4
TINJAUAN PUSTAKA Tomat (Lycopersicon esculentum L.) Lycopersicon esculentum L. atau
yang sinonim dengan Solanum
lycopersicum L. merupakan tanaman hortikultura dari famili Solanaceae. Tomat merupakan tumbuhan asli berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, dari Meksiko sampai Peru. Tomat merupakan tumbuhan siklus hidup singkat (semusim), dapat tumbuh setinggi 1 sampai 3 meter (Smith 1994), ditanam sebagai tanaman buah di ladang, pekarangan, atau ditemukan liar pada ketinggian di antara 1-1600 meter di atas permukaan laut (Anonim 2009). Tomat termasuk tanaman yang tidak tahan hujan, sinar matahari terik, serta menghendaki tanah yang gembur dan subur. Tanaman setahun ini tumbuh tegak atau bersandar pada tanaman lain, bercabang banyak, berambut, dan berbau kuat. Batang bulat, menebal pada buku-bukunya, berambut kasar warnanya hijau keputihan.
Daun majemuk menyirip, letak berseling, bentuknya bulat telur
sampai memanjang, ujung runcing, pangkal membulat, helaian daun yang besar tepinya berlekuk, helaian yang lebih kecil tepinya bergerigi, panjang 10 – 40 cm, warnanya hijau muda.
Bunga majemuk, berkumpul dalam rangkaian berupa
tandan, bertangkai, mahkota berbentuk bintang, warnanya kuning. Buahnya buah buni, berdaging, kulitnya tipis licin mengilap, beragam dalam bentuk maupun ukurannya, warnanya kuning atau merah.
Bijinya banyak, pipih, warnanya
kuning kecokelatan (Anonim 2009).
Geminivirus Morfologi Geminivirus merupakan golongan virus tumbuhan yang tergolong dalam famili Geminiviridae. Bentuk partikel geminivirus yaitu isometrik ganda, yang dalam keadaan tunggal umumnya berdiameter 18 – 20 nanometer dan sebagian besar virus ini terdapat dalam keadaan berpasangan dengan ukuran 20x30 nanometer.
Kelompok
geminivirus
memiliki
genom
asam
nukleat
deoksiribonukleat dalam bentuk utas tunggal (single-stranded deoxyribosa nucleic
5
acid/ ss DNA) berukuran sekitar 2,6-2,8 kb (Tsai et al. 2006) dan terselubung dalam virion ikosahedral kembar (geminate) (Bock 1982).
Gejala Infeksi Geminivirus pada Tanaman Tomat Gejala penyakit yang timbul akibat infeksi geminivirus pada tanaman tomat sangat bervariasi, tergantung kepada strain virus, kultivar inang, umur tanaman pada saat terinfeksi, vektor, dan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan vektor dan penyakit. Di Indonesia, tanaman tomat yang terinfeksi geminivirus menunjukkan gejala yang berbeda-beda. Gejala umum yang terlihat berupa daun berkerut, daun menjadi kecil, daun berkerut dan keriting, daun menguning, daun mengecil dan cupping (daun arahnya melengkung ke atas), penebalan tulang dan anak tulang daun, penguningan lamina daun, dan tanaman menjadi kerdil (Aidawati 2006). Menurut Direktorat Perlindungan Hortikultura (2008), gejala serangan geminivirus pada tanaman tomat yaitu helai daun mengalami vein clearing, dimulai dari daun-daun pucuk berkembang menjadi warna kuning yang jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas (cupping). Infeksi lanjut dari geminivirus dapat menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman menjadi kerdil, bahkan ada yang tidak mampu menghasilkan buah. Butter & Rataul (1977) melaporkan bahwa tanaman tomat yang terinfeksi tomato leaf curl virus (TLCV) menunjukkan gejala daun keriting, daun menggulung (rolling), perubahan bentuk daun, daun menjadi berkerut (puckering), dan terdapat enasi pada permukaan bawah daun. Gejala TLCV strain Australia berupa daun keriting, kuning, daun menggulung ke atas. Tanaman yang terinfeksi pada saat umur muda menjadi tidak berbuah dan kerdil (Conde & Connelly 1994). Infeksi TYLCV pada tanaman tomat menyebabkan daun-daun menjadi kecil, keriting, keras, klorotik, bunga jatuh sebelum waktunya (prematur), tunas menjadi kaku, internoda menjadi pendek, dan secara keseluruhan tanaman menjadi kerdil (Cohen & Nitzany 1966). penelitiannya
menjelaskan
bahwa
Jones et al. (1991) melalui hasil
tanaman
yang
terinfeksi
mengakibatkan bunga rontok dan kualitas buah rendah serta cepat masak.
TYLCV
6
Di Indonesia, infeksi geminivirus pada tanaman tomat menimbulkan gejala berupa penebalan tulang daun, lamina daun berkerut-kerut, daun menguning, tepi daun melengkung ke atas, daun menjadi keriting, dan tanaman menjadi kerdil (Sugiarman & Hidayat 2000). Menurut Matthews (1992) munculnya gejala pada tanaman tomat yang terinfeksi geminivirus sangat dipengaruhi oleh konsentrasi virus, faktor lingkungan, dan faktor genetik tanaman. Perbedaan waktu munculnya gejala pada beberapa kultivar tomat yang berbeda yang terinfeksi geminivirus menyebabkan munculnya gejala yang berbeda pada kultivar-kultivar tersebut. Tanaman yang terinfeksi oleh geminivirus pada awal fase pertumbuhan cenderung mengalami kerusakan lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang terinfeksi setelah fase generatif (Brown & Bird 1992). Selain itu, kesuburan tanah dan iklim atau musim juga berpengaruh terhadap keanekaragaman gejala dan pemencaran populasi serangga vektor kutukebul di lapangan (Matthews 1992).
Penularan Geminivirus Geminivirus pada umumnya dapat ditularkan dengan dua cara, yaitu melalui penyambungan bagian tanaman yang terinfeksi dan melalui serangga vektor kutukebul, akan tetapi virus ini tidak dapat ditularkan melalui biji maupun secara mekanik dengan inokulasi cairan perasan tanaman sakit. pemencaran geminivirus di
Penularan dan
lapangan sangat ditentukan oleh aktivitas dan
kemampuan terbang serangga vektornya B. tabaci (Harrison & Robinson 1999). Kutukebul dapat menularkan geminivirus secara persisten (yaitu bila kutukebul menghisap dari tanaman tomat yang mengandung geminivirus, maka selama hidupnya serangga ini akan mampu menularkan virus tersebut ke tanaman tomat lain) (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2008). Tingginya persentase infeksi geminivirus pada tanaman tomat disebabkan oleh adanya sumber inokulum dan vektor penyakit tersebut yang selalu ada di areal pertanaman (Aidawati 2006).
Di dalam tanaman, partikel geminivirus
berada dalam jaringan floem dan terakumulasi di dalam inti sel jaringan floem yang terinfeksi.
Berdasarkan strukur genom, serangga vektor, dan kisaran
7
tanaman inangnya, geminivirus dikelompokkan menjadi empat genus yaitu Mastrevirus, Curtovirus, Begomovirus, dan Topocuvirus (Hull 2002). Mastrevirus merupakan geminivirus dengan tanaman inang dari kelompok monokotil, ditularkan oleh wereng daun dan memiliki genom monopartit. Mastrevirus memiliki lebih dari 10 jenis virus yang sudah diketahui, dengan tanaman inang dari famili Graminea, yaitu chlorosis striate mosaic virus (CSMV), wheat dwarf virus (WDV), maize streak virus (MSV), dan digitaria strak virus (DSV). Curtovirus adalah geminivirus dengan tanaman inang dikotil, yang ditularkan oleh vektor wereng daun, dan genomnya monopartit. Anggota Curtovirus di antaranya yaitu tobacco yellow dwarf virus (TYDV) dengan vektor Orosius argentatus (Hemiptera: Cicadellidae) dan beet curly top virus (BCTV) dengan vektor Circulifer tenellus (Hemiptera: Cicadellidae) (Hull 2002). Kelompok lain dari geminivirus adalah Begomovirus. Virus ini menyerang tanaman inang dikotil seperti tomat dan cabai yang ditularkan oleh vektor kutukebul B. tabaci.
Begomovirus memiliki genom bipartit atau monopartit.
Berdasarkan daerah asal genus tersebut anggota Begomovirus terbagi menjadi kelompok yang berasal dari Old World (benua Eropa, Asia, Afrika) dan kelompok New World (benua Amerika).
Anggota Begomovirus yang memiliki genom
bipartit di antaranya african cassava mosaic virus (ACMV), bean dwarf mosaic virus (BDMV), bean golden mosaic virus (BGMV), abutilon mosaic virus (AbMV), cotton leaf crumple virus (CLCV), squash leaf curl virus (SLCV), tomato golden mosaic virus (TGMV), potato yellow mosaic virus (PYMV), mungbean yellow mosaic virus (MYMV), euphorbia mosaic virus (EuMV), dan indian cassava mosaic virus (ICMV), sedangkan yang memiliki genom monopartit yaitu tomato leaf curl virus dan tomato yellow leaf curl virus (NavasCastillo et al. 1999). Topocuvirus adalah genus geminivirus yang memiliki genom yang mirip dengan Curtovirus, tetapi ditularkan melalui wereng pohon Micrutalis malleifera. Anggota Topocuvirus yaitu tomato pseudocurly top virus (Hull 2002).
8
Bemisia tabaci Taksonomi Bemisia
tabaci
termasuk
ke
dalam
ordo
Hemiptera,
subordo
Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea dan famili Aleyrodidae. Serangga ini memiliki beberapa sebutan antara lain cotton whitefly, sweet potato whitefly, atau tobacco whitefly (Martin 1999).
Sosromarsono et al. (2007) memberi nama
umum B. tabaci dengan sebutan kutukebul tembakau yang bersifat polifag.
Bioekologi Kutukebul B. tabaci memiliki perkembangan siklus hidup dengan lama waktu sekitar dua sampai tiga minggu. Serangga ini dapat bereproduksi secara seksual atau partenogenetik. Siklus hidup dari serangga ini melalui beberapa fase perkembangan, yaitu telur, nimfa, pupa, dan imago.
Imago serangga ini
merupakan serangga yang berukuran sangat kecil dengan aktifitas menghisap cairan tanaman di saluran pembuluh floem (Kalshoven 1981). Kutukebul tidak dapat diidentifikasi melalui karakter morfologi pada imagonya, tetapi genus dan spesiesnya lebih mudah diketahui melalui struktur nimfa instar akhir (prepupa) atau dapat diketahui juga melalui struktur kantung pupa (pupal case) (Mound & Halsey 1978). Perbedaan bentuk dan ukuran pupa antara B. tabaci dengan Trialeurodes vaporariorum dipengaruhi oleh kutikula tanaman inangnya. Telur B. tabaci bentuknya lonjong (oval), berwarna putih bening ketika baru diletakkan, kemudian menjadi kecoklatan menjelang akan menetas (Hirano et al. 2002). Nimfa dan pupa B. tabaci berwarna keputih-putihan dan bentuknya bervariasi tergantung pada substratnya, memiliki panjang mencapai 0,7 mm (Kalshoven 1981). B. tabaci memiliki tiga instar nimfa. Nimfa instar pertama berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah dengan bulu-bulu halus dan lapisan lilin yang tipis pada bagian pinggir tubuhnya. Lama nimfa instar pertama adalah 3,14 ± 0,24 hari. Nimfa instar kedua berwarna hijau gelap, tungkainya tereduksi dan sudah menetap tidak berpindah-pindah, lamanya sekitar 3,21± 0,16 hari. Nimfa instar tiga tidak aktif bergerak, tungkainya tereduksi, lamanya sekitar 2,72
9
± 0,33 hari. Secara umum, nimfa menghisap cairan tanaman di saluran pembuluh floem tanaman (Badri 1983). Panjang pupa mencapai 0,7 mm, memiliki sepasang bintik merah yang kemudian berfungsi sebagai mata setelah menjadi imago. Pupa berbentuk elips dengan bagian toraks yang agak melebar dan cembung serta berwarna kuning. Ruas abdomen pada pupa tampak jelas. Bagian pinggir pupa tidak rata. Pada tahap pupa terdapat ornamen lilin di sisi tubuhnya (Badri 1983). Imago B. tabaci berwarna kuning, disertai sayap yang ditutupi oleh sekresi berupa tepung berwarna putih. Panjang tubuh imago berkisar antara 1-1,5 mm. Lama hidup imago sekitar 6 hari. Sayapnya terdiri dari dua pasang dan bersifat transparan.
Imago dapat terbang sampai beberapa ratus meter pada jarak
ketinggian ± 4 meter, dapat juga terbawa melalui angin (Kalshoven 1981). Kutukebul B. tabaci merupakan kutu tanaman yang memiliki lebih dari 1.000 spesies inang yang banyak menimbulkan kerusakan di daerah tropis maupun subtropis (Hill 1987).
Kutukebul ini pertama kali ditemukan pada
tanaman tembakau di Yunani pada tahun 1889 (Horowitz 1986). Kutukebul ini memiliki daerah penyebaran yang cukup luas, antara lain terdapat di India, Afrika, dan Amerika Selatan (Cock 1986). Kalshoven (1981) mencatat bahwa serangga ini baru ditemukan di Indonesia pertama kali di Pulau Jawa dan Sumatera. Daerah penyebaran lainnya, meliputi Hawaii, Meksiko, Columbia, Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Asia (Cock 1986). Menurut Cock (1986) B. tabaci merupakan hama utama tanaman hias di rumah kaca, walaupun tanaman utama yang diproduksi di rumah kaca seperti tomat, cabai, buncis, terong, dan mentimun juga ikut terserang. Di Amerika Serikat, pertama kali dilaporkan bahwa B. tabaci menyebabkan kerusakan pada tanaman hias di rumah kaca. Serangga tersebut sangat cepat penyebarannya dan sangat sulit untuk dikendalikan (Price et al. 1986). Di Hawaii, hama ini ditemukan pada tanaman ubi jalar, sirsak, alpukat, brokoli, kubis bunga, ketumbar, Dendrobium (anggrek), terong, kacang hijau, jambu biji, hibiscus, labu kuning, melon, mawar, kedelai, tomat, semangka, succini, kentang, kubis, bunga krisan, bunga matahari, kacang-kacangan, lada, lobak, dan selada (Mau & Tsuda 1991). Kutukebul B. tabaci memiliki preferensi
10
lebih tinggi terhadap tanaman inang yang daunnya berbulu, seperti tomat dan terong, dan kurang menyukai daun tanaman inang yang tidak berbulu (Butler & Wilson 1984; Indrayani & Sulistyowati 2005). Berkembangnya sistem tanam tumpang sari kapas dan palawija, kedelai dan kacang hijau, terutama dengan tomat atau cabai, akan memberi peluang semakin meluasnya penyebaran B. tabaci di berbagai sentra pertanian.
Penanaman
tanaman sejenis dengan pola tanam monokultur yang dilakukan secara terusmenerus, serta penggunaan insektisida kimia sintetis golongan piretroid secara intensif juga sangat potensial menyebabkan peningkatan populasi B. tabaci seperti yang terjadi di daerah sentara penanaman kapas di Lamongan, Jawa Timur pada tahun 2002 (Indrayani & Sulistyowati 2005). Cohen & Berlinger (1986) menyatakan bahwa serendah apapun populasi B. tabaci cukup efektif menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung. Virus tanaman yang ditularkan oleh hama penusuk-pengisap ini dapat menyebabkan lebih dari 40 penyakit pada tanaman sayuran di seluruh dunia. Kutukebul B. tabaci dikenal sebagai vektor penyakit geminivirus pada tanaman kapas, cabai, dan tomat (Cohen & Berlinger 1986; Byrne & Houck 1990; Harrison 1999). Selain menyerang pada tanaman kapas, cabai, dan tomat, B. tabaci juga dilaporkan mulai meningkat populasinya pada tanaman kedelai dan kacang hijau di berbagai wilayah di dunia sejak tahun 1962 hingga 1982 (Kogan & Turnipseed 1987, Samudra & Naito 1991, Tengkano et al. 1991). Menurut Nakhla & Maxwell (1998) beberapa faktor yang mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh geminivirus adalah populasi vektor B. tabaci yang tinggi, kultivar tomat yang rentan, penanaman tomat secara terus-menerus, migrasi vektor dari tanaman yang ada di dekatnya, dan infeksi tomat di persemaian yang tidak dilindungi. Berbagai macam gulma juga dapat menjadi inang alternatif penularan geminivirus. Tanaman Babadotan (Ageratum conyzoides) adalah gulma yang sering terdapat di pertanaman cabai yang dapat menjadi inang alternatif geminivirus dan umumnya kutukebul B. tabaci juga umum ditemukan pada gulma tersebut (Aidawati et al. 2001). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Butter & Rataul (1977) menunjukkan bahwa periode makan akuisisi minimum B. tabaci untuk dapat menularkan tomato
11
leaf curl virus (ToLCV) yang merupakan spesies dari geminivirus adalah 31 menit dengan periode makan inokulasi selama 24 jam. Semakin lama periode makan akuisisi penularan geminivirus semakin meningkat, sedangkan periode makan inokulasi minimum kutukebul tersebut untuk dapat menularkan ToLCV adalah 32 menit dengan periode makan akuisisi selama 24 jam. B. tabaci mampu mengakuisisi virus dari kotiledon tanaman tomat yang terinfeksi, tetapi infeksi tidak terjadi ketika serangga virulifer tersebut dipindahkan ke kotiledon tanaman yang sehat.
B. tabaci mampu menularkan ToLCV dengan efisiensi tertinggi
apabila periode makan akuisisi dan periode makan inokulasi dilakukan pada daun muda.
Kutukebul mampu menularkan ToLCV sebesar 38% apabila makan
akuisisi dilakukan pada sumber inokulum berumur 2 bulan, sedangkan akuisisi yang dilakukan pada sumber inokulum yang berumur 11 bulan hanya menyebabkan infeksi sebesar 8%. Hasil penelitian Aidawati (2006) menunjukkan bahwa, B. tabaci yang dikumpulkan dari beberapa daerah di Indonesia, akan semakin meningkat kemampuannya dalam menularkan geminivirus pada tanaman tomat apabila periode akuisisinya diperpanjang. Efektifitas penularan geminivirus Bogor yang maksimum sebesar 100% dapat dicapai oleh B. tabaci biotipe non B Jawa Barat melalui periode makan akuisisi minimum selama 180 menit.
Teknik Pengendalian Pengendalian B. tabaci secara tepat dapat mengurangi resiko kehilangan hasil. Akan tetapi, ada beberapa aktivitas manusia yang justru menyebabkan peningkatan populasi serangga vektor ini, antara lain penanaman tanaman sejenis secara terus-menerus (monokultur), keterlambatan waktu tanam, dan penggunaan insektisida berbahan kimia sintetis yang kurang rasional (Christiansen 2002). Kecepatan atau laju reproduksi yang tinggi dan banyaknya tanaman inang yang tersedia di alam merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi perkembangan populasi B. tabaci menyebabkan pengendalian serangga vektor ini cukup sulit dilakukan, selain itu mortalitas telurnya juga sangat rendah sehingga peningkatan populasinya sangat cepat (Indrayani & Sulistyowati 2005).
12
Pengendalian B. tabaci secara konvensional dengan menggunakan insektisida kimia seringkali kurang efektif.
Hal ini disebabkan karena fase
pradewasa dan dewasa serangga kutukebul ini hidup pada permukaan bawah daun sehingga sulit terjangkau oleh insektisida, dan mulai terjadi resistensi terhadap insektisida tertentu. Di Hawaii, penggunaan beberapa macam insektisida kimia, seperti asefat, carbaryl, diazinon, endosulfan, kinoprene, malathion, methomyl, oxamyl, phosdrin, dan telstar dilaporkan telah menyebabkan resistensi pada B. tabaci (Johnson et al. 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago B. tabaci sudah mulai resisten terhadap pengaruh insektisida kimia dan pengendalian secara intensif dengan insektisida kimia mengakibatkan resurgensi hama yang lain (Naranjo et al. 2002). Menurut Kalshoven (1981), salah satu predator B. tabaci yang dijumpai di Indonesia adalah dari famili Coccinellidae (Scymnus sp.).
Kelembaban
lingkungan yang tinggi dan pelepasan predator cukup efektif menyebabkan kematian pada nimfa B. tabaci instar pertama, tetapi tidak demikian terhadap instar berikutnya (Indrayani & Sulistyowati 2005).
Proteksi Silang Istilah proteksi silang (cross protection) secara spesifik berlaku untuk perlindungan tumbuhan dengan virus strain lemah terhadap infeksi oleh virus yang sama dengan strain yang lebih virulen yang menyebabkan gejala lebih berat. Proteksi silang merupakan fenomena yang terjadi di antara strain-strain virus. Proteksi silang dengan menggunakan Tobacco mosaic virus strain lemah dan Citrus tristeza virus strain lemah telah berhasil diterapkan dalam mengendalikan penyakit mosaik dan vein clearing pada tanaman tembakau dan jeruk (Agrios 2004). Pada prinsipnya, proteksi silang adalah preinokulasi tanaman dengan virus strain lemah (mild) dan bersifat hipovirulen, atau disebut sebagai virus penantang yang akan menghalangi atau melindungi tanaman dari infeksi virus kedua yang lebih ganas (disebut sebagai virus yang ditantang). Strain virus disebut lemah jika hanya mereduksi 5 – 10% produk tanaman tanpa mengubah kualitasnya, sehingga tidak mempengaruhi nilai pasarnya (Hull 2002).
13
Agens pengendali penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus dapat diperoleh dengan cara pseudorekombinasi genetik dan rekombinasi genetik. Pseudorekombinasi atau reassortment genetik adalah pertukaran fragmen RNA antara dua atau tiga macam strain/ ras patogen yang sudah diketahui sifatnya. Pseudorekombinasi dapat terjadi secara alami atau buatan. Fragmen RNA yang dipertukarkan adalah fragmen yang berperan antara lain dalam menentukan (a) macam gejala yang diinduksi pada inang tertentu; (b) kemampuannya ditularkan oleh serangga vektor; atau (c) jenis dan kisaran inang (Wahyuni 2005). Rekombinasi genetik yaitu proses alami penggantian (penambahan atau pengurangan) fragmen DNA atau RNA dari dan antarmolekul DNA/RNA yang berbeda, dapat terjadi pada virus, prokariota atau eukariota. Rekombinasi DNA juga dapat direkayasa in vitro dengan cara mengurangi atau menambah sekuensi nukleotida dari fragmen–fragmen DNA/RNA suatu jenis virus. DNA target dirakit dengan pendekatan kloning DNA rekombinan dan restriksi endonuklease melalui vektor plasmid DNA dari eukariota (Wahyuni 2005). Karakteristik yang dipersyaratkan agar suatu virus dapat dimanfaatkan sebagai agens pengendali yaitu (a) gejala yang diinduksi oleh mild virus harus bersifat sistemik, sangat lemah dan tidak mengubah kualitas produk; (b) mempunyai sifat genetik yang stabil sehingga tidak berubah menjadi strain yang ganas; (c) tidak dengan sangat mudah disebarkan oleh vektor; (d) sifat protektif tidak hanya ditujukan kepada satu macam virus sekerabat, tetapi juga satu sampai tiga virus sekaligus, meskipun tidak selalu sekerabat; (e) inokulum virus protektif harus mudah diproduksi, tetap murni dan stabil dalam tanaman dan vektor (Hull 2002). Teknik aplikasi proteksi silang dapat dilakukan dengan (1) spray gun bertekanan tinggi pada bibit, tetapi cara ini tidak efektif untuk tanaman semusim, (2) penyambungan untuk propagasi vegetatif tanaman berkayu (Wahyuni 2005). Mekanisme terjadinya proteksi silang yaitu adanya: (a) kompetisi dalam replication sites karena melibatkan kombinasi subunit-subunit sandi antara inang dan virus (misalnya dalam proses sintesis replikasi), karena semua replication sites sudah ditempati oleh virus pelindung (mild virus); (b) precursor exhaustion yaitu terjadinya kompetisi metabolit esensial.
Kompetisi dalam komposisi
14
nukleotida penyandi milik inang dan virus yang berfungsi sebagai pensintesis DNA/ RNA dari virus pelindung (virus strain lemah) dan virus yang ditantang (virus strain ganas), macam-macam metabolit esensial yang diperebutkan berbeda antar virus yang sekerabat dan tidak sekerabat; (c) coat protein sequestration yaitu protein mantel mild virus akan mengenkapsidasi RNA/ DNA virus lain yang masih sejenis, sehingga RNA/ DNA virion yang dirakit dalam sel inang tidak mampu menginisiasi untuk melakukan replikasi; (d) perubahan metabolisme inang yaitu mild virus lebih dulu berhasil mengubah metabolisme inang untuk keperluan dirinya; (e) spesific inhibitor yaitu mild virus menghasilkan substansi yang mampu menghambat secara spesifik keberadaan virus lain yang masih sejenis, tetapi tidak demikian terhadap virus yang tidak sejenis, (f) terjadinya kompetisi translasi RNA antara virus strain lemah dan virus strain ganas, akan tetapi
fenomena
ini
tidak
berlaku
untuk
tanaman
transgenik
yang
mengekspresikan gen protein mantel (Wahyuni 2005). Proteksi silang telah berhasil diterapkan untuk mengendalikan CMV pada Capsicum sp. di Cina dalam skala percobaan lapangan, dan pada tomat di Italia Selatan.
Inokulum pertama yang digunakan adalah CMV strain lemah yang
dipseudorekombinasi dengan sat-RNA asal strain lain, akibatnya Capsicum (tanaman tomat) dapat menahan serangan virus kedua yang lebih ganas (virus yang ditantang). Biaya operasionalnya agak relatif mahal, akan tetapi tekhnik proteksi silang telah berhasil diterapkan dengan baik untuk mengendalikan Citrus tristeza virus di Brazil pada tahun 1980 (Hull 2002).