Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
UJI ADAPTASI DOMBA KOMPOSIT PADA KONDISI USAHA PETERNAKAN RAKYAT DI PEDESAAN (Study of Adaptation of Composite Breed at Sheep Farming System Condition in Village) DWI PRIYANTO dan SUBANDRIYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT RIAP has established three composite sheep, which have superiority of: giving birth along the year, a large body condition, resistant to certain diseases and other superiorities. A test was done in sheep farming condition to study influence of genotype and environment interaction. The research conducted in Juhut Village, Pandeglang Regency with introduction of 3 genotypes i.e. Barbados cross (BC), Garut composite (KG), and Sumatran composite (KS), which was compared to local breed as a control. Production and economic parameters were recorded then analyzed to study worthiness of sheep farming system in village. Result showed that total weaning weight - that was related to litter size and survival rate - of composite breed was higher compared to local breed, and showed significantly different among genotype (P < 0.001),. Meanwhile body weight at 8 weeks and weaning weight (3 months) among genotype were significantly different (P < 0.001). Body weight at different sexes were not significantly different (P > 0.05), but body weight at single litter size were higher than twin (P < 0.001). Post weaning weight at 6 months until 11 months showed competition growth significantly (P < 0.01), although in general composite breed were higher than local breed, except at KS breed at 11 months age. Economic analysis was done based on ewes productivity showed that composite breed has higher marginal economic value (MNE) compared to local breed i.e. 247, 207 and 179% for KG, BC, and KS respectively. Efficiency of economic value (NEE) growth at weaning until the age 11 months: lokal (LL) sheep was very superior (Rp. 286,000), followed by KG (Rp.180,000), BC (Rp. 179,600), and the lowest was KS (Rp.146,900). This finding should become a consideration in pattern of lamb rearing management. Key Words: Composite Sheep, Adaptation Testing ABSTRAK Balai Penelitian Ternak telah membentuk tiga rumpun domba komposit yang memiliki keunggulan dapat beranak sepanjang tahun, memiliki kerangka tubuh besar, resisten terhadap penyakit dan keunggulan lainnya. Untuk mengetahui interaksi pengaruh genetik dan lingkungan dilakukan uji adaptasi pada kondisi peternakan rakyat, yakni di Kelurahan Juhut, Kabupaten Pandeglang melalui introduksi domba Barbados Cross (BC), Komposit Garut (KG) dan Komposit Sumatera (KS), yang dibandingkan dengan domba lokal sebagai kontrol. Parameter produksi dan ekonomi dilakukan dalam pengkajian kelayakan usaha. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produktivitas induk dilihat dari total bobot sapih anak secara umum domba komposit menunjukkan lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal, yang terkait dengan penampilan jumlah anak sekelahiran (JAS), dan survival rate (SURV), dimana antar rumpun tersebut menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,001). Produktivitas anak umur 8 minggu sampai dengan sapih (3 bulan), domba komposit menunjukkan keunggulan dan antar rumpun berbeda sangat nyata (P < 0,001), bobot badan antar jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05), tetapi bobot badan tipe kelahiran tunggal sangat nyata (P < 0,001) lebih tinggi dibandingkan dengan kembar 2. Pada bobot badan umur 6 bulan sampai dengan 11 bulan terjadi kompetisi pertumbuhan (P < 0,01) walaupun secara umum domba komposit lebih unggul kecuali domba KS pada umur 11 bulan. Analisis ekonomi berdasarkan produktivitas induk terlihat domba komposit memiliki Marjinal Nilai Ekonomi (MNE) lebih tinggi masing-masing sebesar 247, 207 dan 179% pada domba KG, BC, dan KS dibandingkan dengan domba lokal (LL). Diperoleh Nilai Efisiensi Ekonomi (NEE) pertumbuhan anak dari sapih sampai dengan umur 11 bulan, dimana domba LL adalah paling unggul dengan NEE Rp. 286.000, disusul domba KG (Rp.180.000), domba BC (Rp.179.600), dan terakhir domba KS (Rp. 146.400), yang merupakan pertimbangan bagi usaha pola pembesaran anak. Kata Kunci: Domba Komposit, Uji Adaptasi
577
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENDAHULUAN Populasi ternak domba di Indonesia mencapai 10,4 juta ekor, dengan kapasitas produksi daging 62,30 ton per tahun. Populasi domba tertinggi terdapat di Pulau Jawa dan Madura yang mencapai 92%, dan sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Barat (50%) (DITJENNAK, 2009). Usahaternak tersebut umumnya dilakukan di pedesaan dalam kondisi pakan berupa hijauan rumput lapangan atau rumput unggul yang terintegrasi usaha diversifikasi dengan tanaman pangan, atau pola digembala. Manajemen pemeliharaan dilakukan dengan pemanfaatan tenaga kerja keluarga yang merupakan sumber pendapatan dalam memenuhi kebutuhan yang sifatnya insidentil, tetapi sangat membantu dalam perekonomian petani. Domba lokal Indonesia khususnya domba Garut sangat potensial untuk ditingkatkan produktivitasnya, walaupun terdapat kendala seperti penyakit ternak dan terbatasnya ketersediaan pakan. Namun peluang pengembangan ternak tersebut cukup besar mengingat permintaan daging domba yang tinggi secara nasional, khususnya pada Lebaran Haji dan hari besar keagamaan lainnya. Domba Garut cenderung lebih prolifik dibandingkan dengan domba yang berasal dari Bogor (domba Ekor Tipis/DET), dengan jumlah anak sekelahiran rata-rata 1,86 dibandingkan dengan 1,58 bila keduanya dipelihara pada suatu flok yang sama. Perbedaan tersebut disebabkan karena pada domba DET terjadi segregasi gen dengan pengaruh yang besar pada laju ovulasi (LO) dan jumlah anak sekelahiran (JAS) dengan heritabilitas untuk JAS 0,5 dan repitabilitas LO 0,6 (INOUNU, 2010). Salah satu metode peningkatan produktivitas domba adalah dengan metode persilangan dalam membentuk domba komposit. Pembentukan bangsa komposit berdasarkan persilangan dapat dilakukan dengan cara persilangan reguler dan rotasi (NICHOLAS, 1996). Pembentukan domba komposit cenderung bertujuan untuk mendapatkan bangsa domba yang cocok untuk kondisi lokal dan untuk memenuhi permintaan khusus, seperti tanduk yang besar, pertumbuhan yang tinggi dan agresif. Maka dari itu pembentukan domba komposit adalah merupakan salah satu upaya dalam memecahkan masalah kebutuhan
578
spesifik wilayah, baik ditinjau dari aspek agroekosistem maupun kondisi sosial ekonomi dan budaya (RASALI et al., 2006; GREELINE, 2010; MORENO et al., 2001). Balai Penelitian Ternak telah melakukan penelitian untuk membentuk rumpun domba baru yang memiliki keunggulan dari berbagai rumpun domba di dunia. Domba yang baru terbentuk adalah domba komposit. Domba komposit yang sudah dibentuk diantaranya adalah domba Komposit Garut, Domba Komposit Sumatera, Barbados Cross yang berkembang cukup baik dalam kondisi laboratorium Balitnak. Domba tersebut memiliki keunggulan dapat beranak sepanjang tahun dengan jumlah anak (litter size) tinggi seperti yang ditampilkan oleh domba prolifik, memiliki kerangka tubuh yang besar, tahan terhadap cuaca panas dan lembab seperti yang ditampilkan oleh domba Hairsheep (HH), serta mempunyai produksi susu yang cukup untuk merawat anak dua ekor. Disamping itu, domba komposit memiliki komposisi perdagingan yang baik seperti yang ditampilkan oleh domba Moulton Charolais (MM). Untuk mendukung pengamatan interaksi pengaruh genetik dan lingkungan domba komposit tersebut perlu dilakukan kajian uji adaptabilitas di wilayah tertentu sehingga diperoleh karakter daya adaptasi yang tepat dalam rekomendasi pengembangan spesifik wilayah. Karakter teknis dan sosial ekonomi sangat diperlukan dalam upaya mengkaji kalayakan usahaternak domba komposit pada peternakan rakyat sesuai agro-ekosistem, yang dapat digunakan sebagai acuan model pengembangan spesifik lokasi. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Kelurahan Juhut, Kecamatan Karangtanjung, Kabupaten Pandeglang. Kondisi wilayah tersebut adalah merupakan wilayah agro-ekosistem Lahan Kering Dataran Tinggi (LKDT), dengan ketinggian sekitar 700 m dpl, yang wilayah tersebut berbatasan dengan kawasan hutan lindung (Kampung Cinyurup). Masyarakat telah memelihara ternak domba lokal (domba Ekor Tipis dan domba Garut/LL) sebagai domba kontrol yang terintegrasi pola usaha dengan tanaman sayuran. Kondisi hijauan diambil dari lahan kehutanan dengan kondisi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
yang bagus dan kuantitas yang cukup banyak, sehingga memiliki prospek pengembangan secara berkelanjutan. Penelitian analisis uji adaptasi adalah merupakan pengamatan lanjutan produktivitas domba hasil pemuliaan Balitnak yang diintroduksikan pada tahun 2009. Domba yang diintroduksikan adalah domba Komposit Garut (KG), domba komposit Sumatera (KS), dan persilangan Barbados (BC) yang langsung di introduksikan pada pola usaha peternakan rakyat. Jumlah domba yang diintroduksikan masing-masing sebanyak 8 ekor induk, dan sejumlah pejantan akan ditambah secara bertahap agar dapat mewakili sesuai dengan ketersediaan materi pengamatan, dengan kontrol perkawinan yang tepat. Kegiatan monitoring bulanan dilakukan dalam mengetahui perkembangan produktivitas domba, baik domba komposit maupun domba kontrol. Parameter produktivitas yang diukur dari aspek teknis antara lain: keragaman reproduksi induk, produktivitas induk dan produksi anak. Keragaan reproduksi yang diamati adalah litter size, bobot lahir, laju mortalitas, laju pertambahan bobot badan dan bobot badan per satuan waktu. Keragaan produktivitas dilakukan analisis dengan general linear model menurut petunjuk (SAS, 1987). Analisis ekonomi diperhitungkan dalam dua model yakni penampilan produktivitas induk membandingkan laju ekonomi pada bobot sapih induk yang dirumuskan: (TBS komposit × P) MNE =
× 100% (TBS lokal × P)
MNE : marjinal nilai ekonomik (persen) TBS komposit : Rataan total bobot sapih masingmasing 3 galur komposit TBS lokal : Rataan total bobot sapih domba lokal (sebagai kontrol) P : Harga jual per kg bobot hidup (Rp. 40.000 sebagai domba bibit)
Analisis pola pertumbuhan yang diperhitungkan saat sapih sampai dengan umur 11 bulan, pada masing-masing domba yang diamati dirumuskan: NEE = (BBU 11 × P) – (BBS 3 × P) NEE
: Nilai efisiensi ekonomik (Rp., tidak memasukkan faktor input) BBU 11 : Bobot badan umur 11 bulan
BBS 3 : Bobot badan umur 3 bulan. P : Harga jual per kg bobot hidup (Rp. 40.000 sebagai domba bibit)
HASIL DAN PEMBAHASAN Penampilan produktivitas induk Penampilan produktivitas induk pada kondisi pedesaan adalah jumlah anak sekelahiran (JAS), kemampuan hidup anak sampai dengan sapih (SURV), dan total bobot sapih yang merupakan penjumlahan dari bobot sapih anak sesuai dengan tipe sapih (Tabel 1). Total bobot lahir tidak dapat dideteksi karena pada kondisi pedesaan penimbangan hanya dilakukan secara bulanan. Hasil pengamatan JAS terlihat bahwa JAS tertinggi terjadi pada domba KG yang mencapai 2,00 ekor/induk, yang kemudian disusul pada domba BC (1,63 ekor/induk), domba KS (1,5 ekor/induk). JAS domba lokal sebagai kontrol mencapai 1,75 ekor/induk yang tampak lebih tinggi dibandingkan dengan domba BC maupun KS, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05). Berdasarkan data kemampuan hidup sampai dengan sapih (SURV) menunjukkan bahwa domba BC dan KS memiliki SURV 100%, sedangkan domba KG hanya 67%, dan bahkan lebih rendah dibandingkan dengan domba lokal (73%), dimana antar rumpun domba terlihat berbeda nyata (P < 0,05). Berdasarkan total bobot sapih terlihat bahwa domba KG paling tinggi yakni mencapai 21,80 kg, yang disusul domba BC (18,29 kg, domba KS (15,81 kg), dan terendah terjadi pada domba lokal (8,82 kg), dengan perbedaan sangat nyata (P < 0,001). Walaupun domba lokal memiliki SURV lebih tinggi dibandingkan dengan domba KG tetapi memiliki total bobot sapih yang lebih rendah, demikian pula JAS lebih tinggi dibandingkan dengan domba BC dan KS tetapi masih memiliki total bobot sapih labih rendah, yang menunjukkan bahwa terkait dengan total bobot lahir yang rendah, disamping pertumbuhan prasapih yang rendah. Maka dari pembentukan domba komposit salah satunya adalah mampu meningkatkan produksi susu untuk pertumbuhan anak prasapih dan dicapai pertumbuhan anak optimal dibandingkan dengan domba lokal (INOUNU et al., 1993).
579
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tabel 1. Rataan jumlah anak sekelahiran (JAS), daya hidup (SURV), dan total bobot sapih umur 90 hari, berdasarkan genotipe domba BC, KG, KS, dan LL pada kondisi pedesaan Peubah
n
Genotipe
JAS
SURV
Total bobot sapih (kg)
tn
*
***
BC
8
1,63 ± 0,51
1,00 ± 0,00
18,29 ± 5,57
KG
6
2,00 ± 0,63
0,67 ± 0,48
21,80 ± 11,99
KS
8
1,50 ± 0,53
1,00 ± 0,00
15,81 ± 3,62
LL
20
1,75 ± 0,55
0,73 ± 0,38
8,82 ± 5,61
tn: Tidak nyata (P > 0,05); *: P < 0,05; **: P < 0,01; ***: P < 0,001
Penampilan produktivitas anak domba pada kondisi pedesaan Bobot badan anak umur 8 minggu dan bobot badan sapih (90 hari) Penampilan bobot badan anak domba umur 8 minggu menunjukkan bahwa bobot tertinggi terjadi pada domba KG yakni mencapai 10,07 kg, yang kemudian disusul domba BC (9,02 kg), domba KS (8,55 kg), dan bila dibandingkan dengan domba kontrol hanya mencapai 6,76 kg. Domba komposit masih lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal, dimana masing-masing genotipe menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,001). Secara umum bobot badan anak domba 8 minggu antara anak betina tampak lebih tinggi dibandingkan dengan anak jantan, tetapi tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05)
(8,16 kg vs 8,08 kg). Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian di laboratorium dimana bobot badan anak jantan umur 8 minggu lebih tinggi dibandingkan dengan betina (SUBANDRIYO, et al., 2007). Berbeda dilihat dari tipe kelahiran yang secara statistik menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,001) dimana kelahiran tunggal mencapai rataan 9,52 kg dan kelahiran kembar 2 hanya mencapai 7,61 kg (Tabel 2). Berdasarkan pengamatan rataan bobot sapih anak (90 hari) tampak terjadi perubahan urutan bobot badan dimana bobot sapih tertinggi masih terjadi pada domba KG (14,53 kg), tetapi proporsi kedua adalah domba KS (11,50 kg), dan BC pada posisi ketiga (11,25 kg), dan domba kontrol hanya mencapat rataan 8,33 kg, dimana antar genotipe menunjukkan perbedaan tetapi secara umum domba komposit masih menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan
Tabel 2. Rataan dan simpangan baku bobot badan prasapih (8 minggu) dan bobot sapih (90 hari) berdasarkan genotipe, jenis kelamin dan tipe kelahiran di pedesaan Sifat
n
Genotipe
Bobot badan 8 minggu (kg)
n
***
Bobot badan sapih (kg) ***
BC
13
9,02 ± 1,91
13
11,25 ± 2,36
KG
9
10,07 ± 2,17
9
14,53 ± 3,08
KS
11
8,25 ± 1,57
11
11,50 ± 2,61
LL
22
6,76 ± 1,57
13
8,33 ± 1,74
Jenis kelamin
tn
tn
Betina
36
8,16 ± 2,13
29
11,10 ± 3,17
Jantan
19
8,08 ± 2,16
17
11,17 ± 3,28
1
15
9,52 ± 1,25
12
12,82 ± 3,15
2
40
7,61 ± 1,84
34
10,53 ± 3,01
Tipe kelahiran
***
tn: tidak nyata; (P > 0,05), *: P < 0,05, **: P < 0,01, ***: P < 0,001
580
***
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
domba lokal. Pada bobot sapih domba jantan dan betina tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05), tetapi anak jantan lebih tinggi dibandingkan dengan anak betina (11,17 kg vs 11,10 kg) yang menunjukkan laju pertumbuhan anak jantan lebih unggul. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengamatan laboratorium (SUBANDRIYO et al., 2007). Bobot sapih antar tipe kelahiran menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,001), dimana kelahiran tunggal jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelahiran kembar dua (12,81 vs 10,53 kg). Laju perkembangan bobot badan anak domba di pedesaan Berdasarkan perkembangan bobot badan anak umur 6 bulan tidak terlihat menunjukkan perubahan dibandingkan dengan bobot sapih anak, dimana domba KG masih tetap unggul (17,52 kg), tetapi proporsi kedua adalah domba BC (14,46 kg), dan ketiga domba KS (13,59 kg) dan domba lokal masih lebih rendah dibandingkan dengan rumpun domba komposit (12,08 kg), yang secara statistik berbeda sangat nyata (P < 0,001) (Tabel 3), yang hal tersebut bertahan sampai pada bobot badan umur 9 bulan, tetapi pada bobot badan umur 11 bulan pada domba LL tampak lebih tinggi dibandingkan dengan domba KS, yang hal tersebut menunjukkan pada saat bobot dewasa domba lokal mampu lebih unggul dibandingkan
dengan domba KS, tetapi tidak pada domba BC dan KG. Domba KS merupakan domba Ekor Tipis (DET) dari Jawa yang telah beradaptasi dengan lingkungan Sumatera dengan ukuran tubuh kecil, ekor lebih pendek, tetapi memiliki keunggulan resisten terhadap penyakit cacing (REESE et al., 1990). Perubahan bobot badan anak secara statistik pada umur 6 bulan tampak berbeda sangat nyata (P < 0,001), pada umur 9 bulan berbeda nyata (P < 0,05), dan umur dewasa (11 bulan) berbeda nyata (P < 0,01), yang menggambarkan bahwa semakin ternak menuju dewasa maka ada kecenderungan bobot badan cenderung tidak jauh berbeda, dan terjadi kompetisi pertumbuhan. Hasil penelitian di laboratorium bahkan domba kontrol (Garut) pada umur 6, 9 dan 12 bulan memiliki bobot baban lebih tinggi dibandingkan dengan domba KS dan BC, tetapi tidak terjadi pada domba KG (SUBANDRIYO et al., 2007). Hal demikian ada kemungkinan domba lokal di pedesaan tersebut tidak murni domba Garut (hasil persilangan/campuran). Dilihat dari pengaruh jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05) dan ada kecenderungan bahwa anak jantan lebih cepat pertumbuhan dibandingkan dengan anak betina, sejak bobot sapih. Demikian halnya dengan tipe kelahiran yang pada bobot sapih menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,001), cenderung berubah berbeda nyata (P < 0,05) pada bobot badan 6, 9 dan 11 bulan, yang menggambarkan bahwa
Tabel 3. Rataan dan simpangan baku bobot badan umur 6, 9 dan 11 bulan berdasarkan genotipe, jenis kelamin, tipe kelahiran Bobot badan 6 bulan (kg)
Peubah Genotipe:
Bobot badan 9 bulan (kg)
Bobot badan 11 bulan (kg)
n
***
n
*
n
**
BC
12
14,46 ± 2,36
10
15,24 ± 2,68
10
15,74 ± 3,38
KG
9
17,52 ± 4,38
9
18,38 ± 3,72
9
19,03 ± 4,12
KS
11
13,59 ± 2,24
11
14,69 ± 2,77
11
15,16 ± 1,55
LL
8
12,08 ± 1,98
11
13,88 ± 2,04
11
15,48 ± 2,23
Jenis kelamin:
tn
tn
tn
Betina
31
7,22 ± 1,74
19
16,26 ± 2,88
20
17,20 ± 3,61
Jantan
17
6,94 ± 1,76
19
16,61 ± 4,83
25
18,74 ± 4,55
1
21
14,89 ± 2,85
14
17,57 ± 4,47
21
20,03 ± 3,77
2
19
14,38 ± 3,69
24
15,77 ± 3,50
24
16,32 ± 3,80
Tipe kelahiran:
*
*
*
tn: tidak nyata (P > 0,05); *: P < 0,05; **: P < 0,01; ***: P < 0,001
581
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
perbedaan bobot badan tersebut saling menyusul antara kelahiran tunggal dan kembar 2. Analisis ekonomi adaptabilitas domba komposit Analisis ekonomi yang dapat dilakukan didasarkan pada kemampuan induk dalam menghasilkan anak sampai dengan sapih yang dipertimbangkan jumlah anak sapih/kelahiran (JAS) dan mortalitas anak sampai dengan sapih. Hasil pengamatan total bobot sapih anak yang pada masing-masing rumpun induk tetua terlihat bahwa total bobot sapih tertinggi terjadi pada domba KG yakni mencapai 21,80 kg, kemudian disusul BC (18,29 kg), KS (15,81 kg) dan terendah terjadi pada domba lokal yang dipelihara peternak yakni hanya mencapai 8,82 kg (Tabel 4). Mortalitas anak sampai dengan sapih, terlihat mortalitas paling tinggi terjadi pada domba KG (33%) yang disusul pada domba lokal yang juga tinggi yakni mencapai 27%. Walaupun demikian dilihat dari angka total bobot sapih anak domba KG masih tampak unggul. Secara ekonomi yang diperhitungkan berdasarkan harga jual domba bibit (Rp. 40.000/kg) bobot hidup, nilai jual per penampilan bangsa induk diperoleh nilai sebesar Rp. 872.000 pada domba KG, sedangkan pada domba BC sebesar Rp. 731.600 dan domba KS sebesar Rp. 632.400, dibandingkan dengan domba lokal sendiri masing-masing ketiga rumpun yang dipelihara pada peternakan rakyat masih unggul karena domba lokal hanya memiliki nilai Rp. 352.000/satuan induk sampai dengan sapih. Hasil perhitungan MNE menunjukkan bahwa domba KG mencapai 247,16% dibandingkan dengan domba lokal, yang disusul domba BC (207,31%) dan domba KS (179,25%). Menunjukkan bahwa produktivitas induk
domba KG sampai dengan sapih masih tampak yang paling unggul, dan memiliki nilai ekonomis tertinggi, dan secara umum domba komposit berdasar produktivitas induk masih lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal. Nilai efisiensi ekonomik berdasarkan penampilan bobot badan anak Penampilan anak individual diamati pada masing-masing anak domba yakni bobot badan umur 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan 11 bulan. Pada awalnya bobot sapih anak domba KS adalah pada proporsi kedua setelah KG, tetapi pada umur 6 bulan dan seterusnya mengalami perubahan, dimana bobot badan domba KG adalah yang paling unggul, yang kemudian disusul domba BC dan kemudian domba KS (Gambar 1). Domba lokal pada saat umur 6 bulan dan 9 bulan terlihat bobot badan paling rendah, tetapi pada grafik pertumbuhan pada saat umur 11 bulan tampak lebih unggul dibandingkan dengan domba KS. Domba lokal yang ada di pedesaan umumnya adalah domba Garut dimana peternak senang memelihara karena tanduknya besar sehingga pada saat lebaran haji diperoleh harga jual yang lebih tinggi (penampilan performa eksterior/tanduk besar), sehingga performa pertumbuhan tidak jauh bebeda dengan domba komposit sendiri, dan pada umur 11 bulan mampu melampaui bobot badan domba KS. Hal tersebut juga akibat faktor adaptasi terhadap lingkungan di lapangan. Juga dibuktikan dari analisis efisiensi ekonomik yang memperlihatkan nilai pertambahan ekonomi berdasarkan data selama pengamatan bobot badan dari umur 3 bulan sampai dengan umur 11 bulan (Tabel 5). Dari masing-masing rumpun yang diperhitungkan nilai jual dari saat umur 3 bulan sampai dengan umur 9 bulan, menunjukkan bahwa terjadi
Tabel 4. Produktivitas induk 3 domba komposit dan domba lokal pada kondisi pedesaan Galur domba
Jumlah pengamatan
Total bobot sapih
Nilai jual (Rp)
MNE (persen)
BC
8
18,29
731.600
207,31
KG
8
21,80
872.000
247,16
KS
8
15,81
632.400
179,25
LL
20
8,82
352.800
100,00
582
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
20 18
Bobot badan (kg)
16 14 BC KG
12 10
KS
8
LL
6 4 2 0 3
6
9
11
Bulan
Gambar 1. Penampilan bobot badan domba pengamatan (umur 3 bulan sampai 11 bulan pada kondisi pedesaan)
tambahan nilai ekonomis tertinggi justru pada domba lokal yang mencapai Rp. 286.000, yang kemudian disusul rumpun domba KG mencapai Rp. 180.800, domba BC mencapai Rp. 179.600, dan nilai ekonomis terendah terjadi pada domba KS (Rp. 146.400). Secara ekonomis dilihat efisiensi pertumbuhan menunjukkan bahwa domba lokal adalah paling ekonomis, yang disusul domba KG, domba BC dan terendah adalah domba KS. Hal tersebut akan menjadikan pertimbangan pada peternak khususnya pada pola pembesaran anak pada kondisi pedesaan, dimana domba lokal memiliki efisiensi yang paling tinggi, walaupun bobot badan relatif lebih rendah dibandingkan dengan domba komposit. Apabila didasarkan pada nilai kesukaan
konsumen dalam memelihara domba maka nilai ekonomis tersebut akan mengalami perubahan. Untuk analisis lebih lanjut nilai preferensi peternak dalam pembelian bibit domba akan dimasukkan dalam perhitungan analisis ekonomi, sehingga lebih menggambarkan nilai performan ekonomik berdasarkan nilai jual, disamping pertimbangan peternak sendiri sebagai bibit untuk di budidayakan. KESIMPULAN Hasil pengamatan uji adaptasi domba komposit di pedesaan dapat disimpulkan bahwa:
Tabel 5. Penampilan produksi anak dan nilai efisiensi ekonomik pertumbuhan Bobot sapih (kg)
Bobot umur 11 bulan (kg)
Laju pertambahan bobot badan (kg)
NEE (Rp.)
BC
11,25
15,74
4,49
179.600
KG
14,53
19,03
4,50
180.000
KS
11,50
15,16
3,65
146.400
LL
8,33
15,48
7,15
286.000
Rumpun domba
583
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
1. Penampilan domba komposit pada usaha peternakan rakyat tampak adaptif dengan kondisi lingkungan, yang ditunjukkan penampilan produktivitas yang tidak berbeda jauh dengan kondisi laboratorium. Hal tersebut ditunjukkan bahwa secara umum nilai rataan total bobot sapih anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan domba lokal sebagai kontrol. 2. Penampilan anak domba berdasarkan bobot badan umur 8 minggu dan bobot sapih anak, domba komposit masih lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal yang dipelihara peternak. Laju pertumbuhan anak juga tampak lebih unggul domba komposit, hanya pada domba Komposit Sumatera (KS) pada bobot badan umur 11 bulan tampak bersaing dengan domba lokal. 3. Hasil perhitungan ekonomik menunjukkan bahwa berdasarkan penampilan induk domba komposit secara umum lebih unggul dibandingkan dengan domba lokal, dan Komposit Garut adalah yang paling unggul. Tetapi dilihat dari efisiensi pertumbuhan (pembesaran anak) domba lokal lebih ekonomis walaupun bobot badan dewasa lebih rendah.
INOUNU, I., I. INIGUEZ, G.E. BRADFORD, SUBANDRIYO and B. TIESNAMURTI. 1993. Production performance of prolific Javanese ewes. Small Ruminant Research 12: 242 – 257.
DAFTAR PUSTAKA
SUBANDRIYO, E. HANDIWIRAWAN, B. SETIADI, D. PRIYANTO, U. ADIATI, B. TIESNAMURTI, A. PRIYANTI, A. MASNIWATI, N. HIDAYATI, SANTIAMANDA, M. SUMANTRI, ROHMAN, JAENUDIN, S. AMINAH, M. SYAERI, SUHARTO, NUGROHO dan Z. LAYLA. 2007. Peningkatan Efisiensi Domba: Pemantapan Bibit Domba Komposit Garut. Laporan Akhir Penelitian Tahun 2007. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
DITJENNAK. 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. INOUNU, I. 2010. Pembentukan Domba Komposit Melalui Teknologi Persilangan dalam Upaya Peningkatan Mutu Genetik Domba Lokal. Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Bidang Pemuliaan dan Genetika Ternak. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Bogor, 30 Desember 2010.
NICHOLAS, F.W. 1996. Introduction to Veterinary Genetics. Oxford University Press. pp. 277 – 291. RASALI, D.P., J.N. SHRESTHA and G.H. CROWN. 2006. Development of composite sheep breed in the world. A Review. Can. J. Anim. Sci. 86: 1 – 24. REESE, A.A., W. HANDAYANI, S.P. GINTING, L.O. SINULINGGA, G.R. REESE and W.L. JOHNSON. 1990. Effect of energy supplementation on lamb production of Javanese Thin Tail Ewe. J. Anim. Sci. 68: 1827. GREELINE. 2010. Greeline composite breed-Genetics equal to the best in New Zealand. http/www. greelinesheep.co.nz. (May 2010). MORENO, C., J. BOUIX, J.C. BRUNEL, J.L. WEISHECKER, D. FRANCOIS, F. LANTIER and J.M. ELSEN. 2001. Genetic parameter estimates for carcass traits in INRA401 composite sheep strain. Livestock Prod. Sci. 69(3): 227 – 232. STATISTICAL ANALYSIS SYSTEM. 1987. SAS/STAT Guide for Personal Computer Version 6th Ed. SAS. Institute Inc., Carry, NC, USA.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Domba komposit apa? 2. Sejak kapan penelitian dilaksanakan? 3. Resistensi terhadap penyakit apa?
584
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Jawaban: 1. Persilangan antara domba impor dengan lokal dengan keunggulan spesifik tertentu. 2. Penelitian dimulai pada tahun 1984, dilakukan di laboratorium penelitian Bogor. 3. Tahan terhadap Haemonchus condoctus, Fasciola gigaetica (chromosom 5 dan 7), yang diperoleh dari sifat domba lokal Sumatera yang resisten terhadap pen yakit cacing.
585