TRADISI DALAM DIMENSI WAKTU: ANALISIS PERUPA NASIRUN DAN KARYANYA DALAM DINAMIKA SENI RUPA INDONESIA Sarah Monica1 Tony Rudyansjah2 Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Abstract The research subject in this thesis is Nasirun, a painting artist from Yogyakarta. The focus of the issues originated from him is how the world of tradition from Nasirun’s past experiences, not only serves as the source of inspiration for his creations, but also influences his character building and everyday life practices in the span of his lifetime. It means, for Nasirun, tradition is not a past legacy frozen in its era, but always brought in different dimension of time, through the actualization in the forms of his paintings and his daily practices. The process continuity of tradition from the past to present realities finally positions Nasirun in the dynamics of Indonesian art. Keyword: Actualization; Continuity; Dimension of Time; Practice; Tradition.
Abstrak Subjek penelitian di dalam penulisan ilmiah ini merupakan seorang perupa Yogyakarta bernama Nasirun. Fokus permasalahan yang diangkat dari beliau, yakni bagaimana dunia tradisi dari pengalaman masa lampau Nasirun, tidak hanya berperan sebagai sumber inspirasi bagi penciptaan anak karyanya, melainkan juga memengaruhi pembentukan karakter dan praktik di kehidupannya dalam rentang waktu yang terus berjalan. Artinya, bagi Nasirun tradisi bukanlah sebagai warisan masa silam yang beku di dalam zamannya, namun selalu dibawa dalam dimensi waktu yang berbeda, melalui aktualisasi dalam wujud lukisan dan praktik kesehariannya. Proses kontinuitas tradisi yang berjalan dari periode lampau sampai realitas kekinian tersebut, pada akhirnya mampu memosisikan Nasirun di dalam dinamika seni rupa Indonesia. Kata Kunci: Aktualisasi; Dimensi Waktu; Kontinuitas;.Praktik; Tradisi. 1 2
Mahasiswi Antropologi angkatan 2008. Pembimbing.
1 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
Latar Belakang Gairah berkesenian, tidak hanya dihidupkan oleh pesona imajinasi dan getar fantasi dari kreativitas senimannya, namun juga harus memiliki landasan refleksi terhadap berbagai peristiwa yang dialami dalam realitas mereka. Landasan itu sebagai kunci untuk memasuki lorong pemaknaan atas gagasan yang terkandung dalam simbolisasi karyanya. Namun demikian, proses refleksi yang bermain pada tataran nalar (rasio), tidak cukup untuk mampu melahirkan “jiwa” pada suatu karya. Refleksivitas, perlu diimbangi oleh intensitas (pendalaman) rasa terhadap kualitas realitas atas segala peristiwa yang dialami. Sehingga, pengalaman bukanlah sesuatu yang dipikirkan dan berada di luar diri yang mengalami, melainkan lebur menubuh dalam subjek, melalui proses penghayatan. Dengan alur imanensi semacam itu, lukisan sebagai hasil karya seni, akan memancarkan “jiwa” dari kedalaman batin dan pikiran seniman yang melahirkannya––“Seni sebagai jiwa kethok”, begitu istilah pelukis S.Sudjojono. Dunia pengalaman yang diarungi oleh tiap seniman tentunya berbeda dalam segi ruang, waktu, praktik sosial, cara pandang, sistem nilai, dan sebagainya, sehingga pengetahuan yang tercipta dari masing-masing seniman pun menjadi multi bentuk dan varian. Pengetahuan yang terpahat dalam diri seniman tersebut tidak lantas hanya menjadi kerangka berpikir dan senjata analisis untuk membedah, serta memaknai fenomena kehidupannya, melainkan juga sebagai praxis yang mengaktualisasikan abstraksi pengetahuan tersebut dalam manifestasi konkret. Dalam hal ini, antara idealisme dengan materialisme,
atau
antara
gagasan
dengan
praktik,
dipertemukan,
menghasilkan proses dialektik dalam reproduksi pengetahuan. Proses dialektik, memungkinkan pengetahuan yang dilahirkan dari pengalaman, di sisi lain turut pula membentuk pengalaman tersebut dalam bentangan ruang dan dimensi waktu yang lain. Pada seniman, lebih tepatnya senirupawan, pengetahuan yang berasal dari rahim pengalaman hidupnya, diaktualisasikan
2 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
melalui anak karyanya; menjadi gudang inspirasi yang memberi bentuk pada wajah lukisannya. Sebagaimana seniman lainnya, perupa Nasirun memiliki latar belakang pengalaman yang melahirkan pengetahuan pada dirinya. Pengetahuan kehidupan yang menjadi ladang inspirasi bagi proses kreatif dan pembentukan karakternya. Dunia masa lampau Nasirun, yang merupakan dimensi waktu dimana seluruh pengalaman hidupnya pernah berlangsung, bukanlah dunia yang hanya mengendap dalam lembah memorinya, tapi juga dunia yang diciptakan dalam lukisannya. Dengan kata lain, bagi Nasirun, lukisan ialah gambaran life history dalam masa silamnya yang direpetisi. Meskipun berupa bentuk repetisi, kelampauan yang dihidupkan kembali lewat visualisasi karyanya, tidak pernah melepaskan denyut pertaliannya dengan realitas kekinian. Tapi sejauh mana kedua dimensi waktu tersebut saling memengaruhi? Hal itu yang akan dikaji dalam penulisan ini.
Permasalahan Perupa Nasirun—subjek yang dikaji dalam penelitian ini, memiliki rangkaian pengalaman hidup sebagai bekal dari masa silamnya. Bekal yang kemudian mampu memahat simbolisasi dan komponen artistik pada manifestasi anak karyanya. Aspek mendasar dari latar belakang pengalaman hidup Nasirun, adalah bahwa pengalaman tersebut terikat erat bahkan lebur dalam dunia tradisi. Tradisi menjadi sistem nilai, gagasan kosmologi, cara pandang, filsafat hidup, sekaligus kerangka berperilaku yang membingkai seluruh pola kehidupan masyarakat di desanya; dari praktik sosial, ritual religi, mitos, organisasi kekerabatan, sampai kesenian lokal. Dengan demikian, antara tradisi dan pengalaman berlangsung hubungan saling jalin-kelindan dengan proses pembentukan karakter pada sosok Nasirun dan estetika karyanya di dalam perjalanan dimensi waktu. Hal inilah yang menjadi fokus dalam permasalahan penelitian penulis.
3 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
Bahwa lukisan --sebagai suatu karya seni-- tidak pernah terlepas dari pertautan dengan sang seniman yang telah melahirkannya, itu benar. Namun seringkali kritik seni rupa di Indonesia hanya menyayat lapisan luar dari karya tersebut, yakni lapisan visual yang sifatnya sangat tekstual, semata membahas pada dimensi estetika dan materialitas karya (bahan dan teknik pengolahan). Padahal, sisi menarik justru terletak pada bagaimana lukisan tersebut berhasil menjelma sebagai buah ekspresi manusia. Sehingga tentunya ada jalinan gagasan, pengalaman, serta pesan moral yang saling merajut di dalamnya sebagai latar belakang penciptaan sebuah karya. Antropologi—sebuah ilmu yang mempelajari manusia pada pola dan praktik berperilaku yang teraktualisasikan dari sistem pengetahuan di dalam kognisi, dalam posisi ini menjadi kunci penting untuk menjelajahi lapisan makna di balik perwujudan karya seni, berupa lukisan. Sehingga, penelitian penulis yang mengkaji soal seni rupa ini bertujuan untuk memahami kaitan antara karya dan senimannya, dengan cara menelusuri aspek life history yang menjembatani keduanya di dalam suatu dimensi waktu.
Tinjauan Teoritis Di dalam seni, seniman bukan hanya sekadar memaknai kehidupannya dengan suatu perspektif tertentu, melainkan juga menyerapnya di kedalaman batin yang kemudian berhasil mengolah dan menuangkannya pada wujud baru. Hal itu dinamakan dengan pengalaman estetis. Cassirer mengungkapkan bahwa pengalaman estetis sarat dengan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas yang tidak ditangkap oleh pengalaman inderawi sehari-hari. Dalam karya seni, kemungkinan-kemungkinan itu dijadikan aktual, diangkat ke permukaan dan diberi bentuk tertentu (Cassirer 1990:219). Sebab ia tidak mampu ditangkap oleh pengalaman inderawi, proses kerja estetis lebih bersumber pada gejolak arus batin manusia yang mengolah berbagai warna emosi serta rasa melalui penghayatan. Inilah yang membuat suatu karya belum dapat disebut sebagai karya seni yang utuh (berkarakter) bila pada
4 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
perwujudannya
ia
hanya
melewati
lorong-lorong
pemikiran,
belum
mengendap pada keluasan labirin perasaan. Tanpa itu, pesona suatu karya seni tidak akan pernah menggetarkan. Proses kreatif Nasirun melalui luapan ekspresi yang ditumpahkan pada kanvasnya, merupakan suatu penerjemahan pengalaman estetis ke dalam ranah simbol. Simbol yang teraktualisasikan melalui komposisi bentuk, lengkung garis, gurat warna, maupun efek cahaya di dalam bidang lukisannya, mengandung hasil pencerapan Nasirun atas realitas yang dialami. Hasil pencerapan tersebut meliputi kerja impresi, apresiasi, refleksi, dan interpretasi. Dengan demikian simbol dalam hal ini, menjadi wadah yang berisi jalinan pemaknaan dari segala proses kontemplasi dan penghayatan terhadap berbagai fenomena realitas dalam kehidupannya. Namun, tentu saja tidak semua fenomena diapresiasi dan direfleksikan Nasirun, kecuali fenomena-fenomena dimana ia pernah begitu larut di dalamnya. Sehingga tiap sudut dari pengalaman dalam fenomena tersebut, masih tetap hidup di ruang ingatannya dari waktu ke waktu. Dan bagi seorang perupa Nasirun, memorial yang selalu menghantui kehidupannya berkutat pada fenomena pengalamannya di dunia tradisi. Tradisi memang identik dengan masa lampau, tapi bukan berarti dimaknai sebagai “produk” masa lampau semata. Ia menjadi identik karena tersusun dari seperangkat nilai yang dihayati secara turun-temurun oleh sekelompok masyarakat tertentu, sehingga dalam hal ini tradisi menjadi bagian dari kebudayaan. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila berbicara mengenai tradisi, maka berbicara pula mengenai “akar budaya”. Namun demikian, banyak terjadi kesesatan bahwa tradisi seolah-olah dianggap menjadi produk masa lampau yang untuk menjaga keluhurannya harus dibekukan dalam wujud “aslinya”, ibarat menonton peninggalan purbakala yang dimasukkan ke dalam kotak kaca dan disimpan di dalam sebuah museum, itulah pandangan umum mengenai tradisi. Artinya, bahwa tradisi
5 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
tersebut diupayakan pelestariannya dalam rupa yang tidak berubah dari awal penciptaannya, menjadi statis, tereksklusi dari perkembangan zaman. Hal yang demikian bukanlah tradisi, melainkan convention (Hobsbawm, 1988: 3) dimana nilai-nilai tradisi merupakan sebuah objek statis (menjadi tradisional) yang diadaptasikan pada ruang dan waktu yang berbeda tanpa mengubah bentuk awalnya. Pengertian tradisi yang lebih bisa disepakati penulis ambil dari konsep ‘invention tradition’ oleh Eric Hobsbawm: ‘Invented tradition’ is taken to mean a set of practices normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values or norms of behavior by repetition which automatically implies continuity with the past (Hobsbawm, 1988: 1).
Di dalam kesenian lukis yang dilakoni oleh Nasirun, ia mencoba menghadirkan kembali sifat-sifat simbolik dunia masa lampaunya ke dalam gubahan anak karyanya. Tradisi yang dihayati Nasirun dari pengalaman masa kecilnya, dibawa menjadi medium ekspresi pada lukisan-lukisannya, entah itu dalam bentuk wayang, batik, aneka dolanan (permainan) rakyat, mitos dan dongeng, dan sebagainya. Di dunia kanvasnya, semua elemen tradisi tersebut direkonstruksi ulang melalui ruang ide dan fantasinya sehingga menghasilkan wajah ekspresi baru yang tidak meninggalkan relevansinya dengan permasalahan masa kini dimana ia tengah bergelut, yakni fenomena-fenomena modernitas dengan kapitalisme sebagai salah satu anak kandungnya. Dari penghayatan masa lalu dan pemaknaan masa kini itulah dialog itu berlangsung, menciptakan kembali tradisi-tradisi. Bahwasanya karakter Nasirun --melalui manifestasi dalam karya dan praktik berperilaku-- adalah benar terbentuk dari rangkaian panjang pengalaman hidupnya di masa lampau. Sehingga secara tidak langsung hal itu menyebabkan Nasirun hidup di dalam dua dimensi waktu berbeda, dimana dunia tradisi yang menjadi sejarah personalnya menegaskan periode waktu linier dan progresif, tapi di sisi lain juga menciptakan sistem waktu siklis ketika tradisi tersebut menjadi arketipe yang dikomunikasikan dengan
6 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
peristiwa kekinian, untuk kemudian dihidupkan kembali (diaktualisasikan) ke dalam rupa lukisan dan perilaku kehidupannya. Peleburan dua dimensi waktu tersebut, membuat dunia tradisi Nasirun tidak semata mengalami proses regenerasi lewat aksi pengulangan yang statis, melainkan dinamis karena kontinuitas yang dibangun tidak pernah terlepas dari pertautannya dengan realitas masa kini.
Metode Penelitian Dalam melakukan proses penulisan ilmiah ini, penulis menggunakan data ‘etnografi’. Perolehan data etnografi pada studi kasus individu, dilakukan dengan cara menggali aspek life history dari dunia masa lampaunya, yang kemudian direlasikan secara lebih luas dengan konteks kekinian terkait proses kreatif, praktik perilaku, relasi dan institusi sosial di dalam kehidupan keseharian individu tersebut. ‘Ethnography’ coming to refer to an integration of both first-hand empirical investigations and the theoretical and comparative interpretation of social organization and culture (Hammersley and Atkinson, 2007: 1).
Objek penelitian dalam data etnografi ini ialah seorang perupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1994, bernama Nasirun. Ia bertempat tinggal di daerah Bayeman, Desa Bantul, Yogyakarta. Oleh sebab dalam melakukan kerja lapangan, seorang etnografer membuat kesimpulan budaya berdasarkan tiga sumber yang diperoleh dari informannya, yakni (1) Dari apa yang dikatakan; (2) Dari cara bertindak; dan (3) Dari artefak yang digunakan atau dihasilkan orang (Spradley, 1972: 11), maka data etnografi ini penulis peroleh dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam untuk meneliti sosok Nasirun, serta metode semiotika visual untuk mengurai pemaknaan dari anak karyanya. Ketiga metode penelitian tersebut, ditambah pula dengan studi literatur untuk memperkaya gagasan dan konsepsi teoritik mengenai persoalan yang dikaji dalam penulisan ilmiah ini.
7 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
Observasi dan wawancara mendalam penulis lakukan selama kurun waktu hampir dua bulan dengan tiga periode waktu antara Maret-April, Juni, dan Oktober 2012. Melalui observasi atau pengamatan langsung dari semua kunjungan yang pernah dilakukan, penulis berhasil mengumpulkan data mengenai aktivitas sehari-hari Nasirun, proses kreatif, pola dan bentuk relasinya dengan keluarga, teman, kolega, kolektor, peminat, maupun pengamat
karya
lukisnya.
Sedangkan
data
wawancara,
penulis
memperolehnya dari istrinya (Suparti atau biasa dipanggil dengan “Ibu Ilah”), teman-temannya, komunitas seniman dimana ia terlibat (Sanggar Bambu), serta tentu saja wawancara yang paling mendalam dan intens adalah dengan Nasirun sendiri, mengingat sumber utama dari penulisan ini ialah kehidupannya yang mencakup masa lalu (life history), masa kini (daily everyday life), dan konsepsinya mengenai masa depan. Demi memperkaya data dan gagasan penulisan, penulis pun melakukan studi literatur dari berbagai buku, majalah, koran, jurnal, serta katalog pameran. Tidak luput pula internet sebagai sumber tambahan data terkait berupa website dan blog. Fokus penelitian penulis yang tidak hanya mengkaji diri (sosok) Nasirun, namun beserta anak-anak karyanya --karena mau tidak mau keduanya saling terkait makna satu sama lain-- menyebabkan penulis dalam kegiatan etnografi ini juga melakukan observasi ke berbagai koleksi lukisan dan karya rupa Nasirun yang berada di studio lukisnya dan beberapa pameran, baik secara langsung maupun yang sudah terdokumentasikan dalam katalog (Pameran Ulang Tahun Sanggar Bambu, Koleksi dan Ulang Tahun ke73 Oei Hong Djien, Pameran Seni Rupa Kolektif “Slenco”, Pameran Tunggal “Uwuh Seni”, dsb). Pemahaman atas makna dari berbagai karya tersebut tidak dapat dilakukan hanya melalui cara melihat dan mengamati saja, melainkan dengan
meminjam
konsep
semiotika
visual
sebagai
metode
untuk
membongkar dan mengurai sistem simbol atau tanda (semiosis) yang termaktub di dalam lukisan-lukisan Nasirun.
8 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
Penulis pun mengambil tiga buah contoh karya Nasirun --dua lukisan dan satu karya rupa tiga dimensi-- bukan dalam kategori karya terbaik, namun sekiranya dapat menjelaskan proses aktualisasi pengalaman tradisi Nasirun dalam periode kesenimanannya di rentang waktu yang terus berjalan; yakni antara lain lukisan “Ngilo” (2009), “Larut dalam Warna” (1997), serta karya seni rupa “Lampion” (2009). Tiga karya tersebut akan dianalisis lebih lanjut, demi menjawab pertanyaan penelitian dalam penulisan ilmiah ini.
Tradisi, Pengalaman, dan Karakter: Membaca Anak Karya Nasirun 1. Lukisan “Ngilo”
Gambar 1: Lukisan “Ngilo” (150x300 cm; mixed media on canvas; 2009)
Lukisan “Ngilo” atau “Bercermin” ialah salah satu karya lukis Nasirun yang dipamerkan pada pameran tunggalnya di Sangkring Art Space, Yogyakarta pada September-Oktober 2009. Karya yang dibuat di tahun 2009 ini merupakan wujud persembahan untuk mengenang mendiang ibunya yang telah wafat pada tahun 2006. Pameran tunggalnya yang berjudul “Salam Bekti” (Doa Kebajikan) 3 memang dihaturkan untuk almarhum kedua orang tuanya, terutama sang ibu yang meninggal tepat 1000 hari yang lalu. Bila menggunakan analisis semiotika visual pada karya lukis Nasirun di atas, gambar wayang golek yang disandingkan dengan sebuah cermin oval 3
Katalog pameran tunggal Nasirun “Salam Bekti” (28 September-12 Oktober 2009) di Sangkring Art Space, hlm. 16.
9 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
di sebelahnya dapat diartikan bahwa wayang dalam kebudayaan Jawa dan Sunda memiliki persamaan fungsi dengan cermin, yakni merupakan alat refleksi diri. Sebagaimana cermin yang mampu menampakkan baik dan buruknya penampilan manusia, wayang pun demikian halnya. Namun bukan dalam bentuk penampakan fisik, melainkan penampakan nurani yang berada pada lapisan karakter yang berbeda dari tiap manusia. Karena pada pertunjukan lakon wayang, beraneka-ragam karakter dari tokoh-tokoh wayang sesungguhnya menampilkan aneka rupa karakter manusia pada kehidupan yang real. Wayang golek yang digambarkan oleh Nasirun itu menjadi bentuk ikonik dari ibunya. Dan siluet (bayangan) Nasirun yang tidur menghadap kedua benda tersebut, berusaha untuk menerjemahkan posisi dirinya sebagai orang yang selalu bercermin dari karakter dan perilaku hidup ibunya. Sang ibu adalah inspirator dalam kreativitas, falsafah, dan sikap hidup Nasirun. Menjadi Other
4
yang sangat memengaruhi karakter Nasirun dalam mengarungi
kehidupannya. Sehingga secara tidak langsung beliau menjadi medium refleksi atau cermin filosofis yang selalu membingkai cara pandang dan perilaku hidup Nasirun. Sisi peleburan tradisi dan modernitas pada ranah visual yang dirupakan lukisan Nasirun, ialah bahwa ornamen wayang golek yang digunakan olehnya mewakili piranti tradisi. Tapi ornamen tersebut dikreasikan dengan ornamen lain, yakni ‘heels’ (sepatu hak tinggi) yang hanya ada pada dunia modern. Sedangkan pada ranah filosofis penciptaan karya, simbolisasi makna dari lukisan “Ngilo” menjelaskan bahwa kelahiran karya tersebut terinspirasi dari pengalaman masa lampau Nasirun yang dikaitkan dengan konteks kekinian dimana dirinya mengenang sosok sang ibu. Sebuah lukisan, sebagaimana 4
“Lacan’s ‘Other’ (with a capital ‘O’) is the ‘great other’ is whose gaze the subject gains identity [Ashcroft, Griffiths and Tiffin 1999: 169-71]. That Other can be embodied in close subject, such as father or mother, or it can refer to unconscious itself.” (Andre Gingrich, Conceptualising Identities, hlm. 10).
10 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
karya seni lainnya, merupakan wujud impresi dan refleksi dari pengetahuan dan pengalaman individu. Jadi warisan nilai “refleksi” yang diperoleh dan diserap oleh Nasirun dari kehidupan masa lampau ibunya, tidak hanya menjadi pengetahuan, sistem nilai, dan gagasan kreatif yang dimanifestasikan dalam wujud karya lukisnya, tetapi juga senantiasa direproduksi melalui aktualisasi tindakan dan perilaku hidup sehari-hari. 2. Lukisan “Larut dalam Warna”
Gambar 2: Lukisan “Larut dalam Warna” (145x145 cm; oil on canvas; 1997)
Jejak awal kebesaran nama Nasirun di kancah seni rupa Indonesia, bermula dari prestasinya memperoleh penghargaan Philip Morris Award tahun 1997. Lukisan yang memenangkan penghargaan tersebut ialah “Larut dalam Warna”. Inspirasi ide yang dituangkan Nasirun dalam rupa lukisan “Larut dalam Warna” diperolehnya dari satu fenomena politik Indonesia yang sedang hiruk-pikuk melangsungkan pemilu presiden bulan Mei 1997. Komposisi warna hijau, kuning, dan merah yang membias latar tengah dari bidang lukisannya merepresentasikan partai politik 1997 yang saat itu bersaing memperebutkan singgasana presiden, yakni secara berturut-turut PPP, Golkar, dan PDI. Namun demikian, dominasi politik dan kontrol pemerintahan otoriter
11 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
Orde Baru melalui partai berkuasa Golkar, memuncakkan kemarahan rakyat. Indonesia saat itu mengalami politik yang chaos, terjadi demonstrasi mahasiswa di banyak tempat sebagai aksi penolakan terhadap rezim yang berkuasa saat itu. Fenomena pertarungan politik yang disaksikan Nasirun pada tahun 1997, merupakan suatu kepingan (fragmen) pengalaman dari rentang kehidupan masa silamnya. Saat itu, ketajaman intuisinya sebagai seniman dengan cepat menangkap fenomena tersebut sebagai benih dari inspirasinya. Dari hasil refleksi dan intensitas penghayatannya, Nasirun menemukan satu cetak ulang dari peristiwa masa lampau --dalam kosmologi wayang-- yang hadir kembali melalui femonena pergolakan politik 1997. Fenomena tersebut baginya, laksana pertempuran Bharatayudha di ‘Palagan Kurukshetra’
5
dalam epos klasik Mahabharata. Bahwa pada pertempuran tersebut, ada dimensi ketakdiran yang mengharuskan siapapun untuk ikut berperang demi menghancurkan dominasi kejahatan dan ketidakadilan. Pertempuran perlu dilakukan sebagai usaha untuk mengembalikan tatanan kosmik agar kembali pada kondisi teratur dan harmonis. Dalam cerita wayang, perang selalu meletus karena faktor moralitas semacam itu yang menyadur dari prinsip kosmologi. Pada pemaparan analisis semiotik di atas, peleburan tradisi dalam dimensi waktu di lukisan Nasirun dapat dipahami berdasarkan penciptaan kembali epos wayang klasik (Ramayana dan Mahabharata) melalui pantulan dari persoalan realitas modern (pergulatan pemilu 1997) yang dihadapi oleh Nasirun pada saat itu. Nasirun merefleksikan dunia kekiniannya pada dunia pewayangan yang telah diciptakan jauh di masa lampau. Antara ‘yang kini’ dengan
‘yang
lampau’
pada
pengalaman
Nasirun,
selalu
memiliki
pertautannya dan dikongkretkan lewat bahasa lukisannya. Sosok raksasa dan 5
‘Palagan Kurukshetra’ adalah medan luas dimana peperangan antara balatentara Pandawa dan Kaurawa berlangsung di dalamnya sampai titik darah penghabisan. (Nyoman S. Pendit, Mahabharata, 2003).
12 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
figur wayang lainnya, menjadi piranti tradisi, sedangkan tentara menjadi piranti kekinian; keduanya dihadirkan dalam dimensi waktu dan medan pertarungan yang sama, terbekukan abadi dalam citra karyanya. 3. Karya Rupa “Dian Kurung”
Gambar 3: Karya Rupa “Dian Kurung” (6 panel; 250x150 cm; acrylic on fiber, lamp, wood; 2009)
Kehidupan masa kecil dan remaja Nasirun dihabiskannya di desa kelahirannya, Doplang, Cilacap. Pada periode tersebut, ia mengalami perayaan lebaran yang sangat bercorak lokalitas. Malam menjelang lebaran di desanya selalu dimeriahkan oleh pembuatan lampion beragam ukuran, bentuk, warna, serta motif di setiap rumah warga. Lampion yang dalam istilah lokal bernama “Dian Kurung” tersebut, dipajang di bale atau ruang tamu rumah. Memorial Nasirun akan suasana kreativitas yang meriah dan hangat pada malam takbiran semacam itu menjelma menjadi berkah inspirasi bagi salah satu buah karyanya. Maka lahirlah sebentuk karya rupa “Dian Kurung” sebagaimana ditampilkan pada gambar di atas.
13 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
Pada tiap sisi lampion yang berbentuk segi empat dalam enam panel, Nasirun melukiskan siluet atau bayangan dirinya sedang mengendarai sepeda dengan membonceng salah satu punakawan yang berbeda pada tiap sisinya. Wujud gambar tersebut dituangkan Nasirun dari satu fragmen kenangannya saat bersekolah SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) di Yogyakarta. Saat itu Nasirun tinggal di sebuah surau, kala subuh ia mengayuh sepeda menuju sekolahnya di Karangmalang, lalu sepulangnya dari sekolah langsung menuju daerah Gunang Tulis-tempel untuk bekerja menanam padi agar dapat tetap makan sehari-hari. Selain itu ia juga ingin menampilkan suatu gambaran akan perjalanan hidup yang tengah ditempuhnya. Rute kehidupan manusia, bagi Nasirun adalah sebuah perjalanan panjang berliku yang berbeda-beda antara manusia satu dengan yang lain. Tapi perjalanan hidup apapun yang akan dilalui oleh manusia, perlu berpedoman pada visi dan nilai-nilai filosofis tertentu, agar perjalanannya menjadi terarahkan. Maka gambar wayang punakawan yang dibonceng pada lukisannya merupakan simbol bahwa ada ajaran filosofis yang terkandung di dalam wayang sebagai warisan tradisi, harus terus dibawa sebagai pedoman bagi pelaku perjalanan. Sosok pengendara sepeda yang diekspresikan pada bidang lampion menampilkan wujud siluet Nasirun sendiri, hal itu mengejawantahkan bahwa ia sebagai subjek yang mengalami perjalanan hidup tersebut dengan menjadikan aspek wayang (punakawan yang dibonceng) sebagai pedoman visinya. Dalam karya ini, Nasirun lagi-lagi membawa piranti lokalitas dari cakrawala masa silamnya ke dimensi waktu masa kini. “Dian Kurung” hadir sebagai upaya Nasirun untuk merespons peristiwa lebaran (hari raya Idul Fitri) yang ia alami di wilayah perkotaan Yogyakarta. Aroma kerinduan akan nostalgia kehidupannya di waktu lalu, menyebabkan Nasirun menciptakan sendiri bangunan masa lampaunya melalui karya “Dian Kurung,” dimana pengalaman lampau itu ia ekspresikan. Dalam konteks ini “Dian Kurung” merupakan produk polingenesis yang berfungsi memanggil kembali ‘roh’ -nilai-nilai tradisi dalam pengalaman-- masa lampaunya ke dalam struktur
14 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
waktu masa kini, sebagai cara untuk menafsirkan dan mengevaluasi pengalaman aktualnya melalui perangkat tradisi.
Pengalaman dan Dimensi Waktu: Posisi dalam Dinamika Seni Rupa Indonesia Pengalaman merupakan hasil sebuah proses dimana manusia mengarungi langsung berbagai peristiwa dalam realitas kehidupannya; menyiratkan bagaimana dirinya terjun ke dalam kawah fenomena melalui pencerapan inderawi, yang kemudian diolah oleh sistem penalaran. Rasio atau nalar manusia berfungsi menjembatani subjek dengan realitas, sehingga apa yang dialami dapat diterjemahkan ke dalam pemahaman manusia. Pada akhirnya, proses pemaknaan terhadap realitas berdasarkan pengalaman, melahirkan seperangkat gagasan atau pengetahuan personal yang lahir dari ruang dan waktu dimana pengalaman tersebut berlangsung. Namun dalam proses kreatif seorang seniman, suatu pengalaman tidak hanya diserap dan dimaknai berdasarkan “kuasa” rasionya semata, melainkan juga melibatkan dimensi penghayatan dari kedalaman batinnya yang memungkinkan dirinya dapat tenggelam dalam intensitas dan kualitas rasa. Hal ini penting bagi kegiatan berkesenian untuk menghasilkan suatu penciptaan karya seni, agar memiliki nilai “jiwa” dengan aroma estetika yang khas dan bernas. Pelukis Nasirun memiliki rentang panjang pengalaman masa silam yang dijadikan olehnya sebagai fondasi inspirasi kreatif dan imajinatif bagi buah karyanya. Pengalaman miskin hidupnya tapi lekat --bahkan larut-- dalam berbagai kesenian lokal seperti wayang, lengger, jonjangan; serta mitos dan ritual misalkan “misteri sumur beji”, jabel, barit, kebak, merupakan warisan hidup yang terus Nasirun jaga. Caranya dengan mengeluarkan mitos, ritual, dan seni tradisi tersebut dari endapan ingatan masa silamnya untuk dihidupkan kembali dalam ekspresi visual lukisannya. Praktik semacam itu menegaskan bahwa apa yang menjadi esensi dari penciptaan karya seni seorang seniman
15 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
melalui proses kreatifnya6 adalah jalinan pengalaman-pengalaman hidupnya, dan seberapa besar karya dan sosoknya bergantung pada seberapa besar ia menggeluti berbagai peristiwa dalam pengalamannya tersebut. Lukisan -terlepas dari kandungan estetisnya-- dengan kata lain merupakan ‘catatan sejarah’ dari peristiwa-peristiwa yang pernah dialami oleh seniman; Peristiwa dari persetubuhan pengalaman kelampauan dan kekiniannya. Periode waktu silam ketika Nasirun mengalami dunia tradisi --dalam tontonan wayang, lengger, membatik, dongeng dan mitologi, praktik ritual lokal-- merupakan rangkaian ingatan yang begitu berkesan, menjadi ‘sejarah’ personal bagi dirinya. Suatu peristiwa masa lalu dikatakan sebagai sejarah apabila ia diberi nilai/harga oleh individu yang menjalani. Peristiwa tersebut ditarik dari daftar panjang kejadian-kejadian lain yang pernah dialami, kemudian diletakkan dalam satu kamar pikiran dimana peristiwa tersebut senantiasa diingat dan dimaknai oleh individu dalam rentang waktu kehidupan ia selanjutnya. Hal ini sejalan dengan konsepsi waktu modern yang bersifat linier dan progresif. Waktu modern terbentang oleh berbagai macam peristiwa (event) yang dijadikan sebagai momen penandaan; momen yang membedakan antara durasi waktu satu dengan yang lainnya, sehingga waktu pun menjadi nyata karena ada pembagian peristiwa yang telah berlangsung (masa lalu), sedang berlangsung (masa kini), dan belum berlangsung (masa depan). Progresivitas dalam waktu modern, menyebabkan waktu berjalan maju, selalu mengacu lurus pada masa depan. Masa lampau dimaknai sejauh pada ingatan yang bertransformasi menjadi sejarah, untuk kemudian digunakan sebagai medium reflektif pada realitas kehidupan kini dan yang akan datang. Dengan demikian, pengalaman akan dunia tradisi Nasirun secara tidak langsung menjadi kesadaran historis bagi dirinya. Dan dunia tradisi itu sendiri, merupakan “model of” atau model pemahaman (Geertz, 1973: 93-94) yang 6
‘Proses Kreatif’, ialah usaha menata atau mencipta sesuatu berdasarkan komposisi pola, bentuk, warna, dan corak tertentu, mengacu pada konsepsi estetik/keindahan yang berbedabeda tiap orang.
16 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
selalu memolakan ornamen visual Nasirun menjadi suatu “model for” (model penggunaan) dalam rupa lukisannya. Perlu ditekankan berulang kali bahwa dunia tradisi yang merupakan esensi pengalaman masa lalu Nasirun, memang selalu dihidupkan kembali pada lukisannya, namun penghidupan (kongkretisasi) itu bukan semata-mata aksi repetitif dari kelampauannya, melainkan juga hasil komunikasi dan peleburannya dengan permasalahan sosial, kultural, politik, dari periode kekinian Nasirun. Sebab tradisi tidaklah berupa aspek kehidupan manusia yang statis, sebaliknya justru hasil dialektik dari berbagai dinamika waktu. Tradisi di karya lukis Nasirun dalam hal ini menjadi kontinuitas dari kehidupan lampaunya, sebagaimana yang telah dipaparkan pada analisis tiga karya di atas, dan juga wujud transformasi karena peleburannya dengan realitas hidup kekinian. Korelasi antara pengalaman tradisi, karakter, dan karya berhasil membentuk prinsip berkesenian seorang Nasirun. Prinsip tersebut mampu mengantarkannya ke posisi signifikan dalam dinamika seni rupa Indonesia. Empat faktor yang menjadi kriteria pokok dalam prinsip berkesenian Nasirun antara lain bahwa (1). Seniman perlu menghargai tradisinya sebagai akar budaya yang akan mewarnai sistem pengetahuan, gagasan kreatif, pandangan hidup, dan pedoman berperilaku; (2). Memiliki karakter kuat pada karya dan kepribadiannya; (3). Membangun sistem dan jaringan sosial yang luas; serta (4). Kebebasan dan komitmen dalam berproses kreatif. Komitmen penuh pada prinsip-prinsip tersebut --terlepas dari adanya prinsip lain yang mungkin belum tercakup dalam pengetahuan penulisan ini-- membuat karya Nasirun dapat menanjak ke tataran pasar seni rupa nasional-regional, dan melebar ke ranah kebudayaan lain. Sehingga meskipun namanya sering diserang dari mulai boom seni rupa periode 1997 dan 2000, perekonomiannya tetap stabil, tidak tergoyahkan dalam pasang-surut permainan “goreng-menggoreng” harga di pasar seni rupa sebagaimana yang banyak menimpa senirupawan lainnya.
17 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
Selain itu sensasionalitas Nasirun dalam proses kreatif (misal, jelebret art) dan lewat kepribadiannya yang senang berguyon dan anti-teknologi, secara tidak langsung menjadikan Nasirun sebagai api wacana yang tidak pernah padam.
Kesimpulan Berbagai pengalaman lampau Nasirun dalam dunia tradisi tidak hanya menjadi cakrawala inspirasi bagi kelahiran anak karyanya, namun di sisi yang lain juga menjadi pilar pengetahuan yang membentuk karakter dan sikap hidupnya. Pengetahuan yang diaktualisasikan dari pengalaman tersebut, baik secara langsung maupun tidak, juga sangat dipengaruhi oleh warisan nilai kearifan dan filosofi kehidupan dari mendiang ayah dan ibunya, baik dalam aspek spiritual, kultur, maupun sosial. Semua ini kemudian mengukir cara pandang dan sikap hidup Nasirun dalam praktik kesehariannya. Relasi sosial, kehidupan keluarga, proses kreatif, prinsip berkesenian, sampai strategi berbisnis, seluruhnya diwarnai oleh warisan nilai tersebut. Menjadi modal penting yang pada akhirnya mengantarkan posisi stabil Nasirun di dalam dinamika seni rupa Indonesia, yang tentu saja mencakup ranah pasar kesenian nasional dan regional. Melalui historisitas atau kesadaran sejarahnya, Nasirun sesungguhnya hidup pada dimensi waktu linier yang memfragmentasikan peristiwa-peristiwa ke dalam durasi ketika peristiwa itu berlangsung (masa lampau, masa kini, atau masa depan). Akan tetapi bagaimana ia memanggil ‘”roh” masa lampaunya untuk dimaterialisasikan atau dihidupkan kembali melalui tindakan dan simbolisasi karyanya; melakukan proses repetisi dari dunia tradisi sehingga terus bereinkarenasi dalam wujud baru (transformasi), menunjukkan bahwa Nasirun juga hidup dalam dimensi waktu sirkular (siklikal). Dimensi waktu yang menjadikan masa lampaunya sebagai arketipe (model of) dari pembentukan (model for) bangunan kehidupan dalam periode waktu yang lain, menandakan bahwa ada suatu rute kehidupan yang terus mengalami pengulangan abadi, realitas yang terjadi sekarang atau yang akan datang
18 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
hanyalah bentuk kontinuitas dari kelampauannya. Nasirun dengan demikian berdiri di atas persilangan dua dimensi waktu (temporalitas) berbeda yang keduanya berhasil dileburkan oleh dunia tradisi.
Kepustakaan Buku Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006
Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.
Bachtiar, Harsja Wardhana., Peter Carey, dan Onghokham. 2009
Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indië dan Nasionalisme. Jakarta: Komunitas Bambu.
Budiman, Kris. 2011
Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Cassirer, Ernest. 1990
Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia.
Eliade, Mircea. 2002
Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Geertz, Clifford. 1973 The Interpretation of Culture. New York: Basic Books Inc. 1983 Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Hammersley, Martyn., dan Paul Atkinson. 2007
Ethnography: Principles in Practice (Third Edition). New York: Routledge.
19 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013
Hobsbawm, Eric. 1992
“Introduction: Inventing Traditions”, dalam E. Hobsbawm dan T. Ranger (peny.) The Invention of Tradition Cambridge. Great Britain: University Press. Hal. 1-14.
Langer, Susanne Katherina. 1948
Philosophy in a New Key: A Study In The Symbolism of Reason, Rite, and Art. The New American Library.
Peursen, Cornelis Anthony van. 1988
Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Rudyansjah, Tony. 2009
Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
2011
Alam, Kebudayaan, dan Yang Ilahi: Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori-teori Sosial Budaya. Depok: Titian Budaya.
Siregar, Aminudin TH., dan Enin Supriyanto. 2006
Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan. Jakarta: Nalar.
Yuliman, Sanento. 2001
Dua Senirupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta: Yayasan Kalam.
Novel Pendit, Nyoman Suwandi. 2003
Mahabharata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sindhunata. 2010
Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Katalog 28 Sep-12 Okt 2009 Pameran Tunggal Nasirun “Salam Bekti” di Sangkring Art Space, Yogyakarta.
20 Tradisi Dalam..., Sarah Monica, FISIP UI, 2013