PERANAI\I ORANG TUA DALAM PENGEMBANGAN
KECERDASAN EMOSIONAL DAN SPIRITUAL ANAK (Studi Kasus di Lingkungan RT.004 RW.01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara )
Diajukan Kepada Fakultas
ff*rrah
dan Keguruan
(FITK)
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.D
l rln
trn t Oleh :
Klairatul Mashfirah 109011000051
JT]RUS$[ PENDIDIKAF{ AGAMA ISLAM FAKT]LTAS ILMU TARBIYAII DAFT KNGURUANT UNTVERSITAS ISLAM I\IEGERI SYARIF HIDAYATT]LLAH
,
JAKARTA t435Ht20t4l0'd
t.__
\-
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01
Kelurahan Kamal Muarao Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara) disusun oleh KHAIRATUL MAGI{FIRAH Nomor Induk Mahasiswa 109011000051, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 05 Mei
2014 dihadapan dewan penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar sarjana
Sl (S.Pd.D dalam bidang Pendidikan Agama Islam. Jakarta, 05 Mei 2014
Panitia Ujian Munaqasah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi)
Tanggal
/*y7
Dr. H. Abdul Maiid Khon. M.As NrP. 19580707 198703 1 00s Seketaris (Sekretaris JurusaniProdi) Marhamah Saleh. Lc. MA NIP. 19720313 200801 2 010 Penguji
I
tlf ,otq
Prof. Dr. Armai Arief, MA NrP.19560119 198603 1 003 Penguji
II
pry
Dr. H. Sapiudin Sidiq. MA NrP. 19670328 200003 1 001 Mengetahui:
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah an dan l(esurua Kegu{Uan
,
\
NIP. 19591020 198603 2 001
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Peranan Orang Tua Dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara )
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Sebagai Salah Satu Syarat trntuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
Khairatul Maehfirah 109011000051
Di bawah bimbingan Dosen Pembimbing $kripsi
\ SururinlMA. Dr NIP : 19710319 199803
2 001
JT]RUS$T PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKT]LTAS ILMU TARBIYAH DAII KEGURUAII T]NTVERSITAS ISLAM NMGERI SYARIF HIDAYATT]LLAH
JAKARTA 1435
Hlz0t4Mt
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi ini berjudul Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak di Lingkungan RT. 004' RW. 01' Kelurahan
Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara disusun oleh Khairatul Maghfirah, NIM. 109011000051, Jurusan Pendidikan Agarna Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilxoiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakart4 15 April2014
Yang mengesahkarl Dosen Pembimbing
I{IP:
t9710319 199803 2001
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
Tgl.
: Terbit :
FITK-FR-AKD'088 1 Maret 2010
No.
Revisi: :
01
No.
FORM (FR)
JI. lr. H. Juanda No 95 Cipudat 15412 htdoEda
Dokumen
Hal
1t1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah
ini,
Nama
Khairatul Maghfirah
Tempat Tel. Lahir
Jakart4 30 Okeober 1992
NIM
10901
JurusanlProdi
Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi
Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan
l0000sr
Emosional dan Spiritual Anak di Lingkungan RT. 004,
RW. 01 Kelurahan Kamal Muara
Kecamatan
Penj aringan Jakarta Utara.
Dosen Pembimbing : Dr.
Sururin,llA
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apayang saya tulis. Pernyataan
ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasatr.
Jakart4 15 April2014 Mahasiswa Ybs.
Khairatul Magbfirah
NIM.
t-
109011000051
ABSTRACT KHAIRATUL MAGHFIRAH, NIM 109011000051. The Role of Parents in Improving Emotional and Spiritual Intelligence of Children (a Case Study in the Area of RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara). Emotional and spiritual intelligence are very important for human being. The effort of developing those intelligences must be started from parents because they are the first who are known by their children. The parents are the first school for their children. The purpose of this research is to describe and know the role of parents in improving emotional and spiritual intelligence of children in area RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. This research used qualitative research approach, therefore the method that was used in this research is descriptive method. In addition, in collecting data, the writer used library research and field research. Based on the result of the research that has been done by the writer, it shows that the role of parents and the improvement of emotional and spiritual intelligence of children in the area RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara are bad. In addition, it is still had to be developed. The examples or models that were shown by parents were not appropriate yet with the expectations. Generally, those were caused by parents who are busy for their works, even every parent want to have children with the optimal emotional and spiritual. However, as the parents, to be a good model for their children are still not optimal.
i
ABSTRAK KHAIRATUL MAGHFIRAH, NIM 109011000051. PERANAN ORANG TUA DALAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN SPIRITUAL ANAK (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara). Kecerdasan emosional dan spiritual sangat penting dalam dan bagi kehidupan manusia. Upaya dalam mengembangkan kecerdasan tersebut haruslah dimulai dari orang tua, karena orang tualah yang pertama kali dikenal oleh seorang anak, orang tua merupakan madrasah pertama untuk anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengetahui peranan orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak di lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan penelitian kualitatif dan metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dan di dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research). Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, menunjukkan bahwa peran orang tua dan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak di lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Penjaringan Jakarta Utara dapat dikatakan kurang baik, dan masih perlu ditingkatkan lagi. Keteladanan yang dicerminkan oleh orang tua belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan, hal itu disebabkan karena umumnya orang tua sibuk bekerja. padahal setiap orang tua menginginkan anaknya memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang optimal, namun untuk menjadi teladan yang baik bagi anaknya masih kurang optimal.
i
ii
KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum, wr. wb. Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan rahmat dan kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat akhir dalam menyelesaikan program S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Syukur alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., Tuhan Maha Pengasih, yang tak pernah pilih kasih. Tuhan Maha Penyayang, Yang sayang-Nya tiada terbilang. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada teladan mulia kita Nabi Muhammad saw., yang memandu kita dalam menggapai kebahagiaan didunia dan akhirat, kepada keluarga, sahabat dan kita sebagai pengikutnya yang mendapat syafaat di Yaumil Akhir. Amin. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi. Namun, berkat bantuan dan motivasi yang tak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis berusaha dengan kemampuan yang ada untuk menghasilkan penulisan yang baik dan berguna. Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, MA. Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3.
Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ketua Jurusan PAI.
4.
Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA. sekretaris Jurusan PAI.
5.
Ibu Dra. Sofiah, M.Ag dosen penasehat akademik Jurusan PAI Kelas B.
6.
Ibu Dr. Sururin, MA. Selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan penuh kesabaran serta keikhlasan telah banyak meluangkan waktunya, arahan dan bimbingan dari awal proses penulisan hingga akhir penulisan skripsi ini.
ii
iii
7.
Bapak dan Ibu dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama perkuliahan berlangsung, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi sesama dan membawa keberkahan.
8.
Seluruh staff dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) terutama jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang telah memberikan kontribusi selama penulis menjadi mahasiswa.
9.
Pimpinan dan staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut memberikan pelayanan dan fasilitas untuk meminjam buku-buku perkuliahan dan refrensi untuk skripsi ini.
10. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang tak hentinya berdoa untuk penulis, terima kasih untuk segenap kasih sayang yang tiada berbatas waktu. Bagiku Ayahanda dan Ibunda tercinta adalah permata terindah pilihan Allah untukku. 11. Seluruh keluarga, Kakak, Adik, Encang, Encing dan masih banyak lagi anggota keluarga yang lainya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan baik secara moril ataupun materil. 12. Kawan-kawan seperjuangan di FITK, jurusan PAI angkatan 2009. Khususnya PAI kelas B, Nisrina Nur Amelia (Sisin), Maghfirah Ngabalin (Maghe), Nur Faizah (Oren), Nurdianah (Dhi), Ulfa Nurul Hikmah yang telah memberikan dukungan untuk tetap semangat, terima kasih sudah menjadi teman yang baik untuk penulis. 13. Kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Akhirnya hanya kepada Allah semata penulis berserah diri, memohon dan menyerahkan segala persoalan. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi semua. Penulis menyadari segala kekurangan dan kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dimasa mendatang.
Wassalamu’alaikum, wr. wb. Jakarta, 05 Mei 2014 Penulis Khairatul Maghfirah
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK .......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 7 C. Pembatasan Masalah ........................................................................... 7 D. Perumusan Masalah ............................................................................ 8 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................... 8 BAB II KAJIAN TEORI .................................................................................. 9 A. Peranan Orang Tua ............................................................................... 9 1. Pengertian Peranan .......................................................................... 9 2. Pengertian Orang Tua ..................................................................... 11 3. Peran Orang Tua ............................................................................. 13 4. Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua .......................................... 21 B. Kecerdasan Emosional (EQ) ................................................................ 26 1. Pengertian Kecerdasan Emosional .................................................. 26 2. Esensi Kecerdasan Emosional ........................................................ 29 3. Karakteristik Kecerdasan Emosional .............................................. 32 4. Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional 36 C. Kecerdasan Spiritual (SQ) .................................................................... 39 1. Pengertian Kecerdasan Spiritual ..................................................... 39 2. Karakteristik Kecerdasan Spiritual ................................................. 43 3. Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Spiritual .... 44
iv
v
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 56 A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 56 B. Metode Penelitian ................................................................................ 56 C. Populasi dan Sampel ............................................................................ 58 D. Teknik Pengumpulan data ................................................................... 58 E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 60 F. Instrumen Penelitian ............................................................................ 61 BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................................ 66 A. Deskripsi Data ...................................................................................... 66 B. Analisis Data ........................................................................................ 68 C. Interpretasi Data ................................................................................... 94 BAB V
PENUTUP ........................................................................................... 98
A. Kesimpulan .......................................................................................... 98 B. Saran ..................................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 100 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap anak yang dilahirkan telah memiliki potensi, salah satunya potensi dalam bentuk kecerdasan, baik itu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), maupun kecerdasan lainnya. Dalam Islam, setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah yang dimaksud dapat berupa potensi, sebelum manusia dilahirkan ke dunia, Allah telah memberinya potensi.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak dilahirkan seorang anak melainkan dengan fitrah, maka orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.1 Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional tertera bahwa Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat manusia. Selain itu pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kehidupan manusia kearah yang sempurna. Sehingga pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat 1
Shahih Muslim, juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Araby, t.t), h. 455.
1
2
dalam
rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2 Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, Islam mengupayakan pengembangan seluruh potensi manusia agar berjalan seimbang dan dinamis demi terwujudnya seluruh potensi manusia secara sempurna. Potensi yang dimiliki manusia merupakan kekayaan dalam diri manusia yang amat berharga dari Allah, karena setiap mereka adalah khalifah di muka bumi ini.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah: 30).3 Potensi
atau
kecerdasan-kecerdasan
tersebut
akan
sangat
mempengaruhi kepribadian, bahkan mungkin kegagalan atau kesuksesannya. Namun bukan berarti proses itu semuanya telah usai, tidak dapat diubah dan tidak dapat dipengaruhi. Karena kepribadian seseorang bersumber dari bentukan keluarga, sekolah dan lingkungan. Atau lebih dikenal dengan sebutan tri pusat pendidikan. Orang tua, pendidik dan lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam mengarahkan dan mengembangkan potensi yang telah
2
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Media Wacana Press, 2003), Cet. III, h. 12. 3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, juz 1 (Bandung: Mizan, 2009), cet. 1, h. 7.
3
diberikan oleh Allah pada diri anak tersebut. Kunci pertama dalam pengembangan kecerdasan anak terletak pada lingkungan keluarganya, terutama orang tua. Ada pepatah mengatakan bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, baik buruknya anak tergantung didikkan orang tuanya, karena orang tua adalah madrasah pertama untuk anaknya. Pendidikan dalam keluarga merupakan dasar yang tidak boleh dilupakan. Anak selain bagian dari keluarga, juga merupakan bagian dari masyarakat, yang dipundaknya terpikul beban pembangunan di masa mendatang dan juga sebagai generasi penerus dari sebelumnya. Oleh karena itu, orang tua harus lebih memperhatikan dan selalu membimbing serta mendidik anaknya dengan baik, sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Sebagaimana dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 9, Allah mengingatkan kepada orang tua agar memperhatikan keturunannya.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa : 9).4 Ayat di atas mengisyaratkan kepada orang tua agar tidak meninggalkan anak mereka dalam keadaan lemah. Lemah di sini maksudnya adalah lemah dalam segala aspek kehidupan, seperti: lemah iman, psikis, pendidikan, ekonomi, terutama lemah iman (spiritual). Fenomena yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia saat ini yang masih menganggap bahwa seseorang yang cerdas adalah yang mendapat nilai tertinggi, IQ-nya berada di atas rata-rata. Siswa yang cerdas adalah siswa yang nilai raportnya tinggi. Sementara sikap, kreativitas, kemandirian, emosi dan spiritualitasnya belum mendapat penilaian yang proporsional. Sehingga keyakinan umum di masyarakat bahwa jika anak mereka mendapat nilai A, 4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, juz 4, (Bandung: Mizan, 2009), cet. 1, h. 79.
4
maka mereka akan meraih gelar yang baik dan mendapat pekerjaan yang layak, dengan gaji yang memuaskan yang akan menjamin keberhasilan dan kebahagiaan sepanjang hidupnya. Paradigma tersebut masih dapat ditemukan saat ini, dan itu bukan karena kebanyakan orang masih berpikir dengan cara lama, tapi juga karena memang paradigma dan sistem evaluasi pendidikan belum beranjak dari paradigma lama dan cara berpikir positivistik.5 Jika paradigma dan hal ini terus terjadi di dalam pendidikan Indonesia, apa yang terjadi di kemudian hari?. Orang tua tentu menginginkan anaknya dapat menjadi pribadi yang unggul, tidak hanya cerdas secara intelektualnya saja, melainkan cerdas secara emosional dan cerdas secara spiritualnya. Cerdas secara intelektual tidak bisa dijadikan parameter untuk menentukan tinggi-rendahnya kecerdasan manusia dan intelektual bukanlah satu-satunya penentu sebuah keberhasilan. Baru-baru ini mitos itu telah dipatahkan oleh Daniel Goleman, ia mengatakan bahwa keberhasilan siswa tidak hanya ditentukan oleh IQ melainkan juga ditentukan oleh EQ. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya, agar dapat mengungkapkannya secara selaras melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.6 Anak yang memiliki EQ tinggi lebih mampu mengenal emosinya sendiri, lebih mampu secara bijaksana menentukan sikap dan mengambil keputusan; lebih mampu mengendalikan emosi diri agar dapat terungkap dengan seimbang dan selaras; lebih mampu memotivasi diri lebih tekun dalam menghadapi frustasi, lebih tampil menyelesaikan konflik dan mengatasi stress sehingga kemampuan berpikirnya tidak terganggu dan sekaligus cukup berkonsentrasi terhadap berbagai materi pelajaran yang diterimanya. Anak tersebut lebih mampu berempati, peka terhadap perasaan orang lain, lebih peduli pada keadaan disekitarnya. Dengan demikian lebih 5
Agus Effendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfabeta, 2005), cet. I, h. 180. Daniel Goleman, Emotional Intelligence; Kecerdasan Emosional, Penterjemah, T. Hermaya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. X, h. 411. 6
5
mudah bergaul dan berkomunikasi, dapat bekerja sama dengan baik dalam lingkungan sosialnya.7 Selain itu bermunculan lagi istilah baru tentang kecerdasan yang intinya menolak anggapan bahwa IQ bukanlah sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur kecerdasan manusia, seperti SQ (Spiritual Quotient) atau yang lebih akrab dikenal dengan kecerdasan spiritual yang dipopulerkan oleh Danah Johar dan Ian Marshall. Danah Johar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah kecerdasan jiwa, yaitu kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh.8 SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi seorang manusia. Kecerdasan spiritual (SQ) juga memungkinkan diri menyatukan halhal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain. SQ juga membantu menjalani hidup pada makna yang lebih dalam; menghadapi baik dan jahat, hidup dan mati, serta asal-usul sejati dari penderitaan dan keputus-asaan manusia.9 Ketiadaan kecerdasan spiritual bisa sangat berbahaya. Karena, bisa saja ketika seseorang memiliki IQ tinggi dan EQ tetapi tidak diimbangi dengan SQ maka bisa terjadi ketimpangan dalam pribadi seseorang dan bisa saja akibat dari ketimpangan tersebut akan berdampak pada lingkungan social. Misalnya orang yang pandai membuat bom atau senjata, ketika IQ-nya tidak diimbangi dengan EQ dan SQ, bom atau senjata tersebut disalahgunakan untuk tindak kejahatan (kriminalitas), seperti fenomena yang bisa dilihat sekarang ini banyak sekali aksi terorisme yang meresahkan
7
Nuraida, Character Building untuk Guru, (Jakarta: Aulia Publishing House, 2007), h. 78. Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2001), h. 135. 9 Agus Effendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21. (Bandung: Alfabeta, 2005), Cet. I, h. 209. 8
6
masyarakat, prilaku bunuh diri dan korupsi yang sudah merajarela kini sudah mewarnainya dan menjadi masalah serius bangsa ini. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap prilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.10 Kecerdasan bukanlah kemampuan genetis yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil pembentukan atau perkembangan yang dicapai oleh seorang individu, dan proses pembelajarannya berlangsung seumur hidup. Upaya pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual perlu mendapat perhatian yang serius dari para orang tua. Karena orang tua adalah pendidik pertama anak sebelum anaknya memasuki pendidikan formal atau sekolah. Orang tua mempunyai posisi sebagai pemimpin keluarga atau rumah tangga. Selin itu juga, sebagai pembentuk pribadi utama dalam kehidupan anak. Kepribadian orang tua, sikap, dan tata cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung dengan sendirinya akan masuk dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.11 Ringkasnya, orang tua merupakan model atau figur bagi anak. Prilaku anak meniru didasari oleh keingintahuan anak yang semakin besar mencobacoba sesuatu sesuai dengan tumbuh-kembangnya.12 Pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak perlu dilakukan oleh orang tua sejak dini. Sebab masa anak-anak inilah masa pembentukan pondasi dan masa kepribadian yang akan menentukan pengalaman anak selanjutnya agar menjadi generasi yang mampu mengembangkan dirinya secara optimal. Beranjak dari apa yang telah dipaparkan di atas, dapat dipahami bahwa orang tua mempunyai peranan penting dalam pengembangan 10
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ), (Jakarta: Arga, 2001), Cet. I, h. 57. 11 Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. XVII, h. 67. 12 Elga Adriana, Tanya Jawab Problem Anak Usia Dini Berbasis Gender, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), Cet. V, h. 128.
7
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anaknya. Berdasarkan hal tersebut, penulis bermaksud untuk mengulas lebih dalam, dan selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “PERANAN ORANG TUA DALAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara)”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut : 1. Adanya paradigma yang mengatakan bahwa kecerdasan intelektual adalah segalanya dan akan membawa keberhasilan serta kesuksesan dalam hidup atau kebahagiaan hidup. 2. Terjadi ketimpangan orientasi pendidikan yag lebih menekankan pada aspek kecerdasan intelektual daripada kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. 3. Adanya ketimpangan prilaku sosial, hal ini akibat ketiadaan atau kurangnya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. 4. Para orang tua lebih mementingkan kecerdasan intelektual, dan anak diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah. Padahal peran orang tua sangat penting dalam pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak khususnya dalam lingkungan keluarga. 5. Masa anak-anak merupakan masa yang paling penting dan baik untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan sebagai pondasi kehidupan dewasa nantinya.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi yang telah dipaparkan diatas, Skripsi yang berjudul: PERANAN ORANG TUA DALAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK, pembatasan masalahnya adalah :
8
Yang pertama, orang tua yang dimaksud adalah orang tua yang memiliki anak di lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Dan anak yang dimaksud adalah anak yang berusia mulai dari 10 sampai 17 tahun. Kemudian mengenai kecerdasan, penulis hanya membahas dua kecerdasan yaitu: Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Karena keduanya sangat berkaitan erat dan penting untuk dipaparkan.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalahnya adalah : Bagaimanakah peran orang tua dalam pengembangan EQ dan SQ anak di lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara?. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis tuliskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Untuk menjelaskan dan mengetahui peranan orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak di di lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Dengan adanya penelitian ini penulis mendapatkan pengalaman baru, memperkaya khazanah ilmu dan pengetahuan yang akan dijadikan modal untuk kelak ikut serta berkontribusi dalam mengembangkan EQ dan SQ anak.
2.
Orang tua, melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan membantu orang tua dalam mendidik dan mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak mereka menjadi lebih optimal.
BAB II KAJIAN TEORI A. Peranan Orang Tua 1. Pengertian Peranan Peranan adalah kata dasar dari “peran” yang ditambahkan akhiran “an”, peran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.1 Peranan menurut Levinson sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sebagai berikut: “peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, dan peranan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.”2 Kata peran setelah mendapatkan akhiran “an”, kata peranan memiliki arti yang berbeda, diantaranya: a) peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa.3 b) peranan adalah konsekuensi atau akibat kedudukan atau status seseorang.4 1
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h.
333. 2
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), cet. IV, h.
269. 3
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), ed. 3, h. 854.
9
10
Menurut Biddle dan Tomas, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, penilaian, sangsi dan lain-lain. Kalau peran ibu digabungkan dengan peran ayah maka menjadi peran orang tua dan menjadi lebih luas sehingga perilaku-perilaku yang diharapkan juga menjadi lebih beraneka ragam.5 Peranan adalah seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.6 Harapan-harapan akan menjadi pertimbangan dari norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan itu ditentukan oleh norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Peranan ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam keluarga. Peranan diartikan sebagai suatu pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri khas semua petugas dari semua pekerjaan atau jabatan tertentu.7 Pribadi manusia beserta aktifitas-aktifitasnya tidak semata-mata ditentukan oleh pengaruh-pengaruh dan proses-proses yang berlangsungg tetapi juga dipengaruhi oleh sejauhmana peranan manusia dalam mempengaruhi proses itu. Berdasarkan definisi di atas, dapat dilihat bahwa peranan merupakan aspek yang dinamis. Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Bila dihubungkan dengan kata “orang tua” memiliki arti bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan oleh orang tua, baik ayah maupun ibu. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan adalah sesuatu yang menjadi bagian atau seseorang yang mempunyai wewenang dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya untuk mencapai tujuan. Peranan alangkah lebih baiknya dilaksanakan oleh 4
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. I, ed. 1, h. 73. Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. V, h. 224. 6 Davit Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 106. 7 Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Bandung: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1975), h. 12. 5
11
individu-individu yang dianggap mampu melaksanakan perannya. Misalnya orang yang berkedudukan di dalam masyarakat, seperti peran guru dalam mengatasi kebodohan, peran orang tua dalam mendidik anak, dan jika suatu peran itu dilaksanakan dengan baik maka dapat mewujudkan kehidupan manusia yang aman dan damai. 2. Pengertian Orang Tua Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah orang tua diartikan dengan: ayah dan ibu kandung, orang-orang tua atau orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli dan sebagainya), atau orang yang dihormati (disegani) dikampung (masyarakat).8 Dalam bahasa Arab istilah orang tua dikenal dengan sebutan “AlWalid”.9 Pengertian tersebut dapat dilihat dalam Al-Qur‟an surat Lukman ayat 14:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.10 Dalam bahasa Inggris istilah orang tua dikenal dengan sebutan “parent” yang artinya “orang tua laki-laki atau ayah, orang tua perampuan atau ibu”.11 Orang tua memiliki arti sebagai orang yang dituakan, dikatakan tua karena berdasarkan kematangan dan pengalaman hidupnya. Menurut para ulama, orang tua adalah pria dan wanita yang berjanji dihadapan Sang Khalik dalam perkawinan untuk hidup sebagai suami istri 8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. I, h. 627. 9 Ahmad Warson Munawwi, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. XIV, h. 1580. 10 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, juz 21(Jakarta: PT. Sinergi Indonesia, 2012), h. 581. 11 Atabih Ali, Kamus Inggris Indonesia Arab, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), cet. I, h. 593.
12
dan siap sedia memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anakanak yang dilahirkannya. Ini berarti bahwa pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan siap sedia untuk menjadi orang tua.12 Menurut M. Nashir Ali menjadi orang tua adalah dua orang yang membentuk keluarga, segera bersiap mengemban (memperkembangkan) fungsinya sebagai “orang tua”. Menjadi orang tua dalam arti menjadi bapak atau ibu dari anak-anaknya, menjadi penanggung jawab dari lembaga kekeluargaannya sebagai satu sel anggota keluarga, dan di dalam keluarga cinta dari ayah ibu dan sanak saudaranya sangat penting untuk membesarkan seorang anak lahir batin. Tanpa cinta dalam keluarga itu, seorang
menjadi
kerdil
lahir-batin,
atau
rusak
dan
timpang
perkembangannya.13 Dari pengertian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa orang tua adalah ayah dan ibu yang merawat dan mendidik anaknya, mereka pemimpin bagi anak dan keluarganya, juga orang tua adalah panutan dan cerminan bagi anaknya yang pertama kali ia kenal, ia lihat dan ia tiru, sebelum anak mengenali lingkungan sekitarnya. Orang tua selain telah melahirkan anak ke dunia ini, orang tua juga mengasuh dan membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, orang tua jugalah yang selalu mendampingi dan membantu anak-anaknya untuk mengenal hal-hal apa saja yang ada di dunia ini, serta menjawab dengan jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh buah hati mereka. Hubungan orang tua dan anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosional anaknya, terutama dasar-dasar kelakuan seperti sikap, reaksi, tingkah laku, agamanya dan dasar-dasar kehidupan lainnya. Orang tua juga merupakan pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab kenalnya seorang anak dengan dunia luar. Maka, setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari sangat dipengaruhi oleh peran orang tuanya. Jadi, orang tua atau ibu dan ayah memiliki peranan
12 13
Kartini Kartono, Peranan Keluarga, (Jakarta: Rinaka Cipta, 2003), h. 37. M. Nashir Ali, Dasar-dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), h. 77.
13
yang sangat penting atas pendidikan anak-anaknya dan sudah jelas pengetahuan pertama yang diterima seorang anak adalah dari orang tuanya. Kini jelaslah bahwa, seorang anak akan menjadi manusia yang baik sangat tergantung pada sifat-sifat yang tumbuh dalam kehidupan keluarga tempat anak tersebut dibesarkan. Kelak kehidupan anak tersebut juga akan mempengaruhi masyarakat sekitarnya, sehingga pendidikan keluarga yang dalam hal ini dilakukan oleh orang tua merupakan dasar terpenting untuk kehidupan anak sebelum masuk sekolah dan terjun kemasyarakat. 3. Peran Orang Tua Orang tua sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak, sebab orang tua merupakan guru pertama dan utama bagi anaknya, orang tua juga sebagai pondasi utama bagi perkembangan pribadi anak. Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.14 Orang tua adalah pendidik utama dan pertama, dikatakan utama karena pendidikan dari tempat ini mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan anak kelak dikemudian hari, dikatakan pertama karena di tempat inilah anak mendapatkan bimbingan dan kasih sayang untuk yang pertama kalinya, dari orang tuanyalah anak pertama kali mengenal dunia, mengenal dasar-dasar pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Karena perannya yang sangat penting maka orang tua harus benar-benar menyadarinya sehingga mereka dapat memperankannya sebagaimana mestinya. Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan tentang empat peran orang tua dalam mendidik anak, yaitu: a. Peran Orang Tua Sebagai Teladan Seringkali anak cenderung memandang orang tua sebagai model dalam melakukan peran sebagai orang tua, sebagai suami atau istri, atau 14
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 2006), cet. VI, h. 35.
14
model hidup sebagai anggota masyarakat,15 oleh sebab itu untuk membawa anak kepada kedewasaan, orang tua harus memberi teladan yang baik karena anak suka mengimitasi kepada orang yang lebih tua atau orang tuanya.16 Orang tua yang soleh merupakan contoh teladan yang baik bagi perkembangan anak, baik jiwa, pribadi, maupun pembentukan prilaku anak. Apabila orang tua membiasakan diri untuk berprilaku dan berakhlak baik, taat kepada Allah, menjalankan syariat agama, serta memiliki jiwa sosial, maka dalam diri anak akan timbul dan terbentuk sifat yang ada pada orang tuanya, karena ia akan meniru dan mencontoh apa yang ia lihat dalam kehidupannya sehari-hari dari tingkah laku orang tuanya.17 b. Peran Orang Tua sebagai Pendidik Orang
tua
juga
berperan
dalam
mendidik
anak
dan
mengembangkan kepribadiannya, karena pada dasarnya pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua. Pendidikan anak secara umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa disadari oleh orang tua, namun pengaruh dan akibatnya amat besar. Karena itulah, suasana keluarga, ketaatan orang tua beribadah, dan perilaku, sikap dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran Islam, akan menjadikan anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga baik, beriman dan berakhlak terpuji. c. Peran Orang Tua sebagai Motivator Motivasi merupakan dasar tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Motivasi adalah unsur penting dalam tarbiyah dan tidak boleh disepelekan. Memberi dorongan kepada anak memainkan peranan penting dalam jiwa, memicu gerak positif konstruktif dan mengungkap potensi dan jati dirinya yang terpendam. Sebagaimana ia dapat
15 16
Kartini Kartono, Op. cit., hal. 28. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal.
155. 17
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. II, h. 49.
15
meningkatkan kontinuitas kerja dan mendorongnya untuk terus maju kearah yang benar.18 Motivasi memiliki peran besar bagi anak sehingga akan terus menerus dilakukan, membantu selalu mengetahui hobi anak-anak, kemampuan dan kekuatan mereka. Diantara motivasi yang bermanfaat adalah memberi semangat kepada anak untuk melakukan hal-hal yang baik yang mengarahkan kepada komitmen dan berpegang teguh kepada nilai ajaran agama, seperti memberi buku-buku Islami, mengajak hadir ke majlis ulama, peryaan hari besar Islam, khutbah dan seminar.19 Sidney D Craig dalam buku “Mendidik dengan Kasih”, menjelaskan bahwa orang tua dapat memotivasi anak dengan berbicara atau bertindak terhadap anak dengan jalan sedemikian rupa agar didalam diri anak tercipta hasrat untuk berbuat sesuai dengan yang diharapkan orang tua.20 Karena dengan dorongan itulah dapat memacu semangat kreativitas anak di dalam mengembangkan sesuatu, terutama dalam menuntut ilmu pengetahuan, sehingga dengan demikian semangat anak bertambah, di samping itu pula ia merasakan bahwa dirinya ada perhatian dan bimbingan dari orang tua. d. Orang Tua Sebagai Pemberi Kasih Sayang Menurut Zakiah Daradjat, “orang tua secara kodrati diberi Allah perasaan kasih sayang dan kemampuan untuk menyayangi serta kecendrungan menolong dan merawat anak”.21 Pada umumnya ibu yang memgang peranan penting terhadap pendidikan anak-anaknya sejak anak itu dilahirkan. Ibu sebagai pendidik dan pengatur rumah tangga, baik atau buruknya pendidikan ibu terhadap anak akan berpengaruh besar terhadap
18
Mahmud Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak,Terj. dari Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Lith Thifli, oleh Hamim Thohari, dkk, (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2004), Cet. 1, hal. 94. 19 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak (Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan Hingga Dewasa),Terj. dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zaenal Abidin, (Jakarta: Daarl Haq, 2004), hal. 383-385. 20 Sidney D Craig, Mendidik dengan Kasih, Terj. dari Raising Your Child, Not by Force but by Love oleh YB Tugiarso, ( Yogyakarta: Kanisius. 1990), .hal. 87. 21 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), cet. II, h. 49.
16
perkembangan dan watak anak. Kelangsungan anak sejak lahir berada di tangan ibu. Kasih sayang orang tua terhadap anaknya merupakan salah satu bentuk pendidikan yang sangat baik bagi perkembangan anak. Sebab anak akan merasakan ikatan batin yang cukup kuat dalam membina hubungan cinta kasih antara dirinya dengan kedua orang tuanya. Dalam syariat Islam pun dianjurkan kepada orang tua, para pendidik dan orangorang yang bertanggung jawab atas pendidikan anak untuk memiliki sifat kasih sayang. Kasih sayang berarti menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan emosi anak, dan mendukung dengan cara yang jelas dikenali oleh anak, yaitu dengan cara melibatkan secara aktif dalam kehidupan emosi anak.22 Berikut akan penulis uraikan mengenai bentuk kasih sayang pada umumnya yang dapat mengembangkan kecerdasan intelegensi dan emosional anak serta spiritualnya. 1) Mendongeng atau Bercerita Untuk Anak Hampir semua anak sangat senang mendengar cerita dan dongeng dari ayah, ibu atau siapa saja. Mula-mula yang paling disenangi oleh anak adalah cerita anak yang menyangkut dunianya sendiri. Kesenangan dan kegembiraan anak mendengarkan cerita dongeng ini hendaknya dimanfaatkan oleh segenap orang tua dalam rangka mendidik anaknya. Sebagaimana dikutip oleh para ahli psikologi dan pendidikan: “anak-anak yang secara teratur didongengi akan memiliki perbendaharaan kata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah mendengarkan dongeng. Mereka lebih pandai dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Adapula menfaat yang penting untuk masa sekolah, anak belajar mendengarkan dengan tekun, dan konsentrasi pada suatu hal”.23
22
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligent Pada Anak, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 29. 23 Alex Sobur, Anak Masa Depan, (Bandung: Angkasa, 1986), cet. X, h. 215.
17
Al-Qur‟an mempergunakan cerita sebagai alat pendidikan seperti cerita tentang Nabi dan Rasul terdahulu, cerita kaum yang hidup terdahulu baik yang ingkar kepada Allah ataupun yang beriman kepada-Nya. Allah telah menceritakan kepada Rasulullah SAW cerita yang paling baik, tentang kejadian-kejadian baik, sebagaimana cerminan bagi umat manusia dan menjadi peneguh Rasulullah SAW seperti yang terdapat dalam firman-Nya: .
. . . .
“Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Q.S. Al-A‟raf: 176).24 2) Pemberian Pujian dan Hadiah Menurut Henry N. Siahan, “pujian yang bersifat konstruktif (membangun) ialah pujian yang jujur dari hati yang tulus ikhlas, wajar, memberikan dorongan dan semangat. Pujian yang bersifat destruktif (merusak) ialah pujian yang berlebih-lebihan, tidak wajar, dibuat-buat dan kadang-kadang pujian seperti ini menjengkelkan”.25 Sebagai ayah dan ibu yang bijaksana harus bersedia membagi waktunya dengan anak. Memuji anak bila ia melakukan sesuatu perbuatan yang baik, dan menunjukkan bahwa mereka ikut khawatir mengenai hal yang ditakutkan anak bila anak merasa lemah dalam suatu pelajaran tertentu di sekolah. Tidak sepatutnya orang tua mengecam
anak,
bahkan
sebaliknya
orang
tua
harus
turut
memperlihatkan bahwa mereka ikut khawatir akan prestasi anak tersebut. Kalau merasakan adanya simpati dari orang tua maka anak mau menceritakan kesulitannya, sehingga orang tua lebih mudah untuk memberikan bantuan kepada anaknya. Setiap anak yang mendapatkan kasih sayang akan merasakan hidupnya lebih bahagia, dan kebahagiaan membantu perkembangan anak. Mereka menjadi lebih mudah menaruh perhatian pada hal di luar 24
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 9, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 233. 25 Henry N. Siahan, Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak, (Bandung: Angkasa, 1991), cet. I, h. 63.
18
dirinya, bersedia memikirkan orang lain, dan yang lebih penting juga mampu menunjukkan simpati pada orang lain. Dalam memberikan pujian dan hadiah setiap orang tua harus bertindak proporsional, jadi orang tua hanya memuji dan memberi hadiah pada anak yang berhasil melaksanakan tugasnya. Di sisi lain pemberian pujian kepada anak tidak terlalu banyak memberi manfaat. Hal ini akan menimbulkan sikap sombong pada diri anak karena ia merasa lebih dari yang lain. Pujian dan pemberian hadiah ini bertujuan memberi semangat dan dorongan kepada anak sebagai apresiasi agar anak mampu menjadi yang lebih baik lagi. 3) Menghargai Anak Menghargai anak dalam setiap tingkah lakunya merupakan dorongan yang akan merangsang anak melakukan hal-hal yang baik untuk dirinya. Tindakan ini juga dapat menanamkan toleransi diantara anak dan orang tua. Orang tua sering kali mengolok-olok anak dalam bentuk apapun, hal ini menyebabkan si anak merasa tidak dihargai. Hukuman, perintah, larangan yang dilakukan tanpa alas an yang masuk akal dan wajar juga menyebabkan anak merasa tidak dihargai. Demikian pula tindakan dan sikap orang tua yang selalu menunjukkan kekuasaan dan kebesaran akan memberikan pengertian pada anak bahwa ia tidak dihargai. Akibat dari hilangnya rasa harga diri itu antara lain anak akan merasa rendah diri, tindak berani bertindak, lekas marah dan sebagainya.26 Empati, merupakan cara yang tepat dilakukan oleh orang tua guna memahami dan menyelami perasaan anak sehingga ia merasa dihargai. Dengan adanya penghargaan dari orang tuanya akan timbul di dalam diri anak rasa percaya diri.
26
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 2001), cet. XXIII, h. 88.
19
4) Menciptakan Komunikasi Antara Orang Tua dan Anak Masalah yang tidak pernah habis dibicarakan orang dalam kehidupan manusia ialah hubungan atau komunikasi antara orang tua dan anak. “Pada hakikatnya, komunikasi yang bisa menguntungkan kedua belah pihak ialah komunikasi timbal balik, yang di dalam komunikasi tersebut terdapat spontanitas serta keterbukaan”.27 Dalam kondisi seperti ini, orang tua akan dapat mengetahui dan mengikuti perkembangan jalan pikiran anak. Orang tua dapat menggunakan situasi komunikasi untuk anak berkembang dan belajar. Sedangkan untuk si anak, pikiran anak akan berkembang karena anak dapat mengungkapkan isi hati (pikirannya), bisa memberi usul dan pendapat berdasarkan penalarannya. Gagal berkomunikasi dengan anak mungkin juga merupakan suatu bentuk penolakan, namun tidak selalu demikian. Barang kali orang tua sibuk, sehingga tidak mau diganggu oleh anaknya, atau lupa bahwa ia mempunyai anak yang memerlukan perhatian. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang tua menyediakan waktu mereka untuk bisa mendengarkan pendapat mereka, dan hendaklah bersikap bijaksana atau berempati untuk menjadi pendengar yang baik untuk anakanaknya. Kasih sayang adalah sesuatu yang indah, suci dan diidamkan oleh setiap orang. Sebagaimana cinta, kasih sayang tidak akan lahir tanpa orang yang melahirkannya. Seseorang tidak akan memperoleh kasih sayang apabila tidak ada orang lain yang memberi. Secara demikian wajar kalau kita mengenal berbagai macam bentuk kasih sayang, semua sangat tergantung kepada kondisi penyayang dan yang disayangi. Dengan bertitik tolak kepada kasus hubungan orang tua dengan anaknya bisa membedakan berbagai bentuk kasih sayang berikut ini:28
27 28
Alex Sobur, Anak Masa Depan, (Bandung: Angkasa, 1986), cet. X, h. 228. Djoko Widagho, dkk., Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 43.
20
a) Suatu bentuk kasih sayang dimana orang tua bersikap aktif sementara si anak bersikap pasif. Dalam hubungan ini orang tua memberi kasih sayang yang berlebihan terhadap anaknya, baik berupa materi ataupun non materi, sementara si anak hanya menerima
saja,
mengiyakan
memberikan respon.
tanpa
sedikit
pun
berusaha
Kondisi semacam ini biasanya akan
menciptkan anak yang senantiasa takut, kurang berani menyatakan pendapat, minder atau dengan kata lain cenderung membentuk sosok anak yang tidak mampu berdiri sendiri. b) Suatu bentuk kasih sayang dimana orang tua bersikap pasif sementara anak bersikap aktif. Dalam bentuk ini si anak mencurahkan kasih sayang kepada kedua orang tuanya secara berlebihan, kasih sayang ini diberikan secara sepihak. Orang tua cenderung mendiamkan tingkah lakunya dan tidak memberikan respon terhadap apapun yang diperbuat anak. c) Suatu bentuk kasih sayang dimana orang tua bersikap pasif sementara si anak juga bersikap pasif. Dalam bentuk ini jelas masing-masing pihak membawa cara hidup dan tingkah lakunya tanpa saling memperhatikan satu sama lain. Suasana keluarga terasa dingin, tidak ada tegur sapa, dan yang jelas tiada kasih sayang. Kecenderungan yang menonjol dalam bentuk ini orang tua hanya memenuhi segala kebutuhan anak dalam bidang materi semata-mata. d) Suatu bentuk kasih sayang dimana orang tua bersikap aktif sementara si anak juga bersikap aktif. Dalam bentuk ini orang tua dan anak saling memberi kasih sayang secara berlebihan sehingga hubungan antara orang tua dan anak terasa intim dan mesra, saling mencintai, saling menghargai, dan yang lebih jelas saling membutuhkan.
21
4. Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua Anak adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang hadir di tengah keluarga atas dasar fitrah. Mereka menjadi sumber kebahagiaan keluarga yang harus dijaga dan dipertahankan kesuciannya oleh kedua orang tuanya demi pertumbuhan kepribadiannya, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).29 Dalam firman-Nya tersebut, Allah swt. memerintahkan segenap orang beriman agar memelihara diri dan keluarganya dengan penuh tanggung jawab agar terhindar dari bahaya dunia dan akhirat. Untuk menindaklanjuti tugas dan kewajibannya, orang tua dituntut menjadi pendidik pertama dan utama bagi putra-putrinya. Anak adalah amanah Allah swt. maka orang tua wajib menjaga keselamatan lahir dan kesucian batinnya. Orang tua pun wajib mengupayakan biaya yang cukup untuk keperluan jasmani anak-anaknya, tetapi yang lebih penting adalah berusaha mencerdasakan anak dan memperbaiki budi perketinya. Dengan kata lain, pola pendidikan orang tua terhadap anak-anak adalah keserasian antara pemenuhan kepentingan dan kebutuhan jasmani dengan pendidikan keagamaan dan keluhuran budi pekertinya.30 Tugas dan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak sejak masa bayi bukanlah suatu usaha yang mudah. Orang tualah yang bertanggung jawab membentuk masa depan anak-anak mereka. Hal tersebut bukanlah soal kecil, karena berhasil atau gagal dalam tanggung jawab ini 29
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Terj. dari Al- Jami’ Lil Ahkam Al-Qur’an, oleh Mahmud Hamid Utsman dan M. Ibrahim Hifnawi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Juz. 28, Jilid. 18, Cet. 1, hal. 744. 30 Aziz Mushaffa, Op. cit., hal. 33-34.
22
berarti membawa pengaruh yang luas, baik dalam lingkungan keluarga itu sendiri maupun kepada masyarakat dan bangsa.31 Sebelum membahas lebih luas lagi, penulis akan mengemukakan beberapa fungsi keluarga yang harus dilaksanakan. Berikut adalah beberapa fungsi keluarga:32 a. Fungsi sosialisasi Fungsi sosialisasi menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. melalui fungsi ini, keluarga berusaha mempersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Dengan demikian sosialisasi berarti melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak. b. Fungsi afeksi Kasih sayang atau rasa cinta merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Pandangan psikiatri mengatakan bahwa penyebab utama gangguan emosional, prilaku, dan kesehetan fisik adalah ketiadaan cinta, yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan yang intim. c. Fungsi edukatif Keluarga merupakan guru pertama dalam pendidikan anak. hal itu dapat dilihat dari pertumbuhan seorang anak mulai dari bayi, belajar jalan hingga mampu berjalan. d. Fungsi religious Fungsi keagamaan ini mendorong semua komponen keluarga untuk berkembang menjadi insan-insan agama yang penuh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Model pendidikan agama dalam keluarga dapat dilakukan dengan berbagai cara: Pertama, dengan menampilkan penghayatan dan perilaku keagamaan yang sungguh-sungguh. Kedua, pengadaan sarana ibadah. 31
Wauran, Pendidikan Anak Sebelum Sekolah, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1977), Cet. 6, hal. 20. 32 Subhan Husain Albari, Agar Anak Rajin Shalat, (Yogyakarta: Diva Press, 2011), h. 19-21.
23
Ketiga, hubungan sosial yang baik antara anggota keluarga dan lembaga keagamaan. e. Fungsi protektif Keluarga merupakan tempat yang nyaman bagi para anggotanya. Keluarga berfungsi melindungi para anggotanya dari hal-hal yang negatif. Dalam masyarakat, keluarga harus memberi perlindungan fisik, ekonomis dan psikologis bagi seluruh anggotanya. f. Fungsi rekreatif Fungsi rekreatif bertujuan memberikan suasana yang sangat gembira dalam lingkungan keluarga. Fungsi rekreatif dijalankan untuk mencari dan mendapatkan hiburan. Keluarga dengan pembagian tugas antara ayah dan ibu tidak ada artinya jika mereka masing-masing jalan sendiri tanpa adanya kordinasi. Menurut Hasbullah, fungsi dan peranan orang tua dalam keluarga adalah sebagai berikut: a. Pengalaman pertama masa kanak-kanak Keluarga adalah pendidik pertama bagi seorang anak untuk mulai mengenal hidupnya. Hal ini harus disadari dan dimengerti disetiap keluarga, bahwa anak dilahirkan di dalam keluarga yang tumbuh dan berkembang sampai anak melepaskan diri dari ikatan keluarga. Lembaga pendidikan keluarga memberikan pengalaman yang pertama merupakan faktor yang terpenting dalam perkembangan kepribadian anak. b. Menjamin kehidupan emosional anak Suasana di dalam keluarga merupakan suasana yang meliputi rasa cinta dan simpati yang sewajarnya, suasana yang aman dan tentram. Melalui keluarga, kehidupan emosional atau kebutuhan akan rasa kasih saying dapat dipenuhi atau dapat berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya hubungan darah antara anak dan orang tuanya.
24
c. Menanamkan dasar pendidikan moral Pendidikan moral dalam keluarga dapat ditanamkan sejak dini melalui keteladanan, yang biasanya tercermin dalam sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan yang tepat dicontoh oleh anaknya. Dengan teladan ini, melahirkan gejala identifikasi positif, yakni penyamanan diri dengan orang ditiru dan hal ini sangat penting dalam membentuk kepribadian seorang anak. Segala nilai yang dikenal anak akan melekat pada orang-orang yang disenangi dan dikagumi, inilah salah satu proses yang ditempuh anak mengenai nilai. d. Memberikan dasar pendidikan sosial Dalam kehidupan keluarga, merupakan basis yang sangat penting dalam peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Sebab pada dasarnya keluarga merupakan lembaga sosial resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak. Perkembangan benih-benih kesadaran sosial pada anak dapat dipupuk sedini mungkin, terutama melalui keluarga yang penuh keserasian seperti misalnya tolong menolong,
gotong-royong,
bersama-sama
menjaga
ketertiban,
kedamaian, kebersihan, dan kenyamanan dalam segala hal. e. Peletakan dasar-dasar keagamaan Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Di samping sangat menentukan dalam menanamkan dasar-dasar moral, yang tidak kalah penting adalah berperan besar dalam proses internalisasi dan transformasi nilai-nilai keagamaan dalam pribadi anak.33 Masa kanak-kanak adalah masa yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama, dalam hal ini tentu saja terjadi dalam keluarga. Anak seharusnya dibiasakan ikut serta untuk menjalankan ibadah, mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan seperti mengaji
dan sebagainya.
Kegiatan seperti
ini
sangat
besar
pengaruhnya terhadap kepribadian anak. Kenyataan membuktikan, 33
39-43.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h.
25
bahwa anak yang masa kecilnya tidak tahu-menahu dengan segala hal yang berhubungan dengan keagamaan, maka setelah dewasa mereka pun tidak ada perhatian terhadap hal-hal yang mengenai tentang keagamaan, hidupnya gersang dan sulit untuk dikontrol. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memilki lingkungan tunggal yaitu keluarga. Kebiasaan yang dimiliki anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga, sejak ia bangun tidur sampai ia tidur kembali. Orang tua adalah pendidik kodrati bagi anaknya. Tanggung jawab orang tua tidak hanya terletak pada materi saja, akan tetapi pada pendidikan non materinya. Beberapa hal yang termasuk tanggung jawab orang tua, antara lain: a. Mencintai Cinta adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar, berarti secara kongkret bahwa orang tua harus terbuka kepada anak-anaknya. b. Memberikan Perlindungan Anak-anak sangat mengharapkan perlindungan dari orang tuanya hingga mereka merasa aman dan kerasan. Percaya mempercayai adalah syarat mutlak untuk menciptakan suasana aman dan tentram. Suasana keterbukaan yang memberikan kesempatan
pada
anak
untuk
ikut
berbagi
kebahagiaan,
keberhasilan namun juga kegagalan dan keprihatinan. c. Memberikan Bimbingan Orang tua harus menerima bakat dan kemampuan yang ada pada anak, tetapi tetap bertumpu pada asas pokok yaitu menerima anak apa adanya. Agar kemampuan anak berkembang, orang tua harus menciptakan ruang lingkup yang menyenangkan dan menghindari segala hal yang menekan anak. Jadi bimbingan harus didasarkan atas kepercayaan kepada anak dan bimbingan orang tua harus selalu menyesuaikan diri dengan keadaan nyata si anak.
26
d. Memberikan Pengakuan Orang tua harus menghargai pribadi seorang anak. Anak berhak untuk didekati dengan penuh respek. Anak pun mempunyai hak-hak di rumah, di keluarga dan di sekolah. Walaupun masih amat bergantung pada orang lain dan masih amat lemah, ia hendaklah diperlakukan sebagai pribadi. e. Kebutuhan akan Disiplin Anak adalah manusia yang harus didewasakan. jadi sedikit demi sedikit sesuai dengan umurnya ia harus diajari dan dibiasakan bahwa ia adalah mahluk sosial yang harus bergaul dengan orang lain atau sesamanya. Ia harus belajar bahwa pergaulan berarti ada aturan, ada batas-batas pada perilakunya. Orang tua hendaknya menjadi contoh kedisiplinan ini, apabila anak melihat bahwa ayah dan ibu mereka adalah orang yang tahu akan disiplin, maka ia akan menerima bahwa kepadanya dituntut disiplin juga. Disiplin pula adalah salah satu syarat untuk dapat mencintai dan menghargai orang lain.34 Telah dijelaskan diatas bahwa tanggung jawab pendidikan anak terletak ditangan orang tuanya dan tidak bisa dipikulkan kepada orang lain, kecuali ada berbagai keterbatasan orang tua, maka sebagian tanggung jawab dilimpahkan kepada orang lain (sekolah).
B. Kecerdasan Emosional (EQ) 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Istilah emosi berasal dari kata “emutus” atau “emovere” yang artinya mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang yang
34
22-24.
JDrost SJ, Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 1999), h.
27
menyebabkan orang tertawa, marah, dilain pihak merupakan suasana hati untuk menyerang dan mencerca sesuatu.35 Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai perasaan dan pikiranpikiran khas, suatu keadaan biologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.36 Oleh karena itu, secara umum emosi mempunyai fungsi untuk mencapai
sesuatu
pemuasan
atau
perlindungan
diri
atau
bahkan
kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan dengan lingkungan atau objek tertentu, emosi dapat juga dikatakan sebagai alat yang merupakan wujud dari perasaan yang kuat.37 Dalam beberapa buku, istilah Emotional Quotient biasanya dituliskan Emotional Intelligence (EI). Tapi istilah itu mengacu pada suatu arti yaitu kecerdasan emosional. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh Psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of Hampshire untuk menerangkan kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan.38 Mereka mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai himpunan
bagi
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi untuk membimbing pikiran dan tindakan. Pakar psikologi Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf mengatakan bahwa: Emotional Intelligence is the ability to sense, understand, and effectively apply the power and acumen of emotions as a source of human energy, information, connection and influence. (kecerdasan emosional adalah
kemampuan
merasakan,
mengerti,
dan
secara
efektif
mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi sebuah sumber energy manusia, informasi, hubungan dan pengaruh). Kecerdasan emosional 35
E. Usman Effendi dan Juhana S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1993), h.
79. 36
Bambang Sujiono dan Juliani Nurani Sujiono, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), h. 120. 37 Ibid., h. 94. 38 Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligent Pada Anak (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 5.
28
menuntut pemilikkan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.39 Nana
Syaodah
mengatakan
kecerdasan
emosional
adalah
kemampuan mengendalikan diri (mengendalikan emosi), memelihara dan memacu metivasi untuk terus berupaya dan tidak mudah menyerah atau putus asa, mampu mengendalikan dan mengatasi stress, mampu menerima kenyataan, dapat merasakan kesenangan meskipun dalam kesulitan.40 Menurut Daniel Goleman, kecerdasan emosional mengandung beberapa pengertian. Pertama, kecerdasan emosional tidak hanya berarti sikap ramah. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah, melainkan misalnya sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua, Kecerdasan emosional bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa memanjakan perasaan, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memngkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.41 Jeanne Segal mengemukakan kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan yang menggambarkan kecerdasan hati, membuat seseorang berhasil dalam kehidupannya, berkaitan dengan hubungan pribadi dan antar pribadi, bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan untuk mengenali diri (menyadari keadaan diri, mengendalikan diri yang spontan, dan membangkitkan motivasi dalam diri) serta memahami gejolak perasaan orang lain (lewat empati dan kecakapan bergaul).42
39
Robert K. Cooper, Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi Ter, Alex Tri Kantjo Widodo, Emotional Intellegence in Leadership and Organizations, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), cet. I, h. XV. 40 Nana Syaodah Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), cet. I, h. 97. 41 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. III, h. 9. 42 Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional, (Bandung: Kaifa, 2002), h. 27.
29
Kecerdasan emosional merupakan hasil kerja otak kanan. Menurut De Porter Hernacke otak kanan manusia memiliki cara kerja yang acak.43 Jadi
kecerdasan
emosional
adalah
kemampuan
seseorang
untuk
menggunakan emosinya secara efektif, baik untuk mencapai sasarannya, untuk menciptakan hubungan antar manusia yang produktif serta kemampuan mengetahui dan menangani perasaan pribadi dengan baik, serta mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif. 2. Esensi Kecerdasan Emosional Setiap manusia memiliki perasaan untuk menimbang sebuah keputusan yang berat di samping akal sehat. Dengan pertimbanganpertimbangan emosional manusia dapat menjadi lebih bijak dalam mengarungi kehidupan ini. Dan yang membedakan bahwa manusia memiliki kecerdasan emosional atau tidak adalah dengan kualitas-kualitas yang terdapat di dalam kecerdasan emosional tersebut. John Mayer menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampak penting bagi keberhasilan, kualitas-kualitas tersebut antara lain: Empati, mengungkapkan kemandirian,
dan
memahami
kemampuan
perasaan,
menyesuaikan
mengendalikan
diri,
disukai.
amarah,
kemampuan
memecahkan masalah antar pribadi, tekun, setia kawan44, keramahan, dan sikap hormat. Kesembilan kualitas yang disebutkan oleh John tersebut pada dasarnya merupakan bentuk dari kepribadian-kepribadian dalam diri individu. Adapun keramahan serta sikap hormat merupakan dua manifestasi kepribadian ketimuran yang sarat dengan nilai-nilai. Keramahan adalah salah satu sikap mental seseorang yang baik dalam berinteraksi dan sikap hormat adalah bentuk kepribadian yang menjunjung tinggi nilai-nilai hierarki sosiologis.45 Dengan demikian maka menifestasi dari kecerdasan
43
Ramayulis, Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 92. Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligent Pada Anak (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 5. 45 A. Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1992), cet. III, h. 50. 44
30
emosional akan nampak melalui pola tingkah laku individu dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 78
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.46 Melalui ayat tersebut Allah menegaskan bahwa manusia ketika datang ke dunia ini tidak mengetahui apa-apa, namun manusia dibekali dengan sama’, abshar dan af’idah untuk dipergunakan dalam mengarungi derasnya laju perkembangan zaman di bumi ini. Manusia membutuhkan akal pikiran sebagai penetralisir dari budaya yang pada akhirnya akan membentuk pola kepribadian. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syarkawi bahwa kepribadian seorang anak dipengaruhi besar oleh lingkungannya, karena lingkunganlah yang pada akhirnya membentuk pola kepribadian anak.47 Syarkawi menjelaskan sebagai berikut, contohnya: “pada dasarnya pola kepribadian yang ditampilkan pada anak merupakan manifestasi dari pendidikan yang diberikan orang tua kepadanya melalui komunikasi. Contoh, orang tua sering memerintahkan kepada anaknya, tolong kalau nanti ada telepon, bilang ayah dan ibu sedang tidak ada karena ibu mau istirahat. Peristiwa ini adalah suatu pendidikan kepada anak bahwa berbohong itu boleh atau halal dilakukan. Akibatnya, anak juga melakukan prilaku berbohong kepada orang lain termasuk kepada orang tuanya sendiri. Jika anak mendapatkan kepuasan bahkan dikembangkan oleh anak dan bahkan mungkin saja berbohong itu akan menjadi kesenangannya dan menjadi keahlian yang lama-kelamaan menjadi kepribadiannya.48 46
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 14, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 375. 47 Syarkawi, Pembentukkan Kepribadian Anak, Peran Moral, Orang Tua, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet. I, h. 19-20 48 Ibid., h. 20
31
Contoh yang diberikan oleh Syarkawi tersebut dapat dipahami bahwa pengaruh yang diterima dari lingkungan dalam hal ini adalah orang tua dapat membentuk kepribadian individu, karena pada dasarnya manusia belum mengetahui apa-apa ketika datang ke bumi ini. Manusia merupakan mahluk potensial yang memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ketingkat tertentu sesuai dengan kapasitasnya.49 Bakat dan potensi tersebut jika tersalurkan ke dalam dimensidimensi yang positif maka pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia akan menjadi baik, namun sebaliknya jika pertumbuhan dan perkembangan tersebut tersalurkan ke dalam dimensi-dimensi yang buruk maka akan berdampak buruk pula terhadap kepribadian individu. Seorang anak manusia pada hakikatnya belum memiliki pengetahuan apa-apa selain fitrahnya. Adapun yang akan membentuk kehidupan hingga pada pola kepribadian anak tersebut adalah lingkungannya. Syarkawi mengatakan bahwa lingkungan keluarga adalah tempat pertama dimana seorang anak tumbuh dan berkembang, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang anak.50 Hal ini pun telah dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi yang mengatakan bahwa seorang anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang akan menjadikannya beragama Nasrani dan Majusi. Berangkat dari asumsi tersebut maka diperlukan media yang terintegrasi dalam diri manusia untuk melakukan filterizing dari berbagai rangsangan yang datang dari luar diri manusia. Untuk itulah sebagaimana tertulis dalam QS. An-Nahl ayat 78 tersebut Allah memberikan manusia hati sebagai pusat kinerja tubuh yang berfungsi untuk mengontrol dan mengcounter berbagai budaya yang dilihat dan didengar. Kecerdasan
emosional
bukanlah
sekedar
keterampilan
mengendalikan emosi. Lebih dari itu, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya untuk berbagai keperluan dan kesempatan dari orientasi yang menyeluruh. Jadi, pengertian bahwa 49
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (bandung: Rosda Karya, 2001), cet. VI, h. 135. 50 Syarkawi, Op. cit., h. 19
32
pemilik kecerdasan emosional yang tinggi adalah orang-orang yang bisa mengendalikan kemarahan adalah salah besar. Sikap dan pengarahan yang diberikan emosi mempengaruhi metode seseorang dalam memecahkan masalah tertentu.51
3. Karakteristik Kecerdasan Emosional Goleman (1996) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional meliputi : a) Kemampuan mengenali emosi diri. b) Kemampuan mengelola emosi. c) Kemampuan memotivasi diri. d) Kemampuan mengenali emosi orang lain, dan e) Kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain. Berdasarkan lima poin di atas, orang tua bisa melihat perkembangan kecerdasan emosi anak dan mengasahnya. Untuk memperjelas ciri-ciri utama karakteristik seseorang yang memiliki kecerdasan emosional, penulis akan menguraikannya sebagai berikut: a. Kemampuan Mengenali Emosi Diri Menurut Jhon Mayer, ahli psikologi dari university of New Hampshire yang menjadi koformulator teori kecerdasan emosional bersama dengan Peter Salovey dari Yale University, kesadaran diri berarti “waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati”.52 Kemampuan seseorang untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Oleh karena itu, kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Anak yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pemimpin yang handal bagi kehidupannya, karena mempunyai kepekaan lebih 51
Makmun Mubayidh, Kecerdasan Kesehatan Emosional Anak, (Jakarta: PT. Pustaka AlKautsar, 2006), h. 7 52 Daniel Goleman, Emotional Intelligence; Kecerdasan Emosional, Penterjemah, T. Hermaya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 64.
33
tinggi akan perasaan yang sesungguhnya atas pengambilan keputusankeputusan masalah. Al-Qur‟an juga mendorong manusia untuk memahami perasaan dan emosi, sebagaimana Allah swt., berfirman dalam surat Yusuf ayat 33.
“Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk orang-orang yang bodoh." (Q.S. Yusuf ayat 33).53 Kesadaran diri belum menjamin seseorang dapat mengendalikan emosinya, hanya saja dengan pemahaman terhadap perasaaan diri akan dapat membantu mengendalikan emosi, bukan dikendalikan oleh emosinya. b. Kemampuan Mengelola Emosi Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara orang yang cerdas mengelola emosi dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupannya.54 Kemampuan mengelola emosi adalah dasar bagi anak untuk dapat menangani dan mengungkapkan perasaan-perasaannya secara tepat, baik secara
verbal
maupun
non
verbal.
Apakah
anak
lebih
suka
mengungkapkan kemarahannya dengan membanting benda?, melatih anak mengelola emosi berarti mengarahkan anak untuk mampu
53
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 12, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 322. 54 Makmun Mubayidh, op. cit., h. 58.
34
menyatakan emosinya dengan kata-kata serta memilih tindakan-tindakan yang positif untuk merefleksikannya. Al-Qur‟an menjelaskan bagaimana manusia beradaptasi dengan emosinya, serta bagaimana merubah perasaan mereka. Allah swt. Berfirman dalam surat Al-Hadid ayat 23.
“Agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.55 Menurut
Sigmund
Freud,
belajar
mengendalikan
emosi
merupakan tanda perkembangan kepribadian yang menentukan apakah seseorang sudah beradab. Allah berfirman dalam surat Al-Imran ayat 134.
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan”.56 c. Kemampuan Memotivasi Diri Dalam psikologi, motivasi diartikan sebagai segala sesuatu yang menjadi pendorong timbulnya suatu tingkah laku. Pendorong motivasi itu ada dua macam, yaitu: motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri seseorang dan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang
55
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 27, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 788. 56 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 4, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 84.
35
datangnya dari luar diri individu. Oleh sebab itu, ada beragam emosi yang terlibat dalam kemampuan memotivasi diri, yaitu: rasa antusias, keyakinan diri dan optimisme.57 Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan.58 Seorang anak yang sukses dalam hidupnya adalah anak yang memiliki motivasi positif, kendali diri serta memiliki harapan dalam hidup. Motivasi yang mengaktifkan dan membangkitkan prilaku yang tertuju pada pemenuhan kebutuhan. Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong prilaku ke arah tujuan. Allah berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 53.
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.59 d. Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri; semakin terbuka kepada emosi diri sendiri, semakin terampil membaca perasaan orang lain. Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Kunci untuk memahami perasaan orang 57
M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Ilmu Jaya, 1996), h. 85. Daniel Goleman, Op. cit., h. 58. 59 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 24, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 666. 58
36
lain adalah mampu membaca pesan non verbal: nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan sebagainya.60 Jadi, empati adalah modal dasar dari keterampilan bergaul, melalui empati akan membuat anak mampu mengenali emosi-emosi orang lain. e. Kemampuan untuk Membina Hubungan dengan Orang Lain Keterampilan ini merupakan unsur-unsur untuk menajamkan kemampuan antar pribadi, unsur-unsur pembentukan daya tarik, dan keberhasilan sosial. Orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan. Kelima bentuk kecerdasan ini terintegrasi satu sama lain dan mendasari
tinggi
rendahnya
kecerdasan
emosional
individu.61
Sederhananya Emotional Quotient adalah kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah pada kejujuran suara hati. Suara hati itulah yang harus dijadikan pusat prinsip yang mampu memberi rasa aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan.62 Kecerdasan emosional adalah proses pembelajaran yang berlangsung seumur hidup. 4. Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional Dalam kehidupan sehari-hari, refleksi emosi nyata lebih banyak memainkan peran dalam proses pengambilan keputusan atau menampakkan perilaku seseorang ketimbang perhitungan nalar. Untuk meraih banyak prestasi dan kesuksesan hidup, seorang anak perlu dibekali kecerdasan emosi yang maksimal sejak dini karena kecerdasan emosi anak dapat dipelajari dan dilatih pada anak. Apabila kecerdasan yang sifatnya intelektual (IQ) adalah sebuah “warisan” orang tua pada anak, maka kecerdasan emosi (EQ) adalah proses 60
Daniel Goleman, Emotional Intelligence; Kecerdasan Emosional, Penterjemah, T. Hermaya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 135-136. 61 Agustina, IQ, Prestasi Belajar di Sekolah, dan Kecerdasan Emosional Siswa Remaja. Jurnal Provitae. Vol. 2, No. 2, November 2006, h. 72. 62 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ, The ESQ Way 165), (Jakarta: Arga, 2005), h. 42.
37
pembelajaran yang berlangsung seumur hidup. Memang ada sifat atau temperamen khusus yang dibawa seorang anak sejak ia dilahirkan, tetapi pola asuh orang tua dan pengaruh lingkungan untuk membentuk emosi seorang anak sangat berpengaruh besar pada perilakunya sehari-hari.63 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menumbuhkembangkan kecerdasan emosional, yaitu sebagai berikut:64 a) Empati Dalam mengasah kecerdasan emosi anak, bersikap empati pada emosi anak adalah pijakan dasar bagi orang tua, sebelum sampai pada taraf membimbing perilaku, anak akan merasa dipercaya dan didukung oleh orang tua, sehingga lebih mudah mencapai kesepakatan bersama. Misalnya, suatu ketika orang tua telah berjanji mengajak anaknya jalanjalan ke toko mainan. Menjelang siang dapat kabar bahwa nenek di kampong sakit dan orang tua harus segera datang, maka sekeluarga berangkat dan terpaksa membatalkan acara jalan-jalannya ke toko mainan. Si kecil cemberut dan menggerutu sepanjang jalan menuju ke rumah nenek. Mungkin orang tua akan mengucapkan kata-kata yang memungkinkan si kecil semakin kecewa. Solusi yang terbaik, mereka mencoba berempati terlebih dahulu dengan kekecewaannya sebelum mencoba menawarkan solusi. Misalnya, dengan menyatakan kalau acara jalan-jalan ke toko mainannya dilaksanakan esok hari. b) Belajar Mendengar Sering kali ungkapan emosi anak tidak terasah dengan baik karena orang tua tidak mendengarkannya dengan baik pula. Mendengar ungkapan emosi anak, tidak berarti sekedar menggunakan telinga untuk menangkap kata-kata anak, tetapi juga menangkap maksud tersirat yang dituju, ekspresi wajah, berempati dengan masalah anak atau memberikan komentar-komentar yang sesuai dengan situasinya.
63
Bambang Sujiono dan Juliani Nurani Sujiono, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), h. 115. 64 Ibid., h. 116
38
c) Mengungkapkan Emosi Lewat Kata-kata Luapan emosi yang paling tidak terungkap secara fokus dan jelas dapat mengarah pada perilaku destruktif (merusak). Anak yang tidak dapat mengungkapkan bahwa dirinya sesungguhnya merasa cemburu karena mainan adik lebih bagus, mungkin akan bertindak agresif dengan merusak mainan adiknya. d) Memperbanyak Permainan Dinamis Sebagai orang tua, tentu memahami bahwa dunia anak adalah dunia bermain dan bersuka cita, mereka belum memikirkan tanggungjawab. Bermain akan mempermudah anak memupuk unsur-unsur kreativitas, seperti rasa ingin tahu, daya khayal atau imajinasi, dan cobacoba. Lewat permainan, tingkat kreativitas anak akan terpacu melalui daya khayalnya, ini akan membuatnya mampu melihat gambaran dan wawasan baru. Diana E. Papalia, seorang ahli perkembangan manusia, dalam bukunya Human Development mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dengan bermain, anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indera-indera tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ditempati dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Permainan-permainan sederhana yang berasal dari masa lalu seperti bentengan, lompat tali dan kelereng sesungguhnya lebih mencerdaskan emosi anak. Mengasah kemampuan bekerja sama, jujur dan percaya diri. Permainan yang melibatkan beberapa anak akan mempertajam kemampuan bersosialisasi anak, juga bisa menguji daya tahan emosi anak selama proses bermain. Dengan permainan yang dinamis, anak belajar memusatkan perhatian lebih pada proses yang baik dan bukan hanya pada hasil akhirnya saja. Apabila anak terbiasa menerima kemenangan dan kekalahan, maka kelak kemudian hari ia tidak akan kaget lagi dengan perubahan apapun dalam hidupnya. Emosi anak pun menjadi lebih terkontrol, saat kalah ia tidak prustasi, ketika menang ia tidak sombong.
39
e) Musik Indah dengan Ritme Teratur Musik tidak hanya menghibur, tetapi juga merupakan hasil perenungan
penciptanya
berdasarkan
ingatan-ingatan
pengalaman
hidupnya dan ketiak disajikan pun dapat menggugah seseorang untuk merenungkan hidupnya seperti yang terungkap dalam musik tersebut. Musik memang memiliki kaitan langsung dengan kehidupan manusia. Musik berkaitan secara langsung dengan emosi (emotion) dan perasaan (feelings), musik mampu menggetarkan emosi seseorang dari tingkat yang paling tinggi.65 Musik sangat mempengaruhi perkembangan EQ seseorang. Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosionalnya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik, yang dimaksud musik di sini adalah irama dan nada-nada yang teratur, yang didapat dari perpaduan seimbang antara beat, ritme, dan harmoni.66 C. Kecerdasan Spiritual (SQ) 1. Pengertian Kecerdasan Spiritual Spiritual yaitu berkaitan dengan roh, semangat atau jiwa. Religious yang berhubungan dengan agama, keimanan, kesalehan dan menyangkut nilai-nilai transcendental.67 Akar kata spiritual adalah spirit yang berasal dari bahasa latin Spiritus yang berarti nafas. Dalam dunia modern, kata ini merujuk kepada energi hidup dan sesuatu di dalam diri manusia yang „bukan fisik‟ termasuk emosi dan karakter. Ini mencakup kualitas-kualitas vital seperti energi, semangat, keberanian dan tekad. Istilah spiritual berasal dari bahasa Arab ruhaniyah, atau maknawiyah dalam bahasa Persia. 65
68
mengurai arti dari
Monty P. Satiadarma dan Fidellis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan Pedoman bagi Orang Tua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), h. 55. 66 Bambang Sujiono dan Juliani Nurani Sujiono, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), h. 116. 67 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 480. 68 Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), cet. I, h. 480.
40
kedua kata ini, kiranya sudah cukup sebagai kunci untuk memahami makna spiritualitas. Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak manusia untuk cerdas memilih salah satu agama, ia merupakan sebuah konsep yang berhubungan bagaimana seseorang mempunyai kecerdasan dalam mengelola makna-makna. Kehidupan spiritual ini meliputi: hasrat untuk hidup bermakna; memotivasi mencari makna hidup; mendambakan hidup bermakna.69 Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam makna yang lebih luas dan kaya kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia.70 Lebih lanjut Danah Zohar dan Ian Marshall mengemukakan SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan ini dapat membedakan sesuatu hal, baik dan buruk. Kecerdasan ini pula memberikan rasa moral, kemampuan menyesuaikan yang berlaku dan kemampuan memahami cinta sampai pada batasannya. Selanjutnya berlandasan pada beberapa ahli psikologi (Sigmund Freud, C.G. Jung), neurolog (Persinger, Ramachandran) dan filosof (Daniel Dennett, Rene Descartes), Danah dan Ian membahas lebih dalam mengenai “Kecerdasan Spiritual”. “Kecerdasan Spiritual” disimbolkan sebagai Teratai Diri yang menggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia (rasional, emosional, dan spiritual), tiga pemikiran (seri, asosiatif, dan penyatu), tiga jalan dasar pengetahuan (primer, sekunder, dan tersier) dan tiga tingkatan 69
Ramayulis, op. cit., h. 95. Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. (Bandung: Mizan, 2001), cet. V, h. 8. 70
41
diri (pusat transpersonal, tengah-asosiatif & interpersonal, dan pinggiranego personal). Dengan demikian SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian diri manusia yang paling dalam menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia lain. Menurut Ary Ginanjar Agustian, salah seorang pakar Intelegensia kontemporer Indonesia, pengarang buku ESQ, menyatakan bahwa SQ versi Barat sebagaimana diuraikan para tokoh, belum atau bahkan tidak menjangkau aspek ketuhanan. Pembahasannya baru pada tataran biologis atau psikologis semata, tidak bersifat transcendental.71 Karena itu, ia berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (insan kamil) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.72 Apabila prinsip manusia hanya mengorbit kepada Allah, maka dalam kondisi apapun emosi akan tetap tenang dan stabil. Keadaan yang stabil ini akan memberi peluang yang besar bagi suara hati spiritual yang muncul, seperti sabar (patient), tawakal (consistent), istiqomah (persistent), terpercaya (accountable), dan ikhlas (sincerity).73 Jadi, bila dengan EQ, seseorang dapat mengatasi kesulitan hidup dengan mengelola emosi, maka dengan SQ, ia akan mampu menyelesaikan problematika kehidupan dengan pemahaman akan makna dan nilai hidup yang dilengkapi dengan aspek ketuhanan. SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. SQ menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh.74 71
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2001), cet. I, h. xxxix. 72 Ibid., h. 57. 73 Ibid., h. 573. 74 Danah Zohar dan Ian Marshall, op. cit., h. 135.
42
Menurut Khalil Kavari kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi non material seorang-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah, semua manusia memilikinya. Manusia harus mengenali seperti apa adanya. Menggosoknya
hingga
berkilau
dengan
tekad
yang
besar
dan
menggunakannya utnuk kebahagiaan yang abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga dapat menurun. Akan tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas.75 Muhammad Zuhri memberikan pengertian tentang kecerdasan spiritual yaitu kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan diri untuk mengelola alam. Jika IQ setiap orang dipengaruhi oleh materi otaknya dan ditentukan oleh faktor genetika, seperti adat istiadat dan tradisi, maka SQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yang tidak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan atau materi lainnya.76 Sedangkan kecerdasan spiritual menurut Marsha Sinetar, ialah pemikiran yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan efektifitas, keberadaan hidup atau keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagiannya.77 Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menata hati, kata, sikap, dan prilaku agar senantiasa berada dalam jalur kebenaran yang menguntungkan semua pihak yang terkait. Jalur kebenaran disini adalah peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah baik dalam Al-Qur‟an maupun Hadits. Kecerdasan spiritual juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai ilahiyah (Asmaul Husna) kedalam dirinya sehingga menjadi aktivitas kesehariannya sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah. 75
Agus Ngermanto, Quantum Quotient (Keceradasan Quantum): Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis, (Bandung: Nuansa, 2001). h. 40. 76 Ibid., h. 117. 77 Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik: Jembatan Menuju Makrifat. (Jakarta: Kencana, 2004). Cet. II, h. 24.
43
Uraian di atas, menunjukkan bahwa betapa pentingnya seseorang memiliki kematangan dan kecerdasan emosi dan intelektual, terlebih kecerdasan spiritual (SQ), yang merupakan azas yang melandasi semua kecerdasan, yakni IQ dan EQ. hal penting yang perlu diperhatikan terutama oleh para orang tua adalah bagaimana kiat atau cara agar dapat melahirkan generasi baru yang kreatif, cerdas serta religious. Generasi baru yang bukan hanya matang kecerdasan intelektualnya, tetapi juga matang kecerdasan emosi dan spiritualnya. 2. Karakteristik Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal, aspek-aspek kecerdasan spiritual (SQ) yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan) b. Tingkat kesadaran tinggi c. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit e. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai f. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu g.
Kecendrunagn
untuk
melihat
keterkaitan
antara
berbagai
hal
(berpandangan “holistic”) h. Kecendrungan nyata untuk bertanya “mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar i. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “bidang mandiri” yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvens j. Memiliki kecendrungan untuk selalu memberikan manfaat pada orang lain.78 Danah Zohar dan Ian Marshal menambahkan bahwa seseorang yang tinggi kecerdasan spiritualnya cendrung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, yaitu seseorang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya. Dengan kata lain, seseorang yang tinggi 78
Danah Zohar dan Ian Marshal, op. cit., h. 14.
44
kecerdasan spiritualnya adalah orang yang dapat memberi inspirasi kepada orang lain.79
3. Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Spiritual Perubahan SQ dari yang rendah ke yang lebih tinggi melalui beberapa langkah utama seperti menyadari situasi, ingin berubah, mengenali diri, menyingkirkan hambatan, disiplin, makna terus menerus, dan hormat. Untuk memperjelas penulis akan menguraikannya sebagai berikut80 : a. Menyadari Situasi. Langkah ini menuntut kita untuk menggali kesadaran diri, yang pada gilirannya menuntut menggali kebiasaan merenungkan pengalama. Banyak diantara kita tidak pernah merenung. Kita hanya hidup dari hari ke hari, dari aktivitas ke aktivitas, dan seterusnya. SQ yang lebih tinggi berarti sampai pada kedalaman dari segala hal, memikirkan segala hal, menilai diri sendiri dan perilaku dari waktu ke waktu. Paling baik dilakukan setiap hari. Ini dapat dilakukan dengan menyisihkan beberapa saat untuk berdiam diri, bermeditasi setiap hari, bekerja dengan penasehat atau ahli terapi, atau sekedar megevaluasi setiap hari sebelum jatuh tidur di malam hari. b. Ingin Berubah. Jika renungan mendorong untuk merasa bahwa perilaku, hubungan, kehidupan atau hasil kerja dapat lebih baik, kita harus ingin berubah . ini akan menuntut memikirkan secara jujur apa yang harus kita tanggung demi perubahan itu dalam bentuk energi dan pengorbanan. Apakah siap berhenti dari semua perilaku yang buruk? Memberikan perhatian lebih besar untuk mendengarkan diri sendiri dan orang lain? Menjalankan disiplin sehari-hari, seperti membaca atau olah raga atau merawat seekor hewan?. c. Mengenali Diri. dibutuhkan tingkat perenungan yang lebih dalam. Kita harus mengenali diri sendiri, letak pusat, dan motivasi yang paling dalam. Jika kita akan mati minggu depan, apa yang bisa dikatakan mengenai apa
79
Ibid. h. 15-17. Agus Ngermanto, Quantum Quotient (Keceradasan Quantum): Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis, (Bandung: Nuansa, 2001). h. 143-147. 80
45
yang telah dicapai atau sumbangkan dalam kehidupan? Jika diberi waktu setahun lagi, apa yang akan dilakukan dengan waktu tersebut?. d. Menyingkirkan Hambatan. Apakah penghalang yang merintangi? Apa yang mencegah kita sehingga menjalani kehidupan diluar pusat kita? Kemarahan?
Kerakusan?
Rasa
bersalah?
Sekedar
kemalasan?
Kebodohan? Pemanjaan diri?. Buatlah daftar hal yang menghambat, dan mengembangkan pemahaman tentang bagaimana dapat menyingkirkan penghalang-penghalang ini. Mungkin itu merupakan tindakan sederhana, seperti kesadaran atau ketetapan hati, atau perasaan memuncak dari apa yang disebut oleh kaum Buddhis “perubahan perasaan”-perasaan muak terhadap diri sendiri. Akan tetapi, mungkin itu juga suatu proses panjang dan lambat, dan akan membutuhkan “pembimbing”-ahli terapi, sahabat atau penasehat spiritual. Langkah ini sering diabaikan, namun sangat penting, dan membutuhkan perhatian terus-menerus. e. Disiplin. Praktik atau disiplin apa yang seharunya diambil? Jalan apa yang seharusnya diikuti? Komitmen apa yang akan bermanfaat? Pada tahap ini, kita perlu menyadari berbagai kemungkinan untuk bergerak maju. Curahkan semua mental dan spiritual untuk menggali sebagian kemungkinan ini, biarkan mereka bermain dalam imajinasi, temukan tuntutan praktis yang dibutuhkan dan putuskan kelayakan setiap tuntutan tersebut bagi kita. f. Makna Terus-Menerus. Kini kita harus menetapkan hati pada satu jalan dalam kehidupan dan berusaha menuju pusat sementara kita melangkah di jalan itu. Sekali lagi, renungkan setiap hari apakah kita berusaha sebaik-baiknya demi diri kita sendiri dan orang lain, apakah kita telah mengambil manfaat sebanyak mungkin dari setiap situasi, apakah merasa damai dan puas dengan keadaan sekarang apakah ada makna bagi kita disini. Menjalani hidup di jalan menuju pusat berarti mengubah pikiran dan aktivitas sehari-hari menjadi ibadah terus-menerus, memunculkan kesucian alamiah yang ada dalam setiap situasi yang bermakna.
46
g. Hormati Mereka. Sementara melangkah di jalam yang kita pilih sendiri, tetaplah sadar bahwa masih ada jalan-jalan yang lain. Hormatilah mereka yang melangkah di jalan-jalan tersebut, dan apa yang ada di dalam diri kita sendiri yang di masa mendatang mungkin perlu mengambil jalan lain. Danah Johar dan Ian Marshall mengemukakan enam jalan yang dapat dilakukan oleh orang tuadi dalam mengembangkan kecerdasan spiritual.81 Keenam jalan tersebut menurut penulis dapat dilakukan dan diperankan oleh orang tua dalam membina kecerdasan spiritual anak, enam jalan tersebut yaitu: a). Melalui “jalan tugas”, b).
Melalui “jalan pengasuhan”, c).
Melalui “jalan pengetahuan”, d). Melalui “jalan perubahan pribadi”, e). Melalui “jalan persaudaraan”, f). Melalui “jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian”.82 Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan satu persatu, yaitu: a. Melalui “jalan tugas” Anak dilatih melakukan tugas-tugas hariannya dengan dorongan motivasi dari dalam. Artinya anak melakukan setiap aktivitasnya dengan perasaan senang, bukan karena terpaksa. Biasanya anak akan melakukan tugas-tugasnya dengan penuh semangat apabila dia tau manfaat baginya. Untuk itu orang tua perlu memberi motivasi, membuka wawasan sehingga setiap tindakan anak tersebut secara bertahap dimotivasi dari dalam. Anak perlu diberi waktu menggunakan kebebasan pribadinya, membenamkan diri pada aktivitas-aktivitas favoritnya seperti membaca, mendengarkan musik, menari, memancing, dan sebagainya. Aktivitas tersebut membuat anak produktif dan mengembangkan potensi kecerdasan dalam diri mereka. Lingkungan
keluarga
perlu
kondisi
yang
mendukung
pengembangan kondisi batin anak agar dapat berkhayal, berangan-angan, 81
Monty Satiadarma & Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Populer, obor, 2003). Cet. I, h. 47-51. 82 Ibid., h. 48.
47
mengembangkan fantasinya, dan bermain. Permainan membuka pintu bakat dan membuat orang bebas berfikir, dan dengan demikian mengembangkan
kecerdasannya.
Permainan
memungkinkan
anak
mengenal dirinya sendiri, permainan adalah guru terbaik untuk anak, permainan membuka pintu untuk memasuki sesuatu yang mungkin dirasakan seorang anak sebagai tatanan yang sudah ada sebelumnya, permainan membantu anak terhubung dengan bebas ke dunianya dan dengan mudah menghabiskan waktunya penuh kualitas. Kebebasan berfikir yang efektif dan positif akan berkembang dalam diri anak yang merencanakan, memulai, dan menentukan sendiri arah permainannya. Berhubungan dengan hal itu, sifat-sifat orang tua yang sangat mengekang atau mengendalikan anak secara positif akan menghambat perkembangan SQ anak dalam keluarga. b. Melalui “jalan pengasuhan” Anak tidak perlu dimanjakan karena akan mengembangkan dalam diri anak sifat mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Orang tua yang terlalu menolong tidak mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ) anak, karena hanya mengembangkan pribadi yang kikir dan berpikiran sempit dalam cinta, anak memilih perspektif luas sehingga tidak menyadari kebutuhan dasar atau keberadaan orang lain. Terbuka dan jalin hubungan kasih dengan anak, orang tua perlu belajar untuk bisa menerima dan mendengarkan dengan baik “diri kita sendiri” dan lebih-lebih “orang lain”. Orang tua perlu membuka diri, mengambil resiko mengungkapkan dirinya kepada “putra-putrinya”. Hanya dengan cara demikian orang tua memberi model dan pengalaman hidup bagi anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ)-nya. Orang tua perlu menciptakan lingkungan keluarga penuh kasih dan pengalaman saling memaafkan. Tindakan balas kasihan, pelayanan dan pengampunan memberikan apa yang dikatakan oleh ahli pendidikan Grace Pilon sebagai “rasa sejahtera dalam pikiran” yang menjadi landasan bagi pengembangan kecerdasan spiritualnya.
48
c. Melalui “jalan pengetahuan” Orang
tua
perlu
memberikan
ruang
bagi
anak
untuk
mengembangkan wawasan ilmu pengetahuannya. Mungkin dialog dengan orang tua yang sudah memiliki pengetahuan yang lebih luas dapat memperluas pengetahuan anak sehingga membantu usaha eksploitatif dan pencariannya terhadap kekayaan ilmu pengetahuan itu sendiri. d. Melalui “jalan perubahan pribadi” Untuk mengembangkan kreativitas anak membutuhkan waktu bagi dirinya sendiri agar dapat berimajinasi dan kemudian menciptakan sesuatu sesuai hasil imajinasinya. Banyaknya larangan mungkin akan menghambat ruang kreativitas
anak. Itu berarti orang tua tidak lagi
melarang dan mengarahkan kegiatan anak melainkan perlu berdialog dengan
anak,
sehingga
mereka
dapat
menggunakan
kebebasan
kreativitasnya dengan tetap memperhatikan komitmen pada tugas-tugas yang dilakukannya. e. Melalui “jalan persaudaraan” Hal inilah yang paling dapat dilatih dalam keluarga, melalui sikap saling terbuka semua anggota keluarga dengan berdialog satu sama lain. Sarana untuk itu adalah “dialog”. Untuk dapat berdialog diandalkan kemampuan untuk saling mendengarkan dan kemampuan menerima pendapat yang berbeda. Pengalaman seperti itu hanya dapat dialami oleh anak di dalam keluarganya. f. Melalui “jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian” orang tua adalah model seorang pemimpin yang akan dialami oleh anak-anak di dalam keluarga. Pemimpin yang efektif adalah seorang yang bersikap ramah, mampu memahami perasaan yang dipimpin dan mampu berhubungan dengan semua anggota keluarga. Di sini orang tua dapat menjadi model bagi anak-anak untuk melayani, rela berkorban dan mengutamakan kepentingan diri sendiri. Karena yang memandu setiap perilaku adalah apa yang bernilai dan bermakna bagi semua.
49
Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, dan moral, sumber keceriaan dan makna hidup. Spiritualitas memberi arah dan arti pada kehidupan. Hidup menjadi indah dan menggairahkan karena diri manusia tidak hanya dikurung oleh batas-batas fisik. Karena jiwa anak intuitif dan terbuka secara alami, maka orang dan guru hendaknya bekerjasama untuk selalu memupuk spiritualitas anak. Berikut ini bebrapa strategi yang dapat dilakukan orang tua untuk menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan spiritual anak. Yaitu sebagai berikut: 1) Jadilah “gembala spiritual” yang baik. 2) Bantulah anak untuk merumuskan “misi” hidupnya. 3) Ajarkan kitab suci Al-Qur‟an dan jelaskan maknanya dalam kehidupan. 4) Ceritakan kisah-kisah Nabi dan Rasul serta kisah-kisah agung dan teladan lainnya. 5) Libatkan anak dalam kegiatan ritual keagamaan. 6) Bacakan puisi-puisi atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional. 7) Bawa anak untuk menikmati keindahan alam. 8) Ikut sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial dan, 9) Jadilah cermin positif bagi anak. Untuk lebih jelasnya penulis akan uraikan satu persatu, yaitu: 1) Jadilah “gembala spiritual” yang baik Orang tua yang bermaksud mengembangkan SQ anak haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah “mengakses” sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Ia harus sudah menemukan makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-orang disekitarnya sebagai “orang yang berjalan dengan membawa cahaya”.
50
Sebagaimana terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-An‟am ayat 122.
“Dan Apakah orang yang sudah mati, kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”.83 2) Bantulah anak untuk merumuskan “misi” hidupnya Beritahukan kepada anak bahwa ada berbagai tingkat tujuan dalam merumuskan “misi” hidup ini. Mulai dari tujuan paling dekat sampai tujuan paling dekat sampai tujuan palinh jauh dan bahkan tujuan akhir kita. Rumusan ini bisa dilakukan dengan menggunakan teknik “what then, senor” dalam anekdot Danah Zohar, kita dapat membantu anak menemukan misinya dengan ungkapan, jika kamu sudah besar nanti mau jadi apa? Aku mau jadi orang pintar. Jika sudah pintar mau jadi apa? What then? Dengan kepintaranku, aku akan memperoleh pekerjaan yang bagus. Jika sudah dapat pekerjaan, mau jadi apa? Aku akan punya uang banyak. Jika sudah punya uang banyak mau jadi apa? Aku ingin bantu orang miskin. Sampai di sini kita sudah membantu anak untuk menemukan tujuan hidupnnya, hingga sampai ke tujuan akhirnya, yaitu bahagia dunia dan akhirat. 3) Ajarkan kitab suci Al-Qur‟an dan jelaskan maknanya dalam kehidupan Penulis akan memulai pembahasan ini sebagaimana Allah swt., mengawali wahyu pertamanya kepada Rasulullah saw., dengan kalimat Iqra’ bismi rabbikaladzi khalaq. Menurut Al-Fakhrurraazi, kata Aqra’ dalam ayat di atas memiliki pengertian, bacalah Al-Qur‟an. Sebab kata AlQiraa’ah (membaca) hanya dipergunakan untuk membaca Al-Qur‟an.84
83
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 8, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 193. 84 Hamdan Rajih. Spiritual Quotient for Children, (Jogjakarta: Dive Press, 2005). h. 165.
51
Dalam Al-Qur‟an para orang tua, juru dakwah dan para pendidik hendaknya mendasarkan pengajarannya kepada Al-Qur‟an dan Hadits yang berisi petunjuk-petunjuk penting Rasulullah saw., sebab yang akan diajarkan adalah firman Ilahi yang merupakan “undang-undang” dan pedoman hidup umat manusia. Kitab yang tidak sedikitpun menyimpan kebathilan. Kitab yang mendapat jaminan keutuhan langsung dari Dzat yang menurunkannya; Allah swt. Orang-orang terdahulu (salaf al- ummah) banyak yang telah melaksanakan pendidikan Al-Qur‟an ini untuk anak-anaknya, dan sering dilaksanakan di masjid-masjid. Out Put dari modal pendidikan ini cukup mengagumkan. Mereka tumbuh menjadi suatu generasi yang sangat gigih mempertahankan dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru dunia. Sejarah banyak mencatat keberhasilan mereka. Mereka yang menjadi “singa” di siang hari, tetapi di malam hari mereka tetap ruku‟ dan sujud dengan penuh kekhusyuan. Ini semua karena mereka telah “menghirup” air yang memancarkan dari mata air Al-Qur‟an. Dengan mempelajarinya, berarti mereka telah mempelajari ilmu pengetahuan sekaligus mempraktekkannya. Katika Al-Qur‟an sudah bersemayam di kedalaman hari mereka, dada mereka akan menjadi lapang dan tidak mudah stres, bahasa mereka lancar dan pintu-pintu samudera ilmu pengetahuan terbuka lebar untuk mereka. Mengapa
orang-orang
terdahulu
(salaf)
ini
begitu
antusias
melaksanakan tugas pengajaran Al-Qur‟an? Jawabannya jelas. Karena, pertama, Al-Qur‟an adalah firman Ilahi. Kedua, karena pemberian orang tua kepada anak yang memiliki nilai tinggi adalah mengajarkan Al-Qur‟an. Hal ini karena di dalam Al-Qur‟an terdapat ajaran budi pekerti, tata karma, akhlak, seluruh jenis keutamaan, hikmah, serta sejarah hidup umat terdahulu sejak dari Nabi Adam as., di dalamnya juga terdapat pesan-pesan para Rasul bahwa Allah swt., yang tidak menginginkan ada diantara hamba-hamba-Nya yang kufur.85 Dengan mengajarkan Al-Qur‟an kepada anak-anak, berarti kita telah memulai pendidikan yang benar dan sesungguhnya. Sebab dengan begitu, 85
Ibid., h. 171.
52
berarti kita telah mengajarkan hal-hal yang telah diwajibkan oleh Allah, seperti ibadah serta kewajiban-kewajiban lain. Di samping itu, berarti kita telah memulai mengikat mereka dengan kitab Allah serta mendidik mereka untuk mengagumkan Al-Qur‟an untuk kemudian melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan yang tertuang di dalamnya. 4) Ceritakan kisah-kisah Nabi dan Rasul serta kisah-kisah agung dan teladan lainnya Anak-anak bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan cerita karena “manusia” kata Gerbner, adalah satu-satunya mahluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita tentu tidak akan pernah mampu memperoleh kepercayaan dan kaitan dari mereka kecuali jika kita telah mampu memberikan kepada mereka contoh teladan yang tinggi dan nilai-nilai yang sudah barang tentu jauh dari berbagai kesalahan dan kekhilafan tersebut. Sosok tersebut adalah Rasulullah saw., sebagai panutan dan teladan terbaik umat Islam. Kita mengambil contoh dari petunjuk dan akhlak yang dibawa oleh beliau. Firman Allah dalam AlQur‟an surat Al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.86 Kisah teladan yang ada pada diri rasulullah tersebut bisa kita ajarkan dan contohkan kepada anak-anak, yang dibawanya dalam sikap dan kehidupan sehari-hari. Kemudian apabila anak tertarik akan cerita itu, maka ceritakanlah berulang-ulang kepadanya, sehingga dia menjadikan Rasulullah sebagai idolanya.
86
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 21, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 595.
53
5) Libatkan anak dalam kegiatan ritual keagamaan Kegiatan agama adalah cara praktis untuk “tune in” dengan sumber dari segala kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah anda. Bahaslah bentuknya, strukturnya, komponen-komponennya, kekuatan cahayanya, voltasenya,
dan
sebagainya.
Kegiatan
agama
adalah
kabel
yang
menghubungkan bola lampu itu dengan cahaya. Shalat, dalam bentuk apapun, mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke pengalaman spiritual. Untuk itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan degan terlalu banyak menekan hal-hal yang formal. Berikan kepada anakanak tentang makna bathiniah dari setiap ritual yang kita lakukan. Shalat bukan sekedar kewajiban, shalat adalah kehormatan untuk menghadap Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang. 6) Bacakan puisi-puisi atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional Manusia mempunyai dua fakultas-fakultas untuk menyerap hal-hal material dan spiritual. Kita punya mata lahir dan mata bathin. Ketika kita berkata “masakan ini pahit”. Kita sedang menggunakan indra bathiniah kita. Empati, cinta, kadamaian, keindahan hanya dapat diserap dengan fakultas spiritual kita (ini yang disebut dengan SQ). SQ harus dilatih, salah satu cara melatih SQ ialah dengan cara menyanyikan lagu-lagu rohaniah atau membacakan puisi-puisi, karena dengan itu dapat memicu kecerdasan anak. 7) Bawa anak untuk menikmati keindahan alam Teknologi modern dalam kehidupan urban membuat kita teralienasi dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam yang sudah tercemari, dimanipulasi, dan dirusak. Alam tampak di depan kita sebagai musuh setelah kita memusuhinya. Bawalah anak-anak kepada alam yang relative belum banyak tercemari, ajak mereka naik ke puncak gunung, rasakan udara yang segar dan sejuk. Ajak mereka ke pantai, rasakan angin yang menerpa tubuh, celupkan kaki dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jarinya dan seterusnya. Orang tua harus menyediakan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan Allah, setelah setiap hari dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri. Setiap hari adalah istimewah, yang wajib dihayati dan disyukuri. Setiap pagi ajak anak-anak untuk bersyukur
54
pada Allah sambil menatap langit, matahari, pohon-pohonan dan alam sekitar rumah. Sampaikan terima kasih dan pujian atas kebaikan dan keindahan yang selalu hadir menyertai kita tanpa memungut bayaran. 8) Ikut sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial Keterampilan SQ seperti ini tidak cukup hanya dibicarakan. Jika anak mengalami sendiri bagaimana penderitaan yang dirasakan oleh orang lain, maka langkah inilah yang terbaik. Apabila orang tua bertekad untuk membantu orang lain, mereka hendaknya mengikutsertakan anak-anak mereka karena pengalaman ini tidak hanya akan mengajari mereka lebih peduli pada orang lain, tetapi juga mengajarkan keterampilan sosial yakni pentingnya kerja sama, kesetiaan dan ketekunan. Diantara kegiatan sosial kemasyarakatan yang dimaksud antara lain, yaitu: a) menjenguk teman atau tetangga yang sedang sakit. b) membantu orang yang terkena musibah. c) ikut serta dalam kerja bakti di lingkungan sekitar rumah. d) menghibur orang yang sedang bersedih. e) menghimpun bantuan untuk korban bencana alam atau orang yang membutuhkan. Kegiatan-kegiatan sosial di atas kesannya memang sangat sederhana, tapi orang tua hendaknya menekankan pada anaknya bahwa betapa perbuatan yang sangat sederhana itu mampu membuat orang lain bahagia. Orang tua bisa mengusulkan kepada anaknya untuk mencatat perbuatan baik yang telah mereka lakukan pada hari ini. Menuntun orang yang sudah tua, menyebrangi jalan, atau membesuk teman yang sedang sakit. Apabila melakukan perbuatan baik ini sudah menjadi kebiasaan, pada akhirnya orang tua akan menyaksikan anak-anaknya ketagihan melakukan perbuatan baik tersebut, dan mereka akan mencari jalan sendiri untuk melakukan lebih banyak lagi perbuatan baik.
55
9) Jadilah cermin positif bagi anak Dalam kehidupan rumah tangga tanpa disadari masing-masing merupakan aktor yang selalu dilihat dan dinilai oleh orang lain. Maka jadilah aktor atau model peran yang baik bagi anak-anak. Sekali-kali adakan forum untuk saling menyampaikan kesan dan penilaian yang satu kepada yang lain dalam suasana yang rileks, nyaman, tanpa tekanan. Jadilah orang tua sebagai pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Jika anak bicara jangan buru-buru langsung dipotong lalu diceramahi. Dengarkan dan perhatikan dengan tatapan mata yang penuh antusias dan stimulatif agar anak berlatih mengutarakan pikiran dan emosinnya dengan lancar, tertib, dan jernih. Ibarat sumur kalau sering ditimba maka airnya akan jernih. Itulah beberapa strategi atau cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mengembangkan kecerdasan spiritual anak. Dibutuhkan kesabaran dalam mengembangkan kecerdasan spiritualnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat atau lokasi yang menjadi objek penelitian adalah wilayah RT. 004/01, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara. 2. Waktu Penelitian Proses penelitian dilakukan selama kurang lebih empat bulan (Desember-April) secara bertahap mulai dari pengajuan judul, pengajuan proposal, perencanann, dan persiapan instrument, yang kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data lapangan sebagai kegiatan inti penelitian. B. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara berfikir dan berbuat yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan mencapai tujuan penelitian. Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.1 Dilihat dari tujuan penelitian, fokus penelitian ini adalah mengamati, dan melihat peran orang tua dalam proses pengembangan kecerdasan 1
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 3.
56
57
emosional dan spiritual anaknya di lingkungan RT. 004, RW. 01, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Dengan demikian penelitian ini dapat ditakategorikan sebagai penelitian kualitatif. Dengan pendekatan tersebut diharapkan dapat diperoleh pemahaman dan penafsiran yang mendalam mengenai makna, kenyataan, dan fakta yang relevan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan
gejala-gejala,
fakta-fakta,
atau
kejadian-kejadian
secara
sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.2 Jenis penelitian yang dianggap tepat adalah penelitian kualitatif deskriptif analisis. Untuk memudahkan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian lapangan (Field Research) dan penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian sebagai berikut : 1. Field Research yaitu penulis mengadakan observasi langsung untuk mengetahui dan mengumpulkan data-data yang diperlukan di lapangan yang berkaitan dengan penelitian. Penulis menghimpun informasi, data dan fakta dari objek yang diteliti untuk menemukan secara khusus dari realita yang tengah terjadi di lapangan agar lebih obyektif dan akurat, tentang peranan orang tua dalam pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak di lingkungan RT. 004, RW. 01, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. 2. Library Research yaitu penulis membaca, memahami dan menelaah tentang buku-buku atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian penulis yang berguna untuk melengkapi data-data yang diperlukan.
2
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), hal. 47
58
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh Spredey dinamakan “sosial situation” atau situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktifitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis.3 Situasi sosial tersebut, dapat dinyatakan sebagai objek penelitian yang ingin dipahami secara lebih mendalam “apa yang terjadi” di dalamnya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang bertempat tinggal di RT. 004, RW. 01 yang berjumlah 74 kepala keluarga, yang keseluruhannya berjumlah 315 penduduk. Dari sekian banyak populasi, hanya terdapat 30 keluarga yang memiliki anak dengan kisaran usia 10 sampai dengan 17 tahun. 2. Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi, karena populasinya berjumlah 74 kepala keluarga dan 30 keluarga yang memiliki anak dengan kisaran usia 10 sampai dengan 17 tahun, maka penulis mengambil sampel 30 keluarga yang memiliki anak dengan kisaran usia 10 sampai dengan 17 tahun. Teknik yang penulis gunakan adalah teknik total sampling. D. Teknik Pengumpulan Data Adapun untuk mengumpulkan data yang diperlukan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut: 1. Wawancara atau interview adalah suatu komunikasi pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data, komunikasi tersebut dengan dialog (Tanya jawab) secara lisan, baik langsung maupun tidak langsung. Wawancara adalah Tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.4 Adapun jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tak terstruktur. Wawancara tak terstruktur sangat berbeda dalam hal bertanya dan memberikan respon, yaitu cara ini lebih bebas, pertanyaan biasanya tidak disusun terlebih dahulu, tetapi 3 4
Sugiono, op. cit., h. 297-298. Ibid,…, hal. 55
59
disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang unik dari informan, pelaksanaan Tanya jawab mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari. Adapun kisi-kisi wawancara tak terstruktur disusun bukan berupa daftar pertanyaan, akan tetapi hanya berupa poin-poin pokok yang akan ditanyakan pada informan dan dikembangkan pada saat wawancara berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar proses wawancara berlangsung secara alami dan mendalam. Poin-poin yang dimaksud adalah: a. Latar belakang pendidikan orang tua. b. Upaya orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosoional dan spiritual anak. 2. Observasi adalah Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.5 Dalam penelitian ini, observasi yang digunakan adalah observasi langsung (direct observation), yaitu peneliti langsung terjun kelapangan sebagai sasaran penelitian untuk melihat keadaan atau fenomena yang terjadi di lingkungan tersebut. Penulis akan mengamati yang berkaitan tentang: a. Cara orang tua dalam mendidik anak. b. Upaya orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak. 3. Angket (kuesioner) adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menyusun sejumlah daftar pertanyaan yang didalamnya terdapat bagian menjawab pertanyaan tersebut kepada responden.6 Angket adalah suatu teknik pengumpulan data yang mempunyai kesamaan dengan teknik wawancara, karena keduanya diberikan dalam bentuk pertanyaan. Bedanya kalau wawancara dilaksanakan secara lisan sedangkan angket secara tertulis.
5
Husaini Usman dan Purnomo Setiady, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 52 6 Sugiyono, op. cit., h. 329.
60
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 1. Teknik Pengolahan Data Untuk mengolah data-data yang terkumpul dalam penelitian ini, penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Editing. Dalam pengolahan data, yang pertama kali dilakukan adalah melakukan edit data sehingga hanya data yang terpakai saja yang ada. Langkah editing ini bermaksud merapikan data agar rapih dan langsung melakukan langkah selanjutnya. b. Scoring. Untuk menentukan scoring semua pertanyaa angket akan ditabulasikan dengan skor nilai setiap itemnya, dengan cara jawaban yang berupa huruf akan dirubah menjadi nilai angka, yaitu sebagai berikut: Table 1 Pengukuran Instrumen Pilihan Jawaban Pertanyaan
SL
SR
KD
TP
+
4
3
2
1
-
1
2
3
4
c. Tabulating. Yaitu mentabulasi data jawaban yang diberikan ke dalam bentuk table, untuk kemudian diketahui hasil perhitungannya. 2. Analisa Data Data yang berasal darikepustakaan digunakan sebagai rumusan teori yang dijadikan pedoman penulis untuk penelitian lapangan. Data yang diperoleh dari observasi dan wawancara akan diolah dan diedit kemudian dianalisa dan disimpulkan. Adapun data yang diperoleh melalui angket, penulis akan menganalisa dan mengolah data statistic frekuensi, yaitu memeriksa jawaban-jawaban dari para orang tua, lalu dijumlahkan, diklasifikasikan dan ditabulasikan,
61
data yang didapat dari sebuah item pertanyaan akan dibuat satu tabel yang di dalamnya langsung dibuat frekuensi dengan menggunakan rumus:7
Keterangan : P
= Prosentase untuk setiap kategori jawaban
F
= Frekuensi jawaban responden
N
= Jumlah Responden (number of case)
100% = Bilangan tetap
Adapun ketentuan skala prosentasi dapat dilihat pada table berikut: Tabel 2 Penafsiran Prosentase No
Prosentase
Penafsiran
1.
100 %
Seluruhnya
2.
90-99 %
Hampir seluruhnya
3.
60-89%
Sebagian besar
4.
51-59 %
Lebih dari setengah
5.
50 %
Setengahnya
6.
40-49 %
Hampir setengahnya
7.
10-39 %
Sebagian kecil
8.
1-9 %
Sedikit sekali
9.
0%
Tidak sama sekali
F. Instrumen Penelitian Penggunaan instrument penelitian bergantung pada jenis metode yang digunakan karena dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode angket dan observasi. Setelah diadakan uji validitas, diketahui bahwa dari 65 soal hanya 40 soal yang valid, maka instrumentnya yaitu: 7
Anas Sujiono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006), Cet. 21, hal. 43
62
1. Kisi-kisi Angket Tabel 3 Kisi-kisi angket tentang peranan orang tua dalam pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak Variabel
Dimensi
Indikator
sebagai teladan
Mengajak beribadah
Sebagai Pendidik
Mengajarkan tauhid dan aqidah Menyediakan
sebagai motivator
sarana
pendukung
untuk anak belajar agama Memberikan reward kepada anak.
Peranan
Meluangkan waktu untuk anak.
Orang tua Orang tua sebagai Pemberi Rasa Cinta dan Kasih Sayang
Memberikan perhatian penuh kepada anak. Bertutur kata lemah lembut penuh kasih sayang terhadap anak. Komunikasi yang baik antara orang
Menumbuhkembangkan kecerdasan emosinal anak.
Melalui jalan tugas
tua dan anak. Kemampuan
anak
membina
hubungan baik dengan orang tua dan lingkungan sekitarnya. Membimbing/mengajarkan
anak
berdoa dalam aktivitas sehari-hari.
Melalui jalan
Tidak memanjakan anak.
pengasuhan.
Orang tua membuka diri pada anak. Mengajarkan anak ilmu pengetahuan (mengaji, menulis, membaca dan
Melalui jalan pengetahuan.
berhitung). Memberikan fasilitas dan ruang untuk
mengembangkan
ilmu pengetahuan anak.
wawasan
63
Orang
Melalui jalan perubahan pribadi.
mengembangkan
kreativitas anak. Tidak melarang anak untuk bermain. Melatih
Melalui jalan
tua
anak
mengeluarkan
pendapatnya. Melatih
persaudaraan.
anak
mendengar
dan
menerima pendapat yang berbeda.
Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak
Melalui jalan
Mengajarkan jiwa kepemimpinan.
kepemimpinan
Melatih anak bersikap ramah, sopan-
yang penuh
santun, rela berkorban dan tidak
pengabdian.
sombong.
Menjadi “gembala spiritual” yang
Orang tua mengalami kesadaran spiritual.
baik. Bantu anak untuk merumuskan
misi Merumuskan cita-cita anak. tujuan Merumuskan keinginan anak.
atau hidupnya.
Ajarkan kitab suci Al-Qur’an bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan.
Qur’an. Menjelaskan makna/arti ayat AlQur’an yang dipelajari.
kisah- Menceritakan kisah para Nabi dan
Ceritakan kisah
Mengajarkan anak membaca Al-
Nabi
dan
Rasul serta kisah agung lainnya.
Rasul serta kisah Anak meneladani para Nabi dan agung dan teladan
Rasul serta kisah agung lainnya
lainnya.
dalam kehidupan sehari-hari
Libatkan dalam kegiatan
anak Mengajarkan kegiatan-
anak
shalat
dan
berpuasa.
ritual Mengajak anak untuk shalat dan
64
keagamaan.
berpuasa.
Bacakan puisi atau lagu-lagu yang
Membacakan puisi kepada anak.
spiritual dan
Menyanyikan lagu-lagu spiritual.
inspirasional.
Membawa untuk
anak
menikmati
keindahan alam.
Menikmati ciptaan Allah. Mensyukuri ciptaan Allah.
Mengikutsertakan anak
dalam Membantu/menolong sesama.
kegiatan-kegiatan
Membiasakan berbuat baik.
sosial. Melatih anak mengutarakan pikiran dan emosi dengan lancar, tertib dan Menjadi cermin positif bagi anak.
jernih. Kemampuan
anak
mengutarakan
pikiran dan emosi dengan lancar, tertib dan jernih.
65
2. Kisi-kisi Instrument Wawancara a. Pertanyaan untuk Ketua RT. 004 RW. 01 1. Berapakah jumlah penduduk di RT 004? 2. Berapakah jumlah kepala keluarga di RT 004? 3. Berapakah jumlah keluarga di RT 004 yang memiliki anak berusia 10 sampai 17 tahun? 4. Bagaimana keadaan ekonomi dan pekerjaan orang tua di wilayah RT 004? 5. Sarana apa saja yang tersedia untuk umum di lingkungan RT 004? 6. Kegiatan apa saja yang ada di lingkungan RT 004 RW 01 ini? 7. Bagaimana menurut Bapak tentang keadaan warga dari segi agama?
b. Pertanyaan untuk Orang Tua yang mempunyai anak usia 10-17 tahun di lingkungan RT. 004 RW. 01 1. Pendidikan terakhir ibu dan bapak? 2. Profesi ibu dan bapak? 3. Bagaimana
pendapat
ibu
tentang
peran
orang
tua
dalam
pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak? 4. Upaya apa yang diambil oleh orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak? 5. Hambatan yang dialami bapak/ibu dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak?
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian a) Letak Geografis RT 004 adalah salah satu RT yang berada dalam kelompok RW 01. RT 004 terletak di wilayah Kelurahan Kamal Muara, wilayah tersebut memiliki luas sekitar 133,38 Ha dan terdiri dari 14 Rukun Warga (RW) dan 110 Rukun Tetangga (RT). Wilayah ini berbatasan dengan: 1. Sebelah Utara
: Kelurahan Dadap
2. Sebelah Selatan
: Kelurahan Kapuk
3. Sebelah Barat
: Kelurahan Kamal
4. Sebelah Timur
: Kelurahan Kosambi
b) Jumlah Warga atau Penduduk Jumlah keseluruhan penduduk RT 004 RW 01 Kelurahan Kamal Muara adalah 315 jiwa, 74 Kepala Keluarga dan 30 diantaranya memiliki anak dengan usia berkisar 10 sampai 17 tahun, dengan perincian sebagai berikut:
66
67
Tabel 4.1 No
Jenis Data
Jumlah
1.
Kepala Keluarga
74
2.
Laki-laki
160
3.
Perempuan
155
4.
Warga keseluruhan
315
c) Struktur Kepengurusan Kelurahan Kamal Muara RT 004 Ketua
: Bpk. Ahmadi
Wakil
: Bpk. Sobri
Sekertaris
: Bpk. Muhaimin
Bendahara
: Bpk. Agus
d) Tingkat Pendidikan Adapun jenjang pendidikan yang dialami penduduk RT 004 RW 01 sebagian besar lulusan SLTP dan sederajat, sebagaimana dapat dilihat pada tebel berikut: Tabel 4.2 No
Jenjang Pendidikan
Prosentasi
1.
Sekolah Dasar
50%
2.
Sekolah Menengah Pertama
25%
3.
Sekolah Menengah Umum
15%
4.
D1, D2, D3, S1
10%
Jumlah
100%
e) Pekerjaan Penduduk Karena berada di daerah pesisir, Jenis pekerjaan sebagai salah satu mata pencaharian penduduk sebagian besar bekerja sebagai nelayan ada juga sebagai pekerja pabrik atau buruh dan sebagian kecil bekerja sebagai pedagang atau wiraswasta, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
68
Tabel 4.3 No
Pekerjaan Penduduk
Prosentasi
1.
Nelayan
50%
2.
Pekerja Pabrik atau Buruh
35%
3.
Pedagang atau Wiraswasta
15%
Jumlah
100%
f) Sarana Umum, Ibadah dan Pendidikan Sarana yang ibadah yang tersedia di wilayah RT 004 RW 01 ini adalah masjid Al-Huda dan beberapa Mushala seperti Mushala AlKhairiyah. Sarana pendidikan di wilayah ini adalah MI. Nurul Islam I. Sedangkan sarana umum lainnya yang berada di sekitar yaitu SDN 01, SMPN 120,
di wilayah ini terdapat sarana kesehatan berupa
puskesmas, sarana umum lainnya adalah Sasana Krida Stadion Kamal Muara. g) Kegiatan/Aktifitas Aktifitas warga Kelurahan Kamal Muara RT. 004, RW. 01 Jakarta Utara adalah: a. Pengajian ibu-ibu setiap hari jum‟at b. Pengajian bapak-bapak setiap malam kamis c. Pos yandu setiap tanggal 10 d. Kerja bakti tiap dua pekan
B. Analisis Data Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan observasi, wawancara dan penyebaran angket. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan distribusi frekuensi dan menghitung prosentase sebagai alternative jawaban dari instrument yang telah dijawab oleh responden. Adapun sampel yang menjadi responden dalam
69
penelitian ini sebanyak 30 orang tua. Hasil penelitian berupa angket, observasi dan wawancara adalah sebagai berikut: Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak di Lingkungan RT. 004 RW. 01 Kamal Muara Penjaringan Jakarta Utara Tabel 4.4 Menjelaskan kepada anak tentang adanya Allah No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
5
16,7%
2
Sering (SR)
9
30%
3
Kadang-kadang (KD)
13
43,3%
4
Tidak Pernah (TP)
3
10%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.4, dapat diambil kesimpulan hampir setengahnya responden yang hanya menjelaskan kepada anak mereka tentang adanya Allah. Hal ini terbukti dengan jawaban responden yang menyatakan bahwa 16,7% responden yang menyatakan selalu (SL) menjelaskan kepada anak tentang keTuhanan, 30% responden yang menyatakan sering (SR), 43,3% responden yang menyatakan kadang-kadang (KD) dan 10% responden yang menyatakan tidak pernah (TP).
Tabel 4.5 Membiasakan anak untuk mendengarkan lantunan-lantunan ayat suci Al-Qur‟an No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
3
10%
2
Sering (SR)
8
26,7%
3
Kadang-kadang (KD)
16
53,3%
4
Tidak Pernah (TP)
3
10%
30
100%
Jumlah
70
Berdasarkan tabel 4.5, dapat diambil kesimpulan hanya sebagian kecil orang tua yang membiasakan anaknya untuk mendengarkan lantunan-lantunan ayat suci Al-Qur‟an. Hal ini terbukti dengan jawaban responden yang menyatakan bahwa hanya 10% atau 3 responden yang menyatakan selalu memperdengarkan anak lantunan ayat-ayat suci Al-Qur‟an, selanjutnya 26,7% atau 8 responden yang menyatakan sering memperdengarkan anaknya lantunan ayat suci Al-Qur‟an, selanjutnya 53,3% atau 16 responden yang menyatakan kadang-kadang memperdengarkan anaknya lantunan ayat suci Al-Qur‟an dan 10% atau 3 responden yang menyatakan tidak pernah memperdengarkan anaknya lantunan ayat suci Al-Qur‟an. Dari hasil tersebut, maka terlihat bahwa jarangnya orang tua yang selalu memperdengarkan anaknya lantunan ayat suci Al-Qur‟an. Begitupun dari hasil pengamatan penulis yang penulis lakukan di lingkungan RT 004 menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua yang memiliki anak yang berusia 10-17 tahun jarang bahkan tidak pernah memperdengarkan anaknya lantunan ayat suci AlQur‟an ketika mengasuh anaknya. Dari hasil penelitian tersebut, maka dapat penulis simpulkan bahwa upaya orang tua untuk memperdengarkan ayat-ayat suci Al-Qur‟an kepada anak sangat rendah.
Tabel 4.6 Mengikutsertakan anak dalam kegiatan keagamaan seperti peringatan hari besar Islam No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
3
10%
2
Sering (SR)
6
20%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,3%
4
Tidak Pernah (TP)
17
56,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.6, dapat diambil kesimpulan lebih dari setengah orang tua yang mengikutsertakan anaknya dalam kegiatan keagamaan seperti peringatan
71
hari besar Islam. Hal ini terbukti dengan jawaban responden yang menyatakan bahwa hanya 3 responden atau 10% yang menjawab selalu menyertakan anak dalam kegiatan hari besar Islam seperti maulid Nabi, isra‟Mi‟raj dan lain sebagainya, ada 6 responden atau 20% yang menjawab sering, kemudian ada 4 responden atau 13,3% yang menjawab kadang-kadang dan sebagian besar menjawab tidak pernah yaitu sebanyak 17 responden atau 56,7%. Dari hasil wawancara penulis kepada beberapa orang tua, ada beberapa orang tua yang mengatakan tidak pernah dengan alasan anak masih kecil, ada pula yang beralasan kerepotan jika membawa anak. namun ada responden yang menjawab selalu dengan alasan agar anak mengetahui kegiatan hari besar Islam tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa upaya orang tua dalam memberikan keteladanan dengan cara menyertakan anak dalam kegiatan keagamaan sangat rendah, hal tersebut terlihat dari hasil jawaban tidak pernah yang paling banyak dipilih oleh orang tua, juga dari hasil wawancara penulis yang menemukan banyaknya jawaban tidak pernah dari sebagian besar orang tua dengan alasan yang berbeda-beda.
Tabel 4.7 Membiasakan anak mengucapkan salam ketika hendak masuk atau keluar rumah No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
27
90%
2
Sering (SR)
3
10%
3
Kadang-kadang (KD)
0
0
4
Tidak Pernah (TP)
0
0
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.7, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir seluruhnya membiasakan anaknya untuk mengucapkan salam ketika hendak masuk atau keluar rumah. Hal tersebut terlihat dari hasil jawaban responden yaitu sebaanyak 90% atau 27 responden, sisanya menjawab sering yaitu sebanyak 10% atau 3
72
responden dan tidak ada responden yang menjawab kadang-kadang ataupun tidak pernah dalam membiasakan anaknya untuk selalu mengucapkan salam ketika hendak masuk dan keluar rumah.
Tabel 4.8 Bertanya kepada anak bapak/ibu tentang hobi mereka No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
12
40%
2
Sering (SR)
7
23,3%
3
Kadang-kadang (KD)
7
23,3%
4
Tidak Pernah (TP)
4
13,4%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.8, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir setengahnya orang tua selalu bertanya kepada anaknya tentang hobi anak mereka. Dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah dihitung bahwa hanya 13,4% yang menjawab tidak pernah bertanya tentang hobi anak mereka, 23,3% menjawab sering dan kadangkadang saja, dan ada sebanyak 40% orang tua yang selalu meluangkan waktu untuk sekedar bertanya kepada anak mereka tentang apa hobi anaknya.
Tabel 4.9 Bertutur kata lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap anak No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
14
46,6%
2
Sering (SR)
7
23,3%
3
Kadang-kadang (KD)
5
16,7%
4
Tidak Pernah (TP)
4
13,4%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.9, dapat diambil kesimpulan bahwa kasih sayang yang diberikan oleh orang tua belumlah maksimal tersalurkan, bahkan sebanyak 13,4%
73
persen menyatakan tidak pernah bertutur kata lemah lembut dan penuh kasih saying terhadap anaknya, 16,7% menjawab kadang-kadang, 23,3% menjawab sering dan 46,6% persen menyatakan selalu bertutur kata lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap anaknya. Tabel 4.10 Memberikan perhatian penuh kepada anak dengan meluangkan waktu sejenak untuk anak walau hanya sekedar menemaninya bermain sebentar No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
3
10%
2
Sering (SR)
3
10%
3
Kadang-kadang (KD)
20
66,6%
4
Tidak Pernah (TP)
4
13,4%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.10, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar orang tua hanya kadang-kadang saja meluangkan waktu untuk anaknya walau hanya sekedar menemaninya bermain sebentar, dikarenakan banyak kedua ornag tua mereka sibuk bekerja, intensitas pertemuan mereka dengan anak jadi jarang, tidak terlalu dekat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian diperoleh data bahwa 13,4% orang tua tidak pernah meluangkan waktunya, 10% menjawab sering bahkan selalu, dan selebihnya 66,6% menyatakan bahwa kadang-kadang meluangkan waktu sejenak untuk anak. Tabel 4.11 Melarang anak bermain No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
8
26,6%
2
Sering (SR)
12
40%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,4%
4
Tidak Pernah (TP)
6
20%
30
100%
Jumlah
74
Berdasarkan tabel 4.11, 13,4% kadang-kadang melarang anaknya bermain, 20% orang tua tidak pernah melarang anaknya bermain,
26,6% menyatakan
selalu, dan sisanya yang menjawab sering melarang anak untuk bermain sekitar 40%.
Tabel 4.12 Meluangkan waktu untuk berdongeng atau bercerita untuk anak sebagai pengantar sebelum anak tertidur No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
5
16,7%
2
Sering (SR)
8
26,7%
3
Kadang-kadang (KD)
8
26,7%
4
Tidak Pernah (TP)
9
29,9%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.12, dapat diambil kesimpulan bahwa kadang-kadang bahkan seringnya orang tua meluangkan waktu untuk berdongeng sebagai pengantar tidur sang anak dengan prosentase masing-masing sebanyak 26,7%, 16,7% menjawab selalu dan 29,9% menjawab tidak pernah menceritakan atau berdongeng untuk anak menjelang tidurnya dikarenakan beberapa sebab seperti kelelahan karena seharian bekerja.
Tabel 4.13 Mengapreasiasi apapun yang dilakukan oleh anak No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
3
10%
2
Sering (SR)
5
16,7%
3
Kadang-kadang (KD)
8
26,7%
4
Tidak Pernah (TP)
14
46,6%
30
100%
Jumlah
75
Berdasarkan tabel 4.13, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir setengahnya dari jumlah responden yang ada mengapresiasi apapun yang dilakukan anak. Hal ini terlihat berdasarkan hasil penilitian yaitu 3 responden atau 10% yang menjawab selalu mengapresiasi apapun yang dilakukan anak dan 5 responden atau 16,7 yang menjawab sering, kemudian ada 8 responden atau 26,7% yang menjawab kadang-kadang dan 14 responden atau 46,6% yang menjawab tidak pernah memberikan apresiasi kepada anaknya. Apapun bentuk dan wujudnya, apreasi sangatlah dibutuhkan. Agar anak merasa dihargai dan disayangi. Apresiasi juga sebagai rangsangan agar anak semangat dalam mengikuti hal-hal yang diajarkan dan meminimasir keengganan anak ketika orang tua menyuruh anak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan penanaman pendidikan agama seperti shalat, mengaji, dan lain sebagainya maka orang tua boleh menyediakan hadiah bagi anak sebagai penghargaan atas kesalehannya.
Tabel 4.14 Membiasakan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa yang baik No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
15
50%
2
Sering (SR)
8
26,7%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,3%
4
Tidak Pernah (TP)
3
10%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.14, dapat diambil kesimpulan bahwa setengahnya responden menyatakan selalu membiasakan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa yang baik. 50% menjawab selalu, 26,7% menjawab sering, 13,3% menjawab kadang-kadang, dan hanya 10% yang menjawab tidak pernah membiasakan anaknya untuk berkomunikasi dengan bahasa yang baik.
76
Tabel 4.15 Merasa senang apabila anak melaksanakan tugas dengan baik No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
18
60%
2
Sering (SR)
7
23,3%
3
Kadang-kadang (KD)
5
16,7%
4
Tidak Pernah (TP)
0
0
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.15, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar seorang anak merasa senang telah melaksanakan tugas dari orang tuanya dengan baik. Tidak ada yang menjawab tidak pernah, 16,7% menjawab kadang-kadang, 23,3% menjawab sering dan 60% menjawab selalu.
Tabel 4.16 Anak bapak/ibu mempunyai banyak teman di sekitarnya No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
7
23,3%
2
Sering (SR)
18
60%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,3%
4
Tidak Pernah (TP)
1
3,4%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.16, dapat diambil kesimpulan bahwa hanya sebagian besar anak mempunyai banyak teman disekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan 3,4% menjawab tidak pernah, 13,3% menjawab kadang-kadang, 23,3% menjawab selalu, dan 60% menjawab sering.
77
Tabel 4.17 Membiasakan berdoa terlebih dahulu sebelum belajar, makan dan tidur atau menjawab salam ketika ada yang mengucapkan salam No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
5
16,7%
2
Sering (SR)
14
46,6%
3
Kadang-kadang (KD)
9
30%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.17, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir setengah dari responden sering membiasakan anaknya untuk berdoa terlebih dahulu sebelum belajar, makan dan tidur atau menjawab salam ketika ada yang mengucapkan salam. Hasil penelitian menunjukkan yaitu 6,7% menjawab tidak pernah, 16,7% menjawab selalu, 30% menjawab kadang-kadang, dan 46,6% menjawab sering.
Tabel 4.18 Langsung memenuhi permintaan anak No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
6
20%
2
Sering (SR)
17
56,7%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,3%
4
Tidak Pernah (TP)
3
10%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.18, dapat diambil kesimpulan bahwa lebih dari setengahnya responden langsung memenuhi keinginan anak, seperti ketika anak meminta dibelikan mainan atau meminta uang dan lain-lain. 10% menjawab tidak pernah, 13,3% menjawab hanya kadang-kadang saja, 20% menjawab selalu
78
memenuhinya, dan 56,7% orang tua menjawab sering memenuhi langsung permintaan anak.
Tabel 4.19 Membiasakan untuk menjelaskan dan meminta maaf apabila tidak bisa memenuhi keinginan anak No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
3
10%
2
Sering (SR)
4
13,3%
3
Kadang-kadang (KD)
17
56,7%
4
Tidak Pernah (TP)
6
20%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.19, dapat diambil kesimpulan bahwa lebih dari setengahnya orang tua yang dijadikan sampel menjawab hanya kadang-kadang ia meminta maaf dan menjelaskan kepada anak saat tidak bisa memenuhi keinginan anak. Hasil perhitungannya yaitu 10% menjawab selalu, 13,3% menjawab sering, 20% menjawab tidak pernah, dan 56,7% menjawab kadang-kadang.
Tabel 4.20 Memberikan anak buku-buku, juz „amma, alat-alat tulis, alat-alat menggambar atau alat berhitung No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
15
50%
2
Sering (SR)
13
43,3%
3
Kadang-kadang (KD)
0
-
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.20, dapat diambil kesimpulan bahwa
setengahnya
responden menjawab sering menyediakan fasilitas kepada anak dengan cara
79
memberikan anak buku-buku, juz „amma, alat-alat tulis, alat-alat menggambar atau alat berhitung. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang ada yaitu sebanyak 15 orang atau 50% menjawab selalu memberikan anak buku-buku, juz „amma, alat-alat tulis, alat-alat menggambar atau alat berhitung, dan 13 orang tua atau 43,3% menyatakan sering, tidak ada responden yang menjawab kadangkadang dan hanya 2 responden yang menjawab tidak pernah menyediakan atau Memberikan anak buku-buku, juz „amma, alat-alat tulis, alat-alat menggambar atau alat berhitung.
Tabel 4.21 Ketika anak sedang bermain, kemudian tiba waktunya anak untuk belajar atau mandi atau makan. Apakah saat itu anak bapak/ibu langsung berhenti bermain? No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
3
10%
2
Sering (SR)
4
13,3%
3
Kadang-kadang (KD)
15
50%
4
Tidak Pernah (TP)
8
26,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.21, dapat diambil kesimpulan bahwa setengahnya menyatakan anak hanya kadang-kadang langsung berhenti bermain ketika tiba waktu untuk belajar, makan atau mandi. 10% menyatakan selalu berhenti bermain ketika tiba waktu untuk belajar, makan atau mandi, 13,3% menyatakan sering, 26,7% menyatakan tidak pernah, dan 50% menyatakan kadang-kadang.
80
Tabel 4.22 Menciptakan suasana keluarga dengan penuh keterbukaan dengan sesama anggota keluarga, misalnya jika ada masalah atau konflik yang timbul dalam keluarga diselesaikan secara bersama-sama dengan saling menghargai dan mendengarkan pendapat satu sama lain No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
20
63,3%
2
Sering (SR)
6
20%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,3%
4
Tidak Pernah (TP)
1
3,4%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.22, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar orang tua menciptakan suasana keluarga dengan
penuh keterbukaan dengan
sesama anggota keluarga, misalnya jika ada masalah atau konflik yang timbul dalam keluarga diselesaikan secara bersama-sama dengan saling menghargai dan mendengarkan pendapat satu sama lain. Hal tersebut terlihat berdasarkan hasil penelitian yaitu sekitar 63,3% menjawab selalu, 20% menyatakan sering, 13,3% menyatakan kadang-kadang, dan hanya 3,4% yang menyatakan tidak pernah.
Tabel 4.23 membiasakan anak untuk menyelesaikan pertengkaran dengan cara baik-baik No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
8
26,7%
2
Sering (SR)
11
36,6%
3
Kadang-kadang (KD)
9
30%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
81
Berdasarkan tabel 4.23, dapat diambil kesimpulan bahwa ketika anak bapak/ibu memiliki masalah (bertengkar) dengan temannya atau anggota keluarga. Hanya sebagian kecil orang tua yang membiasakan anaknya untuk menyelesaikan pertengkaran dengan cara baik-baik. Hal tersebut dapt dilihat berdasarkan hasil yang diperoleh yaitu 36,6% menyatakan sering, 30% menyatakan kadang-kadang, 26,7% menyatakan selalu, dan sisanya 6,7% menyatakan tidak pernah. Tabel 4.24 Mengajarkan kepada semua anggota keluarga bapak/ibu untuk bersikap ramah/sopan atau santun kepada orang lain No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
18
60%
2
Sering (SR)
7
23,3%
3
Kadang-kadang (KD)
5
16,7%
4
Tidak Pernah (TP)
0
-
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.24, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar orang tua mengajarkan kepada semua anggota keluarganya untuk bersikap ramah/sopan dan santun kepada orang lain. Tidak ada responden yang menjawab tidak pernah, 16,7% menjawab kadang-kadang, 23,3% menjawab sering, dan 60% menjawab selalu mengajarkannya. Tabel 4.25 Mengajarkan tentang apa arti tanggung jawab melalui aktivitas sehari-hari anak, seperti merapikan kembali mainannya tanpa harus diperintah No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
14
46,7%
2
Sering (SR)
10
33,3%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,3%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
82
Berdasarkan tabel 4.25, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir setengahnya orang tua mengajarkan tentang apa arti tanggung jawab melalui aktivitas sehari-hari anak, seperti merapikan kembali mainannya tanpa harus diperintah. Hal ini berdasarkan hasil yaitu 6,7% menjawab tidak pernah, 13,3% menjawab kadang-kadang, 33,3% menjawab sering, dan 46,7% menjawab selalu.
Tabel 4.26 Ketika anak bapak/ibu merasa cemburu dengan mainan adiknya yang lebih bagus, apakah anak bapak/ibu bertindak agresif dengan merusak mainan adiknya? No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
15
50%
2
Sering (SR)
10
33,3%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,3%
4
Tidak Pernah (TP)
1
3,4%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.26, dapat diambil kesimpulan bahwa setengahnya orang tua menyatakan bahwa anaknya bertindak agresif dengan merusak mainan adiknya ketika ia merasa cemburu dengan mainan adiknya yang lebih bagus. Hasil tersebut dapat diketahui dari 50% menjawab selalu, 33,3% menjawab sering, 13,3% menjawab kadang-kadang, dan hanya 3,4% yang menjawab tidak pernah.
83
Tabel 4.27 Secara tidak langsung menyuruh anak untuk berbohong. Misalnya, ketika ada tukang kredit datang, bapak/ibu berpesan kepada anak “bilang bapak/ibu sedang tidak ada di rumah”. No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
8
26,7%
2
Sering (SR)
13
43,3%
3
Kadang-kadang (KD)
5
16,7%
4
Tidak Pernah (TP)
4
13,3%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.27, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir setengahnya responden secara tidak langsung menyuruh anak untuk berbohong. Misalnya, ketika ada tukang kredit datang, bapak/ibu berpesan kepada anak “bilang bapak/ibu sedang tidak ada di rumah”. Hal tersebut dapat dilihat dari jawaban responden yang menjawab sering sebanyak 43,3%, yang menjawab selalu sebanyak 26,7%, yang menjawab kadangkadang sebanyak 16,7%, dan yang menjawab tidak pernah sebanyak 13,3%.
Tabel 4.28 Bertanya kepada anak tentang apa cita-citanya No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
8
26,7%
2
Sering (SR)
20
63,3%
3
Kadang-kadang (KD)
2
6,7%
4
Tidak Pernah (TP)
0
0
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.28, dapat diambil kesimpulan bahwa orang tua sebagian besar semuanya menanyakan tentang cita-cita anak. Terbukti dengan jawaban responden yang menjawab sering sebanyak 63,3%, yang menjawab selalu
84
sebanyak 26,7%, dan yang menjawab kadang-kadang hanya 6,7%. Tidak ada orang tua yang menjawab tidak pernah menanyakan tentang cita-cita anaknya. Ketika orang tua bertanya tentang apa cita-cita anak, berbagai jawaban atas pertanyaan tersebut diberikan anak mereka, diantaranya ada yang ingin: a. Menjadi dokter, karena ingin menolong orang yang sakit, dan jadi orang pertama yang menyembuhkan bapak/ibu ketika sakit. b. Menjadi polisi/polwan, karena ingin menangkap para penjahat, agar tercipta suasana aman dan damai, juga ingin menegakkan keadilan. c. Menjadi guru, karena ingin agar ilmunya bermanfaat, dan berguna bagi sesama. d. Menjadi bidan, karena ingin membantu orang melahirkan. e. Menjadi
pemain
sepak
bola,
ingin
menjadi
TIMNAS
Indonesia,
mengharumkan nama Indonesia melalui sepak bola. f. Menjadi presiden, karena ingin menjadi orang nomor satu di negeri ini. g. Menjadi TNI, penyanyi, pegawai kantoran dan lain sebagainya. Dengan demikian orang tua sudah mencoba membantu merumuskan untuk menentukan apa cita-cita anak kedepannya, meskipun hal ini bukanlah tujuan akhir hidup anak.
Tabel 4.29 Menanyakan keinginan anak dan bertanya tentang alasannya mengapa anak berkeinginan demikian No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
7
23,3%
2
Sering (SR)
14
46,7%
3
Kadang-kadang (KD)
7
23,3%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.29, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir dari setengahnya responden bertanya kepada anak bapak/ibu jika anak bapak/ibu sudah besar nanti ingin apa, pernahkah bapak/ibu menyakan alasannya mengapa anak
85
bapak/ibu berkeinginan demikian. Terbukti dengan jawaban responden yang menjawab sering sebanyak 46,7%, sebanyak 23,3% menjawab selalu dan kadangkadang, dan hanya 6,7% yang menjawab tidak pernah. Ketika ornag tua bertanya kepada anak tentang apa yang menjadi keinginannya dan alasan mengapa ingin demikian, berbagai jawaban diberikan anaknya, diantaranya: a. Ingin bekerja, cari uang, bantu meringan bapak/ibu. b. Ingin sekolah tinggi, agar mudah mencapai keinginan tersebut. c. Ingin memiliki kendaraan untuk bersekolah. d. Ingin jadi orang kaya agar semua yang diinginkan mudah dicapai. e. Ingin punya rumah, biar tidak mengontrak lagi. f. Ingin jadi anak soleh/soleha dan berbakti kepada orang tua. g. Ingin lebih baik dari sekarang dan lain-lain. Sampai disini apa yang ditanyakan kepada anak dan diinginkan anak tersebut, berarti orang tua sudah membantu dan mencoba merumuskan tujuan hidup anak-anaknya.
Tabel 4.30 Mengajarkan anak membaca Al-Qur‟an No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
6
20%
2
Sering (SR)
7
23,3%
3
Kadang-kadang (KD)
15
50%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.30, dapat diambil kesimpulan bahwa hanya sebagian kecil orang tua yang mengajarkan anaknya membaca Al-Qur‟an. Hal tersebut terlihat dari 20% atau 6 orang yang menjawan selalu, 23,3% atau 7 orang menjawab sering, 50% atau 15 orang menjawab kadang-kadang, dan 6,7% atau 2 orang menjawab tidak pernah.
86
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa upaya orang tua untuk mengajarkan anaknya membaca Al-Qur‟an masih sangat rendah, hal tersebut terlihat dari besarnya jawaban kadang-kadang yang dipilih orang tua, begitupun dari hasil pengamatan dan wawancara penulis kepada responden yang menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua tidak pernah mengajarkan anak membaca Al-Qur‟an di rumah. Dikarenakan berbagai hal seperti kedua orang tuanya bekerja, para orang tua lebih mempercayakan atau menitipkan anak mereka untuk diajarkan membaca Al-Qur‟an kepada guru ngaji atau sekolah agama.
Tabel 4.31 Menjelaskan arti/makna Al-Qur‟an yang dibaca anak No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
5
16,7%
2
Sering (SR)
2
6,7%
3
Kadang-kadang (KD)
17
56,6%
4
Tidak Pernah (TP)
6
20%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.31, dapat diambil kesimpulan bahwa lebih dari setengahnya orang tua yang menjelaskan tentang arti/makna Al-Qur‟an yang dibaca anaknya. Hal tersebut dapat diketahui dengan jawaban kadang-kadang yang prosentasenya lebih banyak sekitar 56,6%, yang menjawab tidak pernah sebanyak 20%, yang menjawab selalu sebanyak 16,7% dan yang menjawab sering sebanyak 6,7%.
87
Tabel 4.32 Menceritakan kisah-kisah para Nabi seperti kisah Nabi Muhammad atau kisah Nabi lainnya kepada anak No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
3
10%
2
Sering (SR)
7
23,3%
3
Kadang-kadang (KD)
6
20%
4
Tidak Pernah (TP)
14
46,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.32, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir dari setengah responden tidak pernah menceritakan kisah-kisah para Nabi seperti kisah Nabi Muhammad atau kisah Nabi lainnya kepada anak. Hal tersebut terlihat dari 10% atau 3 orang yang menjawab selalu, 23,3% atau 7 orang yang menjawab sering, 20% atau 6 orang menjawab kadang-kadang dan 46,7% atau 14 orang menjawab tidak pernah. Dari hasil wawancara penulis kepada salah satu orang tua, beliau mengatakan, “saya tidak pernah menceritakan kisah-kisah para Nabi dikarenakan saya juga kurang mengetahui bahkan tidak hafal kisah-kisah para Nabi”.1 Berdasarkan pengamatan penulis, bertolak belakang dari latar belakang pendidikan orang tua yang mayoritas hanya berpendidikan SD/Sederajat, mereka tak tahu betul kisah-kisah terdahulu seperti kisah-kisah para Nabi dan lain sebagainya. Dari hal dapat diketahui bahwa upaya orang tua menceritakan kisahkisah para Nabi kepada anak masih sangat rendah.
1
Wawancara dengan orang tua, Ibu Nurhayati, (pada tanggal 22-Desember-2013), Pukul 10.00 WIB.
88
Tabel 4.33 Meneladani kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu tersebut dalam kehidupan sehari-harinya No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
2
6,7%
2
Sering (SR)
4
13,3%
3
Kadang-kadang (KD)
6
20%
4
Tidak Pernah (TP)
18
60%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.33, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar orang tua tidak memberikan penjelasan kepada anak untuk meneladani kisahkisah para Nabi dan umat terdahulu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berdasarkan hasil penelitian bahwa 2 orang atau 6.7% orang tua memilih jawaban selalu, 4 orang atau 13,3% menjawab sering, 6 orang atau 20% menjawab kadangkadang, dan 18 orang atau 60% menjawab tidak pernah. Dari hasil tersebut maka dapat penulis simpulkan bahwa karena orang tua di lingkungan RT 004 sebagian besar tidak pernah memberikan cerita kisah para Nabi kepada anaknya, maka banyak pula orang tua yang tidak pernah memberikan penjelasan hikmah atau pelajaran dari kisah-kisah para Nabi atau umat terdahulu untuk dijadikan sebagai teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Tabel 4.34 Mengajarkan anak untuk shalat dan berpuasa No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
4
13,3%
2
Sering (SR)
8
26,7%
3
Kadang-kadang (KD)
14
46,7%
4
Tidak Pernah (TP)
4
13,3%
30
100%
Jumlah
89
Berdasarkan tabel 4.34, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir setengahnya dari responden yang ada hanya kadang-kadang mengajarkan anak untuk shalat dan berpuasa. Hal itu dapat terlihat dari 4 orang atau 13,3% menjawab Selalu mengajarkan anak untuk shalat dan berpuasa, 8 orang atau 26,7% menjawab sering, 14 orang atau 46,7% menjawab kadang-kadang, dan 4 orang atau 13,3% menjawab tidak pernah.
Tabel 4.35 Menyanyikan lagu-lagu rohaniah (shalawatan) kepada anak No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
15
50%
2
Sering (SR)
10
33,3%
3
Kadang-kadang (KD)
3
10%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.35, dapat diambil kesimpulan bahwa setengahnya responden menyanyikan lagu-lagu rohaniah (shalawatan) kepada anak. Terbukti dengan jawaban responden yang menyatakan 50% menjawab selalu, mereka beralasan menyanyikan atau melantunkan nyanyian rohani untuk mengenalkan kepada anak agar lebih tau dan lebih mengenal Nabi dan Rasul, melalui shalwatan agar anaknya ingat dengan ajaran agama Islam dan Nabinya., juga tau lagu-lagu Islam. Selain itu juga memberikan warna baru dalam pelajaran bernyanyi, dan ada juga yang melantunkan shalawat sebagai pengantar agar anak cepat tertidur. Sedangkan sisanya 33,3% menjawab sering, 10% menjawab hanya kadangkadang, dan 6,7% menjawab tidak pernah dengan alasan tidak tau, tidak hafal atau sibuk dengan pekerjaan.
90
Tabel 4.36 Mengajak anak bapak/ibu pergi rekreasi ke alam terbuka, seperti ke pantai, ke gunung dan lain-lain No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
2
6,7%
2
Sering (SR)
8
26,7%
3
Kadang-kadang (KD)
14
46,6%
4
Tidak Pernah (TP)
6
20%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.36, dapat diambil kesimpulan bahwa orang tua hanya kadang-kadang saja mengajak anak untuk pergi rekreasi ke alam terbuka. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil angket yang telah dihitung, sebanyak 2 orang atau 6,7% orang tua menjawab selalu mengajak anak untuk rekreasi, 8 orang atau 26,7% menjawab sering, 14 orang atau 46,6% menjawab kadang-kadang, dan 6 orang atau 20% menjawab tidak pernah. Mereka yang menjawab tidak pernah (berdasarkan hasil observasi) karena mereka berasal dari keluarga yang ekonominya boleh dibilang kurang mampu, jangankan untuk berlibur untuk pergi rekreasi, kadang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-haripun mereka masih kekurangan.
Tabel 4.37 Mengajak anak untuk bermeditasi dan mengucapkan syukur kepada Allah sebelum beranjak tidur No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
6
20%
2
Sering (SR)
18
60%
3
Kadang-kadang (KD)
4
13,3%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
91
Berdasarkan tabel 4.37, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar orang tua mengajak anaknya untuk bermeditasi dan mengucap syukur kepada Allah sebagai penutup hari sebelum beranjak tidur. Hal ini terbukti dengan jawaban responden sebesar 60% menjawab sering, 20% menjawab selalu, 13,3% menjawab kadang-kadang, dan 6,7% menjawab tidak pernah.
Tabel 4.38 Membiasakan anak untuk menatap ke langit dan alam sekitar dipagi hari kemudian berterima kasih dan bersyukur atas semua nikmat yang diberikan Allah No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
4
13,3%
2
Sering (SR)
6
20%
3
Kadang-kadang (KD)
18
60%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.38, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar orang tua hanya kadang-kadang sajja mengajak anak untuk membiasakan menatap ke langit dan alam sekitar dipagi hari kemudian berterima kasih dan bersyukur atas semua nikmat yang diberikan Allah. Hal ini terbukti dengan jawaban responden sebanyak 60% yang menjawab kadang-kadang, 20% menjawab sering, 13,3% menjawab selalu, dan 6,7% menjawab tidak pernah.
Tabel 4.39 Menjenguk teman anak bapak/ibu yang sedang sakit No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
10
33,3%
2
Sering (SR)
12
40%
3
Kadang-kadang (KD)
7
23,3%
4
Tidak Pernah (TP)
1
3,4%
30
100%
Jumlah
92
Berdasarkan tabel 4.39, dapat diambil kesimpulan bahwa hamper setengahnya dari responden menyatakan menjenguk temannya ketika sedang sakit. Hal ini terbukti dengan sebanyak 40% responden menjawab sering, 33,3% menjawab selalu, 23,3% menjawab kadang-kadang, dan hanya 3,4% yang menjawab tidak pernah.
Tabel 4.40 Membiasakan membantu melakukan pekerjaan bapak/ibu No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
18
60%
2
Sering (SR)
8
26,7%
3
Kadang-kadang (KD)
3
29,9%
4
Tidak Pernah (TP)
1
3,4%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.40, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar anak membantu pekerjaan bapak/ibu, misalnya ketika ibu sedang memasak di dapur, anak bapak/ibu membantunya, atau membantu melakukan pekerjaan bapak/ibu yang lainnya. Hal ini terbukti dari jawaban responden yang menjawab selalu sebanyak 60%, yang menjawab sering sebanyak 26,7%, yang menjawab kadang-kadang 29,9%, dan yang menjawab tidak pernah hanya 3,4%
Tabel 4.41 Mendengarkannya dengan penuh perhatian/antusias Ketika anak bapak/ibu berbicara No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
7
23,3%
2
Sering (SR)
10
33,3%
3
Kadang-kadang (KD)
11
36,7%
4
Tidak Pernah (TP)
2
6,7%
30
100%
Jumlah
93
Berdasarkan tabel 4.41, dapat diambil kesimpulan bahwa hanya sebagian kecil orang tua yang mendengarkan dengan penuh perhatian/antusias ketika anaknya sedang berbicara. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukkan 36,7% responden menjawab kadang-kadang, 33,3% menjawab sering, 23,3% menjawab selalu dan hanya 6,7% yang menjawab tidak pernah.
Tabel 4.42 Mengajarkan kepada anak agar mengalah demi kebaikan No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
7
23,3%
2
Sering (SR)
10
33,3%
3
Kadang-kadang (KD)
10
33,3%
4
Tidak Pernah (TP)
3
10,1%
30
100%
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.42, dapat diambil kesimpulan bahwa hanya sebagian kecil orang tua yang mengajarkan anaknya untuk mengalah demi kebaikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang ada menunjukkan responden yang menjawab sering dan kadang-kadang sebanyak 33,3%, yang menjawab selalu 23,3%, dan 10,1% menjawab tidak pernah dengan alasan bahwa anak harus punya prinsip dan mempertahankan prinsipnya tersebut.
Tabel 4.43 Membiasakan anak untuk meminta maaf jika berbuat kesalahan No
Kategori Jawaban
Frekuensi
Prosentase
1
Selalu (SL)
5
16,7%
2
Sering (SR)
7
23,3%
3
Kadang-kadang (KD)
18
60%
4
Tidak Pernah (TP)
0
0
30
100%
Jumlah
94
Berdasarkan tabel 4.43, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar orang tua hanya kadang-kadang membiasakan anak untuk meminta maaf jika berbuat kesalahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya responden yang menjawab dengan jawaban kadang-kadang sebanyak 60%, 23,3% menjawab sering, 16,7% menjawab selalu dan tidak ada orang tua yang tidak membiasakan anaknya untuk meminta maaf jika berbuat kesalahan.
C. Interpretasi Data Berdasarkan data-data yang telah terkumpul dan setelah data tersebut di analisis, maka dapat diinterpretasikan bahwa peran orang tua dalam pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak di lingkungan RT 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara belumlah berjalan sesuai dengan yang peneliti harapkan. Selama observasi penulis mengamati masih banyak orang tua yang belum mampu untuk menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Masih banyak anak yang berperilaku kurang baik dan selalu mengucapkan kata-kata yang tidak baik pula. Disinilah penulis akan menjelaskan upaya orang tua dalam pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak di RT 005, seperti di jelaskan dari hasil observasi, wawancara kepada orang tua dan angket adalah sebagai berikut: 1. Upaya Orang Tua dalam Memberikan Teladan Anak cenderung lebih mudah menerapkan hal-hal yang dilihatnya dari pada hal-hal yang didengarnya, karena kemampuan berpikirnya belum berkembang secara matang, sehingga keteladanan menjadi factor penting dari hal baik buruknya anak. Keteladanan yang diberikan oleh orang tua di lingkunagn RT 004 ini sangat kurang, karena banyak orang tua yang cuek dengan tingkah lakunya yang akan dilihat dan ditiru oleh anak, juga dengan ucapan orang tua yang kurang baik, sehingga banyak anak yang selalu mengucapka kata-kata yang tidak baik, begitupun keteladanan dalam aspek ibadah, banyak orang tua yang jarang mengajak anak-anaknya untuk shalat dan mengaji bersama-sama dan membiarkan anaknya untuk selalu bermain bahkan ada
95
beberapa orang tua yang jarang melakukan ibadah shalat ataupun membaca Al-Qur‟an, hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil angket, dan pengamatan penulis. 2. Upaya Orang Tua dalam Mendidik Anak Dalam upaya orang tua memberikan didikan kepada anak terutama pendidikan agama di lingkungan RT 004 ini sangat rendah, dikarenakan sebagian besar orang tua menyerahkan dan mempercayai anak kepada lembaga-lembaga ke-Islaman seperti TK/TPA dan sekolah yang berciri khas Islam, orang tua jarang memberikan didikkan agama di rumah dikarenakan sedikitnya waktu orang tua berada di rumah karena kesibukannya di dunia pekerjaan, juga dikarenakan minimnya pengetahuan orang tua dalam hal keagamaan. Hal tersebut berdasarkan hasil angket, pengamatan dan wawancara penulis yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah persen orang tua jarang dan tidak pernah mengajarkan anak melakukan kegiatan keagamaan seperti shalat, membaca Al-Qur‟an, mengajarkan doa-doa pendek dan lain sebagainya. 3. Kasih Sayang yang Diberikan Orang Tua Rasa kasih sayang adalah kebutuhan jiwa yang paling pokok dalam hidup manusia. Anak kecil yang merasa kurang disayangi oleh kedua orang tuanya bathinnya akan merasa sepi. Kasih sayang tesebut harus terpantul dalam sikap, tindakan, pelayanan dan kata-kata yang lembut yang membawa ketentraman batin bagi si anak. Dari hasil penelitian penulis, dapat diketahui bahwa semua orang tua di lingkungan RT 004 sangat menyayangi anaknya, akan tetapi kurang menunjukkan rasa kasih sayang itu kepada anaknya, seperti bertindak dan berkata yang tidak baik kepada anak ketika menegur anak yang melakukan salah, juga masih banyak orang tua yang mementingkan pekerjaannya daripada meluangkan waktu untuk anaknya. 4. Hambatan yang dialami oleh Orang Tua Dari hasil penelitian, diketahui ada beberapa faktor yang melatar belakangi, diantaranya:
96
1) Orang Tua Hambatan bisa datang dari orang tua sendiri, jika orang tua sibuk bekerja dan minim waktu untuk bersama anak menjadi faktor penghambat paling utama. Mereka lebih mempercayai menyekolahkan anak mereka di lembaga ke-Islaman agar menjadi pribadi yang lebih unggul dibandingkan orang tuanya. 2) Lingkungan Adanya pengaruh lingkungan, dimana anak tidak saja meniru kedua orang tuanya tapi juga akan meniru lingkungan terdekatnya, dalam hal ini adalah teman-temannya, jika temannya tersebut tidak melakukan ibadah serta mengucapkan kata yang tidak baik, maka anak akan menirunya.
Anak akan memberi jawaban pembenaran ketika
disuruh untuk shalat misalnya, anak akan menjawab “bunda, si fulan saja tidak shalat”. 3) Media Elektronik Media elektronik memiliki andil yang cukup besar dalam keseharian. Perkembangan zaman modern seperti sekarang ini ditemukan banyak acara-acara di televisi yang mengikuti budaya luar. Anak akan sangat cepat mengikuti tayangan di televisi, jika ditelevisi terdapat contoh-contoh yang tidak baik dari segi bahasa ataupun sikap, anak akan cepat menirunya. Selain berpengaruh pada perilaku anak, tayangan televisi juga dapat membuat anak enggan dan malas mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh orang tua. 4) Selau Ingin Bermain Adanya
kecendrungan
anak
untuk
terus
bermain
serta
dominannya sifat egosentris anak sehingga setiap keinginan harus selalu dipenuhi, hal ini kerap kali menyulitkan orang tua ketika harus melatih anak karena anak menjadi tidak patuh dan sulit untuk diajak bekerja sama.
97
Berdasarkan data
yang penulis
dapatkan,
dapat
diambil
kesimpulan bahwa orang tua dituntut memainkan peranannya dengan sebaik-baiknya dalam memberikan bimbingan berupa keteladanan yang baik untuk para generasinya. Namun realita membuktikan bahwa masih banyak orang tua yang kurang berupaya memberikan teladan yang baik untuk anaknya. Orang tua seakan-akan memberikan kepercayaan penuh pada instansi yang membimbing anaknya dan memandu anaknya agar menjadi anak yang cerdas emosional dan spiritualnya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah dipaparkan penulis, diperoleh kesimpulan bahwa orang tua sangat berperan penting dalam pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anaknya. Penulis mengambil kesimpulan bahwa orang tua di lingkungan RT. 004 RW. 01 tersebut dapat dikatakan kurang baik dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak, dan masih perlu ditingkatkan kembali dalam memberikan bimbingan kepada anak. Dalam membimbing atau membina anak-anaknya, para orang tua tersebut memberikan pendidikan agama belumlah memadai, sementara keteladanan dan pengawasan orang tua dalam seluruh aktifitas anaknya termasuk belajar di sekolah maupun di lingkungan masyarakat belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena secara umum para orang tua cukup sibuk dengan kegiatannya masing-masing seperti bekerja. Padahal seluruh orang tua mengharapkan anaknya menjadi anak baik dan cerdas secara emosional dan spiritualnya, namun upaya yang dilakukannya kurang maksimal. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran kepada para orang tua, terutama yang sibuk bekerja, sebaiknya luangkan waktu berkualitas untuk mendidik dan membimbing anaknya di rumah. Dan walau
98
99
bagaimanapun kasih sayang dan perhatian dari orang tua sangatlah dibutuhkan oleh anak.sangat disayangkan apabila pada fase penting perkembangan anak, orang tua tidak memperhatikannya atau bahkan tidak tau apa yang harus dilakukannya untuk mengembangkan potensi anaknya, terutama kecerdasan emosional dan spiritualnya. Kebiasan-kebiasan yang baik perlu ditanamkan sejak kecil, karena segala hal yang ditanamkan kepada anak akan menjadi dasar atau pondasi ketika mereka sudah dewasa. Intinya, jadilah teladan yang baik untuk anak.
DAFTAR PUSTAKA Adriana, Elga. Tanya Jawab Problem Anak Usia Dini Berbasis Gender, Yogyakarta: Kanisius, Cet. V, 2006. Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ, The ESQ Way 165). Jakarta: Arga, 2005. __________, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga, cet. I, 2001. Agustina. IQ, Prestasi Belajar di Sekolah, dan Kecerdasan Emosional Siswa Remaja. Jurnal Provitae. Vol. 2, No. 2, November 2006. Ali, Atabih. Kamus Inggris Indonesia Arab. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, cet. I, 2003. Ali, M. Nashir. Dasar-dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: Balai Pustaka, 1987. As-Said, Al-Maghribi bin Al-Maghribi. Begini Seharusnya Mendidik Anak (Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan Hingga Dewasa),Terj. dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zaenal Abidin. Jakarta: Daarl Haq, 2004. Berry, Davit. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Cooper, Robert K. Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi Ter, Alex Tri Kantjo Widodo, Emotional Intellegence in Leadership and Organizations. Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. I, 2003. Craig, Sidney D. Mendidik dengan Kasih, Terj. dari Raising Your Child, Not by Force but by Love oleh YB Tugiarso. Yogyakarta: Kanisius. 1990. Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XVII, 2005. ___________ , Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung, Cet. XXIII, 2001.
100
101
___________, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet. III, 2000. ____________, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi aksara, Cet. VI, 2006. ____________, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV. Ruhama, cet. II, 1995. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Mizan. Cet. I, 2009. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. I, 1988. Djumhur dan Moh. Surya. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1975. Effendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta. Cet. I, 2005. Effendi, E. Usman dan Juhana S. Praja. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa, 1993. Goleman, Daniel. Emotional Intelligence; Kecerdasan Emosional, Penterjemah, T. Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. X, 2000. Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah. Bandung: Al-Bayan, cet. II, 1995. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Husain Al-Bari, Subhan. Agar Anak Rajin Shalat. Yogyakarta: Diva Press, 2011. Imam Al-Qurthubi, Syaikh. Tafsir Al-Qurthubi, Terj. dari Al- Jami’ Lil Ahkam AlQur’an, oleh Mahmud Hamid Utsman dan M. Ibrahim Hifnawi. Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid. 18, Cet. 1, 2009. Kartono, Kartini. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2008. ____________. Peranan Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Sinergi Indonesia, 2012.
102
Mubayidh, Makmun. Kecerdasan Kesehatan Emosional Anak. Jakarta: PT. Pustaka Al-Kautsar, 2006. Munawwi, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, cet. XIV, 1997. Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, cet. I, ed. 1, 1995. Ngermanto, Agus. Quantum Quotient (Keceradasan Quantum): Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis. Bandung: Nuansa, 2001. Nuraida. Character Building untuk Guru. Jakarta: Aulia Publishing House, 2007. Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985. Rajih, Hamdan. Spiritual Quotient for Children. Jogjakarta: Diva Press, 2005. Ramayulis. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia, 2002. Sabri, M. Alisuf. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Ilmu Jaya, 1996. Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. V, 2000. Satiadarma, Monty P. dan Fidellis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan Pedoman bagi Orang Tua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003. Segal, Jeanne. Melejitkan Kepekaan Emosional. Bandung: Kaifa, 2002. Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intelligent Pada Anak. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997. Siahan, Henry N. Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak. Bandung: Angkasa, Cet. I, 1991. SJ, JDrost. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: Gramedia, 1999. Sobur, Alex. Anak Masa Depan. Bandung: Angkasa, cet. X, 1986. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, cet. IV, 1990.
103
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008. Sujiono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja GrafindoPersada, Cet. XXI, 2006. Sujiono, Bambang dan Juliani Nurani Sujiono. Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005. Sukmadinata, Nana Syaodah. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. I, 2003. Suwaid, Mahmud Ibnu Abdul Hafidh. Cara Nabi Mendidik Anak,Terj. dari Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Lith Thifli, oleh Hamim Thohari, dkk. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, Cet. 1, 2004. Syah, Muhibin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosda Karya, cet. VI, 2001. Syarkawi, Pembentukkan Kepribadian Anak, Peran Moral, Orang Tua, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: Bumi Aksara, cet. I, 2006. Tafsir, A. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya, cet. III, 1992. Tebba, Sudirman. Kecerdasan Sufistik: Jembatan Menuju Makrifat. Jakarta: Kencana, Cet. II, 2004. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, ed. 3, 2007. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Media Wacana Press. Cet. III, 2003. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Wauran. Pendidikan Anak Sebelum Sekolah. Bandung: Indonesia Publishing House, Cet. 6, 1977.
104
Widagho, Djoko, dkk. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 1994. Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan, cet. V, 2001. Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
UJI REFRENSI
Nama
: Khairatul Maghfirah
NIM
: 109011000051
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam (PAI)
Judul
: Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak (Study Kasus di Lingkungan RT. 004, RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan – Jakarta Utara)
No
Refrensi
Halaman Skripsi
BAB I 1
Shahih Muslim, juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby, t.t), h. 455.
1
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang System 2
Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Media Wacana Press,
2
2003), Cet. III, h. 12. 3
4
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, juz 1 (Bandung: Mizan, 2009), cet. 1, h. 7. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Mizan, 2009), cet. 1 Agus Effendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfabeta, 2005), cet. I, h. 180.
2
3
4
Daniel Goleman, Emotional Intelligence; Kecerdasan 6
Emosional, Penterjemah, T. Hermaya, (Jakarta: PT.
4
Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. X, h. 411. 7
Nuraida, Character Building untuk Guru, (Jakarta: Aulia Publishing House, 2007), h. 78.
5
Paraf
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan 8
Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan,
5
2001), h. 135. 9
Agus Effendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21. (Bandung: Alfabeta, 2005), Cet. I, h. 209.
5
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun 10
Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ), (Jakarta: Arga,
6
2001), Cet. I, h. 57. 11
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. XVII, h. 67.
6
Elga Adriana, Tanya Jawab Problem Anak Usia Dini 12
Berbasis Gender, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), Cet. V,
6
h. 128. BAB II 13
14
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 333. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), cet. IV, h. 269.
9
9
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar 15
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), ed. 3,
9
h. 854. 16
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. I, ed. 1, h. 73.
10
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, 17
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. V, h.
10
224. 18
Davit Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 106.
10
Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di 19
Sekolah, (Bandung: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1975), h. 12.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus 20
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
11
cet. I, h. 627. Ahmad Warson Munawwi, Kamus Al-Munawwir Arab 21
Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,
11
1997), cet. XIV, h. 1580. 22
23
24
25
26
27
28
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sinergi Indonesia, 2012) Atabih Ali, Kamus Inggris Indonesia Arab, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), cet. I, h. 593. Kartini Kartono, Peranan Keluarga, (Jakarta: Rinaka Cipta, 2003), h. 37. M. Nashir Ali, Dasar-dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), h. 77. Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 2006), cet. VI, h. 35. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 155. Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. II, h. 49.
11
11
12
12
13
14
14
Mahmud Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, Cara Nabi 29
Mendidik Anak,Terj. dari Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Lith
Thifli, oleh Hamim Thohari, dkk, (Jakarta: Al-
14
I’tishom Cahaya Umat, 2004), Cet. 1, hal. 94. Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak (Panduan Mendidik Anak Sejak Masa 30
Kandungan Hingga Dewasa),Terj. dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zaenal Abidin, (Jakarta: Daarl Haq, 2004), hal. 383-385.
15
Sidney D Craig, Mendidik dengan Kasih, Terj. dari 31
Raising Your Child, Not by Force but by Love oleh YB
15
Tugiarso, ( Yogyakarta: Kanisius. 1990), .hal. 87. Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan 32
Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), cet. II, h. 49.
15
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligent 33
Pada Anak, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
16
1997), h. 29. 34
35
36
37
Alex Sobur, Anak Masa Depan, (Bandung: Angkasa, 1986), cet. X, h. 215. Henry N. Siahan, Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak, (Bandung: Angkasa, 1991), cet. I, h. 63. Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 2001), cet. XXIII, h. 88. Djoko Widagho, dkk., Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 43.
16
17
18
19
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Terj. dari 38
Al- Jami’ Lil Ahkam Al-Qur’an, oleh Mahmud Hamid Utsman dan M. Ibrahim Hifnawi, (Jakarta: Pustaka
21
Azzam, 2009), Juz. 28, Jilid. 18, Cet. 1, hal. 744. 39
40
41
42
43 44
Wauran, Pendidikan Anak Sebelum Sekolah, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1977), Cet. 6, hal. 20. Subhan Husain Albari, Agar Anak Rajin Shalat, (Yogyakarta: Diva Press, 2011), h. 19-21. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 39-43. JDrost SJ, Proses Pembelajaran sebagai Proses
E. Usman Effendi dan Juhana S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 79. Sujiono
dan
Juliani
Nurani
22
24
26
Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 22-24.
Bambang
22
Sujiono,
27 27
Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), h. 120. Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligent 45
Pada Anak (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
27
1997), h. 5. Robert K. Cooper, Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi Ter, Alex Tri Kantjo 46
Widodo, Emotional Intellegence in Leadership and
28
Organizations, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), cet. I, h. XV. Nana Syaodah Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses 47
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), cet. I,
28
h. 97. Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai 48
Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
28
2000), cet. III, h. 9. 49
50
Jeanne
Segal,
Melejitkan
Kepekaan
Emosional,
(Bandung: Kaifa, 2002), h. 27. Ramayulis, Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 92.
28
29
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligent 51
Pada Anak (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
29
1997), h. 5. 52
A. Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1992), cet. III, h. 50.
29
Syarkawi, Pembentukkan Kepribadian Anak, Peran 53
Moral, Orang Tua, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta:
30
Bumi Aksara, 2006), cet. I, h. 19-20 54
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (bandung: Rosda Karya, 2001), cet. VI, h. 135.
31
55
Makmun Mubayidh, Kecerdasan Kesehatan Emosional Anak, (Jakarta: PT. Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 7
32
Daniel Goleman, Emotional Intelligence; Kecerdasan 56
Emosional, Penterjemah, T. Hermaya, (Jakarta: PT.
32
Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 64. Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 57
12, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h.
33
322. Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 58
27, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h.
34
788. 59
60
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 4, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 84. M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Ilmu Jaya, 1996), h. 85.
34
35
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 61
24, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h.
35
666. Daniel Goleman, Emotional Intelligence; Kecerdasan 62
Emosional, Penterjemah, T. Hermaya, (Jakarta: PT.
36
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 135-136. Agustina, 63
IQ,
Prestasi
Belajar
di
Sekolah,
dan
Kecerdasan Emosional Siswa Remaja. Jurnal Provitae.
36
Vol. 2, No. 2, November 2006, h. 72. Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun 64
Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ, The ESQ Way
36
165), (Jakarta: Arga, 2005), h. 42. Bambang 65
Sujiono
dan
Juliani
Nurani
Sujiono,
Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), h. 115.
37
Monty P. Satiadarma dan Fidellis E. Waruwu, Mendidik 66
Kecerdasan Pedoman bagi Orang Tua dan Guru dalam
39
Mendidik Anak Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), h. 55. Bambang 67
Sujiono
dan
Juliani
Nurani
Sujiono,
Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta:
39
PT. Elex Media Komputindo, 2005), h. 116. 68
69
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 480. Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), cet. I, h. 480.
39
39
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ, Memanfaatkan 70
Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. (Bandung: Mizan,
40
2001), cet. V, h. 8. Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun 71
Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2001),
41
cet. I, h. xxxix. Agus Ngermanto, Quantum Quotient (Keceradasan 72
Quantum): Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang
42
Harmonis, (Bandung: Nuansa, 2001). h. 40. 73
74
75
Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik: Jembatan Menuju Makrifat. (Jakarta: Kencana, 2004). Cet. II, h. 24. Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 8, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 193. Hamdan
Rajih.
Spiritual
Quotient
for
Children,
(Jogjakarta: Diva Press, 2005). h. 165.
42
50
50
BAB III 76
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
56
2008), hal. 3. 77
78
80
Nurul
Zuriah,
Metodologi
Penelitian
Sosial
dan
Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), hal. 47 Husaini Usman dan Purnomo Setiady, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 52 Anas Sujiono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006), Cet. 21, hal. 43
57
58
61
BAB IV 81
Wawancara dengan orang tua, Ibu Nurhayati, (pada tanggal 22-Desember-2013), Pukul 10.00 WIB.
87
Jakarta, 17 April 2014 Dosen Pembimbing
Dr. Sururin, MA NIP. 19710319 199803 2 001
ANGKET Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak di Lingkungan RT. 004 RW 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara
PENGANTAR Dalam rangka mengumpulkan data bahan penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mengharapkan bantuan bapak/ibu untuk menjawab pertanyaan penulis. Dalam hal ini tidak ada jawaban yang benar ataupun salah, tetapi jawaban-jawaban yang paling baik adalah apabila bapak/ibu memilih jawaban yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh bapak/ibu orang tua yang mempunyai anak usia 10 samapi 17 tahun.
A. Identitas Responden Nama Responden
: ……………………………………..
Jenis Kelamin/Umur
: Lk/Pr ……………………………....
Pekerjaan
: ……………………………………..
Pendidikan Terakhir
: ……………………………………..
Nama Anak
: ……………………………………..
Usia Anak
: ……………………………………..
B. Petunjuk Berilah tanda Ceklis (√) pada salah satu jawaban yang sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu.
C. Keterangan jawaban SL
: Selalu
SR
: Sering
KD
: Jarang
TP
: Tidak Pernah
No
1
Pertanyaan
SL
Apakah bapak/ibu menjelaskan kepada anak tentang adanya Allah? Apakah bapak/ibu membiasakan anak untuk
2
mendengarkan lantunan-lantunan ayat suci Al-Qur‟an? Apakah bapak/ibu mengikutsertakan anak
3
dalam kegiatan keagamaan seperti peringatan hari besar Islam? Apakah
4
bapak/ibu
membiasakan
anak
mengucapkan salam ketika hendak masuk atau keluar rumah?
5
6
Apakah bapak/ibu pernah bertanya kepada anak bapak/ibu tentang hobi mereka? Apakah bapak/ibu bertutur kata lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap anak? Apakah bapak/ibu memberikan perhatian
7
penuh kepada anak dengan meluangkan waktu sejenak untuk anak walau hanya sekedar menemaninya bermain sebentar?
8
Apakah bapak/ibu melarang anak bermain? Apakah bapak/ibu selalu meluangkan waktu
9
untuk berdongeng atau bercerita untuk anak sebagai pengantar sebelum anak tertidur?
10
11
Apakah
bapak/ibu
selalu
mengapreasiasi
apapun yang dilakukan oleh anak? Apakah bapak/ibu membiasakan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa yang baik?
SR
KD
TP
Apakah 12
anak
bapak/ibu
merasa
senang
apabila ia melaksanakan pekerjaannya dengan baik?
13
Apakah anak bapak/ibu mempunyai banyak teman di sekitarnya? Apakah anak bapak/ibu membiasakan berdoa
14
terlebih dahulu sebelum belajar, makan dan tidur atau menjawab salam ketika ada yang mengucapkan salam? Apabila
15
anak
meminta
sesuatu,
seperti
meminta dibelikan mainan, meminta uang dan lain-lain.
Apakah
bapak/ibu
langsung
memenuhinya? Apabila
anak
meminta
sesuatu,
seperti
meminta dibelikan mainan, meminta uang jajan dan lain-lain. Sedangkan bapak/ibu saat 16
itu tidak dapat memenuhinya karena alasanalasan
tertentu
(misalnya
sedang
tidak
memiliki uang). Apakah bapak/ibu meminta maaf atau menjelaskannya kepada anak mengapa bapak/ibu tidak memenuhinya? Apakah bapak/ibu memberikan anak buku17
buku, juz „amma, alat-alat tulis, alat-alat menggambar atau alat berhitung? Ketika anak sedang bermain, kemudian tiba
18
waktunya anak untuk belajar atau mandi atau makan. Apakah saat itu anak bapak/ibu langsung berhenti bermain?
19
Apakah
bapak/ibu
menciptakan
suasana
keluarga dengan penuh keterbukaan dengan
sesama anggota keluarga, misalnya jika ada masalah atau konflik yang timbul dalam keluarga diselesaikan secara bersama-sama dengan saling menghargai dan mendengarkan pendapat satu sama lain? Ketika anak bapak/ibu memiliki masalah (bertengkar) dengan temannya atau anggota 20
keluarga.
Apakah
menceritakannya
anak
kepada
bapak/ibu
bapak/ibu
dan
menyelesaikannya dengan cara baik-baik? Apakah 21
bapak/ibu
mengajarkan
kepada
semua anggota keluarga bapak/ibu untuk bersikap ramah/sopan atau santun kepada orang lain? Apakah bapak/ibu mengajarkan tentang apa
22
arti tanggung jawab melalui aktivitas seharihari
anak,
seperti
merapikan
kembali
mainannya tanpa harus diperintah? Ketika anak bapak/ibu merasa cemburu 23
dengan mainan adiknya yang lebih bagus, apakah anak bapak/ibu bertindak agresif dengan merusak mainan adiknya? Pernahkan bapak/ibu secara tidak langsung menyuruh anak untuk berbohong? Misalnya,
24
ketika ada tukang kredit datang, bapak/ibu berpesan kepada anak “bilang bapak/ibu sedang tidak ada di rumah”.
25 26
Apakah
bapak/ibu
pernah
menanyakan
kepada anak tentang apa cita-citanya? Apakah
bapak/ibu
pernah
menanyakan
kepada anak bapak/ibu jika anak bapak/ibu sudah besar nanti ingin apa, pernahkah bapak/ibu menyakan alasannya mengapa anak bapak/ibu berkeinginan demikian? 27
28
Apakah
bapak/ibu
mengajarkan
anak
membaca Al-Qur‟an? Apakah bapak/ibu menjelaskan arti/makna Al-Qur‟an yang dibaca anak? Apakah bapak/ibu menceritakan kisah-kisah
29
para Nabi seperti kisah Nabi Muhammad atau kisah Nabi lainnya kepada anak? Apakah anak bapak/ibu meneladani kisah-
30
kisah yang telah diceritakan tersebut di dalam kehidupan sehari-harinya?
31
Apakah
bapak/ibu
mengajarkan
anak
bapak/ibu untuk shalat dan berpuasa? Apakah bapak/ibu menyanyikan lagu-lagu
32
rohaniah
(shalawatan)
kepada
anak
bapak/ibu? Apakah bapak/ibu pernah mengajak anak 33
bapak/ibu pergi rekreasi ke alam terbuka, seperti ke pantai, ke gunung dan lain-lain? Apakah bapak/ibu selalu mengajak anak
34
untuk bermeditasi dan mengucapkan syukur kepada Allah sebelum beranjak tidur? Apakah bapak/ibu membiasakan anak untuk
35
menatap ke langit dan alam sekitar kemudian berterima kasih dan bersyukur atas semua nikmat yang diberikan Allah?
36
Ketika ada teman anak bapak/ibu yang sakit, apakah anak bapak/ibu ingin menjenguknya? Apakah anak bapak/ibu sering membantu pekerjaan bapak/ibu, misalnya ketika ibu
37
sedang memasak di dapur, anak bapak/ibu membantunya,
atau
anak
bapak/ibu
membantu melakukan pekrjaan bapak/ibu yang lainnya? Ketika anak bapak/ibu berbicara, apakah 38
bapak/ibu mendengarkannya dengan penuh perhatian/antusias? Ketika anak bapak/ibu bertengkar dengan
39
temannya, apakah bapak/ibu mengajarkan kepada anak agar mengalah demi kebaikan?
40
Apakah bapak/ibu membiasakan anak untuk meminta maaf jika berbuat kesalahan?
HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA RT. 004, KEL. KAMAL MUARA, KEC. PENJARINGAN JAKARTA UTARA
Nama
: Bpk. AHMADI
Jabatan
: Ketua RT 004
Hari/Tgl. Wawancara : Sabtu, 04 Januari 2014
1.
Berapakah jumlah penduduk di RT 004? Jawab: 315 penduduk
2.
Berapakah jumlah kepala keluarga di RT 004? Jawab: 74 Kepala Keluarga
3.
Berapakah jumlah keluarga di RT 004 yang memiliki anak berusia 10 sampai 17 tahun? Jawab: 30
4.
Bagaimana keadaan ekonomi dan pekerjaan orang tua di wilayah RT 004? Jawab: Penduduk di RT 004 sebagian besar berprofesi nelayan sebesar 50%, pekerja pabrik buruh sebanyak 35%, sisanya 15% adalah pedagang atau wiraswasta.
5.
Sarana apa saja yang tersedia untuk umum di lingkungan RT 004? Jawab: Sarana yang tersedia untuk kegiatan keagamaan masjid Al-Huda dan beberapa Mushala seperti Mushala Al-Khairiyah. Sarana pendidikan di wilayah ini adalah MI. Nurul Islam I. Sedangkan sarana umum lainnya yang berada di sekitar yaitu SDN 01,
SMPN 120,
di wilayah ini juga terdapat sarana
kesehatan berupa puskesmas, sarana umum lainnya adalah Sasana Krida Stadion Kamal Muara. 6.
Kegiaatan apa saja yang ada di lingkungan RT 004 RW 01 ini? Jawab: Aktifitas warga Kelurahan Kamal Muara RT. 004, RW. 01 Jakarta Utara adalah: Pengajian ibu-ibu setiap hari jum’at, Pengajian bapak-bapak setiap malam kamis, Pos yandu setiap tanggal 10 dan Kerja bakti tiap dua
pekan. Sedangkan pengajian untuk anak-anak dan remaja berlangsung setiap hari kecuali malam Jum’at di adakan di rumah guru ngaji tersebut. 7.
Bagaimana menurut Bapak tentang keadaan warga dari segi agama? Jawab: bertolak dari latar belakang pendidikan orang tua yang mayoritas hanya lulusan SD/sederajat, bahkan ada beberapa yang tidak tamat SD bahkan tidak bersekolah, mereka masih sangat kurang dari segi agama, sebagian buta aksara, jangan kan membaca dan memahami Al-Qur’an yang berbahasa Arab, tulisan berbahasa Indonesia saja mereka tidak bisa. Para orang tua banyak yang bekerja kedua-duanya (ayah dan ibu), sehingga anak mereka kurang mendapat perhatian dan bimbingan dari orang tua mereka, terlebih dalam hal yang menyangkut keagamaan.
HASIL WAWANCARA DENGAN ORANG TUA DI RT. 004 KEL. KAMAL MUARA KEC. PENJARINGAN, JAKARTA UTARA Pelaksanaan
: Senin, 06 Januari 2014
Waktu
: 13.00
Nama
: Eli
NamaAnak
: Alya Audria (10 tahun)
1.
Pendidikan terakhir ibu dan bapak? Jawab: saya tamatan SLTA/sederajat, sedangkan suami saya hanya lulusan SMP.
2.
Profesi ibu dan bapak? Jawab: saya hanya sebagai ibu rumah tangga, bapak sehari-hari bekerja di Pelelangan Ikan.
3.
Bagaimana pendapat ibu tentang peran orang tua dalam pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak? Jawab: jujur, peran orang tua sangat penting dan besar pengaruhnya untuk anak agar ia menjadi anak yang masa perkembangan tumbuh dengan optimal. Namun saya bukanlah orang tua yang cakap dari segi keagamaan, kadang malu melihat anak saya shalat, sedangkan saya lalai.
4.
Upaya apa yang diambil oleh orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak? Jawab: saya mempercayakan kepada pihak sekolah, agar anak saya menjadi insan yang beradab dan berakhlak yang baik. Selain sekolah anak saya juga mengaji, agar ia tak seperti saya, agar anak saya punya bekal keagamaan yang cukup.
5.
Hambatan yang dialami bapak/ibu dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak? Jawab: hambatannya karena dari diri saya pun kurang cakap dalam hal keagamaan, sedangkan emosional kadang saya secara tidak langsung bukanlah orang tua yang memberikan teladan yang baik dalam mengelola emosi.
HASIL WAWANCARA DENGAN ORANG TUA DI RT. 004 KEL. KAMAL MUARA KEC. PENJARINGAN, JAKARTA UTARA Pelaksanaan
: Senin, 06 Januari 2014
Waktu
: 10.00
Nama
: Nurhayati
NamaAnak
: Ardi (16 tahun)
1. Pendidikan terakhir ibu dan bapak? Jawab: saya tamatan SLTA/sederajat, sedangkan suami saya hanya lulusan SMA. 2.
Profesi ibu dan bapak? Jawab: saya hanya sebagai ibu rumah tangga, bapak sehari-hari bekerja di Pelelangan Ikan.
3. Bagaimana pendapat ibu tentang peran orang tua dalam pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual anak? Jawab: sangat penting, karena orang tualah yang pertama kali ia kenal. 4. Upaya apa yang diambil oleh orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak? Jawab: saya men-sekolahkan di lingkungan MI yang banyak ilmu agamanya, agar anak saya berakhlak yang baik. Selain sekolah anak saya juga mengaji. 5.
Hambatan yang dialami bapak/ibu dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak? Jawab: dia pernah minta diceritakan kisah-kisah Nabi, tapi saya tidak tahu dan tidak hafal bagaimana ceritanya, akhirnya saya belikan dia buku tentang kisahkisah para Nabi.
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
No.
Dokumen
:
FITK-FR-AKD-081
:
01
Terbit :
Tgl. No. Revisi:
FORM (FR)
Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 1 5412 lndonesia
Hal
1 Maret 2010 1t1
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI Nomor : Un.01/F.1/KM .01.31 ........12012 Lamp. :Hal :Bimbingan Skripsi
Jakarta, 19 Desember 2012
Kepada Yth. Sururin, MA. Dr. Pembimbing Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakaffa. As
s
al amu' alaikum wr.w b.
Dengan
ini
diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing I/II
(materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa: Nama
Khairatul Maghfiroh
NIM
1
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Semester
Tujuh
Judul Skripsi
Peranan Madrasah dalam Pengembangan Emotional Qoutient dan
090 I I 00005 I
(VIf
Spiritual Quotient slswa. Judul tersebut telah disetu-fui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 19 Desember 2012, abstraksiloutline terlampir. Saudara dapat rnelakukan perubahan redaksional pada
judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu.
Bimbingan skripsi
ini
diharapkan selesai dalam rvaktu
6
(enam) bulan, dan dapat
diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih. Was
s
alamu' alaikant wr.wb.
rn Agama lslam
1ffi,
.Ag 199803 1 002
Tembusan: 1. Dekan FITK 2. Mahasiswa ybs.
Hal
Perubahan Judul Skripsi
Nama
Khairatul Maghfrah
Nim
10901 1000051
Jurusan/Prodi
PAVSl
Tanggal Pengajuan
Jumoat, 06 September 2013
Pembimbing Skripsi Nama Dosen Pembimbing
No
Dr. Sururin, MA
1
Judul Skripsi
Sebelumnya
NIP 19710319 199803 2 001
: Peranan Madrasah dalam Pengembangan
Emotional Quotient dan Spiritual Quotient Siswa Judul Skripsi Saat
ini
: Peranan Orang Tua dalam Pengembangan
Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak (Studi
Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan
Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara)
Status
*)
(r/) Disetujui
(
) Tidak Disetujui
Jakart4 06 Septembet 2013 Mahasiswa ybs
Khairatul Mashfirah NrM. 109011000051 *l
Berikon tando centang ( v ) podo bogian yang sesuoi
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
No.
FORM (FR)
Jl. lr. H. Juada No 95 Ctpdat 15112 tndonefia
Tgl. No.
Dokumen
:
Terbit : Revisi: :
Hal
FITK-FR-AKD-082
1 Maret
2010
01 1
SURAT PERMOHONAN IZIN PENELITIAN Jakarta, 13 September 2A13
Nomor : Un.01/F.1 /KM.01.3/...... ..12012 Lamp. : Outline/Prcposal : Permohonan lzin Penelitian
Hal
Kepada Yth.
Bapak Ketua RT 004 RW 01 di
Tempat Assalamu' al aikum wr.wb.
Dengan hormat kami sampaikan bahwa,
Nama NIM Jurusan
: Khairatul Maghfirah
Semester
:Vlll(Delapan)
: 109011000051 : Pendidikan Agama lslam (PAl)
Judul Skripsi : Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01
Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penj aringan-Jakarta Utara)
adalah benar mahasiswa/i Fakultas llmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta yang sedang menyusun skripsi, dan akan mengadakan penelitian (riset) di instansi/sekolah/madrasah yang Saudara pimpin.
Untuk itu kami mohon Saudara dapat mengizinkan mahasiswa tersebut melaksanakan penelitian dimaksud.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih. Wassalam u' al aikum wr.wb.
ikan Aganm lrlnnr
fNr Tembusan: 1. Dekan FITK Pembantu Dekan Bklang Akademk
2.
8030? 199803 I 00?
PENGURUS RT]KTJN TETANGGA OO4 RlY Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara
OT.
SI]RAT KETER NGAN No.
...
../ RT. 004 Kld/ru/......12014
Yang bertanda tangan di bawah ini Ketua Rukun Tetangga 004 RW. 0l Kelurahan Kamal Muar4 Kecamatan Penjaringan Jakarta Utarq menerangkan bahwa:
Nama
Khairatul Maghfirah
NIM
10901 1000051
Tempat/Tanggal Lahir
Jakarta, 30 Oktober 1992
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Nama tersebut benar telah melaksanakan penelitian (observasi) dalam rangka penulisan dan penlusunan skripsi yang berjudul "Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak (Study Kasus di
Lingkungan RT. 004 RSi. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara).
Demikian surat keterangan
ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta
..2014