Toleransi, Kon-lik dan Ruang: Tantangan untuk Yogyakarta sebagai City of Tolerance ! ! ! Ilya Fadjar Maharika Center for Socius Design Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia
[email protected]
!
!
disampaikan dalam Seminar “Revitalisasi Yogyakarta sebagai City of Tolerance” Universitas Islam Indonesia, 24-‐25 November 2015 Abstrak
Makalah ini berusaha mengidentiPikasi berbagai pola relasi antara tolerasi, konlik dan kaitannya dengan keruangan dan kekotaan. Dalam wacana sosial, sering kali persoalan keruangan tidak masuk dalam kerangka pembahasan. Oleh karenanya makalah ini bertujuan untuk memberi gambaran persoalan toleransi dan konPlik dari perspektif keruangan terutama teori perkotaan (urbanisme) dan menariknya ke konteks Yogyakarta. Diharapkan dengan paparan dari survei teoritis ini akan dapat dirumuskan indikasi faktor penting yang perlu diungkap dalam dunia pendidikan utamanya dalam membangun toleransi dan terutama dalam aspek pendidikan kepada masyarakat dari sudut pandang keruangan. Kata kunci: perkotaan, ruang, konPlik, toleransi 1.
Pendahuluan: Toleransi, Kon-lik dan Teori Keruangan Setara Institute mempublikasikan Indeks Kota Toleran 2015 bertepatan dengan
Hari Toleransi Internasional, 16 November 2015. Laporan Setara Institut menunjukkan adanya 10 kota paling toleran dan 10 kota paling tidak toleran. Indeks tersebut disusun dengan melihat empat variabel yaitu (a) ada atau tidaknya regulasi daerah yang diskriminatif, (b) tindakan pemerintah daerah dalam menyikapi sebuah kasus atau peristiwa, (c) regulasi sosial berupa ada atau tidaknya peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dan (d) komposisi penduduk berdasarkan agama. Meneliti 94 kota, Setara Institute melaporkan kota-‐kota seperti Pamatang Siantar, Salatiga, Singkawang,. Manado, Tual, Sibolga, Ambon, Sorong, Pontianak dan Palangkaraya
1
merupakan contoh kota paling toleran karena tidak ditemukannya peraturan daerah yang diskriminatif, rencana pembangunan jangka menengah yang menjamin kebebasan berkeyakinan dan beragama dan adanya program bagi komunitas lintas agama untuk saling berdialog. Di lima kota teratas bahkan tidak ditemukan kasus intoleransi. Sementara kota Bogor, Bekasi, Banda Aceh, Tangerang, Depok, Bandung, Serang, Mataram, Sukabumi, Banjar dan Tasikmalaya adalah 10 kota paling tidak toleran. Hal ini ditandai dengan banyaknya kasus intoleransi terutama terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan serta banyaknya peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Dari laporan tersebut Yogyakarta berada di urutan 62 sejajar nilainya dengan Tegal, Kupang dan DKI Jakarta. Data Yogyakarta menunjukkan variabel regulasi sosial memiliki skor tinggi yang berarti terjadi banyak peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (Setara Institute, 2015). Hari Toleransi Internasional yang menjadi momentum Setara Institute merupakan deklarasi UNESCO untuk mendorong toleransi masyarakat dunia yang berjudul Declaration of Principles on Tolerance. Toleransi bagi UNESCO bukan hanya perlu sekedar prinsip tetapi merupakan syarat perlu untuk terjadinya perdamaian, pertumbuhan ekonomi dan kohesi sosial untuk semua manusia (UNESCO, 1995). Dalam dokumen tersebut toleransi dimaknai sebagai penghormatan, penerimaan dan penghargaan terhadap kekayaan ragam budaya dunia dan bentuk ekspresi serta cara hidup manusia (“Tolerance is respect, acceptance and appreciation of the rich diversity of our world's cultures, our forms of expression and ways of being human.”). Dengan demikian toleransi perlu dipupuk melalui pengetahuan, keterbukaan, komunikasi dan kemerdekaan berpikir, kesadaran dan kepercayaan. Toleransi bukan sekedar slogan harmoni dalam keragaman, ataupun sekedar ajaran moral. Toleransi perlu dirumuskan dalam politik dan hukum dan diupayakan dengan sungguh-‐sungguh untuk mengubah budaya perang menjadi budaya damai. Lebih jauh, dalam dokumen deklarasi tersebut toleransi ditekankan pada implementasi standar asasi manusia, pemahaman pluralisme (termasuk pluralisme budaya), demokrasi dan supremasi hukum. Dengan demikian toleransi menolak adanya dogmatisme dan absolutisme dan menegaskan standar yang ditetapkan dalam instrumen hak asasi manusia internasional. Praktik toleransi juga bukan berarti membiarkan terjadinya ketidakadilan atau menciptakan upaya pelemahan keyakinan seseorang, atau pun memaksakan nilai hidup dan pandangan seseorang kepada orang lain. Toleransi juga bukan berarti menolak atau menekan kenyataan 2
bahwa secara alami manusia beragam dalam penampilan mereka, situasi, ucapan, perilaku dan nilai-‐nilai (UNESCO 1995). Kajian Setara Institute dalam pandangan penulis telah membuka wacana tentang konPlik di balik istilah toleransi yang selama ini muncul saling berseberangan dan belum dapat diterangkan dengan baik terutama di konteks Indonesia. Sebagai ilustrasi persoalan konPlik-‐toleransi ini, di Google Scholar (https://scholar.google.com) ditemukan sekitar 27.400 artikel ketika dicari dengan kata kunci “konPlik agama,” 5.880 dengan “konPlik minoritas,” 4.840 artikel dengan “konPlik etnis,” dan 10.700 dengan “konPlik rasial.” Sebagai gambaran ditemukan pula 39.700 artikel berdimensi “konPlik ekonomi” dan 34.400 bermuatan “konPlik politik.” Dari sumber yang sama terdapat sekitar 16.800 artikel dengan kata kunci “toleransi agama,” 2.860 untuk “toleransi minoritas,” dan 2.610 untuk “toleransi etnik” serta 13.600 untuk “toleransi rasial.” Memang survei singkat di atas tidak memberi gambaran konklusif tentang relasi antara konPlik dan toleransi namun tampak bahwa konPlik agama merupakan dimensi yang perlu dicermati lebih mendalam anatominya karena dimensinya. Studi Muqoyyidin bahkan menegaskan bahwa konPlik agama meningkat tajam pasca reformasi politik 1998 seiring dengan menguatnya gerakan Islam radikal. Dia menemukan bahwa ada tiga pola konPlik yaitu (a) konPlik antarumat agama yang berbeda, (b) konPlik antara satu umat agama dengan kelompok yang dicap sebagai sesat, dan (c) konPlik intern-‐umat satu agama yang memiliki pemahaman berbeda. Anatomi konPlik keagamaan ini penting untuk memahami pola resolusinya (Muqoyyidin, 2012). Kajian Setara Institute juga membuka relasi antara toleransi, konPlik dan aspek keruangan serta kekotaan (urbanisme). Selama ini aspek keruangan dan kekotaan ini sering diabaikan dalam mengurai persoalan konPlik ataupun toleransi. Padahal sejatinya ruang dan kota adalah display norma-‐norma yang tak kasatmata (intangible) menjadi kasatmata (tangible). Ekspresi Pilsuf media Peter Sloterdijk yang tersurat di halaman webnya sangat menarik sebagai bahan pijakan yaitu bahwa manusia hidup dalam ruang yang tidak steril. Ruang selama ini dianggap taken for granted, tanpa disadari maupun diungkap secara eksplisit. Pandangan ini kemudian dikembangkan dalam buku magnum
3
opus-‐nya terutama di Sphären III – Schäume, Plurale Sphärologie (Sloterdijk, 2005).1 Fokus ini juga penting untuk diungkap karena seperti yang diungkap Faucault setiap kekuasaan akan cenderung menggunakan ruang untuk menguji kekuasaannya. Ruang selalu menjadi alat utama dalam mempraktikkan kekuasaan tersebut, termasuk di dalamnya adalah upaya untuk mempertahankan dominasi maupun kekuatan yang melawannya. Ruang pada kenyataannya adalah tempat di mana kekuatan-‐kekuatan di atas diujikan dan ditujukan utamanya untuk mengatur manusia-‐manusia di dalamnya. Ruang adalah institusi untuk “mendisiplinkan” masyarakat (Faucault, 1982). Tujuan penulisan makalah ini adalah memberi gambaran persoalan toleransi dan konPlik dari perspektif keruangan terutama teori perkotaan (urbanisme) dan menariknya ke konteks Yogyakarta. Diharapkan dengan paparan dari survei teoritis ini akan dapat dirumuskan indikasi faktor penting yang perlu diungkap dalam dunia pendidikan utamanya dalam membangun toleransi dan terutama dalam aspek pendidikan kepada masyarakat. Persoalan yang hendak dijadikan fokus adalah faktor-‐ faktor apa yang penting untuk diungkap dalam membangun dan merawat Yogyakarta sebagai kota yang toleran bila di lihat dari sisi tata ruang, perkotaan hingga arsitektural. 2. Ruang sebagai Artefak Peradaban atau Medan Kon-lik? Seawal 1377an, Ibnu Khaldun telah mengatakan bahwa arsitektur dan kota adalah ‘teknologi’ tertua peradaban menetap (sedentary civilization), sebuah artefak peradaban. Namun demikian, Khaldun juga mengindikasikan bahwa esensi penciptaan arsitektur dan kota justru pada rekayasa organisasi sosial yang merupakan kebutuhan alamiah manusia bukan sekedar pada materi pelingkup rumah itu. Bagi Khaldun, arsitektur dan kota adalah produk peradaban dan sekaligus sebagai menjadi faktor penentu keberlangsungan peradaban tersebut. Manusia adalah makhluk peradaban yang harus hidup bersama untuk dapat hidup dengan nyaman, membangun kerjasama dan kemitraan untuk hidup, entah dalam bentuk masyarakat nomaden, perdesaan ataupun masyarakat menetap di kota (Khaldun, 1377).
1 Catatan Sloterdijk patut dikutip langsung di sini “Spheres are the spaces where people actually live. I would like to
show that human beings have, till today, been misunderstood, because the space where they exist has always been taken for granted, without ever being made conscious and explicit. And this lieu or space I call a sphere in order to indicate that we are never in fact naked in totality, in a physical or biological environment of some kind, but that we are ourselves space-‐creating beings, and that we cannot exist otherwise than in these self-‐animated spaces.” Tersedia di http://www.petersloterdijk.net/ [19 Februari 2009]
4
Bagi Khaldun, peran kota sangat fundamental karena selain menjadi wadah bagi spesies ini hidup bersama dengan spesies lainnya (binatang misalnya), ia juga dipakai untuk membangun organisasi sosial. Kota adalah wahana bekerja sama untuk kepentingan hidup dan juga untuk membangun kesempurnaan jiwa untuk persiapan di hari akhir. Kota pada dasarnya adalah infrastruktur untuk mencapai interaksi yang saling menguntungkan yang dilandasi keadilan bagi semua karena tanpa hal itu semua individu akan mengupayakan keuntungan untuk dirinya sendiri. Motivasi ini akan menuju kegagalan karena pasti menuju konPlik karena kompetisi dengan orang lain. Khaldun mengatakan bahwa organisasi sosial perkotaan (al-‘umrân al-ĥađri) dapat ditemui di kota, kota kecil ataupun di komunitas yang kecil yang mempunyai kekuatan kelekatan satu dengan yang lain (ashabiyah). Mereka akan berkembang bersama dengan ekonomi, teknologi dan pentehauan sejalan dengan kebutuhan, pekerjaan dan pasar. Ketika konPlik tidak ada (utamanya politik) dan akan berkembang menjadi peradaban (ĥâđârah) dan masyarakatnya juga berkembang menjadi masyarakat dengan budaya kota (ahlu’l-ĥâđârah). Masyarakat budaya kota ini akan mengembangkan diri dengan teknologi dan kemewahan hingga mencapai batas dimana mereka akan sepenuhnya menghambakan diri dan haus pada nafsu. Kondisi kemewahan ini lantas menciptakan kelas dalam masyarakat karena tetap akan ada yang berada di batas kemiskinan (Khaldun 1377). Berakar pada pemikiran Khaldun ini, penulis menduga bahwa bukan bentuk dan ruang yang menjadikan sebuah arsitektur atau kota mampu menjadikan masyarakatnya konPlik atau toleran. Relasi ini bila dipaksakan akan jadi salah dan mengada-‐ada. Namun demikian tetap ada yang bertanggung jawab terhadap nilai tersebut yaitu organisasi sosial yang mengikat manusia-‐manusia di dalamnya (umrân). Dalam relasi yang sangat dasar ini, arsitektur dan kota justru menjadi tatakan yang sangat penting dalam rangka pembentukan organisasi sosial tersebut. Suatu kualitas organisasi sosial tertentu barangkali mempunyai bentukan arsitektur dan kota yang juga tertentu. Dan sebaliknya, bentukan arsitektur dan kota tertentu barangkali pula menjadikan motif adab dan ahklak tertentu lebih dominan terhadap yang lainnya. Arsitektur dan kota adalah tatakan besar organisasi sosial di mana keduanya merupakan sebuah dialektika yang saling mempengaruhi dan saling membentuk. Mereka mempunyai motif-‐motif yang saling berhubungan. Mereka juga menjadi sangat rentan terhadap niat para arsitek dan perencana yang menciptakannya, investor yang mendanainya, pemerintah yang 5
mengaturnya dan para tukang yang membangunnya dan masyarakat yang menghuninya. Tarikan spektrumnya sangat luas yaitu dari arsitektur alam yang nihilistik karena ketiadaan motif, niat dan pemikiran, arsitektur alamiah yang mengalirkan motif, niat dan pemikiran sejalan dengan arus kebutuhan, ataupun justru arsitektur berlebihan (excessive architecture) yang menghasilkan soPistikasi dan pameran kehebatan manusia sebagai makhluk pemikir, pembuat alat dan penyusun metode kerja di satu sisi dan ‘berlebih-‐lebihan’ di sisi lain yang mendorong terjadinya ketidakseimbangan dan konPlik. Dari studi yang lebih kontemporer menunjukkan relasi yang lebih mikro antara ruang / kota dengan konPlik, toleransi dan rekonsiliasi. Sebuah survei yang dilakukan oleh Sevilla-‐Buitrago (2013) terhadap para ahli terkait dengan konPlik perkotaan menunjukkan bahwa kesenjangan sosial dan konsekuensi di belakangnya merupakan dugaan penyebab utama konPlik yang terjadi di kota. Sering pula konPlik muncul karena eksploitasi sumber daya alam, pemanasan global, bentuk ekonomi dan pengelolaannya yang salah, adanya antagonisme di dalam masyarakat ataupun komodiPikasi ruang publik yang berlebihan. Ada pula penyebab konPlik yang disebabkan oleh perkara arsitektural di antaranya adalah proses gentriPikasi dan kegagalan keadilan keruangan, konPlik gender, kurangnya ketersediaan rumah yang terjangkau, pembangunan perkotaan yang tidak ePisien dan membatasi, deregulasi proses urbanisasi, hilangnya identitas terhadap ruang sehari-‐hari, kegagalan dunia kerja dalam menyediakan tempat kerja, serta semakin sempitnya kesempatan untuk membangun rumah tinggal sebagai rumah permanen. Khusus untuk kawasan Ada catatan khusus di dalam wawancaran tersebut bahwa di Asia persoalan sering muncul dalam bentuk kekurangan terhadap rumah merupakan konPlik yang besar dan terkait dengan konteks perkembangan kota yang sangat cepat di emerging economies seperti China dan India (Sevilla-‐Buitrago, 2013). Studi Huggins dan Debies-‐Carl (2015) misalnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara perkotaan dan peningkatan toleransi. Mereka melihat bahwa dipercaya bahwa semakin manusia hidup dalam suasan perkotaan maka akan semakin tinggi tingkat toleransi. Namun demikian, mereka melihat bahwa studi-‐studi yang mendasari asumsi ini banyak dilakukan di negara Barat dan terutama di Amerika yang lantas menjadi keterbatasan bagi temuan di atas. Dengan meneliti di banyak kota dan banyak negara kedua peneliti ini menemukan dimensi baru yang perlu dipelajari lebih 6
mendalam. Mereka membedakan adanya dua bentuk toleransi yaitu toleransi terhadap perbedaan (tolerance of difference) dan toleransi terhadap ancaman (tolerance of threat). Toleransi perbedaan adalah penerimaan seseorang terhadap perbedaan orang lain seperti beda bahasa, beda agama, status kewarganegaraan ataupun beda ras. Sementara toleransi terhadap ancaman adalah penerimaan seseorang terhadap orang lain yang tidak hanya berbeda tetapi juga dianggap (akurat ataupun tidak) sebagai “orang lain” secara sosial Huggins dan Debies-‐Carl (2015). Penelitian tersebut mengindikasikan beberapa temuan penting. Pertama adalah adanya faktor yang mendukung intoleransi di kota yaitu adanya gejala ‘fraksionalisasi’ kota berdasar agama, etnik dan bahasa. Fraksionalisasi ini menunjukkan bahwa semakin berkurangnya kultur dominan dalam sebuah kota akan mempertinggi risiko terjadinya konPlik di kota itu. Penelitian itu juga menunjukkan bahwa tempat dengan fraksionalisasi agama (banyak macam agama dalam satu tempat) juga menjadi tempat yang lebih rendah toleransinya terhadap ancaman. Mereka juga mengindikasikan bahwa kota yang besar dan padat akan cenderung toleran terhadap perbedaan namun kota yang mempunyai populasi yang tinggi dan keragaman tinggi akan kurang toleran. Dari penelitian itu mereka juga mendapati bahwa semakin besar, padat dan kaya sebuah kota dan masyarakat penduduknya bekerja dengan baik semakin menjadi tempat yang toleran. Negara-‐negara dengan kota yang besar dan kaya, penduduknya akan lebih toleran terhadap perbedaan dan juga toleran terhadap mereka yang dianggap sebagai orang asing (tolerance of threat). Mereka menyimpulkan bahwa kualitas kekotaan di masyarakat signiPikan berkaitan dengan tolerasi. Mereka mendorong perlunya pemahaman yang lebih baik dan penelitian yang lebih dalam untuk memahami pola dan dampak kedua hal di atas untuk memahami relasi antara ruang kota dan toleransi (Huggins & Debies-‐Carl, 2015). Berbeda dengan Huggins & Debies-‐Carl yang melakukan kajiannya secara luas, Corvalan & Vargas (2015) menelaah konPlik fokus pada hubungannya dengan segregasi. Mereka melihat bahwa segregasi etik dan bahasa mempunyai korelasi terkuat dengan intensitas konPlik. Sementara segregasi agama justru justru tidak menunjukkan adanya dampak pada tipe konPlik apapun. Namun demikian, segregasi ini bukan menjadi titik awal konPlik namun bertanggung jawab pada ekskalasi dan menjadi faktor yang memperlama dan memperparah konPlik apapun mekanisme penyebabnya. Mereka 7
mengindikasikan bahwa solusi yang tampak adalah membangun kepercayaan dan penurunan kadar ancaman. Kedua hal ini dipengaruhi oleh segregasi dan pada saat yang sama dapat menurunkan dampak dari adanya konsentrasi geograPis yang menjurus pada konPlik (Corvalan & Vargas, 2015). Khusus untuk komunitas Muslim di Italia, Chiodelli (2015) melihat ada hubungan yang erat antara agama dengan ‘spasialitas’ atau keruangan misalnya pada pola pembentukan ruang di kota (urban formation). Ada ruang, bentuk fasilitas dan busana yang sangat terpengaruh yang menunjukkan spasialitas agama (bagaimana agama dipraktikan di ruang publik). Beberapa aspek penting yang adalah: (a) Adanya pengaruh agama dalam penentuan tempat tinggal terutama terkait dengan preferensi individual and collective identity yang ingin dibangun. Chiodelli juga mengungkap pandangan yang selama ini terlalu monolitik bahwa pada kenyataannya Muslim di Itali misalnya bukanlah berasal dari satu daerah saja tetap merupakan kumpulan masyarakat Muslim dari berbagai negara. Oleh karenanya menjadi tidak tepat merujuk sebagai “komunitas Muslim” tetapi lebih tepat “komunitas-‐komunitas Muslim yang jamak karena di dalamnya juga terdapat sub sistem yang saling berinteraksi. Uniknya, Muslim di Itali tidak cenderung mengumpul dalam memilih permukiman tapi justru lebih ke keaslian daerah asal. (b) Munculnya pembentukan ruang-‐ruang penanda bagi Muslim misalnya masjid dan mushala, toko daging halal, tempat pemakaman dan berbagai bentuk sarana kehidupan sosial lainnya. Di sisi solusi, studi Sevilla-‐Buitrago menunjukkan bahwa arena aksi dan solusi untuk konPlik ini ternyata “di luar domain perencanaan” itu sendiri dan masuk dimensi sosial dan politik yang lebih luas. Ternyata banyak ahli di disurvei sepakat bahwa masih sulit untuk mengidentiPikasi pedoman yang perlu diadopsi ataupun strategi yang umum yang dapat diterapkan untuk banyak kasus ataupun sekadar ‘best practices’ yang dapat diperluas menjadi solusi di spektrum yang lebih luas. Tampaknya tetap diperlukan adanya kesepakatan yang implisit bahwa diperlukan solusi yang sifatnya lokal dan partikular walaupun tampaknya konPlik tersebut menunjukkan pola yang umum. Mereka juga menyarankan bahwa untuk mencari solusi terbaik bagi konPlik perkotaan diperlukan dialog yang intensif antar disiplin ilmu yang terkait dengan persoalan perkotaan dan msyarakatnya (Sevilla-‐Buitrago, 2013). Lebih pada dimensi globalitas dan ekonomi, Saskia Sassen mengatakan bahwa kota adalah medan pertempuran (frontier zone). Di kota besar yang kompleks, aktor dari 8
berbagai belahan dunia bertemu dalam situasi yang tidak jelas tatanannya. Ekspresinya lebih kuat dikutip secara langsung: “The large complex city, especially if global, is a new frontier zone. Actors from different worlds meet there, but there are no clear rules of engagement.” Di satu sisi kota menjadi medan perang para korporasi dalam memperebutkan modal melalui berbagai upaya seperti deregulasi, privatisasi, hingga kebijakan Piskal dan moneter. Di sisi lain kota juga medan perang untuk masyarakat tak mampu: mereka yang tidak mempunyai kekuasaan, yang tidak beruntung, liyan (others), dan juga para minoritas yang terdiskriminasi. Di kotalah kedua kekuatan tersebut berhadap-‐hadapan yang konPliktual. Selain itu kota-‐kota global juga menunjukkan gelaja sebagai masyarakat yang tersegmentasi. Ruang kota telah berubah menjadi wadah proses re-‐territorialisasi yang mengubah batas lintang (transversal borders) menjadi teritori eksklusif. Seiring dengan memudarnya kekuatan gravitasi pusat (kekuasaan imperium, negara ataupun kelas dominan) maka kondisi kesenjangan, rasisme dan intoleransi agama, kini menjadi lebih berbahaya (Sassen, 2013). Namun Sassen juga memberikan catatan bahwa kota mempunyai kepentingan strategis dalam membentuk tata aturan baru. Ruang kota dapat merekonsiliasikan berbagai level perjuangan dan juga membentuk aturan normatif baru. Berbeda dengan negara yang merespon konPlik dengan senjata dan siap perang, respon kota adalah dengan memberi kemungkinan hidup berdampingan dengan damai antar berbagai pihak agar terjadi asimilasi. Kota juga mempunyai kapasitas menjadi medan pembentukan subjek baru dan identitas baru. Kota merupakan lansekap yang terus berkembang dan memdorong terjadinya multiplikasi kerangka-‐kerangka baru dan aturan-‐aturan lokal yang beragam (Sassen 2013). Menurut Hayward (2015) upaya untuk memetakan resolusi konPlik adalah pada upaya membangun dua pendekatan yaitu teori konPlik di satu sisi dan teori konsensus di sisi lain. Kedua pendekatan tersebut sangat terkait dengan konsepsi yang melatarbelakangi cara pandang kita terhadap relasi sosial yang sehat apakah konPliktual atau konsesual. Teori konPlik mengedepankan cara pandang bahwa hubungan sosial dalam masyarakat bekerja menurut hukum-‐hukum kompetisi. Sementara di pandangan konsesual melihat bahwa masyarakat berkembang dalam bentuk kerjasama dan gotong royong. Namun demikian Hayward melihat bahwa kita tidak dapat melihat hanya di dua sisi tersebut tanpa melihat titik tengahnya yang tampak pada konsep pluralisme dan 9
agonisme. Pluralisme merujuk pada keragaman padangan sementara agonisme merujuk pada upaya-‐upaya untuk mencari titik temu antar pandangan dalam membangun relasi sosial (Hayward 2015). 3. Sketsa Kon-lik dan Toleransi yang Berdimensi Keruangan di Yogyakarta Dalam mengilustrasikan relasi antara konPlik, toleransi dan ruang, penulis akan membawa kasus arsitektural dan spasial yang menjadi pemicu konPlik. Penulis juga akan menyampaikan upaya untuk membangun iklim toleransi melalui meta narasi Yogyakarta Serambi Madinah yang pernah didengungkan di tahun 2006. a. Dari ruang menjadi kon-lik Beberapa demonstrasi penolakan menjamurnya pembangunan apartemen, condotel dan hotel baru yang marak akhir-‐akhir ini di Yogyakarta menjadi contoh konPlik dan intolerasi yang berdimensi keruangan. Alasan persoalan dampak berupa limbah, banjir, berkurangnya volume air sumur di sekelilingnya yang dikemukakan warga sebenarnya menjadi faktor pemicu belaka karena hal tersebut dapat diselesaikan secara teknis dan dapat dibebankan kepada investor. Namun demikian, dimensi persoalan yang patut diperhatikan dalam pandangan penulis justru ada di ranah sosial yaitu potensi dampak sosial terhadap kawasan tersebut pada khususnya dan Yogyakarta sebagai kota pendidikan pada umumnya. Khusus untuk apartemen, barangkali ada pula motif ekonomi berupa kekhawatiran terjadi persaingan antara apartemen (yang dikelola oleh pemodal besar) dengan kost yang menjadi penggerak ekonomi masyarakat kebanyakan di Yogyakarta. Masih diperlukan kajian yang lebih luas dan mendalam untuk memahami proPil konPlik yang berdimensi persaingan usaha ini dan bukan menjadi fokus dalam kajian ini. Apartemen sebagai sebuah bentuk arsitektur bukan hanya sekedar tumpukan bata dan beton yang dibangun secara teknis namun juga merupakan produk sekaligus memproduksi relasi sosial. Apartemen sebagai salah satu produk properti adalah kumpulan hunian dalam satu tower bangunan berlantai banyak. Hunian tersebut bervariasi mulai dari satu kamar (studio type), atau dua atau tiga selayaknya rumah. Hunian tersebut dapat dimiliki secara pribadi maupun sewa. Bangunan tersebut dapat dikelola oleh pengembang ataupun asosiasi penghuni. Walaupun secara keruangan apartemen tak ada beda dengan kost ataupun rumah tinggal (hanya berbeda jumlah 10
lantai secara vertikal), namun secara sosial apartemen sangat berbeda. Sebagai sebuah produk ‘import’, apartemen sangat mengedepankan privasi karena hubungan antar penghuni sangat renggang yang diakibatkan oleh tidak adanya ruang bersama yang cukup. Apartemen berbeda dengan rumah tinggal horisontal (landed house) yang dihubungkan oleh lansekap (halaman dan jalan) yang berfungsi sebagai ruang interaksi sosial secara terus-‐menerus. Apartemen tidak mempunyai lansekap yang menjadi sarana munculnya eyes on the street (mata-‐mata yang mengawasi) yang menjadi mekanisme kontrol sosial dan pencegah aktivitas kriminal. Apartemen juga berbeda dengan hunian kost yang menjadi ciri Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang masih menunjukkan adanya fungsi sebagai kontrol sosial dengan adanya pemisahan gender (kost perempuan -‐ kost laki-‐laki yang biasanya tidak campur) dan ada induk semang yang langsung bertanggung jawab. Di aspek inilah apartemen kehilangan peran sosialnya. Dengan alasan pemasaran, apartemen dapat dihuni oleh siapa pun tanpa memandang jenis kelamin dan tanpa ada relasi sosial yang kuat karena sifatnya yang dirancang dengan privasi yang tinggi. Di hunian tersebut akan sangat sulit terjadi kontrol sosial sehingga akan ada potensi tinggi munculnya pelanggaran tata susila (pornograPi, pornoaksi, kumpul kebo misalnya) dan kriminalitas (peredaran narkoba misalnya). Dalam konteks ini, Yogyakarta yang saat ini sedang booming apartemen akan berhadapan dengan realitas sosial baru yaitu hadirnya ‘warga baru’ yang akan jauh lebih permisif terhadap fenomena di atas, mirip yang terjadi di masyarakat Barat yang selama ini hanya dapat dilihat di televisi dan berita. Akan ada rentetan konsekuensi logis dari munculnya ‘warga baru’ apartemen tersebut ditambah wisatawan yang tinggal di hotel-‐ hotel yaitu semakin merebaknya hiburan malam yang hingar bingar dan cenderung hedonis. Ini barangkali yang menjadi akar masalah dan kekhawatiran sebagian masyarakat yang muncul dalam bentuk demonstrasi penolakan. Dalam konteks toleransi, lantas muncul pertanyaan apakah warga Yogyakarta akan mentoleransi kehadiran perilaku baru ini? ataukah lantas terbangun ketegangan baru di masyarakat? Apakah muncul toleransi terhadap perilaku dan lifestyle tertentu ataukah sebenarnya pola ketidakpedulian terhadap kondisi sosial budaya? Erupsi berupa demonstrasi di atas telah memunculkan wacana penolakan yang didasarkan “jati diri masyarakat” telah terjadi dan menjadi sulit diukur dan sangat berdimensi sosio-‐kultural dan bukan lagi sekedar urusan teknis dan pemasaran.
11
b. Membangun toleransi melalui ruang naratif Upaya membangun semangat toleransi pernah muncul dengan deklarasi Yogyakarta sebagai Serambi Madinah (YSM) oleh Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta pada 19 Agustus 2006. Menilik kembali makalah penulis yang dipresentasikan di Dialog Budaya & Gelar Seni "YogyaSemesta" Seri 29, 26 Januari 2010 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, penulis mengilustrasikan persoalan yang timbul ketika labelisasi di ranah publik muncul. Memang tujuan utama munculnya YSM adalah mendorong semangat toleransi yang ditunjukkan dalam Piagam Madinah yang dapat menjadi landasan keistimewaan Yogyakarta. Secara kultural Yogyakarta sudah menjadi serambi Madinah dengan semangat pluralitasnya. Namun demikian walaupun labelisasi tersebut ditujukan sebagai upaya menegaskan kembali semang\at toleransi namun yang muncul justru penolakan baik secara formal oleh Gubernur maupun informal oleh masyarakat. Melihat dinamika tersebut, dalam konteks toleransi di sini muncul persoalan pada relasi antara masyarakat dominan dengan minoritas. Istilah Yogyakarta Serambi Madinah merupakan manifestasi klaim spasial bahwa ada masyarakat dominan di Yogyakarta yaitu masyarakat Muslim. Klaim ini lantas menguji dua sisi. Pertama adalah ujian pada kerelaan masyarakat dominan (masyarakat ‘Muslim Yogyakarta’) pada munculnya eksistensi entitas minoritas dengan segala atribut yang melekat padanya. Masyarakat dominan ini akan mendapat ujian yaitu bagaimana mempraktikkan toleransi itu dalam dunia nyata melalui ruang. Masyarakat dominan juga akan ditantang untuk mampu mendePinisikan semangat “semangat toleransi” itu sampai di mana atau justru akan berubah menjadi ortodok dan intoleran. Apakah umat Islam Yogyakarta dapat menerima berdirinya sinagoge untuk para turis yang beragama Yahudi berdiri di Yogyakarta? Apakah Ahmadiyah boleh membangun masjid sendiri? Bagaimana dengan masjid Syiah? Seberapa tinggi julangan gereja gothic bisa didirikan? Seberapa banyak dan seberapa besar klenteng bisa dibangun? Klaim spasial ini juga dapat berkembang dalam skala yang lebih luas. Misalnya pertanyaan akan muncul pula apakah kota-‐kota kita lantas boleh diklaim dengan munculnya “Serambi Roma”, "Serambi Yerusalem", “Serambi Varanasi” dan sejenisnya? Ujian kedua adalah pada semangat toleransi minoritas. Apakah masyakarat minoritas juga akan mencoba untuk menolak? atau justru mengembangkan ciri minoritasnya dan mengujinya dengan mendisplay di level publik? "Efek samping" yang agak berbeda tetapi tetap dalam ranah semiotika adalah pemaknaan simbolik. “YSM” dengan mudah akan dimaknai sebagai bentuk “Arabisasi” 12
ataupun dalam konteks tertentu “Islamisasi” daripada sebuah manifestasi dari kehidupan toleransi seperti yang dicita-‐citakan. Bahkan dalam makna tertentu sangat mungkin akan menjadi arus "puritanisasi" di mana leburan identitas Yogyakarta sebagai melting pot ini justru akan menjadi ter-‐indigenisasi: mengkristal menjadi unsur-‐unsur pembentuknya. Konsekuensinya, akan banyak sekali tradisi Jawa yang melekat pada Yogyakarta akan diuji oleh YSM: apakah tradisi-‐tradisi lokal itu “Islami”? Sebagaimana dengan tradisi-‐tradisi seperti nyadran, suran dll. yang lantas dapat saja akan dipertanyakan. Dalam konteks ini pemaknaan agama yang monolitik bisa jadi sangat sulit berdampingan dengan semangat toleransi (Maharika, 2010). 4. Penutup: Re-leksi ke Dunia Pendidikan Di atas telah dipaparkan secara teoritis berbagai dimensi relasi antara konPlik, toleransi dan keruangan. Dari survei teoritis tersebut tampak bahwa masih diperlukan pemahaman yang lebih spesiPik terhadap pola konPlik dalam relasinya dengan ruang dan pola munculnya toleransi dikaitkan dengan keruangan pula. MerePleksikan kajian terhadap kasus di Yogyakarta, ruang dan arsitektur tampaknya berperan sebagai medium eksplosi konPlik ketika ide-‐ide tentang identitas keagamaan misalnya dipapar (didisplay) di ruang publik tanpa dibarengi dengan merekonstruksi toleransi. Namun demikian ruang dan arsitektur juga mungkin menjadi medium bagi munculnya semangat toleransi ketika dipahami sebagai artefak untuk mencapai organisasi sosial. Wacana / narasi yang berdimensi keruangan pun perlu dikonstruksi dengan hati-‐hati karena akan sangat mudah dimaknai sebagai klaim dominan -‐ minoritas yang rentan menimbulkan konPlik pula. Masih diperlukan penelitian yang luas dan multidisiplin untuk memahami pola relasi ruang toleransi yang perlu dibangun, potensi konPlik yang timbul dan strategi keruangan yang diperlukan untuk meredamnya. Perlu pula dibangun pemahaman terhadap kosakata keruangan dan arsitektural agar persoalan-‐persoalan yang berpotensi konPliktual dapat dipahami lebih netral tanpa dibebani dengan pemaknaan yang membawa konPliktual. Dalam domain pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya, maka pendekatan yang berbasis multidisiplin sangat diperlukan untuk memahami asal mula toleransi dan intolerasi ataupun konPlik dan rekonsiliasi baik sebagai ide maupun sebagai praktik di ruang publik.
13
Di ranah arsitektur dan perancangan kota, diperlukan pula eksperimen arsitektural dan sosiologis berupa konsep-‐konsep baru yang responsif terhadap persoalan toleransi dan intoleransi serta konPlik/rekonsiliasi untuk membangun organisasi sosial yang lebih sehat dan sesuai dengan konteks tatakrama dan kesusilaan Yogyakarta. Diperlukan pula pranata teknis, tata ruang, dan sosial yang lebih peka terhadap dampak sosial dari setiap tipe bangunan dan ruang tersebut agar dapat terintegrasi dengan jalinan sosial masyarakat Yogyakarta dan mampu memberikan daya dukung iklim toleran yang positif dan bukan sekedar ekspresi ketidakpedulian. 5. Referensi Chiodelli, F. (2015). Religion and the city: A review on Muslim spatiality in Italian cities. Cities, 44, 19–28. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.cities.2014.12.004. Corvalan, A., & Vargas, M. (2015). Segregation and conPlict: An empirical analysis. Journal of Development Economics, 116, 212–222. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.jdeveco.2015.05.002. Foucault, M. (1982). Space, Knowledge and Power. The Foucault Reader. P. Rabinow. London, Penguin Books: 239-‐256. Hayward, K. (2015). ConPlict and Consensus. In J. D. B. T.-‐I. E. of the S. & B. S. (Second E. Wright (Ed.), (pp. 5 8 9 – 5 9 3 ) . O x f o r d : E l s e v i e r. h t t p : / / d o i . o r g / h t t p : / / d x . d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / B978-‐0-‐08-‐097086-‐8.96010-‐0. Huggins, C. M. and Debies-‐Carl, J. S. (2015), Tolerance in the City: The multilevel effects of urban environment on permissive attitudes. Journal of Urban Affairs, 37: 255–269. doi: 10.1111/juaf. 12141. Ibn Khaldun, A. al-‐R., Dawood, N. J., & Rosenthal, F. (2004). The Muqaddimah. diunduh dari https:// asadullahali.Piles.wordpress.com/2012/10/ibn_khaldun-‐al_muqaddimah.pdf. Maharika, IF. 2010 “Yogyakarta Serambi Madinah, dalam Perspektif Tata Ruang” makalah dalam Dialog Budaya & Gelar Seni "YogyaSemesta" Seri 29, 26 Januari 2010, Yogyakarta. Muqoyyidin, A. W. (2012). Potret KonPlik Bernuansa Agama di Indonesia (SigniPikansi Model Resolusi Berbasis Teologi Transformatif ). Analisis, XII(2), 315–340 diunduh dari http:// ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/analisis/article/download/9/6/pdf. Sassen, S. (2013). When the center no longer holds: Cities as frontier zones. Cities, 34, 67–70. http:// doi.org/10.1016/j.cities.2012.05.007. Setara Institute, 2015 Indeks Kota Toleran 2015. Publikasi Laporan 16 November 2015 Jakarta. Sevilla-‐Buitrago, A. (2013). Debating contemporary urban conPlicts: A survey of selected scholars. Cities, 31, 454–468. http://doi.org/10.1016/j.cities.2012.08.006. Sloterdijk, P. (2004). Sphären III, Schäume. Frankfurt, Suhrkamp. UNESCO. (1995). Declaration of Principles on Tolerance. diunduh dari http://www.un.org/en/events/ toleranceday/pdf/tolerance.pdf [diakses 18.11.2015]. http://www.petersloterdijk.net/ [19 Februari 2009]. 14