TIPOLOGI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA: Dari Dikotomi Menuju Sistemik Oleh: Asiyah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Bengkulu
Sejarah pendidikan di Indonesia berkembang menjadi dua kategori, yaitu tipologi pendidikan Islam dikotomis dan sistemik. Kedua tipologi tersebut menjadi perhatian serius karena itu akan mengatur arah pendidikan Islam di Indonesia. Dari kedua tipologi pendidikan Islam dirumuskan masalah, yaitu, bagaimana sejarah pendidikan Islam di Indonesia? Bagaimana dinamika tipologi pendidikan Islam di Indonesia? Dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti sejarah pendidikan Islam di Indonesia dan dinamika tipologi pendidikan Islam di Indonesia. Kerangka teoritis dari penelitian ini adalah sistem pendidikan dikotomis dan sistem pendidikan organisme/sistemik yang dikemukakan oleh Muhaimin. Hasil kajian menyebutkan bahwa tipologi pendidikan Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut mulai dari sistem pendidikan berbasis budaya sebagaimana pendidikan pesantren hingga integrasi yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional dan diperkuat oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Tipologi dikotomis pendidikan Islam ini tidak bisa dipertahankan karena akan mengakibatkan kualitas yang lebih rendah dari lulusan dalam bersaing dengan tantangan zaman, sedangkan tipologi pendidikan Islam organisme/sistemik harus dipertahankan karena akan memberikan kontribusi terhadap kualitas dan daya saing lulusan dalam menjawab dinamika perkembangan zaman. Abstract TYPOLOGY OF ISLAMIC EDUCATION IN INDONESIA: FromDichotomous to be Systemic By: Asiyah A Lecturer of Tarbiyah and Tadris Faculty of IAIN Bengkulu
The history of education in Indonesia developed into two categories, namely dichotomous and systemictypology of Islamic education. Both the typologiesbecame serious concern due to it will set the direction of Islamic education in Indonesia. From both typologies of Islamic education is formulated the problems, namely, how is the history of Islamic education in Indonesia? How is the dynamic of typology of Islamic education in Indonesia? And the purpose of this study is to examine the history of Islamic education in Indonesia and dynamic typology of Islamic education in Indonesia. The theoretical framework of this research is dichotomous education system and educational system of the organism/systemic issues that raised by Muhaimin. The finding of this study states that the
typology of Islamic education in Indonesia have up and down ranging from culture-based education system as education system of Islamic boarding school until its integration that became part of the national education system as stipulated in Law No. 02 of 1989 on the national education system and reinforced by the Law No. 20 year 2003 on the national education system. Dichotomous typology of Islamic education is untenable because it will lead to lower quality of graduates in competing with the challenges of the times, while the typology of Islamic education organisms/systemic should be maintained because it will contribute to the quality and competitiveness of graduates in answering the dynamics of the times. A. Pendahuluan Sejarah pendidikan Islam di Indonesia telah berkembang sejak masa-masa sebelum Kemerdekaan RI. Pesantren sebagai salah satu warisan budaya pendidikan Islam yang eksis hingga sekarang. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 02 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa pendidikan Islam di Indonesia teritegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Sebelumnya belum diatur secara eksplisit, bahkan pengelolaan lembaga pendidikan Islam sempat akan diintegrasikan ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, tetapi dengan adanya arus penolakan dari kaum Muslim akhirya diakomodir dalam UU tersebut. Bahkan sejak berlakunya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan keagamaan mendapatkan momentumnya yang baik. Pendidikan keagamaan tidak hanya mendapatkan posisi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi juga diakui dengan sejumlah variannya, misalnya pendidikan madrasah diniyah, pesantren, pasraman, dan lainnya.1 Dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia terjadi perkembangan mulai dari tipologi pendidikan dikotomis hingga tipologi pendidikan sistemik. Tipologi pendidikan dikotomis memisahkan sistem pendidikan dalam masalah ilmu agama dengan ilmu umum sebagaimana yang diperatekkan di salah satunya adalah Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang, yang menerapkan sistem salafiyah yang mana para santri wajib mengikuti pengajian yang dilaksanakan oleh para kiai atau ustadz yang menggunakan sistem bandongan (bersama-sama) atau sorogan (individual). Santri juga diwajibkan mengikuti pendidikan muhadarah hingga tingkat aliyah, bahkan hingga ma’had aly. Di
1
M Amin Haedari, “Prolog”, dalam Nunu Ahmad An-Nahidl dkk (Tim Peyusun), Otoritas Pesantren dan Perubahasan Sosial, (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag RI, 2010), hlm. v.
samping itu, santri yang memenuhi syarat wajib untuk melakukan mudzakarah kitab Fathul Qarib dan Fathul Mu’in, serta kitab Ibnu Aqil.2 Sementara itu, sistem pendidikan nasional yang berlaku di sekolah dasar atau sekolah menengah/atas menerapkan sistem pendidikan sekuler yang tidak memberikan perhatian memadai terhadap pendidikan keagamaan. Oleh sebab itu, sistem pendidikannya hanya mengedepankan pendidikan yang mengisi otak atau rasio saja tanpa memberikan perhatian yang memadai terhadap pendidikan keagamaan. Implikasi sistem pembelajaran sekularistik/dikotomik ini telah melahirkan sistem pengajaran ilmu yang hanya berorientasi keakhiratan saja, sementara sains umum dianggap sebagai hal yang tidak penting. Sistem pembelajarannya berkarakter doktriner dan normatif. Adapun sistem pembelajaran sekuler hanya mengedepankan pengisian rasio atau akal pikiran tanpa memperhatikan etika atau moralitas. Oleh sebab itu, kajian ini berangkat dari hasil penelitian H A R Tilaar dalam karyanya yang berjudul “Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional” terbitan Tera Indonesia, 1998, yang dikutip oleh Muhaimin menyatakan bahwa penelitian, pemikiran dan gagasan yang lahir dari para ahli yang terpisah-pisah atau tidak bertolak dari tipologi organisme/sistemik akan menimbulkan bahaya bagi eksistensi kehidupan manusia.3 Dalam perkembangan sistem pendidikan pesantren juga melakukan perubahan sebagaimana juga dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang, yang dalam perkembangannya juga membuka sistem pendidikan dan pengajaran yang memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum yang ditandai dengan berdirinya MTs dan MA.4Tradisi keilmuan ini juga berkembang di Perguruan Tinggi Islam Negeri dengan banyak alih status dari STAIN/IAIN menjadi UIN. Dengan banyak alih status/transformasi ke UIN pada dasarnya memiliki akar kuat dalam tradisi kajian Islam yang sudah ditanamkan oleh Muhammad Arkoun, Mohammed Abid Jabiri, Abdulahi Ahmed An-Na’im, Hassan Hanafi, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Ma’arif, dan M Amin Abdullah.
2
PP AL-Anwar Sarang Rembanghttp://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=113, edisi 28 Desember 2008 3 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 61. 4 PP AL-Anwar Sarang Rembanghttp://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=113, edisi 28 Desember 2008
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, kajian ini merumuskan rumusan masalah, yakni bagaimana sejarah pendidikan Islam di Indonesia? Bagaimana dinamika tipologi pendidikan Islam di Indonesia? Tujuan kajian ini adalah untuk meneliti sejarah pendidikan Islam di Indonesia dan dinamika tipologi pendidikan Islam di Indonesia. Adapun kerangka teori penelitian ini adalah sistem pendidikan dikotomis dan sistem pendidikan organisme/sistemik yang dikemukakan oleh Muhaimin.5 B.Sejarah Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Sejarah dualisme pendidikan di Indonesia lahir dari paradigma dan budaya yang dibangun oleh kebijakan Pemerintah Republik Indonesia. Pergulatan antara sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan Islam terus bergulir hingga masa kini. Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1972 tentang Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan yang menerangkan dalam konsideran menimbang bahwa “untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan kebidjaksanaan Pemerintah dibidang penjelenggaraan pendidikan dan latihan, dipandang perlu untuk mempertegas ruang lingkup pembidangan tugas
pembinaan
setjara
fungsionil
mengenai
pendidikan
dan
latihan
jang
diselenggarakan oleh departemen-departemen jang bersangkutan”. Inti dari kebijakan tersebut ditegaskan dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa “Menteri Pendidikan dan Kebudajaan bertugas dan bertanggung-djawab atas pembinaan pendidikan dan latihan setjara menjeluruh, baik jang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Swasta”. Kebijakan inilah yang menurut analisis Abdul Wahab disebutkan memberikan peluang terhadap pengambilan kewenangan penyelenggaraan pendidikan agama yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama pada waktu itu. Sebab, penyelenggaraan pendidikan menjadi kewenangan kementerian pendidikan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama.6 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1972 tersebut kemudian diperjelas dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut yang kemudian ditegaskan bahwa kewenangan penyelenggaraan pendidikan tinggi
5
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 59-63 dan 67-70. 6 Abdul Wahab, Dualisme Pendidikan di Indonesia, Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 16 No. 2 DESEMBER 2013, hlm. 222; lihat juga http://www.uin-alauddin.ac.id/download09%20Dualisme%20Pendidikan%20Center.pdf.
dan dasar menengah adalah kewenangan Departemen/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 berikut: “Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berkewajiban menyelesaikan lebih lanjut agar : a. pengaturan dan penyelenggaraan lembaga pendidikan dasar oleh Pemerintah yang masih ada di dalam ruang lingkup tugas dan tanggungjawab Departemen atau Instansi lain, dimasukkan ke dalam ruang lingkup tugas dan tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; b. pengaturan dan penyelenggaraan lembaga pendidikan menengah olehPemerintah yang masih ada di dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Departemen atau Instansi lain, dimasukkan ke dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; c. pengaturan dan penyelenggaraan lembaga pendidikan tinggi oleh Pemerintah yang memberikan gelar kesarjanaan, dimasukkan ke dalam ruang lingkup tugas dan tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”. Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tersebut yang hendak menyatukan kelembagaan penyelenggaran pendidikan agama ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan tantangan dari kalangan umat Islam Indonesia.Dengan keluarnya kebijakan itu, Kementerian Agama tidak berwenang lagi mengelola lembaga pendidikan pendidikan Islam ataupun madrasah, hanya berwenang menyusun kurikulum pendidikan agama di sekolah, madrasah maupun pendidikan tinggi, sehingga madrasah atau lembaga penidikan Islam harus dikelola oleh Kemendikbud sebagai satu-satunya kementerian yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan kalangan umat Islam Indonesia pada waktu itu menilai bahwa Kepres dan Inpres tersebut sebagai upaya mengurangi peranan dan fungsi madrasah dalam menyampaikan pendidikan agama dan sekaligus juga sebagai bagian dari upaya perlahan-lahan untuk mengurangi tugas dan fungsi Kementerian Agama. Dengan kata lain, kebijakan Pemerintah RI tersebut adalah sebagai upaya untuk menerapkan kebijakan dan sistem pemerintahannya dalam hal ini Orde Baru yang sejak awal berkuasa berkarakter sekuler. Kebijakan pemerintah RI dalam bidang pendidikan itu berjalan lurus dengan setting sosial politik sejak awal berkuasa yang menerapkan kebijakan politik sekuler dengan mengurangi ruang gerak partai-partai politik Islam.7 Munculnya ide itu disebabkan karena kualifikasi lulusan lembaga pendidikan agama hanya menguasai materi keilmuan agama saja, tidak mengenal pengetahuan umum sebagaimana di sekolah umum, bukan sekolah agama. Namun demikian, umat Islam menentang keras ide penyatuan penyelenggaraan pendidikan tersebut, sehingga pemerintah 7
Abdul Wahab, Dualisme Pendidikan di Indonesia, Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 16 No. 2 DESEMBER 2013, hlm. 222; lihat juga http://www.uin-alauddin.ac.id/download09%20Dualisme%20Pendidikan%20Center.pdf.
kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama yaitu Nomor 6 Tahun 1975; Nomor 037/U/1975; dan Nomor 36 Tahun 1975 yang mengatur regulasi hukum bahwa Kepres dan Inpres tersebut menegaskan tugas dan fungsi Kementerian Agama dalam menyelenggarakan pendidikan dengan beberapa item kebijakan, yaitu pedidikan madrasah Ibtidaiyah s/d madrasah aliyah memiliki status yang sama dengan sekolah dasar s/d sekolah menengah atas, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat atau lebih atas, siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, sehingga kurikulum madrasah dilakukan penyesuaian dengan perbandingan 70% berupa mata pelajaran umum dan 30% berupa mata pelajaran agama.8 Dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan peran dan fungsi pendidikan di Indonesia yang tidak memberikan perlakuan diskriminatif, tetapi diperlakukan secara sama dan integral. Hal ini dapat disimak dalam deskripsi Pasal 4 UU tersebut sebagai berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Respons Pemerintah RI ketika itu kemudian membuat kebijakan pendidikan yang berusaha memposisikan setara dan perlakuan yang seimbang sehingga pendidikan keagamaan menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama/keagamaan menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang berarti bahwa pendidikan agama memiliki kesamaan hak dan kewajiban sebagaimana pendidikan umum sebagai ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) dan penjelasannya yang menyebutkan: “Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas 8
Abdul Wahab, Dualisme Pendidikan di Indonesia, Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 16 No. 2 DESEMBER 2013, hlm. 222; lihat juga http://www.uin-alauddin.ac.id/download09%20Dualisme%20Pendidikan%20Center.pdf.
kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Pendidikan kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Pada jenjang pendidikan tinggi pendidikan pendahuluan bela negara diselenggarakan antara lain melalui pendidikan kewiraan”. Penjelasan terhadap Pasal 39 ayat 2 tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan nasional yang dikehendaki oleh pemerintah adalah sistem pendidikan yang memiliki perhatian terhadap peningkatan moralitas atau akhlakul karimah yang memancar dari nilainilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga norma-norma agama itu diharapkan mampu mendukung suasana kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk, mendukung kehidupan yang mengutamakan kepentingan bersama, dan mendukung keadilan sosial. Semua sistem nilai-nilai kebangsaan tersebut memiliki relevansi dengan nilai-nilai agama yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu, pendidikan agama menjadi bagian dari upaya untuk menguatkan dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan wawasan toleran dan moderat untuk mewujudkan persatuan nasional demi terwujudkan pembangunan nasional seutuhnya. Demikian juga pendidikan kewarganegaraan sebagai bekal peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik dan memiliki jiwa nasionalis yang unggul baik sebagai peserta didik tingkat dasar, menengah maupun tingkat atas. Adapun pada jenjang pendidikan tinggi dilakukan melalui melalui pendidikan kewiraan. Dengan adanya perkembangan zaman, maka sejak era reformasi tepatnya pada tahun 2003 telah dikeluarkan regulasi baru UU-SPN Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional yang mengatur sistem pendidikan nasional di Indonesia dengan aksentuasi sama-sama meningkatkan keimaman, ketaqwaan, dan nasionalisme, tetapi dengan beberapa stresing, misalnya ditekankan lahirnya sikap yang cakap, kreatif, mandiri, dan demokratis serta bertanggung jawab. Regulasi baru tersebut menjadi perbaikan, pengembangan dan reformasi dalam sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Oleh sebab itu, ada sejumlah regulasi yang ditambahkan misalnya jalur pendidikan pada UU-SPN 1989 hanya mengatur dalam dua
kategori; pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah, sedangkan UU-SPN Nomor 20 2003 mengatur dalam tiga kategori; pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal sehingga regulasi baru tersebut memberikan ruang gerak yang lebih luas dalam pengembangan dan pengakuan terhadap eksistensi lembaga pendidikan agama di Indonesia, termasuk pendidikan madrasah dan pendidikan tinggi agama Islam. Demikian juga wacana yang sempat mengemuka ketika pembahasan eksistensi lembaga pendidikan agama, terutama masalah mutu, maka dengan lahirnya UU-SPN 2003 telah mengakomodir dengan adanya regulasi yang wajib ditaati oleh seluruh lembaga pendidikan berupa akreditasi untuk mengukur kualifikasi mutu pengelolaan lembaga pendidikan baik di lembaga pendidikan umum maupun lembaga pendidikan agama. Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan perhatian khusus teradap keberlangsungan lembaga pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pemerintah mengatur dalam UU-SPN 2003 mengenai kewajiban pemerintah mengalokasikan anggaran 20% dalam APBN ataupun APBD dari seluruh anggaran yang ada di APBN ataupun APBD. Dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan agama/Islam, UU-SPN 2003 telah memberikan peneguhan eksistensi terhadap lembaga pendidikan agama sehingga pendidikan agama disebutkan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional secara jelas dan tegas sebagaimana diatur dalam Pasal 15 yang mengutarakan eksisensi lembaga pendidikan keagamaan memiliki kesetaraan dengan lembaga pendidikan lainnya dalam sistem pendidikan nasional. Pengakuan pemerintah terhadap eksistensi lembaga pendidikan Islam tidak lepas dari sejarah kemerdekaan RI. Sejarah dan peran pendidikan Islam memiliki akar sejarah yang kuat dan penting dalam dinamika berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam telah menjadi pusat perlawan terhadap penjajah baik Jepang maupun Belanda. Oleh sebab itu, pendidikan pesantren hingga masa kini memiliki peran penting setidaknya dalam mengisi masa kemerdekaan RI. Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam terus memberikan kontribusi untuk meningkatkan peradaban kehidupan beragama dan berbangsa sehingga lahir generasi agamawan atau Muslim yang sejati dan memiliki jiwa nasionalisme yang kokoh. Lahirnya generasi muslim sejati dengan jiwa nasionalisme yang kokoh atau unggul akan mampu menghadang virus paham keagamaan yang sesat dan tidak sesuai dengan budaya hidup bangsa Indonesia, misalnya paham radikalisme.
“Radikalisme agama hakekatnya bukan hanya monopolikelompok agama tertentu dan bukan pula hanya lahir diwilayah tertentu saja. Kelompok gerakan radikal yangmengatasnamakan agama juga terdapat di India, dengan latarbelakang agama Hindu. Gerakan radikal terdapat di Irlandiadari unsur Katolik maupun Kristen militan. Di Amerika,gerakan radikal keagamaan juga berkembang”.9 Dalam tradisi Islam, juga berkembang paham radikalisme yang sebenarnya asal muasalnya disebabkan oleh bukan masalah agama, tetapi masalah politik, misalnya lahirnya kelompok khawarij sesungguhnya lahir bukan karena masalah akidah, tetapi masalah politik. Demikian juga gerakan-gerakan kelompok lainnya dalam agama Islam, seringkali disebabkan oleh faktor lain, tetapi karena ditambah dengan pengetahuan keagamaan yang rendah sehingga lahirlah paham yang ekslusif atau radikal. “Gerakan radikal berlatar belakang agama dapat muncul karena: a). Lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama; b). memahami nash secara tekstual; c). Memperdebatkan persoalan-persoalan parsial, sehingga mengenyampingkan persoalan besar; d). Berlebihan dalam mengharamkan; e). kerancuan konsep; f). mengikuti ayat mutasyabihat, meninggalkan muhkamat; mempelajari ilmu hanya dari buku dan mempelajari Al-Quran hanya dari mushaf; g). Lemahnya pengetahuan tentang syariah, realitas, sunnatullah dan kehidupan”.10 Perhatian pemerintah yang begitu tinggi terhadap eksistensi pendidikan keagamaan akan memberikan sumbangan nyata dalam membendung arus gerakan radikalisme agama. adapun paham radikalisme pada dasarnya sekarang merupakan gejala universal dan fenomena yang dapat berkembang pada semua tradisi kegamaan. Radikalisme dapat itu juga muncul karena adanya beragam faktor misalnya faktor paham keagamaan yang sempit terutama, disamping faktor politik, sosial, ekonomi, psikis, dan masalah lainnya.11 C. Tipologi Pendidikan Islam Dikotomik Wacana pemisahan antara wilayah agama dan sains atau wilayah agama dan dunia pada dasasarnya tidak lepas dari abad kelam budaya Barat dimana pada abad sekolastik, dunia Barat benar-benar terkungkung oleh tradisi agama dan tidak boleh berpendapat walaupun rasional tetapi bertentangan dengan norma-norma agama mereka. Oleh sebab 9
Sawaluddin, “Peranan Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Propinsi Grontalo” Nuhrison M Nuh (ed), Peran Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), hlm. 131-132. 10 Sawaluddin, “Peranan Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Propinsi Grontalo” Nuhrison M Nuh (ed), Peran Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), hlm. 131-132. 11 Sawaluddin, “Peranan Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai di Propinsi Grontalo” Nuhrison M Nuh (ed), Peran Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), hlm. 131-132.
itu, munculnya abad pencerahan, renaisans dan akhirnya abad modern menandai babak baru munculnya dominasi akal pikiran atau manusia di atas segala-galanya, implikasi dari hal tersebut lahirlah budaya sekularistik. Dalam tradisi keilmuan tetang relasi agama dan sains, Ian G Barbour mengkategorikan relasi agama dan sains di antaranya dengan tipologi independensi yang dalam bahasa kajian keilmuan pendidikan Islam sering dikenal dengan pemikiran pendidikan
dikotomis.
Babrbour
menyebutkan
bahwa
paradigma
independensi
berpendapat bahwa wilayah agama dan wilayah sains berjalan sendiri-sendiri, tidak bisa berjalan bersama karena masing-masing wilayah tersebut memiliki ruang dan kategori tersendiri yang tidak bisa disatukan antara yang satu dengan yang lainnya. 12 Demikian juga pemikiran Islam sekularistik/dikotomis memisahkan antara masalah agama dan masalah keduniaan. Keduanya seolah-olah tidak ada keterkaitan sehingga yang terjadi adalah masing-masing domian bergerak sendiri-sendiri tanpa ada kendalinya. Dalam bahasanya Muhaimin, tokoh Pendidikan Islam asal Indonesia, tipologi pembaruan Islam ini masuk kategori paradigma pemikiran Islam dikotomis dimana antara nilai-nilai agama Islam dan nilai-nilai budaya terpisah dan tidak mau dikaitkan. Antara aspek jasmani dan rohani terpisah, pendidikan agama Islam dan pendidikan umum berjalan sendirisendiri dan tidak berimbang. Pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan nonkeagamaan.13 Dalam kasus pendidikan Islam, terutama di sejumlah pesantren salaf, maka lembaga pendidikan yang berkatarter dikotomis kemudian hanya mengembangkan muatan keilmuan atau mata pelajaran agama Islam dalam arti hanya urusan ukhrawi saja, tidak juga memperhatikan masalah-masalah duniawi. Salah satu contoh kasus adalah lembaga pendidikan pesantren yang hanya mengajar kitab kuning dan tidak ada pelajaran umum. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang, yang berada di kampung Karangmangu Sarang Rembang Jawa Tengah yang didirikan oleh KH. Maimun Zubair pada tahun 1967. Sistem pendidikan pesantren tersebut menerapkan sistem salafiyah yang mana para santri wajib mengikuti pengajian yang dilaksanakan oleh para kiai atau ustadz yang menggunakan sistem bandongan (bersama-sama) atau sorogang (individual). Santri juga diwajibkan mengikuti pendidikan muhadarah hingga tingkat 12
Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhamad, (Bandung: Mizan, 2000). 13 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 59-60.
aliyah, bahkan hingga ma’had aly. Di samping itu, pendidikan pesantren al-Awar tersebut juga mewajibakan bagi santri yang memenuhi syarat untuk melakukan mudzakarah kitab Fathul Qarib dan Fathul Mu’in yang berisi masalah-masalah hukum-hukum Islam mulai masalah thahara hingga masalah muamalah, serta kitab Ibnu Aqil
yang mengajarkan
masalah tata bahasa Arab tingkat tinggi.Mudzakaroh adalah suatu bentuk kajian secara mendalam pada kitab yang dikaji, juga aplikasinya pada permasalahan-permasalahan yang aktual.14 Implikasi sistem pembelajaran yang bersifat separatif ini menimbulkan pengajaran ilmu yang hanya berorientasi keahiratan saja, sementara sains umum dianggap sebagai hal yang tidak penting. Biasanya sistem pembelajarannya berkarakter doktriner dan normatif. Peserta didik diajari hanya sekadar taat dan patuh kepada wawasan keilmuan yang diajarkan tanpa ada kritik dan reformasi serta pengamalan keilmuan yang tinggi tanpa disertai sikap kritis.15 Oleh sebab itu, sistem pendidikan Islam yang ideal seharusnya menempatkan sistem pendidikan yang mampu menjadi wadah untuk pengembangan ilmuilmu agama dan ilmu-ilmu umum, sebab tanpa adanya unsur agama, maka ilmu pengetahuan akan kehilangan nilai pembinaan karakter moralitasnya.16 Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren tradisional, hingga kini masih tetap eksis. Pesantren telah terbukti melewati berbagai fase perpolitikan dan zaman, tetapi dengan tetap peran yang penting. Walaupun demikian, pesantren tradisional tetap masih memerlukan sentuhan manajemen profesional karena hingga kini masih menerapkan manajemen tradisi, bukan manajemen profesional sebagaimana yang diterapkan dalam lembaga pendidikan modern masa kini. Akibatnya, tidak ada perencanaan yang matang, dan tidak ada distribusi kekuasaan atau kekuasaan yang baik. Tradisi manajerial ini merupakan salah satu bentuk kelemahan sistem manajemen pesantren tradisional walaupun dalam keadaan yang sama bisa menjadi kelebihan. Sistem manajemen pesantren berjalan asal jadi, tidak memiliki fokus strategiyang terarah, dominasi personal terlalu besar, dan cenderung ekslusif dari dinamika 14
PP AL-Anwar Sarang Rembanghttp://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=113, edisi 28 Desember 2008 15 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 61. 16 Zulfikar Ali Buto, “Peran Lembaga Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal dalam Mentransfrmasikan Karakter Bangsa” dalam Ahmad Ta’rifin dan Musoffa Basyir (eds), Character Building Through Eduction, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press Bekerjasama dengan University of Malaya Malaysia, 2011), hm. 130.
perkembangan luar. Tujuannya adalah untuk meningkatkan progresifitas pendidikan pesantren untuk menjawab dinamika perkembangan zaman.17 Sistem pembelajaran yang mengedepankan ta’dim (hormat), pengamalan, tanpa sikap kritis terjadi lantaran dominasi sistem manajerial pendidikan di pesantren yang mengedepankan sistem kepemimpinan kharimatik. Sementara itu, sistem kepemimpinan kharismatik memiliki sisi kelemahan yakni ketidakpastian dalam perkembangan pesantren karena semuanya bergantung keada keputusan pribadi kiai; inovasi-inovasi yang akan dilakukan oleh para penerusnya akan terhambat karena belum tentu mendapat restu dari pribadi kiai; dan sistem regenerasi kepemimpinan yang terjadi secara tiba-tiba tanpa persiapan yang baik, misalnya disebabkan sang kiai meninggal dunia. Impliaskinya, sistem kepemimpinan pendidikan ini akan menghilangkan suasana demokratis dalam proses pendidikan, regenerasi kepemimpinan yang tidak baik, dan kecakapan pemimpin tidak menjadi pertimbangan penting.18 Sementara itu, sistem pendidikan umum yang diterapkan mulai dari Taman KanakKanak hingga perguruan tinggi hanya mengajarkan ilmu-imu umum dan tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah agama. Ketika belajar ilmu alam, maka ilmu yang didapatkan adalah ilmu alam yang tidak ada kaitannya dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam agama, sehingga lulusannya tidak merasa bersalah kepada Tuhan ketika mereka melakukan perusakan lingkungan, alam, hutan atau laut. Padahal, sebagai bangsa yang beragama, semua makhluk yang ada di langit maupun di bumi adalah ciptaan Tuhan. Implikasinya, lahirnya lulusan yang tidak memahami masalah-masalah substansi alam semesta dan tidak mau menjaganya sehingga terjadilah kerusakan alam dan lingkungan. Implikasi sistem pembelajaran yang bersifat separatif ini menimbulkan pengajaran ilmu yang hanya berorientasi sekuler saja, sementara ilmu agama dianggap sebagai hal yang tidak penting. Biasanya sistem pembelajarannya adalah sekularistik dan menafikan ilmu-ilmu agama karena dianggap kurang ilmiah dan kurang bermanfaat dalam kehidupan sosial-empiris, apalagi eksakta.19
17
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 59. 18 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 67-68. 19 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 61.
Menurut Muhaimin, padangan dikotomis tersebut telah memunculkan dualisme pendidikan. Dalam tradisi keilmuan pendidikan dikenal dengan pendidikan agama dan pendidikan non-agama, atau ilmu umum dan ilmu agama. Pandangan dikotomis juga terjadi dengan adanya penyempitan pengertian ulama menjadi fuqaha, yang sebagian orang hanya mengartikan dengan ilmuwan agama semata, dan tidak memasukkan juga sebagai kaum intelektual. Munculnya reduksi pengertian ulama hanya dengan pengertian seorang yang paham ilmu agama, lahir karena bangsa Indonesia terlalu lama dijajah, dimana kaum Muslim mengalami kemunduran dan keterbelakangan dalam berbagai aspeknya. Ironisnya, benturan peradaban ilmu pengetahuan antara kaum Muslim dengan peradaban keilmuan Barat telah melahirkan faksi baru dalam tradisi kaum intelektual, ilmuwan sekuler. Mereka telah terdidik dengan wacana keilmuan sekuler, sehingga memperlebar gap di antara keduanya.20 Pandangan dikotomis ini melahirkan karakter keilmuan sebagaimana juga sering disebutkan oleh Imam al-Ghazali dengan ulum al-diniyah (ilmu agama) yang wajib dipelajari secara personal (fardu ain), dan ulum al-dunyawiyah (ilmu duniawi) yang wajib dipelajari secara kolektif (fardu kifayah) dalam artian jika sudah ada yang memahami, maka yang lainnya gugur kewajiban mempelajarinya. Dampak negatif dari tipologi pendidikan parsialistik/dikotomik ini adalah munculnya pemahaman keilmuan parsial atau dikotomik baik dalam bidang keilmuan agama maupun ilmu umum. Kedua-duanya akan memiliki implikasi negatif, pemahaman keagamaan parsial tidak menutup kemungkinan akan melahirkan pemikiran/gerakan Islam radikal. Demikian juga penguasaan ilmu pengetahuan umum tanpa warna agama akan kehilangan nilai etikanya yang akhirnya akan membahayakan nasib hidup manusia itu sendiri, misalnya munculnya senjata nuklir akibat dari ilmu pengetahuan yang tak beretika.
D. Tipologi Pendidikan Islam Reformistik Dalam
tradisi
kajian
Islam,
tipologi
reformistik
berusaha
membangun
keseimbangan antara budaya (turast) dan pembaruan (modernitas) dengan penilaian yang menyatakan keduanya sama-sama bernilai guna dan bermanfaat untuk dinamika hidup manusia dalam segala aspeknya. Dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia, ada kecenderungan untuk berupaya memadukan keduanya untuk mencapai keseimbangan dan 20
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 61.
kebijaksanaan sehingga masyarakat tidak lepas dari akar budayanya di satu sisi, dan pada sisi yang lain juga mampu menghadapi dinamika gerak zaman yang selalu dinamis dan progresif. Dengan kata lain, yang adil dan bijaksana adalah mengharmonisasikan antara dua kepentingan dengan tetap menjaga standar nilai-nilai rasional dan akal sehat. Oleh sebab itu, tipologi kajian ini masuk kategori budaya Islam reformis.Adapun gerakan reformasi di dunia Islam banyak diwakli oleh para tokoh di antaranya adalah Rifaat Tahtawi yang memiliki karakter sebagai pembaru Muslim rasionalis. Beliau adalah pembaru Muslim yang berusaha melakukan upaya kajian dan interpretasi terhadap nilainilai ajaran agama Islam yang dinilai secara lahir bertentangan dengan nilai-nilai modernitas, tetapi substansinya padahal tidak bertentangan dengan modernitas.21 Gerakan reformistik dalam dunia Arab modern mencapai puncaknya dalam diri Muhammad 'Abduh, seorang pembaru Islam yang telah menjadi jembatan penghubungan antara peradaban Barat dan peradaban Timur. Abduh telah menjadi kiblat dari para pembaru Islam yang hadir kemudian. Dari Abduh, para pembaru Islam berkembang dengan dua arah sisi yang berbeda; ada yang bergerak ke arah kiri (sekuler) dan ke arah kanan (fundamentalis). Pembaru Islam yang bergerak ke arah kiri di antaranya Qasim Amin, Ali Abd Raziq, Muhammad Imarah dan Hassan Hanafi, sementara pembaru Islam yang bergerak ke arah kanan yang kemudian menjadi radikal adalah Rasyid Ridla, Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb.22 Gerakan pemikiran Islam yang berkarakter kiri muncul lantaran pengaruh budaya dan wacana keilmuan Barat yang lebih dominan, sedangkan wacana keilmuan Timur yang berasal dari norma agama Islam kurang mendapatkan posisi yang memadai. Dengan kata lain, tipologi pemikiran Islam kiri lebih banyak dipengaruhi Barat dan mengukur nilai kebenaran ilmu lebih banyak berdasarkan wacana keilmuan Barat. Tipologi ini banyak dianut oleh kalangan intelektual lulusan Barat.23 Pembaruan Islam, M.Imarah,pada dasarnya ingin menegaskan bahwa persoalan politik dalam Islam harus ditangani secara serius. Keinginan kelompok Muslim untuk mendirikan negara Islam pada dasarnya bersumber dari kodisi tekanan psikologis dari seseorang yang sudah merasa kalah. Oleh sebab itu, gerakan keagamaan ini tidak perlu 21
A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”,Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab3.html, 29 Oktober 2013. 22 A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”,Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab3.html, 29 Oktober 2013. 23 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 61.
diikuti karena hanya reaktif, bukan lahir dari pikiran-pikiran rasional-keagamaan. Adapun sisi pembaruan pemikiran ini, yaitu upaya menafsirkan kembali masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan sistem kenegaraan Islam dengan tetap menjaga otoritas tradisi yang ada. Pembaruan Islam, termasuk pendidikan Islam harus dilakukan dengan tetap menjaga otoritas tradisi yang baik. Adapun Hassan Hanafi, ilmuwan Mesir,dengan kecenderungan sama, tetapi titik tekan penyelesaian masalah yang lebih luas, yaitu seperti yang dielaborasi dalam sebuah tulisannya:24 “Mawqifuna al-Hadlari, ia membagi tiga sikap seorang (Arab Muslim) modern; pertama, sikap terhadap masa lalu, yaitu kepedulian diri terhadap tradisi dan warisan lama. Kedua, sikap terhadap Barat, dan ketiga, sikap terhadap realitas dan kondisi Muslim kontemporer. Setiap dari ketiga sikap itu dielaborasi oleh Hanafi dalam masing-masing tulisan dan buku yang berbeda. Untuk pengantar umum proyeknya, ia menulis Al-Turats wa al-Tajdid; untuk sikap yang pertama ia menulis Min al-Aqidah ila al-Tsawrah; untuk sikap terhadap Barat, ia menulis karya tebal Muqaddimah fi 'Ilm al-Istighrab; dan untuk sikap terhadap realitas, tesis dan disertasi doktoralnya telah ia jadikan sebagai referensi utama, l'exegese de la phenomenologie, l'etat actuel de la methode phenomenologique et son application au phenomene religieux, dan la phenomenologie de l'exegese, essei d'une hermeneutique existentielle a partir du nouveau Testament”.25 Reformasi keilmuan dan kelembagaan pendidikan Islam yang harus dilakukan dengan meminjam pemikiran Hassan Hanafi harus melalui dua proyek besar yakni Pertama, pembaruan pendidikan Islam dengan melakukan kajian ulang terhadap semua bangunan keilmuan hasil ilmuwan masa lalu dengan melakukan pembangunan kembali (i'adah buniyat min jadid) warisan Arab-Islam dengan melihat kepada spirit modernitas dan kebutuhan Muslim masa kini. Ilmu kalam yang dianggap sakral harus dirumuskan kembali berdasarkan perspektif dan standar modernitas, sehingga ia menawarkan gagasan neo-kalam (ilmu kalam baru) dalam pengertian bukan hanya melakukan memahami gagasan ilmu kalam al-Asy'ari, Baqillani dan al-Ghazali, tetapi juga sekaligus melakukan revolusi ideologis untuk melakukan perubahan zaman menuju peradaban yang baik dan benar. Demikian juga ilmu tasawuf bukan melahirkan orang-orang yang pasif, tetapi harus menjadi pendorong untuk bekerja aktif dan ikhlas.26
24
A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”,Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab3.html, 29 Oktober 2013. 25 A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”,Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab3.html, 29 Oktober 2013. 26 A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”,Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab3.html, 29 Oktober 2013.
Dalam bahasa Mulyadi Kartanegara, ilmuwan Muslim dalam tradisi Islam tidak boleh hanya terpaku dengan masalah-masalah normatif saja tetapi harus mampu menggali turast yang dimiliki umat Islam. Salah satu turast yang dimiliki umat Islam yang perlu diperhatikan misalnya di antaranya, natural sains, yakni minerologi yang mengurai bendabenda mineral –batu-batu atau logam mulia- untuk diteliti dan dikenali, IlmuwanMuslim Ibnu Arabi menulis karya Tadbiratul Ilahiyah yang menjelaskan kualitas batu-batu, Abu Rayhan al-Biruni yang menulis kitab al-Jamhir fi Ma’rifat al-Jawahir (Buku Pengetahuan tentang Batu-Batuan Berharga) yang meneliti bukan hanya asek minerologisnya saja tetapi juga aspek filologis, fisik, medis dan bahkan filosofisnya, zoologi (ilmu hewan) adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan hewan meliputi fisiologi hewan, jenis-jenis dan tipologi hewan meurut kriteria tertentu. Ulama yang meneliti tentang kehidupan hewan secara komprehensif adalah Kamal al-Din al-Damiri dalam judul, Hayat al-Hayawan alKubra, kitab lainnya, Rasa’il al-Ihwan al-Shafa, dan Ilmu kedokteran(ilmu al-thibb) yang mempelajari tubuh manusia dari sisi sakit dan sehatnya, yang diulas, diteliti dan ditulis oleh Ibnu Sina dalam kitabnya yang berjudul al-Qanun fi al-Thibb, ar-Razi berjudul alHawi.27 Kedua, pembaruan pendidikan Islam dengan tetap memelihara tradisi lama yang baik dalam bidang manajemen28 misalnya bagaimana manajemen pembelajaran pendidikan Islam di Pesantren atau pendidikan Islam bisa berkembang dan mampu menjawab dinamika perkembangan zaman. Menurut Mujamil Qomar, manajemen pendidikan Islam akan mampu menghadapi dinamika perkembangan zaman dengan persyaratan berikut: sistem pendidikan Islam harus ideal dan kondusif untuk pengembangan keislaman, keilmuan dan kebudayaan; dari segi fasilitas harus terpenuhi dengan baik, dan yang terakhir lembaga pendidikan Islam harus mampu berinteraksi dengan masyarakat luas.29 Dalam bahasanya Muhaimin, tokoh Pendidikan Islam asal Indonesia, tipologi pembaruan Islam ini masuk kategori pembaruan pendidikan Islam sistematik yang mengandaikan bahwa paradigma keilmuan mengenai pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental values. Nilai-nilai agama Islam dijadikan dasar dalam 27
Lihat Mulyadi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), hlm. 138-147. A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”,Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab3.html, 29 Oktober 2013. 29 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm.54-55. 28
melakukan pembaruan pendidikan Islam. Melalui upaya-upaya semacam itu, maka sistem pendidikan Islam akan mampu mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan lulusan yang mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan spiritual dan profesional. Paradigma kajian keilmuan ini telah mulai dibangun dengan lahirnya SKB 3 Menteri yang menetapkan pendidikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama di Madrasah. Dalam kehidupan pendidikan madrasah telah ditanamkan tiga hal penting: sebagai wahana pembinaan ruhani, memperjelas eksistensi madrasah sama dengan sekolah umum dalam artian madrasah telah diajarkan pendidikan umum, dan mampu menjawab tantangan kehidupan nasional dan global.30 Dinamika perkembangan zaman juga telah mempengaruhi eksistensi pendidikan pondok pesantren. Sistem pendidikan pesantren yang pada awalnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam normatif saja akhirnya juga mengalami pergeseran dan perubahan dengan mengakomodir perkembangan zaman, yakni dengan masuknya pendidikan umum di dunia pesantren sebagaimana telah dilakukan di Pondok Pesanten Al-Anwar yang terbagi menjadi dua, yakni PP. Al-Anwar I adalah untuk mendalami pendidikan atau ilmuilmu keagamaan murni sebagaimana di atas telah dijelaskan, sedangkan PP. Al-Anwar II sebagai wadah bagi santri-santri yang hendak mendalami ilmu-ilmu agama Islam dan juga sains dan tehnologi. Ilmu-ilmu umum digunakan sebagai wahana untuk mendalami ilmu agama. Kebijakan pendidikan yang berusaha mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum dilakukan tepatnya pada tanggal 15 september 2003 yang ditandai dengan dibukanya pendidikan formal, yakni MTs (Madrasah Tsanawiyah) Al-Anwar dengan harapan untuk mempelajari ilmu–ilmu umum dan ilmu agama, sehingga tujuan akhir kebahagian dunia akhirat dapat dicapai.Tidak berhenti sampai disitu, pada 21 September 2006 Ponpes Al-Anwar juga membuka Madrasah Aliyah Al-Anwar dengan tujuan yang sama untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum secara bersamaan.31 Dalam dunia pendidikan tinggi, sebagai bagian dari sistem pendidikan organisme/sistemik telah dilakukan transformasi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri, dari Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas
30
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 67-68. 31 PP AL-Anwar Sarang Rembanghttp://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=113, edisi 28 Desember 2008
Islam Negeri sebagaimana telah dilakukan UIN Maliki Malang, UIN Sunan Kalijaga, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Gunung Jati, dan UIN Suska Riau sebagai indikator bahwa gerakan integrasi ilmu agama dengan ilmu umum telah berkembang semarak di Perguruan Tinggi Islam, bahkan kekhawatiran berkurangnya peminat untuk belajar ilmu agama murni di Fakultas Ushuluddin UIN tidak terbukti. UIN Sunan Kalijaga tetap memiliki mahasiswa yang eksis dalam bidang keilmuan agama murni sebagaimana masih menjadi IAIN, demikian juga kampus Peguruan Tinggi Islam Negeri lainnya. Berdasarkan kajian keilmuan tersebut, tradisi kajian keilmuan Islam yang dikembangkan oleh Muhammad Arkoun yang mengembangkan wawasan keilmuan tradisi dengan T besar dan tradisi dengan t kecil, Mohammed Abid Jabiri yang berusaha mendalami kajian historis Islam untuk memahami ajaran agama Islam, Abdulahi Ahmed An-Na’im yang menyuarakan pembaruan Islam dalam bidang hak asasi manusia dan hukum, Hassan Hanafi dengan jargon dari akidah menuju aksi yang positif, Nurcholish Madjid yang mengemukakan wacana doktirn dan peradaban untuk melakukan pembaruan Islam, Abdurrahman Wahid dengan jargon pribumisasi Islamnya, Ahmad Syafii Ma’arif yang mengemukakan Islam cita-cita dan Islam fakta, dan M. Amin Abdullah dengan jargon normativitas dan historitasnya untuk melakukan pembaruan Islam telah meletakkan jangkar yang kokoh untuk pembaruan Islam menuju integrasi kajian ilmu agama Islam dan ilmu umum. Wadah gerakan pembaruan Islam itu menemukan ruang dan momentumnya yang pas dengan adanya transformasi Peguruan Tinggi Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). E. Penutup Sistem pendidikan Islam di Indonesia mengalami pasang surut mulai dari sistem pendidikan yang berbasis budaya sebagaimana pendidikan pesantren hingga integrasi menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam UU Nomor 02 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memberikan ruang gerak yang lebih luas dengan mengakomodir sistem pendidikan Islam sebagai bagian integral dengan sistem pendidikan nasional dengan variannya yang dimiliki. Bahkan sistem pendidikan keagamaan atau Islam semakin hari semakin kuat eksistensi dan integrasi sistem pendidikan agama juga terjadi baik di level pendidikan pesantren, madrasah maupun perguruan tinggi agama.Hasil kajian ini menegaskan bahwa sistem pendidikan Islam dikotomis tidak bisa dipertahankan karena
akan menyebabkan mutu lulusan rendah dalam bersaing dengan tantangan zaman, sedangkan sistem pendidikan Islam organisme/sistemik harus dipertahankan karena akan memberikan kontribusi bagi lulusannya bermutu dan berdaya saing dalam menjawab dinamika perkembangan zaman.