6
regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan curah hujan. Analisis regresi linier sederhana dilakukan berdasarkan musimnya, yaitu bulan April – September untuk musim kemarau, dan bulan Oktober – Maret untuk musim hujan. Persamaan umum regresi linier sederhana yaitu : Y = a + bx…………………(1) dimana : y = luas serangan WBC x = curah hujan a,b = konstanta Persamaan regresi kuadratik digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim selain curah hujan yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum, suhu minimum, dan kelembaban. Persamaan umum regresi kuadratik sederhana adalah sebagai berikut : Y = a + b1x1 + b2x22………..(2) dimana : y = luas serangan WBC x = Tmax, Tmin, Trata, dan RH a,b = konstanta Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima faktor iklim, yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. Persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut : Y : a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5 Dimana : y = luas serangan WBC x = unsur iklim a,b = konstanta Analisis hubungan faktor iklim dengan luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda (time lag) berdasarkan siklus hidup WBC. Siklus hidup WBC berkisar 2832 hari atau kurang lebih satu bulan sampai WBC menjadi serangga dewasa (Subroto, et al. 1992). Analisis tanpa memperhitungkan lag berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi serangan atau ketika WBC pada fase imago aktif mencari makan. Analisis pada waktu tunda setengah bulan (lag 1) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase nimfa. Analisis pada waktu
tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur. BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Kondisi Geografis Wilayah Kajian Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landai dan perbukitan dengan ketinggian antara 6-198 m dari permukaan laut. Wilayah topografi terendah umumnya terletak di bagian selatan yang merupakan daerah pesisir dengan ketinggian antara 6-12 mdpl. Sementara itu, topografi yang termasuk dataran rendah dan sedikit berbukit dengan ketinggian antara 8-75 mdpl, sedangkan topografi yang termasuk dataran tinggi atau perbukitan meliputi wilayah Cilacap bagian barat dengan ketinggian antara 75-198 mdpl (DKP 2010). Kabupaten Cilacap merupakan wilayah terbesar di Provinsi Jawa tengah dan juga memiliki luas sawah terbesar di Jawa Tengah. Berikut luasan sawah dan luas serangan WBC Kabupaten Cilacap tahun 2004-2008. Tabel 2 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Cilacap.
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
Luas admin (Ha) 213,851 213,851 213,851 213,851 213,851
Luas Luas Persentase Persentase Sawah Serangan Sawah Sawah (Ha) WBC (Ha) Terserang 62,689 9 29.3% 0.0% 62,673 40 29.3% 0.1% 63,184 7 29.5% 0.0% 63,094 499 29.5% 0.8% 63,092 18 29.5% 0.0%
(Sumber: Badan Pusat Statistik) Luas wilayah Cilacap mencapai 213.851 ha dengan alokasi penggunaan lahan untuk pertanian sekitar 29% dari luas wilayahnya atau sekitar 63.000 ha. Meskipun sawah yang tersedia cukup besar untuk makanan WBC, akan tetapi serangan WBC relatif kecil. Luas serangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang meliputi 499 ha sawah atau 0.8% dari total luas sawah di Kabupaten Cilacap. Cilacap merupakan daerah endemik WBC akibat serangan yang terjadi setiap tahun. Namun, serangan yang terjadi setiap tahunnya masih rendah. Hal ini dimungkinkan daerah tersebut lebih intesif dalam pengendalian hama WBC. Pertanian padi di Cilacap lebih sering gagal panen diakibatkan
7
oleh banjir di daerah persawahan. Rusaknya tanaman padi membuat terbatasnya makanan untuk WBC. Sehingga luas serangan WBC di Kabuapen Cilacap tidak terlalu luas. Secara topografi Kabupaten Pekalongan terdiri atas wilayah pantai, wilayah dataran rendah dan wilayah pegunungan dengan ketinggian 4-1294 mdpl. Menurut pembagian wilayah, kabupaten Pekalongan di dominasi oleh dataran rendah sebesar 80 %. Sedangkan yang berdataran tinggi dan pegunungan sebesar 20 %. Sebagian besar sawah di Kabupaten Pekalongan berada pada dataran rendah (Pemerintah Kabupaten Pekalongan 2006). Berikut adalah luasan sawah beserta luas serangan WBC pada Kabupaten Pekalongan.
Kabupaten Tegal lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Pekalongan. Berikut luasan sawah dan luas serangan WBC Kabupaten Tegal tahun 2004-2008.
Tabel 3 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Pekalongan.
(Sumber: Badan Pusat Statistik)
Luas Tahun admin (Ha) 2004 83,613 2005 83,613 2006 83,613 2007 83,613 2008 83,613
Luas Luas Sawah Serangan (Ha) WBC (Ha) 26,128 103 26,081 1,951 25,472 2,341 25,307 891 25,124 1,778
Persentase Persentase Sawah Sawah Terserang 31.2% 0.4% 31.2% 7.5% 30.5% 9.2% 30.3% 3.5% 30.0% 7.1%
(Sumber: Badan Pusat Statistik) Tingkat penggunaan lahan untuk areal persawahan di Kabupaten Pekalongan cukup besar, yaitu rata-rata 31% dari total wilayahnya. Kabupaten Pekalongan merupakan daerah endemik WBC dengan total luas serangan tertinggi mencapai 2341 ha atau 9,2% dari total luas sawah di Kabupaten Pekalongan. Pertanian di Kabupaten Pekalongan lebih banyak menggunakan pertanian irigrasi. Pertanian padi di Kabupaten Pekalongan juga sering terserang hama selain WBC. Sehingga WBC lebih berkompetisi untuk memperebutkan makanannya. Wilayah Kabupaten Tegal berada pada ketinggian antara 0-1000 mdpl. Secara garis besar, wilayah Kabupaten Tegal terbagi menjadi empat bagian yaitu dataran rendah dengan ketinggian antara 0-250 mdpl dengan luas wilayah 65.342,93 ha, ketinggian antara 250–500 m dpl dengan luas wilayah 6.959,58 ha, ketinggian antara 500-750 mdpl dengan wilayah 4.692,29 ha, dan ketinggian di atas 750 mdpl dengan luas wilayah 10.884,16 ha. Daerah terluas di Kabupaten Tegal adalah dataran rendah (DPKI 2009). Lusan sawah di
Tabel 4 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Tegal.
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
Luas admin (Ha) 87,970 87,970 87,970 87,970 87,970
Luas Luas Persentase Persentase Sawah Serangan Sawah Sawah (Ha) WBC (Ha) Terserang 41,200 0 46.8% 0.0% 40,288 1,091 45.8% 2.7% 40,483 599 46.0% 1.5% 40,384 259 45.9% 0.6% 42,313 168 48.1% 0.4%
Tingkat penggunaan lahan yang digunakan untuk sawah di Kabupaten Tegal cukup dominan, yaitu rata-rata 45% dari luas wilayah keseluruhan. Luas serangan WBC tertinggi pada tahun 2005 yang mencapai 1091 ha atau sekitar 2,65% dari total luas sawah di Kabupaten Tegal. Sama halnya dengan Kabupaten Pekalongan, Padi di Kabupaten Tegal juga banyak terserang hama selain WBC. Sehingga WBC lebih berkompetisi dengan hama lain untuk memperebutkan makanannya. 4.2
Luas Serangan WBC dalam Wilayah Kajian Luas serangan pada wilayah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal berbeda–beda setiap tahunnya. Kabupaten Pekalongan memiliki luas serangan yang lebih tinggi dibandingkan dua kabupaten lainnya. Luas serangan di Kabupaten Pekalongan mencapai lebih dari 2000 ha pada tahun 2005, 2006 dan 2009. Luas serangan di Kabupaten Tegal mencapai lebih dari 500 ha pada tahun 2005, 2006 dan 2009. Sementara itu, Kabupaten Cilacap memiliki luas serangan WBC lebih rendah dari keduanya, luas serangan Kabupaten Cilacap tertinggi hanya pada tahun 2007 yaitu hanya 499 ha.
8
musim dari musim hujan ke musim kemarau dan sepanjang musim kemarau.
Gambar 6 Luas serangan WBC tahunan pada wilayah kajian (2003-2009). Analisis lebih lanjut dilakukan analisis luas serangan WBC setiap bulannya di masing-masing wilayah kajian pada tahun 2003-2009. Gambar 7, 8, dan 9 menunjukkan tingkat luas serangan per bulan dan kejadian serangan per bulannya. Histogram menunjukan tingkat luas serangan perbulannya sedangkan grfik garis menunjukkan kejadian serangan per-bulannya. Berikut adalah plot hasil luas serangan di tiga kabupaten.
Gambar 7 Total luas serangan WBC bulanan di Kabupaten Cilacap pada tahun 2003-2009. Kabupaten Cilacap memiliki luas serangan yang setiap tahun selalu ada, tetapi luas serangan WBC tidak terlalu luas. Gambar 7 menunjukkan bahwa serangan WBC di Kabupaten Cilacap tidak terjadi sepanjang tahun. Luas serangan tinggi terjadi pada bulan Pebuari-Maret-April yaitu pada masa peralihan musim hujan ke musim kemarau. Saat musim kemarau juga sering terjadi serangan WBC. Hal ini terlihat dari banyaknya kejadian serangan WBC pada bulan Juni-Juli-Agustus. Namun, luas serangan tidak terlalu tinggi pada saat terjadi serangan. Luas serangan rendah terjadi pada awal musim hujan yaitu Oktober-NovemberDesember. Luas serangan WBC di Kabupaten Cilacap sering terjadi pada masa peralihan
Gambar 8 Total luas serangan WBC bulanan di Kabupaten Pekalongan pada tahun 2003-2009. Kabupaten Pekalongan memiliki luas serangan yang tinggi. Gambar 8 menunjukkan luas serangan WBC sebagian besar terjadi pada musim kemarau. Hal ini terlihat dari tingginya luas serangan dan kejadian serangan WBC pada bulan Juni-Juli-Agustus. Serangan WBC juga sering terjadi pada akhir musim hujan (Pebuari-Maret), tetapi luas serangan tidak terlalu besar. Serangan WBC di Kabupaten Pekalongan akan sangat berbahaya jika terjadi pada musim kemarau.
Gambar 9 Total luas serangan WBC bulanan di Kabupaten Tegal pada tahun 2003-2009. Kabupaten Tegal memiliki pola serangan yang hampir sama dengan Gambar 9 Kabupaten Pekalongan. menunjukkan luas serangan WBC sebagian besar juga terjadi pada musim kemarau. Hal ini terlihat pada tingginya luas serangan dan kejadian serangan WBC pada bulan Juni-JuliAgustus. Serangan WBC juga sering terjadi pada peralihan musim hujan ke musim kemarau, tetapi luas serangan tidak terlalu tinggi. Serangan WBC di Kabupaten Tegal akan mengkhawatirkan jika terjadi saat peralihan musim hujan ke musim kemarau dan berbahaya pada musim kemarau. Secara keseluruhan, serangan WBC sering terjadi pada masa peralihan musim
9
hujan ke musim kemarau dan pada saat musim kemarau. Masa peralihan musim yaitu pada bulan Pebuari-Maret-April dan musim kemarau yaitu bulan Juni-Juli-Agustus. Hal ini diakibatkan pada musim kemarau kondisi lingkungan sangat mendukung perkembangan WBC. Kondisi Iklim Wilayah Kajian Data iklim yang digunakan untuk wilayah kajian di dapat dari stasiun iklim. Analisis di Kabupaten Cilacap menggunakan stasiun Meteorologi Cilacap dengan ketinggian 6 mdpl. Analisis di Kabupaten Tegal menggunakan stasiun Meteorologi Tegal dengan ketinggian 3 mdpl. Analisis di Kabupaten Pekalongan menggunakan stasiun Gamer dengan ketinggian 4 mdpl. Ketinggian di ketiga kabupaten tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Kondisi iklim ketiga kabupaten tersebut memiliki perbedaan. Salah satu perbedaan yang nyata terlihat bahwa Kabupaten Cilacap memiliki kondisi iklim yang berbeda dengan Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pekalongan. Hal ini dikarenakan Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pekalongan memiliki jarak yang berdekatan yaitu di bagian utara Jawa Tengah sehingga kondisi iklim hampir sama. Sedangkan Kabupaten Cilacap berada pada bagian selatan Jawa Tengah.
memiliki suhu yang paling tinggi dan mendekati suhu optimum yaitu 28-300C (Subroto et al. 1992). Oleh karena itu, serangan WBC di Kabupaten Pekalongan lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Tegal dan Kabupaten Cilacap. Fluktuasi suhu ratarata dan luas serangan dapat di lihat pada Lampiran 1.
4.3
Gambar 10 Suhu udara rata-rata bulanan (2003-2009). Suhu udara rata-rata ketiga kabupaten memiliki fluktuasi yang hampir sama tetapi dengan besar suhu yang berbeda. Fluktuasi suhu ketiga kabupaten dapat terlihat pada Gambar 10. Suhu udara rata-rata tertinggi terdapat pada Kabupaten Pekalongan dan terendah terdapat pada Kabupaten Cilacap. Tinggi rendahnya suhu udara rata-rata dapat mempengaruhi perkembangan WBC. Wilayah yang memiliki suhu udara rata-rata yang mendekati suhu optimum perkembangan WBC, akan memicu tingginya serangan WBC. Suhu udara Kabupaten Pekalongan
Gambar 11 Suhu udara maksimum bulanan (2003-2009). Suhu maksimum memiliki flukstuasi yang berbeda pada Kabupaten Cilacap bila dibandingkan dengan Kabupaten Tegal dan Pekalongan. Kabupaten Pekalongan memiliki suhu maksimum paling tinggi dibandingkan Tegal dan Cilacap. Suhu maksimum di Kabupaten Cilacap pada bulan Juli – Agustus mengalami penurunan yang sangat rendah dibandingkan pada bulan Febuari - Maret. Hal ini menyebabkan bulan Febuari - Maret lebih tinggi luas serangan WBC dibandingkan Juli – Agustus pada Kabupaten Cilacap. Berbeda dengan Kabupaten Tegal dan Pekalongan, suhu maksimum di kedua kabupaten tersebut lebih tinggi di bulan Juli – Agustus bila dibandingkan pada Febuari – Maret. Sehingga luas serangan akan lebih tinggi pada bulan Juli – Agustus. Sama halnya dengan suhu rata-rata, serangan WBC akan lebih tinggi bila suhu maksimum tinggi. Fluktuasi suhu maksimum dan luas serangan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 12 Suhu udara minimum bulanan (2003-2009).
10
Suhu minimum ketiga kabupaten memiliki fluktuasi yang hampir sama yaitu suhu minimum akan rendah pada musim kemarau. Kabupaten Pekalongan memiliki suhu minimum yang paling rendah dibandingkan dengan Kabuapaten Tegal dan Cilacap. Suhu minimum yang lebih rendah akan memicu terjadinya serangan WBC (Subroto et al. 1992). Secara umum penurunan suhu udara rata-rata, suhu udara maksimum dan suhu udara minimum di ketiga kabupaten terjadi pada bulan Febuari – Maret dan Juli – Agustus, dimana pada bulan-bulan tersebut muncul serangan WBC. Gambar fluktuasi suhu udara dan luas serangan dapat dilihat pada Lampiran 3. Suhu udara di Kabupaten Pekalongan merupakan suhu yang paling sesuai untuk munculnya WBC. Suhu antara 28-300C dan suhu malam hari atau suhu minimum yang rendah adalah suhu yang paling sesuai untuk pemunculan sejumlah serangga dewasa (Subroto et al. 1992). Oleh karena itu, luas serangan di Kabupaten Pekalongan lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Tegal dan Cilacap.
pekembangan WBC lebih baik dengan kelembaban nisbi di bawah 80% daripada kelembaban diatas 80% (IRRI 1976 dalam Baco 1984). Pada Gambar 13 terlihat pada bulan Juli-Agustus di Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Tegal berada di bawah 80%, sehingga luas serangan lebih tinggi bila dibandingkan Kabupaten Cilacap pada bulan tersebut. Sedangkan pada bulan FebuariMaret, kelembaban di Kabupaten Cilacap lebih rendah dibandingkan Kabuapeten Tegal dan Pekalongan. Sehingga pada bulan tersebut luas serangan di Kabupaten Cilacap lebih tinggi. Gambar fluktuasi kelembaban udara dengan luas serangan WBC dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 14 Curah hujan rata-rata bulanan (2003-2009).
Gambar 13 Kelembaban udara rata-rata bulanan (2003-2009). Kelembaban udara Kabupaten Cilacap memiliki pola yang berbeda dengan kedua kabupaten lainnya seperti terlihat pada Gambar 13. Kabupaten Cilacap memiliki kelembaban yang hampir konstan. Penurunan dan kenaikan kelembaban tidak terlalu signifikan. Hal ini berbeda dengan Kabupaten Pekalongan dan Tegal yang memiliki pola hampir sama yaitu kelembaban akan menurun saat musim kemarau. WBC sangat menyukai lingkungan yang memiliki kelembaban tinggi dengan RH optimal berkisar antara 70-85% (Hino et al. 1970 dalam Alissa 1990). Kabupaten Tegal Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Cilacap memiliki kelembaban yang optimum untuk hidup WBC, yaitu sekitar 70-85%. Sebuah penelitian menyatakan bahwa
Pada Gambar 14 terlihat bahwa curah hujan di Kabupaten Cilacap lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Pekalongan dan Tegal. Curah hujan yang tinggi belum tentu dapat mejadikan serangan WBC tinggi. Karena curah hujan yang tinggi juga dapat membuat tergenangnya air di sawah melebihi kapasitas. Hal ini juga dapat mempengaruhi WBC dimana tetesan air hujan yang berlebihan langsung dapat menghanyutkan serangga-serangga yang berukuran kecil (Sunjaya 1970). Oleh karena itu, curah hujan di Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pekalongan lebih mendukung dalam perkembangan WBC. Curah hujan di Kabupaten Pekalongan dan Tegal tidak terlalu tinggi seperti Kabupaten Cilacap. Gambar fluktuasi curah hujan dengan luas serangan WBC dapat dilihat pada Lampiran 5.
4.4
Analisis Regresi Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan keeratan dari dua variabel. Berikut adalah analisis regresi masing-masing faktor iklim dan semua faktor iklim yang dianalisis di setiap wilayah. Faktor iklim merupakan salah satu faktor yang
11
mempengaruhi luas serangan WBC. Oleh karena itu, hasil dari analisis regresi faktor iklim ini adalah persentase pengaruh faktor iklim terhadap luas serangan WBC. Jika analisis regresi faktor iklim di sebuah kabupaten rendah maka terdapat faktor lain di luar faktor iklim yang mempengaruhi luas serangan WBC. 4.4.1 Cilacap Hubungan antara faktor iklim dengan luas serangan WBC pada Kabupaten Cilacap terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis regresi di Kabupaten Cilacap memiliki pengaruh iklim yang cukup rendah. Karena banyaknya pencilan data disebabkan oleh banyaknya pengaruh faktor lain selain faktor iklim yang mempengaruhi besarnya luas serangan. Berikut adalah hasil regresi luas serangan WBC dan faktor iklim di Kabupaten Cilacap. Tabel 5 Nilai R2 luas serangan dengan faktor iklim Kabupaten Cilacap. Unsur Iklim Suhu rata-rata (Trata) Suhu maksimum (Tmax) Suhu minimum (Tmin) Kelembaban udara (RH) Curah hujan musim hujan (CHMH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Semua Faktor iklim
Tanpa lag
Lag 1
Lag 2
2.0%
3.6%
0.8%
3.7%
4.4%
1.4%
1.9%
3.1%
1.3%
4.6%
0.7%
1.9%
0.0%
1.3%
0.0%
8.3%
0.0%
0.5%
6.1%
6.1%
8.6%
244 - 21.1 Trata + 0.456 Trata2. Pengaruh suhu udara rata-rata terhadap luas serangan WBC dapat dilihat pada hasil trend line grafik (Gambar 15), luas serangan WBC semakin naik saat suhu udara semakin tinggi. Serangan WBC tingggi saat suhu udara di Kabupaten Cilacap tinggi. Pada gambar terlihat sebagian besar WBC dapat berkembang dengan baik pada kisaran suhu antara 27-28 oC.
Gambar 16 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu maksimum (lag 1) di Kabupaten Cilacap. Hubungan paling erat suhu maksimum dengan luas serangan terjadi pada lag 1 saat WBC masih menjadi nimfa. Hal ini berarti suhu maksimum lebih mempengaruhi luas serangan WBC pada saat masih menjadi nimfa. R2 yang didapat saat lag 1 sebesar 4.4 % dengan LS = 78 - 7.41 Tmax + 0.164 Tmax2. Pada gambar 16 terlihat luas serangan tinggi saat suhu maksimum atau suhu siang hari disekitar 32oC. Luas serangan WBC cenderung tinggi saat suhu maksimum di Kabupaten Cilacap tinggi.
Gambar 17 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu minimum (lag 1) di Kabupaten Cilacap. Gambar 15 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu rata-rata (lag 1) di Kabupaten Cilacap. Faktor suhu rata-rata di Kabupaten cilacap memiliki hubungan paling erat dengan luas serangan saat dilakukan pada analisis lag 1 yaitu pada saat WBC masih berupa nimfa dengan R2 sebesar 3.6% dan persamaan LS =
Hubungan terbaik pengaruh suhu minimum terhadap luas serangan WBC terjadi pada saat lag 1 yaitu WBC masih berupa nimfa. Suhu minimum lebih mempengaruhi luas serangan pada saat WBC masih menjadi nimfa. Nilai R2 pada hubungan luas serangan WBC dan suhu minimum sebesar 3.1% dan LS = 265 - 25.51 Tmin + 0.614 Tmin2. Sebagian
12
besar luas serangan berada pada suhu 24-25 o C. Luas serangan WBC lebih sering terjadi jika suhu minimum di Kabupaten Cilacap tinggi.
Gambar 19 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim hujan (lag 1) di Kabupaten Cilacap. Gambar 18 Hubungan terbaik luas serangan dan kelembaban udara (tanpa lag) di Kabupaten Cilacap. Faktor kelembaban udara di Kabupaten Cilacap mempunyai hubungan paling erat saat dilakukan analisis tanpa lag yaitu pada saat WBC sudah menjadi serangga dewasa dengan nilai R2 sebesar 4.6% dan LS = - 4850 + 116.0 RH - 0.6928 RH2. Sehingga kelembaban WBC telah menjadi dewasa lebih mempengaruhi dari pada fase lain. Dari Gambar 18 terlihat bahwa luas serangan WBC di Kabupaten Cilacap selalu muncul pada tingkat kelembaban di daerah tersebut. Terjadi peningkatan serangan WBC saat kelembaban meningkat. Curah hujan pada musim hujan dan musim kemarau di Kabupaten Cilacap memberi pengaruh yang berbeda terhadap luas serangan WBC. Pada musim hujan pengaruh terbesar pada lag 1 dengan R2 sebesar 1.4 % dan LS = 11.80 - 0.01669 CH. Hal ini berarti CH pada musim hujan lebih mempengaruhi WBC masih menjadi nimfa dibanding fase lainnya. Pada musim kemarau pengaruh terbesar pada tanpa lag dengan R2 sebesar 8.3 % dan LS = 3.006 + 0.01522 CH. Hal ini berarti CH pada musim kemarau lebih mempengaruhi WBC dewasa dibanding fase lainnya. Berikut adalah gambar hubungan luas serangan WBC dan curah hujan di musim hujan dan musim kemarau.
Gambar 20 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim kemarau (tanpa lag) di Kabupaten Cilacap. Pada Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Luas serangan pada musim hujan akan cenderung menurun jika curah hujan terlalu tinggi. Karena curah hujan yang terlalu tinggi, akan terjadi limpasan di sawah yang mengakibatkan WBC kecil mati terbawa air. Sedangkan curah hujan pada musim kemarau, luas serangan cenderung naik. Ketersediaan air member pengaruh dalam perkembangan WBC. Musim kemarau yang basah atau sering terjadi hujan akan memicu terjadinya serangan WBC tinggi. Dalam analisis regresi linier berganda, pengaruh semua faktor iklim yang dianalisis secara bersama-sama mempunyai hubungan paling erat saat dilakukan analisis lag 2 yaitu pada saat WBC masih menjadi telur. Nilai R2 yang didapat pada analisis lag 2 sebesar 8.6% dengan persamaan LS = - 104 - 21.8 Trata + 7.31 Tmax + 17.0 Tmin - 0.0014 CH + 0.78 RH. Jadi pengaruh iklim lebih besar pada saat WBC masih menjadi telur. Pengaruh iklim di Kabupaten Cilacap kecil dapat disebabkan oleh banyaknya pengaruh faktor lain selain faktor iklim yang mempengaruhi besarnya luas serangan.
13
4.4.2 Pekalongan Hubungan antara faktor iklim dengan luas serangan WBC pada Kabupaten Pekalongan terlihat pada Tabel 6. Keeratan faktor iklim terhadap luas serangan di Kabupaten Pekalongan lebih tinggi daripada Kabupaten Cilacap. Berikut adalah hasil regresi luas serangan WBC dan faktor iklim di Kabupaten Pekalongan. Tabel 6. Nilai R2 Luas Serangan dengan Faktor Iklim Kabupaten Pekalongan. Unsur Iklim Suhu rata-rata (Trata) Suhu maksimum (Tmax) Suhu minimum (Tmin) Kelembaban udara (RH) Curah hujan musim hujan (CHMH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Semua Faktor iklim
Tanpa lag
Lag 1
Lag 2
3.0%
3.1%
2.5%
1.4%
4.6%
3.4%
9.6%
7.6%
3.3%
7.4%
7.5%
5.8%
0.9%
0.6%
5.6%
0.0%
0.1%
3.6%
12.8%
11.1%
15.1%
Gambar 22 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu maksimum (lag 1) di Kabupaten Pekalongan. Hubungan terbaik untuk pengaruh suhu maksimum terhadap luas serangan WBC didapat pada analisis waktu tunda pertama (lag 1) yaitu pada saat WBC berada pada fase nimfa. Nilai R2 pada lag 1 sebesar 4.6 % dengan LS = - 12038 + 765.1 Tmax - 12.10 Tmax2. Suhu maksimum lebih mempengaruhi perkembangan WBC saat mengalami fase nimfa daripada fase lainnya. Pada Gambar 22, terlihat jelas pengaruh kuadratik, luas serangan semakin tinggi saat mendekati suhu 31-32oC.
Gambar 21 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu rata-rata (lag 1) di Kabupaten Pekalongan.
Gambar 23 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu minimum (tanpa lag) di Kabupaten Pekalongan.
Faktor suhu rata-rata yang paling mempengaruhi luas serangan WBC di Kabupaten Pekalongan yaitu pada saat WBC masih menjadi nimfa (lag 1). Persamaan regresi linier kuadratik yang di dapat pada lag 1 adalah LS = - 18674 + 1333 Trata - 23.72 Trata2 dengan R2 sebesar 3.1%. Suhu rata-rata lebih mempengaruhi pada saat WBC masih mengalami fase nimfa dibandingkan fase lain. Dari Gambar 21, terlihat bahwa luas serangan WBC lebih sering terjadi dan bahkan cenderung tinggi saat suhu rata-rata di 28oC.
Di Kabupaten Pekalongan, suhu minimum memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan suhu maksimum dan suhu rata-rata. Hubungan paling erat dilakukan analisis tanpa lag yaitu saat WBC telah menjadi serangga dewasa (imago) dengan R2 sebesar 9.6% dengan persamaan LS = - 1340 + 154.4 Tmin - 4.081 Tmin2. Dari Gambar 23, suhu minimum di Kabupaten Pekalongan lebih memicu tingginya luas serangan WBC saat suhu minimum di daerah tersebut rendah.
14
Gambar 24 Hubungan terbaik luas serangan dan kelembaban udara (lag 1) di Kabupaten Pekalongan.
Gambar 26 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim kemarau (lag 2) di Kabupaten Pekalongan.
Faktor kelembaban udara di Kabupaten Pekalongan memiliki pengaruh paling kuat terhadap luas serangan pada saat WBC masih menjadi nimfa atau analisis lag 1. Hal ini berarti kelembaba udara lebih mempengaruhi fase nimfa WBC daripada fase lain. Nilai R2 pada saat lag 1 sebesar 7.5 % dan persamaan LS = - 5756 + 147.8 RH - 0.9380 RH2. Dari Gambar 24 terlihat bahwa luas serangan WBC lebih sering terjadi dan cenderung tinggi saat kelembaban udara mendekati kelembaban 80%. Kelambaban di bawah 80% lebih memicu munculnya WBC daripada kelembaban di atas 80%. Curah hujan di Kabupaten Pekalongan lebih berpengaruh pada fase telur dibandingkan fase lainnya (lag 2) baik pada musim kemarau dan musim hujan. Pada musim kemarau nilai R2 yang diperoleh sebesar 3.6% dengan LS = 51.14 + 0.6732 CH. Pada musim hujan R2 yang diperoleh sebesar 5.6% dengan LS = 5.665 - 0.01168 CH. Serangan WBC di Kabupaten Pekalongan lebih sering terjadi pada musim kemarau. Berikut adalah gambar hubungan luas serangan WBC dan curah hujan di musim hujan dan musim kemarau.
Pada Gambar 25 dan Gambar 26 terlihat perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Luas serangan pada musim hujan akan cenderung menurun jika curah hujan terlalu tinggi. Karena curah hujan yang terlalu tinggi, akan terjadi limpasan di sawah yang mengakibatkan telur dan WBC mati terbawa air. Sedangkan curah hujan pada musim kemarau, luas serangan cenderung naik. Musim kemarau yang basah atau sering terjadi hujan akan memicu terjadinya serangan WBC. Dalam analisis regresi linier berganda, pengaruh semua faktor iklim yang dianalisis secara bersama-sama terhadap luas serangan WBC di Kabupaten Pekalongan mempunyai hubungan paling erat saat dilakukan analisis lag 2 yaitu pada saat WBC masih menjadi telur. Nilai R2 diperoleh cukup besar yaitu sebesar 15.1% dan persamaan LS = - 961 + 64.9 Trata - 33.6 Tmax - 17.6 Tmin - 0.358 CH + 8.69 RH. Faktor iklim di Kabupaten Pekalongan lebih mempengaruhi perkembangan WBC pada saat menjadi telur.
Gambar 25 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim hujan (lag 2) di Kabupaten Pekalongan.
4.4.3 Tegal Hubungan antara faktor iklim dengan luas serangan WBC pada Kabupaten Pekalongan terlihat pada Tabel 4. Pengaruh iklim terhadap perkembangan WBC di Tegal lebih tinggi daripada di Pekalongan dan Cilacap. Hal ini disebabkan pencilan data luas serangan WBC dan faktor iklim di Kabupaten Tegal lebih kecil. Pencilan data ini mewakili pengaruh faktor lainselain faktor iklim yang mempengaruhi WBC. Berikut adalah hasil regresi luas serangan WBC dan faktor iklim di Kabupaten Tegal.
15
Tabel 7. Nilai R2 Luas Serangan dengan Faktor Iklim Kabupaten Tegal. Unsur Iklim Suhu rata-rata (Trata) Suhu maksimum (Tmax) Suhu minimum (Tmin) Kelembaban udara (RH) Curah hujan musim hujan (CHMH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Semua Faktor iklim
Tanpa lag
Lag 1
Lag 2
4.2%
0.8%
1.3%
4.0%
5.6%
4.5%
6.7%
3.7%
0.0%
3.5%
5.1%
8.4%
20.5%
0.5%
8.9%
3.8%
2.7%
0.1%
11.5%
20.2%
6.1%
Gambar 28 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu maksimum (lag 1) di Kabupaten Tegal. Hubungan paling erat suhu maksimum dengan luas serangan terjadi pada saat WBC masih berupa nimfa yaitu pada saat lag 1. Suhu maksimum lebih mempengaruhi perkembangan WBC pada fase nimfa dibandingkan fase lainnya. R2 yang didapat sebesar 5.6 % dengan LS = - 17499 + 1128 Tmax - 18.15 Tmax2. Pada Gambar 28 terlihat serangan WBC seing terjadi pada suhu maksimum yang tinggi. Sebagian besar luas serangan cendrung pada suhu maksimum 3132 oC.
Gambar 27 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu rata-rata (tanpa lag) di Kabupaten Tegal. Faktor suhu rata-rata yang paling mempengaruhi luas serangan WBC di Kabupaten Tegal yaitu pada saat dilakukan analisis tanpa lag atau pada saat WBC telah dewasa (imago). Jadi suhu rata-rata di Kabupaten Tegal lebih mempengaruhi perkembangan WBC fase imago dibanding fase lain. Persamaan regresi linier kuadratik yang didapat pada saat tanpa lag adalah LS = - 17006 + 1275 Trata - 23.85 Trata2 dengan R2 sebesar 4.2%. Pada Gambar 27, terlihat serangan WBC di Kabupaten Tegal terjadi pada suhu 26-28oC. Luas serangan cenderung tinggi jika suhu rata-rata di Kabupaten Tegal mendekati suhu 27oC.
Gambar 29 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu minimum (tanpa lag) di Kabupaten Tegal. Di Kabupaten Tegal, suhu minimum memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan suhu maksimum dan suhu ratarata. Hubungan paling erat saat dilakukan analisis tanpa lag yaitu saat terjadi serangan dengan R2 sebesar 6.7% dan persamaan LS = - 4649 + 407.1 Tmin - 8.851 Tmin2. Pengaruh suhu minimum tertinggi pada saat WBC sudah menjadi serangga dewasa bila dibandingkan fase lainnya. Dari Gambar 29, suhu minimum di Kabupaten Tegal lebih memicu tingginya luas serangan WBC saat suhu minimum di daerah tersebut rendah.
16
Gambar 30 Hubungan terbaik luas serangan dan kelembaban udara (lag 2) di Kabupaten Tegal.
Gambar 32 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim kemarau (tanpa lag) di Kabupaten Tegal.
Faktor kelembaban udara di Kabupaten Pekalongan memiliki pengaruh paling kuat terhadap luas serangan pada saat dilakukan analisis lag 2 dimana kelembaban udara lebih mempengaruhi WBC saat masih menjadi fase telur. Nilai R2 pada saat lag 2 sebesar 8.4 % dan persamaan LS = - 2987 + 76.68 RH 0.4863 RH2. Dari gambar 30 terlihat bahwa luas serangan WBC lebih sering terjadi dan cenderung tinggi saat kelembaban udara di Kabupaten Tegal mendekati kelembaban 80%. Kelambaban di bawah 80% lebih memicu munculnya serangan WBC. Curah hujan lebih mempengaruhi perkembangan WBC pada saat sudah menjadi imago baik pada musim kemarau dan musim hujan. Pada musim kemarau nilai R2 yang diperoleh sebesar 3.7% dengan LS = 33.94 0.2295 CH. Pada musim hujan R2 yang diperoleh sebesar 20.5% dengan LS = 8.508 0.05172 CH. Serangan WBC di Kabupaten Tegal lebih sering terjadi pada musim kemarau. Besarnya R2 di musim hujan disebabkan sedikitnya data yang digunakan dalam analisis, karena sedikitnya kejadian serangan pada musim hujan.
Pada Gambar 31 dan Gambar 32 terlihat adanya kesamaan antara musim hujan dan musim kemarau, luas serangan cenderung turun jika curah hujan tinggi. Pada musim kemarau, serangan WBC terus muncul walaupun tidak terjadi hujan atau curah hujan 0. Hal ini disebabkan karena para petani menggunakan irigrasi jika tidak ada hujan. Sehingga WBC masih bisa hidup optimal walaupun tidak terjadi hujan. Dalam analisis regresi linier berganda, pengaruh semua faktor iklim yang dianalisis secara bersama-sama terhadap luas serangan WBC di Kabupaten Tegal mempunyai hubungan paling erat saat dilakukan analisis lag 1 yaitu pada saat WBC masih menjadi nimfa. Jadi pengaruh iklim di Kabupaten Tegal pada saat WBC masih mengalami fase nimfa lebih mempengaruhi terjadinya serangan WBC daripada fase lainnya. Nilai R2 diperoleh cukup besar yaitu sebesar 20.2% dan persamaan LS = - 38 + 90.2 Trata - 36.0 Tmax - 61.6 Tmin - 0.146 CH + 3.11 RH.
Gambar 31 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim hujan (tanpa lag) di Kabupaten Tegal.
17
Tabel 8 Hasil analisis regresi terbaik antara luas serangan dan masing-masing faktor iklim. No Faktor Iklim Kabupaten Koefesien Persamaan determinasi (R2) 1. Suhu rata-rata (Trata) Tegal 4.2 % (Tanpa lag) LS = - 17006 + 1275 Trata - 23.85 Trata2 2. Suhu maksimum (Tmax) Tegal 5.6 % (Lag 1) LS = - 17499 + 1128 Tmax - 18.15 Tmax2 3. Suhu minimum (Tmin) Pekalongan 9.7 % (Tanpa lag) LS = - 1340 + 154.4 Tmin - 4.081 Tmin2 4. Kelembaban udara (RH) Tegal 8.4 % (Lag 2) LS = - 2987 + 76.68 RH - 0.4863 RH2 5. Curah Hujan Musim Tegal 20.5 % (Tanpa lag) LS = 8.508 - 0.05172 CH Hujan (CHMH) 6. Curah Hujan Musim Cilacap 8.3 % (Tanpa lag) LS = 3.006 + 0.01522 CH Kemarau (CHMK) Tabel 9 Hasil analisis regresi linier berganda antara luas serangan dan lima faktor iklim yang berperan terhadap luas serangan. No Kabupaten Koefesien determinasi (R2) Persamaan 1.
Cilacap
8.6% (lag 2)
LS = - 104 - 21.8 Trata + 7.31 Tmax + 17.0 Tmin - 0.0014 CH + 0.78 RH
2.
Pekalongan
15.1% (lag 2)
LS = - 961 + 64.9 Trata - 33.6 Tmax - 17.6 Tmin - 0.358 CH + 8.69 RH
3.
Tegal
20.2% (lag 1)
LS = - 38 + 90.2 Trata - 36.0 Tmax - 61.6 Tmin - 0.146 CH + 3.11 RH
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Di setiap kabupaten fluktuasi faktor iklim mempengaruhi luas serangan WBC secara berbeda. Luas serangan WBC yang paling sering dan paling luas terdapat pada Kabupaten Pekalongan. Setiap faktor iklim memberi pengaruh yang berbeda terhadap luas serangan. Setiap stadia (fase) hidup WBC juga mendapat pengaruh faktor iklim yang berbeda pada tiap kabupaten. Persamaan regresi yang dihasilkan belum dapat menjelaskan pengaruh iklim terhadap luas serangan. Beberapa faktor lain selain faktor iklim yang mempengaruhi besarnya luas serangan misalnya musuh alami, tata cara pengolahan pertanian, varietas tanaman dan lain-lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Suhu rata-rata memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 4.2%. Suhu maksimum memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 5.6%. Suhu minimum memiliki pengaruh tertinggi di
Kabupaten Pekalongan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 9.7%. Kelembaban udara memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 8.4%. Curah hujan musim hujan memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 20.5%. Curah hujan musim kemarau memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Cilacap dengan Koefisien determinasi (R2) sebesar 8.3%. Hubungan keeratan terbesar antara iklim dan tingkat serangan WBC menurut analisis regresi berganda terdapat di Kabupaten Tegal. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan yaitu 20.2%, yang artinya faktor iklim memberi kontribusi 20.2% perkembangan wereng batang coklat di Kabupaten Tegal. Koefisien determinasi (R2) didapat saat dilakukan analisis lag 1 (stadia telur). 5.2 Saran Analisis akan lebih baik jika dilengkapi data-data lain seperti data populasi WBC, luas tanam tiap musim dan faktor iklim lain yang mempengaruhi WBC sehingga dapat lebih