ini diduga merupakan salah satu daya adaptasi galur-galur padi terhadap kondisi kekeringan, karena tanaman yang hidup pada daerah kekeringan akan berusaha untuk mengefisiensikan penggunaan air yaitu salah satu dengan dengan penurunan jumlah 755
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
anakan sehingga akan mengurangi transpirasi dan mengoptimalkan distribusi asimilat ke dalam jumlah anakan yang terbatas. Tabel 5: Jumlah Anakan Produktif (batang) Galur-Galur Padi Lahan Pasang Surut di Tiga Lokasi Yang Berbeda. Lokasi Galur Pelalawan Siak Rokan Hilir G1 3.00 b 5.00 6.00 G3 4.00 b 6.67 9.00 G4 4.67 b 8.00 11.33 G6 4.67 b 7.33 11.67 G7 5.00 b 7.00 16.00 G8 3.67 b 6.67 10.00 G17 5.00 b 7.67 12.67 G20 5.00 b 9.00 11.33 G23 4.67 b 8.00 7.00 G45 4.00 b 6.67 12.00 G53 6.33 a 15.00 10.00 Rerata 4.49 7.82 7.82 Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %. 4.Panjang Malai (cm). Perbedaan secara nyata menunjukkan lebih sedikit dari galur pembanding, Jumlah malai per rumpun dari galur yang diuji termasuk tipe sedang. Hal ini diduga bahwa pada saat fase pertumbuhan generatif tanaman kekurangan air. Sedangkan panjang malai merupakan salah satu komponen hasil yang dapat menentukan produksi, dengan panjang malai diharapkan jumlah gabah per malai semakin banyak. Jumlah gabah per malai ini lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas tanaman selama fase reproduktif yaitu dari primordia sampai penyerbukan. Jumlah gabah per malai merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan komponen hasil. Fotosintesa yang terhambat membuat karbohidrat yang dihasilkan rendah. Menurut Harjadi (1988) bahwa karbohidrat yang meningkat maka dapat meningkatkan proses pertumbuhan sel dalam membentuk sel-sel baru, pembesaran sel-sel dan pembentukan jaringan tanaman. Pratiwi dkk (2009 dalam Ikhwani 2010) bahwa terdapat hubungan negative antara panjang malai dan jumlah malai, semakin banyak jumlah malai, semakin pendek malainya. Panjang malai yang panjang akan mempengaruhi jumlah gabah yang diperoleh, hal ini diperjelas oleh Tiur (2009), semakin panjang malai berpengaruh terhadap jumlah gabah per malai. Jumlah gabah yang terbentuk pada masing-masing malai menurut Darwis (1979) .
756
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
Tabel 6 : Panjang Malai (cm) Galur-Galur Padi Lahan Pasang Surut di Tiga Lokasi Yang Berbeda Lokasi Galur Pelalawan Siak Rokan Hilir G1 28.75 c 28.00 c 24.33b G3 31.56 b 31.67 b 28.67 b G4 33.29 a 33.67 b 17.00 c G6 32.32 b 30.33 b 31.00 a G7 33.02 a 34.67 a 27.33 b G8 29.32 b 27.00 c 29.33 b G17 31.01 b 29.67 c 28.00 b G20 30.17 a 26.33 c 26.33 b G23 30.11 b 31.33 b 28.33 b G45 29.83 b 22.33 c 29.00 b G53 25.23 c 30.33 b 23.67 c Rerata 30.42 29.58 26.64 Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %.
Dari penelitian Rosmini dan Saleh (1998) dan Rosmini (1999) yang telah dilaksanakan di lahan pasang surut sulfat masam menyatakan bahwa galur-galur padi memperlihatkan adaptabilitas dan akseptabilitas yang baik dan tahan terhadap keracunan besi serta memberikan potensi hasil yang lebih tinggi dan tahan terhadap keracunan besi. Dengan potensi hasil dan penampilan yang baik ditunjukkan oleh galur-galur terpilih tersebut maka petani akan memperoleh keuntungan dan sumber pendapatan yang layak bagi usahataninya. Kemampuan beradaptasi baik yang dimiliki oleh galur-galur terpilih maka penggunaan paket teknologi (penggunaan pupuk, pestisida serta pengolahan tanah) dapat ditekan sehingga dalam proses produksi kerusakan terhadap lingkungan tidak akan terjadi, dan petani mampu memproduksi pangan yang terjangkau oleh konsumen. 5.Jumlah Gabah Bernas (butir) Analisis ragam terhadap jumlah gabah bernas menunjukkan bahwa interaksi lokasi dan galur berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah bernas Data jumlah gabah bernas galur-galur padi lahan pasang surut pada tiga lokasi berbeda setelah dilakukan uji lanjut BNJ 5 % . Galur yang dikaji tergolong bernas tinggi rendahnya persentase gabah bernas per malai disebabkan oleh perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap galur terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan terutama pada fase reproduktif dan pemasakan. Semakin tinggi persentase gabah bernas maka semakin rendah persentase gabah hampa. Dikemukakan oleh Suwarno et all (1988) bahwa potensi hasil tinggi merupakan salah satu sifat yang diperlukan bagi varietas unggul. Galur yang dikaji tergolong bernas tinggi rendahnya persentase gabah bernas per malai disebabkan oleh perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap galur terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan terutama pada fase reproduktif dan pemasakan. Semakin tinggi persentase gabah bernas maka semakin rendah persentase gabah hampa. Dikemukakan oleh Suwarno et all (1988) bahwa potensi hasil tinggi merupakan salah satu sifat yang diperlukan bagi varietas unggul. 757
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
Tabel 7: Jumlah Gabah Bernas (butir) Galur-Galur Padi Lahan Pasang Surut di Tiga Lokasi Yang Berbeda. Lokasi Galur Pelalawan Siak Rohil G1 168.07 209.00 147.67 G3 183.93 200.07 176.33 G4 182.93 220.67 131.00 G6 180.60 166.00 172.67 G7 165.53 175.00 164.33 G8 149.73 147.33 168.67 G17 180.00 142.33 153.33 G20 166.67 157.33 146.00 G23 187.67 155.33 141.67 G45 155.33 164.00 200.67 G53 166.33 192.67 145.00 Rerata 171.53 175.43 158.85 Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %.
Jumlah gabah per rumpun sangat ditentukan oleh ketersediaan air pada saat stadia pembentukan bunga. Air yang tidak tersedia mengakibatkan semakin besarnya kegagalan proses penyerbukan dikarenakan semakin banyaknya polen yang mandul. Akan tetapi dalam penelitian ini cekaman kekeringan tidak terjadi pada fase pembungaan, cekaman kekeringan terjadi pada fase vegetatif. Hal ini diduga tanaman pada kondisi kekurangan air sebelum memasuki fase pembungaan, terlebih dahulu mengalami penghambatan proses pertumbuhan vegetatif. Organ vegetatif yang kurang sempurna mengakibatkan sedikitnya fotosintesis yang terbentuk, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kurang normalnya polen (mandul) sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan jumlah gabah per rumpun yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman yang mendapatkan kecukupan air. (Santoso, 2008) Pada umumnya senyawa organik di dalam tanaman mengandung nitrogen dan phosfor. Di antaranya adalah asam amino, asam nukleat, enzim-enzim, bahan-bahan yang menyalurkan energi, seperti khlorofil, ADP, dan ATP. Tanaman tidak dapat melakukan metabolismenya jika kekurangan N dan P untuk membentuk bahan-bahan penting tersebut. Warna pucat pada tanaman yang kekurangan N karena terhambatnya pembentukan khlorofil, selanjutnya pertumbuhan akan lambat dan kerdil karena khlorofil dibutuhkan untuk pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis. Dengan demikian apabila terjadi kekurangan N dan P yang hebat akan menghentikan proses pertumbuhan dan produksi (Poulton et al., 1989; Tisdale dan Nelson, 1993). Pada persentase gabah isi per malai pembentukan dan pengisian buah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara P. Menurut Rinsema (1983) dalam Sarkawi (1995) unsur P mempunyai pengaruh positif dalam meningkatkan produksi gabah, bila jumlah kelarutan P kecil, akibatnya tanaman tidak mampu berproduksi dengan baik. Jumlah gabah yang terbentuk pada setiap malai ditentukan pada fase reproduktif, Sarief (1986). Rendahnya ketersediaan hara pada fase reproduktif menyebabkan terhambatnya beberapa proses metabolisme tanaman yang berdampak pada penurunan hasil tanaman. Kekurangan phosphor dapat mengakibatkan perkembangan akar terhambat, terhambatnya 758
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
pembentukkan bunga, dan penurunan jumlah biji (hakim, 1986). Menurut Setyamidjaja (1986), kekurangan unsur P dapat berakibat hasil tanaman pada bunga dan buah menurun, karena unsur P berperan sangat penting dalam proses pembelahan sel, pemasakan buah atau pembentuk biji dan sebagai penyusun lemak dan protein. Kurangnya bernas pada pengisian bulir padi diakibatkan pada unsur hara yang tersedia telah terserap pada masa fase vegetatif tanaman sehingga pada fase generatif pengisin bulir padi mengakibatkan kekurangan salah satu unsur hara. Dimana unsur hara yang sangat berperan dalam pengisian bulir yaitu unsur P dan K. Menurut Agustina (1990) menjelaskan bahwa unsur P yang cukup akan meningkatkan efisiensi fungsi dari penggunaan N. Nitrogen merupakan bagian integral dari klorofil yang sangat berperan dalam peristiwa fotosintesis dan sebagian besar hasil fotosintesis tersebut tersimpan dalam biji (bulir). Selain itu nitrogen juga diperlukan untuk membentuk protein gabah. Protein tersebut tidak mungkin disusun tanpa adanya fotosintesis (Dwi Saputro, 1988). 6. Hasil (ton/ha) Analisis ragam terhadap Hasil (ton/ha) menunjukkan bahwa interaksi lokasi dan galur berpengaruh nyata terhadap hasil (ton/ha). Umur panen galur galur yang diuji berkisar antara 117 hari dan 127 hari. Seperti hal nya karakter tinggi tanaman, pada umumnya galur galur dari IRRI lebih pendek umurnya dibanding dengan galur galur hasil persilangan. Rata-rata hasil tanaman lebih tinggi di Pelalawan di bandingkan dengan di Siak dan Rokan Hilir. Tingginya hasil panen di Pelalawan di dukung oleh malai yang panjang dengan jumlah bulir bernas yang tinggi. Tanaman G53 beradaptasi spesifik di Pelalawan dengan hasil (9.43 t/ha). dari hasil panen , lingkungan Pelalawan lebih baik dari pada di Siak dan Rokan Hilir. Pada galur G1, G7, G20, dan G53 stabil karena peringkatnya sama antar lokasi, Ketiga galur tersebut terbaik di Pelalawan, Siak, Rokan Hilir. Rata-rata hasil yang tertinggi adalah di Pelalawan 7.33 t/ha, Siak 4.47 t/ha, Rohil 3.71 . Di samping itu disebabkan hasil Galur G45 lebih rendah dan jumlah gabah hampa lebih tinggi dibandingkan Galur G53. Namun demikian, tingkat produktivitas padi Galur tersebut masih di bawah potensi genetiknya. Hal ini membuktikan bahwa perbaikan berbagai aspek teknik budidaya di wilayah pengkajian masih perlu untuk terus disempurnakan. Berkaitan dengan kecenderungan ini, Suprihatno et al.(2007) menyatakan bahwa hasil ubinan untuk padi hibrida maupun IR 64 masih di bawah hasil potensi. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan sistem budidaya tanaman padi (misalnya, kesehatan tanah dan teknik budidaya) perlu dilakukan. Uji adaptasi merupakan salah satu persyaratan apabila suatu galur/mutan/hibrida baru hasil pemuliaan dan atau introduksi akan dilepas sebagai suatu varietas unggul. Tujuan uji adaptasi ini adalah untuk mengetahui keunggulan dan interaksi galur/mutan/hibrida terhadap lingkungan. (Syukur, 2012). Salah satu faktor yang menentukan hasil gabah persatuan luas dari suatu varietas padi adalah jumlah anakan produktif. Hal ini sejalan seperti yang dinyatakan oleh Zairin dkk (2009) bahwa umur tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan bobot 1000 butir merupakan karakter agronomis yang berpengaruh langsung terhadap hasil gabah. Salah satu yang menjadi masalah dalam pertanaman padi di lahan pasang surut sulfat masam adalah masalah keracunan besi, sehingga salah satu tujuan dalam melakukan evaluasi galur - galur padi adalah untuk mendapatkan varietas yang toleran terhadap keracunan Fe Menurut Harahap et al., (1989), keracunan Fe merupakan kendala yang utama di lahan pasang surut. Menurut Ismunadji et.all, (1989), keracunan Fe dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat dan kematian pada tanaman padi. Keracunan besi pada tanaman padi 759
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
menimbulkan gejala fisiologis yang kompleks yang disebabkan oleh kondisi tanaman dan medium tumbuh yang mengandung Fe yang berlebihan (Makarim dan Suhartini, 1993). Menurut Suhaimi et al.(2000), program pemuliaan dalam pembentukan varietas unggul padi pasang surut tidak hanya diprioritaskan pada potensi hasil yang tinggi, tapi juga umur yang pendek. Tabel 8 :Hasil (t/ha) Galur-Galur Padi Lahan Pasang Surut di Tiga Lokasi Yang Berbeda Galur G1 G3 G4 G6 G7 G8 G17 G20 G23 G45 G53 Rerata
Lokasi Pelalawan 8.07 b 6.40 b 6.90 b 7.50 b 7.87 b 7.13 b 5.87 b 7.98 b 6.60 b 7.87 b 9.43 a 7.33
Siak 4.48 b 4.13 b 6.27 a 3.64 b 4.59 b 3.70 b 4.34 b 5.09 b 3.90 b 3.97 b 4.73 b 4.47
Rokan Hilir 4.03 a 3.20 b 3.45 b 3.75 b 3.93 b 3.57 b 2.93 b 3.98 b 3.30 b 3.93 b 4.71 b 3.71
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki keunggulan pada kondisi lingkungan yang luas adalah dengan melakukan uji adaptasi. Uji multilokasi umumnya digunakan untuk mengevaluasi tanaman pada suatu hamparan yang luas yang merupakan target untuk lingkungan pertumbuhan tanaman (Berger et al., 2007). Uji multilokasi genotype baru sering menampilkan perbedaan hasil yang berubah-ubah dari satu lokasi dengan lokasi lainnya. Suatu genotype memberikan hasil tertinggi di lokasi tertentu namun belum tentu di lokasi lainnya. Terdapatnya perbedaan antara rata-rata hasil dengan potensi hasil disebabkan karena adanya kerentanan terhadap berbagai cekaman biotik dan abiotik (Shah et al., 2005). Stabilitas hasil diukur berdasarkan variasi hasil dari berbagai kondisi lingkungan (Cleveland, 2001). Menurut Susilawati et al. (2010) bahwa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi cekaman salinitas pada lahan-lahan pertanaman padi adalah dengan mengembangkan varietas-varietas padi yang tahan terhadap cekaman lingkungan salinitas. Sangakkara (2001) mengemukakan tiga hal yang dapat dilakukan yaitu: (1) perbaikan pengelolaan tanaman, (2) seleksi dan perakitan varietas yang mampu beradaptasi pada kondisi cekaman, dan (3) bioteknologi untuk rekayasa verietas tahan salinitas. 7. Berat 1000 butir (g) Bobot 1000 butir gabah secara tidak langsung menggambarkan besar atau kecilnya gabah suatu galur atau varietas padi. Galur/varietas yang gabahnya besar, bobot 1000 butirnya akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Ukuran gabah dipengaruhi oleh sifat genetik serta daya adaptasinya dengan lingkungan tumbuhnya. Di dataran tinggi pada musim kemarau dengan suhu yang rendah sangat berpengaruh terhadap bobot 1000 butir gabah, (Fagi dan Las, 1988). Berbedanya bobot 1000 butir gabah merupakan sifat tanaman 760
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
dimana kemampuan suatu varietas/galur menghasilkan gabah yang banyak sering berlawanan dengan kemampuan untuk menghasilkan gabah yang besar dan berat, namun produksi yang tinggi juga dapat dicapai dengan jumlah gabah yang banyak walaupun ukurannya tidak begitu besar (Simanulang, 2001). Hasil padi ditentukan oleh komponen hasil seperti jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 butir. Korelasi hasil nyata dengan bobot 1000 butir dan gabah isi per malai merupakan salah satu acuan kriteria seleki untuk mendapatkan hasil tinggi. Tabel 9 : Berat 1000 Butir (butir) Galur-Galur Padi Lahan Pasang Surut di Tiga Lokasi Yang Berbeda. Galur G1 G3 G4 G6 G7 G8 G17 G20 G23 G45 G53 Rerata
Pelalawan 28.43 b 23.90 b 25.57 b 24.43 b 28.83 b 29.20 a 25.90 b 28.43 b 23.93 b 28.53 b 26.97 b 26.57
Lokasi Siak 25.20 b 21.63 b 26.67 b 24.63 b 26.63 b 26.10 b 22.03 b 20.80 b 28.03 a 24.03 b 26.33 b 24.69
Rokan Hilir 22.73 23.63 24.30 25.30 26.50 25.77 25.47 27.20 24.50 22.47 24.30 24.94
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %.
Kemampuan galur G8 menghasilkan berat 1000 butir (g) yang tinggi menunjukkan bahwa galur - galur tersebut memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik pada kondisi lingkungan dan lahan pasang surut di beberapa lokasi di Riau, seperti Pelelawan, Rokan Hilir, dan Siak . Analisis ragam terhadap berat 1000 butir (g) menunjukkan bahwa interaksi lokasi dan galur berpengaruh nyata terhadap berat 1000 butir (g) tiga lokasi berbeda setelah dilakukan uji lanjut BNJ 5 % . Bobot 1000 butir gabah secara tidak langsung menggambarkan besar atau kecilnya gabah suatu galur atau varietas padi. Galur/varietas yang gabahnya besar, bobot 1000 butirnya akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Ukuran gabah dipengaruhi oleh sifat genetik serta daya adaptasinya dengan lingkungan tumbuhnya. Di dataran tinggi pada musim kemarau dengan suhu yang rendah sangat berpengaruh terhadap bobot 1000 butir gabah, (Fagi dan Las, 1988). Berbedanya bobot 1000 butir gabah merupakan sifat tanaman dimana kemampuan suatu varietas/galur menghasilkan gabah yang banyak sering berlawanan dengan kemampuan untuk menghasilkan gabah yang besar dan berat, namun produksi yang tinggi juga dapat dicapai dengan jumlah gabah yang banyak walaupun ukurannya tidak begitu besar (Simanulang, 2001). Hasil padi ditentukan oleh komponen hasil seperti jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 butir. Korelasi hasil nyata dengan bobot 1000 butir dan gabah isi per malai merupakan salah satu acuan kriteria seleki untuk mendapatkan hasil tinggi.
761
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa galur –galur padi pada tiga Kabupaten hasil yang tertinggi terdapat di Kabupaten Pelalawan G53 (9.43 t/ha), Kabupaten Siak G4 (6.27 t/ha), dan Kabupaten Rokan Hilir G53 (4.71 t/ha yang dapat beradaptasi dilahan pasang surut Provinsi Riau. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2011. Berita Resmi Statistik No. 18/03/Th. XIV. Fagi, A. M., B. Abdullah, dan S. Kertaadmaja. 2001. Peran Padi sebagai Sumber Daya Genetik Padi Modern. Dalam. Budidaya Padi, Prosiding Diskusi Paneldan Pameran Budaya Padi Surakarta 28 Agustus 2001. Yayasan Padi Indonesia. Harrell, D.L., Jason, A.B., and Sterling B. 2009. Evaluation of main-crop stubble height on ratoon rice growth and development. Field Crops Research 114:396-403. Johnson, R.R. 1978. Growth and yield of maize as affected by early - season devoliations agronomy. Jurnal No. 70 : 1 – 4 p. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Tahun 2011
Riau,
Marschner, H. 1998. Mineral Nutirtion of Higher Plant. San Diego: Academic Press Inc Parlin H. Sinaga.2014. Screening of Rice Genotypes and Evaluation of their Ratooning Ability in Tidal Swamp Area. Graduate School of Plant Breeding and Biotechnology, Department of Agronomy and Horticulture, Bogor Agricultural University. Pelalawan Dalam Angka, 2011. Laporan Tahunan .Badan Perencanaan Pembangunan Daerah .Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan Prihatiningsih. 2001. Pengaruh Waktu Panen terhadap Produksi dan Mutu Fisik Gabah dan Beras pada Beberapa Varietas Padi. (Oryza sativa L.). Faperta. IPB. Produk Unggulan Rohil. Sistem Informasi produk Unggulan Kabupaten Rokan Hilir. 2014 Poulton, J.E, Romeo, J.T & Conn, E.E. 1989. Plant Nitrogen Metabolism. Recent Advances in Phytochemistry.Vol.23. New York: Plenum Press. Simanulang, Z, A. 2001. Kriteria Seleksi Untuk Sifat Agronomis dan Mutu. Pelatihan dan koordinasi Program Pemuliaan Partifatif (Shuttke Breeding) dan Uji Multi Lokasi. Sukamandi 9-14 April 2001. Balai Penelitian Padi Sukamandi. Susilawati., B.S. Purwoko, H. Aswidinnoor, E. Santosa. 2010. Keragaan varietas dan galur padi tipe baru Indonesia dalam system ratun. J. Agron. Indonesia. 38:77-84. Susilawati., B.S. Purwoko. 2011. Pengujian Varietas dan Dosis Pupuk Setelah Panen Untuk Meningkatkan Potensi Ratun-Padi Di Sawah Pasang Surut J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian . Vol : 12(1). Susilawati. 2011. Teknologi Dua Kali Panen Semusim dengan Sistem Ratun – Padi di Lahan Pasang Surut. Prosiding Seminar Nasional PPRN- BBSDLP 762
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN .........................
Susilawati., B.S. Purwoko. 2012. Pengujian Varietas dan Dosis Pupuk Setelah Panen Untuk Meningkatkan Potensi Ratun-Padi Di Sawah Pasang Surut J.Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 12(1). Sutami. 2004. Potensi hasil galur-galur padi pasang surut terpilih pada kondisi lahan pasang surut sulfat masam. Agrosains 6(2):53-57.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines.
763