TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP (KAJIAN LIVING HADIS)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh: Ahmad Mahfudz 1112034000032
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
ABSTRAK Ahmad Mahfudz Tradisi Pernikahan di Masyarakat Payudan Karangsokon Guluk-Guluk Sumenep (Kajian Living Hadis) Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih dalam menyatukan dua pasangan yang berbeda jenis, sehingga kemudian akan menjadi media terhadap perkembangan manusia serta menghindari dari hawa nafsu. Sedangkan hadis merupakan suatu bagian yang penting bagi masyarakat karena didalamnya terungkap tentang berbagai tradisi pada masa Nabi. Salah satu tradisi pernikahan yang mengakar di Masyarakat Karangsokon adalah tentang persetujuan pernikahan yang kemudian seakan-akan mengambil hak berbicara dari seoarang anak dalam menentukan pasangannya. Serta adanya sebuah upaya untuk menentukan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) setiap akan melangsungkan pernikahan putrinya bahkan Masjid/Mushalla yang diyakini sebagai tempat suci juga menjadi bagian untuk tempat berlangsunya pernikahan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Living Hadis yang menggunakan pendekatan sosiologi karena yang menjadi obyek kajiannya adalah masyarakat, kemudian untuk lebih mendukung penelitian ini maka penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu dengan metode interview, metode observasi dan metode dokumentasi. Data yang telah terkumpul kemudian dideskripsikan secara alami dan dianalisis. Setelah penulis melakukan penelitian, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan pernikahan masyarakat Karangsokon Guluk-Guluk Sumenep masih berdasar pada kepercayaan leluhur yang kemudian diimbangai dengan dasar Islam. Seperti halnya dalam persetujuan pernikahan, masyarakat merujuk terhadap hadis Nabi. Walaupun dalam hal tersebut tidak sesuai dengan yang dianjurkan dalam pengamalannya untuk meminta persetujuan. Sebab yang terjadi di Masyarakat adalah tidak meminta persetujuan, melainkan hanya memberitahukan saja (formalitas) tanpa mengindahkan pada jawaban. Sedangkan pada acara yang lain tidak demikian seperti halnya penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) dalam pelaksanaan pernikahan, dimana acara akad nikah dengan resepsi pernikahan dilakukan pada waktu yang sama. Kebiasaan masyarakat Karangsokon ini dimaknai sebagai upaya menghilangkan rasa cemas dan dapat memberikan keberkahan kepada kedua mempelai. Begitu pula dengan mushalla yang biasa dijadikan sebagai tempat pernikahan, didasari hadis nabi yang menganjurkan untuk mengumumkan pernikahan di Masjid/Mushalla. Berdasar hal itu pula diharapkana kedua menpelai akan mendapatkan keberkahan dari tempat yang oleh umat Islam dianggap sebagai tempat yang suci, sehingga kemudian akan menjadikan keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah. Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. Tuhan yang maha membolak balikkan hati. Dialah yang maha pengasih dan penyayang kepada seluruh makhluk yang ada di muka bumi. Hanya Dialah yang maha pemberi rahmat dan maha menentukan atas segala seuatu yang terjadi di alam semesta termasuk dengan selesainya penulisan skripsi ini. Salawatullah wa salamuhu saya haturkan kepada Nabi Muhammad Saw. Karena berkat beliaulah saya masih bisa menikmati adanya agama Islam. Dalam penyelesaian tulisan ini tentunya juga disertai dengan peran serta orang lain, seperti halnya keluarga, dosen, kerabat serta beberapa teman yang selalu membantu baik dengan menyumbangkan ide dan memberikan motivasi kepada saya. Oleh karenanya, saya mengucapkan terimakasih yang setinggitingginya terhadap segala pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini, diantaranya: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. 2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. 3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Serta Terimakasih pula kepada Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. 4. Terimakasih kepada segenap dosen serta seluruh civitas akademika yang berada di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan dukungan dengan beberapa fasilitas yang disiapkan sehingga memudahkan penulis ketika sedang membutuhkan sesuatu. 5. Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M, Ag. Beliau yang telah memberikan waktu luangnya untuk bimbingan, memberikan saran dan kritikan pada penelitian saya secara teliti demi maksimalnya penulisan skripsi ini. Semua bimbingan yang telah beliau berikan sangat membantu bagi saya dalam penulisan ini. 6. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Eva Nugraha, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang juga ikut berpartisipasi menyumbangkan ide dan saran demi kelancaran skripsi ini.
v
7. Abah Ahmad Syafi’i, Lc dan Umik Thayyibah S.Pd.I serta kakak (Ahmad Mas Udi, S.Si) dan adik-adik (Alfiyaturrahmaniyah dan Zahraa Zumaikaa) yang telah memberikan support kepada saya, baik secara materi ataupun nonmateri yang terkadang membuat saya menjadi terpacu untuk segera menyelesaikan kuliah. Serta, merekalah yang selalu mengasuh, mendidik dan juga selalu mendoakan dengan ikhlas dan penuh dengan kasih sayang kepada saya. 8. Terimakasih juga kepada istri saya (Nailatur Riska Amaliya) yang sudah menemani dan membatnu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Serta tak luput juga teruntuk anak saya (Fathimah Naura Qanita) yang juga membantu dengan tingkah mungilnya. 9. Seluruh teman seperjuangan Prodi Tafsir Hadis angkatan 2012 baik dari kelas A samapai dengan E yang terkadang juga menjadi teman diskusi, memberikan saran serta mendengarkan keluh kesah dan kegalauan dalam pembuatan skripsi ini mulai dari awal hingga sampai selesai. 10. Seluruh teman-teman kelompok KKN KREASI 2015, Fadhil, Atang, Anas, Irfan, Riska, Harti, Mala, Ina, Dian, Ajip, Salma, dan Nuzroh yang telah memanas-manasi saya dengan foto wisuda sering dipajang menandakan bahwa mereka sudah lebih dulu lulus. 11. Tan-Taretan IMABA DPW Jabodetabek yang sebelumnya telah menampung saya dan juga selalu menjadi teman diskusi pada setiap waktu ketika penulis sudah mulai kebingunan untuk melanjutkan penelitian ini. Tidak semua nama yang sudah berjasa dapat saya sebutkan disini, disebabkan keterbatasan ruang. Oleh karenanya, saya ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penulisan skripsi ini . Semoga Allah Swt. membalas dan mencatat segala bantuannya sebagai Amal perbuatan yang baik. Amin.
Ciputat, 30 Maret 2017
Ahmad Mahfudz vi
PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. a. Padanan Aksara Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
je
ح
h
ha dengan garis di bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis di bawah
ض
d
de dengan garis di bawah
ط
t
te dengan garis di bawah
ظ
z
zet dengan garis di bawah
ع
´
koma terbalik di atas hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
ef
ق
q
ki
ك
k
ka
ل
l
el
م
m
em
ا
vii
ن
n
en
و
w
we
ه
h
ha
ء
apostrof
ي
y
ye
b. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
fathah
َ
i
kasrah
َ
u
dammah
Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َي
ai
a dan i
َو
au
a dan u
Vokal Panjang Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
ىا
â
a dengantopi di atas
ىي
î
i dengantopi di atas
viii
ىُو
û
u dengantopi di atas
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan arrijâl, al-diwân bukan ad-diwân. Syaddah(Tasydîd) Syaddah dilambangkan
atau
tasydîd
dengan
yang
sebuah
dalam
tanda
(ّ),
system dalam
tulisan alihaksara
Arab ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورةtidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menja dihuruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No
TandaVokal Latin
Keterangan
1
طريقة
tarîqah
ix
اجلامعة اإلسالميّة وحدة الوجود
2 3
al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah Wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.
x
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ………………………………………………….. LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………...........
i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................
ii
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN …....................................................
iii
ABSTRAK ..................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ..................................................... .........................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ...............................................................
vii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
B. Permasalahan ....................................................................................
10
1. Identifikasi Masalah ...................................................................
10
2. Batasan Masalah .........................................................................
11
3. Rumusan Masalah ......................................................................
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
11
D. Tinjauan Pustaka ...............................................................................
12
E. Metododologi Penelitian ...................................................................
16
F. Sistematika Penulisan .......................................................................
20
BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAYUDAN KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP A. Sejarah Desa Payudan Karangsokon ………………………………
23
B. Letak Geografis Desa Payudan Karangsokon ..................................
24
C. Demografi Desa Payudan Karangsokon ...........................................
25
1. Pendidikan Masyarakat ...............................................................
26
2. Sosial budaya Masyarakat ...........................................................
27
3. Ekonomi Masyarakat ..................................................................
28
4. Keberagaman Masyarakat ...........................................................
31
BAB
III
PERNIKAHAN
DI
MASYARAKAT
PAYUDAN
KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP A. Sekilas Tentang Living Hadis ……………………………………
xi
34
B. Sekilas Tentang Pernikahan .............................................................
36
C. Prosesi Pernikahan ...........................................................................
39
1. Mintah (Melamar) Perempuan ...................................................
39
a. Pengertian Khithbah ............................................................
39
b. Pendapat Para Ulama Tentang Persetujuan Pernikahan ......
40
2. Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus) .............
47
a. Perhitungan Jawa .................................................................
47
b. Hari Baik Dalam Islam .........................................................
49
3. Pelaksanaan Pernikahan .............................................................
51
a. Pengertian Walimah al-Urs ..................................................
51
b. Dasar Hukum Walimah al-Urs .............................................
53
BAB
IV
ANALISIS TENTANG
DAN
PEMAHAMAN
PERNIKAHAN
DI
MASYARAKAT
DESA
PAYUDAN
KARANGSOKON A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Persetujuan Pernikahan ...........
57
B. Makna Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus) Menggunakan Perhitungan Jawa ....................................................
64
C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Masjid Sebagai Tempat Pelaksanaan Pernikahan ..................................................................
71
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................
78
B. Saran ..................................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tradisi (bahasa latin: traditio, artinya diteruskan) secara bahasa bermakna adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan atau yang disesuaikan (peleburan) dengan ritual adat atau agama.1 Biasanya tradisi ini berlaku secara turun temurun baik dari informasi lisan atau informasi tulisan yang hal tersebut kemudian dapat tetap tergambar pada generasi berikutnya. Manusia tidak dapat dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan. Mulai dari Cara berpakaian, cara makan, atau cara berbicara sebuah masyarakat serta penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar juga merupakan bagian dari tradisi dan kebudayaan masyarakat tersebut.2 Sudah semestinya, masyarakat Islam berprilaku sebagaimana ajaranajaran yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun fenomena yang ada tidak selalu sama dengan apa yang semestinya dipraktikkan dan diamalkan dalam kehidupan. Ada juga tradisi atau kebiasaan masyarakat Islam yang dianggap menyimpang, tetapi masih dapat dilacak landasan normatifnya. Misalnya seperti masalah peret kandung. Kita temui bahwa ada disebagian daerah ketika kehamilan seorang perempuan memasuki bulan ke empat atau ke tujuh diadakan upacara peret kandung, seperti halnya dimandikan dengan air kembang, dipijat dan dibacakan beberapa surah al-Qur’an .3 Atau masalah lain adalah tentang khitan perempuan. Tradisi khitan telah ditemukan jauh sebelum Islam datang. Berdasarkan penelitian Ahmad Ramali yang dikutip oleh M. Alfatih Suryadilaga
menunjukkan bahwa khitan sudah pernah
dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya, suku Semit (Yahudi dan Arab) dan Hamit. Mereka yang dikhitan tidak hanya laki-laki,
1
KBBI Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia (Jakarta: UI Press, 1990), h. 371-372 3 Rafi’uddin, Pembacaan Ayat-Ayat al-Qur’an Dalam Upacara Peret Kandung (Studi Living Qur’an di Desa Poteran Kec. Talango Kab. Sumenep Madura), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2013) 2
1
2
tetapi juga kaum perempuan, khususnya kebanyakan dilakukan suku negro di Afrika Selatan dan Timur.4 Pada sisi yang lain, masyarakat Islam juga mengalami proses interaksi dengan sunnah-sunnah Rasulullah Saw yang dibukukan dalam kitab-kitab hadis, tarikh, sirah Nabawiyyah, ataupun yang lainnya. Pengertian sunnah5 dalam hal ini disamakan dengah hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), physic appearance (sifat fisik) maupun sifat akhlak/karakternya.6 Proses interaksi tersebut menghasilkan sebuah formulasi yang dinamakan dengan living hadis, yakni proses revaluasi, reinterpretasi dan reaktualisasi atas teks-teks yang disandarkan kepada Nabi Saw yang kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata seseorang atau sekolompok orang. Berdasarkan bentuknya living hadis dapat dibedakan menjadi tiga macam yakni living hadis tulisan,7 living hadis lisan8, dan living hadis praktek.9
4 Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 123-124 5 Fazlur Rahman mengkonsepsikan Sunnah sebagai konsep perilaku, atau menurutnya, Sunnah tidak sekedar hukum tingkah laku, tapi merupakan aturan-aturan tingkah moral yang bersifat normatif, keharusan moral adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian konsep sunnah. Sunnah berarti “tingkah laku yang merupakan teladan” atau menjadi konsep normatif, dan selanjutnya. Sunnah berarti jalan yang ditempuh; Sunnah adalah jalan lurus tanpa ada pembelokan ke kanan atau kiri yang berarti memberi makna sebagai “penengah di antara halhal ekstrim” atau “jalan tengah” lihat Zuhri. Studi Islam dalam Tafsir Sosial; Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2008), h. 27 6 Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), h. 26 7 Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living hadis. Tulis menulis tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan yang sering terpampang dalam tempat-tempat yang strategis seperti bus, masjid, sekolahan, pesantren, dan fasilitas umum lainnya. Ada juga tradisi yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw. sebagaimana terpampang dalam berbagai tempat tersebut. Tidak semua yang terpampang berasal dari hadis Nabi Muhammad saw atau diantaranya ada yang bukan hadis namun di masyarakat dianggap sebagai hadis. Seperti kebersihan itu sebagian dari iman ( )اَلنَظَافَةَ َمَنَ َالَ َْيا َْنyang bertujuan
untuk menciptakan suasana kenyamanan dan kebersihan lingkungan, mencintai negara sebagaian dari iman (َبَالْوط ْنَمنَال ْيا ْن ُّ )حyang bertujuan untuk membangkitkan nasionalisme dan sebagainya. 8
Tradisi lisan dalam living hadis sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang dijalankan oleh umat Islam. Seperti bacaan dalam melaksanakan shalat shubuh di hari jum’at. Di kalangan pesantren yang kiayinya hafiz al-Qur’an, shalat shubuh hari jum’at relatif panjang karena di dalam shalat tersebut dibaca dua ayat yang panjag yaitu hāmim al-Sājadah dan al-Insān. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َش ْيبَةَ َحدَّثَنَا َع ْب َدةُ بْ ُن ُسلَْي ََا ََ َع ْن ُسْيَا ََ َع ْن ََُُّو ِِ بْ ِن
3
Konsep Living Hadis yang diutarakan oleh M. Alfatih merupakan pengembangan dari Living Sunnah Fazlur Rahman. Kedua konsep tersebut memiliki perangkat metodologi yang berbeda. Living Sunnah menggunakan pendekatan historis dalam menelusuri jejak tradisi Nabi yang tenggelam, implikasi dari hadis yang diverbalisasikan.10 Sedangkan Living Hadis lebih bernuansa fenomenologi dalam mengungkap tradisi dan budaya yang diklaim bersumber dari hadis Nabi. Kedua perangkat tersebut beroperasi pada wilayah dan cakupan yang berbeda.11 Kajian living hadis semakin menarik seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat Islam terhadap ajaran agamanya. Kita banyak menjumpai kegiatan-kegiatan keagamaan, baik ditempat-tempat tertentu seperti di masjid maupun media cetak dan elektronik. Hal yang menarik, misalnya berkaitan tentang pernikahan yang terjadi di Madura yaitu, bahwa terdapat sesuatu pengamalan berbeda terhadap hadis Nabi yang hal tersebut merupakan rujukan otoritatif kedua setelah al-Qur’an. Seperti halnya pemberitahuan pinangan yang terkesan hanya sebagai bentuk pemberitahuan formalitas saja, hal ini berbeda dengan penentuan waktu pernikahan dan pelaksanaan pernikahan. ِ ِ ِ ِ ِ َّ َِّب صلَّى ِ ني َعن س ِع ٍِ َّ اس أ ٍ َّيد بْ ِن ُجبَ ٍْْي َع ْن ابْ ِن َعب َل َ ِِ ُاَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ََا ََ ََْ َرأ َ َّ ََِ الن َ ْ ِ َراشد َع ْن ُم ْسل ٍم الْبَط ُ ص ََة الْ َْ ْْ ِر ََ ْوََ ا ُْْ َُ َعة ام تَ ْن ِز ِ ِ اْلنْس ِ ِِ ُاَّلل َعلَي ِه وسلَّم ََا ََ َ ْرأ ِ َّ ِ َّ َ َِّب َّ الد ْه ِر َوأ َّ ني ِم ْن .ورةَ ا ُْْ َُ َع ِة َّ ََِ الن ٌ اَ ح َ َ ص ََة ا ُْْ َُ َعة ُس ََ َ َ َ ْ َُّ صلى َ ِْ الس ْْ َدة َو َه ْل أَتَى َعلَى 9
Tadisi praktek dalam living hadis ini cenderung banyak dilakukan oleh umat Islam. Hal ini didasarkan atas sosok Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan ajaran Islam. Salah satu persoalan yang ada adalah masalah ibadah shalat. Di masyarakat Lombok NTB mengisyaratkan adanya pemahaman shalat wetu telu dan wetu lima. Padahal dalam hadis Nabi Muhammad saw. contoh yang dilakukan adalah lima waktu. Lihat Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 116 10 Menurutnya hadis merupakan verbal tradition, sedangkan Sunnah adalah practical tradition atau silent tradition. Istilah yang berkembang dalam kajian ini adalah Sunnah dahulu baru kemudian menjadi istilah hadis. Hadis bersumber dan berkembang dalam tradisi Rasulullah Saw serta menyebar secara luas seiring dengan menyebarnya Islam. Teladan Nabi Muhammad Saw telah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek keseharian mereka dengan menyebutnya sebagai the living tradition atau Sunnah yang hidup. Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Islamic Methodology un History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965) 11 Living hadis lebih didasarkan atas adanya tradisi yang hidup dimasyarkat yang disandarkan kepada hadis Nabi Muhammad Saw. Penyandaran terhadap hadis Nabi tersebut bisa saja merupakan bentuk pembakuan tradisi menjadi suatu yang tertulis bukan menjadi alasan tidak adanya tradisi yang hidup didasarkan atas hadis. Lihat Muhammad Alfatih Suryadilaga, ModelModel Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), h. 113
4
Pernikahan merupakan sunnatullah yang mengikat batin antara seorang pria dan wanita yang ditandai dengan akad yang pada umumnya berasal dari keluarga yang berbeda, terutama berasal dari keluarga asalnya, kemudian mengikatkan dirinya menjadi satu kesatuan dalam ikatan keluarga12 dan kemudian menciptakan suasana berbeda bagi keduanya, yaitu beralih kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketentraman dan sakinah.13 Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Surah an-Nisa’ ayat 1:
َّ َس َو ِح َد ٍة َو َخلَ َق ِم ْن َها َزْو َج َها َوب ٍ َْاس اتَّ ُْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذى َخلَ َْ ُك ْم ِم ْن ن ث ِم ْن ُه ََا ُ َََّأََ َها الن ِ َّ ِ ِ اِ ََّ للاَ ََا ََ َعلَْي ُك ْم َرقِ ْيبًا،َاءلُْو ََ بِ ِه َوالَ ْر َح ْا َس ًس َ َ َواتَّ ُْ ْوا للاَ الذى ت،اء َ ِر َج ًال ََث ْي ًرا َون Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS. An Nisa ayat 1)14 Dalam menikahkan putrinya Nabi Saw. Memiliki kebiasaan tertentu, yakni apabila akan menikahkan putri-putrinya terlebih dahulu beliau memberi tahu mereka. Sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad ibn Hanbal, Rasulullah saw. berkata kepada putrinya: "Sesungguhnya si Fulan menyebut-nyebut namamu. Kemudian beliau melihat reaksi putrinya itu. Jika dia diam, itu tandanya setuju dan pernikahan dapat segera dilangsungkan. Namun, jika putrinya menutup tirai di kamar, itu tandanya tidak suka dan Rasul pun tidak memaksakan kehendaknya".15 Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa salah satu sahabat bertanya tentang tanda setujunya seorang perawan:
12 Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih Jilid II (Jakarta, 1985), h 49 13 Hal ini senada dengan Firman Allah Swt dalam Surah ar-Rum ayat 21 yang berbunyi: ِ ِ ِ ِ وِمن ءاَتِ ِه اَ َْ َخلَ َق لَ ُكم ِمن اَنْ ُْ ِس ُكم اَ ْزوyang artinya: “Dan ٍ ََك َل ََ ت لَِْ ْوٍَ ََتَ َْ َّك ُرْو َ َ اجا لتَ ْس ُكنُ ْوا الَْي َها َو َج َع َل بَ ْي نَ ُك ْم َم َو َّد ًة َوَر ْحَةً ا ََّ ِف ََل ً َ ْ ْ ْ ََ ْ َ diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, suapaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan jadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum (30): 21) 14 Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemah (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1971), h. 6 15 Taufiq Abu A'lam al-Mishri, Fathimah al-Zahrah (Bandung: Pustaka Pelita, 1999), h. 144
5
َلتُ ْن َك ُح الَِيُ َح َّّت:ِا َّ صلَّى َ َاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق َّ َِّ أَ ََّ الن،َع ْن اَِِب َسلَ ََةَ اَ ََّ اَبَا ُه َرَْ َرَة َح َّدثَ ُه ْم َ ِب َِّ ِو ت َ َ ق،ف اِ َْنُ َها َ قَالُوا ََا َر ُس،ََ ََْ َوَلتُ ْن ِك ُح الْبِ ْك ُر َح َّّت تُ ْستَأ،تُ ْستَأِْم َر َ َوََ ْي،اَّلل ُ اِ اَ َْ تَ ْس ُك Artinya: Dari Abu Salamah, sesungguhnya Abu Hurairah menceritakan kepada mereka, sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “perempuan janda tidak dinikahkan hingga diajak musyawarah, dan perempuan perawan tidak dinikahkan hingga dimintai izin” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?” Beliau bersabda, “Dia Diam”.16 Kebiasaan Nabi Saw meminta persetujuan anak gadisnya dalam menikahkan putrinya merupakan hal baru di kalangan masyarakat Arab. Dalam tatanan masyarakat Arab ketika itu, perempuan dianggap tidak memiliki dirinya sendiri, karena itu seluruh keputusan yang berkaitan dengan dirinya termasuk menentukan pasangan hidupnya tidak perlu dibicarakan dengannya. Hadis di atas memberikan arahan atau rekomendasi bagi seorang wali untuk meminta persetujuan dari calon mempelai perempuan sebelum dikawinkan. Adanya unsur kerelaan calon mempelai perempuan diharapkan mampu mewujudkan fungsi-fungsi keluarga secara maksimal. Djuju Sudjana sebagaimana dikutip Mufidah Ch, yang mengatakan bahwa ada tujuh fungsi keluarga, fungsi biologis, edukatif, religius, protektif, sosialiasi, rekreatif, dan ekonomis.17 Fungsifungsi ini tidak pernah berjalan dengan baik jika tidak didasari asas tersebut. Berdasarkan teks atau matan hadis di atas, indikator yang menunjukkan persetujuan itu adalah diamnya seorang perempuan. 16 Para ulama berbeda pendapat pada makna lafadz البكرdan األيمpada hadis ini. Imam Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq dan lainnya berpendapat bahwa meminta persetujuan gadis itu diperintahkan jika walinya adalah ayahnya sendiri atau kakeknya; maka disunnahkan untuk meminta izinnya, sekalipun jika dinikahkan tanpa meminta izinnya maka nikahnya tetap sah, hal itu sebagai wujud kesempurnaan kasih sayang wali terhadap anak perempuannya. Dan jika walinya bukan dari keduanya (bukan ayah atau kakeknya) maka wajib hukumnya untuk meminta izin atau persetujuannya untuk menikah dan tidak sah jika pernikahan dilangsungkan sebelum meminta persetujuan darinya. Imam al-Auza’i, Abu Hanifah, dan para ulama kufah lainnya berpendapat bahwa wajib hukumnya meminta persetujuan semua gadis yang sudah baligh (Lihat An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman, Juz 6, h.892) perempuan janda yang sudah baligh tidak boleh dinikahkan oleh bapak maupun selainnya kecuali atas ridhanya. Sedangkan terhadap perempuan janda yang belum baligh terjadi perbedaan pendapat tentangnya, Malik dan Abu Hanifah berkata “Bapaknya boleh menikahkannya sebagaimana dia menikahkan gadis”. Namun asy-Syafi’I, Abu Yusuf dan Muhammad berkata “Bapak tidak boleh menikahkannya (tanpa izinnya) selama keperawanannya sudah hilang karena jima’, bukan karena sebab lain” dengan alasan bahwa hilangnya keperawanan mengikis pula rasa malu yang ada pada gadis. (Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari. Penerjemah Amirudin, Juz 25, h. 310) 17 Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 42-43
6
Sebagian kalangan kemudian mempersoalkan hadis di atas, sebab diamnya seorang perempuan memiliki berbagai interpretasi. Selain itu, hadis di atas seolah melegitimasi adanya hegemoni laki-laki-ayah dan kakek sebagai wali- terhadap anak-anak perempuan mereka. Persoalannya kemudian apakah indikator persetujuan calon mempelai perempuan di atas diterima begitu saja (taken for granted) atau melihat konteks historis turunnya hadis (asbab al-wurud)18. Di kalangan masyarakat Madura, masih berlaku tradisi yang hampir mengambil hak kebebasan seorang gadis untuk memilih suaminya, bahkan yang demikian ini bisa terjadi bagi anak yang masih anak-anak. Biasanya anak itu didikte untuk menikah dengan seseorang yang disenangi oleh ayah atau ibunya, sedangkan anak gadis itu, alam pembawaanya sebagai anak gadis yang pemalu, mestinya ia malu untuk menyatakan pendapatnya dalam hal itu. Dan juga karena suasana masyarakat tempat ia dibesarkan, yang tidak membolehkan anak itu membantah kehendak ayah atau walinya. Hal yang demikian ini tentunya berlainan dengan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Saw. Dalam perkembangan zaman terjadi sedikit perubahan pola berfikir yang terjadi dikalangan masyarakat, yaitu bahwa terjadi fase pemberitahuan kepada anak gadisnya ketika ada seorang laki-laki yang berniat untuk meminangnya. Akan tetapi hal tersebut hanya sebagai pemberitahuan saja, bukan sebagai pertanyaan kepada anaknya sebagaimana hadis Nabi tersebut. Pernikahan dalam kehidupan masyarakat desa, pada umumnya masih melestarikan tradisi dan budaya. Salah satunya adalah dalam menentukan hari baik dengan sebutan “nyareh dhinah” yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hari baik dalam penentuan hari pernikahan. Apabila calon suami dan calon istri akan melangsungkan pernikahan, maka keluarga dari kedua belah pihak akan menentukan hari “H” atau hari dilaksanakannya akad nikah. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat Payudan Karangsokon dalam menentukan hari “H” ini adalah kedua belah pihak keluarga mengadakan silaturrohim khusus untuk memilih harinya. Dan calon mempelai beserta orang tua masing-masing sudah mempunyai kesamaan tujuan tentang pemilihan hari atau bulan apa yang terbaik,
Ramadhita, “Latar Historis Indikator Kerelaan Perempuan Dalam Perkawinan,” de Jure, Volume 7 Nomor 1 (Juni 2015): h. 31-38 18
7
namun yang lebih dominan dalam hal ini ditentukan oleh keluarga mempelai perempuan. Dalam acara akad nikah yang sakral ini, maka acara akad tersebut akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebelum mendatangi Kyai, masyarakat biasanya lebih dulu ke sesepuh (orang yang paling tua dan dianggap “tahu”), dengan tujuan nyareh dhinah. Harapannya adalah kedua mempelai akan memperoleh kebaikan-kebaikan setelah menikah. Dan apabila pada suatu hari memperoleh keburukan dalam rumah tangganya, mereka tidak akan merasa bersalah, karena sudah didahului dengan ikhtiyar atau usaha nyareh dhinah, dalam istilah Bahasa Madura dikenal dengan “ngadhedhi” dan kemudian pasrah atas kehendak Allah. Dalam proses penentuan waktu pernikahan Rasulullah memang tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai hal tersebut, akan tetapi ada salah satu riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim tentang disunnahkannya menikah pada bulan Syawal. Adapun hadisnya:
َِّ ِو ِ ٍ ٍ َّ ِ َّ صلَّى س ِاء َ ت تَ َزَّو َج ِن َر ُس ْ ََع ْن َعائِ َشةَ قَال َ اَّلل َ اَّللُ َعلَْيه َو َسل ْم ِِ َش َّواِ َوبَ َن ِِب ِِ َش َّواِ فَأَي ن َِّ ِو ِ ر ُس شةُ تَ ْستَ ِحب أَ َْ تُ ْد ِخ َل َّ صلَّى َ َاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ ْم ََا ََ أَ ْحظَى ِع ْن َدهُ ِم ِن ق َ ِت َعائ ْ َاِ َوََان َ اَّلل َ 19
ِ ِاء َها ِِ َش َّو ٍا َس َن
Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw menikahiku pada bulan syawwal, menggauliku pada bulan syawwal; maka isteri beliau yang manakah yang lebih beruntung disisinya selain aku? Ia berkata, Aisyah senang jika para wanita dinikahi pada bulan Syawwal. Ini merupakan salah satu hadis yang mensunnahkan menikah, menikahkan orang lain, dan menggauli isteri pada bulan Syawwal. Sahabat-sahabat kami mensunnahkan hal itu berdasarkan pada hadis ini. Aisyah mengucapkan perkataan seperti itu; untuk membantah keyakinan kaum jahiliyah dan kepercayaan sebagian orang awam yang membenci menikah, menikahkan orang lain, dan menggauli
An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 902 19
8
isteri pada bulan Syawwal.20 Dan bahwa semua itu adalah batil, yang merupakan peninggalan tradisi orang-orang jahiliyah yang menggantungkan keberuntungan dan sebagainya berdasarkan bulan; karena Syawwal berarti mengangkat dan menghilangkan sesuatu.21
َِّ ِو ت َّ صلَّى َ ت تَ َزَّو َج ِن َر ُس ْ َ َوََان.ِ َوبَ َن ِِب ِِ َش َّو ٍا،ِاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ ْم ِِ َش َّو ٍا ْ َ قَال،َشة َ َِع ْن َعائ َ اَّلل 22
ْ شةُ تَ ْستَ ِحب أَ َْ َُ ْب َن بِنِ َسائِ َها ِف َش َّو .ِا َ َِعائ
Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw menikahiku pada bulan Syawwal dan beliau menggauliku pada bulan Syawwal.” Dan Aisyah senang menikahkan anak perempuan-perempuannya pada bulan Syawal. Bulan Syawwal menurut sebagian masyarakat Madura khususnya Desa Payudan Karangsokon merupaka salah satu diantara bulan yang dijadikan pilihan ketika akan melangsungkan pernikahan. Hal ini dikarenakan bahwa semua yang berkaitan dengan ritual-ritual penting seperti ini dilakukan perhitungan secara terperinci dalam setiap aktivitasnya. Pelaksanaan pernikahan bagi masyarakat Madura, khususnya Desa Payudan Karangsokon masih identik dengan menggunakan Mushalla atau Masjid23 sebagai sarana untuk proses akad nikah dan pelaksanaan upacara pernikahan (Walimah). ini didasari karena Masjid atau Mushalla sebagai media yang baik dan penuh Barakah, hal ini terlepas dari bahwa memang di Desa tersebut hampir setiap
20
Pada jaman dahulu bangsa Arab mengenal tentang hari baik dan hari yang tidak baik atau dikenal dengan hari (na’as) yakni bulan Syawal. Sehingga pada masa tersebut, bulan Syawal sangat dihindari dalam melaksanakan perkawinan. 21 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903 22 Abu Isa berkata, “Hadis ini hasan shahih. Aku tidak mengetahui hadis ini kecuali dari ats-Tsauri, dari Ismail bin Umayah. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan atTirmidzi. Penerjemah Ahmad Yuswaji (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.836 23 Masjid dalam sejarahnya mempunyai arti penting dalam kehidupan umat Islam, hal ini karena masjid sejak masa Rasulullah Saw, telah menjadi sentra utama seluruh aktivitas umat Islam generasi awal, bahkan, masjid kala itu menjadi “fasilitas” umat Islam mencapai kemajuan peradaban. Sejarah masjid bermula sesaat setelah Rasulullah Saw, hijrah di Madinah. Langkah pertama yang beliau lakukan di Madinah, adalah mengajak pengikutnya, membangun masjid. Allah SWT ternyata menakdirkan masjid yang dibangun Rasulullah Saw, di Madinah (sebelumnya disebut Yatsrib) menjadi rintisan peradaban umat Islam. Bahkan tempat dimana masjid ini dibangun, benar-benar menjadi Madinah (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah “tempat peradaban” atau paling tidak dari tempat tersebut telah lahir benih-benih peradaban. Lihat Syamsul Kurniawan, Masjid Dalam Lintasan Sejarah Umat Islam, h. 1
9
kepala keluarga atau perkumpulan rumah memiliki Mushalla sebagai sarana ibadah bersama (berjamaah). Rasulullah Saw pernah bersabda Bahwa:
ِ ُ اِ رس ِ ِ ِ اج َعلُوهُ ِف ْ َشةَ قَال َ َِع ْن َعائ ْ اح َو ُ َ َ َ ق:ت َ (أَ ْعلنُوا َه َذا الن َك:وِ للا صلَّى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ ْم 24
ِ ُض ِربوا َعلَي ِه بِالدف ِ ِ الَْس )وف ْ ُ ْ َوا، اجد ََ
Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Umumkan pernikahan, adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana.” Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim mengatakan bahwa masjid merupakan tempat untuk melakukan ketaatan dan dibangun atas fondasi ketakwaan.25 Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:
ِ ِِ ِ ِ َ عن أَِب ه ِرَ رَة أَ ََّ رس ِ للا مس ض َ َصلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ ْم ق ُ َاج ُد َها َوأَبْغ َ وِ للا َُ َْ َ َ اِ أَ َحب الْب ََد إ َل َْ ُ 26
ِ الْبِ ََ ِد إِ َل للا أَ ْس َواقُ َها
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Tempata yang paling dicintai Allah Swt masjid-masjid, dan tempat yang paling dibenci oleh Allah Swt adalah pasar." Signifikansinya dengan penelitian ini adalah bahwa pola pernikahan merupakan salah satu bentuk nyata yang dilakukan oleh Masyarakat Payudan Karangsokon menjadikan Hadis-Hadis tentang pernikahan masuk dalam bagian kehidupan mereka sehingga lahir beragam persepsi masyarakat terhadap pernikahan itu sendiri. kajian-kajian semacam ini menjadi penting untuk menambahkan wawasan keilmuan keislaman serta mengetahui interaksi masyarakat muslim dengan hadis sebagai rujukan otoritatif setelah al-Qur’an. Oleh karenanya menurut penulis perlu adanya kajian studi Living Hadis tentang kebiasaan tersebut, sehingga penulis mengangkat tema yang berjudul “Tradisi Muhammad Aburrahman bin Abdurrahim, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi’ atTirmidzi (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1995), Juz 7, h.210 25 Syaikh Amir bin Abdul Mun’im Salim, Adab Al-Khitbah wa Al-Zifaf, h. 70. 26 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 4, h. 50 24
10
Penikahan di Masyarakat Desa Payudan Karangsokon Guluk-Guluk Sumenep (Kajian Living Hadis)” B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu mengidentifikasi beberapa masalah yang kemudian akan dilakukan kajian lebih lanjut berkaitan masalah tersebut: a. Beberapa ulama hadis sudah mulai melakukan pendekatan hadis yang tidak hanya dicukupkan pada kajian teks saja, melainkan pada ranah tata praktek atau bagaimana hadis itu di Masyarakat. Fadzlurrahman misalnya yang melakukan penelitian hadis dengan menggunakan pendakatan living sunnah yaitu kajian yang tidak cukup hanya pada teks saja. b. Permasalahan mengenai perempuan hingga saat ini masih terus dikaji baik dari segi politik, ekonomi, budaya serta Agama. Posisi perempuan dalam Islam mempunyai perkembangan yang tidak begitu bagus apalagi dalam pernikahan, khususnya bagi perempuan di Madura yang sepertinya tidak memiliki kebebasan untuk menentukan langkah hidupnya, baik dalam bidang karir, pendidikan dan pernikahan. c. Sebagian ulama hadis berbeda pendapat mengenai hal ihwal yang berkaitan dengan meminta izin kepada anak perawan dan janda. Ada yang berpendapat bahwa perlu meminta izin terhadap janda dengan dasar bahwa janda sudah tidak begitu merasa malu dibandingkan dengan waktu masih gadis. Sedangkan pendapat yang lain mengatkan bahwa diperlukan izin terhadap janda ataupun dengan anak gadis. d. Pernikahan menurut Masyarakat Payudan Karangsokon merupakan salah satu ibadah yang sakral, atinya bahwa pernikahan itu tidak dilakukan dengan sembarangan baik dengan waktu dan pelaksanaan pernikahannya. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah perhitungan khusus untuk mengetahui waktu yang baik untuk pelaksanaannya. Sedangkan untuk tempat pelaksanaannya masyarakat Payudan
11
Karangsokon masih menggunakan formula yang sama dengan masa sebelumnya, yakni melaksanakan pernikahan di Mushalla atau Masjid. 2. Batasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis akan menitik fokuskan penelitian ini pada poin c terkait tentang meminta izin kepada anak gadis atau janda, meliputi pemahaman masyarakat terhadap hadis tersebut. Serta pada poin d tentang menentukan waktu pernikahan yang bertitik fokus pada pemaknaan masyarakat pada kegiatan tersebut dan pada pemahaman masyarakat terhadap tempat pelaksanaan pernikahan. 3. Rumusan Masalah Untuk memahami sebuah hadis tentunya tidak cukup hanya dilihat dari teks dan pemaknaan teksnya saja, melainkan juga diperlukan pengkajian terhadap bagaimana pemahaman masyarakat terhadap redaksi hadis-hadis tersebut. Dari batasan masalah yang dikemukan di atas, penulis merumuskan permasalahan menjadi: Bagaimana fenomana living hadis pada masyarakat Payudan Karangsokon tentang proses pernikahan? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomana living hadis pada masyarakat Payudan Karangsokon tentang pernikahan dari Proses Mintah (Melamar), penentuan waktu pernikahan (Nyareh Dhinah Begus) dan pelaksanaan pernikahan. a. Manfaat Secara akademik, khusunya kajian hadis penelitian ini untuk memberikan bukti-bukti baru yang belum disebutkan pada penelitian sebelumnya bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis-hadis Nabi berbeda-beda
khususnya
bagi
masyarakat
Payudan
Karangsokon
berkenaan dengan hadis pernikahan. Adapun manfaatnya secara umum ialah peneliti mengharapkan penelitian ini dapat memperkaya khasanah penelitian tentang ilmu hadis khususnya berkaitan dengan living hadis yang masih belum banyak mendapatkan perhatian bagi banyak peneliti. Kemudian penulis juga
12
mengharapkan agar penelitian ini dapat menjadi acuan untuk peneltian berikutnya yang berkaitan tentang kajian living hadis. D. Tinjauan Pustaka Sepanjang penelusuran yang dilakukan penulis, beberapa penelitian sejenis yang telah ada antara lain: 1. Kajian terhadap living hadis Penelitian Muhammad Alfatih Suryadilaga tentang “Pemaknaan Shalawat dalam Komunitas Joget Shalawat Mataram: Kajian Living Hadis” menyebutkan bahwa Joget Shalawat Mataram merupakan sebuah fenomena tradisi sosial-budaya-keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai tarian spiritual atau gerakan spiritual. Selain itu Joget Shalawat Mataram diyakini sebagai sebuah fenomena living hadis, sebab Joget Shalawat Mataram merupakan tarian spiritual yang bernafaskan nilai-nilai Islam. Hadis-hadis Nabi yang dijadikan prinsip dasar Joget Shalawat Mataram adalah hadis-hadis tentang perintah bershalawat kepada Nabi SAW dan hadis-hadis tentang perintah meneladani akhlak Nabi. Joget Shalawat Mataram juga mengandung fenomena “Syiar Budaya Religius” dan sebagai gerakan sosial.27 Peneilitian yang dilakukan oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu bahwa penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam kategori penelitian living hadis akan tetapi objek kajiannya berbeda dengan yang dilakukan oleh penulis. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Bashir tentang Seni Pementasan LESBUMI NU Grobogan (Studi Living Hadis). Penulis dalam penelitian ini berusaha mengkaji tentang kesenian di Indonesia yang difokuskan pada kesenian LESBUMI NU Grobogan dengan menggunakan pendekatan etnografi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teori semiotika Jurij M. Lotman dengan menghasilkan kesimpulan bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa seni pementasan LESBUMI NU ini merupakan kajian 27 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemaknaan Shalawat dalam Komunitas Joget Shalawat Mataram: Studi Living Hadis”, (Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2013)
13
living hadis dengan menggunakan hadis-hadis tentang kesenian sebagai rujukan dan juga terdapat beberapa simbol akulturatif yang dapat diambil makna dan pelajarannya dari pementasan seni tersebut.28 Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Bashir ini memiliki kesamaan dengan penelitian penulis yakni bahwa sama-sama kajian living hadis, akan tetapi objek bahasannya berbeda yakni bahwa Abdul Bashir meneliti tentang seni sedangkan penulis meneliti tentang budaya pernikahan. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Arrofiqi tentang Iplementasi Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia Pada Masyarakat Wonokromo (Studi Living Hadis). penulis dalam skripsi ini mengkaji tentang salah satu budaya yang terdapat di Jawa, seperti halnya budaya nyandran yang dijadikan sebagai fokus penelitian. Bahwa nyandran merupakan sebuah ritual yang dikhususkan kepada para roh nenek moyang yang telah meninggal, sebagai upaya meminta petunjuk atas beberapa permasalahan bagi pelaksana. Hal ini karena menurut mereka bahwa arwah nenek moyang itu lebih dekat kepada Allah Swt sehingga ketika berdo’a akan lebih mudah untuk dikabulkan. Akan tetapi setelah Islam datang budaya ini sedikit mengalami perubahan dari sebelumnya, sebab budaya ini tidak dihapus oleh para wali songo yang telah menyebarkan Islam.29 Kesamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah bahwa samasama berfokus pada kajian living hadis, akan tetapi budaya yang diteliti tidak sama dengan penulis serta tempat penelitian juga tidak sama dengan penlitian yang dilakukan penulis. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga tentang Living Hadis Tradisi Sekar Makam. Dalam penelitian ini disampaikan bahwa salah satu fenomena living hadis yang dapat ditemukan di Yogyakarta adalah tradisi ziarah kubur di Pemakaman Parembahan Senopati Kotagede, kegiatan ziarah kubur dimaksud dirujuk melalui hadis Nabi Muhammad Saw walaupun tidak semuanya mengetahui teks hadis karena sebatas mendapat 28 Abdul Bashir, Seni Pementasan LESBUMI NU Grobogan (Studi Livingf Hadis), (Tesis S2 Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2015) 29 Ahmad Arrofiqi, Implementasi Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia Pada Masyarakat Wonokromo (Studi Living Hadis). (Skripsi S1 Fakultsa Ushuluddin dan Pengkajian Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2009)
14
pengetahuan dari tokoh agama melalui
ceramah.
Adapun praktek
pelaksanaannya disesuaikan dengan konteks masyarakat Jawa. Para pengunjung makam memiliki sikap atau pandangan yang berbeda-beda. Pelestarian kebiasaan atau tradisi jawa, yaitu mendoakan leluhur, perantara tuhan dan mencari berkah. Namun ada juga yang lebih dekat, yaitu hanya sekadar mendoakan ahli kubur yang juga termasuk penyebar agama Islam. 30 Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Muhammad Alfatih Suryadilaga adalah terletak pada perbedaan tempat dan kasus yang diteliti walaupun pada dasaranya penelitian ini sama-sama menggunakan pendekatan living hadis. 2. Kajian terhadap resepsi hadis Penelitian yang dilakukan oleh Anis Hidayatullah Imtihanah tentang Slametan Sebagai Media Resepsi al-Qur’an dan Hadis di Kalangan Masyarakat. Menyebutkan bahwa Slametan merupakan salah satu bentuk peradaban dalam lingkungan kebudayaan yang sudah mengakar selama berabad-abad di masyarakat – Jawa khususnya – sebelum kedatangan Islam. Dengan demikian Islam yang nota bene sebagai ajaran baru bagi mereka, senantiasa mengalami penyesuaian dengan lingkungan peradaban dan kebudayaan setempat. Slametan dalam tradisi Islam Indonesia (khususnya Jawa) merupakan produk akulturasi antara budaya dan agama. Karena sebelum Islam datang, agama Hindu dan Budha telah terlebih dulu bersinggungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu agama Islam sebagai culture reformer, mempunyai tugas untuk mereform tradisi yang sudah ada dengan menanamkan nilai dan ajaran Islam di dalamnya. Hal ini bertujuan agar ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat. Slametan juga menjadi wujud aktivitas keagamaan yang menunjang ikatan kolektif sesama warga.31
Muhammad Alfatih suryadilaga, “Living Hadis Dalam Tradisi Sekar Makam,” alRisalah, Volume 13 Nomor 1 (Mei 2016) 31 Anis Hidayatullah Imtihan, “Slametan Sebagai Media Resepsi al-Qur’an dan Hadis di Kalangan Masyarakat,” al-Ahkam, Volume 12 Nomor 3 (Februari 2015). 30
15
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah pada objek resepsi hadis, dalam penelitian ini berkatan dengan Slametan (Shadaqah) sedangkan yang akan peneliti kaji tentang pernikahan. 3. Kajian terhadap Pernikahan Pada dasarnya penelitian tentang pernikahan sudah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga pencarian dengan kata ini akan menemukan beragam penelitian, baik berbentuk jurnal, skripsi, thesis dan sebagainya. Berikut sebagian penelitian tersebut: Penelitian yang dilakukan oleh Indana Zulfa tentang Pandangan Hadis terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di Desa Dukuhkembar Kecamatan Dukuh Kabupaten Gresik). Menyebutkan bahwa masyarakat Dukuhkembar mempercayai ramalan perhitungan jawa untuk menentukan kecocokan pasangan dan mencari hari baik dalam pernikahan dengan cara mendatangi seorang ahli perhitungan jawa. Hal itu dilakukan agar keluarga kedua belah pihak menjadi keluarga yang bahagia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Kepercayaan masyarakat Dukuhkembar terhadap ramalan perhitungan Jawa sama dengan perbuatan Masyarakat Pra-Islam yang percaya dengan nasib sial karena burung (tatayyur).32 Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan peneliti ini berada pada masalah yang dikaji, tempat penelitian serta pada metode yang digunakan dalam penelitian ini, sedangkan kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan penulis kaji terdapat pada metode penentuan hari baik dalam melangsungkan pernikahan. Penelitian yang dilakukan oleh Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari tentang Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung. Menyebutkan bahwa Tradisi nyareh dhinah yang berkembang dalam masyarakat Larangan Badung adalah sebagai awal dari perencanaan penentuan, baik hari atau bulan
32 Indana Zulfa, Pandangan Hadis terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di Desa Dukuhkembar Kecamatan Dukuh Kabupaten Gresik), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015)
16
untuk melangsungkan acara pernikahan yang biasanya dalam masyarakat Larangan Badung, akad nikah serta walimah dilaksanakan dalam satu waktu. Kebiasaan masyarakat Larangan Badung dalam tradisi nyareh dhinah mempunyai harapan dengan melaksanakan hari pernikahan di hari yang baik yakni meminta petunjuk pada Kyai maka akan memperoleh kebaikan bagi kedua mempelai yang melangsungkan pernikahan, sebagaimana harapan banyak orang dalam bentuk keluarga yang Sakinah, Mawaddah Warahmah serta untuk mendapatkan keturunan shaleh shalehah yang akan mereka didik nantinya.33 Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan peneliti ini berada pada ranah kajian yang digunakan dan tempat penelitiannya, sedangkan penelitian memiliki kesamaan tentang kebiasaan Nyareh Dhina yang dilakukan masyarakat Madura sebagai uapaya mencari barokah. Berdasarkan penelusuran dari berbagai literatur, maka belum ditemukan adanya penelitian tentang living hadis dalam pernikahan yang berfokus pada pelaksanaan Khithbah (mintah), yakni proses untuk mengetahui mau atau tidaknya perempuan, kemudian mencari waktu yang baik (nyareh dhina begus) dan pelaksanaan pernikahan. Oleh karenanya, penelitian ini dapat dikategorikan dalam penlitian baru pada ranah kajian pernikahan. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian lapangan (field reseacrh). Pernulis terjun langsung ke lapangan atau obyek penelitian untuk mengetahui secara jelas terhadap kondisi di lapangan, dalam hal ini Pernikahan di Masyarakat Payudan Karangsokon untuk kemudian dideskripsikan secara alami34 dan dianalisis sehingga dapat menjawab persoalan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah: 33 Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, “Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung,” al-Hikam, Vol. 9 No.1 (Juni 2014) 34 Hasan Hamka, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h.45
17
a. Tokoh Masyarakat Desa Payudan Karangsokon (Kyai dan Kepala Desa) b. Keluarga yang melakukan pernikahan dipandang dari Izin Nikah bagi anak gadis atau janda, penentuan waktu dan pelaksanaan pernikahan c. Sebagian masyarakat yang dianggap tahu tentang tradisi ini Subjek
penelitian
di
atas
yaitu
orang-orang
yang
akan
diwawancarai langsung untuk memperoleh data dan informasi berkaitan dengan tradisi pernikahan ini mulai dari sejarah awal hingga saat ini. Informant yang telah disebutkan bisa saja bertambah sesuai dengan apa yang diterima dan dialami oleh peneliti selama proses pengumpulan data. Sedangkan objek penelitian ini yaitu tradisi pernikahan yang dilakukan di Desa Payudan Karangsokon yang menggunakan tradisi sebagaimana yang telah digambarkan di atas. Sebagai penelitian lapangan, maka objek penelitian dan subjek penelitian (informan) ini lebih pada wilayah yang sempit, kasus yang dipilihpun terjadi pada wilayah yang relatif kecil yaitu studi atas tradisi pernikahan yang ada di Desa Payudan Karangsokon, termasuk wilayah Madura pada kabupaten paling timur. Akan tetapi sebagi penelitian lapangan, jumlah informan dan cakupan wilayah objek penelitian tidak menjadi hal yang penting dalam penelitian, melainkan lebih menekankan pada kedalaman penelitian itu sendiri.35 3. Waktu Penelitian Aktivitas penelitian ini oleh penulis dibagi menjadi tiga periode yang kemudian dilakukan secara sistematis. Pertama, periode persiapan yang dilakukan semenjak bulan September s.d Oktober 2016 yang meliputi survey dan pengamatan awal hingga pembuatan proposal skripsi. Kedua, periode inti yang meliputi kegiatan observasi dan wawancara yang dilakukan pada bulan November s.d Desember 2016 serta proses bimbingan skripsi. Ketiga, periode akhir yang berupa penulisan skripsi,
35
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta: SUKA Press, 2010) h. 119
18
bimbingan dan peng-croscekan hasil penelitian dengan beberapa narasumber penelitian. 4. Metode Pengumpulan data a. Interview Wawancara atau interview adalah suatu percakapan, tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan atau bertatap muka secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu,36 sedangkan menurut Hadi metode interview adalah sebagai alat pengumpulan data, yaitu interview dapat dipandang sebagai metode pengumpul data dengan jalan tanya jawab secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan.37 Dalam konteks penelitiam ini, jenis interview yang peneliti gunakan adalah interview bebas terpimpin. Dimana penyusun mendatangi langsung kerumah atau tempat tinggal tokoh atau orang yang akan diwawancarai untuk menanyakan secara langsung berkaitan dengan hal-ha yang sekiranya perlu ditanyakan. Namun, tidak semua masyarakat
Payudan
Karangsokon
akan
penulis
wawancarai,
melainkan yang akan menjadi Narasumbernya hanya pada tokoh Masyarakat, Keluarga yang melakukan proses pernikahan dipandang dari izin nikah bagi anak gadis atau janda, penentuan waktu dan pelaksanaan pernikahan serta sebagian masyarakat yang dipandang mengerti dengan tradisi ini. b. Observasi Observasi (pengamatan) adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat sistematika gejalagejala yang diselidiki. Observasi dilaksanakan pada waktu proses penelitian ini berlangsung dan penulis menggunakan observasi partisipatif (participant observation) yaitu dilakukan oleh peneliti dengan terjun langsung dalam kegiatan dan observasi kebetulan (incindental observation) yaitu observasi yang dilakukan melalui 36
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996),
37
Sutrisno Hadi, Metodologo Jilid I (Yogyakarta: Andi Offets, 1999), h. 193
h. 187
19
pengamatan kegiatan terhadap objek secara kebetulan tanpa direncanakan.38 Dalam proses pengumpulan data dilakukan secara terlibat langsung dengan objek penelitian yang hendak akan dilakukan. Peneliti akan ikut terlibat secara langsung dengan proses Mintah (melamar), penentuan waktu pernikahan dan pelaksanaannya. Sehingga dengan demikian peneliti akan mengetahui bagaimana sebenarnya proses yang terjadi. c. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah mencari data yang mengenai halhal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prestasi, notulen rapat, agenda dan sebagainya.39 Dalam hal ini peneliti akan mengambil gambar-gambar yang memiliki hubungan tentang tradisi pernikahan ini. Peneliti juga akan mendokumentasikan semua aktivitas yang berhubungan dengan tradisi pernikahan,
seperti
lamaran
(mintah), penentuan waktu
dan
pelaksnaannya. 5. Analisis data Dalam rangka menganilisis data yang peneliti peroleh selama proses pengumpulan data, peneliti melakukan tiga tahapan. Pertama, tahap reduksi data, pada tahap ini peneliti melakukan proses penyeleksian, pemfokusan dan abstraksi data yang berhubungan dengan pelaksanaan pernikahan sebagaimana yang dibutuhkan penulis dari hasil catatan lapangan.40 Semua data yang peneliti peroleh selama dalam proses pengumpulan
data
dikumpulkan
secara
keseluruhan
kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan konsep penelitian yang telah dirancang sebelumnya agar data yang diperoleh menjadi data yang sudah terbagi pada kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan konsep (bagian-bagian)
38
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta: SUKA Press, 2010) h. 91-92 39 Arikunto, S. Prosedur Penelitian, Edisi Revisi (Jakarta: PT Renika Cipta, 2006), h. 123 40 Lihat Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta: SUKA Press, 2010) h. 114
20
yang sudah dibentuk oleh peneliti, sehingga pada tahap ini data yang diperoleh lebih fokus dan ringkas serta sudah terbagi-bagi. Kedua, display data atau penyajian data, pada tahap ini peneliti melakukan organisasi data, mengaitkan hubungan-hubungan tertentu antara data yang satu dengan yang lainnya. Peneliti sudah menyajikan data yang lebih konkret dari tahap sebelumnya serta telah diklasifikasikan pada tema-tema yang dirancang oleh peneliti. Ketiga, proses verifikasi, pada tahap ini peneliti melakukan penafsiran (interpretasi) terhadap data yang sudah peneliti proleh dan sudah dilakukan reduksi dan penyajian, sehingga data yang sudah memiliki makna dengan cara membandingkan, pencatatan tema-tema dan pola-pola, pengelompokan melihat kasus-perkasus dan melihat hasil wawancara dengan informan dan hasil observasi.
41
Proses ini juga
menghasilkan sebuah hasil analisis yang telah dikaitkan dengan kerangka teoritis yang ada. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa yang ketiga, yaitu analisi penafiran. 6. Metode Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, penulis merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi yang terdapat dalam buku pedoma Program Strata Satu 2012/2013.42
Serta
penulis
menggunakan
Pedoman
Transliterasi
Romanisasi Standar bahasa Arab (Romanization of Arabic) tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan Library Congress. F. Sistematika Penulisan Sebagai bentuk fokus dan konsistensi dalam penelitian yang hendak peneliti lakukan ini serta supaya tidak keluar dari rumusan masalah yang penulis angkat, maka perlu disusun secara sistematis dalam penulisan ini. Bab Pertama berisi pendahuluan yang meliputi beberapa sub bab, yaitu: latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistemitika penulisan.
41
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, h. 115 Tim penyusun, Pedoman Akademik Program Strata Satu 2012/2013 (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2012) 42
21
Latar belakang berisi alasan penting penulis mengangkat topik yang diteliti. Permasalahan dibagi dalam tiga pembahasan yaitu identifikasi terhadap permasalahan, pembatasan masalah dan rumusan masalah yang berisi poin-poin penting yang akan menjadi pembahasan. Tujuan dan manfaat penelitian merupakan bentuk pemaparan urgensi penelitian yang hendak akan dilakukan mengenai topik yang diangkat. Kajian pustaka berisi beberapa literatur yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pokok permasalah yang akan dikaji. Dari beberapa literatur yang ada diungkapkan secara garis besar dari isi guna menemukan spesifikasi dalam penelitian yang hendak dilakukan dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Metode penelitian menyebutkan metode-metode ataupun langkah-langkah yang akan digunakan dalam penelitianini dalam rangka memperoleh informasi mengenai pokok penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan yang berisi mengenai susuna bahasan dari hasil penelitian. Bab kedua berisi gambaran umum tentang Desa Payudan Karangsokon sebagai tempat yang dijadikan fokus penelitian oleh penulis yang berisikan tentang penjelasan mengenai letak geografis Desa dan Demografi Desa. Bab Ketiga penulis akan membahas tentang pernikahan masyarakat karangsokon, baik dari segi pengertian prtnikahan, prosesi pernikahan yang meliputi tentang khithbah dilihat dari pengertian dan pendapat para ulama mengenai persetujuan pernikahan, penentuan waktu pernikahan pada perhitungan jawa dan tentang hari baik dalam Islam, serta tentang pelaksanaan pernikahan dari pengertian walimah dan dasarn hukumnya. Bab Keempat memaparkan tetang analisis dan pemahaman masyarakat terhadap pernikahan, dengan perincian tentang pemahaman masyarakat tentang persetujuan pernikahan, makna penentuan waktu pernikahan dan pemahaman masyarakat terhadap masjid sebagai tempat pelaksanaan pernikahan. Bab Kelima merupakan bab terakhir (penutup) yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kedua-duanya perlu diletakkan pada setiap akhir dari pembahasan sebagai kesimpulan atau ringkasan dari semua pembahasan dan
22
berisi tentang saran-sarang agar pembahasan yang disajikan mendapat saran bahkan kritikan supaya hasil penelitian ini lebih bersifat ilmiah.
BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAYUDAN KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP A. Sejarah Desa Entah dari mana asal muasal nama Payudan diambil. Yang jelas setelah gua tersebut bernama Gua payudan, daerah sekitarnya juga mendapat sebutan payudan. Konon putri kuninglah yang menamai gua tersebut dengan payudan. Seorang putri berkulit putih bertubuh molek, dan cantik menawan. Putri Kuning merupakan keturunan dari raja sumenep, Kesempurnaan tubuhnya menjadi idaman pria dan decak kagum para wanita, bahkan menjadi ikon kecantikan wanita Madura yang melegenda hingga saat ini. ―Putri Kuning‖ merupakan putri kesayangan raja. dia tidak saja dikenal cantik jelita, namun juga melegenda sebagai wanita yang gemar bertapa. Dan tempat dimana dia bertapa inilah, beliau menamainya ―Payudan‖. Sejak saat itu orang-orang menyebut Gua tersebut dengan gua payudan. Nama yang diyakini akan membawa keberkahan tersendiri bagi warga gua payudan dan sekitarnya, karena diberikan oleh putri raja yang gemar bertapa.1 Dari sebuah nama yaitu ―Payudan‖, Desa ini kembali melalui sejarah panjang. Sejarah yang menorehkan ciri khas tersendiri bagi warganya, hingga suatu saat orang-orang lebih mengenal daerah ini dengan sebutan ―Payudan Karangsokon‖. Nama yang diambil dari nama sebuah pohon yanng biasanya tumbuh besar dan tinggi serta memberikan kehidupan bagi berbagai mahluk disekelilingnya dengan buah yang dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi beberapa macam. Konon, untuk memudahkan menyebut lokasi yang dulu dikenal sebagai bagian dari payudan ini, masyarakat luas mengkonotasikannya dengan Pohon Sokon, yang pada waktu itu tumbuh besar, tinggi, dan rindang
1
Wawancara pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 01 Nopember 2016
23
24
didaerah ini. Sebutan tersebut berlangsung begitu lama hingga daerah ini menjadi sebuah desa.2 Adapun Kepala Desa yang penah menjabat hingga masa sekarang adalah sebagai berikut : K. Barsidan (tahun –s.d 1945), Mursidi P. Samam (1945 s.d 1960), Ali Wardi (tahun 1960 s.d 1990), Abdul Karib (tahun 1990 s.d 1998), H. Hasan Hamid (tahun s.d 1999 s.d 2013) dan Hj. Sutiana (tahun 2013-sekarang).3 B. Letak Geografis Desa Payudan Karangsokon Penelitian ini dilakukan di desa Payudan Karangsokon, dengan pertimbangan lokasi dimana dirasakan masih kental dengan upacara-uacara keagamaan walaupun dengan kondisi masyarakat yang sudah mulai bergeser menjadi masyarakat yang berpendidikan. Desa Payudan Karangsokon adalah desa yang terbilang subur dibandingkan dengan desa-desaa disebelahnya serta cocok untuk dijadikan daerah pertanian, perdagangan serta beberapa hal yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat. Secara geografis Desa Payudan karangsokon terletak pada posisi 7o21’-7o31’ lintang selatan dan 110o10-111o40 bujur timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 256 m di atas permukaan air laut. Secara administratif, Desa Payudan Karangsokon terletak di wilayah kecamatan Guluk-Guluk kabupaten Sumenep dengan posisi dibatasi oleh wilayah Desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Payudan Daleman dan Batuampar Guluk-Guluk, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Batuampar di sisi selatan selatan berbatasan dengan Desa Bakeong Kecamatan Guluk-Guluk, sedang di sisi timur berbatasan dengan Desa Payudan Daleman kecamatan Guluk-Guluk Jarak tempuh Desa Payudan karangsokon ke kecamatan adalah ± 15 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar ± 20 menit. Sedangkan jarak
2
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016 Sumber Data Monografi Desa Payudan karangsokon, Kabupaten Sumenep, Tahun 2014. Pada Tanggal 02 Nopember 2016 3
25
tempuh ke ibu kota kabupaten adalah ± 45 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar ± 55 menit.4 C. Demografi Desa Payudan Karangsokon Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa, penduduk desa payudan karangsokon adalah 3.079 terdiri dari 950 kk, dengan jumlah total 3.079 jiwa, dengan rincian 1531 laki-laki dan 1548 perempuan5 sebagaimana tertera pada tabel berukut : TABEL I JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN USIA No
Usia
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Prosentase
1
0-4
120
115
235
7,63%
2
5-9
134
101
235
7,63%
3
10-14
97
97
194
6,30%
4
15-19
107
97
204
6,62%
5
20-24
125
145
270
8,76%
6
25-29
106
117
223
7,24%
7
30-34
151
142
293
9,51%
8
35-39
109
109
218
7,08%
9
40-44
97
110
207
6,72%
10
45-49
170
150
320
10,39%
11
50-54
90
105
195
6,33%
12
55-58
60
85
145
4,70%
13
>59
165
175
340
11,04%
4
Sumber Data Monografi Desa Payudan karangsokon, Kabupaten Sumenep, Tahun 2014. Pada Tanggal 02 Nopember 2016 5 Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016
26
Jumlah Total
1531
1548
3079
100,00%
Sumber Data: Monografi Desa Payudan karangsokon
1. Pendidikan Masyarakat Pendidikan adalah satu hal yang penting dalam memajukan tingkat SDM (sumberdaya manusia) yang dapat berpengaruh dalam jangka panjang pada peningkatan perekonomian. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya keterampilan kewirauasahan dan lapangan kerja baru, sehingga akan membantu program pemerintah dalam mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Pada generasi-generasi sebelumnya respon masyarakat terhadap pendidikan tampak terbalik. Masyarakat menganggap pendidikan hanya layak diperoleh orang-orang tertentu saja. Antara anak laki-laki dan perempuan terlihat ada perlakuan yang berbeda dalam hal pendidikan. Oleh karena itu pendidikan masyarakat hingga saat ini masih tergolong minim. Terbukti dengan masih banyaknya masayarakat yang buta huruf, terutama huruf latin dari pada arab.6 Untuk mengukur tinggi rendahnya kemajuan suatu masyarakat adalah tergantung dari tinggi dan rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh masyarakatnya. Semakin tinggi pendidikan suatu masyarakat, semakin baik pula tatanan kehidupan masyarakat tersebut. Masyarakat Payudan Karangsokon setelah dilihat dari data yang peneliti peroleh bahwa mayoritas penduduknya berpendidikan SD/sederajat dengan kecenderungan
bahwa
masyarakat
masih
sedikit
sekali
yang
pendidikannya di atas itu. Hal ini dapat dilihat dengan penduduk yang usia 10 tahun ke atas yang buta huruf tidak ada akan tetapi yang sekolahnya tidak tamat SD/sederajat sejumlah 823 orang, penduduk yang tamat SD/sederajat sejumlah 654 orang, penduduk yang SLTP/sederajat sejumlah 593 orang, penduduk yang tamat SLTA/sederajat sebanyak 1.153 orang, penduduk tamat D-1 sebanyak 15 orang, penduduk tamat D-
6
Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
27
2 sebanyak 25 orang, penduduk tamat D-3 sebanyak 30 orang, penduduk tamat S-1 sebanyak 132 orang, penduduk tamat S-2 sebanyak 2 orang, dan penduduk tamat S-3 belum ada.7 Adapun untuk prasarana pendidikan formal terdapat 4 jenis yang berjenjang yaitu mulai dari Taman kanak-kanak (TK) ada 5 buah bangunan yang baik, SD/sederajat ada 5 buah bangunan yang baik, SLTP/sederajat ada 3 buah bangunan yang baik, dan SLTA/sederajat ada 2 buah bangunan yang baik. Selain prasarana pendidikan formal ada pula prasarana pendidikan keterampilan yaitu kursus komputer ada 1 buah. 2. Sosial Budaya Masyarakat Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama, sesama keluarga, masyarakat dan antara sesama manusia pada umumnya. Secara garis besar, stratifikasi atau lapisan sosial masyarakat Payudan Karangsokon meliputi tiga lapis, yaitu orang kéné‟ sebagai lapis terbawah; pongghaba sebagi pelapis menengah; dan parjajih (Priayi) sebagai lapis paling atas.8 Namun, jika stratifikasi sosial ini dilihat dari dimensi agama hanya terdiri dari dua lapisan, yaitu santré (santri), dan banné santré (bukan santri). Lapisan sosial paling bawah yang disebut dengan oréng kéné‟ (orang kecil) adalah kelompok masyarakat biasa atau kebanyakan. Orangorang ini biasanya bekerja sebagai petani, pengrajin, dan sejenisnya; bahkan juga termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan atau para pengangguran. Lapisan sosial menengah atau pongghaba meliputi para pegawai, terutama yang bekerja sebagai birokrat, mulai dari tingkatan bawah hingga tinggi. Secara harfiah, kata pongghaba berarti pegawai atau orang yang bekerja pada institusi-institusi formal, khususnya kantor-kantor pemerintah. Lapisan sosial yang paling atas adalah para bangsawan, yang tidak saja secara genealogis merupakan keturunan langsung raja-raja di Sumenep.9
7
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016 Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016 9 Latif Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 47-48 8
28
Dalam kehidupan sosial masyarakat Madura tak terkecuali masyarakat Payudan Karangsokon yang juga temasuk Madura sebenarnya menekankan hidup harmonis. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan Rempak‟ naong beringin korong. Ungkapan tersebut menganjurkan untuk saling tolong-menolong dan pentingnya solidaritas sosial juga sangat di tekankan seperti ungkapan gu‟teggu‟ sabbu‟ atau song-osong lombung. Ungkapan tersebut memilik arti senafas dengan gotong royong.10 3. Ekonomi Masyarakat Masalah ekonomi timbul bersamaan dengan tumbuhnya manusia di muka Bumi. Karena ekonomi pada hakekatnya adalah upaya manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Manusia dalam kehidupannya tidak akan lepas dari kebutuhan-kebutuhan untuk melengkapai hidupnya, baik sandang maupun pangan, hal tersebut merupakan sunnatullah karena manusia lahir dengan sejumlah besar kebutuhan dan berusaha keras dengan jalan apapun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti daerah-daerah lainnya yang ada di Madura, iklim di desa Payudan Karangsokon terbagi atas dua musim, yaitu musing nemor (kemarau), dan musim nampere‟ (penghujan). Musim penghujan berjalan dari bulan Nopember sampai bulan April, dan musim kemarau dari bulan Mei sampai bulan Oktober.11 Secara ekonomi, Desa Payudan Karangsokon merupakan mayoritas masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani. Area pertaniannya dengan pola tegalan dan sawah tadah hujan, dengan kondisi keadaan tanah yang sebagian kering dan sebagian lagi ada yang Basah, maka pendapatan perekonomian masyarakat Payudan Karangsokon masih terasa sangat kurang baik (minus).12 Berikut adalah table kondisi perekonomian berdasarkan KK.
10
A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura, (Surabaya: Andhep Asor, 2013), h. 5 11 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, ter. Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 27 12 Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
29
TABEL II KONDISI PEREKOMIAN BERDASARKAN KK No
Kondisi
Jumlah
1.
Miskin
430 kk
2.
Pra-sejahtera
298 kk
3.
Sejahtera I
10 kk
4.
Sejahtera II
12 kk
5.
Sejahtera III
105 kk
6.
Sejahtera III (plus)
95 kk
Jumlah
950 kk
Sumber Data: Monografi Desa Payudan Karangsokon
Melihat dari perincian tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di Desa Payudan Karangsokon termasuk tinggi. Jika kk golongan pra-sejahtera digolongkan sebagai kk golongan miskin, maka lebih 23,96% kk Desa Payudan karangsokon adalah keluarga miskin.13 Di desa Karangsokon ada tiga macam lahan yang digunakan cocok tanam: Pertama, sawah yang memungkinkan ditanami padi dan tembakau. Kedua, paningkin (tegal) tanah yang hanya menghasilkan tanaman jagung, singkong, dan tembakau.14 Mayoritas
masyarakat
Payudan
Karangsokon
sangat
menghandalkan hasil panen tembakau karena tembakau disana memiliki mutu spesifik yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok sebagai bahan baku utama. Oleh karena itu, tembakau msyarakat Payudan Karangsokon ditanam secara terus menerus pada berbagai tipe lahan, mulai lahan sawah sampai lahan tegal.15 13
Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016 Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016 15 Tanaman tembakau di Madura dikenal dengan nama nicotiana tabacum, termasuk famili solanaceae, dari genus nicotiana. Nicotiana tabacum lebih disenangi oleh produsen dan konsumen dibanding dengan nicotiana rustica, nicotiana silvestris, nicotiana glutinosa, dan nicotiana petunoides. Nicotiana rustica mengandung kadar nikotin yang besar, sedangkan nicotiana silves tris, nicotiana glutinosa, dan nicotiana petunoides, tumbuh secara liar dan tidak dibudidayakan karena tidak mempunyai nilai ekonomi. (Lihat Thomas Santoso, Tata Niaga 14
30
Perekonomian masyarakat Payudan Karangsokon menengah kebawah, sebagian kecil jug ada yang menengah keatas. Hal ini dikarenakan kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang terdapat di Desa Payudan Karangsokon, sehingga banyak sebagian kepala keluarga yang memilih kerja di luar kota seperti di Jakarta, Malaysia, Kalimantan, saudi dan beberapa tempat lainnya. Namun dari pemerintahan Desa sudah mengupayakan yang lebih baik dalam hal pembangunan perekonomian masyrakat, hal ini terbukti dengan diberdirikannya pasar dan ruko pada akhir tahun 2015 kemaren.16 Tingkat pendapatan rata-rata penduduk desa payudan karangsokon Rp. 30.000,- secara umum mata pencaharian warga masyarakat desa payudan karangsokon dapat teridentifikasi ke dalam beberapa sektor yaitu pertanian, jasa /perdagangan, industri dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada, masyarakat yang bekerja disektor pertanian berjumlah 1.114 orang, yang bekerja disektorjasa berjumlah 306 orang, yang bekerja disektor industri 65 orang, yang bekerja disektor lain-lain 1.600 orang. Dengan demikian jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian berjumlah 3.079 orang. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian TABEL II Mata Pencaharian dan Jumlahnya No
Mata Pencaharian
Jumlah
Prosentase
1.
Pertanian
1.114 orang
36,18%
2.
Jasa/perdagangan 10 orang
0,32%
83 orang
2,69%
1. Jasa pemerintahan 2. Jasa perdagangan
Tembakau di Madura, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 3, No. 2, September 2001: 96105 dan pada Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h. 47 16 Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016
31
3. Jasa angkutan 4. Jasa keterampilan
70 orang
2,27%
23 orang
0,74%
120 orang
3,89%
5. Jasa lainnya
3.
Sektor industri hume
65 orang
2,11%
4.
Sektor lain
1.600 orang
51,96%
Jumlah
3.079 orang
100%
Sumber Data: Monografi Desa payudan karangsokon
Dengan
minusnya
perekonomian
masyarakat
Payudan
Karangsokon maka sifat ulet, pantang menyerah, tidak pernah pilih-pilih pekerjaan, dan suka tantangan, merupakan bagian dari etos kerja mereka. Ada pepatah Madura yang mengatakan ―sapa atane “bakal atana‟” (siapa yang tekun bertani akan menanak nasi), “sapa adegeng bakal adaging” (siapa berdagang akan berdaging/sehat), “ollena alako berre‟ apello koneng‖ (hasil dari bekerja keras berkeringat kuning—memperoleh emas). Kerja keras tersebut sudah mulai awal menjadi prinsip dasar masyarakat Madura untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. Selain itu, hemat dan halal juga termasuk dalam prinsip kerja masyarakatnya, meski sebagian ada yang didapat dari hasil pekerjaan yang tidak halal.17 4. Keberagamaan Masyarakat Bentuk keberagamaan masyarakat Payudan Karangsokon tampak pada kehidupan kemasyarakat yang religius. Seperti masyarakat Madura pada umumnya, masyarakat Payudan Karangsokon juga dikenal patuh mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan Islam dijadikan bagian dari ethnic
identity,
sehingga
keberagamaan
masyarakat
Payudan
Karangsokon memiliki ciri khas kedaerahan yang sangat kental sebagaimana beberapa desa sekitar.
17
Agus Afandi, dkk., Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, (Yogyakarta: ArRuzz, 2006), h. 11-12
32
Paham
keagamaan
masyarakat
Payudan
Karangsokon
diapresiasikan dalam bentuk simbol, seperti sarung, kopyah, dan sorban bagi pria. Serta sarung, kebaya dan kerudung bagi wanita sebagai atribut yang digunakan dalam setiap harinya kecuali pada kegiatan yang memang mengharuskan menggunakan atribut selain hal tersebut. Seperti halnya bersawah, sekolah SD, SMP dan SMA, serta beberapa kegiatan yang lainnya.18 Keberagaman masyarakat Payudan Karangsokon juga diwujudkan dalam sikap kolot dan fanatik terhadap sesuatu hal yang merupakan kebiasaan. Sikap kolot nampak pada keharusan menggunakan kopyah dan sarung ketika menjalankan shalat, seolah sarung dan kopyah menjadi syarat sah shalat. Bahkan bukan hanya dalam hal demikian saja, dalam tatacara atau model pakaian yang digunakan dalam shalat juga harus terkesan rapi, mulai dari pemakaian kancing dan sebagainya. Sikap fanatik terlihat juga pada sikap masyarakat yang tidak mau menerima paham selain Nahdlatul Ulama’, entah hal tersebut dikarenakan karena mempertahankan warisan para leluhur atau yang lainnya, sehingga menyebabkan fanatisme keyakinan itu sangatlah kental. Demikian pula sikap fanatik tercermin pada taatnya pada satu kyai walaupun di Desa tersebut yang menjadi tokoh bukan hanya satu orang saja, akan tetapi sikap fanatik dan penggolongan terhadap kyai tersebut masih sangat kental.19 Bagi masyarakat Payudan Karangsokon, sosok seorang Kyai merupakan segala-galanya, yang menjadi tempat untuk meminta jalan keluar atas persoalan dan kesulitan hidup yang mereka hadapi.20 Masyarakat Payudan Karangsokon sangat taat dan patuh kepada figur atau 18
Wawancara Pribadi dengan Abd Hamid, Karangsokon 30 Oktober 2016 Wawancara Pribadi dengan KH. Abd Majid, Karangsokon 31 Oktober 2016 20 Melalui kharisma yang melekat padanya, Kyai dijadikan imam dalam bidang „ubûdiyyah dan sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan problem yang menimpa masyarakat. Rutinitas ini semakin memperkuat peran kyai dalam masyarakat, sebab kehadirannya diyakini membawa berkah. Misalnya, tidak jarang kyai diminta mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama, diminta do’a untuk melariskan barang dagangan dan lain sebagainya. Sebagai implikasi dari peran yang dimainkan kyai ini, kedudukan pesantren menjadi multi fungsi. (Lihat Edi Susanto, Kepemimpinan (Kharismatik) Kyai Dalam Perspektif Masyarakat Madura, Jurnal Karsa, Vol. XI No.1, April 2007 19
33
tokoh tradisonal (ulama/kyai) daripada kepada figur atau tokoh formal. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Payudan Karangsokon terdapat ungkapan buppa' (bapak), babu' (ibu), guruh (guru), dan ratoh (rato).21 Makna ini menunjukkan kepatuhan dan ketaatan masyarakat Payudan Karangsokon pertama-tama kepada kedua orangtua, kemudian berturut-turut kepada guru (figur ulama/kyai), dan terakhir kepada figur rato (pemimpin formal). Dengan demikian, dapat disebut di sini bahwa seorang Kyai dan Ulama dalam kultur masyarakat Payudan Karangsokon merupakan sosok pemimpin formal dan informal, yang keberadaannya turut memberikan warna dalam harmoni kehidupan masyarakat Payudan Karangsokon.22 Dengan demikian, citra tentang kepatuhan, ketaatan, atau kefanatikan masyarakat Payudan Karangsokon pada agama Islam yang dianut tentu sudah lama terbentuknya. Secarah harfiah mereka memang sangat patuh menjalankan syariat agama seperti melakukan sembahyang lima waktu, berpuasa, berzakat (pemberian wajib) dan bersedekah (pemberian sukarela). Hasrat mereka untuk menunaikan kewajiban naik haji besar sekali, sebagaimana juga dengan keinginan untuk belajar agama di pesantren alih-alih belajar ilmu keduniawian di sekolah umum. Sehingga secara keseluruhan ajaran Islam sangat pekat mewarnai budaya dan peradaban desa Payudan Karangsokon. Ketaatan masyarakat Payudan Karangsokon kepada elit agama (ulama/kyai) ini merupakan indikasi bahwa masyarakat Payudan Karangsokon adalah masyarakat yang sangat taat beragama. Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting sebagai penanda identitas etnik Payudan Karangsokon.23
21
ada tingkatan penghormatan dalam masyarakat Madura, yaitu buppa’ (ayah), babu’ (ibu), guru (guru), dan rato (pemerintah). Sikap hormat dimulai dari bapak dan ibu (orang tua di rumah), guru dan pemerintah, serta penghormatan kepada orang lain (Lihat Hasan Busri, Kearifan Lokal Budaya Madura dalam Dinamika Sosial. Disertasi tidak Diterbitkan. (Malang: Pascasarjana UniversitasNegeri Malang, 2010), h. 70 22 Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, ter. KITLV-LIPI (Jakarta: PT Gramedia, 1989), 240. 23 Agus Afandi, dkk., Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, h.13
BAB III PERNIKAHAN MASYARAKAT DESA PAYUDAN KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP A. Sekilas Tentang Living Hadis Nabi Muhammad Saw sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an dan musyari’ menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Selain dua hal tersebut, nabi berfungsi sebagai ontoh teladan bagi umatnya. Dalam rangka itulah, apa yang dikatakan, diperbuat dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw dikenal dengan hadis yang di dalam ajaran Islam sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.1 Hadis yang menyebar dikalangan umat Islam dan diaktualisasikan dalam konteks tradisi dan budaya local inilah yang disebut dengan living hadis.2 Kajian living hadis di Indonesia bermula dari fenomena Qur’an and hadith in daily life yang marak satu dekade belakangan. Istilah living hadis awalnya memang tidak bisa dilepaskan dari kajian living Qur’an, mengingat keduanya secara teologis tidak dapat dipisahkan.3 Fazlurrahman memiliki pemahaman yang berbeda tehadap hadis, bahwa hadis merupakan verbal tradition dan Sunnah merupakan pratical tradition atau silent tradition. Istilah yang berkembang dalam kajian ini adalah Sunnah dahulu baru kemudian menjadi istilah hadis. Hadis bersumber dan berkembang dalam tradisi Rasulullah Saw serta menyebar secara luas seiring dengan menyebarnya Islam. Teladan Nabi Muhammad Saw telah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek keseharian mereka dengan menyebutnya sebagai the living tradition atau Sunnah yang hidup.4 Living Sunnah dimaknai sebagai teladan Nabi Muhammad Saw yang telah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabiin menjadi praktek keseharian
1 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 107 2 Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 227 3 Jajang A Rohmana, “Pendekatan Antropologi Dalam Studi Living Hadis Di Indonesia: Sebuah Kajian Awal” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 254 4 Fazlur Rahman, Islam dan Islamic Methodology un History. Penerjemah Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), h. 141
34
35
mereka. Praktek ini muncul dari penafsiran yang bersifat individual terhadap teladan Nabi.5 Suryadi menambahkan bahwa living Sunnah adalah Sunnah Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.6 Adanya pergeseran pandangan tentang tradisi Nabi Muhammad Saw yang berujung pada adanya pembakuan dan menjadikan hadis sebagai sesuatu yang mempersempit akupan, menyebabkan kajian living hadis menarik untuk dikaji secara serius dan mendalam. Sedangkan living hadis lebih didasarkan atas adanya tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan kepada hadis. Penyandaran tersebut bisa saja hanya difokuskan terhadap daerah khusus saja atau bahkan bisa lebih diluaskan lagi dalam cakupan pelaksanaannya.7 Sementara Barbara D. Metcalf sebagaimana yang dikutip Nikmatullah menyatakan bahwa living hadis mempunyai makna ganda yang mencakup pemahaman terhadap hadis dan internalisasi tertulis/teks yang didengar ke dalam kehidupan nyata.8 Melihat dari gambaran di atas maka penulis menarik sebuah asumsi bahwa, living sunnah merupakan suatu kegiatan yang bukan hanya difokuskan pada Rasulullah saja melainkan juga dikaitkan pada pengamalan setelahnya, seperti halnya pada masa sahabat, tabi’’i dan generasi berikutnya. Sedangkan living hadis merupakan suatu fenomena sosial-budaya yang bersumber dari pemaknaan terhadap teks-teks hadis serta menyangkut juga praktek sosial keagamaan sebagai bentuk pengamalan seorang hamba dalam kehidupa sehari-harinya. Sehingga pada umunya dalam pendekatannya tidak jauh berbeda seperti halnya penelitian sosial keagamaan pada umumnya.
5
Contoh dari living Sunnah adalah tentang harta rampasan perang, dimana pada kegiatan tersebut terjadi pengamalan yang berbeda antara masa kepempinan Nabi Muhammad Saw dan Sahabatnya. Lihat Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 228 Contoh lainnya adalah masalah unta yang terlepas dari pemiliknya. Lihat Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), h. 93 6 Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 93 7 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 113114 8 Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 229
36
B. Pengertian Pernikahan Istilah nikah berasal dari akar kata Arab nakaha, yankihu, nikahan, yang artinya “adh-Dham, al-Wath’u dan al-Aqdu”.9 Misalnya ketika dikatakan “tanakahat al-Asyjār” maksudnya adalah “idzā tamayalat wa aldhamma ba’dun ila ba’din”, artinya “ketika pohon-pohon saling condong, kemudian mereka saling berkumpul satu sama lainnya”.10 Pengertian pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.11 Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.12 Secara arti kata nikah berarti bergabung “ammu” hubungan kelamin wath’u dan juga berarti “akad” aqdun adanya dua kemungkinan yaitu hubungan kelamin dan akad nikah, meskipun ada dua kemungkinan arti kata “nakaha” akan tetapi masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perkawinan dalam pengertian bahasa Arab adalah nikah, nikah secara bahasa berarti ( اجلمعmenghimpun) dan ( الضمmengumpulkan) dikatakan نكحت
( االشجارpohon-pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lain) jika suatu bagian pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lainnya). 9 an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Kitab Nikah, Juz: 9, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 171 dijelaskan juga oleh Syihabuddin Ahmad al-Qastalani dalam Kitab Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahihi al-Bukhari, Kitab Nikah, Juz: 11, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 382 10 Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 149 11 arti nikah adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada waktu akad menggunakan lafaz “nikāh” atau “Tazwij”, atau terjemahannya. Adapun “zawāj” atau “tazwij” bermakana sama dengan nikah (Lihat Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 104.) 12 H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), h. 374
37
Jika suatu bagian pohon dengan bagian pohon yang lainnya saling berhimpun atau berkumpul.13 Perkawinan dalam
Islam
merupakan sunnatullah
yang sangat
dianjurkan karena perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah Swt. untuk melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan hidup.14 Perkawinan diartikan dengan suatu akad persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengakibatkan kehalalan pergaulan
(hubungan)
suami-istri,
keduanya
saling
membantu
dan
melengkapi satu sama lain dan masing-masing dari keduanya memperoleh hak dan kewajiban.15 Golongan Ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa kata nikah berarti akad dalam arti sebenarnya (hakiki); dapat berarti juga untuk hubungan kelamin, namun arti tidak sebenarnya (arti majâzî). Sebaliknya, Ulama Hānafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin.16 Pengertian perkawinan menurut istilah ilmu fiqih sering memakai lafaz “nikah” dan “zawaj”. Menurut bahasa, nikah dapat mengandung makna haqiqi, yaitu “dhām” , yang berarti menghimpit atau berkumpul dapat pula mengandung makna majâzî, yaitu “wala”, yang berarti bersetubuh atau aqad (mengadakan perjanjian pernikahan).17 Sedangkan nikah menurut istilah, ada beberapa pengertian yaitu: 1. Menurut M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syâfi’ah AM., nikah adalah sesuatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.18 2. Ulama Hânâfiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki muth’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-
13
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayat al-Akhyār, Juz II, (Indonesia: Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth) h.3 14 As-Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Anbi, 1973), 11: 6 15 Abu Zahrah, al-Ahwāl asy-Syakshiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957) VIII: 6513 16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan cet.ke.-I. (jakarta : kencana 2006), h. 36-37. 17 Kamal Muktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet ke.-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 1. 18 M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, cet. 1), h. 249.
38
laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan. 3. Ulama Syāfi’iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.19 4. Menurut Harun Nasution, yang dimaksud nikah menurut istilah ialah suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan wanita yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.20 5. Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wania sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arti perkawinan atau pernikahan adalah suatu akad perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan mencari ridha Allah SWT.22 Perkawianan merupakan sesuatu ikatan yang suci yang dianggap luhur untuk dilakukan. oleh karena itu, apabila seseorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang mencari ridha Allah dan perintah agama sementara seolah-olah sebagai tindakan permainan, maka agama Islam tidak memperkenankannya. Perkawinan hendaknya dinilai sebagai sesuatu yang suci, yang hanya dilakukan oleh orang-orang dengan tujuan yang luhur dan suci. Hanya dengan demikian tujuan perkawinan dapat tercapai.23
19
Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih Munakahat 1 ( Bandung: Pustaka setia, 1999 ),
20
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, h 741 Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974 Tentang Perkawianan. Bab I Pasal 2
h.11. 21
ayat (2) 22 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. cet. ke-9 (Yogyakarta: UII PreSs, 1999), h. 11. 23 Lili Rasjidi, Pekawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,1991), h. 7.
39
C. Prosesi Pernikahan 1. Mintah (Melamar) Perempuan a. Pengertian Khithbah Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut Khitbah. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain)”.24 Peminangan dalam Ilmu fiqih dikenal dengan istilah khitbah, secara etimologi berasal dari suku kata yaitu:25 خطب – خيطب – خطبا Kata “khitbah” , dalam terminologi Arab memiliki akar kata yang sama dengan al-khithāb dan al-khathāb. Kata al-khathāb berarti “pembicaraan”. Apabila dikatakan takhāthaba maksudnya “dua orang yang sedang berbincang-bincang”. Jika dikatakan khāthabahu fi amr artinya “ia memperbincangkan sesuatu persoalan pada seseorang”. Jika khitbah (pembicaraan) ini berhubungan dengan ihwal perempuan, maka makna yang pertama kali ditangkap adalah pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan pernikahannya.26 Dalam pangertian lain Khitbah adalah:
َََوالتَقَدَمَ َاَلَيهَا َنَ َويَهَا َبَبَيَانَ َحَالَة َ الرجَلَ َيَدَ َامََرأَةَ َمَعَيَنةَ َلَلتَ َزَوجَ َبَا َ َ َطَلَب 27
َاوضَتَهمَفََأَمرََالعَقدََ َومَطَالَبَةََ َومَطَالَبَهمَبَشَاعَنَه َ ََومَف
Artinya: “Permintaan seorang pria kepada seorang wanita tertentu secara langsung untuk memperistrikannya atau kepada walinya dengan menjelaskan hal dirinya dan pembicaraan mereka dengan masalah akad, harapan-harapannya dan harapan mereka mengenai perkawinan”.
24 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan bintang, 1974) h, 28-29 25 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut:Dar Al-Kitab Al-‘arabi,1977), h. 25 26 Cahyadi Takariawan Izinkan Aku Meminangmu, (Solo: Era Intermedia, 2004), h. 35 27 Abu Zahroh, al-Ahwāl as-Syakhsiyah, (Beirut: Dar Fikr, th), h. 27
40
Menurut Abdul Azis Dahlan makna Khitbah adalah suatu langkah pendahuluan menuju kearah pernikahan antara seorang pria dan wanita.28 Pengertian ini sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang lebih condong memaknai Khithbah sebagai permintaan seorang lelaki terhadap seorang wanita untuk kemudian dijadikan sebagai isterinya dengan melalui tahapan yang sudah berlaku dikalangan Masyarakat.29 Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily, yang dimaksud Khithbah adalah memperlihatkan keinginan untuk menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahukan niat baiknya kepada perempuan tersebut beserta walinya. Pemberitahuan tersebut bisa
dilakukan
secara
langsung oleh
laki-laki
yang hendak
mengkhitbah, atau bisa dengan cara memakai perantara keluarganya. Jika si perempuan yang hendak dikhitbah atau keluarganya setuju maka tunangan dinyatakan sah.30 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa proses khithbah merupakan salah satu dari bagian untuk menyampaikan keinginan seoranng laki-laki maupun perempuan terhadap lawan jenisnya untuk dijadikan sebagai seseorang yang akan menjadi pendamping kehidupannya dikemudian hari. Hal yang demikian ini bisa saja orang tersebut langsung mengutarakan niatnya terhadap keluarga wanita maupun melalui orang lain dalam menyampaikannya. b. Pendapat Para Ulama Tentang Persetujuan Pernikahan Dalam diri manusia terdapat dimensi eksoterik yang dapat dilihat melalui panca indera dan dimensi isoterik yang bersifat abstrak, tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan. Menurut Annemarie Schimmel, aspekaspek ruhaniah dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui
28
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 199), h. 927 29 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah Mudzakkir As, Jilid VI (Bandung: PT. alMa’rifah, 1980), h. 30-31 30 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul Hayyie alKattani, (Jakarta:Gema Insani, 2011), h. 21
41
aspek-aspek yang terinderai. Misalnya, angin hanya dapat dilihat melalui gerakan rumput. Debu yang terlihat dari jauh di gurun pasir, menyembunyikan seorang penunggang kuda.31 Berikut penjelasan mengenai persetujuan gadis dewasa dalam perkawinanaya menurut pendapat para ulama adalah sebagai berikut : 1) Madzhab al-Syāfi’i Imam Syāfi’i membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama, gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak gadis.32 Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu Bakar yang menikahkan ‘Aisyah kepada Nabi, dan umur ‘‘Aisyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun”.33 Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhum mukhalafah hadis yang menyatakan “janda lebih berhak terhadap dirinya”. Menurut imam asy- Syāfi‘i mafhum mukhalafah hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya,34 meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan
31
Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara Fenonenologis, Penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1996), h. 22-23. 32 Ketika melihat kondisi sekarang ini bisa dikatakan bahwa 9 tahun sudah bisa haid dengan beberapa unsur yang sudah mulai bergeser dari zaman sebelumnya kepada kehidupan sekarang ini, sehingga menyebabkan beberapa anak mengalami haid lebih awal dari gambaran yang ditentukan disini. 33 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan cet.ke.-I. (jakarta : kencana, 2006), h. 38 34 Hal ini didukung pernyataan ulama Al-syafi’iyyah bahwa apabila bapak sebagai wali tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah memenuhi ketujuh syarat berikut: pertama, antara bapak dengan anak tidak ada permusuhan. Kedua, anatara si anak gadis dengan calon suaminya tidak ada permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’. Keempat, calon suami sanggup memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat ‘Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqih ‘ala alMazahib al-Arba‘ah (Beirut: Dar al-Afkar, t.t) h, 35
42
si anak gadis, berdasarkan firman Allah dalam Surah al-Imran (3) ayat 159:
َوشاورهمَفَاالمر Dari penjelasan al-Syāfi’i, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis. Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan al-Syāf’i sendiri yang menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan ( )فرضtetapi hanya sekedar pilihan ()اختيار. Adapun perkawinan seorang janda al-Syāfi’i menurut beliau harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak disenangi ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu.35 Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya. Ketetapan ini diperkuat hadis lain.36 Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ( )احق بنفسهاberarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuannya dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.37 2) Maliki Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih pasangan (calon suami), imam Malik membedakan antara janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yang belum dewasa yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak sebagai wali dengan wali selain bapak. Bapak sebagai wali menurut imam Malik beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang 35 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, cet. II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 467. 36 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 3 37 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz 25, h. 310
43
belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya.38 Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut imam Malik karena memang syara’ mengkhususkan demikian, atau karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.39 Kemudian az-Zarqanî menuliskan dua pandangan ‘Iyad tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis, walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya. kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya.40 Kedua pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi:
َعن َابن َعباس َأن َالنِب َصلىَهللا َعليه َوسلم َقال َاَلَيَ َاَحَقَ َبَنَفَسَهَاَمَنَ َ َولَيَهَا 41
َوالبكرَتستأذنَِفَن فسهاَوإذن هاَصمات هاَقالَن عم
Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan gadis perawan diminta izinnya (dalam urusan nikahnya), sedangkan tanda ia mengizinkan adalah bila ia diam?”. Malik menjawab, “Ya”. Pendapat pertama, dengan mengambil mafhum mukhalafah dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan hadis ini dengan hadis Nabi:
َ 42 ََالَنَكَاحََاَالَبَ َوال:َقالَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلم:عنَأِبَموسىَقال
38 Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I) (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), h. 70 39 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 407 40 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 71 41 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 88
44
Artinya: Dari Abi Musa, ia berkata, Rasulullah Saw bersabdda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” 3) Hanbali Dalam al-Mugni, Ibn Qudamah seorang ulama besar dari mazhab Hanbali ini mengklaim, bahwa ulama sepakat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita itu senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Ibn Qudamah sendiri cenderung berpendapat, bahwa bapak berhak memaksa anak gadisnya baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu walaupun wanita tersebut tidak setuju.43 Menurut beliau, dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah dalam Surah ath-Thalaq (65): 4:
َ ََوالَئىَيَئَسَنََمَنََالَحَيَضََمَنََنَسَائَكَمََإَنََ َارتَبَتَمََفَعَدَتَهَنََثَلَثَةََاَشَهَرََ َوالَئَىَلََيَضَن Artinya: “Permepuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq (65): 4) Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa ‘iddah seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid. Logika sederhana adalah ‘iddah muncul karena talak, dan talak muncul karena nikah.44 Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fi‘li Nabi Saw:
Abi ‘Isa Muhammad bin Sawrah, Sunan at-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 1408/1988), III: 407, hadis nomor 1101, “Kitab an-Nikah”, “Bab Ma Ja'a illa bi Waliyyi", Sanad hadis ini marfu‘ muttasil, hadis dari ‘Ali bin Hujr diceritakan Syarik bin ‘Abdullah dari Abi Ishaq. 43 Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h. 88 44 Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h. 89 42
45
َعَنََعَائَشَةََقَالَتََتَ َزَوجَنََالنَِبََصَلَىَهللاََعَلَيَهََ َوسَلَمََ َواَنَاَبَنَتََسَتََسَنَيََ َوبَن َ 45 ََواَنَاَبَنَتََتَسَعََسَنَي َ َِب Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw menikahiku ketika aku berusia enam tahun, dan aku menggaulinya ketika aku berusia sembilan tahun”. Menurut ibn Qudamah, disamping sebagai dalil bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini juga menunjukkan tidak adanya permintaan izin dari Abu Bakr (bapak/wali) kepada ‘Aisyah. 4) Hanafi Menurut Abu Hanifah, persetujuan wanita (calon istri) gadis atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.
َب َفكرهت َذلك ٌ عن َخنساء َبنت َخذام َالنصاريةَ َأن َأباهاَزوجهاَوهي َث ي َ
46
فجاءتَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلمَفذكرتَذلكَلهَف ردَنكاحها
Artinya: Diriwayatkan oleh Khansa binti Khidzami al-Anshariyah, “sesungguhnya ayahnya telah menikahkannya, saat itu statusnya dalam keadaan perawan. Ia tidak menyukai perilaku ayahnya yang demikian, kemudian ia mendatangi Rasulullah Saw dan menceritakan apa yang dialaminya, maka pernikahan yang dilakukan oleh sang bapak tersebut ditolak oleh Nabi Saw.”
45 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 896 46 Bukhari, Shahih Bukhari, cet. III, V Beirut: Dar al-Fikr, 1401/1981,: 135, “Kitab anNikah”, “Bab Iza Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Karihah fa Nikahuhu Mardud”. Sanad hadis ini marfu‘ muttasil, hadis diceritakan oleh Ismail diceritakan Malik dari Abdul ar-Rahman.
46
ََ َ"اَنَ َجَ َاريَةَ َ(بكرا) َاَتَتَ َالنَبَ َصلَى َاهللا:ََوِفَ َالسَنَنَ َمَنَ َحَدَيثَ َابَنَ َعَبَاس ََاَوهَيَََكَ َارهَ َةٌ َفَخَيََرهَاَالنَبَ َصلَىَهللاَ َعَلَيه َ َعَلَيَهَ َ َوسَلَمَفََذكََرتَ َاَنَ َاَبَاهَا ََزَوجَه 47
َوسَلَم
Artinya: Dalam hadis sunan dari ibn Abbas Ra: “Sesunguhnya seorang wanita datang kepada Nabi Saw, kemudian ia menceritakan kepada Nabi Saw bahwa ayahnya telah menikahkannya, dan ia tidak menyukai perkawinannya. Maka Nabi pun memberikan wanita tersebut hak untu memilih.” Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam perkawinan, menurut abu Hanifah adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak menyetujui, yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, alKhansa’ menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta izin (persetujuan)?” al-Khansa’ menjawab “saya tidak senang dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menetapkan perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda/berpesan “nikahlah
dengan
orang
yang kamu
senangi”.
al-Khansa’
berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa’, “nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat sebelumnya.
47 Abu Daud, Sunan Abi Daud, cet. I, II , Beirut: Dar al-Fikr,t.t.,h 232, hadis nomor 2096, ”Kitab an-Nikah”, “Bab al-Bikr Yuzawwijuha Abuha wa la Yasta’miruha.” sanad hadis ini marfu‘ muttasil, hadis diceritakan oleh Usman bin Abi Syaibah diceritakan oleh Husain bin Muhammad diceritakan oleh Jarir bin Hazim.
47
Kasus al-Khansa’ ini menjadi salah satu dalil tidak adanya perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya persetujuan
dari
yang
bersangkutan
dalam
perkawinan.
Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus tegas.48 Melihat dari pendapat dari berbagai madzhab tersebut, penulis sejalan
terhadap pemikiran madzhab Hanafi
yang
mengatakan bahwa harus ada persetujuan. Oleh karenanya jika orang tuanya berniat untuk menikahkan anak perempuaannya maka harus mendapatkan persetujuan dari anaknya tersebut, baik dia dalam keadaan janda maupun masih perawan. 2. Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus) a. Perhitungan Jawa Dalam pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhitungkan adalah hari dan tanggalnya pada saat pelaksanaan ijab kabul atau akad nikah. Saat ijab kabul merupakan acara inti dari perkawinan, sedangkan untuk pesta perkawinan merupakan salah bentuk rasa syukur atas berlangsungnya akad tersebut. Saat pelaksanaan akad pernikahan waktu perlu diperhitungkan dengan seksama, hal ini sebagaimana adat Jawa yaitu adanya perhitungan hari kelahiran atau weton (Bahasa jawa) kedua belah pihak calon pengantin.49 Setelah lamaran seorang laki-laki terhadap seorang perempuan diterima, maka kemudian selanjutnya kedua belah pihak biasanya melakukan perundingan untuk mencari hari baik untuk pelaksanaan akad nikahnya yang didasari dari tanggal, bulan dan tahun lahir dari keduanya untuk kemudian dijadikan acuan untuk menentukan hari baik.
48
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.
77 49
Fahmi Kamal, Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia, Jurnal Khasanah Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014, h. 40
48
Sejak dahulu masyarakat Jawa telah pandai meramal dengan berpedoman pada neptu dina dan meptu pasaran, neptu bulan serta neptu tahun, sebagaimana orang Yunani ataupun Romawi kuno pandai meramal dengan menggunakan pedoman planet-planet, maka ramalan itu wajar bila ada yang benar dan ada yang salah.50 Kepandaian tersebut didapat karena mereka tekun dalam penelitian dan mencatat peristiwa-peristiwa yang dianggap perlu, maka penelitian itu kemudian dijadikannya patokan. Lalu patokan-patokan ini dihubungkan dengan penangguhan-penangguhan adat Jawa. Kepandaian orang Jawa dalam hal “neptu dina, pasaran, bulan dan petung tahun” sudah dikenal sejak lama. Bermula dari tahun 1387 dari tahun Jawa. Ada pula yang mengatakan bahwa bermula dari kerajaan Majapahit, sejak Hayam Waruk menjadi Raja.51 Dalam adat istiadat Jawa, neptu merupakan salah satu faktor yang amat penting, hal ini karena erat hubungannya dengan aktifitas kehidupan sehari-hari. Diantaranya adalah untuk memperhitungkan atau menentukan pelaksanaan di hari pernikahannya. Adapun perhitungan (petung Jawa) menurutt perhitungan pujangga itu terbagi pada neptu dina52, pasaran53, sasi54 dan tahun.55 Neptu Dina ialah suatu perhitungan dalam adat istiadat Jawa yang berdasarkan atas ketentuan nilai hari, yaitu minggu, senin, 50
Dalam pelaksanaan hari perkawinan, ada dhina, baik hari atau bulan yang memang khusus dianjurkan untuk melaksanakan acara tersebut, misalnya mengikuti jejak Rasulullah SAW. Seperti apa yang telah diceritakan Siti Aisyah R.A. bahwasanya Rasulullah menikahiku bulan Syawal, dan menyetubuhiku bulan syawal, maka dari itu Siti Aisyah menganjurkan para suami untuk menggauli istri untuk pertama kalinya di bulan Syawal. (Lihat Fadli Bahri, Ensiklopedi Muslim (Jakarta: PT Darul Falah, 200), 581 51 L. Canifah AG, Primer dan Horoskop (Jakarta: CV Bintang Pelajar, T.th), h. 7 52 Neptu Dina: Akad (Neptune: 5), Senen (Neptune: 4), Selasa (Neptune: 3), Rabu (Neptune: 7), Jum’at (Neptune: 6) dan Sabtu (Neptune: 9) 53 Neptu Pasaran: Kliwon (Neptune: 8), Legi (Neptune: 5), Pahing (Neptune: 9), Pon (Neptune: 7), dan Wage (Neptune: 4.5) 54 Neptu Bulan: Sura (Neptune: 7), Sapar (Neptune: 2), Rabiul Awal (Neptune: 3), Rabiul Akhir (Neptune: 5), Jumadil Awal (Neptune: 6), Jumadil Akhir (Neptune: 1), Rejeb (Neptune: 2), Ruwah (Neptune: 4), Poso (Neptune: 5), Sawal (Neptune: 7), Dzulqa’dah (Neptune: 1) dan Besar (Neptune: 3) 55 Neptu Windu: Alip (Neptune: 1), Ehe’ (Neptune: 5), Jimawal (Neptune: 3), Je’ (Neptune: 7), Dal (Neptune: 4), Be’ (Neptune: 2), Wawu (Neptune: 6) dan Jimakir (Neptune: 3). (Lihat Tjakraningrat, KPH, Primbon Bental Jemur Adammakna (Yogyakarta: dihimpun oleh R. Soemodibjo), h.7
49
selasa, rabu, kamis, jum’at dan sabtu. Neptu Pasaran ialah suatu perhitungan dalam adat istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai pasaran, yaitu pahing, pon, wage, kliwon dan legi. Neptu bulan ialah suatu perhitungan dalam istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai bulan, yaitu suro, sapar, syawal, dzulqa’dah, dan besar. Neptu tahun ialah suatu perhitungan dalam adat istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai tahun, yaitu alip, ehe’, jimawal, je’, be’, wawu dan jimakir.56 b. Hari Baik Dalam Islam Pada dasarnya setiap hari adalah baik, namun dalam jumlah hari dalam satu minggu ada hari-hari yang dianggap istimewa oleh sebagian masyarakat, dalam satu tahun ada bulan-bulan yang dinggap karomah. Dalam Islam, memang terdapat hari-hari atau bulan-bulan tertentu yang diagungkan, sebab pada hari atau bulan tersebut terdapat sebuah keutamaan-keutamaan tersendiri. seperti bulan yang dianggap bulan penuh berkah yakni bulan Ramadlon, Dzulhijjah, hari Arafah dan Asyuro’, bulan Muharram.57 Menurut Bangsa Arab bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab dikategorikan sebagai bulan yang suci atau yang dikenal dengan sebutan Asysyahrul Hurum, karena bulan-bulan tersebut merupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji menuju Bait Allah yang merupakan tempat suci. Sementara pada bulan Rajab adalah waktu pelaksanaan Umrah.58 Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Saw berikut:
ََعَنََابَنََعَبَاسََقَالََقَالَََرسَولََهللاَصلَىَهللاَعليهَوسلَمَمَاَمَنََأَيَامََ َالعَمَلََالصَالَح ََاَرسَولَ َهللاَ َ َوالَ َاجلَهَادَ َِفَ َسَبَيَل َ َفَيَهَنَ َأَحَبَ َاَلَ َهللاَ َمَنَ َهَذَهَ َالَيَامَ َالعَشَرَ َفَقَالَ َواَي
56
Kisuro, Primbon Jawi Lengkap Edisi Bahasa Indonesia, cet. 1 (Solo: UD Mayasari,
1995), h. 3 57 Muhammad Abdussalam al-Syaqiry, Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, Cet III (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 149 58 Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman (Yogyakarta: LKIS, 2003), h.10
50
ََمَوالَ َاجلَهَادَ َِفَ َسَبَيَلَ َهللاَ َاَالَ ََرجَ ٌَل َخَ َرج َ َسولَ َهللاَ َصلَىَهللاَعليهَوسل َ هللاَ َفَقَالَ ََر 59
َبَنَفَسَهََ َومَالَهََفَلَمََيََرجَعََمَنََذَلَكََبَشَيَء
Artinya: Dari Ibnu Abbas berkat, Rasulullah Saw bersabda: “tidak ada harihari untuk berbuat Amal shalih yang lebih Allah cintai kecuali sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah” para sahabat bertanya,wahai Rasulullah, sekalipun Jihad fi Sabilillah? Rasulullah Saw menjawab “seskalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang lelaki yang pergi berjjihad dengan harta dan jiwanya lalu tidak kembali sedikitpun dari keduanya”. Selain itu, Nabi juga pernah menikahkan putrinya dibulan tertentu,
namun
hal
tersebut
memang
disengaja
tanpa
memperhitungkannya terlebih dahulu. Artinya, sebelum menikahkan putrinya Nabi tidak memilih bulan yang cocok dan baik untuk pernikahan putrinya, namun karena memang sudah waktunya menikah hal tersebut dilakukan.60 Namun pada bulan ini Nabi juga pernah melangsungkan pernikahannya dengan Siti Aisyah sebagaimana hadis yang dikisahkan oleh Siti Aisyah R.A.:
ََعَنَ َعَائَشَةَ َقَالَتَ َتَ َزَوجَنَ ََرسَولَ َاّللَ َصَلَىَاّللَ َعَلَيَهَ َ َوسَلَمَ َفَ َشَ َوالَ َ َوبَنَ َِبَ َف ََشَ َوالَ َفَأَيَ َنَسَاءَ َرسول َاّللَ َصلى َاّلل َعَلَيَهَ َ َوسَلَمَََكَانَ َأَحَظَى َعَنَدَهَ َمَنَ َقَال َ
61
ََوكَانَتََعَائَشَةََتَسَتَحَبََأَنََتَدَخَلََنَسَاءَهَاَفََشَ َوال
Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw menikahiku pada bulan syawwal, menggauliku pada bulan syawwal; maka isteri beliau yang manakah yang lebih beruntung disisinya selain aku? Ia berkata, Aisyah senang jika para wanita dinikahi pada bulan Syawwal.
59
Abu Isa al-Tirmidzi, al-Jāmi’ al-Shahih li al-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Fikr, 1936), h.
205 Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman (Yogyakarta: LKIS, 2003), h.10 61 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903 60
51
Dengan riwayat tersebut Sitti Aisyah ingin meluruskan asumsi masyarakat
Arab
yang
menghindari
bulan
Syawal
untuk
melaksanakan pernikahan, bahkan menganjurkannya. Sebab Pada jaman dahulu bangsa Arab mengenal tentang hari yang baik dan tidak baik atau dikenal dengan hari (na’as) yakni bulan Syawal. Sehingga pada
masa
tersebut,
bulan
Syawal
sangat
dihindari
dalam
melaksanakan perkawinan.62 Hal yang serupa juga sebagaimana pernikahan Rasulullah Saw dengan Saudah binti Zam’ah yang dilaksanakan pada bulan Syawal tahun kesepuluh dari kenabian.63 Pada dasarnya semua bulan dalam Islam memiliki keutamaan masing-masing. Hari, bulan dan Tahun yang telah Allah ciptakan semuanya baik, tidak ada hari yang na’as, karena kecelakaan dan kesialan merupakan takdir dari Allah Swt yang mana hal tersebut tidak diketahui oleh Manusia kecuali setelah hal tersebut terjadi. Menganggap
waktu
sebagai
penyebab
kesialan
suatu
usaha
sebenarnya merupakan mitos yang terjadi di Masyarakat Pra-Islam. Pada masa itu mereka sering berkumpul diberbagai kesempatan untuk berbincang-bincang berkaitan dengan berbagai hal, dan dalam perbicangan tersebut terlontar ucapan-ucapan yang menjadikan waktu sebagai penyebab kesialan usaha mereka, atau ketika mereka terkena musibah yang lain. 3. Pelaksanaan Pernikahan a. Pengertian Walimah al-Urs Walimah berasal dari kata walm yang berarti berkumpul. Sebab, kebiasaan orang berkumpul, ketika ada walimah. Sedangkan secara syara’ walimah digunakan pada makanan yang disediakan untuk mengungkapkan rasa bahagia yang sedang dirasakan. Baik rasa
62
Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung. Jornal al-Hikam Vol. 9 No. 1 Juni 2014, h. 25 Lihat Pula An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903 63 Maulana Muhammad Zakariya al-Kandahlâwî, Fadilah al-A’mâl, penerjemah Musthafa Sayani (Bandung: Pustaka Ramadhan, tt), h. 574-575
52
bahagia tersebut didasari atas sesuatu yang telah terjadi maupun sesuatu hal yang akan terjadi.64 Adapun walimah dalam arti yang khusus dinamakan walimah al-Urs yang mengandung pengertian peresmian pernikahan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa kedua pengantin telah resmi menjadi suami istri dan sekaligus sebagai rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas berlangsungnya pernikahan tersebut.65 Walimah al-Urs terdiri dari dua kata, yaitu walimah dan al-Urs. walimah secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata ،اولم وليمة، ومولم، إيالما، يولمdalam bahasa Indonesia berarti kenduri atau pesta. Jama’ kata وليمةadalah والئم.66 Sedangkan al-Urs secara etimologi juga berasal dari bahasa arab, yaitu عرسdan jama’nya adalah اعراسyang berarti perkawinan atau makanan pesta.67 Walimah al-Urs secara terminologi adalah suatu pesta yang mengiringi akad pernikahan,68 atau perjamuan karena sudah menikah.69 Walimah atau pesta nikah adalah satu hal yang dilakukan untuk memberi kesan bagi suami isteri yang segera memasuki jenjang keluarga. Ia merupakan perayaan suci bagi lahirnya kekuatan baru yang merupakan gabungan dua kekuatan cinta. Semacam deklarasi kasih sayang pada segenap handai taulan bahwa mereka sanggup mengemban amanah suci.70
Abu Yasid, Fiqih Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 247. 65 Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve, 1996), h. 1917. 66 Syams al-Din Muhammad bin Abi Abbas al-Ansari, Nihayah al-Muhtâj ila Syarh alMinhâj, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th), h.369. 67 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir Al-Qur'an, 1973), h. 260 68 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), h. 430. 69 Muchtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang : Universitas Sriwijaya, 2001), h. 400. 70 Ashad Kusuma Djaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001), h.133-134 64
53
Menurut Ibn Atsir, walimah hanya khusus bagi jamuan yang dilakukan berkenaan dengan pernikahan saja. Dan dapat dikatakan, bahwasanya walimah yang dimaksud hanya walimah al-Urs saja. Dijelaskan bahwa walimah ialah jamuan yang diadakan kaena peristiwa atau acara yang diadakan dengan mengundang orang untuk menghadirinya.71 Di dalam melaksanakan resepsi pernikahan tidaklah harus dengan
bermewah-mewahan,
akan
tetapi
cukup
dengan
menghidangkan makanan semampunya, sekalipun tidak terdapat makanan berupa daging atau roti. Karena pada saat Rasulullah Saw. Mengadakan resepsi perkawinannya dengan Siti Shafiah hanya menghidangkan makanan kurma, keju serta minyak samin dan para shabatpun merasa puas (kenyang) dengannya.72 Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat pahami bahwa walimah al-Urs merupakan sebuah acara sebagai tanda syukur atas akad nikah yang sudah dilaksanakan serta sebagai upaya untuk pemberitahuan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa anaknya sudah memiliki pasangan. Serta menyediakan jamuan makanan yang khsus disiapkan untuk para tamu, dengan penyajian sesuai dengan kemampuannya. b. Dasar Hukum Walimah al-Urs Para ulama berbeda pendapat mengenai pelaksanaan pernikahan ini, hal ini dilatar belakangi anjuran Rasulullah Saw. Terhadap para sahabat untuk melaksanakan walimah walaupun hanya dengan seekor kambing saja. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:
71 Teungku Muhammad Hsbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) h. 158 72 Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Kado Perkawinan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), h. 236
54
ََالرحَنَ َبَن َ َ َمَرأَىَعَلَىَعَبَد َ َعَنَ َأَنَسَ َبَنَ َمَالَكَ َأَنَ ََرسَولَ َهللاَ َصلَىَهللاَعليهَوسل ََىَوَزنََنَ َواةََمَن َ َامرأَةََعَل َ ََعَ َوفََأَثَرََصَفََرةََفَقَالََمَاهَذَاَقَالََيارسولَهللاَإَنََتَ َزَوجَت 73
ََ َولَ َوبَشَاة،ََأول،َذَهَبََفَقَالََبَ َاركََهللاََلَك
Artinya: “Dari Anas bin malik, bahwa Rasulullah Saw. Telah melihat bekas kekuning-kuningan pada Abdurrahman bin Auf, maka Rasulullah Saw. Bertanya, apa ini? Abdurrahman menjawab, sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan dengan mas kawin seberat satu biji emas. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, semoga Allah Swt memberkatimu, adakanlah walimah sekalipun dengan seekor kambing” Perintah nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis ini tidak mengandung kewajiban, akan tetapi dipahami oleh jumhur ulama sebagai kesunnahan karena demikian hanya merupakan tradisi yang hidup melanjutkan tradisi yang sudah ada pada kalangan masyarakat Arab semenjak Islam belum datang. Pelaksanaan walimah pada masa sebelum Islam itu diakui oleh Nabi bahwa hal tersebut perlu dilanjutkan, namun juga disertai dengan perubahan yang sesuai dengan yang diajarkan dalam agama Islam.74 Ulama berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah Zahiriyah mengatakan bahwa diwajibkan atas setiap orang yang melaksanakan perkawinan untuk kemudian melaksanakan acara walimah al-Urs, baik dengan acara yang sederhana maupun dengan acara yang cukup mewah sebagaimana dengan kemampuan yang dimiliki oleh masingmasing keluarga. Pendapat ini didasarkan terhadap hadis yang
73
Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzi, Shahih Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Nikah Bab Mā Jāa Fi al-Walimah (Riyad: al-Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzi’, 2000), h. 555 74 Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), terj. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 65
55
dikemukakan di atas dengan pemahaman bahwa perintah yang terdapat dalam hadis tersebut sebagai perintah yang wajib.75 Pendapat yang demikian juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um bahwa mengadakan walimah al-Urs itu adalah wajib, hal ini berlandasakan karena Rasulullah Saw. sendiri selalu mengadakan walimah terhadap para istrinya baik ketika Rasulullah Saw. sedang dalam kondisi bepergian ataupun dalam kondisi sedang menetap.76 Ibn Hazm mengatakan bahwa hukum pelaksanaannya adalah wajib. Hal ini didasari pada hadis-hadis yang membicarakan tentang walimah al-Urs menunjukkan bahwa dalam melaksanakannya adalah wajib terutama terhadap hadis yang telah dikemukakan di atas tentang perintah Rasulullah terhadap Abdurrahman bin Auf.77 Serta ia juga menolak yang menyatakan bahwa hukum pelaksanaan walimah adalah Sunnah.78 Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa hukumnya adalah Sunnah, dengan landasan bahwa disuguhkannya makanan pada acara walimah itu dikarenakan untuk menggambarkan bahwa sedang terdapat suatu kebahagiaan yang dirasakan suatu keluarga. Oleh karenanya hukum pelaksanaannya disamakan sebagaimana hukum walimah-walimah pada umunya (sunnah). Pendapat yang demikian ini juga dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin, sebab sesungguhnya walimah al-Urs adalah makanan yang tidak dikhususkan bagi orang yang membutuhkan, maka diserupakan dengan qurban dan hukum tersebut diqiyaskan terhadap walimah yang lainnya.79
75
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 156 76 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Um, (Beirut: Dar al-Wafa’, 2001), h.213 77 Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz IX (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 450 78 Abdul Aziz dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum islam (Jakarta: Ictiah baru van Houve, 1996), h. 1917 79 Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Juz II (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 68
56
an-Nawi menyatakan bahwa pendapat yang masyhur pada kalangan sahabat adalah hukum Sunnah, dengan merujuk pada pemahaman bahwa amar yang terdapat dalam hadis di atas menunjukkan terhadap hukum yang Sunnah. Hal ini juga senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik bahwa hadis Nabi أولم ولو بشاةmenunjukkan bahwa hal tersebut adalah Sunnah.80
80
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I (bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 159
BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG PERNIKAHAN DI DESA PAYUDAN KARANGSOKON A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Persetujuan pernikahan Wanita dalam istilah Arab dikategorikan menjadi dua status yakni gadis (al-bikr) dan janda (as-tsayyib). Kedua status tersebut mempunyai konsekwensi hukum berbeda, sehingga terjadi perdebatan dikalangan fuqaha’ terhadap bagaimana langkah ketika akan menikahkan putrinya sebagaimana yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Perdebatan yang terjadi dikalangan ulama umumnya berkaitan dengan persetujuan perempuan perawan ketika akan dinikahkan yang terkadang masih identik dengan kemaluannya, sehingga ketika orang tuanya menanyakan terhadap dirinya ada yang diam dan tidak. Oleh karenanya perlu atau tidaknya orang tua meminta persetujuan terhadapnya ketika terdapat seseorang laki-laki yang berniat meminangnya menjadi bagian yang ikut dikaji oleh para ulama. Sebagian sahabat berpendapat, apabila walinya adalah ayah atau kakeknya sendiri, maka meminta persetujuannya disunnahkan dan bisa diketahui bila ia diam. Dan jika walinya adalah selain keduanya, maka tanda ia setuju adalah dengan ucapannya, karena seorang gadis biasanya sangat malu kepada ayah atau kakeknya daripada orang lain. Jumhur ulama berpendapat bahwa cukuplah persetujuannya diketahui bila ia diam saja dan berlaku bagi semua wali, berdasarkan keumuman lafadz hadis; karena perawan mempunyai sifat pemalu dibandingkan lainnya.1 Perdebatan para ulama akan hal tersebut bersumber terhadap ‘illat yang digunakan oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua ‘illat yang dipakai ulama sebagai dasar argumennya, masing-masing ‘illat mempunyai
1
Imam an-Nawawi, terj Syarah Shahih Muslim (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz.
6, h. 893
57
58
konsekwensi hukum yang berbeda. ‘illat yang dimaksud adalah kegadisan seorang wanita dan kedewasaannya.2 Nor Kholis yang merupakan salah satu tokoh mengatakan bahwa terjadi perbedaan pemahaman yang dianut oleh masyarakat Karangsokon. Yakni ada yang minta persetujuan anaknya, merundingkan akan tetapi pendapat anak tidak begitu dipentingkan serta ada pula yang tidak meminta persetujuan. Menurutnya perbedeaan pemikiran tersebut didasari dari dua aspek, yaitu kebiasaan yang terjadi turun temurun dalam masyarakat dan meningkatnya intelektual masyarakat. Sehingga ada yang mempertahankan kebiasaan tidak meminta persetujuan dan ada yang merubah cara tersebut. Pada generasi anak mereka juga sudah mulai mengalami sedikit perbedaan dimana yang sebelumnya hanya diam atas pilihan orang tuanya, lambat laun mulai melontarkan pendapatnya terhadap calon pasangannya.3 Kholis dalam hal ini berpendapat bahwa, tidak perlu meminta persetujuan perempuan gadis. Sebab menurutnya, orang tua lebih tahu mana yang lebih baik dan lebih buruk untuk anaknya karena tidak mungkin orang tua akan menjerumuskan anaknya pada sesuatu yang tidak baik. 4 Hal yang senada juga diungkapkan Muzanni, bahwa tidak perlu meminta persetujuan gadis dikarenakan tingkat emosional yang dimilikinya belum begitu stabil, sehingga ketika mengambil keputusan terkadang tanpa melalui proses pemikiran yang matang terhadap langkahnya, sehingga terkadang malah berdampak pada penyesalan yang begitu tinggi.5 Hal yang berbeda diungkapkan oleh Ahmad Syafi’I, bahwa perlu adanya persetujuan dari seorang gadis. Hal ini dikarenakan yang akan menjalani kehidupan selanjutnya adalah putrinya, ia takut dikemudian hari terjadi ketidak cocokan antara keduanya yang menyebabkan rusaknya rumah tangga mereka. Menurutnya, ketika gadis diberikan kesempatan untuk berbicara maka dia tentunya akan mencoba untuk menyampaikan keinginannya. Sebab perempuan masa sekarang tentunya tidak akan sama 2 Ibnu Rusyd, ad-Dharuri fi Ushul Fiqh aw Mukhtashar al-Mustashfa, ( Beirut : Dar alGharbu al-Islamiy, 1994), h.4 3 Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 4 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016 5 Wawancara Pribadi dengan Muzanni, Karangsokon 27 Desember 2016
59
dengan perempuan pada masa sebelumnya yang akan patuh dan akan tetap menjaga keinginan orang tuanya. Memusyawarahkan atau meminta pendapat seorang anak juga merupakan salah satu media untuk mengajarkan kepada seorang anak untuk mempertimbangkan setiap langkah yang akan dilangsungkan pada kemudian hari. Sehingga dengan demikian menurutnya seoarang anak jika terdapat sesuatu pertentangan pada lain waktu akan merundingkannya dengan pihak keluarga dan suaminya.6 Ali ibn Adam ibn Musa berpendapat bahwa ada pemisahan antara altsayyib dengan al-bikr. Penggunaan bahasa yang digunakan untuk keduanya juga berbeda. Kalimat al-Isti’māra menunjukkan adanya musyawarah, sedangkan ista’dzana untuk menggambarkan indikator yang jelas dari gadis, baik melalui ucapan dan sikap diam, karena terkadang gadis itu pemalu.7 Pada dasarnya untuk mengetahui sesuatu yang tidak tampak memang sangat sulit untuk dipahami, sama halnya dengan diamnya seorang perempuan, sebab tidak dapat dapat dilihat sebagaimana dimensi eksoterik. H. Hasan mengatakan bahwa diam itu belum tentu menandakan sebagai bentuk peng-iyaan atas tawarannya, melainkan karena ketidak berdayaan seorang gadis untuk menolak keinginan keluarganya yang terkadang juga merasa bingung terhadap lamaran tersebut, karena masih memiliki ikatan kekeluargaan. Lebih lanjut H. Hasan mengatakan bahwa, ketika yang melamar seorang gadis masih memiliki ikatan famili maka keluarga perempuan akan enggan untuk menolaknya dikarenakan takut terjadi sesuatu yang nantinya akan memecahkan hubungan silaturrahmi mereka.8 Annemarie Schimmel mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dimensi eksoterik yang dapat dilihat melalui panca indera dan dimensi isoterik yang bersifat abstrak, tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan. aspek-aspek
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016 Ali ibn Adam ibn Musa al-Atyubi al-Wallawi, Syarh Sunan al-Nasa’i Juz 29 (Makkah: Maktabah al-‘Arabiyah, 2007), h. 219 8 Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016 6 7
60
ruhaniah dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui aspek-aspek yang terinderai.9 Nor Kholis menyampaikan bahwa tanda persetujuan seorang gadis bisa pada diamnya, hal ini dikarenakan rasa percaya diri seorang gadis masih cukup rendah sehingga untuk menyampaikan perasaannya masih tidak bisa.10 Hal ini didasari dengan hadis Nabi yang berbunyi:
َح َّدثَنَا ابْن أيَِب ُعمر َح َّدثَنَا ُس ْفيَا ْن يِبَ َذا ا يإل ْسنَا ْد وقَ َ ي ،ب اَ َحق بينَ ْف يس َها يم ْن َوليي َها َ ُ َّال اَلث ُ ََ 11
ي ي ي ص ْمتُ َها إيقْ َر ُارَها َ َص َماتُ َها َوُرَّّبَا ق َ ال َو َ َوالبي ْك ُر يُ ْستَأْذنُ َها أَبُ ْو َها يف نَ ْفس َها َوا ْذنُ َها
Artinya: “Janda lebih berhak atas dirinya sendiridari pada walinya, dan seorang gadis, maka ayahnya yang meminta izinnya (dalam urusan nikahnya), tanda ia mengizinkannya adalah bila ia diam. Tidak perlunya meminta persetujuan terhadap seorang gadis tetaplah menjadi perdebatan, akan tetapi ketika melihat pada pendapat yang dianut oleh madzhab al-Syāfi’i masih perlu adanya persetujuan seorang gadis apabila perempuan tersebut sudah baligh, walaupun pada dasarnya orang tua masih jauh lebih berhak daripada anaknya.12 Madzhab al-Syāfi’i mengkategorikannya menjadi tiga kelompok, yaitu: pertama, gadis yang belum dewasa yang dimaksud adalah perempuan yang belum haid dengan ketentuan bahwa seorang bapak boleh menikahkan putrinya tanpa adanya persetujuan dengan syarat harus menguntungkan bagi anaknya. Kedua, gadis dewasa adalah yang sudah haid dengan ketentuan antara anak memiliki hak sama, namun hak tersebut masih lebih diperuntukkan kepada bapaknya walaupun dianjurkan musyawarah antara keduanya (anak dan bapak). Ketiga, janda yang dalam hal tersebut harus mendapatkan persetujuan dari yang bersangkutan. Madzhab al-Syāfi’i merupakan madzhab yang dijadikan sebagai pedoman oleh Masyarakat Karangsokon dalam segala kegiatannya, akan 9
Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara Fenonenologis, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996), h. 22-23. 10 Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 11 Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 889 12 Lihat Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibi al-Arba’ah, Juz IV (Beirut: Dar al-Afkar, tt), h. 35
61
tetapi dalam persetujuan gadis tidak demikian sebagaimana yang semestinya. Hal ini dikarenakan karena kentalnya budaya terdahulu tentang menikahkan putrinya yang tidak memerlukan persetujuan anaknya. Bahkan malah mengarah pada perjodohan terhadapnya
yang disandingkan dengan
kerabatnya baik yang dekat ataupun yang jauh, dengan alasan untuk mempererat tali silaturrahmi. Hasibah mengatakan bahwa kebiasaan tidak meminta persetujuan pada gadis itu tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Sebab menurutnya ketika seorang gadis tidak dimintai persetujuan atau bahkan kiranya seperti berjodohan akan berdampak pada mental seorang gadis, baik rasa takut, tidak tenang dan beberapa perasaan lainnya. Bahkan tak ayal terkadang ketika sudah dilangsungkan resepsi pernikahan masih banyak seorang gadis yang kemudian menangis ketika akan disandingkan dipelaminan, ironisnya lagi ketika dipertemukan sang gadis seakan hanya menjaga agar orang tuanya tidak malu didepan orang banyak. Sebab ketika sang gadis dipertemukan dengan suaminya setalah akad nikah, sepertinya tidak sedikitpun merespon akan kedatangan suaminya tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa ketika gadis tahu bahwa ia sudah dipasangkan
dengan
seorang
laki-laki
terbersit
keinginan
untuk
menggagalkan ikatan tersebut. Namun kebanyakan dari mereka tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan perasaannya tersebut. Sehingga kemudian berdampak pada keseharian mereka yang berubah, seperti halnya murung, tidak begitu bisa makan atau bahkan dalam kesehariannya selalu menagis. Sikap yang demikian tersebut didasari dengan pemikiran mereka, bahwa ketika sudah memiliki pasangan maka tidak akan lama lagi mereka akan dinikahkan bahkan walaupun sedang menjalani masa pendidikan. Sehingga tentunya bagi seorang gadis yang masi ingin untuk melanjutkan pendidikan yakin bahwa ia tidak kan lagi bisa belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karenanya ada sebagian mereka malah terbersit untuk kabur dari rumahnya agar tidak dapat dilangsungkan pernikahan.13 13
Wawancara pribadi dengan Hasibah, Karangsokon 27 Desember 2016
62
Kholis mengatakan bahwa pentingnya menikahkan puterinya dengan laki-laki yang masih memiliki ikatan family, selain karena nasab dan bagaimana tingkah laku anak tersebut sudah diketahui juga dikarenakan untuk semakin mempererat hubungan kekerabatan yang sudah ada.14 Kebiasaan memasangkan antara sanak famili ini diidentikkan terhadap famili yang memiliki ikatan agak jauh dengan keyakinan akan semakin mengikat terhadap persaudaraan tersebut (makle ta’ elang). Begitulah yang diyakini sebagian warga, akan tetapi ada pula yang hanya beda dua langkah antara satu rumah dengan yang satunya (settong tanian) dan yang demikian tidak memiliki hubungan yang jauh melainkan terkadang hanya sepupu saja. Pernikahan dengan saudara yang masih dekat diyakini oleh sebagian masyarakat bahwa hal itu akan menyebabkan akan lemahnya syahwat, hal ini dikarenakan menurut mereka keseringan bertemu dan bersama menjadikan keduanya tidak memiliki perasaan apapun, sebab syahwat itu hanyalah akan bangkit jika mendapatkan dorongan dari kekuatan indera. Keyakinan yang demikian ini juga pernah disabdakan Nabi Saw: “janganlah kamu menikahi (wanita) yang masih kerabat dekat, karena anak terlahir (tercipta) dalam keadaan kurus.”15 H. Hasan menambahkan bahwa ketika seoarang anak dipasangkan dengan yang maih memiliki ikatan keluarga, maka kedua belah pihak tidak perlu mengkhawatirkan tentang keadaan nasab antar keduanya. Tentunya mereka sudah saling mengetahui, berbeda dengan ketika seorang anak memilih pasangannya sendiri yang sebelumnya tidak dikethui kedua orang tuanya. Sebab menurutnya ketika orang tua akan menikahkan putrinya atau bahkan menikahkan putranya harus melihat pada bagaimana kondisi nasab yang ada pada kedua keluarga. Hal ini sebagaimana yang diajarkan agama bahwa ketika ada seorang laki-laki ingin melamar seorang gadis harus dilihat dari beberapa aspek yang diantaranya adalah Linasabiha (keadaan keluarganya). 14
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016 Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), terj. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 58 15
63
Menurutnya jikalau seorang anak sudah memilih sendiri, maka orang tuanya ketika terjadi sesuatu diantara kedua pasangan terkadang merasa enggan dan tidak akan ikut campur seakan-akan acuh dengan apa yang terjadi antara kedua anaknya pada waktu tersebut. Serta sebagian keluarga juga meyakini bahwa jika memilih sendiri maka hubungannya tidak akan berlangsung lama (langgeng). Sebab menurut mereka, pilihan tersebut hanya didasari dari rasa emosional saja yang mereka rasa pemilihan yang ada didasari dengan nafsu itu hanya bersifat sementara.16 Tidak semua orang tua memilih untuk menikahkan putrinya dengan laki-laki yang masih memiliki ikatan famili, dengan pengakuan bahwa mereka khawatir jika pada kemudian hari terjadi perpecahan anatara keduanya. Karena jika hal tersebut sampai terjadi maka akan sulit untuk menghindari kesenjangan diantara kedua keluarga, walaupun terkadang diantara kedua putra dan putrinya tidak mempermasalahkan akan hal tersebut. Akan tetapi tidak demikian dengan orang tua mereka. Ahmad Syafi’i menambahkan bahwa untuk mempererat hubungan antara famili bukan hanya dengan menikahkan anaknya saja, melainkan dengan berbagai hal yang lain. Sebab menurutnya jika disandingkan dengan yang masih memiliki hubungan famili akan terjadi kecangguungan antara kedua anak, seperti halnya terhadap panggilan kesehariannya sebelum mereka dinikahkan Semisal laki-lakinya terbiasa memanggil cebbing (ponakan) dan perempuannya memanggil paman (Majedik) maka panggilan tersebut akan tetap seperti itu walaupun sudah menikah. Sehingga dengan sebutan tersebut seakan-akan terdapat kesenjangan anatar pasangan tersebut.17 Kebiasaan
Masyarakat
Payudan
Karangsokon
tidak
meminta
persetujuan gadis sebelum dinikahkan merupakan tradisi yang sudah berlangsung semenjak dahulu, walaupun sudah mengalami sedikit pergesaran untuk mengajak putrinya berunding terkait dengan calon pasangannya, akan tetapi walaupun demikian terkadang pendapatnya tetap tidak dijadikan pertimbangan untuk mengambil suatu keputusan. Artinya adalah bahwa perundingan yang dimaksud hanya sebatas untuk memberitahukan saja 16 17
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
64
(formalitas) agar supaya tahu bahwa anak gadis tersebut sudah ada yang melamar sehingga putrinya tidak terkejut ketika sudah sampai pada hari pernikahan. B. Makna Tradisi Penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) bagi Masyarakat Payudan Karangsokon Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral dan agung, sebab dalam berbagai ritual yang dilakukan didalamnya semenjak dimulainya lamaran hingga kemudian sampai pada acara ijab qabul memiliki makna tersendiri. Hal ini dikarenakan pernikahan merupakan pangkal dari pembentukan rumah tangga yang nantinya akan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Pelaksanaan dari pernikahan tersebut tentunya akan diupayakan dan disiapkan sebaik mungkin. Salah satu yang menjadi bagian penting menurut masyarakat Payudan Karangsokon adalah menentukan waktu yang baik dari pelaksanaan acara pernikahan tersebut dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan menjadi penunjang keberlangsungan rumah tangganya. Dalam pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhitungkan adalah hari dan tanggalnya pada saat pelaksanaan ijab kabul atau akad nikah. Sebab ijab kabul merupakan acara inti dari perkawinan, sedangkan untuk pesta perkawinan merupakan salah bentuk rasa syukur atas berlangsungnya akad tersebut. Saat pelaksanaan akad pernikahan perlu diperhitungkan dengan seksama, hal ini sebagaimana adat Jawa yaitu adanya perhitungan hari kelahiran atau weton (Bahasa jawa) kedua belah pihak calon pengantin.18 Semenjak dahulu di berbagai daerah mempunyai anggapan bahwa hari dan bulan tertentu terdapat waktu yang tidak baik untuk melangsungkan sebuah acara, apalagi acara pernikahan. Kalau hari atau waktu yang dikatakan tidak baik itu didasari dari keradaan ruhani
kedua mempelai yang
bersangkutan. Pada dasarnya, mencari waktu yang baik atau yang paling baik bukanlah termasuk dari bagian sesuatu yang disyaratkan dalam setiap melangsungkan akad nikah. Namun dalam tradisi yang terjadi di Masyarakat 18
Fahmi Kamal, Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia, Jurnal Khasanah Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014, h. 40
65
tidaklah sama mengatakan demikian, bahwa menentukan hari dalam akad nikah adalah sesuatu tindakan yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Kepercayaan yang sudah mengakar di Masyarakat mengatakan bahwa nyareh dhinah begus (mencarai hari baik) adalah media mencari berkah Allah dalam pelaksanaan
akad
nikah
untuk
kebahagian
anaknya,
serta
untuk
menghilangkan prasangka atau praduga buruk yang biasanya muncul pada diri Masyarakat ketika akan melangsungkan acara.19 Perhitungan hari baik yang digunakan oleh masyarakat Desa Payudan Karangsokon masih tetap menggunakan perhitungan Jawa yang sudah dilestarikan semenjak masa nenek moyang, proses pencarian tersebut bisa melalui perantara tokoh masyarakat atau dengan melakukan perhitungan sendiri jikalau orang tersebut mengetahui tentang proses perhitungannya. Perhitungan jawa yang dimaksud memiliki dua macam, diantaranya: pertama buku primbon: kebiasaan dalam masyarakat untuk mempermudah mengetahui hari yang baik dengan berpedoman padanya. Setelah melakukan penghitungan jumlah hari dan pasaran dari suami serta istri, lalu ditemukan neptu dari tanggal lahir keduanya, Seperti halnya dengan tradisi Kejawen yang mana dalam tradisi tersebut banyak hitung-hitungan hari baik atau hari yang membawa keberuntungan atau hari yang tidak baik atau hari yang membawa sial.20 Kedua ramalan pada era modern ini muncul banyak paranormal yang menguasai ilmu nujum yakni ilmu perbintangan yang dalam istilah maduranya adalah “tokang tebbek”. Misalnya dalam tanggal kelahiran 22 Juni sampai 22 Juli disebut dengan bintang cancer dimana dalam bulan tersebut seseorang diramal tidak baik dan tergesa-tergesa dalam segala urusannya dan akan disesali di kemudian hari, sehingga dianjurkan untuk membenahi dan banyak memerlukan waktu untuk evaluasi.21 Sedangkan yang masyhur digunakan Masyarakat Karangsokon adalah pada bagian petama diatas tentang neptu.
19
Wawancara Pribadi dengan K Muzakki, Karangsokon 29 Desember 2016 Muhammad Fairûz Nadhir Amrullah, Terjemahan Qurratul ‘Uyun, (Surabaya: Pustaka Media, t.t.) h. 44 21 Tabloid Genie, (Jakarta: Pranata Komunikasi Massa, 2006), (16 juli 2006), h. 39. 20
66
Proses penentuan yang dilakukan oleh masyarakat adalah terbiasa dengan cara mendatangi seorang tokoh yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih mendalam mengenai agama dan perhitungan tersebut. Serta mereka juga mendatangi seorang kyai yang tentunya menurut mereka faham, kemudian apa yang menurut kyai atau tokoh tersebut baik maka itu yang kemudian dilaksanakan oleh masyarakat. Kebiasaan mendatangi kyai atau tokoh ini umumnya dilakukan oleh pihak perempuan, yakni setelah seorang dari pihak keluarga laki-laki datang untuk memberitahukan bahwa akan melangsungkan pernikahan. Namun dari pihak laki-laki terbiasa juga membawa waktu yang juga sudah dirundingkan, setelah itu maka pihak perempuan meminta pertimbangan kembali kepada tokoh tersebut untuk memperkuat bahwa waktu tersebut memang sudah merupakan yang terbaik. Dan apabila pada suatu hari memperoleh keburukan dalam rumah tangganya, mereka tidak akan merasa bersalah, karena sudah didahului dengan ikhtiyar atau usaha nyare dhina, dalam istilah madura dikenal dengan “ngadhedhi” dan kemudian pasrah atas kehendak Allah. Terdapat beberapa aturan yang perlu diperhatikan mengenai penentuan waktu pernikahan, hal tersebut tentunya harus diperhatikan dan akan selalu dilakukan oleh Masyarakata, yaitu menyangkut hari-hari lahir antara kedua calon pasangannya. Hal ini dikarenakan dari hari lahir dapat dilihat tentang waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahannya, sebab dalam perhitungan Jawa. tanggal, bulan dan tahun kelahiran merupakan rujukan awal bagi mereka.22 Dalam Karangsokon
melakukan
hajat
berpedoman
pernikahan,
dengan
melihat
kebanyakan pada
neptu
Masyarakat saja
tanpa
menggunakan Ramalan. Seperti halnya neptu dina, neptu pasaran, neptu bulan dan tahun yang dalam adat istiadat Jawa merupakan salah satu faktor yang amat penting, hal ini karena neptu memiliki kaitan yang erat dengan aktifitas kehidupan sehari-hari. Berikut hari dan pasaran yang dipahami oleh masyarakat Karangsokon: Jum’at 22
6
Pahing (Paeng)
Hildred Geertz, Keluarga Jawa (jakarta: Grafiti Perss, 1985), h. 63
9
67
Sabtoh
9
Pon (Pon)
7
Ahad
5
Wage (Begih)
4
Senin
4
Kliwon (Klebun)
8
Selasa
3
Legi (Manis)
5
Rebu
7
Kemmis
8
Adapun Nama Bulan-Bulan dalam Kalender Madura dan Hijriah, sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Hijriah Muharrom Safar Rabi’ul Awwal Rabi’ul Akhir Jumadil Awwal Jumadil Akhir Rajab Sya’ban Ramadhan Syawal Dzul Qa’dah Dzul Hijjah
Bulan Madura Sorah Sapar Molod Rasol Mandiwel Mandil Akher Rejeb Rebbe Pasah Syabel Tekepek (Ellak) Hajji
Masyarakat Karangsokon pada umumnya menganggap Jumat sebagai hari terpenting diantara hari-hari yang lain. sehingga dalam bitongan diletakkan dalam urutan pertama, oleh karenanya perhitungan hari dalam satu minggu (samingguh) dimulai dari hari jum’at dan diakhiri dengan hari kamis. Sedangkan dalam gan pasaran, klebun diletakkan dianggap paling penting dan ditempatkan dalam jejer pertama sehingga hari pasaran dimulai dari klebun. Kenapa orang Madura (dan Jawa) mengistimewakan malam jum’at kliwon karena kedua jejer pertama bertemu dan ini hanya terjadi dalam 35 hari sekali.23 Diutamakannya hari Jum’at oleh masyarakat Karangsokon seperti halnya umat Islam juga mengutamakannya, biasanya pada malam tersebut digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan rohani. Seperti halnya melakukan Khatmi al-Qur’an, membaca surah-surah khusus dan beberapa 23 Iksan Sari, “Bitongan dan Pena’asen: Numerologi Bangsa Madura,” artikel diakses pada 4 Maret 2017 dari https://web.facebook.com/notes/iksan-sahri/bitongan-dan-penaasennumerologi-bangsa-madura/10156544316905612
68
kegiatan yasinan yang terbiasa dilakukan oleh beberapa kepala keluarga untuk mendo’akan para sesepuh dan mengharap agar terhindar dari kesialan. Kholis dalam hal ini mengatakan bahwa hari, tanggal, bulan dan tahun sama-sama dihitung. Ia menambahkan bahwa terdapat tanggal-tanggal khusus yang biasanya digunakan oleh Masyarakat untuk melangsungkan pernikahan. Yaitu pada tanggal 4, 5, 10 dan 14 dan juga menghindari tanggal 3, 7 dan 25 serta juga terdapat bulan-bulan yang dianggap baik dan tidak baik. Perhitungan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menentukan hari yang baik dalam melaksanakan pernikahan adalah melihat pada neptu kelahiran calon suami dan istri beserta hari jumlahnya juga harus dijumlahkan. Misalnya: seorang
laki-laki lahir pada hari Kamis Pon,
perempuan lahir pada hari Selasa Wage untuk akad nikah pada Rebbo Pahing. Maka, Kamis (8) Pon (7) berjumlah (15). Selasa (3) Wage (4) jumllah (7), kemudian Rebbu (7) Pahing (9) dengan jumlah (16). Ketika dijumlahkan seluruhnya adalah 15 + 7 + 16 = 38 kemudian dikurangi limalima sampai habis. 38 – (5x7) = 3. Seperti halnya yang dikemukan kholis di atas, maka hasil tersebut tidak baik sebab merupakan angka yang dihindari. Disebutkan dalam kitab Makârîm al-akhlâq bahwa tanggal yang baik untuk pernikahan dalam setiap bulannya adalah pada tanggal 23 dan 26, beliau mengatakan pada waktu itu sangat baik untuk dijadikan pilihan dalam melaksanakan pernikahan, perdagangan dan pemerintahan.24 Selain dari hal tersebut diatas, waktu pelaksanaan ijab qabul juga ikut diperhitungkan sehingga ketika akan melaksanakan ijab qabul harus sesuai dan sama persis dengan waktu yang sudah ditentukan. Sebab jika tidak demikian, maka akan timbul perbincangan dan prasangka yang tidak baik pada diri masing-masing orang tua.25 Rasa fanatik masyarakat Karangsokon untuk menentukan waktu yang baik untuk ijab qabul saja, melainkan tempat keluar yang baik untuk seorang laki-laki keluar rumah sama-sama diperhitungkan pula. Baik dari sisi kanan, 24 Di dalam kitab tersebut dijelaskan mengenai semua hari yang baik dalam pernikahan yang dikhususkan dalam pembahasan tentang pemiliharan hari. Lihat Syaikh al-Jalîl Radî al-dîn Abî Nashr al-Hasan bin al-Fadhl al-thabrasî, Makârîm al-Akhlâq (Quwait: Maktabat al-alfayni, t.t), h.60-601 25 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
69
barat, timur atau pun selatan dari rumah laki-laki tersebut yang menurut mereka kemudian akan mempermudah bagi seorang laki-laki untuk mengucapkan kalimat ketika ijab dan qabul. Berbeda dengan pendapat tersebut, Nor Kholis menuturkan bahwa perhitungan hari baik yang digunakan oleh sebagian kyai adalah dengan menggunakan hitungan tanggal, yaitu: 1. بسم هللا2. ألحمد هلل3. انا هللdan seterusnya. Dia menuturkan bahwa pada dasarnya setiap hari itu adalah baik, hanya saja orang masih percaya dengan sebutan hari yang baik sehingga seakan-akan mengkonotasikan bahwa terdapat hari yang tidak baik.26 Berikut yang merupakan Bulan-bulan yang dianggap tidak baik: (1) Muharrom (Sorah), yang diyakini bahwa jika untuk perkawinan wataknya: bertengkar dan mengalami kerusakan (2) Rabi’ul Awwal (Mulod) kalau untuk perkawinan diyakini: Mati salah satu (mati dalam arti luas) (3) Bulan Romadhan (pasah) yang diyakini Celaka besar jika melakukan pernikahan pada bulan ini. (4) Bulan Dzul Qa’dah (takepek) diyakini Banyak musuh dan sakit-sakitan. (5) Bulan Safar (sappar) Kekurangan dan banyak hutang. Boleh dilakukan (6) Bulan Robi’ul Akhir (Mandil Akher) selalu dicacat dan menjadi pergunjingan yang tidak baik. Boleh dilakukan; (7) Bulan Jumadil Awal (Mandiwel) sering kehilangan, kena tipu dan banyak musuh. Boleh dilakukan; (8) Bulan Sawal (sabel) kekurangan dan banyak hutang. Boleh dilakukan.27 Melihata dari uraian tersebut terdapat bulan-bulan yang tidak boleh dan boleh untuk melaksanakan pernikahan, walaupun ketika dilihat masih terdapat keterangan pada setiap bulannya. Akan tetapi walaupun terdapat penjelasan yang kurang baik pada beberapa bulan yang dibolehkan menikah itu menunjukkan bahwa tidak semua hari atau tanggal yang terdapat pada bulan tersebut tidak baik, oleh karenanya diperlukan kematangan dalam pemilihan waktunya,
26
Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 Sirojuddin, dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi “ Nyare Dhina” Dalam Penentuan Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam Di Desa Larangan Badung. Journal al-Hikmah Vol. 9 No. 1 Juni 2014 27
70
Dilihat dari perincian di atas, maka sisa empat bulan yang dianggap baik. Namun yang dianggap sebagai bulan pernikahan oleh masyarakat Karangsokon adalah bulan Jumadi Tsani (Rasol) dan Bulan Dzul Hijjah. Pada dua bulan tersebut tadi, akan dijadikan pilihan utama ketika ada yang akan melangsungkan pernikahan. Bahkan terkadang pada kedua bulan tersebut bisa tiga perkawinan yang dilakukan dalam satu harinya, sebab bulan ini benarbenar diyakini sebagai bulan yang baik. Hal lain yang terkadang juga menjadi pertimbangan oleh Masyarakat Karangsokon adalah melihat pada bulan pelaksanaan pernikahan orang tua dari calon kedua mempelainya, artinya adalah tidak boleh melaksanakan acara pernikahan pada bulan yang sama dengan bulan yang telah dilangsungkan oleh orang tua mereka sebelumnya, walaupun dalam perhitungan jawa menunjukkan bahwa waktu
tersebut
baik
untuk
melangsungkan pernikahan. Sebab mereka meyakini bahwa hal tersebut akan terjadi sesuatu yang tidak baik bagi calon kedua mempelai, seperti tidak langgengnya pernikahan dan sebagainya. Penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) menurut masyarakat Karangsokon adalah sebagai upaya untuk menghindari sesuatu yang tidak baik pada kemudian hari setelah pernikahan dilangsungkan dan tentunya hal tersebut sebagai untuk mendapatka Barokah dari Allah Swt jika acara yang dilangsungkan didasari dengan perhitungan yang baik dan matang. Sehingga dari hal itu kemudian akan menambahkan keberkahan terhadap rumah tangga anaknya. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa dengan adanya upaya menentukan hari baik (nyareh dhina begus) ini menimbulkan dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat setempat, seperti halnya menghilangkan rasa ragu, menciptakan kedamaian dan saling mengerti baik diantara orang tua masing-masing serta bagi kedua pasangan pengantin. Kholis mengatkan bahwa mentukan hari baik ini merupakan upaya yang baik, karena semua sesuatu yang dianggap baik oleh orang Islam maka di hadapana Allah Swt juga baik dan juga sebalinya. Ungkapan ini ia dasari pada hadis yang berbunyi:
ي ي ي سنا َوَم َاراَهُ الُ ْس يل ُم ْو َن َ سنا فَ ُه َو ع ْن َد للا َح َ َم َاراَهُ الُ ْسل ُم ْو َن َح
71
قَبييحا فَ هو يع ْن َد ي للا قَبيْيح ْ َُ
(sesuatu yang dilihat oleh orang Islam baik, maka
dihadapan Allah juga baik dan sesuatu yang dilihat jelek oleh orang Islam maka dihadapan Allah juga jellek).28 Oleh karenanya dapat difahami bahwa pemaknaan masyarakat Karangsokon terhadap penentuan hari baik ini adalah untuk menghilangkan rasa cemas dan was-was bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kemudian harinya. C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Penggunaan Masjid Sebagai Tempat Pelaksanaan Pernikahan Upacara pernikahan merupakan acara lanjutan setelah menentukan hari baik dan proses khitbah. Kegiatan ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat atas pernikahan anaknya dan juga sebagai media untuk memberitahukan bahwa anaknya sudah memiliki pasangan yang sah secara hukum Islam, sebab jika tidak demikian dimungkinkan akan adanya pembicaraan yang kurang baik terhadap anaknya ketika dilihat oleh seseorang sedang bersamaan dengan seseorang yang berlainan jenis. Upacara pernikahan lebih masyhur dengan sebutan Walimah al-‘Urs yang memiliki arti peresmian pernikahan untuk memberitahukan kepada orang banyak bahwa pasangan tersebut telah resmi menjadi suami istri sekaligus sebagai bentuk rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas berlangsungnya pernikahan putra-putrinya.29 Dalam pelaksanaannya, calon suami tidak akan lansgsung disandingkan dengan calon istrinya sebagaimana kebiasaan sebagian masyarakat yang lain. Keduanya akan dipertemukan setelah laki-laki tersebut selesai mengucapkan ijab dan qabul. Kholis mengatatakan bahwa Walimah yang dipahami masyarakat Karangsokon adalah merupakan acara tasyakkuran dan do’a atas pernikahan yang dilangsungkan, sehingga pada acara tersebut mengundang para ulama, asatidz, kerabat serta tetangga untuk ikut mendo’akan mempelai berdua agar 28
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016 Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve, 1996), h. 1917. 29
72
menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah yang dikemas dengan acara Aqdun Nikah. Pada acara tersebut biasanya diisi layaknya beberapa acara formal seperti pembukaan, pembacaan ayat suci al-Qur’an, Ijab Qabul, pembacaan shalawat, sambutan dan pembacaan do’a bersama yang dilanjutkan dengan proses silaturrahmi antara keluarga.30 Setelah sampai pada pembacaan shalawat Nabi, maka mempelai lakilaki kemudian menyalami semua tamu undangan yang hadir pada majelis tersebut. Kemudian setelah itu mempelai laki-laki dibawa untuk menemui mempelai perempuannya dengan diantarkan oleh pihak perempuan menuju kamar sang istri. Namun pertemuan itu tidaklah berlangsung lama, sebab kebiasaan yang terjadi adalah bahwa mempelai laki-laki harus menyambut tamu undangan dan bisa bersama dengan istrinya kembali ketika sudah menjelang waktu maghrib yang pada waktu itu biasanya tidak ada lagi tamu yang datang. Dalam pelaksanaan acara tersebut sangat berfareasi dikalangan masayarakat pada umumnya tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, akan tetapi umumnya kegiatan ini dilaksanakan dirumah mempelai perempuan. Namun ada juga yang lebih memilih untuk melangsungkan upacara pernikahan di gedung yang besar dengan kapasitas bisa menampung orang banyak. Sebagian lagi ada yang lebih memilih untuk melangsungkan pernikahannya di masjid (mushalla) yang hal tersebut biasanya terjadi pada masyarakat pedesaan. Melangsungkan akad nikah di masjid merupakan pilihan yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada umumnya, selain mereka melakukan pernikahan di KUA dirumah maupun beberapa tempat lain yang diyakini sebagai tampat yang baik oleh masing-masing daerah dengan keyakinan dan pengamalan yang memang sudah terbiasa dilaksankan. Di samping masjid, di Indonesia memang mengenal surau atau oleh masyarakat Karangsokon disebut dengan langgar. Pada dasarnya tidak ada perbedaan fungsi dan peran langgar dengan masjid, akan tetapi yang berbeda hanyalah ukuran bangunan. Langgar pada umumnya bentuknya lebih kecil 30
Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016
73
dari masjid. Oleh karenanya masyarakat dapat membangun langgar sesuai dengan keinginannya sendiri, sehingga tak heran jika beberapa keluarga memiliki langgar sendiri dan dengan ukuran dan fareasi sesuai dengan yang diinginkan.31 Pelaksanaan yang demikian ini tentunya tidak akan memberatkan pada pihak keluarga yang melangsungkan acara pernikahan, walaupun pelaksanaan tersebut akan membutuhkan bantuan banyak orang tentunya untuk mempersiapkan dan menghidangkan segala sesuatunya. Akan tetapi kebiasaan masyarakat Karangsokon masih mengutamakan gotong royonga, sehingga pihak keluarga tidak perlu kebingungan untuk mencari tenaga bantuan yang dibutuhkan dalam acara tersebut.32 Masjid yang notabenenya dipahami sebagai tempat ibadah lebih diidentikkan hanya pada ibadah shalat saja yang sepertinya mulai mengalami pergesaran pemahaman pada sebgaian daerah sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah Saw sebelumnya. Namun tentunya hal tersebut bisa juga dilatar belakangi dengan jauhnya perbedaan sosial masyarakat jika dibandingkan dengan waktu masa Rasulullah. Masjid pada masa Rasulullah Saw, menjadi tempat yang paling suci untuk mengucap janji pernikahan. Difungsikannya masjid sebagai tempat melangsungkan
pernikahan
ditujukan
agar
pihak
keluarga
yang
melangsungkan acara pernikahan kala itu dapat menampung banyaknya tamu yang hadir. Selain itu, pasangan pengantin yang melangsungkan akad nikah di masjid diharapkan lebih dapat menjaga ikatan tali pernikahan mereka. Demikian pula para saksi, dapat memelihara persaksian atas pernikahan tersebut.33 Masjid selalu diidentikkan dengan citra yang sakral. Di mihrabnya, para takmir menyerukan ayat-ayat suci, sabda Nabi, nasihat para ulama. Sesuai dengan namanya, masjid adalah tempat untuk bersujud-simbol ketundukan
31
Ridwan al-Makssary dan Ahmad Gaus Af, Benih-Benih Islam Radikal di Masjid (Studi Kasus di Jakarta dan Solo), (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h.xxi-xxii pada kata pengantar. 32 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016 33 Drs. Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1983) h. 276
74
manusia kepada Allah Swt, sang pencipta dan penguasa seluruh makhluk. Karena itu, sekali lagi, setiap perkara diluar kepentingan untuk tunduk kepada Allah Swt diletakkan di luar masjid, hal itu hanya semata-mata untuk menghormati masjid sebagai tempat yang suci. Upacara pernikahan yang terjadi pada masyarakat Karangsokon memiliki dua ciri, yaitu di rumah mempelai wanita dan dimasjid. Pelaksanaan pernikahan di rumah mempelai wanita itu dilaksanakan jika pada rumah wanita tersebut jauh dari Masjid atau bahkan di rumahnya tidak memiliki Mushalla yang pada umumnya kepala Keluarga memiliki Mushalla untuk dijadian tempat beribadah bersama dengan tetangga yang berada disekitarnya. Akan tetapi jika keluarga dilingkungan keluarga mempelai perempuan terdapat Mushalla atau Masjid, maka upacara pernikahan akan dilangsungkan pada tempat tersebut.34 Ahmad syafi’I menambahkan bahwa kebiasaan yang terjadi adalah pelaksanaan acara tersebut dilakukan di Masjid atau Mushalla sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah dahulu. Faktor lain yang melatar belakangi pelaksanaan tersebut adalah budaya nenek moyang yang sudah diwariskan pada generasinya. Pelaksanaan pernikahan di Masjid atau Mushalla tentunya akan lebih meminimalisir atas biaya yang harus dikeluarkan untuk melangsungkannya, tentunya berbeda dengan gedung yang masih membutuhkan biaya sewa yang terkadang tidak sedikit serta juga akan mengurangi pada kesempurnaan (kasampornaan panganggep) pada tamu yang sudah diundang.35 Tempat merupakan saksi bisu atas berlangsungnya pernikahan, serta tempat juga diharapkan dapat memberikan keberkahan atas terlaksananya acara tersebut yang tentunya jika bersamaan seizin Allah Swt. Oleh karenanya acara tersebut lebih identic dilangsungkan di Masjid atau Mushalla dengan harapan keberkahan tempat tersebut sebagai tempat yang suci dapat mengalir pula pada kedua mempelai. Nor kholis mengatakan bahwa kebiasaan masyarakat melangsungkan pernikahan di Masjid merupakan media untuk mengharapkan sebuah 34 35
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
75
keberkahan atas acara yang dilangsungkan. Sebab mereka meyakini bahwa Masjid merupakan salah satu tempat yang sakral dan suci, sehingga menurut mereka akan menambahkan keberkahan dan kebaikan pada kedua mempelai jika pernikahan tersebut dilangsungkan di Masjid. Kemudian ia menambahkan bahwa, kebiasaan masyarakat Karangsokon melangsungkan pernikahan di Masjid berdasarkan pada salah satu hadis yang berbunyi:
ال رس ُ ي ي ي ي اج َعلُوهُ يف ْ ََع ْن َعائي َشةَ قَال ْ اح َو ُ َ َ َ ق:ت َ (أَ ْعلنُوا َه َذا الن َك:ول للا صلَّى للاُ َعلَْيه َو َسلَّ ْم 36
ض يربوا َعلَي يه بيالدفُ ي الْمس ي ي )وف ْ ُ ْ َوا، اجد ََ
Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Umumkan pernikahan, adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana.” Lebih lanjut ia mengatakan bahwa menurutnya tempat itu sangat baik, karena dengan pemilihan tempat yang baik maka tempat itu dapat mengingatkan antara kedua pasangan untuk kemudian saling mengingatkan dalam setiap keadaan walaupun terkadang mereka belum saling mengenal dan tahu satu sama lain. Kebiasaan sebagian warga dalam pembacaan Shalawat diba’ ini biasanya juga dibarengi dengan pemukulan hadrah yang khusus mereka undang untuk meramaikan dan melantunkan tabuhan rebananya. Hal ini dirasa menurut warga lebih nyaman dan dirasa akan menjadikan nuansa upacara pernikahan yang lebih baik dan nyaman.37 Ahmad Syafi’i menambahkan pada masa terdahulu masjid dijadikan sebagai tempat untuk pengucapan janji, seperti halnya pernikahan yang diyakini bahwa dengan pengikraran di masjid akan menambahkan pengamalan terhadap janji. Baik bagi orang yang mengucapkan janji itu ataupun terhadap seseorang yang turut menjadi saksi dalam ikrar tersebut.38
36 Muhammad Aburrahman bin Abdurrahim, Tuhfa al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi’ atTirmidzi (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1995), Juz 7, h.210 37 Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 38 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016
76
Keadaan perekonomian masyarakat Karangsokon yang notabene sebagai seorang petani juag menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat tidak melangsungkan acara pernikahannya di gedung yang megah. Sebab jika demikian maka mereka harus menyiapkan biaya yang tentunya tidaklah sedikit hanya untuk menyewanya, belum lagi untuk biaya yang lainnya. Namun faktor tersebut sebenarnya tidak menjadi masalah bagi sebagian kalangan yang memiliki cukup keuangan, akan tetapi pilihan tersebut tidak dimanfaatkannya seperti demikian. H. Hasan mengatakan bahwa melangsungkan pernikahan di Mushalla masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat. Walaupun secara berangsur sudah banyak warga yang mulai berkembang dalam perekenomiannya yang telah dihasilkan dengan usaha mereka merantau ke berbagai daerah. Namun walaupun demikian tidak bisa merubah kebiasaan untuk melangsungkan pernikahan di Masjid atau Mushalla yang memang sudah menjadi kebiasaan dan tradisi yang sudah ada semenjak nenek moyang mereka. Bahkan mereka lebih memilih untuk memperbagus pengkemasan acara tersebut dengan konsep dan suguhan yang seuai dengan kemampuan mereka.39 Sependapat dengan yang dikemukakan Hasan di atas, Rahemah menambahka bahwa bagi keluarga yang putrinya pernah berada di pondok atau bahkan orang tuanya yang pernah mondok di Pesantren lebih memilih untuk melaksanakan pernikahan di mushalla yang ada disekitar rumahnya. Selain diharapkan akan mendapatkan barokah dari tempat yang suci, sebagian masyarakat lebih memilih untuk mengundang guru (kyai) semasa masih dipondok. Sehingga ketika demikian maka rasa penghormatan kepada guru dirasa lebih baik dari pada ditempat-tempat yang lain. Ia menambahkan bahwa jika melaksanakan pernikahan dan kemudian mengundang gurunya ditempatkan pada selain masjid (gedung misalnya) dirasa akan mengurangi rasa penghormatan dan ta’dzimnya kepada seorang guru. Sebab menurutnya menghormati dan menghadirkan gurunya akan menambahkan keberkahan pada berlangsungnya pernikahan. Oleh karaenya,
39
Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016
77
ketika seorang mempelai mendpatkan barokah dari guru dan majlis acara maka tentunya orang tua akan merasakan kepuasan batin tersendiri.40 Penghormatan masyarakat terhadap guru memang sangat kuat, sebab masyarakat yang notabene anaknya adalah tamatan pesantren kemudian mengamalkannya sesuai dengan yang telah diajarkan ketika masih di Pesantren. Dimana menghormati seorang guru diposisikan sebagai bagian terpenting dalam tingkah laku kesehariannya dengan motifasi bahwa “kesopanan lebih tinggi nilainya dari pada kecerdasan”. Sebagaimaa disebutkan di atas bahwa selain di mushalla pernikahan dilakukan pada rumah mempelai perempuan. Hal ini sudah masyhur dikalangan masyarakat, sebab pada waktu pernikahan juga disertai dengan beberapa seserahan yang memang sudah terbiasa disediakan atau dihaturkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Kebiasaan
yang
lain
terkadang
sebagian
mereka
membawa
seserahannya pada hari sebelum pernikahan, seperti hal-hal beberapa keperluan rumah tangga. Sedangkan pada waktu pernikahan mebawa barangbarang yang dikhususkan untuk mempelai perempuan serta beberapa seserahan lainnya yang memang lumrah dibawa oleh pihak laki-laki.
40
Wawancara Pribadi dengan Rahemah, Karangsokon 31 Desember 2016
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan oleh penulis di atas, maka penulis dapat mearik kesimpulan dari tradisi pernikahan yang dilakukan di Masyarakat Desa Payudan Karangsokon Guluk-Guluk Sumenep sebagai berikut: Pertama, pemahamam masyarakat Desa Payudan Karangsokon tentang tidak perlunya persetujuan gadis adalah selain merupakan bentuk pengamalan terhadap tradisi yang sudah ada semenjak nenek moyang juga didasari terhadap redaksi hadits yang berbunyi:
َ ََوالبَكَر َ ،اَلثَيَبَ َاَحَقَ َبَنَفَسَهَا َمَنَ َ َولَيَهَا
َواَذَنَهَا َصَمَاتَهَا َورَّبا َقال َوصَمت ها َِق رارها َ يَسَتَأَذَنَهَا َأَبَ َوهَا َفَ َنَفَسَهَا.
Pengamalan
terhadap hadits ini tidaklah sama persis, yakni bahwa tidak ada penberitahuan kepada anaknya. Karena menurut mereka orang tua berhak memilih apa yang terbaik untuk putrinya kelak, serta orang tua jauh lebih tahu apakah pasangannya itu baik atau tidak. Bukan hanya tanpa meminta persetujuan, melainkan hal tersebut seperti sebagai perjodohan terhadap putrinya yang ketika dipinang bahkan tidak tahu atau bahkan sebelumnya tidak pernah kenal dengan calon pasangannya itu. Musyawarah yang dilakukan antara orang tua dan anaknya ini hanya sebagai suatu bentuk pemberitahuan saja, tanpa memerlukan respon atau jawaban dari anaknya berkaitan dengan proses khitbah yang dilakukan lelaki tesebut. Artinya adalah bahwa persetujuan yang dimaksud hanya dijadikan sebagai formalitas saja. Kedua, penentuan hari baik dalam pernikahan menurut masyarakat desa payudan Karangsokon merupakan bagian penting untuk mempersiapkan acara yang akan dilangsungkan dengan pemaknaaan bahwa dengan adanya proses tersebut akan mengurangi beberapa rasa khawatir yang biasa muncul pada masyarakat ketika akan melangsungkan sebuah acara yang dianggap penting.
78
79
Selain untuk menghilangkan kekhawatiran, perhitungan tersebut juga untuk menghindari dari waktu-waktu yang diyakini tidak baik ketika akan melangsungkan acara, termasuk pernikahan yang diyakini sebagai proses yang sakral dan penting dalam suatu kehidupan. Persiapan yang baik tentunya akan menghasilkan sesuatu yang baik pula, sehingga dengan persiapan tersebut sering berdampak akan langgennya pernikahan yang sudah dilangsungkan, rasa damai dan saling pengertian diantara keduanya setelah menjalani kehidupan bersama. Upaya tersebut sebagai salah satu untuk mendapat keberkahan dalam pernikahan sehigga tercipta keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah. adapun antara waktu ijab dan qabul juga bersamaan dengan waktu pelaksanaan upacara pernikahan (walimah). Ketiga, dasar dari pelaksanaan pernikahan di Masjid oleh Masyarakat payudan Karangsokon adalah berdasarkan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya Tuhfa al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi atTirmidzi dalam bab pelaksanaan pernikahan, pengamalan tersebut juga didasari sebagaimana penggunaan masjid pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat yang menggunakan Masjid sebagai tempat pengucapan janji dengan kepercayaan bahwa masjid sebagai tempat yang suci sehingga pengikraran dan persaksiannya dapat lebih diresapi. B. Saran-saran Penelitian tentang pernikahan ini hanya penulis fokuskan terhadap tiga kegiatan yang merupakan bagian dari pernikahan. Penelitian pada tiga kegiatan tersebut hanya penulis kaji dari sudut pandang yang tidak begitu dalam serta hanya fokus pada penggunaan metode living hadits yang notebenenya menggunakan pendekatan field research saja. Berangkat dari hal tersebut penulis sangat menyarankan kepada para pembaca untuk kemudian melakukan penelitian terhadap tradisi-tradisi yang terjadi di Masyarakat Payudan Karangsokon tentunya dengan menggunakan pendekatan dan metode yang sekiranya mampu untuk menjawab persoalanpersoalan tersebut. seperti halnya apakah terdapat pengaruh yang signifikan
80
terhadap penentuan hari baik tersebut terhadap berlangsunya rumah tangga yang bahagia. Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini tentunya jauh dari kesempurnaan, sehingga memungkinkan untuk memiliki kesalahan baik dari penyajian ataupun substansinya. Oleh karenanya, penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang dapat dijadikan sebagai masukan atau pertimbangan untuk kemudian dapat memberikan hasil yang lebih baik. Dan terakhir, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat serta dapat menjadi rujukan dan pelengkap kajian yang sudah ada, baik untuk kalangan akademik pada khususnya maupun umat Islam secara umum.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Slamet dan Aminudin. fiqih Munâkahât 1. Bandung: Pustaka setia, 1999. Afandi, Agus. dkk. Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006. Amrullah, Muhammad Fairûz Nadhir. Penerjemahemahan Qurratul ‘Uyun. Surabaya: Pustaka Media, t.t. Arikunto, S. Prosedur Penelitian Edisi Revisi. Jakarta: PT Renika Cipta, 2006. al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bâri fi Syarhi Shahîh Bukhârî. Beirut: Dar alMa’rifah, 1997. Bakry, Hasbullah. Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: UI Press, 1990. Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. cet. ke-9, Yogyakarta: UII Prees, 1999. Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1999. Departemen Agama, al-Qur’an dan Penerjemahemah. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1971. Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Perss, 1985. Gazalba, Sidi. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara, 1983. Hadi, Sutrisno. Metodologo Jilid I. Yogyakarta: Andi Offets, 1999. Hamka, Hasan. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Hasyim, Syafiq. Hal-Hal yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001. Jonge, Huub De. Madura Dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, ter. KITLV-LIPI. Jakarta: PT Gramedia, 1989 Kamal, Fahmi. Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia. Jurnal Khasanah Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014 al-Kandahlâwî, Maulana Muhammad Zakariya. Fadilah al-A’mâl. Penerjemah Musthafa Sayani. Bandung: Pustaka Ramadhan, t.t.
81
82
Karim, Khalil Abdul. Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman. Yogyakarta: LKIS, 2003. Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju, 1996. Kurniawan, Syamsul. Hadis Jampi-Jampi dalam Kitab Mujarrabat Melayu dan Taj al-Muluk Menurut Pandangan Masyarakat Kampung Seberang Kota Pontianak Propinsi Kalbar. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2005. Kuntowijoyo. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, ter. Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002. al-Makssary, Ridwan dan Ahmad Gaus Af. Benih-Benih Islam Radikal di Masjid (Studi Kasus di Jakarta dan Solo). Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2010. al-Mishri, Taufiq Abu A'lam. Fathimah al-Zahrah. Bandung: Pustaka Pelita, 1999. Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Berwawasan Gender. Malang:UIN Malang Press, 2008. Muktar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. cet ke.-3. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Najmuddin, “Pemahaman Masyarakat Bayan Terhadap al-Qur’an (Studi Perbandingan antara Masyarakat Penganut ajaran Islam Wetu Tellu dengan Penganut ajrang Agama Islam Wetu Lima).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2005. an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013. Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Damaskus: Dar al-Fikr, 1997. Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer. alih bahasa As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. al-Qastalani, Syihabuddin Ahmad. Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahihi al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
83
Ramadhita, Latar Historis Indikator Kerelaan Perempuan Dalam Perkawinan. de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum. Volume 7 Nomor 1, Juni 2015 Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014. Rasjidi, Lili. Pekawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosda Karya,1991. Robson, James Magic Cures in Popular Islam. dalam Samuel M. Zweemer (ed), Moslem World. Vol XXIV New York: Karuss Reprint Corporation, 1996. Rusyd, Ibnu, ad-Dharuri fi Ushul Fiqh aw Mukhtashar al-Mustashfa. Beirut : Dar al-Gharbu al-Islamiy, 1994. Sabiq, As-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Anbi, 1973 Schimmel, Annemarie. Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara Fenonenologis. Penerjemah. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1996. Saedi, Saedah. Research Approach and Data Collection Technique. Leeds Metropolitan Unisversity, 2002. Sari, Iksan. “Bitongan dan Pena’asen: Numerologi Bangsa Madura.” Artikel pada
04
Maret
2016
dari
https://web.facebook.com/notes/iksan-
sahri/bitongan-dan-penaasen-numerologi-bangsamadura/10156544316905612 as-Silmi, Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa at-Tirmidzi. al-Jami as-Shahih Sunan Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1998. Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung. Jornal al-Hikam Vol. 9 No. 1 Juni 2014. Suhendi, Hendi. Fiqih Muâmalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Suryadilaga, Muhammad Alfatih. Model-Model Living Hadis. dalam Syahiron Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: TERAS, 2007. Susanto, Edi. “Kepemimpinan (Kharismatik) Kyai Dalam Perspektif Masyarakat Madura.” Jurnal Karsa, Vol. XI No.1, (April 2007) Sutrisno. Hadi, Metodologo Jilid I. Yogyakarta: Andi Offets, 1999.
84
Soehadha, Moh. Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama. Yogyakarta: SUKA Press, 2010. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta : kencana 2006. al-Syaqiry, Muhammad Abdussalam. Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah. Jakarta: Qithi Press, 2004. Takariwan, Cahyadi. Izinkan Aku Meminangmu. Solo: Era Intermedia 2004. Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata Satu 2012/2013. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2012. Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016 Wawancara Pribadi dengan H. Hasan, Karangsokon 01 Nopember 2016 Wawancara Pribadi dengan KH. Abd Majid, Karangsokon 31 Oktober 2016 Wawancara Pribadi dengan KH. Noer Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 Wawancara Pribadi dengan olis, Karangsokon 27 Desember 2016 Wawancara Pribadi dengan Muzanni, Karangsokon 27 Desember 2016 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016 Wawancara Pribadi dengan Hasibah, Karangsokon 27 Desember 2016 Wawancara Pribadi dengan Rahemah, Karangsokon 31 Desember 2016 Wiyata, Latif. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS, 2006. Zahrah, Abu. al-Ahwal asy-Syakshiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957. Zubairi, A. Dardiri. Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura. Surabaya: Andhep Asor, 2013. Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. alih bahasa oleh Abdul Hayyie AlKat.tani. Jakarta:Gema Insani, 2011. Zuhri. “Studi Islam dalam Tafsir Sosial; Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2008. Zulfa, Indana. “Pandangan Hadis terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di
85
Desa Dukuhkembar Kecamatan Dukuh Kabupaten Gresik)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015.
Lampiran I PEDOMAN WAWANCARA (Orang Tua Anak) A. IDENTITAS DIRI Nama
:
Pekerjaan
:
B. DAFTAR PERTANYAAN 1. Persetujuan Pernikahan a. Apakah anda merundingkan dengan putri anda ketika ada orang yang meminangnya? b. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perjodohan itu? c. Dalam perjodohan tersebut, mengapa harus dengan sesama saudara? d. Apakah terdapat perbedaan antara anak yang masih memiliki ikatan famili dengan yang tidak dalam mencapai tujuan pernikahan? e. Menurut anda perlukah meminta persetujuan terhadap anak ketika ada seseorang yang berniat meminangnya? 2. Proses Penentuan Hari Baik (Nyareh Dhinah Begus) a. Apakah masyarakat masih menggunakan kultur jawa khususnya dalam hal yang berkaitan dengan waktu pernikahan? b. Dalam penentuan hari baik itu apakah hanya memperhitungkan harinya saja atau juga dengan waktu, hari dan bulannya juga? c. Dalam perhitungan hari baik itu dilakukan sendiri oleh keluarga yang bersangkutan atau meminta bantuan orang lain dalam proses pencapaiannya? d. Bagaimana proses perhitungan hari baik dalam penentuan pernikahan? e. Apakah dalam penentuan hari baik itu dihasilkan dengan proses perundingan antara keluarga laki-laki dan perempuan atau hanya ditentukan oleh keluarga perempuan saja? f. Apakah ada bulan-bulan khusus yang dianggap tidak boleh untuk melangsungkan acara pernikahan? g. Apakah yang mendasari adanya perhitungan hari baik itu? h. Apakah urgensi atau manfaat dari pencapaian penentuan hari baik tersebut?
i. Apakah dampak yang akan terjadi jika pernikahan itu dilangsungkan pada bulan ataupun waktu yang tidak diperbolehkan tersebut? 3. Pelaksanaan Walimah a. Dimanakan acara Walimah itu dilaksanakan? b. Apakah dirumah anda terdapat Mushallah atau masjid? c. Apakah terdapat makna khusus terhadap tempat yang menjadi tempat pelaksanaan acara walimah, sehingga harus dilaksanakan pada tempat tersebut? d. Bagaimana proses pelaksanaa walimah? e. Apakah dalam pemilihan tempat pelaksanaan walimah masih melalui perhitungan terlebih dahulu? f. Apakah tempat pelaksanaan walimah juga memberikan pengaruh terhadap langgengnya pernikahan? 4. Bagaimana anda memaknai terhadap, a. Hadis tentang perlunya meminta persetujuan terhadap anak perempuan ketika ada orang berniat mengawininya? b. Penentuan waktu pernikahan (Nyareh dhinah begus) yang didalam hadis Nabi telah disebutkan mengenai bulan-bulan yang baik? c. Masjid atau Mushallah menjadi tempat pelaksanaan walimah yang hal tersebut merupakan salah satu anjuran dari Nabi?
PEDOMAN WAWANCARA (Anak yang Dijodohkan) A. IDENTITAS DIRI Nama
:
Usia Pernikahan Anda
:
B. DAFTAR PERTANYAAN 1. Ketika ada seseorang yang meminang anda, apakah anda dimintai pendapat terkait tentang setuju atau tidak terhadap pinangan tersebut? 2. Bagaimana perasaan anda ketika tahu bahwa anda di jodohkan dan bagaimana pengaruhnya dalam keseharian anda? 3. Pernahkan ada keinginan untuk membatalkan ikatan tersebut? 4. Menurut anda apakah akan ada perbedaan antara pasangan yang anda pilih sendiri dengan pasangan yang dipilih orang tua anda? 5. Bagaimana pendapat anda tentang perjodohan itu? 6. Orang yang dijodohkan dengan anda apakah masih memiliki ikatan keluarga atau tidak? 7. Apakah terdapat perbedaan dalam keluarga anda terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam pemilihan pasangan? 8. Menurut anda perlukah orang tua itu meminta pendapat ketika ada seseorang yang meminang putrinya, sertakan dengan alasannya? 9. Bagaimana solusi yang anda lakukan ketika anda sudah dijodohkan, agar supaya bisa menerima akan hal tersebut? Sehingga hal tersebut tidak mempengaruhi terhadap kehidupan rumah tangga anda nantinya?
PEDOMAN WAWANCARA (Tokoh Masyarakat) C. IDENTITAS DIRI Nama
:
Pekerjaan
:
D. DAFTAR PERTANYAAN 1. Menurut pengetahuan anda, bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap hadis Nabi? 2. Seberapa banyak hadis itu mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat? 3. Persetujuan Pernikahan a. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perjodohan itu? b. Bagaimana sejarah perjodohan tersebut? c. Menurut anda perlukah meminta persetujuan terhadap anak ketika ada seseorang yang berniat meminangnya? d. Dalam pengamatan anda apakah ada perbedaan antara keluarga yang dijodohkan dengan keluarga hasil dari pilihannya sendiri? e. Menurut anda, kebiasaan seseorang keluarga tidak merundingkan dengan anaknya dalam hal pasangan hidupnya pelu dipertahnkan atau tidak? 4. Proses Penentuan Hari Baik (Nyareh Dhinah Begus) a. Apakah masyarakat masih menggunakan kultur jawa khususnya dalam hal yang berkaitan dengan waktu pernikahan? b. Dalam penentuan hari baik itu apakah hanya memperhitungkan harinya saja atau juga dengan waktu, hari dan bulannya juga? c. Dalam perhitungan hari baik itu dilakukan sendiri oleh kedua calon keluarga atau masih melibatkan kyai atau orang yang lainnya? d. Bagaimana proses perhitungan hari baik dalam penentuan pernikahan? e. Apakah masyarakat Payudan Karangsokon memiliki rasa fanatik terhadap bulan-bulan tertentu, sertakan dengan alasannya? f. Apakah urgensi atau manfaat dari pencapaian penentuan hari baik tersebut? g. Bagaimana sejarah penentuan hari baik itu sejauh yang anda ketahui? 5. Pelaksanaan Walimah a. Dimanakah acara Walimah itu dilaksanakan?
b. Apakah terdapat makna khusus terhadap tempat yang menjadi tempat pelaksanaan acara walimah, sehingga harus dilaksanakan pada tempat tersebut? c. Bagaimana pemaknaan masyarakat Payudan Karangsokon terhadap Mushallah yang menjadi salah satu tanda keagamaan yang kerap kali juga dijadikan sebagai tempat pelaksanaan walimah? d. Apakah setiap kepala keluarga memiliki Mushallah? 6. Bagaimana anda memaknai terhadap, a. Hadis tentang perlunya meminta persetujuan terhadap anak perempuan ketika ada orang berniat mengawininya? b. Penentuan waktu pernikahan (Nyareh dhinah begus) yang didalam hadis Nabi telah disebutkan mengenai bulan-bulan yang baik? c. Masjid atau Mushallah menjadi tempat pelaksanaan walimah yang hal tersebut merupakan salah satu anjuran dari Nabi?
Lampiran II DATA RESPONDEN WAWANCARA No
Nama
Status
Alamat
1.
KH. Abdul Majid
Tokoh
Dusun Benyato
2.
KH. Noer Kholis
Tokoh
Dusun Benyato
3.
H. Hasan
Kepala Desa
Dusun Be’regih
4.
Hj. Sutiana
Kepala Desa
Dsun Be’regih
5.
H. Ahmad Syafi’i
Tokoh
Dusun Somber Rajeh
6.
Hj. Rahemah
Tokoh
Dusun Somber Rajeh
7.
Noer Khalis
Orang Tua Anak
Dusun Benyato
8.
Siri
Orang Tua Anak
Dusun Benyato
9.
Hasibah
Anak
Dusun Benyato
10.
Halimatus Sa’diyah
Anak
Dusun Benyato
11.
Ida Ubaidatul Hasanah
Anak
Dusun Be’regih
12.
Mujasit
Orang Tua Anak
Dusun Be’regih
13.
Qomaruddin
Orang Tua Anak
Dusun Be’regih
14.
Ulfatul Muslimah
Anak
Dusun Benyato
15.
Dalilah
Anak
Dusun Benyato
16.
Rusdi
Orang Tua Anak
Dusun Benyato
17.
Abdul Jalal
Orang Tua Anak
Dusun Banyukalong
18.
Juwaini
Tokoh
Dusun Be’regih
19.
Syamsuri
Orang Tua Anak
Dusun Banyukalong
20.
H. Sahari
Orang Tua Anak
Dusun Banyukalong
Lampiran III DOKUMENTASI 1. Pernikahan di Mushallah
2. Pemukulan Rebana
3. Rombongan yang Membawa Seserahan