ILUSI TUHAN DAN TUHAN TANPA AGAMA (Deskripsi Kritis pemikiran Ludwig Feurbach dalam rangkah pembacaan kembali Tuhan dan Agama) Tuhan bisa menjadi sebuah topik yang tak bosan-bosannya dibicarakan sepanjang zaman. Semakin melebar dari itu adalah isu seputar Tuhan yang telah diinstitusikan dalam agama formal manusia. Agama yang berada dalam ranah privat menjadi tidak segan-segan dicuatkan dalam dunia publik dengan diskusi yang alot dan terbuka. Namun ada bahaya fanatisme ketika apa yang diperbincangkan tidak sesuai dengan kenyataan beragama yang dianutnya.. Kenyataan ini membawa kemarahan yang luar biasa. Kemudian kita bertanya, mengapa kita begitu mudah terusik ketika ada yang berusaha mengganggu suasana tertidurnya dogmadogma yang sudah sekian lama dijaga dan dipegang sebagai kebenaran? Adakah agama itu lahir untuk didiamkan dan tidak dikritisi? Adalah Ludwigh Feuerbach telah menembus kemapanan dogmatik yang mensistematisir keberadaan Allah dalam sistem berpikirnya yang sangat antropomorfistis. Seperti apa pemikirannya dan apa latar belakang sehingga melahirkan sistem berpikir yang oleh begitu banyak orang sangat berbau ateistis itu? Dan bagaimana kita mengkritisi pemikirannya serta di manakah posisi agama dewasa ini dalam ungkapan kritis Feuerbach itu? Tulisan ini coba mengkaji beberapa pertanyaan ini.
Sejenak Bersama Feuerbach Pertama-tama kita perlu mengenal asal usul pemikiran genius Feuerbach berasal. Dia sesungguhnya terpukau dengan pemikiran Hegel tentang kesadaran Roh dan dari Hegel, dia membuat satu hipotesa baru yang cukup kritis untuk melawan cara Hegel mengerti realitas absolut yaitu Tuhan. Ada yang beranggapan bahwa filsafat sebenarnya sudah mati di tangan Hegel. Sesudah Hegel tidak ada lagi pemikir yang segenius beliau. Anggapan itu kemudian ditepis oleh kenyataan di mana lahir beberapa filsuf baik sebagai pendukung maupun yang bertentangan dengannya. Salah satu yang bertentangan dengan Hegel adalah Feuerbach. Feuerbach memutar balik sisi idealisme Hegel menjadi patron yang materialis. Menurut Hegel, dalam kesadaran manusia, Tuhan mengungkapkan diri. Kita bisa saja berpikir dan berkehendak menurut selera kita, tetapi di belakangnya “roh semesta” mencapai tujuannya . Manusia diibaratkan sebagai layang-layang dan Roh semesta adalah si anak kecil yang memegang ujung tali layang-layang itu. Layang-layang itu bisa saja bebas ke mana saja dan mandiri, namun penguasa tunggal layang-layang itu menguasai dia sedemikian sehingga layang-layang itu tetap menjadi milik si pemain layang-layang. Jadi, roh semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya tetapi berada di belakang layar dan para pelaku yaitu manusia tidak sadar bahwa mereka dikuasai olehnya . Gagasan inti Hegel inilah yang menjadi sasaran kritik Feuerbach. Seolah-olah yang nyata itu adalah Allah sedangkan manusia adalah layang-layangnya. Padahal yang nyata itu manusia. Bukan manusia itu pikiran Tuhan, tetapi Tuhan itu adalah pikiran manusia . Manusia adalah subyek itu sendiri dan dia ada dalam dirinya sendiri. Namun manusia bisa mengojektifasikan
dirinya sedemikian rupa. Manusia melalui kesadaranya bisa keluar dari dirinya yang otonom dan melihat dirinya sebagai obyek. Hal inilah yang mengawali pergulatan Feuerbach ketika merefleksikan adanya Tuhan dalam hidup manusia. Melalui pikirannya, manusia bisa berkreasi tentang sesuatu yang lain di luar dirinya yang pada saat yang sama seolah-olah apa yang diciptakan melalui pikirannya itu ada sebagai yang otonom dan terpisah dari diri manusia yang otonom bahkan melampaui kediriannya . Untuk memahami pemikirannya, kita harus menelitinya dalam tulisannya sendiri. Dalam bagian awal bukunya yang berjudul “ Essence of Christianity”, dia menulis demikian “Religion has its genesis in the essential difference between man and the animal – the animals have no religion . Di sini dia membedakan manusia dan binatang dalam tataran religi. Kalau kita berpijak pada filsafat Aristotelian yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk berpikir , maka sangat koheren untuk menjelaskan perbedaan itu. Tuhan yang bertahta dalam agama-agama manusia hanyalah hasil pikiran manusia. Melalui pikirannya, manusia bisa mengobjektifasikan dirinya menjadi Tuhan. Walaupun Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan sebagai hasil kreasi manusia melalui proses imajinasi. Binatang tidak bisa berpikir atau berimajinasi, maka dia tidak bisa menciptakan agama. Kegiatan berpikir atau berimajiansi dalam terminologi Feuerbach diringkas dalam terminologi kesadaran (consciousness) . Hanya manusia yang bisa membangun dan menciptakan kesadaran. Kesadaran religius baginya adalah kesadaran yang tak berhingga atau kepada sesuatu yang tak terhingga (consciousness of the infinite). Hal inilah yang mendasari penulis untuk mengawali tulisan ini dengan sepenggal lirik lagu ‘Imagine” karya John Lenon. Apa yang disebut surga (heaven) sebagai tempat berdiamnya Tuhan dan menjadi tempat peziarahan terakhir manusia yang lulus verifikasi dengan predikat baik hanyalah bayangan saja. Menurut Feuerbach, hakikat manusia adalah rasio, kehendak, dan hatinya. Rasio, kehendak, dan perasaan ini dapat diidealisasikan sampai tak terhingga.sehingga menjadi sesuatu yang disebut Tuhan. Dalam agama kristen idealisasi itu jelas. Tuhan memiliki atribut mahatahu, mahabaik, dan kasih (hati sempurna). Apa yang disebut hakikat Tuhan tidak lain adalah hakikat manusia itu sendiri . Mengapa? Dia sebagai hakikat manusia karena sebenarnya apa yang diatributkan itu merupakan atribut yang diimajinasikan manusia sendiri. Tepatnya hakikat Tuhan itu tidak lain adalah hakikat manusia yang sudah dibersihkan dari macammacam keterbatasan atau ciri individualnya lalu dianggap sebagai kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia . Ketika Tuhan itu merupakan hakikat manusia yang diabsolutkan, maka Tuhan adalah hasil proyeksi diri manusia. Tindakan proyeksi itu bisa dijelaskan demikian. Manusia dalam dirinya sendiri memiliki kekuatan-kekuatan yang hakiki seperti berpikir tentang kesempurnaan, menghendaki kebaikan, dan mengalami cinta. Semua kekuatan hakiki manusia itu serba terbatas dan tidak sempurna, maka dia membayangkan adanya kekuatan yang memiliki itu secara tak terbatas . Di sini menjadi jelas, Allah itu hasil kreasi kreatif manusia untuk menutupi keterbatasannya. Tetapi dia tidak berjalan sendirian. Usaha ini berlaku dalam tatanan sosial yang lebih luas. Karena adanya dorongan kolektif untuk berpijak pada kekuatan hakiki buatannya sendiri, maka dibentuklah sebuah institusi agama.
Feuerbach tidak menafikan adanya agama. Namun bagi Feuerbach, agama bukanlah tanggapan manusia atas pewahyuan diri Allah yang dalam pemikiran John D. Caputto sebagai tanggapan universal atas cinta . Bagi Feuerbach agama adalah institusi buatan manusia dan dalam buatannya sendiri dia teralienasi. Mengapa teralienasi? Manusia teralienasi karena dalam agama, apa yang sebenarnya merupakan potensi-potensi yang perlu direalisasikan manusia justru hilang karena manusia tidak mengusahakannya melainkan mengharapkannya “dari sana”. Bukan berusaha untuk menjadi kuat, baik, adil, mengetahui sendiri, ia justru mengasingkan sifat-sifat itu kepada Tuhan sebagai yang mahakuat, mahabaik, mahaadil, dan mahatahu . Singkatnya, manusia tidak berusaha untuk mencapai keutuhan dan kesempurnaan hidup, sebaliknya ia mengharapkan keutuhan dan kesempurnaan hidup itu di surga. Manusia semakin terbius oleh bayangannya sendiri dan melupakan kenyataan bahwa ia sedang bergulat dengan masa kini. Ia lebih mengidolakan masa yang akan datang. Keselamatan di masa yang datang lebih istimewa dan diutamakan daripada keselamatan dan keutuhan hidupnya di masa kini. Dia menetapkan lokus dan fokus hidupnya di masa yang akan datang . Manusia harus mendekonstruksi agama agar melalui agamanya, ia bisa merealisasikan potensi-potensi hidupnya di masa kini. Dengan demikian, teologi haruslah menjadi antropologi .
Catatan Kritis Atas Feuerbach Gagasan Feuerbach tentang Tuhan sebagai proyeksi diri manusia sangatlah sistematis dan terbilang cemerlang. Dia tidak hendak memberikan negasi adanya Tuhan tetapi memberikan verifikasi adanya dalam cara berpikir yang berbeda dari konsep agama-agama besar secara khusus adalah konsep kristen. Sistem berpikir ini memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan sistem berpikir ini terletak dalam nilai hadirnya agama bagi kehidupan manusia. Agama itu ada untuk memanusiawikan manusia dan surga yang diangankan itu bukanlah sebuah tanah terjanji yang nun jauh di sana serta menjadi hiper-realitas yang tak terjangkau rasio dan indra manusia. Surga hendaknya diciptakan di bumi. Surga itu harus ada di dunia. Lebih dari itu, dalam agama manusia bisa melihat siapa dia, misalnya bahwa dia berkuasa, berbelaskasihan, dapat saling menyelamatkan dan sebagainya. Ia begitu terkesan oleh proyeksi itu sehingga ia menganggapnya sebagai realitas yang mandiri . Namun ada bahaya bagi manusia yaitu dia begitu terpesona dengan hasil imaginasinya itu dan menyembah itu sebagai yang absolut dalam dirinya sendiri. Kemudian manusia takut dengan ciptaannya sendiri. Ketika manusia takut, ia kehilangan otonomi hidupnya sendiri. Dalam hal ini saya sangat setuju dengan Feuerbach. Dan itu pun mengandaikan bahwa apa yang kita pikirkan tentang Tuhan seperti adanya Tuhan. Mungkin saja apa yang kita sistematisirkan bukanlah Tuhan yang sesungguhnya tetapi Tuhan yang kita bangun dalam sistem berpikir kita. Titik lemah dari Feuerbach terletak dalam usahanya mensistematisir Tuhan ini. Saya sangat terkesan dengan pola kesadaran religius agama Hindu. Mereka mengatakan bahwa Tuhan itu “Neti-Neti” yaitu bukan ini dan bukan itu. Setiap kita berbicara tentang Tuhan, kita tidak berbicara tentang Dia karena Dia tidak cukup untuk dikategorikan.
Sangat manusiawi kalau kita berbicara tentang Tuhan. Namun apakah yang kita bicarakan mengena Subyek yang sesungguhnya? Namun sebagai pemikir, kita bebas berpikir apa saja sejauh hal itu memiliki alasan yang secukupnya ( Sufficient reason) untuk melegitimasi bahwa hal itu benar. Namun, Feuerbach jatuh dalam antropomorfisme. Antropomorfisme adalah atribusi karakteristik manusia ke makhluk bukan manusia atau yang melampaui . Budi kita merumuskan adanya Tuhan seolah-olah sama seperti ketika kita merumuskan kesadaran manusia. Dan tanpa merujuk kepada siapa pun, padahal Tuhan yang dibicarakan itu adalah ada sebagai Dia atau sesuatu yang lain yang lepas dari karakteristik manusia. Tuhan tidak mungkin didefinisikan manusia, karena pendefinisian hanya akan membuat Tuhan yang besar itu teredusir dan mati. Dia teredusir dalam kerangka berpikir manusia dan mati dalam dogmadogma agama .
Feuerbach dan Agama-Agama kini Gagasan Feuerbach tentang Tuhan dalam bingkai antropologi kemudian mengantar saya untuk membaca kembali kehadiran agama-agama wahyu dewasa ini. Agama wahyu yang saya maksudkan adalah tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam yang sepanjang sejarah terjerumus dalam konflik kepentingan. Kalau Agama itu menjadi wadah untuk menampung dan menghadirkan realitas absolut yang dipadang sebagai Maha baik, mengapa kenyataannya justru berbanding terbalik dari hal itu. Agama bukannya menawarkan dan menciptakan kedamaian (Surga) di bumi, malah menjadi pemicu lahirnya peperangan dan ketidakadilan (neraka). Agama ada untuk menawarkan keutuhan hidup. Ketika agama memiliki doktrin tentang surga, neraka, malaikat dan semua itu diletakkan pada moment yang akan datang (konsep eskatologis kristiani), manusia lupa bahwa surga itu harus mulai ada di dunia, neraka sebenarnya sudah muncul letupannya di dunia, dan manusia sebenarnya sudah menjadi malaikat bagi dirinya sendiri. Manusia kemudian berpura-pura menjadi baik dengan harapan agar mendapat upah dengan masuk surga dan tidak terlempar ke neraka serta dipapah oleh malaikat-malaikat. Ketika Tuhan teredusir dalam dogma-dogma agama, manusia kemudian memandang Tuhan yang dibakukan dalam dogma itu sebagai kebenaran absolut. Padahal setiap agama menawarkan kebenaran dalam versi yang berbeda dan sifatnya bukan absolut tetapi terbuka bagi suatu kemungkinan untuk dibaca ulang karena kebenaran itu bukan tunggal tetapi majemuk. Ketika Tuhan yang dirumuskan dalam dogma itu dibaca kembali, muncul penolakan sporadis dari pihak-pihak yang sangat fanatik dengan Tuhan yang terumus dalam dogmanya. Yang dibela adalah agamanya bukan Tuhan. Dan memang Tuhan tidak bernilai untuk dibela . Pikiran manusia yang infantil dan picik kemudian memusuhi orang lain karena membela Tuhan yang dirumuskan dalam dogma agamanya. Agama seharusnya tanpa agama. Pernyataan ini hanya ingin melampaui tradisi dan institusi agama dan membebaskan pengalaman religius manusia dari keterbatasan tradisi dan institusi agama yang memiliki doktrin khas tentang Tuhan. Penutup
Ketika saya berusaha menghadirkan kembali sosok Feuerbach di masa kini, saya membayangkan betapa tragis nasib beliau ketika berhadapan dengan fanatisme agama dewasa ini. Dia mungkin diberi hukuman eks-komunikasi seandainya dia seorang katolik, dikenakan hukuman cambuk dan dijerat dengan fatwa haram atas karyanya jika dia seorang muslim. Namun, pemikiran Feuerbach mengantar manusia beragama untuk terus berefleksi tentang diri dan agamanya. Bagi saya, pemikiran Feuerbach sangat cemerlang untuk menciptakan dunia yang humanis. Agama hendaknya memanusiawikan manusia dan menumbuhkan kesadaran manusiawi dalam berelasi dengan realitas yang lain seperti alam. Atau dalam bahasa Eko Darmawan, agama mengemban tugas yang berat untuk membangun peradaban dunia agar berwajah kosmos daripada khaos . Tapi, mengapa kenyataan berbicara lain? Agama justru menjadi biang kekacauan? Sebuah riset mengatakan bahwa kekacauan terbesar dunia kini disebabkan oleh fanatisme agama yang berlebihan. Lalu pantaskan agama itu ditiadakan? Meniadakan agama sama sekali justru tidak menjawabi persoalan. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana setiap penganut agama itu hidup dan menghayati agamanya secara otentik. Islam menghayati keislamannya, kristen juga demikian, pun ateis juga demikian. Tuhan sebenarnya tidak pernah bermimpi adanya agama-agama untuk mengkultiskan keberadaanya. Agama ada sebagai hasil kesadaran kolektif manusia. Manusialah yang membentuk adanya institusi agama. Agama itu lahir dari reaksi manusia untuk menanggapi kehadiran realitas yang lain. Realitas yang lain itu adalah Tuhan dalam bahasa teisme dan sebagai realitas absolut dalam bahasa ateisme dan para filsuf. Agama masih perlu dipegang sebagai penyeimbang kekuatan sekuler.
DAFTAR PUSTAKA
Audifax. Semiotika Tuhan. Yogyakarta: Pinus book publiser, 2007. Caputto, D John . Agama Cinta Agama Masa Depan (terj. Martin Lukito Sinaga) . Bandung: Mizan, 2003. Darmawan,Eko. Agama itu bukan Candu. Yogyakarta: Resist Book,2005. Harvey, A Van. Feuerbach and the Interpretation of Religion. Cambridge: University Press, 1997. Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia, 2007. Raines, R. John. Marx On Religion. Amerika: Temple University, 2002. Suseno, Frans MagniZ. Pemikiran Karl Marx: dari sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta:Garamedia, 1999
Sumber Internet Ludwig feuerbach, The Essence of Christrianity (http://www.marxists.org/reference/archive/feuerbach/works/essence/ec01_1.htm) sabtu 23 Oktober 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Antropomorfisme, diakses hari Jumat, 29 Oktober 2010.
dikses,