M€fi€K SAfiO CHAIRUL BAHRI
Pcncrbi^gg^hi/tlrO-^
BIBLIOTHEEK KITLV
MEREK SARO
CERITA R A K Y A T
ACEH
M E R E K SARO
CHAIRUL BAHRI
penerbrtjjydhi/tlrO--,
penerbitan - percetakan - tokobuku
<^1>GHALIA I N D O N E S I A Jl Pramuka Raya 4, tel 884814 Jakarta Timur Cabang-cabang:
JAKARTA SURABAYA YOGYA SEMARANG BANDUNG .
Jl. Pramuka Raya 4. tel. 884814 Jl M.H.Thamnn 55, tel 69026 Jl Bumijo engah 74A, tel 4874 Jl Kauman Butulan 138. tel 26230 Jl. Cikaso 38 Cicadas. tel 73933 T
Agen:
PADANG
: Pustaka ANGGREK, Jl Pasar Raya 15. tel. 21718 Penyalur tunggal buku terbitan
Penerbit B A L A : A K S A R A
Penerbit YUOHISTIRA
dan Pustaka SA ADI YAH
Gt'takan pertama Juni 1981 (lustras! Sla met Suhardjo Dicetak dan diterbitkan oleh Yudhistira Hak Pengarang dilindungi Undang-undang
DAFTAR
1SI
1. Merek Saro Anak Yatim Piatu
7
2. Membasmi Gerombolan Monye!
13
3. Naga Bertapa
19
4. Membunuh Naga Bertapa
24
5. Menjadi Budak
29
6. Bertemu Pawang Tua
33
7. Mtnginsafkan Si Bulus
38
3. Jodoh Putri-putri Raja
43
9. Jadi Menantu Raja
48
10. Ulah Si Belang
52
11. Kebijaksanaan Raja
56
12. Merek Saro Menjadi Raja
61
1.
MEREK SARO A N A K YATIM
PIATU
Beberapa ratus tahun yang silam adalah seorang anak yatim-piatu bernama Merek Saro. Ayahnya meninggal ketika ia berusia enam tahun dan empat tahun kemudian ibunya pun meninggal Ketika sang ayah akan menutup mata, ia memberi sebentuk besi berani yang dibungkus dengan kain putih. Benda itu dililitkan ke pinggang Merek Saro sebagai azimat. Menurut mendiang ayahnya, besi itu mempunyai kekuatan gaib. Semua binatang berbisa dan buas tak berani mengganggunya. Bahkan mendekat pun tidak. Merek Saro hidup sebatang kara. Orang tuanya tidak meninggalkan warisan harta, selain rumah gubuk yang hampir roboh. Namun, ia telah dididik agar menjadi anak yang jujur, tabah menghadapi segala kesukaran hidup, rajin dan giat bekerja. Sepeninggal ibunya ia tidak lagi menempati rumah gubuknya. la kini tidur di surau, Pada siang hari ia bekerja sebagai penggembala kerbau atau menyabit rumput untuk makanan kuda. Bersama anak-anak lain, pada malam hari ia ikut belajar mengaji. Tidak lagi harus diperintah, sebelum berangkat bekerja pada pagi hari ia menyapu dan membersihkan lantai surau. Guru mengaji amat sayang kepadanya. Bukan saja karena ia rajin, tetapi juga karena ia sangat pandai mengaji. Teman-temannya pun sangat menyukainya. Pada suatu malam, ketika belajar mengaji telah usai, temantemannya berkumpul mengelilingi Merek Saro. Hari belum amat larut. Sekelompok bintang cemerlang menerangi langit. Lampu gantung di tengah surau masih benderang, belum dipadamkan. Seperti biasa mereka mengadakan acara teka-teki. "Kawan-kawan, aku mempunyai teka-teki," si Malat memulai membuka acara. "Teka-teki apa? tanya si Lamut. "Waktu kecil berbaju hijau, setelah besar berbaju merah. MEREK SARO
7
8
MEREK
SARO
Nah, apakah itu? lanjut si Malat. Teman-temannya semua mulai berpikir. Memecahkan tekateki yang diajukan si Malat. Anak ini selalu mempunyai simpanan teka-teki yang banyak. Tiba-tiba si Lamut berkata,"Daun jambu!" Si Malat tersenyum."Salah!" katanya. Seketika si Lamut memandang teman-temannya, kemudian pandangannya beralih lagi kepada si Malat. Katanya,"Tak mungkin salah. Bukankah ketika pokok bambu masih muda berdaun hijau dan setelah tua daunnya kering, berwarna merah?" Malat tertawa. Beberapa teman lain pun tertawa. Si Rabil menukas, "Semua pokok kayu berhal demikian. Bila daunnya telah tua tentu kering dan berwarna merah." " Y a , kalau demikian semua daun kayu!" seru si Lamut pula. "Itu tidak benar," sambung si Lamut,"lagi pula daun kayu yang kering tidak berwarna merah, tetapi berwarna kecoklatan. Yang kumaksudkan, berwarna merah benar." Si Rabil yang sejak tadi mengerutkan dahi tiba-tiba menyahut,"Kain merah." Lamut tertawa mengejek. Teman-teman lain pun tertawa terbahak-bahak. Si Malat hanya tersenyum saja, matanya lekat menatap ke wajah si Rabil. Rabil agak kesal. "Tak mungkin salah. Yang kumaksud adalah batang kapas. Mula-mula daunnya hijau. Setelah diolah menjadi kain, diceiupkan dengan warna merah." Bertambah riuh lagi tawa mereka. Setelah suara tawa yang riuh reda, si Malat menjelaskan, "Ini tidak memerlukan celup-mencelup lagi. Tidak memerlukan pengolahan sehingga menjadi kain. Yang kumaksud adalah daun kayu yang asli." "Heeem,"gumam si Rabil sambil menggaruk-garuk kepalanya. Beberapa saat ruangan surau menjadi hening. Teman -teman si Malat tengah berpikir. Si Malat saja yang tersenyum-senyum menatapi satu-persatu wajah teman-temannya itu„ Merek Saro yang duduk agak di sudut tampak tenang saja. Tidak kentara bahwa ia pun tengah berpikir keras. Ia tersenyumsenyum melihat teman-temannya berusaha keras memecahkan teka-teki yang baginya amat mudah itu. Namun, ia tidak pernah MEREK SARO
9
ingin menonjolkan diri. Ia selalu memberi kesempatan kepada yang lain mengemukakan pendapat. Demikianlah dalam segala hal ia bersikap. , . . " A h , menyerah,"keluh Rabil sambil memandang si Lamut. " Y a , aku juga menyerah," kata si Lamut. "Menyerahlah kami," ujar teman yang lain. Si Malat memandang kepada si Merek Saro, seakan meminta pendapatnya. Tetapi Merek Saro tetap diam saja. "Nah, bagaimana kau Merek Saro?" tanya si Malat. Merek Saro mengerutkan dahi, kayak sedang berpikir Beberapa saat kemudian ia berkata," Kalau tak salah, .... lombok. Senyum Malat mekar. Pandangan teman-teman yang lain tertuju kepada si Malat. Mereka tak sabar menanti ucapan si Malat. Apakah ia membenarkan atau menyalahkan jawaban Merek Saro. Namun, beberapa teman lain sudah mulai berpikir, bahwa jawaban Merek Saro pasti benar. Tiba-tiba terdengar suara Malat,"Betul. . . . Hati teman-teman lain merasa lega. ^ "Nah, sekarang giliranmu membuat teka-teki, ujar Kabil kepada Merek Saro. Sesaat Merek Saro berpikir. Kemudian tercetus perkataannya, "Tentu boleh digantikan dengan yang lain?" "Kalau begitu biarlah aku yang mengajukan teka-teki, tukas si Lamut. "Boleh!" ujar Merek Saro. . Hati Lamut senang diberi kesempatan mengajukan teka-teki. Lantas katanya,"Coba terka! Ayam putih melompat pagar, apakah itu?" Mereka mulai berpikir lagi. Tiba-tiba si Tuah yang sejak tadi tidak mengeluarkan suara kini menerka, "Nasi tumpah dari periuk!" "Salah!" tukas si Lamut. "Susu dituang dari ceret!" lanjut si Tuah. "Lebih salah lagi. Itu bukan melompat, tetapi mengahr. Yang kumaksud melompat. Seperti katak." "Ooo, aku tahu!" si Tuah penasaran, "ludah!" Lamut tertawa terbahak-bahak. Setelah tawanya reda ia berkata, "benar . . . . ! " ïu T
Bukan main senang hati si Tuah. "Bukankah ludah meluncur dari mulut seperti melompat?"s Lamut menambahi keterangannya, "Sekarang giliranmu, Tuah,' lanjutnya. " A k u belum punya teka-teki," sahut si Tuah. "Nah, aku sudah siap," ujar Merek Saro. "Silakan!" seru kawan-kawannya. "Akarnya di atas, daunnya di bawah. Apakah itu?" Teman-temannya berpikir. Ada yang mengerutkan dahi. Ada yang memandang langit-langit surau. Ada pula yang sambiJ menggaruk-garuk lengan dan kepala. Lama nian mereka berpikir. tampaknya mereka ragu untuk mengeluarkan jawaban. Mereka berbisik-bisik sesama teman. Namun keraguan juga yang terbayang pada setiap wajah mereka. Keadaan jadi amat hening. Tak terdengar suara-suara desah sekalipun.. Hanya suara-suara jangkrik saja yang terdengar dari luar. Merek Saro memecah kebisuan yang sesaat itu,"Kalau kalian tidak bisa menerka teka-tekiku ini, salah seorang harus mengeluarkan tebusan. Bila aku tidak bisa menerkanya, maka akan kuberi jawaban teka-teki k u . " " Y a , kami menyerah, "sahut teman-temannya serempak. "Siapa yang akan memberi tebusan?" tanya Merek Saro. " A k u , " sahut si Tulut sambil memandang berkeliling, seakan meminta persetujuan teman-temannya. Tampak semua temantemannya menganggukkan kepala tanda setuju. Si Tulut melanjutkan, "Hanya boleh kau saja yang menerka, Merek Saro." " Y a , " sahut Merek Saro. "Waktu kecil bergulung daun pisang, setelah besar terbang melayang." Merek Saro berpikir. Mencoba menduga-duga dalam hati, "Kumbang? Bukan! Lebah? A h , tak boleh jadi. Jauh panggang dari api." Kendati telah berpikir keras, tampaknya Merek Saro tak dapat memecahkan teka-teki ini. Biasanya ia selalu menerka tepat. Namun, bak pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, sekali akan jatuh jua. Kini Merek Saro merasa tak mampu memecahkan teka-teki itu. " A k u bisa," tiba-tiba terdengar suara si Rangok. "Kau tak boleh menerka. Ini hanya untuk si Merek Saro. Lagi MEREK
SARO
1 \
pula kau pernah mendengar teka-teki ini beberapa malam yang ialu, ketika si Merek Saro telah tertidur," kata si Talut. Rangok terdiam. Merek Saro memandangnya. Tetapi bukan bermaksud merninta baniuan. " A y o , apakah itu, Merek Saro?" tanya Talut lagi. Beberapa teman yang sudah pernah mendengar teka-teki ini tersenyum-senyum saja. _ . . " A y o , " desak si Lamut yang sudah tahu jawaban teka-teki ini. Merek Saro menarik napas,"Aku menyerah. Terdengar ledakan tawa yang riuh. Setelah tawa mereka reda, Talut berkata, " B e n jawaban tekatekimu dulu." "Ayunan," sahut si Merek Saro. Bunta tercengang,"Tak mungkin. Mana ida akarnya?" Malat menengah,"Ya, namanya pun teka-tekh Seperti ludah yang melompat dari mulut. Kan bukan ayam putih!" "Aaaaah," keluh si Bunta sambil kemudian merebahkan tubuhnya ke tikar. " A p a jawab teka-tekimu, Lut?" tanya Merek Saro. Bunta yang menjawab, "Kupu-kupu!" Merek Saro mengerutkan dahi. Talut menjelaskan, "Benar Saro, kupu-kupu waktu masih kecil berupa kepompong. Bergulung di daun pisang. Kalau kau tak percaya, datanglah ke kebunku. Akan kutunjukan padamu kepompong ulat itu." Merek Saro mengangguk-anggukkan kepala, Hari bertambah larut. Di luar amat pekat. Suara nyanyi jangkrik dan belalang terdengar sendu. Mencericit-cericit. Beberapa ekor tikus tanah pun mencericit di sisi surau. " A k u mau tidur, kata si Talut seraya berjalan ke sudut. Di sana ia merebahkan tubuhnya dan berselimut kain pelekat. Si Bunta dan si Lamut pun berbuat hal yang sama. Kemudian juga teman-teman yang lain. Merek Saro mendesahkan napas, kemudian bangkit. Ia memadamkan lampu. Barulah kemudian ia pun tidur. Malam semakin bertambah larut. j -)
MEREK
SARO
2. M E M B A S M I
G E R O M B O L A N
M O N Y E T
Pagi-pagi benar mereka sudah bangun. Beberapa orang men betulkan letak tikar di surau yang acak-acakan. Lalu mandi da berwudu. Si Merek Saro mengumandangkan azan subuh. Suarany lembut dan merdu menerobos terbawa oleh angin subuh k segenap pelösok kampung. Gum sudah terbangun, bahkan sudah siap berpakaian ketik mendengar suara si Merek Saro mengumandangkan azan subuh. I merasa bangga kepada anak yatim-piatu itu. Ia segera beranjal Ketika tiba di surau, anak-anak sedang berzikir dan bersalawat k< pada Nabi. Tanpa bicara Guru berjalan di antara mereka sampai k mihrab. Melihat Guru sudah berada di muka mihrab, si Talut bangkii Ia membaca qomat. Anak-anak lain bangkit . Beberapa pendudu kampung yang dekat dengan surau itu pun sudah hadir untu bersembahyang berjamaah waktu subuh. Selesai sembahyang subuh dan berdoa, Guru memberi sediki wejangan. Tentang iman dan takwa. Barulah kemudian ia mening galkan surau, bersama-sama dengan jemaah yang lain. Matahai mulai bangkit. Ayam dan itik riuh, bersahutan dengan suara-suai kicau burung di atas dahan. Si Talut menggamit lengan Merek Saro,"Ayo, ke rumahki Boleh kutunjukkan kepompong yang bergulung di daun pisang. " A k u mau bekerja, L u t , " sahut Merek Saro. "Kalau kau suka, aku ingin mengajakmu membantu aya menyiangi kebun kami. Ayah pasti suka dan akan memberi upa kepadamu." "Baiklaho Tetapi izinkan aku menyapu surau ini dulu." "Mari kita sapu bersama," balas di Talut. Barulah mereka meninggalkan surau setelah seluruhnya bei sih Dari lantai dalam hingga ke pekarangan. Air di bak pun penul Sehingga tidak berpayah-payah lagi para jemaah mengambil wudv Pekarangan rumah Talut luas. Sebagian ditumbuhi poho c
MEREK
SARO
1
pisang. Ada beberapa batang yang sedang berbuah. Sebelum masuk ke dalam rumah Talut menyobek sehelai daun pisang yang bergelung. Ia menunjukkan kepada Merek Saro. "Nah, inilah ulat itu." Merek Saro membuka bungkusannya, tampak seekor ulat hijau bergelung di dalamnya. Talut juga menunjukkan kepompong yang menggantung di daun pisang. "Ini bekas kepompongnya. Isinya telah menjadi kupu-kupu." Merek Saro menganggukkan kepala. Ia terkenang akan ucapan ibunya bahwa dunia ini penuh dengan keajaiban. Itu semua adalah kekuasaan sang Pencipta. Sungguh Allah itu Mahakuasa. Talut mengajak Merek Saro masuk ke dalam rumahnya yang besar dan bersih. Ayahnya memapasi di ruang tengah. "Ayah, pagi ini aku mengajak Merek Saro untuk membantu menyiangi kebun kita." Ayahnya sudah mendegnar akan kerajinan anak itu, karenanya ia amat senang. Katanya, "Sebelum kalian bekerja, sarapanlah dulu!" Orang tua ini di kampung mendapat julukan Aman Jampuk. Jampuk adalah nama anaknya yang sulung, abang si Talut. Menurut bahasa Gayo Aman Jam puk berarti Bapak si Jampuk. Ia memiliki kebun yang luas yang ditanami jagung. Tetapi kebun itu sering diganggu kera. Ia telah membuat patung orang-orangan dari kayu dan diberi berbaju. Maksudnya untuk mengusir kera-kera yang nakal itu. Tetapi hasilnya nihil. Kera-kera itu tampak amat cerdik. Bahkan mereka bermain-main dengan patung orang-orangan itu. Hal ini membuat hati Aman Jam puk kesaL Pagi ini, ketika mereka selesai sarapan, berangkatlah mereka ke kebun. Bukan main marah Aman Jampuk mendapatkan kebunnya rusak. Jagung yang masih muda sebagian habis dimakan kera. Aman Jampuk bersungut-sungut. Sedang sang kera tampak mengejek, bergelayutan di dahan-dahan kayu di tepi kebun. Hari itu mereka hanya mengusir kera-kera yang jahat. Mereka melempari dengan batu dan menyolok-nyolok dengan ranting kayu agar kera-kera itu pergi. Namun usaha mereka sia-sia, sang kera bahkan mengejek sambil menjulurkan lidah. Bertambah kesal Aman Jampuk. 14
MEREK
SARO
Malam harinya Aman Jampuk meminta agar Talut dan Men Saro bermalam di rumah. la akan bertukar pikiran, mencari al untuk mengusir kera-kera yang jahat itu. Setelah makan malam, duduklah mereka di serambi. A m Jampuk mengemukakan kehendaknya, "Kera-kera itu harus teru: dari kebun kita," katanya. "Bagaimana kalau kita buat perangkap, Yah?" Talut mei usulkan pendapat "Tak banyak menolong. Bila seekor terperangkap, tentu ya lain akan menjauhi perangkap. Kera adalah binatang yang cerd; Lagi pula aku khawatir mereka akan menjadi marah. Merus; semua tanaman. Kita akan bertambah rugi. Harus dicari akal ya: baik, ibarat pepatah, menangguk ikan tanpa harus mengeruhk: airnya." "Boleh saya mengusulkan pendapat, Pak? " terdengar sua Merek Saro. "Tentu," sahut Aman Jampuk. "Tetapi rencana saya ini memerlukan pengorbanan bebera batang jagung dan kita akan bekerja sehari penuh untuk mempi siapkannya." "Coba utarakan pendapatmu," Aman Jampuk tertarik me dengar ucapan Merek Saro. "Pada lubang-lubang dahan kayu yang rebah, kita isi deng air lombok rawit yang sudah ditumbuk halus. Biasanya ke setelah makan kenyang akan bertengger di dahan-dahan ka; rebah. Mereka akan minum, bila menemukan air." Belum lagi habis perkataan Merek Saro, Aman Jampi menukas,"Bagus! Pikiranmu memang cerdik, Merek Saro. A> subuh ini kita kerjakan rencana itu." Orang tua ini terta^ terkekeh-kekeh. Terbayang olehnya akan kelakuan kera ya kepedasan setelah meminum air lombok rawit. Setelah sholat subuh mereka berangkat ke kebun d mengerjakan semua persiapannya. Lubang-lubang yang menyei pai lesung pada batang-batang kayu yang rebah diisi air lomb rawit. Lalu mereka bersembunyi menunggu kedatangan gero: bolan kera. Talut berada bersama Merek Saro di tempat persemt nyian. Matahari terbit dan memancarkan sinarnya sembari n ngisap embun di daun-daun. Terasa lamban sekali waktu ya MEREK
SARO
1
dinanti tiba. Menunggu memang sesuatu yang menjemukan. Namun, bersamaan dengan terik pagi yang mulai menyengat, gerombolan kera itu pun datang. Suaranya agak riuh. Melompatlompat memasuki kebun. Beberapa saat mereka berdiam diri, seakan melihat suasana. Amankah kebun ini atau tidak. Setelah dirasa aman, salah seekor, yang menjadi ketua gerombolannya mulai menggasak sebuah jagung muda. Yang lain pun mulai menggerogoti isi jagung yang ranum dan manis itu. Mereka berpesta pora. Hati Aman Jampuk merasa kesal menyaksikan buah jagungnya habis dimakan kera. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa, ia sedang menjebak kera-kera itu. Hari ini korban, tetapi hari-hari seterusnya pasti aman. Kera-kera itu pasti jera, pikirnya. Merek Saro tenang saja menyaksikan ulah para kera. Talut agak gelisah, karena ia pun tak sampai hati menyaksikan kera jahat itu menggasak jagung tanaman ayahnya. Namun, ia pun tak berdaya. Tangannya sudah gatal akan melempar dengan batu. Merek Saro mencegahnya,"Sabar!" katanya. Setelah kenyang para kera itu keluar dari kebun. Dengan riang mereka melompat-lompat dan meniti batang-batang kayu yang rebah. Ada pula yang rebahan, ada yang duduk sambil membersihkan mulutnya. Ada yang bergelantungan. Aman Jampuk, Merek Saro, dan Talut bertambah cemas. Mereka tidak sabar dan gelisah. Mereka harus menunggu sampai kera-kera meminum air yang mereka sediakan. Barulah setelah agak siang, kera-kera itu menemukan air. Berebutan mereka minum air dan mencelupkan kepala. Namun, malang secara serempak mereka menjerit-jerit karena pedas dan perih mata mereka kena air lombok rawit. Mereka menjadi kalap. Bergulingguling di tanah. Bahkan ada yang membanting-banting tubuhnya. "Serbuuuuu !" teriak Merek Saro memberi aba-aba. Ia segera bangkit dan berlari ke arah kera-kera yang sedang menjeritjerit itu. Demikian juga dengan Aman Jampuk. Mereka membawa tongkat dan alat pemukul lain dari kayu. Dengan alat itu mereka memukuli kera-kera yang tidak berdaya. Kera-kera itu menjeritjerit dan lari lintang pukang. Sedang yang belum sempat meminum air lombok rawit menjadi ketakutan pula. Bertambah kencang lari mereka masuk ke dalan hutan. Namun, ada seekor kera yang besar, 16
MEREK
SARO
MEREK
SARO
17
tampaknya ia adalah kepala gerombolan ini. Ia melawan dan menyerang Talut. Talut ketakutan Ia mempertahankan diri sambil menghantamkan tongkat kayunya. Namun, kera itu bertambah ganas juga. Merek Saro membantu Talut. "Hantam terus!" serunya. Talut memukul. Tongkatnya dipegang si kera amat kuat. Talut tak berdaya menariknya. Ia mempertahankan tongkat itu. Suatu saat, ketika sang kera agak lengah, si Talut mendorong tongkat itu hingga kera itu jatuh terjengkang. Kera itu cepat berdiri, akan menerkam Talut. Pada saat itu seekor kera lain melompat, ia ketakutan karena sedang diburu Aman Jampuk. Tepat jatuhnya saat kera besar itu pula sedang menerkam. Hingga kera itu yang diterkam. Kepalanya digigit. Pada saat itu pula Merek Saro menghantamkan tongkat ke kepala kera besar yang buas itu. Sang kera melolong panjang dan segera lari. Semua kera mendengar pemimpin mereka melolong pun segera lari meninggalkan kebun jagung Aman Jampuk. Sejak saat itu gerombolan kera tak pernah datang lagi ke kebun Aman Jampuk. Benar-benar amanlah kini kebun itu. Buah jagungnya mulai tampak masak dan besar-besar. Aman Jampuk merasa sangat berterima kasih dan berhutang budi kepada Merek Saro.
18
MEREK
SARO
3.
N A G A
B E R T A P A
Konon terbitlah niat di hati Merek Saro akan pergi mengembara. Maka berangkatlah ia meninggalkan kampung halaman. Ia berjalan masuk hutan rimba, mendaki gunung, dan menuruni lembah. Pada saat udara mendung menjelang sore hari tibalah ia di padang perburuan. Ia beristirahat di bawah sebatang pohon damar tusam. Tak lama kemudian, turunlah hujan rintik-rintik. Dari kejauhan sesayup terdengar suara salak anjing, Kian lama, terdengar kian dekat juga dan hujan turun bertambah lebat. Suara salak anjing berbaur dengan suara riuh teriakan orang-orang yang sedang berburu rusa. Ada tujuh orang pemburu di padang perburuan itu. Mereka kehilangan jejak rusa. Anjing-anjing mereka giring menghindari curah hujan yang bertambah lebat. Salak anjing-anjing itu memekakkan telinga. " A y o ke sana. Di situ ada gua," perintah seseorang yang berkumis dan bercambang lebat. Dia adalah pemimpin rombongan. Anak-anak buahnya segera lari ke lereng bukit. D i sana mereka menemukan sebuah gua. D i sana pula mereka beristirahat. Tombak-tombak mereka sandarkan ke dinding gunung. Merek Saro pun hampir kebasahan. Rimbunan pohon damar tusam tidak mampu menampung curah hujan yang bertambah lebat. Ia lari pula ke lereng bukit, masuk ke gua, berkumpul dengan para pemburu. Seekor anjing yang paling galak menyalak dan bersiap akan menerkam Merek Saro, namun ketika ia telah dekat, anjing itu malah mundur sambil mengibas-ibaskan ekornya. Ini adalah pengaruh gaib dari besi berani azimat di pinggang Merek Saro. Merek Saro memberi salam. Pemimpin rombongan yang disebut Pawang, membalas dan mempersilakan Merek Saro masuk serta duduk di sisinya. A i r hujan seakan tertumpah dari langit. Mereka tidak ada yang bercakap-cakap. Semua dibebani pikiran MEREK
SARO
19
sendiri-sendiri. Tak ada pula yang mencoba berbasa-basi bertanya asal usul Merek Saro. Seakan semua tercekam akan curah hujan yang amat deras. Tiba-tiba Merek Saro merasakan ada suatu gerakan yang menyerupai gempa bumi kecil. Ketujuh pemburu itu pun merasakannya, tetapi mereka tidak acuh. Tak lama terasa lagi getaran tanah bersamaan dengan suara güruh menggelegar. Merek Saro menjadi cemas. Khawatir gua akan runtuh. Tiba-tiba ia merasa ada tetesan benda cair jatuh ke hidungnya. Lalu disekanya dengan tangan. Namun, baru saja ia meiepaskan tangannya dari ujung hidung, benda cair itu menetes lagi. Pada sangkanya air hujan yang tiris masuk ke dalam gua, namun ia amat terkejut ketika membaui tetesan benda cair itu berbau amis. Guruh terus menderu-deru dan hujan amat lebat. Alam amat pekat. Ketujuh pemburu itu mengira getaran bumi itu hanyalah karena guntur yang menggelegar. Mereka mulai bercakap-cakap sesamanya. Tidak memperdulikan Merek Saro. Titik benda cair jatuh lagi, tepat ke telapak tangan Merek Saro yang sedang tengadah. Alangkah terkejut, ketika ia melihat warna merah. Ia membauinya. Amis. "Darah," keluhnya. Ia mulai berpikir,,darah apakah gerangan ini? Ia melihat ke arah tombak-tombak para pemburu. Aneh, tombak-tombakyang disandarkan ke dinding menjadi melengkung. Dari tiap gagangnya mengalir titik cair berwarna merah. Saat itu pula terjadi getaran di atas gua. Beberapa batu di ujung gua runtuh. Gagang tombak menjadi bertambah lengkung dan darah semakin deras menetes. " A d a darah menetes di gagang tombak itu," kata Merek Saro. Para pemburu itu menoleh ke arah tombak mereka. Alangkah terkejut mereka ketika menyaksikan tombak-tombak itu melengkung. Sang Pawang mengahampiri tombak-tombak itu. Ia melihat dengan jelas ada darah mengalir pada ketujuh tombak itu. Ia berteriak, "Cepat lari ke luar! Ini bukan gua, tetapi rongga mulut naga bertapa!" Serentak teman-temannya melompat keluar dan lari menjauhi tempat itu. Mulut gua itu bertambah besar ketika para pemburu itu keluar. Tiba-tiba terdengar suara raungan, bersamaan dengan itu tujuh buah tombak mereka terpentak pula ke luar. 20
MEREK
SARO
MEREK SARO
21
Merek Saro pun segera melompat ke luar dari mulut naga bertapa itu. Ia lari mengikuti para pemburu. Namun, karena ia masih kecil, larinya tak secepat para pemburu yang bertubuh kekar dan kuat. Ia tertinggal jauh di belakang. Sang Pawang merasa kasihan kepada Merek Saro, ia kembali menjemputnya. Didukungnya Merek Saro. Namun, anak itu menolak. "Turunkan saya. Saya pandai berlari," ujarnya. Sang Pawang menurunkan Merek Saro dan menjajari larinya. Mereka tiba di sebuah lereng gunung. Hujan sudah reda. Matahari tersembul kembali di sebelah barat. Matahari yang menjelang terbenam itu memancarkan warna merah membara. "Hampir kita celaka," ujar sang Pawang. Ia memandang kepada Merek Saro,"Syukur engkau waspada, Nak." " Y a , syukur Tuhan berkenan menyelamatkan kita. Jika gagang tombak itu patah, kita akan tertelan ke dalam perut Naga,"ujar salah seorang pemburu itu. "Namun, kita harus cepat bertindak. Jika Naga itu turun dari gunung, banjir akan datang melanda negeri. Semua orang akan hanyut dan negeri kita hancur karenanya," lanjut sang Pawang. "Sebaiknya kita tidak bertindak sendiri, Tuan Pawang," usul yang lain. " K i t a tentu tidak mampu melawan Naga raksasa itu." " A p a pendapatmu? " " K i t a beritahukan hal ini kepada Raja. Bagindalah yang akan menentukan tindakan pencegahan i n i . " "Pikiranmu baik. A y o , kita segera menghadap Baginda." Ketujuh pemburu itu kembali ke kota. Merek Saro ik ut bersama mereka. Sang Pawang merasa berhutang budi kepada Merek Saro. Karena dia yang pertama menemukan darah pada setiap ujung tombak. Hari itu iuga mereka mengahadap Raja dan memberitahukan tentang Naga Bertapa yang akan turun dan membahayakan negeri. Namun, Raja tidak menemukan akan untuk membasmi naga bertapa yang ganas itu. Bahkan ia mengembalikan persoalan ini kepada sang Pawang. Sang Pawang berjanji akan kembali esok harinya. Malam ini ia akan mencari akal untuk membunuh naga bertapa itu. Maka diajaknya Merek Saro bermalam di rumahnya. Semula Merek Saro menolak,"Terima kasih atas kebaikan Bapak. Saya akan melanjutkan perjalanan." 22
MEREK
SARO
" A k u akan bertukar pikiran denganmu, tentang mencari akal membunuh naga bertapa itu. Jika tidak dibunuh, negeri kami akan musnah." Mendengar niat sang Pawang, Merek Saro merasa turut juga bertanggung jawab akan keselamatan sesama umat. "Baiklah, Pak. Saya bersedia bermalam di rumah Bapak," sahutnya. Hati sang Pawang amat gembira karena ajakannya diterima. Ia merasa anak kecil yang ditemui di tengah hutan ini mempunyai sesuatu keistimewaan.
MEREK SARO
23
4. MEMBUNUH NAGA BERTAPA Merek Saro dijamu makan malam di rumah sang Pawang. Setelah makan, menjelang tidur mereka bercakap-cakap di beranda rumah. Udara sejuk. Bintang-bintang berkelip. Langit cerah. Bekas-bekas hujan tadi sore tidak tampak lagi. Hanya menebarkan kesejukan yang nyaman. " A k u merasa tertarik kepadamu, sahabatku yang muda," ujar sang Pawang." Sudikah kiranya engkau menuturkan tentang dirimu? " Merek Saro menuturkan segala riwayatnya."Nama saya Merek Saro, katanya. Ayah dan ibu saya sudah lama meninggal dunia. Saya hidup sebatangkara. Saya berniat mengembara. Mencari pengalaman hidup dan menuntut ilmu." "Niat yang baik, ilmu memang harus dituntut dan kemudian diamalkan bagi kepentingan sesama umat," balas sang Pawang. Kemudian setelah saling menuturkan hal ikhwal diri masingmasing, mulailah percakapan mereka menjurus kepada rencana membunuh naga bertapa. Sang Pawang bertanya,"Adakah akalmu, bagaimana cara yang paling baik untuk membunuh naga bertapa itu? " Merek Saro berpikir sejenak. Lalu katanya,"Saya teringat kepada mendiang ayah dulu. Tetapi tentu saja ini lain dengan bahaya yang kita hadapi. Ayah hanya membunuh seekor ular sawah yang besar. Tubuhnya sebesar batang kelapa," Merek Saro terdiam sesaat. Sang Pawang tak sabar,"Coba jelaskan, mungkin cara ayahmu itu berguna juga untuk memusnahkan naga buas yang sedang mengancam negeri!" "Ayah mengisi kulit kambing dengan kapur. Lalu menjahitnya rapat-rapat. Bagian luar kulit kambing itu dilumuri dengan darah ayam. Kulit kambing yang berisi kapur disodorkan ke mulut ular sawah." 24
MEREK
SARO
"Tentu dengan lahap sang ular menelannya, bukan? Pada sangkanya tentulah itu seekor kambing ," sang Pawang kemudian tertawa terbahak-bahak. Setelah tawanya reda ia melanjutkan, "Ular sawah itu mati karena perutnya terbakar oleh kapur. Ayahmu memang cerdik." "Benar," sahut Merek Saro. Sang Pawang bangkit seraya merangkul Merek Saro,"Terima kasih, Nak. A k u mendapat pikiran yang baik sekali dari ceritamu ini. Besok kita menghadap Raja lagi " Keesokan harinya tersebarlah berita tentang naga bertapa yang ganas ke seluruh negeri. Rakyat amat ngeri mendengar berita itu. Mereka membayangkan suatu bencana bakal menimpa negeri. Para tetua dan cerdik pandai berkumpul bermusyawarah, mencari akal memusnahkan naga itu sebelum bencana melanda negeri. Banyak sudah pendapat diajukan, namun tak ada yang berkenan pada pikiran Baginda Raja. Kegelisahan bertambah lagi. Betapa pun Baginda harus menyelamatkan negeri dan rakyatnya. Setelah semua pendapat para tetua dan cerdik-pandai ditolak, sang Pawang berdatang sembah,"Ampunkan hamba, Tuanku. Menurut pikiran hamba, baiklah naga bertapa itu kita racuni dengan kapur." "Bagaimana caranya? " tanya Baginda Raja. " A d a pun caranya, kita membuat kerbau-kerbauan dari kulit kerbau sungguhan. D i dalamnya diisi dengan kapur. Buatlah sebanyak empat atau lima buah. Lumurilah kulit luarnya dengan darah kambing. Sodorkanlah bersama seekor kambing hidup ke mulut naga. Sebelumnya, agar naga itu diikat dengan rotan tubuh dan ekornya. Bila kerbau-kerbauan telah masuk ke dalam perut sang naga, maka pastilah kapur itu akan membakar perut. Matilah tentu sang Naga." Raja berwajah cerah ketika mendengar usul itu,"Kau cerdik sang Pawang. Usulmu aku terima." Pada saat itu pula sang Baginda Raja memerintahkan punggawanya untuk mengisi empat kulit kerbau dengan kapur sampai penuh hingga menyerupai kerbau sungguh-sungguh. Kemudian menyediakan seekor kambing yang gemuk sebagai korban. Pawang bersama beberapa temannya diperintahkan mengikat tubuh naga bertapa itu. MEREK
SARO
25
Tubuh sang naga sangat besar. Ini merupakan naga raksasa, lebih besar dari gunung. Jarak dari kepala sampai ekornya ada delapan puluh depa. Sepanjang tubuhnya telah ditumbuhi lumut hijau dan tumbuhan-tumbuhan merambat. Sang Pawang membuat rencana dan memberi tanda tempattempat untuk mengikatkan tali rotan ke tubuh sang naga. Merek Saro mencoba meniti punggung naga bertapa itu. Ia naik dari tengah perutnya, merambati seuntai tumbuhan rambat. Lalu berjalan ke ujung kepalanya. D i sana ia melihat sebuah benda menyerupai permata. Besarnya hanya seperti butiran biji kacang tanah. Diambilnya benda itu dan dimasukkan ke dalam sakunya. Ia merahasiakan apa yang telah ditemukannya. Lalu ia turun, melompat ke bawah. Betapa aneh, ia berasa tubuhnya ringan. Seolah-olah ia bisa terbang melayang. Beberapa hari kemudian segala persiapan telah lengkap. Maka berangkatlah rombongan orang lelaki yang bertubuh kuat di bawah pimpinan sang Pawang akan menumpas naga bertapa. Dengan hati-hati dan giat mereka bekerja. Dua hari lamanya pekerjaan mengikat badan naga bertapa itu baru selesai. Terakhir mereka memasukkan kerbau-kerbauan dan seekor kambing jantan ke dalam mulut sang naga yang selalu menganga menanti mangsa. Semua benda-benda itu meluncur ke dalam perut naga, bersama dengan seekor kambing yang mengembik-embik. Pada akhirnya sang kambing tertelan juga. Barulah mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Mereka menunggu di tempat yang agak jauh. Sehari penuh belum terjadi apa-apa. Naga itu masih kelihatan tenang. Hanya mulutnya kini sudah terkatup. Semua benda yang ada di tenggoroknya tertelan ke dalam perut. Rakyat pun berkumpul di atas bukit, akan menyaksikan naga bertapa itu musnah„ Keesokan harinya, setelah matahari setinggi galah, barulah tampak batang-batang kayu di tempat naga bertapa itu bergerak-gerak. Rupanya naga itu mulai menggeliat karena merasa perutnya panas, seperti terbakar oleh api. Kian lama, kian kuat ia menggeliat. Kian kuat pula batang-batang kayu di kiri-kanan sepanjang tubuhnya bergerak-gerak. Semua orang yang menyaksikan menahan napas. Masingmasing dengan perasaannya sendiri. Tak lama terdengar suara 26
MEREK
SARO
berderak-derak, disusul dengan suara menggemuruh„ Batang-batang kayu tempat menambatkan tubuh naga bertapa itu roboh, menimpa punggungnya. Punggung naga itu pun terlihat tegak, diiringi suara gemeretak kayu-kayu yang patah. MEREK SARO
27
Lengkungan punggung naga itu menjulang tinggi, setinggi dua batang pohon kelapa. Tiba-tiba jatuh. Suaranya berdebum, gemuruh. Bumi serasa akan runtuh. Kedua bukit yang mengapit tubuh naga itu pun gugur. Tanahnya menimbuni tubuh naga itu. Matilah sang naga bertapa yang dikhawatirkan akan menyebabkan bencana negeri. Rakyat bersorak-sorai gembira. Mereka berbondong-bondong pulang ke kota. Raja segera mengadakan selamatan bersama seluruh rakyat negerinya. Baginda memanjatkan doa syukur ke hadirat Illahi, karena negeri dan rakyatnya terhindar dari bencana.
28
MEREK
SARO
5. M E N J A D I BIJ D A K Merek Saro melanjutkan perjalanannya. Betapa pun sang Pawang mencoba membujuk agar ia tetap tinggal di rumahnya, namun Merek Saro menolak. Ia telah membulatkan tekad akan terus mengembara. Sang Pawang membekalinya sepasang sepatu, sebilah parang kecil yang tajam, parang kesayangannya. Dengan senang hati Merek Saro menerima benda-benda itu sebagai tanda mata. Maka mulailah ia mengembara lagi. Masuk hutan ke luar hutan naik dan turun lereng. Menguak semak belukar dengan tidak mengenal lelah. Pada suatu hari sampailah ia di sebuah hutan lebat. D i hadapannya membentang sebidang sawah yang sedang menghijau. Padinya tumbuh subur. Ia amat heran, mengapa di tengah hutan belantara seperti ini terdapat sebidang sawah„ la berjalan meniti pematang. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan bentakan seseorang. "Nah, ini dia pencuri biji kacangku!" Merek Saro berhenti. Ia melihat seorang tua menghampirinya. Ketika tiba di dekatnya, serta-merta orang tua itu menangkap tangan Merek Saro dan menggenggamnya erat-erat. "Jahanam! Sekarang kau tertangkap basah. Ayo mengaku!" bentak orang tua itu pula. Wajah orang tua itu tampak amat bengis dan menakutkan. Matanya sipit. Tubuhnya tak terlalu besar. Orang sekampungnya menggelari si Bulus. Karena ia memang berakal licik seperti bulus. Orang-orang kampung tidak menyukai perangai si Bulus ini. Karenanya ia menyingkir dari kampung dan tinggal bersama istri dan anaknya yang masih kecil di tengah hutan lebat itu. Pada saat ini ia pun sedang menjalankan akal bulusnya, menuduh Merek Saro mencuri tanaman kacangnya. Katanya lagi,"Sekarang kau harus mengganti kerugianku." "Saya baru pertama kali menginjak sawah ini, Pak," ujar Merek Saro, MEREK SARO
29
Si Bulus bermaksud menjadikan Merek Saro seorang budaknya. Maka dengan bengis ia pun membentak lagi, "Bohong! Tentu saja tak ada pencuri yang mau mengakui kesalahannya." "Sungguh saya belum pernah ke mari, Pak." "Dusta! Kudaku yang hilang pekan lalu pun pasti kau yang mencurinya!" Merek Saro terdiam. Pada pikirannya, tentu orang ini msngada-ada, lebih baik aku diam. Jika aku membantah pasti ia akan memperbanyak tuduhannya. Karena Merek Saro diam, si Bulus mendesak lagi,"Ayo mengaku! Ganti semua kerugianku!" Merek Saro diam saja. Si Bulus berkata lagi,"Kalau kau tidak sanggup mengganti segala kerugianku, maka kau harus menjadi budakku selama empat tahun." Diseretnya Merek Saro ke pondok. Dia ditempatkan dekat kandang kuda. Demi untuk mencari pengalaman, Merek Saro tidak membantah kehendak si Bulus. Sejak itu ia menjadi budak si Bulus. Merek Saro giat dan rajin bekerja. Ia pun sabar. Ia juga sadar benar bahwa orang yang sabar adalah kekasih Allah. Begitulah yang ia dengar nasihat guru mengajinya. Ia patuh akan perintah si Bulus. Setiap hari ia menggembalakan kebau dan menyabit rumput untuk makanan kuda milik si Bulus» Sore hari ia bermain-main dengan si Pileh, anak si Bulus. Kepada si Pileh, Merek Saro selalu berlaku lemah-lembut. Sehingga si Pileh sangat suka kepadanya, Keduanya jadi bersahabat. Namun, si Pileh belum mengerti jika si Merek Saro sedang diperbudak ayahnya, Di tengah hutan, di antara kampung dan sawah si Bulus, terdapat sebuah padang rumput. Ke sanalah setiap hari menggembalakan kerbau si Bulus. Demikian pula anak-anak kampung, ke sana pula mereka menggembalakan ternak. Padang rumput itu menjadi ramai dengan kerbau-kerbau anak-anak penggembala. Bila siang hari mereka menggiring kerbau ke sungai, memandikannya. Mereka sendiri berenang sambil bergurau. Di antara anak-anak kampung itu adalah seorang anak lelaki yang nakal dan congkak. Ia sering mengganggu teman-teman lainnya Anak itu bernama Jola. Pada suatu hari, ketika air sungai sedang deras, anak-anak lain mandi di tepian saja Si Jola yang cong30
MEREK
SARO
kak itu ingin menunjukkan kegagahannya. Ia mengambil sebatang pokok kayu yang tumbang, dengan kayu itu ia berkayuh ke tengah. Ia merasa bangga karena ia sendiri saja yang berada di tengah arus sungai yang deras. Ia menyanyi-nyanyi dan berteriakteriak. Malang baginya arus yang deras itu menghanyutkan batang kayu yang ia tunggangi sampai ke hilir dan membentur pada seubah batu. Kaki si Jola terkena batu yang runcing. Dia menjerit kesakitan. Akibatnya ia tak bisa lagi berenang, karena kakinya
MEREK
SARO
31
terkilir. Ia semakin jauh hanyut terbawa oleh arus. Ia berteriakteriak meminta tolong. Namun, tak ada anak-anak yang berani menolongnya. Bahkan ada yang mencemoohkannya. "Rasakan, itulah akibat anak yang suka mengganggu orang lain " "Biarkanlah dia hanyut," ujar yang lain. Merek Saro yang tidak mempunyai rasa dendam, merasa iba melihat si Jola. Ia segera berenang ke tengah sungai dan hanyut mengikuti arus. Sesampai di dekat si Jola, ia menarik lengannya. Jola diseretnya ke tepi. Namun, pegangannya terlepas. Si Jola hanyut lagi mendekati pusingan air. Sangat berbahaya, pikir Merek Saro. Ia berusaha sekuat daya mengejar si Jola. Beberapa meter lagi tiba pada pusingan air, lengan Jola tertangkap. Diseretnya sekuat tenaga, dibawanya berenang ke tepi. Upayanya berhasil. Jola selamat sampai ke tepian. Seluruh tubuhnya menggigil, ia mengereng-ereng karena rasa sakit. Teman-temannya berkerumun mengeliling tanpa berusaha berbuat sesuatu. Malah mereka berbisik-bisik mengejeknya. Hanya Merek Saro sendirilah yang mengurut-urut kaki si Jola yang bengkak itu. Setelah tenaga si Jola agak pulih, dibangkitkannya dan dibantu naik ke punggung kerbaunya. "Terima kasih atas bantuanmu," ujar si Jola. Merek Saro mengangguk sambil menepuk punggung kerbau si Jola. Kerbau itu berjalan membawa pulang tuannya. Sejak itu si Jola merasa jera. Ia tidak lagi nakal dan tidak pula congkak. Ia suka berteman dengan siapa saja. Semua teman-teman menyukainya kembali. 0
32
MEREK
SARO
6.
B E R T E M U
P A W A N G
T U A
Genaplah empat tahun Merek Saro menjadi budak si Bulus. Maka ia pun berkemas hendak melanjutkan pengembaraannya. Bulus kembali hendak menjalankan akal liciknya. Tengah malam sebelum Merek Saro pergi, ia membawa pergi dua ekor kerbaunya ke luar kandang. Ditambatkannya di bawah serumpunan bambu, agak jauh dari rumah. Si Pileh amat heran menyaksikan perbuatan ayahnya. Diam-diam ia mengikuti ke mana ayahnya pergi dan menyaksikan orang tua itu menambatkan kerbaunya Keesokan hari, ketika Merek Saro hendak pamit, si Bulus berkata/'Sebelum kamu pergi, mari kita hitung dahulu kerbau yang ada di kandang. Apakah bilangannya masih lengkap? Jika masih lengkap kau boleh pergi." "Baik, Pak," sahut si Merek Saro. Setiba di kandang, si Bulus berpura-pura menghitung kerbaunya. "Mana dua ekor lagi? Pintar kau ya," katanya berpura-pura terkejut sambil menatap ke arah si Merek Saro. Ia berpura-pura menghitung lagi."Nah, dua ekor kerbauku tak ada di kandang. Pintar kau, ya. Pasti kau curi lagi." Merek Saro menghitungnya. Benar, dua ekor tidak ada di kandang. Padahal semalam ia memasukkan semuanya. Tak ada yang tertinggal. Ia jadi cemas. Meluncurlah kata-kata kasar si Bulus, menuduhnya mencuri dan memaki-makinya. Ribut-ribut itu terdengar oleh si Pileh. Anak itu segera lari ke kandang, ia mendapatkan ayahnya sedang memarahi Merek Saro. "Kau tidak boleh pergi karena kau telah mencuri dua ekor kerbauku, maka dua tahun lagi kau harus menjadi budakku!" bentak si Bulus. Si Pileh merasa kasihan kepada Merek Saro, narrlun ia pun tidak hendak membuat malu ayahnya. Maka secara diam-diam ia MEREK
SARO
33
pergi ke rumpun bambu, diambilnya dua ekor kerbau itu. Lalu dituntunnya ke hadapan sang ayah, Merek Saro terkejut melihat Pileh membawa dua ekor kerbau. Demikian juga ayahnya. Untuk menutup malu ia berkata ,"Untung kerbau itu ditemukan si Pileh. Rupanya tak kau jaga baik-baik. Kalau hilang, aku sangat rugi. Sekarang pergilah kau. A k u tidak sudi lagi melihat tampangmu!" Merek Saro pun berlalulah meninggalkan si Bulus dan si Pileh. Ia tidak menoleh-noleh ke belakang, sepanjang berjalan meninggalkan kedua orang itu. Betapa pun ia merasa berterima kasih kepada si Pileh karena telah menemukan dua ekor kerbau yang disangka hilang, Jika tidak, maka ia terpaksa akan tinggal terus di rumah si Bulus. Si Bulus terus juga mengomel dan menyesalkan tindakan anaknya, membawa kembali dua ekor kerbau itu. Maka segala akal bulusnya menjadi berantakan. Kini ia tidak lagi mempunyai pembantu yang akan mengerjakan sawah, menggembala kerbai, dan merumput. Si Pileh terus saja memandangi kepergian Merek Saro, sahabatnya yang baik itu. Dia tidak mengerti apa sesungguhnya persoalan yang menimpa Merek Saro dengan ayahnya. Ia hanya berpikir, apakah Merek Saro akan pergi terus dan tidak akan kembali lagi ke mari? Menjelang tengah hari sampailah Merek Saro pada sebuah dataran tinggi. Indah nian pemandangan di sana. Merek Saro berteduh di bawah sebatang pohon yang rindang. Hawa terasa amat nyaman, membuat ia terkantuk. Lebih-lebih rasa lelah sehabis berjalan jauh, menyebabkan ia tertidur pulas. Tak lama kemudian tibalah ke tempat itu seorang lelaki tua berpakaian serba putih. Janggutnya panjang sampai ke dada dan kumisnya telah bersambung dengan jenggotnya itu. Rambut, jenggot, dan kumis sudah berwarna putih pula. Tetapi tubuhnya masih kekar. Ia memandangi Merek Saro dengan teliti. Lalu mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Ia duduk di sisi Merek Saro yang masih tertidur pulas. Di hadapan mereka, terbentang padang rumput yang luas. Rumputnyamenghijau. Kelihatan beberapa ekor rusa berlompatan. Ada yang sedang merumput, ada yang berlari kian kemari dengan 34
MEREK
SARO
riangnya. Ada pula anak-anak rusa yang masih kecil, melompatlompat di sisi induk mereka. Burung-burung berkicau riang. Terbang dan ranting ke ranting Ada pula yang terbang bergerombol ke dahan-dahan lain. Angin bertiup lembut, menggoyangkan pucuk-pucuk rumput dan ilalang. ,. Menjelang lohor, terjagalah Merek Saro. Ia belum tahujika di sisinya duduk seorang tua. Diusap-usap matanya, ia menggeliat dan menguap. Tubuhnya terasa segar dan nyaman. Namun, ketika ia menoleh ke sisi kanan, ia sangat terkejut mendapatkan sesosok tubuh serba putih. Hampir saja ia melompat dan lari tungganglanggang, pada sangkanya yang berada di sisinya itu adalah hantu. "Jangan takut wahai anak muda," sapa orang tua itu dengan suara lembut. Kayak siraman air sejuk menyusup ke dalam seluruh sendinya. Rasa takut Merek Saro mengendur. "Duduklah dekatku lagi," terdengar suara orang tua itu lagi. Bagai ditarik magnit, Merek Saro pun duduk lagi di sisi orang tua itu Orang tua itu melihat ke atas langit. Matahari tersaput awan tipis, sinarnya jadi amat lembut. Tidak terik. Lalu ia berkata "Pergilah ke sungai itu. Ambillah wudu, agar kita bisa bersembahyang lohor bersama-sama." Merek Saro beranjak. Sepanjang perjalanan ke sungai yang tak jauh dari tempatnya, ia berpikir dan mencoba mendugaduga. Mungkinkah orang tua itu Malaikat? Ajaib pula ketika ia menoleh ke belakang orang tua itu menghilang. Entah ke mana perginya Namun, ketika Merek Saro kembali ke tempat semula, orang tua itu sudah ada di sana. Orang tua itu tersenyum menyambut Merek Saro. Wajahnya basah dengan air, kayak orang yang baru berwuduk. "Mari kita solat lohor," ajaknya, seraya berdiri menghadap kiblat Merek Saro berdiri di sisinya. Bersama-sama mereka bersembahyang lohor. Setelah selesai sembahyang, orang tua itu mengeluarkan bungkusan dari dalam tas kainnya yang juga berwarna putih. Lalu katanya,"Mari kita makan dulu, anak muda." Merek Saro pun duduk di sisinya lagi. Tampak orang tua itu l a g l
MEREK
SARO
35
membuka bungkusannya yang berisi nasi dan panggang daging rusa. . „ "Pergilah ambilkan daun pisang pengganti pinng kita, perintah orang tua itu pula. Merek Saro bangkit, berjalan ke arah rimbunan pohon pisang hutan. Ia memotong sepelepah daun pisang dengan parang pemberian sang Pawang. Setelah menetak menjadi potongan kecil-kecil, ia membawa kembali daun pisang itu. Orang tua itu membagi bekalnya menjadi dua. "Baiklah saya ambilkan air untuk minum kita dulu, Pak," ujar Merek Saro. "Tak usah. Aku ada membawa air minum." Mereka makan. Merek Saro amat lahap. Setelah makan ia minum, alangkah nikmatnya karena air yang ia minum adalah susu rusa. Baru kali ini ia merasakannya. Namun, baru saja ia membuang daun pisang bekas nasi, terdengar suara raungan harimau. Merek Saro melompat ketakutan. Ia berlari surut ke sisi orang tua itu. Muncullah seekor harimau belang yang amat besar. Harimau itu duduk membuat ancang-ancang akan menerkam. Orang tua itu menggerakkan tangannya ke atas, seakan memerintahkan harimau itu tenang. Sang harimau menghentikan raungannya, kini mengibas-ngibaskan ekornya. Kayak seekor kucing peliharaan. "Ini sahabat baru kita, jangan takut-takuti dia, Belang," ujar orang tua itu. Sang harimau bangkit lalu menjilat-jilat kaki Merek Saro. "Nah, pergilah mengembara lagi!" perintah orang tua itu kepada sang harimau. Harimau itu mengangkat wajahnya sejenak memandang orang tua kayak orang yang memohon pamit. Lalu menjilat kaki Merek Saro sekali lagi dan berlalu masuk dalam rimbunan hutan. "Maafkan saya, Bapak, bolehkan saya mengetahui siapa gerangan Bapak ini?" tanya Merek Saro memberanikan diri. Sambil tersenyum, orang tua itu menjawab," A k u adalah Pawang Tua." Mata Merek Saro terbelalak. Semua orang, terutama kaum pemburu dan pengembara pasti telah mendengar nama Pawang Tua. Dia adalah orang halus penghuni hutan yang bisa menghilang 36
MEREK
SARO
secara gaib. Tak ada orang yang pernah melihatnya, paling-paling hanya menemukan bekas jejaknya. Merek Saro beruntung dapat bertatap muka, bersembahyang bersama dan makan bersama pula. Bukan main takjub Merek Saro akan peristiwa ini, sehingga berapa lamanya ia terpukau.
"Mari ikut aku," ajak Pawang Tua. Bagai tertarik gaya magnit, Merek Saro berjalan di sisi sang Pawang Tua masuk ke dalam rimba raya. MEREK
SARO
37
7. M E N G I N S A F K A N
SI
B U L U S
Betapa suka citanya berjalan di sisi Pawang Tua. Merek Saro serasa sedang bermimpi. Jalan yang mereka tempuh amat bersih, kayak suatu jalan raya yang sering dilalui orang. Pemandangan pada kedua sisinya pun amat indah. Merek Saro sangat mengaguminya. Tak puas-puas ia menikmati pemandangan yang indah sepanjang jalan itu. Tak terasa mereka sudah sampai ke muka sebuah gua. Halamannya bersih, dari batu alam berwarna putih bagai hamparan tegel yang paling indah. D i sisi gua tampak sebuah air mancur alam. Pawang tua langsung menuju ke sana dan mencuci kaki. Merek Saro tertegun sejenak menatapi lubang gua yang lebar. Ia teringat akan mulut naga yang pernah ia masuki bersama tujuh orang pemburu. Tampaknya apa yang terpikir dibenaknya dapat diterka oleh Pawang Tua. Orang itu menegurnya,"Ini bukan mulut naga bertapa, Nak." Merek Saro menoleh ke arah orang tua itu. Bertambah kagum ia akan kesaktian Pawang Tua. "Cuci dulu kakimu, setelah itu masuklah ke dalam," katanya pula seraya ia masuk meninggalkan Merek Saro. Merek Saro mencuci kakinya hingga bersih. Lantas memberanikan dirinya masuk ke dalam gua . D i dalamnya amat nyaman dan terang benderang kendati tak ada lampu. Hanya ada cahaya dari celah-celah batu pada keempat sudutnya. Pawang tua duduk bersila pada sebuah kursi dari batu. "Duduklah, Nak," ia mempersilakan Merek Saro duduk. Merek Saro duduk di lantai baru yang dingin, tetapi bersih. "Bapak tahu, kau memiliki azimat besi berani," ujar orang tua itu pula. Merek Saro bertambah heran, segala yang ia pikir dan miliki diketahui oleh pawang tua. Ia benar-benar Pawang Tua yang sakti, pikirnya.
38
MEREK
SARO
"Sukakah kau memperlihatkan kepada Bapak? Juga mustika naga yang tersimpan di sakumu?" lanjut sang Pawang Tua. Tanpa ragu Merek Saro memperlihatkan benda-benda itu kepada Pawang Tua. Sang Pawang Tua memperhatikan bendabenda itu dengan cermat. Kemudian mengembalikan kepada Merek Saro seraya berpesan, "Jangan hilang! Simpan baik-baik." Merek Saro memasukkan mustika naga ke kantong besi berani, lalu mengikatkan kembali pada pinggangnya. "Coba ceritakan tentang dirimu. Siapa namamu," ujar Pawang Tua itu pula. "Nama saya Merek Saro, Pak," sahut Merek Saro. Lantas ia menceritakan perihal dirinya. "Namamu sangat bagus dan Bapak tahu kau telah empat tahun diperbudak oleh orang. Syukur bahwa kau anak yang bersifat sabar dan tabah. Sehingga mampu menjalani segala cobaan." Merek Saro tertunduk. Tiba-tiba saja terbit keinginan untuk tetap tinggal bersama Pawang Tua yang sakti. Ia ingin menuntut ilmu dari orang tua ini. Tampaknya apa yang terkandung dalam benaknya diketahui oleh sang Pawang T u a Orang tua itu lalu bertanya, "Sukakah kau tinggal di sini bersamaku?" Pucuk dicinta ulam tiba, pikir Merek Saro. Maka segeralah ia menjawab,"Dengan amat senang hati, Pak." Sejak saat itu tinggallah Merek Saro bersama sang Pawang Tua. Orang tua itu mengajarkan ia berbahasa binatang. Dalam beberapa bulan saja Merek Saro telah pandai bercakap-cakap dengan semua binatang di hutan. Termasuk juga burung-burung. Ia menjadi banyak sahabat. Lebih-lebih azimat besi beraninya menyebabkan ia disegani semua binatang. Pawang Tua merasa senang melihat kecerdasan anak ini. Pada suatu hari ia dipanggil sang Pawang Tua. "Duduk di sini," perintah sang Pawang,"aku akan menceritakan sesuatu yang belum kau ketahui." "Apakah gerangan, Bapak?" tanya Merek Saro. "Tahukah kau apa khasiat mustika naga itu?" Merek Saro menggelengkan kepala. "Mustika itu bisa membuat tubuhmu ringan, seringan kapas. 39 MEREK SARO
r<
Kau bisa melayang dan melompat-lompat bagai seekor tupai. " K a u bisa berjalan cepat, secepat angin." Merek Saro tertegun mendengarnya. Ia jadi teringat ketika pertama mengambil mustika ini, ia melompat dari punggung naga bertapa. Tubuhnya serasa ringan, kayak sedang melayang. Inilah rupanya khasiat mustika itu, pikirnya. "Mulai sekarang kau harus banyak berlatih," lanjut sang Pawang Tua pula. "Baik, Bapak. Saya mengucapkan terima kasih atas keterangan i n i , " ujar si Merek Saro. Sejak saat itu ia mulai giat berlatih meringankan tubuh, melompat-lompat dari dahan ke dahan dan berlari bagai angin kencang. Kian hari, kian bertambah ketangkasannya. Diajaknyalah suatu hari si Belang , harimau yang pernah membuat ia ketakutan, berlari-lari di tengah hutan. Si Belang tak bisa mengalahkan.
40
MEREK
SARO
Namun, untuk menyenangkan hati harimau itu Merek Saro tidak ingin meninggalkannya jauh-jauh. Ia selalu menunggu dan membiarkan si Belang mendahuluinya. Seakan ia dapat dikalahkannya. Setelah segala kepandaiannya bertambah, ilmunya banyak, ia memohon diri kepada Pawang Tua. "Saya akan kembali ke rumah si Bulus," katanya. "Kau hendak membalas dendam?" tanya Pawang Tua. "Tidak, Bapak. Saya ingin menginsafkan orang itu dari segala perbuatan liciknya." "Niatmu baik. Berangkatlah, Nak," ujar Pawang Tua,"Ajaklah si Belang menemanimu dan beritahulah niatmu itu kepadanya." Bersama si Belang, Merek Saro kembali ke tengah hutan tempat tinggal si Bulus. Ketika mereka sampai ke sana, tampak si Bulus sedang mencangkul sawahnya. "Nah, Belang, takut-takutilah orang itu. Ingat, jangan disakiti," perintah Merek Saro kepada sang harimau. Harimau itu mendekati si Bulus sambil memperdengarkan raungan yang dahsyat. Si Bulus sangat terkejut ketika melihat seekor harimau besar siap akan menerkamnya. Mulutnya menganga, tubuhnya gemetar . Wajahnya pucat bagai kain putih disesah. Si Belang mencakar-cakar tanah, mengambil ancang-ancang, lalu melompat seakan menerkamnya. Si Bulus tak kuasa menjerit. Ia jatuh pingsan. Merek Saro menghampiri si Bulus dan membawanya ke tempat yang teduh. Di sana ia mengguyur wajah si Bulus. Ketika orang itu siuman, ia berteriak,"Harimau . . .!" Ia hendak lari, namun tidak kuasa menggerakkan kaki. Merek Saro menyiram keningnya lagi. Si Bulus mulai benarbenar sadar. Ia bangkit dan duduk. Sangat terkejut ketika melihat Merek Saro duduk di sisinya. Di hadapannya duduk mencangkung si Belang sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Si Bulus gemetar. "Jangan takut," kata Merek Saro. "Itu adalah harimau sahabatku. Namanya si Belang." Namun, si Bulus masih tidak bisa menguasai dirinya. Rasa takutnya menyerang amat sangat ke dalam seluruh persendiannya. Ia gemetar. "Tenanglah. Harimau itu akan menjadi sahabat Bapak juga, asal Bapak mau berjanji tidak suka berbuat ücik lagi. Berbaik-baiklah kepada sesama manusia, agar Bapak dilindungi Tuhan dari MEREK SARO
41
segala mara bahaya." Merek Saro bangkit seraya menghampiri si Belang, " A y o , Belang kita pulang. A k u yakin, Bapak ini akan bertobat kepada Tuhan dan mengubah sifat-sifatnya yang buruk di masa lalu." Merek Saro berjalan berdampingan dengan harimau yang besar lagi buas itu. Sedang si Bulus tiba-tiba menyadari segala kesalahannya, terbitlah niat di hatinya untuk menjadi orang baik dan bertobat kepada Tuhan. Ia segera bangkit, keberaniannya timbul. Ia berteriak memanggil Merek Saro. "Merek Saro! Merek Saro . . .!" serunya. Merek Saro berhenti. Si Bulus menghampirinya, lalu berdiri di sisi Merek Saro. Sambil memandang kepada harimau yang tampak sangat jinak di sisi Merek Saro, ia berkata,"Merek Saro, mulai saat ini aku akan bertobat dan mengubah sifatku yang keji." "Syukurlah! Semoga Tuhan melindungi dan memberkahi Bapak beserta keluarga," ujar Merek Saro seraya meninggalkan orang tua itu tegak terpaku di sisi hutan.
42 ^
MEREK
SARO
8. J O D O H PUTRI-PUTRI R A J A Waktu cepat benar berlalu. Merek Saro telah tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa yang gagah lagi tampan. Memiliki berbagai ilmu. Pandai bercakap dengan semua jenis hewan. Pandai berlari cepat seperti angin dan pandai melompat bagai tupai. Itu semua berkat didikan Pawang Tua. Sang Pawang selain mendidik ilmu lahir, juga mendidik ilmu batinnya. Memberi nasihat tentang iman dan takwa. Sehingga Merek Saro pun menjadi orang yang saleh dan tidak pernah meninggalkan ibadah. Pada suatu hari Pawang Tua berkata,"Kini sudah tiba saat kau meninggalkan tempat ini." Merek Saro terkejut mendengarnya. Ia amat enggan berpisah dengan sang Pawang Tua yang bijak lagi sakti itu. Namun, sang Pawang justru memberinya nasihat. "Sebagai seorang dewasa kau harus mampu tegak sendiri. Lagi pula bekalmu sudah cukup. Kau telah memiliki berbagai ilmu. Gunakanlah ilmumu dan amalkan sebaik-baiknya bagi kepentingan sesama umat." "Jika demikian kehendak Bapak, saya tak berani membantah," kata Merek Saro sambil tertunduk sedih. Dia telah membayangkan akan segera berpisah dengan orang yang paling ia sayangi. "Pergilah kau berjalan mengikuti arah aliran sungai di bukit sana. Kelak kau akan sampai pada sebuah negeri. Tinggallah di negeri itu, Pesanku, baik-baiklah di negeri orang." Merek Saro tertunduk saja mendengar petuah Pawang Tua. Sang Pawang Tua melanjutkan,"Tutuplah matamu, akan kupakaikan baju siamang agar kau mudah menyusuri tepi sungai." Merek Saro memejamkan matanya. Pawang Tua menyampirkan sesuatu ke pundaknya. Tak lama kemudian orang tua itu berkata lagi,"Nah, bukalah matamu!" Merek Saro membuka matanya. Sangat terkejut ketika ia melihat dirinya telah berubah menjadi seekor siamang. Kulitnya MEREK SARO
43
berbulu hitam. Pipinya pun berbulu. Pasti rupanya amat jelek, pikirnya. Sedihlah hatinya. Pawang Tua mengerti perasaan Merek Saro, maka ia berkata,"Jangan sedih, Anakku. Ini hanyalah baju saja. Jika kau ingin menanggalkannya, usap-usaplah dadamu tujuh kali. Maka akan tanggallah baju ini. Jika kau ingin memakainya kembali, letakkanlah baju ini ke pundak sebelah kanan. Pejamkan mata. Pertemukan kedua belah telapak tanganmu. Usap-usaplah tujuh kali. Kau akan segera berubah menjadi siamang setelah membuka mata. Nah, cobalah!" Merek Saro mencoba segala keterangan yang diberikan Pawang Tua. Ia mengusap-usap dadanya tujuh kali. Dalam sekejap baju itu tanggal. Ia telah kembali menyerupai manusia biasa. Kemudian mencobakan petunjuk yang diberikan untuk memakainya. Merek Saro menyampirkan baju itu ke pundak sebelah kanan, memejamkan matanya dan mempertemukan kedua belah telapak tangannya. Lalu mengusap-usap tujuh kali. Tatkala ia membuka mata, ia telah berubah menjadi seekor siamang. Tersenyumlah ia dengan perasaan riang. Bertambah lagi ilmunya. Ia segera bersujud ke hadapan Pawang Tua. "Segala budi Bapak tak dapat saya balas. Saya serahkan kepada Tuhan untuk membalasnya." Orang tua itu mengusap kepala Merek Saro. Katanya, " K a u anak yang cerdik dan berbudi. A k u doakan semoga kau hidup berbahagia. Ingat bila kau menanggalkan baju siamangmu, simpanlah baik-baik. Jangan sampai tersentuh oleh orang lain sebab khasiatnya akan luntur." Dengan berat hati berdirilah Merek Saro dan berangkat meninggalkan gua kediaman Pawang Tua yang juga telah menjadi tempat kediamannya bertahun-tahun sambil menuntut ilmu. Setibanya di tepi sungai, ia bercermin, ingin melihat rupanya yang telah berubah menjadi seekor siamang. Alangkah lucu, pikirnya. Rupanya benar-benar seperti seekor siamang Ia terus menyusuri sisi sungai. Akhirnya tibalah ia pada sebuah kota tempat Raja bersemayam. "Agaknya inilah negeri yang dimaksud Pawang Tua," katanya dalam hati. Ditanggalkannya baju siamangnya. Ia pun berubah menjadi manusia biasa. Disimpannya baik-baik baju siamang itu. 44
MEREK
SARO
Lalu ia masuk ke dalam kota menyamar sebagai seorang saudagar. Penduduk negeri itu sedang ramai mempercakapkan tentang niat Raja yang akan menjodohkan tujuh orang putrinya. Hati Merek Saro tertarik ingin melihat rupa ketujuh putri Raja itu. Ia mengubah dirinya menjadi seekor siamang, lalu memanjat pohon dan bersembunyi di sana. Tepat di kolam tempat putri-putri raja berlangir. Pada ketika itu ketujuh putri raja sedang berlangir. Setiap putri membawa pasu emas berisi limau purut yang telah dilajang dan diremas. Mereka turun ke kolam. Merek Saro menyaksikan dengan takjub. Ketujuh putri raja itu sangat cantik dan menawan. Lebih-lebih yang bungsu. Tinggi semampai, hidungnya mancung dan rambutnya terurai bak mayang. Tampaknya hanya putri bungsu itu saja yang menyaksikan kehadiran seekor siamang. Putri bungsu ini bernama Intan Kemala Mayang. Sehari-hari ia dipanggil dengan sebutan Bungsu saja oleh penghumi istana. Putri bungsu diam-diam tertarik kepada siamang yang bergayut di dahan kayu. Matanya terus memandang ke arah siamang itu. Pada pandangannya sesekali ia melihat wajah dan rupa seorang pemuda tampan menjelma pada siamang itu. Ia mengerjapkan mata, berubah lagi siamang itu hanyalah seekor hewan saja. Tetapi perasaan aneh timbul dalam hati si Putri Bungsu. Ia merasa yakin bahwa siamang itu adalah seorang pemuda tampan. Siamang itu pun tertarik kepada Putri Bungsu. Hatinya tergetar ketika menyaksikan kecantikan putri Bungsu itu. D i dalam hatinya pun terbetik sebuah niat ingin mempersuntingnya. Ia menatap dengan pandangan lekat. Terus bergayut di sana sepanjang acara berlangir berlangsung. Satu-satu para putri itu menggosok tubuh dengan jeruk limau, kemudian menyelam ke air kolam sambil satu-satu menyebutkan jodoh yang dikehendaki. Yang sulung menyebut calon jodohnya putra Panglima. Putri kedua menghendaki memperoleh putra Bendahara Kerajaan, putri ketiga menghendaki putra Menteri Pemegang Hukum. Putri yang keempat ingin memperoleh jodoh putra Raja Negeri Utara, putri kelima hendak memilih putra seorang raja yang paling hartawan. Putri yang keenam menghendaki seorang putra Imam yang saleh. Si Bungsu, sambil menyiram air limau ke kepalanya terus memandang siamang di dahan kayu. MEREK
SARO
45
Dari mulutnya siamang itu."
tercetus ucapan,"Aku ingin menikah
dengan
Bukan alang-kepalang terkejut para kakaknya dan semua dayang inang pengasuh mendengar ucapan si Putri Bungsu. Semua mata melihat ke arah siamang yang bergayut di dahan. Mereka melihat siamang buruk, marahlah mereka. Lebih-lebih putri sulung hingga putri kelima. Mereka mengatai Putri Bungsu bodoh dan dungu. 46
MEREK
SARO
Hanya Dewi Remang Ketike, putri keenam yang tidak mengejek adiknya. Ia memang paling akrab pada Putri Bungsu. Ia merangkul dan memeluk si Bungsu dan berusaha membujuk agar si Bungsu mengubah pilihannya. Namun, dengan tenang si Bungsu berkata, "Itu adalah pilihanku, aku tidak ingin mengubahnya. Sekali lagi kutegaskan, aku ingin menikah dengan siamang yang bergayut di dahan kayu i t u . " Putri Bungsu memandang ke arah siamang itu. Sang siamang yang adalah jelmaan Merek Saro tersenyum memandang ke arah Putri Bungsu. Ketika berita ini sampai ke haribaan Raja dan Permaisuri, keduanya amat murka. Sang Raja bersabda, "Ubahlah niatmu wahai Putri Bungsu. Janganlah engkau membuat malu ayah-bundamu. Apa yang akan dikatakan oleh seluruh rakyat dan Raja negeri tetangga, jika aku bermenantu seekor siamang?" Sang Putri menjawab dengan iba, "Jika Ayahanda dan Ibunda sungguh-sungguh sayang kepada hamba, perkenankanlah kehendak hamba ini. Hamba memilih siamang hitam yang bergayut di dahan kayu dekat kolam i t u sebagai suami hamba." Terasa hancur hati kedua orang tuanya. Mereka berusaha membujuk si Bungsu lagi. Namun, si Bungsu tetap pendirian. Ujarnya lagi, "Hamba rela dibuang ke hutan rimba, asal hamba menikah dengan siamang i t u . " Berita ini tersiar ke segenap kota. Para kakak putri Bungsu terus juga mengejek adiknya. Namun, si Bungsu tidak pula mengubah kehendaknya. Berita ini pun sampai ke telinga Merek Saro. Betapa terkejut ia rnendengamya. Siamang itu tentulah aku. Sungguh sesuatu yang tidak kusangka, pikirnya. Sementara itu rakyat pun menggunjingkan kehendak Putri Bungsu. Ada yang merasa kasihan, ada pula yang merasa jijik dan mengejek. Sedang Merek Saro segera meninggalkan kota itu, ia kembali ke tempat tinggal Pawang Tua. Diceritakanlah perihal ini kepada orang tua itu. "Jangan gelisah," ujar Pawang Tua,"Ini adalah kehendak Tuhan. Engkau harus berjodoh dengan putri Raja. Tak ada orang yang bisa mengubah kehendak Yang Mahakuasa. Karena itu hadapilah dengan tabah. Kembalilah ke kota." Merek Saro pun kembali ke kota. MEREK
SARO
47
9. J A D I M E N A N T U
RAJA
Suatu malam, Baginda Raja bermimpi. Dalam mimpinya datang seorang lelaki tua. Rambut, janggut, cambang dan pakaiannya serba putih. Orang tua itu berkata,"Wahai Baginda Raja, mengapa Tuanku berduka cita? Apakah karena si Bungsu ingin dijodohkan dengan seekor siamang? Sabarlah Baginda. Janganlah merisaukan hal-hal yang sepele. Setiap kemuskilan akan membawa hikman di kemudian hari." Setelah berkata demikian, orang tua renta itu pun lenyap. Raja segera terjaga. Permaisuri bermimpi pula. Serasa ia memunguti intan dari dalam lumpur. Paginya ia menceritakan tentang mimpi ini kepada Baginda. Baginda pun menceritakan perihal mimpinya. "Jika demikian, pastilah siamang itu yang akan mendatangkan hikman bagi kita," kata Baginda. "Benar Kakanda, aku pun percaya bahwa tahwil mimpi kita ini benar adanya. Ini merupakan petunjuk Ilahi kepada kita dan negeri kita. Marilah kita umumkan tentang perjodohan Putri Bungsu dengan sang siamang," balas Permaisuri. Hari itu juga diumumkan ke segenap negeri bahwa Raja akan segera menikahkan putri-putrinya. Tak kecuali si Bungsu dengan siamang yang telah dipilihnya. Raja tidak lagi menghiraukan ejekan beberapa orang menterinya tentang si Bungsu. Ia berpegang kepada tahwil mimpinya. Pesta perayaan pernikahan ketujuh putri-putrinya pun tiba. Seluruh kota dan rakyat ikut berpesta pora. Menantu Raja telah datang diantar pengiringnya masing-masing. Hanya Merek Saro saja yang datang berdua dengan Pawang Tua. Keduanya menjelma menjadi dua ekor siamang. Ketika bersanding, tampak sungguh lucu, seekor siamang hitamJjersanding dengan seorang putri cantik rupawan. Berbagai tanggapan terjadi di kalangan rakyat dan penghuni istana. Namun, Putri Bungsu tidak peduli. 48
MEREK
SARO
Usai perayaan ketujuh pasang pengantin diberi tempat masing-masing di lingkungan istana. Tetapi putra-putri. Raja yang lain menolak berdekatan dengan Putri Bungsu dan siamang. Kecuali putra Imam Saleh dengan istrinya, Dewi Remang Ketike. Mereka tetap ramah dan sayang kepada Putri Bungsu dan suaminya. Atas kehendak sendiri, Putri Bungsu dan Siamang memüih tempat tinggal di belakang istana. Putri Dewi Remang Ketike bersama suaminya sering berkunjung, namun mereka tidak pernah berjumpa dengan sang siamang. Kata Putri Bungsu, pagi-pagi benar ia telah pergi dan malam hari baru pulang. Konon terniatlah di hati sang Baginda Raja ingin menguji siapakah menantu-menantunya yang terpandai dan cerdik. Maka Baginda berpura-pura gering. Dipanggilnya dukua Dukun diperintahkan agar memberitahukan kepada para menantu obat bagi kesembuhan Raja. Yaitu hati anuang. Anuang harus ditangkap hidup-hidup. Kelak sang dukun yang akan membuat ramuannya. Ketujuh menantu Raja dititahkan pergi berburu. Berangkatlah mereka membawa peralatan, bekal dan masing-masing membawa seorang pawang. Hanya siamang saja yang nergi sendirian. Merek Saro pergi menemui Pawang Tua dan menceritakan maksudnya, hendak menangkap anuang bagi obat 3aginda Raja. Juga diceritakan perihal keenam menantu Raja yang pergi berburu dengan maksud yang sama. "Mudah saja," kata Pawang Tua,"pergilah kau bersama si Belang. Pindahkan semua anuang yang ada di rimba ini ke padang lain. Tunggulah sampai mereka kehabisan bekal dan kembali ke istana dengan tangan hampa. Barulah tangkap seekor dan bawa pulang." Hati siamang alias Merek Saro girang mendengar perkataan Pawang Tua itu. Maka bersama si Belang ia melaksanakan kehendak Pawang Tua, memindahkan semua anuang yang ada di rimba ini ke rimba lain. Alkisah, setelah berminggu-minggu keenam menantu raja mengembara di hutan tak menemukan seekor anuang pun. Bekal mereka habis dan mereka sangat lelah. Pulanglah mereka ke istana dengan tangan hampa. Setelah mengetahui menantu yang lain telah pulang semua MEREK SARO
49
dengan tangan hampa, siamang menangkap seekor anuang yang tanduknya bercabang-cabang. Dituntunnya sianuang itu melalui kota. Semua rakyat menyaksikan dengan takjub. Menantumenantu yang lain merasa iri, kebencian mereka bertambah jadi. Terniat di hati mereka akan mencelakakan siamang yang telah mengalahkan mereka. Kecuali Putra Imam Saleh. Sebagai seorang yang beriman, ia tidak merasa benei dan dengki. Raja dan Permaisuri berbesar hati menerima anuang pemberian siamang. Bertambah yakin mereka bahwa mimpi yang diterima dahulu mempunyai makna yang benar. Tahun-tahun berlalu, Raja sudah sangat uzur. Baginda merasa tidak lagi mampu mengendalikan pemerintahan. Maka perlu diangkat seorang pengganti Baginda. Sayangnya Baginda tidak mempunyai seorang pun anak lelaki. Tentu saja pilihan akan dijatuhkan kepada salah seorang menantu Baginda. Berundinglah Baginda dengan Permaisurinya,"Menurut pertimbangan Adinda, siapakah yang pantas di antara menantu kita untuk menjadi Raja?" tanya Baginda. "Hendaknya Kakanda mengadakan lagi sayembara. Barang siapa di antara menantu kita yang dapat menangkap hidup rusa putih tanduknya bercabang tujuh, dia akan diangkat menjadi raja." "Pikiranmu sangat baik, Adinda," sabda raja. Beberapa hari kemudian dipanggillah semua menantu raja. Baginda mengumumkan kehendaknya dan memerintahkan setiap menantu pergi ke hutan untuk menangkap rusa putih hidup-hidup dan tanduknya bercabang tujuh. Barangsiapa yang dapat memenuhi kehendak raja, maka ia akan diangkat menjadi raja. Berlomba-lombalah para menantu raja itu ingin pergi berburu. Sang Siamang segera pulang dan memberitahukan kepada istrinya bahwa ia akan berangkat tengah malam. Sebab ia mendapat firasat buruk. Tentu lawan-lawannya berniat akan mencelakakannya. Pada tengah malam ia berangkat. Setiba di tepi hutan ia membuka baju siamangnya. Disembunyikannya baju itu pada suatu tempat yang terlindung. Kelima menantu Raja yang lain telah sepakat akan mengikat siamang. Agar ia tidak bisa ikut berlomba. Hanya Putra Imam 50
MEREK
SARO
Saleh yang tidak setuju dengan rencana ini. Namun, ia diam saja, tak berdaya mencegah. Malam itu mereka mempersiapkan rencana akan mencelakakan siamang. Keesokan harinya mereka berangkat dan menunggu sang siamang di tepi hutan. Namun, seharian mereka menunggu, sang siamang tak kunjung datang. Mereka menjadi sangat dongkol. Akhirnya mereka rrrelanjutkan perjalanan dengan hati kesal.
MEREK
SARO
51
10. U L A H SI B E L A N G Tanpa memakai baju siamang, Merek Saro aman melanjutkan perjalanan seorang diri. Ia menuju ke tempat tinggal Pawang Tua. " A d a apa lagi kaudatang kemari, Merek Saro anakku?"sambut Pawang Tua. Merek Saro menceritakan perihal rusa putih bertanduk tujuh dan niat Raja akan menyerahkan mahkota kerajaan kepada barangsiapa di antara menantunya yang mendapatkan hewan itu. "Pergilah ke padang sebelah timur, di sana hanya tiga ekor rusa putih bertanduk bercabang tujuh. Tangkaplah dan bawa si Belang untuk mengawalmu,"ujar Pawang Tua lagi. Merek Saro berangkat bersama si Belang ke padang sebelah timur. Di sana beribu-ribu rusa terkeliaran.^Merek Saro yang sudah pandai berbahasa hewan mendekati rusa-rusa itu dan menyapa dengan ramah. Lalu ia memanggil rusa putih yang bertanduk bercabang tujuh. Tiga ekor rusa putih itu datang. "Sudikah engkau membantu aku, wahai sahabatku rusa putih?" tanya Merek Saro kepada salah seekor rusa putih itu. " K a m i mau." " K a m i mau." " K a m i bersedia membantu Anda, Merek Saro." Ketiga rusa itu bersuara. Merek Saro tersenyum senang. Katanya,"Aku hanya butuh seekor saja di antara kalian." " A k u , aku, aku," suara mereka serempak terdengar ingin dipilih. Merek Saro memilih seekor di antara mereka,"Kau saja!" Rusa itu mengangguk. Yang lain tidak merasa iri. Merek Saro meminta yang lain agar kembali ke padang rumput. Yang seekor tetap berada bersama Merek Saro. " K a u akan kuajak ke istana," kata Merek Saro,"mari kita berangkat!" Rusa itu mengangguk, lalu melompat-lompat kegirangan. Bersama si Belang, mereka berjalan menyusuri hutan rimba. Baru 52
MEREK
SARO
MEREK
SARO
53
beberapa langkah berjalan terdengar suara lolongan anjing. Merek Saro berhenti. Si Belang dan rusa putih pun berhenti. "Itu pasti saudaraku," kata Merek Saro. "Biar dia kuhajar." "Betapa pun dia adalah saudaraku, wahai Belang. Jangan celakakan dia." "Tidak, aku hanya ingin memberi pelajaran kepada orangorang yang keji dan tamak," sahut si Belang seraya lari masuk ke dalam hutan. Merek Saro duduk menunggu bersama rusa putih di bawah rimbunan pohon. Si Belang memanggil teman-temannya. Ada seratus ekor harimau ikut bersamanya. Mereka mengepung Putra Panglima bersama Pawangnya. Mereka meraung-raung menakuti si pemburu itu. Putra Panglima ketakutan, lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Setelah jauh dari gerombolan harimau ia berhenti. Pawangnya menghampiri,"Janganlah melanjutkan berburu, Tuanku." "Mengapa?" "Itu adalah peringatan dari Pawang Tua. Jika tuanku pergi juga, pasti kita akan celaka." Putra Panglima merasa takut, maka diperintahkan rombongannya untuk kembali pulang ke istana. Si Belang membuat ulah pula kepada menantu raja yang lain. Dengan ulahnya semua menantu raja yang berhati keji lari tunggang-langgang dan kembali ke istana, tidak melanjutkan berburu rusa. Pawang mereka mengatakan bahwa ini adalah peringatan dari Pawang Tua penguasa semua binatang di rimba raya. Ketika si Belang bertemu dengan Putra Imam Saleh, yang secara naluri ia ketahui bahwa menantu yang satu ini baik hati dan jujur. Ia menyuruh teman-temannya pulang. Ia bersembunyi dan membuat tanda-tanda di jalan yang mengisyaratkan agar Putra Imam Saleh kembali ke istana. Putra Imam Saleh bersama rombongannya menemui tandatanda dari kayu pada jalan yang ia lalui. Ia memanggil pawangnya untuk menterjemahkan tanda-tanda ini. Setelah membaca sang Pawang berkata,"Ini peringatan dari Pawang Tua penguasa binatang dan rimba raya, agar kita kembali ke istana." 54
MEREK
SARO
"Alhamdulillah, mari kita pulang," ajaknya dengan hati rela. Si Belang kembali kepada Merek Saro. Katanya,"Mereka telah kuberi pelajaran." "Engkau tidak mencelakakan mereka, bukan?" tanya Merek Saro cemas. Betapa pun ia merasa sayang dan kasihan kepada lakun-lakunnya. "Tidak." "Syukurlah jika demikian. Mari kita melanjutkan perjalanan," ujar Merek Saro dengan terlebih dahulu memeluk leher si Belang dan mengusap-usap kepalanya. Lalu ia menuntun rusa putih, berjalanlah mereka beriringan meninggalkan rimba belantara.
•Lakun = bahasa Gayo. Sebutan atau panggilan bagi suami adik atau kakak istri. Juga panggilan antara adik lelaki, istri pada adik lelaki, suami dan sebaliknya.
MEREK
SARO
55
11. K E B I J A K S A N A A N
RAJA
Merek Saro berpisah dengan si Belang di tepi hutan. Sahabatnya itu kembali ke rimba raya. Merek Saro melanjutkan perjalanannya ke kota bersama si rusa putih. Sebelumnya ia memakai baju siamangnya. Kini ia telah menjelma kembali menjadi seekor siamang. Rusa putih diberi kekang dan ia naik di punggungnya. Ketika masuk ke kota ia sebagai seekor siamang yang menunggang rusa putih bertanduk bercabang tujuh Rakyat menjadi gempar. Mereka berjejal di sepanjang jalan ingin menyaksikan kehadiran siamang yang menunggang rusa putih tanduknya bercabang tujuh. Suatu hewan yang dikehendaki sang Baginda Raja dalam sayembara mencari pengganti Baginda. Rakyat bertambah heran dan kecut, mereka tak dapat membayangkan bencana apa yang bakal terjadi bila siamang menjadi raja, memerintah bangsa manusia. Namun, mereka tak kuasa berbuat sesuatu, hanya menanti dengan hati cemas. Karenanya mereka segera pulang ke rumah masing-masing. Setiba di pintu gerbang istana, Putri Bungsu berlari-lari menyongsong suaminya yang sedang menunggang rusa putih. Siamang pun turun dan menyambut istrinya dengan hormat. Lalu mereka berjalan seiring sambil menuntun rusa putih memasuki istana. Para penghuni istana merasa takjub menyaksikan kejadian ini. Dewi Remang Ketike bersama suaminya, Putra Imam Saleh datang menyongsong dengan amat ramahnya. Tetapi putri- putri yang lain, bersama suami mereka menjadi bertambah benei. Mereka pergi menjauh dengan rasa jijik. Dengan tenang Putra Imam Saleh, Dewi Remang Ketike, Putri Bungsu dan Siamang yang menuntun rusa putih menghadap Baginda Raja. Sang Baginda bersama Permaisurinya tidak merasa terkejut Bagi mereka ini adalah kenyataan dari makna mimpi beberapa tahun yang lampau. Hanya mereka menjadi agak gelisah bila begitu saja menye56
MEREK
SARO
rahkan kerajaan kepada seekor siamang. Pasti akan mendapat tantangan dari para menteri, puggawa, bahkan rakyat Karena itu Raja mencoba mencari suatu kebijaksanaan. Dikumpulkan segenap menteri dan punggawa kerajaan. Raja bersabda,"Selama aku memerintah, tak pernah aku melanggar janji. Bagiku janji adalah hutang yang patut dibayar. A k u takut akan murka yang Mahakuasa bila melanggar janji, Baginda berhenti sejenak. Hati seluruh penghuni istana menjadi berdebar. Mereka sudah tahu maksud Baginda. Tak lama kemudian Baginda melanjutkan sabdanya, " A k u pasti menyerahkan kerajaan ini kepada suami Putri Bungsu," . , Semua hadirin menarik napas dengan wajah kecut dan muram. Mereka tidak suka diperintah oleh seekor siamang. MEREK
SARO
57
Lebih-lebih para menantu dan putri raja. Kecuali Dewi Remang Ketike dan Putra Imam Saleh, mereka menerima dengan hati lapang. Bagi mereka ini adalah suatu suratan takdir yang tidak bisa dielakkan. Raja melanjutkan,"Namun, aku memberi kesempatan kepada kaliah untuk mendaulatnya, bila aku telah menepati janji. Itu pun bila kalian tidak setuju Siamang menjadi raja." Raja masih menunda beberapa lamanya. Selama beberapa waktu ini Raja bersama permaisuri ingin menyelidiki, siapakah sesungguhnya menantu yang menjadi siamang ini. Apakah ia siamang sungguhan atau hanya penjelmaan saja. Mereka berdua menyamar sebagai rakyat biasa. Berhari-hari lamanya mereka berkeliling kota, tidak juga mereka temui perihal si Siamang. Namun, pada suatu pagi, mereka melihat siamang keluar' dari tempat tinggalnya. Secara diam diam mereka mengikutinya. Siamang itu menuju ke tepi hutan. Di sana ia menanggalkan bajunya. Seketika itu menjelmalah ia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Raja bersama Permaisuri kagum menyaksikannya dalam persembunyian. Merek Saro lalu menyembunyikan baju siamangnya di sebuah tunggul kayu. Ia pergi ke kota. Sehari-hari ia bertindak sebagai seorang saudagar. Setelah Merek Saro pergi, Raja bersama Permaisuri mengambil baju siamang itu. Lalu membawanya ke rumah si Putri Bungsu. Mereka menceritakan apa yang dilihat. Putri Bungsu merasa terharu hingga tak tertahan air matanya menitik. "Simpanlah baju ini, jangan beritahukan kepada siapa pun," ujar Baginda dengan rasa senang hati. Kini telah mantap di hatinya untuk segera menobatkan siamang alias Merek Saro menjadi raja. Pada malam hari, usai berniaga Merek Saro kembali ke tepi hutan. Ia bermaksud seperti biasanya memakai lagi baju siamangnya. Namun; ketika tiba di tunggul tempat menyimpan baju itu, ia terkejut karena tidak menemukan baju itu lagi. Kendati demikian, hatinya tidak merasa gelisah. Ia bersikap tenang dan tenteram Firasatnya mengatakan bahwa yang mengambil bajunya adalah Baginda Raja dan Permaisuri. Maka pada tengah malam, pulanglah ia ke istana. Ia menggunakan ilmu lari cepat dan melompati pagar istana. Ia mengetuk pintu rumahnya. Putri Bungsu yang sudah sangat gelisah ingin 58
MEREK
SARO
melihat wajah suaminya bertambah gelisah jua. Amat terkejut ia mendengar ketukan pintu. Namun, ia bermaksud ingin mengolokolok suaminya. MEREK SARO
59
"Siapa di luar," tanyanya. "Bukalah Adinda." "Siapakah Tuan berani-berani memanggil Adinda." " A k u suamimu." " A k u tidak mempunyai suami manusia. Suamiku seekor Siamang." "Jangan berolok-olok Adinda. Bukalah pintu, bila aku terlihat pengawal istana aku akan celaka." Ibalah hati Putri Bungsu mendengar jawaban demikian, maka ia pun membuka pintu. Begitu Merek Saro masuk, Putri Bungsu terpana tak mampu rnengucapkan sepatah kata pun. Ia takjub melihat rupa suaminya. Rasanya pernah melihat, tetapi di mana? Ia tak bisa menduganya. Dengan ramah si Merek Saro memapah Putri Bungsu ke ruangan tengah. D i sana mereka bercakap-cakap. Merek Saro membuka riwayat hidupnya. Sejak ia ditinggai ayah-bundanya sampai bertemu dengan Pawang Tua dan menda patkan baju siamangnya. Hati Putri Bungsu amat girang. "Ke manakah baju siamangku, Adinda?" tanya Merek Saro pada akhirnya, setelah ia mendengar penuturan Putri Bungsu tentang ayahanda dan ibundanya menemukan benda itu serta melihat Merek Saro bersalin rupa. "Telah Adinda simpan jauh-jauh. Kakanda tak boleh lagi memakainya." "Baju itu pun tidak lagi berkhasiat karena telah terjamah orang lain. Itu merupakan tabu." "Jadi, kendati karida memakainya, tak lagi bisa menjelma menjadi siamang?" Merek Saro menggelengkan kepala. Lalu katanya,"Simpanlah untuk kenangan di masa tua kelak." Keesokan harinya Baginda Raja bersama Permaisuri datang mengunjungi Merek Saro. Mereka amat senang menyaksikan keramahan menantunya ini. Merek Saro diminta menceritakan riwayatnya. Maka berccritalah ia dengan jujur. Juga tentang hilangnya khasiat baju siamang setelah dijamah orang lain. Baginda meminta agar untuk sementara Merek Saro tidak pergi ke mana-mana. Masing-masing agar merahasiakan hal ini kepada siapa pun.
60
MEREK
SARO
12. M E R E K S A R O M E N J A D I
RAJA
Hari penobatan penggarsti raja pun tiba. Upacara diadakan di lapangan terbuka yang luas di muka istana. Panggung kehormatan tempat penobatan telah dihias dengan sangat indah sesuai dengan adat kemuliaan negeri bagi seorang raja yang akan naik «akhta. Beribu-ribu rakyat penuh sesak memadati lapangan itu. Mereka ingin menyaksikan seekor siamang dinobatkan sebagai raja Para menteri, punggawa, hulubalang dan panglima perang telah bermufakat akan segera mendaulat agar Raja Siamang turun takhta sesusai pelantikan. Mereka tidak suka diperintah seekor siamang. Esok harinya mereka akan mengadakan sayembara di antara ke enam menantu raja yang lain. Segala siasat telah mereka atur dengan rapi. Terompet terdengar, sebagai tanda Baginda Raja memasuki ruangan upacara. Raja bersama Permaisuri dengan langkah tegap penuh wibawa berjalan dan kemudian naik ke mimbar. Baginda duduk didampingi Permaisuri. Namun, tak kelihatan calon raja. Kursi untuk calon raja tetap kosong. Rakyat mulai berbisik-bisik dan menduga-duga, mungkinkah raja telah berubah pikiran, membatalkan penobatan siamang menantunya? Tak berapa lama kemudian, Putri Bungsu masuk scndirian dan naik ke mimbar. Ia membawa sebuah bungkusan. Ia menyem bah kepada ayahanda dan ibundanya. Rakyat bertambah heran. Belum tampak juga siamang yang diharapkan hadir dan membuat kelucuan. Tiba-tiba Raja bangkit, lalu bersabda,"Tuan-tuan sekalian yang hadir, para menteri, para punggawa dan seluruh rakyat. Seperti telah kami janjikan dahulu dan telah pula mendapat persetujuan dari para menteri, panglima perang dan punggawa istana, serta cerdik-pandai negeri ini bahwa kami akan menyerahkan takhta kerajaan kepada menantu kami yang memenangkan seyembara menangkap rusa putih tanduknya bercabang tujuh," Baginda berhenti sejenak. MEREK SARO
61
Setelah menghela napas sesaat Baginda melanjutkan,"Ternyata yang memenangkan sayembara ini adalah, suami Putri Bungsu, Intan Kemala Mayang. Dialah yang berhak menerima takhta kerajaan ini." Rakyat menjadi gelisah. Mereka berbisik-bisik. Kiranya Raja tidak mengubah janjinya. Siamang akan menjadi raja. Rakyat enggan mendapat raja seekor siamang. Mereka enggan diperintah oleh binatang. Raja melanjutkan sabdanya " K a m i dapat memahami perasaan dan pikiran tuan-tuan dan segenap rakyat. Namun, sebagai Raja kami akan tetap menepati janji. Tetapi hendaklah tuan-tuan ketahui bahwa menantu kami itu bukanlah sembarang siamang. Beliau adalah manusia seperti kita juga. Hanya selama ini beliau memakai baju siamang." Semua yang hadir merasa heran. Gumam terdengar, bagai suara dengung lebah pindah. Raja kemudian membuka bungkusan yang ada di hadapan Baginda dan memperlihatkan baju siamang kepada segenap rakyat dan para menteri. Mereka semua tercengang. Tak lama muncullah Merek Saro, ia segera diapit oleh Putri Bungsu dan berdatang sembah kepada Raja dan Permaisuri. Merek Saro telah memakai pakaian kerajaan. Bertambah tercengang lagi segenap yang hadir menyaksikan rupa yang tampan dan gagah pemuda calon raja. Serempak mereka bertepuk-tangan. Terdengar suara tempik sorak tanda menyetujui pengangkatan raja ini. Para menteri, punggawa, panglima perang pun mengubah siasat mereka. Serempak mereka menyetujui penobatan Merek Saro sebagai raja. Lima orang menantu yang lain masih juga iri dan HpnoiH pnmur r r e k *ak b'sa ^^ ^uat scsuatu. Putra Ir ! m ^a'e^ bersama Putri Dewi Remang Ketike menyambut dengan rasa gembira dan syukur. Penobatan pun dilangsungkan. Baginda mengenakan mahkota kerajaan kepada Merek Saro. Imam negeri itu segera tampil di mimbar dan membacakan doa syukur ke hadirat IlahL Dengan harapan semoga Raja yang baru memerintah negeri dengan bijaksana dan adil. Semoga rakyat tenteram dan negeri sejahtera. Rakyat mengaminkan dengan rasa syukur dan gembira. r p
62
a
r
r
Q
MEREK
SARO
MEREK
SARO
63
Alkisah resmilah Merek Saro menjadi raja dan Putri Intan Kemala Mayang alias Putri Bungsu menjadi Permaisuri. Betapa pun lakun-lakunnya pernah berbuat keji dan mengejeknya, namun Merek Saro tidak merasa dendam. Bahkan Merek Saro memberi mereka masing-masing kedudukan dan pangkat yang layak. Seusai upacara baju siamang mereka bakar. Sungguh suatu keajaiban terjelma dari asap baju siamang itu. Tiap tempat yang menerima rebahan asapnya terjelma menjadi indah. Kota-kota terjelma sangat indah. Sawah ladang tumbuh subur. D i dalam lingkungan istana secara gaib terjelma delapan istana yang lengkap dan sangat indah. Merek Saro menempatkan lakun-lakunnya pada istana yang indah. Demikian juga mertuanya. Sebuah istana disediakan pula untuk Imam negeri. Merek Saro bersama Putri Bungsu menempati istana yang diapit kedua istana mertua dan Imam negeri. Sejak itu hiduplah mereka berbahagia. Merek Saro memerintah negeri amat bijak dan adil. Negeri menjadi makmur. Rakyat sejahtera.
64
MEREK
SARO
BUKU-BUKU 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13 14 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.
A n g s a P u t i h d a n I k a n M a s ( F a b e l Dunia) Andy Wasis A s a l M u l a P a d i (Bah). Hard/aria H P B a l a n g T a r a ( U m u m ) . Indra Putra B e r k u n j u n g k e P a m a n A t o m ( F a b e l D u n i a ) . indra Putra C e m p a k a d a n M e l a t i (Tanah Karo). Bagin D e m i A d i k k u (Kalimantan) Indra Putra D o s a T i a d a B e r a m p u n ( J a w a ) . Indra Putra G a d i s R a n t i ( S u m a t e r a B a r a t ) . Indra Putra G o n g W a s i a t D e w a ( F a b e l Dunia). Andy Wasis K a b a s i R a m b u n J a l u a ( S u m a t e r a Barat). AR Chaniago Kasada yang P e r t a m a , Darto Smgo Kbo I w a (Bah). Hardjana H P K e m b a n g B a w a n a ( J a w a T e n g a h ) . Nasyah Djamin K u c i n g d a n W a n i t a ( U m u m ) . Andy Wasis l . u t u n g K a s a r u n g ( B a n y u m a s ) . Darto Smgo M a n i k A n g k e r a n (Bah), Darto Singo Man B e r d e k l a m a s i (Umum) Indra Putra ' M a y a n g K e s u m a ( K a l i m a n t a n ) . Indra Putra M e r e k S a r o ( A c e h ) . Chairul Bahn Mula Terjadinya D a n a u P o s o ( S u l a w e s i T e n g g a r a ) , Darto S/ngo Mustika Taman F i r d a u s ( U m u m ) , Indra Putra P a n g e r a n A o h a h u (Timor) Andy Wasis P a n g e r a n U l o k P a n d a n ( L a m p u n g ) . Andy Wasis P a n g l i m a A m a n D i m o t ( A c e h ) . AD Benerselan Papa Menjadi R a j a ( K e p . Kaï). Darto Singo P a t i h J e l a n t i k (Bah), Andy Wasis P e n d e k a r T u n k u T i g a ( L a m p u n g ) , Andy Wasis P e n g o r b a n a n P u t r i T a m e o ( K a l i m a n t a n ) , Indra Putra P e r i a P o k a k ( J a w a B a r a t ) , Darto Singo P i n y a r a m T u j u h ( S u m a t e r a B a r a t ) . Andy Wasis Putri Beutik H a t i ( L a m p u n g ) , Andy Wasis P u t r i B o s u (Sulawesi Selatan) Andy Wasis P u t r i C a n t i k d a n L u w u ( S u l a w e s i S e l a t a n ) . Darto Singo P u t r i G a j a h P u t i h ( J a m b i ) , Andy Wasis R a d i n J a m b a t ( L a m p u n g ) . Andy Wasis R e n g g a K u n i n g (Tanah Karo). Bagin Salido 1 0 0 0 T a h u n y a n g S i l a m ( S u m a t e r a Barat) Indra Putra S e r u n t i n g S a k t i (Lampung) K. Usman S i B e l a n g ( U m u m ) . Indra Putra S i S u n g s u y a n g A y u ' ( J a w a B a r a t ) . Darto Singo S i H i t a m (Umum) Indra Putra S i J o n g g a t ( L o m b o k ) , Andy Wasis S i K a b a y a n ( J a w a Barat) Andy Wasis S i n g a B a k h a r a (Tapanuli) Indra Putra S u k u D a y a k K a l i m a n t a n T i m u r ( K a l i m a n t a n ) . Djumn Obeng Sumur P u t r i ( L a m p u n g ) . Andv Wasis T i g a J e l i t a P u t r i B i d a d a r i (Bali), Darto Singo Vique dan Raksasa, (Timor), Andy Wasis Yatim Menjadi R a j a ( J a w a ) . Darto Singo SERI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
CERITA
B A B A D
J A W A
Kerajaan Galuh, Darto Singo Berkembang dan Tenggelam Kerajaan Pajajaran, Darto Joko Bandung. Darto Singo Kerajaan Majapahit Lenyap T a n p a Bekas, Darto Singo K i d a n g T e l a n g k a s . Darto Singo S u n a n K a N j a g a . Darto Singo S y e k h Siti J e n a r Darto Singo
Singo