ISSN : 2338-0357 Volume III, NOMOR III, April 2014
Syari’ah
Jurnal Keislaman dan peradaban
Transaksi Valuta Asing Menurut Hukum Islam Qusthoniah, S.Ag, M.Ag Transaksi Gharar dalam Muamalat Kontemporer Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA Konsep Riba dalam Islam: Kritik Terhadap Interpretasi Riba Kaum Liberalis Sofyan Sulaiman Akad-akad Perbankan Syariah: Pertukaran dan Percampuran Putri Apria Ningsih, SE.I., MA Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy
Penerbit: Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan Indragiri Hilir – Riau Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0813 655 26 048 Email :
[email protected]
SYARI’AH Jurnal Keislaman & Peradaban Penerbit: Program Studi Ekonomi Syari’ah Universitas Islam Indragiri Tembilahan
SAJIAN Volume III, No. III, April 2014 SAJIAN (iv) EDITORIAL (v)
Pembina: Rektor Universitas Islam Indragiri Penaggung Jawab/Pengarah: Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam Tim Ahli: Dr. Najamuddin, Lc, MA Amaruddin, S. Ag, MA Nurmadiah, S. Pd. I, MA Pimpinan Redaksi: Qusthoniah, S.Ag.,MA Tim Redaksi: Ahmad Fuad, SE.I Ahmad Sarbini, S.Ag, MA Mitra Bestari Dr. Sahrul Anuar bin Nordin (Universitas Tunn Husein Onn Malaysa) Dr. H. Najamuddin, Lc, MA (Universitas Islam Indragiri) Dra. Sri Handayani (Universitas Islam Indragiri) Distribusi & Sirkulasi: Siti Aisyah, S. E. I Nurhayati. S. E Barry Gunawan Editor/Lay-out Ridhoul Wahidi, S.Th.I., MA Alamat Redaksi: Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan – Indragiri Hilir – Riau Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0813 655 26 048 Email :
[email protected] Jurnal Syari’ah merupakan jurnal keislaman dan peradaban dengan kajian multidisipliner, terbit dua kali dalam satu tahun (April dan oktober), dikelola oleh program studi Manajemen Pendidikan Islam Fak. Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Redaksi menerima tulisan yang relevan selama mengikuti petunjuk penulisan yang ditetapkan.
ISSN : 2338-0357
Transaksi Valuta Asing Menurut Hukum Islam (Hal. 7) Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
Transaksi Gharar dalam Muamalat Kontemporer (Hal. 24) Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA
Konsep Riba dalam Islam: Kritik Terhadap Interpretasi Riba Kaum Liberalis (Hal. 37) Sofyan Sulaiman
Akad-akad Perbankan Syariah: Pertukaran dan Percampuran (Hal. 58) Putri Apria Ningsih, SE.I., MA
Konsep Distribusi dalam Islam (Hal. 70) Marabona Munthe, M.E. Sy
EDITORIAL
PEDOMAN PENULISAN
Bismillahi Al-Rahman Al-Rahim Puji dan syukur kepada Allah SWT, jurnal Keislaman dan Peradaban Syari’ah Volume III Nomor III Edisi III April 2014 hadir untuk menyapa kembali para pembaca, peminat keislaman dan peradaban. Jurnal dihadapan anda adalah edisi III dari Jurnal Syari’ah yang diharapkan mampu memenuhi salah satu standar dalam penelitian akreditasi Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Lebih jauh jurnal ini diproyeksikan mampu menjawab segala tantangan dari permasalahan yang ada di masyarakat dan dunia Islam, tentu dengan terbitnya Jurnal Syari’ah ini secara kontinyu dapat memberikan konstribusi bagi penyebaran dan pengembangan karya ilmiah intelektual di bidang keislaman dan peradaban. Jurnal Syari’ah Volume III Nomor III April 2014 edisi III ditulis oleh dosen yang memang menguasai dalam bidangnya. Diantaranya adalah : 1. Transaksi Valuta Asing Menurut Hukum Islam oleh Qusthoniah, S.Ag, M.Ag 2. Transaksi Gharar dalam Muamalat Kontemporer oleh Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA 3. Konsep Riba dalam Islam: Kritik Terhadap Interpretasi Riba Kaum Liberalis oleh Sofyan Sulaiman 4. Akad-akad Perbankan Syariah: Pertukaran dan Percampuran oleh Putri Apria Ningsih, SE.I., MA 5. Konsep Distribusi dalam Islam oleh Marabona Munthe, M.E. Sy Dewan redaksi sepenuhnya menyadari, bahwa terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan pada penerbitan edisi ini. Maka kasukan dan kritikan dari semua pihak akan kami terima dengan terbuka dan rasa terima kasih. Tim Redaksi
1. Naskah ditulis dalam bentuk essay, berisi gagasan atau analisis konseptual yang orisinil, hasil penelitian, atau book review, dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, yang mencakup: Ilmu Ekonomi Syariah, serta pemikiran ke-Islaman. 2. Panjang naskah adalah antara 10-20 halaman kertas kwarto/A.4, diketik dengan 1,5 spasi atau yang setara, dengan margin: kiri dan atas 4 cm, margin kanan dan bawah 3 cm. 3. Naskah diketik dengan menggunakan huruf/font Times New Roman untuk Latin, ukuran 12, dan Tradisional Arabic ukuran l8 untuk tulisan berbahasa Arab, atau ukuran 16 untuk teks Arab kutipan, seperti kutipan pendapat, dan kutipan ayat dan hadis, sedangkan dalam catatan kaki huruf Latin dengan font 10 dan Bahasa Arab dengan font 15. 4. Komponen naskah yang harus ditulis secara jelas secara berurutan adalah a) Judul tulisan, b) Nama penulis, tanpa gelar, dan di sebelah kanan atas nama penulis diberi footnote dengan tanda (*), di dalamnya dijelaskan tentang pendidikan terakhir penulis, tempat tugas, dan bidang studi yang digeluti penulis, serta informasi yang relevan lainnya, c) Abstrak berbahasa asing (Arab-Inggris) atau berbahasa Indonesia (maksimal 100 kata), d) Kata kunci atau key words dari tulisan, e) pendahuluan atau prolog, f) isi (deskripsi dan analisis), dapat dibagi kepada beberapa sub bahasan, g) Kesimpulan, dan h) Daftar rujukan. Jika tulisan yang dikirim adalah hasil penelitian (riset), maka harus ditambah dengan memuat; latar belakang, tinjauan pustaka, tujuan, metode penelitian, dan hasil penelitian. 5. Kutipan harus dijelaskan sumbernya dalam bentuk foot note, yang memuat; nama pengarang (sesuai dengan nama di daftar rujukan), (misalnya; Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th), hlm. 301.) 6. Tulisan harus dilengkapi dengan Daftar Rujukan, yaitu sumber tertulis yang benar-benar digunakan dalam penulisan naskah. Cara penulisan daftar rujukan adalah; nama penulis secara lengkap, bagian akhir dari nama penulis ditulis paling awal, dan antara nama akhir dengan nama selanjutnya diberi batas dengan koma (,); lalu judul buku ditulis italic/ miring, kota tempat terbit, nama penerbit, tahun terbit, cetakan ke. Baris kedua dari buku sumber harus dimasukkan ke kanan, sejauh 7 spasi. Misalnya:
Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum AlQur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I Hitti, Philip K, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010. 7. Tulisan yang akan mendapat prioritas untuk dimuat adalah yang lulus seleksi oleh tim redaksi menyangkut; a) kebagusan bahasa dan ketikan, b) kesesuaian bidang ilmu dan topik, orisinalitas, kedalaman teori, ketepatan metodologi, ketajaman analisis, inovasi, dan nilai aktual dan/atau kegunaannya, dan c) selama masih tersedia ruang/halaman. Jika ada tulisan yang lulus seleksi dari sisi poin a-b, maka tulisan itu akan dimasukkan untuk edisi berikutnya. 8. Naskah harus disampaikan kepada tim redaksi dalam bentuk print-out dan dilengkapi dengan memberikan hardcopy dalam bentuk CD, atau softcopy melalui flashdisk atau lainnya, atau dengan mengirim ke email;
[email protected]
TRANSAKSI VALUTA ASING MENURUT HUKUM ISLAM Qusthoniah, S.Ag, M.Ag Kaprodi ekonomi Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan Abstrak Tulisan ini secara khusus membahas tentang transaksi valuta asing dalam pandangan Islam. Ditemui bahwa tidak semua jenis transaksi valuta asing dapat dibenarkan secara hukum Islam. Valuta asing jenisnya ada tiga (spot, forward dan swap). Nah, valuta asing yang hanya bisa diterima dalam praktek muamalah Islam adalah transaksi valuta asing jenis spot. Transaksi forward dan swap hanya dibenarkan dalam kondisi darurat mengingat hukum asalnya adalah haram dan indikasi darurat ini tidak akan terjadi. Persoalan ini disebabkan oleh pentingnya transaksi valuta asing dalam kaitannya dengan hubungan Internasional sudah bisa dipenuhi oleh transaksi spot. Justru itu, tidak ada alasan yang kuat untuk membenarkan transaksi forward dan swap ini.
Key words: Transaksi, Valuta Asing
A. Pendahuluan Pola budaya dalam suatu komunitas tertentu, ternyata, memiliki hubungan yang signifikan dengan intensitas tuntutan terhadap pembaharuan hukum Islam. Pembaharuan yang dimaksud mengacu kepada “sinkronisasi” hukum dengan budaya yang senantiasa muncul ke permukaan realitas secara temporal. Dalam hal ini, tersirat tuntutan perlunya pengejawantahan elastisitas (tidak kaku menerima perkembangan dalam batas yang toleran) hukum Islam dalam rangka penyelesaian hukum dari peristiwa-peristiwa yang baru itu. Kompleksitas dinamika kehidupan, baik pada tataran ekonomis maupun politis, senantiasa bermuara kepada perubahan sosial. Perubahan sosial yang dimaksud merujuk kepada konsep yang dikemukakan oleh Soekanto, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Haroen, yaitu “segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola prilaku diantara
8
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
kelompok-kelompok di dalam masyarakat”. 1 Relevan dengan konsep perubahan sosial ini, maka keseluruhan dinamika kehidupan suatu masyarakat atau suatu negara akan berimplikasi kepada perubahan-perubahan unsur yang disebutkan itu. Maksudnya, suatu lembaga dalam suatu masyarakat atau dalam suatu negara akan mengalami perubahan jika dinamika kehidupannya berubah, termasuk di dalamnya perubahan sikap dan perilaku dari manusia yang bersangkutan. Kata perubahan tidak selalu mengacu kepada yang bernilai negatif. Berdasarkan realitas sehari-hari dapat dipahami bahwa perubahan dalam bidang apapun senantiasa menghadirkan dua dampak, yaitu dampak positif dan negatif. Di satu sisi, perubahan tertentu akan bernilai positif, tetapi di sisi lain justru sebaliknya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Muhadjir, yaitu perubahan dapat membawa nilai-nilai positif terhadap suatu masyarakat dan dapat juga membawa kepada nilai-nilai negatif.2 Nilai-nilai positif dan negatif tersebut hadir ke permukaan realitas secara simultan. Jika pernyataan ini dapat dibenarkan, maka standar realistis untuk menilai maslahat atau tidaknya suatu perubahan hanya sampai pada tataran melihat prosentase mana yang lebih dominan. Jika dalam suatu perubahan didominasi oleh nilai-nilai positif, maka perubahan itu dapat dikategorikan kepada perubahan yang mengandung kemaslahatan, demikian juga sebaliknya. Justru itu, salah satu kriteria dasar muamalah, seperti “mengandung kemaslahatan”,3 menurut penulis, mengacu kepada makna tersebut. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup terisolasi dari manusia lainnya senantiasa mengalami perubahan di berbagai bidang kehidupan. Sejarah tertentu dari pola kehidupannya. Akan 1 Nasrun Haroen, Asuransi menurut Hukum Islam, (Padang: IB Press, 1999), h. 32
Transaksi Valuta Asing ... Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
9
tetapi, pola kehidupan tersebut selalu menuju ke arah perubahan tertentu dengan segala konsekuensinya. Hal ini bearti bahwa perubahan sosial dalam pengertian yang diungkapkan di atas akan selalu terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia, termasuk kehidupan umat Islam. Makna lain yang harus dipahami adalah bahwa tidak ada satu ketetapan pun (baik ketetapan hukum maupun ketetapan lainnya) yang bersifat konstan (tetap, tidak berubah selama-lamanya), tetapi akan selalu berubah seiring dengan perubahan sosial yang bersangkutan. Sebagai contoh bahwa perubahan tersebut telah terjadi dan akan tetap terjadi adalah bentuk muamalah yang disebut ba’i alwafa’.4 Bentuk muamalah ba’i al-wafa’ ini pernah dilakukan pada pertengahan abad ke-5 H di Bukhara dan Balkh berdasarkan hasil kreasi dari ulama Hanafiyah. Akan tetapi, bentuk muamalah ini berangsur-angsur hilang untuk masa berikutnya. Contoh lainnya adalah pemberlakuan standar moneter internasional (suatu barang atau mata uang yang diterima oleh mayoritas negara di dunia sebagai “mata uang dunia”). Sebelum perang dunia I, mata uang dunia yang dipakai adalah emas. Akan tetapi, setelah perang dunia II sampai dengan tahun 60-an, mata uang dunia yang dipakai adalah dolar Amerika. Setelah perang Vietnam tahun 1965, dolar tidak dipercaya lagi karena Amerika mengalami defisit sebagai akibat pembiayaan yang membengkak untuk perang Vietnam tersebut sehingga tingkat kepercayaan dunia terhadap dolar menurun secara drastis.5 Keadaan yang berbeda akan selalu muncul pada masa berikutnya sesuai dengan perubahan yang terjadi. Contoh-contoh yang dikemukakan di atas merupakan bukti bahwa bentuk dan jenis muamalah akan selalu mengalami perubahan di sepanjang kehidupan manusia. Atas dasar ini jugalah, sebagaimana diungkap Haroen, persoalan muamalah yang tidak diatur
2 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yokyakarta: Rake Sarasin, 2000), h. 46 3 Dalam bidang muamalah, syari’at Islam hanya memberikan prinsip dan criteria dasar yang harus dipenuhi, seperti: mengandung kemaslahatan, menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, saling tolong menolong, tidak mempersulit, dan dilakukan atas dasar suka sama suka. Lihat Nasrun Haroen, op-cit, h. 19, Nasrun Haroen, Perdagangan Saham di Bursa Efek menurut Hukum Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 16
4 Ba’i al-wafa’ merupakan salah satu bentuk jual beli bersyarat dengan tenggang waktu sehingga apabila tenggang waktu telah habis, fihak pembeli wajib menjual barang yang dibelinya itu kepada pihak penjual sesuai dengan harga ketika akad pertama. Lihat Nasrun Haroen, Asuransi Menurut Hukum Islam, op.cit, h. 36 5 Boediono, Teori Moneter, (Yokyakarta: BPFE, 1980), h. 115-118
10
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
secara jelas oleh nash menjadi sangat luas cakupannya.6 Kedudukan mata uang, nampaknya, juga mengalami perubahan. Jika dahulu kedudukan mata uang hanya sebagai alat tukar, maka sekarang kedudukannya meluas menjadi komoditas perdagangan. Dengan kata lain, kedudukan uang sebagai alat tukar dalam suatu transaksi jual beli berubah menjadi objek transaksi. Transaksi seperti ini, sekarang terkenal dengan transaksi valuta asing (foreign exchange transaction). Dalam transaksi ini, mata uang dari negara yang berbeda akan diperjualbelikan dengan nilai tukar yang tidak sama secara kuantitas (Rp 1 =/= U$ 1). Fenomena baru ini sangat banyak menimbulkan persoalan hukum yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu, misalnya bagaimana pandangan hukum Islam terhadap perubahan kedudukan uang dari kedudukannya sebagai alat tukar dalam transaksi menjadi objek transaksi itu sendiri? Pertanyaan lainnya adalah bolehkah suatu barang dengan jenis yang sama ditukarkan dengan harga yang berbeda? Atau, apakah perbedaan jenis mata uang tersebut dapat diklasifikasikan sebagai barang yang berbeda? Akhirnya, pertanyaan yang bisa meng-cover totalitas keraguan itu ialah bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap mekanisme transaksi valuta asing itu? Pertanyaan terakhir inilah yang menjadi titik fokus kajian penulis.
B. Pembahasan a. Pengertian Transaksi Valuta Asing Transaksi valuta asing merupakan frasa yang apabila dipecah akan memiliki makna sendiri-sendiri secara kebahasaan. Transaksi dapat diartikan persetujuan jual-beli (dalam perdagangan) antara dua pihak.7 Valuta bearti alat pembayaran yang dijamin oleh cadangan emas atau perak yang ada di bank pemerintah atau nilai uang.8 Kata asing mengacu kepada makna berasal dari luar (negeri, daerah
Transaksi Valuta Asing ... Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
11
dan lingkungan).9 Makna kebahasaan masing-masing kata tersebut belum dapat menghasilkan pemahaman yang tepat untuk konteks pembahasan ini. Justru itu, kata-kata tersebut harus dipahami dalam kapasitasnya sebagai frasa. Frasa valuta asing digunakan untuk menyebut alat pembayaran luar negeri. Penggunaan terakhir ini sering juga disebut dengan devisa, yaitu alat pembayaran luar negeri yang dapat ditukarkan dengan uang luar negeri.10 Dari uraian tersebut dapat diformulasikan secara etimologis bahwa transaksi valuta asing bearti persetujuan jual-beli antara dua pihak terhadap dua atau lebih mata uang yang digunakan oleh dua negara atau lebih. Secara terminologis, tidak ditemukan pengertian transaksi valuta asing. Akan tetapi, pengertian tersebut dapat dipahami melalui pengertian istilah pasar valuta asing atau foreign exchange market atau bursa valas. Memang istilah-istilah tersebut lebih mengacu kepada tempat,namun tidak mengkebiri pengertian transaksi yang ada didalamnya. Maksudnya, pengertian pasar sebagai tempat tidak terpisah dari pengertian transaksi jual beli. Menurut Dahlan Siamat, pasar valuta asing atau foreign exchange market adalah suatu mekanisme dimana orang dapat mentransfer daya beli antar negara, memperoleh atau menyediakan kredit untuk transaksi perdagangan internasional, serta meminimalisir kemungkinan resiko kerugian akibat fluktuasi kurs suatu mata uang.11 Salvatore mendefenisikan bahwa pasar valuta asing adalah suatu pasar atau tempat pertemuan individu, perusahaan, dan kalangan perbankan yang mengadakan jual-beli mata uang dari berbagai negara.12 Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa pasar valuta asing atau bursa valas atau foreign exchange market merupakan tempat berlansungnya suatu kegiatan yang khusus melakukan transaksi mata uang berbagai negara untuk kepentingan hubungan antar negara atau internasional. Dikatakan untuk ke9 Ibid, h. 61
6 Nasrun Haroen, op.cit, h. 32
10 Ibid, h. 229
7 Depdikbud, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 1070
11 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: FEUI, 1999), h. 178
8 Ibid, h. 1116
12 Dominock Salvatore, International Economics, (New Jersey: Prentice-Hall, 1996), h. 339
12
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
pentingan hubungan antarnegara atau internasional adalah karena transaksi valuta asing akan menjadi suatu kemestian jika antarnegara melakukan interaksi, baik dalam bentuk perdagangan, pariwisata, dan lain-lain. b. Urgensi Transaksi Valuta Asing Jika ditinjau dari sisi ekonomi, suatu negara yang tidak mau membuka diri untuk bekerjasama dengan negara lain, tidak akan bisa lebih maju atau mengalami perkembangan. Bahkan, negara maju pun tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri tanpa melibatkan diri dengan negara lain. Amerika Serikat, misalnya tidak akan mampu menjalankan roda perekonomian tanpa ditunjang oleh BBM yang notabene diimpor dari negara lain. Sesuai dengan ungkapan diatas, maka hubungan suatu negara dengan negara lain merupakan suatu kemestian. Bentuk hubungan tersebut beraneka ragam, misalnya perdagangan internasional dan pengiriman tenaga kerja luar negeri. Arus perdagangan internasional tidak hanya dibutuhkan oleh negara kurang berkembang atau negara berkembang. Atau sebaliknya, perdagangan internasional tersebut tidak hanya dibutuhkan oleh negara-negara maju yang memerlukan bahan mentah dari negara kurang berkembang dan negara berkembang. Akan tetapi, setiap negara membutuhkan perdagangan internasional itu tanpa melihat status negaranya. Pernyataan ini sesuai dengan penjelasan Heilbroner yang diterjemahkan oleh Anas Sidik bahwa arus perdagangan itu terjadi juga antara dua atau lebih negara kaya, seperti Amerika, Eropa, Australia dan Jepang, disamping antara negara maju dengan negara kurang berkembang dan negara berkembang.13 Bentuk perdagangan internasional yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara. Kadang-kadang suatu negara memiliki sumber daya alam yang kaya, tetapi sumber daya itu justru dibutuhkan oleh negara lain. Perdagangan internasional terjadi untuk memenuhi kekurangan negara masing-masing atau lebih meningkatkan produksi ke arah yang lebih maju. Justru itu, bentuk 13 Anas Sidik, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, (Terjemahan dari The Making Economic Society, karangan Robert L. Heilbroner), (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 18.
Transaksi Valuta Asing ... Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
13
perdagangan internasional, khususnya antara dua negara, lebih dimotivasi oleh perbedaan endowment dan taste, atau meningkatkan keuntungan dalam hal endowment dan taste yang sama.14 Indonesia, sebagai salah satu negara di dunia, juga tidak ketinggalan dalam kegiatan perdagangan internasional. Bahkan, Kodya Pekanbaru saja tidak alfa dari kegiatan perdagangan internasional tersebut, demikian juga halnya dengan kabupaten dan kota madya lainnya yang ada di Indonesia. Pada tahun 1996, misalnya, Kodya Pekanbaru melakukan ekspor dengan tujuan utama Amerika Serikat. Nilai total dari perdagangan tersebut mencapai US $ 360,5 juta dan 54 % dari komoditas yang diekspor adalah bahan mentah.15 Pada tahun 1999, Kodya Pekanbaru mengekspor komoditas perdagangan sebanyak 3.429.585 ton dengan total nilai ekspor US $ 225 juta.16 Jika dilihat dalam tataran nasional, nilai ekspor komoditas nonmigas, seperti komoditas pertanian, industri, tambang dan lainnya pernah mendekati angka US $ 4.500.000.000 (empat setengah miliar dolar Amerika) pada bulan September 2000. Sebaliknya, penanaman modal asing yang disetujui pemerintah pernah mencapai US $ 5.749.500.000 pada priode Januari-Agustus 2001 yang tersebar pada sembilan propinsi.17 Di samping perdagangan, hubungan internasional juga terjadi lewat pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri tidak mesti dari negara maju ke negara berkembang sebagaimana halnya yang dikirim itu tidak harus tenaga profesional, seperti pengiriman tenaga kerja untuk pembantu rumah tangga atau jenis pekerjaan lainnya. Menurut Waluya, uriskilled labour (tenaga 14 Endowment diartikan pola produksi dan taste diartikan pola konsumsi. Untuk lebih mendalaminya, baca Harry Waluya, Ekonomi Internasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 62-74 15 Badan Pusat Statistik Kodya Pekanbaru, Pekanbaru Dalam Angka, (Pekanbaru: BPS Kodya Pekanbaru, 1996), h. 215 16 Badan Pusat Statistik Kodya Pekanbaru, Pekanbaru Dalam Angka, (Pekanbaru: BPS Kodya Pekanbaru, 1999), h. 276 17 Sub Direktorat Laporan Statistik (ed), Buletin Statistik Bulanan: Indikator Ekonomi, (Jakarta: BPS Pusat, 2001), h. 57 dan 95
14
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
nonprofesional) dapat juga memperoleh pekerjaan di luar negeri.18 Hubungan internasional semakin tidak bisa dibendung seiring dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang informasi dan transformasi. Lewat informasi, kenyataan-kenyataan luar negeri yang ditampilkan lewat “dunia maya” (televisi dan internet) semakin memupuk keinginan masyarakat dari negara yang berbeda untuk menyaksikannya secara lansung. Keinginan tersebut dapat diwujudkan dengan mudah lewat pemamfaatan transportasi udara. Melalui transportasi udara, masyarakat bisa dengan mudah pergi ke luar negeri hanya dalam waktu yang relatif singkat; bahkan lebih cepat daripada perjalanan dalam negeri. Senada dengan ini, Naisbiit sebagaimana diterjemahkan oleh Budijanto mengungkapkan bahwa dari New York, seseorang dapat terbang ke Perancis semudah terbang ke Kalifornia.19 Fakta-fakta yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa hubungan antar negara atau hubungan internasional, baik perdagangan maupun pengiriman tenaga kerja luar, sudah dan sedang terjadi, dan diasumsikan akan terus terjadi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa hampir tidak ada suatu negara yang tidak membutukan negara lain. Hubungan internasional tersebut membutuhkan alat tukar yang dewasa ini alat tukar tersebut berwujud uang. Uang, pada hakikatnya, hanya berlaku pada batas yuridis teritorial suatu negara. Uang rupiah hanya berlaku di daerah yuridis Indonesia; uang ringgit Malaysia hanya berlaku di daerah yuridis Malaysia; dolar Amerika hanya berlaku di daerah yuridis Amerika, demikian seterusnya dengan mata uang negara lainnya. Dengan demikian, jika orang Indonesia ingin melakukan transaksi di Amerika, otomatis, dia membutuhkan dolar Amerika (karena rupiah pada hakikatnya tidak berlaku di sana). Begitu juga sebaliknya, jika orang Amerika, Malaysia, Singapore, dan bangsa lainnya pergi ke Indonesia, maka mereka juga membutuhkan mata uang rupiah. Bagaimana mekanisme pemenuhan kebutuhan terhadap suatu 18 Ibid, h. 3 19 Budijanto, Sepuluh Langkah Baru untuk Tahun 1990-an Megatrends 2000, (Terjemahan dari Ten New Directions for the 1990’s Megatrends 2000, karangan Jhon Naisbitt dan Patricia Aburdene), (Jakarta: Binarupa Aksara, 1990), h. 109
Transaksi Valuta Asing ... Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
15
mata uang negara lain tersebut? Realitas yang terlihat selama ini adalah dengan cara melakukan penukaran mata uang dengan kurs yang telah ditetapkan atau yang disepakati. Penukaran mata uang antar negara ini disebut dengan transaksi valuta asing. Dalam konteks inilah terlihatnya urgensi valuta asing, yaitu dalam rangka menghilangkan kendala hubungan internasional mengenai alat tukar. c. Bentuk-Bentuk Transaksi Valuta Asing Dilihat dari jenis transaksinya, maka transaksi valuta asing dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu transaksi spot (spot transaction), transaksi berjangka (forward transaction), dan transaksi barter (swap transaction). Berikut ini akan diuraikan satu persatu secara sederhana. 1) Transaksi Spot (Spot Transaction) Transaksi spot, jika dipahami secara leksikal, memiliki banyak makna. Akan tetapi, makna yang relevan dengan konteks ini ada dua, yaitu tunai dan dengan segera. Jika merefren kepada makna leksikal itu, maka transaksi spot dapat diartikan sebagai transaksi yang penyerahannya dilakukan pada hari yang bersangkutan atau pada beberapa hari berikutnya. Pengertian transaction spot di atas sesuai dengan fenomena transaksi dewasa ini. Sehubungan dengan itu, transaksi spot dapat dilakukan dengan tiga cara yang dikenal dengan istilah value today, value tomorrow, dan value spot.20 Value today adalah transaksi sejumlah mata uang negara yang berbeda yang penyerahan uangnya dilakukan pada tanggal atau hari yang sama dengan tanggal atau hari transaksi berlansung. Misalnya, transaksi dilakukan pada hari Senin, tanggal 15 April 2002, penyerahan uangnya juga dilakukan pada hari dan tanggal tersebut. Cara seperti ini sering juga disebut some day settlement dan cash settlement. Value Tomorrow merupakan transaksi sejumlah mata uang negara yang berbeda yang penyerahan uangnya dilakukan pada hari kerja berikutnya, tepatnya satu hari setelah transaksi dilakukan. Misalnya, transaksi dilakukan pada hari Senin, tanggal 15 April 2002, penyerahan uangnya dilakukan pada hari Selasa, 20 Dahlan Siamat, op.cit, h. 181-182
16
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
tanggal 16 April 2002. Berbeda dengan pengertian value today dan value tomorrow di atas, value spot adalah transaksi sejumlah mata uang negara yang berbeda yang penyerahan uangnya dilakukan pada dua hari kerja berikutnya. Misalnya, transaksi dilakukan pada hari Senin, tanggal 15 April 2014, penyerahan uangnya dilakukan pada hari Rabu, tanggal 17 April 2014. 2) Transaksi Berjangka (Forward Transaction) Transaksi berjangka adalah transaksi mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain yang penyerahannya dilakukan pada waktu yang akan datang.21 Makna waktu yang akan datang tersebut tidak sama dengan waktu yang dimaksud pada value spot dan value tomorrow di atas. Pada transaksi berjangka, waktunya, lebih lama dari itu. Biasanya, serah terima dalam transaksi berjangka dilakukan antara satu sampai dengan enam bulan berikutnya.22 Untuk lebih memahaminya, berikut ini akan dikemukakan contoh yang sederhana. Misalnya, ada dua pihak yang melakukan transaksi sejumlah mata uang. Keduanya telah menetapkan nilai kurs pada saat dilakukan kontrak (kurs forward tidak sama dengan kurs spot saat kontrak). Akan tetapi, penyerahannya dilakukan enam bulan berikutnya tanpa memperhatikan kemungkinan fluktuasi salah satu mata uang yang ditransaksikan tersebut. Dengan cara ini, resiko kerugian karena fluktuasi mata uang dapat diperkecil. Manfaat seperti ini sangat dirasakan oleh suatu perusahaan yang sedang melakukan ekspor atau impor dengan pembayaran di masa yang akan datang. Akan tetapi, dalam transaksi ini, kemungkinan untuk melakukan spekulasi besar juga, apalagi salah satu pihak yang bersangkutan punya kemampuan untuk mempengaruhi nilai suatu mata uang. Misalnya, transaksi mata uang rupiah dengan dolar Amerika. Pada waktu kontrak disepakati bahwa kursnya US $ 1 banding Rp 12.000 (berbeda dengan kurs spot saat kon21 Ahmad Jamali, Dasar-Dasar Keuangan Internasional, (Yokyakarta: BPEF, 1998), h. 46 22 Suad Husnan, Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Pendek), Edisi ke-3, (Yokyakarta: BPFE, 1996), h. 190
Transaksi Valuta Asing ... Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
17
trak). Ternyata, enam bulan berikutnya terjadi fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika hingga mencapai US $ 1 banding Rp 12.500. Dalam peristiwa seperti ini, pihak pemegang rupiah akan mendapat keuntungan sebanyak selisih antara kurs sewaktu dilakukan kontrak dengan kurs spot enam bulan mendatang (sewaktu penyerahan). Atau, bisa saja terjadi sebaliknya, yaitu nilai mata uang rupiah yang menguat. Tentu saja, pihak yang memegang dolar akan mendapat keuntungan sebanyak selisih kurs yang bersangkutan. 3) Transaksi Barter (Swap Transaction) Transaksi barter (Swap Transaction) adalah transaksi sejumlah mata uang negara yang berbeda dengan cara kedua pihak melakukan kombinasi terhadap dua mata uang yang bersangkutan secara tunai yang diikuti dengan membeli dan menjual kembali mata uang yang sama secara tunai dan tunggak-tunai dan tunggak tersebut dilakukan secara simultan- dengan batas waktu yang berbeda-beda.23 Transaksi seperti ini banyak dilakukan oleh bank jika bank tersebut mengalami kelebihan jenis suatu mata uang. Misalnya, bank X mengalami kelebihan jenis mata uang yang disimpan oleh nasabah dalam bentuk deposito valuta asing US $, sedangkan kredit yang diberikan mayoritas mata uang rupiah. Untuk melakukan keseimbangan, bisa dilakukan transaksi barter.24 Atau, transaksi seperti ini bisa dilakukan oleh perorangan kepada bank. Transaksi seperti ini, di satu sisi sama dengan system gadai, tetapi disisi lain berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada keharusan salah satu pihak untuk membayar premi pada waktu transaksi mendatang.
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Mekanisme Transaksi Valuta Asing Sepintas, transaksi valuta asing sama dengan transaksi jualbeli seperti biasanya dalam Islam. Maksudnya, jika jual-beli harus memenuhi unsur-unsur penting (rukun), seperti: orang yang ber23 Ibid., h. 47 24 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 215-216
18
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
akad, sighat (ijab dan kabul), barang yang diperjualbelikan, dan alat tukar (yang digunakan dewasa ini adalah uang),25 maka transaksi valuta asing juga memenuhi unsur tersebut. Akan tetapi, jika dicermati lebih jauh, maka akan terlihat perbedaan pada barang yang diperjualbelikan. Dalam transaksi valuta asing, yang diperjualbelikan adalah uang itu sendiri sehingga uang menempati dua posisi, yaitu sebagai alat tukar, sekaligus sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Dalam bahasa lain, transaksi valuta asing identik dengan jual-beli mata uang. Dalam literatur fikih, ternyata jenis jual-beli seperti ini dikenal dengan sharf. Sharf dimaksudkan sebagai jual-beli mata uang, baik sejenis maupun tidak. Lebih lanjut disebutkan bahwa sharf adalah jual-beli emas dengan emas, perak dengan perak, atau emas dengan perak dalam kapasitasnya sebagai mata uang.26 Agar jual-beli menjadi sah, sharf ini harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1) saling serah-terima sebelum keduanya berpisah; (2) memiliki kualitas yang sama; (3) tidak boleh ada khiyar syarat; (4) tidak boleh ada batasan waktu tertentu (al-ajl). Empat syarat di atas bisa diringkas menjadi dua saja, yaitu: (1) serah-terima sebelum keduanya berpisah dan (2) memiliki kualitas yang sama. Sementara, ketidakbolehan khiyar syarat dan ketidakbolehan al-ajl merupakan konsekuensi dari syarat pertama. Syaratsyarat tersebut didasarkan kepada hadis Rasulullah Saw berikut ini: Ubadah bin al-Shamat berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: (jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam haruslah sama dan tunai. Apabila yang diperjualbelikan itu berbeda, maka juallah sesuai dengan keinginanmu dengan syarat tunai. Kata-kata yang digarisbawahi di atas merupakan dalil yang dimaksudkan. Di samping hadis di atas, hadis yang senada juga diri25 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 828 26 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Damsik, Dar al-Fikr, 1989), h. 636; Imam Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Siwasi Ibn al-Humam, Syarh Fath al-Qadir ‘ala al-Hidayah, Jilid ke-5, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 364
Transaksi Valuta Asing ... Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
19
wayatkan oleh Imam Malik dalam muwaththa’nya. Terjemahan hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut: Dari Yahya yang diterimanya dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ Ibn Yasar, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tamar dengan tamar itu harus sama”. Lalu sese orang sahabat menceritakan kepada Nabi: “Sesungguhnya, ada seorang sahabat menukarkan satu sha’ kurma dengan dua sha’ kurma kepada orang Khaibar”, maka Rasulullah SAW bersabda: “Panggil dia ke sini”! maka sahabat tersebut memanggilnya, Nabi mengajukan pertanyaan: “Betulkah engkau menukarkan satu sha’ kurma dengan dua sha’ kurma”, yang ditanya menjawab: “Wahai Rasulullah, mereka tidak mau menjual janib kepadaku dengan bayaran jam’u satu sha’ sama satu sha’. Rasulullah SAW bersabda: Juallah jam’u itu dengan dirham, kemudian belilah janib itu dengan dirham. (H.R. Malik) Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa transaksi valuta asing dapat dibenarkan secara hukum jika syarat-syarat yang dikemukakan tersebut terpenuhi. Maksudnya, kedudukan hukum transaksi valuta asing dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan sepanjang tidak keluar dari syarat-syarat yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, transaksi valuta asing itu memiliki tiga jenis -spot, forward dan swap- dan ketiga jenis tersebut memiliki spesifikasi yang signifikan jika ditinjau dari sisi hukum. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan secara singkat aplikatif ketiga jenis tersebut guna menemukan spesifikasi masingmasingnya sehingga dapat dideteksi kedudukan hukumnya secara lebih tegas. Pertama, secara aplikatif, transaksi spot dapat digambarkan seperti berikut. Seseorang yang membutuhkan sejumlah dolar untuk membayar barang impor dari Amerika. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka seseorang tersebut harus membeli dolar di pasar valuta asing sejumlah yang diperlukan itu dengan kurs spot saat itu (si pembeli di satu pihak, pasar valuta asing di pihak lain). Dalam transaksi spot ini, serah terima mata uang yang diperjualbelikan tersebut berlansung pada saat transaksi, atau setidaknya satu atau dua hari berikutnya. Perbedaan hari yang relatif sedikit ini tidak ada konsekuensinya terhadap kurs. Dari gambaran di atas, nampaknya tidak ada perbenturan den-
20
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
gan syarat-syarat sharf. Hal ini bearti, sekaligus merupakan pendapat penulis, bahwa transaksi valuta asing jenis spot transaction dibolehkan oleh hukum Islam. Di samping tidak bertentangan dengan syaratsyarat sharf itu, realitas menunjukkan bahwa transaksi valuta asing tersebut sangat urgen. Kedua, forward transaction (transaksi berjangka) biasanya dilakukan untuk menghindari resiko fluktuasi kurs, khususnya pada waktu yang akan datang. Misalkan pengusaha Indonesia membutuhkan sejumlah dolar untuk membayar barang impor tiga bulan mendatang (sesuai dengan waktu kontrak dengan pihak pengimpor), sementara dia tidak bisa memperkirakan berapa besar kurs spot untuk tiga bulan mendatang itu. Agar terhindar dari fluktuasi kurs tersebut, dia melakukan transaksi forward untuk tiga bulan mendatang. Caranya, transaksi dilakukan hari ini, tetapi penyerahannya dilakukan pada tiga bulan mendatang. Kurs dalam transaksi ini tidak sama dengan kurs spot saat itu, tetapi lebih tinggi. Jika kurs spot rupiah terhadap dolar Rp 12.000/US $ 1, mungkin dalam kurs forward Rp 12.500/US $ 1. Di samping itu, pengusaha tersebut membayar uang muka maksimal sepuluh persen (10 %) dari jumlah yang ditransaksikan. Jika ditinjau dari dimensi hukum, maka pelaksanaan transaksi forward memiliki dua kelemahan. Pertama, adanya perbedaan harga antara spot dengan forward. Kedua, uang muka yang diberikan bisa hilang jika transaksi dibatalkan. Bentuk yang pertama termasuk dalam kategori riba dan jual beli bersyarat, sedangkan bentuk kedua dapat dikategorikan ke dalam bentuk jual beli urban. Baik bentuk pertama maupun bentuk kedua, semuanya samasama dilarang dalam Islam. Hal ini terlihat dalam beberapa nas berikut ini. Di antara nas mengenai larangan riba: …Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba… (QS. Al-Baqarah: 275) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imran: 130)
Transaksi Valuta Asing ... Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
21
Nash mengenai larangan jual beli bersyarat: Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW telah melarang dua jual beli dalam satu sanad. Maksud hadis ini dapat dipahami dari contoh berikut: penjual berkata “Saya jual benda ini dengan harga seribu jika tunai dan dua ribu jika tidak tunai”. Nas mengenai larangan jual-beli urban: Umar bin Syu’ib berkata: “Rasulullah SAW telah melarang jual-beli urban. Ketiga, jenis transaksi terakhir, adalah transaksi barter (swap transaction). Berikut, akan digambarkan secara sederhana. Seorang pengusaha memiliki dolar dalam jumlah tertentu, sementara dia sangat membutuhkan rupiah. Satu tahun ke depan, dia membutuhkan dolar itu kembali. Oleh karena itu, dia menukarkan dolar dengan rupiah kepada salah satu bank sesuai dengan kurs spot waktu itu, dengan syarat bahwa satu tahun ke depan (pada tanggal yang ditetapkan) dolar tersebut harus dikembalikan oleh bank dengan kurs yang sama dengan kurs spot saat transaksi. Pihak bank menyetujui syarat tersebut dengan ketentuan bahwa pengusaha itu harus membayar premi dalam prosentase tertentu dari rupiah yang diterimanya, misalnya 8 % dari jumlah rupiah yang diterimanya. Justru itu, untuk mendapatkan dolar dalam jumlah yang sama pada satu tahun mendatang, pengusaha tersebut harus menyediakan uang rupiah sebanyak yang diterima sebelumnya, ditambah dengan persentase yang ditentukan itu. Jika dicermati dari dimensi hukum, transaksi ini termasuk kepada jual-beli al-ajl di samping mengandung riba. Dengan mengacu kepada syarat-syarat sharf di atas, maka transaksi swap ini tidak bisa dibenarkan. Dengan demikian, transaksi ini mengandung kelemahan secara hukum, yaitu mengandung unsur riba dan melanggar salah satu syarat sharf, yaitu al-ajl.
D. Penutup Uraian di atas menunjukkan bahwa tidak semua jenis transaksi valuta asing yang bisa dibenarkan secara hukum Islam. Satu-satunya
22
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
yang bisa diterima dalam praktek muamalah Islam adalah transaksi valuta asing jenis spot. Sementara, dua jenis lainnya –forward dan swap- mengandung kelemahan. Transaksi forward dan swap hanya dibenarkan dalam kondisi darurat karena hukum asalnya haram. Akan tetapi, besar kemungkinan kondisi darurat ini tidak akan pernah terjadi. Hal ini disebabkan oleh urgensi transaksi valuta asing dalam kaitannya dengan hubungan internasional sudah bisa dipenuhi oleh transaksi spot. Justru itu, tidak ada alasan yang kuat untuk membenarkan transaksi forward dan swap ini.
Daftar Kepustakaan Anas Sidik, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, (Terjemahan dari The Making Economic Society, karangan Robert L. Heilbroner), Jakarta: Bumi Aksara, 1994. Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, (Damsik, Dar al-Fikr, 1989) Badan Pusat Statistik Kodya Pekanbaru, Pekanbaru dalam Angka, Pekanbaru: BPS Kodya Pekanbaru, 1996. Badan Pusat Statistik Kodya Pekanbaru, Pekanbaru dalam Angka, Pekanbaru: BPS Kodya Pekanbaru, 1999. Bin Anas, Malik, Al-Muwaththa’, Beirut: Dar al-Fikr, 1989 Boediono, Teori Moneter, Yokyakarta: BPFE, 1980 Budijanto, Sepuluh Langkah Baru untuk Tahun 1990-an Megatrends 2000, (Terjemahan dari Ten New Directions for the 1990’s Megatrends 2000, karangan Jhon Naisbitt dan Patricia Aburdene), (Jakarta: Binarupa Aksara, 1990) Dahlan, Abdul Aziz, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) Depdikbud, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) Haroen, Nasrun, Asuransi menurut Hukum Islam, (Padang: IB Press, 1999) ---------- Perdagangan Saham di Bursa Efek menurut Hukum Islam, (Padang:
Transaksi Valuta Asing ... Qusthoniah, S.Ag, M.Ag
23
IAIN IB Press, 1999) Ibn al-Humam, Imam Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Siwasi, Syarh Fath Al-Qadir ‘ala Al-Hidayah, Jilid ke-5, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998) Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yokyakarta: Rake Sarasin, 2000) Sub Direktorat Laporan Statistik (ed), Buletin Statistik Bulanan: Indikator Ekonomi, (Jakarta: BPS Pusat, 2001) Waluya, Harry, Ekonomi Internasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995)
Transaksi Gharar ... Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA
Transaksi Gharar dalam Muamalat Kontemporer Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Abtract: Gharar adalah semua akad yang mengandung ketidakjelasan atau keraguan tentang adanya komoditi yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi; pertaruhan, atau perjudian dan transaksi gharar ini merupakan salah satu praktek yang dilarang dalam Islam sesuai dengan kaidah-kaidah dasar muamalah yaitu bebas dari riba, gharar, kezhaliman dan maysir/ judi. Jenis akad gharar menurut fuqaha yang sering dilakukan secara umum dalam transaksi/muamalat adalah: Gharar fil wujud, Gharar fil hushul, Gharar fil miqdar, Gharar fil jinsi, Gharar fish shifah, Gharar fiz zaman, Gharar fil makan dan Gharar fit ta’yin. Tetapi lazim dilakukan dalam muamalah kontemporer ribawi adalah praktek gharar, seperti akad Multi level Marketing (MLM), Asuransi, Undian Berhadiah dll.
Key Words: Gharar dan Muamalah Kontemporer
A. Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diberbagai bidang, mengikuti laju perkembangan persoalan fiqh mualamah kontemporer dalam berbagai aspek kehidupan ummat Islam yang membutuhkan solusi alternatif sehinggah semua transaksi bebas dari unsur riba kezhaliman, gharar dan perjudian. Syariat Islam hadir ditengah-tengah ummat dengan sebuah falsafah; “shalih fikulli zaman wa-makan” yang telah meletakkan garis-garis pondasi penerangan yang sangat jelas untuk menerangi seluruh aspek kehidupan manusia terutama dalam aspek muamalat dengan tujuan memperlihatkan nilai-nilai moral dalam bermuamalah yang sesuai dengan Islam dan solidaritas dalam bermasyarakat. Salah satu persoalan sangat mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah diera kontemporer ini adalah bagaimana hukumhukum Islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk transaksi muamalat kontemporer serta perkembangannya yang belum dijelaskan secara mendetail dalam kitab-kitab fiqh klasik. Kaidah Gharar ini adalah kaidah yang telah disepakati oleh
25
para iman mazhab, maka dari itu, adanya larangan tidak boleh ada unsur gharar (kesamaran) dalam berbagai muamalah atau transaksi, hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah RA, bahwanya Rasulullah Saw melarang jual beli yang mengandung unsur gharar.1 Imam An-Nawawi menjelaskan: “Larangan jual beli gharar merupakan salah satu prinsip yang agung dari sekian banyak prinsip dalam kitab jual beli. Oleh karena itu, Imam Muslim menempatkan hadits gharar ini dibagian awal kitab Al-Buyu’ (jual beli). Permasalahan yang termasuk dalam jual beli ini sangat banyak seperti jual beli budak yang kabur, jual beli barang yang tidak ada, jual beli barang yang tidak diketahui, jual beli yang tidak dapat diserahterimakan, jual beli ikan dalam kolam yang luas, dan sebagainya. Dalil lain juga menyebutkan adanya larangan menjual anak dari anak unta. Demikian juga ada larangan menjual janin yang masih dalam perut induknya. Demikian juga ada larangan menjual bibit janin masih berada di dalam tulang sulbi hewan pejantan. Ini semua menunjukkan kebenaran kaidah ini, yaitu tidak diperbolehkan adanya unsur kesamaran (gharar) dalam muamalah. Dan ada beberapa peraktek jual beli gharar di zaman jahiliyah seperti bai’ul hashah (lemparan dengan batu kecil), bai’ul mulamasah dan munabazah, bai’ul habalul habalah, bai’ul madhamin dan malaqih, dan menjual buah yang belum masak.
B. Pembahasan
) ( غرر a. Pengertian Gharar )( () غرر Kata Gharar ًغرا أو غرورا ً – غرر – يغررsecara bahasa menً ا غرور أو ا غر – يغرر – غرر ً gandung dua makna, yaitu tindakan yang mengandung unsur penسو ُل ه هmenjerumuskan َن بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِرgurangan َنْ بَ ْيعbahaya, سله َم ع ﷲُ َعلَ ْي صلهى ْصا ِة َوعَن ُ َهى َرkepada َ ا ْل َحhak, َ ِه َوdan َ ِﷲ kebinasaan dan سو ُل ه صله ِى ه صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر س ُ نَ َهى َر َ له َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َحketidakjelasan. َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ أنواع الغرر المنهى عنه Berbagai المنهى عنهpengertian أنواع الغررal gharar banyak dikemukakan oleh para ulama seperti: الغرر في المعامالت المعاصرة 1. المعاصرة Al-Jurjani dan Az-Zaila’iy المعامالت الغرر فيmengartikan al gharar sebagai sesuatu ) ( غرر yang tidak diketahui akibatnya, apakah akan terwujud atau tiْ ْ ه ه ه ه َ َ َ صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع الغ َر ِر ص س غرر – ن َه ًُ يغررى – َر َ سل َم عَنْ بَ ْي ِع ال َح َ غرورلاًى ﷲُ َعل ْي ِه َو َ ِغروا ُلأوﷲ صلهى ه سو ُل ه صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر ُ نَ َهى َر َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ
صلهى ه ل ه ْ صا ِة َوع ْ سله َم ع َ ُﷲ ُ هى َر َ ح َ ْع ا ْل َ ه َو َ ِﷲ َ َن ِ علَ ْي ُ سو 1 ْع ا ْل َغ َر ِر ِ َن بَي ِ َن بَي “Rasulullah s.a.w. melarang jual beli dengan al-hashah (yaitu: jual beli dengan التأمين عنهcara المنهى أنواع الغرر التأمين melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur gharar (spekulatif).” (HR. الغرر في المعامالت المعاصرة Muslim, no: 2783). ) ( التأمين
) ( التأمين
صلهى ه ل ه ر ْ صا ِة َوع ْ سله َم ع َ ُﷲ ُ هى َر َ ح َ ْع ا ْل َ ه َو َ ِﷲ َ َن ِ علَ ْي ِ ْع ا ْل َغ َر ُ سو ِ َن بَي ِ َن بَي
جائزة باليانصيب
جائزة باليانصيب
التأمين
) ( التأمين
26
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
dak. Sebagian ulama Hanafiyyah mengartikannya sebagai resiko yang tidak diketahui apakah akan terjadi atau tidak. 2. Al-Kasany mengartikannya sebagai peristiwa yang diragukan apakah akan terjadi atau tidak. 3. Ibnu Arfah, ulama Malikiyyah, mengartikannya sebagai apa yang diragukan keberhasilan salah satu pertukarannya atau objek dari pertukaran dimaksud. 4. Ar-Rofi’iy, ulama Syafi’iyyah, mengartikannya sebagai resiko. 5. Abu Ya’la al-Hanbaly mengartikan sebagai keraguan di antara dua persoalan, yang keduanya sama-sama mengandung ketidakjelasan. 6. Ibnul Atsir mengatakan bahwa gharar adalah sesuatu yang secara lahiriahnya menyenangkan tetapi pada hakekatnya tidak menyenangkan, secara lahiriah menarik bagi pembeli tetapi sebenarnya mengandung sesuatu yang tidak jelas. 7. Al-Azhari mengatakan bahwa jual beli gharar adalah jual beli yang tidak ada unsur kepercayaan di dalamnya. 8. Syaihul Islam, Ibnu Taimiah mengatakan bahwa al gharar adalah sesuau yang akibatnya tidak bisa diketahui. Al gharar mempunyai banyak pengertian, antara lain: pertama, sesuatu yang tersembunyi baik akibatnya, rahasianya, atau segala sesuatunya. kedua, sesuatu yang tidak jelas antara mulus atau cacatnya sehingga dengan demikian maksud dari diadakannya akad bisa tercapai atau tidak.2 Kesimpulan dari sejumlah definisi tersebut bahwa al gharar itu mencakup dua bentuk. Pertama, keragu-raguan dan kebimbangan, yakni keragu-raguan dan kebimbangan antara keberadaan dan keberhasilan objek jual beli dengan ketiadaannya. Kedua, ketidaktahuan, yakni sesuatu yang tidak diketahui sifat, ukuran, dan lainlainnya. Sebagaian ulama mutaakhhirin telah mentarjihkan definisi gharar dengan memilih pendapat Ibnu Taimiah dan As-Syarkhosyi yang mengatakan bahwa al gharar adalah sesuatu yang akibatnya tersembunyi. Artinya menjual barang yang tidak diketahui rupa, sifat dan ukurannya. Dan fuqaha memerinci gharar menjadi beberapa jenis, yaitu: 2 Muhammad Ami, Shadiq, al Gharar wa Atsaruhu fil Uqud fi Fiqh Islami, (Bairut: Dar Jiil 1990). h. 28-34.
Transaksi Gharar ... Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA
27
1. Gharar fil wujud, yakni spekulasi keberadaan, seperti menjual sesuatu anak kambing, padahal induk kambing belum lagi bunting. 2. Gharar fil hushul, yakni spekulasi hasil, seperti menjual sesuatu yang sedang dalam perjalanan, belum sampai ke tangan penjual. 3. Gharar fil miqdar, yakni spekulasi kadar, seperti menjual ikan yang terjaring dengan sekali jaring sebelum dilakukannya penjaringan. 4. Gharar fil jinsi, yakni spekulasi jenis, seperti menjual barang yang tidak jelas jenisnya. 5. Gharar fish shifah, spekulasi sifat, seperti menjual barang yang spesifikasinya tidak jelas. 6. Gharar fiz zaman, spekulasi waktu, seperti menjual barang yang masa penyerahannya tidak jelas. 7. Gharar fil makan, spekulasi tempat, seperti menjual barang yang ) ( غرر tempat penyerahannya tidak jelas. 8. Gharar fit ta’yin, spekulasi penentuan barang, seperti menjual ًغرا أو غرورا ً – غرر – يغرر salah satu baju dari dua baju, tanpa dijelaskan mana yang henسو ُل ه صلهى ه ِع ا ْل َغ َر ِرdak عَنْ بَ ْيdijual. صا ِة َو ُ نَ َهى َر َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ b. Bentuk Gharar yang dilarang ( ) أنواع الغرر المنهى عنه Melihat bentuk gharar yang terlarang, ulama fiqih mempu المعاصرةsebagai المعامالتberikut:الغرر في nyai banyak pandangan diantaranya 1) Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan objek هbaik سو ُل ه َ ِع ا ْلغ َر ِرakad َوعَنْ بَ ْيpada صا ِة عَنْ بَ ْي ِع ا ْل سله َم ﷲُ َعلَ ْي صلهى terjadi objek ُ رakad َ َحwaktu َ ِه َوakad, َ ِﷲ َ نَ َهىitu sudah ada maupun belum ada (bai’ al-ma’dum). Misalnya, menjual janin yang masih di dalam perut binatang ternak tanpa menjual inالتأمين duknya, atau menjual janin dari janin binatang yang belum lahir seperti yang biasa dilakukan orang Arab) التأمين pada zaman Jahiliyah. ( Hal ini didasarkan pada hadis yang melarang seseorang untuk جائزةinduknya (habal menjual janin binatang yang masihباليانصيب dikandung al-habalah), kecuali dengan cara ditimbang sekaligus atau setelah anak binatang itu lahir (HR. Abu Dawud). Contoh lain adalah menjual ikan yang masih di dalam laut atau burung yang masih ) ( الفائدة di udara. Hal ini berdasarkan larangan Rasulullah SAW : “Janganlah kamu menjual ikan yang masih berada di dalam air, karena ) المقرض ( itu dalah garar.” (HR. Ahmad bin Hanbal). Demikian juga dengan menjual budak yang melarikan diri, harta perang ) المال رأسrampasan ( أن العبرة من العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمباني
28
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
yang belum dibagi, harta sedekah yang belum diterima, dan hasil menyelam yang masih di dalam air (HR. Ahmad bin hanbal dan Ibnu Majah). Menjual sesuatu yang belum berada dibawah penguasaan penjual. Bila suatu barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahterimakan kepada pembali, maka pembeli ini tidak boleh menjualnya kepada pembeli lain. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melarang menjual barang yang sudah dibeli sebelum barang tersebut berada dibawah penguasaan pembeli pertama (HR. Abu Dawud). Akad ini merupakan garar, karena terdapat kemungkinan rusak atau hilangnya objek akad, sehingga akad jual beli yang pertama dan kedua menjadi batal. 2) Tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Wahbah az-Zuhaili (ahli Fiqih dari Universitas Damascus, Suriah) berpendapat bahwa ketidakpastian (aljahl) tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar (gharar kabir) larangannya. 3) Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Misalnya, penjual berkata: “Saya jual kepada anda baju yang ada di rumah saya”, tanpa menentukan ciri-ciri baju tersebut secara tegas. Termasuk dalam bentuk ini ialah menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum layak untuk dikonsumsi. Rasulullah SAW bersabda : “ Jangalah kamu melakukan jual-beli terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan itu terlihat baik (layak konsumsi).” (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Demikian juga dengan larangan menjual benang wol yang masih berupa bulu yang melekat pada tubuh binatang dan keju yang masih berupa susu (HR. ad-Daruqutni). 4) Tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Misalnya, penjual berkata: “Saya jual beras kepada anda sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini.” Ketidakpastian yang terdapat dalam jual beli ini merupakan ‘ilat dari larangan melakukan jual beli terhadap buah-buahan yang belum layak dikonsumsi. Dasar hukumnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Muslim, an-Nasa’i, dan ibnu Majah diatas. 5) Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan objek akad,
Transaksi Gharar ... Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA
29
misalnya setelah wafatnya seseorang. Jual beli seperti ini termasuk gharar karena objek akad dipandang belum ada, yang merupakan alasan dari pelarangan melakukan jual beli habal al-habalah (HR. Abu Dawud). Akan tetapi jika dibatasi oleh waktu yang tegas, misalnya penyerahan barang tersebut akan dilakukan pada bulan atau tahun depan, maka akad jual beli itu sah. 6) Tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau lebih transaksi yang berbeda dalam satu objek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih sewaktu terjadinya akad. Misalnya, sebuah arloji dijual dengan harga 100 ribu rupiah jika dibayar tunai dan 125 ribu rupiah jika kredit, namun ketika akad berlangsung tidak ditegaskan bentuk transaksi yang dipilih. Jual beli ini merupakan salah satu dari dua bentuk penafsiran atas larangan Rasulullah SAW untuk melakukan dua jual beli dalam satu akad (bai’atain fil bai’ah) (HR. Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’i dan at- Tirmidzi). 7) Tidak adanya kepastian objek akad, yaitu adanya dua objek akad yang berbeda dalam satu transaksi. Misalnya, salah satu dari dua potong pakaian yang berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama. Salah satu pakaian tersebut harus dibeli tanpa ditentukan lebih dahulu pakaian mana yang menjadi objek akad. Jual beli ini merupakan bentuk kedua dari penafsiran atas larangan Rasulullah SAW untuk melakukan bai’atain fil bai’ah diatas. Termasuk dalam bentuk jual beli yang mengandung gharar ini adalah jual beli dengan cara undian dalam berbagai bentuknya (HR. Bukhari). 8) Kondisi objek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Misalnya, menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit. Jual beli ini termasuk gharar karena didalamnya terkandung unsur spekulasi bagi penjual dan pembeli, sehingga disamakan dengan jual beli dengan cara undian. 9) Adanya keterpaksaaan, antara lain berbentuk: (a) Jual beli lempar batu (bai’ al-hasa), yaitu seseorang melemparkan batu pada sejumlah barang dan barang yang dikenai batu tersebut wajib dibelinya. Jual beli ini dilarang berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah : “Rasulullah SAW melarang jual beli lempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan.” (HR. al-jamaah kecuali al- Bukhari).
) ( غرر 30
‘ayn bi ‘ayn
ًغرا أو غرورا ً – غرر – يغرر
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Transaksi Gharar ... 31 صلهى ه سو ُل ه صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر له َم عH. س ﷲُ َعلَ ْي ِه ُ نَ َهى َر َ َنْ بَ ْي ِع ا ْل َحDr. َ َوNajamuddin, َ Lc.,MA ِﷲ
(b) Jual beli saling melempar (bai’ al- munabazah), yaitu seseorang melemparkan bajunya kepada orang lain dan jika orang yang ) غرر ( dilempar itu juga melemparkan baju kepadanya maka antara keduanya wajib terjadi jual beli, meskipun pembeli tidak tidak ًغرورا غرا – يغرر غرر ً Jual tahu kualitas barang yang akan dibelinya itu.(أوc) beli–dengan cara menyentuh suatu barang maka barang wajib هitu و ُل هdibelinya, صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر صلهى س ُ نَ َهى َر َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ meskipun ia belum mengetahui dengan jelas barang apa yang akan dibelinya itu. Ketiga cara ini biasa dilakukan orangأنواع Arab الغرر المنهى عنه pada zaman jahiliyah. c. Gharar dalam mualamat Kontemporer ( ) الغرر في المعامالت المعاصرة Gharar dewasa ini sering terjadi dikalangan ummat Islam terutama dalam َر ِرmuamalat سله صلهى ه سو ُل ه َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغkontemporer صا ِة ﷲُ َع نَ َهى َر ُ perkemَ َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َحsesuai َ لَ ْي ِه َوdengan َ lajunya ِﷲ bangan zaman, maka begitupula laju perkembangan mualamat kontemporer yang belum begitu disentuh oleh fuqaha klasik, maka perlu التأمين diadakan penkajian ulang agar terhindar dari transaksi gharar. Penulis di sini hanya memperkenal tiga akad sebagai sampel) penulisan ( التأمين di jurnal Syariah yaitu: Multi level Marketing (MLM), Asuransi dan Undian Berhadiah. جائزة باليانصيب 1. Multi Level Marketing (MLM) Multi Level Marketing (MLM) adalah sistem penjualan yang memanfaatkan sebagai tenaga penyalur secara langsung. ) ( الفائدةdi Sistem penjualan ini menggunakan beberapa level (tingkatan) dalam pemasaran barang dagangannya. ) ( المقرض Unsur gharar di dalam beberapa MLM, karena anggota yang sudah membeli produk tadi, mengharap keuntungan yang ) المال رأسlebih ( banyak dari bonus. Tetapi dia sendiri tidak mengetahui apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut merugi. لأللفاظ والمباني والمعاني ال للمقاصدatau العقودmalah العبرة من أن Di antara bonus yang dijanjikan kepada anggota adalah bonus atas penjualan (atau lebih tepatnya belanja) downline. Dengan syarat menutup point (dengan berbelanja senilai bilangan tertentu;Gambar 100.000 :rupiah, misalnya), anggota akan mendapatkan 1 bonus sekian persen dari belanja seluruh downline-nya. Belanja Beda sejumlah bilangan tertentu adalah asumsi alias seluruh Jenis downline belum tentu mereka berbelanja, sehingga bonus yang dijanjikan Kasat mata sekian persen adalah sesuatu yang belum pasti. kualitas berbeda Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri melarang setiap transaksi yang mengandung gharar, sebagaimana Jenis Sama
Kasat mata kualitas sama
أنواع الغرر المنهى عنه diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya الغرر في المعامالت المعاصرة ia berkata: صلهى ه سو ُل ه صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر ُ نَ َهى َر َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli dengan cara al-hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang menالتأمين gandung unsur gharar (spekulatif)” (HR. Muslim, no: 2783).
) التأمين Melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diper-( jual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam جائزة باليانصيب bisnis MLM adalah ) غرر ( akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatain fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi/ atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas peًأو غروراakad غرا غرر – يغرر ً –ganda) makelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad,( ) الفائدة ْ ه ه ه ه َ َ صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر ح ل ا ع ي ب ع م ل س و ه ي ل ع ﷲ ى ل ص ﷲ ل و س ر ى ه ن َْن karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat disَ ْ ْ ُ َ َ ِ َ َ ِ ُ َ َ ُ َ َ َ ِ kon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM( ) المقرض عنهyang المنهى الغرر أنواع demikian hukumnya adalah haram. Namun, jika ada MLM ) المال رأسIs-( yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat في المعامالت المعاصرة (الغرر ) غرر lam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu ‘ والمبانيala لأللفاظ والمعاني ال العقود للمقاصدatas العبرة من أن transaksi) atau samsarah samsarah (pemakelaran pemak–يغرر ه –غرر َر ًص غرلهاىأو ه َن صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر ﷲُ َعلَ ْي ﷲ ل و س ى ه ُ َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ غرور ِهاً َو َ َ ِ ُ elaran) dan tidak ada unsur gharar. Serta ketentuan hukum syara’ و ُل هmaka هyang صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر صلهى س ُ نَ َهى َرtentu diperbolehkan. َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ lain, ِﷲ 2. Asuransi ( ) التأمين Gambar : 1 dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam المنهى عنه الغرر أنواع Asuransi berasal ) ( التأمينtelah menjadi bahasa populer dan diadopsi bahasa Indonesia Jenis Beda المعاصرةdalam المعامالت الغرر في Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata باليانصيب جائزة “pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai kata insurance Kasat mata هdengan (ُل هa) صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر صلهى سو نَ َهى َر ُ asuransi, َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda kualitas berbeda ‘ayn bi biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering ‘ayn (pertanggungan). ) Jenis الفائدة ( التأمين Sama Asuransi dalam bahasa Arab istilah dengan kata berarti at-ta’min ) المقرض )( )( التأمينyang secara bahasaKasat matatuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya kualitas sama rasanya takut. ) المال رأس ( باليانصيب جائزة Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa takut ataupun was-was dalam للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمبانيmenjalani العبرة من العقود أن kehidupan, karena ada pihak yang memberikan jaminan atau pertanggungan. ) ( الفائدة Asuransi mengandung ketidakjelasan dan ketida) ( المقرض Gambar : 1 Jenis Beda
) ( رأس المال
والمعاني ال لأللفاظ والمباني Kasat للمقاصد mata أن العبرة من العقود
32
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014 kpastian (Jahalat wa al gharar), kerena tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah yang akan dibayarkan tidak jelas. Lebih dari itu belum ada kepastian apakah jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau tidak. Hal ini sangat tergantung pada peristiwa yang telah disepakati dan ditentukan. Mungkin ia akan memperoleh seluruhnya, tetapi mungkin juga tidak akan memperoleh sama sekali. Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Di sinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional. Konsekuensi dari adanya gharar dalam suatu akad adalah tidak sahnya akad tersebut secara hukum syariah, di samping itu, akad yang mengandung gharar merupakan akad yang diharamkan untuk dilakukan. Dalam praktek asuransi, gharar terjadi setidaknya dalam empat hal, dalam wujud, husul, miqdar dan ajal-nya. 1) Gharar dalam wujud. Yaitu ketidakjelasan ada atau tidaknya “klaim/ pertanggungan” atau manfaat yang akan diperoleh nasabah dari perusahaan asuransi. Karena keberadaan klaim/ pertanggungan tersebut terkait dengan ada tidaknya resiko. Jika resiko terjadi, klaim didapatkan, dan jika resiko tidak terjadi maka klaim tidak akan didapatkan. Hal ini seperti pada jual beli hewan dalam kandungan sebelum induknya mengandung. Meskipun induk memiliki kemungkinan mengandung. 2) Gharar dalam husul (merealisasikan/ memperolehnya) Yaitu ketidakjelasan dalam memperoleh klaim/ pertanggungan, kendatipun wujudnya atau keberadaan klaim tersebut bisa diperkirakan, namun dalam mendapatkannnya terdapat ketidakjelasan. Seperti seorang peserta, ia tidak mengetahui apakah bisa mendapatkan klaim atau tidak, karena bisa tidaknya mendapatkan klaim tergantung dari resiko yang menimpanya. Hal ini seperti yang terdapat dalam jual beli
Transaksi Gharar ... Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA
33
ikan di laut. Wujudnya ada, namun memperolehnya belum tentu bisa. 3) Gharar dalam miqdar (Jumlah Pembayaran) Yaitu ketidak jelasan dari jumlah, baik jumlah premi yang dibayar oleh nasabah, maupun jumlah klaim yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi. Misalnya dalam asuransi jiwa, bisa jadi seseorang membayar 12 kali, namun tidak klaim sama sekali. Dan bisa juga seseorang baru bayar premi satu kali namun mendapatkan klaim 50 juta. Demikian juga perusahaan bagi asuransi, dimana ia tidak tahu seberapa besar seroang nasabah membayar premi dan seberapa lama ia akan menerima klaim. 4) Gharar dalam ajal (waktu) Yaitu ketidakjelasan seberapa lama nasabah membayar premi. Karena bisa jadi seorang nasabah baru membayar satu kali kemudian mendapatkan klaim, bisa juga terjadi seorang nasabah belasan kali membayar premi namun tidak memperoleh apapun dari pembayarannya tersebut. Bahkan dalam asuransi jiwa (kematian), klaim sangat tergantung dengan ajal. Dan ajal hanya Allah SWT saja yang Mengetahuinya. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan Asuransi Syariah? Memberikan status hukum terhadap asuransi konvensional ini, para ulama fiqh kontemporer berbeda-beda. Mereka terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama mengharamkan asuransi, kedua menghalalkan asuransi tanpa ada terkecauli, ketiga mengharamkan asuransi yang bersifat komersial atau bisnis semata-mata dan membolehkan asuransi yang bersifat sosial. Adapun keempat mengganggap asuransi hukumnya subhat, sebab tidak ada dalil yang tegas melarang atau membolehkannya.3 Pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI, yang lebih dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan 3 Untuk lebih jelas mengenai pendapat tersebut, lihat: Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana 2010), h. 238-240.
) ( غرر ًغرر – يغرر – غ ًرا أو غرورا
Jurnal Syariah
Transaksi Gharar ... Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA
ﷲِ صلهى ه سو ُل ه صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ال سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل ﷲُ َعلَ ْي ِه َو ُ نَ َهى َر َ َح34 Vol. 3,َ No. 3, April َ 2014
35
أنواع الغرر المنهى عنه
atau tabarru memberikan untuk menghadapi المعاصرة المعامالتpola رر فيpengembalian الغ risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah. ْ سله هSyariah ل هdengan صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ال صلهى ُ “ نَ َهى َرakadnya” mengatur dengan َ َم عَنْ بَ ْي ِع ال َحAsuransi َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ ُ سو jelas bagaimana menangani pembayaran terhadap suatu resiko yang diatur sejak awal, sehingga tidak timbul keraguan keraguan التأمين dalam berasuransi apa dan kemana dana pembayaran premi tersebut. Selengkapnya lihat dan (baca lagi akad asuransi syariah. ) التأمين
3. Undian berhadiah ( ) جائزة باليانصيب Undian dalam kamus bahasa Indonesia, diartikan dengan sesuatu yang diundi: lotere. Sedangkan dalam ensiklopedi Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa lotere berasal dari bahasa ) الفائدة ( Belanda (loterij), yang artinya undian berhadiah, nasib, peruntungan. Dalam Bahasa Inggris juga terdapat kata “lottery”, yang ) ( المقرض berarti undian. Mengacu pada pengertian di atas, kata undian itu bersinonim dengan lotere. dalam lotere terdapat ) المال رأسDimana ( unsur spekulatif (untung-untungan mengadu nasib). Namun di kata العقود undian pengertiannya dibedakan, لأللفاظ والمبانيmasyarakat, للمقاصد والمعاني ال منdan العبرةlotere أن sehingga hukumnya-pun berbeda. Kalau dalam undian, tidak ada pihak yang dirugikan, oleh karena itu, hukumnya-pun menjadi boleh, seperti undian berhadiah dari suatu produk di telembar : 1 visi. Sedangkan lotere ada pihak yang dirugikan, oleh karena itu hukumnya haram. nis Beda Undian berhadiah adalah undian yang dilaksanakan oleh perusahaan barang atau jasa dengan tujuan untuk menarik para Kasat mata pembeli dan melariskan dagangan atau jasa yang mereka tawarkualitas berbeda kan dengan cara memberikan hadiah untuk para pemenang yang ditentukan secara undian. nis Sama Undian berhadiah tanpa menarik iuran dari peserta, maksudnya kupon undian diberikan kepada peserta dengan Kasat mata cara prodeo, maka hukum undian ini dibolehkan oleh syariat, kualitas sama karena tidak ada dalil yang melarangnya dan juga unsur gharar yang terdapat dalam akad ini yang disebabkan ketidaktahuan peserta akan wujud hadiah yang mereka terima tidak berdampak pada rusaknya akad. Gharar di sini terjadi dalam akad hibah (tabarru), dan bukan pada akad jual beli (muawadhah). Seperti telah disinggung pada pembicaraan sebelumnya bahwa gharar
dalam akad hibah status hukumnya adalah mubah. Undian berhadiah dengan membayar uang iuran diharamkan oleh ulama, karena mengandung unsur gharar sangat nyata, di mana peserta membayar iuran yang kemungkinan ia mendapatkan hadiah sehingga berlaba atau ia tidak mendapat apa-apa sehingga ia mengalami kerugian. Dan Undian jenis ini juga termasuk dalam katagori maysir/judi. Jika undian tersebut tidak menarik iuran secara khusus akan tetapi untuk dapat mengikutinya disyaratkan membeli barang tertentu, dan kupon undiannya tertera pada majalah atau tertempel pada suatu barang tertentu, maka hukum mengikuti undian ini dibolehkan karena keberadaan undian hanya bersifat sebagai asessoir dalam akad. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa gharar yang hanya sebagai asessoir dalam akad tidaklah diharamkan. Namun perlu diingat, Jika pembeli membeli barang tersebut dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan kupon sedangkan ia sendiri tidak membutuhkan barang dimaksud, maka hukumnya adalah haram karena kedudukan kupon dalam hal ini adalah sebagai tujuan pembelian dan bukan sebagai asessoir. Demikian secara global beberapa bentuk undian yang banyak terjadi di zaman ini. Tentunya ketika menentukan hukum perlu mempelajari contoh-contoh undian tersebut, apakah mempunyai syarat tertentu atau atau sekedar memberikan hadiah dengan istilah undian.
C. Penutup Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan. 1. Gharar itu mencakup dua bentuk. Pertama, keragu-raguan dan kebimbangan, yakni antara keberadaan dan keberhasilan objek jual beli dengan ketiadaannya. Kedua, ketidaktahuan, yakni sesuatu yang tidak diketahui sifat, ukuran, dan lain- lainnya. Sebagaian ulama mutaakhhirin telah mentarjihkan definisi ghoror dengan memilih pendapat Ibnu Taimiah dan As-Syarkhosyi yang mengatakan bahwa al gharar adalah sesuatu yang akibatnya tersembunyi. Artinya menjual barang yang tidak diketahui rupa, sifat dan ukurannya. Para fuqaha memerinci gharar menjadi beberapa jenis, yaitu: gharar fil wujud, gharar fil hushul, gharar fil miqdar, gharar fil
36
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
jinsi, gharar fish shifah, gharar fiz zaman, gharar fil makan dan gharar fit ta’yin. 2. Undian berhadiah dengan membayar iuran diharamkan, karena unsur ghararnya sangat nyata, di mana peserta membayar iuran yang kemungkinan ia mendapatkan hadiah sehingga berlaba atau ia tidak mendapat apa-apa sehingga ia mengalami kerugian. 3. MLM mangndung transaksi gharar, karena tidak adanya kejelasan terhadap anggota yang sudah membeli produk tadi dan mengharapkan keuntungan yang lebih banyak dari bonus. Tetapi dia sendiri tidak mengetahui apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah merugi.
Daftar Pustaka Abdurrahman, Yahya, Asuransi Dalam Pandangan Syariat, Al-Azhar Press, Jakarta, Cet. IV, 2012. Adarir, Muhammad Amin Shadiq, al Gharar wa Atsaruhu fil Uqud fi Fiqh Islami, Dar Jiil, Bairut, Cet. II, 1990. Al Umrony, Abdullah bin Muhammad bin Abdullah, Al-Uqudul Maliyah al-Murokkabah Dirosah Fiqhiyyah Ta’shiliyyah wa Tatbiqiyyah, Dar Kunuz Isybilia lin-Nsyari wat-Tauzi’i, cet. I, Riyad, 2006. Ali Musyaiqih, Khalid, Buku Pintar Muamalah Aktual dan Mudah. Wafa Press, Klaten, cet.I, 2012. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI), Ciputat: Kerjasama MUI dengan IB Edisi Revisi 2006. Harefa, Andreas, Multi Level Marketing Alternatif Karier dan Usaha Menyongsong Milenium Ketiga, PT: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet.I. 1999.
KONSEP RIBA DALAM ISLAM Kritik Terhadap Interpretasi Riba Kaum Liberalis Sofyan Sulaiman Dosen Ekonomi Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Abtstract Ribais avery important issue in Islamic finance transactions. It is a fundamenta lconcept. Ribahas clearly forbidden by Allah, even Allah declared war against theeater of usury. But over time, a debate betwee nulama and experts of Islamic economics with liberal Muslim scholars about the meaning and scope of usury. Ulama and the Islamic economists agree that the meaning of usury include interest, sothe interestis forbidden. While the liberal sargue that the meaning of usury does not include interest based on contextual interpretation. So the interest may be made by reason of providing maslahat he lives of Muslims.
Key words: riba, bunga bank, transaksi Islam.
A. Pendahuluan Semenjak dimulainya sejarah Islam, masyarakat Muslim tidak mengabsahkan riba (termasuk di dalamnya bunga). Masyarakat Muslim mengelola perekonomiannya dan menyelenggarakan perdagangan domestik dan internasionalnya tanpa pranata bunga. Bagi-hasil dan berbagai jenis sistem partisipasi berperan sebagai dasar yang layak bagi tabungan dan investasi dan cukup banyak modal yang dihimpun untuk kepentingan pertambangan, pembangunan kapal, tekstil, dan industri-industri lainnya, seperti halnya untuk kepentingan maritim. Masyarakat Muslim mengenal perbankan berdasarrkan bunga ketika rezim-rezim kolonial menjajah negara-negara Muslim.1 Tak adanya sistem keuangan Islam saat itu, memaksa masyarakat Muslim untuk menerima sistem berbasis riba tersebut. Riba dilarang keras dalam Islam, bahkan orang yang memakan riba dianggap telah menantang perang terhadap Allah dan RasulNya. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Al1 Muhammad Nejatullah as-Siddiqi, Bank Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. xiv.
38
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014 lah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.2
Namun belakangan, terjadi perdebatan tentang makna dan cakupan riba. Semua sepakat bahwa riba haram, tapi yang menjadi polemik adalah makna riba tersebut mencakup bunga bank (interets). Mayoritas ahli fiqh dan ahli ekonomi Islam sepakat bahwa makna riba mencakup bunga bank (interest). Sebagai konsekoensinya bunga bank haram dan harus dilarang dalam transaksi keuangan Islam. Namun, beberapa pemikir Islam liberal tidak setuju dengan hal ini. Menurut mereka makna riba tidak mencakup bunga (interest), konsekuensinya bunga bank halal dan sah dilakukan dalam Islam. Sebelum kita bahas bagaimana cakupan riba dalam Islam, kita lihat dulu bagai pandangan para pemikir Islam liberal.
B. Pandangan Cendekiawan Muslim Liberal Terhadap Riba Untuk memahami riba, menurut para cendekiawan liberal, harus dilihat dulu bagaimana konteks pengharaman riba tersebut. Menurut Abdullah Saeed, prefessor studi Islam dan Arab asal Maladewa yang berkebangsaan Australia, bahwa pengecaman dan pengharaman final atas riba dalam al-Qur’an didahului oleh pelarangan sejumlah bentuk perilaku lain yang secara moral tidak dapat diterima terhadap orang-orang yang secara sosial dan ekonomi tidak beruntung (mustadl’afin). Seperti, tidak menolong fakir miskin mendapatkan hukuman di neraka.3 Kritikan Allah terhadap orang yang tidak memberikan makan dan membantu orang miskin.4 Dalam banyak kesempatan, al-Qur’an mengecam orang-orang yang
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
39
berkelebihan di masyarakat Makkah.5 Al-Qur’an juga berulang-ulang pentingnya memberi nafkah untuk meringankan beban orang-orang miskin. Selanjutnya menurut Saeed, hal tersebut menandakan keberpihakan al-Qur’an terhadap orang-orang yang secara ekonomi tidak beruntung, dan menyoroti perlunya memberikan bantuan keuangan terhadap mereka. Konteks diatas menunjukkan bahwa tindakan tolong-menolong semacam itu direkomendasikan dalam suatu kasus debitur yang terpaksa meminjam untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tidak ada yang menunjukkan bahwa pinjam-meminjam di kalangan orang kaya untuk keperluan dagang, atau dengan kata lain, untuk tujuann kemanusian.6 Hal yang sama dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa konteks pengharaman riba adalah akibat kelintah daratan dan kekikiran orang-orang kaya, lebih lanjut menurutnya; Sama sekali tidak aneh jika riba dikecam sejak periode awal pewahyuan; justru tidak munculnya kecaman yang demikian dini ini mungkin tidak hanya mengejutkan, tetapi juga berentangan dengan kebijakan al-Qur’an. Ayat-ayat Makkah penuh dengan kecaman terhadap ketidak adilan ekonomi masyarakat Makkah kala itu, terhadap ‘kelintah-daratan” dan kekikiran orang-orang kaya, dan terhadap praktik-praktik dagang mereka yang tidak menghiraukan etika, seperti mencurangi timbangan dan ukuran, dll. Maka, bagaimana mungkin bahwa al-Qur’an akan lalai untuk mengecam kejahatan ekonomi riba?”7 Menurut cendekiawan liberal, bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah di tengah semerawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu. Dimana orang-orang kaya berkuasa sementara orang-orang yang lemah semakin menderita. Dalam konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan riba haram sementara jual-beli halal.Sebagaimana yang dikatan oleh Muhammad Asad: Garis besarnya, kekejian riba (dalam arti dimana istilah ini digunakan dalam al-Qur’an dan dalam banak ucapan Nabi) ter5 QS. Al-Fajr (89): 17-33.
2 QS. Al-Baqarah: 278-280. 3 QS. Al-Mudatsir (74): 43-44.
6 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, Kritik Interpretasi Bunga Bank Kaum NeoRevivalis (Jakarta: Paramadina, 2006), h. 24.
4 QS. Al-Mudatsir (74): 24-45.
7 Fazlur Rhaman, “Riba and Interest”, Journal of Islamic Studies (1964), h. 3.
40
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014 kait dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh melalui pinjaman-pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang-orang yang berekonomi lemah oleh orang-orang kuat dan kaya. …dengan menyimpan definisi ini di dalam benak, kita menyadari bahwa persoalan mengenai jenis transaksi keuangan mana yang jatuh ke dalam kategori riba, pada akhirnya, adalah persoalan moral, yang sangat terkait dengan motivasi sosial-ekonomi yang mendasari hubungan timbal balik antara si peminjam dan pemberi pinjaman.8
Melihat konteks keharaman riba, maka riba harus dipahami dalam perspektif moral, Abdullah Yusuf Ali juga mengatakan: Tidak perlu ada pertanyaan tentang pengharaman [riba] … Defenisi yang akan saya terima adalah: mencari untung secara tidak adil, tidak melalui perdagangan yang sah, dihasilkan dari pinjaman-pinjaman berupa emas dan perak, dan berbagai bahan makanan pokok seperti tepung, gandum, anggur, dan garam… Definisi saya tentu mencakup semua jenis pengambilan keuntungan secara berlebihan, kecuali kredit ekonomi, produk perbankan, dan pembiayaan modern.9 Menurut pemikir liberal, praktik riba yang terjadi pada waktu itu dinamakan riba jahiliyyah. Hal berdasarkan komentar Imam atThabari mengenai asbabun nuzul Surah Ali-Imran ayat 31, ia mengatakan: Janganlah mengonsumsi riba setelah kalian memeluk Islam sebagaimana kalian telah mengkonsumsinyas sebelum Islam. Cara orang-orang Arab pra-Islam mengkonsumsi riba adalah bahwa salah seorang dari mereka memiliki utang yang harus dilunasi pada tanggal tertentu. Ketika tanggal itu tiba, si kreditur menuntut pelunasan dari si debitur. Si debitur akan mengatakan, “Tundalah pelunasan utangku; aku akan memberikan tambahan atas hartamu.” Inilah riba yang berganda dan berlipat ganda.10 Riwayat ini menunjukkan bahwa riba sebagaimana yang dip8 Saeed, Menyoal…, h. 61.
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
raktikkan pada zaman jahiliyah (riba jahiliyyah) berarti penambahan jumlah dari pokok pinjaman sebagai imbalan penguluran jatuh tempo hutang yang sudah ada dikarenakan ketikdakmampuan debitur untuk melunasinya tepat waktu. Riwayat ini menurut Saeed, tidak menyingkap apakah utang itu akibat dari pinjaman atau jual-beli tunda.11 Berdasarkan hal ini, Saeed menyimpulkan, bahwa tidak ada bukti bahwa konteks riba adalah eksploitsi terhadap orang-orang yang lemah. Melihat konteks riba di atas, ada beberapa hal yang dirumuskan kaum liberalis mengenai riba. 1. Aspek moral sebagai alasan pengharaman riba Pengharaman riba berdasarkan konteks moral merupakan hal yang paling masuk akal. Hal ini dikarenakan, institusi riba pra-Islam (riba jahiliyyah) memiliki kecenderungan untuk membuat debitur terjerat utang. Makanya, ketidakmungkinan untuk melunasi utang adalah kemungkinan untuk menjadi budak atau buruh ikatan. Karena masyarakat Arab pra-Islam tidak ada undang-undang yang mengatur untuk menccegah kreditur dari memaksa debitur untuk menjadi buruh ikatan. Berbeda dengan sekarang, para debitur pada umumnya, tidak seperti debitur zaman pra-Islam, bersandar pada pendapatan masa depan yang bisa diprediksi untuk melunasi utangutangnya, baik berdasarkan pekerjaan ataupun dari pendapatan yang mendatang yang mungkin dari bisnis atau sumber-sumber lainnya.12 Melihat kondisi masyarakat pada masa itu, dimana pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja adalah masalah yang umum. Pekerjaan dan pendapatan tidak menentu. Maka wajar saja Al-Qur’an mengharamkan riba, sebagai respon terhadap kondisi tersebut, agar orang-orang yang lemah secara ekonomi dan sosial tidak beruntung. Fazlur Rahman, menyindir sikap kebanyakan Muslim yang mengharamkan bunga dengan mengabaikan aspek moral pengharaman riba: Banyak muslim yang berniat baik dengan kesadaran moral yang sangat tinggi secara tulus percaya bahwa al-Qur’an telah melarang semua bunga bank selamanya, tetapi secara menye-
9 Ibid., h. 62. 10 Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’i al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an (ttp.: Dar Hajr, 2001), V: 38.
41
11 Saeed, Menyoal…, h. 29. 12 Ibid., h. 37-38
42
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014 dihkan tidak peduli terhadap apa itu riba secara historis, mengapa al-Qur’an mencelanya sebagai bentuk eksploitasi yang mencolok dan kejam lalu melarangnya, dan apa fungsi bunga bank saat ini.13
Hal ini menurut mereka bukan tanpa alasan, Firman Allah surah al-Baqarah 278-279 mengisyaratkan hal tersebut. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.14 Menurut Saeed, ada dua ayat di atas barangkali dapat menjelaskan sifat riba sebagaimana yang dilarang dalam al-Qur’an. Pernyataan pertama adalah “lakum ru-uusu amwaalikum” (bagi kalian pokok pinjaman kalian) yang segera disusul dengan pernyataan “laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun” (kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya). Pernyataan pertama menyatakan bahwa hanya pokok pinjaman yang menjadi hak si kreditur dan, bagaimanapun juga, ini hanya satu sisi mata uang, sementara sisi yang lainnya adalah pernyataan kedua, laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun. Dua pernyataan tersebut tampak saling bergantung dan, oleh karena itu, salah satu pernyataan tidak boleh dilihat tanpa melihat pernyataan lainnya. Jika dua pernyataan tersebut diambil secara terpisah dan dengan mengabaikan salah satunya, akan ada bahaya bahwa makna yang dimaksud al-Qur’an kemungkinan terdistorsi. Pernyataan laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun lah yang memungkinkan pengharaman riba berdasarkan penekanan pada aspek moral.15 Sayangnya, menurut Saeed, karya-karya tafsir hanya menekan kan satu sisi saja, “lakum ru-uusu amwaalikum”, dan hampir sepenuhnya mengabaikan sisi kedua, “laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun”
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
43
Pengabaian pernyataan yang kedua mungkin mencerminkan metodologi yang digunakan oleh hampir semua mazhab hukum Islam yang metodologi itu elemen-elemen pembentuk setiap perintah dan larangan dalam al-Qur’an ditafsirkan dengan cara melihat makna yang paling literal dan paling dekat dengan teks yang relevan, dan menekankan aspek literal ini dengan mengabaikan alasan atau sebab yang mendasarinya.16 Hal ini tercemin pada pandangan ar-Razi mengenai alasan pengharaman riba: Pengharaman riba dibuktikan dengan sebuah teks [al-Qur’an]. Tidak penting bagi orang untuk mengetahui alasan dari kewajiban-kewajibannya. Oleh sebab itu, pengharaman riba harus dianggap telah cukup jelas diketahui meskipun kita tidak tahu alasan pengharaman ini.17 Pikiran utama yang ditekankan oleh Razi adalah bahwa pencarian alasan pelarangan tidaklah penting, orang hanya perlu taat. Lebih lanjut menurut pandangan ini, kita bahkan tidak perlu tahu apakah alasan itu ada. Padahal menurut Saeed alasan pengharaman tersebut penting agar memperoleh pandangan yang berimbang mengenai apa yang termasuk riba dan apa yant tidak.18 Hal yang senada juga pernah dikatakan oleh Umar bin Khattab mengenai riba. Ibnu Hazm meriwayatkan dalam al-Muhalla, bahwa Umar bin Khattab pernah berkhutbah: “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak mengerti, barangkali kami memerintah kalian dengan sesuatu yang layak bagi kalian, dan barang kali kami juga melarang kalian untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak layak bagi kalian. Ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah adalah ayat tentang riba, tidak lama kemudian beliau wafat, sebelum sempat menjelaskannya kepada kita, maka tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kalian, dan kerjakan apa yang tidak meragukan.”19
16 Ibid., h. 34.
13 Ibid.
17 Ibid.
14 QS. Al-Baqarah (2): 278-279.
18 Ibid., h. 35.
15 Saeed, Menyoal…, h. 34.
19 Ibnu Hazam az-Zhahiri, Muhalla bi al-Atsar (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), VII: 414.
44
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
Dalam riwayat Imam Ahmad r.a. “… Ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat yang menerangkan tentang riba. Sesungguhnya Rasulullah sampai beliau wafat tidak pernah menafsirkan ayat tentang riba, maka tinggalkanlah riba dan raibah (keraguan).”20 2. Apa yang diharamkan adalah riba pra-Islam (Riba Jahiliyyah) Melihat apa yang diriwayatkan oleh ath-Thabari menjelaskan bahwa riba yang diharamkan adalah pra-Islam, dan juga dapat disimpulkan darinya bahwa bunga ringan tidak diharamkan. Hal ini menurut Saeed berdasarkan pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha. Mendukung hal ini, Saeed mengutip pendapat Chibli Mallat: Baik Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha tidak ada yang merasa nyaman dengan bunga yang diberikan kepada para deposan atas uang mereka, tetapi mereka berdua tampaknya mentolerir bunga jika pola mudarabah dapat dirancang untuk melegitimasi bunga atas simpanan-simpanan para pekerja.21 3. Kebutuhan sebagai alasan untuk mengizinkan bunga rendah Riba pra-Islam (riba jahiliyyah) merupakan bentuk riba terburuk “serupa dengan bunga berlipat ganda saat ini” adalah haram tanpa pengecualian. Di lain pihak, karena riba penunduaan (nasi’ah), riba penambahan (fadhl) dan riba pinjaman diharamkan untuk mencegah terjadinya riba pra-Islam, maka semua jenis ini mungkin saja dibolehkan untuk sementara, dalam hal ‘kebutuhan’ menurut tinkatnya kebutuhan. Kemudian hukum harus menetapkan batas-batas bagi suku bunga, metode pembayaran, dan total yang harus dibayar sehingga bisa dibuat estimasi apa yang diperlukan bagi setiap kasus tertentu.22 Mengutip pendapat Sanhuri: Dalam suatu Sistem ekonomi kapitalis, modal dimiliki oleh individu-individu, lembaga-lembaga, dan bank-bank; modal tidak dimiliki oleh pemerintah. Ada kebutuhan umum bagi pengusaha untuk mendapatkan modal guna investasi… Selama ada kebutuhan untuk mendapatkan modal dengan cara 20 Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Cet. 1 (ttp.: Muassasah al-Risalah, 2001), h. 361.
45
peminjaman, dan modal tersebut tidak dimiliki oleh pemerintah, bunga atas modal itu dengan batas-batas yang dinyatakan adalah halal, sebagai pengecualian dari pengharaman yang asli. Individu memiliki modal, yang ia tabung dengan kerja keras dan usahanya; ia memiliki kewajiban untuk tidak berbuat zalim dan hak untuk tidak dizalimi.23 4. Pinjaman untuk Konsumsi atau Produksi Melihat konteks turunnya ayat-ayat pengharaman riba, yaitu, untuk membebaskan penderitaan kaum miskin, orang-orang yang melarat, dan mereka yang terjebak hutang, maka pengharaman riba dari sudut pandang ini adalah terkait dengan pinjaman untuk konsumsi. Karena tidak terdapat bukti untuk pinjaman untuk tujuan-tujuan produksi dalam sekala yang luas pada zaman pra-Islam. Dari riwayat-riwayat dalam tafsir ath-Thabari, kata Saeed, tidak satu pun menyebut adanya atau komoditas yang dipinjam adalah untuk investasi. 5. Pertententangan Riba dengan Jual-Beli dan Shadaqah Berkenaan dengan ayat “…. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jualbeli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkanjualbeli dan mengharamkan riba….”.24 Menurut Saeed, ayat yang menggabungkan dua pernyataan bahwa jual beli adalah halal dan riba adalah haram bukanlah pertentangan sebagaimana yang dipahami ulama dan para sarjana ekonomi Islam. Namun pertentangan yang muncul adalah pada ayat “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”25 Dua hal yang mendukung pandangan ini adalah, pertama, al-Qur’an tidak menyusulinya dengan anjuran jual beli (bai’) tetapi menyatakan kehalalaannya. Kedua, segera setelah pernyataan ini, Allah mempertentangkan antara riba dan sadaqah.26 Hal yang sama juga dikatakan oleh Rahman: 23 Ibid. 24 QS. Al-Baqarah (2): 275.
21 Saeed, Menyoal…, h. 63.
25 QS. Al-Baqarah (2): 276.
22 Ibid., h. 64-65.
26 Saeed, Menyoal…, h. 32
46
غررdalam ( Konsep)Riba Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
47
ًغرا أو غرورا ً – غرر – يغرر ) ( غرر ) ( غرر صلهى ه سو ُل ه صا ِة َوعَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر ُ نَ َهى َر َ سله َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َح َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ ًغرورا Menurut al-Qur’an, lawan dari riba bukan bai’ (jual beli) medianggap ini أو di غرا suatu tempat, – غررbelum ً – يغرر ًغروراApa غرا أو – يغرر – غررmashlahah pada hari ً yang lainkan shadaqah, kebingunangan yang tengah terjadi mengetentu menjadi mashlahahعنه diwaktu dan أنواع tempat yang berbeda. الغرر المنهى nai masalah ini, menurut kami, disebabkan karena riba dan صاة وعَنْ بَ ْيع ا ْل َغ َرر ْ ْ ه صلهى ه هriba َ ر ر غ ل ا ع ي ب ع و ة ا ص ح ل ا ع ي ب ع م ل س و َعلَ ْي ِهdipahami, سو ُل نَ َهى َرkonَْن َْن ْ ْ ُ dalam َ َ َ َ َ َ َ ِﷲ ْ ِ ه ه ه ه ُﷲ َ َ َ َ ِ َ Dengan argumentasi di atas, dapat ح ل ا ع ي ب ع م ل س و ه ي ل ع ﷲ ى ل ص ﷲ ل و س ر ى ه ن َْن ِ ِ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ َ َ َ ِ ُ ُ َ ِ َ َ ِ ِ ِ bai’ dianggap saling bertentangan. Akibatnya adalah bahwa ِ في المعامالت الغررbunga bank, sah-sah saja teks sekarang, yangالمعاصرة telah menjelma dalam “kekusutan-yuristis” (juristichair-splitting) telah menggantikan عنه المنهى أنواع الغرر عنه الغرر المنهى أنواع di praktikkan selama memberikan mashlahah bagi manusia. Apa yang ) غرر ( pentingnya pesan moral di balik pengharaman riba.27 ْ ْ ه ه ه ه َ َ َ َوعَنْ بَ ْي ِع الغ َر ِرdiharamkan صا ِة سل َم ﷲُ َعل ْي صلى سو ن َه ُ ى َر َ عَنْ بَ ْي ِع ال َحadalah َ ِه َوtipe َ ِ ُل ﷲyang pinjaman berusaha mengambil untung المعاصرة المعامالت الغرر في المعاصرة في رر الغ 29 ًغرورا أوdari غرا – يغرر – غرر ) غرر ( ً المعامالت Setelah Allah mempertentangkan riba dengan shadaqah, alpenderitaan orang lain. Dapat kita lihat, kaum modernis- Qur’an memerintahkan umat Islam untuk melepaskan hak mengamliberal hanya ingin mengabil maqashidnya berupa mashlahah هyang سو ُل ه س َغ ُلو َر ُل ِر سرا ْل ىر ِع صاًا ِة َو نَع َهَنْنَى َهبَ ْي غرا بَ ْيأو ِع ا ْل َح التأمينو غرر َعلَ– ْي ِه ﷲ صلهى ﷲ نَ َهى َر ْسله َم– ع ًَن ُ ْ ْ َ َ َ ه ه ه ه ْ ْ ِ َ ه ه ه ه َ ُ َ َ َ ر ر غ ل ا ع ي ب ع و ة ا ص ح ل ا ع ي ب ع م ل س و ه ي ل ع ﷲ ى ل ص ﷲ َْن َْن غرور يغرر ر ر غ ل ا ع ي ب ع و ة ا ص ح ل ا ع ي ب ع م ل س و ه ي ل ع ﷲ ى ل ص ﷲ و َْن َْن َ ْ ْ ْ َ ُ ْ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ِ ِ ِ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ِ ِ ِ َ ُ َ َ ِ َ ِ ِ ِ ِ ِ bil riba yang masih ada dan untuk hanya menerima pokok pinjaman dan meninggalkan syariatnya. yang telah diberikan kepada debitur. Kegagalan untuk melakukan Sementara jumhurَ ulama dan)التأمين ه ahli ekonomi Islam, bunga tidak ( صلهى ه عنه ْي ِع ا ْل َغ َر ِر صا ِة َو ْسله َم عَن ُ نَ َهى َر َالمنهىعَنْ ب َ الغررح َ أنواعبَ ْي ِع ا ْل َ ﷲُ َعل ْي ِه َو َ ِسو ُل ﷲ التأمينbentuk hal ini mengundang “perang dari Allah dan Rasulnya”. Akhirnya, diterima dalam sistem keuangan Islam karena bunga hanya التأمين باليانصيب جائزة al-Qur’an menganjurkan umat Islam untuk memberikan waktu kedari riba. ketika المعاصرةlain المعامالت رر فيLantas الغ عنهbunga المنهىdihilangkan أنواع الغررbisakah perbankan ) التأمين ( ) ( التأمينmashlahah sebagaimana bunga yang pada debitur yang mendapatkan kesulitan (dzu ‘usratin) untuk melusyari’ah memberikan dianggap nasi hutang tepat waktu.28 Dzu ‘usratin ini menurut sejumlah otori-ﷲ َعلَيه وسلهم عَنْ بيع ا ْلحصاة وعَنْ بيع ا ْل َغرر oleh bisa memberikan Mari kita teliti المعاصرة في المعامالتmashlahah? الغرر سو ُل ه ُ نَ َهى َر َ modernis-liberal ِﷲ َ ِ َ َ ِ َْ ِ َ ِ َْ َ َ َ ِ ْ ُ صلهى ه جائزة باليانصيب tas tafsir mengacu kepada orang miskin, bukan kepada orang kaya. lebih باليانصيب lanjut. جائزة ) ( الفائدة Hal ini juga menjadi bukti bahwa al-Qur’an sangat berpihak kepada صلهى ه سو ُل ه َنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر1.وعCakupan ﷲُ َعلَ ْي ِه َو ُ نَ َهى َر َ ْي ِع ا ْل َحMakna َسله َم عَنْ ب َ Riba َ ِﷲ َ صا ِة التأمين orang miskin. Mayoritas ahli ekonomi Islam dan ulama sepakat bahwa riba ) المقرض ( merupakan) tambahan dan tumbuh, sementara bunga )( () الفائدةmeru( (الفائدة ) التأمين التأمين pakan tambahan pada modal )( () رأس المالyang dipinjamkan/dihuC. Riba: Antara Ketetapan Nash dan Maqashid asy-Syari’ah ) المقرض karena( telah tangkan Jika kita lihat pemikiran cenedekiawan liberal di atas, pemiki)( المقرض باليانصيب ) جائزة,( atau uang yang harus ) التأمينdibayarkan ( مباني وال لأللفاظ ال والمعاني للمقاصد العقود من العبرة أن menggunakan uang, yang jumlahnya menunjukkan persentase dari ran mereka dibangun atasu dua hal. Pertama, bahwa al-Qur’an adalah ) ( رأس المال رأس المال jumlah)uang yang( dipinjam.30 Dari makna respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu, sehingga huباليانصيب جائزةtersebut dapat kita pahami bahwa dua istilah tersebut berujung pada satu sifat, yaitu tamkum- hukum fiqh merupakan produk ijtihad para ulama yang bisa أن العبرة من العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ وال مباني وال لأللفاظ ال والمعاني للمقاصد العقودSebagaimana من مبانيالعبرة ) الفائدة ( أنyang dikatakan dijelaskan oleh Muhammad bahan. saja berubah. Kedua, bahwa tujuan ditetapkannya hukum Islam itu Gambar : 1Abdullah al- ‘Arabi: bukan sekedar untuk memenuhi formal legalistiknya saja – dalam ) ( المقرض ) ( الفائدة kasus ini hukum riba – tetapi lebih jauh dari itu, yaitu untuk menJenis Beda Tidaklah terjadi bunga kecuali adanya tambahan pada modal ciptakan maslahah kepada manusia, yang masyhur disebut dengan Gambar : 1 ) yang dihutangkan ( ).( Dan setiap tambahan ( ) المال رأس ( ) المقرض Gambar : 1 prinsip maqashid syari’ah (obyektif syari’ah). Prinsip ini menyatakan mata riba, baik ditinjau secara bahasa maupun tersebut Kasat merupakan 31 Beda bahwa setiap hukum mempunyai maqashid utama. Adapun tujuan ‘ayn syari’ah. Jenis kualitas العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمبانيsecara منJenis العبرة أنberbeda ) ( رأس المال biBeda utama syari’ah Islam adalah menciptakan kemaslahatan (kebaikan) ‘ayn mata ini kemudian dikuatkan oleh Isa Abduh, bahwa bunga dan Kasat mata bagi ummat manusia. Riba diharamkan untuk menjaga kepentingan والمبانيHal لأللفاظ للمقاصد والمعاني ال العقودKasat العبرة من أن Jenis Sama riba hanya berbeda istilah saja: kualitas berbeda golongan lemah dan miskin dari terus dieksploitasi berbeda ‘ayn kualitas bi ‘ayn bi oleh kelompok kapitalis. Akan tetapi, menurut para modernis-liberal, mashlahah itu ‘ayn Gambar : 1 ‘ayn 29 Ibid., h. 62. Kasat mata sendiri dapat berubah sesuai dengan peredaran waktu dan tempat. Jenis Sama Jenis kualitas Sama sama Jenis Beda Gambar 30 Sudi : 1 Haron dan Wan Norsofiza Wan Azmi, Islamic Finance and Banking System: 27 Rahman, Riba…, h. 31. 28 Saeed, Menyoal…, h. 33.
‘ayn bi ‘ayn
‘ayn bi Jenis Sama ‘ayn
Philosphies, Prinsciples, and Practices (Shah Alam: McGraw-Hill, 2009), h. 165. Kasat mata Kasat mata Kasat mata Jenis Beda 31 Muhammad Abdullah al-‘Arabi, Muhadarat an-Nazhm al-Islamiyyah (Kairo: kualitas fisama kualitas sama kualitas berbeda Mathba’ah al-Syurq al-‘Arabi, tt.) h. 214. Kasat mata kualitas berbeda
Kasat mata Jenis Sama
جائزة باليانصيب
48
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
) ( الفائدة
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
49
) ( المقرض ) رأس المال ( Bahwa suku bunga adalah riba, tidak masalah walaupun berbeda penamaannya, sebagaimana yang dikatakan oleh qaidah syar’i, “ أن العبرة من العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمبانيBahwaakad dapat dipahami dari tujuan dan substansi akad tersebut, bukan pada lafaz dan susunan kata-kata.”32 M. A. Mannan juga melihat tidak terdapat perbedaan pada riba Gambar : 1 dan bunga bank, lebih lanjut ia mengatakan: Jenis Beda
Menyebut riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang Kasat mata dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun berbeda peraturan hukumkualitas Islam.Islam dengan tegas melarang semua bentuk bunga betapapun hebat dan meyakinkan nama yang diberikan padanya.33
Jenis Sama
Ramdhan Hafidz Abdur KasatRahman mata juga menegagaskan hal yang sama tentang kesamaan bentuk riba dan bunga: kualitas sama
Sesungguhnya mu’amalah ini (bunga) sama saja dengan riba dari segi bentuk dan makna. Hal ini bisa dilhat dari, (1) praktek riba terjadi karena adanya jaminan terhadap uang jika terjadi kerusakan atau hilang pada perbankan ribawi, pemilik uang mengambil uang tanpa kurang sedikitpun kemudian ditambah dengan bunga, hal ini secara asal adalah bentuk dari riba. (2) Jika terjadi kerugian pada uang nasabah, tentu akan menyebabkan kerugian bagi perbankan ribawi, hal ini lah yang menjadi perhatian perbankan untuk menetapkan bunga (3) sehingga bunga diberikan ke pemilik modal, seperti pada seribu pond ada bunga seratus pond secara asal maka juga bentuk dari bunga… Sehingga fatwa bagi orang yang menghalalkan bunga merupakan fatwa yang bathil.34 Jika kita lihat pendapat di atas dapat disimpulkan bunga hanya merupakan istilah yang baru, namun dari segi substansinya tidak 32 Isa Abduh Ibrahim, al-Riba wa Dawruhu fi Istighlal Muwarad al-Syu’ub (Kairo: Dar al-I’tisham, 1977), h. 122. 33 Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1999), h. 165. 34 Ramadhan Hafidz Abdur Rahman, Mauqif asy-Syariyah al-Islamiyah min alBunuk wa al-Mu’amalat al-Masrafiyah wa al-Ta’min (Kairo: Dar as-Salam, 2005), h. 44.
berbeda dari riba. Bahkan jika kita teliti riwayat ath-Thabari mengenai riba jahiliyyah, maka sangat masuk akal jika bunga diharamkan berdasarkan riwayat ini. Dalam praktik riba jahiliyyah, ketika jatuh tempo debitur meminta penundaan dan menawarkan pembayaran lebih. Artinya riba jahiliyyah begitu santun, debitur yang menawarkan pembayaran lebih, bukan kreditur. Sementara praktik bunga saat ini, ketika kita melakukan kontrak, dari awal sudah ditetapkan tambahannya oleh kreditur. Artinya, mafhum muwaafaqah-nya riba jahiliyyah yang begitu santun saja haram, apalagi bunga yang tidak ada sopan-santunya, tentu lebih haram lagi. 2. Bunga untuk tujuan konsumtif dan produktif Seperti yang dijelaskan sebelumnya, cendekiawan liberal berargumentasi bahwa yang dilarang adalah bunga yang sifatnya konsumtif, sementara bunga untuk tujuan produktif boleh untuk dilakukan. Menjawab hal ini, Syaikh Abu Zahrah mengatakan, Sama sekali tidak ada bukti yang mendukung pendapat bahwa riba jahiliyah adalah untuk pinjaman konsumtif dan bukan produktif. Sebenarnya, jenis pinjaman yang ditemukan oleh para ulama dan yang didukung oleh data sejarah adalah pinjaman produktif. Keadaan-keadaan bangsa Arab, posisi Makkah, dan perniagaan orang-orang Qurasy,35 semuanya mendukung pendapat bahwa pinjaman itu adalah untuk tujuan-tujuan produksi bukan konsumsi.…. Kemudian bersabda Rasulullah (dalam haji wada’): “ketahuilah sesungguhnya riba jahiliyyah telah dihapuskan. Riba pertama yang aku hapuskan adalah riba pamanku Abbas bin Abdul Muthalib.” Maka apakah mungkin ada orang yang sehat akalnya berpendapat bahwa ada seseorang yang membutuhkan bahan makanan dan pakaian datang menghadap Abbas, lalu ia mengulurkan pinjaman hanya dengan persyaratan riba? Tentu saja ini merupakan hal yang mustahil. Sesungguhnya Abbas mengambil untung dengan riba pada syirkah.36
35 Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Qurays: 1-4), dijelaskan bahwa sifat orang Qurays suka melakukan perniagaan pada dua musim, yaitu musim panas dan dingin. Jika musim dingin mereka rihlah ke Yaman, sementara jika musim panas mereka melakukan rihlah ke Syam. 36 Muhammad Abu Zahrah, Buhuts fi ar-Riba (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt.), h. 33-34.
50
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Jauh sebelum Abu Zahrah, Fakhruddin ar-Razi telah melihat hal ini, bahkan ia menyerang orang yang membenarkan pinjaman komersial. Ia mengtakan: Sesungguhnya manfaat yang mereka sebutkan ini (keuntungan yang diambil dari tangan debitur yang melakukan perniagaan) hanya berdasarkan perkiraan saja (amr mauhuum), karenanya bisa saja terjadi, bisa saja tidak. Mengambil kelebihan atas dirham (yang dipinjamkan) melalui dasar perkiraan seperti itu, merupakan bentuk kemudharatan…, Ketika pemilik dirham memungkinkan memperoleh keuntungan secara tunai atau pembayaran tunda akan menjauhkan dari tindakan produktif, maka tidak siap dengan resiko usaha, perdagangan dan industri…, sebagaimana diketahui kemaslahatan alam tidak tercapai kecuali dengan kegiatan perdagangan, kerajinan tangan, industri, dan pembangunan.37 Mannan mengatakan, mereka yang berargumen bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi telah mengabaikan al-Qur’an. Karena al-Qur’an secara tegas pada ayat terakhir mengenai pelarangan riba “tinggalakanlah sisa riba.” Lebih lanjut ia menerangkan, “Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis.”38 Hal yang sama juga dikatakan oleh Islahi, menurutnya, jika memang ada perbedaan yang masuk akal tentang perbedaan riba produktif dan konsumtif, pastilah al-Qur’an akan menjelaskan perbedaan di antara keduanya, seperti diturunkan ayat-ayat bagi penduduk yang akan melakukan perdagangan dan meminjam, termasuk di antaranya pinjaman untuk tujuan bisnis.39 Menurut Chapra, pada masa periode Rasulullah saw, masyarakat Muslim telah terbiasa dengan gaya hidup sederhana dan tidak melakukan praktik konsumsi mencolok. Karena itu tak ada alasan 37 Fakhru ad-Din ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Cet. III (Beirut: Dar Ihya’i al-Turats al-‘Arabi: 1420 H), VII: 74. 38 Mannan, Teori…, h. 165. 39 A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taymiyah (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), h. 161.
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
51
meminjam dana untuk tujuan-tujuan pamer diri atau untuk keperluan konsumsi tidak penting. Begitu juga, masyarakat telah terorganisasi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan pokok si miskin dan mereka yang mengalami kesulitan karena bencana alam.40 Lebih lanjut Chapra mengatakan: Dengan demikian, keseluruhan argumen yang menyatakan bahwa bunga menimbulkan kesulitan hanya bagi orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, adalah tidak berdasar. Justru kewajiban masyarakat muslimlah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi orang-orang miskin. Berutang untuk tujuan-tujuan konsumsi yang lain perlu dikontrol dan diorganiasikan …. Karena itu, pada umumnya, utang dalam sebuah masyarakat Muslim adalah untuk tujuan-tujuan bisnis.41 Dari penjelasan Chapra ini, dapat kita pahami bahwa Islam tidak akan membiarkan orang-orang miskin terlantar. Islam mempunyai lembaga khusus dalam menangani hal ini, seperti zakat, wakaf, dan shadaqah. Namun jika kita lihat dari penjelasan cendekiawan liberal seolah-olah Islam tidak begitu peduli dengan masyarakat miskin, dan juga menafikan keberadaan baitul mal yang mengorganisir dana-dana untuk membantu rakyat miskin. 3. Analisa terhadap pandangan Muhammad Abduh dan al-Sanhuri Untuk memperkuat argumen, pemikir liberal mencatut pendapat Abduh dan as-Sanhuri yang menjelaskan bahwa bunga dibolehkan dengan alasan kebutuhan. Untuk memperkuat argumentasinya tersebut Saeed mengutip pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abd al-Razzaq al-Sanhuri. Disini penulis mencoba memberikan pandangan yang berbeda mengenai pendapat ulama tersebut. Sebagian orang mengira bahwa Muhammad Abduh memberikan fatwa tentang kehalalan bunga produktif. Menggapi hal ini Majdi Abd al-Fatah Sulaiman mengutip pendapat Ibrahim Zaki ad-Din Badwi mengatakan: Saya berusaha keras mencari teks ini (fatwa bunga) baik di 40 Umer Chapra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000), h. 26. 41 Ibid., h. 27.
52
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014 dana tabungan atau di sejumlah majallahal-manaar semenjak fatwa tersebut dikeluarkan hingga wafatnya Muhammad Abduh, namun saya tidak menemukan teks fatwa tersebut.42
Dalam Majallah al-Manaar seorang pembaca menanyakan mengenai fatwa Abduh tentang kebolehan bunga pada dana tabungan pos. Menanggapi hal ini, Rasyid Ridha – sebagai orang yang terdekat dengan Muhammad Abduh – mengatakan: Jika al-Ustadz al-Imam Muhammad Abdduh memberikan fatwa secara resmi pada masalah dana tabungan maka akan didapatkan fatwa tersebut dalam kompilasi fatwa di Kementrian Kehakiman dan termasuk fatwa mengenai hal tersebut, dan saya belum pernah melihat fatwa tersebut, akan tetapi saya telah mendengarnya dalam konteks bincang-bincang dengan pemerintah. Adapun hasilnya: Bahwa pemerintah membentuk dana tabungan memanfaatkan pos berdasarkan dekrit pemerintah (pemimpin tertinggi) untuk memudahkan mayarakat miskin untuk menabungkan kelebihan pendapatan mereka lalu hasilnya diberikan kepada mereka. Terdapat sekitar tiga ribu masyarakat miskin yang menabungkan uangnya di dana tabungan tersebut tidak mengambil keuntungan yang menjadi hak mereka sebagaimana yang ditentukan oleh dektrit. Maka pemerintah bertanya kepadaku, “apakah ada metode syar’iyah untuk menjadikan keuntungan ini halal hingga tidak ada dosa bagi orang-orang miskin yang muslim untuk mengambilnya.” Maka aku menjawabnya secara lisan memungkinkan hal tersebut dengan menginvestasikan dana yang terkumpul berdasarkan hukum syirkahal-mudlaarabah.43 Dari pernyataan Rasyid Ridha tersebut sebenarnya yang diinginkan oleh Abduh adalah dengan metode syirkah mudlaarabah. Walaupun akhrinya Abduh mengizinkan tapi hal itu bukan fatwanya, ia hanya mengikuti fatwa ulama Azhar.44 Ulama selanjutnya yang membolehkan bunga adalah Abdul 42 Majdi Abd al-Fatah Sulaiman, “al-Faa-idah al-Mashrafiyah fi Nazhri al-Islaam wa Mawqif al-‘Ulama minha”, Majallah bi al-Dirasat al-Islamiyah wa bi Syu-uni alTsaqafah wa al-Fikr, No. 243 Vol. 2 (Januari, 1984), h. 43 Rasyid Ridha, “Ribh Shunduq al-Barid” Majallah al-Manaar (Februari 1917), XIX: 527. 44 Ibid.
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
53
Razaq al-Sanhuri, ia mengatakan: Dalam suatu sistem ekonomi kapitalis, modal dimiliki oleh inidividu-individu, lembanga-lembaga, dan bank-bank, modal tidak dimiliki oleh pemerintah. Ada kebutuhan umum bagi pengusaha untuk mendapatkan modal guna investasi… selama ada kebutuhan untuk mendapatkan modal dengan cara peminjaman, dan modal tersebut tidak dimiliki oleh pemerintah, bunga atas modal itu dengan batas-batas yang dinyatakan adalah halal, sebagai pengecualian sebagai pengharaman yang asli.45 Jika kita lihat kedua konteks pendapat ulama tersebut, fatwa tersebut keluar bukan dalam rangka mengkritik perbankan Islam yang tidak menerima bunga, karena tidak ada perbankan Islam sebagai alternativ pada waktu itu. Pendapat ulama tersebut keluar akibat kebutuhan umat Islam saat itu. Sehingga seperti Abduh,bunga hanya dibolehkan pada orang yang benar-benar membutuhkan saja, yaitu orang miskin. Sementara al-Sanhuri juga membolehkan dengan batasan-batasan yang tidak melampaui kebutuhan. Artinya, bagi kedua ulama tersebut berlaku hukum dlaruurah. Berbeda dengan dengan kaum liberal, mereka membela bunga dalam konteks mengkritik perbankan Islam, bukan membela orang-orang yang lemah. Dimana kondisi dlaruurah sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada solusi dari bunga tersebut, yaitu perbankan Islam. 4. Jual Beli dan Riba (bunga) Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menurut cendekiawan liberal, tidak ada pertentangan antara jual beli dan riba, diamana pada ayat “mereka mengatakan jual-beli itu sama dengan riba, dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”46 Qur’an hanya menyebut dua pernyataan saja, bukan pertentangan. Sementara pertentangan terletak pada “Allah menghapuskan riba, dan menyuburkan shadaqah.”47 Jika kita lihat konteks ayat ini merupakan bantahan Allah terhadap orang Arab jahiliyyah yang mengatakan riba dan jual-beli sama, karena sama-sama memberikan manfaat 45 Saeed, Menyoal…, h. 65. 46 QS. Al-Baqarah (2): 275. 47 QS. Al-Baqarah (2): 276
54
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
dan keuntungan. Argumentasi ini menurut Syaid Qutb merupakan “syubhat yang lemah”. Karena aktivitas perdagangan itu bisa jadi mendapatkan keuntungan dan bisa jadi merugi. Kepandaian dan kesungguhan seseorang serta keadaan alamiyah yang berlangsung dalam kehidupan itulah yang menentukan untung ruginya. Sedangkan ribawi keuntungannya sudah dipastikan dalam semua keadaan.48 Hal yang sama juga diungkapkapkan oleh Siddiqi, menurutnya perdagangan merupakan fasilitas untuk melakukan pertukaran, dimana pertukaran tersebut menciptkan nilai. Selisih harga bayar dan ongkos, perbedaan harga jual dan harga beli ini disebut profit. Kadang selisih harga tersebut bisa saja negativ, sehingga menyebabkan kerugian. Secara moral, Jual-beli sangat diterima dalam kehidupan sosial semenjak masa paling awal. Semua agama menyetujui hal ini. Keuntungan jual-beli tersebut sama saja apakah ia tunai atau kredit. Namun, bunga mengambil keuntungan hanya berdasarkan waktu.49 Mengomentari ayat “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. al-Baqarah: 275), Imam ath-Thabari mengutip pendapat Abu Ja’far:
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
55
hal tersebut. Bukankah “haram” dan “halal” saling berlawanan? Namun tampaknya para cendekiawan liberal tidak ingin melihat hal ini. Memang benar apa yang diakatan oleh Rahman dan Saeed, shadaqah merupakan antitesis dari riba. Namun, riba dan jual-beli, serta riba dan shadaqah merupakan dua konteks yang berbeda. Allah mempertentangkan jual-beli dan riba ini dalam konteks bisnis, apa yang diharamkan dan dihalakan Allah adalah keuntungan dari dua hal tersebut. Sedangkan pertentangan riba dan shadaqah adalah dalam konteks sosial. Allah memberikan dua jalan bagi ummat Islam, jika ingin berbisnis gunakan jual-beli, jangan menggunakan riba, dan jika ingin menolong seseorang jangan mengambil riba, bahkan lebih baik bershadaqah.
D. Penutup
48 Sayid Quthb, Tafsir Fii Zhilaalil-Qur’an (Jakarta: Gema Insai Press, 2000), I: 383.
Dari penjelasan di atas bahwa tidak ada alasan untuk menerima bunga dalam sistem keuangan Islam. Dalam kaitan ini, masalah yang penting, tetapi juga sulit. Namun hal ini penting, karena perintah Islam untuk membasminya mengandung suatu falsafah sosialekonomi yang khas, yang alergi terhadap pemerasan sosial dalam semua bentuknya, termasuk hubungan-hubungan finansial yang ‘tak seimbang’, dan tidak adil. Masalah ini sulit, sebab nyatanya penghapusan riba merupakan isyarat untuk tidak hanya melakukan penataan-kembali finansial melainkan juga, bahkan lebih mendasar lagi, restrukturisasi semua sistem ekonomi sepanjang jalur Islam.51 Menurut Naqvi, ada pertimbangan-pertimbangan dasar yang harus diperhatikan ketika melarang riba dalam keuangan Islam. Pertama, penghapusan tingkat bunga merupakan alat kebijaksanaan, bukan sasaran kebijaksanaan. Karena penghapusan riba hanyalah sarana, satu di antara banyak sarana, untuk mewujudkan dalam praktek prasyarat-prasyarat adanya suatu perekonomian bebas eksploitasi.52 Kedua, tingkat bunga nol hanya terjadi bilamana suatu sistem ekonomi Islami terjadi, akan tetapi tidak menutup kemungkinan tingkat bunga nol terjadi pada sistem ekonomi yang tidak Islami.
49 Muhammad Nejatullah as-Siddiqi, Riba, Bank Interest and Rationale of Its Prohibition (Jeddah: Islamic Reseach and Training Institute, 2004),h. 45-47.
51 Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sintesis Islami, Cet. III (Bandung: Mizan, 1993), h. 157.
50 Ath-Thbari, Jami’…, VI: 13.
52 Ibid., h. 158.
Allah menghalalkan keuntungan pada perniagaan dan jualbeli.Dan mengharamkan riba, artinya tambahan yang diberikan oleh pemilik modal yang disebabkan oleh penangguhan dan penundaan hutang yang diberikannya. Artinya Allah mengatakan, “Maka tidaklah salah satu dari dua bentuk keuntungan tesebut berdasarkan jual-beli. Yang pertama tambahan berdasarkan penangguhan harta dan penundaan hutang. Dan Aku menghalalkan tambahan pada modal yang berdasarkan jual-beli. Tidaklah tambahan pada jual beli tersebut termasuk kategori riba.50 Dari sini bisa kita simpulkan, tampak bahwa Allah menyanggah pernyataan orang-orang Jahiliyyah, kemudian Allah menyatakan perbedaan jual-beli dan riba, artinya saling berlawanan antara dua
56
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Sehingga penekanan terhadapap bebas bunga saja sudah cukup bagi penegakan suatu sistem Islami adalah keliru.53 Ketiga, dalam artian yang lebih dalam, penghapusan riba berimplikasi adanya penolakan atas keseluruhan sistem kapitalistis.54 Keempat, harus jelas-jelas dipahami bahwa titik-bidik reformasi Islami tidaklah terlalu berat ke arah penghapusan bunga melainkan ke arah penggantiannya dengan memasukkan perubahan-perubahan struktural besar-besaran dalam perekonomian tersebut sejalan dengan adanya suatu mesin finansial yang secara Islami absah.55 Bukanlah cara produksi kapitalis yang bertentangan dengan Islam, tapi mentalitasnya. Hal ini berarti bahwa larangan Islam atas riba benar-benar bukanlah konsep gaya aristoteles atau schoolmen Abad Pertengahan yang yang menyatakan uang itu ‘mandul’ dan, karenanya, tidak harus menikmati pengembalian. Larangan Islam atas riba kenyataanya merupakan kasus khusus dari hukum yang lebih umum yang melarang semua hubungan finansial yang mendorong ketidakadilan sosial.
DAFTAR PUSTAKA Al-‘Arabi, Muhammad Abdullah, Tanpa Tahun, Muhaadlarat fii anNazhm al-Islamiyyah, Kairo: Mathba’ah al-Syurq al-‘Arabi. Chapra, Umer, 2000, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute. Hambal, Ahmad bin, 2001, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Cet. 1, Tanpa Tempat: Muassasah al-Risalah. Ibrahim, Isa ‘Abduh, 1977, al-Riba wa Dawruhu fii Istighlaal Muwaarad al-Syu’ub, Kairo: Dar al-I’tisham. Haron, Sudi dan Wan Norsofiza Wan Azmi, 2009, Islamic Finance and Banking System: Philosphies, Prinsciples, and Practices, Shah Alam: McGraw-Hill. Islahi, A. A., 1997, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taymiyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1997. 53 Ibid., h. 159. 54 Ibid., h. 160. 55 Ibid., h. 161.
Konsep Riba dalam Islam: Kritik ... Sofyan Sulaiman
57
Mannan, Muhammad Abdul, 1999, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf. Naqvi, Syed Nawab Haider, 1993, Etika dan Ilmu Ekonomi, Suatu Sintesis Islami, Cet. III, Bandung: Mizan. Quthb, Sayid, 2000, Tafsir Fii Zhilaalil-Qur’an, Jakarta: Gema Insai Press. Rahman, Fazlur,1964, “Riba and Interest”, Journal of Islamic Studies. Rahman, Ramadlan Hafizh Abdur 2005, Mauqif asy-Syar’iyah al-Islamiyah min al-Bunuk wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah wa al-Ta’min, Kairo: Dar as-Salam. Ar-Razi, Fakhru ad-Din, 1420 H, Mafatih al-Ghaib, Cet. III, Beirut: Dar Ihya’i al-Turats al-‘Arabi. Ridha, Rasyid, 1917, “Ribh Shunduq al-Barid” Majallah al-Manaar, XIX. Saeed, Abdullah, 2006, Menyoal Bank Syariah, Kritik Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Jakarta: Paramadina. As-Siddiqi, Muhammad Nejatullah, 1984, Bank Islam, Bandung: Pustaka. _____, Muhammad Nejatullah, 2004, Riba, Bank Interest and Rationale of Its Prohibition, Jeddah: Islamic Reseach and Training Institute. Sulaiman, Majdi Abd al-Fatah, 1984, “al-Faa-idah al-Mashrafiyah fi Nazhri al-Islam wa Mawqif al-‘Ulama minha”, Majallah bi al-Dirasat al-Islamiyah wa bi Syu-uni al-Tsaqafah wa al-Fikr, No. 243 Vol. 2. Ath-Thabari, Ibn Jarir, 2001, Jami’i al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Tanpa Tempat: Dar Hajr. Zahrah, Muhammad Abu, Tanpa Tahun,Buhuts fi ar-Riba, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi. Az-Zahiri, Ibnu Hazam, Tanpa Tahun, Muhalla bi al-aatsar, Beirut: Dar al-Fikr.
Akad-Akad Perbankan Syariah ... Putri Apria Ningsih, S.E.I., M.A.
AKAD-AKAD PERBANKAN SYARIAH; PERTUKARAN DAN PERCAMPURAN Putri Apria Ningsih, SE.I., MA Dosen Tetap Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam UNISI-INHIIL Abstrak Akad merupakan hal sangat urgen dalam transaksi syariah, apalagi di bank syariah yang digadang-gadangkan sebagai pilar perkembangan investasi syariah. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diharapkan akad terbagi kedalam dua kelompok besar. Pertama natural certainty contracts yang memberikan kepastian pembayaran baik dari segi jumlah maupun waktu yang dapat diterangkan dalam sebuah teori umum yang diberi nama teori pertukaran. Sedangkan yang kedua natural uncertainty contracts memberikan kepastian pendapatan (return) baik dari segi jumlah maupun waktu, yang dapat diterangkan dengan teori percampuran.
Key words: Akad syariah, Pertukaran dan Percampuran
A. Pendahuluan Akad yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa. Perbankan syariah merupakan wadah yang menampung transaksi akad yang berkembang dimasyarakat itu. Salah satu cara terbaik untuk memahami perbankan syariah adalah memperoleh pemahaman tentang akad-akad yang ada. Pengetahuan tentang hal itu dapat kita peroleh salah satunya dalam tulisan ini. Akad dalam perbankan syariah merupakan dimensi yang urgen, dan dapat menentukan apakah bank tersebut murni menerapkan prinsip syariah atau tidak, sebagaimana yang tertuang dalam SK Direksi BI No.32/34/KEP/dir TGL. 12 Mei 1999. Untuk itu
59
jelaslah sebagai akademisi yang konsen pada ekonomi Islam perlu kiranya untuk memperdalam hal ini. Namun, tidak semua yang berkaitan dengan akad ter-cover dalam tulisan ini. Penulis hanya memperdalam tentang jenis-jenis akad yang ditinjau dari pertukaran dan percampuran yang dengan judul “Akad-akad Perbankan Syariah: Pertukaran dan Percampuran”.
B. Pembahasan 1. Konsep Akad Mufassir mengatakan bahwa yang dmaksud akad dalam Islam adalah meliputi seluruh perkara yang diharuskan oleh Allah kepada hamba-hambaNya dan yang Dia ikatkan kepada mereka berbagai beban dan hukum-hukum agama.1 Sehingga perkara apa saja yang diakadkan wajib dipenuhi. Akad yang dilakukan pada bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad berdasarkan hukum Islam.2 Sedangkan akad pada bank konvensional hanya memiliki konsekuensi duniawi saja. Apabila nasabah bank konvensional melanggar kontrak yang telah dilakukan maka hukumannya hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi bila nasabah bank syariah melanggar akad maka ia bertanggung jawab di dunia dan akhirat. Setiap akad dalam perbankan syariah harus memenuhi ketentuan akad, yakni rukun dan syarat. Rukun akad ada tiga, yakni; pelaku akad, objek akad, dan shighat atau pernyataan pelaku akad berupa ijab dan kabul.3 Sedangkan syarat ada ada empat jenis yaitu; 1) syarat in’iqãd (berlakunya akad), 2) Syarat shihãh (sahnya akad), 3) Syarat nafãdz (realisasi akad), 4) Syarat luzûm (terjadinya akad). Syarat in’iqãd ada yang umum dan khusus. Syarat umum harus selalu ada pada setiap akad, seperti syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek akad dan shigah akad, akad pada sesuatu yang dihalalkan syara’, dan akad pada sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat 1 Yusuf As-Sabatin.Bisnis Islami dan Kritik atas bisnis kapitalis.(Bogor: Al Ahzar Press, 2009), hal 36 2 Alauddin Za’tari, al-masharif al-Islamiyah wa madza yajibu an yu’rafu ‘anha, (Damaskus: Dar Ghar Hira, 2006), hal. 21 3 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jil. IV, hal. 92
60
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad nikah. Syarat shihãh, yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus bersih dari cacat. Seperti nafãdz ada dua, yaitu kepemilikan dan wilayah. Syarat luzûm, yaitu bahwa akad harus dilaksanakannya apabila tidak ada cacat.4 2. Akad Pada Bank Syariah Bank Islam atau di Indonesia disebut bank syariah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip Syariah.5 Sehingga bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil), dan penggunaan uang sebagai alat tukar Aplikasi akad dan wa’ad dalam perbankan syariah berbeda. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak dengan pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainya.6 Bila pihak yang berjanji tidak memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya adalah lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.7 Dalam akad, bila salah satu atau kedua belah pihak yang terkait dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibanya,maka ia atau mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad. 4 Ibid, hal. 224-231 5 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 30 6 Akad-akad dalam perbankan syariah. Diunduh dari www.badilag.net 7 Adiwarman Karim.Bank Islam Analisis Figh dan Keuangan.( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.65
Akad-Akad Perbankan Syariah ... Putri Apria Ningsih, S.E.I., M.A.
61
Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil diperolehnya, k ontrak/ akad dapat dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu8: a) Natural Certainty Contracts (NCC) Adalah kontrak /akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)- nya. Dalam kontrak jenis ini pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan assetnya (baik real asset maupun financial asset). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan risiko bersama. Kontrak-kontrak natural certainty ini dapat diterangkan dengan sebuah teori umum yang diberi nama teori pertukaran (the theory exchange). Transaksi di perbankan syariah yang termasuk kedalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jual beli, upah–mengupah, sewa-menyewa. Secara spesifiknya adalah; a) Al-bai’ adalah bertransaksi saling mempertukarkan asset baik real asset maupun financial asset, jadi masing-masing pihak saling berdiri sendiri. b) Salam adalah jual beli dimana uang diserahkan sekaligus dimuka sedangkan barangnya diserahkan diakhir periode pembiayaan. c) Istishna’ adalah akad salam yang pembayaran atas barangnya dilakukan secara cicilan selama periode pembiayaan. d) Ijarah adalah memberi penyewa kesempatan untuk mengambil pemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan membayar upah.9 e) Ijarah muntahia bittamlik (IMBT) adalah jual beli tangguh dimana menjual sesuatu dengan disegerakan penyerahan barang yang dijual kepada pembeli dan ditagguhkan pembayaranya.10 b) Natural Uncertainty Contracts (NUC) NUC adalah akad/kontrak dalam bisnis yang tidak mem8 Ibid. hal.51 9 Hulwati. Ekonomi Islam: Teori dan Prakteknya dalam Perdangan Obigasi Syariah di Pasar Modal Malaysia Dan Indonesia.(Jakarta: Ciputat Press Group, 2009), hal 113. 10 Ibid. hal 88.
62
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014 berikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)- nya. Yang termasuk akad jenis ini adalah akad-akad investasi yang tidak menawarkan return tetap dan pasti. NUC ini dapat diterangkan pula dalam sebuah teori percampuran (the theory of venture). Yang termasuk kedalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Contoh-contohnya ; 1.Musyarakah (wujuh, inan, abdan, muwafadah, mudharabah). 2. Muzara’ah, 3. Musaqah, 4. Mukhabarah.11 Dalam makalah ini kedua teori umum ini yang akan dibahas secara komprehensif.
3. Teori Pertukaran Pengertian dari pertukaran (al-bai’) ialah mempertukarkan suatu (harta benda) untuk tujuan kepemilikan. Dalam kehidupan modern, pertukaran barang sering dilakukan dengan cara jual beli melalui perantaraan uang sebagai alat tukar (medium of change). Dengan cara pertukaran, hasil terjadinya akad dapat diketahui secara langsung baik dari segi objek maupun waktu penyerahan.12 Teori pertukaran dibagi dari dua pilar yaitu: a. Objek Pertukaran Fiqh membedakan dua jenis objek pertukaran, yaitu: 1) ‘ayn (real assets) berupa barang dan jasa 2) Dayn, istilah dayn secara bahasa utang. Namun secara fiqh, dayn selain utang dapat diartikan sebagai asset financial. Objek pertukaran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama dayn berupa uang; dan kedua dayn berupa surat berharga. Perbedaan antara uang dengan surat berharga terdapat pada jangkauan fungsinya. Kalau uang dinyatakan sebagai alat tukar resmi oleh pemerintah sehingga berlaku secar umum. Sedangkan keberadaan surat berharga hanya terbatas pada kalangan tertentu saja yang menggunakannya. b. Waktu Pertukaran Fiqh membedakan dua waktu pertukaran, yaitu: 1) Naqdan (Immediate delivery) yang berarti penyerahan saat itu 11 Adiwarman Karim. Op cit. hal 75. 12 Maulana Malik Ibrahim. Perikatan Syariah. Diunduh dari http://Islamicbusinesslaw.08 blog’spot.
Akad-Akad Perbankan Syariah ... Putri Apria Ningsih, S.E.I., M.A.
63
juga 2) Ghairu Naqdan (Deferred delivery) yang berarti penyerahan kemudian. Secara garis besar ada dua jenis asset yang dapat digunakan sebagai sarana investasi yaitu13: a). Real asset yaitu investasi yang dilakukan dalam asset-asset yang berwujud nyata seperti: emas, real estate dan karya seni. b). Financial asset yaitu investasi yang dilakukan pada sektor-sektor financial, seperti: deposito, saham, obligasi, reksadana. Berinvestasi di financial asset bisa dilakukan dengan 2 cara yaitu langsung dan tidak langsung. Langsung artinya investor membeli asset-asset keuangan perusahaan, tidak langsung membeli saham dari perusahaan investasi yang mempunyai portofolio asset-asset ke uangan dari perusahaan lain . Dari segi objek pertukaran, dapat diidentifikasi tiga jenis pertukaran,yaitu14: a) Pertukaran Real Assets (‘ayn) dengan real assets (‘ayn) Bila jenisnya berbeda (misalnya upah tenaga kerja yang dibayar dengan sejumlah beras) maka tidak ada masalah atau dibolehkan. Namun bila jenisnya sama, fiqih membedakan antara real assets yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya. Contoh, pertukaran kuda dengan kuda diperbolehkan karena secara kasat mata dapat dibedakan mutunya. Satu-satunya kondisi yang membolehkan pertukaran antara sejenis dan secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya adalah15: • Sawa-an bi sawa-in (sama jumlahnya) • Mitslan bi mistlin (sama mutunya) • Yadan bi yadin (sama waktu penyerahanya)
13 Ibid 14 Adiwarman Karim. Op cit. hal 61 15 Ibid. hal 54.
) ( المقرض
64
) ( رأس المال
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Akad-Akad Perbankan Syariah ... Putri Apria Ningsih, S.E.I., M.A.
أن العبرة من العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمباني
Gambar : 1 Gambar : 1 Jenis Beda Kasat mata kualitas berbeda
‘ayn bi ‘ayn Jenis Sama
Kasat mata kualitas sama
b) Pertukaran ‘ayn (real assets) dengan dayn (financial assets) Dalam pertukaran ‘ayn dengan dayn, maka yang dibedakan adalah jenis ayn-nya. Jika ayn-nya adalah barang maka pertukaran ‘ayn dengan dayn itu disebut jual beli (al bai’). Sedangkan bila ‘ayn-nya adalah jasa, maka pertukaran itu disebut sewa-menyewa/upah-mengupah (al-ijarah). Dari segi metode pembayaranya Islam membolehkan jual beli dilakukan secara tunai, atau secara tangguh serah. Lebih jelas dapat dituangkan dalam bentuk skema berikut ini16: Gambar : 2 Gambar :2 Naqdan Salam Al-ba’I (barang)
‘ayn bi dayn
Salam
Istisna’
Muajjal
Muajjal Tagsith
Ijarah Al –ijarah (jasa) Ju’alah
16 Ibid. hal 55
c) Pertukaran Dayn dengan Dayn Dibedakan antara dayn yang berupa uang dengan dayn yang tidak berupa uang (surat berharga). Pertukaran uang de ngan uang dibedakan menjadi pertukaran uang sejenis dan pertukaran uang yang tidak sejenis.17 Perbedaan ini menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Pertukaran uang sejenis hanya diperbolehkan jika memenuhi syarat (1) kesamaan kuantitas (sawaan bi sawa-in); dan (2) kesamaan waktu penyerahan (yadan bi yadin). Misalnya pertukaran uang Rp 100.000 dengan dua lembar uang Rp 50.000 yang diserahkan pada waktu yang bersamaan. Pertukaran uang yang tidak sejenis dalam fiqh dapat dika tegorikan sebagai sharf.18 Penerapan akad ini di lembaga perbankan dikenal dengan istilah money changer, yaitu suatu tempat dimana valuta asing diperjualbelikan. Misalnya ketika nasabah ingin menukarkan mata uang rupiah (Rp) dengan mata uang dolar ($). Agar sesuai dengan ketentuan syariah maka harus dilakukan secara tunai (spot). Jual beli surat berharga pada dasarnya tidak dibolehkan. Namun bila surat berharga dilihat lebih rinci, dapat dibedakan menjadi dua yaitu surat berharga yang merupakan representasi dari ‘ayn dan surat berharga yang tidak merupakan representasi dari ‘ayn. Secara umum dapat dikatakan bahwa hanya surat berharga yang merupakan representasi dari ‘ayn saja yang dapat diperjual belikan 4. Teori Percampuran Selain menggunakan metode pertukaran seperti jual beli (albai’), cara lain yang dapat digunakan untuk menjalankan akad tijarah ialah dengan cara mengadakan persekutuan. Persekutuan merupakan bentuk kerjasama dalam rangka menjalankan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Persekutuan disyariatkan Allah karena tidak semua usaha dapat dijalankan melalui pertukaran. Persekutuan dalam istilah fiqh dikenal dengan nama syirkah. Pengertian 17 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 137 18 Yusuf As sabatin.Ibid. hal 216
Gambar : 3 Teori pertukaran/per campuran
65
66
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
syirkah secara bahasa adalah berarti persekutuan atau percampuran. Setiap akad persekutuan harus memenuhi beberapa prinsip dan persekutuan sebagai berikut19: a. Masing-masing pihak yang berserikat berwenang melakukan tindakan hukum atas nama persekutuan dengan izin pihak lain. Segala akibat dari tindakan tersebut, baik keuntungan maupun kerugian ditanggung secara bersama-sama. b. Sistem pembagian keuntungan harus ditetapkan secara jelas, baik dari segi nisbah (%) maupun periode pembagiannya. Misalnya 60%:40%, 30%:70% dalam periode per triwulan atau per tahun dan lain-lain sesuai kesepakatan. c. Sebelum dilakukan pembagian sleuruh keuntungan merupakan milik bersama. Tidak boleh sejumlah keuntungan tertentu yang dihasilkan salah satu pihak dipandang sebagai keuntungannya. Teori percampuran juga terdiri dari dua pilar yaitu20: 1) Objek Percampuran Tidak jauh beda dengan teori pertukaran objeknya juga dua yaitu ay’n (real asset) berupa barang dan jasa, dan dayn (financial asset) berupa uang dan surat berharga. 2) Waktu Percampuran Juga membedakan waktu percampuran menjadi dua yaitu naqdan yakni penyerahan saat itu juga dan ghairu naqdan penyerahan kemudian atau tangguh. Dari segi objek percampurannya dapat diidentifikasi tiga jenis percampuran, yaitu; a. Percampuran ‘ayn (real asset) dengan ‘ayn (real asset) Dapat terjadi mislnya dalam kasus dimana ada seorang tukang kayu bekerjasama dengan tukang batu untuk membangun sebuah rumah. Baik tukang kayu dan tukang batu kedua-duanya sama-sama menyumbangkan tenaga dan keahlianya (jasa) dan mencampurkan jasa mereka berrdua untuk membuat usaha bersama yakni membangun rumah. Dalam hal ini yang dicampurkan adalah ‘ayn dengan ‘ayn. Bentuk percampuran seperti ini
Akad-Akad Perbankan Syariah ... Putri Apria Ningsih, S.E.I., M.A.
67
disebut syirkah abdan.21 b. Percampuran ‘ayn dengan dayn Pecampuran ‘ayn (real asset) dengan dayn (financial asset) dapat dibagi ke dalam tiga bentuk; 1) Syirkah Mudharabah Dalam kasus ini, uang yang dicampurkan dengan jasa. Hal ini terjadi ketika ada seorang pemilik modal (A) yang bertindak sebagai penyandang dana, memberikan sejumlah dana kepada seseorang yang memiliki kecakapan berbisnis (B). Disini A memberikan dayn (uang), sementara si B memberikan keahlian(jasa). 2) Syirkah Wujuh Terjadi percampuran antara ‘ayn dengan dayn. Seorang penyandang dana (A) memberikan sejumlah dana tertentu untuk dipakai sebagai modal usaha dana menyumbangkan reputasi/ nama baiknya. 3) Percampuran dayn dengan dayn Bila terjadi percampuran antara uang dengan uang dalam jumlah yang sama ( Rp. X dengan Rp. X ), hal ini disebut syirkah mufawadhah. Namun bila jumlah uang yang dicampurkan berbeda ( Rp. X dengan Rp. Y ), hal ini disebut syirkah ‘inan. Percampuran ini juga bisa berupa kombinasi antar surat berharga. Gambar dibawah ini memberikan ikhtisar mengenai pembagian teori percampuran dan teori pertukaran dilihat dari objeknya dan waktunya. Pada dasarnya pembagian objek dan waktu dalam teori percampuran sama dengan teori pertukaran.22
19 Ibid.
21 Adiwarman Karim Op cit. hal. 63
20 Adiwarman Karim. Op cit. hal 60.
22 Op cit. hal. 6
‘ayn bi dayn
Tagsith Ijarah
68
Al –ijarah (jasa)
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Akad-Akad Perbankan Syariah ... Putri Apria Ningsih, S.E.I., M.A.
Ju’alah
Gambar : 3
Gambar : 3
Teori pertukaran/per campuran
Objek pertukaran/ percampuran
Waktu pertukaran/ percampuran Dayn (financial asset)
‘ayn (real asset)
Barang & jasa
Uang & surat berhar ga
Naqdan (sekarang)
Ghairu naqdan ( tunda)
Dari gambar diatas memberikan gambaran tentang ikhtisar pembagian teori percampuran dan teori pertukaran, dilihat dari objeknya dan juga waktuya. Pada dasarnya, pembagian objek dan waktu dalam teori percampuran sama dengan teori pertukaran. Dari segi waktunya, baik dalam teori percampuran maupun pertukaran dapat dibedakan menjadi dua: naqdan (penyerahan saat itu juga), dan muajjal (penyerahan kemudian). Sementara itu dari segi objeknya, dalam kedua teori ini dapat dibedakan menjadi dua pula: ‘ayn (real asset, barang dan jasa) dan dayn ( financial asset,uang dan non uang).
C. Penutup Dasar akad perjanjian dapat dibagi menjadi dua yaitu adanya Teori Pertukaran dan Teori percampuran. Dimana Teori Pertukaran dibagi lagi menjadi pertukaran uang dengan uang (valas/sharf) dan pertukaran antara surat berharga (wesel, cek, bilyet giro, surat berharga Bank Indonesia dan surat berharga pasar uang). Kemudian pada teori Percampuran yaitu meliputi syirkah mufawadha dan syirkah ‘inan. Akad dayn bi dayn ini adalah akad-akad yang diperbolehkan dan halal dalam perspektif fiqh muamalah dan ekonomi Islam
69
yang sedang dikembangkan saat ini karena tata cara dan landasannya telah diatur menurt al-Qur;an dan Hadis Nabi. Teori pertukaran dan percampuran merupakan pilar penting. Kalaupun transaksi itu melibatkan dayn dan dayn, maka dayn tersebut haruslah merupakan bukti kepemilikan atas ‘ayn. Dengan demikian kompleksnya transaksi perbankan , maka diperlukan keahlian untuk mendesain akad yang sesuai syariah. Dilakukanya seluruh transaksi perbankan oleh suatu instansi mengakibatkan diperlukan beberapa akad fiqh untuk satu transaksi perbankan modern. Tidak hanya pada perekonomian Islam pada sektor lembaga keuangan saja dasar akad ini dapat dipakai tetapi bisa juga diaplikasikan pada perekonomian negara Indonesia atau sector perekonomian rakyat yang lainnya sebab akad ini memiliki banyak keuntungan baik dari financial maupun dari segi kenyamanan bermualamahnya.
DAFTAR PUSTAKA Antonio,Syafi’i. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001 As-Sabatin, Yusuf. Bisnis Islami dan Kritik atas bisnis kapitalis, (Bogor: Al Ahzar Press, 2009) Al-zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islamy wa adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, Jil. IV. Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007) Akad-akad dalam perbankan syariah. Diunduh dari www.badilag.net Karim, Adiwarman. Bank Islam Analisis Figh dan Keuangan.( Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004) Hulwati. Ekonomi Islam: Teori dan Prakteknya dalam Perdangan Obigasi Syariah di Pasar Modal Malaysia Dan Indonesia.(Jakarta: Ciputat Press Group, 2009) Malik Ibrahim, Maulana. Perikatan Syariah. Diunduh dari http:// Islamicbusinesslaw.08 blog’spot. Za’tari, Alauddin. al-masharif al-Islamiyah wa madza yajibu an yu’rafu ‘anh.,( Damaskus: Dar Ghar Hira, 2006)
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
KONSEP DISTRIBUSI DALAM ISLAM Marabona Munthe, M.E. Sy Praktisi Akademis Ekonom Syariah serta Dosen Tetap STEI Iqra Annisa Pekanbaru Abstrak Sistem pendistribusian dalam sistem ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik dan menciptakan kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan kebobrokan tersebut maka sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan.
Key words : konsep distribusi, Islam
A. Pendahuluan Islam sebagai system hidup (way of life) dan merupakan agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring dengan maju pesatnya kajian tentang ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan filsafat dan sebagainya mendorong kepada terbentuknya suatu ilmu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Adapun bidang kajian yang terpenting dalam perekonomian adalah bidang distribusi. Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam system ekonomi Islam maupun kapitalis sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek social dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini.1 Kasus busung lapar yang mencuat dua tahun silam bisa menjadi salah contohnya. Sebagaimana disitir Menkes Siti Fadilah Supari, ada sekitar 1,67 juta anak-anak di bawah usia lima tahun di In1 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Ekonisia UII, 2004), hlm. 234
71
donesia yang menderita gizi buruk. Merebaknya kasus busung lapar jelas bukan disebabkan oleh minimnya persediaan pangan. Buktinya, pada saat yang sama banyak orang mengalami obesitas karena kelebihan lemak dan kalori. Bukti lainnya, kasus busung lapar juga terjadi di beberapa daerah yang dikenal sebagai lumbung padi, seperti NTB. Di Provinsi tersebut, ada sekitar 49.000 anak balita yang menderita busung lapar. Realitas itu menjadi bukti nyata bahwa kelaparan bukan disebabkan oleh minimnya alat pemuas kebutuhan, namun karena buruknya distribusi. Demikian pula kehidupan mengenaskan yang dialami 39,1 juta jiwa penduduk Indonesia yang tergolong miskin.. Penghasilan mereka hanya Rp 152 ribu per kapita per bulan atau sekitar Rp 5 ribu per hari (hasil survei Badan Pusat Statistik akhir tahun 2012). Dengan penghasilan sebesar itu, amat sulit bagi mereka memenuhi aneka kebutuhan. Kalaupun bisa memenuhinya, tentu dengan serba minim. Makan nasi aking, pakaiannya lusuh dan kumal, tinggal di gubuk reot dan kumuh, dan tidak bisa mengenyam pendidikan. Realitas itu terjadi bukan disebabkan karena sedikitnya kekayaan. Namun sebagian besar kekayaan itu dikuasai segelintir konglomerat. Sukanto Tanoto (Bos Grup Raja Garuda Mas) yang dinobatkan Majalah Forbes Asia sebagai orang Indonesia terkaya di Indonesia, misalnya, memiliki kekayaan bersih 2,8 US dollar miliar atau sekitar Rp 25,2 triliun Atau Rachman Halim, pemilik Gudang Garam. Dia memiliki kekayaan sebesar 1,90 US dollar miliar (tempointeraktif. com 06/09/2010). Beberapa fakta di atas menunjukkan, problem utama dalam ekonomi sesungguhnya adalah masalah distribusi kekayaan. Oleh karena itu, kelaparan dan kemiskinan tidak bisa di atasi hanya dengan melimpahnya jumlah kekayaan. Akan tetapi harus ada sebuah sistem ekonomi yang mengatur distribusi kekayaan hingga terpenuhinya kebutuhan tiap-tiap orang-orang. Mereka yang terlanjur menguasai sumber daya semakin giat mengakumulasikan aset dalam genggamannya. Sementara mereka yang mengalami kesulitan mengakses sumber daya, semakin tidak berdaya. Ini sungguh bertentangan dengan firman Allah, dalam surat al-Hasyr (59) ayat 7, “ Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang orang kaya saja di antara kamu.” Para ahli tafsir sepanjang seja-
72
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
rah Islam telah memberikan penjelasan yang panjang lebar tentang aplikasi ayat ini dalam perekonomian. Oleh karenanya menanggapi kenyataan tersebut di dalam paper ini akan dibahas “Konsep Distribusi dalam Islam”.
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
73
a. Prinsip-prinsip Distribusi dalam Islam Kapitalisme tumbuh dan berkembang dari Inggris pada abad ke18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja yang pada akhirnya aliran ini merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Pada dasarnya isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).2 Landasan atau system nilai (value based) yang membentuk kapitalisme adalah sekulerisme dan materialisme, yang mana sekulerisme berusaha untuk memisakan ilmu pengetahuan dari agama dan bahkan mengabaikan dimensi normatif atau moral yang berdampak kepada hilangnya kesakralan koektif (yang diperankan oleh agama) yang dapat digunakan untuk menjamin penerimaan keputusan ekonomi sosial. Sedangkan paham materialisme cendrung mendorong orang untuk memiliki pemahaman yang parsial tentang kehidupan dengan menganggap materi adalah segalahnya baginya.3 System ekonomi yang berkembang dikalangan kaum kapitalis adalah implementasi dari nilai-nilai sekularisme yang mendasari ideology mereka. Sekularisme merupakan asas ideologi ini, sekaligus menjadi kaidah berpikir dan kepemimpinan berpikir. Demi keutuhan dan kelanjutan sekularisme, maka dalam ideologi kapitalisme harus menjamin dan mempertahankan kebebasan individu, yaitu ke-
bebasan beraqidah, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan perilaku. Di bawah nilai-nilai kebebasan kepemilikan inilah, dibangun pemikiran cabang sistem ekonomi kapitalis, artinya kapitalisme telah memandang bahwasanya manusia hidup di dunia ini bebas untuk mengatur kehidupannya dan tidak boleh dicampuri oleh agama. Agama hanya boleh hidup di gereja atau di masjid- masjid saja.4 Dengan demikian, segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan azas manfaat (naf’iyyah) ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan (barang) maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa). Berkaitan dengan masalah distribusi, system kapitalisme menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan dalam suatu negara dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi yang dapat memecah masalah kemiskinan pada mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah dengan meningkatkan produksi.5 Dengan demikian ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab dengan banyaknya pendapatan nasional maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara membertikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat sehingga setiap individu dibiarkan
2 Achyar Eldine, ”Prinsip-prinsip Ekonomi Islam”, dikutip dari http://www.uikabogor.ac.id/jur07.htm
4 Rizki S. Saputro, “Sekelumit tentang Kapitalisme Global, Permasalahan dan Solusi”, dikutip dari http://72.14.235.104:gemapembebasan. 28 Juli 2006
3 M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta : Ekonisia UII, 2003), hlm. 34
5 Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah, (Bangil : Al-Izzah, 2001), hlm. 12
B. Pembahasan
74
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan memberikan kekayaannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem kapitalis ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat), oleh karena itu hal yang wajar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kakayaan. Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalahmasalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Dr. Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi islam sebagai kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-qur’an, sunnah dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.6 Jadi sangat jelas bahwa ekonomi islam terkait dan mempunya hubungan yang erat dengan agama yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis. Ilmu ekonomi islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Yahya bin Umar, Ibnu Khaldun dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut berakar pada hukum islam yang bersumber dari al-qur’an dan hadits sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya.7 Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segala nya bagi kehidupan sebagaimana menurut kaum kapitalisme adalah 6 Abdullah Abdul Husain At-Tariqi, Ekonomi Islam (Prinsif, Dasar dan Tujuan), alih bahasa: M. Irfan Syofwani, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 14 7 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. VI
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
75
merupakan pemahaman yang salah, sebab manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa kehidupan manusia kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan dimensi non materi. Dalam ekonomi yang berbasis islam kedua dimensi tersebut (material dan non material) ter-cover didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab (menurut syed Nawab Heidar Naqvy).8 Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan makhluknya yang diikuti dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap kehendak-Nya serta memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin proses pencarian kebenaran oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk Allah. Keseimbangan merupakan dimensi horisontal dari islam yang dalam perspektif yang lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-ruhani, material-non material, individu dan social. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan kehendak disini adalah kebebasan yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan oleh Allah. Dan tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di dunia dan akhirat saja tetapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.9 Berkenaan dengan teori distribusi, dalam ekonomi kapitalis dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan faktor produksi yang dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah pendistribusian tersebut merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya bagi sebagian saja.10 Teori yang diterapkan oleh system kapitalis ini adalah salah 8 Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, (London: The Islamic Foundation, 1981), hlm. 21 9 M.B. Hendrie Anto, Op. Cit, hlm. 34 10 Abdurrahman Al-Maliki, Op. Cit, hlm. 14
76
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
dan dalam pandangan ekonomi islam adalah dzalim sebab apabila teori tersebut diterapkan maka berimplikasi pada penumpukan kekayaan pada sebagian pihak dan ketidakmampuan di pihak yang lain. Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan.11 Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-Qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan (59:7).12 Dalam sistem ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil. Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi keadaan perekonomian di negara-negara 11 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, Lc dan Dra. Dahlia Husin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) 12 Zainuddin Ahmad, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 7
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
77
Islam.13 Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup seharihari. Sistem ekonomi islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang dikutuk. Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqaah, hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik. Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun Islam tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh. Sebagai buktinya, banyak sekali ayat al-Quran dan al-Hadits yang memerintahkan manusia menginfakkan harta dan memberi makan orangorang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76): 8, al-Fajr (90):13-14; dan al-Maidah [5]: 89. Al-Quran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin. Allah Swt berfirman:
سائِ ِل َوا ْل َم ْح ُر ْو ِم ٌّ َوفِي أَ ْم َوالِ ِه ْم َح ق لِل ه
Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak َ mendapat bahagian. (Qs. alْ ي الَ يَ ُك ْونُ د ُْولَةً بَ ْي َن ْاْل اء ِم ْن ُك ْم ِ َغنِي ْ َك Dzariyat [51]:19). 13 M Iman Indrakusumah, “Zakat dan Sistem Ekonomi Islam” dikutip dari www.
ض ِم ْن ُك ْم اط يَا أَ ُّي َها اله ِذ ْي َن آ َمنُ ْوا َال تَأْ ُكلُ ْوا أَ ْم َوالَ ُك ْم َ ِل إِ هال أَنْ تَ ُك ْو26 َ ن تِ َجrepublika.co.id/ َبَ ْينَ ُك ْم بِا ْلب2004 ِ Nopember ٍ ارةً عَنْ ت ََرا
78
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
79
I slam (QS al-Taubah [9]: 34). Sebagai alat tukar (medium of exchange) antara harta satu dengan harta lainnya, antara harta dengan tenaga, dan antara tenaga satu dengan harta lainnya, uang memiliki kedudukan amat strategis. Karenanya jika uang itu ditarik dari pasar dan tidak diperoleh manusia, maka tidak akan berlangsung pertukaran, dan roda ekonomi pun akan terhenti. Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah dikatagorikan sebagai kezhaliman sehingga tidak boleh dikْ َي الَ يَ ُك ْونُ د ُْولَةً بَ ْي َن ْاْل اء ِم ْن ُك ْم ِ َغنِي ْ َك erjakan. Pematokan harga jelas merusak kaidah ‘an tarâdh[in] (yang Artinya:”Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orangdilakukan secara sukarela) antara pembeli dan penjual. Harga tiorang kaya saja di antara kamu.” (Qs. al-Hasyr [59]: 7). dak terlahir dari kesepakatan dan kerelaan pembeli dan penjual, ارةً عَنْ ت ََراض َ اط ِل إِ هال أَنْ تَ ُك ْو َن تِ َج ِ َيَا أَيُّ َها اله ِذ ْي َن آ َمنُ ْوا َال تَأْ ُكلُ ْوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلب namun oleh pihak lain. Padahal, merekalah yang paling tahu beraC. Makna Distribusi dan Urgensinya pa seharusnya berapa harga barang itu dibeli atau diual. Karena Pada dasarnya Islam memilki dua sistem distribusi utama, yaktidak didasarkan pada kemaslahatan meraka, sangat berpotensi ni: distribusi secara komersial dan mengikuti mekanisme pasar serta merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Tidak menghersistem distribusi yang bertumpu pada aspek keadilan sosial masyaraankan jika kebijakan pematokan harga ini rawan memunculkan َ kat. سائِ ِل َوا ْل َم ْح ُر ْو ِم ل ل ق ح م ه ل ا و م أ ي ف و ٌّ ‘pasar gelap atau ilegal’. ْ َ ِ ِْ َ ِ ه ِ َ 1. Sistem distribusi yang berlangsung melalui proses ekonomi (MeDemikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada koْ م و ر ح م ل ا و ل ئ ا س ل ل ق ح م ه ل ا و ي أَ ْم ٌّ ْ ه ُ َ ْ ِ ِ ِ ِ َوفalat pembayarnya (al-tadlîs) maupun penipuan pada َ َ kanisme Pasar) ِ ِ ِْ َ moditas dan ْ َ ْاْلdari ًنُ د ُْولَةtukar-menuYakni mekanisme yang ْن ُك ْمdihasilkan اء ِم بَ ْي َنproses ي الَ يَ ُك ْو harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan mencipatِ َغنِي ْ َك kar dari para pemilik barang dan jasa. Mekanisme ini diterangkan kan deviasi harga. Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan ْ َد ُْولَةً بَ ْي َن ْاْلpertukaran اء ِم ْن ُك ْم َك ُي الَ يَ ُك ْون ِ َغنِي dalam firman Allah Swt: ْ barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Seorang pembeli bersedia membeli harga mahal jika komoditasnya bagi. ارةً عَنْ ت ََراض َ اط ِل إِ هال أَنْ تَ ُك ْو َن تِ َج ِ َيَا أَ ُّي َها اله ِذ ْي َن آ َمنُ ْوا َال تَأْ ُكلُ ْوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلب Sebaliknya, dia hanya mau membeli barang yang buruk dengan ْ َ َ ْ ض ِم ْن ُك ْم َها اله ِذ ْي َنAkibat ُّ يَا أَيpraktik al-tadlîs -- yakni menutupi keburukan atau َ اط ِل إِ هال أنْ تَ ُك ْو َن تِ َج ِ َ آ َمنُ ْوا َال تَأ ُكلُ ْوا أ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِالبmurah. ٍ ارةً عَنْ ت ََرا cacat pada komoditas; serta menampakkannya seolah-olah baik— Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling membuat pembeli tertipu. Barang yang seharusnya berharga mumemakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan rah itu melonjak harganya karena ketidaktahuan pembeli. perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. Hal ini juga berkaitan dengan al-ghabn al-fâhisy (penipuan al-Nisa’ [4]: 29). harga). Pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menetapakan berbagai transaksinya dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. hukum yang mengatur mekanisme ini. Berbagai tindakan yang Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan deviasi harga. dapat mengakibatkan deviasi harga dan merugikan para pelaku Berbagai hukum Islam tersebut jika dipraktikkan akan menjual-beli dilarang. Islam melarang praktik penimbunan barang ciptakan pasar yang benar-benar bersih. Kompetisi yang sehat dan (al-ihtikâr), sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan fair akan mewarnai mekanisme pasar. Para produsen dan penjual harga dan merugikan masyarakat. yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memDemikian pula penimbunan emas dan perak atau alat tuproduksi dan menjual barang yang benar-benar berkualitas. Bukar yang berlaku di tengah masyarakat. Tindakan itu diharamkan Rasulullah Saw juga memberikan ancaman keras bagi orang yang tidak peduli nasib orang miskin dan kelaparan. Rasulullah Saw: “Tidak beriman kepada-Ku, seseorang yang tidur malam hari dalam keadaan kenyang, sementara dia mengetahui tetangganya kelaparan.” Islam mencegah berputarnya harta َوا ْل َم ْح ُر ْو ِمkekayaan سائِ ِل ِه ْم َحdi َوالkalangan َوفِي أَ ْم ٌّ hanya ق لِل ه ِ orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah Swt berfirman:
80
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
kan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok tinggi harga barangnya. Kendati telah tercipta pasar yang bersih dan fair, tetap saja ada orang-orang yang tidak mampu bersaing dan tersingkir dari mekanisme pasar itu. Hal itu bisa terjadi karena berbagai sebab, seperti cacat fisik maupun non-fisik, tidak memiliki ketrampilan dan keahlian, tidak memiliki cukup modal, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena mereka tidak bisa ‘menjual’ sesuatu yang dimilikinya, maka mereka pun tidak memperoleh pendapatan. Padahal mereka tetap memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Dari manakah mereka memperoleh pendapatan? Termasuk dalam bahasan ini meliputi gaji bagi para pekerja; biaya sewa tanah serta alat produksi lainnya; profit atau keuntungan untuk pihak yang menjalankan usaha atau yang melakukan perdagangan melalui mekanisme mudharabah, maupun profit sharing untuk modal dana melalui mekanisme musyarakah. Perbedaannya dengan sistem kapitalis adalah tidak adanya unsur interest (bunga) sebagai imbalan uang dan diganti dengan bagi hasil. 2. Distribusi yang lebih bernuansa sosial kemasyarakatan (Mekanisme Non Pasar) Yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Mekanisme itu berupa aliran barang dan jasa dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Bentuk-bentuk mekanisme non pasar ini antara lain: a) Zakat Infak dan Shadaqah Mekanisme inilah yang dilakukan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan. Islam menciptakannya untuk memastikan keseimbangan pendapatan di masyarakat. karena tidak semua orang mampu terlibat dalam proses ekonomi karena yatim piatu atau jompo dan cacat tubuh, Islam memastikan distribusi ekonomi bagi mereka dalam bentuk zakat infaq dan shadaqah. Islam mewajibkan orang kaya yang hartanya mencapai nishab untuk membayar zakat. Harta itu disalurkan kepada delapan golongan. Sebagian besar adalah untuk orang-orang yang miskin dan membutuhkan perotolongan. Patut dicatat,
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
81
pembayaran zakat itu tidak harus menanti kesadaran orang-per orang. Negara juga harus pro aktif mengambilnya dari kaum Muslim (QS al-Taubah [9]: 103), sebagaiman ayang dilakukan Khalifah Abu Bakar dahulu. Beliau pernah memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat. Selain zakat yang diwajibkan, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat. Pemberian harta kepada orang lain itu juga sangat dianjurkan. Pembagian harta waris juga dapat dimasukkan dalam mekanisme nonpasar. b) Warisan Dengan warisan, Islam hendak memastikan bahwa aset dan kekuatan ekonomi tidak boleh terpusat pada seseorang saja betapapun kayanya dia. Jika si bapak meninggal maka anak, istri, ibu, bapak, kakek, dan kerabat lainnya akan kebagian peninggalannya. Sistem distribusinya pun sudah diatur secara sistematis dan kompleks dalam disiplin ilmu faraidh, yang tiada taranya dalam agama atau sistem ekonomi lain. Untuk memastikan keseimbangan famili non-famili Islam juga melengkapinya dengan wasiat yang boleh diberikan kepada non famili dengan catatan tidak lebih dari 1/3. Ini pun untuk memproteksi kepentingan ahli waris juga. c) Wakaf Bentuk dan caranya bisa sangat banyak sekali, dari mulai gedung, uang tunai, buku, tanah, bahan bangunan, kendaraan, saham serta aset-aset produktif lainnya. Berbeda dengan yang lainnya, waqaf tidak dibatasi oleh kaya miskin atau pertalian darah serta kekerabatan. Waqaf adalah fasilitas umum siapapun boleh menikmatinya. Subhanallah Maha Agung Allah dengan sistemnya. Bukan hanya individu. Mekanisme nonpasar bisa juga dilakukan oleh negara. Negara bisa memberikan tanah kepada warganya. Dalam istilah fiqh, kebijakan itu dikenal dengan iqthâ’. Dengan demikian, Islam tidak menjadikan mekanisme pasar sebagai satusatunya mekanisme dalam distribusi kekayaan. Dengan adanya dua mekanisme inilah Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer
82
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
setiap warganya.
D. Konsep Moral dan Etika dalam Sistem Distribusi Agar konsep ini dapat diimplementasikan secara nyata dalam sistem pendistribusian, perlu dilakukan beberapa hal yaitu: 1. Mengubah pola pikir (mindset) dan pembelajaran islam, dari yang terfokus pada tujuan materialistis kepada tujuan kesejahteraan umum berbasis pembagian sumber daya dan resiko yang berkeadilan, untuk mencapai kemanfaatan yang lebih besar. 2. Keluar dari ketergantungan pihak lain. Hidup diatas kemampuan pribadi maupun sebagai bangsa, melaksanakan kewajiban financial sebagaimana yang ditunjukkan al-Qur’an.14 Nilai-nilai moral dalam bidang distribusi menurut Yusuf Qardhawi antara lain: a) Nilai kebebasan dan landasan keyakinan kepadanya Seeorang yang beriman kepada Allah SWT tidak akan merampas kebebasan individu, tidak memperdayainya, tetapi menghormati fitrah dan menjaga kemuliaan. b) Hak milik pribadi adalah fenomena kebebasan yang pertama Kebebasan menentukan bahwa setiap orang harus menanggung rsiko dari apa yang dilakukannya dan mendapatkan keuntungan dari apa yang diusahakannya c) Warisan termasuk hak milik yang paling menonjol Didalam warisan terdapat pemeliharaan mashlahat individu, keluarga dan masyarakat. d) Nilai-nilai keadilan Yaitu sikap senantiasa dalam pertengahan. Diantara prinsip keadilan adalah: 1) Membedakan manusia sesuai dengan keahlian dan usahanya 2) Pemerataan kesempatan 3) Memenuhi hak-hak pekerja 4) Takaful (kesetiakawanan yang menyeluruh) 5) Mendekatkan jurang perbedaan antara manusia15 Islam menciptakan beberapa instrumen untuk memastikan 14 Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Cetakan Kedua, Jakarta, 2007, hal 120. 15 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, hlm.252.
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
83
keseimbangan pendapatan di masyarakat seperti zakat infak shadaqah dan wakaf. Instrumen ini dikedepankan dalam agar tercipta keseimbangan dalam perekonomian, karena tidak semua orang mampu terlibat dalam proses ekonomi akibat cacat, jompo atau yatim piatu. Oleh karenanya Allah itu melibatgandakan pahala orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah. Dalam bahasan normatif di atas, akses etika ekonomi untuk pembahasan mekanisme distribusi pendapatan atas hak kepemelikan materi/ kekayaan dalam Islam mencerminkan beberapa hal berikut: a) Pemberlakuan hak kepemilikan individu pada suatu benda, tidak menutupi sepenuhnya akan adanya hak yang sama bagi orang lain b) Negara mempunyai otoritas kepemilikan atas kepemilikan individu yang tidak bertanggung jawab terhadap hak miliknya c) Dalam hak kepemilikan berlaku sistematika konsep takaful (jaminan sosial) d) Hak milik umum dapat menjadi hak milik pribadi e) Konsep hak kepemilikan dapat meringankan sejumlah konsekuensi hukum syari’ah (hudud) f) Konsep kongsi merujuk kepada sistem bagi hasil sesuai dengan kesepakatan g) Ada hak kepemilikan orang lain dalam hak kepemilikan harta.16 Kebutuhan merupakan alasan untuk mencapai pendapatan minimum. Kecukupan memenuihi standar hidup yang baik merupakan hal yang paling mendasar dalam sistem distribusi-redistribusi kekayaan. Walaupun setiap individu berusaha mencapai tingkat memapan materi, tetap saja secara sunatullah selalu ada pihak yang surplus dan pihak yang defisit. Karena ketidakseimbangan materi pada prinsipnya menciptakan keseimbagan dalam kehidupan. Agar ketidakseimbangan ini tidak menimbulkan persoalan sosial, Islam dengan konsep moral dan etikanya yang tinggi dan melalui syari’atnya (Zakat infak shadaqah dan lain sebagainya) menjadikan hubungan antara si defisit dan si surplus tersebut memiliki hubungan saling ketergantungan sehingga menciptakan keharmonisan. 16 Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Cetakan Kedua, Jakarta, 2007, hal 120
84
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Inilah yang disebut keseimbangan. Kemiskinan memang tidak boleh diberantas namun Islam mengarahkan agar orang miskin dapat hidup secara layak. Menjadi fokus dalam sistem distribusi Islam bukan pada Output namun proses distribusi itu sendiri. Jika pasar mengalami kegagalan (failure), maka konsep fastabiqul khairat mengarahkan semua pelaku pasar dan perangkat kebijakan kepada proses redistribusi pendapatan.
E. Distribusi Pendapatan Negara dalam Ekonomi Islam Sistem distribusi dalam ekonomi Islam memiliki andil bersama sistem politik syari’ah lainnya dalam merealisasikan tujuan umum syari’at Islam, distribusi keuangan kelompokkan kepada: a. Dakwah dan Penyebaran Islam b. Pengelolaan Sumber daya yang dikuasai negara c. Pembayaran Gaji Pegawai Pemerintahan d. Pengembangan Ilmu Pengetahuan e. Pembangunan Infastruktur f. Pembangunan Armada Perang dan Kemanan g. Penyediaan Layanan Kesejahteraan Sosial17
F. Distribusi Pendapatan dalam konteks Rumah Tangga Distribusi pendapatan dalam rumah tangga tidak terlepas dari beberapa terminologi yang pertama, terminologi shadaqah. Dalam konteks terminologi al-Qur’an, shadaqah dipahami dalam dua aspek, yaitu: shadaqah wajibah dan shadaqah nafilah (sunnah). Kedua, terminologi hudud (hukuman). Konsep ini bersifat aksidental, dan merupakan konsekuensi dari sebuah tindakan. Nampak jelas, ajaran Islam memberikan sinyalemen bahwa dengan menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. 1. Distribusi pendapatan dalam terminologi shadaqah wajibah, antara lain: a. Nafaqah, merupakan kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan semua kebutuhan pada orang-orang terdekat, yakni 17 Jabariah bin Ahmad Al- Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi li Amiril Mukminin Umar Ibn Al-Khatab, Terjemahan H. Asmuni Solihin Zamakashi, LC, Khalifa, Jakarta 2006, hal.216-218.
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
85
anak-anak dan istri. Pada kondisi perekonomian bagaimanapun, nafaqah tetap harus diberikan. b. Zakat: merupakan kewajiban muslim menyisihkan harta yang dimilikinya untuk didistribusikan kepada mustahik delapan asnaf. Dua macam instrumen zakat baik zakat mal maupun zakat fitrah memiliki mekanisme dan perhitungan yang sudah diatur dalam syari’at Islam. c. Udhiyah: merupakan kurban yang dilakukan pada hari raya idul adha d. Warisan: pembagian aset kepemilikan kepada orang yang ditinggalkan setelah pemilik harta meninggal dunia. Pembagiannya juga diatur menurut hukum syari’at Islam e. Musa’adah: yaitu memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah f. Jiwar: yaitu bentuan yang diberikan berkaitan dengan urusan bertetangga g. Diyafah: yaitu pemberian yang berkaitan dengan menghormati tamu dalam bentuk penjamuan hadiah dan sebagainya. h. Distribusi pendapatan dalam terminologi shadaqah nafilah (sunnah), antara lain: i. infak : Shadaqah yang diberikan jika kondisi keuangan sudah berada diatas nisab. Jadi seorang muslim dituntut untuk terlebih dahulu memenuhi instrumen zakat. j. Akikah: yaitu memotong seekor kambing bila lahir anak perempuan dan dua ekor kambing apabila lahir seorang anak laki-laki. k. Wakaf: yaitu memberikan bantuan atas kepemilikannya untuk kepentingan dan kesejahteraan umum, aset yang diberikan dapat berupa kebendaan maupun uang tunai. l. Wasiat: yaitu memberian harta kepada orang lain (maksimal 1/3 harta) yang didistribusikan oleh orang yang berwasiat setelah ia meninggal dunia. 2. Distribusi pendapatan dalam terminologi hudud, antara lain: a. Kafarat: yaitu tembusan atas dosa yang dilakukan seorang muslim. Misalnya memberi makan 60 orang fakir miskin dikarenakan melakukan hubungan suami istri disiang hari pada bulan Ramadhan.
86
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
b. Dam/Diyat: yaitu tembusan atas tidak dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan ibadah. Misalnya seekor kambing karena meninggalkan puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji. c. Nudzur: yaitu perbuatan untuk menafkahkan atau mengorbankan sebagian harta yang dimilikinya untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT.18 Berbeda dengan konsep ekonomi lainnya, Ekonomi Islam mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah karakteristik khusus pada aset wajib zakat. Dari sejumlah aset yang dimiliki yang harus diprioritaskan pertama kali adalah kebutuhan keluarga, kemudian bila masih surplus didahulukan membayar hutang, kemudian membayar baru kewajiban zakat. Sedangkan untuk instrumen shadaqah nafilah dapat dilakukan setelah terpenuhinya kewajiban zakat. Pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada pribadi muslim itu sendiri. Tidak ada peran pemerintah secara langsung untuk memaksa umat Islam untuk melaksanakannya, namun secara tidak langsung pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan keagamaan masyarakatnya.
G. Penutup Sistem ekonomi yang berkembang dikalangan kaum kapitalis adalah implementasi dari nilai-nilai sekularisme yang mendasari ideologi mereka. Sekularisme merupakan asas ideologi ini, sekaligus menjadi kaidah berpikir dan kepemimpinan berpikir. Demi keutuhan dan kelanjutan sekularisme, maka dalam ideologi kapitalisme harus menjamin dan mempertahankan kebebasan individu, yaitu kebebasan beraqidah, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan perilaku. Di bawah nilai-nilai kebebasan kepemilikan inilah, dibangun pemikiran cabang sistem ekonomi kapitalis, artinya kapitalisme telah memandang bahwasanya manusia hidup di dunia ini bebas untuk mengatur kehidupannya dan tidak boleh dicampuri oleh agama. Agama hanya boleh hidup di gereja atau di masjid-masjid saja. Sistem pendistribusian dalam system ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat 18 Mustafa Edwin Nasution dkk, Op.Cit , hal 137-140.
Konsep Distribusi dalam Islam Marabona Munthe, M.E. Sy.
87
menimbulkan konflik dan menciptakan kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan kebobrokan tersebut maka sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan system ekonomi islam yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah, (Bangil : Al-Izzah, 2001). Abdullah Abdul Husain At-Tariqi, Ekonomi Islam (Prinsif, Dasar dan Tujuan), alih bahasa: M. Irfan Syofwani, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004) Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Ekonisia UII, 2004) Jabariah bin Ahmad Al- Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi li Amiril Mukminin Umar Ibn Al-Khatab, Terjemahan H. Asmuni Solihin Zamakashi, LC, Khalifa, Jakarta 2006 M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta : Ekonisia UII, 2003) M Iman Indrakusumah, “Zakat dan Sistem Ekonomi Islam” dikutip dari www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail. asp?mid=5&id=179342&kat_id=105&kat_id1=147&kat_ id2=291 26 Nopember 2004 Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Cetakan Kedua, Jakarta, 2007 Rizki S. Saputro, “Sekelumit tentang Kapitalisme Global, Permasalahan dan Solusi”, dikutip dari http://72.14.ccc235.104:gemapembebasan. or.id/%3Fpilih%3Dlihat%26 Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, (London: The Islamic Foundation, 1981) Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal
88
Jurnal Syariah Vol. 3, No. 3, April 2014
Arifin, Lc dan Dra. Dahlia Husin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) Zainuddin Ahmad, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998)