2 Tumbuh Bersama PPPGL A dream does not become reality through magic. It take sweat, determination, and hardwork. —Colin Powell-
13
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
“Perjodohan” dengan Laut Sebenarnya saya tidak pernah bercita-cita bekerja di laut. Cita-cita saya semasa SMA malah bekerja di Telkom. Karena itu, selepas SMA saya mengambil kursus singkat operator radio telekomunikasi, sekarang mungkin setara dengan level D3 atau D1. Namun saya tidak melanjutkan karena ternyata akan ditempatkan di luar Jawa. Kemudian saya melanjutkan sekolah kedinasan ke Akademi Sandi Negara karena saya berminat menjadi “sandi-man”, yaitu orang yang bertugas me mecahkan sandi-sandi diplomatik. Namun ternyata saya juga tidak mampu bertahan lama di sana. Beban kerjanya sangat berat, membutuhkan orang yang cerdas dengan daya ingat yang kuat, serta berada di bawah tekanan sumpah jabatan untuk selalu menjaga rahasia negara. Belum lagi masalah transportasi dari tempat tinggal ke tempat kuliah yang sangat jauh di bilangan Latuharhari. Saya sempat ditempatkan menjadi pegawai harian di Departemen Luar Negeri, namun juga tidak kerasan karena meja kerjapun tidak diberikan. Akhirnya pada 1976 saya mencoba mendaftar ke ITB. Alhamdulillah, saya diterima di jurusan Geofisika & Meteorologi. Sengaja saya memilih departemen yang tidak banyak peminatnya karena tidak ingin bertemu teman-teman seSMA yang jauh lebih dulu menjadi mahasiswa senior. Jumlah mahasiswa di angkatan saya saat itu hanya 5 orang, jauh lebih kecil dibandingkan de partemen-departemen lain yang mahasiswanya bisa berjumlah 200 orang, atau minimal 50-60 orang. Akhirnya pada April 1982, saya diwisuda sebagai sarjana Geofisika dengan spesialisasi Oseanografi. Semasa mahasiswa, saya juga aktif di organisasi kemahasiswaan, antara lain Dewan Mahasiswa dan Paduan Suara Mahasiswa (PSM). Di Dewan Mahasiswa waktu itu saya memang tidak memegang jabatan-jabatan penting. Namun saya ikut terlibat dalam berbagai rapat kerja, termasuk penyusunan dan pe nyebaran buku putih.
14
Tumbuh Bersama PPPGL
Dari buku putih itu saya menarik sebuah pelajaran penting. Bukan masalah KKN rezim Orde Baru waktu itu, melainkan bahwa para pemimpin kita (ter masuk Soeharto sendiri—peny.) ternyata dahulunya adalah orang-orang kecil, kalangan bawah, yang telah mengalami berbagai ujian hidup. Berbeda sekali dengan kenyataan di masyarakat saat itu, yang seolah-olah setiap orang tidak bisa lepas dari statusnya sejak lahir. Seakan-akan status itu, seperti misalnya anak petani kecil, telah menjadi takdirnya akan menjadi petani seumur hidup. Setelah membaca buku putih itu, saya tidak pernah berminat menjadi pe gawai swasta. Ternyata, belum lagi lulus, 1 Januari 1982 saya sudah diminta bekerja di P3G (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi). Waktu itu mereka memang sangat membutuhkan tenaga untuk membuka seksi-seksi baru yaitu Seksi Geofisika Marin dan Seksi Bidang Geologi Marin.
Merintis Bidang Baru Sejarah Singkat PPPGL Sejarah penelitian geologi marin atau kelautan di Indonesia, diawali oleh reorganisasi Direktorat Geologi pada tahun 1979, yaitu dengan dibentuknya Puslitbang Geologi (P3G). P3G kemudian mulai menggarap survei area laut, yang ditandai pembentukan dua seksi baru (setingkat Eselon IV) yaitu Seksi Geologi Marin dan Seksi Geofisika Marin. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1092/1984 tanggal 6 Maret 1984, didirikanlah organisasi baru setingkat Eselon II, yaitu Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL). Organisasi baru ini berintikan kedua seksi tersebut. PPGL secara struktural berada di bawah Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Pada tahun 1994, terjadi perubahan struktural di Departemen ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), sehingga PPGL berada di bawah Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral. PPGL dikembangkan lagi menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL), berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 150/2001. Setelah itu, terjadi kembali reoganisasi, dengan diterbitkannya Per
15
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
aturan Menteri ESDM No. 0030/2005. Berdasarkan peraturan tersebut PPPGL berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral. PPPGL juga mendapat tambahan tugas pokok dan fungsi baru yaitu: (1) prioritas kegiatan yang meliputi pengembangan litbang di kawasan pantai dan laut; (2) pengembangan kelembagaan menuju kemandirian; dan (3) pengembangan pelayanan jasa riset dan teknologi. Pada tahun 2010, PPPGL kembali mengalami perubahan organisasi, dimana Departemen ESDM menjadi Kementerian ESDM. Dalam hal ini, PPPGL tetap berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM. Fungsi Badan Litbang ESDM adalah sebagai penunjang dalam upaya meningkatkan in vestasi sektor ESDM. Oleh sebab itu, PPPGL juga mempunyai fungsi me laksanakan litbang bidang geologi kelautan di seluruh wilayah Laut Indonesia, dalam rangka menunjang pembangunan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral.
Doing is Learning, Learning by Doing Meskipun merupakan seksi baru, Geofisika Marin saat itu menjadi institusi pertama di Indonesia yang memiliki alat survei seismik bawah laut saat itu. Alat itu, sebagaimana banyak alat canggih lain yang kita dimiliki, dibeli dengan dana loan/pinjaman ADB (Asian Development Bank). Karena dananya berasal dari ADB, otomatis penggunaannya harus mengikuti aturan-aturan mereka, yang salah satunya adalah: pembelian alat tidak boleh mencakup training (pelatihan). Akibatnya, banyak sekali peralatan canggih yang idle, karena tidak ada yang terlatih menggunakannya. Selain alat seismik tersebut, juga ada misalnya komputer UNIVAC (Universal Automatic Computer), yang berbasis binary aritmatic. Tidak ada satupun pegawai yang mampu mengoperasikannya, karena saat itu komputer IBM yang memiliki upward compatibility lebih populer digunakan. Demikian pula halnya, saat Kami di bidang Geofisika Marin mencoba meng hidupkan alat seismik itu dengan metode learning by doing. Buku manualnya kami baca bersama-sama selama hampir sebulan. Kami bolak-balik mencoba mengoperasikan alat itu. Jika tidak berhasil, kami buka lagi manualnya. Demikian seterusnya. Akhirnya 2-3 bulan kemudian alat itu kami coba di
16
Tumbuh Bersama PPPGL
perairan Cirebon. Kami coba memasang alat seismik tersebut di atas kapal sewaan. Sialnya, alat itu tidak juga berfungsi hampir selama dua minggu. Ternyata masalahnya sepele, yaitu internal lock yang kami biarkan terbuka. Jadi, pada alat tersebut ada pintu yang harus selalu ditutup, namun sengaja kami buka karena takut alatnya terlalu panas. Setelah pintunya ditutup, alat tersebut berjalan dengan baik. Untungnya, pada saat alat tersebut berhasil dioperasikan, Kepala Bidang Geofisika Marin dari Bandung datang untuk menginspeksi uji-coba tersebut. Semangat kami meningkat karena mampu memperlihatkan bahwa alat tersebut berjalan dengan baik di hadapan beliau. Berita pun tersebar bahwa kami sudah mampu mengoperasikan alat seismic sparker and uniboom. Sayangnya, karena tidak tersedianya dana untuk survei, alat seismik tersebut digudangkan kembali. Namun ternyata berita keberhasilan kami ini sampai juga ke PT Timah yang memiliki alat yang sama. Selama ini mereka harus menyewa tenaga konsultan asing dari Prancis, Australia atau Amerika untuk mengoperasikannya. Begitu mengetahui kami mampu mengoperasikan alat seismik tersebut, mereka mengajak kami untuk melakukan survei timah bersama di Bangka, dan menanggung semua biayanya. Itulah awal survei eksplorasi timah di laut di Indonesia yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Kerjasama dengan PT Timah selanjutnya menjadi program kemitraan berkelanjutan. Pada 6 Maret 1984, dibentuk Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL) dengan level Eselon II. PPGL adalah hasil penggabungan Seksi Geofisika Marin dengan Seksi Geologi Marin. Sebelumnya, kedua seksi ini berada pada level Eselon IV. Sebenarnya reorganisasi ini agak janggal secara struktural. Biasanya, hasil penggabungan dua eselon IV lazimnya hanya menghasilkan eselon III. Namun ke-tidak lazim-an ini justru membuat kami semakin bangga dan bersemangat, walaupun kami dituntut untuk membuktikan bahwa kami layak berada pada organisasi eselon II. Pada saat ditetapkannya PPGL sebagai unit tersendiri, kami masih belum memiliki bangunan dan personel khusus, sehingga masih menginduk di kantor P3G (Jl. Diponegoro Bandung—peny.). Barulah pada tahun 1986, gedung PPGL yang kini berlokasi di Jl. dr. Djunjunan atau Jalan Terusan
17
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Pasteur, rampung dibangun. Ketika kami pindah ke gedung barupun, per sonel masih sangat terbatas. Kami masih mencomot tenaga dari sana sini. Demikian pula dengan peralatan fasilitas survei, juga masih minim.
Meluaskan Kiprah, Menggali Perspektif Sebagai organisasi baru, PPGL saat itu masih menganut model kepemimpinan top-down. Sejak kami berdiri sampai sekarang, model top-down seperti itu masih saya rasakan. Waktu itu, apa yang kami kerjakan di PPGL sepenuhnya adalah turunan dari atas. Semua tugas yang diberikan kepada kami memang selalu dituntaskan dengan baik. Belum ada sama sekali keinginan untuk outward looking, atau membangun visi ke depan. Sehingga, hampir semua pekerjaan survei yang dilakukan adalah rutinitas. Mungkin saat itu kami me mang masih disibukkan dengan urusan-urusan internal dalam membenahi organisasi, mulai dari membentuk seksi, bidang, laboratorium dll. Belum ter pikir sama sekali misalnya, untuk suatu saat menjadi institusi terdepan dalam penelitian dan turut serta dalam penyelesaian isu-isu nasional. Kondisi tersebut saya rasakan berlangsung sejak tahun 1986 sampai tahun 2002. Selama jangka waktu itu sudah terjadi tiga kali pergantian Kapus (Kepala Pusat), mulai dari Pak Hartono, kemudian Pak Ismail Usna, dan akhirnya Pak Aswan Yasin. Karena kami sudah “tertata rapi” di bawah Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, akhirnya selama kurun waktu itu kegiatan PPGL benarbenar bersifat top down. Jika kami hanya ditugaskan mengerjakan selembar peta dalam setahun. Betul-betul hanya itu saja yang kami kerjakan, tidak ada upaya untuk mencoba meningkatkan kinerja lainnya, sehingga cukup peluang bagi kami untuk berkiprah di luar kantor. Oleh sebab itulah, pada waktu weekend, sabtu dan minggu, saya sering diminta membantu beberapa perusahaan penambang pasir laut untuk mereview naskah Amdal di Kepulauan Riau, selama tahun 1998-2001. Sebe lumnya, saya juga sempat menjadi konsultan Bakosurtanal (kini BIG: Badan Informasi Geospasial—peny.) yang sedang menggagas program Marine Resources Evaluation Program (MREP). MREP adalah program nasional untuk menata kawasan pantai di seluruh Indonesia. Saya menjadi konsultan karena di Bakosurtanal saat itu memerlukan tenaga ahli kelautan sebagai mitra
18
Tumbuh Bersama PPPGL
dalam menyusun konsep-konsep MREP. Selama itu juga Saya aktif membantu perusahaan-perusahaan swasta seperti Gamma Epsilon, Cwamas Bimantara, Kuarsa Hexagon, Soilens, PLN, Pertamina, dll., di luar jam kerja. Tahun 19921995, saya diajukan sebagai anggota panitia NTT (National Technical Team) di bawah BATAN, dalam kaitan pengawasan Feasibility Study tapak proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Lemahabang, Muria. Padahal, pada saat yang sama saya juga masih berstatus tenaga ahli yang diperbantukan kepada Kontraktor Jepang NEWJEC untuk melaksanakan kajian Offshore fault assessment untuk PLTN tersebut. Kiprah lainnya adalah secara aktif ikut serta dalam kepanitian nasional seperti keanggotaan UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names), bersama Departemen Kelautan dan Perikanan, DisHidros, BPPT, dan Bakosurtanal. Tugas PPGL pada kepanitiaan nasional ini adalah menyusun nama-nama geografis fitur-fitur bawah laut (underwater features) di seluruh perairan Indonesia, seperti nama gunung-gunungapi bawah laut, sesar, patahan, palung, cekungan, tinggian, paritan, punggungan, dsb. Kejadian penting lainnya yang membuat saya sempat terperangah adalah pada saat kunjungan seorang perwira tinggi dari Pusurta (Pusat Survei dan Pemetaan) ABRI. Nama beliau adalah Pak Adang, saya lupa nama lengkapnya, tetapi yang jelas beliau berpangkat Brigadir Jenderal. Waktu itu kami di PPGL sedang rapat, tiba-tiba kedatangan tamu dari Pusurta ABRI, hal yang datang mendadak. Beliau datang bersama mencari peta resmi. Ketika itu, tahun 1999, awal menghangatnya sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia. Malaysia tahun 1979 dalam petanya menarik garis batas dari tengah Pulau Sebatik membelok ke selatan tidak mengikuti lintang 10o LU, sehingga kedua pulau itu otomatis berada di bawah kedaulatan Malaysia. Langkah Malaysia ini dipermasalahkan oleh Pusurta ABRI. Karena itulah, Pusurta mencari institusi mana yang memiliki data perbatasan laut atau yang bertanggung jawab membuat peta laut nasional. Kami merasa bahwa sebetulnya isu nasional ini juga seharusnya menjadi concern PPGL. Namun ternyata PPGL sama sekali tidak dapat berkontribusi karena tidak memiliki data kawasan ini sama sekali. Kami merasa malu dan terpukul, sebagai institusi kelautan, kok tidak memiliki data di wilayahnya
19
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
sendiri. Hal inilah yang menginspirasi kami agar dalam program-program penelitian harus selalu memprioritaskan kawasan-kawasan yang merupakan isu-isu nasional. Demikian halnya, Bakosurtanal hanya memiliki peta topografi daratan, tidak memiliki peta geologi laut. Dishidros AL (Dinas Hidrografi) hanya punya peta batimetri untuk pelayaran (peta kedalaman dasar—peny.), juga tidak ada unsur geologinya. Oleh sebab itulah, diperlukan peta tematik dalam bentuk lain yang lebih informatif, dan menjadi peta rujukan yang lebih mudah dipahami, serta mencakup semua unsur-unsur peta yang diperlukan. Karena peristiwa itulah kami menjadi merasa tertantang. Ternyata kita punya masalah besar dalam batas wilayah kelautan. Sementara, institusi yang me miliki kewenangan di laut ternyata tidak punya apa-apa. Di kemudian hari, ketika akhirnya menjabat sebagai Kapus, program pertama saya adalah membuat peta batimetrik seluruh Indonesia dalam format yang lebih mudah dipahami. Peta tersebut sekarang secara formal telah dipakai antara lain oleh Lemhannas RI dan beberapa Perguruan Tinggi. Kemudian pada tahun 2002 itu pula, saya diikutsertakan oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) menjadi anggota panitia perundingan bilateral IndonesiaMalaysia, untuk sengketa lainnya, yaitu Blok migas Ambalat. Untuk pertama kalinya tim memperoleh tambahan technical issue yang menjadi kekuatan dalam diplomasi perundingan yaitu, bahwa blok migas Ambalat secara geologi adalah prolongation atau kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan (cocok dengan ketentuan pasal 76 UNCLOS 82 tentang Landas Kontinen). PPPGL telah secara meyakinkan memberikan bukti-bukti rekaman seismik yang menggambarkan proses sedimentasi cekungan Tarakan yang melampar sampai ke blok Ambalat. Sejak kiprah PPGL dalam menyiapkan kontribusi bukti-bukti saintifik ini, secara tidak disadari telah membawa kepada PPGL menuju era menggali perspektif yang berskala nasional dan internasional.
Menang dengan Karang Unarang Sebetulnya, pada tahun 2001, ketika Indonesia dikalahkan dalam sengketa Sipadan-Ligitan dengan Malaysia, harus diakui bahwa posisi kita lemah
20
Tumbuh Bersama PPPGL
dalam bukti-bukti kepemilikan, salah satunya adalah keberadaan titik dasar (base point). Kelemahan pertama, berdasarkan hasil penelusuran titik-titik triangulasi yang ada di kedua pulau tersebut, ternyata letaknya bukan di bagian utara, tetapi di pantai selatan pulau, artinya justru menghadap ke wilayah Indonesia sendiri. Oleh sebab itulah, kedua titik ini tidak bisa dijadikan titik pangkal untuk manarik batas wilayah teritorial. Kelemahan kedua adalah paska keputusan Mahkaman Internasional 2001, tentang Sipadan dan Ligitan, kita tidak segera merevisi perundangan terkait, mengganti atau memindahkan kedua titik pangkal Sipadan dan Ligitan. Konsekuensinya adalah ketika blok migas Ambalat mulai memanas, justru pihak Malaysia me manfaatkan kelemahan ini. Mereka justru menggunakan perundangan kita yaitu Peraturan Pemerintah No. 38/2002 yang masih mencantumkan kedua titik pangkal di Sipadan dan Ligitan. Akibatnya, pada saat itu Malaysia secara leluasa menarik garis ekuidistan (equidistance) landas kontinennya, sehingga mencaplok blok Ambalat. Saya termasuk yang mengusulkan solusi untuk melawan klaim Malaysia, yaitu bahwa Indonesia belum merevisi dua titik terluar sebagai ganti SipadanLigitan. Titik terluar yang sebaiknya kita ambil sebagai ganti Sipadan-Ligitan adalah di Karang Unarang. Jika Karang Unarang menjadi dua titik terluar, maka wilayah teritorial Indonesia di peta akan lumayan menjorok sedikit ke utara, sehingga sebagian besar blok Ambalat akan tetap menjadi bagian wilayah Landas Kontinen Indonesia. Keberadaan Karang Unarang pada peta sebenarnya bukan island (pulau) melainkan tidal elevation. Maksudnya, dia hanya kadang-kadang muncul ke permukaan ketika ketinggian permukaan laut surut, kedalamannya 1,2 m di bawah permukaan laut. Dalam kasus ini, PPPGL diminta untuk “me munculkan” karang tersebut sebagai pulau. Jika berhasil muncul sebagai pulau, barulah Karang Unarang dapat ditetapkan secara sah sebagai titik dasar terluar pengganti dalam peta nasional kita. Dengan demikian, barulah kita bisa menarik garis 12 mil dari titik Karang Unarang ke arah luar, sebagai batas teritorial, 200 mil sebagai zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen Indonesia di luar 200 mil.
21
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Tekad dan prinsip kita saat itu adalah: petakan Karang Unarang. KSAL di hadapan kami saat itu dengan tegas menyatakan, “Pokoknya saya tidak mau tahu, Karang Unarang harus muncul menjadi pulau, saya tugaskan PPGL”. Berdasarkan data side scan sonar, saya memberanikan diri menyatakan bah wa Karang Unarang dulu pernah muncul sebagai pulau. Dari data side scan sonar, saya menemukan dua hal penting di daerah Karang Unarang. Pertama, terdapatnya bongkahan-bongkahan terumbu karang sejenis Acropora yang tertumpuk. Berarti dulunya bongkahan-bongkahan itu tersusun ke atas menjadi satu tubuh terumbu karang yang utuh. Kedua, endapan pasir disekitarnya memperlihatkan butiran well sorted, membulat, tidak lagi bersudut. Berarti butiran-butiran pasir ini sudah ditraksi bolak-balik dan terangkut oleh gelombang dan arus laut pasang surut. Saya ingat, setelah presentasi di hadapan KSAL, saya kemudian diundang sebagi pembicara di Hotel Sheraton. Di sana saya melakukan presentasi di hadapan tim teknik Malaysia dan para konsultannya dari Royal Admiralty, Inggris. Sejak presentasi di hadapan mereka itu, sampai sekarang Malaysia belum berani mengklaim lagi blok Ambalat secara teknik. Yang jelas, Bukan kalah-menang yang kita perebutkan, namun status yang jelas dalam perundingan ini. Sejak saat itu, nampaknya Malaysia tidak pernah lagi mengungkit-ungkit penyelesaian klaim ini. Mereka tahu bahwa Indonesia akan menetapkan Karang Unarang sebagai titik dasar terluar untuk menarik garis batas wilayah. Bagaimana sikap Malaysia ke depan, saya belum tahu. Yang jelas sampai sekarang saya tidak pernah lagi mendengar kelanjutan tim perundingan tersebut.
Dari Perspektif, Menjadi Paradigma Pada tahun 2002, saya ditunjuk sebagai Kepala Pusat (Kapus) PPPGL. Se orang Kapus menurut keyakinan saya adalah leader, bukan manager. Se harusnyalah, kelebihan seorang leader adalah pandangannya yang jauh ke depan, dan keberaniannya mengambil risiko atas langkah-langkah yang di ambil. Perbedaan gaya kepemimpinan seorang manager dan leader adalah: “Manager accepts the status quo; but the Leader challenges it, and has a longrange perspective”.
22
Tumbuh Bersama PPPGL
Oleh sebab itulah, dalam mencapai misi organisasi PPPGL, Kepala Pusat Yang paling berperan dalam juga berfungsi ganda sebagai pelopor menentukan seberapa cepat paling depan untuk mencapai tujuan kereta api melaju adalah yang diidamkan (inspired result). Untuk gerbong-gerbongnya, bukan mendapatkan kepercayaan stakeholder lokomotifnya asing" (pemangku kepentingan) maka Kepala Pusat harus sering melakukan road show mengunjungi institusi serta perusahaan terkait. Ia juga dapat berinisiatif mengundang kehadiran mereka ke PPPGL untuk melihat langsung “etalase” atau “show room” kemampuan yang dimiliki PPPGL sehingga membuka peluang kerjasama yang saling menguntungkan. Sebagai leader, saya berusaha mengubah paradigma PPPGL. Saya ubah paradigma yang semuanya serba top-down, serba rutin. Kebetulan pada tahun 2001, unit eselon I yang membawahi PPPGL berubah, dari Direktorat Jenderal Pertambangan Umum ke Badan Litbang ESDM. Saya menjelaskan kepada Kepala Balitbang, bahwa PPPGL adalah institusi yang unik tapi spesifik. Sebab tidak ada institusi kelautan yang dapat masuk ke berbagai sektor. Dalam permasalahan nuklir kami bisa masuk, di pertahanan kita terlibat, dalam hal batas wilayah kita juga berperan, dalam masalah landas kontinen apalagi, di bidang sumber daya alam yaitu mineral dan energi juga masuk. Lantas mengapa PPPGL tidak berkiprah? Kebetulan, dulu saya pernah mendapatkan sejenis training kepribadian dan motivasi, mungkin sekarang dikenal dengan konsep EQ (Emotional Quotient). Dalam training ini saya terkesan pada perumpamaan tentang perjalanan kereta api. Motivatornya bertanya kepada kami, “Agar kereta api mencapai kecepatan maksimalnya, bagian kereta yang mana yang paling menentukan: apakah lokomotifnya, gerbongnya, relnya, atau masinisnya?” Banyak orang memilih lokomotifnya, mungkin karena melihat kereta Shinkansen di Jepang. Namun ternyata, motivatornya menjelaskan bahwa yang paling menentukan kecepatan kereta adalah gerbongnya, yaitu gerbong yang paling rusak!!. Sehebat-hebatnya lokomotif, ternyata kecepatan maksimalnya
23
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
ditentukan oleh gerbong yang paling rusak. Saya sangat terkesan dengan Persyaratan utama suatu paradigma ini, dan hal inilah yang saya sistem sinergi yang ideal adalah terapkan kemudian di PPPGL. Saya cari kepercayaan, komunikasi yang “gerbong” mana yang rusak di PPPGL. efektif, umpan balik yang cepat, Ternyata Bagian Tata Usahanya lesu, dan kreativitas. Bidang Sarana Prasarana-nya lamban, Bidang Publikasi tertatih-tatih. Yang berjalan baik adalah bidang-bidang teknik seperti Geofisika dan Geologi, programnya berjalan, dana kegiatannya cukup, sehingga leluasa bergerak ke mana-mana. Sedangkan ketiga bidang penunjangnya hanya jadi penonton saja. Jadi, langkah pertama saya sebagai Kapus adalah memperbaiki lebih dulu “gerbong-gerbong” yang rusak tadi. Saya upgrade kemampuannya supaya bersanding berjalan bersama-sama, lalu lari bersama. Di sinilah sejarah baru organisasi PPPGL, dimana bidangbidang yang awalnya bersifat penunjang, ditingkatkan menjadi bidang utama. Dulu, tidak pernah ada bidang penunjang yang punya kegiatan yang dibiayai APBN. Kalaupun ada, hanya sebatas diperbantukan pada kegiatan bidang-bidang teknik. Jika bidang-bidang penunjang ini telah diberdayakan sesuai fungsi pen dukungnya, maka seluruh sistem organisasi PPPGL akan dapat “lepas lan das” menuju visi kemandirian. Perubahan paradigma ini merupakan wujud nyata organisasi yang berkomitmen penuh akan standar. Oleh sebab itulah, PPPGL sejak tahun 2005 telah memperoleh sertifikat internasional standar manajemen mutu (quality management) ISO 9001-2000 dari TuvCert, Jerman. Paradigma kerjasama juga mulai dibangun berdasarkan konsepsi sinergi (synergy). Istilah synergy bermakna bahwa hanya dengan interaksi yang kooperatif, hasil maksimal dapat tercapai. Persyaratan utama bagi suatu sistem sinergi yang ideal adalah kepercayaan, komunikasi yang efektif, umpan balik yang cepat, dan kreativitas. Oleh sebab itulah, sinergi di PPPGL mulai dibangun dengan menciptakan kegiatan-kegiatan lintas bidang, sehingga masing-masing bidang tidak terkesan bekerja sendiri-sendiri. Kegiatan-kegiatan yang disinergiskan ini
24
Tumbuh Bersama PPPGL
telah memperlihatkan dampak positif, yaitu timbulnya rasa saling tergantung dan membutuhkan. Dengan demikian, telah terjalin pijakan rasa saling per caya untuk membangun sesuatu secara bersama-sama. Konsep inilah yang selanjutnya diimplikasikan dalam upaya PPPGL menuju kemandirian. Itulah paradigma baru yang saya kembangkan. Setelah kita memiliki data survei yang memadai, maka saatnya kita mulai berkiprah. Karena itulah, pada tahun 2003 saya mulai menerbitkan buku tentang kiprah geologi kelautan. Di buku itu saya menulis pengalamanpengalaman saya, meski belum sistematis. Saya menceritakan hal-hal yang pernah saya kerjakan terkait bidang geologi kelautan meskipun tidak selalu atas nama PPPGL. Setelah memperbaiki gerbong-gerbong yang rusak itu, saya mengajak temanteman untuk berlari bersama-sama. Alhamdulillah mulai banyak buku yang kami terbitkan atas nama PPPGL. Saya juga banyak diminta untuk menulis, atau diwawancarai oleh berbagai media cetak dan elektronik. Seperti Buletin Intelijen yang dikelola Lemhannas, Majalah Layar, Samudera, Tempo, serta berbagai tulisan lainnya yang mengutip tulisan-tulisan di buku saya.
Membangun Kapal Sekaligus Organisasi Baru Mengerek Anggaran Bagi saya, Bagian Tata Usaha, Bidang Sarana-Prasarana, Publikasi & Doku mentasi, semuanya adalah bidang utama. Karena itu saya beri kesempatan mengelola anggaran sendiri. Anggaran yang dulu terkumpul di bidang teknis yaitu geofisika dan geologi, saya pecah. Masing-masing bidang dipersilakan membuat program, anggarannya saya sediakan. Namun pemecahan ang garan itu tidak mengurangi anggaran bidang geofisika dan geologi. Saya menciptakan anggaran yang baru. Pada saat saya baru menjadi Kapus, anggaran PPPGL yang levelnya Eselon II ini hanya Rp. 7 miliar. Bandingkan dengan Lemigas, yang pada tahun 2002, untuk membayar listriknya saja dalam setahun sampai mencapai Rp. 3,5 miliar. Sementara PPPGL membayar listrik “hanya” Rp. 100 juta per tahun. Bahkan
25
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
ketika tahun pertama saya menjadi Kapus, ada surat tunggakan tagihan listrik November yang belum dibayarkan, sehingga PLN mengancam akan memutuskan aliran listrik ke PPPGL. Alhamdullilah, akhirnya Sekjen ESDM di Jakarta turun tangan menalangi pembayaran listrik tersebut. Anggaran kami saat itu hanya cukup untuk kegiatan belanja rutin saja. Karena itu, perubahan pertama yang saya lakukan ketika menjadi Kapus ada lah meningkatkan kegiatan yang berujung peningkatan anggaran. Ternyata anggaran yang kami ajukan memang relatif kecil sebab di kantor tidak banyak peralatan elektronik seperti AC atau lift yang cukup banyak menyedot listrik. Di sisi lain, saya lihat banyak karyawan yang sudah sepuh. Kasihan mereka harus naik turun-tangga empat lantai. Karena itu, saya upayakan pemasangan dua lift walaupun gedung PPPGL itu awalnya tidak didesain untuk lift. Setelah ada lift, otomatis pemakaian listrik naik sehingga saya punya alasan untuk meminta anggaran lebih. Akhirnya anggaran PPPGL yang semula “hanya” Rp. 7 miliar pada tahun 2002, tahun berikutnya mulai merangkak naik sekitar Rp. 20 miliar, selanjutnya naik menjadi Rp. 40 miliar, lantas mencapai Rp. 91 miliar pada 2006. Pada tahun itulah kita mampu membangun kapal baru. Tentu saja hal ini bukan upaya yang mudah. Untuk itu, saya melakukan roadshow kemana-mana. Saya menyempatkan bertemu dengan DPR, Dirjen Anggaran, sampai presentasi di hadapan Menteri. Pengalaman-pengalaman saya berkiprah di luar, seperti dalam tim perundingan permasalahan blok Ambalat, pasir laut Kepri, penamaan fitur geologi dasar laut, submisi landas kontinen, naskah Ocean Policy dan RUU Kelautan, dll. menjadi modal saya. Meskipun semua itu bukan merupakan tupoksi utama di PPPGL namun menjadi “barang dagangan” yang menarik minat. Dengan modal itu, saya bisa berkiprah, berdialog pada skala nasional.
Butuh Kapal Baru Salah satu program PPPGL menuju kemandirian adalah membangun kapal peneliti baru, untuk menyelesaikan program pemetaan geologi dan geofisika kelautan nasional. Kegiatan pemetaan geologi kelautan saat ini masih bersifat
26
Tumbuh Bersama PPPGL
Roadmap APBN P3GL (1984-2009)
“business as usual”, yang hanya dapat menyelesaikan 1-3 lembar per tahun menggunakan Kapal Peneliti Geomarin I. Jika menggunakan kapal yang lebih besar dan canggih, maka kita akan dapat menyelesaikan 8-12 lembar peta (100 km x 150 km) per tahun. Pertimbangan lain yang mendasari rencana membangun kapal baru, adalah kondisi KP Geomarin I yang saat itu sudah semakin ringkih. Keringkihan ini terutama terlihat pada mesin penggerak utama yang semakin langka suku cadangnya. Selain itu, plat besi lambung kapal juga telah mengalami korosi disana-sini yang mengakibatkan kebocoran-kebocoran. Kondisi ini tentu menyebabkan kapal sangat riskan untuk digunakan dalam survei perairan dalam yang penuh resiko. Salah satu misi PPPGL saat itu adalah mempercepat (speed up) program nasional pemetaan geologi kelautan yang baru mencapai 18,1% dari 365 lembar yang harus diselesaikan. Untuk itu disusunlah program pembangunan kapal survei baru yaitu Magex yang lebih besar, dengan pembiayaan APBN.
27
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Road map pengajuan anggaran PPPGL tahun 2002-2009 dalam rangka pembangunan kapal peneliti baru seperti pada gambar Roadmap APBN P3GL (1984-2009). Namun, ternyata bukan hanya anggaran yang menjadi kendala dalam peng ajuan anggaran APBN. Oleh sebab itu, perlu ditempuh kiat-kiat penunjang diantaranya: 1. Meyakinkan pengambil keputusan tentang esensi membangun kapal peneliti kelas dunia kepada DPR, Ditjen Anggaran, dan Bappenas. Kapal peneliti kelas dunia memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah: • Jarak jelajah yang mampu menjangkau perairan Indonesia Timur; • Dukungan logistik selama lebih dari 1 bulan; • Kecanggihan peralatan serta penguasaan teknologi mutakhir yang menuntut “where doing is learning”; • Memiliki sertifikasi mutu kapal berkelas dunia (World Class); dan • Menumbuhkembangkan sumber daya manusia yang dapat mengikuti perkembangan teknologi; 2. Membidani kelahiran KP Geomarin III, menyempurnakan sistem peralat an survei yang memadai, menerapkan teknologi canggih DP-1 (Dinamic Positioning—generasi pertama), serta program pemeliharaan yang meng ikuti aturan internasional. 3. Melaksanakan Sertifikasi Kebijakan Manajemen Mutu ISO 9001-2000 dan Keselamatan Kerja OHSAS (The Occupational Health and Safety Advisory Services) ISO 18001-2007, serta berbagai sertifikasi lainnya. PPPGL juga telah melakukan road show mulai tahun 2002-2005, untuk mey akinkan pentingnya memiliki kapal peneliti yang handal. Secara kelembagaan telah mengundang pihak-pihak terkait yaitu Bappenas, Ditjen Anggaran, DPR, dan Menteri ESDM mengunjungi fasilitas kerja di kantor PPPGL Cirebon. Selain itu, PPPGL turut serta secara aktif dalam event-event nasional maupun internasional, antara lain: 1. Aktif sebagai anggota panitia nasional Hari Nusantara (Deklarasi Djuanda), setiap tanggal 13 Desember sejak tahun 2006;
28
Tumbuh Bersama PPPGL
Roadmap Geomarine III 2003-2011
2. Aktif sebagai anggota Tim Toponomi Bakosurtanal, penamaan pulaupulau kecil dan “underwater features”, yang didepositkan kepada PBB melalui UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Name), sejak tahun 2004. 3. Ikut serta dalam pemecahan rekor dunia selam masal, 17 Agustus 2009 di perairan Malalayang, Manado; 4. Merintis sertifikasi brevet selam ilmiah (scientific diving sertification), pada peresmian Scientific Diving Centre POSSI-CMAS di Belitung, Januari 2011; 5. Turut menyusun dokumen submisi parsial wilayah Landas Kontinen Republik Indonesia di luar 200 mil laut sebelah barat Aceh, kepada Sekretaris Jenderal PBB melalui Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS). 6. Bersama dengan Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) turut menyusun draft Rencana Undang Undang Kelautan yang dimotori oleh Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI).
29
Membangun dan Mengelola Geomarine III | Subaktian Lubis
Impian yang Menjadi Kenyataan Awal memulai bidang geofisika kelautan ini, kami sempat berkecil hati. Di antara bidang-bidang di bawah ESDM, kami yang paling terbelakang. Sewaktu saya menjadi kepala bidang pada tahun 1994, satu bidang hanya punya satu komputer untuk pegawai peneliti yang jumlahnya sekitar 30an orang. Akibatnya, ketika membuat laporan penelitian semua orang mengantri. Karena itu, ketika menjadi kepala bidang, saya berikrar bahwa semua orang nantinya harus memiliki komputer sendiri. Alhamdulillah, Ikrar tersebut tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sekarang, teknisi pun mengoperasikan komputer, minimal dia memakai laptop yang canggih. Membuat kapal, sebagaimana telah saya singgung berkali-kali, harus didasari program jangka panjang. Jadi, seandainya 10 tahun ke depan PPPGL ingin membuat kapal baru, programnya jangan mengacu lagi ke program saat ini. Hal ini tidak akan efektif, sebab kapal yang dibangun di masa depan akan ketinggalan teknologinya 10 tahun ke belakang. Mengubah paradigma ada lah syarat mendasar dalam mengubah organisasi dan mewujudkan impian organisasi tersebut. Perubahan paradigma ini pun harus terjadi secara menyeluruh. Sebagaimana telah saya sampaikan, agar perubahan paradigma berlangsung menyeluruh, prinsipnya adalah carilah “gerbong yang paling rusak” terlebih dahulu dan kemudian menjadi prioritas untuk diperbaiki. Dengan demikian lokomotif organisasi akan mampu berlari dengan kecepatan maksimal. Apapun alasan nya, tidak mungkin saya meninggalkan gerbong yang rusak dan berlari sendiri. Saya harus terus berusaha membuktikan tekad perubahan ini. Mulai dari mengatasi masalah listrik, membuat lift, merenovasi auditorium yang lebih nyaman, sampai kemudian membangun kapal baru. Oleh sebab itu, ketika kapal Geomarin III ini diresmikan, seluruh karyawan di Bandung ke Cirebon ikut menyaksikan. Dalam keharuan itu, saya berbisik: “ Impian kita menjadi kenyataan!”.
30