Transkrip Presentasi Pakar Gender, Ibu Yulfita Rahardjo Judul Acara
Waktu Tempat
: Konsep Gender, Kerangka Analisa Gender Berkaitan dengan Pelaksanaan Anggaran Responsif Gender/ARG : Sosialisasi Penyusunan dan Penelaahan RKAKL yang Responsif Gender, 1 Juni 2010 : 09.1510.00 : Bappenas, Ruang SS 12
-
Ada tiga yang akan kita diskusikan, yaitu (1) konsep gender; mengapa hirau dengan gender dalam perencanaan/penganggaran. (2) bagaimana gender masuk dalam perencanaan/penganggaran? (3) apa pirantinya.
-
Kerancuan dalam memahamai Gender. Gender sering disalah‐artikan: gender disamakan dengan perempuan; atau disamakan dengan jenis kelamin. Gender itu berbeda dengan perempuan atau jenis kelamin.
-
Jenis kelamin itu karakteristik biologis: misal Bu Fithri lahir dengan jenis kelamin tertentu, dikategorikan perempuan. Bapak A lahir dengan jenis kelamin tertentu lainya, dikategorikan laki‐laki. Itulah namanya jenis kelamin.
-
Jenis kelamin, bersifat kodrati, karena didapat dari kelahiran; bersifat universal, karena dimanapun seseorang dengan ciri‐ciri biologis tertentu itu dikategorikan perempuan atau laki‐laki
-
Gender adalah karakteristik sosial; yaitu menjadi perempuan dan menjadi laki‐laki seperti yang digambarkan, diharapkan, diajarkan, disosialisasikan oleh keluarga, masyarakat budaya seseoarng berasal atau dibesarkan.
-
Gender menciptakan status dan peran untuk perempuan dan untuk laki atau yang dianggap patut untuk perempuan dan untuk laki‐laki. Misalnya status laki‐laki disuatu keluarga atau masyrakat budaya tertentu adalah Kepala keluarga; perannya sebagai pencari nafkah utama; perempuan berstatus ibu rumahtangga; peranya mengurus rumahtangga. Gender juga mengatur relasi antara laki‐laki dan perempuan. Misalnya laki‐laki sebagai pengambil keputusan untuk hal‐hal tertentu/ hal‐hal yang dianggap penting; perempuan menjalankan keputusan atau perempuan pengambil keputusan untuk hal2 yang sehari‐hari.
-
Jadi menjadi perempuan Jakarta, dibangun dengan harapan‐harapan orang Jakarta. Kalau Pak Taufik misal orang Sunda, ia dibangun menjadi laki‐laki Sunda; dibangun dengan harapan‐harapan orang Sunda. Misalnya dari kecil sudah diarahkan tidak patut ’ pergi ke dapur’ sebagai laki‐laki. Perempuan yang menjadi ’ratu dapur’; perempuan yang mengasuh anak .
-
Gender menciptakan sterotipi gender. Seakan‐akan status laki‐laki sebagai kepala keluarga dan perannya sebagai pencari nafkah utama itu berlaku universal. Pak Taufik atau pak Sanjoyo, stereotipinya pencari nafkah. Kalo Bu Utin, Bu Nova, Bu Fithri karena perempuan, maka stereotipinya ibu rumah tangga. Padahal ibu‐ibu kita ini tidak hanya mengurus rumahtangga, tetapi bagian dari pencari nafkah. Begitu pula halnya dengan pak Taufik dan pak Sanjoyo berperan tidak hanya sebagai pencari nafkah utama, siapa tahu isteri‐isteri mereka juga bekerja. Dan ketika isteri‐isteri sedang sibuk, mereka juga antar anak‐anak 1
kesekolah; atau ambil rapot, atau pergi belanja ke yang dulu, itu kewajibanya ibu rumahtangga. -
Jadi, karena namanya sterotipi, belum tentu benar adanya. Namun sayangnya jika sterotipi itu terbawa pada waktu membuat perencanaan dan penganggaran. Misalnya, kepala keluarga selalu dianggap laki‐laki. Padahal pada tahun 2000, kepala keluarga perempuan itu sebesar 12.7 % secara de jure. Secara de facto‐nya pasti lebih banyak.
-
Sebab itu dikatakan gender sifatnya dinamis. Ibu yang mengurus rumah tangga banyak; tetapi laki‐laki yang mengurus rumah tangga juga banyak. Kepala keluarga tidak selalu laki‐ laki, karena ibu yang menjadi kepala rumah tangga juga banyak. Nah itu gender!
-
Tetapi, tidak ada laki‐laki yang melahirkan bayi dan tidak ada perempuan yang mempunyai jakun. Dari sejak dulu maupun sekarang; dimasyarakat Sunda atau di Mesir sana. Itulah karakteristik jenis kelamin! Kodrati, tidak berubah, universal!
-
Banyak faktor yang mempengaruhi peran, status atau hubungan gender. Misalnya pendidikan; religi; sukubangsa; status sosial‐ekonomi; sosial‐politik. Itulah yang namanya gender! Bisa berubah, bervariasi, kontekstual. Menjadi perempuan dan menjadi lelaki di mayarakat budaya Dani (Wamena) berbeda dengan menjadi perempuan di masyarakat Jawa; Bahkan dimasyarakat budaya Jawa sendiri bisa berbeda antara rural dengan urban; berbeda karena status sosial‐ekonomi, dst.
-
Status, peran, hubungan gender tadi menciptakan pengalaman, kebutuhan, aspirasi, kesulitan, kewajiban yang berbeda antara perempuan dan laki‐laki. Jika dalam perencanaan atau penganggaran tidak memperhitungkan hal‐hal ini, tapi sebaliknya jika kita hanya berpegang pada stereotipi gender, hal ini bisa berpengaruh terhadap kesempatan seseorang untuk mendapatkan akses, manfaat, dari intervensi pembangunan hanya karena jenis kelaminya yang berbeda. Inilah yang disebut isu gender!
-
Gender berpotensi menciptakan isu gender, artinya isu yang timbul jika seseorang tidak setara dalam mendapatkan akses, manfaat, tidak mendapatkan keikutsertaan dalam memutuskan, tidak mendapatkan penguasaan terhadap sumber daya karena perbedaan jenis kelamin. Banyak program‐program yang tidak dapat diakses dan dimanfaatkan oleh perempuan, karena ketika memformulasikannya tidak diperhitungkan kebutuhan atau kesulitannya sebagai perempuan. Sebaliknya juga bisa program‐program yang tidak dapat diakses dan dimanfaatkan laki‐laki dengan alasan yang sama. Seperti program‐program bidang kesehatan yang lebih berfokus pada ibu dan anak. Mungkin sterotipinya kesehatan itu berkaitan dengan perempuan sebagai care giver. Jadi, lagi‐lagi gender bukan hanya isu perempuan. Untuk itu harus responsive gender, artinya tanggap terhadap kebutuhan, kesulitan, aspirasi laki‐laki dan perempuan. Akses, manfaat harus dapat diperoleh, diakses, dimanfaatkan oleh laki‐laki maupun perempuan secara adil gender. Adil gender adalah perlakuan atau pendekatan yang ’fair’ , jadi tidak usah sama, karena laki‐laki dan perempuan memang berbeda, akan tetapi hasilnya harus setara – setara gender.
-
Namun, karena banyak perempuan yang masih banyak tertinggal disegala bidang pembangunan, sebut saja misalnya bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian, politik, industri; itu sebabnya fokus lebih untuk perberdayaan perempuan Oleh sebab itu ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
-
Dalam mengembangkan kebijakan, regulasi, progarm kegiatan, regulasi, kriteria, implementasi, monev harus responsif gender yaitu tanggap terhadap kebutuhan dan 2
pengalaman sebagai perempuan dan sebagai laki‐laki yaitu melalui mengintegrasikan isu gender ini. Misalnya dalam membuat kebijakan, regulasi, program dst. apakah sudah dianalisis dari perspektif gender: diperhitungkan kebutuhan masing‐masing jenis kelamin, jangan sampai program tersebut tidak bisa diakses oleh pihak‐pihak tertentu hanya karena perbedaan kelaminnya. Memperhitungkan apa dampak dari kebijakan, regulasi, program dst terhadap perempuan dan laki. Ini yang disebut dengan analisis gender! -
Hasil analisis gender dapat mereformulasi tujuan dan agenda serta indicator pembangunan agar responsive terhadap gender. Contoh : scholarship, pada tahun 75 ada 350 tempat. Ternyata proporsi perempuan dalam scholarship tidak banyak terwakili. Setelah dilakukan studi, ternyata meskipun perempuan menginginkan kesempatan itu, tidak bisa dan tidak mau mengambilnya karena ada banyak aturan‐aturan/ kreteria untuk mendapatkan scholarship itu tidak cocok dengan peran, status serta kewajiban gendernya sebagai perempuan. Termasuk aturan‐aturan sterotipi yang dia sendiri terapkan yang menjadikan dia tidak bisa mengambil scholarship tsb.
-
Dari perempuan sendiri misalnya: bagaimana suamiku ditinggal selama 2 tahun, bagaimana anak‐anak jika ditinggal 2 tahun, apa kata orang jika aku ’meninggalkan’ keluarga selama itu. Hal‐hal yang menjadi tanggung‐jawab serta kerisauan dia sebagai perempuan. Perempuan memiliki banyak pertimbangan untuk ’keluar’ dari stereotipinya. Misalnya perempuan berpikir dengan hati‐hati dan cermat, kapan waktu yang tepat saya membicarakananya dengan suami, agar dia membolehkan saya pergi seminar atau sekolah. Itu yang harus dipahami tentang gender. Berbeda dengan laki‐laki ketika mendapat scholarship maka dengan mudah dia pergi tanpa pertimbangan‐pertimbangan itu; bahkan istrinya pun cenderung bersyukur dan mendukung; karena mendukung karier suami adalah salah satu kewajiban dia sebagai perempuan. Terkadang perempuan tidak berani mengambil resiko, dan mereka memilih untuk tidak ambil sekolah lagi karena hal‐hal yang berkaitan dengan sterotipi serta peran gendernya. Padahal peran domestik/pekerjaan rumah itu bisa dilakukan baik oleh perempuan maupun oleh laki‐laki. Keduanya dapat saling mendukung: di belakang laki‐laki yang berhasil ada perempuan yang berhasil juga, demikian pula sebaliknya.
-
Menanggapi hal‐hal seperti itu adalah diberlakukanya kebijakan scholarship itu responsif gender. Yaitu mempertimbangkan kemudahan‐kemudahan untuk perempuan, misalnya umur minimum untuk mendapat scholarship dinaikkan dari 30 tahun menjadi 35 tahun. Karena diumur 30 banyak perempuan‐perempuan masih punya bayi; bisa membawa suaminya sebagai ’dependent’ atau bisa juga sebaliknya, laki‐laki bisa membawa isteri dan keluarganya. Itulah yang namanya kebijakan yang responsif gender. Bisa juga menawarkan ’sandwich program’, dimana penerima scholarship perempuan atau laki‐laki bisa mempunyai supervisor di negeri tempat dia belajar dan di negara asal, sehingga dia bisa pulang pergi setelah course work dilalui, termasuk menjenguk keluarga (jika keluarga tidak dibawa). Uang yang diterima dari scholarship cukup untuk membiayainya.
-
Mengapa gender kita masukan dalam perencanan pembangunan. Karena perencanaan pembangunan adalah wahana yang instrumental dan strategik untuk mengintegrasikan isu gender. Dan semua itu didukung oleh Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 (Melaksanakan integrasi gender kedalam semua sektor pembangunan disemua lini pemerintahan) serta RPJMN 2004‐2009; 2010‐2014 (gender sebagai crosscutting issues dan menjadi salah satu strategi nasional. Tapi bukankah kita sering lupa/ tidak melakukan analisa gender meskipun sudah ada legal frameworknya? 3
-
Sekarang kita harus bertanya, apakah anda/perencana memperhatikan kesulitan laki‐laki dan perempuan dalam memformulasikan perencanaan/ program? Kalau tidak, harus dirubah paradigmanya sekarang. Harus diperhatikan sebelum membuat program.
-
Jika dalam melakukan perencanaan telah dilakukan SWOT, maka lakukanlah dengan menggunakan lensa gender. Tidak ada yang berubah dari prosesnya hanya lensanya ditambah dengan lensa gendernya.
-
Kita juga harus pandai memahami bahwa laki‐laki dan perempuan memiliki perbedaan kebutuhan. Misalnya waktu tsunami di Aceh, banyak bantuan yang tidak responsif gender. Bantuannya baju, makanan, dll. Itu juga diperlukan. Tapi perempuan juga membutuhkan pembalut, bukan hanya baju. Pada saat itu juga diberi bantuan mesin jahit, alat‐alat make up untuk belajar usaha. Namun pada saat emergensi seperti itu bukan mesin jahit yang dibutuhkan, menyolok listrik saja sulit.
-
Jadi kalau kita membuat perencanaan, bantuan, program, maka berpikir integrasi gendernya. Siapa mendapat akses/ manfaat? Saya beri contoh/ analog dengan cerita sebagai berikut. Ada bangau dan kucing yang mau kita kasih makan.. Jika kita kasih makan di mangkuk cembung tinggi yang dapat akses dan manfaat paling banyak adalah bangau, dan kucing tidak mendapatkanya. Bagaimana jika untuk kucing kita beri makanan di piring ceper, si bangau tetap di mangkuk tinggi dan cembung. Itulah keadilan gender. Jadi program itu tidak boleh/ tidak berpotensi menjadi diskriminatif, tidak boleh ada sebagian orang yang tidak mendapatkan aksesnya.
-
Gender ini bukan hanya perkara perempuan saja atau laki‐laki saja, tapi ini adalah hak asasi manusia. Sekarang jika kita berbicara gender itu termasuk juga anak dan orang tua,diable dan disfabel. Apapun kategorisasinya, mereka terdiri dari perempuan atau laki‐laki dia harus mendapatkan keadilan dalam perlakuan agar mendapatkan hasil yang setara. Jadi kita kaitkan sekarang bukan cuma dengan soal gendernya, tapi juga soal hak asasi manusia.
-
Program‐program/ aturan‐aturan yang ramah gender misalnya berkenaikan dengan kenaikan pangkat. Ada keharusan untuk memenuhi jenjang tertentu, seseorang baik laki‐laki maupun perempuan harus dimutasi kedaerah. Tentu kreteria utama adalah kompetensi. Tidak perduli apakah dia perempuan atau laki‐laki harus memenuhi kompetensi yang sama. Baru pertimbangan‐pertimbangan gender diperhatikan. Misalnya baik laki‐laki maupun perempuan adakah kesulitan untuk dipindah karena alasan peran gendernya, seperti pasangan tidak bisa ikut, anak‐anak memasuki usia remaja atau masih terlalu kecil untuk dapat ditinggal, ada orang tua sakit permanen padahal pegawai itu anak satu‐satunya. Jika ini menjadi pertimbangan kesulitan pegawai (perempuan ataupun laki‐laki) itu untuk dimutasi/ dirotasi,maka harus dicari pendekatan/ penanganan yang responsif gender. Misalnya ditempatkan dimana saja, asal ada akses kemudahan untuk mencapai tempat asalnya dengan cepat (dalam route penerbangan); waktu mutasi/rotasi dengan jarak waktu yang jelas (2 tahun). Ini berlaku bagi pegawai perempuan maupun laki‐laki. Kalau masih menolak juga, itulah pilihan! Ini yang disebut kebijakan responsif gender.
-
Ada lagi, Misalnya ada iklan .... dicari supir. Pasti yang datang laki‐laki, padahal perempuan juga sudah boleh. Jika iklan itu ditambah misalnya “.....dicari supir, perempuan juga boleh melemar”, pasti ada perempuan yang melamar. Tentu diuji kompetensinya, tidak boleh hanya karena perempuan dia diterima. Sama dengan laki‐laki diuji kompetensinya juga bukan? Di perusahaan taxi Blue Bird sudah ada supir perempuan, juga di busway ada supir perempuan. Tentu saja dengan antisipasi pengamanan‐pengamanan. Misalnya jam kerja yang disesuaikan dari pagi hingga sore. 4
-
Inpres no 9 Tahun 2000 yang mengatakan semua pembangunan dalam semua sektor pembangunan, dalam semua jenjang pemerintahan harus mengintegrasikan gender. Bahkan gender sudah masuk sebagai strategi nasional (RPJMN 2004‐2009; 2010‐2014) . Kalau kita tengok lagi kebelakang, Bappenas sudah lama memelopori integerasi gender. Propernas sudah ada 38 program dengan dianalisis gender; tapi apa yang terjadi? Hilang! Cuma exercise saja. Nah, ini kalau tidak dianggarkan akan hilang. Jadi butuh mengoperasionalkan program, programnya ada, kemudian harus masuk ke anggaran, ke perencanaan tepat waktu.
-
Bahkan kata gender sudah masuk di REPELITA 6 (?) diwaktu ketua Bappenas masih Pak Ginanjar. Perhatian terhadap isu‐isu perempuan sudah dimulai bahkan sejak Deputinya Pak Sudjatmoko, Pak Subardi, kemudian diganti oleh Pak Kirman, kemudian Pak Hidayat Syarif, Bu Elen, pak Dedy Masykur, dan sekarang ibu Nina. Bahkan GAP (gender analysis pathways) yaitu piranti analisis gender yang sekarang luas dipakai lahir dengan inisiatif Bappenas. Tapi harus dikatakan bahwa gender di Bappenas belum melembaga disemua unit utamanya.
-
Dengan Deputi Ibu Nina dan Pak Bandi sebagi direktur Kependudukan/ KB, Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak, usaha‐usaha untuk mengintegrasikan gender dalam perencanan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan lebih kongkrit dan lebih terarah lagi. Gender sebagai strategi nasional dari 2004‐2009 sampai 2010‐2014 bahkan sudah dibuat ada indikatornya . Jadi sudah ada strateginya, sudah ada idikatornya, sekarang tinggal pelaksanaannya. Bappenas juga menjadi salah satu ‘drivers’ untuk pilot proyek anggaran responsif gender di 7 sektor (Peraturan Menteri Keuangan no 119 Tahun 2009).
-
Bagian kedua dari presentasi ini adalah bagaimana mengintegrasikan gender kedalam perencanaan. Ini adalah masalah teknis.Tidak dapat dilakukan hanya dalam sisa waktu presentasi yang kurang dari setengah jam. Tapi saya bisa menerangkan prinsip‐prinsipnya saja. Tapi saya mengusulkan pada pak Bandi dapat memfasilitasi cukup waktu untuk mereka yang akan melakukan analisis gender kedalam program/ kegiatanya.
-
Analisis gender pada prinsipnya mengidentifikasi isu‐isu gender yang harus diperhatikan ketika menformulasikan tujuan maupun program kegiatan pembangunan. Memastikan apakah tujuan maupun program kegiatan yang mau dilakukan itu telah mengakomodasi kebutuhan, pengalaman, kesulitan target sasaran kita (laki‐laki dan perempuan); memastikan target sasaran kita (laki‐laki dan perempuan) mendapat akses dan manfaat dari program kegiatan yang adil. Demikian juga, memastikan keduanya berpartisipasi dan diberi penguasaan terhadap sumberdaya (informasi, pengetahuan,keterampilan, atau kridit) secara adil. Hasilnya keduanya mendapatkan kesetaraan dalam hasil dengan indikator/ indeks yang dapat diukur ( HDI; GDI; GEM).
-
Jadi analisis situasinya, biasa memakai SWOT, silahkan! Asal jangan lupa memasukan lensa gender. Jika ku buat program ini...... apayang menjadi strength, weekness, ....... nya perempuan dan laki‐laki yang berakibat tidak mendapatkan manfaat atau akses? Dimana masalahnya bermula? Di program kitakah? Atau diinternal lembaga kah? Kira‐kira bagaimana caranya laki‐laki dan perempuan untuk mendapatkannya (manfaat, akses,patisipasi,penguasan sumberdaya)? apa tidak? Apakah perempuan juga ikut dalam pembuatan program, supaya bisa mendengar ’suara perempuan’.
-
Jadi kita lihat disini, mula‐mula kita lihat apa sih yang menyebabkan laki‐laki atau perempuan itu tidak mendapatkan akses. Tidak benar kalau selalu kita berasumsi program kegiatan ini untuk kemaslahatan semua,laki dan perempuan, tanpa melakukan analisis lebih dahulu. Ingat analogi diatas, yang satu bangau yang satu lagi kucing, jadi harus dipikirkan 5
bagaimana si bangau dapat tapi juga si kucing dapat. Kemudian setelah itu kita mengembangkan kegiatan dan strateginya agar keduanya dapat menikmati kesempatan yang sama dalam memperoleh akses, manfaat, keikutsertaan dan penguasaan sumberdaya; mungkin saja caranya beda, mungkin juga sama. Kira‐kira sektor yang mana, kemudian pikirkan bagaimana meningkatkan partisipasinya. Jadi tidak ada yang sulit. Sama dengan melakukan analisis sebelum kebijakan, regulasi, program kegiatan, kriteris dibuat; bedanya yang biasanya anda lakukan mungkin tidak ada lensa gendernya. Itu saja. -
Jadi tadi saya sudah katakan kalau beberapa langkah itu dibuat dengan prinsip adil gender dimana laki‐laki dan perempuan sama‐sama mendapat manfaatnya untuk mendapat hasil yang setara. Jadi keadilan itu adalah suatu proses yang akan menghasilkan kesetaran dalam arti gender.
-
Tiba saatnya kita bicarakan piranti analisis. Ada beberapa piranti analisis yang dikembangkan dunia, seperti MOSER, HARVARD, LONGWAY. Masing‐masing dibuat untuk keperluan spesifik. Indonesia cq Bappenas bekerjasama dengan KPP dan pakar‐pakar gender Indonesia dan difasilitasi CIDA menghasilkan piranti analisis yang disebut GAP (Gender Analysis Pathway) untuk keperluan analisis perencanaan program kegiatan. Jadi GAP ini adalah anak kandung Bappenas. Kepunyaan Bappenas dan kepunyaannya KPP, kepunyaan Indonesia! Kita harus bangga dong! Jadi ini memang dibuat untuk perencanaan yang responsif gender. Dan bisa juga dijadikan dasar untuk baseline dan penysunan indikator dan juga anggaran yang responsif gender.
-
Jadi intinya mengidentifikasikan isu gender, kemudian menanganinya dalam bentuk action plan. Kemudian dilanjutkan dengan menentukan baseline dan indikator. Semua responsif terhadap isu gender. Oh begini situasinya, oh begini analisisnya, kemudian tentukan actionnya dan baseline serta indikatornya, kemudian jika kegiatan itu disetujui dianggarkan; tentu saja setelah ditelaah oleh DJA tentang TOR nya sebagai hasil dari analisis gender, serta berbagai indikator indikator gender lainya, maka namanya anggaran responsif gender.
-
Action plan hasil analisis ini bisa dilakukan per satu tahun , tapi action plan ini bisa dibuat sampai 2014. Karena ada beberapa action plan yang memerlukan kesinambungan atau waktu panjang untuk melihat dampak atau kontribusinya terhadap kesetaraan gender sebagai hasilnya.
-
Jadi GAP memberikan piranti analisis gender sebagai awal untuk dari suatu kegiatan. Kegiatan analisis gender bisa dilakukan untuk program kegiatan, regulasi, kreteria; tapi bisa juga dilakukan dalam lingkup administrasi/ budaya organisasi. Asal subyek dan obyeknya manusia atau berdampak terhadap manusia. Misalnya suatu regulasi atau negosiasi tanpaknya lebih ’jauh melihat gendernya’ dibandingkan dengan program program kegiatan pelayanan umum (servives), seperti program kegiatan scholarship. Tetapi ketika memformulasikan regulasi atau bernegosiasi, kita harus ’equipped’ dengan pemahaman isu gender yang dapat berpotensi regulasi atau negosiasi itu berdampak buruk terhadap keadilan dan kesetaraan gender.
-
Dalam melakukan analisis gender, kita memerlukan data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin untuk melihat apakah ada atau berdampak terhadap kesenjangan gender. Jika tidak ada data dan informasi yang terpilah, kita tidak dapat mengatakan ada kesenjangan gender, bukan? Untuk suatu perencanaan data dan informasi memang harus dipakai, tetapi sekarang memasukan lensa gender. Dalam hal ini bukan data informasi yang biasa tapi data dan informasi yang perlu di updates, sex segregated dan data yang berkaitan dengan isu gender. Misalnya, begini. Ada orang yang di penjara 100 orang dalam suatu lapas: 6
perempuannya ada 5 dan laki‐lakinya 95. Jangan disalah‐artikan isu gender disini. Isunya bukan yang laki laki harus diturunkan menjadi 80? Yang perempuan dipenjara harus dinaikkan? Bukan itu isunya ya! Tetapi apakah sarana dan prasarana yang ada dipenjara dilengkapi/ dicukupi juga untuk kebutuhan perempuan, misalnya toilet yang cukup; ketersediaan pembalut, kegiatan‐kegiatan yang diinginkan oleh perempuan. Semua itu tentu tidak sama dengan kebutuhan pesekitan laki‐laki. Jadi data terpilah saja tidak cukup. Tetapi ditindaklanjuti, apakah kondisi penjara itu sudah mencukupi bagi perempuan yang ada di dalamnya. Jadi bukan hanya kita katakan ada 95 laki‐laki dan 5 perempuan dalam penjara. Pertanyaa gender ’so what gitu loh??! Dengan angka itu lensa gender melihat apa saja yang telah diberikan/ tersedia dalam penjara itu bermanfaat dan diakses oleh perempuan. Jadi data itu tidak hanya selalu harus disagregated tapi juga harus mengandung isu gender. Jadi data yang mengandung isu gender.. ya..namanya gender statistik. -
Sebagai penutup; Konkretnya. Pak Bandi dengan staf direktoratnya serta network yang dibangun dengan KPP&PA serta Departemen Keuangan, sudah siap memfasilitasi bantuan teknis analisis gender di unit‐unit utama internal Bappenas. Sudah ada programnya, sudah peraturan, sudah ada instruksinya untuk meingintegrasikan/ mengarusutamakan gender, sudah ada instruksinya. Tinggal lagi melaksanakannya! Untuk itu perlu didukung oleh para pimpinan unit‐unit lain sebagai kesatuan lembaga Bappenas.
-
Untuk itu tadi, kita perlu melakukan capacity building. Kalo kita ngomong tentang human resourcesnya, perlu ada pelatihan, seperti bagaimana melakukan analisis gender. Masing‐ masing membawa program atau kegiatan masing‐masing, sehingga integrasi gender menjadi kongkrit dan relevant. Mengenai pemahaman tentang gender, baru saja kita lakukan. Selanjutnta capacity building termasuk office culture yang kondusif. Dukungan dari pimpinan, dukungan dari kolega, dukungan dari sistim, yang memungkinkan integrasi gender berjalan dengan maksimal. Tidak cukup jika hanya memberi capacity building dalam bentuk workshop atau seminar, tetapi kegiatan itu harus bisa mempengaruhi office culture yang kondusif tadi. Yang lainnya adalah pertimbangan. Untuk sementara kita lakukan kepada beberapa program/ kegiatan, sebagai lessons learned. Pertimbangkan program kegiatan yang instrumental dan strategic, yang punya multi‐flyer effects.
-
Istimewanya dengan melaksanakan GAP ini adalah dalam “satu jalan” kita melakukan analisis, mengidentifikasi action plan, baseline dan indicator. Selanjutnya analisis GAP itu juga akan dikaitkan dengan TOR dan kegiatan yang akan diajukan ke DJA. Untuk jelasnya, kita perlu melakukanya dengan waktu yang cukup. Ini tidak terlalu sulit tetapi perlu waktu.
-
Belajar piranti gender analisis tadi sama layaknya belajar naik sepeda. Begini loh caranya naik sepeda, pegang setang, go‐es sedikit, jatuh gak papa! Lama‐lama menjadi lancar. Jadi perlu sesi yang lebih panjang untuk belajar.
-
Penutup. 1. Dampak perencanaan dan anggaran responsif gender itu harusnya dapat mengubah pola gender yang buruk, pembangunan yang lebih fokus pada yang betul‐betul prioritas dan untuk mendapatkan kesetaraan bagi perempuan dan laki‐laki target sasaran kita dari ’kueh’ pembangunan. 2. Jangan samapai GAP yang lahir di sini, tapi kemudian tidak terpelihara. Seharusnya harus lebih kuat lagi dan dimanfaatkan maksimal, serta melembaga; karena kedepan gender sudah merupakan variable pembangunan yang harus ada! Terimakasih untuk perhatian.. *** 7