TRACK: ECONOMICS
919
EVALUASI SIMPAN PINJAM LEMBAGA PNPM MANDIRI PERDESAAN UNTUK MENGURANGI KEMISKINAN (STUDI KASUS DI KABUPATEN BANYUMAS) Oleh : Dijan Rahajuni1) E-mail:
[email protected] 1)
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Jenderal Soedirman
ABSTRACT In order torealize the ideals ofthe Indonesian economy, whichisto advancethe publicwelfare, a series ofeconomic development programshave been implementedby the government, bothinthe Old Order, New OrderandReform Order. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan is one of the poverty alleviation program launched by the government in 2007. PNPM Mandiri Perdesaan is to achieve the welfare and independency of the rural poor. In the economic sector, vision achievement is done by establishing self-help groups or KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) to undertake economically productive activity with stimulus of a revolving loan fund. KSMs which are growing in PNPM MPd are savings groups of women, a group of women who perform economically productive activities and earn a revolving loan fund. Overall PNPM MPD has been able to alleviate the poor from the poverty line, but not on welfare yet, so they need a series of activities to be able achieve the welfare. This is because KSM SPP is widely used by beneficiaries just to get a loan, even beneficiaries will strive to always adhere to the rules of donors (UPK) in order to get the loan in the next period. These conditions lead to dependency and burden for the beneficiaries, because the loans are generally used for consumptive purposes. On the other hand KSM‟s position is merely as mediator between the beneficiary with PNPM manager at the district level (UPK). Therefore, the fund growth is large enough at the UPK level, because the fund at UPK is also from the accumulation of savings and credit services in addition to the government fund. Despite the fact there are also PNPM MPd institution at village level, TPK and KED or KPMD, this institution only works to propose the loan application approval that will be made by KSM.
Keywords : PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Vision, Self-help Groups, UPK, TPK, KED, KPMD
920
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu penyakit ekonomi yang mengkhawatirkan. Hal ini karena kemiskinan dapat membawa dampak pada penurunan kualitas hidup dan kehidupan yang lebih luas seperti kesehatan, kejahatan, dan lingkungan hidup. Tidak hanya di Indonesia yang memprioritaskan program pengentasan kemiskinan, dunia melalui MDGs atau Melenium Development Gools-nya mencanangkan pengurangan jumlah penduduk miskin sampai dengan 50% pada tahun 2015. Program pengentasan kemiskinan di Indonesia sudah dimulai sejak jaman Orde Lama dengan kebijakan ekonomi yang bersifat inward looking melalui nasionalisasi perusahaan asing dan industri subsitusi impor, meskipun dalam pelaksanaannya justru menimbulkan keterpurukan ekonomi. Pada masa Orde Baru dengan kebijakan ekonomi yang bersifat outward looking melalui penekanan sektor pertanian dan industri secara bertahap disertai dengan bantuan luar negeri, telah dapat menurunkan presentase jumlah orang miskin. Selanjutnya Orde Reformasi dengan kombinasi kebijakan inward looking dan outward looking atau disebut double track strategy ditunjang dengan serangkaian strategi pengentasan kemiskinan seperti Raskin, BLM, Jamkesmas, dan PNPM telah dapat mengentaskan kemiskinan. Presentase jumlah penduduk miskin 11,66% pada September 2012 menjadi 11,47% pada tahun 2013, namun demikian perjuangan panjang masih harus di lalui karena target cita-cita Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk itu pada tahun 2007 pemerintah membuat program untuk pengentasan kemiskinan yang diberi nama PNPM Mandiri atau Progam Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang diperuntukan bagi daerah perkotaan dengan PNPM Mandiri Perkotaan (PNPM MP) dan daerah perdesaan dengan PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM MPd). Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Berdasarkan Petu Teknis njuk Operasional (PTO) PNPM MPd tahun 2014, kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada dilingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan dan pengintegrasian pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan. Dalam rangka pencapaian visi, PNPM MPd melibatkan banyak kelembagaan dari pusat sampai dengan sasaran penerima manfaat. Disamping lembaga pemerintah seperti Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupeten, Kecamatan dan Desa juga melibatkan lembaga non perintah dari tingkat pusat sampai dengan daerah, seperti Konsultan Manajemen, Tim Koordinator, Fasilitator Kabupaten, Unit Pengelola Kegiatan, Badan Kerja Sama Antar Desa, Tim Pengelola Kegiatan, Koordinator Ekonomi Desa dan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa, serta kelompok sasaran.
921
Masalah dan Tujuan Penelitian 1. Masalah penelitian Meskipun PNPM MPd telah berjalan selama 7 (tujuh) tahun dan berkembang dengan baik, dibuktikan dengan tingkat perkembangan kelompok dan jumlah dana yang dapat dihimpun dan digulirkan kembali oleh UPK ke kelompok sasaran terus bertambah, namun dalam kenyataannya telah menimbulkan ketergantungan kelompok untuk selalu meminjam kepada UPK. Pemanfaatan pinjaman UPK oleh anggota kelompok sebagian besar digunakan untuk kegiatan konsumtif bukan produktif sebagaimana maksud dan tujuan dari pinjaman dana begulir tersebut (Dijan R, dkk 2009). Dilihat dari peran kelembagaan yang ada di tingkat kecamatan dalam pengelolaan kegiatan pinjaman dana bergulir lebih terfokus pada penghimpunan dan penyaluran dana, di tingkat desa dimana kelompok berada TPK dan KED atau KPMD berperan sebagai legislator keberadaan kelompok (Dijan R dkk 2014). Oleh karena itu perlu untuk dilakukan peninjauan kelembagaan simpan pinjam pada PNPM mandiri perdesaan dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan kemandirian masyarakat miskin. 2. Tujuan penelitian Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kerangka kelembagaan simpan pinjam dana bergulir untuk perempuan dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan kemandirian masyarakat. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode deskiptif kualitatif. Penelitian menggunakan data sekunder, yang diambil dari hasil-hasil penelitian yang telah pernah dilakukan. Metode analisis dilakukan dengan mengkomunikasikan beberapa hasil penelitian, kemudian melakukan sintesa untuk mengambil keputusan.
PEMBAHASAN Landasan Teori a. Pengetian kelembagaan Norman T. Uphoff1 dalam PTO PNPM Mandiri Perkotaan menyatakan perbedaan yang jelas antara Organisasi dan kelembagaan, sebagai berikut: Organisasi adalah struktur peran yang telah dikenal dan diterima. Kelembagaan/pranata adalah serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan atau digunakan selama periode waktu tertentu yang relatif lama untuk mencapai maksud/tujuan bernilai kolektif/bersama atau maksud-maksud yang bernilai sosial. Tipe kelembagaan : 1. Kelembagaan yang bukan organisasi (institutions that are not organizations). 2. Kelembagaan yang juga merupakan organisasi (Institutions that are organizations), dan 3. Organisasi yang bukan kelembagaan (Organizations that are not institutions). 922
Menurut Syahyuti dalam PTO Penguatan Modal Sosial PNPM Mandiri Perkotaan yang dikutip dari http://websyahyuti.blogspot.com/2007/08/kelembagaandanlembaga dalam.html menyatakan beberapa pengertian kelembagaan, yaitu : 1. Kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung modern (Uphoff, 1986). Menurut Horton dan Hunt: “... institution do not have members, they have followers” (Horton dan Hunt, 1984). 2. Kelembagaan dari masyarakat itu sendiri dan organisasi datang dari atas. Tjondronegoro: ”lembaga semakin mencirikan lapisan bawah dan lemah, dan organisasi mencirikan lapisan tengah dengan orientasi ke atas dan kota” (Tjondronegoro, SMP. 1999). 3. Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinum, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga (Uphoff, 1986). Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari Huntington yang menyatakan: “Organization and procedures vary in their degree of institutionalization……Institutionalization is the process by which organizations and procedures acquire value and stability” (Huntington, 1965). 4. Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan (Binswanger dan Ruttan, 1978). Dalam konteks ini, organisasi merupakan organ dalam suatu kelembagaan. Keberadaan organisasi menjadi elemen teknis penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan. 5. Kata “kelembagaan” (Koentjaraningrat, 1997) menunjuk kepada sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Dengan demikian kelembagaan dapat dikatakan sebagai seperangkat nilai yang dijiwai, ditunjukan oleh segenap gerak atau tindakan, dan sikap dari pelaku yang disadarkan atas pemahaman keberadaan, motivasi dan tujuan dari pelaku tersebut baik yang terikat secara formal maupun non-formal. Dalam PTO PNPM MPd menyatakan bahwa PNPM Mandiri Perdesaan melahirkan lembaga pengelola yang cukup banyak, dimana keberadaan lembaga pengelola ini pada umumnya bersifat ad hock atau sementara berkaitan dengan program. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam artikel “Mahfud MD Minta UU Pengadilan Tipikor Direvisi” dalam Adi Condro Bawono,SH,MH dalam www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3810/ dikutip tgl 24-10-2014 “ad hoc itu artinya sejak semua (semula, red) dimaksudkan sementara sampai terjadi situasi normal.” Pendapat Mahfud MD ini sejalan dengan pernyataan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dalam artikel “Hubungan Antara Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945” lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen;. b. Pemberdayaan Menurut Wandersman, 2005 dalam Dijan R, dkk (2014) konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas, sehingga terjadi dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan dikuasai. 923
Untuk membebaskan dari situasi menguasai dan dikuasai, perlu proses pemberdayaan bagi yang dikuasai. Dengan demikian pemberdayaan dapat terjadi karena adanya kesadaran dari pihak yang menguasai dan ataupun karena adanya kepedulian dari pihak luar untuk menginisiasi kedua pihak agar tidak terjadi kondisi kuasa dan menguasai. Pemberdayaan dilakukan karena dalam masyarakat terdapat adanya kesenjangan dalam kepemilikan sumber daya dan juga kesempatan. Dalam pembangunan ekonomi menurut Sri Edi Swasono diperlukan reorientasi makna pembangunan, dari hanya memprioritaskan pada output ke prioitas pemberdayaan. Ini perlu dilakukan karena hasil pembangunan adalah untuk manusia dan segenap manusia Indonesia harus ikut menikmati pembangunan. Menikmati pembangunan bukan hanya menikmati hasil pembangunan tetapi juga turut serta berproses bagaimana hasil pembangunan itu dilaksanakan. Oleh karena itu perlu pemberdayaan segenap manusia Indonesia untuk dapat ikut berpatisipasi menghasilkan output dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Wilson (1996) memaparkan empat tahapan proses pemberdayaan: (a). Awakening (penyadaran); (b). Understanding (pemahaman); (c). Harnessing, memanfaatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat untuk menggunakannya bagi kepentingan komunitasnya. (d). Using, menggunakan keterampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. c. KSM PNPM MPd Kelompok Swadaya Masyarakat pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan dalam hal ini adalah kelompok masyarakat yang terbentuk dan atau dibentuk pada hirarki terbawah dari PNPM MPd yang beranggotakan masyarakat miskin. Kelompok ini adalah sebagai kelompok sasaran sekaligus sebagai penerima manfaat dari bagian kegiatan PNPM MPd, yaitu kegiatan ekonomi produktif yang ditujukan khusus kepada kaum perempuan. Dalam PTO PNPM MPd tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Departemen dalam Negeri Republik Indonesia, menyatakan kelompok ini dibentuk khusus untuk kaum perempuan melalui musyawarah khusus perempuan yang antara lain bertujuan untuk menyepakati usulan perempuan khusus untuk kegiatan SPP atau kegiatan simpan pinjam perempuan. Kegiatan simpan pinjam perempuan pada PNPM MPd adalah kegiatan khusus untuk perempuan yang tergolong keluarga miskin, melalukan kegiatan ekonomi produktif, sudah berkelompok dan ada kegiatannya. Kegiatan SPP ini berupa simpan pinjam dana bergulir. Tujuan kegiatan SPP adalah untuk percepatan penanggulangan kemiskinan melalui pemberian kemudahan permodalan dalam rangka meningkatkan meningkatkan kapasitas usaha kelompok dalam bentuk peningkatan kapasitas kelompok usaha ekonomi produktif, menyediakan hibah pendanaan sarana usaha. d.
Kemiskinan Menurut Bapenas (2009), kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya guna mempertahankan kehidupan secara bermartabat. Menurut Bapenas (2009), kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya guna mempertahankan kehidupan secara bermartabat. Pendekatan yang digunakan meliputi: basic needs; income poverty, basics capabilitiy,social welfare, serta subjective. Menurut 924
Sumodiningrat (2002) sejalan dengan Tambunan (2001), masyarakat miskin ditandai oleh ketidakmampuan dalam hal: (a). Memenuhi kebutuhan dasar; (b). Melakukan kegiatan produktif; (c). Menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi; (d). Menentukan nasibnya sendiri; dan (e). Membebaskan diri dari mental budaya miskin. Hasil Penelitian a. Gambaran Umum Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu dari Dijan Rahajuni (2009) menganalisis dampak pelaksanaan PPK yang merupakan awal dari program PNPM Mandiri Perdesaan dalam mengentaskan kemiskinan di Kecamatan Kedungbanteng menunjukkan walaupun program tersebut telah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat tetapi belum dapat memenuhi standar kebutuhan hidup layak. Penelitian tahun 2010 menganalisis distribusi pendapatan masyarakat penerima manfaat PNPM Mandiri Perdesaan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kecamatan Kedungbanteng menunjukkan distribusi pemerataan pendapatan secara keseluruhan berada pada kategori sedang. Dijan Rahajuni dan Lilis Siti Badriah (2011) tentang Pengembangan Model Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Kabupaten Banyumas (studi kasus pada PNPM Mandiri Perkotaan), menunjukkan respon masyarakat terhadap program PNPM MP dalam kategori sedang, tingkat pemberdayaan masyarakat baik namun jumlah pelaku kegiatan ekonomi produktif masih dalam ketegori rendah, PNPM MP mampu meningkatkan pendapatan masyarakat namun belum mampu menyejahterakan hidup mereka. Hasil penelitian yang relevan dengan masalah koperasi oleh Dijan Rahajuni (1986) tentang Pengaruh Partisipasi anggota Terhadap Keberhasilan Koperasi Pada Koperasi Simpan Pinjam Daya Upaya di Bandung menunjukkan partisipasi anggota sangat berpengaruh terhadap keberhasilan koperasi terutama partisipasi dalam jumlah anggota yang meminjam, besarnya pinjaman, dan kelancarana angsuran. Dijan Rahajuni dan Istiqomah (2010) tentang Evaluasi Penerapan Prinsip Koperasi Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1992 pada koperasi-koperasi wanita di Kabupaten Banyumas menunjukkan adanya kelemahan dalam prinsip kemandirian karena proporsi modal eksternal masih cukup besar. b. Pembahasan dan Analisis Hal-hal pada program simpan pinjam dana bergulir PNPM Mandiri Perdesaan yang perlu mendapatkan evaluasi : 1. Tujuan kegiatan SPP Tujuan program SPP sebagaimana dalam PTO adalah memberikan kemudahan memperoleh pendanaan bagi usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh kaum perempuan melalui sistem pinjaman bergulir. Dalam berbagai peneltian Dijan R,dkk ditemukan bahwa pemanfaatan perolehan dana pinjaman bergulir yang diterima oleh kelompok banyak yang tidak digunakan untuk membiayai kegiatan ekonomi produktif. Pemanfaatan yang terbanyak adalah untuk konsumsi. Dilihat dari 925
kegiatan penerima manfaat, banyak dari penerima manfaat yang tidak melakukan kegiatan ekonomi produktif. Penelitian Dijan R, dkk tahun 2009, 2010, 2011 dan 2014 lebih dai 50 persen responden anggota KSM tidak melakukan kegiatan ekonomi produktif. 2. Kelembagaan kegiatan SPP Secara hirarki kelembagaan kegiatan SPP PNPM Mandiri Pedesaan mulai dari bawah adalah sebagai berikut : a) Kelompok dan anggota kelompok Pola pembentukan KSM PNPM Mandiri PerdesaanBerdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya proses pembentukan KSM yang ditingkat musyawarah perempuan dilakukan secara musyawarah berdasarkan persyaratan pembentukan KSM, yaitu : a. Anggota KSM adalah masyarakat yang tergolong miskin b. Setiap KSM beranggotakan minimal 5 orang c. Kelompok sudah melakukan kegiatan ekonomi d. Adanya administrasi kelompok Namun dalam proses perguliran dana pinjaman selanjutnya banyak ditemui KSM yang dibentuk tidak sesuai dengan persyaratan yang sudah ditentukan. KSM dibentuk hanya untuk kepentngan mendapat pinjaman. Dari hasil penggalian informasi melalui forum discustion group banyak anggota kelompok sasaran yang memang sengaja berusaha untuk selalu memenuhi aturan pemberi dana dalam hal ini UPK dengan tujuan untuk dapat memperoleh pinjaman lagi pada periode berikutnya setelah pinjamannya lunas. Beberapa masyarakat yang berada dalam kategori miskin berusaha membentuk kelompok hanya dengan maksud untuk memperoleh pinjaman. Kelompok yang terbentuk menjalankan hanya menjalankan fungsi sebagai koordinator yang menjembatani kepentingan anggota kelompok peminjam dengan pemberi dana. Kemampuan kelompok untuk membiayai kegiatan kelompoknya sangat rendah, karena semua dana yang digulirkan oleh kelompok berasal dari UPK. Semua anggota kelompok adalah peminjam. Kegiatan rutin yang dilakukan kelompok adalah menaikan angsuran dan arisan. b) Tingkat Desa Ditingkat desa selain kelembagan SPP PNPM Mandiri Perdesaan selain Pemerintahan Desa juga melibatkan masyarakat yang tergabung dalam Tim Pengelola Kegiatan. Tugas tim adalah merumuskan dan membawa usulan masyarakat yang dihasilkan dari musyawarah desa ke tingkat musyawarah antara desa. Dalam TPK ini ada Koordinator Ekonomi Desa dan Kader Pembangunan Masyarakat Desa yang kegiatannya adalah mengkoordinir kelompok-kelompok dan melakukan pendampingan kelompok adalah hal-hal yang berkaitan dengan pinjaman dana bergulir. Namun karena sifat kelembagaan yang dibentuk dalam PNPM Mandiri Perdesaan ini hanya temporer sesuai kebutuhan yaitu hanya jika dibutuhkan maka menimbulkan ketidakmapanan dalam melakukan kegiatan yang berkelanjutan, seperti dalam kegiatan SPP setelah melalui proses awal maka proses perguliran 926
pada kelompok selanjutnya mereka hanya mengesahkan. Semestinya mereka juga melakukan kegiatan pendampingan untuk menunjang kemandirian kelompok. Mengingat kegiatan SPP adalah merupakan kegiatan perguliran yang belangsung secara terus menerus maka kontinuitas kegiatan lembaga perlu dijaga dan diperkuat melalui payung hukum. c) Tingkat Kecamatan Kelembagaan SPP di tingkat Kecamatan selain ditangani oleh Pemerintahan tingkat Kecamatan, juga dikelola secara khusus oleh lembaga hiearchis PNPM Mandiri Perdesaan yaitu UPK atau Unit Pengelola Kegiatan. Berdasarkan laporan dari lembaga PNPM MPd tingkat Kabupaten yaitu Fasilitator Kabupaten perkembangan dana simpan pinjam di kabupaten Banyumas sangat menggembirakan dengan asset mencapai 90.431.541.001 rupiah dan surplus netto sebesar 13.821.296.940 rupiah. Surplus netto dialokasikan untuk menambahan modal SPP, pengembangan kelembagaan, dana sosial dan bonus UPK. Dalam pelaksanaan kegiatan SPP, UPK berfungsi sebagai penyandang dana meskipun sebenarnya dana tersebut adalah milik masyarakat karena program PNPM adalah program hibah pemerintah yang berasal dari pinjaman Bandk Dunia untuk mempercepat proses pengentasan kemiskinan. Proses perguliran dana ke kelompok masyarakat dilakukan melalui : a. Pengajuan proposal pinjam oleh kelompok yang diketahui oleh kepala desa dan TPK b. Verifikasi oleh UPK c. Keputusan Tim Pendanaan UPK d. Penyaluran oleh UPK langsung ke kelompok d) Tingkat partisipasi masyarakat Tingkat patisipasi masyarakat dalam program SPP sangat tinggi di Kabupaten Banyumas perkembangan dan pertumbuhan kelompok masyarakat pemanfaat pinjaman begulir sangat baik yakni mencapai 91% dengan jumlah kelompok 4.303 kelompok atau bertambah 2051 dari semula 2.251 kelompok. Dari jumlah kelompok tersebut kelompok yang dominan adalah kelompok SPP dengan jumlah sebanyak 3.715 kelompok atau 86,33% dari seluruh jumlah kelompok. Beberapa faktor penyebabnya menurut responten anggota kelompok adalah : membutuhkan dana dan mudah. Kemudahan ini antara lain dalam hal pengajuan mereka hanya cukup menyerahkan foto copy kartu tanda penduduk, surat ijin dari suami dan biaya pembuatan proposal yang ditanggung secara bersama serta dana pinjaman nantinya diantar langsung oleh petugas UPK ke kelompok. Disamping itu juga terdapat reward atau penghargaan bagi kelompok yang mengangsur tetap waktu sesuai dengan aturan yang disebut dengan IPTW atau insentif pengembalian tepat waktu. Kondisi ini mengindikasikan juga bahwa pada anggota kelompok telah timbul kesadaran untuk melakukan angsuran dengan disiplin. Disamping daya tarik tersebut diatas sebenarnya masyarakat juga mengharapkan agar kegiatan SPP dapat dikembangkan lebih lanjut dengan 927
beberapa pernyataan responden seperti : tetap memberikan pinjaman, pinjaman dipermudah, dana pinjaman ditambah, tabungan dapat dikelola sendiri, tanggung jawab jangan bersifat tanggung renteng, kelompok dapat memberikan pinjaman sendiri, ada pelatihan usaha ekonomi produktif, ada pemasaran bersama, diadakan kegiatan sosial. Dengan adanya pernyataan-pernyataan yang seperti itu sebetulnya menunjukan keinginan masyarakat agar kelembagaan kelompok tidak hanya sekedar melakukan pengajuan pinjaman dan penarikan angsuran. Dengan kata lain masyarakat sebenarnya sadar bahwa pinjaman yang mereka sebenarnya digunakan untuk melakukan usaha ekonomi produktif bukan untuk kepentingan konsumsi. Namun karena kebutuhan dan ketidaktahuan mereka untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi produktif karena keterbatasan tingkat pendidikan maka ada yang meminjam hanya untuk kegiatan sosial dan bahkan untuk membeli barang yang berprestise seperti kredit motor. c. Evaluasi Berdasarkan uraian tersebut diatas, perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan SPP pada PNPM Mandiri Perkotaan. Evaluasi ini didasarkan visi yaitu pengentasan kemiskinan hendaknya tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat. Masyarakat harus berdaya secara mandiri sesuai dengan kondisi ekonomi dan sistem ekonomi yang ada di masyarakat itu sendiri (Sri Edi Swasono, 2014). Bagi Indonesia sesuai dengan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 ” perekonomian disusun berdasarkan atas asas kekeluargaan”, koperasi adalah merupakan wadah yang tepat untuk melaksanaan asas kekeluargaan dan demokrasi. . UU No. 25 ahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan : Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju,adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi; pembangunan Koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan seluruh rakyat. Dalam program PNPM Mandiri Pedesaan upaya untuk membangun ekonomi rakyat untuk terentaskan dari kemiskinan menuju pada sejahtera dan mandiri, sudah waktunya untuk melakukan reorientasi terhadap pola pemberdayaan masyarakat teutama dalam kegiatan SPP. Hal ini mengingat bahwa di masyarakat kelompok sudah timbul kesadaran dalam hal mereka menginginkan kegiatan berlanjut terus, ingin dapat mandiri, ingin ada kegiatan ekonomi, ingin ada kegiatan sosial. Keinginan-keinginan dalam masyarakat ini sebenarnya sudah merupakan modal dasar yang cukup. Sehingga dalam hal ini tinggal diperlukan penyusunan kelembagaan yang dapat memberikan fasilitas yang diharapkan oleh masyarakat antara lain pinjaman, simpanan, pembinaan usaha produksi dan pemasaran hasil produksi serta penghargaan kepada masyarakat. Organisasi ekonomi yang sesuai dengan harapan masyarakat tersebut antara lain koperasi. Melalui koperasi masyarakat dilatih tidak hanya untuk meminjam tetapi juga harus menyimpan melalui simpanan pokok dan simpanan wajib anggota, mengubah 928
ketergantungan menjadi mandiri, dan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dalam memajukan kelompok, secara berkesinambungan. Menurut Zulminarni (2004) terdapat 5 aspek yang harus diperhatikan dalam pemberdayaan perempuan yaitu kesejahteraan, akses sumberdaya, partisipasi, kesadaran kritis, dan kontrol. Melalui koperasi, kelima aspek tersebut dapat terpenuhi, (1) kesejahteraan; mereka dapat meminjam uang dengan prosedur mudah, bunga murah dan keuntungan akan kembali untuk mereka, (2) akses sumberdaya; prinsip koperasi adalah dari, oleh dan untuk anggota jadi mereka diakui keberadaannya, sehingga mudah dalam akses informasi, sumber dana, pendidikan, dan pelatihan melalui berbagai program yang dikembangkan; (3) partisipasi aktif; mereka membangun kebersamaan, belajar mengambil keputusan, dan belajar berorganisasi yang baik dan benar, (4) terbuka kesadaran kritis; koperasi menerapkan prinsip terbuka dan demokratis untuk melihat setiap persoalan secara kritis dan mengungkapkan pemikiran anggota, (5) kontrol; fungsi kontrol dalam koperasi terdapat dalam Rapat Anggota Tahunan. Pilihan pada tingkat kelembagaan PNPM MPd mana koperasi akan diadakan ? Pada tingkat paling rendah apabila dilihat bahwa koperasi beranggotakan orang dan atau badan, maka mungkin karena dalam PNPM MPd memunculkan banyak kelembagaan yang bersifat ad hock .maka sudah waktunya mulai dirancang suatu kelembagaan yang lebih bersifat formal dan permanen untuk menjaga keberlanjutan dan pelestarian program sesuai dengan keinginan masyarakat. Lembaga ekonomi yang sesuai dengan ciri-ciri dengan kondisi masalah yang ada dan merupakan amanat UUD 45 adalah KOPERASI. Pada tingkat nama koperasi akan didirikan, perlu dilihat syarat pendirian koperasi sesuai dengan UU yang berlaku di negara Indonesia, pada pasal 5 mengenai prinsip koperasi, yaitu :a) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;b) pengelolaan dilakukan secara demokratis; c) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masingmasing anggota; d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; e) kemandirian. Mengenai pembentukannya pada bab IV pasal 5 menyatakan Koperasi Primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang dan Koperasi Sekunder dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) Koperasi. Mencermati syarat koperasi maka paling tidak koperasi yang dapat dimunculkan berada pada kelembagaan tingkat desa dalam PNPM MPd yaitu ditingkat TPK dan ataupun KED.
KESIMPULAN 1. 2.
3.
Untuk menjaga kemapanan kelembagan PNPM MPd ditingkat paling bawah diperlukan reorientasi kelembagaan. Kondisi masyarakat penerima manfaat PNPM MPd pada kegiatan pinjaman bergulir : 1). sudah memahami dan menyadari konsekuensi dan tanggung jawab keikutsertaannya menjadi anggota kelompok KSM; 2). Masyarakat mempunyai harapan besar terhadap perkembangan dan peningkatan kegiatan KSM. Lembaga KOPERASI perlu dimunculkan pada tingkat kelembagaan TPK dan atau KED. 929
DAFTAR PUSTAKA Adi Condro Bawono. Konsultasi Hukum. diakses tgl 24-10-2014
www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3810/
Bappenas.2009. Pengembangan Program Pengentasan http://www.bappenas.go.id. diakses, Kamis 3 Feburari 2011.
Kemiskinan
Depatemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2014. Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Perdesaan. Jakarta. Kementrian Pekerjaan Umum Dirjen Cipta Karya, Petunjuk Tehnis Penguatan Modal Sosial PNPM Mandiri Perkotaan, E-books. Rahajuni, Dijan, 1986. Pengaruh Partisipasi Anggota Terhadap Tingkat Keberhasilan Koperasi Pada Koperasi Simpan Pinjam Daya Upaya Di Bandung, Skripsi Fakultas Ekonomi Unsoed. Purwokerto. , 2009. Dampak Program Pengembangan Kecamatan Dalam Mengentaskan Memiskinan Di Kabupaten Banyumas (Studi Kasus Di Kecamatan Kedungbanteng). Jurnal Solusi Fakultas Ekonomi Universitas SemarangVol 8 / No. 4 / Oktober 2009. , 2010. Distribusi Pendapatan Pada Masyarakat Miskin Penerima PNPM Mandiri Perdesaan Di Kabupaten Banyumas (Studi kasus di Kecamatan Kedungbanteng), Fakultas Ekonomi Unsoed, Purwokerto. Rahajuni, Dijan dan Istiqomah, 2012. Penerapan Prinsip Koperasi Pada Koperasi-Koperasi Wanita di Kabupaten Banyumas. Jurnal Spread, Jurnal Ilmiah Bisnis dan Keuangan, Volume 2, No. 1. April 2012. Hal. 65-72. Rahajuni, Dijan, Lilis Siti Badriah, Suprapto, 2014. Model Penguatan Kelembagaan KSM PNPM Mandiri Perdesaan Dalam Rangka Meningkatkan Pemberdayaan Perempuan Menuju Kemandirian Ekonomi (Studi Kasus Di Kabupaten Banyumas). LPPM Unsoed, Purwokerto. Sumodiningrat, Gunawan, 2002. Sinkronisasi Program Penanggulangan kemiskinan. Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM. Yogyakarta. Wandersman, Abraham, et al, 2005. The Principle of Empowerment Evaluation, Empowerment Evaluation: Principles in Practice. The Gulford Press. New York. Wilson, Terry, 1996. The Empowerment Mannual. Grower Publishing Company. London. Zulminarni, Nani, 2004. Lembaga Keuangan Mikro dalam Kerangka Pemberdayaan Perempuan Miskin. Workshop “Berbagi Pengetahuan dan Sumberdaya Keuangan Mikro di Indonesia” yang diselenggarakan oleh GEMA PKM dan BWTP, Jakarta, 27 Agustus 2004.
930
PENGARUH ASEAN- CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) PADA PERDAGANGAN INDONESIA Oleh: Lia Amaliawiati1),Asfia Murni1) Email :
[email protected] 1)
Dosen Fakultas Bisnis dan Manajemen Universitas Widyatama
ABSTRACT The ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) signed on November 4th, 2004 aimed at creating free trade area between ASEAN countries and China where it was achieved by eliminating or reducing trade barriers either toward tariff or nontariff goods in order to improve ASEAN and China society welfare. Principally, free trade among countries should give benefits to them, it means after signing free trade agreement, ASEAN countries and China should get more benefits than before, such as increasing efficiency and effectiveness of production in order to compete with others, one of tools to measure the benefits is “trade creation” as the positive impact and “trade diversion” as the impact of loses which is preferential among these countries. To analyze “trade creation” and “trade diversion” used modified of gravity model. It finds the empirical that ACFTA has given rise to trade creation as a whole country members but had no impact on Indonesia's trade, on the other side that ACFTA has reduced “exports trade diversion” and improving “import trade diversion”. Keywords : ACFTA, Trade Creation, Trade Diversion, Gravity Model.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemberlakuan “Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-negara Anggota ASEAN dan RRC” yang ditandatangani di Pnom Penh, Kamboja tanggal 4 November 2004 dan selanjutnya disebut ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) akan memberi peluang yang baik bagi negara Indonesia diantaranya:Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan non tarif di China akan membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar.Kedua, akan menaikan investasi yang kompetitif dan membuka kesempatan bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerjasama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas diharapkan membantu Indonesia melakukan peningkatan pembangunan ekonomi, trasfer teknologi, dan kemampuan mengelola usaha untuk lebih baik. ACFTA akan mendorong semakin tingginya tingkat perdagangan produk China ke pasar Indonesia. Salah satu syarat bagi suatu negara agar bisa mendapatkan keuntungan 931
dengan adanya free trade adalah kemampuan daya saing, akan tetapi berbagai studi menunjukkan beberapa elemen pembentuk daya saing, seperti tingkat efisiensi, produktivitas, dan lingkungan bisnis di China relatif lebih baik dibandingkan dengan di Indonesia. Berdasarkan data pertumbuhan ekspor dari Indonesia ke China dan pertumbuhan impor dari China ke Indonesia sebelum berlakunya ACFTA dapat ditunjukan pada tabel 1. Table 1. Nilai Ekspor dari Indonesia ke China (dlm US$) dan Nilai Import dari China ke Indonesia periode tahun 2000 s.d. 2004 TAHUN
NILAI EXPORT
PERTUMBUHAN EKSPOR (%)
NILAI IMPORT
PERTUMBUHAN IMPOR (%)
2000
2,767,707,562.00
2001
2,200,670,391.00
-20
1,842,680,215.00
-9
2002
2,902,947,738.00
32
2,427,368,631.00
32
2003
3,802,530,088.00
31
2,957,468,648.00
22
2004
4,604,733,109.00
21
4,101,331,096.00
39
2,021,971,014.00
Sumber:Badan Pusat Statistik Tabel 1 menunjukkan bahwa pada periode 2000-2004 (periode sebelum berlakunya ACFTA), pertumbuhan ekspor Indonesia ke China rata-rata 16% per tahun jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan impor Indonesia dari China denngan nilai rata-ratanya 21% per tahun, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi produk China ke pasar Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan kemampuan penetrasi produk Indonesia ke pasar China. Nilai ekspor Indonesia ke China dan nilai impor dari China ke Indonesia setelah berlakunya ACFTA ditunjukan pada tabel 2 berikut: Table 2. Nilai Ekspor dari Indonesia ke China dan Nilai Ekspor dari Indonesia ke China periode tahun 2005 s.d. 2011 TAHUN
NILAI EXPORT (US $)
PERTUMBUHAN EKSPOR (%)
NILAI IMPOR (US$)
PERTUMBUHAN IMPORT (%)
2005
6,662,353,805.00
45
5,842,862,513.00
42
2006
8,343,571,337.00
25
6,636,895,111.00
14
2007
9,675,512,723.00
16
8,574,496,754.00
29
2008
11,636,503,721.00
20
8,557,877,121.00
-0,00
2009
11,499,327,261.00
-1
14,002,170,505.00
64
2010
15,692,611,103.00
36
20,424,218,244.00
46
2011
22,941,004,929.00
46
26,212,187,363.00
28
932
Sumber : Badan Pusat Statistik Tabel 2. menunjukkan pertumbuhan ekspor Indonesia ke China setelah diberlakukan ACFTA (2005 – 2011) rata-rata sebesar 33% , sedangkan pertumbuhan impor Indonesia dari China pada periode yang sama rata-rata sebesar 37,2 %. Kondisi ini menunjukkan semakin banyaknya produk China memasuki pasar Indonesia dan akan berdampak kurang baik terhadap kapasitas produksi sektor-sektor ekonomi lokal terutama bagi produsen lokal yang menghasilkan produk sejenis dari China, yang pada akhirnya akan meningkatkan PHK dan pengangguran akibat para produsen lokal mengurangi produksinya bahkan mungkin ada yang menutup usahanya. Berdasarkan simulasi yang pernah dilakukan oleh P2E-LIPI menunjukkan bahwa setiap penurunan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10% berpotensi mendorong PHK (pengangguran) 500.000 orang. Sebelum berlakunya ACFTA (dengan adanya tarif) pertumbuhan ekspor di Indonesia lebih kecil dari pertumbuhan importnya, kondisi tersebut akan mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia yang mempunyai kecenderungan kearah defisit, apalagi setelah berlakunya ACFTA (tidak dikenakan tarif) neraca perdagangan Indonesia diprediksi akan semakin memburuk karena pertumbuhan impor dari China ke Indonesia semakin membesar tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekspor dari Indonesia ke China. Menurut Lee dan Shin (2006), kesepakatan bersama antar negara-negara dalam melakukan perdagangan bebas (tanpa dibebankan tarif) mempunyai dua dampak pada perdagangan global serta kesejahteraan masyarakatnya, dampak pertama akan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya karena perdagangan bebas tersebut dapat menggantikan produksi domestik yang berbiaya tinggi dengan barang-barang impor yang berbiaya rendah dari negara anggota disebabkan tidak dikenakannya tarif, kedua perdagangan bebas dapat juga menurunkan kesejahteraan masyarakatnya karena penggantian barang impor berbiaya rendah dari negara non anggota dengan barang sejenis yang berasal dari negara anggota. Identifikasi Masalah Berdasarkan paparan pada latar belakang, identifikasi masalah yang hendak ditelaah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak pelaksanaan ACFTA terhadap perdagangan Indonesia. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan ACFTA terhadap perdagangan Indonesia. Kegunaan Penelitian Beberapa kegunaan penelitian ini adalah: 1. Teoritis: pengembangan penerapan teori free trade area pada perdagangan internasional. 2. Praktis: jika ACFTA berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia, penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi pada pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kembali kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pada ACFTA sehingga nantinya dapat mengembangkan produk dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk dari China.
933
Tinjauan Literatur Dan Pengembangan Hipotesis Secara teoritis perdagangan internasional akan mendatangkan beberapa keuntungan antara lain (sadono sukirno,2005): Pertama, memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri sehingga melakukan pembelian barang dari negara lain maka konsumen dalam negeri dapat memilih produk yang diinginkannya yang akhirnya dapat mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kedua, memperoleh keuntungan dari spesialisasi, melalui perdagangan suatu negara dapat lebih fokus pada suatu jenis produk sehingga dapat berproduksi dengan tingkat efisiensi yang relatif tinggi atau melakukan spesialisasi. Sedangkan produk yang tidak dapat diproduksi secara efisien dapat dipenuhi dengan cara mengimpor dari negara lainnya. Ketiga, memperluas pasar industri-industri dalam negeri artinya bahwa suatu negara dapat memproduksi produk melebihi permintaan dalam negerinya dengan cara mengekspor kelebihan tersebut di pasar internasional sehingga akan mendatangkan keuntungan. Keempat, menggunakan teknologi modern dan meningkatkan produktivitas, artinya perdagangan internasional membuka peluang suatu negara untuk mempelajari suatu teknik produksi yang lebih efisien dan modern atau terjadinya transfer teknologi sehingga negara yang masih memiliki produktivitas yang rendah dapat meningkatkan produktivitasnya sehingga akan mempercepat pertambahan produksi. Kelima, perdagangan akan memperluas keanekaragaman produk di pasar dalam negeri, sehingga kebutuhan konsumen akan suatu produk dapat dengan mudah dipenuhi Adam Smith mengemukakan bahwa perdagangan antar negara harus didasarkan pada division of labor yang menimbulkan spesialisasi dan efisiensi produksi dalam menghasilkan suatu produk. David Ricardo dengan model Ricardiannya (the law of comparative cost) mengatakan bahwa suatu negara akan fokus berproduksi pada jenis produk yang memiliki keunggulan komparatif tertinggi. Sedangkan teorema Heckscher-Ohlin menyebutkan bahwa suatu negara akan cenderung mengekspor komoditas yang secara intensif memanfaatkan faktor produksinya yang berlimpah, contoh suatu negara dengan tingkat labor yang berlimpah namun dengan tingkat kapital yang terbatas akan cenderung mengekspor produk yang bersifat labor intensif dan akan cenderung mengimpor produk yang bersifat kapital intensif. Disamping itu perbedaan fungsi produksi di suatu negara akan menentukan arah perdagangan negara tersebut. Suatu negara yang dapat berproduksi secara relatif lebih efisien di suatu jenis produk akan cenderung menjadi pengekspor produk tersebut. Meluasnya jaringan hubungan ekonomi dan perdagangan internasional menimbulkan dampak pada negara yang melakukan hubungan tersebut baik dampak positif maupun dampak negatif, hal tersebut menyebabkan suatu negara perlu melakukan perlindungan terhadap industri dalam negerinya atau dinamakan „proteksi‟ atau menciptakan halangan perdagangan, beberapa faktor yang mendorong proteksi antara lain (sadono sukirno,2005): Pertama, mengatasi masalah pengangguran, dengan meningkatnya produk impor menyebabkan perusahaan-perusahaan domestik menghadapi masalah kekurangan permintaan yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pekerja sehingga penganguran meningkat. Kedua, mendorong perkembangan industri baru dengan tujuan melindungi industri yang baru tumbuh karena di awal produksi penjualan produknya belum bisa mencapai tingkat yang paling optimum, sehingga tidak mampu bersaing dengan produk impor.
934
Ketiga, mendiversifikasikan perekonomian, untuk meningkatkan pendapatan dan menguatkan struktur ekonomi maka pengembangan atau perluasan sektor industri sangatlah diperlukan agar industri dalam negeri memperoleh pasar yang cukup . Keempat, memperbaiki neraca pembayaran dengan cara membatasi produk impor diharapkan menguragi defisitnya neraca perdagangan. Kelima, menambah pendapatan pemerintah, salah satu alat yang digunakan pemerintah untuk mengurangi barang impor yaitu diberlakukannya pengenaan pajak terhadap barang impor atau yang dinamakan tarif. Penetapan besaran tarif mempunyai pengaruh terhadap keseimbangan output dan harga. Hambatan tersebut mengakibatkan harga yang lebih tinggi yang mengakibatkan menurunnya permintaan terhadap barang dari luar negeri. Perkembangan ekonomi dunia dan hubungan ekonomi luar negeri yang berlaku semenjak tahun 1970an telah menyebabkan ketergantungan satu negara dengan negara lain semakin tinggi, hal ini mendorong berkembangnya perusahaan multinasional, investasi keuangan ke berbagai negara, teknologi dalam bidang teknologi informasi, sehingga keadaan tersebut mendorong semakin pentingnya praktek pasar bebas dengan cara mengurangi bahkan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan. Integrasi ekonomi regional adalah suatu proses dimana beberapa ekonomi dalam suatu wilayah bersepakat untuk menghapus hambatan dan mempermudah arus lalu lintas barang, jasa, kapital dan tenaga kerja. Pengurangan bahkan penghapusan tarif dan hambatan non tarif akan mempercepat terjadinya integrasi ekonomi regional seiring lancarnya lalu lintas barang, jasa, kapital dan tenaga kerja tersebut. Menurut Kindleberger dan Lindert perdagangan bebas disamping meningkatkan kesejahteraan juga meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan efisiensi serta diharapkan dapat menimbulkan efisiensi. Kerjasama perdagangan juga akan meningkatkan kompetisi antar anggota, manfaat yang dapat dipetik antara lain peningkatan spesialisasi dan peningkatan perdagangan itu sendiri. Dengan keunggulan komparatif dari masing-masing negara, setiap negara dapat berfokus pada produksi barang yang mempunyai keunggulan komparatif sehingga akan terjadi realokasi faktor produksi. Pada akhirnya akan tercipta keseimbangan harga yang lebih murah dan output yang lebih banyak sehingga memberikan kesejahteraan lebih besar terhadap negara-negara yang terlibat. Hasil penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan ACFTA sebagai berikut: 1. Aziza R Salam dan Bagas Haryotejo (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa perjanjian ASEAN-China FTA, Indonesia mendapatkan keuntungan kesejahteraan nasional sebesar 98,445 (ribu US$) akan tetapi disamping itu mengalami kerugian ekonomi sebesar 447.701 ribu US$ (revenue + welfare) dari sektor EEE (Electric and Electronic Equipment). 2. Tavi Supriana (2011) menemukan bukti bahwa pengaruh diversi dan kreasi terhadap china adalah signifikan, sedangkan terhadap Indonesia tidak signifikan, efek diversi yang mengarah pada penurunan kekayaan masyarakat lebih besar daripada efek kreasinya. 3. Ibrahim, Meily, Wahyu (2010), dengan menggunakan model General Trade Analysis Project (GTAP), menyimpulkan bahwa secara keseluruhan Indonesia mempunyai net trade creation sebesar 2% dan trade diversion sebesar -1,5%, ACFTA berdampak negative terhadap penurunan neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan sebesar 2,3%. 935
4. Park (2008) menyimpulkan bahwa secara keseluruhan akan meningkatkan net trade, output, dan welfare regional. 5. Jiang & McKibbin (2008), hasil penelitiannya menemukan untuk kasus ACFTA bahwa China akan mendapatkan keuntungan dalam ACFTA. 6. Haryadi (2008), memperlihatkan bahwa liberalisasi perdagangan dengan cara menghapus semua hambatan perdagangan berdampak pada penurunan PDB Indonesia dan Australia-Selandia Baru. Budiman Hutabarat dkk (2007)menyimpulkan bahwa perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dengan China telah berdampak positif bagi perkembangan ekspor sektor pertanian Indonesia. 7. Saktyanu (2007), menunjukkan penurunan subsidi ekspor di negara maju berdampak pada peningkatan produksi pertanian Indonesia . 8. Tambunan (2005), menyimpulkan bahwa trade creation dari China-ASEAN lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan intra trade antar negara ASEAN. 9. Okamoto (2005), menyimpulkan bahwa Singapura dan Malaysia memperoleh keunggulan dari spesialisasi inter dan intra industri, Thailand memperoleh keunggulan dari spesialisasi intra industri, sedangkan Filipina dan Indonesia tidak banyak memperoleh keuntungan. Salah satu indikator untuk mengukur dampak kerjasama perdagangan internasional adalah dengan melihat terjadinya trade diversion dan trade creation (Krueger, 1990). Trade diversion terjadi bila satu atau beberapa negara merasa dirugikan karena adanya tindakan yang bersifat preferensial diantara negara tertentu dengan kata lain terjadi perdagangan yang mengikat intra negara partner, perbedaan tarif yang diberlakukan untuk partner dan nonpartner dagang akan mengubah arah kecenderungan perdagangan sehingga menimbulkan efek negatif yang merujuk kepada perpindahan dari produk impor yang bersifat low cost dari negara non anggota dengan produk impor yang bersifat high cost dari negara partner, trade diversion akan menurunkan efek kesejahteraan sehubungan dengan terjadinya perubahan orientasi supply ke sumber yang relatif lebih mahal. Trade creasion adalah terjadinya perdagangan akibat beralihnya konsumsi dari produk domestik yang bersifat high-cost ke produk impor negara anggota yang bersifat lowcost. Dengan kata lain terjadi perdagangan yang menurun dengan negara non-partner, Manfaat perdagangan bebas atau kerjasama regional sangat ditentukan oleh salah satu efek yang lebih dominan. Efek secara keseluruhan dapat bersifat positif, negatif ataupun netral, tergantung dari besarnya besarnya dari trade creation dan trade diversion. Perdagangan bebas ataupun Free Trade Area (FTA) akan sangat menguntungkan apabila dampaknya terhadap trade creation lebih besar dibandingkan dampaknya terhadap trade diversion. Spesifikasi Model : Model yang akan digunakan untuk melihat trade creation dan trade diversion dari dampak perdagangan bebas (dalam hal ini ACFTA) terhadap perdagangan Indonesia digunakan model “The original Basic Gravity Model (BGM)” yang ditulis oleh Tinbergen (1962) yang selanjutnya dikembangkan oleh Anderson (1979) dan Deardorff (1998) model ini digunakan untuk menganalisis dampak dari „economic integration‟, bentuk modelnya seperti di bawah ini: 936
Xij=βoYiβ1 Yjβ2 Dijβ3εij …………………………………………(1) Atau dengan menggunakan natural logaritma, ln Xij = ln β0 + β1 ln Yi + β2 lnYj +β3 lnDij + lnεij ……………..(2) Untuk mengetahui trade creation dan trade diversion dari adanya ACFTA, maka model di atas dimodifikasi dengan memasukkan variable dummy kemudian diestimasi menggunakan Ordinary Least Square (OLS) , model tersebut menjadi : ln Xij = ln β0 + β1 lnGDPi + β2 lnGDPp + β3 lnPOPi + β4 lnPOPp + β5 lnDip + β6 lnERip + β7 lnIXip + β8 ACFTAip + β9 exACFTAip + β10 imACFTAip + logεip ....…………..(3) Keterangan: 1. lnXip adalah ekspor negara Indonesia dengan negara partner dagang dalam juta US$ 2. lnYi diubah menjadi lnGDPi adalah nilai nominal GDP negara Indonesia 3. lnYj diubah menjadi lnGDPp adalah nilai nominal GDP negara partner dagang dalam US$, 4. lnDij diubah menjadi Dip adalah jarak antara negara Indonesia dengan negara partner dagang dalam km 5. lnPOPi adalah jumlah penduduk negara Indonesia 6. lnPOPp adalah jumlah penduduk negara partner dagang 7. lnERip adalah nilai tukar rupiah dengan mata uang negara partner dagang 8. lnIXip adalah index harga ekspor Indonesia dengan negara partner dagang 9. ACFTAip adalah variabel dummy dimana 1 jika dua negara masuk ke ACFTA dan 0 yang lainnya. 10. exACFTAip adalah variable dummy dimana 1 jika hanya ekspor negara i ke ACFTA dan 0 yang lainnya. 11. imACFTAip adalah variable dummy dimana 1 jika hanya impor negara p ke ACFTA dan 0 yang lainnya. 12. logεij merupakan log distribusi normal dari error term. Secara teoritis hubungan antara variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut: - GDPi dan GDPp diharapkan bernilai positif karena pada tingkat pendapatan tinggi masyarakatnya akan membeli barang impor lebih tinggi berarti ekspor negara lain akan tinggi. - POPi dan POPp tidak bisa dipastikan nilainya artinya bisa bernilai positif atau negatif, Nguyen (2009) mengatakan bahwa akan bernilai negatif karena negara tersebut jumlah penduduknya banyak dan dianggap mempunyai sumber daya yang banyak (resource endowment) sehingga mempunyai sedikit ketergantungan pada pasar internasional sehingga akan menurunkan perdagangan, di sisi lain dapat bernilai positif berarti jumlah penduduk banyak akan mempunyai pangsa pasar domestik yang besar sehingga akan tercipta produksi skala ekonomis dan negara tersebut dapat berdagang lebih dengan negara anggota sehingga menaikkan perdagangannya.
937
- Dip diharapkan bernilai negatif yang berarti jarak antara Indonesia dengan negara partner dagang akan meningkatkan biaya tranportasi dan komunikasi sehingga berhubungan dengan volume produk yang diperdagangkan. - ERip adalah nilai tukar Rupiah Indonesia dengan mata uang negara partner dagang bisa negatif bisa positif. Jika rupiah terapresiasi terhadap mata uang partner dagang maka perdagangan Indonesia turun, dan jika rupiah terdepresiasi terhadap mata uang partner dagang maka perdagangan Indonesia naik. - IXip bernilai negatif, jika harga ekspor Indonesia naik maka akan menurunkan perdagangan Indonesia. - Koefisien dari dummy ACFTAip diharapkan positif yang mencerminkan efek kreasi (trade creation) dari bergabungnya pada ACFTA karena adanya penurunan tarif dan menghilangkan rintangan non tariff diantara anggota ACFTA, hal ini menunjukkan bahwa anggota dari ACFTA mendapat keuntungan dengan adanya perdagangan bebas tersebut. - Dummy variables exACFTAip mencerminkan “export trade diversion” dan imACFTAip mencerminkan “import trade diversion” , dengan perdagangan bebas, negara anggota diharapkan dapat menurunkan “export trade diversion” (Tang, 2005 dan Endoh ,1999) - Jika koefisien exACFTAip bernilai negatif dan signifikan secara statistik, hal tersebut menunjukkan bahwa intregrasi ekonomi telah menyebabkan negara anggota mengekpor produknya lebih banyak ke negara anggota dibandingkan sebelum ada kesepakatan free trade. - Jika koefisien imACFTAip bernilai negatif dan signifikan secara statistik berarti negara anggota telah beralih kegiatan importnya dari negara bukan anggota ke negara anggota. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah Ho : ACFTA tidak berdampak positif pada perdagangan Indonesia Ha : ACFTA berdampak positif pada perdagangan Indonesia Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode hipothesis testing empirical study yaitu menguji hipotesis yang ditetapkan dan menjelaskan temuan baik konsisten maupun yang tidak konsisten dengan teori dan penelitian empiris terdahulu dengan menggunakan alternatifalternatif teori-teori yang ada model yang digunakan dalam penelitian ini adalah multiple regresi dengan memasukkan variable dummy, sedangkan untuk mengestimasi koefisien variabel independennya menggunakan Ordinary Least Square (OLS), selanjutnya model yang akan dianalisis adalah seperti pada persamaam (3) sebagai berikut: ln Xij = ln β0 + β1 lnGDPi + β2 lnGDPp + β3 lnPOPi + β4 lnPOPp + β5 lnDip + β6 lnERip + β7 lnIXip + β8 ACFTAip + β9 exACFTAip + β10 imACFTAip + logεip ....…………..(3) Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder menggunakan pooling data dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 , periode tersebut akan dibagi menjadi
938
dua periode yaitu periode sebelum berlakunya ACFTA (2000 - 2004) dan periode setelah berlakunya ACFTA (2005 - 2014). Negara yang dijadikan observasi sebanyak 29 negara yang terdiri atas 9 negara anggota ACFTA (tidak semua negara anggota diobservasi mengingat kurang lengkapnya data dari beberapa negara) dan 20 negara non anggota (negara sebagai partner dagang utama Indonesia), data variabel dependen dan independen diperoleh dari beberapa sumber yaitu World Bank Data, Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Great Circle Distance between Cities.
PEMBAHASAN Hasil estimasi ordinary least square pada persamaan (3) untuk periode 2000-2004 dan periode 2005-2013 terlihat pada tabel 3 di bawah ini: Tabel 3 Hasil regresi persamaan (3) Independent Variabel ln GDPi ln GDPp ln POPi ln POPp ln Dip ln ERip ln IXip CAFTAip ExCAFTAip imCAFTAip R-square Jumlah observasi
2000 – 2004 7.26 (0.0477) 9.35 (0.0000) -2.68 (0.3850) 6.26 (0.0080) -0.4567 (0.0000) -0.0543 (0.0000) -10.0826 (0.0031) -3482.89 (0.0000) 5560.200 (0.4835) 10992.66 (0.0630) 0.6562 155
2005 – 2013 0.4984 (0.0463) 1.1025 (0.0000) -3.3794 (0.1630) 0.3166 (0.0000) -2.3196 (0.0000) -0.0243 (0.0003) 0.0079 (0.8740) 43.2418 (0.2836) -0.9488 (0.0000) 44.2066 (0.2732) 0.8751 276
939
Analisis Periode Sebelum Berlakunya ACFTA (2000-2004) Nilai koefisien determinasi sebesar 65,62% yang berarti bahwa 65,62% variasi total nilai ekspor Indonesia dengan negara partner dagang dipengaruhi oleh variasi variabel independennya. Dari 10 koefisien variabel independen yang diestimasi ada 8 variabel yang secara statistik menunjukkan signifikan pada tingkat keyakinan 95% dan 3 variabel secara statistik tidak signifikan. - Arah dari koefisien GDPi (produk nasional Indonesia) dan GDPp (produk nasional negara partner dagang) sesuai yang diharapkan yaitu positif dan secara statistik menunjukkan signifikan hal ini berarti semakin besar produk nasional maka akan semakin tingginya permintaan terhadap produk impor dan di sisi lain semakin banyak produk ekspor yang dihasilkan. Karena persamaan regresinya dalam bentuk log natural (ln) maka koefisien veriabel independent tersebut menunjukkan nilai elastisitas; Koefisien GDPi bernilai 7,26 mengandung arti bahwa ketika GDP Indonesia naik 1% maka akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia sebesar 7,26%. Koefisien GDPp bernilai 9,35 mengandung arti bahwa ketika GDP negara partner dagang naik 1% maka nilai ekspor Indonesia naik 9,35%. - Arah koefisien POPi (jumlah penduduk Indonesia) adalah negatif mengandung arti bahwa peningkatan jumlah penduduk Indonesia menyebabkan penurunan nilai ekspor dan secara statistik tidak signifikan. - Arah koefisien POPp (jumlah penduduk negara partner dagang) adalah positif dan secara statistik menunjukkan signifikan hal ini berarti ketika jumlah penduduk negara partner dagang besar mempunyai kecenderungan permintaan terhadap produk ekspor Indonesia naik, koefisiennya bernilai 6,26 yang artinya setiap ada kenaikan jumlah penduduk negara partner dagang sebesar 1% maka akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia sebesar 6,26%. - Arah koefisien Dip (jarak Indonesia dengan negara partner dagang) adalah negatif (sesuai yang diharapkan) dan secara statistik menunjukkan signifikan, koefisiennya bernilai -0,4567 hal ini berarti setiap ada penambahan jarak antara Indonesia dengan negara partner dagang sebesar 1% maka akan meningkatkan biaya tranportasi dan komunikasi sehingga berhubungan akan menurunkan nilai ekspor Indonesia sebesar 0.45%. - Arah koefisien ERip (nilai tukar rupiah dengan mata uang negara partner dagang) adalah negatif dan secara statistik menunjukkan signifikan, dengan nilai koefisien sebesar-0,054 yang berarti ketika nilai rupiah naik (terapresiasi) sebesar 1% maka akan menurunkan nilai ekspor Indonesia sebesar 0,054% dan jika nilai rupiah turun (terdepresiasi) maka akan meningkatkan niali ekspor Indonesia sebesar 0,054%. - Arah koefisien IXip (indeks ekspor negara Indonesia dan negara partner dagang) adalah negative dan secara statistik menunjukkan signifikan dengan nilai koefisiennya sebesar 10,08 dengan angka tersebut mengandung arti bahwa ketika index harga ekspor Indonesia (mewakili harga barang ekspor Indonesia) naik 1% maka akan menurunkan nilai ekspor Indonesia sebesar 10,08%.
940
Analisis Periode Setelah Berlakunya ACFTA (2005-2013) Nilai koefisien determinasi sebesar 87,51% yang berarti bahwa 87,51% variasi total nilai ekspor Indonesia dengan negara partner dagang dipengaruhi oleh variasi variabel independennya. Dari 10 koefisien variabel independen yang diestimasi ada 6 variabel yang secara statistik menunjukkan signifikan pada tingkat keyakinan 95% dan 4 variabel secara statistik tidak signifikan. - Arah dari koefisien GDPi (produk nasional Indonesia) dan GDPp (produk nasional negara partner dagang) sesuai yang diharapkan yaitu positif dan secara statistik menunjukkan signifikan hal ini berarti semakin besar produk nasional maka akan meningkatkan permintaan terhadap produk impor dan disamping itu semakin banyak produk ekspor yang dihasilkan. Karena persamaan regresinya dalam bentuk log natural (ln) maka koefisien veriabel independent tersebut menunjukkan nilai elastisitas; Koefisien GDPi bernilai 0,498 mengandung arti bahwa ketika GDP Indonesia naik 1% maka akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia sebesar 0,4987%. Koefisien GDPp bernilai 1,102 mengandung arti bahwa ketika GDP negara partner dagang naik 1% maka nilai ekspor Indonesia naik sebesar 1,102%. - Arah koefisien POPi (jumlah penduduk Indonesia) adalah negatif secara statistik tidak signifikan, hal ini menunjukkan bahwa dengan besarnya penduduk Indonesia tidak akan berakibat menaikan ekspor Indonesia. - Arah koefisien POPp (jumlah penduduk negara partner dagang) adalah positif yanag mengandung arti bahwa peningkatan jumlah penduduk negara partner dagang akan menyebabkan kenaikan nilai ekspor dan secara statistik signifikan, dengan kata lain bertambahnya jumlah penduduk negara partner dagang menyebabkan permintaan mereka terhadap produk ekspor Indonesia meningkat, koefisiennya sebesar 0,316 yang berarti ketika jumlah penduduk negara partner dagang sebesar 1% maka akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia sebesar 0,316%. - Arah koefisien Dip (jarak Indonesia dengan negara partner dagang) adalah negatif (sesuai yang diharapkan) dan secara statistik menunjukkan signifikan, koefisiennya bernilai -2,319 hal ini berarti setiap ada penambahan jarak antara Indonesia dengan negara partner dagang sebesar 1% maka akan meningkatkan biaya tranportasi dan komunikasi sehingga akan menaikkan harga produk ekspor Indonesia dan pada akhirnya akan mengurangi permintaan produk ekspor sehingga akan menurunkan nilai ekspor Indonesia sebesar 2,319%. - Arah koefisien ERip (nilai tukar rupiah dengan mata uang negara partner dagang) adalah negatif dan secara statistik menunjukkan signifikan, dengan nilai koefisien sebesar-0,024 yang berarti ketika nilai rupiah naik (terapresiasi) sebesar 1% maka akan menurunkan nilai ekspor Indonesia sebesar 0,024% dan jika nilai rupiah turun (terdepresiasi) maka akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia sebesar 0,024%. - Arah koefisien IXip (indeks ekspor negara Indonesia dan negara partner dagang) adalah positif , index ekspor Indonesia naik berarti telah terjadi kenaikan harga dari produk ekspor Indonesia dan secara statistik menunjukkan tidak signifikan artinya tidak berdampak pada nilai ekspor Indonesia.
941
Analisis Variabel Dummy (Trade Creation dan Trade Diversion) - Koefisien variabel CAFTAip sebelum periode ACFTA bernilai negatif dan secara statistik menunjukan nilai yang signifikan sedangkan setelah pemberlakuan ACFTA mempunyai arah positif (sesuai dengan yang diharapkan / menerima Ha dan menolak Ho) dengan koefisien variabel sebesar 43,23 dan nilai probabilitasnya sebesar 0,2836 berarti secara statistik tidak signifikan hal ini mencerminkan bahwa partisipasi Indonesia masuk sebagai anggota ACFTA telah menimbulkan trade creasion diantara negara-negara anggota akan tetapi tidak cukup berdampak pada perdagangan Indonesia dengan adanya perdagangan bebas tersebut, hal ini mencerminkan bahwa secara keseluruhan negara anggota ACFTA akan meningkatkan nilai perdagangannya akan tetapi kurang pengaruhnya terhadap perdagangan Indonesia secara individu. - Koefisien variabel exACFTAip sebelum periode ACFTA adalah positif dan tidak signifikan sedangkan setelah ACFTA menunjukkan arah negative dengan koefisien sebesar -0,9488 dan secara statistik signifikan dengan probabilitas sebesar 0,0000 hal ini mencerminkan bahwa integrasi ekonomi telah menyebabkan negara anggota mengekspor produknya lebih banyak ke negara anggota lainnya dibandingkan ke negara non anggota, free trade ini penyebabnya karena menurunnya atau hilangnya tariff yang dibebankan antar negara partner sehingga harga akan lebih kompetitif dibandingkan dengan produk dari negara partner dagang non anggota berarti telah terjadi penurunan “export trade diversion”. - Koefisien imACFTAip sebelum dan sesudah ACFTA bernilai positif dan tidak signifikan secara statistik hal ini mencerminkan bahwa negara anggota lebih memilih mengimpor produknya dari negara non anggota dibandingkan dari negara anggota, hal ini bisa terjadi kualitas produk impor negara non anggota lebih baik dibandingkan negara anggota sehingga negara anggota khususnya Indonesia lebih memilih membeli produk dari non anggota, disamping itu negara partner dagang utama Indonesia setelah ASEAN dan China sebagian besar berada di Eropa dan Amerika Serikat dan pada tahun 2008 telah terjadi krisis keuangan global, yang paling besar terkena dampaknya adalah negara-negara Eropa dan Amerika yang menyebabkan nilai mata uang mereka terdepresiasi sehingga produk ekspor mereka murah di pasar internasional hal ini dapat meningkatkan impor Indonesia dari negara-negara tersebut. Keadaan tersebut menunjukkan telah terjadi peningkatan dari “import trade diversion”.
KESIMPULAN Mengacu pada model gravitasi dari Timbergen yang sudah dimodifikasi dan digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk melihat dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia maka faktor yang mempengaruhi nilai perdagangan Indonesia khususnya nilai ekspor adalah Gross Domestic Product Indonesia dan negara partner dagang, jumlah penduduk Indonesia dan negara partner dagang, jarak antara Indonesia dengan negara partner dagang, nilai tukar rupiah dengan mata uang negara partner dagang, index ekspor sebagai pengganti dari harga barang ekspor, serta tiga variabel lainnya sebagai variabel dummy, variabel dummy ini digunakan untuk menganalisis trade creation dan trade diversion. 942
Berdasarkan hasil estimasi terhadap koefisien variabel independen maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: - Variabel independent yang arahnya sesuai dengan yang diharapkan dan secara statistic menunjukkan signifikan baik untuk periode sebelum ACFTA maupun selama ACFTA adalah GDPi (produk nasional Indonesia) dan GDPp (produk nasional negara partner dagang), jumlah penduduk negara partner dagang,jarak antara Indonesia dengan negara partner serta nilai tukar rupiah dengan mata uang negara partner dagang. - Variabel independent yang arahnya tidak sesuai dengan yang diharapkan dan secara statistic menunjukkan tidak signifikan adalah jumlah penduduk Indonesia baik untuk periode sebelum ACFTA maupun selama ACFTA, sedangkan indeks harga ekspor tidak signifikan hanya selama periode ACFTA. - Selama ACFTA variabel dummy ACFTAip menunjukkan bahwa ACFTA berdampak positif pada perdagangan Indonesia maka telah menimbulkan trade creasion diantara negara-negara anggota akan tetapi tidak signifikan secara statistik artinya tidak cukup berdampak pada perdagangan Indonesia. - Selama exACFTAip menunjukkan arah negative dan secara statistik signifikan hal ini mencerminkan bahwa integrasi ekonomi telah menyebabkan negara anggota mengekspor produknya lebih banyak ke negara anggota lainnya dibandingkan ke negara non anggota berarti terjadi penurunan “export trade diversion”. - Koefisien imACFTAip selama ACFTA bernilai positif dan tidak signifikan yang mencerminkan bahwa negara anggota lebih memilih mengimpor produknya dari negara non anggota dibandingkan dari negara anggota, berarti peningkatan dalam “import trade diversion”. DAFTAR PUSTAKA Chen, H, and Y. Tu (2005), The Static Trade Effects in China under CAFTA: The Empirical Analysis Based on the Gravity Model. Christopher S.P. Magee, (2010), Trade Creation, Trade Diversion, and Endogenous Regionalism Clausing, Kimberly, 2001, “Trade Creation and Trade Diversion in the Canada – United States Free Trade Agreement,” Canadian Journal of Economics 34 (3), 677-696. Feenstra R, (2004) , Advanced International Trade: Theory and Evidence, Princeton and Oxford, Princeton University Press Firman M, Aziza R, (2009), The Impact of Asean – China Free Trade Agreement on Indonesian Trade, Economic Review, No.218. Ho Sze Yin, Iris, (2010) , Trade Creation and Diversion Effects of ASEAN Free Trade Area Head K, (2003), Gravity for Beginners, mimeo Ibrahim, Meily, Wahyu, (2010), Dampak Pelaksanaan ACFTA terhadap Perdagangan Internasional Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Krueger, Anne O (1999), Trade Creation and Trade Diversion under NAFTA, National Bureau of Economic Research, WP 7429 Krugman Paul, (1999), The Move Toward Free Trade Zones, International Economics and International Enonomic Policy: McGraw-Hill, New York 943
Okayomo, Yumiko (2005), ASEAN, China, and India: Are they more competitive or complementary to each other? Tavi Supriana, (2011), Indonesian Trade Under China Free Trade Area, Economic Journal of Emergenging Markets, Augusts 2011 3(2) 139-151 Tinbergen, J. (1962), Shaping the World Economy, The 20th Century Fund, New York.
944
MANAJEMEN WAKAF DAN ZAKAT PENDIDIKAN SEBAGAI SOLUSI UNTUK PERBAIKAN EKONOMI MELALUI KETERKAITAN PROGRAM PADA UMKM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015
Oleh : Moh.Deni Mustofa1), Vina Septiana Permatasari1) E-mail:
[email protected] 1)
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
ABSTRACT In the faceof ASEAN Economics Community (AEC) in 2015, Indonesian state should respond seriously and strategy. The Indonesian economy is dominated by the Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) will be a priority in improving the economy of Indonesia because it has a high resistance to crisis and global competition. UMKM in Indonesia as one of the foundations of a strong economy still has some problems in its development. To overcome these problems required a system with both the Linkage Program which is a partnership program financing. The partnership made between Islamic Bank with a partner company that will be the Islamic bank partner, and partner companies namely Multifinance and Microfinance Institutions Sharia. With the linkage program, it is expected that financing will be channeled to UMKM are oriented to this concept. So the micro, small and medium enterprises will develop and provide a greater contribution to the GDP and will boost economic growth in Indonesia. However, this system is not optimalunless it‟s supported by Linkage Program. “Waqf Management and Zakat Education” is a method of collecting funds from obligation of moeslem which is have to pay it and then processed in the system to be distributed to people in need espesially UMKM. Waqf are given not only in the form of landor goods that are not liquid(can not move), but liquid funds could also be used to pay waqf. Similarly, the Zakat that is not only mentioned in the nash, but also zakat can be istimbat oranalogous to the stock, the result of the profession, and also one of them to pay for education is often called zakat education.
Keyword: Waqf Management, ZakatEducation, LinkageProgram, UMKM, Economic Growth,ASEANEconomicsComunity(AEC). PENDAHULUAN Memasuki tahun 2015 akan direalisasikan program bersama antara negara-negara khususnya di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN yakni program “Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”. Arus tenaga kerja profesional, lalu lintas modal, barang, jasa dan 945
investasi akan mengalir dengan bebas di kawasan Asia Tenggara. Untuk menghadapi dan memanfaatkan program bersama ini, negara Indonesia perlu memikirkan strategi yang serius agar dapat mengambil manfaat yang besar dari program MEA ini. Potensi yang ada di Indonesia untuk menghadapi MEA adalah memaksimalkan potensi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang ada. Memulai usaha mikro kecil dan menengah adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi tingkat pengangguran. UMKM adalah salah satu pilar perekonomian Indonesia, karena telah terbukti berhasil bertahan selama krisis Asia. Ketika banyak perusahaan besar bangkrut selama krisis dengan meninggalkan sejumlah besar hutang, sebagian besar UMKM Indonesia berhasil mengelola bisnis mereka dan membayar kewajiban mereka.Oleh karena itu, kolaborasi antar instansi pemerintah terkait, otoritas perbankan, dan akademisi, untuk memulai kondisi yang kondusif bagi upaya pengembangan UMKM, tidak bisa dihindari. Masalah permodalan, baik keterbatasan kepemilikan modal maupun kesulitan dalam mengakses sumber pembiayaan, sampai saat ini masih merupakan kendala bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya. Permasalahan lain yang dihadapi oleh UMKM di bidang pembiayaan antara lain : a). Masih rendahnya kredibilitas UMKM dari sudut analisis perbankan; b). Persyaratan administrasi dan prosedur pengajuan usulan pembiayaan yang rumit dan birokratis; c). Adanya persyaratan kesediaan jaminan berupa agunan yang sulit untuk dipenuhi oleh UMKM; d). Informasi yang kurang merata (asimetri) tentang layanan perbankan dan lembaga keuangan yang dapat dimanfaatkan oleh UMKM, serta e). keterbatasan jangkauan pelayanan dari lembaga keuangan, khususnya perbankan. Untuk mengatasi kendala di bidang pembiayaan tersebut, maka perlu dilakukan upaya peningkatkan dan perluasan akses kepada sumber-sumber pembiayaan. Linkage Program adalah program pembiayaan yang bersifat kemitraan yaitu bank syariah mengeluarkan pembiayaan ke sektor riil secara tidak langsung. Pembiayaan ini disalurkan lewat agen atau perusahaan mitra (istilahnya two steps financing). Perusahaan mitra yang menjadi partner bank syariah bisa berupa Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Multifinance dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah seperti Koperasi Jasa keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS), Koperasi pesantren (Kopontren) dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Bank syariah juga bisa melakukan Linkage Program dengan lembaga non keuangan seperti perusahaan perkebunan inti plasma atau perusahaan franchise.yang saling mendukung, memperkuat serta menguntungkan dengan pola syariah. Untuk mengoptimal sistem ini maka harus ada sistem yang mendukung linkage program yaitu dengan manajemen wakaf dan zakat pendidikan. Salah satu solusi yang potensial untuk kebutuhan dana yang cukup untuk kebutuhan publik adalah dana wakaf dan zakat pendidikan. Dana yang dikumpulkan akan kemudian diinvestasikan dalam berbagai portofolio investasi, dimana keuntungan dapat dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat tersebut di atas. Keuntungan yang diperoleh juga akan digunakan untuk mendanai program-program pemberantasan kemiskinan, sementara prinsipnya akan diinvestasikan kembali di berbagai peluang investasi yang sangat menguntungkan. Waqif dan Muzzaki menyumbangkan uangnya sebagai dana wakaf dan zakat untuk Mauquf'alaih (orang yang berhak untuk mendapatkan manfaat dari dana wakaf dan zakat) melalui Nadzir dan Amil (seseorang / lembaga yang bertugas untuk mengelola dana wakaf dan zakat serta 946
mendistribusikan hasil investasinya). Hanya keuntungan dari dana wakaf diinvestasikan akan dikirim ke Mauquf'alaih. (Masyita, 2005). Hal itulah yang melatar belakangi penulis untuk menawarkan suatu metode baru yaituManajemen Wakaf dan Zakat Pendidikan sebagai Solusi Peningkatan Perekonomian melalui Linkage Program pada UMKM dalam Menghadapi ASEAN Economics Comunity (AEC) 2015sebagai usaha untuk menyajikan prinsip wakaf dan zakat serta konsep dinamika sistem dengan pendekatan keuangan mikro syariah praktis sehingga ini dapat efektif diterapkan pada masalah-masalah manajerial.
PEMBAHASAN Kondisi UMKM yang Ada di Indonesia Dalam Perekonomian Indonesia Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok usaha yang paling banyak jumlahnya. Usaha Mikro Kecil dan Menengah ini tergolong kepada sektor riil dalam perekonomian, dimana sektor riil inilah yang memiliki daya tahan yang tinggi terhadap krisis global.UMKM dapat membantu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi suatu negara karena sektor ini akan banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Joseph Alois Schumpeter seorang ahli ekonomi Amerika bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat dipengaruhi oleh kewirausahaan (entrepreneurship), dimana UMKM termasuk di dalamnya. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 sudah cukup menjelaskan bagaimana rentannya modal asing terhadap krisis. Keterkaitan Indonesia dengan pihak asing yang terlalu banyak menyebabkan ketergantungan yang rentan akan krisis. Ketergantungan tersebut dapat menyebabkan Indonesia ikut – ikutan collapse pada saat pihak asing collapse, tidak hanya rakyat miskin yang dibuat menderita tetapi juga konglomerat yang terlilit hutang. Tabel 1 Perkembangan Data Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2011 – 2012
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 947
Bila melihat tabel 1 diatas, terdapat 56,5juta atau 99,99% unit usaha yang ada di Indonesia. Dengan jumlah yang begitu besar, UMKM merupakan penyerap tenaga kerja terbanyak. Dimana UMKM mampu menyerap 107,6 juta pekerja atau 97,16%. Kontribusi terhadap PDB sebesar Rp. 4.869,5 triliun atau 59,08%. Maka dapat disimpulkan dari tabel 1 diatas bahwa UMKM sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia, dibuktikan dengan sumbangan terhadap PDRB yang sangat besar yakni lebih dari setengah total PDRB yang ada di Indonesia. UMKM di Indonesia sangat menyumbang besar dalam tingkat PDRB Indonesia, akan tetapi UMKM meskipun sebagai salah satu fondasi perekonomian yang kuat masih memiliki beberapa masalah dalam perkembangannya. Masalah yang tergolong krusial dalam perkembangan UMKM sendiri adalah seperti pembiayaan UMKM, wawasan masyarakat mengenai strategi pemasaran, dan hak intelektual.Menurut data statistik Bank Indonesia mengenai net ekspansi kredit UMKM pada bulan April 2013 (data terbaru) menunjukkan bahwa net ekpansi kredit yang diberikan pada UMKM secara keseluruhan mencapai 17.670,2 miliar rupiah, dimana jumlah tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan april 2012 sejumlah 11.830,9 miliar rupiah. Walaupun terjadi peningkatan pada April 2012 ke April 2013 , namun jumlah ini masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan Juni 2012 yang mencapai 50.530,3 miliar rupiah. Pembiayaan yang diberikan dari sektor formal seperti perbankan terhadap UMKM jelas tergolong masih rendah, hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya akses masyarakat untuk memperoleh pinjaman dari sektor formal seperti perbankan dimana masyarakat harus mengikuti berbagai macam alur administrasi dan pengembalian pokok hutang dengan bunga yang cukup besar. Selain itu juga perbankan takut untuk memberikan kredit bagi UMKM akibat tingginya non–performing loan (NPL) perbankan dari sektor UMKM. Indonesia sebagai Negara yang menganut dual banking system seharusnya menjadi keuntungan tersendiri bagi masyarakat karena akan semakin banyak pilihan untuk mengajukan kredit usaha. Bank Konvensional dan Bank Syariah yang jumlahnya banyak seharusnya menjadi solusi pembiayaan UMKM secara umum. Selain itu juga ada Bank perkreditan rakyat yang memberikan pinjaman kepada masyarakat untuk merintis usaha. Namun Bank Perkreditan Rakyat ini cakupannya masih kecil jika dibandingkan dengan Bank Konvensional dan Syariah. Selain itu juga ada koperasi. Sistem koperasi yang dahulu sangat berkembang sebagai salah satu instrument untuk meningkatkan perekonomian. Koperasi tergolong kepada lembaga keuangan mikro yang dapat membantu UMKM dalam proses pembiayaannya. Namun jika koperasi dikelola dengan kurang baik maka hal ini akan berdampak pada pembiayaan yang kurang baik juga.Jika alur administrasi di sektor formal seperti perbankan dan koperasi tidak dibenahi maka masyarakat akan cendrung untuk mengambil pembiayaan dari sektor informal dimana alur administrasinya cendrung lebih sederhana walaupun bunga pengembalian pokok hutang biasanya lebih besar dibandingkan dengan sektor formal. Masalah pembiayaan tidak hanya terbatas pada saat sebuah usaha didirikan tetapi juga pada saat pengoperasian usaha tersebut. Bagaimana barang modal dan segala kebutuhan dari usaha dapat dipenuhi dan membantu proses produksi agar efisien. Masalah pembiayaan yang hanya berhenti pada saat pendiria sebuah usaha akan berdampak pada inefisiensi dan kurangnya kapabilitas entitas tersebut. 948
Karakteristik Model Linkage Program Linkage Program adalah program kerjasama antara bank umum termasuk bank umum peserta KUR dengan koperasi dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Koperasi Jasa Keuangan Syariah, yang selanjutnya disebut KJKS adalah koperasi jasa yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah). Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi, yang selanjutnya disebut UJKS-Koperasi adalah unit usaha koperasi yang bergerak di bidang usaha pembiayaan, investasi dan simpanan dengan pola bagi hasil (syariah), sebagai bagian dari kegiatan koperasi yang bersangkutan. Koperasi yang dimaksud dalam Linkage Program ini adalah KSP/USP-Koperasi atau KJKS/UJKS-Koperasi yang selanjutnya disebut Koperasi. Anggota Koperasi yang dimaksud dalam Linkage Program ini adalah anggota tetap dan atau calon anggota Koperasi (termasuk anggota yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil), yang keanggotaannya diatur didalam Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga masing-masing Koperasi. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-undang, dengan kriteria : Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi criteria yakni memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). MODEL LINKAGE PROGRAM Model Linkage Program antara Bank Umum dengan Koperasi, dilakukan dalam bentuk : a. Executing Pinjaman yang diberikan oleh bank umum kepada koperasi dalam rangka pinjaman/pembiayaan untuk disalurkan kepada anggota Koperasi. Pencatatan di Bank Umum sebagai pinjaman kepada Koperasi, sedangkan pencatatan di koperasi sebagai pinjaman kepada anggota koperasi. b. Channeling, Pinjaman yang diberikan oleh bank umum kepada anggota koperasi melalui koperasi yang bertindak sebagai agen dan tidak mempunyai kewenangan memutus kredit kecuali mendapat surat kuasa dari Bank Umum. Pencatatan di Bank Umum sebagai pinjaman kepada anggota koperasi, sedangkan pencatatan di Koperasi pada off balance sheet. c. Joint Financing 949
Pembiayaan bersama oleh bank umum dan koperasi terhadap anggota koperasi. Pencatatan outstanding credit bagian Bank Umum dan bagian Koperasi sebesar porsi pembiayaan kepada anggota koperasi. Identifikasi koperasi calon peserta Linkage Program dilakukan oleh Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Bank Umum, Instansi terkait dan Lembaga Kemasyarakatan lainnya. Metode Manajemen Wakaf dan Zakat Pendidikan SebagaiPeningkatan Perekonomian Di Indonesia
Bagi
Linkage
Program
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa potensi zakat nasional sangat besar. Indonesian Magnificent of Zakat (IMZ) menyatakan potensi zakat nasional sebesar Rp 27,2 trilyun sementara Baznas menyatakan sebesar Rp 217 trilyun (termasuk zakat rumah tangga, industri, tabungan dan BUMN). Kenyataan ini perlu disambut oleh lembaga-lembaga amil zakat yang ada dengan penghimpunan zakat yang agresif (Fakhryrozi, 2010). Dengan potensi sebesar ini, peluang zakat untuk mengentaskan kemiskinan sangat besar. Dana zakat bisa digunakan untuk beberapa macam hal termasuk zakat pendidikan untuk meningkatkan perekonomian melalui UMKM. Dengan adanya zakat pendidikan bagi UMKM, usaha yang dilakukan dapat berjalan dengan lebih optimal dan dapat mempekerjakan maupun memberikan pelatihan kewirausahawan kepada pegawai UMKM yang sebagian besar adalah orang golongan menengah ke bawah. Tabel 2 Jumlah, Luas dan Status Tanah Wakaf Serta Jumlah Pejabat Pembuat AktaIkrar Wakaf
Sumber: Departemen Agama, 2010 950
Menurut data pada tabel 2 diatas, jumlah tanah wakaf yang bisa digunakan seluas 3 juta meter persegi. Dengan jumlah tersebut, maka tanah wakaf dapat digunakan untuk pendirian usaha UMKM untuk memperluas usaha mereka. Selain itu, dana wakaf yang berasal dari sertifikan wakaf tunai yang sudah dijalankan mampu untuk membiayai sebagian dana yang diperlukan oleh UMKM selain dari dana zakat pendidikan. Dengan kolaborasi wakaf dan zakat pendidikan maka diharapkan mampu untuk menjawab permasalahan modal yang dialami UMKM untuk meningkatkan kinerja yang ada dalam UMKM dan akan berdampak pada peningktan perekonomian yang ada di Indonesia. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai sektor yang lekat dengan perbankan syariah tetap menjadi prioritas penyaluran dana perbankan syariah, hal ini tercermin pada alokasi pembiayaan baik modal kerja maupun investasi ke sektor tersebut yang mencapai Rp.47,17 triliun dengan porsi 77,37% dari total PYD bank umum dan unit usaha syariah. Dominasi pembiayaan kepada sektor UMKM ini tidak mengherankan mengingat nature bank syariah yang dekat ke UMKM dan potensi pasar sector tersebut terbesar dan tersebar diseluruh pelosok tanah air. Gambar 1 Pembiayaan UMKM oleh Perbankan Syariah
Sumber : Outlook Perbankan Syariah 2011 Sejalan dengan pertumbuhan PYD yang meningkat, laju pertumbuhan pembiayaan (modal kerja dan investasi) sektor UMKM juga meningkat pesat dari 19,86% (yoy) pada September 2009 menjadi 44,81% per September 2010. Peningkatan laju pertumbuhan pembiayaan sektor UMKM sejalan dengan program pemerintah yang semakin memberikan kemudahan pada sektor UMKM untuk semakin berkembang. Penyaluran pembiayaan kepada nasabah UMKM dapat dilakukan secara langsung maupun dengan cara bermitra (linkage program) dengan lembaga keuangan lain seperti BPRS dan koperasi. Linkage program ini bisa dilakukan melalui skema channeling, 951
executing, atau joint financing. Disamping itu bank syariah juga menjadi agen pemerintah untuk kredit program bagi nasabah UMKM seperti Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Usaha Tani (KUT), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan demikian diharapkan potensi nasabah UMKM dapat tergarap merata. Pengelolaan dana wakaf dan zakat pendidikan harus disadari merupakan pengelolaan dana publik. Oleh karena itu, tidak saja pengelolaannya yang harus dilakukan secara profesional, akan tetapi budaya transparasi serta akuntabilitas merupakan factor yang harus diwujudkan. Sehingga dalam hal ini, lembaga apapun yang telah memiliki budaya tersebut adalah lembaga yang paling siap dalam mengemban pengelolaan wakaf dan zakat pendidikan. Manajemen wakaf dan zakat pendidikan melibatkan tiga pihak, yaitu: 1) Wakif dan Muzzaki (pemberi wakaf dan zakat); 2) Nadzir dan Amil (pengelolaan wakaf dan zakat) yang juga bertindak sebagai manajer investasi; 3) Maukuf alaih dan Mustahik (masyarakat yang diberi wakaf dan zakat). Wakif dan Muzzaki akan memberikan hartanya (uang) sebagai wakaf dan zakat kepada lembaga pengelola dan keuntungannya didistribusikan kepada masyarakat luas yang membutuhkan. Oleh karena itu, menurut M. Syafii Antonio sebagaimana dikutip oleh Tim Depag (2004: 51-55) (sumber: diolah). Gambar 2 Skema Pendanaan Microfinancing
Sumber: Dian Maysita, 2009 Dalam skema ini, usaha mikro mendapatkan modal kerja dari portofolio dan wakaf. Pada saat yang sama, keluarganya menerima dana zakat untuk pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Skema ini sangat penting bagi usaha mikro,karena akan membuat mereka lebih fokus pada karya-karyanya dan menghindari penyalahgunaan modal kerja. Namun demikian, hanya memasok mereka dengan modal tidak cukup,karena kebanyakan dari merekatidak memiliki pengetahuan yang memadai.Akibatnya, bisnis yang 952
relevan bantuan teknis (teknologi & manajerial) dan pengobatan spiritual diperlukan untuk membantu mereka bertahan hidup (Maysita, 2009). sebagai lembaga pengelola wakaf dan zakat harus memastikan output yang diharapkan yakni sebagai berikut: Pertama, kemampuan akses kepada calon penerima wakaf dan zakat pendidikan. Calon tersebut tentunya mereka yang memiliki kelebihan likuiditas, terlepas seberapa likuiditas tersebut. Saat ini umumnya kelebihan likuiditas masyarakat disimpan di bank. Potensialitas calon tersebut dapat dilihat oleh bank dengan mengamati jumlah deposito, tabungan, atau mutasi giro yang bersangkutan, sehingga akan lebih mudah dilakukan oleh bank beserta jaringannya. Kedua, kemampuan melakukan investasi dana wakaf dan zakat pendidikan. Investasi wakaf dan zakat pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai jenis investasi, yaitu: (a) Investasi Jangka Pendek: yaitu dalam bentuk mikro kredit. Bank-bank telah mempunyai pengalaman dalam bentuk kerjasama dengan pemeriintah untuk menyalurkan kredit mikro, seperti skim KPKM (Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro) dari Bank Indonesia (BI); (b) Investasi Jangka Menengah; yaitu industry/usaha kecil. Dalam hal ini bank di Indonesia telah terbiasa dengan ketentuan adanya beberapa skim kredit program KKPA, KKOP, dan KUK (sesuai keetentuan BI); (c) Investasi Jangka Panjang: yaitu untuk industry manufaktur dan industry besar lainnnya. Bank mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi jangka panjang seperti investasi pabrik dan perkebunan. Kemampuan tersebut dimiliki oleh bank, karena bisnis bank adalah menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan investasi maupun modal kerja. Ketiga, kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary. Nadzir dan Amil sebagai pihak yang diberi amanah untuk mengelola dana wakaf dan zakat pendidikan sekaligus memberikan benefitnya kepada beneficiary, harus melakukan administrasi yang cukup memadai dan menjamin bahwa setiap beneficiary mendapatkan benefit atas dana wakaf tersebut. Administrasi ini membutuuhkan teknologi dan kemampuan SDM yang handal. Kemampuan SDM dan kecukupan teknologi tersebut dimiliki oleh bank, dimana nature bisnisnya adalah mengelola rekening-rekening nasabah. Teknologi bank juga cukup memadai untuk menampung banyak data base beneficiary yang akan mendapatkan kredit. Keempat, kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf dan zakat pendidikan. Benefit hasil investasi dana wakaf dan zakat pendidikan harus didistribusikan kepada beneficiary. Pendistribusian ini mengacu pada persyaratan yang diberikan oleh wakif dan muzzaki terhadap pihak yang berhak menerima benefit. Pihak pengelola dana wakaf dan zakat harus memastikan berapa besar benefit yang diterima. Hal ini menuntut kemampuan administrasi dan teknologi, dan bank mempunyai kemampuan untuk itu. Kelima, mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol dengan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga keuangan semisal bank yang mampu menjadi nadzir dan amil harus memiliki kredibilitas di mata masyarakat karena harus mampu menjalankan amanah untuk melakukan investasi dan mendistribusikan benefit atas investasi dana wakaf dan zakat pendidikan. Kelebihan bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah bahwa bank syariah merupakan lembaga yang bersifat syariah high regulated, di mana Dewan Pengawas Syariah (DPS) senantiasa memantau apakah operasional dan produk bank syariah sudah sesuai dengan ketentuan syariah atau tidak.
953
KESIMPULAN Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia harus menghadapi dengan penuh keseriusan. Melihat dari segi keuntungan yang bisa dicapai dalam menghadapi Masyrakat Ekonomi ASEAN. UMKM merupakan pondasi perekonomian Indonesia yang harus diperhatikan agar perekonomian yang ada tetap berjalan dengan baik dan dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia yang didominasai oleh usaha mikro kecil dan menengah. Linkage Program telah berkembang dengan baik dan merupakan salah satu upaya menanggulangi pembiayaan modal untuk usaha mikro. Linkage Program telah membuktikan bahwa Bank Umum dapat pula menjangkau usaha mikro/masyarakat miskin dengan tetap profitable dan aman. Linkage Program juga sebagai bentuk kepedulian sosial serta peluang pasar baru dalam mengaplikasikan program agar berfungsi dengan maksimal dalam kinerja yang dilakukan. Pengelolaan dana wakaf dan zakat pendidikan yang merupakan pengelolaan dana publik yang mempunyai keunggulan menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan investasi maupun penyertaan modal kerja. Pengelolaan dana wakaf dan zakat pendidikan akan melengkapi sistem yang ada dimana berfungsi untuk pembiayaan yang akan disalurkan kepada masyarakat yang memilki usaha mikro kecil dan menengah(UMKM).
DAFTAR PUSTAKA Amin, Azwar. 2007. Kemitraan Usaha dalam Klaster Industri Kerajinan Anyaman di Kabupaten Tasikmalaya. Tugas Akhir tidak dipublikasikan. Semarang : Universitas Diponegoro (Undip). Andriansyah, Yuli. 2010. Kebijakan Pembiayaan Perbankan Pada Umkm untuk Pemulihan Ekonomi Pasca Erupsi Merapi. Yogyakarta : Direktorat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat. Anonim. presentase kemiskinan Indonesia tahun 2009.http://blahblagadah.blogsome.com/. _______, Inovasi Kemitraan Perbankan Syariah untuk Pengentasan Kemiskinan.Majalah Ekonomi Syariah, volume 6, no 26, 2008 Ariyanto, Agus. 2002. Usaha Mikro dan Usaha Kecil Menengah. Document file. Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009. Badan Pusat Statistik Idat, Dhani Gunawan dkk. 2011. Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011. Jakarta : Direktorat Perbankan Syariah Maysita, Dian. 2009.Designing Waqf Management Systems for Microfinance Sector and Poverty Eradication in Indonesia. Durham University United Kingdom 954
Osman, ahmad zamri. 2010. Accountability of Waqf Management: Insight From Praxis of Nongovernmental Organisation (NGO). London : Royal Holloway University Permen No. 03/Per/M.KUKM/III/2009 Pedoman Umum Linkage Program Antara Bank Umum Dengan Koperasi. Jakarta : Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. Utomo, Budi Setiawan. Manajemen Efektif Dana Wakaf produktif. Rumah Zakat Indonesia. Salam, Abdul. 2004. Mendorong Akselerasi Intermediasi kepada Usaha Mikro dan Kecil melalui Linkage Program. Jakarta : Permodalan Nasional Madani.
955
PERBANKAN INDONESIA : MODELLING RESPON KREDIT BANK UMUM, BERBASIS VECTOR ERROR CORRECTIONMODEL (VECM) Oleh: Sapto Jumono1), Sugiyanto1) E-mail:
[email protected] 1)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas EsaUnggul, Jakarta
ABSTRACT The ultimate goal of this research is to create a model of relationship credit development in Indonesian banking in the dimensions of short term and long term. The rate of growth of credit in commercial banks is associated with the determining factors, such as interest rates SBI and IPI (industrial production index) as an external deteminator. Meanwhile, bank's internal factors are shown by NIM (net interest margin), DPK (third party funds / public deposits), and NPL (non performing loans). The focus of the study is to determine the cointegration and equilibrium response by reviewing the credit of the determining factors. The database used is the banking and financial macroeconomic monthly from March 2003 to April, 2014. Analysis technique using VAR (vector auto regression). The results of the unit roots test for any study variables showed no stationary at level; but stationary in first differences; and proved there is an co-integration. From the data, such as the condition of VAR type VECM (vector error correction model) is more appropriate. From the results of VECM output shows that the long-term variable NPL Deposits has negative effect and significant; Variable IPI and NIM has a positive influence, significantly, while SBI positive effect, not significant. Speed of adjustment coefficient of 1.0245% (meaning: each month the error is corrected by 1.0245% to the long-term equilibrium). While the short-term equation proves that the variable DPK; SBI, IPI and NIM negative effect, significant. While the positive effect of NPL in credit growth in Indonesia. The results of the analysis of IRF (impulse response function) and (forecast error variance decomposition) showed that the rate of credit growth of commercial banks in a row (from large to small) is affected by the shock of the credit itself (+), DPK (-), IPI (+), NPL (+), NIM (+) and SBI (-) on the development of credit. Conclusions, credit growth of commercial banks in Indonesia is more influenced by internal factors rather than external factors banking.
Keywords: Credit, Bank,SBI. IPI,DPK, NPL, VAR & VECM PENDAHULUAN Latar belakang Pasar keuangan memiliki fungsi penting dalam mentransfer sumber daya perekonomian rumah tangga yang ingin menyimpan sebagian pendapatannya ke rumah tangga 956
dan perusahaan yang ingin meminjam untuk membeli barang-barang investasi yang akan digunakan dalam proses produksi. Proses mentransfer dana dari penabung ke peminjam disebut perantara keuangan (financial intermediation). Banyak lembaga dalam perekonomian bertindak sebagai perantara keuangan, tetapi hanya bank yang memiliki otoritas hukum untuk menciptakan aset yang merupakan bagian dari penawaran uang, seperti rekening cek. Karena itu, bank satu-satunya lembaga keuangan yang secara langsung mempengaruhi penawaran uang (Mankiw, 2008). Fungsi dan peran bank umum dalam perekonomian sangat penting dan strategis. Bank umum sangat penting untuk menopang kekuatan dan kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter. Fungsi dan keberadaan bank umum dalam perekonomian modern meliputi (1) penciptaan uang (2) mendukung kelancaran mekanisme pembayaran (3) penghimpunan dana simpanan (4) mendukung kelancaran transaksi internasional (5) penyimpanan barang-barang dan surat-surat berharga (6) pemberian jasa-jasa lainnya (Manurung dan Rahardja, 2004). Sistem perbankan merupakan bagian terbesar dari sistem keuangan, memegang peran yang strategis dan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Interaksi sistem keuangan dan sektor riil secara nyata telah terjadi. Secara umum, menampakan bahwa sistem keuangan hanya merupakan derivasi dari sektor riil. Tetapi, sesungguhnya yang terjadi dalam perekonomian, keduanya saling mempengaruhi dan membentuk keseimbangan dalam jangka panjang. Pembangunan sektor keuangan pada perubahan struktur perbankan, diharapkan mampu meningkatkan perekonomian karena peranan strategis dalam menggerakan roda perekonomian suatu negara. Sektor kredit ternyata masih menempati porsi terbesar dari pendapatan total yang diterima oleh hampir semua bank di Indonesia (Arthesa dan Handiman, 2006). Secara umum, kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Statistik Perbankan Indonesia, 2006). Kredit yang disalurkan oleh bank umum berdasarkan jenis penggunaannya terbagi dalam tiga jenis, yakni Kredit Modal Kerja (Working Capital Credit), Kredit Investasi (Investments Credit), dan Kredit Konsumsi (Consumption Credit). Jika diagregasi, maka pada umumnya, kredit dikelompokkan berdasarkan penggunaannya, keperluan produksinya, jangka waktunya, serta cara penggunaannya (Arthesa dan Handiman, 2006). DPK (Dana Pihak ketiga) yang mencerminkan dana-dana yang dihimpun dari masyarakat ternyata merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank (Dendawijaya, 2000). Hal ini dikarenakan DPK tersebut bisa mencapai 80-90 persen dari seluruh dana yang dikelola oleh bank. Komposisi DPK terdiri dari giro, tabungan, dan deposito. Menurut Simorangkir (2004), giro merupakan simpanan pihak ketiga pada suatu bank yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek, kartu ATM, surat perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindahbukuan (seperti bilyet giro). Tabungan adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu. Selanjutnya, deposito adalah simpanan milik pihak ketiga dalam rupiah yang penarikannya dilakukan setelah jangka waktu tertentu menurut 957
perjanjian antara bank dengan si penyimpan (deposan). Dalam melihat kinerja suatu bank berdasarkan fungsi intermediasinya, DPK sangat erat kaitannya dengan Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR adalah perbandingan jumlah pinjaman yang diberikan terhadap simpanan masyarakat. Bank Indonesia menentukan tingkat likuiditas yang baik terletak pada interval LDR yang bernilai antara 85 – 100 persen. Penyaluran kredit dari sisi penawaran dipengaruhi oleh rasio dari non performing loan (NPL). Semakin tinggi rasio NPL, mengindikasikan bahwa tingginya jumlah kredit bermasalah dari suatu bank. Karena itu, dalam kondisi NPL yang tinggi tersebut, perbankan lebih cenderung untuk melakukan konsolidasi internal guna memperbaiki kualitas aset yang dimiliki daripada menyalurkan kredit (Agung, et al., 2001). Argumen yang menyatakan bahwa NPL merupakan salah satu faktor yang signifikan dalam penyaluran kredit juga dikemukakan oleh Mohanty, Schnabel, dan Garcia-Luna (2006), bahwa kredit yang diberikan oleh perbankan highly sensitive terhadap rasio NPL. Lebih jauh lagi, dikatakan pula bahwa kredit perbankan distimulasi oleh pereduksian dalam biaya operasional, yang mengimplikasikan bahwa bank yang memiliki biaya operasional lebih rendah, ternyata memiliki pertumbuhan kredit yang lebih tinggi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bank for International Settlement (BIS), ternyata rasio NPL Indonesia pada tahun 2004 sebesar 1,8 persen (merupakan persentase dari total aset bank komersial), lebih rendah dibandingkan periode pasca krisis tahun 1999 sebesar 6,6 persen (Mohanty, Schnabel, dan Garcia-Luna, 2006). Suku bunga SBI yang merupakan instrumen moneter adalah suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai insentif bagi pemegang sertifikat. Setelah berlakunya Inflation Targeting Framework (ITF), maka respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI rate. BI rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) satu bulan hasil lelang Operasi Pasar Terbuka (OPT) berada di sekitar BI rate (Bank Indonesia, 2006). Jadi, dengan kata lain, setelah berlakunya ITF suku bunga SBI tenor satu bulan disebut juga dengan BI rate. Di negara maju, apabila suatu penelitian menggunakan data bulanan, maka pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu bulanan dinilai lebih representatif jika menggunakan indeks Industrial Production dibandingkan GDP Riil. Penggunaan variabel indeks Industrial Production memang belum seluas penggunaan variabel GDP Riil dalam sebuah penelitian, tetapi penelitian dalam kurun waktu belakangan ini mulai menggunakan variabel indeks Industrial Production untuk mencerminkan pertumbuhan ekonomi bulanan, seperti studi yang dilakukan oleh Besimi, Pugh, dan Adnett (2006), serta Cifter dan Ozun (2007). Dengan demikian, Index Industrial Production digunakan sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi (output).
958
TDPK
TKredit
IPI
Gambar 1 Perkembangan Kredit, DPK dan IPI bulanan, 2003-2014
Gambar 1 menunjukan perkembangan kredit dan simpanan/DPK di Indonesia selama kurun waktu 2003-2014. Terihat bahwa perolehan DPK pada bank-bank umum melampaui kredit yang disalurkan. Ini menunjukan bahwa terdapat over liquidity pada bank umum. Pertumbuhan IPI yang diproksikan oleh perkembangan indeks produksi besar dan menengah, juga mengalami pertumbuhan yang positif, meski tidak setajam pertumbuhan kredit dan DPK.
NPL
NIM
SBI
Gambar 2. Perkembangan SBI, NPL dan NIM pada bank umum 2003-2014
Gambar 2 menunjukan perkembangan data bulanan dari bunga SBI (%), NPL (%) dan interest rate spread yang diproksikan persentase NIM ( net interest margin) selama 2003959
20014. Terihat bahwa bunga SBI paling fluktuatif, dikuti dengan NPL yang menunjukan tren menurun. NIM tampak cenderung lebih stabil bergerak sekitar 4persen hingga 6 persen. Dari fenomena ini, muncul pemikiran apakah ada keterkaitan diantara variabel-variabel mikro dan makro tersebut di atas terhadap laju perkembangan total kredit industri perbankan di Indonesia.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan model hubungan respon kredit dalam jangka pendek dan jangka panjang dari variabel makroekonomi dan perbankan. Variabel ekonomi meliputi suku bunga SBI dan Indeks Industrial Produksi, sedangkan variabel perbankan meliputi suku bunga kredit investasi, Dana Pihak Ketiga, dan Non Performing Loan. Model ini merupakan inovasi dalam konstruksi model respon kredit perbankan sehingga mampu mengembangkan perubahan menjadi model respon kredit bank-bank umum. Fokus studi adalah untuk menentukan kointegrasi dan ekulibrium dengan mengkaji respon kredit terhadap berbagai variabel makroekonomi dan perbankan di Indonesia berdasarkan metode Vector Error CorrectionModel (VECM).
Kontribusi Penelitian Kontribusi penelitian adalah, pertama, Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai hubungan antara suku bunga SBI, suku bunga kredit investasi, indeks Industrial Production, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan Non Performing Loan (NPL) dengan perilaku kredit investasi dalam jangka pendek dan jangka panjang yang disalurkan oleh kedua kelompok bank tersebut. Kedua, Sebagai bahan referensi bagi pembuat kebijakan moneter, terutama Bank Indonesia untuk membuat kebijakan terbaik guna menstimulus penyaluran kredit di Indonesia (mengingat peranan kredit investasi yang krusial sebagai salah satu sumber pembiayaan dunia usaha), serta rujukan bagi dunia perbankan untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan sumber dana dalam kaitannya dengan fungsi intermediasi perbankan serta kemampuan preventif terhadap perubahan berbagai faktor yang dianalisis dalam penelitian ini sehingga penyaluran kredit kepada masyarakat tidak terhambat.
Metodologi Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data deret waktu bulanan dari Maret 2003 hingga April, 2014. Selain itu, variabel DPK, Index Industrial Production, dan kredit (total) dibuat dalam bentuk logaritma natural (ln) untuk mempermudah pengolahan data dalam penelitian. Bank yang menjadi sumber penelitian adalah bank umum. Alat bantu analisis yang digunakan adalah software EViews 7.1.
960
Tabel 1 Data, Satuan, dan Simbol Variabel
Satuan
Simbol
Pertumbuhan Kredit
Miliar Rupiah
Ln_K
Suku Bunga SBI
Persen
SBI
Interest rate spread (IRS/NIM)
Persen
NIM
Indeks Industrial Production
Point
Ln_IP
Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga
Miliar Rupiah
Non Performing Loan
Persen
Ln_DPK
NPL
Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik Metode Analisis. Dalam menjelaskan deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka digunakan model Vector Autoregression (VAR) apabila data stasioner pada level. Tetapi, jika data tidak stasioner pada level, dan terdapat hubungan kointegrasi maka model VAR harus dikombinasikan dengan model Vector Error Correction Model (VECM). Pengujian Model. Dalam menganalisis hubungan di antara variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian dengan menggunakan model VAR, maka terdapat sejumlah langkah sistematis yang dilakukan, yakni uji stasioneritas, penentuan lag optimal, uji kointegrasi, serta estimasi VAR atau VECM (jika kelak terdapat hubungan kointegrasi). Setelah dilakukan serangkaian pengujian pada model, maka dilakukanlah innovation accounting pada penelitian berupa analisis Impulse Response Function (IRF), serta analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Sebelumnya akan dilakukan Uji Stasioneritas, Penentuan Lag Optimal, Uji Kointegrasi dan Estimasi VAR/ VECM Innovation Accounting. Firdaus (2012) mengemukakan bahwa shock yang diberikan pada suatu variabel tidak hanya secara langsung mempengaruhi variabel tersebut, tetapi juga ditransmisikan kepada seluruh variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis (lag) dalam sistem VAR. Impulse Response Function (IRF) menunjukkan pengaruh shock atau inovasi suatu variabel terhadap variabel lainnya, serta periode (berapa lama) pengaruh yang ditimbulkan tersebut. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menjelaskan proporsi dari pergerakan dalam suatu persamaan karena shock (guncangan) dari variabel tertentu dibandingkan dengan shock terhadap variabel yang lainnya (Enders, 2004). FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi dari masingmasing variabel terhadap shock yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. Di samping itu, FEVD juga menyediakan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing random innovation dalam mempengaruhi variabel-variabel dalam sistem VAR (Firdaus, 2012). 961
PEMBAHASAN Uji Stasioneritas /Unit Root Test Berdasarkan hasil uji yang diperoleh, data time series keenam variabel penelitian tidak stasioner pada level (t-statistic < test critical value), sehingga perlu pengujian stasioneritas pada first difference-nya. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat dalam tabel 2 berikut. Dari tabel 2 di dapat terlihat bahwa Uji ADF pada first difference yang dilakukan menunjukkan semua data telah stasioner (t-statistic > test critical value) pada α =1% (tingkat keyakinan 99 persen. Tabel 2 Uji Unit Root ADF untuk masing-masing variabel Level t-Statistic
1stDiff Prob.*
t-Statistic
Prob.*
LnTK
-0.590
0.868
-10.771*
0.000
LnDPK
1.089
0.997
-11.248*
0.000
TNPL
-1.145
0.697
-11.013*
0.000
SBI
-2.590
0.098
-4.838*
0.000
IPI
1.030
0.997
-4.767*
0.000
TNIM
-2.071
0.257
-14.107*
0.000
5%level
10%level
Test critical values:
1%level
1%; 5%; 10% level
-3.48043 -2.88341
-2.57851
Sumber : data sekunder diolah Penentuan lag optimum Langkah selanjutnya dalam melakukan estimasi terhadap model ini yaitu menentukan panjang lag optimum. Kandidat selang yang akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia, yaitu criteria Likehood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike. Infformation Criterion (AIC), Shwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quin Criterion (HQ). Apabila kriteria informasi merujuk pada sebuah kandidat selang, maka lag tersebut yang akan dipilih untuk melanjutkan estimasi pada tahanapan berikutnya. Hasil Uji lag optimum pada kelima model akan ditunjukkan pada tabel 3, dimana lag optimum adalah dua.
962
Tabel 3 Penentuan lag optimal Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
-642.53
NA
0.001191
10.29412
10.42918
10.34899
1
366.1512
1905.286
2.35E-10
-5.14526
-4.19983
-4.76116
2
456.1601
161.4446
1.00e-10*
6.002542*
4.246748*
5.289218*
3
477.523
36.28294
1.27E-10
-5.77021
-3.20405
-4.72766
4
505.6122
45.03191
1.47E-10
-5.64464
-2.26811
-4.27286
5
527.3144
32.72546
1.90E-10
-5.41769
-1.2308
-3.71669
6
555.4271
39.71479
2.25E-10
-5.29249
-0.29524
-3.26226
7
614.8949 78.34656*
1.66E-10
-5.665
0.142626
-3.30554
Sumber : data sekunder diolah Uji Stabilitas VAR Panjang lag optimal telah diperoleh dari pengujian sebelumnya. Setelah itu, uji sabilitas dilakukan untuk menentukan apakah lag tersebut merupakan lag maksimum VAR yang stabil. Stabilitas model VAR dapat dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle (Lutkepohl, 1991). Nilai modulus terlihat pada table 4 pada model berkisar antara 0.0170- 0.9970. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa model VAR stabil pada panjang selangnya masingmasing sehingga bisa dilakukan uji FEDV pada model ini yang menghasilkan output yang valid.
963
Tabel 4 Hasil uji stabilitas VAR Root
Modulus 0.9970
0.9970
0.9540
0.9540
0.904310 - 0.032335i
0.9049
0.904310 + 0.032335i
0.9049
0.750655 - 0.202023i
0.7774
0.750655 + 0.202023i
0.7774
0.5486
0.5486
-0.217379 - 0.357497i
0.4184
-0.217379 + 0.357497i
0.4184
0.2393
0.2393
-0.1958
0.1958
-0.0170
0.0170
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. Sumber : data sekunder diolah Uji Kointegrasi Johansen Pengujian kointegrasi penting untuk dilakukan untuk melihat hubungan jangka panjang variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meskipun jika dilihat secara individu tidak stasioner, namun secara kombinasi linear menjadi stasioner. Salah satu syarat agar tercapai keseimbangan jangka panjang yaitu nilai galat keseimbangan harus berfluktuasi sekitar nol. Dikarenakan data yang diperoleh tidak semua stasioner pada level, maka akan dilakukan estimasi dengan menggunakan model VECM, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian kointegrasi terlebih dahulu.
964
Tabel 5 Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi Johansen Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
0.05
Statistic
Critical Value
Prob.**
None *
0.297
118.191
95.754
0.001
At most 1 *
0.233
71.958
69.819
0.033
At most 2
0.128
37.220
47.856
0.337
At most 3
0.080
19.220
29.797
0.477
At most 4
0.058
8.352
15.495
0.429
At most 5
0.004
0.523
3.841
0.470
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Sumber : data sekunder diolah Hubungan kointegrasi dalam penelitian ini dapat dilihat dari nilai trace statistic. Terdapat hubungan kointegrasi apabila nilai trace statistic lebih besar dari nilai critical value 5 persen. Hasil uji kointegrasi Johansen dapat dilihat pada tabel 5. Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa pada model terdapat minimal dua rank kointegrasi pada α =5% (tingkat keyakinan 95 persen), yang berarti terdapat minimal dua persamaan kointegrasi yang mampu menerangkan keseluruhan masing-masing model tersebut. Hal ini berarti terdapat hubungan jangka panjang antara perkembangan kredit dengan factor-faktor penentunya, dalam hal ini pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam SBI,IPI, DPK, NPL dan NIM yang hasilnya akan diperjelas pada estimasi VECM dan uji FEDV (Forecast Error Decomposition Variance). Hasil Estimasi VECM Perkembangan Kredit dan Faktor-Penentunya VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi. Restriksi tambahan ini dilakukan karena adanya data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM mampu melihat hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Model VECM yang dipilih merupakan model terbaik berdasarkan kriteria goodness of fit yang harus dimiliki model. Model ini diharapakan lebih mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya dibandingkan dengan menggunakan model VAR in difference. Sims (1980) dan Doan (1992) menentang penggunaan variable difference, walaupun jika variabel tersebut memiliki unit root (tidak stasioner pada level). Kedua pakar ini berargumen bahwa differencing akan membuang 965
informasi berharga yang terkait dengan pergerakan searah data. VAR in difference digunakan bagi data yang tidak stasioner pada level dan tidak terkointegrasi. Dalam penelitian ini hampir semua data tidak stasioner pada level, namun semua data memiliki hubungan kointegrasi, sehingga digunakan model VECM. Tabel 6 merupakan hasil estimsi VECM perkembangan laju kredit perbankan Indonesia yang memperlihatkan hubungan antar variable pada jangka panjang. Dapat terlihat bahwa variabel yang mempengaruhi laju kredit di Indonesia dalam jangka panjang dipengaruhi secara signifikan oleh perkembangan DPK, IPI dan NIM pada lag-1, sementara SBI dan NPL tidak signifikan. Variabel LNDPK(-1) atau perkembangan DPK lag-1 berpengaruh negatif secara signifikan terhadap laju kredit bank umum, yakni ketika terjadi peningkatan sebesar satu persen pada pertumbuhan simpanan/ DPK maka akan menurunkan laju kredit sebesar 5.027 persen. Variabel I LNDPK(-1) atau Indeks Produksi Indonesia lag-1 (proksi sektor riil) berpengaruh positif secara signifikan terhadap laju kredit. Tabel 6 Hasil VECM (persamaan jangka panjang/ long term equation) Variabel
Persamaan Kointegrasi 1
LNTK(-1)
Std.Err
t-test
1
LNDPK(-1)
-5.027*
-0.544
[-9.23858]
TNPL(-1)
-0.100
-0.062
[-1.60971]
SBI(-1)
0.001
-0.046
[ 0.02094]
IPI(-1)
0.128*
-0.019
[ 6.77642]
TNIM(-1)
0.251*
-0.137
[ 1.83822]
C
44.828
Sumber : data sekunder diolah Nilai koefisiennya dapat diintrepetasikan bahwa ketika terjadi kenaikan satu persen pada IPI maka laju kredit akan bertambah sebanyak 0.128 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ketika terjadi peningkatan produksi maka laju kredit juga akan meningkat karena selain sebagai sumber dana pembiayaan produksi dan sebagai dana untuk membiayai konsumsi masyarakat. Variabel TNIM(-1) atau Net Interst Margin (proksi spread harga pasar) berpengaruh positif secara signifikan terhadap laju kredit. Nilai koefisiennya dapat diintrepetasikan bahwa ketika terjadi kenaikan satu persen pada NIM akan berkurang sebanyak 0.251 persen. Hasil VECM (persamaan jangka pendek/ short term equation) Dapat dilihat bahwa pada pada jangka pendek koefisien persamaam kointegrasi 1/CointEq1 sebesar 0.010245 signifikan, ini adalah koefisien speed of adjusment to 966
equilibrium yang bermakna setiap bulan kesalahan dikoreksi sebesar 1.0245% menuju target optimal kredit. Tabel 7 Hasil VECM – Persamaan Jangka Pendek
Koreksi Galat
D(LNTK)
Std.Err
t-test
CointEq1
0.010*
-0.003
[ 3.05660]
D(LNTK(-1))
0.149
-0.112
[ 1.32686]
D(LNTK(-2))
0.082
-0.115
(0.71408)
D(LNDPK(-1))
-0.151*
-0.079
[-1.90129]
D(LNDPK(-2))
-0.158*
-0.077
[-2.04212]
D(TNPL(-1))
0.012*
-0.003
[ 3.64072]
D(TNPL(-2))
0.000
-0.004
[ 0.04775]
D(SBI(-1))
0.007
-0.005
[ 1.45074]
D(SBI(-2))
-0.012*
-0.005
[-2.49621]
D(IPI(-1))
-0.001*
0.000
[-2.06753]
D(IPI(-2))
0.000
0.000
[ 0.37785]
D(TNIM(-1))
-0.002
-0.006
[-0.32690]
D(TNIM(-2))
0.007
-0.006
[ 1.07409]
C
0.016*
-0.002
[ 6.43639]
Sumber : data sekunder diolahkeseimbangan jangka panjang. Ini bukti adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek menuju jangka panjang yang ditunjukkan dengan kesalahan kointegrasi yang signifikan dan bernilai 0.010245 (CointEq1 : 0.010245). Variabel lain yang mempengaruhi laju kredit dalam jangka pendek adalah DPKlag 1-2; NPLlag-2; SBIlag-2 ; dan IPIlag-1; sementara NIM tidak berpengaruh secara signifikan. Untuk lebih memperjelas hasil VECM ini, dapat disimak pada analisis IRF dan FEVD.
967
IRF ( Impulse Response Function) Setelah dilakukan uji VAR, maka diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan struktur dinamis VAR secara jelas. IRF digunakan untuk mengidentifikasi suatu struktur dinamis VAR secara jelas. IRF digunakan untuk mengidentifikasi suatu kejutan pada satu variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan yang tidak diharapkan dalam variable mempengaruhi variabel lain.
LNTK
LNDPK
TNPL
SBI
IPI
TNIM
Gambar 3. IRF Laju Kredit Bank Umum dari Shock DPK, NPL, SBI, IPI dan NIM IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Berdasarkan analisis gambar 3, terlihat bahwa laju kredit paling besar dipenagruhi oleh shock dari laju kredit itu sendiri, kemudian secara berturut-turut dari yang paling besar hingga kecil adalah shock dari DPK (-), IPI(+), NPL(+), NIM (+) dan SBI(-). Untuk mencapai keseimbangan baru akibat dari shock LNTK diperlukan waktu sekitar 4 bulan, dari shock LNDPK diperlukan waktu sekitar 7 bulan, dari shock IPI diperlukan waktu sekitar 6 bulan, dari shockNPL diperlukan waktu sekitar 5 bulan, dari shock NIM diperlukan waktu sekitar 6 bulan dan dari shock SBI diperlukan waktu sekitar 11-12 bulan. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Variance decompotition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel yang lain pada periode saat ini dan periode yang akan datang. Pada periode-1, analisis variance decompositon menunjukkan bahwa variabel laju kredit-LNTK pada periode pertama ditentukan oleh dirinya sendiri atau sebesar 100%. Kemudian pada periode-2 oleh variabel LNTK sebesar 90.472 persen ; LNDPK sebesar 3.634 persen 3 ; TNPL sebesar 4.384 persen ; SBI sebesar 0.658 persen ; IPI sebesar 0.850 persen ; TNIM sebesar 0.001815 persen.
968
LNTK
LNDPK
TNPL
SBI
IPI
TNIM
Gambar 4 FEVD Laju Kredit Bank Umum dari Shock DPK, NPL, SBI, IPI dan NIM Pada periode-3 oleh variabel LNTK sebesar 79.741 persen ; LNDPK sebesar 9.461 persen ; TNPL sebesar 4.352 persen ; SBI sebesar 0.384 persen ; IPI sebesar 5.503 persen ; TNIM sebesar 0.560 persen. Kemudian pada periode 4 oleh variabel LNTK sebesar 75.1797 persen ; LNDPK sebesar 12.39805 persen ; TNPL sebesar 3.909 persen ; SBI 0.298 persen ; IPI sebesar 7.392 persen ; TNIM sebesar 0.823 persen. Dan seterusnya, hingga dapat disimpulkan secara keseluruhan jika diurutkan komposisi terbesar yang memepngaruhi laju kredit bank umum di Indonesia adalah laju kredit itu sendiri, perkembangan DPK, indeks produksi, kredit bermasalah/NPL, spread-NIM dan SBI.
KESIMPULAN Berbasis pada analisisVECM, dapat disimpulkan bahwa laju kredit perbankan Indonesia dalam jangka panjang dipengaruhi oleh laju perkembangan DPK dan NPL, secara negatif, signifikan; Variabel IPI dan NIM berpengaruh positif, signifikan, sementara SBI berpengaruh positif, tidak signifikan. Koefisien speed of adjustment sebesar 1.0245% (artinya : setiap bulan kesalahan dikoreksi sebesar 1.0245% menuju keseimbangan jangka panjang). Sementara pada persamaan jangka pendek membuktikan bahwa variabel DPK; SBI, IPI dan NIM berpengaruh negatif, signifikan. Sementara NPL berpengaruh positif dalam perkembangan kredit di Indonesia. Hasil analisis IRF (impuls response function) dan (forecast error variance decomposition) menunjukkan bahwa perkembangan laju kredit bank-bank umum berturut-turut (dari yang besar ke kecil) dipengaruhi oleh shock dari kredit itu sendiri (+), DPK (-), IPI (+), NPL (+), NIM (+) dan SBI(-) terhadap perkembangan kredit.
969
DAFTAR PUSTAKA Agung, J. et al. 2001. ”Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis : Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan”. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia : 1-124. Amalia, Fitri dan Nasution, Mustafa Edwin. 2007. Perbandingan Profitabilitas Industri Perbankan Syariah dan Industri Perbankan Konvensiona lmenggunakan Metode Struktur Kinerja dan Perilaku, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Vol VII, no.02 Amalia, L. 2006. Analisis Pengaruh Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Kinerja Bank Terhadap Laba Perbankan [penelitian]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arsana, I. G. P. 2005. Vector Auto Regressive. Laboratorium Komputasi Ilmu Ekonomi FEUI, Universitas Indonesia, Depok. Arthesa, A. dan E. Handiman. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. PT INDEKS Kelompok Gramedia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Beberapa Tahun Penerbitan. Indeks Produksi Industri Besar dan Sedang 2004 - 2012. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Koordinasi Penanaman Modal.2012. ”Ringkasan Penanaman Modal, Bulan November 2012”. [BKPM Online]. http://www.bkpm.go.id.[November 2012] Bank Indonesia. Beberapa Tahun Penerbitan. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Beberapa Tahun Penerbitan. Statistik Perbankan Indonesia. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia Yogyakarta.2004. ”Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya LDR Perbankan di Propinsi DIY”. LaporanAkhir Hasil Penelitian : 168.Bank NISP.2007 Bank
Rakyat Indonesia. 2007. “Layanan Kredit”. [Bank Rakyat http://www.bri.co.id/layanan/kredit.aspx?id=7. [7 Februari 2007]
IndonesiaOnline].
Baharumshah, A. Z., E. Lau, dan A. M. Khalid. 2004. ”Testing Twin Deficits Hypothesis : Using VARs and Variance Decomposition”. Articles from UPM Serdang, Malaysia and Bond University, Australia : 1-30. Besimi, F., G. Pugh, dan N. Adnett.2006.”The Monetary Transmission Mechanism in Macedonia : Implications for Monetary Policy”. Working Papers: Centre for Research on Emerging Economies Staffordshire University, 2 : 1-34.
970
Bernanke, B. dan M. Gertler. 1995. ”Inside The Black Box: The Credit Channel of Monetary Policy Transmission”.TheJournal of Economic Perspectives, 9: 27-48. Cifter, A. dan A. Ozun. 2007. ”Monetary Transmission Mechanism in The New Economy : Evidence from Turkey (1997-2006)”. Munich Personal RePEc Archive Paper, 2486: 1-15. Dendawijaya, L. 2000. Manajemen Perbankan. Ghalia Indonesia, Jakarta. Departemen Keuangan. 2007. “Kredit Investasi”. [Departemen Keuangan Online]. http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/lain.asp?lain=1020000.[19 Januari 2007] EViews User‟s Guide (Author) (2007). EViews User‟s Guide for EViews 7.1. 1880411-28-8. Revised for Eviews 4.1. February 2002.
USA. ISBN
Enders, W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Second Edition. John Wiley & Sons, Inc., USA. Febryani, A. dan R. Zulfadin. 2003. ”Analisis Kinerja Bank Devisa dan Bank Non Devisa di Indonesia”. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 7: 38-54. Firdaus, M. 2006. Brief Course in Modern Econometrics : Application with E-Views. Departemen Ilmu Ekonomi FEM, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Edisi Kelima. Zain, S. [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Harian Ekonomi Neraca. 11 November 2005. “Kenaikan BI Rate Persulit Bank Kredit”. Harian Ekonomi Neraca.
Salurkan
Haug, A. A., Ö. Karagedikli, dan S. Ranchhod. 2003. ”Monetary Policy Transmission Mechanisms and Currency Unions : A Vector Error Correction Approach To A Trans-Tasman Currency Union”. Discussion Paper Series : Reserve Bank of New Zealand, DP2003/04 : 1-17. Harmanta, dan M. Ekananda. 2005. ”Disintermediasi Fungsi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis 1997: Faktor Permintaan atau Penawaran Kredit, Sebuah Pendekatan dgn Model Disequilibrium”.Buletin Ekonomi dan Perbankan : 1-28. Hossain, A. dan A. Chowdury. 1998. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Limited, UK. 2006. ”Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia : Pendekatan Kauusalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM)”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Fakutas Ekonomi UK Petra, Maret 2006, 8: 0-50. Investor Daily. 26 April 2006. ”Para Bankir Desak BI Rate Diturunkan”. Investor Daily. Jong, R. P. D. 2005. Analisis Kesinambungan Fiskal di Indonesia dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya [penelitian]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 971
Kholisudin, Akhmad,2011. Determinan Permintaan Kredit Pada Bank Umum di Jawa Tengah, 2006-2010. Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, Indonesia. Kuncoro, M. 11 Desember 2004. “Di Yogya, Kredit Konsumtif Masih Lebih Dominan Dibanding Kredit Investasi”. Kompas. Kunarjo. 2003. Glosarium Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan. UI-Press, Jakarta. Lina. 2005. Analisis Jalur Kredit Sebagai Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia [penelitian]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mankiw, N. G.2003. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Nurmawan, I.[penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Sixth Edition. Columbia University. Mohanty, M. S., G. Schnabel, dan P. Garcia-Luna. 2006. ”Bank and Aggregate Credit : What Is New?”. BIS Papers, 28: 1-29. Nachrowi, N. D. dan H. Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Universitas Indonesia, Jakarta. Nugraha, F. W. 2006. Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan [penelitian]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nuryati, Y., H. Siregar, dan A. Ratnawati. 2006. ”Dampak Kebijakan Inflation Targeting Terhadap Beberapa Variabel Makroekonomi di Indonesia”. Buletin Ekonomi dan Perbankan, Juni 2006: 1-22. Pass, C. dan B. Lowes. 1994. Kamus Lengkap Ekonomi. Edisi Kedua. Rumapea dan Haloho [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Peek, J. dan E. S. Rosengren.1995. Is Bank Lending Important for theTransmission of Monetary Policy?. Conference Series No. 39, Federal Reserve Bank of Boston. Pradita, MY, 2011. Pengaruh fungsi intermediasi perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tesis, Universitas Negeri Malang. Priaga, M. A. 2006. Pengaruh Ketidakpastian Ekonomi (Ragam Bersyarat Industrial Production Serta Ragam Bersyarat Nilai Tukar) TerhadapPerilaku Kredit Bank Di Indonesia [penelitian]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simorangkir, O. P. 2004. Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank. Ghalia Indonesia, Bogor. Stock, J. H. dan M. W. Watson. 2001. ”Vector Autoregressions”. The Journal of Economic Perspectives, 15: 101-115. 972
Sugema, I. et al. 2005. Indonesia 2005 : Ekonomi Ungu Violet. Karena Begitu Sempitnya Waktu, Begitu Besarnya Masalah. Pustaka INDEF, Jakarta. Sugema, I. et al. 2006. Monetary and Banking Outlook : Beyond Stabilization and Consolidation. InterCAFE-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Munandar dan Puji [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Verbeek, M. 2000. A Guide To Modern Econometrics. John Wiley & Sons, Inc.,USA. Warjiyo, P. 2004. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar. PPSKBI, Jakarta. 2006. ”Perilaku Penawaran Kredit Bank di Indonesia : Kasus Pasar Oligopoli Periode Januari 2001-Juli 2005”. Buletin Ekonomi dan Perbankan, Oktober 2006: 1-36. Wijaya, A. 21 Desember 2006. ”Bank Indonesia Kembali Revisi Pertumbuhan Kredit”. Koran Tempo. Wikipedia. 2012. “Daftar Bank di Indonesia”. Wikipedia online. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_bank_di_Indonesia. diakses tanggal 19 Januari 2012. Yuniarsih, A. 2005. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Bank Umum Persero [penelitian]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
973
PENGARUH PRODUKTIVITAS KERJA INDONESIA DAN APRESIASI DOLLAR AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKSPOR INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT PERIODE 1988-2012 Oleh: Sugiartiningsih1) E-mail:
[email protected] 1)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama
ABSTRACT The success of a country's economy can not be removed from the premises do other countries, especially in the form of international trade. Especially after the era of globalization can be sure every state will embrace an open economy, the international trade is crucial to improve the welfare. Even so it is with Indonesia as a developing country will try to increase its exports to earn foreign large. This is done for example by holding Indonesia's bilateral trade with the United States. Study aims to determine the effect of labor productivity Indonesia and the United States dollar appreciation against Indonesia's exports to the United States 1988-2012 period has been analyzed using the following simultaneous equations: XIA = a0 + a1 Q/TK + a2 ER ER = b0 + b1 NP-1 Calculation results obtained that influence labor productivity and the Indonesian rupiah against the United States dollar is positive for Indonesia's exports to the United States. Means an increase in labor productivity will be followed by an increase in Indonesian exports to the United States. Similarly, the decline in the exchange rate against the United States dollar will increase the value of Indonesia's exports to the United States. As for the equation of the rupiah against the United States dollar gained on the calculation that the international trade balance variable periods of previously having a positive influence on the exchange rate against the United States dollar. Means that these variables can lead to depreciation of the rupiah.
Keywords: United States exports of Indonesia, Indonesian labor productivity, exchange rate, trade balance period of the previous
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi setiap negara dipastikan menganut sistem perekonomian terbuka. Dengan demikian hubungan ekonomi antar negara baik dalam bidang perdagangan, investasi maupun hutang luarnegeri akan semakin meningkat (Eun, Resnick, Sabherwal, 974
2013). Dari berbagai bentuk hubungan tersebut ternyata perdagangan internasional masih menjadi prioritas bagi suatu negara termasuk Indonesia. Dengan alasan perdagangan internasional dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia karena selain dapat meningkatkan devisa diharapkan juga meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Salah satu bentuk perdagangan internasional yang menjadi tumpuan perekonomian Indonesia sejak awal pembangunan hingga sekarang adalah perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Dalam sejarah perdagangan luar negeri terbukti Amerika Serikat merupakan negara terkuat di dunia. Terutama selama dekade 1990 an Amerika Serikat telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia setelah Jepang. Dari tahun 1981-1994 terbukti peranan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat terhadap total ekspor Indonesia rata-rata sebesar 16,83% sedangkan peranan impor Indonesia dari Amerika Serikat terhadap total impor Indonesia mencapai 13,71% (Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS). Keunggulan perdagangan bilateral Indonesia Amerika Serikat tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi nilai tukar rupiah yang senantiasa depresiasi terhadap Dollar Amerika Serikat (Faisal Basri, 1995). Dalam perkembangannya persaingan perdagangan antar negara akan lebih mengarah pada keunggulan kompetitif. Dimana keunggulan ekspor suatu negara ditentukan dari kemampuan untuk berinovasi antara lain dengan meningkatkan produktivitas kerja Indonesia. Bila produktivitas kerja Indonesia meningkat kemungkinan kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa juga meningkat sehingga kemampuan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat ikut meningkat (Mankiw, 2006). Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana hubungan produktivitas kerja Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat seperti terlihat pada Tabel I berikut: Tabel I HubunganProduktivitas Kerja Indonesia dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Terhadap Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat Periode 2003-2012 Tahun
Produktivitas Kerja Indonesia
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
0.0189 0.0211 0.0249 0.0300 0.0345 0.0426 0.0475 0.0538 0.0614 0.0678
Rupiah terhadap Dollar AS 8465 9290 9830 9020 9419 10950 9400 8991 9068 9670
Ekspor Indonesia AS 7386.38 8787.08 9889.20 11259.10 11644.20 13079.90 10889.10 14301.90 16497.60 14910.20
Sumber: Asian Development Bank Pada Tabel I di atas terlihat mulai tahun 2003 hingga tahun 2008 nilai tukar rupiah terjadi depresiasi terhadap US$ dari Rp 8645 menjadi Rp 10950 telah diikuti oleh peningkatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dari US$ 7386,38 miliar menjadi US$ 13079,90 miliar. Demikian pula dengan produktivitas kerja Indonesia juga berhubungan positif terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari produktivitas kerja Indonesia yang terus 975
meningkat dari 0,0189 tahun 2003 menjadi 0,0426 tahun 2008. Berarti nilai tukar rupiah US$ dan produktivitas kerja Indonesia merupakan faktor penting untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 dimana nilai tukar rupiah terjadi apresiasi terhadap US$ ternyata justru diikuti oleh peningkatan ekspor dari US$ 10889,10 miliar tahun 2009 menjadi US$ 14301,90 miliar tahun 2010. Sebaliknya pada tahun 2012 dimana nilai tukar rupiah terjadi depresiasi terhadap US$ dengan nilai tukar sebesar Rp 9670 ternyata diikuti penurunan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dari US$ 16497,60 miliar menjadi US$ 14910,20 miliar. Hal ini diduga ada faktor yang berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap US$ yaitu Neraca Perdagangan Indonesia periode sebelumnya. Bila Neraca Perdagangan Indonesia periode sebelumnya terjadi peningkatan maka devisa Indonesia ikut meningkat. Kondisi ini akan medorong impor Indonesia dari negara lain baik dalam wujud bahan baku maupun barang modal (Badan Pusat Statistik, 2014). Dengan demikan realitas ini akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadapUS$. Berdasarkan semua fenomena diatas serta adanya kecenderungan semua negara siap memasuki era globalisasi maka perdagangan Indonesia ke Amerika Serikat kemungkinan akan mendapatkan persaingan yang kuat dari negara lain seperti Cina dan negara Asia lainnya (Tulus Tambunan, 2006). Oleh karenanya sangat menarik untuk meneliti pengaruh produktivitas kerja Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terhadap ekspor indonesia ke Amerika Serikat. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah maka rumusan masalah yang diajukan adalah: 1. Bagaimana pengaruh produktivitas kerja Indonesia dan apresiasi Dollar Amerika Serikat terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. 2. Bagaimana pengaruh Neraca Perdagangan Indonesia periode sebelumnya terhadap nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Maksud Dan Tujuan Penelitian Sesuai dengan uraian latar belakang masalah maka penelitian ini bermaksud untuk melihat keterkaitan produktivitas kerja dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dengan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh produktivitas kerja Indonesia dan apresiasi Dollar Amerika Serikat terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. 2. Untuk mengetahui pengaruh Neraca Perdagangan Indonesia periode sebelumnya terhadap nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
PEMBAHASAN Teori 1. Sistem Ekonomi dan Perdagangan Internasional Menurut pendekatan ekonomi makro sistem ekonomi suatu negara dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sistem ekonomi tertutup dan terbuka. Dimana dalam 976
sistem ekonomi tertutup diasumsikan suatu negara belum berhubungan dengan negara lain walaupun sudah mengenal adanya campur tangan pemerintah. Sedangkan disebut menganut sistem ekonomi terbuka bila suatu negara sudah melakukan hubungan dengan negara lain yang terlihat dari aktivitas perdagangan baik melaui ekspor dan impor (Sadono Sukirno, 2013). Secara fisik ekspor diartikan sebagai pengiriman dan penjualan barang-barang buatan dalam negeri ke negara-negara lain. Sedangkan impor adalah pembelian dan pemasukan barang dari luar negeri ke dalam suatu perekonomian. Berdasarkan teori perdagangan,suatu negara merasa diuntungkan dengan adanya kegiatan perdagangan baik sebagai eksprtir maupun importir. Beberapa keuntungan melakukan perdagangan adalah: a. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri Secara umum setiap negara tidak dapat menghasilkan semua barang-barang yang dibutuhkannya.Dengan demikian negara pengimpor harus membeli dari negara lain. b. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi Bagi eksportir perdagangan dapat mendorong untuk memproduksi barang yang lebih efisien dari negara lain. Dengan demikian eksportir dapat mengekspor dengan harga yang lebih tinggi dari harga domestik. Sebaliknya bagi importir akan lebih efisien bila mengurangi produksi dalam negeri dengan jalan mengimpor dari negara lain. c. Memperluas pasar industri dalam negeri Beberapa jenis industri akan merasa dapat menigkatkan keuntungannya bila memperluas pemasarannya dengan cara mengekspor ke negara lain. Dampak positif dari ekspor tersebut akan mampu meningkatkan keefisienan mesin-mesin yang digunakan dan dapat mengurangi biaya. d. Menggunakan tehnologi dan meningkatkan produktivitas Dengan adanya perdagangan internasional akan mendorong suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara manjemen yang lebih modern. Berarti perdagangan internasional memungkinkan suatu negara mengimpor alat-alat atau mesin-mesin yang lebih baik dari negara lain. Kondisi ini akan meningkatkan produktivitas negara tersebut karena kemampuan menggunakan teknik produksi dan manajemen yang lebih modern. Dengan demikian akan menaikkan produktivitas negara tersebut yang akhirnya akan mempercepat pertambahan produksi. Dengan mengetahui keuntungan perdangangan tersebut maka secara spesifik berkembanglah dua teori perdagangan internasional yaitu teori klasik dan modern (Krugman, 2000). Teori perdagangan klasik yang dipelopori oleh Adam Smith disebut teori keunggulan absolut (absolut advantage) menganggap bahwa suatu negara akan dapat mengekspor bila memilki keunggulan absolut terhadap produk yang diperdagangkan. Sebaliknya bila suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut maka negara tersebut akan cenderung mengimpor. Dalam perkembangannya teori keunggulan absolut ini mendapatkan penyempurnaan dari David Ricardo dan John Stuartmill. Menurut kedua ahli tersebut secara realitas perdagangan bilateral akan lebih berhasil bila memiliki keunggulan komparatif. Kedua teori perdagangan klasik tersebut memiliki asumsi bahwa perdagangan hanya dapat terjadi bila dilakukan untuk dua negara, dua produk serta satu-satunya faktor produksi hanya tenaga kerja. Kesimpulan dari teori tersebut bahwa perdagangan hanya akan berhasil bila suatu negara memiliki efisiensi 977
yang tinggi dalam penggunaan tenaga kerja. Dengan lain perkataan suatu negara harus memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi untuk dapat berhasil dalam perdagangan internasional. Sedangkan teori perdagangan modern dipelopori oleh Eli Hecksher dan Bertil Ohlin (Asfia Murni, 2013). Teori ini berusaha memperbaiki kelemahan teori perdagangan klasik. Dimana perdagangan internasional dapat terwujud karena perbedaan rasio modal dan tenaga kerja yang dimiliki oleh suatu negara. Oleh karenanya teori perdagangan modern sering disebut teori proportion factor. Dengan asumsi setiap negara pasti memiliki modal dan tenaga kerja dengan proporsi yang berbeda. Dengan demikian negara yang bersifat labour intensif akan cenderung mengekspor barang yang padat karya. Sebaliknya negara yang bersifat capital intensif akan mengekspor barang yang padat modal. Aplikasi dari teori tersebut terlihat bahwa negara maju akan cenderung mengekspor barang yang padat modal sedangkan negara berkembang akan megekspor barang yang padat karya. 2. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Ekspor dan Nilai Tukar Menurut Sadono Sukirno (2013) faktor utama yang mempengaruhi ekspor suatu negara adalah kemampuan negara tersebut untuk menghasilkan barang-barang yang dapat bersaing dalam pasaran luar negeri. Dengan demikan produk tersebut harus memperhatikan mutu dan harga di pasar luar negeri sehingga menimbulkan daya tarik bagi konsumen negara lain. Bila jenis barang yang dihasilkan suatu negara mempunyai keistimewaan yang sedemikan maka peluang negara untuk mengekspor akan semakin meningkat. Sedangkan menurut Mankiw (2006) ekspor suatu negara dipengaruhi antara lain oleh nilai tukar.Bila nilai tukar suatu negara terjadi penurunan maka pihak asing akan merasa diuntungkan karena dengan mata uang yang sama akan memperoleh jumlah barang yang lebih banyak. Dengan demikan akan berdampak pada daya beli yang meningkat. Hal ini akan mendorong meningkatnya nilai ekspor bagi negara yang bersangkutan. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai tukar antara lain adalah neraca perdagangan suatu negara. Hal ini dapat terjadi karena bila posisi neraca perdagangan suatu negara surplus maka akan berpeluang meningkatkan cadangan devisa yang dimilikinya. Dengan semakin meningkat cadangan devisa tersebut akan membantu meningkatkan kesejahteraan negara tersebut terutama dalam mengimpor barang dan jasa yang diperlukan. Kondisi ini akan berdampak pada menurunnya nilai tukar negara tersebut terhadap mata uang asing pada periode selanjutnya (Tulus Tambunan, 2004). Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif mengenai pengaruh prodiktivitas kerja Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder periode tahun 1988 sampai dengan 2012. Penggunaan data pada tahun 1988 karena pada tahun tersebut Indonesia sedang memasuki Pelita IV sehingga terjadi perubahan struktur ekspor dari migas ke non migas (Dumairy, 1996). Dengan demikian periode tahun tersebut merupakan progresivitas Indonesia untuk dapat lebih bersaing di pasar internasional. Sedangkan batasan periode tahun 2012 978
disebabkan pada tahun tersebut dapat dikatakan kondisi perekonomian Indonesia telah terjadi peningkatan yang tinggi setelah dilanda krisis moneter beberapa waktu yang lalu. Proses pengumpulan data bersumber dari Asian Development Bank (ADB). Disamping itu untuk meningkatkan referensi dan wawasan penulis dilakukan pula dengan penelitian kepustakaan. Berdasarkan hubungan variabel yang dilakukan maka penggunaan model dalam menganalisis pengaruh produktivitas kerja Indonesia dan apresiasi Dollar Amerika Serikat terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat periode 1988-2012 adalah persamaan simultan. Sesuai dengan masalah yang akan dianalisis dalam penyusunan penelitian ini, maka aplikasi rumus dari model yang dipergunakan sebagai berikut: XIA = a0 + a1 Q/TK + a2 ER ER = b0 + b1 NP-1 dimana: XIA = nilai total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat ER = nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat Q/TK = produktivitas tenaga kerja Indonesia NP-1 = Neraca Perdagangan Indonesia Amerika Serikat periode tahun sebelumnya Sehingga ada 2 variabel endogen dan 2 variabel eksogen. Model diatas terdiri dari dua persamaan dimana masing-masing atau bersama-sama merupakan variabel endogen sehingga disebut persamaan simultan. Dengan demikian untuk penaksiran koefisien parameter dalam model ini dapat dilakukan apabila persamaan tersebut identified baik order condition maupun rank condition (Gujarati, 2003). Order condition akan tercapai jika jumlah variabel eksogen diluar persamaan tidak boleh kurang dari jumlah variabel endogen yang ada dalam persamaan setelah dikurangi dengan satu atau (K-k) ≥ (m-1) terpenuhi. Dengan demikan maka identifikasi secara order condition terhadap persamaan simultan di atas dapat dilakukan sebagai berikut: Persamaan (K-k) (m-1) Identifikasi 1 2-1 2-1 Identified 2 2-1 1-0 Identified Berdasarkan order condition ternyata semua persamaan dalam model simultan tersebut di atas adalah identified. Sedangkan untuk memenuhi rank condition, maka identifikasi yang dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut: 1. Tulis sistem persamaan simultan kedalam bentuk tabel seperti terlihat di bawah ini:
2. 3. 4. 5.
Persamaan 1 XIA ER Q/TK NP-1 (1) a0 1 a2 a1 0 (2) b0 0 1 0 b1 Coret koefisien dari baris dimana persamaan yang diidentifikasi muncul; Coret kolom yang sesuai dengan koefisien yang terdapat pada tahap kedua diatas; Sisa yang tertinggal dalam tabel merupakan koefisien-koefisien variabel yang terdapat dalam model tetapi tidak terdapat dalam persamaan yang diidentifikasi; Bentuk semua matrik yang mungkin dengan ordo (M-1) (M-1) dan hitung determinannya. 979
Berdasarkan langkah-langkah tersebut maka identifikasi yang memenuhi rank condition dapat dilakukakan sebagai berikut: Dalam persamaan (1) Ada satu variabel yang memenuhi koefisien nol yaitu variabel NP-1. Dari koefisien tersebut dibuat matrix dengan ordo (M-1) (M-1), yang berarti matrix dengan ordo 1x1. Bila matrix tersebut dimisalakan A kemudian dicari determinannya: A = [b1] |A| = b1 ............... (≠ 0) Dalam persamaan (2) Ada dua variabel yang memenuhi koefisien nol yaitu variabel XIA dan Q/TK. Dari koefisien tersebut dibuat salah satu matrix seperti pada persamaan (1). Matrix tersebut dimisalkan B kemudian dicari determinannya : B = [a1] |B| = b1 ............... (≠ 0) Oleh karena semua persamaan dalam model di atas memenuhi persyaratan order condition dan rank condition, maka metode penaksiran koefisien parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Two Stage Least Squares (TSLS). Hasil Dan Pembahasan Dalam perhitungan koefisien regresi untuk persamaan struktural berdasarkan datadata tahun 1988-2012 maka diperoleh hasil sebagai berikut: XIA = 3277,033 + 151251,11 Q/TK + 0,290 ER (7,523) (12,635) (3,821) F = 182,832 R2 = 0,9432 ER = 1026,648 + 1,529 NP-1 (1,525) (9,280) F = 86,113 R2 = 0,7892 Hasil tersebut diperoleh melalui estimasi yang dilakukan dengan metode tertentu. Adapun angka-angka yang terletak di dalam kurung, di bawah koefisien regresi, adalah nilai tstatistiknya. Analisis Ekonomi Hasil Model Persamaan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat Hasil persamaan struktural dari model adalah: XIA = 3277,033 + 151251,181 Q/TK + 0,290 ER Dari persamaan di atas terlihat bahwa arah dari seluruh koefisien variabel bebas telah sesuai dengan teori. Pembahasan selengkapnya untuk masing-masing variabel bebas akan diuraikan berikut ini. Variabel produktivitas kerja Indonesia menunjukkan arah positif terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Berarti peningkatan produktivitas kerja Indonesia akan diikuti oleh peningkatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, dengan asumsi variabel lain dalam kondisi konstan. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi makro bahwa perdagangan suatu negara sangat ditentukan dari kemampuan bersaing industrialis dalam negeri di pasar internasional. 980
Sebagai contoh untuk hasil industri pengolahan kayu industrialis di Indonesia harus berhadapan dengan kelangkaan bahan baku akibatsemakin turunnya jumlah hutan tropis di Indonesia. Dengan demikan untuk dapat mempertahankan volume ekspornya ke Amerika Serikat industrialis di Indonesia harus dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Antara lain dengan meningkatkan tehnologi yang dapat mensubtitusi penggunaan bahan baku dari hutan alam ke hutan tanaman industri. Selanjutnya dalam proses produksi harus dapat meningkatkan efisiensi dengan mendiversfikasi produk pengolahan kayu dengan cara meningkatkan kreativitas terhadap produk sekunder dan tersier yang umumnya menjadi kebutuhan konsumen Amerika Serikat. Strategi tersebut diperkirakan mampu mendorong industri pengolahan kayu untuk bersaing di pasar inetrnasional. Sebagai relaisasi dari pernyataan diatas saat ini jumlah industri pengolahan kayu di Pulau Jawa telah menurun hanya 8 perusahaan namun memiliki keunggulan dalam pemanfaatan hutan tanaman industri. Potensi ini dapat terwujud karena didukung oleh produktivitas kerja yang tinggi baik dari aspek manajemen maupun penggunaan mesin-mesin yang modern. Secara lebih jauh produktivitas kerja yang tinggi ini juga didukung faktor eksternal industri yaitu peran serta pihak terkait seperti pemerintah dan konsumen Amerika Serikat yang menekankan pentingnya bagi industri untuk menjaga kelestarian hutan tropis. Akhirnya kondisi ini akan berdampak meningkatnya volume pengolahan kayu yang dapat dihasilkan industri kayu di Indonesia sehingga berdampak pula terhadap nilai total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (http://xa.yimg.com/kq/groups/.../Perkembangan+bisnis+Kehutanan+Rev+2+Okt+2012.pdf) Demikan pula dengan sektor perikanan di Indonesia yang diharapkan menjadi handalan ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat harus diikuti produktivitas kerja yang tinggi. Hal ini sesuai realitas bahwa industri perikanan di Indonesia diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar US$82 miliar per tahun. Namun demikan sebagai salah satu penangkap ikan terbesar di dunia, kontribusi perikanan terhadap perkonomian Indonesia sangat rendah. Faktor utama yang menyebabkan adalah belum terintegrasinya industri perikanan di Indonesia baik secara vertikal (hulu hilir, produksi, pengolahan dan pemasaran baik domestik maupun manca negara) maupun horisontal (antar wilayah dan dengan sektor komplementer). Sebagai contoh untuk produksi udang yang efisien dan berdaya saing, maka untuk aktivitas pengkapan udang memerlukan dukungan pengembangan armada kapal yang efisien (intergrasi dengan sektor maritim). Secara lebih jauh integrasi antar sektor ini akan mendorong berkembangnya industri perikanan udang sehingga akan meningkatkan permintaan akan komoditas udang bagi manca negara termasuk Amerika Serikat. Selain harus terintegrasi maka melalui Konferensi Rio+20 di Brasil akhir Juni 2012 pemerintah akan mengkampanyekan ekonomi biru. Pelaksanaan konsep ekonomi biru pada kelautan nasional akan menjadi kunci keberhasilan program pengembangan ekonomi Indonesia karena menerapkan prinsip terintegrasi (darat dan laut, hulu dan hilir), berbasis kawasan (efisiensi), sistem produksi bersih, investasi kreatif dan inovatif, dan berkelanjutan. Dengan demikian sektor perikanan akan menjadi melimpah dan berkelanjutan secara ekologi dan sosial. Hal ini akan meningkatkan daya saing sektor perikanan Indonesia di pasar internasional antara lain Amerika Serikat (Tempo, 2014). Untuk lebih mendukung peran industrialis dan pemerintah dalam mengoptimalkan produksi ikan di Indonesia maka perlu dilakukan diplomasi ekonomi negara kepulauan (Arif Havas Soegroseno, 2014). Dimana salah satu elemen utama dalam memanfaatkan secara maksimal hasil laut Indonesia adalah dengan upaya penghapusan pencurian ikan di Indonesia. 981
Aplikasinya dengan kebijakan diplomasi strategis, yaitupenyusunan suatu peraturan regional kawasan Asia Tenggara guna memerangi illegal, unreported anda unregulated fishing. Disamping itu juga mengatur kerjasama Indonesia dengan lembaga regional yang mengatur kegiatan pemanfaatan dan konservasi perikanan. Secara lebih jauh juga mengatur kerjasama bilateral dan global dengan pasar hasil laut dunia, khususnya dengan Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Variabel nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat memiliki hubungan positif terhadap nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Berarti penurunan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat akan diikuti oleh peningkatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Berdasarkan kaidah teori hal ini dapat dibenarkan, karena dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat maka bagi konsumen Amerika Serikat akan merasa diuntungkan. Dimana dengan Dollar Amerika Serikat yang sama dapat meperoleh jumlah barang impor dari Indonesia lebih banyak. Kondisi ini akan mendorong meningkatnya nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Komang Amelia Sri Pramana dan Luh Gede Meydianawathi (2013) bahwa penurunan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat berdampak positif terhadap nilai ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat. Secara spesifik hasil penelitian ini didukung oleh Widiantara (2011) yang menyatakan bahwa penurunan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat akan berdampak meningkatnya ekspor kerajinan bambu provinsi Bali. Mengingat sebagian besar ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah produk non migas maka pengaruh nilai tukar terhadap nilai total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah positif. Persamaan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat Hasil persamaan struktural dari model adalah: ER = 1026,648 + 1,529 NP-1 Dari hasil persamaan nilai tukar tersebut di atas terlihat bahwa arah dari koefisien variabel bebas telah sesuai dengan teori. Pembhasan selengkapnya akan diuraikan berikut ini. Variabel Neraca Perdagangan Indonesia- Amerika Serikat periode sebelumnya menunjukkan arah positif terhadap nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa bila neraca perdagangan periode sebelumnya terjadi peningkatan maka akan diikuti oleh penurunan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Secara teoritis hal ini dapat dibenarkan karena surplusnya neraca perdagangan Indonesia Amerika Serikat periode sebelumnya akan mendorong penerimaan devisa akan semakin meningkat. Kondisi ini akan berdampak meningkatnya impor barang-barang yang diperlukan untuk kesejahteraan Indonesia pada periode berikutnya. Berdasarkan perkembangan impor 31 kelompok hasil industri Indonesia dari Amerika Serikat terlihat impor Indonesia terbesar diduduki oleh barang modal yaitu besi baja, mesin-mesin dan otomotif yang meningkat dari US$ 1.633.779.965 tahun 2007 menjadi US$ 4.644.167.935 atau terjadi trend 28,63% (http://kemenperin.go.id/statistik/query_negara.php?negara=Amerika+Serikat&jenis=i). Disamping itu impor bahan baku kedelai untuk keperluan industri kecap tahu dan tempe di Indonesia juga terlihat tinggi. Seperti diketahi, sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi tahu tempe untuk pemenuhan kebutuhan protein karena harganya relatif murah. Namun realitasnya produksi kedelai nasional meskipun setiap tahunnya terjadi peningkatan namun lebih rendah dari laju permintaan dalam negeri.Dengan demikan untuk dapat mencukupi kekurangan tersebut harus dimpor antara lain dari Amerika Serikat (Petunjuk 982
Praktis Kedelai Hitam, 2012). Tingginya keperluan impor tersebut dapat diartikan meningkatnya permintaan valuta asing yaitu Dollar Amerika Serikat oleh Indonesia. Berarti pula terjadinya penurunan nilai rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Analisis Statistik Pada persamaan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, terlihat bahwa variabel produktivitas kerja Indonesia menunjukkan arah yang positif sebesar 151251,1809. Ini berarti bahwa setiap peningkatan produktivitas kerja Indonesia sebesar 1 juta akan meningkatkan nilai ekspor indonesia ke Amerika Serikat sebesar US$ 151251,1809 juta. Demikan pula dengan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat menunjukkan arah positif, dengan angka sebesar 0,290. Ini berarti bahwa setiap penurunan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat sebesar Rp 1 akan meningkatkan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar US$ 0,290 juta. Besarnya pengaruh kedua variabel bebas tersebut secara bersama-sama terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah 94,32% sebagaimana ditunjukkan oleh R 2 nya. Dengan demikian ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dipengaruhi oleh variabel lain sebesar 5,68%, diluar variabel tersebut. Pada persamaan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, terlihat bahwa variabel neraca perdagangan Indonesia Amerika Serikat periode sebelumnya menunjukkan arah yang positif sebesar 1,529. Ini berarti bahwa setiap peningkatan neraca perdagangan Indonesia- Amerika Serikat periode sebelumnya sebesar US$ 1 juta akan membawa dampak penurunan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat sebesar Rp 1,529. Besarnya pengaruh variabel bebas tersebut secara bersama-sama terhadap nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat adalah 78,92%, sebagaimana ditunjukkan oleh R 2 nya. Ini berarti nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dipengaruhi oleh variabel lain sebesar 21,08%, diluar variabel bebas tersebut. Pengujian Statistik Dalam menganalisis signifikansi dari nilai estimasi persamaan dari model digunakan pengujian statistik yaitu uji t-statistik dan uji F-statistik. 1. Persamaan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat Dari hasil pengujian t-statistik diperoleh hasil untuk persamaan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, variabel produktivitas kerja Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dan konstanta memiliki koefisien yang lebih besar daripada t-tabel pada tingkat signifikansi1% (t-tabel = 2,819). Untuk pengujian F-statistik, terlihat pada persamaan ekspor indonesia ke Amerika Serikat, angka F-hitung pada persamaan ini yang sebesar 182,832 adalah jaunlebih besar daripada batas kritis F-statistik pada tingkat signifikansi 1% (5,66). Ini menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas yang digunakan secara bersama-sama terbukti signifikan mempengaruhi arah perubahan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat pada tingkat signifikansi 1%. 2. Persamaan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Dari hasil pengujian t-statistik ini diperoleh hasil untuk persamaan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, variabel neraca perdagangan Indonesia-Amerika Serikat periode sebelumnya memiliki koefisien yang lebih besar daripada t-tabel pada tingkat signifikansi 1% (2,807). Sedangkan variabel konstanta 983
memiliki koefisien yang lebih besar daripada t-tabel pada tingkat signifikansi 20% (ttabel =1,319). Kemudian untuk pengujian F-statistik, terlihat pada persamaan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, angka F-hitung pada persamaan ini yang sebesar 86,113 adalah jauh lebih besar daripada batas kritis F-statistik pada tingkat signifikansi 1% (7,82). Ini menunjukkan bahwa seluruh variabel bebasnya secara bersama-sama akan terbukti signifikan mempengaruhi arah perubahan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tingkat signifikansi 1%.
KESIMPULAN 1.
2.
Pada persamaan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, arah seluruh koefisien variabel bebas telah sesuai dengan teori ekonomi. Dimana untuk variabel produktivitas kerja Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat memiliki hubungan searah terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Pada persamaan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, arah koefisien variabel bebas telah sesuai dengan teori ekonomi. Dimana untuk variabel neraca perdagangan Indonesia-Amerika Serikat periode sebelumnya memiliki hubungan searah terhadap nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
DAFTAR PUSTAKA Arif Havas Soegroseno, Diplomasi Ekonomi Negara Kepulauan, Tempo : 29 September - 5 Oktober 2014. Asfia Murni, Ekonomika Makro, Edisi Revisi, PT Refika Aditama, Bandung : 2013 Asian Development Bank (ADB) : 2013 Badan Pusat Statisitik, Jakarta : 2014 Badan Pusat Statistik, Statisitik Perdagangan Luar Negeri, Jakarta: 1996 Dumarry, Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Cet.5, Jakarta : 1996. Eun Resnick Sabherwal, Keuangan Internasional, Edisi 6 BukuI, Penerbit Salemba Empat, Jakarta: 2013 Faisal Basri, Perekonomian Indonesia menjelang Abad XXI, Penerbit Erlangga Cetakan Pertama Jakarta :1995 Gujarati, Damodar N., Basic Econometrics, Fourth Edition, McGraw Hill : 2003 http://kemenperin.go.id/statistik/query_negara.php?negara=Amerika+Serikat&jenis=i http://xa.yimg.com/kq/groups/2395425/1982535028/name/Perkembangan+bisnis+Kehutanan+ Rev+2+Okt+2012.pdf Komang Amelia Sri Pramana, Variabel-variabel Yang Mempengaruhi Ekspor Nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat, Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, Vol. 6 No.2 Agustus 2013, ISSN: 2301-8968, Denpasar : 2013 Krugman, Paul R. And Obstfeld, Maurice, International Economics, Theory and Policy, Fifth Edition, Addison-Wesley Publishing Company : 2000 984
Mankiw, Makro Ekonomi, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta: 2006 Petunjuk Praktis Kedelai Hitam, Penebar Swadaya, Cetakan I, Depok : 2012. Sadono Sukirno, Makro Ekonomi – Teori Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Cet.22, Jakarta : 2013. Tim Info Tempo, Sinergi Ekonomi Berbasis Darat dan Laut, Tempo – Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, PT. Tempo Intimedia, Jakarta : 2014 Tulus Tambunan, Globalisasi dan perdagangan Internasional, Ghalia Indonesia, Cetakan Pertama Bogor : September 2004 Widiantara, I Made, 2011. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Volume Ekspor Kerajinan Bambu Provinsi Bali, Skripsi, Jurusan Ilmu Ekonomi. Denpasar : Fakultas Ekonomi UNUD.
985
PERANAN WILAYAH AGROEKOLOGI DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROPINSI JAWA TENGAH
Oleh : Mochamad Sugiarto1),Abdul Aziz Achmad2) Email :
[email protected] 1)
2)
Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRACT Beef cattle farming have become a priority commodity of Local Government Unit (LGU) of Banjarnegara in alleviating poverty and developing rural economy. Management of beef cattle cannot be separated from the availability of production inputs, especially feed, human resources, and other infrastructures. Agro ecology zone provide production inputs that vary in quality and quantity. This study aims to analyze the economic performance of beef cattle farming at different level of agro ecology zone in Banjarnegara. The study involved 215 respondents from 3 different agro ecology zone (low land, medium and high land) explains that there is significant difference in income at different agro ecology zone (P <0.05). Income of fattening type of beef cattle farmers in high land (>1000 m) showed a relatively higher than other regions. Economic development in the high land region in Banjarnegara can be improved by introducing beef cattle agribusiness.
Keywords: beef cattle, income, agro ecology
PENDAHULUAN Penambahan populasi dan tingkat pendidikan penduduk mendorong perkembangan usaha ternak sapi potong di Indonesia ke arah yang lebih produktif. Pusat Data dan Informasi Pertanian (2013) menyatakan bahwa konsumsi daging sapi per kapita per tahun sebesar 0,261 kg dengan laju pertambahan penduduk per tahun 1,5 persen akan menyebabkan kebutuhan daging semakin meningkat. Peningkatan permintaan masyarakat untuk produk-produk peternakan sudah selayaknya diikuti oleh upaya pengembangan usaha ternak, dan termasuk di dalamnya usaha ternak sapi potong, yang mempunyai kontribusi cukup besar terhadap komoditi daging. Pengelolaan sapi potong di suatu wilayah administratif tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan input produksi khususnya pakan, sumberdaya manusia and infrastruktur lainnya. Wilayah agro ekologi yang memuat komponen iklim, tanah dan topografi terkait dengan ketersediaan hijauan pakan ternak (tanaman rumput dan jerami padi) yang bervariasi secara 986
kualitas dan kuantitas. Rosamond dkk (2002) menyatakan bahwa variabilitas iklim dan topografi menyebabkan produktifitas tanaman padi dan palawija bervariasi. Pertumbuhan tanaman secara optimal dipengaruhi oleh suhu udara, sifar fisik/kimia tanah dan topografi. Perbedaan regional dalam topografi, geografi dan cuaca menyebabkan terjadinya perbedaan dalam tanaman, pola tanam, metode bercocok tanam dan situasi sosio-ekonomi. Upaya pengembangan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara ini tidak terlepas dari ketersediaan sumberdaya yang ada pada daerah pengembangan. Ketersediaan pakan hijauan dan konsentrat menjadi faktor penting dalam budidaya ternak melalui penggemukan ataupun pembibitan. Bailey et al (1996) menyatakan bahwa pola pengembangan dan penyebaran ternak dipengaruhi faktor abiotik (kemiringan dan jarak dari sumber air), faktor biotik (kualitas dan kuantitas hijauan, komposisi spesies dan morfologi tanaman). Ternak memiliki kemampuan untuk memilih berkembang lebih cepat pada wilayah dengan ketersediaan hijauan yang berkualitas tinggi. Kondisi spasial dan agroekologi wilayah Kabupaten Banjarnegara yang beragam (tinggi, sedang dan rendah) berkaitan dengan pola tanam dan lahan yang cocok untuk melaksanakan kegiatan pertanian (budidaya pakan ternak). Keberadaan wilayah pada agroekologi tinggi, sedang dan rendah sangat terkait dengan ketersediaan hijauan pakan ternak secara kuantitas maupun kualitas. Berg (1990) menyatakan bahwa temperatur merupakan unsur klimatologi yang paling penting pada produksi ternak karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman hijauan dan ketersedian pakan yang berkualitas. Pengentasan kemiskinan di Kabupaten Banjarnegara melalui usaha produktif sapi potong ditargetkan dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Peningkatan pendapatan keluarga yang berkelanjutan dapat meningkatkan daya beli masyarakat peternak dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. Optimalisasi dan seleksi wilayah yang potensial untuk pengembangan sapi potong akan dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan usaha sapi dan kesejahteraan keluarga peternak. Studi ini bertujuan untuk menganalisis peran wilayah agro ekologi dalam meningkatkan pendapatan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara yang selanjutnya dapat menjadi salah satu acuan dalam mengidentifikasi wilayah potensial untuk pengembangan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara.
PEMBAHASAN Materi dan Metode Kajian tentang peranan wilayah agroekologi dalam meningkatkan pendapatan peternak sapi potong tipe penggemukan di Kabupaten Banjarnegara dilakukan dengan metode survey melalui wawancara menggunakan kuisioner dan pengamatan terhadap peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. 215 peternak sapi potong terpilih sebagai responden dengan menggunakan metode pengambilan sampel multistage sampling (sampling berjenjang). Pertama, wilayah yang dijadikan sampel penelitian dipilih secara stratified random sampling berdasarkan tinggi 987
tempat (tinggi, sedang dan rendah). Sampel wilayah kecamatan dipilih 20 persen dari masing masing strata secara random/acak. Kedua, responden (peternak) dipilih dengan metode random sampling sebanyak 20 persen pada masing masing wilayah kecamatan yang terpilih. Setelah data diperoleh kemudian hasilnya dianalisis menggunakan One Way ANOVA. Analisi One Way Anova dilakukan untuk mengetahui perbedaan pendapatan peternak pada tiga wilayah agro ekologi yang berbeda (rendah : <500 m dpl, sedang : 500 – 1000 m dpl, dan tinggi : > 1000 m dpl). Hasil dan Pembahasan 1. Gambaran Peternak Peternak sapi potong di Banjarnegara yang menggunakan pola penggemukan memiliki rataan usia 45,9 tahun dengan minimum usia 18 tahun dan maksimum 75 tahun. Peternak pada zona agro ekologi tinggi memiliki rataan usia lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya (43,9 tahun) dengan keragaman umur yang lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Sedangkan wilayah sedang dan tinggi berturut turut memilik rataan 45 dan 47,8 tahun. Pada aspek pendidikan, peternak yang melakukan usaha penggemukan memiliki tingkat pendidikan lulus Sekolah Dasar. Peternak sapi potong pada wilayah agro ekologi sedang memiliki rataan pendidikan relatif lebih tinggi dibanding wilayah lainnya dengan keragaman pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan terdapat peternak yang berpendidikan tinggi (universitas). Pada wilayah sedang dan rendah. Peternak secara umum memiliki rataan pengalaman beternak 10,1 tahun dengan penekanan bahwa peternak di wilayah agro ekologi tinggi memiliki pengalaman yang relatif lebih banyak (11,1 tahun). Peternak sapi potong memiliki tanggungan keluarga yaitu 4 orang dan relatif hampir sama di ketiga wilayah agro ekologi. Peternak memiliki rataan jumlah sapi sebanyak 3 ekor. Peternak di wilayah agroekologi bawah ( <500 m dpl) memiliki jumlah kepemilikan lebih banyak dan lebih beragam dibanding peternak di wilayah agro ekologi menengah dan atas (4 ekor) . Berdasarkan gambaran tersebut terlihat bahwa usaha sapi potong di wilayah agro ekologi atas (>1000 m dpl) lebih memiliki keunggulan pada umur peternak dan pengalaman beternak. 2. Pendapatan Peternak pada Berbagai Wilayah Agro Ekologi Pengelolaan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara lebih banyak dilakukan pada usaha skala kecil dan usaha sampingan yang bertujuan memperoleh pendapatan untuk menunjang kesejahteraan keluarga. Winarso dan Basuno (2013) menggambarkan bahwa usaha sapi potong sebagian besar dilakukan dalam skala kecil dan biasanya terintegrasi dengan usaha pertanian lainnya. Pendapatan usaha sapi potong merupakan merupakan nilai bersih dari total penerimaah dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan selama 1 tahun produksi. Pola usaha yang dilakukan peternak di Kabupaten Banjarnegara dalam 1 tahun mempunyai 2 periode produksi penggemukan.
988
Penerimaan dari usaha sapi potong berasal dari penjualan ternak, kenaikan nilai ternak dan penjualan pupuk hasil ternak. Hartono (2012) menjelaskan bahwa peternak memelihara sapi potong sebagai bagian untuk mengoptimalkan sumberdaya keluarga peternak dalam menghasilkan manfaat dalam bentuk anakan sapi, kenaikan nilai ternak dan kotoran ternak untuk pupuk. Pada usaha sapi potong dengan pola penggemukan peternak memiliki rataan biaya sebesar Rp 28.179.677,00 per tahun produksi. Usaha sapi potong pada wilayah atas (>1000 m dpl) membutuhkan biaya produksi yang lebih rendah di bandingkan wilayah lainnya. Rataan penerimaan peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp 34.963.256,00. Secara umum, pengelolaan usaha sapi potong pola penggemukan di Kabupaten Banjarnegara untuk pemilikan 4 ekor memperoleh keuntungan Rp 6.783.579,00/tahun. Pada wilayah agro ekologi atas ( >1000 m dpl) rataan keuntungan usaha sapi potong sebesar Rp 8.339.665,00 per tahun dengan efisiensi usaha relatif lebih tinggi dibanding wilayah lainnya sebesar 1,6. Sedangkan pendapatan terkecil diketahui pada wilayah agro ekologi sedang (500–1000 m dpl) sebesar Rp 3.674.839,00 per tahun. Kondisi tersebut di dukung oleh produksi hijauan di wilayah atas yang lebih tinggi di bandingkan wilayah lain sebesar 321.215,19 kg/tahun. Ketersediaan produksi hijauan dan temperatur yang lebih rendah mendorong peternak memelihara sapi potong jenis Simmental yang memiliki bobot badan dan harga jual yang lebih tinggi. Hadiana (2007) menyatakan bahwa dukungan sumberdaya alam dalam penyediaan rumput menyebabkan penurunan biaya produksi atau menekan inefisiensi usaha peternakan (makin efisien). Berdasarkan analisis One Way Anova diketahui bahwa pendapatan usaha sapi potong menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tiga wilayah agro ekologi (P<0,05). Usaha sapi potong yang dilakukan peternak pada wilayah agro ekologi atas menghasilkan pendapatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Usaha sapi potong pola penggemukan terlihat dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi pada wilayah agro ekologi atas ( >1000 m dpl). Keberadaan tipe sapi Simmenatal yang sesuai dengan kondisi temperature di dukung ketersediaan hijauan mendorong peningkatan penerimaan peternak. Kondisi iklim dapat dimanfaatkan dengan pemilihan jenis /breed sapi potong yang lebih menguntungkan. Blench (1999) menyatakan bahwa introduksi jenis bangsa sapi yang menguntungkan perlu dilakukan dengan memperhatikan adaptasi ekologi dan produktifitas pada pengelolaan tradisional. Selanjutnya Guyo and Tamir (2014) menyatakan bahwa hambatan dalam pengembangan sapi potong pada berbagai lokasi ketinggian adalah ketersediaan hijauan, penyakit dan bencana alam. Ketersediaan hijauan pakan yang berkelanjutan akan dapat menurunkan biaya produksi khususnya biaya pakan. Penyediaan hijauan pakan yang produktif dan sesuai dengan preferensi masyarakat perlu di introduksi secara intensif.
KESIMPULAN Peningkatan peran wilayah agro ekologi untuk usaha sapi potong di Kabupaten Banjarnegara merupakan langkah strategis untuk mengoptimalkan pengembangan wilayah produksi sapi 989
potong di pedesaan. Kajian yang telah dilakukan menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kondisi iklim dan ketersediaan pakan hijauan serta budaya masyarakat pada berbagai wilayah agro ekologi memiliki peran dalam peningkatan potensi pendapatan peternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. 2. Usaha ternak sapi potong pola penggemukan pada wilayah agro ekologi atas (>1000 m dpl) menghasilkan pendapatan yang secara signifikan lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Wilayah agro ekologi atas mempunyai peran yang lebih signifikan untuk pengembangan sapi potong sebagai upaya peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA Bailey, D.W., Gross JE., Laca,E.A., Rittenhouse, L.R.,1996. Mechanism that Result in Large Herbivore Grazing Distribution Patterns. Journal of Range Management 49. Berg, V. JCT. 1990. 1990. Strategy for Dairy Development in the Tropics and Subtropics. Pudoc Wageningen. Blench, R 1999. Traditional Livestock Breeds: Geographical Distribution And Dynamics In Relation To The Ecology Of West Africa. Working Paper 122. Overseas Development Institute Portland House Stag Place, London. Guyo, S and B. Tamir. 2014. Assessment Of Cattle Husbandry Practices In Burji Woreda, Segen Zuria Zone Of SNNPRS, Ethiopia. International Journal Of Technology Enhancements And Emerging Engineering Research, Vol 2, Issue 4. Hadiana, H.M. 2007. Dampak Faktor Eksternal Kawasan terhadap Efisiensi Usaha Ternak Sapi Perah (Analisis Berdasarkan Fungsi Biaya Frontier) The Impact of Location External Factors on Smallholders Dairying Efficiency (An Analysis Base on Cost Frontier Function). Hartono, B. 2012. Peran daya dukung wilayah terhadap pengembangan usaha peternakan sapi Madura. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 13 (2) : 316-326. Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2014. Basis Data Konsumsi Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta. Rosamond, N., W. Falkon., N. Wada., D. Rochberg. 2002. Bulletin of Indonesia Economic Studies. Vol 38 No 1. Winarso B and Basuno E 2013. Developing an integrated crop-livestock to enhance the domestic beef cattle breeding business. J.Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol 31 (2) :151-169. 990
MODEL KOINTEGRASI PASAR MODAL INDONESIA DENGAN PASAR MODAL REGIONAL Oleh: Sugiyanto1), Sudarwan1). Email:
[email protected] [email protected] 1).
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Esa Unggul Jakarta
ABSTRACT The purpose of this is research to find out cointegration between capital markets in Indonesia (IHSG) with regional capital markets. By knowing cointegration capital markets will be beneficial to investors as a consideration in the formation of an international portfolio. Regional stock markets represented by the Singapore Stock Exchange (STI), the Philippine Stock Exchange (PSE) stock exchanges of Malaysia (KLSE) and to other Asian regional stock exchanges used HongKong Stock Exchange (HANSENG) and the Stock Exchange of Japan (NIKKEI) with consideration of both stock exchanges is considered the most powerful influence in the ASEAN region. Data research using monthly stock index starting fromJanuary 2002 to December 2012. Data analysis tool using the Vector Auto Regression (VAR), Vector Error Correction Model(VECM) and the decomposition analysis. The results showed that there is cointegration between the Indonesian capital market with a regional capital market. Singapore stock exchange is the most influence in the region, while the Philippine stock market is a stock exchange that is least affected by the stock market in this region.
Keywords: Co integration, regional stock exchanges, VectorAuto regression and decomposition
PENDAHULUAN Kointegrasi pasar modal semakin terlihat diberbagai negara sebagai akibat dari sistem keuangan yang telah terintegrasi baik dengan variabel ekonomi domestik maupun dengan dunia keuangan internasional. Integrasi pasar modal melalui bursa saham dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, pengintegrasian ekonomi yang berarti semakin mengintegrasikan ekonomi suatu negara, maka dapat mengintegrasikan kekayaan pasar modal mereka. Tiga faktor penentu integrasi bursa ASEAN memerlukan tiga fokus utama. Fokus tersebut diperlukan agar bisa mengukur seberapa besar keuntungan ataupun kerugian untuk Indonesia, yaitu: pertama, harus dibangun capacity building masalah sumber daya manusia (SDM), serta kekurangan tenaga ahli. Kedua, yakni pembangunan pilar-pilar penopang. Perlu 991
dibangun infrastruktur finansialnya, yaitu pengembangan-pengembangan kelembagaan, lembaga-lembaga pendukung pasar modal. Ketiga, harmonisasi peraturan di ASEAN berbeda-beda tingkatannya (Muliaman D Hadad, 2012). Tabel 1. berikut menunjukkan kinerja yang dicapai oleh pasar saham dikawasan ASEAN yang terlihat dari pencapaian indeks pasarnya. IHSG-BEI plus empat IHSG dinegara ASEAN selama tujuh tahun terakhir diuraikan secara tahunan (2005-2011) dan bulanan (2012). Ditinjau dari perkembangan secara global, semua pasar bergerak searah baik ditinjau secara tahunan maupun bulanan (selama periode 2012). IHSG (BEI), menduduki indeks teratas (selama periode 2012) jika dibandingkan dengan keempat pasar bursa saham ASEAN lainnya. Sebelumnya, selama 2005-2011, STI (Singapore) lebih banyak memimpin pasar modal ASEAN. Tabel 1: Kinerja Pasara Modal Dunia
Sumber: Bapepam. Perilaku pasar seperti ini penting untuk dicermati secara mendalam guna mengetahui ada tidaknya pergerakan bersama (co-movement) antar pasar sebagai salah satu ciri dari ada tidaknya kointegrasi.Ini bermakna bahwa selama periode 2005-2012 secara umum pasar saham Asia lebih agresif dibandingkan dengan eropa, australia dan amerika. Tapi jika ditinjau dari tingkat stabilitas pasar justru kondisniya adalah sebaliknya. Justru pasar amerika yang paling stabil disusul oleh pasar australia, eropa. Pasar saham Asia yang paling tidak stabil. Tren turun dialami oleh indeks N225, sementara lainnya mengalami tren naik yaitu HSI, KOSPI, TWSE, FTSE, ASX dan NYSE. Dari fenomena gerak pasar saham dunia ini ada pesan bahwa tidak semua pasar saham selalu bergerak dengan arah yang sama (searah). Pasar modal dinyatakan terkointegrasi jika kedua pasar terpisah memiliki pergerakan yang sama dan memiliki korelasi di antara pergerakan indeksnya. Pasar modal dalam satu kawasan regional cenderung memiliki pergerakan yang sama dan efek penularan (contagion effect) yang tinggi (Climent dan Meneu 2003). Selama periode pengamatan, tahun 2001 2010, terjadi fenomena dimana pergerakan IHSG tidak selalu sama dan memiliki korelasi dengan pergerakan indeks pasar modal dunia. Hasil dari penelitian (Anggraeni 2011) menunjukkan bahwa terjadi kointegrasi antara seluruh pasar modal dan masing-masing pasar modal terkointegrasi secara parsial. 992
Integrasi ekonomi adalah kebijakan komersial atau perdagangan yang secara diskriminatif mengurangi atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya di antara pihak tertentu saja, yakni di negara-negara yang memutuskan untuk bersatu membentuk integrasi ekonomi tersebut. Menurut Djamalius dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasan-pembatasan (barriers) yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dan dengan jalan memasukkan semua bentuk-bentuk kerja sama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih besar, menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional. Menurut Zarwin dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi internasional didefinisikan sebagai proses dan alat yang dipakai oleh sebuah kelompok negara untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Integrasi ini dapat terwujud apabila kerja sama antar negara, baik itu negara lemah maupun kuat, dapat mencapai tujuan yang dikehendaki dengan lebih efisien dibandingkan dengan kebijakan lainnya. Integrasi membutuhkan pembagian buruh dan kebebasan pergerakan barang dan jasa antar negara anggota, lebih lanjut integrasi memerlukan kebebasan mobilitas faktor-faktor produksi antar negara anggota dan penerapan proteksi terhadap faktor-faktor ini dengan negara di luar negara anggota. Suku bunga, tingkat inflasi dan harga saham Indonesia memiliki keterkaitan dengan suku bunga, tingkat inflasi, harga saham Hongkong dan Singapura. Indeks Bursa Saham (IHSG) berkorelasi positif dan negatif dengan Indeks Bursa Regional (Hangseng dan STI). Adanya penyatuan atau integrasi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan pasar modal di masing-masing negara. Saham di bursa-bursa Asia melemah terpengaruh anjloknya saham Wall Street. Di Hong Kong, indeks Hangseng turun dan indeks STI mengalami penurunan terendah dalam dua tahun terakhir mengikuti penurunan indeks Dow Jones. Menurut para investor, penurunan tingkat suku bunga bisa mengangkat ekonomi karena bisa menurunkan harga barang konsumen (Hariyanto, 2001). Contoh lain, menjelang akhir tahun 2006 lalu, dapat dilihat bahwa Bursa Efek Jakarta bersama dengan bursa Shanghai China dan Mumbai India merupakan trio bursa di Asia dengan kinerja paling baik. Ketiganya bersama-sama memecahkan rekor indeksnya masing-masing. Diketahui bahwa pertumbuhan indeks sebesar 57.25 persen dicapai bursa Jakarta, 65.05 persen oleh bursa Shanghai dan 48.64 persen oleh bursa Mumbai. Memasuki masa peralihan semester pertama dan kedua sempat terjadi penurunan indeks akibat ketidakpastian tingkat suku bunga global. Tetapi, setelah itu indeks di BEJ terus melaju dan sempat mencapai level 1.800. Inflasi yang terkendali dan tingkat suku bunga yang terus menurun membuat optimisme ke lantai bursa. Dimana para investor tertarik untuk membeli saham di bursa. Globalisasi adalah salah satu penyebab dari korelasi antara IHSG dengan berbagai indeks yang ada di berbagai belahan dunia. Investor, baik perseorangan maupun yang tergabung dalam sebuah fund yang dikelola oleh seorang fund manager, bisa dengan bebas melakukan alokasi aset tanpa melihat batas-batas negara. Secara khusus, fund manager ini 993
membuat IHSG berhubungan dengan bursa yang lain. Maraknya pembentukan fund regional yang menggunakan indeks yang terdiri dari saham-saham yang ada dalam satu regional sebagai benchmark, adalah penyebab dari semakin besarnya korelasi antara IHSG dengan berbagai indeks regional. Beberapa fund manager menggunakan indeks regional sebagai benchmark dari prestasinya dalam melakukan investasi. Indeks regional ini adalah indeks yang komponennya terdiri dari saham-saham yang listed di beberapa negara. Fund manager yang menggunakan indeks regional sebagai benchmark bisa jadi cenderung untuk keluar dari seluruh region apabila terjadi guncangan di satu negara yang menjadi tujuan investasinya (Utomo, 2007). Contoh indeks regional ini adalah MSCI Asia Ex Japan yang berisi saham-saham yang diperdagangkan di bursa-bursa utama Asia di luar Jepang, atau FTSE atau ASEAN 40 Index yang berisi saham-saham yang ada di bursa ASEAN. Selain itu Nikkei 225 Bursa Saham Jepang, Hangseng Bursa Saham Hongkong, Strait Times Bursa Saham Singapura, SET Bursa Saham Thailand dan lain-lain. Penelitian yang telah dilakukan oleh Atmadja (2005) tentang ”Are The Five ASEAN Stock Price Indices Dynamically Interacted ?“, bertujuan meneliti interaksi dinamis antara indeks harga saham yang terdapat di lima negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand yang terjadi selama masa krisis finansial Asia tahun 1997 dan periode sesudahnya. Dengan menggunakan data time series bulanan indeks harga saham dari kelima negara tersebut selama periode penelitian, suatu Vector Error Correction Model (VECM) diaplikasikan untuk meneliti secara empiris interaksi dinamis yang terjadi diantara berbagai variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian ditemukan dua vektor kointegrasi selama masa penelitian, dan analisa inovasi akuntansi menunjukkan adanya interaksi dinamis jangka pendek diantara pasar saham tersebut. Implikasi penting yang mungkin perlu diperhatikan dari penemuan ini adalah bahwa diversifikasi portofolio saham pada lima pasar saham tersebut agaknya tidak akan signifikan mengurangi tingkat resiko investasi. Hal ini dikarenakan oleh tingginya tingkat integrasi diantara pasar saham tersebut. Selain itu,Vimala (2005) menganalisis hubungan antara pasar modal dengan variabel makroekonomi yang terdiri dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), uang beredar, inflasi, suku bunga deposito, suku bunga SBI dan nilai tukar. Dalam penelitian ini, digunakan model ekonometrika yang dianalisis dengan menggunakan alat analisis Vector Autoregression (VAR). Penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) periode setelah krisis antara tahun 2000-2004 dilakukan oleh Goerdie (2005). Penelitian ini menggunakan variabel IHSG dan variabel-variabel ekonomi seperti jumlah uang beredar, nilai tukar, suku bunga SBI dan GDP. Penelitian ini diolah dengan menggunakan software E-views dengan alat analisis Ordinary Least Square (OLS). Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa jumlah uang beredar dan GDP mempunyai hubungan positif terhadap IHSG. Sedangkan nilai tukar dan suku bunga SBI mempunyai hubungan yang negatif terhadap IHSG. 994
Eprianti (2005), melakukan penelitian tentang ”Integrasi Pasar Modal dengan Perbankan Dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”. Metode yang digunakan adalah metode Vector Autoregression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) , dengan menggunakan variabel nilai volume perdagangan saham, Gross Domestic Product (GDP), suku bunga deposito, IHSG dan NPL. Penelitian ini menganalisis integrasi pasar modal dan perbankan di Indonesia dilihat dari sudut pandang sebagai lembaga pembiayaan sektor riil, kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian bahwa berdasarkan hasil uji kointegrasi, terdapat satu persamaan kointegrasi. Dari hasil estimasi VECM, indikator pasar modal signifikan terhadap indikator perbankan. Pengujian estimasi VECM juga memperlihatkan signifikansi dari indikator perbankan dalam mempengaruhi nilai indikator pasar modal. Hasil uji kausalitas multivariat menunjukkan bahwa semua variabel dalam model mempunyai hubungan dengan pertumbuhan ekonomi pada taraf satu persen. Penelitian ini dapat dibedakan dengan penelitian sebelumnya dalam pembuktian tentang integrasi pasar modal dengan perbankan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat dari variabel yang digunakan. Pengertian integrasi indeks harga saham gabungan dengan indeks bursa saham regional dalam penelitian ini adalah penyatuan IHSG tersebut dengan Indeks Bursa Saham Regional. Sedangkan bursa saham regional yang dimaksud adalah bursa saham Hangseng (Hongkong) dan bursa saham Strait Times (Singapura). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Autoregression (VAR) dilanjutkan dengan estimasi Vector Error Corection Model (VECM).
PEMBAHASAN Metodologi Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series dari bulan Januari 2002 sampai Juni 2012. Data yang digunakan adalah data Indeks Harga Saham (IHSG, KLSE,PSE,STI,Hangseng dan NIKKEI). Dan proksi yang diganakan return market. Analisis data menggunakan metode VAR, keunggulan metode VAR apabila dibandingkan dengan metode ekonometri konvensional adalah : 1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks multivariat), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu. 2. Uji VAR yang multivariat bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan. 3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous. 4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable endogenty and exogenty) di dalam model ekonometri konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah. 5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan. 995
Secara keseluruhan, metode yang akan digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam empat tahap: 1. Pengujian nonstasioneritas data dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). 2. Apabila hasil uji ADF mengandung akar unit, maka dilakukan penarikan differensial sampai data stasioner. Jika variabel dalam analisis tidak stasioner pada level, maka pendekatan VAR harus dikombinasikan dengan VECM. 3. Menentukan lag optimal dengan menggunakan Akaike Information Criteria (AIC). Kemudian digunakan pendekatan Johansen untuk memperoleh rank kointegrasi dengan tujuanmendapatkan persamaan kointegrasi jangka panjang. Setelah jumlah rank ditentukan maka dapat dilakukan pendekatan VECM untuk memperoleh persamaan jangka pendek dan jangka panjang. 4. Perilaku guncangan suatu variabel dan peran masing-masing guncangan terhadap variabel tertentu dengan menggunakan Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD). Model Umum Vector Autoregression Hubungan kausalitas antar variabel di dalam sistem persamaan multivariat lebih rumit dibandingkan dengan bivariat. Persamaan VAR yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut:
Hsiao dalam Natassyari (2006) secara terperinci telah membuat teorema pola hubungan antara variabel dalam sistem variabel berdasarkan nilai dalam aij sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Bila variabel X tidak mempengaruhi Z, syaratnya adalah : a32(L) = 0. Bila variabel X mempengaruhi Z, syaratnya adalah : a32(L) ≠ 0. Hubungan timbal balik antara variabel X dan Z, bila : a32(L) ≠ 0 dan a23 (L) ≠ 0. Hubungan tidak langsung dari variabel X dan Z melalui Y, syaratnya : a32 (L) = 0 ; a31 (L) ≠ 0 ; a12 (L) ≠ 0 . Hubungan palsu jenis I dari variabel X terhadap Z jika dan hanya jika terdapat kondisi a21 (L) = 0 ; a32 (L) ≠ 0, untuk semua panjang lag. 5. Hubungan palsu jenis II dari variabel X terhadap Z jika dan hanya jika terdapat kondisi: a32 (L) = 0 ; a12 (L) = 0, untuk semua panjang lag k dan a31 (L) ≠ 0 ; a21 (L) ≠ 0, untuk semua panjang lag k . Uji Stasioneritas Uji stasioneritas dapat dilakukan dalam beberapa metode. Metode yang paling banyak digunakan adalah menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Berdasarkan ADF test, jika didapat nilai ADF statistik lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. 996
Penetapan Lag Optimum Penetapan lag optimum merupakan bagian penting dalam VAR. Untuk memperoleh lag optimum yang tepat dapat dilakukan dalam beberapa bentuk pengujian. Pada tahap pertama dapat dilihat selang maksimal dari model VAR yang stabil. Untuk memperoleh selang maksimal dapat dilakukan dengan mengestimasi model VAR pada tingkat lag yang berbeda-beda sampai ditemukan selang maksimum yang stabil. Selanjutnya lag optimum dapat dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kriteria informasi yang biasa digunakan dalam penentuan lag optimum adalah Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Information Criteria (SIC). Lag optimum dapat diperoleh dengan membandingkan nilai AIC dan SIC. Nilai AIC dan SIC yang terkecil yang dipakai sebagai patokan nilai lag optimum karena AIC dan SIC minimum menggambarkan residual (error) yang paling kecil. Uji Kointegrasi Dalam VAR semua variabel yang digunakan harus stasioner. Apabila variabel tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Kointegrasi menggambarkan kombinasi linier dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Jika variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan yang stabil (Enders, 2004). Dari uji Johansen akan didapat rank kointegrasi (r). Rank kointegrasi dari vektor yt adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Untuk itu akan diuji hipotesis sebagai berikut: H0 = rank ≤ r H1= rank > r Model Umum Vector Error Correction Model VECM dapat dilakukan apabila rank kointegrasi yang didapat lebih besar dari nol. Model VECM ordo p dan rank kointegrasi r ditulis sebagai :
dimana; = αβ ; α = vektor kointegrasi berukuran r x 1; β = vektor kointegrasi ukuran rx 2
Variance Decomposition (VD) Metode Variance Decomposition (VD) dapat menjelaskan seberapa jauh peranan suatu variabel ekonomi dalam menjelaskan guncangan variabel ekonomi lainnya. Metode ini dapat pula digunakan untuk melihat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang.
997
Impulse Response Function (IRF) Pengaruh dinamis dari adanya suatu guncangan dapat dianalisis melalui Impulse Response Function (IRF) secara orthogonal. Hasil Analisis Data Uji Stasioner Uji stasioner merupakan persyaratan utama sebelum melakukan analisis menggunakan VAR (Vector Auto Regression Model). Dari hasil analisis data menggunakan software E view hasilny semua data bersifat stasioner. Hal ini terlihat dari nilai Mc Kinnon one side p value yang lebih kecil dari nilai α = 0.05, Sehingga bisa dilanjutkan dengan langkah berikutnya. Penetapan Lag Optimum Penetapan lag optimum dilakukan untuk mengetahui besarnya lag (waktu/periode masa lalu ) terhadap perilaku data masa kini. Dari hasil analisis menggunakan Sequental modified LR test,Final Prediction Error (FPE),Akaike information Criterion (AIC),Schwarz Information Criterion (SC) dan Hannan Quinn Information Criterion (HQ). Hasil dari analisis data menunjukkan lag time selama 2 periode ( 2 bulan ) yang dianggap paling optimal. Tabel 2: penetapan lag optimum
Model Vector Auto Regression Model (VAR) Karena semau data bersifat staioner maka langkah selanjutnya bisa dilakukan penghitungan VAR dan tidak perlu menggunakan VECM ( Vector Error Correlation Model).Hasil dari analisis menggunakan VAR adalah sebagai berikut : Tabel 3: Hasil VAR
998
Perubahan return bursa saham di jakarta saaat ini dipengaruhi oleh perubahan reurn saham Philipina (PSE) sebulan yang lalu, perubahan return bursa Singapura (STI) 2 bulan yang lalu dan peubahan return bursa NIKKEI ( Jepang ) dua bulan yang lalu. Impulse Response Function (IRF) Respon pergerakan saham Indonesia yang diakibatkan oleh perubahan saham regional dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 4. Hasil IRF
Setiap kenaikan indek saham di bursa regional yang diproksikan dengan return pasar saham sebesar 1 % akan direspon oleh indek saham di Indonesia dengan positif, pengaruh terbesar terjadi pada bulan 1 dan ke 2 setelah perubahan saham dunia. Pengaruh ini makin lama makin mengecil sampai pada bulan ke 10. Varian Decomposition Pasar Saham di Indonesia Pengaruh perubahan saham global terhadap reyurn saham di Indonesia, dari hasil penelitian Nampak seperti table dibawah ini. Tabel 5: Varian Decomposition 999
Dari tabel di atas, terlihat bahwa pengaruh terbesar dari perubahan harga saham di Indonesia paling besar adalah dari perubahan yang terjadi di Indonesia itu sendiri (Internal Sock), besarnya sumbangan adalah sebesar 99,74% pada bulan pertama dan terus menerus turun setiap bulan hingga mencapai 79.49% pada bulan ke 10. Indek regional yangpalingbesar pengaruhnya terhadap harga saham di Indonesia adalah NIKKREI Jepang, pengaruh pada bulan pertama sebesar 0,319 % dan terus menerus naik hingga mencapai 8,39% pada bulan ke 10. Sedangkan pasar modal Singapura pengaruhnya sebesar 2,657% pada bulan ke 2 dan terus menerus naik hingga mencapai 6,927% pada bulan ke 10. Selian kedua pasar modal tersebut, pengaruhnya relative sangat kecil. Implikasi Penelitian Hasil penelitian ini menunjukkan bawa memang telah terjadi kointegrasi antara pasar modal Indonesia dan Pasar modal regional (Singapura,Malaysia,Philipina , Jepang dan Hongkong). Pasar modal yangpengaruhny apaling besar terhadap pasar modal Indonesia adalah pasar modal Jepang ( NIKKEI) dan pasar modal Singapura (STI). Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Atmadja ( 2005) yang menunjukkan telah terjadi kointegrasi pasar modal di ASEAN.Penelitian ini juga membantah hsil penelitian yang dilakukan oleh Haryo Suparmun ( 2012 ), tentang kointegrasi pasar modal di kawasan Asia pasifik pada saat terjadi krisis dan pasca krisis global yang hasilnya menunjukkan bahwa pasar modal jepang pengaruhnya sangat kecil terhadap pasar modal di Indonesia pada saat terjadi krisis maupun pasca krisi ekonomi global. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh maliaris dan urrutia (1992), bahwa pasar modal Jepang memainkan peran yang pasif dalam mentransformasikan kepasar modal liannya denganperryimbangan Jepang banyak melakukan direct investment ke berbagai negara khususnya di ASEAN. Pengaruh pasar modal Singapura terhadap pasar modal di Indonesia, hasil penelitian ini mendukung Anoruo (2003) dan Awokuse et al ( 2009) yang menyatakan bahwa kuatnya pengaruh pasar modal Singapura terhadap pasar modal di ASEAN karena kuatnya pengaruh 1000
pasar modal Singapura terhadap pasar Modal Malaysia. Hasil peneltian ini juga diperkuat oleh peneltian Janakiraman dan ramba (1998). Kointegrasi pasar modal adalah kebiscayaan yang tidak dapat dihindari, terlebih lagi dengan makin berkembangnya informasi lintas negara dengan adanya internet. Bagi para investor yang akan melakukan deversifikasi portofolia internasional,hasil penelitian tentang ko integrasi pasar modal bisa di jadikan acuan dalam membentuk portofolio internasional.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ko integrasi antara pasar saham di Indonesia dengan pasar saham regional ( STI,KLSE,PSE,NIKKEI dan HANSENG). Hasil studi menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia merespon setiap perubahan indek harga saham di pasar regional,khususnya dari Jepang (NIKKEI) dan Singapura (STI). Perubahan indek harga saham regional di respon positif pada awal periode tetapi seiring dengan perjalan waktu pengaruhnya makin mengecil terhadap perubahan indek harga saham di Indonesia. Saran Kointegrasi adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dengan adanya globalisasi ekonomi.untuk itu sangat diperlukan sekali penelitian dengan instrument yang lebih canggih sehingga dapat dengan mudah memprediksi arah pengaruh perubahan pasar saham global terhadap pasar saham domestic ( Indonesia). Bagi Investor internasional harus membuat strategi baru untuk membuat portofolio internasioal,karena semua pasar saham saling terintegrasi sehingga perlu memilih pasar modal dengan ko integrasi yang relative lemah agar memperoleh keuntungan yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, Sidharta, 2011. Analisis KointegrasiPasar Modal IndonesiaThdp pasar Modal Dunia; pendekatan JOHANSEN COINTEGRATION TEST (studi kasus pada Bursa Efek Indonesia tahun 2001 - 2010). Masters thesis, Diponegoro University. Anoraga, P. dan P. Pakarti. 2006. Pengantar Pasar Modal. Rineka Cipta, Jakarta. Anwar, J. 2005. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi. PT. Alumni, Bandung. 1001
Atmadja, A.S. 2005. ”Are The Five ASEAN Stock Price Indices Dynamically Interacted”. Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol.7, No.1, Mei 2005: 43-60. Bank Indonesia. Beberapa Edisi. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Bloomberg,2007. Bursa Hongkong BisnisIndonesia, Jakarta.
akan
ekspansi
ke
produk komoditas.
Darmadji, T dan H. M. Fakhruddin. 2006. Pasar Modal di Indonesia Pendekatan Jawab. Salemba Empat, Jakarta.
Tanya
Enders, W.2004. Applied Economic Time Series. Second Edition. Jhon Wiley andSons, Canada. Goerdie, A. P. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Indeks Harga Saham Gabungan Pasca Krisis Tahun 2000-2004 [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati,D.1978. Jakarta.
Ekonometrika
Dasar.
Zain
dan
Sumarno[penerjemah]. Erlangga
Hadi, S. 2004. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF: Edisi 1. Granit, Jakarta. Haditomo, H.A. 2005. Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Kinerja Pasar Modal Pada Bursa Efek Jakarta [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal Dan Riil Diantara Negara-Negara ASEAN-5, Jepang Dan Korea Selatan [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hariyanto, S. 2001. Bursa Regional Bursa Asia terpengaruh Wall Street. Bisnis Indonesia, Jakarta. Mario Fernandes, 2008. Kointegrasi Pasar Modal Indonesia Dgn Pasar Modal ASEAN (Sebelum dan Sesudah Penghapusan Batas Pembelian Bagi Investor Asing) Marciano, D. Suyanto. 2004. ” Hubungan Jangka Panjang dan Jangka Pendek Ekonomi Makro dan Pasar Modal di Indonesia : Error Correction Model (ECM)”.Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen - November 2004. Nachrowi, N.D.2006. Pendekatan Popular dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia, Jakarta. 1002
Natassyari,M. 2006. Analisis Hubungan Antara Pasar Modal Dengan Nilai Tukar, Cadangan Devisa, Dan Ekspor Bersih [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oemar, S. 2007. Hukum persaingan Asean, mungkinkah ?. Bisnis Indonesia, Jakarta. Plummer, M.G, dan R.W.Click.2005.”Bond Market Development And Integration In Asean”. International Journal Of Finance And Economics. Republik Indonesia. 1995. Undang-Undang Tentang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995. Setyastuti, R.2004. Krisis Ekonomi dan Kausalitas antara Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah, Tingkat Suku Bunga dan Indeks Harga Saham di Indonesia. Parallel Session 1A Pelajaran dari Krisis Moneter Indonesia, Yogyakarta. Sumanto, E.2006. Analisis Pengaruh Perekonomian Indonesia [skripsi]. InstitutPertanian Bogor, Bogor.
Perkembangan Pasar Modal Terhadap Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Suta, I.P.G.A. 1996. Menuju Pasar Modal Modern. Yayasan SAD Satria Bhakti, Jakarta.
1003
DAYA DUKUNG SEKTOR PERHUBUNGAN LAUT UNTUK MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN : PELUANG DAN TANTANGAN Oleh : Sumarna Pradja1) E-mail :
[email protected] 1)
Dosen Fakultas Bisnis dan Manajemen Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRACT The Vision of Association Of South East Asia Nations (ASEAN) is to establish ASEAN Economic Community (AEC) by 2015, with one of its mission is to create connectivity among ASEAN countries in order to guarantee the member countries obtain a strong bargaining power, competitiveness and sustainability against global economy changes. Eventhough the global economy condition is unstable nowadays, the ASEAN economy growth significantly to achieve rank number 2 in Asia after the China Economy Growth, and the Asean trade volume recorded at 40% of the global trade volume, where its logistic or transportation is dominated by sea transportation/vessels. Indonesia has the opportunity to get benefit from the logistic side. However too optimalize benefit from AEC, Indonesia has to upgrade its global competitiveness such as to upgrade the Logistic Performance Index, as well as lowering logistic cost that currently stated at 26%of PDB. Some initiative has been done by Indonesian government to increase the nation transportation system such as implementing the National Logistic System (SISLOGNAS), and Master Plan of Accelerating and Expanding Indonesian Economy Development ( MP3EI)
Keywords : ASEAN, Global Competitiveness, Logistic Performance Index, Logistic Cost, Connectivity, SISLOGNAS, MP3EI
PENDAHULUAN Perkumpulan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mempunyai visi untuk membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dan salah satu misinya adalah membangun Konektivitas ASEAN yang dapat menjamin komunitas ASEAN lebih kompetitif dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap perubahan ekonomi global. ASEAN Connectivity dibentuk berdasarkan kesepakatan dalam ASEAN Summit ke-15 di Thailand pada tanggal 24 Oktober 2009, dan diperkuat dalam ASEAN Summit ke-16 di Vietnam pada tanggal 8-9 April 2010 yang menggariskan perlunya Master Plan of ASEAN Connectivity (MPAC) (Lihat Gambar 1) dengan sasaran dan jadwal waktu yang jelas termasuk pembangunan dan pembiayaan infrastruktur sebagai pelaksanaan dari MPAC tersebut.
1004
Gambar 1 VisidanTujuan ASEAN Connectivity Sumber: Master Plan on ASEAN Connectivity, Jan. 2011 Terdapat 5 tujuan yang ingin dicapai melalui konektivitas negara-negara ASEAN : 1. Meningkatkan kerjasama dan integrasi regional 2. Meningkatkan daya saing global melalui penguatan jaringan produksi regional 3. Meningkatkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat ASEAN 4. Meningkatkan penegakkan aturan dan tata-kelola yang baik (good governance) 5. Meningkatkan koneksitas ke pusat-pusat ekonomi dan mempersempit jurang pembangunan Membangun konektivitas diantara negara-negara ASEAN dipercaya dapat meningkatkan kerjasama ekonomi melalui perdagangan, investasi, pariwisata, dan pembangunan sektorsektor ekonomi lainnya. MPAC berisi identifikasi dari beberapa proyek-proyek transportasi yang menjadi prioritas untuk dibangun termasuk ASEAN Highway Network, MelakaPekanbaru Interconnection, West Kalimantan-Sarawak Interconnection, dan studi RoRo dan short-sea shipping.
1005
PEMBAHASAN Perkembangan Arus Perdagangan Melalui Laut Dalam Sepulun Tahun Terakhir Salah satu moda perdagangan internasional yang akan memperoleh pengaruh positif dengan adanya peningkatan konektivitas di negara-negara ASEAN adalah perdagangan internasional dengan menggunakan moda transportasi laut. Untuk jangka waktu yang sangat lama kedepan, perdagangan dunia melalui laut masih akan mendominasi pergerakan barang antar negara dan antar benua . Gambar 2 memperlihatkan peningkatan perdagangan dunia melalui laut dari tahun 1980 sampai tahun 2012 dan tumbuh sebesar 4% dengan total volume menyentuh angka 8,7 miliar ton. Ekspansi tersebut didorong oleh pertumbuhan yang cepat dalam volume dry cargo (5,6 persen) yang digerakkan oleh peti kemas dan perdagangan besar, yang tumbuh sebesar 8,6 persen (dalam ton) dan 5,4 persen, masing-masing tahun 2011 dan 2012. Arus perdagangan internasional dengan menggunakan peti kemas utamanya dipicu oleh arus perdagangan dari Amerika Serikat dan Eropa dan oleh permintaan impor berkelanjutan untuk bahan mentah di negara berkembang besar lainnya, terutama Cina dan India.
2012 2010 2008 2006 2000 1990 1980 0
Migas
2000
Dry Cargo
4000
Major Bulks
6000
8000
10000
Container
Gambar 2 : Perdagangan Internasional Melalui Laut Berdasarkan tipe kargo tahun 1980-2012 (Dalam Juta Ton). Sumber: UNCTAD, 2013
Arus barang curah kering utamanya ditopang oleh pertumbuhan perdagangan bijih besi (6 persen), yang melayani permintaan impor yang kuat di China, yang membutuhkan sekitar dua pertiga dari volume perdagangan bijih besi global pada 2011. Volume perdagangan tanker (minyak mentah, produk minyak olahan, dan cair minyak bumi dan gas) tetap berada hampir rata, tumbuh dengan kurang dari 1 persen akibat turunnya volume minyak mentah. Bersama-sama, perdagangan produk minyak olahan dan gas tumbuh sebesar 5,1 persen, terutama karena ledakan terbaru di perdagangan gas alam cair (LNG). Kontribusi negaranegara berkembang (new emerging economies) terhadap perdagangan lewat laut dunia juga 1006
meningkat. Pada tahun 2011, total 60 persen dari volume perdagangan lewat laut dunia berasal dari negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang sekarang pemain utama dunia baik sebagai eksportir dan importir, suatu pergeseran yang luar biasa dari pola sebelumnya. Transportasi Indonesia, khususnya pelabuhan dan akses transportasi darat ke pelabuhan, harus mengantisipasi berkembangnya perdagangan internasional ini. Indonesia harus melakukan upaya besar untuk meningkatkan pangsa pasarnya dalam perdagangan global Peluang Indonesia Mendapatkan Manfaat Dari Peningkatan Volume Perdagangan Melalui Laut Sandhy Wijaya sebagai Corporate Secretary PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) menyatakan bahwa meski perekonomian dunia saat ini masih labil, perekonomian ASEAN masih tumbuh secara signifikan menempati posisi kedua tercepat di Asia, setelah Tiongkok. Saat ini, persentase perdagangan ASEAN berada pada posisi angka 40 persen dari seluruh kegiatan perdagangan di dunia, dan transportasi perdagangan ASEAN sangat didominasi transportasi laut. Transportasi Indonesia, khususnya pelabuhan dan akses transportasi darat ke pelabuhan, harus mengantisipasi berkembangnya perdagangan internasional ini. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia dalam kaitannya dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah meningkatkan pangsa pasar dalam perdagangan internasional yang menggunakan peti kemas. Gambar 3. memperlihatkan posisi Indonesia saat ini dalam perdagangan dunia melalui laut yang menggunakan peti kemas.
Gambar 3 : Distribusi Pergerakan Peti Kemas Indonesia Sumber: PT Pelindo I, Juli 2012 (Total Pergerakan Peti Kemas Tahun 2011 = 154 Juta TEUS Total eksport /import peti kemas Indonesia tahun 2011: 8,96 juta Teus)
Gambar 3 memperlihatkan bahwa 60,93% perdagangan laut Indonesia berlangsung dengan negara-negara Asia. Sedangkan perdagangan melalui laut dengan Amerika, Eropa dan 1007
Australia masing-masing memberikan kontribusi sebesar 12,94% : 11, 45% dan 11,07% terhadap total volume perdagangan Indonesia melalui laut. Indonesia saat ini memiliki 111 pelabuhan komersial yang diusahakan dan dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia, 1481 pelabuhan non- komersial, dan 800 dermaga khusus. Dari seluruh pelabuhan yang diusahakan di Indonesia, volume pergerakan peti kemas Indonesia pada tahun 2011 baru mencapai 8,94 juta Teus. Padahal total pergerakan peti kemas dunia pada tahun 2011 mencapai 154 juta Teus. Dengan demikian pangsa pasar peti kemas Indonesia baru mencapai 5,81% dari total pergerakan peti kemas dunia. Dengan pertumbuhan peti kemas dunia berada pada kisaran 5%-6% dalam sepuluh tahun terakhir, maka pangsa pasar peti kemas di Indonesia masih bisa ditingkatkan menjadi 10% dari total pangsa pasar dunia dalam 5 tahun ke depan. Hambatan Infrastruktur Tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia untuk dapat memperoleh manfaat secara optimal dari berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015 adalah masih buruknya infrastruktur yang dimiliki Indonesia dan termasuk di dalamnya infrastruktur transportasi laut. (pelabuhan) (lihat Tabel 1). Hal ini memberikan akibat yang sangat besar bagi daya saing Indonesia di dalam perdagangan internasional Setelah kekuatan besar ekonomi dunia bergejala mulai pudar di belahan bumi bagian barat dan ketika banyak negara besar dan menengah di Asia mengalami peningkatan ekonomi yang sangat besar, maka tantangan besar utama yang akan muncul dari skala regional dan global adalah daya saing Indonesia yang masih belum tinggi, bahkan dalam skala Asia. Dalam skala waktu yang cepat Cina sudah menjadi kekuatan besar ekonomi dunia dan India menyusul dibelakangnya. Perlahan tapi pasti Vietnam dan Myanmar menggeliat maju secara cepat sementara Singapura, Malaysia, dan Thailand sudah berada lebih dahulu didepan barisan negara-negara maju di Asia Tenggara. Kalau kita melihat daya saing global Indonesia pada posisi Asia saja, maka menurut Global Competitiveness Report edisi 20132014, Indonesia berada pada peringkat nomer 5 setelah Singapore, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand (Lihat Tabel 1). Table 2. memperlihatkan peringkat kualitas infrastruktur Indonesia, termasuk transportasi dari tahun 2009 sampai 2014 dalam posisi 148 negara. Dalam tabel terlihat bahwa Indonesia mengalami peningkatan peringkat kualitas infrastruktur secara keseluruhan dari peringkat 96 di tahun 2009 menjadi peringkat 82 di tahun 2011, namun tetap bertahan di peringkat 82 di tahun 2013. Dalam hal peringkat infrastruktur, sesungguhnya pada tahun 2013 Indonesia masih berada di ranking bawah dari 148 negara. Demikian pula halnya dengan peringkat kualitas transportasi (jalan, KA, pelabuhan, dan bandara) yang mengalami kenaikan peringkat dari 2009 ke 2013, namun tetap berada didalam kelompok bawah dari 148 negara.
1008
Tabel 1
Daya Saing Indonesia Dibanding Negara-Negara ASEAN
Tahun
Indonesia Malaysia Thailand Vietnam Philippines
2013 Infrastruktur
82
25
61
110
98
Jalan
78
23
42
102
87
Kereta Api
44
18
72
58
89
Pelabuhan
89
24
56
98
116
Angkutan Udara
68
20
34
92
113
Listrik
89
37
58
95
93
Telepon Selular
62
27
49
21
81
Telepon Tetap
82
79
96
88
109
Sumber : The Global Competitiveness Raport, 2013-2014
Tabel 2.
Indikator Infrastruktur
Daya Saing Global Pada Infrastruktur Transportasi
2009-2010 Nilai
Peringkat
2011-2012 Nilai
/148
Peringkat
2013-2014 Nilai
/148
Peringkat /148
Kualitas Infrastruktur keseluruhan
NA
96
3.9
82
4.0
82
Kualitas Jalan
NA
94
3.5
83
3.7
78
Kualitas Infrastruktur KA
NA
60
3.1
52
3.5
44
Kualitas Infrastruktur Pelabuhan
NA
95
3.6
103
3.9
89
Kualitas Infrastruktur transportasi udara
NA
68
4.4
80
4.5
68 1009
Sumber : The Global Competitiveness Report 2013-2014
Gambar 4:Indonesia Global Competitiveness Index Sumber: The Global Competitiveness Report 2013-2014 Gambar 4. memperlihatkan kenyataa bahwa dalam tahun 2013-2014 ini pun infrastruktur Indonesia masih tetap memegang posisi sebagai salah satu dari tiga faktor besar yang menghambat investasi dan bisnis ekonomi. Mengingat infrastruktur masuk dalam salah satu pilar yang utama dalam peningkatan daya saing global, maka seharusnya kita melakukan perubahan besar dalam cara-cara kita membangun infrastruktur Indonesia kedepan, khususnya dalam waktu RENSTRA 2015-2019. Masalah suplai infrastruktur dalam bentuk penyediaan infrastruktur yang memadai dari sisi jumlah dan kualitasnya, berada di bawah masalah birokrasi pemerintahan yang tidak efisien dan masih merebaknya korupsi di Indonesia.
Implikasi Kondisi Infrastruktur Terhadap Biaya Logistik Nasional Infrastruktur transportasi laut Indonesia yang tidak memadai baik dari segi jumlah maupun kualitasnya sebagaimana disinyalir oleh Global Competitiveness Report Tahun 20132014, setidak-tidaknya membawa dua implikasi penting. Pertama, kuantitas infrastruktur laut yang tidak memadai berpengaruh terhadap konektivitas antar wilayah di Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan. Kedua, kualitas infrastruktur laut yang kurang mengakibatkan tingginya dwelling time time di pelabuhan-pelabuhan Indonesia yang saat ini masih berada di atas 8 hari (lihat Gambar 5). Hal ini turut memberikan kontribusi terhadap tingginya biaya logistik di Indonesia yang saat ini mencapai 26,8 persen dari Pendapatan Domestik Bruto Indonesia. (lihat Gambar 6). 1010
Gambar 5 : Waktu Dwelling Time (Bongkar Muat) Tanjung Priok Dibanding Beberapa Negara Sumber : Paparan Direktur Transportasi BAPPENAS, 2013
Gambar 6 Perbandingan Biaya Logistik Terhadap Produk Domestik Bruto (dalam %) Sumber : Paparan Direktur Transportasi BAPPENAS, 2013 Inisiatif Indonesia Untuk Menurunkan Biaya Logistik Nasional Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 dan Cetak Biru Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS) melakukan pentahapan pengembangan SISLOGNAS mulai tahun 2011 sampai dengan 2025 . Sasaran pengembangan logistik nasional pada tahun 2011-2015 adalah penguatan sistem logistik domestik dengan meletakkan dasar yang kokoh bagi terwujudnya Sistem Logistik Nasional yang efektif dan efisien dalam rangka mencapai visi Locally Integrated dan mewujudkankan landasan yang memadai untuk berintegrasi dengan jejaring logistik ASEAN. Untuk itu dilakukan pembenahan regulasi, pengembangan SDM, dan peningkatan infrastruktur logistik sehingga terwujud integrasi logistik lokal dan nasional. Untuk itu ongkos Logistik Nasional terhadap GDP tahun 2015 turun 3 % dari tahun 2011 dan Score Logistic Performance Index (LPI) Indonesia menjadi 3,1. 1011
Pengukuran LPI menurut World Bank terdiri atas enam faktor yaitu : 1. Efisiensi proses di kepabeanan 2. Kualitas infrastruktur 3. Biaya pengiriman yang kompetitif 4. Kompetensi dan kualitas jasa logistik 5. Kemampuan melacak dan menelusuri barang 6. Waktu tempuh Nilai LPI sendiri, berkisar antara 1 (sangat rendah) sampai 5 (sangat bagus). Saat ini Indonesia menduduki posisi ke 6 dalam LPI dibanding negara ASEAN lainnya. Posisi Indonesia dalam LPI tertinggal jauh dibanding Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam. Tabel 3 Peringkat Logistic Performance Index ASEAN
Negara
Tahun 2010
2012
Singapura
2
2
Malaysia
27
29
Thailand
35
38
Filipina
44
52
Vietnam
53
53
Indonesia
75
59
Myanmar
133
129
Sumber: World Bank Persiapan menyongsong integrasi jejaring logistik nasional dengan jejaring logistik ASEAN dilakukan dengan memperkokoh integrasi Logistik Dalam Negeri, sinkronisasi, koordinasi dan integrasi dengan jejaring logistik ASEAN, dan meletakkan dasar landasan yang kokoh untuk berintegrasi dengan jejaring logistik Global dalam rangka mencapai visi Globally Connected. Pada tahapan ini diharapkan Ongkos Logistik Nasional terhadap GDP pada tahun 2020 turun 4 % dari tahun 2015 dan Score LPI Indonesia 3,5. Saat ini besarnya ongkos logistik nasional terhadap GDP masih berada pada angka 26,8% dari GDP. Beroperasinya Sistem Logistik Nasional yang effektif dan effisien yang terintegrasi dengan jejaring logistik Global serta integrasi Sistem Logistik Nasional kedalam Jaringan Logistik Global Sehingga akan memungkinkan terwujudnya Konektivitas Logistik Global. 1012
Pada akhir tahun 2025 diharapkan ongkos Logistik Nasional terhadap GDP turun 5 % dari tahun 2020 dengan Score LPI Indonesia 3,5. Selain inisiatif SISLOGNAS, Pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan konektivitas nasional dengan menetapkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan membangun enam koridor pertumbuhan ekonomi yang mengintegrasikan di dalamnya pembangunan sektor transportasi secara keseluruhan (darat, laut, udara dan perkereta apian). Pembangunan 6 koridor pertumbuhan ekonomi tersebut diperkirakan membutuhkan dana sebesar Rp. 2.500 trilyun untuk investasi infrastruktur di koridor ekonomi, dimana diantaranya investasi untuk membangun transportasi saja mencapai sekitar Rp. 886 triliun (RPJPN, 2011). Besarnya dana yang dibutuhkan untuk membangunan 6 koridor ekonomi tersebut menimbulkan masalah pembiayaan yang serius karena kemampuan anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terbatas, sehingga porsi pembiayaan sebagian besar diharapkan dapat dipenuhi oleh pihak swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).
KESIMPULAN Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yang akan mulai diberlakukan pada tahun 2015 memberikan peluang bagi peningkatan perdagangan internasional Indonesia dengan negara-negara ASEAN khususnya perdagangan internasional melalui laut. Untuk memperoleh manfaat peningkatan pangsa pasar perdagangan internasional melalui laut khususnya pangsa pasar perdagangan dengan menggunakan peti kemas, maka Indonesia harus terus menerus mengupayakan untuk dapat menurunkan biaya logistik nasional dan menaikkan daya saing globalnya khususnya terhadap negara-negara ASEAN. Berbagai upaya tengah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menurunkan biaya logistik secara berkelanjutan dengan menerapkan Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS) dan menerapkan program MP3EI, dimana penerapan MP3EI sendiri masih terkendala oleh masalah pembiayaan yang diharapkan sebagian besar dapat dipenuhi oleh swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). DAFTAR PUSTAKA Australian Aid-Indonesia Infrastructure Initiatives (IndII).Academic Paper to Support National Port Master Plan Decree: Creating an Efficient, Competitive and Responsive Port System for Indonesia, Technical Report, March 2012. Bappenas. Bahan Lokakarya I Background Study untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor Transportasi, Jakarta, 11 September 2013. http://data.worldbank.org/indicator/LP.LPI.OVRL.XQ
1013
Jurnal Maritim (2013), Didominasi Transportasi Laut, 40 Persen Perdagangan Dunia Terjadi di ASEAN, Edisi 22, 20 Agustus 2014. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2013) Public Private Partnerships Infrastructure Projects Plan in Indonesia 2013, Jakarta, November 2013. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 PT. Pelindo I, (2011) Distribusi Pergerakan Peti Kemas Indonesia The Global Competitiveness Report 2013-2014 UNCTAD Secretariat (2012) Review of Maritime Transport 2012, New York and Geneva, 2012. Wirabrata , A., (2013). Peningkatan Logistic Performance Index (Lpi) Dan Rendahnya Infrastruktur Pendukung, Info Singkat Vol. V, No. 09/I/P3DI/Mei/2013.
1014
SINERGISITAS KEBIJAKAN LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN DAYA SAING DESA Oleh: Bambang1), Suprapto1) E-mail :
[email protected] 1)
Dosen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB Unsoed
ABSTRACT The aim of this article is to study the synergies between Local Economic Development (LED) policy and rural development to increase the competitiveness in the village. The synergies of Local Economic Development (LED) policy and rural development can be strategy policy to support regional development include of village competitiveness. Implementation of this synergy can be achieved through institutional engineering of economic cluster and partnership forum. The basic that needs to be done in terms of the Local Economic Development (LED) and rural development to increase the competitiveness of the village is the preparation of the roadmap strategy, facilitating, participating, monitoring dan activity evaluation. The synergies of Local Economic Development (LED) policy and rural development to increase the competitiveness of the village can be run effectively and efficiently if the implementation is based on the locally democratic principle.
Keywords: Local Economic Development, Village, Competitiveness.
PENDAHULUAN Krisis multi dimensional yang beberapa tahun terakhir ini dialami Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan nasional yang berorientasi pada industrialisasi dengan menempatkan masyarakat dan kawasan pedesaan sebagai objek pendukungnya justru gagal menciptakan masyarakat yang mandiri dan makmur (Hutagaol, 2001). Oleh karena itu, paradigma pembangunan nasional harus diubah dengan menempatkan wilayah pedesaan sebagai motor pembangunan dan menempatkan masyarakat pedesaan sebagai subjek pembangunan yang berpartisipasi aktif dalam seluruh aspek pembangunan. Hal ini cukup beralasan mengingat pedesaan merupakan tulang punggung transformasi perekonomian suatu bangsa. Pedesaan memainkan peran sebagai penyedia berbagai macam surplus perekonomian yang dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri di kawasan perkotaan. Pendekatan pembangunan yang digunakan selama ini telah membuat masyarakat pedesaan tidak mengalami kemajuan yang berarti (Pranadji dan Hastuti, 2004). Hal ini diindikasikan dengan tidak optimalnya organisasi ekonomi yang ada di desa. Organisasi – 1015
organisasi tersebut seperti lembaga perkreditan desa, koperasi desa, dan lumbung pendukuhan. Seharusnya organisasi ekonomi desa tersebut dapat tumbuh kuat dari bawah, mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Hampir semua organisasi ekonomi di pedesaan tersebut tersebut relatif rapuh. Kerapuhan ini diperkirakan menjadi salah satu sebab serius mengapa kehidupan dan perekonomian masyarakat pedesaan semakin terbelakang dan melemah (Pranadji dan Hastuti, 2004). Salah satu permasalahan yang menjadi tantangan bagi pembangunan di pedesaan adalah masalah daya saing desa. Sebagai tulang punggung transformasi perekonomian, daya saing desa merupakan akar dari daya saing daerah ditingkatan lebih tinggi yaitu daya saing regional dan nasional. Daya saing desa yang kuat diyakini akan membuat daya saing regional dan nasional juga akan kuat. Apalagi peran desa sangat penting mengingat pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin di pedesaan jauh lebih besar daripada penduduk miskin di kawasan perkotaan. Persentase penduduk miskin di pedesaan mencapai 15,72 persen, sedangkan di perkotaan hanya mencapai 9,23 persen (Badan Pusat Statistik, 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan daya saing desa merupakan agenda penting yang harus mendapatkan perhatian serius dari pelaku kebijakan dan masyarakat itu sendiri. Banyak proyek/program pemerintah yang sudah dilakukan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan. Proyek/program tersebut dilakukan masing-masing departemen maupun antar departemen. Pada umumnya proyek-proyek yang digulirkan masih pada generasi pemberian bantuan fisik kepada masyarakat. Baik berupa sarana irigasi, bantuan saprotan, mesin pompa, pembangunan sarana air bersih dan sebagainya. Kenyataannya, ketika proyek berakhir maka keluaran proyek tersebut sudah tidak berfungsi atau bahkan hilang. Beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan proyek tersebut antara lain, yaitu: (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket proyek tidak dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) tidak ada kegiatan monitoring yang terencana (4) tidak ada kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan proyek (PERHEPI, 2004). Dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh pembangunan pedesaan dan berbagai pengalaman kegagalan proyek pemerintah, diperlukan sebuah pendekatan baru yang mampu mensinergikan antara pembangunan pedesaan dan peningkatan daya saing yang mampu memberdayakan ekonomi lokal. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah Local Economic Development (LED) atau pembangunan ekonomi lokal. Local Economic Development (LED) berusaha melakukan upaya pemanfaatan sumber daya yang ada yaitu sumberdaya fisik, manusia dan kelembagaannya. Dalam istilah lain, Local Economic Development (LED) merupakan pemanfaatan faktor-faktor internal lokal guna untuk pengembangan ekonomi lokal (Supriyadi, 2007). Dengan pendekatan ini diharapkan akan ada sinergi antara pembangunan pedesaan yang menyeluruh dan mampu meningkatkan daya saing desa. Daya Saing dan Daya Saing Desa Konsep daya saing muncul akibat dari kondisi persaingan yang ada dalam perekonomian. Persaingan terjadi antar pelaku ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan. Keuntungan bagi perusahaan adalah berupa laba, sedangkan untuk suatu daerah adalah peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Konsep daya saing daerah ini semakin berkembang, dari daya saing nasional dari Michael Porter (1990) menuju daya saing internasional dari Dong-Sung Cho (2000). Bahkan penerapan konsep daya saing ini diterapkan 1016
juga dalam perencanaan daya saing daerah (Bappeda Jawa Tengah, 2012). Melalui program One Village One Product (OVOP), konsep daya saing saat ini sudah diaplikasikan pada tingkat desa. Konsep daya saing nasional dari Michael Porter ditentukan oleh empat faktor penentu daya saing. Keempat faktor penentu daya saing tersebut dikenal dengan Diamond Porter. Penentu daya saing menurut Porter (1990) dalam yaitu kondisi faktor, strategi perusahaan, struktur, dan persaingan, kondisi permintaan, dan industri terkait dan industri pendukung (Moon dan Cho, 2000). Dengan memperluas model Diamond Porter, Dong-Sung Cho (2000) mengemukakan sembilan faktor yang menentukan daya saing. Penentu daya saing tersebut terdiri dari delapan unsur dari faktor internal dan satu unsur dari faktor eksternal. Adapun delapan unsur dari faktor internal terdiri dari empat unsur dari faktor fisik dan empat unsur dari faktor manusia. Faktor internal terdiri dari sumber daya alam yang dimiliki (endowed resources), lingkungan bisnis, industri terkait dan pendukung, permintaan domestik mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif, pekerja. politisi dan birokrasi, wirausahawan, swerta para manajer dan professional. Adapun faktor eksternal adalah peristiwa dan peluang yang mencakup terobosan yang tidak diharapkan, fluktuasi pasar modal, gerakan permintaan internasional, pecahnya perang, dan lain-lain (Moon dan Cho, 2003) Paradigma Pembangunan dan Pembangunan Pedesaan Paradigma pembangunan mempunyai empat komponen esensial (Alhumami, 2005). Menurut Alhumami (2005) keempat komponen tersebut yaitu: 1. Kesetaraan yang merujuk pada kesamaan dalam memperoleh akses ke sumber daya ekonomi dan politik yang menjadi hak dasar warga negara. 2. Produktivitas yang merujuk pada usaha-usaha sistematis yang bertujuan meningkatkan kegiatan ekonomi. 3. Pemberdayaan yang merujuk pada setiap upaya membangun kapasitas masyarakat dengan cara melakukan transformasi potensi dan kemampuan, sehingga masyarakat memiliki kemandirian, otonomi, dan otoritas dalam melaksanakan pekerjaan dan mengatasi permasalahan sosial. 4. Berkelanjutan yang merujuk pada strategi dalam mengelola dan merawat modal pembangunan seperti fisik, manusia, finansial, dan lingkungan agar bisa dimanfaatkan guna mencapai tujuan utama pembangunan yaitu kesejahteraan rakyat. Paradigma pembangunan manusia kini menjadi tema sentral dalam wacana perdebatan mengenai isu-isu pembangunan. Orientasi pembangunan pun bergeser dari sekadar mencapai tujuan makroekonomi seperti peningkatan pendapatan nasional dan stabilitas fiskal ke upaya memantapkan pembangunan sosial (societal development) (Alhumami, 2010). Paling kurang ada enam alasan mengapa paradigma pembangunan manusia ini bernilai penting, yaitu: (i) pembangunan bertujuan akhir meningkatkan harkat dan martabat manusia; (ii) mengemban misi pemberantasan kemiskinan; (iii) mendorong peningkatan produktivitas secara maksimal dan meningkatkan kontrol atas barang dan jasa; (iv) memelihara konservasi alam (lingkungan) dan menjaga keseimbangan ekosistem; (v) memperkuat basis civil society dan institusi politik guna mengembangkan demokrasi; dan (vi) merawat stabilitas sosial politik yang kondusif bagi implementasi pembangunan (Basu, 2002 dalam Alhumami, 2010). 1017
Dengan melihat latar belakang pembangunan pedesaan yang telah banyak dilakukan, tetapi hasilnya belum memuaskan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan seharusnya dilihat bukan hanya sebagai obyek tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Selain itu, pembangunan pedesaan harus dilihat sebagai upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat, dan upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kokoh. Sebagai penekanan terakhir, pembangunan pedesaan bersifat multi aspek yang melibatkan keterkaitan antar bidang sektor dan aspek baik di dalam maupun di luar pedesaan (Adisasmita, 2006). Tujuan pembangunan pedesaan dapat dilihat dari segi jangka panjang, jangka pendek dan tujuan pembangunan spasial (Adisasmita, 2006). Tujuan pembangunan pedesaan jangka panjang adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara langsung melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan berdasarkan pendekatan bina lingkungan, bina usaha dan bina manusia, dan secara tidak langsung adalah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi pembangunan nasional. Tujuan pembangunan pedesaan jangka pendek adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan ekonomi dan pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumber daya alam. Tujuan pembangunan pedesaan secara spasial adalah terciptanya kawasan pedesaan yang mandiri, berwawasan lingkungan, selaras, serasi, dan bersinergi dengan kawasan-kawasan lain melalui pembangunan yang holistik dan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera (Adisasmita, 2006). Ruang Lingkup dan Prinsip Pembangunan Pedesaan Menurut Adisasmita (2006) ruang lingkup pembangunan pedesaan yaitu pembangunan sarana dan prasarana pedesaan, pemberdayaan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia, penciptaan lapangan pekerjaan, kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan, dan penataan keterkaitan antar kawasan pedesaan dengan kawasan perkotaan. Oleh karena itu, pembangunan pedesaan seharusnya menerapkan prinsip-prinsip transparansi (keterbukaan), patisipatif, dapat dinikmati masyarakat, dapat dipertanggung jawabkan (akuntabilitas), dan berkelanjutan (sustainable). Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke seluruh pelosok daerah, untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada dasarnya dari, oleh dan untuk seluruh masyarakat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat seharusnya diajak untuk menetapkan visi (wawasan) pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Definisi Kebijakan Pembangunan Wilayah dan Local Economic Development (LED) Dalam konteks pembangunan wilayah terdapat beberapa kebijakan pengembangan yang terus berevolusi seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan/atau dinamika permasalahan yang dihadapi. Secara garis besar, kebijakan tersebut dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok, yaitu : (1) kebijakan pengembangan dari atas, (2) kebijakan pengembangan dari bawah dan (3) kebijakan Local Economic Development (Iqbal dan Anugrah, 2009). Pada dasarnya kebijakan-kebijakan tersebut saling melengkapi dan menyempurnakan menurut situasi, kondisi, dan permasalahan yang terjadi. Kebijakan pembangunan dari atas memiliki kelemahan karena dapat menimbulkan kesenjangan pada wilayah-wilayah yang lebih kecil akibat eksploitasi sumberdaya oleh wilayah yang lebih besar. Sementara itu, kebijakan pembangunan dari bawah sebetulnya memiliki muatan yang bagus tetapi seringkali lemah 1018
dalam implementasi, sehingga kebijakan ini cenderung bersifat utopia. Adapun kebijakan Local Economic Development (Blakely, 1994) dapat dianggap sebagai alternatif dalam mencarikan solusi permasalahan yang terjadi pada kebijakan pembangunan dari atas dan kebijakan pembangunan dari bawah. Berkaiatan dengan konsep Local Economic Development (LED) terdapat beberapa definisi dimana satu dan lainnya memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda. Canzanelli (2001) mendefinisikan Local Economic Development (LED) sebagai sebuah proses yang sesuai untuk menciptakan pertumbuhan tenaga kerja dan penciptaan perusahaan kecil dan menengah baru untuk mendukung pembangunan manusia dan pekerjaan yang layak. Menurut Blakely (1989) mendefinisikan Local Economic Development (LED) merupakan proses dimana pemerintah lokal atau organisasi berbasis masyarakat (lingkungan) mengelola sumberdaya yang ada dan melakukan kemitraan dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan menstimulus aktivitas ekonomi. Tujuan prinsip Local Economic Development (LED) adalah untuk merangsang kesempatan kerja di sektor-sektor yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggunakan sumber daya manusia, alam, dan kelembagaan yang ada. Adapun menurut Zaaier and Sara (1993) dalam Rodriguez-Pose et.al (2005) mengartikan bahwa Local Economic Development (LED) adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan/ atau organisasi berbasis komunitas mengelola sumber daya yang ada dan melakukan kemitraan dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi di daerah tersebut. Dalam website Bank Dunia menyatakan bahwa Local Economic Development (LED) menawarkan kesempatan pemerintah daerah, sektor swasta, lembaga non profit, dan masyarakat lokal untuk melakukan kerja sama dalam upaya meningkatkan perekonomian lokal. Local Economic Development (LED) berfokus pada peningkatan daya saing, meningkatkan pertumbuhan yang berkelanjutan, penciptaan lapangan kerja dan memastikan bahwa pertumbuhan yang inklusif. Local Economic Development (LED) mencakup berbagai disiplin ilmu termasuk perencanaan fisik, ekonomi dan pemasaran. Local Economic Development (LED) juga banyak mencakup pemerintah daerah dan fungsi sektor swasta termasuk perencanaan lingkungan, pengembangan usaha, penyediaan infrastruktur, pengembangan real estate dan keuangan (Tello, 2010). Dalam literatur ekonomi dan sudut pandang ekonomi industri, Local Economic Development (LED) secara tradisional didefinisikan sebagai perubahan yang mempengaruhi kapasitas perekonomian lokal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menumbuhkan kesempatan kerja dan menciptakan kesejahteraan baru untuk penduduk lokal (Blair, 1995; Bartik, 1995; Bingham and Mier, 1993; and Malizia, 1985 dalam Tello, 2010). Definisi sentral dari Local Economic Development (LED) diberikan oleh Blakely (2003) dan Blakely dan Bradshaw (2002) dalam Tello (2010) yang menyatakan bahwa area Local Economic Development (LED) merupakan kombinasi antara beberapa disiplin ilmu dan perpaduan antara kebijakan dan praktek. Konsep Local Economic Development (LED) didasarkan pada empat faktor utama yaitu sumberdaya asli daerah dan pengawasan lokal, formasi kesejahteraan baru, capacity building yang baru, dan ekspansi sumberdaya. Tujuan dari Local Economic Development (LED) adalah untuk membangun kapasitas ekonomi lokal untuk meningkatkan masa depan perekonomian dan kualitas hidup semua komponen yang ada di dalamnya. Local Economic Development (LED) adalah proses dimana masyarakat, bisnis dan mitra non-pemerintah dari seluruh sektor bekerja secara kolektif untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan 1019
kerja. Keberhasilan sebuah komunitas hari ini tergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan ekonomi pasar lokal, nasional dan internasional yang dinamis. Strategi LED yang direncanakan semakin banyak digunakan oleh masyarakat untuk memperkuat kapasitas ekonomi lokal suatu daerah, memperbaiki iklim investasi, dan meningkatkan produktifitas dan daya saing bisnis lokal, pengusaha dan pekerja. Kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup, menciptakan peluang ekonomi baru dan memerangi kemiskinan tergantung pada masyarakat itu sendiri untuk dapat memahami proses Local Economic Development (LED), dan bertindak strategis dalam menghadapi pasar ekonomi yang selalu berubah dan semakin kompetitif (Swinburn et.al, 2006). Kebijakan Local Economic Development (LED) Proses Local Economic Development (LED) merupakan proses jalinan kepentingan antara pemerintah, swasta, produsen, dan masyarakat dengan mengoptimalkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lokal (endogenous development) dalam rangka menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja (Blakely, 1991 dalam Iqbal dan Anugrah, 2009). Dalam proses Local Economic Development (LED) terkandung beberapa misi kegiatan seperti pengembangan usaha dan ekonomi daerah, wahana partisipasi masyarakat, pemberdayaan produsen atau masyarakat, pengentasan kemiskinan, transparansi, akuntabilitas, dan kerjasama regional yang bersifat lintas sektoral (Alizar et al., 2002 dalam Iqbal dan Anugrah, 2009). Program Local Economic Development (LED) merupakan suatu kebijakan ekonomi daerah yang secara umum terfokus pada sektor-sektor pengungkit yang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan sistem perekonomian daerah. Tujuan dari program Local Economic Development (LED) adalah memberikan dorongan utama (prime mover) pembangunan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penciptaan lapangan kerja yang memadai. Pendekatan Local Economic Development (LED) menggunakan tiga prinsip utama yaitu (1) sektoral yang menandakan adanya sinergitas kebijakan/ prioritas pembangunan pusat dan daerah, (2) kewilayahan, dimana pemerintah menetapkan Program RED – SP (Regional Economic Development Strategic Program) melalui Kerjasama Antar Daerah (KAD), pengembangan klaster dan penciptaan iklim kondusif bagi dunia usaha, dan (3) partisipatif, artinya terdapat kolaborasi pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi lain (Bappeda Jawa Tengah, 2011). Alizar et al. (2002) dalam Iqbal dan Anugrah (2009) menekankan bahwa dalam implementasinya Local Economic Development (LED) perlu diwujudkan dalam kemitraan. Kemitraan menjadi penting dan mendasar dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya suatu daerah, mengingat pemerintah sendiri memiliki keterbatasan (terutama dana) sehingga memerlukan kontribusi sektor swasta dan masyarakat dalam pembangunan. Kemitraan diperlukan dalam rangka menggelar dialog partisipatif antar pemangku kepentingan (stakeholders) tentang pengembangan ekonomi. Melalui forum kemitraan, hal-hal yang terkait dengan kegiatan perencanaan, perumusan kebijakan, fasilitasi pelayanan, dan formulasi keputusan dibuat dan didiskusikan. Selain itu, akselerasi Local Economic Development (LED) juga memerlukan strategi “klaster ekonomi” untuk meningkatkan kesempatan memperoleh pendapatan (livelihood). Kondisi ini dapat dicapai melalui identifikasi peluang dan pengembangan pasar, diversifikasi, dan pemasaran berbagai komoditas terpilih (unggulan). Kedua, strategi “forum. Berdasarkan gambaran tersebut, klaster ekonomi dan forum kemitraan merupakan dua kunci pokok dalam kebijakan Local Economic Development (LED). Secara konkret, Local 1020
Economic Development (LED) diimplementasikan dalam beberapa langkah dengan tujuan dan target/sasaran kegiatan yang hendak dicapai. Secara garis besar, langkah kegiatan Local Economic Development (LED) diawali dari proses sosialisasi, fasilitasi, hingga rekayasa kelembagaan. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran diantara para pemangku kepentingan, mobilisasi sumberdaya dalam wacana kemitraan, hingga pengembangan kelembagaan yang berdayaguna dalam jangka panjang. Sementara itu, target dan sasaran Local Economic Development (LED) harus sejalan dengan langkah dan tujuannya yaitu mulai dari timbulnya kesadaran para pemangku kepentingan terhadap eksistensi Local Economic Development (LED), termobilisasinya sumberdaya sesuai dengan kebutuhan, hingga terlembaganya (institutionalized) LED. Sinergi Kebijakan Local Economic Development dan Pembangunan Pedesaan Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Sinergi kebijakan Local Economic Development (LED) dan Pembangunan Pedesaan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dapat diilustrasikan sebagaimana tertera pada Gambar 1. Dalam hal ini perlu dibentuk rekayasa kelembagaan yang sejalan dengan dua strategi pokok kebijakan Local Economic Development (LED), yaitu klaster ekonomi dan forum kemitraan. Gambar 1. Sinergi Kebijakan LED dan Pembangunan Pedesaan sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Pembangunan Pedesaan
Sinergi
Kebijakan LED
Klaster Ekonomi
Forum Kemitraan
Peningkatan Daya Saing
Klaster Ekonomi Klaster ekonomi merupakan sekumpulan usaha atas produk barang/jasa tertentu dalam suatu wilayah, yang membentuk kerjasama dengan usaha pendukung dan usaha terkait untuk menciptakan efisiensi kolektif berdasarkan kearifan lokal guna mencapai kesejahteraan masyarakat (Bappeda Jawa Tengah, 2011). Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut dalam klaster harus menunjukkan kesatuan hubungan aktivitas khusus antara berbagai perusahaan (companies), pemasok (suppliers), jasa pelayanan (service providers), dan institusi kelembagaan (associated institutions) yang terkonsentrasi secara geografis pada suatu wilayah baik regional maupun nasional (Porter, 1990 dalam Iqbal dan Anugrah, 2009). Oleh karena itu, klaster merupakan elemen penting dalam perumusan kebijakan ekonomi, stabilisasi ekonomi makro, privatisasi, peluang pasar, dan bisnis. Batasan klaster ekonomi menurut definisi tersebut relatif komprehensif atau utuh karena klaster dapat dijabarkan kedalam alur input, proses dan output atau hasil dari pengembangan klaster secara jelas. Input dalam klaster terdiri dari sekumpulan usaha atas produk/jasa tertentu sebagai usaha industri inti, usaha pendukung (industri pendukung dan 1021
lembaga pendukung), dan usaha terkait seperti usaha yang bisa dikerjasamakan dengan usaha inti diluar usaha pendukung. Menurut prosesnya, klaster ekonomi merupakan kerjasama yang mampu menciptakan efisiensi kolektif. Usaha inti saling berhubungan secara intensif dan membentuk kemitraan dengan industri pendukung dan usaha terkait dengan didukung oleh jasa-jasa/prasana pendukung. Dengan demikian akan meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya transaksi, menciptakan aset secara kolektif, dan meningkatkan inovasi sehingga bermanfaat untuk mendorong spesialisasi produk (bahkan proses) dan mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Dalam output yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan terakhir dari penetapan kebijakan klaster bukan hanya untuk kemajuan dunia usaha tetapi juga masyarakat secara luas akan diuntungkan antara lain melalui tersedianya produk/jasa yang berkualitasdengan harga yang terjangkau, peningkatan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat, penyerapan bahan baku lokal dan terjaganya keseimbangan lingkungan sekitar. Dengan demikian klaster juga akan menjaga tiga pilar keberhasilan dunia usaha, yang dikenal dengan sebutan 3P yaitu profit (keuntungan), people(kesejahteraan), dan planet (lingkungan). Berdasarkan implementasinya, klaster ekonomi paling tidak mengandung tiga unsur, yaitu : (1) kedekatan geografis, mencakup kegiatan lintas komoditas dan lintas sektoral; (2) kesatuan sektor industri, meliputi kegiatan lintas daerah dan komoditas; dan (3) kesamaan komoditas yang berkaitan dengan kegiatan lintas daerah. Dalam klaster ekonomi terkandung beberapa prinsip (OECD, 1998 dalam Iqbal dan Anugrah, 2009). Prinsip-prinsip tersebut adalah : 1. Skala ekonomi (economic scale) – berorientasi regional, bukan bersifat pendekatan tunggal terhadap komunitas atau institusi tertentu (not a single community or jurisdiction). 2. Tantangan ekonomi (economic challenge) – menjawab tantangan kebutuhan restrukturisasi ekonomi dalam rangka meningkatkan efektifitas penggunaan masukan (input) ekonomi. 3. Titik tumpu ekonomi (economic focus) – memiliki visi berorientasi pengembangan kelompok klaster regional (regional cluster portfolio), bukan hanya semata mengembangkan industri atau perusahaan tertentu. 4. Kepemimpinan dan proses strategi (leadership and strategy process) memiliki pimpinan dan organisasi yang peduli terhadap pengembangan ekonomi regional melalui proses pedekatan komprehensif dan kolaboratif terhadap aneka bentuk industri dan institusi. 5. Kapasitas dalam mengambil tindakan (capacity to take action) – mengambil tindakan secara regional melalui optimalisasi penggunaan sumberdaya teknis dan keuangan dengan tujuan memperoleh manfaat buat kepentingan bersama. Dalam pembangunan pedesaan, klaster dapat dikategorikan sebagai hubungan interdependensi antara wilayah desa itu sendiri dan daerah sekitarnya (termasuk perkotaan). Oleh karena itu, klaster yang hendak dibentuk seyogianya sejalan dengan kebijakan Local Economic Development (LED). Langkah pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi dan pemetaan potensi ekonomi lokal, analisis, penetapan produk unggulan dan kesepakatan klaster, penyusunan rencana tindak dan bisnis klaster, dan pengembangan klaster. 1022
Identifikasi dan pemetaan kondisi ekonomi lokal ditujukan untuk mengidentifikasi potensi lokal, faktor-faktor pendukung, serta lingkungan strategis yang diperlukan sebagai pengungkit pengembangan klaster dan produk unggulan. Identifikasi klaster juga harus merefleksikan potensi-potensi yang berkaitan dengan permintaan pasar, perekonomian, manfaat bagi rumah tangga miskin, dampak berganda bagi perekonomian, dan keberhasilan. Pendekatan yang paling representatif untuk mengetahui potensi-potensi tersebut adalah melalui kegiatan penelitian. Kegiatan pemetaan kondisi ekonomi lokal ini dapat menggunakan pendekatan model Rapid Appraisal Techniques for Local Economic Development (RALED) Bappenas yang diperkaya dengan analisis pengaruh Local Economic Development (LED) terhadap pembangunan daerah. Analisis klaster dilakukan dalam usaha untuk mengidentifikasi dan menentukan produk unggulan daerah. Kriteria utama penentuan produk unggulan ini adalah produk yang memiliki nilai tambah yang besar, memiliki multiplier usaha lokal yang luas, serta memiliki daya saing dalam bisnis usaha domestik maupun internasional. Untuk menggali informasi multiplier effect dan nilai tambah usaha setiap produk lokal dilakukan analisis value chain proses produksi masing-masing produk usaha. Selain itu, analisis klaster juga harus mengacu pada konsep yang melandasinya. Konsep dan implementasi analisis klaster meliputi : (1) orientasi pasar dengan fokus pada mekanisme efektifitas penawaran dan permintaan; (2) inklusif dengan cakupan kegiatan fasilitasi lembaga ekonomi terkait; (3) kerjasama dalam solusi permasalahan secara kolaboratif and partisipatif; (4) strategis dalam rangka memotivasi dedikasi kerja para pemangku kepentingan; dan (5) nilai tambah bagi pendapatan lokal (Iqbal dan Anugrah, 2009). Kelima konsep dan implementasi analisis klaster tersebut merupakan pengejawantahan dari hasil identifikasi dan pemilihan klaster sebagaimana telah diuraikan di atas. Setelah analisis klaster, langkah berikutnya adalah penetapan dan kesepakatan klaster berdasarkan produk unggulan daerah dapat berupa beberapa produk dan klaster usaha yang berpotensi paling baik dan memiliki daya saing usaha untuk mendukung Local Economic Development (LED) di daerah. Untuk mendukung pengembangan klaster, diperlukan rencana tindak dan bisnis klaster terdiri dari program prioritas strategis yang dilakukan dalam rangka mendukung fokus kegiatan pengembangan klaster dan produk unggulan daerah. Setelah itu baru dilakukan pengembangan klaster. Langkah-langkah pengembangan klaster mencakup : (1) mobilisasi para pemangku kepentingan dalam kaitannya dengan pengembangan minat dan partisipasi; (2) diagnosis atau penilaian klaster dalam hubungannya dengan ketersediaan prasarana dan sarana perekonomian; (3) strategi kerjasama dalam bentuk pengorganisiran perusahaan di setiap klaster; dan (5) implementasi berupa pengembangan dedikasi peserta kelompok kerja klaster dan para pemangku kepentingan. Forum Kemitraan Dalam konsep Local Economic Development (LED), forum kemitraan mewadahi terjalinnya hubungan tanggungjawab antara pemerintah (aparat dan wakil rakyat), swasta (perusahaan, lembaga keuangan, pedagang, dan produsen), dan masyarakat (warga komunitas, LSM, dan lembaga pendukung lainnya) dalam suatu forum (Alizar et al., 2002 dalam Iqbal dan Anugrah, 2009). Forum kemitraan dapat dikejawantahkan dalam penyiapan dan penguatan platform kelembagaan. Kelembagaan dari forum kemitraan dilakukan dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan sistem kelembagaan yang sudah berjalan. Inisiasi awal dapat dilakukan oleh 1023
pemerintah ataupun instutusi lain untuk mendorong terciptanya kelembagaan. Forum kemitraan yang terdiri dari lintas pelaku ini diperlukan untuk mengawal dan mendukung aktivitas dari klaster ekonomi yang sudah dibentuk. Kelembagaan ini dapat terdiri dari lembaga yang berfungsi melakukan eksekusi kegiatan seperti Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD), kelompok pelaku usaha, kelompok penunjang usaha, Business Development Services (BDS). Mengingat beragamnya pemangku kepentingan, maka hal paling mendasar yang perlu dilakukan dalam forum kemitraan adalah penilaian (assessment) terhadap eksistensi dan aspirasi pemangku kepentingan. Metode yang cukup representatif dalam penilaian terhadap eksistensi dan aspirasi pemangku kepentingan tersebut adalah analisis pemangku kepentingan (stakeholderanalysis). Race dan Millar (2006) dalam Iqbal dan Anugrah (2009) menekankan bahwa paling tidak ada tiga elemen penting dalam analisis pemangku kepentingan yang perlu mendapatkan perhatian. Ketiga elemen tersebut adalah : (1) pemangku kepentingan itu sendiri yaitu baik perorangan maupun kelompok; (2) partisipasi (keterlibatan); dan (3) keterkaitan (engagement) sebagai bentuk dari partisipasi yang tidak hanya bernuansa konsultasi semata. Oleh karena itu, dalam analisis pemangku kepentingan perlu dipahami alur lingkar operasionalisasi kegiatan (dalam hal ini forum kemitraan) mengingat eksistensi lembaga ini memiliki dimensi sosial kemasyarakatan yang cukup majemuk dan dinamis. Implementasi analisis pemangku kepentingan dilandasi empat aspek pokok, yakni identifikasi, pemahaman persepsi, penyediaan informasi, pelatihan, serta monitoring dan evaluasi. Neef (2005) dalam Iqbal dan Anugrah (2009) menggarisbawahi bahwa identifikasi pemangku kepentingan perlu dilakukan dalam rangka menghindari metode diagnostik jangka pendek, mematuhi kode etik pekerjaan, dan membuat keseimbangan minat dan perhatian antar pemangku kepentingan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran yang lebih realistis, diperlukan penelitian yang menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif secara partisipatif. Hasil identifikasi memuat tanggungjawab, keragaan, dan indikator risiko dalam kaitannya dengan peran dan tugas pemangku kepentingan. Peran dan tugas tersebut diimplementasikan dalam wacana kegiatan kelompok (forum kemitraan) bukan berbasis individu. Hal demikian penting dalam rangka menghindari variasi heterogenisitas antar pemangku kepentingan. Persepsi pemangku kepentingan perlu diketahui dalam kaitannya dengan integrasi peran dan tugas, mengingat persepsi pemangku kepentingan berbeda antara satu dengan lainnya baik individu maupun kelompok. Perbedaan persepsi tersebut dapat berupa pandangan terhadap kebijakan, program, kegiatan, dan upaya promosi yang dilakukan pihak eksternal (Iqbal dan Anugrah, 2009). Oleh karena itu, dengan diketahuinya persepsi pemangku kepentingan akan dapat distimulus elemen-elemen penting untuk memotivasi komitmen pemangku kepentingan dalam akselerasi kegiatan forum kemitraan. Hal ini adalah proses dalam rangka integrasi tugas dan peran pemangku kepentingan dalam suatu aksi kolektif. Penyediaan informasi seyogianya berbasis kebutuhan (needs). Dengan kata lain, sebagaimana dikemukakan Ballit et al. (1997) dalam Iqbal dan Anugrah (2009), penyediaan informasi lebih bersifat permintaan (demand-driven) dibandingkan penawaran (supply-driven). Disamping itu, selain penyediaan informasi, unsur lainnya yang perlu diperhatikan adalah pelatihan (training). Melalui pelatihan, pemangku kepentingan difasilitasi dengan pengetahuan berupa kerangka dasar dalam menciptakan dan sekaligus meningkatkan kesadaran terhadap eksistensi forum kemitraan. Pelatihan bisa meliputi aspek kepemimpinan, pengambilan keputusan, teknis ketatalaksanaan, pengembangan inovasi, aksesibilitas terhadap sumberdaya, 1024
dan aspek sosial ekonomi lain yang pada gilirannya diharapkan dapat menghasilkan dampak ganda (multiplier effect) melalui determinasi spesifik lokasi (Aggrawal, 2002 dalam Iqbal dan Anugrah, 2009). Monitoring dan evaluasi merupakan aspek krusial dalam melihat perkembangan kegiatan dan bahan masukan untuk umpan balik perbaikan dan penyempurnaan forum kemitraan. Menurut Gonsalves et al. (2005) dalam Iqbal dan Anugrah (2009), monitoring dan evaluasi semestinya berlandaskan prinsip partisipatif (participatory monitoring and evaluation). Implementasinya, kriteria dan indikator kegiatan dirancang secara kolektif oleh semua pemangku kepentingan berdasarkan prinsip efisiensi, efektifitas, dan relevansi atau kesesuaian (Vernooy, 2005 dalam Iqbal dan Anugrah, 2009). Peningkatan Daya Saing Desa Berbasis Kebijakan Local Economic Development Secara teoritis, sinergi kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya peningkatan daya saing desa akan terwujud apabila identifikasi dan analisis klaster ekonomi serta pembentukan forum kemitraan berjalan sesuai dengan prosedur sebagaimana telah diuraikan di atas. Akan tetapi, implementasinya memerlukan kesamaan persepsi dan jalinan komitmen berikut konsolidasi dalam bentuk kolektifitas perencanaan dan keputusan partisipatif antar para pemangku kepentingan. Untuk itu, perlu disusun langkah strategi (road map strategy) guna menjembatani dan sekaligus merealisasikan sinergi kebijakan tersebut. Paling tidak ada lima langkah strategi kebijakan yang perlu diupayakan dalam mewujudkan implementasi sinergi kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya peningkatan daya saing desa. Kelima langkah strategi tersebut adalah penyiapan dan penguatan platform kelembagaan, pemetaan dan analisis kondisi klaster ekonomi desa, penyusunan rencana tindak dan rencana bisnis, implementasi, serta monitoring dan evaluasi. Penyiapan dan penguatan platform kelembagaan diperlukan sebagai fondasi awal berjalannya sinergi kebijakan kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya peningkatan daya saing desa. Kelembagaan yang terbentu merupakan pelaksana, pendamping, supervisi dan pengevaluasi program yang ada. Kelembagaan tersebut juga diperlukan untuk melakukan sosialisasi. Sosialisasi penting dilakukan dalam rangka mengenalkan sinergi kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya peningkatan daya saing, terutama bagi kalangan para pemangku kepentingan. Konkretnya sosialisasi dilaksanakan melalui forum-forum pertemuan atau dengan memanfaatkan media komunikasi teknologi informasi. Pemetaan dan analisis kondisi klaster ekonomi desa diperlukan untuk mendapatkan produk unggulan desa yang akan dijadikan klaster dan menjadi prime over bagi perekonomian desa tersebut. Untuk mengoptimalkan keberadaan klaster produk unggulan desa tersebut, maka diperlukan rencana tindak dan rencana bisnis klaster yang dapat dijadikan arahan dalam implementasinya. Implementasi dan pengawalan sinergi kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya peningkatan daya saing desa dilakukan oleh forum kemitraan yang dalam hal ini kelembagaan yang terbentuk. Klaster usaha menjalankan rencana bisnis (Businesss Plan) yang telah disusun, dengan didukung perangkat antara lain sekurangnya adalah Forum Rembuk Klaster (FRK) sebagai media dialog dan kesepakatan antar pelaku usaha dan perangkat pendukungnya untuk menjalankan Businesss Plan, Business Development Services (BDS) bertindak sebagai manajer usaha dan fasilitator klaster yang melakukan kegiatan pengawalan bisnis dan non bisnis, koperasi sebagai 1025
perangkat bisnis Forum Rembuk Klaster (FRK), dan unit-unit pendukung usaha klaster lainnya (pengembangan teknologi, dan lainnya) yang dapat berupa yayasan/sub kelompok di dalam koordinasi Forum Rembuk Klaster (FRK). Kegiatan monitoring dilakukan dalam rangka memantau perkembangan pelaksanaan sinergi kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya peningkatan daya saing desa oleh kelembagaan yang sudah terbentuk sebelumnya. Kegiatan evaluasi ditujukan untuk menilai kinerja pelaksanaan sinergi kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya peningkatan daya saing desa, serta perangkat pendukungnya dalam rangka untuk merumuskan perbaikan program dan penguatan perangkat pelaksana program tersebut. Dalam melakukan evaluasi diperlukan penyusunan perangkat pemantauan program. Model pemantauan dan evaluasi ini salah satunya memasukkan variabel daya saing sebagai kriteria outcome keberhasilan dari program tersebut. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini dilakukan sebagai upaya melakukan inovasi dan pengembangan metode pendekatan terus dilakukan dalam rangka perbaikan program dan strategi kebijakan dalam fase/ siklus berikutnya.
KESIMPULAN Sinergi kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dapat dianggap sebagai kebijakan strategis menunjang percepatan pembangunan wilayah, termasuk di dalamnya adalah peningkatan daya saing desa. Implementasi sinergi tersebut dapat ditempuh melalui rekayasa kelembagaan klaster ekonomi dan forum kemitraan. Klaster ekonomi dibentuk melalui proses identifikasi dan pemetaan potensi ekonomi lokal, analisis, penetapan produk unggulan dan kesepakatan klaster, penyusunan rencana tindak dan bisnis klaster, dan pengembangan klaster. Sementara itu, forum kemitraan merupakan wadah organisasi dalam rangka memudahkan proses interaksi dan integrasi antar pemangku kepentingan berlandaskan prinsip kesamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas. Hal mendasar yang perlu dilakukan dalam kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya peningkatan daya saing adalah penyusunan langkah strategi (road map strategy), fasilitasi, partisipasi, serta monitoring dan evaluasi kegiatan. Agar sinergi kebijakan kebijakan Local Economic Development (LED) dan pembangunan pedesaan dalam upaya pengentasan kemiskinan dapat berjalan secara efektif dan efisien, implementasinya diupayakan bertumpu pada prinsip demokrasi daerah setempat (locally democratic principle). Sejalan dengan penerapan otonomi daerah, sinergi kebijakan tersebut seyogianya diatur oleh masing-masing pemerintah daerah. Langkah operasionalnya dapat ditempuh melalui rancangan dan implementasi kebijakan peraturan daerah (Perda) yang disosialisasikan dan mendapat dukungan dari semua pihak khususnya para pemangku kepentingan terkait. Sementara itu, fungsi dan peran pemerintah pusat lebih bersifat sebagai koordinator dan fasilitator dalam rangka memacu pembangunan wilayah dan selanjutnya direplikasikan antar wilayah dalam kerangka pembangunan nasional.
DAFTAR PUSTAKA 1026
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Alhumami, Amich. 2005. Evolusi Pemikiran Pembangunan. Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas . Badan Pusat Statistik. 2011. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2011. Berita Resmi Badan Pusat Statistik Indonesia. Bappeda Jawa Tengah. 2011. “Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Program Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) Di Jawa Tengah. Semarang “: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Jawa Tengah. Blakely, Edward J. 1994. Planning Local Economic Development, Theory and Practice. Second edition. California: SAGE Publication. Canzanelli, Giancarlo. 2001. Overview and learned lessons on Local Economic Development, Human Development, and Decent Work. Working papers: Universitas. Available downloaded at: http://www.ilo.org/public/english/ universitas/ download/ publi/led1.pdf. Diakses tanggal 27 Juni 2012 Pukul 06:16. Cho, Dong-Sung dan Moon, Hwy-Chang. 2000. National Competitiveness: A Nine-Factor Approach and Its Empirical Application. Journal af International Business And Economy. Fall 2000: 17 – 38. Cho, Dong-Sung dan Moon, Hwy-Chang. 2003. From Adam Smith to Michael Porter: Evolusi Teori Daya Saing. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hutagaol, Parulian. 2001. Paradigma Baru Pengembangan Perdesaan Menuju Masyarakat dan Kawasan Perdesaan yang Mandiri dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 3, No. 1, 2001, pp.15-36. Iqbal, Muhammad dan Iwan Setiajie Anugrah. 2009. Rancang Bangun Sinergi Kebijakan Agropolitan dan Pengembangan Ekonomi Lokal Menunjang Percepatan Pembangunan Wilayah. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 7 No. 2 Juni 2009 : 160 – 188. PERHEPI. 2004. Pembangunan Pedesaan: Rekonstruksi Kelembagaan. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Pranadji, Tri dan Hastuti, Endang Lestari. 2004. Transformasi Sosio-Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. AKP 1. Volume 2 No.1, Maret 2004: 77 – 92. Rodriguez-Pose, Andres dan Sylvia Tijmstra. 2005. Local Economic Development as an alternative approach to economic development in Sub-Saharan Africa. A report for the World Bank. Available be downloaded at: http://siteresources.worldbank.org/INTLED/Resources/ 339650-1144099718 914/ AltOverview.pdf. Diakses tanggal 7 September 2012 Pukul 16:00. Supriyadi R, Ery. 2007. Telaah Kendala Penerapan Pengembangan Ekonomi Lokal: Pragmatisme dalam Praktek Pendekatan PEL. .Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol 18 No 2 Agustu.s 2007, hal 103-123. Tello, Mario D. 2010. From National to Local Economic Development: Theoritical Issues. Cepal Review 102, Desember 2010.
1027
STUDI SOSIAL EKONOMI USAHA BUDIDAYA TERNAKITIKDI DESA PESURUGAN KECAMATAN MARGADANAKOTA TEGAL
Oleh : Agustin Susyatna Dewi1),Oke Setiarso1),Nunik Kadarwati1) E-mail:
[email protected] 1)
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRACT The purpose of this research are to obtain information about the charactheristic and analyse the factors of constraints and support faced by Small and Medium Enterprises of Cultivation Duck in Tegal. Analysis techniques used in this study are SWOT analysis and qualitative analysis. The results of this research are : there are some things supportless of SMEs duck cultivation including socio cultural, economic, human resource, technology and only the government policies that support the development of SMEs duck cultivation in Tegal.
Keywords : Socioeconomic, Ducks, Cultivation, SMEs
PENDAHULUAN Dalam kondisi krisis ekonomi yang dialami oleh Bangsa Indonesia selama lebih dari satu dasawarsa terakhir Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki kemampuan untuk bertahan lebih kuat dibandingkan dengan usaha ekonomi yang berkala besar, hal ini ditunjukkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa persentase jumlah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dibandingkan dengan total perusahaan pada tahun 2010 adalah sebesar 99,91 persen, sedangkan sisanya adalah perusahaan besar yang hanya sebesar 0,01 persen. Pada tahun yang sama jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor ini mencapai sebesar 97,1 persen dari total angkatan kerja yang bekerja.Sumbangan pada Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 55,6 persen dengan nilai penciptaan devisa sebesar 20,2 persen. Pada tahun 2009 Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mampu memberikan kontribusi terhadap ekspor non migas sebesar hampir 20 persen. Sebagian besar hasil produksi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang diekspor yaitu 89 persen, berupa komoditi yang dihasilkan sektor industri, diikuti oleh sektor pertanian sebesar 9,8 persen, dan pertambangan sebesar 1,2 persen. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya adalah perekonomian Kota Tegal. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Tegal juga memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian Kota Tegal, namun demikian perkembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Tegal juga masih menghadapi berbagai permasalahan. Berdasarkan kondisi tersebut maka pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Tegal harus 1028
menjadi perhatian utama dalam pengembangan perekonomian. Salah satu Jenis Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang relatif menonjol di Kota Tegal adalah budidaya itik. Berkembangnya usaha budidaya itik di Kota Tegal beberapa tahun belakangan ini sebagai akibat berkembangnya kegiatan wisata kuliner di Kota Tegal . Bahkan Kota Tegal sendiri merupakan Pusat Kota Kuliner bagi masyarakat di wilayah kebupaten sekitarnya. Meningkatnya permintaan daging Itik di kota Tegal maupun wilayah Jawa Tengah mengakibatkan semakin meningkatnya kelompok masyarakat yang mengembangkan Usaha Budidaya Itik. Sehingga analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi : 1. Bagaimana karakteritik Usaha Kecil dan Menengah Budidaya Itik di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal. 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan panghambat bagi pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Budidaya Itik di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal.
PEMBAHASAN Metode Analisis 1. Sumber Data Data primer yang diambil pada penelitian ini adalah data tentang profil Usaha Kecil dan Menengah budidaya itik di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal. Sedangkan data sekunder diambil dalam penelitian ini adalah data tentang jumlah dan perkembangan usaha Budidaya Itik di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal dan data hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang usaha budidaya itik yang bersumber dari instansi terkait, literature, internet dan lainnya. 2. Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data dalam penelitian ini terdiri dari:pertama kuesioner, yaitu dengan membagikan daftar pertanyaan kepada responden (Effendi,1982). Data yang diambil dengan kuesioner adalah data tentang profil dan tanggapan tentang bisnis yang dijalankan. Kedua wawancara, yaitu dengan tanya jawab langsung dengan responden. Data yang diambil dengan wawancara adalah data tentang hambatan Usaha budidaya itik. Ketiga observasi. Data yang diambil dengan observasi adalah data tentang kondisi aktivitas usaha budidaya itik di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal. 3. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis keunggulan, kelemahan, peluang dan ancaman UKM itik secara menyeluruh (Wibisono,2010). Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu: Strengths (kekuatan) merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Weakness (kelemahan) merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. 1029
Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Opportunities(peluang) merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. Threats (ancaman) merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Hasil Analisis 1. Gambaran Umum Responden dan Profil Usaha a. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin. Responden UKM budidaya itik berjumlah 40 terdiri dari 37 responden laki-laki dan 3 responden perempuan. Hasil responden menunjukkan bahwa responden laki-laki lebih mendominasi dibandingkan dengan responden perempuan, hal tersebut menunjukkan bahwa Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal.didominasi oleh kaum laki-laki. b. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Gambaran umum responden berdasarkan tingkat pendidikan bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan. Berdasarkan. Pada UKM budidaya itik 30 responden UKM budidaya itik berpendidikan setingkat SD, 7 responden berpendidikan SMA dan 3 responden berpendidikan setingkat SMA. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan maka responden dengan tingkat pendidikan SD lebih mendominasi dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan yang lain (yang lebih tinggi), hal tersebut menunjukkan bahwa usaha kecil dan menengah di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal masih didominasi oleh wirausahawan dengan tingkat pendidikan yang masih rendah. c. Profil Usaha Responden Dilihat dari Jumlah Tenaga Kerja Yang Digunakan Gambaran umum responden berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden dilihat dari jumlah tenaga kerja yang digunakan. Responden UKM budidaya itik menggunakan sedikitnya 1 orang tenaga kerja dan paling banyak menggunakan 3 tenaga kerja, sedangkan tenaga kerja yang digunakan rata rata adalah 1,3 orang tenaga kerja jika dibulatkan menjadi 1 orang tenaga kerja per UKM. Berdasarkan jumlah tenaga kerja hasil responden menunjukkan bahwa responden pada UKM pengolahan itik cukup tinggi penyerapan tenaga kerja pada UKM budidaya itik disebabkan usaha ini merupakan usaha padat karya yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam proses produksinya.
1030
d. Profil Usaha Responden Dilihat dari Asal Tenaga Kerja Yang Digunakan Gambaran umum usaha responden berdasarkan asal tenaga kerja yang digunakan bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha responden berdasarkan asal tenaga kerja. Responden UKM budidaya itik menggunakan sedikitnya 95 persen tenaga kerja yang berasal dari 1 desa dan 5 persen tenaga kerja berasal dari 1 provinsi. Berdasarkan profil asal tenaga kerja menunjukkan bahwa tenaga kerja UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal sebagian besar berasal dari satu desa, hal ini disebabkan karena UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal lebih suka menggunakan saudara atau tetangga dekat yang telah diketahui karekteristiknya sebagai tenaga kerja untuk menjalankan usahanya dibandingkan dengan menggunakan tenaga kerja dari luar desa yang belum dikenal karakteristiknya dengan baik. e. Profil Usaha Responden Dilihat dari Sistem Pengupahan Gambaran umum usaha responden berdasarkan sistem pengupahan bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha responden berdasarkan sistem pengupahan tenaga kerja. Responden UKM Budidaya Itik menggunakan sistem pengupahan secara harian terhadap 86 persen tenaga kerjanya dan 14 persen tenaga kerjanya diupah dengan sistem borongan. Berdasarkan sistem pengupahan menunjukkan bahwa sebagain besar UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal menggunakan sistem pengupahan harian, hal tersebut karena dengan sistem upah harian pengusaha tidak perlu membayar karyawan jika mereka tidak berangkat kerja dan kualitas produk akan lebih terjamin karena pekerja tidak hanya sekedar mengejar jumlah produksi saja. f. Profil Usaha Responden Dilihat dari Pelatihan Usaha Gambaran umum usaha responden berdasarkan pelatihan usaha bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha responden berdasarkan pelatihan usaha yang pernah didapat, pelatihan usaha apa yang pernah didapat dan siapa penyelenggara pelatihan usaha tersebut. 75 persen responden UKM budidaya itik belum pernah mendapatkan pelatihan sedangkan 25 persen responden pernah mendapatkan pelatihan. Bentuk pelatihan usaha terhadap UKM juga bermacam-macam. Dari responden UKM budidaya itik yang mendapat pelatihan, 91 persen mendapatkan pelatihan tentang teknik produksi dan 9 persen mendapatkan pelatihan tentang keuangan. Berdasarkan pelatihan usaha yang didapat hasil responden menunjukkan bahwa pelatihan teknik produksi merupakan pelatihan yang paling banyak mereka terima, hal ini karena masalah produksi merupakan masalah utama UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal dan hasil pelatihan teknik produksi merupakan jenis pelatihan teknis sehingga hasilnya dapat langsung dilihat manfaatnya dibandingkan dengan pelatihan yang lain (Kuncoro,2006). Dari responden UKM budidaya itik yang mendapat pelatihan, 67 persen mendapatkan pelatihan dari pemerintah, 17 persen mendapatkan pelatihan dari asosiasi usaha dan 16 persen mendapatkan pelatihan usaha dari swasta. Berdasarkan 1031
penyelenggara pelatihan usaha hasil responden menunjukkan bahwa responden UKM lebih didominasi oleh pemerintah dan BDS dibandingkan dengan pihak yang lain, hal tersebut menunjukkan bahwa penyelenggara pelatihan usaha di sektor usaha kecil dan masih didominasi oleh pemerintah dan BDS, sedangkan peranan mitra usaha, swasta, asosiasi usaha dan BUMN masih belum terlihat. g. Profil Usaha Responden Dilihat dari Status Usaha Gambaran umum usaha responden berdasarkan status usaha bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha responden berdasarkan kepemilikan usaha, kepemilikan tempat usaha dan apakah usaha tersebut bergabung dengan koperasi atau asosiasi usaha lainnya. Semua UKM budidaya itik adalah usaha milik sendiri. Kepemilikan usaha secara sendiri tidak berarti kepemilikan tempat usahanya juga milik sendiri. Kepemilikan tempat usaha bisa jadi milik sendiri, sewa maupun tidak milik sendiri tetapi juga tidak sewa. Pada UKM budidaya itik 73 persen kepemilikan tempat UKM budidaya itik adalah menyewa sedangkan 25 persen kepemilikan tempat UKM budidaya itik adalah milik sendiri sedangkan 3 persen kepemilikan tempat UKM budidaya itik adalah sewa. Berdasarkan kepemilikan tempat usaha hasil responden menunjukkan bahwa kepemilikan tempat usaha milik pribadi lebih mendominasi dibandingkan dengan kepemilikan tempat yang lain. Dalam menjalankan usahanya, semua UKM budidaya itik bergabung dengan koperasi, kelompok usaha atau asosiasi usaha lainnya yang umumnya berbentuk kelompok peternak itik.UKM yang bergabung dengan koperasi atau asosiasi usaha lainnya akan lebih kuat dari segi keuangan, pemasaran dan lain-lain. Disamping itu kegiatan saling topang antar anggota dalam kelompok usaha adalah hal yang sangat penting dalam kemajuan sebuah usaha (Fausia,2002). h. Profil Usaha Responden Dilihat dari Ijin Usaha Gambaran umum usaha responden berdasarkan ijin usaha yang digunakan bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha responden berdasarkan ijin usaha, dokumen ijin usaha, pengurusan ijin usaha dan kendala dalam mengurus ijin usaha. Berdasarkan ijin usaha hasil responden menunjukkan bahwa responden UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal tidak memiliki ijin usaha lebih mendominasi dibandingkan dengan responden UKM yang memiliki ijin usaha, hal tersebut disebabkan karena pengusaha UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal masih merasa segan untuk mengurus perizinan, karena mereka merasa belum begitu membutuhkan. Semua responden UKM budidaya itik tidak ada yang mengurus ijin usaha. Berdasarkan kendala mengurus ijin usaha hasil responden menunjukkan bahwa responden UKM di kota Tegal menyatakan masih mahal dalam mengurus ijin usaha lebih mendominasi dibandingkan dengan responden UKM yang menjawab alasan yang lain, hal tersebut menunjukkan bahwa proses pengurusan ijin usaha dijalankan di sektor usaha kecil dan menengah di Kota Tegal masih terkendala dengan biaya yang mahal. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya memberikan kemudahan dalam perizinan agar UKM dapat berkembang (Iwanto,2004). 1032
i. Profil Usaha Responden Dilihat dari Laporan Keuangan Perusahaan Gambaran umum usaha responden berdasarkan laporan keuangan perusahaan bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha responden berdasarkan apakah perusahaan mempunyai laporan keuangan atau tidak. 90 persen responden UKM budidaya itik tidak memiliki laporan keuangan sedangkan 10 persennya mempunyai laporan keuangan. Berdasarkan pembuatan laporan keuangan responden menunjukkan bahwa responden UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana kota Tegal tidak memiliki laporan keuangan perusahaan lebih mendominasi dibandingkan dengan responden UKM yang memiliki laporan keuangan perusahaan, hal tersebut menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan di sektor usaha kecil dan menengah di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal belum memiliki administrasi pembukuan yang baik dalam menjalankan usahanya. j. Profil Usaha Responden Dilihat dari Hubungan UKM Dengan Bank Gambaran umum hubungan responden dengan bank bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha responden berdasarkan produk perbankan yang digunakan, apakah pernah mengajukan kredit, kebutuhan akan kredit dan kendala dalam memperoleh kredit. Pada UKM budidaya itik 48 persen responden tidak menggunakan produk perbankan, 28 persen menggunakan tabungan dan 25 persennya menggunakan kredit.Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan di sektor usaha kecil dan menengah di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal didominasi oleh UKM yang belum memanfaatkan produk perbankan secara optimal. Kredit perbankan atau lembaga keuangan lainnya merupakan sumber dana bagi pembentukan modal dan kebutuhan investasi UKM. Pada UKM budidaya itik 50 persen responden pernah mengajukan kredit dan 50 persen responden belum pernah mengajukan kredit. Berdasarkan pengajuan kredit usaha hasil responden menunjukkan bahwa responden UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana kota Tegal hampir berimbang. Pada UKM budidaya itik52 persen responden membutuhkan kredit untuk mengembangkan usahanya dan 48 persen responden tidak sedang membutuhkan kredit.Dalam pengajuan kredit di perbankan maupun lembaga keuangan lainnya ada beberapa persyaratan pengajuan kredit yang kadang memberatkan pengusaha UKM untuk mendapatkan kredit. Pada UKM budidaya itik 24 persen responden kesulitan mengajukan kredit dikarenakan tidak mempunyai jaminan, 33 persen responden kesulitan mengajukan kredit karena prosedur yang sulit, 5 persen responden kesulitan mengajukan kredit dikarenakan bunga yang tinggi dan 38 persen responden kesulitan mengajukan kredit karena faktor lainnya. Berdasarkan hambatan mengajukan kredit hasil responden menunjukkan bahwa responden UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana kota Tegal memiliki hambatan kredit dengan bunga yang tinggi lebih mendominasi dibandingkan dengan responden UKM yang menjawab alasan lain, hal tersebut menunjukkan bahwa bunga kredit merupakan masalah yang dirasakan oleh para pengusaha UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal dalam mendapatkan akses kredit perbankan.
1033
k. Profil Usaha Dilihat Dari Aspek Pemasaran Gambaran umum responden dilihat dari aspek pemasaran bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha responden berdasarkan cara memasarkan produk, siapa yang membeli produk dan strategi apa yang digunakan dalam memasarkan produk. Cara memasarkan produk bisa langsung kepada konsumen akhir atau melalui pihak tertentu hingga produk bisa sampai konsumen akhir. Pembeli produk bisa dari individu, kelompok, instansi atau yang lain sedangkan strategi pemasaran produk bisa dengan strategi memberikan potongan harga, delivery order, maupun yang lain. Pada UKM budidaya itik 15 persen responden memasarkan produknya langsung kepada konsumen sedangkan 85 persen pemasaran produknya melalui agen.Dalam memasarkan produk, pengusaha UKM melakukan segmentasi pasar. Pasar yang besar permintaannya adalah peluang terbaik untuk ekspansi pasar. Pada UKM Budidaya Itik 38 persen pembeli dari produk yang dihasilkan adalah individu dan 63 persen adalah pedagang. Tidak hanya melakukan penjualan, pengusaha UKM juga menerapkan strategi pemasaran dalam menjual produknya. Strategi pemasaran dimaksudkan supaya penjualan semakin meningkat dan konsumen menjadi loyal. Pada UKM budidaya itik sebanyak 3 persen responden UKM budidaya itik selalu meningkatkan kualitas produk dan 97 persen melakukan pengiriman pesanan untuk memasarkan produknya. Berdasarkan strategi pemasaran produk hasil responden menunjukkan bahwa responden UKM di Desa Pesurugan Kec. Margadana kota Tegal melakukan pengiriman pesanan kepada konsumen lebih mendominasi dibandingkan dengan responden UKM yang memasarkan dengan startegi yang lain, hal tersebut disebabkan karena pembeli produk UKM itik di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal adalah konsumen akhir dan masih menggunakan sistem distribusi langsung. 2. SWOT UKM Budidaya Itik Berdasarkan analisis SWOT maka kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki oleh industri kecil Budidaya itik adalah sebagai berikut : Tabel 1. Analisis SWOT Industri Kecil Menengah UKM Budidaya Itik
1034
Kekuatan
Kelemahan
1. Penggunaan kapasitas produksi diatas61%. 2. Menggunakan kualitas bahan baku sesuai standar. 3. Hasil produk yang bagus/tidak cacat. 4. Melakukan perencanaan dan pengendalian produksi. 5. Bahan baku yang terbuang sedikit. 6. Rata-rata SDM mempunyai ketrampilan yang sedang. 7. Kemampuan dalam hal solvabilitas. 8. Kemapuan dalam hal likuiditas. 9. Kualitas produk yang dihasilkan baik.
1. Penggunaan teknologi masih sederhana. 2. Variasi produk masih sedikit. 3. Belum pernah mencoba hasil penelitian dan pengembangan usaha. 4. Tidak berorientasi pada pelanggan. 5. Upah tenaga kerja yang masih dibawah standar UMR sebesar 25,7%. 6. Jarang melakukan pelatihan tenaga kerja. 7. Modal kerja yang masih sedikit. 8. Struktur modal dengan proporsi hutang lebih besar dibanding modal sendiri. 9. Keuntungan dari omzet relatif masih kecil. 10. Harga jual produk yang relatif sama dengan pesaing. 11. Jangkauan pemasaran yang tidak luas. 12. Tidak pernah melakukan aktivitas promosi.
Peluang
Ancaman
1.
1. 2. 3.
Bahan baku yang dipakai mudah untuk didapatkan. 2. Barang pengganti (subtitusi) dari produk yang dihasilkan sangat sedikit. 3. Persaingan bisnis yang longgar 4. Dukungan dari peraturan daerah yang cukup baik. 5. Pelayanan aparatur pemerintah cukup baik. 6. Inovasi teknologi yang tidak mendukung usaha. 7. Dukungan teknologi yang baru terhadap produksi tidak mempengaruhi. 8. Penggunaan teknologi baru tidak mempengaruhi kenaikan jumlah keuntungan/ pendapatan. 9. Kondisi keamanan yang cukup kondusif. 10. Kondisi sosial masyarakat yang baik. 11. Dukungan masyarakat terhadap kegiatan usaha. 12. Budaya masyarakat yang cukup baik.
Harga bahan baku yang cukup mahal. Kemudahan masuk pasar. Kekuatan tawar menawar pembeli yang kuat. 4. Kondisi ekonomi yang berpengaruh buruk. 5. Pendapatan masyarakat yang masih rendah. 6. Daya beli masyarakat yang rendah 7. Upah tenaga kerja yang rendah. 8. Tingkat suku bunga yang tinggi. 9. Nilai tukar rupiah yang tidak mempengaruhi. 10. Kondisi politik yang berpengaruh terhadap kelangsungan usaha.
1035
Sumber : Data Primer, diolah Posisi strategis industri kecil Budidaya itik di Desa Pesurugan Kec. Margadana Kota Tegal menggunakan analisis matrik kekuatan bisnis, yaitu melakukan analisis daya tarik industri dan daya saing sektor industri dengan memanfaatkan hasil analisis SWOT, kemudian disusun diagram SWOT. Tabel 2. Hasil Analisis SWOT Industri Budidaya Itik Faktor Strategis Internal
Bobot
Rating
Skor
0,02
4
0,08
0,02 0,02
3 4
0,06 0,08
4 4
0,08 0,08
0,06
3
0,18
0,09 0,09
3 3
0,27 0,27
0,0475
3
0,1425
0,02 0,02
1 1
0,02 0,02
0,02 0,02
1 2
0,02 0,04
0,06
1
0,06
0,06
1
0,06
0,09
1
0,09
Kekuatan Produksi Penggunaan kapasitas produksi diatas 61% Menggunakan bahan baku yang sesuai standar Hasil produk yang bagus/tidak cacat Melakukan perencanaan dan pengendalian 0,02 produksi 0,02 Bahan baku yang terbuang sedikit Sumber Daya Manusia Rata-rata SDM berketrampilan sedang Keuangan
Kemampuan dalam hal solvabilitas Kemampuan dalam hal likuiditas Pemasaran Kualitas produk yang dihasilkan cukup baik
Kelemahan Produksi Penggunaan teknologi masih sederhana Variasi produk masih sedikit/tunggal Belum pernah mencoba hasil penelitian dan pengembangan usaha Berorientasi pada pelanggan Sumber Daya Manusia Upah tenaga kerja yang masih dibawah standar UMR Tidak pernah melakukan pelatihan tenaga kerja Keuangan Modal kerja yang masih sedikit Struktur modal dengan proporsi hutang lebih
1036
besar dibanding modal sendiri Keuntungan dari omzet relatif masih kecil Pemasaran Harga jual produk yang relatif sama dengan pesaing Jangkauan pemasaran yang tidak luas Tidak pernah melakukan aktivitas promosi
Jumlah Faktor Strategis Eksternal
0,09 0,09
2 2
0,18 0,18
0,0475 0,0475
2 1
0,095 0,0475
0,0475 1,0000 Bobot
1
0,0475 2,1025 Skor
Peluang Persaingan Bahan baku yang dipakai mudah untuk 0,05 didapatkan Barang pengganti (subtitusi) dari produk yang 0,05 dihasilkan sangat sedikit Tingkat persaingan bisnis yang cukup longgar 0,05 Kebijakan Pemerintah & Kondisi Politik Dukungan dari peraturan daerah yang cukup 0,07 baik 0,065 Pelayanan aparatur pemerintah cukup baik
Rating
3 4 3
3 3
0,15 0,2 0,15
0,21 0,195
Teknologi Inovasi teknologi yang tidak mendukung 0,03 usaha Dukungan teknologi yang baru terhadap 0,04 produksi tidak mempengaruhi Penggunaan teknologi baru tidak mempengaruhi kenaikan jumlah 0,03 keuntungan/pendapatan Sosial Budaya
3 3
3
0,09 0,12
0,09
Kondisi keamanan yang cukup kondusif
0,04
4
0,12
Kondisi sosial masyarakat yang baik
0,04
3
0,12
0,035 0,035
3 3
Dukungan masyarakatterhadap kegiatan usaha Budaya masyarakat yang cukup baik
0,105 0,105
Ancaman
1037
Persaingan Harga bahan baku yang cukup mahal
0,05
2
0,1
Kemudahan masuk pasar
0,05
1
0,05
0,05
1
0,045
2
Pendapatan masyarakat yang berpengaruh 0,04 buruk 0,045 Daya beli masyarakat yang rendah
2 2
Upah tenaga kerja yang buruk
0,04
2
0,04 0,04
2 2
0,065
2
Kekuatan tawar menawar pembeli yang kuat
0,05
Ekonomi Kondisi ekonomi yang berpengaruh buruk
Tingkat suku bunga yang berpengaruh buruk Nilai tukar rupiah yang berpengaruh buruk
0,09 0,08 0,09 0,08 0,08 0,08
Kebijakan Pemerintah & Kondisi Politik Kondisi politik yang berpengaruh buruk Jumlah
1,000
0,13 2,525
Sumber : Data Primer 2012, diolah. Hasil analisis SWOT pada Tabel 2diatas, menunjukkan bahwa faktor internal industri Budidaya itik mempunyai kekuatan dengan diperoleh skor total sebesar 2,1025; sedangkan faktor eksternal mempunyai kekuatan dan kelemahan dengan diperoleh skor total sebesar 2,525.
1038
Tabel 3. Posisi Strategis UKM Budidaya Itik di Kota Tegal Daya Tarik Industri Menengah
Pertumbuhan Mencari dominasi Maksimisasi keuntungan
Identifikasi segmen Mempertahankan pertumbuhan seluruh posisi Investasi besar-besaran Mencari arus kas Mempertahankan posisi Investasi pada dimana saja tahap pemeliharaan
Rata-Rata Lemah
Kekuatan Persaingan yang Relatif
Tinggi
Tinggi
Mengevaluasi potensi Identifikasi untuk mendukung pertumbuhan kepemimpinan Spesialisasi melalui segmentasi Berinvestasi Mengidentifikasi selektif kelemahan Membangun kekuatan
Spesialisasi Mencari ceruk Mempertimbangan akuisisi
Rendah
segmen Memangkas jalur Meminimalkan investasi secara Posisi untuk melepas
Spesialisasi Mencari ceruk Mempertimbangkan keluar
Waktu keluar dan divestasi
Sumber : Data Primer 2012, diolah. Tabel 3. diatas menunjukkan bahwa posisi industri Budidaya itik di Kota Tegal berada pada Daya tarik menengah dan persaingan menengah. Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan industri Budidaya itik dengan mencari dominasi market share. Pertumbuhan yang berada pada pertumbuhan menengah seringkali juga berarti mengidentifikasi segmen pertumbuhan, karena hampir disetiap Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah terdapat industri Budidaya itik sehingga harus berspesialisasi. Pada saat yang sama, karena berada pada pertumbuhan pasar yang menengah dan persaingan yang menengah maka perlu untuk melakukan investasi secara selektif. Langkah yang perlu diambil yaitu mengembangkan produk dan pasar serta meningkatkan aktivitas bisnis kemudian membuat spesialisasi produk dan mempertimbangkan pelanggan.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan studi yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1039
1. Kondisi faktor produksi dalam menunjang industri kecil menengah di Kota Tegal di atas rata-rata kerena penggunaan kapasitas produksi lebih dari 61%, menggunakan kualitas bahan baku sesuai standar, hasil produksi bagus/tidak cacat, bahan baku yang terbuang sedikit dan sudah berorientasi pelanggan, namun penggunaan teknologi masih sederhana, variasi produk masih sedikit dan belum mencoba hasil penelitian dan pengembangan. 2. Faktor SDM dalam menunjang kinerja industri kecil menengah di Kota Tegal dalam kategori rata-rata. Hal ini disebabkan tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksi produk rata-rata memiliki ketrampilan yang tinggi, tetapi upah yang diberikan kepada pekerja masih di bawah UMR, dan tidak pernah melakukan pelatihan tenaga kerja secara rutin. 3. Faktor Keuangan dalam menunjang kinerja industri kecil menengah di Kota Tegal dalam kategori di atas rata-rata. Hal ini disebabkan pelaku industri kecil di Kota Tegal menggunakan struktur modal yang seimbang antara modal sendiri dan hutang, dan memiliki tingkat likuiditas dan solvabilitas yang baik, tetapi modal kerja masih relatif terbatas dan keuntungan dari omset yang sedikit. 4. Faktor pemasaran dalam menunjang kinerja industri kecil menengah di Kota Tegal dalam kategori di atas rata-rata. Hal ini disebabkan kualitas produk yang dihasilkan cukup baik, harga jual produk yang relatif baik, jangkauan pemasaran luas tetapi tidak pernah melakukan aktivitas promosi. 5. Faktor persaingan industri kecil menengah di kota Tegal dalam kategori rendah. Hal ini disebabkan harga bahan baku yang tinggi, persaingan bisnis yang ketat, kemudahan memasuki pasar, kekuatan tawar menawar pembeli yang cukup kuat. 6. Faktor kondisi ekonomi industri kecil menengah di Kota Tegal dalam kategori yang rendah hal ini ditunjukkan dengan kondisi ekonomi yang buruk, pendapatan masyarakat yang masih rendah, upah tenaga kerja yang buruk, tingkat suku bunga yang tinggi. 7. Faktor Kebijakan pemerintah dan kondisi politik yang mendukung kinerja industri kecil menengah di Kota Tegal, yang ditunjukkan dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan mendukung industri kecil menengah, birokasi yang mudah, serta suasana poltik yang mendukung. 8. Faktor Teknologi kurang dimanfaatkan secara optimal, hal ini disebabkan temuantemuan ilmu pengetahuan industri kecil kurang dimanfaatkan, dan pesatnya temuan teknologi barang pengganti dan teknologi yang digunakan tidak dapat menghemat bahan bakar dan tenaga kerja. 9. Faktor sosial budaya kurang mendukung kinerja industri kecil menengah di Kota Tegal, karena masih terlihat pola pikir yang dangkal yang ditunjukan dengan engannya mereka untuk menjadi anggota asosiasi pengusaha industri kecil serta ditunjukkan pula dengan mudah puas dengan hasil yang dicapai, tidak termotivasi untuk membeli bahan baku serta menjualnya tidak melalui kebersamaan (kolektif).
1040
DAFTAR PUSTAKA BPS Kota Tegal, 2010, Kota Tegal Dalam Angka, BPS, Tegal Effendi s., M.Singarimbun,1982, Metode Penelitian Survey, LP3ES,Jakarta Fausia,L., 2002, Penilaian Tingkat Perkembangan Bagi Koperasi,Pusat Studi PembangunanLembaga Penelitian IPB Bogor. Iwanto,Sutrisno 2004 . Pemikiran Tentang Arah Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengembangan Usaha Kecil Menengah .Jakarta. Kuncoro, Mudrajad.2006. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan, PT. Gelora Aksara Tama, Erlangga, Jakarta. Wibisono,Agus.2010. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities and Threats). AgusWibisono.com2010.
1041
MODEL WAKAF DAN PENDIDIKAN TERINTEGRASI : ALTERNATIF STRATEGI UNTUK MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 Oleh : Chandra Suparno1) E-mail :
[email protected] 1)
Staf Pengajar di Program Studi Manajemen FEB Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRACT Association of South East Asian Nation (ASEAN) Economic Community is around the corner. Since it has been agreed among the entire country member, now each country is paying attention to it. The goal of this paper is to develop a model for human resources empowerment through the integration of waqf potential and education institution in Indonesia, as a strategy to face the competition when this ASEAN economic community agreement has been applied. In developing a model in this paper, a qualitative and literture study approach are empolyed. Since the existence of a great waqf potential in Indonesia has not been being cultivated optimally, it is a big opportunity for educational sector to transform this challenge into a great benefit for creating a mutual cooperation between higher education institution and the Indonesia waqf council, in term of developing an entrepreneurship skill for higher education student, wich is needed as a provision for entering the competition in the future ASEAN Economic Community era.
Keyword: ASEAN Economic Community, Education, Entrepreneurship, Waqf
PENDAHULUAN
Salah satu pilar dari Komunitas ASEAN 2015 (ASEAN Community 2015) adalah kesepakatan tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Tujuan dari dibentuknya kerjasama ini adalah untuk mewujudkan sebuah tatanan ekonomi yang bebas dan terbuka dalam hal aliran barang, jasa, investasi, dan aliran modal di kawasan negar-negara Asia Tenggara (Hakim, 2013), dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota ASEAN sehingga mampu menghadapi persaingan pada lingkup regional dan global. Beberapa kajian menyebutkan strategi-strategi yang bersaing di pasar bebas nanti misalnya lebih meningkatkan secara bersih, perlunya stabilitas politik, pemerintah harus korupsi, ketertiban sosial, serta adanya inovasi teknologi dan
bisa dipakai agar mampu pemeriksaan ekspor-impor bersikap bersih jauh dari ketersediaan infrakstruktur 1042
yang memadai. Namun untuk mencapai semuanya itu dibutuhkan juga sumber daya manusia yang ahli dalam bidang-bidang tertentu, meningkatkan pendidikan, dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada sebaik-baiknya sehingga meningkatkan pengelolaan produksi bahan baku agar masyarakat Indonesia memiliki standar kesejahteraan ekonomi yang memadai. Indonesia merupakan negara yang diunggulkan dalam hal ketersediaan sumber daya alam, namun tidak demikian dalam hal sumber daya manusia. Data terbaru dari UNDP (United Nations Development Programme, angka HD (Human Development Index) di Indonesia masih terbilang rendah yaitu sebesar 0,68 dan masuk ke dalam kategori medium human development. Lebih lanjut, banyak pihak masih meragukan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN seiring dengan diterapkannya Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 akan menguntungkan Indonesia, khususnya para pekerja Indonesia (Keliat dkk, 2013) Berangkat dari kondisi tersebut, sebetulnya Indonesia masih memiliki potensi lain yang belum teroptimalkan yakni dalam aspek sumber daya wakaf. Berdasarkan data dari Badan Wakaf Indonesia, jumlah tanah wakaf di Indonesia sampai dengan 2012 telah mencapai angka 3,49 miliar hektar, terbentang di 420.003 titik di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Potensi ini apabila dikonversikan ke dalam rupiah setara dengan 349 miliar rupiah. Jumlah tersebut terlihat sangat besar, namun kenyataan di lapangan menunjukan sebaliknya, dimana hampir semua potensi wakaf tersebut belum dapat dikelola secara produktif. Kebanyakan dari para penerima nazhir atau para penerima wakaf tidak memiliki ide tentang bagaimana cara mengolah dan mengelola wakaf tersebut secara produktif. Mayoritas para penerima wakaf tersebut hanya berkutat di pembangunan tempat ibadah, pemakaman dan fasilitas-fasilitas publik lainnya yang cenderung tidak produktif (Djunaedi, 2013), padahal sesungguhnya wakaf tidak hanya terkait dengan isu-isu spiritualitas dan agama,tetapi juga merupakan sebuah isu penting yang dapat mempengaruhi aspek ekonomi, politik, komunitas, pendidikan, dan pembangunan sosial kemasyarakatan. Maka dari itu, pengelolaan wakaf secara produktif dengan sistem manajemen yang baik menjadi sangat penting untuk dilakukan dalam rangka merealisasikan beberapa aspek tersebut, dan salah satunya adalah aspek ekonomi (Chowdhury, 2013 ). Karya tulis ini akan menyajikan sebuah model tentang bagaimana supaya pengelolalaan wakaf dapat menjadi lebih produktif dan bernilai ekonomi. Lebih lanjut akan dipaparkan pula tentang bagaimana hubungan antara wakaf dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang pada gilirannya secara tidak langsung akan mampu memperkuat persiapan Indonesia dalam menghadapi MEA 2015 kelak.
PEMBAHASAN Potensi Wakaf di Indonesia Sejak 2004, Indonesia telah memiliki sebuah badan resmi yang mengelola urusan wakaf. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, badan ini kemudian diberi nama Badan Wakaf Indonesia. Badan ini memiliki wewenang untuk mengendalikan seluruh urusan yang berkaitan dengan wakaf. Badan Wakaf Indonesia melayani tiga macam pelayanan wakaf 1043
yakni (1) wakaf harta begerak, (2) wakaf tanah, dan (3) wakaf tunai. Namun pada pelaksanaannya, yang menjadi fokus dari badan ini adalah pada wakaf tanah dan uang tunai. Berdasarkan data dari Badan Wakaf Indonesia, jumlah potensi wakaf tanah di Indonesia telah menyentuh angka 349 Miliar rupiah. Lebih lanjut, sejak disahkannya UndangUndang Nomor 41 Tahu 2004, Badan Wakaf Indonesia semakin leluasa dalam mengakomodasi pelaksanaan wakaf uang tunai. Beranjak dari kondisi tersebut, potensi wakaf tunai pun kini dapat terbaca, dengan mengasumsikan penduduk muslim di Indonesia sejumlah 200 juta jiwa, potensi untuk dapat mengumpulkan uang tunai sejumlah Rp 120.000.000.000.000,00 per tahun (dengan asumsi setiap muslim dapat menabung kemudian berinfak sejumlah Rp 50.000,00 per bulan) adalah sangat memungkinkan. Dengan uang sebanyak itu, dapat dibayangkan betapa besar manfaat yang dapat diraih jika diinvestasikan kedalam kegiatan yang produktif. Isu Agama dalam Wakaf Masih banyak kalangan yang salah persepsi bahwa wakaf ini hanya terbatas untuk umat Islam. Sebetulnya, bentuk pilantropi ini juga dapat melibatkan masyarakat non-muslim pada umumnya, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh World Islamic Economic Forum yang menyatakan bahwa wakaf adalah salah satu instrumen untuk menjembatani anatara muslim dengan non-muslim, entah itu non-muslim bertindak sebagai pemberi manfaat maupun sebagai penerima manfaat dari wakaf ini (Zuraya, 2014). Jadi pada intinya adalah, potensi wakaf yang ada di Indonesia dapat dikelola dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Peran Pendidikan Tinggi dan Entrepreneurship Menjelang dibukanya pasar persaingan bebas, kompetisi di dunia ekonomi pun kian ketat. Begitu juga dengan dunia perwakafan di Indonesia, nampaknya akan sangat sulit untuk berkembang tanpa adanya sentuhan entrepreneurship. Hal ini menuntun kepada konsekuensi untuk memperhatikan beberapa aspek yang harus diperkuat sebelum pada akhirnya dapat menciptakan kolaborasi antara wakaf dengan entrepreneurship. 1. Aspek Sumber Daya Manusia Tidak diragukan lagi bahwa aspek Sumber Daya Manusia Merupakan aspek utama yang harus diperkuat, mengingat aspek SDM ini lah yang kemudian akan menjalankan dan mengelola potensi wakaf secara produktif. Untuk menghasilkan individu-individu yang berkualitas tentunya kita memerlukan pendidikan yang layak, selain itu diketahui juga berdasarkan fakta sejarah bahwa sebetulnya salah beberapa tujuan dari wakaf itu adalah untuk mengedukasi masyarakat secara mental, spiritual, dan ekonomi (Mohsin, 2009). Dari sini dapat kita ketahui bahwa antara wakaf dan pendidikan memiliki hubungan yang saling menguntungkan. 2. Aspek Sektor Pendidikan Tinggi Institusi pendidikan, atau lebih tepatnya perguruan tinggi yang berfokus di bidang ekonomi dan bisnis, memiliki peranan yang sangat penting dalam hal membentuk dan mencetak kualitas para mahasiswanya sebelum mereka memasuki kehidupan bermasyarakat, sebagaimana yang dinyatakan juga oleh Farrant (1964) 1044
bahwa pendidikan merupakan sebuah proses belajar untuk hidup sebagai anggota masyarakat yang bermanfaat. Berpijak dari penjelasan sebelumnya, maka program pendidikan entrepreneurship menjadi dibutuhkan sebagai sarana untuk membekali mahasiswa dengan berbagai kemampuan kewirausahaan untuk dapat menciptakan dan mengembangkan sebuah bisnis(Ewubare, 2010). Lebih dari itu, program ini pun dapat mendorong kemampuan mahasiswa dalam hal menyalurkan bakat dan kreatifitas mereka pada sektor yang mereka inginkan (Agoha, 2011). Berlandas kepada argumen di atas, dalam rangka untuk mengintegrasikan antara wakaf dengan entrepreneurship, institusi perguruan tinggi harus memberikan program pelatihan kewirausahaan kepada para mahasiswanya yang dapat dijadikan bekal yang memadai oleh mereka untuk menjadi seorang wirausahawan yang memiliki kemampuan mumpuni sehingga mereka dapat dilibatkan dalam pengelolaan potensi wakaf secara produktif. Model Wakaf dan Pendidikan Terintegrasi Ide tentang pengintegrasian antara wakaf dengan institusi pendidikan dalam karya tulis ini menawarkan sebuah kerangka konspetual dari manajemen wakaf yang terinspirasi dari model awal yang dibangun oleh Sula (2009) yang kemudian dikembangkan oleh penulis dengan menambahkan aspek pendidikan guna mempertegas pentingnya aspek pendidikan.
WAQIF
WAQF INSTITUTION
NAZHIR EDUCATIONAL INSTITUTION
INVESTMENT CHOICES
PROFIT
90 %
MAUQUF ‘ALAIH
10% 50 %
Gambar : Skema Model Wakaf Dan Pendidikan Terintegrasi
Model tersebut merupakan gambaran tentang bagaimana proses pengelolaan wakaf (baik wakaf tunai maupun tanah) yang berasal dari waqif (pihak yang memberikan uang atau tanah untuk wakaf) diserahkan kepada Badan Wakaf Indonesia, kemudian badan ini mendistribusikan harta tersebut kepada nazhir (pihak yang menerima wakaf). Dalam model ini, nazhir merupakan Sumber Daya Manusia yang berasal dari institusi Perguruan Tinggi yang sebelumnya telah mengikuti dibekali kemampuan kewirausahaan oleh pihak Perguruan Tinggi tersebut. Jadi, sebagai konsekuensi kondisi tersebut, Badan Wakaf Indonesia dianjurkan untuk menjalin mutual relationship dalam hal pengelolaan aset wakaf yang tersedia. Dari sini, para 1045
nazhir yang kemudian ditunjuk oleh Badan Wakaf Indonesia diharapkan berasal dari lulusan instistusi pendidikan tinggi yang telah menjalin kerjasama dengan Badan Wakaf Indonesia. Pada saat nazhir telah ditunjuk, maka mereka dapat memanfaatkan aset wakaf dari Badan Wakaf Indonesia untuk dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan bisnis, baik dalam sektor rill maupun sektor keuangan (Invesment Choice). Selanjutnya, jika kegiatan bisnis tersebut telah menghasilkan laba, maka nazhir berhak untuk mengambil sebanyak 10 % dari total keuntungan, sedangkan yang 90 % mutlak harus diserahkan atau diperuntukkan bagi kepentingan pelayanan publik (Mauquf „alaih). Pembagian proporsi tersebut adalah berdasarkan kepada kalusul nomor 11 dalam UndangUndang nomor 41 tahun 2004 yang menyatakan bahwa nazhir diperbolehkan untuk mengambil 10 % dari hasi pengelolaan wakaf sebagai dana kompensasi(Isfandiar, 2008). Kemudian, dana 90 % tadi dialokasikan kepada sektor pendidikan sebanyak 50 % dalam rangka untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, dan sisanya (40%) dapat didistribusikan kepada sektor publik yang lainnya seperti sektor kesehatan, infrastruktur, dan keagamaan. Sehingga, jika skema ini dijalankan secara konstan dan berkembang seiring waktu, maka hal ini tidak hanya akan memberikan keuntungan untuk nazhir tetapi juga untuk publik pada umumnya. Dampak dan Manfaat Dari skema tersebut, kita dapat melihat bahwa skema ini memilki multiple effects. Di tengah sulitnya lapangan pekerjaan yang tesedia, dan persaingan dunia kerja yang semakin ketat, potensi wakaf ini justru dapat memberikan kemudahan dan kebermanfaatan yang luas, karena selain dari dapat memberikan kesempatan kerja atau berbisnis yang luas kepada para fresh graduate, skema ini pun dapat membantu percepatan pembangunan infrastrukturinfrastruktur lainnya di Indonesia, dimana hal ini pada gilirannya dapat dijadikan pula sebagai sub-strategy untuk menjawab tantangan MEA 2015 di masa yang akan datang. KESIMPULAN Wakaf sebagai sebuah bentuk filantropi religius tidak hanya bermanfaat bagi kalangan muslim, tetapi juga boleh dinikmati oleh kalangan non-muslim sekalipun. Selain itu, dari pembahasan tentang model di atas pun dapat disimpulkan bahwa model integrasi antara wakaf dengan pendidikan ini tidak hanya mungkin melahirkan generasi-generasi wirausaha baru yang unggul guna menjawab tantangan persaingan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN di masa yang akan datang, tetapi juga secara langsung dapat mendorong kemajuan pembangunan di berbagai sektor publik guna meningkatkan kesejahteraan publik itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Amuda, J. A and Che Embi N. Azizan. (2013). Alleviation of Poverty among OIC Countries through Sadaqat, Cash Waqf and Public Funding. International Journal of Trade, Economics and Finance, Vol. 4, No. 6. 1046
Agoha, G. (2011). Skill Acquisition and Entrepreneurship Education: The Basic Requirement for Secretarial Business Education Students. ABEN Book of Readings, 1 (11), 117-121. Chowdury M. S. Rahaman. (2012). Problems Of Waqf Administration And Proposals For Improvement: A Study In Malaysia. Journal of Internet Banking and Commerce, April 2012, vol. 17, no. 1 Djunaedi, Achmad. (2013). Memproduktikan Aset Wakaf Nasional. Diambil dari http://bwi.or.id Ewubare, M.U. (2010). Strategies for Promoting Entrepreneurship Education in (NCE) Home Economics. JHER, 13, 137-143. Farrant, J.S. (1964). Principles And Practice of Education. London, England: Longman. Hakim, A Fathono. 2013. Asean Community 2015 Dan Tantangannya Pada Pendidikan Islam Di Indonesia. Isfandiar, A. Ali. (2008). Tinjauan Fiqh Muamalat dan Hukum Nasional tentang Wakaf di Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. II, No. 1, Juli 2008. Keliat, dkk. 2013. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN. Mohsin (2009) “Family Waqf: its origin, law prospects,” in Proc.International Conf. on Waqf Laws and Management: Reality and Prospects, International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, 2009, pp. 3-6. M. Syakir Sula. (2009) Implementasi Wakaf dalam Instrumen Asuransi Syariah, dalam Jurnal Al Awqaf, Vol. II, Nomor 2, April 2009 Zuraya, Nidia. (2014, June 05) WIEF: Wakaf, Jembatan Dunia Muslim dan Non-Muslim. Republika. Diakses dari http://www.republika.co.id
1047
PERAN CHIANG MAI INITIATIVE MULTILATERALISATION (CMIM), ASEAN+3 MACROECOCOMIC RESEARCH OFFICE (AMRO) DAN PASAR TUNGGAL BASIS PRODUKSI DALAM STRATEGI PEMBANGUNA EKONOMI MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( MEA) Oleh : Asfia Murni 1), Apriwandi1) E-mail :
[email protected] 1)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama
ABSTRACT In 2015, the ASEAN economic community agreement or the ASEAN Free Trade came into force. Agreements that provide a challenge and requires Indonesia to improve in terms of investment, the main industrial sectors and the development of human resources is still inferior to other countries. However, it is not easily realized if the countries do not study in the form of funding for the study and to the MEA. For the role of AMRO and CMIM is needed in the process of free trade embodiment ASEAN countries besides his own government's role in upgrading the competitiveness of all sectors to face the MEA. This article reveals a picture, as well as the role of institutions tangatan AMRO and CMIM in terms of assessment and financing, as well as increased efforts to a single market and production base. Particularly in the economic field which is the goal of regional economic integration of ASEAN (ASEAN Vision 2020) in order to compete interstate and international scene.
Keywords : AMRO, CMIM, a single market and production base.
PENDAHULUAN Latar Belakang Visi ASEAN 2020 yang telah ditetapkan oleh para pemimpin ASEAN di Kuala Lumpur Desember 1997 yang memutuskan untuk mentranformasikan ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta mengurangi kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan agar semakin berkurang. Kesepakatan yang dibangun oleh seluruh anggota ASEAN menggambarkan keseriusan seluruh negara-negara ASEAN dalam menghadapi krisis global yang mempunyai 1048
dampak sangat besar terhadap pembangunan ekonomi makro. Berbagai upaya untuk menghadapi kesenjangan sosial budaya, keamanan dan kesulitan ekonomi telah banyak didirikan lembaga-lembaga atau komunitas-komunitas ASEAN sebagai dampak keseriusan dalam mengimplementasikan Visi ASEAN 2020. Tujuan komunitas tersebut untuk mengintegrasikan ketiga elemen; ekonomi, sosial budaya dan keamanan sebagai pilar pencapaian kemakmuran dan tujuan bersama anggota ASEAN. Implementasi Visi ASEAN 2020 perlu didukung oleh adanya Regional Financial Arragements (RFAs) yaitu sebuah pengaturan dalam suatu kelompok negara yang berkomitmen untuk memberikan dudunganan keuangan kepada anggotanya yang mengalami masalah neraca pembayaran, baik melalui pengumpulan kontribusi maupun cadangan devisa atau melalui mekanisme swap. Sebagai ujud implementasi Visi ASEAN 2020 negara-negara ASEAN+3 telah membuat RFAs dengan terbentuknya Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM), yaitu suatu fasilitas dukungan likuiditas bagi negara-negara ASEAN+3 yang menghadapi masalah likuiditas jangka pendek atau kesulitan neraca pembayaran. CMIM diharapkan akan memperkuat kemampuan regional untuk mempertahankan diri terhadap peningkatan risiko dan tantangan dari perekonomian global. Tujuan utama CMIM adalah untuk (1) mengatasi masalah neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek di kawasan ASEAN+3 dan (2) melengkapi perjanjian keuangan internasional yang telah ada..(Virtuous Setyaka; 2011). Selanjutnya untuk menunjang pelaksanaan program CMIM dibentuk AMRO (ASEAN+3 Macroecocomic Research Office) yang berpusat di Singapura untuk memonitor dan menganalisis serta melakukan pendeteksian dini terhadap risiko keuangan di kawasan ASEAN+3 dan melakukan studi apabila negara anggota ASEAN +3 butuh dana pinjaman guna mengatasi penurunan cadangan devisa dalam jangka pendek. AMRO memberikan rekomendasi kepada otoritas keuangan di ASEAN+3 apabila ada negara anggota yang membutuhkan CMIM. Jumlah dana CMIM pooling fund yang merupakan pengelolaan mandiri (self-manage) dan berasal dari cadangan devisa di masing-masing negara semata-mata untuk mengatasi kebutuhan valuta asing jangka pendek negara anggota. Selanjutnya AMRO dan CMIM harus menegakan tiga pilar agar keuangan setiap negara bias bertahan dari tekanan aksispekulasi pelaku pasar uang global yang bias melemahkan nilai tukar mata uang negaranegara ASEAN. Menurut Virtuous Setyaka Pilar pertama adalah surveillance regional atau upaya pengawasan dan perhitungan risiko keuangan di kawasan dimana negara tersebut berada. Pilar kedua adalah bilateral swap arrangement (BSA) atau pertukaran cadangan devisa di antara dua negara yang saling bekerjasama. Pilar yang ketiga adalah pengembangan usahausaha yang mendukung sektor keuangan yang mampu mendukung pembangunan keuangan Negara tersebut. (Posted by MaGenTa on 18/04/2011). Upaya-upaya implementasi Visi ASEAN 2020 sudah banyak, hal ini terlihat adanya inisitif-inisiatif dalam hal pembangunan ekonomi inklusif untuk kawasan ASEAN dan kawasan luar ASEAN secara terbuka yang berorientasi pada pasar terbuka/bebas dan menjalankan sesuai dengan aturan-aturan multilateral antar kawasan sebagai bentuk komitmen ekonomi yang efektif. Pelaksanaan kegiatan ekonomi secara prioritas sebagai integrasi kawasan, memperkuat komunitas ekonomi antar negara, menggerakan pelaku usaha, 1049
menyiapkan tenaga terampil dan berbakat. Hal ini merupakan pencapaian ekonomi berdasarkan pasar tunggal dan basis produksi. Penguatan pasar tunggal dan basis produksi merupakan prioritas utama untuk melaksanakan langkah-langkah dalam pembagunan ekonomi regional di kawasan ASEAN. ASEAN menjalani proses pembangunan suatu Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015 yang akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi. Dalam proses mewujudkan AEC ini, peningkatan daya saing pangan, pertanian dan produk kehutanan di pasar internasional, dan pemberdayaan petani melalui promosi koperasi pertanian telah menjadi prioritas regional. Isu-isu baru dan lintas sektoral seperti masalah ketahanan pangan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk sektor pertanian dan kehutanan, dan sanitary and phytosanitary (SPS) juga merupakan bagian dari prioritas. (Kementrian Perdagangan RI 2011). Prioritas-prioritas yang harus dikembangkan secara terus menerus guna penguatan hubungan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN+3 dan negara luar kawasan adalah memperkuat pasar tunggal dan basis produksi yang meliputi (1) aliran bebas barang, (2) aliran bebas jasa, (3) aliran bebas investasi, (4) aliran modal yang bebas, (5) aliran tenaga kerja terampil, (6) kerja sama bidang pangan, peranian dan kehutanan (Komunitas Ekonomi ASEAN, 2009). Keenam basis tesebut merupakan upaya untuk mengembangkan usaha-usaha yang dapat meningkatkan kegiatan ekspor-Impor, pada giliran berikutnya akan mendukung sektor keuangan negara-negara ASEAN+3. Dan akan mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara dikawasan ASEAN.
Rumusan Masalah Lembaga ekonomi regional di bidang keuangan (CMIM dan AMRO) bertujuan untuk menguatkan kondisi ekonomi dikawasan ASEAN+3 dalam menghadapi perekonomian global. Upaya penguatan kondisi ekonomi kawasan ASEAN secara terintegrasi, bertujuan untuk memperkecil kesenjangan pembangunan ekonomi di negara-negara ASEAN atau Luar ASEAN. Upaya tersebut dapat melalui inisiatif prioritas bersama untuk pembangunan ekonomi dalam bentuk pasar tunggal dan basis produksi. Permasalahan yang muncul dan akan menjadi fokus kajian dalam kajian ini adalah: 1. Bagaimana peranan dan gambaran perkembangan CIMM - AMRO dalam menguatkan ekonomi Asean+3 ? 2. Bagaimana strategi yang digagas oleh CIMMdan AMRO untuk meningkatkan pembangunan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ? 3. Bagaimana strategi dan perkembangan pasar tunggal dan basis produksi dalam pembangunan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ? 4. Apakah terdapat keterkaitan antara perkembangan pasar tunggal dan basis produksi dalam meningkatkan perekonomian suatu negara dan meminimalkan kesenjangan pembangunan ekonomi antar negara di kawasan Asean+3? Tujuan Kajian Tujuan yang diharapkan dari kajian ini adalah untuk: 1050
1. Memahami peranan dan gambaran perkembangan CIMM - AMRO dalam perekonomi Asean+3. 2. Menemukan berbagai strategi yang dapat digunakan CIMM - AMRO untuk membangun kawasan ekonomi ASEAN yang komprehensif. 3. Memberikangambaranperkembangan ekonomi melalui peningkatan pasar tunggal dan basis produksi di Indonesia. 4. Mengungkap masalah-masalah perkembangan pasar tunggal dan basis ekonomi dalam mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta kesenjangan ekonomi di negara-negara kawasan ASEAN.
PEMBAHASAN Beberapa konsep teoritis yang berkaitan dengan kajian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan dan menurunnya jumlah penduduk miskin. Amartya Sen (1999) menganggap GDP bukan merupakan tujuan utama pembangunan, tetapi memberikan makna pembangunan lebih luas yaitu kebebasan (freedom), kebebasan untuk memenuhi kebutuhan akan barang dan pekerjaan, kebebasan memilih dan menentukan kehidupannya (make choices and influence one‟s life), termasuk kebebasan untuk mendapatkan pendidikan (Mikkola, Anne, 2005:12). Peningkatan kesejahteraan, peningkatan output adalah bagian dari proses pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi merupakan aspek penting dalam pembangunan ekonomi sebab pertumbuhan ekonomi meliputi peningkatan kapasitas perekonomian untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan penduduk. Dalam teori pertumbuhan dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada akumulasi dari asset ekonomi (termasuk manusia) dan imbal balik (return) dari penggunaan asset tersebut, pada gilirannya tergantung pada kemajuan teknologi dan efisiensi dimana asset tersebut dimanfaatkan dalam suatu kerangka kelembagaan produksi (the institutional frameworks of production). Jadi pada dasarnya pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu akumulasi sumber daya produktif misalnya modal manusia, efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia, dan kemajuan teknologi. Berdasarkan ketiga faktor tersebut dapat diperinci (breakdown) lebih lanjut berbagai indikator-indikator yang relevan sebagai penentu pertumbuhan ekonomi, diantaranya investasi, geografi, kebijakan pemerintah, inflasi, sistem keuangan, kemajuan teknologi dan modal manusia (Edwin dan Hussein, 2001:5). Pertumbuhan ekonomi adalah syarat perlu (necessary condition) tetapi bukan syarat yang cukup (sufficient condition) dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dikatakan sebagai necessary condition artinya bahwa seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk maka diperlukan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi, yang besarannya lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan 1051
penduduk. Dengan kata lain peningkatan pendapatan suatu negara pada tahun ke n harus lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk pada tahun ke n pula. Pertumbuhan ekonomi dikatakan sebagai syarat yang cukup, artinya pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan distribusi pendapatan yang merata (equity), sehingga meningkatnya pendapatan suatu negara memberikan dampak pada meningkatnya kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat di suatu negara. Pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara sedang berkembang menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Sedangkan Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi – institusi nasional, disamping tetap mengejarak selerasi pertumbuhan ekonomi. Todaro (2000) . Setiap pembangunan ekonomi diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang digambarkan dengan peningkatan pendapatan nasional atau pendapatan per kapita masyarakat. Dengan adanya pembangunan ekonomi, akan terjadi pertumbuhan ekonomi yaitu proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan Versus Distribusi Pendapatan. Pertumbuhan Ekonomi adalah suatu kondisi terjadinya peningkatan Gross National Product (GNP) yang mecerminkan adanya pertumbuhan output per capita dan meningkatnya standar hidup masyarakat. (Asfia, M: 2013) Dengan demikian kita tidak bisa melihat terjadi tidaknya pertumbuhan ekonomi hanya pada perkembagan nilai GNP saja, tapi harus juga melihat pada peningkatan standar hidup masyarakatnya, misalnya kemapuan daya belinya pada kebutuhan pokok, kemampuan memasuki jenjang pendidikan ketingkat yang lebih tinggi. Jika GNP naik tapi masih banyak terdapat orang yang menganggur disini bisa dipastikan pendistribusian pendapatan tidak merata. Terjadi ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat Ketimpangan buruk bagi pertumbuhan suatu negara, karena kelompok miskin tidak dapat mengembangkan kemampuan mereka. Bilamana kelompok miskin tidak mampu untuk mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi maka pertumbuhan akan terhambat akibat menurunnya akumulasi modal manusia (Todaro, 2000). Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersama. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain (Todaro, 2000). Dinyatakan lebih lanjut bahwa pembangunan ekonomi meinsyaratkan GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pada awal pembangunan secara umum memang dapat dicapai, namun sering dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan 1052
struktural. Hal ini akan menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi. Oleh sebab itu lebih lanjut dinyatakan oleh (Asfia M, 2013) bahwa prinsip pemerataan dibidang pembangunan ekonomi sangat penting karena akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat menciptakan kesempatan kerja, tingkat kesejahteraan, distribusi pendapatan jang lebih merata. Hubungan antara pertumbuhan dan pemerataan sering diperdebatkan, Simon Kuznets pada tahun 1955 menemukan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan digambarkan dalam kurva U yang terbalik, artinya jika pada awal pertumbuhan ekonomi pendapatan per kapita meningkat maka kesenjangan pendapatan akan meningkat. Setelah mencapai pendapatan tertentu baru ketimpangan pendapatan akan menurun. Pemicu utama terjadinya ketidakmerataan pendapatan adalah akibat dari perubahan struktural yang menyebabkan pergeseran penduduk miskin dan kurang produktif disektor tradisional ke arah sektor modern yang lebih produktif (Kakwani, Khandker dan Son, 2004:4). Pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan penurunan dalam ketidakmerataan (inequity reduction) adalah determinan utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang pro rakyat miskin atau disebut juga The pro-poor growth (Klasen, 2006:8). Lebih lanjut dinyatakan oleh Todaro (2000) kini di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang mulai muncul himbauan dan tuntutan dari masyarakat luas yang semakin lama semakin kuat, bagi dilakukannya peninjauan kembali atas tradisi “pengutamaan GNP” sebagai sasaran kegiatan ekonomi yang utama. Kecenderungan ini mulai berlangsung sejak dekade 1970-an. Upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan pun mulai dikedepankan sebagai fokus utama pembangunan. Integrasi Ekonomi di Kawasan ASEAN Definisi integrasi ekonomi secara umum adalah pencabutan atau penghapusan hambatan-hambatan ekonomi diantara dua atau lebih perekonomian suatu negara. Secara operasional, didefinisikan sebagai pencabutan atau penghapusan diskriminasi dan penyatuan politik (kebijaksanaan) seperti, peraturan, dan prosedur. Instrumennya meliputi bea masuk, pajak, mata uang, undang-undang, lembaga, standardisasi produk, dan kebijaksanaan ekonomi. (M.Nukman Wijaya: 2012). Integrasi ekonomi bertujuan memadukan pasar dan perekonomian negara-negara anggotanya secara bertahap. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu struktur organisasi yang bersifat supra-nasional, artinya semua Negara anggota diminta kesediaannya untuk melimpahkan sebagian kedaulatannya dalam pengambilan keputusan-keputusan oleh organisasi pusat yang kewenangannya cukup luas dan sangat mengikat semua negara anggotanya (Faisal Basri:1995). ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, dimana terdapat 10 negara yang berintegrasi yaitu; Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Kamboja, Myanmar/Burma, Vietnam, Philipina, Laos, dan Singapura. Sedangkan ASEAN +3 artinya anggota ASEAN ditambah tiga negara yaitu, China Korea dan Jepang Adanya keinginan negara-negara untuk bekerjasama atau berintegrasi dengan Negara lain khususnya dibidang ekonomi disebabkan integrasi tersebut banyak dampak positifnya 1053
bagi perekonomian negara-negara anggota secara keseluruhan. Dampak positif tersebut menurut Ceccini (dalam Faisal Basri 1995) adalah: 1. Penurunan biaya-biaya sebagai akibat dari eksploitasi yang meningkat atas economies of scale dalam kegiatan produksi dan organisasi usaha. 2. Peningkatan efisiensi perusahaan, reorganisasi struktur industrial secara luas, biaya produksi akan bergerak turun karena adanya tekanan pasar yang lebih kompetitif. 3. Pola-pola baru persaingan antar industry secara keseluruhan dan relokasi sumber daya di pasar internal karena keunggulan komparatif benar-benar berperan dalam keberhasilan pasar. 4. Semakin meningkatnya inovasi, proses usaha dan produk baru yang ditimbulkan oleh dinamika pasar internal. Dengan demikian integrasi ekonomi akan dapat menghasilkan out-put lebih banyak, sehingga pertumbuhan ekonomi semakin cepat. Menurut Viner ( dalam M.Nukman Wijaya: 2012) dampak dari suatu integrasi ekonomi terhadap tingkat kesejahteraan dijelaskan melalui konsep trade creation dan trade diversion. Trade creation terjadi apabila suatu negara dapat mengimpor barang dengan harga yang lebih murah dari negara lain dalam suatu kawasan integrasi ekonomi, sehingga secara keseluruhan kesejahteraan akan meningkat. Sementara itu, trade diversion terjadi apabila impor dari suatu negara yang berada di luar kawasan digantikan oleh negara lain yang berada di dalam kawasaan integrasi, karena produk dari negara lain dalam kawasan tersebut menjadi lebih murah akibat adanya perlakuan khusus dalam penetapan tarif. Menurut Anggito Abimanyu (2011) Integrasi perekonomian dunia telah membawa manfaat besar dalam hal pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Namun masing-masing negara rentan terhadap guncangan eksternal yang serius berarti masing-masing negara rentan terhadap guncangan eksternal yang serius, ditularkan baik melalui saluran ekonomi maupun keuangan. Integrasi Moneter (P.M. Erza Killian). Asia Timur saat ini telah menjadi kawasan dan kekuatan moneter terbesar di dunia. Dengan masuknya Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang kedalam skema kerjasama ASEAN Plus Three, kawasan Asia Timur saat ini memiliki cadangan devisa terbesar di dunia, yaitu lebih dari USD 150 miliar. Bahkan, angka itu ditengarai sanggup menyaingi cadangan dana International Monetary Fund (IMF) Melalui skema Chiang Mai Initiative and Multilateralization (CMIM) kemudian ditindak lanjuti dengan pembentukan Asian Macroeconomic and Research Office (AMRO) pada Maret 2010. AMRO menjalankan fungsi pengawasan (surveillance) yang nyaris menduplikasi fungsi IMF di kawasan Asia. Kelahiran Asian Monetary Fund (AMF) yang diusung Jepang pada krisis 1998, tapi ditolak Amerika Serikat, sehingga kawasan Asia harus bergantung pada bantuan IMF. Dengan keterbatasan Amerika yang kini dilanda krisis, CMIM dan AMRO kemudian menjadi badan 1054
yang identic dengan AMF, meskipun tidak serta-merta bias menggantikan fungsi IMF di kawasan Asia. Keberadaan CMIM dan AMRO masih banyak yang meragukan, oleh sebab itu kajian ke arah perkembangan kedua lembaga ini terusdilakukanoleh Asia Development Bank, ASEAN, maupunakademisi di kawasan Asia Timur. Pasar Tunggal dan Basis Produksi Berdasarkan blue print Komunitas Ekonomi ASEAN, ada empat hal Pertama adalah keinginan untuk segera adanya pasar tunggal ASEAN. Kedua, menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang berdaya saing tinggi. Ketiga, menjadikan ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan yang merata, dan Keempat, menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi. (M. Nasih, Tabloid Diplomasi 2011). Pasar tunggal dapat diartikan sebagai bentuk pasar bersama yang terdapat dalam satu kawasan dan terdiri dari beberapa negara (misanya ASEAN+3), masing-masing negara dapat memasarkan produknya secara bebas atau tanpa hambatan ke negara-negara yang ada dalam kawasan tersebut. Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA:2009) ingin mengembangkan Pasar tunggal dan basis produksi, melalui adanya kebebasan bergerak dalam hal: (1) aliran bebas barang, (2) aliran bebas jasa, (3) aliran bebas investasi, (4) aliran modal yang bebas, (5) aliran tenaga kerja terampil, (6) kerja sama bidang pangan, peranian dan kehutanan, diantara negara-negara ASEAN+3. Aliran bebas barang merupakan kebebasan masuknya barang ke negara-negara dalam kawasan ASEAN +3. Komponen aliran bebas barang tersebut meliputi: penurunan dan penghapusan tarif dan non tarif secara signifikan sesuai ketentuan AFTA (ASEAN Free Trade Area), Disamping itu perlu dibuat prosedur kepabeanan yang mudah melalui ASEAN Single Window, mengevaluasi dan melakukan harmonisasi standar dan kesesuaian. Aliran bebas barang sebagai salah satu elemen pembentukan pasar tunggal dan basis produksi regional dikawasan ASEAN+3. Untuk terjadinya pergerakan arus barang secara komprehensif dan integratif diperlukan suatu perjanjan yang disepakat bersama dalam bentuk ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Aliran Bebas Jasa merupakan kebebasan menawarkan dan meminta jasa diantara pelaku pasar di kawasan negara-negara ASEAN+3. Liberalisasi atau kebebasan jasa dilakukan dengan pengurangan atau penghapusan semua hambatan perdagangan jasa yang terkait pembukaan akses pasar. Hambatan dalam Akses pasar adalah pembatasan dalam jumlah penyedia jasa, volume transaksi, jumlah operator, jumlah tenaga kerja, bentuk hukum dan kepemilikan modal asing. Sedangkan hambatan nasional meliputi: peraturan yang dianggap diskriminatif, dalam persyartan pajak, kewarganegaraan, perizina dan lain-lain. Aliran bebas investasi merupakan kebebasan untuk berinvestasi di semua negaranegara dikawasan ASEAN+3. Kebasan tersebut akan terujud jika semua hambatan dapat dihilangkan, Untuk menghilangkan hambatan perlu diterapkan: prinsip kesetaraan pemberlakuan terhadap semua PMA yang masuk ke wilayah suatu negara baik untuk hubungan bilateral maupun multilateral. Prinsip pemberlkuan host country yaitu pemberlakuan 1055
yang sama antara PMA dengan PMDN dalam hal peraturan dan hukum yang belaku di host country. Untuk meningkatkan Investasi dikawasan ASEAN disepakat terdapat empat pilar yang harus ditegakkan yaitu dalam hal: 1) Perlindungan investasi, 2) Fasilitas dan kerja sama, 3) promosi dan awerness dan 4) liberalisasi. Arus Modal Yang Lebih Bebas, artinya pengurang (relaxing) atas retriksi-restriksi dalam arus modal misalnya relaxing on capital. Liberalisasi arus modal adalah menghilangkan peraturan yang bersifat menghambat arus modal dalam berbagai bentuk. Memperkuat pengembangan dan integrasi pasar modal di ASEAN. Arus Modal yang lebih bebas dapat mendukung transaksi keuangan yang lebih efisien, sebagai suatu sumber pembiayaan pembangunan, memfasilitasi perdagangan internasional, mendukung perkembangan sektor keuangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Arus Bebas Tenaga Kerja Terampil, dapat diartikan sebagai suatu kebebasan penduduk suatu negara untuk mendapatkan kesempatan kerja di luar negeri di kawasan ASEAN+3. Setiap warga negara dapat keluar dan masuk dari suatu negara kenegara lain mendapat pekerjaan tanpa ada hambatan pada negara yang dituju. Upaya kesepakatan yng dibuat untuk arus bebas tenaga kerja terampil dengan membuat Mutual Recognition Arrangement (MRA). Tujuan Kesepakatan tersebut adalah saling mengakui dan menerima segala aspek penilaian, seperti hasil tes atau sertikasi. Menciptakan prosedur dan mekanisme akreditasi untuk mendapatkan kesetaran dan kesamaan dalam berbagai persyaratan untuk memperoleh pekerjaan.
KESIMPULAN
Dari uraian pada bagian pembahasan dapat disimpulkan : 1. Chiang Mai Initiative Multilateralisaton (CMIM), berperan dalam mefasilitasi likuiditas bagi negara-negara ASEAN+3 yang menghadapi masalah likuiditas jangka pendek atau kesulitan neraca pembayaran. 2. CIMM akan memperkuat kemampuan regional untuk mempertahankan diri terhadap peningkatan risiko dan tantangan dari perekonomian global. Tujuan utama CMIM adalah untuk (1) mengatasi masalah neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek di kawasan ASEAN+3 dan (2) melengkapi perjanjian keuangan internasional yang telah ada..(Virtuous Setyaka; 2011) 3. AMRO (ASEAN+3 Macroecocomic Research Office) berperan memonitor dan menganalisis serta melakukan pendeteksian dini terhadap risiko keuangan di kawasan ASEAN+3 dan melakukan studi apabila negara anggota ASEAN +3 butuh dana pinjaman guna mengatasi penurunan cadangan devisa dalam jangka pendek. AMRO
1056
memberikan rekomendandasi kepada otoritas keuangan di ASEAN+3 apabila ada negara anggota yang membutuhkan CMIM. 4. Melalui sma Chiang Mai Initiative and Multilateralization (CMIM) kemudian ditindak lanjuti dengan pembentukan Asian Macroeconomic and Research Office (AMRO) pada Maret 2010. AMRO menjalankan fungsi pengawasan (surveillance) yang nyaris menduplikasi fungsi IMF di kawasan Asia. 5. Penguatan pasar tunggal dan basis produksi yang meliputi (1) aliran bebas barang, (2) aliran bebas jasa, (3) aliran bebas investasi, (4) aliran modal yang bebas, (5) aliran tenaga kerja terampil, (6) kerja sama bidang pangan, peranian dan kehutanan (Komunitas Ekonomi ASEAN, 2009) menjadi basis penguatan hubungan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN+3 dan negara luar kawasan. Keenam basis tesebut merupakan upaya untuk mengembangkan usaha-usaha yang dapat meningkatkan kegiatan ekspor-Impor, pada giliran berikutnya akan mendukung sektor keuangan negara-negara ASEAN+3. Dan akan mendorong pertumbuhan ekonomi, serta terwujudnya masyarakan ekonomi ASEAN (MEA) yang lebih adil dan merata.
DAFTAR PUSTAKA Anggito Anggito Abimanyu “Refleksi dan Gagasan kebijakan Fiskal” PT Gramedia, Jakarta 2011. Asfia, Murni, “ Ekonomika Makro” Rafika Aditama Bandung (2013). Edwin dan Hussein, 2001. Determinants of Economic Growth (Panel Data Approach). Economics Departemen Reserve Bank of Fiji. Departemen Perdagangan “Menuju ASEAN Economic Commuity 2015” Departemen Perdagangan RI Faisal Basri, “Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI” Erlangga 1995. Kemenrtian Perdagangan “Informasi Umum Masyarakat Ekonomi ASEAN” ASEAN Community in Global Community of Nation, Kemenrtian Perdagangan RI 2011. Komunitas Ekonomi ASEAN, 2009. Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN dan Departemen Luar Negeri RI. Klasen, 2006. Pro Poor Growth and Gender: What can we learn from the Literature and OPPG Case Studies?. KfW Bankengruppe. Frankfurt. 1057
Mikkola, Anne, 2005.Role of Gender Equality in Development – A Literature Revie. SSRN. University of Helsinki and HECER-Departemen of Economics. . Muhammad Nukman Wijaya, “Anaisis Kebijakan Pasar Tunggal dan Basis Produksi ASEAN Produk Elektronik terhadap Daya Saing Nasional”; Studi kasus Lampu Swaballast, F.E U.I 2012 M. Nasih, Dr.MT. Ak. “ Mencermati Pasar Tunggal ASEAN” Tabloid Diplomasi, edisi November 2011. P.M. Erza Killian “ Menyoal Redenominasi Rupiah”August 7, 2010 · by admin · in Artikel Opini Todaro dan Smith, “Pembangunan Ekonomi” Ed 9. Erlangga 2000. Vitorus Setyaka, “Lebih Realistis Menilai Peran CMIM dan AMRO di Kawasan” Posted by MaGenTa on 18/04/2011
1058
ANALISIS PENJADWALAN PROYEK (NETWORK) PENATAAN KAMPUNG DERET RT 006 / RW 013 KELUARAHAN TUGU UTARA KECAMATAN KOJA JAKARTA UTARA Oleh : Lukiyana ,Ari Soeti Yani1) E-mail :
[email protected] [email protected] 1)
1)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
ABSTRACT Scheduling is a part of planning a project is planning of the time for doing the job. Project is a combination of activity that interrelated and must be finished by following an order before all of it can be finished completely. That is why a schedule for finish all work that needed for a project must be made. Scheduling can be done with a few way including the CPM (Critical Path Method). With using the CPM, doing house renovation via penataan kampung deret in RT 006 / RW 013 kelurahan Tugu Utara kecamatan Koja is searching it‟s critical way. From it‟s critical way will be obtained a very efficient time and done optimaly. Scheduling home renovation project via penataan kampung deret that will be done by RT 006 / RW 013 residents with building consultan PT. Indosela Pratama produced 155 days of completion time for resident that have 36 m2 of land area, whereas 85 days of completion time for residents that have less than 36 m2 of land area, both are done with 4 handymans and 3 kenek. From 25 KK that have 36 m2 of land area are as much as 21 KK, and the rest of it are 4 KK have only less than 36 m2 of land area. In order to make scheduling time of penataan kampung darat RT 006 / RW 013goes well then need a collaboration between the local residents, agencies, tribal agencies and consultan side.
Keywords: Project scheduling, penataan kamung deret, CPM.
PENDAHULUAN Latar Belakang Proyek penanggulangan kemiskinan di perkotaan merupakan proyek pemerintah yang secara khusus dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan di wilayah yang bersangkutan. Dalam mewujudkan hal tersebut maka dituntut pembagian peran yang jelas dari pemerintah. Penataan kampung merupakan salah satu program Gubernur DKI Joko Widodo. Termasuk didalamnya adalah program kampung deret, yaitu semacam perbaikan pemukiman rumah–rumah dipermukiman kumuh menjadi lebih sehat, layak dihuni dan menjadi lebih 1059
tertata. Dengan dibangunnya kampung deret, permukiman mereka lebih terang dan sirkulasi udara lebih baik. Keberadaan kampung deret di Jakarta Utara, apabila berhasil tentu bisa menjadi solusi bagi pemukiman kumuh yang ada dikota–kota besar, sehingga membuat warga yang sebelumnya biasa hidup kumuh dan tidak layak menjadi lebih bersih, sehat dan teratur. Selain itu juga harus diperhatikan antara desain kampung deret dengan karakter dan identitas warga yang tinggal di daerah tersebut. Untuk mengatasi masalah permukiman kumuh di Jakarta bisa melalu kampung Deret dan pengembangan rumah susun sederhana (Rusunawa) yang harus dijalankan secara bersama–sama untuk menciptakan permukiman yang sehat dan teratur. Pembangunan kampung deret pertama kali dilakukan di kawasan Tanah Tinggi yang sebelumnya dilanda kebakaran. Pembangunan dilakukan dengan dana Corporative Social Responsibility (CSR) dari beberapa perusahaan rekanan, dana tersebut diambil dari APBD DKI tahun 2013. Pelaksanaan kampung deret menempatkan masyarakat sebagai pelaksana utama proyek, yang dipantau oleh pemerintah melalui dinas, sudin dan dari pihak konsultan bangunan. Agar program penataan kampung deret lebih transparan, maka biaya pembangunan ditransfer langsung melalui rekening masing masing penerima bantuan. Disitu pihak sudin tetap mengawasi penggunaan dana yang telah diberikan bersama petugas dari kecamatan dan kelurahan. Dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada bantuan sosial perbaikan rumah dipemukiman kumuh melalui penataan kampung deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja Jakarta Timur. Rumusan Masalah Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanapun penerapan penjadwalkan proyek (NETWORK) penataan kapung deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja Jakarta Utara? 2. Bagaimana penerapan biaya dalam penjadwalan proyek (NETWORK) penataan kampung deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja Jakarta Timur? Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan penjadwalan proyek (NETWORK) penataan kampung deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja Jakarta Utara. 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan biaya dalam penjadwalan proyek (NETWORK) penataan kampung deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja Jakarta Utara. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi tolak ukur berbagai pihak yang perhatian terhadap kebijakan pemerintah maupun non pemerintah dalam membuat peraturan yangberkaitan dengan Program Pembagunan Kampung Deret di Jakarta. Disamping itu juga merupakan kajian terhadap pelaksanaan program penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja Jakarta Utara. 1060
Pengertian Proyek Manajemen Proyek tumbuh karena dorongan mencari pendekatan pengelolaan yang sesuai dengan tuntutan dan sifat kegiatan proyek, suatu kegiatan yang dinamis dan berbeda dengan kegiatan operasional rutin. Suatu kegiatan yang menggunakan modal atau faktor produksi di dalam istilah ekonomi diharapkan mendapatkan kemanfaatan setelah suatu jangka waktu tertentu. Kegiatan inilah yang dinamakan proyek. Untuk lebih jelas pengertian proyek menurut Hery Prasetya dan Fitri Lutriastuti (2009 : 31) adalah sederetan tugas yang diarahkan kepada suatu hasil utama. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa proyek merupakan kegiatan investasi sekali lewat dengan menanamkan modal waktu dan sumber daya terbatas untuk mencapai hasil akhir yang telah ditentukan, seperti produk atau fasilitas produksi. Untuk mencapai hasil akhir kegiatan proyek tersebut, proyek dibatasi oleh anggaran, jadwal dan mutu. Manajemen Proyek Manajemen proyek dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu : (1) Perencanaan Proyek, Perencanaan proyek biasanya merupakan fungsi dari manajer puncak dan menengah. Bila sudah selesai, perencanaan proyek harus didokumentasikan dalam format atau suatu otorisasi proyek yang pada gilirannya atau digunakan untuk mengawasi kegiatan proyek selanjutnya. (2) Penjadwalan Proyek, Penjadwalan proyek meliputi pengurutan dan pembagian waktu untuk seluruh kegiatan proyek. Tahap ini dimulai dengan pembuatan daftar terinci untuk tiap kegiatan lalu dibentuk diagram jaringan kerja. Manager memutuskan berapa lama tiap kegiatan memerlukan waktu dan menghitung berapa banyak orang serta lahan yang diperlukan pada tiap tahap produksi. (3) Pengedalian Proyek, Pengendalian proyek dipelihara dengan memantau tiap kegiatan sewaktu pekerjaan berlangsung dalam proyek. Pengendalian proyek besar melibatkan pengawasan ketat pada sumber daya, biaya, kualitas dan anggaran. Teknik Manajemen Proyek Menurut Tjutju Tarliah Dimyati dan Ahmad Mujati (2010 : 175) teknik dalam manajemen adalah : (a) PERT (Program Evalutaion and Review Technique), (b) CPM (Critical Path Method). PERT PERT merupakan suatu metode analitik yang dirancang untuk membantu dalam penjadwalan dan pengawasan kompleks yang memerlukan kegiatan–kegiatan tertentu yang harus dijalankan dalam urutan tertentu dari kegiatan–kegiatan itu mungkin tergantung pada kegiatan–kegiatan lain. PERT bukan hanya berguna untuk proyek–proyek raksasa yang memerlukan waktu tahunan dan ribuan pekerja, tetapi dapat juga membantu para manajer untuk memperbaiki efisiensi pengerjaan proyek–proyek segala ukuran, dari proyek pembangunan pabrik sampai perencanaan dengan sukses dibidang–bidang kegiatan–kegiatan berkonstruksi seperti pembangunan rumah dan jembatan realokasi pekerjaan dalam pabrik, perencanaan produksiproduk baru, perencanaan kampanye promosi, perakitan pesawat terbang dan bagi pengkoordinasian pemeliharaan dan proyek–proyek instalasi seperti pemasangan sistem komputer baru dan lain sebagainya. 1061
Metologi dan komponen–komponen PERT mempunyai pengertian–pengertian standar, yang dapat diuraikan sebagai berikut : (a) Kegiatan (Activity) yaitu bagian dari keseluruhan pekerjaan yang dilaksanakan, dan dalam kegiatan ini mengandung waktu dan sumber daya serta mempunyai waktu mulai dan waktu berhentinya. (b) Peristiwa (Event), menandai permulaan dan akhir suatu kegiatan. Biasanya kegiatan digambarkan dengan suatu lingkaran atau nodes, dan juga diberi nomor, dengan nomor–nomor lebih kecil bagi peristiwaperistiwa yang mendahuluinya. Dalam jaringan PERT, setiap kegiatan menghubungkan dua peristiwa. (c) Waktu kegiatan (Activity time). PERT menggunakan tiga estimasi waktu penyelesaian suatu kegiatan. Estimasi ini diperoleh dari orang–orang yang mempunyai kemampuan tentang pekerjaan yang akan dilaksanakan dan berapa lama waktu pengerjaannya. (d) Persyaratan urutan pekerjaan. Ada berbagai kegiatan yang tidak dapat dimulai sebelum kegiatan–kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan secara bersamaan dan atau tidak saling tergantung, kita harus membuat urutan pelaksanaan pekerjaan, kegiatan mana saja diselesaikan terlebih dahulu sebelum kegiatan selanjutnya dapat mulai dikerjakan. (e) Waktu mulai dan waktu berakhir, dalam hal ini dikenal : (1) ES (Earliest Start Time) adalah waktu paling awal (tercepat) suatu kegiatan dimulai, dengan memperhatikan waktu kegiatan yang di harapkan dan persyaratan urutan pekerjaan. (2) LS (Latest Start Time) adalah waktu paling lambat untuk dapat memulai suatu kegiatan tanpa menunda keseluruhan proyek. (3) EG (Earliest Finish Time) adalah waktu paling cepat awal untuk mengakhiri suatu kegiatan atau EF = ES + Waktu kegiatan yang diharapkan. (4) LF (Latest Finish Time) adalah waktu paling lambat untuk menyelesaikan kegiatan atau LF = LS – Waktu kegiatan yang diharapkan. (f) Kegiatan semu (Dummy Activity) adalah bukan suatu kegiatan senyatanya. Dalam diagram jaringan kerja PERT, kegiatan semu ditunjukan dengan tanda panah terputus–putus. Adapun kegunaannya adalah untuk menunjukkan urutan pekerjaan yang lebih tepat bila suatu kegiatan tidak secara langsung, tergantung pada suatu kegiatan lain, menghindari jaringan kerja PERT, dimulai atau diakhiri oleh lebih satu peristiwa, dan menghindari terjadinya dua kejadian dihubungkan lebih dari satu kegiatan. CPM (Critical Path Method) CPM merupakan alat perencanaan dan pengkoordinasian lainnya. Alat ini dikembangkan dalam industri konstruksi dimana pengalaman sebelumnya digunakan untuk memperoleh estimasi waktu dan biaya berbagai tahap proyek. Pengembangan CPM ini disponsor oleh E.I. du Pont de Nemours & Company dengan The Sparry – Rand Corporation pada tahun 1956 – 1958. Pertamakali diaplikasikan pada pengembangan pabrik kimia dan kemudian dalam penghentian produksi pabrik tersebut untuk turun mesin dan maintenance. CPM adalah suatu metode analisis yang mampu memberikan informasi kepada pimpinan untuk dapat melaksanakan perencanaan dan pengedalian suatu kegiatan produksi/proyek yang akan dilaksanakan. CPM ini sangat erat hubungannya dengan penjadwalan, sebab dalam CPM menyangkut masalah penentuan waktu kegiatan yang bersifat tidak rutin atau pesanan. Jaringan Kerja Menurut Hery Prasetja dan Fitri Lukiastuti (2009 : 34) yang dimaksudkan dengan jaringan kerja adalah suatu metode analitik yang dirancang untuk membantu dalam penjadwalan dan pengawasan kompleks yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. 1062
Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh seiring dengan penggunaan analisa jaringan kerja dengan keuntungan tersebut diharapkan pengelola proyek dapat meningkatkan kualitas perencanaannya. Adapun keuntungan–keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan jaringan kerja adalah : (a) Mengorganisir data dan informasi secara sistematis, (b) Penentuan urutan atau prioritas pekerjaan, (c) Dapat terlihat pekerjaanpekerjaan yang dapat ditunda tanpa menyebabkan keterlambatan penyelesaian proyek atau pekerjaan secara keseluruhan, sehingga dari atau pekerjaan secara keseluruhan sehingga dari pekerjaan–pekerjaan yang ditunda tersebut dapat dihemat tenaga dan waktu, (d) Dapat menentukan perkerjaan–pekerjaan yang harus diselesaikan tepat pada waktunya, karena penundaan pekerjaan–pekerjaan dapat mengakibatkan penundaan pekerjaan secara keseluruhan. Bentuk Diagram Network (Jaringan Kerja) Menurut Tjutju Tarliah Dimyati dan Ahmad Diniyati (2010 : 177) pada dasarnya Network adalah suatu cara menggambarkan proyek dalam bentuk simbol–simbol network. Jadi diagram network atau jaringan kerja merupakan sebuah bagan yang sistematis dan kegiatan–kegiatan serta kejadian–kejadian didalam melaksanakan proyek. Adapun simbol–simbol yang digunakan adalah sebagai berikut : (a) Arrow / Anak Panah. Bentuknya merupakan anak panah yang menunjukkan sebuah kegiatan atau activity. Yang dimaksud kegiatan disini adalah segala tindakan yang memakan waktu tertentu dalam pemakaian / penggunaan sejumlah material, tenaga kerja serta perlatan produksi yang ada.
Simbol Kegiatan (b) Double Arrow. Bentuknya merupakan anak panah sejajar, yang artinya kegiatan yang berada dilintasan keritis (Critical Data).
Simbol Jalur Kritis (c)Node/Event. Bentuknya lingkaran bulat, menunjukkan suatu kejadian berakhirnya/selesainya suatu kegiatan tertentu atau dimulainya suatu kegiatan. Ruangan disebelah kiri untuk memberi identitas dari event itu (Berupa Bilangan). Ruangan kanan menunjukkan kapan terjadinya saat itu. Bagian kanan atas menunjukkan kapan paling cepat saat itu terjadi dan kanan bawah paling lambat terjadi.
Simbol Kegiatan
Program Kampung Deret 1063
Penataan kampung merupakan salah satu progam Gubernur DKI Joko Widodo. Termasuk didalamnya adalah program kampung deret, yaitu semacam bedah rumah untuk memperbaiki rumah–rumah di pemukiman kumuh menjadi lebih sehat dan layak huni. Diantaranya beberapa kampung deret yang ada di Jakarta, peneliti lebih memfokuskan pada Kampung Deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara yang terdiri dari 25 unit rumah yang akan diperbaiki. Dengan dibangunnya kampung deret, pemukiman warga juga menjadi lebih tertata. Sebelumnya, permukiman warga lebih padat sehingga permukiman warga menjadi lebih terang, rapi dan sirkulasi udara serta cahaya lebih baik. Keberadaan kampung deret di Jakarta apabila berhasil, tentu bisa menjadi solusi bagi permukiman kumuh yang ada dikota–kota besar di Indonesia, karena program kampung deret ini membuat warga yang sebelumnya biasa hidup kumuh dan tidak layak huni menjadi lebih bersih, sehat dan teratur. Pembangunan kampung deret di RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara bekerjasama dengan konsultan PT. Indosela Pratama. Dalam hal ini pihak konsultan yang menjembatani keberhasilan dari pelaksanaan program kampung deret baik dalam menetapkan kesesuaian antara desain kampung deret dengan karakter dan identitas warga yang dilakukan dengan dana dari Corporate Social Resposibility (CSR). Untuk mengatasi masalah pemukiman kumuh di Jakarta tidak hanya melalui kampung deret melainkan juga pengembangan rumah susun sederhana (rusunawa) yang bekerja sama dengan pengembang. Kampung deret dan nusunawa harus dijalankan secara bersama untuk menciptakan permukiman yang sehat dan teratur. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Eka Dannyanti (2010), dengan judul “Optimalisasi Pelaksanaan Proyek Dengan Metode PERT dan CPM (Studi Kasus Twin Tower Bulding Pasca Sarjana Undip)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perencanaan hingga pengendalian proyek selama pelaksanaan pekerjaan konstruksi merupakan kegiatan penting dari suatu proyek. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu proyek dapat disebabkan perencanaan yang tidak matang serta pengendalian yang kurang efektif, sehingga kegiatan proyek tidak efisien. Hal tersebut akan mengakibatkan keterlambatan, menurunnya kualitas dan meningkatnya biaya. Pelaksanaan waktu kerja manajemen proyek dibatasi oleh jadwal yang ditentukan sehingga pimpinan yang terlibat dalam proyek harus dapat mengantisipasi perubahan konflik yang terjadi. Metode PERT – CPM dapat digunakan untuk mengatur waktu penyelesaian proyek dengan lebih efisien dan efektif. Untuk dapat mengurangi dampak keterlambatan dan pembengkakkan biaya proyek dapat diusulkan proses crashing dengan tiga alternatif pengendalian: (a) Penambahan tenaga kerja, (b) kerja lembur, dan (c) sub kontrak. Percepatan durasi tiap pekerjaan pada masing–masing alternatif disamakan. Hasil penelitian menunjukkan durasi optimal proyek adalah 150 hari dengan biaya total proyek sebesar Rp. 21.086.217.636,83,- pada alternatif sub kontras. Penelitian yang dilakukan oleh Anggun P. Putri (2013) dengan judul, “Penjadwalan Proyek Dengan Menggunakan Metode Network Planning PDM (Precedence Diagram Method) Pada Proyek Pembangunan Rumah Royal Prima, Ayahanda Medan. 1064
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan proyek konstruksi terdiri dari rangkaian aktivitas yang saling terkait satu sama lain, sehingga diperlukan urutan pelaksanaan aktivitas serta menganalisa sumber daya (resource) dalam mengendalikan keseluruhan aktivitas dapat dilaksanakan sesuai jadwal perencanaan. Analisa penjadwalan pada sebuah proyek yang sedang dilaksanakan dengan metode Bart Chart Kurva 5. Analisa dilakukan pada proses metode perencanaan penjadwalan yaitu dengan menggunakan metode PDM (Precedence Diagram Method) dengna alat bantu apabila si sumber daya (resource) berdasarkan SNI harga satuan 2011 dengan menggunakan Microsoft Project 2007. Penjadwalan pada proyek pembangunan Rumah Sakit Royal Prima, Ayahanda – Medan memiliki 127 aktivitas kritis dari 248 aktivitas. Dengan adanya predesesor durasi tidak berubah, hal itu dikarenakan adanya pekerjaan yang dilakukan bersamaan atau overlaping desessor dalam pengendalian proyek yang akan direncanakan tidak akan terlambat dan mudah untuk dikontrol. Hasil analisis sumber daya berdasarkan analisa SNI Harga satuan 2011 dengan menggunakan alat bantu aplikasi Microsoft Project 2007, dimana presentase resource grafik menunjukan bahwa lebih dominan terjadi overlocated dimana setiap hari masingmasing sumber daya tenaga kerja persentasenya melibihi asumsi alokasi resource 100% (>100%) sehingga mempengaruhi jumlah SDM setiap aktivitas suatu proyek (pemborosan), padahal dapat dilakukan beberapa pekerjaan berbeda dan aktivitas yang sama dalam satu hari.
Metode Penelitian Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian. Adapun alasan pemilihan lokasi penataan Kampung Deret Kelurahan Tugu Utara RT 006 / RW 013 berada disisi layak Jakarta Utara dan letaknya tidak terlapau jauh dari Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Selain itu juga kelurahan Tugu Utara RT 006 / RW 013 termasuk daerah yang layak dan memenuhi persyaratan untuk dijadikan program kampung deret di Jakarta Utara. Hal ini juga sesuai dengan Perencanaan Sudi Perumahan Jakarta Utara berdasar peraturan Gubernur No. 64 tahun 2013, tentang perbaikan rumah melalui program penataan kampung deret. Metode Pengumpulan Data. Untuk mendapatkan data–data yang diperlukan dalam penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut : (1) Studi Kepustakaan, yaitu mengumpulkan data–data sekunder dalam rangka mendapatkan data–data yang relevan berupa teori yang erat hubungannya dengan objek penelitian dari berbagai sumber seperti buku–buku pustaka sebagai sarana untuk menunjang informasi sehingga sangat membantu pengetahuan dalam membahas persoalan yang akan dihadapi. (2) Riset Lapangan, yaitu penelitian pengumpulan data langsung yang dilakukan oleh peneliti dalam usaha mendapatkan atau memperoleh fakta–fakta yang ada dan mencari keterangan dengan menggunakan dua cara, yaitu : (a) Wawancara, yaitu dengan mengadakan konsultasi kepada pihak–pihak yang berhubungan langsung dengan penjadwalan proyek. (b) Pengamatan langsung, yaitu mengadakan pengamatan langsung secara cermat dan sistematis dilokasi objek penelitian. Pengamatan ini sangat besar manfaatnya karena dapat melihat dari dekat hal–hal yang berhubungan langsung dalam objek penelitian ini. Metode Analisis Data. Analisis data ini dilakukan setelah selesai menggunakan seluruh data dari penelitian. Adapun yang dimaksud dengan analisa data adalah 1065
serangkaiankegiatan mengelola data yang dikumpulkan dari hasil penelitian untuk kemudian dibentuk menjadi seperangkat hasil baik itu berbentuk penemuan–penemuan yang baru maupun dalam bentuk lain, misalnya pembuktian kebenaran dengan menggunakan metode cara yang ada. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode CPM (Critical Path Method) sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan dan mengfungsikan waktu. Adapun langkah–langkah yang digunakan untuk mengelola data, antara lain : (1) Membuat diagram kerja CPM/ PERT, yaitu diagram yang menggambarkan kegiatan yang menghubungkan secara kontinu dari permulaan proyek sampai penyelesaian proyek. (2) Jalur kritis dan waktu penyelesaian proyek jalur kritis yang dimaksud adalah jalur yang memiliki rangkaian komponen–komponen kegiatan dengan total jumlah waktu terlama atau terpanjang dan menunjukkan kurun waktu penyelesaian proyek tercepat. (3) Menghitung waktu mulai dan waktu berakhirnya proyek, antara lain : (a) ES (Earliest Start Time) adalah waktu paing awal (tercepat) suatu kegiatan dimulai, dengan memperhatikan waktu kegiatan yang di harapkan dan persyaratan urutan pekerjaan. (b) LS (Latest Start Time) adalah waktu paling lambat untuk dapat memulai suatu kegiatan tanpa menunda keseluruhan proyek. (c) EG (Earliest Finish Time) adalah waktu paling cepat awal untuk mengakhiri suatu kegiatan atau EF = ES + Waktu kegiatan yang diharapkan. (d) LF (Latest Finish Time) adalah waktu paling lambat untuk menyelesaikan kegiatan atau LF = LS – Waktu kegiatan yang diharapkan. (4) Penetapan dana untuk program kampung deret Kelurahan Tugu Utara RT 006 / RW 013 Jakarta Utara adalah sebagai berikut :Menurut Kepala Seksi Perencanaan Suku Dinas Perumahan Jakarta Utara bahwa dana untuk proyek kampung deret Kelurahan Tugu Utara RT 006 / RW 013 Jakarta Utara dikirimkan langsung ke masing–masing rekening Bank DKI warga yang rumahnya akan diperbaiki. Jadi pembangunan ini dilakukan dengan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan beberapa perusahaan rekanan, dimana dana tersebut dialokasi melalui APBD DKI tahun 2013. Setiap rumah warga yang akan diperbaiki menerima dana perbaikan sesuai dengan luas yang akan diperbaiki, yaitu setiap meter persegi menerima Rp 1.500.000,- dan setiap rumah hanya bisa diperbaiki seluas 36 meter persegi mendapat dana sebesar Rp 54.000.000,-. Apabila luas tanah kurang dari 36 meter persegi hanya mendapat dana sebesar Rp 31.000.000,-. Untuk pelaksanaan proyek ini perintah tinggal memantau proses pembangunannya baik dari dinas, sudin dan pihak konsultan bangunan. Pihak sudin tetap mengontrol penggunaan dana yang telah diberikan bersama petugas dari kecamatan dan kelurahan setempat. Operasional Variabel.Definisi operasional variabel adalah penjelasan dan pengertian teoritis sehingga dapat diamati dan diukur dengan menentukan hal–hal yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian. Definisi Variabel. (1)Penjadwalan (Scheduling) adalah suatu pekerjaan dijadwalkan kapan melaluinya, berapa lama mengerjakan setiap tahap kegiatannya dan kapan selesainya. (2) Efisiensi adalah sebagai perbandingan antara suatu rencana dengan hasilnya. Pengukuran Variabel, dilihat dari : (1) Penjadwalan kegiatan diukur dengan satuan hari. (2) Efisiensi waktu diukur melalui penurunan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proyek dalam bentuk satuan hari 1066
PEMBAHASAN Program Penataan Kampung Deret. Penataan kampung yang merupakan salah satu program Gubernur DKI Joko Widodo telah diapresiasikan atas kepedulian, keberanian dan kepemihakkan kepada masyarakat melalui program–program kerakyatan di Provinsi DKI Jakarta. Adapun beberapa prinsip dilaksanakannya program kampung deret adalah untuk rakyat dimana program ini sifatnya bantuan dan gratis. Kemudian penerima bantuan program harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan yaitu untuk masyarakat kalangan miskin dan kurang mampu. Berdasarkan peraturan Gubernur No. 64 tahun 2013, tentang perbaikan rumah melalui program penataan kampung deret dapat juga melalui pengembangan rumah susun sederhana (Rusunawa) yang harus dijalankan secara bersama–sama untuk menciptakan permukiman yang sehat dan teratur. Pembangunan ini dilakukan dengan dana hibah yaitu dari dana Corporate Responsibility (CSR) dan disalurkan melalui APBD DKI tahun 2013. Dalam hal ini untuk pelaksanaan kampung deret menempatkan masyarakat sebagai pelaksana utama proyek, yang dipantau oleh pemerintah melalui dinas Sudin dan pihak konsultan bangunan. Dimana biaya pembangunan ditransfer langsung melalui rekening masing – masing penerima bantuan dan pengawasan penggunaan dana yang telah diberikan bersama petugas dari kecamatan dan kelurahan. Analisis dan Pembahasan Analisis Penjadwalan Proyek Penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja Jakarta Utara. Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perumahan dan Gedung Jakarta Utara membangun sekitar 229 rumah yang akan direnovasi menjadi kampung deret. Proyek tersebut dilaksanakan di 4 (empat) kecamatan, yaitu Cilincing, Pademangan, Koja dan Penjaringan. (1) Kecamatan Cilincing ada 168 rumah yang dibedah, yaitu 50 rumah di RT 012 / 04 di Kelurahan Cilincing, 59 rumah di RT 10 / 05 dan 14 rumah di RT 01 / 04 di Kelurahan Semper Barat, 36 rumah di RT 02 / 01 dan 19 rumah RT 03 / 01 di Kelurahan Marunda. (2) Kecamatan Pademangan total ada 26 rumah yang direnovasi, yaitu Kelurahan Pademangan Timur RT 02 / 10 (3) Kecamatan Koja ada Kelurahan Tugu Utara RT 006 / 013 sebanyak 25 rumah. (4) Kecamatan Penjaringan ada Kelurahan Pejagala RT 02 / 09 sebanyak 10 rumah Adapun peneliti hanya mengkhususkan penelitian di Kecamatan Koja yaitu Kelurahan Tugu Utara RT 006 / 013 sebanyak 25 rumah. Program Kampung Deret itu benar – benar bermanfaat bagi warga supaya warga dapat tempat tinggal yang layak huni dan menjadi lebih tertata. Dengan dibangun Kampung Deret, maka pemukiman warga lebih terang dan sirkulasi udara lebih baik, lebih bersih, sehat dan teratur. Program Kampung Deret juga berfungsi ganda yaitu selain menata permukiman, juga berdampak terhadap pelestarian lingkungan. Untuk konsep pembangunan Kampung Deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja dilakukan oleh masing–masing penerima bantuan, namun desain bangunan sudah disiapkan Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta. Jadi pemerintah tinggal memantau proyek pembangunannya, yaitu ada dari Sudin dan dari pihak konsultan bangunan (PT. Indosela Pratama).
1067
PT. Indosela Pratama yang menjembatani keberhasilan dari pelaksanaan Kampung Deret dari awal sampai terselesainya pembangunan kampung deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja. Penerapan Biaya dalam Penjadwalan Proyek Penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja. Dana pembangunan proyek Kampung Deret RT 006 RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja dikirimkan langsung ke masing-masing rekening Bank DKI warga penerima bantuan dari pemprov DKI Jakarta yang rumahnya lolos untuk diperbaiki. Dana tersebut berasal dari dana hibah yaitu Corporate Social Responsibility (CSR), dimana dana tersebut dialokasikan melalui APBD DKI tahun 2013. Setiap rumah warga yang akan diperbaiki menerima dana perbaikan sesuai dengan luas yang akan diperbaiki, yaitu setiap meter persegi menerima sebesar Rp 1.500.000,- dan setiap rumah hanya bisa diperbaiki seluas 36 meter persegi mendapat dana sebesar Rp 54.000.000,-. Apabila luas tanah kurang dari 36 meter persegi hanya mendapat dana sebesar Rp 31.000.000,-. Disini pemerintah terus memantau proses pembangunan baik dari dinas, sudin dan pihak konsultan bangunan itu sendiri. Selain itu juga pihak sudin tetap mengontrol penggunaan dana yang telah diberikan dibantu petugas dari kecamatan dan kelurahan setempat. Perbaikan Rumah melalui Penataan Kampung Deret yang memiliki Luas Tanah seluas 36 meter persegi. Adapun jenis – jenis kegiatan yang merupakan komponen dalam proyek perbaikan rumah melalui penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja yang memilikki luas tanah seluas 36 meter persegi yang dikerjakan oleh 4 tukang dan 3 kenek meliputi : Tabel I Kegiatan Proyek Perbaikan Rumah Dengan luas tanah 36 meter persegi Kegiatan A
B
C
Keterangan 1. Pekerjaan Persiapan 7 hari 2. Pekerjaan Pembongkaran 10 hari + 17 hari Pekerjaan pasangan : - Pasang batu bata 10 hari - Plesteran 7 hari - Sekonengan 5 hari + 22 hari Pekerjaan Beton : 1. Sloof 15 x 20 (diatas pondasi lama) Membuat beton cor 15 hari Pembesian besi beton polos 2 hari Cetakan 1 hari + 18 hari
Waktu (Hari) 17
22
54
1068
D
E
F G H
2. Kolom 15 x 15 (tiang rumah) Membuat beton cor 14 hari Pembesian besi beton polos 2 hari Cetakan 1 hari + 17 hari 3. Balok Konsol 15 x 15 Membuat beton cor 7 hari Pembesian besi beton polos 3 hari Cetakan 1 hari + 11 hari 4. Ring balok 15 / 20 Membuat beton cor 3 hari Pembesian besi beton polos 4 hari Cetakan 1 hari + 8 hari Pekerjaan Atap : 1. Gording 3 / 12 kayu meranti 2 hari 2. Penutup atap bahan asbes gelombang 1 hari 3. Lisplank model gigi balang kayu meranti 3 hari 4. Pekerjaan Plafond - Plafond hadplek 4 mm 14 hari rangka kayu meranti -Lis kayu meranti 2 hari ukuran 2,5 x 3,5 mm + 22 hari Pekerjaan Kusen Alumunium : 1. Untuk pintu : 2 unit, jendela : 2 unit, 2 hari pintu kamar mandi : 1 unit 2. Kusen alumunium 2 hari 3. Jendela Alumunium 1 hari 4. Daun pintu multiplek 1 hari rangka kayu meranti 5. Kaca polos tebal 5 mm Asahinas 1 hari 6. Pintu PVC kamar mandi 1 hari + 8 hari Pekerjaan Instalasi Listrik Pekerjaan Sanitari Pekerjaan Pengecatan : 1. Kupas cat tembok lama 3 hari 2. Pengecatan Tembok 4 hari 3. Pengecatan Kayu 3 hari 4. Pengecatan Plafond 1 hari + 11 hari
22
8
3 2 11
Sumber : Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja.
1069
Perbaikan Rumah melalu penataan Kampung Deret yang memilikki luas tanah kurang dari 36 meter persegi. Adapun jenis–jenis kegiatan yang merupakan komponen dalam proyek perbaikan rumah melalui penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja yang memilikki luas tanah kurang dari 36 meter persegi dikerjakan oleh 4 tukang dan 3 kenek meliputi : Tabel II Kegiatan Proyek Perbaikan Rumah Luas tanah kurang dari 36 meter persegi Waktu Kegiatan Keterangan (Hari) A 1. Pekerjaan Persiapan 2 hari 7 2. Pekerjaan Pembongkaran 5 hari + 7 hari Pekerjaan pasangan : B - Pasang batu bata 7 hari 14 - Plesteran 4 hari - Sekonengan 3 hari + 14 hari Pekerjaan Beton : C 1. Sloof 15 x 20 (diatas pondasi lama) 44 Membuat beton cor 10 hari Pembesian besi beton polos 2 hari Cetakan 1 hari + 13 hari 2. Kolom 15 x 15 (tiang rumah) Membuat beton cor 14 hari Pembesian besi beton polos 1 hari Cetakan 1 hari + 16 hari 1070
D
E
F G
H
3. Balok Konsol 15 x 15 Membuat beton cor 5 hari Pembesian besi beton polos 2 hari Cetakan 1 hari + 8 hari 4. Ring balok 15 / 20 Membuat beton cor 3 hari Pembesian besi beton polos 3 hari Cetakan 1 hari + 7 hari Pekerjaan Atap : 1. Gording 3 / 12 kayu meranti 2 hari 2. Penutup atap bahan asbes gelombang 1 hari 3. Lisplank model gigi balang kayu meranti 3 hari 4. Pekerjaan Plafond - Plafond hadplek 4 mm 14 hari rangka kayu meranti - Lis kayu meranti 2 hari ukuran 2,5 x 3,5 mm + 22 hari Pekerjaan Kusen Alumunium : 1. Untuk pintu : 2 unit, jendela : 2 unit, 2 hari pintu kamar mandi : 1 unit 2. Kusen alumunium 2 hari 3. Jendela Alumunium 1 hari 4. Daun pintu multiplek 1 hari rangka kayu meranti 5. Kaca polos tebal 5 mm Asahinas 1 hari 6. Pintu PVC kamar mandi 1 hari + 8 hari Pekerjaan Instalasi Listrik Pekerjaan Sanitari
Pekerjaan Pengecatan : 1. Kupas cat tembok lama 3 hari 2. Pengecatan Tembok 3 hari 3. Pengecatan Kayu 2 hari 4. Pengecatan Plafond 1 hari + 9 hari Sumber : Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja.
22
8
3 2
9
1071
Apabila dilihat dari penjadwalan proyek perbaikan rumah melalui penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 Keluarahan Tugu Utara Kecamatan Koja yang memiliki luas tanah seluas 36 meter persegi dapat diselesaikan dalam waktu 115 hari, sedangkan warga yang memilikki luas tanah kurang dari 36 meter persegi perbaikkan rumah dapat diselesaikan selama 85 hari. Program perbaikan rumah melalui penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 terdapat 25 kepala keluarga, dimana dari 25 KK yang memiliki luas tanah seluas 36 meter persegi sebanyak 21 KK dan sisanya sebanyak 4 KK hanya memiliki luas tanah kurang dari 36 meter persegi. Dengan selesainya program perbaikkan rumah melalui penataan Kampung Deret khususnya RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamata Koja, permukiman warga menjadi lebih tertata dan lingkungannya menjadi lebih terang, rapi serta sirkulasi udaranya juga lebih baik. Anak–anak bisa bebas bermain karena jalanan tidak lagi becek dan tidak tergenang air saat hujan turun.
KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pada proyek perbaikan rumah melalui penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja dengan menerapkan metode CPM (Critical Path Method). 2. Analisis jaringan kerja dapat diterapkan sebagai sistem pengendalian untuk meningkatkan efisiensi pada proyek perbaikan rumah. 3. Penjadwalan proyek perbaikan rumah melalui penataan Kampung Deret RT 006 / RW 013 dengan konsultan bangunan yaitu PT. Indosela Pratama menghasilkan waktu perbaikan rumah selama 115 hari untuk warga yang memilikki luas tanah seluas 36 meter persegi, sedangkan warga yang memiliki luas tanah kurang dari 36 meter persegi dapat menyelesaikan perbaikan rumah selama 85 hari. Dari sebanyak 25 KK
1072
yang memiliki luas tanah seluas 36 meter persegi sebanyak 21 KK, dan sisanya sebanyak 4 KK hanya memiliki luas tanah kurang dari 36 meter persegi. 4. Penjadwalan yang terencana berdampak positif pada penyelesaian proyek perbaikan rumah secara keseluruhan. Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penjadwalan merupakan hal yang sangat penting didalam pengadaan suatu proyek. Oleh karena itu harus direncanakan dengan sebaik–baiknya berdasarkan metode tenaga kerja, peralatan serta bajan baku yang mendukun sehingga kontinuitas pekerjaan dapat berjalan dengan lancar. 2. Kedisiplinan kerja harus dilaksanakan dengan tegas sehingga pelaksanaan proyek perbaikan rumah warga berjalan tepat waktu. 3. Dalam pelaksanaan di lapangan hendaknya tetap mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah DKI Jakarta, harus akan menghasilkan pekerjaan sekali jadi.
DAFTAR PUSTAKA Heri Prasetyo dan Fitri Lukiastuti, Manajemen Operasi, Media Pressindo, Yogyakarta, 2009. T. Hani Handoko, Dasar – Dasar Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi pertama, BPFE, Yogyakarta, 2005. Taylon III, Bernard W, Indroduction to Management Science Sains Manajemen, Penerbit Salemba Empat, Edisi kedelapan, Jakarta, 2005. Sofyan Assauiri, Manajemen Induksi dan Operasi, Edisi revisi, Penerbit FEUI, 2008. Tjutju Tarluah Dimyati dan Ahmad Dimyati, Operations Research Model – Model Pengambilan Keputusan, Sinar Baru Algen Sindo, Bandung, 2010. Sri Mulyono, Riset Operasi, Penerbit FEUI, Edisi revisi, 2004. http://m.poskotanews.com/2014/07/11/program-kampung-deret-di-jakarta http://www.antaranews.com/berita/434642/Mengubah-permukiman-kumuh-dengan-kampungderet-ANTARA-NEWS http://www.tribunnews.com/nasional/2014/05/24/program-kampung-deret
1073