TINJAUAN TENTANG VIBRIOSIS SAPI DI INDONESIA SUPRODJO HARDJOUTOMO Balai Penefitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O . Box 151, Bogor 16114
PENDAHULUAN Populasi sapi di Indonesia pada tahun 1996 tercatat sebanyak 11 .875 .700 ekor, terdiri dari sapi potong 11 .534 .100 ekor dan sapi perah 341 .600 ekor . Dari populasi tersebut, jumlah sapi yang dipotong untuk konsumsi dalam negeri tercatat sebanyak 1 .696 .400 ekor (BIRO PUSAT STATISTIK, 1997) . Diketahui sejak dulu, bahwa daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani penting yang dikonsumsi rakyat Indonesia . Daging sapi sebagai sumber protein hewani seharusnya tersedia dalam menu sehari-hari penduduk Indonesia, namun belum tercukupi sesuai dengan standar gizi yang ditetapkan . Untuk itu, seperti terlihat di beberapa tempat di Indonesia, antara lain di Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, belakangan ini usaha penggemukan sapi menjadi suatu usaha yang marak peminatnya di antara para pengusaha peternakan kita (OETORO, 1997) . Dalam hubungan itu, karena penyediaan sapi-sapi bakalan lokal untuk digemukkan masih belum mencukupi jumlahnya, maka dalam tahun 1997 diproyeksikan untuk mengimpor sapi bakalan dari Australia sebanyak 308 .200 ekor atau setara dengan 82 .600 ton daging, selain itu masih ditambah dengan impor daging sebanyak 24 .300 ton (SUTIRTO, 1997) . sapi di Upaya peningkatan populasi perbaikIndonesia, antara lain ditempuh dengan an efisiensi reproduksinya. Untuk itu, inseminasi buatan (IB) Teah diperkenalkan pada awal tahun 1952 dan hingga kini masih tetap digalakkan bagi sapi-sapi milik rakyat . Telah menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya, bahwa sapi-sapi pejantan Balai Inseminasi Buatan (BIB) diperiksa kesehatannya terutama untuk menjamin bahwa pejantan yang bersangkutan terbebas dari di antaranya penyakit-penyakit reproduksi, vibriosis . Vibriosis sapi (Bovine genital vibriosis) adalah penyakit hewan menular pada ternak sapi yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter
10
fetus
subspecies venerealis (dulu dikenal dengan nama Vibrio fetus var. venerealis) . Menjadi kelaziman bahwa dari nama agen penyebab dengan mudah dapat kita sebut nama penyakit yang ditimbulkannya ; dalam hal ini penyakit itu sebagai campylobacteriosis . dapat disebut Namun, selain nama tersebut cukup panjang dan kedengarannya seperti "nama baru" sebutan vibriosis ternyata lebih umum digunakan daripada campylobacteriosis . Pada sapi penderita vibriosis, kuman penyebabnya biasa ditemukan pada organ-organ kelamin sapi, baik itu pada sapi betina maupun pada sapi jantan . Vibriosis termasuk salah satu dari penyakit-penyakit reproduksi sapi yang serangannya memberi dampak negatif dalam pengertian mengakibatkan penurunan jumlah pada kawanan sapi yang terserang. Penurunan jumlah dalam hubungan ini karena reproduksi ternak yang terserang menjadi tidak efisien, sebagai akibat dari terjadinya abortus, kematian dini janin dan kawin berulang dari sapi-sapi betina terinfeksi . Dalam dunia veteriner, vibriosis sapi dikenal sebagai salah satu penyakit kelamin menular yang cara penularan penyakitnya berlangsung melalui perkawinan alami dimana terjadi kontaklangsung antara hewan jantan dan hewan betina . Namun, jangan dilupakan bahwa penularan vibriosis juga dapat terjadi melalui kegiatan IB apabila semen dari pejantan penderita digunakan untuk pelaksanaan kegiatan IB yang dimaksud . Telah diketahui bahwa terdapat beberapa jenis kuman Campylobacter yang dapat menyerang sapi . Dari species Campylobacter fetus saja dapat dibedakan menjadi tiga subspecies, yaitu C. fetus subsp . fetus, C. fetus subsp . intestinalis dan C. fetus subsp. jejuni. Dari ketiga subspecies di atas, hanya subsp. fetuslah yang terkait erat dengan vibriosis sapi ini. Selanjutnya, perkembangan ilmu memunculkan nama C. fetus subsp. venerealis bagi kuman penyebab yang diisolasi dari organ kelamin .
WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th . 1998' AGEN PENYEBAB
PENULARAN
Campylobacter fetus subspecies venerealis adalah bakteri Gram-negatif yang bersifat patogenik dan telah disepakati sebagai bakteri pe nyebab vibriosis sapi . Kuman ini dapat diisolasi dari berbagai organ tubuh penderita antara lain dari alat kelamin plasenta maupun dari jaringan organ janin abortusan (SMIBERT, 1984) . Selain itu, dikenal pula kuman Campylobacter fetus subspecies fetus, yaitu bakteri yang biasa diisolasi dari selaput lendir intestinum hewan penderita . Perlu diketahui, bahwa galur kuman Campylobacter fetus subsp. venerealis dan Campylobacter fetus subsp. fetus memiliki tiga macam antigen bersama (common antigen), yakni antigen flagel 'H', antigen somatik '0' dan antigen kapsul 'K' (OIE, 1996) . Oleh karena itu dengan uji serologik konvensional tidak dapat digunakan untuk membedakan kedua subspecies C. fetus tersebut, demikian juga dengan pemeriksaan secara mikroskopik morfologi sel bakteri tidak dapat dibedakan . Semua uji biokimiawi yang diberlakukan pada kedua subsp. C. fetus tersebut akan memberi hasil reaksi yang sama, kecuali dua uji saja yang dapat membedakan antara keduanya . Kedua uji yang dimaksud adalah uji pertumbuhan kuman dalam media yang mengandung Glycine 1 % dan uji reduksi selenite ; uji-uji ini memberi hasil yang berbeda antara kedua subsp . C. fetus tadi (SMIBERT, 1984) . HARE (1985) melaporkan bahwa selaput lendir vagina sapi betina, kulup sapi jantan dan mani (semen)-nya merupakan habitat yang disukai oleh kuman penyebab vibriosis sapi . Yang menarik adalah, bahwa kuman penyebab vibriosis tidak menimbulkan daya rusak yang mencolok pada jaringan tubuh sapi pende ritanya . Disamping itu, tanggap kebal yang ditimbulkannya pun ternyata tidak mudah diukur .
Cara penularan vibriosis sapi berlangsung melalui kontak seksual antara hewan penderita ke hewan yang sehat, misalnya pads perkawin an alami dimana terjadi kontak fisik antara alat kelamin pejantan dan alat kelamin betina . Kemungkinan lain masih terbuka, yakni bila perkawinan/inseminasi itu dilakukan dengan metode kawin suntik (IB), dimana penularan dapat terjadi akibat penggunaan semen pejantan IB yang menderita penyakit ini . Telah dibuktikan bahwa pejantan penderita vibriosis dapat melewatkan kuman penyebab dalam mani (sperma) yang dipancarkannya (HARE, 1985) . Pejantan IB penderita vibriosis dapat dideteksi pada saat dilakukan pemantauan kesehatannya secara berkala - biasanya satu kali dalam setahun - melalui pemeriksaan di laboratorium .
Agen penyebab vibriosis sapi termasuk ke dalam jenis kuman yang rewel (fastidious), artinya tidak mudah ditumbuhkan in vitro pada medium di laboratorium ; kuman ini hanya mau tumbuh bila diinkubasikan pada kondisi aerofilik saja . Selain itu, kuman ini juga mudah mati dan memerlukan medium transpor khusus untuk membawanya dan masih pula perlu medium khusus dan perlakuan khusus untuk membiakkannya di laboratorium VIE, 1996) .
GEJALA Meski termasuk ke dalam salah satu penyakit kelamin menular pada sapi, namun serangan vibriosis sapi ternyata tidak menunjukkan gejala yang spektakuler, artinya gejala-gejalanya tidak mudah dideteksi . Ketidaksuburan/infertilitas yang ditandai dengan betina-betina yang kawin berulang (repeat breeders), yakni dengan melacak ca tatan inseminasinya, merupakan salah satu tanda utama sapi yang menderita vibriosis (CLARK, 1971). Namun demikian, -pads sapi-sapi yang dikelola di ladang ternak (ranch) kasus-kasus kematian dini janin atau terjadinya keguguran (abortus) susah diamati dan ini merupakan tanda-tanda pelengkap yang sering terlewatkan . Aborsi yang diakibatkan oleh vibriosis terjadi pada umur kebuntingan muda, sedangkan aborsi akibat brucellosis biasanya terjadi pada 5 bulan umur kebuntingan sapi . Kalau pun ditemukan, mungkin terdapat sapi betina penderita yang mengalami peradangan ringan pada endometriumnya . Sapi jantan berumur 3 tahun atau lebih tua mudah terinfeksi vibriosis dan infeksinya cenderung bersifat permanen dengan tanpa mem perlihatkan tanpa-tanda apapun . Sebagai hewan pembawa (carriers) sapi jantan penderita yang nampak sehat itu, bila cucian kulupnya diperiksa di laboratorium dapat diisolasi kuman penyebabnya .
SuPRoojo HAROJOUTOMo : Tinjauan tentang Vibriosis di Indonesia DIAGNOSIS Terhadap dugaan adanya serangan vibriosis pada sekawanan ternak sapi, konfirmasi diagnosisnya dapat ditempuh menggunakan berbagai teknik laboratoris, mulai dari teknik-teknik yang sederhana sifatnya hingga yang canggih. Teknik sederhana meliputi 1) aplikasi Uji aglutinasi mukus vagina ; 2) isolasi agen penyebab dari alat kelamin betina/organ janin abortusan/selaput lendir kulup pejantan dan dari semennya ; 3) uji transmisi penyakit, serta 4) uji antibodi berpendar (Flourescent Antibody Technique, FAT) (SIEGMUND, 1973) . Sedangkan teknik diagnosis canggih dapat dilakukan dengan teknik imunosorben menggunakan enzim (Enzyme-linked Immunosorbent Assay, ELISA) (OIE, 1996) atau dengan reaksi polimerase berantai (Polymerase Chain Reaction, PCR) (OYARZABAL et al., 1997) . Kedua teknik canggih yang disebut terakhir ini biasa digunakan untuk diagnosis sekawanan ternak (herd diagnosis), tidak untuk diagnosis per individu ternak . PENANGGULANGAN Karena agen penyebabnya adalah bakteri, maka sapi penderita vibriosis dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotika, antara lain streptomisin dan penstrep secara injeksi plus infusi intra-uterin pada sapi betina atau ke dalam kulup sapi jantan (SIEGMUND, 1973) . Namun, mengingat dalam kenyataannya sapisapi penderita vibriosis nyaris tidak menunjukkan gejala, maka tindakan pencegahan melalui vaksinasi menjadi pilihan, tentu saja sesudah sekelompok ternak tersangka tadi didiagnosis sebagai terserang vibriosis sapi (OIE, 1996) . Pendekatan lain yang lebih rasional dan hendaknya dilakukan sejak awal pada suatu usaha peternakan adalah penggunaan sapi jantan dan betina yang diketahui memang bebas vibriosis. VIBRIOSIS DI INDONESIA Untuk mengungkapkan keberadaan vibriosis sapi pada populasi ternak kita, Balai Penelitian Veteriner, Bogor telah melaksanakan pengamatan penyakit selama 16 tahun (1977 - 1993) .
12
Pengamatan ini mencakup survei lapangan, pengumpulan spesimen dari sapi betina dan sapi jantan pada berbagai bangsa sapi dan lokasi survei, di antaranya Stasiun Karantina Hewan, Rumah Pemotongan Hewan (RPH), Balai Inseminasi Buatan (BIB) dan Peternakan sapi, serta pemeriksaan sampel di laboratorium dan analisis hasilnya . Demi suksesnya program IB di Indonesia, BIB-BIB juga memantau kesehatan sapi-sapi pejantan yang dikelolanya setahun satu kali . Pemeriksaan penyakit secara berkala merupakan cara praktis untuk mengecek adanya infeksi vibriosis dan sesuai pula dengan rekomendasi dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) (HARDJOUTOMO, 1994) . Sampel-sampel dikumpulkan dari berbagai propinsi penghasil sapi/ padat ternak di Indonesia, termasuk juga dari propinsi yang banyak mengkonsumsi daging sapi (DKI Jakarta) (Tabel 1) . Meski diketahui terdapat beberapa prosedur pemeriksaan yang dapat digunakan, namun pada pengamatan ini yang dipilih adalah pe meriksaan secara kultural bakteriologik (HARDJOUTOMO, 1980), dengan alasan bahwa selain teknologinya dikuasai, pada akhirnya identifikasi plus karakterisasi agen penyebab yang terisolasi sajalah yang merupakan bukti autentik tak terbantahkan atas hasil kegiatan seperti ini. Dapat dikemukakan di sini, bahwa pada pengamatan tersebut teknik ELISA maupun PCR belum digunakan di Balitvet, Bogor. Dari kegiatan pengamatan yang telah dilaksanakan tersebut diperoleh hasil bahwa dari spesimen yang jumlahnya lebih dari 1000 sam pel (balk sapi potong maupun sapi perah, jantan maupun betina, mewakili berbagai bangsa) yang telah diperiksa, tidak ditemukan adanya kuman penyebab vibriosis sapi, yakni Campylobacter fetus subsp. venerealis . Dalam hubungan ini, seorang pakar vibriosis Australia yang pernah tinggal di Indonesia berpendapat bahwa praktek pemotongan ternak sapi di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia, yang umumnya didominasi oleh pemotongan sapi-sapi jantan tua merupakan faktor pendukung yang kuat bagi tercegahnya serangan vibriosis sapi di Indonesia. Lebih lanjut dikatakannya bahwa pada kejadian vibriosis sapi diketahui bahwa sapi jantan tua cenderung menjadi hewan pembawa (carriers) (B . L. CLARK, mantan peneliti senior CSIRO, Melbourne, komunikasi pribadi) .
WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th . 1998
Tabel 1 . Pengamatan vibriosis sapi di Indonesia tahun 1977-1993 menurut lokasi survei, bangsa sapi dan jumlah sampel Propinsi
Lokasi Survei
Bangsa Sapi
Jumlah Sampel
Hasil Pemeriksaan
Jawa Barat
Bandung, Lembang, Pengalengan, Bogor, Sukabumi
P0, FH, Brahman, Ongole, Lain-lain*)
281
Negatif Campylobacter fetus subsp. venerealis
Jawa Tengah
Semarang, Surakarta, Purwokerto
PO
118
Negatif C, fetus subsp. vener.
Jawa Timur
Surabaya, Madiun, Malang, Singosari
FH, P0, Madura, Bali, Brahman, Ongole
237
Negatif C. fetus subsp. vener.
Bali
Denpasar
Bali
100
Negatif C. fetus subsp. vener.
NTB
Mataram
Bali, PO
75
Negatif C. fetus subsp. vener.
NTT
Kupang
Bali, PO
75
Negatif C. fetus subsp. vener.
Sumatera Barat
Padang, Bukittinggi
Lokal
50
Negatif C. fetus subsp. vener.
Sulawesi Selatan
Ujungpandang, Pare-pare
Bali,
60
Negatif C. fetus subsp. vener.
DKI
Jakarta
PO, Bali
31
Negatif C. fetus subsp. vener.
Keterangan PO = Peranakan Ongole FH = Friesian Holstein *I Bangsa-bangsa sapi lain : Hereford, Limousin, Santa Gertrudis, Simmental, Taurindicus, dll . Sehubungan dengan hasil pengamatan tersebut di atas, maka yang perlu diperhatikan adalah cara menangkal terhadap masuknya vibriosis sapi ke wilayah Indonesia ini . Pemberdayaan jajaran Balai Karantina Kehewanan selaku "ujung tombak" bagi pendeteksian penyakit-penyakit yang mungkin terbawa oleh sapi-sapi impor sangatlah penting . Selain surat keterangan sehat bagi sapi impor, asal dari daerah bebas vibriosis, dst., maka pengamatan yang ketat terhadap kesehatan sapi serta penerapan berbagai uji yang tersedia untuk itu dapat diberlakukan bagi sapi-sapi yang sedang dikarantinakan . KESIMPULAN Hasil pengamatan yang telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Veteriner menyimpulkan bahwa penyakit hewan menular, yakni vibriosis
sapi tidak ditemukan di Indonesia . Dengan kata lain, Indonesia bebas dari penyakit ini dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa vibriosis tetap merupakan penyakit eksotik bagi ternak kita . Mengingat akan hal itu maka kemungkinan masuknya vibriosis bersama impor sapi bakalan dari luar negeri pada masa-masa datang perlu tetap diwaspadai . Pernyataan bebas vibriosis sapi ini secara resmi tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No . 81 /Kpts/TN .560/1/1994, tanggal 31 Januari 1994, yang menetapkan bahwa seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan bebas dari 11 jenis penyakit hewan menular, termasuk di antaranya Vibriosis sapi . DAFTAR PUSTAKA Statistik Indonesia . 5 .5 Peternakan . BPS, Jakarta.
BIRO PUSAT STATISTIK. 1997 .
13
SupRooro HAROJOUTomo
:
Tinjauan tentang Vibriosis di Indonesia
B.L . 1971 . Venereal Diseases of Cattle . Veterinary Review no.11 . The University of Sydney, Sydney .
OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES .
S. 1980 . Vibriosis pada sapi di Indonesia (Penelitian Pendahuluan) . Risalah (Proceedings) Seminar Penyakit Reproduksi dan Unggas .Tugu,Bogor 13-15 Maret 1980 . Lembaga Penelitian Penyakit Hewan, Bogor: 6981 .
OYARZABAL, 0. A.,
S. 1994 . Peranan Balitvet dalam diagnosa penyakit pada sapi perah pejantan unggul . Prosiding Pertemuan Teknis (Workshop) Evaluasi Standar Performance Sapi Perah di Indonesia, Malang, 9-11 Nopember 1993 . Balai Inseminasi Buatan Singosari-Malang : 123-130 .
SIEGMUND, 0.
CLARK,
HARDJOUTOMO,
HARDJOUTOMO,
W.C .D . 1985 . Disease transmissible by semen and embryo transfer techniques . Technical Series NoA O.I .E ., Paris .
HARE,
Oetoro . 1997 . Peluang dan tantangan pengembangan sapi potong . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januad 1997 . Puslitbang Peternakan, Bogor: 87-95.
1996 . Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines . 3rd ed . Paris. I. V.
K . M. HARMON, L. M. BARBAREE, L. H . LAUERMAN, S. BACKERT and D . E. CONNER . 1997 . Specific identification of Campylobacter fetus by PCR targeting variable region of the 16S rDNA . Veterinary Micobiology, vol .58, no . 1 : 61-71 . SCHROEDER-TUCKER,
WESLEY,
J.
H. (ed) . 1973 . Bovine Genital Vibriosis. _In: The Merck Veterinary Manual . 4th ed . Merck&Co, Inc ., Rahway: 404-407. R. 1984 . Genus Campylobacter Sebald and AL _In: Bergey's Manual of Veron 1963,907 Systematic Bacteriology . KRIEG, N.R ., J .G . HOLT (eds). Williams & Wilkins, Baltimore. vol .1 : 111-118.
SMIBERT,
E. 1997 . Pemberdayaan peternakan rakyat dan industri peternakan menuju pasar bebas: "Pokok Bahasan: Ternak Potong" . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januari 1997 . Puslitbang Peternakan, Bogor : 19-30.
SUTIRTO,