Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1) April 2010: 37– 43
ISSN: 0853-4489
ANALISIS FEKUNDITAS DAN DIAMETER TELUR IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus Cuvier, 1833) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN, PROPINSI SULAWESI TENGAH Fecundity and Egg Diameter of Decapterus macarellus from Banggai Islands waters Fahriny Unus1 & Sharifuddin Bin Andy Omar2 1)
Fak. Perikanan Universitas Muhammadyah Luwuk Banggai 2) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Makassar Diterima: 11 Mei 2009; Disetujui: 1 Januari 2010
ABSTRACT The purpose of the research was to present some parameters for the reproductive aspects of Decapterus macarellus, from Banggai Kepulauan waters, especially fecundity and egg diameter. Sampling was conducted every other week, and the samples were analyzed in laboratory. The result shows that fecundity of Decapterus macarellus ranged from 32,292 to 205,174 eggs. The relationship between fecundity and total length and between fecundity and body weight were F = 570,07 e0,1731L (r = 0,7512) and F = 9782,5 e0,0083W (r = 0,8151), respectively. Egg diameter ranged from 0,12 mm to 0,52 mm. Malalugis biru was a partial spawner fish. Keyword: Decapterus macarellu, Fecundity and Egg Diameter, Banggai Islands
PENDAHULUAN Kabupaten Banggai Kepulauan (Kab. Bangkep) secara geografis terletak di sebelah timur Pulau Sulawesi, tepatnya di antara 10,06’ – 20,20’ LS dan 1220,40’ – 1240,13’ BT dengan batas wilayah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Peling/Laut Maluku; sebelah timur berbatasan dengan Laut Maluku; sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Tolo; dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Peling. Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan salah satu wilayah pesisir dengan luas wilayah lautan 18.828,10 km2 yang lebih besar dari luas wilayah daratannya (3.160,46 km2 ). Luas wilayah lautan yang cukup besar dibandingkan dengan wilayah daratannya inilah yang menyebabkan tingkat ketergantungan hidup masyarakat di Kab. Bangkep terhadap sumberdaya laut cukup tinggi. Ketergantungan ini membuat segala aktivitas untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya tidak terlepas dari eksploitasi sumberdaya ikan. Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan Malalugis Biru sangat tergantung dari bagaimana sumberdaya ikan Malalugis Biru tersebut dieksploitasi. Oleh karena itu, untuk pengelolaan penangkapan ikan Malalugis Biru yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan perlu dilakukan melalui pengelolaan habitat dan populasi yang rasional. Untuk kepentingan itulah diperlukan suatu informasi dan data mengenai ikan Malalugis Biru, salah satunya dari aspek biologi reproduksi, yaitu aspek fekunditas. METODE PENELITAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei hingga Juli 2008 di perairan Kab. Bangkep dengan fishing base Desa Tinakin Laut, Kecamatan Banggai, Kab. Bangkep, Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dua kali dalam sebulan. Jumlah seluruh sampel, yaitu 685 ekor, terdiri atas ikan jantan 390 ekor dan betina 295 ekor. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan dan Laboratorium, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Preparat histologi dilakukan di Balai Besar Veteriner Maros, Makassar. 1)
Korespondensi: Universitas Muhammadyah Luwuk Banggai Jl. L.H. Ahmad Dahlan No. 79 Luwuk Banggai Telp. (0461) 23452 ; Email:
[email protected]
Analisis Fekunditas dan Diameter Telur Ikan Malalugis Biru
37
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1) April 2010: 37– 43
ISSN: 0853-4489
Fekunditas Penentuan fekunditas dilakukan dengan mengambil ovari ikan betina yang matang gonad pada TKG III dan IV. Fekunditas diasumsikan sebagai jumlah telur yang terdapat dalam ovari pada ikan yang telah mencapai TKG III dan IV. Fekunditas total dihitung dengan menggunakan metode sub-contoh bobot gonad atau disebut metode gravimetrik. Cara mendapatkan telur yaitu mengambil telur ikan betina dengan mengangkat seluruh gonadnya dari dalam perut ikan dan ditimbang. Kemudian gonad tersebut diambil sebagian untuk ditimbang dengan menggunakan timbangan elektrik, selanjutnya butiran telur dihitung. Gonad tersebut diawetkan dengan larutan Gilson untuk melarutkan dinding gonad sehingga butiran telur terlepas. Larutan Gilson dapat melarutkan jaringan-jaringan pembungkus telur sehingga memudahkan dalam perhitungan butir-butir telur (fekunditas). Fekunditas ikan ditentukan dengan menggunakan metode gravimetrik dengan rumus (Effendie, 1997) :
F
G xN Q
Keterangan : F = fekunditas (butir); G = bobot tubuh (g); Q = bobot gonad contoh (g); dan n = jumlah telur pada gonad contoh (butir). Selanjutnya fekunditas dihubungkan dengan panjang tubuh ikan dan bobot tubuh. Diameter Telur Diameter telur diukur di bawah mikroskop binokuler dengan bantuan mikromet er okuler yang telah ditera sebelumnya. Pengukuran ini dilakukan pada telur-telur yang berada pada tingkat kematangan gonad III dan IV. Selanjutnya diameter telur dianalisis dalam bentuk histogram. Diameter telur dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Rodriquez et al., 1995):
Ds D d Dimana: Ds = diameter telur sebenarnya (mm), D = diameter telur secara horizontal (mm), d = diameter telur secara vertikal (mm). HASIL DAN PEMBAHASAN Fekunditas Fekunditas ikan malalugis biru dianalisis dengan menggunakan data panjang total dan bobot tubuh pada TKG III dan TKG IV. Fekunditas ikan malalugis biru berkisar antara 32.291 – 205.174 butir pada kisaran panjang 24,00 – 31,90 cm dan bobot tubuh 151,00 – 320,55 g. Ikan yang berukuran kecil memiliki fekunditas berkisar antara 32.291 – 71.472 butir dengan rata-rata 47.745 butir dan semakin bertambah dengan peningkatan ukuran panjang tubuh hingga mencapai 205.174 butir pada kisaran panjang 31,00 – 31,90 cm dan bobot 311,00 – 320,55 g. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran panjang tubuh dan bobot tubuh cukup berpengaruh terhadap peningkatan fekunditas. Berdasarkan jumlah fekunditas yang diperoleh dapat dikatakan bahwa ikan malalugis biru mempunyai fekunditas cukup tinggi dan tergolong ikan yang mempunyai tingkat produktivitas cukup tinggi. Ikan malalugis biru mempunyai fekunditas 32.291 – 205.174 butir yang apabila dipijahkan secara bertahap selama musim pemijahan dalam satu tahun maka ikan malalugis biru mempunyai fekunditas tahunan yang cukup tinggi, yaitu lebih besar dari 10.000. Namun demikian, kriteria tersebut juga harus didukung dengan kriteria lainnya. Kriteria lainnya, yaitu mempunyai koefisiein pertumbuhan von Bertalanfy > 0,30, umur kematangan < 1 tahun, dan umur maksimum 1 – 3 tahun (Music, 1999 dalam Ali, 2005). Menurut Webber et al. (1991 dalam Fahmi, 2001), telur-telur ikan laut umumnya berukuran kecil (diameter telur sekitar 1 mm), dan mempunyai fekunditas yang tinggi (bisa mencapai 1 juta telur tiap betina). Fekunditas mempunyai hubungan atau keterpautan dengan umur, panjang, atau bobot tubuh, 38
Fahriny Unus
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1) April 2010: 37– 43
ISSN: 0853-4489
dan spesies ikan. Pertumbuhan bobot dan panjang ikan cenderung meningkatkan fekunditas secara linear (Bagenal, 1978 dalam Andy Omar, 2004). Nikolsky (1963) menyatakan bahwa pada umumnya fekunditas meningkat dengan meningkatnya ukuran ikan betina. Semakin banyak makanan maka pertumbuhan ikan semakin cepat dan fekunditasnya semakin besar. Selanjutnya, Andy Omar (2004) menyatakan bahwa fekunditas pada setiap individu betina tergantung pada umur, ukuran, spesies, dan kondisi lingkungan, seperti ketersediaan pakan (suplai makanan). Djuhanda (1981) menambahkan bahwa besar kecilnya fekunditas dipengaruhi oleh makanan, ukuran ikan dan kondisi lingkungan, serta dapat juga dipengaruhi oleh diameter telur. Umumnya ikan yang berdiameter telur 0,50 – 1,00 mm mempunyai fekunditas 100.000 – 300.000 butir. Bila dibandingkan dengan ukuran diameter telur ikan malalugis biru sebesar 0,12 – 0,52 mm, maka ikan malalugis biru termasuk ikan yang berfekunditas cukup besar. Hubungan antara fekunditas dan panjang total (Gambar 1), serta antara fekunditas dan bobot tubuh (Gambar 2) memperlihatkan adanya korelasi yang cukup kuat, yaitu masing-masing 0,7152 dan 0,8151 pada model kurva eksponensial. Hal ini menunjukkan bahwa model kurva eksponensial dapat dijadikan model untuk menduga hubungan fekunditas dengan panjang tubuh dan bobot tubuh.
Fekunditas (butir)
250000
F = 570,07e
200000
0,1731 L
2
R = 0,5644 r = 0,7512
150000 100000 50000 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Panjang total (cm)
Gambar 1. Hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan malalugis biru (Decapterus macarellus Cuvier, 1833). 250000
Fekunditas (butir)
0,0083 W
F = 9782,5e 2 R = 0,6645 r = 0,8151
200000 150000 100000 50000 0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Bobot tubuh (g)
Gambar 2. Hubungan antara fekunditas dan bobot tubuh ikan malalugis biru (Decapterus macarellus Cuvier, 1833). Kedua persamaan yang tercantum pada Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa fekunditas ikan malalugis biru semakin bertambah seiring dengan bertambahnya panjang total dan bobot tubuh. Namun demikian, nilai koefisien korelasi antara fekunditas dan bobot tubuh diketahui lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi antara fekunditas dan panjang total. Nilai korelasi ini menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dan bobot tubuh lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara fekunditas dan panjang total. Hal ini mengindikasikan bahwa pendugaan fekunditas dan bobot tubuh relatif lebih akurat dibandingkan dengan panjang Analisis Fekunditas dan Diameter Telur Ikan Malalugis Biru
39
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1) April 2010: 37– 43
ISSN: 0853-4489
total. Effendie (2002) menyatakan bahwa fekunditas mutlak sering dihubungkan dengan bobot, karena bobot lebih mendekati kondisi ikan tersebut dari pada panjang. Fekunditas pada suatu spesies ikan dapat berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Fekunditas mempunyai keterpautan dengan umur, panjang, dan bobot individu. Ali (2005) menyatakan bahwa jumlah fekunditas pada spesies yang sama dapat dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur, lingkungan, dan ukuran diameter telur. Fekunditas ikan cenderung meningkat dengan bertambahnya ukuran badan, yang dipengaruhi oleh jumlah makanan dan faktor-faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan musim. Fekunditas ikan malalugis biru (D. macarellus) yang diperoleh di perairan Kab. Bangkep berkisar 32.291 – 205.174 butir pada kisaran panjang total 24,00 – 31,90 cm dan bobot tubuh 151,00 – 320,55 g. Hasil penelitian Clarke et al. (1995) pada ikan D. macarellus di perairan Hawaii berukuran 248 – 300 mm diperoleh jumlah telur berkisar antara 13.000 – 236.000 butir. Beberapa penelitian mengenai fekunditas jenis ikan layang (Decapterus spp) lainnya, antara lain: Burhanuddin et al. (1977) pada D. ruselli di perairan Pulau Panggang (Pulau-pulau Seribu) dengan ukuran panjang total 166 – 229 mm dan bobot tubuh 52 – 129 g mengandung telur sebanyak 20.000 – 84.700 butir, dan di perairan Philipina sebanyak 28.700 – 64.700 butir pada ukuran panjang 180 – 250 mm (Tiews et al.,1968). Di Teluk Ambon sebanyak 3.159 – 64.088 pada ukuran panjang 15,5 – 21,0 cm (Syhailatua et al., 1996) Selanjutnya, untuk D. macrosoma di perairan Philipina berkisar antara 67.900 – 106.000 butir pada ukuran panjang 165 – 285 mm. Syamsuddin (1978) melaporkan jumlah telur ikan layang D. macrosoma di perairan Pulau Kodingareng (Selat Makassar) sebanyak 19.400 – 75.800 butir pada ukuran panjang 165 – 260 mm. Di Teluk Ambon sebanyak 6.641 – 97.524 pada ukuran panjang 16,2 – 23,5 cm (Syahailatua et al., 1996). Secara umum dapat disimpulkan bahwa jumlah telur D. macrosoma relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah telur D. ruselli. Fekunditas yang didapatkan pada setiap spesies ikan berbeda-beda, hal ini diduga karena adanya perbedaan ukuran. Effendie (2002) menyatakan bahwa variasi jumlah telur ikan dapat disebabkan karena adanya variasi ukuran ikan. Pada beberapa spesies tertentu pada umur yang berbeda-beda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan (suplai makanan). Diameter Telur Diameter telur ikan bervariasi, baik antara spesies maupun antara individu dalam spesies yang sama. Hasil analisis data sebaran diameter telur ikan malalugis biru pada TKG III dan TKG IV dapat dilihat pada Gambar 3. Sebaran diameter telur ikan malalugis biru pada TKG III menyebar pada kisaran diameter 0,12 – 0,50 mm dan terbanyak pada diameter 0,19 mm, yaitu 1384 butir (7,20%) dan yang paling sedikit jumlahnya pada diameter 0,50 mm, yaitu 23 butir (0,11%). Sebaliknya, pada TKG IV diameter telur berkisar antara 0,12 – 0,52 mm, terbanyak pada ukuran diameter 0,37 mm (1600 butir atau 5,84%), dan paling sedikit pada diameter 0,12 m (85 butir atau 0,38%). Ukuran diameter telur yang paling besar pada TKG III adalah pada ukuran 0,50 mm, sedangkan pada TKG IV pada ukuran 0,52 mm. Clarke et al. (1995) menyimpulkan bahwa pada D. macarellus di perairan Hawaii ukuran telur belum matang (immature) berdiameter < 0,20 mm dan matang (mature) berdiameter > 0,20 mm. Ukuran diameter telur D. macarellus yang paling besar adalah 0,57 mm. Diameter telur ada hubungannya dengan fekunditas. Makin banyak telur yang dipijahkan (fekunditas), maka ukuran diameter telurnya makin kecil, demikian pula sebaliknya (Tang dan Affandi, 2001). Hal ini juga dikemukakan oleh Wootton (1998) bahwa ikan yang memiliki diameter telur lebih kecil biasanya mempunyai fekunditas yang lebih banyak, sedangkan yang memiliki diameter telur yang besar cenderung memiliki fekunditas rendah. Semakin besar ukuran diameter telur akan semakin baik, karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan sehingga larva ikan akan dapat bertahan lebih lama. Larva yang berasal dari telur yang besar memiliki keuntungan karena memiliki cadangan kuning telur yang lebih banyak sebagai sumber energi sebelum memperoleh makanan dari luar. Ukuran diameter telur dapat menentukan kualitas yang berhubungan dengan kandungan kuning telur dimana telur yang berukuran besar juga dapat 40
Fahriny Unus
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1) April 2010: 37– 43
ISSN: 0853-4489
menghasilkan laeva yang berukuran besar. Effendie (1997) menyatakan bahwa semakin berkembang gonad, maka ukuran diameter telur yang ada didalamnya semakin besar sebagai hasil pengendapan kuning telur, hidrasi, dan pembentukan butir-butir minyak.
(a) 8
F rek u e ns i (% )
7 6 5 4 3 2 1
0, 1 0 0, 1 2 0, 1 4 0, 1 6 0, 1 8 0, 2 0 0, 2 2 0, 2 4 0, 2 6 0, 2 8 0, 3 0 0, 3 2 0, 3 4 0, 3 6 0, 3 8 0, 4 0 0, 4 2 0, 4 4 0, 4 6 0 ,4 8 0, 5 0 0, 5 2
0
Diameter telur (mm) (b) 7
F re k u e n s i ( % )
6 5 4 3 2 1
0 ,1 0 0 ,1 2 0 ,1 4 0 ,1 6 0 ,1 8 0 ,2 0 0 ,2 2 0 ,2 4 0 ,2 6 0 ,2 8 0 ,3 0 0 ,3 2 0 ,3 4 0 ,3 6 0 ,3 8 0 ,4 0 0 ,4 2 0 ,4 4 0 ,4 6 0 ,4 8 0 ,5 0 0 ,5 2
0
Diameter telur (mm)
Gambar 3. Distribusi diameter telur ikan malalugis biru (Decapterus macarellus Cuvier, 1833) di perairan Kabupaten Banggai Kepulauan. (a): tingkat kematangan gonad (TKG) III, (b): tingkat kematangan gonad (TKG) IV. Pada Gambar 3 terlihat bahwa distribusi diameter telur dalam ovari ikan malalugis biru (TKG III dan TKG IV) beragam mulai dari telur berdiameter kecil hingga telur berdiameter besar. Beragamnya distribusi diameter telur tersebut menunjukkan bahwa perkembangan telur dalam ovari tidak secara bersamaan sehingga ditemukan beberapa kelompok telur yang telah matang dan telur yang belum matang. Adanya kelompok telur yang belum matang tersebut menunjukkan bahwa ikan malalugis biru memijah secara parsial (partial spawning). Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (2002) bahwa pada ikan dan avertebrata sering dijumpai distribusi diameter telur bimodal atau dua modus, yaitu modus pertama terdiri dari telur belum matang gonad dan modus kedua terdiri dari telur matang. Model pemijahan ini disebut pemijahan parsial. Berdasarkan grafik distribusi diameter telur ikan malalugis biru di atas dapat diketahui pola penyebaran diameter telur ikan malalugis biru adalah heterogen. Yustina (2002) menyatakan bahwa heterogennya pola sebaran diameter telur dapat merupakan indikasi bahwa ikan malalugis biru termasuk ikan yang memijah tidak sekaligus (partial spawning). Hal ini menunjukkan bahwa proses pemasakan di dalam ovari ikan malalugis biru tidak sama atau berlangsung secara tidak serentak. Uktolseja dan Purwasasmita (1987) menjelaskan bahwa perkembangan telur ditandai Analisis Fekunditas dan Diameter Telur Ikan Malalugis Biru
41
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1) April 2010: 37– 43
ISSN: 0853-4489
dengan ukuran diameter telurnya. Selanjutnya, perkembangan awal daur hidup ikan sangat tergantung pada perkembangan telur dalam penetasan. Anak ikan yang berasal dari telur yang ukurannya lebih besar mempunyai kesempatan lebih baik untuk hidup daripada telur yang berukuran kecil. Hal ini ada kaitannya dengan nutrisi. Nikolsky (1963) menjelaskan bahwa salah satu parameter untuk menentukan potensi reproduksi adalah dengan mengetahui variasi diameter telur pada ovari. Diameter telur dipengaruhi oleh jumlah makanan (suplai makanan) pada ikan betina untuk proses metabolisme. Kisaran diameter ikan malalugis biru menunjukkan bahwa semakin tinggi TKG maka diameter telurnya semakin besar. Effendie (1997) menyatakan bahwa semakin berkembang gonad maka semakin besar pula garis tengah telurnya sebagai hasil dari pengendapan kuning telur dan pembentukan butir-butir minyak. Telur-telur yang berada pada kelompok TKG III akan terus berkembang menjadi kelompok telur TKG IV. Kemudian diovulasikan setelah mengalami pematangan oosit tahap akhir, dan proses vitelogenesis telah berakhir. Sebaran diameter telur mencerminkan pola pemijahan. Oleh karena itu, bervariasinya modus-modus dari sebaran frekuensi diameter telur merupakan indikasi bahwa ikan malaugis biru memijah secara bertahap atau secara parsial (partial spawner), yakni telur matang dikeluarkan secara bertahap, karena diperoleh sebaran diameter telur yang mempunyai lebih dari satu modus. Hal ini menunjukkan suatu strategi ikan untuk memelihara kelangsungan hidup keturunannya dan mempertahankan populasinya. Dibandingkan dengan ikan-ikan yang memijah secara total spawner (isokhronal), tingkat kegagalan reproduksi pada ikan-ikan partial spawner lebih rendah karena waktu pemijahan yang tidak hanya sekali dan pendek tetapi beberapa kali dan panjang sehingga apabila ada faktor lingkungan yang tidak mendukung (fisika-kimia perairan, predator, dan lain-lain) dan faktor rekruitmen yang tidak sukses maka rekruitmen dapat berlangsung pada pemijahan berikutnya (Leget dan Dubois, 1992; Heath, 1994). Wallace dan Selman (1981) mengklasifikasikan pola perkembangan oosit ikan Teleostei atas tiga tipe. Pertama disebut tipe sinkronisme total, yaitu semua oosit dalam ovarium dibentuk dalam waktu yang relatif sama (contoh: pada ikan Pacific salmons, eels, capelin, dan lain-lain). Kedua, disebut tipe sinkronisme kelompok, pada tipe ini paling sedikit terdapat dua populasi oosit pada suatu saat (contoh: pada ikan redfish, herring, Atlantic halibut, mackerels, dan lain-lain). Tipe ketiga adalah tipe asinkronisme, yaitu oosit terdiri dari semua tingkat perkembangan. Tipe ini ditemukan pada ikan yang memijah sepanjang tahun, misalnya pada beberapa jenis ikan tropis (contoh: pada ikan European hake, swordfish, dan lain-lain). Berdasarkan klasifikasi perkembangan oosit tersebut diketahui bahwa ikan malalugis biru termasuk dalam tipe perkembangan oosit yang sinkronisme kelompok dengan pola pemijahan bimodal atau memijah lebih dari satu kali. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nagahama (1983) yang menyebutkan bahwa gonad D. macarellus teridentifikasi pada tipe ovari sinkronisme kelompok (synchronomus groups), yaitu terdapat ukuran oosit yang belum matang dan oosit yang sudah matang. Selanjutnya Yamaguchi (1953) menyatakan bahwa pada pengukuran oosit D. macarellus didapatkan pola penyebaran bimodal. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Clarke et al. (1995) yang menyimpulkan bahwa pada D. macarellus diperoleh pola distribusi bimodal, yang mengindikasikan tipe pemijahan parsial dan proses oogenesis terus berlangsung (continuous oogenesis). Lisovenko et al. (1991) menambahkan bahwa adanya kelompok oosit yang matang lebih dulu, mengindikasikan distribusi bimodal dimana ikan betina mempunyai beberapa siklus oosit yang telah matang dan dipijahkan. KESIMPULAN Fekunditas ikan berkisar antara 32,291 – 205.174 butir. Persamaan hubungan fekunditas dengan ukuran ikan adalah: F = 570,07 e0,1731 L (r = 0,7512) untuk panjang tubuh dan F = 9782,5 e0,0083 W (r = 0,8151) untuk bobot tubuh. Fekunditas meningkat secara proporsional seiring dengan peningkatan panjang total dan bobot tubuh pada model kurva eksponensial. Ikan malalugis biru tergolong ikan yang mempunyai fekunditas yang cukup tinggi. Berdasarkan pola sebaran diameter telur diketahui ikan malalugis biru tergolong jenis partial spawer, yaitu memijah secara bertahap.
42
Fahriny Unus
Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1) April 2010: 37– 43
ISSN: 0853-4489
DAFTAR PUSTAKA Ali, S.A. 2005. Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang (Hirundichhthys oxycephalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar. 280 hal. Andy Omar, S. Bin. 2004. Modul Praktikum Biologi Perikanan. Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unversitas Hasanuddin, Makassar. 168 hal. Burhanuddin, dan A. Djamali. 1977. Penelaahan biologi ikan layang (Decapterus ruselli Ruppel) di perairan Pulau Panggang, Pulau-pulau Seribu. Dalam: Teluk Jakarta Sumber Daya, Sifat-sifat Oseanologis, serta Permasalahannya. (Ed. M. Hutomo et al). Lembaga Oseanologi Nasional – LIPI: 139-149. Clarke, T. And L. Privitera. 1995. Reproductive biology of two Hawaiian pelagic carangid fishes, the bigeye scad, selar crumenopthalamus, and the round scad, Decapterus macarellus. Bull. Mar. Sci. 56: 33-47. Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico. Bandung Press. 190 h. Fahmi, 2001. Tingkah laku reproduksi pada ikan. Oseana, Volume XXVI, No.1. ISSN 0216-1577. Effendie, M.I., 1997. Metode Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal. Effendie, M.I., 2002. Biologi Perikanan. Perikanan IPB. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 hal. Leget, R., and R. Dubois. 1992. What factors influencing fish recruitment. The Netherlands Journal Sea Research. 48 (1): 15-17. Lisovenko, L.A. and D.P. Andrianov. 1991. Determination of absolute fecundity of intermittenly spawning fishes. Voprosy ikhtiologii. 31(4): 631-641. Nagahama, Y. 1983. The functional morphology of teleost gonads. Rev. Fish Biol. Fish. 7: 1-34. Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press.London. 352 p. Tiews, K., Ronquilo, I.A., and Caces-Borja. 1970. On the biology of round scads (Decapterus Bleeker) in Philippines waters. Proc. Indo. Pacific Fish. Counc. 13 (II): 82-106. Tang, U.M. dan Affandi, R. 2001. Biologi Reproduksi Ikan. Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan Iniversitas Riau, Pekanbaru. 153 hal. Syamsuddin, M.S. 1978. Penelitian Aspek Biologi Ikan Layang (Decapterus macrosoma) di Perairan Pulau Kodingareng, Selat Makassar. Skripsi Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padjajaran Bandung. Bandung. 31 hal. Syahailatua, A. dan O.K. Sumadhiharga. 1996. Dinamika populasi dua jenis ikan layang (Decapterus ruselli dan D. macrosoma) di Teluk Ambon. Torani 1 (6): 31-46. Uktolseja, J. C. B. dan S. Purwasasmita. 1987. Fekunditas dan diameter telur ikan cakalang (Katsuwanus pelamis Linnaeus) di perairan sekitar Ambon. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 44: 47-49. Yustina. 2002. Aspek reproduksi ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di Sungai Rangau – Riau, Sumatera. Jurnal Matematika dan Sains 7 (1): 5-14. Yamaguchi, Y. 1953. The Fishery and the Biology of the Hawaiian Opelu, Decapterus pinnulatus. University of Hawaii at Manoa, USA. Wallace, R. dan K. Selman. 1981. Celullar and dynamic aspects of oocyte growth in teleost. Am. Zool., 21: 325-343. Wootton, R.J. 1998. Ecology of Teleost Fishes. Kluwer Academic Publihers (Fish and Fisheries Series No. 24), Dordrecht, The Netherlands.
Analisis Fekunditas dan Diameter Telur Ikan Malalugis Biru
43