TRANSPORTASI BENIH IKAN GABUS Channa striata DENGAN KEPADATAN BERBEDA PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT
JANNESA NASMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Transportasi Benih Ikan Gabus Channa striata dengan Kepadatan Berbeda pada Media Bersalinitas 3 ppt” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 Jannesa Nasmi NIM C151140041
RINGKASAN JANNESA NASMI. Transportasi Benih Ikan Gabus Channa striata dengan Kepadatan Berbeda pada Media Bersalinitas 3 ppt. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan RIDWAN AFFANDI. Ikan gabus merupakan ikan air tawar yang memiliki bentuk kepala menyerupai ular sehingga disebut Snakehead. Ikan gabus menjadi komoditas budidaya ekonomis karena selain sebagai ikan konsumsi, daging ikan gabus yang mengandung albumin berkhasiat mempercepat pengeringan luka pascaoperasi dan dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Kegiatan pembesaran benih ikan gabus telah banyak dilakukan di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. Adapun suplai benih umumnya berasal dari hasil tangkapan alam dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Karena adanya jarak antara tempat sumber benih dan tempat pembesaran, maka dilakukan transportasi benih ikan gabus. Salah satu upaya untuk mengefisiensikan biaya transportasi adalah dengan menambah kepadatan ikan dalam media transportasi. Kepadatan ikan yang tinggi dalam media menyebabkan CO2 di media semakin meningkat karena proses respirasi. Senyawa CO2 bereaksi dengan air menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH dalam air. Perubahan kondisi lingkungan ini akan menyebabkan ikan mengalami stres sehingga mengganggu kondisi fisiologis dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Jumlah konsumsi oksigen dipengaruhi oleh kebutuhan energi. Semakin banyak energi yang dibutuhkan maka jumlah konsumsi oksigen semakin meningkat. Penambahan garam di dalam media dapat membantu ikan dalam mengurangi penggunaan energi, karena apabila tekanan osmotik lingkungan mendekati tekanan osmotik cairan tubuh ikan, maka energi hasil metabolisme hanya sedikit yang digunakan untuk penyesuaian diri dengan tekanan osmotik lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemberian garam 3 ppt ke dalam media transportasi dengan kepadatan ikan yang berbeda terhadap perubahan kualitas air, tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian dan tingkat stres pascatransportasi. Penelitian ini terdiri atas dua tahap kegiatan, yaitu tahap satu adalah transportasi selama 24 jam dan tahap 2 adalah pemeliharaan pascatransportasi selama 21 hari. Penelitian tahap satu bertujuan untuk menganalisis pengaruh penambahan garam 3 ppt dengan kepadatan benih yang diangkut berbeda dalam mempertahankan kondisi kualitas air dan menekan jumlah kematian selama transportasi. Transportasi benih ikan gabus dilakukan dengan 5 perlakuan, yaitu perlakuan kontrol tanpa garam (kepadatan 30 ekor.L-1) dan perlakuan penambahan garam 3 ppt (kepadatan 30, 45, 60 dan 75 ekor.L-1). Pada saat transportasi benih ikan gabus, diamati perubahan kualitas air dan tingkat kelangsungan hidup (TKH). Hasil penelitian dengan perlakuan penambahan garam dalam media transportasi dapat mempertahankan kondisi kualitas air dan menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa garam. Penelitian tahap dua bertujuan untuk mengamati tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan menganalisis tingkat stres (gradien osmotik, glukosa darah, hematologi, pH darah dan aktivitas lisozim). Setelah masa transportasi, benih dari setiap perlakuan dipelihara 30 ekor per akuarium
pada media bersalinitas 0 ppt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan pascatransportasi tidak berbeda nyata pada kepadatan yang berbeda serta pada perlakuan tanpa garam. Tingkat stres perlahan telah kembali normal hingga hari ke-21 pemeliharaan. Kata Kunci : Channa striata, garam, kepadatan, tingkat stres, transportasi
SUMMARY
JANNESA NASMI. Snakehead Seed Transportation with Different Densities in 3 ppt Salinity Media. Supervised by KUKUH NIRMALA and RIDWAN AFFANDI. Snakehead is a freshwater fish which has a shape resembling the head of a snake so-called Snakehead. Snakehead becomes economical aquaculture commodities because its meat contain albumin which believed to accelerate the post-surgery recovery and increase immunities. Snakehead’s rearing has a lot to do in West Java and East Java. The supply of seed generally derived from South Kalimantan and East Kalimantan. Snakehead’s rearing has a lot to do in West Java and East Java. Because of the distance between seed’s sources and farm, the larvae need to be transported. One of the efforts to streamline transportation costs is increasing the density of larvae in transport media. High density in closed transportation media effects increased the concentration CO2. CO2 reacts with water and formed carbonic acid (H2CO3) which can decrease the pH of water. Environmental changing will cause stress that interfere with physiological conditions and can eventually lead to death. The oxygen consumption depends from energy. The more energy that needed, the more oxygen consumed. Salt addition in transportation media can reduce the osmoregulation energy budget of fish, because when environmental salinity approach the salinity of fish, the less energy expended for maintaining internal equilibrium. The aim of this research is to analyze the effects of 3 ppt salt addition into the transportation media with the water quality, survival rate, daily growth rate and post transportation stress levels. High seeds densities in transportation media has become a problem because it can decrease the value of dissolved oxygen and increase carbon dioxide from the respiration process. High levels of carbon dioxide in water decrease the pH of water. The present study was aimed to ensure the effect 3 ppt transportation into media water salinity addition with different densities in the water quality, suvival rate, daily growth rate and stress level after transportation. This study was consisted of two phase, the first phase was fish transportation for 24 hours and the second phase was rearing after-transportation fish for 21 days. The first experiment was aimed to evaluate the effects of salt addition with different densities of fish in maintaining water quality and survival rate during transportation. Snakehead larvae’s transportation was done with five treatments. The treatments consisted of a transportation media with no salinity addition and stocked with 30 larvae.L-1 as the control, and four transportation media with 3 ppt salt addition and different densities of seed (30, 45, 60 and 75 larvae.L-1). During the transportation, the water quality and survival rate were determined. The first experiment showed that salt addition in transportation media maintained the water quality and higher survival rate than control. The second experiment aimed to evaluate the survival rate, growth rate and analyzing stress level after transportation. After 24 hours transportation treatments, 30 larvae of each treatment were stocked into tank with 0 ppt salinity media. The results
showed no significant differences in the survival rate and growth rate at the different densities without salt addition. The levels of stress were slightly back to normal in 21 days rearing. Keywords : Channa striata, density, salt, stress level, transportation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TRANSPORTASI BENIH IKAN GABUS Channa striata DENGAN KEPADATAN BERBEDA PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT
JANNESA NASMI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Mia Setiawati, MSi
iii
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan berkah-Nya sehingga serangkaian karya ilmiah yang berjudul “Transportasi Benih Ikan Gabus Channa striata dengan Kepadatan Berbeda pada Media Bersalinitas 3 ppt” ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan dengan hormat kepada Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA selaku pembimbing selayaknya orang tua yang telah banyak memberikan arahan dan masukan baik tekhnis maupun non tekhnis kepada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Dr Ir Mia Setiawati MSi selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis atas segala saran yang diberikan sehingga tesis ini menjadi lebih baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda Ir Nasril serta ibunda Ir Syafmimi dan juga adik-adik Jenitia Nasmi dan M Hidayat Nasmi beserta keluarga besar atas segala dukungan, kesabaran, pengertian, doa dan kasih sayangnya selama penulis menjalani masa studi. Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada rekan rekan yang selama masa studi dapat menjadi motivasi dan memberikan pengaruh yang positif bagi penulis; Agustina Buulolo SPi; Anny Hary Ayu SPi; Humairani SPi MSi; Asih Makarti Muktitama SPi; Yuliana Asri SPi MSi; Mufti Islam Insani SSi; Shella Marlinda SPi; Christy Lopulisa SPi; serta keluarga besar Program Studi Ilmu Akuakultur lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Faridan Muchlis Purdiansyah SKel atas segala motivasi dan kesabaran yang diberikan selama penulis menjalani masa studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2016
Jannesa Nasmi
v
vi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Hipotesis
1 1 2 3 3
2
METODE Penelitian Tahap 1 Waktu dan Tempat Rancangan Percobaan Pelaksanaan Penelitian Parameter Uji Analisis Data Penelitian Tahap II Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Parameter Uji Analisis Data
3 3 3 4 4 4 5 5 5 5 6 8
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tahap 1 Fisika-Kimia Air Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH) selama Transportasi Penelitian Tahap II Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH) selama Pascatranspotasi Laju Pertumbuhan Harian (LPH) Gradien Osmotik (GO) Respons Glukosa Darah Respons pH Darah Eritrosit (Sel Darah Merah) Leukosit (Sel Darah Putih) Hemoglobin Hematokrit Aktivitas Lisozim Fisika-Kimia Air Pemeliharaan Pembahasan
8 8 8 10 10 11 11 12 13 14 14 15 16 17 17 18 19 19
vii
4
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
25 25 25
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
38
RIWAYAT
DAFTAR TABEL 1 2
Parameter pengukuran fisika-kimia air selama penelitian Kisaran nilai fisika-kimia air pemeliharaan benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
4 8
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Nilai parameter fisika-kimia air transportasi benih ikan gabus dengan kepadatan berbeda pada media bersalinitas 3 ppt Tingkat kelangsungan hidup benih ikan gabus dengan kepadatan berbeda pada media bersalinitas 3 ppt Tingkat kelangsungan hidup benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Benih ikan gabus yang hidup selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Laju pertumbuhan harian benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Nilai gradien osmotik benih ikan gabus pascatransportasi Kadar respons glukosa darah benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Kadar pH darah benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Kadar eritrosit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Kadar leukosit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Kadar hemoglobin benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Kadar hematokrit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Kadar aktivitas lisozim benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pasctransportasi
9 11 12 12 13 14 13 14 16 16 17 18 18
viii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Hasil analisis ragam tingkat kelangsungan hidup transportasi benih ikan gabus dengan kepadatan berbeda pada media bersalinitas 3 ppt Hasil analisis ragam tingkat kelangsungan hidup benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Hasil analisis ragam laju pertumbuhan harian benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Hasil analisis ragam gradien osmotik benih ikan gabus pascatransportasi Hasil analisis ragam glukosa darah benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Hasil analisis pH darah benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Hasil analisis ragam eritrosit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Hasil analisis ragam leukosit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Hasil analisis ragam hemoglobin benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Hasil analisis ragam hematokrit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Hasil analisis ragam aktivitas lisozim benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
29 29 29 30 30 31 32 34 34 35 36
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Ikan gabus (Channa striata) merupakan ikan tawar yang memiliki bentuk kepala menyerupai ular sehingga disebut Snakehead. Ikan ini juga dikenal dengan nama ikan kutuk, ikan haruan, ikan gapo, ikan dalak atau ikan jilo. Ikan gabus menjadi komoditas budidaya ekonomis karena selain sebagai ikan konsumsi, daging ikan gabus yang mengandung albumin berkhasiat mempercepat pengeringan luka pascaoperasi dan meningkatkan daya tahan tubuh (Rahmawanty et al. 2014). Sumber benih utama pada kegiatan budidaya ikan gabus adalah dari hasil tangkapan alam (Muslim 2007). Menurut Pusdatin KKP (2014) volume produksi perikanan tangkap di perairan umum pada tahun 2013 didominasi oleh ikan gabus. Produksinya sebesar 36.205 ton dari total 408.364 ton produksi perikanan tangkap di perairan umum. Saat ini kegiatan pembesaran ikan gabus telah banyak dilakukan di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, benih ikan gabus yang digunakan umumnya didatangkan dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang merupakan daerah penghasil utama ikan gabus. Perbedaan jarak antara lokasi penghasil benih dengan lokasi pembesaran menyebabkan butuhnya transportasi benih untuk menunjang kegiatan produksi. Transportasi ikan hidup terbagi dua, yaitu sistem kering dan sistem basah. Transportasi sistem kering dilakukan dengan cara ikan dibius dan diangkut tanpa menggunakan media air namun tetap menjaga suhu dan kelembapan media transportasi (Sufianto 2008). Transportasi sistem basah terbagi atas dua metode yakni sistem terbuka dan sistem tertutup. Transportasi sistem terbuka menggunakan media air dengan pemberian aerasi secara terus menerus, transportasi ini dilakukan untuk jumlah ikan yang diangkut relatif sedikit, jarak tempuhnya dekat, serta dalam waktu yang relatif singkat. Pada penelitian ini digunakan transportasi sistem tertutup karena transportasi ikan dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak, jarak yang jauh dan waktu yang relatif lama. Pada transportasi sistem tertutup, ikan diangkut dalam wadah yang tertutup dengan pemberian gas O2 dalam jumlah terbatas yang telah diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan selama pengangkutan (Wibowo 1993). Salah satu upaya untuk mengefisiensikan biaya transportasi adalah dengan menambah kepadatan ikan dalam media transportasi. Kepadatan ikan yang tinggi dalam media transportasi tertutup menjadi masalah karena kebutuhan oksigen (O2) juga semakin meningkat. Kebutuhan O2 yang meningkat menyebabkan CO2 di perairan semakin meningkat karena proses respirasi. Tingginya kadar CO2 menyebabkan pH air menurun, karena CO2 yang bereaksi dengan air menghasilkan asam karbonat (H2CO3). Perubahan kondisi lingkungan saat transportasi menyebabkan ikan mengalami stres sehingga mempengaruhi kondisi fisiologis ikan. Stres adalah suatu fenomena biologis yang non-spesifik dari suatu perubahan lingkungan atau faktor lain yang mempengaruhi daya adaptasi homeostasis. Proses perubahan tersebut akan mempengaruhi proses fisiologis yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan fisik bahkan kematian (Makmur 2002).
2
Penelitian Wahyu (2015) transportasi ikan gabus dengan kepadatan 75 ekor.L-1 menghasilkan tingkat kelangsungan hidup sebesar 69% dan kematian total pada pemeliharaan hari ke-21. Oleh karena itu diperlukan teknologi transportasi yang tepat untuk meningkatkan kelangsungan hidup ikan gabus. Pada penelitian Emu (2010) bahwa penambahan garam di dalam media transportasi ikan patin dapat mempertahankan kondisi kualitas air, mengurangi tingkat stres, mempertahankan tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan tetap tinggi setelah dilakukannya transportasi. Penambahan garam di dalam media dapat membantu ikan dalam mengurangi penggunaan energi, karena apabila salinitas lingkungan mendekati salinitas cairan tubuh ikan, maka energi hasil metabolisme hanya sedikit yang digunakan untuk penyesuaian diri dengan tekanan osmotik lingkungan. Kondisi ini membuat ikan menjadi lebih tenang, sehingga mengurangi jumlah konsumsi oksigen (Marlina 2011). Selain itu, garam juga digunakan untuk mengurangi toksisitas amonia di dalam air karena jika laju metabolisme meningkat maka laju eksresi juga ikut meningkat (Nirmala et al. 2012). Konsentrasi salinitas yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada penelitian Purnamawati & Dewantoro (2016) yang menyatakan bahwa salinitas air yang baik untuk pertumbuhan ikan gabus adalah sebesar 3 ppt. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian transportasi ikan gabus dengan penambahan garam 3 ppt untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup dan kepadatan yang maksimal dalam transportasi sehingga menghasilkan metode transportasi yang lebih baik.
Rumusan Masalah Salah satu upaya untuk mengefisiensikan biaya transportasi adalah dengan menambah kepadatan ikan dalam media transportasi. Namun, kepadatan ikan yang tinggi dalam media transportasi menyebabkan tingginya jumlah kematian ikan. Kepadatan dalam media transportasi tertutup berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen. Semakin banyak oksigen yang diserap ikan maka kandungan CO2 meningkat karena proses respirasi. Senyawa CO2 bereaksi dengan air menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH di air. Perubahan kondisi lingkungan ini akan menyebabkan ikan mengalami stres sehingga mengganggu kondisi fisiologis dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian untuk mengurangi jumlah konsumsi oksigen pada ikan gabus selama transportasi. Jumlah konsumsi oksigen dipengaruhi oleh energi yang digunakan. Semakin banyak energi digunakan maka jumlah konsumsi oksigen semakin meningkat. Penambahan garam di dalam media dapat membantu ikan dalam menggurangi penggunaan energi karena apabila salinitas lingkungan mendekati salinitas cairan tubuh ikan, maka energi hasil metabolisme hampir tidak dipergunakan untuk penyesuaian diri dengan tekanan osmotik lingkungan. Konsentrasi garam yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada penelitian Purnamawati & Dewantoro (2016) bahwa salinitas air yang baik untuk pertumbuhan ikan gabus adalah sebesar 3 ppt.
3
Tujuan
1.
2. 3.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : Menganalisis pengaruh penambahan garam ke dalam media transportasi dengan kepadatan ikan yang berbeda terhadap perubahan kondisi kualitas air dan kelangsungan hidup ikan gabus selama transportasi. Menganalisis tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan tingkat stres selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Menentukan kepadatan maksimal ikan gabus dalam transportasi sistem tertutup. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah penambahan garam 3 ppt pada media transportasi ikan gabus dapat mempertahankan kualitas air tetap baik dan mengurangi tingkat stres ikan sehingga akan diperoleh kelangsungan hidup yang tinggi.
2 METODE Penelitian dilaksanakan melalui dua tahap, yaitu penelitian Tahap I (transportasi) dan Tahap II (pemeliharaan pascatransportasi). Penelitian Tahap I bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh penambahan garam terhadap perubahan kondisi kualitas air pada saat transportasi ikan gabus. Ikan gabus yang telah ditransportasi pada penelitian Tahap I kemudian pada Tahap II dipelihara dengan tujuan untuk melihat pengaruh transportasi terhadap tingkat stres. Penelitian Tahap I Waktu dan Tempat Penelitian Tahap I dilaksanakan pada pada tanggal 15 November–16 November 2015 selama 24 jam. Transportasi dilakukan dari tempat pengambilan ikan “Andhi Fish Farm” di Yogyakarta ke stasiun kota Yogyakarta dengan menggunakan mobil selama ±7 jam. Lalu dari stasiun Yogyakarta menuju stasiun Senen Jakarta dengan menggunakan kereta api selama ±9 jam, dari stasiun Senen Jakarta menuju kampus IPB Dramaga dengan menggunakan mobil selama ±5 jam.
Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu :
4
K = 30 ekor ikan gabus (tanpa garam) A = 30 ekor ikan gabus B = 45 ekor ikan gabus C = 60 ekor ikan gabus D = 75 ekor ikan gabus Keterangan : perlakuan A, B, C dan D dengan media bersalinitas 3 ppt Pelaksanaan Penelitian Persiapan Biota uji yang digunakan adalah ikan gabus dengan ukuran bobot rata-rata 2,6±0,2 g dan panjang 6,6±0,2 cm. Benih berasal dari hasil budidaya pembenihan ikan air tawar milik “Andhi Fish Farm” di Yogyakarta. Benih ikan gabus yang digunakan adalah benih yang sehat, bugar dan tidak cacat fisik. Wadah yang digunakan selama transportasi adalah kantong plastik polyethylene dan kotak Styrofoam. Kantong plastik polyethylene (PE) yang digunakan berukuran 28x50 cm2. Salah satu bagian ujung kantong plastik dipasang keran aerasi untuk memudahkan pengambilan sampel air. Kegiatan Transportasi Sebelum dilakukan transportasi ikan gabus dipuasakan selama 2 hari, hal ini bertujuan mengurangi laju metabolisme dan mengurangi pembuangan feses. Masing-masing kantong plastik diisi air 1,2 liter dan ditambahkan garam sebesar 3 ppt. Ikan dimasukkan kedalam masing-masing kantong plastik sesuai dengan perlakuan kepadatan. Setiap kantong diinjeksi oksigen murni dengan perbandingan 1:3 (air:oksigen). Kantong diikat dengan karet lalu dimasukkan ke dalam kotak styrofoam. Pada setiap styrofoam diberi es batu dan ditutup rapat. Lalu dilakukan transportasi selama 24 jam. Selama transportasi dilakukan pengambilan sampel air sebanyak 20 mL per kantong pada jam ke- 0, 6, 12, 18 dan 24 untuk pengamatan perubahan kondisi kualitas air. Pengamatan tingkat kelangsungan hidup dilakukan pada jam ke-24 transportasi. Parameter Uji Parameter Fisika-Kimia Air Parameter fisika-kimia air yang diukur antara lain suhu, oksigen terlarut (OT), amonia (NH3), karbondioksida (CO2) dan pH air (Tabel 1). Tabel 1 Parameter pengkuran fisika-kimia air selama penelitian Fisika-kimia air Satuan Alat ukur/Metode o Suhu C Termometer Oksigen terlarut (OT) mg.L-1 DO-meter -1 Amonia (NH3) mg.L Spektrofotometer Karbondioksida (CO2) mg.L-1 Titrasi pH air pH-meter
5
Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH) Tingkat kelangsungan hidup dihitung berdasarkan Ricker (1975): TKH =
x 100
Keterangan : TKH = Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah ikan pada akhir transportasi (ekor) N0 = Jumlah ikan pada awal transportasi (ekor)
Analisis Data Data yang diperoleh ditabulasi dengan Microsoft Excel 2010. Parameter tingkat kelangsungan hidup dianalisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% dengan bantuan perangkat lunak SPSS 17.0. Apabila data berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Parameter fisika-kimia air dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk grafik.
Penelitian Tahap II Waktu dan Tempat Penelitian Tahap II dilaksanakan pada tanggal 16 November–7 Desember 2015 selama 21 hari. Pemeliharaan ikan gabus pascatransportasi dilakukan di Laboratorium Lingkungan BDP FPIK IPB, Departemen Budidaya Perairan (BDP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Uji osmolaritas di Laboratorium Embriologi FKH IPB. Uji glukosa darah ikan dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB. Uji hematologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan BDP FPIK IPB. Uji aktivitas lisosim dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik. Uji fisika-kimia air dan pH darah dilakukan di Laboratorium Lingkungan BDP FPIK IPB.
Pelaksanaan Penelitian Setelah ditransportasi ikan dibongkar dan dipelihara untuk mengetahui adanya efek dari transportasi. Pemeliharaan ini dilakukan selama 21 hari dalam media akuarium berukuran 1,0x0,5x0,5 m3 dengan padat tebar awal 30 ekor ikan per-akuarium dan salinitas media air pemeliharaan sebesar 0 ppt. Benih ikan gabus dipelihara dan diberi pakan berupa pelet dengan metode at satiation. Selama 21 hari pemeliharaan dilakukan pengamatan parameter performa ikan (tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan harian), tingkat stres (gradien osmotik, glukosa darah, pH darah, hematologi dan aktivitas lisozim) dan fisika-kimia air (suhu, oksigen terlarut, NH3, CO2 dan pH air). Pengamatan
6
dilakukan pada hari ke-0, hari ke-1, hari ke-4, hari ke-7, hari ke-14 dan hari ke-21. Pengamatan respons tingkat stres dilakukan melalui pengujian pada sampel darah ikan. Sampel darah diambil sebanyak 0,5 ml pada masing-masing ulangan. Pengambilan sampel darah dilakukan dengan menggunakan syringe 1 ml pada vena caudalis. Parameter Uji Laju Pertumbuhan Harian (LPH) Laju pertumbuhan harian dihitung dengan menggunakan rumus Ricker (1975):
LPH = Keterangan : α = Laju pertumbuhan harian (%) Wt = Berat rata-rata pada akhir pemeliharaan W0 = Berat rata-rata pada awal pemeliharaan t = Periode penelitian (hari) Gradien Osmotik (GO) Pengukuran GO dilakukan untuk mengetahui tekanan osmotik antara media dan organisme akibat pemberian garam kedalam wadah transportasi. Pengukuran gradien osmotik dengan mengukur cairan osmolaritas darah dan air media, kemudian dilakukan pengukuran menggunakan alat Osmometer Automatik Roebling. Perhitungan gradien osmotik dihitung dengan menggunakan rumus menurut Anggoro (1992), yaitu : GO (Osmol.kg-1) = [Nilai tekanan osmotik plasma–Nilai tekanan osmotik media] Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah diukur dengan metode Wedemeyer & Yasutake (1977). Plasma sebanyak 50 μl ditambahkan ke dalam 3,5 ml reagen warna ortho-toluidin dalam asam asetat glasial. Campuran tersebut dimasukkan dalam air mendidih selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam suhu ruang, nilai absorbsinya diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 635 nm. Kadar glukosa darah dihitung dengan rumus sebegai berikut :
GD =
x GSt
Keterangan: GD = Konsentrasi glukosa darah (mg.dL-1) AbsSp = Absorbansi sampel AbsSt = Absorbansi standar
7
GSt = Konsentrasi glukosa standar (mg.dL-1) Hematologi (gambaran darah) Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan syringe steril pada bagian vena caudalis ikan uji. Sebelum digunakan, jarum suntik terlebih dahulu dibasahi dengan Na-Sitrat 3,8% yang berfungsi sebagai antikoagulan. Sampel darah diambil untuk pengukuran parameter jumlah eritrosit, jumlah leukosit, hemoglobin dan hematokrit. - Jumlah sel darah merah (eritrosit) Jumlah eritrosit dihitung menurut metoda Blaxhall dan Daisley (1973). Sampel darah diencerkan dengan larutan Hayem untuk menghancurkan sel darah putih agar jumlah sel darah merah dapat dihitung. Pengenceran dilakukan dengan menggunakan pipet pencampur berskala maksimum 11 yang dilengkapi pengaduk. Darah dihisap dengan pipet hingga skala 1, kemudian dihisap larutan Hayem hingga skala 11 menggunakan pipet yang sama. Pipet digoyang selama 15 menit agar darah tercampur secara merata, sedangkan larutan pada ujung pipet yang tidak tercampur segera dibuang. Darah yang teraduk diteteskan kedalam hemositometer yang dilengkapi gelas penutup hingga memenuhi seluruh permukaan yang berskala, selanjutnya dilakukan penghitungan dibawah mikroskop. - Jumlah sel darah putih (leukosit) Jumlah leukosit dihitung dengan metoda Blaxhall dan Daisley (1973). Sampel darah diencerkan dengan larutan Turks untuk menghancurkan sel darah merah agar jumlah sel darah putih dapat dihitung. Untuk mengencerkan leukosit digunakan pipet berskala maksimal 11 yang dilengkapi pengaduk. Mula-mula darah dihisap hingga skala 1, kemudian dilanjutkan dengan menghisap larutan Turks hingga skala 11. Pencampuran dilakukan dengan mengaduk pipet selama 15 menit agar darah tercampur secara merata. Setelah pencampuran selesai, teteskan kedalam hemositometer yang dilengkapi gelas penutup hingga memenuhi seluruh permukaan yang berskala, selanjutnya dilakukan penghitungan leukosit dibawah mikroskop. - Kadar hemoglobin (Hb) Kadar hemoglobin diukur menurut metode Sahli (Wedemeyer dan Yasutake, 1977) yaitu dengan mengisi tabung sahlinometer dengan larutan HCl 0,1 N sampai garis skala 10 merah, kemudian ditempatkan diantara 2 tabung warna standar. Darah ikan dari tabung mikro diambil dengan pipet Sahli sebanyak 0,02 mL dan dimasukkan ke tabung Sahli, kemudian didiamkan selama 3 menit. Selanjutnya ditambahkan akuades dengan pipet tetes sedikit demi sedikit dan diaduk sampai berubah warna tepat sama dengan warna standar. Kadar hemoglobin dinyatakan dalam g.dL-1 pada skala kuning. - Kadar hematokrit (Ht) Kadar hematokrit diukur dengan metode Anderson dan Siwicki (1993), yaitu darah dihisap dengan menggunakan tabung dengan tabung kapiler (mikrohematokrit) hingga ¾ bagian tabung, lalu ujung tabung ditutup dengan crytoceal. Setelah itu, tabung mikrohematokrit yang berisi darah disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Perhitungan hematokrit dilakukan dengan cara membandingkan panjang endapan darah terhadap panjang total seluruh darah skala hematokrit dinyatakan dalam persentase hematokrit (%).
8
Aktivitas Lisozim Aktivitas lisozim diukur dengan metode Ellis (1990). Plasma (30 µl) ditambahkan suspensi cair bakteri Micrococcus lysodeikiticus (sigma) sebanyak 170 µl (0,2 mg.mL-1) dalam 0,1 M Phosphate buffered saline pH 6,2 pada suhu 25 ºC. Dilakukan dua kali pembacaan adsorpsi pada panjang gelombang 540 nm di Microplate reader (Kayto RT-2100C) selama 30 detik pencampuran dan 30 menit pencampuran. Unit aktivitas lisozim akan dibatasi sejumlah enzim yang menyebabkan penurunan absorbans 0,001 min-1.
Analisis Data Data yang diperoleh ditabulasi dengan Microsoft Excel 2010. Parameter tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, gradien osmotik, glukosa darah, pH darah, hematologi dan aktivitas lisozim dianalisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% dengan bantuan perangkat lunak SPSS 17.0. Apabila data berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Parameter fisika-kimia air dianalisis secara deskriptif.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Tahap I Kegiatan penelitian tahap I adalah transportasi. Parameter yang diamati meliputi fisika-kimia air (suhu, oksigen terlarut, NH3, CO2 dan ph air) dan tingkat kelangsungan hidup selama transportasi. Parameter Fisika-Kimia Air selama Transportasi Pengamatan terhadap parameter fisika-kimia air pada transportasi selama 24 jam menunjukkan bahwa kualitas air semakin memburuk dengan bertambahnya waktu transportasi. Data hasil pengukuran fisika-kimia air disajikan pada Gambar 1.
9 Oksigen terlarut (mg.L-1)
10
28
Suhu (˚C)
21 14 7 0
8 6 4 2 0
0
6
12 18 Jam ke-
24
0
6
24
(b)
0.04
40
0.03
30
CO2 (mg.L-1)
NH3 (mg.L-1)
(a)
12 18 Jam ke-
20
0.02 0.01
10
0.00
0 0
6
12 18 Jam ke-
24
(c)
0
6
12 18 Jam ke-
24
(d)
10
pH
8 6 4 2 0 0
6
12 18 Jam ke-
24
(e) Gambar 1 Nilai parameter fisika-kimia air selama transportasi benih ikan gabus dengan kepadatan berbeda pada media bersalinitas 3 ppt; (a) suhu ; (b) oksigen terlarut; (c) NH3; (d) CO2; (e) pH Suhu pada jam ke-6 mengalami penurunan akibat penambahan es batu dan pada jam berikutnya perlahan mengalami kenaikan. Suhu dalam media pengepakan selama 24 jam berkisar 22-27oC. DO pada jam ke-6 mengalami kenaikan karena terjadi difusi oksigen akibat goncangan saat transportasi dan pada jam berikutnya mulai mengalami penurunan. Konsentrasi DO pelakuan 30 (tanpa garam) pada jam ke-24 memiliki nilai terkecil sebesar 4,7±0,19 mg.L-1. Menurunnya nilai DO juga seiring semakin tingginya kepadatan pada suatu media transportasi, yaitu pada perlakuan 75 ekor
10
sebesar 5,4±0,10 mg.L-1, perlakuan 60 ekor sebesar 6,3±0,14 mg.L-1, perlakuan 45 ekor sebesar 6,8±0,13 mg.L-1 dan perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 6,8±0,06 mg.L-1. Konsentasi NH3 dari setiap perlakuan mengalami peningkatan konsentrasi seiring dengan semakin lamanya waktu transportasi. Pada jam ke-24 dapat dilihat bahwa konsentrasi NH3 terendah pada perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 0,025±0,001 mg.L-1, diikuti oleh perlakuan 45 ekor sebesar 0,026±0,001 mg.L-1, perlakuan 60 ekor sebesar 0,028±0,000 mg.L-1, perlakuan 75 ekor sebesar 0,031±0,001 mg.L-1 dan perlakuan 30 ekor (tanpa garam) memiliki konsentrasi NH3 tertinggi yaitu sebesar 0,031±0,001 mg.L-1. Konsentrasi CO2 dalam media air pengangkutan terus mengalami peningkatan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Pada jam ke-24 konsentrasi CO2 tertinggi terdapat pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 37,40±0,02 mg.L-1. Semakin tinggi jumlah kepadatan dalam media transportasi menyebabkan konsumsi oksigen semakin banyak. Konsentrasi CO2 tertinggi pada perlakuan 75 ekor sebesar 31,24±0,03 mg.L-1, perlakuan 60 ekor sebesar 25,30±0,03 mg.L-1, perlakuan 45 ekor sebesar 21,78±0,03 mg.L-1 dan terkecil pada perlakuan 30 ekor sebesar 15,40±0,02 mg.L-1. Nilai pH mengalami penurunan, hal ini dikarenakan semakin meningkatnya kadar CO2 seiring dengan bertambahnya waktu transportasi. Nilai pH dalam media pengepakan selama 24 jam berkisar antara 6,8-7,1.
Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH) Benih Ikan Gabus selama Transportasi Tingkat kelangsungan hidup ikan gabus selama transportasi dapat dilihat pada Gambar 2. TKH transportasi tertinggi pada perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) dan 45 ekor sebesar 100%, kemudian TKH pada perlakuan 60 ekor dan 75 ekor sebesar 99,58±0,83% dan 97,67±2,00% dan TKH terendah pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 92,50±4,19%. Pengamatan nilai TKH pada perlakuan yang diberi garam 3 ppt dengan kepadatan yang berbeda tidak beda nyata (p>0,05), namun beda nyata (p<0,05) pada perlakuan tanpa pemberian garam (Lampiran 1). Kematian benih ikan gabus pada media air transportasi diakibatkan oleh menurunnya kualitas air sehingga ikan gabus mengalami stres saat transportasi.
TKH Transportasi (%)
11
100
a
b
b
b
b
A
B Perlakuan
C
D
80 60 40 20 0 K
Gambar 2
Tingkat kelangsungan hidup (TKH) benih ikan gabus dengan kepadatan berbeda pada media bersalinitas 3 ppt. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Penelitian Tahap II Kegiatan penelitian tahap II adalah pemeliharaan pascatransportasi. Parameter yang diamati meliputi parameter tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, gradien osmotik, glukosa darah, ph darah, hematologi, aktivitas lisozim dan fisika-kimia air pemeliharaan (suhu, oksigen terlarut, NH3, CO2 dan ph air) Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH) Pascatranspotasi Tingkat kelangsungan hidup selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi dapat dilihat pada Gambar 3. Pada pemeliharaan ikan gabus pascatransportasi terdapat kematian yang tinggi pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) dengan TKH sebesar 82±8,49%, selanjutnya pada perlakuan 45 ekor sebesar 90±2,83%, perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 92±5,66% dan perlakuan 60 ekor sebesar 92±0,00% dan nilai TKH tertinggi pada perlakuan 75 ekor sebesar 94±8,49%. Hasil analisis statistik menunjukkan tingkat kelangsungan hidup transportasi pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 2), namun jika dilihat pada grafik (Gambar 4) terdapat jumlah kematian yang tinggi pada hari pertama pascatransportasi.
TKH Pascatransportasi (%)
12
100
a
a
a a
a
B Perlakuan
C
80 60 40 20 0 K
A
D
Gambar 3 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Huruf kecil yang sama dalam grafik menunjukkan beda nyata (p>0,05)
Ikan gabus yang hidup (ekor)
Terdapat banyak kematian ikan gabus pada hari pertama pascatransportasi (Gambar 4). Kematian tertinggi pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebanyak 7 ekor, selanjutnya pada perlakuan 75 ekor sebanyak 3 ekor. Pada perlakuan 60 ekor, 45 ekor dan 30 ekor (3 ppt garam) terdapat jumlah kematian yang sama sebanyak 2 ekor. Hal ini dikarenakan saat pembongkaran ikan langsung ditebar kedalam media pemeliharaan dengan salinitas 0 ppt. Perubahan kondisi lingkungan ini menyebabkan ikan semakin stres dan mengalami kematian. Pada hari ke-4 hingga hari ke-21 tidak terdapat banyak kematian karena ikan telah beradaptasi terhadap kondisi lingkungan pemeliharaan. 30 25 20 15 10 5 0 0
1
4 7 Hari ke-
14
21
Gambar 4 Benih ikan gabus yang hidup selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
Laju Pertumbuhan Harian (LPH) Laju pertumbuhan harian benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi dapat dilihat pada Gambar 5. LPH tertinggi pada perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 1,99±0,15%, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh perlakuan 75 ekor, 45 ekor, 30 ekor (tanpa garam) dan 60 ekor sebesar
13
1,91±0,07%, 1,78±0,11%, 1,64±0,26% dan 1,62±0,19%. Hasil analisis statistik menunjukkan laju pertumbuhan harian pada setiap perlakuan tidak beda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Hal ini berarti pemberian garam dan kepadatan ikan saat transportasi tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian pascatransportasi. a
LPH (%)
2.0
a
a
a
a
B Perlakuan
C
1.5 1.0 0.5 0.0 K
A
D
Gambar 5 Laju pertumbuhan harian benih ikan gabus pada pemeliharaan 21 hari pascatransportasi. Huruf kecil yang sama dalam grafik menunjukkan beda nyata (p>0,05).
Gradien Osmotik (GO) Hasil pengukuran gradien osmotik pada ikan gabus normal dan pascatransportasi dapat dilihat pada Gambar 6. Nilai GO pada ikan gabus normal sebesar 0,301±0,002 osmol.kg-1. Nilai GO tertinggi pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 0,335±0,002 osmol.kg-1, sedangkan perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 0,240±0,014 osmol.kg-1, perlakuan 45 ekor sebesar 0,242±0,02 osmol.kg-1, perlakuan 60 ekor sebesar 0,246±0,02 osmol.kg-1 dan perlakuan 75 ekor sebesar 0,233±0,03 osmol.kg-1. Perlakuan (30 ekor) tanpa garam berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan menggunakan garam 3 ppt yaitu pada perlakuan 30, 45, 60 dan 75 ekor (Lampiran 4). Gradien osmotik (osmol.kg-1)
0.4 a 0.3 b
b
b
A B Perlakuan
C
D
b 0.2
0.1
0.0 Ikan normal
K
Gambar 6 Gradien osmotik benih ikan gabus pascatransportasi. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).
14
Respons Glukosa Darah Hasil pengukuran konsentrasi glukosa darah ikan gabus normal, pascatransportasi dan pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 7. Pengamatan pada hari ke-0 pascatransportasi menunjukkan konsentrasi glukosa darah semua perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan nilai glukosa darah ikan gabus normal. Nilai glukosa darah pada ikan gabus normal sebesar 28,048±0,23 mg.dl-1. Nilai glukosa darah tertinggi pada hari ke-0 pascatransportasi terdapat pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 66,806±1,31 mg.dl-1, kemudian perlakuan 75 ekor sebesar 60,414±2,17 mg.dl-1, perlakuan 60 ekor sebesar 58,491±0,49 mg.dl-1, perlakuan 45 ekor sebesar 56,357±0,84 mg.dl-1 dan terendah pada perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 54,412±2,64 mg.dl-1. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai glukosa darah hari ke-0 pada setiap perlakuan berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 5). Pada hari ke-4 hingga hari ke-21 nilai glukosa darah telah mendekati normal, hal ini berarti ikan sudah tidak mengalami stres. Glukosa darah (mg.dl-1)
80 c
70
abb aab
60 50
a
40 30
aa a a a aaaa aaaaa aaaaa aaaaa
20 10 0 Ikan Normal
Gambar 7
0
1
4
7
14
21
Hari ke-
Kadar glukosa darah benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Respons pH Darah Hasil pengukuran nilai pH darah ikan gabus normal, pascatransportasi dan pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 8. Pengamatan pada hari ke-0 pascatransportasi menunjukkan nilai pH darah semua perlakuan mengalami penurunan dibandingkan nilai pH darah ikan gabus normal. Nilai pH darah pada ikan gabus normal sebesar 7,75±0,007. Nilai pH darah terendah pada hari ke-0 pascatransportasi terdapat pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 6,65±0,07, kemudian perlakuan 75 ekor sebesar 6,85±0,07, perlakuan 60 ekor sebesar 7,05±0,07, perlakuan 45 ekor sebesar 7,15±0,07 dan perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 7,30±0,00. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai pH darah hari ke-0 pada setiap perlakuan beda nyata (p<0,05) (Lampiran 6). Pada hari ke-7 hingga hari ke-21 nilai pH darah telah mendekati normal, hal ini berarti ikan sudah tidak mengalami stres.
pH Darah
15 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
aaaaa aaaaa cdc b b b b b abbabaab a a a a a d a a
Ikan Normal
Gambar 8
0
1
4
7
14
21
Hari ke-
Kadar pH darah benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Respons Hematologi Parameter darah merupakan salah satu indikator stres pada ikan. Beberapa parameter yang dapat memperlihatkan perubahan pada darah adalah, jumlah sel darah merah (eritrosit), jumlah sel darah putih (leukosit), kadar hemoglobin dan kadar hematokrit. Eritrosit (Sel Darah Merah) Hasil pengukuran kadar eritrosit ikan normal, pascatransportasi dan pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 9. Pengamatan pada hari ke-0 pascatransportasi menunjukkan nilai eritrosit semua perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan kadar eritrosit ikan gabus normal. Nilai eritrosit ikan gabus normal sebesar 1,10x106±0,21 sel.mm-3. Nilai eritrosit tertinggi pada hari ke-0 pascatransportasi terdapat pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 2,06x106±0,05 sel.mm-3, kemudian perlakuan 75 ekor sebesar 1,98x106±0,08 sel.mm-3, perlakuan 45 ekor sebesar 1,89x106±0,03 sel.mm-3, perlakuan 60 ekor sebesar 1,86x106±0,04 sel.mm-3, dan perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 1,85x106±0,03 sel.mm-3. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai eritrosit hari ke-0 pada setiap perlakuan berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 7). Pada hari ke-4 hingga hari ke-21 nilai eritrosit telah mendekati normal, hal ini berarti ikan sudah tidak mengalami stres.
16
Eritrosit (x106 sel.mm-3)
2.4
b
2.0
ab aaa
1.6
b
aababab aaaaa aaaaa aaaaa aaaaa
1.2 0.8 0.4 0.0 Ikan Normal
0
1
4
7
14
21
Hari ke-
Gambar 9 Kadar eritrosit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Leukostit ( x104 sel.mm-3)
Leukosit (Sel Darah Putih) Hasil pengukuran kadar leukosit ikan gabus normal, pascatransportasi dan pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 10. Pengamatan pada hari ke-0 pascatransportasi menunjukkan kadar leukosit semua perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan kadar leukosit ikan gabus normal. Nilai leukosit ikan gabus normal sebesar 4,11x104±0,30 sel.mm-3. Nilai leukosit tertinggi pada hari ke-0 pascatransportasi terdapat pada perlakuan 45 ekor sebesar 5,84x104±0,40 sel.mm-3, perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 5,82x104±0,40 sel.mm-3, perlakuan 75 ekor sebesar 5,78x104±0,28 sel.mm-3, perlakuan 60 ekor sebesar 5,63 x104±0,35 sel.mm-3 dan perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 5,62x104±0,73 sel.mm-3. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai leukosit hari ke-0 pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 8). Pada hari ke-1 hingga hari ke-21 nilai leukosit telah mendekati normal, hal ini berarti ikan sudah tidak mengalami stres. 7
aaa a a
6
aa
5
a a a
4
a
aa a
aa
aaaa aaaaa
aaaaa
14
21
3 2 1 0 Ikan normal
0
1
4
7
Hari ke-
Gambar 10 Kadar leukosit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).
17
Hemoglobin Hasil pengukuran kadar hemoglobin ikan gabus normal, pascatransportasi dan pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 11. Pengamatan pada hari ke-0 pascatransportasi menunjukkan kadar hemoglobin semua perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan kadar hemoglobin ikan gabus normal. Nilai hemoglobin ikan gabus normal sebesar 2,95±0,21 g%. Nilai hemoglobin tertinggi pada hari ke-0 pascatransportasi terdapat pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 4,65±0,21 g%, selanjutnya nilai hemoglobin pada perlakuan 75 ekor sebesar 4,45±0,21 g%, perlakuan 45 ekor sebesar 4,40±0,14 g% , perlakuan 60 ekor sebesar 23,3 ±0,92 g% dan nilai terkecil pada perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 4,10±0,14 g%. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai kadar hemoglobin hari ke-0 pada setiap perlakuan berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 9). Pada hari ke-4 hingga hari ke-21 nilai hemoglobin telah mendekati normal, hal ini berarti ikan sudah tidak mengalami stres.
Hemoglobin (g%)
6 b
5
b abab a
4
aaa a a
3
a
aa
aa a aa a a
a a a a a aa a a a
2 1 0 Ikan normal
0
1
4
7
14
21
Hari ke-
Gambar 11 Kadar hemoglobin benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05). Hematokrit Hasil pengukuran kadar hematokrit ikan gabus normal, pascatransportasi dan pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 12. Pengamatan pada hari ke-0 pascatransportasi menunjukkan nilai hematokrit semua perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan nilai hematokrit ikan gabus normal. Nilai hematokrit ikan gabus normal sebesar 12,5±3,46%. Nilai hematokrit tertinggi pada hari ke-0 pascatransportasi terdapat pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 25,4±1,84%, kemudian perlakuan 75 ekor sebesar 23,8±0,64%, perlakuan 45 ekor sebesar 23,6±1,34%, perlakuan 60 ekor sebesar 23,3±0,92% dan perlakuan 30 ekor (garam 3 ppt) sebesar 22,9±1,84%. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai kadar hematokrit hari ke-0 pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 10). Pada hari ke-4 hingga hari ke-21 nilai hematokrit telah mendekati normal, hal ini berarti ikan sudah tidak mengalami stres.
18 a
Hematokrit (%)
28
aaaa
b
21
aaa
b aa
a a a aaaaa
14
a a aaa aaaaa
7
0 Ikan normal
0
1
4
7
14
21
Hari ke-
Gambar 12 Kadar hematokrit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05). Aktivitas Lisozim Hasil pengukuran kadar aktivitas lisozim ikan gabus normal, pascatransportasi dan pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 13. Pengamatan pada hari ke-0 pascatransportasi menunjukkan kadar aktivitas lisozim semua perlakuan mengalami penurunan dibandingkan kadar aktivitas lisozim ikan gabus normal. Nilai aktivitas lisozim ikan normal sebesar 168,11±5,02 U.mL-1. Nilai aktivitas lisozim pada hari ke-0 pascatransportasi terdapat pada perlakuan 60 ekor sebesar 44,00±5,66 U.mL-1, perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 45,76±4,25 U.mL-1, perlakuan 75 ekor sebesar 46,00±5,66 U.mL-1 dan perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar 56,00±1,89 U.mL-1 dan terendah pada perlakuan 45 ekor sebesar 59,67±1,41 U.mL-1. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai aktivitas lisozim hari ke-0 pada setiap perlakuan berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 11). Pada hari ke-7 hingga hari ke-21 nilai aktivitas lisozim telah mendekati normal, hal ini berarti ikan sudah tidak mengalami stres. Aktivitas Lisozim (U.mL-1)
250
a aa
c
200 b
150
bc b
a
a d
c
a
100 bcc ab aab
50
b babb a
b a
aaa a a
a
0 Ikan normal
0
1
4 Hari ke-
7
14
21
Gambar 13 Kadar aktivitas lisozim benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).
19
Fisika-Kimia Air Pemeliharaan Nilai fisika-kimia air selama pemeliharaan masih layak untuk kehidupan benih ikan gabus (Boyd 1990). Hal ini dikarenakan pengelolaan kualitas air pemeliharaan dilakukan dengan menggunakan filter sirkulasi setiap akuarium dan dilakukan penyiponan setiap hari untuk mengurangi kotoran sisa pakan dan sisa metabolisme ikan. Hasil pengukuran nilai fisika-kimia air selama pemeliharan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2
Kisaran nilai fisika-kimia air pemeliharaan benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Parameter Kisaran Nilai Tinjauan Pustaka Suhu (ºC) 28,7 – 30,2 28-32 (Boyd 1981) Oksigen terlarut (mg.L-1) 5,2 – 5,8 >5 (Boyd 1981) -1 NH3 5(mg.L ) 0,009-0,0182 < 0,02 (Boyd 1981) CO2 (mg.L-1) 3,21-4,74 <5 (Boyd 1981) pH 7,8- 8,3 7,5-8,5 (Boyd 1981)
Pembahasan Suhu merupakan parameter penting dalam kegiatan transportasi ikan karena mempengaruhi laju metabolisme ikan, proses biologis, proses kimia, dan parameter kualitas air lainnya. Fluktuasi suhu selama transportasi ikan gabus sebesar 0,2 oC selama satu jam. Fluktuasi suhu tersebut masih dalam kondisi yang normal dan tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup benih ikan gabus. Menurut Stickney (1979) bahwa fluktuasi suhu yang membahayakan bagi ikan adalah 5 oC dalam satu jam. Nilai DO menunjukkan semakin menurun seiring bertambahnya waktu, akan tetapi pada jam ke-6 terjadi kenaikan DO. Hal ini dikarenakan kerasnya goncang yang mengakibatkan terjadinya difusi oksigen antara air dan udara di dalam packing (Humairani 2015). Konsentrasi DO pelakuan tanpa garam (30 ekor) pada jam ke-24 memiliki nilai terkecil. Menurunnya nilai DO juga seiring semakin tingginya kepadatan pada suatu media transportasi, yaitu pada perlakuan 75 ekor, 60 ekor, 45 ekor dan 30 ekor. Nilai DO selama transportasi berkisar 4,78,3 mg.L-1. Nilai DO dalam kisaran yang baik yaitu > 5 mg.L-1 (Muntaziana 2013). Pada jam ke 24 transportasi perlakuan 30 ekor (tanpa garam) memiliki nilai DO sebesar 4,7 mg.L-1, nilai tersebut tidak mendukung untuk pertumbuhan ikan gabus. Rendahnya nilai DO pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) dikarenakan media transportasi tanpa penambahan garam. Garam berfungsi untuk menjaga keseimbangan kosentrasi cairan tubuh dan konsentrasi lingkungan, sehingga penggunaan energi dapat dihemat. Jika kebutuhan energi meningkat maka meningkatnya penggunaan oksigen, yang berarti berkurangnya ketersediaan oksigen di dalam media. gabus. Nilai DO selama transportasi berkisar 4,7-8,3 mg.L-1. Nilai DO dalam kisaran yang baik untuk pertumbuhan ikan yaitu > 5 mg.L-1 (Muntaziana 2013). Ikan gabus memiliki alat pernapasan tambahan berupa sepasang ruang suprabranchial yang terbaring pada bagian pharynx dorsal hingga
20
lengkungan insang (Banerjee 2007). Keberadaan organ tersebut menyebabkan oksigen bukan merupakan faktor pembatas keberhasilan transportasi benih ikan Konsentasi NH3 dari setiap perlakuan mengalami kenaikan seiring dengan tingginya kepadatan dalam media transportasi. Pada penelitian (Wahyu 2015) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 meningkat seiring dengan bertambahnya kepadatan ikan yang digunakan. Konsentrasi NH3 yang baik untuk benih ikan, yaitu < 0,02 mg.L-1 (Boyd 1981). Perlakuan 30 ekor (tanpa garam) memiliki nilai NH3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dengan penambahan garam 3 ppt. Sesuai dengan penelitian Nirmala et al. (2012) bahwa penambahan garam akan meningkatkan ionic strength yang dapat menurunkan toksisitas amonia. Penambahan garam yang juga berarti peningkatan salinitas air dapat menurunkan toksisitas NH3 untuk ikan salmon Atlantik (Alabaster & Shurben 1979). Tingginya konsentrasi amonia di dalam air menyebabkan eksresi amonia di insang terhambat. Hambatan tersebut membuat amonia di dalam terakumulasi sehingga mengurangi afinitas hemoglobin mengikat oksigen. Kondisi tersebut dapat memicu kematian ikan saat transportasi. Tersedianya ion Na+ di media berfungsi untuk pertukaran ion NH3 dari dalam darah ikan melintasi sel-sel branchial (Maetz 1973). Selain itu kondisi ikan gabus dengan penambahan garam 3 ppt menjadi lebih tenang dikarenakan menurunnya gradien osmotik yang berdampak pada menurunnya penggunaan energi ikan, sehingga laju metabolisme lebih rendah dan bahan buangan metabolisme yang dihasilkan pun menjadi lebih sedikit. Konsentrasi CO2 dalam media air pengangkutan terus mengalami peningkatan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Konsentrasi CO2 yang baik untuk benih ikan, yaitu < 0,02 mg.L-1 (Boyd 1981). Konsentrasi CO2 pada setiap perlakuan diluar ambang batas yang rekomendasikan untuk ikan. Kadar CO2 yang tinggi (hipercapnia) menyebabkan pH darah menjadi lebih asam (acidosis) sehingga kadar O2 darah menurun melalui mekanisme efek Root. Kedua kondisi ini menyebabkan ikan meningkatkan laju ventilasi insang. Selanjutnya ikan akan mati karena kekurangan O2, meskipun kandungan O2 di air media transportasi tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Black et al (1954), yang menunjukkan bahwa saat ikan mati kandungan oksigen di dalam air lebih tinggi ketika tekanan CO2 meningkat. Tersedianya ion Cl- di dalam media berfungsi untuk pertukaran ion HCO3 - dari dalam darah ikan melintasi insang (Smith 1982). Hal ini berarti penggunaan garam 3 ppt dalam media transportasi dapat mengurangi kandungan CO2 di dalam darah. Nilai pH air selama transprtasi masih dalam pada kisaran yang baik untuk bagi ikan gabus yaitu 6-8,6 (Boyd 1981). Penurunan nilai pH disebabkan peningkatan konsentrasi CO2 pada media transportasi. Senyawa CO2 selama respirasi akan bereaksi dengan air sehingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air William & Robert (1992). Kematian ikan yang terjadi pada kegiatan transportasi tertutup salah satunya disebabkan karena kandungan NH3 dan CO2 yang melebihi batas toleransi ikan. Dari hasil data fisika-kimia air diatas perlakuan 30 ekor (tanpa garam) memiliki nilai NH3 dan CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dengan penambahan garam 3 ppt. Kandungan amonia yang tinggi akan mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuh, sehingga meningkatnya konsumsi oksigen jaringan dan menyebabkan kerusakan insang serta mengurangi kemampuan darah dalam transpor oksigen (Boyd 1990).
21
Tingginya kandungan CO2 di dalam air menyebabkan eksresi CO2 di insang terhambat. Kandungan CO2 yang tinggi (hipercapnia) yang menyebabkan pH darah menjadi lebih asam (acidosis) sehingga kadar O2 darah menurun melalui mekanisme efek Root. Kematian saat transportasi disebabkan ikan gagal mengatasi dan beradaptasi terhadap stres akibat memburuknya kualitas air. Kematian saat pascatransportasi merupakan pengaruh lanjutan dari stres saat transportasi. Stres yang terlalu tinggi menyebabkan ikan sulit memulihkan keseimbangan fisiologis di dalam tubuhnya, kemudian berakibat kematian saat pemeliharaan pascatransportasi. Kematian pada pascatransportasi disebut juga dengan delayed mortality atau hauling loss (Wedemeyer 1996). Kematian tertinggi terdapat pada pemeliharaan pascatransportasi hari ke-1. Tingginya kematian benih ikan gabus ini diakibatkan tingginya tingkat stres pascatransportasi dan benih yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru. Pada hari ke-4 hingga hari ke-21 tidak terdapat banyak kematian, karena ikan telah beradaptasi pada kondisi lingkungan. Hal ini dibuktikan dari hasil pengukuran parameter respons stres yang semakin membaik hingga hari ke-21. Hasil pengamatan menunjukkan laju pertumbuhan harian (LPH) tidak berpengaruh oleh kepadatan ikan saat transportasi. Hal tersebut disebabkan ikan yang bertahan hidup telah mampu mengatasi stres saat transportasi dan beradaptasi dengan kondisi wadah pemeliharaan. Hasil penelitian Procarione et al. (1999) pada ikan Rainbow trout juga menunjukkan kondisi stres tidak selalu menyebabkan laju pertumbuhan ikan menurun. Menurunnya laju pertumbuhan akibat stres dan tekanan lainnya tidak berlaku secara umum pada seluruh ikan (McCormick 1998). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepadatan ikan gabus dalam media transportasi tidak mempengaruhi nilai gradien osmotik. Perlakuan 30 ekor, 45 ekor, 60 ekor dan 75 ekor dengan menggunakan garam 3 ppt merupakan kondisi isosmotic (nilai osmolaritas cairan tubuh mendekati nilai osmolaritas cairan media). Gradien osmotik yang semakin rendah membuat energi yang digunakan untuk proses osmoregulasi semakin sedikit, sehingga penggunaan energi dapat dialihkan untuk pertumbuhan dan juga dapat meningkatkan kelangsungan hidup (Setiyoningsih 2014). Sebaliknya perlakuan tanpa garam (30 ekor) menunjukkan bahwa benih ikan gabus bersifat hyperosmotic, yang artinya semakin besarnya energi yang digunakan untuk proses osmoregulasi lebih besar (Corrion et al. 2005). Hal yang sama dikemukakan oleh Arjona et al. (2008) bahwa semakin tinggi gradien osmotik, dapat menyebabkan penggunaan energi untuk osmoregulasi akan semakin tinggi pula. Ketika ikan membutuhkan energi untuk proses osmoregulasi, maka ikan akan memanfaatkan sumber energi yang ada di dalam tubuhnya, yakni oksigen untuk oksidasinya (Marlina 2011). Dengan demikian menunjukkan jika gradien osmotik yang rendah akan menghemat energi dan mengurangi konsumsi oksigen. Hal ini sesuai dengan pelakuan 30 ekor (tanpa garam) memiliki nilai DO lebih rendah dibandingkan perlakuan dengan penambahan garam 3 ppt, yang artinya ikan lebih banyak mengkonsumsi oksigen untuk proses osmoregulasi. Ikan yang bersifat hyperosmotic harus mengembangkan mekanisme fisiologinya untuk mencegah kelebihan aliran air ke dalam tubuh dan juga mengembangkan mekanisme untuk mencegah kehilangan zat terlarut sebagai
22
kelebihan air yang diekskresikan melalui proses osmoregulasi. Hal ini juga dijelaskan oleh Evans (2008) yaitu ikan air tawar yang memiliki tekanan osmotik cairan tubuh yang lebih tinggi daripada tekanan osmotik medianya akan meningkatkan aliran air ke dalam tubuh dan menyebabkan kehilangan NaCl secara difusi melalui epithel insang permeabel. Untuk menjaga konsentrasi internal menjadi terlalu encer maka ikan mengekskresikan urine hypotonic dalam volume yang relatif besar dan menyerap NaCl secara aktif melintasi epitel insang. Peningkatan glukosa darah atau hyperglecemia pada setiap perlakuan hari ke-0 pascatransportasi menunjukkan ikan mengalami stres saat transportasi (Abreu et al. 2008). Mekanisme terjadinya perubahan performa glukosa darah selama stres yaitu adanya perubahan lingkungan yang akan diterima oleh organ reseptor. Informasi tersebut disampaikan ke otak bagian hipotalamus melalui sistem syaraf, dan selanjutnya sel kromaffin menerima perintah melalui serabut syaraf symphatik untuk mensekresikan hormon katekolamin. Hormon ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang telibat dalam katabolisme simpanan glikogen hati dan otot serta menekan sekresi hormon insulin, sehingga glukosa darah mengalami peningkatan. Selanjutnya pada saat yang bersamaan hipothalamus otak mensekresikan CRF (corticoid releasing facktor) yang meregulasi kelenjar pituitary untuk mensekresikan ACTH (Adeno-cortico-tropik hormone), MSH (Melanophore-Stimulating hormone) dan p-End (p-endorphin). Hormon tersebut akan meregulasi sekresi hormon kortisol dari sel internal. Diketahui bahwa kortisol akan menggertak enzim-enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis yang menghasilkan peningkatan glukosa darah yang bersumber dari non karbohidrat. Konsentrasi glukosa darah pada hari ke-4 hingga hari ke-21 pemeliharaan memperlihatkan tren menurun mendekati nilai glukosa darah pada ikan gabus normal sebelum transportasi. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan pemeliharaan mendukung untuk kehidupan ikan gabus. Pada saat terjadinya katabolisme protein untuk membentuk glukosa juga menghasilkan asam amino, sehingga asam amino dalam darah mengalami peningkatan. Meningkatnya asam amino dalam darah akan mengaktifasi insulin kembali sehingga mampu melakukan transport glukosa, sehingga glukosa dalam darah akan menurun kembali (Wendelaar 1997). Penurunan nilai pH darah menunjukkan ikan mengalami stres saat transportasi (Wood et al. 1997). Tingginya nilai gradien osmotik pada pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) menyebabkan ikan lebih banyak membutuhkan energi untuk osmoregulasi sehingga ikan menjadi hiperaktif dan aktivitasnya menjadi meningkat. Energi dihasilkan dari pemecahan glikogen melalui jalur metabolisme anaerob menyebabkan produksi asam laktat meningkat dan lepasnya CO2 ke dalam darah (Wahyu 2015). Keberadaan asam laktat dan CO2 menyebabkan pH darah menurun sehingga terjadi asidosis. Asidosis menyebabkan afinitas hemoglobin mengikat oksigen menjadi berkurang (Bohr effect) dan menurunnya kapasitas darah dalam mengangkut oksigen (Root effect) (Delince et al. 1987). Nilai pH darah ikan normal pada umumnya berkisar 7,6-7,8 (Wedemeyer 1996). Saat nilai pH darah berada pada kisaran 6,5-7,5 kandungan oksigen di dalam darah menurun dengan cepat seiring terjadinya asidosis (Berenbrink 2011). Penurunan nilai pH darah sebesar satu unit menyebabkan afinitas hemoglobin mengikat oksigen tereduksi hampir sebesar 50% (Wedemeyer 1996). Kondisi tersebut menyebabkan ikan mengalami kekurangan oksigen di
23
dalam tubuh atau hipoksia, sehingga menyebabkan suplai oksigen untuk proses metabolisme energi berkurang. Menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dan meningkatnya konsentrasi CO2 dalam media air saat transportasi menyebabkan laju ventilasi insang menjadi meningkat, namun CO2 darah sulit untuk berdifusi keluar dari insang karena tingginya konsentrasi CO2 di dalam media air transportasi. Proses difusi dipengaruhi perbedaan tekanan antara CO2 dalam darah dengan CO2 yang ada pada media air transportasi (Wedemeyer 1996). Kondisi tersebut menyebabkan konsentrasi CO2 di dalam darah semakin meningkat (hypercapnia) sehingga memperburuk asidosis yang terjadi dan semakin menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Akibatnya ikan sulit memenuhi energi untuk mengatasi stres dan terjadi kematian (Delince et al. 1987). Hal tersebutlah yang diduga menyebabkan perlakuan 30 ekor (tanpa garam) memiliki nilai TKH selama transportasi lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan penambahan garam 3 ppt. Fungsi utama sel darah merah adalah dalam pengangkutan oksigen. peningkatan kontraksi limpa akan mengakibatkan terjadi pelepasan sel-sel darah merah sehingga nilai hematokrit, hemoglobin dan eritosit juga turut meningkat. Dengan meningkatnya nilai hematokrit, hemagolobin dan eritosit maka ikan akan memaksimalkan pengikatan oksigen yang masuk ke dalam jaringan darah (ElDeendan dan Rongers 1992). Peningkatan jumlah sel darah merah menunjukkan ikan mengalami stres saat transportasi (Abreu et al. 2008; Supriyono et al. 2010; Supriyono et al. 2011). Stres menyebabkan ikan membutuhkan jumlah energi yang besar untuk mempertahankan keseimbangan homeostasis di dalam tubuhnya (Iwama 1998). Energi tersebut dihasilkan dari pemecahan glikogen pada proses metabolisme anaerob yang diatur oleh hormon kortisol (Mommsen et al. 1999). Metabolisme tersebut menyebabkan kebutuhan oksigen menjadi meningkat dan memicu ikan mengalami hipoksia (Delince et al. 1987). Pemecahan glikogen juga meningkatkan produksi CO2 di dalam tubuh. Kedua hal tersebut menyebabkan ikan harus mengoptimalkan fungsi sistem sirkulasi. Kondisi ini menyebabkan sel kromafin merilis hormon katekolamin sebagai respons primer stres ke dalam darah (Bonga 1997). Meningkatnya hormon katekolamin menyebabkan total SDM menjadi meningkat untuk meningkatkan afinitas dan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen (Bonga 1997; Pankhurst 2011). Peningkatan total SDM berfungsi untuk menutupi kekurangan suplai oksigen dan mempercepat proses ekskresi CO2 keluar dari tubuh. Peningkatan total SDM yang lebih tinggi menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi dialami oleh ikan. Peningkatan total SDP menunjukkan bahwa ikan mengalami stres saat transportasi (Supriyono et al. 2010; Supriyono et al. 2011). Peningkatan tersebut diduga berhubungan dengan respons imunitas ikan yang terpengaruh oleh peningkatan hormon kortikosteron saat ikan mengalami stres (Davis et al. 2008). Hal ini disebabkan oleh stres yang dialami saat transportasi memberikan tekanan pada fungsi sistem imun ikan (Bonga 1997). Tekanan pada fungsi sistem imun memudahkan patogen menyerang ikan pada masa pemeliharaan pascatransportasi. Kondisi tersebut menyebabkan sel darah putih menjadi meningkat yang merupakan respons terhadap serangan patogen yang terjadi (Blaxhall 1972).
24
Hemoglobin merupakan komponen dari sel darah merah yang untuk berfungsi mengangkut oksigen dari lingkungan ke sel di dalam tubuh dan mengangkut karbondioksida hasil metabolisme dengan arah sebaliknya (Jensen et al. 1998). Peningkatan kadar hemoglobin menunjukkan ikan mengalami stres saat transportasi (Supriyono et al. 2010). Perlakuan 30 ekor (tanpa garam) memiliki nilai hematokrit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan penambahan garam 3 ppt, karena ikan membutuhkan oksigen untuk proses osmoregulasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wells et al. (2005) bahwa 1 gram hemoglobin dapat mengikat kira-kira 1,34 mL oksigen. Sekresi hormon katekolamin saat ikan stres berfungsi untuk meningkatkan afinitas dan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen (Pankhurst 2011). Sekresi tersebut juga meningkatkan kadar hemoglobin ikan, karena sintesis hemoglobin dilakukan bersamaan dengan produksi sel darah merah (Bonga 1997; Olver et al. 2011). Kadar hematokrit merupakan perbandingan antara sel darah merah dan plasma darah, serta berpengaruh terhadap pengaturan sel darah merah (Hesser 1960). Perubahan nilai hematokrit merupakan salah satu indikator stres pada ikan (Witeska 2005). Hormon katekolamin menyebabkan pembengkakan sel darah merah dan meningkatkan jumlah sel yang beredar. Sebagai hasilnya jumlah sel darah merah, hematokrit dan hemoglobin menjadi meningkat (Bonga 1997). Sekresi hormon kortisol saat ikan mengalami stres juga berpengaruh meningkatkan kadar hematokrit (Mommsen et al. 1999). Menurut Jawad et al. (2004) peningkatan kadar hematokrit dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama suhu perairan serta keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan. Pengamatan pada hari ke-1 sampai ke-21 menunjukkan semua perlakuan mendekati nilai kadar hematokrit ikan normal. Hal ini menunjukkan benih ikan gabus telah beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Konsentrasi aktivitas lisozim pada hari ke-0, hari ke-1 dan hari ke-4 pascatransportasi menurun dikarenakan pengaruh dari transportasi. Sesuai dengan penelitian Mock dan Peters (1990) bahwa aktivitas lisozim ikan Rainbow trout mengalami penurunan dikarenakan stres karena pengaruh dari transportasi. Pada kondisi ini sistem kekebalan tubuh ikan menjadi menurun dan mudah terinfeksi bakteri. Pada hari berikutnya aktivitas lisozim mengalami peningkatan mendekati nilai aktivitas lisozim pada ikan normal. Ini artinya sistem kekebalan tubuh pada ikan sudah kembali pada kondisi normal. Parameter fisika-kimia air media pemeliharaan dalam kondisi yang layak untuk pertumbuhan ikan gabus, disebabkan selama pemeliharaan, pengelolaan kualitas air dilakukan dengan baik yaitu dengan desain alat menggunakan pompa sistem sirkulasi, dan menggunakan filter yang dilengkapi busa. Didukung juga dengan pengelolaan kualitas air lainnya yaitu dengan melakukan pencucian dan penggantian busa filter setiap hari. Kemudian dilakukan penyiponan setiap hari, untuk mengurangi kotoran yang mengendap di dasar akuarium, yang tidak terambil oleh pompa filter dan diganti dengan air bersih yang telah disediakan sesuai dengan perlakuan. Suhu selama pemeliharaan juga terjaga karena menggunakan heater pada setiap akuarium pemeliharaan.
25
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Penambahan garam ke dalam media transportasi dengan kepadatan berbeda mampu mempertahankan kualitas air dan menekan mortalitas dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan garam. Perlakuan penambahan garam ke dalam media transportasi menghasilkan tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan garam, serta tingkat stres ikan pascatransportasi telah kembali normal pada hari ke-4 pascatransportasi. Pada penelitian ini kepadatan 75 ekor.L-1 ikan gabus dapat diangkut dalam kondisi yang baik (tingkat stres yang rendah). Saran
1.
2.
Perlu penelitian lebih lanjut dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi dari 75 ekor.L-1, sehingga diperoleh informasi kepadatan yang maksimal guna meminimalisir biaya transportasi. Berdasarkan fakta banyaknya kematian ikan gabus sampai hari pertama pascatransportasi, sebaiknya ikan dibugarkan dalam media yang menggunakan kadar garam 3 ppt sesaat setelah pengangkutan.
DAFTAR PUSTAKA Abreu JS, Sanabaria-Ochoa AI, Goncalves FD, Urbinati EC. 2008. Stress responses of juvenile matrinxã (Brycon amazonicus) after transport in a closed system under different loading densities. Cienc. Rural. 38(5): 14131417. Alabaster JS, Shurben DG. 1979. The effect of dissolved oxygen and salinity on the toxicity of ammonia to smolts of salmon, Salmo salar L. Journal of Fish Biology. 15: 705-712. Anderson DP, Siwick A. 1993. Basic Hematology and Serology for Fish Health Programs. Paper presented in Second Symposium on Desease in Asia Aquaculture “Aquatic Animal Health and Environment”; 1993 Okt 25-29; Thailand. Filipina(PH):Asia Fisheries Society. hlm 185-202. Anggoro S. 1992. Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas telur dan vitalitas larva udang windu Penaeus monodon Fabricius [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arjona J.F, Chacoff LV, Jarabo IR, Gonçalves O, Páscoa I, María P, Río MD and Mancera JM. 2009. Tertiary stress responses in Senegalese sole (Solea senegalensis Kamp.1858) to osmotic challenge : implication for osmoregulation, energy metabolism and growth. Aquaculture. 287: 419-426.
26
Banerjee TK. 2007. Histopathology of respiratory organs of certain air-breathing fishes of India. Fish Physiol Biochem. 33(4): 441-454. Berenbrink M. 2011. Evolution of root effect. Farrell AP, editor. Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome to Environment. London (UK): Academic Press. pp. 921-928. Black EC, Fry FEJ, Black VS. 1954. The influence of carbondioxide on the utilization of oxygen by some freshwater fish. Canadian Journal of Zoology. 32: 408-420. Blaxhall PC, Daisley KW. 1972. Routine haematological methods for use with fish blood. J Fish Biology. 5:577-581. Bonga SW. 1997. The stress response in fish. Physiol Rev. 77(3): 591-625. Boyd CE. 1981. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Massachusetts (US): Kluwer Academic. Boyd CE. 1990. Water Quality for Pond Aquaculture. Birmingham (US): Birmingham Publishing. Corrion RL, Alvarellos SS, Guzma´n JM, Marı´a P, Rı´o MD, Soengas JL, Manceraa JM. 2005. Growth performance of gilthead sea bream conditions : Implication for osmoregulation and energy metabolism. Aquaculture. 250(34): 849-861. Davis AK, Maney DL, Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to measure stress in vertebrates: a review for ecologists. Funct Ecol. 22(5): 760-772. Delince GA, Campbell D, Janssen JAL, Kutty MN. 1987. Seed production: Establisment of African regional aquaculture centre. Rome (IT): Food ands Agriculture Organization of the United Nations. 118 p. Ellis EA. 1990. Techniques in Fish Immunolog: Serum Anti-Proteases in Fish. California(US): Sos Publications El-Deen MAS, WA Rogers. 1992. Acute toxicity and some hematological change in grass carp exposed to diquat. J. Aquatic Animal Health. 4: 277-280. Emu S. 2010. Pemanfaatan garam pada pengangkutan sistem tertutup benih ikan patin pangius sp berkepadatan tinggi dalam media yang mengandung zeolite dan arang aktif [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Evans DH. 2008. Teleost fish osmoregulation: what have we learned since august krogh, homer smith, and ancel keys. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. 295:704-713. Hesser EF. 1960. Methods for routine haematology. Progressive Fish Culturist. 22(4): 164-171. Humairani. 2015. Respons stres benih udang galah macrobrachium rosenbergii terhadap penambahan zeolit, karbon aktif, minyak cengkeh dan garam pada transportasi tertutup [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Iwama GK. 1998. Stress in fish. Ann N Y Acad Sci. 851(1): 304-310. Jawad LA, Al Mukhtar MA, Ahmed HK. 2004. The relationship between hematokrit and some biological parameters of the indian shad Telamosa ilisha. Animal Biodiversity and Concervation. 27:47-52. Jensen G.L. 1990. Transportation of warmwater fish: Procedures and loading rates. Southern Regional Aquaculture Center Publication. No. 392. Mississippi (US) Mississippi State University Maetz J. 1973. Na+/NH4+, Na+/H+ exchanges and NH3 movement across the gill of Carassius auratus. J. Exp. Biol. 58: 255-275.
27
Makmur S. 2002. Mengapa Terjadi Stres Pada Ikan. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 2:18 – 20. Marlina E. 2011. Optimasi Osmolaritas Media dan Hubungannya dengan Respons Fisiologis Benih Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. McCormick SD, Shrimpton JM , Carey JB, O'dea MF, Sloan KE, Moriyama S, Björnsson BT. 1998. Repeated acute stress reduces growth rate of Atlantic salmon parr and alters plasma levels of growth hormone, insulin-like growth factor I and cortisol. Aquaculture. 168(1): 221-235. Muntaziana MPA, Amin SMN, Rahman MA, Rahim AA, Marimuthu K. 2013. Present culture status of the endangered snakehead, Channa striatus (Bloch, 1793). Asian J Anim Vet Adv. 8(2): 369-375. Muslim M. 2007. Potensi peluang dan tantangan budidaya ikan gabus (Channa striatus) di propinsi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Forum Perairan Umum Indonesia IV; 2007 Nov 30; Palembang, Indonesia. Depok (ID): Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Perikanan Tangkap. Mock A, Peters G. 1990. Lysozyme activity in Rainbow trout, Oncorhynchus mykiss (walbaum), stressed by handling, transport and water pollution. Fish Biology. 37 : 873-885. Mommsen TP, Vijayan MM, Moon TW. 1999. Cortisol in teleosts: dynamics, mechanisms of action, and metabolic regulation. Rev Fish Biol Fish. 9(3): 211-268. Nirmala K, Hadiroseyani Y, Widiasto RP. 2012. Penambahan garam dalam air media yang berisi zeolit dan arang aktif pada transportasi sistem tertutup benih ikan gurami Osphronemus goramy Lac. Jurnal Akuakultur Indonesia. 11(2): 190-201. Olver CS, Andrews GA, Smith JE, Kaneko JJ. 2011. Erythrocyte Structure and Function Weiss DJ, Wardrop KJ. Editor. Schalm's Veterinary Hematology. Singapore (SG): John Wiley & Sons. pp. 123-130. Pankhurst NW. 2011. The endocrinology of stress in fish: an environmental perspective. Gen Comp Endocr. 170(2): 265-275. Procarione LS, Barry TP, Malison JA. 1999. Effects of high rearing densities and loading rates on the growth and stress responses of juvenile rainbow trout. N Am J Aquac. 61(2): 91-96. Purnamawati, Dewantoro E. 2016. Kelayakan budidaya ikan gabus (Channa striata) pada media sulfat masam. Seminar Penelitian Dasar (Fundamental 2016); 2016 Feb 17-19; Surabaya, Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. [Pusdatin KKP] Pusat Data dan Informasi Kementerian Kelautan Perikanan. 2014. Statistik kelautan dan perikanan 2013. Kementerian Kelautan Perikanan (ID). Rahmawanty D, Anwar E, Bahtiar A. 2014. Formulasi gel menggunakan daging ikan haruan (Channa striata) sebagai penyembuh luka. Media Farmasi. 11(1) : 29-40. Ricker, W.E. 1975. Computation and interpretation of biological statistic of fish population. Canada (CAN): Bulletin of the Fisheries Research Board of Canada. hlm 119-382.
28
Setiyoningsih PR. 2014. Respons gelondongan ikan bandeng (Chanos Chanos) akibat perubahan salinitas dengan penambahan kalsium klorida (CaCl2) pada durasi yang berbeda. Jurnal Penelitian UNISLA. 5(2):6-17 Sufianto B. 2008. Uji transportasi ikan maskoki (Carassius auratus Linnaeus) hidup sistem kering dengan perlakuan suhu dan penurunan konsentrasi oksigen [tesis]. Bogor (ID): Institur Pertanian Bogor. Supriyono E, Budiyanti, Budiardi T. 2010. Respons fisiologi benih ikan kerapu macan Ephinephelus fuscoguttatus terhadap penggunaan minyak sereh dalam transportasi tertutup dengan kepadatan tinggi. IJMS. 15(2): 103-112. Supriyono E, Syahputra R, Ghozali MFR, Wahjuningrum D, Nirmala K, Kristanto AH. 2011. Efektivitas pemberian zeolit, arang aktif, dan minyak cengkeh terhadap hormone kortisol dan gambaran darah benih ikan patin Pangasionodon hypopthalamus pada pengangkutan dengan kepadatan tinggi. J Iktio Indones. 11(1): 67-75. Stickney RR. 1979. Principles of Warmwater Aquaculture. New York (US): John Willey and Sons. Wahyu. 2015. Respons fisiologis juvenil ikan gabus Channa striata pada transportasi sistem tertutup [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wedemeyer GA. 1996. Transportation and handling : Pennel W, Barton BA, editor. Principles of Salmonid Culture. Amsterdam (NL) : Elsevier Inc. pp. 727-755. Wells RMG, Baldwin J, Seymour RS, Christian K. Britain T. 2005. Blood cell fuction and haematology intwo tropical freshwater fishes from Australia. Comprative Biochemistry and Physiology (A). 141:87-93 Wendelaar BSE. 1997. The stress response in fish. Physiol. Rev.77:591-625. Wibowo S. 1993. Penerapan Teknologi Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup di Indonesia. Jakarta: Sub BPPL, Slipi. William AW, Robert MD. 1992. Interaction of pH, carbon dioxide, alkalinity and hardnes in fish ponds. J. SRAC Publication: 464: 1-4. Witeska M. 2013. Erythrocytes in teleost fishes: a review. Zool Ecol. 23(4): 275281.
29
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis ragam tingkat kelangsungan hidup transportasi benih ikan gabus dengan kepadatan berbeda pada media bersalinitas 3 ppt ANOVA Analisis Variansi Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F hitung P Antar Kelompok 163,422 4 40,856 9,166 0,001 Dalam Kelompok 66,861 15 4,457 Total 230,283 19 Nilai pada kolom sig.<0,05 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda Duncan dengan hasil sebagai berikut:
Perlakuan Kontrol 75 ekor 60 ekor 30 ekor 45 ekor Sig.
N 4 4 4 4 4
TKH transportasi alpha = 0,05 1 2 92,5000 97,6667 99,5833 100,0000 100,0000 1,000 0,170
Pengelompokan a b b b b
Lampiran 2 Hasil analisis ragam tingkat kelangsungan hidup benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi ANOVA Analisis Variansi Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah Antar Kelompok 176,000 4 44,000 Dalam Kelompok 184,000 5 36,800 Total 360,000 9
F hitung 1,196
P 0,415
Lampiran 3 Hasil analisis ragam laju pertumbuhan harian benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi Analisis Variansi Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
ANOVA Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah 0,208 4 0,052 0,139 5 0,028 0,347 9
F hitung Sig. 1,871 0,254
30
Lampiran 4 Hasil analisis ragam gradien osmotik benih ikan gabus pascatransportasi ANOVA Analisis Variansi Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F hitung P Antar Kelompok 0,014 4 0,004 81,554 0,000 Dalam Kelompok 0,000 5 0,000 Total 0,015 9 Nilai pada kolom sig.<0,05 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda Duncan dengan hasil sebagai berikut:
Perlakuan 75 ekor 30 ekor 45 ekor 60 ekor Kontrol Sig.
N 2 2 2 2 2
Gradien osmotik alpha = 0,05 1 2 0,2330 0,2400 0,2415 0,2455 0,3345 0,130 1,000
Pengelompokan a a a a b
Lampiran 5 Hasil analisis ragam glukosa darah benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
Glukosa Hari ke-0 Glukosa Hari ke- 1 Glukosa Hari ke- 4 Glukosa Hari ke- 7 Glukosa Hari ke- 14 Glukosa
Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok
ANOVA Jumlah Kuadrat 181,569 14,310 195,880 52,378 32,695 85,073 16,665 10,944 27,609 17,077 14,720 31,797 2,587 2,738 5,325 1,292
db 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4
Kuadrat Tengah 45,392 2,862
F hitung P 15,860 0,005
13,094 6,539
2,003
0,232
4,166 2,189
1,903
0,248
4,269 2,944
1,450
0,342
0,647 0,548
1,181
0,420
0,323
1,884
0,251
31
Hari ke- 21
Dalam Kelompok 0,857 5 0,171 Total 2,148 9 Nilai pada kolom sig.<0,05 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda Duncan dengan hasil sebagai berikut:
Perlakuan 30 ekor 45 ekor 60 ekor 75 ekor kontrol Sig.
Lampiran 6
N 2 2 2 2 2
Glukosa Hari ke-0 Subset for alpha = 0,05 1 2 3 54,4120 56,3565 56.,565 58,4910 58,4910 60,4140 66,8055 0,066 0,067 1,000
Pengelompokan a ab ab b c
Hasil analisis pH darah benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
ANOVA Jumlah Kuadrat F Kuadrat db Tengah hitung P pH Darah Antar Kelompok 0,520 4 0,130 32,500 0,001 Hari ke-0 Dalam Kelompok 0,020 5 0,004 Total 0,540 9 pH Darah Antar Kelompok 0,320 4 0,080 20,000 0,003 Hari ke-1 Dalam Kelompok 0,020 5 0,004 Total 0,340 9 pH Darah Antar Kelompok 0,094 4 0,024 2,350 0,187 Hari ke-4 Dalam Kelompok 0,050 5 0,010 Total 0,144 9 pH Darah Antar Kelompok 0,006 4 0,001 0,214 0,920 Hari ke-7 Dalam Kelompok 0,035 5 0,007 Total 0,041 9 pH Darah Antar Kelompok 0,040 4 0,010 0,588 0,686 Hari ke-14 Dalam Kelompok 0,085 5 0,017 Total 0,125 9 pH Darah Antar Kelompok 0,006 4 0,002 0,150 0,955 Hari ke-21 Dalam Kelompok 0,050 5 0,010 Total 0056 9 Nilai pada kolom sig.<0,05 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda Duncan dengan hasil sebagai berikut:
32
Perlakuan Kontrol 75 ekor 60 ekor 45 ekor 30 ekor Sig.
Perlakuan Kontrol 60 ekor 75 ekor 45 ekor 30 ekor Sig.
N 2 2 2 2 2
pH Darah Hari ke-0 alpha = 0,05 2 3
1 6,6500
Pengelompokan
4
a 6,8500
b 7,0500 7,1500
1,000
N 2 2 2 2 2
1,000
0,175
pH Darah Hari ke-1 alpha = 0,05 1 2 6,7500 7,1500 7,1500 7,2000 7,2500 1,000 0,187
c 7,1500 7,3000 0,064
cd d
Pengelompokan a b b b b
pH Darah Hari ke-4 Perlakuan
alpha = 0,05 1
60 ekor
2
7,20000
75 ekor
2
7,30000
7,30000
ab
Kontrol
2
7,35000
7,35000
ab
45 ekor
2
7,35000
7,35000
ab
30 ekor
2
Sig.
2
Pengelompokan
N
a
7,50000 0,207
b
0,112
Lampiran 7 Hasil analisis ragam eritrosit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
Eritrosit Hari ke-0
Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
ANOVA Jumlah Kuadrat 0,062 0,013 0,075
db 4 5 9
Kuadrat Tengah 0,015 0,003
F hitung P 5,935 0,039
33
Eritrosit Hari ke-1
Antar Kelompok 0,061 4 0,015 2,603 0,161 Dalam Kelompok 0,029 5 0,006 Total 0,090 9 Eritrosit Hari Antar Kelompok 0,006 4 0,002 0,296 0,869 ke-4 Dalam Kelompok 0,027 5 0,005 Total 0,033 9 Eritrosit Hari Antar Kelompok 0,009 4 0,002 0,452 0,769 ke-7 Dalam Kelompok 0,024 5 0,005 Total 0,033 9 Eritrosit Hari Antar Kelompok 0,020 4 0,005 2,410 0,180 ke-14 Dalam Kelompok 0,011 5 0,002 Total 0,031 9 Eritrosit Hari Antar Kelompok 0,017 4 0,004 1,846 0,258 ke-21 Dalam Kelompok 0,011 5 0,002 Total 0,028 9 Nilai pada kolom sig.<0,05 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda Duncan dengan hasil sebagai berikut:
Perlakuan
N
30 ekor 60 ekor 45 ekor 75 ekor Kontrol Sig.
Perlakuan 30 ekor 60 ekor 45 ekor 75 ekor Kontrol Sig.
2 2 2 2 2
N 2 2 2 2 2
Eritrosit Hari ke-0 alpha = 0,05 Pengelompokan 1 2 1,8500 a 1,8600 a 1,8900 a 1,9800 1,9800 ab 2,0550 b 0,059 0,202
Eritrosit Hari ke-1 alpha = 0,05 Pengelompokan 1 2 1,5050 a 1,5350 1,5350 ab 1,5550 1,5550 ab 1,6350 1,6350 ab 1,7200 b 0,162 0,068
34
Lampiran 8 Hasil analisis ragam leukosit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
Leukosit Hari ke-0
Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Leukosit Antar Kelompok Hari ke-1 Dalam Kelompok Total Leukosit Antar Kelompok Hari ke-4 Dalam Kelompok Total Leukosit Antar Kelompok Hari ke-7 Dalam Kelompok Total Leukosit Antar Kelompok Hari ke-14 Dalam Kelompok Total Leukosit Antar Kelompok Hari ke-21 Dalam Kelompok
ANOVA Jumlah Kuadrat 0,600 1,500 2,100 0,600 1,500 2,100 1,400 1,000 2,400 0,600 1,000 1.600 0,400 2,000 2,400 0,000 2,500
db 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5
Kuadrat Tengah 0,150 0,300
F hitung 0,500
P 0,739
0,150 0,300
0,500
0,739
0,350 0,200
1,750
0,275
0,150 0,200
0,750
0,598
0,100 0,400
0,250
0,898
0,000 0,500
0,000
1,000
Lampiran 9 Hasil analisis ragam hemoglobin benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
Hemoglobin Hari ke-0 Hemoglobin Hari ke-1 Hemoglobin Hari ke-4 Hemoglobin Hari ke-7
ANOVA Jumlah Kuadrat Antar Kelompok 0,410 Dalam Kelompok 0,135 Total 0,545 Antar Kelompok 0,226 Dalam Kelompok 0,395 Total 0,621 Antar Kelompok 0,206 Dalam Kelompok 0,315 Total 0,521 Antar Kelompok 0,170 Dalam Kelompok 0,110 Total 0,280
db 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5 9
Kuadrat Tengah 0,103 0,027
F hitung P 3,796 0,088
0,056 0,079
0,715
0,616
0,051 0,063
0,817
0,565
0,043 0,022
1,932
0,244
35
Hemoglobin Hari Antar Kelompok 0,166 4 0,042 1,596 0,307 ke-14 Dalam Kelompok 0,130 5 0,026 Total 0,296 9 Hemoglobin Hari Antar Kelompok 0,154 4 0,038 1,283 0,388 ke-21 Dalam Kelompok 0,150 5 0,030 Total 0,304 9 Nilai pada kolom sig.<0,05 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda Duncan dengan hasil sebagai berikut:
Perlakuan 30 ekor 45 ekor 60 ekor Kontrol 75 ekor Sig.
N 2 2 2 2 2
Hemoglobin Hari ke-0 alpha = 0,05 1 2 4,1000 4,4000 4,4000 4,4500 4,4500 4,6500 4,6500 0,093 0,201
Pengelompokan a ab ab b b
Lampiran 10 Hasil analisis ragam hematokrit benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi
Hematokrit Hari ke-0 Hematokrit Hari ke-1 Hematokrit Hari ke-4 Hematokrit Hari ke-7 Hematokrit Hari ke-14 Hematokrit Hari ke-21
Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
ANOVA Jumlah Kuadrat 7,646 6,755 14,401 7,816 0,385 8,201 3,500 5,485 8,985 1,600 1,920 3,520 2,970 1,970 4,940 0,866 2,195 3,061
db 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5 9 4 5 9
Kuadrat Tengah 1,911 1,351
F hitung P 1,415 0,351
1,954 0,077
25,377
0,002
0,875 1,097
0,798
0,575
0,400 0,384
1,042
0,469
0,742 0,394
1,885
0,251
0,217 0,439
0,493
0,743
36
Nilai pada kolom sig.<0,05 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda Duncan dengan hasil sebagai berikut:
Perlakuan 30 ekor 60 ekor 45 ekor 75 ekor Kontrol Sig.
N 2 2 2 2 2
Hematokrit Hari ke-1 alpha = 0,05 1 2 19,4500 19,6500 19,9500 21,0500 21,7500 0,140 0,053
Pengelompokan a a a b b
Lampiran 11 Hasil analisis ragam aktivitas lisozim benih ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascatransportasi ANOVA Jumlah Kuadrat Kuadrat db Tengah F hitung P Lisozim Hari Antar Kelompok 398,061 4 99,515 5,678 0,042 ke-0 Dalam Kelompok 87,626 5 17,525 Total 485,686 9 Lisozim Hari Antar Kelompok 227,525 4 56,881 3,945 0,082 ke-1 Dalam Kelompok 72,087 5 14,417 Total 299,611 9 Lisozim Hari Antar Kelompok 619,400 4 154,850 1,485 0,333 ke-4 Dalam Kelompok 521,224 5 104,245 Total 1140,624 9 Lisozim Hari Antar Kelompok 9061,641 4 2265,410 21,373 0,002 ke-7 Dalam Kelompok 529,975 5 105,995 Total 9591,616 9 Lisozim Hari Antar Kelompok 6966,893 4 1741,723 0,483 0,750 ke-14 Dalam Kelompok 18042,163 5 3608,433 Total 25009,056 9 Lisozim Hari Antar Kelompok 22639,702 4 5659,925 751,576 0,000 ke-21 Dalam Kelompok 37,654 5 7,531 Total 22677,355 9 Nilai pada kolom sig.<0,05 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda Duncan dengan hasil sebagai berikut:
37
Perlakuan 60 ekor Kontrol 75 ekor 30 ekor 45 ekor Sig.
Perlakuan
N 2 2 2 2 2
N
30 ekor 60 ekor 75 ekor 45 ekor Kontrol Sig.
Perlakuan
30 ekor 75 ekor 45 ekor 60 ekor Kontrol Sig.
Pengelompokan a ab ab bc c
Lisozim Hari ke-1 alpha = 0,05 Pengelompokan 1 2 2 13,3335 a 2 17,3330 17,3330 ab 2 24,3330 b 2 24,3335 b 2 25,3970 b 0,340 0,097
N
45 ekor Kontrol 75 ekor 60 ekor 30 ekor Sig.
Perlakuan
Lisozim Hari ke-0 alpha = 0,05 1 2 3 44,0000 45,7590 45,7590 46,0000 46,0000 56,0000 56,0000 59,6670 0,660 0,064 0,421
2 2 2 2 2
N 2 2 2 2 2
Lisozim Hari ke-7 alpha = 0,05 Pengelompokan 1 2 3 85,0000 a 1,4011E2 b 1,4167E2 b 1,5900E2 1,5900E2 bc 1,7379E2 c 1,000 0,135 0,210 LisozimHari ke-21 alpha = 0,05 1 2 3 50,0000 51,3335 74,6665 1,4833E2 0,648
1,000
4
1,5938E2 1,000 1,000
Pengelompokan a a b c d
38
39
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Tanjungpinang pada tanggal 27 Januari 1991, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Ir Nasril dan Ir Syafmimi. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 015 Kota Tanjungpinang. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Babussalam Pekan Baru dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama pula penulis melanjutkan studi ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Tanjungpinang dan lulus pada tahun 2009. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Perikanan, Universitas Padjadjaran, Bandung dan lulus pada tahun 2014. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di program Magister Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Ilmu Akuakultur. Artikel dengan judul “Pengaruh Penambahan Garam 3 ppt dalam Media Transportasi dengan Kepadatan Berbeda terhadap Tingkat Stres Benih Ikan Gabus Channa striata Pascatransportasi” sedang proses review pada Jurnal Iktiologi Indonesia. Artikel Ilmiah tersebut merupakan bagian dari Tesis pada Program Magister (S2) penulis.