1
Kedudukan Hak Jawab Serta Penggunaan Pasal 1365 KUHPerdata dan 1372 KUHPerdata Dalam Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Pencemaran Nama Baik Oleh Pers (Studi Kasus: Soeharto VS. TIME) Tondi Nikita Lubis Prof. Dr. Rosa Agustina S.H., M.H. Abdul Salam S.H., M.H. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini akan membahas mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pers khususnya mengenai tindakan pencemaran nama baik dalam pemberitaan yang dilakukan oleh Pers. Peneliti dalam penelitian ini akan melakukan analisis melalui aspek kebebasan pers dan filosofi Pers itu sendiri. Selain itu, Penulis akan menjelaskan mengenai prosedur yang harus ditempuh untuk menyelesaikan sengketa ataupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pers baik dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pers, KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lainnya. Lebih jauh, Penulis akan menjelaskan mengenai penerapan Pasal 1372 dan 1365 KUHPerdata dalam gugatan pencemaran nama baik/fitnah yang dilakukan oleh Pers dan kaitannya dengan penggunaan hak jawab.
Kata kunci: Pers, pencemaran nama baik, hak jawab. Abstract This research will discuss the unlawful act committed by the press, especially regarding defamation in the news carried out by the Press. Researchers in this study will conduct the analysis through the aspect of freedom of the press and the philosophy of Press itself. In addition to that, the author will explain the procedures that must be taken to resolve the dispute or unlawful act committed by the Press either by the provisions stipulated in the Law on the Press, the Civil Code and other legislations. Furthermore, the author will explain the application of Articles 1372 and 1365 of the Civil Code in a libel suit / slander conducted by the Press and its relation to the use of the right of reply (Hak Jawab).
Keywords : Press, defamation, right to reply.
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
2
1. Pendahuluan Pada 24 Mei 1999 Majalah TIME menurunkan laporan utama mengenai kekayaan keluarga Soeharto dengan judul sampul “Soeharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built family fortune”.1 Penulisan ini tentu saja bukan datang secara tiba-tiba, namun sebuah lanjutan dari reformasi. Dimulai dari era reformasi 1998 menandai babak baru dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Orang pada umumnya berharap akan dimulainya upaya bertahap untuk merevitalisasi atmosfer demokrasi di Indonesia, sesuatu yang nyaris hilang ditelan pemerintahan otoriter Soeharto selama tiga puluh dua tahun.2 Soeharto mengajukan somasi sebanyak dua kali kepada Majalah TIME atas pemberitaan tersebut. Penggugat menyatakan pemberitaan tersebut sebagai tendensius, insinuatif dan provokatif. Karena Majalah TIME tidak menanggapi somasi tersebut, maka pihak Soeharto mengajukan laporan pidana kepada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) dengan tuduhan telah melanggar Pasal 310 KUHP. Kemudian Soeharto mengajukan gugatan perdata, atas dasar Pasal 1365 dan 1372 KUHPerata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 1365 KUHPerdata mengatur perbuatan melawan hukum pada umumnya. Sedangkan Pasal 1372 KUHPerdata mengatur perbuatan melawan hukum khusus pencemaran nama baik. Menurut kuasa hukum TIME, kedua pasal tersebut tidak dapat digabung dalam satu gugatan. Mengacu pada Asser Rutten, fitnah tidak dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata melainkan hanya dapat digugat berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata. Para tergugat (penulis dan reporter) tidak memiliki wewenang apapun dalam menentukan berita-berita apa yang diterbitkan atau tidak mengacu Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Pokok Pers, kewenangan ada pada editor-in-chief. Dengan demikian perusahaan TIME Asia hanya dapat digugat berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata sedangkan para karyawan dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata sehingga gugatan tersebut harus dipisahkan. Apalagi dalam gugatan itu tidak disebutkan perbuatan apa saja yang dilakukan para penulis dan reporter sehingga dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum. Semestinya, dalam gugatan 1
Indra Perwira, Anotasi Putusan Perkara Soeharto Versus Majalah Time, makalah disampaikan pada acara Diskusi Terbuka: Hasil Eksaminasi Putusan Perkara Soeharto Versus Majalah Time pada 17 Januari 2008. 2 Amara Nababan, Komisi Yudisial dan Gerakan Demokrasi di Indonesia, Buletin Komisi Yudisial (Vol. 1, Februari 2007), hlm. 21.
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
3
disebutkan unsur-unsur perbuatan masing-masing tergugat yang dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Kuasa hukum Soeharto membantah hal tersebut di atas. Menurutnya, Pasal 1372 KUHPerdata ialah lex specialis dari Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam sudut pandang itu penggunaan keduanya sekaligus tidak akan menimbulkan masalah hukum. Disini terlihat adanya masalah mengenai penerapan Pasal 1365 KUPerdata dan 1372 KUHPerdata dimana kedua Pasal tersebut dianggap tidak dapat digabungkan dalam satu gugatan. Selain permasalahan mengenai penerapan pasal 1365 KUHPerdata dan 1372 KUHPerdata, terdapat permasalahan lain yaitu mengenai hak jawab. Kuasa hukum TIME merasa penggunaan hak jawab merupakan suatu keharusan yang harus terlebih dahulu ditempuh sebelum mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik oleh pers. Namun kuasa hukum Soeharto menyatakan bahwa Hak Jawab bukanlah suatu kewajiban karena mengandung unsur hak di dalamnya. 2. Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka penulis membuat batasan perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan pencemaran nama baik menurut hukum perdata Indonesia? 2. Apakah pelaksanaan hak jawab merupakan suatu keharusan dalam kasus-kasus pencemanan nama baik yang dilakukan oleh media masa/pers? 3. Bagaimanakah seharusnya konstruksi pasal yang digunakan dalam gugatan pencemaran nama baik yang dianggap dilakukan oleh media massa/pers (studi kasus gugatan Soeharto vs TIME)? 3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Artinya, penelitian ini merupakan hasil kajian atas norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan serta
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
4
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.3 Berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian fact finding4, guna menjelaskan dan menganalisis “Perbuatan Melawan Hukum Perncemaran Nama Baik oleh Pers”. Fokus kajian utama dalam skripsi ini adalah mengenai penerapan pengaturan pencemaran nama baik menurut hukum perdata Indonesia dan konstruksi Pasal yang seharusnya digunakan dalam gugatan pencemaran nama baik yang dianggap dilakukan oleh media massa/pers. Dilihat dari tipologinya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif. Peneliti akan berusaha menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis mengenai penerapan pasal yang tepat dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik menurut hukum perdata Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (satuta approach) dan pendekatan kasus (case approach) Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam skripsi ini penulis melakukan studi kepustakaan.Penulis akan mengumpulkan bahan bacaan hukum yang terkait dengan perbuatan melawan hukum, pencemaran nama baik, dan pers. Data tersebut nantinya akan penulis analisis, secara kualitatif, sehingga dihasilkan penelitian yang berbentuk deskriptif-analitis. 4. Pembahasan Analisa Pencemaran Nama Baik oleh Pers Berdasarkan Aspek Kebebasan Pers Jurnalisme adalah sebuah profesi yang lahir untuk memenuhi kebutuhan mendasar umat manusia datam masyarakat modern. Jaksa, hakim, dokter, pengacara, polisi adalah contoh dari profesi sejenis. Dalam menjalankan tugas profesi untuk kepentingan umum ini kadangkala terjadi konflik dengan kepentingan individu. Itu sebabnya dalam sistem hukum, seperti juga prosedur yang berlaku di profesi yang mengabdi untuk kepentingan masyarakat, terdapat kecenderungan untuk berpihak kepada kepentingan masyarakat jika terjadi benturan dengan kepentingan perorangan. Pada bagian menimbang Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan: “bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan 3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hlm. 18. 4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 50-51.
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
5
bernegara yang domokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat harus dijamin.”5 Berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, yang dimaksud dengan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi masa yang melaksanakan kegiatan Jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala saluran yang tersedia. Menurut Harold Lasswell ada tiga fungsi utama pers dalam masyarakat modern yaitu: Pertama, survalansi atau pengamatan, yaitu melaporkan peristiwa yang sedang terjadi. Kedua, interprestasi, yaitu menafsirkan makna peristiwa, memasukan kedalam konteks dan mempertimbangkan konsekuensinya. Ketiga, sosialisasi yaitu memasyarakatkan individu dalam latar budayanya.6 Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.7 Analisa Masalah Hak Jawab Para pengacara media umumnya menggunakan Hak Jawab sebagai dasar pembelaan. Seorang yang merasa namanya dicemarkan oleh pers, tidak boleh langsung mengadu ke polisi atau menggugat secara perdata sebelum menggunakan hak Jawab. Tanpa Hak Jawab, ia dianggap secara diam-diam membenarkan tuduhan dalam berita tersebut. Dengan demikian, Hak Jawab merupakan salah atu prosedur yang wajib ditempuh sebelum seseorang melakukan langkah hukum. Namun, jaksa dan kuasa hukum penggugat, umumnya berargumentasi sebaliknya. Mereka berargumentasi bahwa Hak Jawab bukan kewajiban. Karena bukan kewajiban, maka penggunaan Hak Jawab bukan merupakan syarat yang harus ditempuh jika ada orang yang akan melakukan langkah hukum apabila namanya dicemarkan oleh pers.
5
Indonesia, Undang-Undang Pers, UU No.40 Tahun 1999, LN No.166 Tahun 1999, TLN No. 3887, Pasal 1. Wisnu Basuki, Pers dan Penguasa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 58. 7 Indonesia, Pasal 3. 6
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
6
Guna menjawab perdebatan kedudukan hak jawab, Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers dalam Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa pers wajib melayani hak jawab yang mana jika hal ini dilanggar terdapat sanksi pidana yang termuat sebagaimana di Pasal 18 yang mengatur “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2). Sedangkan Pasal 13 mengatur “dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa memuat hak jawab bersifat memaksa untuk perusahaan pers. Namun hak jawab bersifat “hak” bagi seseorang atau badan hukum yang nama baiknya merasa dicemarkan. Karena disini hak jawab didefinisikan sebagai hak maka dalam penggunaannya dikembalikan kepada pihak yang merasa nama baiknya tercemar. Namun demikian, apabila pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan ingin mengajukan gugatan ke pengadilan, hak jawab adalah suatu proses yang harus ditempuh terlebih dahulu. Pandangan bahwa hak jawab dan upaya penyelesaian oleh Dewan Pers harus ditempuh terlebih dahulu belakangan sudah diperkuat dengan kehadiran yurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkara Tomy Winata melawan Bambang Harymurti dan perkara Tomy Winata melawan Koran Tempo pada tahun 2006. MA menyatakan, “… mekanisme hak jawab dan kewajiban hak jawab dan hak koreksi merupakan prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban pidana/ perdata, …” dan “… hak jawab dan penyelesaian melalui lembaga pers merupakan suatu asas atau prinsip (bukan sekadar mekanisme) yang mengatur keseimbangan lembaga pers dan individu atau kelompok. Sebagai asas atau prinsip, maka penggunaan hak jawab atau penyelesaian melalui lembaga pers merupakan “tonggak” yang tidak dapat dilangkahi atau dilewati, melainkan harus ditempuh sebelum memasuki upaya lain.” Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan digunakannya hak jawab bukan berarti upaya hukum yang lain menjadi hilang. Justru hak jawab merupakan prosedur yang harus ditempuh terlebih dahulu guna mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Hal ini dimungkinkan mengingat hak jawab tidak memberikan ganti rugi baik materiil maupun imateriil kepada pihak yang nama baiknya tercemar. Satu-satunya jalur yang dapat ditempuh guna mengajukan gugatan ganti rugi hanyalah ranah pengadilan yaitu pengadilan perdata. Analisa Mengenai Penggabungan Pasal 1365 dan 1372 KUHPerdata Menurut kuasa hukum Time, kedua pasal tersebut tidak dapat digabungkan dalam satu gugatan. Mengacu Asser Rutten, fitnah tidak dapat digugat berdasarkan Pasal 1401 (1365)
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
7
KUHPerdata melainkan hanya dapat digugat berdasarkan Pasal 1408 (1372) KUHPerdata. Para tergugat II sampai VII (penulis dan reporter) tidak memiliki wewenang apapun dalam menentukan berita-berita apa yang diterbitkan atau tidak Mengacu Undang-Undang No. 21 tahun 1982 tentang Pokok Pers, kewenangan ada pada editor-in-chief. Dengan demikian, untuk perusahaan Time Asia hanya dapat digugat berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata, dan untuk para karyawan (penulis dan reporter) hanya dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Gugatan tersebut harus dipisahkan. Apalagi, dalam gugatan tidak disebutkan perbuatan apa saja yang dilakukan para penulis dan reporter sehingga dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum. Semestinya, dalam gugatan disebutkan unsur-unsur perbuatan masing-masing tergugat yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Hal tersebut dibantah oleh kuasa hukum Soeharto. Menurutnya, Pasal 1372 KUHPerdata ialah lex specialis dari Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan demikian, penggunaan keduanya sekaligus tidak akan menimbulkan masalah hukum. Melihat dari kasus lainnya, yaitu Harian Garuda (14 November 1989) yang terbit sore di Medan, Sumatera Utara, menerbitkan laporan jurnalistik berjudul “Buat Masalah”. Harian Garuda menulis, PT Anugerah Langkat Makmur, sebuah perusahaan pemborong terkenal di kota tersebut melakukan penggusuran atau pemindahan sekolah SMA, stasiun kereta api, untuk memperlancar operasional perusahaan. Akibat penggusuran oleh PT ALM, tulis Harian Garuda, masyarakat Langkat resah dan mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara. Tak lama setelah terbit, PT Anugerah Langkat Makmur, mengadukan berita Harian Garuda sebagai pencemaran nama baik. Perusahaan itu menggugat Harian Garuda dengan delik perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata di Pengadilan Negeri Medan. Koran sore itu juga dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp 50 juta. Pengadilan Negeri Medan memutuskan Harian Garuda bersalah dan diwajibkan membayar ganti rugi Rp 5 milyar. Harian Garuda naik banding ke Pengadilan Tinggi Medan, Pengadilan Tinggi mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri. Lalu, Harian Garuda melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang putusannya memenangkan Koran tersebut. Dari kasus diatas mengambarkan bahwa pengajuan gugatan atas pencemaran nama baik oleh pers dapat hanya dilakukan dengan Pasal 1365 Kuhperdata tanpa harus disertai dengan Pasal 1372 Kuhperdata. Hal ini dimungkinkan karena
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
8
segala unsur pembuktian Pasal 1372 Kuhperdata kembali mengacu terhadap Pasal 1365 Kuhperdata. dapat disimpulkan bahwa Pasal 1372 hanya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan nama baiknya untuk menuntut kerugian atas tindakan tersebut. Pasal 1372 KUHPerdata hanya mengatur mengenai unsur pertama dari Pasal 1365 KUHPerdata yaitu Perbuatan Melawan Hukum. Untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum, maka yang harus dibuktikan selain adanya perbuatan yang melawan hukum, harus juga dibuktikan unsur adanya kerugian, kesalahan dan hubungan kausalitas antara kerugian dan kesalahan, yang mana unsur-unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 1372 KUHperdata sehingga untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas tidakan pencemaran nama baik, Pasal 1372 KUHPerdata tidak dapat digunakan secara sendiri, tetapi membutuhkan penjabaran unsur-unsur Pasal 1365 KUHPerdata. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Pasal 1372 KUHPerdata hanya memberikan hak untuk mengajukan ganti rugi atas tindakan pencemaran nama baik tetapi tidak mengandung unsur-unsur lain untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum seperti dalam Pasal 1365 KUHPerdata. 1. Penutup Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya, maka penulis akan mencoba menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana telah penulis sampaikan pada bab pertama tulisan ini. Maka berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, didapat jawaban-jawaban sebagai berikut: 1.
Tuntutan terhadap kerugian atas perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik menurut hukum perdata Indonesia diatur dalam Pasal 1372 KUHPerdata. Namun, definisi pencemaran nama baik tidak diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka untuk nenjelaskan definisi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik harus mengacu kepada Pasal 310-321 KUHP yang mengatur tentang penghinaan (Bab 16 KUHP).
2.
Mengenai kedudukan hak jawab dalam penyelasaian sengketa pers pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan ingin mengajukan gugatan ke pengadilan, hak jawab adalah
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
9
suatu proses yang harus ditempuh terlebih dahulu. Pandangan bahwa hak jawab dan upaya penyelesaian oleh Dewan Pers harus ditempuh terlebih dahulu belakangan sudah diperkuat dengan kehadiran yurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkara Tomy Winata melawan Bambang Harymurti dan perkara Tomy Winata melawan Koran Tempo pada tahun 2006. 3.
Pasal yang tepat untuk digunakan dalam gugatan perbuatan melawan hukum atas tindakan pencemaran nama baik yang dianggap dilakukan oleh media massa/pers adalah Pasal 1365 KUHPerdata. Hal ini telah dibuktikan oleh penulis dalam Bab 4, bahwa Pasal 1372 KUHPerdata tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya penjabaran unsur menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata. Hal ini menegaskan bahwa Pasal 1372 KUHPerdata bukan merupakan lex specialis dari Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1372 KUHPerdata hanya memberikan hak untuk mengajukan ganti rugi atas tindakan pencemaran nama baik tetapi tidak mengandung unsur-unsur untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum seperti dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Sehingga Pasal 1372 KUHPerdata tidak dapat berdiri sendiri untuk dijadikan dasar gugatan perbuatan melawan hukum Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan, terdapat beberapa saran yang dapat
penulis berikan yaitu: 1.
UU Pers seharusnya menjadi lex specialis terhadap sengketa-sengketa ataupun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pers, namun pada praktiknya UU Pers seringkali dikesampingkan oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara pidana/perdata karena menganggap UU Pers bukan lex specialis dari KUHP ataupun KUHPerdata. Oleh karena itu, dalam revisi UU Pers harus ditegaskan bahwa setiap sengketa Pers harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme yang diberikan oleh UU Pers yaitu, pemeriksaan Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik dan penggunaan sarana hak jawab dan hak koreksi sebelum adanya proses hukum ke pengadilan.
2.
UU Pers jelas memberikan kewenangan kepada Pers sebagai lembaga yang berfungsi sebagai kontrol sosial, namun demikian Pers tidak memiliki kewenangan pro-justisia seperti aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, hakim) sehingga kebenaran yang diberikan oleh pemberitaan Pers tidak mungkin kebenaran absolut. Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus menyadari bahwa fungsi kontrol sosial yang dimiliki oleh Pers akan
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
10
mati sebelum lahir apabila Pers harus menyajikan kebenaran absolut sehingga tidak banyak perkara atau sengketa mengenai pemberitaan Pers yang berlanjut ke muka Pengadilan. 3.
Hak jawab seharusnya adalah suatu proses yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam penyelasaian sengketa pers pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan yang ingin mengajukan gugatan ke pengadilan. Dengan digunakannya hak jawab, memberikan kemudahan dalam proses pembuktian di pengadilan. DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Adji, Oemar Seno. Mass Media dan Hukum. Cet.2. Jakarta:Erlangga, 1977. _____. Pers, Aspek-Aspek Hukum. Jakarta, Erlangga, 1977. Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana FHUI, 2003. Badrulzaman, Mariam Darus. KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996. Basah, Syachran. Tiga Tulisan Tentang Hukum. Bandung: Armic, 1986. Basuki, Wisnu. Pers dan Penguasa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya, 2008. Dijk, P .Van dkk,. “Van Apeldoorn’s Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht”. Zwolle: W.E.J Tjeenk Willijnk, 1985. Djojodirdjo, M. A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979. Efendi, A. Masyur. Dimensi, Dinamika Hak Asasi Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002. Harahap, Krisna. Pasang Surut Kemerdekaan Pers di Indonesia. Bandung: Grafitri, 2003. Hikmat. Kusumaningrat dan Purnama, Jurnalistik Teori dan Praktik. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2005. Kahya, Eko. Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers. Bandung, Pustaka Bani Qurasy, 2004. Lubis, Mochtar. Pers dan Wartawan. Jakarta: Balai Pustaka, 1963.
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
11
Lubis, Todung Mulya. Soeharto VS. TIME: Pencarian dan Penemuan Kebenaran. Jakarta, Kompas, 2001. Manan, Bagir. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2004. Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Muis, Abdul. Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers. Jakarta, PT. Mario Grafika, 1996. Panjaitan, Hinca IP et all.. Menegakkan Kemerdekaan Pers: “1001” Alasan, Undang-Undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers. Jakarta, Serikat Penerbit Surat Kabar, 2004. Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2000. Rahmadi, Takdir. Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Shaffat, Idri. Kebebasan, Tanggungjawab dan Penyimpangan Pers. Jakarta, Prestasi Pustaka, 2008. Simorangkir, J.C.T. Hukum dan Kebebasan Pers. Jakarta: Bina Cipta, 1980. Siregar, R.H. Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Jakarta: Dewan Kehormatan PWI, 2005. Soebjakto, R. Delik Pers Suatu Pengantar. Jakarta: 1990. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003. Subekti, R. dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek). Jakarta: Pradnya Paramita, 2004. Sukardi, Wina Armada. Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers. Jakarta: Dewan Pers, 2007. Sumadria, AS Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature: Panduan Praktis Jurnlis Professional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005. Susanto, Astrid S. Pendapat Umum. Bandung: Binacipta, 1975. Syahrani, H. Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 2006. Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia, 2005. Vollmar, H. F. A. Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II. Jakarta: CV Rajawali, 1984. Wahyono, Padmo (ed). Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984.
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
12
B. JURNAL DAN ARTIKEL ILMIAH Nababan, Amara. Komisi Yudisial dan Gerakan Demokrasi di Indonesia. Buletin Komisi Yudisial (Vol. 1, Februari 2007). Najmudin, Nandang. “Pokok-Pokok Pemikiran tentang Pendidikan Hukum dalam Memenuhi Kebutuhan Masyarakat”. Jurnal Penelitian Pendidikan (Vol. 11 No. 2, Oktober: 2010). Setiawan. Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan dalam Yurisprudensi. Varia Peradilan (No. 16, Januari 1987).
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Undang Undang tentang Pers, No.40 Tahun 1999, LN. No. 166 Tahun 1999, TLN No. 3887, Pasal 1 ayat (1). _____,Undang-undang Penyiaran, UU No. 32, LN No. 139 Tahun 2002, TLN No. 4252.
D. INTERNET Tambunanan, Hisar. Batas-batas Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana Kaitannya dengan Hukum Pidana Korupsi. Makalah diunduh dari http://www.gwinetwork.com/sites/default/files/ebooks/Batasbatas%20Perbuatan%20Melawan%20Hukum%20dalam%20Hukum%20Perdata%20dan% 20Hukum%20Pidana%20Kaitannya%20dengan%20Hukum%20Pidana%20Korupsi.pdf pada 10 November 2014. Wikipedia. Dewan Pers. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Pers pada 23 Oktober 2013.
E. MAKALAH Indra Perwira. Anotasi Putusan Perkara Soeharto Versus Majalah Time. makalah disampaikan pada acara Diskusi Terbuka: Hasil Eksaminasi Putusan Perkara Soeharto Versus Majalah Time pada 17 Januari 2008. Tempo. Catatan Law Colloquium. Makalah disampaikan pada seminar "Law Colloquium 2004 From Insult To Slander" di Hotel Dharmawangsa Jakarta pada 28 Juli 2004.
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia
13
F. SURAT KABAR Ali, Novel. Etika Pemberitaan Pers vs Resistansi Publik Media. Media Indonesia. 6 Oktober 2003
Kedudukan Hak..., Tondi Nikita Lubis, FH UI, 2014
Universitas Indonesia