“NGAPATI” DALAM TRADISI MASYARAKAT BANYUURIP Studi Living Hadits Hasan Su’adi Jurusan Usuludin dan Dakwah STAIN Pekalongan
[email protected] Abstract: This study is intended to determine the understanding of Banyuurip society leaders towards human creation hadith and other hadiths pertaining to Ngapati tradition and to know its implementation on Ngapati tradition among Banyuuripsociety in Pekalongan city. This qualitative study uses interview, observation and documentation to collect and interprete data. This study concludes that 1) the tradition is in line with Islamic teachings (hadith) according to Banyuurip society leaders and 2) society makes creation towards hadith texts, then implemented in the form of action in this case is Ngapati tradition. Abstrak: Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui pemahaman tokoh masyarakat Banyuurip kota Pekalongan, terhadap hadits penciptaan manusia dan hadits lainnya yang berkaitan dengan tradisi ngapati dan untuk mengetahui implementasi pemahaman teks hadits-hadits tersebut dalam tradisi ngupati di masyarakat Banyuurip kota Pekalongan. Melalui metode kualitatif dengan teknik wawancara, observasi dan studi dokumentasi, penelitian ini menyimpulkan bahwa bagi masyarakat Banyu Urip, tradisi tersebut sejalan dengan ajaran agama Islam (hadits), dan masyarakat melakukan kreasi terhadap teks hadits, kemudian diimplementasikan dalam bentuk tindakan dalam hal ini adalah tradisi ngapati. Kata Kunci: Tradisi Ngapati; Hadits; Living Hadits.
PENDAHULUAN Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang kaya tradisi dan upacara (dalam istilah lain disebut selametan dari bahasa Arab Salamah, yang bermakna keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
“Ngapati” dalam Tradisi Masyarakat Banyuurip (Hasan Su’aidi)
245
dikehendaki) (AW. Munawwir, 2000: 654) Clifford Greetz memaknai selametan dari kata slamet yang berarti “gak ana apa-apa” (tidak ada apaapa) (Suwito NS, 2007: 4). Bagi orang Jawa, selametan diyakini sebagai simbol tingkat kebaktian seorang hamba kepada Tuhannya dan tindakan preventif dari segala macam bentuk kutukan (Suwardi Endaswara, 2012: 44-48). Sehingga semua fase kehidupan dari mulai menikah hingga wafat selalu ditandai dan dilambangkan dengan selametan. Tradisi selametan, bagi sementara kalangan dianggap tidak berdasar kepada al-Qur`an maupun hadits, meskipun masyarakat yang lain meyakini bahwa hal itu sebagai wujud dari akulturasi ajaran agama dan tradisi, sesuai dengan ajaran agama dan hasil dari derivasi ajaran Islam (Mark R. Woodward,1999: 4). Perlakuan terhadap nilai ajaran agama, baik al-Qur`an maupun hadits mengalami perkembangan sesuai dengan pemahaman dan penyikapan pembaca. Hal ini barangkali sejalan dengan sifat dari pokok ajaran agama, yaitu shalih li kulli zaman wa makan. Perlakuan ini merupakan aktualisasi nilai-nilai ajaran agama. Di antara tradisi yang ada di tengah sebagian masyarakat Jawa adalah Tradisi ngapati atau upacara selamatan 4 bulan usia kandungan yang dipraktekkan oleh masyarakat Banyuurip Kota Pekalongan. Boleh jadi, upacara tersebut dikaitkan dengan hadits Nabi SAW tentang tahapan dan proses penciptaan manusia yang diriwayatkan oleh banyak perawi hadits (al-Bukhari,tt: IV, 111) (Muslim,tt: IV) (Tirmidzi,tt: IV, 446) (Ahmad bin Hanbal,1999: IV, 125). Jika benar demikian, maka kajian terhadap pemahaman masyarakat tertentu terhadap teks dan praktek atau tradisi yang didasarkan terhadap hadits dan aktualisasi nilai hadits tersebut perlu untuk dilakukan sebagai wujud dari studi living sunnah untuk menghidupkan sunnah di tengah-tengah masyarakat. Kajian ini mengungkap dan menganalisis (1) pemahaman tokoh masyarakat Banyuurip kota Pekalongan, terhadap hadits penciptaan manusia dan hadits lainnya yang berkaitan dengan tradisi ngapati; (2). implementasi pemahaman teks hadits-hadits tersebut dalam tradisi ngapati di masyarakat Banyuurip kota Pekalongan. Penelitian ini adalah penelitian terhadap teks yang berimplikasi terhadap tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, sesuai dengan pemahaman tokoh masyarakat terhadap teks hadits. Sehingga tidak lepas dari penelitian hadits dengan mengungkap latar belakang, situasi, kondisi serta maksud dan tujuan dari sabda Rasulullah SAW. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis pemahaman hadits dan metode analisis sosiologi
246
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 244-260
pengetahuan. Metode analisis untuk memahami hadits antara lain; memahami hadits sesuai dengan petunjuk al-Qur`an, menghimpun hadits-hadits yang setema, melakukan kompromi atau tarjih terhadap hadits-hadits yang kontradiktif dan memahami hadits sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya (Suryadi, 2008: 135-166). Dari keempat metode tersebut, dapat diketahui ada dan tidaknya sebabsebab khusus yang melatarbelakangi kemunculan hadits, illat tertentu atau kejadian yang menyertainya. Hal ini karena hadits dalam menyelesaikan problem terkadang bersifat lokal (maudhi’i), partikular (Juz’i) dan temporal (ani) (M. Alfatih Suryadilaga, 2007: 118). Sedangkan langkah penelitian sosiologi pengetahuan dapat dilakukan melalui analisis terhadap pengetahuan, gagasan, dan fenomena intelektual secara umum yang berkembang pada diri author pada saat bersentuhan dengan teks (Syahyuthi, 2015: 1). Corak pemikiran keagamaan yang dikembangkan oleh seseorang tidak lepas dan benar-benar menyatu dengan problem kultur suatu masyarakat. Maka Sumber penelitian ini berupa penelitian yang berbasis kepada observasi terhadap author yang berhadapan dengan teks, kemudian diimplementasikan kepada masyarakat menjadi sebuah tradisi. Setelah itu dikomparasikan dengan literatur-literatur yang membahas tentang teks (hadits-hadits) untuk mengetahui kesesuaian pemahaman author masa kini dan masa lalu. Dengan demikian, maka penelitian ini juga penelitian kepustakaan (library research). PEMBAHASAN Gambaran Umum Kelurahan Banyuurip Kota Pekalongan
Geografis, Penduduk dan Pendidikan
Kelurahan Banyuurip, secara geografis terletak di kecamatan Pekalongan selatan kota Pekalongan. Ia berjarak 6 km dari kecamatan, 5 km dari pusat kota dan 104 km dari Ibu Kota Propinsi, dengan 4 batas wilayah, sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Buaran, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kertijayan, sebelah barat berbatasan dengan Desa Curug, dan sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Kradenan. Total luas wilayah kelurahan 163.6224 Ha (Data Monografi Kelurahan Banyuurip Pekalongan, 2014). Jumlah penduduk kelurahan Banyuurip pada tahun 2014 tercatat sebanyak 10.885, dengan rincian jenis kelamin laki-laki sebanyak 5.328 jiwa dan jenis kelamin perempuan sebanyak 5.557 jiwa dengan kepadatan penduduk 434.011/Ha (Data Monografi Kelurahan
“Ngapati” dalam Tradisi Masyarakat Banyuurip (Hasan Su’aidi)
247
Banyuurip Pekalongan, 2014) Sedangkan banyaknya penduduk WNI asli menurut usia dewasa tercatat sebanyak 7032 jiwa laki-laki dan perempuan, dan berdasarkan usia anak-anak tercatat sebanyak 3310 jiwa laki-laki dan perempuan. Dan banyaknya penduduk WNI cina menurut dewasa tercatat sebanyak 91 jiwa, sedangkan berdasarkan kelompok usia anak-anak sebanyak 7 orang (Data Monografi Kelurahan Banyuurip Pekalongan, 2014). Tingkat pendidikan masyarakat kelurahan Banyuurip digolongkan menjadi dua macam, yaitu tingkat pendidikan formal dan non formal. Jumlah masyarakat yang menyelesaikan pendidikan formal dapat dilihat di dalam tabel berikut: Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah Taman Kanak-Kanak (TK) 168 Orang SekolahDasar (SD)/MI 1696 Orang SekolahMenengahPertama (SMP)/MTS 1068 Orang SekolahMenengahAtas (SMA)/MA 824 Orang PerguruanTinggi (D1-D3/S1-S3) 214 Orang Sumber: Data Monografi Kelurahan Banyuurip Tahun 2014 Selain pendidikan formal, masyarakat kelurahan Banyuurip sebagian di antaranya berpendidikan non formal seperti madrasah diniyah dan TPQ/TPA yang berjumlah 773 orang, sedangkan masyarakat yang berpendidikan pesantren berjumlah 104 orang, adapun masyarakat yang berpendidikan kursus keterampilan berjumlah 30 orang. Ekonomi, Sosial, Budaya dan Keagamaan Masyarakat kelurahan Banyuurip mayoritas berprofesi sebagai buruh industri, baik pabrik maupun rumahan. Di antara warga kelurahan Banyuurip merupakan juragan batik, namun jumlah tersebut masih kalah dibandingkan dengan jumlah buruh yang tercatat sebanyak 1.671 orang (Data Monografi Kelurahan Banyuurip Pekalongan, 2014). Industri di kelurahan Banyuurip terdiri dari industri skala besar sebanyak 3 unit, industri kecil sebanyak 54 unit, industri rumah sebanyak 102 unit. Profesi Masyarakat kelurahan Banyuurip secara umum dijelaskan dalam tabel berikut.
248
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 244-260
Tabel 2 Profesi Penduduk No Profesi Penduduk 1. PNS/ABRI 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Wiraswasta/Pedagang Pertukangan Petani BuruhTani Jasa BuruhIndustri
Jumlah 52 Orang 264 Orang 208 Orang 31 Orang 53 Orang 843 Orang 1.671 Orang
Masyarakat kelurahan Banyuurip adalah masyarakat yang guyub dan suka bermusyawarah, baik tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan, sosial dan lain sebagainya. Masyarakat kelurahan Banyuurip memiliki sikap yang ramah, mempunyai solidaritas yang tinggi dan suka bergotong royong, Hal ini terlihat dari aktivitas mereka dalam semua kegiatan kemasyarakatan (Data Monografi, 2014). Dalam aspek budaya, masyarakat di kelurahan Banyuurip sangat menjunjung tinggi kearifan lokal. Hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berbagai acara seni dan budaya keagamaan. Umumnya budaya keagamaan yang sudah mengakar sejak dari dahulu yang ada di masyarakat Islam jawa, diantaranya adalah Tahlil, Ziarah, Khaul (memperingati wafatnya seseorang setahun sekali), Maulidan, Mitoni, Ngapati dan sebagainya (Data Monografi, 2014). Penduduk kelurahan Banyuurip mayoritas beragama Islam, tercatat sebanyak 10.115 orang pemeluk agama Islam, sedangkan sebanyak 224 orang beragama Kristen, sebanyak 10 orang beragama Budha, dan sebanyak 4 orang beragama Hindu (Data Monografi Kelurahan Banyuurip Pekalongan, 2014). Geliat keagamaan di kelurahan Banyuurip sangat maju dengan keberadaan kelompok Majlis Ta’lim. Jika ditinjau dari segi kehidupan keberagamaan maka dapat disimpulkan bahwa penduduk kelurahan Banyuurip mayoritas beragama Islam dan sebagian besar mengikuti ormas Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini terbukti dengan antusiasnya mereka mengikuti berbagai aktivitas keagamaan, baik berupa kegiatan harian, mingguan, bulanan, dan tahunan sehingga syiar Islam di kelurahan Banyuurip menjadi dinamis.
“Ngapati” dalam Tradisi Masyarakat Banyuurip (Hasan Su’aidi)
249
Penjelasan tentang keadaan monografi dan kondisi masyarakat Banyuurip di atas memberikan gambaran jelas, bahwa masyarakat Banyuurip, yang mayoritas terdiri dari penduduk asli (suku Jawa) adalah masyarakat yang taat beragama dan ramah terhadap bentuk budaya yang bersinggungan dengan ajaran agama Islam, tentunya jika budaya tersebut tidak berseberangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Penerimaan terhadap budaya-budaya yang berkembang di masyarakat tertentu, tidak selalu didasarkan hanya kepada keinginan, namun penerimaan tersebut terkadang juga didasari oleh pemahaman agama yang baik untuk selanjutnya dijadikan sebagai tolak ukur di dalam menentukan, apakah sebuah budaya dapat diterima ataukah tidak, masyarakat Banyuurip menjadikan agama sebagai tolak ukur benar dan tidaknya suatu budaya seperti budaya ngapati (tradisi selamatan yang di adakan ketika usia janin mencapai 4 bulan). Tradisi Ngapati di Masyarakat Banyuurip
Sejarah Tradisi Ngapati
Berbicara mengenai kapan tradisi ngapati dimulai di Masyarakat Banyuurip Kota Pekalongan, maka setelah melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat, disimpulkan bahwa tidak ditemukan informasi pasti tentang kapan tradisi ini dimulai, hanya diyakini oleh tokoh masyarakat bahwa tradisi ini merupakan tradisi turun-temurun. Menurut ibu KNF (salah satu tokoh perempuan masyarakan Banyuurip) ia mengatakan: “Tradisi ngapati itu dilaksanakan turun menurun sejak zaman dahulu kala. Sejak saya kecil juga sudah ada tradisi ngapati itu”. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Ibu ASY dan K. N (Wawancara 23 April 2015), Hampir semua informan di lapangan memberikan informasi yang sama, hanya sebatas asumsi masing-masing.
Maksud dan Tujuan Tradisi Ngapati
Setiap tindakan manusia yang sadar, baik itu berupa upacara, selametan dan tindakan-tindakan lainnya, pasti mempunyai maksud dan tujuan, demikian halnya dengan tradisi ngapati yang ada di masyarakat Banyuurip. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa maksud dan tujuan dari dilaksanakannya tradisi ngapati secara subtansial adalah berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan ibu dan calon bayi, juga sebagai bentuk harapan sang ibu bagi anak yang dikandungnya agar menjadi anak yang rizqinya banyak dan berkah, usianya panjang, menjadi
250
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 244-260
anak yang sholeh, meniru sifat-sifat yang dimiliki oleh Maryam -jika jabang bayi itu berjenis kelamin perempuan- atau sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi Yusuf -jika jabing bayi itu berjenis kelamin laki-laki- (oleh karena itu praktek tradisi ngapati selalu ada pembacaan surat Maryam dan surat Yusuf) dan harapan-harapan lainnya. Alasan yang mendasari tradisi doa dan selamatan yang dilakukan pada bulan keempat dari usia janin adalah keyakinan masyarakat bahwa 4 bulan adalah waktu penentuan terhadap empat perkara yaitu rizqi, amal, kematian dan baik atau buruknya jabang bayi hingga nanti. Tradisi nagapati ini menurut KF dan tokoh masyarakat Banyuurip lainnya adalah bentuk ikhtiar yang dapat dilakukan oleh seseorang terhadap keberlangsungan kehidupan jabang bayi. Kalaupun empat hal yang telah disebutkan di atas adalah ketentuan yang telah ada di lauh alMahfudz, namun hal itu bukan berarti menghalangi manusia untuk berharap kepada Allah SWT. Disisi lain, ketika suatu tradisi sudah mengakar ditengah suatu masyarakat, maka masyarakat yang tidak melakukan tradisi ngapati merasa khawatir dengan kondisi jabang bayi yang dikandung oleh ibunya. Disamping itu juga merasa bersalah telah melanggar adat istiadat tersebut. Dari beberapa jawaban tentang pertanyaan ada dan tidak adanya perasaan khawatir bagi orang yang tidak melaksanakan tradisi ngapati di atas, dapat disimpulkan, bahwa mayoritas quesener memberikan jawaban bahwa rata-rata mempunyai perasaan khawatir, meskipun tidak secara tegas dan mengaitkannya dengan masing-masing individu. Bagi individu yang memahami bahwa tradisi ngapati adalah tradisi yang sudah mengakar (muhakkamah), mengerti tujuan dari tradisi ngapati dan memahami bahwa masa 4 bulan pertama adalah masa-masa menentukan bagi perkembangan jabang bayi, maka mereka khawatir apabila tidak melakukan tradisi itu, sedangkan bagi mereka yang tidak menganggap tradisi ngapati sebagai suatu keharusan bagi janin yang berusia 4 bulan serta tidak memahami tujuan dari dilaksanakannya tradisi tersebut maka tidak ada perasaan khawatir apapun jika tidak melaksanakannya.
Ngapati antara Budaya Islam dan Hindu
Tidak adanya nash (dalil) yang sharih (jelas) yang menjadi dasar praktek keagamaan di tengah masyarakat tertentu, seringkali memunculkan anggapan bahwa amaliah tersebut merupakan akulturasi antara agama dan budaya. Tidak jarang, muncul juga anggapan bahwa tradisi
“Ngapati” dalam Tradisi Masyarakat Banyuurip (Hasan Su’aidi)
251
tersebut berkait erat dengan ajaran agama tertentu di luar Islam. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah tradisi ngapati yang berkembang dan dipraktikkan oleh masyarakat Banyuurip merupakan tradisi yang dihasilkan dari akulturasi antara ajaran Islam dan budaya masyarakat Jawa, ataukah terpengaruh dari ajaran agama lain, maka berikut ini adalah tanggapan tokoh masyarakat Banyuurip Kota terkait hal itu. Bagi KF, tidaklah menjadi masalah serius, apakah tradisi ngapati itu bentuk dari akulturasi ajaran Islam dengan budaya Jawa, atau bentuk dari turunan ajaran agama tertentu. Menurutnya, yang menjadi ukuran adalah apakah ajaran tersebut bertentangan secara jelas dengan ajaran agama atau tidak. Menurutnya, pada dasarnya Islam itu merupakan agama yang didefinisikan sebagai hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui perantara seorang nabi. Islam bukan budaya dan juga bukan tradisi, tetapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti budaya dan anti tradisi. Bahkan, ketika suatu budaya dan tradisi yang telah berjalan di masyarakat tidak dilarang dalam agama. Maka dengan sendirinya menjadi bagian dari syariat Islam. Demikian ini sesuai dengan dalil alQur’an, hadits, pendapat para sahabat dan kaum salaf. Contoh dalil di dalam Al Qur’an adalah firman Allah SWT “Khudzil ‘afwa wa’mur bil ‘urfi”(QS. Al-A’raf: 199) bahwa makna “urf” adalah tradisi yang baik, berarti dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan nabi Muhammad SAW menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf (baik). Bahkan syekh Wahbah Zuhaili berkata “maksud dari ‘urf di dalam ayat diatas adalah arti secara bahasa yaitu tradisi baik yang telah dikenal oleh masyarakat”. Penafsiran ‘urf dengan tradisi baik yang telah dikenal masyarakat itu sejalan dengan pernyataan para ulam ahli tafsir seperti imam An-Nasabi dalam tafsirnya berkata “Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’ ”. Begitu juga dengan imam Burhanudin Ibrahim bin Umar Al-Biqai berkata ”Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf yaitu setiap perbuatan yang telah dikenal baik oleh syara’ dan diperbolehkan, karena hal tersebut termasuk sifat pemaaf yang ringan dan mulia”. Imam Sya’roni juga mengatakan hal yang sama, “segala perbuatan maupun ucapan yang ditimbang dengan kitab dan sunah itu baik, maka menjadi bagian dari syari’at”. Islam menyempurnakan tradisi, Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia” (al-Baihaqi, tt: X: 192). Dalam banyak tradisi seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur dan Islam datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum
252
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 244-260
syariat dalam Islam, diadopsi dari tradisi jahiliyyah seperti hukum qasamah, diyat, persyaratan kafaah, dan tradisi-tradisi lainnya. Dalam masyarakat jahiliyyah semua itu sudah ada. Contoh lain adalah puasa ‘Asyura yang berasal dari tradisi jahiliyyah dan orang Yahudi. Penerimaan terhadap tradisi ini nampaknya sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Mizwar bin Mahramah dan Marwan, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya. “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada dosanya, mereka (kaum musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan atau adat dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah kecuali Aku kabulkan permintaan mereka” (HR.Bukhari). Hadits ini memberikan penegasan bahwa Islam akan selalu menerima ajakan kaum musyrik pada suatu tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahim. Perhatian Islam terhadap tradisi juga didekatkan oleh para sahabat (Wawancara, 27 Maret 2015). Sedangkan KM, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, tentang ada dan tidaknya pengaruh ajaran Hindu terhadap tradisi ngapati, ia menanggapinya sebagai berikut: “Saya bukan orang Hindu dan Budha, tetapi kalau melihat dari hadits tersebut (tentang proses penciptaan manusia), saya yakin itu dari budaya yang diciptakan walisongo dan berasal dari budaya Islam. Kalau Hindu ada budaya semacam itu, tugas Islam adalah mengislamikan budaya-budaya yang tidak sesuai dengan Islam, sebab Islam itu memperbaiki bukan kemudian Islam itu memvonis tidak baik atau mengkufurkan sesuatu yang belum tentu kufurnya”. Tesis di atas memberikan kesimpulan bahwa, anggapan tentang asal usul tradisi ngapati berasal dari tradisi yang sudah ada dan merupakan tradisi agama Hindu dan Budha, hal itu menurut tokoh masyarakat Banyuurip tidak sepenuhnya benar, kalaupun tetap dipaksakan, maka hal itu tidak lebih dari akulturasi budaya Jawa yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat, kemudian muatannya dirubah dengan ajaran Islam oleh Wali Songo, sehingga menjadi tradisi Islami. Akulturasi ini juga berlaku pada tradisi-tradisi lainnya, seperti mitoni, selamatan tujuh hari, empat hari dan seribu hari dari kematian dan seterusnya.
“Ngapati” dalam Tradisi Masyarakat Banyuurip (Hasan Su’aidi)
253
Dengan demikian, ketika tradisi ngapati dipandang sebagai tradisi yang murni Islami, maka permasalahan selanjutnya adalah adakah dalil yang menjelaskan tentang tradisi ngapati yang berjalan di masyarakat Banyuurip kota Pekalongan, baik sharih maupun tidak. Pada bab berikut ini akan dipaparkan tentang dalil tradisi ngapati dan resepsi tokoh masyarakat terhadap dalil yang sering dipahami sebagai pembenar terhadap tradisi yang ada.
Dasar Ngapati dan Resepsi Masyarakat
Telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya, bahwa menurut tokoh masyarakat Banyuurip, tidak semua tradisi yang berkembang di masyarakat serta merta adalah tradisi Hindu dan Budha. Berikut, adalah dalil hadits yang dijadikan sebagai pegangan masyarakat dalam melaksanakan tradisi ngapati dan resepsi mereka terhadap dalil tersebut. Dalam pandangan KF, dalil tentang tradisi ngapati tidak hanya terdapat di dalam hadits, namun juga al-Qur`an. Menurutnya, dalil yang bersumber dari hadits adalah hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud. Lebih jelasnya, penggunaan dalil tersebut dijelaskan oleh KF, berikut ini: “Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud (hadits tentang penciptaan manusia) didalam kitab Majalisussaniyyah Majlisu robi’. Bahwasanya sesungguhnya salah satu diantara kalian itu dikumpulkan kejadiannya didalam rahim ibu 40 hari pertama berupa sperma, kemudian 40 hari berikutnya berupa segumpal darah dan 40 hari kemudian berupa segumpal daging, jadi total 120 hari sama dengan 4 bulan, istilah ngapati karena umur kehamilan sudah 4 bulan. Disitu malaikat diperintah Allah utuk meniupkan ruh dan menulis rizki, ajal, amal perbuatan, dan selamat atau celaka.” Adapun dalil al-Qur`an yang dapat dijadikan sebagai dasar tradisi ngapati adalah surat Al A’raf ayat 189. Ahmad As Shawi dalam tafsirnya juz dua surat Al A’raf ayat 189, disitu dikatakan, ketika Adam bersenggama dengan Hawa kemudian hamil muda (40 hari berupa masih nuthfah), karena itu Hawa masih kesana kemari bepergian, tapi ketika kehamilan sudah berat karena besarnya anak yang ada didalam perut Hawa, disini Ahmad Shawi mengatakan bahwa Adam dan Hawa khawatir barangkali yang ada diperut Hawa itu bahiimah atau binatang,
254
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 244-260
disitulah kesempatan iblis menggoda mendatangi Hawa dengan berkata “Apa yang ada didalam perutmu itu?”, Hawa menjawab “Aku tidak tahu”. Lalu iblis kembali berkata “Jangan-jangan yang ada di perutmu itu anjing, himar atau yang lainnya dan akan keluar dari mata atau mulutmu atau dengan cara perutmu dibelah untuk mengeluarkannya”. Pada intinya iblis menakut-nakuti Hawa. Kemudian ayat selanjutnya Adam dan Hawa berdoa kepada Allah “Jika Engkau memberi anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang yang bersyukur”. Disinilah kaitannya dengan ngapati, mitoni yang berisikan doa dan sedekah dengan tujuan supaya diberikan anak yang sempurna, utuh dan harapannya soleh serta solehah. Jadi tradisi ngapati itu haditsnya ada dan Al Qur’an nya juga ada”. Sementara itu, KM, KN dan ZHR juga menggunakan dalil yang sama tentang tradisi ngapati dengan resepsi masing-masing yang mereka kemukakan. Pemahaman Tokoh Masyarakat tentang Hadits Penciptaan Manusia Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan tentang pemahaman masyarakat Banyuurip terhadap hadits yang dijadikan sebagai dasar tradisi ngapati. Meskipun terdapat pemahaman beragam tentang hadits proses kejadian manusia hingga usia janin 4 bulan, namun terdapat sisisisi kesamaan. Dalam pandangan mereka, tradisi ngapati ini penting dilakukan mengingat usia 120 hari dari janin merupakan masa terpenting di dalam proses kejadian manusia. Masa tersebut (sebagaimana yang dijelaskan di dalam nash hadits) adalah masa penentuan empat perkara yaitu, penentuan rizqi, ajal (masa hidup) nya, perilaku-perilakunya dan penentuan nasib seseorang terkait celaka dan tidaknya dalam kehidupan dunia maupun akhiratnya. Meskipun hadits tentang penciptaan manusia tidak secara inplisit menjelaskan tentang ajaran untuk melakukan upacara tertentu bersamaan dengan usia janin yang mencapai empat bulan, namun resepsi masyarakat terhadap hadits tersebut di atas, yang memahami bahwa waktu empat bulan adalah waktu “penentu” dalam perkembangan janin, oleh karenanya mereka perlu untuk melaksanakan ritual tertentu yang dimaksudkan untuk kebaikan janin tersebut. Pemahaman seperti ini didasarkan kepada anggapan bahwa waktu-waktu yang genting dalam proses kehidupan manusia tidak ada salahnya jika dikhususkan sebagai
“Ngapati” dalam Tradisi Masyarakat Banyuurip (Hasan Su’aidi)
255
waktu untuk berdoa, bersedekah dan lain-lain dengan maksud untuk kebaikan, termasuk didalamnya adalah ngapati. Pentingnya berdoa pada saat-saat genting seperti ini, oleh tokoh masyarakat Banyuurip juga didasarkan kepada “Ijtihad Ulama” bahwa pada saat inilah maka layaklah kita sebagai sesama manusia untuk mendoakannya sebab Allah SWT berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (QS. Al-Mukmin: 60). Dalam pandangan tokoh masyarakat Banyuurip, Doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT pasti dikabulkan, karena itu janji Allah. Bahkan, sebagian dari mereka juga berpendapat tentang kekuatan do’a, bahwa do’a dapat merubah ketentuan (takdir) Allah, karena doa itu sendiri adalah takdir, dengan mengutip hadits yang berbunyi “La yaruddu al-Qadla illa ad-Du’a’”(at-Thabrani, 1983: VI:251). Dengan demikian, hadits tentang penciptaan manusia ditafsirkan oleh tokoh masyarakat Banyuurip sebagai dalil yang meskipun tidak sharih (jelas) tentang anjuran berdo’a pada waktu-waktu penting-dalam hal ini adalah waktu penentuan nasib janin- tetapi fase perkembangan janin dianggap sebagai peristiwa penting, sehingga mereka berinisiatif melakukan ritual (berdoa) dengan harapan janin yang mencapai usia 4 bulan mendapatkan keberkahan. Tentang penentuan waktu dalam tahapan penciptaan manusia, tokoh masyarakat Banyuurip berpendapat bahwa tahapan perkembangan janin di dalam kandungan ibu adalah 40 hari pertama berupa sperma, kemudian 40 hari berikutnya berupa segumpal darah dan 40 hari kemudian berupa segumpal daging, jadi total 120 hari sama dengan 4 bulan, pendapat ini tidak hanya hasil dari telaah dan pemahaman tokoh masyarakat terhadap hadits proses penciptaan manusia, namun juga didasarkan kepada beberapa kitab turats di dantaranya adalah kitab Majalisussaniyyah Majlisu rabi’ (al-Hijazi,tt:16). Di dalam kitab Majalisus Saniyyah dijelaskan sebagai berikut: إﻋﻠﻤﻮا إﺧﻮا وﻓﻘﻰﻨ اﷲ وإﻳﺎﻛﻢ ﻟﻄﺎﻋﺘﻪ أن ﻫﺬااﺤﻟﺪﻳﺚ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻈﻴﻢ ﺧﺮج ﻣﻦ ﺑﻦﻴ ﺷﻔ اﺠ اﻟﻜﺮﻳﻢ ﻋﻠﻴﻪ أﻓﻀﻞ اﻟﺼﻼة وأزﻰﻛ اﻟﺘﺴﻠﻴﻢ ﻗﺎل اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ر )ﻗﻮ إن:إﻰﻟ أن ﻗﺎل..... (اﷲ ﻋﻨﻪ )ﺣﺪﺛﻨﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻰﻠ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﺣﺪﻛﻢ( ﺑﻤﻌﻰﻨ واﺣﺪﻛﻢ وﻗﻮ )ﺠﻳﻤﻊ( ﺑﺎﻛﻨﺎء ﻟﻠﻤﻔﻌﻮل)ﺧﻠﻘﻪ ﻰﻓ ﺑﻄﻦ أﻣﻪ أرﺑﻌﻦﻴ ﻳﻮﻣﺎ ﻧﻄﻔﺔ( أي ﻳﻀﻢ وﺤﻳﻔﻆ ﻣﺎء ﺧﻠﻘﻪ وﻫﻮ اﻤﻟﺎء ا ى ﺨﻳﻠﻖ ﻣﻨﻪ ﻰﻓ ذﻟﻚ اﻟﺰﻣﻦ )ﺛﻢ ﻳﻜﻮن( ﺑﻌﺪ أم ﺎﻛن ﻧﻄﻔﺔ )ﻋﻠﻘﺔ( وﻰﻫ ﻗﻄﻌﺔ دم ﺟﺎﻣﺪ )ﺛﻢ ﻳﻜﻮن
256
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 244-260
ﻣﻀﻐﺔ وﻰﻫ ﻗﻄﻌﺔ ﺤﻟﻢ ﺻﻐﺮﻴة ﻗﺪر ﻣﺎ ﻳﻤﻀﻎ )ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ( اﻤﻟﺬﻛﻮر وﻓﻴﻬﺎ ﻳﺼﻮرﻫﺎ اﷲ ﺗﻌﺎﻰﻟ وﺠﻳﻌﻞ ﻬﻟﺎ ﻓﻤﺎ وﺳﻤﻌﺎ وﺑﺮﺼا وأﻣﻌﺎء وﻏﺮﻴ ذﻟﻚ ﻣﻦ اﻷﻋﻀﺎء ﺛﻢ إذا ﺗﻤﺖ (وﺻﺎر اﺑﻦ ﻣﺎﺋﺔ وﻋﺮﺸﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ )ﻳﺮﺳﻞ اﻤﻟﻠﻚ Artinya: “Ketahuilah Wahai Saudaraku, semoga Allah memberikan petunjuk kepadaku dan kepada kalian semua untuk taat kepada Nya. Hadits ini (tentang penciptaan manusia) adalah hadits yang agung derajatnya yang berasal dari lisan Nabi yang mulya. Abdullah bin Mas’ud RA berkata, Rasulullah SAW bersabda……(sampai dengan perkataan Mushannif kitab). Sabda Rasulullah (Sesungguhnya salah seorang di antara kalian) maksudnya adalah setiap diri kalian. Sabda Rasulullah (Dikumpulkan) dengan menggunakan kalimat pasif (ciptaanya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah)maksudnya air sperma dikumpulkan dan dijaga dalam masa empat puluh hari (kemudian) setelah itu menjadi (segumpal darah)sepotong darah yang bergumpal kemudian berubah menjadi sekerat daging dalam waktu yang sama yaitu empat puluh hari. Pada masa itu Allah telah membentuk beberapa bagian tubuh seperti mulut, pendengaran penglihatan dan perut serta anggota tubuh lainnya. kemudian ketika penciptaan itu sempurna dan janin telah berusia 120 hari (diutuslah malaikat). Penentuan usia janin seperti pemahaman masyarakat di atas, menurut penulis bersesuaian dengan banyak syarah hadits yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Kalaupun terdapat perbedaan tentang proses penciptaan manusia, maka hal itu disebabkan luas dan tidaknya penjelasan tersebut. Penggunaan nash hadits “penciptaan manusia” di atas sebagai dasar tradisi ngapati oleh masyarakat Banyuurip bukanlah satu-satunya dalil. Menurut sebagian sumber menyebutkan bahwa sebenarnya di dalam al-Qur’an juga terdapat firman Allah surat al-A’raf ayat 189 yang berbunyi: ﻫﻮ ا ي ﺧﻠﻘﻜﻢ ﻣﻦ ﻧﻔﺲ واﺣﺪة وﺟﻌﻞ ﻣﻨﻬﺎ زوﺟﻬﺎ ﻟﻴﺴﻜﻦ إ ﻬﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﺗﻐﺸﺎﻫﺎ ﻤﺣﻠﺖ ﻤﺣﻼ ﺧﻔﻴﻔﺎ ﻓﻤﺮت ﺑﻪ ﻓﻠﻤﺎ أﺛﻘﻠﺖ دﻋﻮا اﷲ رﺑﻬﻤﺎ ﻟﻦﺌ آﺗﻴﺘﻨﺎ ﺻﺎﺤﻟﺎ ﺠﻜﻮﻧﻦ ﻣﻦ اﻟﺸﺎﻛﺮﻳﻦ Artinya: “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung
“Ngapati” dalam Tradisi Masyarakat Banyuurip (Hasan Su’aidi)
257
kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".(QS. Al-A’raf: 189). Tradisi ngapati yang dilakukan oleh masyarakat Banyuurip kota Pekalongan tidak hanya didasari oleh satu tujuan, yaitu pentingnya masa pertumbuhan dan penentuan nasib janin saja. Namun, tradisi tersebut erat dengan amal sedekah yang dibagikan kepada masyarakat sekitar, sebagai rasa syukur terhadap karunia yang telah dianugerahkan ole Allah SWT. Sebagaimana yang diketahui, bahwa tradisi ngapati seringkali diadakan dalam bentuk selamatan dengan mengundang warga sekitar, kemudian warga yang hadir secara bersama membaca do’a-d’oa tertentu demi kebaikan janin yang dikandung oleh sang calon ibu. Sedekah yang mereka lakukan pada saat Ngapati diiringi dengan keyakinan bahwa sedekah dapat menolak bala’. Keyakinan seperti ini nampaknya tidak bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah SAW antara lain yang terdapat di dalam kitab Ibnu Abi ad-Dunya. Kitab Qadla’ al-Hawaij. Di dalam Hadits di atas secara inplisit menjelaskan bahwa sedekah bisa berupa apa saja, tidak harus dilakukan dengan memberikan sesuatu yang sifatnya kebendaan. Hadits tersebut juga menjelaskan bahwa sedekah atau perbuatan baik, dapat menghindarkan seseorang dari tujuh puluh macam bencana, bahkan sedekah dapat menghindarkan seseorang dari akhir hidup yang tidak baik (Su’ al-Khatimah). KESIMPULAN Tradisi yang berkembang di masyarakat terkadang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, baik yang dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi masyarakat -sebab seringkali masyarakat yang agamis dalam menyikapi masalah tertentu berbeda dengan masyarakat awam, masyarakat yang sejahtera berbeda dengan masyarakat yang mayoritas penduduknya kekurangan dan seterusnya- maupun resepsi masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama yang bersumber dari al-Qur`an maupun hadits. Demikian halnya dengan penyikapan tradisi yang ada di tengah masyarakat, terkadang di masyarakat masyarakat tertentu tradisi itu ditolak mentah-mentah, tetapi di dalam komunitas masyarakat lainnya dapat diterima dengan baik.
258
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 244-260
Masyarakat Banyuurip kota Pekalongan adalah masyarakat agamis, yang ramah dan terbuka dengan beragam tradisi, termasuk didalamnya adalah tradisi ngapati. Penerimaan mereka terhadap tradisi ini dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa menurut mereka pada dasarnya Islam itu merupakan agama yang didefinisikan sebagai hukumhukum yang ditetapkan oleh Allah melalui perantara seorang nabi, Islam memang bukan budaya dan juga bukan tradisi, akan tetapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti budaya dan tardisi. Bahkan ketika suatu budaya dan tradisi yang telah berjalan di masyarakat tidak dilarang dalam agama. Maka dengan sendirinya menjadi bagian dari syariat Islam. Contoh yang dapat menjelaskan hal ini adalah bahwa di dalam Al Qur’an terdapat firman Allah “Khudzil ‘afwa wa’mur bil ‘urfi” bahwa makna “urf” adalah tradisi yang baik, berarti dalam ayat ini Allah memerintahkan nabi Muhammad SAW agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf segala hal yang baik. Islam datang untuk menyempurnakan tradisi, Rasulullah pernah bersabda yang artinya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia”. Masyarakat Banyuurip kota Pekalongan meyakini bahwa di dalam banyak tradisi yang berkembang di masyarakat seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur dan Islam pun datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu kita dapati beberapa hukum syariat dalam Islam yang diadopsi dari tradisi jahiliyyah seperti hukum qasamah, diyat, nadzar menyembelih orang, persyaratan kafaah, akad qiradl/bagi hasil, dan tradisi-tradisi lainnya, dalam jahiliyyah sudah ada, yang baik diteruskan. Demikian halnya dengan tradisi ngapati, bagi masyarakat Banyuurip, tradisi tersebut sejalan dengan ajaran agama Islam (hadits), kalaupun tidak ada satupun nash (dalil) yang menunjukkan disyariatkannya tradisi tersebut, namun ketika mereka menyadari bahwa masa 4 bulan atau 120 hari adalah masa-masa penting di dalam fase perkembangan janin, ditambah dengan penjelasan Rasulullah di dalam hadits tersebut tentang 4 perkara yang ditentukan setelah usia kandungan mencapai 120 hari, maka mereka melakukan kegiatan atau upacara dengan bertujuan agar janin yang dikandung sang ibu menjadi keturunan yang sesuai dengan harapan. Nampaknya apa yang dilakukan oleh masyarakat Banyuurip dengan tradisi ngapati adalah bentuk penyikapan mereka terhadap hadits Nabi Muhammad SAW (living hadits). Dapat pula dikatakan bahwa
“Ngapati” dalam Tradisi Masyarakat Banyuurip (Hasan Su’aidi)
259
mereka melakukan kreasi terhadap teks hadits, kemudian diimplementasikan dalam bentuk tindakan dalam hal ini adalah tradisi ngapati. Paling tidak terdapat tiga hadits yang sering kali dijadikan dasar sebagai tradisi ngapati oleh masyarakat Banyuurip. Hadits pertama adalah hadits tentang proses penciptaan manusia yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud. Hadits kedua adalah hadits tentang sedekah yang diriwayatkan oleh beberapa perawi dengan beragam redaksi, antara lain riwayat Bilal, Ibnu Abi ad-Dunya (hadits mauquf) dan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar. Hadits ketiga adalah hadits tentang doa yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Ketiga kelompok hadits tersebut, oleh masyarakat Banyuurip diimplementasikan di dalam acara tradisi ngapati. Hadits pertama menginspirasi perlunya tradisi ngapati dilakukan. Hadits kedua diimplementasikan dalam suguhan yang diniatkan sebagai sedekah untuk kebaikan janin dan hadits ketiga diimplementasikan dalam doa yang diyakini dapat menghindarkan seseorang dari mara bahaya dan dapat menghindarkan janin dari ketentuan (qadla’) yang jelek. DAFTAR PUSTAKA al-Baihaqi. Tt. as-Sunan al-Kubra. Dar al-Kutub. al-Hijazi, Ahmad bin as-Syaikh. tt. Majalisu as- Saniyyah Fi al-Kalam Ala al-Arba’in an-Nawawiyyah, Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi. al-Ja’fi, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Abu Abdillah al-Bukhari. Tt., Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr. al-Naisaburi, Muhammad bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi. Tt. Shahih Muslim Beirut: Dar Ihya al-Turats. al-Sulaimi, Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmidzi, tt. Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya` al-Turats. At-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu al-Qasim. 1983. alMu’jam al-Kabir Mosul: Maktabah al-Ulum wal Hikam. Data Monografi Kelurahan BanyuuripKecamatan Pekalongan Selatan Kota Peklongan tahun 2014. Endaswara, Suwardi. 2012. Agama Jawa Menyusuri Jejak Spiritualitas Jawa. Yogyakarta: Lembu Jawa Hanbal, Ahmad bin. 1999. Musnad Ahmad bin Hanbal. Riyadl: Muassasah ar-Risalah. Munawwir, AW. 2000. Almunawwir Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif.
260
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 244-260
Padmopuspito, Asia. Tt. Teori Resepsi dan Penerapannya dalam Jurnal Diksi Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi Perspektif Muhammad alGhazali dan Yusuf al-Qaradhawi (Yogyakarta: Teras, 2008) Suryadilaga, M. Alfatih. 2007. Model-Model Living Hadits dalam Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Metode Penelitian Living Qur`an dan Hadits, Yogyakarta: TH-Press. Suwito NS. 2007. Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa dalam Jurnal Ibda`, Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto. Syahyuthi. Konsep dan Teori Sosiologi Pengetahuan. Artikel dari blog kuliah sosiologi.blogspot.com Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan terj. Hairussalim HS, Yogyakarta: LkiS.