Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
TRANSFORMATIVE LEARNING DALAM MEMBANGUN PESANTREN BERBASIS MULTIKULTURAL Syamsul Ma’arif Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Abstrak Semangat membangun pesantren berbasis multikultural, harus diawali dengan perubahan fundamental dalam proses belajar mengajar di pesantren, menuju ke arah transformative learning. Pendidikan pesantren yang cenderung monolog (kaku dan satu arah antara kiyai-santri), perlu digeser ke arah sistem dan metode dialogis-kritis. Dari sistem “pengajian” dan mono-disipliner ke arah “pengkajian” serta bersifat interdisipliner studies. Dengan harapan pesantren yang terkenal sebagai lembaga pendidikan yang selalu berdimensi metafisik ini, terbiasa dengan “perbedaan” dan responsive terhadap perkembangan zaman. Selain itu, pesantren perlu mempersiapkan kurikulum yang dapat menumbuhkan multikulturalisme serta mampu menggali sisi –sisi perdamaian dan toleransi. Tujuan transformative learning di pesantren berbasis multikultural tiada lain adalah mempersiapkan generasi yang inklusif dan akomodatif terhadap keanekaragaman masyarakat, yang memiliki perbedaan agama, etnis dan kultur. Santri yang memiliki wawasan luas dan mampu melintas batas tradisi dan keagamaan serta memiliki kepedulaian terhadap peran agama dalam memecahkan problem sosial yang ada. Kata kunci: pesantren, multikultural dan transformative teaching
TRANSFORMATIVE TEACHING AND DEVELOPING MULITICULTURAL-BASED PESANTREN Abstract The spirit of developing a multi-cultural-based pesantren must begin with a fundamental change in the teaching and learning process towards transformative teaching in pesantren. Pesantren education which tends to monologues (rigid and one-way between the kyai and santri) has shifted towards a system and method of critical dialog. From pengajian system and monodisciplinary to the assessment and interdisciplinary studies in nature. With the hope that pesantren which is known as metaphysic dimension educational institution will be used to differences and be responsive to changes. Besides, pesantren needs to prepare the curriculum which can encourage multi-culturalism and discover aspects of peace and tolerance. The objective of transformative teaching in multi-culture-based pesantren is not more than preparing generation which is inclusive and accomodative to highly varied societies, which have religious, ethnic, and culture differences. The santri produced are those who have wide horizon and are able to cross over tradition and religious borders are concerned with the role of religion in solving social problems. Keywords: pesantren, multikultural and transformative teaching
58 - Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
multikulturalis.
PENDAHULUAN
Sebab,
pembelajaran
di
Membangun sebuah institusi pendidikan
pesantren lebih menekankan pada karakter
yang bertujuan untuk melahirkan peserta didik
moral dan indigenous budaya lokal Jawa.
yang
bisa
Sementara wajah Islam yang ditrasmisikan para
berinteraksi dengan semua komunitas dengan
kiai di pesantren pada dasarnya adalah Islam
keanekaragaman budaya, agama dan etnis
inklusif dan menebarkan kedamaian di muka
adalah sebuah keniscayaan. Lebih-lebih di era
bumi (rahmatan lil’alamin). Para kiai pesantren
globalisasi sekarang yang menuntut semua
biasanya
masyarakat dunia bisa bersatu dan bekerjasama
walisongo yang selalu mengajarkan sopan
dalam sebuah dunia yang disebut oleh Jan
santun, toleran dan menghormati budaya lokal.
memiliki
wawasan
luas
dan
Nederveen Pieterse (2004), dengan istilah “a single world society, global society”. Itu
artinya,
ajaran
para
Bahkan berkaca pada realitas sejarah, pada
dasarnya
pesantren dilahirkan untuk
memberikan respon terhadap situasi dan kondisi
masyarakat global, pesantren juga dituntut untuk
sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan
melaksanakan dan mengembangkan nilai-nilai
pada runtuhnya sendi-sendi moral melalui
yang
global
transformasi nilai yang ditawarkanya (amar
tersebut. Yaitu, sebuah sikap yang dapat
ma’ruf nahi munkar). Kehadiran pesantren bisa
menghargai
nilai-nilai
disebut sebagai agen perubahan sosial yang
Untuk
selalu melakukan kerja-kerja pembebasan pada
keperluan ini, penting bagi setiap kiai dan
masyarakat dari keburukan moral, penindasan
pengurus
kepada
dan kemiskinan. Selain itu, berdirinya pesantren
khalayak akan arti penting pesantren sebagai
juga memiliki misi untuk menyebarluaskan
wahana
informasi ajaran universalitas Islam keseluruh
tuntutan
dan
bagian
meneruskan
dari
menjadi
sebagai
juga
masyarakat
menerapkan
demokrasi, pluralisme dan HAM.
pesantren
menunjukkan
pencerdasan
masyarakat
dan
(empowering
pemberdayaan people)
dan
membentuk pesantren berbasis multikulturalis.
pelosok Nusantara yang berwatak pluralis (Saifudin Zuhri, 1999: 201).
Sebuah pesantren masa depan yang menawarkan
Tak salah jika melihat sosok pesantren,
konsep baru bagi para santri untuk menghadapi
terlepas dari segala kekuranganya yang oleh
tuntutan globalisasi.
Gerrtz dilukiskan sebagai “Sekolah Quran
Sebenarnya nilai-nilai seperti demokrasi,
Pedesaan”
yang
menjadi
arteri
yang
pluralism dan HAM sangat compatible dengan
memompakan darah segar ke seluruh tubuh
pesantren. Apalagi kalau melihat pesantren
umat Islam Indonesia. Para santri merupakan
sebagai sebuah lembaga pendidikan tertua di
sekelompok
Indonesia dan pada mulanya terkenal sebagai
ortodoksi dan keimanan sejati di tengah hutan
lembaga
belantara.
pendidikan
Islam
dengan
tujuan
kecil
Berbagai
orang
jenis
yang
mewakili
pesantren
yang
utamanya adalah mengajarkan ilmu-ilmu agama
berlokasi di kawasan pedesaan itu bercorak
dan akhlak mulia bagi para santri. Karakteristik
mandiri dan mistik yang merupakan kompromi
yang sangat menonjol di pesantren sebagai
(antara ortodoksi) dengan kepercayaan yang
lembaga
dianut kaum “abangan” (Abdul Aziz dalam
pendidikan
bisa
dikatakan
Transformative Learning dalam Membangun Pesantren
- 59
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
INSEP, 2011).
Tapi peran serta kontribusi
paradigm membangun kesadaran ala Paulo
pesantren dalam dinamika sejarah di Indonesia
Freire, hegemoni dari Gramsci dan Hebermas.
tidak
Meziro mendefinisikan Transformative Learning
bisa
dianggap
“enteng”.
Bukankah
pesantren terkenal sebagai penjaga moral dan
adalah
sebuah
proses
pembela idiologi pancasila yang tangguh?
mentrasformasikan cara pandang kita yang taken-for-granted.
dimana
Dimana
dalam
kita
proses
MENUJU TRANSFORNATIVE LEARNING
pembelajaran lebih menekankan pada berpikir
DI PESANTREN
reflektif dan dialog terbuka (Zamroni, 2011).
Melihat gambaran sepintas pesantren di
Model
transformative
learning
perlu
atas, dapat dikatakan sesungguhnya pesantren
diterapkan
pada wataknya sangat pluralis dan akomodatif
melakukan perubahan ke arah sikap untuk bisa
dengan keanekaragamana yang menjadi karakter
menerima kenyataan sesungguhnya perbedaan
bangsa Indonesia. Pertanyaanya yang muncul
adalah
kemudian adalah; apakah pesantren masih
multikultural—dan bisa saling menghormati dan
menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebajikan
bekerjasama demi kedamaian abadi di dunia ini.
terutama
Pesantren perlu melakukan gerakan penyadaran
menyangkut
Pembelajaran diterapkan
seperti dalam
nilai
multikultural?
apakah
yang
pesantren
dapat berbasis
di
pesantren
untuk
sunnatullah—sebuah
keperluan
ciri
dari
dengan meletakkan pesantren dalam proses transformasi
dalam
keseluruhan
sistem
multikultural? Sebab melihat pembelajaran di
perubahan sosial. Setiap usaha pesantren perlu
pesantren selama ini oleh banyak kalangan
melakukan transformasi hubungan antara kiyai
dilihat justru sangat berlawanan dengan nilai-
sebagai fasilitator dan santri sebagai murid
nilai globalisasi tersebut. Sebab tramsmisi
pesantren. Dengan kata lain perlu ada perubahan
keilmuan
biasanya
pandangan di pesantren dari teacher centered ke
menggambarkan komunikasi tatap muka, oral,
arah student centered dengan penekanan pada
dan personal. Bahkan Zamaksyari Dhofier
paradigma kritis.
yang
dipraktekkan
menyebut interaksi komunikasi antara kiai-santri
Selain itu, model transformative learning
di pesantren tidak equel (setara), pembelajaran
tersebut bisa merangsang pemahaman, peran
pun cenderung bersifat satu arah: kiai memberi
dan ketrampilan masyarakat pesantren. Secara
dan santri menerima (Dhofier, 1994). Inilah
efektif model ini akan memberikan panduan
model pembelajaran yang oleh Paulo Freire
dalam melakukan perbaikan atau perubahan
disebut dengan istilah gaya bank.
pada
pesantren—terutama
terkait
upaya
Tentu saja, model pembelajaran seperti itu
penanaman dan transfer of knowledge tentang
kurang cocok bila diterapkan pada pesantren
nilai-nilai multikultural di masyarakat dan
yang berbasis multikultural. Sebab model yang
memberikan sejumlah pengalaman baru yang
cocok untuk pesantren berbasis multikultural
bermanfaat bagi pengembangan peran dan
adalah transformative learning. Dimana Konsep
memecahkan
dan
Seperti bagaimana masyarakat pesantren harus
paradigm
yang
melatarbelakangi
transformative learning adalah dipengaruhi oleh 60 - Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012
menanggulangi
permasalahan
dan
ikut
yang
dihadapi.
memecahkan
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
permasalah konflik dan sentiment keagamaan
group. Begitu pula pesantren harus merancang
yang sedang menghantui masyarakat Indonesia
menjadi sebuah lembaga pendidikan untuk
dewasa ini.
student of color—sebagaimana
Dalam konteks transformative learning di pesantren,
selain
memperhatikan
ungkapan
Banks, dalam bukunya An introduction to
persoalan
Multicultural education (2002: 22-23). Sehingga
paradigma seperti di atas. Pesantren juga perlu
terjadi peningkatan persamaan pendidikan bagi
merancang seperangkat kurikulum, tujuan dan
kelompok gender, dan santri
teknik atau metode yang harus digunakan agar
etnik, kelompok kultural, dan murid dengan
upaya
berbasis
pengecualian. Tujuan pesantren multikultural ini
multikultural bisa terwujud. Dalam kontek
berkaitan dengan pentingnya tujuan pendidikan
pesantren berbasis multikultural tujuan yang
global—untuk
harus
adalah
membangun kompetensi lintas budaya dalam
membentuk santri yang berwatak pluralis.
sebuah budaya yang melintas dari ikatan
Maksudnya, pesantren harus mempersiapkan
nasional
sungguh-sungguh
dibutuhkan untuk mengerti bagaimana seluruh
membangun
pesantren
direalisasikan
pesantren
para
santri
yang
bisa
membantu
mereka
manusia
tengah
berhubungan satu sama lain.
Untuk
keperluan
ini,
pesantren harus menjadi sebuah pendidikan
hidup
murid
(
santri)
pemahaman
menerima dan menyakini adanya perbedaan di masyarakat.
yang
dan
dari berbagai
di
dunia
ini
yang
bisa
Terkait trasnformasi kurikulum tersebut,
sebagaimana ungkapan Sleeter (dalam Burnet,
terdapat
beberapa
pendekatan
1991: 1) sebagai any set of proces by which
diperhatikan
schools work with rather than against oppressed
multikultural sebagai berikut:
oleh
pesantren
yang
perlu
berbasis
Level 4 The Social Action Approach: Santri membuat keputusan pada isu-isu sosial yang penting &problem solving
Level 3 The Transformation Approach: Struktur kurikulum dirubah agar memungkinkan santri melihat konsep,isu, dan tema dalam prespektif perbedaanetnik & kelompok budaya
The Additive Approach: Isi, Konsep, Tema, dan prespektif ditambahkan ke Kurikulum tanpa merubah struktur
Level 1 The Contribution Approach: Fokus pada para pahlawan, hari libur & elemen-elemen budaya tersendiri
Disarikan dari James A.Banks (2002: 30)
Gambar 1. Transformative Learning dalam Membangun Pesantren
- 61
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
Selain perlu
mereformasi
kurikulum,
berwawasan multikulturalisme. Sebab, semua
dalam rangka menuju Transformative Learning,
maklum
pesantren sebaiknya juga merubah pendekatan
pendidikan memegang kunci (key Person).
yang selama ini dipakai dan biasanya terpusat
Mustahil jika berkeinginan memproduk manusia
pada kiyai dan cenderung monolog (satu arah).
yang
Maka pendekatan yang relevan adalah lebih
keagamaan orang lain, sementara kiyainya
menitikberatkan pada pendekatan yang lebih
sendiri berwawasan sempit. Kiyai pesantren
mengalir dan komunikatif. Agama para santri
seharusnya
yang memiliki berbagai aliran dan mazhab pun,
pengetahuan
agama
dapat
berwawasan
kebangsaan
dijadikan
sebagai
materi
untuk
sesungguhnya
mampu
kiyai/guru
melintas
selain
batas
harus
dalam
tradisi
memiliki
yang
luas
serta
dan
ilmu
sekaligus beraqidah
didiskusikan dan didialogkan dengan mencoba
inklusif untuk mengajar materi agama kepada
membandingkan dengan aliran,
anak-anak kita. Semua ini, demi terciptanya
agama dan
kepercayaan orang lain. Sehingga, pada tataran
harmonisasi dan
ini, mereka dapat menemukan momentum untuk
ramah, saling menyapa dan berinteraksi satu
saling
sama lain di Republik tercinta.
mengenal
dan
menghormati
keanekaragaman budaya dan agama.
Terkait
Model dialog dan perbandingan tersebut
seperangkat
kehidupan beragama yang
pesantren isi
atau
harus bahan
memililiki yang
akan
jangan berhenti pada tataran wacana saja, seperti
ditransformasikan kepada peserta didik agar
yang selama ini berlaku di dalam pendidikan
menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan
kita atau di pesantren. Bahkan hanya terkesan
identitas di masa depan. Pesantren perlu
membanding-bandingkan saja antara satu agama
melakukan
dengan agama lainya. Tetapi harus bisa lebih
sebagaimana penjelasan James A. Bank (2002:
dari
yang
21) yang memungkinkan perubahan paradigma
memungkinkan para peserta didik bergaul dan
kiyai-santri dalam melihat perbedaan ras, etnik,
berinteraksi secara langsung dengan orang yang
kultur dan kelompok gender.
itu,
memiliki
dengan
membuat
perbedaan
wahana
keimanan.
Harapanya,
transformasi
menyusun
peserta
memperhatikan
bisa
melakukan
“melintas”
,
Untuk keperluan itu, sudah saatnya dalam
meminjam ungkapan John S.Dunne (1972), para didik
kurikulum
kurikulum
seperti;
pesantren
asas-asas asas
dapat
pembentukan
(passing over), melintas dari satu budaya kepada
kurikulum
agama,
filosofis,
budaya lain. Kemudian diikuti oleh proses yang
psikologis dan sosiologis. Pesantren harus
sama dan berlawanan yang disebut dengan
menyusun kurikum yang baik, yaitu kurikulum
“kembali” (coming back), kembali dengan
yang menyediakan bahan-bahan yang dapat
wawasan baru kepada budaya sendiri, cara hidup
membantu murid, pemuda dan orang dewasa
dan agama sendiri.
untuk berkembang. Jadi kurikulum yang baik
Untuk merealisasikan gagasan pendidikan
adalah seperti fungsi suatu laboratorium. Ia
yang mengedepankan sikap saling menyayangi
selalu rentetan kontinyu suatu eksperimen dalam
kepada seluruh manusia tersebut, tentu saja
semua pelakunya (kiyai dan santri). Kurikulum
harus
pesantren
didukung
dengan
kiyai-kiyai
62 - Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012
yang
bersifat
lentur,
eksploratif,
dan
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
mencoba apa yang belum bisa dicoba, bergerak
menciptakan masa depan yang lebih baik bagi
secara
masyarakat.
dinamis,
perkembangan
serta
mampu
minat,
mendorong
bercorak
tekhnologis,
dan
melihat kurikulum sebagai proses teknologi
kalau
untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki
meminjam ungkapan John D. Mc Neil (1998: 5),
pleh pembuat kebijakan. Keempat, kurikulum
pesantren perlu membagi kurikulum ke dalam
yang berorientasi akademik, hal ini sebagai
empat bagian yaitu; pertama, kurikulum yang
upaya peningkatan intelektual dengan cara
berorientasi
memperkenalkan
kemampuan
dengan
berperilaku
Ketiga,
praktis.
pada
demikian
Sedangkan
Humanistik. harus
Kurikulum
berorientasi
bagi
dan
kurikulum
bertanggung bercorak
terhadap
berbagai
macam pelajaran yang terorganisir dengan baik.
pertumbuhan dan integritas pribadi santri secara bebas
santri
Proses
pendidikan
pesantren
harus
jawab.
Kedua,
senantiasa mencoba membantu para santri untuk
rekontruksi
sosial.
membangun identitas mereka
secara kultural,
Maksudnya, kurikulum sebagai alat untuk
nasional dan global sekaligus. (Banks, 2007: 24-
mempengaruhi
25).
perubahan
sosial
dalam
Cultural Identification
National Identification
Global Identifikation
Gambar 2.
Dimana untuk keperluan seperti itu,
Dan demi kepentingan nasional mereka
pesantren perlu membuat kurikulum yang bisa
tidak sungkan atau canggung untuk berinteraksi
membentuk karakter khusus para santri untuk
dengan masyarakat dengan latarbelakang agama
bisa berperilaku sesuai dengan norma dan nilai-
dan
nilai pesantren. Mereka masih menghormati
memiliki logika berfikir yang antagonistik, yaitu
kiyai, ta’dzim pada ustad, serta mencium tangan
sering menilai kelompok yang satu lebih baik
ketika bertemu dengan para sesepuh.
dari kelompok yang lain. Jawa lebih mulia dari
etnis
yang
berbeda—apalagi
sampai
luar jawa, kulit putih lebih baik dari kulit hitam, Transformative Learning dalam Membangun Pesantren
- 63
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
dan seterusnya. Sikap meremehkan budaya
berbeda-beda itu mempunyai hak untuk hidup
orang lain dan menganggap budaya sendiri lebih
dan berkembang. Para santri harus diajak
unggul seperti ini oleh Donna M. Gollnick &
menyadari bahwa sebagian besar keunikan kita
Philip C. Chinn (2006: 19) disebut dengan
itu ditentukan oleh kondisi alam dan budaya,
istilah Ethnocentrism. Biasanya ditandai dengan
dan sebagian lagi ditentukan oleh pilihan
ketidakmampuan untuk melihat budaya orang
masing-masing individu. Akhirnya, merekapun
lain sejajar dan sebagai alternatif yang dapat
akan menyadari bahwa tidak semua keunikan di
hidup terus untuk mengatur realitas.
dunia ini dibentuk oleh pilihan bebasnya sendiri.
Bahkan kalau bisa, para santri jebolan
Mereka tidak bisa dengan bebas memilih
pesantren mampu ikut menetralisir stereotip dan
menjadi perempuan atau laki-laki, menjadi anak
prasangka
biasanya
gedongan atau hidup dibawah jembatan, atau
menurut Gordon W. Allport disebabkan oleh
ingin memiliki tubuh semampai atau gendut,
faktor keterlibatan struktur masyarakat dimana
hidung mancung atau pesek, berambut kriting
seseorang bertempat tinggal, tradisi budaya dan
atau lurus, dan seterusnya.
antarkelompok
yang
ekonomi yang berlangsung lama (Noel, 2000: 94). Prejudice yang sudah terbentuk dan beredar
PERAN PENTING PESANTREN DALAM
dalam masyarakat seperti ini, para santri harus
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
berusaha menghilangkanya, demi persatuan dan
Menghadapi realitas kemajemukan di
kesatuan bangsa Indonesia. Lebih-lebih setelah
Indonesia serta munculnya fenomena kekerasan
melihat
atas nama agama dan sekaligus membendung
realitas
adanya
banyak
konflik,
bahkan
kekejaman
yang
sikap prejudice, saling bermusuhan antara
dijalankan atas nama agama, yang terjadi
orang-orang yang beragama, maka diperlukan
belakangan.
Jelasnya,
langkah prefentif dan memiliki orientasi jangka
merefleksikan
tujuan
kekerasan,
yaitu;
dan
mampu
pesantren pendidikan
melakukan
harus pesantren
transformasi
panjang, Pesantren
yaitu
melalui
sebagai
salah
jalur satu
pendidikan. lembaga
kehidupan beragama itu sendiri dengan melihat
pendidikan agama juga dituntut berperan aktif
sisi ilahi dan sosial-budayanya. Pesantren harus
mensosialisasikan dan membangun perdamaian
mampu menanamkan cara hidup yang lebih baik
untuk saling menghormati dan mencintai sesama
dan santun kepada peserta didik. Sehingga
manusia.
sikap-sikap seperti saling menghormati, tulus,
Pesantren perlu menanamkan kesadaran
dan toleran terhadap keanekaragaman agama
akan karakteristik multikultural sebagai realitas
dan budaya dapat tercapai di tengah-tengah
bermasyarakat dan perlunya memegang teguh
masyarakat plural.
sifat tenggang rasa dan toleransi yang menurut
Lebih dari itu pesantren juga harus
Zamroni akan melahirkan suatu kesadaran baru
berwawasan global. pendidikan juga harus
bahwa kerjasama dengan segala perbedaan
mampu mengembangkan logika pluralitas, yaitu
merupakan kebutuhan mutlak yang tidak bisa
logika yang mengakui bahwa semua hal itu
ditinggalkan (zamroni, 2011: 115). Kesadaran
berbeda, tak ada yang sama, dan semua yang
seperti ini tentu tidak akan bisa muncul dengan
64 - Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
sendirinya dengan baik, melainkan diperlukan
harus saling merefleksi dan terlibat dalam arus
rekayasa, yakni suatu upaya yang disadari dan
perubahan. Keterlibatanya tidak hanya sebatas
direncanakan—termasuk
pada
lewat
pendidikan
pesantren ini.
kemampuan
untuk
mengadakan
peyesuaian diri terhadap perubahan, tetapi harus
Penyemaian bibit-bibit untuk bisa saling mengormati dan mencintai sesama manusia
lebih pada bagaimana pesantren menjadi agen perubahan sosial.
yang memiliki keanekaragaman budaya, agama dan etnis
lewat materi yang disediakan
itu mampu
Hal tersebut sangat mungkin dilakukan, sebab
peranan
pesantren
sebagai
sebuah
pesantren adalah mutlak diperlukan. Semua itu,
lembaga pendidikan yang oleh Roberta M.
agar para santri sebagai generasi muda di
Berns (2004: 157) disebut sebagai mikrosystem,
kemudian
trampil
sangat mempunyai andil yang besar dalam
lain.
membentuk watak peserta didik seperti yang
Sekaligus, para santri memiliki “etika global”
diharapkan. Pesantren disini tentu mempunyai
untuk
paham
fungsi sebagai lembaga sosialisasi dengan cara
tengah-tengah
menyediakan pengalaman (belajar) intelektual
hari,
berkomunikasi
terbiasa dengan
ikut
dan
masyarakat
melestarikan
multikulturalisme
ini
masyarakat.
mereka
Agar
di
dengan seluruh
dan
sosial
yang
dengannya
anak
elemen masyarakat bisa bergandengan tangan,
mengembangkan kecakapan (skills), minat, dan
saling tergantung dan menanggung nasib secara
sikap yang akan mensifati dirinya (menjadi
bersama-sama demi terciptanya perdamaian
karakteristiknya) sebagai individu dan yang
abadi.
akan membentuk kemampuannya menjalankan Kenapa
pesantren
dianggap
sebagai
peran sebagai orang dewasa kelak.
instrumen penting? Sebab, pesantren adalah
Jadi pesantren ke depan yang berbasis
sebuah lembaga pendidikan dan “pendidikan”
multikultural
sampai sekarang masih diyakini mempunyai
mempersiapkan para santri dalam menghadapi
peran
karakter
kehidupan. Maksudnya, di samping pesantren
individu-individu yang dididiknya, dan mampu
harus mempersiapkan para santri agar mampu
menjadi “guiding light” bagi generasi muda
mandiri, berinteraksi dan berkompitisi di era
penerus bangsa (John Sealy, 1986). Dalam
globalisasi sekaligus mempunyai keimanan kuat,
konteks
media
memegang tradisi keislamanan, juga dituntut
penyadaran umat perlu membangun inklusifitas
mampu menunjukkan perilaku yang baik, seperti
demi harmonisasi agama-agama (yang telah
menjaga keharmonisan dengan
menjadi
lain—sebagai
besar
dalam
inilah,
membentuk
pesantren
kebutuhan
sebagai
masyarakat
agama
sekarang).
buah
berupaya
dari
untuk
agama-agama
keimanan
dan
keislamanya.
Lebih dari itu, sebagai sebuah lembaga pendidikan,
harus
pesantren
merupakan
aspek
Itulah tantangan pesantren masa depan, yang
tidak
hanya
bertanggung
nilai-nilai
moralitas
jawab
kehidupan yang sangat penting, satu hal yang
melestrasikan
tak bisa dipisahkan dari masyarakat, terutama
pesantren sebagaimana sering diajarkan dalam
sekali pada masing-masing manusia. Semuanya
kitab-kitab kuning, tetapi juga ikut melestarikan Transformative Learning dalam Membangun Pesantren
khas
- 65
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
dan
membudayakan
kemajemukan.
pesantren perlu menerapkan “Asas Tri-Kon”,
Pesantren harus mengajarkan kepada para santri
yaitu kontiyuitas: pesantren sekarang harus
bahwa perbedaan adalah fakta dan realitas yang
melanjutkan
dihadapi manusia sekarang. Maka, mereka
Konvergensi: pesantren perlu bertemu dengan
didorong
bahwa
masyarakat lain dan tidak terisolasi, dan ketiga,
multikukulturalisme memang sungguh-sungguh
konsentrisitas: setelah bertemu dengan nilai-
fitrah kehidupan manusia. Dengan meminjam
nilai dan kebudayaan masyarakat lain, pesantren
unkapan Ki Hadjar Dewantara (2004: 227-228),
jangan kehilangan identitas.
menuju
paham
kesadaran
kehidupan
masa
silam.
Kontiyuitas
Pesantren Berbasis Multikultural
Konsentrisitas
Konvergensi Gambar 3.
Pesantren harus sadar, bahwa hidup di
agama lokal pada masa lampau. Sebagai contoh,
negeri yang terkenal majemuk seperti Indonesia
tradisi tahlilan, selametan, berjanji, dan lain-lain.
ini perlu bersikap inklusif, fleksibel.
Pesantren
humanis
dituntut
dan
senantiasa
Kebudayaan dan kearifan lokal pesantren seperti
itu,
dalam
prespektif
mewariskan ajaran-ajaran luhur yang melekat
sebagaimana
dalam tradisi pesantren yang terkenal dengan
merupakan salah satu akar adanya kebajikan
sifat akomodatif dan menghargai kebudayaan
(Virtue ethics). Local wisdom sangat berperan
agama lain. Karena pada kenyataanya sampai
dalam mengatur penerapan kebajikan yang mana
sekarang banyak ditemukan hasil peninggalan di
telah menjadi watak umum untuk dilakukan
pesantren
budaya
dalam situasi etika khusus. “For virtue makes
maupun seni, yang menggambarkan proses yang
aim at the right mark, and practical wisdom
disebut Donna M. Gollnick & Philip C. Chinn
make us take the right means” (Sprod, 2001:88).
(2006: 30) dengan istilah asimilasi. Dimana
Apalagi kearifan local pesantren,
kelompok budaya yang berbeda dapat menjadi
tidak harus diakui sebagai salah satu faktor yang
bagian atau menyatu menjadi kelompok dengan
memiliki kontribusi bagi perekat dan pemersatu
mengadopsi budaya dominan. Dalam hal ini
masyarakat di tanah air. Tradisi pesantren yang
antara kebudayaan Islam dan tradisi agama-
mengandung unsur-unsur lokal tersebut, mampu
tradisional—baik
berupa
dinyatakan
oleh
filosofis Aristoteles
sadar atau
membangkitkan semangat kebersamaan dan 66 - Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
persaudaraan
diantara
masyarakat
dengan
perbedaan keimanan dan keyakinan.
menghormati dan menghargai orang lain, telah menjadi semacam kultur di pesantren. Praktik
Dengan begitu, pada tataran teologis,
pengajaran yang diterapkan di pesantren juga
pesantren pada wataknya adalah bukan pasif,
sudah berbasis multikultur. Sebab, meskipun
tektualis, dan eklusif. Melainkan menerapkan
para santri yang datang ke pesantren biasanya
teologi
saling
memiliki latarbelakang yang berbeda, dari status
mengakui eksistensi, berfikir dan bersikap
ekenomi, budaya dan etnis. Tapi ketika mereka
positif, serta saling memperkaya iman. Hal ini
sudah
dengan tujuan untuk membangun interaksi umat
biasanya,
beragama dan antarumat beragama yang tidak
mengikat mereka untuk berperilaku sesuai
hanya berkoeksistensi secara harmonis dan
atauran-aturan di pesantren. Pesantren dengan
damai, tetapi juga bersedia aktif dan pro-aktif
begitu, sebenarnya dari awal para santri masuk
kemanusiaan.
dan mengenal dunia pesantren—telah mampu
yang
saling
menghormati,
masuk
dalam
ada
komunitas
nilai-nilai
memperkenalkan
pesantren
moralitas
pentingnya
yang
persaudaraan
MENGEMBANGKAN KULTUR
diantara para santri yang mempunyai perbedaan
INKLUSIFISME PESANTREN
latarbelakang—dalam satu ikatan nilai dan
Mengembalikan citra pesantren sebagai lembaga yang senantiasa mengajarkan toleransi umat
beragama
dan
Prinsip
menghormati
dan
menolong
sangat
sesama santri sangat ditekankan di pesantren.
memungkinkan. Terutama sekali pesantren pada
Lebih jauh dari itu, dalam literatur-literartur
dasarnya telah memiliki watak inklusif dan
klasik pesantren terdapat anjuran supaya para
terbuka dengan perbedaan. Maka salah satu
santri memegang tiga prinsip persaudaraan,
upaya untuk membentengi para santri agar
yaitu; Ukhuwwah Islamiyyah (Persaudaraan
terhindar dari radikalisasi agama, pesantren
karena agama Islam), Ukhuwwah Wathaniyyah
harus
(persaudaraan karena tanah air), dan Ukhuwwah
senantiasa
humanis
moralitas.
melestarikan
dan
mengembangkan nilai inklusifisme pesantren. Pesantren
karena
kemanusiaan). Relevan dengan persolan yang
demokratis, ini penting sekali untuk menunjang
terakhir inilah, sebenarnya di pesantren sudah
transformative learning di pesantren berbasis
ditanamkan sikap toleransi dan menghargai
multikultural.
sebagaimana
orang lain meskipun memiliki agama yang
penjelasan Zamroni (2011: 45) merupakan
berbeda. Bahkan di pesantren sangat terkenal
totalitas, organisasi way of life, termasuk nilai-
dengan ungkapan lakum dinukum waliyaddin
nilai,
yang
(untukmu agamamu dan untukku agamaku),
diwariskan antar generasi, dipegang bersama
sebuah prinsip yang bersumber langsung dari al-
yang mempengaruhi pola pikir, sikap dan pola
Qur’an.
Dimana
lembaga
membentuk
(persaudaraan
kultur
norma,
harus
Basyaraiyyah
kultur
dan
karya
tindakan seluruh warga (masyarakat pesantren).
Berdasarkan kenyataan tersebut, tak salah
Apalagi pesantren pada realitasnya telah
jika seorang peneliti Amerika bernama Ronald
memiliki kultur positif. Nilai-nilai inklusif untuk
A. Lukens-Bull dalam tulisan hasil penelitian Transformative Learning dalam Membangun Pesantren
- 67
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
disertasinya yang berjudul “Teaching Morality:
kamera.
Javanese Islamic Education In A Globalizing
kemudian, kamera dengan semua film yang
Era”, telah menggambarkan kepada kita betapa
digunakan. Bagi santri yang tidak berbagi,
para pemimpin pesantren sesungguhnya sangat
sanksi cukup menggoda atau pengingat tegas
menanamkan "moralitas tradisional" untuk para
agar mementingkan artinya persaudaraan Islam
santri yang akan berpartisipasi dalam, dan
dan pentingnya Ikhlas (BulI, 2000: 39-40).
bahkan
menyebabkan,
Indonesia
dalam
Tetapi,
biasanya
Karakteristik
dikembalikan
pesantren
dalam
modernisasi dan globalisasi. Moralitas ini
mengajarkan akhlak pada para santri tidak
diajarkan dalam pelajaran yang disebut ngaji,
berhenti pada teori saja tetapi sampai terjadi
yang melibatkan pengajaran dari sebuah teks
internalisasi yang mendalam (mendarah daging).
Arab. Namun, ngaji adalah satu-satunya awal
Meminjam teori Petalozzi, pengajaran moral di
dari pendidikan moral. Para kiyai pesantren
pesantren bukan hanya sekedar mengajarkan
biasanya
dan
kebaikan dengan kata-kata, tapi melalui praktik
dan
“ language of morality could not be taught by
moralitas, tapi mereka tidak bisa mengajarkan
worth of truth, it had to be taught by example
para santri untuk menjadi bermoral. Pendidikan
practice not preaching was the basis of moral
moral, dalam arti pengajaran perilaku moral,
education”
harus memiliki pengalaman. Pesantren berusaha
moralitas tidak bisa diajarkan lewat nilai
untuk menciptakan lingkungan di mana moral
kebenaran, tetapi dapat diajarkan melalui contoh
agama
praktik bukan mengajarkan dasar pendidikan
hanya
mengajarkan
bisa
santri
menekankan tentang
agama
dapat dipraktekkan serta dipelajari
(Bull,2000: 40).
adalah
1967:62)
(Bahasa
moral). Maka berbicara tentang inklusifisme
Nilai-nilai lain, yang sering diajarkan di pesantren
(Heafford,
seperti
ikhlas
pesantren sebenarnya, para kiai telah banyak
(tidak
memberi contoh praktis kepada para santri
mementingkan diri sendiri) dan kesederhanaan
bagaimana seharusnya berinteraksi dan bergaul
(hidup sederhana). Di pesantren kebanyakan,
di tengah masyarakat yang majemuk. Bukankan
santri
para kiai pesantren terkenal pejuang tangguh
tidur di lantai di ruangan yang dapat
menampung hingga delapan puluh siswa lain.
pancasila?
Makanan yang sedikit: beras dan sayuran.
sebagaimana dinyatakan oleh Mun’im Sirri
Selanjutnya, sementara ada pengakuan dari
(2010),
milik pribadi, dalam praktek, properti adalah
bersejarah karena para kiai yang berjuang
bersifat komunal. Hal-hal sederhana seperti
melalui organisasi NU
sandal yang bisa dipinjam secara bebas. Dengan
pancasila sebagai asas tunggal.
kata
lain,
jika
tidak
digunakan,
Sebab
pada
tercatat
tahun
1984,
dalam
adalah
sejarah,
tahun
mengakui idiologi
harus
Oleh sebab itu, ketika terjadi perdebatan
dipinjamkan. Para santri yang biasa menolak
di tengah masyarakat terkait isu pesantren
meminjamkan hartanya akan diberi sangsi oleh
sebagai sarang teroris. Justru Mun’im Sirry,
rekan-rekannya dan kadang-kadang oleh staf
melaui
pesantren. Bahkan sebagaimana pengakuan
Expression of Tradisional Islam: the Pesantren
Bull, dia sering kehilangan tape recorder dan
and Civil Societyin Post-Suharto Indonesia—
68 - Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012
tulisannya
berjudul
“The
Public
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
telah menunjukkan kontribusi pesantren dalam
Indonesia menjadikan dirinya sebagai bagian
membentuk civil society dan demokratisasi
dari proyek modernisasi. Sebenarnya perbedaan
masyarakat Indonesia, melalui peranananya
tradisonal dan modernis, di samping dibalik
dalam
makna
menyuarakan
tema-tema
kebebasan,
terminologinya,
juga
pada
visinya
kesetaraan dan persamaan. Meskipun dengan
masing-masing dalam vis-a-vis Negara. Karena
tipe dan karakter khasnya
menurut Sirri (2010: 66) sepanjang konflik
sebagai lembaga
tradisional, bukan berarti pesantren bertentangan
dengan
dengan nilai-nilai kemodernan. Modern bukan
membayangkan jenis masyarakat sipil yang
berarti hanya nilai barat saja, melainkan sangat
otonom dari Negara. Bagi mereka, masyarakat
compatible dengan idealitas Islam pesantren
sipil harus berfungsi sebagai pengawas atau
(Sirri, 2010: 60-66).
pembatasan kritis pada pemerintah. Sementara
Sebenarnya
pesantren
pemerintah
aktifis
pesantren
dengan
itu, pemikir Muslim modernis dan neo-modernis
keanekaragaman idiologi yang melekat padanya
melihat masyarakat sipil lebih terfokus pada
apakah itu masuk katagori pesantren tradisional,
pengembangan nilai-nilai toleransi, pluralisme,
modern dan ne-modern. Semua mempunyai misi
dan kesopanan, tetapi tidak selalu melihat
untuk
sebagai
masyarakat sipil sebagai terpisah dari, dan tentu
rahamatan lil’alamin. Terutama sekali pesantren
saja tidak selalu oposisi pada Negara. Jika
telah diakui oleh banyak pakar memiliki banyak
dibuat gambar adalah sebagai berikut:
memperjuangkan
Islam
kontribusi bagi pembangunan. Pesantren di
Civil Society P
Pesantren & Negara
E S Tradisional
A N
Peranan Pesantren Bagi Pembangunan
T Modern
R
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pluralisme Toleransi HAM Gender Demokrasi Toleransi Antarumat beragama 7. Pemberdayaan masyarakat 8. Oposisi pendirian Negara Islam 9. Perlindungan hak minoritas
E Modernisasi N
NeoModern Gambar 4. Transformative Learning dalam Membangun Pesantren
- 69
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
Pesantren dengan perbedaan jenisnya
itu
dalam
rangka
untuk
mengantisipasi
apakah masuk pada katagori modern yang
kebutuhan dan tantangan masa depan dengan
diwakili oleh Muhammadiyah dengan tokohnya
diselaraskan terhadap perkembangan kebutuhan
Amin
Din
masyarakat global. Sebuah masyarakat yang
dengan
mengharuskan semua manusia yang hidup di
Rais,
Buya
Syamsuddin, tokohnya
Syafii
tradisional
KH.
Ma’arif,
oleh NU
Abdurrahman
Wahid,
KH
dalamnya saling menghormati dan mencintai
Muhammad Hussein, neo-modernis dengan
tanpa membedakan latarbelakang
tokohnya
memang
kebudayaan dan etnis. Konsep pesantren yang
mengembangkan kultur yang berlainan dan asik
“dipercaya” mampu menjawab kebutuhan global
kalau
seperti ini adalah pesantren yang berbasis
Nurcholis
dicermati.
Madjid
Sebab
mereka
memiliki
agama,
perbedaan pada artikulasi politik atau vis-avis-
multikulturalisme
dan
Negara, tapi bisa bertemu pada satu aspek yaitu;
pesantren seperti
inilah kerinduan akan rasa
sama-sama
damai dan menyayangi antar sesama manusia di
memperjuangkan
nilai-nilai
moralitas dan kemanusiaan seperti: hak-hak agama
minoritas
menegakkan dan prinsip
pluralisme.
Melalui
dunia ini akan terwujud. Pesantren berbasis multikultural dengan
toleransi terhadap semua orang lain supaya bisa
transformative
hidup berdampingan dalam damai dan harmoni.
kurikulum yang ideal yaitu kurikulum yang
Kultur bisa menerima perbedaan di pesantren
dapat menunjang proses siswa menjadi manusia
seperti
senantiasa
yang demokratis, pluralis dan menekankan
ditransmisikan dari satu generasi kegenerasi
penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi
selanjutnya demi keutuhan Negara republik ini.
manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang
inilah
yang
harus
learning
harus
merancang
tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, KESIMPULAN
dapat hidup dalam suasana demokratis satu
Pesantren sebagai bagian dari sistem
dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
pendidikan di Indonesia adalah salah satu
Kurikulum
bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang
mestilah
dinamis dan sarat perkembangan, karena itu
kajian-kajian
perubahan atau perkembangan pesantren adalah
referensi pokok untuk bisa beradaptasi dengan
hal yang memang seharusnya terjadi sejalan
perkembangan
dengan perubahan budaya kehidupan. Perbaikan
mengembangkan materi atau subjek seperti:
pesantren
toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-
perlu
terus
dilakukan
sebagai
pesantren
berbasis
senantiasa kitab
multikutural
mengembangkan kuning,
globalisasi.
yang
dari
menjadi
Pesantren
juga
antisipasi kepentingan masa depan. Pemikiran
kultural
ini
bahwa
penyelesaian
upaya
demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal
mengandung
transformative
konsekuensi
learning
menumbuhkembangkan multiKultural
dalam pesantren
perlu
berbasis
langkah-langkah
penyempurnaan atau perbaikan dari aspek kurikulum, tujuan dan metode pesantren. Semua 70 - Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012
dan agama: konflik
bahaya dan
diskriminasi:
mediasi:
dan subjek-subjek lain yang relevan.
HAM;
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
DAFTAR PUSTAKA Banks, James A. (2007), Education Citizens in a Multicultural Society, New York & London: Teacher College Press. Bank, James A. (2002), An Introduction to Multicultural Education, Boston: Allyn & Bacon. Dhofier, Zamakhsari (1994), Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Yogyakarta: LP3ES.
Heafford,Michael (1967), Pestalozzi His thought and its relevance today, London: Methun & CO LTD.
Rodger, Alex R. (1982), Educational and Faith in Open Society, Britain: The Handel Press. Sealy, John (1986), Religious Education: Philosophical Perspective, London: George Allen dan Unwin.
Gollnick, Donna M. (2006), Multicultural Education in a Pluralistic Society, Ohio: Pearson MerrilPrentice Hall
Sprod, Tim (2001), Philosophical Discussion in Moral Education: The Community of Ethical Inquiry, USA & Canada: Routledge.
Ladson-Billings, Gloria & Gillborn, David (2004), Ruotledge Falmer Reader in Multicultural Education, London & New York: RoutledgeFalmer.
Sirri, Mun’im (2010), The Public Expression of Traditional Islam:the Pesantren and Civil Society in Post-Suharto Indonesia, The Muslim Word,Vol. 100, Januari.
Lukens-Bull, Ronald A. (2000), “Teaching Morality: Javanese Islamic Education In A Globalizing Era”, Journal of Arabic and Islamic Studies 3.
Zamroni (2011), Preparing Multicultural teacher educators: toward a pedagogy of transformation dalam “Research on multicultural education a reader, Yogyakarta: Graduate Program the State Universityof Yogyakarta.
Lukens-Bull, Ronald A. (2000), Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era, Journal of Arabic and Islamic Studies 3, JACKSONVILLE: UNIVERSITY OF NORTH FLORIDA.
Zamroni (2011), Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural, Yogyakarta: Gavin Kalam Utama
Noel, Jana (2000), Multicultural Education, USA: McGraw-Hill Companies.
Transformative Learning dalam Membangun Pesantren
- 71