TRADISI ADU KABAU DI KENAGARIAN BATU PALANO KECAMATAN SUNGAI PUA KABUPATEN AGAM Sumarni
Abstrak Tradisi adu kabau dahulu merupakan sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Salah satu daerah yang melakukan tradisi ini adalah Nagari Batu Palano di Kecamatan Sungai Pua Kabupaten Agam, di sini tradisi adu kabau biasanya dilaksanakan setiap akhir pekan. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah proses tradisi adu kabau di Kenagarian Batu Palano? Serta Apa isi mantra dan pasambahan dalam tradisi adu kabau di Kenagarian Batu Palano? Adapun tujuan dari masalah ini adalah Mendeskripsikan proses tradisi adu kabau di Kenagarian Batu Palano serta mentranskripsikan isi mantra dan pasambahan dalam tradisi adu kabau di Kenagarian Batu Palano Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam metode kualitatif peneliti menanyakan langsung kepada informan mengenai hal yang diteliti. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: observasi, penentuan informan, wawancara, dan analisis pengolahan data. Hasil yang di peroleh dari penelitian ini adalah mengenai prosesi tradisi adu kabau, dari awal sampai akhir tradisi. Proses tersebut diawali dengan ritualritual yang dilakukan oleh janang yaitu malimaui (memandikan), mamirek, mandesoi (membacakan mantra) kerbau, serta mamagai galanggang. Dalam tradisi adu kabau juga terdapat tradisi lisannya yaitu pada mantra-mantra maupun pasambahannya. Mantra merupakan puisi tertua dalam sastra Minangkabau, dan dipercayai memiliki kekuatan magis di dalam setiap katanya. Mantra pada tradisi adu kabau menggunakan bahasa Minang dan memiliki nilai-nilai Islam dalam diksi yang digunakan. Pasambahan merupakan seni berbicara dalam setiap upacara adat yang diperuntukkan untuk menyampaikan maksud dan rasa hormat serta tanda kebesaran. Kata kunci: Tradisi, adu kabau, janang, mantra, pasambahan
Pengantar Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam etnis, setiap etnis memiliki tradisi yang berbeda-beda sebagai identitas dari etnis yang bersangkutan. Salah satu etnis yang ada di Indonesia adalah etnis Minangkabau.
1
Dalam praktiknya tradisi di Minangkabau juga mengandung unsur-unsur animisme dan dinamisme. Meskipun, masyarakatnya dikenal sebagai penganut Islam yang taat, tetapi unsur animisme dan dinamisme masih dapat ditemui sampai sekarang, apalagi dalam tradisi yang bersifat keduniawiaan. Menurut Koentjraningrat (1985: 5) tradisi merupakan bentuk jamak dari adat istiadat, yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberikan arah terhadap kelakuan serta perbuatan manusia dalam bermasyarakat. Selanjutnya, dikatakan bahwa dalam bertradisi, biasanya tergambar bagaimana masyarakat bertingkah laku dalam hal yang bersifat duniawi dan juga hal yang bersifat gaib, sakral dan keagamaan. Sejalan dengan itu, Esten (1993: 110) mengatakan bahwa tradisi adalah kebiasaan turun temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilainilai budaya masyarakat bersangkutan. Tradisi yang terdapat pada sebuah sistem tentunya terikat pada ketentuan-ketentuan, tatanan dan aturan yang berlaku di masyarakat sekitarnya, sedangkan tatanan atau aturan itu terjadi dalam fenomena kelisanan. Salah satu tradisi yang masih ada dalam masyarakat, terutama masyarakat Minangkabau adalah adu kabau. Menurut tambo, tradisi adu kabau diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu. Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mencadangkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan mengeluarkan seekor kerbau yang besar dan ganas. Rakyat setempat hanya mengeluarkan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan tanduk yang telah dipasang besi runcing. Didalam peraduan, si anak kerbau yang kelaparan tidak sengaja merodokan tanduknya di perut kerbau yang besar tadi untuk mencari susu untuk meghilangkan kelaparannya. Kerbau yang besar tersebut mati karena mengalami luka yang lebar di perutnya. Dari sinilah tradisi adu kabau tersebut muncul dan menjalar keseluruh daerah yang ada di Sumatera Barat termasuk di Kenagarian Batu Palano Kecamatan Sungai Pua Kabupaten Agam.
2
Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana metode kualitatif menurut Danandjaja (dalam Endraswara, 2009: 222) menghendaki adanya pemaparan kata-kata atau kalimat dan tidak menggunakan angka-angka statistik. Dalam bidang budaya dikenal dengan metode etnografis, yang artinya: pemaparan budaya rakyat dengan memperhatikan aspek-aspek etnografis, dimana dalam paham etnografis yang paling utama adalah wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan dokumentasi.
1. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi Teknik ini dipakai dalam rangka mempelajari daerah penelitian, mencari informasi mengenai kapan, dan di mana tempat pernah berlangsungnya tradisi adu kabau, yang akan dijadikan objek penelitian, selain itu observasi ini juga bertujuan untuk menentukan atau mencari tahu siapa kiranya orang yang bisa dijadikan responden dalam penelitian. Ketentuan ini didasarkan pada orang tersebut yang sudah berpengalaman, dan mempunyai jabatan tradisional.
b. Penentuan Informan Informan ada dua macam, yaitu informan kunci dan informan biasa. Informan kunci adalah figur yang memegang peranan penting dalam tradisi lisan, penulis akan mewawancarai janang dari tradisi adu kabau. Yang kedua informan biasa, yaitu mewawancara orang yang mengerti hal-hal mengenai tradisi adu kabau, seperti penduduk lokal.
c. Wawancara, Perekaman, serta Pencatatan
3
Wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara yang tidak terarah, dimana wawancara seperti ini lebih natural dan dapat dilakukan dimana saja. Peneliti lebih bebas menanyakan apa saja yang berkaitan dengan objek (Endaswara, 2009: 153). Wawancara dilakukan terhadap informan yang terlibat langsung dalam tradisi adu kabau ini, seperti janang adu kabau yang merupakan sumber utama dalam tradisi adu kabau, serta pemilik kerbau yang biasa mengikutsertakan kerbaunya dalam tradisi ini. Teknik perekaman bertujuan untuk mengumpulkan data tentang tradisi adu kabau, mulai dari awal sampai akhir prosesi tradisi tersebut, kemudian hasilnya ditranskripsikan. Transkripsi diusahakan benar-benar berdasarkan
apa
yang
diucapkan,
setelahnya
barulah
data
ditransliterasikan. Teknik perekaman disini menggunakan alat rekam yang terdapat pada handphone. Pencatatan dilakukan dengan menyajikan data hasil dari perekaman dan wawancara dalam bentuk tulisan atau melakukan transkripsi yaitu mengalih ejakan data secara apa adanya, setelah itu data yang ditransliterasikan.
2. Penyajian Analisis Data
Penyajian analisis data dilakukan setelah dilakukan pencatatan data. Data yang ada dianalisis berdasarkan unsur-unsur yang terdapat dalam tradisi tersebut. Data yang sudah dianalisis akan dituliskan dalam bentuk skripsi.
4
TRADISI ADU KABAU Walaupun secara temporal tidak dapat dipastikan kapan tradisi adu kabau itu lahir dan muncul, namun tradisi tersebut telah lama dipertunjukkan oleh masyarakat Minangkabau khususnya di Nagari Batu Palano secara turun temurun. Menurut Isal St. Bagindo, tradisi adu kabau di Nagari Batu Palano merupakan emrio dari tradisi adu kabau yang ada di nagari asa (asal) yaitu Nagari Pagaruyuang. Tradisi ini menyebar keseluruh daerah darek karena dibawa oleh orang-orang yang pindah dari sana. Sejak saat itu adu kabau menjadi sebuah tradisi rutin yang diadakan disetiap acara-acara besar yang menyangkut tentang Alek Nagari (pesta Nagari), seperti Baralek Datuak (pengangkatan penghulu), pengangkatan Wali Nagari, dan pendapat ini pun di amini oleh beberapa informan lainnya. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tradisi Adu Kabau Proses yang harus dijalani oleh pemilik kerbau pada tradisi adu kabau adalah menemui seorang janang yang ingin dimintai sebagai janang kerbau mereka. Guna menemui janang ini adalah; pertama, untuk menentukan waktu hari yang tepat untuk mengadu kerbau, kedua menentukan atau mencarikan lawan yang tepat, ketiga untuk memberikan ritual-ritual khusus ke pada kerbau, dan yang terakhir untuk mendampingi kerbau saat berada di galanggang adu kabau. Mencarikan lawan untuk kerbau yang akan diadu merupakan perkara hal yang tidak mudah bagi janang, sebab janang harus melihat karakteristik kerbau lawan yang akan diadu dengan kerbau yang sedang dia pegang. Karakteristik kerbau yang dilihat oleh janang adalah dari segi fisik seperti bentuk tanduk kerbau lawan, bentuk tubuh, dan kemenangan yang pernah didapatkan oleh kerbau lawan. Janang juga melihat daftar kerbau yang sudah didaftarkan oleh pemilik kerbau yang lain ke panitia dan meremukkan dengan janang yang memegang kerbau yang lain tersebut.
5
Tempat yang biasanya digunakan untuk adu kabau adalah sebuah lapangan atau galanggang yang ada di Nagari Batu Palano. Galanggang (lapangan) ini terletak di depan sebuah SD Negeri 09 Simpang III dan juga berseberangan dengan kantor Wali Nagari Batu Palano. Lapangan tersebut juga berada di tepi jalan, sehingga memudahkan akses bagi penonton yang bukan berasal dari Batu Palano. Galanggang ini merupakan sebuah tempat yang paling nyaman bagi penonton, karena dilengkapi tempat duduk dibagian pinggir yang mengelilingi lapangan. Dalam tradisi kultural Minangkabau, kehadiran galanggang atau medan nan bapaneh merupakan sesuatu keniscayaan di setiap nagari-nagari. Galanggang merupakan ruang artikulasi dan ekspresi anak nagari. Galanggang juga ruang mengasah mental dan karakter. Galanggang adalah pertahanan terakhir adat dan budaya Minangkabau (Haridman dan Atos Haluan 2012). Galanggang
memang
memiliki
peran
penting
dalam
perjalanan
kebudayaan Minangkabau. Galanggang bukan semata ruang berkumpul, tapi juga untuk belajar dan menuntut ilmu adat dan agama, mengasah kepekaan, dan melanjutkan kebudayaan itu sendiri. Setiap nagari harus memiliki galanggang yang dimanfaatkan untuk kegiatan seni budaya anak nagari. Di dalam struktur nagari, sudah ada tempat yang jelas bagi tumbuh dan berkembangnya kesenian (budaya) anak nagari. Pelaku Tradisi Adu Kabau Niniak Mamak Niniak mamak adalah laki-laki dari suatu kaum yang telah dituakan dan menjadi tempat: baiyo dan bamolah (bertanya dan bermusyawarah), walaupun dia masih muda, namun dituakan karena sifat-sifat mulia yang dipunyai mereka; apakah mereka alim ulama, cerdik pandai, pemuka masyarakat, petani, ataupun pejabat, makanya sering kita dengar sebutan di Minangkabau dalam pidato-pidato di depan masyarakat; sebutan ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, nan
6
gadang basa batuah (yang besar serta bertuah). Ada ninik mamak pemangku adat, seperti: Imam khatib, pemuka agama, labai dan pandito, tugas tertentu sebagai penghubung. Rang tuo adat adalah mamak-mamak yang sudah tua yang telah pensiun yang masih tetap dimintai pendapatnya dan dihormati.
Janang Janang adalah seseorang yang menjadi wasit dalam tradisi adu kabau. Janang diangkat dari setiap suku yang ada di Nagari Batu Palano, yaitu Suku Koto, Sikumbang, Pisang, Malayu/ Panyalai. Pengangkatan tersebut dilakukan dengan cara bermusyawarah oleh Niniak Mamak dari berbagai suku termasuk di dalamnya Niniak Mamak dari Nagari yang juga mengadakan adu kabau di Luhak Agam dan Tanah Datar. Calon janang resmi dilantik dan diangkat menjadi janang setelah dilakukan musyawarah. Janang yang diangakat tidak boleh sembarangan orang, karena sebelum seseorang dipilih menjadi janang dia harus memiliki tiga kriteria khusus, yaitu: pertama cadiak (cerdas), kedua pandai bamasyarakai’ (bisa bermasyarakat), ketiga amauah ka nan rami (bisa bergaul di mana saja). Janang yang diangkat dipilih sendiri oleh janang sebelumnya, dan tidak boleh merupakan dari keluarga dekat seperti anak atau kamanakan kontan (kemenakan kandung) dari janang tersebut.
Panitia tradisi Adu Kabau Panitia
sekelompok
orang
yang
ditunjuk
atau
dipilih
untuk
mempertimbangkan atau mengurus hal-hal yg ditugaskan kepadanya. Panitia memiliki anggota-anggota berupa organisasi yang berlainan. Dalam tradisi adu kabau panitia adalah orang yang bertanggung jawab menghendel semua acara, dari awal dan sampai akhir tradisi diadakan. Panitia pada tradisi adu kabau bertanggung jawab atas keamanan saat tradisi diadakan. Panitia adu kabau juga bertanggung jawab terhadap kerbau yang diadu, sebab seandainya kerbau mengalami nan tigo (yang tigo) yaitu: patah tanduak, patah kaki, dan mato tabudua (mata keluar), panitia sudah harus
7
menyiapkan dana untuk mengganti kerbau tersebut dengan uang sesuai dengan harga yang telah disepakati oleh panitia dan pemilik kerbau.
Perlengkapan Tradisi
Dalam perlengkapan tradisi adu kabau, yang perlu dilengkapai oleh janang adalah hal-hal yang dapat melindunginya dari serangan janang lain, dengan menggunakan ritual-ritual yang harus mereka jalani, yaitu: a. Perlengkapan atau benda-benda yang digunakan janang sebelum kerbau diadu: 1. Berbagai macam jenis asam (jeruk), bunga rampai, air yang berasal dari beberapa sumur atau bak wudhu Masjid yang digunakan untuk malimaui (memandikan) kerbau. 2. Bara panas, kumayan (kemenyan) yang digunakan untuk membaca mantra. 3. Berbagai
jenis
obat-obatan
seperti;
bodrex,
paramex,
neuropiron, telur ayam kampung, lado mangka (cabe yang hampir merah), serta segenggam tanah galanggang (lapangan) yang digunakan untuk pirek kerbau. b. Perlengkapan panitia: 1. Microphone digunakan oleh panitia untuk mengomentari apa saja hal tentang kerbau yang sedang diadu. 2. Buku atau kertas di meja panitia yang berisi tentang nama, berat, dan riwayat kemenangan kerbau. c. Perlengkapan janang: 1. Baju yang digunakan janang terserah apa yang ingin mereka pakai, tetapi biasanya berwarna gelap. 2. Deta, yaitu kain batik persegi empat yang digunakan janang sebagai penutup kepala mereka. 3. Tali digunakan sebagai pengikat kerbau saat mereka lari.
8
4. Pisau biasanya hanya digunakan sebagai pemutus tali atau hanya pajangan pinggang saja.
Pelaksanaan Tradisi Malimaui Kabau (memandikan kerbau) Pada dasarnya balimau merupakan proses membersihkan tubuh untuk menyambut bulan suci Ramadhan oleh masyarakat Minangkabau yang telah menjadi tradisi. Balimau dilakukan dengan cara mandi dari sumber air alami menggunakan limau (berbagai macam jeruk) sebagai sabunnya karena pada jaman dahulu tidak ada sabun, maka buah limau digunakan karena memiliki sifat membersihkan lemak, minyak dan keringat. Bahkan ada pula yang menambahkan ramuan pewangi alami yang terdiri dari daun pandan, dan bunga kenanga yang menghasilkan aroma yang harum. Balimau saat ini tidak hanya dilakukan oleh manusia saja, tetapi apapun benda atau hewan yang dianggap keramat akan dilimaui. Bedanya kalau seandainya manusia memakai kata balimau, sedangkan kepada benda atau hewan menggunakan diksi dilimaui (dimandikan/disucikan) karena mereka tidak bisa melakukan hal tersebut sendiri. Mamirek Kabau Mamirek adalah memberikan suplemen khusus yang disiapkan oleh janang untuk kerbau yang akan diadu. Mamirek atau yang berasal dari kata pirek merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam proses adu kabau. Pirek merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh janang untuk memberikan makanan untuk sumangaik (semangat) kerbau. Bahan-bahan yang digunakan untuk mamirek kerbau adalah: obat-obatan yang biasa dikosumsi manusia untuk menyembuhkan sakit ringan seperti Neuropiron, Bodrex, Paramex. Obat-obatan tersebut memberikan rasa gelisah kepada kerbau. Setalah itu, selanjutnya meramu pirek dari bahan-bahan seperti, aie batu lado, lado katia’ langkok, lado mangka tujuh buah, dan telur ayam
9
kampung, serta segenggam tanah galanggang, bahan tersebut dapat menimbulkan efek panas dalam tubuh kerbau. Semua bahan tersebut dicampurkan pada makanan dan diberikan tiga hari berturut-turut sampai kerbau akan diadu.
Mandesoi (membacakan jampi atau mantra) Mandesoi (memantrai) pada tradisi adu kabau di Nagari Batu Palano digunakan oleh seorang janang kepada kerbau yang dia pegang. Mantra dibacakan pada saat kerbau telah selesai dilimaui dan dipirek. Hal ini berguna bagi kerbau supaya tidak mendapatkan serangan mantra dari pihak lawan dan lari saat pertandingan berlangsung.
MANTRA DAN PASAMBAHAN TRADISI ADU KABAU
Mantra Mantra merupakan puisi yang tertua dalam sastra Minangkabau dan dalam berbagai bahasa daerah lainnya. Puisi ini diciptakan untuk mendapatkan kekuatan gaib dan sakti. Dalam mantra tercermin kepercayaan masyarakat yang menggunakan mantra itu, yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat lama percaya bahwa benda-benda tertentu mempunyai kekuatan magis, kekuatan luar biasa yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan pembaca mantra (Djamaris, 2001: 10). Mantra adalah bentuk bahasa yang dipakai sebagai alat penghubung antara yang membutuhkan dengan yang dibutuhkan atau yang memberi kebutuhan. Di dalamnya berasimilasi unsur bahasa di satu pihak dengan unsur kepercayaan di lain pihak. Karena itu dalam mantra terdapat dialog, tetapi dialog itu hanya datangnya dari satu pihak (dialog sepihak) yang ukurannya ditentukan oleh jalan pikiran orang yang sepihak itu pula (Tamsin, 1988:19). Dalam mantra Minangkabau, tercermin nilai-nilai ke Islaman yang dapat dicermati melalui diksi yang digunakan. Djamaris (2002: 13) menjelaskan bahwa setelah agama Islam masuk di Minangkabau, mantra masih digunakan dan
10
disempurnakan oleh tukang mantra dengan menambahkan kata atau nama-nama yang lazim digunakan dalam agama Islam. Diksi-diksi itu antara lain adalah bismillahirrahmanirrahim, Allah, Muhammad, lailahaillah, malikiyaumiddin, Jibril, Mikail, dan lain sebagainya. Dalam mantra Minangkabau, hampir semua mantra diawali dengan lafaz “Bismillahirrahmanirrahim”. Berikut mantra yang dibacakan oleh janang: “Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa aali Ibrahiim ,wa alaa aali Ibrahiim Wabaarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa aali Ibrahiim wa ‘alaa aali Ibrahim fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid” Sariarun namo kumayan aku tumbuah di kalang batang japuik roh di Sambilan Puluah Sambilan bukik amuah den suruah den sarayo kok anyuik tolong pintehikKok karam tolong sialami kok indak den sumpahi dengan ayat al-Qur’an kateh ndak bapucuak ka bawah ndak baurek di tangah dilarek kumbang Barakaik Laa illahaa iilaullah. Pasambahan Pasambahan merupakan salah satu jenis sastra lisan Minangkabau yang khas. Dalam arti umum, pasambahan adalah seni berbicara dalam upacara adat di Minangkabau.
Membicarakan
pasambahan
berarti
berbicara
tentang
menyampaikan maksud dan tujuan tertentu dalam bentuk pantun dan prosa lirik. Pasambahan memiliki bahasa teratur dan berirama, serta dikaitkan dengan tambo (sejarah) Minangkabau yang bertujuan untuk menyampaikan maksud, rasa hormat dan tanda kebesaran. Bahasa yang digunakan dalam pasambahan mengandung arti tersirat yang merefleksikan budaya Minangkabau “alam takambang jadi guru” (belajar dari alam). Selain itu, pasambahan juga mempunyai arti penting dalam membina hubungan sosial budaya masyarakat untuk mengatur norma-norma dan nilai budaya yang berlaku secara turun-temurun (Djamaris, 2002:43).
11
Sebagai salah satu tradisi yang memiliki nilai estetika, masyarakat perlu melestarikan norma-norma dan nilai budaya yang terdapat pada prosesi pasambahan. Salah satu tradisi yang menggunakan pasambahan sebagai pembuka alek (acara) adalah tradisi adu kabau di Nagari Batu Palano. Pasambahan pada tradisi adu kabau tidak panjang seperti pasambahan baralek datuak (mengangkatan penghulu) atau pasambahan malapeh marapulai di acara pernikahan. Dalam teks pasambahan adu kabau tersebut bentuknya berupa pantun dan prosa liris, prosa liris yaitu prosa yang di dalamnya masih terdengar adanya irama. Bentuk teks ini dapat digolongkan pada puisi lama (sajak). Berikut bentuk prosa liris dalam teks pasambahan adu kabau: Sungguahpun Tuhan nan disambah Karapatanlah nyinyiak jo mamak Nan gadang basa batuah Tampek ambo maantaan sambah Sarapeknyolah tuanku guru-guru Nan alim nan kiramaik Nan baiak nan mulie Tampek ambo manganbalikan salam Sarapeknyolah si alek Nan satampuah samo lalu Sabondong samo suruik Tampek ambo maantakan sambah Artinyo Indak di atok dibilang gala Pambilang ka pa atok Jo sambah di muliekan.
PENUTUP Tradisi adu kabau sudah ada sejak dahulu di Nagari Batu Palano. Kegiatan ini merupakan tradisi rutin yang dilakukan sebagai hiburan disetiap acara-acara besar yang menyangkut tentang Alek Nagari (pesta Nagari), seperti Baralek Datuak (pengangkatan penghulu), pengangkatan Wali Nagari, dan masih banyak lagi lainnya. Terdapat berbagai macam hal-hal yang terkandung pada tradisi ini yaitu pelaku tradisi dan ritual-ritual yang dilakukan sebelum melakukan tradisi adu kabau tersebut. Ritual-ritual yang dilakukan adalah malimaui (memandikan), mamirek, mandesoi (membacakan mantra) kerbau, serta mamagai galanggang.
12
Dalam tradisi adu kabau juga terdapat tradisi lisannya yaitu pada mantra-mantra maupun pasambahannya. Dalam mantra Minangkabau, tercermin nilai-nilai ke Islaman yang dapat dicermati melalui diksi yang digunakan. Mantra yang digunakan menjelaskan bahwa setelah agama Islam masuk di Minangkabau, mantra masih digunakan dan disempurnakan oleh tukang mantra dengan menambahkan kata atau nama-nama yang lazim digunakan dalam agama Islam. Mantra pada tradisi adu kabau juga memakai bahasa Minangkabau dan juga memakai diksi yang berunsur Islami, seperti memakai awalan Basmallah atau memakai Shalawat Nabi. Pasambahan merupakan salah satu jenis sastra lisan Minangkabau yang khas. Dalam arti umum, pasambahan adalah seni berbicara dalam upacara adat di Minangkabau.
Membicarakan
pasambahan
berarti
berbicara
tentang
menyampaikan maksud dan tujuan tertentu dalam bentuk pantun dan prosa lirik. Pasambahan memiliki bahasa teratur dan berirama, serta dikaitkan dengan tambo (sejarah) Minangkabau yang bertujuan untuk menyampaikan maksud, rasa hormat dan tanda kebesaran. Pasambahan pada tradisi adu kabau tidak seperti pasambahan pengangkatan penghulu atau pasambahan pada acara perkawinan, tetapi hanya sekedar kata sambutan kepada niniak mamak yang berada di sana.
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia Ilmu Gosip Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Djamaris, Edwar. 2001. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. _________________. 2009. Metodologi Penelitian Folklor Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
13
Esten, Mursal. 1983. Minangkabau Tradisi dan Perubahan. Padang: Angkasa Raya. Hadler, Jeffrey. 2010. Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta: Freedom Institute Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI. Kato, Tsuyoshi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta Medan, Tamsin. 1988. Antologi Kebahasaan. Padang: Angkasa Raya. Naim, Muchtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Navis, AA. 1984. Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra Teori Metode dan Teknik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rianti, Pramita Rosya. 2011. “Makna Teks Mantra dalam Pengobatan Tradisional Kanagarian Lubuak Basuang Kecamatan Lubuak Basuang Kabupaten Agam”. Skripsi. Padang: Universitas Andalas. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya Suardi, Akil. 2012. “Tradisi Mambayia Kaua dan Pasambahannya di Nagari Pulasan Kecamatan Tanjuang Gadang Kabupaten Sinjunjuang”. Skripsi. Padang: Universitas Andalas Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kambang, Haridman, Atos Indria, 2012, Pertahanan Terakhir Adat http://www.harianhaluan.com/index.php/laporan-utama/16211 Minangkabau, diakses Kamis 10 july 2014 jam 21.17.
14