MEMAHAMI KONSEP
TRANSDISIPLINARITAS DAN PENDIDIKAN TRANSDISIPLIN1 Oleh : Uwes A. Chaeruman Apgar et. Al. (2009:1), menyatakan bahwa, “Masalah paling penting yang dihadapi manusia adalah masalah kompleksitas
yang dicirikan dengan ketidak menentuan,
multiperspektif dan proses salingketerkaitan antara satu sama lain”. Penjelasan ini memperkokoh pemahaman kita tentang hukum alam (sunatullah), bahwa kompleksitas adalah hukum alam dan kesaling-terkaitan antar komponen yang kompleks tersebut adalah hukum alam. “Kompleksitas adalah hukum alam dan kesalingterkaitan antar komponen yang kompleks tersebut adalah juga hukum alam.”
Penjelasan
inipun
menunjukkan
bahwa
semua
permasalahan yang dihadapi manusia tidak dapat dipahami dan dipecahkan dengan hanya menggunakan satu sudut pandang atau lebih singkatnya dengan tidak hanya menggunakan satu disiplin. Faktanya, semua
teknologi sebagai penerapan ilmu untuk kebutuhan praktis manusia merupakan sinergi antar berbagai disiplin. Sebagai contoh, kenyamana suatu krusi empat kaki yang sering kita duduki merupakan sinergi anatara disiplin ilmu matematika, fisika, ergonomi, dan lain-lain. Asumsi inilah yang membuat para pakar, khususnya mereka yang berkecimpung dalam penelitian atau upaya memahami dan memecahkan masalah apapun memandang perlu menggunakan pendekatan lintas-disiplin (transdisiplin). Makalah ini akan mengupas tentang konsep transdisiplinaritas dalam upaya memahami dan memecahkan masalah kompleks dan urgensi pendidikan transdisiplin. Pembahasan akan meliputi konsep transidsiplinaritas itu sendiri dan implikasi transdisiplin dalam membangun manusia sebagai pewaris kemaslahatan tidak hanya sesama manusia, tapi keberlangsungan bumi dan alam semesta.
1
Makalah sebagai tugas akhir individu Mata Kuliah Filsafat Ilmu, S3 Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Desember 2010. Dipublikasikan di http://teknologipendidikan.net
1
DEFINISI Apakah transdisiplinaritas itu? Apa bedanya dengan “single discipline”, multidisiplin, dan interdisiplin? Apakah transdisiplinaritas itu suatu metode atau pendekatan? Transdisiplinaritas sama halnya dengan multidisiplin atau interdisiplin merupakan suatu konsep istilah (terminologi) yang memiliki makna tersendiri yang membedakannya dengan yang lain. Dalam proceeding Simposium Internasional UNESCO
“Setiap masalah adalah kompleks. Tidak bisa dipahami dan dipecahkan dengan dan dari hanya satu sudut pandang atau disiplin.”
(1998:5) berjudul:
“Transdisciplinarity: Towards
Integrative Process and Integrated Knowledge”, dikutip ungkapan Prof. Sommervile yang menyatakan bahwa, “We speak the language of our discipline, which raises two problems: first, we may not understand the languages of the other disciplines;
second, more dangerously, we may think that we understand these, but do not, because although the same terms are used in different disciplines, they mean something very different in each”. Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa kita sering berbicara dengan bahasa disiplin kita. Padahal terkadang hanya akan menimbulkan dua masalah. Pertama, kita mungkin tidak memahami bahasa disilpin ilmu yang lain dan kedua, lebih berbahaya lagi, kita mungkin berpkiri bahwa kita memahami masalah tersebut berdasarkan disiplin kita, padahal tidak. Karena meskipun satu istilah yang sama digunakan dalam disiplin yang berbeda, istilah-istilah tersebut memiliki makna yang sangat berbeda sehingga dipahami dengan cara yang berbeda pula. Artinya, setiap maslah adalah kompleks. Tidak bisa dipahami dan dipecahkan dengan dan dari hanya satu sudut pandnag atau disiplin. Itulah gunanya sinergi lintas disiplin (transdiscilinary synergy). Kalau kita lihat definisi menurut wikipedia, transdisiplinaritas dikonotasikan sebagai strategi penelitian lintas disiplin untuk menciptakan suatu pendekatan yang holistik. Strategi ini digunakan sebagai upaya penelitian yang memfokuskan pada permasalahan lintas dua atau lebih disiplin. Inti dari definisi ini adalah bahwa transdisiplinaritas adalah merupakan suatu strategi penelitian dengan tujuan untuk memahami suatu masalah dan memecahkannya secara holistik dengan melibatkan lebih dari dua disiplin (lintas disiplin).
2
“Transisiplinaritas adalah strategi penelitian bertujuan untuk memahami dan memecahkan masalah secara holistik melibatkan lebih dari dua disiplin (lintasdisiplin) .”
Secara sederhana, transdisiplinaritas didefinisikan sebagai suatu proses yang dicirkan dengan adanya integrasi upaya dari berbagai disiplin (multidisciplines) untuk memahami isu atau masalah (UNESCO, 1998:31). Ini adalah konsep yang paling sederhana tentang transdisiplinaritas. Beberapa pakar dalam Simposium Internasional tentang
Transdisciplinarity
yang
diselenggarakan
oleh
UNESCO
(1998:24)
mendefinisikan
transdisiplinaritas sebagai berikut: Transdisiplinaritas
adalah
proses
mentransformasi
(mengubah)
dan
mengintegrasikan (memadukan) dari berbagai prspektif terkait untuk memahami (mendefinisikan) dan memcahkan masalah kompleks. (Prof. William Newel). Transdisiplinaritas adalah mengintegrasikan dan mentrasnformasikan bidangbidang pengetahuan dari berbagai perspektif untuk meningkatkan pemahaman terhadap masalah yang ingin dipecahkan agar “Transisiplinaritas bukanlah suatu disiplin baru, tapi pendekatan, proses memahami dan memecahkan masalah kompleks dengan mengintegrasikan dan mentransformasikan berbagai sudt pandang berbeda .”
memperoleh keputusan/pilihan lebih baik di masa mendatang. (Prof. Gavan MacDonnel). tapi
Transdisiplinaritas bukanlah suatu disiplin, pendekatan,
pengetahuan
proses
dengan
mentransformasikan
untuk
meningkatkan
mengintegrasikan
berbagai
sudut
dan
pandang
(perspektif) yang berbeda. (Massimiliano Lattanzi). Mengacu pada definisi-definisi di atas, beberapa poin kunci yang dapat kita pegang sebagai dasar dalam
memahami transidisiplinaritas adalah: proses mentransformasikan dan mengintegrasikan berbagai sudut pandang berbeda, yaitu berbagai disiplin bertujuan untuk: o meningkatkan pemahaman dan atau o memecahkan masalah atau mengambil keputusan, alternatif pilihan yang lebih baik dan atau
3
o membangun pengetahuan baru terhadap realitas permasalahan, dimana setiap permasalahan merupakan sesuatu yang kompleks atau multidimensi, multiculutral, multietik dan lain-lain.
KARAKTERISTIK Untuk memahami lebih jauh karakteristik transdisiplinaritas, sebaiknya terlebih dahulu dibahas beberapa istilah serupa tapi memilik pengertian yang berbeda yaitu disiplinaritas, multidisiplinaritas, interdisiplinaritas dan transdisiplinaritas. Meeth (1978) seperti dikutip oleh Nordahl dan Serafin (2005:2) mengilustrasikan perbedaan antara intradisiplinaritas, cross-disiplinaritas, multidisiplinaritas, interdisiplinaritas dan transdisiplinaritas dalam hirarki seperti berikut:
Tangga paling bawah adalah studi intradisiplin yaitu studi yang hanya terdiri dari satu disiplin. Naik ke tangga kedua, cross-disiplin yaitu suatu studi dimana satu disiplin dipandang dari beberapa sudut pandang disiplin lain. Tangga berikutnya adalah multidisiplin yaitu studi dimana antara satu disiplin dan disiplin lain disejajarkan (juxtaposistion of disciplines), dimana masing-masing disiplin menawarkan sudut pandangnya masing-masing tapi tidak ada upaya untuk memadukannya secara integratif. Satu langkah di atasnya lebih mendekati 4
transdisiplin karena kedua istilah ini sering dipakai secara bergantian. Namun, Meeth (1978) membedakannya bahwa dalam studi interdisiplin telah ada upaya mengintegrasikan berbagai sudut pandang untuk memecahkan masalah tertentu. Bedanya dengan transdisiplin, upaya integrasi berbagai sudut pandang tersebut, didalam transdisiplin terjadi sejak awal ketika suatu masalah didefinisikan untuk dipecahkan. Dalam studi transdisiplin, dimulai dari masalah dan secara bersama-sama menggunakan berbabagai disiplin lain berupaya memecahkan maslah tersebut. Sementara interdisplin dimulai dari disiplin, setelah itu mengembangkan permasalahan seputar disiplin tersebut. Perbedaan ini sangat tipis dan masih jadi perdebatan. Tapi dalam hal ini, penulis cenderung menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Meeth tersebut. Senada dengan Meeth (1978), Max_Neef (2005:6) menjelaskan perbedaan dari istilah istilah tersebut. Disiplinaritas berbicara tentang disiplin tunggal (mono discipline) yang merepresentasikan suatu spesialisasi (Max_Neef, 2005: 6) bidang keilmuan, kehalian, profesi atau bidang penelitian yang diasosiasikan dengan bidang studi akademik (Wikipedia), seperti Biologi, Antropologi, Fisika, Matematika, Ekonomi dan lain-lain. Perbedaan antara disiplin, multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin digambarkan sebagai berikut (Max-Neef, 2005: 7):
5
Mengacu pada diagram di atas, multidisiplinaritas adalah pendekatan dimana dua atau lebih disiplin digunakan tapi tidak ada kerjasama antara satu disiplin dengan disiplin yang lain. Sebagai contoh, dalam suatu institusi katakanlah bidang/divisi teknologi informasi. Disitu terdapat ahli teknologi informasi, ahli teknologi pendidikan, ahli ekonomi. Tapi, dalam memahami dan memecahkan masalah kantornya, mereka menganalisis masalah sendiri-sendiri berdasarkan perspektif keilmuannya masing-masing, digabungkan jadi satu tanpa ada integrasi satu sama lain. Nampaknya, hal ini merupakan contoh fakta nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga setiap permasalahan kompleks tidak dapat dipecahkan secara komprehensif. Sedangkan pluradisiplinaritas adalah suatu pendekatan dimana telah terjadi kerjasama antar disiplin tapi tanpa koordinasi. Sebagai contoh, dalam memecahkan masalah pasca bencana meletusnya gunung merapi, telah terjadi kerjasama lintas disiplin, ada ahli kesehatan, ahli ekonomi, ahli psikologi, ahli pendidikan bersama-sama melakukan upaya tapi tanpa koordinasi yang jelas mengacu pada satu tujuan yang jelas. Interdisciplinaritas adalah pendekatan yang merupakan satu level diatas pluradisiplinaritas, yaitu proses memahami dan memecahkan permaslahan kompleks dari satu level konsep dibawah ke level konsep yang lebih tinggi. Max-Neef (2005:8) menggambarkannya sebagai berikut:
6
Mengacu pada diagram diatas, maka kita memahami konsep kesehatan mengacu pada lintas disiplin antara Biologi, Kimia dan Psikologi. Begitu pula konsep pertanian yang merupakan lintas disiplin antara Kimia, Biologi, Sosialogi, Ilmu Tanah, dan lain-lain. Transdisciplinaritas merupakan kordinasi antar semua level hirarki seperti digambarkan di atas. Lebih jauh Max-Neef (2005:9) menggambarkannya sebagai berikut:
Diagram di atas menggambarkan transdisiplinaritas sebagai upaya memahami dan memecahkan masalah kompleks. Level paling bawah menggambarkan “apa yang telah ada” saat ini (what exist), yaitu disiplin ilmu yang ada. Level kedua dari bawah menunjukkan “apa yang dapat kita lakukan”. Level tiga menunjukkan “apa yang ingin kita lakukan”. Dan level
7
terakhir menunjukkan “apa yang harus kita “Transdisiplinaritas merupakan upaya bagaimana melakukan apa yang ingin kita lakukan terhadap apa yang dapat kita lakukan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang ada.”
lakukan” atau “bagaimana melakukan apa yang ingin kita lakukan”. Mengacu pada diagram di atas, secara sederhana penulis menyimpulkan bahwa, menjawab
“Transdisiplinaritas sesuatu
adalah
permasalahan
proses kompleks
tentang apa yang harus kita lakukan untuk apa yang ingin kita lakukan terhadap apa yang dapat
kita lakukan menggunakan berbagai apa yang telah ada (disiplin ilmu yang ada saat ini). “Dengan kata lain, transdisiplinaritas merupakan upaya bagaimana melakukan apa yang ingin kita lakukan terhadap apa yang dapat kita lakukan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang ada. Jika kita balik, dapat pula kita rumuskan konsep transdisiplinaritas dengan kata lain bahwa, “Dengan memanfaatkan beberapa hal yang ada (beberapa disiplin ilmu), kita dapat melakukan apa yang ingin kita lakukan sebagaimana seharusnya kita melakukannya.”
SUATU METAFORA Metafora sederhana yang masuk akal tentang bagaimana aktifitas transdisiplinaritas terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah seperti apa yang diungkapkan oleh Prof Sommerville dalam Simposium Internasional tentang Transdisiplin yang diselenggarakan UNESCO, (1998:9) sebagai berikut: Anak vs Ibu dalam Membuat Kue Seorang Ibu menyediakan berbagai bahan dan alat untuk membuat kue kepada seorang anaknya yang masih Balita. Disediakan bahan-bahan kue berupa terigu, mentega, gula, telor, dan lain-lain. Tersedia pula alat memasak meliputi kompor gas, oven, penggorengan, dan lain-lainnya. Sang anak kemudian diminta membuat kue. Apa yang terjadi? Sang anak mengaduk-aduk apa yang ada, taruh sana, taruh sini, lempar sana, lempar sini dan seterusnya. Dapur jadi kotor, acak-acakan begitu pula sang anak. Jangan kue, yang dihasilkan, sepotong goreng telorpun tidak jadi. Di sisi lain, dengan memanfaatkan alat dan bahan yang ada, sang ibu dapat membuat kue. Bahkan, karena kemampuannya memanfaatkan alat dan bahan yang ada dan kemampuan sang ibu melakukan dengan sebagaimana mestinya, mungkin tidak hanya satu jenis kue yang dapat ia buat, tapi beragam kue dihasilkannya.
8
Lebih jauh, Prof. Sommerville (UNESCO, 1998:14) menambahkan metaforanya dengan mengatakan
bahwa,
“Kebanyakan
dari
“batu-bata”
yang
kita
gunakan
untuk
mengembangkan bangunan pengetahuan, bukanlah barang baru (batu-bata lama seperti biasa). Namun, karena cara kita mengorganisasikan “batu-bata” tersebut sebelum menjadi bangunan, yaitu aktifitas transdisiplin, adalah baru, maka sebagai konsekuensi, bangunan yang dihasilkanpun adalah baru.“ Artinya, dengan pendekatan transdisiplin, karena setiap permasalahan kompleks dipahami dari berbagai sudut pandang (lintas disiplin), maka akan selalu ada solusi baru yang lebih komprehensif dan holistik. Pernyataan ini, menekankan pula bahwa aktifitas transdisiplin bukanlah disiplin baru dan mengabaikan disiplin yang telah ada, tapi merupakan upaya untuk mensinergikan dari berbagai disiplin yang ada untuk menjawab isu yang kompleks karena kompleksitas itu sendiri adalah realita dan merupakan hukum alam yang tak terbantahkan adanya.
PENUTUP: Urgensi Pendidikan Transdisiplin Penulis menutup makalah ini dengan mengajak pembaca untuk bersama-sama merenungkan dan menyadari betapa pentingnya transdisiplinaritas dalam kehidupan manusia. Sehingga kemapuan untuk melakukan dan bertindak transdisiplin menjadi suatu kebutuhan dan menjadi keharusan. Mengacu pada konsep transdisiplinaritas seperti telah dibahas secara panjang dan lebar di atas, penulis “Transdisiplinaritas dapat dipandang sebagai proses dan sikap.”
menyimpulkan
bahwa
transdisiplinaritas
dapat
dipandnag sebagai proses dan sikap. Sementara antara transdisiplin sebagai proses dan sikap bagaikan
dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, pendekatan transdisiplin, yaitu proses memahami dan memecahkan masalah kompleks dengan mentransformasikan dan mengintegrasikan berbagai sudut pandang (disiplin) yang relevan, maka orang-orang yang terlibat secara kolaboratif sejak awal didalamnya harus memiliki sikap transdisiplin, yaitu orang-orang yang berpikiran terbuka (open minded) , berpikiran sistemik (systemic thinking), dan dimana bekerja secara kolaboratif telah menjadi kebiasaan (habit). Meeth (1978) seperti dikutip oleh Nordahl dan Serafin (2005:2) menyatakan bahwa pendekatan
9
transdisplin sangat sulit untuk dirancang, karena mensyaratkan kesiapan dan kematangan intelektual antar orang-orang dari berbagai disiplin yang terlibat didalamnya.
Itulah
sebabnya, Max-Neef (2005:10) menyatakan adanya transdisiplinaritas yang lemah (weak transdisciplinarity) dan transdisiplinaritas kuat (strong transdisciplinarity) didasarkan atas derajat lemah dan kuatnya proses yang dilakukan serta orang-orang lintas disiplin yang terlibat didalamnya. Kembali ke pernyataan awal pada pendahuluan bahwa realitas dunia ini adalah kompleks yang dicirikan dengan adanya ketidak menentuan, multiperspektif dan proses salingketerkaitan antara satu sama lain, maka proses memahami dan memecahkan masalah secara komprehensif melalui pendekatan transdisiplin perlu diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam proses pendidikan dengan tujuan megembangkan dan membangun manusia yang mampu memecahkan maslah apapun secara komprehensif dengan melibatkan berbagai sudut pandang secara transformatif dan integratif. Dalam konteks inilah pendidikan transdisiplin dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting (urgent). Dalam konteks Islam, tujuan pendidikan transdisiplin adalah untuk menyiapkan manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang memandang dunia sebagai suatu sistem dimana antara satu sama lain sama-sama mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda tapi saling terkait satu sama lain. Mengapa pendidikan transdisiplin penting? Karena ada kecenderungan manusia memecahkan masalah bukan untuk kepentingan kemaslahatan manusia dan dunia, tapi untuk kepentingan satu kepentingan tertentu. Contoh nyata adalah kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada dasarnya, masalah lumpur sidoarjo bukan hanya sekedar masalah geologi, tapi terkait masalah ekonomi, politik, sosial dan yang lain-lainnya. Tapi solusi yang ditawarkan, perlu kita kritisi bersama apakah untuk kepentingan politik, ekonomi atau untuk memecahkan masalah tersebut secara holistik demi kemaslahatan manusia dan lingkungan secara keseluruhan? Padahal dalam pasal 1 dan 2 Charter of Transdisciplinarity (First World Congress of Trandisciplinarity,Convent0 da Arrcibida, Portugal, November 2-6, 1994), jika diterjemahkan secara bebas jelas menyatakan bahwa: Pasal 1: Any attempt to reduce the concept of human being to a mere definition and to reduce it to a formal structure, no matter what, is incompatible with a transdisciplinary vision. Pasal 2: The recognition of the existence of different levels of reality governed by different types of logic is inherent in the transdisciplinary attitude. Any 10
attempt to reduce reality to one single level governed by a single form of logic is incompatible with transdisciplinarity. Setiap upaya untuk menghilangkan konsep kemanusiaan hanya untuk satu definisi belaka (satu kepentingan belaka) dan menghilangkannya kedalam sebuah struktur formal, apapun bentuknya, tidak selaras dengan visi transdisiplin. Setiap permasalahan yang hanya dipandang dari satu sudut pandang tunggal dan untuk satu kepentingan formal tunggal tidak selaras dengan semangat transdisiplin. Seperti diungkapkan dalam pasal 8 yang menyatakan bahwa: “The dignity of the human being is both of planetary and cosmic dimensions. The appearance of human beings on Earth is one of the stages in the history of the Universe. The recognition of the Earth as our home is one of the imperatives of transdisciplinarity. Every human being is entitled to a nationality, but as an inhabitant of the Earth is also a transnational being. The acknowledgement by international law of this twofold belonging, to a nation and to the Earth, is one of the goals of transdisciplinary research.”
Kemuliaan manusia adalah terkait dengan “Pendekatan transdisiplin bukan untuk memecahkan masalah demi untuk satu kepentingan tertentu, tapi untuk kemaslahatan manusia, secara khusus dan kemaslahantan bumi serta alam semesta ini secara umum.”
baik dimensi planet dan dimensi kosmik alam semesta. Kehadiran manusia di bumi adalah salah satu bagian epsiode kecil dari sejarah alam semesta. Kesadaran akan Bumi sebagai rumah kita merupakan suatu keharusan. Setiap manusia adalah bagian dari suatu bangsa, tapi sebagai penduduk bumi merupakan bagian dari lintas bangsa. Pengakuan oleh hukum internasional terhadap
kesaling memilikian ini, yaitu antara untuk bangsa dan untuk bumi, adalah salah satu tujuan penelitian transdisipliner. Dengan demikian pendekatan transdisiplin bukan untuk memecahkan masalah untuk satu kepentingan tertentu, tapi untuk kemaslahatan manusia, secara khusus dan bumi serta alam semesta ini secara umum. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran transdisiplin tinggi. Itulah sebabnya pendidikan memainkan peranan penting dalam menyiapkan dan membangun generasi penerus yang bertanggung jawab terhadap kemaslahatan manusia, bumi dan alam semesta ini sebagai khalifah sesuai dengan kodrat
11
manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Gerakan transdisiplin, seperti tertuang dalam pasal 11, menyatakan bahwa: “An appropriate education should not value abstraction over other forms of knowledge. It should teach contextual, concrete and global approaches, Transdisciplinary education is founded on the reevaluation of the role of intuition, imagination, sensibility and the body in the transmission of knowledge.” Pendidikan yang tepat adalah pendidikan yang tidak menekankan pada abstarksi bentuk pengetahuan lain. Tapi harus mengajarkan pendekatan kontekstual, konkrit dan global. Pendidikan transdisiplin dibangun atas dasar reevaluasi peran intuisi, imajinasi, kepekaan dan tubuh dalam transmisi pengetahuan. Seaton (2002) seperti dikutip oleh Hasan (2007:4) menyatakan bahwa pendidikan harus memperluas tujuan tradisional yang hanya menekankan pada penguasaan materi, tapi harus mengembangkan individu yang mampu berhadapan dengan dunia sosial, ekonomi, politik, budaya yang kompleks dan berubahubah.” Bagaimana dengan sistem pendidikan kita? Penulis sepakat dengan pendapat Prof. S. Hamid “Belajar dari konspe dan gerakan transdisiplin, maka sistem pendidikan kita masih harus dibenahi dari berbagai sisi sehingga lebih berorientasi pada semangat memanusiakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi (semangat transdisiplin.”
Hasan (Hasan, 2007:8) bahwa sistem pendidikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belum mencerminkan semangata pendidikan transdisiplin. Baik Standar Isi, Standa Kompetensi Lulusan dan bahkan Standar Proses masih menekankan pada upaya untuk membuat siswa menguasai materi palajaran. Begitu pula halnya dengan sistem evaluasi, khususnya ujian nasional
yang jelas hanya menuntut penguasaan materi. Artinya, belajar dari konsep transdisiplin ini, nampaknya sistem pendidikan nasional masih perlu dibenahi, baik dari sisi kurikulum, sumber daya tenaga pendidikan kependidikan, sarana dan prasarana, kebijakan dan lain-lain yang selaras dengan semangat memanusiakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Semangat ini, tidak lain dan tidak bukan adalah semangat transdisiplin.
12
Referensi: Charter of Transdisciplinarity, the First World Congress of Trandisciplinarity, Convento da Arrábida, Portugal, November 2-6, 1994 http://basarab.nicolescu.perso.sfr.fr/ ciret/english/charten.htm diunduh pada tanggal 3 Desember 2010. Darbellay, et. al. , “A Vision of Transdiciplinarity: Laying Foundations for a World Knowledge Dialogue”, France: CRC Press, 2008) J. Marin Apgar, Alejandro Argumendo dan Will Allen, “Buliding Transdisciplinarity for Managing Complexity”, dari http://learningforsustainability.net/pubs/ BuildingTransdisciplinarityforManagingComplexity.pdf diunduh pada tanggal 1 Desember 2010. Manfred A. Max-Neef, “Commentary: Foundation of Transdisciplinarity”, (ELSEVIER Ecological Economic: Chile, 2005), tersedia online di http://science.direct.com. Rolf Nordahl and Stefania Serafin (2005), “Using problem based learning to support transdisciplinarity in an HCI education” dari http://vbn.aau.dk/files/16104806/ HCIed08final.pdf diunduh pada tanggal 4 Desember 2010. S. Hamid Hasan, “Transdisciplinarity dalam Pendidikan dengan Referensi Khusus pada Kurikulum”, Makalah yang disajikan dalam Seminar tentang Transdisciplinarity, di Univeristas Negeri Jakarta, 29 Oktober 2007. UNESCO, 1998,”Transdisciplinarity: Stimulating Synergies, Integrating Knowledge”, dari http://unesdoc.unesco.org/images/0011/001146/114694eo.pdf diunduh tanggal 4 Desember 2010.
13