KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat asung kerta wara nugraha-Nya, buku berjudul Seni Pedalangan Bali, yang sekarang berada di tangan pembaca, dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan. Buku ini semula merupakan naskah akademik yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi S-2 Kajian Budaya di Universitas Udayana, yang membahas mengenai pembelajaran pedalangan Bali berdasarkan teks Purwa Wasana (P-W). Dipilihnya teks PurwaWasana sebagai objek kajian didasarkan atas pertimbangan bahwa teks ini menguraikan tentang pembelajaran seni pedalangan dan pewayangan Bali, yang sangat perlu dilestarikan dan disebarluaskan kepada kalangan yang lebih luas. Untuk sampai pada bentuknya yang sekarang ini, maka naskah akademik tersebut diubah dan disesuaikan dengan format buku yang dapat dibaca kalangan yang lebih luas, antara lain dengan "membuang" bagian-bagian yang bernuansa teoretik dan metodologi dengan pertimbangan bahwa bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh kalangan yang terbatas, dan jika memang bagian itu, yang diperlukan para peminat dapat membaca atau meminjam naskah aslinya di perpustakaan Program Kajian Budaya Universitas Udayana. Dengan menlusun ulang bagian pendahuluan, maka pembaca langsung dapat memetik informasi mengenai pedalangan dan pewayangan Bali, yang disajikan dalam buku ini, tanpa harus melalui pembacaan mengenai kaidah-kaidah akademik yang berlaku demikian ketat di perguruan tinggi. Meskipun demikian,
1
harus diakui bahwa perombakan sebuah naskah akademik yang demikian itu, apalagi untuk dijadikan bahan bacaan umum, bukanlah pekerjaan yang mudah dan tidak menanggung resiko, karena itu kelemahan baru yang ditirnbulkannya tentu menjadi tanggung jawab penulis. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya terutama kepada "Biaya Penulisan Buku yang dibiayai oleh Beasiswa Unggulan untuk peneliti, penulis, pencipta, seniman, wartawan, olahragawan dan tokoh, Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jendral Depdiknas Tahun, 2007 DIPA NO. 0004.0/231.0/-/2007". Selain itu tulisan ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan sumbangsih dari berbagai pihak, terutama dari para pembimbing, para guru besar di lingkungan program Kajian Budaya (S2) Universitas Udayana, yang tentu saja tidak mungkin disebutkan satu persatu disini, terutama Ibu Prof. Dr. Emiliana Maria, M.S. selaku pembimbing satu dan Prof. Dr. I Nyoman Sedana, MA. Selaku pembimbing dua, yang dengan cara masing-masing terus mendorong penulis untuk menyelesaikan studi dan tulisan ini. Juga, ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA, Sebagai Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti studi di Program Kajian Budaya Universitas Udayana. Rasa hutang budi yang patut disampaikan ucapan terima kasih kepada Drs. Rinto Widyanti, M.Si yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tulisan ini, terutama dalam hal tata tulis, editing dan pengetikan. Rasa hutang budi
2
juga penulis rasakan, karenanya patut disampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada ibu tersayang Ni Wayan Soka, istri tercinta Ni Ketut Suri Artini, putra tergagah I Kadek Agus Dwi Kusuma dan putri tercantik Ni Wayan Eka Widyartini, kakak-kakak dan adik-adik yang dengan ikhlas memberikan dorongan moral dan material, dalam rangka merampungkan studi ini. Secara khusus disampaikan ucapan terima kasih kepada Jero Dalang I Made Sidja, Jero Dalang I Ketut Muka, Jero Dalang Made Kembar, Jero Dalang I Wayan Nardayana, dan Ida Dalang Ida Bagus Argaputra, yang telah bertindak sebagai nara sumber untuk memperkaya bahan penulisan ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang dengan ikhlas membantu penulisan naskah ini. Semoga kita selalu bersedia berkorban dan menunjukkan rasa bakti.
Denpasar, 22 Juli 2006 Penulis
3
SAMBUTAN REKTOR INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
Saya merasa bersyukur dengan diterbitkannya buku Pembelajaran Seni Pedalangan Bali oleh I Kadek Widnyana, SSp., M.Si., sebagai salah satu pemenang program Beasiswa Unggulan (BU) yang diselenggarakan oleh Biro perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Depdiknas pusat. Seluruh civitas Akademika ISI Denpasar khususnya Jurusan pedalangan juga menyambut gembira terbitnya buku ini. Kehadiran buku ini sudah tentu menambah bahan bacaan sekaligus sebagai sumber informasi bagi mahasiswa dan masyarakat secara keseluruhan untuk memahami pembelajaran Seni Pedalangan Bali. Seni Pewayangan merupakan warisan budaya adi luhung dan utameng lungguh dengan misi tuntunan dan tontonan yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan. Dari jaman ke jaman wayang selalu eksis dan tidak akan pernah usang karena umur, tak lekang karena panas, dan tak lapuk karena dinginnya jaman, serta selalu dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. oleh sebab itu pada tanggal 7 Nopember 2003 UNESCO mengakui dan menetapkan seni pewayangan sebagai Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humaniora, yang berarti bahwa wayang merupakan karya peninggalan kemanusiaan yang bernilai amat tinggi, sehingga amat perlu untuk tetap dilestarikan melalui daya pembelajaran.
4
Besar harapan saya buku ini akan bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi para pemerhati pewayangan untuk dapat dipakai pedoman dalam pembelajaran pedalangan/ pewayangan di masa depan serta memahami fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya. Mudah-mudahan kehadiran buku ini dapat mendorong dan meningkatkan kuantitas dan kualitas seni pedalangan, sekaligus memacu terbitnya buku-buku lain di lingkungan ISI Denpasar.
Denpasar, 19 Juli 2007 Rektor ISI Denpasar,
Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA NIP. 130929223
5
SAMBUTAN
Saya selalu mendorong dan menyambut gembira atas terbitnya bukubuku yang berkenaan dengan ilmu dan seni pertunjukan tradisional. Meskipun pengadaan buku ajar/diktat, manual/panduan perkuliahan, modul kuliah teori/ praktik Pedalangan/Pewayangan baru sempat dipacu lewat implementas i Program Semi-QUE Pedalangan ISI Denpasar 2003-2004, misi seni dan intelektual ini sesungguhnya sudah lama saya sadari. Oleh karena itu, sebagai pembimbing akademis sejak awal saya telah memacu agar penelitian naskah Purwa-Wasana terus dikembangkan hingga bisa diterbitkan ke dalam bentuk buku. Terbitnya buku yang berjudul Pembelajaran Seni Pedalangan Bali Berdasarkan Teks PurwaWasana ini tentunya memiliki tujuan-tujuan yang sangat mulia. Selain untuk merekam dan mengembangkan warisan seni budaya, penerbitan buku ini terutamanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran di bidang Seni Pedalangan, baik di lingkungan sekolah seni maupun kegiatan pelatihan pembelajaran teater daerah di luar sekolah. Mengingat pentingnya usaha pelestarian dan pengembangan seni budaya tradisional, maka penerbitan buku-buku yang semacam ini sudah sepantasnya mendapat dukungan yang luas dari berbagai pihak demi tercapainya visi pendidikan tinggi dalam mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Akhirnya saya ucapkan Selamat dan Sukses kepada Sdr. I Kadek Widnyana, SSP. M.Si. atas kontribusi dan prestasi intlektualnya yang gemilang
6
ini; semoga prestasi ini dapat dilanjut-kembangkan dalam menunaikan darma bakti melalui seni budaya.
Ksamaswamam, 25 Februari 2007
Prof. DR. I Nyoman Sedana, MA. NIP. 131 693 541 Guru Besar Teater Tradisional
7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
SAMBUTAN ...................................................................................................
iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
viii
BAB I
Pendahuluan ..................................................................................
BAB II
Gambaran Umum Pembelajaran Pedalangan Bali ........................ 2.1 Pakem ...................................................................................... 2.2 Darma Pewayangan ................................................................. 2.3 Literatur Umum ....................................................................... 2.4 Biografi Ida Bagus Gde Purwa ............................................... 2.5 Model Pembelajaran Teks P-W .............................................. 2.6 Biografi Dalang .......................................................................
BAB III
Bentuk Pembelajaran Seni Pedalangan Bali Berdasarkan Teks P-W ....................................................................................... 3.1 Terjemahan Teks P-W ............................................................. 3.2 Bentuk Pembelajaran Beberapa Dalang di Bali ...................... 3.3 Analisis ....................................................................................
BAB IV
Fungsi Pembelajaran Seni Pedalangan Bali Berdasarkan Teks P-W ....................................................................................... 4.1 Pembelajaran Aguron-Guron .................................................. 4.2 Fungsi Seni .............................................................................. 4.3 Fungsi Pelestarian. ..................................................................
8
4.4 Fungsi Peningkatan Sumber Daya Manusia............................ 4.5 Fungsi Kreativitas Kawi Dalang ............................................. 4.6 Fungsi Kritik .......................................................................... 4.7 Fungsi Darma Pewayangan ..................................................... BAB V
Makna Pembelajaran Seni Pedalangan Bali Berdasarkan Teks P-W .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... INFORMAN .................................................................................................... GLOSARIUM .................................................................................................. LAMPIRAN .....................................................................................................
9
10
BAB I PENDAHULUAN
Dunia pewayangan dan pedalangan Bali mengandung beberapa dimensi. Dimensi itu, antara lain pewayangan merupakan media pendidikan moral yang efektif, hiburan bahkan dapat digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan tertentu, di samping memiliki unsur cerita yang dapat dibangun oleh sang dalang berupa plot atau struktur dramatik tertentu. Selain itu, tidak dapat dikesampingkan bahwa pewayangan juga mengandung unsur magis religius. Pada abad XI, kecuali dalam penggunaan yang bersifat religius, Wayang sudah merupakan bentuk seni drama yang mengesankan, yang dapat menggetarkan kalbu sehingga penonton dan pendengar ikut hanyut dan terharu karenanya. Hal ini dapat diketahui dalam syair-syair Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan raja Airlangga, yang berbunyi. “Hanonton ringgit menangis asekel munda hidepan, huwus weruh towin yang walulang inukir molah angucapi hatur ingwang tresning wisaya malaha kang widhi ri tatwan kaya hana hananing bawa siluman” Terjemahan bebas syair di atas, sebagai berikut. “Di antara mereka yang menonton boneka-boneka yang dipertunjukkan dalang ada yang menangis, bersedih hati, padahal mereka tahu bahwa semua itu dibuat dari ukiran kulit saja, yang seolah-olah dapat berbicara ibarat manusia yang mengejar keduniawian dan dihinggapi kesombongan. Dengan demikian ada orang yang tidak insyaf bahwa segala yang tampak pada kita adalah hal yang menyebabkan hakikatnya adalah sama belaka”.
11
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pada zaman Jawa Kuno pagelaran wayang dapat menghanyutkan perasaan penonton sehingga penonton dapat bertahan hingga pagelaran itu berakhir. Pertanyaan kemudian muncul, faktor apakah yang menyebabkan penonton tersedot perhatiannya selama menyaksikan pagelaran wayang tersebut? Mungkin banyak hal yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan ini, namun suatu hal tidak dapat dilupakan dan memegang peranan yang paling besar dan penting adalah kemampuan sang dalang dalam menata cerita, melukiskan karakter dan perilaku tokoh, dan sisipan humor dan kesedihan dalam membangun suasana yang menyentuh perasaan penonton. Pertanyaan demikian tentu saja masih dapat dilanjutkan, yakni apakah yang membuat sang dalang memiliki dan menguasai “kemampuan”, semacam itu? Di samping bakat, tentu saja dalang harus menguasai seluk-beluk pedalangan, yang dalam teks ini disebut penititala pewayangan. Begitu pentingkah seorang dalang memahami dan menguasai penititala pewayangan? Memang, pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan tegas dalam perkataan ya saja, namun untuk menyatakan bahwa hal ini penting seyogianya dilihat dulu kecenderungan sekularisasi pewayangan, yang bermuara pada pergeseran struktur dramatik pewayangan (change of dramatic content) oleh kepentingan-kepentingan tertentu. pergeseran ini dapat dilihat pada struktur dramatik lakon dan struktur pertunjukan kesenian, yang menjadi tampak berbeda dengan apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya (Dibia, 1995:57). Kecenderungan ini terjadi menyusul berbagai perubahan yang terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan kita.
12
Harus dikatakan kembali, belakangan banyak seniman dalang, dan mungkin seniman seni pertunjukan lainnya, secara sadar dan perlahan melakukan berbagai perubahan dalam karya pewayangan atau seni pertunjukkan. Adeganadegan yang sesungguhnya serius, namun dianggap berkepanjangan lalu dipenggal demikian saja hanya untuk memenuhi rasa humor penonton karena disangkanya bahwa penonton hanya tertarik pada adegan-adegan dan ungkapanungkapan yang lucu dan kocak. Penyajian adegan yang kocak itu seringkali berlarut-larut tanpa keinginan untuk kembali ke struktur dramatik yang telah dirancang sehingga pagelaran itu kehilangan esensinya dan kehilangan landasan literer (sastra) yang seharusnya menjadi dasar pijakan. Kecenderungan demikian mungkin saja dianggap wajar mengingat suatu pertunjukan kesenian memang mengandung elemen efficacy dan entertainment. Sementara itu, muatan artistiknya, nilai pendidikannya, kritik sosial dan pesan-pesannya masih tetap ada, namun tidak dapat dipungkiri kalau unsur-unsur hiburannya masih mendominasi. Akan tetapi, bergeraknya seni pewayangan ke titik itu hanya akan menyebabkan pewayangan menjadi seni hiburan semata. Tidak heran bila para seniman tua melontarkan komentarnya bahwa seni serius (balih-balihan matelek) semakin langka tergantikan seni hiburan. Hal-hal apakah yang mendorong pergeseran-pergesaran itu? Salah satu diantaranya adalah belum adanya model pembelajaran pedalangan yang konseptual dan sistematik. Apalagi, tradisi pendidikan pedalangan umumnya dilakukan secara oral dan turun-temurun, dengan demikian cara yang umum dilakukan hanyalah meniru; sekarang model ini tentu saja tidak dapat lagi
13
dipertahankan dengan alasan kurang relevan. Tradisi ini mengacu pada tiga model, yakni dharma pewayangan, pakem dan buku-buku umum tentang pedalangan. Oleh karena itu, perlulah disusun suatu model pembelajaran pedalangan yang sistematis dan relevan serta komprehensif. Dalam upaya inilah dipilih teks Purwa-Wasana karya Ida Bagus Gde Purwa (alm) dari geria Gunung Rata Kesiman Denpasar. Teks ini mengungkapkan metodologi pembelajaran pedalangan Bali. Karena itu, teks ini dapat dikategorikan sebagai sebuah Penititala Pedalangan, yaitu sebuah kesusastraan baru dengan kandungan teks pembelajaran pedalangan dari awal (purwa) sampai akhir (wasana). Sastra tersebut merupakan penititala tempat berkiprahnya para dalang dalam mencurahkan apresiasi kreatifnya, ekspresi jiwanya serta inspirasi pikirannya, ke dalam berbagai bentuk karya seni, termasuk wayang kulit. Selain itu, sangat jelas bahwa konsep pembelajaran yang diinginkan oleh teks Purwa-Wasana adalah pembelajaran yang sistematis, tertib dan urut, serta konprehensif, yaitu pembelajaran pedalangan yang dimulai dari awal “purwa” sampai akhir atau selesai “wesana”, dengan tahapan-tahapan yang telah tersusun secara sistematik. Tahapan-tahapan itu secara umum meliputi: (1) Purwa-Wasana I : Serana Lelampahan (wija Tatua); (2) Purwa-Wasana II: Kesajiang ring panonton (tatua); (3) Purwa-wasana III: Rerangsuk Dalang (suksma tatua). Dengan demikian teks Purwa-Wasana dapat dianggap sebagai sebuah "penititala" atau standarisasi pembelajaran pedalangan dalam proses belajar mengajar. Implikasi teks ini adalah pada seni pedalangan, di mana eksistensi kesenian ini didukung oleh seniman dalang dan seni pertunjukannya. Kegiatan tersebut
14
dilakukan melalui proses pembelajaran baik formal maupun nonformal dengan materi-materi seperti: Pakem, Dharma Pewayangan, dan Literatur-literatur baik ilmiah maupun tradisi. Selanjutnya Representasi pembelajaran akan dikaji berdasarkan teks Purwa-Wasana dengan tetap berpedoman pada paradigma kajian budaya (bentuk, fungsi, dan makna). Dengan
demikian
akan
terjadi
hubungan
timbal
balik
antara
pembelajaran yang ada di masyarakat dengan teks Purwa-Wasana. Selanjutnya, seniman dalang dapat menggunakan teks ini sebagai rambu-rambu baik dalam tataran teori atau konsep dan juga dalam tataran praktik atau pertunjukannya. Namun di sisi lain kreativitas seniman dalang yang ber "pakem", juga dapat memberikan kontribusi pada teks ini. Sehingga akan terjadi hubungan yang sui generis progresif sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk mewujudkan balih-balihan matelek, maka kajian pembelajaran ini perlu dilakukan, dengan merepresentasikan pembelajaran pedalangan berbasis teks Purwa-Wasana, sekaligus mengaktualisasikan "kearifan lokal". Kearifan lokal yang dimaksud adalah kekuatan-kekuatan budaya lokal dalam menghadapi budaya asing dan menjadikannya sebagai budaya milik sendiri (Redig, 2004:1). Selama ini, disadari atau tidak oleh para seniman, sistem pembelajaran pedalangan yang ideal (pragmatis, progresif, sistematis) sudah terpinggirkan. Oleh sebab itu, dengan merepresentasikan pembelajaran seni pedalangan berbasis teks Purwa-Wasana, para dalang di masa depan diharapkan mampu menempatkan seni
15
pedalangan pada proporsinya, yaitu sebagai kesenian yang "adiluhung" dan "utameng lungguh", dengan konsep "5T" yaitu; tuntunan, tontonan, tuntutan, tantangan dan tanggung jawab. Selain teks Purwa-Wasana memang ada teks lain mengenai pedalangan. Namun teks-teks itu tidaklah selengkap dan sekomprehensif teks Purwa-Wasana. Teks I Gusti Bagus Sugriwa (1963) Ilmu Pedalangan/Pewayangan) misalnya memang mengulas secara sangat sederhana mengenai beberapa ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pewayangan/pedalangan. Diantaranya yang relevan dengan tema tulisan ini adalah penjelasan tentang "ilmu teori pewayangan/pedalangan dan bentuk, ciri-ciri dan kias wayang". Menurut Sugriwa, bagi seorang dalang yang unggul, cerdik dan pandai, dapat menguasai jiwa dan rasa panca indra para penontonnya, dipulut ditautkan dalam tiap-tiap tokoh atau adegan wayang yang dipertunjukkan. Selain itu seorang calon dalang hendaknya mengetahui, bentuk dan ciri-ciri kias wayang, seperti wayang kiri, wayang kanan dan wayang atas. Namun Sugriwa tidak menjelaskan apa dan bagaimana pembelajaran pedalangan tersebut. Rumusan Sugriwa dapat saja dijadikan rujukan, namun objeknya masih sangat abstrak dan sulit diaplikasikan. I Nyoman Sedana (2005), dalam Kawi Dalang: Creativity In Wayang Theatre, menjelaskan bahwa dalam pertunjukan wayang kulit Bali, kreativitas dalang akan sangat menentukan sukses dan tidaknya suatu pertunjukan. Untuk itu, dalam disertasinya itu, Sedana membagi kreativitas dalang ke dalam tiga jenis, yaitu (1) Creativity in Plot, yaitu bagaimana seorang dalang mampu menyusun alur cerita "bah-bangun satua" dengan baik, dengan berpedoman pada, literatur,
16
struktur konvensional, kutipan, tokoh, inovasi struktur lakon, dan menyesuaikan dengan teks serta konteks, (2) Creativity in presentation, yaitu bagaimana seharusnya seorang dalang mampu berkreasi dan berinovasi saat pertunjukan sedang berlangsung, baik yang datang dari dalam diri, maupun yang datang dari luar, (3) Creativity after the Presentation, yaitu bagaimana seorang dalang mampu menguasai suasana lingkungannya (penonton, penanggap, dan sebagainya), kemudian menyesuaikan dengan keadaan atau situasi yang ada. Selain itu, Sedana juga berbicara masalah pakem, dan sumber lakon, cara merekonstruksi lakon, serta apa yang disebut “dinamic interplay” yaitu materi pokok yang harus dimiliki dalam diri sang dalang, sebagai sumber dalam mengembangkan kreativitasnya, yang terdiri dari; bentuk, lakon dan tokoh. Selain itu, struktur pertunjukan yang disebut sebagai "Astadasa Krama", menjadikan seni pertunjukan Wayang Kulit Bali (Parwa) ke dalam 18 bagian. Hal tersebut sangat relevan dengan tema buku ini, yang lebih menekankan pada proses pembelajaran untuk menguasai materi pedalangan. Wimba Wayang Kulit Ramayana Ketut Madra (Bandem dkk, 1981/1982) secara jelas mengulas bahwa struktur pementasan setiap dalang mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga mereka mempunyai penggemar dan areal pementasan sendiri-sendiri. Selain itu, juga menjelaskan tentang jenis pukulan cepala dengan fungsi yang berbeda, seperti: pukulan peneteg, peselah, pemalet, pemalpal, peseiat. Bandem juga memberikan beberapa catatan pemakaian bahasa Kawi yang dipergunakan dengan sampel cerita Kumbakarna Lina. Apa yang
17
disampaikan Bandem hanya sebagian kecil dari materi yang harus dikuasai oleh seorang dalang, yang sebenarnya materi itu ada pula pada P-W. Pragina di dalam Seni pertunjukan Bali (Dibia, 1996) menyatakan bahwa pembelajaran seniman Bari biasanya melalui tiga tahap, yaitu (1) melalui interaksi guru dengan murid dengan bayaran uang atau dalam bentuk lain yang disebut maguru ajah. Sistem belajar yang melibatkan upah ini atau bayaran ini di dalam tradisi India disebut sebagai sistem guru-dhaksina (Barba, l991:30), (2) belajar dimana sang calon pragina menetap di rumah guru atau maestro seni, ikut mengambil pekerjaan sehari-hari dan sering sekali menjadi pengikut "tututan" sang maestro seni. Sistem ini disebut sisya atau nyisia, yang dalam tradisi India disebut guru-kula dan guru sisya (1991:31), (3) belajar dengan jalan sering menonton pertunjukan untuk menyaksikan penampilan sang maestro, yang disebut maguru mabalih. Sistem ini oleh beberapa seniman tari India disebut sebagai sistem Ekalawya (1991:32). Model pertama ditempuh untuk mendapatkan pengetahuan dasar teknik yang kuat; model kedua untuk mendapatkan pengalaman praktis yang berkaitan dengan persiapan serta pelaksanaan suatu pertunjukan; dan model ketiga dimaksudkan untuk mendapatkan model-model berbagai gaya penampilan seniman di dalam pentas. Model pertama dan kedua, sangat erat dengan sistem pembelajaran dalam Purwa-Wasana, yaitu Wija Tatwa dan Tatwa. Apa yang diuraikan Dibia, akan terasa lebih lengkap jika diberikan contoh yang kongkret. Untuk itu dalam purwa-wasana ini akan ditampilkan salah satu model pembelajaran tersebut.
18
Retorika dalam Pewayangan Bali oleh Ketut Rota (1990:175-255) banyak menguras tentang teknik beretorika yang dipakai dalam pewayangan di Bali, serta etika atau anggah-ungguh (sor singgih) bahasa yang akan digunakan oleh setiap karakter. Misalnya, bagaimana seorang panakawan berbicara pada rajanya, atau sebaliknya. Hal yang sangat menarik adalah apa yang “alternasi”, yaitu metode selang-seling dalam dialog, dari bahasa kawike Bali atau sebaliknya, dari narasi ke puisi, atau dari dialog ke puisi dan lain sebagainya. Penelitian Rota, memberikan kontribusi vane sangat banyak di bidang epistimologi yang berkaitan dengan penggunaan bahasa pewayangan, yaitu yang sering disebut “antewecana”, merupakan salah satu unsur pewayangan itu sendiri. Namun demikian, unsurunsur lain pendukung pertunjukan pewayangan Bali seperti sabetan (gerak wayang), tidak ada disinggung oleh Rota. Oleh sebab itu penelitian ini akan melengkapi penelitian Ketut Rota, dan sekaligus menggunakan tulisannya sebagai rujukan. Ucap-Ucap Tatwa Carita: Gegelaran Seorang Dalang (2003:56), dari Jero Dalang I Nyoman Rajeg (alm), seperti ditulis oleh I Gusti Putu Sudarta, SSP menyatakan bahwa yang harus dikuasai oleh seorang dalang adalah “ucap-ucap tatwa carita”. Ucap-ucap artinya menguasai suara yang diimplimentasikan lewat "antawecana" dan juga "tetembangan" atau vokal; tatwa artinya seorang dalang harus mengetahui ajaran-ajaran filsafat yang bersifat tuntunan; dan carita artinya menguasai segala macam jenis cerita. Namun dalam ulasan ini, tidak dijelaskan bagaimana proses pencapaiannya, proses belajarnya, sehingga dapat dipakai sebagai model pembelajaran yang sistematis. Selain itu, Sudarta juga
19
menyinggung tentang pentingnya pengetahuan pernafasan bagi seorang dalang lewat "pranayama". Dalam kaitannya dengan penelitian ini "ucap-ucap tatwa carita" tetap dipakai sebagai referensi. Berdasarkan hal di atas, diputuskan untuk membahas teks PuranaWasana yang selanjutnya disebut teks P-W saja. Sebagai sebuah naskah yang terpinggirkan ternyata teks P-W I, II, III, merupakan penititala pewayangan, yaitu sebuah pembelajaran pedalangan yang lengkap melalui paparan yang sederhana namun dengan evokasi yang mendalam. Alasan dipilihnya teks P-W antara lain teks ini merupakan hasil eksplorasi penulisnya atas lingkungan baik lingkungan alamiah maupun ilmiahnya. Dengan demikian, model pembelajaran pedalangan yang dicari selama ini sudah dapat terjawab melalui teks Purwa-Wasana. Mengingat teks P-W sebagai sebuah penititala, yang kegunaannya berkenaan dengan kegiatan pembelajaran seni pedalangan, maka diharapkan ia mampu memberikan perspektif baru dalam proses belajar mengajar seni adiluhung atau utameng lungguh ini di kancah modern, bahkan pasca-modern. Sehubungan dengan pembahasan selanjutnya, dijelaskan dulu kata dalang. Seno Sastroamidjojo, dalam buku Renungan Pertunjukan Wayang Kulit menjelaskan bahwa kata dalang berasal dari kata wedda dan wulang. Adapun yang dimaksud dengan wedda ialah kitab suci agama Hindu yang memuat tentang ajaran agama, peraturan hidup kehidupan manusia di dalam masyarakat, di dalam pergaulan hidupnya dengan sesama manusia, terutama yang menuju ke arah kesempurnaan hidup, baik dalam alam pikiran, alam fana, maupun dalam alam baka. Wulang berarti ajaran atau petuah, mulang berarti mengajar. Jadi, dalang
20
adalah seorang ahli yang mempunyai kejujuran dan kewajiban memberi pelajaran wejangan, uraian atau tafsiran tentang kitab suci wedda beserta maknanya kepada masyarakat (Sumarno, Poniram dan Atot Rasona, 1983 : 1 -2). Dalam kitab Tantu Pagelaran juga dinyatakan bahwa dalang pada waktu itu adalah mereka yang dapat dihormati, disegani, dijunjung tinggi dan dipatuhi, seolah-olah ia sebagai seorang pendeta besar dan seorang tokoh agama. Dari kitab ini pula, dapat diketahui bahwa dalang yang mempertunjukkan wayang dapat disamakan dengan dewa-dewa Iswara, Brahma, dan Wisnu yang turun ke dunia menggelar pertunjukan bayang-bayang (wayang) untuk menyebarkan kepercayaan, etika, dan filsafat hidup. Pewayangan, asal katanya "wayang", yang sama artinya dengan bayangbayang, mendapat awalan "pa" dan akhiran "an", yang mengandung pengertian perihal seluk beluknya wayang, yang terutama diantaranya ialah pertunjukan wayang yang dibuat dari kulit sapi dipahat ditatah, yang merupakan bentukbentuk khayalan, dewa-dewa, raksasa, binatang, pohon-pohonan dan lain-lain, dilihat oleh penonton bayangannya. Semua itu disebut Pewayangan (Sugriwa, 1963: l). Claire Holt menegaskan bahwa dalang adalah seorang pemimpin, penyusun naskah, juru bicara, seorang produser, sutradara, dan juga seorang yang memainkan wayang. Dalam ajaran Hindu, dalang berfungsi pula sebagai penghubung dengan dewa-dewa. Itulah sebabnya dalang dapat dibagi menjadi empat yaitu: Dalang Jaruman yaitu dalang yang dianggap sebagai dewa Brahma; Dalang Samerana dianggap sebagai keturunan dewa Siwa; Dalang Anteban
21
dianggap sebagai keturunan dewa Wisnu ;Dalang Sampurna ialah dalang yang dapat dianggap sebagai keturunan dewa Nawa sanga, artinya bahwa dewa-dewa di atas menjadi satu kesatuan jiwa. Jelas kiranya bahwa fungsi dalang sebagai juru penerang dan juru hibur, dan pendidikan bidang spiritual (kerohanian) harus mengandung unsur-unsur; estetika, etis, edukatif, kreatif, konsultatif, dan rekreasi (Sumarno dan Rasona, 1983: 5-6). Sering timbul pertanyaan di masyarakat, mengenai apa konsep dasar belajar mendalang yang ideal?, apa yang harus dipelajari pertama kali? Apakah mekekawin/olah vokal, membaca pakem atau bahasa Kawi, ataukah harus mempunyai satu gedog wayang terlebih dahulu? Untuk itulah penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan kontribusi mengenai Panititala Pewayangan untuk keperluan proses belajar mengajar para dalang, dan khususnya kepada sang “umatakiki-taki mangwayang" .
22
BAB II GAMBARAN UMUM PEMBELAJARAN PEDALANGAN BALI
Perubahan budaya Bali yang terjadi sangat mempengaruhi perkembangan dan perubahan kesenian Bali, termasuk mempengaruhi seni pewayangan. Bertolak dari berbagai jenis karya sastra yang ada, melahirkan berbagai jenis wayang kulit. Sastra parwa yang lebih dikenal dengan epos Mahabharata, melahirkan jenis Wayang parwa, epos Ramayana melahirkan Wayang Ramayana, Sastra Calonarang melahirkan Sastra Calonarang, dan sebagainya. Dibandingkan dengan seni pertunjukan lainnya, Wayang Kulit menduduki posisi yang paling "istimewa", adiluhung atau utameng lungguh. I Gusti Ketut Kaler, seperti dikutip Ketut Rota (1990: 3-4) menyatakan bahwa: “.....Wayang yadyastu pawakan walulang inukir, janten ring pangamimitan-nyane sampun maplaspas, katiwakin widi-widana panyangaskora. Sapunika taler piranti dulurannya (damar, kelir, kropak, lan sapanunggilannya). Widi-widana taler kawentenang nangken rahina Saniscara Kliwon, wuku Wayang, miwah nangken pangringgitan. Panyangaskarane kadulurin antuk tata prawerti panyanggra, malarapan kayun dreda bakti, dumugi inucap Sanghyang Ringgit, kahyangin antuk Ida Sanghyang Maraga Niskala. Jantos sandang tunasin tirta wasuh pada (Suddhamala). Punapi malih Sang Amangku Dalang, janten sampun sinangaskara mawinten, saha tan maren tepet ring sesananing Dalang, astiti ring Sanghyang Iswara, tegeg ring brata, tan wenang mungpang laku. Wenten taler mawidi-wedana masakapan ring Wayang saha pirantinnya. Mawastu sida matunggalan Dalang ring Wayange kadi Arda-Nareswari. Punika awinan pangringgitane sinanggeh pagelaran utamenglungguh...”. Mengikuti kutipan di atas, tidaklah mengherankan banyak para pakar seni menyatakan bahwa pertunjukan wayang kulit merupakan suatu kesenian yang
23
amat halus sifatnya, dan sulit mencari tandingannya di seluruh dunia. Pertunjukan ini, dari boneka yang dihias secara indah dan ceritanya berdasarkan puisi manusia yang bermutu tinggi, sehingga menjadikan pertunjukan ini sangat unik. Oleh sebab itu, kesenian ini banyak mendapat perhatian para pakar dari berbagai bidang disiplin ilmu, baik bangsa asing maupun dari bangsa sendiri. Nama-nama seperti C. Hooykaas, James R Brandon, Walter Spies, R. Goris, adalah beberapa tokoh sarjana Barat yang menaruh minat pada seni pertunjukan ini. I Gusti Bagus Sugriwa, Ketut Rota, I Wayan Dibia, I Made Bandem, I Made Suastika, I Nyoman Sedana, tokoh-tokoh lokal pencinta dan pemerhati seni pedalangan abad ini. Pada puncaknya tanggal 7 Nopember 2003 UNESCO menetapkan Wayang sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humaniora. Itu berarti bahwa Wayang merupakan karya peninggalan kemanusiaan yang bernilai aniat tinggi, karena setidaknya pertunjukan wayang kulit memuat tiga E, yaitu etika, estetika, dan entertainment. Dengan demikian Wayang bukan saja milik Bali atau Jawa, tetapi sudah menjadi milik dunia sehingga Bali sebagai sumbernya hendaknya mulai melakukan penyempurnaan pada kesenian initerutama dalam proses pembelajarannya. Telah diakui bahwa pertunjukan wayang kulit sarat dengan nilai-nilai tuntunan dan tontonan, dan sangat sulit dalam mempelajarinya karena kesenian ini merupakan kesenian yang multi kompleks atau total teater. hal ini juga diakui oleh Beryl de Zoete dan Walter Spies, seperti dikutip Ketut Rota (1990:9) mengatakan bahwa pertunjukan Wayang Kulit bukan saja the most important from of all Balinese entertaiment, tetapi juga the first ancestor of the Balinese theatre.
24
Pendapat ini diperkuat pula oleh Covarrubias dalam pengamatannya selama bermukin di Bali. Implikasi dari uraian di atas, dan karena kemuliaan serta keunikannya, maka kesenian ini perlu dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Namun pada kenyataannya dari periode ke periode pertunjukan ini selalu mengalami kemunduran, terutama dalam konteksnya sebagai penuntun rohani (moral, etika) serta tidak mampunya menghadapi tantangan dan goncangan zaman. Hal ini dibuktikan dengan semakin menurunnya minat masyarakat belajar pedalangan dan semakin menurunnya mutu atau kualitas pertunjukan, serta semakin larutnya kesenian ini masuk ke wilayah kapitalis. Ironisnya lagi, kemunduran yang signifikan adalah pada model pembelajaran yang bukan saja tidak sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dewasa ini, juga pembelajaran model "kuno" pun ditinggalkan begitu saja. Dengan demikian pembelajaran Pedalangan yang ada dewasa ini baik formal dan nonformal sangat monoton dan tumpang tindih, hanya berpedoman padapakem semata. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki mutu kesenian ini di masa depan agar mampu bertahan dan bersaing di dalam dunia global, menurut penulis adalah memperbaiki proses belajar mengajar dengan jalan mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi model pembelajaran yang ada agar sesuai dengan jiwa zamannya. Berkaitan dengan itu maka penelitian ini dilakukan yaitu merepresentasikan model pembelajaran pedalangan dan pewayangan Bali berdasarkan teks P-W. Model pembelajaran Pedalangan Bali selama ini adalah lebih banyak menggunakan sistem praktik langsung dengan bantuan pakem, terutama pakem
25
jangkep, Pembelajaran seperti ini berlangsung beberapa dekade baik di tataran formal maupun non formal. Dalam proses pembelajaran ini biasanya diberikan arahan tentang Dharma Pewayangan, yang harus dikuasai dan diamalkan oleh seorang Dalang, dan pemahaman refrensi atau literatur umum terutama yang terkait dengan cerita dan kakawin. 2.1 Pakem Pakem dalam Seni Pedalangan, sangat terkait dengan playskrip/naskah cerita I Nyoman Sedana, dalam disertasinya yang berjudul: Kawi Dalang; creativity In Wayang Theatre, membagi pakem menjadi tiga bagian yaitu: pakem balungan, pakem gancaran dan pakem jangkep (Sedana, 2002:71-72). Pakem balungan merupakan tuntunan pembelajaran Pedalangan Bali atau playskrip yang hanya memaparkan cerita secara ilustratif atau garis besar saja, tanpa diikuti oleh susunan pementasan atau dialog yang jelas. Sedangkan pokem gancaran merupakan naskah cerita yang berbentuk prosa atau sinopsis, bentuknya lebihjelas dibandingkan pakem balungan. Dewasa ini kitab Ramayana dan Mahabharata beserta sumber-sumber cerita lainnya dikategorikan sebagai pakem gancaran. Dalam proses pembelajaran yang lebih banyak digunakan adalah pakem jangkep yaitu sebuah naskah yang lengkap berisi struktur atau satu alur cerita pementasan Pewayangan beserta dialognya (antewecana./retorikanya). Menurut I Made Bandem, pakem tersebut sifatnya masih sangat subyektif, seperti pengalaman yang mereka peroleh secara furun temurun dari guru-guru mereka. Struktur pementasan beserta dialog-dialog yang dipentaskan sifatnya masih konvensional seperti yang diwarisi dari generasi sebelumnya (Bandem, 1994:39). Hal yang
26
senada juga diungkapkan oleh B. Subono (1996:14-15) dalam Jurnal Jagad Pedalangan dan Pewayangan cempala edisi: Gatotkaca. Kendatipun demikian dalam pementasan Wayang Kulit, para dalang tidak pernah menggunakan teks, pakem, skenario (play script) dalam pengertian skenario yang biasa digunakan dalam pementasan drama modern atau teater-teater dinegara barat. Walaupun cerita-cerita yang digunakan sebagai lakon ditulis dalam bentuk kekawin ataupun tembang-tembang lainnya, namun naskah itu bukanlah satu pakem yang dibaca pada saat pergelaran. Dari naskah-naskah itu seorang dalang hanya akan memperoleh satu cerita utuh dan ia harus menyusunnya kembali secara lisan untuk dipentaskan sebagai pakem. Pakem itu diciptakan secara tradisi lisan dan makin mendalam pemahamannya terhadap cerita utuh yang dibacanya, makin baik pula penyajian pergelarannya. Akhir-akhir ini Terah banyak pakem yang terdistribusikan baik itu dari lembaga pemerintah seperti Gedong Kertya Singaraja dan ISI Denpasar, maupun dari beberapa Dalang ternama di Bali yang dapat dipakai sebagai wimba. Adapun pakem-pakem itu diantaranya adalah: Bima Swarga, Senapati Bhisma, Senapati Drona, Senapati Karna, senapati Salya, Kumbakarna Lini, Matinya Jayadrata, Kunti yadnya, dan sebagainya. Pakem-pakem ini bentuknya masih merupakan pandangan dari Dalang yang mementaskannya, bukan sebuah pakem yang diciptakan oleh penulis naskah (play writer) seperti yang terdapat didunia Barat. Pandangan para dalang yang pementasannya ditranskripsikan ke dalam bentuk pakem masih sangat subyektif, seperti pengalaman yang mereka peroleh secara turun-temurun dari guru-guru mereka. Struktur pementasan dan diarog-dialog
27
yang dipentaskan sifatnya masih konvensional seperti yang diwarisi daii generasi seberumnyu. Adapun contoh pakem yang dipakai model pembelajaran akan disajikan dalam bab V.
2.2 Dharma Pewayangan Jika dilihat dari kandungan isinya lebih banyak menguraikan peraturanperaturan yang berkaitan dengan pementasan wayang kulit, meliputi filsafat pewayangan, upacara keagamaan yang berkaitan dengan pementasan dan petunjuk-petunjuk bagi seorang Dalang dalam melaksanakan pementasan. Dengan kata lain Dharma Pewayangan (DP) memaparkan pula semua kode etik dan proses ritual yang berkaitan dengan pementasan wayang kulit. Dari segi estetis, DP juga memberi petunjuk kepada seorang Dalang untuk mampu berkonsentrasi dengan penuh kedalaman dan d.ngun berbagai mantram yang diucapkan seorang Dalang agar mampu membuat pementasannya memiliki taksu. Pada umumnya semua karya seni yang diciptakan oleh para empu seni, secara lahiriah merupakan tujuan berkarya, sedangkan secara rohaniah merupakan sarana untuk mendekatkan jiwanya dengan Sang Maha Pencipta, karena keindahan yang sempurna hanya ada pada-Nya. Oleh sebab itu kesenian khususnya Seni Pewayangan, tidak boleh diintervensi oleh seseorang dan kelompok tertentu, bahkan oleh pemerintah sekalipun, karena otoritas Pewayangan itu sendiri adalah pada Tuhan, yang diimplementasikan dalam bentuk Dharma Pewayangan.
28
Suastika (2002:56) menyatakan bahwa teks DP ini penting berisikan tentang pengetahuan tuntunan bagi seorang dalang yaitu mulai akan mendalang ketika mulai berangkat dari rumahnya ke tempat tujuan sampai pelaksanaan pertunjukan wayang. Teks itu hingga kini belum banyak diungkapkan, padahal memiliki fungsi penting untuk menjalankan profesi dalang dan pengetahuan umum bagi masyarakat Bali. Fungsi suci dalang dibahas dengan mendasar dari segi tata tertib, pantangan, keharmonisan, mantra yang dilaksanakan dalam menjelaskan profesi suci itu. Dalam profesi dalang, teks DP merupakan teks penting menjadi penuntun dalam menjalankan profesi dalang. Seorang dalang yang ingin menjalankan profesinya, maka teks DP wajib diketahui, dimengerti, diresapkan, dilaksanakan dan diterapkan, karena di dalam teks itu berisi bermacam-macam nilai pendidikan tentang apa, siapa dan apa tujuan-tujuan dalam menjalankan profesi suci itu. Oleh sebab itu, otoritas dalang dan wayangnya adalah pada Dharma. Dengan sikap demikian itulah dimungkinkan terciptanya berbagai bentuk karya seni yang adiluhung dan dikenal sebagai seni klasik tradisional yang mampu memberikan tuntunan dan tontonan, menjawab tuntutan dan tantangan zaman, serta tanggungjawab moral terhadap nilai-nilai kearifan lokalyang diwariskan kepada kita untuk dapat dilestarikan dan dikembangkan secara berkesinambungan dari zaman ke zaman. Representasi teks DP akan disajikan dalam bab V.
29
2.3 Literatur Umum Refrensi yang terkait dengan Pedalangan biasanya berhubungan dengan sumber-sumber cerita (Asta Dasa Parwa, Sapta Kanda) dan kakawin. Kakawin, sendiri bertujuan untuk mengarahkan si Dalang untuk berbahasa Kawi dan menguasai beberapa Wirama, seperti Wirat, Sronca, basantatilaka, mandemalon dan sebagainya. Cerita, merupakan bahan baku bagi seorang Dalang selama dalam karirnya. Walaupun secara substansial proses pembelajaran pedalangan Bali secara samar-samar telah disinggung di dalamnya, namun hal itu masih kurang efektif di zaman sekarang. Hal ini disebabkan karena pengetahuan yang ada selama ini merupakan pengetahuan umum yang harus diketahui oleh seorang Dalang, dan bukan proses bagaimana mendapatkan pengetahuan itu secara urut dan benar. Maka dari itu pembelajaran yang ada perlu dikembangkan dan disempurnakan serta digali lagi dan direpresentasikan secara sistematis, agar pembelajaran tidak monoton, rancu dan tumpang tindih. Perlu dijelaskan juga bahwa Perkembangan dunia Pedalangan/Pewayangan, tidak terlepas dari masuknya agama Hindu ke Indonesia membawa perkembangan baru dalam Pewayangan. Sangat besar jasa para leluhur kita yang atas kreativitasnya yang tinggi, mampu memadukan unsur-unsur asli dengan unsur-unsur baru yang masuk. Demikianlah raja Dyah Balitung yang pada masa kekuasaannya berhasil mengindonesiakan Ramayana India menjadi Kakawin Ramayana Jawa Kuna. Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama (991-1007 Masehi), yang atas perintahnya telah berhasil pengindonesiaan Mahabharatalndia ke dalam bahasa Jawa Kuna yang dikenal dengan nama Astadasaparwa. Prabu Erlangga (1007 Masehi)
30
menyuruh Mpu Kanwa menggubah Kakawin Arjuna Wiwaha. Dengan demikian di dunia Seni Pedalangan sangat kaya dengan materi cerita. Berbicara masalah cerita sebagai bahan baku dalam pementasan dan pembelajaran, Sedana (2002:78) menyatakan ada tiga jenis sastra yang dipakai pedoman cerita baik dalam pembelajaran yaitu (1) sastra Babon yaitu kelompok sastra-sastra kuna, asli India dengan bahasa Sanskerta, baik yang lama maupun baru; (2) sastra pokok, yaitu kelompok sastra yang berkaitan dengan sumber cerita dengan bahasa Jawa Kuna (Ramayana dan Mahabharata); (3) sastra carangan yaitu kelompok sastra hasil gubahan pujangga lokal atau para Kawi Dalang (Arjuna Wiwaha dan Senepati Salya), termasuk pakem di dalamnya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokalnya. Yang menjadi kendala klasik adalah bagaimana men-suturing nilai-nilai kearifan lokal dengan budaya global dewasa ini yang sifatnya adalah oposisi biner sehingga menghasikan nilai “globalisasi”, yaitu dapat memanfaatkan kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan warisan budaya asli. Mudana (2004:1-2) menjelaskan, “eksistensi kearifan lokal dalam era globalisasi”, kesan luar yang pertama-tama muncul adalah semacam “contradictio in terminis”, yakni sebuah pertentangan kearifan lokal/pengetahuan lokal, yang nota bene sebuah proses pemberdayaan
lokalitas-lokalitas
dilawankan,
dengan
gerakan-gerakan
mahadahsyat dan serba besar globalisasi. Arjun Apadurai (1990) menandai Kedahsyatan Globalisasi sebagai suatu hubungan di antara lima dimensi: (a) ethnoscape, (b) mediascape, (c) technoscape, (d) finanscape, (e), idioscape.
31
Oleh sebab itu, di zaman sekarang ini diperlukan pembelajaran yang lebih komprehensif dan profesional sehingga dapat mengadaptasi kemajuan teknologi, mengakomodasi material global dalam menghadapi kelima dimensi global di atas. Hal itu merupakan tantangan dan tanggung jawab setiap warga, khususnya seniman akademisi untuk dapat mengaktualisasikan konsep-konsep kesenian yang mampu bersaing di segala zaman.
2.4 Biografi Ida Bagus Gde Purwa Sebagai penulis pembelajaran Pedalangan Bali (teks p-W), Ida Bagus Gde Purwa lahir tahun 1929 diGeria Gunung Rata, Batan Buah Kesiman dan Wafat pada hari Kamis tgl 1 Juli l992 (63 tahun). Beliau mempunyai lima orang putra-putri dari istri pertama dan empat putri dari istri keduanya. Salah seorang putranya yang bungsu dari istri pertama, yaitu Ida Bagus Putu Winaya adalah salah satu pewaris beliau yang masih aktif dibidang Pedalangan walaupun hanya sebatas untuk keperluan wali. Sedangkan bakat melukis almarhum, menurun pada putra beliau yang ke empat: Ida Bagus Ketut Wiradnya, sekarang menjadi PNS (guru) tetap di Tianyar Karangasem. Almarhum, Ida Bagus Gde Purwa adalah seorang seniman yang sangat terkenal pada masanya dengan nama senimannya adalah Pan Madya, yang tidak asing lagi di RRI Denpasar. Naskah ini ditulis kurang lebih tahun 60-70 an, saat beliau sedang jayanya di dunia seni. Teks/naskah ini dibagi dalam tiga materi pokok, dengan tebal 73 halaman. Naskah aslinya masih disimpan oleh keturunan beliau yaitu: Ida Bagus Putu Winaya yang juga menekuni bidang seni
32
Pewayangan. Sedangkan naskah yang penulis pegang adalah hasil penggandaan (fotocopy). Di dalam kariernya di dunia Seni Pewayangan, tercatat mulai tahun 1970- 1992 beliau melakukan pertunjukan sebanyak 1395 kali (belum untuk ngayah) dengan kurang lebih 1.000 buah lakon. Adapun lakon-lakon itu dan jumlah pentas serta bayaran yang diterima akan disajikan dalam daftar lampiran. Selain menguasai bidang seni pewayangan, menurut Ida Bagus Oka Wiprasta (sebagai kakak kandung), almarhum juga mahir di bidang seni tabuh, seni suara, seni lukis, dan seni sastra serta sebagai penari topeng, arja, drama bahkan seorang teatrawan. Hal ini dibuktikan dengan peran-peran yang dibawakannya yaitu di dalam pertunjukan Arja, beliau berperan sebagai dukuh atau pedanda atau penasar kelihan. Konon kepiawaian almarhum menurun dari kakeknya yang juga seorang seniman Dalang terkenal pada zamannyayaitu Ida Bagus Gde Genter. Dari katengkorg kakeknya inilah almarhum mendapat masukanmasukan prihal selukbeluk Pewayangan. Kemampuan lainnya adalah mahir memainkan musik kulintang, rebab dan gitar. Pengabdian beliau di luar seni adalah diawali sebagai pegawai URIL (urusan moril) di AJENDAM Denpasar, dan kemudian pindah ke RRI Denpasar, dan bertugas sebagai tim penluluh kebudayaan. Dari jerih payah almarhum di dunia Seni Pewayangan, ditulislah oleh beliau sebuah naskah dengan tema proses pembelajaran seniman Dalang yang berjudul Serrl Padalangan PurwaWasana I, II, III. Oleh karena naskah ini dapat dikatakan langka, sudah tergolong tua, dan belum dikenal khalayak Pedalangan sehingga sangat penting untuk disalin
33
kembali atau direvitalisasi. Artinya, karena teks yang mempunyai bobot penititala serta amat langka ini sangat sulit untuk ditemukan lagi. Oleh sebab itu penggalian dan pelestarian naskah seperti teks P-W, perlu dilakukan oleh para pemerhati seni khususnya seniman Dalang itu sendiri, baik otodidak maupun akademis. Dari menyalin naskah ini penulis dapat melestarikan, menyelamatkan sekaligus memberdayakan naskah tua dari kepunahan dan mendistribusikan kepada masyarakat melalui representasi pembelajaran Pedalangan. Jadi salah satu panititalaning Pedalangan dapat terselamatkan lewat komputerisasi di lembaga formal.
2.5 Model Pembelajaran Teks Purwa-Wasana (P-W) Teks dalam hal ini adalah kata-kata asli dari pengarang, yang juga berarti bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988:916). Ditinjau dari kandungan isinya, naskah PurwaWasana tergolong teks evaluative persuasif, yaitu: teks yang bertujuan untuk mempengaruhi pendapat, perasaan, dan perbuatan pembaca. Alex Sobur (2001: 52-54) membahas tentang teks dengan mengutip pendapat beberapa pakar diantaranya adalah Barthes (1975) (dalam Alex Sobur, 2001:22) menyatakan bahwa teks adalah sebuah objek kenikmatan. Yaitu terkait dengan bahasa itu sendiri. Barthes secara konsisten bergerak dilapangan strukturalisme yang mengunggulkan bahasa di atas apapun. Sebuah kenikmatan dalam pembacaan sebuah teks adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca. Kenikmatan yang dimaksud arthes, selain pada ranah
34
bahasa (teks), juga terkait dengan tubuh. Dalam The Pleasure of the Text, Barthes menunjukkan bahwa konsep kenikmatan yang dianutnya menyangkut atau berada dalam rangka aktivitas semiologi maupun analisis tekstual. Dengan membaca kembali dan berulang-ulang sebuah teks dengan memotong-motongnya dan menyusunnya kembali, yang merupakan rekonstruksi utama dalam semiologi dan analisis tekstual atau analisis struktural itulah Barthes menemukan kenikmatan yang dimaksud. Menurut Ricoeur (dalam Alex Sobur, 2001:52), teks adalah wacana (berarti lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan. Dengan demikian jelas bahwa teks adalah “fiksasi” atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan. Dalam definisi tersebut secara implisit sebenarnya telah diperlihatkan adanya hubungan antaratulisan dengan teks. Apabila tulisan adalah bahasa lisan yang difiksasikan (ke dalam bentuk tulisan), maka teks adalah wacana (lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk teks. Teks, juga dapat diartikan, seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks. Model penulisan teks purwa Wasana, secara garis besarnya di bagi menjaditiga bagian yaitu: bagian pembuka prolog: terdiri dari atur pangaksama dan patitis miwah piteges); yaitu kata pengantar dan tujuan teks tersebut dibuat, serta penjelasan global mengenai isi teks. Uraian tersebut, tersurat pada teks halaman 1 dan2.
35
Berikutnya, adalah bagian pendahuluan dari teks/naskah, yang isinya menguraikan tata cara pemberajaran pedalangan. Uraian tersebut tersurat lewat narasi dan dialog proses belajar dan mengajar antara seorang guru Pedalangan, Ki Dalang Wasitacara, dan muridnya “Ki Sewangga”. Dalam narasi, isinya menceritakan sepintas keberadaan identitas sang guru pedarangan dan sang murid. Setelah narasi, dilanjutkan dengan Dialog pembuka, yang isinya menguraikan antusias sang murid untuk belajar pedalangan. Selanjutnya adalah bagian inti dialog (korpus), yaitu berisi tentang inti proses belajar Pedalangan Bali. Dalam pembelajaran itu sang guru membagi proses pembelajaran ke dalam tiga tahapan, yaitu; Purwa-wasana I, kemudian tingkat seranjutnya adalah purwa-Wasana II, dan terakhir purwa-Wasana III. Dari gambaran umum di atas, teks p-W ini sudah mengindikasikan sebuah pembelajaran yang urut dan lengkap, sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah ‘penititala’. Penititala berasal dari kata 'niti' yang artinya ilmu pengetahuan, dan ‘tala’ artinya dasar. Jadi "penititala" adalah ilmu pengetahuan yang dapat dipakai dasar atau pedoman dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain bahwa P-W sudah dapat memberikan pembelajaran yang lengkap dan utuh mulai dari bawah atau dasar, sampai pada yang paling atas atau akhir. Jadi, dengan kata lain teks Purwa-Wasana I, II, III, menguraikan tentang tata cara belajar menjadi Dalang dengan sistem yang harus dilalui secara bertahap dan urut. Isi dari refrensi ini dibagi dalam tiga bagian penting yaitu: PurwaWasana I, menguraikan tentang ramuan/sarana cerita, Purwa-Wasana II, menguraikan
tentang
alur
cerita
pewayangan,
36
dan
Purwa-Wasana
III,
menguraikan tentang pengetahuan spiritual Dalang. Keterangan tersebut tersurat dalam bahasa Bali yang berbunyi sebagai berikut. “Doning katah pisan pawilangan sawirupaning pangaweruhe sane patut kauningin ring sangsane ayat dados Dalang, punika ngawinang PurwaWasana puniki palih titiang dados tigang soroh: a. Purwa-Wasana I, daging ipun "Wija Tatwa." (Raramuan/saranan lalam-pahan). b. Purwa-Wasana II, daging ipun "Tatwa: Bah bangun satua." (Kacawisang ring panonton). c. Purwa-Wasana III, daging ipun "suksma Tatua." (Rarangsuk ki Dalang)." Demikianlah tingkatan atau proses belajar mendalang, yang harus dilalui oleh seorang calon Dalang, dengan tahapan-tahapan yang berjenjang. Walaupun uraian itu perlu dikaji lagi, referensi ini sudah dianggap memberi sumbangan kepada dunia seni pedalangan, dengan harapan dapat bermanfaat bagi masyarakat, yaitu sebagai salah satu acuan dalam merepresentasikan model pembelajaran Pedalangan Bali. Ungkapan tersebut berbunyi sebagai berikut. “..., sane mewasta: “Purwa-Wasana. “ Mungguwing kawigunan ipun: I.
II. III. IV.
Rumasat anggen aling-aling, bilih-bilih sida katawengin pangrebeda sane saking dura negara, miwah sekancan sane ngawinang rered/ surud. Pinaka pemucuk pemahbah margi, majeng ring sane meled dodos dalang turah ring Bali. Ngardinin kainggilan linggih Dharma Pewayangan sane kamanggehang tur kasungsung antuk para Dalange ring Bali. Merupa dana-punia: samatra, pinaka saranan titiang bakti ngamiletin ring wawidangan seni pawayangan.”
37
2.5.1
Prolog Teks “Om Swastyastu” ATUR PANGAKSAMA Pinih riyin titiang ngaturang pangoyubagia ring para pamiarsa, maka
pingajeng ring sangsampun wibuhing pangaweruh ring sarwa tatua, mangda ledang ugi ngampurayang, dening kapurunan titiange makuma-kuma, pangkah nulad sang maraga Pradnyan. Mawiwit saking manah banget teleb ring kabudayaan makadi seni pawayangon Bali punika ngawinang sarat manah titiang mapidab-dab, nginkinang tata-cara Seni Padalangan puniki, sane mawasta: “PURWA WASANA”
Mungguwing kawigunan ipun : I.
Rumasat anggen aling-aling, bilih-bilih sida katawengin pangrabda sane saking dura negara, miwah sakancan sane ngawinang rered/surud.
II.
Pinaka pantucuk pamahbah margi, majeng ring sane meled dados Dalang turah ring Bali.
III.
Ngardinin kainggilan linggih Dharma Pawayangan sane kamang- gehang tur kasungsung antuk para Dalange ring Bali.
IV.
Marupa dana-punia: samatra, pinaka saranan titiang bakti ngami-letin ring Wawidangan seni pawayangan.
38
Nenten marasa ring sikian tuna sami-sami, kakuwub antuk manahe suluk, jantos gepu patisasar-patisusur kapetengan, kawawa antuk kace-petan papincer yuganing jagat. Inggih maka mapuput atur, mogi-mogi sida santosa raharja pamargin pawayangane, asapunika taler kaseniane lianan sane ngaranjing sajeroning Buddhaya Bali. “Om Santi Santi Santi Om” Titiang sane nyusun: (Ida Bagus Gede Purwa)
PATITIS MIWAH PITEGES Mungguing Purwa-Wasana puniki marupa tatacara Pawayangan, pinaka sarane anggen nuntun para murid Padalangan turah Bali. Pangambilane ngawit saking indik sene pinih sor/dangsah, ngalan-tur sayan ngomunggahang jantos rauhkapamuput, inggih punika: dados Dalang. Doning katah pisan pawilangan sawipuraning pangaweruhe sane patut kauningin ring sang sane ayat dados Dalang, punika ngawinang Purwa-Wasana punika palih tityang dados tigang soroh: a. Purwa-Wasana I daging ipun “Wija tatwa.” (raramuan/sarana lalampahan). b. Purwa-Wasana II. daging ipun “bah bangun satua.” (kacawi-sang ring panonton) c. Purwa-Wasana III. daging ipun “suksma tatua.” (rarangsuk ki Dalang).
39
Anggen misekenin tatuek/tatujon Purwa-Wasana inucap, ambilang titiang peratiwimba ring genahe malajah ngay,ayang: wenten murid/ sisia padalangan mawasta Ki Sewangga, maguru ring Ki Dalang Wasitacara. Ring paurukan puniki Ki Dalang ngutarayang tata-cara (Purwa-Wasana I, II, III.) jantos kapamuput. Inggih dumadak mangda sida antar antuk dane Ki Dalang midar-tayang, ngawinang dangan sang sane tumarima mikahyunin. Aksama titiang (Ida Bagus Gede Purwa)
2.5.2
Narasi dan Dialog Ki Dalang Wasitacara dan Muridnya Ki Sewangga
“Om Awignam Astu." KI DALANG WASITACARA Kacerita ring babanjaron Panggung desa Pagelaran, wenten dalang kawuwus sering kauntap mapawayangan kadura desa, apuspata Ki Wasitacara. Yusan danene sawetara 50 tahun, durung banget lingsir pikantenane. Katah sane saking desa lianan maguru ring dane, turin sami pada sampun puput dados dalang. Ne mangkin wenten jatma saking banjar Ranggon, taler kakuwuban desa Pagelaran, mawasta Ki Sewangga,tuwuh ipune wawu 18 tahun. Sane sampun lintang, ipun naenin tangkil ring Ki Dalang maica-icayan.
40
Nemonin Ki Dalang nenten mamargi ngaringgit, Ki Sewangga enjol tangkil ring linggih Ki Dolang, nenten kimud malih. Nanging tan mari nganutin tata-susila, sakadi keramaning sisia asewaka guru, ngeesang dewek matur bakti : "mamitang lugra titiang, guru.”
Wawu kacingak tur kapireng atur Ki Sewanggane, raris dane ngandika” Iawutang mai ning.” Ki Sewangga digelis nganampekin sarwi masila. Ki Dalang: “Men ken-ken ning Sewangga, dadi cara sarat pisan tekan ceninge mai. Apa cening bakal ngadakang yadnya? Dija ning maan uleh-ulehan, Sewongga? Sewangga: “Mapidaweg titiang, guru? Pinih riyin titiang nunas geng sinampura ring palungguh guru, antuk katambetan titiange tan uning natayang atur. Inggih guru, mungguwing sapengerawuh titiange sekadi mangkin, boya ja saking wenten yadnya, odalan ring pura kantun adoh: semaliha napi anggen titiang makarya. Guru, tangkil titiange nteriki kadi mangkin, wantah jagi ngalanturang sekadi pinunas titiang sane sampun, indik titiange pacang dados murid iriki, mangde suweca ugi palungguh guru ngangkenin katambetan titiange, saha ngicenin paplajahan. Palungguh guru sampun ngawikanin ring kakawonan titiange, nenten wenten sane anggen titiang larapan tangkil, sajaba sikian titiange puniki aturang titiang ring palungguh guru, rumasat Paras bungkulan wswu kakandik, palungguh guru aturin titian makalin rauh ngukir, mangde mawasta puput marupa togog/dalang.”
41
Wawu amunika Ki Sewangga matur, ica dane Ki Dalang dening iwang panyengguh, mikayunin pacang katurin masolah. Ki Dalang: “O o o, ning Sewangga. Dadi satekan ceninge jani mula tuah bakal mauruk ngawayang, keto. Nah yening buka keto idep ceninge, buka guru tusing buwin nyatua apang liyu, cendekne guru narima cening dadi murid padalangan dini, kewala kanggo baan cening kabelogan gurune. Guru dahat angayu-bagia satekan ceninge misadia malajah, wireh ada ane lakar ngalanturang gaginane ene, nyejerang Kabuddhayaane pamekas di seni pawayangan. Sakewala yan saih-saihang teken kaseniane ane lenan, dadi Dalang ane paling abot buwina paling tuyuh, nanging paling utama pakantenane”. Sewangga: “Mamitang lugraha titiang, guru. Yadiastun asapunika antuk palungguh guru mawosang, titiang cutet ngiringang; dening wantah ring palungguh guru unteng” manah titiang mapinunas. Kemawon ledang guru ngicenin wara-warah, yadiastun kaucap abot-tuyuh, titiang cutet ngiring.” Ki Dalang: “Nah, tusing nyandang cening buwin ngundukang ane buka keto. Ane buatang guru teken cening jani, pakenehan ane saja tur polos (budi sadu). Ento waluya perabot lintang kukuh, anggon wadah rikala narima papelajaha) unduk padalangan. Apa Dalange ento, buwina apa gunane? Kene cara tatampen gurune; I.
Dalang: kumawasa ngolah satua di pqwayangan, nanging tusing dadi lempas tekening bantangne.
42
II.
Dalang: sutradara ngalantur maucapan saha ngigelang wayang tur nganu, tang teken pajalan satua ntiwah rupa; wireh mapregina barang mati.
III.
Dalang: maraga Titah disajeroning panggung; gadebong-kelir-damar, mawak jagat (gumi). Wayang akropak gambelane, mawak isin gumi/sarwa tumuwuh, kabawos Stawara-Janggama. Satua paringgitan-Sapta Kanda Maha Barata, mawak Catur yuga miwah Karmapala.
Sakewala binannyane; yening lontar Sapta kanda- Maha Barata-satua paringgitan, liyu anak uning paileh satuane, wireh liyu ada cakepan-cakepan yadin ane marupa buku. Yan satuan paileh gumine (sangkan-paran) kabawos Catur yuga miwah karmapala, tusing ada anak uning pangerawuhnyane, sawireh cakepane kasingidang antuk lda Hyang Widhi. Gagunaning Dalang: I.
Pinaka panglila cita maledang-ledang / pangrenteb.
II.
Pinaka pamaridarta / panerangan saking pamerintah.
III.
Pinaka eedan upakara panca yadnya.
IV.
Muputang sasangi yadin bawos balian ngonteng.
V.
Ngelukat / ngaruat pametuan nemonin Wuku Wayang”
Sewangga: “Guru, ndawegang titiang matur nyelag akidik, piragi titiang bawos gurune iwawu; Dalang meraga Titah disajeroning panggung; semaliha ngalukat pametuan sane nemonin wuku Wayang. Mewastu jejeh manah titiang miragi, dening makadi titiang madewek nista turin tambet, nentenke pacang keni raja panulah pradene titiang dados Dalang, guru.?”
43
Ki Dalang: “Ah, Sewangga, eda ketoanga makeneh. Tonden kenken-kenken suba jejeh Sujatine ane madan Dalang, anak patuh tegakne/sorohne teken praginapragina ene lenan, sakewala paling tuyuh sawireh ngarangkep; yan praginan arja/topeng parembon-ngigel magilir. O, ning Sewangga, dalang - titah di sajeroning panggung. Artine: Ki Dalang wenang negehang-ngendepang damar pewayangane, ngenyatang talin kelir, menehang tongos keropak yadin joh paek gegambelane, saha ngon, tabuh gending pewayangane. Yan unduk ngelukat jejehang cening, suba ada bebanten, lelampahan wayang, ento ane sujatine marisuda. Buwine uli nguni suba ketah anak dadi dalang/pregina tusing nyandang ento sangsayain cening, wireh suba ada unduk banten upakara nyumunin mauruk. Disubane bisa ada masih upakara babanten ngasisiang/mesuang.” Sewangga: “Inggih Guru. Nemangkin malih mewaligalang manah titiange, lanturang titiang malih mapinunas. Piragi titiang bawos anake nyambatang: wenten ngucapang nyanan ada wayang batel. ‘bin puan ada wayang Calonarang. "Wenten malih Parwa miwah sane siosan, punapi sane ngawinang asapunika, guru?” Dalang: "Kene ento cening. Ada ulian gagambelan miwah ada ulian lelampahan maangin adan, umpama: Dalang Batel
= wayang magambelan Batel.
Dalang Parwa
= wayang ane ngelampahang
Mahabharata (18 parwa), gambelane gender wayang 4 besik.
44
Dalang Ramayana
= ane ngelampahang Sapta Kanda/ Rama, gambelane batel pawayangan.
Dalang Calonarang = ane ngelampahang Aji ugig (ilmu pangiwa), gambelane batel pewayangan. Dalang Cupak
= ane ngelampahang Cupak-gerantang, gambelane batel pawayangan.
Dalang Parembon
= ane papayasan lalampahane nganutin eeb gumi (masa), teked rupaning wayang, gantbelane batel pawayangan.
Dalang Gambuh
= ane ngalampahang Malat (Panji Malat Rasmin), gagambelane batel pagambuhan.
DalangArja ane
= ngalampahang
Daha-Janggala,
gambelane
batel
pengarjan. Mara-mara muncul/lekad di desa Saba Gianyar. Dalang lemah
= ane tusing makelir, ngigel marengin pemargin yadnya, gambelane batel 2 besik.
Dalang sapuleger
= ane ngelampahang Kala Tatua, ngaruat pawetun wukun wayang, magener 2 besik, saih cara wayang lemah.
Sewangga: “Inggih, mungpung guru mawosang indik punika, wenten sane tunasang titiang mangkin. Punapi sane ngawinang anak sane medal ring wukun Wayange punika kemanten malukat, pawetuan ring wukune lianan nenten patut maruat antuk Dalang sapuleger, guru?”
45
Dalang: “Ha, ha, ha saja ning Sewangga. Manut rontal Kala Tatua, anak ane lekad nemonin wuku Wayang, kebawos mada, wireh bani matuhang pamijilan Ida Hyang Kala di Tumpek Wayange. Mirib para Dewatane ane mijil di wukune lenan teken wuku Wayang ngaragayang sadu dharma. Yadian liu anak lekad marengin pamijilan ldane, tusing lda menggah pamiduka.” Sapunika antuk dane Ki Dalang Wasitacara midartayang sekadi benjul, mawinan mawetu benjul makekalih. Sewangga: “Cutetang indik punika guru, guru Ngiring waliang malih sekadi bawos gurune, "indik wayang parwa" sane ngelampahang Maha Bharata magambelan antuk gender 4 siki, punika sane meled ring manah titiange. Pinunas titiange, amunapi katah wayang sane kemargiang / kadruweyang antuk dalang wayang parwane guru?” Dalang: “Liyun wayang dikropak dalange sowang-sowang manut goban isin satua, wireh wayange ento preginan satua. Yan satua lalampahan, dalang parwane ane tawang guru paling liu ngelah lampahan. Ento kerana Dalang Parwanepating tiu nganggo wayang, sawetara 100 besik ane meadan – dadi akropak. Wayang ane setata manggo disatuane/dipawayangan, adanin guru wayang dasar, luwire: Kekayonan, Malen, Merdah, delem, sangut, Condong, Bala-Bala, Tatunggangan, sarwa senjata, miwah api-apian. Lenan teken wayang dasar, alihang buwin wayang pregina anggon ngelawatang lelampahan, agenepan lampahan asoroh malu, suba keto wuwuhin buin anutang teken satuane. Disubane
46
liu ngelah lelampahan/ wayang, sayang bisa cening nyeta (nebag) kelus sasebengan wayang yadin mantesang anggah ungguhe sowang-sowang.”
Sewangga: "Inggih ngiringtitiang, guru. Saking mangkin titian jagi makinkin saka kidik, dumadak suweca Ida Bathara. Yah, sekadi makebiah wawu titiang eling. Punika indik gegambelane sane nyarengin marupa gender 4 siki, napike sane dados Dalang ngutsahayang rauh penabuh ipune, guru?.” Dalang: “Ooo, kene ento cening. Sainget guru dini di desan ceninge, ada gender wayang duwen pura, ada masih gender duwen Puri, Geria, gelah paumahan. Gendere ento sekaina teken ane demen-demen megambel, adanine juru gender. Gunane manggo rikala yadnya pemandesan (metatah), miwah yan mewade awi/ diwadahe, yan di Pura-pura manggo rikala pangluwuran / nyimpen. Ane paling lubuka, anggon ngambelin wayang, dikenkene anggon ngambelin Arja marengin gaguntangan. Nah buka cening, jani tonden nyandang ngenehang ento, apang eda belbelan cening mapaitungan, seka besik malu sedenang: I.
= muruk ngewayang - apang kanti bisa
II.
= ngutsahayang wayang - apang 100 besik
III.
= mara nyaratang gender 4 besik.
Kewala guru tusing memaksa, kapisara teken cening ngelah abot ingane makeneh.”
47
Sewangga: “Wiakti pisan sekadi bawos gurune iwawu, semaliha punika sane kaping siki sedenang titiang ngemanahin: jagi muruk ngawayang. Nanging ndawegang banget pisan ring palungguh guru; dening mekadi tiang waluya ngaturang pinyungkan mabuat ring palungguh guru, saantukan kalah pisan sane lungsur titiang rikala pacang muruk ngawayang, minakadi: genah, kelir, suar wayang rauh gender, deruwen gurune iriki jaga lungsur titiang anggen muruk; ring para juru gender, titiang jaga ngidih olas. Dening palungguh guru sane sungsung titiang, ledangang mapaica dewasa/rahina ngawit mauruk, mangda patut antuk titiang pacang ngebatang kelir, mepajar ring juru gendere.” Dalang: “Nah yan buat perabot, guru tusing nyeresetang buin, yadin teked ngurukin cara ane biasaang guru, nah masih. Sakewala anake ane muruk makelir / gender, suba ngelah lelampahan tur suba bisa maucapan basa pewayangan. “Sapunapi basa pawayangane miwah napi lampahang?”. Yan keto patakon ceninge; kene ning Sewangga, guru suba milpilang tata-cara anggon guru ngurukin murid ane malunan, keto masih teken ning Sewangga, madan: “Purwa - Wasana" Purwa mearti: Pangawit, Wasana mearti: pamuput. Purwa Wasana tatujone: ngawitin melajah kanti bisa ngawayang. Wireh makudang-kudang sorohrupan unduk ane maka dasar pawayangan, ento kerana Purwa - Wasanane, dadi telung soroh, Luwire: a. Purwa Wasana I. : Serana lelampahan (wija tatua).
48
b. Purwa Wasana II. : Kesajiang ring panonton (tatua). c. Purwa Wasana III. : Rerangsuk Dalang (suksma tatua). Saih pesan muruk ngawayange cara nyujukang umah: 1. Paling malu ngutsahayang reramuan apang genep. 2. Suba genep mara ngawangun / ngawe rupan umah. 3. Suba peragat, mara mulang pengisi tur melaspasin. Nah keto masi muruk ngawayang, ngawit uli Purwa wasana I, ngalantur II, pamuput III. Ada Badinganga ngurukin, jalan jumunin uli pretama.
2.6 Biografi Dalang I Ketut Muka, lahir pada tahun 1946 di Banjar Dajan Rurung, Desa Batuyang, kecamatan Batubulan Kangin, Kabupaten Gianyar. Istri dari Ni Made Munil, dan ayah dari empat orang anak ini menggeluti dunia Pedalangan dari sejak anak-anak. Muka mendapatkan darah seni dari orang tuanya yang juga terkenal pada zamannya yaitu Jero Dalang I Wayan Swara (almarhum), suami dari Ni Made Preksa (almarhum). Selain kemampuan mendalang di dapat dari keturunan, Dalang Muka juga mencari guru lain sebagai bahan perbandingan dari apa yang diberikan oleh ayahnya. Sebagai guru panggung Dalang muka memilih Dalang kondang pada zamannya yaitu Dalang I Nyoman Granyam dari banjar Babakan Sukawati. Dari pengalamannya selama puluhan tahun di dunia Pedalangan, kini diusianya yang menginjak senja beliau telah menjadi Dalang terkenal walaupun tidak populer.
49
Kini Dalang I Ketut Muka dengan bakat alamnya telah banyak memberikan kontribusi terhadap dunia seni ini. Selain memberikan pembelajaran secara alamiah kepada beberapa muridnya yang datang dari beberapa daerah di Bali, juga sering digunakan sebagai informan oleh beberapa seniman akademis seperti I Ketut Kodi, I Gusti Putu Sudarta, dan penulis sendiri, serta beberapa intelektual lain juga sering datang mencari informasi kepada beliau. Generasi penerus beliau adalah I Made Gunadnya yang selain seorang Dalang, juga penari Topeng, Prembon yang cukup disegani di daerahnya. Gunadnya sendiri adalah anak kedua dan merupakan seniman jebolan ISI Denpasar jurusan pedalangan pada tahun 1997. Kini Gunadnya mengabdikan kemampuannya di bidang seni kepada masyarakat, namun tetap meminta bimbingan orang tuanya terutama di bidang seni Pedalangan. I Wayan Nardayana yang lebih dikenal dengan Dalang Cengblong, merupakan salah satu dalang populer saat ini. Walaupun saat ini statusnya masih mahasiswa ISI Denpasar Jurusan pedalangan, namun kemampuannya mendalang merupakan bakat yang dipelajarinya secara otodidak. Perihal Dalang Cengblong ini telah dilakukan penelitian oleh Ni Diah Purnamawati dalam bentuk tesis. I Wayan Nardayana (Cengblong) lahir di Banjar Batan Nyuh, Desa Belayu, Kecamatan Marga (Tabanan) pada tanggal 5 Juli 1966 sebagai putra kepertama dari dua bersaudara, hasil pernikahan antara I Ketut Tuwuh (ayah) dengan Ni Wayan Locer (ibu). Kemampuan mendalang Nardayana merupakan hasil usaha jerih payahnya selama bertahun-tahun, sehingga sekarang menjadi
50
Dalang terkenal dan sudah mulai memberikan pengajaran Pedalangan secara nonformal di desanya. Walaupun penelitian terdahulu telah banyak mengupas tentang Cengblong, namun untuk keperluan penelitian ini, penulis tetap melakukan wawancara dengan cengblong prihal proses pembelajaran Pedalangan sesuai dengan bakat, pengalamannya, dan pengetahuan yang dimilikinya. Adapun pembelajaran yang paling penting bagi Nardayana diuraikan dalam bab V. I Made Kembar, adalah seorang Dalang dari Desa Padang Sumbu Kelod Kecamatan Kuta, Kodya Denpasar. Beliau lahir pada tahun 1953, dan sangat mencintai kesenian Wayang sampai saat ini. Karena kecintaannya ini, menjadikan beliau seorang Dalang yang cukup terkenal terutama di daerah Denpasar dan Badung selatan. I Made Sidja, tidak hanya terkenal sebagai dalang, tetapi juga piawai dalam berbagai jenis kesenian lainnya, seperti: menari topeng, menari arja, sebagai penabuh (Bhs Jawa, pangrawit), membuat berbagai macam sesajen, seni sastra, dan lain-lain. I Made Sidja seorang seniman yang suka belajar tentang segala pekerjaan apapun termasuk menekuni segala bidang kesenian, maka ia sering digambarkan sebagai seniman serba bisa oleh kritikus seni tari Indonesia Dr. Sal Murgianto. Dalang I Made Sidja dilahirkan di Banjar Bona Kelod, Desa Belega kecamatan Blahbatuh, kabupaten Gianyar (Bali) tahun 1933, adalah dalang tertua di Gianyar. Selain mahir mendalang, sikap dan perilakunya terpuji sehingga
51
dihormati masyarakat. I Made Sidja tidak hanya terkenal terkenal di daerahnya, hampir seluruh Bali pernah menyaksikan kebolehannya. Ia pun pernah mendalang di manca negara. Salah satu hasil karyanya yang disumbangkan untuk menambah khasanah wayang Bali adalah wayang Arja yaitu sejenis kesenian Wayang Kulit kreasinya yang mengintegerasi unsur-unsur wayang dan unsur-unsur Dramatari Arja, dimana aspek kerawitan, lakon, penokohan, dan retorika “parajaan” disajikan melalui media pewayangan. Atas jasa-jasanya I Made Sidja mendapatkan berbagai piagam penghargaan dari Kepala Taman Budaya Denpasar atas partisipasinya pada pameran wayang kulit se-Bali tahun 1987. Penghargaan juga didapat dari Bupati Gianyar sebagai pembina Dalang di Gianyar dalam pekan wayang Daerah Bali tahun 1989, serta piagam penghargaan dari Seni Dharma Kusuma dari Gubernur Bali. Tahun 1998, Sekolah tinggi Seni indonesia memberikan piagam penghargaan dan cincin emas Siwa Nataraja kepada Dalang I Made Sidja sebagai tokoh seniman yang berjasa luar biasa dalam bidang seni. Generasi penerus beliau adalah I Made Sidia yang berstatus sebagai dosen Jururan pedalangan ISI Denpasar, dan I Wayan Sira. Mereka berdua ini telah berbagi dalam menekuni dunia Wayang dan mengabdikan kemampuannya untuk kepentingan kelestarian dan pengembangan seni dan budaya. Ida Bagus Arga Patra adalah seniman Dalang dan Topeng dari Gria Simpangan Buduk Badung. Suami dari Ida Ayu Indah Karceni, dan ayah dari
52
empat orang anak ini kini masih berstatus mahasiswa Juruan pedalangan ISI Denpasar. Arga Patra merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara dari pasangan Ida Pedanda Gede Baskara dan Ida Pedanda Istri Simpangan Manuaba. Gus Alit (panggilan akrabnya) mendapat darah kesenimanannya dari orang tuanya sendiri yang pada saat welaka (muda) merupakan Dalang terkenal serta dengan kemampuan spiritual yang tinggi. Moto pembelajaran Almarhum yang terus diwariskan kepada Arga Patra nyilem ngelangi di sajeroning tattwa tutur. Kini dalang Ida Bagus Alit tetap eksis di dunia seni terutama Wayang Kulit. Adapun jenis Pewayangan yang mampu dibawakan adalah Wayang Parwa, Wayang Ramayana, dan Wayang Calonarang. Selain itu, Arga Patra juga sering melakukan pertunjukan Topeng dan Bondres. Karena kesibukannya itulah, Arga Patra sampai sekarang belum bisa menyelesaikan studinya di Institut Seni Indonesia Denpasar pada jurusan pedalangan. Kendatipun demikian beliau telah banyak memberikan tuntunan pedalangan kepada masyarakat yang ingin belajar serta memperdalam kesenian ini.
53
BAB III BENTUK PEMBELAJARAN SENI PEDALANGAN BALI BERDASARKAN TEKS PURWA-WASANA
Pada bagian ini, didiskusikan mengenai pembelajaran, khususnya P-W I yang menguraikan tentang Tri Lagawa, Catur Perakreti dan Panca Wilasa. Hal ini dilakukan karena sebelum bagian ini yaitu narasi serta dialog Ki Wasitacara dan Ki Sewangga, merupakan pendahuluan atau prolog teks, untuk memperkenalkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog pembelajaran Pedalangan tersebut seperti tercantum pada Bab IV (4.3.1 dan 4.3.2). Oleh sebab itu pada bagian ini, penulis hanya mentransliterasi mulai dari bagian korpus. Sedangkan teks P-W II dan III tidak dikaji secara mendalam karena secara praksis telah sering dilakukan oleh para Dalang di masyarakat. Salinan asli teks P-W disajikan sebagai lampiran dalam tulisan ini. Sedangkan yang dikaji adalah terjemahannya seperti yang tercantum di bawah ini.
3.1 Terjemahan Teks P-W. 3.1.1
Terjemahan Teks P-W. I. Purwa Wasana I ini, dibagi menjadi tiga pokok pengetahuan: 1. Tri Lagawa. 2. Catur Perakreti. 3. Panca Wilasa.
54
1. Tri Lagawa artinya: tiga pokok kekuatan yaitu: a. menget. b. suara, c. madia. a. Menget artinya: selalu ingat dengan materi dan hafalan tidak cepat lupa. Sebab di dalam pertunjukan tidak boleh membaca catatan atau buku dan tidak boleh bertanya. b. Suara artinya: memiliki suara yang bagus, baik suara besar ataupun kecil dan tidak cepat serak waktu pertunjukan yang lama. c. Madia artinya: Dalang harus kuat duduk. Sedikitnya tiga jam belum pernah bangun, tidak boleh berdiri saat ngewayang. Kalau sudah memiliki Tri Legawa ini, itu sudah ada ciri-ciri untuk bisa menjadi dalang yang bagus. Tetapi agar serius tidak cepat bosan belajar, guru berani bertaruh pasti akan berhasil”. Sewangga: “Bah, kalau begitu perkataan guru, hamba sama sekali tidak mampu bersuara besar kecil apalagi suara keras atau ngelur karena suara hamba jelek sekali menyebabkan hamba malu untuk berolah vokal/matembang, sampai sekarangpun hamba tidak bisa bernyanyi. Mohon guru dapat memberikan bimbingan agar hamba bisa bervokal sesuai dengan harapan guru”. Dalang: “Masalah baik dan buruknya suara, rasanya tidak bisa dirubah sepenuhnya, itu tergantung dari resonator pita suara kita. Tetapi karena rajin berolah vokal, makanan dan minuman yang tidak membuat panas dalam (pisang hijau berisi santan). Saat mandi di sungai – disiram dengan air pancuran, saat di
55
laut sambil memancing, tujuannya adalah untuk membuat perut menjadi sejuk atau adem, sebab perut yang sejuk/tis menghasilkan suara yang bagus. Yang namanya menget atau ingat (ingat selamanya), bisa juga karena latihan "menjauhkan lupa", menurut guru: I.
Jangan ditunda – adanya dorongan keinginan (ah nanti bawa kesana), artinya kalau sekarang ingat - langsung kerjakan sampai selesai/tuntas.
II. Memastikan tempat. Buatkan barang-barang kita tempat yang pasti, tempat pisau, golok, kunci, pengupas isi kelapa/penyeluan, sendok dan lain sebagainya, kalau sudah selesai dipakai ingatlah menaruh pada tempatnya. Cara itulah yang guru pakai untuk mengusir sifat lupa agar sifat ingat mau tinggal pada diri kita. Nah, kalau ingin kuat duduk tiga jam, bisa juga karena latihan yaitu dengan cara melupakan tempat kita duduk seperti pemain catur, atau seperti orang yang lagi asyik nonton film, sampai tidak ingat dengan timur barat, karena terlalu serius atau konsentrasi. Nah sekarang kita lanjutkan dengan pelajaran yang bernama:
2. CATUR PERAKRETI. Catur Perakreti adalah empat bagian pelajaran yaitu: 1) Manohara Perakreti 2) Suarasa Perakreti 3) Parwadi Perakreti 4) Dharmanda Perakreti Ad 1.
Manohara Parekreti artinya: Cengkok atau getaran suara juga gerak/sabet agar dapat meluluhkan perasaan.
56
Getaran atau nada suara : saat bervokal mengikuti irama gambelan baik pelog atau slendro, agar suara bisa menyatu dengan nada gambelan, terutama dalam pengambilan nada sesuai dengan tujuh nada. Gerak atau sabetan/tetikesan: jenis tarian wayang agar sesuai dengan irama gambelan pengiringnya sehingga adegan itu kelihatan hidup. Nah, Sewangga, usahakan manohara tersebut dibiasakan terlebih dahulu, supaya biasa bertembang/bervokal, juga aksen musik iringan, karena itu yang paling muda”. Sewangga: “Maafkan hamba guru, manohara parekreti mapiteges: membiasakan nada pelog dan slendro dan aksen - aksen iringan. Masalah tersebut sudah terbayang dalam benak hamba. Yang hamba tanyakan adalah: dalam melodi iringan yang bagaimana yang seharusnya hamba pelajari terlebih dahulu, serta saat matetandakan (bervokal;, dimana hamba mencari bahasa ucapannya itu guru?” Dalang: “Yang dipakai dalam seni pertunjukan wayang kulit tidak terlalu banyak, asal tahu aksen-aksen musik Gegaboran dan Bebatelan itu sudah cukup. Akan lebih bagus jika menguasai yang lainnya seperti: musik Palegongan, Gitak, Bapang Gede dan lain sebagainya. Nah, bahasa yang dipakai dalam berolah vokal bernyanyi, diambil dari: Sekar Alit (tembang-tembang), Sekar Madya (kekidungan), Sekar Ageng (wirama). Itulah yang dipakai latihan setiap hari, minimal tiga baris dalam satu tembang, agar cepat biasa memahami melodi dan cengkok, utamanya nyutra suara-sapta nada. Tapi jangan memilih tempat latihan,
57
dimana sempat dan ada waktu, disanalah latihan vokal dan hapalan. Banyak model pekerjaan yang cocok dilakukan sambil bernyanyi sambil menghafal aksenaksen (angsel-angsel) melodi gambelan. Tetapi rasa malu itu, harus dihilangkan terlebih dahulu, karena rasa malu menyebabkan hambatan untuk belajar. Selama masih dilekat oleh rasa malu, semua yang dipelajari akan menjadi malu, sehingga lama tidak akan mengerti. Rasa malu tersebut merupakan penyakit dari orang yang belajar seni, seyogyanya cepat diobati dengan tablet berani/salep tidak tahu malu (bengal). Kalau masalah di atas dikaitkan dengan diri manusia, menjadi seperti ini: Gerak tari - sarananya kaki, tangan- dasarnya adalah tenaga (bayu). Vokal/nyutra suara- sarananya kerongkongan-dasarnya adalah suara (sabda). Nada iringan (reng nada suara)-sarananya adalah musik - dasarnya adalah pikiran/rasa (idep). Demikianlah sebenarnya bayu, sabda dan idep/Tri premana (tenaga, suara dan pikiran) dalam Manohara parekreti”.
Ad 2.
Suarasa Parakreti artinya: Merasakan perbedaan semua pikiran atau perasaan yang pernah dialami. yang paling banyak perasaan itu datang dari: berkencan (masa puber), dari bepergian keluar daerah/negeri, mendadak merasa senang, bahagia, emosi; mendadak merasakan sedih, tersinggung, marah, dan perasaan lain yang pernah dialami sendiri.
Ada juga rasa yang datang karena pengaruh luar, umpama: tokoh protagonis mau menyakiti tokoh antagonis atau adharma melawan dharma, Raja memerintah rakyat, cara seorang polisi mengurus pencuri, pedagang dengan
58
pembeli, banyak lagi hal yang kontras (rwa bineda). Yang patut diambil/diingat: gerak/tandang serta ucapannya. Umpama: kalau orang marah, bagaimana ekspresinya? Atau gerakan dan ucapannya? Begitu halnya dengan senang dan sedih dimana perbedaannya? Gerak laku orang tua dengan anak-anak di mana bedanya? Rasa-rasa yang berbeda-beda tersebut akan membentuk satu cerita, yang akan ditampilkan dalam pertunjukan pewayangan. Itulah sebabnya nak Sewangga, dari sekarang kumpulkan rasa-rasa itu, baik yang datang dari diri sendiri ataupun dari berapresiasi (datang dari orang lain)”.
Ad 3.
Parwadi Parakreti, artinya: membaca semua cerita parwa/ Mahabharata, kekawin-kekawin, semua bentuk kidung, gaguritan, (vokal bertembang dalam tradisi Bali) serta semua yang berbahasa Kawi, sekaligus belajar mengartikannya. Sebab semua Bahasa Kawi itu menjadi Bahasa wayang, yang diartikan oleh abdinya/panakawannya. Cerita-cerita yang dijadikan plot cerita, tentang keadaan seorang raja (kerajaan). Itu sebabnya aturan bicara/etika bicara atau Bahasa dari setiap tokoh, disesuaikan dengan karakter wayang itu sendiri. Kalau ada sebuah grup pesantian (grup vokal tradisi Bali), akan sangat bagus kamu ikut bergabung, sekalian mengumpulkan Bahasa Kawi, memilah-milahkannya. Seperti: Pangrangrang = menyombongkan sebuah kerajaan, jalan, pantai, gunung, dan sebagainya.
59
Pangrumrum = Bahasa Rayuan (percintaan). Panulame = Bahasa sedih/menangis Be Banyolan = dialog-dialog yang membuat tertawa Diatmika : Filsafat-filsafat tinggi, pendidikan keselamatan/kesejahteraan. Sengit = semua Bahasa kasar/jorok saling menghina. Kalau Banyolan yang guru rasakan baik/berbobot adalah; Banyolan yang datangnya mendadak atau tidak dipersiapkan sebelumnya.
Ad 4.
Dharmanda Parakreti, artinya: Waspada terhadap batas-batas kewajaran atau kebenaran yang menjadi konvensional bersama. Kebenaran/ kebajikan disebut kewajiban. Kewajiban tersebut sangat banyak dan bermacam-macam jenisnya, di ikat oleh aturan-aturan, dan aturan-aturan itu sendiri di ikat oleh Undang-undang. Untukmu Sewangga, ingatlah kewajiban masing-masing, bagaimana perbuatan dan perkataan. Umpama: Kewajiban seorang dukun = mengobati semua penyakit, tidak memandang kaya miskin, sahabat atau musuh. Kewajiban seorang Raja = mengutamakan kesejahteraan kerajaan/rakyat. Kewajiban seorang Pendeta = mengutamakan persembahan kepada Tuhan, melalui Agama,/Panca Yadnya. Kewajiban seorang Kesatria = mengutamakan jiwa patriotik, memerangi seluruh musuh negara atau penyakit dunia. Kewajiban Undagi = mengatur tempat bangunan agar tidak menyakiti.
60
Kewajiban Rakyat = melaksanakan perintah raja untuk membangun ketentraman negara.
Banyak
lagi
kewajiban-kewajiban/hak-hak
yang
dipertahankan,
menyebabkan kemarahan sampai terjadi perang. Kejadian ini yang selalu dipentaskan oleh dalang, sama-sama mempertahankan hak dan kewajiban saling caci-maki hingga terjadi pertempuran. Sampai di sinilah keterangan Catur Parakerti. Kalau guru simpulkan lagi Catur Parakerti tersebut: 1. Manohara = belajar nada suara pelog dan selendro, juga aksen gambelan atau iringan dan tetikesan atau sabetan wayang. 2. Suarasa = mengingatkan sabetan dan suara atau dialog dengan rasa yang berbeda-beda. 3. Parwadi = belajar etika bahasa kawi dan Bali (anggah-ungguh, sor singgih Basa). 4. Dharmanda = mempelajari batas-batas kewajiban, hak, setiap karakter. Sewangga; “Ya guru, maafkan hamba, masih bingung pikiran hamba mendengarkan penjelasan guru tadi, yaitu penjelasan mengenai Parwadi dan Dharmanda, terasa belum terbayang dalam pikiran hamba mengenai hal itu dan pasti akan lama hamba pelajari, sebab bahasa Kawi belajar dari filsafat agama/dharma. Kapankah hal itu hamba dapat kuasai? Hamba takut keinginan menjadi dalang akan hilang.
61
Maaf, kalau ada teknik belajar yang lebih mudah lagi sedikit, tolong hal tersebut berikan kepada hamba agar lebih mudah hamba meresapinya, dan bisa lebih cepat belajar praktek pakeliran.”
Dalang: “Yah, kamu mau kemana Sewangga? ingatlah ada istilah mengatakan: yang namanya pekerjaan, jika dilakukan dengan sembarangan pasti mutunya berkurang, dan kelihatan amat kasar serta banyak yang rompal atau patah. Dan lagi yang kamu katakan belum terbayang /sulit karena Parwadi dan Dharmanda tersebut belum pernah kamu baca. Pokoknya apa yang belum kita ketahui akan kelihatan amat sukar, dan semua kelihatan gampang karena sudah kita ketahui. Sebabnya bisa tahu karena kita rajin belajar. Nah, nak Sewangga, guru tidak akan memaksa agar kamu mempelajari apa yang guru telah terangkan kepadamu. Seperti permintaanmu, menginginkan teknik yang lebih mudah, sepertinya guru sendiri belum pernah mengajar ngewayang memakai teori selain Purwa-Wasana I, II, III. Yang sudah lewat murid-murid pedalangan yang belajar kepada guru semua mempelajari Purwa Wasana I, II, III. Guru tidak punya teori dan tehnik lainnya, nak Sewangga jangan menyesal dan menganggap guru kikir.” Sewangga: “Guru, mohon maaf yang sebesar-besarnya, semoga tidak marah terhadap hamba, setelah hamba pikir, petuah guru benar sekali. Hamba masih ingat waktu masih sekolah, semua pelajaran kelihatan sukar-sukar sekali dan juga lagu-lagu yang baru diberikan, tapi setelah tahu dan hafal, tiada lagi yang sulit dan
62
tidak susah mengucapkan dan melantunkan tembang tersebut. Untuk saat ini, silahkan guru memberikan hamba pelajaran seperti yang telah guru lakukan terhadap murid-murid terdahulu.”
Dalang: “ha, ha, ha... bukannya guru marah, dan untuk apa marah!, ya.. kalau begitu keinginanmu mau belajar disini, mari sekarang kita lanjutkan sehabis Catur Parakerti adalah; 3. PANCA WILASA. Panca Wilasa artinya: proses membuat satu bentuk cerita dengan lima buah komponen yaitu; 1. Carita Wilasa 2. Waca Wilasa 3. Cancala Wilasa 4. Krama Wilasa 5. Sanjiwa wilasa.
Ad 1.
Carita Wilasa, artinya; pengambilan cerita yang bisa dijadikan satu bentuk cerita. Para dalang terdahulu mengambil cerita dari Asta Dasa Parwa (Maha Bharata), Ramayana (Sapta Kanda), Ketaka Parwa, dan dari kekawin-kekawin pewayangan (prosa berirama). Sekarang juga banyak diambil dari komik-komik, dari majalah bulanan yang berisi satu bentuk cerita utuh. Pada dasarnya semua cerita berisikan cerminan dari Dharma melawan Adharma (baik dan Buruk). Seperti yang dipelajari;
63
bagaimana upaya si jahat mau mencelakai si baik? perbuatan yang membuat duka lara, menyakiti, membunuh, atau membohongi. Tapi pada akhirnya kebenaran akan selalu menang. Cara merancang atau membuat satu cerita wayang setidaknya harus berisi empat komponen, yaitu: 1.
Swamandala = ada nama negara, Raja, maha patih, Putri, dan semua yang dijadikan pokok cerita.
2.
Anta Kerana = Permasalahan yang dijadikan konflik
3.
Uparengga = Kreativitas/inovasi yang sesuai dengan jalan cerita.
4.
Pasiat: perang sebagai akhir cerita, kemenangan Dharma.
Semua cerita yang akan dijadikan pertunjukan wayang usahakan agar berisi empat bagian tersebut di atas, yaitu; Swamandala, anta kerana, uparengga/ pahias, dan pasiat yang disebut Catur Kerana.
Ad2.
Waca Wilasa artinya setiap kata/kalimat, bahasa yang dipakai ucapan wayang dalam pertunjukan. Selain ucapan tersebut, ada lagi bahasa yang harus dicari, setidaknya ada tujuh bagian, yaitu; 1.
Paguneman = menjelaskan nama negara, raja, bawahan dan tujuan Pertemuan.
2.
Pengrangrang = bahasa untuk menyombongkan keindahan keraton/ negara, hutan, gunung, jalan, samudra. (bahasa paradok).
3.
Pangrumrum = Bahasa percintaan, rayuan, merendahkan diri (tegal mabudi toya).
64
4.
Sedih = Semua bahasa yang mencerminkan duka lara, menangis, memanggil-manggil, sedih.
5.
Banyol = Ada yang lucu dari suara (monolog, dialog), ada dari model atau bentuk wayang, dan ada dari gerakan wayang.
6.
Pengung = Bahasa kawi, filsafat, pendidikan keutamaan, kesucian dan kewajiban.
7.
Sengit : Semua bahasa yang kasar/keras, tidak bisa didengarkan oleh telinga saling hina, sombong, egois, tapi jangan sampai menghujat (memisuh?). Dari ketujuh bagian tersebut harus dicatat, minimal ada beberapa contoh bahasa untuk diingat hingga betul-betul hapal.
Ad 3.
Cancala Wilasa, artinya; teknik gerak wayang sesuai dengan karakter dan jalannya cerita. Cara memainkan wayang tersebut guru bagi menjadi sembilan, yaitu; 1. Agem Luhur: watek Dewata, Resi/pendeta, raja tua; dimana jalannya pelan, ucapannya juga pelan berbobot, perbawa suci (wayang berwibawa). 2. Agem Dadeling: Tokoh raja, kesatrya dan para putra raja bermata bundar. Perbawanya keras, tegas, ucapan tegas berwibawa. 3. Agem Manis: Karakter raja dan putra manis bermata sipit, perbawa manis, jalannya pelan, ucapan juga halus manis.
65
4. Agem Aeng: Karakter wayang dengan gigi lancip, perbawa galak menakutkan, suara keras, ketawanya keras terbahak-bahak (ngregeh ngulun-ulun?), jalannya tegas/tegap. 5. Agem Garini: Karakter wayang putri manusia, perbawa sangat manis, ucapan atau suara kecil melengking, jalannya sangat pelan. 6. Agem Sor: Karakter wayang penasar (abdi laki perempuan), perbawa sopan, jalan dan sifatnya merendahkan diri. 7. Agem bobot: Karakter wayang besar, perbawa berat, suara sesuai dengan bentuk tubuh, jalan agak bergoyang. 8. Agem Sandi: sopan santun - tatakrama wayang tergantung dengan cerita saat di persidangan, di dalam hutan, di jalan, sesuai dengan iringan tabuh, dan penggunaan bahasa kalangan atas maupun bawah. 9. Agem yuda: Perjalanan menuju medan laga lengkap dengan senjata, binatang tunggangan, dan prajurit. Pertama-tama adalah; prajurit, kemudian para kesatria (bebantot-bebantot?) dan patih-patih, dan terakhir adalah Raja yang didampingi oleh para pendeta. Dalam adegan perang, yang patut dipelajari adalah; dengan senjata gada, panah, cara menusukkan senjata, melukai atau adu kekebalan.
Ad 4.
Krama Wilasa, artinya: mengatur struktur pertunjukan/plot cerita, dan kreativitas disesuaikan dengan kebutuhan cerita. 1. Menjelaskan jalannya cerita, Raja dan kerajaan, serta semua karakter bawahan raja yang ikut dalam pertemuan/rapat serta tujuannya. Jika
66
jalan ceritanya sedih, maka harus diambil dari Waca Wilasa yang nomor empat, yaitu bagian sedih, yang sudah di kumpulkan lagu-lagu sedih dengan bahasa Kawi, serta variasi lain, yaitu bisa berupa sindiran dan prosa berirama,/kekawin. Jika yang sedih bermata bundar, iringan yang dipakai adalah Bendusemara, jika mata sipit menggunakan
Mesem.
Jika
jalan
ceritanya
percintaan
atau
perkawinan, cari di wacana no: 3, yaitu percintaan dengan lagu Rebong. Jika dilanjutkan dengan abdi, dipakai pengecet rebong (reff rebong?). Nah, itulah sebabnya guru sangat antusias agar murid-murid Pedalangane belajar, berpedoman dengan Manohara Perakreti. Kita lanjutkan lagi, jika ceritanya didatangi oleh seorang pendeta/sesepuh, ambil wacana no: 6, yang isinya serba ajaran filsafat dan etika. Paguneman atau rapat yang kedua, juga menjelaskan siapa yang akan ketemu dengan yang parum atau rapat di bagian pertama, nama kerajaan, raja, dan yang akan jadi sengketa/isi cerita. Di bagian ini juga bisa diisi kreativitas atau dikembangkan, namun agar berbeda dengan yang pertama. Dalang sendiri akan punya logika, agar cerita tidak lengang, dimana sepatutnya ditambah atau dikurangi. Sekarang pertemuan antara pegunem I dengan pegunem II semua tetap dengan pendirian atau kewajiban, tidak ada yang mengalah dan sama-sama berani, saling cela, akhirnya terjadi keributan atau perang.
67
Model pertempuran; ada yang menggunakan Aji Sesirep atau ilmu sirep, ada yang mengeluarkan api, menghilang atau maya-maya, hujan, angin, semua yang diandalkan, saling ingin membunuh, saling adu taktik atau kasingseang, boleh dipercepat atau diperlambat, tetapi agar tidak lepas dengan pokok cerita.
Ad 5.
Sanjiwawilasa, artinya; bisa menjiwai semua karakter wayang sebagai aktor dalam cerita disesuaikan dengan tingkah laku dan ucapannya. Orang pintar pada jaman dahulu membuat wayang dipakai sebagai sosialisasi dari sifat-sifat manusia di dunia ini sehingga timbul bermacam-macam karakter yang berbeda-beda. Dalam sebuah cerita raja yang arif bijaksana; dipakai wayang yang berwibawa dan agung. Memvisualisasikan yang angkuh dan semena-mena, cari karakter yang beringas dan keras. Kalau karakter Kebal atau teguh; pilih karakter yang kelihatan kuat atau kokoh. Begitu juga kalau mencari karakter yang lain agar disesuaikan dengan keberadaan wayang itu sendiri. Dalam mengembangkan sebuah cerita, seyogyanya harus ada Sanjiwa, caranya adalah sebagai berikut: 1.
Kalau percintaan: harus ingat bagaimana dulu waktu kita mendekati seorang wanita, merayu mau sehidup semati, bersatu dalam satu pemakaman.
2.
Kalau sedih: agar si dalang bisa menangis terlebih dahulu sampai tersedu-sedu penuh dengan keluh kesah.
68
3.
Kalau Pengung atau pendidikan Agama: ikuti contoh-contoh para orang tua atau sesepuh kita memberikan pendidikan tentang hakekat hidup, sesuai dengan filsafat-filsafat agama.
4.
Kalau lucu: bisa diisi dimana saja sesuai dengan kebutuhan, tapi jangan pada saat sedih, agar suasana sedih dapat dipertahankan.
5.
Kalau perang: Yang sakti agar kelihatan sakti atau kuat, yang lemah agar mati waktu ditusuk.
Guru pernah, waktu yang lampau di dalam pertunjukan, Sanjiwa itu menyatu dalam diri dan kebetulan tenaga masih cukup kuat, tanpa disadari pada saat adegan perang, betul-betul satu wayang tembus terkena tombak, ada yang rusak, robek. Besoknya guru sendiri yang memperbaiki yang rusak-rusak itu, mengganti tangkai wayang dan tangkai senjatanya. Nah, sampai disini dahulu pelajaran mengenai PURWA WASANA I, berupa olahan cerita (teori pewayangan) yang patut nanda usahakan dan pelajari, sebelum belajar praktek memakai kelir dan memakai iringan.” Sewangga: “Mulai dari sekarang hamba akan belajar purwa-wasana I ini, tapi mohon guru membimbing hamba agar cepat hamba mengerti. Sangat keinginan hamba mohon, agar hamba dapat nonton guru saat ngewayang, agar bisa hamba dapat melihat gerak wayangnya, dan teknik pegangan wayang guru, sebagai gambaran dalam hati hamba.
69
Dalang: “uduh, nak sewangga, guru merasa sangat senang karena nak Sewangga mau mengikuti teknik pewayangan guru. Guru tidak akan kikir untuk memperlihatkan teknik gerak wayang, pegangan wayang, agar nanda semakin keras ingin belajar. Sebenarnya setiap dalang punya ciri khas atau keistimewaan tersendiri, ada yang pinter menggerakkan karakter wanita, ada panakawan Delem sangutnya yang istimewa, ada adegan perangnya, ada suara monyetnya (ngore), ada adegan sedihnya dan lain sebagainya. Itu semua karena rajin dan tekun belajar. Nah, sesuai dengan permintaanmu, agar guru memperlihatkan teknik guru saat ngewayang, guru pasti akan melakukannya. Tapi sebelum ngewayang, dalangnya harus sudah mempunyai cerita. “Dimana mencari cerita?”,kalau begitu mungkin pertanyaanmu, ulangi lagi baca; Carita Wilasa sampai Waca Wilasa. Kalau kamu mau cerita yang dipakai belajar oleh murid guru terdahulu, mudah bagi guru memberikan, tapi kamu sendiri yang memilih keberadaan cerita tersebut. Tata caranya itu sudah guru kumpulkan menjadi satu, dan guru beri tanda dengan nama: Purwa-Wasana II.
3.1.2
Terjemahan Teks P-W. II Pada bagian ini tidak diterjemahkan secara keseluruhan. Namun hanya
dilakukan transliterasi seperlunya karena pada bagian ini merupakan aplikasi dari pembelajaran P-W I, yang secara praksis ada benang merah antara apa yang terjadi di masyarakat dengan teks P-W. pada bagian ini secara teknis menyajikan tata cara memulai suatu pertunjukan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan sudah sering dilakukan oleh para Dalang di masyarakat. Kendatipun demikian
70
sebagian besar dari mereka (terutama Dalang-dalang muda) belum paham akan terminologi pertunjukannya. Dengan kata lain mereka melakukan hal tersebut hanya karena warisan belaka tanpa memahami betul apa yang dilakukannya. Oleh sebab itu sering kali pertunjukan dari Dalang-Dalang muda kita terkesan ngawur atau keluar dari teks maupun konteksnya. Adapun teknis memulai sebuah pertunjukan Wayang berdasarkan teks P-W adalah: Papunggelan, Ngalengkara, dan Ngarahina. a. Papunggelan Papunggelan artinya penggel atau memotong. Jadi yang dimaksud oleh bentuk pertunjukan ini adalah sang Dalang mengeluarkan tokoh-tokohnya tidak diawali dengan alas arum, yaitu tanda khusus untuk adegan persidangan (petangkilan) dengan mengikuti irama gamelan. Adegan dalam pepunggelan biasanya dimulai dari transisi adegan kayonan langsung ke adegan batel dengan tanda pukulan cepala rangkep (ada juga yang menyebut sebagai adegan nyedit). Dengan tanda cepala seperti itu, penabuh langsung mengambil tabuh batel yang diikuti dengan tandak kayonan oleh Dalang, dilanjutkan dengan ucapan Dalang mengenai cerita yang akan dibawakan. Setelah itu diteruskan dengan mengeluarkan tokoh-tokoh yang akan bersidang atau berdiskusi atau berdialog. Diskusi ini bisa dilakukan dengan menancapkan Wayang ataupun juga bisa dengan hanya memegang saja, tergantung dari kebutuhan dialog yang diinginkan oleh si Dalang. Hal ini dimaksudkan adalah untuk dapat mempersingkat waktu persidangan dengan mengurangi gerak Wayang dan vokal Dalang. Pertunjukan seperti ini
71
biasanya dilakukan karena kebutuhan waktu sehingga adegan awal dipersingkat melalui terminology Papunggelan. b. Ngalengkara Ngalengkara yang dimaksudkan adalah teknis mengeluarkan tokohtokoh pewayangan dengan model meniru pepeson Wayang Wong. Adegan ini mengikuti irama gamelan yang telah ditentukan oleh Dalang yaitu: Candi Rebah, adalah lagu untuk mengiringi tokoh wayang bergigi lancip seperti Rahwana, Kumbakarna, Meganada dan jenis raksasa lainnya; Bopong, untuk mengiringi tokoh mata dedeling atau bundar seperti Bima, Gatutkaca, Duryadana dan sejenisnya; dan Rundah, untuk mengiringitokoh Wayang mata sope atau sipit seperti Kresna, Arjuna, Dharmawangsa dan sejenisnya. Prosesnya hampir sama dengan teknik Papunggelan, dengan tanda pukulan cepala si Dalang nandak atau bervokal sesuai dengan yang diinginkannya, kemudian diikuti oleh penabuhnya. c. Ngarahina Ngarahina adalah merupakan bentuk yang paling umum dipakai oleh para Dalang di Bali pada tahap awal mengeluarkan Wayangnya. Bentuk ini tidak melihat karakter Wayang yang akan dikeluarkan baik bermata sipit, dedeling atau bergigi lancip tetap mengikuti irama gamelan yang disebut alas arum. Dalam hal ini Dalang hanya bertindak sebagai juru sendon artinya Dalang tanpa menggunakan ucapan dan tanpa panglengkara seperti pada bentuk sebelumnya. Jadi secara garis besarnya perbedaan antara ketiga pepeson Wayang di atas yaitu: Papunggelan cirinya dengan hanya menggunakan tandak bebaturan atau sesendon tanpa mengikuti irama gamelan dan gerak Wayang yang sederhana.
72
Dilanjutkan dengan pagosana (menjelaskan cerita yang akan dipakai), pengalang penasar dan antewecana. Ngalengkara cirinya menggunakan iringan sesuai dengan tokoh yang dikeluarkan diikuti dengan ucapan dan gerak Wayang yang sedikit ditata (menari). Dimulai dari bebaturan, pagosana, gending pepeson (candirebah, bopong, rundah), pamidarta (menjelaskan Wayang yang menjadi fokus cerita), pengalang ratu (sejenis sesendon), panyestakara/sendusamita (prihal lengang dan sepinya sebuah persidangan), pengalang pemasar (sesendon khusus untuk panakawan), dan antewacana. Sedangkan Ngarahina cirinya lebih menonjolkan pada penataan gerak Wayang yang dipadukan dengan vokal dalang disesuaikan dengan iringan gamelan yang disebut alasarum. Diawali dengan tandak alasarum/raras arum, anyacah Parwa, pangalang ratu, panyestakara, pengalang penosar dan antawecana. Untuk contoh-contoh tandak atau sesendon dapat dilihat pada bagian akhir dari teks P-W III.
3.1.3
Terjemahan Teks P-W. III Pada bagian ini juga dilakukan teknis yang sama seperti pada sistem
transliterasi P-W I dan II, yaitu hanya dilakukan pada bagian-bagian yang dianggap mendukung proses penelitian ini. Pada bagian ini menjelaskan tentang pentingnya pengetahuan spiritual bagi seorang Dalang yang berupa Weda mantra serta pengetahuan mejik lainnya. Adapun mantra-mantra yang dipakai pada saat prosesi mendalang adalah: 1. akan berangkat mendalang: sebelum mengucapkan mantra Dalang merasakan terlebih dahulu nafas yang keluar dari hidungnya. Jika yang deras pada lubang
73
hidung kiri berarti dewa Wisnu yang berstana pada si Dalang dan seyogyanya si Dalang melangkah dengan kaki kiri kali pertamanya. Jika lubang hidung kanan yang terasa agak deras, berarti dewa Bharma yang memberi anugrah dilanjutkan dengan melangkahkan kaki kanan. Jika keduanya sama-sama deras berarti dewa Iswara yang berstana, maka si Dalang berjalan dengan mekecog atau melompat kali pertamanya. Mantra: “Ong-Ong dewa boktra prayojanam suda ya namah swaha”. 2. saat berjalan: “Ong sang Kamajaya tatkalaning lumaku, jaya sidia ya namah swaha”. Urutan mantra-mantra selanjutnya dapat dilihat pada salinan teks P-W III yang telah dituangkan pada Bab V. 3.2 Bentuk Pembelajaran Beberapa Dalang di Bali 3.2.1
Dalang I Ketut Muka Menurut Bapak I Ketut Muka, proses pembelajaran seseorang menjadi
Dalang yang ideal adalah dimulai dari belajar olah vokal melalui pesantian Beliau menjelaskan kurang lebih sebagai berikut. “Yan cara tiang, proses jadi Dalang punika kekawitin antuk melajah mewirama inggih punika kebawos kekawin, saking nyarengin pesantian. Duaning drika polih melajah indik vokal utawi gending-gending anggen ngelemuhang suara, lan melajah bahasa Kawi. Lian ring melajah mewirama punika taler melajah mupuh utawi tembang-tembang macepat, memaca sehananing Parwa, Ramayana, Tantri, wariga, usada, taler uning kadyatmikan lan kawisesan. Wus punika wawu kelanturang antuk melajah megender, mesolah, unteng nyane mangda uning ring gending-gending gender lan nyolahang Wayang”.
Artinya:
74
“Kalau menurut saya, proses menjadi Dalang itu dimulai dari belajar mewirama yaitu puisi berirama dengan jalan ikut dalam pesantian, yaitu sebuah grup membaca puisi dengan melodi-melodi yang telah ditentukan atau diatur oleh guru-lagu. Sebab dengan cara seperti itu akan lebih cepat dalam melatih cengkok suara dalam Pewayangan. Selain itu juga perlu belajar tembang-tembang macepat, membaca cerita-cerita Parwa, Ramayana, Tantri, juga belajar ilmu astronomi atau primbon, ilmu pengobatan, dan diteruskan dengan belajar filsafat hidup filsafat Ketuhanan maupun ilmu yang berkaitan dengan kesaktian”. Lebih luas uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menguasai beberapa kakawin dari parwa-parwa dalam bharatayudda akan sangat mendukung kualitas hasil pembelajaran. Sudah barang tentu bukan hanya kakawin namun segala macam vokal (tradisi) seperti kidung maupun sekar alit (pupuh), termasuk palawakia. Karena selain dapat meningkatkan kualitas suara, secara tidak langsung telah mempelajari berbagai macam cerita dan bahasa Kawi yang dapat digunakan dalam pewayangan. Setelah itu dilanjutkan dengan mempelajari musik pengiring pertunjukan utamanya adalah Gender Wayang. Secara ideal seorang Dalang harus mampu menabuh gender, setidak-tidaknya mampu mengikuti nada suara atau lagu yang mengiringi pertunjukan. Hal senada juga disebutkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa dalam Ilmu Pewayangan/Pedalangan, bahwa seorang Dalang harus mampu menabuh gender. Pembelajaran selanjutnya adalah mempelajari gerak tari agar dapat diekspresikan ke dalam gerak atau sabetan Wayangnya. Dalang I Ketut Muka menambahkan bahwa sebelum melakukan proses pembelajaran tersebut di atas, harus didahului oleh sebuah inisiasi ritual yang disebut dengan pewintenan, setidak-tidaknya ada pewintenan Saraswati. Hal ini dimaksudkan untuk mohon restu dari Hyang Widhi agar memberikan anugrah
75
keselamatan dan kesuksesan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Hal yang kedua ditambahkan adalah prihal mesakapan dengan Wayang, walaupun hal ini tidak penulis tanyakan. Beliau menjelaskan bahwa mesakapan (pernikahan) dengan aparatus pertunjukan-pertunjukan utamanya wayang yang sering dilakukan di daerah Denpasar dan daerah-daerah lainnya adalah sebagaimana dilakukan seperti upacara pernikahan dalam agama Hindu di Bali. Namun menurut Dalang Muka, mesakapan pada dasarnya mengandung maksud mengintensifkan interaksi atau hubungan diri dengan sarana yang digunakan. Artinya bagaimana kita mampu menguasai vokal Pewayangan sesuai dengan kaidah-kaidahnya, mampu menguasai karakter Wayang dan memfungsikan sesuai dengan proporsinya. Jadi dalam hal ini beliau lebih menekankan pada proses pembelajaran secara terus-menerus agar si Dalang dapat menyatu dengan Wayang dan sarana lainnya. Kemampuan teknis lain yang tidak kalah pentingnya adalah nyepala, yaitu memberikan tekanan pada gerak Wayang, dialog Wayang dan memberikan tanda kepada musik pengiring melalui alat pemukul yang disebut cepala. Hal ini sesuai dengan pendapat I Made Bandem di atas, bahwa nyepala merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang Dalang. (wawancara di rumahnya pada hari Selasa, 14 Maret 2006). Bertitik tolak dari P-W I, II, dan III pada lampiran 1, pembelajaran Dalang I Ketut Muka telah menggunakan 7 poin dari isi teks P-W I diantaranya adalah suara (kemampuan dalam menggunakan suara), manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), carita (menguasai banyak
76
cerita), waca (menguasai bahasa khusus Pedalangan), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik), Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter) dan tidak menggunakan 5 dari teks P-W I yaitu: menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), suarasa (merasakan kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditranspormasikan ke dalam setiap karakter), Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), dan krama (cara memplot cerita dengan baik). Menggunakan 4 poin teks P-W II yaitu, pakem jangkep (adalah naskah Pewayangan atau playskrip yang sangat lengkap), pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), pakem balungan (sinopsis cerita secara garis besarnya), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum). dan tidak memakai 2 poin pada teks P-W II yaitu: Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara mengeluarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan dengan karakternya). Menggunakan 4 poin teks P-W III yaitu, mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentukVokal yang dikutip dari berbagai sastra). Tidak menggunakan I poin pada teks P-W III yaitu: amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Dalang I Ketut Muka menggunakan materi pembelajaran hampir separuh sesuai dengan teks P-W yaitu 15 poin menggunakan dan
8
poin
belum
menggunakan.
Kendatipun
cara
Pengungkapan
pembelajarannya masih tumpang tindih, Dalang I Ketut Muka telah banyak
77
memberikan kontribusi terhadap eksistensi kesenian ini, terbukti dari banyaknya seniman-seniman akademis yang belajar kepada beliau. Pada zamannya, beliau banyak belajar dari ayahnya, juga sering berapresiasi atau menonton pertunjukan Wayang Kulit terutama Dalang I Nyoman Geranyam yang sekaligus dipakai sebagai gurunya. Karena luasnya pengalaman beliau di dunia seni ini, maka pembelajaran yang beliau miliki pun cukup lengkap atau separuh dari variabel yang disebutkan oleh teks P-W.
3.2.2
Dalang I Wayan Nardayana (Cengblong) Nardayana yang masih berstatus mahasiswa di ISI Denpasar, maka
wawancara atau diskusi tentang Pewayangan sangat sering dapat dilakukan. Wawancara terakhir yang berkaitan dengan pembelajaran Pedalangan adalah pada tanggal 23 Maret 2006 di studio Pedalangan ISI Denpasar. Untuk menjadi seorang Dalang yang ideal menurut Nardayana adalah harus mempunyai vokal (maksudnya suara) yang baik sebagai modal dasar, Bukan berarti hal-hal lainnya seperti tetikesan tidak penting. Nardayana menganalogkan bahwa bila dalam pertunjukan topeng, tarian penglembarnya bagus, namun apabila suara, vokal, retorika pemerannya tidak bagus maka pertunjukan itu akan di tinggal penontonnya. Oleh sebab itu menurutnya modal vokal atau suara sangat memegang peranan penting. Adapun komentarnya dengan dialek Blayunya yang kental serta menggunakan bahasa campuran kurang lebih sebagai berikut:
78
“Menurut tiang vokal merupakan modal dasar, maksud tiang suara, tandak, retorika atau dialog. Kenapa demikian, ambil contoh mangkin ring pertunjukan topeng walaupun tarian penglembarnya (topeng tua, topeng keras) nika bagus, tapi yen penasar wijilnya ten bisa ngomong jeg kalaina ken penontone. Tapi sebaliknya yan igelne tuna, tapi retorikanya atau pingpong dialognya bagus akan ditunggu oleh penontonnya. Dalam artian tiang ten menyepelekan hal-hal lainnya...”
Artinya: Menurut saya, vokal merupakan modal dasar, yang saya maksud adalah suara, untuk dapat bervokal, berdialog atau beretorika. Kenapa demikian, contohnya dalam pertunjukan Topeng, walaupun tarian pembukanya sangat memukau atau sangat bagus dan trampil, tetapi apabila tokoh Penasar dan Wijilnya tidak mampu beretorika dan berdialog dengan baik, maka pertunjukannya akan ditinggalkan oleh penontonnya. Bila sebaliknya tariannya agak kurang, namun retorikanya bagus, maka pertunjukannya akan ditunggu oleh penontonnya. Namun demikian saya bukan meremehkan hal-hal lainnya... Dalam kariernya memberikan proses pembelajaran otodidak di dunia Pedalangan Nardayana memberikan pemantapan dibidang olah vokal terlebih dahulu, sebelum menginjak kemateri lainnya. Proses itu dilakukan dengan jalan memberikan tembang-tembang macepat secara tetutulan (pacepriring) dan tandak-tandak Pewayangan serta dialog-dialognya melalui pakem-pakem yang ada. Selain itu Nardayana juga memberikan rekaman beberapa musik pengiring Wayang seperti Alas Arum, Penyacah Parwa untuk merangsang kepekaan telinga calon muridnya. Dalam mengajarkan bentuk pewayangan secara utuh, Nardayana menggunakan sebuah pakem singkat dengan standarisasi atau patokan-patokan pasti sebagai pegangan pembelajaran kepada muridnya, dan kemudian memberikan kebebasan kepada muridnya untuk mengembangkannya. Hal ini ditekankan karena ia sendiri belajar dengan cara yang demikian yaitu menafsirkan
79
beberapa style Pewayangan yang ada seperti Badung, Gianyar, Bangli ataupun Tabanan, kemudian ia sendiri meramu atau mengkombinasinya menjadi style sendiri. Hal ini juga dilakukan oleh Dalang dari banjar Temon Gianyar yang terkenal dengan sebutan Dalang Temon. Beliau ini mengkombinasikan style Sukawati, Bona, dan Badung menjadi style baru yaitu style Temon. Jadi struktur pembelajaran Pedalangan Nardayana dimulai dari pembelajaran olah vokal, dilanjutkan dengan mendengarkan musik pengiring Wayang, dan kemudian gerak Wayang, berdasarkan sebuah pakem singkat. (wawancara dengan Dalang Cengblong pada hari Rabu, 8 Maret 2006 di kampus ISI Denpasar). Berkaitan dengan teks P-W sebagai sebuah penititala (tuntunan pembelajaran), Dalang I Wayan Nardayana telah menggunakan sebagian kecil dari variabel yang ditentukan oleh teks. Adapun skor yang digunakan dari 23 item adalah pada P-W I menggunakan 4 poin yaitu, Suara (kemampuan dalam menggunakan suara), Manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, carita (menguasai banyak cerita), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik) dan tidak menggunakan 8 poin, yaitu, menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), suarasa (merasakan kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditranspormasikan ke dalam setiap karakter), parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), waca (menguasai bahasa khusus pedalangan), Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), krama (cara memplot cerita dengan baik) dan Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter).
80
Pada P-W II menggunakan sebagian besar dari item yang ditentukan yaitu: 4 poin diantaranya adalah: pakem jangkep (adalah naskah Pewayangan atau playskrip yang sangat lengkap), Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara mengeluarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan dengan karakternya), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum) dan tidak menggunakan 2 poin, yaitu, pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), pakem balungan (sinopsis cerita secara garis besarnya). Pada P-W III menggunakan 4 poin yaitu, mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentuk vokal yang dikutip dari berbagai sastra). Tidak menggunakan I poin pada teks P-W III yaitu: amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Nardayana belum menggunakan landasan teks P-W secara maksimal yaitu hanya memakai 12 poin dalam pembelajarannya dan tidak menggunakan II poin. Jadi pembelajaran dalang I Wayang Nardayana ini sangat mirip dengan Dalang I Made kembar. Hal ini dikarenakan selain Nardayana belum memiliki pengalaman yang luas dalam bidang pembelajaran Pewayangan, walaupun pengalaman pertunjukannya sudah cukup dikenal di kalangan masyarakat luas. Pendidikannya di ISI Denpasar jurusan Pedalangan juga sangat memberikan andil perkembangan Pewayangannya. Pengetahuan akademis yang didapat Dalang Nardayana (cengblong) dari beberapa dosen pengajarnya (khususnya dosen praktik) juga sangat mendorong kemajuan kualitas pertunjukan
81
Dalang Cengblong. Kendatipun demikian karena pengalaman mengajarnya tidak seluas praksisnya di masyarakat, maka sistem pembelajarannya pun belum mampu mengimbangi keunggulan pertunjukannya. Namun secara psikologis ada benang merah pengetahuan pembelajaran dari dosen-dosen Pedalangan yang ditransfer kepadaNardayana baik secara nyata maupun laten melalui proses belajar mengajar di lembaga akademis.
3.2.3
Dalang I Made Kembar Mengenai proses pembelajaran pedalangan yang sering diterapkan dalam
proses belajar mengajar, Dalang Kembar menjelaskan secara singkat yaitu: “ritatkala pacang metaki-taki melajah dadi Dalang utawi pacang ngicen peplajahan ring sang anak dados Dalang sampunang dumun ujuuju jeg ngambil Wayang. Kapertama patut milpilang “bahan baku atau materi-materi” sane kaanggen ring Pewayangan. Inggih punika memaca parwa-parwa, melajah tata bahasa, melajahin “dialog-dialog” ring Adiparwa. Yan sampun jangkep indike punika, mara kelanturang antuk nyemak Wayang ngadungang soreng gamelan. Yan ten ngelah guru ane tetep ngisiang di paurukan, dadi melajah baan memaca pakem anggon nuntun satua lan munyin Wayange. Yan cara tiang to ane paling penting “bahan baku” punika mangda jangkep dumun. Suud to “terserah” sang Dalang dot melajahin apa ja ane dotanga, jawat mantra-mantra Dharma Pewayangan, tatwa-tatwa, tutur-tutur tur ane lenan. To ke biin takonang pak dek, suba konyang tawang tur suba lebian ken ane tawang tiang”. Terjemahan: Di saat kita mau belajar menjadi Dalang atau akan mengajar seorang calon Dalang, jangan langsung pratik ngewayang. Pertama-tama adalah mengumpulkan atau mengajarkan materi-materi Pewayangan itu sendiri sebagai bahan bakunya, seperti membaca Parwa-parwa, belajar tata bahasa Pewayangan, belajar dialog-dialog dengan jalan mempelajari Adiparwa. Kalau sudah lengkap bahan baku yang dikumpulkan, kemudian dapat dimulai dengan praktik ngewayang menyesuaikan dengan iringannya. Jikalau tidak mempunyai guru tetap dalam membimbing dalam proses belajar ngewayang' dianjurkan memakai pakem sebagai penuntun dalam
82
menjalankan cerita maupun dialognya. Kalau seperti saya itu yang paling penting yaitu bahan baku pewayangan itu sendiri. Setelah itu terserah pada si calon Dalang mau belajar apa yang diinginkan, apakah mantra-mantra yang berkaitan dengan aiaran Dharma pewayangan, filsafat-filsafat, nilainilai pendidikan, dan lain sebagainya. Wah, kok itu lagi yang pak Kadek tanyakan, kan sudah diketahui semuanya, dan mungkin sudah melebih dari yang saya miliki.
Secara substansial apa yang diungkapkan Dalang kembar hampir sama dengan Dalang-Dalang lainnya. Bahan baku pementasan merupakan hal yang harus dipelajari kali pertama belajar Pedalangan. Namun Kembar tidak merinci bagaimana proses mendapatkan bahan baku tersebut dan bahan baku yang mana lebih dulu dipelajari. Dalang kembar menambahkan bahwa setelah bahan baku di dapat baru kemudian menginjak pada pakem atau naskah cerita yang merupakan sebuah tuntunan bagi dalang-dalang pemula. Oleh sebab itu, seyogyanya Dalang kembar menggunakan teks P-W sebagai acuan dalam mentransfer kemampuannya kepada para murid-muridnya. Menurut penulis semua yang disebutkan oleh beberapa Dalang mengenai pembelajaran pedalangan Bali, secara substansial telah ada dalam teks P-W secara lebih rinci dan sistematis. Bertitik tolak dari uraian pembelajaran Pedalangan oleh Dalang Kembar di atas, dapat dikatakan bahwa beliau hanya menggunakan sebagian kecil dari variabel yang disebutkan dalam teks P-W. Adapun skor yang didapat adalah pada teks P-W I menggunakan 4 poin yaitu, Suara (kemampuan dalam menggunakan suara), parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), waca (menguasai bahasa khusus pedalangan), carita (menguasai banyak cerita) dan tidak menggunakan 8 poin yaitu, menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), suarasa (merasakan
83
kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditransformasikan ke dalam setiap karakter), manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik), krama (cara memplot cerita dengan baik), dan Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter). Pada P-W II menggunakan 2 poin yaitu, jangkep ( naskah Pewayangan atau playskrip yang sangat lengkap), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum) dan tidak menggunakan 4 poin yaitu, pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), pakem
balungan (sinopsis
cerita secara
garis besarnya),
Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara menge-luarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan dengan karakternya). Pada P-W III menggunakan 4 poin yaitu, mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentukVokal yang dikutip dari berbagai sastra), dan tidak menggunakan I poin pada teks P-W III yaitu, amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Dalang Kembar menggunakan teks PW sebagai landasan hanya sebagian kecil yaitu menggunakan 10 poin dan tidak menggunakan 13 poin. Hal ini bukan berarti kualitas Dalang Kembar kurang, tetapi sistem pembelajaran beliau dan cara Pengungkapannya yang kurang
84
lengkap atau kurang sistematis. Hal ini dikarenakan proses beliau menjadi Dalang karena semata-mata ingin melanjutkan profesi mendalang kakaknya yaitu I Wayan Rugeg seperti telah disingung pada bab IV (otobiografi Dalang). Dengan modal dasar pengetahuan vokal tradisional seperti kidung dan kekawin dan atas anjuran seorang Dalang yang bernama Dalang Krupuk serta seringnya mengikuti kakaknya mendalang, akhirnya I Made Kembar mencoba mekebah (melakukan pertunjukan yang pertama kali). Setelah percobaan itu banyak yang menyatakan bahwa ia berbakat menjadi Dalang, yang sekaligus memberikan motivasi terhadap dirinya sehingga menjadi Dalangyang cukup disegani sampai saat ini.
3.2.4
Dalang I Made Sidja Pembelajaran Pedalangan menurutnya adalah, mampu menjadikan Dalang-
Dalang yang mengabdi kepada kepentingan manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, lingkungan maupun manusianya. Moto beliau adalah jadilah Dalang yang mampu memberikan air walaupun seteguk bagi mereka yang membutuhkannya. Dalam proses menjadi Dalang sebagaimana diumpamakannya lwir angusung sila ring luhuring parwata yaitu belajar menjadi Dalang yang ideal tak ubahnya seperti mengusung batu ke atas gunung. Oleh sebab itu diharuskan belajar sebaik-baiknya melalui proses pembelajaran yang diinginkan oleh calon Dalang, dan praktik ngewayang melalui sistem ngayah. Hal ini dilakukan agar teori dan praktik berjalan seimbang. Adapun bentuk pembelajaran Pedalangan Bali, beliau berkomentar sebagai berikut:
85
“Yan dadi Dalang to ning?, luwir angusung sila ring luhuring parwata, abot pesan bandingang teken keseniane ane lenan. Patut melajahin, ngigel, mengambel, megending, rnekekawin, nyastra, ngukir, tatwa, usada, pangastawa, satua-satua Pewayangan, minakadi ane lenan. Mawinan abot yan kenehang bapa, dwaning liu pesan ane patut kaplajahin. Ento mehawanan melajah dadi Dalang utawi ngewayang dadi jemak uling dija kenehe nyumunin melajah, jawat mekekawin, ngigel, nyastra, sing nyidaang ngorahang encen malunan encen dorinan, yan dadi baan, pelajahin ento sibarengan punduh-punduhang diawake anggon dasar dipewayangane. Artine ane encen sela bakat jemak utawi maan guru, jawat memaca, pabligbagan, konyang dadi anggon peplajahan ane utama kewala bisa milih-milihin. Ane paling penting patut iraga ngelah guru ane bisa nuntun ngundukang tata cara di peringgitane, apan Pewayangan cara Badung melenan tetakehane bandingan teken care Gianyar, ape buin ajak cara kajane (stail Singaraja). Len tekening to, ngalih guru masih liu. Lenan teken guru Pedalangan, patut masih ngalih guru igel, guru kekawin, guru agama, miwah sesai-sasi tangkil teken anak lingsir mligbagang indik agama lan tatwa ane manggeh di jagat Baline. Keto yan kerasa baan bapa”. Artinya: Kalau mau jadi Dalang itu nak? Seperti mengusung batu ke atas bukit/gunung, lebih berat sekali dibandingkan dengan belajar seni lainnya. Harus belajar menari, musik, tembang-tembang, sastra, ukir, filsafat, pengobatan, mantra-mantra, cerita-cerita Pewayangan, dan lain sebagainya. Karenanya sangat sulit menurut pikiran bapak, karena banyak sekali yang harus dipelajari. Itulah sebabnya belajar menjadi Dalang bisa dimulai dari mana saja, baik dari mekekawin, menari, filsafat, tidak bisa dikatakan yang mana harus duluan dan yang mana harus belakangan. Kalau bisa pelajari itu bersama-sama dan dikumpulkan sebagai dasar dalam Pewayangan. Artinya yang mana sempat diambil, atau dapat guru, dapat membaca, atau hasil diskusi, semuanya dapat dipakai pembelajaran asalkan kita bisa memilah-milahkannya (mana penting dan mana tidak). Yang tidak kalah pentingnya yaitu seorang murid seharusnya mempunyai guru pembimbing yang dipercaya untuk dapat memberi tuntunan atau mengarahkan pembelajaran yang diinginkan. Karena stail Pewayangan Denpasar berbeda dengan Gianyar dan sangat berbeda dengan Singaraja. Selain itu mencari guru juga banyak, bukan saja guru Pedalangan, tetapi juga mencari guru tari, kekawin, agama dan juga sering-sering konsultasi dengan para pemuka agama untuk berkonsultasi tentang filsafat yang sesuai dengan adat dan agama Bali. Demikian kalau menurut bapak”.
86
Walaupun apa yang diungkapkan Sidja demikian adanya, namun ungkapan pembelajaran di atas masih sangat umum dan terkesan sulit untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu seyogyanya Dalang Sidja merunut sistem pembelajarannya seperti yang tersurat dalam teks P-W, sehingga dengan demikian pembelajaran dapat dilakukan secara berjenjang dan sistematis. Seperti DalangDalang lainnya pembelajaran masih ditekankan pada istilah terminologi saja tanpa menjelaskan secara lebih rinci cara mencapai terminologi tersebut. Menurut penulis sistem yang dapat mencapai adalah pembelajaran yang urut, sistematis, dan menambahkan terminologi-terminologi baru seiring dengan kemajuan zaman. Namun demikian, uraian Dalang I Made Sidja merupakan penjelasan yang paling lengkap diantara Dalang-Dalang lainnya jika diukur dari persentase penggunaan variabel teks P-W. Adapun skor yang digunakan mencapai separuh lebih yaitu pada teks P-W I menggunakan 7 poin yaitu, Suara (kemampuan dalam menggunakan suara), Manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, carita (menguasai banyak cerita), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik), suarasa (merasakan kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditransformasikan ke dalam setiap karakter), parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), waca (menguasai bahasa khusus pedalangan) dan tidak menggunakan 5 poin yaitu, menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), krama (cara memplot cerita dengan baik), dan Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter).
87
Pada teks P-W II menggunakan 4 poin yaitu, jangkep (naskah Pewayangan atau play skrip yang sangat lengkap), pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), pakem balungan (sinopsis cerita secara garis besarnya), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum), dan tidak menggunakan 2 poin yaitu, Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara mengeluarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan dengan karakternya). Pada teks P-W III menggunakan 5 poin atau semua item tanpa terkecuali. Item-item itu adalah mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentuk Vokal yang dikutip dari berbagai sastra), dan amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Dalang I Made Sidja menggunakan 16 poin dari total 23 variabel teks P-W dan belum menggunakan 7 poin. Pembelajaran Dalang I Made Sidja pada dasarnya sangat mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Dalang I Ketut Muka dan I Wayan Nardayana. Hal ini disebabkan karena Dalang Sidja sendiri menekuni seni ini mulai dari anak-anak dan dituntun oleh Dalang I Nyoman Geranyam. Dengan demikian proses pembelajaran I Ketut Muka dan I Made Sidja memiliki bobot yang hampir sama. Dalang Sidja memiliki bobot yang lebih dikarenakan sampai saat ini beliau masih tetap eksis di dunia seni ini baik sebagai praktisi maupun sebagai guru loka. Selain itu pengalaman beliau dibidang seni bukan saja dikenal dikalangan
88
masyarakat Bali namun beliaujuga dikenal secara nasional maupun manca negara. Hal lain yang mendukung karir beliau di dunia ini adalah pengetahuan spiritual yang tercermin lewat tindakan yang arif dan bijak serta tutur kata yang sopan dan selalu memberikan kesejukan bagi yang mendengarnya. Berkaitan dengan pengetahuan Pedalangan dan Pewayangan, sampai saat ini beliau dianggap sebagai Empu Dalang baik oleh sesama seniman maupun oleh pemerintah daerah Bali. kontribusinya terhadap seni dan budaya telah diakui oleh dunia, hal ini dibuktikan dengan seringnya beliau mendapat undangan keluar negeri baik sebagai praktisi seni maupun sebagai budayawan. Berdasarkan pengalamannya yang sangat luas beliau mampu menlrumbangkan sebuah jenis pertunjukan Wayang Kulit kepada dunia Seni Pedalangan yang diberi nama Wayang Arja dan pernah difestivalkan pada tahun 1996/1997.
3.2.5
Dalang Ida Bagus Arga Patra Pembelajaran Pedalangan Bali menurut Arga Patra adalah sebagai berikut. Yan melajahin gegunan Dalang patut bisa nyilem ngelangi ditatua tutur mewiwit saking melajah tembang mekadi kekawin, kidung, macepat gending rare. Duaning derika polih mikpik sehananing bahasa Kawi lan Bali. tios ring punika taler pacang ngruruh bahan-bahan tandak lan sendon, satua ane melintihan minekadi tatuane sami, sampunang jeg uju-uju ngambil pakem (playskrip). Wus punika mara lantas ngambil pakem lan kelanturang antuk dharma Pewayangane. Ajin tiange mawosang kocap yan dadi Dalang apang mebasang peken artin ipun uning ring saluiring indik lan unduk atau tau segalanya.
89
Artinya: Kalau mau mempelajari Pedalangan, seharusnya mampu berenang hingga tenggelam di dunia filsafat atau ilmu pengetahuan seperti tembang-tembang kekawin (prosa berirama). Kenapa demikian karena disana didapatkan bahasa kawi dan cara mengartikannya (bahasa Balinya). Selain itu, disana pula didapatkan bahan-bahan vokal Pewayangan (tandak atau sesendon), alur cerita yang benar, filsafat, jangan langsung memberikan playskrip atau naskah kepada si calon Dalang. Setelah melalui proses di atas baru diberikan pakem cerita atau playskrip tersebut dan dilanjutkan dengan mengajarkan pengetahuan etika spiritual melalui ajaran Dharma Pewayangan. Ayah saya (almarhum) menambahkan lagi, seyogyanya seorang Dalang bisa menguasai berbagai disiplin ilmu baik teori maupun praktiknya (seperti pasar yaitu segalanya ada). Jadi struktur pembelajaran Arga Patra dimulai dari pembelajaran vokal (tembang) melalui sastra-sastra kakawin hal ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui bermacam-macam cerita yang dikisahkan lewat puisi berirama tersebut. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah melalui pesantian ini calon Dalang secara tidak langsung dapat belajar bahasa Kawi dan Bahasa Bali dengan baik dan benar, sekaligus mendapatkan bahan-bahan tetandakan. Kemudian dilanjutkan dengan penguasaan pakem (playskrip) dan diteruskan dengan Dharma Pewayangan. Secara lebih tugasnya bahwa seorang dalang harus mempunyai pengetahuan yang luas atau konprehensif (mebasang peken) yaitu bukan saja mengetahui prihal Pewayangan tetapi mengetahui pengetahuan-pengetahuan umum lainnya yang dibutuhkan oleh manusia. Dalam hal ini, Arga Patra sama sekali tidak merinci pembelajaran secara lebih spesipik, seperti penguasaan gerak wayang, penguasaan teknik nyepala, dan juga bagaimana cara memplot cerita yang baik. Hal lain yang dilupakan Arga Patra adalah tidak memperdulikan faktor instrinsik dari calon Dalang tersebut
90
apakah ia memiliki suara yang baik atau jelek, memiliki dayanalar yang baik atau bodoh, dan juga apakah mampu duduk dengan baik atau cacat tubuh? Hal ini sama sekali tidak disinggung olehnya. Oleh sebab itu pembelajaran arga Patra perlu disempurnakan lagi dengan mengambil landasan teks P-W. Berdasarkan uraian Arga Patra di atas, jika di lihat dari kajian teks P-W, maka Dalang Ida Bagus Argapatra telah menggunakan sebagian dari variabel yang disebutkan dalam penititala. Adapun skor yang diperoleh adalah pada teks PW I menggunakan 5 poin yaitu, Suara (kemampuan dalam menggunakan suara), carita (menguasai banyak cerita), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik), parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), waca (menguasai bahasa khusus pedalangan) dan tidak menggunakan 7 poin yaitu, menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), suarasa (merasakan kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditransformasikan ke dalam setiap karakter), manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), krama (cara memplot cerita dengan baik), dan Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter). Pada teks P-W II menggunakan 5 poin yaitu, jangkep (naskah Pewayangan atau playskrip yang sangat lengkap), pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum), Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara mengeluarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan
91
dengan karakternya), dan tidak menggunakan 1 poin yaitu, pakem balungan (sinopsis cerita secara garis besarnya). Pada teks P-W III menggunakan 4 poin yaitu, mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentuk Vokal yang dikutip dari berbagai sastra), dan tidak menggunakan 1 poin pada teks P-W III yaitu, amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Argapatra menggunakan 14 poin dan minus 9 poin. Jika dibandingkan dengan Dalangyang lain, arga patra masih tergolong muda dan sebaya dengan Dalang Nardayana. Namun pembelajaran yang diwariskan oleh orang tuanya dan pengalaman pentasnya yang telah cukup banyak serta modal pengetahuan yang didapat di bangku kuliah menjadikan Argapatra memiliki nama yang cukup disegani terutama di daerah Buduk. Sampai saat ini, Argapatra masih tercatat sebagai mahasiswa ISI Denpasar di Jurusan Pedalangan. Hasil intervieu dengan Dalang lainnya seperti dengan I Made Mara Jaya,I Nyoman Sukerta, I Ketut Sudiana yang masih berstatus dosen Institut Seni Indonesia Denpasar dan juga dengan beberapa mahasiswa Pedalangan lainnya secara substansial mereka mengungkapkan hal yang sama. Oleh sebab itu dalam penelitian ini komentar mereka tidak diungkapkan agar tidak terjadi pengulangan secara terus menerus. Secara umum bentuk pembelajaran Dalang di atas mempunyai bentuk yang hampir sama yaitu lebih mengutamakan pembelajaran vokal tanpa melihat secara seimbang faktor-faktor lain yang hampir sama kedudukannya dengan
92
hanya menekankan pada kemampuan vokal. Selain itu pembelajaran di atas terkesan mengisolasi pembelajaran secara lebih luas serta kreativitas dari para calon Dalang. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang diberikan lebih mengarah pada teknik pentas saja dengan dasar pakem-pakem yang ada, tanpa memperdulikan apakah calon Dalang itu mampu berbahasa Kawi atau tidak. Hal terpenting dalam pembelajaran yaitu faktor instrinsik seorang calon Dalang seperti yang tercantum dalam teks P-W I, tidak pernah disinggung dalam pembelajaran Dalang-Dalang di atas. Selain itu bagaimanajenjang pembelajaran dan urutannya yang jelas masih merupakan tanda tanya besar. Secara spesipik lagi istilah-istilah vokal dan juga gerak Wayang sebagai terminologi tidak pernah diungkapkan secara maksimal, seperti yang tertera pada teks P-W I. Semua fenomena di atas yang terkait dengan bentuk pembelajaran akan dikaji dengan teori estetika A.A. Made Djelantik (1999:15-73) yang menguraikan tentang bentuk dan struktur karya seni, khususnya yang berkaitan dengan proses wujud, bobot, dan penampilan sebuah karya seni. Teori Djelantik ini akan didukung oleh pendapat estetika Agus Sachari (2002:8a, 1-3), tentang tiga daya pembelajaran , tentang pengertian estetika, dan pengertian Estetika sebagai praksis dan sebagai filsafat seni. Selain itu, teori fungsional struktural Talcott Parsons (1975:100-17; dalam Peter Beilhars (2003:294-295), khususnya penjelasan yang menyatakan “ ...gagasan mengenai fungsi berguna agar kita terus mengamati apa yang disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis, atau tepatnya, apa fungsi yang dijalankannya dalam sistem itu.
93
Struktur berarti susunan yang berhubungan antara bagian dari beberapa elemen yang dikemas secara terpadu, dan menjadi sebuah model pembelajaran Pedalangan. Teori struktur Talcott Parsons (dalam Peter Beilhars, 2003:291-293) dengan teori tindakannya (the theory of action) dirasa cukup relevan sebagai pendukung teori di atas. Tindakan yang dimaksud parsons adalah perilaku yang disertai aspek upaya subjektif dengan tujuan membawa kondisi-kondisi situasional, atau isi kenyata, lebih dekat pada keadaan yang ideal atau yang ditetapkan secara normatif. Untuk mempermudah analisis pembelajaran Pedalangan Bali yang mengacu pada teks P-W akan disajikan dalam bentuk matrik seperti di bawah ini.
3.3 Analisis Praksis pembelajaran pedalangan di masyarakat yang bersumber 5 informan akan dikaji berdasarkan teks P-W dengan tetap berpedoman pada paradigm budaya. Adapun hasil analisis dalam bentuk matriks dapat disajikan sebagai berikut.
MATRIK PEMBELAJARAN DALANG BERDASARKAN TEKS PURWA-WASANA Variabel terikat Teks Purwa-Wasana P-W I Tri Lagawa
1. Menget 2. Suara 3. Madya
I Ketut Muka -
94
Nama-nama Dalang I Wayan I Made I Made Nardayana Kembar Sidja -
Ida Bagus Argaputra -
P-W I Catur Perakreti P-W I Panca Wilasa
P-W II Pakem (struktur pertunjukan) P-W II Pepeson (mengeluarkan wayang) P-W III Dharma Pewayangan
-
-
-
1. Papunggelan 2. Ngalengkara 3. Ngarahina
1. Mantra 2. Pawintenan 3. Amariwreta (memelihara wayang) 4. Susila 5. Tandak
-
-
-
-
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3.
Manohara Suarasa Parwadi Dharmanda Carita Waca Cancala Krama Sanjiwa Jangkep Ganjaran Balungan
REKAPITULASI PEMBELAJARAN BEBERAPA DALANG BERDASARKAN TEKS P-W Nama Dalang Purwa Wasana P-W I
I Ketut Muka (+) 7 (-) 5
I Wayan Nardayana (-) 8 (+) 4
I Made Kembar (+) 4 (-) 8
95
I Made Sidja (+) 7 (-) 5
Ida Bagus Argaputra (+) 6 (-) 6
P-W II
(+) 4 (-) 2
(-) 4 (+) 2
(+) 2 (-) 4
(+) 5 (-) 1
(+) 5 (-) 1
P-W III
(+) 4 (-) 1
(-) 4 (+) 1
(+) 4 (-) 2
(+) 5 (-) 0
(+) 4 (-) 1
P-W I, II, III
(+) 15 (-) 8
(-) 12 (+) 11
(+) 10 (-) 13
(+) 16 (-) 7
(+) 14 (-) 9
Keterangan Matrik:
= sangat menggunakan
= biasa
= kurang menggunakan
___
= belum melakukan
()
= banyaknya menggunakan
(
)
= banyaknya yang belum digunakan
Keterangan Variabel: Menget (ingatan): kemampuan menghafal calon dalang harus di atas rata-rata. Suara: menekankan pada kekuatan dan kemampuan bersuara Madia (duduk): melatih teknik duduk 3-4 jam. Monohara (melodi) : melatih nada melalui tembang-tembang Suarasa (merasakan) : mempelajari lingkungan dengan kekuatan rasa sendiri. Parwadi (membaca): membaca segala sastra, khususnya yang berbahasa Kawi. Dharmanda (kewajiban): mengetahui tugas, hak dan kewajiban setiap karakter. Carita: menguasai banyak cerita, khususnya Ramayana dan Mahabharata. Waca (bahasa Wayang): kalimat-kalimat ini diambil dari sastra khususnya kakawin.
96
Cancala (gerak Wayang): melatih teknik tetikesanlgerakan karakter Wayang. Krama (struktur): cara memplot cerita dengan struktur yang seimbang. Sanjiwa (penjiwaan): penjiwaan terhadap setiap karakter Wayang. Jangkep (tengkap): naskah/playskrip yang lengkap baik struktur dan dialognya. Gancaran (prosa): cerita dalam bentuk prosa tanpa struktur pertunjukan. Balangan (tulang): cerita yang diuraikan secara garis besarnya saja. Papunggelan (dipotong): struktur cerita (keluar Wayang) yang telah dipotong. Ngalengkara (ucapan): struktur cerita dengan tandak, ucapan sesuai karakternya. Ngarahina (vokal khusus): vokal dan gerak Wayang sesuai dengan iringan musik. Mantra: dipakai sebelum, saat dan sesudah pertunjukan. Pawintenan (penyucian): dilakukan sebelum terjun ke dunia Pedalangan. Amariwreta
(memelihara):
menyayangi,
mengenal,
memelihara
sarana
pertunjukan. Susila (etika): aturan konvensional bagi seorang Dalang. Tandak Rerambangan: materi vokal yang dihapal, dikutip dari sastra. Jika kita perhatikan matrik di atas maka akan kelihatan bagaimana bentuk pembelajaran Pedalangan Bali yang masih perlu disempurnakan melalui penititala teks P-W. Kenyataannya bentuk pembelajaran Pedalangan dewasa ini bila dilihat dari tolok ukur teks P-W masih sangat jauh dari sistem pembelajaran yang ideal. Oleh sebab itu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Seni Pedalangan/ Pewayangan Bali, penititala seperti teks P-W sangat diperlukan sebagai penuntun dalam pembelajaran.
97
Pembelajaran dewasa ini yang lebih mengkhususkan pada beberapa aitem seperti tercantum dalam matrik dirasa kurang dapat mewakili pembelajaran seni Pedalangan yang merupakan seni total teather. Sedangkan teks P-W, merupakan salah satu dari pembelajaran yang secara substansial memiliki materi yang konprehensif dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam pembelajaran yang ideal. Hal ini dibuktikan dari matrik di atas dimana dari beberapa pembelajaran seniman Dalang masih banyak belum menyentuh materi-materi yang ditawarkan oleh teks P-W. oleh sebab itu teks ini perlu disalin kembali direvitalisasi untuk menghindarkan dari kepunahan, diterjemahkan agar lebih mudah untuk dipelajari, dan dikaji agar dapat dipakai dasar atau landasan serta penuntun dalam proses belajar mengajar.
3.3.1
Tri Legawa Dalam Kamus Bahasa Bali oleh Sri Reshi Anandakusuma (1986:101)
menyebutkan kata Tri artinya: tiga, kata Lagawa artinya: Aharalagawa, tidak mempunyai pikiran untuk memaksa. Jadi Tri Lagawa maksudnya adalah merupakan tiga kebiasaan yang menjadi kekuatan sebagai tiang penyangga/modal dasar untuk menjadi Dalang, yang isinya: a. Menget: artinya ingat. Maksudnya adalah bahwa seorang dalang harus mempunyai kemampuan mengingat materi dan hafalan yang baik agar tidak cepat lupa. Kenapa demikian karena pada saat pertunjukan Dalang tidak ada kesempatan atau tidak diperkenankan membaca catatan atau buku. Jadi seorang Dalang hendaknya mengingat bermacam-macam materi pertunjukan, dari mulai
98
cerita yang dipakai, dialog, kesting karakter, lagu/vokal yang akan dinyanyikan. Penutur harus mempunyai daya nalar yang baik, sehingga pikiran penutur dapat diungkapkan secara teratur dan masuk akal (Rota, 1988:7-8). Umpamanya dalam menajamkan sebuah dialog sering Dalang menggunakan sebuah kalimat yang dipetik dari puisi berirama /Kekawin. Contoh: Haywa maninda ring sang Dwija daridra dumadak atemu, sastra tininda denira kapataka tinemu mageng, yan kita ninda ring guru patinta maparek katemu, Iwirnika wangsa patra tumibeng watu remek apasah (Niti Sastra, 1971:20). Jika seorang Dalang tidak mempunyai daya hafalan yang kuat akan sangat sulit untuk menyajikan materi-materi seperti itu dan juga materi lainnya yang berwawasan modern, seperti berita-berita media masa. Ada sebuah resep ingat yang juga dijelaskan oleh ki Dalang Wasitacara, bahwa hal itu bisa dilatih untuk meniauhkan kebiasaan lupa, yaitu dengan dua cara: I.
Jangan menunda pekerjaan yang seharusnya sudah dilakukan. Artinya lakukanlah pekerjaan itu sampai selesai, semasih kamu ingat jangan pernah mentelantarkan pekerjaan itu untuk waktu berikutnya.
II. Pastikan tempat-tempat barang yang digunakan. Artinya kita harus bisa menyimpan barang pada tempatnya, dimana kita ambil disana kita taruh setelah selesai memakainya. Itulah dua resep ki Dalang Wasitacara untuk mengusir rasa lupa, yang diberikan kepada muridnya ki Sewangga. Dari penjelasan tersebut, terkait dengan ungkapan pembelajaran beberapa Dalang di atas, maka pada bagian menget ini sama sekali tidak disinggung,
99
sehingga terkesan para guru Dalang melupakan penjelasan betapa pentingnya menget dalam konteks pembelajaran. Menurut penulis, apa yang diungkapkan dalam teks P-W sangat beralasan karena betapa pentingnya tingkat pemikiran atau daya nalar si calon Dalang untuk dapat mempelajari ilmu dan pengetahuan secara komprehensif. Jika tanpa kekuatan otak yang minimal bisa disebut "pinter" niscaya dapat ditebak bagaimana kualitas Dalang tersebut di masa depan. Oleh sebab itu betapa pentingnya modal menget sebagai tempat penyimpanan data, mencari data, mengatur data, dan mendistribusikan data secara tepat sehingga pertunjukan yang dilakukan mampu memukau penonton baik tontonan maupun tuntunannya. b. Suara: artinya suara. Seorang Dalang dituntut memiliki suara atau vokal yang bagus, baik suara besar, sedang maupun kecil untuk dapat melantunkan berbagai macam vokal, serta dapat mengisi suara tokoh sesuai dengan karakternya. Selain suara yang menjadi syarat utama seorang Dalang, juga Dalang harus selalu memiliki kondisi fisik luar dalam yang baik untuk dapat mempertahankan konsistensi suara selama pertunjukan berlangsung kira-kira tiga jam. Seni suara yang kita tangkap dalam setiap pergelaran wayang dikumandangkan secara ngerangin oleh para wiraswara (penyanyi) dan swarawati (pesinden) serta ki Dalang, yang diiringi dengan perpaduan bunyi gambelan dengan alunan dan irama lagu yang begitu indah. Bagi seorang Dalang seni suara dengan vokal yang mantap merupakan syarat utama dalam mempertahankan mutu pergelarannya (Haryanto, 1988:4).
100
Secara tradisional masalah baik buruknya suara seseorang itu merupakan hal biasa, karena pita suara atau kerongkongan orang berbeda-beda. Tetapi untuk membantu suara itu menjadi lebih baik bisa dilakukan dengan makan makanan yang tidak membuat panas dalam. Kemudian melakukan latihan suara dipantai, di goa-goa/trowongan air (aungan), berendam disungai sambil bervokal dan ada juga yang menyiram kerongkongannya di sebuah pancuran. Dengan latihan seperti itu niscaya kwalitas suara akan jauh lebih baik, dan mengurangi rasa gatal pada kerongkongan terutama bila kita melakukan suara keras dikerongkongan, besar (ngelur) seperti suara raksasa, malen, tertawa terkekeh (ngregeh). Pengalaman penulis sendiri bila akan melakukan pertunjukan wayang, biasanya sehari sebelum ngewayangselalu sikat gigi dengan air hangat dan kemudian busanya dituangkan ke kerongkongan, kemudian menekan dengan nafas dari perut, maka busa tersebut akan berputar-putar di kerongkongan, seperti kita memanaskan radiator mobil dipagi hari. Selang beberapa lama kemudian air tersebut dimuntahkan dan bersamaan dengan itu akan keluar lendir-lendir yang membuat gatal pada kerongkongan. Dengan proses itu penulis bisa mengatasi rasa gatal-gatalyang membuat batuk pada saat pertunjukan (Widnyana, 200: l8). Dalam hal ini, semua Dalang mengharuskan penguasaan materi ini sebagai modal dasar untuk menjadi Dalang. c. Madia: artinya duduk. Dalang harus kuat duduk setidaknya tiga jam. karena selama pertunjukan dalang tidak ada kesempatan untuk berdiri. Perlu diingat bahwa Dalang di Bali pada saat duduk ngewayang tidak hanya sekedar duduk bersila biasa/sukasana, tetapi duduk bersila dengan kaki kanan diatas kaki kiri,
101
serta diantara ibu jari dan telunjuk menggepit pemukul kotak/gedog/kropak yang disebut cepala, sebagai pemukul gedog/kopak. Beberapa jenis pukulan cepala dengan fungsi yang berbeda, seperti: 1. Pukulan Peneteg (taktak tak tak tak dan seterusnya) yang fungsinya sebagai penuntun irama gambelan. 2. Pukulan peselah (blak blak blak) untuk menyela ucapan wayang agar jelas didengar penonton dan juga untuk memulai sebuah lagu angkat-angkatan atau batel sesuai dengan kebutuhan dramatisasi. 3. Pukulan Pemalet (tak blak blak tak blak dan seterusnya) dipergunakan saat mengganti ucapan wayang, pada saat menyembah dan menghilangkan wayang (ngaedang). 4. Pukulan pematpat (blak blak blak blak blak blak dengan irama lambat, sedang dan cepat) dipergunakan untuk keberangkatan wayang tatkala menuju peperangan atau pertemuan lainnya. 5. Pukulan Pesiat (te blak te blak te blak) dipergunakan untuk peperangan, khususnyajika dua wayang berperang berhadap-hadapan. Pukulan serupa itu dipergunakan juga untuk mengiringi igel Delem, Raksasa, Hanoman, atau karakter yang lainnya (Bandem, l981/1982:7). Sikap duduk seperti itu oleh Jendra dalam bukunya Dharmatula, Dialog Intern Umat Hindu, halaman 43 disebut dengan: Siddhasana, merupakan salah satu sikap duduk sembahyang selain sikap padmasana, Sukasana dan Bajrasana. Namun pada pertunjukan wayang, kaki kanan dalang mengepit sebuah alat pemukul yang disebut Cepala. Hal ini sangat sulit dilakukan mengingat waktu
102
duduk yang cukup lama, kaki menggepit cepala.serta dalam konsentrasi yang terpecah-pecah namun fokus. Selain bentuk kaki dalam posisi siddhasana. sikap badan pun harus tegak lurus seperti sikap orang bersemadi, tidak boleh bungkuk dimaksudkan untuk lebih melancarkan sirkulasi pernafasan dan peredaran darah. Maka dari itu duduk siddhasana perlu dari sejak awal mulai belajar mendalang, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang tidak mengikat. Untuk latihan duduk bisa di laiukan dengan berusaha melupakan diri kita bahwa kita sedang duduk. Seperti halnya pemain catur, pemain kartu (cekian) yang duduk berjam-jam atau juga seperti orang yang asyik menonton film. Jadi bila kita ingin latihan duduk lakukanlah dengan sesuatu kegiatan yang dapat dinikmati, sehingga bisa melupakan rasa lelah, sebab kita menikmatinya. Hal positif yang bagus adalah dengan melakukan pencerahan batin seperti mendengarkan darma wacana atau sembahyang atau beryoga berkontemplasi dan berkonsentrasi pada Tuhan. Beranalogi dari uraian tersebut seyogyanya para guru pedalangan hendaknya selalu menekankan pada bagian ini sebagai faktor instrinsik yang utama. Karena seorang Dalang yang ideal di Bali harus mampu mendalang dengan posisi duduk selama kurang lebih tiga jam, sambil menggerakkan hampir seluruh organ tubuhnya seperti kaki, tangan, bibir, telinga, pikiran, kerongkongan, mata dan organ lainnya secara nyata ataupun laten. Dengan ketiga kekuatan itulah (menget,
suara, madia) bisa dipakai
sebagai introspeksi awal bagi diri sendiri apakah cocok atau mampu diri kita menjadi seorang dalang, atau apakah mungkin sang murid tersebut cocok menjadi
103
Dalang. Selain itu persyaratan utamanya adalah harus tekun dan komit dalam bidang yang digeluti yaitu sampai menjadi seorang yang mampu memberikan bimbingan lahir bhatin baik pada lingkungan ataupun pada diri sendiri.
3.3.2
Catur Perakerti Catur Perakreti merupakan empat tiang penyangga berikutnya setelah Tri
Lagawa. Catur artinya Empat, Perakreti arttnya: sebelum perbuatan, kegiatan atau tingkah laku atau sebelum melakukan perbuatan (pertunjukan). Jadi yang dimaksud Catur Prakerti adalah: empat materi pedalangan yang harus dimiliki oleh seorang Dalang atau calon Dalang sebelum melakukan pertunjukan. Adapun empat materi tersebut adalah: manohara, suarasa, parwadi dan Dharmanda (penjelasannya lihat bab terjemahan). Keempat materi ini merupakan isi pertunjukan yang nantinya menuntun si Dalang ke arah kualitas, tergantung seberapa tinggi bobot materi yang dikuasai oleh Dalang bersangkutan. Bobot munohara akandidistribusikan lewat berbagai macam vokal Dalang seperti: tandak rebong, tandak mesem, tandak angkat-angkatan, tandak petangkilan, bebaturan setiap karakter dengan bagus. Jika dapat melakukan dengan baik berarti “amardawalagu” yaitu: mempunyai pengalaman yang luas tentang karawitan dan gending, cara menembang dan suluk-suluk yang khusus untuk pertunjukan wayang (Sumarno dan Rasona, 1983:10). Di Bali, yang berkaitan dengan vokal sering disebut dengan “tembang” atau metetembangan. Dalam buku Wimba Tembang Macepat Bali oleh I Made Bandem, menjelasakan bahwa syarat-syarat seorang penembang macapat adalah:
104
-
Suara bagus dan tau mengolah suara
-
Nafas panjang dan pandai mengatur suara
-
Mengerti masalah laras
-
Mengerti tabuh pengiring dan menguasai matra
-
Mengerti masalah sastra yang berkaitan dengan tembang
-
Mengetahui ekspresi tembang (bandem, 1992,18-21).
Contoh tandak petangkilan: Rahina tatas kemantian, umining mredangga, kala sangka ghurnnita tara. Gumuruh ikang gubar bala samuha, mangkat anguhuh paddasru rumuhun. Para ratu sampun ahyas rathaparimita. Nrepati Yudhishtthira nakularijunnagralumurug. (Baratayudha, Sardula, XXVI). (Wirjosuparto, 1968:125) Semua vokal Dalang hendaknya manohara, seperti kata pepatah “suaranya bak buluh perindu”, tidak fals dengan nada pengiringnya baik pelog maupun slendro, sepertinya menyatu dengan nada, sehingga membuat karakter itu hidup sesuai dengan simbol gerak yang dilakukannya. Untuk melatih suara secara tradisional sudah tersurat di penjelasan; suara pada tri lagawa di atas. Materimateri tandak dan bebaturun biasanya di petik dari kekawin-kekawin (puisi berirama) Baratayudha, Ramayana, Nitisastra dan lain sebagainya. Jadi pada umumnya masyarakat Bali, melatih vokal lewat tembang yang terdiri dari: Sekar Agung; meliputi kakawin dan sloka, Sekar Madya, meliputi Kidung, Sekar Alit: meliputi Macepat dan sekar Rare: meliputi lagu anak-anak. Jadi dalam pertunjukan wayang kulit, penggunaan manohara akan berkaitan erat dengan tetikesan wayang dan “melodi gambelan”. Oleh sebab itu ketiga komponen tersebut berhubungan dengan bayu, sabda dan idep pada diri manusia.
105
Gerak/tetikesan wayang, dengan sarana tangan juga kaki dasarnya adalah bayu/tenaga. Vokal/tandak, dengan menggunakan sarana kerongkongan, dasarnya adalah Sabda (suara). Melodi gambelan (nada suara musik) dengan sarana musik, dasarnya adalah idep (pikiran). Secara umum semua Dalang melakukan pembelajaran manohara ini, namun ada yang mengkhusus belajar berolah vokal ada pula yang nyambet atau nyambil. Artinya beberapa Dalang belajar manohara tidak melalui pembelajaran olah vokal secara mengkhusus seperti di lembaga-lembaga akademis. Mereka belajar melalui pembelajaran vokal yang lain seperti tandak ataupun kekawin. Jadi dalam hal ini olah vokal bukan menjadi yang utama, yang utama adalah melodi atau wirama kakawin tersebut. Sehingga akan berbeda belajar olah vokal secara mengkhusus dengan belajar manohara secara nyambet. Bobot dari Suarasa Parakreti terletak pada kemampuan Dalang dalam mengekspresikan pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain kedalam karya seni pertunjukannya. Parasaan itu bisa sedih, tersinggung, marah, bahagia dan lain sebagainya. Pengalaman yang datang dari luar, misalnya bagaimana caranya si jahat menyakiti si baik, bagaimana seorang penguasa memimpin negara dan rakyat, atau bagaimana pedagang dengan pembelinya. Dalang tidak lepas dari unsur-unsur keadaan lingkungan dan cara hidup masyarakat setempat. Ia maklum bahwa cerita yang bagaimana yung hurut dihidangkannya pada waktu itu dan ia dapat pula memilih lakon yang sesuai dengan suasana masyarakat (pedagang, petani, nelayan, buruh, industri) dan maksud peringatan yang sedang dilangsungkan (upacara pernikahan, khitanan, tingkeban, dan sebagainya). Ia
106
pandai memilih lakon yang sesuai dengan maksud peringatan (Sumarno dan Rasona, 1983:7). Jadi dalam suarasa ini menetankan pada karakter wayang sesuai dengan sifat, keadaan dan kejadian yang berlangsung sesuai dengan kebutuhan cerita, dengan memasukkan rasa-rasa pengalaman tersebut dengan penafsiran estetisnya. Menurut hemat penulis justru pada bagian ini dianggap sepele oleh sebagian besar Dalang di Bali. Seyogyanya dalam pembelajaran suarasa ini menjadi penekanan dan dijelaskan bagaimana cara mempelajarinya. Dengan memahami dan mendalami secara jelas serta menyajikan adegan-adegan itu dalam setiap latihan akan lebih memantapkan pengetahuan si calon Dalang tentang suarasa ini. Bobot Parwadi terletak pada kemampuan Dalang dalam menggunakan bahasa Kawi, Bali (daerah), termasuk juga tata bahasanya (anggah-ungguh/ sor singgih basa). Kalau si Dalang suka dan sering membaca sastra-sastra berbahasa Kawi, ikut dalam kegiatan, pesantian/mewirama, dan rajin konsultasi, maka bahasa yang digunakan biasanya akan jauh lebih berbobot, dan tata bahasanyapun akan lebih teratur. Ada beberapa istilah dalam pewayangan yang kalimatnya biasanya dikutip dari “kekawin” tertentu, misalnya: -
Pangrangrang, adalah istilah untuk mengomentari dan mengekspos sebuah kerajaan, hutan, orang dan lain sebagainya.
-
Pangrumrum adalah bahasa yang digunakan untuk merayu atau adegan percintaan (ngelemesin), seperti: untu asat ngatibangbung, isite
107
ngembang rijasa, rambut panjang kadi mega ngemu ririh dan lain sebagainya. -
Panulame adalah bahasa yang digunakan untuk adegan sedih “ngeling, masesambatan”. Seperti pada adegan mesem, tandak biasanya bukan sepontanitas, namun sebuah kalimat yang dirangkai sedemikian rupa menjadi satu melodi yang sedih.
-
Babanyolan adalah bahasa “kanda-kanda” yang dipakai untuk membuat orang/penonton menjadi tertawa. Dalang yang pintar akan berusaha membuat Banyolan yang mendidik, tidak murahan "cabul" dan selalu sesuai dengan kontek cerita.
-
Diatmika adalah bahasa yang berisikan ajaran-ajaran filsafat hidup dan kehidupan “tatwa-tatwa” untuk ketentraman mahluk hidup. Kalimatkalimatnya biasanya dipetik dari sastra-sastra tertentu, seperti Weda, Itihasa dan purana.
-
Sengit adalah bahasa yang dipakai dengan nada kasar, keras atau menyakitkan, menghujat dan sejenisnya. Walaupun sebagian besar Dalang sering menggunakan terminologi di
atas, namun sebagian dari mereka kurang mampu mentransformasikan pengetahuan Parwadinya kepada murid didikannya, karena istilah-istilah tersebut tidak umum di masyarakat. Selain itu, yang paling sulit adalah bagaimana proses pencapaian parwadi tersebut agar dapat dikuasai oleh si calon Dalang. Untuk itu penulis berpendapat di dalam proses belajar-mengajar Seni pedalangan pemahaman Parwadi perlu ditingkatkan terutama oleh guru pedalangan
108
bersangkutan. Dengan pengetahuan dan pemahaman guru tersebut dapat meningkatkan kualitas peserta didik ke arah yang lebih Progresif. Dengan demikian Dalang harus paham akan parama kawi, yaitu Dalang harus dapat dan mengerti akan bahasa Kawi dan kesusastraannya sehingga ia dapat mengartikan kata yang akan diucapkannya. Amardibasa yaitu Dalang harus mengetahui bahasa pedalangan, misalnya bahasa keraton, bahasa bagi para dewa, pandita, satria, raksasa dan Banyolan para panakawan. Paham akan paramasastra, yaitu Dalang harus mengetahui tata bahasa dan harus banyak menyelami kesusastraan untuk mengetahui urutan percakapan yang baik (Sumarno dan Rasona, 1983: l0). Bobot Dharmanda terletak pada kemampuan dalang dalam menguasai hak dan kewajiban setiap karakter “sesana” yang sudah disepakati secara konvensional oleh masyarakat pedalangan itu sendiri. Jadi dalang tidak boleh berbuat sewenang-wenang dengan wayangnya walaupun dalang sendiri berhak atas wayangnya. Hal seperti itu disebut dengan “kamurba mwang kawisesa”. Jadi Dalang harus mengikuti pakem yang telah disepakati secara konvensional itu dan aturan sastra yang memberikan sifat dan karakter tokoh tersebut. Aturan-aturan itu misalnya: -
kewajiban seorang dukun adalah mengobati segala penyakit pasien, dan tidak membedakan pasien itu kaya atau miskin.
-
Kewajiban seorang Prajurit adalah membela negara dari segala bentuk gangguan.
109
-
Kewajiban seorang Raja adalah membuat negara dan rakyatnya mendapatkan kesejahteraan, ketentraman dan keamanan. Dalam proses pembelajaran hal ini juga dianggap sepele dalam proses
belajar-mengajar Pedalangan, karena dalam wawancara sama sekali hal tersebut tidak disinggung. Seyogyanya pemahaman akan Dharmanda ini perlu dijelaskan atau diuraikan secara detail dalam proses pembelajaran, karena hal ini merupakan pengetahuan sifat dan tabiat setiap karakter dari Wayang terutama kapasitas hak dan kewajibannya. Hal ini perlu ditekankan karena sering terjadi pelecehan karakter atau pelecehan pakem Pewayangan yang mengakibatkan Seni ini menjadi seni murahan atau seni tontonan tanpa tuntunan. Salah satunya adalah kasus Dalang Wakul di tahun 90-an dianggap sebagai salah satu pelecehan dalam konteks Dharmanda di atas, karena sering menggunakan karater Wayang tidak pada proporsinya. Jadi Dharmanda adalah penokohan atau karakterisasi/ perwatakan yang harus dikuasai si Dalang. Yang dimaksud Penokohan disini adalah proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Karenanya, tokoh-tokoh harus dihidupkan. Penokohan menggunakan pelbagai cara. Watak tokoh dapat terungkap lewat: a) tindakan, b) ujaran/ucapan, c) pikiran, perasaan dan kehendaknya, d) penampilan pisiknya e) apa yang difikirkan, dirasakan atau dikehendaki tentang dirinya atau diri orang lain. Tokoh dalam seni sastra disebut “tokoh rekaan” (dramatis personae) yang berfungsi sebagai pemegang peran watak baik dalam jenis roman atau jenis lakon (Satoto, 1985: 24-25).
110
Demikianlah penjelasan dari Catur Perakreti, yang kalau disingkat lagi menjadi : 1. Manohara: mempelajari nada suara pelog dan slendro, sesuai iringan dan gerak wayangnya. 2. Suarasa: Mengingat dan merasakan semua kejadian, baik itu berupa gerak, suara maupun vokal, yang didapat dari pengalaman hidup diri sendiri dan orang lain. 3. Parwati: Mempelajari tata Bahasa Kawi, Bali dan membaca karya-karya sastra yang ada. 4. Dharmanda: mempelajari batas-batas hak dan kewajiban setiap tokoh “kamurba dan kawisesa”.
3.3.3
Panca Wilasa Panca Wilasa merupakan bobot yang terakhir dari materi yang harus
dikuasai oleh seorang dalang. Panca, artinya : lima, dan Wilasa, artinya: permainan, leka, kehendak, cita, kerinduan, hendak, kepingin, rindu akan... (Simpen, 148). Jadi yang dimaksud dengan panca Wilasa adalah; lima macam materi pengetahuan dalang yang telah diolah sedemikian rupa dan menjadi satu kesatuan yang utuh untuk kebutuhan kesempu.nuun pertunjukan. Adapun kelima materi tersebut adalah: Carita Wilasa, Waca Wilasa, Cancala Wilasa, Krama Wilasa, dan Sanjiwa wilasa. Bobot Carita Wilasa yang dimaksudkan adalah bagaimana cara seorang Dalang mengolah cerita yang diambil dari bermacam-macam sumber, kususnya
111
dari Sapta Kanda dan Asta Dasa Parwa (Ramayana dan Mahabharata) disesuaikan dengan kebutuhan pentas: situasi, zaman,kondisi, lingkungan, waktu dan lain sebagainya. Dalam hal ini Dalang mempunyai kebebasan untuk berkreativitas, berimprovisasi prihal cerita yang dipergunakan dengan tidak melanggar esensi lakon aslinya. Hal ini disebut dengan Awicarita, yaitu Dalang harus paham benar dengan semua cerita yang sedang dilakonkan. Ia juga harus mengetahui semua boneka wayang beserta ricikannya sebagai kelengkapan wayang yang mendasari cerita wayang itu (Sumarno dan Rasona, 1983: 10). Adapun cerita/lakon pokok yang umum dipakai dalam wayang Purwa adalah: 1. Cerita Ramayana, dengan Sapta Kandenya yang terdiri dari tujuh bagian/kanda antara lain: a. Bala Kanda: Isi ringkasnya adalah menceritakan raja Dasarata memerintah di negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodya, hingga Rama berhasil mengusir para Raksasa penggangu para petapa dan memenangkan sayembara di negeri Widehadirja (sayembara Mantili) merebut dewi Sita sebagai istrinya. b. Ayodya Kanda: Isi ringkasnya adalah menceritakan Rama, Sita dan Taruna Laksamana dibuang di hutan Dandaka selama empat belas tahun wejangan Rama kepada adiknya sang Bharata prihal kewajiban seorang raja yang terkenal dengan “Asta Bharata”. c. Aranya Kanda: isi ringkasnya adalah menceritakan Rama. Sita dan Taruna Laksamana sangat bahagia berada di dalam hutan dandaka, diculiknya Sita
112
oleh Rahwana Raja Alengka Pura, dan penjelasan Jatayu si burung raksasa kepada Rama prihal penculikan istrinya. d. Kiskinda Kanda: Isi ringkasnya adalah menceritakan perselisihan dua raja kera Subali dan Sugriwa, hingga pembuatan jembatan “situbanda” untuk penyerangan Rama ke Alengka. e. Sundara Kaida: Isi ringkasnya adalah menceritakan sang Hanoman sebagai duta sang Rama untuk menyelidiki keberadaan Sita serta memata-matai kekuatan musuh, hingga sepak terjangnya dengan membakar kota Alengka. f. Yudha Kanda: isi ringkasnya adalah menceritakan pertempuran pihak Rama dan pihak Rahwana yang dimenangkan oleh Rama, pengangkatan Wibisana sebagai raja Alengka dan pembuktian kesusian Sita dengan jalan membakar diri. g. Uttara Kanda: Menurut Dr. Sukmono dua pertiga dari buku ini berisi berbagai macam cerita yang tidak ada hubungannya dengan rakyat Rama, yang sepertiganya lagi menceritakan riwayat Rama. Tetapi agak bertentangan dengan bagian akhir kitab yang ke-6, maka ada-dugaan kuat bahwa buku ke-7 ini adalah tambahan kemudian. Adapun lanjutan cerita tersebut adalah: Rama mendengar desas-desus rakyat yang menyangsikan kesucian Sita. Maka Sita pun diusir dari istana dan tinggal di di pertapaan Walmiki, yang kemudian menggubah riwayat Sita itu menjadi wira carita Ramayana. Di sana Sita melahirkan anak laki-laki kembar diberi nama Kusa dan Lawa. Setelah dewasa Kusa dan Lawa datang ke Ayodya
113
mengikuti upacara Aswameda. Mereka berdua membawakan nyanyiannyanyian gubahan Walmiki, sehingga Rama akhirnya mengetahui bahwa Kusa dan Lawa adalah Anaknya, dan memanggil Walmiki agar membawa istrinya kembali ke istana. Akhir cerita ini, Rama menyerahkan mahkota kepada anaknya setelah Sita membuktikan kesucian dirinya dengan meminta dewi pertiwi membawanya pergi. Ringkasan cerita ini penulis kutip dari bukunya Sri Mulyono, 171-173, “Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Cerita-cerita lain yang tidak berkaitan dengan riwayat Rama adalah: tentang silsilah Begawan Somali, konflik percintaan dewi Sukesi dengan begawan Wisrawa dan melahirkan Rahwana bersaudara. cerita lainnya adalah tentang konflik percintaan Begawan Gottama dengan istrinya Dewi Indradi, sampai pada perebutan cupu, hingga tercipta Subali dan Sugriwa.
2. Cerita Mahabharata,
terkenal dengan Asta Dasa Parwanya, terdiri dari
delapan belas bagian, antara lain: a. Adi Parwa,terdiri dari 18 bab yaitu: Bab I: Menceritakan isi dan ringkasan tiap-tiap Parwa dalam Mahabharata (termasuk asal-usul masa kanak-kanak Pandawa bersaudara dan Korawa bersaudara, bale sigala-gala, mendirikan negeri Indraprasta), demikian pula ringkasan dari peperangan keluarga Korawa dan Pandawa yang lebih terkenal dengan nama Bharata-yuddha. Diantaranya diceritakan bahwa begawan Bisma menjadi senapati Korawa selama sepuluh hari, Danghyang
114
Drona selama lima hari, dikalahkan oleh senapati Pandawa Dhrstadyumna. Lalu sang Karna menggantikan selama dua hari, dikalahkan oleh sang Arjuna Kemudian sang Salya menggantikan hanya setengah hari, dikalahkan oleh sang Yudistira. Sedang pada sore harinya sang Duryodana dikalahkan oleh Bima. Bab II. Menceritakan sang Srutesena melangsungkan kurban atas perintah maharaja Janamejaya. Dalam pada itu datang seekor anjing si Saremya putra begawan Pulaha dengan sang Sarama, dipukul oleh sang Srutesena. Sang Sarama datang untuk mengutuk sang raja bahwa kurbannya tidak akan sempurna. Untuk mengakhiri kutukan tersebut maharaja mencari dan mendapatkan brahmana sakti ayah dan anaknya sang Crutacrawa dan sang Comacrawa. Bab III. Menceritakan begawan Dhomya menguji kesetiaan ketiga muridnya, sang Arunika, sang Utamanyu, dan sang Weda, Sang Arunika disuruh bersawah, maka datang air bah yang menggenangi biji di sawahnya itu, dan pematangnya rusak. Sesudah berulang kali pematang itu diperbaiki dan berulangkali pula rusak, maka badannya dipakai untuk menahan air bah siang dan malam sebagai pengganti pematang, akhirnya dianugrahi gurunya mantra sakti. Sang Utamanyu lebih lagi penderitaannya. Ia dilarang mintaminta sebagai mata pencahariannya selama menggembala lembu, dilarang pula minum air susu waktu anak lembu menyusu pada induknya, maka ia minum getah meduri yang menyebabkan ia buta dan terperosok ke dalam
115
sumur mati, tapi akhirnya juga mendapat anugrah berkat setia dan taat teihadap perintah gurunya. Sedangkan adegan dengan yang cukup menyedihkan dapat diikuti sendiri, demikian pula tentang ujian sang Weda yang tidak kalah penderitaannya dengan teman-temannya. Bab IV Menceritakan asal mula Hyang Agni (api) makan segala sesuatu tidak memilih barang yang dibakarnya, yaitu akibat kutuk begawan Bhrgu, karena menjadi saksi dusta atas peristiwa sang Puloma, bahwa dahulu telah diserahkan kepada sang Duloma raksasa, yang minta kepada sang Puloma untuk menjadi istrinya. Padahal ketika itu sang Puloma menjadi istri sang Bhrgu. Berakhir dengan sang Ruru rnenyerahkan setengah umurnya kepada kekasihnya yang mati digigit ular agar dapat hidup kembali. Bab
V.
Menceritakan
sang
Astika
pahlawan
para
naga
yang
menyelamatkan mereka, terutama naga taksaka dari kurban ular. Sang Astika yaitu putra brahmana Jaratkaru yang semula bertekat tidak akan kawin tetapi ketika melihat leluhurnya berada diantara sorga dan neraka, karena sorga tidak dapat diperoleh oleh orang yang tidak mempunyai keturunan, maka sang Jaratkaru mencari istri yang namanya sama dengan dia. Akhirnya beristrikan Nagini adik para nagayang diberi nama Jaratkaru, karena mereka tau bahwa brahmana itulah yang menurunkan pahlawan bagi mereka.
116
Bab VI. Menceritakan sang Winata dan sang Kadru bertaruh atas kuda Uccaihcrawa yang menyebabkan sang Winata menjadi budak sang Kadru, dan dibebaskan oleh sang Garuda (anak sang Winata) dengan Amrta sebagai syaratnya. Diceritakan pula sebabnya ular mempunyai lidah bercabang dan sang Garuda menjadi kendaraan betara Wisnu. Bab VII. Menceritakan para naga menghindarkan diri dari kurban ular yang telah dikutukkan oleh ibunya sendiri. Pendapat yang terbaik adalah pendapat sang Ailapatra, bungsu paranaga, karena ia ingat bahwa yang akan membebaskan itu adalah putra sang Jaratkaru. Pada waktu itulah sang Basuki pemimpin para naga menyerahkan adiknya sang Nagini kepada sang Jaratkaru untuk diperistri. Bab VIII. Menceritakan maharaja Parikesit mangkat digigit naga taksaka atas perintah sang Sreggi, karena perbuatan maharaja kepada begawan Samiti, ayah sang Srenggi dengan mengalungi bangkai ular. Peristiwa inilah yang menyebabkan adanya kurban ular oleh maharaja Janamejaya, putra maharaja Parikesit. Bab IX. Menceritakan keadaan dan kesudahan kurban ular sesudah sang Astika mengambil bagian pada cerita ini. Bab X. Menceritakan penjelmaan para Dewa yang kemudian menurunkan sang Pandawa dan Korawa, dimulai dari asal-usul dan kelahiran sang durgandini dan saudaranya yang kemudian bernama sang Matsyapati raja di negeri Wirata. Diteruskan juga cerita sang Sakuntala yang kemudian berputra sang Bharata dan menurunkan keluarga Bharata.
117
Bab XI. Menceritakan mantra sakti yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, bahkan yang sudah menjadi abu sekalipun. Diceritakan juga maharaja Yayati memperistri putri pendeta Cukra, tetapi akhirnya mengambil budaknya juga sebagai istri kedua, sehingga mendapat kutukan dari mertuanya menjadi tua sebelum waktunya. Tetapi karena putrinya sang Puru sanggup mengganti menerima kutuk itu, karena sesudah 1000 tahun akan kembali menjadi muda, sang maharaja Yayati kembali menjadi muda. Bab XII. Menceritakan silsilah sang Pandawa dan Korawa, mulai dari sang Puru beristrikan sang Kosalya, berputra sang Janamejaya, senama dengan yang mendengarkan cerita ini, beristri tiga orang, sampai pada nama kuru yang membuat tegal kuruksetra, sampai pada nama hasti yang membuat nama Hastinapura, kemudian sampai pada nama Pratipa, Cantanu, Bhyasa, Bhisma, akhimya sampai pada Korawa dan Pandawa. Diceritakan pula penjelmaan Astabasu yang seorang diantaranya menjadi sang Bhisma, juga kematian dewi Amba oleh sang Dewabrata (Bhisma) dengan tidak sengaja, tentang kebesaran jiwa sang Bhisma meninggalkan wanita untuk selamanya dengan maksud supaya ayahnya maharaja Cantanu dapat kawin dengan dewi Ghandawati. Bab XIII. Menceritakan penjelmaan Sanghyang Yama menjadi sang Widura, karena dahulu menjatuhi hukuman kepada anak yang belum berumur 14 tahun, karena itu Batara Yama dihukum oleh para Bhrahmana menjelma menjadi manusia yang mempunyai cacad pincang sedikit.
118
Bab XIV. Menceritakan kelahiran Korawa dan Pandawa dan kedua keluarga itu semasih kanakkanak. Diceritakan pula perbuatan sang Bhima menimbulkan amarah sang Korawa sehingga Korawa selalu ingin memusnahkan mereka. Demikian pula tentang bergurunya kedua keluarga itu
kepada
Begawan
Drona
serta
pertandingan
kesaktian
yang
menyebabkan sang Karna dinobatkan menjadi raja di negara Angga (Awangga). Bab XV. Menceritakan sang Pandawa berdiam di Waranawata, disanalah mereka menempati rumah damar (jatugra) yang dibuat oleh Korawa dengan maksud untuk melebur keluarga pandawa dengan jalan membakar rumah tersebut. Lepas dari rumah damar tersebut Pandawa masuk hutan belantara. Disanalah sang Bima dapat membunuh raksasa Hidimba dan memperistri adiknya Hidimbi, demikian pula kelahiran sang Gatutkaca dari perkawinan itu. Akhirnya diceritakan pula kematian raja raksasa pemakan manusia sang Baka oleh sang Bima. Bab XVI. Menceritakan sang Pandawa pergi ke Pancala ikut dalam sayembara dan berhasil memperoleh sang Drupadi. Dalam rangkaian cerita ini diceritakan juga kelahiran sang Paracara yang sudah tidak lagi menemui ayahnya karena sudah mati di makan raja Codha yang kerasukan raksasa Kingkara, dan berakhirnya dibagi dua negara Hastina untuk diserahkan kepada Korawa dan Pandawa. Bab XVII. Menceritakan sang Arjuna masuk hutan selama 12 tahun karena merasa melanggar perjanjian dengan sanak saudaranya yang disaksikan
119
oleh Batara Narada. Oleh karena itu atas kerelaan sendiri ia mau masuk hutan. Dalam pengembaraannya inilah ia memperistri Diah Ulupui putri maharaja Citradahana. Juga pada bagian ini pula terdapat cerita perkawinan sang Arjuna Diah Subadra adik sang Khresna. Bab XVIII. Menceritakan lahirnya sang Abimanyu dan terbakarnya hutan Kandawa tempat persembunyian naga Taksaka sahabat Sang Hyang Indra. Karena itu Sang Hyang Agni minta pertolongan sang Kresna dan sang Arjuna menjaga nyala api pembakaran dan menghabiskan semua mahluk yang hendak melarikan diri dari tempat itu. Dalam peristiwa pembakaran itulah terdapat empat ekor anak burung puyuh yang karena permohonan ayahnya kepada Hyang Agni waktu meninggalkan hutan itu mendapat selamat terlepas dari pembakaran tersebut. b. Saba Parwa. Menceritakan Para Pandawa dan Korawa bermain dadu sampai pada Pandawa dibuang ke dalam hutan selama 13 tahun dengan ketentuan 12 tahun mengembara, 1 tahun lagi menyamar tidak boleh diketahui khalayak ramai. c. Wana Parwa. Mengisahkan kehidupan Pandawa bersaudara dengan istrinya dewi Drupadi selama dalam pembuangan di dalam hutan, yang isinya kemudian menjadi bahan cerita Arjuna Wiwaha.
120
d. Wirata Parwa. Menceritakan sang Pandawa menyamar di negeri Wirata dengan nama; Dwija Kangka, Bhelawa, Wrehetnala, Grantika, Grantipala, sedangkan Drupadi bernama Silandri. Dalam cerita ini juga mengisahkan kekalahan sang Melodnyajuru gulat wirata dan terbunuhnya patih Kecaka oleh Bhelawa (Bima), serta keperkasaan Arjuna (wrehetnala) sebagai serati sang Utara saat mengalahkan tentara Hastina yang sekaligus men gakhiri masa penyamaran pandawa. e. Udyoga Parwa. Menceritakan Kresna menjadi utusan Pandawauntuk meminta kembali setengah dari negeri Hastina (cerita Kresna duta) dari pihak Korawa. Setelah gagal dalam perundangan kedua belah pihak (Pandawa dan Korawa) menyiapkan diri untuk berperang (Bharata Yuddha). f. Bhisma Parwa. Menceritakan tentang keperkasaan resi Bhisma menjadi panglima dipihak Korawa, dan Drestadyumna panglima pandawa. Setelah ditentukan peraturan-peraturan perang dimulailah Bharatayuddha di Kuruksetra. Kresna hanya sebagai pengatur siasat dan penasehat pandawa serta kusirnya Arjuna. Pertama kali berhadapan dengan musuh, Arjuna merasa bimbang untuk berperang, karena yang dihadapinya adalah saudara dan keluarga sendiri. Tetapi atas wejangan Kresna yang terkenal dengan Bhagawadgita (nyanyian Tuhan), akhirnyaArjuna pulih kepercayaan
121
dirinya untuk maju ke medan laga. Pertempuran melawan resi Bhisma terjadi selama 10 hari, yang akhirnya gugur oleh Dhrestadyumna. g. Drona Parwa Resi Drona menggantikan Bhisma memimpin Korawa menghancurkan tentara pandawa, dan membunuh raja Pancala Drupada, serta raja wirata Matsyapati. Dalam cerita ini juga menceritakan terbunuhnya Gatutkaca oleh Karna dengan senjata Konta, serta gugurnya sangAbimanyu oleh panglima-panglima korawa, yang diantaranya adalah sang Jayadrata dan Dusasana. Pada hari ke 15 Drona gugur oleh Dhretadyumna karena berkat tipu daya Kresna yang memaksa sang Yudistira untuk melakukan sedikit kebohongan. h. Karna Parwa Untuk menggantikan Drona, Duryodana mengangkat Adipati Awangga yaitu Karna untuk memimpin tentara Korawa di Kuruksetra, dan gugur oleh Arjuna pada hari ke- 17. Dalam cerita ini juga dikisahkan gugurnya sang Jayadrata oleh Arjuna dan sang Dusasana oleh Bhima. i. Calya Parwa Pada hari ke- 18 Duryodana mengangkat sang Calya menjadi panglima tentara Korawa, namun pada hari itu juga ia gugur di tangan Yudistira. Dalam cerita ini juga menyinggung penyesalan Duryodana dan ingin menyerahkan kerajaan kepada Pandawa dan ia sendiri ingin meninggalkan dunia ramai. Namun hal ini menjadi ejekan Pandawa dan akhirnya ia sendiri tampil ke medan laga, di mana ia memilih Bhima menjadi lawan
122
tandingnya. Walaupun akhirnya Duryodana kalah dan gugur, masih sempat pula ia mengangkat Aswatama menjadi senapati Korawa. j. Sauptika Parwa Menceritakan tentang aksi Aswatama yang tidak dapat menahan dendamnya terhadap Pandawa. Maka pada malam sehabis pertempuran hari ke- 18, ia menyusup ke dalam kemah-kemah Pandawa, terutama kemah Pancala. Aswatama berhasil membunuh banyak ksatrya seperti Drestadyumna serta sang Panca Kumara anak-anak Pandawa lima. Setelah membunuh ia melarikan diri ke dalam hutan berlindung di pertapaan Wyasa dan menyampaikan penyesalannya. Keesokan harinya ia tersusul oleh Pandawa dan terjadi pertempuran sengit antara ia dan Arjuna. Namun Resi Wyasa dan Kresna berhasil menyelesaikan pertikaian itu dan Aswatama sendiri menyerahkan semua senjata dan kesaktiannya kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai untuk menjadi pertapa. k. Stri Parwa. Para Pandawa, Dhrestarasta, Dewi Gandari, dewi Kunti, Kresna, serta para istri para pahlawan datang di Kuruksetra. Mereka menyesali semua apa yang telah terjadi, dan menjadikan hari itu hari tangisan. Semua pahlawan yang gugur di medan perang dibakar bersama-sama. l. Santi Parwa. Sebulan lamanya Pandawa tinggal di dalam hutan untuk membersihkan diri. Yudistira merasa segan untuk menduduki singgasana yang telah minta korban demikian banyak dan menawarkan saudaranya untuk menjadi raja.
123
Resi Wyasa dan Kresna menentramkan hatinya dengan wejanganwejangan tentang hidup dan kehidupan,yang akhirnya pandawa kembali ke istana dan Yudistira menunaikan tugasnya sebagai raja yang adil dan bijaksana. m. Anusesana Parwa. Cerita pada bagian ini pada dasarnya adalah merupakan lanjutan dari cerita Santi Parwa, yang isinya merupakan wejangan-wejangan Wyasa kepada Yudistira tentang kebatinan, kehidupan terutama soal kewajiban dan tugas menjadi raja. Namun wejangan-wejangan itu dirangkai dengan berbagai macam cerita, sehingga dalam bagian ini banyak terdapat cerita-cerita lain yang terangkai dalam bentuk wejangan. n. Aswameda Parwa Yudistira melakukan upacara Aswameda, yaitu seekor kuda dilepaskan dan diikuti oleh sang catur Pandawa dengan pasukan lengkap dengan senjata. Selama setahun kuda itu mengembara dan setiap jengkal tanah yang dilalui oleh kuda itu merupakan daerah kekuasaan Pandawa. Walaupun ada beberapa daerah yang menentang namun dapat ditaklukkan oleh sang catur Pandawa o. Asramawasika Parwa. Dhrestarasta beserta istrinya Gandari, juga ibu Pandawa Dewi Kunti, meninggalkan istana pergi kedalam hutan untuk menjadi pertapa. Beberapa tahun kemudian mereka wafat karena hutan tempat mereka terbakar oleh api saji Dhrestarasta sendiri.
124
p. Mausala Parwa. Isinya menceritakan tentang musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya perang saudara diantara kaum Yadu. Kresna dan Baladewa pun tidak dapat menghentikan pertikaian itu, dan mereka pun akhirnya kembali ke alam Dewa. q. Mahaprastanika Parwa Para Pandawa mengundurkan diri dari dunia ramai, setelah mahkota kerajaan diserahkan pada cucnya, yaitu sang Parikesit, anak Abimanyu. Dalam pengembaraan itu satu persatu mereka meninggal dunia, diawali oleh dewi Drupadi, Sahadewa, Nakula, Arjuna, Bima. Tinggal Yudistira ditemani seekor anjing selalu mengikuti perjalanannya. Dewa Dharma dan Dewa Indra datang menjemput yudistira untuk diajak ke Sorgaloka, berkat segala kebaikan yang pernah dilakukannya di dunia. r. Swargarohana parwa. Menceritakan keberadaan pandawa, setelah mengalami pembersihan di Neraka untuk beberapa lama, kemudian mereka masuk Sorga. Sebaliknya Korawa yang sebelumnya dimasukkan di Sorga, kemudian ditempatkan di Neraka. Pembagian 18 parwa di atas dikutip dari buku: Wayang Asal-usul Filsafat dan Masa depannya, oleh Sri Mulyono, halaman: 173-177. Dalam buku: Sejarah Wayang Asal-usul, Jenis dan Cirinya halaman: 10-14, oleh Amir Mertosedono, SH, juga menguraikan tentang ringkasan Astadasa parwa yang hampir sama dengan ringkasan Sri Mulyono.
125
Secara umum para Dalang di Bali hingga saat ini masih tetap berpedoman pada carita wilasa di atas. Namun demikian cerita-cerita ini tidak seluruhnya bisa dipakai dalam pertunjukan wayang Kulit. Hal ini dikarenakan serain pertunjukan wayang Kulit tidak lebih dari 4 jam, juga cerita yang disampaikan hanya sebagai wadah dalam menyampaikan pesan-pesan batiniahnya. Jadi dalam pertunjukan wayang Kulit, cerita yang diambir baik dari Mahabharata, maupun Ramayana hanya sebagian kecil saja sebagai latar misi dan visi Dalang bersangkutan. Bobot Waca Wilasa yang dimaksud adalah penggunaan dari kalimatkalimat atau gaya bahasa tertentu dalam pewayangan, yang aplikasinya melalui tembang/vokal, dialog dan monolog. Dahm retorika tradisional, gaya bahasa atau style itu mendapat tempat yang penting, bahkan tidak sedikit orang menganggap bahwa gaya bahasa itu identik dengan retorika (Rota, 1988:4). Rota juga mengutip pendapatnya Gorys Keraf yang mengatakan bahwa, para retorikus jaman dahulu (zaman Romawi ) seperti Quintilianus misalnya mengajarkan bahwa dasar gaya bahasa yang utama ialah: -
Susunan bahasa yang tepat.
-
Adanya kejelasan dalam tuturan.
-
Keindahan.
-
Kesopanan (kepatutan).
-
Ungkapan yang mengandung berbagai variasi.
-
Penggunaan kiasan kata dan kiasan kalimat (Rota, 1988: 4). (Keraf, 1985:10).
126
Dari hasil menyimak berbagai informasi yang diperolehnya, Gorys Keraf menarik suatu kesimpulan, bahwa “retorika itu adalah suatu tehnik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik”. Kesimpulannya, bahwa untuk suatu retorika yang baik diperlukan beberapa prinsip dasar, antara lain: 1. Penutur harus menguasai secara aktif sejumlah besar pembendaharaan kata. Makin banyak jumlah kosa kata yang dikuasai, makin mampu penutur itu memilih kata-kata yang tepat dalam menyampaikan buah pikiran. 2. Penutur harus menguasai secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan. Dengan demikian penutur akan mampu menggunakan bermacam-macam bentuk kata dengan nuansa dan konotasi yang berbeda-beda. 3. Penutur harus mengetahui dan menguasai bermacam-macam gaya bahasa, dan mampu pula menciptakan gaya yang hidup dan baru, untuk lebih menarik perhatian pendengar atau pembaca. Seperti telah disinggung dimuka, bahwa gaya bahasa yang kena, ialah gaya bahasa yang menggunakan susunan kata yang tepat, yang mengandung kejelasan, mengandung berbagai variasi, dilukiskan dengan kiasan kata dan kiasan kalimat yang efektif. 4. Penutur harus mempunyai daya nalar yang baik, sehingga pikiran penutur dapat diungkapkan secara teratur dan masuk akal. 5. Dalam bentuk bahasa tulis, penutur harus pula memiliki pengetahuan teknis penulisan, seperti cara pengetikan, cara mengutip, cara menyusun
127
bibliografi, dan lain-lainnya (Keraf, 1985:19). (baca Retorika dalam Pewayangan Bali, Rota Ketut, 1988). Ada juga bahasa atau kalimat yang mengkhusus dipakai dalam pertunjukan, seperti: -
Paguneman : yaitu menguasai vokal dalampeparuman.
-
Pengrangrang: yaitu bahasa yang bermakna memuja sesuatu.
-
Pangrumrum: yaitu bahasa atau vokal untuk percintaan.
-
Sedih: yaitu Bahasa atau vokal dalam keadaan sedih.
-
Banyol: yaitu sesuatu yang lucu dan dapat membuat tertawa, baik yang dilakukan melalui gerak, vokal, monolog dan dialog.
-
Pengung: yaitu bahasa yang mengandung muatan filsafat kebenaran.
-
Sengit, yaitu semua bahasa yang kasar, keras, sombong, marah.
Rota menambahkan, dilain pihak oleh karena retorika merupakan (karya) seni (yaitu seni bahasa), maka wujud “penggunaan bahasa yang tepat guna” tadi, perlu dimanifestasikan dalam sosok bahasa yang memenuhi tuntutan estetika, antara lain seperti: (1) adanya variasi dalam penggunaan bahasa, (2) adanya keharmonisan antara bagian-bagian dari bangunan bahasa itu, (3) adanya pertentangan (contrast) yang dilukiskan dengan bahasa. Dalam Waca Wilasa ini juga ditentukan oleh beberapa penititala (pakem/ Wimba) sesuai dengan situasi adegan pertunjukan yang berlangsung. Kurang lebih ada 7 pokok yang dijadikan pedoman, yaitu:
128
-
Peguneman/Petangkilan. Dalam adegan ini diawali dengan vokal sebagailustrasi dari tokoh-tokoh yang akan dikeluarkan. Jika wayang mata sipit yang dikeluarkan, iringannya adalah “Alasarum”. Jika wayang keras atau mata bulat “dedeling” iringannya adalah candi
rebah, jika tokoh raksasa iringannya adalah Rundah. Secara spesifik Ida Bagus Gde Purwa menyatakan bahwa candi rebah ataupun rundah merupakan bentuk pepeson Wayang memakai bentuk Ngalengkara seperti telah disebut di atas. Namun sekarang, penggunaan pakem di atas sudah tidak dipermasalahkan lagi, seiring dengan berkembangnya dunia pewayangan, seperti wayang Calonarang, wayang Tantri, Wayang Arja, Wayang Babad, dan lain sebagainya, yang selalu mengadopsi lagu-lagu seperti rundah, candi rebah dan rundah untuk ilustrasi, tanpa memperdulikan penggunaan lagu-lagu tersebut sebelumnya. Jadi pada dasarnya peguneman tersebut adalah keluarnya beberapa tokoh wayang yang diiringi dengan ilustrasi musik dan vokal Dalang. Adapun contoh dari kalimat alas arum, untuk iringan mata sipit, dikutip dari kekawin Bharatayuddha, adalah : -
Rahina tatas kemantian, Humuni mhredangga, Kalasangka, gurnitan tara.
-
Gumuruh, Ikang gubar bala samuha, Humangkata, Nguwuh pada sereh rumuhun.
-
Para ratu, sampun ahyas asalin, lumampaha, Hawanrata Parimita.
-
Nrepati, Yudistira parang muka, Bhimasena, Nakula Arjuna grelu murug.
-
Rasa betah, Tang mahitala, nguwuh wang ariwek, riweg dedet gumerebeg.
129
Untuk iringan Candi rebah, biasanya menggunakan puisi/kalimat seperti berikut. -
Bujangga onom kemalingan, Genta hilang mwang pustaka, Apan masaning amuja, Sangkan rikarya manangis.
-
Jambot paniang peparingan, Topong abang piner mas, Jarak abang manis wijine, uluna gana batara nata.
-
Gedong anom gina lojor, Jejakane den eresin, Kumandang angayamayam, Kokila ngalun suarane. Puisi-puisi di atas dilakukan dengan vokal, menyesuaikan dengan melodi
musik pengiringnya, yang dalam istilah pewayangan disebut "tandak". -
Pengrangrang. Yang dimaksud dengan pengrangrang disini adalah semua ucapan/kalimat Dalang dengan maksud mengungkapkan kebesaran atau keagungan sesuatu, seperti negara, istana atau seorang tokoh. Dengan mengekspus seperti itu maka adegan itu diharapkan menjadi kuat dan mengarahkan imajinasi penonton kearah obyek tersebut. Adegan ini biasanya dilakukan dengan vokal atau tembang. Sebuah contoh bila kita ingin mengekspus seorang tokoh agar bertambah kuat dan berwibawa, misalnya: “Malen: Dah, kabinawa pesan ri sapemedal ida sang Arjuna, ngalinggihin kereta saha balayudane ngebekin. “Merdah: (kekawin kilayu manedeng baris pertama; “Sanghyang Surapati metu sangkari kuta lawan surabala gumuruh”), aduh nanang, lwir kadi pawi-jilan ida Sanghyang Indra ritatkala tedun kapayudan, kabinawa prebawan idane, ngawe resres isatru, jejeh musuhe nanang!
130
-
Pangrumrun. Istilah ini adalah istilah untuk mendekati dan merayu seseorang.
Misalnya
seorang
prialkesatria
mendekati
seorang
wanita/putri, maka dilakukan Pangrumrum. Lagu Pangrumrum ini dalam pewayangan umumnya disebut rebong/adegan rebong. Adegan ini dilakukan dengan pelpaduan antara vokal tembang, monolog, dialog dengan iringan. Contoh ucapan rebong: Miyik nyangluh bon nyane mahimpugan, gegandang gadung kasturi, rambut panjang kadi mega ngemu ririh, alise medon intaran, seledete kadi tatit, isite ngembang rijasa, untu asat ngati bangbung, susu nyangkih ngasorang nyuh gading kembar, tempuh gelange ngrempuang. Inggek-inggek sada nayog, bangkyang rengkyang acekel gonda layu, cokore mudak sinungsang. -
Sedih. Seperti sudah disinggung di atas (dalam Parwadi), bahwa bahasa sedih dalam pewayangan biasanya dipakai istilah: mesem, untuk adegan sedih karakter manis atau mata sipit. Candirebah, untuk karakter keras atau mata bulat, Bopong, adalah untuk adegan sedih tokoh keraksasan.
-
Banyol. Adegan Banyol/lucu dalam pewayangan biasanya lebih banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh panakawan dan tokoh-tokoh lain yang dianggap relevan untuk melucu, misalnya: sang Bima, sang Suratma, sang Sakuna, beberapa karakter pendeta/begawan dan lain sebagainya. Adegan Banyol bisa dilakukan dengan monolog, dialog antar tokoh, dengan gerak dan juga dengan vokal, bahkanjuga dengan tatarias (dalam adegan teater lainnya), dan penambahan karakter baru yang relevan dengan cerita.
131
-
Pengung. Istilah ini sudah sangat jarang digunakan. Pengung adalah istilah untuk ucapan kalimat yang bernuansa filosofis. Istilah itu seperti, basa wayah, sarwa tatua, tutur kasuksman, kasucian dan sesana. Semua istilah itu di kutip dari refrensi seperti Kakawin, Weda, sloka atau mantra, tembang dan lain sebagainya.
-
Sengit. Istilah ini adalah untuk mengungkapkan adegan marah, emosi keras, semua bahasa kasar (tan pasruti, saling cacad, sesumbar, ngapakngapak) asal jangan sampai "memisuh". Jadi Waca Wilasa merupakan implementasi dari parwadi perakerti di atas.
Dengan demikian jika parwadinya jelas, maka waca wilasenya juga akan jelas, dan begitu juga sebaliknya, bila daya pembelajaran parwadi kurang maka penguasaan waca juga akan terbatas. Bobot Cuncala Wilasa. Istilah ini digunakan untuk tata cara menggerakkan wayang atau gerak wayang dalam istilah pembelajaran di ISI Denpasar. Ada juga yang menyebutkan; tetikesan wayang, tetakehan/takeh wayang, igel/nyolahang wayang, dan dalam istilah jawa disebut dengan sabet/Dalang Sabetan, yaitu Dalang yang pandai memainkan wayang dan memerankan wayang dengan gerakan-gerakan yang terampil dan cekatan sehingga seolah-olah hidup (Sumarno dan Rasona, 1983: 8). Dalam
menggerakkan
wayang
hendaknya
disesuaikan
dengan
karakternya, suasananya, yang mengacu pada jalannya cerita. Cancala Wilasa dibedakan menjadi 9, yaitu:
132
1. Agem Luhur: adalah keluarnya tokoh wayang dari atas kelir, seperti: Dewata, Resi/Pandita, dan sejenisnya. Ciri-ciri lainnya adalah; jalannya pelan, suaranya berwibawa dan sarat dengan filsafat. Walaupun demikian tidak mutlak berlaku demikian, karena adajuga tokoh lain yang keluar dari atas dan tidak mempunyai ciri-ciri seperti itu, seperti; sang Garuda/Jatayu, Wilmana, Hanoman, Rahwana dan lain sebagainya. Jadi agem luhur merupakan keluarnya wayang dari atas, tetapi tetap melihat karakter wayang tersebut. 2. Agem Dedeling. Agem ini ditujukan kepada karakter wayang bermata bulat, ucapan keras berwibawa, “tetangkep acreng”. Tokoh seperti itu adalah; Bhima, Bhaladewa, Duryadana, Dusasana dan lain-lainnya. 3. Agem Manis. Agem atau gerak ini digunakan oleh wayang Prabu/raja kesatria bermata sipit atau ksatria manis, seperti; Arjuna, Kresna, Yudistira, Nakula, Sahadewa dan lain-lainnya. Ucapan karakter ini pelan dan berwibawa, "tetangkep mardawa, tindakan banban alus, ucapan sada alon”. 4. Agem Aeng. Istilah ini digunakan untuk mengeluarkan tokoh-tokoh yang berwajah menakutkan, yaitu karakter raksasa dan sejenisnya seperti: Rahwana, Marica, Prahasta, Kala, Jogormanik dan lain-lainnya, dengan gigi dan taring runcing. Suara tokoh ini biasanya keras, besar “ngelur, ngregeh”, jalannya mantap, emosional atau tempramental.
133
5. Agem Garini. Untuk tokoh putri kemanusiaan dengan sifat yang halus, suara manis, jalannya pelan "tetangkep alon aris", dipakai istilah agem garini, seperti: Sita, Kunti, Drupadi dan sebagainya. 6. Agem Sor. Digunakan untuk wayang penasar atau abdi seperti: Malen, Merdah, Delem, Sangut. Terkadang bisa juga digunakan oleh tokoh satria yang menghadap atasan atau orang tua, seperti Gatutkaca menghadap Bima, maka Gatutkaca menggunakan agem sor. “tetangkep bakti, pejalan nyeseb, kramaning aniwi”. 7. Agem Bobot. Agem ini khusus digunakan oleh wayang yang besar, seperti Pemurtian dan sejenisnya. Intensitas Gerakan tokoh ini harus berat, seakan tanah bergetar dan bergoncang. “tetangkep baat, megli-duhan”. 8. Agem Sandi. Gerakan wayang atau etika setiap tokoh disesuaikan dengan cerita yang berlangsung, seperti diperjalanan, di hutan, dipetangkilan (peparuman), di dalam medan perang dan lain sebagainya. Sebagai contoh; bila Gatutkaca dalam peparuman dengan Pandawa lima, ia akan menggunakan agem sor (kramaning aniwi). Jika dalam peperangan mungkin Gatutkaca akan bicara dari atas (antariksa/ambara) dengan sang Panca Pandawa. 9. Agem Yuda. Istilah ini digunakan untuk wayang yang sedang berperang, mulai dari berangkat ke medan laga didahului oleh; prajurit "bala-bala", para punggawa "bebantot-bebantot", Para Patih, para putra kesatria, sang raja yang diiringi oleh para pandita keraiaan. Dalam agem yuda ini ada beberapa istilah perang seperti; perang undur-undur, perang ngontel,
134
perang ngotek, perang ngelipet, perang kadyatmikan, perang dugalan "memogol/megulet", perang tunggangan, perang rebutan. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah; cara mentang panah, caranya mati dalam peperangan, cara menghindari senjata, caru maya-maya dan cara membuat Banyolan dalam peperangan. Dalam proses belajar dan mengajar pedalangan Bali, pada bagian ini lebih sering dilakukan praktik langsung dengan porsi penjelasan atau teori yang sangat sedikit. Artinya, setiap mengajarkan gerakan wayang dari setiap tokoh, maka praktik selalu mendominasi dengan contoh-contoh yang diberikan oleh sang guru. Menurut hemat penulis hal tersebut kurang menguntungkan dalam pencapaian kualitas didikan. Seyogianya para pendidik memberikan terminologi gerak-gerak di atas secara mengkhusus, menjelaskan, serta memberikan bentuk serta struktur yangjelas tentang gerak-gerak tersebut. Dengan demikian peserta didik akan paham secara utuh terminologi tersebut sebelum melakukan praktik gerakan Wayang. Bobot Kramallilasa merupakan istilah dalam pewayangan dalam hal membuat plot cerita "ngedum karang/bah bangun satua serta memberikan inovasi "uperengga,/pepayasan" menyesuaikan dari kebutuhan cerita tersebut. Secara umum isi Krama Wilasa sebagai berikut: -
Pertama, selalu menjelaskan isi cerita secara umum di bagian pertama
dalam petangkilan seperti; nama negara, nama raja, maksud dan tujuan pertemuanl peparuman tersebut diadakan. Bila plotnya sedih, maka Waca Wilasa no. 4 yang dipakai acuan, dengan iringan/vokal mesem, bendusemara atau
135
bopong. Jika plotnya percintaan, maka pedom annyaadalah Waca Wlasano. 3, yaitu lagu/gending rebong. -
Babak kedua atau adegan berikutnya juga petangkilan/peparuman, yang
berkaitan dengan adegan di babak pertama. Dalam adegan ini juga bisa dikembangkan atau ditambah dan dikurangi asal tidak sama dengan yang pertama, sehingga adegannya tidak membosankan. Pada umumnya adegan atau isi cerita di babak pertama dan kedua biasanya selalu bertentangan (kontras). -
Babak ketiga, merupakan pertemuan babak pertama dan babak kedua,
sebagai klimak yang diwujudkan dengan peperangan. Pada babak ini dalang berpedoman pada Carita Wilasa; pada catur karana no. 4, yaitu; pasiat, dan Cancala Wilasa no. 9 yaitu; agem yuda. Struktur dramatik pewayangan Bali di atas agak mirip dengan alur atau plot dalam fiksi modern sebagaimana dikatakan Soediro Satoto bahwa alur (plot) adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra (termasuk drama atau lakon, pen.) untuk mencapai efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan hubungan kausal (sebab akibat). Dengan kata lain, alur adalah rangkaian peristiwayangdireka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui perumitan (penggawatan atau komplikasi, pen.) ke arah klimak dan penyelesaian. Jika dalam setiap mempertunjukkan cerita selalu ada alur atau plot, maka di dalam proses pembelajaran seyogianya Krama Wilasa mendapat perhatian yang serius. Dalam hal ini, bah bangun satua (alur cerita) umumnya bisa dipelajari langsung dari cerita Mahabharata maupun Ramayana. Jika diperhatikan dengan
136
seksama di dalam setiap pertunjukan dari beberapa dalang, maka cerita yang ditampilkan merupakan bagian kecil dari cerita Mahabharata maupun Ramayana tersebut serta telah diolah sesuai dengan kebutuhan pertunjukan. Oleh sebab itu KramaWilasa sangat perlu diberikan secara lebih mendetail dalam proses belajar mengajar sebagai upaya mengolah sebuah cerita singkat menjadi sebuah alur yang sarat akan tontonan maupun tuntunan. Bobot Sanjiwa wilasa. Adalah penjiwaan dari setiap karakter agar tokoh itu benar-benar kelihatan hidup. Sanjiwa dapat dilakukan dengan dua proses yaitu; proses spiritual/sakral (niskala) dan material (sekala). Proses niskala, yaitu suatu proses yang sesuai dengan petunjuk agama, mulai dari pembuatan wayang sampai pertunjukan selalu ada perantara sesaji yang diyakini dapat memberikan nilai mistis "taksu" kepada aparatus pertunjukan terutama wayang tersebut (penganteb, pengurip-urip). Proses sekala, yaitu suatu proses penjiwaan setiap karakter sesuai dengan sifat yang dibawanya dengan jalan latihan secara kontinyu sehingga kita bisa merasakan menyatu dengan setiap karakter wayang tersebut. Pada dasarnya wayang itu sendiri merupakan alat untuk mengekspresikan segala sifat manusia di atas pentas, sehingga karakter wayang diwujudkan daram bentuk yang berbeda-beda. Dengan demikian, dalang harus dapat membaca karakter wayang dan memberi gerak serta ucapan dengan baik, juga menyesuaikan dengan jalannya cerita. “nyeta sebeng wayang”. Oleh sebab itu, dalang harus benar-benar mampu mengungkapkan perasaannya lewat wayangnya. Misalnya, dalam adegan sedih, dalang harus mampu mengekspresikan sedih tersebut kepada tokoh wayangnya, bahkan sampai menangis. Demikian juga
137
dalam adegan marah maupun romantis, sehingga imajinasi penikmat dibawa kedalam suasana adegan tersebut. Pedoman demi keberhasilan penjiwaan pakeliran, yang disebutkan dalam kawruh (pengetahuan) pedalangan karya M. Ng Nojowirongko alias Atmacendana, menerangkan bahwa dalang yang baik harus menguasai unsurunsurpakeliran, di antaranya sebagai berikut: 1. Regu, pelaksanaan pekeliran yang baik dan menarik tak membosankan sehingga terasa keluhuran seni pedalangan. 2. Greget, yaitu pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana yang hidup, bergairah, tegang, marah dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan lakon. 3. Sem, yaitu pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana penuh rasa romantis, sesuai dengan kebutuhan lakon. 4. Nges, yaitu pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana yang dapat menimbulkan rasa haru, iba, sedih, dan sebagainya, dengan kebutuhan lakon. 5. Renggep, yaitu pelaksanaan pakeliran yang hidup dan penuh kegairahan (Sumarno dan Rasona, 1983:11). Untuk mendapatkan hal di atas, maka pengetahuan suarasa perakerti merupakan modal utama untuk menuju ke sanjiwa wilasa. Seberapa peka rasa dan intuisi seniman dalam menangkap fenomena-fenomena yang ada di masyarakat termasuk pengalaman-pengalaman dirinya merupakan jalan terbaik menuju Sanjiwa wilasa tersebut. Selain itu pemahaman mantra-mantra dan etika ataupun
138
norma-norma yang telah ditetapkan dalam dharma pewayangan serta diikuti secara konvensional juga suatu keharusan yang semestinya dipahami sedini mungkin dalam proses pembelajaran. Namun, di sini teks PW II dan III tidak dikaji secara mendalam lagi karena telah dijelaskan secara substansial di depan. Bagian ini merupakan kelanjutan bagian sebelumnya, yakni P-W I. Seperti telah disinggung di atas, isi teks P-W II merupakan rancang bangun cerita atau plot lakon beserta tata cara menyusunnya. Secara garis besar, tata cara melakukan pertunjukan yang sesuai dengan teks dan konteksnya adalah cara Papunggelan, yang dilakukan saat [melakukan] pertunjukan sudah larut malam atau dengan durasi waktu yang singkat. oleh sebab itu, pertunjukan dimulai dari adegan kedua, sedangkan adegan pertama hanya diceritakan sebagai flash back (di punggel/dipotong). Vokal yang dipakai biasanya adalah tandak/vokal cecantungan, yaitu tanpa mengikuti melodi gamelan; cara ngalengkara, digunakan hampir sama dengan situasi dan kondisi pada Papunggelan, namun disini lebih menekankan pada vokal, monolog serta dialog pada pepeson wayang (keluarnya wayang di awal pertunjukan). Kadang kala jenis ini juga bisa dipakai iringan non-gender, seperti Semar Pegulingan, Gong Kebyar, Batel dan sebagainya. Vokal biasanya menggunakan tandak rundah atau bendu semara, ataupun lelengkeran, yang diselang-selingi dengan ucapan setiap karakter. Ucapan disini menjelaskan siapa dirinya (karakter yang keluar), di mana keberadaannya, dan akan melakukan apa; sedangkan ngerahina, merupakan pepeson wayang khusus dengan iringan gender. Vokal dalang harus
139
menyesuaikan dengan irama iringan dan telah dipatok dengan stail tersendiri, seperti style Badung dan style Sukawati Gianyar. Sementara itu, isi teks P-W III adalah uraian tentang pengetahuan spiritual seorang dalang khususnya dharma pewayangan, yaitu kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh seorang dalang. Secara praksis telah terjadi hubungan antara teks dan konteks, sehingga dirasa tidak perlu dikaji secara lebih mendalam.
140
BAB III BENTUK PEMBELAJARAN SENI PEDALANGAN BALI BERDASARKAN TEKS PURWA-WASANA
Pada bagian ini, didiskusikan mengenai pembelajaran, khususnya P-W I yang menguraikan tentang Tri Lagawa, Catur Perakreti dan Panca Wilasa. Hal ini dilakukan karena sebelum bagian ini yaitu narasi serta dialog Ki Wasitacara dan Ki Sewangga, merupakan pendahuluan atau prolog teks, untuk memperkenalkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog pembelajaran Pedalangan tersebut seperti tercantum pada Bab IV (4.3.1 dan 4.3.2). Oleh sebab itu pada bagian ini, penulis hanya mentransliterasi mulai dari bagian korpus. Sedangkan teks P-W II dan III tidak dikaji secara mendalam karena secara praksis telah sering dilakukan oleh para Dalang di masyarakat. Salinan asli teks P-W disajikan sebagai lampiran dalam tulisan ini. Sedangkan yang dikaji adalah terjemahannya seperti yang tercantum di bawah ini.
3.2 Terjemahan Teks P-W. 3.2.1
Terjemahan Teks P-W. I. Purwa Wasana I ini, dibagi menjadi tiga pokok pengetahuan: 4. Tri Lagawa. 5. Catur Perakreti. 6. Panca Wilasa.
141
4. Tri Lagawa artinya: tiga pokok kekuatan yaitu: a. menget. b. suara, c. madia. a. Menget artinya: selalu ingat dengan materi dan hafalan tidak cepat lupa. Sebab di dalam pertunjukan tidak boleh membaca catatan atau buku dan tidak boleh bertanya. b. Suara artinya: memiliki suara yang bagus, baik suara besar ataupun kecil dan tidak cepat serak waktu pertunjukan yang lama. c. Madia artinya: Dalang harus kuat duduk. Sedikitnya tiga jam belum pernah bangun, tidak boleh berdiri saat ngewayang. Kalau sudah memiliki Tri Legawa ini, itu sudah ada ciri-ciri untuk bisa menjadi dalang yang bagus. Tetapi agar serius tidak cepat bosan belajar, guru berani bertaruh pasti akan berhasil”. Sewangga: “Bah, kalau begitu perkataan guru, hamba sama sekali tidak mampu bersuara besar kecil apalagi suara keras atau ngelur karena suara hamba jelek sekali menyebabkan hamba malu untuk berolah vokal/matembang, sampai sekarangpun hamba tidak bisa bernyanyi. Mohon guru dapat memberikan bimbingan agar hamba bisa bervokal sesuai dengan harapan guru”. Dalang: “Masalah baik dan buruknya suara, rasanya tidak bisa dirubah sepenuhnya, itu tergantung dari resonator pita suara kita. Tetapi karena rajin berolah vokal, makanan dan minuman yang tidak membuat panas dalam (pisang hijau berisi santan). Saat mandi di sungai – disiram dengan air pancuran, saat di
142
laut sambil memancing, tujuannya adalah untuk membuat perut menjadi sejuk atau adem, sebab perut yang sejuk/tis menghasilkan suara yang bagus. Yang namanya menget atau ingat (ingat selamanya), bisa juga karena latihan "menjauhkan lupa", menurut guru: III. Jangan ditunda – adanya dorongan keinginan (ah nanti bawa kesana), artinya kalau sekarang ingat - langsung kerjakan sampai selesai/tuntas. IV. Memastikan tempat. Buatkan barang-barang kita tempat yang pasti, tempat pisau, golok, kunci, pengupas isi kelapa/penyeluan, sendok dan lain sebagainya, kalau sudah selesai dipakai ingatlah menaruh pada tempatnya. Cara itulah yang guru pakai untuk mengusir sifat lupa agar sifat ingat mau tinggal pada diri kita. Nah, kalau ingin kuat duduk tiga jam, bisa juga karena latihan yaitu dengan cara melupakan tempat kita duduk seperti pemain catur, atau seperti orang yang lagi asyik nonton film, sampai tidak ingat dengan timur barat, karena terlalu serius atau konsentrasi. Nah sekarang kita lanjutkan dengan pelajaran yang bernama:
5. CATUR PERAKRETI. Catur Perakreti adalah empat bagian pelajaran yaitu: 5) Manohara Perakreti 6) Suarasa Perakreti 7) Parwadi Perakreti 8) Dharmanda Perakreti Ad 1.
Manohara Parekreti artinya: Cengkok atau getaran suara juga gerak/sabet agar dapat meluluhkan perasaan.
143
Getaran atau nada suara : saat bervokal mengikuti irama gambelan baik pelog atau slendro, agar suara bisa menyatu dengan nada gambelan, terutama dalam pengambilan nada sesuai dengan tujuh nada. Gerak atau sabetan/tetikesan: jenis tarian wayang agar sesuai dengan irama gambelan pengiringnya sehingga adegan itu kelihatan hidup. Nah, Sewangga, usahakan manohara tersebut dibiasakan terlebih dahulu, supaya biasa bertembang/bervokal, juga aksen musik iringan, karena itu yang paling muda”. Sewangga: “Maafkan hamba guru, manohara parekreti mapiteges: membiasakan nada pelog dan slendro dan aksen - aksen iringan. Masalah tersebut sudah terbayang dalam benak hamba. Yang hamba tanyakan adalah: dalam melodi iringan yang bagaimana yang seharusnya hamba pelajari terlebih dahulu, serta saat matetandakan (bervokal;, dimana hamba mencari bahasa ucapannya itu guru?” Dalang: “Yang dipakai dalam seni pertunjukan wayang kulit tidak terlalu banyak, asal tahu aksen-aksen musik Gegaboran dan Bebatelan itu sudah cukup. Akan lebih bagus jika menguasai yang lainnya seperti: musik Palegongan, Gitak, Bapang Gede dan lain sebagainya. Nah, bahasa yang dipakai dalam berolah vokal bernyanyi, diambil dari: Sekar Alit (tembang-tembang), Sekar Madya (kekidungan), Sekar Ageng (wirama). Itulah yang dipakai latihan setiap hari, minimal tiga baris dalam satu tembang, agar cepat biasa memahami melodi dan cengkok, utamanya nyutra suara-sapta nada. Tapi jangan memilih tempat latihan,
144
dimana sempat dan ada waktu, disanalah latihan vokal dan hapalan. Banyak model pekerjaan yang cocok dilakukan sambil bernyanyi sambil menghafal aksenaksen (angsel-angsel) melodi gambelan. Tetapi rasa malu itu, harus dihilangkan terlebih dahulu, karena rasa malu menyebabkan hambatan untuk belajar. Selama masih dilekat oleh rasa malu, semua yang dipelajari akan menjadi malu, sehingga lama tidak akan mengerti. Rasa malu tersebut merupakan penyakit dari orang yang belajar seni, seyogyanya cepat diobati dengan tablet berani/salep tidak tahu malu (bengal). Kalau masalah di atas dikaitkan dengan diri manusia, menjadi seperti ini: Gerak tari - sarananya kaki, tangan- dasarnya adalah tenaga (bayu). Vokal/nyutra suara- sarananya kerongkongan-dasarnya adalah suara (sabda). Nada iringan (reng nada suara)-sarananya adalah musik - dasarnya adalah pikiran/rasa (idep). Demikianlah sebenarnya bayu, sabda dan idep/Tri premana (tenaga, suara dan pikiran) dalam Manohara parekreti”.
Ad 2.
Suarasa Parakreti artinya: Merasakan perbedaan semua pikiran atau perasaan yang pernah dialami. yang paling banyak perasaan itu datang dari: berkencan (masa puber), dari bepergian keluar daerah/negeri, mendadak merasa senang, bahagia, emosi; mendadak merasakan sedih, tersinggung, marah, dan perasaan lain yang pernah dialami sendiri.
Ada juga rasa yang datang karena pengaruh luar, umpama: tokoh protagonis mau menyakiti tokoh antagonis atau adharma melawan dharma, Raja memerintah rakyat, cara seorang polisi mengurus pencuri, pedagang dengan
145
pembeli, banyak lagi hal yang kontras (rwa bineda). Yang patut diambil/diingat: gerak/tandang serta ucapannya. Umpama: kalau orang marah, bagaimana ekspresinya? Atau gerakan dan ucapannya? Begitu halnya dengan senang dan sedih dimana perbedaannya? Gerak laku orang tua dengan anak-anak di mana bedanya? Rasa-rasa yang berbeda-beda tersebut akan membentuk satu cerita, yang akan ditampilkan dalam pertunjukan pewayangan. Itulah sebabnya nak Sewangga, dari sekarang kumpulkan rasa-rasa itu, baik yang datang dari diri sendiri ataupun dari berapresiasi (datang dari orang lain)”.
Ad 3.
Parwadi Parakreti, artinya: membaca semua cerita parwa/ Mahabharata, kekawin-kekawin, semua bentuk kidung, gaguritan, (vokal bertembang dalam tradisi Bali) serta semua yang berbahasa Kawi, sekaligus belajar mengartikannya. Sebab semua Bahasa Kawi itu menjadi Bahasa wayang, yang diartikan oleh abdinya/panakawannya. Cerita-cerita yang dijadikan plot cerita, tentang keadaan seorang raja (kerajaan). Itu sebabnya aturan bicara/etika bicara atau Bahasa dari setiap tokoh, disesuaikan dengan karakter wayang itu sendiri. Kalau ada sebuah grup pesantian (grup vokal tradisi Bali), akan sangat bagus kamu ikut bergabung, sekalian mengumpulkan Bahasa Kawi, memilah-milahkannya. Seperti: Pangrangrang = menyombongkan sebuah kerajaan, jalan, pantai, gunung, dan sebagainya.
146
Pangrumrum = Bahasa Rayuan (percintaan). Panulame = Bahasa sedih/menangis Be Banyolan = dialog-dialog yang membuat tertawa Diatmika : Filsafat-filsafat tinggi, pendidikan keselamatan/kesejahteraan. Sengit = semua Bahasa kasar/jorok saling menghina. Kalau Banyolan yang guru rasakan baik/berbobot adalah; Banyolan yang datangnya mendadak atau tidak dipersiapkan sebelumnya.
Ad 4.
Dharmanda Parakreti, artinya: Waspada terhadap batas-batas kewajaran atau kebenaran yang menjadi konvensional bersama. Kebenaran/ kebajikan disebut kewajiban. Kewajiban tersebut sangat banyak dan bermacam-macam jenisnya, di ikat oleh aturan-aturan, dan aturan-aturan itu sendiri di ikat oleh Undang-undang. Untukmu Sewangga, ingatlah kewajiban masing-masing, bagaimana perbuatan dan perkataan. Umpama: Kewajiban seorang dukun = mengobati semua penyakit, tidak memandang kaya miskin, sahabat atau musuh. Kewajiban seorang Raja = mengutamakan kesejahteraan kerajaan/rakyat. Kewajiban seorang Pendeta = mengutamakan persembahan kepada Tuhan, melalui Agama,/Panca Yadnya. Kewajiban seorang Kesatria = mengutamakan jiwa patriotik, memerangi seluruh musuh negara atau penyakit dunia. Kewajiban Undagi = mengatur tempat bangunan agar tidak menyakiti.
147
Kewajiban Rakyat = melaksanakan perintah raja untuk membangun ketentraman negara.
Banyak
lagi
kewajiban-kewajiban/hak-hak
yang
dipertahankan,
menyebabkan kemarahan sampai terjadi perang. Kejadian ini yang selalu dipentaskan oleh dalang, sama-sama mempertahankan hak dan kewajiban saling caci-maki hingga terjadi pertempuran. Sampai di sinilah keterangan Catur Parakerti. Kalau guru simpulkan lagi Catur Parakerti tersebut: 5. Manohara = belajar nada suara pelog dan selendro, juga aksen gambelan atau iringan dan tetikesan atau sabetan wayang. 6. Suarasa = mengingatkan sabetan dan suara atau dialog dengan rasa yang berbeda-beda. 7. Parwadi = belajar etika bahasa kawi dan Bali (anggah-ungguh, sor singgih Basa). 8. Dharmanda = mempelajari batas-batas kewajiban, hak, setiap karakter. Sewangga; “Ya guru, maafkan hamba, masih bingung pikiran hamba mendengarkan penjelasan guru tadi, yaitu penjelasan mengenai Parwadi dan Dharmanda, terasa belum terbayang dalam pikiran hamba mengenai hal itu dan pasti akan lama hamba pelajari, sebab bahasa Kawi belajar dari filsafat agama/dharma. Kapankah hal itu hamba dapat kuasai? Hamba takut keinginan menjadi dalang akan hilang.
148
Maaf, kalau ada teknik belajar yang lebih mudah lagi sedikit, tolong hal tersebut berikan kepada hamba agar lebih mudah hamba meresapinya, dan bisa lebih cepat belajar praktek pakeliran.”
Dalang: “Yah, kamu mau kemana Sewangga? ingatlah ada istilah mengatakan: yang namanya pekerjaan, jika dilakukan dengan sembarangan pasti mutunya berkurang, dan kelihatan amat kasar serta banyak yang rompal atau patah. Dan lagi yang kamu katakan belum terbayang /sulit karena Parwadi dan Dharmanda tersebut belum pernah kamu baca. Pokoknya apa yang belum kita ketahui akan kelihatan amat sukar, dan semua kelihatan gampang karena sudah kita ketahui. Sebabnya bisa tahu karena kita rajin belajar. Nah, nak Sewangga, guru tidak akan memaksa agar kamu mempelajari apa yang guru telah terangkan kepadamu. Seperti permintaanmu, menginginkan teknik yang lebih mudah, sepertinya guru sendiri belum pernah mengajar ngewayang memakai teori selain Purwa-Wasana I, II, III. Yang sudah lewat murid-murid pedalangan yang belajar kepada guru semua mempelajari Purwa Wasana I, II, III. Guru tidak punya teori dan tehnik lainnya, nak Sewangga jangan menyesal dan menganggap guru kikir.” Sewangga: “Guru, mohon maaf yang sebesar-besarnya, semoga tidak marah terhadap hamba, setelah hamba pikir, petuah guru benar sekali. Hamba masih ingat waktu masih sekolah, semua pelajaran kelihatan sukar-sukar sekali dan juga lagu-lagu yang baru diberikan, tapi setelah tahu dan hafal, tiada lagi yang sulit dan
149
tidak susah mengucapkan dan melantunkan tembang tersebut. Untuk saat ini, silahkan guru memberikan hamba pelajaran seperti yang telah guru lakukan terhadap murid-murid terdahulu.”
Dalang: “ha, ha, ha... bukannya guru marah, dan untuk apa marah!, ya.. kalau begitu keinginanmu mau belajar disini, mari sekarang kita lanjutkan sehabis Catur Parakerti adalah; 6. PANCA WILASA. Panca Wilasa artinya: proses membuat satu bentuk cerita dengan lima buah komponen yaitu; 6. Carita Wilasa 7. Waca Wilasa 8. Cancala Wilasa 9. Krama Wilasa 10. Sanjiwa wilasa.
Ad 1.
Carita Wilasa, artinya; pengambilan cerita yang bisa dijadikan satu bentuk cerita. Para dalang terdahulu mengambil cerita dari Asta Dasa Parwa (Maha Bharata), Ramayana (Sapta Kanda), Ketaka Parwa, dan dari kekawin-kekawin pewayangan (prosa berirama). Sekarang juga banyak diambil dari komik-komik, dari majalah bulanan yang berisi satu bentuk cerita utuh. Pada dasarnya semua cerita berisikan cerminan dari Dharma melawan Adharma (baik dan Buruk). Seperti yang dipelajari;
150
bagaimana upaya si jahat mau mencelakai si baik? perbuatan yang membuat duka lara, menyakiti, membunuh, atau membohongi. Tapi pada akhirnya kebenaran akan selalu menang. Cara merancang atau membuat satu cerita wayang setidaknya harus berisi empat komponen, yaitu: 5.
Swamandala = ada nama negara, Raja, maha patih, Putri, dan semua yang dijadikan pokok cerita.
6.
Anta Kerana = Permasalahan yang dijadikan konflik
7.
Uparengga = Kreativitas/inovasi yang sesuai dengan jalan cerita.
8.
Pasiat: perang sebagai akhir cerita, kemenangan Dharma.
Semua cerita yang akan dijadikan pertunjukan wayang usahakan agar berisi empat bagian tersebut di atas, yaitu; Swamandala, anta kerana, uparengga/ pahias, dan pasiat yang disebut Catur Kerana.
Ad2.
Waca Wilasa artinya setiap kata/kalimat, bahasa yang dipakai ucapan wayang dalam pertunjukan. Selain ucapan tersebut, ada lagi bahasa yang harus dicari, setidaknya ada tujuh bagian, yaitu; 8.
Paguneman = menjelaskan nama negara, raja, bawahan dan tujuan Pertemuan.
9.
Pengrangrang = bahasa untuk menyombongkan keindahan keraton/ negara, hutan, gunung, jalan, samudra. (bahasa paradok).
10. Pangrumrum = Bahasa percintaan, rayuan, merendahkan diri (tegal mabudi toya).
151
11. Sedih = Semua bahasa yang mencerminkan duka lara, menangis, memanggil-manggil, sedih. 12. Banyol = Ada yang lucu dari suara (monolog, dialog), ada dari model atau bentuk wayang, dan ada dari gerakan wayang. 13. Pengung = Bahasa kawi, filsafat, pendidikan keutamaan, kesucian dan kewajiban. 14. Sengit : Semua bahasa yang kasar/keras, tidak bisa didengarkan oleh telinga saling hina, sombong, egois, tapi jangan sampai menghujat (memisuh?). Dari ketujuh bagian tersebut harus dicatat, minimal ada beberapa contoh bahasa untuk diingat hingga betul-betul hapal.
Ad 3.
Cancala Wilasa, artinya; teknik gerak wayang sesuai dengan karakter dan jalannya cerita. Cara memainkan wayang tersebut guru bagi menjadi sembilan, yaitu; 10. Agem Luhur: watek Dewata, Resi/pendeta, raja tua; dimana jalannya pelan, ucapannya juga pelan berbobot, perbawa suci (wayang berwibawa). 11. Agem Dadeling: Tokoh raja, kesatrya dan para putra raja bermata bundar. Perbawanya keras, tegas, ucapan tegas berwibawa. 12. Agem Manis: Karakter raja dan putra manis bermata sipit, perbawa manis, jalannya pelan, ucapan juga halus manis.
152
13. Agem Aeng: Karakter wayang dengan gigi lancip, perbawa galak menakutkan, suara keras, ketawanya keras terbahak-bahak (ngregeh ngulun-ulun?), jalannya tegas/tegap. 14. Agem Garini: Karakter wayang putri manusia, perbawa sangat manis, ucapan atau suara kecil melengking, jalannya sangat pelan. 15. Agem Sor: Karakter wayang penasar (abdi laki perempuan), perbawa sopan, jalan dan sifatnya merendahkan diri. 16. Agem bobot: Karakter wayang besar, perbawa berat, suara sesuai dengan bentuk tubuh, jalan agak bergoyang. 17. Agem Sandi: sopan santun - tatakrama wayang tergantung dengan cerita saat di persidangan, di dalam hutan, di jalan, sesuai dengan iringan tabuh, dan penggunaan bahasa kalangan atas maupun bawah. 18. Agem yuda: Perjalanan menuju medan laga lengkap dengan senjata, binatang tunggangan, dan prajurit. Pertama-tama adalah; prajurit, kemudian para kesatria (bebantot-bebantot?) dan patih-patih, dan terakhir adalah Raja yang didampingi oleh para pendeta. Dalam adegan perang, yang patut dipelajari adalah; dengan senjata gada, panah, cara menusukkan senjata, melukai atau adu kekebalan.
Ad 4.
Krama Wilasa, artinya: mengatur struktur pertunjukan/plot cerita, dan kreativitas disesuaikan dengan kebutuhan cerita. 3. Menjelaskan jalannya cerita, Raja dan kerajaan, serta semua karakter bawahan raja yang ikut dalam pertemuan/rapat serta tujuannya. Jika
153
jalan ceritanya sedih, maka harus diambil dari Waca Wilasa yang nomor empat, yaitu bagian sedih, yang sudah di kumpulkan lagu-lagu sedih dengan bahasa Kawi, serta variasi lain, yaitu bisa berupa sindiran dan prosa berirama,/kekawin. Jika yang sedih bermata bundar, iringan yang dipakai adalah Bendusemara, jika mata sipit menggunakan
Mesem.
Jika
jalan
ceritanya
percintaan
atau
perkawinan, cari di wacana no: 3, yaitu percintaan dengan lagu Rebong. Jika dilanjutkan dengan abdi, dipakai pengecet rebong (reff rebong?). Nah, itulah sebabnya guru sangat antusias agar murid-murid Pedalangane belajar, berpedoman dengan Manohara Perakreti. Kita lanjutkan lagi, jika ceritanya didatangi oleh seorang pendeta/sesepuh, ambil wacana no: 6, yang isinya serba ajaran filsafat dan etika. Paguneman atau rapat yang kedua, juga menjelaskan siapa yang akan ketemu dengan yang parum atau rapat di bagian pertama, nama kerajaan, raja, dan yang akan jadi sengketa/isi cerita. Di bagian ini juga bisa diisi kreativitas atau dikembangkan, namun agar berbeda dengan yang pertama. Dalang sendiri akan punya logika, agar cerita tidak lengang, dimana sepatutnya ditambah atau dikurangi. Sekarang pertemuan antara pegunem I dengan pegunem II semua tetap dengan pendirian atau kewajiban, tidak ada yang mengalah dan sama-sama berani, saling cela, akhirnya terjadi keributan atau perang.
154
Model pertempuran; ada yang menggunakan Aji Sesirep atau ilmu sirep, ada yang mengeluarkan api, menghilang atau maya-maya, hujan, angin, semua yang diandalkan, saling ingin membunuh, saling adu taktik atau kasingseang, boleh dipercepat atau diperlambat, tetapi agar tidak lepas dengan pokok cerita.
Ad 5.
Sanjiwawilasa, artinya; bisa menjiwai semua karakter wayang sebagai aktor dalam cerita disesuaikan dengan tingkah laku dan ucapannya. Orang pintar pada jaman dahulu membuat wayang dipakai sebagai sosialisasi dari sifat-sifat manusia di dunia ini sehingga timbul bermacam-macam karakter yang berbeda-beda. Dalam sebuah cerita raja yang arif bijaksana; dipakai wayang yang berwibawa dan agung. Memvisualisasikan yang angkuh dan semena-mena, cari karakter yang beringas dan keras. Kalau karakter Kebal atau teguh; pilih karakter yang kelihatan kuat atau kokoh. Begitu juga kalau mencari karakter yang lain agar disesuaikan dengan keberadaan wayang itu sendiri. Dalam mengembangkan sebuah cerita, seyogyanya harus ada Sanjiwa, caranya adalah sebagai berikut: 6.
Kalau percintaan: harus ingat bagaimana dulu waktu kita mendekati seorang wanita, merayu mau sehidup semati, bersatu dalam satu pemakaman.
7.
Kalau sedih: agar si dalang bisa menangis terlebih dahulu sampai tersedu-sedu penuh dengan keluh kesah.
155
8.
Kalau Pengung atau pendidikan Agama: ikuti contoh-contoh para orang tua atau sesepuh kita memberikan pendidikan tentang hakekat hidup, sesuai dengan filsafat-filsafat agama.
9.
Kalau lucu: bisa diisi dimana saja sesuai dengan kebutuhan, tapi jangan pada saat sedih, agar suasana sedih dapat dipertahankan.
10. Kalau perang: Yang sakti agar kelihatan sakti atau kuat, yang lemah agar mati waktu ditusuk. Guru pernah, waktu yang lampau di dalam pertunjukan, Sanjiwa itu menyatu dalam diri dan kebetulan tenaga masih cukup kuat, tanpa disadari pada saat adegan perang, betul-betul satu wayang tembus terkena tombak, ada yang rusak, robek. Besoknya guru sendiri yang memperbaiki yang rusak-rusak itu, mengganti tangkai wayang dan tangkai senjatanya. Nah, sampai disini dahulu pelajaran mengenai PURWA WASANA I, berupa olahan cerita (teori pewayangan) yang patut nanda usahakan dan pelajari, sebelum belajar praktek memakai kelir dan memakai iringan.” Sewangga: “Mulai dari sekarang hamba akan belajar purwa-wasana I ini, tapi mohon guru membimbing hamba agar cepat hamba mengerti. Sangat keinginan hamba mohon, agar hamba dapat nonton guru saat ngewayang, agar bisa hamba dapat melihat gerak wayangnya, dan teknik pegangan wayang guru, sebagai gambaran dalam hati hamba.
156
Dalang: “uduh, nak sewangga, guru merasa sangat senang karena nak Sewangga mau mengikuti teknik pewayangan guru. Guru tidak akan kikir untuk memperlihatkan teknik gerak wayang, pegangan wayang, agar nanda semakin keras ingin belajar. Sebenarnya setiap dalang punya ciri khas atau keistimewaan tersendiri, ada yang pinter menggerakkan karakter wanita, ada panakawan Delem sangutnya yang istimewa, ada adegan perangnya, ada suara monyetnya (ngore), ada adegan sedihnya dan lain sebagainya. Itu semua karena rajin dan tekun belajar. Nah, sesuai dengan permintaanmu, agar guru memperlihatkan teknik guru saat ngewayang, guru pasti akan melakukannya. Tapi sebelum ngewayang, dalangnya harus sudah mempunyai cerita. “Dimana mencari cerita?”,kalau begitu mungkin pertanyaanmu, ulangi lagi baca; Carita Wilasa sampai Waca Wilasa. Kalau kamu mau cerita yang dipakai belajar oleh murid guru terdahulu, mudah bagi guru memberikan, tapi kamu sendiri yang memilih keberadaan cerita tersebut. Tata caranya itu sudah guru kumpulkan menjadi satu, dan guru beri tanda dengan nama: Purwa-Wasana II.
6.1.2
Terjemahan Teks P-W. II Pada bagian ini tidak diterjemahkan secara keseluruhan. Namun hanya
dilakukan transliterasi seperlunya karena pada bagian ini merupakan aplikasi dari pembelajaran P-W I, yang secara praksis ada benang merah antara apa yang terjadi di masyarakat dengan teks P-W. pada bagian ini secara teknis menyajikan tata cara memulai suatu pertunjukan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan sudah sering dilakukan oleh para Dalang di masyarakat. Kendatipun demikian
157
sebagian besar dari mereka (terutama Dalang-dalang muda) belum paham akan terminologi pertunjukannya. Dengan kata lain mereka melakukan hal tersebut hanya karena warisan belaka tanpa memahami betul apa yang dilakukannya. Oleh sebab itu sering kali pertunjukan dari Dalang-Dalang muda kita terkesan ngawur atau keluar dari teks maupun konteksnya. Adapun teknis memulai sebuah pertunjukan Wayang berdasarkan teks P-W adalah: Papunggelan, Ngalengkara, dan Ngarahina. d. Papunggelan Papunggelan artinya penggel atau memotong. Jadi yang dimaksud oleh bentuk pertunjukan ini adalah sang Dalang mengeluarkan tokoh-tokohnya tidak diawali dengan alas arum, yaitu tanda khusus untuk adegan persidangan (petangkilan) dengan mengikuti irama gamelan. Adegan dalam pepunggelan biasanya dimulai dari transisi adegan kayonan langsung ke adegan batel dengan tanda pukulan cepala rangkep (ada juga yang menyebut sebagai adegan nyedit). Dengan tanda cepala seperti itu, penabuh langsung mengambil tabuh batel yang diikuti dengan tandak kayonan oleh Dalang, dilanjutkan dengan ucapan Dalang mengenai cerita yang akan dibawakan. Setelah itu diteruskan dengan mengeluarkan tokoh-tokoh yang akan bersidang atau berdiskusi atau berdialog. Diskusi ini bisa dilakukan dengan menancapkan Wayang ataupun juga bisa dengan hanya memegang saja, tergantung dari kebutuhan dialog yang diinginkan oleh si Dalang. Hal ini dimaksudkan adalah untuk dapat mempersingkat waktu persidangan dengan mengurangi gerak Wayang dan vokal Dalang. Pertunjukan seperti ini
158
biasanya dilakukan karena kebutuhan waktu sehingga adegan awal dipersingkat melalui terminology Papunggelan. e. Ngalengkara Ngalengkara yang dimaksudkan adalah teknis mengeluarkan tokohtokoh pewayangan dengan model meniru pepeson Wayang Wong. Adegan ini mengikuti irama gamelan yang telah ditentukan oleh Dalang yaitu: Candi Rebah, adalah lagu untuk mengiringi tokoh wayang bergigi lancip seperti Rahwana, Kumbakarna, Meganada dan jenis raksasa lainnya; Bopong, untuk mengiringi tokoh mata dedeling atau bundar seperti Bima, Gatutkaca, Duryadana dan sejenisnya; dan Rundah, untuk mengiringitokoh Wayang mata sope atau sipit seperti Kresna, Arjuna, Dharmawangsa dan sejenisnya. Prosesnya hampir sama dengan teknik Papunggelan, dengan tanda pukulan cepala si Dalang nandak atau bervokal sesuai dengan yang diinginkannya, kemudian diikuti oleh penabuhnya. f. Ngarahina Ngarahina adalah merupakan bentuk yang paling umum dipakai oleh para Dalang di Bali pada tahap awal mengeluarkan Wayangnya. Bentuk ini tidak melihat karakter Wayang yang akan dikeluarkan baik bermata sipit, dedeling atau bergigi lancip tetap mengikuti irama gamelan yang disebut alas arum. Dalam hal ini Dalang hanya bertindak sebagai juru sendon artinya Dalang tanpa menggunakan ucapan dan tanpa panglengkara seperti pada bentuk sebelumnya. Jadi secara garis besarnya perbedaan antara ketiga pepeson Wayang di atas yaitu: Papunggelan cirinya dengan hanya menggunakan tandak bebaturan atau sesendon tanpa mengikuti irama gamelan dan gerak Wayang yang sederhana.
159
Dilanjutkan dengan pagosana (menjelaskan cerita yang akan dipakai), pengalang penasar dan antewecana. Ngalengkara cirinya menggunakan iringan sesuai dengan tokoh yang dikeluarkan diikuti dengan ucapan dan gerak Wayang yang sedikit ditata (menari). Dimulai dari bebaturan, pagosana, gending pepeson (candirebah, bopong, rundah), pamidarta (menjelaskan Wayang yang menjadi fokus cerita), pengalang ratu (sejenis sesendon), panyestakara/sendusamita (prihal lengang dan sepinya sebuah persidangan), pengalang pemasar (sesendon khusus untuk panakawan), dan antewacana. Sedangkan Ngarahina cirinya lebih menonjolkan pada penataan gerak Wayang yang dipadukan dengan vokal dalang disesuaikan dengan iringan gamelan yang disebut alasarum. Diawali dengan tandak alasarum/raras arum, anyacah Parwa, pangalang ratu, panyestakara, pengalang penosar dan antawecana. Untuk contoh-contoh tandak atau sesendon dapat dilihat pada bagian akhir dari teks P-W III.
6.1.3
Terjemahan Teks P-W. III Pada bagian ini juga dilakukan teknis yang sama seperti pada sistem
transliterasi P-W I dan II, yaitu hanya dilakukan pada bagian-bagian yang dianggap mendukung proses penelitian ini. Pada bagian ini menjelaskan tentang pentingnya pengetahuan spiritual bagi seorang Dalang yang berupa Weda mantra serta pengetahuan mejik lainnya. Adapun mantra-mantra yang dipakai pada saat prosesi mendalang adalah: 1. akan berangkat mendalang: sebelum mengucapkan mantra Dalang merasakan terlebih dahulu nafas yang keluar dari hidungnya. Jika yang deras pada lubang
160
hidung kiri berarti dewa Wisnu yang berstana pada si Dalang dan seyogyanya si Dalang melangkah dengan kaki kiri kali pertamanya. Jika lubang hidung kanan yang terasa agak deras, berarti dewa Bharma yang memberi anugrah dilanjutkan dengan melangkahkan kaki kanan. Jika keduanya sama-sama deras berarti dewa Iswara yang berstana, maka si Dalang berjalan dengan mekecog atau melompat kali pertamanya. Mantra: “Ong-Ong dewa boktra prayojanam suda ya namah swaha”. 4. saat berjalan: “Ong sang Kamajaya tatkalaning lumaku, jaya sidia ya namah swaha”. Urutan mantra-mantra selanjutnya dapat dilihat pada salinan teks P-W III yang telah dituangkan pada Bab V. 6.2 Bentuk Pembelajaran Beberapa Dalang di Bali 3.3.1
Dalang I Ketut Muka Menurut Bapak I Ketut Muka, proses pembelajaran seseorang menjadi
Dalang yang ideal adalah dimulai dari belajar olah vokal melalui pesantian Beliau menjelaskan kurang lebih sebagai berikut. “Yan cara tiang, proses jadi Dalang punika kekawitin antuk melajah mewirama inggih punika kebawos kekawin, saking nyarengin pesantian. Duaning drika polih melajah indik vokal utawi gending-gending anggen ngelemuhang suara, lan melajah bahasa Kawi. Lian ring melajah mewirama punika taler melajah mupuh utawi tembang-tembang macepat, memaca sehananing Parwa, Ramayana, Tantri, wariga, usada, taler uning kadyatmikan lan kawisesan. Wus punika wawu kelanturang antuk melajah megender, mesolah, unteng nyane mangda uning ring gending-gending gender lan nyolahang Wayang”.
Artinya:
161
“Kalau menurut saya, proses menjadi Dalang itu dimulai dari belajar mewirama yaitu puisi berirama dengan jalan ikut dalam pesantian, yaitu sebuah grup membaca puisi dengan melodi-melodi yang telah ditentukan atau diatur oleh guru-lagu. Sebab dengan cara seperti itu akan lebih cepat dalam melatih cengkok suara dalam Pewayangan. Selain itu juga perlu belajar tembang-tembang macepat, membaca cerita-cerita Parwa, Ramayana, Tantri, juga belajar ilmu astronomi atau primbon, ilmu pengobatan, dan diteruskan dengan belajar filsafat hidup filsafat Ketuhanan maupun ilmu yang berkaitan dengan kesaktian”. Lebih luas uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menguasai beberapa kakawin dari parwa-parwa dalam bharatayudda akan sangat mendukung kualitas hasil pembelajaran. Sudah barang tentu bukan hanya kakawin namun segala macam vokal (tradisi) seperti kidung maupun sekar alit (pupuh), termasuk palawakia. Karena selain dapat meningkatkan kualitas suara, secara tidak langsung telah mempelajari berbagai macam cerita dan bahasa Kawi yang dapat digunakan dalam pewayangan. Setelah itu dilanjutkan dengan mempelajari musik pengiring pertunjukan utamanya adalah Gender Wayang. Secara ideal seorang Dalang harus mampu menabuh gender, setidak-tidaknya mampu mengikuti nada suara atau lagu yang mengiringi pertunjukan. Hal senada juga disebutkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa dalam Ilmu Pewayangan/Pedalangan, bahwa seorang Dalang harus mampu menabuh gender. Pembelajaran selanjutnya adalah mempelajari gerak tari agar dapat diekspresikan ke dalam gerak atau sabetan Wayangnya. Dalang I Ketut Muka menambahkan bahwa sebelum melakukan proses pembelajaran tersebut di atas, harus didahului oleh sebuah inisiasi ritual yang disebut dengan pewintenan, setidak-tidaknya ada pewintenan Saraswati. Hal ini dimaksudkan untuk mohon restu dari Hyang Widhi agar memberikan anugrah
162
keselamatan dan kesuksesan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Hal yang kedua ditambahkan adalah prihal mesakapan dengan Wayang, walaupun hal ini tidak penulis tanyakan. Beliau menjelaskan bahwa mesakapan (pernikahan) dengan aparatus pertunjukan-pertunjukan utamanya wayang yang sering dilakukan di daerah Denpasar dan daerah-daerah lainnya adalah sebagaimana dilakukan seperti upacara pernikahan dalam agama Hindu di Bali. Namun menurut Dalang Muka, mesakapan pada dasarnya mengandung maksud mengintensifkan interaksi atau hubungan diri dengan sarana yang digunakan. Artinya bagaimana kita mampu menguasai vokal Pewayangan sesuai dengan kaidah-kaidahnya, mampu menguasai karakter Wayang dan memfungsikan sesuai dengan proporsinya. Jadi dalam hal ini beliau lebih menekankan pada proses pembelajaran secara terus-menerus agar si Dalang dapat menyatu dengan Wayang dan sarana lainnya. Kemampuan teknis lain yang tidak kalah pentingnya adalah nyepala, yaitu memberikan tekanan pada gerak Wayang, dialog Wayang dan memberikan tanda kepada musik pengiring melalui alat pemukul yang disebut cepala. Hal ini sesuai dengan pendapat I Made Bandem di atas, bahwa nyepala merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang Dalang. (wawancara di rumahnya pada hari Selasa, 14 Maret 2006). Bertitik tolak dari P-W I, II, dan III pada lampiran 1, pembelajaran Dalang I Ketut Muka telah menggunakan 7 poin dari isi teks P-W I diantaranya adalah suara (kemampuan dalam menggunakan suara), manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), carita (menguasai banyak
163
cerita), waca (menguasai bahasa khusus Pedalangan), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik), Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter) dan tidak menggunakan 5 dari teks P-W I yaitu: menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), suarasa (merasakan kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditranspormasikan ke dalam setiap karakter), Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), dan krama (cara memplot cerita dengan baik). Menggunakan 4 poin teks P-W II yaitu, pakem jangkep (adalah naskah Pewayangan atau playskrip yang sangat lengkap), pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), pakem balungan (sinopsis cerita secara garis besarnya), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum). dan tidak memakai 2 poin pada teks P-W II yaitu: Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara mengeluarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan dengan karakternya). Menggunakan 4 poin teks P-W III yaitu, mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentukVokal yang dikutip dari berbagai sastra). Tidak menggunakan I poin pada teks P-W III yaitu: amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Dalang I Ketut Muka menggunakan materi pembelajaran hampir separuh sesuai dengan teks P-W yaitu 15 poin menggunakan dan
8
poin
belum
menggunakan.
Kendatipun
cara
Pengungkapan
pembelajarannya masih tumpang tindih, Dalang I Ketut Muka telah banyak
164
memberikan kontribusi terhadap eksistensi kesenian ini, terbukti dari banyaknya seniman-seniman akademis yang belajar kepada beliau. Pada zamannya, beliau banyak belajar dari ayahnya, juga sering berapresiasi atau menonton pertunjukan Wayang Kulit terutama Dalang I Nyoman Geranyam yang sekaligus dipakai sebagai gurunya. Karena luasnya pengalaman beliau di dunia seni ini, maka pembelajaran yang beliau miliki pun cukup lengkap atau separuh dari variabel yang disebutkan oleh teks P-W.
3.3.2
Dalang I Wayan Nardayana (Cengblong) Nardayana yang masih berstatus mahasiswa di ISI Denpasar, maka
wawancara atau diskusi tentang Pewayangan sangat sering dapat dilakukan. Wawancara terakhir yang berkaitan dengan pembelajaran Pedalangan adalah pada tanggal 23 Maret 2006 di studio Pedalangan ISI Denpasar. Untuk menjadi seorang Dalang yang ideal menurut Nardayana adalah harus mempunyai vokal (maksudnya suara) yang baik sebagai modal dasar, Bukan berarti hal-hal lainnya seperti tetikesan tidak penting. Nardayana menganalogkan bahwa bila dalam pertunjukan topeng, tarian penglembarnya bagus, namun apabila suara, vokal, retorika pemerannya tidak bagus maka pertunjukan itu akan di tinggal penontonnya. Oleh sebab itu menurutnya modal vokal atau suara sangat memegang peranan penting. Adapun komentarnya dengan dialek Blayunya yang kental serta menggunakan bahasa campuran kurang lebih sebagai berikut:
165
“Menurut tiang vokal merupakan modal dasar, maksud tiang suara, tandak, retorika atau dialog. Kenapa demikian, ambil contoh mangkin ring pertunjukan topeng walaupun tarian penglembarnya (topeng tua, topeng keras) nika bagus, tapi yen penasar wijilnya ten bisa ngomong jeg kalaina ken penontone. Tapi sebaliknya yan igelne tuna, tapi retorikanya atau pingpong dialognya bagus akan ditunggu oleh penontonnya. Dalam artian tiang ten menyepelekan hal-hal lainnya...”
Artinya: Menurut saya, vokal merupakan modal dasar, yang saya maksud adalah suara, untuk dapat bervokal, berdialog atau beretorika. Kenapa demikian, contohnya dalam pertunjukan Topeng, walaupun tarian pembukanya sangat memukau atau sangat bagus dan trampil, tetapi apabila tokoh Penasar dan Wijilnya tidak mampu beretorika dan berdialog dengan baik, maka pertunjukannya akan ditinggalkan oleh penontonnya. Bila sebaliknya tariannya agak kurang, namun retorikanya bagus, maka pertunjukannya akan ditunggu oleh penontonnya. Namun demikian saya bukan meremehkan hal-hal lainnya... Dalam kariernya memberikan proses pembelajaran otodidak di dunia Pedalangan Nardayana memberikan pemantapan dibidang olah vokal terlebih dahulu, sebelum menginjak kemateri lainnya. Proses itu dilakukan dengan jalan memberikan tembang-tembang macepat secara tetutulan (pacepriring) dan tandak-tandak Pewayangan serta dialog-dialognya melalui pakem-pakem yang ada. Selain itu Nardayana juga memberikan rekaman beberapa musik pengiring Wayang seperti Alas Arum, Penyacah Parwa untuk merangsang kepekaan telinga calon muridnya. Dalam mengajarkan bentuk pewayangan secara utuh, Nardayana menggunakan sebuah pakem singkat dengan standarisasi atau patokan-patokan pasti sebagai pegangan pembelajaran kepada muridnya, dan kemudian memberikan kebebasan kepada muridnya untuk mengembangkannya. Hal ini ditekankan karena ia sendiri belajar dengan cara yang demikian yaitu menafsirkan
166
beberapa style Pewayangan yang ada seperti Badung, Gianyar, Bangli ataupun Tabanan, kemudian ia sendiri meramu atau mengkombinasinya menjadi style sendiri. Hal ini juga dilakukan oleh Dalang dari banjar Temon Gianyar yang terkenal dengan sebutan Dalang Temon. Beliau ini mengkombinasikan style Sukawati, Bona, dan Badung menjadi style baru yaitu style Temon. Jadi struktur pembelajaran Pedalangan Nardayana dimulai dari pembelajaran olah vokal, dilanjutkan dengan mendengarkan musik pengiring Wayang, dan kemudian gerak Wayang, berdasarkan sebuah pakem singkat. (wawancara dengan Dalang Cengblong pada hari Rabu, 8 Maret 2006 di kampus ISI Denpasar). Berkaitan dengan teks P-W sebagai sebuah penititala (tuntunan pembelajaran), Dalang I Wayan Nardayana telah menggunakan sebagian kecil dari variabel yang ditentukan oleh teks. Adapun skor yang digunakan dari 23 item adalah pada P-W I menggunakan 4 poin yaitu, Suara (kemampuan dalam menggunakan suara), Manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, carita (menguasai banyak cerita), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik) dan tidak menggunakan 8 poin, yaitu, menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), suarasa (merasakan kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditranspormasikan ke dalam setiap karakter), parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), waca (menguasai bahasa khusus pedalangan), Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), krama (cara memplot cerita dengan baik) dan Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter).
167
Pada P-W II menggunakan sebagian besar dari item yang ditentukan yaitu: 4 poin diantaranya adalah: pakem jangkep (adalah naskah Pewayangan atau playskrip yang sangat lengkap), Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara mengeluarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan dengan karakternya), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum) dan tidak menggunakan 2 poin, yaitu, pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), pakem balungan (sinopsis cerita secara garis besarnya). Pada P-W III menggunakan 4 poin yaitu, mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentuk vokal yang dikutip dari berbagai sastra). Tidak menggunakan I poin pada teks P-W III yaitu: amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Nardayana belum menggunakan landasan teks P-W secara maksimal yaitu hanya memakai 12 poin dalam pembelajarannya dan tidak menggunakan II poin. Jadi pembelajaran dalang I Wayang Nardayana ini sangat mirip dengan Dalang I Made kembar. Hal ini dikarenakan selain Nardayana belum memiliki pengalaman yang luas dalam bidang pembelajaran Pewayangan, walaupun pengalaman pertunjukannya sudah cukup dikenal di kalangan masyarakat luas. Pendidikannya di ISI Denpasar jurusan Pedalangan juga sangat memberikan andil perkembangan Pewayangannya. Pengetahuan akademis yang didapat Dalang Nardayana (cengblong) dari beberapa dosen pengajarnya (khususnya dosen praktik) juga sangat mendorong kemajuan kualitas pertunjukan
168
Dalang Cengblong. Kendatipun demikian karena pengalaman mengajarnya tidak seluas praksisnya di masyarakat, maka sistem pembelajarannya pun belum mampu mengimbangi keunggulan pertunjukannya. Namun secara psikologis ada benang merah pengetahuan pembelajaran dari dosen-dosen Pedalangan yang ditransfer kepadaNardayana baik secara nyata maupun laten melalui proses belajar mengajar di lembaga akademis.
3.3.3
Dalang I Made Kembar Mengenai proses pembelajaran pedalangan yang sering diterapkan dalam
proses belajar mengajar, Dalang Kembar menjelaskan secara singkat yaitu: “ritatkala pacang metaki-taki melajah dadi Dalang utawi pacang ngicen peplajahan ring sang anak dados Dalang sampunang dumun ujuuju jeg ngambil Wayang. Kapertama patut milpilang “bahan baku atau materi-materi” sane kaanggen ring Pewayangan. Inggih punika memaca parwa-parwa, melajah tata bahasa, melajahin “dialog-dialog” ring Adiparwa. Yan sampun jangkep indike punika, mara kelanturang antuk nyemak Wayang ngadungang soreng gamelan. Yan ten ngelah guru ane tetep ngisiang di paurukan, dadi melajah baan memaca pakem anggon nuntun satua lan munyin Wayange. Yan cara tiang to ane paling penting “bahan baku” punika mangda jangkep dumun. Suud to “terserah” sang Dalang dot melajahin apa ja ane dotanga, jawat mantra-mantra Dharma Pewayangan, tatwa-tatwa, tutur-tutur tur ane lenan. To ke biin takonang pak dek, suba konyang tawang tur suba lebian ken ane tawang tiang”. Terjemahan: Di saat kita mau belajar menjadi Dalang atau akan mengajar seorang calon Dalang, jangan langsung pratik ngewayang. Pertama-tama adalah mengumpulkan atau mengajarkan materi-materi Pewayangan itu sendiri sebagai bahan bakunya, seperti membaca Parwa-parwa, belajar tata bahasa Pewayangan, belajar dialog-dialog dengan jalan mempelajari Adiparwa. Kalau sudah lengkap bahan baku yang dikumpulkan, kemudian dapat dimulai dengan praktik ngewayang menyesuaikan dengan iringannya. Jikalau tidak mempunyai guru tetap dalam membimbing dalam proses belajar ngewayang' dianjurkan memakai pakem sebagai penuntun dalam
169
menjalankan cerita maupun dialognya. Kalau seperti saya itu yang paling penting yaitu bahan baku pewayangan itu sendiri. Setelah itu terserah pada si calon Dalang mau belajar apa yang diinginkan, apakah mantra-mantra yang berkaitan dengan aiaran Dharma pewayangan, filsafat-filsafat, nilainilai pendidikan, dan lain sebagainya. Wah, kok itu lagi yang pak Kadek tanyakan, kan sudah diketahui semuanya, dan mungkin sudah melebih dari yang saya miliki.
Secara substansial apa yang diungkapkan Dalang kembar hampir sama dengan Dalang-Dalang lainnya. Bahan baku pementasan merupakan hal yang harus dipelajari kali pertama belajar Pedalangan. Namun Kembar tidak merinci bagaimana proses mendapatkan bahan baku tersebut dan bahan baku yang mana lebih dulu dipelajari. Dalang kembar menambahkan bahwa setelah bahan baku di dapat baru kemudian menginjak pada pakem atau naskah cerita yang merupakan sebuah tuntunan bagi dalang-dalang pemula. Oleh sebab itu, seyogyanya Dalang kembar menggunakan teks P-W sebagai acuan dalam mentransfer kemampuannya kepada para murid-muridnya. Menurut penulis semua yang disebutkan oleh beberapa Dalang mengenai pembelajaran pedalangan Bali, secara substansial telah ada dalam teks P-W secara lebih rinci dan sistematis. Bertitik tolak dari uraian pembelajaran Pedalangan oleh Dalang Kembar di atas, dapat dikatakan bahwa beliau hanya menggunakan sebagian kecil dari variabel yang disebutkan dalam teks P-W. Adapun skor yang didapat adalah pada teks P-W I menggunakan 4 poin yaitu, Suara (kemampuan dalam menggunakan suara), parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), waca (menguasai bahasa khusus pedalangan), carita (menguasai banyak cerita) dan tidak menggunakan 8 poin yaitu, menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), suarasa (merasakan
170
kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditransformasikan ke dalam setiap karakter), manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik), krama (cara memplot cerita dengan baik), dan Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter). Pada P-W II menggunakan 2 poin yaitu, jangkep ( naskah Pewayangan atau playskrip yang sangat lengkap), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum) dan tidak menggunakan 4 poin yaitu, pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), pakem
balungan (sinopsis
cerita secara
garis besarnya),
Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara menge-luarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan dengan karakternya). Pada P-W III menggunakan 4 poin yaitu, mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentukVokal yang dikutip dari berbagai sastra), dan tidak menggunakan I poin pada teks P-W III yaitu, amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Dalang Kembar menggunakan teks PW sebagai landasan hanya sebagian kecil yaitu menggunakan 10 poin dan tidak menggunakan 13 poin. Hal ini bukan berarti kualitas Dalang Kembar kurang, tetapi sistem pembelajaran beliau dan cara Pengungkapannya yang kurang
171
lengkap atau kurang sistematis. Hal ini dikarenakan proses beliau menjadi Dalang karena semata-mata ingin melanjutkan profesi mendalang kakaknya yaitu I Wayan Rugeg seperti telah disingung pada bab IV (otobiografi Dalang). Dengan modal dasar pengetahuan vokal tradisional seperti kidung dan kekawin dan atas anjuran seorang Dalang yang bernama Dalang Krupuk serta seringnya mengikuti kakaknya mendalang, akhirnya I Made Kembar mencoba mekebah (melakukan pertunjukan yang pertama kali). Setelah percobaan itu banyak yang menyatakan bahwa ia berbakat menjadi Dalang, yang sekaligus memberikan motivasi terhadap dirinya sehingga menjadi Dalangyang cukup disegani sampai saat ini.
3.3.4
Dalang I Made Sidja Pembelajaran Pedalangan menurutnya adalah, mampu menjadikan Dalang-
Dalang yang mengabdi kepada kepentingan manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, lingkungan maupun manusianya. Moto beliau adalah jadilah Dalang yang mampu memberikan air walaupun seteguk bagi mereka yang membutuhkannya. Dalam proses menjadi Dalang sebagaimana diumpamakannya lwir angusung sila ring luhuring parwata yaitu belajar menjadi Dalang yang ideal tak ubahnya seperti mengusung batu ke atas gunung. Oleh sebab itu diharuskan belajar sebaik-baiknya melalui proses pembelajaran yang diinginkan oleh calon Dalang, dan praktik ngewayang melalui sistem ngayah. Hal ini dilakukan agar teori dan praktik berjalan seimbang. Adapun bentuk pembelajaran Pedalangan Bali, beliau berkomentar sebagai berikut:
172
“Yan dadi Dalang to ning?, luwir angusung sila ring luhuring parwata, abot pesan bandingang teken keseniane ane lenan. Patut melajahin, ngigel, mengambel, megending, rnekekawin, nyastra, ngukir, tatwa, usada, pangastawa, satua-satua Pewayangan, minakadi ane lenan. Mawinan abot yan kenehang bapa, dwaning liu pesan ane patut kaplajahin. Ento mehawanan melajah dadi Dalang utawi ngewayang dadi jemak uling dija kenehe nyumunin melajah, jawat mekekawin, ngigel, nyastra, sing nyidaang ngorahang encen malunan encen dorinan, yan dadi baan, pelajahin ento sibarengan punduh-punduhang diawake anggon dasar dipewayangane. Artine ane encen sela bakat jemak utawi maan guru, jawat memaca, pabligbagan, konyang dadi anggon peplajahan ane utama kewala bisa milih-milihin. Ane paling penting patut iraga ngelah guru ane bisa nuntun ngundukang tata cara di peringgitane, apan Pewayangan cara Badung melenan tetakehane bandingan teken care Gianyar, ape buin ajak cara kajane (stail Singaraja). Len tekening to, ngalih guru masih liu. Lenan teken guru Pedalangan, patut masih ngalih guru igel, guru kekawin, guru agama, miwah sesai-sasi tangkil teken anak lingsir mligbagang indik agama lan tatwa ane manggeh di jagat Baline. Keto yan kerasa baan bapa”. Artinya: Kalau mau jadi Dalang itu nak? Seperti mengusung batu ke atas bukit/gunung, lebih berat sekali dibandingkan dengan belajar seni lainnya. Harus belajar menari, musik, tembang-tembang, sastra, ukir, filsafat, pengobatan, mantra-mantra, cerita-cerita Pewayangan, dan lain sebagainya. Karenanya sangat sulit menurut pikiran bapak, karena banyak sekali yang harus dipelajari. Itulah sebabnya belajar menjadi Dalang bisa dimulai dari mana saja, baik dari mekekawin, menari, filsafat, tidak bisa dikatakan yang mana harus duluan dan yang mana harus belakangan. Kalau bisa pelajari itu bersama-sama dan dikumpulkan sebagai dasar dalam Pewayangan. Artinya yang mana sempat diambil, atau dapat guru, dapat membaca, atau hasil diskusi, semuanya dapat dipakai pembelajaran asalkan kita bisa memilah-milahkannya (mana penting dan mana tidak). Yang tidak kalah pentingnya yaitu seorang murid seharusnya mempunyai guru pembimbing yang dipercaya untuk dapat memberi tuntunan atau mengarahkan pembelajaran yang diinginkan. Karena stail Pewayangan Denpasar berbeda dengan Gianyar dan sangat berbeda dengan Singaraja. Selain itu mencari guru juga banyak, bukan saja guru Pedalangan, tetapi juga mencari guru tari, kekawin, agama dan juga sering-sering konsultasi dengan para pemuka agama untuk berkonsultasi tentang filsafat yang sesuai dengan adat dan agama Bali. Demikian kalau menurut bapak”.
173
Walaupun apa yang diungkapkan Sidja demikian adanya, namun ungkapan pembelajaran di atas masih sangat umum dan terkesan sulit untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu seyogyanya Dalang Sidja merunut sistem pembelajarannya seperti yang tersurat dalam teks P-W, sehingga dengan demikian pembelajaran dapat dilakukan secara berjenjang dan sistematis. Seperti DalangDalang lainnya pembelajaran masih ditekankan pada istilah terminologi saja tanpa menjelaskan secara lebih rinci cara mencapai terminologi tersebut. Menurut penulis sistem yang dapat mencapai adalah pembelajaran yang urut, sistematis, dan menambahkan terminologi-terminologi baru seiring dengan kemajuan zaman. Namun demikian, uraian Dalang I Made Sidja merupakan penjelasan yang paling lengkap diantara Dalang-Dalang lainnya jika diukur dari persentase penggunaan variabel teks P-W. Adapun skor yang digunakan mencapai separuh lebih yaitu pada teks P-W I menggunakan 7 poin yaitu, Suara (kemampuan dalam menggunakan suara), Manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, carita (menguasai banyak cerita), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik), suarasa (merasakan kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditransformasikan ke dalam setiap karakter), parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), waca (menguasai bahasa khusus pedalangan) dan tidak menggunakan 5 poin yaitu, menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), krama (cara memplot cerita dengan baik), dan Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter).
174
Pada teks P-W II menggunakan 4 poin yaitu, jangkep (naskah Pewayangan atau play skrip yang sangat lengkap), pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), pakem balungan (sinopsis cerita secara garis besarnya), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum), dan tidak menggunakan 2 poin yaitu, Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara mengeluarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan dengan karakternya). Pada teks P-W III menggunakan 5 poin atau semua item tanpa terkecuali. Item-item itu adalah mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentuk Vokal yang dikutip dari berbagai sastra), dan amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Dalang I Made Sidja menggunakan 16 poin dari total 23 variabel teks P-W dan belum menggunakan 7 poin. Pembelajaran Dalang I Made Sidja pada dasarnya sangat mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Dalang I Ketut Muka dan I Wayan Nardayana. Hal ini disebabkan karena Dalang Sidja sendiri menekuni seni ini mulai dari anak-anak dan dituntun oleh Dalang I Nyoman Geranyam. Dengan demikian proses pembelajaran I Ketut Muka dan I Made Sidja memiliki bobot yang hampir sama. Dalang Sidja memiliki bobot yang lebih dikarenakan sampai saat ini beliau masih tetap eksis di dunia seni ini baik sebagai praktisi maupun sebagai guru loka. Selain itu pengalaman beliau dibidang seni bukan saja dikenal dikalangan
175
masyarakat Bali namun beliaujuga dikenal secara nasional maupun manca negara. Hal lain yang mendukung karir beliau di dunia ini adalah pengetahuan spiritual yang tercermin lewat tindakan yang arif dan bijak serta tutur kata yang sopan dan selalu memberikan kesejukan bagi yang mendengarnya. Berkaitan dengan pengetahuan Pedalangan dan Pewayangan, sampai saat ini beliau dianggap sebagai Empu Dalang baik oleh sesama seniman maupun oleh pemerintah daerah Bali. kontribusinya terhadap seni dan budaya telah diakui oleh dunia, hal ini dibuktikan dengan seringnya beliau mendapat undangan keluar negeri baik sebagai praktisi seni maupun sebagai budayawan. Berdasarkan pengalamannya yang sangat luas beliau mampu menlrumbangkan sebuah jenis pertunjukan Wayang Kulit kepada dunia Seni Pedalangan yang diberi nama Wayang Arja dan pernah difestivalkan pada tahun 1996/1997.
3.3.5
Dalang Ida Bagus Arga Patra Pembelajaran Pedalangan Bali menurut Arga Patra adalah sebagai berikut. Yan melajahin gegunan Dalang patut bisa nyilem ngelangi ditatua tutur mewiwit saking melajah tembang mekadi kekawin, kidung, macepat gending rare. Duaning derika polih mikpik sehananing bahasa Kawi lan Bali. tios ring punika taler pacang ngruruh bahan-bahan tandak lan sendon, satua ane melintihan minekadi tatuane sami, sampunang jeg uju-uju ngambil pakem (playskrip). Wus punika mara lantas ngambil pakem lan kelanturang antuk dharma Pewayangane. Ajin tiange mawosang kocap yan dadi Dalang apang mebasang peken artin ipun uning ring saluiring indik lan unduk atau tau segalanya.
176
Artinya: Kalau mau mempelajari Pedalangan, seharusnya mampu berenang hingga tenggelam di dunia filsafat atau ilmu pengetahuan seperti tembang-tembang kekawin (prosa berirama). Kenapa demikian karena disana didapatkan bahasa kawi dan cara mengartikannya (bahasa Balinya). Selain itu, disana pula didapatkan bahan-bahan vokal Pewayangan (tandak atau sesendon), alur cerita yang benar, filsafat, jangan langsung memberikan playskrip atau naskah kepada si calon Dalang. Setelah melalui proses di atas baru diberikan pakem cerita atau playskrip tersebut dan dilanjutkan dengan mengajarkan pengetahuan etika spiritual melalui ajaran Dharma Pewayangan. Ayah saya (almarhum) menambahkan lagi, seyogyanya seorang Dalang bisa menguasai berbagai disiplin ilmu baik teori maupun praktiknya (seperti pasar yaitu segalanya ada). Jadi struktur pembelajaran Arga Patra dimulai dari pembelajaran vokal (tembang) melalui sastra-sastra kakawin hal ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui bermacam-macam cerita yang dikisahkan lewat puisi berirama tersebut. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah melalui pesantian ini calon Dalang secara tidak langsung dapat belajar bahasa Kawi dan Bahasa Bali dengan baik dan benar, sekaligus mendapatkan bahan-bahan tetandakan. Kemudian dilanjutkan dengan penguasaan pakem (playskrip) dan diteruskan dengan Dharma Pewayangan. Secara lebih tugasnya bahwa seorang dalang harus mempunyai pengetahuan yang luas atau konprehensif (mebasang peken) yaitu bukan saja mengetahui prihal Pewayangan tetapi mengetahui pengetahuan-pengetahuan umum lainnya yang dibutuhkan oleh manusia. Dalam hal ini, Arga Patra sama sekali tidak merinci pembelajaran secara lebih spesipik, seperti penguasaan gerak wayang, penguasaan teknik nyepala, dan juga bagaimana cara memplot cerita yang baik. Hal lain yang dilupakan Arga Patra adalah tidak memperdulikan faktor instrinsik dari calon Dalang tersebut
177
apakah ia memiliki suara yang baik atau jelek, memiliki dayanalar yang baik atau bodoh, dan juga apakah mampu duduk dengan baik atau cacat tubuh? Hal ini sama sekali tidak disinggung olehnya. Oleh sebab itu pembelajaran arga Patra perlu disempurnakan lagi dengan mengambil landasan teks P-W. Berdasarkan uraian Arga Patra di atas, jika di lihat dari kajian teks P-W, maka Dalang Ida Bagus Argapatra telah menggunakan sebagian dari variabel yang disebutkan dalam penititala. Adapun skor yang diperoleh adalah pada teks PW I menggunakan 5 poin yaitu, Suara (kemampuan dalam menggunakan suara), carita (menguasai banyak cerita), cancala (menguasai gerak Wayang dengan baik), parwadi (menguasai bahasa Kawi dan Bali), waca (menguasai bahasa khusus pedalangan) dan tidak menggunakan 7 poin yaitu, menget (daya ingat), madya (kekuatan duduk), suarasa (merasakan kekuatan rasa atau intuisi pada diri dan ditransformasikan ke dalam setiap karakter), manohara (menekankan pada kekuatan melodi khususnya pelog selendro atau nada pentatonis) dan tembang, Dharmanda (mengetahui hak dan kewajiban setiap karakter), krama (cara memplot cerita dengan baik), dan Sanjiwa (mampu menjiwai setiap karakter). Pada teks P-W II menggunakan 5 poin yaitu, jangkep (naskah Pewayangan atau playskrip yang sangat lengkap), pakem gancaran (cerita dalam bentuk prosa tanpa alur pertunjukan), Ngarahina (vokal dan gerak Wayang yang harus sesuai dengan melodi gamelan yang sering disebut alas arum), Papunggelan (struktur cerita yang telah dipotong), dan Ngalengkara (pepeson atau cara mengeluarkan Wayang dengan tandak, gerak dan ucapan Wayang disesuaikan
178
dengan karakternya), dan tidak menggunakan 1 poin yaitu, pakem balungan (sinopsis cerita secara garis besarnya). Pada teks P-W III menggunakan 4 poin yaitu, mantra (doa-doa dengan bahasa Sanskerta), pewintenan (penyucian spiritual bagi seorang dalang), susila (tata aturan yang harus diikuti oleh seorang Dalang), tandak (ilustrasi berbentuk Vokal yang dikutip dari berbagai sastra), dan tidak menggunakan 1 poin pada teks P-W III yaitu, amariwreta (cara memelihara Wayang dengan baik). Secara keseluruhan Argapatra menggunakan 14 poin dan minus 9 poin. Jika dibandingkan dengan Dalangyang lain, arga patra masih tergolong muda dan sebaya dengan Dalang Nardayana. Namun pembelajaran yang diwariskan oleh orang tuanya dan pengalaman pentasnya yang telah cukup banyak serta modal pengetahuan yang didapat di bangku kuliah menjadikan Argapatra memiliki nama yang cukup disegani terutama di daerah Buduk. Sampai saat ini, Argapatra masih tercatat sebagai mahasiswa ISI Denpasar di Jurusan Pedalangan. Hasil intervieu dengan Dalang lainnya seperti dengan I Made Mara Jaya,I Nyoman Sukerta, I Ketut Sudiana yang masih berstatus dosen Institut Seni Indonesia Denpasar dan juga dengan beberapa mahasiswa Pedalangan lainnya secara substansial mereka mengungkapkan hal yang sama. Oleh sebab itu dalam penelitian ini komentar mereka tidak diungkapkan agar tidak terjadi pengulangan secara terus menerus. Secara umum bentuk pembelajaran Dalang di atas mempunyai bentuk yang hampir sama yaitu lebih mengutamakan pembelajaran vokal tanpa melihat secara seimbang faktor-faktor lain yang hampir sama kedudukannya dengan
179
hanya menekankan pada kemampuan vokal. Selain itu pembelajaran di atas terkesan mengisolasi pembelajaran secara lebih luas serta kreativitas dari para calon Dalang. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang diberikan lebih mengarah pada teknik pentas saja dengan dasar pakem-pakem yang ada, tanpa memperdulikan apakah calon Dalang itu mampu berbahasa Kawi atau tidak. Hal terpenting dalam pembelajaran yaitu faktor instrinsik seorang calon Dalang seperti yang tercantum dalam teks P-W I, tidak pernah disinggung dalam pembelajaran Dalang-Dalang di atas. Selain itu bagaimanajenjang pembelajaran dan urutannya yang jelas masih merupakan tanda tanya besar. Secara spesipik lagi istilah-istilah vokal dan juga gerak Wayang sebagai terminologi tidak pernah diungkapkan secara maksimal, seperti yang tertera pada teks P-W I. Semua fenomena di atas yang terkait dengan bentuk pembelajaran akan dikaji dengan teori estetika A.A. Made Djelantik (1999:15-73) yang menguraikan tentang bentuk dan struktur karya seni, khususnya yang berkaitan dengan proses wujud, bobot, dan penampilan sebuah karya seni. Teori Djelantik ini akan didukung oleh pendapat estetika Agus Sachari (2002:8a, 1-3), tentang tiga daya pembelajaran , tentang pengertian estetika, dan pengertian Estetika sebagai praksis dan sebagai filsafat seni. Selain itu, teori fungsional struktural Talcott Parsons (1975:100-17; dalam Peter Beilhars (2003:294-295), khususnya penjelasan yang menyatakan “ ...gagasan mengenai fungsi berguna agar kita terus mengamati apa yang disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis, atau tepatnya, apa fungsi yang dijalankannya dalam sistem itu.
180
Struktur berarti susunan yang berhubungan antara bagian dari beberapa elemen yang dikemas secara terpadu, dan menjadi sebuah model pembelajaran Pedalangan. Teori struktur Talcott Parsons (dalam Peter Beilhars, 2003:291-293) dengan teori tindakannya (the theory of action) dirasa cukup relevan sebagai pendukung teori di atas. Tindakan yang dimaksud parsons adalah perilaku yang disertai aspek upaya subjektif dengan tujuan membawa kondisi-kondisi situasional, atau isi kenyata, lebih dekat pada keadaan yang ideal atau yang ditetapkan secara normatif. Untuk mempermudah analisis pembelajaran Pedalangan Bali yang mengacu pada teks P-W akan disajikan dalam bentuk matrik seperti di bawah ini.
3.4 Analisis Praksis pembelajaran pedalangan di masyarakat yang bersumber 5 informan akan dikaji berdasarkan teks P-W dengan tetap berpedoman pada paradigm budaya. Adapun hasil analisis dalam bentuk matriks dapat disajikan sebagai berikut.
MATRIK PEMBELAJARAN DALANG BERDASARKAN TEKS PURWA-WASANA Variabel terikat Teks Purwa-Wasana P-W I Tri Lagawa
4. Menget 5. Suara 6. Madya
I Ketut Muka -
181
Nama-nama Dalang I Wayan I Made I Made Nardayana Kembar Sidja -
Ida Bagus Argaputra -
P-W I Catur Perakreti P-W I Panca Wilasa
P-W II Pakem (struktur pertunjukan) P-W II Pepeson (mengeluarkan wayang) P-W III Dharma Pewayangan
-
-
-
4. Papunggelan 5. Ngalengkara 6. Ngarahina
6. Mantra 7. Pawintenan 8. Amariwreta (memelihara wayang) 9. Susila 10. Tandak
-
-
-
-
5. Manohara 6. Suarasa 7. Parwadi 8. Dharmanda 6. Carita 7. Waca 8. Cancala 9. Krama 10. Sanjiwa 4. Jangkep 5. Ganjaran 6. Balungan
REKAPITULASI PEMBELAJARAN BEBERAPA DALANG BERDASARKAN TEKS P-W Nama Dalang Purwa Wasana P-W I
I Ketut Muka (+) 7 (-) 5
I Wayan Nardayana (-) 8 (+) 4
I Made Kembar (+) 4 (-) 8
182
I Made Sidja (+) 7 (-) 5
Ida Bagus Argaputra (+) 6 (-) 6
P-W II
(+) 4 (-) 2
(-) 4 (+) 2
(+) 2 (-) 4
(+) 5 (-) 1
(+) 5 (-) 1
P-W III
(+) 4 (-) 1
(-) 4 (+) 1
(+) 4 (-) 2
(+) 5 (-) 0
(+) 4 (-) 1
P-W I, II, III
(+) 15 (-) 8
(-) 12 (+) 11
(+) 10 (-) 13
(+) 16 (-) 7
(+) 14 (-) 9
Keterangan Matrik:
= sangat menggunakan
= biasa
= kurang menggunakan
___
= belum melakukan
()
= banyaknya menggunakan
(
)
= banyaknya yang belum digunakan
Keterangan Variabel: Menget (ingatan): kemampuan menghafal calon dalang harus di atas rata-rata. Suara: menekankan pada kekuatan dan kemampuan bersuara Madia (duduk): melatih teknik duduk 3-4 jam. Monohara (melodi) : melatih nada melalui tembang-tembang Suarasa (merasakan) : mempelajari lingkungan dengan kekuatan rasa sendiri. Parwadi (membaca): membaca segala sastra, khususnya yang berbahasa Kawi. Dharmanda (kewajiban): mengetahui tugas, hak dan kewajiban setiap karakter. Carita: menguasai banyak cerita, khususnya Ramayana dan Mahabharata. Waca (bahasa Wayang): kalimat-kalimat ini diambil dari sastra khususnya kakawin.
183
Cancala (gerak Wayang): melatih teknik tetikesanlgerakan karakter Wayang. Krama (struktur): cara memplot cerita dengan struktur yang seimbang. Sanjiwa (penjiwaan): penjiwaan terhadap setiap karakter Wayang. Jangkep (tengkap): naskah/playskrip yang lengkap baik struktur dan dialognya. Gancaran (prosa): cerita dalam bentuk prosa tanpa struktur pertunjukan. Balangan (tulang): cerita yang diuraikan secara garis besarnya saja. Papunggelan (dipotong): struktur cerita (keluar Wayang) yang telah dipotong. Ngalengkara (ucapan): struktur cerita dengan tandak, ucapan sesuai karakternya. Ngarahina (vokal khusus): vokal dan gerak Wayang sesuai dengan iringan musik. Mantra: dipakai sebelum, saat dan sesudah pertunjukan. Pawintenan (penyucian): dilakukan sebelum terjun ke dunia Pedalangan. Amariwreta
(memelihara):
menyayangi,
mengenal,
memelihara
sarana
pertunjukan. Susila (etika): aturan konvensional bagi seorang Dalang. Tandak Rerambangan: materi vokal yang dihapal, dikutip dari sastra. Jika kita perhatikan matrik di atas maka akan kelihatan bagaimana bentuk pembelajaran Pedalangan Bali yang masih perlu disempurnakan melalui penititala teks P-W. Kenyataannya bentuk pembelajaran Pedalangan dewasa ini bila dilihat dari tolok ukur teks P-W masih sangat jauh dari sistem pembelajaran yang ideal. Oleh sebab itu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Seni Pedalangan/ Pewayangan Bali, penititala seperti teks P-W sangat diperlukan sebagai penuntun dalam pembelajaran.
184
Pembelajaran dewasa ini yang lebih mengkhususkan pada beberapa aitem seperti tercantum dalam matrik dirasa kurang dapat mewakili pembelajaran seni Pedalangan yang merupakan seni total teather. Sedangkan teks P-W, merupakan salah satu dari pembelajaran yang secara substansial memiliki materi yang konprehensif dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam pembelajaran yang ideal. Hal ini dibuktikan dari matrik di atas dimana dari beberapa pembelajaran seniman Dalang masih banyak belum menyentuh materi-materi yang ditawarkan oleh teks P-W. oleh sebab itu teks ini perlu disalin kembali direvitalisasi untuk menghindarkan dari kepunahan, diterjemahkan agar lebih mudah untuk dipelajari, dan dikaji agar dapat dipakai dasar atau landasan serta penuntun dalam proses belajar mengajar.
6.3.1
Tri Legawa Dalam Kamus Bahasa Bali oleh Sri Reshi Anandakusuma (1986:101)
menyebutkan kata Tri artinya: tiga, kata Lagawa artinya: Aharalagawa, tidak mempunyai pikiran untuk memaksa. Jadi Tri Lagawa maksudnya adalah merupakan tiga kebiasaan yang menjadi kekuatan sebagai tiang penyangga/modal dasar untuk menjadi Dalang, yang isinya: a. Menget: artinya ingat. Maksudnya adalah bahwa seorang dalang harus mempunyai kemampuan mengingat materi dan hafalan yang baik agar tidak cepat lupa. Kenapa demikian karena pada saat pertunjukan Dalang tidak ada kesempatan atau tidak diperkenankan membaca catatan atau buku. Jadi seorang Dalang hendaknya mengingat bermacam-macam materi pertunjukan, dari mulai
185
cerita yang dipakai, dialog, kesting karakter, lagu/vokal yang akan dinyanyikan. Penutur harus mempunyai daya nalar yang baik, sehingga pikiran penutur dapat diungkapkan secara teratur dan masuk akal (Rota, 1988:7-8). Umpamanya dalam menajamkan sebuah dialog sering Dalang menggunakan sebuah kalimat yang dipetik dari puisi berirama /Kekawin. Contoh: Haywa maninda ring sang Dwija daridra dumadak atemu, sastra tininda denira kapataka tinemu mageng, yan kita ninda ring guru patinta maparek katemu, Iwirnika wangsa patra tumibeng watu remek apasah (Niti Sastra, 1971:20). Jika seorang Dalang tidak mempunyai daya hafalan yang kuat akan sangat sulit untuk menyajikan materi-materi seperti itu dan juga materi lainnya yang berwawasan modern, seperti berita-berita media masa. Ada sebuah resep ingat yang juga dijelaskan oleh ki Dalang Wasitacara, bahwa hal itu bisa dilatih untuk meniauhkan kebiasaan lupa, yaitu dengan dua cara: III. Jangan menunda pekerjaan yang seharusnya sudah dilakukan. Artinya lakukanlah pekerjaan itu sampai selesai, semasih kamu ingat jangan pernah mentelantarkan pekerjaan itu untuk waktu berikutnya. IV. Pastikan tempat-tempat barang yang digunakan. Artinya kita harus bisa menyimpan barang pada tempatnya, dimana kita ambil disana kita taruh setelah selesai memakainya. Itulah dua resep ki Dalang Wasitacara untuk mengusir rasa lupa, yang diberikan kepada muridnya ki Sewangga. Dari penjelasan tersebut, terkait dengan ungkapan pembelajaran beberapa Dalang di atas, maka pada bagian menget ini sama sekali tidak disinggung,
186
sehingga terkesan para guru Dalang melupakan penjelasan betapa pentingnya menget dalam konteks pembelajaran. Menurut penulis, apa yang diungkapkan dalam teks P-W sangat beralasan karena betapa pentingnya tingkat pemikiran atau daya nalar si calon Dalang untuk dapat mempelajari ilmu dan pengetahuan secara komprehensif. Jika tanpa kekuatan otak yang minimal bisa disebut "pinter" niscaya dapat ditebak bagaimana kualitas Dalang tersebut di masa depan. Oleh sebab itu betapa pentingnya modal menget sebagai tempat penyimpanan data, mencari data, mengatur data, dan mendistribusikan data secara tepat sehingga pertunjukan yang dilakukan mampu memukau penonton baik tontonan maupun tuntunannya. b. Suara: artinya suara. Seorang Dalang dituntut memiliki suara atau vokal yang bagus, baik suara besar, sedang maupun kecil untuk dapat melantunkan berbagai macam vokal, serta dapat mengisi suara tokoh sesuai dengan karakternya. Selain suara yang menjadi syarat utama seorang Dalang, juga Dalang harus selalu memiliki kondisi fisik luar dalam yang baik untuk dapat mempertahankan konsistensi suara selama pertunjukan berlangsung kira-kira tiga jam. Seni suara yang kita tangkap dalam setiap pergelaran wayang dikumandangkan secara ngerangin oleh para wiraswara (penyanyi) dan swarawati (pesinden) serta ki Dalang, yang diiringi dengan perpaduan bunyi gambelan dengan alunan dan irama lagu yang begitu indah. Bagi seorang Dalang seni suara dengan vokal yang mantap merupakan syarat utama dalam mempertahankan mutu pergelarannya (Haryanto, 1988:4).
187
Secara tradisional masalah baik buruknya suara seseorang itu merupakan hal biasa, karena pita suara atau kerongkongan orang berbeda-beda. Tetapi untuk membantu suara itu menjadi lebih baik bisa dilakukan dengan makan makanan yang tidak membuat panas dalam. Kemudian melakukan latihan suara dipantai, di goa-goa/trowongan air (aungan), berendam disungai sambil bervokal dan ada juga yang menyiram kerongkongannya di sebuah pancuran. Dengan latihan seperti itu niscaya kwalitas suara akan jauh lebih baik, dan mengurangi rasa gatal pada kerongkongan terutama bila kita melakukan suara keras dikerongkongan, besar (ngelur) seperti suara raksasa, malen, tertawa terkekeh (ngregeh). Pengalaman penulis sendiri bila akan melakukan pertunjukan wayang, biasanya sehari sebelum ngewayangselalu sikat gigi dengan air hangat dan kemudian busanya dituangkan ke kerongkongan, kemudian menekan dengan nafas dari perut, maka busa tersebut akan berputar-putar di kerongkongan, seperti kita memanaskan radiator mobil dipagi hari. Selang beberapa lama kemudian air tersebut dimuntahkan dan bersamaan dengan itu akan keluar lendir-lendir yang membuat gatal pada kerongkongan. Dengan proses itu penulis bisa mengatasi rasa gatal-gatalyang membuat batuk pada saat pertunjukan (Widnyana, 200: l8). Dalam hal ini, semua Dalang mengharuskan penguasaan materi ini sebagai modal dasar untuk menjadi Dalang. c. Madia: artinya duduk. Dalang harus kuat duduk setidaknya tiga jam. karena selama pertunjukan dalang tidak ada kesempatan untuk berdiri. Perlu diingat bahwa Dalang di Bali pada saat duduk ngewayang tidak hanya sekedar duduk bersila biasa/sukasana, tetapi duduk bersila dengan kaki kanan diatas kaki kiri,
188
serta diantara ibu jari dan telunjuk menggepit pemukul kotak/gedog/kropak yang disebut cepala, sebagai pemukul gedog/kopak. Beberapa jenis pukulan cepala dengan fungsi yang berbeda, seperti: 6. Pukulan Peneteg (taktak tak tak tak dan seterusnya) yang fungsinya sebagai penuntun irama gambelan. 7. Pukulan peselah (blak blak blak) untuk menyela ucapan wayang agar jelas didengar penonton dan juga untuk memulai sebuah lagu angkat-angkatan atau batel sesuai dengan kebutuhan dramatisasi. 8. Pukulan Pemalet (tak blak blak tak blak dan seterusnya) dipergunakan saat mengganti ucapan wayang, pada saat menyembah dan menghilangkan wayang (ngaedang). 9. Pukulan pematpat (blak blak blak blak blak blak dengan irama lambat, sedang dan cepat) dipergunakan untuk keberangkatan wayang tatkala menuju peperangan atau pertemuan lainnya. 10. Pukulan Pesiat (te blak te blak te blak) dipergunakan untuk peperangan, khususnyajika dua wayang berperang berhadap-hadapan. Pukulan serupa itu dipergunakan juga untuk mengiringi igel Delem, Raksasa, Hanoman, atau karakter yang lainnya (Bandem, l981/1982:7). Sikap duduk seperti itu oleh Jendra dalam bukunya Dharmatula, Dialog Intern Umat Hindu, halaman 43 disebut dengan: Siddhasana, merupakan salah satu sikap duduk sembahyang selain sikap padmasana, Sukasana dan Bajrasana. Namun pada pertunjukan wayang, kaki kanan dalang mengepit sebuah alat pemukul yang disebut Cepala. Hal ini sangat sulit dilakukan mengingat waktu
189
duduk yang cukup lama, kaki menggepit cepala.serta dalam konsentrasi yang terpecah-pecah namun fokus. Selain bentuk kaki dalam posisi siddhasana. sikap badan pun harus tegak lurus seperti sikap orang bersemadi, tidak boleh bungkuk dimaksudkan untuk lebih melancarkan sirkulasi pernafasan dan peredaran darah. Maka dari itu duduk siddhasana perlu dari sejak awal mulai belajar mendalang, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang tidak mengikat. Untuk latihan duduk bisa di laiukan dengan berusaha melupakan diri kita bahwa kita sedang duduk. Seperti halnya pemain catur, pemain kartu (cekian) yang duduk berjam-jam atau juga seperti orang yang asyik menonton film. Jadi bila kita ingin latihan duduk lakukanlah dengan sesuatu kegiatan yang dapat dinikmati, sehingga bisa melupakan rasa lelah, sebab kita menikmatinya. Hal positif yang bagus adalah dengan melakukan pencerahan batin seperti mendengarkan darma wacana atau sembahyang atau beryoga berkontemplasi dan berkonsentrasi pada Tuhan. Beranalogi dari uraian tersebut seyogyanya para guru pedalangan hendaknya selalu menekankan pada bagian ini sebagai faktor instrinsik yang utama. Karena seorang Dalang yang ideal di Bali harus mampu mendalang dengan posisi duduk selama kurang lebih tiga jam, sambil menggerakkan hampir seluruh organ tubuhnya seperti kaki, tangan, bibir, telinga, pikiran, kerongkongan, mata dan organ lainnya secara nyata ataupun laten. Dengan ketiga kekuatan itulah (menget,
suara, madia) bisa dipakai
sebagai introspeksi awal bagi diri sendiri apakah cocok atau mampu diri kita menjadi seorang dalang, atau apakah mungkin sang murid tersebut cocok menjadi
190
Dalang. Selain itu persyaratan utamanya adalah harus tekun dan komit dalam bidang yang digeluti yaitu sampai menjadi seorang yang mampu memberikan bimbingan lahir bhatin baik pada lingkungan ataupun pada diri sendiri.
6.3.2
Catur Perakerti Catur Perakreti merupakan empat tiang penyangga berikutnya setelah Tri
Lagawa. Catur artinya Empat, Perakreti arttnya: sebelum perbuatan, kegiatan atau tingkah laku atau sebelum melakukan perbuatan (pertunjukan). Jadi yang dimaksud Catur Prakerti adalah: empat materi pedalangan yang harus dimiliki oleh seorang Dalang atau calon Dalang sebelum melakukan pertunjukan. Adapun empat materi tersebut adalah: manohara, suarasa, parwadi dan Dharmanda (penjelasannya lihat bab terjemahan). Keempat materi ini merupakan isi pertunjukan yang nantinya menuntun si Dalang ke arah kualitas, tergantung seberapa tinggi bobot materi yang dikuasai oleh Dalang bersangkutan. Bobot munohara akandidistribusikan lewat berbagai macam vokal Dalang seperti: tandak rebong, tandak mesem, tandak angkat-angkatan, tandak petangkilan, bebaturan setiap karakter dengan bagus. Jika dapat melakukan dengan baik berarti “amardawalagu” yaitu: mempunyai pengalaman yang luas tentang karawitan dan gending, cara menembang dan suluk-suluk yang khusus untuk pertunjukan wayang (Sumarno dan Rasona, 1983:10). Di Bali, yang berkaitan dengan vokal sering disebut dengan “tembang” atau metetembangan. Dalam buku Wimba Tembang Macepat Bali oleh I Made Bandem, menjelasakan bahwa syarat-syarat seorang penembang macapat adalah:
191
-
Suara bagus dan tau mengolah suara
-
Nafas panjang dan pandai mengatur suara
-
Mengerti masalah laras
-
Mengerti tabuh pengiring dan menguasai matra
-
Mengerti masalah sastra yang berkaitan dengan tembang
-
Mengetahui ekspresi tembang (bandem, 1992,18-21).
Contoh tandak petangkilan: Rahina tatas kemantian, umining mredangga, kala sangka ghurnnita tara. Gumuruh ikang gubar bala samuha, mangkat anguhuh paddasru rumuhun. Para ratu sampun ahyas rathaparimita. Nrepati Yudhishtthira nakularijunnagralumurug. (Baratayudha, Sardula, XXVI). (Wirjosuparto, 1968:125) Semua vokal Dalang hendaknya manohara, seperti kata pepatah “suaranya bak buluh perindu”, tidak fals dengan nada pengiringnya baik pelog maupun slendro, sepertinya menyatu dengan nada, sehingga membuat karakter itu hidup sesuai dengan simbol gerak yang dilakukannya. Untuk melatih suara secara tradisional sudah tersurat di penjelasan; suara pada tri lagawa di atas. Materimateri tandak dan bebaturun biasanya di petik dari kekawin-kekawin (puisi berirama) Baratayudha, Ramayana, Nitisastra dan lain sebagainya. Jadi pada umumnya masyarakat Bali, melatih vokal lewat tembang yang terdiri dari: Sekar Agung; meliputi kakawin dan sloka, Sekar Madya, meliputi Kidung, Sekar Alit: meliputi Macepat dan sekar Rare: meliputi lagu anak-anak. Jadi dalam pertunjukan wayang kulit, penggunaan manohara akan berkaitan erat dengan tetikesan wayang dan “melodi gambelan”. Oleh sebab itu ketiga komponen tersebut berhubungan dengan bayu, sabda dan idep pada diri manusia.
192
Gerak/tetikesan wayang, dengan sarana tangan juga kaki dasarnya adalah bayu/tenaga. Vokal/tandak, dengan menggunakan sarana kerongkongan, dasarnya adalah Sabda (suara). Melodi gambelan (nada suara musik) dengan sarana musik, dasarnya adalah idep (pikiran). Secara umum semua Dalang melakukan pembelajaran manohara ini, namun ada yang mengkhusus belajar berolah vokal ada pula yang nyambet atau nyambil. Artinya beberapa Dalang belajar manohara tidak melalui pembelajaran olah vokal secara mengkhusus seperti di lembaga-lembaga akademis. Mereka belajar melalui pembelajaran vokal yang lain seperti tandak ataupun kekawin. Jadi dalam hal ini olah vokal bukan menjadi yang utama, yang utama adalah melodi atau wirama kakawin tersebut. Sehingga akan berbeda belajar olah vokal secara mengkhusus dengan belajar manohara secara nyambet. Bobot dari Suarasa Parakreti terletak pada kemampuan Dalang dalam mengekspresikan pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain kedalam karya seni pertunjukannya. Parasaan itu bisa sedih, tersinggung, marah, bahagia dan lain sebagainya. Pengalaman yang datang dari luar, misalnya bagaimana caranya si jahat menyakiti si baik, bagaimana seorang penguasa memimpin negara dan rakyat, atau bagaimana pedagang dengan pembelinya. Dalang tidak lepas dari unsur-unsur keadaan lingkungan dan cara hidup masyarakat setempat. Ia maklum bahwa cerita yang bagaimana yung hurut dihidangkannya pada waktu itu dan ia dapat pula memilih lakon yang sesuai dengan suasana masyarakat (pedagang, petani, nelayan, buruh, industri) dan maksud peringatan yang sedang dilangsungkan (upacara pernikahan, khitanan, tingkeban, dan sebagainya). Ia
193
pandai memilih lakon yang sesuai dengan maksud peringatan (Sumarno dan Rasona, 1983:7). Jadi dalam suarasa ini menetankan pada karakter wayang sesuai dengan sifat, keadaan dan kejadian yang berlangsung sesuai dengan kebutuhan cerita, dengan memasukkan rasa-rasa pengalaman tersebut dengan penafsiran estetisnya. Menurut hemat penulis justru pada bagian ini dianggap sepele oleh sebagian besar Dalang di Bali. Seyogyanya dalam pembelajaran suarasa ini menjadi penekanan dan dijelaskan bagaimana cara mempelajarinya. Dengan memahami dan mendalami secara jelas serta menyajikan adegan-adegan itu dalam setiap latihan akan lebih memantapkan pengetahuan si calon Dalang tentang suarasa ini. Bobot Parwadi terletak pada kemampuan Dalang dalam menggunakan bahasa Kawi, Bali (daerah), termasuk juga tata bahasanya (anggah-ungguh/ sor singgih basa). Kalau si Dalang suka dan sering membaca sastra-sastra berbahasa Kawi, ikut dalam kegiatan, pesantian/mewirama, dan rajin konsultasi, maka bahasa yang digunakan biasanya akan jauh lebih berbobot, dan tata bahasanyapun akan lebih teratur. Ada beberapa istilah dalam pewayangan yang kalimatnya biasanya dikutip dari “kekawin” tertentu, misalnya: -
Pangrangrang, adalah istilah untuk mengomentari dan mengekspos sebuah kerajaan, hutan, orang dan lain sebagainya.
-
Pangrumrum adalah bahasa yang digunakan untuk merayu atau adegan percintaan (ngelemesin), seperti: untu asat ngatibangbung, isite
194
ngembang rijasa, rambut panjang kadi mega ngemu ririh dan lain sebagainya. -
Panulame adalah bahasa yang digunakan untuk adegan sedih “ngeling, masesambatan”. Seperti pada adegan mesem, tandak biasanya bukan sepontanitas, namun sebuah kalimat yang dirangkai sedemikian rupa menjadi satu melodi yang sedih.
-
Babanyolan adalah bahasa “kanda-kanda” yang dipakai untuk membuat orang/penonton menjadi tertawa. Dalang yang pintar akan berusaha membuat Banyolan yang mendidik, tidak murahan "cabul" dan selalu sesuai dengan kontek cerita.
-
Diatmika adalah bahasa yang berisikan ajaran-ajaran filsafat hidup dan kehidupan “tatwa-tatwa” untuk ketentraman mahluk hidup. Kalimatkalimatnya biasanya dipetik dari sastra-sastra tertentu, seperti Weda, Itihasa dan purana.
-
Sengit adalah bahasa yang dipakai dengan nada kasar, keras atau menyakitkan, menghujat dan sejenisnya. Walaupun sebagian besar Dalang sering menggunakan terminologi di
atas, namun sebagian dari mereka kurang mampu mentransformasikan pengetahuan Parwadinya kepada murid didikannya, karena istilah-istilah tersebut tidak umum di masyarakat. Selain itu, yang paling sulit adalah bagaimana proses pencapaian parwadi tersebut agar dapat dikuasai oleh si calon Dalang. Untuk itu penulis berpendapat di dalam proses belajar-mengajar Seni pedalangan pemahaman Parwadi perlu ditingkatkan terutama oleh guru pedalangan
195
bersangkutan. Dengan pengetahuan dan pemahaman guru tersebut dapat meningkatkan kualitas peserta didik ke arah yang lebih Progresif. Dengan demikian Dalang harus paham akan parama kawi, yaitu Dalang harus dapat dan mengerti akan bahasa Kawi dan kesusastraannya sehingga ia dapat mengartikan kata yang akan diucapkannya. Amardibasa yaitu Dalang harus mengetahui bahasa pedalangan, misalnya bahasa keraton, bahasa bagi para dewa, pandita, satria, raksasa dan Banyolan para panakawan. Paham akan paramasastra, yaitu Dalang harus mengetahui tata bahasa dan harus banyak menyelami kesusastraan untuk mengetahui urutan percakapan yang baik (Sumarno dan Rasona, 1983: l0). Bobot Dharmanda terletak pada kemampuan dalang dalam menguasai hak dan kewajiban setiap karakter “sesana” yang sudah disepakati secara konvensional oleh masyarakat pedalangan itu sendiri. Jadi dalang tidak boleh berbuat sewenang-wenang dengan wayangnya walaupun dalang sendiri berhak atas wayangnya. Hal seperti itu disebut dengan “kamurba mwang kawisesa”. Jadi Dalang harus mengikuti pakem yang telah disepakati secara konvensional itu dan aturan sastra yang memberikan sifat dan karakter tokoh tersebut. Aturan-aturan itu misalnya: -
kewajiban seorang dukun adalah mengobati segala penyakit pasien, dan tidak membedakan pasien itu kaya atau miskin.
-
Kewajiban seorang Prajurit adalah membela negara dari segala bentuk gangguan.
196
-
Kewajiban seorang Raja adalah membuat negara dan rakyatnya mendapatkan kesejahteraan, ketentraman dan keamanan. Dalam proses pembelajaran hal ini juga dianggap sepele dalam proses
belajar-mengajar Pedalangan, karena dalam wawancara sama sekali hal tersebut tidak disinggung. Seyogyanya pemahaman akan Dharmanda ini perlu dijelaskan atau diuraikan secara detail dalam proses pembelajaran, karena hal ini merupakan pengetahuan sifat dan tabiat setiap karakter dari Wayang terutama kapasitas hak dan kewajibannya. Hal ini perlu ditekankan karena sering terjadi pelecehan karakter atau pelecehan pakem Pewayangan yang mengakibatkan Seni ini menjadi seni murahan atau seni tontonan tanpa tuntunan. Salah satunya adalah kasus Dalang Wakul di tahun 90-an dianggap sebagai salah satu pelecehan dalam konteks Dharmanda di atas, karena sering menggunakan karater Wayang tidak pada proporsinya. Jadi Dharmanda adalah penokohan atau karakterisasi/ perwatakan yang harus dikuasai si Dalang. Yang dimaksud Penokohan disini adalah proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Karenanya, tokoh-tokoh harus dihidupkan. Penokohan menggunakan pelbagai cara. Watak tokoh dapat terungkap lewat: a) tindakan, b) ujaran/ucapan, c) pikiran, perasaan dan kehendaknya, d) penampilan pisiknya e) apa yang difikirkan, dirasakan atau dikehendaki tentang dirinya atau diri orang lain. Tokoh dalam seni sastra disebut “tokoh rekaan” (dramatis personae) yang berfungsi sebagai pemegang peran watak baik dalam jenis roman atau jenis lakon (Satoto, 1985: 24-25).
197
Demikianlah penjelasan dari Catur Perakreti, yang kalau disingkat lagi menjadi : 5. Manohara: mempelajari nada suara pelog dan slendro, sesuai iringan dan gerak wayangnya. 6. Suarasa: Mengingat dan merasakan semua kejadian, baik itu berupa gerak, suara maupun vokal, yang didapat dari pengalaman hidup diri sendiri dan orang lain. 7. Parwati: Mempelajari tata Bahasa Kawi, Bali dan membaca karya-karya sastra yang ada. 8. Dharmanda: mempelajari batas-batas hak dan kewajiban setiap tokoh “kamurba dan kawisesa”.
6.3.3
Panca Wilasa Panca Wilasa merupakan bobot yang terakhir dari materi yang harus
dikuasai oleh seorang dalang. Panca, artinya : lima, dan Wilasa, artinya: permainan, leka, kehendak, cita, kerinduan, hendak, kepingin, rindu akan... (Simpen, 148). Jadi yang dimaksud dengan panca Wilasa adalah; lima macam materi pengetahuan dalang yang telah diolah sedemikian rupa dan menjadi satu kesatuan yang utuh untuk kebutuhan kesempu.nuun pertunjukan. Adapun kelima materi tersebut adalah: Carita Wilasa, Waca Wilasa, Cancala Wilasa, Krama Wilasa, dan Sanjiwa wilasa. Bobot Carita Wilasa yang dimaksudkan adalah bagaimana cara seorang Dalang mengolah cerita yang diambil dari bermacam-macam sumber, kususnya
198
dari Sapta Kanda dan Asta Dasa Parwa (Ramayana dan Mahabharata) disesuaikan dengan kebutuhan pentas: situasi, zaman,kondisi, lingkungan, waktu dan lain sebagainya. Dalam hal ini Dalang mempunyai kebebasan untuk berkreativitas, berimprovisasi prihal cerita yang dipergunakan dengan tidak melanggar esensi lakon aslinya. Hal ini disebut dengan Awicarita, yaitu Dalang harus paham benar dengan semua cerita yang sedang dilakonkan. Ia juga harus mengetahui semua boneka wayang beserta ricikannya sebagai kelengkapan wayang yang mendasari cerita wayang itu (Sumarno dan Rasona, 1983: 10). Adapun cerita/lakon pokok yang umum dipakai dalam wayang Purwa adalah: 3. Cerita Ramayana, dengan Sapta Kandenya yang terdiri dari tujuh bagian/kanda antara lain: h. Bala Kanda: Isi ringkasnya adalah menceritakan raja Dasarata memerintah di negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodya, hingga Rama berhasil mengusir para Raksasa penggangu para petapa dan memenangkan sayembara di negeri Widehadirja (sayembara Mantili) merebut dewi Sita sebagai istrinya. i. Ayodya Kanda: Isi ringkasnya adalah menceritakan Rama, Sita dan Taruna Laksamana dibuang di hutan Dandaka selama empat belas tahun wejangan Rama kepada adiknya sang Bharata prihal kewajiban seorang raja yang terkenal dengan “Asta Bharata”. j. Aranya Kanda: isi ringkasnya adalah menceritakan Rama. Sita dan Taruna Laksamana sangat bahagia berada di dalam hutan dandaka, diculiknya Sita
199
oleh Rahwana Raja Alengka Pura, dan penjelasan Jatayu si burung raksasa kepada Rama prihal penculikan istrinya. k. Kiskinda Kanda: Isi ringkasnya adalah menceritakan perselisihan dua raja kera Subali dan Sugriwa, hingga pembuatan jembatan “situbanda” untuk penyerangan Rama ke Alengka. l. Sundara Kaida: Isi ringkasnya adalah menceritakan sang Hanoman sebagai duta sang Rama untuk menyelidiki keberadaan Sita serta memata-matai kekuatan musuh, hingga sepak terjangnya dengan membakar kota Alengka. m. Yudha Kanda: isi ringkasnya adalah menceritakan pertempuran pihak Rama dan pihak Rahwana yang dimenangkan oleh Rama, pengangkatan Wibisana sebagai raja Alengka dan pembuktian kesusian Sita dengan jalan membakar diri. n. Uttara Kanda: Menurut Dr. Sukmono dua pertiga dari buku ini berisi berbagai macam cerita yang tidak ada hubungannya dengan rakyat Rama, yang sepertiganya lagi menceritakan riwayat Rama. Tetapi agak bertentangan dengan bagian akhir kitab yang ke-6, maka ada-dugaan kuat bahwa buku ke-7 ini adalah tambahan kemudian. Adapun lanjutan cerita tersebut adalah: Rama mendengar desas-desus rakyat yang menyangsikan kesucian Sita. Maka Sita pun diusir dari istana dan tinggal di di pertapaan Walmiki, yang kemudian menggubah riwayat Sita itu menjadi wira carita Ramayana. Di sana Sita melahirkan anak laki-laki kembar diberi nama Kusa dan Lawa. Setelah dewasa Kusa dan Lawa datang ke Ayodya
200
mengikuti upacara Aswameda. Mereka berdua membawakan nyanyiannyanyian gubahan Walmiki, sehingga Rama akhirnya mengetahui bahwa Kusa dan Lawa adalah Anaknya, dan memanggil Walmiki agar membawa istrinya kembali ke istana. Akhir cerita ini, Rama menyerahkan mahkota kepada anaknya setelah Sita membuktikan kesucian dirinya dengan meminta dewi pertiwi membawanya pergi. Ringkasan cerita ini penulis kutip dari bukunya Sri Mulyono, 171-173, “Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Cerita-cerita lain yang tidak berkaitan dengan riwayat Rama adalah: tentang silsilah Begawan Somali, konflik percintaan dewi Sukesi dengan begawan Wisrawa dan melahirkan Rahwana bersaudara. cerita lainnya adalah tentang konflik percintaan Begawan Gottama dengan istrinya Dewi Indradi, sampai pada perebutan cupu, hingga tercipta Subali dan Sugriwa.
4. Cerita Mahabharata,
terkenal dengan Asta Dasa Parwanya, terdiri dari
delapan belas bagian, antara lain: s. Adi Parwa,terdiri dari 18 bab yaitu: Bab I: Menceritakan isi dan ringkasan tiap-tiap Parwa dalam Mahabharata (termasuk asal-usul masa kanak-kanak Pandawa bersaudara dan Korawa bersaudara, bale sigala-gala, mendirikan negeri Indraprasta), demikian pula ringkasan dari peperangan keluarga Korawa dan Pandawa yang lebih terkenal dengan nama Bharata-yuddha. Diantaranya diceritakan bahwa begawan Bisma menjadi senapati Korawa selama sepuluh hari, Danghyang
201
Drona selama lima hari, dikalahkan oleh senapati Pandawa Dhrstadyumna. Lalu sang Karna menggantikan selama dua hari, dikalahkan oleh sang Arjuna Kemudian sang Salya menggantikan hanya setengah hari, dikalahkan oleh sang Yudistira. Sedang pada sore harinya sang Duryodana dikalahkan oleh Bima. Bab II. Menceritakan sang Srutesena melangsungkan kurban atas perintah maharaja Janamejaya. Dalam pada itu datang seekor anjing si Saremya putra begawan Pulaha dengan sang Sarama, dipukul oleh sang Srutesena. Sang Sarama datang untuk mengutuk sang raja bahwa kurbannya tidak akan sempurna. Untuk mengakhiri kutukan tersebut maharaja mencari dan mendapatkan brahmana sakti ayah dan anaknya sang Crutacrawa dan sang Comacrawa. Bab III. Menceritakan begawan Dhomya menguji kesetiaan ketiga muridnya, sang Arunika, sang Utamanyu, dan sang Weda, Sang Arunika disuruh bersawah, maka datang air bah yang menggenangi biji di sawahnya itu, dan pematangnya rusak. Sesudah berulang kali pematang itu diperbaiki dan berulangkali pula rusak, maka badannya dipakai untuk menahan air bah siang dan malam sebagai pengganti pematang, akhirnya dianugrahi gurunya mantra sakti. Sang Utamanyu lebih lagi penderitaannya. Ia dilarang mintaminta sebagai mata pencahariannya selama menggembala lembu, dilarang pula minum air susu waktu anak lembu menyusu pada induknya, maka ia minum getah meduri yang menyebabkan ia buta dan terperosok ke dalam
202
sumur mati, tapi akhirnya juga mendapat anugrah berkat setia dan taat teihadap perintah gurunya. Sedangkan adegan dengan yang cukup menyedihkan dapat diikuti sendiri, demikian pula tentang ujian sang Weda yang tidak kalah penderitaannya dengan teman-temannya. Bab IV Menceritakan asal mula Hyang Agni (api) makan segala sesuatu tidak memilih barang yang dibakarnya, yaitu akibat kutuk begawan Bhrgu, karena menjadi saksi dusta atas peristiwa sang Puloma, bahwa dahulu telah diserahkan kepada sang Duloma raksasa, yang minta kepada sang Puloma untuk menjadi istrinya. Padahal ketika itu sang Puloma menjadi istri sang Bhrgu. Berakhir dengan sang Ruru rnenyerahkan setengah umurnya kepada kekasihnya yang mati digigit ular agar dapat hidup kembali. Bab
V.
Menceritakan
sang
Astika
pahlawan
para
naga
yang
menyelamatkan mereka, terutama naga taksaka dari kurban ular. Sang Astika yaitu putra brahmana Jaratkaru yang semula bertekat tidak akan kawin tetapi ketika melihat leluhurnya berada diantara sorga dan neraka, karena sorga tidak dapat diperoleh oleh orang yang tidak mempunyai keturunan, maka sang Jaratkaru mencari istri yang namanya sama dengan dia. Akhirnya beristrikan Nagini adik para nagayang diberi nama Jaratkaru, karena mereka tau bahwa brahmana itulah yang menurunkan pahlawan bagi mereka.
203
Bab VI. Menceritakan sang Winata dan sang Kadru bertaruh atas kuda Uccaihcrawa yang menyebabkan sang Winata menjadi budak sang Kadru, dan dibebaskan oleh sang Garuda (anak sang Winata) dengan Amrta sebagai syaratnya. Diceritakan pula sebabnya ular mempunyai lidah bercabang dan sang Garuda menjadi kendaraan betara Wisnu. Bab VII. Menceritakan para naga menghindarkan diri dari kurban ular yang telah dikutukkan oleh ibunya sendiri. Pendapat yang terbaik adalah pendapat sang Ailapatra, bungsu paranaga, karena ia ingat bahwa yang akan membebaskan itu adalah putra sang Jaratkaru. Pada waktu itulah sang Basuki pemimpin para naga menyerahkan adiknya sang Nagini kepada sang Jaratkaru untuk diperistri. Bab VIII. Menceritakan maharaja Parikesit mangkat digigit naga taksaka atas perintah sang Sreggi, karena perbuatan maharaja kepada begawan Samiti, ayah sang Srenggi dengan mengalungi bangkai ular. Peristiwa inilah yang menyebabkan adanya kurban ular oleh maharaja Janamejaya, putra maharaja Parikesit. Bab IX. Menceritakan keadaan dan kesudahan kurban ular sesudah sang Astika mengambil bagian pada cerita ini. Bab X. Menceritakan penjelmaan para Dewa yang kemudian menurunkan sang Pandawa dan Korawa, dimulai dari asal-usul dan kelahiran sang durgandini dan saudaranya yang kemudian bernama sang Matsyapati raja di negeri Wirata. Diteruskan juga cerita sang Sakuntala yang kemudian berputra sang Bharata dan menurunkan keluarga Bharata.
204
Bab XI. Menceritakan mantra sakti yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, bahkan yang sudah menjadi abu sekalipun. Diceritakan juga maharaja Yayati memperistri putri pendeta Cukra, tetapi akhirnya mengambil budaknya juga sebagai istri kedua, sehingga mendapat kutukan dari mertuanya menjadi tua sebelum waktunya. Tetapi karena putrinya sang Puru sanggup mengganti menerima kutuk itu, karena sesudah 1000 tahun akan kembali menjadi muda, sang maharaja Yayati kembali menjadi muda. Bab XII. Menceritakan silsilah sang Pandawa dan Korawa, mulai dari sang Puru beristrikan sang Kosalya, berputra sang Janamejaya, senama dengan yang mendengarkan cerita ini, beristri tiga orang, sampai pada nama kuru yang membuat tegal kuruksetra, sampai pada nama hasti yang membuat nama Hastinapura, kemudian sampai pada nama Pratipa, Cantanu, Bhyasa, Bhisma, akhimya sampai pada Korawa dan Pandawa. Diceritakan pula penjelmaan Astabasu yang seorang diantaranya menjadi sang Bhisma, juga kematian dewi Amba oleh sang Dewabrata (Bhisma) dengan tidak sengaja, tentang kebesaran jiwa sang Bhisma meninggalkan wanita untuk selamanya dengan maksud supaya ayahnya maharaja Cantanu dapat kawin dengan dewi Ghandawati. Bab XIII. Menceritakan penjelmaan Sanghyang Yama menjadi sang Widura, karena dahulu menjatuhi hukuman kepada anak yang belum berumur 14 tahun, karena itu Batara Yama dihukum oleh para Bhrahmana menjelma menjadi manusia yang mempunyai cacad pincang sedikit.
205
Bab XIV. Menceritakan kelahiran Korawa dan Pandawa dan kedua keluarga itu semasih kanakkanak. Diceritakan pula perbuatan sang Bhima menimbulkan amarah sang Korawa sehingga Korawa selalu ingin memusnahkan mereka. Demikian pula tentang bergurunya kedua keluarga itu
kepada
Begawan
Drona
serta
pertandingan
kesaktian
yang
menyebabkan sang Karna dinobatkan menjadi raja di negara Angga (Awangga). Bab XV. Menceritakan sang Pandawa berdiam di Waranawata, disanalah mereka menempati rumah damar (jatugra) yang dibuat oleh Korawa dengan maksud untuk melebur keluarga pandawa dengan jalan membakar rumah tersebut. Lepas dari rumah damar tersebut Pandawa masuk hutan belantara. Disanalah sang Bima dapat membunuh raksasa Hidimba dan memperistri adiknya Hidimbi, demikian pula kelahiran sang Gatutkaca dari perkawinan itu. Akhirnya diceritakan pula kematian raja raksasa pemakan manusia sang Baka oleh sang Bima. Bab XVI. Menceritakan sang Pandawa pergi ke Pancala ikut dalam sayembara dan berhasil memperoleh sang Drupadi. Dalam rangkaian cerita ini diceritakan juga kelahiran sang Paracara yang sudah tidak lagi menemui ayahnya karena sudah mati di makan raja Codha yang kerasukan raksasa Kingkara, dan berakhirnya dibagi dua negara Hastina untuk diserahkan kepada Korawa dan Pandawa. Bab XVII. Menceritakan sang Arjuna masuk hutan selama 12 tahun karena merasa melanggar perjanjian dengan sanak saudaranya yang disaksikan
206
oleh Batara Narada. Oleh karena itu atas kerelaan sendiri ia mau masuk hutan. Dalam pengembaraannya inilah ia memperistri Diah Ulupui putri maharaja Citradahana. Juga pada bagian ini pula terdapat cerita perkawinan sang Arjuna Diah Subadra adik sang Khresna. Bab XVIII. Menceritakan lahirnya sang Abimanyu dan terbakarnya hutan Kandawa tempat persembunyian naga Taksaka sahabat Sang Hyang Indra. Karena itu Sang Hyang Agni minta pertolongan sang Kresna dan sang Arjuna menjaga nyala api pembakaran dan menghabiskan semua mahluk yang hendak melarikan diri dari tempat itu. Dalam peristiwa pembakaran itulah terdapat empat ekor anak burung puyuh yang karena permohonan ayahnya kepada Hyang Agni waktu meninggalkan hutan itu mendapat selamat terlepas dari pembakaran tersebut. t. Saba Parwa. Menceritakan Para Pandawa dan Korawa bermain dadu sampai pada Pandawa dibuang ke dalam hutan selama 13 tahun dengan ketentuan 12 tahun mengembara, 1 tahun lagi menyamar tidak boleh diketahui khalayak ramai. u. Wana Parwa. Mengisahkan kehidupan Pandawa bersaudara dengan istrinya dewi Drupadi selama dalam pembuangan di dalam hutan, yang isinya kemudian menjadi bahan cerita Arjuna Wiwaha.
207
v. Wirata Parwa. Menceritakan sang Pandawa menyamar di negeri Wirata dengan nama; Dwija Kangka, Bhelawa, Wrehetnala, Grantika, Grantipala, sedangkan Drupadi bernama Silandri. Dalam cerita ini juga mengisahkan kekalahan sang Melodnyajuru gulat wirata dan terbunuhnya patih Kecaka oleh Bhelawa (Bima), serta keperkasaan Arjuna (wrehetnala) sebagai serati sang Utara saat mengalahkan tentara Hastina yang sekaligus men gakhiri masa penyamaran pandawa. w. Udyoga Parwa. Menceritakan Kresna menjadi utusan Pandawauntuk meminta kembali setengah dari negeri Hastina (cerita Kresna duta) dari pihak Korawa. Setelah gagal dalam perundangan kedua belah pihak (Pandawa dan Korawa) menyiapkan diri untuk berperang (Bharata Yuddha). x. Bhisma Parwa. Menceritakan tentang keperkasaan resi Bhisma menjadi panglima dipihak Korawa, dan Drestadyumna panglima pandawa. Setelah ditentukan peraturan-peraturan perang dimulailah Bharatayuddha di Kuruksetra. Kresna hanya sebagai pengatur siasat dan penasehat pandawa serta kusirnya Arjuna. Pertama kali berhadapan dengan musuh, Arjuna merasa bimbang untuk berperang, karena yang dihadapinya adalah saudara dan keluarga sendiri. Tetapi atas wejangan Kresna yang terkenal dengan Bhagawadgita (nyanyian Tuhan), akhirnyaArjuna pulih kepercayaan
208
dirinya untuk maju ke medan laga. Pertempuran melawan resi Bhisma terjadi selama 10 hari, yang akhirnya gugur oleh Dhrestadyumna. y. Drona Parwa Resi Drona menggantikan Bhisma memimpin Korawa menghancurkan tentara pandawa, dan membunuh raja Pancala Drupada, serta raja wirata Matsyapati. Dalam cerita ini juga menceritakan terbunuhnya Gatutkaca oleh Karna dengan senjata Konta, serta gugurnya sangAbimanyu oleh panglima-panglima korawa, yang diantaranya adalah sang Jayadrata dan Dusasana. Pada hari ke 15 Drona gugur oleh Dhretadyumna karena berkat tipu daya Kresna yang memaksa sang Yudistira untuk melakukan sedikit kebohongan. z. Karna Parwa Untuk menggantikan Drona, Duryodana mengangkat Adipati Awangga yaitu Karna untuk memimpin tentara Korawa di Kuruksetra, dan gugur oleh Arjuna pada hari ke- 17. Dalam cerita ini juga dikisahkan gugurnya sang Jayadrata oleh Arjuna dan sang Dusasana oleh Bhima. aa. Calya Parwa Pada hari ke- 18 Duryodana mengangkat sang Calya menjadi panglima tentara Korawa, namun pada hari itu juga ia gugur di tangan Yudistira. Dalam cerita ini juga menyinggung penyesalan Duryodana dan ingin menyerahkan kerajaan kepada Pandawa dan ia sendiri ingin meninggalkan dunia ramai. Namun hal ini menjadi ejekan Pandawa dan akhirnya ia sendiri tampil ke medan laga, di mana ia memilih Bhima menjadi lawan
209
tandingnya. Walaupun akhirnya Duryodana kalah dan gugur, masih sempat pula ia mengangkat Aswatama menjadi senapati Korawa. bb. Sauptika Parwa Menceritakan tentang aksi Aswatama yang tidak dapat menahan dendamnya terhadap Pandawa. Maka pada malam sehabis pertempuran hari ke- 18, ia menyusup ke dalam kemah-kemah Pandawa, terutama kemah Pancala. Aswatama berhasil membunuh banyak ksatrya seperti Drestadyumna serta sang Panca Kumara anak-anak Pandawa lima. Setelah membunuh ia melarikan diri ke dalam hutan berlindung di pertapaan Wyasa dan menyampaikan penyesalannya. Keesokan harinya ia tersusul oleh Pandawa dan terjadi pertempuran sengit antara ia dan Arjuna. Namun Resi Wyasa dan Kresna berhasil menyelesaikan pertikaian itu dan Aswatama sendiri menyerahkan semua senjata dan kesaktiannya kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai untuk menjadi pertapa. cc. Stri Parwa. Para Pandawa, Dhrestarasta, Dewi Gandari, dewi Kunti, Kresna, serta para istri para pahlawan datang di Kuruksetra. Mereka menyesali semua apa yang telah terjadi, dan menjadikan hari itu hari tangisan. Semua pahlawan yang gugur di medan perang dibakar bersama-sama. dd. Santi Parwa. Sebulan lamanya Pandawa tinggal di dalam hutan untuk membersihkan diri. Yudistira merasa segan untuk menduduki singgasana yang telah minta korban demikian banyak dan menawarkan saudaranya untuk menjadi raja.
210
Resi Wyasa dan Kresna menentramkan hatinya dengan wejanganwejangan tentang hidup dan kehidupan,yang akhirnya pandawa kembali ke istana dan Yudistira menunaikan tugasnya sebagai raja yang adil dan bijaksana. ee. Anusesana Parwa. Cerita pada bagian ini pada dasarnya adalah merupakan lanjutan dari cerita Santi Parwa, yang isinya merupakan wejangan-wejangan Wyasa kepada Yudistira tentang kebatinan, kehidupan terutama soal kewajiban dan tugas menjadi raja. Namun wejangan-wejangan itu dirangkai dengan berbagai macam cerita, sehingga dalam bagian ini banyak terdapat cerita-cerita lain yang terangkai dalam bentuk wejangan. ff. Aswameda Parwa Yudistira melakukan upacara Aswameda, yaitu seekor kuda dilepaskan dan diikuti oleh sang catur Pandawa dengan pasukan lengkap dengan senjata. Selama setahun kuda itu mengembara dan setiap jengkal tanah yang dilalui oleh kuda itu merupakan daerah kekuasaan Pandawa. Walaupun ada beberapa daerah yang menentang namun dapat ditaklukkan oleh sang catur Pandawa gg. Asramawasika Parwa. Dhrestarasta beserta istrinya Gandari, juga ibu Pandawa Dewi Kunti, meninggalkan istana pergi kedalam hutan untuk menjadi pertapa. Beberapa tahun kemudian mereka wafat karena hutan tempat mereka terbakar oleh api saji Dhrestarasta sendiri.
211
hh. Mausala Parwa. Isinya menceritakan tentang musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya perang saudara diantara kaum Yadu. Kresna dan Baladewa pun tidak dapat menghentikan pertikaian itu, dan mereka pun akhirnya kembali ke alam Dewa. ii. Mahaprastanika Parwa Para Pandawa mengundurkan diri dari dunia ramai, setelah mahkota kerajaan diserahkan pada cucnya, yaitu sang Parikesit, anak Abimanyu. Dalam pengembaraan itu satu persatu mereka meninggal dunia, diawali oleh dewi Drupadi, Sahadewa, Nakula, Arjuna, Bima. Tinggal Yudistira ditemani seekor anjing selalu mengikuti perjalanannya. Dewa Dharma dan Dewa Indra datang menjemput yudistira untuk diajak ke Sorgaloka, berkat segala kebaikan yang pernah dilakukannya di dunia. jj. Swargarohana parwa. Menceritakan keberadaan pandawa, setelah mengalami pembersihan di Neraka untuk beberapa lama, kemudian mereka masuk Sorga. Sebaliknya Korawa yang sebelumnya dimasukkan di Sorga, kemudian ditempatkan di Neraka. Pembagian 18 parwa di atas dikutip dari buku: Wayang Asal-usul Filsafat dan Masa depannya, oleh Sri Mulyono, halaman: 173-177. Dalam buku: Sejarah Wayang Asal-usul, Jenis dan Cirinya halaman: 10-14, oleh Amir Mertosedono, SH, juga menguraikan tentang ringkasan Astadasa parwa yang hampir sama dengan ringkasan Sri Mulyono.
212
Secara umum para Dalang di Bali hingga saat ini masih tetap berpedoman pada carita wilasa di atas. Namun demikian cerita-cerita ini tidak seluruhnya bisa dipakai dalam pertunjukan wayang Kulit. Hal ini dikarenakan serain pertunjukan wayang Kulit tidak lebih dari 4 jam, juga cerita yang disampaikan hanya sebagai wadah dalam menyampaikan pesan-pesan batiniahnya. Jadi dalam pertunjukan wayang Kulit, cerita yang diambir baik dari Mahabharata, maupun Ramayana hanya sebagian kecil saja sebagai latar misi dan visi Dalang bersangkutan. Bobot Waca Wilasa yang dimaksud adalah penggunaan dari kalimatkalimat atau gaya bahasa tertentu dalam pewayangan, yang aplikasinya melalui tembang/vokal, dialog dan monolog. Dahm retorika tradisional, gaya bahasa atau style itu mendapat tempat yang penting, bahkan tidak sedikit orang menganggap bahwa gaya bahasa itu identik dengan retorika (Rota, 1988:4). Rota juga mengutip pendapatnya Gorys Keraf yang mengatakan bahwa, para retorikus jaman dahulu (zaman Romawi ) seperti Quintilianus misalnya mengajarkan bahwa dasar gaya bahasa yang utama ialah: -
Susunan bahasa yang tepat.
-
Adanya kejelasan dalam tuturan.
-
Keindahan.
-
Kesopanan (kepatutan).
-
Ungkapan yang mengandung berbagai variasi.
-
Penggunaan kiasan kata dan kiasan kalimat (Rota, 1988: 4). (Keraf, 1985:10).
213
Dari hasil menyimak berbagai informasi yang diperolehnya, Gorys Keraf menarik suatu kesimpulan, bahwa “retorika itu adalah suatu tehnik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik”. Kesimpulannya, bahwa untuk suatu retorika yang baik diperlukan beberapa prinsip dasar, antara lain: 6. Penutur harus menguasai secara aktif sejumlah besar pembendaharaan kata. Makin banyak jumlah kosa kata yang dikuasai, makin mampu penutur itu memilih kata-kata yang tepat dalam menyampaikan buah pikiran. 7. Penutur harus menguasai secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan. Dengan demikian penutur akan mampu menggunakan bermacam-macam bentuk kata dengan nuansa dan konotasi yang berbeda-beda. 8. Penutur harus mengetahui dan menguasai bermacam-macam gaya bahasa, dan mampu pula menciptakan gaya yang hidup dan baru, untuk lebih menarik perhatian pendengar atau pembaca. Seperti telah disinggung dimuka, bahwa gaya bahasa yang kena, ialah gaya bahasa yang menggunakan susunan kata yang tepat, yang mengandung kejelasan, mengandung berbagai variasi, dilukiskan dengan kiasan kata dan kiasan kalimat yang efektif. 9. Penutur harus mempunyai daya nalar yang baik, sehingga pikiran penutur dapat diungkapkan secara teratur dan masuk akal. 10. Dalam bentuk bahasa tulis, penutur harus pula memiliki pengetahuan teknis penulisan, seperti cara pengetikan, cara mengutip, cara menyusun
214
bibliografi, dan lain-lainnya (Keraf, 1985:19). (baca Retorika dalam Pewayangan Bali, Rota Ketut, 1988). Ada juga bahasa atau kalimat yang mengkhusus dipakai dalam pertunjukan, seperti: -
Paguneman : yaitu menguasai vokal dalampeparuman.
-
Pengrangrang: yaitu bahasa yang bermakna memuja sesuatu.
-
Pangrumrum: yaitu bahasa atau vokal untuk percintaan.
-
Sedih: yaitu Bahasa atau vokal dalam keadaan sedih.
-
Banyol: yaitu sesuatu yang lucu dan dapat membuat tertawa, baik yang dilakukan melalui gerak, vokal, monolog dan dialog.
-
Pengung: yaitu bahasa yang mengandung muatan filsafat kebenaran.
-
Sengit, yaitu semua bahasa yang kasar, keras, sombong, marah.
Rota menambahkan, dilain pihak oleh karena retorika merupakan (karya) seni (yaitu seni bahasa), maka wujud “penggunaan bahasa yang tepat guna” tadi, perlu dimanifestasikan dalam sosok bahasa yang memenuhi tuntutan estetika, antara lain seperti: (1) adanya variasi dalam penggunaan bahasa, (2) adanya keharmonisan antara bagian-bagian dari bangunan bahasa itu, (3) adanya pertentangan (contrast) yang dilukiskan dengan bahasa. Dalam Waca Wilasa ini juga ditentukan oleh beberapa penititala (pakem/ Wimba) sesuai dengan situasi adegan pertunjukan yang berlangsung. Kurang lebih ada 7 pokok yang dijadikan pedoman, yaitu:
215
-
Peguneman/Petangkilan. Dalam adegan ini diawali dengan vokal sebagailustrasi dari tokoh-tokoh yang akan dikeluarkan. Jika wayang mata sipit yang dikeluarkan, iringannya adalah “Alasarum”. Jika wayang keras atau mata bulat “dedeling” iringannya adalah candi
rebah, jika tokoh raksasa iringannya adalah Rundah. Secara spesifik Ida Bagus Gde Purwa menyatakan bahwa candi rebah ataupun rundah merupakan bentuk pepeson Wayang memakai bentuk Ngalengkara seperti telah disebut di atas. Namun sekarang, penggunaan pakem di atas sudah tidak dipermasalahkan lagi, seiring dengan berkembangnya dunia pewayangan, seperti wayang Calonarang, wayang Tantri, Wayang Arja, Wayang Babad, dan lain sebagainya, yang selalu mengadopsi lagu-lagu seperti rundah, candi rebah dan rundah untuk ilustrasi, tanpa memperdulikan penggunaan lagu-lagu tersebut sebelumnya. Jadi pada dasarnya peguneman tersebut adalah keluarnya beberapa tokoh wayang yang diiringi dengan ilustrasi musik dan vokal Dalang. Adapun contoh dari kalimat alas arum, untuk iringan mata sipit, dikutip dari kekawin Bharatayuddha, adalah : -
Rahina tatas kemantian, Humuni mhredangga, Kalasangka, gurnitan tara.
-
Gumuruh, Ikang gubar bala samuha, Humangkata, Nguwuh pada sereh rumuhun.
-
Para ratu, sampun ahyas asalin, lumampaha, Hawanrata Parimita.
-
Nrepati, Yudistira parang muka, Bhimasena, Nakula Arjuna grelu murug.
-
Rasa betah, Tang mahitala, nguwuh wang ariwek, riweg dedet gumerebeg.
216
Untuk iringan Candi rebah, biasanya menggunakan puisi/kalimat seperti berikut. -
Bujangga onom kemalingan, Genta hilang mwang pustaka, Apan masaning amuja, Sangkan rikarya manangis.
-
Jambot paniang peparingan, Topong abang piner mas, Jarak abang manis wijine, uluna gana batara nata.
-
Gedong anom gina lojor, Jejakane den eresin, Kumandang angayamayam, Kokila ngalun suarane. Puisi-puisi di atas dilakukan dengan vokal, menyesuaikan dengan melodi
musik pengiringnya, yang dalam istilah pewayangan disebut "tandak". -
Pengrangrang. Yang dimaksud dengan pengrangrang disini adalah semua ucapan/kalimat Dalang dengan maksud mengungkapkan kebesaran atau keagungan sesuatu, seperti negara, istana atau seorang tokoh. Dengan mengekspus seperti itu maka adegan itu diharapkan menjadi kuat dan mengarahkan imajinasi penonton kearah obyek tersebut. Adegan ini biasanya dilakukan dengan vokal atau tembang. Sebuah contoh bila kita ingin mengekspus seorang tokoh agar bertambah kuat dan berwibawa, misalnya: “Malen: Dah, kabinawa pesan ri sapemedal ida sang Arjuna, ngalinggihin kereta saha balayudane ngebekin. “Merdah: (kekawin kilayu manedeng baris pertama; “Sanghyang Surapati metu sangkari kuta lawan surabala gumuruh”), aduh nanang, lwir kadi pawi-jilan ida Sanghyang Indra ritatkala tedun kapayudan, kabinawa prebawan idane, ngawe resres isatru, jejeh musuhe nanang!
217
-
Pangrumrun. Istilah ini adalah istilah untuk mendekati dan merayu seseorang.
Misalnya
seorang
prialkesatria
mendekati
seorang
wanita/putri, maka dilakukan Pangrumrum. Lagu Pangrumrum ini dalam pewayangan umumnya disebut rebong/adegan rebong. Adegan ini dilakukan dengan pelpaduan antara vokal tembang, monolog, dialog dengan iringan. Contoh ucapan rebong: Miyik nyangluh bon nyane mahimpugan, gegandang gadung kasturi, rambut panjang kadi mega ngemu ririh, alise medon intaran, seledete kadi tatit, isite ngembang rijasa, untu asat ngati bangbung, susu nyangkih ngasorang nyuh gading kembar, tempuh gelange ngrempuang. Inggek-inggek sada nayog, bangkyang rengkyang acekel gonda layu, cokore mudak sinungsang. -
Sedih. Seperti sudah disinggung di atas (dalam Parwadi), bahwa bahasa sedih dalam pewayangan biasanya dipakai istilah: mesem, untuk adegan sedih karakter manis atau mata sipit. Candirebah, untuk karakter keras atau mata bulat, Bopong, adalah untuk adegan sedih tokoh keraksasan.
-
Banyol. Adegan Banyol/lucu dalam pewayangan biasanya lebih banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh panakawan dan tokoh-tokoh lain yang dianggap relevan untuk melucu, misalnya: sang Bima, sang Suratma, sang Sakuna, beberapa karakter pendeta/begawan dan lain sebagainya. Adegan Banyol bisa dilakukan dengan monolog, dialog antar tokoh, dengan gerak dan juga dengan vokal, bahkanjuga dengan tatarias (dalam adegan teater lainnya), dan penambahan karakter baru yang relevan dengan cerita.
218
-
Pengung. Istilah ini sudah sangat jarang digunakan. Pengung adalah istilah untuk ucapan kalimat yang bernuansa filosofis. Istilah itu seperti, basa wayah, sarwa tatua, tutur kasuksman, kasucian dan sesana. Semua istilah itu di kutip dari refrensi seperti Kakawin, Weda, sloka atau mantra, tembang dan lain sebagainya.
-
Sengit. Istilah ini adalah untuk mengungkapkan adegan marah, emosi keras, semua bahasa kasar (tan pasruti, saling cacad, sesumbar, ngapakngapak) asal jangan sampai "memisuh". Jadi Waca Wilasa merupakan implementasi dari parwadi perakerti di atas.
Dengan demikian jika parwadinya jelas, maka waca wilasenya juga akan jelas, dan begitu juga sebaliknya, bila daya pembelajaran parwadi kurang maka penguasaan waca juga akan terbatas. Bobot Cuncala Wilasa. Istilah ini digunakan untuk tata cara menggerakkan wayang atau gerak wayang dalam istilah pembelajaran di ISI Denpasar. Ada juga yang menyebutkan; tetikesan wayang, tetakehan/takeh wayang, igel/nyolahang wayang, dan dalam istilah jawa disebut dengan sabet/Dalang Sabetan, yaitu Dalang yang pandai memainkan wayang dan memerankan wayang dengan gerakan-gerakan yang terampil dan cekatan sehingga seolah-olah hidup (Sumarno dan Rasona, 1983: 8). Dalam
menggerakkan
wayang
hendaknya
disesuaikan
dengan
karakternya, suasananya, yang mengacu pada jalannya cerita. Cancala Wilasa dibedakan menjadi 9, yaitu:
219
10. Agem Luhur: adalah keluarnya tokoh wayang dari atas kelir, seperti: Dewata, Resi/Pandita, dan sejenisnya. Ciri-ciri lainnya adalah; jalannya pelan, suaranya berwibawa dan sarat dengan filsafat. Walaupun demikian tidak mutlak berlaku demikian, karena adajuga tokoh lain yang keluar dari atas dan tidak mempunyai ciri-ciri seperti itu, seperti; sang Garuda/Jatayu, Wilmana, Hanoman, Rahwana dan lain sebagainya. Jadi agem luhur merupakan keluarnya wayang dari atas, tetapi tetap melihat karakter wayang tersebut. 11. Agem Dedeling. Agem ini ditujukan kepada karakter wayang bermata bulat, ucapan keras berwibawa, “tetangkep acreng”. Tokoh seperti itu adalah; Bhima, Bhaladewa, Duryadana, Dusasana dan lain-lainnya. 12. Agem Manis. Agem atau gerak ini digunakan oleh wayang Prabu/raja kesatria bermata sipit atau ksatria manis, seperti; Arjuna, Kresna, Yudistira, Nakula, Sahadewa dan lain-lainnya. Ucapan karakter ini pelan dan berwibawa, "tetangkep mardawa, tindakan banban alus, ucapan sada alon”. 13. Agem Aeng. Istilah ini digunakan untuk mengeluarkan tokoh-tokoh yang berwajah menakutkan, yaitu karakter raksasa dan sejenisnya seperti: Rahwana, Marica, Prahasta, Kala, Jogormanik dan lain-lainnya, dengan gigi dan taring runcing. Suara tokoh ini biasanya keras, besar “ngelur, ngregeh”, jalannya mantap, emosional atau tempramental.
220
14. Agem Garini. Untuk tokoh putri kemanusiaan dengan sifat yang halus, suara manis, jalannya pelan "tetangkep alon aris", dipakai istilah agem garini, seperti: Sita, Kunti, Drupadi dan sebagainya. 15. Agem Sor. Digunakan untuk wayang penasar atau abdi seperti: Malen, Merdah, Delem, Sangut. Terkadang bisa juga digunakan oleh tokoh satria yang menghadap atasan atau orang tua, seperti Gatutkaca menghadap Bima, maka Gatutkaca menggunakan agem sor. “tetangkep bakti, pejalan nyeseb, kramaning aniwi”. 16. Agem Bobot. Agem ini khusus digunakan oleh wayang yang besar, seperti Pemurtian dan sejenisnya. Intensitas Gerakan tokoh ini harus berat, seakan tanah bergetar dan bergoncang. “tetangkep baat, megli-duhan”. 17. Agem Sandi. Gerakan wayang atau etika setiap tokoh disesuaikan dengan cerita yang berlangsung, seperti diperjalanan, di hutan, dipetangkilan (peparuman), di dalam medan perang dan lain sebagainya. Sebagai contoh; bila Gatutkaca dalam peparuman dengan Pandawa lima, ia akan menggunakan agem sor (kramaning aniwi). Jika dalam peperangan mungkin Gatutkaca akan bicara dari atas (antariksa/ambara) dengan sang Panca Pandawa. 18. Agem Yuda. Istilah ini digunakan untuk wayang yang sedang berperang, mulai dari berangkat ke medan laga didahului oleh; prajurit "bala-bala", para punggawa "bebantot-bebantot", Para Patih, para putra kesatria, sang raja yang diiringi oleh para pandita keraiaan. Dalam agem yuda ini ada beberapa istilah perang seperti; perang undur-undur, perang ngontel,
221
perang ngotek, perang ngelipet, perang kadyatmikan, perang dugalan "memogol/megulet", perang tunggangan, perang rebutan. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah; cara mentang panah, caranya mati dalam peperangan, cara menghindari senjata, caru maya-maya dan cara membuat Banyolan dalam peperangan. Dalam proses belajar dan mengajar pedalangan Bali, pada bagian ini lebih sering dilakukan praktik langsung dengan porsi penjelasan atau teori yang sangat sedikit. Artinya, setiap mengajarkan gerakan wayang dari setiap tokoh, maka praktik selalu mendominasi dengan contoh-contoh yang diberikan oleh sang guru. Menurut hemat penulis hal tersebut kurang menguntungkan dalam pencapaian kualitas didikan. Seyogianya para pendidik memberikan terminologi gerak-gerak di atas secara mengkhusus, menjelaskan, serta memberikan bentuk serta struktur yangjelas tentang gerak-gerak tersebut. Dengan demikian peserta didik akan paham secara utuh terminologi tersebut sebelum melakukan praktik gerakan Wayang. Bobot Kramallilasa merupakan istilah dalam pewayangan dalam hal membuat plot cerita "ngedum karang/bah bangun satua serta memberikan inovasi "uperengga,/pepayasan" menyesuaikan dari kebutuhan cerita tersebut. Secara umum isi Krama Wilasa sebagai berikut: -
Pertama, selalu menjelaskan isi cerita secara umum di bagian pertama
dalam petangkilan seperti; nama negara, nama raja, maksud dan tujuan pertemuanl peparuman tersebut diadakan. Bila plotnya sedih, maka Waca Wilasa no. 4 yang dipakai acuan, dengan iringan/vokal mesem, bendusemara atau
222
bopong. Jika plotnya percintaan, maka pedom annyaadalah Waca Wlasano. 3, yaitu lagu/gending rebong. -
Babak kedua atau adegan berikutnya juga petangkilan/peparuman, yang
berkaitan dengan adegan di babak pertama. Dalam adegan ini juga bisa dikembangkan atau ditambah dan dikurangi asal tidak sama dengan yang pertama, sehingga adegannya tidak membosankan. Pada umumnya adegan atau isi cerita di babak pertama dan kedua biasanya selalu bertentangan (kontras). -
Babak ketiga, merupakan pertemuan babak pertama dan babak kedua,
sebagai klimak yang diwujudkan dengan peperangan. Pada babak ini dalang berpedoman pada Carita Wilasa; pada catur karana no. 4, yaitu; pasiat, dan Cancala Wilasa no. 9 yaitu; agem yuda. Struktur dramatik pewayangan Bali di atas agak mirip dengan alur atau plot dalam fiksi modern sebagaimana dikatakan Soediro Satoto bahwa alur (plot) adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra (termasuk drama atau lakon, pen.) untuk mencapai efek tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan hubungan kausal (sebab akibat). Dengan kata lain, alur adalah rangkaian peristiwayangdireka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui perumitan (penggawatan atau komplikasi, pen.) ke arah klimak dan penyelesaian. Jika dalam setiap mempertunjukkan cerita selalu ada alur atau plot, maka di dalam proses pembelajaran seyogianya Krama Wilasa mendapat perhatian yang serius. Dalam hal ini, bah bangun satua (alur cerita) umumnya bisa dipelajari langsung dari cerita Mahabharata maupun Ramayana. Jika diperhatikan dengan
223
seksama di dalam setiap pertunjukan dari beberapa dalang, maka cerita yang ditampilkan merupakan bagian kecil dari cerita Mahabharata maupun Ramayana tersebut serta telah diolah sesuai dengan kebutuhan pertunjukan. Oleh sebab itu KramaWilasa sangat perlu diberikan secara lebih mendetail dalam proses belajar mengajar sebagai upaya mengolah sebuah cerita singkat menjadi sebuah alur yang sarat akan tontonan maupun tuntunan. Bobot Sanjiwa wilasa. Adalah penjiwaan dari setiap karakter agar tokoh itu benar-benar kelihatan hidup. Sanjiwa dapat dilakukan dengan dua proses yaitu; proses spiritual/sakral (niskala) dan material (sekala). Proses niskala, yaitu suatu proses yang sesuai dengan petunjuk agama, mulai dari pembuatan wayang sampai pertunjukan selalu ada perantara sesaji yang diyakini dapat memberikan nilai mistis "taksu" kepada aparatus pertunjukan terutama wayang tersebut (penganteb, pengurip-urip). Proses sekala, yaitu suatu proses penjiwaan setiap karakter sesuai dengan sifat yang dibawanya dengan jalan latihan secara kontinyu sehingga kita bisa merasakan menyatu dengan setiap karakter wayang tersebut. Pada dasarnya wayang itu sendiri merupakan alat untuk mengekspresikan segala sifat manusia di atas pentas, sehingga karakter wayang diwujudkan daram bentuk yang berbeda-beda. Dengan demikian, dalang harus dapat membaca karakter wayang dan memberi gerak serta ucapan dengan baik, juga menyesuaikan dengan jalannya cerita. “nyeta sebeng wayang”. Oleh sebab itu, dalang harus benar-benar mampu mengungkapkan perasaannya lewat wayangnya. Misalnya, dalam adegan sedih, dalang harus mampu mengekspresikan sedih tersebut kepada tokoh wayangnya, bahkan sampai menangis. Demikian juga
224
dalam adegan marah maupun romantis, sehingga imajinasi penikmat dibawa kedalam suasana adegan tersebut. Pedoman demi keberhasilan penjiwaan pakeliran, yang disebutkan dalam kawruh (pengetahuan) pedalangan karya M. Ng Nojowirongko alias Atmacendana, menerangkan bahwa dalang yang baik harus menguasai unsurunsurpakeliran, di antaranya sebagai berikut: 6. Regu, pelaksanaan pekeliran yang baik dan menarik tak membosankan sehingga terasa keluhuran seni pedalangan. 7. Greget, yaitu pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana yang hidup, bergairah, tegang, marah dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan lakon. 8. Sem, yaitu pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana penuh rasa romantis, sesuai dengan kebutuhan lakon. 9. Nges, yaitu pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana yang dapat menimbulkan rasa haru, iba, sedih, dan sebagainya, dengan kebutuhan lakon. 10. Renggep, yaitu pelaksanaan pakeliran yang hidup dan penuh kegairahan (Sumarno dan Rasona, 1983:11). Untuk mendapatkan hal di atas, maka pengetahuan suarasa perakerti merupakan modal utama untuk menuju ke sanjiwa wilasa. Seberapa peka rasa dan intuisi seniman dalam menangkap fenomena-fenomena yang ada di masyarakat termasuk pengalaman-pengalaman dirinya merupakan jalan terbaik menuju Sanjiwa wilasa tersebut. Selain itu pemahaman mantra-mantra dan etika ataupun
225
norma-norma yang telah ditetapkan dalam dharma pewayangan serta diikuti secara konvensional juga suatu keharusan yang semestinya dipahami sedini mungkin dalam proses pembelajaran. Namun, di sini teks PW II dan III tidak dikaji secara mendalam lagi karena telah dijelaskan secara substansial di depan. Bagian ini merupakan kelanjutan bagian sebelumnya, yakni P-W I. Seperti telah disinggung di atas, isi teks P-W II merupakan rancang bangun cerita atau plot lakon beserta tata cara menyusunnya. Secara garis besar, tata cara melakukan pertunjukan yang sesuai dengan teks dan konteksnya adalah cara Papunggelan, yang dilakukan saat [melakukan] pertunjukan sudah larut malam atau dengan durasi waktu yang singkat. oleh sebab itu, pertunjukan dimulai dari adegan kedua, sedangkan adegan pertama hanya diceritakan sebagai flash back (di punggel/dipotong). Vokal yang dipakai biasanya adalah tandak/vokal cecantungan, yaitu tanpa mengikuti melodi gamelan; cara ngalengkara, digunakan hampir sama dengan situasi dan kondisi pada Papunggelan, namun disini lebih menekankan pada vokal, monolog serta dialog pada pepeson wayang (keluarnya wayang di awal pertunjukan). Kadang kala jenis ini juga bisa dipakai iringan non-gender, seperti Semar Pegulingan, Gong Kebyar, Batel dan sebagainya. Vokal biasanya menggunakan tandak rundah atau bendu semara, ataupun lelengkeran, yang diselang-selingi dengan ucapan setiap karakter. Ucapan disini menjelaskan siapa dirinya (karakter yang keluar), di mana keberadaannya, dan akan melakukan apa; sedangkan ngerahina, merupakan pepeson wayang khusus dengan iringan gender. Vokal dalang harus
226
menyesuaikan dengan irama iringan dan telah dipatok dengan stail tersendiri, seperti style Badung dan style Sukawati Gianyar. Sementara itu, isi teks P-W III adalah uraian tentang pengetahuan spiritual seorang dalang khususnya dharma pewayangan, yaitu kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh seorang dalang. Secara praksis telah terjadi hubungan antara teks dan konteks, sehingga dirasa tidak perlu dikaji secara lebih mendalam.
227
BAB V MAKNA PEMBELAJARAN SENI PEDALANGAN BALI BERDASARKAN TEKS PURWA – WASANA
Menurut F.R. Palmer (Wibowo, 2001:84-85: Sobur, 2001:-24) untuk dapat memahami apa yang disebut makna, kita mesti kembali ke teori Ferdinand de Saussure. Di dalam bukunya, Course in General Linguistic (1996), de Saussure menyebut tanda linguistik. Tiap tanda linguistik terdiri atas dua unsur, yakni yang diartikan (unsur makna) dan yang mengartikan (unsur bunyi). Kedua unsur ini, yang disebut unsur intralingual, biasanya merujuk pada suatu referen yang merupakan unsur ekstralingual. Jadi, tanda linguistik “kursi”, misalnya, mengandung unsur makna (:dimaknai kursi) dan unsur bunyi (:dieja K-u-r-s-i). Kedua unsur ini mengacu pada suatu referen, yakni perabot rumah tangga berwujud tempat duduk, ada sandaran, dan mempunyai empat kaki yang dikenal dengan nama: kursi. Sedangkan, baik informasi maupun maksud, sama-sama merupakan gejala ekstralingual. Jika informasi yaitu lebih dilihat dari sudut objek atau sudut apa yang dibicarakan; sedangkan maksud yaitu lebih dilihat dari sudut subjeknya atau dari sudut niat si pembicara. Ada beberapa pendapat mengenai jenis makna atau tipe makna. Brodbeck 1993),misalnya
seperti
dikutip
Fisher
(1986:344-345;
Sobur
(2001:25),
mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda. Salah satu jenis makna, menurut tipologi Brodbeck, adalah makna referensial; yakni makna suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau
228
konsep yang ditunjukkan oleh istilah tersebut. Pengertian makna ini, menurut Fisheq serupa dengan aspek “semantis” bahasa dari Moris (1948), hubungan lambang dengan referen (yang dirujuk). Tipe makna yang kedua dari brodbeck adalah arti istilah itu. Dengan kata lain, lambang atau istilah itu “berarti” sejauh ia berhubungan secara “sah” dengan istilah yang lain, konsep yang lain. Suatu istilah dapat saja memiliki arti referensial dalam pengertian yang pertama, yakni mempunyai referen, tetapi karena ia tidak dihubungkan dengan berbagai konsep yang lain, ia tidak mempunyai arti. Tipe makna yang ketiga dari Brodbeck mencakup makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti bahwa arti suatu istilah atau lambang bergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dari lambang itu. Berkaitan dengan hal di atas, pada bagian ini akan disajikan makna pembelajaran Pedalangan Bali yang berlandaskan teks P-W. Adapun maknamakna tersebut adalah sebagai berikut :
5.1 Makna Pendidikan Terkait dengan pembelajaran di dunia Pedalangan seperti telah diuraikan di bagian depan bahwa dewasa ini diperlukan proses pembelajaran yang ideal sehingga melahirkan lulusan yang berkualitas, mandiri, yang mampu memberikan pencerahan estetika dan intelektual kepada masyarakat luas. Jadi, sebagai target dalam LPTS adalah, pertama, pada tataran praktis; dapat memberikan kemampuan kepada lulusannya untuk menerapkan konsep-konsep seni ke dalam karya
229
seninya, dan kedua, dalam tataran teori; memberi kemampuan kepada lulusannya untuk menerapkan konsep-konsep seni ke dalam karya atau kajian ilmiah seninya. Proses belajar mengajar, apalagi dalam lembaga pendidikan tinggi seni, adalah
menekankan
pada
transpormasi
pengetahuan,
ketrampilan,
dan
kesenimanan dari guru kepada murid. Transpormasi ketiga aspek itu, akan menumbuhkan semangat dan etos kesenian dan kesenimanan (Bandem,2001:21). Dengan demikian, para dalang di masa depan, memiliki nilai lebih dalam mewujudkan komunikasi yang positif, dalam arti bahwa karya seni itu walaupun berisi hal-hal yang kurang disukai dapat diterima baik oleh masyarakat atau penonton tertentu. Karena disadari atau tidak, kesenian dapat memanfaatkan suatu proses atau cara yang sifatnya merobah sikap menolak itu menjadi sikap menerima (sublimasi/pengluhuran) (Djelantik, 1999:62). Penulis berasumsi, bahwa Selama ini disadari atau tidak oleh para seniman, sistem pembelajaran Pedalangan yang ideal sudah termarjinalisasi, metode dan metodologi pembelajaran penititala terpinggirkan, sehingga estetika seni Pedalangan bergerak ke arah kapitalis, pragmatis, ekonomis dan mensubordinatka nilai-nilai tuntunan moral, etika dan spiritualnya. Oleh sebab itu, dengan merepresentasikan teks P-W Dalang-dalang di masa depan diharapkan mampu lebih menempatkan seni Pedalangan pada proporsinya, yaitu sebagai kesenian yang ”adiluhung” dan “utameng lungguh”. Dengan konsep “5T” yaitu; tuntunan, tontonan, tuntutan, tantangan dan tanggung jawab. Secara
umum
proses
pendidikan
pada
hakikatnya
merupakan
pembudayaan. Demikian halnya dengan pembudayaan pembelajaran Pedalangan
230
dan Pewayangan melalui proses belajar mengajar baik formal maupun nonformal. Tatkala
kebudayaandiartikan
sebagai
kerja
perencanaan
berikut
upaya
mewujudkannya agar manusia tetap survival, maka melalui sejumlah mata pelajaran (termasuk ilmu Pewayangan), pada hakikatnya peserta didik secara bertahap memasuki proses penyiapan diri untuk hidup itu, dalam hal ini adalah menjadi seorang Dalang. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana proses pencerahan nilai-nilai dalam diri dan beradaptasi dengan lingkungannya berlangsung. Dengan demikian, sebagai proses pembudayaan wayang substansisubstansi kependidikan yang manifest dalam bentuk pelajaran tertentu seharusnya tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai yang shared di kalangan masyarakat melalui sistem komunikasi, tetapi juga keyakinan, simbol, dan penafsiran-penafsiran terhadapnya. Implikasinya, prinsip “dekatkan anak didik dengan lingkungan wayang, dan jangan mengasingkannya” menjadi penting dalam proses pelaksanaan pendidikan. Karenanya, pemilihan dan penentuan porsi bahan pelajaran yang bersifat lokal dan praktis menjadi imperative (memerintah) yang sudah selayaknya diupayakan, termasuk bagaimana kita mempertimbangkan materi wayang dalam konteks ini. Secara umum motifasi pendidikan yang menempatkan muatan lokal sebagai salah satu isu utamanya dapat diperhitungkan sebagai upaya untuk mencari dan mengkonsturk identitas bangsa, yang mungkin saja (sebagian telah) hilang karena proses persilangan dialektis atau karena konfrontasi, asimilasi, dan adaptasi yang telah, sedang dan akan terus terjadi sebagai suatu yang tak terelakkan. Upaya menemukan dan mengkonstruk identitas bangsa yang baru atas
231
dasar identitas lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa diatas
dasar
identitas
daerah-daerah
nusantara
yang
lama.
Dengan
memperhitungkan muatan lokal lewat dan dalam pendidikan seperti digambarkan diatas keniscayaan manusia didik terperangkap dalam situasi menjadi manusia yang terasing dari realitas dirinya, yang “menjadi ada” dalam pengertian “menjadi seperti bukan dirinya sendiri (orang lain)” dapat dihindari. Karenanya, memposisikan wayang (terutama proses pembelajarannya) sebagai muatan lokal dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya lembaga pendidikan seni hendaknya dimaknai dalam keseluruhan konteks humanisasi, liberalisasi, dan transendesi, tiga hal yang hendaknya selalu inheren dalam pendidikan sebagai proses pembudayaan untuk mencapai tingkat pengenalan diri dan lingkungan secara lebih baik. Menggali dan menanamkan kembali budaya wayang sebagai budaya lokal lewat pendidikan formal dan nonformal dapat juga dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya luar. Nilai-nilai yang diturunkan dari tradisi dan budaya wayang mempunyai makna yang strategis dalam membentuk karakter dan identitas bangsa. Harapannya, apabila pendidikan yang kita selenggarakan menaruh peduli terhadapnya, sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif pun berpeluang mendapatkan ruang secukupnya. Kekalahan kita dengan budaya barat yang sudah maju secara ekonomis dan teknologis secara tak terhindarkan telah melanda kita dengan begitu kuat
232
sehingga kita merasa kehilangan sebagian identitas tradisional bangsa. Munculnya keinginan untuk membangun kembali identitas bangsa melalui pendidikan yang memperhitungkan budaya lokal, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan pengaruh budaya lain. Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi ia merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat.
5.2 Makna Estetika Berbicara masalah makna estetika dalam kesenian Bali, berarti tidak bisa lepas dari persoalan kebudayaan Bali itu sendiri. Hal ini disebabkan karena sumber utama dari nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan Bali adalah Agama Hindu itu sendiri. Setiap hasil kreativitas dan aktivitas budaya Bali, termasuk berkesenian, merupakan bagian dari nilai-nilai budaya Bali, terutama nilai-nilai estetikanya. oleh sebab itu nilai-nilai estetika, khususnya nilai Estetika kesenian Bali akan terus bergerak secara evolutif maupun revolutif, sesuai dengan perkembangan pola pikir dan kemajuan sumber daya masyarakatnya melalui daya penyadaran, maupun daya pembelajarannya. Pada dasarnya kebutuhan manusia akan rasa keindahan atau kenikmatan estetis dapat mendorong insan khususnya seniman untuk terus menciptakan objekobjek yang mempunyai nilai estetis. Seperti halnya yang dilakukan oleh Ida Bagus Gede Purwa. Berkat keindahan seni Pewayangan yang ada dalam dirinya, sehingga membangkitkan rasa lango yang ada pada dirinya sehingga beliau
233
mengekspresikannya ke dalam sebuah teks pembelajaran Pedalangan P-W. Dengan demikian, kesenian diharapkan tidak saja dapat membangkitkan rasa nikmat indah bagi pelaku dan penikmatnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah meningkatkan kesadaran budaya masyarakat. Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan atau lango yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Sedangkan masalah rasa keindahan dalam estetika Bali merupakan hal yang paling menonjol untuk diungkapkan dan dijelaskan. Menurut LB. Putu Suamba (2005: 229-230) telah mengupas tentang rasa atau bahwa dalam Natya sastra. Adapun pun rasa-rasa tersebut adalah: Rati (Dr. Somvir disebut: “Sringar” (cinta); Hasya (humor); Karuna (belas kasihan); Rudra (humor); Vira (heroik); Bhayanaka (ketakutan); Bibhatsa (menjijikkan); Adbhuta (kekaguman). Sedangkan Dr. Somvir, menambah satu “rasa” yaitu “santa” (tenang atau damai), sehingga menjadi sembilan “rasa” atau juga disebut “bawa”. Ada beberapa konsep yang kiranya menjadi landasan penting dari estetika Hindu. Konsep-konsep yang dimaksud antara lain konsep kesucian, konsep kebenaran, dan konsep keseimbangan. Dibia (2003:96) menyatakan bahwa pembicaraan mengenai estetika yang bertumpu kepada masalah-masalah rasa, akan selalu mengacu kepada dua sisi yang berkaitan: objektivitas dan subjektivitas. Sisi yang pertama menyangkut realita atau kenyataan dari suatu benda atau objek estetis, sedangkan sisi yang kedua menyangkut kesan atau rasa
234
lango yang ditimbulkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu hasil penilaian estetis yang optimal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi tersebut. Terkait dengan pembelajaran di dunia Pedalangan, maka diperlukan proses pembelajaran yang ideal sehingga melahirkan lulusan yang berkualitas, mandiri, yang mampu memberikan pencerahan estetika dan intelektual kepada masyarakat luas. Jadi, sebagai target dalam LPTS adalah, pertama, pada tataran praktis; dapat memberikan kemampuan kepada lulusannya untuk menerapkan konsep-konsep seni ke dalam karya seninya, dan kedua, dalam tataran teori; memberi kemampuan kepada lulusannya untuk menerapkan konsep-konsep seni ke dalam karya atau kajian ilmiah seninya. Dengan demikian akan ada keseimbangan antara teori dan praktik dalam memahami sebuah karya estetis. Berkaitan dengan itu Howard S Backer, menyatakan dalam teorinya yang menyangkut tentang Estetika sebagai sebuah ilmu dapat digunakan oleh para kritikus untuk menentukan nilai atau makna dari sebuah karya seni, sehingga melahirkan sebuah reputasi sekaligus mempengaruhi sikap masyarakat terhadap karya seni tersebut. Pada dasarnya sebuah karya seni diklasifikasi mengandung nilai-nilai apabila karya itu memiliki ukuran dan standar Estetika yang telah ditetapkan oleh para estetisian. Dari standarisasi itu, suatu objek bisa disebut cantik, artistik, seni, kurang seni atau kurang artistik. Di Bali, properte estetik seperti itu sangat lumrah diucapkan oleh estetikus ataupun estetisian namun dengan ungkapan Bali, seperti pangus, pangid, adung, anut, lengut, lebeng, genggen dan sebagainya yang sering
235
disebut balih-balihan matelek. Kata tengal, matah, angal, mel, guyu dan sebagainya, oleh Dibia dikatakan sebagai balih balihan campah (Dibia, 1995:58). Aktivitas seni Pewayangan Bali, walaupun secara konvensional para pemerhati seni telah memakai pakem yang ada dalam “menghakimi” sebuah karya seni, namun standar dasar “penititala” belum pernah ada. Oleh sebab itu elemenelemen yang digunakanpun berbeda-beda, tergantung selera dan pengetahuan dari estetisian bersangkutan berdasarkan pengalaman dan apresiasinya semata.
5.3 Makna Konservasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:456) konservasi berarti pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan. Dari kata ini kemudian muncul kata konservatif yang berarti bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi lama secara turun-temurun. Konservasi biasanya berkaitan dengan pelestarian warisan budaya dengan lima buah model atau cara penanganan, yaitu: preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan kombinasi antara dua atau lebih. Biasanya restorasi dan rekonstruksi bisa juga dikatakan sebagai satu kesatuan yang disebut dengan reparasi. Adapun arti istilah-istilah tersebut sesuai dengan Piagam Burra (The Burra Charter, 1981, seperti dikutip oleh Semadi Astra (2005:1-2) dalam materi kuliahnya adalah sebagai berikut: Preservasi berasal dari kata preservation yang berarti mempertahankan warisan budaya sebagaimana adanya dan sedapat mungkin menjadikan tetap sesuai dengan aslinya. Selain itu preservasi juga berarti melakukan tindakan
236
preventif atau pencegahan dengan maksud untuk memperlambat kerusakan. Warisan budaya seperti ini banyak dilakukan pada bangunan-bangunan kuno yang telah rusak atau usang, dengan jalan mencarikan bahan-bahan yang sesuai atau mirip, sehingga benda tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah wujud budaya dari ide, gagasan, dan aktivitas masyarakat pada zamannya. Misalnya saja preservasi candi Prambanan, candi Borobudur dan candi-candi lainnya. Restorasi berasal dari kata restoration yang berarti mengembalikan ke keadaan sebelumnya, serta menghilangkan tambahan-tambahan bahan yang ada pada benda itu. Bisa juga dilakukan dengan jalan merakit komponen-komponen yang ditemukan, tanpa memberikan tambahan-tambahan bahan baru. Warisan budaya seperti ini biasanya juga lebih banyak dilakukan pada patung-patung dan candi-candi peninggalan nenek moyang. Biasanya sebelum dilakukan preservasi, sebuah warisan budaya akan dilakukan restorasi terlebih dahulu, namun ada pula warisan budaya yang memang sengaja dibiarkan hanya sebatas restorasi saja untuk keorijinalan hasil karya tersebut. Rekonstruksi
berasal
dari
kata
reconstruction
yang
berarti
mengembalikan sebuah hasil karya budaya sesuai mungkin dengan keadaan yang diketahui sebelumnya, dengan memberikan tambahan, baik dengan bahan-bahan lama atau-pun baru. Dalam hasil sebuah karya seni khususnya seni pertunjukan rekonstruksi banyak dilakukan pada alur cerita, dialog, dan juga pada gerakan tari si pelaku seni yang bersangkutan. Tetapi pada dasarnya kata ini lebih dikenal dan berfungsi dibandingkan dengan istilah lainnya di atas, dan juga sangat lumrah digunakan dalam seni bangunan.
237
Adaptasi berasal dari kata adaptation yang berarti memodifikasi sesuatu agar sesuai dengan penggunaannya dan dapat berfungsi seperti yang diinginkan. Dalam wujud karya seni, fungsi adaptasi ini paling berperan aktif. Misalnya dalam pertunjukan Wayang kulit, setiap pementasan yang berkenaan upacara PancaYadnya, selalu adaftatif, yaitu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi upacara dimana pertunjukan Wayang itu dilakukan. Dengan melakukan berbagai modifikasi sedemikian rupa maka pertunjukan itu dapat berguna sekaligus berfungsi sesuai dengan yang diinginkan oleh penanggap maupun oleh Dalang itu sendiri. Berkaitan dengan penelitian tesis ini, konservasi yang dimaksudkan adalah bukan saja pada pelestarian teks pembelajaran P-W, tetapi lebih mengarahkan pada konservasi pembelajaran yang ada di masyarakat Pedalangan agar dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Hal ini dilakukan bukan bermaksud melakukan penyeragaman pembelajaran, namun lebih kepada tuntunan yang kongkrit tentang pembelajaran itu sendiri, dalam rangka proses belajar mengajar. Jadi untuk menanggulangi reduksionisme nilai-nilai Pewayangan, dan juga
menanggulangi
erosentrisme,
maka
nilai-nilai
Pewayangan
yang
divisualisasikan oleh Dalangnya, perlu dilestarikan dengan jalan konservasi pembelajarannya. Untuk hal tersebut, teks P-W merupakan salah satu yang dapat menuntun tercapainya ke arah itu. Dengan kata lain makna konservasi yang diinginkan di sini adalah pelestarian kebudayaan secara berkesinambungan yang menerima perubahan dan atau pembangunan serta perkembangan ke depan, tetapi bukan secara drastis
238
melainkan secara alami dan terseleksi. Hobsbawm dalam hal ini menyatakan. “tradisi yang ditemukan” menunjukkan ketersambungan (keterhubungan) dengan masa lalu. Ini berarti masa lalu tidak benar-benar ditinggalkan meskipun zaman sudah berangkat sangat progresif (Mudana, 2004:9). Berkaitan dengan itu, pembelajaran Pedalangan sangat perlu direvisi dan dilakukan konservasi sesuai dengan kebutuhan dewasa ini sekaligus menolak halhal yang bersifat menghancurkan, dan lebih mengutamakan keteraturan serta sistematis. Salah satu pembelajaran ke arah itu adalah teks P-W yang memiliki kekhasan tersendiri, dimana selain strukturnya jelas, juga menguraikan elemenelemen yang membangun bentuk struktur teks, dengan jalinan antar elemen yang teratur, sehingga mengakibatkan rasa nyaman, rasa senang bagi pembacanya. Dengan demikian, mengangkat pembelajaran teks P-W yang selama ini terpinggirkan serta menjadikannya sebuah landasan pembelajaran, berarti salah satu nilai budaya sudah terselamatkan melalui konservasi.
5.4 Makna Pemberdayaan Wayang sebagai salah satu seni pertunjukan yang tertua dan masih hidup hingga sekarang kiranya masih relevan untuk ditampilkan dalam era globalisasi sekarang ini, di mana pola hidup dan perilaku serta tatanan masyarakatnya semakin mengglobal yang cendrung materialistis, individualis, dan anarkis. Justru representasi makna-makna pewayangan semakin terasa perlu ketika diketahui bahwa masalah yang paling krusial dari masyarakat modern terletak pada lemahnya ketahanan moral spiritualnya. Pergeseran dari cara hidup sosial menjadi
239
sistem kehidupan yang semakin individualis, perubahan mata pencaharian yang sangat cepat dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri, menyebabkan konsumerisme menjadi motif penting bagi perilaku setiap orang. Sayangnya, kemajuan ekonomi yang sangat pesat dan menggembirakan ini tidak sekaligus diikuti oleh peningkatan kualitas moral, sehingga menimbulkan disintegrasi spiritual. Walaupun pemerintah telah banyak berusaha mengantisipasi krisis moral ini dengan mempromosikan nilai-nilai luhur Pancasila dan agama, hasilnya terlihat belum memadai. Masyarakat masih memerlukan tindakan-tindakan praktis yang dapat menyusupkan nilai-nilai luhur itu ke dalam jiwa setiap orang, sehingga nilai-nilai itu tidak hanya dihafalkan, melainkan menjadi sikap dan prilakunya. Dalam hal inilah seni pewayangan memiliki potensi yang sangat besar untuk membawa jiwa kita kembali pada nilai-nilai luhur itu. Inilah tampaknya mulai disadari oleh banyak pihak sehingga muncul kegiatan-kegiatan seni budaya seperti Pekan Wayang, Sarasehan Pewayangan, Greget Wayang, Festival, ataupun Parade Wayang. Dengan adanya daya penyadaran masyarakat seperti itu, maka akan menumbuhkan daya pembelajaran seni Pewayangan yang tinggi sehingga akan mampu mewujudkan daya pesona estetika yang tinggi pula. Agus Sachari (2002:8) mengenai nilai atau makna Estetika menyatakan bahwa dalam menilai dan mengkaji nilai estetika, tetap harus diposisikan dalam tiga pilar daya kebudayaan, yaitu daya penyadaran, daya pembelajaran, dan daya pesona. Ketiga daya ini hendaknya dapat diberdayakan oleh setiap insan melalui proses yang sangat panjang sehingga mampu mengaktualisasikan tiga wujud kebudayaan, Koentjaraningrat (ide/gagasan, aktivitas, hasil karya) menjadi satu
240
kesatuan atau tritunggal untuk memberdayakan masyarakat demi kemajuan bangsa dan negara. Daya penyadaran berarti menyadari pentingnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai cerminan budaya bangsa dalam rangka lebih memberdayakan sumber dayanya sehingga selain mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas, juga dapat mengadopsi budaya asing secara selektif. Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah peningkatan daya penyadaran melalui ide-ide, konsep-konsep dalam rangka menyadarkan pola pikir diri dan atau masyarakat sekitar akan pentingnya nilai-nilai kearifan yang bermakna bagi kehidupan budaya setempat. Daya pembelajaran berarti menindaklanjuti daya penyadaran itu. Artinya setelah mengetahui dan sadar akan pentingnya makna yang terdapat pada nilainilai luhur budaya bangsa, maka seharusnya para generasi penerus nilai-nilai itu mau mempelajari sekaligus mengembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Hal itu dapat dilakukan dan sangat bijak tanpa menghilangkan makna yang terkandung di dalamnya, sehingga nilai-nilai itu mampu memberdayakan masyarakat pendukungnya ke arah progresif. Oleh sebab itu, nilai pembelajaran (pedalangan) sangat penting untuk ditata kembali melalui landasan penititala yang telah ada. Jadi dengan mengetahui materi dan sistem pembelajaran yang ideal, diharapkan mampu meningkatkan kualitas seni pewayangan di masa depan. Daya pesona yang dimaksud adalah, karya-karya Seni Pewayangan yang dihasilkan dari kedua daya di atas tetap sarat makna sehingga mampu mempesona masyarakatnya baik di kalangan tradisi maupun modern. Dalam hal ini, makna tontonan yang ditampilkan selalu menampilkan nilai seni yang tinggi dengan
241
kandungan estetika yang ideal. Makna tuntunan yang ada di dalamnya pun harus mampu mengimbangi nilai tontonan yang ditampilkan sehingga tuntunan dan tontonan mampu memberikan daya tersendiri baik bagi seniman penyajinya maupun masyarakat penikmatnya. Dengan demikian Seni Pedalangan dan Pewayangan yang adiluhung atau utamenglungguh itu, bukan saja merupakan slogan basi, tetapi benar-benar dapat memberikan makna tersendiri bagi masyarakatnya.
5.5 Makna Inovasi Kesenian, sebagaimana halnya kebudayaan, hidup dan berkembang secara dinamis sesuai perkembangan masyarakatnya. Seni pertunjukan rakyat pada umumnya lebih mudah dan lebih cepat berubah, alasannya adalah karena kesenian ini hidup, berakar, dan berkembang di kalangan rakyat banyak. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat, sekecil apapun, akan mempengaruhi kesenian itu sendiri (Dibia, 1995:53). Hal ini juga terjadi pada seni pertunjukan Wayang Kulit dewasa ini, yang lebih berorientasi pada nilai materialis. Untuk itu, pembenahan di tubuh Pewayangan Bali perlu mendapat perhatian yang serius, yaitu mulai dari penyempurnaan metode dan metodologi pembelajarannya. Hal ini perlu dilakukan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang progresif melalui pendidikan formal maupun non-formal. Munculnya lembaga-lembaga Perguruan tinggi Seni (LPTS) pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat peserta didik melalui proses belajar mengajar kesenian (Bandem,
242
2001:20). Dari lembaga-lembaga formal inilah kemudian muncul karya-karya inovatif yang dianggap sebagai perkembangan pewayangan secara revolusioner. Bentuk-bentuk penyaj ian pewayangan yang telah dimodifikasi sebagai sebuah eksperimen, pertama kali dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa pedalangan STSI dan atau ISI Denpasar yang menempuh ujian akhir (TA). Semua lulusan di lembaga tinggi seni tersebut diharuskan membuat karya komposisi seni baik Jurusan Tari, Karawitan, maupun Pedalangan. Tahun 1988, I Ketut Kodi dan I Dewa Ketut Wicaksana menggarap bentuk inovasi revolusioner dalam Pewayangan Bali bernama Pakeliran Layar Berkembang dengan judul Anugrah, mengambil lakon Arjuna Tapa. Pada dasarnya garapan tersebut menitikberatkan pada proses cerita, teknik penggarapan ruang dan waktu termasuk penciptaan suasana dengan membangun layar yang sangat lebar untuk ukuran Wayang tradisi disertai dengan penerangan lampu elektrik. Makna inovasi yang ditimbulkan dari pakeliran ini, menyebabkan model ini menjadi pioneer bagi akademisi-akademisi berikutnya,
berupaya
mengembangkan
bakat
dan
ketrampilan
serta
kemampuannya untuk terus berkarya. Makna inovasi yang paling penting adalah bagaimana melihat kesenian Wayang di dalam konteks arus globalisasi dewasa ini, menghadapkan kita pada berbagai panorama masa depan yang menjanjikan berbagai optimisme, dan tanpa mengesampingkan pesimisme. Optimisme itu muncul disebabkan globalisasi dianggap dapat memperlebar cakrawala mozaik kebudayaan dan kesenian, yang kini hidup di dalam sebuah pergaulan global, sehingga semakin terbuka peluang bagi penciptaan berbagai bentuk, gagasan, atau ide-ide kebudayaan dan kesenian yang lebih kaya dan lebih bernilai bagi
243
kehidupan itu sendiri. Sedangkan pesimisme itu muncul, mengingat bahwa proses globalisasi dianggap tidak dengan sendirinya menciptakan pemerataan dan kesetaraan dalam setiap bentuk perkembangan, dan dianggap merusak tatanan, atau pakem yang telah ada termasuk kesenian wayang itu sendiri. Daya inovasi dan kreasi pengembangan Pewayangan Bali, telah diaplikasikan ke dalam dua cara yaitu: (1) menambah pembendaharaan jenis-jenis Wayang Kulit; dan (2) memodifikasi bentuk dan cara tradisi yang telah ada sebelumnya. Adapun visi dan makna yang terkandung dalam karya-karya inovatif ini adalah atas dasar keyakinan akan tiga hal penting yaitu: melestarikan seni budaya adiluhung, menggali kesenian yang terpinggirkan, dan mengembangkan kesenian yang terhegimoni. Seniman inovatif pada dasarnya berorientasi progresif yaitu lebih berpikiran ke masa depan, dengan menawarkan berbagai bentuk alternatif. Munculnya Wayang Arja, Wayang Tantri, Wayang Babad, dan Pakeliran Layar Lebar merupakan produk pakeliran dengan format sajian karya yang lebih bersifat inovatif. Format penyajian berbeda, namun prototype Wayangnya mendekati sama dengan wayang tradisi karena merupakan vokabuler yang bersifat konvensional, sedangkan yang baru adalah repertoarnya dengan penggarapan lakon, struktur pertunj ukan maupun iringannya. Jadi, untuk mencermati kondisi masa kini, para Dalang Bali khususnya Dalang akademis berusaha mempertahankan habitat kesenian Wayang dengan daya kreativitas dan mencoba berinovasi dengan hal-hal yang berbau kekinian dengan pertimbangan bisa eksis. Dalang-Dalang ini berkeinginan menumbuh suburkan kegairahan Wayang agar tidak tercabut dan bahkan punah dari generasi
244
kini yang sudah tak begitu tertarik lagi untuk meliriknya. Namun ketika para pencinta kesenian ini berinovasi atau memunculkan model atau bentuk-bentuk baru dengan berbagai macam pembaharuannya, maka muncullah pro dan kontra. Beberapa seniman konservatif yang fanatic memandang bahwa pertunjukan Wayang Kulit sudah sempurna, tidak perlu dikembangkan lagi dan cukup dilestarikan saja, akan tetapi naluri inovatif yang ada dalam diri setiap seniman terus berkembang dan akhirnya menumbuhkan karya-karya inovasi tersebut. Soetarno, seperti dikutip Wicaksana (2005:207 -208) mengatakan bahwa: masalah perkembangan pertunjukan wayang kulit pada hakekatnya meliputi tiga komponen yaitu, konsep estetis, teknik kesenian dan kelompok sosial yang merupakan wadah dimana seni pertunjukan wayang berada. Konsep estetis adalah nilai-nilai keindahan yang menjadi dasar dari suatu ekspresi pertunjukan wayang, serta yang dianut oleh bersama para dalang maupun anggota masyarakat pendukung pewayangan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa nilai-nilai estetis dalam pakeliran sangat terpelihara dan dihormati serta diterima oleh para dalang dan para pendukungnya. Kedua, bahwa perkembangan dunia pewayangan dalam kondisi masyarakat yang bersifat kota yang akan menuju ke masyarakat industri diperlukan teknik berkesenian yang tinggi, atau yang rumit dan canggih, artinya teknik berkesenian yang tidak membodohkan masyarakat bangsa. Misalnya mulai dari pemilihan tema lakon, penggarapan detail jalannya cerita, garapan isinya, iringan pakeliran, tetikesan/sabet dan sebagainya. Teknik yang maju tentu saja memerlukan pemikiran yang matang, fantasi yang hidup, perasaan yang kaya dan intuisi yang tajam. Ketiga, adalah golongan sosial yang menjadi pendukung
245
kehidupan pewayangan. Suatu kesenian sebagai pranata sosial tidak hidup di awang-awang tetapi ada golongan yang menjadi pendukung, pembina, dan penggerak dan sekaligus sebagai konsumen. Dengan demikian inovasi mengandung makna bahwa seorang seniman dalang bebas dalam membuat variasi-variasi apa saja dan dengan sarana tradisi maupun modem namun tanpa mengubah prinsip-prinsip kesenian yang ada di dalamnya seperti ukuran, posisi, maupun proporsinya. Piliang (2005:2, Purnamawati, 2005:317-318) mengatakan bahwa upaya penciptaan keunggulan lokal
adalah
memelihara
dan
mengembangkan.
Memelihara
berarti
mempertahankan bentuk, wujud, ekspresi, konvensi makna dan nilai-nilai lokal seutuhnya. Mengembangkan berarti melakukan berbagai perubahan modifkasi, perombakan, diversifikasi atau bahkan inovasi bentuk, wujud, konvensi, dan nilainilai budaya lokal itu sendiri. Kebebasan berkreasi itu tidak berhenti pada satu titik atau era tertentu. Sepanjang proses berkesenian itu terus bergulir, selama itu kreasi-kreasi baru akan terus ada, arttnya pada suatu era suatu produk seni adalah sebuah kreasi baru. Ketika kreasi baru itu sudah biasa dan tidak baru lagi atau sudah menjadi pola tertentu, maka muncullah kreasi-kreasi yang lebih baru lagi yang pada era berikutnya kembali menjadi tidak baru. Begitu seterusnya (Djelantik, 2004:68). Hal ini disebabkan dan diyakini bersama bahwa kesenian itu tidak pernah lepas dari akar kulturnya yaitu masyarakat pendukungnya yang tidak pernah berhenti untuk berkreasi. Namun kreasi-kreasi itu tidak meminimalis nilainilai atau mengeringkan makna-makna yang ada sebelumnya.
246
5.6 Makna Evaluatif Penilaian terhadap kualitas estetis, juga sering kali ditentukan oleh etika (norma baik buruk) yang berlaku dilingkungan budaya tempat asal seseorang. Kualitas keindahan suatu objek sering kali akan kehilangan makna jika ternyata di dalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada. Oleh sebab itu, dilingkungan budaya tertentu kenikmatan keindahan juga memberikan kesenangan sesuai dengan norma baik-buruk yang berlaku. Dengan demikian diperlukan pemahaman estetika yang mendalam dari para estetisian sehingga benar-benar mampu menciptakan kenikmatan dan kesenangan sesuai dengan norma baik buruk tersebut. Karena di dalam ajaran Hindu maupun Budha ada suatu pandangan ide yang sama, yaitu bahwa dalam pikiran dan gambaran dalam jiwalah yang dapat dikatakan sebagai seni, dan seniman yang sebenarnya. Dalam pandangan Hindu pula kita dapatkan bahwa penggambaran keluar hanya sebagai perwujudan gambaran dalam jiwa, dimana jiwa seniman sendiri telah menjadi satu di dalamnya. Di sini kita dapati bersatunya antara seni dan seniman (Djelantik, 1999:195). Untuk keperluan itu proses pembelajaran sangat menentukan berhasil tidaknya pencapaian kualitas yang diinginkan. Apalagi pembelajaran di dunia Pedalangan yang sarat dengan unsur-unsur seni, sehingga menjadikan pertunjukan Wayang Kulit adalah kesenian yang multi kompleks atau total teater. Oleh sebab itu penguasaan penititala Pewayangan hendaknya lebih diutamakan untuk memberikan dasar-dasar Pewayangan yang kuat dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Namun karena keterbatasan penititala yang ada, maka penulis
247
memfokuskan pembelajaran itu kepada teks P-W, sebagai dasar dalam memaknai pembelajaran Pedalangan yang umum berlaku di masyarakat. Dengan menguasai dasar-dasar inilah, nantinya seniman mampu melakukan evaluasi terhadap sebuah kesenian, dalam hal ini adalah Seni Pewayangan/Pedalangan itu sendiri berdasarkan talenta dan skill sumber dayanya. Karena seiring dengan akselerasi kebudayaan yang cepat, maka sebagai insan intelektual kita senantiasa berusaha untuk mencari dan menentukan kreteria yang objektif, ciri-ciri yang nyata dan jelas bagi setiap pengamat, yang dapat dibahas secara bebas dan terbuka antara kita. Walaupun diketahui bahwa persoalan seni selalu terletak pada faktor subyektif maupun objektif. Gie (2004:49) juga menyatakan bahwa salah satu persoalan pokok dalam teori keindahan ialah mengenai sifat dasar dari keindahan: apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah ataukah hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda itu? Penjelasan terhadap problem ini dalam sejarah estetika menimbulkan 2 kelompok teori yang terkenal sebagai teori obyektif dan teori subyektif tentang keindahan. Seperti diketahui bersama bahwa dalam melakukan penilaian atau memaknai sebuah karya seni tidak cukup kalau kita katakan kesenian itu bagus, bagus sekali, atau sedang, jelek atau jelek sekali. Masyarakat umum menginginkan agar kita mampu mempertanggungiawabkan pendapat kita, dan mampu
memberikan
penjelasan
pertimbangan-pertimbangan
apa
secara
argumentatif,
serta
yang dipergunakan untuk
memberikan sampai
pada
kesimpulan atau evaluasi seperti itu. Ada juga pendapat bahwa pertanggung jawaban itu sama sekalitidak diperlukan. Mereka menganggap sudah cukup
248
menyatakan bahwa “saya sukai karya itu” atau “saya tidak tertarik dengan karya itu”. Penilaian subyektif seperti itu pada intinya menutup segala pertukaran pikiran, karena kecendrungan, suka dan tidak suka, sering berlainan antara sesama manusia dan atas perbedaan itu tidak bisa dilakukan pembicaraan yang bermakna. Makanya pendirian subyektifis seperti itu tidak banyak penganutnya. Jika ditinjau dari segi makna, secara umum teks ini mengandung makna pembelajaran Pedalangan Bali, yang di dalamnya secara implisit terdapat maknamakna yang lebih spesifik seperti; makna pelestarian, makna Pemberdayaan, makna tuntunan, makna kawidalang, dan makna taksu. Pada dasarnya sebuah karya seni diklasifikasi mengandung nilai-nilai apabila karya itu memiliki ukuran dan standar estetika yang telah ditetapkan oleh para estetisian. Dari standarisasi itu, suatu obyek bisa disebut cantik, artistik, seni, kurang seni atau kurang artistik. Di Bali, properte estetik seperti itu sangat lumrah diucapkan oleh estetikus ataupun estetisian namun dengan ungkapan Bali, seperti; pangus, pangid, adung, anut, lengut, lebeng, genggen dan sebagainya yang sering disebut balih-balihan matelek (Dibia, 1995:58). Kata tengal, matah, angal, mel, guyu dan sebagainya, oleh Dibia dikatakan sebagai balih balihan campah. (Dibia, 1995:58).
5.7 Makna Spiritual (ritual) Wayang, walaupun dibuat daripada kulit binatang yang diukir, sebelum dipergunakan dalam pementasan, sudah tentu di plaspas atau disucikan lebih dahulu. Demikian juga halnya dengan alat-alat perlengkapannya yang lain, seperti
249
damar, keliq kropak, dan lain-lain. Upacara juga diadakan pada tiap-tiap hari sabtu, kliwon, wuku Wayang dan juga pada saat dilakukan pementasan. Semua disertai dengan tata aturan yang telah ditentukan, dibarengi dengan keiklasan dan sujud bakti yang tulus. Oleh karena upacara yang dilakukan seperti itu, maka pertunjukan Wayang Kulit dimaknai sebagai sebuah ritual suci yang mampu memberikan taksu kepada pertunjukannya dan wayangnya sendiri dianggap sebagai Sanghyang Ringgit, karena telah mendapat anugrah atau kekuatan Tuhan. Karena itu pula, Dalang beserta Wayangnya dapat melakukan ruwatan dan dimintai air suci dalam sebuah upacara yadnya. Kegiatan DP yang mengandung makna ritual tinggi terlihat pada saat Ki Dalang melakukan ruwatan Sapuleger, yaitu pertunjukan Wayang Kulit yang berkenaan dengan kelahiran seseorang pada saat Saniscara Kliwon Wayang atau secara mitologi bersamaan dengan kelahiran Batara Kala. Sudah barang tentu Dalang yang melakukan ruwatan seperti ini adalah dalang yang sudah disucikan lahir batin yang disebut sebagai mewinten dengan gelar Amangku Dalang atau Empu Dalang. Rota (1990:4-5) menyatakan Sang Amangku Dalang, sebelumnya tentu sudah melakukan suatu upacara “mawinten” (upacara penyucian diri), juga harus selalu mengikuti petunjuk-petunjuk yang sudah ditentukan, selalu sujud dan bakti terhadap Hyang Widhi (Tuhan Hyang Maha Esa), patuh melaksanakan pantanganpantangan tertentu, menghindari berbuat pekerjaan yang tidak terpuji. Dan ada pula Dalang melakukan upacara “mesakapan” (upacara perkawinan) dengan Wayang dan semua perlengkapannya, yang dapat menumbuhkan jiwa kesatuan antara Ki dalang dengan Wayangnya. Dengan demikian DP merupakan tuntunan
250
Pedalangan yang berkenaan dengan konteks spiritual. Purnamawati (2005:57-58) menyatakan DP adalah semacam panduan atau pegangan (hukum, tatacara, kewajiban) yang harus dilakukan oleh siapa saja yang akan beraktivitas memainkan boneka-boneka Wayang di daerah tempat pertunjukan wayang, yaitu para dalang atau yang sedang mempersiapkan diri menjadi dalang, sebagaimana tertera pada wacana pembuka pada lontar DP sebagai berikut: Nihan tutur purwaning wacana DP, wenang inangge de sang hamengku Dalang, ring wong umatakitakimangwayang, kawruhakna kang dalang ring sarira suksma (DP-I) Terjemahan: Ini adalah nasihat dan wacana pembuka dari DP, yang harus dan wajib dijadikan petunjuk atau pegangan oleh orang yang menekuni profesi Dalang, sebagai orang yang mempersiapkan diri mulai memainkan atau mempertunjukkan wayang, dan harus meresap di hati sanubari sang Dalang. Menjadi Dalang adalah sebuah Profesi, artinya sang Dalang telah berketetapan hati menyandarkan kelangsungan hidupnya beserta keluarga dari mendalang. Akan tetapi profesi Dalang tidak sama dengan profesi lain seperti petani misalnya, atau dengan sesama seni lainnya. Oleh sebab itu kesenian ini tidak boleh “diobral” tanpa memperdulikan makna atau nilai yang terkandung di dalammya. I Gusti Ketut Kaler (dalam Rota 1990:4) menyatakan:
251
“..janten senglad pakantennya prade pangringgitane obral campahang, patehang ring kesenian hiburan sewosan (joged, leko, gandrung, lan sapanunggilannya). Prawertine sapuniki ngandapang sanghyang Ringgit, sinonggeh alpaka tulah. Kendatipun semua profesi mempunyai aturan-aturan main, profesi Dalang mempunyai aturan yang lebih spesifik, karena di dalamnya mengandung hal-hal sakral dan adanya kontak dengan Tuhan. Menurut Suparta seperti dikutip Purnamawati (2005:58-59) bahwa Dalang Wayang Kulit adalah simbol dari makrokosmos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit) yang bersumber dari ajaran tattwa agama Hindu. Oleh sebab itu, menurut Supartha lebih jauh, dalam melakukan swadharmanya “sepak terjang” Dalang harus menuruti aturanaturan yang termuat dalam Dharma Pewayangan. Pemahaman dan pelaksanaan Dharma Pewayangan oleh para Dalang adalah sebuah keharusan dan kewajiban, karena kalau menyimpang dari ajaran tersebut akan dikutuk oleh Sanghyang Catur Lokapala, seperti ungkapan berikut: Iti aji harma Pewayangan, wenang sumilihana ring ganalalit mwah ring bhuan(r agung. Yan sira mahyun sudi ring putusaning awayang, palania tan langgana ring jengira Sanghyang Catur Lokapala (DP-1). Terjemahan: Ini adalah ilmu tentang Dharma Pewayangan, wajib dipilih dan dilaksanakan oleh siapa saja dijagat ini. Terutama sekali bagi yang telah
252
menentukan pilihan sebagai Dalang, agar tidak dikutuk oleh Sang Hyang Catur Loka Pala. Suastika (2002:l) menyatakan bahwa profesi dalang di Bali telah lama ditekuni oleh masyarakat. Profesi ini terkait dengan kepercayaan masyarakat yang sangat mempercayai nilai-nilai luhur bangsanya. Profesi itu merupakan salah satu dari sejumlah profesi di dalam masyarakat Bali yang ditekuninya secara turun temurun. Dalang dan pertunjukan Wayang Kulit itu memang sarat makna. Tidak satupun pernik-pernik atau sarana-sarana dalam pertunjukan wayang yang dilakukan dalang yang tanpa makna. Seperti gedebong atau batang pisang, kelir atau layar, blencong atau lampu minyak kelapa sebagai penerangan, dan sebagainya. Sebagai tertera dalam naskan DP bahwa, batang pisang tempat menancapkan wayang adalah simbol tanah, layar sebagai simbol langit atau ruang hampa, lampu/blencong sebagai simbol matahari (gedebong ingaran tanah, klir ingaran langit, damar ingaran surya (DP-1).
253
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan uraian di atas, selanjutnya dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut. Pertama bahwa bentuk pembelajaran pedalangan di Bali baik yang di kalangan akademis maupun otodidak lebih mengutamakan pemakaian pakem (play script) dan dharma pewayangar. Oleh sebab itu, dalam proses ini sering terjadi kepakuman, kejenuhan dan bahkan terjadi stagnasi pembelajaran. Hal ini bisa terjadi karena materi-materi atau bahan-bahan yang harus dipelajari dan diketahui tidak disosialisasikan sebelum melakukan praktik pewayangan. Kedua, literatur-literatur pewayangan yang ada, baik berupa lontar ataupun hasil penelitian atau kajian ilmiah, lebih banyak menguraikan tentang ilmu dan pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang dalang saja. Seperti misalnya harus menguasai sastra, menguasai vokal atau tembang, menguasai cerita, menguasai tari, menguasai musik, menguasai ilmu mistik, filsafat dan sebagainya, tanpa menguraikan bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut secara detail. Oleh karena tidak adanya acuan yang dapat dipakai menuju ke arah itu, maka apa yang harus dipelajari pertama kali, apa yang harus dikenali, dipahami, disadari dan dari mana mulai melakukan pembelajaran tersebut, sehingga tidak tumpang tindih. Dengan mengenali aparatus pewayangan dengan baik, maka kita akan paham mengenai benda-benda tersebut dan menyadari betapa penting dan bergunanya seni pewayangan bagi kehidupan umat manusia,
254
sehingga sangat perlu dipelajari, digali, dilestarikan dan dikembangkan melalui pembelajaran yang baik. Ketiga, dengan melihat kenyataan seperti itu, maka dipandang perlu adanya sebuah acuan atau landasan yang dapat memberikan pelita penerangan dan memberikan arah dalam kebingungan untuk lebih progresif. Adapun landasan itu adalah teks P-W yang merupakan salah satu penititala pewayangan yang dapat ditemukan. Dalam teks tersebut telah diuraikan bagaimana struktur dan sistematika belajar pedalangan yang baik dan benar serta materi-materi yang harus dipelajari oleh seorang calon dalang. Pada masa depan, sangat diinginkan seni pewayangan mampu menjadikan dirinya salah satu pilar pertahanan dan elemen penguat bagi kehidupan masyarakat Bali. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga terkait seperti ISI dan SMK 3 (dulu KOKAR/SMKI) Sukawati Gianyar seharusnya melakukan upaya pembenahan secara terprogram sepanjang tahun. Pembenahan tersebut meliputi: (1) meningkatkan kualitas sistem pengajaran (2) meningkatkan kemampuan para pengajarnya (3) meningkatkan kualitas sarana dan prasarana, dan (4) meningkatkan perlakuan lembaga terhadap ISI Denpasar khususnya Jurusan Pedalangan. Dari seluruh uraian di atas, maka model pembelajaran yang seharusnya diterapkan adalah: Pertama, melakukan pengenalan terhadap pedalangan dan pewayangan melalui menonton, dan lebih baik lagi dengan jalan menjadi tuntutan atau nyekaa (ikut bergabung dalam sebuah group).
255
Kedua, seorang calon dalang hendaknya selalu introspeksi diri sebelum terjun ke dunia ini dengan jalan melihat faktor instrinsik yang ada pada diri sendiri. Apakah mampu duduk sekitar tiga jam dengan aktivitas seluruh anggota badan, apakah memiliki modal suara yang ideal bagi seorang dalang, dan apakah memiliki daya nalar yang baik sehingga bisa menghafal berbagai materi dengan baik dan benar pula. Ketiga, mempelajari dan mencari faktor-faktor eksternal baik yang riil maupun yang abstrak. Yang dimaksud nyata di sini adalah bahwa seorang dalang hendaknya memiliki aparatus pertunjukannya, seperti wayang, gamelan, kelir, blencong, dan sebagainya. Yang abstrak adalah pengetahuan-pengetahuan tentang pedalangan/pewayangan itu sendiri, yang dituangkan dalam bentuk dialog, monolog dan epilog yang dipetik dari kakawin-kekawin. Pengetahuan lainnya adalah menguasai gerak wayan gtetikesan dengan baik pula. Dengan kata lain, variabel variabel yang tersurat dalam teks P-W I seperti menget, suara, madya, ntanoharq, sua-rasa, parwadi, dharmanda, carita wilasa, waca wilasa, cancala wilasa, kranta wilasa, sanjiwa wilctsa harus diketahui dengan baik. Keempat, setelah segalanya dirasakan cukup, seorang calon dalang mulai mencoba sebuah cerita yang disajikan dalam bentuk pakem (play script untuk dapat dipakai pedoman dalam pementasannya. Kelima, sebelum mulai mekebah, seorang calon dalang hendaknya mempelajari dan memahami isi Dharma Pewayangan dan pengetahuan spiritual lainnya sehingga apa yang terkandung di balik pertunjukannya dapat menarik simpati penonton atau metaksu.
256
6.2 Saran Penelitian terhadap pembelajaran pedalangan yang berdasarkan teks P-W I, II, III dengan paradigma bentuk, fungsi, dan makna ini baru pertama kali dilakukan. Dengan demikian, penelitian ini dapat disebut sebagai penelitian awal. Karena itu pula masih banyak hal-hal lain yang perlu diteliti dengan menggunakan berbagai teori sebagai pisau analisis. Sudah barang tentu penelitian ini sangat jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik maupun saran dari berbagai pihak sangat diharapkan. Sangat disadari bahwa penelitian ini sangat terbatas sifatnya karena hanya merepresentasikan pembelajaran pedalangan dengan lima dalang sebagai informan dan dikaji berdasarkan paradigma budaya. Permasalahan yang paling penting untuk dibahas adalah prihal seluk-beluk pembelajaran pedalangan dan pewayangan Bali berdasarkan teks P-W. Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang sistematis, komprehensif, dan progresif, sebagai tuntunan dalam proses belajar dan mengajar. Model pembelajaran seperti itu sering disebut sebagai penititala yang hendaknya terus digali, dilestarikan serta didistribusikan kepada masyarakat khususnya bagi “sang umataki-taki ntangwayang” orang yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi dalang. Sistem pembelajaran dewasa ini yang masih terpaku pada teknis atau praktik belaka, perlu diseimbangkan dengan teori pembelajarannya, yaitu penititala. Karena dengan proses pembelajaran yang baik maka transformasi kemampuan dan keterampilan seni dari guru kepada muridnya dapat dilakukan dengan lebih sempurna lagi. Untuk itu, teks P-W I,II, dan III sebagai salah satu
257
penititala hendaknya dapat dipakai landasan dalam melakukan pembelaj aran pedalangan Bali. Bagi para peneliti berikutnya hendaknya dapat lebih menyempurnakan pembelajaran pedalangan dan pewayangan
Bali
baik
kualitas maupun
kuantitasnya melalui penggalian dan pengembangan penititala. Dengan adanya usaha-usaha progresif, para dalang yang dihasilkan mampu memberikan pencerahan batin bagi masyarakat penikmatnya. Bagi para dalang dan calon dalang hendaknya mampu melakukan proses belajar mengajar dengan baik melalui penguasaan materi yang terkandung dalam panititala. Untuk menguasai materi yang baik proses belajar mengajar bisa dilakukan melalui jalur formal maupun nonformal. Jalur formal, pembelajaran dilakukan di lembaga akademis seperti ISI Denpasar ataupun SMK 3 Sukawati Gianyar. Jalur nonformal bisa dilakukan melalui meguru ajah, nyisia ataupun meguru mebalih. Selain itu sudah barang tentu secara individu terus melakukan penggemblengan diri melalui diskusi, seminar, konsultasi dan membaca berbagai jenis sastra baik ilmiah maupun tradisi.
258
DAFTAR PUSTAKA
Alam Bachtiar, 1998. Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan. Dalam Majalah Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. ______, 1999. Antropologi dan Civil Society Pendekatan Teori Kebu-dayaan. Dalam Majalah Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Alsa, Asmadi. 2004. Pendekatan Kuantitatif & Kualitatif Serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikilogi: Satu (Uraian singkat dan Contoh Berbagai Tipe penelitian. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Adimassana, YB. 2005. Wayang dalam Format Pendidikan Formal. Yogyakarta Kongres Pewayangan, Inna Garuda Hotel l4-18 September 2005. Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis; Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Amir, Hazim.1991. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Anandakusuma, Sri Reshi. 1986. Kamus Bahasa Bali/ Denpasar. CV. Kayumas Agung. Ardika, I Wayan, 2004. Pergulatan Antara Kearifan Lokal dan Globalisasi: Bahan Matrikulasi Studi Magister (S2) Kajian Budaya dengan judul Eksistensi Kearifan Lokat Dalam Era Globalisasi. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Arsana, I Gusti Ketut Gde. 1993. Wayang dalam kebudayaan Bali Perspektif Filosofis, Pendidikan dan Nilai Kemanusiaan. dalam Sarasehan Nasional Wayang Kulit Dalam Rangka Pesta kesenian Bali XV, Tema: Melalui Apresiasi Pewayangan Kita tingkatkan Kualitas Dharma Negara dalam Pembangunan Bangsa. Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 3 Juli 1993 Denpasar. Bandem, I Made dkk. 198 1/1982. Wimba Wayang Kulit Ramayana. Bali: Proyek Penggalian/ Pembinaan Seni Budaya Klasik Dan Baru.
259
_______, 1994. Mengembangkan Lingkungan Sosial yang Mendukung Wayang. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya No. 2TH.2 Februari 1994. STSI Denpasar. _______. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius. _______. 2001. Pendidikan Tinggi Seni (Perihal Fungsi dan Peranannya dalam Masyarakat Bangsa. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya no. 10 TH. IX Januari 2001. STSI Denpasar. Barker, Chris. 2000. Cultural Studies; Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bastomi, Suwaji. 1992. Wawasan Seni. lkip Semarang Press. Beilharz, Peter. 2003. Teori-teori Sosial; Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beratha, Sutjiati. 2001. Pendekatan Komunikatif Dalam Pengajaran Bahasa Bali di Era Global Pada Milenium III. dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya No. 11 TH. IX Asustus 2001. STSI Denpasar. Brook, Peter. 2002. Percikan Pemikiran Tentang Teater Film dan Opera. Yogyakarta: MSPI dan Arti. Brannen, Julia. 2004. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Djelantik, A.A.M. 1993. Peranan Guru Seni Non Formal dalam Masyarakat suku Bangsa. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya Edisi Khus; Februari 1993. STSI Denpasar. _______. 1994. Peran Estetika dalam Perkembangan Kesenian Masa Kini. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya No. 2 TH.2 Februari 1994. STSI Denpasar. _______. 1996. Apakah Ada Pergeseran dalam Estetika Bali?. dalam Mudra Jurnal Seni BudayaNo.4. TH. IV. Maret 1996. Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. _______. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Dibia, Wayan. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. _______. 1995. Dari Wacak Ke Kocak Sebuah Catatan Terhadap Perubahan Seni Pertunjukan Bali. dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 3. TH. III. Maret 1995. STSI Denpasar.
260
_______. 1996. Pragina di Dalam Seni Pertunjukan Bali. dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 4. TH. IV. Maret 1996. STSI Denpasar. _______. 1997. Seni Pertunjukan Turistik dan Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Bali. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya no. 5 TH. V Maret 1997. STSI Denpasar. _______. 1998. Pertunjukan Kesenian di Televisi. Dalam Mudra Jurnal Seni Budaya no. 6 TH. VI Maret 1998. STSI Denpasar. _______. 2004. Seni Pewayangan Bali Dewasa ini; Makalah seminar Dosen Pedalangan dan mahasiswa Prodi ISI Denpasar Dalam Rangka Kegiatan Program Semi-Que Senen, 27 Desember 2004. Jurusan Pedalangan ISI Denpasar. Fajar, Malik A., 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Geria, A.A. Gde Alit. 2004. Kakawin Nilacandra dalam Kebudayaan Bali: Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna. Universitas Udayana: Tesis Program Magister Program Studi Kajian Budaya Program Pascasariana. Gie, The Liang. 2004. Filsafat Keindahan Yogyakarta: PUBIB. Geriya, I Wayan. 2001. Kreativitas dan Ketahanan Kesenian Bali di Tengah Laju Komunikasi Lintas Etnik dan Lintas Bangsa. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya No. 10 TH. IX Januari2001. STSI Denpasar. Ginarsa, Ketut. 1985. Paribasa Bali. Denpasar: Kayumas Agung. Hooykaas, C.1973. Kama and Kala; Materials for study of shadow theatre in Bali. London: North-Holland Publishine Company-Amsterdam. Jirnaya. I Ketut. 2002. Preposisi Arealis dalam Bahasa Bali: Kritik Kebudayaan. Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Poestaka No. 4 Tahun XIII, Agustus 2002. Fak. Sastra Universitas Udayana Denpasar. Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas Dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. _______. 2002. Pengantar Antropologl II Pokok-Pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta. _______. 2003. Pengantar Antriopologi L Jakarta: Rineka Cipta.
261
Kongres Pewayangan. 2005. Makalah Kongres wayang 2005. Yogyakarta: Inna Garuda Hotel 14-18 September 2005. Lembaga Adat Istiadat dan Cerita Rakyat: Ditjen Kebudayaan Dep. P & K. Cabang Yogyakarta. 1958. Adiparwa. Yogyakarta: Spring. Marajaya,I Made. 1996. Dilema Garapan pakeliran baru. STSI Denpasar: Wreta Cita: Majalah Kampus No. 6 Th. III Juni 1996. Mariah, Emiliana. 2005. Pernaharnan Proses Penelitian Dan Metodologi Kajian Budaya. Program Studi (S3) UNUD Denpasar. Mudana, I Gede. 2004. Pengetahuan Lokal dalam Konteks Kajian Budaya dan Epistemologi Relasional. Program Pascasarjana Universitas Udayana: Bahan Matrikulasi Studi Magister (S2) Kajian Budaya Denpasar 2 SID 28 Agustus 2004 dengan tema Eksistensi Kearifan Lokal dalam Era Globalisasi. Mulyono, Sri. 1978. lYayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: PT. Gunung Agung. Murtiyoso, Bambang. 1996. Faktor- Faktor Pendukung Popularitas Dalang. Surakarta: Jagad Pedalangan dan Pewayangan “Cempala” Edisi: Gatotkaca. Munas III Pepadi 19-23 Juli 1996. Murdowo, R.M. Kreativitas. dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 2.TH.II. Februari 1994. STSI Denpasar. Oka, I.B. Pembangunan Bali yang Berwawasan Budaya dalam Mudra Jurnal Seni Budaya. Edisi Khusus: Februari 1993. STSI Denpasar. Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika teori Baru Mengenai Interpretas i. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pitana, I Gde, 1994. Adi Wacana: Mosaik Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (Editor: I Gde Pitana). Denpasar BP. Purwa, Gede Ida Bagus. (tt). Seni Pedalangan Purwa – Wasana I. II. III. Purnamawati, Ni Diah. 2002. Aspek Pemakaian Bahasa Bali dalam Pertunjukan Wayang Kulit Ramoyana Sebuah Studi Kasus terhadap Lakon Kumbhakarna Lina dalam Wayang Jurnal Wacana Ilmiah Pewayangan, Volume 1 No. 1, Desember 2002. ISI Denpasar: Jurusan Pedalangan.
262
_______. 2005. Pertunjukan Wayang Cenk Blonk Lakon Diah Gagar Mayang: Sebuah Kajian Budaya. Tesis Pro gram Pascasarjana Universitas Udayana. Rasona, Atot dan Sumarno, Poniran. 1983. Pengetahuan Pedalangan 2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. _______. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Posstrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Redig, I Wayan, 2004. Budaya Asing di Indonesia dalam Konteks kearifan Lokal: Bahan Matrikulasi Studi Magister (32) Kajian Budaya dengan judul Eksistensi Kearifan Lokal dalam Era Globalisasi. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Rindjin, Ketut. 1987. Pengantar Filsafat Ilmu Dan Ilmu Sosial Dasar. Denpasar: CV. Kayu Mas. Rota, Ketut. 1993. Alternasi: Salah Satu Ragam Tutur Yang Sangat Potensial Dalam Retorika Pertunjukan Wayang Kulit Bali. Edisi Khusus Mudra Jurnal Seni Budaya. STSI Denpasar. _______. 1994. Pertunjukan Wayang Kulit Bali Sebagai Sarana Pendidikan Budi Pekerti: Suatu Kajian Fenomenologis; (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Pedalangan Pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar). STSI Denpasar. _______. 1996. peranan Seni Pertunjukan Bali dalam Menunjang Kehidupan Pariwisata. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya No. 4 TH. IV Maret 1996. ISI Denpasar. _______. 1988. Retorika dalam Pewayangan Bali. STSI Denpasar. Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya. ITB Bandung. Sedana, I Nyoman. 1994. Mitologi Yunani dan Wayang Kulit Bali. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya No. 2 TH. II. Februari 1994. ISI Denpasar.
263
_______. 2002. Kawi Dalang: Creativity In Wayang Theatre A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of The University of Georgia in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree. Athens Georgia. _______. 2003. meningkatkan Nilai-Nilai Komonikatif Pagelaran Wayang. Disajikan dalam Seminar Peningkatan Interaksi Dosen dan Mahasiswa. _______. 2004. 30 Tahun Dinamika Seni Pewayangan: Fakta, Isu, Masalah, dan Perspektif. Orasi Ilmiah Pada Dies Natalis I Dan Wisuda Sarjana Seni II ISI Denpasar: Program Studi Seni Pertunjukan. Senawangi. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid I - 6. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. Seramasara, I Gusti Ngurah. 2000. Sejarah Pewayangan di Bali: Sebuah Renungan. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya no.9 TH. VIII September 2000. I S I Denpasar. Seramasara, I Gusti Ngurah. 2004. Usaha-Usaha Menyelamatkan Wayang Kulit Bctli dalam Goncangan Modernisasi. dalam Wayang Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan Volume 3 No. 1 September 2004. ISI Denpasar: Jurusan Pedalangan. Simpen, W. AB. 1982. Kamus Bahasa Kawi Indonesia. Denpasar: Mabhakti Offset. Soedarso. 1990. Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta: Saku Dayar Sana. Sobur, Alex. 2001. Analisis Tbks Media: Suatu pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Franting. Bandung PTRemaja Rosdakarya. Suamba, I.B. Putu, 2005. Rasa dalam Natya Sastra. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya Volume l7 NO. 2 September 2005. ISI Denpasar. Suartaya, Kadek. 1997. Bila wayang tak Lagi menggigit, Wayang Listrik BaliAmerika, Wayang “Three in One”. dalam Wreta Citta: Majalah kampus No. 7 Th. IV Maret 1997 STSI Denpasar. Suastika, I Made. 2001. Gambaran Tokoh Bima dalam Berbagai Seni di Bali dalam Mudra Jurnal Seni Budaya no. 10 TH. IX Januari 2001. STSI Denpasar.
264
_______. 2002. Dharma Pewayangan; Studi Naskah Yang Dipakai Dalam Profesi Tradisional Dalang di Bali. Program Magister S2 & S3 Kajian Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar. _______. 2005. Pentingnya Pemahaman Nilai Budaya Pada Naskah Sastra Bagi Pembaca Modern dalam Konteks Ajeg Bali. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Sastra Pada Fakultas Sastra Universitas Udayana 8 Oktober 2005. Universitas Udayana Denpasar. _______. dan I Nvoman Kutha Ratna. 2005. Keberaksaraan dan Kebudayaan. Program Studi Magister (S2) dan Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana. Subandia, I Made. 1987. Alih Aksara Lontar Dwijodah, Unit Pelaksana Daerah (UPD) Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali Propinsi Bali Denpasar. Pemerintah Propinsi Bali Daerah Tingkat I Bali Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Sudarko. 2003. Pakeliran Padat Pembentukan dan Penyebaran. Surakarta: Citra Etnika Sudarta, I Gusti Putu. 2003. (Jcap-ucap Tatwa Carita: Gagelaran Seorang Dalam Wayang Jurnal III Ilmiah Seni Pewayangan Volume 2 No. 1 September 2003. ISI Denpasar: Jurusan Pedalangan. Sugriwa, I Gusti Bagus. 1963. Ilmu Pedalangan/Pewayangan. Yayasan Pewayangan Daerah Bali. Sujana, Nyoman Naya, 1994. Manusia Bali di persimpangan Jalan. dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (Editor: I Gde Pitana). Denpasar BP. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni.ITB Bandung. Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Kanisius. Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Kanisius. Suwija, I Ny. 2005. Kamus Anggah - Ungguhing Basa Bali. Denpasar: Sanggar Ayu Suara. Tantra, Dewa Komang. 2005. Metodologi Penelitian II Program Magister (S2) UNUD Denpasar.
265
Tim Inventarisasi Dokumentasi dan Penulisan Pakem (Teks pertunjukan) Aneka wayang Kulit Bali. 2004. Identitas Wayang Kulit Parwa Gaya Buleleng; Inventarisasi Dokumentasi dan Penulisan Pakem (Teks pertunjukan) Aneka wayang Kulit Bali. Dinas kebudayaan propinsi Bali. Tinggen, I Nengah. 1988. Aneka Rupa Paribasa Bali. Rhika Dewata. Walujo, Kanti. 2000. Pola Prilaku menonton Wayang Kulit. Dalam Mudra Jurnal Seni Budaya No. 8 TH. VIII Januari 2000. ISI Denpasar. Welek, Rene & Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Wibisono, Singgih. 2005. Wayang dalam Format Pendidikan Informal dan Nonformal. Yogyakarta Kongres Pewayangan, Inna Garuda Hotel 14-18 September 2005. Wicaksana, I Dewa Ketut, 1998. Wayang Sapuleger: Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya no. 6 TH. VI Maret 1998. ISI Denpasar. _______. 2000. Perkembangan dan Masa Depan Pedalangan/ Pewayangan Bali. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya No. 8 TH. VIII Januari 2000. ISI Denpasar. _______. 2004. Buku Ajar: Pakeliran Gaya baku I (Wayang Kulit Parwa). Prodi Seni Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. _______. 2005. Wayang Kulit Bali Bertahan dalam Tradisi, Bergerak Menghadapi Globalisasi. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya Volume 17 No. 2, September 2005. ISI Denpasar. Widnyana, I Kadek. 2004. Purwa-Wasana Metode Penuntun Belajar Mendalang. dalam Mudra Jurnal Seni Budaya Volume 14 No. I Januari 2004. ISI. Denpasar. _______. 2004. Tri Legawa; Materi Dasar Belajar Mendalang “sang Tumaki-Taki Mangwayang dalam Wayang Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan. Jurusan Pedalangan ISI Denpasar. Yayasan Pewayangan Daerah Bali. 1986/1987. Pakem Wayang Parwa Bali. Denpasar: Proyek penggalian/Pemantapan Seni Budaya Klasik Dan Baru. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
266
INFORMAN
1. Nama
: I Made Sidja
Umur
: 73 tahun
Pekerjaan
: Seniman Dalang, Tari, Karawitan, sastrawan dan Budayawan.
Alamat 2. Nama
: Banjar, Bone, desa Belega, Blahbatuh Gianyar. : I Ketut Muka.
Umur
: 60 tahun.
Pekerjaan
: Seniman Dalang dan sastrawan.
Alamat
: Br. Dajan Rurung, Ds. Batuyang, Batubulan Gianyar.
3. Nama
: I Wayan Nardayana
Umur
: 40 tahun
Pekerjaan
: Seniman Dalang dan Topeng.
Alamat
: Banjar Batan Nyuh, desa Blayu, Marga Tabanan.
4. Nama
I Wayan Nardayana
Umur
40 tahun
Pekerjaan
Seniman Dalang dan Topeng.
Alamat
Banjar Batan Nyuh, desa Blayu, Marga Tabanan.
267
5. Nama
: Ida Bagus Alit Arga Patra.
Umur
: 41 tahun.
Pekerjaan
: Seniman Dalang dan Topeng.
Alamat
: Geria Simpangan, desa Buduk Badung.
268
GLOSARIUM
Amangku Dalang
: Empu dalang
Atur pangaksama
: Kata Sambutan
Dharma pewayangan
: Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pementasan wayang kulit
Dukuh/Pedanda Fiksasi Kekawin
: Pendeta (orang yang dianggap suci) Pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan : Puisi berirama
Katengkong
: Dua orang pembantu dalang
Mewinten
: Dalang yang melakukan ruwatan seperti ini adalah dalang yang sudah disucikan lahir batin.
Pakem balungan
: Sinopsis cerita yang sangat singkat
Pakem gancaran
: Cerita yang berbentuk prosa atau sinopsis, bentuknya lebih jelas dibandingkan pakem balungan
Pakem jangkep
: Sebuah naskah yang lengkap berisi struktur atau satu alur cerita pementasan pewayangan, beserta dialognya.
Pan madya
: Nama sebutan atau panggilan dalam pentas Ida Bagus Gede Purwa
Panititalaning
: Tata cara atau dasar pembelajaran pedalangan
Patitis miwah piteges
: Sambutan dan tujuan
Play Script
: Pemaparan cerita secara ilustratif atau garis besar
Play Writer
: Penulis naskah
269
Saniscara Kliwon Wayang
: Mitologi bersamaan kelahiran bhatara kala atau hari yang sangat disakralkan dalam agama Hindu yang berkaitan dengan wayang
Sapuleger
: Pertunjukan wayang kulit yang berkenaan dengan kelahiran seseorang pada saat saniscara kliwon wayang
Taksu
: Kekuatan dalang atau inner power
Wali
: Berkaitan dengan upacara agama Hindu
Yadnya
: Korban suci atau persembahan
uara
: menekankan pada kekuatan dan kemampuan ver-suara.
Menget (ingatan)
: kemampuan menghafal calon Dalang harus di atas rata-rata.
Madia (duduk)
: melatih teknik duduk 3-4 jam.
Manohara (melodi)
: melatih nada melalui tembang-tembang.
Suarasa (merasakan)
: mempelajari lingkungan dengan kekuatan rasa sendiri.
Parwadi (membaca)
: membaca segala berbahasa Kawi.
Dharmanda (kewajiban)
: mengetahui tugas, hak dan kewajiban setiap karakter.
Carita
: menguasai banyak cerita khususnya Ramayana dan Mahabharata.
Waca (bahasa Wayang)
: kalimat-kalimat ini khususnya kakawin.
Cancala gerak Wayang)
: melatih teknik Wayang.
Krama (struktur)
: cara memplot cerita dengan struktur yang seimbang.
270
sastra,
khususnya
diambil
dari
tetikesan/gerakan
yang
sastra
karakter
Sanjiwa (penjiwaan)
: penjiwaan terhadap setiap karakter Wayang.
Jangkep (lengkap)
: naskah/playskrip yang lengkap baik struktur dan dialognya.
Gancaran (prosa)
: cerita dalam bentuk prosa tanpa struktur pertunjukan.
Balungan (tulang)
: cerita yang diuraikan secara garis besarnya saja.
Papunggelan (dipotong)
: struktur cerita (keluar Wayang) yang telah dipotong.
Ngalengkara (ucapan)
: struktur cerita dengan tandak, ucapan sesuai karakternya.
Ngarahina (vokal khusus)
: vokal dan gerak Wayang sesuai dengan iringan musik.
Mantra
: dipakai sebelum, saat dan sesudah pertunjukan.
Pawintenan (Penyucian)
: dilakukan sebelum terjun ke dunia Pedalangan.
Amariwreta (memelihara)
: menyayangi, mengenal, memelihara sarana Pertunjukan
Susila (etika)
: aturan konvensional bagi seorang Dalang.
Tandak Rerambangan
: materi vokal yang dihapal, dikutip dari sastra.
271