TRANSISI IDENTITAS : STUDI KASUS PADA PEREMPUAN DEWASA PENYANDANG CACAT BUKAN BAWAAN Rini Sudarmanti Abstract From the research subject’s point of view, this study describes transition process of self-identity of two adult women as key informants whose faces are deviant. For a woman, face is her most important thing and it points up how she perceives herself. We reveal management concept of their self-identity with depth interviews with and intensive observations on, not only two primary respondents, but also their families, friends, relatives, and their servants. There are five stages of shaping transition identity: (1) self indication; (2) indifference behavior; (3) negotiation; (4) self adaptation; and (5) normalization. Both subjects showed their capacity to construct and organize new identities as their impressions when redeveloped interaction with their social environments. Pendahuluan Memiliki wajah dan keadaan fisik tubuh yang sempurna merupakan harapan setiap manusia. Tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang bersedia untuk memiliki wajah yang buruk atau menjadi cacat. Namun dunia realita tidaklah seindah dalam gambarannya. Tidak semua manusia terlahir sempurna. Sebagian dari manusia mendapati dirinya dalam keadaan cacat. Namun yang perlu digarisbawahi adalah menjadi cacat atau tidak sempurna bukanlah suatu kehinaan tetapi lebih merupakan amanat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Amanat itu bukan saja diemban oleh orang yang mengalaminya, ataupun keluarganya, tetapi juga semua orang termasuk diri kita sendiri, terutama yang berada dalam lingkungan terdekatnya. Oleh karena itu tidaklah pantas bila manusia yang normal memandang sebelah mata terhadap mereka. Hal itu sama saja dengan mengingkari amanat yang diberikanNya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat , pada pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari; penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental. Pengertian yang dibakukan ini mengandung pengertian yang lebih sempit dari pengertian Lemmert dalam Davis (1972 ;130) berikut ini : The term deviant (or deviance) refers (1) to a person’s deviation from prevalent or valued norms, (2) to which the community at large reacts
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
negatively or punitively, (3) so as to then lead the person to define his situation largely in terms of this reaction. All three conditions must be fulfilled for it to be said that deviance exists. In this sense the Negro, the career women, the criminal, the Communist, the physically handicapped, the mentally ill, the homosexual, to mention but a few, are all deviants, albeit in different ways and with markedly different consequences for their life careers. Bila ditelaah pengertian di atas, pengertian “cacat” yang dibakukan oleh pemerintah Indonesia hanyalah pengertian yang sempit. Lemmert berangkat dari konsep “penyimpangan” (deviant) yang maknanya bukan hanya sebatas masalah ketidaksempurnaan atau memiliki kekurangan dalam kondisi fisik manusia (cacat) saja, namun lebih luas dari pada itu. Lemmert menunjukkan bahwa sesuatu itu dikatakan “menyimpang” hanyalah sebagai hasil konstruksi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa peranan orang lain yang berada di sekitar seorang individu sangatlah besar sehingga dapat menentukan bagaimana keberadaan seorang individu itu diposisikan dalam masyarakat dunia sosialnya. Penyimpangan atau “deviant” dimaknai sebagai gambaran untuk suatu situasi dan kondisi manusia yang dimaknai bersama (secara intersubjektif) sebagai “tidak biasa” atau “berbeda” dengan kondisi manusia umumnya, yang berada pada suatu lingkungan atau komunitas tertentu. Bila demikian, orang Negro yang berkulit hitam dapat dikatakan deviant atau cacat atau menyimpang bila berada dalam komunitas orang kulit putih. Namun tidak akan demikian bila ia berada dalam komunitas orang kulit hitam (negro). Perempuan yang sukses berkarir sebagai pegawai kantoran dapat juga dikatakan deviant atau menyimpang bila komunitas di sekitarnya terdiri dari para perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Begitu pula dengan perempuan yang mengalami cacat pada wajahnya, dapat dikategorikan sebagai orang yang mengalami “penyimpangan” dalam kehidupannya alias “tidak biasa” atau berbeda” dengan orang-orang di sekitarnya pada umumnya. Untuk selanjutnya dalam tulisan ini, menurut Lemmert dalam Davis, 1972: konsep “cacat” yang peneliti gunakan cenderung untuk lebih menggambarkan situasi yang lebih luas, yang tidak hanya sebatas ketidaksempurnaan kondisi fisik manusia saja. Bagi mereka yang menyandang cacat fisik sejak lahir, mungkin proses adaptasi terhadap keadaan ini tidaklah terlalu drastis. Namun tidaklah demikian bagi mereka yang harus tiba-tiba masuk ke dalam babak kehidupan menjadi cacat seperti karena sakit atau kecelakaan. Terlebih lagi bila keadaan itu dialami ketika mereka telah berusia dewasa, dimana segala sesuatu telah mapan dan tertata apik dalam kehidupannya. Kondisi fisik yang tiba-tiba berubah menjadi tidak sempurna, tentulah membawa perubahan pada situasi dan kondisi dunia sosialnya yang telah ada selama ini. Bukan hanya itu, lebih dalam lagi menimbulkan perubahan pada identitas dirinya. Ia harus menyesuaikan atau menata diri 180
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
agar dapat menjalani kehidupannya atau dengan kata lain mereka berada pada transisi kehidupan. Transisi disini berarti mereka mengalami krisis identitas. Konsep identitas sebelumnya dirasakan sudah tidak cocok lagi. Mereka perlu membentuk identitas yang baru agar kehidupannya menjadi lebih nyaman dengan keadaannya yang baru. Perubahan konsep identitas atau transisi identitas inilah yang menjadi fokus perhatian peneliti. Dunia sosial kita terlanjur memandang sebelah mata kepada mereka yang menyandang kecacatan sebagai suatu “penyimpangan” dalam masyarakat. Suka atau tidak suka inilah realita yang ada. Hal inilah yang membuat mereka yang sebelumnya secara fisik normal, tapi kemudian mengalami cacat (bukan bawaan lahir) seringkali mengalami problem psikologis. Seringkali mereka mengalami depresi atau frustasi terhadap ketidakmampuannya. Terutama bila harus berhadapan dengan orang lain. Terlebih lagi bila hal ini dialami oleh mereka yang berjenis kelamin perempuan. Perempuan yang cacat cenderung mengalami double marginal di masyarakat. Budaya masyarakat kita masih cenderung memandang perempuan sebagai manusia nomor dua di bawah dominasi laki-laki. Pemahaman terhadap agama yang menerapkan keadilan antara laki-laki dan perempuan, sedikit demi sedikit mengubah pandangan masyarakat ini terhadap perempuan. Perempuan mendapatkan haknya untuk memiliki kesempatan bersekolah sama seperti laki-laki, begitupun dalam karir pekerjaan, sepanjang ia tidak mengabaikan kewajiban keperempuanannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sisa-sisa budaya yang sudah jauh menancap tertanam tidak semudah itu dihapuskan. Media massa juga seolah telah memperkuat gambaran perempuan ideal dalam gambaran masyarakat kita. Media massa memodelkan perempuan sedemikain rupa sehingga ukuran kesempurnaan seorang manusia perempuan akan selalu mengacu kepadanya. Konstruksi perempuan ideal media massa kurang lebih seperti ini; berwajah cantik atau paling tidak ayu, sedikit indo, berkulit putih dan bertubuh langsing tidak tinggi dan tidak juga pendek. Semua tipe ini dikonstruksi oleh media dalam setiap programnya termasuk iklan-iklan produk khusus perempuan yang jumlahnya paling banyak, misalnya sabun, alat-alat kosmetik, bahkan dalam iklan makanan pun masih digambarkan perempuan ideal itu. Padahal kalau dilihat dari realita dan logikanya, letak geografis Indonesia berada di sekitar garis khatulistiwa. Mengingat hal ini tentu sudah pasti Indonesia beriklim panas sehingga kulit yang putih itu agak sulit didapat. Idealnya justru sawo matang. Wajah indo pun bukanlah tipikal Indonesia asli, yang sebenarnya termasuk dalam rumpun bangsa melayu. Namun sepertinya sudah menjadi kodrat perempuan untuk menjadikan wajah sebagai salah satu daya tariknya. Sisa budaya masyarakat kita, ditambah lagi propaganda media tentang perempuan ideal itu semakin membuat perempuan terpojok menjadi objek penderita. Mereka pun berlomba-lomba untuk menjadi cantik, atau paling tidak mendekati 181
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
sosok perempuan berwajah ideal itu. Akibatnya perempuan menjadikan ukuran wajah sebagai hal yang teramat penting. Bagi perempuan ada noda hitam atau sebiji jerawat mampir di wajahnya, merupakah hal yang memalukan dan membuatnya tidak percaya diri. Mereka seringkali menjadi salah tingkah. Apalagi bila wajah ayu nan cantik itu terenggut, apa yang terjadi? Bagaimanakah impian menjadi perempuan ideal itu ketika harus berhadapan dengan realita mengalami kecacatan pada wajah? Sementara kehidupan tetap berjalan. Segala sesuatu bukanlah terjadi atas kehendak kita sebagai manusia tetapi atas kehendakNya. Tinjauan Pustaka A. Transisi Identitas Berdasarkan Perspektif Fenomenologis Interaksi Simbolik Bagaimana manusia berinteraksi dan berperilaku dari sudut pandang subjektif pelaku dapat dijelaskan melalui perspektif interaksi simbolik yang berada di bawah naungan perspektif fenomenologis. Analisis fenomenologis dimaksudkan untuk menggali dan merekonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Sementara itu “esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.”(Mulyana; 2003, 68) Perspektif ini menjelaskan sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Setiap manusia dipandang sebagai subjek individu yang bersifat aktif, reflektif dan kreatif untuk menafsirkan, dan menampilkan perilaku sebagaimana terlihat dan seringkali perilaku itu tak dapat diduga. Jadi perilaku manusia sebagaimana terlihat sebenarnya merupakan reaksi dari bagaimana mereka mendefinisikan atau menafsirkan objek-objek yang ada di sekelilingnya. Dalam berinteraksi dengan dunia sosial sekitarnya, manusia tidak akan terlepas dari kegiatan berkomunikasi. Proses komunikasi ini dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol yang melambangkan atau merepresentasikan apa yang dimaksud oleh para partisipan komunikasi. Di dalam memilih simbol-simbol yang digunakan itu, manusia sebagai partisipan komunikasi juga tidak terlepas dari bagaimana ia menafsirkan dan memaknai simbol-simbol yang digunakan secara bersama-sama dengan manusia lain. Mereka melakukannya berdasarkan pada bagaimana ia mendefinisi situasi yang ada. Artinya ketika berkomunikasi, setiap manusia tidak akan menggunakan simbol-simbol di luar dari kesadarannya dan juga kesadaran manusia lainnya. Kesadaran manusia ini bersifat intersubjektif, berdasarkan interpretasi mereka sendiri atas dunia sekeliling mereka yang dijelaskan Schutz bersifat taken for granted. Semakin besar ruang kesadaran intersubjektif bersama, semakin banyaklah simbol-simbol bermakna bersama yang digunakan para partisipan komunikasi ketika berinteraksi di dalam masyarakat dunia sosialnya. Inti dari teori interaksi simbolik adalah teori tentang diri (self) dari George Herbert Mead. Charles Horton Cooley melengkapinya dengan teorinya the looking-glass self. “Keduanya menganggap bahwa konsepsi diri 182
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain.” (Mulyana, 2003; 74) Konsep diri seseorang ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya. Jadi respon orang lain terhadapnya ditafsirkan secara subjektif dan itu membentuk konsep tentang dirinya sendiri. Bagaimana ia memandang dirinya sendiri terlihat dari kesadarannya (consciousness) merespon tanggapan orang lain terhadapnya. Ketika seseorang berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia sosialnya, ia saling bertukar simbol. Seiring dengan proses itulah konsep diri identitas seseorang pun ikut seolah berubah-ubah sesuai dengan penafsirannya pada simbol-simbol respon yang diperolehnya dari lingkungan dunia sosial tempat ia berinteraksi. Sementara itu proses komunikasi sendiri bersifat irreversible, seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. “akan selalu membekas.” Oleh karena itu seperti diungkapkan R.D.Laing bahwa konsep diri seseorang yang merupakan hasil proses komunikasi itu dari waktu ke waktu tidak akan pernah sama. Sama seperti proses komunikasi, kehidupan manusia pun tidak akan pernah dapat kembali. Dari waktu ke waktu ia akan terus memasuki babak demi babak perubahan kehidupan. Begitupun ketika kehidupan seorang yang sudah mapan dan menyenangkan tiba-tiba berubah. Bagaimana ia menata diri dan menyikapi perubahan itu tentulah tidak terlepas dari respon lingkungan sosialnya didalam menanggapi perubahan-perubahan yang dialaminya. Guna mendapatkan reaksi yang diharapkannya, manusia seringkali melakukan impression management atau manajemen diri melalui permainan front stage dan back stage kehidupannya. Inilah yang seringkali kita lihat bagaimana perilaku seseorang sebagaimana terlihat (front stage) berbeda dengan dengan kenyataanya yang sebenarnya. Ia memanipulasi sisi bagian kehidupannya yang tidak ingin diperlihatkannya (back stage) sedemikian rupa sehingga orang lain tidak menyadari dan mengetahuinya. B. Impression Management dalam Pandangan Teori Dramaturgis Erving Goffman Salah satu turunan dari aliran interaksi simbolik adalah teori dramaturgi yang diperkenalkan oleh Erving Goffman. Teori ini berusaha untuk mengupas lebih lanjut strategi manusia ketika berinteraksi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Goffman berusaha menelaah lebih lanjut impression management yang tidak dikupas oleh para pendahulu pencetus interaksi simbolik. Bila sebelumnya interaksi manusia yang dilakukan secara simbolik itu dilihat dari segi makro, Goffman justru berusaha melihat interaksi simbolik dari segi mikro dalam ruang lingkup komunikasi antar persona. Goffman memfokuskan kajiannya pada “diri” (self). Asumsinya berawal dari manusia yang memberikan interpretasi terhadap simbol-simbol yang digunakan ketika berinteraksi. Perhatian Goffman adalah pada bagaimana manusia melakukan tindakan ekspresif/impresif dalam 183
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
ketertiban sosial (interaction order) ketika berusaha untuk melakukan “keutuhan diri”. Interaksi sosial yang dilakukan manusia dianalogikannya seperti sebuah pertunjukkan teater atau drama, dimana setting dan aktor melakukan performance tertentu untuk membentuk impression tertentu di mata audience-nya. Manusia melakukan manuver-manuver tindakan tertentu, mengikuti suatu konsep skenario tertentu untuk menyampaikan sesuatu “pesan” kepada manusia lainnya, yang pada akhirnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu yang diharapkannya. Ketika berinteraksi, manusia berusaha untuk menginterpretasi suatu situasi yang disebut sebagai definition of situation. Definisi situasi bagi masing-masing orang itu berbeda-beda. Definisi situasi dibagi menjadi strip dan frames. A strip is a sequence of activity; A frame is a basic organizational pattern used to define strip. Thus frame analysis consists of examining the ways experience is organized for the individual. (Littlejohn,2002; 150). Frame work ini merupakan model yang kita gunakan untuk memahami pengalaman kita, bagaimana kita memandang sesuatu sebagai suatu rangkaian yang menyeluruh. Penelitian terhadap kegiatan komunikasi dipandang dramartugi sebagai suatu konteks frame analysis. Proses atau kegiatan komunikasi itu dilakukan baik itu secara verbal maupun non verbal. Ketika berkomunikasi inilah kita menunjukkan karakter atau identitas tertentu seperti seorang aktor yang sedang berakting peranan tertentu,baik itu melalui simbol verbal maupun non verbal, misalnya dengan mimik wajah, pakaian, bahasa, dan lain sebagainya termasuk logat yang digunakan. Disinilah studi dramaturgis dilakukan dengan mempelajari bagaimana seseorang melakukan impression management dalam menentukan dramatisasi karakter tindakan yang dimainkan untuk mencapai interaction order. Berkenaan dengan impression management ini, Goffman membagi dua wilayah yaitu wilayah depan berkenaan dengan tindakan individu yang menampilkan peran formal seperti di panggung sandiwara (front stage) dan bagian yang berada di balik panggung sandiwara (back stage) yang tidak dimaksudkan untuk konsumsi umum. Goffman juga menelaah aktivitas role distance dan mistifikasi seseorang ketika berinteraksi. Kedua aktivitas ini mempengaruhi bagaimana seseorang melakukan impression management. C. Beberapa Hasil Penelitian Transisi Identitas Penelitian yang dilakukan terhadap penyandang cacat dapat dikatakan masih belum terlalu banyak. Hal ini disebabkan karena antara lain sulitnya berinteraksi dengan mereka yang cenderung merasa rendah diri akibat perlakuan masyarakat umum yang melihatnya sebagai kaum terpinggirkan. Dahnke (1982:93) pun menjelaskan bahwa penelitian mengenai para penyandang cacat tidak banyak mengingat interaksi dengan mereka akan banyak menemukan kesulitan : Regarding the interaction process more limited research to date indicates that during interactions with the handicapped, 184
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
nonhandicapped persons tend to (1) increase their physical distance (Kelck, 1969;Worthington, 1974); (2) terminate their interaction more quickly and exhibit less variance in verbal behavior (Kleck, Ono & Hastorf,1966);(3) demonstrate greater motoric inhibition – that is, restrict their nonverbal behavior (Kleck, 1968); and exhibit more anxiety (Marinelli & Kelz, 1973; Marinelli,1974. Furthermore, nonhandicapped individuals report more emotional discomfort following interaction (Kleck, 1966) Para penyandang cacat atau yang dinyatakan “cacat” oleh masyarakatnya cenderung menjaga jarak dengan peneliti. Mereka juga seringkali cenderung mengalami hambatan motorik, gelisah dan emosional. Hal inilah yang perlu diwaspadai dan diatasi seminimal mungkin oleh peneliti yang seringkali berperan sebagai non participant observer di dalam komunitas mereka. Iskandar (2003) dalam penelitian dari sudut pandang objektif kuantitatif menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara efektivitas komunikasi antara pribadi dengan pembentukkan konsep diri penyandang cacat fisik bukan bawaan dewasa awal. Hal ini menunjukkan bahwa proses komunikasi dengan lingkungan dunia sosial terutama keluarga terdekat (significant others) sangat memegang peranan penting dalam pembentukkan konsep diri seorang penyandang cacat. Penelitian yang dilakukan Schmid dan Jones (1991) memperlihatkan bahwa identitas seseorang itu dapat berubah setelah mengalami proses transformasi radikal di penjara. Lingkungan penjara yang dimaknai para napi sebagai tidak mengenakkan mendorong mereka untuk mengantipasi diri dengan melakukan strategi pertahanan diri berdasarkan sudut interpretasi subjektif masing-masing. Mereka melakukan impression management, mengatur atau menata dirinya (self) sedemikian rupa sehingga dapat bertahan dalam lingkungan penjara dengan bermain peran front stage and back stage. Hal ini cukup menunjukkan bahwa konsep identitas diri seseorang itu dapat dimanipulasi, dapat dibongkar pasang atau dapat berubah-ubah. Diri dapat menjadi diri yang lain sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Itu semua tidak terlepas dari bagaimana seorang napi memaknai situasi dan kondisi penjara yang keras sehingga dapat bertahan hidup menanti saat kebebasan tiba. Penelitian yang dilakukan Seroussi dan Zussman (1996) juga memperlihatkan bagaimana identitas diri seseorang dapat dibuat sedemikian rupa, diubah dan diupayakan agar mendatangkan respon perilaku dari orang lain sebagaimana yang diharapkan. Ketika acara reuni tiba, para alumni sebuah sekolah menengah atas melakukan manajemen identitas (impression management). Konsep diri yang dialami pada masa lalu mempengaruhi konsep dirinya pada masa sekarang ini dan bagaimana para alumni ini memelihara atau memanipulasinya untuk mempertahankan self image- nya yang dahulu dihadapan kawan-kawan lamanya. 185
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
Tengok pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Karp, Holmstrom, Gray dari Boston College (1998). Penelitian ini memperlihatkan bagaimana para mahasiswa baru merekonstruksi dirinya (self) ketika mereka berada jauh dari rumah dan orang tua. Penelitian ini menjelaskan bagaimana konflik internal terjadi ketika para mahasiswa baru tersebut berada pada tahap transisi kehidupannya yang baru. Mereka ini melakukan manajemen diri, membentuk identitas atau konsep diri baru, agar dapat menyesuaikan diri dan mengatisipasi hal-hal yang tidak diinginkan atau untuk mempertahankan diri berada pada lingkungan baru, yang benar-benar berbeda dengan kehidupan mereka sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Davis (1972) terhadap keluarga yang memiliki anak-anak penyandang cacat polio menunjukkan bahwa keluarga yang bersifat terbuka dan memperlakukan anaknya seperti anak-anak normal pada umumnya cenderung membuat anak tersebut mampu melakukan normalisasi dalam lingkungan sosial, tetapi tidak demikian dengan keluarga yang bersifat protektif, bahkan menunjukkan rasa malu memiliki anak cacat. Keluarga yang tertutup cenderung membuat anakanak mereka menarik diri dalam lingkungan sosialnya (disasosiasi). Begitu pula pada penelitian yang dilakukan Musgrove (1977) tentang dunia orang buta bukan bawaan. Konsep identitas dirinya yang sebelumnya membuatnya sulit memposisikan dirinya dengan keadaannya yang telah berubah. Orientasi konsep identitas diri orang cacat, selalu mengarah kepada kehidupan orang-orang yang normal. Mereka tidak merasa senasib sepenanggungan dengan penderita tuna netra lainnya. Ukuran-ukuran keberhasilan apa yang mereka capai selalu berdasarkan mereka yang normal. Lebih spesifik lagi penelitian yang dilakukan oleh Iantaffi (2001) yang mempelajari kehidupan perempuan cacat. Mereka tidak ingin disepelekan oleh orang-orang yang normal. Mereka ingin orang lain tidak mempersoalkan keadaan fisiknya. Mereka tidak ingin mendengar kata “sulit” atau “susah” karena kekurangannya, karena itu mereka menunjukkan pribadi yang bersemangat dan tidak mudah patah arang. Metode Penelitian Mempelajari realitas sosial manusia yang berdasarkan perspektif interaksi simbolik membutuhkan metode atau cara pandang yang titik berdirinya berawal dari sudut pandang manusia itu sendiri. Dunia realitas sosial dilihatnya dari kacamata manusia itu yang menjalani atau mengalaminya, bukan orang lain. Cara pandang seperti ini dikatakan sebagai subjektif. Berbeda dengan penelitian objektif, hasil penelitian subjektif ini tidak dimaksudkan untuk generalisasi. Sifatnya kasuistik, hanya berlaku untuk suatu fenomena tertentu dalam kurun waktu tertentu. Penelitian subjektif tidak bermaksud menguji hipotesis atau menelaah per variabel. Permasalahan diungkapkan secara komprehensif dan menyeluruh (holistik). Untuk itu dibutuhkan ketelitian dari penelitinya. 186
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
Pada awalnya kajian ini berangkat dari perhatian peneliti terhadap fenomena yang dialami responden sejak tahun 2001. Namun pengumpulan data secara intensif baru dilakukan dalam kurang lebih 1 (satu) bulan. Hal ini karena penelitian ini masih dalam konteks latihan. Peneliti berperan sebagai non participant observer. Jarak antara peneliti dengan responden penelitian teratasi karena hubungan kekerabatan yang telah lama terjalin dan sudah lama mengenal mereka bahkan sejak sebelum kejadian yang menimpa mereka terjadi. Dengan demikian tidak ada keraguan bagi mereka untuk bersedia menjadi responden penelitian. Data diperoleh dengan melakukan observasi dan depth interview terhadap masing-masing responden utama. Interview juga dilakukan terhadap anggota keluarga, pembantu rumah tangga dan beberapa teman responden. Peneliti juga melakukan konfirmasi data ulang dengan melakukan focus group discussion yang dihadiri oleh responden dan anggota keluarganya. Deskripsi Responden Responden utama dalam penelitian ini berjumlah dua orang. Keduanya perempuan dewasa yang mengalami cacat di wajah (bukan bawaan sejak lahir). Mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Ketika peristiwa itu terjadi, responden pertama berusia 37 tahun dan responden kedua berusia 61 tahun. Responden pertama mengalami kecelakaan akhir tahun 2001. Meski secara fisik tidak mengalami cedera berarti, namun kerusakan terparah yang diakibatkan kecelakaan itu adalah wajahnya. Mata kirinya rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi, sebagian wajahnya turun ke bawah akibat tulang rahang dan hidungnya yang remuk dan patah. Bekas-bekas lukanya tidak pernah hilang, dan mengubah wajahnya nya seperti monster. Namun berkat kesabaran untuk menjalani pengobatan dan beberapa kali rangkaian operasi hingga awal 2005, tim medis yang menanganinya berhasil membuat bekas lukanya di wajahnya itu tidak terlalu memprihantinkan, meski mata kirinya tetap tidak dapat tertolong lagi. Sementara itu responden kedua mengalami perubahan pada wajah secara tiba-tiba karena penyakit yang sifatnya temporal. Berbeda dengan responden pertama yang tidak pernah kembali normal, responden kedua ini dapat kembali normal kembali seperti biasa setelah menjalani perawatan dan terapi. Di suatu pagi pada tahun 2001, ia mendapati dirinya tidak dapat mengedipkan matanya dan sebagian wajahnya miring ke kiri. Menurut tim dokter, responden kedua ini menjadi sedemikian rupa bukan karena stroke atau yang lainnya, tetapi setelah diperiksa secara lebih intensif, syaraf ke tujuh responden dinyatakan terkena angin. Responden harus menjalani terapi secara rutin yang memakan waktu cukup lama. Ia menjalani terapi syaraf seminggu 3 kali dalam waktu sekitar 3 bulan lamanya. Namun penantian dan kesabarannya membuahkan hasil. Wajahnya dapat kembali normal seperti biasa.
187
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
Pembahasan Hasil Penelitian Perubahan babak kehidupan merupakan suatu hal yang memang akan selalu dialami setiap insan manusia. Begitu pun ketika hal yang tidak menyenangkan terjadi. Namun kehidupan terus berjalan dan manusia pun harus berusaha menghadapinya, menjalani kehidupan yang sudah digariskannya. Bagi perempuan, wajah merupakan bagian yang penting. Sudah menjadi kodratnya menjadikannya bagian dari identitasnya sebagai perempuan. Apabila wajah itu berubah menjadi lebih cantik mungkin tidak menjadi masalah, tetapi apabila wajah itu berubah menjadi sesuatu yang menakutkan tentu menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kehidupan terus berjalan. Kedua responden penelitian ini mengalami babak kehidupan dimana wajahnya tidak lagi menjadi ayu dan cantik seperti dulu. Responden pertama mengalami kerusakan yang permanen, sementara responden kedua bersifat temporal dan hanya mengalami transisi identitas dalam waktu yang jauh lebih pendek ketimbang responden pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses transisi identitas ini tidaklah sesederhana yang dibayangkan. A. Ada Apa dengan Saya Responden menyadari bahwa wajahnya tidaklahlah seperti sebelumnya. Ia memaknai diri sebagai orang asing bagi dirinya sendiri atau pun orang lain. Pada tahap ini terlihat responden mengalami ketidakseimbangan antara konsep diri sebelumnya yang sudah ada dengan realita yang tengah dihadapinya. Pada responden pertama, sejak kecelakaan terjadi, responden tidak merasakan sakit yang berarti di wajahnya, namun ia merasakan seperti ada yang “salah” dengan wajahnya bukan dari keluarga dekatnya, tetapi dari respon kerabat dan rekan-rekan yang datang menjenguknya di rumah sakit. Dokter sendiri pun tidak pernah menjelaskan kepadanya secara rinci. Karenanya ada dorongan dalam dirinya untuk tidak melihat bayangan wajahnya di cermin. Seperti ; Dari kerabat dekatnya yang berbicara sangat pelan tidak seperti biasa; “dicoba dik, bagaimana mata kanan bisa melihat kan ? coba semampunya, bisa nggak mata kirinya melihat ?” Atau dari rekan-rekannya; “duh, Ibu…bagaimana bisa jadi begini ya, sabar ya bu, yang sabar,…semoga cepet sembuh ya …” Atau dari keponakannya yang masih polos; “Ih bu de, kenapa jadi kayak monster !?” Responden ini membaca reaksi dari orang lain yang rata-rata menunjukkan rasa kasihan yang dimaknainya cenderung menghina. Ada 188
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
juga yang menunjukkan pura-pura acuh tak ingin menunjukkan kesedihan seakan-akan “tidak ada apa-apa”, yang padahal sebetulnya justru menunjukkan “ada apa-apa” dengan dirinya. Akhirnya meski tidak pernah melihat cermin, ia memahami bahwa kecelakaan itu telah membuat wajahnya nyaris tidak berbentuk. Bagian kiri wajahnya cenderung jatuh turun karena rahangnya patah, tulang hidung remuk, dan mata kiri yang tidak mampu melihat lagi. Berbeda dengan responden pertama, responden kedua mengetahui wajahnya yang cenderung miring ke kiri semua dari cermin ketika baru saja bangun dari tidur. Ia tidak dapat merasakan bibirnya dan kelopak matanya pun tidak mampu berkedip. Untuk memastikannya ia menanyakannya kepada suami dan seisinya rumah. Namun reaksi yang diperoleh justru membuatnya semakin khawatir. Reaksi keluarganya yang ikut bingung dan menunjukkan bermacam-macam dugaan penyebab penyakit yang sempat dilontarkan kepada responden, malah membuatnya semakin gusar. “Ada yang bilang saya ini pasti punya bawaan darah tinggi, jadi ke dokter internist, mungkin jantung,…bahkan ada yang bilang mungkin ada faktor non medis. Tapi apa mungkin ? Sudah jelas-jelas sepanjang kehidupan dan sejarah keluarga saya, tidak pernah ada penyakit aneh-aneh seperti darah tinggi atau diabetes.” Dengan diantar salah seorang anaknya, responden datang ke dokter dan laboratorium. Ia merasa bingung karena semua hasil tes laboratorium menunjukkan tidak ada masalah dengan dirinya. Dokter menyarankannya untuk pergi ke terapi syaraf karena diperkirakan syaraf ke tujuhnya responden terkena angin. Ia sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud dengan syaraf ketujuh. Tahap ini kurang lebih mirip dengan refleksi diri responden terhadap kehidupan yang lalu. Mereka sama-sama berupaya untuk mencari alasan penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pertanyaanpertanyaan seperti mengapa Tuhan memberikan ini kepadanya, bukan kepada orang lain?; apa kesalahan yang pernah kuperbuat ? dan sebagainya terus menerus ada di kepala mereka. Kedua responden cenderung untuk terus menerus melakukan refleksi terhadap kesalahan atau keadaan apa yang mungkin pernah dilakukannya sebelum itu. Namun keduanya samasama mengatakan merasa tidak pernah melakukan hal-hal yang dirasakan menyimpang, salah atau bertentangan dengan agama, ataupun norma yang berlaku. Pada tahap ini identitas diri yang lama masih terlihat masih kental. Namun kedua responden mulai bimbang karena respon atau reaksi dari keluarga sebagai significant others ataupun orang lain (generalized others) terhadapnya, dimaknainya diluar dari kebiasaannya.
189
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
B. Perilaku Responden Pasca Musibah Kesadaran responden terhadap apa yang terjadi pada dirinya menimbulkan konflik batin pada dirinya. Mereka mulai melakukan perilaku-perilaku menyimpang dari kebiasaanya sebagai penolakan dirinya terhadap situasi tersebut. Responden menarik diri dari lingkungannya. Bertindak seperti bukan dirinya atau tidak sebagaimana biasanya. Kedua responden sama-sama mengakui tidak merasa nyaman bila berinteraksi dengan orang lain begitu pun ketika berada diantara orang banyak. Mereka merasa belum siap dan khawatir dengan respon orang lain terhadap dirinya yang tidak mengenakkan. Padahal secara fisik keadaan mereka baik-baik saja, hanya wajahnya saja yang membuat mereka kurang percaya diri. Responden pertama berubah sifat menjadi pemurung, mudah tersinggung, emosional dan lebih senang mengurung diri. Meski tidak menolak siapa pun yang datang menjenguknya, ia lebih suka tidak membicarakan musibah yang menimpanya. Ia tidak suka dengan respon orang lain yang menunjukkan rasa kasihan pada dirinya. Ia pun tidak bersedia hadir dalam rapat-rapat paguyuban istri tempat suaminya bekerja, dan memilih untuk tidak aktif dengan alasan sakit. Tak berbeda dengan responden pertama, responden kedua juga mengalami perubahan perilaku. Ia menjadi agresif, mudah tersinggung, emosional dan lebih suka menyibukkan dirinya di rumah terutama di dapur. Ia tidak ingin memikirkannya tetapi juga belum siap aktif seperti biasa untuk keluar rumah. Ia belum siap menanggapi respon dari tetangganya atau siapa saja yang melihat dirinya. Ia tidak ingin hadir dalam pertemuanpertemuan arisan atau pengajian di sekitar rumahnya yang sebelumnya hampir tidak pernah dilewatkannya. C. Bagaimana Membangun Konsep Identitas Baru Sepertinya responden jemu dengan konflik-konflik internal yang dihadapinya. Mereka menyadari kehidupan harus tetap berjalan. Konflikkonflik internal pada diri responden dijawab dengan logika kesadarannya. Proses kesadaran ini unik sifatnya dan tergantung potensi kesanggupan masing-masing individu. Proses ini sepertinya memerlukan waktu yang panjang dan sangat menentukan. Artinya bila responden mampu mengatasi konflik diri yang ia hadapi besar kemungkinan ia mampu merekonstruksi konsep identitas diri yang baru dengan lebih baik. Bila tidak, responden akan tetap menarik diri dari lingkungan dunia sosialnya. Kesadaran akan perlunya konsep identitas dirinya yang baru mulai dirasakan oleh responden. Tentu saja bukan mengubah total, tetapi lebih merupakan elaborasi dari konsep identitas sebelumnya. Responden ingin orang lain memandang dirinya bukan sebagai orang yang lemah dan perlu dikasihani. Sebaliknya ia ingin orang meresponnya sebagai orang normal biasa, atau paling tidak bukan sebagai orang yang berkepribadian lemah dan “cengeng”. Ia tidak ingin ada kata-kata atau perilaku orang lain yang cenderung memperlihatkan bahwa mereka adalah orang yang “berbeda”. 190
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
Mereka ingin orang lain melihatnya baik-baik saja seperti sebelumnya. Namun situasi dan kondisi wajahnya tak memungkinkan. Oleh karena itu mereka lebih suka untuk mencari solusi, menjalani apa yang menurutnya harus dijalani, dan berharap respon orang lain akan lebih baik. Goffman menyatakan hal yang seperti ini dalam teorinya tentang Dramaturgi. Responden melakukan manajemen diri (impression management) untuk memperoleh respon sebagaimana dimaksudkan melalui permainan peran pada front stage kehidupannya, dan menutupi ketidaksempurnaan wajah dan ketidakpercayaan pada dirinya pasca kecelakaan itu sebagai back stage kehidupannya. Konsep diri responden yang baru ini merupakan hasil negosiasi dan dialog pada dirinya sendiri. Ia berusaha untuk menata kehidupannya kembali dan bernegosiasi dengan segala situasi yang terasa berbeda pada dirinya. Responden berusaha membentuk atau meredefinisikan kembali konsep dirinya. Ia berupaya untuk menyusun dan menemukan kembali konsep dirinya yang dirasakan sempat tak menentu. Responden pertama lebih suka untuk mencari solusi untuk dirinya semaksimal mungkin sejauh itu membuat dirinya lebih nyaman. Ia bertekad untuk memperbaiki dirinya sendiri meski lingkungan seperti tidak mendukungnya. Ia bahkan bertekad tidak ingin pulang ke rumah sebelum ia bisa normal kembali. “Saya optimis bisa sembuh. “Saya mau coba sampe pol (berusaha maksimal-red). Badan saya tidak sakit hanya wajah saja yang perlu diperbaiki. Saya harus berusaha. Setelah sembuh baru saya pulang ke rumah (di Jawa Timur).” Ia aktif mencari informasi dari membaca majalah, membaca kisah-kisah orang lain yang mengalami hal yang hampir sama dengan dirinya. Hal ini memberikan banyak saran dan masukan untuk mengobati dirinya baik secara fisik maupun psikis. Namun begitu hanya itu yang dilakukannya. Ia tidak berminat untuk bertanya pada orang lain. Ia khawatir dengan respon yang mengasihani atau terasa tidak mengenakkan baginya. Hanya sesekali saja ia berdiskusi dengan suami dan ibu kandungnya atau keluarganya. Ia lebih suka memutuskan sendiri, begitupun ketika ia memilih dokter yang akan menanganinya; “Saya nggak sreg (cocok) dengan dokternya, yang belum apa-apa sudah langsung menyebutkan biayanya. Buat saya biaya memang nggak ada masalah, asuransi yang tanggung. Tapi bukan itu mau saya. Akhirnya saya memutuskan berobat ke Jakarta. Saya menemukan dokter yang mengerti apa kebutuhan saya. Dia menerangkan secara gamblang (jelas) apa yang dapat dan yang nggak bisa saya lakukan. Trus dia mengajak saya sama-sama berpikir mana langkah-langkah operasi yang terbaik…untuk 191
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
merekonstruksi wajah saya. Intinya ia lebih untuk membuat fungsi hidung dan geraham saya kembali normal. Soal mata dia malah melihatkan bukti bahwa syaraf mata saya yang sudah layu. Biar ke luar negeri pun, mata saya ini nggak akan pernah bisa normal kembali, jadi paling pakai protesa (mata palsu) untuk estetikanya. Saya mudah mengerti apa yang dimaksud. Dia juga nggak mau menyebutkan biaya untuk semua itu. Ia menyerahkannya pada bagian administrasi rumah sakit.” Responden pertama menjalani operasi demi operasi, berulang-ulang sehingga ia sendiri pun tidak ingat berapa kali. Sebelumnya rahangnya remuk, ia tidak mampu mengunyah, ia hanya makan makanan saring. Itu pun dengan bantuan sedotan. Namun sekarang ia sudah dapat melakukan ritual makannya seperti biasa. Tak ada masalah sama sekali. Hidungnya pun sudah berfungsi lebih baik. Namun itu semua bukan berarti semua kembali seperti semula. Bekas-bekas kecelakaan itu meninggalkan bekas yang tidak dapat dihapus. Tapi kesadarannya menerima semua kondisi ini dan ia pun berbesar hati menerima cacat mata kiri yang memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi, kecuali diberi mata palsu (protesa). Itupun dipahaminya hanya untuk sekedar estetika saja. Setelah fungsi faal atau fisik wajah terpenuhi, barulah ia memutuskan untuk menata kembali wajahnya agar bagian kiri dan kanan seimbang, begitupun hidungnya. Namun jalan tidaklah semulus yang diharapkan. Keadaan tubuhnya tidak bisa menerima implantasi itu sehingga semakin kecilah kemungkinan wajahnya dapat kembali mendekati keadaan semula atau normal. “Hasil operasi tidak bertahan lama. Implantnya turun. Dokter menyarankan implantasi dari badan sendiri. Caranya diambil dari tulang rawan telinga atau perut, wahh.,..pokoknya kok jadi dedel duwel gitu. Ah biarkan saja wajah saya begini kalau begitu, daripada malah menimbulkan luka baru, masalah baru, ada luka cowelan di sana sini. ” Begitupun dengan responden kedua yang berusaha keras mematuhi semua anjuran dokter, meski ia belum bisa mengerti dan paham apa dan mengapa dengan syaraf ke tujuhnya yang diduga terkena angin. Responden menjalani terapi secara rutin yang memakan waktu cukup lama. Ia menjalani terapi syaraf seminggu 3 kali dalam waktu sekitar 3 bulan lamanya. Namun penantian dan kesabarannya membuahkan hasil. Wajahnya dapat kembali normal seperti biasa. Pada tahap ini terlihat peranan orang-orang terdekat tidak begitu berarti bagi responden. Mereka cenderung ingin menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan orang lain terlalu banyak. Responden pertama menjalani pengobatan lebih banyak ditemani ibu kandungnya, sedangkan suaminya mengawasi anak-anaknya di rumah. Sementara responden kedua 192
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
dalam menjalani terapinya ditemani anak-anaknya secara bergantian dengan suaminya. D. Bagaimana Responden Mengadopsi Identitas Barunya Konsep identitas diri baru yang disadarinya ini membuat konflikkonflik internal dalam diri responden mulai mereda. Responden mulai mencoba menjalani proses pengobatan dan pemulihan lebih lanjut baik secara fisik maupun psikis. Hal ini diperlukannya untuk dapat membuatnya kembali normal. Namun mereka sama-sama menyadari bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sebagai upaya dan bukanlah jaminan membuat segalanya akan kembali seperti semula. Ia mulai mencoba melakukan impression management di depan orang lain bukan hanya sebatas digaungkan dalam logika pemikirannya saja. Responden pertama menjalani tahap ini selama beberapa kali operasi yang memakan waktu sekitar 2-3 tahun. Ia memang menemui banyak halhal baru yang harus dipelajari. “Saya sering kejeduk (terbentur) pintu,…dinding. Mungkin mata satu membuat penglihatan saya jadi kurang fokus. Tapi lama kelamaan dan juga dibantu kacamata, jadi saya tahu bagaimana caranya melihat dengan tepat, sehingga tidak pernah lagi kejeduk. Kacamata saya juga dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menyamarkan protesa saya. Meski begitu saya tidak bisa lagi bermain tennis, saya tidak bisa melihat bola sehingga saya tidak mampu bermain dan membalas bola yang datang kepada saya. Saya juga tidak berani menyetir mobil lagi di jalan raya yang ramai, karena saya tahu penglihatan kurang baik.Jadi hanya sesekali saja.” Ia menyadari harus menjalani kehidupan baru. Banyak hal yang tidak dapat dilakukannya lagi seperti biasa. Namun ia tetap tidak mau dikasihani. Ia masih merasa kurang nyaman dengan tatapan atau pandangan orang lain yang berbicara dengannya, apalagi kalau bukan keluarga atau kerabat dekatnya. Oleh karena itu ia masih cenderung menarik diri meskipun tidak seperti pada tahap deviasi sebelumnya. Bila hanya sekedar ke toko swalayan, berbelanja, dimana orang-orang melihatnya selewat saja, tidak menjadi masalah baginya. Namun ia masih enggan untuk duduk berhadapan dengan orang lain agak lama seperti dalam forum rapat. Bila tidak perlu sekali ia tidak akan hadir dalam paguyuban istri tempat suaminya bekerja. Responden kedua merasa perubahan yang terjadi pada dirinya dari hari ke hari tidak terlalu banyak. Namun ia berusaha untuk membiasakan diri dengan terapi yang harus dijalaninya. Selain di terapi syaraf di rumah sakit, ia juga menjalani terapi kompres air panas di rumah setiap hari. Ia tidak terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah, dan bersedia 193
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
untuk menerima tamu. Namun tetap tidak ingin keluar rumah bertemu dengan orang lain, selain dokter dan tim medis. Bila perlu pergi ke pasar, ia lakukan dini hari, saat suasana masih gelap. Menurutnya orang lain mungkin tidak akan terlalu memperhatikannya. Terlebih lagi, sejak saat itu ia menggunakan kerudung dan baju-baju berlengan panjang untuk menyamarkannya. “Saya belum naik haji, tapi saya menggunakan kerudung. Dibebatkan ke kepala. Ya hanya kalau terpaksa harus keluar rumah, seperti ke pasar atau ke rumah sakit. Selain menjaga agar tidak terkena angin lagi, wajah aneh ini juga tidak terlalu kentara kan ?” Baik responden pertama maupun responden kedua, sama-sama melakukan upaya untuk mendapatkan respon orang lain seperti yang mereka harapkan. Kesadaran mereka untuk bangkit, tidak begitu saja menerima kenyataan membuat mereka terus melakukan upaya untuk itu. Respon dari orang lain mulai tidak menjadi masalah lagi buat mereka. E. Bagaimana Responden dengan Identitas Barunya Seiring dengan berjalannya waktu, responden semakin lihai memainkan identitas barunya dengan impression management-nya. Respon dari orang lain yang dimaknainya positif membuat mereka lebih percaya diri. Kedua responden semakin berusaha menjalani hidupnya seperti biasa dan menjalani kehidupannya dengan lebih legowo atau ikhlas. Kesadarannya terhadap keadaannya membuatnya tidak menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka merasa menemukan kembali kepercayaan diri kembali dengan melakukan permainan impression management. Mereka melakukan pengelolaan diri dengan menyembunyikan back stage kehidupan mereka yang mereka akui sebagai “ketidaksempurnaan”. Hal ini mereka lakukan untuk menjadi diri yang mereka harapkan di mata orang lain. Orientasinya ingin selalu dianggap biasa atau normal seperti orang pada umumnya. Beruntung bagi responden kedua yang hanya melewati masa krisis identitas hanya sementara saja. Bagi responden pertama tidaklah demikian. Namun rasa percaya dirinya kuat untuk menjadi normal seperti semula lagi. Saat ini ia tidak ragu lagi untuk berpergian keluar kota sendirian dengan menggunakan transportasi umum. Ia tidak lagi merasa canggung bertemu dengan orang lain sebatas orang-orang yang biasa berada di sekitranya atau mereka yang mengetahui kejadian yang menimpanya. Ia pun tidak segan lagi untuk datang menghadiri rapat bahkan undangan hajatan atau bertemu dengan teman-temannya sekalipun. Diskusi Mempelajari transisi identitas seseorang tidak mungkin dipelajari dengan pendekatan objektif. Konsep identitas diri seseorang itu merupakan pengalaman subjektif dan unik sifatnya. Tidak pernah ada yang sama 194
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
meskipun manusia itu terlahir kembar identik. Oleh karena proses transisi identitas ini merupakan pengalaman subjektif, maka cara yang terbaik untuk mengupasnya adalah dengan pendekatan subjektif. Pendekatan ini berusaha untuk mengupas permasalahan dari sudut pandang si pelaku sendiri yang mengalami dan menjalaninya. Identitas diri sebenarnya merupakan hasil proses konstruksi kesadaran seseorang terhadap respon atau reaksi orang lain ketika ia berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungan dunia sosialnya. Identitas ini merupakan cerminan dari bagaimana orang memandangnya. Identitas diri ini tidaklah statis. Dari hari ke hari bahkan dari waktu ke waktu akan terus berubah. Identitas pun dapat dimanipulasi untuk mendapatkan respon yang diinginkannya dari orang lain. Hal inilah yang terjadi pada transisi konsep identitas kedua responden penelitian, yang mengalami cacat pada wajahnya secara mendadak. Ketika keduanya menyadari ia tidak mendapatkan respon yang diharapkan, atau ketika identitas yang ada sudah tidak dirasakan sesuai lagi dengan keadaan, maka mereka pun berupaya untuk yang menginternalisasi identitas dirinya pada identitas baru. Namun pergulatannya tidak semudah itu. Perbedaan respon lingkungan dunia sosial mereka membuatnya seperti berada dalam dilema. Mereka mengalami krisis perasaan dan konsep diri. Adanya cacat fisik membawa pengaruh terhadap keadaan psikologis dan tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Apabila kesadaran intersubjektif mereka terhadap lingkungan terbatas, maka boleh jadi mereka merasakan kondisinya menjadi penghambat aktivitas. Tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa para penyandang cacat seringkali gagal dan mengalami kesulitan mengendalikan emosinya menghadapi ketidakpuasan respon atau reaksi lingkungan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Dunia sosial kita memang sudah terlanjur memandang sebelah mata kepada mereka penyandang cacat. Suka atau tidak suka inilah realita yang ada. Perspektif charity atau “kasihan” kepada manusia yang normal kepada para penyandang cacat tidak membawa banyak perubahan. Yang terjadi adalah justru membuat mereka semakin dipinggirkan dari masyarakat karena terus menerus direspon sebagai orang yang memiliki “penyimpangan”. Dari penelitian ini dapatlah diketahui bahwa perlakuan lingkungan dunia sosial sekitar responden yang cenderung memberi “rasa kasihan” membuat mereka menjadi canggung dengan ketidaksempurnaan ini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila mereka selalu berusaha untuk menjadi “normal” dengan selalu berorientasi pada mereka yang normal.
195
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
Dari hasil penelitian dapat dibuat tipikasi babak transisi identitas berikut ini ; 1. Identifikasi Diri Merupakan tahap dimana responden berusaha untuk mengenali keadaan dirinya sendiri sebelum dan setelah perubahan terjadi. Konsep diri yang lama disini masih kental sekali sehingga kebimbangan dan keraguan tentang dirinya kerap terjadi. Kedua responden banyak mengalami konflik-konflik internal. 2. Berperilaku Disasosiasi Kesadaran diri responden akan perubahan pada dirinya menyebabkan dirinya merasa berbeda dari lingkungan dunia sosial sekitarnya, sehingga mereka bereaksi atau meresponnya secara negatif. Mereka cenderung mudah tersinggung, agresif, emosional dan menarik diri dari lingkungannya atau berinteraksi hanya bersama orang-orang yang dipilihnya saja terutama keluarganya. 3. Negosiasi Merupakan tahap yang rawan dan paling lama. Konflik internal disini dinegosiasikan dengan potensi logika kesadaran masingmasing responden, sehingga mereka mulai bangkit menyusun dan mengkonstruksi konsep identitas yang baru. Konsep identitas yang lama bukanlah hilang sama sekali tetapi menjadi pijakan mereka untuk meredefinisikan kembali konsep identitas diri mereka sehingga kehidupan yang dihadapi menjadi lebih nyaman untuknya. 4. Penyesuaian Diri Pada babak ini, responden mulai beradaptasi, mencoba dan belajar bagaimana memainkan impression management, mengelola konstruksi konsep identitas dirinya pada aktivitas kehidupannya ketika berhadapan dengan orang lain. 5. Normalisasi Kedua responden sudah mampu mengatasi keadaan transisi identitas dirinya dan tahu bagaimana menghadapi respon reaksi ketika berhadapan orang lain. Mereka semakin mulus memainkan front stage kehidupannya dengan “menyembunyikan” sisi back stage kehidupannya yang dianggap orang pada umumnya sebagai “ketidaksempurnaannya”. Tipikasi di atas unik dan kasuistik saja sifatnya. Tipikasi ini merupakan pengkristalan data hasil penelitian sebagai second order construct yang dimaksud oleh fenomenologis Alfred Schutz. Hal ini menggambarkan bahwa perubahan konsep identitas ini tidaklah begitu saja terjadi. Ada tahapan-tahapan tertentu yang dilaluinya. Perlu juga digarisbawahi di sini bahwa latar belakang responden dan keluarganya juga turut menentukan transisi konsep identitas diri masing-masing responden. Ada kemiripan pada keluarga kedua responden ini. Pihak keluarga berusaha untuk memperlakukannya seperti orang yang normal biasa saja. Dalam arti mereka tidak menunjukkan kesedihan. Rasa 196
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
empati dan keprihatinan ditunjukkan dengan tingkah laku mereka yang biasa-bisa saja seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka lebih bertoleransi dengan ketidakmampuan responden tanpa harus berkata-kata dan tanpa harus ditunjukkan secara nyata. Sejak kecelakaan terjadi, pihak keluarga tidak pernah membicarakan masalah itu secara serius dan tidak pernah pula melakukan acara dokumentasi pemotretan keluarga hingga keadaan menjadi lebilh baik. Mereka justru lebih sering melakukan kegiatan acara keluarga yang mengutamakan kebersamaan untuk menguatkan keadaannya. Pujian dan dukungan atas keberhasilan suatu operasi, treatment atau terapi pun tidak pernah berlebihan. Karena itulah responden tidak merasa asing atau menjadi orang lain ketika berada dalam lingkungan keluarga terdekatnya. Dalam kasus ini, daya terbesar bagi seseorang untuk berperilaku positif terlihat dari bagaimana kesanggupan potensi kesadarannya sehingga ia mampu berpikir dan melakukan interpretasi atau pemaknaan, menyaring serta mengambil inti sari hal-hal yang positif dari lingkungan dunia sosialnya. Kesanggupannya ini merupakan potensi unik yang membuatnya mampu bertahan hidup menghadapi apapun situasi dihadapannya. Potensi kesanggupan kesadaran ini memudahkan seseorang untuk mengubah atau memanipulasi identitas dirinya sesuai dengan realitas atau kondisi yang dihadapinya. Semakin halus permainan front stage back stage – nya, semakin halus ia melakukan manajemen diri sehingga ia seolah-olah menyatu dengan realitas sosialnya. Seperti sifat air yang selalu merubah bentuknya sesuai dengan wadahnya, seseorang dapat memanipulasi identitas dirinya sesuai wadah yang dimauinya. Jadi dapat dikatakan seolah-olah tidak ada realitas yang memang realitas sebenarnya. Kesemuanya itu hanyalah konstruksi kesadaran manusia. Hanya moral dan etika agama seseoranglah yang dapat mengarahkan kesanggupan itu kepada hal yang positif. Kualitas hidup manusia, apapun keadaannya dapat ditingkatkan dengan memahami dan memperbaiki komunikasi yang dilakukannya dengan sesamanya. Komunikasi yang baik dengan mempertimbangkan respon atau reaksi yang diakibatkannya akan menimbulkan efek yang baik pula. Dari interaksi inilah setiap orang dapat menggali potensi-potensi kesadaran dirinya untuk menjadi sehat dan berpikir kreatif. Kegagalan mewujudkan potensi ini cenderung lebih disebabkan karena pengaruh lingkungan yang salah sehingga menimbulkan interpretasi atau penafsiran yang salah pula. Namun hal itu dapat diatasi apabila individu mau menerima apa yang sudah inherent dikodratkan kepadanya dan mengerahkan kesadarannya (berpikir aktif, refleksi) serta menghargai kehadiran dirinya sendiri di tengah lingkungan dunia sosial sekitar mereka.
197
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 2, Juli 2009: 179-199
Daftar Pustaka Anderson, James A. 1987. Communication Research. USA : The McGraw Hill Campbell,Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius Cuff, E.C., & G.C.F.Payne.1981. Perspective in Sociology. London : George Allen & Unwin Davis, Fred. 1972. Illness, Interaction and The Self. California : Wadsworth Publishing Company Dahnke, Gordon L. 1982. Communication Yearbook 6 : Communication Between Handicapped and Nonhandicapped Persons : Toward a Deductive Theory. USA : Sage Publications Denzin, Noman. K,. & Yvonna S. Lincoln. 2000. Handook of Qualitative Research. USA : Sage Publications Griffin E.M. 2000. A First Look at Communication Theory. USA ; The MacGraw-Hill Iantaffi, Alessandra. 2001. Women in Action, No.2 : Disabled Women’s Lives. Manila : ISIS International Jones, Philip. 1985. Theory and Menthod in Sociology : A Guide for The Beginner. Slough : University Tutorial Press Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. USA : Wadsworth Publising Company Maxwell, Joseph A. 1996. Qualitative Research Design. USA : Sage Publications Miller,
Katherine.. 2002. Perspectives, Processes, dan Context Communications. USA : Wadsworth Publising Company.
Theories
Mulyana, Deddy. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Musgrove, Frank.1977. Margins of The Mind. London : Methuen & Co.LtD. Yin, Robert K. 1997. Studi Kasus, Desain, dan Metode. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Sumber lain : Siswandi. 2003. Artikel : Menagih Hak Para Penyandang Cacat. http://www.nakertrans.go.id/berita_mass_media/B_tenaga kerja/2002 Zulkarnain, Iskandar. 2003. Disertasi : Hubungan Antara Efektivitas Komunikasi Antarpribadi dengan Pembentukkan Konsep Diri Melalui Penyesuaian Diri 198
Rini Sudarmanti Transisi Identitas : Studi Kasus pada Perempuan Dewasa Penyandang Cacat Bukan Bawaan
Pada Penyandang Cacat Fisik Bukan Bawaan Usia Dewasa Awal. Bandung : Pascasarjana Unpad Kumpulan Jurnal Interaksi Simbolik (Hand Out Mata Kuliah Teori-Teori Komunikasi Kontemporer, Bandung, UNPAD, 2005) : Seroussi, Vered Vinitzky & Robert Zussman. 1996. High School Reunions and the Management Identity. New York : JAI Press Inc. Schmid, Thomas J. & Richard S. Jones. 1991. Suspended Identity:Identity Transformation in Maximum Security Prison. New York : JAI Press Inc. Karp, David A.,Lynda Lytle Holmstrom & Paul S. Gray. 1998.Leaving Home for College : Expectations for Selective Reconstrruction of Self. New York : JAI Press Inc.
199