Tulisan ini dipresentasikan dalam “Seminar SEBUMI: Internasionalisasi Rumpun Melayu Menuju Kegemilangan Bersama”, UI dan UKM, Depok 24-25 Juni 2008
1
Topik : Politik, Sosial, Ekonomi dan Pertahanan Sub Topik: Pembangunan Sumberdaya Manusia, Sosial dan Pembinaan Bangsa
Perspektif Kelembagaan dalam Strategi Pembangunan Wilayah di Indonesia
Teguh Kurniawan, M.Sc Administrative Sciences Department, University of Indonesia Kampus FISIP UI, Gedung B, Lantai 2, Depok 16424 INDONESIA Tel./Fax. 62-21-78849087 Email:
[email protected]
Abstract
The development for a country was the very essential matter in order to achieve the main aim of the existence of a country that is how to bring about the happiness for its people. The success of the development in a country, one of them will be really determined by the integration of available development programs in its territories. Through this integration was expected to be able to produce development programs that mutually synergized between one region and the other regions, so as in the long run could promote these regions parallel and reduced the gap among these regions. The experience showed that the failure of the development often originated in the failure of the country and the government in making and implementing the right policy as well as in the ignorance of the institutional development that ought to become the foundation from all over the process of the good development in social, economics, politics, technology and the management of natural resources. In the Indonesian context, the failure of the development at this time that caused Indonesia still continue acknowledge as a developing country was caused by solidest and uncoordinated development that was carried out until now between the sector and the regions. Therefore, in this paper will be describe several issues on institutionalization of cooperation among regions in the regional development strategy such as in giving an understanding about the meaning of institution, the changes paradigms in public sector and in the regional development, and several best practices from other countries in doing regional development that could be adopted. At the end, the paper try to propose some recommendations from the institutional perspective that could be takes in developing regions in Indonesia in the future time.
Pendahuluan: Pembangunan dan Kerjasama Antar Wilayah di Era Otonomi Daerah Pembangunan bagi sebuah Negara merupakan hal yang sangat esensial dalam rangka mencapai tujuan utama dari keberadaan sebuah Negara yakni bagaimana mewujudkan kebahagiaan bagi
2 masyarakatnya. Dalam konteks Indonesia, tujuan dari dibentuknya pemerintahan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dilaksanakan sejumlah program pembangunan dari semenjak awal berdirinya Republik Indonesia sampai dengan saat ini. Keberhasilan pembangunan di sebuah Negara salah satunya akan sangat ditentukan oleh keterpaduan program-program pembangunan yang ada di wilayah-wilayahnya. Melalui keterpaduan ini diharapkan akan dapat menghasilkan program-program pembangunan yang saling bersinergi antara satu daerah dengan daerah yang lain, sehingga pada akhirnya dapat memajukan daerah-daerah tersebut secara paralel dan mengurangi kesenjangan di antara daerah-daerah tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan Lell (1973) yang menyatakan bahwa skema pembangunan yang berorientasikan wilayah terdiri atas sejumlah paket proyek yang melintasi sektor ekonomi yang berbeda tetapi terkonsentrasi dalam sebuah wilayah tertentu. Tujuan dari pendekatan ini—yang sangat tergantung pada kualifikasi dari sumberdaya manusia serta pada tingkatan tertentu input modal—adalah dalam rangka mengatasi stagnasi ekonomi dan mengurangi permasalahan sosial di wilayah yang terbelakang melalui peningkatan produktivitas, kesempatan kerja dan pendapatan (Lell, 1973). Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan seringkali bersumber dari kegagalan negara dan pemerintah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang benar serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, teknologi maupun pengelolaan sumber daya alam (Djogo, dkk, 2003). Dalam konteks Indonesia, kegagalan pembangunan di Indonesia saat ini yang menyebabkan Indonesia masih tetap berada dalam lingkungan Negara Berkembang disebabkan salah satunya karena kurang terpadu dan terkoordinasinya pembangunan yang dilaksanakan selama ini baik antar sektor maupun antar wilayah. Ketidakterpaduan dan kurangnya koordinasi tersebut menjadi lebih parah lagi ketika era reformasi digulirkan di negeri ini. Bertambah parahnya kondisi ketidakterpaduan pembangunan tersebut terjadi dengan adanya perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen UUD 1945 salah satunya menetapkan bahwa Presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR. Hal ini memberikan implikasi pada ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang selama ini dijadikan sebagai acuan utama dalam penyelenggaraan pembangunan Nasional. Selain hal itu, reformasi Pemerintahan Daerah melalui pemberlakuan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri juga memberikan sumbangsih terhadap kurang terpadu dan terkoordinasinya pembangunan Indonesia di era reformasi ini. Padahal pada hakekatnya, keterpaduan dan kerjasama merupakan kunci keberhasilan dalam penyelenggaraan pembangunan di sebuah Negara, meskipun kegiatan pembangunan itu akan difokuskan di tingkat lokal atau wilayah. Hal ini sebagaimana disampaikan Garofolli (1995) bahwa kerjasama diantara masyarakat dan wilayah adalah penting dalam upaya pencapaian keberhasilan dalam pemenuhan kebutuhan
3 sosial melalui kapitalisasi terhadap sumberdaya yang belum dimanfaatkan dengan tidak berlebihan, serta dengan menghentikan dan mengatasi ide mengenai kompetisi antarwilayah (Garofolli, 1995 dalam Ledo, 2000). Pembangunan adalah sebuah pertanyaan yang tidak hanya terkait dengan sumberdaya tetapi juga cara dimana sumberdaya tersebut digunakan serta cara dimana perekonomian dan masyarakat diorganisasikan. Pembangunan yang berbeda terkait dengan perekonomian sebuah wilayah mencerminkan perbedaan pola adaptasi terhadap teknologi dan tantangan sosial dari sebuah era baru. Perbedaan yang terkait dengan tingkatan “keberhasilan” dari perekonomian suatu wilayah ini memberikan bukti adanya berbagai jenis penyesuaian dan struktur institusi yang dibutuhkan untuk pembangunan wilayah yang seimbang dan kohesif, serta menunjukkan dibutuhkan dan pentingnya program-program pembangunan di tingkat lokal dan wilayah (Dunford, 1992 dalam Morgan, Brooksbank dan Connolly, 2000). Terkait dengan pola adaptasi yang diperlukan guna keberhasilan pembangunan sebagaimana diungkapkan oleh Dunford (1992) di atas, Otonomi Daerah sebenarnya memberikan peluang kepada Daerah untuk melaksanakan pembangunannya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di Daerahnya. Hal ini terkait peranan yang lebih besar dari Pemerintahan Daerah melalui pemberian Otonomi Daerah tersebut dalam merencanakan pembangunan Daerah yang diinginkannya. Diperlukannya penyelenggaraan pemerintahan melalui otonomi daerah tersebut disebabkan oleh fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006). Pandangan di atas sejalan dengan pendapat dari Rondinelli (1983) yang mengemukakan lima alasan penyebab didesentralisasikannya perencanaan pembangunan dan administrasi di Asia sebagai berikut: ; Desentralisasi dilaksanakan sebagai cara dalam mengatasi kegagalan akibat perencanaan dan manajemen yang terpusat serta tidak flesibel-nya dan tidak tanggap-nya birokrasi pusat ; Desentralisasi dilaksanakan agar program pembangunan sesuai dengan kondisi lokal, memperoleh dukungan dan keterlibatan dari administrator dan masyarakat lokal serta terintegrasi dengan sejumlah layanan yang dibutuhkan untuk menstimulasikan pembangunan ekonomi di pedesaan ; Desentralisasi dilihat penting untuk meningkatkan efektivitas baik pemerintah pusat, maupun kemampuan unit administratif di tingkat lokal dalam menyampaikan pelayanan yang dibutuhkan dalam pembangunan, khususnya di wilayah miskin dan pedesaan ; Desentralisasi dilihat sebagai sebuah alternatif cara dalam mengkoordinasikan aktivitas di tingkat provinsi atau lokal untuk menyelesaikan masalah sosial, politik, atau ekonomi secara cepat ; Desentralisasi sebagai tujuan politik yang diinginkan untuk membuat daerah mandiri, partisipatif dan akuntabel Namun demikian, dalam konteks Indonesia, pelaksanaan desentralisasi melalui pemberian otonomi daerah ternyata tidak banyak menghasilkan wajah-wajah Daerah yang menggembirakan tetapi justru lebih
4 banyak menghasilkan wajah-wajah Daerah yang menyedihkan terkait dengan sejumlah permasalahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Terdapat sejumlah alasan kenapa otonomi daerah tidak berhasil mencapai kondisi ideal sebagaimana diungkapkan oleh Rondinelli (1983) di atas, salah satunya menurut Wibawa (2005) dikarenakan Otonomi Daerah yang dilaksanakan berdasarkan UU 22/1999 yang kemudian digantikan oleh UU 32/2004 telah menciptakan struktur negara yang sangat desentralistis dan mampu memantik euphoria otonomi Propinsi dan Kabupaten yang luar biasa besarnya (Wibawa, 2005). Euphoria tersebut menyebabkan munculnya ego daerah yang berlebihan sehingga dalam banyak hal membawa implikasi kepada ketidakterpaduan dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia yang berlangsung saat ini. Mengacu kepada uraian-uraian di atas, dapat dilihat bahwa dalam upaya pembangunan wilayah akan diperlukan sejumlah strategi pembangunan yang dikaitkan dengan dibutuhkannya kerjasama antar daerah yang ada dalam masing-masing wilayah. Kerjasama yang demikian diharapkan akan dapat menghasilkan strategi pembangunan wilayah yang terpadu dan terintegrasi sehingga dapat menghasilkan sinergi dalam pelaksananaan pembangunan tersebut. Strategi pembangunan melalui kerjasama tersebut harus diwujudkan melalui keberadaan sebuah mekanisme kelembagaan yang mampu mewadahi kerjasama antar daerah tersebut dalam koridor otonomi daerah yang saat ini berlangsung. Karenanya, dalam tulisan ini akan dibahas sejumlah issue mengenai kelembagaan kerjasama antar daerah dalam strategi pembangunan wilayah tersebut diantaranya dalam memberikan pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan kelembagaan, perubahan paradigma dalam sektor publik dan dalam pembangunan wilayah yang akan turut menentukan bentuk kelembagaan dalam pembangunan wilayah, serta sejumlah best practices pelaksanaan program pembangunan wilayah di sejumlah negara yang dapat dijadikan pembelajaran dalam pembangunan wilayah di Indonesia. Pada akhirnya, tulisan ini akan diakhiri dengan upaya ke depan yang dapat dilakukan dari perspektif kelembagaan dalam upaya pembangunan wilayah di masa depan. Melalui pemaparan-pemaparan tersebut, diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada Daerah bahwa dalam pelaksanaan pembangunan di Daerahnya akan dibutuhkan adanya kerjasama dengan daerah lainnya dalam wilayah yang sama sehingga pelaksanaan pembangunan yang dilakukan tersebut dapat memberikan hasil yang optimal. Karena sebagaimana diungkapkan Lell (1973), pembangunan wilayah yang terintegrasi akan dapat meningkatkan efektivitas dan keberhasilan dari proyek-proyek yang dilaksanakan di masing-masing daerah.
Kelembagaan: Pengertian dam Implementasinya dalam Pembangunan Wilayah Masalah kelembagaan dalam pembangunan wilayah akan memainkan peranan yang sangat penting. Karena sebagaimana dikemukakan oleh Djogo (2003) sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju kelembagaan yang baik merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan negara, pembangunan, pasar, perdagangan atau bisnis (Djogo, dkk, 2003). Dalam konteks pembangunan di bidang pertanian misalnya, bila inisiatif pembangunan pertanian dilaksanakan oleh suatu kelembagaan atau organisasi dimana individu-
5 individu yang memiliki jiwa berorganisasi menggabungkan pengetahuannya dalam tahap perencanaan dan implementasi inisiatif tersebut, peluang keberhasilan pembangunan pertanian menjadi besar (Suradisastra, 2006 mengutip berbagai sumber). Kebijakan dan kelembagaan (institusi) menurut Djogo, dkk (2003) sulit dipisahkan, seperti dua sisi sekeping mata uang. Institusi atau kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan dan institusi dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan (Djogo, dkk, 2003). Pandangan Djogo dkk diatas sejalan dengan pandangan kelembagaan menurut Rachman, Pasandaran dan Kariyasa (2002) yang diwujudkan sebagai aturan main untuk mengatur pelaku ekonomi dalam suatu komunitas (Rachman, Pasandaran dan Kariyasa, 2002). Kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut oleh masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan transaksi (North, 1991). Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi (Rachman, 1999). Keragaan yang merupakan dampak dari bekerjanya suatu institusi sangat tergantung pada bagaimana institusi itu mengatur hal-hal tersebut (Rachman, Pasandaran dan Kariyasa, 2002). Dengan kata lain menurut Suradisastra (2006), kelembagaan merupakan suatu bidang keilmuan dan strategi pendekatan yang memerlukan proses pembelajaran yang memakan waktu cukup lama dan dampak yang dihasilkan lebih bersifat lokal atau eksklusif (Suradisastra, 2006). Agar kelembagaan yang direkayasa dapat diterima oleh masyarakat, menurut Rachman, Pasandaran dan Kariyasa (2002) akan bergantung pada struktur wewenang, kepentingan individu, keadaan masyarakat, adat dan kebudayaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kelembagaan yang mempunyai nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur anggotanya berperilaku selaras dengan lingkungannya akan mencerminkan suatu totalitas kinerja kehidupan sosial yang khas (Rachman, Pasandaran dan Kariyasa, 2002). Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat bahwa pengertian lembaga mencakup tidak hanya organisasi yang merupakan wadah dari lembaga, tetapi mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem (Djogo, dkk, 2003).
Perubahan Paradigma dalam Sektor Publik dan dalam Pembangunan Wilayah Perbaikan kelembagaan dalam pembangunan wilayah tidak akan bisa dilepaskan dari perubahan paradigma yang terjadi di sektor publik dan dalam pelaksanaan pembangunan wilayah itu sendiri. Uraian berikut akan memaparkan perubahan paradigma yang terjadi dalam sektor publik serta dalam pelaksanaan pembangunan wilayah. A. Perubahan Paradigma dalam Sektor Publik Berbagai paradigma telah berkembang dalam pengelolaan sektor publik. Paradigma tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan demokratisasi dan perwujudan tata kepemerintahan yang baik. Model interaksi antara pemerintah dan masyarakat telah berubah, sejalan dengan perubahan tuntutan untuk
6 menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam pemerintahan. Perubahan mode interaksi ini ditandai antara lain dengan relasi yang mendahulukan pertukaran informasi dan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Bukan sebaliknya pertukaran yang ditandai dengan sanksi dan hukuman. Model interaksi baru ini juga ditandai dengan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang lebih kuat antara masyarakat dan pemerintah. Paradigma penyelenggaraan sektor publik telah berkembang dari perspektif weberian yang didasari oleh pemikiran Max Weber; New Public Management; New Governance; dan terakhir New Public Services. Perubahan paradigma ini turut juga mewarnai perubahan yang terjadi dalam pelayanan publik maupun dalam penyelenggaraan pembangunan. Pelayanan publik dan penyelenggaraan pembangunan yang semakin responsif terhadap kebutuhan masyarakat ditandai dengan semakin tingginya budaya pelayanan (service delivery culture), dan bukan sebaliknya budaya kekuasaan (power culture). Pemberian pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah merupakan hak dasar masyarakat yang harus diberikan secara akuntabel, efisien, efektif dan transparan. Hal ini dapat terjadi jika terdapat perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. B. Perubahan Paradigma dalam Pembangunan Wilayah Sejalan dengan perubahan paradigma dalam sektor publik sebagaimana diuraikan di atas, pembangunan wilayah ternyata juga mengalami perubahan paradigma. Hal ini dapat dilihat setidaknya dari hasil penelitian yang dilakukan Bachtler dan Yuill (2001). Menurut Bachtler dan Yuill (2001) dalam tahuntahun belakangan ini terdapat sejumlah pergeseran paradigma dari pembangunan wilayah. Pendekatan tradisional dari pembangunan wilayah yang diambil oleh pemerintah pusat selama ini cenderung menggunakan subsidi yang diberikan kepada perusahaan dan infrastruktur serta lokasi dari aktivitas sektor publik sebagai pengungkit utama dalam pelaksanaan pembangunan wilayah. Sementara pendekatan kontemporer yang saat ini digunakan dicirikan oleh intervensi yang terdesentralisasi berdasarkan perencanaan dan strategi pembangunan wilayah yang terintegrasi, yang didesain dan dilaksanakan dengan kerjasama antara aktor-aktor lokal dan wilayah. Berdasarkan gambaran yang diberikan oleh Bachtler dan Yuill di atas terlihat bahwa paradigma pembangunan wilayah kontemporer yang saat ini berlangsung di sejumlah negara maju diarahkan pada pemberian peran yang lebih besar kepada aktor-aktor lokal dan wilayah dalam membuat perencanaan dan strategi pembangunan wilayah melalui kolaborasi di antara mereka atau dengan kata lain melalui sebuah jaringan kemitraan diantara mereka. Penggambaran lebih jauh mengenai perubahan paradigma dalam pembangunan wilayah sebagaimana diungkapkan oleh Bachtler dan Yuill di atas dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1.: Perubahan Paradigma Kebijakan Wilayah
Kriteria KONSEP DASAR
Klasik Teori lokasi industri. Faktor utama adalah atribut wilayah, seperti biaya produksi,
Modern Teori pembelajaran wilayah. Faktor utama adalah kemampuan wilayah, seperti inovasi daerah, kluster, jejaring
7 ketersediaan tenaga kerja KARAKTERISTIK KEBIJAKAN Kesetaraan atau Efisiensi Tujuan Penciptaan lapangan kerja Sasaran Peningkatan investasi Sempit (ekonomi/industri) Lingkungan Tindakan Reaktif, berbasis proyek Model Operasi STRUKTUR KEBIJAKAN Wilayah yang bermasalah Fokus Spasial Indikator tujuan Dasar Analisis Wilayah ekspor Skema insentif Instrumen Kunci Bantuan bisnis Asistensi Infrastruktur keras ORGANISASI Dari atas ke bawah (top Pengembangan Kebijakan down)/tersentralisasi Pemerintah Pusat Organisasi Pemimpin Tidak ada Rekan Kerja Administrasi Pemilihan Proyek Skala Waktu EVALUASI Tahapan Keluaran Sumber: Bachtler dan Yuill, 2001
Kesetaraan dan Efisiensi Peningkatan kemampuan berkompetisi (misalnya kewirausahaan, inovasi, keahlian) Luas (multi sektor) Proaktif, terencana, strategi Seluruh wilayah Analisis SWOT wilayah Program pembangunan Lingkungan bisnis Infrastruktur lunak Kolektif/negosiasi
Sederhana/rasional Internalisasi Terbuka-diakhiri
Otoritas wilayah Pemerintah Lokal Sektor sukarela, rekan kerja sosial Kompleks/birokratis Partisipatif Periode perencanaan multi tahun
Ex post Terukur
Ex ante, interim, ex post Sangat sulit untuk diukur
Best Practices Pembangunan Wilayah di Negara Lain Terdapat sejumlah best practices yang ada di berbagai Negara dalam pelaksanaan pembangunan wilayah. Melalui pembelajaran terhadap berbagai best practices ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan pembelajaran mengenai upaya yang dapat dilakukan dalam pembangunan wilayah yang dapat memacu pertumbuhan di berbagai sektor di wilayah-wilayah yang ada di Indonesia. Best practices yang ditampilkan dalam bagian ini berasal dari Jepang dan Inggris Raya. Dari Jepang akan ditampilkan informasi mengenai keberadaan gerakan OVOP yang terbukti sukses dalam mengubah kondisi perekonomian dari sebuah wilayah yang terletak di Selatan Jepang. Sumber informasi mengenai best practices ini diperoleh dari website OVOP (http://www.ovop.jp/en/index.html) serta pengalaman penulis yang pernah melakukan studi lapangan di Daerah tersebut pada tahun 1998 akhir. Sementara itu, best practices dari Inggris Raya akan menampilkan informasi mengenai keberadaan Badan Pembangunan Wilayah (BPW) sebagai salah satu institusi penting dalam pembangunan wilayah di Inggris Raya dan sejumlah negara Eropa lainnya. A. Pembangunan Wilayah di Jepang melalui Gerakan OVOP Gerakan One Village One Product (OVOP/Satu Desa Satu Hasil) merupakan gerakan stratejik yang didesain secara khusus bagi pembangunan wilayah. Gerakan ini digulirkan oleh Provinsi Oita melalui Gubernur Morihiko Hiramatsu di tahun 1979 setelah mempelajari kesuksesan gerakan sejenis yang ada di wilayah Kota Oyama dan Kota Yufuin, dua buah Daerah yang berada dalam lingkup Provinsi Oita. Gerakan ini mendorong masyarakat untuk menghasilkan produk atau industri khusus di wilayahnya yang dapat dipasarkan dan diterima secara nasional bahkan global. Sejak digulirkannya hingga saat ini, gerakan ini telah
8 sangat berkembang dan berhasil tidak hanya dalam membawa kesejahteraan dan keunikan bagi Provinsi Oita, tetapi juga mendorong bagi lahirnya sejumlah peristiwa dan kebudayaan baru di wilayah ini. Gerakan OVOP digulirkan untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi Oita, diantaranya: (1) dalam mencegah depopulasi dan hilangnya energi di Provinsi Oita; (2) dalam menemukan dan menumbuhkan produk/industri yang mencirikan masing-masing Daerah serta dapat menghasilkan keuntungan yang terbaik; serta (3) untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah dan untuk mempromosikan otonomi serta keinginan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Gerakan ini disebarkan oleh Gubernur Hiramatsu melalui sejumlah cara: (1) gerakan ditawarkan kepada sejumlah pimpinan Daerah; (2) Gubernur banyak melakukan pemaparan mengenai gerakan OVOP kepada segenap masyarakat dari berbagai sektor yang ada di berbagai Daerah di Oita; (3) gerakan dipublikasikan secara luas melalui media massa; (4) Pemerintah Provinsi mendirikan berbagai fasilitas penelitian dan bimbingan untuk memberikan dukungan teknis kepada berbagai industri daripada dengan memberikan subsidi kepada mereka; (5) penawaran program-program pelatihan dan pendidikan kepada pemimpin Daerah dan Industri; (6) pembentukan sistem khusus dalam mendistribusikan dan memasarkan produk-produk OVOP; serta (7) adanya hadiah bagi keberhasilan pelaksanaan OVOP. Terdapat sejumlah prinsip dasar dalam pelaksanaan gerakan OVOP, yakni Lokal tetapi Global yaitu menciptakan produk-produk yang dapat diterima secara global tetapi merefleksikan kebanggaan akan budaya lokal; Kemandirian dan Kreativitas, yaitu realisasi OVOP melalui tindakan independen dalam menggunakan segenap potensi yang dimiliki oleh Daerah. Berdasarkan prinsip ini Pemerintah Provinsi tidak memberikan subsidi kepada Daerah melainkan dengan membantu dalam pengembangan dan distribusi produk melalui pembentukan sejumlah institusi pelatihan dan bimbingan; serta Pengembangan Sumber Daya Manusia, yaitu dengan mengembangkan masyarakat dengan semangat untuk kreatif dan berani menghadapi tantangan. Melalui prinsip terakhir ini didirikanlah sejumlah sekolah pelatihan wilayah untuk mendidik calon-calon pemimpin potensial Daerah yang memiliki wawasan global, siap menghadapi tantangan, dan mampu mengembangkan OVOP sesuai dengan bidang keahliannya. Terdapat sejumlah kunci keberhasilan dalam pelaksanaan OVOP, yakni (1) kesadaran masyarakat mengenai OVOP, (2) penelusuran mengenai potensi yang ada dari setiap daerah, (3) upaya coba-coba yang berlangsung lama dan berkelanjutan, (4) pencarian nilai tambah tertinggi dari produk, (5) pengembangan pasar dan saluran distribusi, serta (6) menumbuhkan bakat yang dimiliki masyarakat. B. Pembangunan Wilayah di Inggris Raya dan sejumlah negara Eropa Dalam pembangunan wilayah di Inggris Raya dan sejumlah negara Eropa lainnya terdapat sebuah institusi yang disebut sebagai Badan Pembangunan Wilayah (BPW). BPW adalah badan yang berbasis wilayah, yang dibiayai publik dan berada diluar mainstream administrasi pemerintah pusat dan lokal yang didesain untuk mempromosikan pembangunan ekonomi (Halkier dan Danson, 1996 dalam Hughes, 1998). BPW sudah didirikan lama dan merupakan bagian penting dari kebijakan wilayah di Inggris Raya dan sejumlah negara Eropa lainnya. Di Inggris Raya, BPW diawasi oleh Pemerintah Pusat. BPW memiliki
9 independensi dalam menjalankan sejumlah urusan dan memiliki kontribusi utama untuk menciptakan inovasi dalam pengembangan proyek. Efektivitas BPW sebagian sangat ditentukan oleh strategi yang dijalankannya, sementara dampak dari kebijakannya sangat tergantung kepada dinamika yang ada dalam organisasi khususnya yang terkait dengan kepemimpinan dewan serta komitmen dan dukungan staf. BPW mampu memainkan peranan utama dalam kebijakan yang lebih selektif dari Uni Eropa setelah tahun 1999. Terdapat hambatan utama terhadap peran dari BPW sebagai inovator yakni adanya kenyataan bahwa BPW merupakan kendaraan utama dalam penyampaian kebijakan Pemerintah Pusat (Hughes, 1998).
Penutup: Arahan Kelembagaan dalam Pembangunan Wilayah di Masa Depan Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka arahan kelembagaan dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia harus menggunakan dua sudut utama yakni lembaga sebagai aturan main dan lembaga sebagai organisasi. Dari sudut lembaga sebagai aturan main, maka permasalahan kelembagaan akan dilihat dari keberadaan kode etik, norma dan aturan main yang ada dalam program pembangunan wilayah. Sementara dari sudut lembaga sebagai organisasi, permasalahan kelembagaan akan dilihat dari struktur, fungsi dan manajemen dari organisasi yang bertanggungjawab dalam program pembangunan wilayah tersebut. Dari sudut lembaga sebagai aturan main, perlu dilakukan identifikasi terhadap peraturan-peraturan yang ada dan terkait dengan pembangunan wilayah baik di tingkat Nasional maupun Regional yang ada di masing-masing wilayah. Identifikasi juga perlu dilakukan terhadap dokumen-dokumen pendukung lainnya seperti dokumen perencanaan strategis dan dokumen lain yang relevan baik yang ada di tingkat Nasional maupun Regional. Melalui pengkajian terhadap peraturan-peraturan dan dokumen-dokumen ini diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai aturan main yang berlaku saat ini berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam hal pembangunan wilayah; kondisi nyata yang ada di lapangan terkait dengan penggunaan aturan main tersebut; serta kemungkinan untuk menyesuaikan kondisi nyata tersebut berdasarkan aturan main yang ada. Dari sudut lembaga sebagai organisasi, maka perlu dilakukan identifikasi terhadap keberadaan lembaga-lembaga yang terkait dan relevan dengan program pembangunan wilayah baik yang ada di tingkat Nasional maupun Regional. Melalui identifikasi ini diharapkan akan dapat melihat sejauhmana lembagalembaga yang telah ada ini berkerja dan berkoordinasi dalam program pembangunan wilayah serta permasalahan yang dihadapi terkait dengan struktur, fungsi dan manajemen yang ada di masing-masing lembaga. Melalui identifikasi ini diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi terhadap keberadaan lembagalembaga tersebut sehingga dapat menjadi lebih efektif dalam pelaksanaan pekerjaannya yang terkait dengan pembangunan wilayah tersebut. Melalui identifikasi dan analisis terhadap keberadaan organisasi ini juga akan dapat diusulkan pembentukan lembaga baru apabila memang dipandang perlu. Hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan baik kebijakan pembangunan sektoral maupun kebijakan pembangunan daerah secara menyeluruh. Karenanya, dalam penyusunan strategi pembangunan Wilayah diperlukan adanya kesepahaman dan
10 pengertian bersama dari masing-masing Pemerintahan Daerah yang ada di wilayah tersebut baik Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota maupun Propinsi. Kesepahaman dan pengertian bersama ini mutlak diperlukan, mengingat strategi pembangunan yang akan dihasilkan dan kemudian disepakati adalah merupakan konsep kebijakan yang terpadu dan terintegrasi antar sektor dan daerah. Untuk itu, pendekatan analisis kelembagaan diperlukan dalam rangka memfasilitasi bagi terciptanya integrasi dan sinergi kebijakan antar sektor dan daerah tersebut.
Daftar Kepustakaan Bachtler, John, and Douglas Yuill, 2001, “Policies and Strategies for Regional Development: A Shift in Paradigm?”, Regional and Industrial Policy Research Paper, No. 46, University of Strathclyde Djogo, Tony, dkk, 2003, “Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri”, Bahan Ajaran Agroforestri 8, World Agroforestry Centre (ICRAF) Hughes, James T, 1998, “The Role of Development Agencies in Regional Policy: An Academic and Practitioner Approach”, Urban Studies, Vol. 35, No. 4 Ledo, Andres Precedo, 2000, “A Regionalization Strategy to Promote Integrated Local Development: The Comarcal Development Plan of Galicia”, European Planning Studies, Vol. 8, No. 1 Lell, Hans-Joachim, 1973, “Integrated Regional Development”, Finance & Development, June Morgan, Bob, David Brooksbank, and Michael Connolly, 2000, “The Role of Networking in the New Political Economy of Regional Development”, European Planning Studies, Vol. 8, No. 3 Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum and Teguh Kurniawan, 2006, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum, Epakartika, dan Teguh Kurniawan, 2007, Dregulasi & Debirokratisasi Perizinan di Indonesia, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Rachman, Benny, Effendi pasandaran, dan Ketut Kariyasa, 2002, “Kelembagaan Irigasi dalam Perspektif Otonomi Daerah”, Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 21, No. 3 Rondinelli, Denis A, 1983, “Implementing decentralization programmes in Asia: a comparative analysis”, Public Administration and Development, Vol. 3 Suradisastra, Kedi, 2006, “Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Otonomi Daerah”, Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 4, No. 4, Desember Wibawa, Samodra, 2005, Peluang Penerapan New Public Management untuk Kabupaten di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press http://www.ovop.jp/en/index.html