MANAJEMEN STRATEJIK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS UNGGULAN WILAYAH
ARIE DHARMAPUTRA MIRAH P.25600013 / TIP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
MANAJEMEN STRATEJIK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS UNGGULAN WILAYAH
ARIE DHARMAPUTRA MIRAH P.25600013 / TIP
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis Unggulan Wilayah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2007 Arie Dharmaputra Mirah NIM P.25600013
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ritey Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara pada tanggal 24 Pebruari 1953, adalah anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Nehemiah Mirah (alm) dan Engelina Lumy (alm). Pada tanggal 22 Nopember 1990 penulis menikah dengan Ir. Josephine LP. Saerang, M.P, dan telah dikaruniai seorang anak yaitu Pingkan Engelina Putri. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri I Manado pada tahun 1970, pendidikan sarjana strata satu di Jurusan Produksi minat Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi Manado (UNSRAT), lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1997 mengikuti program magister di Program Studi Ilmu Ternak, Institut Pertanian Bogor (PTK-IPB) dengan beasiswa dar BPPS- Dikti, lulus pada bulan Februari tahun 2000. Pada tahun ajaran 2000/2001 penulis diterima pada pendidikan program doktor Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor (TIP-IPB), dengan beasiswa dari BPPS – Dikti. Penulis bekerja sebagai staf pengajar bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado dan staf di Laboratorium Kimia Dasar UNSRAT sejak tahun 1986.
Judul Penelitian Tesis (S1): “Pengaruh Penyuntikan Papain secara Antemortem terhadap Tingkat Keempukan Daging Ayam Petelur Tua” Judul Penelitian Tesis (S2): “ Efek Penggunaan KCl Sebagai Pengawet dan Emulsifier terhadap Kualitas Kulit Kambing Samak Nabati”
PRAKATA Dalam rangka penyelesaian studi di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB, penulis melakukan penelitian disertasi dengan tema: “Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis Unggulan Wilayah” dengan wilayah kajian yaitu Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan sejak tahun 2003 dan telah diseminarkan pada bulan Februari tahun 2006. Selama studi dan terutama selama pelaksanaan penelitian sampai penulisannya, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Irawadi Jamaran selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Krisnani Setyowati, Dr. Ir. Machfud, M.Sc., Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng., Prof. Dr. Ir. Lefrand W. Sondakh, M.Ec. selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Amril Aman, M.Sc sebagai penguji pada Ujian Tertutup,
kepada
Dr. Widigdo Sukarman, MBA, MPA dan Dr. Ir. Dedi Mulyadi, M.Si sebagai penguji pada Ujian Terbuka, juga kepada Dr. Ir. Dida Setyadi Salya, MA yang telah memberikan banyak masukan untuk perbaikan disertasi penulis. 3. Pimpinan dan Staf Sekolah Pascasarjana IPB secara khusus kepada bapak Dr. Ir. Sam Herodian, MS yang mewakili Rektor IPB pada pelaksanaan Ujian Terbuka, Pimpinan dan Staf Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB, yang telah memberi kesempatan pada penulis mengikuti program doktor dan segala bantuan dan pelayanan Bagian Administrasi yang diberikan selama proses studi penulis. 4. Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado, atas kesempatan studi lanjut dan segala bantuan yang diberikan kepada penulis 5. Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Selatan dan Propinsi Sulawesi Utara atas segala bantuan penelitian yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang agroindustri dan bagi kepentingan pembangunan bangsa, terima kasih. Bogor, Juli 2007 Arie Dharmaputra Mirah
Judul Disertasi
: Manajemen Stratejik Pengembangan
Agroindustri Berbasis Unggulan Wilayah Nama
: Arie Dharmaputra Mirah
NIM
: P.25600013
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua
Dr. Ir. Machfud, MS Anggota
Dr. Ir. Krisnani Setyowati Anggota
Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng Anggota
Prof. Dr. Ir. Lefrand W. Sondakh, M.Ec Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Tanggal Ujian: 23 Juli 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus: 20 Agustus 2007
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Amril Aman, M.Sc
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Widigdo Sukarman, MBA, MPA 2. Dr. Ir. Dedi Mulyadi, M.Si
ABSTRACT ARIE DHARMAPUTRA MIRAH. Strategic Management Based on Region Superiority for Agroindustry Development. Under the direction of IRAWADI JAMARAN, MACHFUD, KRISNANI SETYOWATI, YANDRA ARKEMAN and LEFRAND WINSTON SONDAKH. The study attempted to owe an explanation about existing agroindustry in North Sulawesi. Profile of some agroindustries based on agriculture raw material was selected to represent the superior industry. The objective of this researched is to engineer the strategic management model by integrated of agroindustry with region superiority concepts. The superiority of agroindustries in North Sulawesi, had been analyzed by using Agroindustry Index (IA) accounting as a deterministic justification model. This model use an index number of several variables as an input model i.e. index of invested, index of labor absorption, index of extensive area of plant, index of total production of plant, and index of LQ value of agriculture commodities. Exponential Comparative Methods (ECM) was used to select the superior product. AI’SWOT is an expert choice explicit justification model which is used to evaluate the strategic environmental factors (SWOT factors), restructure the system by using Interpretative Structural Modeling (ISM), continued to select the alternative strategy of the agroindustry development system by using Analytical Hierarchy Process (AHP) on the Strategic Formulation sub-model. The model of this research had been arranged the superiority rank of agroindustry and product. Restructured the development system had been found the significant aspect of the elements of supporting, handicap, strategy, needs, and community of development system, so that the groups of alternative strategy. Strategic implementation sub-model was used to find out the content of the human resources, natural resources, social capital and technology resources for every strategy by using Availability Matrix analysis. Strategic evaluation sub-model was used to formulated the scenario of the agroindustry development strategy by using Optional Matrix analysis. Complete analyze of the research has built successfully the model of the Strategic Management for Region Superiority Agroindustry Development (MS-RSA), with all of several limitation. ______________________________ Key words: agroindustry, region superiority, strategic management.
RINGKASAN ARIE DHARMAPUTRA MIRAH. Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis Unggulan Wilayah. Dibimbing oleh IRAWADI JAMARAN, MACHFUD, KRISNANI SETYOWATI, YANDRA ARKEMAN dan LEFRAND WINSTON SONDAKH. Penelitian ini berusaha menjelaskan tentang kondisi agroindustri yang berkembang di Sulawesi Utara. Seleksi unggulan agroindustri telah dilakukan berdasarkan bahan baku industrinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk merekayasa model manajemen stratejik melalui integrasi konsep-konsep yang berkaitan dengan agroindustri dan unggulan wilayah. Penetapan unggulan agroindustri telah dilakukan dengan metode Indeks Agroindustri (IA) yang merupakan model justifikasi deterministik. Model memanfaatkan data kuantitatif peubah luas lahan, produksi, besaran investasi dan penyerapan tenaga kerja, berdasarkan bahan baku agroindustri. Metode Perbandingan Eksponensial telah digunakan untuk penetapan produk unggulan. AI’SWOT adalah model justifikasi eksplisit yang merupakan model pilihan pakar, telah digunakan pada sub-model Formulasi Strategi untuk mengevaluasi lingkungan strategis (faktor-faktor SWOT), kemudian menetapkan.strukturisasi sistem pengembangan dengan Interpretative Structural Modeling (ISM), dilanjutkan dengan analisis pilihan strategi pengembangan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP). Pengunaan berbagai model analisis dalam penelitian ini telah berhasil menetapkan ranking unggulan agroindustri dan rangking unggulan produknya. Strukturisasi sistem telah menemukan sub-elemen kunci dari elemen pendukung, penghambat, strategi, pelaku dan kebutuhan sistem pengembangan. Sub-elemen kunci telah dikembangkan sebagai sasaran (goal) untuk menemukan berbagai alternatif strategi pengembangan. Sub-model Implementasi Strategi dengan analisis Matriks Ketersediaan telah berhasil mengkaji ketersediaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya sosial, dan sumberdaya pembangunan dari lokasi kajian untuk setiap penerapan strategi pilihan. Sub-model Evaluasi Strategi dengan analisis Matriks Opsional telah merumuskan berbagai skenario pengembangan meliputi skenario pengembangan bahan baku, skenario pengembangan ketersediaan sumberdaya, skenario pengembangan proses, dan skenario pengembangan aspek pasar. Penggunaan model dan metode analisis secara keseluruhan telah berhasil merancang-bangun model manajemen stratejik pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah (MS-PAW) dengan berbagai keterbatasannya. ______________________________ Kata kunci: agroindustri, unggulan wilayah, manajemen stratejik.
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jenis dan interpretasi hubungan kontekstual antar sub-elemen ISM
23
2
Identifikasi elemen-elemen aktor dan kebutuhannya ..................
31
3
Tahap Kajian MS-PAW
34
4
Simbol hubungan dan definisi kontekstual antar elemen ISM-VAXO ..................................................................................
45
5
Skala pendapat (nilai dan definisinya)
47
6
Luas areal berbagai komoditi perkebunan ....................................
54
7
Produksi berbagai jenis komoditi perkebunan .............................
55
8
Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Kelapa .................................................................
55
9
Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Cengkih ...............................................................
56
10
Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Pala ......................................................................
56
11
Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Kopi .....................................................................
56
12
Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Panila ...................................................................
57
13
Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Jambu mete ..........................................................
57
14
Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Kakao ..................................................................
57
15
Daftar agroindustri skala besar di Sulawesi Utara .......................
58
16
Daftar agroindustri skala menengah di Sulawesi Utara ...............
59
17
Kapasitas potensial dan penyerapan tenaga kerja setiap jenis komoditi agroindustri di Sulawesi ................................................
60
xiii
18
Indeks luas lahan bahan baku agroindustri ...................................
61
19
Indeks produksi bahan baku agroindustri .....................................
62
20
Indeks investasi agroindustri ........................................................
62
21
Indeks tenaga kerja agroindustri .................................................
63
22
Urutan rangking prioritas unggulan agroindustri di Sulawesi Utara .............................................................................................
64
23
Indeks LQ
64
24
Matriks penetapan prioritas komoditi unggulan nasional di BPTP Sulawesi Utara .............................................................................
65
25
Agroindustri berbasis kelapa di Sulawesi Utara ..........................
67
26
Alternatif produk agroindustri unggulan .......................................
68
27
Penilaian alternatif produk unggulan ............................................
68
28
Hasil perhitungan dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ...........................................................................................
69
29
Evaluasi Faktor-faktor SWOT ......................................................
71
30
Elemen pengembangan dan hubungan kontekstualnya ................
74
31
Hasil Reachability Matrix final dari elemen pendukung sistem pengembangan …………………………………………………..
76
Hasil Reachability Matrix final dari elemen kendala sistem pengembangan ..............................................................................
79
Hasil Reachability Matrix final dari elemen strategi sistem pengembangan ..............................................................................
82
Hasil Reachability Matrix final dari elemen pelaku sistem pengembangan .............................................................................
84
Hasil Reachability Matrix final dari elemen kebutuhan sistem pengembangan .............................................................................
87
32 33 34 35 36
Sasaran dan alternatif strategi pengebangan agroindustri ..............
37
Strategi prioritas pada sasaran pengembangan agroindustri unggulan .......................................................................................
92
100
xiv
Data produksi kelapa /wilayah kecamatan Kabupaten Minahasa Selatan ...........................................................................
107
Data produksi kelapa /wilayah kecamatan Kabupaten Minahasa Utara ............................................................................
107
40
Perkembangan agroindustri VCO di Sulawesi Utara ....................
108
41
Analisis ketersediaan sumberdaya setiap fokus pengembangan dari lokasi.pilihan pada Kab. Minahasa Utara .............................
110
42
Matriks interaksi ketersediaan sumberdaya setiap fokus pengembangan dari lokasi.pilihan pada Kab. Minahasa Utara ................
111
43
Analisis ketersediaan sumberdaya setiap fokus pengembangan dari lokasi pilihan pada Kab. Minahasa Selatan ..........................
112
Matriks interaksi ketersediaan sumberdaya setiap fokus pengembangan dari lokasi pilihan pada Kab. Minahasa Selatan ..............
113
38 39
44 45
Prosentasi nilai ketersediaan sumberdaya terbatas pada keseluruhan lokasi pilihan. .......................................................
116
46
Skenario pengembangan ketersediaan sumberdaya bagi agroindustri
117
47
Rumusan strategi opsional ketersediaan bahan baku agroindustri.
118
48
Skenario pengembangan bahan baku agroindustri berbasis kelapa di Sulawesi Utara ...............................................................
119
49
Aspek prosesing VCO di Sulawesi Utara .....................................
120
50
Volume dan nilai ekspor kelapa Indonesia
122
51
Sepuluh besar negara tujuan berdasarkan volume ekspor kelapa Indonesia .......................................................................................
122
Sepuluh besar negara tujuan berdasarkan nilai ekspor kelapa Indonesia ......................................................................................
123
52
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Model manajemen stratejik dari Baseman dan Platak .................
11
2
Model manajemen stratejik dari Richard D Irwin .......................
11
3
Model manajemen stratejik dari Shrivastava ..............................
12
4
Model Manajemen Stratejik dari David FR ................................
12
5
Model manajemen stratejik dari Hitt et.al ...................................
13
6
Volume ekspor beberapa jenis minyak nabati dan ikutannya .......
17
7
Kerangka pemikiran penelitian ...................................................
27
8
Diagram input-output strategi pengembangan agroindustri berbasis potensi wilayah ................................................................
33
9
Diagram Alir Rekayasa Model MS-PAW ...................................
38
10
Diagram Alir Rekayasa Model Seleksi Agroindustri / Produk Unggulan ...................................................................................
43
11
Diagram Alir Rekayasa Model Evaluasi Lingkungan Strategis ....
44
12
Diagram Alir Rekayasa Model I’SWOT bagi Strukturisasi Sistem Pengembangan ...............................................................
46
13
Diagram Alir Rekayasa Model AI’SWOT untuk Penetapan Strategi Pilihan ...........................................................................
49
14
Diagram Alir Tahap Analisis Ketersediaan Sumberdaya ............
50
15
Matriks skenario menurut Pierre Wack .......................................
52
16
Matriks Prioritisasi Proses ...........................................................
53
17
Pohon industri kelapa ....................................................................
66
18
Tahap formulasi strategi pengembangan agroindustri .................
70
19
Struktur hirarki antar sub-elemen pendukung sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara .............
77
Diagram klasifikasi sub-elemen pendukung sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara ............
77
Struktur hirarki antar sub-elemen kendala sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara ......................................
77
Diagram klasifikasi sub-elemen kendala sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara ......................................
80
20 21 22
xvi
Struktur hirarki antar sub-elemen strategi sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara ......................................
82
Diagram klasifikasi sub-elemen strategi sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara .....................................
83
Struktur hirarki antar sub-elemen pelaku sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara ......................................
85
Diagram klasifikasi sub-elemen pelaku sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara ......................................
86
Struktur hirarki antar sub-elemen kebutuhan sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara .............
88
Diagram klasifikasi sub-elemen pelaku sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara ......................................
88
29
Hirarki strategi sistem pengembangan agroindustri unggulan ......
93
30
CDP - Analisis prioritas basis pengembangan agroindustri .........
94
31
CDP - Analisis prioritas basis kawasan pengembangan agroindustri ...................................................................................
95
CDP – Analisis prioritas skala usaha pengembangan agroindustri ..................................................................................
96
CDP – Analisis prioritas kelembagaan pengembangan agroindustri ..................................................................................
97
CDP – Analisis prioritas target pasar pengembangan Agroindustri ..................................................................................
97
CDP – Analisis prioritas sumber pemodalan pengembangan agroindustri ..................................................................................
98
36
CDP – Analisis prioritas teknologi pengembangan agroindustri ..
99
37
Interaksi strategi menyeluruh ...........................................
105
38
Implementasi strategi pengembangan agroindustri ..........
106
39
Evaluasi strategi pengembangan agroindustri ..................
114
40
Matriks Prioritisasi Proses Agroindustri Unggulan
121
23 24 25 26 27 28
32 33 34 35
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Penduduk Sulawesi Utara sesuai Wilayah Kabupaten/ Kota
134
2
Seleksi unggulan agroindustri
134
3
Seleksi unggulan produk agroindustri
134
4
Penyerapan tenaga kerja pada agroindustri
135
5
Evaluasi lingkyngan strategis – analisis SWOT
136
6
Strukturisasi sistem pengembangan dengan ISM
140
7
Analisis Keputusan Kelompok dengan AHP
143
8
Pembobotan Strategi Menyeluruh
150
9
Ketersediaan Sumberdaya pada setiap Strategi pengembangan di Minahasa Utara dan Minahasa Selatan
151
10
Negara tujuan ekspor kelapa Indonesia
161
11
Ketersediaan bahan baku pada berbagai kondisi produksi dan luas lahan
162
12
Matriks interaksi ketersediaan
163
13
Validasi Model
163
MANAJEMEN STRATEJIK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS UNGGULAN WILAYAH
ARIE DHARMAPUTRA MIRAH P.25600013 / TIP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
1
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagai industri yang mengolah hasil pertanian, yang menggunakan dan memberi nilai tambah pada produk pertanian secara berkelanjutan maka agroindustri merupakan tumpuan harapan baru dalam menyempurnakan sukses bidang pertanian. Sentuhan bisnis menjadikan agroindustri salah satu pilar utama perekonomian yang dalam menetapkan strategi pengembangannya, selain aspek teknis juga harus merumuskan manajemen stratejik yang mampu mengoptimalkan potensi sumber daya yang dimiliki oleh suatu wilayah. Beberapa permasalahan yang menjadi pertimbangan strategis adalah: sifat hasil pertanian yang musiman dan mudah rusak; sifat pelaku industri yang umumnya resisten inovasi karena menganggap kegiatan pertanian beresiko tinggi dengan margin rendah;
pemasaran hasil-hasil pertanian yang tersebar secara
geografis dan memiliki jaringan kerja serta hubungan yang komplek dengan unitunit kecil dalam jumlah besar; penentuan kebutuhan bahan baku dengan pertimbangan jumlah, mutu, waktu, musim dan biaya;
dan disain sistem
kesepakatan antar pelaku yang terlibat. Sebab itu diperlukan strategi yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut. Konsep strategi memungkinkan para eksekutif mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas agroindustri (Shrivastava 1994). Agroindustri berpotensi dikembangkan seiring dengan permintaan pasar yang terus meningkat dan sumber bahan baku yang cukup tersedia. Salah satu keunggulan agroindustri adalah sifat produk yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi (Saragih 2000). Permasalahan pokok yang harus dikaji dalam usaha pengembangan agroindustri adalah belum adanya penetapan/penerapan strategi yang tepat untuk mampu memaksimalkan potensi-potensi yang ada
yang memungkinkan
agroindustri menjadi industri yang kompetitif dan mewujudkan revitalisasi pertanian. Dari sisi pertanian, kondisi yang terlihat adalah pengadaan bahan baku yang belum memaksimalkan potensi dalam negeri sehingga harus dipenuhi kebutuhannya dengan impor. Sementara itu kebijaksanaan dalam pembangunan
2
pertanian untuk mengsukseskan visi program jangka panjang , adalah pertanian modern yang berbudaya industri dalam rangka membangun industri pertanian berbasis pedesaan, sebagai langkah yang cukup prospektif. Pertanian modern harus menjadi suatu sektor yang tumbuh sama kuat dengan sektor industri dan sektor produktif lainnya. Agroindustri harus mampu merealisasikan tujuan pembangunan pertanian yaitu peningkatan kualitas produk/ usaha pertanian pada semua skala usaha, melakukan perubahan mental petani yang mendorong perubahan sifat usaha pertanian subsisten menjadi perusahaan pertanian (farm enterprise), dan menyeret prioritas perekonomian nasional pada ekonomi kerakyatan berbasis agroindustri/ agribisnis. Agroindustri sering dipahami sebagai perusahaan yang melakukan proses transformasi terhadap bahan mentah asal pertanian (Austin 1981), Dari sisi industri, perkembangan kebijakan pembangunan industri di Indonesia cukup variatif. Pada era 60-an, kebijakan pembangunan industri lebih ditekankan pada pembangunan industri dasar yang lebih bersifat subsidi impor. Pada Pelita I sampai Pelita VI kebijakan pembangunan industri diarahkan pada pengembangan industri yang berspektrum luas (broad base industry). Kelemahan dari kebijakan ini adalah tidak adanya prioritas pembangunan industri (Deperindag 2000). Kenyataan bahwa strategi produk unggulan nasional dan produk andalan daerah sebagai pendekatan prioritas yang pernah ditempuh Deperindag, demikian pula strategi Deptan yaitu
pembangunan pertanian berbasis sektor ekonomi
seperti INNAYAT (Industri Peternakan Rakyat), komoditas seperti SPAKU (Sentra
maupun yang berbasis
Pengembangan Agribisnis Komoditi
Unggulan), belum mampu menempatkan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam pembangunan nasional. Sejalan dengan paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang menempatkan agroindustri sebagai penggerak utama agribisnis nasional (Saragih 2001); kebijakan otonomi daerah yang menantang setiap daerah untuk mengoptimalkan total potensinya; dan kebijakan sektor industri dengan konsep kluster industri yang mempromosikan pengembangan ekonomi regional secara efektif dan perdagangan antar daerah di Indonesia (Deperindag 2000),
maka
3
potensi wilayah sebaiknya dijadikan basis strategi pengembangan agroindustri. Sasaran ideal adalah menjadikan agroindustri berbasis potensi wilayah sebagai primadona pembangunan industri nasional berwawasan lingkungan. Wilayah (Region) secara umum diartikan sebagai suatu tempat atau area geografis dan masyarakat didalamnya, juga
terkait dengan aspek ekonomi,
politik, sosial, administrasi, dan lingkungan fisik (iklim), atau juga aspek-aspek yang terkait dengan kebutuhan atau tujuan dari suatu studi (Shukla 2000). Sulawesi Utara adalah wilayah pacific rim Indonesia yang memiliki perpaduan keunggulan antara lain keunggulan geografis sebagai pintu gerbang di bagian utara Indonesia
ke kawasan internasional (aksesibilitas pasar global),
disamping keunggulan internal yang tergambar pada penetapan rumusan 6 (enam) program unggulan yaitu: 1) supremasi hukum, 2) pendidikan bermutu, 3) kebaharian dan kelautan, 4) agroindustri, agribisnis dan perdagangan internasional,
5) pariwisata, dan 6)
teknologi dan lingkungan hidup. Menurut Sondakh (2001) rumusan program unggulan yang menjadi bagian dari Strategi Pembangunan Sulawesi Utara dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam melakukan penyesuaian struktur dan nilai (structural and value adjustments) sebagai akibat kebijakan nasional bagi pelaksanaan otonomi daerah. Dimasukkannya agroindustri sebagai program unggulan menunjukkan komitmen masyarakat dan pemerintah daerah untuk memaksimalkan pemanfaatan eksploitasi dan pengolahan produk SDA dengan peningkatan nilai tambahnya (Sondakh 2001). Selanjutnya dikatakan agar supaya proses agroindustri berjalan efektif, struktur ekonomi harus ditata dalam bentuk stuktur agribisnis yang efisien yang mendorong peningkatan ekspor dalam perdagangan internasional. Manajemen stratejik: meliputi proses formulasi, implementasi dan evaluasi strategi setelah melakukan identifikasi dan analisis terhadap struktur pembangunan wilayah, pengembangan sistem manajemen yang berorientasi pasar, serta mampu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan global. Strategi diarahkan pada pengelolaan, pengendalian elemen-elemen input proses dan output dari agroindustri berbasis potensi wilayah untuk mencapai tujuan /ekspektasi
4
tertentu. Formulasi strategi memerlukan kajian mendalam karena merupakan langkah awal yang sangat menentukan pencapaian goal yang ditetapkan. Permasalahan dalam pengembangan agroindustri dapat dirumuskan sebagai berikut: Belum terlihat adanya penetapan/penerapan strategi yang tepat untuk mampu memaksimalkan total potensi yang ada. Dari sisi pertanian, Strategi pembangunan pertanian berbasis sektor ekonomi maupun yang berbasis komoditas belum mampu memaksimalkan potensi dalam negeri sehingga kebutuhan bahan baku industri masih harus dipenuhi dengan impor. Dari sisi industri, pada era 60-an, kebijakan pembangunan industri lebih ditekankan pada pembangunan industri dasar yang lebih bersifat subsidi impor.
Kebijakan pembangunan industri selama beberapa tahap
pembangunan (PELITA) diarahkan pada pengembangan industri yang bersifat broad base industry. Kelemahan dari kebijakan ini adalah tidak adanya prioritas pembangunan industri (Deperindag 2000). Kebijakan otonomi daerah yang menantang setiap daerah untuk mengoptimalkan sumber daya wilayahnya, dan kebijakan sektor industri dengan konsep kluster industri yang mempromosikan pengembangan ekonomi regional secara efektif dan perdagangan antar daerah di Indonesia, telah mempertajam keinginan daerah untuk mengupayakan sendiri secara maksimal total potensinya. Kebijakan pengembangan agroindustri Sulawesi Utara masih bervariasi fokusnya
pada
berbagai
instansi
terkait
misalnya
fokus
pada
pengembangan variasi produk yang didasarkan pada permintaan pasar terutama pasar global, fokus pada skala usaha atau pada kondisi pertanian masyarakat.
Faktor Pendukung:
Kebijakan pembangunan pertanian untuk mengsukseskan visi PJP–II yaitu pertanian modern berbudaya industri dalam rangka membangun industri pertanian berbasis pedesaan. Berbagai kebijakan nasional
5
mengisyaratkan pertanian modern sebagai suatu sektor yang tumbuh sama kuat dengan sektor industri dan sektor produktif lainnya.
Sulawesi Utara saat ini telah menetapkan rumusan 6 (enam) program unggulan yaitu: 1) supremasi hukum, 2) pendidikan bermutu, 3) kebaharian dan kelautan, 4) agroindustri, agribisnis dan perdagangan internasional,
5) pariwisata,
6) teknologi dan lingkungan hidup.
Dimasukkannya agroindustri sebagai program unggulan menunjukkan komitmen masyarakat dan pemerintah daerah untuk memaksimalkan potensi yang ada. Informasi dan beberapa pemahaman yang telah dikemukakan memberikan gambaran pentingnya penetapan strategi pengembangan agroindustri yang mengoptimalkan pemanfaatan totalitas potensi wilayah sebagai basis keunggulan komparatif/kompetitif, sehingga dapat meningkatkan kontribusi agroindustri terhadap peningkatan ekonomi nasional, terutama dalam mengantisipasi masuknya Indonesia dalam era perdagangan bebas (AFTA-2003, APEC-2010 dan WTO-2020).
I.2. Tujuan Penelitian 1. Merekayasa model manajemen stratejik dengan integrasi konsep-konsep yang berkaitan dengan agroindustri dan potensi wilayah 2. Merancang model indeks agroindustri untuk menetapkan peringkat unggulan agroindustri 3. Merancang tahapan formulasi strategi dengan melakukan kajian terhadap elemen-elemen pengembangan melalui evaluasi lingkungan strategis, strukturisasi sistem dan proses seleksi berbagai alternatif strategi 4. Merancang tahapan implementasi strategi dengan melakukan kajian terhadap interaksi antara ketersediaan sumber daya dengan strategi pengembangan yang ditetapkan 5. Merancang tahapan evaluasi strategi dengan melakukan kajian faktorfaktor
yang
pengembangan.
menentukan
dalam
penyusunan
berbagai
skenario
6
I.3. Ruang Lingkup
Penelitian dititikberatkan dalam kerangka kerja analitis (analytical framework) agroindustri.
Kelompok agroindustri yang dikaji lanjut pada seleksi agroindustri unggulan dalam penelitian ini adalah pada lingkup agroindustri berbasis perkebunan.
Ruang lingkup pengkajian konsep meliputi karakteristik wilayah yang berkaitan dengan potensi internal menyangkut karakter geofisik/ administrasi, kondisi sosial budaya, ekonomi, kebijakan; struktur sistem agroindustri, potensi input, proses dan output agroindustri; dengan mempertimbangkan pengaruh faktor eksternal menyangkut berbagai peluang dan ancaman terhadap sistem pengembangan; dan konsep manajemen stratejik yang meliputi perumusan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi lintas fungsional dengan memanfaatkan berbagai pendekatan analisis untuk perumusan berbagai skenario pengembangan dan alternatif strategi sebagai faktor kunci pengembangan agroindustri unggulan. Pengertian lintas fungsional pada penelitian ini adalah berkaitan dengan peran berbagai sektor real terhadap sistem pengembangan agroindustri pada wilayah kajian.
Kajian operasional akan dibuat sebagai verifikasi dari kajian model konseptual yang telah disusun berdasarkan studi kasus di wilayah Sulawesi Utara, sebagai lokasi pengambilan data potensi wilayah. Kajian model konseptual dikerjakan di Laboratorium Manajemen dan Teknik Industri, Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor..
7
II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Agroindustri Agroindustri dapat didefinisikan sebagai ‘industri yang berbasis pengolahan hasil pertanian’, setelah memperhatikan rumusan beberapa penulis antara lain Austin (1981) yang mendefinisikan agroindustri sebagai ‘perusahan yang memproses bahan mentah asal pertanian termasuk didalamnya tanaman dan ternak dengan berbagai variasi tingkatan pengolahan mulai dari pembersihan dan pengelompokan (grading) sampai dengan penggilingan dan pemasakan. Simposium Nasional Agroindustri II (1987) merumuskan agroindustri sebagai suatu kegiatan lintas disiplin yang memanfaatkan sumber daya alam (pertanian) untuk industri dengan kegiatan mencakup: 1) Industri peralatan dan mesin-mesin pertanian, 2) Industri pengolahan hasil-hasil pertanian, 3) Industri jasa sektor pertanian dan 4) Industri agrokimia. Dari definisi tersebut maka semua industri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian seperti industri textil, sepatu dan asesoris yang menggunakan bahan sutera, kapas, kulit hewan; industri meubel dengan bahan baku kayu, karet; industri pangan; industri farmasi dengan bahan baku tanaman obat dan hasil perkebunan; industri minyak wangi, kosmetik, keseluruan industri tersebut menjadi bagian dari agroindustri. Kontribusi agroindustri menjadi sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Menurut Brown (1994) lebih setengah dari keseluruhan aktivitas manufaktur di negara berkembang adalah agroindustri. Menjelang akhir abad XX sekitar 37 persen manufaktur di wilayah Asia dan Pasifik adalah pada sektor agroindustri. Pengembangan agroindustri di Indonesia didukung oleh kebijakan strategis dan kebijakan operasional. Kebijakan strategis adalah dengan dimasukkannya agroindustri dalam GBHN sejak tahun 1993, sedangkan kebijakan operasional memiliki prasyarat yaitu keberhasilan pertanian generasi I (generasi bibit/ benih) dan pertanian generasi II (budidaya) sehingga agroindustri
pada hakekatnya
adalah ujung tombak dalam ‘menyempurnakan sukses bidang pertanian’. Agroindustri adalah solusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai negara yang berada pada dua sisi; disatu sisi Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan mayoritas masyarakatnya masih bertumpu pada sektor pertanian, di sisi
8
lain Indonesia berada pada kompetisi global yang menuntut industrialisasi bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi. Agroindustri sudah seharusnya dijadikan tumpuan bagi pelaksanaan resource based strategy yang menurut Martani Huseini (1999) merupakan pendekatan terkini dalam fenomena globalisasi dan strategi bersaing yang dapat digunakan dalam menata ulang strategi pemasaran internasional Indonesia. Agroindustri yang memiliki sifat usaha berkelanjutan harus memperhatikan aspek manajemen dan konservasi sumber daya alam yang dalam usaha pengembangannya harus memperhatikan beberapa hal yaitu: 1. menggunakan teknologi dan kelembagaan yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya, 2. tidak menimbulkan degradasi atau kerusakan, 3. secara ekonomi menguntungkan dan 4. secara sosial dapat diterima masyarakat (Soekartawi 2000). Di wilayah Andes (Peru, Ekuador, Columbia) strategi pengembangan agroindustri
berbasis
komunitas
pedesaan
menjadi
kunci
keberhasilan
pembangunan wilayah dengan peningkatan produktivitas usaha pertanian skala kecil (Domínguez 2002, Website http://www.mtnforum.org/bgms ).
II.2. Wilayah Wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah dapat dibedakan atas: 1) wilayah homogen, yaitu suatu wilayah yang dipandang dari satu aspek / kriteria mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama, 2) wilayah nodal, yaitu suatu wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland), 3) wilayah perencanaan, dipahami sebagai suatu wilayah yang relatif luas yang memperlihatkan kesatuan dalam keputusan-keputusan ekonomi dan 4) wilayah administratif, yaitu suatu wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik (Budiharsono 2001). Pengelompokan dilakukan dengan memperhatikan berbagai kriteria tertentu sebagai dasar pembedaan. Shukla (2000) mengidentifikasi tujuh kriteria yang dapat dipakai untuk pembedaan wilayah yaitu: geografis, historis, politis, administrasi, sosial, dan ekonomi.
9
Pemahaman perencanaan
dan
terhadap
wilayah
pelaksanaan
sangat
menentukan
program-program
yang
dalam
rangka
berkaitan
dengan
pembangunan wilayah. Budiharsono (2001) menyebut enam pilar analisis pendukung pembangunan wilayah yaitu:
analisis lokasi, analisis lingkungan,
analisis sosial budaya, analisis ekonomi, analisis kelembagaan, dan analisis biogeofisik. Analisis lokasi merupakan salah satu faktor penentu pembangunan industri termasuk agroindustri pada suatu wilayah. Beberapa literatur membahas tentang teori lokasi yang kemudian menjadi basis prosedur analisis yang disebut comparative cost technique, yang digunakan untuk kebutuhan pengembangan industri dalam mengantisipasi kebutuhan pasar dan distribusi geografis dari bahan baku industri. Hal ini berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar penetapan lokasi industri dengan pertimbangan service trades yaitu: (1) akses terhadap sumber input (bahan baku, bahan pendukung, layanan), (2) akses terhadap pasar, dan (3) skala operasional dari unit produksi dan aglomerasi ekonomis (Isard et.al 1998).
II.3. Manajemen Stratejik Manajemen stratejik adalah suatu tipe manajemen yang membuat suatu organisasi secara berkelanjutan dapat selalu fit dengan lingkungannya. Manajemen stratejik merupakan rangkaian aktifitas yang terdiri dari tiga tahap yaitu tahap formulasi strategi, tahap implementasi strategi dan tahap evaluasi strategi. Menurut Nichols (2000) istilah strategi berasal dari Greek yang berarti generalship, lebih dahulu digunakan dalam lingkup militer. Manajemen stratejik dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai tujuannya. Manajemen stratejik juga diartikan sebagai kumpulan keputusan-keputusan dan aksi yang berkembang menjadi suatu strategi yang efektif yang memungkinkan suatu organisasi mencapai tujuan-tujuannya. Manfaat prinsip dari manajemen stratejik adalah membantu organisasi membuat strategi yang lebih baik dengan menggunakan pendekatan yang lebih sistematis, logis, dan rasional pada pilihan strategis.
Manajemen
stratejik
mengajarkan
bagaimana
memaksimalkan
10
efektivitas organisasi secara keseluruhan, disamping mengajarkan bagaimana memperbaiki efisiensinya (Shrivastava 1994, David 2002, Lea et.al 2006). Tiga elemen yang menjadi fokus manajemen adalah organisasi, lingkungan dan strategi.
Elemen organisasi berkaitan dengan kepentingan pelaku
(stakeholder) baik secara individu maupun organisasi
dalam pencapaian/
pelaksanaan visi, misi dan tujuan organisasi termasuk industri.
Elemen
lingkungan berkaitan dengan aspek ekonomi (kekuatan pasar dan kompetisi), sosiokultural, lokasi geografis, pemerintah, dan teknologi.
Elemen strategi
berkaitan dengan tujuan masa depan (future intention) dan keunggulan bersaing (competitive advantage) dari organisasi (McNamee 1992, Shrivastava 1994, Dirgantoro 2001). Dari pemahaman beberapa definisi manajemen stratejik terlihat kesamaan hal-hal yang dapat disebut sebagai elemen-elemen dalam manajemen stratejik yaitu adanya penetapan tujuan organisasi yang ingin dicapai, pemahaman karakter lingkungan yang perubahannya harus terus diantisipasi, dan perumusan strategi yang akan diimplementasi-kan. Asch dan Bowman (1989), Miller dan Dess (1996) merumuskan elemen-elemen fundamental dari strategi yang terdiri dari alat atau cara dan tujuan, yang dibedakan atas strategi yang diharapkan (intended strategy) yaitu dengan perencanaan dan kebijakan untuk mencapai sasaran sesuai visi, misi, tujuan strategi dan strategi yang dapat dilaksanakan (realized strategy) yaitu dengan berbagai tindakan mencapai hasil sesuai observasi. Formulasi strategi berperan sebagai panduan pengambilan keputusan strategis
dalam
pengembangan
misi
dan
tujuan
organisasi
dengan
mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal organisasi (Shrivastava 1994; David 2002). Strategi pengembangan dapat dilakukan dengan pendekatan strategi fundamental (McNamee 1992) dan strategi generik (Porter 1980). Implementasi strategi lebih diarahkan pada alokasi sumber daya dalam rangka operasionalisasi langkah-langkah strategis yang dirumuskan. Evaluasi strategi diarahkan pada peninjauan perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan internal maupun eksternal, pengendalian strategi-strategi yang telah dirumuskan dan diimplementasikan, dan penyusunan skenario-skenario pengembangan.
11
Beberapa contoh model manajemen stratejik yang telah dirancang oleh para ahli dapat ditampilkan sebagai berikut:
Assessment of organization SWOT
Formulation of organization mission
Formulation of organization philosophy & policy
Determination of strategic objectives
Control of organization strategy
Implementation of organization strategy
Determination of organization strategy
Feedback, Feedforward, and Recycle
Gambar 1 Model manajemen stratejik dari Boseman dan Phatax (1989)
Task 1
Task 2
Task 3
Task 4
Task 5
Develop strategic vision & mission
Setting objectives
Crafting strategy to achieve objectives
Implementating and executing strategy
Evaluating and correcting
Revise as needed
Revise as needed
Improve change
Improve change
Recycle as needed
Gambar 2 Model manajemen stratejik dari Richard D Irwin (1995) dalam Stahl dan Grigby (2006)
12
Strategy formulation Internal resource analysis
Personal values
Generate strategic alternatives
Goal formulation
Strategic decision making proses
Strategy statement
Corporate social responsibility
Environmental analysis
Strategy monitoring and control
Strategy implementation
Strategy evaluation
Gambar 3 Model manajemen stratejik dari Shrivastava (1994)
Perform external audit
Establish longterm objectives
Develop mission statement
Generate evaluate and select strategies
Establish policies and actual objectives
Allocate resources
Measure & evaluate performance
Perform internal audit
I------------ Strategy formulation ----------------- I
Strategy implementation---I----Strategy I evaluation Gambar 4 Model Manajemen Stratejik dari David FR (2002)
13
Output Strategi
Tindakan Strategi
Input Strategi
Lingkungan eksternal Tujuan strategis Misi strategis
Lingkungan internal
Perumusan Strategi
Penerapan Strategi
Strategi tingkat bisnis
Dinamika persaingan
Strategi tingkat perusahan
Penguasaan perusahaan
Struktur & control Org
Strategi akuisisi & restrukturisasi
Strategi internasional
Strategi kerjasama
Kepemimpin an strategis
Kewirausahaan dan inovasi perusahaan
Daya saing strategis Laba diatas rata-rata Umpan balik
Gambar 5 Model manajemen stratejik dari Hitt et.al (2001) Model manajemen stratejik yang dirancang beberapa ahli seperti pada Gambar 1, 2, 3, 4, dan 5 menunjukkan adanya kesamaan, yang pertama dalam hal substansinya yang memberi penekanan pada perlunya pernyataan misi sebagai wujud komitmen yang kuat dari organisasi dalam mencapai tujuannya, perlunya penetapan pilihan strategi yang tepat, dan perlunya kajian sumber daya internal maupun pengaruh faktor eksternal . Kesamaan yang kedua adalah pada alur pikir yang terekspresi sebagai proses desain model manajemen stratejik dengan tahapan formulasi strategi, implementasi, dan evaluasi strategi. Perumusan strategi diarahkan pada perumusan berbagai alternatif strategi yang ditetapkan berdasarkan hasil kajian evaluasi lingkungan strategis yaitu lingkungan internal menyangkut kekuatan dan kelemahan organisasi, maupun lingkungan eksternal menyangkut berbagai peluang dan kemungkinan ancaman terhadap perkembangan organisasi atau perusahan. Implementasi strategi terutama didasarkan pada pengkajian ketersediaan sumber daya, sedangkan tahap evaluasi strategi diarahkan pada pengukuran dan evaluasi prestasi organisasi.
14
Perbedaan rancangan model para ahli (Gambar 1, 2, 3, 4, dan 5) hanya sedikit terlihat pada prosedur dan beberapa spesifikasi misalnya Baseman dan Platak (1989) maupun Hit et.al (2001) mengawali proses desain dengan melakukan evaluasi lingkungan internal maupun eksternal sebelum menetapkan pernyataan misi dan penetapan tujuan sedangkan Irwin RD (1995) maupun David FR (2002) memulai dengan pernyataan misi kemudian melakukan audit internal maupun eksternal, penetapan tujuan kemudian melakukan evaluasi dan pilihan strategi, yang pada model David FR dikelompokkan sebagai tahap formulasi strategi. Shrivastava (1994) lebih memfokuskan tahap formulasi strategi pada pernyataan strategi melalui proses pengambilan keputusan strategis dengan mempertimbangkan nilai-nilai preferensi indifidu, peran/ tanggung jawab sosial organisasi dan berbagai alternatif strategi yang dibangkitkan. Manajemen stratejik telah berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang didukung adanya organisasi yang disebut Strategic Management Society (SMS) yaitu sebuah organisasi internasional yang anggotanya saat ini tersebar pada 60 negara terdiri dari kelompok Academics, Business dan Consultants (ABCs) yang mengembangkan konsep manajemen stratejik sebagai aplikasi sistem untuk berbagai keperluan (http://www.smsweb.org/index.html 2002).
II.4. Berbagai program pengembangan Keterkaitan antara pengembangan pertanian, industri dan pengembangan wilayah telah menarik perhatian berbagai pihak baik lembaga pemerintah, swasta bahkan individu dalam
memunculkan berbagai program dan kajian model
pengembangan yang bertujuan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya setiap wilayah, terutama yang diyakini sebagai keunggulan komparatif wilayah. Program Klaster Industri yang ditawarkan Departemen Perindustrian (Deperindag 2000) mengutamakan penetapan industri inti (local/core industry) yang saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership baik dengan industri pendukung ( supporting industry) maupun industri terkait ( related industry). Beberapa dasar pemahaman dari Departemen Perindustrian yang disitir adalah: - program klaster industri akan bermanfat sebagai pendorong keunggulan komparatif suatu wilayah menjadi keunggulan kompetitif – meningkatkan
15
efisiensi, memanfaatkan aset sumber daya untuk mendorong diversifikasi produk dan meningkatkan terciptanya inovasi – umumnya keunggulan lokal dibatasi oleh batas-batas geografis sehingga klaster industri akan berkembang secara regional. BAPPENAS yang melakukan kajian kawasan andalan termasuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang salah satu diantaranya adalah KAPET Manado-Bitung merekomendasikan keterkaitan antar kawasan lintas sektor secara luas dan pemilihan fokus pengembangan dalam industri pendorong (DPKKT 2004). Program pengembangan KAPET Manado-Bitung diarahkan sebagai pengembangan pusat pariwisata, pusat perikanan dan sumber daya laut, dan pusat pengembangan industri Program Kawasan Agropolitan yang dirancang Departemen Kimpraswil didasarkan pada pertimbangan pentingnya infrastruktur terutama sarana transportasi dalam pengembangan pertanian dengan penataan suatu kawasan yang terdiri dari kota tani, daerah pertumbuhan sebagai kawasan sentra produksi (KSP) dan kawasan budidaya yang tidak ditentukan berdasarkan wilayah administrasi tetapi berdasarkan skala ekonomi. Pada tahun 2002 dan 2003 Sulawesi Utara telah memproses usulan lima Kawasan Agropolitan (KA) yang proses pengajuannya berdasarkan usulan pemerintah daerah (kabupaten) yaitu KA Tomohon, KA Sangihe, KA Modoinding, KA Pakakaan dan KA Dagho. (Karya Manunggal 2003). Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), adalah program Departemen Pertanian yang didasarkan antara lain luasan kawasan budidaya komoditas
tertentu.
pembangunan
Kawasan
perkebunan
yang
Industri
Masyarakat
menggunakan
Perkebunan
kawasan
sebagai
adalah pusat
pertumbuhan dan pengembangan sistim dan usaha agribisnis perkebunan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan dimensi ruang, waktu, skala usaha dan pengelolaannya, yang diselenggarakan dengan azas kebersamaan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat/ petani pekebun dan pelaku usaha lainnya yang selaras berkeadilan menjamin pemantapan usaha yang harmonis dan berkesinambungan (Deptan 2004). Salah satu dari 19 KIMBUN yaitu KIMBUN Kelapa di pantai barat Minahasa telah dikaji kelayakannya (Warouw 2002).
16
Dedi Mulyadi (2001) merancang-bangun model strategi terpadu dengan menggabungkan
pendekatan
market
based,
resource
based
dan
teori
kelembagaan. Martani Huseini (1999) merancang model ‘Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti’ (Saka-Sakti) sebagai model pengembangan yang berusaha menyelaraskan kebijakan otonomi daerah dan konsep kompetensi inti dari suatu wilayah kabupaten. Beberapa program lain dari Departemen Pertanian yang sudah berjalan adalah program Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Sentra Pengembangan Agribis Komoditas Unggulan (SPAKU) dan, Industri Peternakan Rakyat (INAYAT). Beragam program pengembangan yang ditawarkan dapat bersifat sinergis karena saling melengkapi tetapi dapat bersifat antagonis karena perbedaan target operasional dan kecenderungan mengidentifikasi faktor-faktor kunci berdasarkan ruang lingkup yang spesifik
II.5. Kontribusi sektor perkebunan Sektor perkebunan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional. Dilihat dari pendapatan domestik bruto (PDB) sumbangannya terhadap nilai PDB terus meningkat. Tahun 1997, PDB perkebunan sebesar Rp 10,8 trilyun atau 2,5 persen dari total PDB nasional. Tahun 1998, PDB meningkat menjadi Rp 8,2 trilyun atau 2,9 persen dari total PDB nasional dan tahun 1999 meningkat lagi menjadi Rp 11,1 trilyun atau 3,9 persen dari total PDB nasional. Walaupun terjadi penurunan pada tahun 2003 tapi sektor perkebunan masih menyumbang 1,85 % dan sub-sektor peternakan 1,40 % per tahun, terhadap PDB nasional (Deptan 2003). Permasalahan yang dihadapi bidang agrobisnis perkebunan menurut Pakpahan (2005) adalah permasalahan yang sangat fundamental yaitu aspek struktural dan kultural. Walaupun demikian selama tiga tahun terakhir dunia agrobisnis
dari sektor perkebunan
mempunyai peranan
penting dalam
pembangunan ekonomi nasional. Kelapa adalah salah satu komoditi unggulan nasional sektor perkebunan. Berdasarkan data produksi kelapa Indonesia sebesar 2,67 juta ton pertahun menempatkan Indonesia pada urutan pertama penghasil kelapa dunia, tetapi
17
perilaku ekspor produk olahan kelapa sebagai indikator nilai tambah ekonomi masih sangat memprihatinkan. Prosentasi pertumbuhan ekspor per tahun minyak kelapa sebagai produk utama tanaman kelapa kurun waktu 1968-1973 s/d 19942000 masih sangat berfluktuasi, begitu juga total ekspor (ton) selama 1994 s/d 2001 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6 (ket: diolah dari beberapa sumber). Pada Gambar 6 terlihat bahwa peningkatan volume ekspor minyak kelapa masih tertinggal cukup signifikan dibanding minyak sawit. Pada tahun 2001 volume ekspor minyak kelapa baru mencapai 392 ribu ton, dibandingkan volume ekspor minyak sawit yang mencapai 4905 ribu ton.
5000 4500 4000 3500 3000 Volume Ekspor 2500 (000 ton) 2000
mk bk ms
1500
bs
1000
ma
500 0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Gambar 6 Volume ekspor beberapa jenis minyak nabati dan ikutannya (mk=minyak kelapa; bk=bungkil kelapa; ms=minyak sawit; bs=bungkil sawit; ma=minyak atsiri)
Salah satu upaya yang ditempuh negara-negara produsen minyak kelapa dan hasil ikutan lainnya adalah membentuk wadah yaitu Asian and Pacific Coconut Community (APCC) yang merupakan organisasi antar negara yang saat ini beranggotakan
15
negara
penghasil kelapa dunia (Indonesia
termasuk
didalamnya). Organisasi ini dibentuk dengan misi membantu/ mendorong anggotanya untuk mengembangkan atau melakukan perubahan teknologi kearah lebih baik dan lebih bersemangat (APCC 2005). Peluang peningkatan peran
18
komoditi berbasis bahan baku kelapa diupayakan dengan usaha diversifikasi produk baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan. Dalam rangka mengantisipasi persyaratan global APCC juga berupaya merumuskan beberapa standardisasi produk misalnya, standar mutu Virgin Coconut Oil (VCO) sebagai salah satu jenis produk yng memiliki
prospek
unggulan. Provinsi Sulawesi Utara sebagai wilayah yang secara tradisional menjadi salah satu sentra produksi kelapa nasional sangat berkepentingan dengan program-program APCC tersebut.
II.5. Landasan teori metode analisis II.5.1. Metode Indeks Agroindustri Penentuan agroindustri unggulan wilayah menggunakan Metode Indeks Agroindustri, yaitu suatu metode kuantitatif yang dirancang untuk memperoleh suatu nilai pembanding antar peubah-peubah yang diasumsikan sebagai faktor penentu sistem pengembangan agroindustri pada suatu wilayah. Menurut kamus Wikipedia (http://www.wikipediadictionary.com/) indeks didefinisikan sebagai: suatu skala numerik yang digunakan untuk membandingkan sustu peubah dengan peubah lainnya atau dengan sejumlah referensi bilangan. Indeks juga didefinisikan sebagai bilangan yang diperoleh dari suatu formula, yang digunakan untuk penggolongan suatu set data (Index Dictionary: http://www.thefreedictionary.com/index ) Peubah-peubah yang dijadikan input model adalah: 1. Luas lahan, sebagai indikator ketersediaan lahan dalam
penyusunan
strategi pengembangan bahan baku 2. Total Produksi, sebagai indikator ketersediaan bahan baku yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan kapasitas terpasang industri 3. Investasi, sebagai indikator
preferensi sektor swasta yang terkait erat
dengan pergerakan pasar 4. Penyerapan tenaga kerja pada keseluruhan kegiatan agroindustri per basis komoditas bahan baku Beberapa metode penentuan unggulan baik komoditas maupun produk yang dikenal antara lain 1) Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) yang pada
19
awalnya dirumuskan oleh Bela Balassa, didasarkan pada kemampuan daya saing ekspor suatu produk (Barry and Hannan 2001), 2) Location Quotion (LQ) yang didasarkan pada penetapan sektor basis ekonomi dengan melihat
kapasitas
industri di suatu wilayah dibandingkan dengan skala nasional (Isard et al. 1998) atau antara relatif produksi komoditas i dibandingkan total produksi keseluruhan komoditas pada suatu wilayah, dan relatif produksi komoditas i pada wilayah tertentu dibandingkan relatif produksi komoditas i pada tingkat nasional (BPTP Sulut 2003). RCA dan LQ adalah metode penentuan secara kuantitatif. Metode penentuan komoditas/ produk unggulan yang sering digunakan dalam penelitianpenelitian agroindustri adalah Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang didasarkan pada penilaian seorang atau sejumlah pakar terhadap berbagai alternatif komoditas atau produk setelah lebih dahulu ditetapkan kriteria dan derajat kepentingan dari kriteria tersebut.
II.5.2. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Penentuan produk unggulan dalam penelitian ini menggunakan Metode Perbandingan Exponensial (MPE). MPE merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak (Marimin 2002).
Survey pakar dilakukan untuk menginventarisasi dan melakukan
pembobotan terhadap Kriteria yang dipakai sebagai acuan dalam penentuan Alternatif produk unggulan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan menggunakan MPE menurut Ma’arif dan Tanjung (2003) adalah:
penentuan alternatif keputusan,
penyusunan kriteria keputusan yang akan dikaji,
penentuan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai dengan keinginan pengambil keputusan,
penentuan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan pada setiap kriteria keputusan,
penghitungan nilai dari setiap alternatif keputusan,
pemeringkatan nilai yang diperoleh dari setiap alternatif keputusan.
20
II.5.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) Analitical Hierarchy Process (AHP- Saaty 1982), adalah alat analisis untuk mengorganisir informasi dan keputusan dalam memilih alternatif yang paling disukai dengan berbagai kriteria yang ditetapkan. Penyelesaian AHP dilakukan secara manual atau secara komputerisasi misalnya dengan perangkat lunak Criterium Decision Plus. Ide dasar prinsip kerja AHP menurut Saaty (1982) adalah prinsip menyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas, dan prinsip konsistensi logis. Salah satu sifat dari kriteria yang disusun dengan baik adalah relevansinya dengan masalahmasalah kunci yang ada. Keputusan akhir mengharuskan pengambil keputusan untuk memperkirakan bagaimana perbandingan suatu alternatif dengan alternatif lainnya dalam kondisikondisi yang akan dihadapi dimasa yang akan datang. Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam menggunakan metode AHP adalah: •
Penyusunan struktur hirarki
•
Pembobotan elemen-elemen (kriteria maupun alternatif), yang diawali dengan pendataan pendapat responden, kemudian pengolahan data untuk menentukan nilai eigen (eigenvektor)
•
Pengurutan tingkat kepentingan. Prinsip kerja AHP yang digunakan adalah perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons) sehingga tingkat kepentingan suatu kriteria relatif terhadap kriteria lain maupun antara suatu alternatif dengan alternatif lainnya dapat dinyatakan dengan jelas dengan bantuan penggunaan skala pendapat. Saaty (1982) memberikan pedoman penggunaan skala 1 sampai 9 sebagai skala terbaik dalam mengkualifikasi pendapat untuk berbagai permasalahan. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan AHP dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan menurut Marimin (1999) adalah: •
Kesatuan: AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.
•
Kompleksitas: AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
21
•
Saling ketergantungan: AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
•
Penyusunan hirarki: AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
•
Pengukuran: AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas.
•
Konsistensi:
AHP melacak
konsistensi logis dari pertimbangan-
pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas. •
Sintesis: AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan suatu alternatif.
•
Tawar-menawar: AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
•
Penilaian dan konsensus: AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda.
•
Pengulangan proses: AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan Pada beberapa penelitian, AHP digunakan untuk pemilihan strategi
pengembangan misalnya penelitian pengembangan agroindustri minyak pala dari Irawadi et al. (2002) yang menggunakan teknik pendekatan sistem dan teknik AHP. Teknik pendekatan sistem untuk memudahkan identifikasi faktor-faktor yang penting dalam perencanaan pengembangan, dan teknik AHP untuk memudahkan permodelan prioritas permasalahan dan memilih alternatif strategi pengembangan. Menurut Dedi Mulyadi (2001) yang menggunakan AHP pada rancang bangun strategi terpadu agroindustri rotan, kekuatan AHP terletak pada rancangannya
yang
bersifat
holistik
yang
menggunakan
berdasarkan intuisi, data kuantitatif dan preferensi kualitatif.
pertimbangan
22
II.5.4. Interpretative Structural Modeling (ISM) Interpretative Structural Modeling (ISM), adalah suatu teknik yang digunakan dalam permodelan yang mampu mensinkronisasi pendapat para ahli dalam memberikan gambaran yang konkrit tentang struktur hirarki sub-elemen dari setiap elemen sistem, dan dalam menemukan sub-elemen kunci serta karakter setiap sub-elemen, sebagai basis pengetahuan yang bermanfaat untuk menyusun perencanaan strategi pengembangan agroindustri yang terpadu dan lintas sektor (Machfud 2001). Menurut Eriyatno (2003) ISM adalah salah satu alat strukturisasi dalam teknik permodelan deskriptif yang digunakan terutama untuk pengkajian oleh suatu tim tetapi juga dapat dipergunakan oleh seorang peneliti. Model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang dengan menggunakan grafis dan kalimat. Penggunaan teknik ISM mengikuti beberapa tahap pengkajian sebagai berikut: 1) Pembangkitan elemen-elemen yang terkait dengan perihal yang dikaji, 2) setiap elemen diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen yang memadai, 3) penetapan hubungan kontekstual antar sub-elemen, 4) berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual disusun Structural Self-Interaction Matrix (SSIM) menggunakan simbol V, A, X, dan O, 5) transformasi VAXO menjadi Reachability Matrix (RM) bilangan biner, 6) lakukan Aturan Transivity sampai mendapatkan RM final, 7) penggambaran skema setiap elemen menurut jenjang vertikal maupun horisontal. Elemen kunci diperoleh dari hasil rangking yang mengacu pada aspek Driver Power, 8) klasifikasi sub-elemen dengan menempatkan Driver Power (DP) dan Dependence (D) sebagai ordinat x,y pada sumbu koordinat . Klasifikasi sub-elemen digolongkan dalam empat sektor yaitu: Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous). Hubungan peubah di sektor ini dengan sistem relatif kecil atau tidak ada kaitannya. Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent). Peubah pada sektor ini sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan terhadap sistem terutama dari peubah linkage.
23
Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage). Hubungan antar peubah pada sektor ini tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan berdampak pada peubah lainnya. Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent). Peubah pada sektor ini disebut peubah bebas.
Hubungan kontekstual antar sub-elemen teknik ISM dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis dan interpretasinya seperti terlihat pada Tabel 1 (Eriyatno 2003). Tabel 1 Jenis dan interpretasi hubungan kontekstual antar sub-elemen ISM Jenis 1 2
Perbandingan (comparative) Pernyataan (Definitive)
3
Pengaruh (Influence)
4
Keruangan (Spatial)
5
Kewaktuan (Temporal Time Scale)
Interpretasi - A lebih penting/ besar/ indah daripada B - A adalah atribut B - A mengartikan B - A termasuk dalam B - A menyebabkan B - A sebagian penyebab B - A mengembangkan B - A menggerakkan B - A meningkatkan B - A diselatan/utara B - A diatas B - A sebelah kiri B - A mendahului B - A mengikuti B - A mempunyai prioritas lebih dari B
II.5.5. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah framework dari keempat faktor yaitu (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang) dan
Strengths Threats
(ancaman) yang sangat erat kaitannya dengan konsep strategi (Manktelow 2004) Rangkuti (2001) menyebut analisis SWOT sebagai identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
dan peluang, namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman.
24
Hansen dan Hansen (2005) menyebut analisis SWOT sebagai alat analisis kunci dalam perencanaan strategis. Perencanaan untuk menyusun formulasi strategis dapat dilakukan dengan tiga tahap yaitu: (1) tahap pengumpulan data dengan melakukan evaluasi faktor eksternal dan internal,
(2) tahap analisis dengan membuat beberapa matriks
spesifik, dan (3) tahap pengambilan keputusan dengan matriks perencanaan strategis kualitatif. Akuisisi pendapat pakar digunakan untuk memberi nilai sebagai preferensi pelaku terhadap elemen-elemen SWOT, yang selanjutnya dapat dianalisis dengan bantuan berbagai teknik iterpretatif menghasilkan prioritasprioritas spesifik. Menurut Irawadi el al. (2002) Strategi yang dijalankan suatu perusahaan merupakan reaksi atas perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi, dan hasil analisis kualitatif SWOT merupakan dasar penentuan posisi perusahaan untuk dapat memperkuat strategi operasionalnya. Kemampuan perusahaan (organisasi) memetakan kekuatan dan kelemahannya dalam persaingan agar mampu memanfaatkan peluang yang ada, dan dapat meminimalkan resiko dari ancaman persaingan, adalah strategi yang harus dibuat. Terdapat empat kombinasi rumusan strategi yang diperoleh dari analisis SWOT yang merupakan interaksi antar faktor internal dan eksternal SWOT yaitu strategi SO (interaksi kekuatan dan peluang), strategi WO (interaksi kelemahan dan peluang), strategi ST (interaksi kekuatan dan ancaman) dan strategi WT (interaksi kelemahan dan ancaman) (Irawadi et al. 2002). Walaupun belum ada acuan yang baku mengenai analisis SWOT, tetapi aplikasinya dapat diperkaya dengan berbagai teknik pembobotan atau dapat juga di gabungkan dengan berbagai teknik analisis lainnya misalnya A’WOT (Kajanus et.al 2001) yang menganalisis elemen-elemen SWOT dengan metode pairwise comparisons menggunakan teknik AHP. Sangat disayangkan karena tidak diberi alasan penghilangan unsur S (strength) pada nama metodenya karena dalam analisisnya ternyata unsur strength cukup dominan.
25
II.5.6. Analisis ketersediaan sumber daya Secara umum sumber daya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang atau jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia dan dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2004). Ensiklopedia Webster maupun Encarta (Encarta dictionary 2005) mendefinisikan sumber daya (resource) sebagai: 1. seseorang atau sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sumber bantuan atau informasi 2. sumber persediaan atau cadangan kebutuhan sesuatu seperti orang, uang atau peralatan 3. kemampuan untuk menemukan solusi dari permasalahan 4. dalam pengertian jamak sumber daya didefinisikan sebagai kemampuan (bakat) atau kapasitas alami yang tampil pada waktu yang dibutuhkan; kekayaan (aset) alam, ekonomi, politik, militer suatu negara; aset perusahan / perdagangan misalnya manusia, modal, mesin atau stok untuk memperoleh keuntungan Beberapa tipe sumber daya yang dikenal adalah: 1) Sumber daya alam (SDA) yaitu material alami yang dapat diolah dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia seperti air, udara, lahan, hewan, tumbuhan dan bahan tambang (Fauzi 2004). 2) Sumber daya manusia (SDM) lebih diarahkan pada pemahaman peran manusia yang berkaitan dengan fungsi manajemen dan kemampuan mengelola sumber daya alam. Menurut Siagian (2006) pendekatan sumber daya manusia sifatnya multidimensional. Pada aktifitas agroindustri ketersediaan sdm lebih diarahkan pada ketersediaan tenaga kerja trampil / profesional yang didukung program / prasarana pendidikan dan pelatihan. 3) Sumber daya sosial (SDS) yang berkaitan dengan peran organisasi formal maupun non formal pada kegiatan ekonomi. De Soto (2006) menggolongkan sumber daya sosial sebagai properti nonformal dan kontrak-kontrak sosial. 4) Sumber daya teknologi (SDT) atau juga disebut sumber daya pembangunan menyangkut ketersediaan sarana transportasi, teknologi informasi, peralatan mekanisasi pertanian sampai industri pengolahan hasil. Kekuatan teknologi menggambarkan peluang dan ancaman yang harus dipertimbangkan dalam perumusan strategi (David 2002).
26
III. METODE PENELITIAN III.1. Kerangka pemikiran Penelitian ini mencoba memadukan pendalaman konsep yang berkaitan dengan agroindustri, pembangunan wilayah, dan manajemen stratejik sebagai konsep dasar penelitian dengan fokus strategi pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah melalui pendekatan alur pikir sistemik. Pendekatan berbagai aspek yang berkaitan dengan faktor geofisik, keragaman agronomis, aspek ekonomi dan berbagai input aktifitas industri memberikan kriteria jamak yang dapat dipakai dalam melakukan justifikasi unggulan agroindustri. Pendekatan metodologis yang menggabungkan teknik analisis kualitatif dan teknik analisis kuantitatif diterapkan dengan memanfaatkan berbagai pola dan variabel pendukung. Menurut Moleong (2000) teknik kualitatif yang mengkaji paradigma alamiah dan teknik kuantitatif yang mengkaji paradigma ilmiah tersebut dapat dipakai bersama dalam suatu penelitian . Kajian yang dilengkapi dengan analisis lingkungan strategis merupakan input bagi penyusunan strategi pengembangan agroindustri. Pada penelitian ini sesuai dengan lingkup kajian rekayasa model yang dikembangkan, pengumpulan data dan informasi juga memanfaatkan kaidahkaidah Sistem Keputusan (Saaty 1996), strukturisasi sistem pengembangan, pendekatan matriks ketersediaan dan matriks opsional bagi perancangan berbagai skenario pengembangan. Pakar yang dipilih untuk proses elisitasi dan akuisisi pengetahuan adalah pada bidang keahlian teknologi pertanian , kelembagaan, bisnis industri dan pihak yang terkait adalah dari institusi Bapelitbang, Perindustrian dan Perdagangan, Pertanian/Peternakan, Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi dan Pengusaha kalangan industri. Perumusan strategi dilakukan melalui pendalaman konsepkonsep Strategic Management (David 1998; McNamee 1992; Shrivastava 1994). Pemahaman konsep dasar penelitian dan usaha yang dilakukan untuk merumuskan prilaku elemen-elemennya terekspresi sebagai kerangka pikir penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 7 yang akan menjadi acuan penetapan tahap-tahap pengkajian konseptual maupun operasional penelitian.
27
• • • • •
• • • • •
Keragaman agroindustri Karakter wilayah Optimalisasi peran Keterkaitan prilaku Preferensi
Formulasi strategi
Aspek kesesuaian lahan Aspek produksi Aspek basis ekonomi Aspek investasi Aspek tenaga kerja
Justifikasi multi kriteria
Sistem seleksi agroindustri pilihan: o Metode Justifikasi-Deterministik o Metode Justifikasi-Logis eksplisit
Peringkat unggulan agroindustri
o Kajian informasi dasar o Identifikasi/kriteria pakar o Penetapan agroindustri pilihan o Penetapan elemen kajian o Prosedur analisis
Akuisisi pendapat pakar tidak
Sesuai
• Elemen faktor eksternal • Elemen faktor internal • Elemen strategi
Evaluasi lingkungan strategis (Analisis SWOT)
• Elemen sistem pengembangan • Sub-elemen kunci pengembangan • Klasifikasi sub-elemen kunci
Identifikasi struktur sistem (Analisis ISM – VAXO)
Penetapan focus pengembangan ( Analisis AHP)
• Elemen kriteria pengembangan • Elemen sasaran/ alternatif pengembangan • Interaksi fokus pengembangan
A
Gambar 7 Kerangka Pemikiran Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis Unggulan Wilayah (MS-PAW) (MMM(Wilayah
28
A
Pendekatan kuantitatif / kualitatif Implementasi strategi pengembangan Kajian interaksi sumber daya dan focus pengembangan (Matriks Interaksi Ketersediaan)
• Informasi lokasi potensial • Informasi ketersediaan sumber daya • Sensitifitas ketersediaan sumber daya
Evaluasi strategi pengembangan Kajian skenario pengembangan (Matriks Opsional)
• Skenario pengembangan sumber daya • Skenario pengembangan bahan baku
Tahap formulasi strategi Korektif Tahap implementasi strategi Model Sistem Pengembangan (Acuan Kebijakan Strategis)
Gambar 7 Kerangka Pemikiran Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis Unggulan Wilayah (MS-PAW) (lanjutan).
29
Metode yang digunakan dalam menggali informasi dan pengetahuan adalah dengan melakukan wawancara mendalam sesuai dengan kecukupan informasi yang dibutuhkan. Faktor-faktor dan kriteria pada strategi pengembangan selain bersifat kuantitatif-deterministik, juga banyak yang bersifat deskriptif-kualitatif. Kuesioner digunakan sebagai alat bantu dalam wawancara. Sumber informasi lain yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumentasi hasil penelitian /percobaan, laporan data statistik BPS dan Dinas atau instansi terkait serta Pusat Penelitian dan Pengembangan.
III.2. Pendekatan sistem Dalam perencanaan dan implementasi pengembangan agroindustri yang menjadi bahan pertimbangan awal adalah kemampuan internal yang dimiliki terutama faktor ketersediaan sumber daya yang sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan produk tertentu, pengaruh faktor eksternal terutama peluang pasar dari produk yang dihasilkan dan berbagai hambatan yang dapat menyebabkan kegagalan
pengembangan,
juga
proses
transformasi
yang
dibutuhkan..
Komponen-komponen inti dari proses transformasi seperti material bahan baku, tenaga kerja, teknologi, organisasi, komponen pendukung seperti biaya, kebijakan, strategi dan lingkungan akan sangat menentukan kelangsungan usaha agroindustri pada semua tingkatan operasionalnya. Dilihat
dari
pengelompokan
keseluruhan
ide,
penetapan
aktivitas, kebijakan
mulai
dari
sampai
operasional dilapangan maka aktivitas agroindustri
penelusuran
pelaksanaan
dan
kegiatan
adalah wujud dari suatu
sistem. Sistem merupakan kumpulan elemen yang saling berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu dalam lingkungan yang komplek. Ciri dari sistem adalah pada pola hubungan yang menentukan strukturnya. Menurut Eryatno (2003) sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu menurut Eryatno setiap pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan.
30
Pengkajian dengan pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Flood dan Jackson (1990), menjelaskan ‘sistem’ sebagai suatu jaringan yang sangat terkait dan kompleks dari bagian-bagian yang bersinergi. Suatu sistem berisi sejumlah elemen dan setiap elemen dapat berupa gugus sejumlah sub-elemen dengan tingkat keeratan hubungan yang lebih tinggi. Kualitas peran setiap elemen maupun sub-elemen dapat berbeda dalam pencapaian tujuan suatu sistem. Ketepatan dalam menganalisis peran setiap elemen maupun sub-elemen sangat menentukan keberhasilan dari suatu pengambilan keputusan.
Analisis kebutuhan Analisis kebutuhan adalah tahap awal dalam penerapan metodologi sistem yang tujuannya mengidentifikasi pelaku (aktor) dari sistem dan menginventarisasi kebutuhan setiap pelaku tersebut. Sistem pengembangan yang dirancang, dalam operasionalnya harus mampu memenuhi kebutuhan setiap pelaku baik pelaku individual, kelompok, atau kelembagaan yang terkait dan terlibat dengan aktifitas agroindustri kajian sehigga perlu dilakukan identifikasi kebutuhan umum dan spesifik dari setiap pelaku. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Identifikasi pelaku agroindustri dan kebutuhannya pada penelitian ini ditetapkan melalui pengkajian yang dalam berdasarkan hasil suatu survei, pendapat ahli, diskusi, dan observasi lapang kemudian ditabulasi sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
Formulasi permasalahan Permasalahan yang terjadi pada pengembangan sistem dapat disebabkan karena interaksi antar respon setiap aktor yang terkait dengan kebutuhan yang ingin dipenuhi. Kelompok kebutuhan antar pelaku dapat bersifat (1) sinergi atau saling mendukung, tetapi dapat juga bersifat (2) konflik kepentingan yang akan saling mengganggu. Sebagai tantangan adalah bagaimana menselaraskan konflik kepentingan dengan pencapaian kebutuhan yang komplementer. Permasalahan
31
pada aspek operasional adalah lemahnya dukungan komponen inti (input, proses, output) agroindustri terhadap kebutuhan operasional dari hulu sampai hilir. Permasalahan klasik strategis adalah lemahnya strategi manajemen yang digunakan sebagai landasan sistem pengembangan yang mampu mengoptimalkan potensi agroindustri. Potensi-potensi yang dimiliki suatu wilayah merupakan keunggulan komparatif yang dapat dikembangkan sebagai keunggulan kompetitif agroindustri. Kemampuan pengambil keputusan dalam memotret keseluruhan entitas dari suatu sistem dan kecermatan dalam melakukan kajian secara holistik, sibernetik dan effektip akan menentukan keberhasilan pencapaian dari tujuan yang ditetapkan. Tabel 2 Identifikasi elemen-elemen aktor dan kebutuhannya Pelaku Petani / pemilik kebun
Pelaku industri hulu
Pedagang pengumpul
Pelaku industri hilir
Eksportir
Kebutuhan Peningkatan pendapatan melalui: Peningkatan permintaan produksi pertanian (jumlah dan kesinambungan permintaan) Jaminan harga jual yang layak Kesinambungan pasokan bahan baku Tersedianya peralatan pengolahan Tenaga kerja trampil Manajemen yang tepat Jaminan harga beli dan harga jual yang layak Akses pada lembaga pembiayaan Tersedianya pasokan dari industri hulu Meningkatnya permintaan industri hilir Sarana transportasi Kesinambungan pasokan bahan baku Standar mutu bahan baku Pengembangan teknologi Tenaga kerja profesional Akses pada lembaga pembiayaan Jaminan kebijakan pemerintah Kelangsungan pasokan produk siap ekspor dengan mutu bersaing Peningkatan fasilitas ekspor (pelabuhan udara / laut) dan kemudahan penggunaannya Perluasan pasar Jaminan regulasi perdagangan nasional, maupun global Akses pada lembaga pembiayaan
32
Tabel 2 (lanjutan) Identifikasi elemen-elemen aktor dan kebutuhannya Pelaku
Kebutuhan
Tenaga kerja
Peningkatan keterampilan Upah yang layak Perluasan lapangan kerja
Pemasok bahan penunjang agroindustri Lembaga pembiayaan
Perluasan usaha Peningkatan sdm / penguasaan teknologi Peningkatan jumlah nasabah dan jumlah penyaluran kredit usaha dengan pengembalian terjamin Iklim bisnis yang kondusif Peningkatan penerimaan devisa Realisasi program perencanaan pembangunan nasional Peningkatan pendapatan daerah Bertambahnya lapangan kerja Peningkatan kesejahteraan masyarakat Jaminan usaha petani Peningkatan peran koperasi
Pemerintah Pusat (Instansi terkait) Pemerintah Daerah
Koperasi Asosiasi (agroindustri hulu, hilir, eksportir)
Kemudahan birokrasi Komitmen standarisasi mutu
Perguruan tinggi
Perluasan lapangan kerja profesional Peningkatan program pelatihan tenaga kerja agroindustri Peningkatan efektivitas penelitian khususnya pengkajian teknologi Obyek penilitian yang lebih luas
Pusat / Balai penelitian
Masyarakat sekitar / konsumen
Tersedianya produk sesuai kebutuhan dalam hal jumlah, mutu dan kesinambungan Peluang lapangan kerja Minimalisasi dampak industri terhadap lingkungan
Identifikasi sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara kebutuhankebutuhan dengan permasalahan yang harus dipecahkan. Identifikasi sistem kemudian dilanjutkan dengan interpretasi elemen-elemen dengan lebih dahulu mengkaji semua informasi yang diperlukan yang dapat dikategorikan dalam tiga golongan yaitu (1) peubah input, (2) peubah output dan (3) parameter-
33
parameter yang membatasi struktur sistem sebagaimana ditampilkan dalam diagram input – output (Gambar 8).
1. 2. 3. 4.
Input Lingkungan Kebijakan/ peraturan pemerintah/ birokrasi Globalisasi perekonomian Stabilitas politik, ekonomi, sosial Agro-klimat
Input tak terkontrol 1. Harga bahan/produk 2. Persaingan industri 3. permintaan pasar (domestik/ eksport) 4. Karakteristik wilayah 5. Infrastruktur 6. Nilai tukar rupiah.
Output yang dikehendaki 1. Peningkatan produktivitas & daya saing agroindustri wilayah 2. Peningkatan pendapatan setiap pelaku usaha 3. Kontinuitas bahan baku 4. Peningkatan nilai ekspor 5. Skenario progresif MANAJEMEN STRATEJIK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS UNGGULAN WILAYAH
Input terkontrol 1. Teknologi 2. Sumber daya 3. Sumber modal/ investasi 4. Ketrampilan pengelolaan usaha 5. Kelembagaan 6. Program pembinaan 7. Biaya-biaya 8. Kemitraan
Parameter: Ketersediaan sumber daya Sistem nilai
Output tak dikehendaki 1. Sumber daya tidak teridentifikasi dengan baik 2. Penetapan strategi yang kurang tepat 3. Penurunan produksi 4. Tidak memenuhi standar mutu
MANAJEMEN PENGENDALIAN AGROINDUSTRI
Gambar 8 Diagram Input-Output manajemen stratejik pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah.
34
III.3. Tahap penelitian Pada penelitian ini dikembangkan tahap pengkajian manajemen stratejik pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah (MS-PAW) yang terdiri dari pokok kajian, input model, metode, dan output model sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3 Tahap kajian MS-PAW Kajian
Input
Metode
Output
1
Identifikasi potensi wilayah
- Data geofisik wilayah - Data administratif - Data komoditi perkebunan (jenis, luas lahan dan produksi)
- Deskriptif
- Tabel informasi karakter wilayah - Tabel komoditas perkebunan (jenis, luas lahan, produksi)
2
Seleksi agroindustri: 1. Seleksi unggulan agroindustri
- Data luas areal penyebaran, produksi, produktivitas komoditi perkebunan - Data agroindustri (jenis, investasi, tenaga kerja, sector basis ekonomi )
- Indeks Agroindustri ( IA )
- Peringkat unggulan agroindustri
2. Seleksi Unggulan produk
- Peringkat unggulan agroindustri - Jenis produk - Kriteria penilaian - Pendapat pakar
- Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)
- Peringkat unggulan produk
- Evaluasi lingkungan strategis (internal & eksternal) - Elemen-elemen pengembangan - pendapat pakar
- AI’SWOT (AHP – ISM – SWOT)
- Prioritas sasaran strategi pengembangan - Faktor-faktor kunci pengembangan
- Tabel lokasi potensial - Informasi ketersediaan sumber daya - Informasi kelayakan finansial - Skenario pengembangan
3
Formulasi strategi pengembangan
4
Implementasi strategi pengembangan
- Sasaran strategi pengembangan - Lokasi pilihan - Alokasi sumber- daya - Data kelayakan usaha - Pendapat pakar
- Matriks Interaksi - Analisis Finansial
5
Evaluasi strategi pengembangan
- Informasi keterbatasan sumber daya - Reevaluasi lingkungan strategis
- Matriks opsional
35
Pengkajian dilakukan setelah lebih dahulu menetapkan langkah-langkah operasional sebagai acuan keseluruhan tahapan penelitian. Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) Melakukan penelusuran sumber-sumber informasi yang dapat memberi gambaran mengenai batasan, pokok kajian, perkembangan dan permasalahan yang menentukan kinerja agroindustri, pemahaman kewilayahan, pemahaman manajemen stratejik, untuk kemudian menetapkan formulasi tujuan sebagai arah pelaksanaan penelitian. (2) Melakukan kajian sektor real agroindustri, menentukan jenis agroindustri pilihan yang digunakan sebagai objek kajian sistem pengembangan. (3) Sesuai landasan penelitian yang ingin mengintegrasikan konsep wilayah, agroindustri dan manajemen stratejik,
maka penelitian ini terfokus pada
pemahaman elemen-elemennya melalui tahapan pengkajian yang secara sistematis dapat diuraikan sebagai berikut: Kajian agroindustri dengan tahapan: 1) identifikasi agroindustri, 2) penetapan agroindustri unggulan, 3) identifikasi produk, 4) penetapan produk unggulan. Kajian wilayah dengan tahapan: 1) penetapan wilayah penelitian, 2) identifikasi karakter wilayah dengan elemen:
karakter geofisik, karakter
biofisik, dan karakter demografi, 3) identifikasi potensi bahan baku agroindustri wilayah Kajian manajemen stratejik dengan tahapan: 1) perumusan strategi dengan elemen: evaluasi lingkungan strategis, menghasilkan dan memilih strategi, 2) implementasi strategi dengan elemen: mengkaji ketersediaan sumber daya pada penerapan strategi, 3) evaluasi strategi dengan elemen mengukur prestasi, merumuskan skenario pengembangan
Pemilihan input kajian strategi pengembangan: Pendekatan strategis diarahkan pada penanganan input primer proses produksi suatu usaha agroindustri yaitu bahan baku, ketersediaan berbagai sumber daya dan lingkungan strategis yang sangat menentukan operasionalnya. Formulasi penanganan bahan baku meliputi aspek-aspek:
36
Jenis, diarahkan pada pengembangan komoditas unggulan yang
•
penentuannya didasarkan pada karakter bio/geofisik wilayah dan jenis agroindustri yang existing. Kuantitas, diarahkan pada pengembangan yang optimal disesuaikan daya
•
dukung wilayah. Kualitas, diarahkan pada pola standardisasi yang berlaku sesuai
•
kebutuhan operasional industri dalam memenuhi standar kualitas produk. Kontinuitas, diarahkan pada kesinambungan ketersediaan bahan baku
•
yang merupakan syarat mutlak suatu proses produksi. Penentuan sistem pengadaan bahan baku dilakukan untuk memenuhi aspek kontinuitas. Formulasi strategi penyediaan tenaga kerja (SDM) ditetapkan dengan pertimbangan prasyarat tenaga kerja sesuai kebutuhan operasional agroindustri dan ketersediaan tenaga kerja pada wilayah operasional, menyangkut jumlah dan kualitas SDM sesuai spesifikasi kegiatan agroindustri yang ditetapkan. Sasaran strategi input adalah memaksimalkan peran input terkontrol (controlable input) dan mengatasi efek input tak terkontrol (non controlable input). Formulasi strategi proses diarahkan pada pengamatan ketersediaan teknologi agroindustri yang ada dengan fokus pada empat komponen teknologi yaitu Technoware, Humanware, Infoware dan Organoware (Ramanathan 1993; Gumbira Sa’id E et al. 2001). •
Technoware/Hardware: kemungkinan pemilihan dan pengadaan teknologi khusus perangkat kerasnya yang lebih sesuai dengan kecenderungan pengembangan dan memberi nilai tambah dalam kegiatan operasional transformasi; kesesuaian lokasi industri dan perencanaan desain produksi.
•
Humanware: menyelaraskan kemampuan SDM menyangkut keahlian, kemampuan, pengetahuan, ketrampilan dan kreativitas, dengan target pengembangan agroindustri yang ditetapkan.
•
Infoware: menyiapkan perangkat teknologi yang memungkinkan kecepatan mengakses informasi yang dibutuhkan terutama menyangkut perkembangan teknologi agroindustri dan kebutuhan/kondisi pasar.
37
•
Organoware: menyiapkan organisasi yang menjamin sistem koordinasi yang efisien dan efektif dalam jaringan kerja yang produktif
agar kegiatan
menyeluruh dalam proses transformasi dapat memenuhi target-target yang ditetapkan. Menurut
Fauzi
(2003)
pengembangan
agroindustri
memerlukan
kelembagaan yang cocok, yang dicirikan oleh adanya jaringan rantai nilai (penyediaan bahan baku
sampai pasar), dan dukungan infrastruktur
ekonomi, baik fisik (prasarana dan sarana transportasi, produksi, komunikasi dan pemasaran) maupun non-fisik
(kebijakan), agar dapat dicapai
kesetimbangan materi, finansial, sosial dan lingkungan. Pengamatan terhadap aplikasi standar mutu produk/ manajemen dan sistem nilai juga dilakukan dalam penyusunan strategi proses.
III.4. Tahap permodelan Permodelan dilakukan untuk: 1) merekayasa model manajemen stratejik dengan pengkajian lebih spesifik pada tahap formulasi strategi, tahap implementasi strategi, dan tahap evaluasi strategi, 2) merancang model seleksi agroindustri unggulan, 3) merancang model strukturisasi sistem pengembangan, 4) merancang model keputusan pilihan strategi pengembangan, 5) merancang model kajian ketersediaan sumber daya, dan 6) merancang model skenario pengembangan.
III.4.1. Rekayasa model manajemen stratejik Hampir keseluruhan model manajemen stratejik yang ditunjukkan pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 5 menunjukkan proses pengkajian dengan tahapan: Mengembangkan pernyataan Visi dan Misi organisasi – Menetapkan tujuan – Melakukan evaluasi lingkungan internal / eksternal – Perumusan strategi – Implementasi strategi – dan Evaluasi strategi. Proses rekayasa dilakukan dengan memasukkan konsep-konsep yang terkait dengan agroindustri dan unggulan wilayah pada model analog (diagramatik) dari manajemen stratejik tersebut sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9.
38
KOMITMEN ORGANISASI o Pernyataan Visi dan Misi Organisasi o Penetapan Tujuan Organisasi
POTENSI WILAYAH o Deskripsi wilayah kajian o Potensi internal dan eksternal o Kondisi sumber daya
FORMULASI STRATEGI o Evaluasi lingkungan internal o Evaluasi lingkungan eksternal o Merumuskan berbagai alternatif strategi / menetapkan strategi pilihan
IMPLEMENTASI STRATEGI o Menetapkan program-program o Mengkaji ketersediaan sumber daya yang terkait dengan strategi pilihan
AGROINDUSTRI o Beragam agroindustri o Beragam kapasitas o Lingkungan strategis
EVALUASI STRATEGI o Pengujian prestasi unit kajian o Evaluasi lingkungan strategis o Perumusan skenario pengembangan
Integrasi Konsep
MODEL MANAJEMEN STRATEJIK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS UNGGULAN WILAYAH (MS-PAW)
Konfigurasi
- Nalar Pustaka - Survei Pakar
- Identifikasi stakeholder - Transformasi visi / misi / tujuan
a
Gambar 9 Diagram Alir Rekayasa Model Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis Unggulan Wilayah (MS-PAW)
39
a Tahap Komitmen Organisasi Pernyataan Visi / Misi
Penetapan Tujuan
Model Seleksi Unggulan o Sub-model seleksi unggulan agroindustri o Sub-model seleksi unggulan produk
Model Formulasi Strategi o Sub-model evaluasi lingkungan strategis
o Sub-model strukturisasi sistem pengembangan
o Sub-model penetapan strategi pilihan
Model Implementasi Strategi Analisis lokasi potensial
o Sub-model analisis ketersediaan sumber daya
Penerapan strategi pilihan
Model Evaluasi Strategi Analisis kendala strategi
o Sub-model skenario pengembangan sumber daya, bahan baku, proses, dan pemasaran
Gambar 9 Diagram Alir Rekayasa Model Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis Unggulan Wilayah (MS-PAW) (lanjutan)
40
Berdasarkan struktur (morfologi), model manajemen stratejik digolongkan sebagai model analog atau diagramatik yang berusaha menggambarkan atau menganalogikan prilaku suatu sistem dari realitas yang dikaji dengan sistem lain yang secara fisik berbeda tapi memiliki prilaku yang sama. Pada prinsipnya model bukanlah abstraksi dari suatu sistem tetapi hanyalah representasi dari aspek yang dipilih yang terkait dengan suatu permasalahan spesifik. Validasi dilakukan melalui akuisisi pendapat pakar dan tinjauan teoritis terhadap struktur hubungan antar elemen yang mewakili kondisi riil, yang terekspresi dalam model (Gaspersz 1992, Barlas 2002).
III.4.2. Model seleksi unggulan Pada tahap seleksi unggulan dikembangkan 2 sub-model yaitu: 1) sub-model seleksi unggulan agroindustri, dan 2) sub-model seleksi unggulan produk. Sub-model seleksi unggulan agroindustri Seleksi unggulan agroindustri menggunakan Metode Indeks Agroindustri. Proses perancangan model indeks agroindustri mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1. Identifikasi agroindustri berdasarkan bahan bakunya 2. Tabulasi data (kuantitatif) tersedia setiap peubah agroindustri 3. Pengurutan nilai pada tabel data peubah (tinggi ke rendah) 4. Transformasi nilai (khusus untuk sebaran data yang luas) 5. Penetapan potensial rating (Pr) skala 9 (tertinggi) s/d 1 (terendah) 6. Pemetaan nilai Pr pada nilai/ nilai transformasi setiap peubah.
Nilai Indeks agroindustri (IA), adalah penjumlahan indeks peubah agroindustri yang dalam penelitian ini adalah: 1. Indeks luas lahan (ILL) 2. Indeks total produksi (IPR) 3. Indeks Investasi (IIN) 4. Indeks tenaga kerja (ITK) atau dengan formula:
41
n IA = Σ (IVAj) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . j=1 dengan:
(1)
IA = indeks agroindustri IVA = indeks peubah agroindustri ke j n
= jumlah peubah agroindustri yang ditetapkan
IVAj = {Pr (→) VAj}. . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2) dengan: Pr = penetapan nilai potensial rating VAj = nilai peubah agroindustri ke j (→) = pemetaan nilai {Pr (→) VAj}= nilai dari pemetan potensial rating pada nilai peubah agroindustri ke j Asumsi : nilai IA dipengaruhi oleh penetapan jumlah VA sehingga dalam penelitian ini berlaku : IA = ILL + IPR + IIN + ITK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3) Output model adalah urutan peringkat unggulan agroindustri. Urutan teratas dipilih untuk kajian selanjutnya, dalam rangka penyusunan formulasi strategi pengembangan. Justifikasi unggulan didasarkan pada besaran nilai indeks agroindustri, lebih besar nilai berarti lebih unggul. Catatan: pada penelitian ini transformasi data menggunakan logaritma. Logaritma adalah proses perubahan suatu bilangan dasar menjadi suatu bilangan spesifik yang bertujuan membantu penyederhanaan proses aritmatika (Singer 2005). Transformasi Log adalah trasformasi nilai dari fungsi non linier (Dowling 2001).
Sub-model Seleksi Unggulan Produk. Seleksi unggulan produk menggunakan pendekatan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). MPE dilakukan untuk menetapkan prioritas pilihan pakar terhadap berbagai produk dari agroindustri yang ditetapkan sebagai unggulan teratas. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan menggunakan MPE adalah:
42
penentuan alternatif keputusan,
penyusunan kriteria keputusan yang akan dikaji,
penentuan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai dengan keinginan pengambil keputusan,
penentuan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan pada setiap kriteria keputusan,
penghitungan nilai dari setiap alternatif keputusan,
pemeringkatan nilai yang diperoleh dari setiap alternatif keputusan.
Penghitungan total nilai setiap pilihan keputusan dapat diformulasikan sebagai berikut: m Total Nilai = Σ (Rkij) TKKj . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . (4) j=1 dengan: Rkij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada alternatif ke-i, yang dapat
dinyatakan dengan skala ordinal.
TKKj = derajat kepentingan alternatif keputusan, yang dinyatakan dengan bobot n
= jumlah pilihan keputusan
m
= jumlah kriteria keputusan
Rekayasa model seleksi agroindustri unggulan dan produk unggulan dengan pendekatan alat analisis Metode Indeks Agroindustri (IA) yang bersifat kuantitatif deterministik dan Metode Perbandingan Eksponensial yang merupakan metode analisis
kualitatif, dilakukan dengan memadukan nalar pustaka, pengamatan
empiris dan wawancara mendalam (in depth interview) dengan para pakar yang dapat dirumuskan dalam beberapa langkah sebagai berikut: 1) identifikasi agroindustri, 2) identifikasi komponen analisis dan alat analisisnya, 3) penetapan kriteria penilaian, 4) penetapan agroindustri unggulan dan 5) penetapan alternatif produk unggulan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10.
43
Mulai
Identifikasi Agroindustri Penentuan Agroindustri Pilihan (Metode Indeks Agroindustri) Komponen Analisis - Teknik Analisis Ketersediaan lahan : Statistik Produksi bahan baku : ,, Investasi : ,, Tenaga kerja : ,, - - - -(Peubah Input)- - - Justifikasi
IA = ILL+ IP + II+ ITK
Peringkat Unggulan Agroindustri
Pilihan
IA ≠ maks
Alternatif
IA=maks
Unggulan
Penentuan Produk Unggulan (Metode Perbandingan Eksponensial)
Peringkat Unggulan Produk
Selesai
Gambar 10 Diagram alir rekayasa model seleksi agroindustri / produk unggulan
44
III.4.3. Model evaluasi lingkungan strategis Rekayasa model evaluasi lingkungan strategis, menggunakan analisis SWOT yang dilakukan terhadap potensi agroindustri unggulan wilayah meliputi Evaluasi faktor Internal yang dikenal sebagai: 1. Faktor Kekuatan (Strengths = S), 2. Faktor Kelemahan (Weaknesses = W), dan Evaluasi faktor Eksternal yang dikenal sebagai: 3. Faktor Peluang (Opportunities = O), dan 4. Faktor Ancaman (Threats = T). Elemen-elemen pada komponen SWOT dipilih sebagai elemen kajian untuk penetapan faktor-faktor pendukung dan kendala sistem pengembangan, sedangkan Alterrnatif kebijakan sebagai kajian interaksi antar faktor SWOT, ditetapkan sebagai rumusan alternatif Strategi. Prosedur analisis lingkungan strategis mulai dari penetapan tujuan sampai pada penyajian rumusan hasil evaluasi mengikuti alur pikir sebagaimana pada Gambar 11. PENETAPAN TUJUAN
PENETAPAN / PEMILIHAN PAKAR
IDENTIFIKASI PELAKU
PENETAPAN ELEMEN KAJIAN
PENETAPAN METODE ANALISIS
NALAR PUSTAKA
tidak
Sesuai ya
Aplikasi pada Agroindustri pilihan
SURVEY PAKAR
AKUISISI PENDAPAT PAKAR
PENYAJIAN RUMUSAN HASIL EVALUASI
Gambar 11 Diagram Alir Rekayasa Model Evaluasi Lingkungan Strategis
45
III.4.4. Model strukturisasi sistem Model I’SWOT adalah rekayasa model strukturisasi sistem pengembangan agroindustri unggulan wilayah yang dilakukan dengan memasukkan elemenelemen SWOT pada penggunaan teknik Interpretative Structural Modeling (ISM) yang merupakan alat strukturisasi dalam permodelan deskriptif. Hubungan kontekstual disajikan dalam bentuk Structural Self-interaction Matrix (SSIM) dengan menggunakan simbol VAXO yang kemudian ditransformasi kedalam bentuk
matriks
bilangan
biner
(bilangan
‘O’
dan
‘1’).
ISM-VAXO
menggambarkan kondisi sebagaimana terlihat pada Tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 4. Simbol hubungan dan definisi kontekstual antar elemen ISM-VAXO Simbol hubungan kontekstual antar elemen idan j ( eij )
Definisi hubungan kontekstual antar elemen (eij)
V
Elemen i menyebabkan hubungan kontekstual dengan j tapi tidak sebaliknya... (eij = 1 dan eji = 0)
A
Elemen j menyebabkan hubungan kontekstual dengan i tapi tidak sebaliknya ....(eij = 0 dan eji = 1)
X
Elemen i dan j saling menyebabkan hubungan kontekstual ............................... (eij = 1 dan eji = 1)
O
Elemen i dan j dan sebaliknya, tidak menyebabkan hubungan kontekstual ............... (eij = 0 dan eji = 0)
Tahapan dalam teknik ISM-VAXO adalah: 1. Penyusunan Structural Self-Interaction Matrix – VAXO 2. Transformasi SSIM –VAXO menjadi Reachability matrix bilangan biner 3. Pengujian transitive matriks 4. Klasifikasi sub-elemen berdasarkan Driver Power (DP) dan Dependence (D) 5. Penyusunan hirarki berdasarkan rangking sub-elemen
Diagram alir Rekayasa Model I’SWOT ditunjukkan pada Gambar 12
46
Kelompok Elemen dan Kelompok Sub-Elemen pada Kajian SWOT
Nama Elemen Nama Sub-elemen Nama ahli
Penilaian Hubungan Kontekstual (VAXO) antar Sub-Elemen pada setiap Elemen untuk setiap Ahli
Mulai
Matrik Self StructuralInterpretive (SSIM) Untuk setiap Ahli dan pada setiap Elemen
Pembentukan Matrik Reachability (RM) untuk setiap Ahli dan pada setiap Elemen
Modifikasi menjadi Matriks Transitif
Transitif ?
Matrik Reachability Pendapat Gabungan Ahli
Pembentukan RM Pendapat Gabungan Ahli
Strukturisasi Elemen Sistem Penetapan Sub-elemen Kunci Kategorisasi Sub-Elemen
Strukturisasi Sistem Pengembangan Kelompok Sub-Elemen
Selesai : Model ISM-VAXO)
Gambar 12 Diagram Alir Rekayasa Model I’SWOT pada Strukturisasi Sistem Pengembangan Menggunakan Model ISM-VAXO dari Machfud (2001)
47
III.4.5. Model penetapan strategi pilihan Model pilihan strategi menggunakan teknik pairwise comparison pada metode Analytical Hierarchi Process (AHP). Prosedur yang diwajibkan pada penggunaan metode AHP adalah: a. perumusan tujuan (sasaran), kriteria, dan alternatif yang merupakan unsur-unsur dari permasalahan yang dikaji, b. penyusunan struktur hirarki, c. penentuan prioritas bagi setiap kriteria dan alternatif dengan bantuan skala nilai yang memadai, nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh kriteria dan alternatif, d. konsistensi logis dengan menggunakan kriteria nilai Consistency Ratio (CR) Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 5 skala pendapat sebagai berikut:
Tabel 5 Skala pendapat (nilai dan definisinya) Nilai
Definisi
1
Sama penting (equal)
3
Sedikit lebih penting (moderate)
5
Jelas lebih penting (strong)
7
Sangat jelas penting (very strong)
9
Mutlak lebih penting (extreme)
2,4,6,8 1 / (1 – 9 )
Apabila ragu antara dua nilai yang berdekatan Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 - 9
Pembobotan Kriteria
Matrix pendapat responden yang dalam proposal ini dipilih lebih dari satu responden dan selanjutnya dilakukan penggabungan matrix pendapat terhadap pentingnya setiap kriteria (A-H): Perhitungan matrix gabungan dengan rumus:
48
m
gij =
m
C aij
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . (5)
k =1
gij = elemen matrix gabungan pada baris ke-i kolom ke-j m
= jumlah responden
aij = elemen matrix individu pada baris ke-i kolom ke-j Selanjutnya pembobotan dengan perhitungan Nilai Eigen secara manual menurut Marimin (1999). Pengolahan data untuk penentuan urutan prioritas kriteria, juga dengan perhitungan konsistensi pendapat individu. (dicoba pengolahan pada matrix gabungan). A – H = setiap kriteria NE = Nilai Eigen = dari hasil perkalian matrix sampai Iterasi ke 2 WV = Weighted sum vector = aij x NE CV = Consistency vector =
WV NE
. . . . . . . . . . . . . . . . . . (6)
n
∑ CV i =1
π =
(atau nilai rata-rata dari Consistensi vektor) . . . .
n
(7)
CI = Consistensy Index = (π - n) / (n – 1) ; n : banyaknya kriteria atau juga alternatif CR
=
CI RCI
.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(8)
RCI = Random Consistency Index
Penilaian Kriteria telah konsisten bila nilai CR tidak lebih dari 0.10 Nilai CR sebesar > 0.10 berarti perbandingan berpasangan untuk kriteria belum dilakukan dengan konsisten, sehingga penilaian perlu direvisi. Berdasarkan nilai eigen ditetapkan urutan pentingnya kriteria. Hasil akhir pembobotan keseluruhan, kriteria maupun alternatif, berdasarkan penilaian responden ditampilkan dalam diagram struktur. Pada penelitian ini selain operasi secara manual juga digunakan perangkat lunak Criterium Decision Pluss versi 2.0
49
Rekayasa model penetapan strategi pilihan dengan pendekatan AI’SWOT dilakukan dengan menggunakan elemen-elemen kajian I’SWOT sebagai dasar penetapan Sasaran, Kriteria, dan berbagai Alternatif pada metode analisis AHP sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 13.
Kelompok Elemen dan Kelompok Sub-Elemen pada Kajian SWOT dan Elemen Fokus Pengembangan pada kajian I’SWOT
Sasaran
Kriteria A
Kriteria B
Strategi D
Strategi E
Alternatif D.1 Alternatif D.2 . . Alternatif D.n
Alternatif E.1 Alternatif E.2 . . Alternatif E.n
Strategi F
Alternatif F.1 Alternatif F.2 . . Alternatif F.n
Kriteria C
Strategi G
Alternatif G.1 Alternatif G.2 . . Alternatif G.n
AHP
Gambar 13 Diagram Alir Rekayasa Model Penetapan Strategi Pilihan dengan AI’SWOT
50
III.4.6. Model analisis ketersediaan sumber daya Interaksi antara ketersediaan berbagai
sumber daya
dan fokus
pengembangan (alternatif strategi pilihan) dianalisis menggunakan model matriks ketersediaan setelah lebih dahulu dilakukan penetapan kriteria, survey pendapat pakar, dan survey lapang terhadap lokasi-lokasi kajian, sebagaimana digambarkan pada diagram alir tahap analisis ketersediaan sumber daya (Gambar 14).
Mulai
Penetapan lokasi kajian Dasar: Sentra produksi Penetapan tipologi sumber daya Penetapan kriteria ketersediaan Observasi: Penetapan metode, pengumpulan data, analisis data
Matriks ketersediaan sumber daya
Selesai
Gambar 14 Diagram Alir Tahap Analisis Ketersediaan Sumber daya
Ketersediaan sumber daya tertentu pada keseluruhan alternatif strategi pengembangan dapat dipakai sebagai gambaran ketersediaan sumber daya dalam hal jumlah dan kualitas. Ketersediaan keseluruhan sumber daya pada alternatif strategi tertentu dapat dipakai sebagai gambaran kesiapan operasional agroindustri yang dikaji. Pada tahap awal adalah penetapan kriteria sumber daya.
51
Sistem penilaian setiap kriteria mengikuti pola biner yaitu: ada = 1, dan tidak ada = 0, sehingga total kisaran nilai pengamatan adalah tertinggi 5 dan terendah 0, dengan atribut:
Nilai 5 = tersedia
Nilai 4 = cukup tersedia
Nilai 3 = kurang tersedia
Nilai 2 = sangat kurang tersedia
Nilai 1 = hampir tidak tersedia
Nilai 0 = tidak tersedia
Data ketersediaan sumber daya dari lokasi potensial yang dijadikan lokasi kajian disajikan dalam bentuk tabel sumber daya. Data pada tabel sumber daya kemudian dianalisis menggunakan Matriks Ketersediaan Sumber daya yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Nilai ketersediaan terbatas (S) adalah nilai maksimum kesenjangan terbobot (I) yang diperoleh dari hasil multiplikasi nilai kesenjangan sumber daya (K) dan nilai bobot fokus pengembangan (B). Nilai kesenjangan diperoleh dari selisih antara nilai maksimum ketersediaan sumber daya yang dalam penelitian ini adalah 20 dengan total nilai sumber daya yang terdata pada lokasi penelitian (T) (Lampiran 10). Nilai S dapat dirumuskan sebagai berikut: n S = [( SDmax – Σ SDi ) x B ]max ……………………………..……. .. 10 i=1 S = nilai ketersediaan terbatas = Max {Ij} untuk semua j = 1,2,..,m SDmax = nilai maksimum sumber daya yang ditetapkan ΣSDi = total sumber daya terdata = T B = bobot fokus pengembangan (penilaian pakar) n = tipe sumber daya
III.4.7. Model skenario pengembangan Skenario dapat digambarkan dalam bentuk matriks. Khusus skenario pengembangan bahan baku menggunakan pendekatan Matriks Strategi Opsional yang dikembangkan untuk merancang ketersediaan bahan baku optimal dengan membandingkan kondisi real di lapang dan kondisi ideal yang dapat dicapai. Metode yang dikembangkan mengikuti alur sebagai berikut:
52
Matriks strategi opsional Jenis Komoditas: Kondisi empiris (real): . . . . . . a Nilai teoritis (ideal): . . . . . . . b
Strategi a = b: tanpa perlakuan a > b: peninjauan a < b: pengembangan
Opsi (penyesuaian): a = b, a < b, a > b
Penggambaran skenario dalam bentuk matriks, mengikuti pola scenario
matrix dari Pieerre Wack sebagaimana terlihat pada Gambar 15. Scenario Matrix VARIABLE 1 V A R I A B L E
Outcome 1A
Outcome 1B
Outcome 2A
Scenario 1
Scenario 2
Outcome 2B
Scenario 3
Scenario 4
2 Gambar 15 Matriks skenario menurut Pierre Wack (netMBA 2006)
Skenario pengembangan proses dirumuskan dengan menggunakan Model Matriks Prioritisasi Proses menurut Brelin et.al (1997), dengan fokus pengamatan pada 1) faktor sukses kritis (critical success factors-CSF) yang merupakan faktor penentu pengembangan proses dan 2) proses kunci sebagai rangkaian proses inti yang memberi dampak terhadap CSF. Tujuan utama penggunaan matriks ini adalah untuk melihat rangkaian proses mana yang memerlukan prioritas penanganan segera dengan indikator nilai kesenjangan terbobot sebagai perkalian jumlah dampak dan nilai kinerja proses. Kunci pemeringkatan yang ditetapkan adalah: Dampak proses pada CSF diberi nilai 1 = Rendah, 2 = Sedang dan, 3 = Tinggi.
53
Kinerja proses diberi nilai 1 = Tidak cukup, 5 = Oke dan, 9 = Baik, dibawah nilai sempurna kinerja proses yaitu nilai 10. Bagan matriks ditunjukkan pada Gambar 16.
Prioritas
Kesenjangan Terbobot
Kesenjangan Kinerja Proses
Proses Kunci
Faktor Sukses Kritis Kinerja Proses
Kinerja Proses: 1= Tidak cukup 5 = Oke 9 = Baik
Jumlah Dampak
Kunci Pemeringkatan Dampak proses pada CSF: 1 = Rendah 2 = Sedang 3 = Tinggi
1 2 3 .. .. .. .. n
Gambar 16 Matriks Prioritisasi Proses
III.5. Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan mulai bulan Maret 2004, diawali dengan penelusuran sumber-sumber informasi (antara lain studi pustaka), kemudian melakukan diskusi-diskusi mengenai penyusunan desain penelitian, pemahaman dan identifikasi pakar, pemahaman metode-metode analisis yang sebagian besar dilakukan di Laboratorium Teknik dan Manajemen Industri, Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB. Penelitian dilanjutkan dengan survei lapang setelah lebih dahulu menetapkan lokasi penelitian yaitu Provinsi Sulawesi Utara.
54
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Deskripsi karakter lokasi Lokasi penelitian yang ditetapkan adalah Propinsi Sulawesi Utara yang terdiri dari enam kabupaten dan tiga kota dengan karakter geografi, demografi dan karakter bio-geofisik yang relatif sama. Diantara keanekaragaman flora yang terdapat di Sulawesi Utara, tanaman perkebunan yang dapat diandalkan yaitu kelapa, cengkih, pala, kopi, kakao dan vanila.
Sulawesi Utara juga memiliki
kekayaan fauna khususnya fauna endemik seperti Tarsius (tarcius spectrum ) dan Maleo (macrocephalon maleo), juga terdapat ternak kuda, sapi, kerbau, babi dan beberapa jenis ternak unggas.
IV.2. Identifikasi potensi agroindustri wilayah IV.2.1. Identifikasi berdasarkan luas areal dan produksi Untuk melihat potensi bahan baku industri berbasis tanaman perkebunan, pada Tabel 6 sampai dengan Tabel 15 disajikan luas areal perkebunan dan produksi setiap jenis komoditi perkebukan yang ada di Sulawesi Utara dan perkembangannya selama beberapa tahun (2000 – 2002), kemudian dirinci pada setiap wilayah kabupaten/ kota.
Tabel 6 Luas areal berbagai komoditi perkebunan
No
Jenis Komoditi
2000
L u a s A r e a l ( Ha ) 2001
2002
1
Kelapa
317186.00
262930.00
263930.00
2
Cengkih
43438.00
40610.00
40610.00
3
Pala
16965.00
16870.00
16910.00
4
Kopi
9360.00
7508.00
7508.00
5
Kakao
10910.00
7310.00
7310.00
6
Panili
5624.00
5724.00
5724.00
7
Jambu Mete
3689.00
574.00
574.00
8
Cassiavera
1005.00
495.00
495.00
9
Lada
380.00
240.35
240.35
Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003.
55
Pada Tabel 6 terlihat bahwa Luas areal perkebunan terbesar adalah komoditi kelapa namun terlihat adanya pengurangan luas areal perkebunan baik pada tanaman kelapa maupun pada tanaman perkebunan lainnya. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan pergeseran peruntukan lahan, dari lahan perkebunan kelahan pemukiman, transportasi dan sebagainya, mengikuti laju pertambahan penduduk dan perkembangan keragaman aktivitas masyarakat atau juga karena adanya perubahan target kebijakan. Selanjutnya pada Tabel 7 ditampilkan gambaran produksi setiap jenis komoditi perkebunan sebagai berikut:
Tabel 7 Produksi berbagai jenis komoditi perkebunan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Komoditi
2000
Kelapa Cengkih Pala Kopi Kakao Panili Jambu Mete Cassiavera Lada
P r o d u k s I ( Ton ) 2001
320990.00 6564.00 7254.00 4363.00 1776.00 386.00 735.00 108.00 10.00
268128.00 11800.00 7110.00 3016.00 1070.00 412.00 234.00 60.00 2.33
2002 271385.00 12800.00 7500.00 3080.00 1501.00 450.00 290.00 70.00 4.00
Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003. Semua jenis komoditi perkebunan tersebar pada keseluruhan wilayah Sulawesi Utara walaupun dalam jumlah yang bervariasi seeperti yang ditampilkan pada Tabel-tabel berikutnya.
Tabel 8 Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Kelapa No
Kabupaten/ Kota
1 Minahasa *) Bolaang Mongondow 2 3 Sangihe Talaud 4 Kota Manado 5 Kota Bitung Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003. a)
Luas Areal Tanaman Menghasilkan (Ha) a) 139053.00 47290.00 35615.00 5482.00 11480.00
Produksi (Ton) 160000.00 45730.00 42800.00 5744.00 13854.00
= tidak termasuk areal tanaman muda belum menghasilkan dan tanaman tua/ rusak *) = sebelum pemekaran kabupaten.
56
Tabel 9 Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Cengkih No
Kabupaten/ Kota
Luas Areal Tanaman Menghasilkan (Ha) a)
Produksi (Ton)
1 Minahasa *) 27501.00 8500.00 2 Bolaang Mongondow 4245.00 1750.00 3 Sangihe Talaud 4316.00 1510.00 4 Kota Manado 40.00 15.00 5 Kota Bitung 45.00 25.00 Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003. a) = tidak termasuk areal tanaman muda belum menghasilkan dan tanaman tua/ rusak *) = sebelum pemekaran kabupaten
Tabel 10 Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Pala No
Kabupaten/ Kota
Luas Areal Tanaman Menghasilkan (Ha) a)
Produksi (Ton)
1994.00 554.00 1 Minahasa *) 198.00 62.00 2 Bolaang Mongondow 13188.00 6492.00 Sangihe Talaud 3 ----4 Kota Manado Kota Bitung 20.00 2.00 5 Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003. a) = tidak termasuk areal tanaman muda belum menghasilkan dan tanaman tua/ rusak *) = sebelum pemekaran kabupaten
Tabel 11 Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Kopi No
Kabupaten/ Kota
Luas Areal Tanaman Menghasilkan (Ha) a)
Produksi (Ton)
1 Minahasa *) 2024.00 1101.00 2 Bolaang Mongondow 3857.00 1900.00 3 Sangihe Talaud 61.00 15.00 4 Kota Manado ----5 Kota Bitung ----Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003. a) = tidak termasuk areal tanaman muda belum menghasilkan dan tanaman tua/ rusak *) = sebelum pemekaran kabupaten.
57
Tabel 12 Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Panili No
Kabupaten/ Kota
Luas Areal Tanaman Menghasilkan (Ha) a)
Produksi (Ton)
1 Minahasa *) 3404.00 334.00 2 Bolaang Mongondow 606.00 71.00 3 Sangihe Talaud 27.00 2.00 4 Kota Manado 24.00 2.00 5 Kota Bitung 35.00 3.00 Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003. a) = tidak termasuk areal tanaman muda belum menghasilkan dan tanaman tua/ rusak *) = sebelum pemekaran kabupaten.
Tabel 13 Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Jambu Mete No
Kabupaten/ Kota
Luas Areal Tanaman Menghasilkan (Ha) a)
Produksi (Ton)
1 Minahasa *) 214.00 412.00 103.00 259.00 2 Bolaang Mongondow 23.00 --3 Sangihe Talaud 4 ----Kota Manado 5 Kota Bitung 12.00 --Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003. a) = tidak termasuk areal tanaman muda belum menghasilkan dan tanaman tua/ rusak *) = sebelum pemekaran kabupaten.
Tabel 14 Luas areal dan produksi komoditi perkebunan pada setiap wilayah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara Jenis tanaman: Kakao No
Kabupaten/ Kota
Luas Areal Tanaman Menghasilkan (Ha) a)
Produksi (Ton)
1060.00 1 Minahasa *) 2 Bolaang Mongondow 1031.00 3 Sangihe Talaud 2045.00 4 Kota Manado 4.00 5 Kota Bitung 14.00 Diolah dari data Dis.Bun Sulut, 2003. a) = tidak termasuk areal tanaman muda belum menghasilkan dan tanaman tua/ rusak *) = sebelum pemekaran kabupaten.
86.00 270.00 698.00 2.00 14.00
Catatan: Tidak cukup data untuk tanaman perkebunan Cassiavera dan Lada. Tabel komoditi perkebunan per kabupaten/ kota dijadikan bahan pertimbangan penetapan lokasi kajian selanjutnya.
58
IV.2.2. Identifikasi agroindustri berdasarkan skala investasi. Agroindustri dapat dikelompokkan berdasarkan skala investasi sesuai SK Menperindag No: 590 Thn 1999, yaitu Industri Skala Besar dengan investasi diatas satu milyar rupiah; dan Industri Skala Menengah dengan investasi antara duaratus juta sampai satu milyar rupiah. Investasi terdiri dari: a) Penanaman Modal Asing (PMA), b) Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan c) Non PMA/PMDN yang beroperasi dengan Izin Dirjen (Izin Persetujuan Prinsip dan Izin Tetap), Izin Kantor Departemen dan Kantor Wilayah ( Kandep dan Kanwil) setempat. Secara keseluruhan total investasi paling besar terserap pada agroindustri berbahan baku kelapa (minyak kelapa, tepung kelapa, arang tempurung, serat sabut kelapa, karbon aktif, olahan kayu kelapa) seperti terlihat pada Tabel 15. Selain jenis agroindustri yang tercantum dalam Tabel ada juga industri yang terkait dengan kegiatan agroindustri terutama dalam hal pengadaan sumber bahan bakunya antara lain: industri minuman ringan, obat nyamuk, industri makanan dan mie instan yang menyerap investasi cukup besar (sekitar 10%).
Tabel 15 Daftar agroindustri skala besar di Sulawesi Utara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis komoditi Tapioka *) Tepung Kelapa Minyak Kelapa Ikan Kaleng Ikan Kayu Arang Tempurung Cold Storage Karbon Aktif Serat Sabut Kelapa Sortir Pala Minyak Goreng Sigaret - (tidak aktif) Kayu Kelapa Olahan
Jumlah unit 2 6 4 3 6 1 6 1 2 3 1 1 1
Jumlah 37 Diolah dari data Dis Perindag Sulut, 2003. *) saat penelitian, industri non aktif.
Jumlah investasi ( Rp. ) 79 081 000 000 55 069 000 000 54 388 000 000 45 513 000 000 17 720 000 000 12 141 000 000 11 227 000 000 10 205 000 000 9 655 000 000 7 456 000 000 5 621 000 000 1 963 000 000 1 490 000 000 311 529 000 000
59
Kelompok agroindustri skala menengah lebih bervariasi jenis komoditinya sebagaimana terlihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Daftar agroindustri skala menengah di Sulawesi Utara No
Jenis komoditi
Jumlah unit
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Minyak Goreng 5 Sortir Pala 3 Cold Storage 4 Ikan Kayu 3 Kopi Bubuk 2 Biskuit 1 Ikan Kaleng 1 Minyak Atsiri 2 Arang Tempurung 2 Penyamakan Kulit 1 Mebel Batang Kelapa 2 Tepung Batok Kelapa 1 Minyak Pala 1 Sumpit 1 JUMLAH 29 Diolah dari data Dis Perindag Sulut, 2003.
Jumlah investasi ( Rp. ) 2 288 000 000 1 941 000 000 1 369 000 000 1 250 000 000 1 100 000 000 972 000 000 867 000 000 846 000 000 590 000 000 400 000 000 375 000 000 300 000 000 273 000 000 240 000 000 12 811 000 000
Disamping kelompok agroindustri skala besar dan menengah juga terdapat usaha agroindustri skala kecil / mikro yang tidak dicantumkan karena tidak didukung data yang cukup. Ada indikasi bahwa agroindustri skala kecil / mikro umumnya menjadi bagian dari mata rantai aktifitas operasional usaha agroindustri skala besar maupun menengah, dan masa aktifnya tidak menentu dan relatif singkat.
IV.2.3. Identifikasi agroindustri berdasarkan penyerapan tenaga kerja Salah satu kontribusi sektor agroindustri dalam pembangunan ekonomi daerah maupun secara nasional adalah penyerapan tenaga kerja yang dapat diartikan sebagai peran aktif dalam usaha penyediaan lapangan kerja guna peningkatan pendapatan masyarakat. Penyerapan tenaga kerja dan gambaran kapasitas potensial berdasarkan jenis komoditi untuk gabungan skala usaha besar dan menengah ditampilkan pada Tabel 17.
60
Tabel 17 Kapasitas potensial dan penyerapan tenaga kerja setiap jenis komoditi agroindustri di Sulawesi No
Jenis komoditi
Jumlah unit
1 Ikan Kaleng 4 2 Tepung Kelapa 6 3 Minyak Kelapa 4 4 Cold Storage 10 5 Serat Sabut kelapa 2 6 Minyak Goreng 6 7 Tapioka 2 8 Sigaret (tidak aktif) 1 9 Sortir Pala 6 10 Arang Tempurung 3 11 Kopi Bubuk 2 12 Karbon Aktf 1 13 Biskuit 1 14 Mebel Batang Kelapa 2 15 Ikan Kayu 3 16 Minyak Atsiri 2 17 Minyak Pala 1 18 Kayu Kelapa Olahan 1 19 Tepung Batok Kelapa 1 20 Penyamakan Kulit 1 Diolah dari data Dis Perindag Sulut, 2003.
Kapasitas potensial 27 000 ton 24 483 ton 209 720 ton 12 550 ton 47 800 ton 172 570 ton 101 500 ton 50 000 btg 5 110 ton 252 008 ton 595 ton 7 200 ton 2 250 ton 6 892 unit 1 400 ton 97 ton 36 ton 800 m3 360 ton 750 ton
Jumlah T.kerja 3 123 1 754 1 300 1 121 677 658 551 448 284 222 170 150 136 128 96 49 32 25 16 10
Pada Tabel 17 terlihat bahwa komoditas industri berbasis bahan baku kelapa menyerap total tenaga kerja terbanyak yaitu sekitar 45 %.
IV.3. Penetapan agroindustri unggulan dan produk unggulan Pada penelitian ini identifikasi agroindustri didasarkan pada jenis bahan baku komoditas perkebunan. Jenis agroindustri yang terdata adalah agroindustri berbahan baku kelapa, cengkih, pala, kopi, kakao, panili, jambu mete, cassiavera dan lada. Analisis dilakukan dengan metode Indeks Agroindustri (IA).
IV.3.1. Analisis peubah input metode IA Peubah yang digunakan adalah: 1) peubah Luas Lahan dan 2) peubah Produksi, analisis berdasarkan informasi statistik Dinas Perkebunan daerah Sulawesi Utara 3) peubah Investasi dan 4) peubah Tenaga Kerja, analisis berdasarkan informasi statistik Disperindag Sulawesi Utara yang dijadikan acuan nilai investasi per bahan baku Pada keseluruahn peubah yang memiliki nilai nominal dengan sebaran yang luas dilakukan transformasi menjadi nilai logaritma.
61
Rangking
unggulan
keseluruhan
agroindustri
untuk
setiap
peubah
didasarkan pada Indeks peubah (IVA) yang merupakan nilai pemetaan potensial
rating pada nilai logaritma dari peubah. Pada penulisan selanjutnya potensial rating dilambangkan dengan Pr sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 18, demikian juga pada tabel-tabel peubah lainnya. Nilai potensial rating (Pr) yang digunakan adalah:
yang terendah nilai 1 (satu), dan yang tertinggi niali 9
(sembilan).
Peubah luas lahan Analisis peubah luas lahan ditunjukkan pada Tabel 18. Indeks peubah Luas Lahan (ILL) berdasarkan pemetaan nilai Pr pada logaritma kisaran nilai luas lahan. Rangking unggulan berdasarkan Indeks Luas Lahan. Tabel 18 Indeks luas lahan bahan baku agroindustri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bahan baku * Kelapa Cengkih Pala Kopi Kakao Panili Jambu Mete Cassiavera Lada
Luas (Ha) *
log
ILL ( Pr / Luas lahan)
Rangking
263930.00 40610.00 16910.00 7508.00 7310.00 5724.00 574.00 495.00 240.35
5.42 4.61 4.23 3.88 3.86 3.76 2.76 2.69 2.38
9 7 7 7 7 7 5 5 4
1 2 2 2 2 2 3 3 4
Pada Tabel 18, terlihat bahwa
ILL, tertinggi adalah pada agroindustri
berbasis bahan baku kelapa, diikuti beberapa jenis agroindustri yang memiliki rangking yang sama walaupun memiliki nilai riil yang berbeda.
Peubah produksi. Analisis peubah produksi ditunjukkan pada Tabel 19. Indeks produksi bahan baku (IPR), berdasarkan pemetaan nilai Pr pada logaritma kisaran nilai produksi. Rangking unggulan berdasarkan Indeks Produksi. Pada Tabel 19, terlihat bahwa
IPR tertinggi adalah pada agroindustri berbasis bahan baku kelapa.
62
Tabel 19 Indeks produksi bahan baku agroindustri No Bahan baku * 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Produksi (Ton) *
log
271 385 12 800 7 500 3 080 1 501 450 290 70 4
5.43 4.11 3.88 3.49 3.18 2.65 2.46 1.85 0.60
Kelapa Cengkih Pala Kopi Kakao Panili Jambu Mete Cassiavera Lada
IPR (Pr / produksi) 9 7 6 6 6 5 5 4 1
Rangking 1 2 3 3 3 4 4 5 6
Peubah investasi. Analisis peubah investasi ditunjukkan pada Tabel 20. Indeks Investasi (IIN), berdasarkan pemetaan nilai Pr pada logaritma kisaran nilai investasi. Rangking unggulan berdasarkan Indeks Investasi (Tabel 20). Tabel 20 Indeks investasi agroindustri IIN (Pr / nilai investasi) 9 8 8 8 ------
Rangking
Pada Tabel 20 terlihat bahwa IIN tertinggi adalah pada
agroindustri
No Bahan baku 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelapa Pala Cengkih Kopi Panili Kakao Jambu Mete Lada Cassiavera
Investasi (Rp) *
Log
152 522 000 000.9 670 000 000.1 963 000 000.1 100 000 000.------
11.18 9.99 9.29 9.04 ------
1 2 2 2 ------
berbasis bahan baku kelapa.
Peubah tenaga kerja. Analisis peubah tenaga kerja ditunjukkan pada Tabel 21. Indeks tenaga kerja (ITK) berdasarkan pemetaan nilai Potensial rating (Pr) pada nilai logaritma tenaga kerja. Rangking unggulan berdasarkan Indeks Tenaga Kerja
63
Tabel 21 Indeks tenaga kerja agroindustri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditas
Jumlah t.k
Kelapa Cengkih Pala Kopi Panili Kakao Jambu mete Cassiavera Lada
136745 81717 17226 11432 8586 7310 574 495 240
Log
ITK (Pr / t.k)
Rangking
5.14 4.91 4.24 4.06 3.93 3.86 2.76 2.69 2.38
9 9 8 8 7 7 5 5 5
1 1 2 2 3 3 4 4 4
Pada Tabel 21 terlihat bahwa rangking unggulan berdasarkan Indeks tenaga kerja (ITK ) tertinggi adalah bahan baku kelapa dan cengkih. Jumlah tenaga kerja yang dijadikan patokan adalah total tenaga kerja dalam perusahaan dan taksiran tenaga kerja luar perusahaan yang terlibat langsung dalam aktifitas pengadaan bahan baku (Lampiran 4).
IV.3.2. Rangking prioritas unggulan agroindustri Nilai indeks agroindustri setiap alternatif agroindustri unggulan di Sulut disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22 Urutan rangking prioritas unggulan agroindustri di Sulawesi Utara* Bahan Baku Kelapa Cengkih Pala Kopi Kakao Panili Jambu mete Cassiavera Lada
Total Indeks (ILL+IPR+IIN+ITK) 36 31 29 29 20 19 15 14 10
Rangking 1 2 3 3 4 5 6 7 8
*) Tabel disarikan dari Lampiran 3 (ILL = Indeks luas lahan, IPR = Indeks produksi, IIN = Indeks investasi, ITK = Indeks tenaga kerja)
64
Berdasarkan urutan rangking prioritas tertinggi maka Agroindustri berbasis kelapa menempati prioritas unggulan tertinggi walaupun perbedaan nilai yang relatif dekat dengan komoditas unggulan lainnya seperti cengkih, pala dan kopi, sedangkan komoditas lainya dapat diasumsikan sebagai agroindustri alternatif. Hasil seleksi unggulan dengan metode indeks agroindustri berbeda dengan rangking hasil analisis komoditas pertanian unggulan daerah yang dilakukan BPTP dengan menggunakan metode Location Quotion LQ (Tabel 23) dengan menempatkan komoditas pala sebagai unggulan teratas.
Tabel 23 Indeks LQ agroindustri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bahan baku Pala Panili Cengkih Kelapa Kakao Kopi Lada Jambu mete Cassiavera
LQ 4.66 1.43 1.19 1.08 1.04 0.93 0.85 0.80 0.50
Rangking 1 2 2 2 2 3 3 3 4
BPTP Sulut juga telah menyusun matriks skor untuk menentukan komoditas unggulan nasional (non perikanan/ kelautan) prioritas penelitian dan pengkajian BPTP Sulut berdasarkan peubah senjang produktivitas, trend luas / populasi, pendapatan, kesempatan kerja, trend produksi dan R/C ratio untuk beberapa komoditas yang memiliki keunggulan komparatif tinggi, seperti terlihat pada Tabel 24. Hasil analisis skoring tersebut menunjukkan prioritas dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah sebagai berikut: (1) Jagung, (2) Kelapa, (3) Babi, (4) Sapi Potong, (5) Vanili, (6) Pala, (7) dan Cengkih. Hasil kajian BPTP memperlihatkan persamaan pada komoditas bila dibandingkan dengan hasil analisis unggulan agroindustri di Sulawesi Utara menggunakan metode Indeks Agroindustri. sebagai unggulan.
65
Tabel 24 Matriks penetapan prioritas komoditi unggulan nasional di BPTP Sulawesi Utara Kelapa
Cengkeh
Vanili
Pala
Jagung
Sapi
Babi
Senjang produktivitas
3.0
1.0
0.75
1.7
1.5
1.4
1.6
(1)
(6)
(7)
(2)
(4)
(5)
(3)
Trend luas areal panen/populasi %
2.1
0.3
2.0
1.5
5.0
2.1
3.0
(4)
(7)
(5)
(6)
(1)
(3)
(2)
Pendapatan (share PDRB, %)
1.0
0.5
0.4
0.3
0.8
0.4
0.3
(1)
(3)
(4)
(7)
(2)
(5)
(6)
Kesempatan kerja, KK
250000
50000
15000
25000
110000
100000
100000
(1)
(5)
(7)
(6)
(2)
(4)
(3)
Trend produksi (%)
1.5
1.1
1.2
0.3
3.0
2.0
3.0
(4)
(6)
(5)
(7)
(1)
(3)
(2)
R/C ratio
1.3
1.2
2.1
1.8
1.6
1.8
1.8
(6)
(7)
(1)
(2)
(5)
(3)
(4)
17
34
29
30
15
23
20
Indiktor
Jumlah skor prioritas
Sumber: BPTP Sulut 2003. Ket: jumlah skor prioritas terkecil = prioritas tertinggi Kelapa sebagai unggulan untuk kelompok tanaman perkebunan menciptakan diversifikasi
industri
yang
memanfaatkan
keseluruhan
sebagaimana terlihat pada pohon industrinya (Gambar 17).
bagian
tanaman
66
Industri kemungi
Obat dan zat pewarna
Industri bangunan
Bahan bangunan; rumah/gedung, jembatan
Industri kerajinan
Meubel, pajangan/hiasan
Industri kerajinan
Janur, bungkus ketupat
Industri kerajinan
Sapu, tambang, keset, karpet, jok kursi/mobil
Industri kertas
Kertas cetakan, kertas kemasan
Industri kerajinan
Sendok, gelas, asbak, kancing, hiasan dinding
Industri kimia
Karbon aktif, bara, insektisida, norit
Industri pangan
Biskuit, minyak goreng, mentega, tepung, manisan
Industri kimia
Kosmetik, deterjen, peluman, sabun, shampo
Bungkil
Industri pakan ternak
Pakan ternak non ruminansia dan unggas
Ampas
Industri pangan/pkn
Tepung, biskuit, Pakan
Santan
Industri pangan/kimia
VCO, Santan awet, isolate protein, minyak g gggoreng
Industri pangan
Minuman, nata de coco, asam cuka, kecap
Industri farmasi, lab
Dekstrosa, obat, pengencer
AKAR
BATANG
KELAPA
DAUN
BUAH
SABUT
TEMPURUNG
Daging segar/ kopra
DAGING
AIR
Gambar 17 Pohon industri kelapa
67
Pada pohon industri tersebut minyak kelapa dapat berasal dari olahan daging kelapa segar, dari olahan kopra, dan dari olahan santan daging kelapa. Perkembangan olahan daging kelapa saat ini menghasilkan produk minyak yang dikenal sebagai Virgin Coconut Oil (VCO) yang sering dibedakan dari produk minyak kelapa oleh karena proses pengolahannya dan sifat fisiko-kimianya.
Agroindustri existing berbasis kelapa di Sulawesi Utara Industri berbasis kelapa di Sulut, pada beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan menyangkut diversifikasi usaha/ produk yang mengikuti permintaan pasar dan perkembangan teknologi secara global. Perkembangan industri pada berbagai jenis produk dan kapasitas potensialnya ditunjukkan pada Tabel 25.
Tabel 25 Agroindustri berbasis kelapa di Sulawesi Utara
1
Industri Minyak Kelapa/ Goreng
(ton)
Jumlah Unit 10
2
Industri Tepung Kelapa
(ton)
6
24 483
3
Industri Karbon Aktif
(ton)
1
7 200
4
Industri Arang Tempurung
(ton)
3
252 008
5
Industri pengolahan Kayu Kelapa
(m3)
1
800
6
Industri Mebel Batang Kelapa
(unit)
2
6 892
7
Industri Serat Sabut Kelapa
(ton)
2
47 800
8
Industri Tepung Batok Kelapa
(ton)
1
360
9
Industri Nata de Coco
3
---
No
Jenis Industri
Kapasitas Potensial 382 290
Diolah dari data Dis Perindag Sulut 2003
IV.3.3. Penetapan produk unggulan Tahap penentuan Produk Unggulan Agoindustri diseleksi dari beberapa alternatif produk pada agroindustri pilihan.
Agroindustri pilihan adalah
agroindustri berbasis bahan baku kelapa sebagai unggulan. Penentuan produk unggulan menggunakan Metode Perbandingan Exponensial (MPE).
MPE
merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif
68
keputusan dengan kriteria jamak. Survey pakar dilakukan untuk menginventarisasi dan melakukan pembobotan terhadap kriteria yang dipakai sebagai acuan dalam penentuan alternatif produk unggulan. Inventarisasi produk (Tabel 26) yang dipilih sebagai alternatif produk unggulan didasarkan pada kesinambungan proses produksi dan kondisi industrinya. Keseluruhan kriteria (Lampiran 3) merupakan hasil wawancara mendalam (in-dept interview) dengan para pakar. Hasil analisis dengan teknik MPE terlihat pada Tabel 27.
Tabel 26 Alternatif produk agroindustri unggulan Kode
Alternatif produk
A B C D E F G
Tepung Kelapa Minyak Kelapa/ Goreng Serat Sabut Kelapa Kayu Kelapa Olahan Arang Tempurung Tepung Batok Kelapa Mebel Batang Kelapa
Tabel 27 Penilaian alternatif produk unggulan No K r i t e r i a
Bobot
1 2 3 4 5 6 7 8
7 5 6 8 8 9 6 7
Kondisi Bahan Baku Daya Serap Tenaga Kerja Nilai Tambah Produk Teknologi Tersedia Kondisi Tenaga Kerja Potensi Pasar Dampak pada Lingkungan Provitabilitas
Nilai Alternatif Produk A
B
C
D
E
F
G
7 7 9 7 7 9 6 8
8 8 7 8 7 9 6 7
7 7 6 6 6 8 7 7
7 4 5 4 6 6 6 6
7 6 7 6 6 6 4 6
6 4 6 4 5 5 6 6
7 5 7 4 5 8 6 7
Rangking prioritas unggulan produk Setelah dilakukan perhitungan nilai alternatif produk dengan teknik MPE, didapatkan urutan produk unggulan berdasarkan nilai tertinggi seperti yang ditampilkan pada Tabel 28.
69
Tabel 28 Hasil perhitungan dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Prioritas
Alternatif terpilih
Nilai MPE
Produk unggulan 1
Minyak kelapa/ goreng
413 080 274
Produk unggulan 2
Tepung kelapa
402 465 690
Produk unggulan 3
Serat sabut kelapa
139 405 158
Produk unggulan 4
Mebel batang kelapa
136 488 405
Produk unggulan 5
Arang tempurung
14 669 928
Sesuai dengan hasil perhitungan pada Tabel 28 lima produk agroindustri berbasis bahan baku kelapa yang merupakan prioritas produk unggulan adalah berturut-turut: 1) minyak kelapa/ goreng; 2) tepung kelapa; 3) serat sabut kelapa; dan 4) mebel batang kelapa; dan 5) arang tempurung. Produk agroindustri berbasis bahan baku kelapa di Sulawesi Utara saat ini berkembang sebagai produk olahan lanjutan dalam bentuk produk pangan seperti nata de coco, kue kelapa, produk minuman beralkohol. Peluang produk sebagai bahan baku energi alternatif (bio energi) masih dalam pengkajian. Aneka produk tersebut
tidak
dimasukkan
dalam
penetapan
produk
unggulan
karena
kesinambungan usaha/ volume produknya relatif masih terbatas. Sasaran perumusan strategi pengembangan agroindustri untuk pengkajian selanjutnya diarahkan pada agroindustri berbasis minyak kelapa.
IV.4. Formulasi strategi pengembangan Tahap pengkajian penyusunan formulasi strategi pengembangan diarahkan pada: 1) penetapan agroindustri /produk unggulan, 2) evaluasi lingkungan strategis dan, 3) penetapan alternatif strategi, yang diperlukan untuk kebutuhan strukturisasi sistem pengembangan, analisis keputusan kelompok dan aplikasi strategi. Alat analisis yang digunakan adalah AI’SWOT, yaitu kombinasi dari alat nalisis SWOT, ISM, dan AHP. Diagram alir tahap formulasi strategi mengikuti alur sebagaimana pada Gambar 18. Penentuan agroindustri yang dipilih untuk tujuan pengkajian deskriptif dan formulasi strategi pengembangan adalah agroindustri yang mewakili kategori unggulan yang diartikan sebagai agroindustri dengan bahan baku lokal yang
70
potensial dari segi ketersediaan lahan, produksi, investasi, penyerapan tenaga kerja dan sektor basis ekonomi.
FORMULASI STRATEGI IDENTIFIKASI KARAKTER WILAYAH KAJIAN
AGROINDUSTRI UNGGULAN
EVALUASI LINGKUNGAN STRATEGIS (Analisis SWOT)
- Strukturisasi sistem
(Penetapan elemen kunci dengan I’SWOT) - Penetapan alternatif strategi dengan AI’SWOT
- Survey pakar - Nalar pustaka
- Penetapan sasaran - Perumusan/ penetapan Kriteria dan Alternatif
Fokus Pengembangan (Interaksi strategi menyeluruh)
Gambar 18 Diagram alir tahap formulasi strategi pengembangan agroindustri
IV.4.1. Evaluasi lingkungan strategis – analisis SWOT Evaluasi lingkungan strategis terhadap agroindustri kajian menghasilkan identifikasi berbagai sub-elemen pada elemen SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara mendalam dengan pelaku industri. Akuisisi pendapat pakar dilakukan melalui teknik pembobotan untuk memilih sejumlah sub-elemen yang dianggap paling berpengaruh terhadap sistem pengembangan (Lampiran 5). Dari hasil evaluasi ditetapkan 6 sub-elemen dengan nilai bobot teratas untuk setiap elemen SWOT dan 10 sub-elemen yang ditetapkan sebagai elemen strategi sebagai hasil interaksi antara elemen faktor internal dan faktor eksternal (Strategi SO, Strategi ST, Strategi WO, Strategi WT).
71
Identifikasi elemen / sub-elemen SWOT dari agroindustri unggulan wilayah secara keseluruhan ditampilkan pada Tabel 29 sebagai berikut:
Tabel 29 Evaluasi faktor-faktor SWOT. Evaluasi Faktor S (Kekuatan) Internal 1. Kesesuaian lahan
Evaluasi Faktor Eksternal O (Peluang)
W (Kelemahan)
2. Posisi geografis 3. Sifat kepemilikan lahan pertanian sebagai petani pemilik 4. Keterampilan dari pengalaman budaya tani yang memadai 5. Tingkat pendidikan masyarakat yang memadai untuk menerima inovasi baru 6. Kemampuan produksi untuk keanekaragaman produk
1. Konsep strategi belm memadai 2. Kurangnya tenaga ahli/ manajerial 3. Karakteristik bahan baku 4. Keterbatasan akses informasi khusus akses pasar 5. Keterbatasan sumber daya pembangunan/ teknologi 6. Keterbatasan modal (finansial)
Strategi S-O
Strategi W-O
1. Kebijakan program unggulan Pemprov. Sulut 2. Potensi pasar 3. Peningkatan permintaan produk agroindustri 4. Kebijakan Otonomi daerah 5. Kebijakan nasional sektor pertanian 6. Program peningkatan fungsi Pelabuhan laut/ udara
•
T (Ancaman)
Strategi S-T
1. Belum ada jaminan harga yang stabil 2. Kekuatan pesaing internasional yang lebih dahulu maju 3. Hambatan perdagangan internasional 4. Kekuatan pesaing nasional pada basis bahan baku yang sama (dampak Otda) 5. Penurunan kualitas sumber daya alam 6. Sistem birokrasi terhadap kegairahan investasi
•
•
•
•
Pengembangan agroindustri berbasis potensi wilayah (S1,S2,S3,S4,O1,O4,O6) Pengembangan produk seirama permintaan pasar (S5,S6,O2,O3,) Menjadikan Sulut sebagai gerbang eksport produk agroindustri (S2,S6,O1,O2,O4,O6)
Peningkatan keterampilan sdm terutama bidang prosesing dan pemasaran (S4,S5,S6,T1,T2,T4) Penetapan aturan-aturan terutama soal investasi dan perdagangan yang menjamin pertumbuhan agroindustri (S2,S3,T3,T6)
• Pemilihan skala usaha agroindustri (W3,W5,W6,O2,O3) • Pembinaan kelembagaan termasuk koperasi, mitra, dan perbankan (W1,W2,W6,O4,O5) • Pengadaan Pusat Data dan Informasi Agroindustri / global trading (W2,W4,O2,O3,O5,O6)
Strategi W-T •
•
Kerja sama dengan pihak lain (dalam dan luar negeri) terutama dalam hal pemodalan, pemasaran dan teknologi (W2,W4,W6,T2,T4) Melakukan pemilihan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan sumber daya (W3,W5,T5)
72
Evaluasi faktor internal Faktor Kekuatan (Strength) dengan 6 elemen: 1. Ketersediaan lahan yang sesuai komoditas unggulan 2. Posisi geografis yang strategis untuk pasar luar negeri dan Indonesia Timur. 3. Sifat kepemilikan lahan pertanian sebagai petani pemilik. 4. Keterampilan dari pengalaman budaya tani yang memadai 5. Tingkat pendidikan masyarakat yang memadai untuk menerima inovasi baru 6. Besaran produksi komoditas unggulan yang mampu memenuhi keanekaragaman produk agroindustri
Faktor Kelemahan (Weaknesses) dengan 6 elemen: 1. Dukungan konsep strategi pengembangan yang belum memadai 2. Kurangnya tenaga ahli khusus pengolahan dan pengendalian mutu 3. Karakteristik bahan baku agroindustri 4. Keterbatasan akses informasi khusus akses pasar 5. Keterbatasan sumber daya pembangunan/ teknologi terutama infrastruktur yang menjangkau sampai ke pedesaan 6. Keterbatasan finansial untuk pengembangan usaha
Evaluasi faktor eksternal Faktor Peluang (Opportunity) dengan 6 elemen 1. Adanya penetapan kebijakan program unggulan Prov. Sulut 2. Potensi pasar lokal, regional dan terutama pasar global 3. Perkembangan variasi produk yang menyebabkan peningkatan permintaan baik jumlah maupun variasi produk agroindustri 4. Kebijakan nasional mengenai Otonomi daerah 5. Ditetapkannya agroindustri sebagai sasaran pengembangan nasional sektor pertanian 6. Adanya program peningkatan sarana transportasi dan program peningkatan fungsi Pelabuhan laut/ udara
73
Faktor Ancaman (Threats) dengan 6 elemen: 1. Belum ada jaminan harga yang stabil 2. Kekuatan pesaing internasional yang lebih dahulu maju pada beberapa produk 3. Hambatan perdagangan internasional ( tariff barriers & non tariff
barriers) 4. Kekuatan pesaing nasional pada basis bahan baku yang sama (dampak kebijakan otonomi daerah) 5. Kualitas sumber daya alam yang terus menurun 6. Sistem birokrasi yang belum menjamin kegairahan investasi
Faktor Strategi dengan 10 elemen: 1. Pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah (S1,S3,S4,O1,O4,O6) 2. Pengembangan agroindustri berbasis produk permintaan pasar (S2,S6,O2,O3,) 3. Menjadikan Sulut sebagai gerbang eksport produk agroindustri (S2,S6,O1,O2,O4,O6) 4. Pemilihan skala usaha agroindustri (W1,W3,W5,O2,O3) 5. Pembinaan kelembagaan termasuk koperasi, mitra, dan perbankan (W1,W2,W6,O4,O5) 6. Pengadaan Pusat Data dan Informasi Agroindustri / global trading (W2,W4,O2,O3,O5,O6) 7. Peningkatan keterampilan SDM terutama bidang prosesing dan pemasaran (S4,S5,S6,T1,T2,T4) 8. Penetapan aturan-aturan terutama mengenai investasi dan perdagangan yang menjamin pertumbuhan agroindustri (S2,S3,T3,T6) 9. Kerja sama dengan pihak lain (dalam dan luar negeri) terutama dalam hal pemodalan, pemasaran dan teknologi (W2,W4,W6,T2,T4) 10. Melakukan pemilihan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan sumber daya (W3,W5, T5)
74
IV.4.2. Strukturisasi sistem pengembangan - dengan I’SWOT Elemen dan sub-elemen struktur sistem pengembangan dirumuskan melalui identifikasi faktor SWOT sehingga didapatkan enam elemen yaitu: 1) elemen pendukung sistem pengembangan dengan 12 sub-elemen; 2) elemen penghambat sistem pengembangan dengan 12 sub-elemen; 3) elemen strategi sistem pengembangan dengan 10 sub-elemen. Model strukturisasi sistem pengembangan diperkaya dengan kajian elemen yang juga menentukan sistem pengembangan yaitu 4) elemen pelaku sistem pengembangan dengan 11 sub-elemen; dan 5) elemen kebutuhan sistem pengembangan dengan 10 sub-elemen. Hubungan kontekstual sistem pengembangan diadopsi dari Machfud (2001), sebagai berikut (Tabel 30):
Tabel 30 Elemen pengembangan dan hubungan kontekstualnya Nama Elemen
Hubungan Kontekstual
Pendukung pengembangan
Sub-elemen pendukung yang satu mempengaruhi manfaat sub-elemen pendukung yang lain Sub-elemen penghambat yang satu menyebabkan sub-elemen penghambat yang lain Sub-elemen strategi yang satu mempengaruhi sub-elemen strategi yang lain Sub-elemen pelaku yang satu memberi dukungan sub-elemen pelaku yang lain Sub-elemen kebutuhan yang satu mendukung terpenuhinya sub-elemen kebutuhan yang lain
Penghambat pengembangan Strategi pengembangan Pelaku pengembangan Kebutuhan pengembangan
Analisis hubungan antar sub-elemen dilakukan dengan teknik ISM-VAXO (Lampiran 6). Melalui akuisisi pendapat pakar diperoleh data dalam bentuk Matriks SSIM yang kemudian ditransformasi menjadi Reachability matrix bilangan biner. Setelah dilakukan pengujian transitif diperoleh reachability matrix final hubungan antar sub-elemen. Sub-elemen kunci sistem pengembangan ditetapkan berdasarkan nilai maksimal driver power (DP) yang merupakan total hubungan antar sub-elemen dan level tertinggi (L) yang ditandai dengan tingkat
dependent (D) terendah.
75
Elemen pendukung pengembangan Berdasarkan kajian faktor SWOT elemen pendukung pengembangan adalah paduan elemen kekuatan dan peluang (S+O) yang terdiri dari 12 sub-elemen yaitu: 1. Ketersediaan lahan yang sesuai komoditas unggulan (p-1) 2. Posisi geografis yang startegis untuk pasar luar negeri dan Indonesia Timur (p-2) 3. Sifat kepemilikan lahan pertanian sebagai petani pemilik (p-3) 4. Keterampilan dari pengalaman budaya tani yang memadai ( p-4) 5. Tingkat pendidikan yang memadai untuk menerima inovasi baru (p-5) 6. Besaran produksi komoditas unggulan yang mampu memenuhi keanekaragaman produk agroindustri (p-6) 7. Adanya penetapan kebijakan program unggulan Prov. Sulut (p-7) 8. Potensi pasar lokal, regional dan terutama pasar global (p-8) 9. Perkembangan variasi produk yang menyebabkan peningkatan permintaan baik jumlah maupun variasi produk agroindustri (p-9) 10. Kebijakan nasional mengenai Otonomi daerah (p-10) 11. Ditetapkannya agroindustri sebagai sasaran pengembangan nasional sektor pertanian (p-11) 12. Adanya program peningkatan sarana transportasi dan program peningkatan fungsi Pelabuhan laut/ udara (p-12) Analisis hubungan antar sub-elemen pendukung pengembangan dilakukan dengan teknik ISM-VAXO. Data pendapat pakar dituangkan pada matriks SSIM kemudian ditransformasi ke bilangan biner dalam bentuk matriks RM (Lampiran 6) kemudian dilakukan pengujian transitivity. Hasil dari reachability matrix final hubungan antar sub-elemen disajikan pada Tabel 31.
76
Tabel 31 Hasil Reachability Matrix final dari elemen pendukung sistem pengembangan SIMBOL PROGRAM
KAITAN ANTAR SUB-ELEMEN PENDUKUNG SISTEM PENGEMBANGAN p1
p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11 p12 D L
1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 6 4
p2
p3
p4
p5
p6
p7
p8
p9
p10
p11
p12
1
1 1
1 1 0
1 0 1 1
0 0 0 1 1
1 1 0 0 1 1
0 0 0 1 0 0 0
1 1 1 0 0 1 0 1
1 1 1 1 1 1 0 1 1
1 0 0 1 1 1 1 1 1 1
0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1
0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7 3
1 1 1 0 1 1 1 1 1 10 1
1 1 1 0 0 0 0 1 6 4
1 0 1 0 0 0 0 5 5
0 1 1 0 0 1 5 5
1 1 1 1 1 9 2
1 0 1 0 3 6
0 0 0 5 5
0 1 9 2
1 9 2
DP
R
8 7 3 8 9 9 4 10 9 4 4 7
3 4 6 3 2 2 5 1 2 5 5 4
7 3
Berdasarkan keluaran Model ISM-VAXO, struktur hirarki hubungan antar sub-elemen pendukung terhadap sistem pengembangan agroindustri unggulan terdiri dari 6 level seperti diperlihatkan pada Gambar 19. Sesuai dengan asumsi hubungannya bahwa sub-elemen pendukung yang satu mempengaruhi manfaat sub-elemen pendukung yang lain maka hirarki model menunjukkan bahwa sub-elemen pada suatu level didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada level di bawahnya. Keluaran model ISM-VAXO menunjukkan kedudukan sub-elemen Potensi pasar (p-8) sebagai sub-elemen kunci pendukung sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara yang menempati level tertinggi (level 6) dengan total DP terbesar. Keseluruhan sub-elemen pendukung sistem pengembangan dikelompokkan berdasarkan tingkat driver power dan tingkat dependency
ke dalam empat
kuadran yaitu: Sektor I (Autonomous); Sektor II (Dependent); Sektor III (Linkage) dan Sektor IV (Independent).
77
Level 1
p3
Level 2
p10
p7
p11
Level 3
p2
p12
Level 4
p1
p4
Level 5
p5
p6
Level 6
p9
p8
Gambar 19 Struktur hirarki antar sub-elemen pendukung sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara. Keluaran Model ISM-VAXO selanjutnya adalah
klasifikasi sub-elemen
pendukung pengembangan sebagaimana ditunjukan pada Gambar 20.
D R I V E R P O W E R
12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Independent
Linkage
p8 p5,p6, p9 p1,p4 p2, p12
p7,p10,p11 p3
Autonomous
0
1
2
3
Dependent
4
5
6
7
8
9
10
11
12
DEPENDENCE
Gambar 20 Diagram klasifikasi sub-elemen pendukung sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara
78
Hasil pengelompokkan pada Gambar 20 menunjukkan bahwa tidak ada subelemen pendukung pengembangan yang tidak berkaitan dengan sistem (sektor
Autonomous = 0). Sub-elemen p1, p2, p4 dan p12 berada pada sektor Linkage sehingga harus dikaji secara saksama karena sifat hubungannya yang tidak stabil tapi sangat berkaitan sekaligus berdampak pada peubah lainnya terutama pada peubah sektor Dependent.
Elemen penghambat pengembangan Berdasarkan kajian faktor SWOT elemen penghambat pengembangan adalah paduan elemen kelemahan dan ancaman (W+T) yang terdiri dari 12 subelemen yaitu: 1. Dukungan konsep strategi pengembangan yang belum memadai (k-1) 2. Kurangnya tenaga ahli khusus menangani pengolahan dan pengendalian mutu (k-2) 3. Karakteristik bahan baku agroindustri (k-3) 4. Keterbatasan akses informasi khusus akses pasar (k-4) 5. Keterbatasan sumber daya teknologi terutama infrastruktur yang menjangkau sampai ke pedesaan (k-5) 6. Keterbatasan finansial untuk pengembangan usaha (k-6) 7. Belum ada jaminan harga yang stabil (k-7) 8. Kekuatan pesaing internasional yang lebih dahulu maju pada beberapa produk (k-8) 9. Hambatan perdagangan internasional ( tariff barriers & non tariff
barriers) (k-9) 10. Kekuatan pesaing nasional pada basis bahan baku yang sama (dampak kebijakan otonomi daerah) (k-10) 11. Kualitas sumber daya alam yang terus menurun (k-11) 12. Sistem birokrasi yang belum menjamin kegairahan investasi (k-12)
Analisis hubungan antar sub-elemen penghambat pengembangan dilakukan dengan teknik ISM-VAXO. Hasil dari reachability matrix final hubungan antar sub-elemen disajikan pada Tabel 32.
79
Tabel 32 Hasil Reachability Matrix final dari elemen penghambat sistem pengembangan SIMBOL PROGRAM
KAITAN ANTAR SUB-ELEMEN PENGHAMBAT SISTEM PENGEMBANGAN k1
k1 k2 k3 k4 k5 k6 k7 k8 k9 k10 k11 k12 D L
1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 3 4
k2
k3
k4
k5
k6
k7
k8
k9
k10
k11
k12
1
1 1
0 1 0
1 1 0 0
0 0 0 1 0
0 0 1 1 1 1
1 0 1 1 1 1 0
1 1 1 0 1 1 1 1
1 1 0 1 1 1 1 1 1
1 1 0 0 1 1 0 0 0 1
0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0
0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 3 4
0 1 1 0 1 0 0 1 0 6 2
1 1 0 0 0 0 0 1 4 3
0 0 0 0 0 0 0 2 5
1 0 0 0 0 0 2 5
0 0 0 1 1 6 2
0 0 0 1 6 2
0 1 1 9 1
0 1 9 1
1 6 2
DP
R
7 7 3 6 9 9 3 3 1 1 3 7
2 2 4 3 1 1 4 4 5 5 4 2
3 4
Berdasarkan keluaran Model ISM-VAXO, struktur hirarki hubungan antar sub-elemen
penghambat
terhadap
sistem
pengembangan
agroindustri
diperlihatkan pada Gambar 21. Sesuai dengan asumsi hubungannya bahwa sub-elemen penghambat yang satu menyebabkan sub-elemen penghambat yang lain maka hirarki model menunjukkan bahwa sub-elemen pada suatu level didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada level di bawahnya. Keluaran
model
ISM-VAXO
menunjukkan
kedudukan
sub-elemen
keterbatasan sumber daya teknologi (k-5) dan sub-elemen keterbatasan finansial untuk pengembangan usaha (k-6) menempati level tertinggi dengan total nilai DP terbesar sebagai sub-elemen kunci penghambat sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara. Keseluruhan sub-elemen penghambat sistem pengembangan dikelompokkan berdasarkan tingkat driver power dan tingkat dependency
ke dalam empat
kuadran yaitu: Sektor I (Autonomous); Sektor II (Dependent); Sektor III (Linkage) dan Sektor IV (Independent).
80
Level 1
k10
k9
Level 2
k7
k8
k3
Level 3
k11
k4
Level 4
k1
k12
k2
Level 5
k5
k6
Gambar 21 Struktur hirarki antar sub-elemen penghambat sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara. Keluaran Model ISM-VAXO selanjutnya adalah pengelompokan subelemen penghambat pengembangan diperlihatkan pada Gambar 22.
D R I V E R P O W E R
12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Independent
Linkage
k5, k6 k1,k2,k12 k4
k3,k7,k8,k11
Autonomous
Dependent k9, k10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
DEPENDENCE
Gambar 22 Diagram klasifikasi sub-elemen penghambat sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara
81
Hasil pengelompokan pada Gambar 23 menunjukkan bahwa tidak ada subelemen penghambat pengembangan yang tidak terkait dengan sistem (sektor
Autonomou = 0). Klasifikasi juga menunjukan tidak adanya sub-elemen penghambat yang masuk pada sektor Linkage yang memerlukan pengkajian secara khusus, dengan kata lain keseluruhan sub-elemen penghambat memerlukan pengkajian yang berimbang secara menyeluruh. Pada umumnya sub-elemen merupakan peubah tidak bebas (k3, k7, k8, k9, k10, k11) yang sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan pada sistem, dan peubah bebas (k1, k2, k4, k5, k6, k12).
Elemen strategi pengembangan Analisis interaksi antar elemen SWOT menghasilkan elemen strategi pengembangan yang terdiri dari 10 sub-elemen yaitu: 1. Pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah (s-1) 2. Pengembangan agroindustri berbasis produk permintaan pasar (s-2) 3. Menjadikan Sulut sebagai gerbang eksport produk agroindustri (s-3) 4. Pemilihan skala usaha agroindustri (s-4) 5. Pembinaan kelembagaan termasuk koperasi, mitra dan, perbankan (s-5) 6. Pengadaan pusat data dan informasi agroindustri (s-6) 7. Peningkatan keterampilan sumber daya manusia terutama bidang pengolahan dan pemasaran (s-7) 8. Penetapan aturan-aturan terutama mengenai investasi dan perdagangan yang menjamin pertumbuhan agroindustri (s-8) 9. Kerja sama dengan pihak lain (dalam dan luar negeri) terutama dalam hal pemodalan, pemasaran dan teknologi (s-9) 10. Melakukan pemilihan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan sumber daya (s-10)
Analisis hubungan antar sub-elemen strategi pengembangan dilakukan dengan teknik ISM-VAXO. Hasil dari reachability matrix final hubungan antar sub-elemen disajikan pada Tabel 33.
82
Tabel 33 Hasil Reachability Matrix final dari elemen strategi sistem pengembangan SIMBOL PROGRAM
KAITAN ANTAR SUB-ELEMEN STRATEGI SISTEM PENGEMBANGAN s1
s1 s2 s3 s4 s5 s6 s7 s8 s9 s10 D L
1 0 1 0 0 0 0 0 0 2 4
s2
s3
s4
s5
s6
s7
s8
s9
s10
1
0 1
1 0 1
1 1 1 1
1 0 0 1 1
1 0 0 1 0 1
1 0 1 1 0 0 1
1 0 1 0 0 0 0 1
1 1 0 1 1 1 1 1 1
0 1 0 1 1 1 0 0 5 2
1 0 0 1 1 1 0 5 2
0 0 0 0 0 0 2 4
1 1 0 1 1 8 1
1 0 1 0 5 2
0 1 0 4 3
1 0 5 2
1 4 3
DP
R
8 4 4 8 2 4 6 4 6 2
1 3 3 1 4 3 2 3 2 4
8 1
Berdasarkan keluaran Model ISM-VAXO, struktur hirarki hubungan antar sub-elemen strategi terhadap sistem pengembangan agroindustri diperlihatkan pada Gambar 23.
s5
s10
s3
s6
Level 3
s7
s9
Level 4
s1
s4
Level 1
Level 2
s2
s8
Gambar 23 Struktur hirarki antar sub-elemen strategi sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara.
83
Sesuai dengan asumsi hubungannya bahwa sub-elemen strategi yang satu mempengaruhi sub-elemen strategi yang lain maka hirarki model menunjukkan bahwa sub-elemen pada suatu level didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada level di bawahnya. Keluaran model ISM-VAXO menunjukkan kedudukan subelemen basis unggulan wilayah (s-1) dan basis pemilihan skala usaha (s-4) sebagai sub-elemen kunci strategi sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara. Keluaran Model ISM-VAXO selanjutnya adalah
pengelompokan sub-
elemen strategi diperlihatkan pada Gambar 24. Keseluruhan sub-elemen strategi sistem pengembangan dikelompokkan berdasarkan tingkat driver power dan tingkat dependency ke dalam empat kuadran yaitu: Sektor I (Autonomous); Sektor II (Dependent); Sektor III (Linkage) dan Sektor IV (Independent).
D R I V E R P O W E R
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Independent
Linkage
s1, s4 s7, s9 s2, s3, s6, s8 s5, s10
Autonomous 0
1
2
3
Dependent 4
5
6
7
8
9
10
DEPENDENCE
Gambar 24 Diagram klasifikasi sub-elemen strategi sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara Hasil klasifikasi pada Gambar 24 menunjukkan beberapa sub-elemen strategi yang cenderung tidak terkait langsung dengan sistem (s2, s3, s6, s8 pada sektor Autonomous) dan tidak ada sub-elemen strategi yang memerlukan pengkajian secara hati-hati (sektor Linkage = 0). Sebagian sub-elemen merupakan peubah tidak bebas (s5, s10) yang sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan pada sistem, dan sebagian merupakan peubah bebas (s1, s4, s7, s9).
84
Elemen pelaku sistem pengembangan Analisis terhadap elemen pelaku sistem pengembangan menghasilkan 11 sub-elemen yaitu: 1. Petani/ Pemilik kebun (m-1) 2. Pengolah bagian industri hulu (m-2) 3. Pedagang bagian industri hulu (m-3) 4. Pengolah bagian industri hilir (m-4) 5. Asosiasi pengusaha/ eksportir (m-5) 6. Investor (dalam dan luar negeri) (m-6) 7. Lembaga pembiayaan (m-7) 8. Pemerintah (Daerah dan Pusat)
(m-8)
9. Pusat/ Balai penelitian (m-9) 10. Perguruan Tinggi
(m-10)
11. Konsumen (m-11) Analisis hubungan antar sub-elemen pelaku pengembangan dilakukan dengan teknik ISM-VAXO. Hasil dari reachability matrix final hubungan antar sub-elemen disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34 Hasil Reachability Matrix final dari elemen pelaku sistem pengembangan SIMBOL PROGRAM
KAITAN ANTAR SUB-ELEMEN PELAKU SISTEM PENGEMBANGAN m1
m1 m2 m3 m4 m5 m6 m7 m8 m9 m10 m11 D L
1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 6 2
m2
m3
m4
m5
m6
m7
m8
m9
m10
m11
1
1 1
0 1 1
1 0 1 1
1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 1 1 1 1
0 0 0 0 1 0 1 1 1
1 0 1 1 1 1 1 1 0 0
1 1 0 1 1 0 1 1 0 7 1
0 1 1 0 1 0 1 0 6 2
1 1 0 1 0 1 0 6 2
1 1 0 0 1 0 6 2
1 0 0 1 1 4 3
1 0 0 0 1 4
1 0 0 1 4
1 1 7 1
0 4 3
7 1
DP
R
5 3 5 5 5 6 7 7 3 6 3
3 4 3 3 3 2 1 1 4 2 4
85
Berdasarkan keluaran Model ISM-VAXO, struktur hirarki hubungan antar sub-elemen pelaku terhadap sistem pengembangan agroindustri diperlihatkan pada Gambar 25. Sesuai dengan asumsi hubungannya bahwa sub-elemen pelaku yang satu memberi dukungan
sub-elemen pelaku yang lain maka hirarki model
menunjukkan bahwa sub-elemen pada suatu level didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada level di bawahnya. Keluaran model ISM-VAXO menunjukkan kedudukan sub-elemen lembaga pembiayaan (m-7) dan pemerintah (daerah dan pusat) (m-8) menempati level tertinggi sebagai sub-elemen kunci pelaku sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara.
m9
m11
m2
m4
m3
m1
Level 3
m10
m6
Level 4
m8
m7
Level 1
Level 2
m5
Gambar 25. Struktur hirarki antar sub-elemen pelaku sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara. Keseluruhan sub-elemen pelaku sistem pengembangan dikelompokkan berdasarkan tingkat driver power dan tingkat dependency
ke dalam empat
kuadran yaitu: Sektor I (Autonomous); Sektor II (Dependent); Sektor III (Linkage) dan Sektor IV (Independent). Keluaran
Model
ISM-VAXO
pada
pengembangan diperlihatkan pada Gambar 26.
klasifikasi
sub-elemen
pelaku
86
D R I V E R P O W E R
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Independent
Linkage
m7, m8 m6,m10 m1,m3,m4,m5 m2, m9, m11
Autonomous 0
1
2
3
Dependent 4
5
6
7
8
9
10
11
DEPENDENCE
Gambar 26 Diagram klasifikasi sub-elemen pelaku sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara Hasil klasifikasi pada Gambar 26 menunjukkan bahwa tidak ada sub elemen pelaku yang tidak terkait dengan sistem (sektor Autonomous = 0). Sub-elemen m6, m7, m8 dan m10 merupakan peubah bebas. Sub-elemen m1, m2, m3, m4, m5, m9 dan m11 merupakan peubah tidak bebas yang sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan pada sistem. Pada pengelompokan tidak menunjukkan sub-elemen yang memerlukan kajian secara hati-hati (sektor
Linkage = 0).
Elemen kebutuhan sistem pengembangan Pengkajian mendalam mengenai elemen kebutuhan sistem pengembangan menghasilkan 10 sub-elemen yaitua; 1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (u-1) 2. Pengadaan lembaga pemodalan (u-2) 3. Kebijakan penetapan gerbang ekspor (v-3) 4. Kebutuhan pusat informasi
(u-4)
5. Jaminan kestabilan harga (u-5) 6. Penetapan aturan dan kebijakan yang menjamin (u-6) 7. Kebutuhan manajemen strategi (u-7)
87
8. Pengadaan lembaga kontrol mutu (u-8) 9. Pengadaan lembaga analisis pasar (u-9) 10. Peningkatan sumber daya teknologi (u-10)
Analisis hubungan antar sub-elemen kebutuhan sistem pengembangan dilakukan dengan teknik ISM-VAXO. Hasil dari reachability matrix final hubungan antar sub-elemen disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35 Hasil Reachability Matrix final dari elemen kebutuhan sistem pengembangan SIMBOL PROGRAM
KAITAN ANTAR SUB-ELEMEN KEBUTUHAN SISTEM PENGEMBANGAN u1
u1 u2 u3 u4 u5 u6 u7 u8 u9 u10 D L
0 1 1 0 0 1 0 0 1 4 3
u2
u3
u4
u5
u6
u7
u8
u9
u10
1
0 1
0 1 0
1 1 1 1
0 1 0 0 1
1 0 0 1 0 0
1 1 0 1 0 1 1
1 1 0 1 0 1 1 0
1 0 0 1 0 0 0 0 0
0 0 0 1 1 0 0 1 4 3
0 0 1 1 1 0 1 5 2
0 1 1 0 0 1 4 3
0 1 0 1 0 6 1
0 0 0 1 3 4
0 0 0 2 5
0 1 6 1
1 6 1
DP
R
6 6 2 6 1 5 7 1 1 7
2 2 4 2 5 3 1 5 5 1
2 5
Berdasarkan keluaran Model ISM-VAXO, struktur hirarki hubungan antar sub-elemen kebutuhan terhadap sistem pengembangan agroindustri diperlihatkan pada Gambar 27. Sesuai dengan asumsi hubungannya bahwa sub-elemen kebutuhan yang satu mendukung terpenuhinya sub-elemen kebutuhan yang lain maka hirarki model menunjukkan bahwa sub-elemen pada suatu level didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada level di bawahnya Keluaran
model
ISM-VAXO
menunjukkan
kedudukan
sub-elemen
kebutuhan manajemen strategi (u-7) dan peningkatan sumber daya teknologi (u10) sebagai sub-elemen kunci kebutuhan sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara.
88
Level 1
u8
u9
u5
u3
Level 2
Level 3
u1
u4
u2
Level 4
u6 u10
u7
Level 5
Gambar 27 Struktur hirarki antar sub-elemen kebutuhan sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara. Keluaran Model ISM-VAXO selanjutnya adalah
klasifikasi sub-elemen
kebutuhan sebagaimana ditunjukan pada Gambar 28. Keseluruhan sub-elemen kebutuhan sistem pengembangan dikelompokkan berdasarkan tingkat driver
power dan tingkat dependency
ke dalam empat kuadran yaitu: Sektor I
(Autonomous); Sektor II (Dependent); Sektor III (Linkage) dan Sektor IV (Independent).
D R I V E R P O W E R
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Independent
Linkage
u7, u10 u1, u2, u4
u6
u3,
Autonomous
Dependent u5, u8, u9
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
DEPENDENCE
Gambar 28 Diagram klasifikasi sub-elemen kebutuhan sistem pengembangan agroindustri unggulan di Sulawesi Utara
89
Hasil klasifikasi sub-elemen pada Gambar 28 menunjukkan kecenderungan sub-elemen u3 dan u6 berada pada sektor Autonomous, yang berarti secara formal bukan bagian dari sistem tetapi dapat berpengaruh terhadap sistem. Klasifikasi menunjukan tidak ada sub-elemen kebutuhan pengembangan yang memerlukan pengkajian secara hati-hati (sektor Linkage = 0). Keseluruhan sub-elemen u5, u8, dan u9 merupakan peubah tidak bebas yang sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan pada sistem, sedangkan sub-elemen u1, u2, u4, u7 dan u10 merupakan peubah bebas. Hasil kajian model I’SWOT memberikan informasi mengenai elemen dan sub-elemen kunci pada sistem pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah sebagai berikut: Nama Elemen Pendukung pengembangan
Sub-elemen kunci Sub-elemen potensi pasar (p-8)
Penghambat pengembangan
Sub-elemen keterbatasan sumber daya teknologi (k-5) dan, keterbatasan finansial (k-6)
Strategi pengembangan
Sub-elemen pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah (s-1) dan, pemilihan skala usaha (s-4)
Pelaku pengembangan
Sub-elemen lembaga pembiayaan (m-7) dan pemerintah pusat/daerah (m-8)
Kebutuhan pengembangan
Sub-elemen kebutuhan manajemen strategi (u-7) dan, peningkatan sumber daya teknologi (u-10)
Potensi pasar berkaitan dengan peluang ekspor komoditas unggulan melalui jalur pasifik dan pasar lokal khususnya wilayah Indonesia bagian timur. Kegiatan ekspor sangat menentukan dalam usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara. Sampai pada periode tahun 2006 peningkatan nilai ekspor Sulawesi Utara sebesar 4.6 % dan rencana peningkatan ekspor pada tahun 2010 sebesar 21.7 % (RKPD Sulut 2006). Keterbatasan finansial merupakan hambatan mendasar pada usaha pertanian. Kesulitan akses ke sumber pembiayaan disebabkan karena pemahaman klasik yang menganggap usaha pertanian sebagai usaha yang high risk narrow margin.
90
Kesulitan terutama dirasakan pelaku industri skala usaha kecil / mikro yang relatif lemah dalam pemilikan aset legal, disisi lain para pelaku pembiayaan selalu mengutamakan penjaminan aset legal. Sistem birokrasi dapat menjadi penghambat utama yang berkaitan dengan efisiensi, regulasi dan berbagai intervensi yang kemudian berdampak pada kegairahan investasi. Pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah sebagai pilihan utama strategi pengembangan berkaitan dengan usaha mengoptimalkan potensi sumber daya lokal dan prilaku wilayah yang spesifik. Pemilihan skala usaha sangat terkait dengan ketersediaan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan teknologi, pasar tujuan, dukungan finansial / investasi dan pilihan produk. Faktor-faktor tersebut akan menentukan posisi suatu agroindustri pada skala usaha mikro, kecil, menengah atau skala usaha besar. Kesiapan berbagai pihak yang menjadi sumber pembiayaan/ pemodalan (perorangan maupun lembaga) sangat menentukan kelangsungan operasional agroindustri. Pelaku industri sektor pembiayaan menjadi elemen kunci pelaku pengembangan dapat disebabkan karena posisi tawar yang tinggi dari sektor tersebut pada hampir keseluruhan unit usaha agroindustri. Posisi pemerintah sebagai sub-elemen kunci pelaku sistem pengembangan agroindustri dapat dipahami karena ketergantungan yang masih sangat tinggi dari sektor pertanian, sektor industri dan perdagangan terhadap program dan kebijakan pemerintah. Peran pemerintah dapat bersifat positif karena mengupayakan iklim usaha yang kondusif tetapi dapat juga bersifat negatif karena intervensi yang berlebihan. Kebutuhan manajemen strategi berkaitan dengan pentingnya perumusan, implementasi dan evaluasi strategi yang tepat, juga untuk kebutuhan pengendalian mutu secara menyeluruh. Peningkatan sumber daya teknologi / pembangunan berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur terutama sarana transportasi yang menjangkau sampai sumber bahan baku, ketersediaan teknologi informasi dan berbagai peralatan yang menjadi kebutuhan mekanisasi pertanian maupun kebutuhan prosesing pada unit industri pengolahan hasilnya. Keseluruhan sub-elemen kunci pengembangan agroindustri unggulan akan digunakan sebagai dasar penetapan sasaran strategi pengembangan yang lebih spesifik dengan melakukan identifikasi berbagai alternatif yang tersedia.
91
IV.4.3. Analisis hirarki strategi pengembangan - dengan AI’SWOT.
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan alat analisis multi kriteria (Multi-Criteria Decision Analysis – MCDA), yang dirancang dengan tahapan pembangkitan alternatif, pembangkitan kriteria, dan pembangkitan tableau dengan performa data yang
menggunakan satuan sesuai elemennya termasuk satuan
verbal (Lootsma 1996).
Pada penelitian ini teknik AHP digunakan untuk
menganalisis elemen-elemen I’SWOT. Berdasarkan elemen-elemen kunci pada strukturisasi sistem pengembangan, dilakukan penetapan 6 sasaran strategi pengembangan sebagai berikut:
I. Pilihan Basis Pengembangan (s-1) II. Pilihan Skala Usaha (s-2) III. Pilihan Kelembagaan (semua m) IV. Pilihan Target Pasar (p-8) V. Pilihan Pemodalan (k-7) VI. Pilihan Teknologi
(u-10)
Kriteria yang ditetapkan sebagai acuan dalam pemilihan alternatif keputusan adalah prioritas penilaian pakar terhadap keseluruhan elemen SWOT yaitu:
A. Potensi Pasar (S2,S6,W4,W6,O2,O6,T3) B. Dukungan Kebijakan (S5,W1,O1,O4,O5,O6,T2,T3,T4,T6) C. Ketersediaan Sumber daya (S1,S4,S6,W2,W3,W5,O5,T5) D. Pemodalan dan Sumber (S3,W6,O6,T6) Terhadap masing-masing sasaran (goal) perumusan strategi pengembangan dilakukan pilihan alternatif keputusan
Penetapan alternatif pada sasaran strategi pengembangan Sebagai hasil akumulasi informasi kepustakaan dan informasi primer yaitu pendapat pakar diperoleh masukan untuk penetapan alternatif setiap sasaran strategi pengembangan yang ditunjukkan pada Tabel 36 sebagai berikut: Tabel 36 Sasaran dan alternatif strategi pengembangan
92
Sasaran
Alternatif
I. Pilihan Basis Pengembangan
I.1. Basis komoditas bahan baku I.2. Basis permintaan pasar/ investasi I.3. Basis program kawasan dengan 4 Sub-alternatif: I.3.1. Basis KIMBUN I.3.2. Basis Kawasan Agropolitan I.3.3. Basis Kluster Industri I.3.4. Basis Kawasan Agroindustri Terpadu
II. Pilihan Skala Usaha
II.1. Skala usaha besar II.2. Skala usaha menengah II.3. Skala usaha kecil dan mikro
III. Pilihan Kelembagaan
III.1. Pola konvensional III.2. Pola sosial budaya III.3. Pola kemitraan/ aliansi
IV. Pilihan Target Pasar
IV.1. Pasar tujuan lokal/ nasional IV.2. Pasar tujuan ekspor
V. Pilihan Pemodalan
V.1. Swadaya V.2. Perbankan V.3. Koperasi V.4. Investasi (PMDA/ PMDN)
VI. Pilihan Teknologi
VI.1. Teknologi tradisional VI.2. Teknologi standar VI.3. Teknologi transisi VI.4. Teknologi mutakhir
93
Penyusunan hirarkhi: SASARAN STRATEGI PENGEMBANGAN
GOAL
KRITERIA
ALTERNATIF
POTENSI PASAR
BASIS: -bahan baku -pasar/ Inv. -kawasan
DUKUNGAN KEBIJAKAN
SKALA USAHA: - s.u.besar - s.u.menengah - s.u kecil dan mikro
KELEMBAGAAN: -konvensional -sosial budaya - kemitraan
PEMODALAN: -swadaya -bank -koperasi -PMA/PMDN
SUB – ALTERNATIF
PEMODAL AN & SUMBER
SUMBERDAYA
TARGET PASAR: -lokal/ nasional -ekspor
TEKNOLOGI: -tradisional -standar -transisi -modern
BASIS KAWASAN: - KIMBUN - Agropolitan - Kluster industri - Agrin terpadu
Gambar 29 Hirarki strategi sistem pengembangan agroindustri unggulan
Analisis prioritas kriteria dan alternatif dengan AHP Pada penelitian ini pembobotan terhadap kriteria dilakukan secara manual menggunakan data survei pakar 2 responden, sedangkan pembobotan alternatif menggunakan data survei pakar yang dianalisis dengan perangkat lunak Criterium
Decision Plus (CDP) Versi 2.0.
94
1). Pembobotan kriteria Kriteria: A = Potensi pasar; B = Dukungan kebijakan; C = Ketersediaan sumber daya; D = Pemodalan dan sumber Matriks Gabungan (hasil iterasi ke 2) Kriteria A B A
1.732
B C
C
D
NE
0.645
1.225
0.210
0.556
0.866
0.201
2.449
0.389 0.200
D π = 4.099
CI = 0.033
CR = 0.037
RCI : untuk n = 4 adalah 0.90 Nilai CR < 0.10 ------- perbandingan berpasangan konsisten. NE = nilai eigen sampai iterasi ke 2. Nilai Eigen mengindikasikan urutan peran (pentingnya) Kriteria sbb: pertama Ketersediaan sumber daya, kemudian Potensi pasar, Dukungan kebijakan, dan terakhir Pemodalan dan sumber.
2). Pembobotan alternatif – Analisis dengan Criterium Decision Plus (CDP) Alternatif basis pengembangan agroindustri Alternatif: A = Basis komoditas bahan baku; B = Basis permintaan pasar/ investasi; C = Basis pengembangan kawasan
KAWASAN
POTENSI PASAR
BAHAN BAKU
Gambar 30 CDP - Analisis prioritas basis pengembangan agroindustri
95
Dengan kriteria Potensi pasar, Dukungan kebijakan, Sumber daya, dan Pemodalan, analisis dengan bantuan Criterium Decision Plus Versi 2.0, dengan teknik pairwise comparison menunjukkan prioritas basis pengembangan agroindustri unggulan wilayah dengan urutan: Basis pengembangan kawasan (0,49), Basis permintaan pasar (0,26), dan Basis ketersediaan bahan baku.(0,25). Analisis prioritas selanjutnya dilakukan terhadap Basis pengembangan kawasan untuk melihat prioritas pilihan pada berbagai tipe kawasan yang ada, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 31.
2a). Pembobotan sub-alternatif – dengan CDP Alternatif kawasan pengembangan agroindustri Sub-alternatif: A = Basis KIMBUN, B = Basis Agropolitan, C = Basis Kluster Industri, D = Basis Agrin Terpadu
AGRIN TERPADU
KIMBUN
AGROPOLITAN
KLUSTER INDUSTRI
Gambar 31 CDP - Analisis prioritas basis kawasan pengembangan agroindustri
Dengan kriteria Potensi pasar, Dukungan kebijakan, Ketersediaan sumber daya, dan Pemodalan dan sumbernya, analisis prioritas terhadap basis kawasan pengembangan agroindustri unggulan wilayah menunjukkan nilai prioritas tertinggi pada Basis Kawasan Agroindustri terpadu (0,52), selanjutnya diikuti Basis Kawasan KIMBUN yang memiliki nilai prioritas sama dengan Basis Kawasan Agropolitan (0,20), dan yang terakhir adalah Basis Kawasan Kluster Industri (0,08).
96
Alternatif skala usaha sebagai strategi pengembangan agroindustri didasarkan pada tipe skala usaha yang berlaku secara nasional yaitu: Skala usaha besar, Skala usaha menengah, Skala usaha kecil dan mikro. Hasil analisis ditunjukkan pada Gambar 32.
3). Pembobotan alternatif – dengan CDP Alternatif skala usaha agroindustri Alternatif: A = Skala usaha besar, B = Skala usaha menengah, C = Skala usaha kecil dan mikro SKALA USAHA
SKALA USAHA KECIL & MIKRO
SKALA USAHA MENENGAH
SKALA USAHA BESAR
Gambar 32 CDP – Analisis prioritas skala usaha pengembangan agroindustri Dengan kriteria Potensi Pasar, Dukungan Kebijakan, Sumber daya, dan Pemodalan dan Sumbernya, analisis menunjukkan prioritas skala usaha pengembangan agroindustri unggulan wilayah dengan urutan: Skala Usaha Kecil dan Mikro (0,40), Skala Usaha Menengah (0,35), dan Skala Usaha Besar (0,26). Analisis prioritas selanjutnya terhadap alternatif kelembagaan sebagai strategi pengembangan agroindustri dititikberatkan pada kelembagaan yang terkait langsung dengan kegiatan agroindustri yaitu: Pola Konvensional dengan kekuatan rantai tata niaganya, Pola Sosial Budaya dengan kekuatan sosio-kulturalnya, dan Pola Kemitraan/ Aliansi dengan kekuatan patnership nya. Hasil analisis terhadap kelembagaan agroindustri (Gambar 33) menunjukkan prioritas pilihan pada Pola Kemitraan/ aliansi (0.50), diikuti Pola kelembagaan lainnya.
97
4). Pembobotan alternatif – dengan CDP Alternatif kelembagaan agroindustri Alternatif: A = Pola konvensional, B = Pola sosial budaya, C = Pola kemitraan/ aliansi KELEMBAGAAN
ALIANSI/MITRA
SOS-BUD
KONVENSIONAL
Gambar 33 CDP – Analisis prioritas kelembagaan pengembangan agroindustri
Pasar tujuan lokal/ nasional dan pasar tujuan ekspor adalah alternatif target pasar pada strategi pengembangan yang menentukan operasional agroindustri. Hasil analisis prioritasnya ditunjukkan pada Gambar 34. 5). Pembobotan alternatif – dengan CDP Alternatif target pasar agroindustri Alternatif: A = Pasar tujuan lokal/ nasional, B = Pasar tujuan ekspor TARGET PASAR
EKSPOR
LOKAL/NASIONAL
Gambar 34 CDP – Analisis prioritas target pasar pengembangan Agroindustri
98
Dengan kriteria Potensi pasar, Dukungan kebijakan, Ketersediaan sumber daya, dan Pemodalan dan sumbernya, analisis menunjukkan prioritas target pasar dalam pengembangan agroindustri unggulan wilayah dengan urutan: Pasar tujuan ekspor (0,58), kemudian Pasar tujuan lokal/ nasional (0,42).
Analisis prioritas selanjutnya dilakukan terhadap sumber pemodalan agroindustri. Pemodalan yang dimaksud adalah modal dalam bentuk finansial. Hasil analisis sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 35.
6). Pembobotan alternatif – dengan CDP Alternatif pemodalan agroindustri Alternatif: A = Swadaya, B = Perbankan, C = Koperasi, D = Investasi (PMA/ PMDN) PEMODALAN PMA/ PMDN
PERBANKAN
SWADAYA
KOPERASI
Gambar 35 CDP – Analisis prioritas sumber pemodalan pengembangan agroindustri Dengan kriteria Potensi pasar, Dukungan kebijakan, Ketersediaan sumber daya, dan Pemodalan dan sumbernya, analisis menunjukkan prioritas pemodalan dalam pengembangan agroindustri unggulan wilayah dengan urutan: Investasi (PMA/PMDN) (0,32), Jasa Perbankan (0,25), usaha Swadaya (0,22) dan Koperasi (0,21). Analisis prioritas selanjutnya dilakukan terhadap alternatif teknologi yang dapat digunakan dalam usaha pengembangan agroindustri. Teknologi yang dimaksud adalah aspek technoware nya. Hasil analisis sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 36.
99
7). Pembobotan alternatif – dengan CDP Alternatif teknologi pengembangan agroindustri Alternatif: A = Teknologi tradisional, B = Teknologi standar, C = Teknologi transisi, D = Teknologi mutakhir
TRANSISI
STANDAR
MUTAKHIR
TRADISIONAL
Gambar 36 CDP – Analisis prioritas teknologi pengembangan agroindustri
Dengan kriteria Potensi pasar, Dukungan kebijakan, Ketersediaan sumber daya, dan Pemodalan dan sumbernya, analisis menunjukkan prioritas teknologi dalam pengembangan agroindustri unggulan wilayah dengan urutan: Teknologi transisi (0,37), Teknologi standar (0,27), Teknologi mutakhir (0,25) dan Teknologi tradisional (0,11). Rumusan alternatif prioritas strategi pengembangan Berdasarkan alternatif terpilih pada analisis prioritas dari keseluruhan alternatif sasaran strategi pengembangan yang merupakan elemen-elemen kunci pada
restrukturisasi
sistem
pengembangan,
diperoleh
rumusan
strategi
pengembangan agroindustri unggulan sebagaimana terlihat pada Tabel 37. Strategi pengembangan agroindustri selanjutnya akan mengacu pada alternatif yang menjadi prioritas. Selanjutnya semua alternatif terpilih ditetapkan sebagai fokus pengembangan Keterbatasan pendekatan ini terletak pada kemampuan mengidentifikasi semua alternatif pada sasaran pengembangan, tersedianya data empiris dan jangkauan pemahaman responden (pakar) terhadap keseluruhan alternati sasaran pengembangan yang teridentifikasi.
100
Tabel 37 Strategi prioritas pada sasaran pengembangan agroindustri unggulan Sasaran Pengembangan
Strategi Prioritas
1. Basis Pengemabngan
Basis pengembangan kawasan agroindustri terpadu,
2. Skala Usaha
Skala usaha kecil/ mikro,
3. Kelembagaan
Pola kemitraan / aliansi
4. Target Pasar
Pasar tujuan ekspor,
5. Pemodalan
Investasi PMA / PMDN,
6. Teknologi
Teknologi transisi
Hasil analisis dari keseluruhan penerapan model menghasilkan rumusan strategi pengembangan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Agroindustri unggulan Agroindustri dengan prioritas unggulan tertinggi adalah agroindustri berbasis bahan baku kelapa, dan produk unggulan tertinggi adalah minyak kelapa. Saat ini dikenal dua jenis produk yaitu minyak goreng dan virgin coconut oil (VCO).
Minyak goreng masih dikuasai perusahan besar seperti BIMOLI,
sedanagkan VCO sejak awal 2005 mulai marak diusahakan oleh masyarakat petani kelapa dterutama di Kabupaten Minahasa Utara dan Minahasa Selatan yang menguasai hampir 70% produksi kelapa Sulawesi Utara.
Kriteria pengembangan Kriteria yang menjadi prioritas utama pengembangan agroindustri berbahan baku kelapa sebagai unggulan adalah Ketersediaan Sumber daya. Dewasa ini sumber daya sering dikelompokkan atas: 1) sumber daya alam, 2) sumber daya manusia, 3) sumber daya pembangunan, dan 4) sumber daya sosial. Sulawesi Utara memiliki keunggulan dan kelemahan terhadap keempat sumber daya tersebut yang tergambar pada analisis SWOT sebelumnya. Hal penting yang harus dilakukan adalah menganalisis ketersediaan sumber daya pada suatu wilayah / lokasi pengembangan untuk mendapatkan gambaran sejauhmana dukungan setiap sumber daya terhadap fokus pengembangan sebagai hasil pilihan strategi. Pengembangan berbasis kawasan agroindustri terpadu
101
Agroindustri terpadu sebagai prioritas dari basis pengembangan kawasan, dapat dikembangan dengan pilihan usaha ‘kelapa-ternak’ misalnya peternakan sapi dibawah pohon kelapa (coco-beef), atau industri ‘produk terpadu sejenis’ misalnya minyak goreng-VCO, atau minyak goreng-bungkil (makanan ternak). Selain itu dapat juga dikembangkan industri terpadu dengan memanfaatkan hasil ikutan kelapa lainnya seperti sabut kelapa dan arang tempurung. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), secara garis besar pengembangan sistem produksi ternak dunia dikelompokkan atas: 1) sistem produksi berbasis ternak (solely livestock production system) dengan tujuan unggulan ternak, dan 2) sistem campuran (mix farming system) dimana ternak menyatu dengan usaha pertanian/ perkebunan dan dapat berfungsi sebagai penunjang pendapatan usaha. Dengan luas areal perkebunan kelapa sekitar 263.320 ha, dapat menampung sekitar 700-800 ribu ekor sapi potong dengan pemeliharaan ekstensif. Dalam usaha peningkatan pendapatan petani kelapa, Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain di Sulawesi Utara menerapkan sistem usaha tani berbasis kelapa yaitu, pemanfaatan areal perkebunan kelapa dengan penanaman tanaman sela seperti pisang dan kacang tanah, dan pengembangan ternak ( Balitka 2004). Industri dengan produk terpadu minyak goreng-VCO dapat diusahakan dengan perbandingan produk secara bertahap dengan kajian profitabilitas untuk menemukan perbandingan yang paling sesuai dengan kemampuan sumber daya wilayah dan kebutuhan/ permintaan pasar.
Skala usaha Skala usaha dapat dikelompokkan berdasarkan besaran investasi sebagai: 1) Skala usaha besar dengan investasi (rupiah) lebih dari 1 milyar, 2) Skala usaha menengah dengan investasi antara 200 juta – 1 milyar dan 3) Skala usaha kecil/ mikro dengan investasi dibawah 200 juta. Berdasarkan penyerapan tenaga kerja dapat dikelompokkan sebagai: 1) Skala usaha besar dengan tenaga kerja diats 100 orang, 2) Skala usaha menengah dengan tenaga kerja 40-100 orang, 3) Skala usaha kecil dengan tenaga kerja 5-40 orang dan 4) Skala usaha mikro dengan tenaga kerja sampai dengan 4 orang.
102
Skala usaha kecil/ mikro sebagai skala usaha prioritas pengembangan agroindustri minyak kelapa sebagai unggulan, agar berpadanan dengan pilihan basis kelembagaan, target pasar dan pemodalan dapat direkayasa sebagai berikut: - Setiap desa sentra komoditi kelapa dibuat minimal satu unit industri - Bentuk kelompok produsen per wilayah (kecamatan – kabupaten) - Lengkapi sistem kelembagaan Terdapat 170 desa sentra produksi kelapa yang tersebar di 17 kecamtaan di Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Minahasa Utara yang dapat dikembangkan sebagai unit agroindustri minyak kelapa (mg + vco).
Kelembagaan Pola kemitraan/ aliansi sebagai sistem kelembagaan prioritas pengembangan industri produk unggulan memiliki beberapa spesifikasi yaitu: kemitraan dalam bentuk usaha patungan, kemitraan dalam penelitian dan pengembangan, persetujuan distribusi silang, persetujuan manufaktur silang, dan konsorsia lelang bersama. Menurut David (2002) usaha patungan dan pengaturan kerja sama dapat digolongkan strategi defensif yang memungkinkan perusahaan memperbaiki komunikasi dan jaringan untuk operasi global dan untuk meminimalkan resiko. Kelompok produsen usaha kecil minyak kelapa Sulawesi Utara dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan besar lokal/ nasional ataupun dengan perusahaan asing di negara tujuan ekspor, dengan aturan kesepakatan yang menjamin kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Aliansi kelompok produsen dapat memaksimalkan pengendalian tingkat kepentingan secara seimbang semua unit kelembagaan dari rantai tataniaga. Menurut Das dan Teng (1998) aliansi strategis memungkinkan pelaku usaha menggabungkan sumber daya strategis yang dimiliki setiap pelaku secara sinergis dalam suatu kesepakatan jangka panjang untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Sumardjo dkk. (2004) konsep kemitraan yang banyak dilakukan di Indonesia adalah kemitraan tipe dispersal dan kemitraan tipe sinergis. Tipe sinergis didasarkan pada kesadaran saling membutuhkan dari semua pihak yang terlibat dalam kemitran yang menjamin kerjasama bisnis secara berkesinambungan.
103
Tipe kelembagaan lain yang diamati adalah tipe sosial-budaya dan tipe konvensional.
Kelembagaan
tipe
sosial-budaya
yang
dimaksud
adalah
kelembagaan yang didasarkan pada prilaku sosial-budaya setempat dimana aktifitas agroindustri berada. Sebagai contoh adalah lembaga ‘Mapalus’ di Sulawesi Utara yang merupakan lembaga non formal di pedesaan yang menjalankan fungsi manajemen dalam berbagai kegiatan terutama pada sektor pertanian. Prinsip ‘Mapalus” adalah kebersamaan dalam mengerjakan suatu jenis pekerjaan yang melibatkan kepentingan semua anggota. Kelembagaan tipe konvensional yang dimaksud adalah yang melibatkan pelaku agroindustri pada rantai proses yang bersifat klasik yaitu: petani produsen bahan baku – pedagang pengumpul – fabrik pengolahan – konsumen, tanpa aturan kerjasama yang mengikat atau setiap pelaku berdiri sendiri tanpa harus memperhitungkan kepentingan pelaku yang lain.
Target pasar Pasar tujuan ekspor sebagai prioritas pengembangan industri minyak kelapa berkaitan dengan peluang pasar/ permintaan luar negeri tethadap produk minyak kelapa, dan adanya pesaing minyak nabati lainnya untuk konsumsi dalam negeri. Rumusan strategi Fred R. David yang dapat diadopsi adalah: penetrasi pasar bertujuan mencari pangsa pasar yang lebih besar untuk produk yang ada, pengembangan pasar bertujuan memperkenalkan produk yang ada ke wilayah geografi baru, dan difersifikasi konsentrik yaitu menambah produk baru yang berkaitan.
Agroindustri unggulan berbasis minyak kelapa (kombinasi produk
minyak goreng dan VCO) dapat diandalkan untuk mengadopsi rumusan strategi tersebut.
Pemodalan Investasi PMA/ PMDN sebagai prioritas pemodalan dalam pengembangan industri minyak kelapa disebabkan masih adanya ketergantungan usaha masyarakat terhadap intervensi pemerintah. Koperasi yang seharusnya dapat berfungsi sebagai lembaga penyanggah dana atau minimal sebagai akses bagi penyaluran dana pemerintah belum mampu meyakinkan masyarakat akan
104
perannya. Kredit perbankan belum mampu diserap secara maksimal oleh industri skala usaha kecil / mikro. Permasalahan utama adalah kesulitan para pelaku agroindustri skala kecil/ mikro untuk mengakses jasa perbankan. Sistem kredit dengan penjaminan (agunan) relatif sulit dipenuhi masyarakat pedesaan karena minimnya pemilikan aset legal. Alasan lain yang dapat dipahami adalah kekhawatiran perbankan terhadap keberlanjutan usaha yang berakibat kredit macet. De Soto (2006) memberikan alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan yaitu merubah properti non formal masyarakat menjadi aset legal yang dalam penelitiannya pada berbagai negara miskin / berkembang ternyata total aset yang masih dikategorikan properti non formal jauh melebihi dana dari keseluruhan lembaga donor yang perna ada. Strategi yang dapat dijalankan adalah mendekatkan sumber (lembaga) pemodalan pada kelompok produsen dengan mendirikan unit-unit pembiayaan yang berada di sekitar usaha agroindustri terutama di wilayah pedesaan dengan prosedur yang disederhanakan.
Teknologi Teknologi dapat dikelompokan ke dalam empat tipologi yaitu: 1) teknologi standar dengan sistem produksi standar, peralatan standar, dan pekerja berkualitas sedang, 2) teknologi mutakhir dengan sistem produksi kompleks, peralatan kompleks, dan pekerja berkualitas tinggi, 2) teknologi tradisional dengan sistem produksi standar, peralatan tidak banyak, pekerja berkualitas kurang, dan 4) teknologi transisi dengan sistem produksi standar, peralatan sederhana sampai modern, dan pekerja berkualitas kurang. Beberapa pakar menjelaskan pengertian teknologi berdasarkan komponennya yaitu perangkat keras (hardware), perangkat manusia (humanware), perangkat informasi (infoware) dan perangkat organisasi (organoware) yang diperlukan pada proses transformasi input menjadi output dalam suatu kegiatan operasional produksi (Ramanathan 1993, Hubeis 1993, Gumbira-Sa’id 2001). Teknologi transisi sebagai teknologi prioritas pengembangan agroindustri minyak kelapa, dapat diterapkan untuk industri minyak kelapa skala kecil/ mikro dengan lebih dahulu menghitung kapasitas terpasang unit pengolahannya.
105
Konsekuensi penerapan teknologi adalah gejala ketidakstabilan proses produksi yang menurut Arkeman dan Liana (2003) hal tersebut secara umum disebabkan oleh faktor manusia, peralatan mesin dan metode kerja, sehingga perlu perbaikan proses dengan cara mengurangi kesalahan akibat faktor-faktor tersebut. Hubungan antar fokus pengembangan agroindustri adalah hubungan interaksi secara menyeluruh yang dapat digambarkan sebagai model diagram interaksi seperti pada Gambar 37, yang dilengkapi dengan bobot penilaian pakar (lihat Lampiran 8). Setiap fokus harus menjadi dasar pertimbangan bagi strategi pengembangan.
Kawasan agro industri terpadu (0.18)
Teknologi transisi (0.15)
Skala usaha kecil / mikro (0.16)
Investasi PMA / PMDN (0.17)
Sistem kemitraan / aliansi (0.18)
Pasar tujuan ekspor (0.16)
Gambar 37 Interaksi strategi menyeluruh
106
IV.5. Implementasi strategi pengembangan Tahap implementasi strategi diarahkan pada pengkajian ketersediaan sumber daya sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 38. FORMULASI STRATEGI (Fokus pengembangan)
IMPLEMENTASI STRATEGI
Agroindustri pilihan
Kajian sumber
Survey pakar Penetapan lokasi potensial
Matriks interaksi sumber daya dan fokus Rumusan Hasil Implementasi
Gambar 38 Diagram alir tahap implementasi strategi pengembangan agroindustri Pada
tahap
Implementasi
strategi
dikembangkan
model
interaksi
ketersediaan sumber daya (bobot tertinggi pada penilaian Kriteria) dan fokus pengembangan sebagai hasil pilihan strategi.
Alokasi sumber daya didasarkan
pada tipologi sumber daya yaitu 1) sumber daya manusia (SDM), 2) sumber daya alam (SDA), 3) sumber daya sosial (SDS), dan 4) sumber daya teknologi (SDT). Akuisisi pendapat pakar dilakukan untuk merumuskan kriteria ketersediaan sumber daya dan kaitannya terhadap strategi pengembangan yang diperoleh pada tahap perumusan strategi,
IV.5.1. Penetapan lokasi potensial Sentra produksi kelapa di Sulawesi Utara adalah di Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Minahasa Utara. Produksi kelapa kedua kabupaten tersebut mencapai lebih dari 40 prosen total produksi kelapa Sulawesi Utara. Kedua daerah tersebut dalam penelitian ini secara purposif ditetapkan sebagai
107
lokasi penerapan model strategi pengembangan agroindustri. Luas areal dan produksi kelapa per wilayah Kecamatan pada kedua Kabupaten tersebut ditunjukkan pada Tabel 38 dan Tabel 39. Tabel 38 Data produksi kelapa /wilayah kecamatan Kab. Minahasa Selatan* Minahasa Selatan
Luas areal Produksi (ton / thn) Peringkat*** (ha) Real Ideal 1 Modoinding -0 0 -2 Tompaso Baru 924.37 597.70 2588.24 11 3 Belang 1662.85 ** 1712.74 4655.98 4 Ratatotok 104.76 ** 107.90 292.33 5 Tombatu 4647.90 4740.05 13014.12 6 6 Touluaan 8896.17 10544.08 24909.28 2 7 Motoling 1615.01 1222.25 4522.03 9 8 Kumelembuai 1605.00 996.13 4494.00 12 9 Ranoyapo 3543.41 2992.24 9921.55 8 10 Tenga 11858.38 12968.55 33203.46 4 11 Sinonsayang 7343.00 8778.90 20560.40 1 12 Tombasian 9639.46 10428.56 26990.49 5 13 Ratahan 9110.70 8254.57 25509.96 7 14 Tareran 2709.60 1941.90 7586.88 10 15 Tumpaan 3500.50 3996.24 9801.40 3 Jumlah 67161.11 69281.81 188050.12 *) diolah dari data Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten 2005 **) data terkoreksi. ***) dari pembandingan produksi real dan ideal Tabel 39 Data produksi kelapa /wilayah kecamatan Kab. Minahasa Utara* Minahasa Utara
Luas areal Produksi (ton / thn) Peringkat** (ha) Real Ideal 1 Kema 3754.90 3802.77 10513.72 3 2 Kauditan 5285.45 6308.57 14799.26 2 3 Airmadidi 4273.25 5897.34 11965.10 1 4 Kalawat 2836.48 1882.39 7942.14 5 5 Dimembe Timur 6441.00 2749.63 18034.80 8 6 Dimembe Barat 5407.00 3974.53 15139.60 4 7 Likupang Timut 10886.94 3883.77 30483.43 9 8 Likupang Barat 3379.16 1977.11 9461.65 6 9 Wori 4603.15 2549.30 12888.82 7 Jumlah 46867.33 33025.41 131228.52 *) diolah dari data Dinas Pertaninan dan Perkebunan Kabupaten 2005 **) dari pembandingan produksi real dan ideal
108
Penetapan peringkat dilakukan dengan asumsi bahwa pencapaian produksi real dibandingkan dengan produksi ideal (intensifikasi sampai dengan 2.8 ton/ ha) dapat mengindikasikan tingkat efisiensi lahan dan/ atau produktivitas tanaman. Sesuai pantauan dilapangan terhadap kondisi wilayahnya, telah dipilih 5 lokasi pada Kabupaten Minahasa Selatan yaitu Sinonsayang, Touluaan, Tumpaan, Tenga dan Tombasian dan 3 lokasi pada Kabupaten Minahasa Utara yaitu Airmadidi, Kauditan dan Dimembe Barat.
IV.5.2. Penetapan agroindustri kajian Agroindustri yang dipilih untuk kajian strategi pengembangan didasarkan pada seleksi produk unggulan yaitu agroindustri minyak kelapa melalui konsep terpadu yang dalam penelitian ini adalah industri dengan produk akhir minyak goreng (crude coconut oil-CCO) + virgin coconut oil (VCO) dan bungkil sebagai makanan ternak. Perkembangan VCO sebagai produk yang cukup prospektif di Sulawesi Utara dapat dilihat pada Tabel 40. Aspek prosesing secara umum ditunjukkan pada skenario pengembangan. Keseluruhan unit agroindustri VCO yang diamati masih berada pada skala usa kecil / mikro atau dapat dikelompokan sebagai home industry.
Tabel 40 Perkembangan agroindustri VCO di Sulawesi Utara
1 2
Lokasi/ Nama Lemo Kec. Tombariri Minahasa/ “Sambalean” MINUT / APPV1
2 3 MINUT / ECO
Jumlah Unit 5 unit
Produksi 20 lt / hari; 5 hari/ minggu
Proses Metode pancingan – proses manual
20 unit
10 lt / hari /unit
10 unit
20 lt / 3 hari / unit
-sentrifugal -pancingan -mixing -pemanasan
4 Manado/ Mitra 5 1
Mandiri Mapanget3 Produsen lepas
6
Tidak pasti
- pemanasan - manual
) Asosiasi Petani Produsen VCO di Minahasa Utara ) Exnewmount Coconut Oil sebagai mitra produsen VCO di Minahasa Utara 3 ) Dibawah binaan Balai Penelitian Kelapa Manado 2
109
IV.5.3. Model ketersediaan sumber daya Kriteria yang digunakan sebagai patokan dalam menilai ketersediaan setiap sumber daya adalah sebagai berikut: SDM
SDS
Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus
Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat
SDA
SDT
Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan
Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin pengolahan Peralatan transportasi
Ketersediaan
SDM
mengindikasikan
tingkat
pemahaman
pelaku
agroindustri pada lokasi tertentu terhadap sasaran strategi pengembangan yang dimaksud, menyangkut kemampuan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Ketersediaan SDA berkaitan dengan ketersediaan bahan baku utama dan bahan pelengkap lainnya yang menentukan keberlanjutan proses produksi. Ketersediaan SDS berkaitan dengan sikap sosial masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung dapat bersifat pendukung atau penghambat proses perkembangan agroindustri setempat. SDS dapat berwujud lembaga-lembaga sosial yang turut terlibat dalam proses perkembangan agroindustri. Ketersediaan SDT berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur yang mendukung operasional agroindustri dan aktifitas terkait lainnya. Hasil pengamatan ketersediaan sumber daya pada lokasi pilihan untuk setiap alternatif strategi pengembangan ditunjukkan pada Tabel 41 sampai dengan Tabel 44.
110
Tabel isian ketersediaan sumber daya / strategi pengembangan (Lampiran 7) Strategi / Sumber daya Kriteria / Tipe Sumber daya
Nilai Ketersediaan Lokasi
Total Penetapan : total nilai = 5, tersedia; = 4, cukup tersedia; = 3, kurang tersedia; = 2, sangat kurang tersedia; = 1, hampir tidak tersedia. Tabel 41 Analisis ketersediaan* sumber daya pada setiap fokus pengembangan dari lokasi.pilihan pada Kab. Minahasa Utara. Fokus Pengembangan 1
Kawasan agroindustri terpadu
Alokasi sumber daya SDM 4 3 3
SDA 5 4 4
SDS 4 4 4
SDT 3 2 2
T
Lokasi
16 13 13
Air Kau Dim
4 5 5 3 17 Air 4 4 5 2 15 Kau 3 4 4 2 13 Dim 3 5 4 3 15 Air 3 Kemitraan / aliansi 2 4 4 2 12 Kau 2 4 3 2 11 Dim 3 5 4 3 15 Air 4 Pasar tujuan ekspor 3 4 4 3 14 Kau 2 3 3 2 10 Dim 3 5 4 3 15 Air 5 Investasi PMA/PMDN 3 4 4 2 13 Kau 2 4 2 2 10 Dim 3 4 3 3 13 Air 6 Teknologi transisi 3 3 3 3 12 Kau 2 3 3 2 10 Dim 20 29 24 18 T 91 Air 18 23 24 14 69 Kau 14 22 19 12 67 Dim Ket. : Air (= Airmadidi), Kau (= Kauditan), Dib (= Dimembe Barat), T (= Total). *) nilai ketersediaan maksimal adalah 5 (= tersedia), selanjutnya 4 (= cukup tersedia), 3 (= kurang tersedia), 2 (= sangat kurang tersedia),1 (= hampir tidak tersedia), 0 (= tidak tersedia) 2
S.u. kecil / mikro
111
Analisis selanjutnya dilakukan untuk melihat keterbatasan sumber daya yang memberi dampak paling sensitif terhadap fokus pengembangan. Hasil penelitian sensitivitas ketersediaan sumber daya setiap fokus pengembangan ditunjukkan pada Tabel 42.
Tabel 42 Matriks interaksi ketersediaan sumber daya setiap fokus pengembangan pada Kab. Minahasa Utara Fokus Pengembangan
B
Ketersediaan sumber daya* SDM SDA SDS SDT
T
K
I
S
1
Kawasan agrin terpadu
0.18
3.3
4.3
4.0
2.3
13.9
6.1
1.1
2
S.u. kecil / mikro
0.16
3.7
4.3
4.7
2.3
15.0
5.0
0.8
3
Kemitraan/ aliansi
0.18
2.3
4.3
3.7
2.3
12.6
7.3
1.3
4
Pasar tujuan ekspor
0.16
2.7
4.0
3.7
2.7
13.1
6.9
1.1
5
Investasi PMA/PMDN
0.17
2.7
4.3
3.3
2.3
12.6
7.4
1.3
1
6
Teknologi transisi
0.15
2.7
3.3
3.0
2.7
11.7
8.3
1.2
2
*)nilai rataan, B=bobot, T=total sd, K=kesenjangan=20(=maks. sd)-T, I=KxB (=nilai kesenjangan terbobot, S= nilai ketersediaan terbatas
Tabel 42 menunjukkan bahwa secara umum ketersediaan sumber daya belum maksimal tetapi ketersediaan paling terbatas adalah pada fokus pengembangan Kemitraan/ aliansi dan Investasi, kemudian Teknologi transisi terutama keterbatasan SDM dan SDT. Hasil penelitian pada Kab. Minahasa Selatan (Tabel 43) tidak berbeda jauh dengan keadaan pada Kab. Minahasa Utara yaitu secara umum ketersediaan sumber daya belum maksimal. Ketersediaan paling sensitif adalah pada fokus pengembangan Pasar tujuan ekspor dan Investasi, kemudian Teknologi transisi sedangkan tipe sumber daya paling terbatas adalah SDM dan SDT. Hasil pengamatan pada keseluruhan lokasi penelitian menunjukkan bahwa penerapan keseluruhan fokus pengembangan pada agroindustri pilihan tidak ditunjang dengan ketersediaan sumber daya yang cukup terutama untuk fokus pengembangan Kemitraan/ aliansi, Pasar tujuan ekspor, Investasi, dan Teknologi. Kelemahan terutama pada ketersediaan SDM dan SDT. Matriks interaksi ketersediaan dirancang dengan alur pikir mendekati model Matriks Prioritas Proses dari Brelin et al. (1997).
1
112
Tabel 43 Analisis ketersediaan* sumber daya setiap fokus pengembangan dari lokasi.pilihan pada Kab. Minahasa Selatan. Fokus Pengembangan
Alokasi sumber daya
T Lokasi SDM SDA SDS SDT 4 4 5 3 16 Tum 1 Kawasan agroindustri terpadu 3 3 4 2 12 Ten 3 3 4 2 12 Sin 3 3 4 2 12 Tou 4 5 5 3 17 Tom 4 5 4 4 17 Tum 2 S.u. kecil / mikro 3 3 3 2 11 Ten 3 3 3 2 11 Sin 3 3 4 2 12 Tou 4 5 4 3 15 Tom 3 5 4 4 16 Tum 3 Kemitraan / aliansi 2 4 4 2 12 Ten 2 4 4 2 12 Sin 2 4 4 2 12 Tou 3 5 4 3 15 Tom 3 4 4 3 14 Tum 4 Pasar tujuan ekspor 2 2 3 2 9 Ten 2 2 3 2 9 Sin 2 2 3 2 9 Tou 3 4 4 4 15 Tom 3 4 4 3 14 Tum 5 Investasi PMA/PMDN 2 3 3 2 10 Ten 2 3 3 2 10 Sin 2 3 3 2 10 Tou 3 4 4 3 14 Tom 3 4 3 3 13 Tum 6 Teknologi transisi 2 3 3 2 10 Ten 2 3 3 2 10 Sin 2 3 3 2 10 Tou 3 4 4 3 14 Tom T 20 26 24 20 90 Tum 14 18 20 12 64 Ten 14 18 20 12 64 Sin 14 18 21 12 65 Tou 20 27 25 19 91 Tom Ket. : Tum (= Tumpaan), Ten (= Tenga), Sin (= Sinonsayang), Tou (= Touluaan), Tom (= Tombasian), T (= Total). Analisis selanjutnya dengan Matriks Interaksi Ketersediaan (Tabel 44) menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya paling terbatas adalah pada fokus pengembangan Pasar tujuan ekspor dan Investasi.
113
Tabel 44 Matriks interaksi ketersediaan sumber daya setiap fokus pengembangan pada Kab. Minahasa Selatan Fokus Pengembangan
B
Ketersediaan sumber daya* SDM SDA SDS SDT
T
K
I
S
1
Kawasan agrin terpadu
0.18
3.4
3.6
4.4
2.4
13.8
6.2
1.1
2
S.u. kecil / mikro
0.16
2.8
3.8
3.6
2.6
12.8
7.2
1.2
3
Kemitraan/ aliansi
0.18
2.4
4.4
4.0
2.6
13.4
6.6
1.2
4
Pasar tujuan ekspor
0.16
2.4
2.8
3.4
2.6
11.2
8.8
1.4
1
5
Investasi PMA/PMDN
0.17
2.4
3.4
3.4
2.4
11.6
8.4
1.4
1
6
Teknologi transisi
0.15
2.4
3.4
3.2
2.4
11.4
8.6
1.3
2
*)nilai rataan, B=bobot, T=total sd, K=kesenjangan=20(maks. sd)-T, I=KxB (=nilai kesenjangan terbobot, S=nilai ketersediaan terbatas.
Penerapan model implementasi strategi pengembangan pada agroindustri dan lokasi kajian memberikan informasi sebagai berikut: 1. Analisis
ketersediaan
bahan
baku
agroindustri
pada
lokasi
kajian
menunjukkan bahwa produksi kelapa secara keseluruhan masih jauh dibawah target produksi yang ideal. 2. Analisis ketersediaan sumber daya pada lokasi kajian menunjukkan adanya keterbatasan semua tipe sumber daya pada keseluruhan lokasi terutama pada tipe sumber daya teknologi. 3. Matriks interaksi antara ketersediaan sumber daya dan penerapan fokus pengembangan menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya paling terbatas adalah pada penerapan kemitraan / aliansi sebagai pilihan tipe kelembagaan, pasar tujuan ekspor sebagai pilihan pemasaran produk, investasi PMA / PMDN sebagai pilihan sumber modal usaha dan teknologi transisi sebagai pilihan teknologi pengembangan agroindustri unggulan.
IV.6. Evaluasi Strategi Pengembangan Tahap evaluasi strategi pengembangan agroindustri dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh pada tahap formulasi dan implementasi strategi, kemudian dilanjutkan dengan penyusunan skenario pengembangan. Skenario pengembangan memungkinkan dilakukannya tindakan korektif terhadap kajian
114
formulasi strategi atau meninjau kembali tahap implementasinya sebagaimana ditunjukan pada Gambar 39. FORMULASI STRATEGI
IMPLEMENTASI STRATEGI
EVALUASI STRATEGI
Evaluasi proses (Matriks prioritisasi proses)
Evaluasi sumber daya terbatas
Evaluasi bahan baku (Matriks strategi opsional) Skenario pengembangan
Koreksi
Selesai
Gambar 39 Diagram alir tahap evaluasi strategi pengembangan agroindustri
Skenario pengembangan diarahkan pada 1) aspek pengembangan ketersediaan sumber daya, 2) aspek pengembangan ketersediaan bahan baku, 3) aspek pengembangan prosesing dan 4) aspek pengembangan pemasaran produk. Perencanaan skenario (Scenario planing) bukanlah alat untuk memprediksi keadaan yang akan datang tetapi berusaha menjelaskan kemungkinan yang dapat terjadi (netMBA 2006). Rumusan skenario walaupun terbatas pada kriteria-kriteria ketersediaan sumber daya yang ditetapkan tetapi juga mempertimbangkan beberapa hal sesuai temuan pada lokasi kajian yaitu: 1) Tingkat pendidikan masyarakat yang relatif memadai untuk menerima inovasi baru, mengikuti pendidikan atau pelatihan sesuai spesifikasi agroindustri yang dikembangkan, 2) Ketersediaan material inti
115
agroindustri unggulan tersebar hampir merata pada keseluruhan wilayah kajian, 3) Tipe wilayah geo-vulkanis yang sesuai pertumbuhan agronomis tanaman kelapa dan, 4) Kepemilikan lahan yang umumnya bersifat pribadi (petani pemilik), mendukung pemanfaatan lahan yang dapat memaksimalkan peran petani.
IV.6.1. Aspek pengembangan ketersediaan sumber daya Kelemahan dalam strategi pengembangan terutama pada keterbatasan sumber daya, juga pada ratio jumlah industri dan ketersediaan bahan bakunya. Evaluasi terhadap keterbatasan sumber daya ditunjukkan oleh prosentasi nilai ketersediaan sumber daya bagi penerapan strategi pilihan pada keseluruhan lokasi kajian seperti yang terlihat pada Tabel 45. Hasil pengamatan yang ditampilkan pada Tabel 46 menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya pada lokasi-lokasi pilihan tidak mencapai nilai maksimal. Prosentasi ketersediaannya hanya berkisar 50 - 53 % untuk ketersedian SDM, 70 - 85 % untuk ketersediaan SDA, 63 - 75 % untuk ketersediaan SDS dan 45 - 53 % untuk ketersediaan SDT. Rendahnya ketersediaan SDT terutama pada kriteria sistem informasi dan fasilitas transportasi yang memenuhi syarat. Keterbatasan SDM terutama disebabkan karena tidak ada sekolah atau pendidikan khusus dan minimnya pelatihan yang terkait dengan pelaksanaan berbagai alternatif strategi pengembangan agroindustri. Dewasa ini semakin terasa pentingnya manajemen sumber daya manusia (Siagian 2006). Keterbatasan SDA terutama pada kriteria penanganan material pendukung dan tidak didukung pasokan karena kondisi wilayah yang jauh dari sumber material pendukung. Keterbatasan SDS terutama karena tidak adanya lembaga formal di pedesaan atau kecamatan yang mendukung penerapan strategi pengembangan agroindustri, juga peran swasta yang belum banyak terlihat. Lembaga formal seperti koperasi unit desa (KUD), lembaga non formal seperti ’Mapalus’ tersedia walaupun perannya belum terarah pada pengembangan agroindustri secara optimal.
116
Tabel 45 Prosentasi nilai ketersediaan sumber daya terbatas pada keseluruhan lokasi kajian Kemitraan / aliansi SD
SDM
SDA
Rataan Prosentase
3 3 2 3 2 2 2 3 2.50 50
4 4 4 4 5 4 4 5 4.25 85
LOKASI
SDS
SDT
skoring
Airmadidi Kauditan Dimembe Barat Tumpaan Tenga Sinonsayang Touluaan Tombasian
4 3 3 4 3 3 4 3 3.38 68
2 2 2 3 2 2 2 3 2.25 45
Pasar tujuan ekspor SD
SDM
SDA
SDS
SDT
3 2 2 3 3 2 2 3 2.50 50
skoring 3 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3 4 3 4 4 3 3.50 3.75 70 75
2 3 2 3 2 2 2 4 2.63 53
LOKASI Airmadidi Kauditan Dimembe Barat Tumpaan Tenga Sinonsayang Touluaan Tombasian Rataan Prosentase
Investasi PMA / PMDN SD
SDM
LOKASI
SDA
SDS
SDT
skoring
Airmadidi Kauditan Dimembe Barat Tumpaan Tenga Sinonsayang Touluaan Tombasian Rataan Prosentasi
3 3 2 3 2 2 2 4 2.63
4 4 3 4 5 5 5 4 4.25
3 2 2 4 3 4 4 3 3.13
3 3 2 3 2 2 2 3 2.50
53
85
63
50
117
Berdasarkan evaluasi hasil pengamatan pada lokasi kajian (Lampiran 7) dirumuskanlah skenario pengembangan ketersediaan sumber daya (SDM, SDA, SDS, SDT) sebagaimana ditunjukan pada Tabel 46. Tabel 46 Skenario pengembangan ketersediaan sumber daya bagi agroindustri Sumber daya
Pengembangan
1
Sumber daya Manusia
- pengadaan sekolah khusus - adakan pelatihan-pelatihan
2
Sumber daya Alam
- perlu diusahakan pasokan material pendukung dan penguasaan teknologi untuk penanganan material tersebut
3
Sumber daya Sosial
- perlu dibentuk lembaga formal maupun lembaga non formal agar lebih mampu mengorganisir/ memberdayakan produsen - perlu peningkatan peran sektor swasta
4
Sumber daya Teknologi
- kembangkan sistem informasi yang dapat dijangkau produsen dan stakeholder lainnya - perlu pengadaan sarana produksi (alat transportasi khusus dan peralatan prosesing) yang sesuai kebutuhan
IV.6.2. Aspek pengembangan ketersediaan bahan baku Matriks strategi opsional yang digunakan untuk memotret ketersediaan bahan baku pada lokasi kajian menghasilkan rumusan strategi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 47, yaitu dengan membandingkan kondisi real dan kondisi ideal terhadap produktivitas dan optimasi lahan. Ketersediaan bahan baku (kelapa) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 47 umumnya merekomendasikan opsi Pengembangan, baik untuk wilayah kabupaten maupun wilayah propinsi. Opsi Peninjauan hanya berkaitan dengan jumlah unit usaha yang ada. Pada kondisi bahan baku tetap, apabila jumlah unit dipertahankan atau bertambah berarti terjadi ekspansi pembelian bahan baku ke wilayah lain. Pemanfaatan secara optimal potensi bahan baku internal mengharuskan pengurangan jumlah unit atau penurunan kapasitas terpasang industri. Pilihan terbaik adalah memaksimalkan pengembangan ketersediaan bahan baku yang memungkinkan jumlah unit industri dipertahankan atau dikembangkan.
118
Tabel 47 Rumusan strategi opsional ketersediaan bahan baku agroindustri Item
Opsi
Strategi
Jenis Komoditas: Kelapa Optimalisasi Lahan (SULUT) a. luas lahan terpakai = 263930 ha b. luas lahan tersedia = 290323 ha
a< b
Pengembangan
Produktivitas a. produksi real / ha = b. produksi ideal =
a
Pengembangan
1.03 ton 2.80 ton
Lokasi pilihan: MINUT Optimalisasi Lahan a. luas lahan terpakai = 46867.33 ha b. luas lahan tersedia = 51554.06 ha
a
Pengembangan
Produktivitas a. produksi real / ha = 0.70 b. produksi ideal = 2.80
a
Pengembangan
Lokasi pilihan: MINSEL Optimalisasi Lahan a. luas lahan terpakai = 67161.11 ha b. luas lahan tersedia = 73877.22 ha
a
Pengembangan
Produktivitas a. produksi real / ha = 1.03 b. produksi ideal = 2.80
a
Pengembangan
a>b
Peninjauan
ton ton
ton ton
Agroindustri (16 unit) a. kebutuhan bahan baku = 450 000 ton b. bahan baku tersedia = 270 000 ton
Berdasarkan evaluasi pada matriks strategi opsional dirumuskanlah skenario pengembangan ketersediaan bahan baku yang dirancang dengan mempertimbangkan kondisi ideal komoditas unggulan dan daya dukung ideal wilayah kajian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 48. dengan enam skenario pengembangan. Skenario tersebut dapat dijadikan alternatif keputusan dalam menyusun strategi pengembangan agroindustri berbasis kelapa. Urutan skenario (3-6) disesuaikan dengan pendugaan peningkatan produktifitas yang diperoleh dari berbagai kondisi (Lampiran 11).
119
Tabel 48 Skenario pengembangan ketersediaan bahan baku agroindustri berbasis kelapa di Sulawesi Utara Item Kondisi Scenario Pengembangan Pencapaian (ton/ha) SULUT Luas lahan (L) Real (a) (ha) =263 930 + 26 393 1) L(b) Ideal (b) + 1.77 2) P(b) =290 323 3) L(a)P(a) + 0 271 847.90 Produksi (P) 4) L(b)P(a) Real (a) =1.03 + 27 184.79 299 032.69 (ton/ha) 5) L(a)P(b) Ideal (b) =2.8 + 467 156.1 739 004.00 6) L(b)P(b) + 541 056.5 812 904.40 MINUT Real (a) 1) L(b) + 4 686.7 Luas lahan (L) = 46 867.33 (ha) 2) P(b) Ideal (b) + 2.1 3) L(a)P(a) = 51 554.06 + 0 32 807.13 Produksi (P) 4) L(b)P(a) Real (a) = 0.7 + 3 280.71 36 087.84 (ton/ha) 5) L(a)P(b) Ideal (b) = 2.8 + 98 421.39 131 228.52 6) L(b)P(b + 111 544.24 144 351.37 MINSEL Real (a) Luas lahan (L) = 67161.11 1) L(b) + 6 716.1 (ha) 2) P(b) Ideal (b) + 1.77 3) L(a)P(a) = 73 877.22 + 0 69 175.94 Produksi (P) Real (a) = 1.03 4) L(b)P(a) + 6 917.6 76 093.54 (ton/ha) 5) L(a)P(b) Ideal (b) = 2.8 + 118 875.17 188 051.11 6) L(b)P(b) + 137 680.28 206 856.22 6 (enam) Skenario pengembangan ketersediaan bahan baku: 1) Skenario L(b) : mengupayakan pengembangan luas lahan dari kondisi luas lahan terpakai (real), mencapai luas lahan ideal yaitu luas lahan yang tersedia. 2) Skenario P(b) : mengupayakan peningkatan produktifitas dari kondisi real kearah produktifitas optimum yang dapat dicapai (ideal ). 3) Skenario L(a)P(a) : mempertahankan kondisi yang ada, tanpa upaya pengembangan 4) Skenario L(b)P(a): upaya pengembangan untuk mencapai kondisi ideal hanya dipusatkan pada luas lahan. 5) Skenario L(a)P(b): upaya pengembangan untuk mencapai kondisi ideal hanya dipusatkan pada produktifitas. 6) Skenario L(b)P(b): mengupayakan pengembangan secara simultan baik luas lahan maupun produktifitas untuk mencapai kondisi yang ideal. Skenario 5) dan 6) pada tingkat provinsi memungkinkan produksi kelapa Sulawesi Utara mencapai 739004.00 ton dan 812904.40 ton, melebihi kebutuhan industri saat ini dengan kapasitas terpasang sebesar 450 000.00 ton bahan baku.
120
IV.6.3. Aspek pengembangan proses Berdasarkan evaluasi terhadap prilaku beberapa agroindustri unggulan misalnya
agroindustri
VCO
sebagaimana
ditunjukan
pada
Tabel
49
dirumuskanlah skenario pengembangan proses dengan menganalisis berbagai proses kunci yang perlu mendapat prioritas penanganannya. Metode yang digunakan adalah menyusun matriks prioritisasi proses mengikuti petunjuk Brelin
et.al (1997) Tabel 49 Aspek pengolahan pada keseluruhan industri VCO di Sulawesi Utara Peubah 1
2
Kualifikasi mesin
- Mesin - Manual Tipe BPTP Kalasey-Sulut
Kapasita terpasang mesin
100 butir/jam (500-1000/hari) / unit
SDM Jumlah/ kualifikasi
5-8 org/unit (unqualificated)
Proses
Sistem kerja/upah
Struktur organisasi
3
Keterangan
1. upah tetap/hari 2. target 500 butir >500=bonus 3. upah tetap/hari + bonus/butir - Pemilik-pekerja – pasar - Pemilik – pekerja – mitra - pasar
Produk Jenis
VCO
Total produksi
200 – 400 lt /bln/unit
Standardisasi
SNI 01-2891-1992 (KA); 01-2902-1992 (FFA)
Mutu produk lokal
0.18 % (KA); 0.03 % (FFA)
Produk sisa
Ampas kelapa *
Ket: *peluang diversifikasi usaha – makanan ternak. Berdasarkan
pengamatan
terhadap
agroindustri
unggulan
dilakukan
identifikasi proses-proses kunci kegiatan dari hulu sampai hilir suatu tahapan proses produksi yang menentukan keberhasilan produksinya. Analisis dilakukan untuk melihat dampak proses kunci terhada faktor sukses kritis (Brelin et.al 1997).
121
Matriks Prioritisasi Proses Elemen utama dari matriks adalah proses kunci dan faktor sukses kritis (CSF) yang dilengkapi dengan nilai kunci pemeringktan yaitu nilai dampak proses kunci pada CSF dan, nilai kinerja proses. Jumlah nilai dampak proses terhadap CSF dikalikan dengan nilai kesenjangan kinerja proses sehingga diperoleh nilai kesenjangan terbobot. Nilai terbesar dari kesenjangan terbobot ditetapkan sebagai Prioritas utama penanganan awal dari pengembangan proses. Biasanya penetapan elemen-elemen dari matriks dilakukan dengan diskusi kelompok ahli yang disebut Tim Kepemimpinan Mutu (quality leadership team – QLT). Pada penelitian ini karena QLT belum terbentuk, maka elemen-elemen ditetapkan setelah dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan para pelaku agroindustri (pemilik, bagian pengolahan, bagian pemasaran), kemudian hasilnya dimasukkan dalam matriks sebagaimana ditunjukan pada
* Kesenjangan Kinerja Proses
1 1 3 1 2 3 1 2 1
Kinerja Proses
3 2 1 1 2 1 3 2 2
Jumlah Dampak
1 1 1 2 1 3 1 1 3
Tekanan pesaing
Preferensi pelanggan
3 2 3 1 3 2 2 2 1
Tenaga kerja andal
2 1 3 2 1 3 1 2 1
Pendapatan
Perbaikan mutu produk
Penyiapan b.baku Penyiapan alat Pengolahan Transportasi Uji mutu Pemasaran Seleksi T.kerja Sistem informasi Manajemen
Operasi Efektif biaya
1= Tidak cukup 5 = Oke 9 = Baik
Proses Kunci 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Faktor Sukses Kritis
Kinerja Proses:
Prioritas
Kunci Pemeringkatan Dampak roses pada CSF: 1 = Rendah 2 = Sedang 3 = Tinggi
Kesenjangan Terbobot
Gambar 40.
1 11 7 10-7=3 33 1 8 3 10-3=7 56 2 13 3 10-3=7 91 1 2 9 3 10-3=7 63 2 11 4 10-4=6 66 3 15 4 10-4=6 90 2 1 9 5 10-5=5 45 2 11 3 10-3=7 77 3 3 11 3 10-3=7 77 3 * 10 = Nilai Proses yang Sempurna
Gambar 40 Matriks Prioritisasi Proses Agroindustri Unggulan
122
Perioritas utama penanganan proses kunci sesuai analisis matriks prioritisasi proses adalah 1) Pengolahan, 2) Pemasaran dan 3) Sistem informasi dan Manajemen. Pengolahan meliputi teknologi yang digunakan, metode pengolahan dan, efisiensi. Pemasaran meliputi penanganan produk, pengemasan, penjualan, estimasi pangsa pasar dan, promosi. Sistem informasi meliputi pengelolaan sistem data, pemahaman pasar global dan, antisipasi perkembangan teknologi. Manajemen meliputi pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen terhadap kegiatan operasional industri terutama dalam rangka pengembangan produk. Fungsi-fungsi tersebut meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.
IV.6.4. Aspek pengembangan pasar Peluang pengembangan agroindustri berbasis kelapa di Sulawesi Utara terlihat pada aspek pasar. Permintaan pasar luar negeri terus meningkat bila dilihat dari volume dan nilai ekspor kelapa nasional pada tahun 2003,2004 dan 2005 seperti yang ditunjukan pada Tabel 50, Tabel 51 dan Tabel 52.
Tabel 50 Volume dan nilai ekspor kelapa Indonesia* Tahun
Volume (Kg)
Nilai (US$)
Jumlah Negara Tujuan
2003
52 048 024.00
14 046 712.00
42
2004
67 559 080.00
23 820 555.00
34
2005
121 550 920.00
43 017 006.00
42
*) Diolah dari informasi situs Deptan
Tabel 51 Sepuluh besar negara tujuan berdasarkan volume ekspor kelapa Indonesia* 2003 1 2 3 4 5 6
Korea India Malaysia Netherlands Singapura Turki
2004 Korea Malaysia Netherlands India Swedia Singapura
2005 Netherlands Malaysia USA Korea China Singapura
123
Tabel 51 (Lanjutan) Sepuluh besar negara tujuan berdasarkan volume ekspor kelapa Indonesia* 2003
2004
7 Rusia USA 8 Swedia Rusia 9 Taiwan Italia 10 Spanyol Pakistan *) Diolah dari informasi situs Deptan
2005 Jerman India Rusia Tunisia
Tabel 52 Sepuluh besar negara tujuan berdasarkan nilai ekspor kelapa Indonesia* 2003
2004
1 Singapura Malaysia 2 Malaysia Netherlands 3 Netherlands Korea 4 Rusia Swedia 5 Turki Singapura 6 Swedia India 7 Korea USA 8 India Rusia 9 Spanyol Italia 10 Vietnam Pakistan *) Diolah dar informasi situs Deptan
2005 Netherlands USA Malaysia Singapura China Rusia Korea Swedia Tunisia Jerman
Pada Tabel 51 dan Tabel 52 terlihat bahwa negara tujuan utama ekspor selama beberapa tahun terakhir hampir tidak mengalami perubahan walaupun secara keseluruhan setiap tahun terjadi masuk keluar negara tujuan dengan volume dan nilai ekspor yang relatif kecil (lampiran 8). Kenyataan diatas menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan pasar internasional terhadap kelapa sebagai bahan baku industri baik industri pangan maupun industri kimia, farmasi, kosmetik dan seni. Agroindustri berbasis kelapa memiliki peluang pengembangan produk akhir untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut. Kekuatan yang dimiliki pertama pada keunggulan komparatif yaitu kondisi tanah vulkanis yang sesuai untuk pengembangan kelapa, kedua pada diversifikasi produk yang dapat memaksimalkan pemanfaatan semua komponen kelapa. Agroindustri berbasis kelapa yang berkembang di Sulawesi Utara selama ini memiliki produk yang cukup bervariasi walaupun terdapat beberapa jenis produk yang belum mengikuti standar mutu sehingga pasarnya masih sangat terbatas.
124
Skenario pengembangan pasar harus diarahkan untuk mengatasi berbagai ancaman yang dapat menjadi hambatan terhadap pengembangan pasar agroindustri berbasis kelapa di Sulawesi Utara. yaitu: 1.
adanya kompetitor produk sejenis misalnya produk minyak goreng dari bahan baku lain
2.
adanya kampanye di luar negeri yang menolak/ membatasi konsumsi minyak kelapa karena alasan kesehatan yang dikaitkan dengan kandungan nutrisinya.
3.
kemungkinan adanya hambatan perdagangan yang bersifat non tarif
barrier karena alasan persyaratan standar internasional mengenai mutu, manajemen prosesing dan aspek ekologis. 4.
pertumbuhan industri sejenis di berbagai daerah di dalam negeri juga menyebabkan adanya persaingan yang harus diperhitungkan
IV.6.5. Eksternalitas Lingkungan Setiap kegiatan industri berpeluang menyebabkan dampak lingkungan dalam bentuk eksternalitas pasar (market eksternality) dan degradasi lingkungan (environmental degradation). Kedua hal tersebut dapat dikelompokan sebagai faktor eksternalitas lingkungan. Eksternalitas negatif timbul ketika kegiatan produksi dan konsumsi dari satu pihak mempengaruhi kegunaan dari pihak lain secara tidak diinginkan dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan konpensasi terhadap pihak yang terkena dampak (Fauzi 2004; Pearson 2005). Ketika diamati aktifitas agroindustri unggulan berbasis kelapa memperlihatkan dampak yang sifatnya pecuniary (pecuniary eksternalities) karena aktifitas ekonominya mempengaruhi kondisi finansial pihak lain, atau dapat dijelaskan sebagai berikut: kenaikan harga produk minyak kelapa akan mempengaruhi kenaikan harga bahan baku (raw material) kelapa (dampak positif terhadap petani kelapa, tetapi juga mempengaruhi kenaikan biaya input produksi keseluruhan industri berbasis kelapa. Menurut Fauzi (2004) eksternalitas tipe pecuniary tidak harus menyebabkan alokasi sumber daya yang salah.
125
V. SIMPULAN Model MS-PAW adalah integrasi berbagai konsep yang berkaitan dengan manajemen stratejik, agroindustri dan potensi wilayah dengan pendekatan berbagai metode analisis yang dapat menghasilkan elemen-elemen kunci bagi perumusan strategi pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah, menganalisis ketersediaan sumber daya dan menyusun skenario pengembangan. Metode Indeks Agroindustri (IA) yang memanfaatkan jenis data kuantitatif dapat digunakan untuk penentuan peringkat unggulan agroindustri walaupun hasilnya sangat dipengaruhi oleh banyaknya peubah yang teridentifikasi sebagai input model. Berdasarkan peubah luas lahan, produksi, besaran investasi dan tenaga kerja dari keseluruhan agroindustri yang teridentifikasi, menempatkan agroindustri berbasis bahan baku kelapa sebagai unggulan teratas. Analisis unggulan produk menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) menunjukkan bahwa produk minyak kelapa menempati unggulan teratas diikuti tepung kelapa, sabut kelapa, mebel batang kelapa dan arang tempurung. Formulasi strategi yang dilakukan terhadap agroindustri berbasis kelapa dengan memanfaatkan alat analisis Analytical Hierarchy Process (AHP),
Interpretative Structural Modeling (ISM) dan analisis SWOT, menetapkan potensi pasar sebagai sub-elemen kunci pendukung pengembangan; keterbatasan sumber daya teknologi dan keterbatasan finansial sebagai sub-elemen kunci penghambat pengembangan; pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah dan pemilihan skala usaha sebagai sub-elemen kunci strategi pengembangan; lembaga pembiayaan dan pemerintah pusat maupun daerah sebagai sub-elemen kunci pelaku pengembangan; kebutuhan manajemen stratejik dan peningkatan sumber daya teknologi sebagai sub-elemen kunci kebutuhan pengembangan. Kajian terhadap sub-elemen kunci yang dijadikan fokus pengembangan merumuskan prioritas strategi pengembangan agroindustri terpadu (secara horisontal yaitu melalui diversifikasi produk dan secara vertikal yaitu integrasi pada berbagai tingkatan usaha dari hulu sampai hilir) yang dilakukan melalui pengembangan skala usaha kecil / mikro dengan memanfaatkan keunggulan penerapan teknologi transisi. Untuk memenuhi target pasar tujuan ekspor, dibutuhkan kemitraan pelaku agroindustri dalam bentuk aliansi strategis
126
dan mengupayakan / memanfaatkan peluang adanya kebijakan investasi melalui PMA maupun PMDN. Berdasarkan analisis Matriks Interaksi Ketersediaan untuk menduga keterbatasan sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya sosial (SDS) dan sumber daya teknologi (SDT) pada lokasi pengamatan yaitu Kecamatan Tumpaan, Tenga, Sinonsayang, Touluaan dan Tombasian di Kabupaten Minahasa Selatan; Kecamatan Airmadidi, Kauditan dan Dimembe Barat di Kabupaten Minahasa Utara, maka kendala yang paling dominan adalah implementasi dari fokus pengembangan pola Kemitraan / aliansi, Pasar tujuan ekspor, Investasi (PMA / PMDN) dan Teknologi transisi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya secara keseluruhan masih belum maksimal terutama yang paling terbatas adalah SDT. Evaluasi terhadap strategi pengembangan menunjukan bahwa perlu dilakukan usaha pengembangan terhadap aspek ketersediaan sumber daya, aspek ketersediaan bahan baku agroindustri, aspek perbaikan proses, aspek pasar dan evaluasi
lingkungan
strategis,
dengan
merumuskan
berbagai
skenario
pengembangan agroindustri yang diperlukan untuk meninjau kembali formulasi strategi maupun implementasinya. Skenario pengembangan lebih dititikberatkan pada pengembangan sumber daya pada berbagai tipologinya, skenario pengembangan bahan baku dengan melihat kondisi real dan ideal berkaitan dengan luas lahan dan produksi agar dapat memenuhi kebutuhan bahan baku sesuai kapasitas terpasang industri berbasis kelapa yang ada di Sulawesi Utara. dan skenario pengembangan pasar dengan memperhatikan berbagai ancaman yang dapat menjadi faktor penghambat dapa pengembangan pasar agroindustri di Sulawesi Utara.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan: 1. Perlu
diupayakan
adanya
wadah
yang
menghimpun
pengusaha
agroindustri kecil / mikro untuk meningkatkan efisiensi kegiatan operasionalnya terutama pemasaran produk dan standardisasi mutu
127
2. Perlu diupayakan tersedianya lembaga pembiayaan yang mudah diakses, berada di sekitar unit-unit agroindustri dengan aturan penjaminan yang disederhanakan 3. Perlu diupayakan tersedianya lembaga sumber informasi yang secara cepat dapat menyediakan informasi mengenai situasi pasar,
kecenderungan
(trend) permintaan yang tinggi terhadap produk tertentu, juga informasi mengenai program-program pengembangan baik lokal maupun secara nasional 4. Kontribusi peran Perguruan Tinggi dan Balai Penelitian perlu ditingkatkan terutama keterlibatannya dalam pengembangan teknologi dan inovasi, menyiapkan tenaga kerja profesional juga dapat menyiapkan strategi manajemen yang sesuai kebutuhan. Pada penelitian ini model manajemen stratejik hanya dikembangkan dengan kajian khusus agroindustri yang menempati peringkat unggulan teratas, tetapi pada dasarnya model dapat dikembangkan untuk kajian agroindustri secara keseluruhan sehingga memungkinkan diperoleh model strategi pengembangan secara menyeluruh dalam mengoptimalkan potensi agroindustri dari wilayah kajian.
128
VI. DAFTAR PUSTAKA APCC 2005. Asian and Pacific Coconut Community. Arkeman Y dan Liana A. 2002. Pengendalian kualitas pada proses kertas medium di PT Indah Kiat Pulp & Paper Serang Mill. J Tek Ind Pert 12: 27-36. Asch D dan Bowman C. 1994. Readings in Strategic Management. London: The MacMillan Press Ltd. In association with The Open University. Aunudin 2005. Statistika: Rancangan dan Analisis Data. Bogor: IPB PRESS. Austin JE. 1981. Agroindustrial Project Analysis. EDI Series in Economic Development. Baltimore and London: The John Hopkins University Press. BALITKA. 2004. Laporan Tahunan 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Manado: BALITKA Barry F and Hannan A 2001. FDI and the Predictive Powers of Revealed Comparative Advantage Indicators. Department of Economics and Institute for the Study of Social Change University College Dublin Barlas Y. 2002. System dynamics: systemic feedback modeling for policy analysis. In Knowledge for Sustainable Development- An Insight into the Encyclopedia of Life Support System. UNESCO-EOLSS: Paris and Oxford, pp. 1131-1175. Boseman G. and Phatax A. Strategic Management. 1989. 2nd edition, John Wiley & Sons. BPS. 2004. Volume dan Nilai Eksport Primer Perkebunan. Ditjen Bina Produksi Perkebunan. http://www.deptan.go.id/ditjenbun/ Brelin HK. Davenport KS. Jennings LP. Murphy PE. 1997. Focused Quality. Meningkatkan Mutu Produk dengan Hasil Nyata. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Brown JG. Deloitte & Touche. 1994. EDI Development Studies: Agroindustrial Investment and Operations. Washingtion, D.C: The World Bank. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis: Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Chatab N. 1997. Mendokumentasi Sistem Mutu Penerbit ANDI
ISO 9000. Yogyakarta:
Das TK, Teng B. 1998. Resource and risk management in the strategic aliance making process. Journal of Management 24(1):21-42.
129
David FR. 2002. Concepts of Strategic Management. Edisi Bahasa Indonesia, penerjemah: Alexander S. Jakarta: PT Prenhallindo dan Pearson Education Asia Pte. Ltd. Dedi Mulyadi (2001). Rancang Bangun Strategi Terpadu Agroindustri Rotan. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. De Soto H. 2006. The Mystery of Capital. Penerjemah: Pandu Aditya dan Tim. Jakarta: Penerbit Qalam. DEPERINDAG. 2000. Kebijakan Nasional Sektor Industri. Jakarta: Departemen Perindustrian dan Perdagangan. DEPTAN. 2003. Sektor Pertanian Tumbuh Menggembirakan. http://www.deptan.go.id/berita/ DEPTAN. 2006. Statistik perkebunan Indinesia. Jakart: Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan Dirgantoro C. 2001. Manajemen Stratejik: Konsep, kasus dan implementasi. Jakarta: PT Gramedia. DPKKT 2004 Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Andalan. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal. Jakarta: Info Kajian Bappenas 1: 74-86 Domínguez. 2002, Website http://www.mtnforum.org/bgms Dowling ET. 2001. Intruduction to Mathematical Economics. New York: McGraw-Hill Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Fauzi AM. 2003. Kelembagaan Yang Handal Untuk Kemajuan Agroindustri di Bogor. http://www. beritaiptek.com Fauzi Akhmad 2004. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Flood RL dan Jackson MC. 1991. Creative Problem Solving. Total systems intervention. Chichester: John Wiley & Sons. Gaspersz 1992. Analisis Sistem Terapan. Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Bandung: Penerbit TARSITO.
130
Gaspersz V. 1997. Konsep Vincent. Manajemen Bisnis Total. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Gittinger J P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Jakarta: UIPress. Gumbira-Sa’id E, Rachmayanti, MZ Muttaqin. 2001. Manajemen Teknologi Agribisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hansen RS dan Hansen K. 2005. Using Analysis SWOT in Your Career Planing. http://www.marketingteacher.com/Lessons/lesson_swot.htm Hitt MA, Ireland RD, Hoskisson RE. 2001. Strategic Management: Competitiveness and Globalization. South-Western College Publishing. Jakarta: Edisi bahasa Indonesia oleh Thomson Learning Asia dan PT Salemba Empat. Hubeis M. 1993. Makalah Peringatan Tri-dasawarsa FATETA-IPB Bogor. Irawadi J, Arkeman Y, Fajarsari I.M. 2002. Formulasi strategi pemasaran produk kosmetika tradisional melalui analisis internal dan eksternal perusahaan. J Tek Ind Pert 12: 51-57. Irawadi J, Arkeman Y, Nugraha A. 2002. Studi pengembangan minyak pala (nutmeg oil) di Kabupaten Bogor. J Tek Ind Pert 12: 25-34. Isard W, Azis IJ, Drennan MP, Miller RE, Saltzman S, Thorbecke E. 1998. Methods of Interregional and Regional Analysis. Aldershot: Ashgate Publishing Limited. Karya Manunggal 2003 Identifikasi Kebutuhan Prasarana dan Sarana Kimpraswil Untuk Mendukung Kawasan Agropolitan Provinsi Sulawesi Utara. Manado: Departemen Kimpraswil. Kojanus M, Kurttila M, Kangas J, Pesonen M. 2001. Applying A’WOT to choose a management strategy for the forest holding owned by private partnership. Britain: Working paper presented at Grass Roots Conference. Kolarik W J. 1995. Creating Quality: Concepts, Systems, Strategies, and Tools. New York: McGRAW-HILL. Lea E, Kenny B, Sanderson S, Luffman GA. 2006. Strategic Management: An Analytical Introduction. Blackwell Publishing. http://books.google.co.id/books=strategic+management Lootsma FA. 1996. Multi-Criteria Decision Analysis. Netherlands: Faculty of Technical Matematics and Informatics, Delf University of Technology.
131
Ma’arif M.S, Tanjung H. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Machfud. 2001. Rekayasa model penunjang keputusan kelompok dengan fuzzylogic untuk system pengembangan agroindustri minyak atsiri [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Manktelow J. 2004. SWOT Analysis. www.mindtools.com/pages/article/new Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP dengan Criterium Decision Plus. Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor: IPB Press. Martani Huseini. 1999. Mencermati Misteri Globalisasi: Menata-ulang strategi pemasaran internasional Indonesia melalui pendekatan Resource Based. Pidato pengukuhan Guru Besar Bidang Marketing Internasional Universitas Indonesia. Depok: UI McLeod R. Jr. 2001. Sistem Informasi Management. Versi bahasa Indonesia. Jakarta: PT Prenhallindo. McNamee PB. 1992. Strategic Management. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd. Miller A dan G.G. Dess. 1996. Strategic Management. New York: The McGrawHill Companies, Inc. Miller RE, Blair PD. 1985. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Moleong LJ. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nasution AH. 2006. Manajemen Industri. Yogyakarta: Penerbit ANDI. NetMBA.com. 2006. Scenario Planing. http://www.netmba.com/strategy/scenario/ Nickols F. 2000. Strategy: Definition and Meaning. http://home.att.net/nickols/strategy definition.htm Pakpahan A. 2005. Agrobisnis Prospektif. Ditjen Perkebunan Dephutbun. http://www.indomedia.com/bernas/2005/05/UTAMA/ Pearson S, Gotsch C, Bahri S. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
132
Ramanathan K. 1993. Industrial Technology Indicators Manual. UNDP-UNESCO Project. Jakarta: Center for analysis of science & technology development (PAPITEK), Indonesian Institute of Science (LIPI). Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Root FR dan Visudtibhan, K. 1992. International Strategic Management: Challenges and Opportunities. Washington: Taylor & Francis. Saaty T L. 1982. Decision Making for Leaders. Belmont, California: Lifetime Learning Publications. Saaty T L. 1996. Decision Making with Dependence and Feedback. The Analytic Network process. Pittsburgh, USA: RWS Publications. Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. ________ . 2001. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. Shrivastava P. 1994. Strategic Management: Concepts & Practices. Cincinnati Ohio: South-Western Publishing Co. Shukla A. 2000. Regional Planning and Sustainable Development. New Delhi: Kanishka Publishers Distributors. Siagian SP. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara. Simposium Nasional Agroindustri II. 1987. Memasyarakatkan hasil pemikiran dan penelitian dalam pengembangan agroindustri menyongsong era industri. Prosiding. Bogor: Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB. Singer J. 2005. Logarithm. Microsoft Encarta Reference Library. Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sondakh L W. 2001. Issue kontemporer dan strategi pembangunan ekonomi regional, pada era otonomi: Studi kasus Sulawesi Utara. Makalah seminar disampaikan pada Seminar Nasional Tantangan dan Peluang Pembangunan Sulawesi Utara dalam Perspektif Otonomi Daerah. Diselenggarakan oleh Wacana – IPB. Bogor. Sumardjo J Sulaksana dan WA Darmono. 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya
133
Stahl MJ dan Grigsby DW. 2006. Strategic Management: Total Quality and Global Competition. Blackwell Publishing. Strategic Management Society. 2002. http://www.smsweb.org/index.html Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit ALFABETA. Umar H. 2005. Strategic Management in Action. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Warouw 2002 Pengkajian Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIM-BUN) Kelapa Khusus Pantai Barat Minahasa. Manado: Laporan Penelitian Tim, kerjasama Unsrat, Bapelitbang dan Disbun Sulut. Whitten JL, Bentley LD, Dittman KC. 2004. System Analysis and Design Methods. penerjemah: Tim penerjemah ANDI. Yogyakarta: kerjasama Penerbit ANDI dan McGraw-Hill Education. www.deptan.go.id/ BPS. 2004.
134
II. LAMPIRAN Lampiran 1 Penduduk Sulawesi Utara sesuai Wilayah Kabupaten/ Kota Wilayah
Pria
Wanita
Jumlah
1 2 3 4 5 6
Kab. Bolaang Mongondow 235815 227330 Kab. Minahasa* 430224 404416 Kab. Sangihe 95868 97242 Kab. Talaud 39584 39360 Kota Manado 213802 202969 Kota Bitung 82725 84900 Total 1098018 1056217 Sumber: BPS Sulut 2004 *) = total Kab. Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kota Tomohon.
463145 834640 193110 78944 416771 167625 2154235
Lampiran 2 Seleksi unggulan agroindustri Bahan Baku Kelapa Cengkih Pala Panili Kopi Kakao Jambu mete Hewan Cassiavera Lada
ILL
IPR
IIN
ITK
9 7 7 7 7 7 5 5 4
9 7 6 5 6 6 5 5 4 1
9 8 8 8 7 -
9 9 8 7 8 7 5 2 5 5
Total Indeks 36 31 29 19 29 20 15 14 14 10
Rangking 1 2 3 5 3 4 6 7 7 8
Lampiran 3 Seleksi unggulan produk agroindustri Penetapan dan pembobotan kriteria No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kriteria Kondisi Bahan Baku Daya Serap Tenaga Kerja Nilai Tambah Produk Teknologi Tersedia Kondisi Tenaga Kerja Potensi Pasar Kondisi Sosial Budaya Dampak Terhadap Lingkungan Keberlanjutan Profitabilitas
Bobot 7 5 6 8 8 9 4 6 4 7
Rating potensial menggunakan nilai terendah 1 sampai dengan nilai tertinggi 9. Kriteria yang dipilih dibatasi pada kriteria dengan bobot 5 sampai dengan 9.
135
Total nilai dan prioritas produk unggulan Produk
A
B
C
D
402465690
413080274
139405158
12989632
Prioritas
(2)
(1)
(3)
(6)
Produk
E
F
G
14669928
3063494
136488405
(5)
(7)
(4)
Total Nilai
Total Nilai Prioritas
Lampiran 4 Penyerapan tenaga kerja pada agroindustri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komoditas
Dalam perusahaan tetap/ lepas 4780 497 316 170 no no no no no 10
Tenaga Kerja Luar perusahaan unit/ha* luas (ha) jumlah 0,5 263930 131965 2 40610 81220 1 16910 16910 1,5 7508 11262 1 7310 7310 1,5 5724 8586 1 574 574 1 495 495 1 240 240 1/ut* 0
Kelapa Cengkih Pala Kopi Kakao Panili Jambu Mete Cassiavera Lada Kulit hewan Total *) Estimasi berdasarkan Survey Pakar. no = tidak ada data ut = unit usaha ternak (sapi potong/ 50 ekor; kambing/ 200 ekor)
Jumlah 136745 81717 17226 11432 7310 8586 574 495 240 10
136
Lampiran 5 Evaluasi lingkungan strategis – analisis SWOT No
1
Analisis SWOT Sub-elemen dari Elemen Kekuatan
Bobot (nilai tertinggi sd terendah = 9 sd 1) P1 P2 P3 Σ
Rangk
Ketersediaan lahan yang sesuai komoditas unggulan Kesesuaian iklim untuk pertumbuhan tanaman kelapa Posisi geografis yang startegis untuk pasar luar negeri dan Indonesia Timur Sifat kepemilikan lahan pertanian sebagai petani pemilik Dukungan kelembagaan pemerintah terutama instansi terkait Dukungan organisasi sosial masyarakat pada aktivitas agroindustri Sifat lahan perkebunan kelapa yang sekaligus dapat dimanfaatkan untuk lokasi industri Keterampilan akibat pengalaman budaya tani yang memadai
9
8
8
25
1
6
5
6
17
6
7
8
7
22
3
8
9
8
25
1
7
6
6
19
5
5
4
5
14
7
6
5
6
17
6
7
8
8
23
2
9
Modal kerja relatif kecil
6
5
6
17
6
10
Kemampuan masyarakat menerima inovasi baru ditunjang tingkat pendidikan yang memadai Teknologi yang dibutuhkan relatif sederhana Tersedianya tenaga kerja pada sektor perkebunan dengan upah rendah
7
7
8
22
3
5
4
5
14
7
4
4
5
13
8
13
Besaran produksi komoditas unggulan yang mampu memenuhi keanekaragaman produk agroindustri
6
7
7
20
4
14
Produktivitas usaha tani kelapa
5
7
6
18
6
2 3
4 5 6
7
8
11 12
137
No
1
2 3
4
5 6 7 8
9 10
11
12
13
Analisis SWOT Sub-elemen dari Elemen Kelemahan
Karakteristik bahan baku maupun agroindustri yang makan tempat dan mudah rusak Penyimpanan dan pengolahan awal bahan baku belum memadai Teknologi budidaya yang menjamin mutu tanaman kelapa belum dipahami dengan baik oleh petani Kurangnya tenaga ahli/ manajerial khusus prosesing dan pengendalian mutu Keterbatasan modal (dukungan finansial untuk pengembangan usaha) Harga pasokan bahan baku utama dan bahan pendukung tidak stabil Dukungan konsep strategi pengembangan yang belum memadai Usaha agroindustri pada skala kecil / mikro belum didukung motivasi yang kuat Keterbatasan akses informasi khusus akses pasar Sistem pemasaran belum menjamin terserapnya keseluruhan produksi agroindustri Keterbatasan sumber daya pembangunan/ teknologi terutama infrastruktur yang menjangkau sampai ke pedesaan Variasi produk yang relatif besar mempengaruhi prioritas pemanfaatan bahan baku Belum adanya standar upah tenaga kerja yang menjamin kesepakatan antara pemilik dan pekerja agroindustri
Bobot (nilai tertinggi sd terendah = 9 sd 1) P1 P2 P3 Σ
Rangk
6
6
6
18
5
6
5
6
17
6
5
5
5
15
7
7
8
7
22
2
6
7
6
20
3
5
4
5
14
8
8
9
8
25
1
5
4
5
14
8
6
6
7
19
4
4
6
5
15
7
7
8
7
22
2
4
4
5
13
9
4
5
4
13
9
138
No
1
Analisis SWOT Sub-elemen dari Elemen Peluang
Bobot (nilai tertinggi sd terendah = 9 sd 1) P1 P2 P3 Σ
Rangk
Potensi pasar lokal, regional dan terutama pasar global Perkembangan variasi produk yang menyebabkan peningkatan permintaan baik jumlah maupun variasi produk agroindustri Penyerapan tenaga kerja yang relatif besar terutama pada bagian hulu Adanya penetapan kebijakan program unggulan Prov. Sulut Peluang pengembangan berbagai jenis lapangan kerja Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah Ditetapkannya agroindustri sebagai sasaran pengembangan nasional sektor pertanian
8
7
8
23
2
7
7
7
21
3
4
4
5
13
8
8
8
9
25
1
4
5
5
14
7
6
7
6
19
5
6
6
7
19
5
8
Peluang peningkatan pendapatan daerah
5
5
6
16
6
9
Peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat Adanya program peningkatan sarana transportasi dan program peningkatan fungsi Pelabuhan laut/ udara Peluang pemanfaatan lahan perkebunan kelapa untuk usaha difersifikasi pertanian
5
6
5
16
6
7
7
6
20
4
4
5
5
14
7
2
3 4 5 6 7
10
11
139
No
Analisis SWOT Sub-elemen dari Elemen Ancaman
Bobot (nilai tertinggi sd terendah = 9 sd 1) P1 P2 P3 Σ
Rangk
1
Belum ada jaminan harga yang stabil
6
7
7
20
3
2
Kekuatan pesaing internasional yang lebih dahulu maju pada beberapa produk Serangan hama penyakit pada tanaman kelapa sebagai sumber bahan baku Hambatan perdagangan internasional ( tariff barriers & non tariff barriers) Belum adanya aturan yang menjamin ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk jangka waktu tertentu (lama) Kualitas sumber daya alam yang terus menurun Kekuatan pesaing nasional pada basis bahan baku yang sama (dampak Otda) Kekhawatiran pelaku agroindustri karena adanya program yang menyebabkan alih fungsi lahan perkebunan Kekhawatiran pelaku agroindustri terhadap kelangsungan industrinya akibat penilaian aspek lingkungan Sistem birokrasi yang belum menjamin kegairahan investasi
6
6
7
19
4
6
5
5
16
5
7
6
7
20
3
4
4
5
13
6
8
7
8
23
1
7
7
8
22
2
4
3
4
11
7
3
4
4
11
7
7
6
7
20
3
3
4 5
6 7
8
9
10
140
Lampiran 6 Strukturisasi sistem pengembangan dengan ISM 1. Elemen Pendukung Pengembangan ( S + O ) Matriks SSIM–VAXO elemen pendukung pengembangan p-12
p-11
p-10
p-9
p-8
p-7
p-6
p-5
p-4
p-3
p-2
p-1 p-2 p-3 p-4
O X A A
V O A V
V X X V
V V V O
A A O V
X V O O
A O O V
X V X X
A O A
V V
A
p-5 p-6 p-7 p-8 p-9 p-10
V X X V V A
V X X V V V
V V A V V
O X O V
A O A
V V
X
p-11
X
p-1
p-12
Reachability Matrix (RM) elemen pendukung pengembangan p-1
p-2
p-3
p-4
p-5
p-6
p-7
p-8
p-9
p-10
p-11
p-12
0
1 1
0 0 0
1 0 1 1
0 0 0 1 1
1 1 0 0 1 1
0 0 0 1 0 0 0
1 1 1 0 0 1 0 1
1 1 1 1 1 1 0 1 1
1 0 0 1 1 1 1 1 1 1
0 1 0 0 1 1 1 1 1 0
p-1 p-2 p-3 p-4 p-5 p-6 p-7 p-8 p-9 p-10
1 0 1 1 1 1 1 0 0
0 0 0 0 0 1 0 1
1 1 0 0 0 0 1
1 0 0 0 0 0
1 0 1 0 0
0 0 1 0
1 0 1
0 0
0
p-11
0
0
1
0
0
1
1
0
0
0
p-12
0
1
1
1
0
1
1
0
0
1
1 1
141
Hasil Reachability Matrix Final elemen pendukung pengembangan SIMBOL PROGRAM
KAITAN ANTAR SUB-ELEMEN PENDUKUNG SISTEM PENGEMBANGAN p1
p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11 p12 D L
p2
p3
p4
p5
p6
p7
p8
p9
p10
p11
p12
1
1 1
1 1 0
1 0 1 1
0 0 0 1 1
1 1 0 0 1 1
0 0 0 1 0 0 0
1 1 1 0 0 1 0 1
1 1 1 1 1 1 0 1 1
1 0 0 1 1 1 1 1 1 1
0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1
1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 6 4
0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7 3
1 1 1 0 1 1 1 1 1 10 1
1 1 1 0 0 0 0 1 6 4
1 0 1 0 0 0 0 5 5
0 1 1 0 0 1 5 5
1 1 1 1 1 9 2
1 0 1 0 3 6
0 0 0 5 5
0 1 9 2
1 9 2
DP
R
8 7 3 8 9 9 4 10 9 4 4 7
3 4 6 3 2 2 5 1 2 5 5 4
7 3
Elemen Penghambat, Strategi, Pelaku dan Kebutuhan dianalisis dengan prosedur yang sama: 2. Elemen Penghambat Pengembangan Matriks SSIM – VAXO elemen penghambat pengembangan
k-1 k-2 k-3 k-4 k-5 k-6 k-7 k-8 k-9 k-10 k-11 k-12
k-12 A O O X V V A A V V A
k-11 V V A O V V A O V O
k-10 V V O V V V V V O
k-9 V V V VO V V V V
k-8 V O O V V V O
k-7 O O O V O X
k-6 O O A X O
k-5 V X A A
k-4 A V O
k-3 O O
k-2 X
k-1
142
3. Elemen Strategi Pengembangan Matriks SSIM – VAXO elemen strategi pengembangan s-1 s-2 s-3 s-4 s-5 s-6 s-7 s-8 s-9 s-10
s-10 V V O V X V V V X
s-9 X O X O A A A X
s-8 V A A V O O V
s-7 V A A V A A
s-6 V A O V A
s-5 V V V V
s-4 A A A
s-3 O V
s-2 A
s-1
4, Elemen Pelaku Pengembangan Matriks SSIM – VAXO elemen pelaku pengembangan m-1 m-2 m-3 m-4 m-5 m-6 m-7 m-8 m-9 m-10 m-11
m-11 O O V V V X V V A O
m-10 A A A A X A V V X
m-9 O A O V V V V X
mt-8 A O A A O O A
m-7 A O A O A A
m-6 V A O A A
m-5 V O V X
m-4 O A V
m-3 X X
m-2 X
m-1
5. Elemen Kebutuhan Pengembangan Matriks SSIM – VAXO elemen kebutuhan pengembangan u-1 u-2 u-3 u-4 u-5 u-6 u-7 u-8 u-9 u-10
u-10
u-9
u-8
u-7
u-6
u-5
u-4
u-3
u-2
X A A X O A O A A
V V O V A V V O
V V A V O V V
X A A X A O
O X A A V
O V V V
O V O
A V
V
u-1
143
Lampiran 7 Analisis Keputusan Kelompok dengan AHP Pembobotan Kriteria (dilakukan secara manual terhadap data 2 renponden) Kriteria: A = Potensi Pasar, B = Dukungan Kebijakan, C = Ketersediaan Sumber daya, D = Pemodalan dan Sumber Responden 1: Kriteria
A
A
B
C
D
2
1/4
1/2
1/6
1/4
B C
2
D
Responden 2. Kriteria
A
A
B
C
D
1
1/6
1
1/7
1/2
B C
4
D
Matriks Gabungan Kriteria
A
B
C
D
NE
WV
CV
A
1,000
1,732
0,645
1,225
0,210
1,054
5,019
B
0,577
1,000
0,556
0,866
0,201
0,712
3,542
C
1,550
1,799
1,000
2,449
0,389
1,566
4,026
D
0,816
1,155
0,408
1,000
0,200
0,762
3,810
Σ=
π = 4,099
CI = 0,033
16,397
CR = 0,037
RCI : untuk n = 4 adalah 0,90 Nilai CR < 0,10 ------- perbandingan berpasangan konsisten. NE = nilai eigen sampai iterasi ke 2. Nilai Eigen mengindikasikan urutan peran (pentingnya) Kriteria sbb: Ketersediaan Sumber daya, kemudian Potensi Pasar, Dukungan Kebijakan, Pemodalan dan Sumber.
144
Iterasi 1. 1.000
1,732
0,645
1,225
1.000
1,732
0,645
1,225
0,577
1.000
0,556
0,866
0,577
1.000
0,556
0,866
1,550
1,799
1.000
2,449
1,550
1,799
1.000
2,449
0,816
1,155
0,408
1.000
0,816
1,155
0,408
1.000
X
= Σ 3,999
6,039
2,753
5,530
18,321
2,722
4,000
2,337
3,800
12,859
6,136
7,282
3,999
8,355
25,772
2,931
4,457
1,985
3,999
13,372 70,324
Σ
Iterasi 2. 3,999
6,039
2,753
5,530
3,999
6,039
2,753
5,530
2,722
4,000
2,337
3,800
2,722
4,000
2,337
3,800
6,136
7,282
3,999
8,355
6,136
7,282
3,999
8,355
2,931
4,457
1,985
3,999
2,931
4,457
1,985
3,999
X
= Σ 66,504
93.000
21,986
45,116
226,606
52,360
66,400
33,730
64,970
217,460
93,386
132,542
66,487
128,427
420,842
47,754
67,807
34,361
65,722
215,644 Σ
1080,552
Hasil Normalisasi 1
Hasil Normalisasi 2
1-2
18,321 / 70,324 = 0,261
226,606 / 1080,552 = 0,210
0,261-0,210 = 0,051
12,859 / 70,324 = 0,183
217,460 / 1080,552 = 0,201
0,183-0,201 = -0,018
25,772 / 70,324 = 0,366
420,842 / 1080,552 = 0,389
0,366-0,389 = -0,023
13,372 / 70,324 = 0,190
215,644 / 1080,552 = 0,200
0,190-0,200 = -0,010
Selanjutnya untuk pembobotan alternatif maka data survei pakar dianalisis menggunakan perangkat lunak komputer: Criterium Decision Pluss Versi 2.0 (CDP 2.0) dengan metodel full pairwise. Data survei pakar untuk pembobotan alternatif sebagai berikut:
145
Pembobotan Alternatif 1) Alternatif Basis Pengembangan Agroindustri Alternatif: A = Basis Komoditas Bahan Baku, B = Basis Permintaan Pasar/ Investasi, C = Basis Pengembangan Kawasan Kriteria : Ketersedian Sumber daya Alternatif
A
A
B
C
1
1/2
B
1/3
C
Kriteria : Potensi Pasar Alternatif
A
A
B
C
1/3
1
B
2
C
Kriteria : Dukungan Kebijakan Alternatif
A
A
B
C
2
1/2
B
1/3
C
Kriteria : Pemodalan dan sumber Alternatif
A
A
B
C
2
1/3
B
1/3
C
Pembobotan Alternatif 1a) Alternatif Basis Pengembangan Kawasan Agroindustri Sub-Alternatif: A = Basis KIMBUN, B = Basis Agropolitan, C = Basis Kluster Industri, D = Basis Agrin Terpadu Sub-Alternatif A B C D
A
B
C
D
1
3
7
3
7 5
146
2) Alternatif Skala Usaha Agroindustri Alternatif: A = Skala Usaha Besar, B = Skala Usaha Menengah, C = Skala Usaha Kecil/ Mikro Kriteria: Pemodalan dan Sumber Alternatif
A
A
B
C
1
5
B
5
C
Kriteria: Potensi Pasar Alternatif
A
A
B
C
2
3
B
2
C
Kriteria: Dukungan Kebijakan Alternatif
A
A
B
C
1
1/3
B
1/3
C
Kriteria: Ketersediaan Sumber daya Alternatif
A
A
B
C
1/2
1/2
B
1
C
3) Alternatif Kelembagaan Agroindustri Alternatif: A = Pola Konvensional, B = Pola Sosial Budaya, C = Sistem Aliansi/ Kemitraan Kriteria: Potensi Pasar Alternatif A B C
A
B
C
1
1/3 1/3
147
Kriteria: Dukungan Kebijakan Alternatif
A
A
B
C
1/2
1/3
B
1/2
C
Kriteria: Ketersediaan Sumber daya Alternatif
A
A
B
C
2
2
B
1
C
Kriteria: Pemodalan dan Sumber Alternatif
A
A
B
C
2
1/3
B
1/5
C
4) Alternatif Target Pasar Agroindustri Alternatif: A = Pasar Tujuan Lokal/ Nasional, B = Pasar Tujuan Ekspor Kriteria: Potensi Pasar Alternatif
A
A
B 3
B
Kriteria: Dukungan Kebijakan Alternatif
A
A
B 3
B
Kriteria: Ketersediaan Sumber daya Alternatif A B
A
B 1
148
Kriteria: Pemodalan dan Sumber A
Alternatif
B
A
1/3
B
5) Alternatif Pemodalan Agroindustri Alternatif A = Swadaya, B = Jasa Perbankan, C = Koperasi, D = Investasi (PMA/ PMDN) Kriteria: Potensi Pasar Alternatif
A
A
B
C
D
1/3
1
1/5
2
1/3
B C
1/5
D
Kriteria: Dukungan Kebijakan Alternatif
A
A
B
C
D
1/3
1/2
1/3
2
1
B C
1/2
D
Kriteria: Ketersediaan Sumber daya Alternatif
A
A
B
C
D
3
1
3
1/2
1
B C
2
D
Kriteria: Pemodalan dan Sumber Alternatif A B C D
A
B
C
D
1/3
1
1/3
3
1 1/3
149
6) Alternatif Teknologi Agroindustri Alternatif: A = Teknologi Tradisional, B = Teknologi Standar C = Teknologi Transisi, D = Teknologi Mutakhir Kriteria: Potensi Pasar Alternatif
A
A
B
C
D
1
1/3
1/5
1/2
1/3
B C
1/2
D
Kriteria: Dukungan Kebijakan Alternatif
A
A
B
C
D
1/3
1/3
1/3
1
1
B C
1
D
Kriteria: Ketersediaan Sumber daya Alternatif
A
A
B
C
D
1/3
1/3
1
1
3
B C
3
D
Kriteria: Pemodalan dan Sumber Alternatif A B C D
A
B
C
D
1/3
1/5
1/3
1/3
1 3
150
Hasil pembobotan keseluruhan kriteria dan alternatif sebagai berikut: KRITERIA
SASARAN
ALTERNATIF
BOBOT
1. KETERSEDIAAN SUMBER DAYA ( 0.389 ) 2. POTENSI PASAR ( 0.210 ) 3. DUKUNGAN KEBIJAKAN ( 0.201 ) 4. PEMODALAN DAN SUMBER ( 0.200 )
Pilihan Basis Pengembangan
Basis program kawasan: Basis Kawasan Agrin terpadu Basis KIMBUN Basis Agropolitan Basis Kluster Industri Basis permintaan pasar/ investasi Basis komoditas bahan baku
0.49 0.52 0.20 0.20 0.08 0.26 0.25
Pilihan Skala Usaha
Skala usaha kecil/ mikro Skala usaha menengah Skala usaha besar
0.40 0.35 0.25
Pilihan Kelembagaan
Pola kemitraan/ aliansi Pola sosial budaya Pola konvensional
0.50 0.26 0.24
Pilihan Target Pasar
Pasar tujuan ekspor Pasar tujuan lokal/ nasional
0.58 0.42
Pilihan Pemodalan
Investasi PMA/ PMDN Jasa perbankan Modal swadaya Koperasi
0.32 0.25 0.22 0,21
Pilihan Teknologi
Teknologi transisi Teknologi standar Teknologi mutakhir Teknologi tradisional
0.37 0.27 0.25 0.11
Lampiran 8 Pembobotan Fokus Pengembangan Pembobotan dilakukan terhadap keseluruhan sub-elemen kunci pengembangan (dikelompokan sebagai Fokus pengembangan) melalui penilaian pakar. Hasil analisis melalui rataan penilaian tiga pakar adalah sebagai berikut:
Fokus pengembangan Agroindustri Terpadu Skala UKM Kemitraan/ Aliansi Pasar Ekspor Modal PMA/ PMDN Teknologi Transisi Total:
A 0.20 0.15 0.20 0.14 0.16 0.15 1.00
Pakar B 0.20 0.15 0.14 0.16 0.15 0.20 1.00
C 0.14 0.18 0.20 0.18 0.20 0.10 1.00
Total 0.54 0.48 0.54 0.48 0.51 0.45
Rataan 0.18 0.16 0.18 0.16 0.17 0.15 1.00
151
Lampiran 9 Ketersediaan Sumber daya pada setiap Strategi pengembangan di Minahasa Utara dan Minahasa Selatan Kawasan Agroindustri terpadu / SDM – Minahasa Utara Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Airmadidi 1 1 1 1 0 4
Ketersediaan Kauditan 1 1 1 0 0 3
Dimembe B 1 1 1 0 0 3
Kawasan Agroindustri terpadu / SDA – Minahasa Utara Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Airmadidi 1 1 1 1 1 5
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 1 0 4
Dimembe B 1 1 1 1 0 4
Kawasan Agroindustri terpadu / SDS – Minahasa Utara Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Airmadidi 1 0 1 1 1 4
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 0 1 1 1 4
Dimembe B 1 1 1 0 1 4
Kawasan Agroindustri terpadu / SDT – Minahasa Utara Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Airmadidi 1 0 1 1 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 0 1 0 0 2
Dimembe B 1 0 1 0 0 2
Kawasan Agroindustri terpadu / SDM – Minahasa Selatan Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Tum 1 1 1 1 0 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 3 3 3
Tom 1 1 1 1 0 4
152
Kawasan Agroindustri terpadu / SDA – Minahasa Selatan Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Tum 1 1 1 1 0 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 3 3 3
Tom 1 1 1 1 1 5
Kawasan Agroindustri terpadu / SDS – Minahasa Selatan Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Tum 1 1 1 1 1 5
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 4 4 4
Tom 1 1 1 1 1 5
Kawasan Agroindustri terpadu / SDT – Minahasa Selatan Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Tum 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 0 1 1 0 3
Skala UKM / SDM – Minahasa Utara Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Airmadidi 1 1 1 1 0 4
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 1 0 4
Dimembe B 1 1 0 1 0 3
Airmadidi 1 1 1 1 1 5
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 1 0 4
Dimembe B 1 1 1 1 0 4
Skala UKM / SDA – Minahasa Utara Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
153
Skala UKM / SDS – Minahasa Utara Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Airmadidi 1 1 1 1 1 5
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 1 1 5
Dimembe B 1 1 1 0 1 4
Airmadidi 1 0 1 1 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 0 1 0 0 2
Dimembe B 1 0 1 0 0 2
Skala UKM / SDT – Minahasa Utara Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Skala UKM / SDM – Minahasa Selatan Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Tum 1 1 1 1 0 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 3 3 3
Tom 1 1 1 1 0 4
Tum 1 1 1 1 1 5
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 3 3 3
Tom 1 1 1 1 1 5
Tum 1 0 1 1 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 3 3 4
Tom 1 0 1 1 1 4
Skala UKM / SDA – Minahasa Selatan Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Skala UKM / SDS – Minahasa Selatan Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
154
Skala UKM / SDT – Minahasa Selatan Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Tum 1 1 1 1 0 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 0 1 1 0 3
Kemitraan/ Aliansi / SDM – Minahasa Utara Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Airmadidi 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 0 0 0 2
Dimembe B 1 1 0 0 0 2
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 1 0 4
Dimembe B 1 1 1 1 0 4
Nilai Ketersediaan Kauditan 0 1 1 1 1 4
Dimembe B 0 0 1 1 1 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 0 1 0 0 2
Dimembe B 1 0 1 0 0 2
Kemitraan/ Aliansi / SDA – Minahasa Utara Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Airmadidi 1 1 1 1 1 5
Kemitraan/ Aliansi / SDS – Minahasa Utara Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Airmadidi 0 1 1 1 1 4
Kemitraan/ Aliansi / SDT – Minahasa Utara Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Airmadidi 1 0 1 1 0 3
155
Kemitraan/ Aliansi / SDM – Minahasa Selatan Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Tum 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 4 4 4
Tom 1 1 1 1 1 5
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4 4 4
Tom 0 1 1 1 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 0 1 1 0 3
Kemitraan/ Aliansi / SDA – Minahasa Selatan Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Tum 1 1 1 1 1 5
Kemitraan/ Aliansi / SDS – Minahasa Selatan Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Tum 0 1 1 1 1 4
Kemitraan/ Aliansi / SDT – Minahasa Selatan Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Tum 1 1 1 1 0 4
Pasar tujuan ekspor / SDM – Minahasa Utara Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Airmadidi 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 0 0 3
Dimembe B 1 1 0 0 0 2
156
Pasar tujuan ekspor / SDA – Minahasa Utara Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Airmadidi 1 1 1 1 1 5
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 1 0 4
Dimembe B 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 0 1 1 1 1 4
Dimembe B 0 0 1 1 1 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 0 1 1 0 3
Dimembe B 1 0 1 0 0 2
Pasar tujuan ekspor / SDS – Minahasa Utara Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Airmadidi 0 1 1 1 1 4
Pasar tujuan ekspor / SDT – Minahasa Utara Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Airmadidi 1 0 1 1 0 3
Pasar tujuan ekspor / SDM – Minahasa Selatan Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Tum 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 0 1 1 1 4
Pasar tujuan ekspor / SDA – Minahasa Selatan Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Tum 1 0 1 1 1 4
157
Pasar tujuan ekspor / SDS – Minahasa Selatan Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Tum 0 1 1 1 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 3 3 3
Tom 0 1 1 1 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 0 1 1 1 4
Pasar tujuan ekspor / SDT – Minahasa Selatan Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Tum 1 1 1 0 0 3
Investasi (PMA/ PMDN) / SDM – Minahasa Utara Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Airmadidi 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 0 0 3
Dimembe B 1 1 0 0 0 2
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 1 0 4
Dimembe B 1 1 1 1 0 4
Nilai Ketersediaan Kauditan 0 1 1 1 1 4
Dimembe B 0 0 1 0 1 2
Investasi (PMA/ PMDN) / SDA – Minahasa Utara Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Airmadidi 1 1 1 1 1 5
Investasi (PMA/ PMDN) / SDS – Minahasa Utara Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Airmadidi 0 1 1 1 1 4
158
Investasi (PMA/ PMDN) / SDT – Minahasa Utara Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Airmadidi 1 0 1 1 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 0 1 0 0 2
Dimembe B 1 0 1 0 0 2
Investasi (PMA/ PMDN) / SDM – Minahasa Selatan Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Tum 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 1 1 0 0 3
Investasi (PMA/ PMDN) / SDA – Minahasa Selatan Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Tum 1 1 1 0 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 3 3 3
Tom 1 1 1 0 1 4
Investasi (PMA/ PMDN) / SDS – Minahasa Selatan Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Tum 0 1 1 1 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 3 3 3
Tom 0 1 1 1 1 4
Investasi (PMA/ PMDN) / SDT – Minahasa Selatan Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Tum 1 0 1 1 0 3
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 0 1 1 0 3
159
Teknologi transisi / SDM – Minahasa Utara Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Airmadidi 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 0 0 3
Dimembe B 1 1 0 0 0 2
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 1 1 0 0 3
Dimembe B 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 0 0 1 1 1 3
Dimembe B 0 0 1 1 1 3
Nilai Ketersediaan Kauditan 1 0 1 0 0 2
Dimembe B 1 0 1 0 0 2
Teknologi transisi / SDA – Minahasa Utara Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Airmadidi 1 1 1 0 1 4
Teknologi transisi / SDS – Minahasa Utara Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Airmadidi 0 0 1 1 1 3
Teknologi transisi / SDT – Minahasa Utara Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Airmadidi 1 0 1 1 0 3
Teknologi transisi / SDM – Minahasa Selatan Kriteria Angkatan kerja Tingkat pendidikan memadai Keterampilan/ pengalaman kerja Pelatihan Sekolah khusus Total
Tum 1 1 1 0 0 3
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 1 1 0 0 3
160
Teknologi transisi / SDA – Minahasa Selatan Kriteria Material initi Material pendukung Penanganan material inti Penanganan material pendukung Pasokan Total
Tum 1 1 1 0 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 3 3 3
Tom 1 1 1 0 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 3 3 3
Tom 0 1 1 1 1 4
Nilai Ketersediaan Ten Sin Tou 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Tom 1 0 1 1 0 3
Teknologi transisi / SDS – Minahasa Selatan Kriteria Lembaga formal Lembaga non formal Peran pemerintah Peran swasta Respon masyarakat Total
Tum 0 1 0 1 1 3
Teknologi transisi / SDT – Minahasa Selatan Kriteria Infrastruktur Sistem informasi Alat mekanisasi pertanian Mesin prosesing Alat transport proses produksi Total
Tum 1 1 1 0 0 3
161
Lampiran 10 Negara tujuan ekspor kelapa Indonesia Departemen Pertanian – Pusat Data dan Informasi Pertanian Ekspor KELAPA Pernegara Tujuan Bulan : Desember / 2005 Negara
Volume (Kg) 159,487.00 3,057.00 16,100,173.00 191,847.00 9,020,428.00 151,824.00 7,023,208.00 21,118,545.00 37,250.00 250.00 5,197,738.00 50,644.00 257,400.00 950.00
Nilai (US$) 32,907.00 6,746.00 746,639.00 25,437.00 4,331,201.00 28,444.00 4,985,920.00 7,115,522.00 30,856.00 991.00 258,430.00 28,708.00 166,433.00 2,500.00
UNITED ARAB EMIRATES QATAR BAHRAIN MOROCCO TUNISIA ALGERIA SOUTH AFRICA AUSTRALIA UNITED STATES MEXICO ARGENTINA PERU NETHERLANDS ANTILLES NETHERLANDS FRANCE GERMANY,FED. REP. OF SWEDEN ITALY PORTUGAL GREECE POLAND
76,697.00 24,990.00 12,000.00 12,500.00 1,287,000.00 25,000.00 76,494.00 2,082.00 19,376,270.00 612.00 52,000.00 25,000.00 38.00 31,010,153.00 460.00 5,844,535.00 1,198,525.00 111,500.00 26,000.00 50,146.00 113,000.00
47,835.00 11,870.00 5,700.00 7,875.00 662,435.00 15,750.00 50,752.00 2,602.00 9,798,729.00 302.00 45,370.00 5,000.00 36.00 11,494,187.00 1,283.00 537,920.00 674,170.00 60,996.00 19,500.00 10,129.00 86,130.00
ROMANIA BULGARIA UKRAINE ESTONIA BOSNIA-HERCEGOVINA SLOVENIA RUSSIAN FEDERATION Total
12,500.00 50,000.00 791,472.00 26,000.00 20,000.00 24,494.00 1,988,651.00 121,550,920.00
7,875.00 24,500.00 425,712.00 20,800.00 15,400.00 17,377.00 1,206,037.00 43,017,006.00
JAPAN HONG KONG KOREA, REPUBLIC OF TAIWAN, PROVINCE OF CHINA CHINA THAILAND SINGAPORE MALAYSIA VIET NAM MALDIVES INDIA PAKISTAN IRAN,ISLAMIC REP. OF SAUDI ARABIA
162
Lampiran 11 Ketersediaan bahan baku pada berbagai kondisi produksi dan luas lahan Matriks ketersediaan bahan baku untuk Prov. Sulawesi Utara Skenario pengembangan bahan baku Lokasi: SULUT Ket : kapasitas terpasang industri = 450 000. ton Produksi Ideal 2.8 ton/ ha (ton) Real
1.03 ton/ ha
Luas Lahan (ha) Real
Ideal
263 930
290 323
739 004.00
812 904.40
(kondisi III)
(kondisi IV)
271 847.90
299 032.69
(kondisi I)
(kondisi II)
Matriks ketersediaan bahan baku untuk Kab. Minahasa Utara Skenario pengembangan bahan baku Lokasi: Minahasa Utara (MINUT) Produksi (ton)
Ideal
Real
2.8 ton/ ha
0.7 ton/ ha
Luas Lahan (ha) Real 46 867.33
Ideal 51 554.06
(kondisi III)
(kondisi IV)
131 228.52
144 351.37
(kondisi I)
(kondisi II)
32 807.13
36 087.84
Matriks ketersediaan bahan baku untuk Kab. Minahasa Selatan Skenario pengembangan bahan baku Lokasi: Minahasa Selatan (MINSEL) Produksi (ton)
Ideal
Real
2.8 ton/ ha
1.03 ton/ ha
Luas Lahan (ha) Real Ideal 67161.11 73877.22
(kondisi III)
(kondisi IV)
188 051.11
206 856.22
(kondisi I)
(kondisi II)
69 175.94
76 093.54
163
Lampiran 12 Matriks Interaksi Ketersediaan Model matriks dirumuskan sebagai berikut: S = I(max) I = KxB K = SDmax – T
n T=
Σ SDi i=1
Dari pendekatan diatas diperoleh persamaan: n S = [( SDmax – Σ SDi ) x B ]max i=1 S = nilai sensitivitas ketersediaan SDmax = nilai maksimum sumber daya yang ditetapkan T = ΣSDi = total sumber daya terdata K = kesenjangan = 20 (=SDmax) – ΣSDi B = bobot fokus pengembangan (penilaian pakar) I = interaksi = KxB n = tipe sumber daya (SDM, SDA, SDS, SDT)
Lampiran 13 Validasi Model 1. Rekayasa Model Manajemen Stratejik Validasi dilakukan dengan cara akuisisi pendapat pakar (judgement expert) terhadap struktur model
2. Model Seleksi Unggulan dengan Metode Indeks Agroindustri. Validasi instrumen-konstruksi (construct validity) dilakukan dengan uji beda distribusi t (Uji t). Penggunaan Uji t dimaksudkan untuk melihat signifikansi antara perbedaan nilai indeks keseluruhan peubah dari setiap komoditi dengan rangkingnya, terutama antara unggulan teratas yaitu agroindustri berbasis kelapa dengan agroindustri lainnya. Perbedaan yang signifikan mengartikan bahwa instrumen yang digunakan adalah valid. Uji t menggunakan rumus untuk sampel berpasangan:
t=
√
__ __ X1 – X2 S12 S22 S1 S2 - 2r + n1 n2 √n1 √n2
r=
√
__ __ Σ(x-X1)(x-X2) __ __ Σ(x-X1)2(x-X2)2
164
Bahan Baku Kelapa Pala Cengkih Kopi Kakao Panili Hewan Jambu Mt Cassiavera Lada
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
ILL
IPR
IIN
ITK
ISB
9 7 7 7 7 7 5.8* 5 5 4
9 6 7 6 6 5 5 5 4 1
9 8 8 8 4 4* 7 4 4* 4*
9 8 9 8 7 7 2 5 5 5
3 9 3 2 3 3 4 2 1 2
Total Indeks 39 38 34 31 27 26 23.8 21 19 16
Uji t (kelapa x pala) kelapa
pala 9 9 9 9 3
__ X1 S12
= =
7.8 7.2
__ X2 S22 r = -0.69
7 6 8 8 9 = =
t hitung 0.08
t tabel Level 0.25 df 4 = 0.741 ns
t hitung 2.22
t tabel Level 0.05 df 4 = 2.132 s
7.6 1.3
Uji t (kelapa x cengkih) kelapa
cengkih 9 9 9 9 3
__ X1 S12
= =
7.8 7.2
7 7 8 9 3
__ X3 = S32 = rx1x3 = 0.93
Ho: µ1 ≤ µ3 Ha: µ1 > µ3 Kesimpulan: Ha diterima pada tingkat kesalahan 5 %
6.8 5.2
Uji t (kelapa x kopi) kelapa
kopi 9 9 9 9 3
__ X1 S12
= =
7.8 7.2
__ X4 = S42 = rx1x4 = 0.94
7 6 8 8 2 6.2 6.2
t hitung 3.81
t tabel Level 0.01 df 4 = 3.747 ss
Ho: µ1 ≤ µ4 Ha: µ1 > µ4 Kesimpulan: Ha diterima pada tingkat kesalahan 1 %
Rangking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
165
Hasil uji menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan valid untuk digunakan dalam arti memiliki kemampuan untuk membedakan nilai rangking unggulan dari objek, walaupun dengan jarak nilai yang sedikit lebih luas.
3. Model ketersediaan sumber daya Validasi instrumen-konstruksi (construct validity) dilakukan dengan alat analisis Koefisien Korelasi, untuk melihat kekuatan hubungan antara nilai setiap indikator sumber daya yang dalam penelitian ini adalah: SDM, SDA, SDS, dan SDT dengan nilai totalnya. Instrumen penelitian memiliki konstruksi yang valid apabila nilai koefisien korelasi ≥ 0.30. Pada uji validasi ini digunakan sampel data ketersediaan sumber daya di Kab. Minahasa Selatan. Hasil uji terlihat pada Tabel sbb. No
SDM
SDA
SDS
SDT
n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
X1 4 3 3 4 4 3 3 2 2 3 3 2 3 3 2 3 3 2
X2 5 4 4 5 4 4 5 4 4 5 4 3 5 4 4 4 3 3
X3 4 4 4 5 5 4 4 4 3 4 4 3 4 4 2 3 3 3
X4 3 2 2 3 2 2 3 2 2 3 3 2 3 2 2 3 3 2
T (Y) 16 13 13 17 15 13 15 12 11 15 14 10 15 13 10 13 12 10
Tabel Hasil Perhitungan Pengujian Validitas Konstruksi
sdm sda sds sdt
No r1y r2y r3y r4y
r hitung 0.89 0.82 0.82 0.64
r kritis 0.30 0.30 0.30 0.30
Keputusan valid valid valid valid
Dengan rumus Korelasi Spearman, diperoleh nilai koefisien korelasi untuk setiap indikator sumber daya yang besarnya ≥ 30 sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan valid.
166
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xvii I. PENDAHULUAN........................................................................................... 1 I.1. LATAR BELAKANG ...................................................................................... 1 I.2. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................... 5 I.3. RUANG LINGKUP ........................................................................................ 6 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 7 II.1. AGROINDUSTRI .......................................................................................... 7 II.2. WILAYAH .................................................................................................. 8 II.3. MANAJEMEN STRATEJIK ............................................................................ 9 II.4. BERBAGAI PROGRAM PENGEMBANGAN ..................................................... 14 II.5. LANDASAN TEORI METODE ANALISIS ....................................................... 18 II.5.1. METODE INDEKS AGROINDUSTRI .......................................................... 18 II.5.2. METODE PERBANDINGAN EKSPONENSIAL (MPE) .................................. 19 II.5.3. ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) ............................................... 20 II.5.4. INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELING (ISM)..................................... 22 II.5.5. ANALISIS SWOT .................................................................................. 23 II.5.6. ANALISIS KETERSEDIAAN SUMBER DAYA ............................................... 25 III. METODE PENELITIAN.......................................................................... 26 III.1. KERANGKA PEMIKIRAN........................................................................... 26 III.2. PENDEKATAN SISTEM ............................................................................. 29 III.3. TAHAP PENELITIAN ................................................................................. 34 III.4. TAHAP PERMODELAN .............................................................................. 37 III.4.1. Rekayasa model manajemen stratejik.............................................. 37 III.4.2. Model seleksi unggulan .................................................................. 40 III.4.3. Model evaluasi lingkungan strategis .............................................. 44 III.4.4. Model strukturisasi sistem .............................................................. 45 III.4.5. Model penetapan strategi pilihan ................................................... 47 III.4.6. Model analisis ketersediaan sumber daya........................................ 50 III.4.7. Model skenario pengembangan....................................................... 51 III.5. TEMPAT DAN WAKTU ............................................................................. 53 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 54 IV.1. DESKRIPSI KARAKTER LOKASI ................................................................ 54 IV.2. IDENTIFIKASI POTENSI AGROINDUSTRI WILAYAH ..................................... 54 IV.2.1. Identifikasi berdasarkan luas areal dan produksi ............................. 54 IV.2.2. Identifikasi agroindustri berdasarkan skala investasi. ...................... 58 IV.2.3. Identifikasi agroindustri berdasarkan penyerapan tenaga kerja........ 59
xi 167
IV.3. PENETAPAN AGROINDUSTRI UNGGULAN DAN PRODUK UNGGULAN ........... 60 IV.3.1. Analisis peubah input metode IA ..................................................... 60 IV.3.2. Rangking prioritas unggulan agroindustri ....................................... 63 IV.3.3. Penetapan produk unggulan............................................................ 67 IV.4. FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN .................................................. 69 IV.4.1. Evaluasi lingkungan strategis – analisis SWOT .............................. 70 IV.4.2. Strukturisasi sistem pengembangan - dengan I’SWOT.................... 74 IV.4.3. Analisis hirarki strategi pengembangan - dengan AI’SWOT. ......... 91 IV.5. IMPLEMENTASI STRATEGI PENGEMBANGAN ........................................... 106 IV.5.1. Penetapan lokasi potensial ............................................................ 106 IV.5.2. Penetapan agroindustri kajian ....................................................... 108 IV.5.3. Model ketersediaan sumber daya .................................................. 109 IV.6. EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN ................................................. 113 IV.6.1. Skenario pengembangan ketersediaan sumber daya ...................... 115 IV.6.2. Skenario pengembangan ketersediaan bahan baku ........................ 117 IV.6.3. Skenario pengembangan proses .................................................... 120 IV.6.4. Skenario pengembangan pasar...................................................... 122 IV.6.5. Eksternalitas Lingkungan ............................................................. 124 V. SIMPULAN ............................................................................................... 125 VI. DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 128 II. LAMPIRAN .............................................................................................. 134
168