TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat) mukim dan 28 desa. Perjalanan ke lokasi dapat ditemput dengan jalur lintasan jalan darat Banda Aceh Meulaboh dengan kendaraan roda empat selama ± 30 menit dari kota Banda Aceh dengan kondisi jalan cukup Lokasi dan keadaan geografis kecamatan Lhoknga terletak di Kabupaten Aceh Besar pada garis 5,2º - 5,8º LU dan 95,0 – 95,8º BT. Kabupaten Aceh Besar berbatasan langsung dengan: Sebelah utara
: Selat Malaka, Kota Sabang, dan Kota Banda Aceh.
Sebelah selatan
: Kabupaten Aceh Jaya
Sebelah timur
: Kabupaten Pidie
Sebelah barat
: Samudera indonesia
Pantai dan Perubahan Daratan Pantai Pantai adalah suatu daerah dimana proses yang terjadi di daratan (terrigenous) dan proses di laut saling mempengaruhi. Daerah ini merupakan satu jalur daratan yang dibatasi oleh laut dan terbentang sampai pengaruh laut tidak dapat dirasakan lagi. Menurut Komar (1983) pantai dapat didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh daratan (swash zone) sampai daerah gelombang pecah (breaker zone), sedangkan menurut Triatmodjo (1999), pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Batasan pantai dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber : Triatmodjo (1999) Gambar 1. Batasan Pantai Batas antara air dan daratan dikenal sebagai garis pantai, yang selalu berubah-ubah, baik perubahan sementara akibat pasang surut, maupun perubahan yang permanen dalam jangka waktu yang panjang akibat abrasi dan akresi pantai atau keduanya. Perubahan daratan pantai terjadi akibat dua peristiwa penting, yaitu akresi (penambahan) dan abrasi (pengikisan). Akresi pantai adalah kondisi semakin majunya pantai karena penambahan material dari hasil endapan sungai dan pengangkatan (emerge) sedimen oleh arus dan gelombang laut, sedangkan abrasi adalah kerusakan pantai yang mengakibatkan semakin mundurnya pantai akibat kegiatan air laut. Perubahan yang terjadi pada wilayah pantai akan mengakibatkan perubahan yang nyata pada kondisi lingkungan fisik dan komponen yang berinteraksi didalamnya. Perubahan daratan pantai dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia (Komar, 1983). Tsunami 1. Pengertian tsunami Kata "tsunami" merupakan istilah dari bahasa Jepang "tsunami", mempunyai dua suku kata, "tsu", artinya "pelabuhan" (harbor), "nami" berarti
"gelombang". Tsunami menyatakan suatu gelombang laut akibat adanya pergerakan atau pergeseran lempeng di dasar laut yang disebut dengan gempa bawah laut. Gempa ini diikuti oleh perubahan permukaan laut yang mengakibatkan timbulnya penjalaran gelombang air laut secara serentak ke seluruh penjuru mata angin, sedangkan pengertian gempa adalah pergeseran lapisan tanah di bawah permukaan bumi. Ketika terjadi pergeseran tersebut timbul getaran yang disebut gelombang seismik dari pusat gempa menjalar ke segala penjuru (http://www.bmg.go.id/diakses pada 28 November 2014). Dalam literatur berbahasa inggris, tsunami kadang-kadang disebut pula sebagai “Tidal Wave” dan sering diterjemahkan secara harfiah sebagai “gelombang pasang”. Istilah ini sebenarnya tidak tepat karena sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan pasang-surut air laut yang umum, yang ditentukan oleh gaya tarik benda-benda astronomis. Tsunami juga berbeda dengan gelombang yang ditimbulkan oleh angin (wind wave) yang hanya menggerakkan air laut bagian teratas. Gelombang tsunami menimbulkan gerak pada seluruh kolom air dari permukaan hingga ke dasar (Nontji, 1993). 2. Penyebab Terjadinya Tsunami Menurut Kawata (2000), tsunami disebabkan oleh 3 hal, yaitu: 1. Apabila gempa dengan patahan vertikal, baik patahan naik maupun turun (lebih dari beberapa meter secara mendadak dan vertikal) terjadi di laut dengan kedalaman mencapai ribuan meter. Secara empiris, jika gempanya berkekuatan lebih 6,5 SR, dan pusat gempa berada pada kedalaman kurang dari 60 km dari dasar laut, maka tsunami akan terjadi.
2. Adanya longsor besar yang disebabkan oleh gempa, kegiatan gunung berapi, atau longsor di dasar laut. 3. Letusan gunung berapi. Gempa merupakan salah satu penyebab utama terjadinya tsunami. Selain itu, penyebab tsunami lainnya adalah meletusnya gunung berapi yang menyebabkan pergerakan air di laut/perairan sekitarnya menjadi sangat tinggi. Tidak semua gempa bawah laut menimbulkan tsunami, tsunami baru terjadi jika sampai terjadi dislokasi vertikal pada dasar laut, yang biasanya disebabkan oleh gempa kuat yang sumbernya relatif dangkal. Bila terjadi patahan atau sesar (fault) pada dasar laut, dan massa batuan dalam jumlah yang sangat besar amblas tibatiba, maka seluruh kolom air diatasnya juga ikut tersentak jatuh. Akibatnya permukaan laut akan melakukan gerak osilasi naik turun untuk mencari keseimbangan baru dan timbulah gelombang tsunami yang kemudian merambat ke segala arah dengan energi yang sangat besar (Diposaptono dan Budiman, 2005). Gelombang tsunami merambat ke segala arah dengan kecepatan yang bergantung pada kedalaman laut. Makin dalam laut makin tinggi kecepatan rambatnya. Pada kedalaman 5.000 m (kedalaman rata-rata di Samudera Pasifik) kecepatan rambat tsunami mampu mencapai 230 m/detik. Periode tsunami, yakni jangka waktu yang diperlukan untuk tibanya dua puncak gelombang yang berturutan dapat terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Jika sumbernya jauh, periodenya dapat mencapai lebih dari satu jam. Panjang gelombang tsunami, yaitu jarak dari satu puncak ke puncak lainnya dapat mencapai 200 km. Tinggi gelombang tsunami di tengah samudera biasanya relatif kecil yaitu antara 0,25-0,5
m, namun apabila telah mendekati pantai yang semakin dangkal akan mendapat tahanan yang semakin besar dari dasar laut dan sebagai konpensasi energinya yang besar dikonversikan kearah permukaan sehingga menimbulkan tinggi gelombang mencapai puluhan meter. Konfigurasi dasar laut sangat menentukan besarnya bencana yang dapat ditimbulkan. Teluk dengan bentuk menyerupai huruf V memberikan efek corong yang dapat menyebabkan gelombang tsunami sangat besar (Nontji, 1993). Penginderaan Jauh Penginderaan
jauh
merupakan
cara
memperoleh
informasi
atau
pengukuran dari objek dengan menggunakan alat pencatat, tanpa ada hubungan langsung dengan objek tersebut. Sistem ini didasarkan pada prinsip pemanfaatan gelombang elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan oleh objek. Alat penginderaan jauh ditempatkan pada suatu wahana yang dioperasikan pada suatu ketinggian tertentu yang disebut sebagai platform. Ketinggian platform tersebut dapat berupa ketinggian pesawat terbang, balon udara atau satelit (Sutanto, 1986). Sistem
penginderaan
jauh
dengan
menggunakan
satelit
sangat
menguntungkan, karena wilayah yang sangat luas dan sulit dijangkau dapat diliput. Keuntungan ini dapat dirasakan bagi negara-negara dengan wilayah yang sangat luas seperti Indonesia, selain itu perekaman data penginderaan jauh dari satelit dapat berlangsung secara terus-menerus selama waktu tertentu, peliputan suatu lokasi tertentu di permukaan bumi dapat dilakukan berulang-ulang dengan periode tertentu. Oleh karena itu data penginderaan jauh dari satelit dapat digunakan untuk memantau suatu daerah. Pengamatan muka bumi, samudera, atmosfer dan interaksi ketiganya dengan satelit berlangsung secara kontinyu,
cepat dan selalu dapat diperbaharui dengan segera. Jenis satelit pada dasarnya ada 5 yaitu satelit sumberdaya alam dan lingkungan (contohnya LANDSAT); satelit meteorologi (contohnya METEOSAT); satelit navigasi (contohnya NAVSTAR); satelit mata-mata (spy) yang namanya sangat dirahasiakan, dan satelit komunikasi (contohnya PALAPA) (Susilo dan Gaol, 2008). Pada masa sekarang ini pemerintah Indonesia telah memanfaatkan sistem penginderaan jauh. Sistem ini telah banyak digunakan sebagai salah satu sarana penelitian oleh para peneliti untuk tujuan tertentu, misalnya memantau perkembangan suatu daerah, penentuan daerah penangkapan ikan dan lain sebagainya. Berdasarkan sifat sensor, citra dan aplikasinya, maka pemanfaatan penginderaan jauh sangat membantu dalam penelitian kelautan yang mencakup wilayah pesisir karena kenampakan dan gejala yang terjadi di kedua wilayah tersebut terjadi dengan sangat cepat dan memerlukan pengamatan yang terus menerus. Penginderaan jauh dari satelit mampu menjangkau daerah yang cukup luas, daerah-daerah terpencil serta dapat diperoleh dalam periode waktu tertentu, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan pemantauan yang efisien dalam rangka pengelolaan sumberdaya di perairan dan lahan pantai. Proses alami di wilayah pesisir yang dapat dikenali dari data penginderaan jauh adalah akresi pantai, perubahan muara sungai, pendangkalan perairan, kekeruhan air di sekitar muara sungai, dan erosi pantai (Purwadhi, 1990). Semua proses tersebut merupakan proses yang menyebabkan perubahan daratan pantai. Penelitian mengenai perubahan daratan pantai telah banyak dilakukan oleh para ahli dengan beberapa metode, seperti pengukuran langsung
dilapangan atau dengan cara mengumpulkan pustaka-pustaka yang ada, sedangkan pemanfaatan sistem penginderaan jauh masih sedikit diterapkan. Salah satu data penginderaan jauh dari satelit yang dapat digunakan untuk melihat perubahan garis pantai adalah data penginderaan jauh satelit Landsat 7 ETM+ (Purwadhi, 1990). Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) yang disingkat SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografi seperti (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2002) Data masukan SIG dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu: 1.
Data lapangan. Data ini diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung, seperti suhu, salinitas, kecerahan, dan sebagainya.
2.
Data peta. Data peta ini merupakan informasi yang telah terekam pada kertas atau film, dikonversikan dalam bentuk digital.
3.
Data citra penginderaan jauh
Citra penginderaan jauh yang berupa foto udara dapat dinterpretasikan terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital, sedangkan citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah dilakukan koreksi seperlunya. Data keruangan dapat disajikan dalam dua model, yaitu model raster, dan model vektor. Pada model raster, semua obyek disajikan dalam bentuk sel-sel yang disebut pixel (picture elemen), sedangkan pada model vektor, obyek disajikan sebagai titik atau segmen-segmen garis. Metode analisis yang sering dilakukan pada beberapa macam peta, dikenal dengan metode tumpang susun(overlay method). Dari fungsi-fungsi analisis yang dapat digunakan oleh SIG ini, pengguna dapat memperoleh informasi yang diinginkan. Sistem Pengelolaan Data Spasial Pengelolaan data spasial merupakan hal yang penting dalam pengelolaan lingkungan. Pengelolaan yang tidak benar dapat menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Sistem koordinat dalam GIS digunakan untuk meregistrasikan basis data spasial, artinya semua basis data spasial harus diregistrasikan dalam sistem koordinat yang sama. Bagi software yang tidak bisa melakukan “on the fly projection” untuk menangani berbagai macam sistem koordinat proyeksi atau datum, maka registrasi setiap layer informasi harus diregistrasi dalam sistem datum dan sistem koordinat proyeksi yang sama. Software ArcGIS mempunyai kemampuan untuk menangani persoalan perbedaan sistem proyeksi peta yang digunakan, akan tetapi untuk perbedaan datum dalam sumber data tetap harus dilakukan transformasi datum (Budianto, 2005)