Indonesia Accounting Research Journal Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2013)
TRANSPARANSI INFORMASI SUKU BUNGA DASAR KREDIT PADA KREDIT UMKM Junaidi (Universitas Teknologi Yogyakarta) Maria Magdalena Esa K. (Universitas Teknologi Yogyakarta) Nurdiono (Universitas Lampung)
ABSTRAK Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran nomor 13/5/DPNP perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate). Suku bunga yang relatif tinggi adalah suku bunga kredit UMKM, sehingga kompetisi di bidang ini perlu ditingkatkan. Untuk itu kebijakan transparansi SBDK hendaknya difokuskan pada segmen ritel, khususnya kredit UMKM. Kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga BI Rate dan upaya mengendalikan kestabilan nilai tukar memberikan peluang bagi pengusaha UMKM untuk meningkatkan akses kredit serta membentuk optimisme pelaku usaha UMKM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Sampel dipilih dengan purposive sampling 95 bank pada tahun 2011, dengan waktu pengamatan 1 tahun (12 bulan). Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada penurunan suku bunga kredit UMKM sesudah dilakukan publikasi SBDK. Kata kunci: Suku bunga, transparansi, kredit, bank
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Pada 8 Februari 2011 Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran nomor 13/5/DPNP perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate). Surat edaran ini mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah dan PBI
Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 7/50/PBI/2005. Dalam Surat Edaran nomor 13/5/DPNP, bank umum diwajibkan untuk mempublikasikan suku bunga dasar kreditnya melalui media yang telah ditentukan. Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) adalah suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank. SBDK merupakan hasil perhitun
43
Junaidi et al.
gan dari tiga komponen yakni Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), biaya overhead, dan marjin keuntungan (profit margin). Perhitungan SBDK dihitung untuk 3 jenis kredit yaitu kredit korporasi, kredit ritel, dan kredit konsumsi (KPR dan non KPR). Transparansi informasi SBDK merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan Good Corporate Governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik. Ariyanto (2004), menurut Koskela dan Stendbacka (2000) persaingan antar bank akan menekan tingkat suku bunga kredit, sehingga mengurangi probability risk of default debitur yang pada akhirnya akan menjamin kestabilan sistem perbankan. Indonesia bukan negara pertama yang menerapkan kebijakan untuk mempublikasikan SBDK. Beberapa negara seperti India, Peru, Malaysia, dan Singapura sudah lebih dulu menerapkan kebijakan tersebut. Di Malaysia SBDK biasa disebut Base Lending Rate. Perbankan di Malaysia diwajibkan mempublikasikan Base Lending Rate (BLR) kepada nasabah melalui situs, koran, dan papan pengumuman di setiap kantor bank. Kebijakan tersebut pada akhirnya mampu membuat BLR menjadi seragam dan kompetitif. Pada 2010, hanya 3 bank dari 23 perusahaan perbankan di Malaysia yang mengumumkan BLR berbeda. Bank of Tokyo- Mitsubishi UFJ (Malaysia) Berhad dan The Royal Bank of Scotland Berhad masing-masing mengumumkan BLR 6,00% p.a. (per annum). Sementara JP Morgan Chase Bank Berhad menawarkan BLR 6,20% p.a. Sedangkan 20 bank lainnya mengumumkan BLR yang sama, yakni 6,30% p.a. Keberhasilan Bank Sentral Malaysia menciptakan industri perbankan yang kompetitif membuat Bank Indonesia optimis, bahwa kebijakan transparansi SBDK akan meningkatkan efisiensi perbankan dan membuat industri perbankan mampu berkompetisi secara nasional maupun internasional. Optimisme Bank Indonesia ternyata masih diragukan beberapa kalangan. Diantaranya menyebutkan bahwa kebijakan tersebut akan
tersandung masalah kartel atau malah akan menyebabkan kartel suku bunga perbankan yang dilakukan oleh beberapa bank. Surat edaran nomor 13/5/DPNP efektif berlaku tanggal 31 Maret 2011. Untuk tahap awal, bank yang diwajibkan mempublikasikan informasi SBDK adalah semua bank umum yang pada dan/atau setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih. Dipilihnya bank dengan total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) karena bank tersebut dinilai memiliki kemampuan secara teknis untuk melakukan publikasi khususnya melalui website, dan kemampuan untuk bersaing dengan bank lain, jika publikasi SBDK berhasil mendorong kompetisi antar bank. Pada akhirnya semua bank akan diwajibkan mempublikasikan SBDK jika dinilai telah siap secara teknis dan siap berkompetisi. Kewajiban tersebut bersifat permanen. Bank tetap wajib mempulikasikan SBDK meskipun dalam perjalanannya total aset bank tersebut turun menjadi kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah). Publikasi informasi SBDK dilakukan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank, halaman utama website bank (jika bank memiliki website), dan surat kabar yang dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Sebelumnya masyarakat tidak mempunyai informasi yang cukup dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan kredit dari bank. Berlakunya surat edaran tersebut diharapkan akan meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya, dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah, serta mengurangi kesenjangan informasi antara masyarakat yang ingin menyimpan dana dan masyarakat yang ingin meminjam da-
44
Junaidi et al.
na. Selama ini masyarakat yang ingin menyimpan dana di bank baik dalam
44
Indonesia Accounting Research Journal – Juli Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
bentuk tabungan, giro, dan deposito dengan mudah memperoleh informasi mengenai suku bunga yang diperoleh. Suku bunga yang relatif tinggi adalah suku bunga kredit UMKM, sehingga kompetisi di bidang ini perlu ditingkatkan. Untuk itu kebijakan transparansi SBDK hendaknya difokuskan pada segmen ritel, khususnya kredit UMKM. Suarakarya (2011), menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi, tingginya suku bunga perbankan nasional membuat produsen barang dalam negeri tidak dapat bersaing ketika menghadapi barang impor. Ketidaktahuan nasabah tentang bagaimana suku bunga kredit dihitung menyebabkan bank bisa menetapkan suku bunga lebih tinggi dari seharusnya. Tingginya suku bunga kredit juga diakui oleh Bank Indonesia. Perbankan terlihat sangat sulit untuk mengubah suku bunga kredit.
Bahkan ketika BI Rate turun sebesar 25 bps menjadi 6,50% pada Agustus 2009, suku bunga kredit bank umum tidak banyak berubah. Penurunan suku bunga untuk kredit modal kerja hanya sebesar 15 bps, kredit investasi sebesar 10 bps, dan kredit konsumsi sebesar 4 bps. Penurunan suku bunga kredit secara signifikan baru terlihat pada tahun 2010. Selama 2010 BI Rate tidak berubah, tetap pada besaran 6,50%, namun dalam satu tahun suku bunga kredit bank umum sedikit demi sedikit turun hingga mencapai 86 bps untuk kredit modal kerja, 68 bps untuk kredit investasi, dan 189 bps untuk kredit konsumsi. Grafik berikut ini menunjukkan perkembangan BI Rate dan suku bunga kredit bank umum untuk kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI), dan kredit konsumsi (KK) pada tahun 2009 dan 2010.
Grafik 1. Perkembangan BI Rate dan Suku Bunga Kredit Bank Umum Tahun 2009 (Sumber : Data Bank Indonesia, Tabel BI Rate dan Suku Bunga Pinjaman, diolah)
Berdasarkan Grafik 1, terlihat bahwa selama tahun 2009 tren BI Rate menurun, ini berarti Bank Indonesia terus menurunkan suku bunganya. Namun penurunan BI Rate tidak membuat seluruh suku bunga kredit bank
umum turun. Suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi mengalami penurunan dari awal sampai akhir tahun. Sedangkan suku bunga kredit konsumsi cenderung naik.
45
Junaidi et al.
Grafik 2. Perbandingan BI Rate dan Suku Bunga Kredit Bank Umum Tahun 2010 (Sumber : Data Bank Indonesia, Tabel BI Rate dan Suku Bunga Pinjaman, diolah)
Pada Grafik 2, terlihat bahwa tren BI Rate stabil, karena selama 2010 besaran BI Rate tidak berubah yaitu pada 6,50%. Meskipun BI Rate stabil, namun kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi cenderung mengalami penurunan selama tahun 2010. Penurunan paling signifikan terjadi pada suku bunga kredit konsumsi, terutama di bulan Maret yang mengalami penurunan sebesar 94 bps. Sesuai arah kebijakan Bank Indonesia, transparansi informasi SBDK ditujukan untuk menciptakan transformasi perekonomian dan perbankan pascakrisis. Bank Indonesia berjanji mendorong pertumbuhan yang produktif dan meningkatkan efisiensi dengan mendorong margin bunga bersih (Net Interest Margin) perbankan ke arah yang lebih rendah, efisien, dan kondusif bagi dunia usaha, termasuk sektor UMKM. Tahun 2010 rasio Net Interest Margin (NIM) perbankan di Indonesia rata-rata 5,8%, sedangkan di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina berkisar 2,3%-4,5%. Fakta ini menunjukkan efisiensi perbankan di Indonesia terendah di ASEAN-5.
struktur persaingan dari produk perbankan untuk pasar deposit dan loan. Makin kompetitif kedua pasar tersebut, secara konsep maka besaran NIM akan semakin kecil. Transparansi SBDK diharapkan mampu menciptakan persaingan yang kompetitif agar NIM dan suku bunga kredit termasuk suku bunga kredit UMKM (ritel) dapat ditekan ke level yang lebih rendah, sehingga mendorong pertumbuhan kredit dan juga meningkatkan kompetisi bank terutama di segmen UMKM. UMKM mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, UMKM berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Krisis ekonomi yang terjadi di negara kita pada 1997, dimana banyak usaha berskala besar mengalami stagnasi bahkan berhenti aktivitasnya, sektor UMKM terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang pernah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UMKM. Terlebih lagi unit usaha ini seringkali
Menurut Ariyanto (2011) salah satu faktor yang mempengaruhi NIM adalah
46
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya. Pengembangan UMKM di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit kepada UMKM. Kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga BI Rate dan upaya mengendalikan kestabilan nilai tukar memberikan peluang bagi pengusaha UMKM untuk meningkatkan akses kredit serta membentuk optimisme pelaku usaha UMKM. Selain itu, upaya Bank
Indonesia untuk meningkatkan akses UMKM terhadap kredit perbankan juga dilakukan melalui himbauan kepada perbankan untuk membantu pengembangan UMKM terutama dalam hal pemberian kredit. Mulai tahun 2009 kredit kepada debitur UMKM mengalami pertumbuhan dan secara umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total kredit perbankan. Berikut adalah data jumlah kredit UMKM yang disalurkan perbankan di Indonesia selama lima tahun terakhir:
Tabel 1. Penyaluran Kredit UMKM Perioda 2006-2010 (Dalam Milyar) 2006
2007
2008
2009
2010
Kredit UMKM
410.442
502.796
633.945
737.385
926.782
Total Kredit
809.245
1.022.552
1.333.160
1.465.931
1.799.689
Persentase
50,72%
49,17%
47,55%
50,30%
51,50%
(Sumber: Data Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia 2011, diolah)
Data di atas menunjukkan bahwa secara persentase terhadap total kredit, pada 2007 dan 2008 kredit perbankan kepada debitur UMKM mengalami penurunan sebesar 1,55% dan 1,62%. Kemudian pada 2009 mengalami kenaikan hingga mampu mencapai lebih dari 50% seperti pada 2006. Meskipun dalam dua tahun terakhir penyaluran kredit UMKM meningkat, namun masih banyak UMKM yang belum memperoleh pinjaman dari bank. Hal ini dikarenakan pinjaman tersebut sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan bagi UMKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan, karena tidak semua
UMKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan. Kesulitan juga dialami dalam hal akses terhadap sumber pembiayaan. Selain itu suku bunga kredit yang tinggi juga menjadi pertimbangan bagi pengusaha saat akan mengajukan kredit. Kecenderungan perbankan memberi bunga tinggi terhadap kredit UMKM dikarenakan Indonesia tidak mempunyai aturan yang membatasi tingkat suku bunga kredit, sehingga bank bisa seenaknya menentukan besaran bunga. Bagi UMKM tingginya suku bunga menjadi penghambat aksesibilitas UMKM untuk pembiayaan yang bersumber dari perbankan (Situmorang, 2008). Susidarto (2011) ukuran keberhasilan
mengungkapkan, dari program
47
Junaidi et al
transparansi SBDK adalah meningkatnya ekspansi kredit perbankan. Dengan semakin meningkatnya ekspansi kredit, diharapkan akan semakin banyak lagi calon debitur baru yang memanfaatkan jasa perbankan tersebut. Dengan demikian, tidak akan terdengar lagi keluhan para pelaku sektor riil terutama skala UMKM, untuk mendapatkan kucuran kredit dari perbankan. Sektor riil pun dapat menjalankan peranannya dalam perekonomian tanpa harus terhambat masalah pembiayaan. Bank juga akan semakin terdiversifikasi kreditnya ke banyak pihak, sehingga risikonya akan semakin terdistribusi dengan baik. Berlakunya surat edaran mengenai transparansi informasi SBDK seharusnya mempermudah pengusaha UMKM dalam memilih bank yang paling efisien dan kondusif bagi kelangsungan usahanya. Kebijakan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi SBDK menarik perhatian penulis untuk meneliti apakah kebijakan tersebut efektif menurunkan suku bunga yang diukur dengan meningkatnya ekspansi kredit, terutama kredit UMKM. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A.
Tinjauan Literatur
1.
Definisi dan Fungsi Bank
Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Tujuan perbankan Indonesia adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan (financial intermediary). Maksud dari fungsi intermediasi (perantara) adalah bahwa perbankan memberikan kemudahan untuk mengalirkan dana dari nasabah yang memiliki kelebihan dana (savers) dengan kedudukan sebagai penabung ke nasabah yang memerlukan dana (borrowers) untuk berbagai kepentingan. Dengan demikian, nasabah penyimpan dana disebut juga dengan pemberi pinjaman (lenders). Posisi bank adalah sebagai perantara untuk menerima dan memindahkan/menyalurkan dana antara kedua belah pihak tanpa mereka saling mengenal satu sama lainnya. Dalam menjalankan kegiatan intermediasinya, bank harus memperhatikan likuiditasnya yaitu terjadinya penarikan dana simpanan maupun pinjaman dengan tetap berupaya menjaga profitabilitasnya, untuk itu bank harus hatihati (prudent) dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Fungsi intermediasi perbankan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro, diantaranya tingkat bunga, inflasi, dan fluktuasi nilai tukar. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of service. a.
Agent of Trust
Dasar utama kegiatan bank adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada saat yang dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman dengan baik, debi-
48
Junaidi et al
tur akan mempunyai kemampuan untuk membayar pada saat
48
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
jatuh tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo. b.
Agent of Development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat untuk melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa. Sehingga kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyaraa. kat dapat berjalan lancar. c.
Agent of Service
Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan. 2.
dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak dapat menciptakan uang giral dan jangkauan operasionalnya juga terbatas.
Bank Umum
Jenis bank di Indonesia ada dua yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum didefinisikan oleh Undang-undang No. 10 Tahun 1998 sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Perbedaan utama bank umum dan BPR adalah
3.
Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate), selanjutnya disebut SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank. Bila SBDK yang ditetapkan tinggi maka suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur juga tinggi, sebaliknya jika SBDK yang ditetapkan rendah maka suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur juga lebih rendah. SBDK merupakan hasil perhitungan dari tiga komponen yaitu: Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) Yang dimaksud dengan HPDK adalah biaya dana, biaya jasa, biaya regulasi, dan HPDK lainnya berupa biaya pemeliharaan kas dan mismatch spread. Biaya dana adalah rata-rata tertimbang (weighted average) biaya dana dari kewajiban bank baik kepada penduduk maupun bukan penduduk. Biaya jasa adalah biaya yang berhubungan langsung dengan alat pendanaan bank seperti komisi atau provisi kredit yang dibayar bank karena penerimaan kredit dari bank lain, penerbitan surat berharga, atau lainnya. Biaya regulasi adalah biaya yang timbul sebagai akibat kewajiban yang dikenakan kepada bank oleh otoritas, terkait dengan kegiatan penghimpunan dana berupa biaya Giro Wajib Minimum (GWM) dan biaya premi penjaminan LPS. HPDK diestimasikan memberikan kontribusi terbesar (kurang lebih 50%) terhadap besarnya SBDK. b.
Biaya Overhead
Yang dimaksud dengan biaya overhead adalah rata-rata tertimbang (weighted average) dari biaya operasional selain yang termasuk di dalam komponen HPDK yang dikeluarkan oleh Bank dalam melaksanakan aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran dana dalam bentuk kredit.
49
Junaidi et al.
c.
Marjin Keuntungan (profit margin)
Yang dimaksud dengan marjin keuntungan (profit margin) adalah marjin keuntungan a. yang ditetapkan oleh bank dalam melakukan kegiatan usahanya. Penetapan atas marjin keuntungan tersebut didasarkan pada marjin keuntungan setelah memperhitungkan pajak yang harus dibayar. Rumus perhitungan tiap komponen SBDK tergantung pada masing-masing bank. Bank Indonesia hanya memberikan pedoman agar b. terjadi standar pengelompokkan komponenkomponen yang dapat diperhitungkan dalam menghitung SBDK. Perhitungan SBDK dalam rupiah yang memuat rincian perhitungan masing-masing komponen SBDK, wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia dan hasil akhir perhitungan SBDK dipublikasikan kepada masyarakat dalam bentuk persentase (%). SBDK dihitung untuk 3 jenis kredit yaitu kredit korporasi, kredit ritel, dan kredit konsumsi (KPR dan Non KPR). Pembagian 3 jenis kredit tersebut dilakukan untuk memudahkan bank di dalam c. memenuhi ketentuan surat edaran tersebut. SBDK untuk segmen kredit mikro sementara ikut ke dalam segmen kredit ritel. SBDK tidak sama dengan suku bunga kredit. Dalam perhitungan SBDK, bank belum memperhitungkan komponen premi risiko individual nasabah bank yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitur. Dengan demikian besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK. 4.
Penentuan Suku Bunga Kredit Perbankan
Suku bunga kredit yang dibebankan kepada debitur (lending rate) adalah penjumlahan dari SBDK ditambah dengan premi risiko. Adapun premi risiko mempresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit dan prospek usaha yang dibiayai. Secara umum penentuan
bunga kredit yang membedakan antara satu kredit dengan kredit lainnya adalah: Jangka Waktu Kredit Pada umumnya jangka waktu kredit merupakan cerminan dari risiko kredit yang mungkin muncul, makin panjang jangka waktu kredit makin tinggi risiko yang mungkin muncul, maka bank pun akan memebebankan bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kredit jangka pendek. Kualitas Jaminan Kredit Jaminan kredit merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam memberikan pertimbangan mengenai berapa besarnya bunga yang akan dibebankan kepada seorang nasabah/perusahaan. Bila nasabah memberikan jaminan kredit yang mempunyai kualitas yang sangat tinggi yaitu mudah dicairkan, nilainya tidak mengalami penurunan, sangat mudah diperjualbelikan, berarti risiko atas kredit yang diberikan bank rendah. Dengan demikian bank juga akan membebankan bunga kredit yang lebih rendah. Reputasi Perusahaan Kualitas dan reputasi perusahaan tercermin dari credit rating perusahaan tersebut. Perusahaan dengan credit rating yang sangat baik, dinilai bank mempunyai tingkat risiko yang rendah. Sedangkan perusahaan yang mempunyai credit rating kurang baik mempunyai risiko sangat tinggi. Oleh karenanya bank akan menentukan bunga kredit paling rendah pada perusahaan yang mempunyai reputasi dengan credit rating sangat baik dan sebaliknya. d.
Produk yang Kompetitif
Perusahaan-perusahaan yang mempunyai produk yang mudah diproduksi oleh perusahaan lain menunjukkan bahwa perusahaan tersebut berada dalam industri yang sangat kompetitif. Kompetitif yang sangat tinggi membawa risiko yang tinggi pula bagi perusahaan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi risiko kredit yang diberikan bank kepada perusahaan tersebut. Sehingga
50
Junaidi et al.
bank akan menentukan bunga kredit yang lebih
50
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
tinggi kepada perusahaan yang berada di sektor industri yang kompetitif dibandingkan dengan perusahaan yang memproduksi produk-produk eksklusif. e. Hubungan Baik Yang dimaksud hubungan baik adalah seberapa jauh perusahaan telah mengadakan hubungan (transaksi) dengan bank. Bila suatu perusahaan telah menjalin hubungan yang lama dengan bank, dengan ketentuan yang sangat memuaskan bagi bank, maka bank akan menetapkan bunga lebih rendah daripada perusahaan yang baru berhubungan dengan bank. f. Jaminan Pihak Ketiga Adanya jaminan pihak ketiga yang cukup bonafit dari segi penilaian bank, akan mempengaruhi penentuan bunga kredit yang dibebankan oleh bank. Jaminan pihak ketiga yang diberikan oleh bank dan perusahaan yang berbentuk akseptasi dapat mengurangi risiko kredit. Oleh sebab itu, jika suatu perusahaan meminta kredit kepada bank dan surat promes atau dalam keadaan akad kredit disebutkan adanya jaminan tambahan berupa akseptasi dari bank lain, bank akan menetapkan bunga lebih rendah. Dari berbagai faktor yang telah disebutkan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa rasio penentuan bunga kredit suatu bank sangat berkaitan dengan risiko yang muncul setelah pemberian kredit dilaksanakan. Bila risiko tinggi maka tingkat bunga akan dibebankan lebih tinggi, sebaliknya bila risiko rendah maka tingkat bunga akan dibebankan lebih rendah. 5.
Transparansi Suku Bunga Dasar Kredit
Pemilihan produk bank oleh nasabah pada umumnya didasarkan pada pertimbangan mengenai manfaat, biaya dan risiko dari produk yang ditawarkan oleh bank tersebut. Oleh karena itu, transparansi mengenai suku bunga dasar kredit sangat diperlukan untuk
memberikan kejelasan kepada nasabah. Transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) adalah publikasi mengenai informasi SBDK untuk 3 jenis kredit yaitu kredit korporasi, kredit ritel, dan kredit konsumsi (KPR dan Non KPR), dalam bentuk persentase (%) melalui papan pengumuman di setiap kantor bank, halaman utama website (jika bank memiliki website), dan surat kabar. Tujuan dikeluarkannya kebijakan ini adalah untuk meningkatkan Good Corporate Governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan. Kebijakan ini mulai berlaku tanggal 31 Maret 2011. Untuk publikasi SBDK ditetapkan aturan sebagai berikut: a. Bank yang pada tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, publikasi informasi SBDK dilakukan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank dan halaman utama website (jika bank memiliki website) pertama kali pada tanggal 31 Maret 2011, serta melalui surat kabar bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret 2011. b. Bank yang setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi LBU mempunyai total asset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, publikasi informasi SBDK pertama kali dilakukan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank dan halaman utama website (jika bank memiliki website) paling lama 1 (satu) bulan, terhitung sejak bank berdasarkan posisi yang tercatat di LBU mempunyai total asset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, serta melalui surat kabar bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan pada triwulan yang sama dengan perioda LBU sejak bank tercatat mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih.
51
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
Contoh: Bank A pertama kali tercatat mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00
51
Junaidi et al.
(sepuluh triliun rupiah) pada akhir bulan April 2011, akhir bulan Mei 2011, atau akhir bulan Juni 2011, maka publikasi informasi SBDK melalui surat kabar pertama kali dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan posisi akhir bulan Juni 2011. c. Jika bank tersebut total asetnya turun menjadi kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), bank tetap wajib melakukan publikasi informasi SBDK. d. Informasi SBDK yang dipublikasikan oleh bank melalui papan pengumuman di setiap kantor bank dan halaman utama website
(jika bank memiliki website) adalah informasi SBDK yang berlaku saat dipublikasikan. Jika SBDK mengalami perubahan, maka perubahan tersebut wajib dipublikasikan melalui media tersebut paling lama pada tanggal berlakunya perubahan SBDK tersebut. e. Informasi SBDK yang dipublikasikan melalui surat kabar adalah informasi SBDK yang berlaku pada akhir perioda Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan. Format publikasi SBDK sebagai berikut:
Tabel 2. Publikasi Suku Bunga Dasar Kredit (Prime Lending Rate) Bank XYZ Tanggal… (% per tahun) Suku Bunga Dasar Kredit (Prime Lending Rate) Berdasarkan Segmen Bisnis Kredit Korporasi
Kredit Ritel
Kredit Konsumsi KPR
Non KPR
Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate)
Keterangan: a. Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) ini belum memperhitungkan komponen premi risiko yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitur. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK. dicantumkan untuk publikasi yang dilakukan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank, halaman utama website (dalam hal bank memiliki website), dan surat kabar b. Dalam Kredit Konsumsi non KPR tidak termasuk penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa agunan. dicantumkan untuk publikasi yang dilakukan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank, halaman utama website (dalam hal bank memiliki website), dan surat kabar
c. Informasi SBDK yang berlaku setiap saat dapat dilihat pada publikasi di setiap kantor bank dan/atau website bank dalam hal bank memiliki website. dicantumkan hanya untuk publikasi yang dilakukan melalui surat kabar Agar kebijakan tersebut bisa berjalan dengan baik dan semua bank umum mematuhi aturan tersebut, maka Bank Indonesia memberlakukan sanksi bagi bank yang tidak mematuhi aturan tersebut. Ketentuan sanksi adalah sebagai berikut: a. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK melalui papan pengumuman di setiap kantor bank dan halaman utama website (jika bank memiliki website) dikenakan sanksi administratif sebagaimana
52
Junaidi et al.
diatur dalam Pasal 12 Nomor 7/6/PBI/2005 tentang
52
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah berupa teguran tertulis. b. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005 berupa kewajiban membayar serendah-rendahnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), dan pengumuman nama bank serta Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan berdasarkan data yang tersedia di Bank Indonesia pada home page Bank Indonesia dan satu surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas. c. Bank yang tidak menyampaikan laporan perhitungan SBDK kepada Bank Indonesia secara triwulanan bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan, dalam bentuk softcopy dan hardcopy tabel komponen perhitungan SBDK dan fotokopi atau guntingan surat kabar yang memuat publikasi SBDK di surat kabar, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005 berupa kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). d. Bank yang menyampaikan laporan perhitungan SBDK dan/atau mempublikasikan informasi SBDK tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan/atau tidak sesuai dengan Lampiran 1 dan Lampiran 2, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (4) huruf a Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indone-
sia Nomor 7/50/PBI/2005 berupa peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, jika setelah itu bank tidak memperbaiki dan/atau mengumumkan kembali laporan dimaksud, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar serendahrendahnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan setinggi-tingginya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 6.
Laporan Kualitas Aktiva Produktif
Aktiva produktif adalah semua aktiva dalam rupiah dan valuta asing dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya, sehingga kredit merupakan salah satu bentuk dari aktiva produktif. Setiap fasilitas kredit mempunyai tingkat kemungkinan melalui pembayaran bunga dan pokok oleh debitur yang berbeda-beda atau tingkat kolektibilitas yang berbeda-beda. Kualitas aktiva produktif bank dinilai berdasarkan kolektibilitasnya. Disamping menggunakan unsur-unsur kuantitatif, penentuan kolektibilitas juga dilakukan atas dasar pertimbangan subjektif (judgement). Berdasarkan pertimbangan kuantitatif dan judgement di atas serta sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional di Indonesia perihal penilaian kualitas aktiva bank umum, maka kualitas kredit digolongkan menjadi lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet menurut kriteria prospek usaha (perlu juga memperhatikan upaya debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup), kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar. Dalam laporan keuangan publikasi, pospos yang termasuk dalam aktiva produktif disajikan dalam kelompok terkait dan tidak terkait. Pihak terkait adalah pihak-pihak yang terkait dengan bank dan perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank se-
53
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
bagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indo-
53
Junaidi et al.
nesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit. Untuk Laporan Keuangan Publikasi Bulanan, pos-pos tersebut tidak dikelompokkan terkait dan tidak terkait. Seluruh komponen aktiva produktif dirinci berdasarkan kualitasnya yaitu lancar (L), dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) sesuai ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif. Kredit UMKM merupakan kredit kepada pihak ketiga dan dilaporkan dalam Laporan Kualitas Aktiva Produktif.
2) KMK-Einmaleg Kredit ini diberikan jika kegiatan usaha debitur sangat berfluktuasi dan pihak bank kurang percaya akan kemampuan debitur, maka bank akan lebih aman dalam memberikan KMKEinmaleg. KMK ini hanya terbatas untuk satu perioda ( satu kali perputaran usaha nasabah ), sehingga apabila nasabah berencana memperpanjang pinjaman harus mengajukan permohonan kredit baru. KMK ini juga dapat diberikan kepada nasabah yang kegiatan usahanya tergantung tersedia atau tidaknya suatu proyek yang diperoleh.
7. Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
b.
Pemberian kredit merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah bank. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Atas dasar tujuan penggunaan dananya oleh debitur, kredit dapat dibedakan menjadi: a.
Kredit Modal Kerja
Kredit modal kerja adalah kredit yang digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja nasabah. Kredit modal kerja biasanya berjangka pendek dan disesuaikan dengan jangka waktu perputaran modal kerja nasabah. Apabila ditinjau dari jangka waktunya, kredit modal kerja terdiri dari: 1) KMK-Revolving Kredit ini diberikan kepada debitur yang usahanya dapat diharapkan berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang dan bank cukup percaya atas kemampuan serta kemauan nasabah. KMK-Revolving merupakan fasilitas KMK yang dapat diperpanjang tanpa mengajukan permohonan kredit baru pada awal perioda.
Kredit Investasi
Kredit investasi adalah kredit yang digunakan untuk pengadaan barang modal jangka panjang untuk kegiatan usaha nasabah. Kredit investasi biasanya berjangka menengah atau panjang, karena nilainya yang relatif besar dan cara pelunasan oleh nasabah melalui angsuran. c.
Kredit Konsumsi
Kredit konsumsi adalah kredit yang digunakan dalam rangka pengadaan barang atau jasa untuk tujuan konsumsi, bukan sebagai barang modal dalam kegiatan usaha nasabah. Penggunaan kredit ini misalnya untuk pembelian mobil, rumah, dan barang-barang konsumsi yang lain. Kredit jenis ini sering kali juga diberi nama kredit multiguna, yang berarti bisa digunakan untuk berbagai tujuan oleh nasabah. Perkembangan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit kepada UMKM. Bank Indonesia memberikan insentif bagi bank yang memberikan kredit kepada UMKM. Insentif tersebut berbentuk: a. Kelonggaran dalam penilaian Kualitas Aktiva Produktif (KAP) untuk debitur UMKM sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). b. Pengecualian Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) untuk kredit melalui
54
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
lembaga pembiayaan dengan metoda penerusan (channeling) dan kemitraan inti plasma. c. Penurunan Aktiva Tertimbang ATMR untuk kredit sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) termasuk kredit mikro dan kecil dari 100% menjadi 75%. d. Penurunan bobot risiko dalam perhitungan ATMR untuk kredit UMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN yang memenuhi persyaratan tertentu dari 50% menjadi 20%. Kredit UMKM adalah kredit kepada debitur usaha mikro, kecil, dan menengah yang memenuhi definisi dan kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM untuk membiayai usaha yang produktif. Usaha produktif adalah usaha yang dapat memberikan nilai tambah dalam menghasilkan barang dan jasa. Kredit tersebut dapat berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja. Plafon kredit UMKM terdiri dari: a. Kredit mikro dengan plafon sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). b. Kredit kecil dengan plafon lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). c. Kredit menengah dengan plafon lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 UMKM memiliki kriteria sebagai berikut: a.
Usaha Mikro
Yaitu usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha milik perorangan yang memenuhi kriteria: memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). b.
Usaha Kecil
Yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan/badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan/bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria: memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). c.
Usaha Menengah
Yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar yang memenuhi kriteria: memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). B.
Penelitian Terdahulu
Transparansi SBDK bertujuan untuk meningkatkan Good Corporate Governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat
55
Junaidi et al.
dalam industri perbankan. Sehingga NIM dan suku bunga kredit dapat ditekan ke level yang lebih rendah. Turunnya suku bunga kredit akan meningkatkan ekspansi kredit. Beberapa penelitian mengenai dampak kompetisi bank, NIM dan pengaruh suku bunga kredit perbankan terhadap penyaluran kredit pernah dilakukan. Ariyanto (2011) melakukan penelitian mengenai faktor penentu Net Interest Margin perbankan Indonesia. Variabel independennya adalah tingkat persaingan atau struktur pasar, faktor risiko, dan kinerja manajemen. Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan, variabel tingkat persaingan atau struktur pasar tidak berpengaruh signifikan terhadap NIM. Leuvensteijn, dkk.(2008) menganalisis dampak kompetisi bank pada pasar kredit terhadap suku bunga pinjaman dan simpanan untuk bank yang berada di negara-negara kawasan Eropa. Ukuran kompetisi menggunakan indikator Boone. Hasilnya spread suku bunga kredit pada kredit hipotek (jaminan), kredit konsumsi, dan kredit jangka pendek untuk perusahaan, secara signifikan lebih rendah pada pasar yang lebih kompetitif. Hasil ini mengimplikasikan bahwa suku bunga pinjaman cenderung menjadi lebih rendah pada kompetisi yang lebih ketat. Aryaningsih (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh suku bunga, inflasi, dan jumlah penghasilan terhadap permintaan kredit di PT. BPD Cabang Pembantu Kediri, diungkapkan bahwa peningkatan suku bunga dapat menurunkan permintaan kredit. Berdasarkan hasil regresi linear berganda dijelaskan bahwa peningkatan 1% suku bunga dapat menurunkan permintaan kredit 0,216%. Sujati (2007) melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi KUK pada Bank Umum di Indonesia. Variabel independennya adalah suku bunga riil kredit, tingkat inflasi, dan jumlah dana yang dihimpun. Hasilnya tingkat suku bunga riil kredit pada Bank-bank
Umum di Indonesia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume alokasi Kredit Usaha Kecil (KUK). Kenaikan dan penurunan jumlah alokasi KUK sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga riil kredit, semakin tinggi suku bunga riil kredit, akan semakin rendah jumlah alokasi KUK. Rifai (2006) melakukan penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kredit perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah. Variabel independennya adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), suku bunga riil kredit, inflasi, dan krisis ekonomi. Berdasarkan hasil uji statistik, variabel suku bunga kredit secara statistik negatif dan signifikan terhadap permintaan kredit perbankan. Artinya, semakin tinggi suku bunga kredit yang mencerminkan semakin mahalnya biaya, maka akan menurunkan permintaan kredit dan sebaliknya semakin rendah suku bunga kredit yang mencerminkan semakin murahnya biaya, akan meningkatkan permintaan kredit. Fenomena ini mencerminkan bahwa masih tingginya suku bunga kredit saat ini menjadi salah satu pertimbangan bagi dunia usaha dalam melakukan permohonan kredit kepada bank. Setyawan (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh suku bunga kredit investasi, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi terhadap jumlah kredit investasi yang disalurkan Bank Umum di Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut, variabel suku bunga kredit investasi mempunyai pengaruh negatif dan signifikan secara statistik terhadap jumlah kredit investasi yang disalurkan Bank Umum di Indonesia. C.
Hipotesis
Berdasarkan teori yang ada dan penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, maka hipotesis yang diajukan adalah: H0 : Tidak terdapat perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM 56
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
sebelum dan sesudah transparansi informasi suku bunga dasar kredit. METODA PENELITIAN A.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bank umum konvensional yang terdaftar di Bank Indonesia. Secara keseluruhan ada 109 bank umum konvensional yang terdaftar di Bank Indonesia, terdiri dari 4 bank pemerintah, 32 bank swasta nasional devisa, 23 bank swasta nasional nondevisa, 26 bank pembangunan daerah, 14 bank campuran, dan 10 bank asing. Dari populasi yang ada diambil sampel karena jumlah populasinya cukup banyak. Sampel diperoleh dengan menggunakan metoda purposive sampling berdasarkan kualifikasi yang ditentukan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Bank umum konvensional terdaftar di Bank Indonesia perioda September 2010September 2011. 2. Bank melaporkan jumlah kredit UMKM setiap bulan pada Laporan Kualitas Aktiva Produktif. 3. Bank tidak berhenti beroperasi atau ditutup selama perioda September 2010September 2011. Dari 109 bank umum konvensional, yang memenuhi kriteria diatas sebanyak 95 bank. Dengan waktu pengamatan 1 tahun (12 bulan), jumlah data secara keseluruhan adalah 1.140, maka N = 570 (6 bulan sebelum dan 6 bulan sesudah transparansi informasi SBDK). B.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari pihak ketiga. Data yang dipakai adalah laporan keuangan masing-masing bank yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. Data diperoleh melalui website Bank Indonesia,
berupa publikasi Laporan Keuangan Bank Umum bulanan. Dari semua laporan keuangan, yang dipakai dalam penelitian ini adalah Laporan Kualitas Aktiva Produktif. C.
Metoda Pengumpulan Data
Karena jenis data merupakan data sekunder, maka metoda yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dokumentasi. Yaitu dengan mengumpulkan data sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini, berupa Laporan Kualitas Aktiva Produktif perioda Oktober 2010-September 2011 yang diperoleh dari website Bank Indonesia. Perioda tersebut dipilih karena kebijakan transparansi informasi SBDK baru diberlakukan 31 Maret 2011. Dalam Laporan Kualitas Aktiva Produktif terdapat data mengenai jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM yang akan dipakai untuk pengujian. D.
Definisi Variabel Penelitian ini menggunakan dua variabel yang berpasangan. Variabel yang digunakan adalah jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM setiap bulan selama 1 tahun, yaitu 6 bulan sebelum dan 6 bulan sesudah transparansi informasi SBDK (perioda Oktober 2010-September 2011). Satuan ukuran variabel adalah juta (dalam Rp). E.
Metoda Analisis Data Metoda analisis data menggunakan Uji-T Berpasangan (Paired T-Test) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Alasan dipilihnya metoda pengujian ini karena data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Data yang dimaksud adalah data jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM setiap bulan selama 1 tahun (6 bulan sebelum dan 6 bulan sesudah publikasi SBDK). Rumus Uji-T Berpasangan:
t
D SD
N
………………………………………….
(1) 57
Junaidi et al.
Keterangan: t
umum konvensional dengan alasan transparansi informasi SBDK diberlakukan bagi semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. Jumlah bank umum konvensional yang listing di BI 109 bank, diambil 95 yang memenuhi kriteria dalam purposive sampling.
= nilai t statistik = rata-rata selisih pengukuran 1 dan 2
SD = standar deviasi selisih pengukuran 1 dan 2 N
= jumlah sampel
F. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis mendasarkan pada nilai probabilitas (p-value). Jika p-value < α = 0,05, maka H0 ditolak. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A.
Deskripsi Sampel
Terdapat 120 bank umum yang listing di BI. Penelitian ini mengambil sampel bank
B. Deskripsi Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data time series atau data runtun waktu dari Oktober 2010 sampai dengan September 2011 (12 bulan). Karena bank umum konvensional yang menjadi sampel sebanyak 95, maka terdapat 1.140 data. Sehingga N=570 (6 bulan sebelum dan 6 bulan sesudah transparansi SBDK). Hasil dari analisis deskriptif sebagai berikut:
Tabel 3. Deskriptif Statistik Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Sebelum
5418744.34
570
20322366.431
851210.261
Sesudah
5067429.67
570
16609620.863
695700.461
Berdasarkan hasil analisis deskriptif statistik yang disajikan Tabel 3, secara keseluruhan rata-rata kredit UMKM sebelum publikasi SBDK adalah Rp5.418.744.340.000,00 dan rata-rata kredit UMKM setelah publikasi SBDK adalah Rp5.067.429.670.000,00.
C.
Analisis Data
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu sebelum dan sesudah. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui apakah kedua variabel saling berhubungan. Hasil uji korelasi adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Korelasi Antar Variabel
Sebelum & Sesudah
N 570
Correlation .977
Hasil pengujian korelasi pada Tabel 4, menunjukkan bahwa korelasi antara dua variabel adalah sebesar 0,977 dengan signifikansi 0.000, hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara dua rata-rata kredit UMKM sebelum dan sesudah publikasi SBDK adalah kuat dan signifikan.
Sig. .000
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara variabel sebelum dan variabel sesudah bisa diketahui dari output SPSS untuk uji-t berpasangan pada tabel berikut:
58
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
Tabel 5. Uji-T Berpasangan Paired Differences Std. DeviaMean tion Sebe351314.66 5425046.67 lum - 7 8 Sesuda h
Std. Error Mean 227230.20 0
Dari hasil pengujian pada Tabel 5, menunjukkan bahwa nilai t adalah 1,546 dengan sig. (2-tailed) sebesar 0,123. Karena nilai sig. > 0,05 maka H0 tidak dapat ditolak, artinya rata-rata kredit kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah publikasi SBDK adalah sama. Jadi tidak ada perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Hasil pengujian di atas bertentangan dengan hasil penelitian Leuvensteijn, dkk. (2008), yang mengungkapkan bahwa suku bunga pinjaman cenderung menjadi lebih rendah pada kompetisi yang lebih ketat. Tidak ada perbedaan rata-rata kredit kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah publikasi SBDK, hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada penurunan suku bunga kredit UMKM. Terdapat beberapa kemungkinan yang menjadi latar belakang kondisi ini. Pertama, perioda penelitian yang terlalu singkat sehingga belum dapat dilihat dampak dari publikasi SBDK terhadap penurunan suku bunga UMKM. Kedua, dugaan adanya kartel suku bunga perbankan benar terjadi sehingga kebijakan tersebut tidak efektif untuk menciptakan persaingan yang kompetitif dan menekan suku bunga kredit. PENUTUP A.
Kesimpulan
Tingginya suku bunga kredit, terutama suku bunga kredit UMKM membuat Bank Indonesia mengambil langkah untuk member-
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper t 797627.02 1.54 94997.693 6 6
Sig. (2df tailed) 569 .123
lakukan kebijakan transparansi informasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Penelitian ini mencoba untuk meneliti apakah terdapat perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK, sebagai indikasi bahwa kebijakan tersebut mampu untuk menurunkan suku bunga kredit, terutama kredit UMKM. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada penurunan suku bunga kredit UMKM sesudah dilakukan publikasi SBDK. Kebijakan transparansi SBDK belum bisa menjamin penurunan suku bunga kredit dan peningkatkan ekspansi kredit karena masih ada faktor lain seperti faktor ekonomi, kondisi likuiditas, dan inflasi yang mempengaruhi suku bunga kredit itu sendiri. B.
Keterbatasan dan Saran Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan mengenai jangka waktu amatan dan hanya difokuskan pada informasi kebijakan SBDK .Bagi Bank Indonesia disarankan agar membuat kebijakan lain yang dapat mendukung kebijakan transparansi informasi SBDK dalam mendorong kompetisi dan efisiensi perbankan. Bagi penelitian selanjutnya disarankan agar menambah jangka waktu penelitian sehingga hasilnya lebih akurat. Selain itu peneliti selanjutnya bisa mengelompokkan bank-bank tersebut berdasarkan kelompok bank, total aset yang dimiliki bank, atau krite-
59
Junaidi et al.
ria lain agar bisa diketahui sejauh mana kebijakan tersebut berhasil.
60
Indonesia Accounting Research Journal – Juli - Desember, Vol. 1, No. 2, 2013
DAFTAR PUSTAKA Ariyanto, Taufik, 2004, Profil Persaingan Usaha dalam Industri Perbankan Indonesia, Perbanas Finance and Banking Journal, Vol.6, No. 2, Desember, Hal. 95-108. ---------------, 2011, Faktor Penentu Net Interest Margin Perbankan Indonesia, Finance and Banking Journal, Vol.13, No.1, Juni, Hal. 34-46. Aryaningsih, Ni Nyoman, 2008, Pengaruh Suku Bunga, Inflasi dan Jumlah Penghasilan Terhadap Permintaan Kredit di PT. BPD Cabang Pembantu Kediri, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora, April, Hal. 56-67. Bank Indonesia, 2011, Laporan Keuangan Bulanan Bank Umum, http://www.bi.go.id/web/id. --------------------, 2005, Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, http://www.bi.go.id/web/id. -------------------, 2005, Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/50/PBI/2005 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, http://www.bi.go.id/web/id. -------------------, 2011, Statistik Perbankan Indonesia 2011, http://www.bi.go.id/web/id. -------------------, 2011, Surat Edaran Nomor 13/5/DPNP tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit, http://www.bi.go.id/web/id. -------------------,2011, Tabel BI Rate, http://www.bi.go.id/web/id. -------------------,2011, Tabel Suku Bunga Pinjaman, http://www.bi.go.id/web/id. Cooper, Donald R. dan C.William Emory, 1998, Metode Penelitian Bisnis, Edisi 5, Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Haryati, Sri, 2009, Pertumbuhan Kredit Perbankan di Indonesia : Intermediasi dan Pengaruh Variabel Makro Ekonomi, Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 13, No.2, Mei, Hal. 299-310. Leuvensteijn, M. Van, et al, 2008, Impact of Bank Competition on the Interest Rate PassThrough in the Euro Area, DNB Working Paper, No. 171, April. Rifai, Mochamad Faza, 2007, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Kredit Perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah, Skripsi Sarjana (Dipublikasikan), Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Setyawan, Erwin, 2006, Pengaruh Suku Bunga Kredit Investasi, Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Jumlah Kredit Investasi yang disalurkan Bank Umum di Indonesia, Skripsi Sarjana (Dipublikasikan), Universitas Sumatera Utara, Medan.
61
Junaidi et al.
Situmorang, Johnny W dan Jannes Situmorang, 2007, Suku Bunga Perbankan Masih Penghambat PembiayaanUMKM Indonesia, CBES-Moneter Issue Paper. Suarakarya,
2011,
SBDK
Cegah
Eksploitasi
Bunga
http://apindo.or.id/index.php/berita-a-artikel/news/554-sbdk-cegah
Kredit, eksploitasi-
bunga-kredit, diakses tanggal 9 ktober 2011. Sujati, Condro Wahyu, 2007, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi KUK pada Bank-bank Umum di Indonesia, Skripsi Sarjana (Dipublikasikan), Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Susidarto,
2011,
Transparansi
Kredit
dan
UMKM,
http://www.investor.co.id/home/transparansi-kredit-dan-umkm, diakses tanggal 9 Oktober 2011. Sutaryono, Paul, 2010, Belajar Prime Lending Rate dari Malaysia, http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/content/view/372193/, diakses tanggal 2 November 2011. Sutaryono, Paul, 2011, Mampukah Prime Lending Rate Menekan Bunga Kredit?, http://economy.okezone.com/read/2011/03/17/279/435743/279/mampukah-primelending-rate-menekan-bunga-kredit, diakses tanggal 26 September 2011. Suyatno, Thomas, dkk, 1995, Dasar-dasar Perkreditan, Edisi 4, Gramedia, Jakarta. Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso, 2008, Bank dan Lembaga keuangan Lain, Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Jakarta.
62